Dari Langit 8
Dari Langit Karya Rizal Mallarangeng Bagian 8
Semua hal ini berlawanan dengan harapan masyarakat pada saat itu. Setelah pengalihan kedaulatan pada Desember 1949, kabinet yang terbentuk jatuh bangun dan tingkat ketidakpastian politik mencapai titik yang berbahaya. Karena itu, masyarakat berharap bahwa Pemilu 1955 dapat menyelesaikan persoalan ini dan memberi kepastian politik yang lebih tinggi. Dan wajar juga jika mereka berharap bahwa pemerintahan pertama hasil pemilu nantinya akan mulai membangun jembatan emas menuju masyarakat yang lebih makmur, melakukan langkah-langkah untuk mulai meninggalkan segala kesulitan ekonomi yang dialami sejak zaman Jepang dan zaman revolusi kemerdekaan. Tetapi harapan ini kemudian terkikis, dan bersamanya terkikis pula legitimasi sistem politik yang ada saat itu.
Kedua, merebaknya pemberontakan daerah. Di tengah jatuh bangunnya pemerintahan di Jakarta, semangat perlawanan daerah terhadap pusat menguat di Sulawesi dan Sumatra. Dua tahun setelah Pemilu 1955, Panglima Daerah Militer Indonesia Timur Kolonel Sumual mengambil-alih kepemimpinan dengan memberlakukan keadaan darurat secara sepihak. Setahun kemudian, gerakan Permes
ta ini disusul oleh gerakan revolusioner di Bukit Tinggi (PRRI), yang dimotori antara lain oleh Panglima Daerah Militer Sumatra Barat Letkol Husein dan didukung oleh beberapa pentolan politik nasional yang berasal dari Ma-syumi dan PSI, seperti Sjafruddin Prawiranegara, Mohammad Natsir, dan Prof. Sumitro Djojohadikusumo.
Walau berbeda latar belakang dan tujuannya, kedua pemberontakan daerah itu menciptakan hal yang sama, yaitu krisis integritas negara. Kita mungkin bisa berdebat soal keabsahan pemberontakan mereka secara moral, tetapi tindakan pemberontakan itu sendiri menciptakan dualisme otoritas dan krisis konstitusional. Dengan pemberontakan demikian, Republik Indonesia sebagai sebuah kesatuan hukum dan unit teritorial terancam pecah atau kehilangan kewibawaan.
Ketiga, peran Soekarno dan tentara. Soekarno dan tentara adalah dua pemeran terpenting dalam masa revolusi kemerdekaan. Tetapi sistem politik setelah pengalihan kedaulatan pada 1949 dan Pemilu 1955 tidak memberi tempat yang jelas bagi keduanya. Karena itu, dengan munculnya dua faktor di atas, yaitu krisis legitimasi sistem politik dan merebaknya pemberontakan daerah, kedua aktor terpenting yang melahirkan republik kita itu kemudian memperoleh basis pembenaran untuk "menyelamatkan negara" dan mengambil-alih kepemimpinan secara langsung.
Tentara memberi sumber kekuatan riil untuk menyelesaikan berbagai persoalan pemberontakan daerah, sementara Soekarno mengembalikan secara simbolis kewibawaan dan keutuhan negara. Dengan kemahiran retorikanya dan dengan mengandalkan posisinya sebagai Bapak Bangsa, Soekarno meyakinkan masyarakat bahwa sumber perpecahan dan segala persoalan bangsa saat itu adalah partai-partai politik. Sebagai jalan ke luarnya, Soekarno menawarkan solusi non-partai, yaitu konsepsi demokrasi terpimpin yang langsung dipimpinnya sendiri.
Di lihat dalam konteks kemelut di zaman itu, solusi non-partai demikian bukan hanya cukup masuk akal, tetapi juga secara politik mendapat sambutan luas dan antusias dari masyarakat.
Ketiga faktor itulah yang hadir secara bersamaan dan menjadi penyebab runtuhnya eksperimen demokrasi pertama kita. Ketiganya berhubungan dengan erat dan saling memperkuat. Tanpa kehadiran faktor pertama, misalnya, faktor kedua mungkin tidak akan muncul. Jika pemerintah pusat di Jakarta dapat menjalankan peran dan fungsinya dengan baik, peluang bagi merebaknya ketidakpuasan daerah akan mengecil. Dan tanpa kehadiran kedua faktor itu, jelas Soekarno dan tentara tidak memiliki alasan apapun untuk mengambil-alih kekuasaan dan memainkan peran politik mereka secara langsung.
Demikian pula, walaupun faktor pertama dan kedua sudah muncul, namun jika Soekarno dan tentara memilih melakukan peran yang berbeda, maka jalan sejarah pada akhir 1950-an dan awal 1960-an bisa berbeda samasekali.
Pertanyaan kita sekarang adalah apakah faktor-faktor yang menguburkan eksperimen demokrasi seperti itu juga sudah mulai hadir sekarang" Apakah tanda-tandanya sudah dapat kita rasakan" Mungkin betul bahwa sekarang masih terlalu dini untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Tetapi, di tengah suasana politik dan kondisi kemasyarakatan yang berkembang akhir-akhir ini, sulit bagi kita untuk berkata dengan meyakinkan bahwa benih faktor-faktor itu tidak atau belum terlihat samasekali.
Tanda-tanda cairnya koalisi antarpartai seperti yang terjadi pada 1950-an sudah bisa mulai terlihat dengan cukup jelas. Sepuluh bulan lalu koalisi Poros Tengah dan Golkar membendung PDI-P dengan menaikkan Abdurrahman Wahid ke panggung kekuasaan. Sekarang kita semua tahu bahwa kedua kelompok pertama itu adalah pihak-pihak yang paling kritis terhadap tokoh yang mereka naikkan sendiri. Di kalangan Poros Tengah sendiri pun ikatan-ikatan yang terjadi tidak sekokoh yang tampak di permukaan. Dalam soal hubungan Islam dan negara misalnya, sebagian pendukung PAN dan Amien Rais bisa dengan sengit bertentangan dengan tokoh dan massa pendukung PPP. Demikian pula, PDI-P dan PKB bisa sepakat dalam satu hal, tetapi dalam hal lain lagi keduanya bisa menjadi seteru yang fanatik.
Pada 1950-an, cairnya basis koalisi antarpartai berakibat langsung pada jatuh bangunnya kabinet pemerintah. Sekarang hal ini memang belum kita lihat. Tetapi bukankah isu-isu di sekitar reshuffle kabinet sudah memberi indikasi ke arah sana" Kalau ia benar terjadi, dan dilakukan secara luas dan menyangkut posisi-posisi kementerian yang vital, maka sesungguhnya secara praktis satu kabinet sudah jatuh, dalam waktu kurang dari setahun (kabinet koalisi pertama setelah Pemilu 1955 yang dipimpin oleh Ali Sastroamidjojo berusia lebih panjang dari itu!).
Yang masih agak kabur adalah dampak cairnya basis koalisi antarpartai saat ini dengan berbagai kesulitan pemerintah dalam melakukan perannya, seperti pembangunan ekonomi, penegakan hukum, pemberantasan korupsi dan sebagainya. Tetapi, di sini pun kita sudah mulai cukup sering mendengar keluhan bahwa berbagai kesulitan pemerintah selama ini bersumber dari pertentangan kepentingan dan perbedaan konsepsi para elite partai politik.
Malahan, dalam dua tiga bulan terakhir sudah muncul suara-suara yang berkata bahwa kabinet dan lembaga-lembaga pemerintahan hanya akan bekerja dengan baik jika dipimpin oleh tokoh-tokoh non-partai, kaum profesional dan aktor-aktor non-politis. Bukankah suara-suara seperti ini dapat menjadi indikasi yang cukup jelas bahwa legitimasi dan kepercayaan pada partai dan pemimpinnya memang sudah mulai surut" Betul bahwa sekarang suara-suara semacam itu mungkin belum sekeras suara-suara antipartai yang terjadi pada akhir 1950-an. Tetapi, adakah jaminan bahwa ia tidak akan menemukan momentumnya untuk semakin merasuk ke dalam kesadaran masyarakat luas"
Singkatnya, benih-benih faktor pertama yang bisa menyebabkan gagalnya ekperimen demokrasi kedua kita sudah mulai muncul. Tingkat perkembangannya di tahun-tahun mendatang memang belum pasti, tetapi yang jelas dia sudah muncul dan mungkin sedang menanti momentum sejarah untuk mengangkatnya menjadi gejala politik dominan.
Bagaimana dengan faktor berikutnya" Sekarang memang tidak ada pemberontakan daerah yang dipimpin oleh kombinasi elite militer dan tokoh politik nasional seperti yang terjadi pada 1950-an. Yang terjadi akhir-akhir ini di banyak daerah lebih berbentuk kerusuhan dan munculnya aspirasi nasionalisme lokal pada tingkat massa. Bentuk yang pertama dengan baik diwakili oleh konflik-konflik di Maluku dan Poso, sementara bentuk yang kedua oleh maraknya aspirasi kemerdekaan di Aceh dan irian Jaya.
Gerakan Permesta dan pemberontakan PRRI menimbulkan dualisme otoritas dan menyebabkan negara mengalami krisis kewibawaan. Apa yang terjadi di Maluku, Poso, Aceh, dan Irian Jaya pada dasarnya juga berakibat sama, malahan dalam kadar tertentu, karena terjadi pada tingkat massa, dampaknya sebenarnya lebih dahsyat lagi. Di Maluku misalnya, negara sudah betul-betul terpuruk wibawa dan otoritasnya, sehingga aparat-aparat negara di semua tingkat sepertinya sudah kehilangan akal harus berbuat apa. Sepanjang sejarah republik kita, belum pernah hal yang seperti ini terjadi, di mana konflik-konflik yang begitu keras dan memalukan di tingkat massa samasekali tidak dapat dijembatani dan diselesaikan oleh negara.
Seperti juga dengan faktor sebelumnya, faktor ini belum dapat diperkirakan dengan pasti ke mana arah dan perkembangannya. Tetapi dengan kualitas kepempinan yang kita punyai sekarang, dan terutama dengan keanehan dan ketidakpastian kebijakan yang ditempuh oleh Presiden Gus Dur, saya menduga bahwa persoalan-persoalan ini hanya akan semakin genting, bukan sebaliknya. Selama 10 bulan terakhir kita sudah bisa membaca sosok Gus Dur sebagai seorang pemimpin. Ia bukan tokoh yang kuat dan tidak memiliki kemampuan untuk melahirkan kebijakan yang konsisten dan efektif.
Singkatnya, Gus Dur tidak memiliki kemampuan yang memadai untuk berperan sebagai pemimpin tertinggi yang dapat mengembalikan kewibawaan dan otoritas negara. Dia adalah the wrong man, in the wrong place, and at the wrong time. Di bawah kepemimpinan Gus Dur, bangsa kita sepertinya terkunci oleh sebuah hukum yang sering dikenal sebagai "Murphy's Law": apa saja yang
mungkin menjadi buruk, akan menjadi buruk.
Jadi, faktor kedua yang dapat menggagalkan eksperimen demokrasi kita juga sudah ada. Yang belum ada saat ini adalah faktor terakhir, yaitu sosok yang memainkan peranan Soekarno dan tentara pada akhir 1950-an. Dalam hal ini kita bisa sedikit berlapang dada, sebab dalam waktu dekat ini sosok demikian mungkin belum akan muncul di horizon politik kita. Megawati bukan Soekarno, dan tentara saat ini masih sedang mengalami post-Soeharto shock yang membuatnya kehilangan inisiatif untuk bertindak dengan tegas.
Generasi pemimpin TNI yang ada saat ini tidak memiliki kredibilitas yang tinggi sebagaimana yang dinikmati oleh generasi Jenderal Nasution pada 1950-an. Walau demikian, kita jangan lupa pada sebuah diktum, yakni sejarah sering mencip-takan aktor-aktornya sendiri. Jika tingkat kredibilitas partai-partai politik terus menurun, jika pemerintah sulit menjalankan perannya dengan baik, dan jika konflik-konflik dan aksi -aksi separatisme di daerah terus- menerus terjadi dan wibawa negara terus terpuruk, maka pada waktunya nanti akan lahir aktor-aktor alternatif yang menawarkan solusi "baru" (anggur lama di botol baru!) Dan, seperti yang terjadi pada akhir 1950-an, solusi semacam ini mungkin akan didukung oleh rakyat secara antusias.
Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk menyebarkan pesimisme atas masa depan sistem demokrasi kita, melainkan lebih untuk mengingatkan kita semua untuk tidak berpikir bahwa demokrasi sudah menjadi milik kita selama-lamanya. Dari pengalaman kita sendiri, dan juga dari pengalaman banyak negara lain, sudah terbukti bahwa sistem yang ideal ini berkembang sering tidak dengan mengikuti garis sejarah yang lurus.
Demokrasi hanya bisa berkembang dan menjadi kokoh dalam waktu yang lama dan bertahap. Tetapi, ia dapat tumbang dan ditumbangkan dalam waktu yang relatif cepat. Karena itu, mata kita harus senantiasa terbuka terhadap kemungkinan-kemungkinan negatif yang mungkin akan menguburkan harapan kita bersama.
Dengan menyadari bahwa beberapa kemungkinan demikian sudah mulai muncul di permukaan, kita bisa melakukan hal-hal penting yang dapat mempertahankan eksperimen besar kita kali ini, terus-menerus. Sejarah mungkin akan berulang, tetapi kita masih memiliki kesempatan untuk mencegahnya.
17 Agustus 2000 Pemberontakan Daerah dan Demokrasi
("Rejoinder" buat Asvi Warman Adam)
dalam satu tulisan belum lama ini, saya mencoba menelusuri beberapa kemungkinan yang bisa menggagalkan eksperimen demokrasi kita saat ini (Akankah Sejarah Berulang, Kompas, 17/8/00). Dalam melakukan hal itu saya melihat kembali ke masa lalu dan mencari faktor-faktor yang menguburkan eksperimen demokrasi pada 1950-an.
Saya ingin memetik pelajaran dari sejarah dan dengan itu menyumbangkan pikiran, betapapun kecilnya, agar kita tidak terjerumus ke lubang yang sama untuk kedua kalinya.
Tulisan ini ditanggapi Asvi Warman Adam (Demiliterisasi Sejarah Indonesia, Kompas, 2/9/00). Dalam tanggapannya, Asvi tidak membahas tulisan saya secara utuh. Dia tidak ingin berbicara soal demokrasi dan problem demokratisasi secara umum. Yang disoroti sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) ini adalah masalah pemberontakan daerah, yaitu gerakan Permesta dan PRRI.
Asvi keberatan jika pemberontakan daerah dimasukkan sebagai salah satu faktor untuk menjelaskan rontoknya eksperimen demokrasi pada kurun 1950-an. Buat dia, pemerintah Soeharto-lah yang selalu berpendapat begitu. Karena itu, siapa-pun yang berbicara dengan nada sama, termasuk saya, berarti sudah termakan propaganda Orde Baru.
*** Atas tanggapan itu, saya ingin mengatakan beberapa hal. Namun sebelumnya, saya ingin menyinggung suatu hal yang sebenarnya tidak penting secara substansial, tetapi perlu dike-mukakan untuk menjernihkan sebuah masalah yang cukup sering mengganggu dalam perdebatan sejarah di negeri kita.
Pandangan yang mengatakan, pemberontakan daerah yang dilakukan gerakan Permesta dan PRRI adalah aksi-aksi di luar hukum, berbahaya, dan berhubungan erat dengan gagalnya eksperimen demokrasi, sebenar
nya bukanlah monopoli Soeharto dan Orde Baru semata. Banyak sejarawan dan ilmu politik mengatakan hal yang hampir sama, tentu dengan sudut pandang dan motivasi berbeda-beda. Misalnya, WF Wertheim, sejarawan Belanda, dalam bukunya yang terbit sebelum Orde Baru lahir (1959), Indonesian Society in Transition, malah menjelaskan, gerakan PRRI dan Permesta adalah kudeta dan aksi ilegal.
Hal itu juga diutarakan Herbert Feith. Dalam tulisannya, "Dynamics of Guided Democracy", yang terbit pada 1963 dalam sebuah buku yang disunting Ruth McVey, Indonesia, Feith lebih jauh lagi menjelaskan, pemberontakan daerah itulah yang menjadi salah satu dari dua faktor mengapa Soekarno dan Jenderal Nasution begitu cepat dapat menguburkan sistem demokrasi parlementer pada 1958-1959.
Tentu saja kita boleh tidak setuju dengan pandangan Wertheim dan Feith. Meski banyak dikenal sebagai ilmuwan serius dan tekun, keduanya bukan pemegang kebenaran terakhir. Namun demikian, ketidaksetujuan itu harus berdasarkan pada argumen dan bukti-bukti sejarah yang kuat, bukan dengan argumentum ad hominem. Orang pasti akan terkesima jika kita berkata, Wertheim dan Feith keliru sebab pandangan mereka sudah termakan propaganda Orde Baru.
Kini, soal yang lebih substansial. Saya menganggap, pemberontakan daerah yang dimotori gerakan Permesta dan PRRI menciptakan krisis integritas negara. Negara kehilangan kewibawaan karena terciptanya dualisme otoritas dan para pemimpin partai serta aparat militer mengambil hukum di tangan mereka sendiri. Krisis semacam itulah, salah satunya, yang memancing Soekarno dan tentara untuk lebih memainkan peran politik mereka secara langsung dengan mendeklarasikan situasi darurat, dan kemudian menguburkan sistem demokrasi parlementer. Pendapat saya ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan apa yang dikatakan Herbert Feith itu.
Bagi saya, bila kita lihat dengan saksama apa yang sesungguhnya terjadi pada kurun 1950-an, penolakan Asvi terhadap fakta bahwa pemberontakan daerah menciptakan krisis integritas negara menjadi agak membingungkan.
Coba kita lihat gerakan Permesta. Diproklamirkan pada 2 Maret 1957, gerakan ini memang tidak ingin melepaskan diri dari republik. Walau begitu, para pemimpinnya, misalnya Komandan Militer Indonesia Timur Letkol Ventje Sumual, memaksakan berlakunya situasi darurat, dan dengan itu mengambil-alih pemerintahan secara langsung di daerah yang ada di bawah kekuasaannya. Pada saat itu wilayah kekuasaan Komando Militer Indonesia Timur tersebar dari Sulawesi hingga Bali serta seluruh kepulauan di Nusa Tenggara dan Maluku. Artinya, otoritas politik di hampir setengah wilayah republik yang sah direbut dengan paksa secara sepihak, dan dibarengi ancaman bersenjata.
Apakah itu bukan berarti krisis integritas negara" Bayangkan bila sekarang seluruh Panglima Kodam di Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara, dan Maluku bersatu serta melakukan hal yang sama. Mereka mengangkat senjata, memproklamasikan situasi darurat, dan menyatakan tidak lagi tunduk pada pemerintah yang sah di bawah Presiden Abdurrahman Wahid. Bisakah sistem demokrasi menjawab tantangan yang demikian besar" Bila semua pemimpin regional, militer atau bukan, menerapkan cara yang sama dalam memperjuangkan kepentingan mereka, tidakkah situasi yang tercipta akan menggiring kita semua ke jurang perpecahan dahsyat yang merontokkan republik yang sudah dibangun dengan begitu banyak pengorbanan ini"
Bila contoh itu masih belum meyakinkan, mari kita lihat contoh berikutnya, yaitu pemberontakan PRRI. Gerakan yang muncul setahun setelah Permesta ini justru lebih dahsyat lagi, sebab ia dimotori tidak hanya oleh petinggi militer regional di Sumatra, tetapi juga oleh pentolan-pentolan politik nasional yang ikut melahirkan republik kita seperti Mohammad Natsir, Sjafruddin Prawiranegara dan Prof. Sumitro Djojohadikusumo, serta didukung bantuan senjata oleh salah satu negeri adikuasa, yaitu Amerika Serikat.
Gerakan ini membubarkan pemerintahan lokal dan salah satu pemimpinnya, yaitu Letkol Husein, Komandan Militer Sumatra Tengah, memberi ultimatum pada pemerintah pus
at. Mereka memberi waktu lima hari bagi pemerintah di Jakarta untuk membubarkan kabinet yang dipimpin Ali Sastroamidjojo, dan menggantikannya dengan sebuah kabinet profesional yang dipimpin Hatta atau Sultan Hamengku Buwono IX. Bila ultimatum ini tidak dipenuhi, mereka mengancam akan mendirikan pemerintahan sendiri di Sumatra, yang mereka sebut pemerintahan revolusioner.
Bila hal demikian tidak dapat disebut sebagai krisis yang membahayakan konstitusi dan mengancam integritas negara sebagai sebuah lembaga yang mengatur pembagian wewenang dan otoritas yang ada dalam sebuah masyarakat, terus terang saya tidak tahu harus berkata apa lagi. Kabinet Ali Sastroamidjojo saat itu adalah kabinet hasil Pemilu 1955 yang demokratis. Jadi pemerintah di Jakarta waktu itu, dengan segala kekurangannya, sudah sah untuk disebut sebagai pemerintahan yang dipilih oleh rakyat secara bebas. Tetapi, tokoh- tokoh PRRI tidak sabar menunggu pemilu berikutnya untuk memperjuangkan kepentingan mereka. Sebaliknya, dengan ancaman bersenjata, dan dengan meminta bantuan senjata dari pihak asing, mereka ingin memaksakan kehendak serta menjatuhkan pemerintah pusat.
Sekali lagi, bayangkan bila hal demikian terjadi sekarang. Peran Masyumi pada 1950-an, katakanlah, dimainkan Poros Tengah saat ini, di bawah pimpinan Amien Rais. Mereka gagal memaksa Soekarno dan Hatta membubarkan kabinet, dan karena itu mereka ke Sumatra dan bergabung dengan para pimpinan militer di sana. Dari Padang kedua kubu ini lalu membubarkan pemerintahan sipil dan memberi ultimatum pada Soekarno disertai ancaman bersenjata dan ancaman untuk mendirikan negara di dalam negara.
Harus kita sebut sebagai apa peristiwa semacam itu" Apa yang akan diakibatkannya" Apakah gerakan demikian harus dipandang hanya sebagai gejolak lokal dan hasil pertikaian internal tentara yang tidak memiliki konsekuensi luas dan mendalam" Jika pemberontakan demikian terjadi sekarang, apakah negara sebagai sebuah kesatuan hukum dan teritorial memang tidak akan terancam"
Saya mengerti bahwa terhadap semua itu Asvi masih bisa berkata, pemberontakan daerah terjadi sebab tokoh-tokoh di daerah memiliki alasan kuat untuk melakukannya. Dalam hal ini Asvi menyinggung soal ketimpangan pusat dan daerah, atau Jawa dan luar Jawa. Asvi seolah ingin berkata, karena kuat dan sahnya alasan demikian, gerakan Permesta dan PRRI yang ingin mengoreksi berbagai ketimpangan yang ada antara pusat dan daerah, tidak dapat disebut sebagai pemberontakan yang mengancam negara dan menjatuhkan demokrasi.
Dengan cara ini, meski tidak dijelaskan secara eksplisit, Asvi ingin mengesampingkan pertimbangan mengenai metode penyelesaian masalah dan lebih menekankan soal substansi isu yang diperjuangkan para pentolan Permesta dan PRRI.
Bagi saya, pada tingkat tertentu, hal ini bisa diterima. Terhadap pemerintahan seperti dipimpin Hitler, Stalin, dan Pol Pot, misalnya, pemberontakan bersenjata menjadi sah dan perlu secara moral. Dalam hal ini, mereka yang memberontak terhadap Hitler di Jerman, Stalin di Uni Soviet, dan Pol Pot di Kamboja, tidak dapat dikatakan sebagai penghancur negara. Justru sebaliknya, mereka harus disebut patriot sejati, sebab tingkat kejahatan pemerintahan Hitler, Stalin, dan Pol Pot memang sudah luarbiasa besarnya.
Pertanyaan saya sekarang, tindakan apa dari pemerintahan Ali Sastroamidjojo yang sudah bisa digolongkan sebagai kejahatan yang mendekati tindakan Hitler di Jerman, misalnya, sehingga pemberontakan bersenjata PRRI sudah bisa dianggap sah secara moral" Pada periode 1950-an, adakah ketimpangan Jawa dan luar Jawa yang sudah sedemikian besar sehingga mekanisme-mekanisme politik yang demokratis tidak lagi bisa mengatasinya" Bila ketimpangan itu ada, apakah ia bagian rencana yang disengaja dari pemerintah pusat, atau ia terjadi bukan karena kesalahan siapapun"
Bagi saya, jawaban dari semua pertanyaan itu sudah jelas. Dalam soal ketimpangan ekonomi Jawa dan luar Jawa, misalnya, tidak ada indikator ekonomi pada periode itu yang mengatakan, persoalan yang ada sudah sedemikian parah. Waktu itu kita semua hampir
sama miskinnya. Memang, dalam periode 1952-1959 ada kecenderungan yang menunjukkan, secara relatif tingkat kesulitan ekonomi lebih meningkat di luar Jawa ketimbang di Jawa. Tetapi hal ini bukan kesalahan kabinet Ali Sastroamidjojo dan bukan pula bagian dari rencana jahat siapapun.
"Bonanza" ekonomi yang datang dari Perang Korea berakhir pada 1952, dan setelah itu pasar dunia bagi barang andalan ekspor kita yang banyak berasal dari luar Jawa, menurun drastis. Salah satu andalan ekspor ini adalah karet mentah, yang umumnya berasal dari Sumatra. Pada 1952 ekspor kita mencapai Rp2,5 miliar, tetapi pada 1958 angka ini hanya Rp1,7 miliar. Jadi tidak heran jika tokoh-tokoh di Sumatra mengeluh karena penghidupan rakyat di sana menjadi lebih susah (inilah sebenarnya yang menjadi sebab mengapa penyelundupan yang dilakukan tokoh-tokoh militer, merebak di daerah saat itu, lalu menambah ketegangan yang ada dengan pemerintah pusat).
Selain itu, kalaupun ada kesalahan yang bisa ditimpakan kepada pemerintahan di Jakarta, mungkin dapat ditemukan pada kebijakan untuk mempertahankan nilai tukar rupiah terhadap dollar. Selama delapan tahun (1952-1959) nilai dollar dipatok (satu dollar AS = Rp11,47), tanpa mempertimbangkan fluktuasi ekonomi internasional. Pada saat kinerja ekonomi me -nurun, nilai tukar rupiah secara riil (bukan nilai patokan pemerintah) ikut menurun. Sialnya, penurunan nilai tukar ini tidak diiringi peningkatan permintaan akan ekspor kita di luar negeri, seperti yang saya singgung di atas. Jadi, pengekspor produk-produk pertanian yang umumnya ada di luar Jawa seperti sudah jatuh dan tertimpa tangga pula.
Namun, betapapun kelirunya kebijakan semacam itu, ia bukan suatu hal yang harus diatasi dengan pemberontakan bersenjata dan pembentukan negara di dalam negara. Kesalahan semacam itu adalah kesalahan kebijakan biasa yang sangat umum dilakukan pemerintah di mana pun. Resep terbaik untuk mengatasinya adalah persuasi dalam mekanisme demokratis, bukan ultimatum dan aksi pemberontakan terhadap negara.
Jadi, kalaupun saya mencoba mengikuti alur pemikiran Asvi, saya tetap tidak menemukan alasan mengapa pemberontakan daerah pada kurun 1950-an harus "diromantisir" dan dianggap sah. Buat saya, landasan perjuangan Permesta dan PRRI keliru secara moral, dan metode penyelesaian persoalan yang mereka gunakan sangat berbahaya dan mengancam integritas negara secara sangat serius. Apa jadinya negeri kita jika setiap kesalahan kebijakan di Jakarta harus disusul dengan pembubaran pemerintahan lokal serta pemberlakukan undang-undang darurat secara sepihak di Makassar dan Padang"
Semua ini saya katakan bukan untuk membuka lagi luka lama atau untuk mengecilkan tokoh-tokoh penting seperti Mohammad Natsir, Prof. Sumitro Djojohadikusumo, dan Sjafruddin Prawiranegara. Secara pribadi saya amat menghargai tokoh-tokoh ini, meski saya juga menyadari kekurangan mereka. Saya hanya ingin agar kita menatap sejarah sebagaimana adanya, dan belajar dari kesalahan-kesalahan yang pernah terjadi.
18 September 2000 Teori dan Kerusuhan di Dua Kota
kerusuhan di Tasikmalaya dan Situbondo sudah selayaknya membuat kita menarik napas dalam-dalam. Dalam peristiwa ini ribuan orang menggelar "pengadilan jalanan" dan-memin-jam kata Kiai Makmun, tokoh pesantren di Tasikmalaya-meng-umbar nafsu angkara murka serta berkelakuan seperti binatang. Selama beberapa jam di dua kota ini situasi sosial berubah menjadi "situasi alamiah" ala Hobbes: manusia yang satu menjadi serigala bagi manusia lainnya.
Mengapa kerusuhan "primitif" ini muncul berturut-turut justru pada saat pertumbuhan ekonomi berlangsung pesat" Apakah kerusuhan ini menandakan memburuknya hubungan etno-religius di negeri kita" Seperti terbaca di berbagai media, jawaban paling populer yang diberikan para pengamat, aktivis, dan pejabat terhadap kedua pertanyaan ini, sederhananya, dapat disebut sebagai teori kesenjangan.
Menurut teori ini, akar persoalan kerusuhan sosial di dua kota itu adalah kesenjangan sosial-ekonomi yang makin melebar. Pembangunan ekonomi di bawah Orde Baru memang sa
ngat berhasil. Tapi, menurut teori ini, hasil pembangunan hanya dinikmati segelintir kalangan. Mayoritas masyarakat hanya mendapat tetesannya.
Dalam teori ini, "mayoritas" yang tersisih itu adalah umat Islam dan pribumi, sedangkan yang "segelintir kalangan" adalah kaum non-Islam dan non-pri. Ini berarti kesenjangan so-sial-ekonomi yang melebar itu berimpitan dengan perbedaan etnik dan religius. Perimpitan semacam inilah yang melahirkan potensi kecemburuan sosial yang sangat tajam. Jika potensi demikian sudah muncul, maka kita tinggal mencari faktor pemicu kecil bagi lahirnya kerusuhan besar. Dengan demikian, bagi teori ini, nuansa dan pengungkapan etno-religius dari kerusuhan di Situbondo dan Tasikmalaya hanyalah bentuk luarnya. Akar persoalannya terletak pada realitas "obyektif": pada kondisi sosial-ekonomi kita yang makin timpang.
Buat saya, teori ini memang cukup mudah dimengerti sesuai dengan popular sentiment yang ada dalam masyarakat kita, karena itu sangat gampang menjadi teori yang dominan. Tapi justru karena itu pula kita harus hati-hati dan melontarkan beberapa pertanyaan. Setidaknya ada beberapa hal yang membuat saya ragu atas teori ini.
Pertama, kalau teori ini benar, maka kita bisa bertanya: kenapa kerusuhan itu justru terjadi di Situbondo dan Tasikmalaya" Kenapa bukan di Jakarta dan Surabaya" Di dua kota ini, terlebih Jakarta, ekses-ekses ketimpangan hidup berdampingan sangat ekstrem. Kalau dibandingkan dengan Jakarta, maka Tasikmalaya, dengan cuaca pegunungannya yang sejuk, mungkin dapat disebut sebagai civitas dei-nya Santo Agustinus, kota utopia yang bersih dari keserakahan. Sebaliknya, Jakarta adalah "surganya" ketimpangan dan keberlebihan dalam segala hal.
Singkatnya, kalau teori kesenjangan benar, maka Jakarta mestinya sudah lama porak-poranda dilanda kerusuhan massa.
Kedua, teori ini bersandar pada sebuah asumsi yang akhir-akhir ini jarang dipertanyakan lagi, yaitu bahwa kesenjangan sosial-ekonomi dalam masyarakat kita meningkat tajam. Dari fakta yang ada, asumsi semacam ini patut diragukan, atau paling tidak diperdebatkan lebih-jauh. Kalau kita amati kecenderungan dalam Index Gini sejak 1969 hingga 1993, angka-angka yang tampak tak banyak berubah. Pada 1969-1970, misalnya, rasionya 0,34%; pada 1981 0,33%, dan pada 1993 0,34%. Ini berarti, dari ukuran tertentu (dalam hal ini indeks pengeluaran rumahtangga dari hasil survei nasional), dalam realitas ketimpangan kita tak terjadi perubahan berarti selama 20 tahun ini. Kita tak lebih timpang, atau lebih merata, akibat pertumbuhan ekonomi yang pesat.
Tentu, kalau memakai ukuran yang berbeda, kesimpulan berbeda dapat pula dimunculkan. Kita mungkin akan tiba pada angka-angka yang sedikit lebih kecil atau sedikit lebih besar. Namun saya kira akan sangat sulit mencari dukungan faktual dan dapat diuji secara akademis bagi asumsi bahwa realitas ketimpangan kita "meningkat tajam".
Dua alasan ini memang belum memadai untuk menolak samasekali teori kesenjangan itu. Yang penting adalah, untuk memahami peristiwa penting seperti di Situbondo dan Tasikmalaya itu, kita jangan terpaku sepenuhnya pada sebuah penjelasan yang tampaknya "sudah benar". Kita juga harus membuka diri pada teori yang berbeda, bahkan mungkin berlawanan dengan apa yang ingin kita percayai.
Dalam hal ini teori lain yang patut dipikirkan adalah teori yang lebih bersifat psikologis-kultural. Teori ini menerima kenyataan babwa memang ketegangan etno-religius masih hidup subur dalam masyarakat kita. Kita masih memandang manusia lain berdasarkan asal-usulnya, kelompoknya, sukunya, dan agamanya. Kita belum memandang seseorang sebagai individu, sebagai si Ruly atau si Tuti, melainkan sebagai "keturunan asing", atau "Islam", atau "pribumi". Lebih jauh lagi, akhir-akhir ini melalui kebijakan publik dalam beberapa bidang kehidupan (misalnya perkawinan dan distribusi ekonomi), kita cenderung mendorong terjadinya proses institusionalisasi bagi cara pandang semacam ini.
Bagi teori ini, dengan kata lain, akar persoalan kerusuhan sosial seperti di Situbondo dan Tasikmalaya harus dicari pa
da dimensi yang lebih bersifat subyektif. Dalam hal ini kita harus melihat bagaimana pendidikan civic diberikan dalam bentuk indoktrinasi yang membosankan sejak SD hingga universitas, dalam dogmatisme pendidikan agama, dalam retorika yang digunakan pemimpin, dalam pencarian legitimasi bagi sebuah negara nasional, dan masih banyak lagi.
Semua ini tentu saja tak harus benar dan relevan. Mungkin setelah kita teliti dan diskusikan, penjelasan lain akan muncul dan secara empiris lebih meyakinkan. Karena itu pula saat ini kita sangat membutuhkan perdebatan dan diskusi-diskusi publik yang terbuka terhadap berbagai persoalan mendasar dalam masyarakat kita. Kita harus mengerti apa yang terjadi, dan dari situ kita baru bisa mengambil langkah untuk mengatasinya. Kalau semua ini tak kita lakukan, haruskah kita menunggu peristiwa-perisiwa lain yang lebih besar, yang bisa merontokkan dasar-dasar kebangsaan kita"
11 Januari 1997 Jalan Skotlandia Buat Aceh
masalah aceh makin rumit. Kalau memang benar para pelaku rangkaian pengeboman di Jakarta belakangan ini terkait, langsung atau tidak, dengan gerakan separatisme di Tanah Rencong, maka kompleksitas masalah yang ada sekarang sudah berkembang dua atau tiga tingkat lebih tinggi.
Singkatnya, masalah Aceh akan berkembang sebagaimana yang sudah terjadi dalam hubungan antara Inggris dan Irlandia Utara, lengkap dengan rangkaian teror dan pengeboman yang terjadi terus-menerus, dari satu generasi ke generasi berikutnya. Masalah di Irlandia Utara ini sudah berumur hampir seabad, tapi sampai sekarang darah masih saja tumpah, sementara peluang perdamaian masih simpang-siur.
Sangatlah tragis kalau sejarah Aceh akan mengarah ke jalan buntu seperti itu, karena yang paling merugi justru rakyat Aceh sendiri.
Buat saya, cara terbaik bagi Aceh untuk menghindari kebuntuan sejarah demikian adalah dengan membanting setir dan memilih "Jalan Skotlandia".
Orang Skot, seperti juga orang Irlandia dan orang Aceh, adalah pemuja independensi dan sangat bangga akan keagungan subkultur mereka. Orang Skot dan orang Irish punya sejarah panjang menentang hegemoni Inggris, negeri tetangga mereka yang lebih besar dan lebih kuat. Keduanya merasa tertindas, dan karena itu mereka membenci segala sesuatu yang berbau Inggris. Mereka ingin "merdeka", dan dari satu generasi ke generasi lainnya mereka melawan dengan pedang. Film Braveheart, yang dibintangi Mel Gibson dan Sophie Marceau, dengan sangat bagus menggambarkan heroisme, sekaligus tragedi, orang Skot pada akhir abad ke-13 dalam melakukan perlawanan.
Walaupun memiliki tradisi perlawanan yang sama, pada awal abad ke-18 Skotlandia dan Irlandia kemudian memilih jalan yang berbeda, bahkan bertolak belakang. Orang Skot mengubah metode perjuangan, dan secara sadar memilih jalan unifikasi. Mereka memutuskan tradisi dan melupakan mimpi untuk membentuk negara sendiri. Mereka justru ingin memakai Inggris, yang waktu itu sedang berkembang pesat, untuk mencapai tujuan-tujuan besar "non-politis", seperti pengembangan ekonomi, kebudayaan, dan ilmu pengetahuan. Energi mereka yang besar mereka alihkan, dari energi perlawanan menjadi energi pembangunan.
Hasilnya" Ekonomi Skotlandia maju pesat. Dunia industri mereka meroket. James Watt, penemu mesin uap itu, adalah salah satu "produk" yang gemilang dari strategi perjuangan baru ini. Dalam soal kebudayaan dan keilmuan, hasilnya lebih dahsyat lagi.
Di bidang ilmu alam, lahir Lord Kelvin, salah satu motor ilmu fisika pasca- Newton. Dalam ilmu ekonomi, muncul Adam Smith, yang kerap dianggap sebagai bapak ilmu ekonomi modern. Dalam filsafat dan pemikiran kebudayaan, lahir David Hume dan Adam Ferguson. Secara bersama-sama mereka membuat Mazhab Skotlandia, yang dikenal luas sebagai salah satu penyumbang terpenting dalam dunia pemikiran modern yang dampaknya masih terus terasa hingga kini di semua belahan dunia.
Pada akhir abad ke-18, universitas-universitas terkemuka di Edinburgh dan Glasgow, dua kota terbesar Skotlandia, menjadi perguruan-perguruan terbaik di Eropa. Dan pada zaman itu, banyak anak kaum
aristokrat Inggris yang dikirim ke Skot-landia untuk mendapatkan pendidikan terbaik-sebuah bukti bahwa bangsa Skot sudah berhasil menaklukkan penakluk mereka, on their own terms.
Berbeda dengan orang Skot, orang Irlandia tetap setia pada tradisi dan cita-cita yang mereka warisi turun-temurun. Mereka tetap berjuang dan melawan. Hasilnya" Sebagian orang Irish di Selatan memang sudah berhasil membuat negara mereka sendiri yang terlepas dari kekuasaan Inggris. Tapi sebagian lagi, di Utara, masih terus berjuang dan menumpahkan darah hingga hari ini. Dan di Selatan ataupun di Utara, tidak pernah lahir seorang James Watt, atau Adam Smith, atau David Hume.
Orang Skot berhak untuk bertepuk dada sambil berkata, "Kami bangsa besar. Sebab, kami sudah menyumbang banyak bagi berkembangnya peradaban dunia." Apa yang bisa dikatakan oleh orang Irish" Mungkin: "Kami bangsa tangguh. Sebab, kami telah menumpahkan banyak darah dan mempersembahkan anak-anak kami untuk menolak hegemoni Inggris."
Saya kira kita tahu kebanggaan mana yang lebih bermakna. Kembali ke soal Aceh. Kalau suku bangsa yang terkenal keras dan tangguh di ujung barat Nusantara ini salah memilih jalan, yaitu Jalan Irlandia, bisa dibayangkan bahwa 50 tahun dari sekarang pun situasi yang ada di sana belum akan banyak berubah. Mudah-mudahan saya keliru, tapi dalam hal ini sejarah sudah cukup memberi pelajaran.
Karena itu, lebih baik Aceh banting setir. Lupakan soal pembentukan negara. Persetankan mimpi-mimpi Sultan Iskan-dar Muda untuk mempersatukan Sumatra. Lupakan semua itu. Dan mulai sekarang, Aceh, dengan 70 persen uang gas dan minyak yang bisa mereka miliki sendiri, bisa membangun rakyatnya dalam dunia ekonomi, kebudayaan, dan ilmu pengetahuan. Siapa tahu akan lahir James Watt dan Adam Smith dari Serambi Mekah.
8 Oktober 2000 Jalan California Buat Papua
(Catatan buat Prof. Liddle dan Kawannya)
RUPANYA SEDANG TERJADI dialog hangat antara Prof. William Liddle dan seorang kawannya. Dialog Ohio-Jakarta ini tepat waktu, sebab memang masalah Papua sedang menjadi kontroversi. Banyak orang ingin tahu, bagaimana sebenarnya persoalan di provinsi paling timur ini harus dimengerti dalam keseluruhannya.
Di harian ini Liddle berkata, ia terperangah mendengar gagasan kawannya (Panggilan Sejarah, 30/8/03). Apa pasal" Menurut sang kawan, Papua harus dibangun dengan "strategi California". Daerah ini harus dimekarkan dan dibuka sepenuhnya bagi kaum pendatang, bila perlu dengan subsidi pemerintah.
Hanya cara itulah yang dapat mengubah Papua, dari daerah tertinggal menjadi kawasan maju yang penuh pesona, seperti California bagi AS. Seratus tahun lalu, wilayah di Pantai Barat ini masih merupakan daerah terbelakang, the wild wild west. Kini, ia menjadi raksasa ekonomi, dilengkapi Silicon Valley dan Hollywood yang menjadi simbol kreativitas ilmu dan kebudayaan manusia.
California bisa, mengapa Papua tidak" Yang membuat Liddle terperangah adalah metode yang ditawarkan sang kawan.
Metode ini agak berbau politically incorrect, tabu di telinga "pengamat dan pemain internasional" yang banyak dikenalnya.
Liddle memberi peringatan dari masa lalu. Orang Papua, kata Liddle, jangan sampai bernasib seperti Orang Indian di Amerika. Ekspansi ke barat memang membesarkan Amerika, namun mematikan kehidupan orang Indian.
Inilah yang dikhawatirkan Liddle. Ia mengimbau agar masalah ini cepat diselesaikan lewat program kemitraan baru.
Imbauan Liddle itu patut didengarkan. Tetapi, mungkin yang lebih penting untuk dijawab lebih dulu adalah: Betulkah argumen yang disampaikan kawan Liddle" Mengapa Liddle harus terperangah" Bila usulan kawannya itu keliru, di mana letak kekeliruannya"
Kalau boleh memberi sedikit catatan dalam dialog antara Liddle dan kawannya, saya ingin mulai dengan asumsi yang melandasi pandangan kaum pengamat dan aktivis pembela Papua, sebuah pandangan yang politically correct.
Dalam pandangan ini, orang Papua dianggap lebih berhak atas tanah Papua ketimbang pendatang. Mereka adalah tuan di tanah itu, dan karena itu harus memperoleh keistimewaan yan
g sesuai. Dalam tulisannya, Liddle tidak menjelaskan dasar pandangannya. Kebenaran pandangan ini sudah dianggap jelas, karena itu tidak perlu diuraikan lagi.
Namun, betulkah itu" John Quincy Adams, Presiden ke-6 AS, pernah bertanya, "But what is the right of the huntsman to the forest of a thousand miles over which he has accidentally ranged in quest of prey"' Adams berbicara soal orang Indian, tetapi pertanyaannya cukup relevan bagi kita kini. Jawabannya tidak semudah yang diasumsikan kaum yang mengaku sebagai pembela Papua.
Secara keseluruhan Tanah Papua seluas 414.000 km2. Sebagian kecil tanah ini, katakanlah 10 persen, dapat dianggap sebagai tanah adat buat sekitar 1,5 juta penduduk asli yang terbagi dalam ratusan suku. Dengan porsi tanah 10 persen pun, tingkat densitas bagi seluruh suku yang ada masih berkisar 37 jiwa/km2. Jadi, hampir sama dengan densitas di Sulawesi Tengah dan Kalimantan Barat, dua daerah yang masih kekurangan penduduk.
Sebenarnya, eksistensi tanah adat masih bisa dipertanyakan. Asumsi di baliknya amat komunalistik. Siapa yang menguasai tanah adat" Kepala suku, pentolan-pentolan suku, dukun" Bisakah tanah ini ditransfer secara sah dalam proses jual-beli" Tetapi, kalau pun kita lewatkan pertanyaan demikian dan untuk sementara menerima eksistensi tanah adat, porsi 10 persen pun sudah menciptakan keleluasaan yang jauh di atas daerah seperti Jabar yang memiliki densitas 1.047 jiwa/km2.
Bila penduduk asli dianggap memiliki lebih dari itu, katakanlah 20 persen, saya kira masih masuk akal. Namun, bila lebih dari itu" 50 persen" Seluruh Tanah Papua" Di sinilah pertanyaan John Quincy Adams, dalam bentuknya yang lain, harus dijawab: kalau kebetulan puncak sebuah gunung terlihat dari tempat perburuan sebuah suku, berhakkah suku itu mengklaim gunung itu sebagai miliknya" Kalau dianggap berhak, apa dasarnya"
Di luar tanah adat hanya ada dua jenis pemilikan, tanah milik negara (dalam hal ini, negara mewakili seluruh wargane-gara, termasuk penduduk asli Papua) dan milik pribadi. Dalam dua kawasan inilah pertimbangan yang digunakan harus sepenuhnya berdasarkan konteks Indonesia, bukan Papua semata.
Beberapa aspek dari pertimbangan itu berkait densitas penduduk, potensi alam dan kebutuhan akan lahan garapan. Bukankah amat tidak adil jika jutaan penduduk miskin di Jabar yang sesak tidak boleh atau dipersulit mencari hidup di lahan kosong di Papua"
Migrasi tidak boleh dipaksakan. Tetapi bila penduduk miskin di suatu provinsi padat memang mau untuk itu, pemerintah wajib membantu mereka sejauh mungkin, misalnya dengan memberi lahan gratis.
Itulah yang dimaksud kawan Liddle sebagai jalan California. Saya kira sang kawan benar. Papua harus dibuka seluas-luasnya, dan metode pemekaran wilayah administrasi dari satu menjadi tiga, bahkan enam provinsi adalah konsekuensi dari kebutuhan praktis yang ada.
Sejauh ini, kemajuan Papua lebih banyak dilihat dalam perspektif pembagian hasil antara pusat dan daerah. Pembagian hasil yang lebih tinggi akan membuat penduduk asli seketika lebih makmur. Saya setuju jika ini terjadi. Tetapi, saya kira Liddle sepakat, kemajuan sebuah masyarakat pada hakikatnya tidak terletak di sana. Emas dapat menjadi rahmat, tetapi sekaligus kutukan.
Warga Papua, seperti warga lain, harus menjadi modern. Dengan potensi manusia yang ada kini, jalan ke modernitas hanya dapat terjadi jika pintu bagi daerah ini terbuka luas bagi pendatang. Konflik dan kompetisi pasti terjadi. Tetapi, itulah yang dapat memicu mereka untuk beradaptasi dengan zaman. Adapt or perish: inilah kehendak sejarah yang berlaku di mana pun, termasuk Papua.
Bila kenyataan itu ditutupi dengan argumen moral sentimental, kita sebenarnya sedang menggiring warga Papua hidup bagai di "kebun binatang". Haruskah mereka terus hidup di gunung dan lembah, tanpa perlu tahu dunia bergerak cepat"
Catatan akhir yang ingin saya singgung adalah analogi nasib warga asli Papua dan orang Indian, meski tidak tepat betul. Sebanyak 13 koloni yang pertama kali merdeka di AS awalnya tidak memiliki batas wilayah jelas. Thomas
Jefferson, presiden ke-3 AS, bahkan pernah berpikir untuk memberi pengakuan kedaulatan bagi suku Comanche, Pawnee, dan Apache yang bermukim di barat sungai Mississippi.
Saat Louisiana dibeli dari Prancis pada 1803, yang melipatgandakan wilayah legal AS, tidak ada keterangan tentang batas tanah dalam dokumen pembelian. Karena itu, masalah penguasaan tanah adalah persoalan pelik. Ekspansi ke Barat, Manifest Destiny, harus melewati wilayah suku-suku Indian, yang selalu memaksa negeri Paman Sam itu berhadapan dengan masalah yang sama hingga akhir abad ke-19.
Indonesia lebih beruntung, karena lahir pada pertengahan abad ke- 20. Ia lahir dengan batas wilayah jelas, setidaknya hampir seluruhnya, dan karena itu ekspansi ke mana pun tidak lagi menjadi keharusan. Destiny negeri ini sudah terjamin dalam batas wilayah yang sudah ada dan diakui dunia.
Analogi Liddle tentu tidak sepenuhnya keliru. Keprihatinan yang ada di baliknya perlu didengarkan. Warga Papua tidak boleh mengalami nasib seperti orang Indian, yang dalam kehidupan Amerika modern hanya menjadi catatan kaki yang menyedihkan. Cuma masalahnya, apakah keprihatinan demikian harus menjadikan kita sentimental" Bagi saya, ia justru harus menjadi pemicu agar kita memandang ke depan, mengajak warga Papua berani melihat kenyataan. Masa lalu adalah pelajaran, bukan tujuan perjalanan.
5 September 2003 Aceh, Ujian Pertama dan Terakhir
dengan diselenggarakannya rapat raksasa proreferendum di Banda Aceh yang berlangsung 8 November lalu, kini sikap sebagian besar masyarakat di Negeri Rencong ini sudah semakin jelas. Mereka menuntut agar diberi hak untuk memutuskan apakah ingin terus bersama Indonesia atau membentuk negara sendiri yang merdeka dan berdaulat penuh.
Apakah tuntutan itu harus dipenuhi" Apakah sudah saatnya sekarang ini bagi kita untuk mempertaruhkan keutuhan Indonesia dan menghadapi setiap kemungkinan yang menyertainya"
Kita harus berpikir matang dan mendalam untuk menjawabnya. Saya sendiri cenderung berpendapat bahwa kita harus menegaskan sejelas-jelasnya pada kaum proreferendum di Aceh bahwa keutuhan teritorial Indonesia sudah final. Sistem pemerintahan, hubungan pusat-daerah (otonomi khusus, negara federal, atau status quo) dan sebagainya bisa didiskusikan bersama dengan beragam cara, tetapi semua ini harus tetap berada dalam sebuah sistem besar yang kita sebut Republik Indonesia.
*** Pendapat saya ini didasarkan pada dua alasan. Pertama, hak atas referendum bukanlah bagian dari hak-hak asasi atau hak-hak demokrasi. Tuntutan kebebasan manusia berbeda secara mendasar dengan tuntutan pembentukan negara. Yang pertama adalah hak yang secara hakiki melekat pada manusia sebagai individu. Yang kedua adalah hak yang lebih bersifat konvensional, dan karena itu sangat bergantung pada konteks politik, sejarah, dan keseimbangan kekuatan di mana tuntutan itu dilontarkan.
Karena itu, agak keliru jika kita berkata bahwa penyelenggaraan referendum di Aceh adalah manifestasi dari hak-hak asasi warga masyarakat di sana. Setiap warga Aceh, sebagaimana juga warga lainnya, tentu saja berhak mendapatkan kebebasan berbicara, berorganisasi, mendapatkan persamaan di depan hukum, dan sebagainya. Tetapi, dari segi prinsipiil, pada setiap warganegara tidak melekat hak untuk membentuk negara sesuai dengan kehendak mereka sendiri.
Kalau prinsip yang mendasari referendum dijalankan secara konsekuen, maka pada ujungnya yang terjadi adalah situasi anarkis, di mana setiap kelompok-mungkin berdasarkan etnis, mungkin agama, mungkin kelompok bahasa, atau apa saja-boleh membentuk negara kapan pun mereka kehendaki. Bumi ini akan menjadi semakin sempit dan penuh konflik jika setiap kaum yang berbeda menjadikan perbedaan mereka sebagai alasan untuk membentuk negara sendiri.
*** Alasan saya yang kedua dan yang lebih penting adalah konsekuensi kemerdekaan Aceh terhadap kondisi politik di Indonesia. Jika lepasnya Timtim adalah akhir bagi sebuah persoalan yang mengganggu Indonesia selama dua dekade terakhir, maka lepasnya Aceh akan berakibat sebaliknya. Ia buat I
ndonesia adalah awal bagi sebuah persoalan dahsyat yang justru secara potensial jauh lebih berbahaya ketimbang apa yang sekarang terjadi di Aceh.
Kalau sekarang Aceh lepas, maka terhadap daerah lain yang juga meminta hal yang sama (Riau, Irian Jaya, Maluku, dan Sulawesi Selatan, misalnya), kita tidak lagi punya argumen apapun untuk membendungnya. Dalam soal keutuhan Indonesia, Aceh adalah ujian pertama dan terakhir sekaligus.
Saat ini kita tidak bisa meramalkan berapa banyak negara yang akan muncul dari serpihan-serpihan Indonesia. Yang jelas, jika Balkanisasi terjadi, basis -basis konflik justru akan meluas secara simultan, seperti yang sudah kita saksikan di Yugoslavia dan beberapa negara pasca-komunis lainnya.
Rumit dan dalamnya konflik yang akan terjadi dalam si -tuasi "pasca-Indonesia" bisa dilihat misalnya di Sulawesi Selatan (Sulsel), sebuah daerah yang, seperti di Aceh, juga punya semangat kedaerahan yang kental. Di daerah ini ada sebuah hal yang tidak pernah diungkapkan secara terbuka; suku Bugis tidak akan pernah mau tunduk di bawah kekuasaan suku Makassar dan sebaliknya. Lebih jauh lagi, terhadap kedua suku besar ini suku-suku yang lebih kecil, seperti suku Mandar dan Toraja, belum tentu dengan suka rela mau menjadi bagian dari sebuah Republik Bugis-Makassar.
Di samping itu, di dalam suku Bugis pun, terjadi berbagai perpecahan (Luwu, Bone, Wajo) yang secara historis hanya pernah bersatu jika ada lawan bersama (kerajaan Gowa-Makassar) atau disatukan di bawah tekanan dari penguasa yang kuat, yaitu Belanda (VOC) dan Arung Palakka.
Selama ini di Sulsel, konflik-konflik lokal tidak pernah mencuat karena adanya sebuah payung bersama yang kokoh, yaitu Republik Indonesia. Tetapi jika payung ini dilepas, saya tidak melihat alasan mengapa konflik-konflik lokal yang historis itu tidak akan mencuat kembali, sebuah hal yang pasti mengejutkan para mahasiswa romantik "prokemerdekaan" di Makassar yang mungkin belum belajar tentang sejarah mereka sendiri.
Setiap orang yang mengerti sejarah dan sosiologi masyarakat Indonesia akan tahu bahwa potensi konflik-konflik lokal bukan cuma ada di Sulsel. Di setiap daerah, hal itu bersembunyi di balik permukaan. Bahkan di beberapa daerah, seperti di Ambon dan Pontianak, ia sudah mencuat dan meminta korban darah yang tidak sedikit.
Terhadap semua itu harus kita tambahkan lagi berbagai kemungkinan konflik antara negara-negara "pasca-Indonesia" itu sendiri, antara Republik Riau dan Republik Bugis-Makassar, misalnya. Negara-negara ini, antara lain, akan berhadapan dengan soal pelik yang berhubungan dengan distribusi kantung-kantung penduduk yang sudah telanjur tersebar. Orang Bugis, misalnya, sudah berada di hampir segala penjuru Nusantara, dan telah membuat kampung-kampung Bugis di hampir semua kota besar kita.
Harus diapakan mereka oleh Negara Maluku, Negara Riau, Negara Aceh dan sebagainya itu" Di Yugoslavia, bahkan di Eropa selama ratusan tahun, persoalan kantung-kantung penduduk inilah yang (sering) menjadi salah satu dasar konflik dan peperangan yang berlarut-larut. Apakah hal yang sama tidak akan terjadi di Sumatra dan daerah lainnya"
Singkatnya, di ujung Balkanisasi Indonesia, yang menunggu bukanlah firdaus kemerdekaan, tetapi sebuah proses rumit yang bisa sangat berdarah dan berlarut-larut. Situasi anarkis di Timtim pasca-referendum beberapa saat lalu mungkin akan kelihatan cukup tenteram jika kita bandingkan dengan kemungkinan yang akan kita hadapi.
*** Oleh karena semua itulah, saya harap Gus Dur, Megawati, Amien Rais dan tokoh-tokoh yang saat ini memegang biduk republik, hendaknya berpikir berkali-kali sebelum memutuskan pemberian referendum di Aceh. Tentu saja pertanyaannya kemudian adalah, kalau bukan referendum, lalu apa"
Melihat semangat rakyat Aceh sekarang, kelihatannya mereka akan berkata bahwa referendum adalah harga mati. Tentu saja kita semua berharap bahwa dalam waktu dekat ini rakyat Aceh akan berubah pikiran. Pemerintahan Gus Dur saat ini harus berusaha sekuat mungkin untuk meyakinkan rakyat Aceh bahwa Indonesia bukanlah sebatas Or
de Baru atau Orde lama, tetapi lebih merupakan sebuah upaya terus-menerus untuk merealisasikan gagasan tentang kebebasan dan keadilan bagi setiap warganegara dari Sabang sampai Merauke. Gus Dur, dengan segenap kemampuan yang dimilikinya, harus membujuk dan memohon pada rakyat Aceh untuk tetap menjadi bagian Indonesia.
Namun, kalau setelah semua usaha dilakukan dan kaum proreferendum masih tetap pada pendirian mereka, maka sejak sekarang kita harus bersiap untuk dihadapkan pada pilihan yang sangat sulit: referendum atau perang (atau kalau diperhalus, aksi bersenjata menumpas separatisme). Dalam suasana seperti sekarang, pilihan ini mungkin tidak begitu nyaman bahkan untuk didiskusikan sekalipun. Tetapi kita harus jujur dan berani menghadapi kenyataan. Pada saatnya nanti, kita tidak mungkin lagi menyembunyikan pilihan ini di bawah karpet terus-menerus.
Pilihan seperti itu adalah pilihan antara yang buruk dan yang buruk. Kita tentu harus memilih kemungkinan buruk yang minimal. Dan buat saya, proses Balkanisasi Indonesia beserta semua kemungkinan pertikaian terbuka dan kekacauan yang akan menyertainya, adalah kemungkinan paling buruk yang harus kita hindari.
20 November 1999 Konflik Maluku dan Reorientasi Ilmu Sosial
konflik antaragama di maluku telah berlangsung setahun lebih. Korban yang tewas sudah lebih seribu jiwa, sementara jumlah penduduk yang terpaksa mengungsi, menurut kabar terakhir, setidaknya sudah dua ratus ribu orang. Hingga sekarang tanda-tanda perdamaian masih simpang-siur.
Kita juga tahu bahwa bukan cuma di Maluku hal demikian pernah terjadi. Di beberapa daerah bentuk dan skala konflik memang berbeda-beda, tetapi tingkat keberingasan berbagai konflik itu hampir sama. Satu kelompok menyerang, membakar, atau membantai kelompok lain. Lupus est homo homini, manusia yang satu menjadi serigala bagi manusia lainnya.
Pertanyaan Tak Terjawab Bagaimana kita menjelaskan munculnya konflik-konflik itu" Mengapa saat ini berbagai kelompok dalam masyarakat begitu garang terhadap kelompok lainnya" Kenapa perseteruan atas dasar agama dan etnik kembali bermunculan seperti cendawan di musim hujan, baik di pelosok-pelosok desa maupun di kota-kota yang relatif besar seperti Ambon, Sambas, bahkan Jakarta" Mengapa ia terjadi sekarang, sebuah periode di mana justru Sang Demos harus bersuka-cita menyambut datangnya era baru dan lepasnya mereka dari belenggu sistem otoriter"
Pertanyaan-pertanyaan seperti itu sangat penting untuk dijawab sekarang. Dalam jangka panjang, berbagai persoalan yang ada akan sulit diselesaikan secara tuntas kalau kita tidak mengerti apa yang sesungguhnya terjadi, apa penyebabnya, dan bagaimana proses terjadinya. Tanpa penyelesaian yang tuntas, konflik-konflik seperti itu, seperti kata Goenawan Mohamad beberapa saat lalu, pada akhirnya akan melemahkan dasar-dasar sistem demokrasi yang baru saja mulai kita kembangkan. Masyarakat akan kecewa pada demokrasi, dan diam-diam mulai merindukan kembalinya zaman lama yang tenteram dan teratur.
Namun sayangnya, kalau kita membaca berbagai media massa dalam setahun terakhir ini, bahkan sejak beberapa tahun sebelumnya saat berbagai konflik semacam itu mulai bermunculan, di Situbondo dan Tasikmalaya misalnya, penjelasan-penjelasan yang ada sangat lemah dan cenderung berputar-putar di tempat.
Dari segi tanggungjawab keilmuan, kaum ilmuwan sosiallah yang sebenarnya harus tampil ke depan dan memberi jawaban-jawaban yang memuaskan. Tetapi sampai sekarang semua itu masih berupa harapan. Ironisnya, banyak di antara mereka malah mengambil jalan pintas dengan ikut-ikutan memakai teori konspirasi dan menyerukan adanya hantu-hantu provokator di balik segala perkara yang kita hadapi. Penjelasan seperti ini hanya mencerminkan kemalasan berpikir dan secara politik sebenarnya cukup berbahaya, sebab ia justru semakin mendorong terciptanya sebuah situasi di mana setiap orang akan saling menuduh dan mencurigai.
Ilmuwan sosial memang telah berusaha mendudukkan masalah dengan lebih baik. Tetapi penjelasan-penjelasan yang dikemukakan terus mengulan
g apa yang sudah dikatakan berkali-kali. Mereka cenderung berkata bahwa akar masalah segala perkara yang ada terletak pada soal kesenjangan ekonomi, keadilan, atau pengalaman penindasan di masa orde Baru. Tema-tema semacam inilah yang terus di bolak-balik tanpa dirinci lebih jauh.
Lebih jauh lagi, dihadapkan pada fakta-fakta sederhana, jawaban-jawaban seperti itu dengan cukup mudah bisa ditolak. Misalnya, dari fakta umum menurut indikator tertentu (Indeks Gini) kita tahu bahwa selama 25 tahun terakhir, sebelum jatuhnya Soeharto, distribusi ekonomi cenderung konstan, tidak membaik atau memburuk, berkisar antara 0,32 dan 0,35. Dalam soal ini, seorang ekonom kawakan Australia, Prof. Hal Hill, pernah berkata bahwa apa yang dicapai oleh pemerintahan Orde Baru selama lebih dari dua dekade merupakan a resounding success.
Selain itu kita juga tahu bahwa persoalan kesenjangan justru lebih tajam di kota-kota besar, bukan di daerah-daerah rawan konflik seperti Ambon, Ternate, Sambas, Tasikmalaya, dan Situbondo. Dan selama krisis ekonomi dalam dua tahun terakhir, justru daerah yang jauh dari pusat-pusat industri dan perdagangan, seperti Halmahera dan Kepulauan Maluku umumnya, yang secara relatif diuntungkan, sebab basis perekonomian mereka masih sangat bersifat agraris.
Tentu saja para ilmuwan sosial penganut penjelasan kesenjangan ekonomi masih bisa berkelit. Mereka, misalnya, bisa berargumen bahwa jika indikator yang digunakan berbeda, kesenjangan ekonomi di mana konflik sosial terjadi sebenarnya memburuk. Namun soalnya adalah kaum ilmuwan yang berpendapat begini tidak pernah memberi penjelasan terinci apa yang mereka maksudkan dengan indikator alternatif itu dan bagaimana ia dihubungkan dengan konflik-konflik etnoreligius.
Katakanlah konsentrasi ekonomi, atau yang lebih spesifik lagi, akses ke dalam dunia perbankan lokal adalah yang dimaksudkan sebagai indikator alternatif itu. Tetapi adakah seorang ilmuwan sosial yang pernah mencoba memberi penjelasan empiris tentang indikator-indikator seperti ini di Maluku" Apakah mereka sudah mencoba membuktikan bahwa kelompok Islam di Ambon misalnya, sudah semakin menguasai akses dunia perbankan lokal, dan karena itu memicu perasaan penolakan dari kaum Kristen yang mayoritas" Sejak terjadi di Situbondo dan Tasikmalaya beberapa tahun lalu, pernahkah para ilmuwan sosial penganut penjelasan kesenjangan ekonomi berusaha mengumpulkan fakta-fakta di lapangan yang bisa mendukung argumen mereka" Saya khawatir jawaban terhadap semua pertanyaan ini adalah negatif, tidak jauh berbeda.
Kaum ilmuwan sosial penganut penjelasan "semua kesalahan Orde Baru" pun tidak jauh berbeda. Berbagai jawaban yang mereka kemukakan terlalu bersifat umum dan cenderung hanya menghujat masa lalu secara agak sembrono. Mereka sering lupa bahwa buat seorang ilmuwan sikap kritis dan penolakan terhadap represi politik adalah satu hal, dan upaya untuk menerangkan peristiwa-peristiwa sosial secara obyektif adalah hal lain lagi. Dari mereka kita akan sukar mengerti persisnya tindakan kesalahan seperti apa dari pemerintahan Soeharto yang berhubungan langsung dengan berbagai kerusuhan akhir-akhir ini.
Katakanlah kita sepakat bahwa salah satu kesalahan besar Orde Baru adalah represi militer yang berlangsung bertahun-tahun. Secara logis kita juga bisa memperkirakan bahwa tingkat represi semacam ini bervariasi di berbagai kota dan daerah, tergantung pada kemungkinan tantangan dan perlawanan yang dapat diberikan oleh penduduk di kota itu. Jadi di Surabaya, misalnya, sebuah kota besar dengan aktivitas buruh, mahasiswa, dan kelas menengah yang cukup dinamis, tingkat represi militer cenderung lebih tinggi ketimbang di Ternate, Maluku Utara, sebuah kota yang buat Orde Baru sangat pinggiran dan karena itu hampir tidak berarti apa-apa. Singkatnya, di Surabaya kehadiran dan represi militer jauh lebih terasa ketimbang di tempat yang jauh seperti Ternate.
Kalau pandangan ilmuwan sosial di atas benar, maka tentulah bukan di Ternate, tetapi masyarakat Islam dan Kristen di Surabaya yang akan saling membunuh setelah turunnya Soeh
arto. Tetapi fakta yang kita lihat adalah sebaliknya. Malahan, banyak dari konflik yang terjadi justru berlangsung di daerah-daerah di mana sentuhan Orde Baru sesungguhnya relatif tidak begitu intensif.
Singkatnya, pandangan yang berkata bahwa penyebab segala konflik yang berlangsung sekarang semuanya adalah kesalahan rezim penguasa di masa lalu masih harus dirinci dan dibuktikan lebih jauh. Para penganut pandangan ini harus menyelesaikan pekerjaan rumah mereka untuk meyakinkan kita bahwa penindasan masa lalu berhubungan langsung dengan beringasnya berbagai kelompok masyarakat saat ini.
Hal itulah yang sayangnya masih belum kita lihat sampai sekarang. Orde Baru jadinya terus-menerus menjadi momok yang, ironisnya, dipakai oleh sebagian ilmuwan sosial (dan juga oleh sebagian aktivis LSM, wartawan, dan politisi) dengan sesuka hati untuk menjelaskan hampir setiap peristiwa negatif yang terjadi dalam masyarakat. Mengapa gagal"
Itulah kegagalan besar kaum ilmuwan sosial saat ini. Dan itu terjadi justru pada saat pikiran-pikiran segar mereka sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Penyebab kegagalan ini mungkin terletak pada fakta bahwa kaum ilmuwan sosial sekarang, terutama tokoh-tokoh utamanya (para "pengamat"), sudah terlalu sibuk mengisi kebutuhan yang muncul mendadak dalam era reformasi, yaitu kebutuhan akan informasi yang bersifat instant dan kontroversial. Lebih dari yang sudah-sudah, waktu mereka kini sudah sangat terbatas untuk merenung secara mendalam, apalagi untuk melakukan sejumlah penelitian yang sistematis.
Akan tetapi mungkin juga sebabnya lebih mendalam lagi. Di zaman Orde Baru, terutama dalam 15 tahun terakhir, teori-teori yang populer di kalangan ilmuwan sosial kita (dan juga terutama di kalangan aktivis) berkisar pada varian teori-teori negara, otoritarianisme-birokratik, ketergantungan, dan sosiologi kritis. Teori-teori semacam ini, walau masing-masing berbeda, pada dasarnya adalah semacam sapuan-sapuan besar untuk menggambarkan perilaku sosial-politik makro. Melalui teori negara, misalnya, yang terutama ingin dijelaskan adalah perilaku politik negara dan bagaimana ia dihubungkan dengan kecenderungan-kecenderungan besar dalam masyarakat, seperti kapitalisme, sosialisme, peradaban teknokratis, militerisme, dan otoritarianisme.
Selain teori-teori demikian, ada lagi sebuah teori lain yang juga sangat populer dalam beberapa tahun terakhir ini, yaitu teori tentang masyarakat sipil (saking populernya, kita bahkan bisa mendengar istilah "masyarakat sipil" atau "masyarakat madani" diucapkan dalam pidato-pidato para pejabat hampir setiap hari). Secara umum, penggunaan teori ini dalam ilmu-ilmu sosial kita cenderung melihat masyarakat sebagai the innocent party yang berhadapan dengan negara yang represif. Masyarakat tidak dianggap sebagai sebuah entitas yang problematik.
Kalau toh ada konflik atau persoalan dalam masyarakat, ia le -bih dipandang sebagai akibat penetrasi negara, atau cerminan dari manipulasi dan pertentangan para elite yang mengendalikan negara. Karena itu sebenarnya tidak terlalu mengherankan jika kaum ilmuwan sosial penganut teori ini juga sangat mudah untuk berkata bahwa konspirasi kaum elitelah yang menjadi penyebab dari berbagai konflik sosial. Jadi, sama dengan teori -teori sebelumnya, teori ini pun pada akhirnya lebih memusatkan penjelasannya pada negara, yang dianggap sebagai sumber dari segala persoalan politik.
Teori-teori seperti itu memang mungkin cukup menarik untuk digunakan sebagai dasar konseptual dalam membedah dan menjelaskan dinamika rezim Orde Baru. Dan waktu itu pun semua orang sadar bahwa persoalan politik utama adalah kuat dan dominannya negara terhadap masyarakat. Di bawah Soeharto, negara mengatur, mengintimidasi, membangun, dan memimpin masyarakat.
Akan tetapi sekarang hal itu sudah berbalik 180 derajat. Saat ini, seperti yang tercermin dari konflik-konflik keras di Maluku, justru masyarakatlah, Sang Demos, yang menjadi persoalan utama yang kita hadapi. Negara memang tetap menjadi sumber masalah, tetapi bukan karena ia kuat dan dominan, tetapi justru karena
ia lemah dan hampir tak berdaya untuk menjalankan perannya sebagai alat penegak hukum dan tata tertib.
Dengan demikian, tidaklah mengherankan jika teori-teori yang populer selama bertahun-tahun kini tiba-tiba kehilangan "subyek" yang ingin dijelaskannya, dan kemudian kehilangan daya tariknya. Dan kaum ilmuwan sosial kita pun harus kembali mengunyah berbagai penjelasan yang bersifat sangat umum dalam menerangkan sejumlah masalah yang ada sekarang, terutama dalam menerangkan terjadinya berbagai konflik sosial. Karena itulah, "teori" tentang kesenjangan ekonomi, keadilan, dan pengalaman penindasan di bawah Orde Baru kemudian menjadi primadona di kalangan mereka.
Reorientasi Kalau semua itu benar, maka mungkin dari situlah kita bisa mulai melihat apa yang diperlukan agar ilmu-ilmu sosial kembali menjadi relevan. Dalam hal ini ilmu-ilmu sosial harus lebih banyak lagi memusatkan perhatian mereka pada studi-studi tentang masyarakat secara lebih terinci. Kalau dua dekade lalu ada seruan bringing the state back in, maka saat ini yang mungkin harus ditegaskan lagi adalah bringing the society back in. Sang Demos-lah yang kini harus dikenali dengan lebih baik agar kita bisa menggambarkan berbagai peristiwa penting yang ada sekarang, atau yang akan terjadi dalam saat-saat mendatang.
Dalam upaya ini kita juga harus meninggalkan pendekatan yang mengandalkan sapuan-sapuan besar dalam memandang realitas, setidaknya untuk sementara. Kita harus mempelajari perilaku mikro, pola-pola interaksi lokal, hubungan penduduk asli dan kaum pendatang, perubahan hierarki kekuasaan di kota-kota kecil dan menengah, perubahan demografis dan dampaknya pada komposisi suku dan agama di sebuah komunitas, pola pengajaran guru agama di pesantren maupun di sekolah negeri, dinamika hubungan pendeta dan umatnya, tingkat resistensi kultur lokal terhadap masuknya ide-ide kosmopolitan, naik-turunnya jumlah perkawinan campuran di sebuah daerah, dan masih banyak lagi.
Semua itu, dalam konteks sosial sekarang, sebenarnya merupakan topik-topik besar yang hanya bisa dipahami lebih jauh jika kita mau menelitinya dalam skala makro. Kalau kita bisa mengerti hal-hal demikian dengan lebih baik, saya yakin bahwa kita bisa mulai menjelaskan dengan lebih terinci mengapa konflik-konflik seperti yang terjadi di Maluku mengambil bentuk yang begitu keras dan berdarah.
Reorientasi fokus ilmu-ilmu sosial juga akan lebih berhasil jika diiringi dengan pembalikan kecenderungan yang selama ini terjadi di kalangan tokoh-tokoh ilmuwan sosial kita. Sadar atau tidak, mereka dalam beberapa tahun terakhir terlalu Gramscian, terlibat cukup jauh dalam kegiatan aktivisme dan proses politik dalam pengertian sempit. Hal ini sesungguhnya bisa dimaklumi, sebab untuk meruntuhkan rezim yang kukuh seperti rezim Orde Baru dan membangun sesuatu yang besar dan baru (Orde Reformasi), dukungan praktis dan bersifat langsung dari setiap elemen masyarakat, termasuk kaum ilmuwan, memang sangat dibutuhkan. Akan tetapi sekarang situasi telah berubah, dan tuntutan masyarakat pun menurut saya sudah berbeda. Dari para ilmuwan sekarang yang dibutuhkan terutama adalah ide-ide segar yang mampu menjelaskan berbagai hal yang saya singgung di atas tadi.
Singkatnya, para pentolan ilmu-ilmu sosial sekarang harus lebih banyak kembali ke dunianya. Dari tempat inilah mereka dapat menjelaskan peran mereka dengan lebih baik dan membantu kita semua untuk menjelaskan realitas dan menawarkan jalan ke luar dari berbagai persoalan yang ada.
9 Januari 1999 Hentikan Kebiadaban DAFTAR KEBIADABAN bertambah lagi. Kali ini di Sampit dan Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Hanya dalam beberapa hari, ratusan orang tewas, dan puluhan ribu lainnya menjadi pengungsi, tercabut dari tempat mereka mencari hidup dan membesarkan anak-anak mereka. Kerugian harta benda tidak sedikit. Inilah kekerasan dalam bentuknya yang paling telanjang.
Sedihnya, sementara semua itu berlangsung selama beberapa hari, eksistensi Republik Indonesia seolah menguap di angin. Para pemimpin pemerintahan di pusat dan di daerah tak berd
aya dan sepertinya tak mengerti harus berbuat apa. Negara berubah fungsi, bukan lagi sebagai sebuah lembaga penegak hukum dan penjamin keamanan warganya, tetapi hanya sebagai panitia pengatur pengungsi.
Kita sudah menyaksikan kebrutalan dan kebiadaban yang hampir sama di banyak daerah dalam dua tahun terakhir. Dan setiap kali semua itu terjadi, kita hanya bisa melihat dan mendengar para pemimpin pemerintahan berbicara tanpa substansi, saling menuduh dan melempar tangung jawab tanpa mampu menghentikan darah yang terus tumpah. Sulit untuk mengusir kesan, para pemimpin kita yang terhormat itu lupa bahwa fungsi mereka yang paling fundamental-raison d'etre-nya setiap negara modern-adalah memberi perlindungan hukum dan keamanan pada masyarakat.
Sebagai warga republik, sudah saatnya kita menyerukan setegas-tegasnya bahwa semua itu harus dihentikan. Daftar korban sudah terlalu panjang. Sampit dan Palangkaraya harus menjadi peristiwa terakhir.
Mulai hari ini, pemerintah dan aparatnya harus bisa mengubah cara pandang dan cara penyelesaian konflik-konflik yang brutal. Selama masa reformasi, negara berubah menjadi macan ompong. Setiap kali terjadi pembakaran dan pembantaian oleh kelompok yang satu terhadap kelompok lainnya, tokoh-tokoh pemegang jabatan publik, baik sipil maupun militer, hanya sanggup menyerukan dialog dan mengimbau agar kelompok-kelompok tersebut berhenti bertikai, saling memaafkan dan berdamai.
Kalau toh aparat pemaksa diterjunkan ke kawasan pertikaian, hal ini biasanya dilakukan dengan luarbiasa lamban dan penuh keraguan. Para pembantai berlari dan mengejar korbannya seperti serigala yang haus darah, sementara petugas hukum dan keamanan bergerak seperti siput yang peragu.
Semua itu sudah waktunya harus ditinggalkan. Peran negara dan aparatnya yang kuat dan tegas tidak berarti pengkhianatan terhadap semangat reformasi. Justru sebaliknya. Tanpa peran semacam itu demokrasi akan berubah bentuk menjadi anarki, di mana kebebasan kelompok yang satu menjadi ancaman dan pembantaian bagi kelompok lainnya.
Demokrasi adalah sebuah metode pengambilan keputusan publik. Di bawah Orde Baru peran negara memang sangat kuat, tetapi ia diputuskan secara tertutup hanya oleh segelintir aktor di puncak kekuasaan tertinggi. Sekarang kita harus mengembalikan peran negara yang kuat semacam itu, tetapi dengan proses pengambilan keputusan yang demokratis. Artinya, para wakil rakyat di DPR dan lembaga eksekutif harus menjadi aktor-aktor utama yang mengambil keputusan politik untuk memberi wewenang yang jelas bagi aparat-aparat negara, yaitu TNI dan Polri, dalam mengemban perannya.
Di Amerika Serikat, misalnya, cara semacam itu sudah lazim dilakukan. Dua tahun lalu, waktu pertemuan tahunan WTO (World Trade Organization) diselenggarakan di Seattle, Negara Bagian Washington, ribuan kaum aktivis anti-globalisasi dan kaum anarkis melakukan demonstrasi damai. Tetapi, sebagian dari mereka tidak dapat menahan diri dan mulai memecahkan kaca pertokoan dan perkantoran di pusat kota. Pada saat itu juga, walikota dan DPRD Seattle memutuskan pemberlakuan darurat sipil dan melarang setiap individu berada di pusat kota tanpa seizin aparat keamanan. Kota Seattle langsung berada di bawah komando polisi, yang tidak segan-segan menahan dan menembak kalau memang perlu. Semua ini dilakukan sebelum satu tetes darah pun terkucur.
Sementara walikota dan polisi Seattle bergerak, gubernur dan tentara cadangan, The National Guard, sudah bersiap-siap dengan perannya masing-masing. Jika pada hari itu juga situasinya makin tak terkendali, para wakil rakyat dan pemimpin lembaga eksekutif di negara bagian di Pantai Barat Amerika ini akan langsung menerapkan situasi darurat militer. Semua itu mereka siapkan untuk melindungi warga dan melumpuhkan kaum yang ingin bertindak biadab dan brutal. Dengan cara demokratis, mereka sudah memilih dengan tegas: lebih baik melumpuhkan, menahan, dan kalau perlu menembak kaum perusuh ketimbang mengorbankan warga yang tak berdosa.
Hanya cara itulah sekarang yang masuk akal untuk kita tempuh. Tentu saja, dalam jangka
panjang stabilitas dan keamanan yang hakiki hanya akan tercipta jika rasa kebersamaan masyarakat sudah melampaui garis-garis kesukuan dan keagamaan yang sempit, atau jika masyarakat primordial telah berubah menjadi masyarakat madani. Namun dalam jangka pendek, kita tidak memiliki alternatif lain. Kebiadaban harus dilawan, dan saat ini kita hanya memiliki satu alat untuk itu, yaitu aparat negara.
Yang jelas, kita tidak mungkin menutup mata terdapat semua penderitaan dan kebiadaban yang sudah terjadi selama dua tahun terakhir. Kejadian di Sampit, Palangkaraya, Sambas, Poso, Ambon, Wamena, dan di banyak daerah lainnya, telah sangat menusuk rasa kemanusiaan serta mencabik-cabik konsepsi ke-Indonesia-an yang kita junjung tinggi. Sudah saatnya sekarang kita menghentikan semua itu.
2 Maret 2001 Dialog Frans Seda dan Amien Rais
dalam merayakan usianya yang ke-70, Frans Seda sempat memberikan wawancara panjang yang dimuat di sejumlah media. Di sini, dengan lugas dan terbuka Frans Seda menyinggung topik hubungan antaragama yang memang saat ini sedang hangat.
Di majalah Forum (No. 14, Oktober 1996) misalnya, tokoh yang pernah berperan penting di era awal Orde Baru ini menjelaskan bahwa jika dulu hubungan antaragama sangat mesra, maka sekarang "bangsa kita kembali dikotak-kotakkan". Buat dia, pengkotakan ini sudah sedemikian rupa sehingga sebentuk diskriminasi agama telah tercipta. Contohnya, menurut Frans Seda, "orang baru bisa dapat duit kalau agamanya ini, kalau agamanya lain sudahlah, kau tidak usah berharap".
Wawancara yang gamblang semacam itu, terlebih jika diutarakan oleh seorang bekas pemimpin tertinggi Partai Katolik seperti Frans Seda, tentu akan menimbulkan penafsiran yang cukup jauh. Dalam konteks politik kita sekarang, salah satu penafsiran yang bisa dilakukan adalah bahwa Frans Seda, melalui wawancara itu, justru sedang mengkritik kecenderungan revitalisasi peran politik Islam, sebagaimana yang terjadi beberapa tahun belakangan ini.
Terbukanya peluang penafsiran demikian, bisa ditebak, tentu akan menimbulkan reaksi balik dari sejumlah tokoh Islam. Dan benar saja! Amien Rais, Ketua PP Muhammadiyah dan intelektual Islam yang tulisannya sering tajam itu kemudian menulis tanggapan di harian Republika (10/10/1996). Tanggapan ini adalah tanggapan yang cukup santun, walau isinya menggigit, tak kalah gamblangnya, dan bersifat polemis.
Bagi Amien Rais, pendapat Frans Seda adalah pendapat yang "aneh-aneh dan cenderung bermuatan SARA". Menurut Amien, Frans Seda justru harus berempati terhadap nasib umat Islam yang sepanjang 1970-an dan 1980-an menjadi obyek diskriminasi. Waktu umat Islam mengalami nasib buruk itu, kata Amien Rais, "Kami semua diam seribu bahasa karena kami dicekam rasa takut. Kami tidak berani protes, takut dituduh SARA."
Di akhir tanggapannya, Amien Rais menolak "tuduhan" Frans Seda: "Saya yakin tidak ada satu noktah pun dalam pikiran orang Islam untuk melakukan diskriminasi berdasar suku, ras, golongan, dan agama. Kami hanya ingin sebuah kehidupan nasional yang representatif dan meritokratis."
*** Apa yang bisa dikatakan terhadap "dialog" kedua tokoh penting ini" Perlukah ia ditampilkan di forum publik" Buat saya, pembicaraan terbuka demikian, walau belum bersifat dialog langsung, harus disambut gembira.
Apalagi, ia dilakukan oleh dua tokoh yang sangat representatif mewakili pihak-pihak yang terlibat langsung dalam kontroversi hubungan agama dan politik. Harus diakui, kata-kata yang digunakan dalam "dialog" tersebut memang cukup tajam. Namun demikian, saya kira kita semua bisa melebarkan ruang-ruang kultural kita untuk tidak terlalu menghiraukan tajamnya kata-kata itu, dan lebih memperhatikan substansi pendapat masing-masing pihak.
Kalau toh ada catatan yang bisa diberikan terhadap "dialog" Frans Seda-Amien Rais, yang ingin saya anjurkan adalah agar kedua belah pihak melakukan semacam klarifikasi terhadap tuduhan dan argumen masing-masing dalam soal diskriminasi agama. Betulkah secara faktual bahwa, misalnya, untuk "dapat uang" orang harus beragama tertentu, seper
ti sinyalemen Frans Seda" Betulkah terjadi diskriminasi sistematis terhadap umat Islam sepanjang 1970-an dan 1980-an, seperti kata Amien Rais"
Klarifikasi semacam ini penting, sebab selama ini dalam diskursus hubungan agama dan politik, kita terlalu sering membaca gosip dan pernyataan miring terhadap golongan ini atau sekelompok itu yang sulit ditelusuri asal-usul dan bukti-buktinya. Yang terjadi dalam banyak hal adalah semacam prejudice exchanges. Jika kita berani mengatakan fakta yang sebenarnya, atau sebaliknya mengakui bahwa kecurigaan yang ada tidak berdasarkan bukti yang memadai, maka buat saya titik terang untuk mencari metode kerukunan beragama yang sejati mungkin sudah mulai tampak.
Selain klarifikasi faktual, kita juga harus memperhatikan bahwa proses pengambilan kesimpulan tentang diskriminasi seyogyanya dilakukan dengan hati-hati. Katakanlah ada sebuah fakta bahwa Amien Rais, untuk memberikan ceramah akademik di kampus, menemui berbagai hambatan politis (hal ini sungguh terjadi pada pertengahan 1980-an). Tapi apakah fakta ini membuktikan terjadinya diskriminasi terhadap Islam" Ataukah, karena Amien Rais saat itu sangat kritis terhadap Orde Baru, seperti juga Y. B. Mangunwijaya yang Katolik dan Arief Budiman yang sekular, maka hambatan politis itu terjadi" Dalam hal yang terakhir ini kesimpulan yang bisa diambil adalah bahwa diskriminasi yang terjadi bukanlah terhadap agama tertentu, tetapi terhadap mereka yang kritis pada pemerintah, apapun agama yang dianutnya. Logika seperti ini, terhadap kesimpulan Frans Seda tentang diskriminasi terhadap kaum non-Islam, dapat pula diterapkan.
Catatan lain yang ingin saya sampaikan adalah terhadap pernyataan penting Amien Rais bahwa umat Islam ingin menegakkan kehidupan kebangsaan yang representatif dan merito-kratis. Dalam hal meritokrasi, saya kira kita semua setuju bahwa metode seleksi sosial ini tidak problematik, paling tidak secara ideal. Yang rajin, pintar, tekun, dan teguh, itulah yang "menang". Meritokrasi, singkatnya, adalah aspirasi universal yang secara konsepsional telah dianggap "selesai". Yang tersisa tinggallah proses penjabarannya.
Tapi tidak demikian halnya dengan representasi. Mekanisme seleksi sosial dengan cara ini masih sangat problematik. Dari tinjauan konsepsional, persoalan pertama yang kita hadapi adalah mengenai garis batas representasi itu. Kalau misalnya kita menghitung proporsi pejabat suatu departemen menurut agama masing-masing, maka kenapa kita juga tidak memasukkan unsur daerah dan etnis misalnya" Apa alasan kita untuk mendasarkan representasi hanya pada kriteria agama, dan tidak yang lainnya"
Katakanlah kita menerima argumen representasi dalam keseluruhannya, maka bayangkanlah betapa akan repotnya kita. Setiap kali kita akan mengangkat pegawai, pejabat, atau memilih pemenang tender proyek, proporsi menurut variabel agama, etnik, dan asal daerah harus kita perhitungkan. Dan jika ini memang kita lakukan, maka pada suatu batas tertentu, ia pasti akan bertentangan dengan ideal kita yang lain, yaitu meritokrasi. Bagaimana gerangan kita menyelesaikan problematik ini" Adakah metode yang baik untuk mengatasi ketegangan antara ideal meritokrasi dan prinsip representasi"
*** Di Amerika, salah satu perwujudan dari argumen representasi adalah kebijakan affirmative action. Kebijakan ini bertujuan untuk lebih menyeimbangkan proporsi warna kulit (putih dan non-putih) dan gender dalam berbagai hierarki dan jabatan-jabatan sosial, politik dan ekonomi, termasuk proporsi mahasiswa di berbagai kampus. Saat ini, walau dianggap bertujuan cukup mulia, kebijakan ini mulai banyak dianggap kontra-produktif, karena justru meluaskan kultur ketergantungan, mengurangi harga diri kelompok sasaran kebijakan itu sendiri, serta mengikis dasar-dasar sistem meritokratik, terutama di dunia universitas.
Jika di Amerika hal yang semacam ini terjadi pada penerapan argumen representasi, bagaimana dengan kita" Apakah tidak mungkin bahwa unintended consequences dari kebijakan semacam itu akan semakin diperburuk mengingat jalinan-jalin-an sosial kita yang le
bih kompleks dan tingkat kemampuan ekonomi kita yang jauh lebih terbatas"
Tentu, semua pertanyaan ini tidak ditujukan hanya pada Frans Seda, Amien Rais atau pada kalangan agama tertentu saja. Kita semua dituntut untuk menjawab dan membahasnya, dengan dingin dan rasional. Barangkali hal ini bisa menjadi agenda berikutnya dalam "dialog" yang sudah diawali oleh Frans Seda dan Amien Rais. Kalau bukan oleh tokoh-tokoh seperti mereka, oleh siapa lagi masalah sangat mendasar dalam kehidupan kebangsaan kita ini harus dibicarakan dan diperdebatkan" Oleh massa di jalan-jalan, dengan cara-cara yang juga bersifat jalanan dan brutal seperti di Situbondo barusan ini"
30 Otober 1996 Lincoln di pundak Abraham lincoln terletak nasib Amerika Serikat pada paruh kedua abad ke-19. Saat ia dilantik menjadi presiden pada Maret 1861, sebelas negara bagian republik modern pertama itu memisahkan diri dan memproklamasikan kemerdekaan mereka dengan membentuk negara konfederasi. Kaum separatis di negara-negara bagian di selatan ingin berdaulat penuh. Mereka menganggap perbudakan adalah bagian dari sistem sosial mereka. Dengan naiknya Lincoln, mereka curiga bahwa negeri-negeri bagian di utara akan memaksakan kehendak dan menghapuskan sistem sosial yang sudah berakar itu.
Gerakan separatisme itu didukung luas oleh masyarakat di selatan, kecuali oleh para budak tentunya, dan ditopang oleh kekuatan militer dan pasukan-pasukan milisi yang sangat tangguh. Mereka juga punya banyak ahli perang yang piawai, seperti Jenderal Robert E. Lee dan Jenderal Thomas "Stonewall" Jackson.
Singkatnya, Amerika Serikat pada 1861 berada pada titik tergenting dalam perjalanan sejarahnya. Dan Lincoln-lah, seorang anak petani dari Springfield, Illinois, yang kemudian menjadi pengacara sukses, yang harus memimpin negerinya mengatasi gelombang separatisme itu. Sejarah tidak memberinya pilihan: ia harus mengambil langkah-langkah besar atau negerinya akan terdampar ke tepian sejarah.
Buat Lincoln, negara bentukan Revolusi 1776 itu sudah final dan tidak dapat dipecah-pecah. "It will become one thing, or all the other", tidak ada jalan tengah. Amerika Serikat harus utuh, kalau tidak ia akan terpecah ke dalam serpihan-serpihan yang berbeda dan bermusuhan.
Pada awalnya, Lincoln memberi jalan kompromi yang cukup luas kepada kaum separatis. Ia menawarkan pembatasan, bukan pelenyapan perbudakan, sejauh kaum separatis mau bergabung lagi ke dalam negara perserikatan. Dalan pidato pelantikannya, ia mengingatkan bahwa masyarakat di selatan dan utara ditakdirkan sebagai satu bangsa dengan satu tanah air. la berharap kaum separatis tidak bertindak didorong oleh gelora perasaan semata, tetapi juga oleh kesadaran nurani yang mendalam, "the better angels of our nature".
Tapi tawaran kompromi Lincoln ditolak. Semangat separatisme di selatan sudah terlalu bergemuruh. Mereka sudah membentuk pemerintahan sendiri. Mereka sudah mengangkat senjata dan bertekad mempertahankan "kemerdekaan" itu untuk seterusnya. Dengan sikap kaum separatis seperti itu, Lincoln tidak melihat kemungkinan lain kecuali menggunakan kekuatan militer untuk mencapai tujuan politik, yaitu keutuhan negara.
Pada Desember 1861, perang saudara pun meledak. Selama dua tahun pertama, kaum utara mengalami berbagai kekalahan dalam banyak pertempuran. Akibatnya, semakin banyak kalangan di utara yang mendukang seruan "perdamaian dengan segala konsekuensinya". Sebagian lagi mendesak Lincoln agar mengambil langkah yang lebih radikal dalam memerangi kaum selatan. Dalam teater militer, kaum utara terdesak. Dalam panggung politik, dukungan bagi Lincoln semakin sempit dan terpecah.
Dalam situasi kritis itulah kepemimpinan Lincoln diuji. Kadang ia menyikut, tetapi lebih sering dengan kemampuan persuasinya yang memukau, ia melakukan berbagai hal untuk menyabarkan kaum radikal dan menyuntikkan tekad serta meniupkan harapan pada kaum pesimis yang semakin antiperang. Ia merangkul para pengkritiknya, tanpa harus sepenuhnya menjadi boneka di tangan mereka.
Dalam melakukan semua itu, Lincoln bertindak sebagai
seorang pragmatis yang diilhami oleh sebuah visi besar, yaitu keutuhan Amerika Serikat. Tetapi sesungguhnya yang membuat dia menjadi pemimpin terbesar sepanjang masa di negerinya, dan di negeri lain yang mencintai kebebasan, adalah kemampuan dia untuk berubah dan mengembangkan visinya, sambil tetap memperluas dukungan politik yang dibutuhkannya.
Visi awalnya, perang untuk negara, pada akhir tahun kedua pemerintahannya dia kembangkan menjadi perang untuk pembebasan. Yang terakhir ini dia wujudkan dengan merancang Deklarasi Emansipasi, yang kemudian menjadi dokumen historis bagi penghancuran sistem perbudakan. Dengan visi baru ini, perang sipil yang dipimpinnya menjadi bermakna lebih mendalam sekaligus berdampak lebih luas. Perang itu menjadi sesuatu yang lebih mulia, karena ia bukan lagi sekadar aksi bersenjata untuk mempertahankan keutuhan negara. Kaum patriot di utara kemudian berubah menjadi pejuang pembebasan.
Visi itu ternyata bergema jauh ke dalam sukma masyarakat di utara. Ia kernudian menjadi pengikat baru dan sumber motivasi yang menggelorakan, yang membantu mereka untuk bertahan, dan kemudian menghancurkan kekuatan kaum separatis pada 1864 dan 1865.
Pertikaian utara-selatan itu, dengan korban 630 ribu jiwa, tercatat sebagai perang saudara terbesar sepanjang sejarah manusia, hingga kini. Tapi sejarah juga mencatat bahwa ia mengubah Negeri Paman Sam itu secara fundamental. Sejak saat itulah prinsip yang mereka junjung tinggi, yaitu bahwa setiap manusia memiliki hak yang sama, betul-betul ditanamkan dalam kesadaran nasional mereka.
Enam bulan setelah kemenangan kaum utara, Lincoln ditembak mati oleh seorang pendukung fanatik sistem perbudakan. Jasadnya memang berkalang tanah, tapi sesungguhnya ia terus hidup sepanjang masa.
16 Juli 2000 BAB V Hukum Liddle: Tentang Pemilu dan Partai Politik
Hukum Liddle profesor william liddle menolak sistem pemilihan presiden secara langsung, setidaknya untuk beberapa periode pemilu. Saya tidak sepakat dengannya, tapi saya sadar bahwa argumen-argumen dia cukup kuat dan sangat menarik. Untuk mengkritik guru besar ilmu politik kenamaan ini dengan baik, saya ingin mulai dengan menjelaskan apa yang saya sebut sebagai Hukum Liddle, Liddle's Law.
Hukum ini berangkat dari sebuah teori yang diawali oleh ilmuwan politik Prancis, Maurice Duverger, pada 1950-an. Menurut Duverger, dalam karya klasiknya yang terbit pada 1954, Political Parties, jika pemilihan langsung diadakan dan sistem pemilu diselenggarakan dengan metode mayoritas sederhana, yang akan tercipta dalam jangka panjang adalah sistem politik yang hanya akan memunculkan dua partai yang dominan. Beberapa partai kecil mungkin tetap hadir dalam sistem ini, tapi kompetisi kekuatan hanya akan terjadi di antara dua partai besar.
Logikanya jelas. Dalam pemilu, setiap partai ingin menang, tapi kursi presiden atau perdana menteri hanya satu. Tidak ada partai atau kandidat yang ingin membuang banyak waktu dan biaya yang begitu besar untuk ikut pemilu jika dia tahu bahwa pada akhimya dia akan kalah. Karena itu, partai kecil akan bergabung dengan partai lainnya yang memiliki kedekatan aspirasi, betapapun kecilnya. Penggabungan ini akan bejalan sedemikian rupa sehingga pada ujungnya yang bertarung hanyalah dua partai atau kubu besar.
Dari Langit Karya Rizal Mallarangeng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Teori ini kelihatannya sederhana, tetapi dalam pembuktian empiris sulit ditolak. Dengan beberapa pengecualian, semua negeri yang memakai pola pemilihan langsung dengan metode mayoritas sederhana memang hanya dikuasai oleh dua partai besar. Contoh terbaik dalam hal ini adalah Amerika Serikat dan Inggris. Di kedua negeri ini memang ada partai-partai kecil, tetapi peranannya tidak pernah penting. Dinamika politik di Amerika Serikat hanya dipengaruhi oleh kompetisi antara Partai Republik dan Partai Demokrat, sementara di Inggris antara Partai Konservatif dan Partai Buruh.
Karena ketepatannya dalam menjelaskan realitas, banyak kalangan yang berkata bahwa teori ini adalah satu-satunya teori dalam ilmu sosial yang bersifat pasti, sebagaimana teori keunggulan komparatifn
ya David Ricardo dalam ilmu ekonomi. Duverger sendiri berkata bahwa teorinya itu sudah mendekati a true sociological law.
Teori seperti itulah yang diadaptasi Liddle untuk membaca dan meramalkan dinamika politik kita. Pertanyaan besar yang ada di benaknya adalah, jika dua kubu besar terbentuk di Indonesia, apa garis politik dan basis ideologi yang memisahkan kedua kubu ini. Sumber-sumber mobilisasi apa yang akan digunakan partai politik dalam merebut dukungan bagi kandidatnya" Di Amerika Serikat dan Inggris garis pemisah itu berdasarkan perbedaan program dan ideologi modern. Apakah hal yang sama juga, akan terjadi di Indonesia"
Ternyata tidak. Setelah meneliti perilaku pemilih dalam Pemilu 1999 dengan cermat (bersama muridnya, Saiful Mujani, dan sejumlah peneliti UI, antara lain Eep Saifulloh Fatah, yang kini juga menjadi muridnya), Liddle menyimpulkan bahwa perilaku pemilih sekarang belum banyak berbeda dari perilaku pemilih pada 1955, sewaktu pemilu pertama diadakan. Empat puluh lima tahun silam, seperti yang dikatakan Clifford Geertz, basis pertarungan antarpartai mengikuti garis primordial. Rakyat memilih tidak berdasarkan persetujuan mereka terhadap program partai secara rasional, tetapi lebih berdasarkan pada loyalitas dan identitas agama, daerah, dan suku. Sekarang, peran suku dan daerah mungkin agak berubah, tetapi peran agama tetap. Dulu dan sekarang, agama dan identitas keagamaan tetap menjadi basis mobilisasi politik dan legitimasi kekuasaan.
Sebenarya, sebagai seseorang yang menginginkan Indonesia menjadi demokratis, modern, dan makmur sekaligus, Liddle tidak menginginkan hal itu terjadi. Agama ia harapkan hanya berada di arena politik secara tidak langsung. Tapi dia seorang ilmuwan, dan karena itu ia harus mengatakan apa yang sesungguhnya akan terjadi, bukan apa yang seharusnya atau apa yang dia inginkan terjadi.
Karena itulah Liddle kemudian menyimpulkan bahwa kalau pemilihan presiden yang dilakukan secara langsung saat ini diselenggarakan, akan tercipta koalisi besar kaum Islam di satu pihak, dan kaum sekular-nasionalis dan kaum non-Islam di pihak lain. Hanya dua kubu inilah yang akan mendominasi peta politik Indonesia. Kesimpulan seperti inilah yang saya sebut sebagai Hukum Liddle.
Lalu apa implikasi dari hukum seperti itu" Buat Liddle, soalnya jelas: jika dua kubu besar berdasarkan garis primordial mendominasi arena politik, yang akan terjadi di masa depan adalah rangkaian kerusuhan yang dimotori oleh kaum fanatik. Pemilu akan menjadi arena pertarungan prasangka, bukan dialog untuk membela program politik yang rasional. Dan kalau sudah begitu, demokrasi Indonesia pasti akan terancam. Karena itu, Liddle mengusulkan bahwa sistem pemilihan seperti yang sudah kita lakukan selama ini (MPR memilih presiden) dipertahankan dulu untuk beberapa periode pemilu.
Apa yang bisa dikatakan tentang analisis Liddle itu" Buat saya, pada tingkat tertentu ia sulit ditolak. Bukti empirisnya memang belum ada, karena kita belum pernah melakukan pemilihan presiden secara langsung. Namun, kita bisa mengambil sebuah model yang cukup tepat untuk "mengujinya".
Sewaktu Gus Dur terpilih sebagai presiden sepuluh bulan lalu, ia dipilih secara langsung oleh sekian ratus anggota MPR. Sekarang, anggaplah semua anggota MPR ini adalah keseluruhan penduduk Indonesia. Di sini kita bisa melihat ada banyak partai plus golongan di lembaga tertinggi ini. Tapi, dalam proses pemilihan presiden, ada berapa kubu besar yang tercipta" Ada berapa kandidat yang pada akhirnya bersaing ketat" Apa garis perbedaannya" Ternyata, hanya ada dua kubu dan dua kandidat dominan (Megawati dan Gus Dur), dan garis pemisahnya persis seperti yang diramalkan oleh Hukum Liddle itu. Jadi, hukum ini benar dan posisinya dapat diangkat menjadi sebuah teori yang bisa memperkaya khazanah studi Indonesia.
Namun, pertanyaan kita kemudian, kalau Hukum Liddle itu memang sulit ditolak kebenarannya, apakah implikasinya demikian pula. Seperti yang sudah saya singgung tadi, Liddle menolak sistem pemilihan langsung berdasarkan implikasi hukum itu, bukan substansi
hukum itu sendiri. Apakah implikasi dualisme kecenderungan berdasarkan garis agama di negeri kita harus berujung pada pertarungan kaum fanatik dan hilangnya moderasi dan basis-basis kompromi" Apakah proses pemilu hanya akan dikuasai oleh kaum fundamentalis di kedua kubu, dan kaum moderat akan bersembunyi di sudut-sudut sejarah"
Jawaban saya, tidak. Liddle hanya bisa benar jika distribusi ideologi dan komposisi aspirasi dalam masyarakat kita mengikuti sebuah kurva yang disebut oleh Anthony Downs, dalam bukunya yang terkenal, Economic Theory of Democracy (1957), sebagai kurva lonceng terbalik. Dalarn kurva semacam ini, kaum pemilih yang berada di tengah, yaitu kaum moderat dari kedua kubu, berjumlah sangat kecil. Semakin garis kurva ini bergerak ke titik di ekstrem kiri atau kanan, semakin besar jumlah pemilih yang dicakupnya, mengikuti garis kurva yang menaik.
Kurva ini mengimplikasikan bahwa setiap politisi atau kandidat dari kedua kubu hanya bisa menang dalam pemilu jika mereka bergerak menjauhi kaum moderat. Mereka harus bergerak ke titik ekstrem di kubunya masing-masing, kerena di sanalah terdapat jumlah pemilih terbesar. Politicians go where the voters are. Hal inilah yang membuat Liddle khawatir bahwa proses pemilu hanya didominasi oleh pertarungan prasangka-prasangka kaum fanatik.
Buat saya, kekeliruan Liddle terletak di sini: ia menerima begitu saja bahwa kurva semacam itulah yang menggambarkan distribusi ideologi dan komposisi aspirasi dalam masyarakat kita. Kalau Indonesia hanya Maluku dan Poso, mungkin Liddle benar. Namun, untuk masyarakat Indonesia secara keseluruhan, kurva yang lebih tepat untuk digunakan adalah kurva lonceng normal. Dengan kata lain, asumsi yang digunakan Liddle sebe-namya terbalik.
Dalam kurva lonceng normal, kaum ekstrem di kedua belah pihak memang ada, tapi jumlahnya relatif kecil. Kaum ekstrem semacam ini adalah, di satu pihak, mereka yang menginginkan negara Islam dan pelaksanaan syariat Islam dalam kehidupan publik secara hitam putih, seperti di Afghanistan di bawah kaum Taliban atau Iran di bawah Khomeini, tanpa peduli akan risiko sosial, politik, dan ekonomi yang akan mengiringinya, dan di pihak lain adalah kaum sekular-nasionalis yang, seperti pengikut Kemal Attaturk di Turki pada awal abad ke-20, betul-betul
anti-Islam dan menganggap setiap hal yang berbau Islam dan Arab pasti jelek, terbelakang, serta berbahaya.
Jumlah pemilih terbesar berada di ruang tengah, menjauhi kedua titik ekstrem tersebut. Mereka, misalnya, adalah kaum Islam yang memilih PDI-P, tanpa peduli dengan isu-isu religius, atau pendukung Golkar yang Islam dan Kristen, atau sebagian pendukung PAN dan PKB yang memang menginginkan ekspresi keislaman yang lebih kental dalam arena publik, tetapi lebih banyak bersifat simbolik ketimbang bersifat legal-formal. Mereka inilah yang tersebar di ruang tengah di kedua kubu.
Jika saya benar, kita sebenarnya tidak perlu terlalu khawatir untuk memilih presiden secara langsung. Malah, ia mungkin akan memperkuat demokrasi kita. Mengikuti implikasi yang ada pada kurva lonceng normal itu, setiap politisi dan kandidat partai yang ingin merebut kursi kepresidenan harus merebut ruang tengah, tempat sebagian besar pemilih berada. Politisi yang menjauhi mereka dan bergerak ke titik ekstrem hanya akan merugikan dirinya sendiri, persis seperti yang terjadi dalam setiap pemilihan presiden di Amerika Serikat. Politisi ekstrem akan mendapat tepuk tangan dari kaum fanatik, tetapi bukan kursi kekuasaan.
27 Agustus 2000 Nasib Partai Golkar kasus buloggate ii dan penahanan sementara Akbar Tandjung dapat dilihat sebagai ujian terhadap Partai Golkar. Pada Pemilu 1999, dalam situasi terjepit dan dicerca dari kiri dan kanan, partai ini masih mampu meraih dukungan 24 juta suara atau sekitar seperempat dari keseluruhan warganegara yang diberi hak untuk memilih.
Prestasi semacam itu bukan sesuatu yang bisa dipandang dengan sebelah mata. Suka atau tidak, jutaan rakyat telah menitipkan aspirasi mereka pada partai ini, dan dalam sistem demokrasi titipan aspirasi rakyat
itulah yang harus menjadi pedoman dalam menghadapi setiap perkara.
Karena itu, dalam ujian menghadapi kemelut sekarang ini, Partai Golkar harus mampu mengedepankan masa depannya sebagai partai untuk membela kepentingan jutaan pendukungnya, bukan masa depan dan nasib individu-individu tertentu, betapapun penting dan berjasanya mereka selama ini.
Tentu sangatlah wajar jika para pemimpin dan massa Partai Golkar membela pemimpinnya yang berada dalam situasi terjepit. Apalagi, sosok seorang Akbar Tandjung memang mudah membangkitkan simpati. Mantan Mensesneg di era Presiden Habibie ini pada dasarnya adalah seorang yang santun dan bersahabat, dengan kata-kata yang selalu terukur dan emosi yang senantiasa terjaga. Demikian pula, sebagai politisi ia telah terbukti mampu mengemudikan biduk partainya melewati berbagai kesulitan politik sebagai The New Order's ruling party, dan muncul sebagai pemenang kedua dalam pemilu yang relatif bebas, terbuka dan representatif.
Namun, semua ini tidak boleh menghapuskan garis demarkasi antara kepentingan yang pribadi dan bersifat individual serta kepentingan yang sepenuhnya mengatasi unsur-unsur pribadi, yaitu kepentingan partai dalam jangka panjang.
*** Terlepas dari cara pandang kita dalam melihat kasus Bulog-gate II, kader-kader serta pengurus Partai Golkar memang dituntut dari sisi moral untuk membela pemimpin mereka sampai titik terjauh, dalam koridor hukum yang berlaku. Dalam situasi krisis dan tak pasti seperti sekarang ini, ekspresi dan perjuangan yang dilandasi oleh rasa setia kawan adalah sebuah nilai plus tersendiri yang dapat membangkitkan inspirasi pada banyak orang.
Namun pada saat yang sama mereka juga harus mampu melihat bahwa apapun yang telah dan akan terjadi pada seorang Akbar Tandjung, partai tetap harus hidup dan mempertimbangkan pilihan-pilihan politiknya secara rasional.
Dalam hal terakhir ini, pilihan-pilihan yang ada pada tokoh-tokoh yang menentukan perjalanan Partai Golkar pada dasarnya sudah cukup jelas. Di satu pihak, karena luka, kemarahan, dan emosi sesaat, mereka bisa mengambil strategi bumi hangus atau strategi oposisi permanen terhadap pemerintah yang berkuasa saat ini, dan khususnya terhadap Presiden Megawati dan PDI Perjuangan sebagai basis politiknya. Dalam hal ini mereka, misalnya, dapat mengumumkan penarikan kader-kader mereka dari Kabinet Gotong-Royong yang dipimpin Me-gawati-Hamzah Haz.
Di pihak lain, mereka dapat menjadikan kemelut yang menimpa partai dan pimpinan mereka sekarang sebagai momentum untuk memperbaiki dan menyempurnakan partai, sekaligus untuk merebut simpati banyak orang. Dalam hal ini mereka dapat menyerukan bahwa mereka mendukung proses hukum sepenuh-penuhnya dan tetap ingin membantu pemerintah saat ini dalam mengatasi berbagai persoalan yang ada lewat kader-kader mereka yang andal di lembaga eksekutif, seperti Jusuf Kalla, atau lewat proses legislasi yang sehat di parlemen.
Hanya pilihan kedua inilah yang sesuai dengan kepentingan jangka panjang Golkar sebagai partai politik. Bahkan lebih jauh lagi bisa dikatakan bahwa pilihan semacam ini bukan hanya baik bagi Partai Golkar, tetapi juga baik bagi proses transisi demokrasi di negeri kita.
Manusia Harimau 4 Strangers Karya Barbara Elsborg Dendam Iblis Seribu Wajah 12
Semua hal ini berlawanan dengan harapan masyarakat pada saat itu. Setelah pengalihan kedaulatan pada Desember 1949, kabinet yang terbentuk jatuh bangun dan tingkat ketidakpastian politik mencapai titik yang berbahaya. Karena itu, masyarakat berharap bahwa Pemilu 1955 dapat menyelesaikan persoalan ini dan memberi kepastian politik yang lebih tinggi. Dan wajar juga jika mereka berharap bahwa pemerintahan pertama hasil pemilu nantinya akan mulai membangun jembatan emas menuju masyarakat yang lebih makmur, melakukan langkah-langkah untuk mulai meninggalkan segala kesulitan ekonomi yang dialami sejak zaman Jepang dan zaman revolusi kemerdekaan. Tetapi harapan ini kemudian terkikis, dan bersamanya terkikis pula legitimasi sistem politik yang ada saat itu.
Kedua, merebaknya pemberontakan daerah. Di tengah jatuh bangunnya pemerintahan di Jakarta, semangat perlawanan daerah terhadap pusat menguat di Sulawesi dan Sumatra. Dua tahun setelah Pemilu 1955, Panglima Daerah Militer Indonesia Timur Kolonel Sumual mengambil-alih kepemimpinan dengan memberlakukan keadaan darurat secara sepihak. Setahun kemudian, gerakan Permes
ta ini disusul oleh gerakan revolusioner di Bukit Tinggi (PRRI), yang dimotori antara lain oleh Panglima Daerah Militer Sumatra Barat Letkol Husein dan didukung oleh beberapa pentolan politik nasional yang berasal dari Ma-syumi dan PSI, seperti Sjafruddin Prawiranegara, Mohammad Natsir, dan Prof. Sumitro Djojohadikusumo.
Walau berbeda latar belakang dan tujuannya, kedua pemberontakan daerah itu menciptakan hal yang sama, yaitu krisis integritas negara. Kita mungkin bisa berdebat soal keabsahan pemberontakan mereka secara moral, tetapi tindakan pemberontakan itu sendiri menciptakan dualisme otoritas dan krisis konstitusional. Dengan pemberontakan demikian, Republik Indonesia sebagai sebuah kesatuan hukum dan unit teritorial terancam pecah atau kehilangan kewibawaan.
Ketiga, peran Soekarno dan tentara. Soekarno dan tentara adalah dua pemeran terpenting dalam masa revolusi kemerdekaan. Tetapi sistem politik setelah pengalihan kedaulatan pada 1949 dan Pemilu 1955 tidak memberi tempat yang jelas bagi keduanya. Karena itu, dengan munculnya dua faktor di atas, yaitu krisis legitimasi sistem politik dan merebaknya pemberontakan daerah, kedua aktor terpenting yang melahirkan republik kita itu kemudian memperoleh basis pembenaran untuk "menyelamatkan negara" dan mengambil-alih kepemimpinan secara langsung.
Tentara memberi sumber kekuatan riil untuk menyelesaikan berbagai persoalan pemberontakan daerah, sementara Soekarno mengembalikan secara simbolis kewibawaan dan keutuhan negara. Dengan kemahiran retorikanya dan dengan mengandalkan posisinya sebagai Bapak Bangsa, Soekarno meyakinkan masyarakat bahwa sumber perpecahan dan segala persoalan bangsa saat itu adalah partai-partai politik. Sebagai jalan ke luarnya, Soekarno menawarkan solusi non-partai, yaitu konsepsi demokrasi terpimpin yang langsung dipimpinnya sendiri.
Di lihat dalam konteks kemelut di zaman itu, solusi non-partai demikian bukan hanya cukup masuk akal, tetapi juga secara politik mendapat sambutan luas dan antusias dari masyarakat.
Ketiga faktor itulah yang hadir secara bersamaan dan menjadi penyebab runtuhnya eksperimen demokrasi pertama kita. Ketiganya berhubungan dengan erat dan saling memperkuat. Tanpa kehadiran faktor pertama, misalnya, faktor kedua mungkin tidak akan muncul. Jika pemerintah pusat di Jakarta dapat menjalankan peran dan fungsinya dengan baik, peluang bagi merebaknya ketidakpuasan daerah akan mengecil. Dan tanpa kehadiran kedua faktor itu, jelas Soekarno dan tentara tidak memiliki alasan apapun untuk mengambil-alih kekuasaan dan memainkan peran politik mereka secara langsung.
Demikian pula, walaupun faktor pertama dan kedua sudah muncul, namun jika Soekarno dan tentara memilih melakukan peran yang berbeda, maka jalan sejarah pada akhir 1950-an dan awal 1960-an bisa berbeda samasekali.
Pertanyaan kita sekarang adalah apakah faktor-faktor yang menguburkan eksperimen demokrasi seperti itu juga sudah mulai hadir sekarang" Apakah tanda-tandanya sudah dapat kita rasakan" Mungkin betul bahwa sekarang masih terlalu dini untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Tetapi, di tengah suasana politik dan kondisi kemasyarakatan yang berkembang akhir-akhir ini, sulit bagi kita untuk berkata dengan meyakinkan bahwa benih faktor-faktor itu tidak atau belum terlihat samasekali.
Tanda-tanda cairnya koalisi antarpartai seperti yang terjadi pada 1950-an sudah bisa mulai terlihat dengan cukup jelas. Sepuluh bulan lalu koalisi Poros Tengah dan Golkar membendung PDI-P dengan menaikkan Abdurrahman Wahid ke panggung kekuasaan. Sekarang kita semua tahu bahwa kedua kelompok pertama itu adalah pihak-pihak yang paling kritis terhadap tokoh yang mereka naikkan sendiri. Di kalangan Poros Tengah sendiri pun ikatan-ikatan yang terjadi tidak sekokoh yang tampak di permukaan. Dalam soal hubungan Islam dan negara misalnya, sebagian pendukung PAN dan Amien Rais bisa dengan sengit bertentangan dengan tokoh dan massa pendukung PPP. Demikian pula, PDI-P dan PKB bisa sepakat dalam satu hal, tetapi dalam hal lain lagi keduanya bisa menjadi seteru yang fanatik.
Pada 1950-an, cairnya basis koalisi antarpartai berakibat langsung pada jatuh bangunnya kabinet pemerintah. Sekarang hal ini memang belum kita lihat. Tetapi bukankah isu-isu di sekitar reshuffle kabinet sudah memberi indikasi ke arah sana" Kalau ia benar terjadi, dan dilakukan secara luas dan menyangkut posisi-posisi kementerian yang vital, maka sesungguhnya secara praktis satu kabinet sudah jatuh, dalam waktu kurang dari setahun (kabinet koalisi pertama setelah Pemilu 1955 yang dipimpin oleh Ali Sastroamidjojo berusia lebih panjang dari itu!).
Yang masih agak kabur adalah dampak cairnya basis koalisi antarpartai saat ini dengan berbagai kesulitan pemerintah dalam melakukan perannya, seperti pembangunan ekonomi, penegakan hukum, pemberantasan korupsi dan sebagainya. Tetapi, di sini pun kita sudah mulai cukup sering mendengar keluhan bahwa berbagai kesulitan pemerintah selama ini bersumber dari pertentangan kepentingan dan perbedaan konsepsi para elite partai politik.
Malahan, dalam dua tiga bulan terakhir sudah muncul suara-suara yang berkata bahwa kabinet dan lembaga-lembaga pemerintahan hanya akan bekerja dengan baik jika dipimpin oleh tokoh-tokoh non-partai, kaum profesional dan aktor-aktor non-politis. Bukankah suara-suara seperti ini dapat menjadi indikasi yang cukup jelas bahwa legitimasi dan kepercayaan pada partai dan pemimpinnya memang sudah mulai surut" Betul bahwa sekarang suara-suara semacam itu mungkin belum sekeras suara-suara antipartai yang terjadi pada akhir 1950-an. Tetapi, adakah jaminan bahwa ia tidak akan menemukan momentumnya untuk semakin merasuk ke dalam kesadaran masyarakat luas"
Singkatnya, benih-benih faktor pertama yang bisa menyebabkan gagalnya ekperimen demokrasi kedua kita sudah mulai muncul. Tingkat perkembangannya di tahun-tahun mendatang memang belum pasti, tetapi yang jelas dia sudah muncul dan mungkin sedang menanti momentum sejarah untuk mengangkatnya menjadi gejala politik dominan.
Bagaimana dengan faktor berikutnya" Sekarang memang tidak ada pemberontakan daerah yang dipimpin oleh kombinasi elite militer dan tokoh politik nasional seperti yang terjadi pada 1950-an. Yang terjadi akhir-akhir ini di banyak daerah lebih berbentuk kerusuhan dan munculnya aspirasi nasionalisme lokal pada tingkat massa. Bentuk yang pertama dengan baik diwakili oleh konflik-konflik di Maluku dan Poso, sementara bentuk yang kedua oleh maraknya aspirasi kemerdekaan di Aceh dan irian Jaya.
Gerakan Permesta dan pemberontakan PRRI menimbulkan dualisme otoritas dan menyebabkan negara mengalami krisis kewibawaan. Apa yang terjadi di Maluku, Poso, Aceh, dan Irian Jaya pada dasarnya juga berakibat sama, malahan dalam kadar tertentu, karena terjadi pada tingkat massa, dampaknya sebenarnya lebih dahsyat lagi. Di Maluku misalnya, negara sudah betul-betul terpuruk wibawa dan otoritasnya, sehingga aparat-aparat negara di semua tingkat sepertinya sudah kehilangan akal harus berbuat apa. Sepanjang sejarah republik kita, belum pernah hal yang seperti ini terjadi, di mana konflik-konflik yang begitu keras dan memalukan di tingkat massa samasekali tidak dapat dijembatani dan diselesaikan oleh negara.
Seperti juga dengan faktor sebelumnya, faktor ini belum dapat diperkirakan dengan pasti ke mana arah dan perkembangannya. Tetapi dengan kualitas kepempinan yang kita punyai sekarang, dan terutama dengan keanehan dan ketidakpastian kebijakan yang ditempuh oleh Presiden Gus Dur, saya menduga bahwa persoalan-persoalan ini hanya akan semakin genting, bukan sebaliknya. Selama 10 bulan terakhir kita sudah bisa membaca sosok Gus Dur sebagai seorang pemimpin. Ia bukan tokoh yang kuat dan tidak memiliki kemampuan untuk melahirkan kebijakan yang konsisten dan efektif.
Singkatnya, Gus Dur tidak memiliki kemampuan yang memadai untuk berperan sebagai pemimpin tertinggi yang dapat mengembalikan kewibawaan dan otoritas negara. Dia adalah the wrong man, in the wrong place, and at the wrong time. Di bawah kepemimpinan Gus Dur, bangsa kita sepertinya terkunci oleh sebuah hukum yang sering dikenal sebagai "Murphy's Law": apa saja yang
mungkin menjadi buruk, akan menjadi buruk.
Jadi, faktor kedua yang dapat menggagalkan eksperimen demokrasi kita juga sudah ada. Yang belum ada saat ini adalah faktor terakhir, yaitu sosok yang memainkan peranan Soekarno dan tentara pada akhir 1950-an. Dalam hal ini kita bisa sedikit berlapang dada, sebab dalam waktu dekat ini sosok demikian mungkin belum akan muncul di horizon politik kita. Megawati bukan Soekarno, dan tentara saat ini masih sedang mengalami post-Soeharto shock yang membuatnya kehilangan inisiatif untuk bertindak dengan tegas.
Generasi pemimpin TNI yang ada saat ini tidak memiliki kredibilitas yang tinggi sebagaimana yang dinikmati oleh generasi Jenderal Nasution pada 1950-an. Walau demikian, kita jangan lupa pada sebuah diktum, yakni sejarah sering mencip-takan aktor-aktornya sendiri. Jika tingkat kredibilitas partai-partai politik terus menurun, jika pemerintah sulit menjalankan perannya dengan baik, dan jika konflik-konflik dan aksi -aksi separatisme di daerah terus- menerus terjadi dan wibawa negara terus terpuruk, maka pada waktunya nanti akan lahir aktor-aktor alternatif yang menawarkan solusi "baru" (anggur lama di botol baru!) Dan, seperti yang terjadi pada akhir 1950-an, solusi semacam ini mungkin akan didukung oleh rakyat secara antusias.
Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk menyebarkan pesimisme atas masa depan sistem demokrasi kita, melainkan lebih untuk mengingatkan kita semua untuk tidak berpikir bahwa demokrasi sudah menjadi milik kita selama-lamanya. Dari pengalaman kita sendiri, dan juga dari pengalaman banyak negara lain, sudah terbukti bahwa sistem yang ideal ini berkembang sering tidak dengan mengikuti garis sejarah yang lurus.
Demokrasi hanya bisa berkembang dan menjadi kokoh dalam waktu yang lama dan bertahap. Tetapi, ia dapat tumbang dan ditumbangkan dalam waktu yang relatif cepat. Karena itu, mata kita harus senantiasa terbuka terhadap kemungkinan-kemungkinan negatif yang mungkin akan menguburkan harapan kita bersama.
Dengan menyadari bahwa beberapa kemungkinan demikian sudah mulai muncul di permukaan, kita bisa melakukan hal-hal penting yang dapat mempertahankan eksperimen besar kita kali ini, terus-menerus. Sejarah mungkin akan berulang, tetapi kita masih memiliki kesempatan untuk mencegahnya.
17 Agustus 2000 Pemberontakan Daerah dan Demokrasi
("Rejoinder" buat Asvi Warman Adam)
dalam satu tulisan belum lama ini, saya mencoba menelusuri beberapa kemungkinan yang bisa menggagalkan eksperimen demokrasi kita saat ini (Akankah Sejarah Berulang, Kompas, 17/8/00). Dalam melakukan hal itu saya melihat kembali ke masa lalu dan mencari faktor-faktor yang menguburkan eksperimen demokrasi pada 1950-an.
Saya ingin memetik pelajaran dari sejarah dan dengan itu menyumbangkan pikiran, betapapun kecilnya, agar kita tidak terjerumus ke lubang yang sama untuk kedua kalinya.
Tulisan ini ditanggapi Asvi Warman Adam (Demiliterisasi Sejarah Indonesia, Kompas, 2/9/00). Dalam tanggapannya, Asvi tidak membahas tulisan saya secara utuh. Dia tidak ingin berbicara soal demokrasi dan problem demokratisasi secara umum. Yang disoroti sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) ini adalah masalah pemberontakan daerah, yaitu gerakan Permesta dan PRRI.
Asvi keberatan jika pemberontakan daerah dimasukkan sebagai salah satu faktor untuk menjelaskan rontoknya eksperimen demokrasi pada kurun 1950-an. Buat dia, pemerintah Soeharto-lah yang selalu berpendapat begitu. Karena itu, siapa-pun yang berbicara dengan nada sama, termasuk saya, berarti sudah termakan propaganda Orde Baru.
*** Atas tanggapan itu, saya ingin mengatakan beberapa hal. Namun sebelumnya, saya ingin menyinggung suatu hal yang sebenarnya tidak penting secara substansial, tetapi perlu dike-mukakan untuk menjernihkan sebuah masalah yang cukup sering mengganggu dalam perdebatan sejarah di negeri kita.
Pandangan yang mengatakan, pemberontakan daerah yang dilakukan gerakan Permesta dan PRRI adalah aksi-aksi di luar hukum, berbahaya, dan berhubungan erat dengan gagalnya eksperimen demokrasi, sebenar
nya bukanlah monopoli Soeharto dan Orde Baru semata. Banyak sejarawan dan ilmu politik mengatakan hal yang hampir sama, tentu dengan sudut pandang dan motivasi berbeda-beda. Misalnya, WF Wertheim, sejarawan Belanda, dalam bukunya yang terbit sebelum Orde Baru lahir (1959), Indonesian Society in Transition, malah menjelaskan, gerakan PRRI dan Permesta adalah kudeta dan aksi ilegal.
Hal itu juga diutarakan Herbert Feith. Dalam tulisannya, "Dynamics of Guided Democracy", yang terbit pada 1963 dalam sebuah buku yang disunting Ruth McVey, Indonesia, Feith lebih jauh lagi menjelaskan, pemberontakan daerah itulah yang menjadi salah satu dari dua faktor mengapa Soekarno dan Jenderal Nasution begitu cepat dapat menguburkan sistem demokrasi parlementer pada 1958-1959.
Tentu saja kita boleh tidak setuju dengan pandangan Wertheim dan Feith. Meski banyak dikenal sebagai ilmuwan serius dan tekun, keduanya bukan pemegang kebenaran terakhir. Namun demikian, ketidaksetujuan itu harus berdasarkan pada argumen dan bukti-bukti sejarah yang kuat, bukan dengan argumentum ad hominem. Orang pasti akan terkesima jika kita berkata, Wertheim dan Feith keliru sebab pandangan mereka sudah termakan propaganda Orde Baru.
Kini, soal yang lebih substansial. Saya menganggap, pemberontakan daerah yang dimotori gerakan Permesta dan PRRI menciptakan krisis integritas negara. Negara kehilangan kewibawaan karena terciptanya dualisme otoritas dan para pemimpin partai serta aparat militer mengambil hukum di tangan mereka sendiri. Krisis semacam itulah, salah satunya, yang memancing Soekarno dan tentara untuk lebih memainkan peran politik mereka secara langsung dengan mendeklarasikan situasi darurat, dan kemudian menguburkan sistem demokrasi parlementer. Pendapat saya ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan apa yang dikatakan Herbert Feith itu.
Bagi saya, bila kita lihat dengan saksama apa yang sesungguhnya terjadi pada kurun 1950-an, penolakan Asvi terhadap fakta bahwa pemberontakan daerah menciptakan krisis integritas negara menjadi agak membingungkan.
Coba kita lihat gerakan Permesta. Diproklamirkan pada 2 Maret 1957, gerakan ini memang tidak ingin melepaskan diri dari republik. Walau begitu, para pemimpinnya, misalnya Komandan Militer Indonesia Timur Letkol Ventje Sumual, memaksakan berlakunya situasi darurat, dan dengan itu mengambil-alih pemerintahan secara langsung di daerah yang ada di bawah kekuasaannya. Pada saat itu wilayah kekuasaan Komando Militer Indonesia Timur tersebar dari Sulawesi hingga Bali serta seluruh kepulauan di Nusa Tenggara dan Maluku. Artinya, otoritas politik di hampir setengah wilayah republik yang sah direbut dengan paksa secara sepihak, dan dibarengi ancaman bersenjata.
Apakah itu bukan berarti krisis integritas negara" Bayangkan bila sekarang seluruh Panglima Kodam di Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara, dan Maluku bersatu serta melakukan hal yang sama. Mereka mengangkat senjata, memproklamasikan situasi darurat, dan menyatakan tidak lagi tunduk pada pemerintah yang sah di bawah Presiden Abdurrahman Wahid. Bisakah sistem demokrasi menjawab tantangan yang demikian besar" Bila semua pemimpin regional, militer atau bukan, menerapkan cara yang sama dalam memperjuangkan kepentingan mereka, tidakkah situasi yang tercipta akan menggiring kita semua ke jurang perpecahan dahsyat yang merontokkan republik yang sudah dibangun dengan begitu banyak pengorbanan ini"
Bila contoh itu masih belum meyakinkan, mari kita lihat contoh berikutnya, yaitu pemberontakan PRRI. Gerakan yang muncul setahun setelah Permesta ini justru lebih dahsyat lagi, sebab ia dimotori tidak hanya oleh petinggi militer regional di Sumatra, tetapi juga oleh pentolan-pentolan politik nasional yang ikut melahirkan republik kita seperti Mohammad Natsir, Sjafruddin Prawiranegara dan Prof. Sumitro Djojohadikusumo, serta didukung bantuan senjata oleh salah satu negeri adikuasa, yaitu Amerika Serikat.
Gerakan ini membubarkan pemerintahan lokal dan salah satu pemimpinnya, yaitu Letkol Husein, Komandan Militer Sumatra Tengah, memberi ultimatum pada pemerintah pus
at. Mereka memberi waktu lima hari bagi pemerintah di Jakarta untuk membubarkan kabinet yang dipimpin Ali Sastroamidjojo, dan menggantikannya dengan sebuah kabinet profesional yang dipimpin Hatta atau Sultan Hamengku Buwono IX. Bila ultimatum ini tidak dipenuhi, mereka mengancam akan mendirikan pemerintahan sendiri di Sumatra, yang mereka sebut pemerintahan revolusioner.
Bila hal demikian tidak dapat disebut sebagai krisis yang membahayakan konstitusi dan mengancam integritas negara sebagai sebuah lembaga yang mengatur pembagian wewenang dan otoritas yang ada dalam sebuah masyarakat, terus terang saya tidak tahu harus berkata apa lagi. Kabinet Ali Sastroamidjojo saat itu adalah kabinet hasil Pemilu 1955 yang demokratis. Jadi pemerintah di Jakarta waktu itu, dengan segala kekurangannya, sudah sah untuk disebut sebagai pemerintahan yang dipilih oleh rakyat secara bebas. Tetapi, tokoh- tokoh PRRI tidak sabar menunggu pemilu berikutnya untuk memperjuangkan kepentingan mereka. Sebaliknya, dengan ancaman bersenjata, dan dengan meminta bantuan senjata dari pihak asing, mereka ingin memaksakan kehendak serta menjatuhkan pemerintah pusat.
Sekali lagi, bayangkan bila hal demikian terjadi sekarang. Peran Masyumi pada 1950-an, katakanlah, dimainkan Poros Tengah saat ini, di bawah pimpinan Amien Rais. Mereka gagal memaksa Soekarno dan Hatta membubarkan kabinet, dan karena itu mereka ke Sumatra dan bergabung dengan para pimpinan militer di sana. Dari Padang kedua kubu ini lalu membubarkan pemerintahan sipil dan memberi ultimatum pada Soekarno disertai ancaman bersenjata dan ancaman untuk mendirikan negara di dalam negara.
Harus kita sebut sebagai apa peristiwa semacam itu" Apa yang akan diakibatkannya" Apakah gerakan demikian harus dipandang hanya sebagai gejolak lokal dan hasil pertikaian internal tentara yang tidak memiliki konsekuensi luas dan mendalam" Jika pemberontakan demikian terjadi sekarang, apakah negara sebagai sebuah kesatuan hukum dan teritorial memang tidak akan terancam"
Saya mengerti bahwa terhadap semua itu Asvi masih bisa berkata, pemberontakan daerah terjadi sebab tokoh-tokoh di daerah memiliki alasan kuat untuk melakukannya. Dalam hal ini Asvi menyinggung soal ketimpangan pusat dan daerah, atau Jawa dan luar Jawa. Asvi seolah ingin berkata, karena kuat dan sahnya alasan demikian, gerakan Permesta dan PRRI yang ingin mengoreksi berbagai ketimpangan yang ada antara pusat dan daerah, tidak dapat disebut sebagai pemberontakan yang mengancam negara dan menjatuhkan demokrasi.
Dengan cara ini, meski tidak dijelaskan secara eksplisit, Asvi ingin mengesampingkan pertimbangan mengenai metode penyelesaian masalah dan lebih menekankan soal substansi isu yang diperjuangkan para pentolan Permesta dan PRRI.
Bagi saya, pada tingkat tertentu, hal ini bisa diterima. Terhadap pemerintahan seperti dipimpin Hitler, Stalin, dan Pol Pot, misalnya, pemberontakan bersenjata menjadi sah dan perlu secara moral. Dalam hal ini, mereka yang memberontak terhadap Hitler di Jerman, Stalin di Uni Soviet, dan Pol Pot di Kamboja, tidak dapat dikatakan sebagai penghancur negara. Justru sebaliknya, mereka harus disebut patriot sejati, sebab tingkat kejahatan pemerintahan Hitler, Stalin, dan Pol Pot memang sudah luarbiasa besarnya.
Pertanyaan saya sekarang, tindakan apa dari pemerintahan Ali Sastroamidjojo yang sudah bisa digolongkan sebagai kejahatan yang mendekati tindakan Hitler di Jerman, misalnya, sehingga pemberontakan bersenjata PRRI sudah bisa dianggap sah secara moral" Pada periode 1950-an, adakah ketimpangan Jawa dan luar Jawa yang sudah sedemikian besar sehingga mekanisme-mekanisme politik yang demokratis tidak lagi bisa mengatasinya" Bila ketimpangan itu ada, apakah ia bagian rencana yang disengaja dari pemerintah pusat, atau ia terjadi bukan karena kesalahan siapapun"
Bagi saya, jawaban dari semua pertanyaan itu sudah jelas. Dalam soal ketimpangan ekonomi Jawa dan luar Jawa, misalnya, tidak ada indikator ekonomi pada periode itu yang mengatakan, persoalan yang ada sudah sedemikian parah. Waktu itu kita semua hampir
sama miskinnya. Memang, dalam periode 1952-1959 ada kecenderungan yang menunjukkan, secara relatif tingkat kesulitan ekonomi lebih meningkat di luar Jawa ketimbang di Jawa. Tetapi hal ini bukan kesalahan kabinet Ali Sastroamidjojo dan bukan pula bagian dari rencana jahat siapapun.
"Bonanza" ekonomi yang datang dari Perang Korea berakhir pada 1952, dan setelah itu pasar dunia bagi barang andalan ekspor kita yang banyak berasal dari luar Jawa, menurun drastis. Salah satu andalan ekspor ini adalah karet mentah, yang umumnya berasal dari Sumatra. Pada 1952 ekspor kita mencapai Rp2,5 miliar, tetapi pada 1958 angka ini hanya Rp1,7 miliar. Jadi tidak heran jika tokoh-tokoh di Sumatra mengeluh karena penghidupan rakyat di sana menjadi lebih susah (inilah sebenarnya yang menjadi sebab mengapa penyelundupan yang dilakukan tokoh-tokoh militer, merebak di daerah saat itu, lalu menambah ketegangan yang ada dengan pemerintah pusat).
Selain itu, kalaupun ada kesalahan yang bisa ditimpakan kepada pemerintahan di Jakarta, mungkin dapat ditemukan pada kebijakan untuk mempertahankan nilai tukar rupiah terhadap dollar. Selama delapan tahun (1952-1959) nilai dollar dipatok (satu dollar AS = Rp11,47), tanpa mempertimbangkan fluktuasi ekonomi internasional. Pada saat kinerja ekonomi me -nurun, nilai tukar rupiah secara riil (bukan nilai patokan pemerintah) ikut menurun. Sialnya, penurunan nilai tukar ini tidak diiringi peningkatan permintaan akan ekspor kita di luar negeri, seperti yang saya singgung di atas. Jadi, pengekspor produk-produk pertanian yang umumnya ada di luar Jawa seperti sudah jatuh dan tertimpa tangga pula.
Namun, betapapun kelirunya kebijakan semacam itu, ia bukan suatu hal yang harus diatasi dengan pemberontakan bersenjata dan pembentukan negara di dalam negara. Kesalahan semacam itu adalah kesalahan kebijakan biasa yang sangat umum dilakukan pemerintah di mana pun. Resep terbaik untuk mengatasinya adalah persuasi dalam mekanisme demokratis, bukan ultimatum dan aksi pemberontakan terhadap negara.
Jadi, kalaupun saya mencoba mengikuti alur pemikiran Asvi, saya tetap tidak menemukan alasan mengapa pemberontakan daerah pada kurun 1950-an harus "diromantisir" dan dianggap sah. Buat saya, landasan perjuangan Permesta dan PRRI keliru secara moral, dan metode penyelesaian persoalan yang mereka gunakan sangat berbahaya dan mengancam integritas negara secara sangat serius. Apa jadinya negeri kita jika setiap kesalahan kebijakan di Jakarta harus disusul dengan pembubaran pemerintahan lokal serta pemberlakukan undang-undang darurat secara sepihak di Makassar dan Padang"
Semua ini saya katakan bukan untuk membuka lagi luka lama atau untuk mengecilkan tokoh-tokoh penting seperti Mohammad Natsir, Prof. Sumitro Djojohadikusumo, dan Sjafruddin Prawiranegara. Secara pribadi saya amat menghargai tokoh-tokoh ini, meski saya juga menyadari kekurangan mereka. Saya hanya ingin agar kita menatap sejarah sebagaimana adanya, dan belajar dari kesalahan-kesalahan yang pernah terjadi.
18 September 2000 Teori dan Kerusuhan di Dua Kota
kerusuhan di Tasikmalaya dan Situbondo sudah selayaknya membuat kita menarik napas dalam-dalam. Dalam peristiwa ini ribuan orang menggelar "pengadilan jalanan" dan-memin-jam kata Kiai Makmun, tokoh pesantren di Tasikmalaya-meng-umbar nafsu angkara murka serta berkelakuan seperti binatang. Selama beberapa jam di dua kota ini situasi sosial berubah menjadi "situasi alamiah" ala Hobbes: manusia yang satu menjadi serigala bagi manusia lainnya.
Mengapa kerusuhan "primitif" ini muncul berturut-turut justru pada saat pertumbuhan ekonomi berlangsung pesat" Apakah kerusuhan ini menandakan memburuknya hubungan etno-religius di negeri kita" Seperti terbaca di berbagai media, jawaban paling populer yang diberikan para pengamat, aktivis, dan pejabat terhadap kedua pertanyaan ini, sederhananya, dapat disebut sebagai teori kesenjangan.
Menurut teori ini, akar persoalan kerusuhan sosial di dua kota itu adalah kesenjangan sosial-ekonomi yang makin melebar. Pembangunan ekonomi di bawah Orde Baru memang sa
ngat berhasil. Tapi, menurut teori ini, hasil pembangunan hanya dinikmati segelintir kalangan. Mayoritas masyarakat hanya mendapat tetesannya.
Dalam teori ini, "mayoritas" yang tersisih itu adalah umat Islam dan pribumi, sedangkan yang "segelintir kalangan" adalah kaum non-Islam dan non-pri. Ini berarti kesenjangan so-sial-ekonomi yang melebar itu berimpitan dengan perbedaan etnik dan religius. Perimpitan semacam inilah yang melahirkan potensi kecemburuan sosial yang sangat tajam. Jika potensi demikian sudah muncul, maka kita tinggal mencari faktor pemicu kecil bagi lahirnya kerusuhan besar. Dengan demikian, bagi teori ini, nuansa dan pengungkapan etno-religius dari kerusuhan di Situbondo dan Tasikmalaya hanyalah bentuk luarnya. Akar persoalannya terletak pada realitas "obyektif": pada kondisi sosial-ekonomi kita yang makin timpang.
Buat saya, teori ini memang cukup mudah dimengerti sesuai dengan popular sentiment yang ada dalam masyarakat kita, karena itu sangat gampang menjadi teori yang dominan. Tapi justru karena itu pula kita harus hati-hati dan melontarkan beberapa pertanyaan. Setidaknya ada beberapa hal yang membuat saya ragu atas teori ini.
Pertama, kalau teori ini benar, maka kita bisa bertanya: kenapa kerusuhan itu justru terjadi di Situbondo dan Tasikmalaya" Kenapa bukan di Jakarta dan Surabaya" Di dua kota ini, terlebih Jakarta, ekses-ekses ketimpangan hidup berdampingan sangat ekstrem. Kalau dibandingkan dengan Jakarta, maka Tasikmalaya, dengan cuaca pegunungannya yang sejuk, mungkin dapat disebut sebagai civitas dei-nya Santo Agustinus, kota utopia yang bersih dari keserakahan. Sebaliknya, Jakarta adalah "surganya" ketimpangan dan keberlebihan dalam segala hal.
Singkatnya, kalau teori kesenjangan benar, maka Jakarta mestinya sudah lama porak-poranda dilanda kerusuhan massa.
Kedua, teori ini bersandar pada sebuah asumsi yang akhir-akhir ini jarang dipertanyakan lagi, yaitu bahwa kesenjangan sosial-ekonomi dalam masyarakat kita meningkat tajam. Dari fakta yang ada, asumsi semacam ini patut diragukan, atau paling tidak diperdebatkan lebih-jauh. Kalau kita amati kecenderungan dalam Index Gini sejak 1969 hingga 1993, angka-angka yang tampak tak banyak berubah. Pada 1969-1970, misalnya, rasionya 0,34%; pada 1981 0,33%, dan pada 1993 0,34%. Ini berarti, dari ukuran tertentu (dalam hal ini indeks pengeluaran rumahtangga dari hasil survei nasional), dalam realitas ketimpangan kita tak terjadi perubahan berarti selama 20 tahun ini. Kita tak lebih timpang, atau lebih merata, akibat pertumbuhan ekonomi yang pesat.
Tentu, kalau memakai ukuran yang berbeda, kesimpulan berbeda dapat pula dimunculkan. Kita mungkin akan tiba pada angka-angka yang sedikit lebih kecil atau sedikit lebih besar. Namun saya kira akan sangat sulit mencari dukungan faktual dan dapat diuji secara akademis bagi asumsi bahwa realitas ketimpangan kita "meningkat tajam".
Dua alasan ini memang belum memadai untuk menolak samasekali teori kesenjangan itu. Yang penting adalah, untuk memahami peristiwa penting seperti di Situbondo dan Tasikmalaya itu, kita jangan terpaku sepenuhnya pada sebuah penjelasan yang tampaknya "sudah benar". Kita juga harus membuka diri pada teori yang berbeda, bahkan mungkin berlawanan dengan apa yang ingin kita percayai.
Dalam hal ini teori lain yang patut dipikirkan adalah teori yang lebih bersifat psikologis-kultural. Teori ini menerima kenyataan babwa memang ketegangan etno-religius masih hidup subur dalam masyarakat kita. Kita masih memandang manusia lain berdasarkan asal-usulnya, kelompoknya, sukunya, dan agamanya. Kita belum memandang seseorang sebagai individu, sebagai si Ruly atau si Tuti, melainkan sebagai "keturunan asing", atau "Islam", atau "pribumi". Lebih jauh lagi, akhir-akhir ini melalui kebijakan publik dalam beberapa bidang kehidupan (misalnya perkawinan dan distribusi ekonomi), kita cenderung mendorong terjadinya proses institusionalisasi bagi cara pandang semacam ini.
Bagi teori ini, dengan kata lain, akar persoalan kerusuhan sosial seperti di Situbondo dan Tasikmalaya harus dicari pa
da dimensi yang lebih bersifat subyektif. Dalam hal ini kita harus melihat bagaimana pendidikan civic diberikan dalam bentuk indoktrinasi yang membosankan sejak SD hingga universitas, dalam dogmatisme pendidikan agama, dalam retorika yang digunakan pemimpin, dalam pencarian legitimasi bagi sebuah negara nasional, dan masih banyak lagi.
Semua ini tentu saja tak harus benar dan relevan. Mungkin setelah kita teliti dan diskusikan, penjelasan lain akan muncul dan secara empiris lebih meyakinkan. Karena itu pula saat ini kita sangat membutuhkan perdebatan dan diskusi-diskusi publik yang terbuka terhadap berbagai persoalan mendasar dalam masyarakat kita. Kita harus mengerti apa yang terjadi, dan dari situ kita baru bisa mengambil langkah untuk mengatasinya. Kalau semua ini tak kita lakukan, haruskah kita menunggu peristiwa-perisiwa lain yang lebih besar, yang bisa merontokkan dasar-dasar kebangsaan kita"
11 Januari 1997 Jalan Skotlandia Buat Aceh
masalah aceh makin rumit. Kalau memang benar para pelaku rangkaian pengeboman di Jakarta belakangan ini terkait, langsung atau tidak, dengan gerakan separatisme di Tanah Rencong, maka kompleksitas masalah yang ada sekarang sudah berkembang dua atau tiga tingkat lebih tinggi.
Singkatnya, masalah Aceh akan berkembang sebagaimana yang sudah terjadi dalam hubungan antara Inggris dan Irlandia Utara, lengkap dengan rangkaian teror dan pengeboman yang terjadi terus-menerus, dari satu generasi ke generasi berikutnya. Masalah di Irlandia Utara ini sudah berumur hampir seabad, tapi sampai sekarang darah masih saja tumpah, sementara peluang perdamaian masih simpang-siur.
Sangatlah tragis kalau sejarah Aceh akan mengarah ke jalan buntu seperti itu, karena yang paling merugi justru rakyat Aceh sendiri.
Buat saya, cara terbaik bagi Aceh untuk menghindari kebuntuan sejarah demikian adalah dengan membanting setir dan memilih "Jalan Skotlandia".
Orang Skot, seperti juga orang Irlandia dan orang Aceh, adalah pemuja independensi dan sangat bangga akan keagungan subkultur mereka. Orang Skot dan orang Irish punya sejarah panjang menentang hegemoni Inggris, negeri tetangga mereka yang lebih besar dan lebih kuat. Keduanya merasa tertindas, dan karena itu mereka membenci segala sesuatu yang berbau Inggris. Mereka ingin "merdeka", dan dari satu generasi ke generasi lainnya mereka melawan dengan pedang. Film Braveheart, yang dibintangi Mel Gibson dan Sophie Marceau, dengan sangat bagus menggambarkan heroisme, sekaligus tragedi, orang Skot pada akhir abad ke-13 dalam melakukan perlawanan.
Walaupun memiliki tradisi perlawanan yang sama, pada awal abad ke-18 Skotlandia dan Irlandia kemudian memilih jalan yang berbeda, bahkan bertolak belakang. Orang Skot mengubah metode perjuangan, dan secara sadar memilih jalan unifikasi. Mereka memutuskan tradisi dan melupakan mimpi untuk membentuk negara sendiri. Mereka justru ingin memakai Inggris, yang waktu itu sedang berkembang pesat, untuk mencapai tujuan-tujuan besar "non-politis", seperti pengembangan ekonomi, kebudayaan, dan ilmu pengetahuan. Energi mereka yang besar mereka alihkan, dari energi perlawanan menjadi energi pembangunan.
Hasilnya" Ekonomi Skotlandia maju pesat. Dunia industri mereka meroket. James Watt, penemu mesin uap itu, adalah salah satu "produk" yang gemilang dari strategi perjuangan baru ini. Dalam soal kebudayaan dan keilmuan, hasilnya lebih dahsyat lagi.
Di bidang ilmu alam, lahir Lord Kelvin, salah satu motor ilmu fisika pasca- Newton. Dalam ilmu ekonomi, muncul Adam Smith, yang kerap dianggap sebagai bapak ilmu ekonomi modern. Dalam filsafat dan pemikiran kebudayaan, lahir David Hume dan Adam Ferguson. Secara bersama-sama mereka membuat Mazhab Skotlandia, yang dikenal luas sebagai salah satu penyumbang terpenting dalam dunia pemikiran modern yang dampaknya masih terus terasa hingga kini di semua belahan dunia.
Pada akhir abad ke-18, universitas-universitas terkemuka di Edinburgh dan Glasgow, dua kota terbesar Skotlandia, menjadi perguruan-perguruan terbaik di Eropa. Dan pada zaman itu, banyak anak kaum
aristokrat Inggris yang dikirim ke Skot-landia untuk mendapatkan pendidikan terbaik-sebuah bukti bahwa bangsa Skot sudah berhasil menaklukkan penakluk mereka, on their own terms.
Berbeda dengan orang Skot, orang Irlandia tetap setia pada tradisi dan cita-cita yang mereka warisi turun-temurun. Mereka tetap berjuang dan melawan. Hasilnya" Sebagian orang Irish di Selatan memang sudah berhasil membuat negara mereka sendiri yang terlepas dari kekuasaan Inggris. Tapi sebagian lagi, di Utara, masih terus berjuang dan menumpahkan darah hingga hari ini. Dan di Selatan ataupun di Utara, tidak pernah lahir seorang James Watt, atau Adam Smith, atau David Hume.
Orang Skot berhak untuk bertepuk dada sambil berkata, "Kami bangsa besar. Sebab, kami sudah menyumbang banyak bagi berkembangnya peradaban dunia." Apa yang bisa dikatakan oleh orang Irish" Mungkin: "Kami bangsa tangguh. Sebab, kami telah menumpahkan banyak darah dan mempersembahkan anak-anak kami untuk menolak hegemoni Inggris."
Saya kira kita tahu kebanggaan mana yang lebih bermakna. Kembali ke soal Aceh. Kalau suku bangsa yang terkenal keras dan tangguh di ujung barat Nusantara ini salah memilih jalan, yaitu Jalan Irlandia, bisa dibayangkan bahwa 50 tahun dari sekarang pun situasi yang ada di sana belum akan banyak berubah. Mudah-mudahan saya keliru, tapi dalam hal ini sejarah sudah cukup memberi pelajaran.
Karena itu, lebih baik Aceh banting setir. Lupakan soal pembentukan negara. Persetankan mimpi-mimpi Sultan Iskan-dar Muda untuk mempersatukan Sumatra. Lupakan semua itu. Dan mulai sekarang, Aceh, dengan 70 persen uang gas dan minyak yang bisa mereka miliki sendiri, bisa membangun rakyatnya dalam dunia ekonomi, kebudayaan, dan ilmu pengetahuan. Siapa tahu akan lahir James Watt dan Adam Smith dari Serambi Mekah.
8 Oktober 2000 Jalan California Buat Papua
(Catatan buat Prof. Liddle dan Kawannya)
RUPANYA SEDANG TERJADI dialog hangat antara Prof. William Liddle dan seorang kawannya. Dialog Ohio-Jakarta ini tepat waktu, sebab memang masalah Papua sedang menjadi kontroversi. Banyak orang ingin tahu, bagaimana sebenarnya persoalan di provinsi paling timur ini harus dimengerti dalam keseluruhannya.
Di harian ini Liddle berkata, ia terperangah mendengar gagasan kawannya (Panggilan Sejarah, 30/8/03). Apa pasal" Menurut sang kawan, Papua harus dibangun dengan "strategi California". Daerah ini harus dimekarkan dan dibuka sepenuhnya bagi kaum pendatang, bila perlu dengan subsidi pemerintah.
Hanya cara itulah yang dapat mengubah Papua, dari daerah tertinggal menjadi kawasan maju yang penuh pesona, seperti California bagi AS. Seratus tahun lalu, wilayah di Pantai Barat ini masih merupakan daerah terbelakang, the wild wild west. Kini, ia menjadi raksasa ekonomi, dilengkapi Silicon Valley dan Hollywood yang menjadi simbol kreativitas ilmu dan kebudayaan manusia.
California bisa, mengapa Papua tidak" Yang membuat Liddle terperangah adalah metode yang ditawarkan sang kawan.
Metode ini agak berbau politically incorrect, tabu di telinga "pengamat dan pemain internasional" yang banyak dikenalnya.
Liddle memberi peringatan dari masa lalu. Orang Papua, kata Liddle, jangan sampai bernasib seperti Orang Indian di Amerika. Ekspansi ke barat memang membesarkan Amerika, namun mematikan kehidupan orang Indian.
Inilah yang dikhawatirkan Liddle. Ia mengimbau agar masalah ini cepat diselesaikan lewat program kemitraan baru.
Imbauan Liddle itu patut didengarkan. Tetapi, mungkin yang lebih penting untuk dijawab lebih dulu adalah: Betulkah argumen yang disampaikan kawan Liddle" Mengapa Liddle harus terperangah" Bila usulan kawannya itu keliru, di mana letak kekeliruannya"
Kalau boleh memberi sedikit catatan dalam dialog antara Liddle dan kawannya, saya ingin mulai dengan asumsi yang melandasi pandangan kaum pengamat dan aktivis pembela Papua, sebuah pandangan yang politically correct.
Dalam pandangan ini, orang Papua dianggap lebih berhak atas tanah Papua ketimbang pendatang. Mereka adalah tuan di tanah itu, dan karena itu harus memperoleh keistimewaan yan
g sesuai. Dalam tulisannya, Liddle tidak menjelaskan dasar pandangannya. Kebenaran pandangan ini sudah dianggap jelas, karena itu tidak perlu diuraikan lagi.
Namun, betulkah itu" John Quincy Adams, Presiden ke-6 AS, pernah bertanya, "But what is the right of the huntsman to the forest of a thousand miles over which he has accidentally ranged in quest of prey"' Adams berbicara soal orang Indian, tetapi pertanyaannya cukup relevan bagi kita kini. Jawabannya tidak semudah yang diasumsikan kaum yang mengaku sebagai pembela Papua.
Secara keseluruhan Tanah Papua seluas 414.000 km2. Sebagian kecil tanah ini, katakanlah 10 persen, dapat dianggap sebagai tanah adat buat sekitar 1,5 juta penduduk asli yang terbagi dalam ratusan suku. Dengan porsi tanah 10 persen pun, tingkat densitas bagi seluruh suku yang ada masih berkisar 37 jiwa/km2. Jadi, hampir sama dengan densitas di Sulawesi Tengah dan Kalimantan Barat, dua daerah yang masih kekurangan penduduk.
Sebenarnya, eksistensi tanah adat masih bisa dipertanyakan. Asumsi di baliknya amat komunalistik. Siapa yang menguasai tanah adat" Kepala suku, pentolan-pentolan suku, dukun" Bisakah tanah ini ditransfer secara sah dalam proses jual-beli" Tetapi, kalau pun kita lewatkan pertanyaan demikian dan untuk sementara menerima eksistensi tanah adat, porsi 10 persen pun sudah menciptakan keleluasaan yang jauh di atas daerah seperti Jabar yang memiliki densitas 1.047 jiwa/km2.
Bila penduduk asli dianggap memiliki lebih dari itu, katakanlah 20 persen, saya kira masih masuk akal. Namun, bila lebih dari itu" 50 persen" Seluruh Tanah Papua" Di sinilah pertanyaan John Quincy Adams, dalam bentuknya yang lain, harus dijawab: kalau kebetulan puncak sebuah gunung terlihat dari tempat perburuan sebuah suku, berhakkah suku itu mengklaim gunung itu sebagai miliknya" Kalau dianggap berhak, apa dasarnya"
Di luar tanah adat hanya ada dua jenis pemilikan, tanah milik negara (dalam hal ini, negara mewakili seluruh wargane-gara, termasuk penduduk asli Papua) dan milik pribadi. Dalam dua kawasan inilah pertimbangan yang digunakan harus sepenuhnya berdasarkan konteks Indonesia, bukan Papua semata.
Beberapa aspek dari pertimbangan itu berkait densitas penduduk, potensi alam dan kebutuhan akan lahan garapan. Bukankah amat tidak adil jika jutaan penduduk miskin di Jabar yang sesak tidak boleh atau dipersulit mencari hidup di lahan kosong di Papua"
Migrasi tidak boleh dipaksakan. Tetapi bila penduduk miskin di suatu provinsi padat memang mau untuk itu, pemerintah wajib membantu mereka sejauh mungkin, misalnya dengan memberi lahan gratis.
Itulah yang dimaksud kawan Liddle sebagai jalan California. Saya kira sang kawan benar. Papua harus dibuka seluas-luasnya, dan metode pemekaran wilayah administrasi dari satu menjadi tiga, bahkan enam provinsi adalah konsekuensi dari kebutuhan praktis yang ada.
Sejauh ini, kemajuan Papua lebih banyak dilihat dalam perspektif pembagian hasil antara pusat dan daerah. Pembagian hasil yang lebih tinggi akan membuat penduduk asli seketika lebih makmur. Saya setuju jika ini terjadi. Tetapi, saya kira Liddle sepakat, kemajuan sebuah masyarakat pada hakikatnya tidak terletak di sana. Emas dapat menjadi rahmat, tetapi sekaligus kutukan.
Warga Papua, seperti warga lain, harus menjadi modern. Dengan potensi manusia yang ada kini, jalan ke modernitas hanya dapat terjadi jika pintu bagi daerah ini terbuka luas bagi pendatang. Konflik dan kompetisi pasti terjadi. Tetapi, itulah yang dapat memicu mereka untuk beradaptasi dengan zaman. Adapt or perish: inilah kehendak sejarah yang berlaku di mana pun, termasuk Papua.
Bila kenyataan itu ditutupi dengan argumen moral sentimental, kita sebenarnya sedang menggiring warga Papua hidup bagai di "kebun binatang". Haruskah mereka terus hidup di gunung dan lembah, tanpa perlu tahu dunia bergerak cepat"
Catatan akhir yang ingin saya singgung adalah analogi nasib warga asli Papua dan orang Indian, meski tidak tepat betul. Sebanyak 13 koloni yang pertama kali merdeka di AS awalnya tidak memiliki batas wilayah jelas. Thomas
Jefferson, presiden ke-3 AS, bahkan pernah berpikir untuk memberi pengakuan kedaulatan bagi suku Comanche, Pawnee, dan Apache yang bermukim di barat sungai Mississippi.
Saat Louisiana dibeli dari Prancis pada 1803, yang melipatgandakan wilayah legal AS, tidak ada keterangan tentang batas tanah dalam dokumen pembelian. Karena itu, masalah penguasaan tanah adalah persoalan pelik. Ekspansi ke Barat, Manifest Destiny, harus melewati wilayah suku-suku Indian, yang selalu memaksa negeri Paman Sam itu berhadapan dengan masalah yang sama hingga akhir abad ke-19.
Indonesia lebih beruntung, karena lahir pada pertengahan abad ke- 20. Ia lahir dengan batas wilayah jelas, setidaknya hampir seluruhnya, dan karena itu ekspansi ke mana pun tidak lagi menjadi keharusan. Destiny negeri ini sudah terjamin dalam batas wilayah yang sudah ada dan diakui dunia.
Analogi Liddle tentu tidak sepenuhnya keliru. Keprihatinan yang ada di baliknya perlu didengarkan. Warga Papua tidak boleh mengalami nasib seperti orang Indian, yang dalam kehidupan Amerika modern hanya menjadi catatan kaki yang menyedihkan. Cuma masalahnya, apakah keprihatinan demikian harus menjadikan kita sentimental" Bagi saya, ia justru harus menjadi pemicu agar kita memandang ke depan, mengajak warga Papua berani melihat kenyataan. Masa lalu adalah pelajaran, bukan tujuan perjalanan.
5 September 2003 Aceh, Ujian Pertama dan Terakhir
dengan diselenggarakannya rapat raksasa proreferendum di Banda Aceh yang berlangsung 8 November lalu, kini sikap sebagian besar masyarakat di Negeri Rencong ini sudah semakin jelas. Mereka menuntut agar diberi hak untuk memutuskan apakah ingin terus bersama Indonesia atau membentuk negara sendiri yang merdeka dan berdaulat penuh.
Apakah tuntutan itu harus dipenuhi" Apakah sudah saatnya sekarang ini bagi kita untuk mempertaruhkan keutuhan Indonesia dan menghadapi setiap kemungkinan yang menyertainya"
Kita harus berpikir matang dan mendalam untuk menjawabnya. Saya sendiri cenderung berpendapat bahwa kita harus menegaskan sejelas-jelasnya pada kaum proreferendum di Aceh bahwa keutuhan teritorial Indonesia sudah final. Sistem pemerintahan, hubungan pusat-daerah (otonomi khusus, negara federal, atau status quo) dan sebagainya bisa didiskusikan bersama dengan beragam cara, tetapi semua ini harus tetap berada dalam sebuah sistem besar yang kita sebut Republik Indonesia.
*** Pendapat saya ini didasarkan pada dua alasan. Pertama, hak atas referendum bukanlah bagian dari hak-hak asasi atau hak-hak demokrasi. Tuntutan kebebasan manusia berbeda secara mendasar dengan tuntutan pembentukan negara. Yang pertama adalah hak yang secara hakiki melekat pada manusia sebagai individu. Yang kedua adalah hak yang lebih bersifat konvensional, dan karena itu sangat bergantung pada konteks politik, sejarah, dan keseimbangan kekuatan di mana tuntutan itu dilontarkan.
Karena itu, agak keliru jika kita berkata bahwa penyelenggaraan referendum di Aceh adalah manifestasi dari hak-hak asasi warga masyarakat di sana. Setiap warga Aceh, sebagaimana juga warga lainnya, tentu saja berhak mendapatkan kebebasan berbicara, berorganisasi, mendapatkan persamaan di depan hukum, dan sebagainya. Tetapi, dari segi prinsipiil, pada setiap warganegara tidak melekat hak untuk membentuk negara sesuai dengan kehendak mereka sendiri.
Kalau prinsip yang mendasari referendum dijalankan secara konsekuen, maka pada ujungnya yang terjadi adalah situasi anarkis, di mana setiap kelompok-mungkin berdasarkan etnis, mungkin agama, mungkin kelompok bahasa, atau apa saja-boleh membentuk negara kapan pun mereka kehendaki. Bumi ini akan menjadi semakin sempit dan penuh konflik jika setiap kaum yang berbeda menjadikan perbedaan mereka sebagai alasan untuk membentuk negara sendiri.
*** Alasan saya yang kedua dan yang lebih penting adalah konsekuensi kemerdekaan Aceh terhadap kondisi politik di Indonesia. Jika lepasnya Timtim adalah akhir bagi sebuah persoalan yang mengganggu Indonesia selama dua dekade terakhir, maka lepasnya Aceh akan berakibat sebaliknya. Ia buat I
ndonesia adalah awal bagi sebuah persoalan dahsyat yang justru secara potensial jauh lebih berbahaya ketimbang apa yang sekarang terjadi di Aceh.
Kalau sekarang Aceh lepas, maka terhadap daerah lain yang juga meminta hal yang sama (Riau, Irian Jaya, Maluku, dan Sulawesi Selatan, misalnya), kita tidak lagi punya argumen apapun untuk membendungnya. Dalam soal keutuhan Indonesia, Aceh adalah ujian pertama dan terakhir sekaligus.
Saat ini kita tidak bisa meramalkan berapa banyak negara yang akan muncul dari serpihan-serpihan Indonesia. Yang jelas, jika Balkanisasi terjadi, basis -basis konflik justru akan meluas secara simultan, seperti yang sudah kita saksikan di Yugoslavia dan beberapa negara pasca-komunis lainnya.
Rumit dan dalamnya konflik yang akan terjadi dalam si -tuasi "pasca-Indonesia" bisa dilihat misalnya di Sulawesi Selatan (Sulsel), sebuah daerah yang, seperti di Aceh, juga punya semangat kedaerahan yang kental. Di daerah ini ada sebuah hal yang tidak pernah diungkapkan secara terbuka; suku Bugis tidak akan pernah mau tunduk di bawah kekuasaan suku Makassar dan sebaliknya. Lebih jauh lagi, terhadap kedua suku besar ini suku-suku yang lebih kecil, seperti suku Mandar dan Toraja, belum tentu dengan suka rela mau menjadi bagian dari sebuah Republik Bugis-Makassar.
Di samping itu, di dalam suku Bugis pun, terjadi berbagai perpecahan (Luwu, Bone, Wajo) yang secara historis hanya pernah bersatu jika ada lawan bersama (kerajaan Gowa-Makassar) atau disatukan di bawah tekanan dari penguasa yang kuat, yaitu Belanda (VOC) dan Arung Palakka.
Selama ini di Sulsel, konflik-konflik lokal tidak pernah mencuat karena adanya sebuah payung bersama yang kokoh, yaitu Republik Indonesia. Tetapi jika payung ini dilepas, saya tidak melihat alasan mengapa konflik-konflik lokal yang historis itu tidak akan mencuat kembali, sebuah hal yang pasti mengejutkan para mahasiswa romantik "prokemerdekaan" di Makassar yang mungkin belum belajar tentang sejarah mereka sendiri.
Setiap orang yang mengerti sejarah dan sosiologi masyarakat Indonesia akan tahu bahwa potensi konflik-konflik lokal bukan cuma ada di Sulsel. Di setiap daerah, hal itu bersembunyi di balik permukaan. Bahkan di beberapa daerah, seperti di Ambon dan Pontianak, ia sudah mencuat dan meminta korban darah yang tidak sedikit.
Terhadap semua itu harus kita tambahkan lagi berbagai kemungkinan konflik antara negara-negara "pasca-Indonesia" itu sendiri, antara Republik Riau dan Republik Bugis-Makassar, misalnya. Negara-negara ini, antara lain, akan berhadapan dengan soal pelik yang berhubungan dengan distribusi kantung-kantung penduduk yang sudah telanjur tersebar. Orang Bugis, misalnya, sudah berada di hampir segala penjuru Nusantara, dan telah membuat kampung-kampung Bugis di hampir semua kota besar kita.
Harus diapakan mereka oleh Negara Maluku, Negara Riau, Negara Aceh dan sebagainya itu" Di Yugoslavia, bahkan di Eropa selama ratusan tahun, persoalan kantung-kantung penduduk inilah yang (sering) menjadi salah satu dasar konflik dan peperangan yang berlarut-larut. Apakah hal yang sama tidak akan terjadi di Sumatra dan daerah lainnya"
Singkatnya, di ujung Balkanisasi Indonesia, yang menunggu bukanlah firdaus kemerdekaan, tetapi sebuah proses rumit yang bisa sangat berdarah dan berlarut-larut. Situasi anarkis di Timtim pasca-referendum beberapa saat lalu mungkin akan kelihatan cukup tenteram jika kita bandingkan dengan kemungkinan yang akan kita hadapi.
*** Oleh karena semua itulah, saya harap Gus Dur, Megawati, Amien Rais dan tokoh-tokoh yang saat ini memegang biduk republik, hendaknya berpikir berkali-kali sebelum memutuskan pemberian referendum di Aceh. Tentu saja pertanyaannya kemudian adalah, kalau bukan referendum, lalu apa"
Melihat semangat rakyat Aceh sekarang, kelihatannya mereka akan berkata bahwa referendum adalah harga mati. Tentu saja kita semua berharap bahwa dalam waktu dekat ini rakyat Aceh akan berubah pikiran. Pemerintahan Gus Dur saat ini harus berusaha sekuat mungkin untuk meyakinkan rakyat Aceh bahwa Indonesia bukanlah sebatas Or
de Baru atau Orde lama, tetapi lebih merupakan sebuah upaya terus-menerus untuk merealisasikan gagasan tentang kebebasan dan keadilan bagi setiap warganegara dari Sabang sampai Merauke. Gus Dur, dengan segenap kemampuan yang dimilikinya, harus membujuk dan memohon pada rakyat Aceh untuk tetap menjadi bagian Indonesia.
Namun, kalau setelah semua usaha dilakukan dan kaum proreferendum masih tetap pada pendirian mereka, maka sejak sekarang kita harus bersiap untuk dihadapkan pada pilihan yang sangat sulit: referendum atau perang (atau kalau diperhalus, aksi bersenjata menumpas separatisme). Dalam suasana seperti sekarang, pilihan ini mungkin tidak begitu nyaman bahkan untuk didiskusikan sekalipun. Tetapi kita harus jujur dan berani menghadapi kenyataan. Pada saatnya nanti, kita tidak mungkin lagi menyembunyikan pilihan ini di bawah karpet terus-menerus.
Pilihan seperti itu adalah pilihan antara yang buruk dan yang buruk. Kita tentu harus memilih kemungkinan buruk yang minimal. Dan buat saya, proses Balkanisasi Indonesia beserta semua kemungkinan pertikaian terbuka dan kekacauan yang akan menyertainya, adalah kemungkinan paling buruk yang harus kita hindari.
20 November 1999 Konflik Maluku dan Reorientasi Ilmu Sosial
konflik antaragama di maluku telah berlangsung setahun lebih. Korban yang tewas sudah lebih seribu jiwa, sementara jumlah penduduk yang terpaksa mengungsi, menurut kabar terakhir, setidaknya sudah dua ratus ribu orang. Hingga sekarang tanda-tanda perdamaian masih simpang-siur.
Kita juga tahu bahwa bukan cuma di Maluku hal demikian pernah terjadi. Di beberapa daerah bentuk dan skala konflik memang berbeda-beda, tetapi tingkat keberingasan berbagai konflik itu hampir sama. Satu kelompok menyerang, membakar, atau membantai kelompok lain. Lupus est homo homini, manusia yang satu menjadi serigala bagi manusia lainnya.
Pertanyaan Tak Terjawab Bagaimana kita menjelaskan munculnya konflik-konflik itu" Mengapa saat ini berbagai kelompok dalam masyarakat begitu garang terhadap kelompok lainnya" Kenapa perseteruan atas dasar agama dan etnik kembali bermunculan seperti cendawan di musim hujan, baik di pelosok-pelosok desa maupun di kota-kota yang relatif besar seperti Ambon, Sambas, bahkan Jakarta" Mengapa ia terjadi sekarang, sebuah periode di mana justru Sang Demos harus bersuka-cita menyambut datangnya era baru dan lepasnya mereka dari belenggu sistem otoriter"
Pertanyaan-pertanyaan seperti itu sangat penting untuk dijawab sekarang. Dalam jangka panjang, berbagai persoalan yang ada akan sulit diselesaikan secara tuntas kalau kita tidak mengerti apa yang sesungguhnya terjadi, apa penyebabnya, dan bagaimana proses terjadinya. Tanpa penyelesaian yang tuntas, konflik-konflik seperti itu, seperti kata Goenawan Mohamad beberapa saat lalu, pada akhirnya akan melemahkan dasar-dasar sistem demokrasi yang baru saja mulai kita kembangkan. Masyarakat akan kecewa pada demokrasi, dan diam-diam mulai merindukan kembalinya zaman lama yang tenteram dan teratur.
Namun sayangnya, kalau kita membaca berbagai media massa dalam setahun terakhir ini, bahkan sejak beberapa tahun sebelumnya saat berbagai konflik semacam itu mulai bermunculan, di Situbondo dan Tasikmalaya misalnya, penjelasan-penjelasan yang ada sangat lemah dan cenderung berputar-putar di tempat.
Dari segi tanggungjawab keilmuan, kaum ilmuwan sosiallah yang sebenarnya harus tampil ke depan dan memberi jawaban-jawaban yang memuaskan. Tetapi sampai sekarang semua itu masih berupa harapan. Ironisnya, banyak di antara mereka malah mengambil jalan pintas dengan ikut-ikutan memakai teori konspirasi dan menyerukan adanya hantu-hantu provokator di balik segala perkara yang kita hadapi. Penjelasan seperti ini hanya mencerminkan kemalasan berpikir dan secara politik sebenarnya cukup berbahaya, sebab ia justru semakin mendorong terciptanya sebuah situasi di mana setiap orang akan saling menuduh dan mencurigai.
Ilmuwan sosial memang telah berusaha mendudukkan masalah dengan lebih baik. Tetapi penjelasan-penjelasan yang dikemukakan terus mengulan
g apa yang sudah dikatakan berkali-kali. Mereka cenderung berkata bahwa akar masalah segala perkara yang ada terletak pada soal kesenjangan ekonomi, keadilan, atau pengalaman penindasan di masa orde Baru. Tema-tema semacam inilah yang terus di bolak-balik tanpa dirinci lebih jauh.
Lebih jauh lagi, dihadapkan pada fakta-fakta sederhana, jawaban-jawaban seperti itu dengan cukup mudah bisa ditolak. Misalnya, dari fakta umum menurut indikator tertentu (Indeks Gini) kita tahu bahwa selama 25 tahun terakhir, sebelum jatuhnya Soeharto, distribusi ekonomi cenderung konstan, tidak membaik atau memburuk, berkisar antara 0,32 dan 0,35. Dalam soal ini, seorang ekonom kawakan Australia, Prof. Hal Hill, pernah berkata bahwa apa yang dicapai oleh pemerintahan Orde Baru selama lebih dari dua dekade merupakan a resounding success.
Selain itu kita juga tahu bahwa persoalan kesenjangan justru lebih tajam di kota-kota besar, bukan di daerah-daerah rawan konflik seperti Ambon, Ternate, Sambas, Tasikmalaya, dan Situbondo. Dan selama krisis ekonomi dalam dua tahun terakhir, justru daerah yang jauh dari pusat-pusat industri dan perdagangan, seperti Halmahera dan Kepulauan Maluku umumnya, yang secara relatif diuntungkan, sebab basis perekonomian mereka masih sangat bersifat agraris.
Tentu saja para ilmuwan sosial penganut penjelasan kesenjangan ekonomi masih bisa berkelit. Mereka, misalnya, bisa berargumen bahwa jika indikator yang digunakan berbeda, kesenjangan ekonomi di mana konflik sosial terjadi sebenarnya memburuk. Namun soalnya adalah kaum ilmuwan yang berpendapat begini tidak pernah memberi penjelasan terinci apa yang mereka maksudkan dengan indikator alternatif itu dan bagaimana ia dihubungkan dengan konflik-konflik etnoreligius.
Katakanlah konsentrasi ekonomi, atau yang lebih spesifik lagi, akses ke dalam dunia perbankan lokal adalah yang dimaksudkan sebagai indikator alternatif itu. Tetapi adakah seorang ilmuwan sosial yang pernah mencoba memberi penjelasan empiris tentang indikator-indikator seperti ini di Maluku" Apakah mereka sudah mencoba membuktikan bahwa kelompok Islam di Ambon misalnya, sudah semakin menguasai akses dunia perbankan lokal, dan karena itu memicu perasaan penolakan dari kaum Kristen yang mayoritas" Sejak terjadi di Situbondo dan Tasikmalaya beberapa tahun lalu, pernahkah para ilmuwan sosial penganut penjelasan kesenjangan ekonomi berusaha mengumpulkan fakta-fakta di lapangan yang bisa mendukung argumen mereka" Saya khawatir jawaban terhadap semua pertanyaan ini adalah negatif, tidak jauh berbeda.
Kaum ilmuwan sosial penganut penjelasan "semua kesalahan Orde Baru" pun tidak jauh berbeda. Berbagai jawaban yang mereka kemukakan terlalu bersifat umum dan cenderung hanya menghujat masa lalu secara agak sembrono. Mereka sering lupa bahwa buat seorang ilmuwan sikap kritis dan penolakan terhadap represi politik adalah satu hal, dan upaya untuk menerangkan peristiwa-peristiwa sosial secara obyektif adalah hal lain lagi. Dari mereka kita akan sukar mengerti persisnya tindakan kesalahan seperti apa dari pemerintahan Soeharto yang berhubungan langsung dengan berbagai kerusuhan akhir-akhir ini.
Katakanlah kita sepakat bahwa salah satu kesalahan besar Orde Baru adalah represi militer yang berlangsung bertahun-tahun. Secara logis kita juga bisa memperkirakan bahwa tingkat represi semacam ini bervariasi di berbagai kota dan daerah, tergantung pada kemungkinan tantangan dan perlawanan yang dapat diberikan oleh penduduk di kota itu. Jadi di Surabaya, misalnya, sebuah kota besar dengan aktivitas buruh, mahasiswa, dan kelas menengah yang cukup dinamis, tingkat represi militer cenderung lebih tinggi ketimbang di Ternate, Maluku Utara, sebuah kota yang buat Orde Baru sangat pinggiran dan karena itu hampir tidak berarti apa-apa. Singkatnya, di Surabaya kehadiran dan represi militer jauh lebih terasa ketimbang di tempat yang jauh seperti Ternate.
Kalau pandangan ilmuwan sosial di atas benar, maka tentulah bukan di Ternate, tetapi masyarakat Islam dan Kristen di Surabaya yang akan saling membunuh setelah turunnya Soeh
arto. Tetapi fakta yang kita lihat adalah sebaliknya. Malahan, banyak dari konflik yang terjadi justru berlangsung di daerah-daerah di mana sentuhan Orde Baru sesungguhnya relatif tidak begitu intensif.
Singkatnya, pandangan yang berkata bahwa penyebab segala konflik yang berlangsung sekarang semuanya adalah kesalahan rezim penguasa di masa lalu masih harus dirinci dan dibuktikan lebih jauh. Para penganut pandangan ini harus menyelesaikan pekerjaan rumah mereka untuk meyakinkan kita bahwa penindasan masa lalu berhubungan langsung dengan beringasnya berbagai kelompok masyarakat saat ini.
Hal itulah yang sayangnya masih belum kita lihat sampai sekarang. Orde Baru jadinya terus-menerus menjadi momok yang, ironisnya, dipakai oleh sebagian ilmuwan sosial (dan juga oleh sebagian aktivis LSM, wartawan, dan politisi) dengan sesuka hati untuk menjelaskan hampir setiap peristiwa negatif yang terjadi dalam masyarakat. Mengapa gagal"
Itulah kegagalan besar kaum ilmuwan sosial saat ini. Dan itu terjadi justru pada saat pikiran-pikiran segar mereka sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Penyebab kegagalan ini mungkin terletak pada fakta bahwa kaum ilmuwan sosial sekarang, terutama tokoh-tokoh utamanya (para "pengamat"), sudah terlalu sibuk mengisi kebutuhan yang muncul mendadak dalam era reformasi, yaitu kebutuhan akan informasi yang bersifat instant dan kontroversial. Lebih dari yang sudah-sudah, waktu mereka kini sudah sangat terbatas untuk merenung secara mendalam, apalagi untuk melakukan sejumlah penelitian yang sistematis.
Akan tetapi mungkin juga sebabnya lebih mendalam lagi. Di zaman Orde Baru, terutama dalam 15 tahun terakhir, teori-teori yang populer di kalangan ilmuwan sosial kita (dan juga terutama di kalangan aktivis) berkisar pada varian teori-teori negara, otoritarianisme-birokratik, ketergantungan, dan sosiologi kritis. Teori-teori semacam ini, walau masing-masing berbeda, pada dasarnya adalah semacam sapuan-sapuan besar untuk menggambarkan perilaku sosial-politik makro. Melalui teori negara, misalnya, yang terutama ingin dijelaskan adalah perilaku politik negara dan bagaimana ia dihubungkan dengan kecenderungan-kecenderungan besar dalam masyarakat, seperti kapitalisme, sosialisme, peradaban teknokratis, militerisme, dan otoritarianisme.
Selain teori-teori demikian, ada lagi sebuah teori lain yang juga sangat populer dalam beberapa tahun terakhir ini, yaitu teori tentang masyarakat sipil (saking populernya, kita bahkan bisa mendengar istilah "masyarakat sipil" atau "masyarakat madani" diucapkan dalam pidato-pidato para pejabat hampir setiap hari). Secara umum, penggunaan teori ini dalam ilmu-ilmu sosial kita cenderung melihat masyarakat sebagai the innocent party yang berhadapan dengan negara yang represif. Masyarakat tidak dianggap sebagai sebuah entitas yang problematik.
Kalau toh ada konflik atau persoalan dalam masyarakat, ia le -bih dipandang sebagai akibat penetrasi negara, atau cerminan dari manipulasi dan pertentangan para elite yang mengendalikan negara. Karena itu sebenarnya tidak terlalu mengherankan jika kaum ilmuwan sosial penganut teori ini juga sangat mudah untuk berkata bahwa konspirasi kaum elitelah yang menjadi penyebab dari berbagai konflik sosial. Jadi, sama dengan teori -teori sebelumnya, teori ini pun pada akhirnya lebih memusatkan penjelasannya pada negara, yang dianggap sebagai sumber dari segala persoalan politik.
Teori-teori seperti itu memang mungkin cukup menarik untuk digunakan sebagai dasar konseptual dalam membedah dan menjelaskan dinamika rezim Orde Baru. Dan waktu itu pun semua orang sadar bahwa persoalan politik utama adalah kuat dan dominannya negara terhadap masyarakat. Di bawah Soeharto, negara mengatur, mengintimidasi, membangun, dan memimpin masyarakat.
Akan tetapi sekarang hal itu sudah berbalik 180 derajat. Saat ini, seperti yang tercermin dari konflik-konflik keras di Maluku, justru masyarakatlah, Sang Demos, yang menjadi persoalan utama yang kita hadapi. Negara memang tetap menjadi sumber masalah, tetapi bukan karena ia kuat dan dominan, tetapi justru karena
ia lemah dan hampir tak berdaya untuk menjalankan perannya sebagai alat penegak hukum dan tata tertib.
Dengan demikian, tidaklah mengherankan jika teori-teori yang populer selama bertahun-tahun kini tiba-tiba kehilangan "subyek" yang ingin dijelaskannya, dan kemudian kehilangan daya tariknya. Dan kaum ilmuwan sosial kita pun harus kembali mengunyah berbagai penjelasan yang bersifat sangat umum dalam menerangkan sejumlah masalah yang ada sekarang, terutama dalam menerangkan terjadinya berbagai konflik sosial. Karena itulah, "teori" tentang kesenjangan ekonomi, keadilan, dan pengalaman penindasan di bawah Orde Baru kemudian menjadi primadona di kalangan mereka.
Reorientasi Kalau semua itu benar, maka mungkin dari situlah kita bisa mulai melihat apa yang diperlukan agar ilmu-ilmu sosial kembali menjadi relevan. Dalam hal ini ilmu-ilmu sosial harus lebih banyak lagi memusatkan perhatian mereka pada studi-studi tentang masyarakat secara lebih terinci. Kalau dua dekade lalu ada seruan bringing the state back in, maka saat ini yang mungkin harus ditegaskan lagi adalah bringing the society back in. Sang Demos-lah yang kini harus dikenali dengan lebih baik agar kita bisa menggambarkan berbagai peristiwa penting yang ada sekarang, atau yang akan terjadi dalam saat-saat mendatang.
Dalam upaya ini kita juga harus meninggalkan pendekatan yang mengandalkan sapuan-sapuan besar dalam memandang realitas, setidaknya untuk sementara. Kita harus mempelajari perilaku mikro, pola-pola interaksi lokal, hubungan penduduk asli dan kaum pendatang, perubahan hierarki kekuasaan di kota-kota kecil dan menengah, perubahan demografis dan dampaknya pada komposisi suku dan agama di sebuah komunitas, pola pengajaran guru agama di pesantren maupun di sekolah negeri, dinamika hubungan pendeta dan umatnya, tingkat resistensi kultur lokal terhadap masuknya ide-ide kosmopolitan, naik-turunnya jumlah perkawinan campuran di sebuah daerah, dan masih banyak lagi.
Semua itu, dalam konteks sosial sekarang, sebenarnya merupakan topik-topik besar yang hanya bisa dipahami lebih jauh jika kita mau menelitinya dalam skala makro. Kalau kita bisa mengerti hal-hal demikian dengan lebih baik, saya yakin bahwa kita bisa mulai menjelaskan dengan lebih terinci mengapa konflik-konflik seperti yang terjadi di Maluku mengambil bentuk yang begitu keras dan berdarah.
Reorientasi fokus ilmu-ilmu sosial juga akan lebih berhasil jika diiringi dengan pembalikan kecenderungan yang selama ini terjadi di kalangan tokoh-tokoh ilmuwan sosial kita. Sadar atau tidak, mereka dalam beberapa tahun terakhir terlalu Gramscian, terlibat cukup jauh dalam kegiatan aktivisme dan proses politik dalam pengertian sempit. Hal ini sesungguhnya bisa dimaklumi, sebab untuk meruntuhkan rezim yang kukuh seperti rezim Orde Baru dan membangun sesuatu yang besar dan baru (Orde Reformasi), dukungan praktis dan bersifat langsung dari setiap elemen masyarakat, termasuk kaum ilmuwan, memang sangat dibutuhkan. Akan tetapi sekarang situasi telah berubah, dan tuntutan masyarakat pun menurut saya sudah berbeda. Dari para ilmuwan sekarang yang dibutuhkan terutama adalah ide-ide segar yang mampu menjelaskan berbagai hal yang saya singgung di atas tadi.
Singkatnya, para pentolan ilmu-ilmu sosial sekarang harus lebih banyak kembali ke dunianya. Dari tempat inilah mereka dapat menjelaskan peran mereka dengan lebih baik dan membantu kita semua untuk menjelaskan realitas dan menawarkan jalan ke luar dari berbagai persoalan yang ada.
9 Januari 1999 Hentikan Kebiadaban DAFTAR KEBIADABAN bertambah lagi. Kali ini di Sampit dan Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Hanya dalam beberapa hari, ratusan orang tewas, dan puluhan ribu lainnya menjadi pengungsi, tercabut dari tempat mereka mencari hidup dan membesarkan anak-anak mereka. Kerugian harta benda tidak sedikit. Inilah kekerasan dalam bentuknya yang paling telanjang.
Sedihnya, sementara semua itu berlangsung selama beberapa hari, eksistensi Republik Indonesia seolah menguap di angin. Para pemimpin pemerintahan di pusat dan di daerah tak berd
aya dan sepertinya tak mengerti harus berbuat apa. Negara berubah fungsi, bukan lagi sebagai sebuah lembaga penegak hukum dan penjamin keamanan warganya, tetapi hanya sebagai panitia pengatur pengungsi.
Kita sudah menyaksikan kebrutalan dan kebiadaban yang hampir sama di banyak daerah dalam dua tahun terakhir. Dan setiap kali semua itu terjadi, kita hanya bisa melihat dan mendengar para pemimpin pemerintahan berbicara tanpa substansi, saling menuduh dan melempar tangung jawab tanpa mampu menghentikan darah yang terus tumpah. Sulit untuk mengusir kesan, para pemimpin kita yang terhormat itu lupa bahwa fungsi mereka yang paling fundamental-raison d'etre-nya setiap negara modern-adalah memberi perlindungan hukum dan keamanan pada masyarakat.
Sebagai warga republik, sudah saatnya kita menyerukan setegas-tegasnya bahwa semua itu harus dihentikan. Daftar korban sudah terlalu panjang. Sampit dan Palangkaraya harus menjadi peristiwa terakhir.
Mulai hari ini, pemerintah dan aparatnya harus bisa mengubah cara pandang dan cara penyelesaian konflik-konflik yang brutal. Selama masa reformasi, negara berubah menjadi macan ompong. Setiap kali terjadi pembakaran dan pembantaian oleh kelompok yang satu terhadap kelompok lainnya, tokoh-tokoh pemegang jabatan publik, baik sipil maupun militer, hanya sanggup menyerukan dialog dan mengimbau agar kelompok-kelompok tersebut berhenti bertikai, saling memaafkan dan berdamai.
Kalau toh aparat pemaksa diterjunkan ke kawasan pertikaian, hal ini biasanya dilakukan dengan luarbiasa lamban dan penuh keraguan. Para pembantai berlari dan mengejar korbannya seperti serigala yang haus darah, sementara petugas hukum dan keamanan bergerak seperti siput yang peragu.
Semua itu sudah waktunya harus ditinggalkan. Peran negara dan aparatnya yang kuat dan tegas tidak berarti pengkhianatan terhadap semangat reformasi. Justru sebaliknya. Tanpa peran semacam itu demokrasi akan berubah bentuk menjadi anarki, di mana kebebasan kelompok yang satu menjadi ancaman dan pembantaian bagi kelompok lainnya.
Demokrasi adalah sebuah metode pengambilan keputusan publik. Di bawah Orde Baru peran negara memang sangat kuat, tetapi ia diputuskan secara tertutup hanya oleh segelintir aktor di puncak kekuasaan tertinggi. Sekarang kita harus mengembalikan peran negara yang kuat semacam itu, tetapi dengan proses pengambilan keputusan yang demokratis. Artinya, para wakil rakyat di DPR dan lembaga eksekutif harus menjadi aktor-aktor utama yang mengambil keputusan politik untuk memberi wewenang yang jelas bagi aparat-aparat negara, yaitu TNI dan Polri, dalam mengemban perannya.
Di Amerika Serikat, misalnya, cara semacam itu sudah lazim dilakukan. Dua tahun lalu, waktu pertemuan tahunan WTO (World Trade Organization) diselenggarakan di Seattle, Negara Bagian Washington, ribuan kaum aktivis anti-globalisasi dan kaum anarkis melakukan demonstrasi damai. Tetapi, sebagian dari mereka tidak dapat menahan diri dan mulai memecahkan kaca pertokoan dan perkantoran di pusat kota. Pada saat itu juga, walikota dan DPRD Seattle memutuskan pemberlakuan darurat sipil dan melarang setiap individu berada di pusat kota tanpa seizin aparat keamanan. Kota Seattle langsung berada di bawah komando polisi, yang tidak segan-segan menahan dan menembak kalau memang perlu. Semua ini dilakukan sebelum satu tetes darah pun terkucur.
Sementara walikota dan polisi Seattle bergerak, gubernur dan tentara cadangan, The National Guard, sudah bersiap-siap dengan perannya masing-masing. Jika pada hari itu juga situasinya makin tak terkendali, para wakil rakyat dan pemimpin lembaga eksekutif di negara bagian di Pantai Barat Amerika ini akan langsung menerapkan situasi darurat militer. Semua itu mereka siapkan untuk melindungi warga dan melumpuhkan kaum yang ingin bertindak biadab dan brutal. Dengan cara demokratis, mereka sudah memilih dengan tegas: lebih baik melumpuhkan, menahan, dan kalau perlu menembak kaum perusuh ketimbang mengorbankan warga yang tak berdosa.
Hanya cara itulah sekarang yang masuk akal untuk kita tempuh. Tentu saja, dalam jangka
panjang stabilitas dan keamanan yang hakiki hanya akan tercipta jika rasa kebersamaan masyarakat sudah melampaui garis-garis kesukuan dan keagamaan yang sempit, atau jika masyarakat primordial telah berubah menjadi masyarakat madani. Namun dalam jangka pendek, kita tidak memiliki alternatif lain. Kebiadaban harus dilawan, dan saat ini kita hanya memiliki satu alat untuk itu, yaitu aparat negara.
Yang jelas, kita tidak mungkin menutup mata terdapat semua penderitaan dan kebiadaban yang sudah terjadi selama dua tahun terakhir. Kejadian di Sampit, Palangkaraya, Sambas, Poso, Ambon, Wamena, dan di banyak daerah lainnya, telah sangat menusuk rasa kemanusiaan serta mencabik-cabik konsepsi ke-Indonesia-an yang kita junjung tinggi. Sudah saatnya sekarang kita menghentikan semua itu.
2 Maret 2001 Dialog Frans Seda dan Amien Rais
dalam merayakan usianya yang ke-70, Frans Seda sempat memberikan wawancara panjang yang dimuat di sejumlah media. Di sini, dengan lugas dan terbuka Frans Seda menyinggung topik hubungan antaragama yang memang saat ini sedang hangat.
Di majalah Forum (No. 14, Oktober 1996) misalnya, tokoh yang pernah berperan penting di era awal Orde Baru ini menjelaskan bahwa jika dulu hubungan antaragama sangat mesra, maka sekarang "bangsa kita kembali dikotak-kotakkan". Buat dia, pengkotakan ini sudah sedemikian rupa sehingga sebentuk diskriminasi agama telah tercipta. Contohnya, menurut Frans Seda, "orang baru bisa dapat duit kalau agamanya ini, kalau agamanya lain sudahlah, kau tidak usah berharap".
Wawancara yang gamblang semacam itu, terlebih jika diutarakan oleh seorang bekas pemimpin tertinggi Partai Katolik seperti Frans Seda, tentu akan menimbulkan penafsiran yang cukup jauh. Dalam konteks politik kita sekarang, salah satu penafsiran yang bisa dilakukan adalah bahwa Frans Seda, melalui wawancara itu, justru sedang mengkritik kecenderungan revitalisasi peran politik Islam, sebagaimana yang terjadi beberapa tahun belakangan ini.
Terbukanya peluang penafsiran demikian, bisa ditebak, tentu akan menimbulkan reaksi balik dari sejumlah tokoh Islam. Dan benar saja! Amien Rais, Ketua PP Muhammadiyah dan intelektual Islam yang tulisannya sering tajam itu kemudian menulis tanggapan di harian Republika (10/10/1996). Tanggapan ini adalah tanggapan yang cukup santun, walau isinya menggigit, tak kalah gamblangnya, dan bersifat polemis.
Bagi Amien Rais, pendapat Frans Seda adalah pendapat yang "aneh-aneh dan cenderung bermuatan SARA". Menurut Amien, Frans Seda justru harus berempati terhadap nasib umat Islam yang sepanjang 1970-an dan 1980-an menjadi obyek diskriminasi. Waktu umat Islam mengalami nasib buruk itu, kata Amien Rais, "Kami semua diam seribu bahasa karena kami dicekam rasa takut. Kami tidak berani protes, takut dituduh SARA."
Di akhir tanggapannya, Amien Rais menolak "tuduhan" Frans Seda: "Saya yakin tidak ada satu noktah pun dalam pikiran orang Islam untuk melakukan diskriminasi berdasar suku, ras, golongan, dan agama. Kami hanya ingin sebuah kehidupan nasional yang representatif dan meritokratis."
*** Apa yang bisa dikatakan terhadap "dialog" kedua tokoh penting ini" Perlukah ia ditampilkan di forum publik" Buat saya, pembicaraan terbuka demikian, walau belum bersifat dialog langsung, harus disambut gembira.
Apalagi, ia dilakukan oleh dua tokoh yang sangat representatif mewakili pihak-pihak yang terlibat langsung dalam kontroversi hubungan agama dan politik. Harus diakui, kata-kata yang digunakan dalam "dialog" tersebut memang cukup tajam. Namun demikian, saya kira kita semua bisa melebarkan ruang-ruang kultural kita untuk tidak terlalu menghiraukan tajamnya kata-kata itu, dan lebih memperhatikan substansi pendapat masing-masing pihak.
Kalau toh ada catatan yang bisa diberikan terhadap "dialog" Frans Seda-Amien Rais, yang ingin saya anjurkan adalah agar kedua belah pihak melakukan semacam klarifikasi terhadap tuduhan dan argumen masing-masing dalam soal diskriminasi agama. Betulkah secara faktual bahwa, misalnya, untuk "dapat uang" orang harus beragama tertentu, seper
ti sinyalemen Frans Seda" Betulkah terjadi diskriminasi sistematis terhadap umat Islam sepanjang 1970-an dan 1980-an, seperti kata Amien Rais"
Klarifikasi semacam ini penting, sebab selama ini dalam diskursus hubungan agama dan politik, kita terlalu sering membaca gosip dan pernyataan miring terhadap golongan ini atau sekelompok itu yang sulit ditelusuri asal-usul dan bukti-buktinya. Yang terjadi dalam banyak hal adalah semacam prejudice exchanges. Jika kita berani mengatakan fakta yang sebenarnya, atau sebaliknya mengakui bahwa kecurigaan yang ada tidak berdasarkan bukti yang memadai, maka buat saya titik terang untuk mencari metode kerukunan beragama yang sejati mungkin sudah mulai tampak.
Selain klarifikasi faktual, kita juga harus memperhatikan bahwa proses pengambilan kesimpulan tentang diskriminasi seyogyanya dilakukan dengan hati-hati. Katakanlah ada sebuah fakta bahwa Amien Rais, untuk memberikan ceramah akademik di kampus, menemui berbagai hambatan politis (hal ini sungguh terjadi pada pertengahan 1980-an). Tapi apakah fakta ini membuktikan terjadinya diskriminasi terhadap Islam" Ataukah, karena Amien Rais saat itu sangat kritis terhadap Orde Baru, seperti juga Y. B. Mangunwijaya yang Katolik dan Arief Budiman yang sekular, maka hambatan politis itu terjadi" Dalam hal yang terakhir ini kesimpulan yang bisa diambil adalah bahwa diskriminasi yang terjadi bukanlah terhadap agama tertentu, tetapi terhadap mereka yang kritis pada pemerintah, apapun agama yang dianutnya. Logika seperti ini, terhadap kesimpulan Frans Seda tentang diskriminasi terhadap kaum non-Islam, dapat pula diterapkan.
Catatan lain yang ingin saya sampaikan adalah terhadap pernyataan penting Amien Rais bahwa umat Islam ingin menegakkan kehidupan kebangsaan yang representatif dan merito-kratis. Dalam hal meritokrasi, saya kira kita semua setuju bahwa metode seleksi sosial ini tidak problematik, paling tidak secara ideal. Yang rajin, pintar, tekun, dan teguh, itulah yang "menang". Meritokrasi, singkatnya, adalah aspirasi universal yang secara konsepsional telah dianggap "selesai". Yang tersisa tinggallah proses penjabarannya.
Tapi tidak demikian halnya dengan representasi. Mekanisme seleksi sosial dengan cara ini masih sangat problematik. Dari tinjauan konsepsional, persoalan pertama yang kita hadapi adalah mengenai garis batas representasi itu. Kalau misalnya kita menghitung proporsi pejabat suatu departemen menurut agama masing-masing, maka kenapa kita juga tidak memasukkan unsur daerah dan etnis misalnya" Apa alasan kita untuk mendasarkan representasi hanya pada kriteria agama, dan tidak yang lainnya"
Katakanlah kita menerima argumen representasi dalam keseluruhannya, maka bayangkanlah betapa akan repotnya kita. Setiap kali kita akan mengangkat pegawai, pejabat, atau memilih pemenang tender proyek, proporsi menurut variabel agama, etnik, dan asal daerah harus kita perhitungkan. Dan jika ini memang kita lakukan, maka pada suatu batas tertentu, ia pasti akan bertentangan dengan ideal kita yang lain, yaitu meritokrasi. Bagaimana gerangan kita menyelesaikan problematik ini" Adakah metode yang baik untuk mengatasi ketegangan antara ideal meritokrasi dan prinsip representasi"
*** Di Amerika, salah satu perwujudan dari argumen representasi adalah kebijakan affirmative action. Kebijakan ini bertujuan untuk lebih menyeimbangkan proporsi warna kulit (putih dan non-putih) dan gender dalam berbagai hierarki dan jabatan-jabatan sosial, politik dan ekonomi, termasuk proporsi mahasiswa di berbagai kampus. Saat ini, walau dianggap bertujuan cukup mulia, kebijakan ini mulai banyak dianggap kontra-produktif, karena justru meluaskan kultur ketergantungan, mengurangi harga diri kelompok sasaran kebijakan itu sendiri, serta mengikis dasar-dasar sistem meritokratik, terutama di dunia universitas.
Jika di Amerika hal yang semacam ini terjadi pada penerapan argumen representasi, bagaimana dengan kita" Apakah tidak mungkin bahwa unintended consequences dari kebijakan semacam itu akan semakin diperburuk mengingat jalinan-jalin-an sosial kita yang le
bih kompleks dan tingkat kemampuan ekonomi kita yang jauh lebih terbatas"
Tentu, semua pertanyaan ini tidak ditujukan hanya pada Frans Seda, Amien Rais atau pada kalangan agama tertentu saja. Kita semua dituntut untuk menjawab dan membahasnya, dengan dingin dan rasional. Barangkali hal ini bisa menjadi agenda berikutnya dalam "dialog" yang sudah diawali oleh Frans Seda dan Amien Rais. Kalau bukan oleh tokoh-tokoh seperti mereka, oleh siapa lagi masalah sangat mendasar dalam kehidupan kebangsaan kita ini harus dibicarakan dan diperdebatkan" Oleh massa di jalan-jalan, dengan cara-cara yang juga bersifat jalanan dan brutal seperti di Situbondo barusan ini"
30 Otober 1996 Lincoln di pundak Abraham lincoln terletak nasib Amerika Serikat pada paruh kedua abad ke-19. Saat ia dilantik menjadi presiden pada Maret 1861, sebelas negara bagian republik modern pertama itu memisahkan diri dan memproklamasikan kemerdekaan mereka dengan membentuk negara konfederasi. Kaum separatis di negara-negara bagian di selatan ingin berdaulat penuh. Mereka menganggap perbudakan adalah bagian dari sistem sosial mereka. Dengan naiknya Lincoln, mereka curiga bahwa negeri-negeri bagian di utara akan memaksakan kehendak dan menghapuskan sistem sosial yang sudah berakar itu.
Gerakan separatisme itu didukung luas oleh masyarakat di selatan, kecuali oleh para budak tentunya, dan ditopang oleh kekuatan militer dan pasukan-pasukan milisi yang sangat tangguh. Mereka juga punya banyak ahli perang yang piawai, seperti Jenderal Robert E. Lee dan Jenderal Thomas "Stonewall" Jackson.
Singkatnya, Amerika Serikat pada 1861 berada pada titik tergenting dalam perjalanan sejarahnya. Dan Lincoln-lah, seorang anak petani dari Springfield, Illinois, yang kemudian menjadi pengacara sukses, yang harus memimpin negerinya mengatasi gelombang separatisme itu. Sejarah tidak memberinya pilihan: ia harus mengambil langkah-langkah besar atau negerinya akan terdampar ke tepian sejarah.
Buat Lincoln, negara bentukan Revolusi 1776 itu sudah final dan tidak dapat dipecah-pecah. "It will become one thing, or all the other", tidak ada jalan tengah. Amerika Serikat harus utuh, kalau tidak ia akan terpecah ke dalam serpihan-serpihan yang berbeda dan bermusuhan.
Pada awalnya, Lincoln memberi jalan kompromi yang cukup luas kepada kaum separatis. Ia menawarkan pembatasan, bukan pelenyapan perbudakan, sejauh kaum separatis mau bergabung lagi ke dalam negara perserikatan. Dalan pidato pelantikannya, ia mengingatkan bahwa masyarakat di selatan dan utara ditakdirkan sebagai satu bangsa dengan satu tanah air. la berharap kaum separatis tidak bertindak didorong oleh gelora perasaan semata, tetapi juga oleh kesadaran nurani yang mendalam, "the better angels of our nature".
Tapi tawaran kompromi Lincoln ditolak. Semangat separatisme di selatan sudah terlalu bergemuruh. Mereka sudah membentuk pemerintahan sendiri. Mereka sudah mengangkat senjata dan bertekad mempertahankan "kemerdekaan" itu untuk seterusnya. Dengan sikap kaum separatis seperti itu, Lincoln tidak melihat kemungkinan lain kecuali menggunakan kekuatan militer untuk mencapai tujuan politik, yaitu keutuhan negara.
Pada Desember 1861, perang saudara pun meledak. Selama dua tahun pertama, kaum utara mengalami berbagai kekalahan dalam banyak pertempuran. Akibatnya, semakin banyak kalangan di utara yang mendukang seruan "perdamaian dengan segala konsekuensinya". Sebagian lagi mendesak Lincoln agar mengambil langkah yang lebih radikal dalam memerangi kaum selatan. Dalam teater militer, kaum utara terdesak. Dalam panggung politik, dukungan bagi Lincoln semakin sempit dan terpecah.
Dalam situasi kritis itulah kepemimpinan Lincoln diuji. Kadang ia menyikut, tetapi lebih sering dengan kemampuan persuasinya yang memukau, ia melakukan berbagai hal untuk menyabarkan kaum radikal dan menyuntikkan tekad serta meniupkan harapan pada kaum pesimis yang semakin antiperang. Ia merangkul para pengkritiknya, tanpa harus sepenuhnya menjadi boneka di tangan mereka.
Dalam melakukan semua itu, Lincoln bertindak sebagai
seorang pragmatis yang diilhami oleh sebuah visi besar, yaitu keutuhan Amerika Serikat. Tetapi sesungguhnya yang membuat dia menjadi pemimpin terbesar sepanjang masa di negerinya, dan di negeri lain yang mencintai kebebasan, adalah kemampuan dia untuk berubah dan mengembangkan visinya, sambil tetap memperluas dukungan politik yang dibutuhkannya.
Visi awalnya, perang untuk negara, pada akhir tahun kedua pemerintahannya dia kembangkan menjadi perang untuk pembebasan. Yang terakhir ini dia wujudkan dengan merancang Deklarasi Emansipasi, yang kemudian menjadi dokumen historis bagi penghancuran sistem perbudakan. Dengan visi baru ini, perang sipil yang dipimpinnya menjadi bermakna lebih mendalam sekaligus berdampak lebih luas. Perang itu menjadi sesuatu yang lebih mulia, karena ia bukan lagi sekadar aksi bersenjata untuk mempertahankan keutuhan negara. Kaum patriot di utara kemudian berubah menjadi pejuang pembebasan.
Visi itu ternyata bergema jauh ke dalam sukma masyarakat di utara. Ia kernudian menjadi pengikat baru dan sumber motivasi yang menggelorakan, yang membantu mereka untuk bertahan, dan kemudian menghancurkan kekuatan kaum separatis pada 1864 dan 1865.
Pertikaian utara-selatan itu, dengan korban 630 ribu jiwa, tercatat sebagai perang saudara terbesar sepanjang sejarah manusia, hingga kini. Tapi sejarah juga mencatat bahwa ia mengubah Negeri Paman Sam itu secara fundamental. Sejak saat itulah prinsip yang mereka junjung tinggi, yaitu bahwa setiap manusia memiliki hak yang sama, betul-betul ditanamkan dalam kesadaran nasional mereka.
Enam bulan setelah kemenangan kaum utara, Lincoln ditembak mati oleh seorang pendukung fanatik sistem perbudakan. Jasadnya memang berkalang tanah, tapi sesungguhnya ia terus hidup sepanjang masa.
16 Juli 2000 BAB V Hukum Liddle: Tentang Pemilu dan Partai Politik
Hukum Liddle profesor william liddle menolak sistem pemilihan presiden secara langsung, setidaknya untuk beberapa periode pemilu. Saya tidak sepakat dengannya, tapi saya sadar bahwa argumen-argumen dia cukup kuat dan sangat menarik. Untuk mengkritik guru besar ilmu politik kenamaan ini dengan baik, saya ingin mulai dengan menjelaskan apa yang saya sebut sebagai Hukum Liddle, Liddle's Law.
Hukum ini berangkat dari sebuah teori yang diawali oleh ilmuwan politik Prancis, Maurice Duverger, pada 1950-an. Menurut Duverger, dalam karya klasiknya yang terbit pada 1954, Political Parties, jika pemilihan langsung diadakan dan sistem pemilu diselenggarakan dengan metode mayoritas sederhana, yang akan tercipta dalam jangka panjang adalah sistem politik yang hanya akan memunculkan dua partai yang dominan. Beberapa partai kecil mungkin tetap hadir dalam sistem ini, tapi kompetisi kekuatan hanya akan terjadi di antara dua partai besar.
Logikanya jelas. Dalam pemilu, setiap partai ingin menang, tapi kursi presiden atau perdana menteri hanya satu. Tidak ada partai atau kandidat yang ingin membuang banyak waktu dan biaya yang begitu besar untuk ikut pemilu jika dia tahu bahwa pada akhimya dia akan kalah. Karena itu, partai kecil akan bergabung dengan partai lainnya yang memiliki kedekatan aspirasi, betapapun kecilnya. Penggabungan ini akan bejalan sedemikian rupa sehingga pada ujungnya yang bertarung hanyalah dua partai atau kubu besar.
Dari Langit Karya Rizal Mallarangeng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Teori ini kelihatannya sederhana, tetapi dalam pembuktian empiris sulit ditolak. Dengan beberapa pengecualian, semua negeri yang memakai pola pemilihan langsung dengan metode mayoritas sederhana memang hanya dikuasai oleh dua partai besar. Contoh terbaik dalam hal ini adalah Amerika Serikat dan Inggris. Di kedua negeri ini memang ada partai-partai kecil, tetapi peranannya tidak pernah penting. Dinamika politik di Amerika Serikat hanya dipengaruhi oleh kompetisi antara Partai Republik dan Partai Demokrat, sementara di Inggris antara Partai Konservatif dan Partai Buruh.
Karena ketepatannya dalam menjelaskan realitas, banyak kalangan yang berkata bahwa teori ini adalah satu-satunya teori dalam ilmu sosial yang bersifat pasti, sebagaimana teori keunggulan komparatifn
ya David Ricardo dalam ilmu ekonomi. Duverger sendiri berkata bahwa teorinya itu sudah mendekati a true sociological law.
Teori seperti itulah yang diadaptasi Liddle untuk membaca dan meramalkan dinamika politik kita. Pertanyaan besar yang ada di benaknya adalah, jika dua kubu besar terbentuk di Indonesia, apa garis politik dan basis ideologi yang memisahkan kedua kubu ini. Sumber-sumber mobilisasi apa yang akan digunakan partai politik dalam merebut dukungan bagi kandidatnya" Di Amerika Serikat dan Inggris garis pemisah itu berdasarkan perbedaan program dan ideologi modern. Apakah hal yang sama juga, akan terjadi di Indonesia"
Ternyata tidak. Setelah meneliti perilaku pemilih dalam Pemilu 1999 dengan cermat (bersama muridnya, Saiful Mujani, dan sejumlah peneliti UI, antara lain Eep Saifulloh Fatah, yang kini juga menjadi muridnya), Liddle menyimpulkan bahwa perilaku pemilih sekarang belum banyak berbeda dari perilaku pemilih pada 1955, sewaktu pemilu pertama diadakan. Empat puluh lima tahun silam, seperti yang dikatakan Clifford Geertz, basis pertarungan antarpartai mengikuti garis primordial. Rakyat memilih tidak berdasarkan persetujuan mereka terhadap program partai secara rasional, tetapi lebih berdasarkan pada loyalitas dan identitas agama, daerah, dan suku. Sekarang, peran suku dan daerah mungkin agak berubah, tetapi peran agama tetap. Dulu dan sekarang, agama dan identitas keagamaan tetap menjadi basis mobilisasi politik dan legitimasi kekuasaan.
Sebenarya, sebagai seseorang yang menginginkan Indonesia menjadi demokratis, modern, dan makmur sekaligus, Liddle tidak menginginkan hal itu terjadi. Agama ia harapkan hanya berada di arena politik secara tidak langsung. Tapi dia seorang ilmuwan, dan karena itu ia harus mengatakan apa yang sesungguhnya akan terjadi, bukan apa yang seharusnya atau apa yang dia inginkan terjadi.
Karena itulah Liddle kemudian menyimpulkan bahwa kalau pemilihan presiden yang dilakukan secara langsung saat ini diselenggarakan, akan tercipta koalisi besar kaum Islam di satu pihak, dan kaum sekular-nasionalis dan kaum non-Islam di pihak lain. Hanya dua kubu inilah yang akan mendominasi peta politik Indonesia. Kesimpulan seperti inilah yang saya sebut sebagai Hukum Liddle.
Lalu apa implikasi dari hukum seperti itu" Buat Liddle, soalnya jelas: jika dua kubu besar berdasarkan garis primordial mendominasi arena politik, yang akan terjadi di masa depan adalah rangkaian kerusuhan yang dimotori oleh kaum fanatik. Pemilu akan menjadi arena pertarungan prasangka, bukan dialog untuk membela program politik yang rasional. Dan kalau sudah begitu, demokrasi Indonesia pasti akan terancam. Karena itu, Liddle mengusulkan bahwa sistem pemilihan seperti yang sudah kita lakukan selama ini (MPR memilih presiden) dipertahankan dulu untuk beberapa periode pemilu.
Apa yang bisa dikatakan tentang analisis Liddle itu" Buat saya, pada tingkat tertentu ia sulit ditolak. Bukti empirisnya memang belum ada, karena kita belum pernah melakukan pemilihan presiden secara langsung. Namun, kita bisa mengambil sebuah model yang cukup tepat untuk "mengujinya".
Sewaktu Gus Dur terpilih sebagai presiden sepuluh bulan lalu, ia dipilih secara langsung oleh sekian ratus anggota MPR. Sekarang, anggaplah semua anggota MPR ini adalah keseluruhan penduduk Indonesia. Di sini kita bisa melihat ada banyak partai plus golongan di lembaga tertinggi ini. Tapi, dalam proses pemilihan presiden, ada berapa kubu besar yang tercipta" Ada berapa kandidat yang pada akhirnya bersaing ketat" Apa garis perbedaannya" Ternyata, hanya ada dua kubu dan dua kandidat dominan (Megawati dan Gus Dur), dan garis pemisahnya persis seperti yang diramalkan oleh Hukum Liddle itu. Jadi, hukum ini benar dan posisinya dapat diangkat menjadi sebuah teori yang bisa memperkaya khazanah studi Indonesia.
Namun, pertanyaan kita kemudian, kalau Hukum Liddle itu memang sulit ditolak kebenarannya, apakah implikasinya demikian pula. Seperti yang sudah saya singgung tadi, Liddle menolak sistem pemilihan langsung berdasarkan implikasi hukum itu, bukan substansi
hukum itu sendiri. Apakah implikasi dualisme kecenderungan berdasarkan garis agama di negeri kita harus berujung pada pertarungan kaum fanatik dan hilangnya moderasi dan basis-basis kompromi" Apakah proses pemilu hanya akan dikuasai oleh kaum fundamentalis di kedua kubu, dan kaum moderat akan bersembunyi di sudut-sudut sejarah"
Jawaban saya, tidak. Liddle hanya bisa benar jika distribusi ideologi dan komposisi aspirasi dalam masyarakat kita mengikuti sebuah kurva yang disebut oleh Anthony Downs, dalam bukunya yang terkenal, Economic Theory of Democracy (1957), sebagai kurva lonceng terbalik. Dalarn kurva semacam ini, kaum pemilih yang berada di tengah, yaitu kaum moderat dari kedua kubu, berjumlah sangat kecil. Semakin garis kurva ini bergerak ke titik di ekstrem kiri atau kanan, semakin besar jumlah pemilih yang dicakupnya, mengikuti garis kurva yang menaik.
Kurva ini mengimplikasikan bahwa setiap politisi atau kandidat dari kedua kubu hanya bisa menang dalam pemilu jika mereka bergerak menjauhi kaum moderat. Mereka harus bergerak ke titik ekstrem di kubunya masing-masing, kerena di sanalah terdapat jumlah pemilih terbesar. Politicians go where the voters are. Hal inilah yang membuat Liddle khawatir bahwa proses pemilu hanya didominasi oleh pertarungan prasangka-prasangka kaum fanatik.
Buat saya, kekeliruan Liddle terletak di sini: ia menerima begitu saja bahwa kurva semacam itulah yang menggambarkan distribusi ideologi dan komposisi aspirasi dalam masyarakat kita. Kalau Indonesia hanya Maluku dan Poso, mungkin Liddle benar. Namun, untuk masyarakat Indonesia secara keseluruhan, kurva yang lebih tepat untuk digunakan adalah kurva lonceng normal. Dengan kata lain, asumsi yang digunakan Liddle sebe-namya terbalik.
Dalam kurva lonceng normal, kaum ekstrem di kedua belah pihak memang ada, tapi jumlahnya relatif kecil. Kaum ekstrem semacam ini adalah, di satu pihak, mereka yang menginginkan negara Islam dan pelaksanaan syariat Islam dalam kehidupan publik secara hitam putih, seperti di Afghanistan di bawah kaum Taliban atau Iran di bawah Khomeini, tanpa peduli akan risiko sosial, politik, dan ekonomi yang akan mengiringinya, dan di pihak lain adalah kaum sekular-nasionalis yang, seperti pengikut Kemal Attaturk di Turki pada awal abad ke-20, betul-betul
anti-Islam dan menganggap setiap hal yang berbau Islam dan Arab pasti jelek, terbelakang, serta berbahaya.
Jumlah pemilih terbesar berada di ruang tengah, menjauhi kedua titik ekstrem tersebut. Mereka, misalnya, adalah kaum Islam yang memilih PDI-P, tanpa peduli dengan isu-isu religius, atau pendukung Golkar yang Islam dan Kristen, atau sebagian pendukung PAN dan PKB yang memang menginginkan ekspresi keislaman yang lebih kental dalam arena publik, tetapi lebih banyak bersifat simbolik ketimbang bersifat legal-formal. Mereka inilah yang tersebar di ruang tengah di kedua kubu.
Jika saya benar, kita sebenarnya tidak perlu terlalu khawatir untuk memilih presiden secara langsung. Malah, ia mungkin akan memperkuat demokrasi kita. Mengikuti implikasi yang ada pada kurva lonceng normal itu, setiap politisi dan kandidat partai yang ingin merebut kursi kepresidenan harus merebut ruang tengah, tempat sebagian besar pemilih berada. Politisi yang menjauhi mereka dan bergerak ke titik ekstrem hanya akan merugikan dirinya sendiri, persis seperti yang terjadi dalam setiap pemilihan presiden di Amerika Serikat. Politisi ekstrem akan mendapat tepuk tangan dari kaum fanatik, tetapi bukan kursi kekuasaan.
27 Agustus 2000 Nasib Partai Golkar kasus buloggate ii dan penahanan sementara Akbar Tandjung dapat dilihat sebagai ujian terhadap Partai Golkar. Pada Pemilu 1999, dalam situasi terjepit dan dicerca dari kiri dan kanan, partai ini masih mampu meraih dukungan 24 juta suara atau sekitar seperempat dari keseluruhan warganegara yang diberi hak untuk memilih.
Prestasi semacam itu bukan sesuatu yang bisa dipandang dengan sebelah mata. Suka atau tidak, jutaan rakyat telah menitipkan aspirasi mereka pada partai ini, dan dalam sistem demokrasi titipan aspirasi rakyat
itulah yang harus menjadi pedoman dalam menghadapi setiap perkara.
Karena itu, dalam ujian menghadapi kemelut sekarang ini, Partai Golkar harus mampu mengedepankan masa depannya sebagai partai untuk membela kepentingan jutaan pendukungnya, bukan masa depan dan nasib individu-individu tertentu, betapapun penting dan berjasanya mereka selama ini.
Tentu sangatlah wajar jika para pemimpin dan massa Partai Golkar membela pemimpinnya yang berada dalam situasi terjepit. Apalagi, sosok seorang Akbar Tandjung memang mudah membangkitkan simpati. Mantan Mensesneg di era Presiden Habibie ini pada dasarnya adalah seorang yang santun dan bersahabat, dengan kata-kata yang selalu terukur dan emosi yang senantiasa terjaga. Demikian pula, sebagai politisi ia telah terbukti mampu mengemudikan biduk partainya melewati berbagai kesulitan politik sebagai The New Order's ruling party, dan muncul sebagai pemenang kedua dalam pemilu yang relatif bebas, terbuka dan representatif.
Namun, semua ini tidak boleh menghapuskan garis demarkasi antara kepentingan yang pribadi dan bersifat individual serta kepentingan yang sepenuhnya mengatasi unsur-unsur pribadi, yaitu kepentingan partai dalam jangka panjang.
*** Terlepas dari cara pandang kita dalam melihat kasus Bulog-gate II, kader-kader serta pengurus Partai Golkar memang dituntut dari sisi moral untuk membela pemimpin mereka sampai titik terjauh, dalam koridor hukum yang berlaku. Dalam situasi krisis dan tak pasti seperti sekarang ini, ekspresi dan perjuangan yang dilandasi oleh rasa setia kawan adalah sebuah nilai plus tersendiri yang dapat membangkitkan inspirasi pada banyak orang.
Namun pada saat yang sama mereka juga harus mampu melihat bahwa apapun yang telah dan akan terjadi pada seorang Akbar Tandjung, partai tetap harus hidup dan mempertimbangkan pilihan-pilihan politiknya secara rasional.
Dalam hal terakhir ini, pilihan-pilihan yang ada pada tokoh-tokoh yang menentukan perjalanan Partai Golkar pada dasarnya sudah cukup jelas. Di satu pihak, karena luka, kemarahan, dan emosi sesaat, mereka bisa mengambil strategi bumi hangus atau strategi oposisi permanen terhadap pemerintah yang berkuasa saat ini, dan khususnya terhadap Presiden Megawati dan PDI Perjuangan sebagai basis politiknya. Dalam hal ini mereka, misalnya, dapat mengumumkan penarikan kader-kader mereka dari Kabinet Gotong-Royong yang dipimpin Me-gawati-Hamzah Haz.
Di pihak lain, mereka dapat menjadikan kemelut yang menimpa partai dan pimpinan mereka sekarang sebagai momentum untuk memperbaiki dan menyempurnakan partai, sekaligus untuk merebut simpati banyak orang. Dalam hal ini mereka dapat menyerukan bahwa mereka mendukung proses hukum sepenuh-penuhnya dan tetap ingin membantu pemerintah saat ini dalam mengatasi berbagai persoalan yang ada lewat kader-kader mereka yang andal di lembaga eksekutif, seperti Jusuf Kalla, atau lewat proses legislasi yang sehat di parlemen.
Hanya pilihan kedua inilah yang sesuai dengan kepentingan jangka panjang Golkar sebagai partai politik. Bahkan lebih jauh lagi bisa dikatakan bahwa pilihan semacam ini bukan hanya baik bagi Partai Golkar, tetapi juga baik bagi proses transisi demokrasi di negeri kita.
Manusia Harimau 4 Strangers Karya Barbara Elsborg Dendam Iblis Seribu Wajah 12