Pencarian

Cinta Di Awal Tiga Puluh 1

Cinta Di Awal Tiga Puluh Karya Mira W Bagian 1


1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan
atau memperbanyak suatu ciptaan atau memberi izin untuk itu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1 OO.OOO.OOO,- (seratus juta rupiah).
2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan. memamerkan, mengedarkan. atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau. barang fiasfl pelanggaran Hak Cipta sebagaimana dimaksud daiamayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5. fliroa)tahan dan/atau denda paling banyak Rp 50.000.000(lima puiuh juta rupiah).
Mira W. cintaI di awal tiga puluh Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama Jakarta, 1996
CINTA DI AwAL TIGA PULUH -V^ Oleh mira W GM 401 96.424 " Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama JL Palmerah Selatan 24-26, Jakarta 10270 desain sampul oleh Pagut Lubis Mterbitkan pertama kali oleh . Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, anggota IKAPI, Jakarta, Oktober 1996
Bagian pertama buhl ini pernah diterbitkan
oleh Penerbit Alam Budaya.
Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT) Mra W.
Cinta diAwal Tiga Puluh/mira W. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996. 352 Wbl; 18 cm.
ISBN 979-605-424-8 " I Judul.
Kasih sayang dan pengertian tidak mengangkat penderitaan tetapi membantu mengatasinya
BAB I Bayangan itu melintas begitu cepat di muka mo-bilnya.Hitam.Tinggi.Dan sempoyongan.
Bunyi derit rem yang panjang menyakitkan te-linga melengking membelah kesunyian malam. Mobil itu terlonjak berhenti. Anggraini terdorong ke depan. Dan terenyak kembali ke sandaran bangku mobil-nya.
Terlambat! Bersamaan dengan terdengarnya ben-turan keras di salah satu bagian mobilnya, bayangan itu terlontar ke tepi jalan.
Ya Allah! Bayangan itu pasti bukan kucing! Dia pasti seorang penyeberang jalan! Penyeberang gila yang tiba-tiba saja melintas di depan mobilnya....
Kini orang itu pasti sudah terkapar mati di tepi jalan sana.Dalam satu malam saja,dia telah men-jadi seorang pembunuh!
Anggraini masih tertegun bingung di dalam mobilnya.Tidak tahu,mesti turun menengok korban itu atau justru kabur secepat-cepatnya.Ke polsek. Itu yang paling aman.
Daripada mesti turun seorang diri menghampiri sesosok mayat... pada pukul dua malam! Hiii... sepinya tempat ini!
Dan Anggraini tidak jadi memejamkan matanya. Sesosok bayangan,entah dari neraka mana datang-nya,tiba-tiba saja menghampiri mobilnya.
Takut dan kaget,serentak Anggraini menjerit. Refleks tangannya menyambar kunci mobilnya untuk menghidupkan mesin.
Tetapi sial! Mesinnya tidak mau hidup! Dan bayangan itu kbih cepat membuka pintu mobilnya. Menerobos masuk.Langsung duduk di sebelab Anggraini....
Oh, dia pasti setan! Setan dari orang yang mati ditubruknya tadi.,
Sambil memekik sekali lagi, Anggraini mencoba meloloskan diri dari mobilnya.Lari.Kabur. Tetapi sekali lagi, setan itu lebih cepat.
"Diana di sini!"bentaknya sambil meraih tangan Anggraini.Anggraini tidak tahu apa semua setan bisa bicara. Tetapi setan yang satu ini tangannya begitu hangat! Di mana ada setan yang tangannya begini hangat"
"Jalankan mobilmu!" perintahnya sekali lagi.
Sekarang Anggraini yakin, makhluk ini masih bernapas. Dia pasti belum jadi setan. Masih ber-wujud manusia. Kalau tidak, buat apa dia naik mobil" Setan kan bisa terbang"
Dan dalam kegelapan,samar-samar Anggraini -dapat melihat wajahnya. Wajah paling kotor yang pernah dilihatnya. Tetapi kotoran itu bukan hanya
debu. Kotoran itu bercampur darah... darah yang
bercampur keringat! "Lekas jalankan mobilmu!" perintahnya iagi.
Kali ini Anggraini membaca ancaman dalam suaranya. Tetapi bukan cuma ancaman. Ada nada lain di dalam suaranya. Nada kesakitan.... Ya Tuhan! Dia kesakitan sekali!
"A... akan kubawa kamu ke rumah sakit...," Anggraini menggagap bingung.
"Persetan!" geram lelaki itu menahan sakit. "Lekas jalankan mobilmu!"
"Ke mana""
"Pokoknya jalan! Cepat!" Anggraini menyentuh kunci mobilnya. Menggeng-gamnya erat-erat. Memutarnya untuk menghidupkan
mesin. Sekali. Dua kali. Tiga kali. Ah, pasti mobil tua ini mogok lagi!
Tetapi pada putaran keempat, mesinnya hidup. Anggraini sampai lupa bernapas. Dan merasa amat
sesak. Ya Tuhan! Mudah-mudahan semu
a ini cuma mimpi. Mimpi seperti yang hampir setiap malam dialaminya. Dia sering merasa sesak begini. Ke-takutan. Membeku di tempat tidurnya. Lalu tiba-tiba terbangun di dalam kamarnya yang gelap gulita. Dan bersyukur semua itu cuma mimpi.
Tetapi kali ini agaknya dia tidak bermimpi. Dia benar-benar berada dalam mobilnya pada pukul dua dini hari.... dengan seorang laki-laki yang I dak dikenalnya!
Dan- lelaki ini pasti bukan orang baik baik
Kalau tidak, kenapa dia menolak dibawa ke rumah
sakit" Dia kan butuh pertolongan! Mukanya berlih muran darah. Pasti karena benturan dengan rhobil-'i nya tadi!
Ah, seandainya: dia tahu laki-laki ini masih hidup! Lebih baik dia tidak berhenti tadi. Lebih baik dia cepat-cepat kabur ke polsek terdekat!
Orang ini pasti punya maksud jahat. Dia pasti mail merampok mobilnya...". Tetapi mengapa tidak mtmggalkannya saja Anggraini di tepi jalan tadi" Atau... dia punya maksud lain" Menyeretnya ke tempat gelap dan...
Anggraini memejamkan matanya rapat-rapat. Ba- -yangan belukar yang rimbun di belakang rumah Nenek tiba-tiba saja kembali menghantui dirinya....
Dia merasa takut. Amat takut. Ingin menjerit. Me-mekik Tetapi suaranya seperti tersekat di tenggorok-an. Yang terdengar cuma suara seperti orang tercekik.
Lalu Anggraini tidak dapat menguasai kemudi lagi. Mobil itu meluncur ke tepi jalan. Menabrak gili-gili. Dan terlonjak berhenti di atas kaki lima.
"Kau tolol!" bentak lelaki itu antara kaget dan marah. "Kan man membunuhku"!"
Tangannya sudah terulur untuk mencengkeram bahu Anggraini, tapi tiba-tiba tangan itu mengejang di udara. Matanya berpapasan dengan sebentuk wajah yang amat pucat. Dan entah mengapa, me-lihat paras yang membeku ketakutan itu, dia mem-batalkan niatnya. ,
"Kau kenapa"" desianya sambil menurunkan tangannya.
"Aku takut;..," rintih Anggraini tak sadar. "Aku juga takut," gumam lelaki itu pahit. "Sekarang jalankan mobilmu."
Suara itu bukan suara orang jahat. Suara yang meredam sakit. Untuk pertama kalinya Anggraini berani menoleh. Dan matanya bertemu dengan mata lelaki itu... sepasang mata yang tajam, tetapi me-nyimpan kelembutan di baliknya.... Ah, sorot matanya tidak bengis... sama sekali tidak kejam. Dia pasti bukan penjahat!
Perlahan-lahan ketenangan Anggraini pulih kembali. Laki-laki ini pasti terluka. Dia membutuhkan pertolongan dokter. *
"Kau harus ke rumah sakit!"
"Jalankan saja mobilmu."
"Ke mana""
"Jalan!" Terpaksa Anggraini menuruti perintahnya. Ketika mobilnya sudah meluncur kembali di aspal, sekali
lagi Anggraini bertanya. "Ke mana"" "Ke Bandung."
Hampir terlepas kemudi mobil dari tangan Anggraini. Tetapi kali ini, penumpang gelapnya lebih cepat. Tangannya secepat kilat meraih kemudi mobil. Dan membelokkan mobil yang sudah hampir naik lagi ke atas trotoar itu kembali ke jalan raya.
"Terus!" geram laki-laki itu gusar. "Jalankan mobilmu baik-baik. Jangan bikin aku marah!" j
"Tapi aku tidak bisa mengantarmu ke Bandung!"
"Siapa yang tanya""
"Kasihanilah aku!" pinta Anggraini sambil berdoa dalam hati. "Aku tidak bisa mengarttarmu...." "Harus"
Entah sudah berapa kali Anggraini menyebut nama Tuhan. Tetapi dia sendiri tidak yakin orang ini kenal Tuhan. Bagaimana dia mau mendengar perintah Tuhan untuk melepaskan dirinya"
"Aku punya lima orang anak perempuan yang masih kecii-kecil...."
Seolah-olah tidak percaya, laki-laki itu menoleh. Dan menatapnya dengan tatapan yang membuat harapan Anggraini meletup.
"Kumohon padamu. biarkan aku pulang. Anak-anakku menunggu di rumah. Kalau kau mau ke Bandung, ambillah mobilku. Tapi jangan ganggu afcu...."
Sekejap dia mengawasi Anggraini. Dan Anggraini merasa dia sedang berpikir. Oh, mudah-mudahan dia juga mendengar bisikan Tuhan di hatinya... kalau saja dia masih punya hati! "Ada siapa di nimahmu"" "Cuma aku dengan anak-anak." "Suaminur"" "Aku janda."
"Kalau begitu, bawalah aku ke rumahmu." "Ke ramahku"" Anggraini tersentak kaget. "Mau apa kau ke sanaT
"Bukan urusanmu!"
Bukan urusanku, desah Anggraini ngeri. Tapi itu kan rumahku! Sambil mengemudikan mobilnya Anggraini masih
dapat melihat lelaki itu menyeka mukanya berkalikali. Sebentar-sebenta
r dia memegang kepalanya.
Dan mengerut kesakitan. Mudah-mudahan dia sudah jatuh pingsan sebelum sampai ke rumah.... Tetapi sampai mobilnya berhenti di depan rumah, lelaki itu masih tetap ber-tahan!
Sempoyongan dia turun dari mobil. Membukakan pintu untuk Anggraini. Dan menyeretnya turun.
"Buka!" desisnya sambil melirik pintu depan rumah. "Ingat, jangan membangunkah siapa pun!"
Bergegas Anggraini mencari kunci di dalam tas-nya. Tangannya bergetar hebat. Berkali-kali dia tidak mampu memasukkan anak kunci itu ke lu-bangnya.
"Berikan padaku!" sergah laki-laki itu tak sabar. Dirampasnya kunci dari tangan Anggraini. Di-masukkannya ke lubang kunci. Sekali putar, pintu
terbuka. Sejenak dia menahan langkahnya di ambang pintu. Menyapu seluruh ruangan dengan matanya. Ruang tamu yang sempit. Gelap. Sepi. Tidak ada
seorang pun di sana. "Di mana anak-anakmu"" "Tidur."
"Di mana kamarnya"" "Di atas." "Pembantu"" "Tidak punya." "Orangtuamu""
"Cuma Ibu. Tidur di kamar anak anak
Anggraini mendengar lelaki.itu menghela napas lega. Justru pada saat Anggraini menahan napas. Anak-anaknya perempuan semua. Jika lelaki ini... Oh, Tuhan! Jangan!
Buru-buru Anggraini menyodorkan kunci mobilnya Lelaki itu menatapnya dengan kesal. "Buat apa""
Tolonglah, tinggalkan rumahku," pinta Anggraini ketakutan. "Ambillah apa saja yang kauinginkan. Jangan ganggu aku dan anak-anakku...."
"Ambilkan aku minuman." katanya sambil menu-tup pintu dan menjatuhkan diri ke kursi. "Obat [ sakit kepala juga."
"Pusing"" tanya Anggraini tak sadar. Lelaki itu cuma mengangguk. Dan menyeka darah yang meleleh dari hidungnya. "Kau mesti ke rumah sakit,.." "Jangan cerewet!" Tapi kau hams ke dokter!" "Itu DrusankuP "Mungkin lukamu parah." "Bukan urusanmu."
"Kalau kau mati, aku yang dihukum! Aku yang menabrakmoT "Ambil nTinuman!"
Apa boleh buat. Anggraini menghela napas. Dia tidak dapat mengatur bajingan ini. Orang itu yang berkuasa.
Anggraini baru melangkah setindak ketika laki-laki itu menyambar lengannya. Dia hampir memekik kaget. Untung masih sempat ditahannya. Anggraini sadar, dia tidak boleh membangunkan anak-anak.
Kalau mereka bangun, keadaan akan bertambah kacau. Dan mereka mungkin berada dalam bahaya
yang lebih besar.... "Ada apa"" gerutu Anggraini antara takut dan
jengkel. "Kau minta minum, kan""
"Aku ikut. Di mana kamarmu""
"Mau apa ke kamarku""
"Aku tidak percaya padamu."
"Aku tidak punya telepon."
"Siapa tahu kau punya seseorang di kamarmu."
"Sudah kubilang, aku janda."
"Dan janda tidak boleh punya seseorang di kamarnya""
Memerah paras Anggraini. "Mengapa kau harus takut""
"Bukan urusanmu. Di mana kamarmu""
Terpaksa Anggraini membawa laki-laki itu ke kamarnya. Untung memang, dia selalu tidur sendiri. Di kamar bawah. Dengan menempatkan anak-anaknya di kamar atas, mereka tidak akan terbangun setiap kali dia pulang malam.
Lelaki itu mengempaskan pintu kamar sampai terbuka. Dan tegak dalam posisi siaga. Ketika dirasanya aman, tangannya meraba dinding. Dan menekan tombol lampu.
Sinar lampu menerangi seluruh kamar yang tidak terlalu besar. Sebuah ranjang kosong menanti di tengah kamar. Lemari yang kecil itu juga tak mungkin dipakai seseorang untuk bersembunyi. Se-lain itu hanya sebuah meja bias yang mengisi kamar itu.
lelaki itu menghela napas lega. Rasanya semua Tidak ada seorang pun di kamar perempuan "dia langsung duduk di samping tempat tidur mengurut-urutkepalanya.
Dia pasti sangat kesakitan, pikir Anggraim resah. Kalau dia mau menggunakan kesempatan, rasanya sekaranglah saamya yang paling tepat. Dm hanya tinggal menyambar botol parfumnya. Menyemprot-kan minyak jvangi itu ke matanya. Lalu memukul kepalanya dengan lampu duduk di sisi tempat tidur
Dan kebimbangan Anggraini buyar dengan sen-dirinya. Karena lelaki itu sudah roboh sebelum sempat diapa-apakan!
Dia tidak pingsan. Tapi sekujur wajahnya me-ngerut kesakitan. Dan tiba-tiba saja, begitu tiba-tiba, Anggraim merasa kasihan kepadanya. Betapa-pun, dialah yang telah menabrak orang ini.
Bergegas Anggraini lari ke dapur. Mengambil air. Dan membawa juga sebutir obat penghilang rasa sakit.
"Ini obatnya." Anggraini menyodorkan
obat dan air-yang dibawanya. "Kau perlu dokter!"
"Aku cuma pusing," katanya setelah menelan obatnya.
"Apa salahnya pergi ke rumah sakit"" ^Dia tidak menjawab. Diteguknya airnya sampai
"Lagi"" "Aku ingin muntah lagi." |Tanpa berkata apa-apa lagi, dibaringkannya tu-bu""ya. D.pejamkannya matanya rapatSpat
"Aku tidak akan mengganggumu," desahnya menahan sakit. "Asal kau tidak berbuat yang bukanbukan."
Berbuat apa, pikir Anggraini sambil menyelinap ke luar. Memanggil hansip" Minta mereka menge-luarkan lelaki itu dari kamarnya" Tetapi... apa salahnya" Lelaki itu tidak menggahggunya sama
sekali. Anggraini yang menabraknya!
BAB II Anggraini menjerit ketakutan. Tetapi mulutnya tidak mampu mengeluarkan suara sedikit pun.
Peter menelungkup di atas tubuhnya. Mukanya' yang basah berkeringatbegitu dekat dengan muka Anggraini. Napasnya yang menjijikkan itu seperti knalpot mobil yang mengembus-embuskan asap pa-nas ke pipinya. Bau tuak yang menyengat hampir membuat Anggraini muntah.
Mati-matian Anggraini melawan. Mencakar. Me-mukul. Menendang. Memberontak. Tetapi Peter jauh lebih kuat. Tubuhnya yang gempal seperti sekarung beras yang menindih tubuh Anggraini. Tidak berge-rning sedikit pun biar Anggraini meronta sekuat tenaga.
Sia-sia Anggraini. memukul. Mencakar. Menendang. Peter seperti tidak merasakannya. Dia mengo-yakkan pakaian Anggraini. Dan merampas apa yang diinginkannya.
Anggraini merasakan kenyerian yang amat sangat di sela-sela pahanya... dia memekik... memekik lagi... dan terjaga dari tidurnya....
Anggraini terbangun dalam gelap. Duduk terpaku
di kursi. Keringat dingin membanjiri sekujur tubuhnya. Air mata meleleh di wajahnya.
Dengan tangan gemetar disentuhnya tombol lampu. Seluruh ruangan menjadi terang. Tetapi tidak
ada-apa-apa di kamar tamunya yang sempit itu. Dia seorang diri di sana.
Diliriknya jam dinding. Hampir pukul lima.
Mengapa dia tidur- di sofa"
Pandangannya melayang ke pintu kamar tidurnya. Dan sekonyong-konyong Anggraini teringat laki-laki itu! Astaga. Masih adakah dia di dalam sana"
Tidak sadar tatapan Anggraini melintas ke tingkat atas... mungkinkah dia menyelinap ke sana" *
Tergopoh-gopoh Anggraini beringsut bangun. Na-luri seorang ibu untuk melindungi anak-anaknya mengusir rasa takutnya. Dia harus melihat apakah bajingan itu masih meringkuk di kamarnya....
Dibukanya pintu kamar tidurnya. Dan Anggraini terenyak kaget.
Sesosok tubuh melesat dari tempat tidurnya. Melompat ke jendela. Siap untuk menerjang ke luar,...
"Tunggu!" sergah Anggraini bingung. "Tidak ada siapa pun! Aku sendirian!"
Lelaki itu tertegun di tempatnya. Dia menoleh. Dan matanya berpapasan dengan mata Anggraini. Lalu dia ambruk di atas kedua lututnya. Kedua belah tangannya menebah kepalanya.
Refleks Anggraini menghampirinya. Dan mema pahnya ke tempat tidur. Ada desk aneh di dadanya
ketika tangannya menyentuh kulit laki-laki itu. Jan-tungnya berdegup kencang. Dan parasnya memerah.
Kurang ajar, maki Anggraini dalam hati. Kenapa aku jadi bertingkah seperti perawan belasan tahun lagi"
Anggraini membantu membaringkan laki-laki itu-di tempat tidur. Dan menyodorkan bantal ke bawah kepalanya.
"Tambah pusing kalau pakai bantal," erangnya lirih dengan mata terpejam.
Anggraini membungkuk dalam. Mengambil bantal. Dan menyingkirkan bantal itu ke samping.
"Barangkali gegar otak." \$&*
Mendengar nada cemas dalam suara Anggraini," lelaki itu membuka matanya. Dan tidak sengaja, matanya menembak lekuk menggiurkan di dada Anggraini.
Menyadari kesalahannya, lekas-lekas Anggraini menyingkir.
"Ke mana"" fte"t
"Ambil obat" Bergegas Anggraini memutar tubuh. Menyembunyikan wajahnya yang terasa panas membara.
"Tidak usah. Aku cuma perlu istirahat."
Tetapi Anggraim tidak menghiraukannya lagi. Cepat-cepat dia keluar meninggalkan kamar itu. Langsung ke kamar mandi.
Anggraini sedang menggoreng telur ketika terdengar jeritan ibunya. Tanpa berpikir dua kali, Anggraini menghambur keluar dari dapur. Dan berpa-pasan dengan ibunya yang sedang tergopoh-gopoh
meninggalkan kamarnya. "Angga!" geram ibunya dengan napas tersengal-sengal. Matanya membeliak gusar. "Siapa lelaki
yang d i kamarmu itu"!"
"Teman," sahut Anggraini sambil menghela
napas. "Teman"" ibunya menatapnya dengan alis ter-angkat. Tatapannya setajam pisau silet: Sorotnya berbaur antara kesal dan tidak percaya.
Sejak kecil Anggraini tidak suka ditatap seperti itu. Dipalihgkannya wajahnya dengan segera.
"Sudah berapa kali saya bilang, Bu, saya tidak suka ditatap seperti ini!"
"Orang macam apa dia"" desak ibunya lagi, tanpa menghiraukan protes Anggraini.
"Dia akan segera pergi," sahut Anggraini sambil melangkah kembali ke dapur.
"Jadi rumah ini benar-benar sudah jadi hotel! Atau semacam rumah..."
"Ibu! Dia sedang sakit!" "
"Dan tidak ada tempat tidur kosong di rumah sakit""
Oh, sudahlah. Percuma berdebat dengan ibunya. Dalam usia enam puluh tahun, rasanya ibunya telah menjadi enam kali lebih cerewet daripada ketika berumur lima puluh sembilan!
Keinginan Anggraini untuk menceritakan kisahnya semalam segera saja pudar. Ibu pasti tidak percaya!
Dia sama saja dengan para tetangga. Bahkan anak-anaknya sekalipun. Mereka pasti menuduh lelaki itu temannya. Dan dia yang mengundangnya ke sana!
Dengan jengkel Anggraini melanjutkan kerjanya. Menggoreng telur untuk anak-anaknya. Dan mem-bawa telur dadar itu ke meja makan.
"Mama, siapa Oom yang di kamar Mama itu"" tanya Bra dengan mulut masih penuh nasi.
Nan. ini dia. Serangan bam dari anak-anaknya. Sekarang mereka semua sedang menatapnya dengan curiga. Kecuali Rimba. Putri sulungnya itu malah merunduk makin dalam. Dan menghabiskan nasinya makin cepat. Seolah-olah dia sudah muak berada di sana. Dan ingin cepat-cepat menyingkir.
Anggraini meletakkan piling berisi telur itu di tengah meja. -Teman Mama," sahutnya pendek. "Oom tidur di sini, Ma"" "Dia sedang sakit." "Oom nggak punya rumah"*' Anggraini menghela napas panjang. "Lekas habiskan makananmu, Ika. Nanti terlam-bat ke sekolah."
Rimba meletakkan gelasnya di atas piringnya yang sudah kosong. Sengaja agak keras. Kemudian dia bangkit dari kursinya. Begitu kasarnya sehingga kaki kursi yang menggeser lantai itu menerbitkan suara berisik.
Meskipun tidak berkata apa-apa, Anggraini tahu, Rimba sedang menyatakan protesnya atas kehadiran lelaki di kamar ibunya itu.
Sinta Iain lagi. Putrinya yang kedua itu, yang barn berumur empat belas tahun, sedang makan sambil menunduk. Tetapi kemurungan wajahnya
melukiskan betapa kesalnya dia.
Anggraini belum sempat menegurnya ketika bentakan Rimba sudah menggelegar dari ambang pintu.
"Siapa yang ambil dompetku"!" Begitu masuk ke ruang makan, Rimba langsung menghampiri
Dian. "Mana dompetku""
"Bukan Dian yang ambil!" protes Dian marah. "Jangan sembarangan riuduh dong!"
"Kalau begitu kamu!" Rimba berpaling dengan geram pada Ika.
"Bukan! Bukan Ika!" teriak Ika ketakutan.
Dia sudah bersiap-siap untuk menghambur lari dari kursinya ketika Rimba mendahului mencengke-ram lengannya.
"Mana dompetku""
Ika memekik kesakitan. "Rimba!" bentak Anggraini kesal. "Lepaskan Ika! Jangan sekasar itu pada adikmu!"
"Dia ambil dompet Rimba, Ma!"
"Bukan Ika!" crang Ika antara sakit dan takut.
"Kalau bukan kamu, siapa lagi""
"Rimba, lepaskan adikmu!"
Dengan jengkel Rimba mengempaskan lengan adiknya.
"Sekarang," Anggraini menatap Ika dan Dian bergantian. "Siapa yang ambil dompet Rimba""
"Aku." Semua mata menoleh ke pintu. Ke arah suara itu.
"Ibu." Anggraini menelan kejengkelannya. "Ibu yang ambil dompet Rimba""
Dengan tenang ibunya melangkah masuk. Dan meletakkan dompet Rimba di atas meja.
"Tuh, Nenek kan yang ambil! sorak Ika separo melecehkan. "Bukan Dca! Enak aja Kak Rimba nuduh orang!"
"Lain kali tanya dulu dong!" sambung Dian kesal. "Belum apa-apa udah nuduh nyolong!"
"Bilang-bilang dong, Nek, kalau ngambil barang orang!" Sambil menyambar dompetnya, Rimba me-lewati tempat neneknya dengan kesal.
"Eh, siapa bilang Nenek ambil barangmu"" ban-tah Nenek tersinggung. "Udah ngambil masih nggak ngaku!" "Nenek cuma tolong menyimpankan. Kamu meletakkan dompetmu sembarangan saja di atas meja. Kalau hilang bagaimana""
"Ah, siapa sih yang berani nyolong dalam rumah"" dumal Dian penasaran. Dalam usia sepuluh . tahun, anaknya yang ketiga ini memang sudah I
pintar mendumal seperti neneknya.
"Eh, jangan ngomong begitu! Kamu kan belum tahu orang macam apa orang baru di kamar Mama itu""
"Astaga!" keJuh Anggraini mengkal. "Dia bahkan | belum rnarnpu bangun dari tempat tidurnya, Bu!"
Dan klak.son panjang membuyarkan perdebatan mereka.
"Mobil antar-jemputmu datang, Ika." Anggraini it.
mengambil tas anaknya dan menyerahkannya kepada
putrinya yang nomor empat.
Sementara Dian sudah mendahului menyambar
tasnya sendiri dan menghambur ke depan.
"Dian pergi, Ma!" serunya dengan mulut masih
penuh nasi. "Ika juga, Ma!"
"Jangan lari! Nanti jatuh!"
Tetapi kedua anak itu telah berlari-lari menghampiri mobil antar-jemput mereka.
"Rimba pergi, Ma," suara putri sulungnya datar. Tanpa nada.
"Di mana Sinta""
"Di kamar," sahut Rimba pendek.
"Panggil dia turun. Hari ini Sinta mesti ke pasar."
"Mama panggil saja sendiri deh," gumam Rimba sambil melangkah pergi tanpa menoleh lagi. "Dia lagi nangis!" bisik Nenek dari belakang. Anggraini menoleh dengan bingung.
"Nangis" Kenapa""
"Kenapa lagi"" Nenek mengangkat bahu dan menatap sinis. "Pasti gara-gara lelaki di kamarmu itu! Kamu kan tahu, anak-anak sangat perasa!"
"Tapi semalam saya tidur dLkursi, Bu!"
"Ibu tahu," sahut Nenek ketus. "Yang tidak Ibu ketahui, di mana dia tidur!"
Sinta sedang menelungkup di tempat tidur. Walau
tidak mendengar isaknya. Anggraini tahu, dia sedang menangis. - .
"Sinta," Anggraini duduk di tepi pembarin'gan putrinya. Dipegangnya bahu gadis itu dengan lembut Dibalikkannya tubuhnya. "Kenapa nangis"" "Pusing."
"Masa pusing saja nangis" Kok kayak anak kecil sin""
"Sinta nggak mau ke pasar!"
"Kalau pusing ya tidak usah ke pasar. Minum obat saja. ya""
Sinta menggeleng. Dan memalingkan wajahnya ke dinding.
"Coba lihat ke sini. Sinta. Lihat Mama."
Sekarang terpaksa Sinta menatap ibunya. Anggraini melihat kilauan air di sudut mata putrinya. Disekanya air mata itu dengan ujung jarinya.
"Betal Sinta tidak mau ke pasar karena pusing"" "Sinta malu, Ma!" semburnya emosional sekali. Tangisnya langsung saja meledak seperti tanggul bobol.
"Malu" Malu sama siapa""
"Sama Tante Ria. Bu Hasan. Mbak Tarsih... sama semuanya, Ma! Sinta malu kalau Mama kawin lagi!"
"Lho, kata siapa Mama mau kawin lagi"" . K Ttu... Oom yang di kamar Mama""


Cinta Di Awal Tiga Puluh Karya Mira W di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Astaga! Jadi dia lagi sebabnya! . "Dia cuma teman, Sinta," keluh Anggraini sambil menghela napas. "Kebetulan tadi malam. mendapat kecelakaan. Salahkah kalau Mama menolongnya dengan membawanya kemari"" .
"Tapi orang-orang akan berprasangka lain, Ma! ' Mereka akan mengira dia calon suami Mama lagi.
Sinta malu, Ma! Tetangga-tetangga selalu menggun-jingkan Mama. Di pasar mereka selalu ngatain
Mama kalau melihat Sinta!"
"Biarkan mereka omong apa saja,. Sinta. Kita
toh tidak mendapat makan dari mereka."
"Tapi Sinta malu, Ma! Kayaknya mereka nggak
suka kalau Sinta ngobrol dengan anak-anaknya!" ;
"Ah, itu cuma anggapanmu."
"Mereka selalu melecehkan Mama!"
"Karena mereka iri pada kita, Sinta."
"Iri" Apa yang harus diirikan, Ma" Kita bukan orang kaya. Rumah masih kontrak. Mobil cuma satu. Mobil tua yang kalau tidak mogok saja sudah bagus! Ayah saja Sinta nggak punya. Jadi kenapa mereka mesti iri""
"Mungkin mereka iri karena meskipun kita hidup pas-pasan begini, kita masih dapat bertahan hidup tanpa belas kasihan orang lain."
"Mama." Sinta memegang tangan ibunya dengan ragu-ragu. Matanya menatap penuh harap-harap cemas. "Betul Mama nggak bakal kawin sama dia, Ma""
Astaga, keluh Anggraini dalam hati. Namanya saja aku belum tahu!
"Tidak, Sinta," sahut Anggraini sambil membelai-belai rambut putrinya dengan lembut. "Mama tidak akan menikah dengan dia."
"Mama tidak akan menikah lagi""
"Sinta tidak mau punya ayah lagi""
"Buat apa kalau cuma untuk beberapa tahun saja, Ma""
"Kalau Sinta dan anak-anak Mama yang lain tidak mau Mama menikah lagi, Mama tidak akan menikah."
"Betul, Ma"" Mata Sinta berpendar-pendar penuh harap. "Mama janji""
nggraini meletakkan senampan sarapan pagi di atas meja kecil di samping tempat tidur. Lelaki itu masih tertelentang tanpa bantal. Matanya terpejam rapat.
"Makanlah," sapa Anggraini perlahan, supaya tidak
mengejutkannya. Tusingnya datang lagi kalau aku bangun."
Wan, celaka, kutuk Anggraini dalam hati. Had ini aku terpaksa jadi perawat amatir!
"Buka saja mulutmu," katanya terpaksa. "Nanti kusuapi."
Tetapi lelaki itu cuma membuka matanya. Bukan mulutnya.
"Terima kasih," katanya tanpa menyembunyikan perasaan herannya. "Mengapa kau baik sekali""
"Terpaksa," sahut Anggraini terus terang. "Supaya kau lekas sembuh."
"Dan lekas menyingkir dari rumahmu""
"Ya." "Sudah kudengar ledakan-ledakan di luar tadi. Karena aku""
"Siapa lagi" Kalau sampai besok kau belum
keluar juga, keluargaku benar-benar bakal meledak."
"Mereka sering meledak"" "Bukalah mulutmu." "Aku belum tahu namamu." "Aku juga belum. Peduli apa"" "Namaku Heri." "Kau mau makan atau tidak"" "Siapa namamu"" "Buat apa namaku"" "Bagaimana aku harus memanggilmu"" "Perlukah kau memanggilku"" "Tidak tersinggung kalau aku cuma menjentikkan jari""
"Panggil aku Ibu Darmawan." "Nama ayah anak-anakmu"" "Nama ayahku."
Mata laki-laki itu terbuka lebar. Dia menatap
Anggraini dengan heran. Sambil menelan kemengkalannya, Anggraini terpaksa mengakui, mata lelaki itu amat menarik: Hitam. Bening. Tajam. Parasnya pun pasti tampan, kalau saja dia sempat membersihkan wajahnya. Dan dia masih muda. Barangkali dua lima. Pasti tidak lebih dari dua puluh enam.
"Ayah mereka tidak mau menitipkan namanya buat anak-anakmu""
"Ayah yang mana""
"Yang mana"" Laki-laki itu ternganga heran. Anggraini menyuapkan sepotong kecil roti.ke mulutnya.
"Ayah Rimba bernama Peter Maris. Ayah Sinta, Dian, dan Ika, Bonar Hutagalung. Ayah Iin, Abidin Mochtar."
"Astaga!" Hampir tersedak rod itu ke dalam tenggorokannya. "Jadi kau punya lima anak dari tiga orang suami"" ,
"Empat," sahut Anggraini dingin. "Tapi yang terakhir belum sempat membenihi rahimku. Aku tidak mau hamil lagi. Aku kan bukan tempat penitipan anak!"
"Bukan main. Kau seperti terminal bus saja!"
"Buka mulutmu."
"Lantas ke mana saja suamimu itu" Kenapa mereka semua tidak tahan padamu"" "Kau mau makan atau tidak"" "Mereka tidak bisa memuaskanmu"" "Bukan itu yang kucari!" "Jadi apa yang kaucari"" "Aku mencari ayah buat anak-anakku!" "Beratkah syaratnya""
"Cuma seorang laki-laki yang bertanggung jawab. Bisa mencintai dan melindungi anak-anakku."
"Sederhana. Mereka semua tidak bisa memenubj* jxrsyaratanmu""
"Yang kudapat cuma tukang tembak."
"Aku mulai menyukaimu," Heri menyeringai pa-hit. "Kau jujur."
"Aku justru dibenci karena mencoba tidak mu-hafik. Aku memang janda. Salahkah aku kalau aku mencoba mencati'tfigur ayah untuk anak-anak-'kuT
Kali ini Heri tidak menjawab. Tetapi di hatinya
telah lahir sebentuk perasaan lain.
Anggraini pun terdiam. Dia sendiri bingung. Buat
apa berterus terang pada lelaki yang tidak dikenalnya
ini" Dia toh cuma sekadar numpang lewat"
"Maaf," cetus Heri setelah diam sesaat. "Aku menyakiti hatimu""
"Kau malah membuatku lega."
"Karena ada orang yang bersedia mendengarkan cejitamu"" "
"Ada selusin majalah yang bersedia menerbitkan ceritaku."
"Karena kau calon anggota DPR""
"Karena aku bintang film."
"Kau" Bintang film"" Heri menatapnya dengan takjub. "Sayang, aku tidak pernah nonton film Indonesia!"
Nonton tiap hari pun kau tidak bakal mengenal-ku, gerutu Anggraini dalam hati. Karena aku cuma stand in\ Yang kaulihat cuma badanku!
"Pantas tubuhmu bagus. Betismu indah. Dadamu padat. Pinggangmu ramping. Dan pinggulmu montok."
Dasar lelaki, dumal Anggraini sambil meninggalkan kamarnya. Sedang sakit saja matanya masih kelayapan!
"Mau ke mana""
"Apa pedulimu aku mau ke mana"" sergah
Anggraim ketus. "Ini rumahku!" "Kau tidak kerja""
"Aku tidak berani meninggalkan rumah selama
kau masih di sini." vang mail dengan anak-anakmu"; "Siapa p***1''niega muda, tapi tidak yang! Aku memangsuK _ . sudah kelewat matang terialu mentah! Apai"s seperti ibum"!
BAB III "Lelaki itu lagi," desis ibunya jengkel. "Mau apa
lagi sih dia kemari""
"Siapa, Bu"" tanya Anggraini sabar.
"Itu tuh yang naik mobil merah! Saban hari datang mencarimu. Ngapain sih""
"Bu, dia produser saya.""
"Ini kan rumah. Bukan kantor!"
"Apa salahnya dia kemari" Dia punya peran baru untuk say
a." "Dia pasti punya maksud tertentu pula padamu!"
"Ibu," keluh Anggraini menahan kekesalannya. "Cobalah untuk tidak mencurigai setiap orang, Bu."
"Tapi akhiraya kecurigaanku selalu benar, kan" Waktu kamu bergaul dengan Peter, waktu itu umurmu baru enam belas tahun, sudah berapakali kubilang, anak itu rusak! Jangan dekati dia. Tapi semakin hari kalian malah semakin lengket! Nah, apa yang terjadi" Sesudah menitipkan Rimba di perutmu, dia kabur entah ke mana!"
Anggraini mengatupkan rahangnya menahan ma-rah. Cepat-cepat dia keluar sebelum ibunya mengoceh lebih panjang lagi.
Budi Sukoco sudah duduk di ruang tamu. Dia langsung bangkit begitu melihat Anggraini.
"Selamat siang," sapanya lembut. 'Tidak ke mana-mana"" "Malas."
"Bagaimana dengan skenario yang kemarin" Su-da|i dibaca""
"Masih segan." Anggraini duduk di hadapan tamunya.
"Oh." Budi tersenyum tipis. "Lagi lesu darah nib" Aku tahu obatnya. Kita pergi makan steak."
"Jangan hari ini. Aku lagi did.**
Tandalah dietmu sampai besok. Aku lapar."
"Diet bukan shooting yang dapat d\-hreak sesukamu."
"Kalau begitu kau minum saja. Temani aku makan.'*
Tahu berapa kalori yang terdapat dalam segelas es krim7"' "Jangan e" kran. Air putih saja." "Nah, kenapa tidak minum di rumah saja" Di sini banyak air putih." Tapi di sini tidak ada steakV "Bawakan saja bahan-bahannya kemari. Akan kubuatkan kau steak yang paling lezat!" "Betul" Kapan""
"Kapan saja. Tapi jangan hari ini. Buku masakku
Jk$$T Budi tertawa gi tawanya sampai terdengar ke dapur. Dan bunyi panci jatuh
menyambut tawanya dari sana.
"Kau jujur dan lucu!" Budi mengulurkan tangannya untuk menggenggam tangan Anggraini. "Aku
semakin menyukaimu. Angga!"
Anggraini belum sempat menjawab ketika terdengar bunyi panci-panci berjatuhan dari dapur. Bukan hanya sekali dua. Seakan-akan ada gempa di sana. Dan semua panci berjatuhan ke lantai.
Seperti diisyaratkan, Budi langsung melepaskan genggamannya.
"Ibumu alergi sekali padaku," gumamnya sambil tersenyum pahit. "Sudah kausampaikan maksud kita""
"Maksud apa"" Anggraini berpura-pura bodoh.
"Untuk hidup bersama."
"Aku harus bicara dulu dengan anak-anak."
"Ah, itu di luar kebiasaanmu."
"Sekarang mereka sudah besar." rim
"Kalau mereka menolak""
"Aku harus menjaga perasaan mereka."
"Dan kita tidak dapat hidup bersama""
"Anak-anakku tidak rela ibunya menjadi istri muda orang, Bud. Apalagi wanita simpanan!"
"Apa salahnya jadi istri muda asal bisa hidup bersama""
"Aku pernah dimaki-maki seorang perempuan yang mengaku istri pertama suamiku. Padahal waktu menikah, dia mengaku masih bujangan." >fj
"Yang seperti itu tidak akan terjadi pada kita."
"Tapi aku tetap tidak mau jadi istri muda."
Tidak gampang- fVrhi "akiu 1-utl" " T y i kalian "Ml tidak etvt* ' Tapi Herj belum MM kuccraikan "
'KenafM" Kanan belum puma anak. kan *" "Kami sudah sepi::u> tahun menikah. Angga Daiam perkawinan yang lelah berumur sepuluh tahun, mungkin cwt* telah tidak ada lagi Cinta itu sudah berubah menjadi persahahaian "
'kalau begini sampai kapan aku harus menung-n" Sampai sepuluh tahun lagi. kalau persahabatan m lelah berubah menjadi kebencian"*' "Angga, kumohon pengertianmu..." TJta pengorbananku"*
"Buat ipa kalau oma untuk beberapa tabun "Apa maksudmu1'*
"Dow, kau jiwa mencintai Hcra. bukan"" "Akn ingin punva anak.'" "rfanya jnakf*"
'"Ini ranai yang akan mengikat dnta kita selamam,*
"Bagaimana kalau kau yang tidak mampu mempunyai anak r _jLa*.
Aku sehat. Bodi mengatupkan rahangnya. Istrimu tidak-"Dia yang mandul."
Mengapa tidak mengangkat anak "ajaT"
Tapi kau lupa. Bud. Aku tidak ingin punya
anak lagi." "Bertahun tahun uku mendambakannya. Angga" Budi menatapnya dengan penuh permohonan. "Kapan aku bisa jadi bapak!"
"Segera setelah kawin denganku, kau akan jadi bapak dari lima orang anak."
'Tapi aku menginginkan yang keenam. Angga. Anak kita berdua Buah kasih sayang kita. Seorang anak laki-laki. Yang akan mewarisi aama dan hartaku!" Budi meraih tangan Anggraini. Dan menatap wanita itu dengan sungguh-sungguh. "Beri aku seorang anak. Anggai"
Anggraini memandang ke dalam mata yang sedang berlabuh dalam lautan permohonan itu deng
an terharu Seorang laki-laki yang perkasa. Ganteng. Kaya raya. Dan berkuasa. Sekarang lelaki ku memohon di hadapannya. Memohon seorang anak!
Bagaimana harus menolak permintaannya" Hanya kepada Budi Anggraini dapat mempercayakan anak-anak gadisnya. Dia bukan hanya baik hati. Dia juga amat mencintainya. Di mana lagi harus dicarinya laki-laki semacam ini" Kalau masih ada seorang laki-laki di dunia ini yang dapat dipercaya untuk menjadi bapak bagi anak anaknya, lelaki milah orangnya!
Bertahun-tahun Anggraini telah mencari seorang bapak bagi anak-anaknya. Sekarung setelah ditemukannya lelaki yang dicarinya itu, dia telah lambat. Lelaki itu telah beristri.
Berdosakah menceraikan lelaki ini dari istrinya"
Salahkah menenggelamkan sebuah bahtera perkawinan yang telah hampir karam"
"Kami hidup seperti dua orang asing," "kata Budi terus terang. "Serumah tapi tidak sekamar."
"Kalau begitu kenapa kalian tidak bercerai saja" Buat apa hidup dengan menipu diri begitu""
"Sebelum bertemu denganmu, aku tidak, menemukan alasan mengapa harus bercerai. Bagiku, perkawinan cuma status sosial. Kepuasan bisa kucari di tempat lam."
"Lelaki seperti ini yang berani melamarku jadi istrinya""
"Sesudah bertemu denganmu," kali ini bukan hanya suara Budi yang mengalun lembut, matanya pun ikut bersinar mesra. "Aku merindukan sebuah rumah dengan senandung seorang istri dan tawa anak-anak di dalamnya."
"Wah. dasar seniman!"
Tapi yang begini ini tidak ada dalam skenario, Angga!"
Budi memang lain dari suami-suaminya yang terdahulu. Kalau sedang dimabuk cinta, dia bisa menjadi lelaki yang paling romantis di dunia. Tetapi kalau sedang marah, dia kadang-kadang lupa, rumah bukan studio.
Kata-katanya bisa lebih jorok dari pengemis di kolong jembatan. Dan kemarahannya dapat meledak seperti bom atom. Dia dapat memaki orang seperti memarahi krunya di lapangan.
Namun bagaimanapun Anggraini menyukai lelaki ' i. Banyak persamaan di antara mereka berdua.
Mereka sama-sama orang yang gagal dalam perkawinan. Mempunyai profesi dan hobi yang
sama pula. Tidak heran kalau hanya dalam beberapa bulan saja, mereka sudah merasa demikian dekat. Bukan
baru "sekali Budi mengajukan lamaran untuk hidup bersama. Tetapi ada dua hal yang memberatkan
Anggraini. Budi telah beristri. Dan anak-anaknya tidak mau
punya ayah lagi. ii'$k Rimba langsung menyingkir setiap kali Budi datang ke rumahnya. Sinta mengunci diri di kamar. Dan tidak mau keluar lagi dari sana sampai Budi
pulang. Intan, anaknya yang terkecil, yang baru berumur empat tahun, langsung menghambur ke dalam pelukan neneknya sambil menangis. Hanya Dian dan Dca,yang masih dapat disogok dengan cokelat dan. es krim yang dibawa Budi. Barangkali cuma mereka berdua yang tidak keberatan Budi menjadi ayah mereka, asal tiap hari bawa es krim!
#** Sekali lagi Anggraini melihat jam. Hampir pukul sembilan malam. Tetapi Rimba belum pulang juga.
"Pukul berapa biasanya Rimba pulang les"" tanyanya kepada Sinta.
"Pukul tujuh," sahut Sinta singkat. Tanpa mengangkat wajahnya dari jahitannya.
"Kalau begitu ke mana dia"" desah Anggraini
gelisah. "Sudah hampir jam sembilan. Tadi dia tidak bilang mau ke tempat lain dulu"" Sinta cuma menggeleng.
"Itulah kalau kamu tidak pernah di rumah," gerutu Nenek sambil mengurut-urut kakinya dengan obat gosok. "Anakmu pulang malam terus kamu tidak tahu."
"Saya kan mesti kerja, Bu. Kalau saya di rumah teras, kita mau makan apa"" Tapi kan tidak perlu keluar tiap malam!" "Kalau shooting-nya malam, masa saya mesti datang siang""
"Carilah kerjaan yang pergi pagi pulang sore, Angga. Jangan seperti ini. Pergi pagi pulang pagi."
"Sudahlah," potong Anggraini kesal. "Ibu temani saja Dian dan Bea tidur. Biar Iin dengan saya."
"Dian nggak mau tidur sama Ika, Ma!" protes Dian keras. "Dia nendangin terus!"
"Ika juga ogah bobok sama Nenek, Ma!" teriak Ika tidak kalah kerasnya. "Nenek kalau tidur suka ngomong sendiri! Bea takut!" . "Hus!" belalak Nenek jengkel. "Kalau nggak mau bobok sama Nenek, Ika mau bobok di mana" Mau tidur sama Oom yang di bawah itu" Dicekik kamu malam-malam nanti!" wjfl
"Jangan menakut-nakuti mereka, Bu!" protes
Anggraini mengkal. 'Tka mau bobok sama Mama!" "Dian juga!"
"Sudah, jangan ribut," keluh Anggraini letih.
"Kalau semua mau tidur sama Mama, Iin tidur di .
mana"" "Sebodo amat! Pokoknya Dian tidur sama
Mama!" "Ayo, suit!" tantang Bea lantang. "Yang menang
bobok sama Mama!" "Nggak!" bantah Dian ketus. "Kamu selalu curang!"
"Dian, Ika, coba dengar, Mama mau tanya." Anggraini meraih kedua anaknya ke dalam pelukannya. "Dian sayang Iin, nggak""
"Sayang," sahut Dian terpaksa.
"Ika"" "Sayang, Ma." "Jadi Iin boleh tidur sama Mama""
Ika menoleh pada Dian sebelum menjawab. Ketika Dian mengangguk, walaupun dengan wajah cemberut, barulah dia menganggukkan kepalanya dengan ragu-ragu.
"Ah, Dian dan Ika memang kakak yang baik. Anak Mama yang manis. Sekarang bobok sama Nenek, ya" Jangan lupa sikat gigi dulu!" Dengan lembut Anggraini menepuk pantat kedua anak itu.
Berlomba Dian dan Ika berlarian ke kamar mandi. Sebentar saja semua gelas plastik berikut sikat-sikat gigi di dalamnya berjatuhan ke lantai.
"Ini sikat Ika!" teriak Ika sambil memungut salah satu sikat gigi yang jatuh itu.
"Bukan! Itu sikat Dian!" teriak Dian tidak m kalah.
"Nggak! Ini sikat Ika!"
"Sikat Dian!" "Sikat Ika!"
Dian mencoba merampas sikat gigi itu dari tangan adiknya. Tetapi Ika dengan gesit membawa lari sikat giginya.
"Mama! Mama!" teriak Dian sambil lari mengejar'adiknya. "Ika ngambil sikat gigi Dian, Ma!" "Bukan, Ma! Ini sikat Ika!"
"Astaga!" Anggraini mengurut dada. "Kenapa kalian jadi lebih nakal kalau Mama ada di rumah""
"Bukan lebih nakal," komentar Nenek kering.'. "Kamu yang tidak pernah tahu bagaimana nakalnya mereka!" Ika, kemarikan sikat itu!" Dengan patuh Ika memberikan sikat giginya kepada ibunya.
"Ini bukan sikat Ika, bukan sikat Dian. Ini sikat gigi Iin." Anggraini membagikan sebuah sentilarjJ masing-masing ke telinga mereka, "Sekarang ambil sikat kalian! Sikat gigi, cuci kaki, cuci tangan, tidur! Awas, kalau berkelahi lagi!"
Dengan kepala tunduk kedua anak itu berjalan* ke kamar mandi. Hati-hati Dian menutup pintu kamar mandi itu. Mengambil salah satu sikat gigi yang ada dengan mulut terkunci Dan mulai menyikat giginya.
Dengan sedih dia memandang ke dalam cermin di hadapannya. Kepada dua tetes air mata yang mengalir di pipinya.
Mula-mula dia tidak boleh tidur dengan Maraa karena mesti mengalah kepada adiknya. Sekarang
dia tidak dapat menyikat gigi dengan sikatnya sendiri karena Mama tidak tahu yang mana sikat
giginya! Lalu dia mendapat sebuah sentilan di telinganya. Sakit memang. Tapi lebih sakit lagi hatinya. Dian
merasa tidak diacuhkan. Mama cuma sayang Iin. Mentang-mentang dia sakit! Mama tidak pernah
memperhatikan dirinya! O, rasanya Dian kepengin nangis. Nangis menjerit-jerit. Tapi kalau dia nangis, Mama pasti marah
lagi! *** Sudah beberapa kali Anggraini bolak-balik ke pintu depan. Melongok- ke luar. Mengintai ke jalan, kalau-kalau Rimba telah kelihatan di sana. Tetapi hampir pukul sebelas malam, dia belum muncul juga.
Sambil menggendong Intan yang malam ini mendadak tidak mau ditinggal tidur sendiri di kamar, Anggraini menunggu di ruang tamu. Dan sarafnya yang memang sudah tegang tambah terganggu melihat sikap Heri.
Entah mengapa sejak pukul sepuluh tadi lelaki itu mendadak pindah tidur ke sofa. Tidak mau masuk ke kamar.
"Tidak bisa tidur," kilahnya.
"Nanti kepalamu pusing lagi. Lebih baik tidur di kamar."
"Kalau berbaring begini tidak terasa apa-apa.
'Berbaringlah cti ranjang!"
"Kenapa" Aku membuatmu senewen"" "Kau menakut-nakuti Iin saja!" "Lho, kenapa" Aku tidak berbuat apa-apa kok!" . "Kau terus-terusan melihat ke sini!" "Masa melihat saja tidak boleh"" "Dia takut!" "Kurang bergaul." "Jangan sok tahu I"
Tiap hari dikurung di rumah terus. Dia jadi penakut Masa lihat orang saja takut!" "Dia sakit."
"Sakit apa" Dia cuma takut orang. Berikan padaku. Akan kujadikan dia singa betina."
"Iin bisa mati ketakutan kalau kuberikan padamu."
"Ah. itu cuma anggapan mu. Anak kecil mesti dibiasakan bergaul. Masa cuma mau dengan ibunya sendiri" Mau jadi apa nanti" Sebentar lagi kan dia sudah hams masuk sekolah!"
Tidak mungkin." "Kau tidak mau menyekolahkan a
nakmu"" "Bukan tidak mau. Tidak bisa!" "Kan tidak bisa menyekolahkan anakmu" Tidak punya uang""
' "Iin tidak bisa sekolah. Dia terbelakang."
Terbelakang" Retardasi mental maksudmu""
"Imbesil. Jangankan masuk sekolah, ngomong saja belum bisa. Padahal umurnya sudah empat tahun. Satu-satunya kata yang dapat diucapkannya cuma 'Mama'."
"Ada trauma waktu lahir" Atau... sewaktu dalam kandungan""
"Mana aku tahu" Aku tidak pernah memeriksakan diri."
"Itulah kesalahanmu yang pertama!" Tidak tahu Heri, mengapa tiba-tiba saja dia merasa marah.
"Kau bukan ibu yang baik!"
"Jangan mengajariku!" desis Anggraini tersinggung.
"Pantas saja anak-anakmu tidak ada yang beres!"
"Anakku yang lain normal!"
"Tapi kau jarang di rumah! Makanya mereka
jadi bandel!" "Aku tidak minta pendapatmu! Urus saja dirimu sendiri!"
"Tahu kenapa anak laki-lakimu tidak pulang lebih sore seperti biasa""
"Aku tidak punya anak laki-laki!"
"Jadi anak tanggung yang rambutnya seperti Tom Cruise itu anak perempuan" Astaga!"
Anggraini merasa kesal. Tapi tidak bisa marah. Bajingan ini memang tidak salah lihat. Rimba memang persis anak laki-laki.
Tubuhnya tinggi semampai. Rambutnya dipotong pendek. Pakaiannya celana j ins butut dengan T-shirt kedombrongan. Kalau pergi dia memakai topi bisbol. Lagak lagu dan cara berjalannya pun persis anak laki-laki!
"Dia sengaja pulang lebih malam supaya kau menegurnya! Dengan begitu dia mendapat perhatian yang selama ini didambakannya dari seorang ibu!"
"Ah, jangan sok tahu!"
"Dia tahu malam ini kau ada di rumah. Dia< sengaja memancing perhatianmu. Untuk mencoba menarik perhatianmu pulalah dia mengidentifikasikan dirinya seperti laki-laki!"
- "Pasti salah satu teman-teman jalananmu ada yang punya bakat jadi ahli jiwa," ejek Anggraini sinis.
"Kau marah karena tahu aku yang benar," kata Heri santai. "Kau menganggapku hina karena aku anak jalanan...."
"Kau lebih hina lagi- daripada itu!" "Kau sama kotornya dengan aku!" "Aku mencari nafkahku dengan halal!" "Kata siapa aku tidak""


Cinta Di Awal Tiga Puluh Karya Mira W di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kalau kau orang baik-baik, kau tidak takut puisi""
"Kau hams mencari suami lagi," sengaja Heri membelokkan arah percakapan mereka. "Untuk dititipi anak lagi"" "Untuk melindungi keluargamu. Menggantikan-mu mencari nafkah. Kau harus lebih banyak tinggal di rumah bersama anak-anakmu."
'Terima kasih. Khotbahmu indah sekali. Kaubaca di mana""
"Aku juga pernah punya ayah. Tapi ayahku seperti ayah anak-anakmu. Tinggal semalam di kamar ibuku. Lalu pergi menghilang untuk seribu malam berikutnya." "Tapi ibumu pasti bukan aku. Kalau tidak, kau ti tidak jadi begini."
"Dia menukar diriku dengan sebuah gelang
emas." "Sayang sekali. Padahal kau sama sekali tidak
berharga." "Aku dilemparkan begitu saja ke tangan orang
lain. Kau tahu, aku menangis setiap malam menunggu kedatangan Ibu. Aku begitu rindu untuk
dapat tidur lagi bersamanya."
"Aku punya lima anak. Tidak mungkin aku tidur bersama mereka berlima!"
"Untuk berada di dekat anak-anakmu, kau tidak perlu selalu harus tidur bersama mereka."
"Sudahlah, hentikan khotbahmu! Pergilah tidur. Nanti kepalamu pusing lagi."
"Pusingku sudah hilang."
"Tentu saja. Sudah pindah ke kepalaku!" Dengan jengkel Anggraini membawa Intan ke atas. Tetapi baru saja sampai di tangga, Heri sudah memanggilnya lagi.
"Tidurlah di kamarmu saja. Lebih mudah menunggu anakmu di sini daripada di atas."
"Terima kasih untuk undangan mu. Tahu berapa
tarifnya"" "Lho, untuk tidur di kamarmu sendiri kau tidak
perlu bayar!" "Bukan aku yang bayar, kau!"
"Aku tidur di sini. Di sofa nggak usah bayar, kan""
"Untung kau tahu diri. Tapi aku akan lebih berterima kasih lagi kalau besok pagi kautin
rumahku." "Tidak mungkin. Aku belum bisa jalan. Masih pusing."
"Akan kuantarkan kau ke, rumah sakit." - "Itu berarti kau harus menggendongku."
"Jadi kau tidak mau pergi dari sini""
"Paling sedikit aku hams beristirahat tiga hari lagi"
'Tapi jangan di sini! Rumahku bukan rumah sakit!"
"Lalu kenapa kaubawa aku kemari"" "Kau yang minta!'* "Kenapa kauturuti"" "Aku takut."
"Kau bisa minta tolong tetanggamu. Memanggil polisi untuk mengeluarkanku."
"Aku yang menabrakmu!"
"Kau masih percaya mobilmu yang membentur kepalaku""
"Apa bedanya dengan kepalamu yang membentur mobilku"" Heri tersenyum.
"Apa yang lucu"" sambar Anggraini antara heran dan kesal.
"Kau tidak menabrakku, Ibu Darma wan!" "Apa maksudmu"'
"Kau mengerem mobilmu pada saat yang tepat! Kau memang perempuan hebat! Tidak heran kati bisa punya empat orang...."
"Jangan main-main!" geram Anggraini sengit "Kalau bukan mobilku, setan mana yang rnenabrak"Aku yang menabrak mobilmu ketika sedang
lari melintas di depan mobilmu. Tapi luka-luka di kepalaku bukan akibat kecelakaan. Aku berkelahi.
Dan melarikan diri karena takut dikeroyok!" "Ya Allah! Bodohnya aku!" geram Anggraini
gemas. "Kau benar-benar penipu!"
"Kapan aku menipumu" Aku hanya minta tolong...."
"Kau memaksaku! Mengancam...." "Terpaksa. Aku sedang panik." "Oh, aku benar-benar sial!" "Seharusnya namamu Sialwati." "Sekarang jangan kau tambah lagi kesialanku. Tinggalkan rumahku!" "Malam-malam begini"" "Besok pagi."
"Sudah kukatakan, besok aku belum bisa jalan."
"Lusa. Janji""
"Kenapa tidak mengusirku saja"" Heri menahan
tawa. "Kau bisa minta tolong hansip." "Aku kasihan padamu."
"Aku mulai percaya bahwa kau sebenarnya
orang baik." "Tentu. Aku tidak takut polisi."
Heri tersenyum pahit. "Kaupikir aku orang jahat""
"Kau membunuh korbanmu dalam perkelahian itu""
"Tidak tahu. Mereka memukuli kepalaku. Entah dengan botol. Mungkin juga dengan kayu."
"Kau pasti maling. Tertangkap basah waktu mencuri."
"Kami sedang berpesta."
"Kau mabuk" Minum obat""
"Lupa. Waktu mereka mengeroyokku, aku kabur. Dan bertemu denganmu."
"Sial. Aku melindungi seorang penjahat."
"Kau bisa melaporkan diriku pada polisi kalau mau."
"Buat apa" Kerjaanku sudah banyak."
Sambil mengawasi Anggraini yang sedang menggendong Iin ke kamarnya di atas, Heri merenung seorang diri.
Perempuan itu sebenarnya baik hati. Lembut. Nasibnya yang jelek dan lingkungannya yang tidak bersahabat menempanya menjadi seorang wanita yang tampak keras dan tegar. Sebenarnya dia perempuan yang menarik. Walaupun wajahnya tidak terlalu cantik.
Penampilannya menggiurkan. Tubuhnya molek. Sikapnya sering menggemaskan. Pantas saja banyak lelaki yang tertarik untuk menaklukkannya. Sayang, nasibnya tidak sebaik penampilannya.
Tidak gampang menjadi janda dalam usia tiga puluhan. Apalagi dengan lima anak perempuan yang penuh komplikasi!
"Berapa sebenarnya umurmu"" tanya Heri ketika Anggraini turun kembali. Sekarang tanpa Iin. j "Mau apa tanya-tanya umur"" balas Anggraini,J ketus.
"Karena kuduga umurmu pasti sudah empat
puluh." "Siapa bilang"" belalak Anggraini tersinggung.
"Aku baru tiga puluh!" Heri tersenyum.
"Biasanya perempuan tidak suka menyebutkan -umurnya. Jadi kupancing kau untuk menyebutkannya!"
"Kata siapa aku menyebutkan umurku"" "Jadi sudah kaukorupsi lebih dulu"" "Mengorupsi milik sendiri namanya bukan korupsi!" '
Saat itu, pintu terbuka. Rimba masuk menuntun sepedanya. Dia cuma memandang ibunya sekilas. "Mama belum tidur"" gumamnya, entah kepada
siapa. Lalu dia menuntun sepedanya melewati tempat ibunya.
"Ke sini, Rimba," desis Anggraini menahan
marah. Rimba berhenti melangkah. Menoleh sekilas ke
arah ibunya. "Mama mau bicara."
"Tentang dia"" tanyanya dingin sambil melirik Heri yang masih berbaring dengan santai di sofa. "Tentang kamu!" ^SM
"Jangan di sini. Rimba tidak mau didamprat di
depan dia!" "Bawa sepedamu ke belakang., Mama tunggu di
atas." "Boleh mandi dulu""
"Rimba," geram Anggraini gemas. "Mama tidak
main-main! Kamu tahu pukul berapa sekarang"
Apa kamu tidak malu, anak perempuan kelayapan sampai tengah malam begini""'
Rimba mengawasi ibunya dengan sorot yang amat dingin sampai Anggraini terkejut sekali melihatnya. Tidak menyangka anaknya dapat memandangnya dengan tatapan yang demikian membeku.
"Rimba lebih malu kalau teman-teman Rimba menanyakan Mama," katanya pahit. "Mama juga selalu pulang pagi."
Tidak menyangka mendapat jawaban demikian dari putri sulungnya yang baru berusia lima belas tahun. Anggraini terenyak sedih.
"Mama mencari nafkah, Rimba," katanya getir. "Untuk menghidupimu dan adik-adikmu. Beginikah balasan yang Mama terima""
"Mama buka n cuma mencari uang," sahut Rimba lantang. "Mama mencari lelaki!"
Ya Tuhan! Anggraini menebah dadanya dengan terkejut Seolah-olah sebuah pukulan yang tidak kelihatan dan amat menyakitkan baru saja menghantam dadanya Anaknya yang baru berumur lima belas tahun sudah demikian pandai mencerca ibunya!
Terus terang Rimba agak menyesal setelah mengucapkan kata-kata itu. Dia melihat perubahan air muka ibunya. Dan melihat bagaimana perlahan-lahan mata ibunya mulai memerah.
Tetapi Anggraini tidak menunggu sampai air matanya bergulir ke pipi. Dia pantang menangis Simuka anak-anaknya.
"Masuk!" perintahnya datar tapi tegas. "Kalau besok kamu pulang begini malam lagi, lebih baik tidak usah pulang! Dengar, Rimba" Mama serius!"
Tetapi Rimba tidak menunduk. Tidak pula mengangguk. Dia malah membalas tatapan ibunya dengan berani.
"Besok malam Mama ada di rumah""
"Mulai malam ini Mama selalu di ramah."
Rimba mengawasi ibunya dengan bimbang. Seolah-olah tidak percaya dengan apa yang bara saja didengarnya.
*** Ketika Rimba masuk ke kamarnya sesudah mandi, Anggraini belum tidur. Dan dia tidak dapat menahan dirinya lagi untuk bertanya.
"Mengapa kamu tidak suka memakai rok, Rimba" Kamu toh seorang gadis. Mengapa tidak berdandan seperti teman-temanmu. Memilih gaun yang bagus-bagus. Memakai lipstik...."
"Itu soal selera," potong Rimba jengkel. "Rimba juga tidak pernah tanya kenapa Mama tidak kawin sama pejabat saja supaya kita cepat kaya!" - "Jawab dulu pertanyaan Mama, Rimba," keluh Anggraini putus asa. "Kamu tidak ingin terlihat cantik""
Dengan tenang Rimba duduk di sisi pembaringannya.
"Cantikkah Rimba, Ma"" "Kamu cantik, Rimba! Asal kamu mau berdandan! Bukan keluyuran ke sana kemari memakai jins butut dan kemeja komprang!" "Buat apa""
"Buat apa*"" gumam Anggraini bingung. Duh, dia benar-benar tidak mengerti kemauan anaknya! "Kamu tidak ingin dikagumi teman-temanmu""
"Buat apa" Rimba kan bukan barang! Dikagumi J supaya cepat laku. Atau Mama sudah ingin Rimba cepat-cepat kawin"" ,
"Rimba!" cetus Anggraini marah. "Kamu belum pantas mengucapkannya! Kamu masih kecil!"
"Umur berapa ketika Mama kawin dengan ayahku" Atau... Ayah tidak pernah mengawini Mama"'
Sekali lagi Anggraini mati langkah. Anak ini benar-benar kurang ajar!
Atau. dia bukan kurang ajar. Dia hanya terlalu polos. Tidak dapat menahan lidahnya untuk mengemukakan apa yang dirasanya benar. Bukankah justru itu ciri khas anak muda" Dan justru itu yang kadang-kadang menimbulkan pertentangan tagl jam dengan generasi yang lebih ma"
BAB IV Dari jendela kamarnya, Heri mengawasi bagaimana cekatannya Rimba mencuci mobil ibunya. Sama cekatannya seperti ketika sedang mengganti ban
mobilnya yang kempes tadi. "
Hanya mengenakan celana pendek dan kemeja komprang dengan sandal jepit, Rimba memang lebih mirip seorang pemuda daripada gadis remaja. Jangan-jangan sudah banyak gadis-gadis yang jatuh hati padanya!
Heri hanya menoleh sekilas ketika Anggraini masuk membawakan senampan sarapan pagi. Dan meletakkannya di meja kecil di samping tempat tidur.
"Piring kotornya biarkan saja di sini," katanya Sambil beranjak ke pintu. "Hari ini aku mesti berangkat pagi-pagi ke studio."
"Anak laki-lakimu belum selesai mencuci
mobil." "Sekali lagi kausebut anak laki-laki..." "Dia memang lebih pantas jadi anak laki-laki!" "Rimba wanita seratus persen!"
"Aku mulai berpikir kitalah yang keliru. Dia lebih cocok jadi cowok!"
"Kau memang kurang ajar! Pagi-pagi sudah mengajak bertengkar." m& "Itu yang kira lakukan sejak pertama kali ber* temu, kan" Hm. kau akan merasa kehilangan setelah aku pergi nanti!"
"Kehilangan kau"" Anggraini menaikkan sebelah alisnya
"Kehilangan orang yang dapat kauajak berdebat. Yang berani menelanjangi kekurangan-kekuranganmu."
"Bukan salahku kalau Rimba jadi begitu! Ku-^ didik dia sama seperti anak-anakku yang lain. Tj Kuberi dia gaun yang bagus-bagus. Bukan salahku y kalau dia lebih senang memakai celana! Kau masih menyalahkanku""
"Sebagian salahmu juga. Tahu kenapa dia mengidentifikasikan dirinya sebagai anak laki-laki""
"Untuk menarik perhatianku, bukan"" ejek Anggraini sinis. "Itu teorimu tadi ma
lam!" "Ada teori lain. Dia ingin menjadi anak laki-laki dalam keluargamu. Untuk melakukan tugas-tugas yang hams dilakukan oleh seorang pria." Anggraini menghela napas jemu. "Sudahlah," desahnya bosan. "Aku tidak tertarik pada teori-teorimu!"
"Aku semakin yakin, kau mesti mencari seorang ayah baru buat anak-anakmu/'
"Akan kusurati kau kalau sudah kutemukan orangnya nanti!"
Ada dua adegan yang mesti diperankan Anggraini hari ini. Adegan- yang pertama, Anggraini sendiri tidak tahu buat apa susah-susah diambil kalau toh nantinya pasti digunting sensor.
Tetapi bertanya memang bukan haknya. Yang penting dia dibayar. Meskipun untuk melakukan adegan itu, mereka hams melakukan sembilan kali retake.
Adegan kedua cukup dramatis. Dan cukup menantang seandainya dialah yang menjadi pemeran utamanya. Sayang, dalam adegan itu dia cuma kebagian peran pembantu. '-^M
Entah kapan impiannya baru dapat terlaksana. Menjadi seorang bintang film. Bukan sekadar figuran yang numpang lewat. Atau sekadar peran pengganti yang memamerkan paha dan dada,
"Belum ada peran yang cocok untukmu," sahut Budi setiap kali dia minta diberi peran yang lebih berarti.
Tentu saja itu cuma hiburan. Ungkapan lain dari "kau tidak berbakat".
Karena kalau sampai umur tiga puluhan belum ada perah yang cocok untuknya, sampai kapan dia harus menunggu" Padahal kesempatannya hanya tinggal sedikit sekali... dia tidak bisa menunggu lagi....
' Tertatih-tatih Heri melangkah dari kamar mandi ke kamarnya. Kepalanya sudah tidak begitu sakit lagi. Tapi masih sedikit pusing kalau berdiri terlalu lama.
Dia ingin cepat-cepat berbaring di tempat tidurnya. Supaya pusingnya tidak bertambah hebat. Dan dia tertegun di depan pinta kamarnya.
Aneh. Pintu kamar itu terbuka sedikit. Padahal tadi sudah ditutupnya baik-baik. Siapa yang berani menyelinap ke dalam"
Tangannya sudah terulur memegang bandel pintu ketika sekali lagi dia terkesiap. Ada suara orang sedang membongkar lemari. Dan suara-suara itu datang dari dalam kamarnya!
Gila Siapa yang berani menyelundup masuk dan menggeledah kamarnya" Anggraini sudah pergi. Anak-anaknya sekolah semua. Mungkinkah nenek tua itu"
Perempuan itu memang selalu curiga. Matanya yang kecil itu selalu bersinar tajam di balik kacamatanya kalau menatap Heri. Tapi menggeledah kamarnya! Sungguh keterlaluan! Apa barangnya ada yang hilang dan Heri yang dikira mencurinya!
Hati-hati Heri mendorong pintu kamarnya. Dan melihat punggung seorang gadis yang sedang berlutut membelakangi pintu. Dia sedang mengaduk-aduk isi lemari pakaian. Tampaknya ada sesuatu yang sedang dicarinya. Dan tepat pada saat dia berhasil menarik sebuah buku dari tumpukan pakai-an, Heri menegurnya.
"Cari apa, Neng""
Sinta tersentak kaget. Buku terlepas, dari tangannya. Dan sebelum sempat dipungutnya kembali,
Heri telah menginjak buku itu.
"Nah, pasti bukan bukumu!" Heri tersenyum pahit. Dibacanya selintas judul buku itu. My Diary. "Pasti bukan buku harianmu. Iya, kan""
Sia-sia Sinta mencoba menarik buku itu lepas dari injakan kaki Heri. Akhirnya dengan putus asa dicobanya menyingkirkan kaki Heri dengan kakinya sendiri. Sementara kedua belah tangannya berusaha menarik lepas buku itu.
"Punya kakakmu""
"Punya Mama!" desisnya sengit. "Lepaskan!"
"Aku berani bertaruh, pasti kau mengambilnya tanpa seizin ibumu."
"Bukan urusanmu!" geram Sinta separo menangis. Dia masih berjuang sekuat tenaga untuk mengambil buku itu.
"Sampai pincang kakimu pun kau tidak akan berhasil, Non! Tidak baik mengambil barang yang bukan milikmu."
Mendadak saja paras Sinta memucat. Sampai pincang kakimu! Meledak kata-kata itu di telinganya. Usahanya menarik buku itu berhenti dengan sendirinya. Ditatapnya Heri dengan marah. "
"Aku memang pincang!" geramnya tersinggung. "Tapi jagalah mulutmu! Jangan sembarangan menghina orang!"
Sinta bangkit dengan gusar. Dan terseok-seok
meninggalkan Heri. Ternyata dia memang benar-benar pincang!
"""Nona, maafkan aku!" Cepat-cepat Heri memblokir pintu dengan tubuhnya supaya Sinta tidak bisa keluar. "Aku tidak tahu..."
'Tidak perlu minta maaf!" Sinta bergerak ke samping untuk meloloskan diri di celah a
ntara badan Heri dan bingkai pintu. "Aku memang pin"Maafkan aku." Heri ikut bergerak untuk menghalangi Sinta keluar. "Aku tidak tahu. Ibumu tidak pernah mengatakannya. Kau juga nggak bilang, kaar
"Buat apa!" Sinta bergerak ke sisi lain. Mencoba menerobos dari sisi yang satu lagi. Sia-sia. Heri lebih cepat lagi menghalanginya. "Kau juga tidak pernah tanya!"
"Lho, masa aku mesti tanya begini pada setiap gadfe yang kujumpai, 'Hei, Manis! Siapa namamu" Apa kamu pincang"'"
"Kalau begitu aku juga tidak perlu mengumumkan cacatku pada setiap orang! 'Hai, namaku Sinta. Aku pincang!"'
Heri tertawa lepas. Tawanya begitu simpatik. Sama sekali tidak bernada melecehkan.
"Setuju! Kamu nggak marah lagi, kan" Namaku Heri. Dan aku minta maaf!"
Sinta sudah berhenti mencoba meloloskan diri. Ditatapnya laki-laki itu dengan murung. "Mama tidak pernah cerita tentang kami"" Sinta sendiri tidak mengerti mengapa kemarahannya begitu cepat surut. Entah mengapa dia menyukai sikap laki-laki ini.
Dia terbuka. Wajar. Bersahabat. Dan... tampan.
"Ibumu tidak pernah cerita apa-apa tentang
kamu." "Pasti nggak sempat! Mama kelewat repot!" Heri sendiri terkejut mendengar nada suara gadis,
itu. "Mudah-mudahan aku salah dengar," katanya hati-hati. "Kamu tidak membenci ibumu, kan""
"Sinta sayang Mama," sahut Sinta dengan suara tertekan. "Tapi Mama cuma sayang Iin." |
"Bukankah Iin adik- Sinta juga" Dan dia sakit. Pantas dong kalau Mama lebih memperhatikannya""
"Waktu Sinta sakit, Mama jiggak perhatikan Sinta."
"Ah, itu cuma anggapanmu!"
"Waktu Sinta sakit panas, Mama nggak ada di rumah. Nenek yang bawa Sinta ke dokter. Kata Nenek, begitu disuntik, Sinta langsung lumpuh!"
"Kamu keliru, Sinta! Bukan suntikan dokter itu yang membuat kakimu lumpuh. Kamu mungkin kena polio."
"Nenek bilang, anak yang lagi demam, nggak boleh disuntik! Kalau Mama ada, pasti Sinta nggak lumpuh!"
"Keliru lagi. Ada Mama atau tidak, disuntik atau tidak, kalau benar terserang polio, kakimu bisa lumpuh. Jadi jangan salahkan Mama!"
"Lagi apa kalian di situ"" bentak Nenek dari belakang tubuh Heri. Matanya langsung menatap
curiga pada laki-laki itu. Seolah-olah semua laki--laki memang pembawa bala.
"Ah, cuma ngobrol, Bu," sahut Heri sambil menggeser tubuhnya.
"Ngobrol kok di kamar!" gerutu Nenek tidak percaya. Tatapannya lalu berpindah kepada Sinta. "Belanjaan di dapur belum beres sudah lari ke sini. Ayo, ke belakang!"
"Sinta kan bukan babu, Nek!" protes Sinta kesal.. "Masa nggak boleh sih ngobrol sama Oom""
"Boleh saja ngobrok Tapi jangan di kamar. Pemati!"
"Apaan sih pemati, Nek""
Tabu! Tahu nggak tabu""
"Ah, Nenek! Apa-apa tabu! Ini nggak boleh lah. Itu pantang lab..... Bosan!"
"Eh, ini anak! Kalau dikasih tahu orang tua membantah teras! Ayo, jangan di kamar!"
"Huu, bawel!" gerutu Sinta mengkal. Tentu saja dengan suara perlahan supaya Nenek tidak dengar.
Ketika dia melewati tempat Heri, laki-laki itu memberinya sepotong senyum tipis. ."Bukunya Oom kembalikan, ya" Tidak baik mencuri lihat catatan harian ibumu!"
"Anak itu sudah besar, Angga!" datang-datang ibunya langsung mengadu. Anggraini bahkan belum sempat melepas sepatunya. "Kamu harus lebih memperhatikan dia. Jangan cuma cari duit melulu!"
"Ada apa lagi, Bu"" tanya Anggraini sabar. "Dia pulang dengan anak lelaki itu lagi dari pasar""
"Lebih dari itu!" tukas Nenek cepat dengan nada seperti ada orang yang memasang bom di rumah mereka. "Tahu nggak, tadi pagi kupergoki dia berduaan saja di dalam kamarmu bersama lelaki itu!"
Anggraini mengerutkan keningnya.
"Sinta" Tidak mungkin! Saya kenal anak-anak saya, Bu. Saya yang melahirkan mereka."
"Tapi aku yang mengurus mereka, Angga! Kau jarang di rumah. Mana kamu tahu persoalan anak-anakmu""
"Sedang apa mereka di kamar saya""
"Itu yang mesti kamu "selidiki! Ingat, Angga. Sinta sudah perawan!"
"Dia tidak mungkin melakukannya, Bu!"
"Kenapa tidak" Kamu kan tahu laki-laki! Ingat si Peter""
"Tapi Heri pasti tidak seperti dia!" potong Anggraini jengkel.
"Tentu saja tidak kalau di depanmu! Di belakang" Siapa tahu! Sudahlah, Angga. Lebih baik
suruh dia pergi!" "Besok dia pulang."
"Lebih cepat lebih baik.
Sebelum terjadi apa-apa...."
Buset, keluh Anggraini dalam hati. Pulang-pulang kepalaku sudah pusing tujuh keliling! Semua gara-gara bajingan itu. Besok dia benar-benar sudah harus pergi. Kalau tidak, aku bisa gila!
' "Senang melihatmu sudah pulang," sapa Heri begitu Anggraini masuk ke kamarnya. "Anak-anakmu pasti lebih senang lagi."
"Dan aku paling senang kalau besok pagi kau juga sudah pulang."
Heri tersenyum. Tanpa perasaan tersinggung sedikit pun di wajannya.
"Aku tidak mau pulang ke rumah. Siapa tahu ada polisi yang mencariku."
"Itu urusanmu. Pokoknya, tinggalkan rumahku."
Anggraini mengangkat piring bekas sarapan Hes* dan meletakkan sepiring makan siangnya. Ketika dia memutar tubuhnya untuk keluar, Heri memanggilnya
"Riai." Anggraini tersentak kaget Apa katanya" Rini" Gila! Seenaknya saja mengganti nama orang!
"Namaku Anggraini," katanya kesal sambil menoleh ke arah Heri yang sedang berbaring tertelentang di ranjang.
"Terlalu panjang," komentar Heri seenaknya. "Lebih enak Rini saja."
'Teman-teman memanggilku Angga."
"Bagiku Rini lebih cocok."
'Tapi aku tidak suka dipanggil Rini!"
"Kenapa"'' "Kenapa" Karena itu bukan namaku!" "Bagiku, Rini lebih mengesankan. Tak terlupa-iun."
Astaga! Orang ini benar-benar menyebalkan! Tapi sudahlah. Rini ya Rini. Apa boleh buat! Dipanggil apa pun masa bodoh amat! Pokoknya besok dia tidak akan mendengarnya lagi! "Ada satu hal lagi yang kuingin kau mengetahuinya, Rini. Sinta bukan hanya cacat kaki. Dia juga cacat mental."
"Berhentilah mengurusi anak-anakku!"
"Cacatnya membuat dia minder. Kau juga yang menyebabkannya."
"Aku"" Anggraini membelalak gusar. "Dia kena polio waktu berumur sebelas tahun! Salahkah aku" Aku sudah berusaha mengobatinya. Dia sembuh. Tapi cacat. Salahkah aku""
"Kesalahanmu yang pertama, kau tidak ada di rumah ketika dia sangat memerlukanmu."
"Aku harus kerja! Kebetulan saat itu shooting-nya di luar kota! Kami harus berada di sana selama seminggu. Dan aku tidak tahu apa-apa tentang kejadian di rumah! Kaukira aku tidak menyesal" Setiap malam aku berlutut di sisi pembaringannya. Kumohon pada Tuhan, jika aku yang bersalah, janganlah hendaknya hukuman dosaku dilimpahkan pada anak-anakku! Tapi dia cacat juga. Haruskah kutuntut Tuhan""
"Pernahkah kau menyatakan penyesalanmu""
"Aku harus bagaimana" Menangis tiap hari di kakinya" Tidak! Aku tidak mau memperlihatkan belas kasihanku padanya! Dia harus hidup seperti anak-anak lainnya. Tidak sudi dikasihani. Sampai
mta saat dia sendiri merasa malu dan berhe^
*^ru kesalahanmu yang kedua. Kau membiajwl dia menarik diri dari lmgkungannya. Berhenti Iah dan tinggal menjahit di rumah. Justru ^ saat kau seharusnya menanamkan kepercayaan M harga diri yang lebih besar di hatinya.:' "Habis aku harus bagaimana" Memaksanya sekoV
lah"" "Di sanalah letak masa depannya! Berkurung di rumah hanya membuatnya bertambah minder saja!"
Setan ini memang cerewet, pikir Anggraini kewalahan. Terlalu banyak mencampuri urusan keluargaku. Terlalu berani menelanjangi kekurangan kekuranganku. Tapi bagaimanapun, kata-katanya hampir selalu benar dan sulit dibantah!
BAB V "Bagaimana"" tegur Dokter Harsa ketika Anggraini menggendong Intan memasuki kamar prakteknya.
"Ada kemajuan""
Anggraini menggeleng sedih.
"Hampir tidak ada kemajuan apa-apa, Dok."'
"Silakan duduk." Dokter Harsa menunjuk kursi di hadapan meja tulisnya.
Tetapi begitu Anggraini duduk, Iin langsung menangis meronta-ronta. Agaknya dia takut melihat Dokter Harsa.
"Takut sekali sama orang lain, Dok," keluh Anggraini sambil berdiri kembali. Menggendong Iin menjauhi Dokter Harsa dan membujuknya supaya diam.


Cinta Di Awal Tiga Puluh Karya Mira W di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"IQ-nya memang rendah sekali," gumam Dokter Harsa sambil meneliti kartu status Iin. "Hanya lima puluh. Itu berarti Intan termasuk anak tuna-mental golongan imbesil. Sudah bisa jalan""
"Baru saja, Dok. Tapi jalannya pun belum normal. Masih tertatih-tatih." "Padahal umurnya sudah empat tahun." Dokter
Harsa mengangkat wajannya menatap Intan. "Bagaimana bicaranya"" "Cuma bisa mengucapkan 'Mama', Dok."
"Anak tunamental memang selalu terlambat dan terbelakang dalam hal bicara."
"Dok." Anggraini menatap do
kter anak itu dengan tatapan amat memelas. "Ke mana saya harus membawanya, Dok""
"Menyesal sekali. Bu." sahut Dokter Harsa dengan suara iba "Anak Ibu menderita keterbelakangan mental yang berat Seperti telah saya katakan tadi. Intan termasuk anak imbesil. Itu berarti dia tidak dapat mencapai apa yang mungkin dicapai oleh anak-anak lain. Ke dokter mana pun Ibu membawanya percuma saja."
"Jadi dia tidak bisa sembuh, Dok"" Berlinang air mata Anggraini ketika mengucapkan kata-kata itu. " "Intan tidak sakit, Bu. Dia cuma terbelakang." I "Tapi kenapa, Dok" Kenapa" Apa kesalahan saya""
"Jangan tanya mengapa, Bu," hibur Dokter Harsa lunak. "Jawabannya akan panjang sekali. Begitu banyak faktor yang dapat menyebabkan retardasi mental pada seorang anak. Infeksi dalam kandungan, obat-obatan dan zat toksik yang mungkin diminum oleh seorang ibu yang sedang hamil. Atau mungkin juga penyakit-penyakit yang dideritanya waktu mengandung."
'Tapi anak-anak saya yang lain sehat fisik maupun mentalnya, Dok! Mereka normal. Mengapa tolan berbeda""
"Trauma waktu lahir dapat juga berpengaruh pada
perkembangan mental seorang anak. Defisiensi gizi, kelainan kromosom, asfiksia, Kern Icterus, banyak sekati penyebab yang tak dapat saya sebutkan satu per satu. Faktor penyebab ini bisa terdapat pada
anak yang satu, tetapi tidak pada anak yang lain."
"Jadi saya yang salah, Dok" Saya yang menyebabkan anak saya jadi begini""
"Tidak ada gunanya menyalahkan diri sendiri. Yang penting sekarang adalah bagaimana membantu anak ini agar dia dapat mencapai tingkatan maksimal yang masih dapat dicapainya."
"Apa yang masih dapat dicapainya, Dok"" keluh Anggraini putus asa. "Apa yang dapat dicapai oleh seorang anak yanghanya dapat mengucapkan sepatah kata""
"Itu bisa dilatih, Bu. Dengan kesabaran dan kasih sayang, Ibu dapat melatihnya untuk berkomunikasi. Mungkin bicaranya tidak akan sepintar - anak-anak Ibu yang lain. Tapi bukan tidak mungkin lama-kelamaan dia bisa mengucapkan kalimat-kalimat sederhana."
"Dia tidak bisa sekolah, Dok""
"Intan memerlukan pendidikan khusus di Sekolah Luar Biasa. Terhadap anak-anak seperti Intan biasanya diberikan pelajaran pekerjaan tangan, karena dia tidak mampu mempergunakan otaknya. Anak imbesil tidak mungkin membaca buku dan menulis karangan, misalnya. Tetapi kepada mereka akan diajarkan menulis nama sendiri, nama orangtua, alamat rumah, dan sebagai nya."
"Apa yang dapat saya perbuat untuk membantunya, Dok""
Ibu dapat melatihnya dengan latihan-latxha| dasar seperti makan sendiri, minum sendiri, berpakaian sendiri. Penting sekali merangsang penglihaG* an, pendengaran, perasaan, dan gerak tubuhnya sehari-hari. Jika latihan-latihan ini tidak dapat dilakukan di rumah, Intan harus ditempatkan dalam sebuah lembaga khusuis."
"Apa pun yang terjadi, saya tidak ingin berpisah dengannya, Dok. Saya akan mencoba melatihnya sendiri di rumah.'*
"Itu yang terbaik. Tapi jika Ibu memperoleh kesulitan. Ibu dapat menghubungi alamat ini." I
-Anggraini tidak menjawab. Disusutnya air matanya. Ditatapnya Intan dengan sedih. Mengapa hams terjadi padanya"
Dia memang tidak menginginkan anak ini ketika masih dalam kandungan. Tetapi kalau Tuhan masih tetap menghendaki Iin lahir, mengapa dia hams lahir dalam keadaan seperti ini"
"Ini alamatnya." Dokter Harsa menyodorkan sehelai kertas. 'Terima kasih. Berapa, Dokter"" 'Tiga lima."
Tiga puluh lima ribu, keluh Anggraini sambil mengeluarkan uangnya. Alangkah mahalnya! Padahal Iin tidak diapa-apakan.
"Perlu kuitansi"'
"Perlu, Dok," sahut Anggraini lirih.
Dia sendiri tidak tahu untuk apa. Sudah menjadi
kebiasaannya. Minta kuitansi setiap kali berobat. Padahal dia tidak tahu ke mana harus minta penggantian.
Semenjak berpisah, Abidin tidak pernah mengirim
tunjangan Sepeser pun. Dia harus berjuang seorang
diri untuk menghidupi kelima orang anaknya.
*** '""Iin disuntik, Ma"" tanya Sinta sambil memangku Intan sementara Anggraini mengemudikan mobilnya pulang.
Anggraini menggeleng lesu.
"Kapan dia bisa ngomong, Ma" Malu-maluin. Sudah begini besar belum bisa ngomong juga."
"Tutup kacanya, Sinta. Nanti Iin masuk angin."
"Macet, Ma. Kacanya nggak bisa ditutup."
"Bilang Rimba. Biar dibetulkan besok pagi. Pakaikan mantel Iin, Sinta. Anginnya kencang. Iin nggak biasa kena angin."
"Biasa kalau sore dia main di "luar, Ma. Bosan kali di rumah melulu. Tapi kalau ada orang lewat saja, langsung nangis."
"Sudah Mama bilang jangan dibawa main ke luar. Nanti masuk angin."
"Habis kasihan, Ma. Sumpek kan di rumah terus!"
Anggraini menghela napas. Kadang-kadang dia merasa malu pada tetangga. Punya anak cacat, mental seperti itu. Secara tidak sadar, dia selalu cenderung menyembunyikan anak itu.
Barangkali itu sebabnya Iin jadi takut melihat orang. Atau... memang sudah pembawaannya akibat keterbelakangannya"
"Intan memerlukan kesabaran dan kasih sayang Ibu." terngiang lagi kata-kata Dokter Harsa. "Ibu yang harus melatihnya. Jika latihan-latihan itu tidak dapat dilakukan sendiri di rumah, Intan harus dirawat dalam sebuah lembaga khusus,"
Potongan-potongan kata Dokter Harsa itu seperti gramofon rusak yang bolak-balik menerpa telinganya. Sepanjang perjalanan pulang, kata-kata itu terus-menerus merongrongnya.
Itu berarti dia hams mendampingi Iin terus. Melatihnya. Kalau menginginkan Intan tetap di rumah bersama saudara-saudaranya. Bukan dikurung dalam sebuah lembaga khusus....
Tetapi sampai kapan" Sampai kapan dia bisa mendampingi anaknya"
'Tab, mungkin empat tahun. Mungkin lima," kata Dokter Surjadi dulu. "Kalau ternyata benjolan di payudaramu itu ganas. Dan kau tetap berkeras tidak mau membuangnya!"
Dokter Surjadi adalah bekas teman ayahnya waktu SMA. Hanya kepadanyalah Anggraini sudi memaparkan kesulitan-kesulitannya. Untung Dokter Surjadi masih tetap menganggapnya putri sahabat-. nya biarpun ayah Anggraini telah lama meninggal.
"Belum tentu kanker. Kita biopsi dulu. Kalau ternyata jinak, cukup kita buang benjolannya saja."
"Dan kalau ganas"" ^ "Terpaksa payudara kirimu diangkat. Daripada
keburu- mengganas.ke mana-mana" Tega kau meninggalkan anak-anakmu""
Tentu saja tidak. Tapi membuang payudaranya,
ya Tuhan! Satu-satunya kebanggaannya yang masih tersisa. Satu-satunya modal untuk mencari
nafkahi Anggraini tidak dapat membayangkan produser-produser itu masih sudi memakainya sebagai peran pengganti kalau dadanya tidak montok lagi. Kalau parut bekas jahitan itu menampilkan pemandangan yang mengerikan di dadanya....
Justru karena keindahan tubuhnyalah mereka berminat memakainya dalam adegan-adegan yang tak mungkin dilakukan oleh aktris-aktris ternama. Padahal pada saat film Indonesia sedang hampir semaput seperti sekarang, film-film yang berani menampilkan adegan yang agak panas justru sedang in\
"Tidak usah khawatir. Pembedahan estetik payudara kini sudah banyak dilakukan. Jangan pikirkan apa-apa lagi, Anggraini. Pikirkan keselamatanmu."
Tapi mampukah pembedahan estetik mengembalikan keindahan payudara seperti yang dimilikinya sekarang" Kalaupun dapat, berapa biaya yang harus dikeluarkannya" Dari mana dia harus memperoleh uang sebanyak itu"
Anggraini sadar, waktunya tidak banyak lagi. Kariernya sudah di ambang batas. Di awal tiga puluh, sampai berapa lama lagi dia masih dapat bertahan sebelum tempatnya diambil alih oleh gadis-gadis yang lebih muda dan segar" Apalagi tanpa payudara kirinya!
Lagi pula... dapatkah operasi menjamin keae-tamatannya"
Teman saya juga dioperasi. Dok. Payudaranya
diangkat. Disinar. Dan entah Jiapak.m lagi. Tapi enam bulan sesudah operasi, paru-parunya sudah penuh air. Tiap dua hari mesti disedot. Cairannya merah. Dok. Seperti air cucian daging. Kata dokter, anak sebar kankernya sudah sampai di paru-paru."
"Itulah kalau ditunggu sampai kankernya her-metastasis."
"Dua huian kemudian dia meninggal. Duk. Lalu apa gunanya payudaranya diangk.il" Bukankah lebih baik (ia meninggal dengan utuh""
"Kau tidak bisa menyamakan "tiap kasus. -\rtt> graini! Tenunmu itu mengidap kanker payudara stadium lanjut. Anak sebar kankernya sudah merambah ke mana-mana. Kanker yang dkVmukja pada stadium dim masih dap r disembuhkan'"*
Tahi bagaimana saya tahu kanker saya RBNfc dini mm mmU lan,uir
"Kanker atau bukan uu kita belum tahu. Makanya saya anjurkan biopsi. Dengan
pemeriksaan Patologi Anatomi, tumormu bisa diketahui jinak atau g mas." "Menurut Dokter, seandainya kanker, s*y" masih
"Benjolan di.payudaramu baru berukuran kira-kira dua sentimeter. Belum ada be n j "1 m di ketiakmu. Kalau belum ada metastasis, teandainys r. Kankermu masi h tergolong stadium satu. Masih daoM dioperasi Harapan untuk survive maTapi saya takut dioperasi. Dok'." rintih Anggraini lirih. Saya takut tidak dapat bertemu lagi dengan anak-anak saya! Dan saya takut tidak mampu membayar biaya operasinya!
"Kalau ternyata kankermu ganas, menunda operasi berarti memperpendek umurmu sendiri! Mau kaukemanakan anak-anakmu yang masih kecil-kecil
aur Anggraini tidak tahu ke mana harus menyalurkan kebingungannya. Dia tidak tahu lagi kepada siapa
dia harus bertanya. Kepada siapa dia harus mengadu dan mengeluh.
Anak-anaknya masih terlalu kecil. Saat itu Rimba baru tiga belas tahun. Ibu juga bukan teman bicara yang buik. I agi pula dia tidak sampai hati membagi penderitaannya dengan ibu dan anak-anaknya. Dia ingin menanggung derita itu seorang diri saja
Abidin yang saat itu sudah menceraikannya, entah di mana buminya. Anggraini tak pernah mendengar kaharnya lagi sejak dia pergi, saat Intan baru berumur satu tahun.
Dokter Surjadi pasti marah sekali ketika ternyata Anggraini tidak muncul lagi di kamar prakteknya Dia memang tidak berani lagi menemui dokter bedah itu. Sungguhpun kini benjolan di payudaranya telah satu setengah kali lebih besar dibanding km dua tahun yang lalu. Om beberapa hari yang lalu, Anggraini menemukan benjolan bani di ketiak kirinya.
Tentu saja dia panik. Kasanya Malaikat Maut
telah membayang-bayanginya. Tetapi Anggraini sudah nekat. Dia tidak mau dioperasi. Dia akan ~ bekerja sampai helaan napasnya yang terakhir. Dia akan bekerja mati-matian. Mengumpulkan uang. Untuk membeli rumah dan menabung. Dia harus meninggalkan warisan yang cukup untuk menjamin masa depan anak-anaknya.
Tetapi kini muncul persoalan baru. Iin tidak dapat ditinggal seorang diri. Tidak walaupun seandainya Anggraini sanggup bertahan sampai sepuluh tahun lagi sekalipun! Iin akan menjadi bebannya sampai seumur hidup!
"Mama datang! Mama datang!" sorak Ika di ^ depan pintu." "Bawa martabak nggak, Ma""
^dih, nggak tahu malu!" ejek Dian sambil mendahului adiknya menyambut ibunya. "Masa martabaknya dulu yang ditanyain!"
Tetapi Ika tidak peduli. Dia langsung merebut bungkusan di tangan Sinta. "Martabak ya, Kak"** " "Awas, masih panas!" teriak Sinta. Tetapi Ika sudah lari membawa bungkusan martabak itu ke ruang makan,
"Mama nggak pergi lagi, kari, Ma"" rajuk Dian sambil mengikuti ibunya.
Anggraini hanya menggeleng letih. Sambil menggendong Intan, dia melangkah ke kamar makan. Dan tertegun melihat Heri sudah duduk di sana.
"Boleh, kan"" Heri berpaling sambil tersenyum. "Boleh ikut makan di sini" Malam terakhir sebagai
malam perpisahan""
"Oom mau martabak"" sela Ika lucu. "Kalau Oom bobok di kamar terus, pasti nggak kebagian!"
Anggraini menurunkan Intan dari gendongannya. Dan ibunya yang baru muncul langsung menyam-butinya.
"Bagaimana"" desak Nenek tak sabar. "Apa
kata dokter"" Anggraini cuma menggeleng lesu.
"Kenapa belum bisa bicara juga""
"Nanti lama-lama bisa. Mesti dilatih terus."
"Kalau dibawa ke kampung pasti lekas sembuh. Sama Mbah Utuy, anak bisu pun setelah dijampi langsung bisa ngomong!"
"Disembur ya, Nek"" nyeletuk Dian. "Iin bisa gelagapan dong!"
"Tolong suapi dulu, Bu," potong Anggraini letih. "Saya mau mandi dulu. Rimba sudah pulang""
"Belum." "Kalau begitu kita tidak akan makan sampai
dia pulang." "Tapi Ika sudah lapar, Ma!" "Bijaksana," tersenyum Heri. "Perhatianmu akan
membuatnya pulang lebih sore besok."
*#* Rimba sendiri heran melihat mereka semua sudah menunggunya di meja makan ketika dia pulang.
"Ayo, Kak Rimba, lekasan mandi! Ika sudah lapar nih!" teriak Ika tidak sabar.
"Untung dia pulang pukul delapan." Heri tersenyum pada Sinta yang duduk di sampingnya. "Kalau tidak, maag-ku bisa kumat." "Oom punya sakit maag"." "Sudah empat tahun."
"Wah, kalau begitu nggak boleh tahan lapar." "Mau permen, Oom"" sela Ika. "Ika ambilin, ya"
" "Kerupuk aja, Oom!" sambar Dian. "Masa permen! Nggak kenyang dong!"
"Bagaimana kalau dua-duanya" Siapa tahu kakakmu mandinya lamai"
Berebut Dian dan Bea menyodorkan kerupuk dan permen. Anggraini sampai tertegun heran. Bagaimana Heri sudah bisa begitu akrab dengan anak-anaknya" Bahkan Sinta tidak menampilkan wajah cemberut lagi!
Dia punya jimat apa, pikir Anggraini bingung. Kenapa dia bisa begitu menarik"
"Mama..." Dian bergayut manja di lengan Anggraini. "Kata Oom Heri, Dian mesti tunggu sampai kita semua selesai makan. Tapi Dian nggak tahan, Ma. Dian ngomong sekarang saja, ya"" "Soal apa, Dian""
"Boleh, Oom"" Dian menoleh ke arah Heri dengan ragu-ragu.
Anggraini ikut menoleh dengan curiga. Dan melihat lelaki itu mengangguk sambil tersenyum. Oom boleh tinggal sehari lagi ya, Ma""
Sekarang Anggraini melirik Heri dengan dahi berkerut. Tetapi Dian keburu menarik-narik tangan' nya. Terpaksa Anggraini menoleh lagi pada Dian.
"Dian terpilih jadi Bawang Putih, Ma!" tukas Dian dengan paras berseri-seri. "Besok sore latihannya di sekolah. Mama datang, ya" Kalau Dian
mainnya bagus, boleh ikut dalam operet Bawang
Merah Bawang Putih bulan depan!"
"Dan Ika jadi ikan, Ma!" sela Ika tidak mau kalah. "Bea yang bantuin ngambil cucian Bawang
Putih, yang hanyut!"
"Ma..." Dian meremas-remas lengan ibunya dengan manja. "Mama datang ya" Besok sore ya,
Ma"" Anggraini merangkul anaknya. Dan mengecup
rambutnya dengan lembut. "Mama pasti datang, Sayang." "Betul, Ma"" mata Dian berpendar-pendar seperti
intan. Anggraini mengangguk sambil tersenyum.
"Asal Dian janji mau main bagus."
"Pasti dong, Ma! Bu Erni bilang, Dian punya bakat akting! Nanti kalau Dian sudah bisa masuk TV, Mama nggak usah kerja lagi. Biar Dian yang cari duit!"
Tiba-tiba saja Anggraini merasa matanya panas.
"Betul Dian mau bantu Mama cari uang"" tanyanya terharu.
"Betul, Ma!" seru Dian bersemangat sekali.
"Ika juga, Ma!" potong Ika tidak, mau kalah. "Tapi Ika nggak mau masuk TV. Ika mau n
kapal aja. Jadi pilot!" Dia menoleh ke arah Heri dengan lucunya. "Pilot gajinya gede ya, Oom""
'Tapi pilot kan jarang di rumah, Ika," kata Anggraini geli. "Mama sama siapa dong di sini""
"Kan ada Kak Rimba, Kak Sinta, Kak Dian, Nenek, Oom Heri...." Tiba-tiba Ika seperti teringat sesuatu: Dia langsung mengubah pokok pembicaraannya. "Oom Heri boleh ikut besok sore ya, Ma""
"Tapi Oom masih sakit, Ika," sahut Anggraini hati-hati. vjpjl
"Kata Nenek, Oom sudah sembuh! Besok mau pulang!"
"Ah, ya! Oom mau pulang besok...," Anggraini menggagap bingung. "Jadi..." "Oom pulang lusa aja ya, Ma"" pinta Dian serius. "Tapi Oom banyak urusan..." "Sehari lagi tidak apa-apa," potong Heri tenang-tenang. "Urusan lain bisa ditunda kok."
"Tuh, Ma!" sorak Dian dan Ika berbareng. "Oom mau, Ma!- Boleh ya, Ma" Oom boleh ikut""
Kurang ajar, Anggraini melirik Heri dengan kesal. Tetapi laki-laki itu cuma membalas tatapan berangnya dengan senyuman.
"Boleh ya, Ma"" desak Ika lagi. "Oom boleh kan tinggal sehari lagi""
"Biar bisa nonton Dian besok, Ma!" rengek Dian pula. "Oom nggak percaya Dian pintar akting!"
Tidak sengaja Anggraini melirik Sinta. Dan me-. rasa heran bukan main. Sinta memang tidak berkata apa-apa. Tetapi wajahnya tidak menampilkan protes. Tidak murung seperti biasa kalau ada teman
ibunya yang tidak mau pulang! Anggraini malah merasa... diam-diam Sinta juga menyokong keinginan adik-adiknya!
"Baiklah," Anggraini menghela napas berat. "Sehari lagi."
"Terima kasih." Heri tersenyum puas. Dia mengedipkan sebelah matanya kepada Anggraini
tanpa terlihat anak-anaknya.
Buru-buru Anggraini menunduk. Khawatir kedipan itu terlihat oleh Rimba yang sudah muncul di kamar makan. Dia menatap ke sekeliling meja dengan curiga.
"Ada apa" Ada pesta apa" Siapa yang ulang tahun""
"Ulang tahun!" gerutu Sinta mengkal. "Kami semua menunggumu makan!"
"Apa-apaan"" Rimba mengerutkan dahinya dengan heran. "Tidak biasanya...."
"Mulai sekarang kita selalu akan makan bersama-sama, Rimba," kata Anggraini sabar. "Kami tidak akan makan sebelum kamu pulang."
"Makanya jangan pulang malam-malam, Kak!" nyeletuk ika. "Ika udah ngantuk!"
Rimba menatap ibunya dengan curiga. Kemudian tatapannya beralih kepada Heri. Dan kerut di dahinya bertambah.
"Ayo, duduklah," potong Anggraini sebelum komentar yang lebih pedas lagi diucapkan Rimba. "Adik-adikmu sudah lapar."
Tanpa berkata apa-apa lagi, Rimba langsung menarik sebuah kursi.BAB VI
Pukul empat sore Anggraini sudah tiba di rumah. Dia tidak man mengecewakan anak-anaknya. Dian sudah menyambutnya di depan pintu. Parasnya tegang sekali seperti sedang menanti pengumuman hasil ujian. W*^
''Nggak pergi lagi, kan, Ma"" tanyanya cemas. "* Anggraini mengusap kepala Dian dengan penuh kasih sayang. Tidak. Kan sudah janji sama Dian." "Kalau begitu lekasan dong, Ma! Kita sudah harus sampai di sekolah sebelum jam setengah enam." "Jam berapa latihannya mulai"" "Jam enam, Ma."
"Kalau begitu kita sudah harus mulai bersiap-siap. Pergilah mandi.*' "Dian sudah mandi, Ma,* "Kalau begitu cepatlah ganti pakaian. Mama mandi dulu, ya""
"Mama! Mama!" seru Ika sambil berlari-lari turun dari atas. "Pasangin pita dong, Ma! Kak Sinta nggak becus. Miring melulu!"
"Sudah kubilang, kepalamu yang tidak rata!"
balas Sinta dari atas. "Mesti diamplas dulu!"
"Sini Mama pasang." Sambil tersenyum Anggraini menuntun Ika ke atas.
Sepuluh menit lebih Anggraini mendandani putrinya. Dia baru merasa puas setelah Ika menjelma menjadi bidadari mungil yang amat cantik.
"Nah, selesai," katanya sambil menghela napas lega.
Ditatapnya Ika sekali lagi melalui cermin di' hadapan mereka. Dan matanya terpaku pada bayangan ibunya. "Ada tamu, Angga," katanya ketus. "Siapa, Bu"" Tiba-tiba saja dada Anggraini terasa berdebar-debar.
"Siapa lagi," gerutu ibunya jengkel. "Lelaki yang naik mobil merah itu. Heran, tiap hari datang. Mau apa sih!"
Celaka, pikir Anggraini bingung. Kalau dia tidak mau pulang juga... bisa runyam nih!
"Jangan lama-lama, ya, Ma!" seru Ika. sambil memandangi dirinya dalam cermin. Duh, cantiknya!
Diputarnya tubuhnya sedikit. Diajaknya cermin itu tersenyum. Dan cermin membalas senyumnya.
"Mama tidak lama," sahut Anggraini cepat-cepat. "Awas, rambutnya jangan diacak-acak lagi, ya!"
*** Takut-takut Dian mengintai dari pintu kamar.
Sinta ada di dalam. Sedang merenda sambil bersenandung.
Ah, Kak Sinta pasti lagi senang. Tidak biasanya dia nyanyi-nyanyi sendiri begitu! Dan kalau sedang senang, dia pasti tidak berbahaya.... "Kak- Sinta...," panggil Dian hati-hati. Serentak Sinta menghentikan senandungnya. Dan menoleh ke pintu. "Lho, kok belum pakaian juga"" tegurnya heran. "Kak Sinta...." Dian memandang kakaknya dengan ragu-ragu. "Hhh" Kenapa""
"Kak Sinta...." Suara Dian tambah memelas. Mukanya memerah.
"Ada apa sih"" bentak Sinta tidak sabar. "Ngo-mong aja kok susah amat! Mau ngapain""
Dibentak begitu rupa Dian langsung mundur tiga langkah. Tetapi dia tidak mau pergi. Sinta jadi makin penasaran. . "Kemari, Dian!" desisnya gemas. " Tetapi Dian hanya bergayutan di daun pintu. Tidak berani mendekat.
"Ya sudah, kalau nggak mau ngomong," dumal Sinta jengkel.
Dia sudah mulai merenda lagi ketika suara Dian kembali menggelitiki telinganya. Lebih perlahan daripada tadi.
"Kak Sinta..." Parasnya terlihat semakin memerah. "Dian pinjam...," suaranya tambah melemah, "Dian pinjam..." "-, "Pinjam apa"" Sinta menoleh dengan heran.
"Dian pinjam..." Dian tertunduk malu. Tidak berani membalas tatapan kakaknya. "BH Kakak,
ya..."" "Hah"!" Sinta terbelalak kaget. "Kamu mau
pinjam..."" Lalu tawanya meledak. Keterlaluan anak ini! Kecil-kecil sudah genit!
"Anak kecil mau pakai BH!" Sinta tertawa terpingkal-pingkal sambil memegangi perutnya. "Nggak tahu diri! Pakai saja plester!"
Dengan paras merah padam Dian lari meninggalkan kakaknya. Dia sudah hampir menangis. Malu. Kesal pula.
Kak Sinta selalu begitu! Menganggapnya anak kecil! Anak bawang. Anak ingusan. Anak kemarin sore. Padahal berapa sih beda umur mereka" Cuma empat tahun!
Huuu, Kak Sinta memang keterlaluan! Sok! Padahal dia juga baru kategori ABG! Lagaknya saja kayak orang gede!
Apa sih salahnya memakai BH" Dian sering melihat penyanyi-penyanyi cilik di televisi. Dan dandanan mereka... uah, selangit! Gayanya ngepop. Goyangnya maut. Pers
is, malah kadang-kadang lebih, dari orang dewasa!
Kenapa Dian tidak boleh meniru" Yang mendandani mereka o rang tuanya juga, bukan"
Dan Dian tertegun di puncak tangga. Mama sedang ngobrol dengan Oom Budi. Menurut pengalaman, obrolan mereka tidak pernah sebentar! Dan Dian sempat menangkap kata-kata Mama yang terakhir.
"Tidak bisa, Bud! Aku sudah janji dengan anak-anak...."
"Tapi kau juga sudah janji denganku, Angga! Lupa, ya" Janji denganku malah lebih dulu!" I
"Masa sih kau nggak mau ngalah sama anak-anak, Bud""
'Teatu saja aku mau, Angga! Tapi tidak dalam persoalan yang sepenting ini! Kau harus dapat mendahulukan yang penting, Angga! Ini soal masa depan kita!"
"Tapi drira kan bisa pergi besok, Bud!" kilah Anggraini kewalahan. "Dian cuma bisa berlatih hari imf"
"Besok kita ada shooting sampai malam! Surat panggilannya sudah dikirim oleh manajer unitku, kan" Atau...," suara Budi berubah, "kau tidak mau ikut shooting besok""
"Aku harus bicara dulu dengan anak-anak," keluh Anggraini lemah. Membatalkan shooting berarti kehilangan honor!
Anggraini baru bangkit dari kursinya dan memutar tubuh ketika matanya bertemu dengan mata Dian. Mata yang sedang tenggelam dalam lumpur kekecewaan. Ada kesedihan yang berbaur dengan kejengkelan dan kekecewaan di mata itu. Kekecewaan yang tak mungkin lagi dilupakan Anggraini.,...
Anggraini tidak tahan melihat mata yang bening itu mulai basah digenangi air mata. Dia tidak tahan melihat bibir Dian yang mungil itu gemetar menahan tangis.
j "Dian...," panggilnya dengan perasaan bersalah..
Tetapi Dian sudah lebih cepat lagi membalikkan tubuhnya. Dan menghambur lari ke kamarnya.
**# Heri sudah mengenakan kemejanya, kemeja yang sudah dicuci dan disetrika Anggraini, ketika dari jendela kamarnya dia melihat Anggraini masuk ke dalam mobil mewah itu. Seorang laki-laki bertubuh tegap, berumur empat puluhan, menutupkan pintu mobil untuknya. Seorang laki-laki yang necis. Rapi baur pakaiannya maupun potongan rambutnya.
Dan Heri tidak sempat berpikir panjang lagi. Lupakah Anggraini pada janjinya" Lupakah dia pada anak-anaknya" Pada Bawang Putih"
Bergegas Heri membuka pintu kamarnya. Menerobos ke luar. Dan hampir bertubrukan dengan Ika yang sedang membanting-banting kakinya dengan jengkel.
"Mama pergi ke mana, Ika""
"Mama bohong lagi, Oom," gerutu Ika hampir menangis. "Betul kata Kak^ Rimba, yang nggak boleh bohong cuma anak-anak! Orang gede sih boleh ngibul semaunya!"
"Mama pasti ada urusan penting, Ika," hibur Heri terharu.
Dia merasa kasihan pada anak-anak ini. Sekaligus merasa amat jengkel pada ibunya. Tak patut mereka dibohongi seperti ini!
Mentang-mentang mereka masih kecil. Seenaknya saja Anggraini mengobral ianiiLItoar" wmanapun, di depan Ika, Heri tidak, memperlihatkan kekesalannya. Dia tidak mau mendiskreditkan Anggraini di depan anak-anaknya.
"Kenapa mesti tergantung Mama" Ika dan Dian kan bisa pergi sama Nenek""
"Wah, Nenek! Bayar taksi aja salah melulu!"
"Nah, kenapa nggak minta tolong sama Kak SintaT
"Nggak, ah!" potong Sinta yang tahu-tahu telah berada di belakang mereka. "Aku nggak mau pergi. Oom saja pergi sama mereka!"
"Kenapa" Malu""
"Nggak mau aja."
"Tapi kenapa"" desak Heri penasaran. "Nggak kepenginu'' "Karena kakimu"" 'Tokoknya aku nggak mau pergi!" bentak Sinta kesal. Cerewet banget sih ni orang! "Malu ketemu bekas teman-temanmu"" "Ita urasankn!"
"Kamu harus pergi, Sinta," kata Heri tegas tapi lembut. "Kita pergi sama-sama."
"Buat apa" Memamerkan pincangku pada semua orang""
"Buat memberitaku dunia, kamu tidak malu dengan eacatmu." "Tapi aku malu!"
"Tidak. Kamu tidak boleh malu. Teman-temanmu boleh tahu kakimu cacat. Tapi mereka juga harus tahu, kamu ounva keh"n
"Kebanggaan apa" Aku tidak punya apa-apa!" "Kamu cantik, Sinta. Pemuda-pemuda akan memuja kecantikanmu." "Dan meludahi kakiku!"
"Percaya padaku, tidak seorang pun berani rneV
lakukannya!" "Tentu saja. Karena mereka kasihan padaku! Bah, aku tidak sudi dikasihani!"
Dendam Naga Merah 1 Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana Kisah Hantu Goosebumps Ii 2
^