Dari Langit 9
Dari Langit Karya Rizal Mallarangeng Bagian 9
Mengapa" Berdasarkan hasil Pemilu 1999, kita tahu bahwa secara alamiah masyarakat politik Indonesia adalah sebuah entitas yang sangat terpilah, a highly fragmented polity, di mana tidak ada satu pun kekuatan yang mampu mendominasi arena politik. Hal inilah yang hingga sekarang menjadi persoalan terbesar dalam menciptakan stabilitas permanen dan membangun struktur penentuan publik yang efektif dalam proses transisi kita.
Kesulitan demikian hanya dapat diatasi dengan munculnya sebuah koalisi dominan dari dua partai besar yang memiliki ideologi yang kurang lebih sama, atau setidaknya tidak berbeda secara diametral. Bagi saya, dalam jangka panjang, koalisi dominan yang dapat memenuhi tuntutan semacam itu dan mendominasi panggung politik hanya mungkin dilakukan oleh PDI Perjuangan dan Partai Golkar. Kalau sekarang ini keduanya membangun basis koalisi yang kukuh, maka sebenarnya
sebuah persoalan politik yang fundamental telah terselesaikan, sebab telah tercipta sebuah kekuatan dengan suara yang melampaui 50 persen+1 di parlemen.
Bahwa sekarang semua itu belum atau masih sulit terjadi, saya kira kita semua sudah mengerti dengan baik. Tetapi di situ pulalah soalnya: jika strategi bumi hangus atau strategi oposisi permanen yang dipilih oleh tokoh-tokoh yang mengemudikan Partai Golkar dalam menghadapi kemelut saat ini, kemungkinan koalisi demikian pasti akan semakin menjauh. Dalam hal ini Partai Golkar akan menjadikan PDI-P dan Presiden Megawati sebagai bete noire, seteru yang perlu dilawan serta dipatahkan terus-menerus. Namun, jika strategi kedua, atau strategi kompromi dan full-disclosure yang dipilih, kemungkinan pembentukan koalisi dominan tadi masih tetap terbuka.
Dan pada hemat saya, justru hal itulah yang saat ini harus dilakukan, jika pertimbangannya adalah kontribusi Partai Golkar yang positif terhadap proses transisi demokrasi di negeri kita. Dalam perjalanan hidup individu maupun partai politik, kemelut dan krisis seringkali tak dapat dihindarkan. Yang harus dilakukan adalah menjadikan kemelut itu sebagai batu loncatan untuk mencapai sesuatu yang lebih besar. Kemelut harus dilihat bukan sebagai proses kehancuran, tetapi sebagai sesuatu yang mendewasakan.
10 Maret 2002 Konvensi Partai Golkar Akal-akalan"
SETELAH BANYAK DIPUJI, Konvensi Partai Golkar kini menuai sejumlah kritik. Nurcholish Madjid mundur dari konvensi ini, sebagian kalangan intelektual dan beberapa politisi partai-partai baru menyambutnya dengan berkata, sejak awal konvensi itu hanya akal-akalan, sebuah proses yang penuh politik uang serta diatur sedemikian rupa sehingga yang akan keluar sebagai pemenang akhirnya adalah Akbar Tandjung, sang ketua umum yang sarat masalah itu.
Saya menghormati hak Nurcholish Madjid untuk mundur. Tetapi, apakah aneka kecaman dari berbagai kalangan terhadap konvensi itu cukup adil dan akurat" Apakah para pengkritik mengerti apa yang sebenarnya mereka katakan"
Dalam hal Akbar Tandjung, misalnya, kita sepakat, kesertaannya dalam konvensi justru merugikan partainya sendiri. Namun, apakah ia otomatis akan keluar sebagai pemenang atau salah satu pemenang" Bahwa posisinya kuat, tentu (tiap incumbent memiliki keuntungan sendiri). Tetapi betulkah ia pasti menang"
Dalam tahap konvensi untuk memilih lima kandidat calon presiden yang prosesnya akan dimulai 1 September, unit pemilih yang paling menentukan ada di Daerah Tingkat II (kota dan kabupaten). Di sini, karena adanya aturan tentang voting block, bukan pengurus partai di kabupaten atau kota yang akan menjadi penentu, namun pengurus partai di tingkat kecamatan dan ormas-ormas yang terkait dengan Partai Golkar di Dati II.
Apakah Tandjung dapat mengontrol dan mengatur suara puluhan ribu kader dan aktivis Partai Golkar yang tersebar di tingkat kecamatan dan kabupaten, dari Sabang hingga Merauke" Siapa yang bisa menebak isi kepala puluhan ribu kader dan aktivis akar rumput ini"
Dalam proses penjaringan nama yang berakhir pekan lalu, di mana unit pemilihnya adalah pengurus partai di tingkat provinsi, Tandjung hanya menempati urutan ke-5, di bawah Aburizal Bakrie, Surya Paloh, Wiranto, dan Jusuf Kalla. Sebagai ketua umum, pengaruh Tandjung paling kuat terasa pada tingkat pengurus provinsi. Tetapi, pada tingkat ini pun ia ternyata tidak sekuat yang diduga banyak orang. Karena itu, bila kita bicara tentang suara di tingkat kabupaten dan kecamatan, sebenarnya kita sedang berhadapan dengan sebuah ketakpastian, sebuah wilayah yang belum pernah terjamah proses pemilihan langsung pimpinan politik sebagaimana terjadi dalam konvensi ini. Di terra incognita ini, segala hal mungkin terjadi, termasuk tersingkirnya Tandjung dari posisi lima besar.
Memang, ketidakpastian itu akan menciut drastis saat proses konvensi memasuki tahap terakhir, tahap pemilihan dari lima menjadi satu kandidat capres yang akan berlangsung 11-13 Februari 2004. Posisi Tandjung sebagai ketua umum lebih berpengaruh pada tahap ini. Namun, di sini pun pengaruh
itu sebenarnya terbatas, baik karena aturan mengenai voting block maupun karena jumlah suara Dati II yang demikian mendominasi.
Pada tahap ini, seluruh pengurus DPP yang jumlahnya lebih seratus hanya mendapat hak suara 18, dan para pengurus DPD di 30 provinsi mendapat hak masing-masing tiga suara.
Artinya, jumlah suara yang dimiliki pengurus di tingkat pusat dan Dati I adalah 108 suara (18+90), sementara jumlah kota dan kabupaten adalah 416 dan masing-masing akan mendapat satu suara. Belasan suara selebihnya akan dibagi oleh ormas partai yang ada di ibu kota.
Katakanlah dalam puncak konvensi nanti Kandidat A dan B adalah dua dari lima nama yang memperebutkan posisi ca-pres Partai Golkar. Dalam penentuan di kalangan DPP, jika dari 103 pengurus ternyata 52 di antaranya mendukung Kandidat A dan 51 mendukung Kandidat B, maka capres resmi DPP adalah Kandidat A, dan otomatis skor suara yang diperolehnya adalah 18, dan Kandidat B tidak memperoleh apa-apa (inilah yang disebut sebagai voting block).
Dalam penentuan di kalangan masing-masing DPD I, Kandidat A ternyata masih unggul, meski tidak sepenuhnya, misalnya dengan menjadi pilihan dari 22 DPD I. Dalam hal ini Kandidat A mendapat tambahan 66 skor suara (22x3). Jadi, saat ini situasi amat tidak berimbang, Kandidat A mendapat skor 84, sementara Kandidat B hanya 24 (8x3).
Kemudian, dalam penentuan di kalangan pengurus DPD II ternyata Kandidat B yang lebih populer mendapat dukungan dari 250 DPD II, sementara Kandidat A hanya memperoleh 150 dukungan, dan sisanya dibagi ke tiga kandidat lainnya. Jadi, Kandidat A mendapat tambahan 150 skor suara sementara Kandidat B mendapat tambahan 250.
Meski tidak lagi mendapat tambahan suara dari belasan ormas yang ada di ibu kota, pemenang konvensi adalah Kandidat B dengan 274 suara. Kandidat A yang kuat di tingkat pusat dan provinsi harus gigit jari karena tidak mampu merebut lebih banyak dukungan di kalangan pengurus dan aktivis partai di tingkat kota dan kabupaten.
Jadi, bisa dikatakan, tahap puncak ini pun, dominasi kader-kader partai yang jauh dari pusat kekuasaan amat terasa.
Secara keseluruhan, suara mereka mencapai hampir 80 persen dari total suara yang ada dalam konvensi. Hanya kandidat yang dapat merebut dukungan merekalah yang dapat muncul sebagai pemenang Konvensi Partai Golkar.
Untuk merebut dukungan itu, peran uang merupakan salah satu faktor penting. Seorang kandidat tidak mungkin terpilih jika ia hanya menelepon atau berkirim surat kepada para aktivis dan tokoh partai di daerah. Para kandidat harus berkeliling ke 30 provinsi dan setidaknya ke 70 persen dari 416 kabupaten dan kota yang ada di penjuru Tanah Air.
Semua itu tak mungkin dilakukan dalam waktu relatif singkat tanpa dana besar untuk membeli atau menyewa pesawat terbang, membayar hotel untuk rombongan dan tim sukses, menyediakan makan dan minum pada acara-acara pertemuan, membagi kaos dan bendera partai, menyewa bus, memberi kontribusi dana bagi kegiatan partai di daerah, bahkan memberi ongkos transportasi bagi aktivis partai di kecamatan untuk hadir dalam forum pertemuan di ibu kota kabupaten, dan seba-gainya. Apa boleh buat, demokrasi memang mahal, apalagi dalam sebuah negeri besar seperti negeri kita.
Namun, dana besar saja tidak cukup. Sang kandidat harus mampu membujuk, bertukar-pikiran, dan mendengarkan aspirasi banyak kader dan pengurus partai di daerah. Ia harus terbang ke seluruh penjuru Tanah Air untuk bersalaman dan membangkitkan harapan kader-kader partai serta meyakinkan mereka bahwa ia adalah pemimpin yang mampu membawa Indonesia ke arah yang lebih baik.
Dalam proses itulah sebenarnya terletak nilai penting konvensi ini. Ia adalah sebuah eksperimen demokrasi di tingkat awal, sebuah prelude bagi pemilihan langsung presiden tahun depan yang baru pertama kali terjadi di republik ini. Partai-partai besar lain tidak melakukannya. Kita harus mengamati apa yang terjadi dalam konvensi ini, kelemahan maupun kelebihannya, guna mempelajari lebih saksama hal-hal yang masih bisa ditingkatkan agar pemilihan presiden tahun depan bisa lebih ba
ik. Tandjung, bahkan Nurcholish Madjid, hanya sebagian kecil dari proses besar yang sedang berlangsung. Demokrasi Indonesia akan terus terseok bila kita lebih merasa nyaman dan senang bertepuk dada dalam mengorek hal-hal kecil, dan pada saat sama melupakan potret besar yang jauh lebih penting.
Jadi, bukannya tergesa-gesa melontarkan kecaman dan menuduhnya sebagai akal-akalan. Kaum intelektual harus memberi apresiasi memadai dan mendorong agar konvensi berjalan lancar, dengan atau tanpa keterlibatan ketua umumnya yang kontroversial itu.
Dalam politik berlaku adagium, the road to heaven is not always paved with good intentions. Para politisi Partai Golkar yang merancang konvensi ini mungkin ada yang berniat jelek dan ingin mengalihkan perhatian publik dari kelemahan-kelemahan mereka. Tetapi proses konvensi ini, setelah berjalan, ternyata memiliki dinamika sendiri yang tak dapat dikontrol siapapun. Niat pembentukannya mungkin tak sesuai niat para malaikat, namun konvensi ini ternyata menjadi panggung demokrasi menarik.
5 Agustus 2003 Konvensi Partai Golkar Tidak Demokratis"
("Rejoinder" untuk Eep Saifulloh Fatah)
SKEPTISISME TERHADAP KONVENSI PARTAI GOLKAR sah-sah saja, bahkan baik dan perlu. Namun, sikap ini harus dilandasi pemahaman akurat atas fakta-fakta. Jika tidak, ia akan mudah terjerumus dalam sinisme berlebihan.
Tanggapan Eep ("Konvensi Partai Golkar Tidak Demokratis", Kompas, 13/8/2003) patut disambut baik. Namun, beberapa kekeliruan dalam tanggapannya tentang hal-hal yang sederhana mengharuskan saya menjelaskan lagi mekanisme konvensi, berikut hal-hal yang belum sempat saya singgung.
Kejutan Penjelasan Eep tentang voting block sebenarnya persis dengan yang telah saya katakan. Bedanya, Eep menganggap metode ini "menyeragamkan aspirasi" pengurus partai, karena itu tidak demokratis.
Bagi saya, pada dirinya metode ini masih bersifat "netral". Ia lazim digunakan dalam sistem pengumpulan suara pemilu di berbagai negara, disebut mekanisme first-past-the-post. Hanya satu kandidat (atau lima kandidat, jika tahapnya masih prakonvensi) yang langsung mendapat skor tertentu yang telah ditetapkan, dan kandidat lain harus gigit jari.
Metode ini harus dilihat dalam konteks, yaitu hubungan skor yang ditetapkan dengan sumber-sumber suara lainnya dalam konvensi yang sama. Inilah yang dilewatkan Eep.
Dalam dua tahap konvensi tingkat nasional, misalnya, skor 18 yang dimiliki DPP kelihatan besar. Namun, skor yang dimiliki himpunan pengurus di provinsi adalah 90 karena masing-masing mendapat blok suara dengan skor 3, sementara skor suara bagi kabupaten dan kota adalah 416 (tanpa voting block).
Tanpa bantuan kalkulator pun kita mudah memahami, dalam konvensi tingkat nasional, hak suara terbanyak (mendekati 80 persen) dimiliki pengurus partai tingkat kabupaten dan kota. Karena itu, berbeda dari Eep, saya tetap berpendapat pusat gravitasi konvensi ada pada pengurus-pengurus di daerah, bukan di pusat.
Jika kita berbicara pada tingkat konvensi yang lebih rendah lagi, yaitu pada proses penentuan lima kandidat di daerah tingkat (dati) II yang akan berlangsung pada 1 September hingga 8 Oktober, cakupan konvensi ini akan jauh melebar, sebab ia langsung melibatkan kader Partai Golkar di tingkat kecamatan.
Di Kabupaten Gunung Kidul, misalnya, ada 15 kecamatan. Pengurus DPD II mendapat voting block dengan skor 3, sementara tiap kecamatan mendapat suara 1, sama dengan jatah sayap-sayap partai yang ada di daerah ini. Jadi, total suara bagi pengurus kecamatan adalah 15, atau lima kali lebih besar ketimbang skor suara yang dimiliki oleh sekitar 50 orang pengurus di tingkat kabupaten.
Karena itu, buat saya, metode voting block justru mengecilkan peran struktur partai di tingkat atas. Ia membuka lebih banyak peluang bagi unsur-unsur ketakpastian dan kejutan dalam proses penentuan kandidat calon presiden di Partai Golkar. Boneka"
Apabila dijumlah secara keseluruhan, akan ada setidaknya 20.000 kader partai di tingkat kabupaten, kota, serta kecamatan yang berpartisipasi dalam tahap awal seleksi li
ma nama kandidat. Siapa yang bisa menebak dan mengatur isi kepala kader dan pengurus yang demikian banyak dan tersebar dari Sabang hingga Merauke"
Bagi Eep, mungkin hal itu dapat dilakukan dengan mudah oleh "para pengemudi" di belakang layar. Betulkah itu"
Atau, jika kita persempit arena konvensi ini hanya pada tahap puncak enam bulan mendatang, betulkah 416 pengurus partai di dati II akan mudah diatur pengurus DPP" Seorang ventriloquist bergoyang kaki di Slipi, Kantor Pusat Partai Golkar, dan mengatur tokoh-tokoh daerah sebanyak itu bagaikan boneka-boneka manis"
Di situlah letak perbedaan mendasar antara saya dan Eep. Bagi saya, tak gampang mengatur kader dan aktivis partai di daerah. Jangankan seorang Akbar Tandjung, Megawati sekalipun, dengan posisinya sebagai ketua umum, presiden, dan putri Bung Karno, cukup kerepotan memaksakan keseragaman suara tokoh partainya di beberapa provinsi dan kabupaten.
Angin politik sekarang sedang bertiup ke daerah. Kandidat yang ingin menang harus membujuk, mendekati, dan melakukan dialog dengan tokoh dan aktivis partai di begitu banyak tempat yang berbeda. Tampaknya hal itu semakin disadari para kandidat yang bersaing dalam konvensi ini. Setiap minggu mereka kini rajin berkeliling ke seluruh penjuru angin, kadang dengan mengunjungi tiga provinsi dalam sehari. Untuk apa mereka melakukan perjalanan yang melelahkan dan membutuhkan dana besar jika bukan untuk merebut dukungan dari daerah"
Yang harus kita dorong kini adalah agar proses yang baik seperti itu terus berlanjut, bukan sebaliknya. Kita berharap agar melaluinya akan lahir seorang calon pemimpin yang teruji dan sanggup berkomunikasi dengan seluruh lapisan masyarakat Indonesia yang begitu beragam, di dalam dan di luar komunitas Partai Golkar.
Celah Meski saya keberatan dengan cara pengungkapannya yang cenderung bersifat ad hominem, semangat yang terkandung di balik tanggapan Eep bisa saya pahami. Saya yakin dia dan kita semua merindukan dunia kepartaian yang lebih dinamis dan berakar.
Agar Konvensi Partai Golkar dapat semakin mendekati kaidah-kaidah yang demokratis, saya ingin menyinggung sebuah kelemahan yang belum disinggung Eep.
Dalam desain konvensi ini ada sebuah persoalan yang kelihatannya sederhana, tetapi bisa berakibat fatal jika tidak segera diatasi. Pada buku panduan resmi yang dikeluarkan Panitia Konvensi Partai Golkar, halaman 23/f dan 26/c, tertera mekanisme pengambilan suara dilakukan "secara tertutup".
Dengan cara ini, hanya Tuhan dan Mr X yang memasukkan daftar nama ke kotak suara yang mengerti apakah susunan nama yang ditulisnya sama dengan komposisi hasil konvensi di kabupaten atau provinsi yang diwakilinya.
Saya maklum, pencantuman aturan voting tertutup mungkin dilandasi niat baik, untuk mendorong agar anggota pengurus tidak takut pada atasannya guna melakukan pilihan berbeda. Akan tetapi, niat baik ini ternyata berakibat sebaliknya jika diaplikasikan dalam konteks konvensi secara keseluruhan, karena ia membuka celah bagi inkonsistensi suara dari unsur-unsur daerah ke pusat, melebarkan peluang bagi sikap saling curiga di antara sesama pengurus, serta dalam batas-batas tertentu memberi insentif bagi merebaknya politik uang. The road to hell is not always paved with bad intentions.
Sekarang belum terlambat untuk mengatasi kelemahan ini, dan sebenarnya ada beberapa cara sederhana untuk melakukannya. Pembagian formulir kertas suara dari pusat, turun ke daerah secara bertingkat, dan langsung diisi pada saat konvensi adalah salah satunya. Namun, masih ada beberapa cara lain yang bisa cukup efektif.
Di situlah tantangan bagi tokoh-tokoh Partai Golkar. Mereka sudah memulai langkah awal yang baik. Kini mereka harus meneruskan hingga ke konsekuensinya yang paling ujung. Di depan mereka terbentang sebuah peluang untuk membuktikan, partai mereka yang dulu terpuruk dan dikecam dari kiri dan kanan kini menjadi sebuah partai pelopor yang memberi contoh positif bagi partai-partai lain.
Apabila itu mereka lakukan, kaum yang kini skeptis, bahkan sinis sekalipun, mungkin akan berubah pikiran
dan menjadi lebih fair serta realistis dalam melihat konvensi ini.
19 Agustus 2003 200 Partai, Siapa Takut"
pemilu 2004 semakin mendekat dan sepanjang 2003 ini bisa ditebak bahwa berbagai harapan dan kecemasan politik akan merebak silih berganti. Dalam soal kecemasan, salah satu yang paling menonjol belakangan ini adalah mengenai jumlah partai yang akan bertarung dalam pemilu.
Sekarang jumlah partai yang mendaftarkan diri secara resmi sudah melewati angka 200. Ini membuat sebagian kalangan khawatir bahwa proses pemilu akan riuh-rendah dengan begitu banyaknya isu, aspirasi, dan tokoh, yang pada akhirnya hanya akan membingungkan rakyat. Selain itu, ada juga yang cemas bahwa tingkat konflik akan semakin tinggi seiring dengan sema -kin banyaknya jumlah partai yang berebut kursi kekuasaan.
Beralasankah kecemasan demikian" Buat saya tidak.
Satu hal yang sampai sekarang masih kurang dipahami adalah, dengan disahkannya empat amendemen konstitusi tahun lalu, pemilu pada dasarnya dibagi menjadi dua: yang satu untuk memilih anggota parlemen (lokal dan nasional), dan yang satunya lagi untuk memilih presiden. Dalam pemilu untuk menentukan presiden, akan terjadi penyederhanaan secara radikal dari jumlah kandidat yang mewakili partai atau kelompok partai.
Pada pemilu tahap pertama, jika kita lihat komposisi dan kombinasi pemimpin yang ada sekarang, jumlah pasangan pre-siden-wakil presiden yang memiliki peluang realistis dalam menarik dukungan besar dari publik paling jauh hanya berjumlah tiga atau empat pasangan. Memang mungkin akan ada sepuluh, atau lebih, pasangan kandidat lainnya, tapi kehadiran mereka lebih merupakan bumbu penyedap yang memberi warna tersendiri bagi Pemilu 2004.
Pada pemilu tahap kedua, sebuah kemungkinan yang hampir pasti terjadi, jumlah pasangan kandidat yang bersaing akan ciut menjadi dua. Kalau harus menebak orangnya, saya kira yang akan muncul pada tahap kedua ini adalah Megawati (dan wakilnya) serta Amien Rais atau Hamzah Haz (dan wakilnya).
Saya mungkin bisa keliru dalam tebakan itu, tapi tidak dalam satu hal ini: dalam pemilihan presiden, kompetisi antar-partai tidak akan terjadi. Yang kita saksikan pada 2004 nanti adalah pertarungan tokoh-tokoh yang diwarnai secara pekat oleh kompetisi antara blok politik Islam dan kaum nasionalis-sekular. Dalam hal ini, politik, seperti kata James Madison, salah satu tokoh pendiri Republik Amerika Serikat, akan kembali pada hakikatnya yang paling dasar, yaitu proses kompetisi antara gagasan-gagasan fundamental yang hidup dalam suatu masyarakat.
Jadi, yang akan kita saksikan nanti pada akhirnya adalah persaingan dua kandidat presiden berikut pasangan mereka masing-masing, serta dua blok gagasan fundamental yang dalam literatur politik kita sering disebut sebagai aliran politik. Tajamya persaingan yang terjadi di sini dapat diminimalisasi dengan berbagai cara, misalnya dengan pemilihan pasangan yang mewakili blok politik yang berbeda. Tapi hal ini adalah soal lain yang akan saya tulis pada kesempatan tersendiri.
Dalam soal pemilu untuk memilih anggota parlemen, penyederhanaan yang sama, walau dalam bentuk berbeda, juga akan terjadi. Jumlah partai yang terdaftar di Departemen Kehakiman akan berbeda dari jumlah partai yang lolos seleksi KPU (Komisi Pemilihan Umum). Dalam perkiraan saya, dengan aturan-aturan yang ada, dari 200 partai yang terdaftar, KPU akan meloloskan tidak lebih dari 50 partai sebagai peserta pemilu. Jadi, jumlah yang ada kira-kira tidak akan jauh berbeda dari jumlah partai peserta Pemilu 1999. Bahkan saya tidak akan terlalu kaget jika pada pemilu tahun depan angka yang lolos seleksi jauh lebih kecil dari itu.
Dari puluhan partai lama dan baru yang akan bersaing merebut kursi perwakilan, jumlah yang akan mendominasi panggung politik juga tidak akan berbeda dari apa yang sudah kita lihat sebelumnya. Sejauh ini saya tidak terlalu percaya bahwa tahun depan akan ada kejutan dari langit, ketika satu partai politik yang sekarang kecil, atau sebuah partai baru, tiba-tiba muncul bagaikan gelombang besar.
Lima partai ya ng sekarang mendominasi parlemen akan memperoleh distribusi suara yang tidak jauh berbeda. Variasi yang masuk akal, jika tak terjadi peristiwa dahsyat di negeri kita yang saat ini belum bisa diramalkan, adalah plus-minus lima persen. Buat saya, salah satu pertanyaan besar yang ada dalam soal ini adalah apakah Partai Golkar juga tercakup dalam kalkulasi konservatif demikian. Berapa jumlah suara yang bisa diperolehnya" Pada pemilu lalu, partai ini memperoleh 24 juta suara. Jika tahun depan suara ini berkurang drastis melampaui garis batas yang normal, katakanlah menjadi 14 juta suara, terbuka kesempatan bagi sebuah partai baru untuk muncul menjadi pemain baru di parlemen kita, dengan catatan bahwa limpahan suara ini tidak jatuh pada partai-partai yang kini sudah dominan.
Pertanyaan lainnya berhubungan dengan kemungkinan pembentukan koalisi di antara partai-partai besar yang ada. Jika koalisi ini terjadi, fragmentasi politik yang negatif terhadap proses pembuatan kebijakan publik akan bisa dihindari. Dalam banyak hal, Machiavelli benar. Politik selalu bersandar pada kekuatan, dan pemerintahan yang efektif hanya mungkin jika bertumpu pada kekuatan (baca: kursi di parlemen) yang memadai untuk itu.
Dalam hal itulah, bukan terhadap munculnya 200 partai baru, saya sebenamya agak cemas. Selama ini koalisi yang ada sangat bersifat ad hoc dan cair. Yang dibutuhkan dalam menyongsong Pemilu 2004 adalah koalisi yang semipermanen dan terencana jauh sebelum pemungutan suara berlangsung.
Saat ini memang sudah terdengar suara-suara untuk merumuskan koalisi semacam itu. Namun, sejauh ini saya baru mendengar angin surga, belum kerja politik yang konkret dari kaum politikus di partai-partai besar.
12 Januari 2003 Banteng dan Beringin: Berseteru atau Bersekutu"
memang banyak partai yang dapat menjadi peserta Pemilu 2004. Tapi yang akan menentukan warna kompetisi politik cuma dua partai, yaitu PDI-P dan Partai Golkar. Hanya salah satu dari keduanya yang mungkin menang.
Partai-partai besar lainnya (PPP, PKB, dan PAN) hanya akan menjadi pelengkap dalam koalisi antarpartai, dan partai-partai baru yang bermunculan dalam setahun terakhir tampaknya belum mampu menembus dominasi pemain lama.
Itulah salah satu yang bisa disimpulkan jika kita mempelajari hasil-hasil penelitian yang dilakukan oleh beberapa lembaga independen, seperti Danareksa Research Institute (DRI), International Republican Institute (IRI), serta Universitas Islam Negeri Jakarta yang bekerjasama dengan Ford Foundation. Keempat lembaga ini melakukan penelitian terhadap voting behaviour masyarakat Indonesia dengan basis metodologi yang kuat.
Dari ketiga penelitian tersebut, memang terlihat satu fakta menarik: proporsi undecided voters, yaitu mereka yang saat ini belum menentukan pilihan, ternyata cukup besar. Variasi angkanya berkisar 35 hingga 50 persen dari jumlah responden. Artinya, kalau diterjemahkan dalam konteks Pemilu 2004, masih ada sekitar 50 juta pemilih yang tetap terbuka untuk diperebutkan oleh siapapun.
Tapi sebenarnya fakta itu hanyalah sebuah kemungkinan berdasarkan hasil proyeksi statistik. Dalam kenyataannya, sebagian dari 50 juta pemilih itu tidak akan memilih samasekali. Di Amerika Serikat, misalnya, hanya setengah dari pemilih yang menggunakan hak pilihnya. Di negeri-negeri demokrasi lainnya, variasi voter turnout berkisar 60 hingga 70 persen. Dari sini mungkin bisa diperkirakan bahwa, dari 50 juta pemilih di negeri kita yang masih ragu-ragu saat ini, sekitar 20 juta hingga 30 juta di antaranya yang pada akhirnya akan mencoblos partai dan tokoh favorit mereka.
Sekitar 30 juta suara (25 persen dari total pemilih) adalah jumlah yang sangat besar. Apakah mereka akan menjadi suatu voting block tersendiri" Saya kira tidak. Mereka akan terpecah mengikuti pola distribusi suara yang memang sudah ada. Dan sebagian pecahan suara inilah pada akhirnya yang akan menentukan pemenang Pemilu 2004, PDI-P atau Partai Golkar.
Pertaruhan yang sesungguhnya terletak pada upaya merebut pecahan undecided voters itu. Apakah partai berlambang banten
g yang akan lebih jeli" Atau, malah partai beringin yang lebih tahu bagaimana harus merebut dukungan kelompok pemilih yang saat ini masih skeptis dan terus menunggu"
Jawabnya masih belum jelas. Namun, dari kecenderungan yang ada akhir-akhir ini, tampaknya Partai Golkar sedang mendapat angin untuk melaju lebih cepat. Dari hasil survei DRI, misalnya, terlihat bahwa antara Oktober 2002 dan Februari 2003 terjadi penurunan suara yang cukup signifikan bagi PDI -P, sementara dukungan bagi Partai Golkar bertambah, bahkan di daerah seperti Jawa Tengah yang pada pemilu lalu menjadi salah satu basis terkuat partai berlambang banteng itu.
Yang paling menarik, turunnya suara PDI-P ternyata terjadi paling drastis di kalangan pemilih yang berpenghasilan terendah, sementara penambahan suara bagi Partai Golkar terutama karena didorong oleh peningkatan dukungan dari kalangan yang sama. Pada tingkat tertentu, hal ini mencerminkan bahwa di kalangan wong cilik rupanya sedang terjadi suatu political realignment yang tak kasatmata, sebuah eksodus politik dari kandang banteng ke partai beringin.
Partai yang pernah berkuasa di bawah pemerintahan Orde Baru ini mungkin dianggap lebih mampu menyelesaikan berbagai persoalan ekonomi yang masih terus menjepit kalangan bawah. Mungkin pula sebagian orang kini merindukan kembalinya zaman pertumbuhan ekonomi tinggi yang pernah berlangsung di bawah kepemimpinan Soeharto.
Semakin dekat ke pemilu, apa yang sering disebut sebagai bandwagon effect akan semakin kuat pengaruhnya.
Pergeseran yang satu akan memengaruhi pilihan yang lainnya, dan seterusnya sehingga partai yang dianggap atau dipersepsikan sebagai partai favorit akan memperoleh dukungan yang semakin besar. Jika efek seperti ini nantinya juga meluas dan memengaruhi sebagian pecahan undecided voters yang akan menjadi penentu pemenang Pemilu 2004, sebaiknya PDI-P mempersiapkan diri untuk menerima kabar buruk.
Masih tersisa waktu sepuluh bulan sebelum rakyat menjatuhkan pilihannya. Banyak hal masih dapat terjadi. Partai Golkar mungkin tergelincir, sementara peluang bagi PDI-P tetap terbuka untuk menyadari kekeliruannya dan kemudian berupaya merebut kembali kepercayaan rakyat.
Langkah-langkah yang dilakukan oleh kedua partai terbesar ini dalam beberapa bulan mendatang juga akan memengaruhi hasil akhir dalam perebutan posisi presiden. Memang, komposisi dukungan partai di parlemen tidak harus sama dengan distribusi suara bagi tokoh-tokoh yang memperebutkan posisi nomor satu di lembaga eksekutif. Namun perbedaan ini tidak akan terlalu jauh. Partai dan tokohnya tetap terkait erat.
Kecenderungan demikian terlihat cukup jelas dalam survei yang dilakukan oleh DRI dan IRI. Secara faktual, menurunnya suara PDI-P diikuti oleh melemahnya dukungan terhadap Megawati. Tetapi, berbeda dari distribusi dukungan pada partai-partai, posisi putri Bung Karno ini relatif tetap dominan. Jarak yang ada antara Megawati dan tokoh yang merebut posisi kedua cukup jauh berada di atas jarak yang ada antara PDI-P dan pesaing utamanya.
Hal itu berarti bahwa, bagi banyak kalangan, tokoh alternatif yang mampu menggantikan posisi Megawati belum muncul. Dalam soal persaingan antarpartai, PDI-P sudah menemukan pesaing yang hampir seimbang. Namun, dalam perebutan posisi presiden, belum satu pun yang dapat menyaingi Presiden RI ke-5 itu. Saya kira perbedaan demikian terjadi karena faktor Akbar Tandjung. Dalam semua survei yang pernah saya amati, dukungan responden terhadap ketua umum partai berlambang beringin ini selalu jauh lebih kecil ketimbang dukungan terhadap para tokoh dari partai besar lainnya.
Bahkan bisa disimpulkan bahwa jarak dukungan yang jauh antara Akbar Tandjung dan partainya merupakan satu-satunya pengecualian dari pola keterkaitan antara partai dan tokohnya. Partai Golkar memperoleh peningkatan dukungan yang cukup besar, sementara suara bagi ketua umumnya selalu berada di batas air. Dalam satu segi hal ini memperlihatkan bahwa Partai Golkar sebenarnya adalah sebuah partai modern. Sebab, ia tak bergantung pada popularitas tokohnya (bandingkan jika M
egawati tidak lagi memimpin PDI-P). Namun, dari segi lain, fakta sederhana itu juga menunjukkan bahwa Akbar Tandjung memang harus berbesar hati untuk mengakui bahwa, dalam proses pemilihan presiden, dirinya hanya menjadi beban partainya. Sebagai kandidat, ia tidak akan pernah bisa mendekati perolehan Megawati, terlepas dari putusan akhir pengadilan terhadap kasus hukum yang kini menimpanya.
Semua itu tentu saja tidak berarti bahwa posisi Megawati sudah relatif aman. Jika Partai Golkar pada akhirnya tidak memunculkan Akbar Tandjung sebagai kandidat presiden, dan sebagai gantinya menyodorkan seorang kandidat yang populer, relatif muda, serta dianggap mampu mengatasi persoalan-persoalan yang mendesak, terutama berbagai masalah yang masih tersisa dari krisis ekonomi selama ini, persaingan dalam memperebutkan posisi presiden pasti akan berlangsung seru.
Dalam hal itulah terletak pentingnya konvensi nasional di Partai Golkar. Kalau perhelatan ini berhasil memilih seorang kandidat presiden yang ideal, Megawati harus bekerja ekstrakeras untuk tetap mempertahankan posisi dominan yang sejauh ini tetap dimilikinya. Hanya satu hal yang dapat mengubah secara drastis peluang terjadinya kompetisi yang seru dalam pemilihan presiden, yaitu jika pada akhirnya Megawati menggandeng kandidat yang muncul lewat konvensi Partai Golkar sebagai wakil presiden. Jadi, bukannya berseteru, Megawati dan PDI-P mengajak Partai Golkar dan kandidatnya bersekutu. Jika ini terjadi, pemilu untuk memilih tokoh nomor satu di lembaga eksekutif praktis sudah berakhir sebelum dimulai. Sebab, pemenangnya bisa ditebak dengan mudah.
Tetapi jalan menuju ke sana agak licin, masih mengandung sekian teka-teki. Dengan meningkatnya popularitas Partai Golkar akhir-akhir ini, bukankah para tokohnya akan tergoda untuk meraih the ultimate prize" Mengapa mereka harus puas dengan posisi ban serep jika kemungkinan untuk lebih dari itu sesungguhnya masih terbuka, misalnya dengan memimpin koalisi ABM (asal bukan Mega)" Di kubu Partai Golkar sendiri, jawaban terhadap pertanyaan itu agaknya masih mendua. Para tokoh partai beringin ini masih perlu waktu sebelum meletakkan semua kartu mereka di atas meja.
Demikian pula halnya dengan kubu Megawati. Yang terlihat sekarang adalah sikap yang sangat hati-hati dalam berbicara mengenai paket presiden dan wakilnya. Mereka menunggu apa yang akan terjadi pada konvensi Partai Golkar, serta melihat perkembangan politik yang terjadi di panggung yang lebih besar. Skenario drama Pemilu 2004 tertulis pada pilihan-pilihan yang kini sedang dipertimbangkan oleh kedua kubu tersebut. Para tokoh dari partai lainnya hanya bisa melirik dari pinggir arena. Dan kita semua siap bertepuk tangan, atau menguap dengan jemu.
6 Juli 2003 PRD dan Megawati SETELAH "PERISTIWA SABTU KELABU" yang lalu, topik yang hangat diberitakan adalah PRD, "partai" sejumlah aktivis yang kini dituding biang keladi kerusuhan. Siapa gerangan aktivis-aktivis muda militan itu" Bagaimana kita menempatkan posisi mereka dalam sejarah dunia pergerakan politik kita" Bagaimana hubungan mereka dengan Megawati" Pertanyaan semacam inilah, implisit atau eksplisit, yang banyak disodorkan berbagai media kepada masyarakat. Sayang, banyak ulasan dan laporan yang agak bias, dengan sumber sepihak dan cenderung menghakimi.
Kalau mau lebih arif memahami mereka, menurut saya, kita harus melihat mereka sebagai bagian dari pergerakan politik pemuda yang lebih luas dalam 10 tahun belakangan. PRD (Partai Rakyat Demokratik)-yang sebagian tokoh pendirinya di Yogyakarta sekitar enam tahun silam disebut "anak-anak Gang Rhode"-pada dasarnya adalah perkembangan dan ra-dikalisasi dari pergerakan pemuda tersebut.
Ada baiknya kita mengingat bahwa setelah pembersihan kampus pada 1978-menyusul meluasnya gerakan mahasiswa pada tahun itu yang mengkritik Pemerintah Orde Baru-per-gerakan mahasiswa praktis melempem, hancur hingga ke akar-akarnya. Yang tersisa dan aktif setelah itu umumnya organisasi kepemudaan dukungan pemerintah, seperti KNPI dan Menwa.
Situasi ini berlangsung hingga sekitar d
elapan tahun. Pada sekitar 1986, mulai terlihat tanda-tanda perubahan. Beberapa mahasiswa di Jakarta, Yogyakarta, dan Bandung membentuk kelompok studi, dan memandang secara kritis organisasi pemuda yang ada. Dalam satu-dua tahun-dengan dukungan publikasi simpatik dari media utama, seperti Kompas dan Tempo-format aktivis kepemudaan baru ini menjadi populer dan relatif cukup meluas dalam kehidupan kampus.
Kelompok-kelompok diskusi yang baru ini menghidupkan kembali tradisi panjang pergerakan pemuda yang dirintis, antara lain, oleh Hatta dan Soekarno pada 1920-an. Lalu Rahman Tolleng, Soe Hok Gie, dan Sjahrir pada 1960-an. Dalam berbagai kelompok diskusi inilah pada akhir 1980-an, terjadi semacam perlawanan intelektual terhadap strategi depolitisasi Orde Baru, yang dianggap terlalu menyempitkan cakrawala berpikir kaum muda.
Format aktivitas baru ini sangat cair dan lentur. Pengelompokan di kalangan mereka tak mengikuti garis ideologi dan politik kepartaian. Pada suatu saat, jika berdiskusi bersama Nurcholish Madjid, mereka bisa sangat terpukau oleh semangat modernisasi Islam dan merindukan kembalinya Masyumi. Di saat lain, waktu membahas ide-ide Arief Budiman, mereka larut dan terbuai oleh cita-cita besar kaum sosialis. Singkatnya, satu-satunya pengikat mereka adalah romantisme pada perubahan dan kerinduan akan ide alternatif yang dapat mendorong pembaruan masyarakat.
Hanya sekitar empat tahun kemudian bentuk aktivisme semacam itu mulai dianggap tak lagi memadai sebagai wahana penyaluran aspirasi kritis pemuda. Dalam banyak hal, ketidakpuasan ini didorong berbagai perkembangan politik penting, baik dalam konteks domestik maupun dunia. Pada Februari 1989, misalnya, terjadi "pemberontakan" mahasiswa di Beijing, yang menuntut dimulainya langkah demokratisasi secara radikal (peristiwa Tiananmen).
Pada saat yang hampir sama, muncul gerakan massa dalam sistem komunisme, yang menuntut kebebasan politik yang lebih besar, yang akhirnya berujung pada keruntuhan sistem itu di pengujung 1991.
Didorong berbagai peristiwa penting ini, sebagian aktivis merasa bahwa tibalah saatnya memulai format kegiatan pemuda yang baru, yaitu aksi demonstrasi dan mimbar bebas. Di kalangan mereka sendiri, aksi semacam ini disebut "kegiatan baris-berbaris" dan "aksi parlemen jalanan". Buat mereka, kegiatan dalam kelompok diskusi terlalu abstrak, jauh dari realitas konkret yang dihadapi masyarakat. Mereka menolak "intelektualisme", dan ingin terjun langsung membela rakyat serta mendorong perubahan.
Maka, sejak awal 1990-an, kegiatan kelompok diskusi mulai surut, walau tak berhenti samasekali. Kelompok diskusi kehilangan elan, digantikan bentuk romantisme yang lebih radikal. Dan sejak saat itulah kita menyaksikan rangkaian demonstrasi dan mimbar bebas di dalam dan di luar kampus, yang dimotori aktivis muda itu.
Seperti dalam kelompok diskusi sebelumnya, aktivis baru ini tak bersifat homogen. Di satu pihak, terdapat kelompok yang hanya ingin melakukan aksi di dalam kampus dengan isu yang umum dan moderat. Di pihak lain, muncul kelompok aktivis yang meluaskan jaringan di luar kampus dan berupaya melakukan aliansi dengan kelompok yang mereka anggap strategis, seperti kaum buruh, petani kecil, dan kaum urban yang miskin dan tergusur.
Kelompok ini, selain lebih militan, disiplin dan sadar akan pentingnya organisasi, juga lebih mengalami pengkristalan ideologi. Dalam hal yang terakhir, para aktivis di kelompok kedua ini dapat disebut sebagai aktivis sosialis-progresif yang bekerja pada dataran praktis. Dunia perdebatan ide dan pertarungan imajinasi hampir samasekali mereka tinggalkan, bahkan mereka olok-olok. Dengan sadar mereka memandang diri sebagai penerus tradisi "kiri-radikal" dalam pergerakan politik kebangsaan kita, yang cikal-bakalnya telah dirintis, sejak pertengahan 1920-an.
Ke dalam kelompok inilah para aktivis muda pendiri PRD dapat digolongkan. Dalam bentuknya yang embrional di Yogyakarta dulu, jumlah mereka sebenarnya sangat kecil. Tapi, karena kesungguhan, penguasaan teknik demonstrasi, dan kejelasan ideologi yang mereka
miliki, posisi mereka menjadi cukup penting di dunia aktivisme di Yogyakarta.
Sejak awal, persoalan utama kelompok ini-seperti juga persoalan gerakan pemuda secara umum-adalah kecilnya basis dukungan publik. Para aktivis itu harus menghidupkan kembali kepekaan politik publik, yang lebih dari 20 tahun terakhir diredam. Walaupun dalam dua tahun terakhir terlihat beberapa "kemajuan" dalam mendekatkan diri mereka ke dalam jaringan buruh dan kaum tergusur di kota, besarnya kelompok mereka tak meningkat secara berarti. Mereka tetap saja menjadi pelaku politik pinggiran.
Munculnya Megawati sebagai tokoh yang dapat menghidupkan kembali kepekaan politik publik itu, buat mereka menjanjikan jalan ke luar dari sebuah impasse. Di pihak lain, Megawati pun-dengan kian derasnya tekanan terhadap diri-nya-membutuhkan dukungan dari unsur pergerakan pemuda yang cukup militan dan berani mengambil risiko, untuk mendorong perubahan. Maka yang terjadi: perjumpaan kepentingan dari unsur dalam tradisi pergerakan pemuda dengan elemen sah dari sistem politik Orde Baru (PDI) yang terdesak, dan karena itu mencari kaki ke "bawah".
10 Agustus 1996 BAB VI Dekrit Gus Dur: Tentang Kepemimpinan
Tipe Kepemimpinan Baru akhir-akhir ini, dalam mendiskusikan kemungkinan peralihan generasi kepemimpinan, rasanya kita terlalu sering berbicara tentang tokoh-tokoh yang akan menjadi pemimpin di masa depan. Dalam kadar tertentu, itu sebenarnya wajar saja. Namun, pembicaraan seperti itu tidak boleh membuat kita lupa bahwa yang terpenting sebetulnya bukan lagi pada soal siapa melainkan pada apa dan bagaimana bentuk kepemimpinan baru itu. Dengan kata lain, yang harus kita perhatikan bersama bukan lagi sekadar tokoh atau pemimpin (leader) tapi kepemimpinan (leadership).
Karena itu, pertanyaan-pertanyaan mendesak untuk kita jawab adalah, secara ideal, bentuk kepemimpinan seperti apa yang sebaiknya diterapkan oleh generasi baru nanti. Dengan berbagai tantangan di masa depan, faktor-faktor apa yang akan menentukan keberhasilan seorang pemimpin" Cukupkah jika ia mewarisi begitu saja bentuk kepemimpinan yang selama ini dominan" Dalam era Orde Baru selama ini, kalau kita menggunakan tipologi yang pernah dikemukakan oleh Prof. Herbert Feith, tipe kepemimpinan yang dominan adalah tipe administrator. Dalam tipe itu, kepemimpinan didefinisikan lebih sebagai kemampuan untuk menciptakan negara modern dengan segala perangkat teknis-administratifnya.
Sang pemimpin, dalam tipe itu, bukanlah seseorang yang menguasasi retorika dan teknik-teknik persuasi. Walaupun memiliki kekuasaan politik yang amat besar, ia sesungguhnya adalah seorang non-politisi par excellence, teknokrat, birokrat, jenderal. Keahliannya bukanlah dalam membujuk dan merayu masyarakat, tetapi dalam memecahkan masalah teknis-dengan duduk di belakang meja-serta merealisasi wewenang birokratisnya. Kalau toh ia ingin memobilisasi dukungan masyarakat luas, biasanya ia melakukannya tidak dengan bujukan dan rayuan tetapi lebih bersandar pada kekuasaan politis-birokratis yang dimilikinya.
Namun, buat generasi kepemimpinan baru kita, tipe kepemimpinan seperti itu jelas sudah harus direvisi. Memang, selama ini kepemimpinan tipe administratif yang non-politis itu telah membantu tercapainya pembangunan ekonomi yang pesat dan pertumbuhan institusi pemerintahan yang cukup kuat. Prof. Widjojo Nitisastro, misalnya, telah melakukan dasar-dasar pembangunan ekonomi yang cukup kukuh, melalui praktik yang nyaris sempurna dari kepemimpinan semacam itu.
Tetapi, di masa depan, persoalan kita sudah sangat berbeda, dan untuk menghadapinya dibutuhkan tipe kepemimpinan yang juga berbeda. Cepat atau lambat, masyarakat kita akan semakin kritis dan mulai mengerti hak-haknya. Mereka tidak ingin hanya menjadi obyek yang terus-menerus diatur oleh pemimpin mereka. Masyarakat ingin dibujuk, dirayu, dan dikeloni. Kalau tidak, potensi destruktif akan mereka kembangkan sebagaimana yang barangkali menjadi salah satu pemicu berbagai kerusuhan belakangan ini. Akibat yang paling gawat, jika hal semacam itu terus berl
angsung, adalah perpecahan nasional, rontoknya pilar-pilar kesatuan republik kita.
Selain gejala seperti itu, gejala lain yang patut kita perhatikan adalah kebijakan ekonomi kita sekarang mengalami fatigue, kelesuan. Pada akhir 1960-an dan pertengahan 1980-an, dalam menghadapi krisis ekonomi, kaum teknokrat mampu membuat inovasi kebijakan yang berani dan berdampak jauh. Sekarang, dalam menghadapi persoalan ekonomi yang baru, seperti tuntutan pemerataan, kita malah kembali ke cara lama, yaitu lebih mengandalkan intervensi birokrasi dan metode etatisme.
Untuk menghadapi kecenderungan dan persoalan baru yang demikian, jelas tipe kepemimpinan yang dibutuhkan adalah tipe kepemimpinan yang lebih "sadar politik". Sebagaimana umumnya pemimpin kenegaraan di negeri-negeri yang telah demokratis, ia adalah seseorang yang mengerti bahwa untuk menggerakkan masyarakat dalam mencapai tujuan tertentu (stabilitas politik, persatuan bangsa, pertumbuhan ekonomi), yang pertama harus dilakukan adalah merebut hati dan membangkitkan simpati masyarakat terhadap tujuan tersebut. Buat pemimpin seperti itu, praktik pemerintahan adalah seni men-ciptakan berbagai kemungkinan dengan mengandalkan visi dan argumen yang masuk akal.
Kalau toh ia seorang teknokrat, misalnya, ia adalah seorang teknokrat-plus atau dalam terminologi yang akhir-akhir ini mulai populer, seorang technopol (teknokrat yang politisi). Jika ia seorang jenderal, ia adalah seseorang yang sadar bahwa logika kepemimpinan dalam masyarakat berbeda 180 derajat dengan logika dalam memimpin pertempuran. Yang pertama membutuhkan dialog dan persuasi, yang kedua sepenuhnya dapat bersandar pada komando dan hierarki. Jika ia seorang birokrat, ia mengerti perbedaan besar antara "pemerintah" dan pelayan masyarakat.
Mungkinkah tipe seperti itu akan menjadi ciri khas generasi pemimpin-pemimpin baru kita nanti" Wallahualam. Yang jelas, dari segi tuntutan sejarah, rasanya kita tidak punya pilihan lain.
Juni 1997 Gus Dur di Titik Nadir julukan paling tepat bagi Gus Dur sekarang adalah "the rapidly shrinking president", presiden yang mengerdil dengan cepat. Betapa tidak. Saat terpilih delapan bulan silam, ia dianggap sebagai produk sebuah kompromi nasional, dan karena itu diharapkan dapat menciptakan ruang-ruang politik yang lebih luas untuk membawa negeri kita ke luar dari kemelut. Dengan Megawati sebagai wakil dan dengan basis legitimasi yang kuat, ia dianggap memiliki kesempatan besar untuk mulai menancapkan dengan kukuh pilar-pilar demokrasi, mendorong pertumbuhan ekonomi, dan menjamin stabilitas sosial.
Di luar negeri, Gus Dur dipuja dan seolah dianggap mukjizat demokrasi. Mereka terkagum-kagum, dan dengan antusias berharap Gus Dur akan menjadi contoh pertama seorang pemimpin Islam yang demokratis dan berhasil memerintah negerinya. Harian terpenting di Amerika Serikat The New York Times, bahkan menempatkan posisi Gus Dur di tempat yang lebih penting ketimbang Sri Paus dan Dalai Lama.
Tetapi, apa yang kita lihat sekarang" Bahkan dari kalangan yang mendukungnya pun, seperti Partai Kebangkitan Bangsa dan para aktivis serta intelektual yang berkumpul di Kuta, Bali, beberapa waktu lalu, argumen yang mereka berikan untuk tetap mempertahankan Gus Dur sudah sangat defensif. Mereka tidak lagi berkata bahwa Gus Dur harus dipertahankan karena ia pemimpin yang terbaik, tetapi karena kemungkinan buruk, yaitu konflik-konflik keras di kalangan massa yang mungkin akan mengiringi penggantian Gus Dur. Argumen mereka dilandasi oleh ancaman dan kecemasan. Bukan lagi oleh harapan dan optimisme.
Inilah bukti terbaik betapa Gus Dur, dalam waktu relatif singkat, telah terpuruk ke posisi yang sangat rendah-sesuatu yang mungkin akan dicatat sebagai hal tragis dalam sejarah politik kita kelak. Mengapa semua itu terjadi" Mengapa harapan terhadapnya begitu cepat berganti menjadi kekecewaan dan kecemasan"
Menurut saya, penyebabnya tidak terletak pada faktor-faktor eksternal, seperti persekongkolan politik, hantu konspirasi, dan semacamnya. Penyebabnya terletak pada Gus Dur sendiri. Setela
h delapan bulan berkuasa, kita sudah bisa melihat Gus Dur yang sesungguhnya. Kita sudah bisa membaca pola kepemimpinannya, kemampuan memerintah, dan moralitas politik yang melekat padanya.
Potret yang tampak sejauh ini: dari segi kepemimpinan, nilai yang bisa diberikan kepadanya adalah C minus. Ia tidak berhasil melakukan metamorfosis kepemimpinan, dari pemimpin tradisional menjadi pemimpin modern. Gus Dur samasekali tidak memiliki perencanaan yang terperinci tentang apa yang harus ia lakukan. Dan, kalau toh Gus Dur memang memiliki sebuah agenda, kita tahu, ia mampu mengubah, mengaburkan, dan menelikung agenda itu, setiap hari. Dalam takaran tertentu, "fleksibilitas" seperti ini memang perlu bagi seorang politikus untuk mengarungi medan politik yang kompleks. Tetapi, pada Gus Dur, takarannya sudah sangat overdosis. Akibatnya, tidak seorang pun saat ini yang mengerti apa yang akan dilakukan dengan sungguh-sungguh oleh pemerintah.
Dari segi moralitas publik, nilai yang diperoleh Gus Dur malah lebih jelek: D minus. Gus Dur terlalu sering memberi contoh yang sangat jelek bagi publik. Dalam banyak kesempatan, saat harus menjelaskan masalah Ambon, Aceh, atau masalah-masalah besar lain yang kita hadapi, ia selalu menuduh orang itu atau orang ini yang menjadi penyebab segala masalah. Ia bukan cuma pengikut "kultur konspirasi", tetapi dialah salah satu sumber dan penciptanya. Ia terus-menerus menuduh dan mencari kambing hitam. Pengaruh dari contoh yang diberikan Gus Dur ini sebenarnya bukan lagi jelek, tetapi sudah berbahaya. Sudah begitu, Gus Dur juga tidak mampu menjadi pelita kejujuran. Sebaliknya, kata-katanya samasekali tidak bisa dipegang (orang yang agak kasar akan berkata, dia adalah seorang pembohong).
Betul bahwa kadang-kadang, karena keterbatasan manusia dan hakikat kekuasaan itu sendiri, seorang politikus terpaksa harus menelikung kata-kata dan menyembunyikan kebenaran. Tetapi seorang politikus negarawan akan mengerti, itu semua adalah bagian dari sebuah taktik untuk mencapai tujuan yang lebih besar dan mulia.
Persoalannya, pada Gus Dur, penelikungan kata-kata itu bukan bagian dari sebuah tujuan yang lebih besar, melainkan hanya sebagai akibat dari kelemahan pribadinya.
Dari segi kepiawaian politik, nilai Gus Dur juga tidak lebih baik. Dalil pertama seorang politikus kawakan adalah "carilah kawan sebanyak mungkin, dan jangan menciptakan musuh kalau memang tidak perlu". Dalil ini sedari awal sudah dilanggar oleh Gus Dur. Ia menciptakan musuh terus-menerus, tanpa sebab-sebab yang jelas, dan tanpa kalkulasi kekuatan riil. Akibatnya, kalau kelemahan moral Gus Dur membuat kita bertanya akan kredibilitas dia, kelemahannya dalam kalkulasi politik menyebabkan dia kehilangan basis-basis dukungan yang semula dinikmatinya. Pertanyaan kita kemudian: lalu apa" Karena sudah berada di titik terendah, apakah Gus Dur sudah perlu diturunkan sekarang"
Kalau memegang kekuasaan sepenuhnya untuk menentukan nasib Gus Dur, saya akan memberinya kesempatan paling lama enam bulan lagi. Saya akan memberi dia peringatan sekeras-kerasnya, tetapi saya tetap memberi dia peluang untuk berubah. Kalau memang berubah, silakan jalan terus. Kalau tidak, ya sudah, palu harus diketuk. Negara kita terlalu besar, dan urusan kita terlalu banyak hanya untuk direpotkan terus-menerus oleh seorang Gus Dur.
3 Agustus 2000 Dari Langit kamu kok memprotes dan mengeluhnya ke aku, Gus" Soal kompromi politik dan nasib kursi kekuasaanmu, itu urusanmu sendiri. Perkaranya kau sendiri yang bikin. Aku jangan diikut-ikutkan, dong. Sebenarnya aku masih ingin menolongmu. Tapi coba kautempatkan dirimu dalam posisiku. Kan, aku juga harus mempertanggungjawabkan langkah-langkahku di hadapan anak buahku. Malaikat-malaikat itu, Zo. Coba, apa yang harus kukatakan kepada mereka untuk membelamu" Sulit betul. Malaikatku di seksi intelijen bilang, dua pekan lalu kau memecat Djohan Effendi, sahabatmu di Forum Demokrasi yang kau minta untuk memimpin Setneg sejak setahun silam. Terus terang, banyak malaikatku sudah lama bersimpati kepada Djohan. Dia orang ya
ng santun dan luarbiasa jujur. Orang seperti dia tidak mungkin pernah mencuri dan mempertaruhkan kemaslahatan publik untuk kepentingan pribadi.
Dengan memecat dia, kau membuat malaikat-malaikatku jadi bertanya. Kenapa kau sering memecat orang yang jujur dan tak terbiasa berbohong" Apa yang ingin kau sembunyikan"
Selain masalah sepele seperti itu, masih banyak lagi soal yang jauh lebih penting. Salah satunya datang dari laporan malaikatku di seksi politik dunia non-akhirat-saya tidak perlu menyebut namanya-bahwa kau sekarang sudah sangat sering menduakan aku. Memang, aku mengerti, kau dan teman-temanmu di Nu sering dekat dan mengaku-aku dekat dengan segala jenis arwah dan roh gaib. Kalau pada tingkat kultural, sih, aku maafkan semua itu. Katakanlah, itu warisan kultur pedesaan yang memperkaya kehidupan manusia, ciptaan-cip-taanku yang terkadang merepotkan itu.
Tapi, Gus, lain soalnya kalau semua itu menyangkut masalah politik dan proses kenegaraan. Kau berurusan dengan orang yang hidup, bukan yang mati. Dengan mereka yang terakhir ini, soalnya memang jauh lebih mudah. Mereka tidak punya hak suara. Dan kau tak perlu meyakinkan mereka bahwa kau pemimpin yang berhasil. Kamu bisa seenaknya saja, tidak perlu bersusah-payah merebut hati mereka. Dengan mereka yang hidup, itulah persoalanmu.
Suaraku adalah suara rakyat yang hidup, yang merasa, yang bisa jengkel dan menimbang-nimbang. Tapi, sejauh ini, apa yang kau lakukan terhadap mereka"
Nol besar. Setahun lebih sudah kau mendapat kesempatan emas untuk berbuat baik terhadap mereka. Wakil-wakil mereka yang sah sudah memberimu peringatan berkali-kali. Tapi kau lebih sering menendang, menyikut, berkelit, dan mengancam.
Dengan semua itu, posisiku agak terjepit sekarang. Kalau aku mengulurkan tangan dan menolongmu, seperti yang terkadang aku lakukan, reaksi para malaikatku pasti akan keras dan memojokkan. Anggota DPR sih masih mendingan. Coba kau diprotes para malaikat. Bisa minta ampun tujuh turunan.
Jadi, maaf, Gus. Kali ini aku tak mungkin membantu. Kalau urusan lain di waktu berbeda, pasti aku akan berusaha menolong. Tapi, soal kompromi politik dan kursimu yang kini sedang oleng, aku angkat tangan. Kau selesaikanlah sendiri.
Cuma, aku ada sedikit pertanyaan-hanya ini yang bisa aku lakukan untuk sementara. Kau ini mau dikenang sebagai pemimpin seperti apa" Kalau mandat kekuasaanmu dicabut bulan depan, kau ingin meninggalkan kesan apa" Dalam beberapa generasi ke depan, kau ingin namamu dikenang dengan penuh syukur dan takzim, atau dicerca dan terus-menerus menjadi bahan olok-olok" Indonesia, seperti negeri lainnya, akan terus menilai karya para pemimpinnya. Kau ingin hanya menjadi pecundang sejarah, tokoh paradoksal yang dianggap menyusahkan rakyat banyak"
Jawabannya ada di tanganmu. Kau belajarlah pada Al Gore, wapresnya Bill Clinton, yang hampir mengalahkan George W. Bush dalam pemilu di AS pada akhir tahun lalu. Namanya menjadi lebih harum justru setelah dia menerima kekalahan dengan besar hati. Dia menerima kenyataan dan mengorbankan kepentingan dirinya demi kepentingan yang jauh lebih besar. Dia tidak pernah mengancam dan menendang dengan panik. Pidato penerimaan kekalahan yang dibacakan Gore akan menjadi salah satu pidato terbaik dan paling bersejarah di Negeri Abang Sam pada abad ke-21. Dengan itu, tanpa menjadi presiden pun, nama Gore akan tetap harum dalam sejarah.
Kalau tidak mau belajar dari negeri yang jauh, kau bisa belajar dari negerimu sendiri. Tepatnya dari tokoh yang kau gantikan, B.J. Habibie. Dia memang memiliki banyak kelemahan sebagai politisi. Dia terlalu naif untuk peran yang membutuhkan ketangkasan Machiavellian ini. Tapi, lihatlah, namanya kini semakin harum, bukan sebaliknya. Pada titik tertentu, dia menerima realitas dan melakukan tindakan yang sangat arif. Dia mundur dengan sukarela, melepaskan kursinya, karena tahu dukungan wakil rakyat untuknya tidak lagi memadai. Tindakan seperti ini akan terus dikenang.
Itulah pelajaran yang baik, Gus. Kalau kau membutakan diri terhadap pelajaran ini, sungguh sayang. Kau bisa berlaku
nekat-nekatan dan memukul atau merusak banyak hal di sisa waktu kekuasaanmu, seperti banteng terluka yang merangsek ke mana-mana. Kalau itu yang menjadi pilihanmu, aku tidak bisa bilang apa-apa lagi. Cuma, pikirkanlah hal itu baik-baik. Jadi, sekali lagi, semuanya aku serahkan kembali ke tanganmu. Aku ada banyak urusan saat ini. Kapan-kapan aku mengirim surat lagi kepadamu.
15 Juli 2001 Dekrit Gus Dur para aktor di panggung sejarah akan dinilai bukan terutama oleh apa yang dikatakan, melainkan oleh apa yang dilakukan, terutama ketika berhadapan dengan krisis yang mengancam dirinya sendiri.
Dekrit Gus Dur, apapun namanya, adalah senjata pamungkas politik yang hanya mungkin dilaksanakan dengan dukungan TNI dan Polri. Kita patut bersyukur, kedua alat negara ini ternyata tetap utuh dan menolak penerapan dekrit itu. Tapi, seandainya kedua institusi pemaksa itu pecah dan terbagi dalam faksi-faksi pro dan kontra-suatu hal yang memang "dicari" oleh Abdurrahman Wahid-pertaruhan keras di kalangan massa akan menjadi sebuah kemungkinan yang sangat riil. Jika ini terjadi, darah akan tumpah dan proses pelembagaan demokrasi kita akan mundur beberapa langkah.
Saya sebenarnya tidak terlalu heran bahwa Gus Dur mau mempertaruhkan apa yang tidak seharusnya menjadi bahan pertaruhan dalam arena politik yang demokratis. Selama beberapa bulan, ia sering mengancam, jika Sidang Istimewa MPR diselenggarakan untuk mencabut mandatnya, gerakan separatis di sekian daerah akan marak dan Republik bisa pecah. Dengan cara ini, ia memberikan insentif bagi para politisi di daerah untuk menjadikan agenda separatisme sebagai bagian dari proses politik yang normal.
Artinya, keutuhan negara bagi tokoh seperti Gus Dur boleh saja dimasukkan dalam proses negosiasi kekuasaan partai atau kepentingan orang per orang. Dengan cara berpikir seperti ini, Gus Dur sudah tidak lagi mampu menarik garis demarkasi antara kepentingan politik, di satu pihak, dan negara sebagai institusi besar tempat berbagai kepentingan ini berinteraksi secara terpola di pihak lain.
Jika batas semacam itu saja bisa dilanggarnya tanpa sedikit pun rasa bersalah, ia pasti mampu dan siap melakukan apapun, termasuk mendeklarasikan dekrit yang secara potensial dapat mengancam nyawa banyak orang dan menyulitkan proses pelembagaan demokrasi. Selain itu, dekrit Gus Dur memperlihatkan sebuah persoalan besar, yang terjadi lebih pada tingkat konseptual. Yang terancam oleh SI MPR adalah posisi Gus Dur sebagai presiden, bukan negara. Dalam hal tertentu, sidang ini malah bisa dipandang sebagai proses politik yang memperkuat institusi negara, karena para aktor yang terlibat di dalamnya diharuskan berkompetisi untuk mencari argumen dalam menutup beberapa celah konstitusional yang memang ada dalam pengaturan hubungan lembaga eksekutif dan legislatif. MPR, sebagai lembaga politik tertinggi, juga sedang belajar menjadi lembaga demokrasi, dengan proses yang tentu saja tidak selalu mendatangkan kekaguman dan rasa hormat. Dengan memaklumkan dekrit, Gus Dur ingin memotong proses ini dan mem-personifikasikan dirinya sebagai negara itu sendiri. "Aku adalah negara, negara adalah aku": jika yang satu terancam, yang lainnya demikian pula.
Sejarah sudah memberikan banyak pelajaran bahwa sistem kediktatoran selalu dimulai dengan cara berpikir semacam itu, dengan alasan-alasan yang tentu saja berbeda dari satu negeri ke negeri lainnya serta dari satu tokoh ke tokoh lainnya.
Saya tidak berkata bahwa jika dekrit Gus Dur terlaksana, yang pasti terjadi hari ini adalah sebuah sistem kediktatoran yang fanatik dengan dirinya sendiri. Sistem seperti ini hanya bisa ada jika faktor-faktor lain dalam masyarakat ikut mendukung.
Tapi, yang jelas, konstruksi konseptual di balik dekrit itu bisa menjadi pemicu bagi bangkitnya faktor-faktor demikian dalam waktu yang relatif singkat. Hampir semua diktator yang pernah ada dalam sejarah modern selalu datang secara tak terduga dalam proses perputaran sejarah yang relatif cepat, yang biasanya dimulai dengan proses pembubaran atau pengebirian parlemen. Karena se
mua itulah, kalau diminta untuk menggambarkan turunnya Gus Dur dari kursi kepresidenan, hanya ada dua kata yang muncul di benak saya: disgraceful exit.
Di masa lalu, dia memiliki peran yang cukup penting dalam memperluas dasar-dasar masyarakat terbuka yang demokratis. Dia melawan Orde Baru-saya sebenarnya tidak begitu yakin bahwa kata "melawan" dalam hal ini cukup tepat peng-gunaannya-dengan gaya dan kelebihannya sendiri yang bagi banyak kalangan sangat memukau.
Sayangnya, pada hari terakhir kekuasaan politiknya, Gus Dur memilih jalan yang berbeda, sebuah jalan antidemokratik yang akan terus dikenang sebagai salah satu contoh buruk dalam perjalanan sejarah republik kita. Ia mengawali kariernya di dunia politik dengan cemerlang. Ia mengakhirinya dengan kepedihan, buat kita semua. Semoga tokoh-tokoh politik kita di masa mendatang tidak lagi pernah mencoba jalan itu.
30 Juli 2001 Megawati dan Soal Persiapan Jadi Presiden
sampai saat ini perkembangan politik masih belum beranjak dari skenario pasca-memorandum kedua. Tidak ada peristiwa besar yang membalikkan ramalan-ramalan yang ada secara radikal. Kemungkinan Megawati Soekarnoputri untuk menjadi Presiden ke-5 RI sudah mencapai tingkat yang hampir absolut.
Memang, peran faktor X yang dapat menggagalkan transfer kekuasaan bulan depan masih terus membayang di mata. Di hari-hari mendatang sebagian anggota DPR/MPR masih dapat tergoda oleh uang atau janji jabatan menteri dan posisi basah lainnya. Beberapa pentolan Polri dan TNI masih dapat dibius dengan pangkat dan aroma kekuasaan, dan dengan itu mendukung penerapan dekrit presiden untuk membubarkan parlemen.
Akan tetapi, jika semua itu tidak terjadi, jalan Megawati akan mulus. Ia akan menjadi pemimpin baru, yang tentunya juga disertai dengan merebaknya harapan-harapan baru dari berbagai kalangan masyarakat. Pertaruhan kekuasaan Megawati tinggi betul, yaitu sistem demokrasi itu sendiri serta kemaslahatan 210 juta rakyat dari Sabang sampai Merauke.
Dalam banyak aspek kemasyarakatan, kondisi yang ada setelah jatuhnya Soeharto dapat gambarkan oleh ungkapan Prancis di era pasca-Revolusi: Plus ga change, plus la meme chose, semakin situasinya berubah, semakin semuanya sama saja. Malah, bagi sebagian orang ungkapan ini sebenarnya keliru sebab kondisi yang ada semakin memburuk.
Demokrasi tidak akan lama bertahan dalam kondisi demikian. Karena itu dalam konteks kesejarahan yang ada sekarang, Megawati tidak boleh gagal sebagai pemimpin. Tentu kita tidak perlu bermimpi bahwa ia akan menjadi semacam Ratu Adil, pelaku superheroik yang hanya ada di dunia mitologi. Tetapi, mestinya tidak terlalu keliru bila kita berharap bahwa dengan segala keterbatasan yang ada padanya, Megawati akan muncul sebagai pemimpin efektif yang berhasil mengatasi tantangan zamannya.
Untuk itu, dia dan pembantu-pembantu terdekatnya harus memikirkan secara saksama banyak hal yang perlu demi suksesnya pemerintahan baru kelak. Buat saya, yang pertama-tama harus dilakukan Megawati adalah menentukan satu atau dua tujuan besar yang konkret. Tujuan yang ingin dan mungkin dicapai olehnya. Hal inilah yang harus dia jadikan sebagai titik di horizon, yang memberi arah bagi perahu pemerintahannya.
Dan dengan itu pula kekuasaan Megawati dapat memiliki fokus yang jelas. Tanpa fokus semacam ini, sebesar apapun kekuasaan yang dimiliki seorang pelaku sejarah, dampak kehadirannya tak akan banyak berarti. Semua pemimpin besar yang hidup di alam demokrasi dikenang bukan karena mereka membuat banyak hal sekaligus.
Franklin D. Roosevelt terus dikenang karena dia melahirkan negara kesejahteraan ala Amerika, dengan tekanan utama pada kebijakan asuransi sosial. Nama Winston Churchill masih ditulis dengan tinta emas karena ia berperan penting dalam membangkitkan semangat perlawanan yang heroik terhadap Hitler pada saat-saat yang sangat kritis dalam Perang Dunia II.
Saya tidak berkata bahwa Megawati harus menjadi Roosevelt atau Churchill. Tetapi, pelajaran dari kedua tokoh ini cukup jelas: untuk mencapai sukses, seorang pemimpin harus memiliki foku
s yang jelas mengenai apa yang ingin dicapainya. Kalau fokus pemerintahan Megawati meluas, abstrak, dengan tujuan yang terlalu beragam dan saling bertentangan, saya khawatir semuanya akan berujung pada kegagalan. Kalau ini terjadi, bukan hanya Megawati dan PDI Perjuangan yang akan terpuruk.
Tujuan apa, dalam kondisi saat ini, yang secara ideal tepat serta secara praktis mungkin dicapai oleh pemerintahan Megawati" Pada hemat saya, di antara pilihan-pilihan yang ada, tujuan demikian harus berhubungan dengan dua hal, yaitu pen-ciptaan ketertiban umum serta pengambilan langkah-langkah tegas untuk memulihkan kondisi perekonomian, khususnya dunia perbankan. Kedua hal ini saling berhubungan. Yang satu tak mungkin tercapai jika yang satunya lagi diabaikan.
Sekarang kita belum mengerti apakah kedua hal itu akan dijadikan sebagai fokus utama pemerintahan baru kelak. Tetapi, Megawati harus segera memutuskan, dalam waktu dan kondisi yang terbatas, tujuan yang akan menjadi mission sacre dari seluruh bangunan kekuasaannya.
*** Selain soal tujuan, Megawati dan pembantu-pembantu terdekatnya juga harus memikirkan mengenai jalan atau metode kepemimpinan. Bagaimana tujuan-tujuan yang dipilihnya dapat dicapai" Dengan apa mencapainya" Sebagai pemimpin yang diatur oleh kaidah-kaidah yang ada dalam sistem demokrasi, apa yang harus dilakukannya dalam berhadapan dengan realitas politik, sebuah dunia yang memiliki logikanya sendiri"
Roosevelt, misalnya, dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkannya, bertindak sangat pragmatis dan betul-betul menjadi politisi, dalam pengertian yang sebenarnya. untuk merealisasikan kebijakan-kebijakannya, dia sering membujuk, merangkul, dan memberi angin pada lawan-lawan politiknya. Namun tidak jarang pula dia menyikut, menohok dan mengucilkan mereka, dalam batas-batas yang dimungkinkan oleh sistem politik di AS. Dia melakukan begitu banyak eksperimen kebijakan pada tingkatan yang lebih mikro untuk mencapai tujuan besarnya, dengan sikap yang terus-menerus optimistis.
Apakah Megawati akan mengikuti model kepemimpinan yang sama" Sejauh ini, Ketua Umum DPP PDI Perjuangan ini memang lebih sering diam dan berbicara melalui pembantu-pembantu terdekatnya. Namun, beberapa indikasi menunjukkan bahwa saat ini dia sudah lebih mampu bertindak sebagai politisi yang menawarkan kompromi di satu pihak, dan bersikap tegas menolak segala perundingan politik di lain pihak. Semakin tersudutnya posisi Presiden Abdurrahman Wahid dalam berhadapan dengan Megawati adalah salah satu bukti dari hal ini.
Selain itu, yang paling menggembirakan adalah kemampuan Megawati untuk lebih bersifat pragmatis dalam memilih kebijakan. Dia dan sebagian kalangan di partainya mewarisi ide-ide nasionalisme dan populisme yang kental dari Bung Karno. Namun, dalam urusan yang berhubungan dengan isu-isu ekonomi, dia tetap memilih dan mendengarkan pendapat dari tokoh seperti Prof. Widjojo Nitisastro dan Prof. Emil Salim.
Kemampuan seperti itulah yang akan semakin dibutuhkannya. Dia akan sering berhadapan dengan tembok-tembok besar. Dia harus mengerti, kapan dia harus melabrak dan meruntuhkannya dengan kekuatan penuh, kapan harus mengambil jalan memutar untuk menghindarinya. Dia harus mampu mempertimbangkan kedua pilihan ini secara pragmatis, dengan mata yang terus tertuju pada tujuan-tujuan besar yang ingin dicapainya.
Churchill pernah berkata bahwa to govern is to choose, seorang pemimpin senantiasa harus mengambil pilihan-pilihan sulit dalam kondisi yang terbatas. Jika Megawati memutuskan untuk lebih memakai kekuatan dan melabrak tembok-tembok yang merintanginya, dia harus mengerti bagaimana memainkan kartu-kartu politik kekuasaan, sebagaimana layaknya seorang pengikut Machiavelli yang sejati, tanpa mengorbankan aturan-aturan yang umum berlaku dalam sistem demokrasi. Jika yang dipilih adalah "politik jalan memutar", dia harus lebih sering menawarkan kompromi dan merangkul seteru politik yang paling memusuhinya sekalipun, tanpa terjebak dalam hutan belukar negosiasi politik yang tak berujung-pangkal.
Pilihan-pilihan demikian pada a
khirnya terpulang pada Megawati. Kita semua berharap, Megawati kini sedang mempersiapkan diri dengan baik untuk menyambut tanggungjawab yang demikian besarnya. Indonesia kini betul-betul dahaga akan seorang pemimpin yang efektif. Semoga kali ini sejarah akan berpihak pada kita.
17 Juli 2001 Megawati ke Amerika akhirnya, presiden ri berangkat ke Amerika Serikat (AS) pada Senin, 17 September. Perjalanan ini semula tidak mengundang kontroversi. Namun, dengan terjadinya teror besar di New York dan Washington, DC, pekan lalu, muncul berbagai seruan agar Megawati menunda keberangkatannya ke negeri yang sedang terlanda bencana itu.
Tidak kurang dari Amien Rais, Ketua MPR, yang ikut mendukung seruan itu. Amerika sedang berduka dan berada dalam proses kepedihan yang dalam. Karena itu, menurut Amien, alangkah baiknya jika Megawati menghormati hal itu dan menunggu saat yang lebih baik untuk ke Gedung Putih.
Alasan demikian bisa dipahami. Tapi, buat saya, argumen bagi keberangkatan Megawati sebenarnya lebih kuat. Justru dengan kunjungan ini, Megawati dapat mewakili Indonesia untuk menyampaikan simpati secara langsung dan, lewat CNN, ABC, CBS, dan media semacamnya, dapat "bertamu" ke ruang-ruang keluarga di seantero penjuru Amerika untuk menyatakan betapa kita semua memahami kepedihan mereka.
Hal sederhana semacam itu, dalam konteks yang ada sekarang, pasti memiliki dampak strategis yang cukup penting, baik bagi kita maupun bagi Amerika sendiri. Suka atau tidak, di mata publik AS, peristiwa teror yang meminta korban ribuan jiwa dan meruntuhkan gedung kembar World Trade Center dan membakar sebagian sisi Pentagon itu dianggap berkaitan erat dengan kaum Islam fundamentalis. Anggapan ini bisa keliru, bisa benar. Namun, itulah kenyataan yang ada sekarang.
Megawati adalah presiden dari negeri dengan penduduk Islam terbesar di dunia. Karena itu, bagi George W. Bush, penerimaan Megawati di Gedung Putih nanti pasti sangat berguna untuk meyakinkan dunia bahwa, dengan memproklamasikan perang terhadap terorisme dalam segala bentuknya, Amerika tidak memusuhi negeri-negeri Islam.
George W. Bush dapat menggunakan pertemuannya dengan Megawati untuk berseru bahwa masyarakat Islam, baik yang berada di Timur Tengah, Asia, maupun di Amerika sendiri, tidak perlu khawatir dengan tekad negeri adidaya yang dipimpinnya untuk mengejar serta menghancurkan kaum teroris hingga ke pelosok dunia mana pun.
Bagi kita dan bagi Megawati sendiri, hal yang sama pun dapat dilakukan, untuk mencapai tujuan yang berbeda. Inilah saat yang terbaik untuk menunjukkan sikap bersahabat kita terhadap masyarakat AS. Fokus Megawati dalam pertemuan dengan George W. Bush di Gedung Putih harus ditempatkan dalam kerangka itu. Soal bantuan dana, penjadwalan utang, isu kerjasama militer, agenda IMF dan Bank Dunia bisa diurus pada tingkat menteri.
Jika peristiwa teror 11 September tidak terjadi, fokus kunjungan Megawati tentu harus berbeda, yaitu sesuai dengan rencana semula yang lebih berhubungan dengan hal-hal terakhir tadi. Namun, konteks yang ada sekarang secara radikal sudah berubah, dan untuk itu tujuan kunjungan di akhir musin panas ini pun harus menyesuaikan diri.
Di beberapa kota yang dikunjungi Megawati dalam beberapa hari ini, pers AS pasti akan berusaha mendengarkan apa yang akan dikatakannya. Di sinilah Presiden RI atau Menlu yang mewakilinya dapat menitipkan pesan bahwa bersama rakyat Amerika, Indonesia juga akan turut memerangi akar-akar terorisme dalam segala bentuknya.
Lewat pers AS, kita bisa menjelaskan bahwa di berbagai belahan dunia, salah satu akar politik yang paling dalam dari terorisme di zaman modern bukan hanya bersumber pada isu-isu keagamaan, tapi juga pada isu dan persoalan separatisme. Inggris, Spanyol, dan banyak negeri lainnya sudah mengalami hal itu. Dan Indonesia, pada saat ini, mungkin telah memasuki tahap sejarah yang menyedihkan, ketika aspirasi nasionalisme lokal cenderung berubah menjadi gerakan bersenjata yang selalu meminta korban warga tak berdosa.
Singkatnya, lewat pers AS dan lewat pertemuannya dengan
George W. Bush, Megawati dapat menggunakan kunjungannya untuk mencapai dua tujuan utama: memperkuat komitmen AS pada keutuhan teritorial Indonesia, serta pada saat yang sama meminta dukungan politik yang lebih eksplisit agar kita bisa menghadapi akar-akar terorisme di negeri kita secara lebih tegas, kalau perlu dengan penggunaan kekuatan bersenjata secara penuh, seperti yang ingin dilakukan oleh AS di saat-saat mendatang, menyusul malapetaka di New York dan Washington, DC.
Tentu, tujuan strategis demikian bisa tercapai, bisa pula tidak. Kalau tercapai, Megawati akan kembali ke Jakarta dengan political capital yang lebih besar untuk menyelesaikan beberapa persoalan domestik yang mendesak, seperti yang terjadi di Aceh.
Kalau tidak, setidaknya Megawati sudah "menyapa" rakyat AS dan menyampaikan uluran simpati pada saat yang paling tepat. Biasanya, kenangan semacam ini akan bertahan lama, suatu hal yang tentu akan meneguhkan sekali lagi persahabatan kita dengan negeri pelopor demokrasi modern itu.
17 September 2001 Bush Goyah, Pelajaran Buat Mega
dari langit turun ke bumi, Zife is back to normaZ. Itulah yang bisa dikatakan mengenai Presiden Bush menyongsong Pemilu 2004. Hal yang sama terjadi pada Presiden Megawati. Untuk terpilih kembali, keduanya harus bekerja keras dan mengubah strategi.
Setelah teror 11 September 2001, popularitas Bush ada di langit, memecahkan salah satu rekor yang selama ini dinikmati Presiden AS. Dia menggebrak dan memimpin negerinya melawan kaum teroris di sudut-sudut dunia. Dia mempersatukan publik melawan musuh bersama. Sampai musim semi tahun ini, posisi itu tidak berubah. Bahkan, "sukses besar" dalam invasi Irak menambah popularitasnya. Ia ada jauh di atas, tak terjangkau oleh para kandidat dari Partai Demokrat yang tengah bersiap-siap menyongsong pemilu tahun depan.
Namun pada pertengahan musim panas, tiba-tiba badai datang, bagai angin puyuh yang kerap menyapu Texas. Casus beZZi-nya bermacam-macam, dari bom yang meledak di Markas PBB, Baghdad, hingga angka pengangguran yang tak juga kunjung membaik. Hari demi hari popularitas Bush melorot. Sekarang diperkirakan hanya tinggal setengah pemilih yang siap mendukung kembalinya Bush sebagai orang nomor satu di AS.
Bonus politik Peristiwa 9/11 sudah berakhir. Posisi Bush hampir kembali lagi ke titik awal, saat dia menang tipis melawan Al Gore pada Pemilu 2000. Ia kini harus berjuang sebagai politisi di zaman normal, tanpa bantuan momentum sejarah.
Hal itu membangkitkan harapan para kandidat Partai Demokrat. Kini mereka merasa pintu telah terbuka. Tidak heran, di kalangan mereka mulai muncul semboyan yang agak mencubit, like father, like son: one term only.
Di kubu Bush sendiri, perubahan itu disambut aneka reaksi, dari penolakan hingga rasa waswas. Untung, ia memiliki seorang penasihat politik piawai, Karl Rove. Dari belakang layar, tokoh yang dijuluki si boy genius itu kini mulai mengubah strategi di Gedung Putih.
Sebelumnya, Bush lebih banyak mengayun langkah yang sesuai harapan kaum konservatif di garis keras. Di pengujung musim panas ini, Karl Rove banting setir dengan memperluas basis Bush dan merebut suara pemilih independen. Ia harus memainkan strategi yang mirip dengan apa yang dikembangkan Dick Morris dalam menyelamatkan posisi Bill Clinton pada Pemilu 1996.
Mungkin langkah Bush-Rove itu akan berhasil, mungkin pula tidak. Yang jelas, presiden ke-43 AS ini kian menyadari, dua tahun setelah aksi teror di New York dan Washington DC, pendulum politik dan suasana hati masyarakat kini mulai bergeser. Ia harus berubah bersamanya, sambil tetap mempertahankan ide-ide dasar yang menjadi landasan perjuangan Partai Republik.
*** Bagaimana dengan Presiden Megawati" Dari semua itu, adakah pelajaran yang dapat dipetiknya"
Berbeda dengan Bush, popularitas Megawati tidak pernah mencapai langit. Namun sama dengan presiden AS, Megawati harus menerima kenyataan, dukungan terhadapnya kini menyusut. Dalam berbagai survei akhir-akhir ini, ia masih menduduki tempat teratas, tetapi dengan proporsi yang kian mengecil.
Tokoh-tokoh lain mulai bermunculan. Seperti para kandidat dari Partai Demokrat, mereka mulai melihat jalan yang kian terbuka. Posisi Megawati dianggap kian lama kian goyah, karena itu bukan tidak mungkin ia dikalahkan.
Sebenarnya, posisi Megawati bisa lebih baik. Operasi penumpasan gerakan separatis di Aceh dan reaksi keras terhadap kaum teroris pasca-Bom Bali adalah dua kebijakan yang didukung luas hingga kini. Sebagai presiden, dengan cara-cara yang sah, ia dapat memanfaatkan kedua kebijakan populer itu untuk menaikkan dukungan terhadap dirinya.
Sayang, Megawati tidak melakukan itu. Yang memanfaatkan justru tokoh seperti Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Dengan posisi sebagai Menko Polkam, dialah yang sering tampil menjelaskan, membela, dan menjawab langsung aneka pertanyaan mengenai kebijakan di Aceh dan langkah melawan kaum teroris di berbagai media, terutama televisi.
SBY tampil sebagai the tough guy, manakala masyarakat merindukan tokoh dan kebijakan yang tegas. Tidak heran, dalam beberapa jajak pendapat nama SBY kini agak mencuat, seiring dengan kian menguatnya harapan semacam itu. Dia mengisi sebuah ruang kosong yang ditinggalkan pemiliknya.
Bila mau, peran itu dapat dimainkan Megawati sendiri, dengan sentuhan yang lebih membangkitkan simpati. Bahkan ia dapat menggunakan posisi SBY guna memperkuat dukungan terhadapnya. Demikian pula dengan semua menteri dalam Kabinet Gotong Royong.
Namun, itulah masalahnya. Sejauh ini ia belum memiliki strategi yang secara sadar dikembangkan guna meningkatkan popularitas dirinya. Mungkin putri Bung Karno ini beranggapan, tanpa diatur sekalipun, "kebenaran" akan muncul sendiri dan dukungan rakyat mengalir lagi.
Bila Megawati mau terpilih tahun depan, anggapan demikian harus ditinjau kembali. Ia harus banting setir, seperti Bush. Dalam politik di alam demokrasi, tidak ada hal yang datang begitu saja. Peluang harus direbut, dukungan dicari, dan strategi disiapkan dengan saksama.
Dalam hal strategi, apa yang dapat dikembangkan Megawati" Bidikan Bush-Rove mengarah ke pemilih independen, sambil sejauh mungkin mempertahankan pendukung tradisional kaum konservatif. Bisakah Megawati dan tim suksesnya melakukan hal serupa, dalam konteks berbeda"
Dalam banyak hal, tugas Karl Rove dan tim sukses Bush di West Wing, Gedung Putih, lebih gampang. Tingkat akurasi survei di AS jauh lebih tinggi, dan karena itu profil pemilih serta preferensi mereka bisa dideteksi dari waktu ke waktu di semua daerah. Strategi yang dikembangkan setiap kandidat, termasuk Bush, adalah hasil deteksi ini.
Di negeri kita, metode dan teknik survei masih pada tingkat awal. Tidak mudah membangun akses pada pemilih yang tersebar di pelosok kabupaten. Jaringan telepon terlalu kecil untuk digunakan sebagai sarana survei yang menyeluruh.
Namun demikian, apa yang dilakukan sejauh ini oleh berbagai lembaga survei bukan tanpa manfaat. Beberapa fakta yang diungkapkan perlu diperhatikan. Dalam satu hal, khusus bagi Megawati, terlihat kecenderungan, justru kelompok berpenghasilan rendah di daerah perkotaan yang paling banyak berpaling dari kandang banteng. Dari segi wilayah, posisi Megawati paling merosot di DKI, Jateng, dan Jatim, tiga provinsi yang bisa dianggap wilayah tradisional PDI-P.
Strategi apapun yang dirumuskan Megawati dan timnya, kemerosotan dukungan di kelompok dan wilayah demikian harus dapat dihentikan. Syukurlah jika strategi ini bisa dikembangkan lebih jauh guna membujuk kelompok pemilih yang hingga kini masih berstatus undecided.
Jumlah kelompok terakhir ini amat besar, hampir separuh total pemilih. Sebagian dari mereka, agaknya tidak akan memilih Megawati. Namun sebagian lagi masih menunggu dan menimbang, apakah ketua umum partai berlambang banteng ini masih pantas diberi kepercayaan memimpin bangsa lima tahun lagi.
Megawati, seperti Bush, harus membuktikan kemampuan dirinya. Ia mungkin berhasil, mungkin tidak. Tetapi kita semua akan memetik manfaat jika ia mencobanya sepenuh hati, dan sebagai akibatnya kompetisi politik para calon pemimpin menjadi lebih tajam dan membangki
tkan inspirasi. Demokrasi, kalau saya boleh menyitir ucapan John Maynard Keynes tentang bekerjanya roda ekonomi, hanya bisa berkembang jika para politisi memiliki nafsu binatang untuk berkuasa. Justru karena ingin memerintah, kaum politisi harus bekerja keras membangun dukungan.
Saya yakin, Megawati ingin merebut kemenangan dalam Pemilu 2004 bukan karena alasan kekuasaan semata. Ada sesuatu yang lebih besar yang ingin diraihnya. Kini kita tunggu, untuk mencapai hal itu, maukah ia bertindak sebagaimana layaknya politikus di mana pun, berusaha tanpa lelah untuk merayu dan merebut hati rakyat.
Dari Langit Karya Rizal Mallarangeng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
18 September 2003 Perlukah Setneg dan Setkab Dipisah"
salah satu masalah penting yang belum terselesaikan dalam tubuh pemerintahan Presiden Megawati saat ini adalah masalah pemisahan dua lembaga vital, yaitu Sekretariat Negara dan Sekretariat Kabinet. Masalah ini tertunda-tunda terus dan, setelah lima bulan, kontroversi di sekitarnya masih bisa kita baca di berbagai media massa.
Hal itu patut disayangkan karena kinerja pemerintahan Megawati dalam banyak hal bergantung pada kecepatan, prestasi kerja, serta perilaku tokoh-tokoh yang menduduki posisi utama dalam dua lembaga penting itu. Kalau tiga atau empat kementerian tidak berfungsi dengan baik, Megawati mungkin masih bisa memerintah dengan efektif. Tapi, kalau Setneg/ Setkab macet, tertutup, atau berjalan dengan agendanya sendiri, kepemimpinan Megawati pasti juga akan macet dan kehilangan elannya sebagai tumpuan harapan masyarakat untuk mengangkat negeri kita ke luar dari berbagai krisis yang telah mencekik selama ini.
Sejauh ini, alasan di balik tertundanya pemisahan Setneg/ Setkab bersumber pada penolakan Bambang Kesowo, tokoh yang kini dipercaya oleh Presiden Megawati untuk memimpin kedua lembaga itu. Dari berbagai laporan, yang kita baca di media massa, argumen Bambang Kesowo bersandar pada satu hal, yaitu keefektifan pengawasan dan pengaturan tugas yang dilimpahkan oleh presiden kepada menteri-menterinya. Jika kedua lembaga itu dipisah, menurut lulusan Harvard yang telah bertahun-tahun membangun karir di Sekretariat Negara ini, kinerja presiden sebagai kepala negara dan sekaligus kepala pemerintahan akan tidak efisien karena mata-rantai keputusan dan kewenangan yang harus dilalui akan melebar dan bertambah panjang.
Argumen seperti itu dalam beberapa hal cukup masuk akal. Namun, ia belum menjawab hal yang fundamental: apakah fungsi kedua lembaga penting itu memang tak terpisahkan sedemikian rupa sehingga kinerja optimalnya hanya bisa tercapai dengan unifikasi, bukannya diversifikasi" Kalau fungsi-fungsi itu hampir sama dan sebangun, kenapa pula harus ada dua lembaga dengan dua nama yang berbeda" Jika di bawah Orde Baru penyatuan keduanya dianggap sukses, apa alasan yang dapat diberikan untuk berkata bahwa ia akan mendatangkan hasil yang sama dalam arena yang sudah jauh lebih terbuka dan demokratis"
Sampai sekarang, saya belum mendengar jawaban yang memadai terhadap pertanyaan sederhana seperti itu. Pada hemat saya, lembaga Sekretariat Negara, sesuai dengan namanya, berperan mengelola negara sebagai sebuah institusi besar yang memiliki simbol-simbol dan begitu banyak aset serta urusan administratif-protokoler yang berhubungan dengan presiden sebagai kepala negara. Dalam hal ini, peran Menteri-Sekretaris Negara memang lebih baik dijalankan oleh seorang birokrat administrator yang sepenuhnya terlepas dari proses politik.
Lembaga sekretariat presiden menjalankan peran yang samasekali berbeda. Lembaga ini merupakan organ politik pemimpin eksekutif karena berkaitan langsung dengan tugas dan kewajiban presiden sebagai kepala pemerintahan.
Presiden dilengkapi dengan kabinet yang dipilihnya karena ia harus membuat kebijakan serta mengkomunikasikan kebijakan tersebut agar didukung oleh publik dan parlemen. Di sinilah peran penting Sekretaris Kabinet: ia membantu presiden dalam memerintah dan membuat kebijakan, mengkoordinasikan anggota-anggota kabinet agar bekerja secara terpadu melayani visi pemimpin mereka, mengatur aspek komunikasi kebijakan dan
pidato-pidato presiden, mengurus hubungan presiden dengan parlemen, dan semacamnya. Di Amerika Serikat, peran semacam ini dimainkan oleh Kepala Staf Gedung Putih, yang biasanya diisi oleh politisi kepercayaan presiden.
Bahwa di masa Orde Baru dan sebelumnya kedua lembaga itu disatukan, saya kira ini harus dilihat lebih sebagai proses pembagian kerja kelembagaan yang terhambat. Dan khususnya dalam era Soeharto, unifikasi demikian memang wajar adanya karena saat itu birokratisasi dunia politik berjalan tanpa perlawanan sama-sekali.
Tapi sekarang panggung pemerintahan sudah berbeda 180 derajat dan era Sudharmono atau Moerdiono sebagai sebuah kekuatan besar tersendiri sudah lewat. Saat ini, kantor kepresidenan dan ruang-ruang rapat di berbagai kementerian harus terkait secara organis dengan proses politik dalam masyarakat. Presiden membutuhkan ruang-ruang tertentu yang membuatnya cukup leluasa untuk memerintah sebagai politisi dan pemimpin partai, bernegosiasi, bertemu, dan membujuk berbagai elemen dalam masyarakat. la dan anggota kabinetnya harus dapat memanfaatkan media massa untuk menyampaikan pesan agar masyarakat mengerti apa yang sedang dilakukan oleh tokoh eksekutif dalam mengangkat nasib mereka.
Semua itu sarat dengan dimensi politis, bukan birokratis atau administratif semata. Jika kedua hal ini dikacaukan atau dicampuradukkan, saya khawatir, dalam masa transisi yang sulit dan tak pasti ini, presiden kita, siapapun orangnya, akan sukar memperoleh dukungan yang memadai untuk mengambil inisiatif kebijakan penting yang sudah lama ditunggu masyarakat.
17 Februari 2002 Despot Paling Keji kekejaman dan kekejian Stalin telah terkenal di seluruh dunia. Namun hanya sedikit penulis yang berhasil menuliskan itu semua dalam detail yang kaya dan panoramik. Dr Medvedev jelas merupakan salah satu di antaranya. Ia menulis bukan hanya sebagai seorang sejarawan yang bagus, melainkan juga sebagai seorang penuntut yang jujur dan tajam, yang menangani kasusnya berdasarkan begitu banyak informasi yang berasal dari korban-korban para tiran.
Dalam buku ini dia memperkirakan bahwa sebanyak 20 juta orang mati, dan beberapa juta orang yang lain disiksa dengan keji, di tangan pasukan polisi dan birokrasi Stalin. Dr Medvedev memperlihatkan bagaimana, dalam usahanya untuk menghancurkan sisa-sisa pasukan lama dari era Lenin dan membangun "sosialisme dalam satu negara", Stalin menggunakan mekanisme teror. Pendeknya, bagi Dr Medvedev, Stalin telah melakukan suatu kejahatan "yang sulit dicari padanannya dalam sejarah dunia... tidak ada satu tiran atau despot di masa lalu yang membunuh dan menyiksa begitu banyak wargane-garanya sendiri".
Stalinisme merupakan sebuah sistem pemerintahan yang teroristik dan diktatorial, yang terkonsolidasikan melalui kultus pribadi sang diktator. Akar sistem ini, bagi Dr Medvedev, tidak terletak dalam gagasan-gagasan Marx atau dalam warisan revolusioner Lenin. Stalinisme hanya sebuah penyimpangan: "Stalinisme samasekali bukan tak-terelakkan". Stalin hanyalah seorang devian keji yang merintangi komunisme dalam membangun suatu masyarakat yang manusiawi dan sejahtera. Stalin "tidak pernah merupakan seorang komunis sejati".
Di sini kita bisa melihat bahwa, dalam usahanya yang jujur dan tajam untuk mencari kebenaran, Dr Medvedev mengulangi apologi terkenal para Leninis yang keras kepala. Bagi mereka, tidak ada satu hal pun yang secara inheren salah dengan Marxisme dan praktik-praktik revolusioner Leninis. Kegilaan dan paranoia Stalin-lah yang menciptakan teror yang sistematis dan kekaisaran kejahatan. Dengan demikian, tugas pertama untuk membangun kembali sistem Soviet adalah mencuci "semua lapis noda Stalinis".
Sulit untuk menerima jenis pietisme Leninis ini. Pertama-tama, kita tahu bahwa teror, sebagai alat kekuasaan, dibenarkan dan digunakan oleh Lenin. Pada 1901 Lenin berkata,[Di sini semua ucapan dan kutipan Lenin diambil dari The Grand Failure karya Zbigniew Brzezinski (1989: 17-21).] "Pada dasarnya kita tidak pernah meninggalkan teror dan tidak bisa meninggalkannya." Dan beberapa
bulan sebelum Revolusi Oktober, ia menulis bahwa kaum Bolshevik harus menjalankan kediktatoran; dan definisinya tentang kediktatoran adalah "se -buah kekuasaan yang tidak dibatasi oleh hukum apapun, tidak terikat oleh aturan apapun, dan secara langsung didasarkan pada paksaan". Partai Bolshevik harus menjadi satu-satunya pemegang kebenaran.
Bukan hanya dalam kata-kata dan pemikiran Lenin mempersiapkan lahirnya Stalinisme. Dalam praktik, apa yang ia lakukan ketika ia berkuasa, menurut Brzezinski, adalah "konfrontasi yang hampir sepenuhnya dengan masyarakat". Lenin menciptakan sebuah partai tertinggi yang dilengkapi dengan pasukan polisi rahasia untuk-dalam ungkapan Brzezinski- "mendorong bukan meluruhnya negara melainkan masyarakat sebagai sebuah entitas yang otonom".
Lenin, dengan kata lain, mempersiapkan dasar sebuah negara yang sangat terpusat bagi Stalin, yang didasarkan sepenuhnya pada kekuatan paksaan, dan yang di dalamnya tidak ada aktivitas spontan dan otonom yang bisa dijalankan. Apa yang dilakukan Stalin adalah memperluas warisan Leninis ini dalam skala yang sangat besar.
Karena itu, kita harus membaca buku Dr Medvedev dari sudut pandang ini: bagaimana seorang murid ekstrem Lenin, yang memiliki kecenderungan-kecenderungan psikologis seperti haus akan kekuasaan, paranoia, kekejian, dan ambisi yang tidak terbatas, mencoba dengan seluruh kemampuannya ("tanpa dibatasi oleh hukum apapun, tanpa terikat oleh aturan apapun") untuk mewujudkan komunisme dalam realitas.
Mengapa Stalin "sangat berhasil" menjalankan hal ini" Apakah Rusia merupakan sebuah tanah yang subur bagi semua jenis tiran" Apakah Marx benar ketika ia menulis bahwa "Setiap orang memiliki aturan-aturannya sendiri"" Dr Medvedev tampak eklektik dalam memecahkan persoalan-persoalan ini. Ia mengutip seorang penulis Arab, al-Kawakibi, yang menyatakan bahwa "orang-orang awam adalah makanan dan kekuasaan seorang despot; ia berkuasa atas mereka dan dengan bantuan mereka menindas yang lain". Sampai tingkat tertentu ia juga setuju dengan Richard Pipes, yang berkata bahwa Stalinisme merupakan kelanjutan dari patrimonialisme Rusia abad ke-18 dan 19 dalam bentuk yang lain. Namun Dr Medvedev juga tidak sepenuhnya menolak argumen Irina Ilovaiskaya bahwa Revolusi Oktober memutus sejarah Rusia ketika ia jelas "sedang bergerak ke arah liberalisasi... ke arah keseimbangan dan kestabilan Eropa".
Dari eklektisisme ini tentu saja tidak ada sesuatu yang secara teoretis dapat kita setujui atau tidak setujui. Menyetujui setiap hal berarti tidak menyetujui apapun. Namun mungkin tidak fair untuk meminta Dr Medvedev memecahkan dan menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Sebagai seorang sejarawan-bukan seorang teoretisi-ia telah melakukan tugasnya dengan sangat baik: ia mencatat, menggambarkan, dan menyingkap tindakan-tindakan seorang despot paling keji yang pernah ada dalam sejarah manusia.
21 Januari 1993 BAB VII Menuju Pelembagaan Reformasi:
Tentang Isu-isu Seputar Reformasi
Kaum Aktivis Kebablasan mpr telah menipu rakyat. Itulah yang diserukan oleh Koalisi Organisasi Non-Pemerintah di tengah-tengah Sidang Tahunan MPR di Senayan, Jumat 8 Agustus silam. Dalam semangat anti-politik yang pekat, kaum aktivis non-partai yang tergabung dalam koalisi ini dengan dramatis menyobek rancangan pembentukan Komisi Konstitusi yang dibuat oleh para politisi di MPR. Mereka berpikir, hanya ide mereka yang murni, dan segala yang lainnya adalah sebentuk penipuan kepada rakyat.
Kaum aktivis di luar lembaga perwakilan memang harus mengambil jarak dan senantiasa bersikap skeptis terhadap kaum politisi. Tetapi, saya kira, sebagian dari wakil mereka yang tergabung dalam Koalisi Organisasi Non-Pemerintah (Ornop) sudah kebablasan: skeptisisme mereka sudah berubah menjadi sinisme yang penuh amarah.
Bahkan saya agak khawatir, pandangan-pandangan yang mereka lontarkan selama Sidang Tahunan MPR yang berakhir pekan lalu bisa melemahkan dasar-dasar legitimasi sistem demokrasi itu sendiri.
Tentu saja, saya bisa memahami sebagian kekecewaan mereka. Keempat aman
demen yang telah dilahirkan oleh MPR sejak empat tahun silam masih menyisakan beberapa persoalan.
Dalam soal bikameralisme, misalnya, tidak terdapat penjelasan yang memadai tentang fungsi dan peranan Dewan Perwakilan Daerah (DPD), sebuah lembaga penting yang seharusnya diberi kewenangan sebagaimana yang dinikmati oleh lembaga Senat di Amerika Serikat.
Selain itu, dalam soal hubungan antara lembaga-lembaga tinggi negara, dalam hal ini antara presiden dan DPR, prinsip check and balances belum sepenuhnya tampak dengan terang-benderang. Dalam mengesahkan undang-undang yang telah disetujui oleh DPR, presiden hanya diberi waktu selama 30 hari untuk mempertimbangkannya. Dan jika presiden tidak setuju, undang-undang itu tetap akan berlaku (Pasal 20 Ayat 5).
Artinya, sementara DPR dapat mengontrol presiden, hal sebaliknya tidak terjadi. Sebab, presiden tidak diberi hak veto yang eksplisit. Hak veto yang ada hanya berlaku implisit: presiden diberi wewenang merumuskan undang-undang bersama DPR (Pasal 20 Ayat 2).
Dalam hal ini, kita bisa bertanya: mengapa hubungan antara DPR dan presiden dibuat dengan penuh ambiguitas sedemikian rupa sehingga bisa menimbulkan konflik kelembagaan di masa depan" Mengapa presiden, sebuah lembaga dengan legitimasi yang kuat karena dipilih langsung oleh rakyat, tidak diberi hak yang eksplisit untuk mengontrol DPR agar terjadi perimbangan kekuasaan dalam menentukan aturan-aturan yang langsung berpengaruh pada perikehidupan umum"
Daftar kelemahan dan kekurangan yang ada masih bisa diperpanjang lagi. Namun, semua itu bukanlah kelemahan yang bersifat fundamental yang akan menyebabkan demokrasi kita macet dan rontok. Kekecewaan yang begitu dalam di kalangan para aktivis tidak sebanding dengan derajat kelemahan yang ada dalam konsititusi "baru" kita.
Buat saya, berbagai kelemahan yang ada terlalu kecil untuk menutupi sukses besar yang telah dihasilkan oleh MPR dalam empat amandemen. Dengan segala keterbatasan dan dengan distribusi kursi partai yang menyulitkan pengambilan berbagai keputusan besar, MPR telah menghasilkan konstitusi baru yang lebih sesuai dengan semangat zaman.
Kini, setiap warganegara secara eksplisit dijamin kebebasannya dalam berserikat, berkumpul, dan berpendapat (dalam konstitusi "lama", hak-hak itu kabur karena masih diatur dalam undang-undang). Selain itu, setiap warganegara sekarang dapat memilih pemimpinnya secara langsung, tidak ada lagi golongan perwakilan yang tak terpilih dalam parlemen. TNI-Polri sudah menyatakan sayonara tanpa letupan-letupan yang berbahaya, serta substansi Pasal 33 tentang perekonomian lebih mengikuti semangat perkembangan dunia. Singkatnya, sekarang kita telah memiliki konstitusi yang dapat digunakan untuk mendorong proses transisi demokrasi yang lebih baik di masa depan.
Sekali lagi, sukses yang telah dicapai ini bukan berarti di kemudian hari perbaikan di sana-sini tidak lagi dibutuhkan. Dan dalam sistem demokrasi, upaya-upaya perbaikan dan perubahan demikian adalah proses politik.
Dengan atau tanpa Komisi Konstitusi sebagaimana yang diusulkan oleh kaum aktivis di Koalisi Ornop atau oleh petinggi-petinggi TNI-Polri, yang perlu terus diingat adalah bahwa proses demikian akan melibatkan pertentangan dan perbedaan konsepsi tentang berbagai hal yang ideal.
Dalam proses itu, tidak satu pihak pun yang berhak mengatakan bahwa hanya dirinya yang membawa kebenaran dan kemurnian. Justru demokrasi perlu, seperti kata Isaiah Berlin, karena dalam dunia nyata ada banyak kebenaran yang masing-masing mungkin saling bertentangan-dan karena itu kita harus mencari cara damai dan terlembaga untuk bernegosiasi dan mengambil keputusan yang mengatasnamakan semua.
Itulah yang perlu disadari oleh setiap komponen prodemokrasi, terlebih oleh kaum aktivis yang sejauh ini hidup dan karirnya memang diabdikan untuk mendukung gagasan demikian. Kalau pihak terakhir ini sudah mulai tak sabar dan terjebak dalam sinisme berlebihan terhadap proses politik dan terhadap kaum politisi, transisi demokrasi kita akan kehilangan salah satu motornya yang dapat diandalkan.
Dua pekan lalu, kaum aktivis sudah kebablasan. Mereka harus membuktikan bahwa, dalam momen-momen historis lainnya di saat-saat mendatang, hal itu tak akan terjadi lagi.
19 Agustus 2002 Konstitusi 2002 dan Dua Perkara
SAYA SENANG bahwa tiga aktivis Koalisi Ornop, yaitu Bambang Widjojanto, Todung Mulya Lubis, dan Mochtar Pabottingi, menanggapi kolom Goenawan Mohamad dan kolom saya dengan antusias.
Dari mereka bertiga, kalau kita sederhanakan, ada dua soal yang menjadi biang perkara, yaitu masalah prosedural dan substansial. Yang pertama berhubungan dengan metode pengambilan keputusan yang merumuskan dan mengesahkan Konstitusi 2002 dengan empat amandemennya, sementara yang kedua berkaitan dengan substansi yang ada dalam amandemen tersebut.
Dalam soal prosedur, ketiga aktivis Koalisi Ornop ini berpandangan bahwa mekanisme perumusan dan pembahasan amandemen konstitusi di Panitia Ad Hoc I serta pengesahannya dalam sidang-sidang MPR bukanlah mekanisme yang tepat. Menurut Mochtar Pabottingi, misalnya, dalam mekanisme ini terkandung apa yang disebutnya sebagai "irasionalitas prosedural".
Tanpa bersandar pada argumen legal-formal, penolakan ketiganya lebih bertopang pada tudingan miring terhadap kualitas moral-personal dari kaum politisi yang duduk di lembaga MPR kita sekarang. Mereka menganggap kaum yang terakhir ini sebagai kaum partisan dengan kepentingan sempit, jangka pendek, yang tidak mewakili bangsa secara keseluruhan, dan karena itu tidak layak diberi kewenangan merumuskan konstitusi.
Argumen semacam ini agak mengherankan. Sebab, kaum aktivis di Koalisi Ornop sebenarnya meminta mandat dari MPR untuk membentuk komite konstitusi. Dan juga kita tahu bahwa selama beberapa tahun terakhir ini Koalisi Ornop cukup aktif melobi dan memengaruhi kaum politisi di Senayan untuk menerima ide-ide mereka.
Saya sebenarnya khawatir bahwa tudingan miring tadi lebih disebabkan oleh ketidakberhasilan mereka untuk sepenuhnya menyuntikkan konsepsi mereka kepada kaum politisi di MPR. Jika sejumlah wakil rakyat tidak setuju pada konsepsi yang datang dari Koalisi Ornop, mengapa mereka harus dituding sebagai orang berpikiran sempit" Bukankah yang terjadi di sini adalah perbedaan konsepsi yang wajar adanya antara pihak yang satu dan yang lainnya"
Terus-terang, di sini saya mencium aroma Brahminisme politik yang berlebihan. Bambang Widjojanto, misalnya, berkata bahwa "koalisi kami adalah Koalisi untuk Konstitusi Baru, karena melibatkan banyak pihak di luar komunitas LSM seperti kaum intelektual dan para guru besar yang menggunakan rasionalitas politik dan nurani keberpihakannya tidak pada kepentingan politik jangka pendek dan keinginan 'sesembahan' politiknya".
Pandangan semacam ini dalam substansinya bersifat otoritarian, sesuatu yang ironis dikatakan oleh tokoh-tokoh yang ingin mengusulkan konstitusi demokratis. Soeharto dan kaum militer pada era Orde Baru, serta Soekarno pada zaman Orde Lama, pada dasarnya berpandangan sama: kaum politisi di partai dan parlemen berpikiran sempit, karena itu kewenangan mereka harus dilucuti. Masyarakat harus dipimpin oleh kaum terpilih-pemimpin revolusi, jenderal, intelektual, guru besar, teknokrat, dan semacamnya-yang "rasional", berpikiran jauh ke depan, tanpa kepentingan politik sesaat.
Seruling Haus Darah 1 Wiro Sableng 052 Guna Guna Tombak Api Dendam Dalam Darah 2
Mengapa" Berdasarkan hasil Pemilu 1999, kita tahu bahwa secara alamiah masyarakat politik Indonesia adalah sebuah entitas yang sangat terpilah, a highly fragmented polity, di mana tidak ada satu pun kekuatan yang mampu mendominasi arena politik. Hal inilah yang hingga sekarang menjadi persoalan terbesar dalam menciptakan stabilitas permanen dan membangun struktur penentuan publik yang efektif dalam proses transisi kita.
Kesulitan demikian hanya dapat diatasi dengan munculnya sebuah koalisi dominan dari dua partai besar yang memiliki ideologi yang kurang lebih sama, atau setidaknya tidak berbeda secara diametral. Bagi saya, dalam jangka panjang, koalisi dominan yang dapat memenuhi tuntutan semacam itu dan mendominasi panggung politik hanya mungkin dilakukan oleh PDI Perjuangan dan Partai Golkar. Kalau sekarang ini keduanya membangun basis koalisi yang kukuh, maka sebenarnya
sebuah persoalan politik yang fundamental telah terselesaikan, sebab telah tercipta sebuah kekuatan dengan suara yang melampaui 50 persen+1 di parlemen.
Bahwa sekarang semua itu belum atau masih sulit terjadi, saya kira kita semua sudah mengerti dengan baik. Tetapi di situ pulalah soalnya: jika strategi bumi hangus atau strategi oposisi permanen yang dipilih oleh tokoh-tokoh yang mengemudikan Partai Golkar dalam menghadapi kemelut saat ini, kemungkinan koalisi demikian pasti akan semakin menjauh. Dalam hal ini Partai Golkar akan menjadikan PDI-P dan Presiden Megawati sebagai bete noire, seteru yang perlu dilawan serta dipatahkan terus-menerus. Namun, jika strategi kedua, atau strategi kompromi dan full-disclosure yang dipilih, kemungkinan pembentukan koalisi dominan tadi masih tetap terbuka.
Dan pada hemat saya, justru hal itulah yang saat ini harus dilakukan, jika pertimbangannya adalah kontribusi Partai Golkar yang positif terhadap proses transisi demokrasi di negeri kita. Dalam perjalanan hidup individu maupun partai politik, kemelut dan krisis seringkali tak dapat dihindarkan. Yang harus dilakukan adalah menjadikan kemelut itu sebagai batu loncatan untuk mencapai sesuatu yang lebih besar. Kemelut harus dilihat bukan sebagai proses kehancuran, tetapi sebagai sesuatu yang mendewasakan.
10 Maret 2002 Konvensi Partai Golkar Akal-akalan"
SETELAH BANYAK DIPUJI, Konvensi Partai Golkar kini menuai sejumlah kritik. Nurcholish Madjid mundur dari konvensi ini, sebagian kalangan intelektual dan beberapa politisi partai-partai baru menyambutnya dengan berkata, sejak awal konvensi itu hanya akal-akalan, sebuah proses yang penuh politik uang serta diatur sedemikian rupa sehingga yang akan keluar sebagai pemenang akhirnya adalah Akbar Tandjung, sang ketua umum yang sarat masalah itu.
Saya menghormati hak Nurcholish Madjid untuk mundur. Tetapi, apakah aneka kecaman dari berbagai kalangan terhadap konvensi itu cukup adil dan akurat" Apakah para pengkritik mengerti apa yang sebenarnya mereka katakan"
Dalam hal Akbar Tandjung, misalnya, kita sepakat, kesertaannya dalam konvensi justru merugikan partainya sendiri. Namun, apakah ia otomatis akan keluar sebagai pemenang atau salah satu pemenang" Bahwa posisinya kuat, tentu (tiap incumbent memiliki keuntungan sendiri). Tetapi betulkah ia pasti menang"
Dalam tahap konvensi untuk memilih lima kandidat calon presiden yang prosesnya akan dimulai 1 September, unit pemilih yang paling menentukan ada di Daerah Tingkat II (kota dan kabupaten). Di sini, karena adanya aturan tentang voting block, bukan pengurus partai di kabupaten atau kota yang akan menjadi penentu, namun pengurus partai di tingkat kecamatan dan ormas-ormas yang terkait dengan Partai Golkar di Dati II.
Apakah Tandjung dapat mengontrol dan mengatur suara puluhan ribu kader dan aktivis Partai Golkar yang tersebar di tingkat kecamatan dan kabupaten, dari Sabang hingga Merauke" Siapa yang bisa menebak isi kepala puluhan ribu kader dan aktivis akar rumput ini"
Dalam proses penjaringan nama yang berakhir pekan lalu, di mana unit pemilihnya adalah pengurus partai di tingkat provinsi, Tandjung hanya menempati urutan ke-5, di bawah Aburizal Bakrie, Surya Paloh, Wiranto, dan Jusuf Kalla. Sebagai ketua umum, pengaruh Tandjung paling kuat terasa pada tingkat pengurus provinsi. Tetapi, pada tingkat ini pun ia ternyata tidak sekuat yang diduga banyak orang. Karena itu, bila kita bicara tentang suara di tingkat kabupaten dan kecamatan, sebenarnya kita sedang berhadapan dengan sebuah ketakpastian, sebuah wilayah yang belum pernah terjamah proses pemilihan langsung pimpinan politik sebagaimana terjadi dalam konvensi ini. Di terra incognita ini, segala hal mungkin terjadi, termasuk tersingkirnya Tandjung dari posisi lima besar.
Memang, ketidakpastian itu akan menciut drastis saat proses konvensi memasuki tahap terakhir, tahap pemilihan dari lima menjadi satu kandidat capres yang akan berlangsung 11-13 Februari 2004. Posisi Tandjung sebagai ketua umum lebih berpengaruh pada tahap ini. Namun, di sini pun pengaruh
itu sebenarnya terbatas, baik karena aturan mengenai voting block maupun karena jumlah suara Dati II yang demikian mendominasi.
Pada tahap ini, seluruh pengurus DPP yang jumlahnya lebih seratus hanya mendapat hak suara 18, dan para pengurus DPD di 30 provinsi mendapat hak masing-masing tiga suara.
Artinya, jumlah suara yang dimiliki pengurus di tingkat pusat dan Dati I adalah 108 suara (18+90), sementara jumlah kota dan kabupaten adalah 416 dan masing-masing akan mendapat satu suara. Belasan suara selebihnya akan dibagi oleh ormas partai yang ada di ibu kota.
Katakanlah dalam puncak konvensi nanti Kandidat A dan B adalah dua dari lima nama yang memperebutkan posisi ca-pres Partai Golkar. Dalam penentuan di kalangan DPP, jika dari 103 pengurus ternyata 52 di antaranya mendukung Kandidat A dan 51 mendukung Kandidat B, maka capres resmi DPP adalah Kandidat A, dan otomatis skor suara yang diperolehnya adalah 18, dan Kandidat B tidak memperoleh apa-apa (inilah yang disebut sebagai voting block).
Dalam penentuan di kalangan masing-masing DPD I, Kandidat A ternyata masih unggul, meski tidak sepenuhnya, misalnya dengan menjadi pilihan dari 22 DPD I. Dalam hal ini Kandidat A mendapat tambahan 66 skor suara (22x3). Jadi, saat ini situasi amat tidak berimbang, Kandidat A mendapat skor 84, sementara Kandidat B hanya 24 (8x3).
Kemudian, dalam penentuan di kalangan pengurus DPD II ternyata Kandidat B yang lebih populer mendapat dukungan dari 250 DPD II, sementara Kandidat A hanya memperoleh 150 dukungan, dan sisanya dibagi ke tiga kandidat lainnya. Jadi, Kandidat A mendapat tambahan 150 skor suara sementara Kandidat B mendapat tambahan 250.
Meski tidak lagi mendapat tambahan suara dari belasan ormas yang ada di ibu kota, pemenang konvensi adalah Kandidat B dengan 274 suara. Kandidat A yang kuat di tingkat pusat dan provinsi harus gigit jari karena tidak mampu merebut lebih banyak dukungan di kalangan pengurus dan aktivis partai di tingkat kota dan kabupaten.
Jadi, bisa dikatakan, tahap puncak ini pun, dominasi kader-kader partai yang jauh dari pusat kekuasaan amat terasa.
Secara keseluruhan, suara mereka mencapai hampir 80 persen dari total suara yang ada dalam konvensi. Hanya kandidat yang dapat merebut dukungan merekalah yang dapat muncul sebagai pemenang Konvensi Partai Golkar.
Untuk merebut dukungan itu, peran uang merupakan salah satu faktor penting. Seorang kandidat tidak mungkin terpilih jika ia hanya menelepon atau berkirim surat kepada para aktivis dan tokoh partai di daerah. Para kandidat harus berkeliling ke 30 provinsi dan setidaknya ke 70 persen dari 416 kabupaten dan kota yang ada di penjuru Tanah Air.
Semua itu tak mungkin dilakukan dalam waktu relatif singkat tanpa dana besar untuk membeli atau menyewa pesawat terbang, membayar hotel untuk rombongan dan tim sukses, menyediakan makan dan minum pada acara-acara pertemuan, membagi kaos dan bendera partai, menyewa bus, memberi kontribusi dana bagi kegiatan partai di daerah, bahkan memberi ongkos transportasi bagi aktivis partai di kecamatan untuk hadir dalam forum pertemuan di ibu kota kabupaten, dan seba-gainya. Apa boleh buat, demokrasi memang mahal, apalagi dalam sebuah negeri besar seperti negeri kita.
Namun, dana besar saja tidak cukup. Sang kandidat harus mampu membujuk, bertukar-pikiran, dan mendengarkan aspirasi banyak kader dan pengurus partai di daerah. Ia harus terbang ke seluruh penjuru Tanah Air untuk bersalaman dan membangkitkan harapan kader-kader partai serta meyakinkan mereka bahwa ia adalah pemimpin yang mampu membawa Indonesia ke arah yang lebih baik.
Dalam proses itulah sebenarnya terletak nilai penting konvensi ini. Ia adalah sebuah eksperimen demokrasi di tingkat awal, sebuah prelude bagi pemilihan langsung presiden tahun depan yang baru pertama kali terjadi di republik ini. Partai-partai besar lain tidak melakukannya. Kita harus mengamati apa yang terjadi dalam konvensi ini, kelemahan maupun kelebihannya, guna mempelajari lebih saksama hal-hal yang masih bisa ditingkatkan agar pemilihan presiden tahun depan bisa lebih ba
ik. Tandjung, bahkan Nurcholish Madjid, hanya sebagian kecil dari proses besar yang sedang berlangsung. Demokrasi Indonesia akan terus terseok bila kita lebih merasa nyaman dan senang bertepuk dada dalam mengorek hal-hal kecil, dan pada saat sama melupakan potret besar yang jauh lebih penting.
Jadi, bukannya tergesa-gesa melontarkan kecaman dan menuduhnya sebagai akal-akalan. Kaum intelektual harus memberi apresiasi memadai dan mendorong agar konvensi berjalan lancar, dengan atau tanpa keterlibatan ketua umumnya yang kontroversial itu.
Dalam politik berlaku adagium, the road to heaven is not always paved with good intentions. Para politisi Partai Golkar yang merancang konvensi ini mungkin ada yang berniat jelek dan ingin mengalihkan perhatian publik dari kelemahan-kelemahan mereka. Tetapi proses konvensi ini, setelah berjalan, ternyata memiliki dinamika sendiri yang tak dapat dikontrol siapapun. Niat pembentukannya mungkin tak sesuai niat para malaikat, namun konvensi ini ternyata menjadi panggung demokrasi menarik.
5 Agustus 2003 Konvensi Partai Golkar Tidak Demokratis"
("Rejoinder" untuk Eep Saifulloh Fatah)
SKEPTISISME TERHADAP KONVENSI PARTAI GOLKAR sah-sah saja, bahkan baik dan perlu. Namun, sikap ini harus dilandasi pemahaman akurat atas fakta-fakta. Jika tidak, ia akan mudah terjerumus dalam sinisme berlebihan.
Tanggapan Eep ("Konvensi Partai Golkar Tidak Demokratis", Kompas, 13/8/2003) patut disambut baik. Namun, beberapa kekeliruan dalam tanggapannya tentang hal-hal yang sederhana mengharuskan saya menjelaskan lagi mekanisme konvensi, berikut hal-hal yang belum sempat saya singgung.
Kejutan Penjelasan Eep tentang voting block sebenarnya persis dengan yang telah saya katakan. Bedanya, Eep menganggap metode ini "menyeragamkan aspirasi" pengurus partai, karena itu tidak demokratis.
Bagi saya, pada dirinya metode ini masih bersifat "netral". Ia lazim digunakan dalam sistem pengumpulan suara pemilu di berbagai negara, disebut mekanisme first-past-the-post. Hanya satu kandidat (atau lima kandidat, jika tahapnya masih prakonvensi) yang langsung mendapat skor tertentu yang telah ditetapkan, dan kandidat lain harus gigit jari.
Metode ini harus dilihat dalam konteks, yaitu hubungan skor yang ditetapkan dengan sumber-sumber suara lainnya dalam konvensi yang sama. Inilah yang dilewatkan Eep.
Dalam dua tahap konvensi tingkat nasional, misalnya, skor 18 yang dimiliki DPP kelihatan besar. Namun, skor yang dimiliki himpunan pengurus di provinsi adalah 90 karena masing-masing mendapat blok suara dengan skor 3, sementara skor suara bagi kabupaten dan kota adalah 416 (tanpa voting block).
Tanpa bantuan kalkulator pun kita mudah memahami, dalam konvensi tingkat nasional, hak suara terbanyak (mendekati 80 persen) dimiliki pengurus partai tingkat kabupaten dan kota. Karena itu, berbeda dari Eep, saya tetap berpendapat pusat gravitasi konvensi ada pada pengurus-pengurus di daerah, bukan di pusat.
Jika kita berbicara pada tingkat konvensi yang lebih rendah lagi, yaitu pada proses penentuan lima kandidat di daerah tingkat (dati) II yang akan berlangsung pada 1 September hingga 8 Oktober, cakupan konvensi ini akan jauh melebar, sebab ia langsung melibatkan kader Partai Golkar di tingkat kecamatan.
Di Kabupaten Gunung Kidul, misalnya, ada 15 kecamatan. Pengurus DPD II mendapat voting block dengan skor 3, sementara tiap kecamatan mendapat suara 1, sama dengan jatah sayap-sayap partai yang ada di daerah ini. Jadi, total suara bagi pengurus kecamatan adalah 15, atau lima kali lebih besar ketimbang skor suara yang dimiliki oleh sekitar 50 orang pengurus di tingkat kabupaten.
Karena itu, buat saya, metode voting block justru mengecilkan peran struktur partai di tingkat atas. Ia membuka lebih banyak peluang bagi unsur-unsur ketakpastian dan kejutan dalam proses penentuan kandidat calon presiden di Partai Golkar. Boneka"
Apabila dijumlah secara keseluruhan, akan ada setidaknya 20.000 kader partai di tingkat kabupaten, kota, serta kecamatan yang berpartisipasi dalam tahap awal seleksi li
ma nama kandidat. Siapa yang bisa menebak dan mengatur isi kepala kader dan pengurus yang demikian banyak dan tersebar dari Sabang hingga Merauke"
Bagi Eep, mungkin hal itu dapat dilakukan dengan mudah oleh "para pengemudi" di belakang layar. Betulkah itu"
Atau, jika kita persempit arena konvensi ini hanya pada tahap puncak enam bulan mendatang, betulkah 416 pengurus partai di dati II akan mudah diatur pengurus DPP" Seorang ventriloquist bergoyang kaki di Slipi, Kantor Pusat Partai Golkar, dan mengatur tokoh-tokoh daerah sebanyak itu bagaikan boneka-boneka manis"
Di situlah letak perbedaan mendasar antara saya dan Eep. Bagi saya, tak gampang mengatur kader dan aktivis partai di daerah. Jangankan seorang Akbar Tandjung, Megawati sekalipun, dengan posisinya sebagai ketua umum, presiden, dan putri Bung Karno, cukup kerepotan memaksakan keseragaman suara tokoh partainya di beberapa provinsi dan kabupaten.
Angin politik sekarang sedang bertiup ke daerah. Kandidat yang ingin menang harus membujuk, mendekati, dan melakukan dialog dengan tokoh dan aktivis partai di begitu banyak tempat yang berbeda. Tampaknya hal itu semakin disadari para kandidat yang bersaing dalam konvensi ini. Setiap minggu mereka kini rajin berkeliling ke seluruh penjuru angin, kadang dengan mengunjungi tiga provinsi dalam sehari. Untuk apa mereka melakukan perjalanan yang melelahkan dan membutuhkan dana besar jika bukan untuk merebut dukungan dari daerah"
Yang harus kita dorong kini adalah agar proses yang baik seperti itu terus berlanjut, bukan sebaliknya. Kita berharap agar melaluinya akan lahir seorang calon pemimpin yang teruji dan sanggup berkomunikasi dengan seluruh lapisan masyarakat Indonesia yang begitu beragam, di dalam dan di luar komunitas Partai Golkar.
Celah Meski saya keberatan dengan cara pengungkapannya yang cenderung bersifat ad hominem, semangat yang terkandung di balik tanggapan Eep bisa saya pahami. Saya yakin dia dan kita semua merindukan dunia kepartaian yang lebih dinamis dan berakar.
Agar Konvensi Partai Golkar dapat semakin mendekati kaidah-kaidah yang demokratis, saya ingin menyinggung sebuah kelemahan yang belum disinggung Eep.
Dalam desain konvensi ini ada sebuah persoalan yang kelihatannya sederhana, tetapi bisa berakibat fatal jika tidak segera diatasi. Pada buku panduan resmi yang dikeluarkan Panitia Konvensi Partai Golkar, halaman 23/f dan 26/c, tertera mekanisme pengambilan suara dilakukan "secara tertutup".
Dengan cara ini, hanya Tuhan dan Mr X yang memasukkan daftar nama ke kotak suara yang mengerti apakah susunan nama yang ditulisnya sama dengan komposisi hasil konvensi di kabupaten atau provinsi yang diwakilinya.
Saya maklum, pencantuman aturan voting tertutup mungkin dilandasi niat baik, untuk mendorong agar anggota pengurus tidak takut pada atasannya guna melakukan pilihan berbeda. Akan tetapi, niat baik ini ternyata berakibat sebaliknya jika diaplikasikan dalam konteks konvensi secara keseluruhan, karena ia membuka celah bagi inkonsistensi suara dari unsur-unsur daerah ke pusat, melebarkan peluang bagi sikap saling curiga di antara sesama pengurus, serta dalam batas-batas tertentu memberi insentif bagi merebaknya politik uang. The road to hell is not always paved with bad intentions.
Sekarang belum terlambat untuk mengatasi kelemahan ini, dan sebenarnya ada beberapa cara sederhana untuk melakukannya. Pembagian formulir kertas suara dari pusat, turun ke daerah secara bertingkat, dan langsung diisi pada saat konvensi adalah salah satunya. Namun, masih ada beberapa cara lain yang bisa cukup efektif.
Di situlah tantangan bagi tokoh-tokoh Partai Golkar. Mereka sudah memulai langkah awal yang baik. Kini mereka harus meneruskan hingga ke konsekuensinya yang paling ujung. Di depan mereka terbentang sebuah peluang untuk membuktikan, partai mereka yang dulu terpuruk dan dikecam dari kiri dan kanan kini menjadi sebuah partai pelopor yang memberi contoh positif bagi partai-partai lain.
Apabila itu mereka lakukan, kaum yang kini skeptis, bahkan sinis sekalipun, mungkin akan berubah pikiran
dan menjadi lebih fair serta realistis dalam melihat konvensi ini.
19 Agustus 2003 200 Partai, Siapa Takut"
pemilu 2004 semakin mendekat dan sepanjang 2003 ini bisa ditebak bahwa berbagai harapan dan kecemasan politik akan merebak silih berganti. Dalam soal kecemasan, salah satu yang paling menonjol belakangan ini adalah mengenai jumlah partai yang akan bertarung dalam pemilu.
Sekarang jumlah partai yang mendaftarkan diri secara resmi sudah melewati angka 200. Ini membuat sebagian kalangan khawatir bahwa proses pemilu akan riuh-rendah dengan begitu banyaknya isu, aspirasi, dan tokoh, yang pada akhirnya hanya akan membingungkan rakyat. Selain itu, ada juga yang cemas bahwa tingkat konflik akan semakin tinggi seiring dengan sema -kin banyaknya jumlah partai yang berebut kursi kekuasaan.
Beralasankah kecemasan demikian" Buat saya tidak.
Satu hal yang sampai sekarang masih kurang dipahami adalah, dengan disahkannya empat amendemen konstitusi tahun lalu, pemilu pada dasarnya dibagi menjadi dua: yang satu untuk memilih anggota parlemen (lokal dan nasional), dan yang satunya lagi untuk memilih presiden. Dalam pemilu untuk menentukan presiden, akan terjadi penyederhanaan secara radikal dari jumlah kandidat yang mewakili partai atau kelompok partai.
Pada pemilu tahap pertama, jika kita lihat komposisi dan kombinasi pemimpin yang ada sekarang, jumlah pasangan pre-siden-wakil presiden yang memiliki peluang realistis dalam menarik dukungan besar dari publik paling jauh hanya berjumlah tiga atau empat pasangan. Memang mungkin akan ada sepuluh, atau lebih, pasangan kandidat lainnya, tapi kehadiran mereka lebih merupakan bumbu penyedap yang memberi warna tersendiri bagi Pemilu 2004.
Pada pemilu tahap kedua, sebuah kemungkinan yang hampir pasti terjadi, jumlah pasangan kandidat yang bersaing akan ciut menjadi dua. Kalau harus menebak orangnya, saya kira yang akan muncul pada tahap kedua ini adalah Megawati (dan wakilnya) serta Amien Rais atau Hamzah Haz (dan wakilnya).
Saya mungkin bisa keliru dalam tebakan itu, tapi tidak dalam satu hal ini: dalam pemilihan presiden, kompetisi antar-partai tidak akan terjadi. Yang kita saksikan pada 2004 nanti adalah pertarungan tokoh-tokoh yang diwarnai secara pekat oleh kompetisi antara blok politik Islam dan kaum nasionalis-sekular. Dalam hal ini, politik, seperti kata James Madison, salah satu tokoh pendiri Republik Amerika Serikat, akan kembali pada hakikatnya yang paling dasar, yaitu proses kompetisi antara gagasan-gagasan fundamental yang hidup dalam suatu masyarakat.
Jadi, yang akan kita saksikan nanti pada akhirnya adalah persaingan dua kandidat presiden berikut pasangan mereka masing-masing, serta dua blok gagasan fundamental yang dalam literatur politik kita sering disebut sebagai aliran politik. Tajamya persaingan yang terjadi di sini dapat diminimalisasi dengan berbagai cara, misalnya dengan pemilihan pasangan yang mewakili blok politik yang berbeda. Tapi hal ini adalah soal lain yang akan saya tulis pada kesempatan tersendiri.
Dalam soal pemilu untuk memilih anggota parlemen, penyederhanaan yang sama, walau dalam bentuk berbeda, juga akan terjadi. Jumlah partai yang terdaftar di Departemen Kehakiman akan berbeda dari jumlah partai yang lolos seleksi KPU (Komisi Pemilihan Umum). Dalam perkiraan saya, dengan aturan-aturan yang ada, dari 200 partai yang terdaftar, KPU akan meloloskan tidak lebih dari 50 partai sebagai peserta pemilu. Jadi, jumlah yang ada kira-kira tidak akan jauh berbeda dari jumlah partai peserta Pemilu 1999. Bahkan saya tidak akan terlalu kaget jika pada pemilu tahun depan angka yang lolos seleksi jauh lebih kecil dari itu.
Dari puluhan partai lama dan baru yang akan bersaing merebut kursi perwakilan, jumlah yang akan mendominasi panggung politik juga tidak akan berbeda dari apa yang sudah kita lihat sebelumnya. Sejauh ini saya tidak terlalu percaya bahwa tahun depan akan ada kejutan dari langit, ketika satu partai politik yang sekarang kecil, atau sebuah partai baru, tiba-tiba muncul bagaikan gelombang besar.
Lima partai ya ng sekarang mendominasi parlemen akan memperoleh distribusi suara yang tidak jauh berbeda. Variasi yang masuk akal, jika tak terjadi peristiwa dahsyat di negeri kita yang saat ini belum bisa diramalkan, adalah plus-minus lima persen. Buat saya, salah satu pertanyaan besar yang ada dalam soal ini adalah apakah Partai Golkar juga tercakup dalam kalkulasi konservatif demikian. Berapa jumlah suara yang bisa diperolehnya" Pada pemilu lalu, partai ini memperoleh 24 juta suara. Jika tahun depan suara ini berkurang drastis melampaui garis batas yang normal, katakanlah menjadi 14 juta suara, terbuka kesempatan bagi sebuah partai baru untuk muncul menjadi pemain baru di parlemen kita, dengan catatan bahwa limpahan suara ini tidak jatuh pada partai-partai yang kini sudah dominan.
Pertanyaan lainnya berhubungan dengan kemungkinan pembentukan koalisi di antara partai-partai besar yang ada. Jika koalisi ini terjadi, fragmentasi politik yang negatif terhadap proses pembuatan kebijakan publik akan bisa dihindari. Dalam banyak hal, Machiavelli benar. Politik selalu bersandar pada kekuatan, dan pemerintahan yang efektif hanya mungkin jika bertumpu pada kekuatan (baca: kursi di parlemen) yang memadai untuk itu.
Dalam hal itulah, bukan terhadap munculnya 200 partai baru, saya sebenamya agak cemas. Selama ini koalisi yang ada sangat bersifat ad hoc dan cair. Yang dibutuhkan dalam menyongsong Pemilu 2004 adalah koalisi yang semipermanen dan terencana jauh sebelum pemungutan suara berlangsung.
Saat ini memang sudah terdengar suara-suara untuk merumuskan koalisi semacam itu. Namun, sejauh ini saya baru mendengar angin surga, belum kerja politik yang konkret dari kaum politikus di partai-partai besar.
12 Januari 2003 Banteng dan Beringin: Berseteru atau Bersekutu"
memang banyak partai yang dapat menjadi peserta Pemilu 2004. Tapi yang akan menentukan warna kompetisi politik cuma dua partai, yaitu PDI-P dan Partai Golkar. Hanya salah satu dari keduanya yang mungkin menang.
Partai-partai besar lainnya (PPP, PKB, dan PAN) hanya akan menjadi pelengkap dalam koalisi antarpartai, dan partai-partai baru yang bermunculan dalam setahun terakhir tampaknya belum mampu menembus dominasi pemain lama.
Itulah salah satu yang bisa disimpulkan jika kita mempelajari hasil-hasil penelitian yang dilakukan oleh beberapa lembaga independen, seperti Danareksa Research Institute (DRI), International Republican Institute (IRI), serta Universitas Islam Negeri Jakarta yang bekerjasama dengan Ford Foundation. Keempat lembaga ini melakukan penelitian terhadap voting behaviour masyarakat Indonesia dengan basis metodologi yang kuat.
Dari ketiga penelitian tersebut, memang terlihat satu fakta menarik: proporsi undecided voters, yaitu mereka yang saat ini belum menentukan pilihan, ternyata cukup besar. Variasi angkanya berkisar 35 hingga 50 persen dari jumlah responden. Artinya, kalau diterjemahkan dalam konteks Pemilu 2004, masih ada sekitar 50 juta pemilih yang tetap terbuka untuk diperebutkan oleh siapapun.
Tapi sebenarnya fakta itu hanyalah sebuah kemungkinan berdasarkan hasil proyeksi statistik. Dalam kenyataannya, sebagian dari 50 juta pemilih itu tidak akan memilih samasekali. Di Amerika Serikat, misalnya, hanya setengah dari pemilih yang menggunakan hak pilihnya. Di negeri-negeri demokrasi lainnya, variasi voter turnout berkisar 60 hingga 70 persen. Dari sini mungkin bisa diperkirakan bahwa, dari 50 juta pemilih di negeri kita yang masih ragu-ragu saat ini, sekitar 20 juta hingga 30 juta di antaranya yang pada akhirnya akan mencoblos partai dan tokoh favorit mereka.
Sekitar 30 juta suara (25 persen dari total pemilih) adalah jumlah yang sangat besar. Apakah mereka akan menjadi suatu voting block tersendiri" Saya kira tidak. Mereka akan terpecah mengikuti pola distribusi suara yang memang sudah ada. Dan sebagian pecahan suara inilah pada akhirnya yang akan menentukan pemenang Pemilu 2004, PDI-P atau Partai Golkar.
Pertaruhan yang sesungguhnya terletak pada upaya merebut pecahan undecided voters itu. Apakah partai berlambang banten
g yang akan lebih jeli" Atau, malah partai beringin yang lebih tahu bagaimana harus merebut dukungan kelompok pemilih yang saat ini masih skeptis dan terus menunggu"
Jawabnya masih belum jelas. Namun, dari kecenderungan yang ada akhir-akhir ini, tampaknya Partai Golkar sedang mendapat angin untuk melaju lebih cepat. Dari hasil survei DRI, misalnya, terlihat bahwa antara Oktober 2002 dan Februari 2003 terjadi penurunan suara yang cukup signifikan bagi PDI -P, sementara dukungan bagi Partai Golkar bertambah, bahkan di daerah seperti Jawa Tengah yang pada pemilu lalu menjadi salah satu basis terkuat partai berlambang banteng itu.
Yang paling menarik, turunnya suara PDI-P ternyata terjadi paling drastis di kalangan pemilih yang berpenghasilan terendah, sementara penambahan suara bagi Partai Golkar terutama karena didorong oleh peningkatan dukungan dari kalangan yang sama. Pada tingkat tertentu, hal ini mencerminkan bahwa di kalangan wong cilik rupanya sedang terjadi suatu political realignment yang tak kasatmata, sebuah eksodus politik dari kandang banteng ke partai beringin.
Partai yang pernah berkuasa di bawah pemerintahan Orde Baru ini mungkin dianggap lebih mampu menyelesaikan berbagai persoalan ekonomi yang masih terus menjepit kalangan bawah. Mungkin pula sebagian orang kini merindukan kembalinya zaman pertumbuhan ekonomi tinggi yang pernah berlangsung di bawah kepemimpinan Soeharto.
Semakin dekat ke pemilu, apa yang sering disebut sebagai bandwagon effect akan semakin kuat pengaruhnya.
Pergeseran yang satu akan memengaruhi pilihan yang lainnya, dan seterusnya sehingga partai yang dianggap atau dipersepsikan sebagai partai favorit akan memperoleh dukungan yang semakin besar. Jika efek seperti ini nantinya juga meluas dan memengaruhi sebagian pecahan undecided voters yang akan menjadi penentu pemenang Pemilu 2004, sebaiknya PDI-P mempersiapkan diri untuk menerima kabar buruk.
Masih tersisa waktu sepuluh bulan sebelum rakyat menjatuhkan pilihannya. Banyak hal masih dapat terjadi. Partai Golkar mungkin tergelincir, sementara peluang bagi PDI-P tetap terbuka untuk menyadari kekeliruannya dan kemudian berupaya merebut kembali kepercayaan rakyat.
Langkah-langkah yang dilakukan oleh kedua partai terbesar ini dalam beberapa bulan mendatang juga akan memengaruhi hasil akhir dalam perebutan posisi presiden. Memang, komposisi dukungan partai di parlemen tidak harus sama dengan distribusi suara bagi tokoh-tokoh yang memperebutkan posisi nomor satu di lembaga eksekutif. Namun perbedaan ini tidak akan terlalu jauh. Partai dan tokohnya tetap terkait erat.
Kecenderungan demikian terlihat cukup jelas dalam survei yang dilakukan oleh DRI dan IRI. Secara faktual, menurunnya suara PDI-P diikuti oleh melemahnya dukungan terhadap Megawati. Tetapi, berbeda dari distribusi dukungan pada partai-partai, posisi putri Bung Karno ini relatif tetap dominan. Jarak yang ada antara Megawati dan tokoh yang merebut posisi kedua cukup jauh berada di atas jarak yang ada antara PDI-P dan pesaing utamanya.
Hal itu berarti bahwa, bagi banyak kalangan, tokoh alternatif yang mampu menggantikan posisi Megawati belum muncul. Dalam soal persaingan antarpartai, PDI-P sudah menemukan pesaing yang hampir seimbang. Namun, dalam perebutan posisi presiden, belum satu pun yang dapat menyaingi Presiden RI ke-5 itu. Saya kira perbedaan demikian terjadi karena faktor Akbar Tandjung. Dalam semua survei yang pernah saya amati, dukungan responden terhadap ketua umum partai berlambang beringin ini selalu jauh lebih kecil ketimbang dukungan terhadap para tokoh dari partai besar lainnya.
Bahkan bisa disimpulkan bahwa jarak dukungan yang jauh antara Akbar Tandjung dan partainya merupakan satu-satunya pengecualian dari pola keterkaitan antara partai dan tokohnya. Partai Golkar memperoleh peningkatan dukungan yang cukup besar, sementara suara bagi ketua umumnya selalu berada di batas air. Dalam satu segi hal ini memperlihatkan bahwa Partai Golkar sebenarnya adalah sebuah partai modern. Sebab, ia tak bergantung pada popularitas tokohnya (bandingkan jika M
egawati tidak lagi memimpin PDI-P). Namun, dari segi lain, fakta sederhana itu juga menunjukkan bahwa Akbar Tandjung memang harus berbesar hati untuk mengakui bahwa, dalam proses pemilihan presiden, dirinya hanya menjadi beban partainya. Sebagai kandidat, ia tidak akan pernah bisa mendekati perolehan Megawati, terlepas dari putusan akhir pengadilan terhadap kasus hukum yang kini menimpanya.
Semua itu tentu saja tidak berarti bahwa posisi Megawati sudah relatif aman. Jika Partai Golkar pada akhirnya tidak memunculkan Akbar Tandjung sebagai kandidat presiden, dan sebagai gantinya menyodorkan seorang kandidat yang populer, relatif muda, serta dianggap mampu mengatasi persoalan-persoalan yang mendesak, terutama berbagai masalah yang masih tersisa dari krisis ekonomi selama ini, persaingan dalam memperebutkan posisi presiden pasti akan berlangsung seru.
Dalam hal itulah terletak pentingnya konvensi nasional di Partai Golkar. Kalau perhelatan ini berhasil memilih seorang kandidat presiden yang ideal, Megawati harus bekerja ekstrakeras untuk tetap mempertahankan posisi dominan yang sejauh ini tetap dimilikinya. Hanya satu hal yang dapat mengubah secara drastis peluang terjadinya kompetisi yang seru dalam pemilihan presiden, yaitu jika pada akhirnya Megawati menggandeng kandidat yang muncul lewat konvensi Partai Golkar sebagai wakil presiden. Jadi, bukannya berseteru, Megawati dan PDI-P mengajak Partai Golkar dan kandidatnya bersekutu. Jika ini terjadi, pemilu untuk memilih tokoh nomor satu di lembaga eksekutif praktis sudah berakhir sebelum dimulai. Sebab, pemenangnya bisa ditebak dengan mudah.
Tetapi jalan menuju ke sana agak licin, masih mengandung sekian teka-teki. Dengan meningkatnya popularitas Partai Golkar akhir-akhir ini, bukankah para tokohnya akan tergoda untuk meraih the ultimate prize" Mengapa mereka harus puas dengan posisi ban serep jika kemungkinan untuk lebih dari itu sesungguhnya masih terbuka, misalnya dengan memimpin koalisi ABM (asal bukan Mega)" Di kubu Partai Golkar sendiri, jawaban terhadap pertanyaan itu agaknya masih mendua. Para tokoh partai beringin ini masih perlu waktu sebelum meletakkan semua kartu mereka di atas meja.
Demikian pula halnya dengan kubu Megawati. Yang terlihat sekarang adalah sikap yang sangat hati-hati dalam berbicara mengenai paket presiden dan wakilnya. Mereka menunggu apa yang akan terjadi pada konvensi Partai Golkar, serta melihat perkembangan politik yang terjadi di panggung yang lebih besar. Skenario drama Pemilu 2004 tertulis pada pilihan-pilihan yang kini sedang dipertimbangkan oleh kedua kubu tersebut. Para tokoh dari partai lainnya hanya bisa melirik dari pinggir arena. Dan kita semua siap bertepuk tangan, atau menguap dengan jemu.
6 Juli 2003 PRD dan Megawati SETELAH "PERISTIWA SABTU KELABU" yang lalu, topik yang hangat diberitakan adalah PRD, "partai" sejumlah aktivis yang kini dituding biang keladi kerusuhan. Siapa gerangan aktivis-aktivis muda militan itu" Bagaimana kita menempatkan posisi mereka dalam sejarah dunia pergerakan politik kita" Bagaimana hubungan mereka dengan Megawati" Pertanyaan semacam inilah, implisit atau eksplisit, yang banyak disodorkan berbagai media kepada masyarakat. Sayang, banyak ulasan dan laporan yang agak bias, dengan sumber sepihak dan cenderung menghakimi.
Kalau mau lebih arif memahami mereka, menurut saya, kita harus melihat mereka sebagai bagian dari pergerakan politik pemuda yang lebih luas dalam 10 tahun belakangan. PRD (Partai Rakyat Demokratik)-yang sebagian tokoh pendirinya di Yogyakarta sekitar enam tahun silam disebut "anak-anak Gang Rhode"-pada dasarnya adalah perkembangan dan ra-dikalisasi dari pergerakan pemuda tersebut.
Ada baiknya kita mengingat bahwa setelah pembersihan kampus pada 1978-menyusul meluasnya gerakan mahasiswa pada tahun itu yang mengkritik Pemerintah Orde Baru-per-gerakan mahasiswa praktis melempem, hancur hingga ke akar-akarnya. Yang tersisa dan aktif setelah itu umumnya organisasi kepemudaan dukungan pemerintah, seperti KNPI dan Menwa.
Situasi ini berlangsung hingga sekitar d
elapan tahun. Pada sekitar 1986, mulai terlihat tanda-tanda perubahan. Beberapa mahasiswa di Jakarta, Yogyakarta, dan Bandung membentuk kelompok studi, dan memandang secara kritis organisasi pemuda yang ada. Dalam satu-dua tahun-dengan dukungan publikasi simpatik dari media utama, seperti Kompas dan Tempo-format aktivis kepemudaan baru ini menjadi populer dan relatif cukup meluas dalam kehidupan kampus.
Kelompok-kelompok diskusi yang baru ini menghidupkan kembali tradisi panjang pergerakan pemuda yang dirintis, antara lain, oleh Hatta dan Soekarno pada 1920-an. Lalu Rahman Tolleng, Soe Hok Gie, dan Sjahrir pada 1960-an. Dalam berbagai kelompok diskusi inilah pada akhir 1980-an, terjadi semacam perlawanan intelektual terhadap strategi depolitisasi Orde Baru, yang dianggap terlalu menyempitkan cakrawala berpikir kaum muda.
Format aktivitas baru ini sangat cair dan lentur. Pengelompokan di kalangan mereka tak mengikuti garis ideologi dan politik kepartaian. Pada suatu saat, jika berdiskusi bersama Nurcholish Madjid, mereka bisa sangat terpukau oleh semangat modernisasi Islam dan merindukan kembalinya Masyumi. Di saat lain, waktu membahas ide-ide Arief Budiman, mereka larut dan terbuai oleh cita-cita besar kaum sosialis. Singkatnya, satu-satunya pengikat mereka adalah romantisme pada perubahan dan kerinduan akan ide alternatif yang dapat mendorong pembaruan masyarakat.
Hanya sekitar empat tahun kemudian bentuk aktivisme semacam itu mulai dianggap tak lagi memadai sebagai wahana penyaluran aspirasi kritis pemuda. Dalam banyak hal, ketidakpuasan ini didorong berbagai perkembangan politik penting, baik dalam konteks domestik maupun dunia. Pada Februari 1989, misalnya, terjadi "pemberontakan" mahasiswa di Beijing, yang menuntut dimulainya langkah demokratisasi secara radikal (peristiwa Tiananmen).
Pada saat yang hampir sama, muncul gerakan massa dalam sistem komunisme, yang menuntut kebebasan politik yang lebih besar, yang akhirnya berujung pada keruntuhan sistem itu di pengujung 1991.
Didorong berbagai peristiwa penting ini, sebagian aktivis merasa bahwa tibalah saatnya memulai format kegiatan pemuda yang baru, yaitu aksi demonstrasi dan mimbar bebas. Di kalangan mereka sendiri, aksi semacam ini disebut "kegiatan baris-berbaris" dan "aksi parlemen jalanan". Buat mereka, kegiatan dalam kelompok diskusi terlalu abstrak, jauh dari realitas konkret yang dihadapi masyarakat. Mereka menolak "intelektualisme", dan ingin terjun langsung membela rakyat serta mendorong perubahan.
Maka, sejak awal 1990-an, kegiatan kelompok diskusi mulai surut, walau tak berhenti samasekali. Kelompok diskusi kehilangan elan, digantikan bentuk romantisme yang lebih radikal. Dan sejak saat itulah kita menyaksikan rangkaian demonstrasi dan mimbar bebas di dalam dan di luar kampus, yang dimotori aktivis muda itu.
Seperti dalam kelompok diskusi sebelumnya, aktivis baru ini tak bersifat homogen. Di satu pihak, terdapat kelompok yang hanya ingin melakukan aksi di dalam kampus dengan isu yang umum dan moderat. Di pihak lain, muncul kelompok aktivis yang meluaskan jaringan di luar kampus dan berupaya melakukan aliansi dengan kelompok yang mereka anggap strategis, seperti kaum buruh, petani kecil, dan kaum urban yang miskin dan tergusur.
Kelompok ini, selain lebih militan, disiplin dan sadar akan pentingnya organisasi, juga lebih mengalami pengkristalan ideologi. Dalam hal yang terakhir, para aktivis di kelompok kedua ini dapat disebut sebagai aktivis sosialis-progresif yang bekerja pada dataran praktis. Dunia perdebatan ide dan pertarungan imajinasi hampir samasekali mereka tinggalkan, bahkan mereka olok-olok. Dengan sadar mereka memandang diri sebagai penerus tradisi "kiri-radikal" dalam pergerakan politik kebangsaan kita, yang cikal-bakalnya telah dirintis, sejak pertengahan 1920-an.
Ke dalam kelompok inilah para aktivis muda pendiri PRD dapat digolongkan. Dalam bentuknya yang embrional di Yogyakarta dulu, jumlah mereka sebenarnya sangat kecil. Tapi, karena kesungguhan, penguasaan teknik demonstrasi, dan kejelasan ideologi yang mereka
miliki, posisi mereka menjadi cukup penting di dunia aktivisme di Yogyakarta.
Sejak awal, persoalan utama kelompok ini-seperti juga persoalan gerakan pemuda secara umum-adalah kecilnya basis dukungan publik. Para aktivis itu harus menghidupkan kembali kepekaan politik publik, yang lebih dari 20 tahun terakhir diredam. Walaupun dalam dua tahun terakhir terlihat beberapa "kemajuan" dalam mendekatkan diri mereka ke dalam jaringan buruh dan kaum tergusur di kota, besarnya kelompok mereka tak meningkat secara berarti. Mereka tetap saja menjadi pelaku politik pinggiran.
Munculnya Megawati sebagai tokoh yang dapat menghidupkan kembali kepekaan politik publik itu, buat mereka menjanjikan jalan ke luar dari sebuah impasse. Di pihak lain, Megawati pun-dengan kian derasnya tekanan terhadap diri-nya-membutuhkan dukungan dari unsur pergerakan pemuda yang cukup militan dan berani mengambil risiko, untuk mendorong perubahan. Maka yang terjadi: perjumpaan kepentingan dari unsur dalam tradisi pergerakan pemuda dengan elemen sah dari sistem politik Orde Baru (PDI) yang terdesak, dan karena itu mencari kaki ke "bawah".
10 Agustus 1996 BAB VI Dekrit Gus Dur: Tentang Kepemimpinan
Tipe Kepemimpinan Baru akhir-akhir ini, dalam mendiskusikan kemungkinan peralihan generasi kepemimpinan, rasanya kita terlalu sering berbicara tentang tokoh-tokoh yang akan menjadi pemimpin di masa depan. Dalam kadar tertentu, itu sebenarnya wajar saja. Namun, pembicaraan seperti itu tidak boleh membuat kita lupa bahwa yang terpenting sebetulnya bukan lagi pada soal siapa melainkan pada apa dan bagaimana bentuk kepemimpinan baru itu. Dengan kata lain, yang harus kita perhatikan bersama bukan lagi sekadar tokoh atau pemimpin (leader) tapi kepemimpinan (leadership).
Karena itu, pertanyaan-pertanyaan mendesak untuk kita jawab adalah, secara ideal, bentuk kepemimpinan seperti apa yang sebaiknya diterapkan oleh generasi baru nanti. Dengan berbagai tantangan di masa depan, faktor-faktor apa yang akan menentukan keberhasilan seorang pemimpin" Cukupkah jika ia mewarisi begitu saja bentuk kepemimpinan yang selama ini dominan" Dalam era Orde Baru selama ini, kalau kita menggunakan tipologi yang pernah dikemukakan oleh Prof. Herbert Feith, tipe kepemimpinan yang dominan adalah tipe administrator. Dalam tipe itu, kepemimpinan didefinisikan lebih sebagai kemampuan untuk menciptakan negara modern dengan segala perangkat teknis-administratifnya.
Sang pemimpin, dalam tipe itu, bukanlah seseorang yang menguasasi retorika dan teknik-teknik persuasi. Walaupun memiliki kekuasaan politik yang amat besar, ia sesungguhnya adalah seorang non-politisi par excellence, teknokrat, birokrat, jenderal. Keahliannya bukanlah dalam membujuk dan merayu masyarakat, tetapi dalam memecahkan masalah teknis-dengan duduk di belakang meja-serta merealisasi wewenang birokratisnya. Kalau toh ia ingin memobilisasi dukungan masyarakat luas, biasanya ia melakukannya tidak dengan bujukan dan rayuan tetapi lebih bersandar pada kekuasaan politis-birokratis yang dimilikinya.
Namun, buat generasi kepemimpinan baru kita, tipe kepemimpinan seperti itu jelas sudah harus direvisi. Memang, selama ini kepemimpinan tipe administratif yang non-politis itu telah membantu tercapainya pembangunan ekonomi yang pesat dan pertumbuhan institusi pemerintahan yang cukup kuat. Prof. Widjojo Nitisastro, misalnya, telah melakukan dasar-dasar pembangunan ekonomi yang cukup kukuh, melalui praktik yang nyaris sempurna dari kepemimpinan semacam itu.
Tetapi, di masa depan, persoalan kita sudah sangat berbeda, dan untuk menghadapinya dibutuhkan tipe kepemimpinan yang juga berbeda. Cepat atau lambat, masyarakat kita akan semakin kritis dan mulai mengerti hak-haknya. Mereka tidak ingin hanya menjadi obyek yang terus-menerus diatur oleh pemimpin mereka. Masyarakat ingin dibujuk, dirayu, dan dikeloni. Kalau tidak, potensi destruktif akan mereka kembangkan sebagaimana yang barangkali menjadi salah satu pemicu berbagai kerusuhan belakangan ini. Akibat yang paling gawat, jika hal semacam itu terus berl
angsung, adalah perpecahan nasional, rontoknya pilar-pilar kesatuan republik kita.
Selain gejala seperti itu, gejala lain yang patut kita perhatikan adalah kebijakan ekonomi kita sekarang mengalami fatigue, kelesuan. Pada akhir 1960-an dan pertengahan 1980-an, dalam menghadapi krisis ekonomi, kaum teknokrat mampu membuat inovasi kebijakan yang berani dan berdampak jauh. Sekarang, dalam menghadapi persoalan ekonomi yang baru, seperti tuntutan pemerataan, kita malah kembali ke cara lama, yaitu lebih mengandalkan intervensi birokrasi dan metode etatisme.
Untuk menghadapi kecenderungan dan persoalan baru yang demikian, jelas tipe kepemimpinan yang dibutuhkan adalah tipe kepemimpinan yang lebih "sadar politik". Sebagaimana umumnya pemimpin kenegaraan di negeri-negeri yang telah demokratis, ia adalah seseorang yang mengerti bahwa untuk menggerakkan masyarakat dalam mencapai tujuan tertentu (stabilitas politik, persatuan bangsa, pertumbuhan ekonomi), yang pertama harus dilakukan adalah merebut hati dan membangkitkan simpati masyarakat terhadap tujuan tersebut. Buat pemimpin seperti itu, praktik pemerintahan adalah seni men-ciptakan berbagai kemungkinan dengan mengandalkan visi dan argumen yang masuk akal.
Kalau toh ia seorang teknokrat, misalnya, ia adalah seorang teknokrat-plus atau dalam terminologi yang akhir-akhir ini mulai populer, seorang technopol (teknokrat yang politisi). Jika ia seorang jenderal, ia adalah seseorang yang sadar bahwa logika kepemimpinan dalam masyarakat berbeda 180 derajat dengan logika dalam memimpin pertempuran. Yang pertama membutuhkan dialog dan persuasi, yang kedua sepenuhnya dapat bersandar pada komando dan hierarki. Jika ia seorang birokrat, ia mengerti perbedaan besar antara "pemerintah" dan pelayan masyarakat.
Mungkinkah tipe seperti itu akan menjadi ciri khas generasi pemimpin-pemimpin baru kita nanti" Wallahualam. Yang jelas, dari segi tuntutan sejarah, rasanya kita tidak punya pilihan lain.
Juni 1997 Gus Dur di Titik Nadir julukan paling tepat bagi Gus Dur sekarang adalah "the rapidly shrinking president", presiden yang mengerdil dengan cepat. Betapa tidak. Saat terpilih delapan bulan silam, ia dianggap sebagai produk sebuah kompromi nasional, dan karena itu diharapkan dapat menciptakan ruang-ruang politik yang lebih luas untuk membawa negeri kita ke luar dari kemelut. Dengan Megawati sebagai wakil dan dengan basis legitimasi yang kuat, ia dianggap memiliki kesempatan besar untuk mulai menancapkan dengan kukuh pilar-pilar demokrasi, mendorong pertumbuhan ekonomi, dan menjamin stabilitas sosial.
Di luar negeri, Gus Dur dipuja dan seolah dianggap mukjizat demokrasi. Mereka terkagum-kagum, dan dengan antusias berharap Gus Dur akan menjadi contoh pertama seorang pemimpin Islam yang demokratis dan berhasil memerintah negerinya. Harian terpenting di Amerika Serikat The New York Times, bahkan menempatkan posisi Gus Dur di tempat yang lebih penting ketimbang Sri Paus dan Dalai Lama.
Tetapi, apa yang kita lihat sekarang" Bahkan dari kalangan yang mendukungnya pun, seperti Partai Kebangkitan Bangsa dan para aktivis serta intelektual yang berkumpul di Kuta, Bali, beberapa waktu lalu, argumen yang mereka berikan untuk tetap mempertahankan Gus Dur sudah sangat defensif. Mereka tidak lagi berkata bahwa Gus Dur harus dipertahankan karena ia pemimpin yang terbaik, tetapi karena kemungkinan buruk, yaitu konflik-konflik keras di kalangan massa yang mungkin akan mengiringi penggantian Gus Dur. Argumen mereka dilandasi oleh ancaman dan kecemasan. Bukan lagi oleh harapan dan optimisme.
Inilah bukti terbaik betapa Gus Dur, dalam waktu relatif singkat, telah terpuruk ke posisi yang sangat rendah-sesuatu yang mungkin akan dicatat sebagai hal tragis dalam sejarah politik kita kelak. Mengapa semua itu terjadi" Mengapa harapan terhadapnya begitu cepat berganti menjadi kekecewaan dan kecemasan"
Menurut saya, penyebabnya tidak terletak pada faktor-faktor eksternal, seperti persekongkolan politik, hantu konspirasi, dan semacamnya. Penyebabnya terletak pada Gus Dur sendiri. Setela
h delapan bulan berkuasa, kita sudah bisa melihat Gus Dur yang sesungguhnya. Kita sudah bisa membaca pola kepemimpinannya, kemampuan memerintah, dan moralitas politik yang melekat padanya.
Potret yang tampak sejauh ini: dari segi kepemimpinan, nilai yang bisa diberikan kepadanya adalah C minus. Ia tidak berhasil melakukan metamorfosis kepemimpinan, dari pemimpin tradisional menjadi pemimpin modern. Gus Dur samasekali tidak memiliki perencanaan yang terperinci tentang apa yang harus ia lakukan. Dan, kalau toh Gus Dur memang memiliki sebuah agenda, kita tahu, ia mampu mengubah, mengaburkan, dan menelikung agenda itu, setiap hari. Dalam takaran tertentu, "fleksibilitas" seperti ini memang perlu bagi seorang politikus untuk mengarungi medan politik yang kompleks. Tetapi, pada Gus Dur, takarannya sudah sangat overdosis. Akibatnya, tidak seorang pun saat ini yang mengerti apa yang akan dilakukan dengan sungguh-sungguh oleh pemerintah.
Dari segi moralitas publik, nilai yang diperoleh Gus Dur malah lebih jelek: D minus. Gus Dur terlalu sering memberi contoh yang sangat jelek bagi publik. Dalam banyak kesempatan, saat harus menjelaskan masalah Ambon, Aceh, atau masalah-masalah besar lain yang kita hadapi, ia selalu menuduh orang itu atau orang ini yang menjadi penyebab segala masalah. Ia bukan cuma pengikut "kultur konspirasi", tetapi dialah salah satu sumber dan penciptanya. Ia terus-menerus menuduh dan mencari kambing hitam. Pengaruh dari contoh yang diberikan Gus Dur ini sebenarnya bukan lagi jelek, tetapi sudah berbahaya. Sudah begitu, Gus Dur juga tidak mampu menjadi pelita kejujuran. Sebaliknya, kata-katanya samasekali tidak bisa dipegang (orang yang agak kasar akan berkata, dia adalah seorang pembohong).
Betul bahwa kadang-kadang, karena keterbatasan manusia dan hakikat kekuasaan itu sendiri, seorang politikus terpaksa harus menelikung kata-kata dan menyembunyikan kebenaran. Tetapi seorang politikus negarawan akan mengerti, itu semua adalah bagian dari sebuah taktik untuk mencapai tujuan yang lebih besar dan mulia.
Persoalannya, pada Gus Dur, penelikungan kata-kata itu bukan bagian dari sebuah tujuan yang lebih besar, melainkan hanya sebagai akibat dari kelemahan pribadinya.
Dari segi kepiawaian politik, nilai Gus Dur juga tidak lebih baik. Dalil pertama seorang politikus kawakan adalah "carilah kawan sebanyak mungkin, dan jangan menciptakan musuh kalau memang tidak perlu". Dalil ini sedari awal sudah dilanggar oleh Gus Dur. Ia menciptakan musuh terus-menerus, tanpa sebab-sebab yang jelas, dan tanpa kalkulasi kekuatan riil. Akibatnya, kalau kelemahan moral Gus Dur membuat kita bertanya akan kredibilitas dia, kelemahannya dalam kalkulasi politik menyebabkan dia kehilangan basis-basis dukungan yang semula dinikmatinya. Pertanyaan kita kemudian: lalu apa" Karena sudah berada di titik terendah, apakah Gus Dur sudah perlu diturunkan sekarang"
Kalau memegang kekuasaan sepenuhnya untuk menentukan nasib Gus Dur, saya akan memberinya kesempatan paling lama enam bulan lagi. Saya akan memberi dia peringatan sekeras-kerasnya, tetapi saya tetap memberi dia peluang untuk berubah. Kalau memang berubah, silakan jalan terus. Kalau tidak, ya sudah, palu harus diketuk. Negara kita terlalu besar, dan urusan kita terlalu banyak hanya untuk direpotkan terus-menerus oleh seorang Gus Dur.
3 Agustus 2000 Dari Langit kamu kok memprotes dan mengeluhnya ke aku, Gus" Soal kompromi politik dan nasib kursi kekuasaanmu, itu urusanmu sendiri. Perkaranya kau sendiri yang bikin. Aku jangan diikut-ikutkan, dong. Sebenarnya aku masih ingin menolongmu. Tapi coba kautempatkan dirimu dalam posisiku. Kan, aku juga harus mempertanggungjawabkan langkah-langkahku di hadapan anak buahku. Malaikat-malaikat itu, Zo. Coba, apa yang harus kukatakan kepada mereka untuk membelamu" Sulit betul. Malaikatku di seksi intelijen bilang, dua pekan lalu kau memecat Djohan Effendi, sahabatmu di Forum Demokrasi yang kau minta untuk memimpin Setneg sejak setahun silam. Terus terang, banyak malaikatku sudah lama bersimpati kepada Djohan. Dia orang ya
ng santun dan luarbiasa jujur. Orang seperti dia tidak mungkin pernah mencuri dan mempertaruhkan kemaslahatan publik untuk kepentingan pribadi.
Dengan memecat dia, kau membuat malaikat-malaikatku jadi bertanya. Kenapa kau sering memecat orang yang jujur dan tak terbiasa berbohong" Apa yang ingin kau sembunyikan"
Selain masalah sepele seperti itu, masih banyak lagi soal yang jauh lebih penting. Salah satunya datang dari laporan malaikatku di seksi politik dunia non-akhirat-saya tidak perlu menyebut namanya-bahwa kau sekarang sudah sangat sering menduakan aku. Memang, aku mengerti, kau dan teman-temanmu di Nu sering dekat dan mengaku-aku dekat dengan segala jenis arwah dan roh gaib. Kalau pada tingkat kultural, sih, aku maafkan semua itu. Katakanlah, itu warisan kultur pedesaan yang memperkaya kehidupan manusia, ciptaan-cip-taanku yang terkadang merepotkan itu.
Tapi, Gus, lain soalnya kalau semua itu menyangkut masalah politik dan proses kenegaraan. Kau berurusan dengan orang yang hidup, bukan yang mati. Dengan mereka yang terakhir ini, soalnya memang jauh lebih mudah. Mereka tidak punya hak suara. Dan kau tak perlu meyakinkan mereka bahwa kau pemimpin yang berhasil. Kamu bisa seenaknya saja, tidak perlu bersusah-payah merebut hati mereka. Dengan mereka yang hidup, itulah persoalanmu.
Suaraku adalah suara rakyat yang hidup, yang merasa, yang bisa jengkel dan menimbang-nimbang. Tapi, sejauh ini, apa yang kau lakukan terhadap mereka"
Nol besar. Setahun lebih sudah kau mendapat kesempatan emas untuk berbuat baik terhadap mereka. Wakil-wakil mereka yang sah sudah memberimu peringatan berkali-kali. Tapi kau lebih sering menendang, menyikut, berkelit, dan mengancam.
Dengan semua itu, posisiku agak terjepit sekarang. Kalau aku mengulurkan tangan dan menolongmu, seperti yang terkadang aku lakukan, reaksi para malaikatku pasti akan keras dan memojokkan. Anggota DPR sih masih mendingan. Coba kau diprotes para malaikat. Bisa minta ampun tujuh turunan.
Jadi, maaf, Gus. Kali ini aku tak mungkin membantu. Kalau urusan lain di waktu berbeda, pasti aku akan berusaha menolong. Tapi, soal kompromi politik dan kursimu yang kini sedang oleng, aku angkat tangan. Kau selesaikanlah sendiri.
Cuma, aku ada sedikit pertanyaan-hanya ini yang bisa aku lakukan untuk sementara. Kau ini mau dikenang sebagai pemimpin seperti apa" Kalau mandat kekuasaanmu dicabut bulan depan, kau ingin meninggalkan kesan apa" Dalam beberapa generasi ke depan, kau ingin namamu dikenang dengan penuh syukur dan takzim, atau dicerca dan terus-menerus menjadi bahan olok-olok" Indonesia, seperti negeri lainnya, akan terus menilai karya para pemimpinnya. Kau ingin hanya menjadi pecundang sejarah, tokoh paradoksal yang dianggap menyusahkan rakyat banyak"
Jawabannya ada di tanganmu. Kau belajarlah pada Al Gore, wapresnya Bill Clinton, yang hampir mengalahkan George W. Bush dalam pemilu di AS pada akhir tahun lalu. Namanya menjadi lebih harum justru setelah dia menerima kekalahan dengan besar hati. Dia menerima kenyataan dan mengorbankan kepentingan dirinya demi kepentingan yang jauh lebih besar. Dia tidak pernah mengancam dan menendang dengan panik. Pidato penerimaan kekalahan yang dibacakan Gore akan menjadi salah satu pidato terbaik dan paling bersejarah di Negeri Abang Sam pada abad ke-21. Dengan itu, tanpa menjadi presiden pun, nama Gore akan tetap harum dalam sejarah.
Kalau tidak mau belajar dari negeri yang jauh, kau bisa belajar dari negerimu sendiri. Tepatnya dari tokoh yang kau gantikan, B.J. Habibie. Dia memang memiliki banyak kelemahan sebagai politisi. Dia terlalu naif untuk peran yang membutuhkan ketangkasan Machiavellian ini. Tapi, lihatlah, namanya kini semakin harum, bukan sebaliknya. Pada titik tertentu, dia menerima realitas dan melakukan tindakan yang sangat arif. Dia mundur dengan sukarela, melepaskan kursinya, karena tahu dukungan wakil rakyat untuknya tidak lagi memadai. Tindakan seperti ini akan terus dikenang.
Itulah pelajaran yang baik, Gus. Kalau kau membutakan diri terhadap pelajaran ini, sungguh sayang. Kau bisa berlaku
nekat-nekatan dan memukul atau merusak banyak hal di sisa waktu kekuasaanmu, seperti banteng terluka yang merangsek ke mana-mana. Kalau itu yang menjadi pilihanmu, aku tidak bisa bilang apa-apa lagi. Cuma, pikirkanlah hal itu baik-baik. Jadi, sekali lagi, semuanya aku serahkan kembali ke tanganmu. Aku ada banyak urusan saat ini. Kapan-kapan aku mengirim surat lagi kepadamu.
15 Juli 2001 Dekrit Gus Dur para aktor di panggung sejarah akan dinilai bukan terutama oleh apa yang dikatakan, melainkan oleh apa yang dilakukan, terutama ketika berhadapan dengan krisis yang mengancam dirinya sendiri.
Dekrit Gus Dur, apapun namanya, adalah senjata pamungkas politik yang hanya mungkin dilaksanakan dengan dukungan TNI dan Polri. Kita patut bersyukur, kedua alat negara ini ternyata tetap utuh dan menolak penerapan dekrit itu. Tapi, seandainya kedua institusi pemaksa itu pecah dan terbagi dalam faksi-faksi pro dan kontra-suatu hal yang memang "dicari" oleh Abdurrahman Wahid-pertaruhan keras di kalangan massa akan menjadi sebuah kemungkinan yang sangat riil. Jika ini terjadi, darah akan tumpah dan proses pelembagaan demokrasi kita akan mundur beberapa langkah.
Saya sebenarnya tidak terlalu heran bahwa Gus Dur mau mempertaruhkan apa yang tidak seharusnya menjadi bahan pertaruhan dalam arena politik yang demokratis. Selama beberapa bulan, ia sering mengancam, jika Sidang Istimewa MPR diselenggarakan untuk mencabut mandatnya, gerakan separatis di sekian daerah akan marak dan Republik bisa pecah. Dengan cara ini, ia memberikan insentif bagi para politisi di daerah untuk menjadikan agenda separatisme sebagai bagian dari proses politik yang normal.
Artinya, keutuhan negara bagi tokoh seperti Gus Dur boleh saja dimasukkan dalam proses negosiasi kekuasaan partai atau kepentingan orang per orang. Dengan cara berpikir seperti ini, Gus Dur sudah tidak lagi mampu menarik garis demarkasi antara kepentingan politik, di satu pihak, dan negara sebagai institusi besar tempat berbagai kepentingan ini berinteraksi secara terpola di pihak lain.
Jika batas semacam itu saja bisa dilanggarnya tanpa sedikit pun rasa bersalah, ia pasti mampu dan siap melakukan apapun, termasuk mendeklarasikan dekrit yang secara potensial dapat mengancam nyawa banyak orang dan menyulitkan proses pelembagaan demokrasi. Selain itu, dekrit Gus Dur memperlihatkan sebuah persoalan besar, yang terjadi lebih pada tingkat konseptual. Yang terancam oleh SI MPR adalah posisi Gus Dur sebagai presiden, bukan negara. Dalam hal tertentu, sidang ini malah bisa dipandang sebagai proses politik yang memperkuat institusi negara, karena para aktor yang terlibat di dalamnya diharuskan berkompetisi untuk mencari argumen dalam menutup beberapa celah konstitusional yang memang ada dalam pengaturan hubungan lembaga eksekutif dan legislatif. MPR, sebagai lembaga politik tertinggi, juga sedang belajar menjadi lembaga demokrasi, dengan proses yang tentu saja tidak selalu mendatangkan kekaguman dan rasa hormat. Dengan memaklumkan dekrit, Gus Dur ingin memotong proses ini dan mem-personifikasikan dirinya sebagai negara itu sendiri. "Aku adalah negara, negara adalah aku": jika yang satu terancam, yang lainnya demikian pula.
Sejarah sudah memberikan banyak pelajaran bahwa sistem kediktatoran selalu dimulai dengan cara berpikir semacam itu, dengan alasan-alasan yang tentu saja berbeda dari satu negeri ke negeri lainnya serta dari satu tokoh ke tokoh lainnya.
Saya tidak berkata bahwa jika dekrit Gus Dur terlaksana, yang pasti terjadi hari ini adalah sebuah sistem kediktatoran yang fanatik dengan dirinya sendiri. Sistem seperti ini hanya bisa ada jika faktor-faktor lain dalam masyarakat ikut mendukung.
Tapi, yang jelas, konstruksi konseptual di balik dekrit itu bisa menjadi pemicu bagi bangkitnya faktor-faktor demikian dalam waktu yang relatif singkat. Hampir semua diktator yang pernah ada dalam sejarah modern selalu datang secara tak terduga dalam proses perputaran sejarah yang relatif cepat, yang biasanya dimulai dengan proses pembubaran atau pengebirian parlemen. Karena se
mua itulah, kalau diminta untuk menggambarkan turunnya Gus Dur dari kursi kepresidenan, hanya ada dua kata yang muncul di benak saya: disgraceful exit.
Di masa lalu, dia memiliki peran yang cukup penting dalam memperluas dasar-dasar masyarakat terbuka yang demokratis. Dia melawan Orde Baru-saya sebenarnya tidak begitu yakin bahwa kata "melawan" dalam hal ini cukup tepat peng-gunaannya-dengan gaya dan kelebihannya sendiri yang bagi banyak kalangan sangat memukau.
Sayangnya, pada hari terakhir kekuasaan politiknya, Gus Dur memilih jalan yang berbeda, sebuah jalan antidemokratik yang akan terus dikenang sebagai salah satu contoh buruk dalam perjalanan sejarah republik kita. Ia mengawali kariernya di dunia politik dengan cemerlang. Ia mengakhirinya dengan kepedihan, buat kita semua. Semoga tokoh-tokoh politik kita di masa mendatang tidak lagi pernah mencoba jalan itu.
30 Juli 2001 Megawati dan Soal Persiapan Jadi Presiden
sampai saat ini perkembangan politik masih belum beranjak dari skenario pasca-memorandum kedua. Tidak ada peristiwa besar yang membalikkan ramalan-ramalan yang ada secara radikal. Kemungkinan Megawati Soekarnoputri untuk menjadi Presiden ke-5 RI sudah mencapai tingkat yang hampir absolut.
Memang, peran faktor X yang dapat menggagalkan transfer kekuasaan bulan depan masih terus membayang di mata. Di hari-hari mendatang sebagian anggota DPR/MPR masih dapat tergoda oleh uang atau janji jabatan menteri dan posisi basah lainnya. Beberapa pentolan Polri dan TNI masih dapat dibius dengan pangkat dan aroma kekuasaan, dan dengan itu mendukung penerapan dekrit presiden untuk membubarkan parlemen.
Akan tetapi, jika semua itu tidak terjadi, jalan Megawati akan mulus. Ia akan menjadi pemimpin baru, yang tentunya juga disertai dengan merebaknya harapan-harapan baru dari berbagai kalangan masyarakat. Pertaruhan kekuasaan Megawati tinggi betul, yaitu sistem demokrasi itu sendiri serta kemaslahatan 210 juta rakyat dari Sabang sampai Merauke.
Dalam banyak aspek kemasyarakatan, kondisi yang ada setelah jatuhnya Soeharto dapat gambarkan oleh ungkapan Prancis di era pasca-Revolusi: Plus ga change, plus la meme chose, semakin situasinya berubah, semakin semuanya sama saja. Malah, bagi sebagian orang ungkapan ini sebenarnya keliru sebab kondisi yang ada semakin memburuk.
Demokrasi tidak akan lama bertahan dalam kondisi demikian. Karena itu dalam konteks kesejarahan yang ada sekarang, Megawati tidak boleh gagal sebagai pemimpin. Tentu kita tidak perlu bermimpi bahwa ia akan menjadi semacam Ratu Adil, pelaku superheroik yang hanya ada di dunia mitologi. Tetapi, mestinya tidak terlalu keliru bila kita berharap bahwa dengan segala keterbatasan yang ada padanya, Megawati akan muncul sebagai pemimpin efektif yang berhasil mengatasi tantangan zamannya.
Untuk itu, dia dan pembantu-pembantu terdekatnya harus memikirkan secara saksama banyak hal yang perlu demi suksesnya pemerintahan baru kelak. Buat saya, yang pertama-tama harus dilakukan Megawati adalah menentukan satu atau dua tujuan besar yang konkret. Tujuan yang ingin dan mungkin dicapai olehnya. Hal inilah yang harus dia jadikan sebagai titik di horizon, yang memberi arah bagi perahu pemerintahannya.
Dan dengan itu pula kekuasaan Megawati dapat memiliki fokus yang jelas. Tanpa fokus semacam ini, sebesar apapun kekuasaan yang dimiliki seorang pelaku sejarah, dampak kehadirannya tak akan banyak berarti. Semua pemimpin besar yang hidup di alam demokrasi dikenang bukan karena mereka membuat banyak hal sekaligus.
Franklin D. Roosevelt terus dikenang karena dia melahirkan negara kesejahteraan ala Amerika, dengan tekanan utama pada kebijakan asuransi sosial. Nama Winston Churchill masih ditulis dengan tinta emas karena ia berperan penting dalam membangkitkan semangat perlawanan yang heroik terhadap Hitler pada saat-saat yang sangat kritis dalam Perang Dunia II.
Saya tidak berkata bahwa Megawati harus menjadi Roosevelt atau Churchill. Tetapi, pelajaran dari kedua tokoh ini cukup jelas: untuk mencapai sukses, seorang pemimpin harus memiliki foku
s yang jelas mengenai apa yang ingin dicapainya. Kalau fokus pemerintahan Megawati meluas, abstrak, dengan tujuan yang terlalu beragam dan saling bertentangan, saya khawatir semuanya akan berujung pada kegagalan. Kalau ini terjadi, bukan hanya Megawati dan PDI Perjuangan yang akan terpuruk.
Tujuan apa, dalam kondisi saat ini, yang secara ideal tepat serta secara praktis mungkin dicapai oleh pemerintahan Megawati" Pada hemat saya, di antara pilihan-pilihan yang ada, tujuan demikian harus berhubungan dengan dua hal, yaitu pen-ciptaan ketertiban umum serta pengambilan langkah-langkah tegas untuk memulihkan kondisi perekonomian, khususnya dunia perbankan. Kedua hal ini saling berhubungan. Yang satu tak mungkin tercapai jika yang satunya lagi diabaikan.
Sekarang kita belum mengerti apakah kedua hal itu akan dijadikan sebagai fokus utama pemerintahan baru kelak. Tetapi, Megawati harus segera memutuskan, dalam waktu dan kondisi yang terbatas, tujuan yang akan menjadi mission sacre dari seluruh bangunan kekuasaannya.
*** Selain soal tujuan, Megawati dan pembantu-pembantu terdekatnya juga harus memikirkan mengenai jalan atau metode kepemimpinan. Bagaimana tujuan-tujuan yang dipilihnya dapat dicapai" Dengan apa mencapainya" Sebagai pemimpin yang diatur oleh kaidah-kaidah yang ada dalam sistem demokrasi, apa yang harus dilakukannya dalam berhadapan dengan realitas politik, sebuah dunia yang memiliki logikanya sendiri"
Roosevelt, misalnya, dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkannya, bertindak sangat pragmatis dan betul-betul menjadi politisi, dalam pengertian yang sebenarnya. untuk merealisasikan kebijakan-kebijakannya, dia sering membujuk, merangkul, dan memberi angin pada lawan-lawan politiknya. Namun tidak jarang pula dia menyikut, menohok dan mengucilkan mereka, dalam batas-batas yang dimungkinkan oleh sistem politik di AS. Dia melakukan begitu banyak eksperimen kebijakan pada tingkatan yang lebih mikro untuk mencapai tujuan besarnya, dengan sikap yang terus-menerus optimistis.
Apakah Megawati akan mengikuti model kepemimpinan yang sama" Sejauh ini, Ketua Umum DPP PDI Perjuangan ini memang lebih sering diam dan berbicara melalui pembantu-pembantu terdekatnya. Namun, beberapa indikasi menunjukkan bahwa saat ini dia sudah lebih mampu bertindak sebagai politisi yang menawarkan kompromi di satu pihak, dan bersikap tegas menolak segala perundingan politik di lain pihak. Semakin tersudutnya posisi Presiden Abdurrahman Wahid dalam berhadapan dengan Megawati adalah salah satu bukti dari hal ini.
Selain itu, yang paling menggembirakan adalah kemampuan Megawati untuk lebih bersifat pragmatis dalam memilih kebijakan. Dia dan sebagian kalangan di partainya mewarisi ide-ide nasionalisme dan populisme yang kental dari Bung Karno. Namun, dalam urusan yang berhubungan dengan isu-isu ekonomi, dia tetap memilih dan mendengarkan pendapat dari tokoh seperti Prof. Widjojo Nitisastro dan Prof. Emil Salim.
Kemampuan seperti itulah yang akan semakin dibutuhkannya. Dia akan sering berhadapan dengan tembok-tembok besar. Dia harus mengerti, kapan dia harus melabrak dan meruntuhkannya dengan kekuatan penuh, kapan harus mengambil jalan memutar untuk menghindarinya. Dia harus mampu mempertimbangkan kedua pilihan ini secara pragmatis, dengan mata yang terus tertuju pada tujuan-tujuan besar yang ingin dicapainya.
Churchill pernah berkata bahwa to govern is to choose, seorang pemimpin senantiasa harus mengambil pilihan-pilihan sulit dalam kondisi yang terbatas. Jika Megawati memutuskan untuk lebih memakai kekuatan dan melabrak tembok-tembok yang merintanginya, dia harus mengerti bagaimana memainkan kartu-kartu politik kekuasaan, sebagaimana layaknya seorang pengikut Machiavelli yang sejati, tanpa mengorbankan aturan-aturan yang umum berlaku dalam sistem demokrasi. Jika yang dipilih adalah "politik jalan memutar", dia harus lebih sering menawarkan kompromi dan merangkul seteru politik yang paling memusuhinya sekalipun, tanpa terjebak dalam hutan belukar negosiasi politik yang tak berujung-pangkal.
Pilihan-pilihan demikian pada a
khirnya terpulang pada Megawati. Kita semua berharap, Megawati kini sedang mempersiapkan diri dengan baik untuk menyambut tanggungjawab yang demikian besarnya. Indonesia kini betul-betul dahaga akan seorang pemimpin yang efektif. Semoga kali ini sejarah akan berpihak pada kita.
17 Juli 2001 Megawati ke Amerika akhirnya, presiden ri berangkat ke Amerika Serikat (AS) pada Senin, 17 September. Perjalanan ini semula tidak mengundang kontroversi. Namun, dengan terjadinya teror besar di New York dan Washington, DC, pekan lalu, muncul berbagai seruan agar Megawati menunda keberangkatannya ke negeri yang sedang terlanda bencana itu.
Tidak kurang dari Amien Rais, Ketua MPR, yang ikut mendukung seruan itu. Amerika sedang berduka dan berada dalam proses kepedihan yang dalam. Karena itu, menurut Amien, alangkah baiknya jika Megawati menghormati hal itu dan menunggu saat yang lebih baik untuk ke Gedung Putih.
Alasan demikian bisa dipahami. Tapi, buat saya, argumen bagi keberangkatan Megawati sebenarnya lebih kuat. Justru dengan kunjungan ini, Megawati dapat mewakili Indonesia untuk menyampaikan simpati secara langsung dan, lewat CNN, ABC, CBS, dan media semacamnya, dapat "bertamu" ke ruang-ruang keluarga di seantero penjuru Amerika untuk menyatakan betapa kita semua memahami kepedihan mereka.
Hal sederhana semacam itu, dalam konteks yang ada sekarang, pasti memiliki dampak strategis yang cukup penting, baik bagi kita maupun bagi Amerika sendiri. Suka atau tidak, di mata publik AS, peristiwa teror yang meminta korban ribuan jiwa dan meruntuhkan gedung kembar World Trade Center dan membakar sebagian sisi Pentagon itu dianggap berkaitan erat dengan kaum Islam fundamentalis. Anggapan ini bisa keliru, bisa benar. Namun, itulah kenyataan yang ada sekarang.
Megawati adalah presiden dari negeri dengan penduduk Islam terbesar di dunia. Karena itu, bagi George W. Bush, penerimaan Megawati di Gedung Putih nanti pasti sangat berguna untuk meyakinkan dunia bahwa, dengan memproklamasikan perang terhadap terorisme dalam segala bentuknya, Amerika tidak memusuhi negeri-negeri Islam.
George W. Bush dapat menggunakan pertemuannya dengan Megawati untuk berseru bahwa masyarakat Islam, baik yang berada di Timur Tengah, Asia, maupun di Amerika sendiri, tidak perlu khawatir dengan tekad negeri adidaya yang dipimpinnya untuk mengejar serta menghancurkan kaum teroris hingga ke pelosok dunia mana pun.
Bagi kita dan bagi Megawati sendiri, hal yang sama pun dapat dilakukan, untuk mencapai tujuan yang berbeda. Inilah saat yang terbaik untuk menunjukkan sikap bersahabat kita terhadap masyarakat AS. Fokus Megawati dalam pertemuan dengan George W. Bush di Gedung Putih harus ditempatkan dalam kerangka itu. Soal bantuan dana, penjadwalan utang, isu kerjasama militer, agenda IMF dan Bank Dunia bisa diurus pada tingkat menteri.
Jika peristiwa teror 11 September tidak terjadi, fokus kunjungan Megawati tentu harus berbeda, yaitu sesuai dengan rencana semula yang lebih berhubungan dengan hal-hal terakhir tadi. Namun, konteks yang ada sekarang secara radikal sudah berubah, dan untuk itu tujuan kunjungan di akhir musin panas ini pun harus menyesuaikan diri.
Di beberapa kota yang dikunjungi Megawati dalam beberapa hari ini, pers AS pasti akan berusaha mendengarkan apa yang akan dikatakannya. Di sinilah Presiden RI atau Menlu yang mewakilinya dapat menitipkan pesan bahwa bersama rakyat Amerika, Indonesia juga akan turut memerangi akar-akar terorisme dalam segala bentuknya.
Lewat pers AS, kita bisa menjelaskan bahwa di berbagai belahan dunia, salah satu akar politik yang paling dalam dari terorisme di zaman modern bukan hanya bersumber pada isu-isu keagamaan, tapi juga pada isu dan persoalan separatisme. Inggris, Spanyol, dan banyak negeri lainnya sudah mengalami hal itu. Dan Indonesia, pada saat ini, mungkin telah memasuki tahap sejarah yang menyedihkan, ketika aspirasi nasionalisme lokal cenderung berubah menjadi gerakan bersenjata yang selalu meminta korban warga tak berdosa.
Singkatnya, lewat pers AS dan lewat pertemuannya dengan
George W. Bush, Megawati dapat menggunakan kunjungannya untuk mencapai dua tujuan utama: memperkuat komitmen AS pada keutuhan teritorial Indonesia, serta pada saat yang sama meminta dukungan politik yang lebih eksplisit agar kita bisa menghadapi akar-akar terorisme di negeri kita secara lebih tegas, kalau perlu dengan penggunaan kekuatan bersenjata secara penuh, seperti yang ingin dilakukan oleh AS di saat-saat mendatang, menyusul malapetaka di New York dan Washington, DC.
Tentu, tujuan strategis demikian bisa tercapai, bisa pula tidak. Kalau tercapai, Megawati akan kembali ke Jakarta dengan political capital yang lebih besar untuk menyelesaikan beberapa persoalan domestik yang mendesak, seperti yang terjadi di Aceh.
Kalau tidak, setidaknya Megawati sudah "menyapa" rakyat AS dan menyampaikan uluran simpati pada saat yang paling tepat. Biasanya, kenangan semacam ini akan bertahan lama, suatu hal yang tentu akan meneguhkan sekali lagi persahabatan kita dengan negeri pelopor demokrasi modern itu.
17 September 2001 Bush Goyah, Pelajaran Buat Mega
dari langit turun ke bumi, Zife is back to normaZ. Itulah yang bisa dikatakan mengenai Presiden Bush menyongsong Pemilu 2004. Hal yang sama terjadi pada Presiden Megawati. Untuk terpilih kembali, keduanya harus bekerja keras dan mengubah strategi.
Setelah teror 11 September 2001, popularitas Bush ada di langit, memecahkan salah satu rekor yang selama ini dinikmati Presiden AS. Dia menggebrak dan memimpin negerinya melawan kaum teroris di sudut-sudut dunia. Dia mempersatukan publik melawan musuh bersama. Sampai musim semi tahun ini, posisi itu tidak berubah. Bahkan, "sukses besar" dalam invasi Irak menambah popularitasnya. Ia ada jauh di atas, tak terjangkau oleh para kandidat dari Partai Demokrat yang tengah bersiap-siap menyongsong pemilu tahun depan.
Namun pada pertengahan musim panas, tiba-tiba badai datang, bagai angin puyuh yang kerap menyapu Texas. Casus beZZi-nya bermacam-macam, dari bom yang meledak di Markas PBB, Baghdad, hingga angka pengangguran yang tak juga kunjung membaik. Hari demi hari popularitas Bush melorot. Sekarang diperkirakan hanya tinggal setengah pemilih yang siap mendukung kembalinya Bush sebagai orang nomor satu di AS.
Bonus politik Peristiwa 9/11 sudah berakhir. Posisi Bush hampir kembali lagi ke titik awal, saat dia menang tipis melawan Al Gore pada Pemilu 2000. Ia kini harus berjuang sebagai politisi di zaman normal, tanpa bantuan momentum sejarah.
Hal itu membangkitkan harapan para kandidat Partai Demokrat. Kini mereka merasa pintu telah terbuka. Tidak heran, di kalangan mereka mulai muncul semboyan yang agak mencubit, like father, like son: one term only.
Di kubu Bush sendiri, perubahan itu disambut aneka reaksi, dari penolakan hingga rasa waswas. Untung, ia memiliki seorang penasihat politik piawai, Karl Rove. Dari belakang layar, tokoh yang dijuluki si boy genius itu kini mulai mengubah strategi di Gedung Putih.
Sebelumnya, Bush lebih banyak mengayun langkah yang sesuai harapan kaum konservatif di garis keras. Di pengujung musim panas ini, Karl Rove banting setir dengan memperluas basis Bush dan merebut suara pemilih independen. Ia harus memainkan strategi yang mirip dengan apa yang dikembangkan Dick Morris dalam menyelamatkan posisi Bill Clinton pada Pemilu 1996.
Mungkin langkah Bush-Rove itu akan berhasil, mungkin pula tidak. Yang jelas, presiden ke-43 AS ini kian menyadari, dua tahun setelah aksi teror di New York dan Washington DC, pendulum politik dan suasana hati masyarakat kini mulai bergeser. Ia harus berubah bersamanya, sambil tetap mempertahankan ide-ide dasar yang menjadi landasan perjuangan Partai Republik.
*** Bagaimana dengan Presiden Megawati" Dari semua itu, adakah pelajaran yang dapat dipetiknya"
Berbeda dengan Bush, popularitas Megawati tidak pernah mencapai langit. Namun sama dengan presiden AS, Megawati harus menerima kenyataan, dukungan terhadapnya kini menyusut. Dalam berbagai survei akhir-akhir ini, ia masih menduduki tempat teratas, tetapi dengan proporsi yang kian mengecil.
Tokoh-tokoh lain mulai bermunculan. Seperti para kandidat dari Partai Demokrat, mereka mulai melihat jalan yang kian terbuka. Posisi Megawati dianggap kian lama kian goyah, karena itu bukan tidak mungkin ia dikalahkan.
Sebenarnya, posisi Megawati bisa lebih baik. Operasi penumpasan gerakan separatis di Aceh dan reaksi keras terhadap kaum teroris pasca-Bom Bali adalah dua kebijakan yang didukung luas hingga kini. Sebagai presiden, dengan cara-cara yang sah, ia dapat memanfaatkan kedua kebijakan populer itu untuk menaikkan dukungan terhadap dirinya.
Sayang, Megawati tidak melakukan itu. Yang memanfaatkan justru tokoh seperti Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Dengan posisi sebagai Menko Polkam, dialah yang sering tampil menjelaskan, membela, dan menjawab langsung aneka pertanyaan mengenai kebijakan di Aceh dan langkah melawan kaum teroris di berbagai media, terutama televisi.
SBY tampil sebagai the tough guy, manakala masyarakat merindukan tokoh dan kebijakan yang tegas. Tidak heran, dalam beberapa jajak pendapat nama SBY kini agak mencuat, seiring dengan kian menguatnya harapan semacam itu. Dia mengisi sebuah ruang kosong yang ditinggalkan pemiliknya.
Bila mau, peran itu dapat dimainkan Megawati sendiri, dengan sentuhan yang lebih membangkitkan simpati. Bahkan ia dapat menggunakan posisi SBY guna memperkuat dukungan terhadapnya. Demikian pula dengan semua menteri dalam Kabinet Gotong Royong.
Namun, itulah masalahnya. Sejauh ini ia belum memiliki strategi yang secara sadar dikembangkan guna meningkatkan popularitas dirinya. Mungkin putri Bung Karno ini beranggapan, tanpa diatur sekalipun, "kebenaran" akan muncul sendiri dan dukungan rakyat mengalir lagi.
Bila Megawati mau terpilih tahun depan, anggapan demikian harus ditinjau kembali. Ia harus banting setir, seperti Bush. Dalam politik di alam demokrasi, tidak ada hal yang datang begitu saja. Peluang harus direbut, dukungan dicari, dan strategi disiapkan dengan saksama.
Dalam hal strategi, apa yang dapat dikembangkan Megawati" Bidikan Bush-Rove mengarah ke pemilih independen, sambil sejauh mungkin mempertahankan pendukung tradisional kaum konservatif. Bisakah Megawati dan tim suksesnya melakukan hal serupa, dalam konteks berbeda"
Dalam banyak hal, tugas Karl Rove dan tim sukses Bush di West Wing, Gedung Putih, lebih gampang. Tingkat akurasi survei di AS jauh lebih tinggi, dan karena itu profil pemilih serta preferensi mereka bisa dideteksi dari waktu ke waktu di semua daerah. Strategi yang dikembangkan setiap kandidat, termasuk Bush, adalah hasil deteksi ini.
Di negeri kita, metode dan teknik survei masih pada tingkat awal. Tidak mudah membangun akses pada pemilih yang tersebar di pelosok kabupaten. Jaringan telepon terlalu kecil untuk digunakan sebagai sarana survei yang menyeluruh.
Namun demikian, apa yang dilakukan sejauh ini oleh berbagai lembaga survei bukan tanpa manfaat. Beberapa fakta yang diungkapkan perlu diperhatikan. Dalam satu hal, khusus bagi Megawati, terlihat kecenderungan, justru kelompok berpenghasilan rendah di daerah perkotaan yang paling banyak berpaling dari kandang banteng. Dari segi wilayah, posisi Megawati paling merosot di DKI, Jateng, dan Jatim, tiga provinsi yang bisa dianggap wilayah tradisional PDI-P.
Strategi apapun yang dirumuskan Megawati dan timnya, kemerosotan dukungan di kelompok dan wilayah demikian harus dapat dihentikan. Syukurlah jika strategi ini bisa dikembangkan lebih jauh guna membujuk kelompok pemilih yang hingga kini masih berstatus undecided.
Jumlah kelompok terakhir ini amat besar, hampir separuh total pemilih. Sebagian dari mereka, agaknya tidak akan memilih Megawati. Namun sebagian lagi masih menunggu dan menimbang, apakah ketua umum partai berlambang banteng ini masih pantas diberi kepercayaan memimpin bangsa lima tahun lagi.
Megawati, seperti Bush, harus membuktikan kemampuan dirinya. Ia mungkin berhasil, mungkin tidak. Tetapi kita semua akan memetik manfaat jika ia mencobanya sepenuh hati, dan sebagai akibatnya kompetisi politik para calon pemimpin menjadi lebih tajam dan membangki
tkan inspirasi. Demokrasi, kalau saya boleh menyitir ucapan John Maynard Keynes tentang bekerjanya roda ekonomi, hanya bisa berkembang jika para politisi memiliki nafsu binatang untuk berkuasa. Justru karena ingin memerintah, kaum politisi harus bekerja keras membangun dukungan.
Saya yakin, Megawati ingin merebut kemenangan dalam Pemilu 2004 bukan karena alasan kekuasaan semata. Ada sesuatu yang lebih besar yang ingin diraihnya. Kini kita tunggu, untuk mencapai hal itu, maukah ia bertindak sebagaimana layaknya politikus di mana pun, berusaha tanpa lelah untuk merayu dan merebut hati rakyat.
Dari Langit Karya Rizal Mallarangeng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
18 September 2003 Perlukah Setneg dan Setkab Dipisah"
salah satu masalah penting yang belum terselesaikan dalam tubuh pemerintahan Presiden Megawati saat ini adalah masalah pemisahan dua lembaga vital, yaitu Sekretariat Negara dan Sekretariat Kabinet. Masalah ini tertunda-tunda terus dan, setelah lima bulan, kontroversi di sekitarnya masih bisa kita baca di berbagai media massa.
Hal itu patut disayangkan karena kinerja pemerintahan Megawati dalam banyak hal bergantung pada kecepatan, prestasi kerja, serta perilaku tokoh-tokoh yang menduduki posisi utama dalam dua lembaga penting itu. Kalau tiga atau empat kementerian tidak berfungsi dengan baik, Megawati mungkin masih bisa memerintah dengan efektif. Tapi, kalau Setneg/ Setkab macet, tertutup, atau berjalan dengan agendanya sendiri, kepemimpinan Megawati pasti juga akan macet dan kehilangan elannya sebagai tumpuan harapan masyarakat untuk mengangkat negeri kita ke luar dari berbagai krisis yang telah mencekik selama ini.
Sejauh ini, alasan di balik tertundanya pemisahan Setneg/ Setkab bersumber pada penolakan Bambang Kesowo, tokoh yang kini dipercaya oleh Presiden Megawati untuk memimpin kedua lembaga itu. Dari berbagai laporan, yang kita baca di media massa, argumen Bambang Kesowo bersandar pada satu hal, yaitu keefektifan pengawasan dan pengaturan tugas yang dilimpahkan oleh presiden kepada menteri-menterinya. Jika kedua lembaga itu dipisah, menurut lulusan Harvard yang telah bertahun-tahun membangun karir di Sekretariat Negara ini, kinerja presiden sebagai kepala negara dan sekaligus kepala pemerintahan akan tidak efisien karena mata-rantai keputusan dan kewenangan yang harus dilalui akan melebar dan bertambah panjang.
Argumen seperti itu dalam beberapa hal cukup masuk akal. Namun, ia belum menjawab hal yang fundamental: apakah fungsi kedua lembaga penting itu memang tak terpisahkan sedemikian rupa sehingga kinerja optimalnya hanya bisa tercapai dengan unifikasi, bukannya diversifikasi" Kalau fungsi-fungsi itu hampir sama dan sebangun, kenapa pula harus ada dua lembaga dengan dua nama yang berbeda" Jika di bawah Orde Baru penyatuan keduanya dianggap sukses, apa alasan yang dapat diberikan untuk berkata bahwa ia akan mendatangkan hasil yang sama dalam arena yang sudah jauh lebih terbuka dan demokratis"
Sampai sekarang, saya belum mendengar jawaban yang memadai terhadap pertanyaan sederhana seperti itu. Pada hemat saya, lembaga Sekretariat Negara, sesuai dengan namanya, berperan mengelola negara sebagai sebuah institusi besar yang memiliki simbol-simbol dan begitu banyak aset serta urusan administratif-protokoler yang berhubungan dengan presiden sebagai kepala negara. Dalam hal ini, peran Menteri-Sekretaris Negara memang lebih baik dijalankan oleh seorang birokrat administrator yang sepenuhnya terlepas dari proses politik.
Lembaga sekretariat presiden menjalankan peran yang samasekali berbeda. Lembaga ini merupakan organ politik pemimpin eksekutif karena berkaitan langsung dengan tugas dan kewajiban presiden sebagai kepala pemerintahan.
Presiden dilengkapi dengan kabinet yang dipilihnya karena ia harus membuat kebijakan serta mengkomunikasikan kebijakan tersebut agar didukung oleh publik dan parlemen. Di sinilah peran penting Sekretaris Kabinet: ia membantu presiden dalam memerintah dan membuat kebijakan, mengkoordinasikan anggota-anggota kabinet agar bekerja secara terpadu melayani visi pemimpin mereka, mengatur aspek komunikasi kebijakan dan
pidato-pidato presiden, mengurus hubungan presiden dengan parlemen, dan semacamnya. Di Amerika Serikat, peran semacam ini dimainkan oleh Kepala Staf Gedung Putih, yang biasanya diisi oleh politisi kepercayaan presiden.
Bahwa di masa Orde Baru dan sebelumnya kedua lembaga itu disatukan, saya kira ini harus dilihat lebih sebagai proses pembagian kerja kelembagaan yang terhambat. Dan khususnya dalam era Soeharto, unifikasi demikian memang wajar adanya karena saat itu birokratisasi dunia politik berjalan tanpa perlawanan sama-sekali.
Tapi sekarang panggung pemerintahan sudah berbeda 180 derajat dan era Sudharmono atau Moerdiono sebagai sebuah kekuatan besar tersendiri sudah lewat. Saat ini, kantor kepresidenan dan ruang-ruang rapat di berbagai kementerian harus terkait secara organis dengan proses politik dalam masyarakat. Presiden membutuhkan ruang-ruang tertentu yang membuatnya cukup leluasa untuk memerintah sebagai politisi dan pemimpin partai, bernegosiasi, bertemu, dan membujuk berbagai elemen dalam masyarakat. la dan anggota kabinetnya harus dapat memanfaatkan media massa untuk menyampaikan pesan agar masyarakat mengerti apa yang sedang dilakukan oleh tokoh eksekutif dalam mengangkat nasib mereka.
Semua itu sarat dengan dimensi politis, bukan birokratis atau administratif semata. Jika kedua hal ini dikacaukan atau dicampuradukkan, saya khawatir, dalam masa transisi yang sulit dan tak pasti ini, presiden kita, siapapun orangnya, akan sukar memperoleh dukungan yang memadai untuk mengambil inisiatif kebijakan penting yang sudah lama ditunggu masyarakat.
17 Februari 2002 Despot Paling Keji kekejaman dan kekejian Stalin telah terkenal di seluruh dunia. Namun hanya sedikit penulis yang berhasil menuliskan itu semua dalam detail yang kaya dan panoramik. Dr Medvedev jelas merupakan salah satu di antaranya. Ia menulis bukan hanya sebagai seorang sejarawan yang bagus, melainkan juga sebagai seorang penuntut yang jujur dan tajam, yang menangani kasusnya berdasarkan begitu banyak informasi yang berasal dari korban-korban para tiran.
Dalam buku ini dia memperkirakan bahwa sebanyak 20 juta orang mati, dan beberapa juta orang yang lain disiksa dengan keji, di tangan pasukan polisi dan birokrasi Stalin. Dr Medvedev memperlihatkan bagaimana, dalam usahanya untuk menghancurkan sisa-sisa pasukan lama dari era Lenin dan membangun "sosialisme dalam satu negara", Stalin menggunakan mekanisme teror. Pendeknya, bagi Dr Medvedev, Stalin telah melakukan suatu kejahatan "yang sulit dicari padanannya dalam sejarah dunia... tidak ada satu tiran atau despot di masa lalu yang membunuh dan menyiksa begitu banyak wargane-garanya sendiri".
Stalinisme merupakan sebuah sistem pemerintahan yang teroristik dan diktatorial, yang terkonsolidasikan melalui kultus pribadi sang diktator. Akar sistem ini, bagi Dr Medvedev, tidak terletak dalam gagasan-gagasan Marx atau dalam warisan revolusioner Lenin. Stalinisme hanya sebuah penyimpangan: "Stalinisme samasekali bukan tak-terelakkan". Stalin hanyalah seorang devian keji yang merintangi komunisme dalam membangun suatu masyarakat yang manusiawi dan sejahtera. Stalin "tidak pernah merupakan seorang komunis sejati".
Di sini kita bisa melihat bahwa, dalam usahanya yang jujur dan tajam untuk mencari kebenaran, Dr Medvedev mengulangi apologi terkenal para Leninis yang keras kepala. Bagi mereka, tidak ada satu hal pun yang secara inheren salah dengan Marxisme dan praktik-praktik revolusioner Leninis. Kegilaan dan paranoia Stalin-lah yang menciptakan teror yang sistematis dan kekaisaran kejahatan. Dengan demikian, tugas pertama untuk membangun kembali sistem Soviet adalah mencuci "semua lapis noda Stalinis".
Sulit untuk menerima jenis pietisme Leninis ini. Pertama-tama, kita tahu bahwa teror, sebagai alat kekuasaan, dibenarkan dan digunakan oleh Lenin. Pada 1901 Lenin berkata,[Di sini semua ucapan dan kutipan Lenin diambil dari The Grand Failure karya Zbigniew Brzezinski (1989: 17-21).] "Pada dasarnya kita tidak pernah meninggalkan teror dan tidak bisa meninggalkannya." Dan beberapa
bulan sebelum Revolusi Oktober, ia menulis bahwa kaum Bolshevik harus menjalankan kediktatoran; dan definisinya tentang kediktatoran adalah "se -buah kekuasaan yang tidak dibatasi oleh hukum apapun, tidak terikat oleh aturan apapun, dan secara langsung didasarkan pada paksaan". Partai Bolshevik harus menjadi satu-satunya pemegang kebenaran.
Bukan hanya dalam kata-kata dan pemikiran Lenin mempersiapkan lahirnya Stalinisme. Dalam praktik, apa yang ia lakukan ketika ia berkuasa, menurut Brzezinski, adalah "konfrontasi yang hampir sepenuhnya dengan masyarakat". Lenin menciptakan sebuah partai tertinggi yang dilengkapi dengan pasukan polisi rahasia untuk-dalam ungkapan Brzezinski- "mendorong bukan meluruhnya negara melainkan masyarakat sebagai sebuah entitas yang otonom".
Lenin, dengan kata lain, mempersiapkan dasar sebuah negara yang sangat terpusat bagi Stalin, yang didasarkan sepenuhnya pada kekuatan paksaan, dan yang di dalamnya tidak ada aktivitas spontan dan otonom yang bisa dijalankan. Apa yang dilakukan Stalin adalah memperluas warisan Leninis ini dalam skala yang sangat besar.
Karena itu, kita harus membaca buku Dr Medvedev dari sudut pandang ini: bagaimana seorang murid ekstrem Lenin, yang memiliki kecenderungan-kecenderungan psikologis seperti haus akan kekuasaan, paranoia, kekejian, dan ambisi yang tidak terbatas, mencoba dengan seluruh kemampuannya ("tanpa dibatasi oleh hukum apapun, tanpa terikat oleh aturan apapun") untuk mewujudkan komunisme dalam realitas.
Mengapa Stalin "sangat berhasil" menjalankan hal ini" Apakah Rusia merupakan sebuah tanah yang subur bagi semua jenis tiran" Apakah Marx benar ketika ia menulis bahwa "Setiap orang memiliki aturan-aturannya sendiri"" Dr Medvedev tampak eklektik dalam memecahkan persoalan-persoalan ini. Ia mengutip seorang penulis Arab, al-Kawakibi, yang menyatakan bahwa "orang-orang awam adalah makanan dan kekuasaan seorang despot; ia berkuasa atas mereka dan dengan bantuan mereka menindas yang lain". Sampai tingkat tertentu ia juga setuju dengan Richard Pipes, yang berkata bahwa Stalinisme merupakan kelanjutan dari patrimonialisme Rusia abad ke-18 dan 19 dalam bentuk yang lain. Namun Dr Medvedev juga tidak sepenuhnya menolak argumen Irina Ilovaiskaya bahwa Revolusi Oktober memutus sejarah Rusia ketika ia jelas "sedang bergerak ke arah liberalisasi... ke arah keseimbangan dan kestabilan Eropa".
Dari eklektisisme ini tentu saja tidak ada sesuatu yang secara teoretis dapat kita setujui atau tidak setujui. Menyetujui setiap hal berarti tidak menyetujui apapun. Namun mungkin tidak fair untuk meminta Dr Medvedev memecahkan dan menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Sebagai seorang sejarawan-bukan seorang teoretisi-ia telah melakukan tugasnya dengan sangat baik: ia mencatat, menggambarkan, dan menyingkap tindakan-tindakan seorang despot paling keji yang pernah ada dalam sejarah manusia.
21 Januari 1993 BAB VII Menuju Pelembagaan Reformasi:
Tentang Isu-isu Seputar Reformasi
Kaum Aktivis Kebablasan mpr telah menipu rakyat. Itulah yang diserukan oleh Koalisi Organisasi Non-Pemerintah di tengah-tengah Sidang Tahunan MPR di Senayan, Jumat 8 Agustus silam. Dalam semangat anti-politik yang pekat, kaum aktivis non-partai yang tergabung dalam koalisi ini dengan dramatis menyobek rancangan pembentukan Komisi Konstitusi yang dibuat oleh para politisi di MPR. Mereka berpikir, hanya ide mereka yang murni, dan segala yang lainnya adalah sebentuk penipuan kepada rakyat.
Kaum aktivis di luar lembaga perwakilan memang harus mengambil jarak dan senantiasa bersikap skeptis terhadap kaum politisi. Tetapi, saya kira, sebagian dari wakil mereka yang tergabung dalam Koalisi Organisasi Non-Pemerintah (Ornop) sudah kebablasan: skeptisisme mereka sudah berubah menjadi sinisme yang penuh amarah.
Bahkan saya agak khawatir, pandangan-pandangan yang mereka lontarkan selama Sidang Tahunan MPR yang berakhir pekan lalu bisa melemahkan dasar-dasar legitimasi sistem demokrasi itu sendiri.
Tentu saja, saya bisa memahami sebagian kekecewaan mereka. Keempat aman
demen yang telah dilahirkan oleh MPR sejak empat tahun silam masih menyisakan beberapa persoalan.
Dalam soal bikameralisme, misalnya, tidak terdapat penjelasan yang memadai tentang fungsi dan peranan Dewan Perwakilan Daerah (DPD), sebuah lembaga penting yang seharusnya diberi kewenangan sebagaimana yang dinikmati oleh lembaga Senat di Amerika Serikat.
Selain itu, dalam soal hubungan antara lembaga-lembaga tinggi negara, dalam hal ini antara presiden dan DPR, prinsip check and balances belum sepenuhnya tampak dengan terang-benderang. Dalam mengesahkan undang-undang yang telah disetujui oleh DPR, presiden hanya diberi waktu selama 30 hari untuk mempertimbangkannya. Dan jika presiden tidak setuju, undang-undang itu tetap akan berlaku (Pasal 20 Ayat 5).
Artinya, sementara DPR dapat mengontrol presiden, hal sebaliknya tidak terjadi. Sebab, presiden tidak diberi hak veto yang eksplisit. Hak veto yang ada hanya berlaku implisit: presiden diberi wewenang merumuskan undang-undang bersama DPR (Pasal 20 Ayat 2).
Dalam hal ini, kita bisa bertanya: mengapa hubungan antara DPR dan presiden dibuat dengan penuh ambiguitas sedemikian rupa sehingga bisa menimbulkan konflik kelembagaan di masa depan" Mengapa presiden, sebuah lembaga dengan legitimasi yang kuat karena dipilih langsung oleh rakyat, tidak diberi hak yang eksplisit untuk mengontrol DPR agar terjadi perimbangan kekuasaan dalam menentukan aturan-aturan yang langsung berpengaruh pada perikehidupan umum"
Daftar kelemahan dan kekurangan yang ada masih bisa diperpanjang lagi. Namun, semua itu bukanlah kelemahan yang bersifat fundamental yang akan menyebabkan demokrasi kita macet dan rontok. Kekecewaan yang begitu dalam di kalangan para aktivis tidak sebanding dengan derajat kelemahan yang ada dalam konsititusi "baru" kita.
Buat saya, berbagai kelemahan yang ada terlalu kecil untuk menutupi sukses besar yang telah dihasilkan oleh MPR dalam empat amandemen. Dengan segala keterbatasan dan dengan distribusi kursi partai yang menyulitkan pengambilan berbagai keputusan besar, MPR telah menghasilkan konstitusi baru yang lebih sesuai dengan semangat zaman.
Kini, setiap warganegara secara eksplisit dijamin kebebasannya dalam berserikat, berkumpul, dan berpendapat (dalam konstitusi "lama", hak-hak itu kabur karena masih diatur dalam undang-undang). Selain itu, setiap warganegara sekarang dapat memilih pemimpinnya secara langsung, tidak ada lagi golongan perwakilan yang tak terpilih dalam parlemen. TNI-Polri sudah menyatakan sayonara tanpa letupan-letupan yang berbahaya, serta substansi Pasal 33 tentang perekonomian lebih mengikuti semangat perkembangan dunia. Singkatnya, sekarang kita telah memiliki konstitusi yang dapat digunakan untuk mendorong proses transisi demokrasi yang lebih baik di masa depan.
Sekali lagi, sukses yang telah dicapai ini bukan berarti di kemudian hari perbaikan di sana-sini tidak lagi dibutuhkan. Dan dalam sistem demokrasi, upaya-upaya perbaikan dan perubahan demikian adalah proses politik.
Dengan atau tanpa Komisi Konstitusi sebagaimana yang diusulkan oleh kaum aktivis di Koalisi Ornop atau oleh petinggi-petinggi TNI-Polri, yang perlu terus diingat adalah bahwa proses demikian akan melibatkan pertentangan dan perbedaan konsepsi tentang berbagai hal yang ideal.
Dalam proses itu, tidak satu pihak pun yang berhak mengatakan bahwa hanya dirinya yang membawa kebenaran dan kemurnian. Justru demokrasi perlu, seperti kata Isaiah Berlin, karena dalam dunia nyata ada banyak kebenaran yang masing-masing mungkin saling bertentangan-dan karena itu kita harus mencari cara damai dan terlembaga untuk bernegosiasi dan mengambil keputusan yang mengatasnamakan semua.
Itulah yang perlu disadari oleh setiap komponen prodemokrasi, terlebih oleh kaum aktivis yang sejauh ini hidup dan karirnya memang diabdikan untuk mendukung gagasan demikian. Kalau pihak terakhir ini sudah mulai tak sabar dan terjebak dalam sinisme berlebihan terhadap proses politik dan terhadap kaum politisi, transisi demokrasi kita akan kehilangan salah satu motornya yang dapat diandalkan.
Dua pekan lalu, kaum aktivis sudah kebablasan. Mereka harus membuktikan bahwa, dalam momen-momen historis lainnya di saat-saat mendatang, hal itu tak akan terjadi lagi.
19 Agustus 2002 Konstitusi 2002 dan Dua Perkara
SAYA SENANG bahwa tiga aktivis Koalisi Ornop, yaitu Bambang Widjojanto, Todung Mulya Lubis, dan Mochtar Pabottingi, menanggapi kolom Goenawan Mohamad dan kolom saya dengan antusias.
Dari mereka bertiga, kalau kita sederhanakan, ada dua soal yang menjadi biang perkara, yaitu masalah prosedural dan substansial. Yang pertama berhubungan dengan metode pengambilan keputusan yang merumuskan dan mengesahkan Konstitusi 2002 dengan empat amandemennya, sementara yang kedua berkaitan dengan substansi yang ada dalam amandemen tersebut.
Dalam soal prosedur, ketiga aktivis Koalisi Ornop ini berpandangan bahwa mekanisme perumusan dan pembahasan amandemen konstitusi di Panitia Ad Hoc I serta pengesahannya dalam sidang-sidang MPR bukanlah mekanisme yang tepat. Menurut Mochtar Pabottingi, misalnya, dalam mekanisme ini terkandung apa yang disebutnya sebagai "irasionalitas prosedural".
Tanpa bersandar pada argumen legal-formal, penolakan ketiganya lebih bertopang pada tudingan miring terhadap kualitas moral-personal dari kaum politisi yang duduk di lembaga MPR kita sekarang. Mereka menganggap kaum yang terakhir ini sebagai kaum partisan dengan kepentingan sempit, jangka pendek, yang tidak mewakili bangsa secara keseluruhan, dan karena itu tidak layak diberi kewenangan merumuskan konstitusi.
Argumen semacam ini agak mengherankan. Sebab, kaum aktivis di Koalisi Ornop sebenarnya meminta mandat dari MPR untuk membentuk komite konstitusi. Dan juga kita tahu bahwa selama beberapa tahun terakhir ini Koalisi Ornop cukup aktif melobi dan memengaruhi kaum politisi di Senayan untuk menerima ide-ide mereka.
Saya sebenarnya khawatir bahwa tudingan miring tadi lebih disebabkan oleh ketidakberhasilan mereka untuk sepenuhnya menyuntikkan konsepsi mereka kepada kaum politisi di MPR. Jika sejumlah wakil rakyat tidak setuju pada konsepsi yang datang dari Koalisi Ornop, mengapa mereka harus dituding sebagai orang berpikiran sempit" Bukankah yang terjadi di sini adalah perbedaan konsepsi yang wajar adanya antara pihak yang satu dan yang lainnya"
Terus-terang, di sini saya mencium aroma Brahminisme politik yang berlebihan. Bambang Widjojanto, misalnya, berkata bahwa "koalisi kami adalah Koalisi untuk Konstitusi Baru, karena melibatkan banyak pihak di luar komunitas LSM seperti kaum intelektual dan para guru besar yang menggunakan rasionalitas politik dan nurani keberpihakannya tidak pada kepentingan politik jangka pendek dan keinginan 'sesembahan' politiknya".
Pandangan semacam ini dalam substansinya bersifat otoritarian, sesuatu yang ironis dikatakan oleh tokoh-tokoh yang ingin mengusulkan konstitusi demokratis. Soeharto dan kaum militer pada era Orde Baru, serta Soekarno pada zaman Orde Lama, pada dasarnya berpandangan sama: kaum politisi di partai dan parlemen berpikiran sempit, karena itu kewenangan mereka harus dilucuti. Masyarakat harus dipimpin oleh kaum terpilih-pemimpin revolusi, jenderal, intelektual, guru besar, teknokrat, dan semacamnya-yang "rasional", berpikiran jauh ke depan, tanpa kepentingan politik sesaat.
Seruling Haus Darah 1 Wiro Sableng 052 Guna Guna Tombak Api Dendam Dalam Darah 2