Cinta Sang Naga 2
Cinta Sang Naga Karya V. Lestari Bagian 2
hanya orang yang matanya tajam saja bisa menemukan perbedaan. Dan hanya orang yang memahami dapat menyimpulkan, bahwa perubahan itu disebabkan oleh bertambahnya kepercayaan diri Henson.
Lili melihat perubahan itu. ia heran. Apakah Henson merasa dirinya sudah berhasil" Padahal belum kelihatan apa-apa. Diam-diam ia melirik kepada Irma di sebelahnya. Sejak pertengkaran Irma dengan Yeni tempo hari, Lili pindah duduk di tengah. Maksudnya untuk menghindari risiko permusuhan antara kedua adiknya itu.
Di wajah Irma, Lili tak bisa melihat apa-apa. Sorot mata Irma dingin saja. Dingin kepada pria mana pun. Dan kelihatannya kepada Henson pun begitu pula. Sedang dari diri Henson pun ia tak bisa menemukan apa-apa yang pantas disebut sebagai perhatian berlebihan terhadap Irma. Ia heran, dari mana Yeni menemukan isyu itu" Irma dengan Henson. Ah, mustahil. Tapi, kalau memang mustahil, kenapa Mama ikut jadi panas" Lili merasa ketinggalan. Ia penasaran. Tapi tidak tahu bagaimana caranya supaya ia bisa tahu.
Lili jadi asyik memperhatikan gerak-gerik Henson. Benar kata Yeni, Henson itu orangnya cakep juga. Baru sekarang ia merasakan hal itu. Mungkin karena memang baru sekarang ia memperhatikan. Atau mungkin tadinya ia tidak merasa perlu untuk memperhatikan. Posisi dan kedudukan seseorang sering kali jadi penentu apakah dirinya patut diperhatikan atau tidak. Tadinya, Henson begitu berbaur dengan para pelayan lainnya. Henson seolah sama saja dengan yang lain. Sama sekali tidak ada yang istimewa. Ataukah karena dasi kupu-kupunya itu sudah tanggal"
Mungkin karena merasa terus-terusan dipandangi, Henson menoleh juga ke arah ketiga dara. Segera matanya bertatapan dengan mata Lili. Untuk sesaat Henson nampak rikuh. Ia tersenyum sambil mengangguk. Jelas ia malu, pikir Lili merasa tertarik. Dan anehnya, ia sendiri tidak merasa malu memperhatikan. Mungkin karena sadar, bahwa tujuannya memperhatikan itu adalah untuk menilai. Dia, sang majikan. Sedang Henson, karyawan. Walaupun begitu, toh ada rasa sensasi di situ. Ada getaran yang menyenangkan. Ada kesadaran, bahwa dia wanita sedang Henson pria. Mungkinkah begitu pula halnya saat Irma dan Henson saling bertukar pandang" Atau lebih dari hanya bertukar pandang"
Tapi setiap melirik kembali ke wajah Irma, Lili jadi ragu-ragu. Irma sudah dikenalnya sebagai tomboy yang tidak punya perhatian kepada lawan jenisnya, dingin dan tak peduli. Irma memang cantik. Tapi sudah pasti dirinya lebih cantik, karena dia selalu berdandan rapi sedang Irma tidak. Sejak semula, ia sudah merasa sulit membayangkan seperti apa kiranya rupa pacar Irma, andaikata Irma sudah memilikinya.
Perhatian Lili teralih dengan masuknya Jimmy. Senyum Lili pun mekar. Wajahnya menjadi sangat cerah. Henson pun terlupakan. Dan Jimmy menyambut senyum Lili dengan wajah tak kalah cerahnya. Keduanya memang sepasang pacar yang tengah dimabuk cinta. Tapi Lili tidak bangkit dari duduknya. Sedang Jimmy pun tidak mendekat ke meja ketiga dara untuk sekadar mengucapkan sepatah dua patah kata. Tapi ia langsung menuju salah satu meja. duduk dan memesan makanan. Posisinya berhadapan, hingga dari tempatnya duduk ia bisa memandangi Lili dengan leluasa. Tanpa malu-malu Lili balas menatapnya. Hanya itulah yang terjadi. Saling tatap dan saling senyum.
Keadaan semacam itu sudah merupakan perjanjian. Pacar siapa pun yang datang di saat seperti itu maka tujuannya hanyalah untuk makan, bukan untuk berpacaran, karena bagi ketiga gadis merupakan jam kerja. Tak peduli kalau saat itu sedang sepi. Pendeknya harus disiplin.
Tapi sebenarnya bukan cuma disiplin yang mau ditegakkan. Ada hal lain yang jadi sebab. Terutama bagi Nyonya Linda. Ia sadar, ketiga putrinya merupakan daya tarik tersendiri bagi pari tamunya. Jadi, jangan sampai timbul kesan bahwa ada tamu tertentu yang memonopoli putri-putrinya itu. Tentu bukan berarti bahwa ia menentang putri-putrinya berpacaran, apalagi dengan pria yang disetujuinya, tapi ada waktu tertentu untuk keperluan itu. Yaitu pada saat di mana mata para tamu tidak melihat. Pada saat kerja bagi para gadis dan saat makan ba
gi para tamu, biarlah tamu mengagumi dan berangan-angan tanpa hambatan. Adanya pacar yang secara demonstratif memperlihatkan sikap memiliki dapat melenyapkan angan-angan itu. Dan siapa tahu, berbareng dengan lenyapnya angan-angan itu lenyap pula selera makan"
Melihat Jimmy, Nyonya Linda bergegas mendekati lalu duduk menemani sebentar. Sikapnya yang ramah jelas menunjukkan bahwa Jimmy adalah seorang calon menantu yang berkenan di hatinya.
Jimmy memang memiliki penampilan yang meyakinkan. Pakaiannya rapi tak pernah kelihatan lecek, dan arloji Rolex yang sering jadi simbol status dan lambang bonafiditas selalu menghiasi pergelangan tangannya. Masih ada lagi mobil bagus yang selalu dikendarainya setiap datang berkunjung. Kesemuanya adalah perlengkapan yang diperlukan untuk memperjelas ciri sosial. Menurut cerita, Jimmy adalah seorang pengusaha muda yang sukses. Dia memiliki beberapa buah toko di bilangan Kota.
Ketika makanan yang dipesannya tiba, Nyonya Linda meninggalkannya. Jimmy senang. Dia bisa makan tanpa risi. Ditemani makan oleh calon mertua dengan ditemani pacar tentu berbeda sekali. Maka ia pun makan dengan lahap sambil memandangi sang pacar. Alangkah sedap!
nyonya Linda memang tidak bermaksud menemani Jimmy lama-lama. Kedatangan dua orang tamu langganan tetap lebih menyita perhatiannya. Mereka adalah Peter dan Tanujaya. Kedua orang ini berkantor tak jauh dari situ. Jadinya mereka sering muncul bersama-sama untuk makan siang. Di samping itu tentu saja keduanya pun berkawan cukup akrab.
Sesaat Nyonya Linda teringat akan ejekan Irma. Anak bengal itu menyinggung-nyinggung Peter. Apa maksudnya belum jelas ia ketahui. Tapi peduli amat. Ia terus melangkah untuk menyambut sambil tersenyum manis. Kedua langganannya itu pasti akan tetap setia apa pun isyu yang beredar.
Nyonya Linda melirik ke arah Irma. Ternyata gadis itu pun tengah memandang kepadanya, memperhatikan dengan asyik. Pandang Nyonya Linda menjadi tajam. Buru-buru Irma mengalih-kann pandangnya. Ngeri juga rasanya.
Yeni agak resah. Sebentar-sebentar ia memandangi jam tangannya. Arus orang yang masuk bisa dihitung dengan jari. Pandangnya berkali-kali ke pintu. Setiap kali pintu terbuka ia memandang penuh harap. Lalu berpaling dengan kecewa. Baru setelah untuk kesekian kalinya memandang dan memandang, ia tersenyum senang. Anton dan Herman melangkah masuk. Rupanya para pacar tidak takut kepada kecoa. Atau mereka memang sengaja menunjukkan rasa kesetiaan justru pada saat seperti ini, saat yang peka.
Anton mengangkat tangannya ke arah Yeni.
"Hai!" katanya tak seberapa keras. Cukup didengar Yeni seorang. Yeni menyambut dengan senyum. Hanya senyum. Tapi cukup. Sedang Herman melotot kepada Irma. Tentu saja bukan karena marah, tapi sangat ingin menarik perhatian Irma agar memandang juga padanya. Namun ia terpaksa kecewa. Irma sama sekali tidak mengangkat kepalanya dari meja. Dia seolah begitu asyik menekuri entah buku entah catatan di depannya, hingga tidak menyadari apa dan siapa yang ada di sekelilingnya. Suatu kepura-puraan yang sempurna. Irma sudah melihat begitu Anton memunculkan sebagian tubuhnya di pintu. Ia tahu, Anton pasti diikuti Herman. Dan ia juga tahu, hal itu menandakan bahwa Herman masih tetap menyimpan harapan yang sama. Andaikata Herman kehilangan harapan atau memutuskan untuk mengalihkan perhatiannya pada gadis lain, pastilah ia tidak akan muncul-muncul lagi. SANG NAGA tentunya bukan satu-satunya tempat di mana ia bisa mengisi perutnya.
Irma senang, karena Yeni tidak duduk di sisinya seperti sebelumnya. Biasanya, dalam keadaan seperti itu Yeni akan menyikutnya atau terang-terangan menyuruhnya membalas tatapan Herman. Tapi biasanya ia pun tak pernah meladeni. Toh Herman tidak akan terus berdiri di muka pintu menunggu tatapannya dibalas.
"Si Herman itu gigih, Ir. Dia betul-betul tergila-gila padamu," kata Lili.
"Aku heran. Mestinya dia tahu diri. Carilah cewek lain," sahut Irma.
"Kau sombong," sungut Yeni.
"Bukan sombong. Ci Yen. Habis kalau orang nggak mau."
"Kalau si cowok gigih, lama-lama ceweknya mau juga."
"Aku tidak." "Kasihan," gumam Lili.
Irma melirik. "Emangnya Ci Lili menyalahkan aku""
"Bukan begitu. Aku cuma kasihan sama dia. Begitu ngenesnya."
"Mustahil aku harus memberi senyum manis kepadanya" Nanti dia semakin berharap. Kan lebih baik tegas. Aku nggak plin-plan. Kalau memang nggak suka, terus terang saja."
"Ya, ya, kau memang benar. Karena itu aku kasihan padanya. Kok dia tidak mau mengerti juga."
"Oh, itu artinya cintanya sangat besar!" sela Yeni jengkel.
"Karena itu pula dia patut dikasihani," kata Lili tenang.
"Heran. Padahal dia itu kurang apanya sih" Cakep, kaya, baik hati," gerutu Yeni.
"Yang kaya kan bapaknya," sahut Irma.
"Tapi bapaknya sudah tua bangka, tahu" Dan anaknya cuma mereka berdua itulah. Tak lama lagi mereka akan memperoleh warisan besar," kata Yeni lebih tenang dan serius, setengah membujuk.
Tiba-tiba Irma tertawa. Cukup keras dan spontan. Beberapa tamu sempat menoleh kepadanya. Dengan kaget dan tersipu Irma buru-buru menutup mulutnya, menahan suara yang masih akan keluar.
"Kenapa kau tertawa"" desis Yeni. "Sorry, Ci. Ketawaku keluar sendiri." "Masa orang ketawa nggak ada sebabnya. Sinting kali."
"Habis Ci Yeyen menyebut bapaknya Anton tua bangka. Kan kurang ajar tuh," kata Irma, menyembunyikan sebab sebenarnya. Jadi jelas, Yeni sangat menyukai kekayaan, lalu berpikir bahwa adiknya pun begitu pula.
Kejengkelan Yeni terhadap adiknya mereda. Lalu ia pun tertawa. "Oh, aku nggak begitu senang sama si Tua," ia mengakui.
Kali ini bukan cuma Irma tapi Lili juga ikut tertawa. "Aduh, belum jadi mertua beneran sudah dikurangajari. Gimana nanti"" kata Lili geli.
"Soalnya dia memang sudah tua sekali. Umurnya hampir delapan puluh. Sudah setengah pikun. Bayangkan. Lagaknya kayak orang muda yang suka ceriwis. Dia suka lupa bahwa aku ini calon menantunya. Menggelikan tapi juga menyebalkan."
Mereka bertiga tertawa bersama. "Pantasnya dia terlambat kawin atau terlambat punya anak," komentar Irma.
"Ya. Memang begitu," sahut Yeni. Mereka sudah berbaikan kembali.
Henson memperkirakan, bahwa omset hari itu akan menurun sebanyak lima puluh persen. Cukup membuat Tuan Liong berwajah murung. Tapi ia berusaha untuk bersikap tabah. Ini baru permulaan, demikian ujarnya berulang-ulang. Nanti pasti tidak begini terus. Bagi Henson, kata-kata semacam itu jelas merupakan upaya untuk menghibur dan menguatkan diri sendiri. Di balik itu, sepertinya Tuan Liong menyimpan kecemasan yang mendalam. Apakah dia kurang yakin" Terlalu cemas" Ataukah itu wajar saja mengingat dia pemilik dan sebelumnya tak pernah mengalami hal-hal seperti itu" Henson cuma bisa mengira-ngira. Tuan Liong tidak mencurahkan isi hatinya kepadanya.
Henson sendiri merasa tegang. Ia berharap besok ceritanya akan dimuat di koran yang sama. Itu penting sebagai awal nasib SANG NAGA di kemudian hari. Mampukah ia mengatasi cobaan itu atau tidak" Karena itu, menunggu datangnya hari besok itu serasa lama sekali.
Perbincangannya dengan Asrul, redaktur koran itu, berlangsung dalam suasana bersahabat dan penuh humor. Masalah kecoa dalam capcay memang bisa menggelitik syaraf orang luar yang tidak punya sangkut paut. Henson bercerita banyak tentang SANG NAGA, terutama tentang perkembangan kemajuannya sampai kemudian mengalami cobaan itu. Dia memang tahu banyak. Dan ia pun pandai memberi bumbu menarik dalam ceritanya. Ia berbuat seakan ia merupakan orang yang senang bicara. Terlalu senang, hingga apa pun diceritakannya. Tapi sesungguhnya ia selektif dalam memilih bahannya. Setengah meralat pemberitaan kemarinnya dan setengah berpromosi karena ia tidak terang-terangan membual. Ia tahu benar, orang koran paling senang mendengarkan cerita.
Seperti sudah diduganya, Asrul tidak mau memberitahukan siapa sumber beritanya kemarin itu. Dan Henson pun tidak memaksa. Ia menceritakan kepada Asrul tentang kemungkinan-kemungkinan yang pernah diceritakannya kepada Freddy yang bertitik tolak dari menghilangnya Udin. Lapor kepada polisi" Ah, tentu saja tidak perlu. Bukti tidak cukup. Kami akan berusaha mengatasinya sendiri, dem
ikian yang dikatakan Henson dengan gagah tanpa sikap takabur. Sikap yang simpatik akan menghasilkan cerita yang simpatik pula.
Tapi ketika ditanya, Henson tidak menyebutkan kedudukannya. Untuk mengatakan dirinya manajer ia merasa segan. Sepertinya belum layak membanggakan diri. Memang benar ia senang atas kenaikan pangkatnya itu, tapi bukankah usia kedudukan barunya itu baru beberapa jam saja" Lagi pula tiba-tiba saja ia teringat, bahwa dalam pemberitaan koran nanti tentunya pangkatnya itu akan ditulis juga. Berarti bukan rahasia lagi seperti yang dikehendaki Tuan Liong. Jadi ia mengatakan, bahwa dirinya cukup disebut sebagai orang SANG NAGA saja, atau karyawan, titik. Walaupun demikian, ia menyebut namanya dengan jelas. Asrul tertawa.
"Terus terang, saya sudah memperkirakan akan kedatangan utusan dari SANG NAGA. Tapi bahwa akhirnya saya berhadapan dengan orang Batak sama sekali di luar persangkaan saya."
"Kenapa begitu"" tanya Henson pura-pura. Ia sebenarnya mengerti maksud Asrul.
"Ya. Bukankah SANG NAGA itu restoran Cina"" Asrul balik bertanya.
Henson tertawa seakan baru memahami. "Ah, Anda tentu berharap akan berhadapan dengan orang keturunan Cina juga, bukan" Saya pikir, itu keliru. Bagi orang Batak yang punya pengalaman di bidang restoran tentu bukan cuma lapo tuak satu-satunya pilihan. Ada faktor lain yang lebih menentukan, yaitu bakat dan kesempatan."
Asrul tertawa keras. "Ya. Pendapat Anda cukup bijaksana. Toh saya pikir Anda pasti punya keistimewaan tertentu hingga beroleh kepercayaan dari bos Anda. Apakah Anda pandai berbahasa Mandarin""
"Pandai sih tidak. Tapi bisa sedikit-sedikit. Kalau orang ngomong sih ngerti. Asal saja tidak nyerocos begitu. Dan bicara tentang keistimewaan saya rasa juga tidak ada. Itu tergantung pada sikap dan pandangan orang tentang masalah ras," kata Henson merendah. Ia tahu, cerita tentang masalah pribadi harus dijauhkan.
Asrul mengangguk-angguk. "Ya, ya. Saya setuju. Sangat setuju. Tapi saya yakin, bos Anda itu pastilah orang yang punya pandangan luas. Juga tentang persoalan ras."
"Setiap orang akan senang bekerja sama dengan orang yang tidak sempit dan picik pandangannya tentang soal itu," sahut Henson, menghindari penilaian pribadinya terhadap Tuan Liong.
Menjelang pertemuan mereka berakhir, Asrul menjabat tangan Henson. "Saya menaruh simpati terhadap masalah Anda. Baik saya ungkapkan, bahwa sumber berita saya adalah orang yang mengaku sebagai tamu SANG NAGA pada saat peristiwa itu terjadi. Dia mengatakan telah melihat sendiri peristiwa itu."
"Jadi bukan tamu yang hampir menyantap kecoa itu""
"Dia bilang melihat, dan bukan menyantap. Mungkin tamu yang mejanya berdekatan."
Rasanya dia cukup sigap dan gesit mengamankan piring berisi kecoa itu, pikir Henson. Tapi memang kemungkinan ada yang melihat tetap ada.
"Lantas apa tujuannya menyebarluaskan cerita itu"" tanya Henson kemudian.
"Katanya, supaya pihak restoran mawas diri dan menjaga mutu masakannya."
"Baiklah. Terima kasih, Pak Asrul."
Sesudah itu, berlangsung pertemuannya dengan Freddy. Begitu jumpa, laki-laki itu langsung
membela diri. "Bukan saya yang bercerita kepada koran itu. Pak. Disuruh sumpah juga saya mau. Buat apa sih" Saya bukan orang yang curang dan suka berkhianat. Saya sudah berjanji. Dan janji itu sara junjung. Kalau perlu saya bersedia diajak menemui redaktur koran itu. Dia tentu masih ingat tampang orang yang mengadu. Apa betul saya"" demikian kata Freddy penuh semangat. Suatu sikap yang jelas sudah dipersiapkan. Ia tentu sudah tahu, bahwa berita di koran itu akan membuat dirinya dicurigai. Dan selanjutnya akan ditanyai.
Sikap Freddy yang polos dan tegas itu membuat Henson tak bisa lain selain percaya. Kemungkinan besar memang bukan Freddy. Toh yang penting sekarang ini bukanlah menemukan siapa orang yang melakukan hal itu, karena peristiwanya sudah terlanjur menyebar. Dan proses akibatnya sudah mulai berjalan. Itulah yang perlu diatasi dan ditanggulangi.
*** Cek A Piang ikut murung. Dia yang biasanya sibuk memasak hampir tak ada hentinya pada jam-jam m
akan jadi banyak menganggur hari itu. Pesanan hanya sekali-sekali saja datang. Lalu dengan ogah-ogahan dia mengerjakannya. Padahal dengan berkurangnya pekerjaan capeknya pun berkurang.
Henson menemukannya seperti itu.
"Gara-gara kecoa itu, nama saya jadi rusak, Son," keluhnya.
"Ah, jangan bilang begitu, Cek. Kenyataannya kan nggak."
"Siapa bilang" Tuh, yang makan jadi berkurang. Mereka nggak percaya lagi sama hasil kerja saya."
"Sementara, Cek. Pasti untuk sementara saja. Percayalah."
Cek A Piang menatap Henson. "Kau sendiri percaya, Son""
"Kita harus punya kepercayaan diri dong, Cek. Payah kalau nggak."
"Percaya sih percaya, Son. Tapi di sininya udah rusak duluan," kata Cek A Piang sambil menepuk dadanya.
"Jangan, Cek. Jangan begitu. Anggap saja ini cobaan. Mana ada sih hidup tanpa cobaan""
Cek A Piang diam termenung.
Di sudut lain di ruang yang sama, Mamat dan Dipo baru selesai mencuci piring yang tentu saja tak sebanyak hari-hari kemarin. Sesudah itu mereka segera keluar. Tidak enak berlama-lama di dapur kalau menganggur. Panas. Tinggal Cek A Piang dan Henson berdua.
"Son, tadi Koh Liong ngomel-ngomel padaku," kata Cek A Piang dengan suara direndahkan.
"Oh, ya" Apa katanya"" Henson terkejut. Setahu dia, Tuan Liong tak pernah atau jarang sekali memarahi Cek A Piang.
"Dia bilang, kalau kerja jangan jorok. Harus bersih, apik, rapi. Salah-salah nanti kemasukan lagi. Entah laler, nyamuk, atau..." pandang Cek A Piang tertuju ke dinding, menemukan seekor cecak sedang merayap. "Atau cecak juga. Wah, wah. Emangnya aku masak nggak pakai mata""
Henson benar-benar terkejut. Ia tak menyangka, bahwa Tuan Liong bisa berkata seperti itu. Mungkinkah karena terlalu cemas" "Habis, Cek bilang apa"" "Nggak bilang apa-apa. Namanya orang kerja, dimarahi majikan ya diam saja. Habis mau bilang apa" Cuma di sini ini rasanya gimana..." kembali Cek A Piang menepuk dadanya. Henson tidak tahu mesti bilang apa. "Belum habis yang itu, datang lagi yang lain, Son. Gantian Ci Linda yang marah-marah. Katanya, banyak tamu yang bilang padanya, supaya kokinya diganti saja. Koki yang doyan kecoa nggak perlu dipertahankan. Huuu. Sakit! Sakit!" Cek A Piang menepuk dadanya lebih keras. Wajahnya memperlihatkan mimik mau menangis. Sangat memelas.
Henson memalingkan mukanya. Ia tidak tega memandang. Perasaannya jadi ikut tidak keruan. Tangannya terulur, menepuk-nepuk pundak Cek A Piang.
"Kalau si Udin itu bisa kepegang, kuhabisi dia. Akan kucekoki kecoa. Biar dia tahu gimana rasanya kecoa itu!" seru Cek A Piang gemas.
"Sudah, Cek. Sabarlah. Sabar saja."
"Ngomong sabar sih gampang, Son. Tapi kan susah tuh."
"Ya. Memang susah," sahut Henson bingung. "Eh, Son, apa kau akan mengadu nanti" Kau kan disayang sama Koh Liong. Ah, biarlah kau ngadu juga nggak apa-apa. Gelagatnya sih aku nggak bakal lama lagi kerja di sini. Biar aku pulang saja ke Medan. Di sana juga bisa makan," Cek A Piang mengoceh.
"Saya tidak akan mengadu, Cek. Kita kan sama-sama karyawan di sini.
"Ya. Aku percaya. Kau kelihatannya memang baik."
"Jadi jangan ngomong soal berhenti kerja dulu, Cek. Mereka bersikap begitu itu pasti karena terlalu khawatir. Maklumi saja, Cek. Jangan dipikirkan. Kalau ada apa-apa, bicaralah dengan saya, Cek."
Cek A Piang nampak terhibur. Ia tidak mengelus dadanya lagi.
Pesanan makanan datang. Kesibukan bagi Cek A Piang. Mamat dan Dipo membantu meracik sayur-sayuran. Henson masih memperhatikan. Dan seperti sebelumnya ia mengagumi kesigapan Cek A Piang bekerja. Sepasang tangannya gesit dan trampil seperti menari-nari. Sungguh, memasak itu benar-benar suatu seni. Caranya mengolah. Dan kemudian hasilnya. Indah dipandang. Sedap dimakan. Tidak terasa tiba-tiba ia merasakan keinginan untuk mencoba dan menikmati seni itu. Hawa panas kompor sampai tidak terasa.
Masakan selesai. Mamat menyediakan piring. Dan tak lama kemudian semuanya diangkut keluar. Lalu akan lenyap di perut tamu. Seni yang bersifat sementara, tapi menanamkan kesan. Enak atau tidak enak. Semua kenikmatan panca indria selalu menanamkan kesa
n yang tak terlupakan, lalu menimbulkan rasa ketagihan. Ingin lagi dan ingin lagi mengulang rasa yang sama.
Cek A Piang melirik ke arah Henson.
"Kau mau belajar masak. Son"" ia bertanya tiba-tiba.
Henson tersipu, menyadari keinginannya terbaca. "Ah, iya, Cek. Kepingin juga rasanya. Cuma kapan, ya" Dan di mana""
"Gampang. Di rumahku saja. Cuma bahannya kau yang beli."
"Setuju, Cek!" Henson tertawa gembira.
Sedang kedukaan Cek A Piang pun seperti hapus. Ia mendekati Henson lalu berbisik, "Eh, tahukah kau" Aku punya resep rahasia yang belum pernah kucoba di sini. Soto Medan!"
-V- Berita yang ditunggu-tunggu itu muncul juga keesokan paginya. Sebuah berita yang tidak terlalu panjang, tapi menarik. Isinya memuaskan perasaan Henson, karena sesuai dengan harapannya, bahkan lebih. Semua informasi yang disampaikannya ada di situ. Tidak lebih, tidak pula kurang, tapi penyampaiannya menarik dan menyentuh. Hikmah yang mau diambil dari "permasalahan yang dikemukakan adalah perihal kekejian persaingan. Dengan demikian akan timbul kesan, bahwa peristiwa itu bukanlah kesengajaan atau kelalaian dari pihak restoran, melainkan perbuatan saingan usaha.
Tapi risiko masih tetap ada. Bagaimana kalau timbul kekhawatiran lain di benak para tamu atau langganan, yaitu merekalah yang akan dijadikan sasaran teror si saingan itu" Bagaimana kalau para pelayan diberi suap agar mau memasukkan binatang-binatang kecil menjijikkan ke dalam makanan mereka, semata-mata agar mereka kapok makan di Restoran SANG NAGA lagi" Tidakkah sebaiknya menghindar saja sebelum sempat jadi korban"
Henson sudah berpikir ke sana. Karena itu kepada Asrul ia pun menyampaikan bahwa pengalaman semacam itu tidak akan mudah terulang. Segala kemungkinan dan kesempatan ke arah itu akan diperkecil atau dihapus. Hanya orang bodoh yang melakukan kesalahan sama dua kali. Dan pendapat Henson itu pun termuat pula. Lengkap sudah.
Nama Henson Purba ditulis lengkap. Ada sedikit komentar yang menyatakan pujian untuknya. Ia digambarkan sebagai anak muda yang tabah, penuh semangat, dan memiliki loyalitas yang tinggi. Mental karyawan seperti inilah yang paling ideal bagi sebuah perusahaan. Kepandaian dan ketrampilan bisa diperoleh belakangan.
Henson tersenyum membacanya. Ia merasa terangkat tinggi-tinggi. Ah, janganlah sampai dijatuhkan lagi. Nanti sakit sekali.
Ia pun tersenyum ketika membaca cerita yang agak sensasional dan sedikit berbau mistik. Itu adalah ceritanya tentang hoki atau keberuntungan yang konon dimiliki SANG NAGA. Hoki itu pasti ada, karena SANG NAGA mengawali langkahnya dari nol. Betul-betul dari nol, ketika para tamu yang datang untuk mencicipi makanan mereka cuma hitungan jari tangan. Tahu-tahu, yang sedikit itu lama-lama jadi banyak. Semakin banyak dan tetap banyak. Sampai terasa menakjubkan. Itu kalau mengingat bahwa dari sekian banyak restoran yang bermunculan hanya sebagian kecil saja yang mampu terus bertahan dan berkembang besar. Jelas ada faktor keberuntungan. Tapi ada orang yang tidak mempercayainya. Pasti masih ada faktor lain yang menyimpang dari kewajaran. Mungkin juga begitu. Konon, bangunan restoran SANG NAGA itu dibangun tidak hanya asal bangun walaupun segalanya memenuhi syarat. Di situ, segi artistik tidak begitu dipentingkan. Segi yang satu itu tergusur oleh faktor lain yang pasti tidak akan diperhitungkan oleh orang yang selalu berpijak pada hal-hal rasional belaka. Faktor yang satu itu biasanya dimainkan oleh peramal, ahli nujum, paranormal, orang pinter, dukun, dan istilah lain sejenis. Mereka ini punya kuasa untuk menyatakan mana pantangan yang tak boleh dilanggar dan mana keharusan yang harus dipatuhi dalam menentukan bentuk bangunan. Misalnya pintu tak boleh ada di sebelah kiri, melainkan di kanan, dan menghadapnya pun ke arah mana. Lalu jendelanya, ruangan-ruangannya, plafonnya, jumlah tangganya. Pendeknya segala sesuatunya yang menyangkut bentuk bangunan, dari luar sampai ke dalam. Itu semua dipatuhi, hingga jadilah bentuk bangunan SANG NAGA yang sekarang. Apakah dia kurang indah, kurang cantik, kurang bagu
s, atau kurang apa lagi lainnya, sama sekali bukan persoalan. Yang paling penting adalah kemampuannya mengundang rezeki. Untuk apa bangunan indah kalau membawa sial"
Henson tersenyum membacanya. Ceritanya itu ternyata dikutip dengan baik oleh Asrul. Memang bukan isapan jempol, karena ia mendengar sendiri kisah itu dari Tuan Liong.
Pada mulanya, pemuatan kisah itu kurang disetujui oleh Tuan Liong. "Kau bercerita terlalu banyak," katanya setengah menyesali.
"Tapi maksud saya adalah untuk mengalihkan perhatian orang dari masalah kecoa itu, Tuan. Saya bukan sekadar bercerita kosong. Harapan saya cerita itu pun mengandung promosi. Ada segi sensasinya di situ. Siapa tahu, orang yang mau menyaingi dengan niat jahat, seperti yang dilakukannya dengan kecoa itu, akan membatalkan niatnya karena merasa sudah tahu rahasianya. Buat apa menteror kita lagi" Kan lebih baik mencari peramal yang ahli saja."
Tuan Liong terkekeh. Ia merasakan kebenaran pendapat Henson. "Ya, ya. Barangkali para peramal akan laris dengan mendadak. Peramal gadungan pun akan bermunculan. Ha ha ha!"
Tapi Nyonya Linda tidak setuju. "Kau lancang membuka rahasia kita!" ia mengomel. "Sembarangan aja ngomong. Lancang kamu, Son! Lancang! Mentang-mentang dikasih wewenang, eh, terus semaunya sendiri."
"Itu kan bukan rahasia lagi, Ma," Lili membela. "Ya. Sudah banyak yang pakai cara itu juga," Yeni setuju.
"Ala, ributin soal gituan. Yang penting kan masalah kita teratasi," komentar Irma.
Nyonya Linda melotot dengan pandang curiga. Ia berniat menyemprot Irma, tapi ketika teringat akan kata-kata Irma tempo hari yang menyebut-nyebut nama Peter, ia membatalkan maksudnya. Jangan di depan suaminya. Kemarin siang, Hok Kie sang suami tiba-tiba saja mengatakan padanya, "Eh, si Peter masih setia makan di sini, ya" Nggak takut kecoa rupanya." Entah maksudnya serius atau menyindir. Ia sendiri jadi tertegun, tidak tahu mesti bilang apa. Tiba-tiba saja ia jadi takut. Sekilas ia melihat pandang dingin suaminya. Tak pula ada senyum di bibir padahal kata-kata itu sepertinya mengandung humor. Sungguh ia tak ingin Hok Kie mengetahui hubungannya dengan Peter, ia tak ingin, karena tak bisa memperkirakan apa kira-kira reaksi Hok Kie kalau tahu. Hok Kie begitu tertutup. Cuma Irma yang bisa mengajaknya bicara panjang-panjang. Sungguh menjengkelkan. Memang ia sudah berani menyeleweng. Tapi sebenarnya tindakan itu bukanlah keberanian. Ia melakukannya tanpa perhitungan akan risikonya. Sebenarnya ia belum siap menerima risikonya. Membayangkannya saja tidak. Ia cuma merasa terlanjur, lalu tergiur. Itu saja. Peter seorang pecinta yang hebat. Hok Kie yang dulu saja kalah, apalagi yang sekarang. Ya, kenapa Hok Kie tidak bersikap hangat lagi kepadanya" Padahal dia membutuhkan.
Pikiran itu membuat kegarangan Nyonya Linda lenyap dengan mendadak. Dia hanya memasang wajah cemberutnya saja. Padahal ia masih ingin menyerang Henson. Setiap saat bila ada kesempatan ia selalu berkeinginan melampiaskan antipatinya itu. Ia pun merasa geregetan karena tidak bisa menemukan sesuatu bukti perihal adanya hubungan antara Irma dan Henson. Yeni juga tidak bisa menyampaikan info apa-apa. Demikian pula Lili. Tapi kepada Yeni sudah disuruhnya agar terus mematai-matai Irma. Orang yang berpacaran secara gelap pasti akan ketahuan juga, demikian keyakinannya kepada Yeni. Sudah tentu pada saat itu ia melupakan kisah cinta gelapnya sendiri.
Seperti biasa Henson cuma diam saja bila Nyonya Linda mulai menyerangnya. Hanya dengan berdiam diri ia bisa mengalahkan serangan itu. Seseorang tentu tidak mungkin bicara terus. Dan yang diam pun belum tentu berarti kalah.
*** Malam harinya tamu yang datang lebih banyak dibanding siang sebelumnya, walaupun masih lebih sedikit dibanding malam-malam kemarin.
Henson menyapu ruangan dengan matanya yang awas. Hanya sekilas saja. Toh sudah cukup. Tamu tidak akan suka dipandangi dan diperhatikan lama-lama, seakan ada yang salah pada diri mereka. Betapapun aneh atau norak penampilan seseorang, janganlah sekali-kali memandangi seakan dia makhluk dari planet lain. Ba
gaimanapun anehnya, dia adalah tamu. Jadi anggap biasa-biasa saja.
Pemandangan yang dilihatnya cukup membuatnya gembira. Barangkali keadaan ini merupakan pengaruh positif atas pemberitaan koran tadi pagi. Tapi bisa juga bukan, melainkan suatu keadaan yang sewajarnya saja. Tak selalu ada perimbangan tertentu antara jumlah tamu di siang hari dengan malam hari. Berita tadi pagi barusan saja dibaca orang. Dan biasanya orang membutuhkan waktu untuk menimbang-nimbang. Jadi para tamu yang datang itu memang datang atas kehendak sendiri, bukan dipengaruhi berita koran. Dengan kata lain, mereka adalah tamu atau langganan yang setia.
Tapi Henson melihat kehadiran beberapa orang yang bertingkah agak lain dari yang lain. Ada yang melihat berkeliling, ke sudut-sudut, dan ke atas. Lalu saling berdiskusi. Sepertinya ada sesuatu yang menarik di sekitar ruang hingga perlu diperbincangkan dengan begitu serius. Tak terasa Henson jadi ikut memandang berkeliling, ke sudut-sudut dan ke atas. Ia heran. Tak ada perubahan apa-apa di situ. Masih tetap sama seperti kemarin-kemarin. Tak pula ada sesuatu yang aneh. Bahkan cecak pun tak ada.
Lalu dilihatnya tamu lain mengeluarkan kertas kosong dan bolpen, lalu mencoret-coret di situ sambil sesekali memandang berkeliling juga. Tak kepalang rasa ingin tahu Henson, hingga pelan-pelan ia beringsut ke sana untuk mengintip. Ternyata si tamu sedang menggambar denah bangunan SANG NAGA dari depan sampai ruang makan. Dan ketika si tamu itu menoleh kepadanya dengan pandang curiga buru-buru ia berpaling ke arah lain, lalu pergi menjauh. Toh ia sudah melihat.
Ia mengerti. Susah payah ia menahan tawanya yang serasa mau meledak. Ya, itulah dia pengaruh berita koran tadi pagi! Para tamu itu sedang sibuk memperbincangkan atau mempelajari segi ajaib ceritanya. Ah, inilah rupanya bentuk bangunan SANG NAGA yang membawa hoki atau rezeki itu! Kiranya perlu juga dipelajari. Adakah mereka berniat meniru bentuk bangunan SANG NAGA, karena berharap akan memperoleh rezeki yang sama pula" Nah, dalam keadaan seperti itu masihkah mereka ingat kepada si kecoa pembawa gara-gara"
Kemudian ia teringat pada Tuan Liong yang diketahuinya sedang berada di loteng, di tempat duduknya yang biasa. Tentunya Tuan Liong pun sedang melihat-lihat situasi. Dengan antusias terpikir oleh Henson untuk memberitahukan apa yang barusan dilihat dan disimpulkannya. Mereka bisa memperbincangkan soal itu. Kemungkinan Tuan Liong tidak melihat, karena dari tempatnya ia tidak bisa memandang ke segala arah dengan jelas. Pasti informasi itu akan membuatnya senang. Tapi dengan tiba-tiba ia teringat akan sesuatu yang membuat antusiasmenya lenyap. Sikap Tuan Liong sepanjang hari ini dirasanya agak berbeda daripada biasa. Ataukah kemarin juga begitu" Yang terasa jelas memang hari ini. Tuan Liong diam dan murung. Dan kelihatan gampang uring-uringan. Mudah ditebak bahwa hal itu disebabkan karena ia sedang gundah. Ada yang tidak menyenangkan tersimpan dalam hatinya.
Semula Henson menganggap sikap Tuan Liong itu disebabkan kecemasannya akan masalah yang tengah mereka hadapi ini. Sesuatu yang dirasa Henson sebagai berlebihan. Mestinya seseorang tidak boleh terlalu cemas selama masalah yang dihadapinya masih berupa kemungkinan-kemungkinan. Tapi kemudian ia memergoki pandang Tuan Liong kepada Nyonya Linda. Pandang sembunyi-sembunyi tanpa diketahui orang bersangkutan. Sementara Tuan Liong sendiri tidak tahu dirinya ada yang memperhatikan. Tapi cuma sebentar saja pandang Henson terarah kepadanya. Ia tidak berani memandangi lama-lama. Tidak pula berani memandang lagi sesudah menoleh walaupun rasa hati sangat ingin. Perasaannya bergetar. Di mata Tuan Liong ia melihat api!
Tentu bukan baru kali itu ia melihat pandang marah seseorang, bahkan tertuju kepadanya. Itu saat ia terlibat perkelahian. Tapi yang demikian itu wajar. Penyebab marahnya jelas. Berbeda dengan Tuan Liong. Ia tidak sedang bertengkar dengan Nyonya Linda. Jelas, ia marah diam-diam, tanpa ketahuan sebabnya. Di samping itu, Henson mengenalnya sebagai orang yang sabar dan lembut, pendiam dan jaran
g marah, walaupun penggugup dan cepat gelisah. Jadi, bisakah diartikan bahwa marahnya kepada Nyonya Linda sekarang ini disebabkan oleh sesuatu yang amat sangat menyakitkan hatinya" Begitu saja Henson teringat kepada Peter. Lalu pemandangan di kolong meja beberapa waktu yang lalu. Memang yang diketahuinya cuma itu. Tidak lebih. Mungkin sesungguhnya jauh berlebih daripada hanya itu. Lantas, tahukah Tuan Liong"
Tapi Tuan Liong tidak mengatakan apa-apa. Juga kepada Irma. Padahal gadis itu sudah bersiap-siap menampung isi hati ayahnya. Ia sudah diberi tahu Henson tentang soal itu lalu merasa pasti cepat atau lambat ayahnya akan menceritakan semuanya. Ia yakin, hubungannya yang akrab dengan ayahnya akan membuat ayahnya mau bersikap terbuka kepadanya. Tapi ia harus kecewa. Ternyata, keakraban tidak selalu membuat orang mau membuka diri. Ayahnya masih suka menyimpan rahasia. Mungkin juga ia masih dianggap kecil atau belum dewasa.
Irma penasaran. Ia semakin cermat memperhatikan tingkah laku ibunya, tapi tidak bisa menemukan apa-apa yang berlebihan. Mungkin kesempatannya tidak ada. Cukup sering ibunya keluar rumah sendiri. Tidak jelas ke mana. Dan tidak pula memberitahukan. Tapi kelihatannya pun tak ada yang menanyakan. Termasuk ayahnya. Ia merasa, ayahnya ikut bersalah. Kalau tidak senang, kenapa membiarkan" Kenapa menyimpan sendiri, lalu merana sendiri pula"
Irma tidak pernah melihat Peter datang ke rumah untuk kunjungan kekeluargaan. Dia hanya datang pada jam-jam makan siang ke restoran. Bukan ke rumah. Suatu sikap yang jelas menunjukkan bahwa dia hanya seorang langganan belaka. Bukan teman, apalagi sahabat. Karena itulah ia sangat heran ketika mendengar cerita Henson tentang pemandangan di kolong meja itu. Orang yang tak punya hubungan akrab, boleh dikata intim, mustahil saling bersentuhan seperti itu.
Peter seorang eksekutif dan juga pemilik sebagian saham sebuah bank swasta. Sedang Tanujaya yang selalu menemaninya makan siang, memiliki sebuah perusahaan pengreditan barang-barang elektronik. Pendeknya, keduanya dikenal sebagai orang-orang bonafid. Di samping hubungan akrab antara keduanya, Tanujaya juga merupakan nasabah bank Peter.
Peter sudah berkeluarga, tapi ia tidak pernah mengajak keluarganya makan di SANG NAGA. Sekarang, bagi Irma hal itu tidak mengherankan. Tanpa diiringi keluarga tentunya gerak-gerik Peter jadi lebih leluasa. Terutama di depan Linda. Siapa pun tahu, sebaiknya istri dan kekasih itu tidak dipertemukan.
Sudah sejak semula simpati Irma tertuju kepada ayahnya. Ia tidak mengerti kenapa ibunya mesti menyeleweng bila ayahnya tidak nampak melakukan sesuatu kesalahan. Uang pun cukup, bahkan berlebih. Justru ibunyalah yang suka cerewet dan bersuara keras. Kalau begitu, menurut Irma pastilah ibunya tertarik pada kegantengan Peter. Dengan penampilan Indo-nya Peter memang kelihatan menarik. Dia punya daya tarik dan kemampuan untuk memikat wanita. Tapi heran-nya, kenapa Peter malah memikat ibunya, wanita yang sudah tak muda lagi. Dan berkeluarga pula. Padahal biasanya pria bonafid yang sudah berkeluarga dan tak muda lagi lebih suka memiliki kekasih yang masih muda. Dan tentu saja single.
Terhadap pendapat Irma itu, Henson cuma tertawa.
"Barangkali Peter melihat segi yang lain lagi," katanya.
"Segi apa""
"Entah. Yang tahu cuma dia."
"Kau punya perkiraan""
Henson menggeleng. "Nyonya Linda itu ibumu. Aku tidak boleh sembarangan."
"Baiklah," Irma tidak memaksa. "Tapi menurutku, Peter itu kurang ajar. Pengganggu rumah tangga orang. Kadang-kadang aku ingin sekali menemuinya untuk menyuruhnya menghentikan godaannya kepada Mama. Kalau dia tidak mendekati Mama lagi, mustahil Mama mengejar-ngejarnya. Gerak-gerik perempuan kan serba terbatas. Biarlah si Peter mencari perempuan lain saja. Kan masih banyak. Dia juga nggak usah makan di SANG NAGA lagi. Restoran lain pun masih banyak. Tujuannya ke SANG NAGA tentu bukan semata-mata mau makan, tapi mau membuat janji sama Mama. Dan dia sengaja membawa-bawa Oom Tan sebagai teman, supaya tidak kelihatan belangnya! Nah, gimana, Son, kau setuju" Ak
u bisa mencarinya di kantornya."
Henson menggeleng tegas. "Tidak!" "Tidak" Ah, kenapa""
"Aku takut kaulah yang nanti tergoda olehnya."
"Mustahil. Kaupikir aku punya bakat tidak setia hanya karena Mama berbuat...""
"Bukan, Ir. Bukan begitu. Aku sama sekali tidak berpikir begitu. Tapi wajar dong, kalau aku punya kekhawatiran seperti itu. Di samping itu, aku pikir, yang seharusnya menyelesaikan persoalan itu bukan kau, melainkan ayahmu!"
"Tapi Papa diam saja!"
"Karena itu, sebaiknya kita pun diam juga. Kita kan tidak tahu seberapa banyak yang diketahuinya. Sementara apa yang kita ketahui pun begitu terbatas. Belum ada bukti bahwa ibumu berpacaran dengan Peter, bukan""
Irma merenung sebentar, kemudian berseru, "Aku punya ide, Son! Gimana kalau kau menyelidiki Mama" Maksudku bukan kau, tapi suruhlah salah seorang temanmu untuk membuntuti Mama, ke mana saja dia pergi dan dengan siapa." Wajah Irma berbinar karena merasa gembira dengan idenya itu.
Tapi Henson tidak demikian. Memang ia menyatakan setuju karena tak sampai hati melenyapkan antusiasme Irma. Ia berpikir, tidakkah mengorek-ngorek barang busuk cuma menambah bau"
*** Di dalam gudang tidak cuma disimpan barang-barang rongsokan, tapi juga bahan makanan tahan lama, seperti kering-keringan, bumbu-bumbu, aneka saus, dan sebagainya. Kesemua bahan itu sengaja dibeli banyak, karena memang banyak dipakai di samping harganya jadi lebih murah. Lagipula ada kalanya barang yang sedang dibutuhkan itu tidak bisa diperoleh karena sedang kosong di pasaran. Jadi dengan memiliki persediaan, kelancaran kerja pun terjamin. Dan tentu saja, juga kualitas masakan.
Karena ruang yang tersisa masih luas, maka tempat itu pun digunakan pula untuk menyimpan barang-barang yang tak terpakai. Segala macam barang. Dari kursi yang patah kakinya, meja rusak, pakaian bekas dalam buntalan, sampai koran dan majalah bekas. Makin lama makin banyak. Setahu Henson, sejak ia bekerja di situ, tempat itu belum pernah mengalami pembersihan. Makin lama makin sesak, sampai akhirnya segala celah dimanfaatkan. Antara tempat penyimpanan bahan makanan dan tempat barang rongsokan hampir tak ada batasnya lagi.
Semula Henson mau menggunakan tenaga salah seorang pelayan untuk membantunya, tapi Nyonya Linda sudah menggerutu tentang keharusan membayar uang lembur nanti. Sudah tentu pekerjaan itu membutuhkan waktu yang tidak sedikit, padahal para pelayan hampir tak punya waktu luang untuk menganggur di saat restoran buka. Jadi satu-satunya saat yang tepat adalah hari Senin. Pada hari itu restoran tutup.
Gerutuan Nyonya Linda membuat Henson membatalkan niatnya itu. Padahal ia tahu, kalau ia menyampaikan hal itu pada Tuan Liong, pasti akan disetujui tanpa syarat apa-apa. Tapi ia merasa tak enak hati. Kepekaan nalurinya mengatakan, dalam diri Tuan Liong terdapat ketegangan yang amat sangat. Karena itu, sebaiknya jangan lagi diganggu dengan persoalan kecil.
"Biarlah saya sendiri saja, Nya," katanya datar.
"Kau tentu perlu dibayar juga."
Tak berubah wajah Henson. Wanita ini pasti bukan Nyonya Linda kalau ia berkata lain.
"Tidak perlu, Nya. Yang saya inginkan hanyalah melihat tempat ini bersih. Tapi persoalannya, mau dikemanakan barang rongsokan itu" Kalau mau sungguh bersih, barang-barang itu tak boleh lagi ada di sini."
Pandang Nyonya Linda jadi menyelidik. "Apa ada yang kauincar"" ia bertanya tanpa tenggang rasa.
Henson tersenyum menahan tawa. Bukannya tersinggung, ia justru merasa geli. Begitu saja terpikir, bagaimana jadinya Nyonya Linda ini setelah sepuluh tahun atau lebih" Alangkah nyinyirnya. Ya, biar saja. Asal bukan Irma. Dan tidak menurun kepada Irma.
IJ5 "Ah, tidak ada, Nya. Barangnya sudah jelek-jelek sih," gurau Henson.
"Apa katamu" Jelek" Biarpun sudah rusak, tapi barang-barang itu kan masih bisa dipakai asal diperbaiki. Emangnya kau sudah kaya sampai sombong begitu. Lihat cermin dulu dong!" sembur nyonya Linda jengkel.
Henson tetap tersenyum. "Maksud saya, bukan jelek, Nya. Bagus, tapi rusak, begitu. Jadi perlu ongkos untuk memperbaiki. Sedang s
aya nggak punya duit."
nyonya Linda menyipitkan mata. "Ah, alasan mau pinjam duit, ya"" ia bertanya tajam.
"Nggak, Nya. Sama sekali nggak," jawab Henson buru-buru. Ia sadar, gurauannya telah membuat suasana jadi salah. Tanggapan Nyonya Linda tidak sesuai arahnya. Dia sendiri yang salah. Sudah tahu siapa yang dihadapi, tapi masih mau mencoba-coba.
"Jadi bagaimana dengan barang-barang itu, Nya" Apa sebaiknya saya tanyakan Tuan saja""
"Hei, jangan. Sama aku kan sama saja."
"Kata Tuan, barang-barang itu sebaiknya dibuang saja."
Nyonya Linda terkejut. Wajahnya cemberut, hingga ia tak lagi tampak cantik. "Oh, Tuan bilang begitu" Aku kira, dia belum bilang apa-apa. Kalau begitu, buat apa kautanya aku lagi" Tadi kau nggak bilang-bilang."
"Saya pikir, Nyonya mungkin punya rencana lain."
"Huh." Nyonya Linda berpikir. Matanya mengawasi sekeliling gudang.
Henson memperhatikan diam-diam sambil berpikir juga. Sesungguhnya, ia memang tak ingin merepotkan Tuan Liong dengan menanyakan soal tetek-bengek ini. Memang beberapa waktu yang lalu ia sudah menyatakan untuk membuang saja barang-barang rusak itu, tapi siapa tahu pendiriannya sekarang sudah berubah. Sedang kepada Nyonya Linda ia pun masih harus bertanya-tanya walaupun Tuan Liong sudah menyatakan pendiriannya. Bila dilangkahi ia harus menerima risiko diomeli. Sama sekali ia tak melupakan, bahwa di sini majikannya ada dua. Dan keduanya bisa jadi tak sependapat.
"Kalau Nyonya mau menjualnya, nanti saya panggilkan tukang loak. Dia bisa sekalian bawa gerobak," usul Henson.
"Ah, tukang loak"" Nyonya Linda agak tersipu. Masa ia harus berurusan dengan tukang loak. Gengsi dong.
"Kalau Nyonya mau, biar saya yang urus. Nanti hasilnya saya serahkan pada Nyonya," kata Henson cepat-cepat, memahami apa yang terpikir oleh Nyonya Linda.
"Kira-kira berapa harganya itu, Son"" Suara Nyonya Linda lebih lembut.
"Wah, belum tahu, Nyonya. Maklum tukang loak. Tentunya ia memberi harga semurah mungkin."
nyonya Linda berpikir sebentar. Semula ia masih mau menyanggah, tapi tak jadi. Biarpun nilainya memang tak seberapa, tapi toh tetap duit. Namun ia menahan hati untuk tidak meributkan lagi soal itu. Ia khawatir suaminya mendengar lalu ikut nimbrung. Padahal beberapa hari belakangan ini wajah Hok Kie sangat tak sedap dilihat. Aneh juga kalau dipikir bahwa dulu ia tak pernah merasa takut kepada Hok Kie, bahkan sebaliknya. Masalahnya, dulu Hok Kie memang tak pernah menentang apa katanya, tak pernah pula menolak permintaannya, dan selalu mengalah. Tampangnya sabar, jarang benar marah, terutama kepadanya. Mungkin karena sadar dirinya jelek sedang istrinya cantik. Tapi perubahan belakangan ini membuat Hok Kie jadi berpenampilan lain. Urat-urat di mukanya bertonjolan, matanya sering membelalak liar. Suaranya yang biasanya lembut pelan itu tiba-tiba jadi keras. Karena itulah dia jadi mengerikan. Ya, mengerikan. Tapi, sebenarnya bukan cuma karena itu saja. Linda mengenang perbuatannya sendiri.
Makhluk hidup penghuni gudang ternyata bukan cuma kecoa, melainkan juga tikus. Dan binatang yang belakangan ini juga sangat banyak. Mereka hidup dan beranak-pinak di situ. Sangat nyaman.
Sebuah lubang di sudut dinding yang jadi tampak jelas setelah barang-barang disingkirkan menandakan di mana tikus-tikus itu bersarang. Lubang itu besar dan kelihatan dalam. Mungkin juga menembus entah ke mana. Maklum sudah sangat lama. Dan mereka aman, tak ada yang mengusik.
Karena itu, perbuatan Henson mengubrak-abrik sarang nyaman itu menimbulkan kepanikan tak kepalang di kalangan tikus. Mereka berserabutan lari ke sana kemari. Ada yang aman masuk kembali ke dalam lubang, tapi ada pula yang kesasar lari ke luar pintu. Mereka bagaikan pasukan kalah perang. Dan untuk sesaat keadaan itu membuat Henson pusing dan bingung. Ia tak mampu mengejar, apalagi menangkap makhluk-makhluk itu. Memang tak mungkin. Akhirnya ia mengangkat bahu, lalu membiarkan saja. Dalam sekejap suasana menjadi tenang kembali. Tak seekor tikus pun kelihatan lagi. Dengan bersiul-siul Henson meneruskan kerjanya.
Tak lama kemudian siul Henson terhenti mendadak. Dari luar terdengar jeritan wanita, panjang melengking-lengking. Jantungnya serasa mau copot. Ia diam mematung, mendengarkan dengan cermat. Ah, bukan suara Irma. Ia lega. Baru setelah memperoleh kesan itu ia berlari ke luar, mencari sumber suara. Setelah berada di luar gudang suara itu semakin jelas. Jerit ketakutan wanita. Nyonya Linda.
Henson terus ke belakang, yang merupakan ruang keluarga. Di sana ia melihat nyonya Linda bersama Irma. Wajah Nyonya Linda pucat dan sebelah tangannya mencengkam lengan Irma sedang tangan satunya lagi menunjuk-nunjuk. Henson menatap ke arah yang ditunjuk. Beberapa ekor tikus menggerombol di sudut. Rupanya mereka juga bingung.
"Ada apa, Nya"" tanya Henson, pura-pura tidak tahu.
"Son! Kenapa tiba-tiba jadi banyak tikus"" teriak Nyonya Linda.
Sebelum Henson menyahut, Irma sudah berseru, "Mari kita kejar, Son! Kau di sebelah sana, aku di sini!" Lalu ia mencabut sandalnya untuk dijadikan senjata.
Henson ikut-ikutan mencabut sebelah sandal-nya, lalu bergerak ke arah yang ditunjuk Irma. Berdua mereka mengepung tikus-tikus bingung itu sambil sesekali mengayunkan sandal bila jaraknya sudah dekat. Dua ekor berhasil mereka keprak hingga pingsan. Lainnya lari serabutan mencari tempat sembunyi. Ada yang berlari ke arah Nyonya Linda, hingga wanita itu menjerit-jerit ketakutan lalu melompat naik ke atas meja. Di sana ia jongkok sambil memandangi tingkah Henson dan Irma. Sikapnya waspada, kalau-kalau ada tikus yang juga bermaksud naik ke atas meja.
Tak ada lagi tikus yang bisa dikejar. Hasilnya cuma dua ekor itulah. Tapi Irma masih penasaran. Ia menggebrak-gebrak meja dan kursi, kalau-kalau ada yang bersembunyi di bawahnya, sementara Henson siap menggeprak dengan sandalnya.
Nyonya Linda menjadi jengkel. "Sudah! Sudah!" teriaknya. "Apa kalian sudah sinting""
Kedua orang itu terpaksa menghentikan aksi mereka. Irma menahan senyumnya. Sedang Henson bermaksud kembali ke gudang. Tapi baru saja ia membalikkan tubuh, Jangkahnya segera terhenti oleh teriakan Nyonya Linda.
"Son! Dari mana datangnya tikus-tikus itu""
"Dari gudang, Nya," jawab Henson, seakan hal itu merupakan sesuatu yang wajar.
"Gudang"" Mata Nyonya Linda membelalak.
"Di sana bukan cuma banyak kecoa, Nya. Tapi juga banyak tikus. Ada lubang besar di pojok dinding."
"Oh, begitu""
Nyonya Linda melompat turun dari atas meja setelah tak lagi melihat tikus-tikus itu. Lalu ia berkacak pinggang menghadapi Henson.
"Jadi, gara-gara kamu, ya" Tadinya kecoa, sekarang tikus! Bagaimana kalau tikus masuk dapur, atau masuk ruang makan" Kan tambah kacau tuh. Masalah satu belum beres, eh, ada lagi yang lainnya. Coba kalau kaubiarkan saja gudang itu, kan mereka nggak berkeliaran ke mana-mana. Biar saja mereka di situ, toh nggak pada keluar. Sekarang, mau diapain tuh" Mending kamu bisa tangkap. Ayo, mau diapain coba"" sembur Nyonya Linda.
"Nggak usah ribut, Ma. Nanti juga bisa ditangkap. Tuh sudah dapat dua," kata Irma tenang. "Coba kalau tadi Mama membantu, pasti dapat tiga."
"Huh, anak perempuan macam apa sih kau" Ngejar-ngejar tikus!"
Irma tertawa, tidak mempedulikan kemarahan ibunya. "Mestinya tikus itu takut sama kita, Ma. Bukan kebalikannya."
"Diam kau! Aku mau bicara sama si Henson." Irma mengangkat bahu. Tapi ia belum mau pergi. Ia melongok ke kolong-kolong untuk mencari tikus yang bersembunyi. Tingkahnya itu mengkhawatirkan ibunya. "Sudah, kataku! Sudah! Ayo, pergi sana!" teriak Nyonya Linda yang tak ingin mengulang pengalamannya barusan. Ia juga malu mengenang tingkahnya sendiri.
"Akan saya usahakan membasmi tikus-tikus itu, Nya," kata Henson.
"Oh ya" Bagaimana caranya"" "Saya akan memasang perangkap tikus." Nyonya Linda tertawa mengejek. "Perangkap tikus" Kaupikir satu perangkap bisa sekaligus menangkap beberapa ekor" Mana mungkin. Paling dapat juga satu satu. Padahal adanya puluhan. Hii, merinding aku. Nah, gimana coba"" "Pokoknya akan saya usahakan, Nya." "Ngomong sih gampang. Wah, alamat gawat nih. Bayangkan kalau ada tamu sedang makan lalu tikus melin
tas di kakinya. Heboh lagi. Entar dimuat di koran sebagai restoran yang banyak tikusnya. Minta ampun kalau begini. Itu kan gara-gara kamu. Coba kalau...."
"Sudahlah, Ma," potong Irma sebal. "Saya akan membantu membasmi tikus-tikus itu. Saya akan beli lem tikus. Atau memelihara kucing besar. Atau memelihara anjing fox-terrier. Atau...."
"Sudah! Sudah! Itu merepotkan, tahu" Tidak. Aku tidak setuju cara begitu. Biar akan kupakai caraku sendiri. Aku ingin mereka cepat dibasmi. Ya, satu-satunya cara adalah memakai racun!"
Henson dan Irma terkejut.
"Tapi risikonya gawat, Ma. Entar matinya nggak ketahuan di mana. Tahu-tahu busuk dan bau. Para tamu bisa lari, dong."
Nyonya Linda tersenyum dengan angkuhnya. "Kaupikir aku bodoh, ya" Aku tahu perihal sejenis racun tikus yang istimewa. Kalau si tikus memakannya dia merasa kering, kepingin minum. Nah, sesudah minum dia mati. Jadi matinya itu pasti nggak di sembarang tempat!" tuturnya dengan perasaan menang.
Tanpa sadar, Henson dan Irma saling berpandangan. Keduanya mengerutkan kening.
"Huh. Nggak ngerti, kan" Makanya jangan sok pintar," kata Nyonya Linda senang. "Mau tahu caranya" Kita sediakan saja air di dekat tempat meletakkan umpan. Pasti matinya juga di situ."
"Kok Mama bisa tahu, ya" Nggak sangka," kata Irma heran.
"Tiba-tiba saja aku teringat cerita seorang kawan. Ya, sekarang juga akan kutelepon dia.
Akan kutanyakan apa nama racun itu dan di mana belinya. Mau kubeli sekarang juga." Nyonya Linda tampak bersemangat sekali.
"Mama rajin, ya," gumam Irma. Tak jelas apakah ia memuji atau menyindir.
Tapi pikiran Henson lain lagi. "Kita harus berhati-hati dengan racun, Nya. Soalnya kita berhadapan dengan makanan banyak orang."
Nyonya Linda menatap Henson seolah dia anak kecil yang bodoh. Lalu ia geleng-geleng kepala. "Oh, kaupikir racun itu bisa dikelirukan sebagai bumbu. Kalau memang betul begitu, alangkah bebalnya si A Piang!"
Henson terdiam. "Pokoknya kau nggak usah ikut campur urusanku. Nanti saja kalau tikus-tikus itu pada mati, kau yang buang bangkainya!" kata Nyonya Linda ketus.
Henson mengangguk saja. Ia tak ingin bicara lagi. Lalu ia melangkah, kembali ke gudang.
"Jadi Mama serius dengan racun itu"" Irma menegaskan.
"Tentu saja. Emangnya aku main-main."
"Kalau begitu, Mamalah yang harus bertanggung jawab dengan racun itu!"
Sesudah berbicara cepat-cepat Irma membalik tubuhnya lalu lari menyusul Henson. Hari ini ia merasa lebih leluasa, karena kedua kakaknya sedang pergi bersama pacar masing-masing untuk menikmati libur seminggu sekali. Biar orang lain
libur hari Minggu, sedang mereka cukup hari Senin.
Saat itu Irma merasa sangat jengkel kepada ibunya. Lebih jengkel daripada biasanya. Karena itu timbul kenekatan. Dia ingin bersama Henson. Jadi bukan semata-mata karena tak ada yang memata-matai. Biarlah ketahuan. Masa bodoh.
Henson sudah lebih dulu berada di gudang untuk meneruskan kerjanya. Ia terkejut ketika tiba-tiba pintu terbuka. Irma masuk, cepat-cepat menutup pintu lalu bersandar ke pintu dengan napas sedikit terengah.
"Kenapa" Kau dimarahi ibumu"" tanya Henson khawatir.
"Kesinilah," jawab Irma.
Tentu saja, tanpa disuruh pun Henson sudah beranjak.
Irma mengulurkan kedua tangannya. Keduanya berpelukan erat. Segala perasaan yang terpendam segera tercurah.
"Aku kotor, Irma." Biar saja.
"Nanti ibumu menyusul." Biar saja.
"Kau manis sekali."
"Ah, sayangilah aku, Son."
"Tentu, Sayang. Tentu."
Cinta Sang Naga Karya V. Lestari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Persetan dengan kekhawatiran, pikir Henson. Dengan cinta, apalagi cinta yang tulus, hidup ini jadi sangat menyenangkan dan membahagiakan, walaupun sedang dikejar monster!
Sementara itu, Nyonya Linda sudah bergegas mau menyusul Irma. Ia sudah hampir pasti bahwa Irma mau menuju gudang juga. Inilah kesempatannya yang paling baik untuk menangkap basah kedua orang itu.
Tapi baru selangkah ia berjalan, ia mendengar langkah-langkah kaki bersepatu. Ia berhenti dan menoleh. Suaminya, Hok Kie, berada di belakangnya.
Keduanya berdiri berhadapan dalam jarak beberapa meter. Saling tatap terjadi.
"Oh, kau sudah pulang"" tegur Nyonya Linda duluan. Ia merasa gugup.
"Tadi aku sempat mendengar sedikit," kata Hok Kie tanpa mempedulikan pertanyaan Linda. "Kau bilang soal racun. Racun apa itu""
"Racun tikus!" "Oh, ya" Jadi racun"" Hok Kie menegaskan seperti orang linglung.
Linda tidak menjawab. Pertanyaan suaminya itu memang tidak membutuhkan jawaban. Tapi bukan soal itu yang membuat ia tertegun. Ia juga merinding! Pandang Hok Kie dirasanya aneh. Pandang itu memang tertuju padanya, tapi seperu menembusnya, dan mencabik-cabiknya!
"Kusediakan makan, ya"" katanya dengan suara gemetar, mencari alasan untuk menghindar. Lalu tanpa menunggu jawab, ia buru-buru pergi.
"Ah, racun ya"" gumam Hok Kie dengan suara rendah. tapi cukup terdengar oleh Linda. Dan itu
membuat langkahnya lebih cepat. Sama sekali terlupakan perihal niatnya semula. Ia tidak ingat lagi kepada Henson dan Irma!
-VI- Henson tak bisa lagi menghitung sudah berapa ekor tikus yang dibuangnya. Mungkin belasan. Tapi mungkin juga puluhan. Maklum setiap hari ada saja tikus yang jadi korban racun Nyonya Linda.
Kematian tikus-tikus itu ternyata membangkitkan kesenangan tersendiri pada Nyonya Linda. Ia sangat rajin memberi umpan beracun pada tikus-tikus. Sangat bersemangat. Dan karena itu ia selalu melakukan kegiatan itu sendiri, seolah tidak percaya bahwa orang lain bisa melakukannya juga. Tapi siapa pun bisa melihat, bahwa sebabnya bukan karena itu. Nyonya Linda telah menemukan hobi baru.
Setiap malam ia menyediakan umpan yang diletakkannya di tempat-tempat yang berbeda. Bila selalu diletakkan di tempat yang sama, tikus-tikus itu akan tahu lalu tak mau lagi menyentuh, demikian teorinya.
Kemudian setiap pagi, begitu bangun tidur, kegiatan pertama yang dilakukannya adalah menjenguk umpan yang diletakkannya semalam.
Di wajahnya nampak ketegangan yang mengasyikkan. Dan bila ia melihat tikus-tikus bergelimpangan di dekat baskom berisi air ia bersorak girang. Ketawanya nyaring dan matanya berbinar. Sepertinya tak ada kegembiraan hidup lain di dunia ini selain membunuhi tikus-tikus, lalu menghitung jumlah yang mati.
Tentu saja tidak ada yang berkeinginan menghambat atau menghalang-halangi kegemaran barunya itu. Para anggota keluarga dan para pembantu cuma saling memandang atau berbicara antara mereka saja. Buat apa cari penyakit"
"Anehnya, kepada tikus hidup Mama takut setengah mati. Tapi tikus mati dipelototi dengan asyik," komentar Irma kepada Lili.
"Tikus mati kan nggak bisa menggigit," sahut Lili geli.
"Hati-hati saja. Mama bisa berubah jadi sadis," kata Yeni. "Mula-mula kepada binatang, nanti kepada orang."
Irma dan Lili menatap Yeni dengan ngeri.
"Ah, masa iya begitu, Yen. Kau nakut-nakuti saja," bantah Lili.
Yeni tertawa. "Tentu saja aku tidak berharap begitu. Wow, tak bisa kubayangkan kalau Mama jadi sadis."
Mereka bertiga terdiam beberapa saat. Memang hal semacam itu sulit dibayangkan.
Sedang para pembantu saling berbisik, "Kayak yang sinting!"
Tapi mereka pun tidak berkeberatan atau merasa ketambahan beban. Bukan mereka yang disuruh membuang bangkai-bangkai tikus itu. Paling-paling mereka cuma disuruh menyingkirkannya ke sudut atau mengumpulkannya jadi satu bila letaknya malang melintang. Nanti saja buangnya bila Henson sudah datang, demikian perintah nyonya Besar. Ya, biar Henson yang buang! Tapi, kenapa"
"Itu, karena dia yang bikin gara-gara. Kalau bukan karena perbuatannya pasti tikus-tikus itu tak akan bergentayangan di dalam rumah," alasan Nyonya Linda.
Tapi, naluri Irma mengatakan lain. Mama punya dendam pribadi terhadap Henson. Dendam yang berawal dari antipati. Karena itu, ia marah. Ia benci setiap kali melihat Henson harus membuang tikus-tikus itu tanpa membantah. Kadang-kadang emosinya memuncak hingga ia ingin sekali berteriak membantah dan menentang tindakan ibunya itu. Itu tidak adil, Ma! Itu merendahkan derajat orang! Apalagi orang itu adalah orang yang ia cintai.
Lain kali ia merasa sedih. Dan juga bersalah. Pasti karena dialah maka Henson bertahan di situ dan berg
ulat dalam kesabaran. Perlukah Henson merendahkan dirinya seperti itu" Dia kan manajer restoran ini. Mama saja yang tidak tahu. Apakah tidak sebaiknya menyuruh Henson pergi saja, biar jadi kondektur atau sopir sekali pun" Tapi, dengan demikian mereka jadi berjauhan, dan yang lebih penting, tak ada lagi sesuatu yang bisa dihayati dan diperjuangkan bersama.
"Itu betul, Irma. Jadi, tak usahlah risau. Aku tidak merasa terhina. Ibumu benar. Memang aku yang bersalah telah membuat tikus-tikus itu cerai-berai. Dan terus terang, aku takkan sanggup membunuhi mereka sebanyak yang telah dilakukan ibumu. J adi wajar saja kalau sekarang aku yang membuang bangkainya. Anggaplah sebagai kerja sama dengan ibumu. Dia yang membunuh, aku yang membuang," kata Henson tenang-tenang.
"Jadi karena itu" Dan bukan karena kau kelewat sabar" Setahuku, orang Batak dikenal suka berangasan dan cepat marah. Aku takut, kau diam-diam menyimpan amarahmu sampai tiba-tiba meledak nanti."
"Ah, tidak. Aku memang tidak marah. Dan kalau tidak marah, bagaimana bisa marah-marah" Pandangan tentang orang Batak itu mungkin benar, tapi mungkin juga kurang benar. Sebaiknya jangan menggeneralisir."
"Ya. Setahuku, kau pun lembut dan penyabar."
"Tapi tidak berarti aku tak bisa marah. Kemarahan adalah wajar juga. Kalau tersinggung aku pun bisa marah."
Irma menatap Henson agak lama. "Aku belum pernah melihat kau marah. Apakah kau bisa meledak sekalinya marah" Ah, jangan."
Henson tersenyum. "Apa maksudmu dengan meledak" Oh ya, dulu aku memang sering berkelahi. Penyebabnya tentu karena kemarahan.
Ya, apa lagi" Tapi cuma berkelahi biasa saja. Paling-paling membuat lawan dan diri sendiri benjol-benjol dan sedikit bocor. Maklum cuma menggunakan kepalan. Sama sekali tidak pakai pisau, lho. Hei, kau kelihatan lega. Apakah kau khawatir"" Terus terang Irma mengangguk. "Seorang yang pemarah sekali pun tidak lantas membunuh orang kalau sedang marah. Ya, ya. Memang tergantung masalahnya. Sejauh mana perasaan orang tersinggung. Itulah yang menentukan ekspresi kemarahan walaupun tidak bisa dibenarkan."
"Nah, itulah yang kerap kali kupikirkan. Sejauh mana perasaan orang tersinggung."
Henson memandang heran. "Apa maksudmu"" "Menurutku, suasana di rumah itu eksplosif buatmu."
"Oh, ibumu""
"Ya. Dia selalu mencari-cari kesalahanmu. Terus terang ia menampakkan rasa tidak senangnya padamu. Dan ia terus berusaha untuk membuat kau marah."
"Aku tahu itu, Ir. Tapi justru karena itulah aku tidak bisa marah."
"Lho"" "Ibumu sudah terang-terangan memperlihatkan isi hatinya. Dia menyatakan ketidaksukaannya padaku karena memang tidak suka. Aku senang begitu. Lain halnya kalau munafik. Di dalam dan di luar lain. Itulah yang berbahaya, karena kita jadi
tidak punya persiapan menghadapinya. Ibumu terbuka, Ir. Aku jadi tahu cara menghadapinya. Aku diam dan mengalah. Itu karena masih ada yang kuharapkan. Yaitu, kau dan masa depan kita berdua."
"Tapi, ia selalu berusaha membuatmu marah. Pada suatu ketika, bukan tak mungkin kau bisa marah juga."
Henson menggeleng dengan tegas. "Aku yakin tidak, Ir. Kenapa begitu" Itu karena aku tahu apa tujuannya. Ia sengaja berbuat begitu, supaya aku tidak tahan dan segera angkat kaki dari SANG NAGA. Padahal aku belum mau angkat kaki. Karena itulah aku bisa mengatasinya. Emosiku tidak mudah dipancing."
"Syukurlah kalau begitu."
"Kau percaya padaku""
"Ya." Tapi sebenarnya Irma masih menyimpan masalah yang sering menggelisahkannya. Kenapa ayahnya tidak berusaha mencegah ibunya dalam persoalan tikus-tikus itu" Ayahnya tahu, tapi membiarkan. Ia pernah melihat bagaimana ayahnya memandangi tingkah ibunya terhadap bangkai-bangkai tikus itu. Secara diam-diam tentu. Ayahnya berdiri di belakang ibunya sementara ia sendiri berada lebih di belakang lagi. Karena itu ia tidak bisa melihat bagaimana raut muka ayahnya. Kemudian ia pun tahu, bahwa ayahnya mendengar perintah ibunya kepada para pembantu agar bangkai-bangkai itu dibuang Henson saja. Mestinya pada saat itulah ayahnya menampilkan kewibawaannya dengan melarang. Ayahnya
sudah mengangkat Henson sebagai manajer. Mustahil seorang manajer disuruh membuang tikus" Semes-tinyalah bila ayahnya merasa tersinggung dengan perintah itu. Tapi ayahnya malah membiarkan.
Henson tidak pernah mempersoalkan itu. Mungkin karena Henson mempercayai ayahnya. Atau Henson berpikir bahwa ayahnya masih ingin merahasiakan soal pengangkatan itu. Ternyata kepadanya pun ayahnya belum memberitahukan. Padahal tidak biasanya begitu.
Irma hampir pasti. Ayahnya agak berubah. Belakangan ia sulit diajak bicara. Dan sulitnya lagi, ayahnya suka menghindar. Ia tidak mengerti. Apakah perubahan itu disebabkan karena hubungan ibunya dengan Peter" Tapi, andaikata benar, kenapa harus melibatkan orang-orang lain juga" Namun masalah itu tidak diutarakannya kepada Henson. Ia khawatir, kalau-kalau Henson memendam perasaan kurang enak terhadap ayahnya. Henson begitu percaya pada ayahnya. Bagaimana kalau kepercayaan itu sampai rusak"
"Kalau aku diperlakukan seperti itu, aku akan segera angkat kaki dari sana," kata Cek A Piang kepada Henson.
Hari itu Senin, hari libur buat mereka, dan Henson berada di rumah Cek A Piang untuk belajar memasak. Di situ mereka leluasa untuk berbicara dan berbuat apa saja, karena Cek A Piang tinggal sendiri. Istrinya sudah lama meninggal sedang dua anaknya yang sudah berkeluarga tinggal di Medan.
"Ah, nggak apa-apa, Cek."
"Sebegitu kaubilang nggak apa-apa" Wah, wah. Kalau aku digitukan, kulempar bangkai-bangkai itu satu-satu ke mukanya. Terlalu betul. Kau juga salah sih, Son. Mestinya sekali-sekali kaulawan dia, biar dia takut. Kepada orang seperti itu kita mesti memperlihatkan kemarahan supaya dia tahu rasa. Kalau didiamkan saja malah tambah keterlaluan."
"Dia kan majikan, Cek."
"Biar majikan tidak boleh keterlaluan. Tempo hari saja waktu dia ngomel-ngomel kepadaku aku sengaja pasang muka asam dan aku bilang, kalau mukaku asam terus nanti masakanku jadi ikut asam. Lalu kubilang juga, kalau aku mau diberhentikan sih boleh saja. Tapi aku mesti diberi pesangon paling sedikit tiga bulan gaji. Coba, sudah berapa lama aku kerja di situ" Pasti lebih lama dari kau, Son."
"Saya sudah dua tahun lebih, Cek."
"Nah. Cukup lama itu, kan""
"Lantas apa reaksi Nyonya Linda, Cek""
"Oh, dia segera jadi baik padaku. Tidak pernah menyinggung soal kecoa lagi. Eh, ngomong-ngomong tamu kita sudah meningkat lagi, bukan""
"Benar, Cek. Langganan lama mulai berdatangan kembali. Tapi keadaannya masih belum seperti semula."
"Ya, ya. Memang perlu waktu. Son. Perlu waktu. Tapi pasti akan pulih." "Cek optimis, ya""
"Kalau melihat adanya peningkatan itu, tentu saja aku optimis. Orang di sini cepat lupa, Son. Di samping itu mereka tentu kangen juga sama masakanku." Cek A Piang menepuk dadanya.
Henson tertawa. "Ya. Masakan Cek memang sangat sedap. Mudah-mudahan saya bisa mewarisi keahlian Cek itu."
"Kalau kau sungguh-sungguh, datang saja ke sini setiap hari Senin. Seperti biasa, kau yang beli bahannya."
"Baik, Cek. Dengan senang hati sekali."
Mereka mengobrol sambil mengerjakan masakan. Tiga macam masakan dipilih Cek A Piang sendiri. Di antaranya adalah Soto Medan yang pernah dijanjikannya dulu.
"Kelihatannya kau punya minat, Son. Coba bilang, sekadar hobi atau serius""
"Maksud serius itu bagaimana, Cek""
"Barangkali kau punya angan-angan untuk buka restoran sendiri nanti. Kau bisa masak sendiri. Tidak perlu bergantung pada tukang masak yang sudah jelas tidak akan bekerja abadi."
"Angan-angan sih ada, Cek. Tapi mana saya punya modal."
"Tentunya nanti kalau kau sudah punya. Dan saranku, bukalah restoran kecil saja pada permulaan usahamu. Kecil tapi bersih dan apik. Dan jangan menjual terlalu banyak macam. Pilihlah satu dua macam spesialisasimu. Modalnya tak perlu besar, dan membuatnya pun mudah serta cepat. Tamu tak lama menunggu. Mereka tidak kesal. Pergantian tamu pun berlangsung cepat. Ada keuntungan waktu. Dan walaupun jenis masakannya cuma satu dua, jangan khawatir mereka akan bosan. Sekalinya mereka puas dan bilang enak, mereka pasti akan jadi langganan tetap. Mereka a
kan datang dan datang lagi. Orang J akarta suka makan. Biarpun mereka sudah punya koki di rumah, mereka tetap suka cari makan di luar. Kesukaan itulah yang harus dimanfaatkan oleh orang-orang seperti kita, Son."
"Ah, alangkah indahnya lamunan itu, Cek." Henson jadi terbuai. Ia sungguh tertarik akan ucapan Cek A Piang itu.
"Hei, siapa tahu jadi kenyataan, Son."
"Doakan saja, Cek."
"Oh, tentu. Asal kau jangan lupa padaku." "Saya tidak akan melupakan Cek yang begini baik."
"Syukur kalau begitu."
"Cuma saya heran kenapa Cek begitu baik sama saya. Dan rela mengajarkan seni ini. Padahal saya sendiri tidak pernah berbuat sesuatu untuk Cek."
"Oh, kalau soal begitu sih mesti lihat orang, Son."
"Lihat orang bagaimana. Cek""
"Ya. Aku lihat orangnya kayak apa, begitu. Aku penuju dan senang, itu cukup. Kau orangnya baik dan serius. Apa yang kuajarkan ini pasti tidak akan kausia-siakan. Jadinya nggak percuma. Eh ngomong-ngomong. aku sendiri sering merasa heran sama kau." "Kenapa, Cek""
"Kebanyakan orang Batak yang kukenal lebih suka mandiri daripada jadi karyawan seperti kau ini. Kalau tidak berdagang mereka cari kerjaan yang sifatnya agak mandiri, tidak langsung diperintah orang."
Henson tersenyum. Pertanyaan seperti itu bukan baru sekali itu tertuju pada dirinya. Ia tidak canggung menjawab dan perasaannya pun sudah terlatih. "Mungkin saya kekecualian, Cek. Tapi saya pikir, kalau merasa terpaksa orang akan meraih pekerjaan apa saja yang tersedia. Apalagi kalau sedang lapar. Dalam keadaan itu orang harus memilih. Jadi garong atau kerja halal. Saya pilih yang belakangan tapi yang dapat cepat mengisi perut. Ah, saya tidak akan lupa saat pertama saya kerja di restoran SANG NAGA. Ketika itu sudah hampir dua hari saya belum makan. Cuma ngemut-ngemut permen saja. Padahal saya harus melayani dan menyaksikan tamu-tamu makan besar. Wah, susah payah saya menahan liur dan lapar yang kian menyiksa. Tapi kemudian semua jerih payah itu terobati, terbayar impas dan memuaskan. Saya makan nasi goreng masakan Cek. Wow, sedapnya tak kepalang. Rasanya sambil makan itu air mata mau turun saking terharu. Apalagi saya diberi tambah oleh Cek. Barangkali saya kelihatan betul-betul lapar, ya Cek""
Cek A Piang tertawa. "Ya, aku juga masih ingat. Kau memang kelihatan lapar. Dan wajahmu pucat. Sedang aku sudah biasa menghubungkan wajah pucat dengan perut. Kalau orang berwajah pucat pasti dia kurang makan."
Mereka berdua menghentikan percakapan untuk sejenak. Kenangan lama mengisi benak keduanya.
"Tapi kau memang hebat, Son," kata Cek A Piang kemudian. "Kaulah yang paling lama bertahan di sana. Maksudku, kerja sebagai pelayan. Sampai-sampai terpikir olehku, apa sih sebenarnya yang kaucari di sana" Apa kau ini tipe orang pasif, yang cukup puas asal bisa mendapat makan" Untunglah kemudian kau naik pangkat. Kalau nggak..."
"Kalau nggak kenapa, Cek""
"Ya. Kalau nggak aku bisa jadi semakin bingung."
Henson tersenyum. Ia teringat akan Irma. Tidak ada yang tahu memang.
"Rupanya diam-diam Cek juga suka memperhatikan orang."
"Sengaja memperhatikan sih nggak. Cuma merasa saja. Biarpun terus-terusan di dapur aku kan tahu muka-muka para pelayan. Sebentar-sebentar muka baru. Cuma belakangan ini ada yang mengganjal perasaanku. Apakah kau tidak diberi sesuatu sebagai penghargaan atas jasamu mengurus soal kecoa itu"" tanya Cek A Piang ingin tahu.
Henson berpikir sebentar. Tentu tidak mungkin memberi tahu Cek A Piang sekarang betapapun ia ingin melakukannya. Itu urusan -Tuan Liong. Sebagai majikan dialah yang punya wewenang untuk mengumumkannya secara resmi. Padahal ia sendiri sangat menginginkan hal itu segera terlaksana. Tentu saja itu merupakan kebanggaan untuknya. Tapi ia harus sabar.
"Tuan berjanji untuk menaikkan gaji saya, Cek."
Cek A Piang manggut-manggut. "Syukurlah kalau ia memang menghargai," katanya sambil menarik napas panjang. "Tapi istrinya keterlaluan. Ia sama sekali tidak menghargaimu. Kalau aku jadi kau..."
"Adatnya memang sudah begitu, Cek."
"Dan sekarang soal tikus," keluh Cek A Piang. "Her
an. Kenapa suaminya membiarkan. Belakangan ini sikap Koh Liong kelihatan lain. Tau kenapa begitu, ya."
"Lain bagaimana, Cek""
"Suka diam. Suka melamun."
"Ah, dia memang pendiam, Cek. Dulu-dulu juga begitu. Mungkin belakangan ini dia tegang karena masalah kecoa itu."
"Ya. Mungkin juga. Ah, mudah-mudahan soal ini cepat beres. Dan semuanya kembali seperti dulu lagi. Tapi mereka harus menyadari, bahwa semua itu berkat jasamu."
"Belum tentu juga, Cek. Ada banyak faktor lain juga. Misalnya yang paling penting adalah masakan Cek. Karena enak mereka jadi ketagihan. Tak peduli ada kecoanya atau tidak."
Cek A Piang tertawa senang.
Mereka berdua kemudian makan bersama, menikmati hidangan yang masih panas. Baru beberapa suap Henson berseru, "Wah, sotonya sedap sekali, Cek! Luar biasa nikmatnya!"
Cek A Piang tersenyum bangga. "Sayang mie-nya kurang enak, ya" Maklum mie kering. Jadinya merusak rasa. Tapi nantilah kuajarkan kau bagaimana membuat mie yang sedap. Jauh lebih sedap daripada mie SANG NAGA."
"Ah, rupanya Cek memiliki banyak ilmu simpanan," gurau Henson.
Tapi kata-kata itu membuat mata Cek A Piang menyipit. Ia menatap lurus ke mata Henson. "Kau masih ingat janjimu, kan""
Henson segera menyadari kekhawatiran Cek A Piang. "Tentu saja, Cek. Saya tidak akan menceritakan kepada orang lain. Siapa pun dia. Dan tentu saja, ilmu yang Cek ajarkan itu tidak akan saya sebarkan ke sana kemari. Wah, itu sangat berharga buat saya. Sungguh, Cek!" kata Henson tegas. Terpikir olehnya, bahwa Irma saja tak ia beri tahu. Tidak sekarang, tapi mungkin kelak.
"Aku percaya padamu, Son."
Tapi boleh tanya, Cek. Kenapa simpanan itu tidak Cek keluarkan" Bila soto itu dicantumkan dalam menu lalu dicoba tamu, pasti mereka akan ketagihan."
Cek A Piang tersenyum lebar. "Supaya kuat orang harus punya simpanan. Son. Ingatlah itu. Tidak ada keharusan buatku untuk mengeluarkan semua yang kumiliki, yang sudah ada itu pun cukup."
Henson mengangguk-angguk kagum. "Cuma saya heran. Cek justru mengeluarkannya buat saya."
"Ah, kembali lagi ke soal tadi dong. Kan sudah kubilang, aku lihat orang dulu. Aku senang padamu, jadi kupilih kau sebagai ahliwaris. Nyatanya cocok, kan""
"Terima kasih, Cek."
Setelah kenyang makan, Henson membereskan semua peralatan.
"Sisa makanan itu kita bagi dua, Son. Sebagian kaubawa pulang. Tuh, kaupakai saja rantangku."
"Ah, nggak usah, Cek. Repot bawanya. Biar buat Cek saja."
"Kaupikir aku kingkong menghabiskan sendiri" Terus terang aku sering kali juga merasa bosan memakan masakanku sendiri. Lain halnya kalau perut memang sedang lapar."
Henson terpaksa menurut. Terpikir juga olehnya, bahwa nanti sore dia bisa menghemat dalam soal makan. Dan ia pun bisa mengulang kenikmatan yang tadi. Biarpun mesti dihangatkan pasti rasanya masih sedap.
"Kalau sudah beres, sini kita bicara lagi, Son. Ada soal penting," ajak Cek A Piang.
Kening Henson jadi berkerut. Pintar juga Cek A Piang menyimpan persoalan sampai mereka selesai makan. Di wajah Cek A Piang ia tidak menemukan keseriusan. Santai saja. Tapi mau tak mau ia jadi berprasangka. Adakah sesuatu di balik kebaikan yang diperlihatkan Cek A Piang hari ini" Ia bersikap waspada.
"Begini, Son. Apa kau tahu Peter Lim" Ah, kau pasti tahu karena dia langganan kita."
"Ya, saya tahu, Cek. Kenapa dia"" tanya Henson sambil mengenang Nyonya Linda.
"Dia mengajakku pindah kerja. Tapi aku masih ragu-ragu."
Henson tercengang. Masalah seperti itu di luar persangkaannya. Tapi ketegangannya lenyap.
"Saya tidak tahu bahwa dia juga punya restoran, Cek. Atau dia bermaksud...""
"Tepat!" potong Cek A Piang sebelum Henson mengakhiri kalimatnya. "Katanya dia mau buka restoran di bilangan Jalan Thamrin. Segalanya sudah hampir siap, kecuali koki yang ahli masakan Cina. Dia menawarkan gaji gede, lho. Kira-kira dua kali gajiku yang sekarang."
"Cek ada minat""
"Kalau lihat gajinya sih ngiler juga, Son. Apalagi waktu aku berulang-ulang kena sindiran soal kecoa itu."
"Oh, jadi tawaran itu Cek terima sebelum ada persoalan kecoa""
"Betul . Belakangan, setelah ada ribut-ribut itu aku pikir dia tentu akan membatalkan tawarannya. Ya, dia pasti ngeri memakai koki yang masakannya mengandung kecoa. Jadi aku diam-diam saja. Eh, tahu-tahunya dua hari yang lalu dia datang ke sini, mendesakku untuk segera memutuskan. Dia juga membujuk-bujuk, memuji-muji setinggi langit."
Henson tersenyum. "Lantas Cek jadi bingung" Ya, susah juga."
"Hei, aku mau minta saranmu, Son. Kau jangan bikin orang tambah bingung."
"Saran saya, Cek"" ulang Henson sambil berpikir. Kalau dia harus memberi saran sudah tentu tidak akan lepas dari segi kepentingannya sendiri juga. Ia tidak rela Cek A Piang pergi. SANG NAGA akan berantakan. Mencari koki baru yang keahliannya setara dengan Cek A Piang jelas sulit.
"Ya, saranmu. Kalau kau jadi aku, bagaimana keputusanmu" Jangan bilang susah segala lho," ujar Cek A Piang gemas.
"Kalau mau dibandingkan tidak susah, Cek. SANG NAGA sudah jalan dengan pasti, mapan dan bonafid. Sudah pula menghadapi cobaan dan mengatasinya sekalian. Tapi yang di sana itu serba belum pasti. Belum tentu laris, belum tentu disukai orang. Segalanya masih untung-untungan. Jadi belum tentu akan tahan lama. Kalau dia menyodorkan gaji selangit tentu saja wajar, Cek. Itu perlu untuk merangsang orang yang dibutuhkannya. Siapa yang akan mau pindah ke tempat yang serba belum pasti itu kalau tak diberi perangsang" Justru gaji selangit itu jadi mencurigakan. Coba kalau dia sudah tidak membutuhkan lagi bisa kita bayangkan."
Cek A Piang terkekeh. "Jadi orang yang dibutuhkan itu menyenangkan, bukan" Kita dikejar-kejar, disembah-sembah. Yang tadinya marah-marah pun jadi berubah baik. Tapi kalau nanti sudah tidak butuh lagi kita akan dibuang seperti sampah."
"Karena itu, Cek harus hati-hati. Cek belum kenal siapa dan bagaimana Peter Lim itu."
"Kau benar, Son. Gaji selangit itu barangkali cuma tahan beberapa bulan. Lalu bangkrut."
Tiba-tiba Henson merasa kurang adil kalau ia cuma mementingkan segi kepentingannya sendiri saja. "Tapi, semua itu belum tentu juga, Cek. Siapa tahu restoran milik Peter itu nanti bisa berkembang pesat dan maju lalu mengalahkan SANG NAGA, berkat masakan Cek yang sedap" Bagi Cek sendiri, kemajuan seperti itu tentu akan memberikan kepuasan batin yang nilainya jauh lebih tinggi daripada uang."
Cek A Piang merenung-renung. Kelihatannya terpengaruh ucapan Henson. Melihat itu Henson jadi waswas juga. Kalau Cek A Piang sampai pergi dari SANG NAGA...
Cek A Piang mengangkat muka lalu menatap Henson tajam-tajam. "Kalau misalnya si Peter itu mengajakmu pindah juga, bagaimana, Son"" ia bertanya tiba-tiba.
Henson terkejut sebentar lalu ia tertawa. "He, serius nih. Son!" seru Cek A Piang. "Jangan mengandaikan yang tidak mungkin, Cek."
"Mungkin saja, toh" Semua orang tahu, bahwa kau sudah berjasa. Ingat koran menulis namamu. Dan si penulis memujimu. Orang seperti kau ini pun dibutuhkan. Jadi, kemungkinan pasti ada. Nah, ayo jawab pertanyaanku!"
Henson tidak tertawa lagi. Ia membayangkan Irma waktu menjawab dengan nada pasti, "Saya tidak akan mau pindah, Cek."
"Biarpun ditawari gaji gede dan kedudukan tinggi""
"Ya." "Kenapa"" "Saya betah di sana."
"Biarpun nyonya Linda tidak menyukaimu""
"Ya." "Tapi, bagaimana kalau misalnya kau diberhentikan" Ya, itu misalnya saja lho. Siapa tahu dia cari-cari alasan."
"Kalau begitu, masalahnya lain, Cek. Saya tentunya perlu pekerjaan."
"Hei, kau tahu, Son" Bila kau bermaksud pindah, kasih tahu aku, ya" Aku mau pindah juga!
Mereka saling pandang untuk sesaat, lalu tersenyum.
"Jadi Cek akan menolak tawaran Peter"" tegas Henson.
"Ya." Diam-diam Henson menarik napas panjang-panjang. Ia merasa lega.
*** Ternyata, perkiraan Cek A Piang itu benar. Sesuatu yang cuma diandaikannya sungguh-sungguh jadi kenyataan. Padahal Henson sudah melupakannya.
Hanya selang sehari sesudah pertemuannya dengan Cek A Piang, Peter mencegatnya saat ia mau pulang. Mobil Mercy putihnya menunggu di tepi jalan. Tak susah dikenali meskipun malam hari.
Henson menghentikan motornya dan membu
ka helmnya ketika Peter keluar dari mobilnya lalu menggapai kepadanya. Begitu saja pada saat itu juga ia teringat akan percakapannya dengan Cek A Piang.
"Saya tidak tahu cara lain untuk bertemu dan berbicara denganmu, Son," ucap Peter tanpa basa-basi. "Maksudku, di luar pandangan pemilik SANG NAGA dan keluarganya tentu saja. Nggak enak nanti. Begini, Son. Ada urusan penting. Apa tidak terlalu malam untuk dibicarakan sekarang" Atau besok pagi saja" Bisa di tempatmu atau di rumahku."
Henson tidak berpikir lama-lama. "Sekarang juga tidak apa-apa, Tuan. Saya sudah biasa kok." "Di mobil"" Peter menawarkan.
Henson setuju. Ia menaikkan motornya ke atas trotoar, lalu masuk ke dalam mobil Peter.
Sesuai dugaannya semula, Peter mengajukan penawaran padanya untuk bekerja di restoran yang akan dibukanya nanti.
"Berapa gaji yang kauinginkan" Sebut saja. Jangan sungkan. Dan perlu saya ingatkan. Kedudukanmu bukan sebagai pelayan. Tapi sebagai manajer. Pokoknya kau akan kujadikan tangan kananku dalam mengurus restoran itu. Seperti kauketahui, saat ini saya sudah terlalu sibuk untuk menangani sendiri. Dan terus terang saya tidak punya pengalaman dalam mengelola restoran. Tapi kau punya. Dan kelihatannya kau punya kemampuan dan ketrampilan. Saya tahu, peranan-mu banyak di SANG NAGA, bukan" Tapi nyatanya kedudukanmu di sana begitu-begitu saja. Rupanya mereka kurang menghargai orang. Nah, bagaimana""
Henson tertegun. Perasaannya melambung sesaat. Kembali ada orang yang menawarkan kedudukan sebagai manajer. Dan sekali ini dalam suasana yang lain. Mimpikah dia" Pengandaian Cek A Piang tidak semuluk kenyataannya. Jadi manajer! Tapi, tidakkah sebenarnya dia pun sudah jadi manajer kini" Dia manajer SANG NAGA! Cuma ironisnya, kenaikan pangkatnya itu hanya terucap di mulut Tuan Liong. Tidak ada orang lain yang tahu. Tidak boleh pula ia beritahu siapa-siapa.
"Apa perlu kaupikirkan dulu""
Suara Peter mengembalikan Henson kepada realitas.
"Terima kasih, Tuan. Perhatian Tuan besar sekali. Tapi betul, saya memang harus memikirkannya dulu."
Peter mengangguk penuh pengertian. "Ya, ya. Segala sesuatu harus dipikirkan lebih dulu. Apalagi kalau persoalan karier. Ini penting. Bukankah tawaran semacam ini jarang-jarang ditemui orang""
Nada yang menyombong itu melenyapkan keharuan Henson. Dia memang terlampau merasa tersentuh oleh tawaran itu. Tawaran yang melambung, membuai harga diri. Kemudian tiba-tiba ia diingatkan. Justru harga dirinya pula yang mendorong agar ia menolak saja tawaran itu sekarang juga. Untuk apa mengulur waktu" Toh besok lusa pendiriannya akan sama saja dengan hari ini. Tapi ia sudah belajar bagaimana harus berbasa-basi, bersopan-sopan dan bertenggang rasa. Jadi ia mengatakan dengan ramah, "Ya, Tuan benar sekali. Tawaran itu sangat hebat buat saya, hingga saya jadi merasa ngeri. Sanggupkah saya""
Peter tersenyum lebar. Dalam keremangan wajahnya yang tampan itu jelas memperlihatkan kecerahan. Dia sangat optimis dan juga senang atas sikap rendah hati Henson. Semakin besar rasa kurang percaya diri orang, maka semakin besar pula kemungkinan bahwa harapannya atas diri orang itu akan terpenuhi. Henson akan menubruk tawaran itu seolah macan lapar yang sudah lama tidak melihat daging. Dan karier bagi lelaki adalah ibarat daging bagi si macan lapar itu. Mana yang pintar dan gesit, dialah yang kenyang duluan. Tapi Peter tidak menemukan adanya emosi yang berlebihan pada diri Henson menanggapi tawaran-nya itu. Wajah dan suaranya tenang-tenang saja. Terlalu tenang malah. Apakah dia merasa senang atau biasa-biasa saja, susah dipastikan. Dari situ sudah jelas, paling tidak Henson adalah orang yang mampu mengendalikan emosi. Itu bagus sekali. Justru orang seperti itulah yang ia perlukan.
Sebenarnya, Peter tidak begitu saja menjatuhkan pilihannya atas diri Henson. Dia cukup lama menilai dan memperhatikan, lalu mempelajari. Begitulah seharusnya memilih orang, apalagi untuk tugas yang jauh dari ringan. Sekadar wawancara sama sekali tidak cukup. Paling ideal adalah langsung mencomot, dari lapangan. Dan masalah lain adala
h soal kedua. Dalam hal itu juga termasuk soal ras, latar belakang pendidikan formal, dan berbagai persyaratan lain yang acap kali dianggap penting oleh orang lain. Sementara dia tentu tidak mau begitu saja mengikuti jejak orang lain. Dia akan berbuat sesuai kata hatinya sendiri. Mana yang dianggapnya paling baik dan paling benar, itulah yang akan dijalankannya. Dan ternyata pendiriannya itu sudah sering kali terbukti kebenarannya. Dia sudah berpengalaman memilih orang yang akan dijadikan tenaga kerjanya. Pos-pos penting harus dipegang orang yang cocok. Itu saja.
Setelah segala susah payah itu, ternyata Henson tidak segera mengatakan ya. Mau tak mau ada juga rasa kecewa. Tapi kekecewaan itu cuma mempertebal keyakinannya. Henson bukan cuma mampu mengendalikan emosi, tapi ia pun terbiasa berpikir panjang. Tentu ada saatnya di mana orang dituntut untuk memutuskan spontan dan cepat, tapi ada saat lain pula di mana orang perlu berpikir lebih dari sekali dua kali. Dan ada hal penting lainnya lagi. Keraguan Henson untuk segera memutuskan tentulah disebabkan karena dia masih punya loyalitas kepada SANG NAGA. Dia tidak begitu saja menubruk mentang-mentang mendapat tawaran menggiurkan. Ya, loyalitas adalah salah satu syarat utama. Bayangkan orang yang suka pindah-pindah kerja setiap kali ia memperoleh tawaran yang lebih baik. Tentu wajar saja kalau orang berkeinginan memperbaiki nasibnya, tapi untuk itu tidak berarti ia harus jadi rakus.
"Kau pasti sanggup, Son. Asal kau mau tentu saja. Saya sudah tahu riwayatmu di SANG NAGA."
Henson merasa heran sebentar. Selama itu ia tidak pernah merasa dirinya diamat-amati orang. Bahkan setiap kali perjumpaannya dengan Peter tak pernah berlangsung perbincangan antara mereka. Paling-paling Peter hanya memberinya anggukan kepala ringan sebagai balasan atas sapaannya. Ia sendiri menilai Peter sebagai orang yang angkuh. Jadi tak pernah terpikir bahwa Peter diam-diam memperhatikan dirinya.
Pelan-pelan kebanggaan menyeruak dada Henson. Ternyata orang seangkuh Peter membutuhkan dirinya. Dia yang dulu susah payah mencari pekerjaan kini berbalik dicari orang. Ya, dia sudah lebih berarti sekarang. Kini dan dulu lain. Tapi hati-hati, ia mengingatkan dirinya sendiri. Tidak-kah ia juga berpesan begitu kepada Cek A Piang" Betapa lebih mudah mengatakan daripada menjalaninya sendiri.
Mendadak ia teringat kepada Nyonya Linda. Hampir saja ia tersenyum sendiri. Di depannya ini adalah kekasih sang nyonya. Tapi Nyonya Linda tentu tidak tahu apa saja niat Peter terhadap dirinya. Bagaimana kira-kira reaksinya kalau tahu, bahwa orang yang dibencinya ternyata dibutuhkan oleh sang kekasih" Ingatan itu menimbulkan antipati kepada Peter walaupun ia sempat merasa dilambungkan tadi. Orang macam apakah sebenarnya Peter ini" Dia menguasai istri pemilik SANG NAGA, lalu berusaha pula merebut para tenaga kerjanya yang vital. Kalau berhasil ia akan membuat SANG NAGA berantakan. Tapi itu tentu bukan urusannya, karena yang penting adalah kesuksesannya sendiri. Rupanya Peter menganut paham bisnis yang tak mengenal kawan dan tenggang rasa. Bisnis yang kejam. Dunia yang dapat membuat orang-orang yang berkecimpung di dalamnya jadi cepat tua dan sakit.
"Terima kasih atas perhatian Tuan kepada saya. Saya akan memikirkannya," ucap Henson sambil beranjak dari jok mobil yang empuk.
Tapi Peter belum bergerak.
"Kapan saya menerima kabar darimu"" ia bertanya dengan nada superior. Suatu sikap yang menonjolkan wibawa. Jangan pergi dulu sebelum kuberi isyarat untuk pergi.
Henson duduk kembali. "Secepatnya, Tuan," sahutnya.
"Saya ingin yang pasti. Secepatnya itu kapan" Ingatlah, saya orang yang sibuk."
Henson menunduk. Wajahnya memperlihatkan penyesalan. Orang kecil seperti dia ternyata mampu membuat orang 'besar' seperti Peter menjadi sibuk.
"Dua hari lagi, Tuan. Saya datang ke tempat Tuan atau cukup menelepon""
"Ah, jangan menelepon. Saya sebenarnya perlu berbincang-bincang denganmu. Apalagi kalau kau menerima tawaranku, sudah tentu kita harus bicara banyak, bukan" Ah, kenapa dua hari" Perlu begitu lamakah
kau berpikir" Besok sajalah, ya""
"Saya perlu waktu, Tuan," jawab Henson dengan senyum merendah. Penampilan orang yang sadar betul siapa dirinya.
"Baiklah kalau begitu. Tapi waktu luangmu cuma pagi hari, bukan" Nah, datanglah jam delapan di kantorku di bank. Nih, kartu namaku yang bisa kautunjukkan di sana nanti."
Mereka berpisah. Henson menunggu dulu sampai mobil Peter melaju pergi, baru ia memasang helmnya lalu menstarter motornya. Itu juga termasuk tata krama orang kecil terhadap orang besar. Biarlah orang besar jalan dulu, baru orang kecil menyusul di belakang. Ya. dia sudah belajar banyak selama ini. Pengalaman mengajarkan betapa perlunya tata krama itu dipatuhi. Biarlah orang lain senang dan merasa tambah besar, walaupun dengan cemooh di hati, karena akan ada hikmahnya yang bisa dinikmati.
-VII- Irma hampir saja melompat dari duduknya. Wajahnya memerah dan bibirnya menggeletar sebelum berbicara. Ia sangat marah mendengar cerita Henson. "Oh, jadi dia mau menggaetmu" Sudah Mama, sekarang kau!" hampir ia berseru kalau saja ia tidak keburu sadar akan kehadiran orang-orang lain di warung tegai langganan mereka. Susah payah ia menekan emosinya.
Henson meremas tangan Irma.
"Sabar, Ir. Jangan lupa. Aku belum digaetnya, kan""
Irma menatap dengan mata yang agak basah. Henson jadi terharu dan ingin sekali meraih Irma, lalu memeluk dan menghiburnya. Reaksi Irma agak di luar dugaannya. Jarang Irma tampil emosional begitu. Biasanya dia tabah dan berani. Kini ia seperti melihat kekhawatiran dan kegelisahan dalam sikap Irma. Padahal semestinya Irma tidak perlu sekhawatir itu. Untung saja ia tidak menceritakan perihal Cek A Piang. Kalau Irma sampai tahu pasti kekhawatirannya lebih besar lagi. Tapi ia memang tidak mungkin bercerita tentang Cek A Piang walaupun ingin. Janjinya dengan Cek A Piang itu harus ia hormati. Padahal ia sebenarnya ingin membagi kabar gembira itu. Cek A Piang berniat untuk tetap setia kepada SANG NAGA. Dan aku lama-lama bisa pintar masak, Irma! Ya, siapa tahu itu bisa jadi bekal buat kita berdua!
"Ya. Kau memang belum digaetnya. Tapi siapa tahu"" sahut Irma lirih.
"Kau tidak percaya aku""
"Oh, bukan soal itu, Son. Tapi, kenyataannya kau tidak langsung menolak pada saat itu juga. Buat apa kau pikir-pikir lagi kalau kau memang tidak berniat ikut dia""
Henson sudah siap menerima pertanyaan itu. "Aku sengaja, Ir. Bukankah dengan demikian aku jadi beroleh kesempatan untuk berbincang dengannya" Siapa tahu aku bisa beroleh keterangan lebih banyak. Kemarin ngomongnya cuma sebentar."
"Kau pasti akan menolaknya, kan"" "Tentu saja. Kaupikir aku manusia yang tak punya kesetiaan""
"Ah, kau marah""
Buru-buru Henson meremas lagi tangan Irma. "Masa begitu saja marah. Adalah wajar kalau kau merasa resah. Cuma kupikir kekhawatiranmu agak keterlaluan. Biasanya kau tabah dan optimis."
"Ya. Itu memang biasanya. Sekarang ini masalahnya lain."
"Ah, aku tahu. Kau tentu mengkhawatirkan hubungan ayah dan ibumu. Ya, kan""
Irma tidak menjawab. Ia cuma diam merenung. Henson tidak mendesakkan jawaban.
"Oom Peter itu monster!" desis Irma di antara giginya. "Pada suatu saat aku mesti juga melabraknya."
Henson terkejut. "Sabar, Ir. Jangan bertindak dengan emosi. Biasanya, pihak yang emosi adalah pihak yang lebih rugi. Padahal dia berpenampilan begitu tenang dan dingin. Dia orang yang berpengalaman, Ir. Kita harus hati-hati. Pikir saja. Dia menyelidiki dan mempelajari tentang diriku tanpa aku sendiri menyadarinya. Dan satu hal lagi. Kalau kau sampai melabraknya hingga jadi geger, maka nama orang tuamu jadi ikut rusak. Semua orang jadi tahu."
Irma menunduk lesu. Ia menyadari kebenaran kata-kata Henson.
"Tapi dia jahat. Dia membuatku gemas."
"Tapi dalam dunia bisnis, dia tidak bisa digolongkan jahat, Ir. Dia tidak melakukan tindak pidana. Semuanya bisa dimaklumi. Orang bisnis yang suka saling makan itu masih dianggap biasa, Ir."
"Ooooh...," keluh Irma.
"Sudahlah. Jangan terlalu menganggap berat persoalan yang belum tentu berat. Jangan lesu begitu."
"Entahlah, Son. Belakangan ini aku rasanya nggak enak terus. Tidur pun tidak bisa nyenyak.
Sepertinya dadaku ketindihan beban yang tak bisa kubuang. Ya, tegang begitu. Kayaknya ada sesuatu yang bakal terjadi. Sesuatu yang sama sekali tidak menyenangkan. Karena itu, setelah mendengar ceritamu tadi aku pikir sesuatu itu akan segera terjadi."
Henson membelai tangan Irma dengan iba. Dalam keadaan seperti itu rasanya dia ingin sekali membawa Irma pergi untuk disayangi dan dilindungi. Lalu menyesali dirinya yang belum punya kekuatan untuk itu.
"Kan ada aku, Ir." Hanya itu yang bisa dikatakannya.
"Ya. Tapi aku khawatir kau juga tidak tahan. Kau akan pergi juga pada suatu ketika bila sesuatu itu meletus. Dan ke mana lagi kau akan pergi kalau bukan ke dalam rangkulan Oom Peter. Oh, aku tentu tidak bisa menyalahkan kau. Pekerjaan itu perlu. Dan apa yang ditawarkannya itu sangat menarik. Padahal Papa seperti melupakan kau dan melupakan pula janji-janjinya. Ya, ya, kalau kupikirkan lagi sekarang ini, rasanya kok kurang adil juga bila menahanmu supaya jangan pergi. Kau perlu mengembangkan kariermu. Ah, aku kok egois, ya." Irma menyesali dirinya.
"Biarpun aku perlu pekerjaan, tapi aku masih punya loyalitas. Tadi kan aku sudah bilang."
"Dengan bertahan terus di SANG NAGA, kau tidak akan maju. Kecuali Papa sadar."
Kini Irma tampil berbeda daripada saat-saat sebelumnya. Suatu sikap yang selalu dikagumi Henson. Dan membuat cintanya semakin teguh.
"Kalaupun aku harus pergi, aku tidak akan bekerja pada Peter, Ir. Percayalah. Aku yakin, kalau dicari dan diusahakan, mustahil tak ada jalan lain sama sekali."
"Jadi kondektur atau sopir" Ah, ngenes aku, Son."
"Tidak harus jadi itu saja, kan" Masih ada cara lain, toh" Sudahlah, jangan ngenes dulu."
Henson tersenyum. Irma juga. Mereka tak mempedulikan orang-orang yang memandang kepingin tahu. Mereka tak mungkin bisa mendengarkan semuanya.
"Tapi tentang Papa, Son. Apa tidak sebaiknya kauingatkan dia akan janjinya padamu" Kapan dia mau meresmikan kenaikan pangkatmu itu" Apa artinya dijadikan manajer kalau orang lain tidak tahu" Bahkan Mama juga tidak. Dan kau terus saja disuruhnya membuangi bangkai tikus. Oh, menyebalkan sungguh. Tikus-tikus itu tak kunjung habis. Kemarin kulihat Mama membeli racun lagi. Kupikir, justru kalau tikus-tikus itu tak ada lagi maka Mama akan bersedih."
"Aku segan melakukannya, Ir. Bukan karena sungkan, tapi aku pikir kepalanya sudah terlampau Sarat dengan persoalan. Aku kasihan melihatnya. Dia seperti bukan dirinya yang biasa. Jadi biarkan sajalah ia mengatasi persoalannya dulu."
Irma geleng-geleng kepala. "Sampai kapan kau mau menunggu""
"Biarlah kubereskan dulu persoalan dengan Peter, ya Ir" Baru kemudian kita pikirkan lagi."
"Baiklah." Tapi di dalam hati Irma tak sependapat. Henson tidak tegas. Kalau begitu, biar dia sajalah yang akan mengingatkan ayahnya. Tentu dengan caranya sendiri. Merasa kasihan itu patut saja. Tapi mengingatkan janji tidak ada salahnya. Lagi pula, sudah berapa lamakah dia tak pernah lagi berbincang akrab dengan ayahnya seperti dulu-dulu"
Tuan Liong sedang duduk di loteng sendirian ketika Irma mendekatinya. Melihat Irma buru-buru Tuan Liong membuka-buka buku kecilnya yang penuh coretan. Lalu berbuat seakan sedang menekuni isinya.
"Lagi sibuk, Pa"" Iya.
"Tadi Papa kelihatannya sedang ngelamun." "Ah, masa. Nggak kok. Orang lagi mikir." "Wah, mikirin apa sih, Pa"" "Apa saja. Banyak."
"Banyak" Bagi-bagi saya dong, Pa," kata Irma manja. Ia menarik kursi lain ke dekat ayahnya, lalu duduk tanpa mempedulikan apakah kehadirannya dianggap mengganggu atau tidak.
"Ah, aku kan lagi sibuk, Irma."
"Saya bantuin, Pa."
Cinta Sang Naga Karya V. Lestari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Nggak bisa." "Siapa tahu bisa. Heran deh, sekarang Papa nggak suka ngajak bicara lagi kayak dulu. Nggak perlu kesal dong, Pa. Kan sekarang keadaan sudah pulih. Sebagian besar tamu langganan sudah kembali. Omset menaik lagi. Restoran kita tidak jatuh karena kecoa itu. Ya kan, Pa""
Tuan Liong menatap putrinya. Untuk sesaat perasaan Irma seperti tercekam. Ada yang aneh pada diri ayahny
a. Apakah itu matanya" Mulutnya" Atau kedua-duanya" Susah memastikan. Tapi ekspresi wajahnya jadi kelihatan berbeda daripada biasanya. Seperti asing. Kurang akrab. Bahkan seperti heran melihat dirinya. Ah, sakit ingatankah ayahnya ini"
Pengaruh Yang Tak Tampak 1 Pendekar Slebor 25 Sengketa Di Gunung Merbabu Tinju Topan Dan Badai 1
hanya orang yang matanya tajam saja bisa menemukan perbedaan. Dan hanya orang yang memahami dapat menyimpulkan, bahwa perubahan itu disebabkan oleh bertambahnya kepercayaan diri Henson.
Lili melihat perubahan itu. ia heran. Apakah Henson merasa dirinya sudah berhasil" Padahal belum kelihatan apa-apa. Diam-diam ia melirik kepada Irma di sebelahnya. Sejak pertengkaran Irma dengan Yeni tempo hari, Lili pindah duduk di tengah. Maksudnya untuk menghindari risiko permusuhan antara kedua adiknya itu.
Di wajah Irma, Lili tak bisa melihat apa-apa. Sorot mata Irma dingin saja. Dingin kepada pria mana pun. Dan kelihatannya kepada Henson pun begitu pula. Sedang dari diri Henson pun ia tak bisa menemukan apa-apa yang pantas disebut sebagai perhatian berlebihan terhadap Irma. Ia heran, dari mana Yeni menemukan isyu itu" Irma dengan Henson. Ah, mustahil. Tapi, kalau memang mustahil, kenapa Mama ikut jadi panas" Lili merasa ketinggalan. Ia penasaran. Tapi tidak tahu bagaimana caranya supaya ia bisa tahu.
Lili jadi asyik memperhatikan gerak-gerik Henson. Benar kata Yeni, Henson itu orangnya cakep juga. Baru sekarang ia merasakan hal itu. Mungkin karena memang baru sekarang ia memperhatikan. Atau mungkin tadinya ia tidak merasa perlu untuk memperhatikan. Posisi dan kedudukan seseorang sering kali jadi penentu apakah dirinya patut diperhatikan atau tidak. Tadinya, Henson begitu berbaur dengan para pelayan lainnya. Henson seolah sama saja dengan yang lain. Sama sekali tidak ada yang istimewa. Ataukah karena dasi kupu-kupunya itu sudah tanggal"
Mungkin karena merasa terus-terusan dipandangi, Henson menoleh juga ke arah ketiga dara. Segera matanya bertatapan dengan mata Lili. Untuk sesaat Henson nampak rikuh. Ia tersenyum sambil mengangguk. Jelas ia malu, pikir Lili merasa tertarik. Dan anehnya, ia sendiri tidak merasa malu memperhatikan. Mungkin karena sadar, bahwa tujuannya memperhatikan itu adalah untuk menilai. Dia, sang majikan. Sedang Henson, karyawan. Walaupun begitu, toh ada rasa sensasi di situ. Ada getaran yang menyenangkan. Ada kesadaran, bahwa dia wanita sedang Henson pria. Mungkinkah begitu pula halnya saat Irma dan Henson saling bertukar pandang" Atau lebih dari hanya bertukar pandang"
Tapi setiap melirik kembali ke wajah Irma, Lili jadi ragu-ragu. Irma sudah dikenalnya sebagai tomboy yang tidak punya perhatian kepada lawan jenisnya, dingin dan tak peduli. Irma memang cantik. Tapi sudah pasti dirinya lebih cantik, karena dia selalu berdandan rapi sedang Irma tidak. Sejak semula, ia sudah merasa sulit membayangkan seperti apa kiranya rupa pacar Irma, andaikata Irma sudah memilikinya.
Perhatian Lili teralih dengan masuknya Jimmy. Senyum Lili pun mekar. Wajahnya menjadi sangat cerah. Henson pun terlupakan. Dan Jimmy menyambut senyum Lili dengan wajah tak kalah cerahnya. Keduanya memang sepasang pacar yang tengah dimabuk cinta. Tapi Lili tidak bangkit dari duduknya. Sedang Jimmy pun tidak mendekat ke meja ketiga dara untuk sekadar mengucapkan sepatah dua patah kata. Tapi ia langsung menuju salah satu meja. duduk dan memesan makanan. Posisinya berhadapan, hingga dari tempatnya duduk ia bisa memandangi Lili dengan leluasa. Tanpa malu-malu Lili balas menatapnya. Hanya itulah yang terjadi. Saling tatap dan saling senyum.
Keadaan semacam itu sudah merupakan perjanjian. Pacar siapa pun yang datang di saat seperti itu maka tujuannya hanyalah untuk makan, bukan untuk berpacaran, karena bagi ketiga gadis merupakan jam kerja. Tak peduli kalau saat itu sedang sepi. Pendeknya harus disiplin.
Tapi sebenarnya bukan cuma disiplin yang mau ditegakkan. Ada hal lain yang jadi sebab. Terutama bagi Nyonya Linda. Ia sadar, ketiga putrinya merupakan daya tarik tersendiri bagi pari tamunya. Jadi, jangan sampai timbul kesan bahwa ada tamu tertentu yang memonopoli putri-putrinya itu. Tentu bukan berarti bahwa ia menentang putri-putrinya berpacaran, apalagi dengan pria yang disetujuinya, tapi ada waktu tertentu untuk keperluan itu. Yaitu pada saat di mana mata para tamu tidak melihat. Pada saat kerja bagi para gadis dan saat makan ba
gi para tamu, biarlah tamu mengagumi dan berangan-angan tanpa hambatan. Adanya pacar yang secara demonstratif memperlihatkan sikap memiliki dapat melenyapkan angan-angan itu. Dan siapa tahu, berbareng dengan lenyapnya angan-angan itu lenyap pula selera makan"
Melihat Jimmy, Nyonya Linda bergegas mendekati lalu duduk menemani sebentar. Sikapnya yang ramah jelas menunjukkan bahwa Jimmy adalah seorang calon menantu yang berkenan di hatinya.
Jimmy memang memiliki penampilan yang meyakinkan. Pakaiannya rapi tak pernah kelihatan lecek, dan arloji Rolex yang sering jadi simbol status dan lambang bonafiditas selalu menghiasi pergelangan tangannya. Masih ada lagi mobil bagus yang selalu dikendarainya setiap datang berkunjung. Kesemuanya adalah perlengkapan yang diperlukan untuk memperjelas ciri sosial. Menurut cerita, Jimmy adalah seorang pengusaha muda yang sukses. Dia memiliki beberapa buah toko di bilangan Kota.
Ketika makanan yang dipesannya tiba, Nyonya Linda meninggalkannya. Jimmy senang. Dia bisa makan tanpa risi. Ditemani makan oleh calon mertua dengan ditemani pacar tentu berbeda sekali. Maka ia pun makan dengan lahap sambil memandangi sang pacar. Alangkah sedap!
nyonya Linda memang tidak bermaksud menemani Jimmy lama-lama. Kedatangan dua orang tamu langganan tetap lebih menyita perhatiannya. Mereka adalah Peter dan Tanujaya. Kedua orang ini berkantor tak jauh dari situ. Jadinya mereka sering muncul bersama-sama untuk makan siang. Di samping itu tentu saja keduanya pun berkawan cukup akrab.
Sesaat Nyonya Linda teringat akan ejekan Irma. Anak bengal itu menyinggung-nyinggung Peter. Apa maksudnya belum jelas ia ketahui. Tapi peduli amat. Ia terus melangkah untuk menyambut sambil tersenyum manis. Kedua langganannya itu pasti akan tetap setia apa pun isyu yang beredar.
Nyonya Linda melirik ke arah Irma. Ternyata gadis itu pun tengah memandang kepadanya, memperhatikan dengan asyik. Pandang Nyonya Linda menjadi tajam. Buru-buru Irma mengalih-kann pandangnya. Ngeri juga rasanya.
Yeni agak resah. Sebentar-sebentar ia memandangi jam tangannya. Arus orang yang masuk bisa dihitung dengan jari. Pandangnya berkali-kali ke pintu. Setiap kali pintu terbuka ia memandang penuh harap. Lalu berpaling dengan kecewa. Baru setelah untuk kesekian kalinya memandang dan memandang, ia tersenyum senang. Anton dan Herman melangkah masuk. Rupanya para pacar tidak takut kepada kecoa. Atau mereka memang sengaja menunjukkan rasa kesetiaan justru pada saat seperti ini, saat yang peka.
Anton mengangkat tangannya ke arah Yeni.
"Hai!" katanya tak seberapa keras. Cukup didengar Yeni seorang. Yeni menyambut dengan senyum. Hanya senyum. Tapi cukup. Sedang Herman melotot kepada Irma. Tentu saja bukan karena marah, tapi sangat ingin menarik perhatian Irma agar memandang juga padanya. Namun ia terpaksa kecewa. Irma sama sekali tidak mengangkat kepalanya dari meja. Dia seolah begitu asyik menekuri entah buku entah catatan di depannya, hingga tidak menyadari apa dan siapa yang ada di sekelilingnya. Suatu kepura-puraan yang sempurna. Irma sudah melihat begitu Anton memunculkan sebagian tubuhnya di pintu. Ia tahu, Anton pasti diikuti Herman. Dan ia juga tahu, hal itu menandakan bahwa Herman masih tetap menyimpan harapan yang sama. Andaikata Herman kehilangan harapan atau memutuskan untuk mengalihkan perhatiannya pada gadis lain, pastilah ia tidak akan muncul-muncul lagi. SANG NAGA tentunya bukan satu-satunya tempat di mana ia bisa mengisi perutnya.
Irma senang, karena Yeni tidak duduk di sisinya seperti sebelumnya. Biasanya, dalam keadaan seperti itu Yeni akan menyikutnya atau terang-terangan menyuruhnya membalas tatapan Herman. Tapi biasanya ia pun tak pernah meladeni. Toh Herman tidak akan terus berdiri di muka pintu menunggu tatapannya dibalas.
"Si Herman itu gigih, Ir. Dia betul-betul tergila-gila padamu," kata Lili.
"Aku heran. Mestinya dia tahu diri. Carilah cewek lain," sahut Irma.
"Kau sombong," sungut Yeni.
"Bukan sombong. Ci Yen. Habis kalau orang nggak mau."
"Kalau si cowok gigih, lama-lama ceweknya mau juga."
"Aku tidak." "Kasihan," gumam Lili.
Irma melirik. "Emangnya Ci Lili menyalahkan aku""
"Bukan begitu. Aku cuma kasihan sama dia. Begitu ngenesnya."
"Mustahil aku harus memberi senyum manis kepadanya" Nanti dia semakin berharap. Kan lebih baik tegas. Aku nggak plin-plan. Kalau memang nggak suka, terus terang saja."
"Ya, ya, kau memang benar. Karena itu aku kasihan padanya. Kok dia tidak mau mengerti juga."
"Oh, itu artinya cintanya sangat besar!" sela Yeni jengkel.
"Karena itu pula dia patut dikasihani," kata Lili tenang.
"Heran. Padahal dia itu kurang apanya sih" Cakep, kaya, baik hati," gerutu Yeni.
"Yang kaya kan bapaknya," sahut Irma.
"Tapi bapaknya sudah tua bangka, tahu" Dan anaknya cuma mereka berdua itulah. Tak lama lagi mereka akan memperoleh warisan besar," kata Yeni lebih tenang dan serius, setengah membujuk.
Tiba-tiba Irma tertawa. Cukup keras dan spontan. Beberapa tamu sempat menoleh kepadanya. Dengan kaget dan tersipu Irma buru-buru menutup mulutnya, menahan suara yang masih akan keluar.
"Kenapa kau tertawa"" desis Yeni. "Sorry, Ci. Ketawaku keluar sendiri." "Masa orang ketawa nggak ada sebabnya. Sinting kali."
"Habis Ci Yeyen menyebut bapaknya Anton tua bangka. Kan kurang ajar tuh," kata Irma, menyembunyikan sebab sebenarnya. Jadi jelas, Yeni sangat menyukai kekayaan, lalu berpikir bahwa adiknya pun begitu pula.
Kejengkelan Yeni terhadap adiknya mereda. Lalu ia pun tertawa. "Oh, aku nggak begitu senang sama si Tua," ia mengakui.
Kali ini bukan cuma Irma tapi Lili juga ikut tertawa. "Aduh, belum jadi mertua beneran sudah dikurangajari. Gimana nanti"" kata Lili geli.
"Soalnya dia memang sudah tua sekali. Umurnya hampir delapan puluh. Sudah setengah pikun. Bayangkan. Lagaknya kayak orang muda yang suka ceriwis. Dia suka lupa bahwa aku ini calon menantunya. Menggelikan tapi juga menyebalkan."
Mereka bertiga tertawa bersama. "Pantasnya dia terlambat kawin atau terlambat punya anak," komentar Irma.
"Ya. Memang begitu," sahut Yeni. Mereka sudah berbaikan kembali.
Henson memperkirakan, bahwa omset hari itu akan menurun sebanyak lima puluh persen. Cukup membuat Tuan Liong berwajah murung. Tapi ia berusaha untuk bersikap tabah. Ini baru permulaan, demikian ujarnya berulang-ulang. Nanti pasti tidak begini terus. Bagi Henson, kata-kata semacam itu jelas merupakan upaya untuk menghibur dan menguatkan diri sendiri. Di balik itu, sepertinya Tuan Liong menyimpan kecemasan yang mendalam. Apakah dia kurang yakin" Terlalu cemas" Ataukah itu wajar saja mengingat dia pemilik dan sebelumnya tak pernah mengalami hal-hal seperti itu" Henson cuma bisa mengira-ngira. Tuan Liong tidak mencurahkan isi hatinya kepadanya.
Henson sendiri merasa tegang. Ia berharap besok ceritanya akan dimuat di koran yang sama. Itu penting sebagai awal nasib SANG NAGA di kemudian hari. Mampukah ia mengatasi cobaan itu atau tidak" Karena itu, menunggu datangnya hari besok itu serasa lama sekali.
Perbincangannya dengan Asrul, redaktur koran itu, berlangsung dalam suasana bersahabat dan penuh humor. Masalah kecoa dalam capcay memang bisa menggelitik syaraf orang luar yang tidak punya sangkut paut. Henson bercerita banyak tentang SANG NAGA, terutama tentang perkembangan kemajuannya sampai kemudian mengalami cobaan itu. Dia memang tahu banyak. Dan ia pun pandai memberi bumbu menarik dalam ceritanya. Ia berbuat seakan ia merupakan orang yang senang bicara. Terlalu senang, hingga apa pun diceritakannya. Tapi sesungguhnya ia selektif dalam memilih bahannya. Setengah meralat pemberitaan kemarinnya dan setengah berpromosi karena ia tidak terang-terangan membual. Ia tahu benar, orang koran paling senang mendengarkan cerita.
Seperti sudah diduganya, Asrul tidak mau memberitahukan siapa sumber beritanya kemarin itu. Dan Henson pun tidak memaksa. Ia menceritakan kepada Asrul tentang kemungkinan-kemungkinan yang pernah diceritakannya kepada Freddy yang bertitik tolak dari menghilangnya Udin. Lapor kepada polisi" Ah, tentu saja tidak perlu. Bukti tidak cukup. Kami akan berusaha mengatasinya sendiri, dem
ikian yang dikatakan Henson dengan gagah tanpa sikap takabur. Sikap yang simpatik akan menghasilkan cerita yang simpatik pula.
Tapi ketika ditanya, Henson tidak menyebutkan kedudukannya. Untuk mengatakan dirinya manajer ia merasa segan. Sepertinya belum layak membanggakan diri. Memang benar ia senang atas kenaikan pangkatnya itu, tapi bukankah usia kedudukan barunya itu baru beberapa jam saja" Lagi pula tiba-tiba saja ia teringat, bahwa dalam pemberitaan koran nanti tentunya pangkatnya itu akan ditulis juga. Berarti bukan rahasia lagi seperti yang dikehendaki Tuan Liong. Jadi ia mengatakan, bahwa dirinya cukup disebut sebagai orang SANG NAGA saja, atau karyawan, titik. Walaupun demikian, ia menyebut namanya dengan jelas. Asrul tertawa.
"Terus terang, saya sudah memperkirakan akan kedatangan utusan dari SANG NAGA. Tapi bahwa akhirnya saya berhadapan dengan orang Batak sama sekali di luar persangkaan saya."
"Kenapa begitu"" tanya Henson pura-pura. Ia sebenarnya mengerti maksud Asrul.
"Ya. Bukankah SANG NAGA itu restoran Cina"" Asrul balik bertanya.
Henson tertawa seakan baru memahami. "Ah, Anda tentu berharap akan berhadapan dengan orang keturunan Cina juga, bukan" Saya pikir, itu keliru. Bagi orang Batak yang punya pengalaman di bidang restoran tentu bukan cuma lapo tuak satu-satunya pilihan. Ada faktor lain yang lebih menentukan, yaitu bakat dan kesempatan."
Asrul tertawa keras. "Ya. Pendapat Anda cukup bijaksana. Toh saya pikir Anda pasti punya keistimewaan tertentu hingga beroleh kepercayaan dari bos Anda. Apakah Anda pandai berbahasa Mandarin""
"Pandai sih tidak. Tapi bisa sedikit-sedikit. Kalau orang ngomong sih ngerti. Asal saja tidak nyerocos begitu. Dan bicara tentang keistimewaan saya rasa juga tidak ada. Itu tergantung pada sikap dan pandangan orang tentang masalah ras," kata Henson merendah. Ia tahu, cerita tentang masalah pribadi harus dijauhkan.
Asrul mengangguk-angguk. "Ya, ya. Saya setuju. Sangat setuju. Tapi saya yakin, bos Anda itu pastilah orang yang punya pandangan luas. Juga tentang persoalan ras."
"Setiap orang akan senang bekerja sama dengan orang yang tidak sempit dan picik pandangannya tentang soal itu," sahut Henson, menghindari penilaian pribadinya terhadap Tuan Liong.
Menjelang pertemuan mereka berakhir, Asrul menjabat tangan Henson. "Saya menaruh simpati terhadap masalah Anda. Baik saya ungkapkan, bahwa sumber berita saya adalah orang yang mengaku sebagai tamu SANG NAGA pada saat peristiwa itu terjadi. Dia mengatakan telah melihat sendiri peristiwa itu."
"Jadi bukan tamu yang hampir menyantap kecoa itu""
"Dia bilang melihat, dan bukan menyantap. Mungkin tamu yang mejanya berdekatan."
Rasanya dia cukup sigap dan gesit mengamankan piring berisi kecoa itu, pikir Henson. Tapi memang kemungkinan ada yang melihat tetap ada.
"Lantas apa tujuannya menyebarluaskan cerita itu"" tanya Henson kemudian.
"Katanya, supaya pihak restoran mawas diri dan menjaga mutu masakannya."
"Baiklah. Terima kasih, Pak Asrul."
Sesudah itu, berlangsung pertemuannya dengan Freddy. Begitu jumpa, laki-laki itu langsung
membela diri. "Bukan saya yang bercerita kepada koran itu. Pak. Disuruh sumpah juga saya mau. Buat apa sih" Saya bukan orang yang curang dan suka berkhianat. Saya sudah berjanji. Dan janji itu sara junjung. Kalau perlu saya bersedia diajak menemui redaktur koran itu. Dia tentu masih ingat tampang orang yang mengadu. Apa betul saya"" demikian kata Freddy penuh semangat. Suatu sikap yang jelas sudah dipersiapkan. Ia tentu sudah tahu, bahwa berita di koran itu akan membuat dirinya dicurigai. Dan selanjutnya akan ditanyai.
Sikap Freddy yang polos dan tegas itu membuat Henson tak bisa lain selain percaya. Kemungkinan besar memang bukan Freddy. Toh yang penting sekarang ini bukanlah menemukan siapa orang yang melakukan hal itu, karena peristiwanya sudah terlanjur menyebar. Dan proses akibatnya sudah mulai berjalan. Itulah yang perlu diatasi dan ditanggulangi.
*** Cek A Piang ikut murung. Dia yang biasanya sibuk memasak hampir tak ada hentinya pada jam-jam m
akan jadi banyak menganggur hari itu. Pesanan hanya sekali-sekali saja datang. Lalu dengan ogah-ogahan dia mengerjakannya. Padahal dengan berkurangnya pekerjaan capeknya pun berkurang.
Henson menemukannya seperti itu.
"Gara-gara kecoa itu, nama saya jadi rusak, Son," keluhnya.
"Ah, jangan bilang begitu, Cek. Kenyataannya kan nggak."
"Siapa bilang" Tuh, yang makan jadi berkurang. Mereka nggak percaya lagi sama hasil kerja saya."
"Sementara, Cek. Pasti untuk sementara saja. Percayalah."
Cek A Piang menatap Henson. "Kau sendiri percaya, Son""
"Kita harus punya kepercayaan diri dong, Cek. Payah kalau nggak."
"Percaya sih percaya, Son. Tapi di sininya udah rusak duluan," kata Cek A Piang sambil menepuk dadanya.
"Jangan, Cek. Jangan begitu. Anggap saja ini cobaan. Mana ada sih hidup tanpa cobaan""
Cek A Piang diam termenung.
Di sudut lain di ruang yang sama, Mamat dan Dipo baru selesai mencuci piring yang tentu saja tak sebanyak hari-hari kemarin. Sesudah itu mereka segera keluar. Tidak enak berlama-lama di dapur kalau menganggur. Panas. Tinggal Cek A Piang dan Henson berdua.
"Son, tadi Koh Liong ngomel-ngomel padaku," kata Cek A Piang dengan suara direndahkan.
"Oh, ya" Apa katanya"" Henson terkejut. Setahu dia, Tuan Liong tak pernah atau jarang sekali memarahi Cek A Piang.
"Dia bilang, kalau kerja jangan jorok. Harus bersih, apik, rapi. Salah-salah nanti kemasukan lagi. Entah laler, nyamuk, atau..." pandang Cek A Piang tertuju ke dinding, menemukan seekor cecak sedang merayap. "Atau cecak juga. Wah, wah. Emangnya aku masak nggak pakai mata""
Henson benar-benar terkejut. Ia tak menyangka, bahwa Tuan Liong bisa berkata seperti itu. Mungkinkah karena terlalu cemas" "Habis, Cek bilang apa"" "Nggak bilang apa-apa. Namanya orang kerja, dimarahi majikan ya diam saja. Habis mau bilang apa" Cuma di sini ini rasanya gimana..." kembali Cek A Piang menepuk dadanya. Henson tidak tahu mesti bilang apa. "Belum habis yang itu, datang lagi yang lain, Son. Gantian Ci Linda yang marah-marah. Katanya, banyak tamu yang bilang padanya, supaya kokinya diganti saja. Koki yang doyan kecoa nggak perlu dipertahankan. Huuu. Sakit! Sakit!" Cek A Piang menepuk dadanya lebih keras. Wajahnya memperlihatkan mimik mau menangis. Sangat memelas.
Henson memalingkan mukanya. Ia tidak tega memandang. Perasaannya jadi ikut tidak keruan. Tangannya terulur, menepuk-nepuk pundak Cek A Piang.
"Kalau si Udin itu bisa kepegang, kuhabisi dia. Akan kucekoki kecoa. Biar dia tahu gimana rasanya kecoa itu!" seru Cek A Piang gemas.
"Sudah, Cek. Sabarlah. Sabar saja."
"Ngomong sabar sih gampang, Son. Tapi kan susah tuh."
"Ya. Memang susah," sahut Henson bingung. "Eh, Son, apa kau akan mengadu nanti" Kau kan disayang sama Koh Liong. Ah, biarlah kau ngadu juga nggak apa-apa. Gelagatnya sih aku nggak bakal lama lagi kerja di sini. Biar aku pulang saja ke Medan. Di sana juga bisa makan," Cek A Piang mengoceh.
"Saya tidak akan mengadu, Cek. Kita kan sama-sama karyawan di sini.
"Ya. Aku percaya. Kau kelihatannya memang baik."
"Jadi jangan ngomong soal berhenti kerja dulu, Cek. Mereka bersikap begitu itu pasti karena terlalu khawatir. Maklumi saja, Cek. Jangan dipikirkan. Kalau ada apa-apa, bicaralah dengan saya, Cek."
Cek A Piang nampak terhibur. Ia tidak mengelus dadanya lagi.
Pesanan makanan datang. Kesibukan bagi Cek A Piang. Mamat dan Dipo membantu meracik sayur-sayuran. Henson masih memperhatikan. Dan seperti sebelumnya ia mengagumi kesigapan Cek A Piang bekerja. Sepasang tangannya gesit dan trampil seperti menari-nari. Sungguh, memasak itu benar-benar suatu seni. Caranya mengolah. Dan kemudian hasilnya. Indah dipandang. Sedap dimakan. Tidak terasa tiba-tiba ia merasakan keinginan untuk mencoba dan menikmati seni itu. Hawa panas kompor sampai tidak terasa.
Masakan selesai. Mamat menyediakan piring. Dan tak lama kemudian semuanya diangkut keluar. Lalu akan lenyap di perut tamu. Seni yang bersifat sementara, tapi menanamkan kesan. Enak atau tidak enak. Semua kenikmatan panca indria selalu menanamkan kesa
n yang tak terlupakan, lalu menimbulkan rasa ketagihan. Ingin lagi dan ingin lagi mengulang rasa yang sama.
Cek A Piang melirik ke arah Henson.
"Kau mau belajar masak. Son"" ia bertanya tiba-tiba.
Henson tersipu, menyadari keinginannya terbaca. "Ah, iya, Cek. Kepingin juga rasanya. Cuma kapan, ya" Dan di mana""
"Gampang. Di rumahku saja. Cuma bahannya kau yang beli."
"Setuju, Cek!" Henson tertawa gembira.
Sedang kedukaan Cek A Piang pun seperti hapus. Ia mendekati Henson lalu berbisik, "Eh, tahukah kau" Aku punya resep rahasia yang belum pernah kucoba di sini. Soto Medan!"
-V- Berita yang ditunggu-tunggu itu muncul juga keesokan paginya. Sebuah berita yang tidak terlalu panjang, tapi menarik. Isinya memuaskan perasaan Henson, karena sesuai dengan harapannya, bahkan lebih. Semua informasi yang disampaikannya ada di situ. Tidak lebih, tidak pula kurang, tapi penyampaiannya menarik dan menyentuh. Hikmah yang mau diambil dari "permasalahan yang dikemukakan adalah perihal kekejian persaingan. Dengan demikian akan timbul kesan, bahwa peristiwa itu bukanlah kesengajaan atau kelalaian dari pihak restoran, melainkan perbuatan saingan usaha.
Tapi risiko masih tetap ada. Bagaimana kalau timbul kekhawatiran lain di benak para tamu atau langganan, yaitu merekalah yang akan dijadikan sasaran teror si saingan itu" Bagaimana kalau para pelayan diberi suap agar mau memasukkan binatang-binatang kecil menjijikkan ke dalam makanan mereka, semata-mata agar mereka kapok makan di Restoran SANG NAGA lagi" Tidakkah sebaiknya menghindar saja sebelum sempat jadi korban"
Henson sudah berpikir ke sana. Karena itu kepada Asrul ia pun menyampaikan bahwa pengalaman semacam itu tidak akan mudah terulang. Segala kemungkinan dan kesempatan ke arah itu akan diperkecil atau dihapus. Hanya orang bodoh yang melakukan kesalahan sama dua kali. Dan pendapat Henson itu pun termuat pula. Lengkap sudah.
Nama Henson Purba ditulis lengkap. Ada sedikit komentar yang menyatakan pujian untuknya. Ia digambarkan sebagai anak muda yang tabah, penuh semangat, dan memiliki loyalitas yang tinggi. Mental karyawan seperti inilah yang paling ideal bagi sebuah perusahaan. Kepandaian dan ketrampilan bisa diperoleh belakangan.
Henson tersenyum membacanya. Ia merasa terangkat tinggi-tinggi. Ah, janganlah sampai dijatuhkan lagi. Nanti sakit sekali.
Ia pun tersenyum ketika membaca cerita yang agak sensasional dan sedikit berbau mistik. Itu adalah ceritanya tentang hoki atau keberuntungan yang konon dimiliki SANG NAGA. Hoki itu pasti ada, karena SANG NAGA mengawali langkahnya dari nol. Betul-betul dari nol, ketika para tamu yang datang untuk mencicipi makanan mereka cuma hitungan jari tangan. Tahu-tahu, yang sedikit itu lama-lama jadi banyak. Semakin banyak dan tetap banyak. Sampai terasa menakjubkan. Itu kalau mengingat bahwa dari sekian banyak restoran yang bermunculan hanya sebagian kecil saja yang mampu terus bertahan dan berkembang besar. Jelas ada faktor keberuntungan. Tapi ada orang yang tidak mempercayainya. Pasti masih ada faktor lain yang menyimpang dari kewajaran. Mungkin juga begitu. Konon, bangunan restoran SANG NAGA itu dibangun tidak hanya asal bangun walaupun segalanya memenuhi syarat. Di situ, segi artistik tidak begitu dipentingkan. Segi yang satu itu tergusur oleh faktor lain yang pasti tidak akan diperhitungkan oleh orang yang selalu berpijak pada hal-hal rasional belaka. Faktor yang satu itu biasanya dimainkan oleh peramal, ahli nujum, paranormal, orang pinter, dukun, dan istilah lain sejenis. Mereka ini punya kuasa untuk menyatakan mana pantangan yang tak boleh dilanggar dan mana keharusan yang harus dipatuhi dalam menentukan bentuk bangunan. Misalnya pintu tak boleh ada di sebelah kiri, melainkan di kanan, dan menghadapnya pun ke arah mana. Lalu jendelanya, ruangan-ruangannya, plafonnya, jumlah tangganya. Pendeknya segala sesuatunya yang menyangkut bentuk bangunan, dari luar sampai ke dalam. Itu semua dipatuhi, hingga jadilah bentuk bangunan SANG NAGA yang sekarang. Apakah dia kurang indah, kurang cantik, kurang bagu
s, atau kurang apa lagi lainnya, sama sekali bukan persoalan. Yang paling penting adalah kemampuannya mengundang rezeki. Untuk apa bangunan indah kalau membawa sial"
Henson tersenyum membacanya. Ceritanya itu ternyata dikutip dengan baik oleh Asrul. Memang bukan isapan jempol, karena ia mendengar sendiri kisah itu dari Tuan Liong.
Pada mulanya, pemuatan kisah itu kurang disetujui oleh Tuan Liong. "Kau bercerita terlalu banyak," katanya setengah menyesali.
"Tapi maksud saya adalah untuk mengalihkan perhatian orang dari masalah kecoa itu, Tuan. Saya bukan sekadar bercerita kosong. Harapan saya cerita itu pun mengandung promosi. Ada segi sensasinya di situ. Siapa tahu, orang yang mau menyaingi dengan niat jahat, seperti yang dilakukannya dengan kecoa itu, akan membatalkan niatnya karena merasa sudah tahu rahasianya. Buat apa menteror kita lagi" Kan lebih baik mencari peramal yang ahli saja."
Tuan Liong terkekeh. Ia merasakan kebenaran pendapat Henson. "Ya, ya. Barangkali para peramal akan laris dengan mendadak. Peramal gadungan pun akan bermunculan. Ha ha ha!"
Tapi Nyonya Linda tidak setuju. "Kau lancang membuka rahasia kita!" ia mengomel. "Sembarangan aja ngomong. Lancang kamu, Son! Lancang! Mentang-mentang dikasih wewenang, eh, terus semaunya sendiri."
"Itu kan bukan rahasia lagi, Ma," Lili membela. "Ya. Sudah banyak yang pakai cara itu juga," Yeni setuju.
"Ala, ributin soal gituan. Yang penting kan masalah kita teratasi," komentar Irma.
Nyonya Linda melotot dengan pandang curiga. Ia berniat menyemprot Irma, tapi ketika teringat akan kata-kata Irma tempo hari yang menyebut-nyebut nama Peter, ia membatalkan maksudnya. Jangan di depan suaminya. Kemarin siang, Hok Kie sang suami tiba-tiba saja mengatakan padanya, "Eh, si Peter masih setia makan di sini, ya" Nggak takut kecoa rupanya." Entah maksudnya serius atau menyindir. Ia sendiri jadi tertegun, tidak tahu mesti bilang apa. Tiba-tiba saja ia jadi takut. Sekilas ia melihat pandang dingin suaminya. Tak pula ada senyum di bibir padahal kata-kata itu sepertinya mengandung humor. Sungguh ia tak ingin Hok Kie mengetahui hubungannya dengan Peter, ia tak ingin, karena tak bisa memperkirakan apa kira-kira reaksi Hok Kie kalau tahu. Hok Kie begitu tertutup. Cuma Irma yang bisa mengajaknya bicara panjang-panjang. Sungguh menjengkelkan. Memang ia sudah berani menyeleweng. Tapi sebenarnya tindakan itu bukanlah keberanian. Ia melakukannya tanpa perhitungan akan risikonya. Sebenarnya ia belum siap menerima risikonya. Membayangkannya saja tidak. Ia cuma merasa terlanjur, lalu tergiur. Itu saja. Peter seorang pecinta yang hebat. Hok Kie yang dulu saja kalah, apalagi yang sekarang. Ya, kenapa Hok Kie tidak bersikap hangat lagi kepadanya" Padahal dia membutuhkan.
Pikiran itu membuat kegarangan Nyonya Linda lenyap dengan mendadak. Dia hanya memasang wajah cemberutnya saja. Padahal ia masih ingin menyerang Henson. Setiap saat bila ada kesempatan ia selalu berkeinginan melampiaskan antipatinya itu. Ia pun merasa geregetan karena tidak bisa menemukan sesuatu bukti perihal adanya hubungan antara Irma dan Henson. Yeni juga tidak bisa menyampaikan info apa-apa. Demikian pula Lili. Tapi kepada Yeni sudah disuruhnya agar terus mematai-matai Irma. Orang yang berpacaran secara gelap pasti akan ketahuan juga, demikian keyakinannya kepada Yeni. Sudah tentu pada saat itu ia melupakan kisah cinta gelapnya sendiri.
Seperti biasa Henson cuma diam saja bila Nyonya Linda mulai menyerangnya. Hanya dengan berdiam diri ia bisa mengalahkan serangan itu. Seseorang tentu tidak mungkin bicara terus. Dan yang diam pun belum tentu berarti kalah.
*** Malam harinya tamu yang datang lebih banyak dibanding siang sebelumnya, walaupun masih lebih sedikit dibanding malam-malam kemarin.
Henson menyapu ruangan dengan matanya yang awas. Hanya sekilas saja. Toh sudah cukup. Tamu tidak akan suka dipandangi dan diperhatikan lama-lama, seakan ada yang salah pada diri mereka. Betapapun aneh atau norak penampilan seseorang, janganlah sekali-kali memandangi seakan dia makhluk dari planet lain. Ba
gaimanapun anehnya, dia adalah tamu. Jadi anggap biasa-biasa saja.
Pemandangan yang dilihatnya cukup membuatnya gembira. Barangkali keadaan ini merupakan pengaruh positif atas pemberitaan koran tadi pagi. Tapi bisa juga bukan, melainkan suatu keadaan yang sewajarnya saja. Tak selalu ada perimbangan tertentu antara jumlah tamu di siang hari dengan malam hari. Berita tadi pagi barusan saja dibaca orang. Dan biasanya orang membutuhkan waktu untuk menimbang-nimbang. Jadi para tamu yang datang itu memang datang atas kehendak sendiri, bukan dipengaruhi berita koran. Dengan kata lain, mereka adalah tamu atau langganan yang setia.
Tapi Henson melihat kehadiran beberapa orang yang bertingkah agak lain dari yang lain. Ada yang melihat berkeliling, ke sudut-sudut, dan ke atas. Lalu saling berdiskusi. Sepertinya ada sesuatu yang menarik di sekitar ruang hingga perlu diperbincangkan dengan begitu serius. Tak terasa Henson jadi ikut memandang berkeliling, ke sudut-sudut dan ke atas. Ia heran. Tak ada perubahan apa-apa di situ. Masih tetap sama seperti kemarin-kemarin. Tak pula ada sesuatu yang aneh. Bahkan cecak pun tak ada.
Lalu dilihatnya tamu lain mengeluarkan kertas kosong dan bolpen, lalu mencoret-coret di situ sambil sesekali memandang berkeliling juga. Tak kepalang rasa ingin tahu Henson, hingga pelan-pelan ia beringsut ke sana untuk mengintip. Ternyata si tamu sedang menggambar denah bangunan SANG NAGA dari depan sampai ruang makan. Dan ketika si tamu itu menoleh kepadanya dengan pandang curiga buru-buru ia berpaling ke arah lain, lalu pergi menjauh. Toh ia sudah melihat.
Ia mengerti. Susah payah ia menahan tawanya yang serasa mau meledak. Ya, itulah dia pengaruh berita koran tadi pagi! Para tamu itu sedang sibuk memperbincangkan atau mempelajari segi ajaib ceritanya. Ah, inilah rupanya bentuk bangunan SANG NAGA yang membawa hoki atau rezeki itu! Kiranya perlu juga dipelajari. Adakah mereka berniat meniru bentuk bangunan SANG NAGA, karena berharap akan memperoleh rezeki yang sama pula" Nah, dalam keadaan seperti itu masihkah mereka ingat kepada si kecoa pembawa gara-gara"
Kemudian ia teringat pada Tuan Liong yang diketahuinya sedang berada di loteng, di tempat duduknya yang biasa. Tentunya Tuan Liong pun sedang melihat-lihat situasi. Dengan antusias terpikir oleh Henson untuk memberitahukan apa yang barusan dilihat dan disimpulkannya. Mereka bisa memperbincangkan soal itu. Kemungkinan Tuan Liong tidak melihat, karena dari tempatnya ia tidak bisa memandang ke segala arah dengan jelas. Pasti informasi itu akan membuatnya senang. Tapi dengan tiba-tiba ia teringat akan sesuatu yang membuat antusiasmenya lenyap. Sikap Tuan Liong sepanjang hari ini dirasanya agak berbeda daripada biasa. Ataukah kemarin juga begitu" Yang terasa jelas memang hari ini. Tuan Liong diam dan murung. Dan kelihatan gampang uring-uringan. Mudah ditebak bahwa hal itu disebabkan karena ia sedang gundah. Ada yang tidak menyenangkan tersimpan dalam hatinya.
Semula Henson menganggap sikap Tuan Liong itu disebabkan kecemasannya akan masalah yang tengah mereka hadapi ini. Sesuatu yang dirasa Henson sebagai berlebihan. Mestinya seseorang tidak boleh terlalu cemas selama masalah yang dihadapinya masih berupa kemungkinan-kemungkinan. Tapi kemudian ia memergoki pandang Tuan Liong kepada Nyonya Linda. Pandang sembunyi-sembunyi tanpa diketahui orang bersangkutan. Sementara Tuan Liong sendiri tidak tahu dirinya ada yang memperhatikan. Tapi cuma sebentar saja pandang Henson terarah kepadanya. Ia tidak berani memandangi lama-lama. Tidak pula berani memandang lagi sesudah menoleh walaupun rasa hati sangat ingin. Perasaannya bergetar. Di mata Tuan Liong ia melihat api!
Tentu bukan baru kali itu ia melihat pandang marah seseorang, bahkan tertuju kepadanya. Itu saat ia terlibat perkelahian. Tapi yang demikian itu wajar. Penyebab marahnya jelas. Berbeda dengan Tuan Liong. Ia tidak sedang bertengkar dengan Nyonya Linda. Jelas, ia marah diam-diam, tanpa ketahuan sebabnya. Di samping itu, Henson mengenalnya sebagai orang yang sabar dan lembut, pendiam dan jaran
g marah, walaupun penggugup dan cepat gelisah. Jadi, bisakah diartikan bahwa marahnya kepada Nyonya Linda sekarang ini disebabkan oleh sesuatu yang amat sangat menyakitkan hatinya" Begitu saja Henson teringat kepada Peter. Lalu pemandangan di kolong meja beberapa waktu yang lalu. Memang yang diketahuinya cuma itu. Tidak lebih. Mungkin sesungguhnya jauh berlebih daripada hanya itu. Lantas, tahukah Tuan Liong"
Tapi Tuan Liong tidak mengatakan apa-apa. Juga kepada Irma. Padahal gadis itu sudah bersiap-siap menampung isi hati ayahnya. Ia sudah diberi tahu Henson tentang soal itu lalu merasa pasti cepat atau lambat ayahnya akan menceritakan semuanya. Ia yakin, hubungannya yang akrab dengan ayahnya akan membuat ayahnya mau bersikap terbuka kepadanya. Tapi ia harus kecewa. Ternyata, keakraban tidak selalu membuat orang mau membuka diri. Ayahnya masih suka menyimpan rahasia. Mungkin juga ia masih dianggap kecil atau belum dewasa.
Irma penasaran. Ia semakin cermat memperhatikan tingkah laku ibunya, tapi tidak bisa menemukan apa-apa yang berlebihan. Mungkin kesempatannya tidak ada. Cukup sering ibunya keluar rumah sendiri. Tidak jelas ke mana. Dan tidak pula memberitahukan. Tapi kelihatannya pun tak ada yang menanyakan. Termasuk ayahnya. Ia merasa, ayahnya ikut bersalah. Kalau tidak senang, kenapa membiarkan" Kenapa menyimpan sendiri, lalu merana sendiri pula"
Irma tidak pernah melihat Peter datang ke rumah untuk kunjungan kekeluargaan. Dia hanya datang pada jam-jam makan siang ke restoran. Bukan ke rumah. Suatu sikap yang jelas menunjukkan bahwa dia hanya seorang langganan belaka. Bukan teman, apalagi sahabat. Karena itulah ia sangat heran ketika mendengar cerita Henson tentang pemandangan di kolong meja itu. Orang yang tak punya hubungan akrab, boleh dikata intim, mustahil saling bersentuhan seperti itu.
Peter seorang eksekutif dan juga pemilik sebagian saham sebuah bank swasta. Sedang Tanujaya yang selalu menemaninya makan siang, memiliki sebuah perusahaan pengreditan barang-barang elektronik. Pendeknya, keduanya dikenal sebagai orang-orang bonafid. Di samping hubungan akrab antara keduanya, Tanujaya juga merupakan nasabah bank Peter.
Peter sudah berkeluarga, tapi ia tidak pernah mengajak keluarganya makan di SANG NAGA. Sekarang, bagi Irma hal itu tidak mengherankan. Tanpa diiringi keluarga tentunya gerak-gerik Peter jadi lebih leluasa. Terutama di depan Linda. Siapa pun tahu, sebaiknya istri dan kekasih itu tidak dipertemukan.
Sudah sejak semula simpati Irma tertuju kepada ayahnya. Ia tidak mengerti kenapa ibunya mesti menyeleweng bila ayahnya tidak nampak melakukan sesuatu kesalahan. Uang pun cukup, bahkan berlebih. Justru ibunyalah yang suka cerewet dan bersuara keras. Kalau begitu, menurut Irma pastilah ibunya tertarik pada kegantengan Peter. Dengan penampilan Indo-nya Peter memang kelihatan menarik. Dia punya daya tarik dan kemampuan untuk memikat wanita. Tapi heran-nya, kenapa Peter malah memikat ibunya, wanita yang sudah tak muda lagi. Dan berkeluarga pula. Padahal biasanya pria bonafid yang sudah berkeluarga dan tak muda lagi lebih suka memiliki kekasih yang masih muda. Dan tentu saja single.
Terhadap pendapat Irma itu, Henson cuma tertawa.
"Barangkali Peter melihat segi yang lain lagi," katanya.
"Segi apa""
"Entah. Yang tahu cuma dia."
"Kau punya perkiraan""
Henson menggeleng. "Nyonya Linda itu ibumu. Aku tidak boleh sembarangan."
"Baiklah," Irma tidak memaksa. "Tapi menurutku, Peter itu kurang ajar. Pengganggu rumah tangga orang. Kadang-kadang aku ingin sekali menemuinya untuk menyuruhnya menghentikan godaannya kepada Mama. Kalau dia tidak mendekati Mama lagi, mustahil Mama mengejar-ngejarnya. Gerak-gerik perempuan kan serba terbatas. Biarlah si Peter mencari perempuan lain saja. Kan masih banyak. Dia juga nggak usah makan di SANG NAGA lagi. Restoran lain pun masih banyak. Tujuannya ke SANG NAGA tentu bukan semata-mata mau makan, tapi mau membuat janji sama Mama. Dan dia sengaja membawa-bawa Oom Tan sebagai teman, supaya tidak kelihatan belangnya! Nah, gimana, Son, kau setuju" Ak
u bisa mencarinya di kantornya."
Henson menggeleng tegas. "Tidak!" "Tidak" Ah, kenapa""
"Aku takut kaulah yang nanti tergoda olehnya."
"Mustahil. Kaupikir aku punya bakat tidak setia hanya karena Mama berbuat...""
"Bukan, Ir. Bukan begitu. Aku sama sekali tidak berpikir begitu. Tapi wajar dong, kalau aku punya kekhawatiran seperti itu. Di samping itu, aku pikir, yang seharusnya menyelesaikan persoalan itu bukan kau, melainkan ayahmu!"
"Tapi Papa diam saja!"
"Karena itu, sebaiknya kita pun diam juga. Kita kan tidak tahu seberapa banyak yang diketahuinya. Sementara apa yang kita ketahui pun begitu terbatas. Belum ada bukti bahwa ibumu berpacaran dengan Peter, bukan""
Irma merenung sebentar, kemudian berseru, "Aku punya ide, Son! Gimana kalau kau menyelidiki Mama" Maksudku bukan kau, tapi suruhlah salah seorang temanmu untuk membuntuti Mama, ke mana saja dia pergi dan dengan siapa." Wajah Irma berbinar karena merasa gembira dengan idenya itu.
Tapi Henson tidak demikian. Memang ia menyatakan setuju karena tak sampai hati melenyapkan antusiasme Irma. Ia berpikir, tidakkah mengorek-ngorek barang busuk cuma menambah bau"
*** Di dalam gudang tidak cuma disimpan barang-barang rongsokan, tapi juga bahan makanan tahan lama, seperti kering-keringan, bumbu-bumbu, aneka saus, dan sebagainya. Kesemua bahan itu sengaja dibeli banyak, karena memang banyak dipakai di samping harganya jadi lebih murah. Lagipula ada kalanya barang yang sedang dibutuhkan itu tidak bisa diperoleh karena sedang kosong di pasaran. Jadi dengan memiliki persediaan, kelancaran kerja pun terjamin. Dan tentu saja, juga kualitas masakan.
Karena ruang yang tersisa masih luas, maka tempat itu pun digunakan pula untuk menyimpan barang-barang yang tak terpakai. Segala macam barang. Dari kursi yang patah kakinya, meja rusak, pakaian bekas dalam buntalan, sampai koran dan majalah bekas. Makin lama makin banyak. Setahu Henson, sejak ia bekerja di situ, tempat itu belum pernah mengalami pembersihan. Makin lama makin sesak, sampai akhirnya segala celah dimanfaatkan. Antara tempat penyimpanan bahan makanan dan tempat barang rongsokan hampir tak ada batasnya lagi.
Semula Henson mau menggunakan tenaga salah seorang pelayan untuk membantunya, tapi Nyonya Linda sudah menggerutu tentang keharusan membayar uang lembur nanti. Sudah tentu pekerjaan itu membutuhkan waktu yang tidak sedikit, padahal para pelayan hampir tak punya waktu luang untuk menganggur di saat restoran buka. Jadi satu-satunya saat yang tepat adalah hari Senin. Pada hari itu restoran tutup.
Gerutuan Nyonya Linda membuat Henson membatalkan niatnya itu. Padahal ia tahu, kalau ia menyampaikan hal itu pada Tuan Liong, pasti akan disetujui tanpa syarat apa-apa. Tapi ia merasa tak enak hati. Kepekaan nalurinya mengatakan, dalam diri Tuan Liong terdapat ketegangan yang amat sangat. Karena itu, sebaiknya jangan lagi diganggu dengan persoalan kecil.
"Biarlah saya sendiri saja, Nya," katanya datar.
"Kau tentu perlu dibayar juga."
Tak berubah wajah Henson. Wanita ini pasti bukan Nyonya Linda kalau ia berkata lain.
"Tidak perlu, Nya. Yang saya inginkan hanyalah melihat tempat ini bersih. Tapi persoalannya, mau dikemanakan barang rongsokan itu" Kalau mau sungguh bersih, barang-barang itu tak boleh lagi ada di sini."
Pandang Nyonya Linda jadi menyelidik. "Apa ada yang kauincar"" ia bertanya tanpa tenggang rasa.
Henson tersenyum menahan tawa. Bukannya tersinggung, ia justru merasa geli. Begitu saja terpikir, bagaimana jadinya Nyonya Linda ini setelah sepuluh tahun atau lebih" Alangkah nyinyirnya. Ya, biar saja. Asal bukan Irma. Dan tidak menurun kepada Irma.
IJ5 "Ah, tidak ada, Nya. Barangnya sudah jelek-jelek sih," gurau Henson.
"Apa katamu" Jelek" Biarpun sudah rusak, tapi barang-barang itu kan masih bisa dipakai asal diperbaiki. Emangnya kau sudah kaya sampai sombong begitu. Lihat cermin dulu dong!" sembur nyonya Linda jengkel.
Henson tetap tersenyum. "Maksud saya, bukan jelek, Nya. Bagus, tapi rusak, begitu. Jadi perlu ongkos untuk memperbaiki. Sedang s
aya nggak punya duit."
nyonya Linda menyipitkan mata. "Ah, alasan mau pinjam duit, ya"" ia bertanya tajam.
"Nggak, Nya. Sama sekali nggak," jawab Henson buru-buru. Ia sadar, gurauannya telah membuat suasana jadi salah. Tanggapan Nyonya Linda tidak sesuai arahnya. Dia sendiri yang salah. Sudah tahu siapa yang dihadapi, tapi masih mau mencoba-coba.
"Jadi bagaimana dengan barang-barang itu, Nya" Apa sebaiknya saya tanyakan Tuan saja""
"Hei, jangan. Sama aku kan sama saja."
"Kata Tuan, barang-barang itu sebaiknya dibuang saja."
Nyonya Linda terkejut. Wajahnya cemberut, hingga ia tak lagi tampak cantik. "Oh, Tuan bilang begitu" Aku kira, dia belum bilang apa-apa. Kalau begitu, buat apa kautanya aku lagi" Tadi kau nggak bilang-bilang."
"Saya pikir, Nyonya mungkin punya rencana lain."
"Huh." Nyonya Linda berpikir. Matanya mengawasi sekeliling gudang.
Henson memperhatikan diam-diam sambil berpikir juga. Sesungguhnya, ia memang tak ingin merepotkan Tuan Liong dengan menanyakan soal tetek-bengek ini. Memang beberapa waktu yang lalu ia sudah menyatakan untuk membuang saja barang-barang rusak itu, tapi siapa tahu pendiriannya sekarang sudah berubah. Sedang kepada Nyonya Linda ia pun masih harus bertanya-tanya walaupun Tuan Liong sudah menyatakan pendiriannya. Bila dilangkahi ia harus menerima risiko diomeli. Sama sekali ia tak melupakan, bahwa di sini majikannya ada dua. Dan keduanya bisa jadi tak sependapat.
"Kalau Nyonya mau menjualnya, nanti saya panggilkan tukang loak. Dia bisa sekalian bawa gerobak," usul Henson.
"Ah, tukang loak"" Nyonya Linda agak tersipu. Masa ia harus berurusan dengan tukang loak. Gengsi dong.
"Kalau Nyonya mau, biar saya yang urus. Nanti hasilnya saya serahkan pada Nyonya," kata Henson cepat-cepat, memahami apa yang terpikir oleh Nyonya Linda.
"Kira-kira berapa harganya itu, Son"" Suara Nyonya Linda lebih lembut.
"Wah, belum tahu, Nyonya. Maklum tukang loak. Tentunya ia memberi harga semurah mungkin."
nyonya Linda berpikir sebentar. Semula ia masih mau menyanggah, tapi tak jadi. Biarpun nilainya memang tak seberapa, tapi toh tetap duit. Namun ia menahan hati untuk tidak meributkan lagi soal itu. Ia khawatir suaminya mendengar lalu ikut nimbrung. Padahal beberapa hari belakangan ini wajah Hok Kie sangat tak sedap dilihat. Aneh juga kalau dipikir bahwa dulu ia tak pernah merasa takut kepada Hok Kie, bahkan sebaliknya. Masalahnya, dulu Hok Kie memang tak pernah menentang apa katanya, tak pernah pula menolak permintaannya, dan selalu mengalah. Tampangnya sabar, jarang benar marah, terutama kepadanya. Mungkin karena sadar dirinya jelek sedang istrinya cantik. Tapi perubahan belakangan ini membuat Hok Kie jadi berpenampilan lain. Urat-urat di mukanya bertonjolan, matanya sering membelalak liar. Suaranya yang biasanya lembut pelan itu tiba-tiba jadi keras. Karena itulah dia jadi mengerikan. Ya, mengerikan. Tapi, sebenarnya bukan cuma karena itu saja. Linda mengenang perbuatannya sendiri.
Makhluk hidup penghuni gudang ternyata bukan cuma kecoa, melainkan juga tikus. Dan binatang yang belakangan ini juga sangat banyak. Mereka hidup dan beranak-pinak di situ. Sangat nyaman.
Sebuah lubang di sudut dinding yang jadi tampak jelas setelah barang-barang disingkirkan menandakan di mana tikus-tikus itu bersarang. Lubang itu besar dan kelihatan dalam. Mungkin juga menembus entah ke mana. Maklum sudah sangat lama. Dan mereka aman, tak ada yang mengusik.
Karena itu, perbuatan Henson mengubrak-abrik sarang nyaman itu menimbulkan kepanikan tak kepalang di kalangan tikus. Mereka berserabutan lari ke sana kemari. Ada yang aman masuk kembali ke dalam lubang, tapi ada pula yang kesasar lari ke luar pintu. Mereka bagaikan pasukan kalah perang. Dan untuk sesaat keadaan itu membuat Henson pusing dan bingung. Ia tak mampu mengejar, apalagi menangkap makhluk-makhluk itu. Memang tak mungkin. Akhirnya ia mengangkat bahu, lalu membiarkan saja. Dalam sekejap suasana menjadi tenang kembali. Tak seekor tikus pun kelihatan lagi. Dengan bersiul-siul Henson meneruskan kerjanya.
Tak lama kemudian siul Henson terhenti mendadak. Dari luar terdengar jeritan wanita, panjang melengking-lengking. Jantungnya serasa mau copot. Ia diam mematung, mendengarkan dengan cermat. Ah, bukan suara Irma. Ia lega. Baru setelah memperoleh kesan itu ia berlari ke luar, mencari sumber suara. Setelah berada di luar gudang suara itu semakin jelas. Jerit ketakutan wanita. Nyonya Linda.
Henson terus ke belakang, yang merupakan ruang keluarga. Di sana ia melihat nyonya Linda bersama Irma. Wajah Nyonya Linda pucat dan sebelah tangannya mencengkam lengan Irma sedang tangan satunya lagi menunjuk-nunjuk. Henson menatap ke arah yang ditunjuk. Beberapa ekor tikus menggerombol di sudut. Rupanya mereka juga bingung.
"Ada apa, Nya"" tanya Henson, pura-pura tidak tahu.
"Son! Kenapa tiba-tiba jadi banyak tikus"" teriak Nyonya Linda.
Sebelum Henson menyahut, Irma sudah berseru, "Mari kita kejar, Son! Kau di sebelah sana, aku di sini!" Lalu ia mencabut sandalnya untuk dijadikan senjata.
Henson ikut-ikutan mencabut sebelah sandal-nya, lalu bergerak ke arah yang ditunjuk Irma. Berdua mereka mengepung tikus-tikus bingung itu sambil sesekali mengayunkan sandal bila jaraknya sudah dekat. Dua ekor berhasil mereka keprak hingga pingsan. Lainnya lari serabutan mencari tempat sembunyi. Ada yang berlari ke arah Nyonya Linda, hingga wanita itu menjerit-jerit ketakutan lalu melompat naik ke atas meja. Di sana ia jongkok sambil memandangi tingkah Henson dan Irma. Sikapnya waspada, kalau-kalau ada tikus yang juga bermaksud naik ke atas meja.
Tak ada lagi tikus yang bisa dikejar. Hasilnya cuma dua ekor itulah. Tapi Irma masih penasaran. Ia menggebrak-gebrak meja dan kursi, kalau-kalau ada yang bersembunyi di bawahnya, sementara Henson siap menggeprak dengan sandalnya.
Nyonya Linda menjadi jengkel. "Sudah! Sudah!" teriaknya. "Apa kalian sudah sinting""
Kedua orang itu terpaksa menghentikan aksi mereka. Irma menahan senyumnya. Sedang Henson bermaksud kembali ke gudang. Tapi baru saja ia membalikkan tubuh, Jangkahnya segera terhenti oleh teriakan Nyonya Linda.
"Son! Dari mana datangnya tikus-tikus itu""
"Dari gudang, Nya," jawab Henson, seakan hal itu merupakan sesuatu yang wajar.
"Gudang"" Mata Nyonya Linda membelalak.
"Di sana bukan cuma banyak kecoa, Nya. Tapi juga banyak tikus. Ada lubang besar di pojok dinding."
"Oh, begitu""
Nyonya Linda melompat turun dari atas meja setelah tak lagi melihat tikus-tikus itu. Lalu ia berkacak pinggang menghadapi Henson.
"Jadi, gara-gara kamu, ya" Tadinya kecoa, sekarang tikus! Bagaimana kalau tikus masuk dapur, atau masuk ruang makan" Kan tambah kacau tuh. Masalah satu belum beres, eh, ada lagi yang lainnya. Coba kalau kaubiarkan saja gudang itu, kan mereka nggak berkeliaran ke mana-mana. Biar saja mereka di situ, toh nggak pada keluar. Sekarang, mau diapain tuh" Mending kamu bisa tangkap. Ayo, mau diapain coba"" sembur Nyonya Linda.
"Nggak usah ribut, Ma. Nanti juga bisa ditangkap. Tuh sudah dapat dua," kata Irma tenang. "Coba kalau tadi Mama membantu, pasti dapat tiga."
"Huh, anak perempuan macam apa sih kau" Ngejar-ngejar tikus!"
Irma tertawa, tidak mempedulikan kemarahan ibunya. "Mestinya tikus itu takut sama kita, Ma. Bukan kebalikannya."
"Diam kau! Aku mau bicara sama si Henson." Irma mengangkat bahu. Tapi ia belum mau pergi. Ia melongok ke kolong-kolong untuk mencari tikus yang bersembunyi. Tingkahnya itu mengkhawatirkan ibunya. "Sudah, kataku! Sudah! Ayo, pergi sana!" teriak Nyonya Linda yang tak ingin mengulang pengalamannya barusan. Ia juga malu mengenang tingkahnya sendiri.
"Akan saya usahakan membasmi tikus-tikus itu, Nya," kata Henson.
"Oh ya" Bagaimana caranya"" "Saya akan memasang perangkap tikus." Nyonya Linda tertawa mengejek. "Perangkap tikus" Kaupikir satu perangkap bisa sekaligus menangkap beberapa ekor" Mana mungkin. Paling dapat juga satu satu. Padahal adanya puluhan. Hii, merinding aku. Nah, gimana coba"" "Pokoknya akan saya usahakan, Nya." "Ngomong sih gampang. Wah, alamat gawat nih. Bayangkan kalau ada tamu sedang makan lalu tikus melin
tas di kakinya. Heboh lagi. Entar dimuat di koran sebagai restoran yang banyak tikusnya. Minta ampun kalau begini. Itu kan gara-gara kamu. Coba kalau...."
"Sudahlah, Ma," potong Irma sebal. "Saya akan membantu membasmi tikus-tikus itu. Saya akan beli lem tikus. Atau memelihara kucing besar. Atau memelihara anjing fox-terrier. Atau...."
"Sudah! Sudah! Itu merepotkan, tahu" Tidak. Aku tidak setuju cara begitu. Biar akan kupakai caraku sendiri. Aku ingin mereka cepat dibasmi. Ya, satu-satunya cara adalah memakai racun!"
Henson dan Irma terkejut.
"Tapi risikonya gawat, Ma. Entar matinya nggak ketahuan di mana. Tahu-tahu busuk dan bau. Para tamu bisa lari, dong."
Nyonya Linda tersenyum dengan angkuhnya. "Kaupikir aku bodoh, ya" Aku tahu perihal sejenis racun tikus yang istimewa. Kalau si tikus memakannya dia merasa kering, kepingin minum. Nah, sesudah minum dia mati. Jadi matinya itu pasti nggak di sembarang tempat!" tuturnya dengan perasaan menang.
Tanpa sadar, Henson dan Irma saling berpandangan. Keduanya mengerutkan kening.
"Huh. Nggak ngerti, kan" Makanya jangan sok pintar," kata Nyonya Linda senang. "Mau tahu caranya" Kita sediakan saja air di dekat tempat meletakkan umpan. Pasti matinya juga di situ."
"Kok Mama bisa tahu, ya" Nggak sangka," kata Irma heran.
"Tiba-tiba saja aku teringat cerita seorang kawan. Ya, sekarang juga akan kutelepon dia.
Akan kutanyakan apa nama racun itu dan di mana belinya. Mau kubeli sekarang juga." Nyonya Linda tampak bersemangat sekali.
"Mama rajin, ya," gumam Irma. Tak jelas apakah ia memuji atau menyindir.
Tapi pikiran Henson lain lagi. "Kita harus berhati-hati dengan racun, Nya. Soalnya kita berhadapan dengan makanan banyak orang."
Nyonya Linda menatap Henson seolah dia anak kecil yang bodoh. Lalu ia geleng-geleng kepala. "Oh, kaupikir racun itu bisa dikelirukan sebagai bumbu. Kalau memang betul begitu, alangkah bebalnya si A Piang!"
Henson terdiam. "Pokoknya kau nggak usah ikut campur urusanku. Nanti saja kalau tikus-tikus itu pada mati, kau yang buang bangkainya!" kata Nyonya Linda ketus.
Henson mengangguk saja. Ia tak ingin bicara lagi. Lalu ia melangkah, kembali ke gudang.
"Jadi Mama serius dengan racun itu"" Irma menegaskan.
"Tentu saja. Emangnya aku main-main."
"Kalau begitu, Mamalah yang harus bertanggung jawab dengan racun itu!"
Sesudah berbicara cepat-cepat Irma membalik tubuhnya lalu lari menyusul Henson. Hari ini ia merasa lebih leluasa, karena kedua kakaknya sedang pergi bersama pacar masing-masing untuk menikmati libur seminggu sekali. Biar orang lain
libur hari Minggu, sedang mereka cukup hari Senin.
Saat itu Irma merasa sangat jengkel kepada ibunya. Lebih jengkel daripada biasanya. Karena itu timbul kenekatan. Dia ingin bersama Henson. Jadi bukan semata-mata karena tak ada yang memata-matai. Biarlah ketahuan. Masa bodoh.
Henson sudah lebih dulu berada di gudang untuk meneruskan kerjanya. Ia terkejut ketika tiba-tiba pintu terbuka. Irma masuk, cepat-cepat menutup pintu lalu bersandar ke pintu dengan napas sedikit terengah.
"Kenapa" Kau dimarahi ibumu"" tanya Henson khawatir.
"Kesinilah," jawab Irma.
Tentu saja, tanpa disuruh pun Henson sudah beranjak.
Irma mengulurkan kedua tangannya. Keduanya berpelukan erat. Segala perasaan yang terpendam segera tercurah.
"Aku kotor, Irma." Biar saja.
"Nanti ibumu menyusul." Biar saja.
"Kau manis sekali."
"Ah, sayangilah aku, Son."
"Tentu, Sayang. Tentu."
Cinta Sang Naga Karya V. Lestari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Persetan dengan kekhawatiran, pikir Henson. Dengan cinta, apalagi cinta yang tulus, hidup ini jadi sangat menyenangkan dan membahagiakan, walaupun sedang dikejar monster!
Sementara itu, Nyonya Linda sudah bergegas mau menyusul Irma. Ia sudah hampir pasti bahwa Irma mau menuju gudang juga. Inilah kesempatannya yang paling baik untuk menangkap basah kedua orang itu.
Tapi baru selangkah ia berjalan, ia mendengar langkah-langkah kaki bersepatu. Ia berhenti dan menoleh. Suaminya, Hok Kie, berada di belakangnya.
Keduanya berdiri berhadapan dalam jarak beberapa meter. Saling tatap terjadi.
"Oh, kau sudah pulang"" tegur Nyonya Linda duluan. Ia merasa gugup.
"Tadi aku sempat mendengar sedikit," kata Hok Kie tanpa mempedulikan pertanyaan Linda. "Kau bilang soal racun. Racun apa itu""
"Racun tikus!" "Oh, ya" Jadi racun"" Hok Kie menegaskan seperti orang linglung.
Linda tidak menjawab. Pertanyaan suaminya itu memang tidak membutuhkan jawaban. Tapi bukan soal itu yang membuat ia tertegun. Ia juga merinding! Pandang Hok Kie dirasanya aneh. Pandang itu memang tertuju padanya, tapi seperu menembusnya, dan mencabik-cabiknya!
"Kusediakan makan, ya"" katanya dengan suara gemetar, mencari alasan untuk menghindar. Lalu tanpa menunggu jawab, ia buru-buru pergi.
"Ah, racun ya"" gumam Hok Kie dengan suara rendah. tapi cukup terdengar oleh Linda. Dan itu
membuat langkahnya lebih cepat. Sama sekali terlupakan perihal niatnya semula. Ia tidak ingat lagi kepada Henson dan Irma!
-VI- Henson tak bisa lagi menghitung sudah berapa ekor tikus yang dibuangnya. Mungkin belasan. Tapi mungkin juga puluhan. Maklum setiap hari ada saja tikus yang jadi korban racun Nyonya Linda.
Kematian tikus-tikus itu ternyata membangkitkan kesenangan tersendiri pada Nyonya Linda. Ia sangat rajin memberi umpan beracun pada tikus-tikus. Sangat bersemangat. Dan karena itu ia selalu melakukan kegiatan itu sendiri, seolah tidak percaya bahwa orang lain bisa melakukannya juga. Tapi siapa pun bisa melihat, bahwa sebabnya bukan karena itu. Nyonya Linda telah menemukan hobi baru.
Setiap malam ia menyediakan umpan yang diletakkannya di tempat-tempat yang berbeda. Bila selalu diletakkan di tempat yang sama, tikus-tikus itu akan tahu lalu tak mau lagi menyentuh, demikian teorinya.
Kemudian setiap pagi, begitu bangun tidur, kegiatan pertama yang dilakukannya adalah menjenguk umpan yang diletakkannya semalam.
Di wajahnya nampak ketegangan yang mengasyikkan. Dan bila ia melihat tikus-tikus bergelimpangan di dekat baskom berisi air ia bersorak girang. Ketawanya nyaring dan matanya berbinar. Sepertinya tak ada kegembiraan hidup lain di dunia ini selain membunuhi tikus-tikus, lalu menghitung jumlah yang mati.
Tentu saja tidak ada yang berkeinginan menghambat atau menghalang-halangi kegemaran barunya itu. Para anggota keluarga dan para pembantu cuma saling memandang atau berbicara antara mereka saja. Buat apa cari penyakit"
"Anehnya, kepada tikus hidup Mama takut setengah mati. Tapi tikus mati dipelototi dengan asyik," komentar Irma kepada Lili.
"Tikus mati kan nggak bisa menggigit," sahut Lili geli.
"Hati-hati saja. Mama bisa berubah jadi sadis," kata Yeni. "Mula-mula kepada binatang, nanti kepada orang."
Irma dan Lili menatap Yeni dengan ngeri.
"Ah, masa iya begitu, Yen. Kau nakut-nakuti saja," bantah Lili.
Yeni tertawa. "Tentu saja aku tidak berharap begitu. Wow, tak bisa kubayangkan kalau Mama jadi sadis."
Mereka bertiga terdiam beberapa saat. Memang hal semacam itu sulit dibayangkan.
Sedang para pembantu saling berbisik, "Kayak yang sinting!"
Tapi mereka pun tidak berkeberatan atau merasa ketambahan beban. Bukan mereka yang disuruh membuang bangkai-bangkai tikus itu. Paling-paling mereka cuma disuruh menyingkirkannya ke sudut atau mengumpulkannya jadi satu bila letaknya malang melintang. Nanti saja buangnya bila Henson sudah datang, demikian perintah nyonya Besar. Ya, biar Henson yang buang! Tapi, kenapa"
"Itu, karena dia yang bikin gara-gara. Kalau bukan karena perbuatannya pasti tikus-tikus itu tak akan bergentayangan di dalam rumah," alasan Nyonya Linda.
Tapi, naluri Irma mengatakan lain. Mama punya dendam pribadi terhadap Henson. Dendam yang berawal dari antipati. Karena itu, ia marah. Ia benci setiap kali melihat Henson harus membuang tikus-tikus itu tanpa membantah. Kadang-kadang emosinya memuncak hingga ia ingin sekali berteriak membantah dan menentang tindakan ibunya itu. Itu tidak adil, Ma! Itu merendahkan derajat orang! Apalagi orang itu adalah orang yang ia cintai.
Lain kali ia merasa sedih. Dan juga bersalah. Pasti karena dialah maka Henson bertahan di situ dan berg
ulat dalam kesabaran. Perlukah Henson merendahkan dirinya seperti itu" Dia kan manajer restoran ini. Mama saja yang tidak tahu. Apakah tidak sebaiknya menyuruh Henson pergi saja, biar jadi kondektur atau sopir sekali pun" Tapi, dengan demikian mereka jadi berjauhan, dan yang lebih penting, tak ada lagi sesuatu yang bisa dihayati dan diperjuangkan bersama.
"Itu betul, Irma. Jadi, tak usahlah risau. Aku tidak merasa terhina. Ibumu benar. Memang aku yang bersalah telah membuat tikus-tikus itu cerai-berai. Dan terus terang, aku takkan sanggup membunuhi mereka sebanyak yang telah dilakukan ibumu. J adi wajar saja kalau sekarang aku yang membuang bangkainya. Anggaplah sebagai kerja sama dengan ibumu. Dia yang membunuh, aku yang membuang," kata Henson tenang-tenang.
"Jadi karena itu" Dan bukan karena kau kelewat sabar" Setahuku, orang Batak dikenal suka berangasan dan cepat marah. Aku takut, kau diam-diam menyimpan amarahmu sampai tiba-tiba meledak nanti."
"Ah, tidak. Aku memang tidak marah. Dan kalau tidak marah, bagaimana bisa marah-marah" Pandangan tentang orang Batak itu mungkin benar, tapi mungkin juga kurang benar. Sebaiknya jangan menggeneralisir."
"Ya. Setahuku, kau pun lembut dan penyabar."
"Tapi tidak berarti aku tak bisa marah. Kemarahan adalah wajar juga. Kalau tersinggung aku pun bisa marah."
Irma menatap Henson agak lama. "Aku belum pernah melihat kau marah. Apakah kau bisa meledak sekalinya marah" Ah, jangan."
Henson tersenyum. "Apa maksudmu dengan meledak" Oh ya, dulu aku memang sering berkelahi. Penyebabnya tentu karena kemarahan.
Ya, apa lagi" Tapi cuma berkelahi biasa saja. Paling-paling membuat lawan dan diri sendiri benjol-benjol dan sedikit bocor. Maklum cuma menggunakan kepalan. Sama sekali tidak pakai pisau, lho. Hei, kau kelihatan lega. Apakah kau khawatir"" Terus terang Irma mengangguk. "Seorang yang pemarah sekali pun tidak lantas membunuh orang kalau sedang marah. Ya, ya. Memang tergantung masalahnya. Sejauh mana perasaan orang tersinggung. Itulah yang menentukan ekspresi kemarahan walaupun tidak bisa dibenarkan."
"Nah, itulah yang kerap kali kupikirkan. Sejauh mana perasaan orang tersinggung."
Henson memandang heran. "Apa maksudmu"" "Menurutku, suasana di rumah itu eksplosif buatmu."
"Oh, ibumu""
"Ya. Dia selalu mencari-cari kesalahanmu. Terus terang ia menampakkan rasa tidak senangnya padamu. Dan ia terus berusaha untuk membuat kau marah."
"Aku tahu itu, Ir. Tapi justru karena itulah aku tidak bisa marah."
"Lho"" "Ibumu sudah terang-terangan memperlihatkan isi hatinya. Dia menyatakan ketidaksukaannya padaku karena memang tidak suka. Aku senang begitu. Lain halnya kalau munafik. Di dalam dan di luar lain. Itulah yang berbahaya, karena kita jadi
tidak punya persiapan menghadapinya. Ibumu terbuka, Ir. Aku jadi tahu cara menghadapinya. Aku diam dan mengalah. Itu karena masih ada yang kuharapkan. Yaitu, kau dan masa depan kita berdua."
"Tapi, ia selalu berusaha membuatmu marah. Pada suatu ketika, bukan tak mungkin kau bisa marah juga."
Henson menggeleng dengan tegas. "Aku yakin tidak, Ir. Kenapa begitu" Itu karena aku tahu apa tujuannya. Ia sengaja berbuat begitu, supaya aku tidak tahan dan segera angkat kaki dari SANG NAGA. Padahal aku belum mau angkat kaki. Karena itulah aku bisa mengatasinya. Emosiku tidak mudah dipancing."
"Syukurlah kalau begitu."
"Kau percaya padaku""
"Ya." Tapi sebenarnya Irma masih menyimpan masalah yang sering menggelisahkannya. Kenapa ayahnya tidak berusaha mencegah ibunya dalam persoalan tikus-tikus itu" Ayahnya tahu, tapi membiarkan. Ia pernah melihat bagaimana ayahnya memandangi tingkah ibunya terhadap bangkai-bangkai tikus itu. Secara diam-diam tentu. Ayahnya berdiri di belakang ibunya sementara ia sendiri berada lebih di belakang lagi. Karena itu ia tidak bisa melihat bagaimana raut muka ayahnya. Kemudian ia pun tahu, bahwa ayahnya mendengar perintah ibunya kepada para pembantu agar bangkai-bangkai itu dibuang Henson saja. Mestinya pada saat itulah ayahnya menampilkan kewibawaannya dengan melarang. Ayahnya
sudah mengangkat Henson sebagai manajer. Mustahil seorang manajer disuruh membuang tikus" Semes-tinyalah bila ayahnya merasa tersinggung dengan perintah itu. Tapi ayahnya malah membiarkan.
Henson tidak pernah mempersoalkan itu. Mungkin karena Henson mempercayai ayahnya. Atau Henson berpikir bahwa ayahnya masih ingin merahasiakan soal pengangkatan itu. Ternyata kepadanya pun ayahnya belum memberitahukan. Padahal tidak biasanya begitu.
Irma hampir pasti. Ayahnya agak berubah. Belakangan ia sulit diajak bicara. Dan sulitnya lagi, ayahnya suka menghindar. Ia tidak mengerti. Apakah perubahan itu disebabkan karena hubungan ibunya dengan Peter" Tapi, andaikata benar, kenapa harus melibatkan orang-orang lain juga" Namun masalah itu tidak diutarakannya kepada Henson. Ia khawatir, kalau-kalau Henson memendam perasaan kurang enak terhadap ayahnya. Henson begitu percaya pada ayahnya. Bagaimana kalau kepercayaan itu sampai rusak"
"Kalau aku diperlakukan seperti itu, aku akan segera angkat kaki dari sana," kata Cek A Piang kepada Henson.
Hari itu Senin, hari libur buat mereka, dan Henson berada di rumah Cek A Piang untuk belajar memasak. Di situ mereka leluasa untuk berbicara dan berbuat apa saja, karena Cek A Piang tinggal sendiri. Istrinya sudah lama meninggal sedang dua anaknya yang sudah berkeluarga tinggal di Medan.
"Ah, nggak apa-apa, Cek."
"Sebegitu kaubilang nggak apa-apa" Wah, wah. Kalau aku digitukan, kulempar bangkai-bangkai itu satu-satu ke mukanya. Terlalu betul. Kau juga salah sih, Son. Mestinya sekali-sekali kaulawan dia, biar dia takut. Kepada orang seperti itu kita mesti memperlihatkan kemarahan supaya dia tahu rasa. Kalau didiamkan saja malah tambah keterlaluan."
"Dia kan majikan, Cek."
"Biar majikan tidak boleh keterlaluan. Tempo hari saja waktu dia ngomel-ngomel kepadaku aku sengaja pasang muka asam dan aku bilang, kalau mukaku asam terus nanti masakanku jadi ikut asam. Lalu kubilang juga, kalau aku mau diberhentikan sih boleh saja. Tapi aku mesti diberi pesangon paling sedikit tiga bulan gaji. Coba, sudah berapa lama aku kerja di situ" Pasti lebih lama dari kau, Son."
"Saya sudah dua tahun lebih, Cek."
"Nah. Cukup lama itu, kan""
"Lantas apa reaksi Nyonya Linda, Cek""
"Oh, dia segera jadi baik padaku. Tidak pernah menyinggung soal kecoa lagi. Eh, ngomong-ngomong tamu kita sudah meningkat lagi, bukan""
"Benar, Cek. Langganan lama mulai berdatangan kembali. Tapi keadaannya masih belum seperti semula."
"Ya, ya. Memang perlu waktu. Son. Perlu waktu. Tapi pasti akan pulih." "Cek optimis, ya""
"Kalau melihat adanya peningkatan itu, tentu saja aku optimis. Orang di sini cepat lupa, Son. Di samping itu mereka tentu kangen juga sama masakanku." Cek A Piang menepuk dadanya.
Henson tertawa. "Ya. Masakan Cek memang sangat sedap. Mudah-mudahan saya bisa mewarisi keahlian Cek itu."
"Kalau kau sungguh-sungguh, datang saja ke sini setiap hari Senin. Seperti biasa, kau yang beli bahannya."
"Baik, Cek. Dengan senang hati sekali."
Mereka mengobrol sambil mengerjakan masakan. Tiga macam masakan dipilih Cek A Piang sendiri. Di antaranya adalah Soto Medan yang pernah dijanjikannya dulu.
"Kelihatannya kau punya minat, Son. Coba bilang, sekadar hobi atau serius""
"Maksud serius itu bagaimana, Cek""
"Barangkali kau punya angan-angan untuk buka restoran sendiri nanti. Kau bisa masak sendiri. Tidak perlu bergantung pada tukang masak yang sudah jelas tidak akan bekerja abadi."
"Angan-angan sih ada, Cek. Tapi mana saya punya modal."
"Tentunya nanti kalau kau sudah punya. Dan saranku, bukalah restoran kecil saja pada permulaan usahamu. Kecil tapi bersih dan apik. Dan jangan menjual terlalu banyak macam. Pilihlah satu dua macam spesialisasimu. Modalnya tak perlu besar, dan membuatnya pun mudah serta cepat. Tamu tak lama menunggu. Mereka tidak kesal. Pergantian tamu pun berlangsung cepat. Ada keuntungan waktu. Dan walaupun jenis masakannya cuma satu dua, jangan khawatir mereka akan bosan. Sekalinya mereka puas dan bilang enak, mereka pasti akan jadi langganan tetap. Mereka a
kan datang dan datang lagi. Orang J akarta suka makan. Biarpun mereka sudah punya koki di rumah, mereka tetap suka cari makan di luar. Kesukaan itulah yang harus dimanfaatkan oleh orang-orang seperti kita, Son."
"Ah, alangkah indahnya lamunan itu, Cek." Henson jadi terbuai. Ia sungguh tertarik akan ucapan Cek A Piang itu.
"Hei, siapa tahu jadi kenyataan, Son."
"Doakan saja, Cek."
"Oh, tentu. Asal kau jangan lupa padaku." "Saya tidak akan melupakan Cek yang begini baik."
"Syukur kalau begitu."
"Cuma saya heran kenapa Cek begitu baik sama saya. Dan rela mengajarkan seni ini. Padahal saya sendiri tidak pernah berbuat sesuatu untuk Cek."
"Oh, kalau soal begitu sih mesti lihat orang, Son."
"Lihat orang bagaimana. Cek""
"Ya. Aku lihat orangnya kayak apa, begitu. Aku penuju dan senang, itu cukup. Kau orangnya baik dan serius. Apa yang kuajarkan ini pasti tidak akan kausia-siakan. Jadinya nggak percuma. Eh ngomong-ngomong. aku sendiri sering merasa heran sama kau." "Kenapa, Cek""
"Kebanyakan orang Batak yang kukenal lebih suka mandiri daripada jadi karyawan seperti kau ini. Kalau tidak berdagang mereka cari kerjaan yang sifatnya agak mandiri, tidak langsung diperintah orang."
Henson tersenyum. Pertanyaan seperti itu bukan baru sekali itu tertuju pada dirinya. Ia tidak canggung menjawab dan perasaannya pun sudah terlatih. "Mungkin saya kekecualian, Cek. Tapi saya pikir, kalau merasa terpaksa orang akan meraih pekerjaan apa saja yang tersedia. Apalagi kalau sedang lapar. Dalam keadaan itu orang harus memilih. Jadi garong atau kerja halal. Saya pilih yang belakangan tapi yang dapat cepat mengisi perut. Ah, saya tidak akan lupa saat pertama saya kerja di restoran SANG NAGA. Ketika itu sudah hampir dua hari saya belum makan. Cuma ngemut-ngemut permen saja. Padahal saya harus melayani dan menyaksikan tamu-tamu makan besar. Wah, susah payah saya menahan liur dan lapar yang kian menyiksa. Tapi kemudian semua jerih payah itu terobati, terbayar impas dan memuaskan. Saya makan nasi goreng masakan Cek. Wow, sedapnya tak kepalang. Rasanya sambil makan itu air mata mau turun saking terharu. Apalagi saya diberi tambah oleh Cek. Barangkali saya kelihatan betul-betul lapar, ya Cek""
Cek A Piang tertawa. "Ya, aku juga masih ingat. Kau memang kelihatan lapar. Dan wajahmu pucat. Sedang aku sudah biasa menghubungkan wajah pucat dengan perut. Kalau orang berwajah pucat pasti dia kurang makan."
Mereka berdua menghentikan percakapan untuk sejenak. Kenangan lama mengisi benak keduanya.
"Tapi kau memang hebat, Son," kata Cek A Piang kemudian. "Kaulah yang paling lama bertahan di sana. Maksudku, kerja sebagai pelayan. Sampai-sampai terpikir olehku, apa sih sebenarnya yang kaucari di sana" Apa kau ini tipe orang pasif, yang cukup puas asal bisa mendapat makan" Untunglah kemudian kau naik pangkat. Kalau nggak..."
"Kalau nggak kenapa, Cek""
"Ya. Kalau nggak aku bisa jadi semakin bingung."
Henson tersenyum. Ia teringat akan Irma. Tidak ada yang tahu memang.
"Rupanya diam-diam Cek juga suka memperhatikan orang."
"Sengaja memperhatikan sih nggak. Cuma merasa saja. Biarpun terus-terusan di dapur aku kan tahu muka-muka para pelayan. Sebentar-sebentar muka baru. Cuma belakangan ini ada yang mengganjal perasaanku. Apakah kau tidak diberi sesuatu sebagai penghargaan atas jasamu mengurus soal kecoa itu"" tanya Cek A Piang ingin tahu.
Henson berpikir sebentar. Tentu tidak mungkin memberi tahu Cek A Piang sekarang betapapun ia ingin melakukannya. Itu urusan -Tuan Liong. Sebagai majikan dialah yang punya wewenang untuk mengumumkannya secara resmi. Padahal ia sendiri sangat menginginkan hal itu segera terlaksana. Tentu saja itu merupakan kebanggaan untuknya. Tapi ia harus sabar.
"Tuan berjanji untuk menaikkan gaji saya, Cek."
Cek A Piang manggut-manggut. "Syukurlah kalau ia memang menghargai," katanya sambil menarik napas panjang. "Tapi istrinya keterlaluan. Ia sama sekali tidak menghargaimu. Kalau aku jadi kau..."
"Adatnya memang sudah begitu, Cek."
"Dan sekarang soal tikus," keluh Cek A Piang. "Her
an. Kenapa suaminya membiarkan. Belakangan ini sikap Koh Liong kelihatan lain. Tau kenapa begitu, ya."
"Lain bagaimana, Cek""
"Suka diam. Suka melamun."
"Ah, dia memang pendiam, Cek. Dulu-dulu juga begitu. Mungkin belakangan ini dia tegang karena masalah kecoa itu."
"Ya. Mungkin juga. Ah, mudah-mudahan soal ini cepat beres. Dan semuanya kembali seperti dulu lagi. Tapi mereka harus menyadari, bahwa semua itu berkat jasamu."
"Belum tentu juga, Cek. Ada banyak faktor lain juga. Misalnya yang paling penting adalah masakan Cek. Karena enak mereka jadi ketagihan. Tak peduli ada kecoanya atau tidak."
Cek A Piang tertawa senang.
Mereka berdua kemudian makan bersama, menikmati hidangan yang masih panas. Baru beberapa suap Henson berseru, "Wah, sotonya sedap sekali, Cek! Luar biasa nikmatnya!"
Cek A Piang tersenyum bangga. "Sayang mie-nya kurang enak, ya" Maklum mie kering. Jadinya merusak rasa. Tapi nantilah kuajarkan kau bagaimana membuat mie yang sedap. Jauh lebih sedap daripada mie SANG NAGA."
"Ah, rupanya Cek memiliki banyak ilmu simpanan," gurau Henson.
Tapi kata-kata itu membuat mata Cek A Piang menyipit. Ia menatap lurus ke mata Henson. "Kau masih ingat janjimu, kan""
Henson segera menyadari kekhawatiran Cek A Piang. "Tentu saja, Cek. Saya tidak akan menceritakan kepada orang lain. Siapa pun dia. Dan tentu saja, ilmu yang Cek ajarkan itu tidak akan saya sebarkan ke sana kemari. Wah, itu sangat berharga buat saya. Sungguh, Cek!" kata Henson tegas. Terpikir olehnya, bahwa Irma saja tak ia beri tahu. Tidak sekarang, tapi mungkin kelak.
"Aku percaya padamu, Son."
Tapi boleh tanya, Cek. Kenapa simpanan itu tidak Cek keluarkan" Bila soto itu dicantumkan dalam menu lalu dicoba tamu, pasti mereka akan ketagihan."
Cek A Piang tersenyum lebar. "Supaya kuat orang harus punya simpanan. Son. Ingatlah itu. Tidak ada keharusan buatku untuk mengeluarkan semua yang kumiliki, yang sudah ada itu pun cukup."
Henson mengangguk-angguk kagum. "Cuma saya heran. Cek justru mengeluarkannya buat saya."
"Ah, kembali lagi ke soal tadi dong. Kan sudah kubilang, aku lihat orang dulu. Aku senang padamu, jadi kupilih kau sebagai ahliwaris. Nyatanya cocok, kan""
"Terima kasih, Cek."
Setelah kenyang makan, Henson membereskan semua peralatan.
"Sisa makanan itu kita bagi dua, Son. Sebagian kaubawa pulang. Tuh, kaupakai saja rantangku."
"Ah, nggak usah, Cek. Repot bawanya. Biar buat Cek saja."
"Kaupikir aku kingkong menghabiskan sendiri" Terus terang aku sering kali juga merasa bosan memakan masakanku sendiri. Lain halnya kalau perut memang sedang lapar."
Henson terpaksa menurut. Terpikir juga olehnya, bahwa nanti sore dia bisa menghemat dalam soal makan. Dan ia pun bisa mengulang kenikmatan yang tadi. Biarpun mesti dihangatkan pasti rasanya masih sedap.
"Kalau sudah beres, sini kita bicara lagi, Son. Ada soal penting," ajak Cek A Piang.
Kening Henson jadi berkerut. Pintar juga Cek A Piang menyimpan persoalan sampai mereka selesai makan. Di wajah Cek A Piang ia tidak menemukan keseriusan. Santai saja. Tapi mau tak mau ia jadi berprasangka. Adakah sesuatu di balik kebaikan yang diperlihatkan Cek A Piang hari ini" Ia bersikap waspada.
"Begini, Son. Apa kau tahu Peter Lim" Ah, kau pasti tahu karena dia langganan kita."
"Ya, saya tahu, Cek. Kenapa dia"" tanya Henson sambil mengenang Nyonya Linda.
"Dia mengajakku pindah kerja. Tapi aku masih ragu-ragu."
Henson tercengang. Masalah seperti itu di luar persangkaannya. Tapi ketegangannya lenyap.
"Saya tidak tahu bahwa dia juga punya restoran, Cek. Atau dia bermaksud...""
"Tepat!" potong Cek A Piang sebelum Henson mengakhiri kalimatnya. "Katanya dia mau buka restoran di bilangan Jalan Thamrin. Segalanya sudah hampir siap, kecuali koki yang ahli masakan Cina. Dia menawarkan gaji gede, lho. Kira-kira dua kali gajiku yang sekarang."
"Cek ada minat""
"Kalau lihat gajinya sih ngiler juga, Son. Apalagi waktu aku berulang-ulang kena sindiran soal kecoa itu."
"Oh, jadi tawaran itu Cek terima sebelum ada persoalan kecoa""
"Betul . Belakangan, setelah ada ribut-ribut itu aku pikir dia tentu akan membatalkan tawarannya. Ya, dia pasti ngeri memakai koki yang masakannya mengandung kecoa. Jadi aku diam-diam saja. Eh, tahu-tahunya dua hari yang lalu dia datang ke sini, mendesakku untuk segera memutuskan. Dia juga membujuk-bujuk, memuji-muji setinggi langit."
Henson tersenyum. "Lantas Cek jadi bingung" Ya, susah juga."
"Hei, aku mau minta saranmu, Son. Kau jangan bikin orang tambah bingung."
"Saran saya, Cek"" ulang Henson sambil berpikir. Kalau dia harus memberi saran sudah tentu tidak akan lepas dari segi kepentingannya sendiri juga. Ia tidak rela Cek A Piang pergi. SANG NAGA akan berantakan. Mencari koki baru yang keahliannya setara dengan Cek A Piang jelas sulit.
"Ya, saranmu. Kalau kau jadi aku, bagaimana keputusanmu" Jangan bilang susah segala lho," ujar Cek A Piang gemas.
"Kalau mau dibandingkan tidak susah, Cek. SANG NAGA sudah jalan dengan pasti, mapan dan bonafid. Sudah pula menghadapi cobaan dan mengatasinya sekalian. Tapi yang di sana itu serba belum pasti. Belum tentu laris, belum tentu disukai orang. Segalanya masih untung-untungan. Jadi belum tentu akan tahan lama. Kalau dia menyodorkan gaji selangit tentu saja wajar, Cek. Itu perlu untuk merangsang orang yang dibutuhkannya. Siapa yang akan mau pindah ke tempat yang serba belum pasti itu kalau tak diberi perangsang" Justru gaji selangit itu jadi mencurigakan. Coba kalau dia sudah tidak membutuhkan lagi bisa kita bayangkan."
Cek A Piang terkekeh. "Jadi orang yang dibutuhkan itu menyenangkan, bukan" Kita dikejar-kejar, disembah-sembah. Yang tadinya marah-marah pun jadi berubah baik. Tapi kalau nanti sudah tidak butuh lagi kita akan dibuang seperti sampah."
"Karena itu, Cek harus hati-hati. Cek belum kenal siapa dan bagaimana Peter Lim itu."
"Kau benar, Son. Gaji selangit itu barangkali cuma tahan beberapa bulan. Lalu bangkrut."
Tiba-tiba Henson merasa kurang adil kalau ia cuma mementingkan segi kepentingannya sendiri saja. "Tapi, semua itu belum tentu juga, Cek. Siapa tahu restoran milik Peter itu nanti bisa berkembang pesat dan maju lalu mengalahkan SANG NAGA, berkat masakan Cek yang sedap" Bagi Cek sendiri, kemajuan seperti itu tentu akan memberikan kepuasan batin yang nilainya jauh lebih tinggi daripada uang."
Cek A Piang merenung-renung. Kelihatannya terpengaruh ucapan Henson. Melihat itu Henson jadi waswas juga. Kalau Cek A Piang sampai pergi dari SANG NAGA...
Cek A Piang mengangkat muka lalu menatap Henson tajam-tajam. "Kalau misalnya si Peter itu mengajakmu pindah juga, bagaimana, Son"" ia bertanya tiba-tiba.
Henson terkejut sebentar lalu ia tertawa. "He, serius nih. Son!" seru Cek A Piang. "Jangan mengandaikan yang tidak mungkin, Cek."
"Mungkin saja, toh" Semua orang tahu, bahwa kau sudah berjasa. Ingat koran menulis namamu. Dan si penulis memujimu. Orang seperti kau ini pun dibutuhkan. Jadi, kemungkinan pasti ada. Nah, ayo jawab pertanyaanku!"
Henson tidak tertawa lagi. Ia membayangkan Irma waktu menjawab dengan nada pasti, "Saya tidak akan mau pindah, Cek."
"Biarpun ditawari gaji gede dan kedudukan tinggi""
"Ya." "Kenapa"" "Saya betah di sana."
"Biarpun nyonya Linda tidak menyukaimu""
"Ya." "Tapi, bagaimana kalau misalnya kau diberhentikan" Ya, itu misalnya saja lho. Siapa tahu dia cari-cari alasan."
"Kalau begitu, masalahnya lain, Cek. Saya tentunya perlu pekerjaan."
"Hei, kau tahu, Son" Bila kau bermaksud pindah, kasih tahu aku, ya" Aku mau pindah juga!
Mereka saling pandang untuk sesaat, lalu tersenyum.
"Jadi Cek akan menolak tawaran Peter"" tegas Henson.
"Ya." Diam-diam Henson menarik napas panjang-panjang. Ia merasa lega.
*** Ternyata, perkiraan Cek A Piang itu benar. Sesuatu yang cuma diandaikannya sungguh-sungguh jadi kenyataan. Padahal Henson sudah melupakannya.
Hanya selang sehari sesudah pertemuannya dengan Cek A Piang, Peter mencegatnya saat ia mau pulang. Mobil Mercy putihnya menunggu di tepi jalan. Tak susah dikenali meskipun malam hari.
Henson menghentikan motornya dan membu
ka helmnya ketika Peter keluar dari mobilnya lalu menggapai kepadanya. Begitu saja pada saat itu juga ia teringat akan percakapannya dengan Cek A Piang.
"Saya tidak tahu cara lain untuk bertemu dan berbicara denganmu, Son," ucap Peter tanpa basa-basi. "Maksudku, di luar pandangan pemilik SANG NAGA dan keluarganya tentu saja. Nggak enak nanti. Begini, Son. Ada urusan penting. Apa tidak terlalu malam untuk dibicarakan sekarang" Atau besok pagi saja" Bisa di tempatmu atau di rumahku."
Henson tidak berpikir lama-lama. "Sekarang juga tidak apa-apa, Tuan. Saya sudah biasa kok." "Di mobil"" Peter menawarkan.
Henson setuju. Ia menaikkan motornya ke atas trotoar, lalu masuk ke dalam mobil Peter.
Sesuai dugaannya semula, Peter mengajukan penawaran padanya untuk bekerja di restoran yang akan dibukanya nanti.
"Berapa gaji yang kauinginkan" Sebut saja. Jangan sungkan. Dan perlu saya ingatkan. Kedudukanmu bukan sebagai pelayan. Tapi sebagai manajer. Pokoknya kau akan kujadikan tangan kananku dalam mengurus restoran itu. Seperti kauketahui, saat ini saya sudah terlalu sibuk untuk menangani sendiri. Dan terus terang saya tidak punya pengalaman dalam mengelola restoran. Tapi kau punya. Dan kelihatannya kau punya kemampuan dan ketrampilan. Saya tahu, peranan-mu banyak di SANG NAGA, bukan" Tapi nyatanya kedudukanmu di sana begitu-begitu saja. Rupanya mereka kurang menghargai orang. Nah, bagaimana""
Henson tertegun. Perasaannya melambung sesaat. Kembali ada orang yang menawarkan kedudukan sebagai manajer. Dan sekali ini dalam suasana yang lain. Mimpikah dia" Pengandaian Cek A Piang tidak semuluk kenyataannya. Jadi manajer! Tapi, tidakkah sebenarnya dia pun sudah jadi manajer kini" Dia manajer SANG NAGA! Cuma ironisnya, kenaikan pangkatnya itu hanya terucap di mulut Tuan Liong. Tidak ada orang lain yang tahu. Tidak boleh pula ia beritahu siapa-siapa.
"Apa perlu kaupikirkan dulu""
Suara Peter mengembalikan Henson kepada realitas.
"Terima kasih, Tuan. Perhatian Tuan besar sekali. Tapi betul, saya memang harus memikirkannya dulu."
Peter mengangguk penuh pengertian. "Ya, ya. Segala sesuatu harus dipikirkan lebih dulu. Apalagi kalau persoalan karier. Ini penting. Bukankah tawaran semacam ini jarang-jarang ditemui orang""
Nada yang menyombong itu melenyapkan keharuan Henson. Dia memang terlampau merasa tersentuh oleh tawaran itu. Tawaran yang melambung, membuai harga diri. Kemudian tiba-tiba ia diingatkan. Justru harga dirinya pula yang mendorong agar ia menolak saja tawaran itu sekarang juga. Untuk apa mengulur waktu" Toh besok lusa pendiriannya akan sama saja dengan hari ini. Tapi ia sudah belajar bagaimana harus berbasa-basi, bersopan-sopan dan bertenggang rasa. Jadi ia mengatakan dengan ramah, "Ya, Tuan benar sekali. Tawaran itu sangat hebat buat saya, hingga saya jadi merasa ngeri. Sanggupkah saya""
Peter tersenyum lebar. Dalam keremangan wajahnya yang tampan itu jelas memperlihatkan kecerahan. Dia sangat optimis dan juga senang atas sikap rendah hati Henson. Semakin besar rasa kurang percaya diri orang, maka semakin besar pula kemungkinan bahwa harapannya atas diri orang itu akan terpenuhi. Henson akan menubruk tawaran itu seolah macan lapar yang sudah lama tidak melihat daging. Dan karier bagi lelaki adalah ibarat daging bagi si macan lapar itu. Mana yang pintar dan gesit, dialah yang kenyang duluan. Tapi Peter tidak menemukan adanya emosi yang berlebihan pada diri Henson menanggapi tawaran-nya itu. Wajah dan suaranya tenang-tenang saja. Terlalu tenang malah. Apakah dia merasa senang atau biasa-biasa saja, susah dipastikan. Dari situ sudah jelas, paling tidak Henson adalah orang yang mampu mengendalikan emosi. Itu bagus sekali. Justru orang seperti itulah yang ia perlukan.
Sebenarnya, Peter tidak begitu saja menjatuhkan pilihannya atas diri Henson. Dia cukup lama menilai dan memperhatikan, lalu mempelajari. Begitulah seharusnya memilih orang, apalagi untuk tugas yang jauh dari ringan. Sekadar wawancara sama sekali tidak cukup. Paling ideal adalah langsung mencomot, dari lapangan. Dan masalah lain adala
h soal kedua. Dalam hal itu juga termasuk soal ras, latar belakang pendidikan formal, dan berbagai persyaratan lain yang acap kali dianggap penting oleh orang lain. Sementara dia tentu tidak mau begitu saja mengikuti jejak orang lain. Dia akan berbuat sesuai kata hatinya sendiri. Mana yang dianggapnya paling baik dan paling benar, itulah yang akan dijalankannya. Dan ternyata pendiriannya itu sudah sering kali terbukti kebenarannya. Dia sudah berpengalaman memilih orang yang akan dijadikan tenaga kerjanya. Pos-pos penting harus dipegang orang yang cocok. Itu saja.
Setelah segala susah payah itu, ternyata Henson tidak segera mengatakan ya. Mau tak mau ada juga rasa kecewa. Tapi kekecewaan itu cuma mempertebal keyakinannya. Henson bukan cuma mampu mengendalikan emosi, tapi ia pun terbiasa berpikir panjang. Tentu ada saatnya di mana orang dituntut untuk memutuskan spontan dan cepat, tapi ada saat lain pula di mana orang perlu berpikir lebih dari sekali dua kali. Dan ada hal penting lainnya lagi. Keraguan Henson untuk segera memutuskan tentulah disebabkan karena dia masih punya loyalitas kepada SANG NAGA. Dia tidak begitu saja menubruk mentang-mentang mendapat tawaran menggiurkan. Ya, loyalitas adalah salah satu syarat utama. Bayangkan orang yang suka pindah-pindah kerja setiap kali ia memperoleh tawaran yang lebih baik. Tentu wajar saja kalau orang berkeinginan memperbaiki nasibnya, tapi untuk itu tidak berarti ia harus jadi rakus.
"Kau pasti sanggup, Son. Asal kau mau tentu saja. Saya sudah tahu riwayatmu di SANG NAGA."
Henson merasa heran sebentar. Selama itu ia tidak pernah merasa dirinya diamat-amati orang. Bahkan setiap kali perjumpaannya dengan Peter tak pernah berlangsung perbincangan antara mereka. Paling-paling Peter hanya memberinya anggukan kepala ringan sebagai balasan atas sapaannya. Ia sendiri menilai Peter sebagai orang yang angkuh. Jadi tak pernah terpikir bahwa Peter diam-diam memperhatikan dirinya.
Pelan-pelan kebanggaan menyeruak dada Henson. Ternyata orang seangkuh Peter membutuhkan dirinya. Dia yang dulu susah payah mencari pekerjaan kini berbalik dicari orang. Ya, dia sudah lebih berarti sekarang. Kini dan dulu lain. Tapi hati-hati, ia mengingatkan dirinya sendiri. Tidak-kah ia juga berpesan begitu kepada Cek A Piang" Betapa lebih mudah mengatakan daripada menjalaninya sendiri.
Mendadak ia teringat kepada Nyonya Linda. Hampir saja ia tersenyum sendiri. Di depannya ini adalah kekasih sang nyonya. Tapi Nyonya Linda tentu tidak tahu apa saja niat Peter terhadap dirinya. Bagaimana kira-kira reaksinya kalau tahu, bahwa orang yang dibencinya ternyata dibutuhkan oleh sang kekasih" Ingatan itu menimbulkan antipati kepada Peter walaupun ia sempat merasa dilambungkan tadi. Orang macam apakah sebenarnya Peter ini" Dia menguasai istri pemilik SANG NAGA, lalu berusaha pula merebut para tenaga kerjanya yang vital. Kalau berhasil ia akan membuat SANG NAGA berantakan. Tapi itu tentu bukan urusannya, karena yang penting adalah kesuksesannya sendiri. Rupanya Peter menganut paham bisnis yang tak mengenal kawan dan tenggang rasa. Bisnis yang kejam. Dunia yang dapat membuat orang-orang yang berkecimpung di dalamnya jadi cepat tua dan sakit.
"Terima kasih atas perhatian Tuan kepada saya. Saya akan memikirkannya," ucap Henson sambil beranjak dari jok mobil yang empuk.
Tapi Peter belum bergerak.
"Kapan saya menerima kabar darimu"" ia bertanya dengan nada superior. Suatu sikap yang menonjolkan wibawa. Jangan pergi dulu sebelum kuberi isyarat untuk pergi.
Henson duduk kembali. "Secepatnya, Tuan," sahutnya.
"Saya ingin yang pasti. Secepatnya itu kapan" Ingatlah, saya orang yang sibuk."
Henson menunduk. Wajahnya memperlihatkan penyesalan. Orang kecil seperti dia ternyata mampu membuat orang 'besar' seperti Peter menjadi sibuk.
"Dua hari lagi, Tuan. Saya datang ke tempat Tuan atau cukup menelepon""
"Ah, jangan menelepon. Saya sebenarnya perlu berbincang-bincang denganmu. Apalagi kalau kau menerima tawaranku, sudah tentu kita harus bicara banyak, bukan" Ah, kenapa dua hari" Perlu begitu lamakah
kau berpikir" Besok sajalah, ya""
"Saya perlu waktu, Tuan," jawab Henson dengan senyum merendah. Penampilan orang yang sadar betul siapa dirinya.
"Baiklah kalau begitu. Tapi waktu luangmu cuma pagi hari, bukan" Nah, datanglah jam delapan di kantorku di bank. Nih, kartu namaku yang bisa kautunjukkan di sana nanti."
Mereka berpisah. Henson menunggu dulu sampai mobil Peter melaju pergi, baru ia memasang helmnya lalu menstarter motornya. Itu juga termasuk tata krama orang kecil terhadap orang besar. Biarlah orang besar jalan dulu, baru orang kecil menyusul di belakang. Ya. dia sudah belajar banyak selama ini. Pengalaman mengajarkan betapa perlunya tata krama itu dipatuhi. Biarlah orang lain senang dan merasa tambah besar, walaupun dengan cemooh di hati, karena akan ada hikmahnya yang bisa dinikmati.
-VII- Irma hampir saja melompat dari duduknya. Wajahnya memerah dan bibirnya menggeletar sebelum berbicara. Ia sangat marah mendengar cerita Henson. "Oh, jadi dia mau menggaetmu" Sudah Mama, sekarang kau!" hampir ia berseru kalau saja ia tidak keburu sadar akan kehadiran orang-orang lain di warung tegai langganan mereka. Susah payah ia menekan emosinya.
Henson meremas tangan Irma.
"Sabar, Ir. Jangan lupa. Aku belum digaetnya, kan""
Irma menatap dengan mata yang agak basah. Henson jadi terharu dan ingin sekali meraih Irma, lalu memeluk dan menghiburnya. Reaksi Irma agak di luar dugaannya. Jarang Irma tampil emosional begitu. Biasanya dia tabah dan berani. Kini ia seperti melihat kekhawatiran dan kegelisahan dalam sikap Irma. Padahal semestinya Irma tidak perlu sekhawatir itu. Untung saja ia tidak menceritakan perihal Cek A Piang. Kalau Irma sampai tahu pasti kekhawatirannya lebih besar lagi. Tapi ia memang tidak mungkin bercerita tentang Cek A Piang walaupun ingin. Janjinya dengan Cek A Piang itu harus ia hormati. Padahal ia sebenarnya ingin membagi kabar gembira itu. Cek A Piang berniat untuk tetap setia kepada SANG NAGA. Dan aku lama-lama bisa pintar masak, Irma! Ya, siapa tahu itu bisa jadi bekal buat kita berdua!
"Ya. Kau memang belum digaetnya. Tapi siapa tahu"" sahut Irma lirih.
"Kau tidak percaya aku""
"Oh, bukan soal itu, Son. Tapi, kenyataannya kau tidak langsung menolak pada saat itu juga. Buat apa kau pikir-pikir lagi kalau kau memang tidak berniat ikut dia""
Henson sudah siap menerima pertanyaan itu. "Aku sengaja, Ir. Bukankah dengan demikian aku jadi beroleh kesempatan untuk berbincang dengannya" Siapa tahu aku bisa beroleh keterangan lebih banyak. Kemarin ngomongnya cuma sebentar."
"Kau pasti akan menolaknya, kan"" "Tentu saja. Kaupikir aku manusia yang tak punya kesetiaan""
"Ah, kau marah""
Buru-buru Henson meremas lagi tangan Irma. "Masa begitu saja marah. Adalah wajar kalau kau merasa resah. Cuma kupikir kekhawatiranmu agak keterlaluan. Biasanya kau tabah dan optimis."
"Ya. Itu memang biasanya. Sekarang ini masalahnya lain."
"Ah, aku tahu. Kau tentu mengkhawatirkan hubungan ayah dan ibumu. Ya, kan""
Irma tidak menjawab. Ia cuma diam merenung. Henson tidak mendesakkan jawaban.
"Oom Peter itu monster!" desis Irma di antara giginya. "Pada suatu saat aku mesti juga melabraknya."
Henson terkejut. "Sabar, Ir. Jangan bertindak dengan emosi. Biasanya, pihak yang emosi adalah pihak yang lebih rugi. Padahal dia berpenampilan begitu tenang dan dingin. Dia orang yang berpengalaman, Ir. Kita harus hati-hati. Pikir saja. Dia menyelidiki dan mempelajari tentang diriku tanpa aku sendiri menyadarinya. Dan satu hal lagi. Kalau kau sampai melabraknya hingga jadi geger, maka nama orang tuamu jadi ikut rusak. Semua orang jadi tahu."
Irma menunduk lesu. Ia menyadari kebenaran kata-kata Henson.
"Tapi dia jahat. Dia membuatku gemas."
"Tapi dalam dunia bisnis, dia tidak bisa digolongkan jahat, Ir. Dia tidak melakukan tindak pidana. Semuanya bisa dimaklumi. Orang bisnis yang suka saling makan itu masih dianggap biasa, Ir."
"Ooooh...," keluh Irma.
"Sudahlah. Jangan terlalu menganggap berat persoalan yang belum tentu berat. Jangan lesu begitu."
"Entahlah, Son. Belakangan ini aku rasanya nggak enak terus. Tidur pun tidak bisa nyenyak.
Sepertinya dadaku ketindihan beban yang tak bisa kubuang. Ya, tegang begitu. Kayaknya ada sesuatu yang bakal terjadi. Sesuatu yang sama sekali tidak menyenangkan. Karena itu, setelah mendengar ceritamu tadi aku pikir sesuatu itu akan segera terjadi."
Henson membelai tangan Irma dengan iba. Dalam keadaan seperti itu rasanya dia ingin sekali membawa Irma pergi untuk disayangi dan dilindungi. Lalu menyesali dirinya yang belum punya kekuatan untuk itu.
"Kan ada aku, Ir." Hanya itu yang bisa dikatakannya.
"Ya. Tapi aku khawatir kau juga tidak tahan. Kau akan pergi juga pada suatu ketika bila sesuatu itu meletus. Dan ke mana lagi kau akan pergi kalau bukan ke dalam rangkulan Oom Peter. Oh, aku tentu tidak bisa menyalahkan kau. Pekerjaan itu perlu. Dan apa yang ditawarkannya itu sangat menarik. Padahal Papa seperti melupakan kau dan melupakan pula janji-janjinya. Ya, ya, kalau kupikirkan lagi sekarang ini, rasanya kok kurang adil juga bila menahanmu supaya jangan pergi. Kau perlu mengembangkan kariermu. Ah, aku kok egois, ya." Irma menyesali dirinya.
"Biarpun aku perlu pekerjaan, tapi aku masih punya loyalitas. Tadi kan aku sudah bilang."
"Dengan bertahan terus di SANG NAGA, kau tidak akan maju. Kecuali Papa sadar."
Kini Irma tampil berbeda daripada saat-saat sebelumnya. Suatu sikap yang selalu dikagumi Henson. Dan membuat cintanya semakin teguh.
"Kalaupun aku harus pergi, aku tidak akan bekerja pada Peter, Ir. Percayalah. Aku yakin, kalau dicari dan diusahakan, mustahil tak ada jalan lain sama sekali."
"Jadi kondektur atau sopir" Ah, ngenes aku, Son."
"Tidak harus jadi itu saja, kan" Masih ada cara lain, toh" Sudahlah, jangan ngenes dulu."
Henson tersenyum. Irma juga. Mereka tak mempedulikan orang-orang yang memandang kepingin tahu. Mereka tak mungkin bisa mendengarkan semuanya.
"Tapi tentang Papa, Son. Apa tidak sebaiknya kauingatkan dia akan janjinya padamu" Kapan dia mau meresmikan kenaikan pangkatmu itu" Apa artinya dijadikan manajer kalau orang lain tidak tahu" Bahkan Mama juga tidak. Dan kau terus saja disuruhnya membuangi bangkai tikus. Oh, menyebalkan sungguh. Tikus-tikus itu tak kunjung habis. Kemarin kulihat Mama membeli racun lagi. Kupikir, justru kalau tikus-tikus itu tak ada lagi maka Mama akan bersedih."
"Aku segan melakukannya, Ir. Bukan karena sungkan, tapi aku pikir kepalanya sudah terlampau Sarat dengan persoalan. Aku kasihan melihatnya. Dia seperti bukan dirinya yang biasa. Jadi biarkan sajalah ia mengatasi persoalannya dulu."
Irma geleng-geleng kepala. "Sampai kapan kau mau menunggu""
"Biarlah kubereskan dulu persoalan dengan Peter, ya Ir" Baru kemudian kita pikirkan lagi."
"Baiklah." Tapi di dalam hati Irma tak sependapat. Henson tidak tegas. Kalau begitu, biar dia sajalah yang akan mengingatkan ayahnya. Tentu dengan caranya sendiri. Merasa kasihan itu patut saja. Tapi mengingatkan janji tidak ada salahnya. Lagi pula, sudah berapa lamakah dia tak pernah lagi berbincang akrab dengan ayahnya seperti dulu-dulu"
Tuan Liong sedang duduk di loteng sendirian ketika Irma mendekatinya. Melihat Irma buru-buru Tuan Liong membuka-buka buku kecilnya yang penuh coretan. Lalu berbuat seakan sedang menekuni isinya.
"Lagi sibuk, Pa"" Iya.
"Tadi Papa kelihatannya sedang ngelamun." "Ah, masa. Nggak kok. Orang lagi mikir." "Wah, mikirin apa sih, Pa"" "Apa saja. Banyak."
"Banyak" Bagi-bagi saya dong, Pa," kata Irma manja. Ia menarik kursi lain ke dekat ayahnya, lalu duduk tanpa mempedulikan apakah kehadirannya dianggap mengganggu atau tidak.
"Ah, aku kan lagi sibuk, Irma."
"Saya bantuin, Pa."
Cinta Sang Naga Karya V. Lestari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Nggak bisa." "Siapa tahu bisa. Heran deh, sekarang Papa nggak suka ngajak bicara lagi kayak dulu. Nggak perlu kesal dong, Pa. Kan sekarang keadaan sudah pulih. Sebagian besar tamu langganan sudah kembali. Omset menaik lagi. Restoran kita tidak jatuh karena kecoa itu. Ya kan, Pa""
Tuan Liong menatap putrinya. Untuk sesaat perasaan Irma seperti tercekam. Ada yang aneh pada diri ayahny
a. Apakah itu matanya" Mulutnya" Atau kedua-duanya" Susah memastikan. Tapi ekspresi wajahnya jadi kelihatan berbeda daripada biasanya. Seperti asing. Kurang akrab. Bahkan seperti heran melihat dirinya. Ah, sakit ingatankah ayahnya ini"
Pengaruh Yang Tak Tampak 1 Pendekar Slebor 25 Sengketa Di Gunung Merbabu Tinju Topan Dan Badai 1