Pencarian

Cinta Di Awal Tiga Puluh 2

Cinta Di Awal Tiga Puluh Karya Mira W Bagian 2


"Kalau begitu berhentilah mengasihani dirimu sendiri! Tidak semua orang akan menertawakan cacatmu. Menangisi kakimu."
"Ngomong sih enak. Mana buktinya""
"Aku," sahut He
ri tenang. "Tahu perasaan apa yang timbul di hatiku ketika pertama kali mengetahui kamu cacat""
Sinta tidak menjawab. Tetapi sorot matanya mengatakan betapa inginnya dia mendengar kelanjutan kata-kata Heri.
"Kasihan. Cakep-cakep pincang! Tapi setelah kenal kamu, Oom sadar, kamu nggak perlu dikasihani kok. Kamu punya banyak kelebihan. Yang tidak dimiliki oleh gadis yang tidak cacat sekalipun!" '
Heri sendiri heran. Buset. Bagaimana dia bisa ngomong selancar itu" Tapi melihat tatapan Sinta,
tiba-tiba dia yakin, usahanya tidak sia-sia!
pakai baju apa. Padahal biasanya dia tidak peouli. Pokoknya asal pakai baju. Persetan baju apa!
Tetapi kali ini dia kebingungan sendiri. Yang mana gaun yang harus dipilihnya" Bukan karena banyak pilihan. Bukan. Gaunnya tidak banyak kok. Justru karena sedikit dia jadi tambah bingung!
Dia mesti memakai gaun panjang. Tentu saja. Dia toh tidak mau kakinya jadi tontonan. Tetapi pantaskah pergi ke sekolah Dian sore-sore begini memakai gaun panjang"
Apakah tidak lebih baik pakai jins saja" Praktis. Tidak mencolok. Dan mampu menutupi kakinya yang cacat. Tetapi., pantaskah mendampingi Oom Heri pakai jins"
Ah, seandainya Mama ada di rumah! Mama pasti tahu. Sinta amat mengagumi selera berpakaian ibunya. Pakai baju apa pun Mama selalu terlihat cartrk!
Bagaimana kalau... kalau dipinjamnya saja baju ibunya" Mama punya celana panjang longgar berwarna pastel yang lembut. Blusnya pun sederhana Lengannya pendek. Lehernya berpotongan V. Tidak terlalu mencolok warna maupun potongannya. Tapi manis. Serasi. Enak dipakai. Tidak panas. Dan yang penting... keren.
*** "Ayo, Dian! Ika! Sudah siap belum"" seru Heri 'h sambil melirik jam dinding; "Wah, latihannya bisa batal kalau Bawang Putih ngaret!"
'Tunggu, Oom!" Dian berteriak dari kamar. "Dian lagi nyisir! Mama sih nggak ada! Oom bisa
sisirin Dian nggak""
"Wah, Oom cuma bisa nyisirin kabel, Dian! Suruh Nenek saja deh!"
"Huuu, Nenek mah cuma bisa nyisirin bakmi!"
"Oom! Oom!" panggil Ika tiba-tiba. "Nenek boleh ikut nggak, Oom""
"Boleh dong! Pertunjukannya tujuh puluh tahun ke bawah, kan""
"Jadi Nenek boleh ikut""
'Tin juga." "Jin"" belalak Ika kaget.
"Lho, kenapa" Emangnya Ika doang yang boleh
pergi"" "Tapi Iin nggak pernah ke mana-mana! Nanti dia ngambek! Nangis menjerit-jerit!"
"Kalau ngadat Oom bawa pulang. Ayo, suruh Nenek tukar baju!"
Hampir tidak percaya Nenek pada pendengarannya. Dia mau diajak pergi" Mustahil! Siapa yang mau ngajak nenek-nenek pergi" Anggraini saja tidak pernah!
Sekarang anak muda yang tidak ketahuan di mana rumahnya itu mau mengajaknya pergi" Dengan Iin pula" Astaga!
" "Jangan, ah!" protes Nenek pura-pura tidak mau.. Padahal hatinya sedang berdebar gembira. Sudah lama dia tidak pergi jalan-jalan. Di rumah saja.. merawat Iin. Lama-lama kan sumpek juga! Pengap! "Nanti Mama marah."
"Nggak, Nek," bujuk Ika. "Bilang aja Oom Heri yang ngajak. Kalau dimarahin, biar Oom yang diomelin Mama!"
"Betul Oom ngajak Nenek"" . "Betul Nek! Masa Bea bohong sih! Tukar deh baju Nenek. Bau bawang goreng!"
Selagi Nenek masih ragu, Heri muncul di antara mereka.
."Ayo, Bu, kita pergi sama-sama." Heri tersenyum lunak. "Masa sih Ibu nggak mau nonton cucu-cucu Ibu menari dan menyanyi""
Untuk pertama kalinya Nenek menatap Heri tanpa kemarahan atau kecurigaan di dalam matanya. Jadi anak muda ini benar-benar mau mengajak nenek-nenek jalan-jalan!
"Iin bagaimana""
"Bawa saja." "Kalau nangis""
"Kita bawa pulang. Nanti saya balik lagi jemput Dian dan Ika. Kan bawa mobil." "Kamu yang setirT
"Wah, itu segampang bikin pecel, Bu!"
"Pecel," damai Nenek sambil cepat-cepat naik ke atas. "Nyetir mobil kok disamakan dengan bikin pecel! Angot." . "
*** Heri tidak jadi memutar tubuhnya. Sinta sedang j menuruni tangga. Selangkah demi selangkah Begitu anggunnya.
Rambutnya yang panjang diikat rapi ke punggung. Sisirannya belah di tengah. Memperlihatkan*
gemerlap dua mutiara di telinganya.
Celana panjangnya longgar dan berwarna lembut. Blusnya sederhana tapi manis. Pipinya merona merah. Bibirnya disaput lipstik warna salem yang lembut .menggoda.
Bukan main! Heri pasti tidak akan mengenaliny
a kalau bersua di jalan! Tentu saja Sinta tahu siapa yang sedang mengawasinya dengan tertegun di bawah sana. Dia hampir tidak berani mengangkat wajahnya membalas tatapan Heri. Dan pipinya semakin memerah.
Sengaja Heri bersiul nakal. Kadang-kadang wanita memang senang disiuli, kan" Mereka suka dikagumi pria.
"Bukan main!" desis Heri dengan suara kagum dan tatapan memuja. "Sekejap tadi Oom kira ada ratu kecantikan kesasar ke sini!"
Paras Sinta semakin membara. Dia merunduk kemalu-maluan. Heri menantinya di bawah tangga. Mengulurkan tangannya dengan sopan. Dan mengepit tangan Sinta.
Ketika kulit mereka bersentuhan, Sinta hampir tak dapat menahan debar jantungnya sendiri. "*wSm
Ih, kapan pernah dirasakannya sensasi seperti ini" Tidak pernah! Bahkan jika dia berjalan berdua dengan Harun sepulangnya dari pasar sekalipun^. " Sinta jadi salah tingkah. Dan semua gerakannya terasa rikuh. Untune Oom Heri bersikap sangat
tenang dan wajar. Sudah biasakah dia menggandeng seorang wanita seperti ini"
Di sisinya, Oom Heri terlihat begitu tampan dan gagah. Tubuhnya menjulang tinggi. Tegap melindungi. Memberi kesan aman di hati Sinta.
Dan sikapnya! Aduh. Dia bukan hanya sopan dan simpatik. Dia malah memperlakukan Sinta seperti wanita dewasa!
Lihat saja bagaimana caranya Oom Heri membukakan pintu dan menyilakannya masuk lebih dulu. Atau menggandeng tangannya berjalan di antara teman-temannya....
Ah, rasanya sore ini Sinta sudah melupakan sama sekali cacarnya! Lebih-lebih melihat cara teman-temannya menatapnya!
"Kamu punya kelebihan yang tidak dimiliki oleh gadis lain, Sinta," kata Oom Heri tadi. "Yang tidak cacat sekalipun!"
Dan sore ini dia telah membuktikannya. Dia datang ke bekas sekolahnya didampingi oleh seorang laki-laki tampan. Gagah. Dewasa. Seorang pria yang membuat teman-temannya memandang antara kagum dan iri!
BAB VII Anggraini benar-benar heran. Bagaimana mungkin seorang laki-laki yang demikian kaya dan terpelajar seperti Budi dapat membawanya ke tempat semacam ini.
"Aku tidak mengerti," keluh Anggraini sepanjang penantian mereka di ruang tunggu yang sempit dan separo tertutup itu. "Kok bisa sih percaya pada hal-hal beginian."
Ruangan berukuran empat kali tiga meter itu padat terisi oleh para pengunjung yang sedang menanti giliran masuk. Persis ruang tunggu praktek dokter.
Di dinding tergantung sepotong papan kecil. Jam bicara 4-6 sore. Tapi menilik banyaknya orang yang menunggu, rasanya sampai pukul sepuluh malam pun pasti belum selesai. 1>JH|
Sampai sekarang saja sudah berkumpul lebih dari dua puluh orang. Setiap orang yang masuk rata-rata diberi waktu seperempat jam untuk berkonsultasi.
.Sambil mengipas-ngipas kepanasan, Anggraini
memperhatikan orang-orang di sekitarnya. Ada yang sedang mengobrol. Ada yang lebih suka membaca majalah. Ada juga. yang sedang termenung seorang diri.
Rasa malunya karena telah sudi datang ke tempat ini berangsur-angsur hilang. Ternyata dia keliru. Orang-orang yang ditemuinya di sini bukan jenis pengangguran atau orang-orang bodoh. Banyak di antara mereka, kebanyakan ibu-ibu, kelihatannya berasal dari kalangan menengah ke atas.
Bapak-bapaknya, berpakaian rapi dan bertampang pemimpin. Entah buat apa mereka kemari kalau sudah punya kedudukan bagus begitu!
"Banyak yang percaya, mereka mendapat kedudukan tinggi-karena petunjuk Pak Danu," sahut Budi ketika Anggraini mengemukakan keheranannya.
lalu buat apa mereka kemari lagi" Bilang terima kasih" Atau minta kedudukan yang lebih tinggi lagi"" .
Budi mendekatkan mulutnya ke telinga Anggraini. "Lihat lelaki yang duduk di sana itu" Kau tahu siapa dia"" Budi membisikkan sebuah nama yang membuat Anggraha mengerutkan dahinya dengan bingung. "Dia juga kemari"" "Kaukira karena apa suksesnya itu"" "Karena petunjuk Pak, Danu"" "Setiap kali dia mau memulai usaha baru, pasti dia ke sini. Dan usahanya selalu sukses.' Makanya dia jadi konglomerat!"
"Nonsens! Itu kan karena rezekinya lagi bagus!"
"Jika cuma karena kebetulan, masa begini banyak langganan Pak Danu" Tiap hari ramai. Sampai-sampai hari Minggu pun penuh sesak!"
"Kau sendiri sering kemari""
"Setiap memulai fi lm baru." "Dan fdmmu selalu sukses""
"Kaupikir bagaimana aku bisa seperti sekarang""
"Ramalannya selalu tepat""
"Kalau tidak buat apa kubawa kau kemari""
Astaga. Anggraini menghela napas panjang. Kalau soal dagang dan usaha lain, okelah. Tapi menanyakan soal perjodohan mereka" Sungguh memalukan!
"Semuanya kan tergantung kita sendiri, Bud," bujuk Anggraini* setelah sia-sia mengajak Budi pulang saja. "Buat apa membuang-buang uang dan waktu di sini""
"Kau tidak ingin tahu kita bisa menikah atau
tidak"" "Kalau kau mau menceraikan istrimu dan aku sudi mengawinimu, apa pun kata Pak Danu-mu itu, kita toh bisa menikah juga""
"Tapi umurnya tidak lama seperti perkawinan-perkawinanmu sebelumnya!"
Masya Allah! Lagi-lagi Anggraini mengurut dada. Jadi perkawinannya selama ini kandas karena dia tidak pernah menanyakan jodohnya terlebih dulu"
"Bagaimana dengan perkawinanmu sendiri"" ta-. nya Anggraini penasaran.
'Waktu aku menikah dulu, aku belum kena. Pak Danu." 1,5,1
Jadi percumalah menggoyahkan kepercayaan yang telah bewtat-berakar di hati Budi. Memang waktu Budi mengajaknya kemari minggu lalu, Anggraini cuma main-main mengiyakannya. Dia tidak menyangka begini sengsaranya menunggu di sini!.
Rasa ingin tahu yang dibawanya dari rumah langsung lenyap begitu melihat penampilan sang ahli nujum. Gambaran seorang kakek berjenggot putih dengan sepasang mata yang telah lamur tapi bersorot bijaksana punahlah sudah.
Dia cuma seorang lelaki sederhana. Umurnya pasti belum lebih dari lima puluh tahun. Bersih " In rapi seperti kemejanya yang berwarna putih. Modalnya cuma setumpuk kartu yang sudah dekil. Bukan bola kristal atau alat-alat magis lainnya Ruang prakteknya memang agak gelap. Tetapi jauh dari kesan menyeramkan.
"Anda sedang banyak pikiran," kata Pak Danu j begitu tangannya membuka kartu-kartu yang dipilih Anggraini. Tidur tidak nyenyak, makan tidak enak."
Tepat, ejek Anggraini dalam hati. Kalau tidak ". masa kemari!
Tetapi di depan Pak Danu, dia tetap memperli- " hatkaa wajah sepolos-polosnya.
"Rumah tangga Anda sedang terguncang."
Dari dulu juga tidak pernah tenang, keluh Ang- " graini dalam hati.
"Anda sedang bingung memilih dua hal yang
sama-sama memberatkan."
Lagi-lagi Anggraini menghela napas. Dan dia sadar, helaan napas itu terlalu keras.
"Dalam dua bulan mendatang ini, ada sebuah peristiwa penting dalam hidup Anda. Anda harus bijaksana menghadapinya. Alangkah baiknya bila Anda bicarakan kembali hal itu dari hati ke hati. Tetapi walaupun nanti Anda sudah merasa mantap dengan pilihan Anda, sebaiknya Anda menanyakan lagi pada seorang yang lebih ahli."
Wah, kalau cuma buat diramal begini sih tidak perlu jauh-jauh kemari, pikir Anggraini jemu. Baca saja di majalah. "Anda punya lima anak.. Benar"" -Eh, pikir, Anggraini kaget. Kok dia tahu" Diam-diam Anggraini melirik Budi. Diakah yang memberitahu"
Tetapi Budi sedang mendengarkan semua kata-kata Pak Danu dengan tekunnya. Persis anak sekolah yang sedang menyimak pelajaran dari gurunya.
Wah, seharusnya mereka bawa tape recorder tadi. Supaya bisa ingat semuanya.
"Hati-hati dengan salah seorang anak Anda. Jaga baik-baik dalam bulan-bulan mendatang ini." "Ada yang sakit"" sela Anggraini eernas. , Pak Danu memperhatikan kartu-kartunya sekali lagi sebelum menjawab. "Bisa lebih dari itu. Hati-hati saja," "Iin," desah Anggraini tak sadar. Dia menoleh kepada Budi dengan khawatir, tepat pada saat Budi juga menoleh kepadanya.
O, ada apa dengan dia nanti" Sakitkah" Atau ah, pasti Jin J Siapa lagi" Anak-anaknya yang lain sehat
"Tapi tahun depan, Anda akan mendapat seorang anak lagi."
'Tidak mungkin!" cetus Anggraini kaget. "Saya janda!"
Pak Danu mengangkat bahu. "Kalau begitu mungkin tahun depannya lagi. Pokoknya Anda akan memperoleh seorang anak lagi." fe.
Tahun depannya lagi aku mungkin sudah di dalam tanah, pikir Anggraini sesak.
Dan dia merasa tangan Budi meremas-remas jarinya di bawah meja.
"Ada yang hendak ditanyakan"" tanya Pak Danu sambil mengumpulkan dan mengocok kartu-kartunya kembali.
'Tentang kami berdua, Pak," sahut Budi eepat. "Kami hendak menikah. Tapi saya sudah beristri. Dan dia tidak
mau jadi istri muda. Apakah saya harus menceraikan istri saya""
Pertanyaan yang bodoh, pikir Anggraini gemas. Kenapa mesti tanya dia"
Tetapi Pak Danu tidak berkata apa-apa. Dia cuma mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian dia mulai lagi mengocok kartunya. Dan membukanya satu per satu di atas meja.
"Mrflm> orangnya boleh juga," gumam Pak Danu, entah kepada siapa. Mungkin kepada dirinya sendiri. Matanya tidak lepas-lepas menatap kartunya. Seolah-olah dia melihat gambar seorang perempuan di sana. "Putih, bersih, rapi. Cuma agak gemuk..."
"Betul, Pak!" potong Budi bersemangat. "Itu
istri saya! Kami dapat bercerai""
"Ya, Anda dapat bercerai. Ajukan saja permohonan cerainya dalam empat bulan ini."
Sekali lagi Budi meremas jari-jemari Anggraini. Kali ini lebih hangat.
"Kami dapat menikah, Pak""
Pak Danu mengamat-amati kartunya lagi sebelum menjawab.
"Tidak ada rintangan apa-apa. Semoga Tuhan memberkati kalian."
Tuhan, pikir Anggraini bingung. Apakah Tuhan merestui juga tempat-tempat seperti ini"
*** Budi mengemudikan mobilnya seperti orang mabuk. Dia memang minum dua gelas wiski cola tadi. Padahal Anggraini sudah mencegahnya.
Budi mengajaknya makan sebelum pulang ke
rumah. "Harus kita rayakan malam ini," katanya gembira.
Tentu saja mula-mula Anggraini menolak. Pikirannya sudah lama sampai ke rumah. Bagaimana anak-anaknya" Masih ngambekkah Dian"
Bagaimanapun Anggraini merasa bersalah. Dia sudah berjanji. Dan tidak dapat menepatinya. Betapa murahnya harga sebuah janji!
Tetapi Budi tetap memaksakan kehendaknya ^Akan kujadikan malam ini malam kenangan
bagi kita!" katanya riang.
Dan ternyata kenangan yang dimaksud bukan hanya makan bersama di sebuah tempat yang romantis. Budi menginginkan yang lain.
"Ke rumahmu" Atau... kita cari tempat lain""
"Sudah pukul dua belas lewat," sahut Anggraini bingung. "Aku khawatir Iin bangun mencariku...."
Tentu saja bukan Iin yang dipikirkannya. Iin tidur di atas bersama neneknya. Kakak-kakaknya tidur di kamar sebelah. Tapi Heri tidur di bawah... di kamar Anggraini! Bagaimana menjelaskan hal itu pada Budi"
"Oke, ke mmahmu!" desisnya bersemangat. Dia bersenandung kecil sambil mengemudikan mobilnya dengan sebelah tangan. Tangannya yang lain merangkul bahu Anggraini.
"Kalau begini caramu mengemudikan mobil, kita lebih cepat sampai ke rumah sakit daripada, ke rumah, Bud!"
Budi tertawa lantang. Euforia-nya pasti karena pengaruh alkohol.
"Jangan ragukan kemampuanku menguasai mobil, Angga! Mobil adalah istriku yang paling setia!"
"Itu berarti sampai kapan pun aku tetap jadi istri mudamu!" gurau Anggraini pura-pura merajuk.
Budi mengecup dahinya dengan mesra. Dan Anggraini merasa pedih. Lelaki ini begitu mencintainya. Bagaimana harus mengatakan padanya tentang benjolan di payudaranya" Tentang operasinya"
Budi demikian mengagumi payudaranya. Anggraini tidak dapat membayangkan jika suatu hari nanti, payudaranya tidak lagi seindah sekarang... atau bahkan... O, betapa terbantingnya harga dirinya
sebagai seorang wanita! Percuma mencegah Budi. Dia sudah tidak dapat disuruh pulang lagi. Sesampainya di rumah, Budi langsung menggendong Anggraini turun dari mobil-, nya.
"Jangan, Bud," pinta Anggraini kewalahan. "Kadang-kadang anak-anak belum tidur...."
"Tengah malam begini"" Budi menyeringai pahit. "Mereka harus dibiasakan melihat orangtuanya bermesraan begini!"
Tapi anak-anakku tidak mau mempunyai ayah baru lagi, teriak Anggraini dalam hati. Kalau mereka melihat ibunya digendong seorang laki-laki....
"Mana kuncinya"" desak Budi tanpa dapat ditolak lagi. ""_ itJl
Terpaksa Anggraini menyerahkan kunci rumahnya. Budi membuka pintu. Mendorongnya dengan kakinya. Dan menggendong Anggraini ke kamar.
"Jangan, Bud," keluh Anggraini panik. "Kadang" kadang Iin tidur di kamarku...."
"Dia tidak akan terjaga," bisik Budi sambil mengecup bibir Anggraini dengan mesra.
Didorongnya pintu kamar. Dan doa Anggraini
semoga pintu ku terkunci tidak terkabul. Pintu terbuka dengan mudah.
Secercah sinar lemah menerangi kamar ketika pintu terbuka. Dan sorot yang redup itu sudah cukup membantu mata Anggraini untuk melihat - rubuh yang tergolek t
enang di atas tempat tidur itu....
Dipejamkannya matanya rapat-rapat. Dan sekujur mukanya terasa panas. Tetapi Budi tidak memberi reaksi apa-apa. Mungkin sinar yang sekejap itu tidak sempat aunanfaatkannya. Dan begitu pintu tertutup kembali, seluruh kamar menjadi gelap.
Budi membawa Anggraini langsung ke tempat tidur. Meletakkannya dengan hati-hati. Dan tersentak kaget ketika Anggraini menggelinjang bangun seperti dipatuk ular
"Jangan, Bud," pintanya sungguh-sungguh. Suaranya berbaur antara panik dan takut. "Jangan sekarang...."
"Mengapa"' Budi menekan tubuh Anggraini kembali ke tempat tidur. "Apa bedanya kapan pun kita melakukannya"'
Tetapi Anggraini tetap melawan dengan sekuat tenaga. Meskipun dia tidak merasa ada tubuh lain di'tempat tidurnya... dia tetap tidak dapat melakukannya! Heri ada di sana. Dan sekarang dia pasti sedang asyik menonton!
Entah di mana dia bersembunyi. Mungkin di kolong tempat tidur. Atau di belakang lemari. Atau... meja kecil di samping tempat tidurnya berderit. Dan Budi bangkit seperti disengat kala.
"Siapa"" bisiknya terperanjat.
"Kakiku," sahut Anggraini gugup. Dan kesempatan yang sekejap itu dipakainya untuk meloloskan diri.
Ketika tangan Budi terulur untuk menyalakan
lampu, Anggraini langsung menubruknya.
"Jangan!" serunya panik.
"Ada apa"" sergah Budi antara terkejut dan heran.
"Kalau terang Iin bisa terbangun."
"Iin"" Budi mengerutkan dahi. "Di mana dia" Ranjangmu kosong...."
"Di ranjang kecil dekat jendela...." Kacau. Anggraini sudah tidak dapat mengatur dustanya lagi. "Lebih baik kau keluar sebelum dia menangis...."
'-'Kalau mau menangis, dia sudah menangis waktu kau menjerit tadi!" gerutu Budi kesal.
"Pulanglah, Bud." Anggraini memegang tangan Budi dan menuntunnya ke pintu.
Tetapi di pintu Budi masih berusaha merangkulnya.
"Beri aku seorang anak, Angga," pintanya lembut.
Anggraini merasa parasnya panas. Bukan karena permintaan Budi. Tetapi karena dia tahu, ada sepasang mata tengah mengawasinya... entah di sudut
mana! "Maafkan aku, Bud." Anggraini melepaskan dirinya. Dibukanya pintu. Didorongnya lelaki itu keluar. "Malam ini aku tidak bisa...."
Dengan lesu Budi melangkah ke pintu depan.
Membuka pintu itu. Pan berjalan ke mobj. tanpa menoleh lagi- "
Anggraini cepat-cepat menutup pintu. Dan m nguncinya sekalian.
Ketika dia sedang bersandar ke pintu itu sambi menghela napas lega, matanya bersirobok dengaj mata Heri.
BAB VIII Heri tegak di ambang pinm kamarnya. Dengan tatapan yang tak mungkin lagi dilupakan Anggraini. Dia kenal sekali arti tatapan itu. Ya Tuhan! Mungkinkah" Tatapan Heri adalah tatapan seorang laki-laki yang sedang dibakar cemburu!
Oh, tidak pantas dia memandang seperti itii! Tidak patut Heri mencemburuinya! Dia toh bukan suami Anggraini!
"Pelacur," geram Heri dengan rahang terkatup menahan marah. Sekujur mukanya merah padam. Matanya membeliak antara gusar, cemburu, dan sakit hati.
Dihampirinya Anggraini dengan sengit Tetapi sebelum Heri sempat mengumpat lagi, tangan Anggraini telah melayang menampar mulurnya.
"Kau tidak berhak mengumpatku!'1 bentak Anggraini separo menangis.
Dia sendiri tidak mengerti. Mengapa mesti menangis" Kalau dia marah, kalau dia tersinggung, buat apa mengeluarkan air mata"
"Kaukecewakan anak-anakmu untuk melacur dengan lelaki seperti itu!" damprat Heri tanpa mengacuhkan bekas tamparan Anggraini. "Kau tidak pernah mengerti perasaan anak-anakmu!"
"Aku memang bersalah pada Dian," desis Anggraini menahan marah. "Tapi aku tidak bermaksud membawa lelaki ku ke dalam kamarku!"
"Bohong! Kau pasti tidur dengan dia kalau aku tidak ada di sini!"
Sekali lagi Anggraini melayangkan tangannya untuk menampar. Keterlaluan benar lelaki ini! Lancang benar mulutnya!
Tetapi kali ini, Heri lebih cepat. Ditangkapnya tangan Anggraini. Ketika Anggraini meronta lepas, Beri malah mencekal tangannya lebih kuat lagi. Semakin'kuat dia meronta, semakin sakit tangannya.
. "Lepaskan aku!" geram Anggraini antara sakit dan gusar. "Atau aku menjerit!"
"Menjeritlah," tantang Heri dingin. "Supaya anak-anakmu tahu jam berapa ibunya pulang!"
"Kau tidak berhak memperlakukanku seperti ini!" d
esis Anggraini setelah sia-sia meronta. "Ini rumahku!"
"Seseorang harus mengajarmu artinya sakit!" "Kau mau membalaskan dendam Dian padaku"" , "Bukan hanya Dian!"
"Keluar kau dari ramahku!" bentak Anggraini kalap. "Keluar!"
"Baik!" Heri melepaskan tangan Anggraini dengan sama gusarnya. "Aku keluar sekarang juga Muak melihat tingkahmu!" jfcv,
Dengan marah Heri memutar tubuhnya dan masuk ke kamar. Sekejap setelah mengusir lelaki itu, timbul sesal di hati Anggraini. Selama empat hari berada di rumahnya, apa yang jelek yang telah dilakukannya" Tidak satu pun.
Dia malah telah mencoba untuk menunjukkan kekurangan-kekurangan Anggraini. Dengan berani Heri menelanjangi kesalahannya. Tidak peduli Anggraini marah atau tidak.
.Heri pun telah berusaha untuk bergaul dengan anak-anaknya. Mencoba mendekati mereka. Dia bahkan tidak segan-segan mencoba bergaul dengan ibunya. 'Perempuan tua yang aduhai cerewetnya. Sulit didekati. Dan paranoid.
Malam ini Heri memang kurang ajar. Tapi itu didorong oleh kemarahannya. Karena Anggraini telah mengecewakan anak-anaknya. Dan membawa seorang lelaki ke kamarnya....
Dia cemburu. Anggraini tak dapat melupakan caranya menatap tadi. Sudah berapa lama tidak ada lelaki yang menatapnya seperti itu"
Sekarang Anggraini kebingungan. Dia tidak sampai hati mengusir Heri malam-malam begini. Dia harus pergi ke mana" Bukankah dia tidak berani pulang ke rumah"
Tapi melarangnya pergi berarti menjilat ludah sendiri! Anggraini merasa malu....
Di dalam kamar, Heri pun sedang bimbang. Tadi dia memang sangat marah, kejengkelannya karena Anggraini mengingkari janjinya pada Dian meledak dengan kedatangan laki-laki itu di kamarnya.
Entah perasaan apa yang membakar hatinya tadi. Bukan hanya marah. Ada perasaan lain. Sakit rasanya melihat Anggraini dalam pelukan laki-laki lain. $ 'i
Tetapi kini Anggraini telah mengusirnya. Dia tidak punya pilihan lain. Dia harus pergi. Malu kalau hams merengek belas kasihannya.
Kalau boleh memilih, Heri lebih senang meninggalkan rumah ini esok pagi saja. Dia belum pamit pada anak-anak. Dan dia ingin berpisah baik-baik dengan Anggraini. Br'' JsM
Tetapi Anggraini tidak memberinya pilihan lain. Dan setiap kali teringat pada laki-laki yang dibawa Anggraini itu, kemarahan Heri meledak lagi.
Dientakkannya sepatu yang telah terpasang di kakinya itu ke lantai Kemudian diambilnya sepatunya yang sebelah lagi. Dipakainya dengan kasar.
Kemudian dia melangkah ke pintu. Membuka pintu itu dengan geram. Dan tertegun di sana.
Ika tegak di depan pintu. Masih dengan mata yang separo terpejam dibalut kantuk.
"Oom mau pergi"" tanyanya sambil lari memeluk kaki Heri. "Malam-malam glni mau ke mana sih, Oom""
Heri meraih anak itu ke dalam gendongannya. Ketika dia sedang mengangkat Ika, matanya kebetul-an menangkap bayangan Anggraini di puncak tangga.
Cuma sekejap memang. Karena di detik lain, Anggraini telah lenyap. Buru-buru menyelinap kembali, ke kamarnya Tetapi yang sedetik itu telah cukup. Karena uba-tiba saja Heri mengerti. I
"Tidak, Ika. Oom tidak ke mana-mana," katanya dengan keriangan yang entah dari mana datangnya. Tiba-tiba saja dia merasa gembira. Diciuminya pipi Ika berulang-ulang. "Dca bobok lagi, ya" Oom nggak jadi pergi."
*** "Terima kasih telah mengirimkan Ika padaku tadi malam," sindir Heri tanpa nada melecehkan.
Dia sudah duduk di meja makan dengan secangkir kopi ketika Anggraini masuk membawa sepiring nasi goreng.
"Tiba-tiba saja dia bangun ketika aku masuk," sahut Anggraini jengah. "Dia langsung menanya-kanmu."
"Hm, pasti ada malaikat yang membisikkan, Oom Heri mau pergi." Heri tersenyum lebar. "Bagaimana permainan mereka kemarin"" tanya
Anggraini tanpa berani mengangkat mukanya. "Kau pasti menyesal tidak menyaksikannya."
'"Bagus"" "Mereka benar-benar berbakat."
"Kau harus melihat bagaimana Dian menari dan menyanyi, Angga!" sela Nenek yang tiba-tiba masuk membawa semangkuk bubur. Lain dari biasanya, pagi ini wajah Nenek berseri-seri sekali.
. Anggraini tidak jadi duduk. Dia menoleh dengan heran.
"Ibu juga nonton""
"Iin juga nonton!"
"Bn"" belalak Anggraini tidak percaya. "Ibu membawanya ke sana""
"Apa salahnya"" potong Heri begitu dia membaca kemarahan dalam suara Anggraini.
Dengan gusar Anggraini berpaling pada Heri. ; "Ini pasti perbuatanmu!" , .'...
"Apa salahnya"" ulang Heri sambil mengangkat bahu. "Kau toh tidak bisa mengurungnya terus di rumah!"
"Dia pasti menangis ketakutan!" "Lain kali pasti tidak."
"Kaubiarkan dia menangis menjerit-jerit di sana""
"Hanya permulaannya saja. Dia sudah harus mulai belajar mengenal lingkungannya. Atau kau mau memenjarakannya terus di rumah" Kau malu punya anak seperti dia""
Anggraini meletakkan piringnya dengan marah.
"Siapa kau ini sebenarnya" Punya hak apa kau mencampuri urusan anak-anakku"!"
"Dia cuma ingin membawaku dan Iin jalan-jalan!" Dengan tidak disangka-sangka Nenek membela Heri. "Iin senang kok. Mula-mula memang takut Tapi cuma sebentar!"


Cinta Di Awal Tiga Puluh Karya Mira W di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Pantas tadi malam tidurnya lasak. Mengigau terus. Pagi ini juga tidak mau minum susu. Pasti karena kemarin dianahgis menjerit-jerit. Masuk angin!"
"Iin sakit"" tanya Heri terkejut.
"Badannya panas!" sahut Anggraini ketus.
"Ah, cuma hangat sedikit," komentar Nenek. "Barangkali mau bisa ngomong!"
"Atau masuk angin"" desak Heri.
"Gara-garamu!" sergah Anggraini tandas. Judes.
"Karena kau sok tahu!"
"Mungkin sebagian salahmu juga, Angga," cetus Nenek lagi. "Kau tidak pernah membawanya keluar. Jadi tidak biasa. Kena angin sedikit saja sudah sakit!"
Jadi sekarang seluruh rumah menentangku, pikir Anggraini kesal. Dan semua ini. gara-gara Heri! Dialah yang memimpin pemberontakan ini!
Lihat saja Dian. Sejak pagi dia merengut terus. Jangankan menceritakan permainannya kemarin. Menyapa ibunya saja tidak. Begitu masuk ke kamar makan, dia langsung menyeret kursi. Sengaja dengan suara berisik.
Lalu.dia langsung duduk. Mengambil nasi goreng. Dan makan dengan wajah cemberut.
Mula-mula Anggraini mendiamkannya saja. Tetapi ketika Dian meneguk susunya lalu meletakkan gelasnya dengan kasar di atas meja, Anggraini langsung menegurnya.
"Tidak pantas marah pada Mama, Dian!"
Dian tidak menjawab. Cuma kepalanya menunduk makin dalam. Dan wajahnya berkerut makin masam. Dan habislah kesabaran Anggraini.
"Dian, lihat kemari!" perintahnya geram.
Bukannya menengadah, Dian malah menunduk makin dalam. Terpaksa Anggraini membentaknya sekali lagi.
Sekarang Dian mengangkat wajahnya. Dan Anggraini melihat wajah itu telah penuh dengan
air mata. Tiba-tiba saja Anggraini kehilangan semangatnya untuk membentak lagi. Kemarahannya langsung surat. Dibiarkannya saja Dian turun dari kursinya. Dan lari menghambur ke kamarnya.
Rimba yang sudah sampai di dekat meja makan tidak jadi duduk. Dia langsung membalikkan tubuhnya dan keluar.
Sinta lain lagi. Ketika dari dapur dia mendengar bentakan ibunya, dia tidak jadi mengambil nasi untuk sarapan paginya. Dia langsung masuk ke kamar mandi.
Si cerewet Ika pun tidak bertingkah pagi ini. Disambarnya saja sepotong roti manis. Dihabiskannya cepat-cepat. Diminumnya susunya tanpa bersuara. Kemudian diletakkannya gelasnya dengan hati-hati. Sepaya Mama tidak marah lagi.
Nenek tidak jadi makan. Tanpa berusaha menutupi kejengkelannya, dibawanya mangkuk buburnya ke dapur. Ika buru-buru mengikuti neneknya. Kha" watir kena damprat ibunya kalau masih bercokol di meja makan.
Heri menghela napas panjang. Dia juga sudah kehilangan nafsu makannya.
"Dian ingin membanggakan dirinya di hadapanmu," katanya setelah tinggal berdua saja dengan
Anggraini di meja makan. "Satu-satunya orang
yang paling diinginkannya untuk melihat aktingnya.
Tapi kau tidak mau datang."
"Aku toh sudah minta maaf!"
"Apakah telaki itu lebih penting daripada anak-anakmu"
"Bukankah kau sendiri yang menyuruhku mencari suami lagi"" ejek Anggraini pedas.
"Tapi bukan lelaki semacam' itu!"
"Habis yang seperti apa" Yang seperti kau""
"Yang bisa mengembalikanmu pada anak-anak-, mu. Bukan merebut!"
"Nah, tunjukkanlah orangnya padaku!"
"Pokoknya bukan lelaki itu! Dia cuma bisa membuat anak! Tapi tidak becus mengurusnya!"
"Dia tidak punya anak!"
"Jadi buat apa kaukawini lelaki seperti itu" Dia menginginkanmu hanya supaya bisa punya anak!"
"Karena hanya kepadanyalah aku dapat mempercayakan anak
-anakku! Hanya di tangannyalah aku rela menitipkan anak-anakku setelah aku mati!"
Anggraini merasa matanya panas.. Sebelum air matanya terurai, dia menghambur meninggalkan meja makan. Dia tidak sudi menangis di depan Heri.
BAB IX Ketika sampai malam Anggraini belum pulang juga, seisi rumah jadi bingung. Tadi pagi Anggraini pergi begitu saja. Dalam keadaan marah. Bajunya asal saja Tidak mungkin dia pergi shooting.
"Semua gara-gara kamu," gerutu Sinta pada Dian. "Gara-gara kamu Mama marah!"
"Dian takut, Kak," rintih Dian ketakutan. "Mama pergi ke mana, ya""
"Sudahlah." Heri meraih Dian ke pangkuannya. "Dian sudah menyesal, kan" Nanti kalau Mama pulang minta maaf."
"Tapi kapan'Mama pulang, Oom""
"Sebentar lagi Mama pasti pulang." .
"Tapi sekarang kan udah malam banget, Oom!" nyeletuk Ika. "Mama marah ya, Oom" Ogah pulang""
"Nggak mungkin, Ika. Mama sayang kalian. Dia pasti pulang."
"Tapi kami khawatir, Oom," keluh Sinta sambil melirik jam dinding. "Sudah malam begini.,.."
"Sudah biasa kan Mama pulang malam""
"Tapi tadi pagi perginya marah-marah begitu.
Kalau ada apa-apa bagaimana""
"Mana Iin nangis terus lagi," keluh Nenek pula. "Biasanya kalau Iin sakit, Angga tidak akan pergi
sampai malam begini."
"Kamu tahu alamat Oom Budi, Ta"" cetus Rimba yang sejak tadi diam saja.
Sinta menggeleng. "Kalau ada alamatnya, biar kususul." "Oom ikut." l-ry*$t
"Buat apa"" desis Rimba ketus. "Sudah malam. Kamu tidak boleh pergi sendiri." "Aku bukan anak kecil lagi!" Rimba melirik judes.
"Rasanya Sinta pernah lihat agenda Mama," kata Sinta tiba-tiba. "Ada alamat dan nomor telepon Dokter Harsa. Pasti ada alamat Oom Budi juga."
"Di mana"" " '
"Di lemari pakaian di kamar Mama"
"Mari kita cari." Heri mendahului mereka masuk ke kamarnya. Bersama-sama Sinta, Dian, dan Ika, mereka membongkar isi lemari itu.
"Ini dia!" cetus Sinta sambil" mengacungkan sebuah buku agenda berwarna biru. Dibalik-balik-, nya halaman alamat di dalam agenda itu.
"Ada nggak"" Heri ikut melongok. Menelusuri nama demi nama.
"Ini, Oom." Sinta menunjuk sebuah nama. "Budi Sukoco. Ini pasti rumah Oom Budi. Ini kantornya." " "Bagus. Berikan padaku. Biar Oom cari ke sana."
"Oom! Oom!" panggil Ika yang sedang membolak-balik sebuah buku lain. "Apa artinya kanker Oom""
"Itu catatan harian Mama! Ayo kembalikan, Ika!" perintah Sinta tegas. "Ika tidak boleh mencuri lihat catatan Mama!"
Direbutnya buku itu dari tangan adiknya. Dikembalikannya lagi ke dalam lemari. Setelah selesai membereskan lemari, Sinta mengajak adik-adiknya keluar.
"Oom pakai sepatu dulu," kata Heri. "Panggil Rimba. Kita pergi sekarang saja."
"Dian boleh ikut ya, Oom""
"Lebih baik Dian diam di rumah, ya" Biar Oom dan Kak Rimba yang cari Mama."
Ketika anak-anak itu sudah keluar dari kamarnya, barulah Heri memungut sepatunya. Dan selagi duduk di tepi pembaringan memakai sepatunya, , tiba-tiba saja ingatannya kembali pada kata-kata Ika tadi.
Kanker. Kanker apa" Siapa yang kena kanker"
Hanya di tangannyalah aku rela menitipkan anak-anakku setelah aku mati!
Itu kata-kata Anggraini tadi pagi. Dan tiba-tiba saja bulu tengkuk Heri meremang. Kanker. Mati! Mungkinkah..."
Heri melompat untuk mengunci pintu kamarnya. Lalu dia menghambur ke depan lemari. Diaduk-aduknya isi lemari itu. Dicarinya buku harian Anggraini.
"Ada benjolan baru di ketiak kiriku. Mungkinkah anak sebar dari kanker payudaralah
Begitu saja buku itu terlepas dari tangan Heri. Meluncur jatuh menimpa kakinya. Dan tiba-tiba saja dia merasa dingin. Amat dingin. Seakan-akan
seember air es tengah disiramkan ke atas kepalanya.
##* Anggraini pulang tepat pada saat Heri dan Rimba telah siap untuk berangkat. Melihat mereka semua berkumpul di depan rumah, paras Anggraini
langsung memucat. "Ada apa"" tanya Anggraini sambil tergopoh-gopoh turun dari mobilnya.
"Mama!" teriak Ika sambil lari menghambur dan merangkul kaki ibunya. "Mama pulang!"
Anggraini mengangkat Ika ke dalam gendongannya. Tapi matanya tetap mencari-cari lin. Satu-satunya anaknya yang tidak ada.
"Iin kenapa"" tanyanya cemas.
"Tidak apa-apa," sahut Nenek. "Tadi dia memang nangis terus. Tapi sekarang sudah tid
ur. Kami cuma sedang bingung menunggumu pulang."
"Dia tidak sakit""
"Panasnya sudah turun. Kenapa pulang begini
malam" Anak-anakmu sudah ribut!"
"Ada urusan." .
"Ika sudah lapar, Ma!" rengek Ika manja..m Anggraini menoleh kaget. "Lho, Ika belum makan"" I "Kita semua belum makan, Ma," kata Bea sambil berjalan di samping ibunya. "Tunggu M
"Kenapa tidak makan duluan"" "Kata Mama kita mesti makan sama-sama tiap malam, kan""
"Ya Allah." Terbayang sesal di wajah Anggraini; "Kalau Mama pergi sampai malam begini, tentu saja kalian harus makan duluan! Jangan tunggu Mama. Nanti sakit. Rimba sudah pulang""
Itu Rimba." Nenek menunjuk Rimba yang terlindung oleh tabuh Heri. "Dari tadi dia tidak pergi ke mana-mana. Menunggumu. Malah sudah hampir pergi mencarimu."
Ada keharuan yang tiba-tiba saja menerpa hati Anggraini. Rimba tidak berkata apa-apa. Tetapi wajahnya datar saja. Tidak tampak jengkel karena ibunya terlambat pulang.
Heri tegak di sisinya. Tetapi dia pun seperti kehilangan ketajaman lidahnya. Dia malah seperti menghindari bertatap pandang dengan Anggraini.
"Kalau begitu mari kita makan," katanya sambil menggendong Ika ke meja makan. "Tapi Mama lihat Iin dulu, ya""
Anggraini merasa lega melihat putri bungsunya telah tidur dengan nyenyaknya. Diletakkannya tangannya dengan hati-hati di atas dahi Intan.
Panasnya sudah turun. Pantas dia dapat tidur dengan lelap. Diciumnya dahi Iin dengan lembut. "Mama sayang Iin" bisiknya lembut. Lalu Anggraini menukar sepatunya dengan sandal. Dan turun ke bawah. Langsung ke meja makan.
Anggraini bara duduk ketika Dian datang menghampiri. Dan melihat mata gadis kecil itu, Anggraini sudah dapat membaca penyesalannya.
Diraihnya Dian ke dalam pelukannya sebelum anak itu sendiri sempat berkata sepatah pun. Dikecupnya pipinya dengan penuh kasih sayang.
"Mama tahu," bisiknya lembut. "Dian menyesal."
"Dian minta maaf, Ma," desah Dian dengan suara parau. Air mata langsung menggenangi matanya. "Dian tidak mau marah lagi sama Mama."
"Mama juga tidak mau bohong lagi sama Dian," balas Anggraini halus. "Maafkan Mama juga, ya""
Untuk pertama kalinya Anggraini dapat makan dengan lahap bersama anak-anaknya. Dian dan Ika bergantian menceritakan kehebatan akting'mereka. Nenek dan Sinta sebentar-sebentar menyela memberi komentar.
Hanya Heri dan Rimba yang tidak berkata apa-apa. Tetapi diamnya mereka tidak merusak suasana gembira malam itu. Meja makan mereka penuh diliputi gelak tawa.
Dan kegembiraan malam itu menyita habis perhatian Anggraini terhadap Heri. Dia tidak sempat mencium perubahan sikap lelaki itu.
Baru ketika keesokan paginya Heri pamit hendak meninggalkan rumahnya, Anggraini sadar. Sesuatu telah terjadi. Sikapnya amat lain dari biasa.
"Ada apa"" tanya Anggraini cemas. "Kau ke" hapa""
"Tidak apa-apa," sahut Heri sambil tersenyum. Tapi bahkan senyumnya tidak seperti biasa! "Aku
kan tidak mungkin tinggal di sini terus. Ada -saatnya untuk pergi."
"Kau bisa tinggal di ski sampai kapan pun!"
"Terima kasih. Kau sangat baik. Tapi aku harus pergi"
Anggraini mengamat-amatinya sambil berpikir keras sebelum bertanya lagi.
"Dengar, ada apa sebenarnya" Kenapa tiba-tiba kau ingin pergi"" "Aku sudah sembuh."
"Tiga hari yang lalu pun kau sudah sembuh!" "Aku tidak takut lagi pada siapa pun." "Kau mau menyerahkan dirimu pada..." "Kalau aku memang bersalah, biarlah mereka menghukumku.".
"Kau mimpi apa tadi malam"" geram Anggraini gemas. "Kenapa kau tiba-tiba jadi tolol begini"" "Tolol""
"Buat apa menyerahkan diri" Mereka tidak tahu kau di sini!"
"Aku tidak mau bersembunyi terus seperti tikus." "Jadi kan lebih suka..." "Belum tentu aku yang salah." "Kalau ya""
"Biar mereka menghukumku." "Kau sudah bosan di sini"" "Justru karena aku ingin lebih cepat kembali kemari."
Anggraini mengawasi Heri dengan tajam. Dia memang masih tetap tersenyum. Tapi senyumnya pahit.
"Ada apa sebenarnya"" desak Anggraini penasaran. "Aku salah apa lagi""
"Tidak ada apa-apa. Kau kan lebih senang kalau aku cepat-cepat pergi. Supaya tidak usah menjagai anak-anak gadismu." Heri menyeringai masam.
"Aku tidak pernah mengusirmu lagi."
"Aku tahu. Kau mulai
menyukaiku." "Anak-anakku," ralat Anggraini jengah. "Mereka pasti merasa kehilangan."
"Suatu hari nanti aku pasti kembali."
Tiba-tiba saja Heri melihat paras wanita itu berubah.
Saat itu, pikir Anggraini murung. Aku mungkin sudah tidak berada di sini lagi!
Sungguh aneh mengapa tiba-tiba saja dia merasa berat berpisah dengan lelaki ini. Dan takut tidak dapat bertemu lagi!
*** , Anggraini benar. Kecuali Rimba dan Intan, tidak seorang pun dari ketiga anaknya yang lain mengizinkan Heri pergi.
. "Semalam lagi dong, Oom!" rengek Bea sambil bergayutan manja di lengan Heri. "Nanti malam kita main catur lagi. Oom kan bani kalah 3-1!"
"Lho, Oom mau dibikin kalah berapa memangnya""
"10-1." sahut Jka bersemangat. Heri tertawa geli.
"Jelek-jelek gini kan Oom DO fakultas kedokteran, Ika!" "Apaan sih DO, Oom"" "Drop out" "Apaan tuh"" "Dikeluarkan." "Oom nakal"" "Ah, nggak."
"Habis kenapa dikeluarin dong"" "Naksir dosen Oom...."
"Hass!" bentak Anggraini sambil berpura-pura membehak marah. Padahal dia sendiri sedang menahan tawa. "Jangan mengajari anak kecil yang bukan-bukan!"
"Lho, betul kok! Nggak boleh bohong sama anak-anak, kan""
"Masa naksir guru saja dikeluarkan sih, Oom"" cetus Dian penasaran.
"Dosennya sudah punya suami, Dian. Dan suaminya dosen juga. Jadi Oom nggak bisa lulus-lulus!"
"Bohong!" potong Anggraini berlagak kesal. "Bilang saja kau memang tidak lulus ujian karena tidak pernah belajar!"
"Oom jangan pergi dulu, ya"." Sekarang giliran Dian yang merengek manja. "Habis kalau Oom pergi, sama siapa dong besok sore Dian pergi latihan" Kan pulangnya malam, Oom. Takut!"
"Sama Mama dan Kak Sinta dong," sahut Heri sambil menekan rasa harunya, Jw -Ketika. tidak didengarnya tanggapan Sinta, Heri
menoleh. Dan melihat Sinta sedang mengunyah sarapan paginya dengan diam. Wajahnya murung.
Tatapannya kosong. Anggraini yang ikut berpaling mendadak merasa
cemas.' Mudah-mudahan aku salah duga, pikirnya panik.
Semoga dia tidak sedang jatuh cinta!
"Sinta juga tidak mau Oom pergi"" tanya Heri lembut. Begitu lembutnya suara Heri sampai Anggraini merasa tidak enak.
"Terserah." Sinta mengangkat bahu sambil menyembunyikan wajahnya di balik gelas yang tengah ditempelkannya ke bibir.
"Lho, kok terserah""
"Sinta kan tidak bisa melarang Oom."
"Siapa bilang"" bantah Heri berpura-pura tidak melihat merahnya mata gadis itu. "Kalau Siiita janji mau membuatkan Oom sambal terasi yang lezat seperti kemarin, Oom pasti tinggal semalam lagi!"
"Ah!" "Lho"" Heri berlagak heran. "Kok cuma ah""
"Oom bercanda melulu sih!"
"Kata siapa cuma bercanda" Oom serius kok!"
"Betul"" Sinta menatap malu-malu. Pipinya yang kemerah-merahan membuat parasnya terlihat segar dan ayu.
Diam-diam Anggraini menghela- napas. Dan secercah perasaan tidak enak yang dia .sendiri tidak tahu apa namanya menggurat had kecilnya. Inikah naluri seorang ibu" Atau...
Anggraini jadi gelagapan ketika sekonV(, jconyong Heri menoleh padanya. Dan Sesa;> menahan napas. la
"Boleh"" Heri tersenyum simpatik.
Tetapi kali ini, bagaimanapun pintarnya dia m nyembunyikan perasaannya, Anggraini dapat me hangkap kegetiran dalam senyum im.
BAB X "Gentengnya bocor lagi, Rimba," Nenek sudah datang mengadu begitu Rimba menyandarkah sepedanya. "Betulin dong."
"Besok saja deh, Nek," sahut Rimba segan. "Lagi malas nih."
"Kalau nanti malam hujan bagaimana""
"Ya paling-paling airnya masuk!"
"Enak saja ngomong! Bocornya pas di kepala tempat tidur Nenek!"
"Ya pindah saja," kata Rimba seenaknya.',
"Orang lagi enak-enak tidur mana ingat pindah sih" Tahu-tahu muka Nenek sudah basah!"
"Nenek belum mandi sih!"
"Kurang ajar!" Nenek membeliak tersinggung.
Tapi Rimba cuma tersenyum. Heri yang kebetulan lewat, terkesiap melihat senyum yang pertama . kali dilihatnya itu.
Kalau lagi tersenyum begitu, dia mirip perempuan, gumam Heri dalam hati. Dia bahkan lebih Rlanis dari Sinta!
" Dan lamunan Heri buyar ketika Rimba melewati-nya lagi. Kali ini dengan membawa tangga.
"Astaga," desis Heri tidak percaya. "Kamu mau naik ke atas genteng"'' Rimba tidak menyahut. Menoleh pun tidak. Dia ^terus saja membawa tangganya keluar. Heri cepat-cepat mem
buntutinya. "Biar Oom yang naik, Rimba," pintanya sambil berusaha merampas tangga itu. "Kamu tunggu di bawah saja."
"Jangan ikut campur!" bentak Rimba sambil mempertahankan tangganya. "Nanti kamu jatuh!" "Aku bukan anak kecil!"
"Tahu berapa tingginya atap itu" Kamar Nenek kan di tingkat dua! Kalau jatuh, kamu tidak sempat permisi pada Mama lagi!"
"Bukan urusanmu! Minggir!"
Rimba menyandarkan tangganya. Dan mulai memanjat. Heri merengkuh lengan Rimba. Menyeretnya turun. Dan mendorongnya ke samping. Lalu dia mendahului memanjat.
Dengan geram Rimba menyerbu ke depan. Berusaha menyingkirkan Heri dari tangga. Dalam pergulatan itu, tidak sengaja tangan Heri menyentuh benda lunak di dada Rimba.
Serentak tangan Heri seperti dijalari aliran listrik. Berbareng saat Rimba menepiskan tangan Heri dengan kasar, Heri pun menarik tangannya dengan wajah merah padam.
"Kurang ajar!" geram Rimba sengit. Sekujur parasnya merah terbakar.
"Maaf!" desis Heri spontan. "Oom nggak sengaja...."
Mula-mula dikiranya Rimba akan menamparnya. Tapi Heri keliru. Rimba memang memukulnya. Tapi bukan dengan tamparan biasa. Melainkan dengan pukulan karate yang cukup keras.
Tidak ampun lagi Heri yang tidak menyangka akan mendapat pukulan yang demikian ganas, terjajar beberapa langkah ke belakang.
"Astaga!" desisnya kaget. "Pukulanmu benar-benar akurat! Belajar di mana, hah" Kenapa kamu tidak bilang jago karate""
"Bukan urusanmu," sahut Rimba dingin.
Tetapi Heri sudah menangkap sekilas kebanggaan dalam suara Rimba. Dan dia tahu apa yang mesti dilakukannya. Ketika Rimba memutar tubuhnya untuk mulai memanjat, Heri menerkamnya dari belakang.
Seperti sudah menunggu, dengan gesit Rimba berbalik. Dan memukul lagi. Tetapi kali ini Heri sudah siap. Beberapa kali pukulan Rimba berhasil ditangkisnya. ; . " ". i*"
"Bagus!'' serunya kagum setiap kali Rimba menyerang. "Coba lagi!"
Untuk beberapa saat mereka jadi terlihat seperti dua orang karateka yang sedang berlatih! Sampai Heri bingung bagaimana harus .menyudahi latihan. *itu tanpa melukai Rimba atau menyinggung harga dirinya.
"Sudah! Sudah!" serunya berulang-ulang. "Oom,"Kamu belum kalah!" bentak Rimba sengit "Jangan berteriak-teriak terus seperti banci 1"
Astaga, keluh Heri bingung. Anak ini benar-benar minta ditaklukkan!
Tiba-tiba saja Heri menyadari kekeliruannya. Jika dia ingin menguasai Rimba, dia memane harus menaklukkannya. Rimba mendambakan lawan yang lebih kuat. Bukan lelaki cengeng yang lemah dan santai.
"Ofcer" Heri mulai menukar cara berkelahinya. Dari bertahan menjadi menyerang. "Jaga ini!"
Dan hanya dengan beberapa kali serangan saja, Heri sudah berhasil mendesak Rimba dan menj* tuhkannya.
"Sori!" Heri buru-buru mengulurkan tangannya untuk membantu Rimba bangun. "Oom menyakitimu""
Rimba menerima uluran tangan HerL/ Tetapi bukan untuk membantunya berdiri. Begitu tangan. Heri dicekalnya, kakinya menyapu tungkai Heri. Dan Heri jatuh terduduk.
"Wah, curang!" Heri pura-pura menyeringai kesakitan.
"Kamu menang," kata Rimba sportif. "Jadi Oom boleh naik ke atas"" "Kita naik berdua." "Kamu tidak takut jatuh"" "Kamu takut""
Wah, anak ini benar-benar lain dari yang lain! Tanpa mengacuhkan Heri lagi, Rimba bangkit. Membersihkan debu yang melekat di celana jin*
nya. Dan mulai memanjat ke atas.-Buru-buru Heri
mengikutinya. "Yang mana kamar nenekmu"" tanya Heri ketika
mereka sudah sampai di atas.
"Kenapa tanya padaku"" balas Rimba pedas. "Tadi kamu mau naik sendiri, kan" Nah, cari saja
sendiri!" "Duh, kenapa sih kamu judes amat"'* "Karena kamu konyol!" "Konyolkah orang yang mau membantumu"" "Aku tidak perlu dibantu!" "Kelihatannya memang tidak. Mana gentengnya""
Untuk pertama kalinya Rimba tidak menjawab. Karena dia baru ingat. Gentengnya ketinggalan di
bawah! Ketika Rimba merayap hendak turun mengambil genteng, Heri mencegahnya.
"Biar Oom saja yang turun. Kamu di sini saja."
Dan sebuah perasaan ganjil menyergap hati Rimba. Menyelinap ke lubuk hatinya yang paling dalam. Mengapa lelaki ini selalu bersikap melindungi" Dan dilindungi oleh seorang pria segagah Heri menjentikkan sensasi yang belum pernah dimilikinya.
Rimba mel irik Heri. Dan tiba-tiba menyadari, ada yang tidak beres.
Heri masih berjongkok.di atap. Sedang menggoyang-goyangkan kepalanya dengan mata terpejam. . .
"Hei!" seru Rimba tak sadar. Kamu kenapa"
"Tidak apa-apa," sahut Heri sambil menebal, kepalanya. "Pusing sedikit waktu melihat ke bawah tadi."
"Jangan turun dulu. Duduk saja!" hz-JBm menuruti usul Rimba. Dia duduk di atap sambil mengurut-urut kepalanya. Dipejamkannya matanya rapat-rapat. Karena kalau dia membuka matanya, dirinya seakan-akan berputar seperti gasing.
Rimba- ikut duduk. Tidak terlalu dekat. Tapi tidak juga terlalu jauh.
"Kamu takut ketinggian" Pusing kalau melihat ke bawah""
"Biasanya Oom tidak mengidap vertigo. Mungkin akibat pukulan di kepala Oom."
"Aku tidak memukul kepalamu."
"Oh, bukan Rimba! Seminggu yang lalu Oom terlibat perkelahian. Mereka memukul kepala Oom dengan kayu dan botoL"
"Kamu tukang berkelahi, ya"" suara Rimba melunak.
"Oom menyebutnya pengeroyokan. Bukan perkelahian." "Kamu dikeroyok""
"Coba kalau ada Rimba. Kamu jago berkelahi juga, kan." "Aku tidak pernah berkelahi" Heri membuka matanya. Masih pusing sedikit. "Lalu buat apa kamu belajar karate"" "Bela diri."
"Membela Mama dan adik-adikmu""
-"Mama tidak perlu dibela. Mama kuat. Mama tidak butuh siapa pun."
"Kata siapa" Suatu hari nanti Rimba tahu, Mama tidak sekuat yang Rimba sangka. Mama butuh kamu."
"Mama cuma butuh lelaki." "Seharusnya Rimba-lah yang jadi anak lelaki Mama."
"Mama tidak kepengin punya anak laki-laki." "Buat apa anak laki-laki" Mama kan punya Rimba! Sebagai anak perempuan pun Rimba lebih
berguna dari sepuluh anak laki-laki!" "Ah, jangan ngecap!"
"Lho, nggak percaya" Rimba tidak perlu jadi anak lelaki untuk menjadi pelindung Mama!"
"Kepalamu masih pusing""
"Sedikit. Tapi tanahnya masih berputar kalau Oom melihat ke bawah."
"Diam-diam saja di situ. Aku turun ambil genteng!"
"Lho, kok jadi ngobrol di atas"" teriak Nenek dari bawah. "Gentengnya sudah diganti belum""
"Cerewet," desis Rimba sambil meluncur turun.
Dia mengambil gentengnya. Dan memanjat kembali ke atas. Ketika^ Rimba sedang mengganti genteng yang bocor itu, tiba-tiba saja Heri harus mengakui. Rimba memang tidak membutuhkan pertolongannya.
" "Kok lama amat sih di atas"" tegur Sinta beeit,, Rimba masuk. s u
"Ambil minuman tuh," sahut Rimba acuh tak acuh. "Oom-mu pusing lagi."


Cinta Di Awal Tiga Puluh Karya Mira W di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kamu tadi berkelahi, ya""
"Cuma latihan." :*wm
latihan berkelahi"''
"Diam deh! Mendingan ambil minuman buat Oom-mu!"
Sejenak Sinta mengawasi kakaknya dari belakang. Lalu tanpa berkata apa-apa lagi dia mengambil minuman ke dapur.
'Terima kasih, Manis." Heri tersenyum lembut ketika Sinta menyodorkan segelas es sirup. Diteguknya minuman itu sampai habis. "Wah, segar sekali. Rasanya pusingnya langsung hilang!"
"Oom sering pusing begini"" Sinta tidak menyembunyikan kecemasan dalam suaranya.
"Oh, cuma beberapa hari ini saja. Jangan khawatir. Nanti juga hilang-"
"Mau obat pusing, Oom"^
"Nggak usah. Oom berbaring dulu saja, ya" Pusingnya pasti lebih cepat hilang kalau tiduran."
Heri berbaring di sofa sambil memejamkan matanya. Ketika dibukanya kembali matanya, dilihatnya Sinta masih tegak memandanginya.
Heri memberinya seuntai senyum simpatik. Dan seperti baru tersadar dari pesona yang memukau, buru-buru Sinta membalikkan badannya. Menyembunyikan parasnya yang kemerah-merahan. Dan lekas-lekas membawa gelas kosong itu ke belakang.
"Anak-anakku mungkin sudah tidak mengingin- ' kan seorang ayah lagi, Bud," sahut Anggraini terus terang ketika Budi mengajaknya makan siang. "Bagi mereka, figur ayah hanyalah seorang laki-laki yang tidur bersama ibunya, memberikan seorang adik baru, kemudian pergi tanpa pernah kembali lagi." '
"Itu karena mereka belum mengenalku, Angga. Jangan samakan aku dengan ayah-ayah mereka yang lain. Aku bukan hanya akan memberi mereka seorang adik laki-laki. Aku juga akan memberikan kasih sayang, perlindungan, dan masa depan kepada mereka." ^ji
"Bud," cetus Anggraini tiba-tiba, "seandainya aku meninggal lebih dulu darimir, apa yang akan kauperbuat terhadap anak-anakku""
"Angga." Budi menatap Anggraini dengan heran. "Kok tanya be
gitu sih"" "Aku tidak rela anak-anakku dititipkan di panti asuhan. Atau diadopsi oleh orangtua yang berbeda."
"Tentu saja tidak." Budi tertawa lunak. "Anak-anakmu kan anak-anakku juga" Aku akan merawat mereka seperti anak-anakku sendiri."
"Juga sepeninggal diriku""
"Angga! Apakah ini suatu syarat""
"Jangan salahkan aku. Kaummu yang telah membuatku jadi begini.'"
"Sudah kukatakan, jangan samakan aku dengan " mereka.'" desis Budi tersinggung. "Aku bukan Sekadar mesin bibit.'"
"Satu hal lagi/aku tidak mau anak-anakku punya ibu tiri."
"Astaga! Apa-apaan kau ini, Angga" Siapa sih yang bilang kau bakal mati lebih dulu dariku" Aku kan sepuluh tahun lebih tua. Dan menurut statistik, laki-laki lebih cepat mati daripada wa-. nita!"
"Aku serius, Bud. Kalau kau mengawini seorang janda dengan lima orang anak gadis, kau bukan hanya mengawini seorang perempuan saja! Pada hari kau menjadi suaminya, kau langsung menjadi bapak dari anak-anaknya!"
"Kau tahu, Manis" Itu yang kuidam-idamkan selama hri! Jadi bapak dari selusin anak!"
"Setengah," ralat Anggraini. "Jatahmu cuma satu."
"Kalau kali ini bukan anak laki-laki lagi""
"Bagiku sama saja. Hamilnya tetap sembilan bulan sepuluh hari."
"Kau betul-betul tidak ingin anak laki-laki""
"Bukan aku yang menentukan. Kromosom yang kauberikanlah yang menentukan anak kita lelaki atau perempuan!"
"Kau tidak ingin punya pelindung buat kelima anak perempuanmu""
"Buat apa" Kan ada ayahnya!"
Budi tertawa puas mendengar jawaban yang tepat itu.
*** Anggraini membaca surat itu dengan marah. Surat pengaduan dari kepala sekolah Rimba. Sudah sebulan dia tidak masuk sekolah.
Sebulan! Padahal tiap hari Rimba pergi meninggalkan rumah. Kurang ajar. Dia ditipu mentah-mentah. Oleh anaknya sendiri!
"Kamu kan bukan anak kecil lagi, Rimba!" geram Anggraini ketika Rimba pulang sore itu. "Masa mesti Mama awasi terus" Bolos sekolah seperti anak kecil saja!"
"Rimba tidak mau sekolah lagi," sahut gadis itu tenang. Sedikit pun dia tidak tampak merasa bersalah. Apalagi takut.
"Lantas kamu mau jadi apa"" damprat Anggraini jengkel. "Anak jalanan" Pemulung" Jembel""
"Rimba mau kerja."
"Kerja" Laku kerja jadi apa anak SMP sebesar kamu" Ijazah SMP saja tidak punya!"
Sekarang Rimba mengangkat wajahnya Sorot matanya yang begitu meyakinkan membangkitkan perasaan aneh di hati Anggraini.
"Rimba sudah kerja," katanya bangga. "Di pabrik obat."
Anggraini mundur dengan terkejut. Matanya terbelalak menatap Rimba. Tetapi ketika dia mengedip lagi, ada air di sudut matanya.
"Kenapa, Rimba"" keluhnya antara sedih dan kecewa. "Kenapa melakukan ini pada Mama"
Mama ingin kamu sekolah. Jadi insinyur. Bukan kuli di pabrik obat! Apa pikirmu yang mendorong Mama bekerja sekeras ini" Mama berjuang untuk masa depanmu, Rimba!"
"Rimba ingin membantu Mama," sahut Rimba tegas. "Kalau Rimba sudah bisa -cari uang, Mama tidak perlu kerja lagi. Mama bisa tinggal di rumah. Dan kita tidak perlu seorang ayah lagi!"
'Tapi berapa gajimu sebagai kuli di pabrik obat, Rimba" Sampai kapan kamu baru dapat . menghidupi adik-adikmu""
"Kalau Mama punya modal, Rimba bisa dagang."
"Rimba, Mama ingin kamu sekolah dulu!"
"Tapi Rimba tidak ingin punya ayah lagi, Mama!"
Sekarang Anggraini tertegun bingung. Tidak tahu mesti menjawab apa ^
"Rimba," gumam Anggraini setelah mampu membuka mulutnya lagi. "Apa sebenarnya fungsi seorang ayah menurut pendapatmu""
"Semua ayah yang Mama berikan pada Rimba cuma bisa memberi adik."
"Oom Budi lain, Rimba. Dia betul-betul ingin menjadi ayahmu."
"Oom Budi"" Ada- sinar kebencian yang menyala di mata Rimba. "Mama akan kawin dengan dia""
"Tidak tanpa persetujuanmu dan Sinta."
"Tapi dia sudah punya istri, Mama!"
"Mereka akan bercerai."
"Dan Mama yang membuat mereka bercerai"" "Oom Budi ingin mempunyai anak, Rimba. Kalianlah anak-anaknya."
"Mama!" desis Rimba marah. "Kenapa kita tidak bisa hidup begini saja, Ma" Kenapa kita tidak bisa hidup tanpa lelaki""
"Karena Tuhan menciptakan laki-laki dan wanita, Rimba. Dengan kodrat dan fungsi yang berbeda. Kamu dan Mama membutuhkan mereka sama seperti mereka membutuhkan kita."
"Tidak!" sergah Rimba kalap. "Rimb
a tidak butuh lelaki!"
Dengan marah Rimba meninggalkan rumah. Sia-sia Anggraini mengejar sambil memanggil-manggil namanya. Ketika Anggraini memutar tubuhnya dengan lesu, matanya bertemu dengan mata Sinta yang berlinang air mata.
"Mama sudah janji tidak akan menikah lagi," rajuknya getir. "Sinta malu, Ma!"
"Kali ini tidak ada yang perlu malu, Sinta Oom Budi akan membawa kita pergi dari sini. Kita akan tinggal di rumahnya seperti satu keluarga."
* "Tapi dia sudah punya keluarga, Mama! Sudah punya istri! Apa Mama nggak malu jadi istri muda"""Mereka akan bercerai, Sinta."
"Dan Mama yang menceraikan mereka" Oh, Sinta malu punya ibu kayak Mama!"
Sambil menangis Sinta menghambur ke atas. Lari masuk ke kamarnya.
"ya Tuhan," keluh Anggraini putus asa. "Bagai- | mana harus kujelaskan pada mereka apa yang kulakukan untuk anak-anakku ini""
BAB XI Masalah demi masalah yang melanda keluarganya membuat Anggraini lupa pada hari ulang tahunnya sendiri. Tidak heran kalau dia langsung tertegun bingung ketika Budi Sukoco tegak di depan pintu rumahnya dengan membawa bunga.
Sebuah karangan bunga anggrek yang sangat cantik. Kunmg, merah, dan putih berpadu serasi. Memancarkan kesegaran dan keindahan yang hanya dapat ditampilkan oleh bunga.
"Selamat ulang tahun, Sayang," bisiknya sambil menyerahkan bunga itu dan mengecup pipi Anggraini dengan mesra.
Tiba-tiba saja Anggraini merasa pipinya panas. Dan... ah, bukan hanya pipinya. Matanya juga. Dia merasa malu. Terharu. Dan entah apa lagi.
Seribu satu macam perasaan bercampur aduk dalam benaknya. Budi begitu memperhatikannya, justru pada saat dia sendiri sudah melupakan ulang tahunnya.
"Mari kita pergi," ajak Budi lembut. "Hari ini lupakan sekejap semua urusanmu. Anakmu. Rumahmu. Pekerjaanmu."
jauh di bawah sadarnya, Anggraini juga sebenarnya merindukan pelepasan seperti ini. Lepas dari stres yang mengimpitnya setiap hari. Pada hari istimewanya ini, mengapa tidak mencoba melupakan segalanya, biarpun cuma sehari saja" Tahun depan, belum tentu masih ada hari seperti ini untuknya!
Apa salahnya bersantai-santai sehari ini" Berenang di laut. Jalan-jalan di pantai. Makan enak.
Hm, sudah lama dia tidak menyantap sate kambing. Nah, mengapa tidak dipakainya kesempatan ini" Lupakan dietnya seperti dia melupakan semua problemnya!
. "Sate kambing"" belalak Budi pura-pura terkejut. Padahal hari ini, seandainya Anggraini minta sate rusa sekalipun akan dicarinya juga. "Wah, tekanan darahku bisa naik!"
"Setahun sekali deh, Bud," pinta Anggraini manja. "Pulang-pulang langsung kauukur tekanan darahmu!"
Budi tertawa lebar. "Huh, kayak yang lagi ngidam saja!"
"Latihan!" Sesudah mengucapkan kata-kata itu, baru Anggraini menyesal. Mengapa mesti memberi harapan kalau dia tahu tidak mungkin dapat menepatinya" Dia kan tidak dapat memaksa anak-anaknya untuk menerima Budi!
Dengan alasan itu pula Anggraini menolak cincin, j bermata berlian yang dihadiahkan Budi kepadanya pada saat mereka bersantap malam.
"Anggaplah sebagai tanda pertunangan kita Angga," bisik Budi sambil menyodorkan kotak berisi cincin yang indah itu.
"Jangan, Bud," pinta Anggraini sungguh-sungguh. "Aku tidak mau menerima ikatan apa pun sebelum menjadi istrimu."
"Kalau begitu anggap saja hadiah ulang tahun dariku."
"Tapi ini terlalu besar. Bud."
"Kumohon, Angga, jangan tolak permintaanku. Aku gampang tersinggung!"
"Aku tidak mau menipumu. Anak-anakku tidak menginginkan dirimu. Mereka tidak mau punya ayah lagi." "
"Jangan bicarakan soal itu hari ini, Angga! Jangan kaurusak hari istimewa ini!"
Tetapi ketika Budi mengantarkan Anggraini pulang ke rumahnya malam itu, rusak jugalah hari yang telah mereka lewati dengan gembira itu.
Begitu Anggraini turun dari mobil, anak-anaknya telah menyongsong di depan pintu. Dan di tengah-tengah mereka, Budi melihat Heri.
'Thiduk dulu, Bud," kata Anggraini sambil mendahului masuk ke dalam. "Aku lihat Iin dulu."
"Siapa dia"" tanyanya curiga sambil melirik Heri yang sedang melangkah ke kamar makan.
"Teman Mama," sahut Ika polos.
"Sudah lama datangnya"'
"Oom Heri tidur di sini."
Budi membatalkan niatnya untuk duduk.
"Tidur di sini""
ulangnya tidak percaya. Matanya menyipit menatap Ika, satu-satunya orang yang masih berada di dekatnya.
"He-eh. Di kamar Mama," sahut Ika sambil menunjuk ke kamar ibunya. "Sudah seminggu Oom Heri tidur di situ. Oom Heri baik deh, Oom!"
"Mau minum apa, Bud"" tanya Anggraini.
Dia baru turun dari atas diiringi Dian dan Sinta.
"Masih lama nggak, Ma"" potong Dian cemas. "Kenapa kalian belum tidur" Sudah malam begini."
"Tunggu Mama," sahut Bea polos.. "Kata Oom Heri, malam ini kita semua mesti tunggu Mama."
"Padahal Dian udah ngantuk banget, Ma!"
"Ayo semua ke atas dulu," ujar Anggraini pada anak-anaknya. "Mama layani Oom Budi dulu."
"Jangan lama-lama ya, Ma!" seru Bea dari tangga. "Ika juga udah ngantuk!" "j
"Duduk dulu, Bud," kata Anggraini ketika dilihatnya Budi masih berdiri juga. "Heran, sudah 'begini malam anak-anak kok belum tidur. Termasuk Iin." r/ "Siapa lelaki itu""
Tertegun Anggraini mendengar dinginnya suara. Budi. Apalagi melihat tatapan matanya. Kapan pernah dilihatnya Budi semarah ini"
"Lelaki mana""
anak muda yang kausembunyikan di kamarmu itu""
"Di kamar mana"" Refleks Anggraini menoleh ke kamarnya. Dan tiba-tiba saja dia mengerti.
"Heri," gumamnya gugup. "Temanku..."
"Dasar perempuan jalang"" geram Budi jijik. "Kau main juga dengan segala macam gigolo begituan""
"Bud!" Bergetar bibir Anggraini menahan marah. "Jangan sembarangan mencaci orang!"
"Kau memang pelacur betina! Tidak ada lelaki yang bisa memuaskanmu!" Lalu berhamburanlah sumpah serapah yang lebih kotor dari air selokan dari mulut Budi.
"Cukup! Cukupr teriak Anggraini sengit. "Keluar kau! Keluar dari rumahku! Keluar sebelum kekotoran mulutmu menulari anak-anakku!"
Dan Budi memang tidak perlu diusir dua kali. Dengan membanting pintu, dia meninggalkan rumah itu.
#** Ya Tuhan, pekik Anggraini dalam hati. Begini-, kah akhir malam ulang tahunku yang ceria"
Dijatuhkannya dirinya ke sofa. Dan air mata langsung menggenangi matanya.
"Mama..." Suara Ika terdengar dekat. Dekat sekali di belakangnya,
"Pergilah tidur!" potong Anggraini sebelum Ika sempat mengucapkan kata-kata berikutnya.
Disembunyikannya wajahnya dari tatapan Ika. Dihapusnya air matanya. Dia tidak ingin menangis di depan anak-anaknya.
"Tapi, Ma..." "Tidur, Ika!" perintah Anggraini tegas. "Tahu sudah pukul berapa sekarang" Hampir pukul dua
belas. Besok kesiangan bangun." ""^M "Mama..."
"Jangan membantah lagi!" Anggraini terpaksa memalingkan mukanya. Menatap Ika dengan mata
membeliak marah. "Bea ma*u Mama marah lagi""
Dengan kecewa Ika menggelengkan kepalanya. Lalu dengan patuh dia melangkah terseok-seok ke
atas. Anggraini menghela napas jengkel. Sambil bangkit dari sofa disambarnya tasnya yang masih ter-golek di atas meja. Sesudah mengunci pintu depan, dia segera naik ke kamarnya. Dan merasa heran ketika tidak menemukan Iin di tempat tidur.
"Iin"" panggilnya bingung. Ke mana dia"
Tadi dia memang belum tidur. Tapi sudah tergolek di ranjang. Jatuhkah dia"
Buru-buru Anggraini melongok ke bawah tempat tidur. Kosong. Dia menoleh ke tempat tidur yang satu lagi. Kosong. Dan... eh, tidak kosong. Ada bungkusan di atasnya. Bungkusan apa"
Hati-hati diambilnya bungkusan itu. Dibukanya sedikit. Dan Anggraini terbelalak heran.
Seperangkat alat-alat make-up. Astaga! Kado dari mana ini" Dari... Heri" Untuk... Sinta"
Kurang ajar! Lelaki sok tahu itu! Dia mengajari
Sinta untuk membelanjakan uangnya membeli alat alat make-up" Menyuruh Sinta belajar berdandan"
Naik darah Anggraini ke kepalanya. Lebih-lebih ketika menoleh ke meja hiasnya. Semua peralatan make-upnya telah disapu bersih dari sana!
Astaga! Siapa yang" berani menyingkirkan minyak wanginya" Lipstiknya" Maskaranya" Pensil alisnya"
Selama Heri tidur di kamarnya, Anggraini memang telah mengangkut peralatan kecantikannya ke kamar atas. Tetapi itu untuk memudahkannya berdandan! Bukan menyuruh Sinta berlatih!
"Sinta!" teriaknya geram. Ke mana anak itu" Ke mana mereka semua"
Dengan gemas Anggraini membuka pintu kamar untuk menerjang ke luar. Tetapi sebelum dia sempat melangkahi ambang pintu, Heri telah mendahului masuk Dan melihat lelaki itu, kemarahan Anggrain
i langsung meledak. "Pasti kau yang jadi biang keladinya!" bentaknya sengit. "Punya siapa ini"" Ditunjukkannya bungkusan di tangannya itu ke muka Heri. "Siapa yang mengajari anak-anakku berhias seperti hostes"!" Dibantingnya bungkusan itu dengan, geram. "Dan ke mana semua alat make-upku". Parfumku" Habis dibuat mainan anak-anak"!"
Heri tidak keburu mencegah. Bungkusan itu terbanting keras ke lantai. Isinya hancur berderai.
Heri tertegun dengan mulut separo terbuka. Dia tidak mampu berkata apa-apa. Parasnya memucat.
Satu per satu anak-anak Anggraini masuk ke kamar. Ika-lah yang pertama-tama melihat bungkusan itu di lantai. Dia memekik kaget bercampur kecewa. Lalu dia menyelinap ketakutan di balik tubuh Heri.
Air mata Dian langsung mengalir melihat nasib bungkusan itu. Sementara Sinta hanya mampu tertegun sambil menutupi mulutnya.
Saat itu Intan muncul di ambang pintu. Nenek membungkuk di sampingnya. Membantu Intan membawa sebuah kue tar.
Dengan jalannya yang masih tertatih-tatih, dia muncul begitu saja dari belakang mereka. Membawa kue tar kecil itu ke hadapan Anggraini dengan dibantu neneknya.
Sekonyong-konyong Nenek menyadari musibah itu. Matanya terbelalak kaget menatap bungkusan yang telah porak-poranda di lantai itu. Dan. tidak sengaja pegangannya terlepas.
Intan yang tidak kuat lagi memegang kue itu seorang diri, menangis menjerit-jerit ketika seluruh kue jatuh menimpa kakinya.
Dua buah lilin berbentuk angka tiga puluh dua menggelinding ke dekat kaki Anggraini.
Sambil mengomel Nenek segera menggendong Intan keluar dari kamar itu. Sinta dan Dian sudah, lebih dulu lari keluar sambil menangis.
Hanya Rimba yang tidak menampilkan emosinya. Tanpa berkata apa-apa dia memutar tubuhnya. Dan meninggalkan kamar dengan kepala tunduk. Sementara Ika sudah melekat, erat-erat di paha
Heri. Matanya menatap ibunya dengan ketakutan seperti melihat monster.
"Apa artinya semua ini"" desis Anggraini gemetar, menyadari perasaan tidak enak yang mulai menjalari hatinya.
'Tidak apa-apa," sahut Heri tawar.. Matanya menatap Anggraini'dengan dingin. "Anak-anakmu hanya ingin mengucapkan selamat ulang tahun."
Tanpa berkata apa-apa lagi dia memutar tubuhnya. Dan menggendong Ika keluar. Meninggalkan Anggraini tertegun seperti orang lupa ingatan.
Ulang tahun! Ya Tuhan! Anak-anaknya menunggu sampai semalam ini untuk mengucapkan selamat ulang tahun kepadanya" Dan bungkusan itu!
Anggraini menatap dengan nanar bungkusan yang telah hancur di lantai di dekat kakinya.... Itukah hadiah ulang tahun dari anak-anaknya" O, begitu besarkah perhatian mereka"
Dan aku telah menghancurkan hadiah ulang tahun dari anak-anakku sendiri! Aku yang dalam keadaan marah kepada Budi, melampiaskan kemarahanku kepada mereka! Padahal mereka tidak bersalah! Anak-anak hanya ingin memberikan sesuatu kepada ibunya! O, betapa jahatnya aku! .j
Sambil meraung Anggraini membuang dirinya ke tempat tidur: Dan tangisnya meledak tanpa dapat ditahan-tahan lagi.
Hari celaka! Mula-mula Budi. Setelah Budi memberikan perhatian yang begitu besar... mempersembahkan hari ulang tahun yang sangat berkesan... dibalasnya budi baik lelaki itu dengan menyakiti
hatinya. Bahkan mengusirnya dari rumahnya! Padahal Budi hanya salah paham!
Lalu anak-anaknya. Untuk pertama kalinya mereka memberikan sesuatu pada hari ulang tahun ibunya. Yang pertama. Mungkin pula terakhir. Siapa tahu. Dan inilah balasannya. Dia melemparkan hadiah itu di depan mata mereka!
Anggraini masih dapat membayangkan dengan jelas betapa shocknya Ika. Betapa sedihnya Dian. Betapa terpukulnya Sinta. Dan betapa takutnya Iin!
Oh, aku benar-benar manusia yang tidak tahu berterima kasih! Ibu yang mengerikan! Perempuan monster! Lebih baik aku mati! Mati!
Dengan gemas, sekuat tenaga Anggraini mencoba membenturkan kepalanya ke dinding di samping tempat tidur. Tetapi seseorang menahannya. Ada sepasang tangan yang amat kuat memegang bahunya.
"Rini," panggilnya lembut.
Rini. Hanya seorang yang berani memanggilnya dengan nama itu. Diakah yang memegang bahunya" Sudah berapa lama dia berada di kamar ini,. mengawasi tangisnya"
"Biarkan aku mati," tangis A
nggraini histeris. Dia meronta sekuat tenaga. Mencoba melepaskan Hffiri. Tetapi Heri malah meraihnya ke dalam rang-.kulannya.
"Itu bukan Rini yang kukenal," bisiknya tenang. "Rini yang berjuang seorang diri melawan kanker yang menggerogoti tubuhnya dengan gagah berani."
Mendadak tubuh Anggraini mengejang. Kanker' Salah dengarkah dia"
Diangkatnya kepalanya. Ditatapnya Heri dengan tatapan tidak percaya. "w
Tetapi pemuda itu cuma tersenyum. Matanya demikian lembut menatap Anggraini. " Tetaplah tegak seperti sebuah batu karang di tengah lautan. Rini. Melindungi kelima anakmu dari serbuan ombak kehidupan yang kejam. Mengapa mesti mengakhiri perjuanganmu dengan membunuh diri"'"
"Kau tahu dari mana"" desis Anggraini dengan bibir gemetar.
Dia sudah lupa siapa yang sedang memeluknya. Dan betapa dekat jarak mereka sekarang....
Tidak penting dari mana aku tahu," sahut Heri lunak. "Kau seorang perempuan yang hebat. Berani. Tapi bodoh."
Ada kepanikan menggelepar-gelepar dalam mata yang sedang menatap Heri dengan bingung itu.
"Anak-anakku tahu"" erangnya gugup. "Mereka semua tahu""
"Seharusnya mereka tahu."
"Mereka tidak boleh tahu!"
"Mengapa" Mengapa mereka tidak boleh menghargai ibunya selagi masih hidup" Mengapa mereka baru boleh menyebutmu pahlawan sesudah kau mati""
"Aku tidak rela mereka ikut menderita! Mereka masih kecil!" "Rimba dan Sinta sudah cukup besar."
"Mereka belum tahu apa-apa!"
"Kau yang over protective]"
"Biar cuma aku yang menderita."
"Percaya padaku, Rini, mereka akan lebih menyesal karena tidak mengetahuinya lebih dulu!"
"Kau tahu bagaimana tersiksanya mengetahui hari kematianmu"" Dengan sedih Anggraini melepaskan dirinya dari pelukan Heri. Dia duduk di tepi tempat tidur. Heri duduk di sampingnya. "Menunggu sambil menghitung hari" Putus asa dan tidak punya masa depan""
"Beritahukanlah padaku, Rini: Bagilah penderitaanmu."
Anggraini menggeleng getir.
"Aku sudah pernah merasakannya. Dan tidak ingin kau atau anak-anakku ikut menderita." " "Itu yang kusebut berani tapi bodoh.'.'
"Kata siapa aku berani" Hampir setiap malam aku diganggu mimpi buruk. Hampir setiap malam aku bertanya sendiri, esokkah harinya" Masih dapatkah aku bangun esok pagi melihat anak-anakku" Tapi. biarlah kutanggung ketakutan ini seorang diri!"
"Itu tidak adil!" ':
"Aku cuma tidak mau membagi derita ini kepada anak-anakku."
"Suatu hari kau akan sadar, menanggung derita bersama-sama lebih menyenangkan. Kalian bisa melewatkan hari-hari terakhirmu dengan lebih mengesankan. Dan mereka akan berpikir dua kali sentu yang aku tidak mau. Mereka harus hidup seperti biasa. Bebas dari perasaan tertekan."
"Membangkang maksudmu" Memberontak dari kurang ajar terhadap ibunya""
"Mereka hanya tidak ingin punya ayah lagi, Tidak suka aku pulang . malam. Mereka hanya menuntut perhatianku!" \\. "Eh, akhirnya kau tahu juga!"
"Kau yang memberitahu, kan" Kau yang membukakan mataku." "Kalau begitu apa susahnya melaksanakan tun-- tutan mereka""
"Kau tidak mengerti. Aku mencari pelindung yang dapat menggantikan diriku setelah aku mati!"
"Mengapa tidak mencari seorang dokter yang dapat menunda kematianmu""
"Dokter menyuruhku operasi dua tahun yang lalu." "
"Mengapa menunda operasi kalau itu berarti bunuh dirif*
"Dan membiarkan mereka mengambil satu-satunya modalku""
"Bintang film tidak cuma perlu tubuh yang montok! Mereka perlu akting yang mantap!"
"Memang. Tapi aku bukan bintang film." i
"Jadi..." Ternganga mulut Heri. "Kau...""
"Aku cuma stand in. Melakukan adegan-adegan yang dianggap terlalu panas untuk dilakukan oleh artis-artis besar." ^j***. <
"Kalau begitu, carilah pekerjaan laini" "Pekerjaan apa" Aku cuma lulusan SMP! Dan
aku cuma pandai berpose. Pekerjaan apa lagi yang
dapat kulakukan untuk memperoleh sebuah rumah
dan simpanan yang cukup untuk menjamin masa
depan anak-anakku""
"Kalau kau sayang pada anak-anakmu, pergilah ke dokter, Rini. Mereka lebih memburahkan dirimu
daripada sebuah rumah!"
"Tapi sebuah rumah lebih baik daripada tidak kedua-duanya!" "Tumormu kan belum tentu ganas!" i "Anak sebarnya telah sampai ke kelenjar ketiakku."
"Biarkan dokter mengeluarkannya,
Rini." "Buat apa" Aku hanya membuang-buang uang Untuk operasi!"
"Buat apa" Kau lebih suka hidup dalam ketakutan begini""
"Apa bedanya untukku" Jika ternyata tumorku jinak, tidak dioperasi pun tidak apa-apa, bukan" Sebaliknya kalau ganas, dioperasi pun aku bakal mati juga! Malah kata orang, operasi bisa menyebabkan kankerku lebih cepat lagi menyebar."
"Lho, kenapa begitu pesimis" Kanker pun dapat sembuh kalau diobati dalam stadium dini!"
"Semua penderita kanker yang kukenal sudah pati!"
"Karena mereka datang terlambat!" " "Sekarang pun aku sudah terlambat dua tahun!" "Itulah kesalahanmu yang pertama. Five years survival, rate-nya lebih besar kalau kau berobat dUa tahun yang lalu. Mengapa sekarang hendak
membuat kesalahan yang kedua" Pergilah ke dokter besok, Rini. Jangan kautunda-tunda lagi."
"Tapi mereka bukan hanya membuang tumorku Mereka juga membuang payudaraku!"
"Tergantung tumormu jinak atau ganas, Rini. Jika jinak, mereka hanya mengangkat tumormu." "Jika ganas""
'Tergantung rumormu sudah sampai stadium berapa. Biasanya mereka memakai metode TNM. T untuk besarnya tumor di payudaramu. N untuk pembesaran kelenjar getah bening regional. Biasanya yang paling sering terkena adalah kelenjar limfe ketiak. Dan M untuk metastasis jauh. Misalnya penyebaran ke paru atau tulang."
"Dua tahun yang lalu, Dokter Surjadi bilang, tumorku berukuran kira-kira dua sentimeter. Waktu itu belum ada benjolan di ketiakku."
"Artinya tumormu baru stadium satu. Kalau saat itu dioperasi, mereka masih bisa melakukan Pembedahan Konservasi Payudara. Artinya payudaramu tidak dibuang habis."
"Apa bedanya" Payudaraku pasti tidak seindah "aslinya."
"Mereka bisa melakukan pembedahan rekonstruktif."
"Berapa lama aku harus tinggal di rumah sakit" Berapa biayanya" Anak-anakku masih kecil. Siapa yang mencari nafkah kalau aku tidak ada""
"Tapi kalau berhasil, kau bisa hidup lebih lama mendampingi anak-anakmu."
"Buat apa kalau hanya jadi beban mereka!
Lebih baik uang jutaan rupiah biaya operasi dan obat-obatan itu kutabung untuk membeli rumah!"
"Kau tidak pernah berpikir sebaliknya" Kalau kaubiarkan kanker itu menggerogoti tubuhmu, sampai kapan kau masih -kuat bekerja""


Cinta Di Awal Tiga Puluh Karya Mira W di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku akan berjuang sampai helaan napasku yang terakhir."
"Kalau akhirnya nanti kau terpaksa masuk ramah sakit karena tidak tahan sakitnya, bukankah kau harus mengeluarkan biaya juga" Pada stadium ter- . akhir, pengobatan kanker bukan untuk menyembuhkan. Tetapi hanya supaya penderita dapat melewati, hari-hari terakhirnya dengan tidak terlampau menderita. Inikah jalan yang kaupilih, Rini"" 1
Anggraini menatap pemuda itu dengan berlinang air mata.
"Aku mulai percaya, Tuhan-lah yang mengirimmu ke rumahku malam itu."
"Tapi aku tidak percaya Tuhan membiarkan kepalaku dihajar sampai penyok untuk bertemu denganmu." Heri tersenyum sambil meraih tubuh Anggraini ke dalam pelukannya.
Saat itu pintu perlahan-lahan terbuka. Satu per satu anak-anaknya muncul di ambang pintu. Dan Anggraini terlambat melepaskan dirinya dari pelukan Heri.
Terlambat pula menyadari betapa pucatnya paras, Sinta. Untuk sesaat, mereka hanya saling pandang tanpa berkata apa-apa. Lalu Sinta lekas-lekas menundukkan kepalanya.
"Nah, siapa yang mau mengucapkan selamat
ulang tahun pada Mama"" Suara Heri memecahkan kesunyian di kamar itu.
Untuk sesaat tidak seorang pun dari anak-anak itu yang berani maju ke depan. Mereka cuma menatap bolak-balik ke arah Heri dan Anggraini dengan ragu-ragu.
"Lho, kok nggak ada yang maju"" Heri tidak dapat menahan tawanya lagi melihat betapa tegangnya paras mereka. "Nggak ada yang mau bilang "selamat sama Mama" Bea""
Hari-hari Ika maju ke depan. Menatap ibunya dengan takut-takut. Dan berhenti beberapa meter di depan Anggraini.
"Selamat ulang tahun, Ma...," desahnya bimbang. Tapi sekarang udah lebih dari jam dua belas malam...."
Tidak tahan lagi Anggraini menghambur ke depan. Meraih Ika ke dalam pelukannya.
Terima kasih, Ika," bisiknya dengan air mata berlinang. "Maafkan Mama, ya" Mama jahat sekali marah-marah seperti tadi!"
Melihat ibunya menangis, Dian pun latah ikut "melelehkan air mata. Sambil menangis d
ia maju merangkul ibunya.
"Selamat ulang tahun, Ma...," isaknya tersendat-sendat.
"Wah, pada nangis semua!" gurau Heri sambil menyeringai lebar, "Dasar perempuan! Senang nangis, sedih nangis!"
Intan pun segera minta turun dari gendongan neneknya. Tertatih-tatih dia menghampiri ibunya. J
Anggraini langsung menggendongnya. Dan mencium pipinya.
"Iin juga mau bilang setarriat sama Mama, ya"" bisiknya sambil menatap gadis kecilnya itu dengan berlinang air mata.
Tetapi Intan cuma membalas tatapan ibunya dengan tatapan kosong. Mukanya tidak melukiskan ekspresi apa-apa. Dia tidak mengerti kata-kata ibunya. Hanya nalurinya barangkali yang membisikkan betapa bahagianya Mama malam ini. Sehingga walaupun Anggraini memandangnya dengan berlinang air mata, Intan tidak ikut menangis.
"Terima kasih untuk hadiahnya. Pakai uang siapa""
"Uang tabungan Ika, Ma!"
"Uang Dian juga, Ma!" sela Dian cepat-cepat.
"Dian sudah punya duit banyak!" "Dari mana""
"Kerja." ":^|
"Dian kerja apa" Di mana"" "Itulah kalau tidak pernah di rumah!" gerutu Nenek. Tetapi malam ini, tak ada kemarahan dalam
suaranya. "Kau tidak tahu," sela Heri. "Dian sudah punya
perpustakaan." "Perpustakaan"" Mata Anggraini terbuka makin
lebar. "Seratus perak satu buku, Ma," sahut Dian bangga. "Banyak teman-teman Dian yang pinjam.
Oom Heri juga!" "Ika juga pinjam, Ma," sela Ika lucu. "Tapi
euma lihat gambarnya. Jadi cuma bayar Anggraini dan Heri tertawa geli. Baru v sedang tertawa, Anggraini melihat Sinta Jj^ bersandar ke pintu seperti tadi. Wajahnya mu^J> Tatapannya hampa.
"Sinta juga mau bilang selamat sama Mama" tanya Anggraini lembut.
Perlahan-lahan Sinta mendekat. Membungkuk Dan mengecup pipi ibunya.
^Selamat ulang tahun, Ma," bisiknya parau.
"Maafkan Mama, Sinta," gumam Anggraini sambil membelai pipi anaknya.. "Mama janji tidak akan menyakiti hatimu lagi."
Tapi Mama baru saja menoreh hatiku dengan sembilu, bisik Sinta dalam hati. Dan dia terlambat menghapus air matanya. Air mata itu jatuh menetes ke tangan ibanya. Begitu banyak lelaki yang dapat Mama rain, mengapa mesti merampas satu-satunya pria yang dapat kugapai" .
Rimba adalah orang terakhir yang masuk ke kamar itu. Dan dia langsung mengecup pipi ibunya.
"Selamat ulang tahun, M^ma," katanya sambil mengeluarkan sebungkus kacang goreng dari sakunya. "Tadinya kami sudah menyiapkan kue tar untuk dimakan bersama-sama malam ini. Tapi sedang yang ada cuma kacang goreng."
^ ^mba." Anggraim tersenyum
LtL 2* ^ pula ""tuk nadiahnya. Kaubeli dengan. gajmu. >
'l bagian besar pakai uang Oom Heri," katanya
menoleh sekilas pun pada Heri-^^tapi dari nada suaranya' Anggraini telah mem-nada yang lebih bersahabat. Dan lagi, sejak baC3JJ ^a sudi memanggil Oom pada Heri" ^Malam itu mereka memang cuma makan kacang oreng- Tetapi sambil mengunyah kacang itu berwarna anak-anaknya, tiba-tiba saja Anggraini bertekad untuk mengunjungi Dokter Surjadi lagi.
Dia ingin sembuh. Ingin hidup lebih lama lagi bersama anak-anaknya. Dia ingin menikmati suasana yang lebih manis pada hari ulang tahunnya tahun depan!
Tolonglah, Tuhan, doanya sesaat sebelum tidur. Kalau jadi kehendak-Mu, biarkan aku hidup lebih lama bersama anak-anakku!
BAB XII "Mengapa baru datang sekarang"!"
Pedas sekali sambutan Dokter Surjadi begitu Anggraini melangkah masuk ke kamar prakteknya. Lebih-lebih setelah memeriksa benjolan di ketiak kirinya itu.
"Tumor di payudara kirimu sudah satu setengah kali lebih besar. Sudah ada penjalaran ke kelenjar getah bening ketiak sesisi. Kemungkinan tumormu sudah masuk stadium dua. Padahal dua tahun yang lalu masih stadium satu. Kalau dioperasi saat itu, prognosismu jauh lebih baik."
"Berapa lama lagi, Dokter"" tanya Anggraini -firih.
"Jangan tanya berapa tahun lagi!" bentak Dokter Surjadi marah. 'Tanya dirimu sendiri, kau mau sembuh atau tidak!" "Sekarang saya menyerah, Dok.", "Harus diperiksa dulu apakah sudah ada metas- j tam jauh atau belum. Sampai sebegitu jauh, dengan palpasi saya belum menemukan anak sebar 1 pada kelenjar limfe di leher maupun di payudaradj
kananmu. Tetapi kalau pada pemeriksaan ditemukan metastasis jauh di org
an lain, itu berarti tuffidr*
mu sudah masuk stadium empat. Operasi pun . percuma saja."
Dokter Surjadi menulis beberapa surat permintaan pemeriksaan.
"Bawa ini ke bagian Radiologi. Ini permintaan foto rontgen dan scanning. Tumormu akan saya biopsi lebih dulu. Baru nanti kita tentukan apakah tumormu masih dapat dioperasi atau tidak. Minggu depan kamu harus menemui saya lagi untuk mengetahui hasilnya." "Secepat itu, Dok"" gumam Anggraini gugup. "Mau. tunggu sampai kapan lagi" Sampai kanker itu bermetastasis ke seluruh tubuhmu dan dokter-dokter tidak sanggup lagi membedahmu karena sudah tidak ada harapan"" "Saya harus-berunding dulu dengan anak-anak." "Sudah dua tahun kau punya waktu untuk berunding! Sekarang sudah tidak ada waktu lagi! Kita sedang berlomba dengan maut!"
*** Mula-mula Anggraini tidak tahu dari mana harus mulai memberitahu anak-anaknya. Tetapi malam itu, sepulangnya dari Dokter Surjadi, Dca-Iah yang membuka jalan.
Dengan tidak disangka-sangka, anaknya yang baru berumur tujuh,tahun itu bertanya begini,
"Mama, apa artinya kanker""
"Itanama penyakit, Ika," sahut Anggraini Sete,a. berhasil menenangkan dirinya. ^
"Penyakit yang tanya Anggraini hati.
"Penyakit"" belalak Ika terkejut, ada di badan Mama"" "Ika tahu dari mana"
hati. 'Dan buku Mama." sahut Bea polos. "Siapa lagi yang tahu" Kak Sinta"" "Nggak ada. Cuma Ika. Kalau sakit, kenapa Mama nggak ke dokter" Mama takut disuntik, ya""
"Mama tidak takut disuntik, Bea." Anggraini tersenyum pahit. "Mama cuma takut dokter tidak dapat menyembuhkan penyakit Mama."
"Dokter tidak bisa"" Bea ternganga heran. Matanya terbuka lebar. 'Tuhan juga nggak bisa, Ma""
Tuhan bisa, Sayang," bisik Anggraini lirih. "Asai Dia mau."
Tuhan pasti mau.'" teriak Ika lega. Gembira. "Kata Bu Guru, Tuhan Mahabaik, Ma!"
Anggraini menggigit bibir. Menahan air matanya agar tidak menitik ke luar.
"Ibu Guru bilang, asal kita berdoa, Tuhan pasti "mengabulkan permintaan kita, Ma."
"Ibu Guru bilang begitu"" gumam Anggraini" j asal saja Cepat-cepat dipalingkannya wajahnya j agar Oca tidak melihat air matanya.
"Nanti Bea doa buat Mama, ya" Supaya Mama lekas sembuh! Tahan pasti dengar doa Ika ya, Ma" Tuhan kan sayang sama anak-anak!"
"Ya, Ika." Anggraini menyusut air mata yang telah mengalir ke pipinya,
Ketika Ika melihat ibunya menangis, dia meletakkan pensilnya. Dan merayap naik ke pangkuan ibunya.
"Jangan nangis, Ma," katanya sambil menghapus air mata yang mengalir ke pipi ibunya dengan jari-jarinya yang mungil. "Tuhan pasti suntik Mama supaya sembuh. Kalau Mama nggak sembuh, Dea nggak mau lagi jadi anak Tuhan!"
"Tuhan tidak bisa dipaksa, Dea," sahut Anggraini sambil tersenyum pahit. "Dia lebih tahu mana yang baik bagi kita. Bea serahkan saja semuanya pada kehendak Tuhan, ya""
Dea menyentuh dahi ibunya dengan serius. Begitu yang sering dilihatnya dilakukan Mama kalau Jin sakit.
"Aneh," desahnya bingung. Dahinya berkerut seperti sedang berpikir keras. "Mama nggak panas! Mama udah sembuh kali, Ma! Doa Bea udah dikabulin Tuhan!"
Tak tahan lagi Anggraini memeluk anaknya sambil menangis. Dian yang tiba-tiba muncul di ruang makan langsung menegur dengan agak kesal. "Ika nakal lagi, Ma" Nggak mau bikin PR"" "Huu! PR Ika udah selesai!" kata Ika sambil menunjuk buku PR-nya di atas meja makan. "Kok Mama nangis"" "Mama sakit!" sahut Ika cepat-cepat. "Sakit"" Dian tercengang menatap ibunya, "Mama sakit" Sakit apa, Ma""
"Kanker," jawab Ika lagi. ' Dian memandang ibunya dengan sedih.
"Sakit sekali. Ma"" tanyanya hampir menangis "Di mana yang sakit" Dian usap-usap ya, Ma""
"Tidak, Sayang." Anggraini membelai pipi Diatl dengan lembut. "Tidak terasa apa-apa."
"Dian beliin obat ya, Ma" Obat apa""
Cepat-cepat Ika menyebutkan nama obat yang sering dilihatnya di televisi.
"Katanya obat itu bisa nyembuhin semua penyakit!"
"Bodoh!" potong Dian jengkel. "Itu kan obat gosok! Mama mesti disuntik, tahu nggak""
"Kamu yang bodoh!" balas Ika sengit. "Obat suntik tidak dijual di televisi!"
"Sudahlah, jangan bertengkar," bujuk Anggraini lunak. "Kalau Dian dan Ika sayang Mama, tidak boleh bertengkar lagi, ya""
"Bea yang duluan, Ma!"
"Suatu hari nanti, kalau tugas Mama di dunia sudah selesai, Mama harus pergi meninggalkan kalian. Kaku kalian selalu bertengkar, kepada siapa harus minta tolong kalau ada kesulitan""
"Mama mau pergi ke mana, Ma"" belalak Ika heran.
"Ke tempat yang sangat jauh, Ika."
"Ika boleh ikut" Naik kapal terbang""
Anggraini terpaksa tersenyum. Ika memang lucu. Kata-katanya selalu membuat orang gemas. Di-cubitnya pipi Ika yang montok itu dengan lembut.
"Tidak, Ika, Tidak naik kapal terbang. Dan Ika
"Kalau begitu tunggu sampai Ika besar! Ika mau ikut Mama!"
Diam-diam Anggraini menyembunyikan tangisnya. Ya, seandainya dia boleh menunggu sampai anak-anaknya besar! Tetapi, Tuhan... dapatkah Kau menunggu"
"Makanan datang!" Rimba yang baru masuk menuntun sepedanya menunjukkan bungkusan sate ayam pada adik-adiknya.
"Horee!" Melupakan penyakit ibunya, Ika langsung melompat memburu bungkusan di tangan kakaknya.
"Eit! Tunggu dulu!" Rimba mengangkat bungkusannya tinggi-tinggi. "Kita makan sama-samai Jangan kayak dulu, selesai mandi aku cuma ke-bagiah tusukannya!"
"Sinta mana, Rimba"" tanya Anggraini ketika tidak melihat anaknya yang satu lagi. Tadi sore mereka pergi berdua.
"Masih di depan, Ma. Kaleng minyak tanahnya bocor."
"Bantu kakakmu, Dian," perintah Anggraini kepada anaknya. "Ika, bantu Mama menata meja
makan, ya" Kalau Rimba sudah mandi, kita makan sama-sama."BAB XIII
Anggraini merasa hatinya berdebar tidak keruan Perasaan tidak enak menyelinap ke beriaknya.
Begitu banyak orang berkerumun di depan ru-mahnya. Dan mereka semua mengenakan pakaian berwarna gelap. Ada apa"
Cepat-cepat Anggraini menguakkan kerumunan mereka. Mencari jalan untuk menyelinap masuk ke rumahnya. Di dalam Jebih banyak orang lagi. Dan mereka semua sedang menyanyi.
Samar-samar Anggraini mendengar nyanyian mereka. Lagu gereja. Lagu apa" Di mana dia pernah mendengar lagu te" Kapan" Waktu ayahnya meninggal"
Meninggal. Berdiri bulu romanya. Meninggal! Siapa yang meninggal"
Hampir, memekik Anggraini melihat peti mati yang sedang ditangisi orang di tengah ruangan itu... dilihatnya anak-anaknya di sana... tapi tidak semuaSiapa... siapa yang tidak ada" Satu, dua, tiga...
"Iin!" teriak Anggraini histeris. "Iin!"
"Mama! Mama!" Rimba mengguncang-guncang bahunya. "Bangun, Ma! Bangun! Mama mimpi apa""
Anggraini membuka matanya. Keringat dingin membanjiri sekujur tubuhnya. Dilihatnya Rimba membungkuk di atas tubuhnya. Mukanya begitu dekat. Matanya menatap penuh tanda tanya.
"Iin...," desah Anggraini lirih. "Di mana dia""
"Di samping Mama," sahut Rimba sambil menguap.
"Oh," Anggraini menghela napas lega ketika melihat Intan masih terbujur pulas di sisinya. Dia masih tidur nyenyak. Matanya terpejam rapat.
Terima kasih, Tuhan, bisik Anggraini sambil duduk menyeka peluhnya. Syukurlah semua hanya mimpi!
"Tidurlah, Rimba. Mama mimpi. Mimpi Iinwri
sakit." Tanpa berkata apa-apa lagi Rimba kembali ke tempat tidurnya. Ika masih terbaring lelap di sana. Sama sekali tidak terusik oleh pekikan ibunya.
"Dian tidur di kamar sebelah""
"Sama Sinta. Nggak ada yang mau tidur seranjang sama Nenek."
Anggraini kembali membaringkan tubuhnya. Tetapi dia tidak dapat terfelap. Jantungnya berdebar lebih cepat dan lebih keras daripada biasanya.
Ada apa" Firasatkah namanya ini" Firasat buruk"
Perlahan-lahan Anggraini turun dari tempat tidur. Ditatapnya Iin sekali lagi. Lalu dia menoleh pada
Rimba. Mukanya menghadap ke dinding sehing Anggraini tidak dapat melihat matanya. Tetaf napasnya naik-turun dengan teratur. Dia pasti sudJ tidur.
Hati-hati Anggraini membuka pintu kamarnya Mengendap-endap keluar. Dan membuka pintu kamar sebelah. Mengintai ke dalam.
Seberkas sinar lemah menyoroti kamar yang gelap. Samar-samar dia melihat Dian dan Sinta tidur di ranjang yang satu. Sementara Nenek sudah meringkuk di ranjang yang satu lagi.
Tidak ada yang terjaga. Semua tidur lelap. Hati- , hati Anggraini menutup pinta kamar. Dan turun ke bawah.
Dia mengambil segelas air di dapur. Lalu meneguknya sampai habis. Badannya terasa lebih segar. Tetapi jantungnya masih tidak mau diajak kompromi.
Ketika Anggraini kembali ke depan, s
esosok tubuh telah menunggunya di sofa. "Meronda""
"Mmum," Anggraini balas berbisik. "Belum ti- I dnrT "Tidak bisa udw." . "Panas"" "Memikirkanmu." "' "Ah." Anggraini memalingkan mukanya. "Apa yang mesti dipikirkan lap" Aku sudah pasrah" "Kini"
Heri mengulurkan tangannya. Menggenggam ta-wanita itu. Anggraini, fmunduk. Menatap j
rteri yang sedang menengadah ke arahnya.
Sekilas mereka saling tatap tanpa berkata apa-apa. Dan Anggraini tidak berusaha menarik tangannya dari genggaman Heri.
"Boleh tanya" Jangan jawab kalau tidak mau."
"Tanyalah." "Itukah lelaki yang kaupilih sebagai suamimu yang berikutnya"" "Lelaki yang mana""
"Lelaki yang sering datang kemari. Yang pernah kaubawa masuk ke kamarmu."
Anggraini menghela napas getir. Dilepaskannya tangannya dari genggaman Heri. Dijatuhkannya
tubuhnya ke kursi. "Kami sudah putus." "Kau sudah sering tidur bersamanya"" Anggraini menggeleng.
"Lantas bagaimana kau tahu dia cocok untuk ayah'anak-anakmu"" "Seorang ayah tidak dinilai di atas tempat tidur!" "Sudah lama kenal dia"" Sekali lagi Anggraini menggelengkan kepalanya. "Mula-mula, dia cuma produserku." "Kau yakin dia lebih baik dari mantan suamimu""
"Aku belum pernah menemukan seorang laki-laki yang demikian memperhatikan curiku. Dan demikian mendambakan anak."
"Suamimu yang dulu tidak""
"Peter belum pernah menjadi suamiku. Dia menghilang setelah menitipkan Rimba di rahimku.
Dalam kepanikan, aku menemukan Bonar. a, menikah hanya supaya Rimba tidak disebut aj^ haram." ^
"Ibumu setuju"" "Apa lagi yang dapat dilakukannya" Aku sucw hamil. Ternyata aku keliru. Lebih baik Rimba ja(J. anak haram daripada punya ayah tiri sepe!" Bonar." "Dia sadis"1'
"Seuap malam dia pulang daiam keadaan mabuk. Dan Rimba-lah yang harus menerima pukulan-pukulannya."
"Sekarang aku tahu mengapa Rimba giat belajar karate."
Tangannya enteng sekali. Tetapi selama dia tidak menyakiti anak-anakku, aku masih dapat bertahan. Aku baru minta cerai setelah dia sering - memukuli Rimba. Waktu itu, aku sudah punya Ika." "Suamimu yang lam""
"Ketika bertemu, Abidin mengaku masih bujangan. Tapi soatu hari, ketika Iin berumur setahun, datang seorang perempuan yang mengaku istrinya. I Dia mendampratku habis-habisan di depan tetangga"
"Pantas jelek sekali rekomendasi tetanggamu terhadap dirimu. Pasti kau dicap sebagai janda perebut suami orang."
"Ketika kepanikan sedang melanda diriku, aku I bertemu Hadi. Aku baru saja menemukan benjolan j. di payudaraku. Saat, itu,. aku takut sekali mati, r. Takut meninggalkan anak-anakku. Aku ingin mencari ayah bagi mereka. Tapi untung segera kusadari, Hadi bukan figur ayah yang cocok."
"Dia tidak suka anak-anak""
"Justru suka sekali. Tetapi aku tidak bisa mati dengan mata terpejam kalau harus meninggalkan anak-anak perempuanku dengan seorang laki-laki yang punya penyakit pedofilia seperti dia!"
"Persis," komentar Heri sambil menghela napas.
"Apanya"" "Kisahmu. Persis adegan film." "
"Budi adalah pilihanku yang terakhir. Dia sangat mendambakan anak. Istrinya mandul."
"Sayang anak-anakmu sudah tidak mau punya ayah lagi."
"Mereka sudah kapok."
"Sayang aku tidak datang lebih cepat."
"Kau"" Anggraini menatap tidak percaya. "Kau juga mau menjadi ayah anak-anakku""
"Bukan hanya ayah anak-anakmu." Heri tersenyum penuh arti. "Sekaligus suamimu."
"Aku sudah kotor."
"Aku juga tidak bersih." m "Carilah seorang gadis yang masih suci.. Kau masih muda." "Tidak adil."
"Kau sering main perempuan"" - "Aku seorang pembunuh."
Tertegun Anggraini menatap pemuda itu. Hampir tidak percaya pada pendengarannya sendiri. "Jangan khawatir," hibur Heri pahit. "Aku baru r"ii membunuh orang. Dan tidak sengaja."
Tapi apa bedanya membunuh satu orang atau seratus orang sekalipun" Pembunuh tetap pembunuh/ Dan selama hampir sepuluh hari, pembunuh itu telah tidur di rumahnya, tinggal bersama anak-anaknya.' 3gS
Ratu Tanah Terbuang 1 Pendekar Bayangan Sukma 11 Pertarungan Di Gunung Tengkorak Romantika Sebilah Pedang 9
^