Dibakar Malu Dan Rindu 4
Dibakar Malu Dan Rindu Karya Marga T Bagian 4
"Tidak dapatkah dia menunggu di rumah, Dok""
"Bisanya bisa, tapi rumah sakit tidak akan dapat insentif apa-apa kalau begitu. Kita kan perlu biaya untuk mengelola semua ini, Dik. Pasien-pasien kaya seperti dia harus kita tahan selama mungkin, sebab kita perlu honornya."
Aku sama sekali tak pernah berpikir ke situ. Dasar aku ini masih ingusan. Tapi bila demi kebaikan klinik, seorang pasien harus kehilangan kerja atau malah suami, kan enggak adil.
"Dok, maaf ya. Ibu Urti meminta saya untuk menyampaikan, dia sudah kepingin sekali pulang."
"Setiap pasien juga begitu. Tak ada yang betah tiduran terus seharian, sekamar beramai-ramai." Dokter Anwar menggeleng seraya tersenyum penuh pengertian.
"Bukan itu keberatannya, Dok."
"Lalu apa""
"Katanya, dia bisa kehilangan kerjanya kalau terlalu lama di sini."
"Katakan, tak usah kawatir. Saya akan menulis surat keterangan untuk bosnya."
Aku menjadi resah, kakiku bergerak ke kiri ke kanan, untung gesekan itu tidak menimbulkan bunyi di atas karpet. Dokter Anwar sudah menunduk lagi meneruskan bacaannya. Aku sudah kepingin minggat dari situ. Namun bayangan wajah Ibu Urti menghantui pikiranku. Wanita itu betul-betul ketakutan jangan-jangan suaminya nanti nyeleweng gara-gara dia kelamaan tidak pulang-pulang. Aku berdehem untuk mengumpulkan segenap keberanianku.
"Dok, dia bilang, kalau dia tidak segera diizinkan pulang, rumah tangganya bisa berantakan...."
"Siapa bilang" Ah, pasien itu! Kenapa berantakan""
"Suaminya sudah mengancam, kalau dia enggak cepat pulang, dia akan..." Susah sekali bagiku mengutarakan apa yang ditakuti oleh Ibu Urti. Sementara aku ragu-ragu, mendadak terdengar suara berdentum dan arah belakangku, "Mencari perempuan lain""
Dengan amat sangat terkejut aku menoleh, seluruh tubuhku terputar seratus delapan puluh derajat.
Di hadapanku berdiri seorang laki-laki tegap yang bukan main tampannya. Wajahnya yang tersenyum tampak lebih menarik dari bintang film mana pun yang pernah kulihat. Kumisnya begitu simpatik, matanya begitu indah, ah! Siapa orang ini" Menilik sikapnya yang santai namun berwibawa (dengan sebelah tangan dalam saku celana), dia bukanlah seorang tamu, melainkan seseorang yang sudah dikenal di situ.
Teka-teki itu segera terjawab begitu kudengar suara Dokter Anwar yang membuat diriku berputar kembali ke arahnya. Sungguh aku mirip boneka yang diberi tali untuk ditarik-tarik ke sana kemari.
"Ah, Dokter Luki, kapan pulang" Saya kira, dokter baru akan masuk lagi Senin," seru Dokter Anwar dengan antusias seraya berdiri dan menjulurkan lengan sepanjang-panjangnya, sedangkan Dokter Luki maju dua langkah menyambutnya.
"Aku kembali dua hari yang lalu
. Hari ini cuma kebetulan mau nengok ikan koki dan ikan masku," sahutnya berlagak guyon, tapi aku tahu dia serius. Aku sudah melihat dalam ruang rekreasi dokter sebuah akuarium raksasa berisi belasan ikan yang montok-montok. Menurut Mbak Rani, mereka itu kesayangan Dokter Lukito... ah! Jadi ini dia dokter yang disanjung-sanjung para perawat saking gantengnya"
Memang mereka enggak salah. Malah menurut perasaanku, dia lebih ganteng dari pujian yang didengungkan.
Rupanya Dokter Anwar melihat arah lirikan Dokter Lukito, sebab terdengar suaranya yang kini ringan seperti tengah bercengkerama, "Ah, ini staf kita yang terbaru. Suster Karla. Dik, ini bos kita. Dokter Lukito."
Tersipu-sipu aku bergegas menyambut uluran tangan. Uih, cengkeramannya kuat, tangannya keras tapi hangat sekali, guncangannya seakan ikut melambungkan perasaanku membuat jantungku berdebar kencang, sesaat itu aku sempat dihinggapi kekawatiran jangan-jangan sebenarnya aku punya bakat kena penyakit jantung.
Melihat aku bergeming di tempat setelah tanganku dilepas, rupanya kedua dokter itu maklum kenapa aku segan berlalu. Terutama Dokter Lukito. Beliaulah yang kini mengambil alih percakapan.
"Anwar, coba ceritakan sedikit mengenai... siapa pasien tersebut"" pintanya sambil meletakkan kedua tangan di atas meja, tubuhnya yang tegap kelihatan menggunung di hadapan Dokter Anwar yang duduk dengan roman kikuk.
Setelah mendengar kisah singkatnya dan membaca sekilas semua catatan pasien, Dokter Lukito memandang kami berdua bergantian, lalu dengan sebelah tangan di pinggang, ujarnya pada Dokter Anwar. "Aku rasa, kita pulangkan saja pasien itu."
Mendengar kalimat singkat itu yang tak lain daripada perintah atasan, Dokter Anwar tak dapat berbuat apa-apa kecuali mengangguk dengan takzim.
"Permisi, Dok!" ujarku sebab merasa misiku sudah berhasil. Tanpa menunggu jawaban dari kedua dokter itu, aku segera ngacir ke luar kamar. Tentu saja langsung ke kamar nomor sembilan, membawa kabar gembira itu.
Itulah pertama kalinya aku ketemu laki-laki yang akan berperan demikian besar dalam hidupku. Waktu itu aku belum menyadari betul dampak insiden tersebut untukku. Aku dinas seperti biasa, mengumpulkan pengalaman, melakukan kesalahan dan berusaha untuk tidak mengulanginya lagi, pokoknya aku menikmati hidupku sebagai seorang gadis muda yang mempunyai jabatan lumayan dan hari depan cerah. Sedikitnya, begitulah anggapanku saat itu.
Sebagai keroco. tentunya aku tidak sering berhubungan langsung dengan para dokter. Mereka umumnya memberikan perintah pada Mbak Rani yang akan meneruskannya pada anak-anak buahnya.
Bersama rekan-rekan lain aku juga kena jaga malam. Karena aku masih bujangan dan tinggal di asrama, sering kali Mbak Ini dan Itu yang lebih senior minta tolong digantikan bila mereka berhalangan. Biasanya halangan itu berasal dari rumah tangga, entah anak mereka sakit atau perlu menemani suami menghadiri perjamuan dan lainnya. Aku sih enggak pernah menolak. Malah senang bisa menghabiskan waktu di bangsal ketibang sendirian saja di kamar enggak tahu mau ngapain.
Nonton TV memang enggak hobi. Membaca buku sering malah jadi ngantuk kecuali bukunya memang mengasyikkan. Ada untungnya, aku enggak pernah susah tidur, karena dengan gampang bisa kuraih sejilid obat tidur dari rak buku.
Pada suatu malam aku kebetulan sedang jaga. Untuk perintang waktu, aku dengarkan lagu-lagu keroncong milik seorang rekan, sekalian membaca buku horoskop. Nah, bacaan begini lebih memikat untuk iseng, dijamin enggak bakal bikin aku ngantuk. Habis infonya selalu aktual bagiku yang masih bau bawang, belum tahu dunia.
Misalnya, aku enggak pernah terpikir, wanita berbintang Leo (itu lho, mereka yang lahir antara 22 Juli dan 23 Agustus) kayak aku senang dipuja dan dimanja oleh pria yang dicintai dan mencintainya. Masak iya"! Aku enggak pernah menyadari, diriku begitu haus pujaan. Sebenarnya aku malahan termasuk golongan yang tak acuh saja terhadap cowok. Enggak tertarik, gitu. Yah, kecuali sama satu orang! Tapi orang itu terang di luar jangkauan-ku. Dia sudah begitu mapan, sedangkan aku cuma keroco. D
ia sudah menjadi kepala bagian, aku barusan lulus. Dia dokter spesialis yang mapan, aku cuma perawat.
Malam itu bangsal cukup tenang, jadi aku leluasa menggunakan waktu untuk mempelajari horoskop. Siapa tahu kelak akan ada faedahnya, enggak untuk dipraktekkin, ya paling sedikit untuk meramaikan suasana kalau sedang kumpul-kumpul dengan konco-konco. Rata-rata cewek-cewek kepingin tahu gimana hari depannya, dan siapa yang cocok untuk jadi calonnya.
Tentu saja pertama-tama perhatianku tertarik pada bintangku sendiri. Jadi aku tuliskan di atas secarik kertas semua ciri-ciri dan nasihat yang kubaca. Setelah itu aku berniat membuat ikhtisar mengenai bintang mana saja yang paling kompatibel untukku. Betul saat itu aku belum terpikir untuk pacaran, tapi nasib kan siapa tahu. Mungkin saja bulan depan aku bakal ketemu seseorang, lalu gimana aku bisa tahu cocok enggaknya"
Sedemikian asyiknya aku sehingga pintu ruang perawat yang dibuka orang enggak terdengar olehku. Engselnya memang belum karatan sih, jadi mulus tanpa bunyi. Sedangkan karpet di atas lantai meredam bunyi langkah, apalagi kalau sepatu itu sudah enggak baru tentunya enggak bakal berderit.
"Ah, asyik betul kelihatannya!"
Aku nyaris mencelat ke langit-langit, maksudku ke arahnya, bukan sampai menerjang plafon, demikian kagetnya aku mendengar suara halus yang lembut dan mengandung humor itu. Tanganku otomatis membeku, kepalaku menoleh, kupaksa diriku tersenyum walau mungkin kelihatan seperti orang tolol, lalu bibirku komat-kamit, moga-moga sih suaraku yang mirip cicit tikus kedengaran jelas olehnya. "Selamat malam, Dok."
Sungguh mati aku enggak tahu bakal ada kunjungan. Biasanya rencana itu dituliskan di dalam buku kerja perawat disertai persiapan apa yang perlu disediakan oleh kami. Dokter kan biasanya menganggap diri mereka seimbang atau hampir mirip dengan dewa (dalam hubungan dengan pasien serta perawat keroco kayak aku), jadi mereka mengharapkan perlakuan yang setimpal. Walaupun setahuku belum pernah ada dewa yang mampir ke dunia untuk tinggal di sini, dokter-dokter rupanya paham seperti apa sembah sujud yang pantas mereka terima.
"Selamat malam. Mana map Pak Ibrahim"" tanyanya seraya menghampiri kabinet tempat kartu-kartu itu disimpan.
Bergegas aku bangkit. "Saya tidak tahu Dokter mau datang, tidak ada dalam buku laporan," ujarku, secara langsung minta maaf. Mampus aku kalau dilaporkan pada Mbak Rani keteledoranku menyambut kunjungan Bos atau dokter siapa saja yang datang. Tapi tentunya dosa terhadap Bos timbangannya lebih berat daripada kesalahan terhadap seorang dokter muda
"Memang tidak direncanakan. Mendadak saja teringat oleh saya, pasien itu sudah harus dipulangkan, tapi saya masih ingin memeriksanya sekali lagi. Untuk kepastian dia memang boleh pulang."
Dokter Lukito minggir sedikit, membiarkan aku dengan tangan gemetar membalik-balik map-map yang tergantung dan depan ke belakang, mendadak lupa huruf I itu letaknya di mana. Setelah J atau sebelum G"
Akhirnya ketemu juga. Ibrahim. Setelah Hanuman, sebelum Linawati. Aku serahkan dengan tangan masih gemetar. Maklum masih keroco. Kalau sampai ditulis: konduite kurang mengenai diriku, bisa-bisa aku enggak bisa naik pangkat atau malah dipecat! Iiih, amit-amit dipecat! Bakal susah cari lowongan lagi, sebab calon majikan (direktur rumkit atau kepala perawat) akan bertanya melit. apa sebabnya aku dipecat.
Jadi maklum saja kalau aku kedengaran agak merendahkan diri terhadapnya, malah berlagak seperti setengah pembantu rumah tangga. Selain itu. aku punya alasan pribadi untuk mendewakan bosku!
Dokter Lukito langsung duduk di atas kursiku (maksudku, kursi yang barusan aku duduki) tanpa permisi lagi. Memang juga kenapa dia harus minta izin" Itu kan bukan kursi milikku, dan itu yang terdekat dengannya. Kursi-kursi lainnya berada di pojok ruangan, jauh. Ya, kira-kira sepuluh langkah.
Beliau langsung asyik melembari kertas-kertas laporan serta hasil-hasil labor pasien. Aku berdiri di samping agak ke belakang, meremas-remas jari-jariku, berusaha memutuskan apa aku perlu menawarkan minum. Setelah pikir-pikir tiga
menit, terlontar juga dari mulutku, "Mau minum. Dok""
Kami mempunyai air bening dalam wadah beling, disuplai setiap hari. Air itu sudah steril, enggak perlu dimasak lagi. Kami juga menyimpan Coca-Cola di lemari es dalam botol-botol raksasa, biasanya diminum kala siang panas.
"Ah, boleh juga. Ada kopi"" tanyanya menoleh dengan senyum yang mendebarkan. Aku merasa bagaikan mendapat anugerah. Senyum yang begitu simpatik enggak kulihat setiap saat dari setiap orang. Manusia zaman sekarang biasanya sudah teramat sibuk dengan urusan masing-masing, mana ada waktu untuk melontarkan senyum simpatik setiap kali mereka diajak bicara" Lebih gampang mengerutkan kening, bukan" Makan energinya lebih sedikit.
Karena kesenangan dikasi anugerah, mana aku mau mengakui, kopi belum tersedia"! Selain itu apa sih sulitnya menyeduh kopi" Cuma lima menit.
"Ada. Dok!" sahutku gagah, lalu langsung menyalakan mesin di pojok yang digunakan untuk membuat kopi.
Ketika kopi itu aku hidangkan di depannya bersama butiran-butiran gula serta susu cair dalam tempatnya masing-masing. Dokter Lukito mengucap terima kasih, kemudian mengangkat muka menatapku. "Kau sendiri""
Semula aku enggak segera mengerti maksudnya, sebab lumrah saja bila aku merasa belum pantas minum bersama atasan yang paling teras. Jadi aku melongo saja sejenak. Diulangnya maksudnya dengan kata-kata lain yang lebih mendesak. "Ayo, temani saya!"
Barulah otak udangku terbangun. Dengan tersipu-sipu aku melangkah lagi ke mesin di pojok untuk mengambil secangkir bagiku. Mana berani aku menolak permintaan Bos! Kalau datangnya dari Bos. permintaan selalu sama artinya dengan perintah. Betul, kan"
"Ambil kursi untukmu!" ujarnya lagi menunjuk ke sudut.
Itu merupakan perintah yang gamblang, dengan sendirinya langsung aku kerjakan. Jadi duduklah kami berhadap-hadapan, saling menghirup kopi. Dia malah memasukkan dua butir gula ke dalam cangkirku tanpa bertanya lagi. seakan sudah tahu itu dosis yang lumrah untukku. Kalau mau jujur, sebenarnya aku kurang suka manis-manis. Bukan kurang suka sebenarnya, tapi ngeri menjadi gemuk. Ketika dia mau menuangkan susu, aku tolak dengan halus, telapak tanganku kupasang di depan cangkir seolah melindunginya.
Tapi Bos rupanya tidak kenal penolakan. Sambil berdesah, "Ah!" (entah apa artinya), jari-jarinya terjulur menjepit tanganku, menyingkirkannya ke samping tanpa melepasnya, sedangkan dengan tangan yang lain dituangnya sedikit susu ke dalam cangkirku.
Aku langsung mengalami kesemutan begitu tersentuh olehnya, hatiku berdebar dan tanganku terasa dingin. Namun Bos terus tenang seakan tidak menyadari diriku sudah hampir semaput.
Setelah memberi perintah, "Aduklah," dicucur-kannya juga susu ke dalam cangkirnya. Sedangkan aku, untuk melaksanakan perintah mutakhir, terpaksa (memang betul terpaksa! Sebab aku ogah melepaskan diri dari cengkeramannya, tahu deh kenapa) menarik tanganku dari jepitan jari-jarinya yang kokoh dan berambut sedikit. Lucu juga menyaksikan rambut-rambut tumbuh di atas persendian tengah jari-jari. Pikiranku segera melayang, gimana ya rasanya mengelus rambut-rambut pendek itu"!
"Hm. Sedap""
Pertanyaan yang lugu itu sempat membuat pipiku terasa panas seolah itu berkaitan dengan pikiran kotor yang tengah melanda benakku. Saat itu aku masih betul-betul bocah, belum tahu dunia. Sama sekali buta mengenai seks. Maklum belum pernah ada yang memberiku penerangan di bidang itu. Di sekolah, kami cuma belajar mengenai kembang dan kumbang. Di rumah, saudaraku cuma seorang Laki-laki. Terang enggak bakal aku menanyakan hal begituan padanya. Ibuku" Terlalu pendiam dan pemalu. Terkadang aku merasa jangan-jangan Ibu sama lugunya denganku! Kelebihannya paling banter karena dia sudah pernah melahirkan dua kali. Tapi apa itu seks mungkin enggak bisa dijawabnya. Ibu merupakan wanita yang biasa menyerahkan segalanya pada suami. Juga-mungkin- soal seks. Yah, gimana mau tahu banyak kalau seks itu cuma berlangsung dalam suasana gelap" Tanpa lampu, tanpa kata, tanpa imajinasi"
Wah. kok satu kata sedap" saja sudah membuat aku terlontar memikirkan topik yang muski
l-muskil (yang mungkin belum saatnya kupikirkan"). Setengah terpusi-pusi (maksudku, tersipu-sipu... uh! Apa otakku sudah mulai ngadat" Aku pernah baca, kalau orang suka terbalik-balik mengucapkan suku kata, maka itu pertanda otaknya sudah harus dicek!) aku cepat-cepat mengangguk (tanpa mampu mengucapkan sepatah kata pun).
Aku menyangka Bos akan kembali menekuni laporan Pak Ibrahim. Ternyata beliau malah mengajukan pertanyaan-pertanyaan seakan aku ini yang jadi pasien.
"Kau lahir di mana. Karla""
Uuuiiit! Kok Bos mau tahu masalah pribadi bawahan" Tapi kujawab juga. Berani, enggak"! Pertanyaan kan sama artinya dengan perintah kalau datangnya dari atas!
"Di Jakarta. Dok."
"Berapa saudaramu""
"Cuma seorang, Dok."
"Abang" Kakak""
"Abang." "Dokter"" "S.H., Dok." Tanya-jawab itu enggak mungkin lebih lama dari tiga menit, tapi terasa bukan main lamanya, napasku sampai sesak. Kemudian baru aku sadari, selama interview itu aku terus-terusan menahan napas! Huh! Untung enggak sampai tujuh keliling. Menurut teori kan kalau orang menahan napas terus-menerus akhirnya bisa tujuh keliling (kalau enggak pingsan duluan!).
Lega hatiku ketika Bos meletakkan cangkirnya yang sudah kosong, lalu mendorong kursi dan bangun. "Saya mau melihat Pak Ibrahim."
Aku juga cepat-cepat meletakkan cangkir yang masih setengah penuh (habis, kapan sempatnya minum, kalau tahan napas terus) dan ikut bangun (atasan berdiri, masak kita berani duduk"!).
Aku mundur-maju, berperang batin: ikut-jangan, ikut-jangan. Sebab aku enggak tahu apa yang mau dilakukan oleh Bos terhadap Pak Ibrahim. Enggak begitu apal aku mengenai kasus yang satu ini. Kalau enggak salah, riwayat penyakitnya berupa keluhan kencing, malam hari bisa lima kali ke WC. Dikawatirkan kandung kencingnya tertekan oleh kelenjar prostat yang membesar. Usianya sudah lima puluh delapan, saat di mana banyak pria mengalami gangguan serupa.
Sebelum aku bertanya apakah bantuanku diperlukan, Bos sudah lebih dulu meminta, 'Tolong bawakan saya handschoen dan jelly."
"Baik, Dok." Mana berani aku membantah" Namanya minta tolong, tapi hakekatnya tetap merupakan perintah. Maka aku pun mengintil di belakangnya dengan sarung tangan dan botol pelumas di atas nampan.
Pak Ibrahim menempati kamar sendiri, kelas VVIP. Dia sedang duduk di atas ranjang, menonton video yang rupanya disediakan oleh klinik. Kelas utama itu memang mendapat layanan istimewa berupa video dan jam kunjungan yang lebih fleksibel.
Bos sangat memperhatikan perasaan pasien. Beliau enggak sembarangan mendobrak pintu, melainkan mengetuk sekali dengan pelan namun tegas, baru diputarnya gerendel dan didorongnya daun pintu.
Pak Ibrahim kulihat tengah menatap pintu dengan wajah tegang. Begitu melihat siapa yang masuk, wajahnya langsung berseri penuh senyum. Tanpa diminta, langsung diraihnya alat kontrol untuk mematikan video.
"Selamat malam, Pak Ibrahim!" sapa Bos berdentum dengan ramah. Suaranya berbobot dan tegas, lain sekali dengan nadanya yang halus dan lembut ketika bicara denganku.
"Selamat malam, Dok!" sambut pasien dengan senyum lebar.
Bos berdiri di kaki tempat tidur, menyandarkan kedua lengan bawahnya di atas besi ranjang, map pasien dipegangnya dengan dua tangan. "Nah, siap pulang"" tanyanya ketawa.
"Siap, Dok!" "Sudah rindu masakan istri"!"
Pak Ibrahim ketawa gelak tanpa membantah. Dilipatnya kedua lengannya di dada, dan disilangnya tungkainya yang dibungkus piyama loreng-loreng biru-putih, kakinya tertutup sedikit dengan selimut yang teronggok di ujung ranjang.
"Tapi bagaimana urusan Pak Ibrahim malam hari" Masih sering ke WC""
Pasien menggaruk belakang kepalanya dan menyeringai. "Asal saya tidak minum lagi selewat jam delapan, aman, Dok. Paling cuma harus bangun sekali."
"Itu lumrah. Sekali-dua kali masih normal. Bukan lima kali." Bos menepuk map berisi seluruh laporan kasus pasien. "Yang utama, apa yang ditakutkan tidak terbukti. Bapak tidak menderita kanker prostat. Pemeriksaan labor juga normal. Memang organ tersebut membesar, tapi cuma sedikit, belum perlu mengawatirkan. Dan tidak mengganggu kandung kencing. Fungsi g
injal, normal. Ini penting sekali dijaga, sebab Bapak menderita tekanan darah tinggi. Jadi untuk sementara ini sebaiknya Bapak berusaha minum lebih banyak pada siang hari dan mengurangi jatah malam."
"Sehari berapa gelas. Dok""
"Delapan cukup. Kalau udara sedang panas, boleh ditambah lagi satu-dua gelas. Saya akan memberikan obat baru yang akan membantu usaha ini, sehingga malam hari tidur Bapak tidak terganggu oleh desakan ke WC."
"Baik, Dok." Pasien mengangguk patuh seperti anak kelas nol.
"Terakhir Bapak diperiksa oleh Dokter Anwar dua minggu lalu, bukan" Waktu itu saya masih cuti. Sekarang sebelum dipulangkan, saya perlu memeriksa sekali lagi untuk memastikan keadaan masih stabil. Oke"" Bos menunjuk ke arah nampan yang telah kuletakkan di atas meja tamu. Di kamar VVIP itu terdapat meja dan kursi untuk menerima tamu.
Pak Ibrahim kelihatan mengangguk tanpa membantah, tandanya tidak keberatan. Bos menoleh padaku dan memberi isyarat agar membawa nampan itu ke dekatnya. Bos sendiri melangkah ke tembok untuk mematikan lampu di langit-langit yang terang benderang, tinggal lampu meja yang syahdu sinarnya.
Bos mengenakan sarung tangan, tugasku cuma memegangi botol berisi jelly untuk meminyaki sarung tangan agar dapat masuk dengan mudah ke lubang dubur. Setelah Bos mengambil jelly dengan sarung tangan yang masih bersih, botol pun kututup rapat dan kuletakkan lagi ke atas nampan.
Bos kemudian meminta pasien menurunkan celana piyamanya, lalu berbaring miring di ranjang. Aku berdiri dekat dinding, memperhatikan pemeriksaan itu tanpa emosi.
Katarina terpaksa menutup buku harian itu dengan enggan, sebab terdengar bunyi gerendel pintu dibuka. Kareem sudah pulang.
Bab 23 PROSES penyembuhannya berlangsung tanpa gangguan sedikit pun. Bila semua berjalan lancar terus, kemungkinan dia akan dapat kembali ke Jakarta bulan depan sesuai dengan rencana. Berbagai perasaan melanda dirinya. Di satu pihak, tentu saja dia gembira akan bisa berkumpul lagi dengan orangtua dan sanak keluarga, serta bertugas kembali di Rumah Sakit Sabara-Birka. Di lain pihak, hatinya terasa kosong bila sudah membayangkan hidupnya tanpa Kareem. Dia enggan sekali berpisah dengannya. Tapi apa dayanya"
"Bagaimana kontrolmu tadi pagi"" tanya Kareem malam itu di meja makan.
"Semua lancar, sesuai dengan rencana."
"Jadi kapan selesainya latihanmu""
"Sebulan lagi. Setelah itu aku akan pulang."
"Jangan cepat-cepat begitu."
"Habis mau ngapain aku di sini" Di sana kan tugasku menunggu. Aku akan mulai membantu Dokter Ishtar melatih anak-anak seperti diriku menggunakan jari-jari mereka untuk berkomunikasi. Harapanku, mereka juga akan bisa mendapat kesempatan untuk di-OP seperti ini, supaya bisa mendengar lagi. Transplantasi ini penemuan yang sangat hebat, sanggup menolongku keluar dari kepompong bisu. Aku harap, akan banyak anak-anak yang bisa ditolong."
"Itu cita-citaku juga. Karena itu aku spesialisasi di bidang ini. Kelak aku akan balik ke tanah air dan melakukan transplantasi yang akan memberikan hari depan baru bagi semua penderita."
"Berapa tahun lagi kau akan selesai""
"Dua-tiga tahun lagi."
"Dulu kau bilang, tahun depan bisa beres!"
"Betul. Tapi aku dinasihatkan supaya kontrak kerja setelah itu untuk cari pengalaman, termasuk menolong anak-anak di tanah air, menentukan siapa-siapa yang cocok untuk OP tersebut. Lalu aku dapat melakukannya di bawah pengawasan dan bantuan mentor."
Dua-tiga tahun lagi. Apa itu berarti kita harus berpisah begitu lama" Mana tahan aku rindunya!
Seolah bisa menebak jalan pikiran Katarina, Kareem menepuk lengannya di atas meja, lalu sambil tersenyum cerah menghiburnya, "Jangan takut. Kita akan sering-sering ketemu. Selain itu, kau enggak boleh pulang terlalu cepat. Aku akan minta izin libur dua minggu. Begitu kau beres dengan latihan dan kontrolmu, kita akan berangkat ke Pulau Kanguru, berlibur lima belas hari. Aku sedang mencari-cari pemondokan. Jangan langsung pulang, ya. Kita harus menikmati saat-saat bersama ini semaksimal mungkin!"
Katarina tidak tahu harus ketawa atau meringis. Hatinya merasa gembira, namun
otaknya tetap ragu. Adakah gunanya memperlambat perpisahan yang memang enggak bisa dielakkan" Pulang dari liburan dua minggu nanti, kami toh harus berpisah juga. Kapan bisa ketemu lagi" Siapa tahu sementara itu Beti kembali melancarkan serangannya, dan siapa tahu sekali ini Kareem terjerat juga....
Namun seberapa besar pun keraguannya, Katarina tak kuasa menolak ide yang cemerlang itu. Memang sejujurnya dia juga ingin mengulur waktu, kalau dapat selama mungkin terus bersama orang yang dicintainya. Perasaannya terhadap Kareem telah merasuk ke dalam sumsum tulang, bagaikan tumor yang sudah merajalela....
Selama bulan terakhir itu Beti sempat mengajaknya jalan-jalan dua kali lagi. Berbelanja, memborong oleh-oleh untuk dibawa pulang.
"Sebenarnya aku ingin tiap minggu ketemu denganmu, tapi enggak bisa. Tugasku kelewat banyak. Tempo-tempo Sabtu harus dinas. Nah, Minggu-nya terkapar deh seharian tanpa makan tanpa minum. Aku memang raja tidur, dalam keluargaku satu-satunya yang lebih suka mengukur ranjang daripada ngebut ke Puncak pada akhir pekan."
Beli selalu ceria, tidak membosankan. Terlebih karena dia tak pernah lagi menyinggung soal Kareem pertapa atau apa deh, Katarina juga senang bergaul dengannya. Tapi hiburannya yang utama adalah menenggelamkan diri ke dalam buku harian Karla. Hampir setiap hari kerja sepulang dari kontrol dan latihan di klinik, pasti buku itu yang disambarnya dan dibawanya ke atas sofa. Kareem sedang dinas, Beti juga sibuk dengan pasien-pasien, jadi tak ada seorang pun yang akan mengganggunya selama beberapa jam itu. Sampai Kareem pulang.
* * * Ibu Mesniar memiliki semua yang didambakan kebanyakan wanita. Wajah cantik, suami kaya dan setia, sepasang anak yang cakep dan pinter. Tapi pasien ini jauh dari bahagia. Gara-gara migren (sakit kepala sebelah) yang dideritanya sejak berusia tiga puluh, berarti sudah dua belas tahun. Setahun dia dikunjungi tamu brengsek itu tiga sampai lima kali. Dia terpaksa menelan obat seperti makan permen,. Akibatnya dia sekarang kecanduan obat, masuk klinik untuk melepaskan diri dari kebiasaan yang fatal itu sekaligus berusaha mengenyahkan derita itu dari kepalanya yang brilian.
Ini sangat penting baginya. Masa depannya tergantung dari berhasil-tidaknya migren itu diusir pergi. Sebagai S.H. yang menangani urusan-urusan silang sengketa antara sesama perusahaan raksasa internasional, jabatannya sangat menegangkan saraf. Tanpa migren pun dia sudah gampang dihinggapi sakit kepala yang disebut tension headache, sakit kepala karena emosi dan saraf tegang. Kalau harus ditambah dengan migren, dia betul-betul nyerah. Terpaksa nanti menuruti kehendak suami: stop praktek sebagai S.H. Diam di rumah, ngurus anak dan dapur!
Dia sudah bisa membayangkan, tugas ini pun dalam satu-dua tahun saja sudah akan memberinya sakit kepala. Sebab dia bukan dilahirkan untuk semata-mata menjadi ratu rumah tangga. Dia besar dalam keluarga di mana ayah, ibu, paman, dan bibi semuanya punya karir. Ayahnya pengusaha, ibunya dokter, pamannya pengusaha, bibinya dokter gigi. Lalu kedua abangnya insinyur, kedua kakaknya dokter, adiknya ekonom yang membantu Ayah, masak dia cuma ibu RT tok"
Tapi migren ini betul-betul membuatnya takluk. Terutama mual dan muntah yang menyebabkannya tak bisa berkutik, terpaksa diam di rumah. Habis, masak mau ongkek-ongkek di kantor" Sekali kedengaran langganan, bisa gawat. Dari mulut ke mulut dia akan digosipkan, dianggap tidak lagi bisa diandalkan.
Aku bisa mengerti kalau orang bilang, migren itu merupakan momok yang sangat mengerikan. Sebelah kepala berdenyut nyeri selama beberapa jam atau berhari-hari. enggak tahan mendengar suara, enggak tahan melihat cahaya. Penderita selalu bilang, kepingin mati rasanya saking kagak tahan lagi. Kalau saat itu ditawarkan obat apa saja yang dijamin akan bisa membantu, pasti akan disambutnya dengan spontan. Disuruh bayar mahal pun mau. diminta mencium kaki pun rela.
Aku senang bercakap-cakap dengan Ibu Mesniar, tapi Bos lebih senang lagi. Rupanya sebab wanita itu merupakan kelinci percobaannya yang paling utama. Ibu Mesniar sedang
diberi obat antimigren yang terbaru, masih dalam taraf percobaan di luar negeri walau sudah ratusan pasien yang ikut serta dalam testing itu dengan hasil yang membesarkan hati.
Sudah beberapa kali aku jaga malam kepergok Bos. Atau tepatnya, Bos yang kebetulan muncul saat aku sedang dinas malam. Aku enggak tahu persis, apakah Bos memang punya kewajiban untuk mengontrol malam-malam" Logikanya sih, kalau dokter-dokter lainnya enggak ada yang pernah muncul kecuali kalau memang sedang dinas jaga, maka seharusnya kepala bagian enggak perlu nongol, benar enggak"
Tapi siapa sih aku berani nanya-nanya atau mengutarakan rasa heran" Kalau Bos kepingin datang, itu kan urusannya. Aku sendiri sama sekali enggak punya keberatan apa-apa. Selain itu, udara malam kan sejuk walau ini Jakarta. Sedap juga kalau bisa minum kopi ditemani sambil ngobrol soal-soal ilmiah. Biasanya dokter muda yang harus jaga sudah terlelap di bawah selimut, jadi cuma kami berdua saja. Bos dan aku.
Oh ya, terdengar kabar santer di kalangan perawat. Bos berniat membeli sebuah klinik di daerah pegunungan sekitar Puncak. Berarti beliau akan pindah ke sana. Uh, sedih juga hatiku kalau kebetulan teringat ke situ. Tapi yah, keroco kayak aku sih enggak punya hak apa-apa dalam hidup. Semuanya ditentukan oleh keputusan orang-orang sekitar yang lebih berkuasa dari kita sendiri. Misalnya, waktu kecil: orangtua, di sekolah: guru-guru, setelah kerja: majikan, entah mbak perawat atau seorang dokter senior.
Malam itu Bos datang. Rupanya mau menjenguk Ibu Mesniar. Ini dalam rangka riset, bukan kunjungan iseng. Bos bilang, dia ingin tahu apakah penyakit itu bisa timbul pada malam hari atau cuma siang saja, pada saat sepi dan lengang atau cuma kalau suasana hektik dan kacau seperti di tempat tugas.
Seperti sudah aku duga, pertanyaan pertamanya adalah, "Bagaimana keadaan pasien VIP kita""
Ibu Mesniar memang tinggal di ruang VIP, kalah dikit dari VVIP (very very important person), namun toh menurutku sudah sangat menyenangkan. Punya kamar sendiri, ada ruang tamu, kamar mandi, pesawat TV seperempat layar bioskop, mau apa lagi" Aku enggak melihat beda yang nyata antara kedua kamar termahal itu kecuali warna dindingnya. Kamar VIP warna kertas dindingnya hijau muda dengan bebungaan warna pastel, sedangkan dobel VIP diberi warna keemasan, hiasannya bercorak abstrak mirip karya pelukis Spanyol-siapa-itu-namanya-aku-kebetulan-lupa. Aku pribadi lebih menyukai warna pastel ketibang gambar abstrak. Walaupun wajah bintang terkenal, kalau dilukis abstrak pasti kelihatan mengak-mengok, lebih menarik foto kucingku.
"Biasa saja, Dok," sahutku setenang mungkin (dalam hati sih cuma aku yang tahu).
"Kalau begitu, lebih baik kita minum kopi dulu,
oke"" Rupanya kopi hangat ini sudah merupakan acara rutin setiap kali beliau meronda. Ah, ya, aku teringat: Bos tinggal dalam kompleks klinik, cuma lima menit jalan kaki dalam lorong-lorong dari apartemennya ke Bagian Penyakit Dalam. Mungkin beliau kesepian sendirian enggak ngapa-ngapain" Entah di mana keluarganya, aku enggak berani nanya-nanya. Melihat jari-jarinya yang polos, rupanya memang belum berkeluarga. Padahal menurut taksiranku, usianya sudah di atas tiga puluh. Atau bahkan lebih. Tapi yah, bagi pria enggak jadi soal, sebab kan enggak dikenal istilah yang sepadan dengan "perawan tua". Apa sebabnya, ya" Mungkin karena hampir enggak ada cowok yang tinggal "perawan" (atau perjaka, istilahnya) walau enggak kawin"!
Itulah ketidakadilan dunia. Pria boleh gentayangan semaunya tanpa kehilangan kehormatan, sedangkan gadis! Sekali terjerumus, hilang selaput perawannya atau istilah kerennya, salah satu kata kegemaran Mbak Rani, hymen, maka untuk seumur hidup orang bilang enggak bakal ada pria yang mau kawin dengannya. Tapi kalau pria, walau sudah ratusan kali terjerumus, tetap laku terus. Mbak Rani bilang, habis mereka enggak punya selaput perjaka sih, jadi enggak ada yang bisa dibilang sudah hilang. Menurut aku sih, dasar pria mau menang sendiri. Mentang-mentang dia yang mencari duit, mengongkosi keluarga, jadi boleh bebas bertindak semaunya" Nah,
gimana zaman sekarang di mana banyak istri juga sudah ikut mencari nafkah, bahkan bisa lebih dari suami" Apakah istri bisa mendapat hak yang lebih dari suami" Boleh punya laki muda misalnya, seperti suami boleh punya istri muda"
"Ha, ha, ha!" Mbak Rani ketawa gelak diikuti perawat-perawat lain. "Lucu banget kau. Karla! Pikiranmu menjelimet. Susah deh orang yang nanti jadi suamimu!"
"Barangkali mendingan enggak kawin, Mbak," ujarku sok tahu.
Mbak Uli menyeringai. "Kau masih bau susu, jangan sembarang ngomong. Nanti kalau sudah tahu nikmatnya, nah kagak bisa lepas lagi, deh!"
"Amit-amit!" gerutuku sok bandel. Waktu itu aku memang sama sekali buta mengenai apa yang dipercakapkan. Kawin" Apa sih itu"
Bos menghirup kopinya dengan rupa nikmat. Di hadapannya terbentang lembaran majalah kedokteran dalam bahasa asing yang sebentar-sebentar diliriknya sambil menghirup minumannya. Seperti biasa, aku juga disuruh minum menemaninya.
Rupanya sesuatu yang dibacanya membuatnya geleng-geleng kepala, lalu menggumam sendiri, bukan khusus ditujukan padaku. "Maigrein ini memang benar-benar bikin orang KO."
Aku tahu apa yang dimaksud. Cuma Bos mengucapkannya dalam bahasa asing, bukannya migren. Aku juga ngerti artinya KO, knock out. Istilah yang diberikan pada petinju yang terkapar kalah.
Entah dari mana datangnya keberanian itu yang membuat aku nyeletuk, "Apa sih sebabnya, Dok""
Bos mengangkat muka dan tiba-tiba memandangku seakan dia baru pertama kali melihat diriku atau mungkin juga baru betul-betul menyadari kehadiranku di depannya. Dia enggak segera menjawab. Mungkin cuma beberapa detik, tapi menurut perasaanku laamaa sekali, cukup membuat jantungku berdebar, darahku berdesir di pelipis, dan dadaku sesak, sebab rupanya aku telah menahan napas saking tegang atau merasa serbasalah sebab sudah lancang nanya-nanya.
Diletakkannya cangkirnya sebelum menjawab, matanya bergeming menatapku. Terdengar helaan napas berat. "Kita semua masih belum tahu, Karla. Teori semula, karena disebabkan oleh aliran darah yang menderas dengan mendadak ke otak sehingga menekan saraf di sekitar dan menimbulkan nyeri hebat itu. Tapi sekarang diduga, saraf-saraf itu yang terangsang lebih dulu, mereka mengeluarkan protein yang menyebabkan pembuluh darah melebar sehingga membengkak dan menyebabkan nyeri. Saraf yang diduga biang keladinya itu adalah saraf trigeminus yang mengurus daerah muka, rahang, dan dahi."
Aku mendengarkan dengan takjub, sebenarnya lebih takjub lagi menyaksikan gerak bibirnya. Sungguh tampan wajahnya, kumisnya itu betul-betul memesona. Mataku yang melotot dan bibirku yang mungkin saja setengah terbuka tanpa kusadari saking terseponanya (maksudku, terpesona; wah, kembali aku salah eja suku kata!) rupanya membuat Bos juga semakin getol meneruskan kuliahnya.
Beliau memajukan tubuh ke depan sampai dadanya menekan pinggir meja, lengannya yang terlipat dibukanya dan dijulurkannya ke tengah meja tanpa menyentuhku. Bibirnya yang memukau itu tampak tersenyum "kecil ketika melanjutkan, "Anehnya, sakit kepala sebelah ini bisa ditimbulkan oleh bermacam-macam sebab. Misalnya ada orang yang kena serangan kalau makan coklat."
"Coklat"" cetusku tanpa berpikir lagi, lupa bahwa aku bukan sedang ngobrol dengan Mbak Rani atau mbak lainnya.
Bos enggak tersinggung disela begitu, tapi malahan ketawa senang, kepalanya juga manggut-manggut seperti mainan dengan per. "Ya, coklat! Lucu, bukan" Ada lagi yang sakit kepala setelah makan hot dog, karena asam nitratnya. Ada lagi yang tidak tahan sinar lampu neon, pasti serangan."
"Susah juga kalau tidak diketahui penyebabnya."
"Betul. Sebagian orang merasa kesal karena tidak sembuh-sembuh, akhirnya mereka tak mau lagi makan obat kalau timbul serangan. Ini sebenarnya sikap yang keliru. Sebab sudah terbukti, bila penyakit ini tidak diobati setiap kali muncul, kelak akan semakin sulit menanggulanginya. Ayo, mari kita lihat Ibu Mesniar."
Dengan perintah yang mirip ajakan itu, Bos bangkit dari kursi. Aku terbirit-birit ngikut walau kopi masih belum habis. Sebenarnya aku enggak diperlukan pada pemeriksaan seperti ini
, tapi bagaikan kepala negara yang enggak pernah tampil tanpa menteri-menterinya, begitu juga kepala bagian harus selalu punya pengiring. Enggak sebagai pembantu, ya paling sedikit sebagai pembawa map atau senter atau alat atau obat.
"Ibu Mesniar," ujar Bos dengan ramah namun meyakinkan, "saya punya kabar yang cukup menyenangkan buat Ibu. Lusa Ibu boleh pulang. Obat baru yang saya berikan boleh terus dimakan, jangan minum kopi yang mengandung kafein, ganti semua lampu neon di rumah dan di kantor. Yang penting, mulai sekarang buatlah daftar mengenai apa yang tengah Ibu hadapi ketika terjadi serangan sakit kepala itu. Apa Ibu sedang makan sesuatu, atau sedang ada problem di kerjaan, atau kesal hati, atau sedang keramas di kamar mandi, atau sedang belanja di supermarket dan lampunya menyilaukan mala. Banyak hal yang bisa mempengaruhi timbulnya serangan. Tapi satu hal yang mahapenting. Ibu tidak boleh menyetir mobil. Sampai kita ketahui dengan pasti faktor apa yang jadi penyebab dan bagaimana menghindarinya."
Masih banyak lagi yang diwejangkan oleh Bos, tapi bagiku cuma masuk kuping kiri keluar kuping kanan. Perhatianku lebih tertarik pada jambulnya yang berombak, kumisnya yang mahasimpatik, dan alisnya yang tebal. Dalam hati aku mengeluh, kenapa aku enggak bisa dapat cowok kayak gini" Maksudku, yang sama penampilan, kehalusan dan keramahannya, tapi tentu saja bukan yang jabatannya selangit begitu, membuat diriku terasa kecil seperti semut.
Begitu keluar dari kamar VIP itu, aku sudah lupa semua yang dikatakan Bos terhadap pasien. Justru apa yang teringat dan akan kuingat terus sampai mati adalah apa yang diutarakannya di luar kamar.
Kami berjalan sepanjang lorong yang sepi, sebab semua pasien sudah tidur, termasuk dokter yang kena dinas malam itu. Perawat yang jaga seharusnya ada dua orang, umumnya suster dan bruder. Tapi malam itu aku kebetulan sendirian. Pak Amin baru akan datang untuk menggantikan aku nanti. Tiara yang seharusnya bersamaku, sudah minta i/in Mbak Rani untuk bolos sebab ada urusan keluarga. Diizinkan sebab mereka tahu tak ada kasus gawat saat itu. Karena bangsal kami bukan Bagian Gawat Darurat, berarti takkan kedatangan pasien mendadak. Semua itu akan ditampung di depan, Bagian Trauma atau Gawat Darurat sampai besok sebelum dipindahkan ke Bagian Bedah atau Bagian Anak atau lainnya.
"Kau senang bertugas sebagai perawat, Karla""
Aku sedikit terkejut mendengar pertanyaan yang tiba-tiba itu, terlebih karena bersifat pribadi. Tentu saja kujawab dengan positif. Apalagi karena bekerja untuk bos seganteng itu!
"Mau ikut aku pindah""
Semula aku sangka Bos sedang guyon, sebab disertai ketawa kecil. Lalu aku kira kupingku salah dengar, mungkin halusinasi"! Tapi ketika aku menoleh dan Bos juga kebetulan sedang menatapku, tahulah aku itu serius. Alisnya terangkat naik sebelah (kemudian hari aku mengerti, itu kebiasaannya bila tengah mengharapkan sesuatu atau saking tegangnya menunggu jawaban), bibirnya tersenyum penuh bujukan.
"Pindah ke mana, Dok"" tanyaku nyaris enggak terdengar, sebab jantungku sedang berpacu kayak kuda balap.
"Ke dekat Puncak. Jakarta terlalu panas untukku."
Hm. Jadi betul gosip itu! Bos mau pindah, rupanya memang sudah membeli klinik. Dan... aku diajaknya ikut" Apa artinya ini"
Hiii, kepalaku nyaris mutar tujuh keliling, pandanganku berputar-putar kayak gasing. Untung aku masih sanggup menguatkan diri untuk terus melangkah di samping Bos walau terasa agak limbung. (Sukur enggak disadari oleh Bos! Malu iiih, kalau sampai ketahuan.)
"Jadi betul sudah membeli klinik di sana, Dok"" ujarku tanpa tertahan lagi, bukannya menjawab pertanyaannya. Kalau ini ujian, pasti aku enggak lulus.
"Bukan aku beli sendiri, tapi patungan," sahutnya tenang, namun kutangkap juga nada bangga dalam suaranya. Selain itu perasaanku mendadak melambung tinggi, sebab aku baru saja mendengarnya membahasakan dirinya "aku", bukan lagi "saya"! Itu kan sudah setingkat lebih intim!
Hiii, monyong! Apa yang intim! Pegangan tangan saja belum pernah!
"Jangan kawatir, gajimu akan lebih baik dari di sini!" janjinya. "Mau""
Mendadak aku tersenyum dalam hati. Barusan aku enggak langsung menjawab saking setengah heran, setengah kurang percaya mendengar tawarannya. Tapi rupanya Bos mengira kebisuanku itu menunjukkan keraguan. Apakah Bos takut aku menolak sampai ditawarkannya gaji yang lebih tinggi" Hiii...! Kenapa Bos enggak mau aku menolak"
Saat itu aku sudah sebelas bulan dinas di klinik, pengalamanku sudah lebih dari lumayan. Tentu saja aku gembira mendengar tawaran sebagus itu. Siapa sih yang enggak mau naik gaji" Tapi hatiku enggak bisa ditipu. Jangan pura-pura ini mengenai kenaikan gaji tok! Kau tahu betul apa sebabnya kau gembira diajak pindah! Sok berlagak lugu. Kaukira siapa yang mau kaubohongi"
"Mau, Karla""
Bayangkan! Bos sampai merendahkan diri, menanyai aku tiga kali! Buru-buru aku jawab dengan suara parau, "Mau, Dok!"
Itulah titik permulaan yang membawa perubahan drastis dalam hidupku.
Katarina terpaksa melepaskan buku itu sebab panggilan untuk ke WC tak dapat diabaikan lagi. Dia sering kesulitan, jadi kalau mulas, hatinya gembira seperti kena lotre. Langsung mencelat bangun seolah ada telepon dari kantor undian besar!
Bab 24 HA, kiranya Gemini kalau ngomong senang diulang-ulang. Orang-orang kelahiran 21 Mei sampai 21 Juni itu susah diajak bicara. Mereka tanya sesuatu, belum lagi kita jawab, semenit kemudian sudah diulangnya lagi pertanyaan yang sama. Mereka juga enggak pernah yakin apa yang mereka inginkan dalam hidup.
Mbak Sari kayak gitu orangnya. Apa dia kelahiran Gemini, dikuasai planet Mercury" Kapan-kapan aku mau coba tanya tanggal berapa ultahnya. Enggak usah tanya tahunnya, sebab kadang perempuan segan ketahuan umur mereka. Ini gara-gara ulah cowok! Mereka yang menentukan umur kita. perempuan. Mereka ciptakan deh istilah "perawan ting-ting", "perawan tua", "janda muda", "janda kembang". Sebenarnya apa sih salahnya orang tahu usia kita" Haa, karena kalau sudah mencapai umur tertentu, kita enggak lagi menggairahkan bagi pria" Iiih, persetan menggairahkan apa enggak! Memangnya tanpa cowok, perempuan enggak punya kehidupan, enggak bisa punya karir, enggak mungkin bahagia"
Ya, aku sih bukannya anti sama pria. Buktinya aku senang sama Bos. Saat ini aku sudah hampir dua tahun pindah bersamanya ke rumah sakit di daerah pegunungan yang sejuk. Aku happy-happy saja.
Wah, rupanya kalau Virgo paling enggak bisa melihat kesalahan orang lain tanpa memberitahu dan mengkritik sekalian! Mereka juga paling sulit mengubah jalan pikiran untuk menerima keadaan yang kurang dari biasa. Pokoknya, terlalu mementingkan logika. Kalau memang biasanya begini, harus begini selamanya! Kalau dulu enggak pernah mungkin terjadi, selamanya enggak bakal kejadian. Siapa ya bintang Virgo di klinik"
Untung juga Bos enggak suka ngritik. Kalau ada yang melakukan kesalahan, Dokter Luki (nama kesayanganku baginya) biasanya memberitahu secara halus, dengan taktis, dan sebisanya tanpa kedengaran orang ketiga. Itu salah satu sifatnya yang kupuji.
Sayang, atau lebih tepat, aneh, kenapa dokter yang begitu sukses dan simpatik, kok masih bujangan terus" Kenapa enggak mau menikah" Uh. pasti bukan lantaran enggak ada yang mau. Orang seganteng dan sebaik itu, mau perawan ting-ting pun pasti bisa dapat selusin, tinggal pilih satu. Atau dua" Ah, rasanya orang kayak dia enggak bakal berbini lebih, sebab dia terlalu setia.
Tempo-tempo mau juga Bos mengunjungi kandangku yang berantakan itu. Kalau kebetulan aku masak sesuatu yang lumayan (maklum, aku sebenarnya enggak betah di dapur, akibatnya keteram-pilanku cuma berkisar antara nasi goreng dan dadar telur. Pendeknva, yang enggak perlu bumbu-bumbu menjelimet yang namanya saja susah diingat. Sesekali pernah juga aku masak ayam kari atau opor atau lodeh, tapi bumbunya dibeli jadi, siap pakai dalam kemasan menarik), aku tawarkan ikut makan. Dan Bos enggak pernah menolak. Malah pernah ikut membantu cuci piring setelah itu!
Dalam hati sebenarnya aku kurang paham, mau apa Bos datang-datang ke tempatku kalau malam. Aku hitung (diam-diam aku catat di kalender kecil tempat aku biasa mencatat tanggal haidku) sudah
enam kali dia muncul. Selalu tahu kapan aku enggak jaga malam. Tentu saja enggak sulit, sebab daftar roster selalu digantung di ruang perawat.
Kalau mau jujur, aku merasa bahagia dengan perhatian yang dilimpahkan padaku. Malah dadaku terasa mau meletus saking senangnya, kepalaku mau pecah, ketika Bos datang membawa bingkisan! Begitu melihat wajahku tercengang, lidahku kelu enggak mampu bilang apa-apa, Bos ketawa kecil.
"Selamat ulang tahun, Karla. Ini sekedar pernyataan terima kasih karena kau sudah bekerja keras selama ini. Kalau enggak ada kau, pasti tugas di bangsal berantakan. Yang lain-lain kurang minat pada tugas mereka, dalam kepala mereka cuma ada rupiah, yang ditunggu cuma waktu istirahat serta waktu pulang."
Aku tersipu, malu, tapi enggak mampu menolak.
Terpaksa kuucap terima kasih dengan suara sehalus dengung lebah, bingkisan itu tergenggam erat dalam kedua tanganku.
"Enggak mau dibuka"" usulnya dengan penuh nada... apa ya"! Seandainya dia kekasihku, pasti itu nada mesra. Tapi karena dia bukan, aku juga enggak bisa bilang itu mesra. Yah, mungkin nada hangat begitu.
Dengan jari-jari gemetar aku buka bingkisan kecil itu. Saking gemetarnya hampir enggak berhasil aku menguraikan simpul pita merah yang mengikatnya. Menuruti hati, kepingin aku gunting saja, cekrisss... pasti beres. Tapi aku kawatir itu akan melukai hati Bos, seakan menunjukkan pemberiannya (termasuk pita pengikat) kurang dihargai.
Setelah berkutetan sedikit, akhirnya terlepas juga ikatannya. Hati-hati aku buka kertas pembungkus, jangan sampai koyak. Dalam hati aku sudah memutuskan akan menyimpan kertas yang mewah itu untuk sampul buku mini.
Kotak itu terbuka. Di dalamnya masih ada kotak lagi berwarna coklat, terbuat dari kulit atau plastik mahal, aku kurang tahu. Seolah bisa membaca pikiranku, terdengar suara Bos, "Itu kulit buaya."
Wah! Pasti mahal. Selain sulit menangkapnya, jumlah buaya kan enggak sebanyak cecak! Aku buka tutup kotak dengan berdebar, penuh tanda tanya Apa sih isinya" Apa sih... wow! Arloji! Aduh, bagusnya! Apa ini beling, kaca, atau intan"
Mataku mendadak terasa basah ketika aku mengangkat muka. Betapa kikuknya aku. Dalam hati aku memaki diri sendiri. Brengsek! Masak segitu saja sudah terharu, mau nangis"! Nanti disangka cengeng! Sentimentil! Kayak anak belasan tahun!
"Te-te-ri-ma... ka-sih. Dok." Brengsek! Sejak kapan aku gagap"!
Untung sekali Bos enggak kelihatan menyadari kegagapanku. Wajahnya berbinar, mungkin lebih cerah dari wajahku, senyumnya melebar dari kuping satu ke kuping lain, suaranya terdengar penuh rayuan (ini halusinasiku sendiri saking tegangnya perasaanku; tentu saja Bos bukan sedang merayu diriku yang hina ini), "Kau suka""
Aku langsung manggut, enggak mempercayai suaraku lagi. Tengah aku mengagumi hadiah itu, Bos menjulurkan tangan, mengambil benda itu dari tempat persemayaman, lalu meraih pergelang-anku.
Tanpa kata dipasangnya arloji itu sekeliling per-gelanganku yang sebelah kiri, lalu dijauhkannya sedikit lenganku untuk dikagumi olehnya. Senyumnya betul-betul penuh kebanggaan. "Batu-batu ini asli. Diamond!"
Kepalaku terasa oleng. Aku sungguh merasa enggak pantas menerimanya, dan kukatakan begitu terus terang.
"Nonsens!" tukasnya dengan nada "tidak boleh dibantah!"
Diangkat dan didekatkannya lenganku ke bibirnya, lalu... dikecupnya tanganku!!! Astaga! Saking kagetnya, aku enggak teringat untuk menarik kembali tanganku. Kalaupun ingat, pasti enggak sanggup, sebab mendadak saja tenagaku sirna, tubuhku terasa lemas bagaikan kapas.
Bos enggak melepas pegangannya, tapi membimbingku ke sofa, lalu duduk di sebelahku. Matanya langsung menerkam kolak pizza di alas meja depan sofa. Kebetulan sore itu aku malas masak. Pikir-pikir, untuk merayakan HUT sendirian saja, bolehlah aku manjakan diriku dengan sekotak pizza yang kupesan dari dapur klinik. Biasanya aku agak menjauhi makanan yang bikin gemuk, karena ingin menjaga kelangsingan badan. Kalau aku makan pizza atau nyamikan lainnya, paling-paling cuma sepolong. Tapi sekali ini kupesan sekotak. Ya, terpaksa harus kuhabiskan semua!
Kehadiran Bos merup akan surprise yang menyenangkan. Langsung saja dengan halus aku usulkan supaya pizza itu diganyang bersama. "Untuk merayakan hari jadi saya!" ujarku ketawa menunjuk kotak yang segera aku raih dan buka. Isinya masih utuh. "Belum sempat saya makan, sudah keburu Dokter datang. Ayo, Dok, sebelum jadi dingin."
Bos tidak menolak, langsung mencomot sejuring. "Aku juga suka sekali pizza. Hm. Sedaaap." ujarnya dengan mata terpejam. Lalu mendadak dia menoleh padaku. Mulutnya kebetulan kosong. "Karla," katanya seraya membereskan anak rambutku yang turun ke dahi. "Mulai sekarang, kalau bukan sedang di bangsal, kalau kita cuma berdua, jangan panggil aku Dok. Sebut saja namaku, Luki. Oke""
"Perintah, nih"" Aku sendiri kaget, kok berani lancang begitu. Entah dari mana datangnya keberanianku untuk bergurau seperti dengan teman biasa. Sebelum dia sempat menjawab, sudah aku tambahkan, "Mana berani aku melanggar perintah"! Oke, Bos!"
Luki memandangku dengan agak tercengang, lalu mendadak terbahak-bahak. Setelah reda, baru dia bicara. "Bukan main! Enggak kusangka, selain cakep ternyata kau juga humoris. Bagus! Aku paling senang perempuan yang bisa bikin aku ketawa. Nah, sekarang mana minumnya" Aku sudah menghabiskan tiga potong, leher sudah mulai panas kena oregano, lada, dan entah apa lagi nih bumbunya!"
"Kau mau apa"" tanyaku dengan keberanian luar biasa. Hatiku terasa bernyanyi-nyanyi, buat pertama kali aku menyebutnya kau. Hal yang belum pernah kubayangkan bisa terjadi, bahkan dalam pikiran atau angan-angan, aku enggak pernah coba-coba memanggilnya tanpa gelar. Selalu Dok atau Bos.
"Kau betul-betul mau tahu aku mau apa"""!" tantangnya membelalak.
Aku celangap, bengong, mendadak jadi bingung bercampur takut. Jantungku berdebar, napasku terengah seperti habis berlari dikejar maling. Tiba-tiba dia menunduk, dan... tanpa siaga lagi aku sudah disergap! Bibirnya merangkum bibirku yang terbuka itu, lalu mengulumnya sampai aku merasa akan pingsan.
Itu adalah pengalamanku yang pertama di bidang ini. Belum pernah sekali pun aku membayangkan atau merindukan atau menganalisa atau... pakai deh selusin kata kerja lainnya, faktanya tetap enggak berubah. Aku belum pernah dijamah siapa pun.
Jadi begini rasanya dikecup cowok! Kalau sering-sering, apa jantungku sanggup bertahan" Sekarang saja rasanya sudah seperti mau copot, sedangkan paru-paruku hampir enggak kemasukan udara saking terengah.
Untunglah akhirnya dihentikannya juga serangan itu. Barangkali sih cuma lima menit, tapi menurut perasaanku empat kali lebih lama.
"Sori," bisiknya mengusap bibirku dengan jarinya, membersihkannya dari remah-remah pizza yang ditularkannya. Dia menunduk. "Aku terbawa nafsu."
Aku masih tetap bengong seperti orang sawan, tak bergerak sama sekali. Mungkin ditafsirkannya sikap ini sebagai penolakan, sebab terdengar lagi sambungan kata-katanya. "Takkan terulang lagi. Aku janji!"
Khidmat sekali bunyi suaranya. Aku masih bengong, tapi mataku sudah berkedip. Lalu, ketika ucapannya itu sudah diserap oleh otakku yang agak bebal, aku jadi panik. Apa" Enggak akan terulang lagi" Mana bisa! Setelah pengalaman pertama ini, aku akan selalu menunggu lagi saat-saat seperti ini Aku enggak bakal bisa hidup tanpa Luki! Ini kenyataan. Entah pahit atau manis, pendeknya fakta!
"Apa maksudmu, enggak bakal terulang lagi"" tuntutku setengah mendesak.
Luki menaikkan sebelah alisnya. "Apa kau sudah enggak ngerti bahasa Indonesia"" sindirnya, tapi aku tahu dia cuma bergurau.
"Lalu kenapa kaulakukan tadi"" Suaraku agak meninggi, seakan tersinggung. Kalau aku ingat-ingat sekarang, alangkah gampangnya aku merasa sederajat dengannya, bukan lagi sebagai keroco di hadapan atasan. Sebagai bawahan, mana berani aku menuntut penjelasan ini-itu.
"Karena, sehat, aku menyukaimu!" sahutnya gamblang, disertai senyum kecil dan mata mengedip seakan menggoda. Luki memang fasih ngomong Belanda, tapi jarang.
"Bohong!" Masak aku disebutnya "kekasih""
"Lho! Perlu kaubelah dadaku buat melihat hatiku""
Senda-gurau yang enggak lucu! Siapa sih yang bisa melihat isi hati orang dari organnya langsung" Me
ntang-mentang aku cuma perawat, disangkanya aku belum pernah melihat kayak apa yang dinamakan hati" Mungkin betul, aku belum pernah melihat hati manusia, sebab memang belum pernah membedah mayat. Tapi aku kan pernah melihat, memegang, dan memotong-motong hati sapi! Organ lembek yang isinya darah tok. Pasti hati manusia juga enggak beda. Nah, di mana isinya yang mau kita baca"!
"Logikanya, kalau kau enggak mau mengulanginya, berarti kau sudah enggak menyukai aku lagi, benar enggak""
Dia mesem-mesem, mengacak-acak rambutku. "Aku lupa menambahkan. 'Kecuali kau enggak keberatan atau kau menghendaki....' Nah, puas sekarang""
"Sungguh""
"Lho! Perlu bukti""
Aku tercengang, sejenak enggak tahu harus menjawab apa.
Matanya mengerling jenaka sementara bibirnya yang memukau itu berkeciap, "Enggak berani menjawab tantangan""
Aku benar-benar tersepona, eh terpesona, oleh kerlingannya. Kumisnya itu! Aduh, simpatiknya. Jadi kaukira aku takut terhadap tantangan" Uh! Aku malah enggak sungkan melancarkan serangan duluan! Sayang aku kawatir kau nanti menganggap aku murahan....
"Hm, rupanya kau memang benar-benar enggak berani!"
Vonis yang begitu gampang, membuat darahku bergolak juga. Dengan beringas aku sambut, "Siapa bilang"!"
Itulah kata sandi yang meletupkan serangan kedua. Lebih gencar, lebih mendidih....
Kalau aku ingat-ingat sekarang, aku enggak tahu apakah sikapku waktu itu benar atau salah. Yang pasti, aku tahu aku enggak pernah menyesal.
Malam itu untuk pertama kali dalam hidupku yang gersang dan perawan, aku tersenyum menciumi bantalku. Memang enggak terjadi apa-apa yang drastis, tapi bagiku sebuah kecupan membara kayak gitu sudah cukup untuk mengguncang hidupku, enggak pernah lagi sama seperti sebelumnya.
Hebatnya, esoknya ketika kami ketemu di bangsal, Luki bersikap netral saja. "Selamat pagi, Suster Karla," sapanya seperti kemarin-kemarin. Aku puji ketabahannya.
"Selamat pagi, Dok," sambutku enggak mau kalah. Mulailah hidupku yang penuh kebohongan dan...
"Duh, asyiknya!"
"Oh, hai! Aku enggak dengar pintu dibuka," ujar Katarina menoleh ke pintu dengan roman tersipu-sipu.
Dibakar Malu Dan Rindu Karya Marga T di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tentu saja! Saking keasyikan!" tuduh Kareem tersenyum.
Katarina menutup buku harian itu, meletakkannya ke atas meja kopi, lalu bangkit untuk menyambut yang baru pulang. Kareem memeluk dan mengecup pipinya. Dalam tangannya terdapat sepucuk surat dengan prangko Indonesia. Kotak pos terletak di bawah, dekat jalanan. Biasanya Katarina turun sekitar jam sebelas atau setelah makan siang untuk mengambil pos, tapi hari ini dia lupa. Betul diagnosa Kareem: "saking keasyikan".
"Dari ibumu," ujar Kareem menyerahkan surat itu.
Katarina langsung menyambarnya dan mencari pembuka surat di atas meja. Tanpa mencari kursi.
dibacanya surat itu sambil berdiri, sementara Kareem meletakkan tas dan membuka sepatu lalu ke kamarnya mengganti baju. Ketika dia keluar lagi surat itu sudah selesai dibaca, dan Katarina tengah sibuk menghangatkan nasi yang dimasak tadi pagi. Kareem membantu menyiapkan makanan. Mereka memanggang ayam, dimakan dengan saus cabai dan kecap manis, diberi perasan jeruk. Sayuran seperti biasa cuma dikukus. Malam itu asparagus dan buncis, kegemaran Kareem sebab banyak seratnya.
"Ada berita apa dari rumah"" tanyanya ketika mereka tengah menghadapi piring masing-masing.
Katarina tersenyum. "Enggak ada yang luar biasa. Cuma soal anjingku beranak empat, sepupuku melahirkan anak pertama, perempuan."
"Besok kita enggak usah masak. Kawanku, John, berulang tahun. Dia mengundang kita makan malam di apartemennya."
Walaupun sudah beberapa kali ketemu dengan teman-teman Kareem, Katarina masih belum terbiasa diperkenalkan sebagai "gadisku", my girl. Tak ada seorang pun yang pernah menunjukkan rupa heran mendengarnya. Bagi orang-orang itu, biasa saja tinggal serumah walau belum menikah.
Memang diajak tinggal bersama ada juga manfaatnya bagi Katarina. Dia tak usah keluar uang untuk membayar sewa flat yang lumayan mahalnya. Dia tinggal gratis termasuk pangan. Itu berarti dia dapat menghemat banyak, dan uang ini digunakannya untuk membeli oleh-oleh ser
ta barang-barang yang diperlukannya, terutama pakaian yang model serta ukurannya cocok dengannya. Atau sepatu yang bagus-bagus.
Namun kadang dia terpikir, apakah pantas dia mengorbankan perasaannya demi semua barang itu. Antara mereka berdua tak ada masalah. Kareem tak pernah mencoba melanggar perbatasan. Dia aman di dalam kamarnya, Kareem tak pernah melangkahkan kaki ke sana. Tapi terhadap orang luar dia merasa risi. Setiap kali diperkenalkan, "Ini K., gadisku," dalam hati dia selalu menambahkan, tapi aku belum pernah tidur dengannya, lho! Aku masih perawan.
Tentu saja semua teman Kareem tahu, mereka tinggal bersama dalam satu flat. Hal lumrah. Mungkin. Seandainya mereka memang sudah jadi pasangan. Pernah ditimbulkannya topik itu dan reaksi Kareem sungguh tak terduga.
"Kalau dua orang betul-betul sudah sepakat untuk menjadi pasangan, setia sampai mati, kenapa mereka enggak berhak tinggal bersama seatap" Apa bedanya dengan pasangan yang punya surat kawin yang sering kali enggak dihargai" Bedanya di mataku, cuma soal biaya. Untuk membeli surat kawin dan mengundang ratusan orang makan-makan, meriah-meriah... laa apa gunanya kalau tahun depan sudah ribut, dan sepuluh tahun kemudian cerai!"
"Kau terlalu skeptik," tukas Katarina ketawa geli. "Masak setiap pasangan akan pisah setelah sepuluh tahun""
"Enggak semua, tapi beberapa yang aku kenal!" dia ngotot sok tahu.
"Ah, orangtuaku buktinya sampai sekarang masih bersama!" ujarnya dengan bangga. "Padahal mereka mengalami kemelut yang cukup berat."
"Tapi kakekku kebalikannya!" Kareem nyaris mendengus, rupanya saking kesal teringat ulah kakeknya.
"Kakekmu"" tanyanya dengan mata lebar. Baru pertama kali ini dia mendengar Kareem membawa-bawa Kakek. "Suami Nenek Karla""
Kareem berdehem, tidak menjawab langsung, cuma, "Sudah habis kaubaca buku harian itu""
"Separuh kira-kira."
"Teruskan, nanti kau bisa tahu sendiri kisahnya. Enggak perlu aku ceritakan, bikin minatmu nanti lenyap!" sahutnya diplomatis. Tapi Katarina merasa ada yang tidak beres, sesuatu yang negatif yang segan diutarakannya.
Malam hari sebelum tidur, Katarina mengangkat buku harian itu dari atas meja, mau dibaca di ranjang. Melihat tindakannya, Kareem menegur sambil melirik, "Awas, jangan sampai enggak tidur!"
Katarina menyambut perhatian itu dengan tersenyum, lalu terdorong impuls dia berjinjit dan mendaratkan sekilas kecup hangat di pipi sang dokter yang segera mengusap-usap wajahnya dengan mata berbinar. "Wah. aku bakal mimpi indah, nih! Boleh setiap malam!" Lalu diulurnya telunjuknya untuk mengelus hidung bangir Katarina.
"Sana! Nikmati bacaanmu, tapi jangan lewat jam sebelas! Nanti cepat tua kalau kurang tidur!" Ditepuknya punggung gadis itu bagaikan tengah menghadapi sesama teman dalam regu sepak bola.
* * * ...Petak umpet. Aku enggak bakal lupa seumur hidup malam itu. Pada kesempatan (kebetulan saja) kami berduaan di ruang perawat (cuma selama lima menit, sebab kemudian masuk Sri Astuti, perawat yang belum lama dinas di sana), Luki berhasil menyampaikan undangan padaku.
"Nanti malam aku ingin mengajakmu makan di luar."
Seakan sudah yakin aku enggak bakal menolak, langsung disambungnya tanpa memberikan kesempatan bagiku untuk menanggapi, "Aku jemput jam tujuh!"
Walaupun kami boleh dibilang sudah semakin dekat, di tempat dinas aku masih merasa sebagai bawahan, meski bukan lagi keroco. Aku sekarang sudah diangkat sebagai wakil kepala perawat seluruh rumah sakit! Tapi di hadapan Bos, aku selalu merasa tidak berhak menentang perintahnya.
Pas sebelum Sri Astuti melangkah masuk (pintu tentu saja enggak ditutup, memang enggak pernah selama jam dinas; bagus juga supaya enggak menimbulkan gosip atau bikin orang lain curiga), aku sempat manggut, lalu meraih nampan dengan cangkir-cangkir obat dan keluar untuk membagi-bagikannya pada pasien yang sudah beres makan siang.
Ternyata aku dibawa ke Hotel Puncak Tower. Langsung ke lift setelah Luki mengambil kunci dari petugas. Saking heran, aku enggak sempat mengajukan pertanyaan kenapa kami justru jalan menghindari ruang makan.
Di dalam lift ketika cum a berduaan, Luki menjelaskan. "Restoran di sini beken sekali, sering dikunjungi dokter-dokter kita. Aku enggak mau kita kepergok, nanti namamu rusak, jadi aku sengaja menyewa kamar."
"Buat makan""
"Ya. Kan kurang enak bagimu kalau sampai terlihat oleh dokter-dokter mana saja."
Memang betul juga. Aku paling sebal kalau dijadikan bahan gosip. Manusia rata-iata memang senang menggunjingkan orang lain.
Setibanya dalam kamar, Luki berseru, "Kau pasti enggak tahu! Saat ini adalah hari ulang tahunku!"
Aku menatapnya dengan sedikit terkejut dan tercengang, juga malu karena enggak punya hadiah apa-apa. Kuhampiri dia dan kupeluk pinggangnya sambil tengadah. "Selamat ulang tahun kalau begitu."
Bukan aku yang mengecup, tapi dia yang menunduk sehingga bibir kami berpadu. Soal kecup-kecupan memang sudah cukup sering, namun enggak pernah berlanjut. Cuma kecup tok. Begitu juga saat itu. Aku segera melepaskan diri, berlagak mau memeriksa meja yang sudah ditata di tengah ruangan. Aku berlagak enggak melihat ranjang raksasa yang rapi banget di seberang ruangan.
Luki menghampiri telepon untuk meminta hidangan diantarkan. Rupanya karena sudah dipesan, cuma selang setengah jam sudah muncul karyawan dapur. Dengan telaten dipindahkannya piring serta mangkuk-mangkuk berisi makanan ke atas meja.
"Kue ini biar di atas troli dulu ya, Pak"!" ujarnya memberitahu Luki yang mengangguk tanpa komentar. Dari dompet dicabutnya sehelai lembaran rupiah yang diulurkannya pada petugas. Setelah mengucapkan terima kasih dan selamat makan, orang itu mengundurkan diri dengan sopan.
Tinggallah kami berdua. Tengah menikmati santapan yang lezat itu, hatiku terasa kurang enak, sebab aku sama sekali enggak punya hadiah apa juga untuknya. Waktu aku ultah tiga bulan yang lalu, Luki memberiku sebuah arloji yang luar biasa bagus. Penuh taburan intan, membuat aku enggak berani memakainya sembarangan. Misalnya waktu dinas, jelas enggak mungkin, terlalu mewah. Kalau diajak pesta makan dengan kalangan dokter dan perawat, enggak berani juga aku pakai. Kawatir menarik perhatian sesama rekan. Mereka pasti akan mau tahu dari mana benda mahal itu. Kami, perawat, tentu saja enggak mungkin bisa membelinya.
Tapi malam ini entah pikiranku sedang ke pinggir barangkali, mendadak tadi aku ingin memakai arloji itu dan kuturuti bisikan hatiku. Sekarang sebentar-sebentar mataku singgah ke pergelangan tangan, mengingatkan diriku aku harus memberi Luki hadiah juga.
"Wah, aku senang melihat kau menghargai hadiahku!" ujarnya ketawa lebar, menunjuk arloji itu dengan garpunya.
Aku tersipu, malu. Setelah mulutku kosong dan tenggorokanku bersih (dengan berdehem kecil), aku memberanikan diri mengakui, "Aku enggak punya apa-apa untukmu, Luki. Habis, aku sama sekali enggak tahu kau ulang tahun. Aku enggak tahu hadiah apa yang pantas...."
Luki menggoyang-goyang garpu seraya ketawa seakan menegurku. "Teledor! Sampai enggak tahu ultahku! Ke mana sih perhatianmu sebenarnya""
Kritik itu walau aku tahu cuma main-main, sempat membakar wajahku. Pasti terlihat merona merah. Luki ketawa, meletakkan garpu dan pisaunya, melap bibir dengan serbet, lalu mengulurkan lengan menepuk-nepuk tanganku. Senyumnya terlihat misterius sekali, matanya mengedip. "Jangan kawatir, aku tahu hadiah apa yang dapat kauberikan untukku...."
Dan ternyata hadiah itu adalah... diriku sendiri! Entah di mana pikiranku saat itu. Aku sama sekali enggak terpikir sedikit pun untuk menolak atau menyatakan keberatan. Malah kusambut perhatiannya dengan hati terbuka, hangat, penuh angan-angan, spontan, dan bahagia. Aku merasa mendapat kehormatan!
Di kemudian hari sempat aku analisa, rasanya enggak mungkin aku dihinggapi perasaan seperti saat itu bila kejadiannya di siang hari atau di tempat lain. Tapi apa mau dikata. Saat itu kami berada di hotel, di bawah cahaya remang-remang yang syahdu dan aku dibebani utang hadiah ulang tahun bagi orang yang... kukagumi. Mungkin juga kucintai. Ya. kurasa, aku memang mencintainya. Kalau enggak, mana mungkin aku mau menyerah....
Kami tinggal di situ sampai lewat tengah malam. Alasannya masuk akal,
"Kita harus menunggu sampai restoran tutup, jadi kemungkinan kesamprok dokter-dokter lain sudah tak ada."
Aku enggak membantah, dalam hati menyetujui jalan pikirannya. Luki memeluk aku dari belakang (kami masih berbaring di ranjang) sambil berbisik, "Jadi kita ngapain sementara menunggu""
Dia mengecup leherku. Aku menggelinjang kegelian, lagakku manja bagaikan teenager yang sudah lama pacaran dan sudah ahli.
"Daripada bengong terus di depan TV, lebih baik kita bunuh waktu itu dengan..." bisiknya, lalu mulai lagi merayuku dengan mesra.
Aku enggak sanggup menggambarkan perasaanku saat itu. Pendeknya, aku terlontar ke awang-awang. Belum pernah aku merasa begitu hidup, begitu bergairah, begitu bahagia. Belum pernah aku merasa begitu yakin betapa cerahnya hari depan yang menungguku....
Katarina menguap untuk kesekian kalinya. Uh! Dengan hati berat ditutupnya buku itu dan diletakkannya ke atas meja di samping ranjang. Kemudian dia bangkit dan melangkah keluar kamar menuju WC Daripada nanti terbangun tengah malam, mendingan sekarang saja aku bereskan!
Bab 25 MBAK MIN adalah atasanku, kepala perawat seluruh rumah sakit. Putranya yang berusia lima tahun enggak pernah bisa tenang, diam seperti kebanyakan anak-anak seumurnya. Kiki selalu lari ke sana kemari, meloncat sana meloncat sini, setengah mati menjaganya. Guru TK-nya kewalahan. Repot bukan main. Anak itu selalu mengacau di kelas. Enggak pernah duduk diam di tempat, tapi selalu mondar-mandir, mengganggu yang lain-lain, segan mendengarkan kalau guru bicara, enggak mau meladeni kalau disuruh mengerjakan sesuatu seperti teman-temannya, misalnya melipat kertas atau belajar menulis.
Dokter memberinya obat. Memang dia lebih penuh perhatian sekarang, mau mendengarkan apa yang dikatakan oleh ibu guru. Tapi dia juga jadi sulit tidur dan kurang nafsu makan. Selain itu matanya suka ngedip-ngedip terus atau bahunya naik-turun mirip orang senewen. Karena itu gejala sampingan dari obat, terpaksa dokter menyetopnya.
Kiki kembali lagi pada sifatnya yang semula. Kemudian Mbak Min dinasihati orang supaya memberinya minyak ikan tuna yang mengandung asam lemak tertentu yang ternyata kurang pada anak-anak seperti Kiki. Menurut Mbak Min, ini bukan minyak ikan levertraan (yang biasa aku makan waktu kecil) yang mengandung banyak vitamin A, jadi bagus untuk mata, tulang, gigi, dan dapat mencegah kanker. Minyak ikan untuk Kiki, misalnya berasal dari ikan tuna yang biasa jadi santapan orang-orang Eskimo, sama sekali enggak mengandung kolesterol. Mungkin itu sebabnya orang Eskimo jarang sekali kena serangan jantung walau ikan yang dimakan semuanya banyak lemaknya.
Yah, semoga lekas normal kembali anak itu dan Mbak Min enggak usah bermuram durja sepanjang minggu. Kiki sebenarnya anak yang tampan dan pandai. Sayang kalau sampai mendapat kesulitan di sekolah.
Rupanya orang-orang sedang keranjingan hidup sehat. Luki sekarang senang ngoceh mengenai keperkasaan pria, libido, serta semua hal yang berkaitan dengan seks. Hubungan kami yang dimulai pada saat hari ulang tahunnya itu telah berlangsung mulus selama tujuh bulan. Hampir setiap malam Minggu dia mampir ke tempatku, cuma absen kalau aku beritahu sedang berhalangan, yaitu mens, haid. Biasanya kami makan bersama dilanjutkan dengan indehoi. Dia belum pernah nginap, katanya takut kepergok atau ketahuan anak buahnya.
"Aku sedang pikir-pikir, apa aku perlu menelan aphrodisiac enggak, ya" Menurutmu, gimana"" tanyanya suatu malam ketika kami sedang rileks di depan TV.
"Itu kan obat pembangkit nafsu seks"" sahutku ketawa geli. "Apa kau merasa masih kurang poten""
"Aku ingin lebih. Coba lihat ini!" Diperlihatkannya padaku sebuah brosur. "Di India ada tumbuhan yang dinamakan ashwaganda, di Brazil ada tanaman Muira puama, di Cina tanaman kambing bandot, nama kerennya Epimedium sagittatum. Yang mana yang sebaiknya aku pilih""
Aku telusuri brosur itu sepintas lalu. "Apa hubungannya semua ini sama vitamin E""
"Oh, vitamin E adalah antioksidan yang kuat, bisa menjaga kelancaran sirkulasi darah. Ini kan penting sekali bagi laki-laki untuk mempe
rtahankan ereksi. Orang Korea biasanya makan ginseng, tapi aku kurang suka baunya."
"Kalau begitu, ya sudah, telan saja vitamin E." Dalam hati aku geleng-geleng kepala. Bos yang dulu aku anggap angker, semua perkataannya aku anggap sama dengan perintah, ternyata sikapnya terkadang seperti anak kecil, takut ini ngeri itu.
Spesialis penyakit dalam. Siang hari begitu terhormat, malam hari main kucing-kucingan, sebab takut ketahuan orang. Kalau sampai terjadi skandal, pasti efeknya negatif baginya, enggak usah pikirkan diriku. Paling sedikit dia bisa disuruh turun sebagai kepala rumkit
Sebenarnya aku sendiri juga bukannya tenang-tenang saja. Dalam hati selalu kebat-kebit, ngeri ada yang tahu. Aku belum pernah menyembunyikan sesuatu terhadap ibuku, tapi sudah tujuh bulan ini surat-suratku ke rumah isinya pepesan kosong saja, mengenai kejadian-kejadian umum yang enggak ada artinya. Aku sengaja enggak mau menceritakan apa juga yang khusus cuma menyangkut diriku. Habis, memang enggak bisa dan enggak mungkin.
Enggak mungkin aku mengaku pada ibuku mengenai hubunganku dengan Bos. Aku juga bohong, dua kali enggak pulang ke rumah dengan alasan yang dibikin-bikin, kerjaan banyak, enggak bisa ditinggal sebab yang harus menggantikan sedang sakit.
Aku tahu, status quo ini enggak bisa dipertahankan. Aku sudah mikir-mikir hampir setiap malam sebelum tidur sampai tempo-tempo kepalaku terasa mau pecah, bagaimana caranya mengubah situasi ini. Cuma dua jalan: mengakhirinya atau meresmikannya.
Jalan pertama sama sekali enggak berkenan di hatiku. Aku insaf, aku enggak mampu hidup tanpa Luki. Aku sudah kepalang terlalu mencintainya. Hidup sendiri bukanlah idamanku. Kenapa aku bilang "sendiri"" Lantaran aku cuma bersedia kawin sama Luki. Kasarnya, Luki atau enggak sama sekali! Aku nekat mau hidup sendiri kalau enggak bisa jadi istrinya!
Sekarang jalan yang kedua. Ini yang menyita pikiranku siang dan malam. Aku sedang berusaha mengumpulkan keberanian buat berdialog mengenai topik ini. Sudah tentu aku enggak bakal mendesak, mana mungkin aku yang harus mengusulkan"! Itu sama saja dengan melamarnya! Sejak kapan ada wanita melamar pria"! Kecuali di mana. tuh" Di Bhutan" Atau Nepal" Ah, aku sudah lupa ilmu bumi di sekolah! Tapi seenggaknya, aku boleh kan nanya, ke mana tujuannya hubungan ini. Apa jun-trungannya, sampai kapan berlangsungnya....
Ternyata masalah itu punya cara sendiri, enggak mau diatur olehku atau olehnya. Sudah lama aku ingin tahu di mana sebenarnya keluarganya, maksudku orangtua dan saudara-saudaranya. Mengenai istri, aku yakin memang enggak ada. Luki pasti masih bujangan, sebab jari-jarinya polos. Selain itu, mana mungkin dia berani pacaran denganku kalau sudah enggak bebas lagi. Dia kan orang yang terhormat, punya kedudukan tinggi. Taruhlah, aku ini keroco, enggak jadi soal bagiku hidup dalam dua dunia. Tapi baginya pasti ini bukan hal remeh yang bisa dilakukan begitu saja. Dampaknya bagi karirnya...
Malam ini dia datang ke tempatku. Biasa, malam Minggu. Aku juga sudah menyiapkan makanan kesukaannya, ayam goreng. Aku sengaja pergi ke dapur umum, memohon resepnya dari koki kepala. Ibu Nuri. Setelah latihan dua kali, aku merasa mantap dan mencobanya untuk disuguhkan padanya.
Setelah makan, biasanya kami menonton TV. Kalau TV membosankan, barulah kami ganti acara dengan yang lebih seru, dua puluh tahun ke atas!
Tumben kali ini dia menolak nonton. Romannya tegang. Baru aku sadari, sejak datang tadi belum kedengaran selorohnya yang biasa membahana di apartemenku.
"Duduk sini," perintahnya menunjuk ujung sofa
Karena sudah kebiasaan duduk berdempetan, aku langsung menjatuhkan diri persis di sampingnya. Sesaat dia bergeming, tapi kemudian menggeser dua puluh senti lebih ke samping sampai terbentur lengan sofa. Aku masih belum menyadari arti sikapnya itu. Maklum, aku asyik menunggu gerakannya selanjutnya. Biasanya, lengannya akan langsung terjulur melingkari bahuku, lalu bibirnya yang panas turun me...
"Karla. ada yang mesti kukatakan padamu."
Aku kaget mendengar helaan napasnya yang sedih banget. Selama ini seingatku belum per
nah dia menghela napas sedih atau kesal. Biasanya selalu penuh ketawa, senang dan gembira.
Tapi dasar pandir, aku masih menyangka dia mempunyai kejutan yang luar biasa. Dan mau enggak mau aku menjadi tegang menunggu proklamasinya. Aku menyangka, ini pasti ada kaitannya dengan hubungan kami. Mungkin dia mau meresmikan" Hiii... aku mulai merasa panas-dingin saking tegang dan penuh harap. Aku punya alasan otentik untuk berharap, tapi nanti dulu. Baru akan kukatakan setelah dia bicara. Supaya aku yakin dia enggak merasa terpaksa.
Akhirnya, bibirnya pelan-pelan terbuka sementara kepalanya menunduk. Oh ya, memang kejutan yang maha luar biasa. Oh ya, memang mengenai hubungan kami. Tapi kejutan yang bagaimana dulu! Yang menimbulkan gairah" Atau kebalikannya"
"Karla, keluargaku akan datang ke sini." Ditatapnya aku dengan mata penuh rindu (atau paling tidak, itulah kesanku. Mungkin juga aku keliru, maklum, pandir sih!), dielusnya pipiku dengan ujung jempolnya. Biasanya ini merupakan prolog dari permainan kami. Tapi sekali ini enggak ada kelanjutannya kecuali desahan sendu, "Ah, Karla yang kucintai...."
Dikecupnya puncak kepalaku. Aku enggak bergerak saking bingung. Belum pernah aku melihat orang yang begitu murung karena keluarganya akan datang menjenguk. Aku sih pasti akan melonjak girang bila ayah-ibuku datang ke sini. Sayang, ibuku suka mual dan mabuk kalau naik mobil, jadi lebih senang tinggal di rumah. Paling banter cuma ke pasar. Jalanan Jakarta yang sering macet total kayak Bangkok (mau nyaingin rupanya) sangat ideal bagi Ibu. Berarti sopir enggak bisa ngebut, jadi kemungkinan mual atau mabuk kecil sekali.
Nah. saking kelewat heran, terceplos juga dari bibirku, "Kau kelihatan enggak gembira mau kedatangan papi-mami!" Aku berusaha tersenyum, tapi rasanya seperti nyengir kuda.
Luki menggeleng dua kali. Dielusnya kepalaku, dirapikannya rambut-rambut yang berantakan ke samping dan ke depan. Didekatkannya wajahnya ke pipiku. Suaranya pelan sekali, nyaris seperti berbisik, kayak orang pasrah. "Karla, bukan orang-tuaku yang mau ke sini."
Aku betul-betul melongo. "Laa, habis siapa""
Kalau ada perlombaan mencari orang yang paling pandir, pasti aku bisa jadi juara. Kalau orang menyebut "keluargaku", menurut otakmu yang bebal siapa yang dimaksud" Orangtua" Oke. Tapi kalau bukan orangtua" Adik-kakak" Oke. Aku masih sempat berpikir, apa dia kurang senang sama saudaranya itu" Apa mereka pernah ribut" Masih musuhan"
Dasar bego! Enggak ketolongan pandirnya! Harus dicekokin dulu infonya dari a sampai z, baru terbuka matamu, pandir!
"Karla, istri dan anakku akan ikut tinggal bersamaku!"
Astaga! Seperti disambar geledek kagetnya aku. Kedua tanganku gemetar keras sampai cangkir dalam genggaman berguncang, kopi yang baru diteguk dua kali tepercik ke luar menjadi bercak-bercak hitam di atas blus kuning.
Dengan lembut Luki menarik cangkir itu dan meletakkannya ke atas meja di depan kami. Aku enggak mengerti kenapa aku enggak ngamuk atau marah padanya. Bukankah terang-terangan dia sudah menipuku" Membiarkan diriku menyangka dia masih bebas"
Mungkin saat itu aku shock, enggak mampu berpikir lagi. Tapi sekarang kalau diingat-ingat, sebenarnya aku enggak bisa menyalahkannya. Aku sendiri yang salah. Dasar bodoh dan bego. Dia sendiri enggak pernah berusaha mengelabui aku. Enggak pernah bilang dia bebas, juga enggak pernah menjanjikan apa-apa. Dia cuma ingin kencan dan aku enggak menolak. Nah, salah siapa"
"Kisahku tragis. Selama ini selalu kutekan, coba kulupakan. Karena itu aku segan membebernya, belum pernah kuceritakan pada siapa pun. Aku dipaksa kawin oleh orangtuaku. Aku rasa, istriku juga dipaksa oleh orangtuanya. Aku berharap seandainya bisa menunjukkan kami berdua tidak cocok, akhirnya boleh diizinkan putus. Karena itu aku pergi sendirian, dinas di klinik tempo hari dan sekarang di sini. Tapi rupanya tanpa aku ketahui, waktu aku pergi istriku sudah hamil. Anak itu sekarang sudah empat tahun lebih. Aku belum pernah ketemu, cuma melihat foto yang dikirimkan ibunya. Mana mungkin lagi aku menceraikannya. Selama ini aku hidup dalam kha
yalan, berangan-angan akan bisa bersamamu seumur hidup sebagai suami-istri ideal. Tapi kenyataannya, kita terpaksa cuma sampai di sini saja. Aku mohon kau jangan sakit hati. Aku juga merasa terpukul, musnah harapanku untuk hari depan yang bahagia. Aku sungguh mencintaimu, bukan cuma di mulut. Bukan main-main. Maafkan aku. Kau boleh marah, tapi jangan sakit hati. Aku juga sama menderitanya seperti dirimu."
Aku enggak kuasa membuka mulut, diam saja seperti orang kesurupan. Tapi pikiran dan perasaanku berpacu kencang, susul-menyusul. Sekarang enggak mungkin kukatakan apa xang mau aku kasi tahu sejak kemarin. Kabar yang semula aku anggap menggembirakan, sekarang pasti bakal menjadi malapetaka baginya. Tegakah aku menambah bebannya" Kalau dia memang enggak bahagia dalam perkawinan yang dipaksakan itu, buat apa aku tambah deritanya dengan menyodorkan kemungkinan masuk paradise yang enggak bisa dilaksanakannya" Buat apa kukatakan kemungkinan besar aku sekarang sudah hamil"
Setelah berulang kali didesak, akhirnya aku sanggup juga membuka mulut menjawabnya, "Aku enggak sakit hati, enggak marah."
Suaraku sengau, halus seperti dengung nyamuk, mataku terasa basah. Aku menunduk. Ketika diangkatnya daguku, aku terpaksa juga menatapnya. Terpandang olehku matanya juga berkaca-kaca. Enggak tahan aku, mendadak saja terisak. Diraihnya diriku ke dalam pelukannya, dielus-elusnya punggungku. Selama dua puluh menit atau lebih, kami dalam posisi tersebut bagaikan pantomim di pasar malam.
"Kapan mereka akan datang"" "Bulan depan."
* * * Aku harus cepat mengambil keputusan. Selain emoh ketemu istrinya, aku juga enggak mau keadaanku ketahuan orang. Tubuhku jangkung dan kurus. Kalau perutku melendung, pasti bakal mencurigakan. Aku harus enyah dari sini sebelum itu terjadi.
Buku kecil tempat aku mencatat tanggal mens kupelajari dengan seksama. Selama bertahun-tahun belum pernah haidku telat, kecuali beda sehari-dua hari. Tapi sekarang sudah telat dua belas hari! Anehnya, sedikit juga aku enggak merasa menyesal kenapa enggak pakai penjagaan Sebenarnya dengan gampang aku bisa menghitung kapan hari suburku, sebab haidku selalu teratur. Nah, kehamilan bisa dicegah kalau pada hari subur itu dihindari pertemuan intim....
Nasi sudah jadi bubur! Ah, maksudku telur dan sperma sudah menjadi janin! Yang penting bagaimana menanggulangi masalah ini. Ah, jangan sebut masalah. Ini bukan problem, melainkan anugerah bagiku. Problem itu timbul gara-gara norma-norma yang dicipta oleh masyarakat yang belum tentu menerapkannya pada diri mereka sendiri.
Yang jelas, anak ini enggak bakal aku enyahkan Biar duniaku kiamat, aku enggak mau membuangnya. Aku akan menjaga dan merawatnya. Tapi persoalannya sekarang (lagi-lagi karena norma-norma masyarakat), bagaimana menutupinya dari mata umum.
Setelah malam yang membawa petaka itu, kami masih ketemu dua kali lagi. Cuma untuk berdiskusi. "Sebaiknya kau cuti setahun, Karla. Aku akan memberikan surat pengantar bagi kawanku, direktur rumah sakit di Jakarta. Kau bisa menambah pengetahuan, mengambil spesialisasi, misalnya menjadi perawat ruang bedah atau apa saja yang kausukai.
Aku akan membiayainya. Setelah itu kau kembali ke sini dan aku akan mengangkatmu sebagai kepala perawat."
Usul ini cocok sekali dengan situasiku. Tanpa sungkan langsung aku setujui. Sekarang tinggal bagaimana menghadapi orangtuaku. Mudah-mudahan mereka enggak akan memaki atau mengusirku. Terutama ayahku yang agak kolot....
Kareem mengutarakan rencananya untuk libur ke Pulau Kanguru nanti. Dia sudah memesan tempat penginapan serta tiket untuk naik feri penyeberangan.
"Apa rencanamu besok"" tanyanya di meja makan malam itu.
"Latihan seperti biasa. Terus, ikut kursus sampai tengah hari. Lalu pulang, makan, istirahat."
Latihannya berjalan mulus. Katarina dapat menggunakan kuping bioniknya dengan sempurna. Kalau kebetulan dia ingin menyepi, tak mau mendengarkan ocehan orang-orang di sekitarnya, dimatikannya prosesor dalam kantongnya. Karena alat itu bukan lagi tipe yang digantung di belakang telinga, jadi tidak begitu menarik perhatian sepe
rti model yang dulu. Selama bulan terakhir ini Katarina mengikuti kursus untuk bicara dengan tangan seperti yang dulu dilakukannya sewaktu belum dioperasi, supaya dapat mengajar anak-anak tuli yang tak mampu mendengar sedikit pun. Dokter Ishtar mengkoordinir kursus tersebut dan minta agar Katarina mau ikut membantu sebagai guru.
Dua tahun yang lalu dia pernah kursus, dan sekarang kembali lagi untuk penyegaran. Dia bertekad mau membantu anak-anak yang kurang beruntung dibanding dirinya sendiri. Kemungkinan besar mereka untuk selamanya takkan bisa dioperasi dan ditolong sampai benar-benar dapat mendengar. Selain itu, banyak yang masih bisa mendengar sedikit-sedikit yang berarti mereka takkan mendapat pencangkokan seperti yang dialaminya.
Dengan adanya Kareem, kemungkinan akan lebih banyak anak yang bisa mendapat manfaat. Anak-anak yang semula tak punya harapan karena orangtua mereka takkan mampu membiayai ongkos pengobatan ke luar negeri, kini akan dapat ditolong di tempat masing-masing. Katarina merasa bangga sekaligus terharu bila teringat kebolehan yang akan dibawa pulang oleh Kareem ke tanah air. Kalau dia mau, mudah saja bagi seorang spesialis untuk terus bekerja di luar negeri, persetan dengan negeri asal yang bayarannya minim. Tapi Kareem justru ingin kembali untuk membantu para pasien yang kurang mampu. Bukan main agungnya watak seperti itu, sama sekali tak peduli dengan jumlah honor yang bisa diperoleh, kekayaan yang bisa dikumpulkan.
Semakin dekat dengan akhir bulan, semakin trenyuh perasaannya. Masa berpisah semakin dekat. Dia berusaha melupakannya dengan menyibukkan diri mengepak pakaian serta barang-barang yang akan dibawa ke Pulau Kanguru. Dan saat yang dinanti-nantikan itu pun akhirnya tiba.
Bab 26 Mereka berangkat jam sepuluh dari Melbourne dengan mobil. Semula mau start jam delapan supaya tak usah bermalam di Adelaide, tapi Kareem mengubah rencana itu sebab kasihan kalau Katarina terpaksa harus bangun terlalu pagi. Jam enam dianggap terlalu pagi, sebab masih gelap. Maklum, itu bulan Juni, berarti musim winter di belahan selatan bumi. Karena berangkat lebih siang, mereka harus bermalam di jalan. Lebih enak ya di dalam kota, bukan di luar.
Kareem sudah pernah ke sana dengan rekan-rekan dokter semasa liburan, jadi kurang-lebih masih ingat. "Kita sekarang berada di jalan utama Al-ini cuma kode seperti jalan-jalan di Amerika-delapan jam sampai ke Adelaide. Kalau lebih santai, berhenti makan, ya sembilan jam. Berarti jam tujuh masuk kota. makan malam, banyak waktu untuk istirahat. Besok pagi kita akan ambil A13, turun ke bawah satu setengah jam sampai ke Cape Jervis, naik feri satu jam. Sampai deh di tujuan akhir."
Katarina menikmati perjalanan semacam itu, berdua saja tanpa penumpang umum, mendengarkan musik Acker Bilk atau tiupan seruling dari tanah air, menatap horizon jauh di depan, langit tenang biru keputihan disaput sedikit keemasan sinar mentari, menikmati pemandangan di kiri-kanan, pepohonan rindang, padang sepi cuma dihuni dua-tiga ternak, tak ada manusia seorang pun kecuali di dalam kendaraan yang sama-sama melaju atau datang dari arah berlawanan.
"Alangkah sentosanya," bisiknya pada diri sendiri, tapi tertangkap juga oleh kuping di sebelahnya yang tokcer.
"Cocok buat bersemadi!" komentar Kareem.
"Seandainya seluruh dunia bisa seperti ini..." ujarnya setengah melamun.
"Banyak orang bakal nganggur, sebab pabrik-pabrik senjata terpaksa gulung tikar!"
Katarina menoleh dan memukul lengan Kareem. Main-main. "Kau! Jangan sinis, ah!"
"Apa aku salah" Di mana-mana kan sering timbul onar atau perang saudara atau pemberontakan terhadap pemerintah. Nah, dari mana mereka memperoleh senjata" Kan enggak mampu bikin sendiri. Ya, sebagian dapat dari Barat, sebagian lagi dari Timur. Semuanya sama-sama cari langganan. Aku baca ada orang Rusia yang mencuri bubuk uranium dikit-dikit saking kepingin beli kulkas! Rupanya dia bertugas di pusat pembangkit tenaga listrik dengan nuklir. Satu bom perlu empat setengah kilogram uranium. Baru terkumpul sepersepuluhnya, tiga kali nyuri. sudah ketahuan, ya penja
ra hadiahnya, bukan lemari es!"
"Negara kita sebenarnya sangat kaya. Kenapa ya sudah lebih setengah abad merdeka, tapi rakyat kok masih lelap miskin saja"!" keluhnya dengan nada kesal.
"Karena, Manis, uang yang seharusnya digunakan untuk memajukan negara, menambah kesejahteraan rakyat, semuanya masuk kantong!"
"Kantong siapa""
"Apa otakmu di dengkul" Anak SD saja bisa menjawab. Kalau kau enggak bisa-itu malah bukan pertanyaan ujian-berarti kecerdasanmu diragukan." Kareem ketawa, Katarina latah.
"Apa mereka enggak bisa ditindak""
"Gimana, kalau yang harus nindak juga ikut terlibat""
"Apa ini ciri khas manusia kita""
"Bukan. Sebab utamanya adalah gaji mereka jauh dari memadai. Kalau aku berada di tempat mereka, mana barang-barang mewah semakin banyak, mana keluarga harus dikasi makan, mana orang-orang yang harus kita layani ternyata selangit hartanya, gimana aku enggak bakal terseret arus" Gimana aku enggak bakal tergoda" Apalagi setelah tahu, enggak bakal ada sanksi apa-apa. Aku juga ingin menikmati hidup, bukan cuma kerja mati-matian tanpa hasil. Benar, enggak""
"Jadi caranya menyehatkan negara adalah dengan menaikkan gaji pegawai negeri sampai cukup untuk hidup layak... begitu""
"Tindakan pertama, ya."
"Kaukira akan bisa menyetop kebiasaan atasan yang sudah keenakan dapat subsidi gratis""
"Nah, tindakan kedua adalah penerapan hukum yang keras tanpa pandang bulu."
"Ah, mendingan aku mendengarkan musik sambil melamun. Urusan negara cuma bikin kepalaku pening."
"Melonjorlah, tutup matamu, rileks."
"Ah, enggak. Aku ingin menikmati pemandangan alam. Hei, jalan di depan begitu kosong, kenapa enggak ngebut" Biar cepat sampai."
"Kaukira bisa ngebut begitu saja tanpa akibat" Kalau sedang sial, bisa dikasi tiket denda dan SIM diskors."
"Wow! Rajin banget petugas LL-nya!" Katarina meleletkan lidah.
Ramai juga mereka bercengkerama mengenai pelbagai topik, dari korupsi sampai bagaimana caranya mengatur diet supaya bisa ke belakang setiap hari.
"Pagi ini aku belum ke WC. Seandainya aku nanti mulas, apa kita bisa stop di tengah jalan"" tanya Katarina.
"Tentu saja. Di mana-mana ada WC umum. kok. Dan tempatnya selalu dijaga kebersihannya. Ada yang ngurus dari bagian kebersihan setempat. Seperti sampah, gitu. Pernahkah kau melihat ada gundukan sampah seperti di Jakarta" Enggak, kan"! Karena selalu diangkut secara teratur, seminggu sekali. Dan tong-tong sampahnya banyak, juga enggak diambil dibawa pulang. Buat apa, toh setiap rumah sudah dikasi satu, gratis. Ya. bukan gratis betulan, tapi mereka enggak usah bayar, sebab dibeli dengan uang iuran mereka. Sebutlah iuran kota praja atau desa, semacam pajak begitu. Tapi ngomong-ngomong, apa kau ada kesulitan b.a.b.""
"Ya. Kalau kurang minum atau kurang banyak makan, berarti aku bisa enggak nyetor sampai dua hari. Tapi siapa yang mau makan terlalu banyak" Aku kan enggak mau gendut!"
"Kau bisa mengatur setoran tanpa harus jadi gemuk. Cobalah makan banyak serat. Itu kunci utama ke WC setiap hari. Pengalaman pribadi, nih! Dulu aku selalu kesulitan, kadang dua hari sekali, biasanya malah lebih jarang lagi. Tapi sejak aku banyak makan sayuran dan buah, ternyata hasrat selalu muncul dengan teratur, tiap hari. Sekali atau dua kali. Serat itu juga bagus untuk kesehatan, bisa mencegah wasir dan kanker usus, bisa mengikat kolesterol sehingga kadarnya menurun dalam darah-ini kan penting buat jantung sehat-, bisa mencegah diabetes dengan mengontrol kadar gula darah supaya jangan anjlok ke atas ke bawah, dan juga bisa menurunkan berat badan."
"Gimana, gimana, sekali lagi. Soal wasir dan kanker sih aku sudah mengerti kurang-lebih, juga kolesterol dan diabet enggak menarik, keduanya normal untuk aku. Tapi soal berat badan ini, apa hubungannya sama serat""
"Makanan yang penuh serat membuat orang merasa cepat kenyang, jadi mencegah kita makan terlalu berlebihan. Selain itu, karena serat mengontrol kadar gula, jadi mengurangi ketagihan terhadap makanan manis-manis yang tinggi kalori. Itu saja, semuanya bisa dimengerti pakai logika. Tapi kau enggak perlu takut. Perutmu masih lurus seperti
papan!" Mereka ketawa geli. "Ha, itu sebabnya kau lebih suka rebus-rebusan daripada goreng-gorengan"" tebak Kareem meliriknya tersenyum.
"Habis, minyak kan bikin gemuk!" sahut Katarina, defensif.
"Betul, tapi enggak perlu sampai begitu tragis asal tahu mencegahnya. Selain itu tubuh kan perlu lemak. Asam lemak utama."
"Gimana orang bisa makan lemak tanpa jadi gemuk""
"Organ hati yang pegang peranan penting. Liver ini, seperti sudah kaupelajari di sekolah, fungsinya banyak sekali, antara lain memproduksi asam amino L-carnitine. Nah, ini yang mengangkut asam lemak ke dalam sel, ke bagian yang disebut mitochondria. Kau enggak perlu apal namanya. Pokoknya tahu, di situlah energi kita diproduksi. Tentu saja selain asam amino tersebut, metabolisme lemak perlu bahan-bahan lain seperti inositol, choline, DL-methionine. Jadi kalau liver kita tokcer, enggak usah takut lemak akan bertimbun jadi bantalan yang bikin gemuk "
"Kalau livernya malas, gimana""
"Bisa dibantu sama tablet yang berisi bahan-bahan tersebut di atas."
"Tapi aku sih enggak perlu bantuan." Sepanjang perjalanan mereka bercengkerama, berseloroh, berdiskusi, bersenandung. Udara kebetulan cerah, menambah keriangan hati. Pemandangan juga indah. Pokoknya Katarina merasa hidupnya belum pernah sebahagia saat itu.
Tengah hari mereka berhenti di tempat yang disediakan di pinggir jalan, lalu membuka bekal. Kareem telah menyiapkan setumpuk roti yang diisi dengan telur dadar diberi ikan sarden, sekerat buah advokat, dan tomat. Mereka juga membawa lima liter air minum serta buah-buahan.
Tanpa halangan sedikit pun mereka tiba di Adelaide, langsung check-in ke hotel. Dalam kamar terdapat dua ranjang, yang besar untuk orangtua, yang kecil untuk anak. Kareem rebahan di ranjang kecil. Setelah istirahat sejam, mereka keluar mencari makanan, putar-putar keliling kota sebelum pulang untuk tidur.
"Aku belum bisa pulas," keluh Katarina.
"Cobalah membaca sampai letih."
Usul itu memang sedang ditunggu olehnya. Dia kawatir sinar lampu akan mengganggu. Setelah direstui oleh Kareem, dia langsung mengeluarkan buku harian Karla yang dibawanya. Ternyata Kareem rebah miring ke arah dinding sehingga cahaya lampu sama sekali tidak mengganggunya. Katarina melalap tulisan itu sampai hampir jam dua belas. Teringat besok harus bangun subuh, dia terpaksa stop walau hatinya sangat ingin terus.
Inilah yang dibacanya: Setahun aku cuti. Ibuku cuma meratap dari menepuk dada mendengar kisahku tanpa memarahi diriku. Ayahkulah yang naik pitam, mengutuk perbuatanku dan memerintahkan supaya bayi itu diberikan pada orang lain setelah lahir nanti. Abangku menyela di tengah. Dia mengusulkan agar bayiku diangkat anak olehnya saja.
Setelah berdebat panjang-lebar, ayahku menyerah. Tapi kesulitannya, saat itu abangku belum menikah walau sudah punya tunangan. Akhirnya diputuskan, bayi yang masih tujuh bulan lagi dalam kandunganku itu akan dicarikan ibu asuh sampai saatnya dapat dirawat sendiri oleh istri abangku.
Tidak tahunya empat bulan kemudian ayahku berubah pikiran. Dia keberatan anak itu mengenalku sebelum dewasa.
"Aku enggak mau anak itu tahu siapa ibu kandungnya sebelum dewasa. Ini untuk mencegah dia merasa ditelantarkan dan dibuang," ujarnya tegas.
Jadi abangku terpaksa setuju, bayiku akan diserahkan pada orang lain, abangku tetap akan membiayainya, dan cuma dia yang berhak menjenguk. Baru setelah dewasa anak itu boleh tahu riwayatnya dan bertemu dengan aku.
Supaya menghindari ocehan para tetangga, aku diungsikan ke tempat nenekku jauh di pedalaman sampai melahirkan. Dan saat yang seharusnya penuh bahagia itu ternyata membuat aku menumpahkan air mata berhari-hari. Bayiku laki-laki, begitu tampan dan sempurna. Dan aku enggak bakal bisa melihatnya lagi sampai dia dewasa dan mau sendiri ketemu denganku. Bagaimana seandainya dia enggak mau" Seandainya dia merasa ditelantarkan olehku" Bagaimana aku akan meyakinkan anakku betapa aku mencintainya" Betapa sebagian dari jiwaku binasa hari ini. Karena aku harus melepas nya pergi. Aku enggak bisa merawat dan mengecupnya setiap saat.
Aku hanya diperke nankan memberinya nama. Dan aku pilih namanya. Arman. Arman Rejana. Dia tak dapat kuberi nama ayahnya. Sayang sekali.
Esoknya mereka berangkat pagi-pagi menuju tempat penyeberangan ke Pulau Kanguru, naik feri di Cape Jervis. Saat itu pertengahan musim dingin, tiket feri diturunkan. Dua orang dengan harga seorang saja, dan tiga puluh persen diskon untuk biaya penginapan di pulau.
Mereka tiba di pulau sekitar jam satu siang, lama perjalanan dengan feri seharusnya cuma lima puluh menit. Tapi karena laut agak bertingkah, terpaksa lima menit lebih lamaan. Katarina turun ke darat mengikuti para penumpang lain, sedangkan Kareem masuk ke lift untuk mengambil mobil dari lambung feri.
Sebelum melanjutkan perjalanan mereka makan siang dulu. Setelah itu mobil melaju ke selatan. Jalanannya mulus dan sepi. Kadang sampai setengah jam tak ada kendaraan lain yang dijumpai. "Di sini pentingnya telepon genggam ya, Rim," ujar Katarina.
Kareem mengiakan, lalu bertanya, "Adakah sesuatu yang terasa lain di sini, Rina""
Melihat gadis itu menoleh ke kiri ke kanan mencari-cari, dibantunya, "Perhatikan jalanannya!"
Katarina masih tak dapat menebak apa yang dimaksud dan setelah tungak-tongok lima menit, menyerah. "Enggak tahu, deh."
"Rambu lalu lintas!" ujar Kareem ketawa.
"Maksudmu"" Gadis itu mengerutkan kening, lalu berseru semenit kemudian, "Ah! Ya, ya, sejak tadi enggak kelihatan tanda-tanda lalu lintas sepotong pun! Kenapa""
"Karena memang enggak ada!"
"Kenapa"" Dia semakin heran.
"Karena enggak perlu. Lalu lintasnya kelewat sedikit, orang-orangnya jumlahnya minim dan rupanya semuanya tahu aturan, enggak sok nyelak atau mengambil jalanan orang lain!"
Pendekar Panji Sakti 4 Pendekar Pedang Matahari 3 Iblis Bukit Setan Bocah Sakti 1
"Tidak dapatkah dia menunggu di rumah, Dok""
"Bisanya bisa, tapi rumah sakit tidak akan dapat insentif apa-apa kalau begitu. Kita kan perlu biaya untuk mengelola semua ini, Dik. Pasien-pasien kaya seperti dia harus kita tahan selama mungkin, sebab kita perlu honornya."
Aku sama sekali tak pernah berpikir ke situ. Dasar aku ini masih ingusan. Tapi bila demi kebaikan klinik, seorang pasien harus kehilangan kerja atau malah suami, kan enggak adil.
"Dok, maaf ya. Ibu Urti meminta saya untuk menyampaikan, dia sudah kepingin sekali pulang."
"Setiap pasien juga begitu. Tak ada yang betah tiduran terus seharian, sekamar beramai-ramai." Dokter Anwar menggeleng seraya tersenyum penuh pengertian.
"Bukan itu keberatannya, Dok."
"Lalu apa""
"Katanya, dia bisa kehilangan kerjanya kalau terlalu lama di sini."
"Katakan, tak usah kawatir. Saya akan menulis surat keterangan untuk bosnya."
Aku menjadi resah, kakiku bergerak ke kiri ke kanan, untung gesekan itu tidak menimbulkan bunyi di atas karpet. Dokter Anwar sudah menunduk lagi meneruskan bacaannya. Aku sudah kepingin minggat dari situ. Namun bayangan wajah Ibu Urti menghantui pikiranku. Wanita itu betul-betul ketakutan jangan-jangan suaminya nanti nyeleweng gara-gara dia kelamaan tidak pulang-pulang. Aku berdehem untuk mengumpulkan segenap keberanianku.
"Dok, dia bilang, kalau dia tidak segera diizinkan pulang, rumah tangganya bisa berantakan...."
"Siapa bilang" Ah, pasien itu! Kenapa berantakan""
"Suaminya sudah mengancam, kalau dia enggak cepat pulang, dia akan..." Susah sekali bagiku mengutarakan apa yang ditakuti oleh Ibu Urti. Sementara aku ragu-ragu, mendadak terdengar suara berdentum dan arah belakangku, "Mencari perempuan lain""
Dengan amat sangat terkejut aku menoleh, seluruh tubuhku terputar seratus delapan puluh derajat.
Di hadapanku berdiri seorang laki-laki tegap yang bukan main tampannya. Wajahnya yang tersenyum tampak lebih menarik dari bintang film mana pun yang pernah kulihat. Kumisnya begitu simpatik, matanya begitu indah, ah! Siapa orang ini" Menilik sikapnya yang santai namun berwibawa (dengan sebelah tangan dalam saku celana), dia bukanlah seorang tamu, melainkan seseorang yang sudah dikenal di situ.
Teka-teki itu segera terjawab begitu kudengar suara Dokter Anwar yang membuat diriku berputar kembali ke arahnya. Sungguh aku mirip boneka yang diberi tali untuk ditarik-tarik ke sana kemari.
"Ah, Dokter Luki, kapan pulang" Saya kira, dokter baru akan masuk lagi Senin," seru Dokter Anwar dengan antusias seraya berdiri dan menjulurkan lengan sepanjang-panjangnya, sedangkan Dokter Luki maju dua langkah menyambutnya.
"Aku kembali dua hari yang lalu
. Hari ini cuma kebetulan mau nengok ikan koki dan ikan masku," sahutnya berlagak guyon, tapi aku tahu dia serius. Aku sudah melihat dalam ruang rekreasi dokter sebuah akuarium raksasa berisi belasan ikan yang montok-montok. Menurut Mbak Rani, mereka itu kesayangan Dokter Lukito... ah! Jadi ini dia dokter yang disanjung-sanjung para perawat saking gantengnya"
Memang mereka enggak salah. Malah menurut perasaanku, dia lebih ganteng dari pujian yang didengungkan.
Rupanya Dokter Anwar melihat arah lirikan Dokter Lukito, sebab terdengar suaranya yang kini ringan seperti tengah bercengkerama, "Ah, ini staf kita yang terbaru. Suster Karla. Dik, ini bos kita. Dokter Lukito."
Tersipu-sipu aku bergegas menyambut uluran tangan. Uih, cengkeramannya kuat, tangannya keras tapi hangat sekali, guncangannya seakan ikut melambungkan perasaanku membuat jantungku berdebar kencang, sesaat itu aku sempat dihinggapi kekawatiran jangan-jangan sebenarnya aku punya bakat kena penyakit jantung.
Melihat aku bergeming di tempat setelah tanganku dilepas, rupanya kedua dokter itu maklum kenapa aku segan berlalu. Terutama Dokter Lukito. Beliaulah yang kini mengambil alih percakapan.
"Anwar, coba ceritakan sedikit mengenai... siapa pasien tersebut"" pintanya sambil meletakkan kedua tangan di atas meja, tubuhnya yang tegap kelihatan menggunung di hadapan Dokter Anwar yang duduk dengan roman kikuk.
Setelah mendengar kisah singkatnya dan membaca sekilas semua catatan pasien, Dokter Lukito memandang kami berdua bergantian, lalu dengan sebelah tangan di pinggang, ujarnya pada Dokter Anwar. "Aku rasa, kita pulangkan saja pasien itu."
Mendengar kalimat singkat itu yang tak lain daripada perintah atasan, Dokter Anwar tak dapat berbuat apa-apa kecuali mengangguk dengan takzim.
"Permisi, Dok!" ujarku sebab merasa misiku sudah berhasil. Tanpa menunggu jawaban dari kedua dokter itu, aku segera ngacir ke luar kamar. Tentu saja langsung ke kamar nomor sembilan, membawa kabar gembira itu.
Itulah pertama kalinya aku ketemu laki-laki yang akan berperan demikian besar dalam hidupku. Waktu itu aku belum menyadari betul dampak insiden tersebut untukku. Aku dinas seperti biasa, mengumpulkan pengalaman, melakukan kesalahan dan berusaha untuk tidak mengulanginya lagi, pokoknya aku menikmati hidupku sebagai seorang gadis muda yang mempunyai jabatan lumayan dan hari depan cerah. Sedikitnya, begitulah anggapanku saat itu.
Sebagai keroco. tentunya aku tidak sering berhubungan langsung dengan para dokter. Mereka umumnya memberikan perintah pada Mbak Rani yang akan meneruskannya pada anak-anak buahnya.
Bersama rekan-rekan lain aku juga kena jaga malam. Karena aku masih bujangan dan tinggal di asrama, sering kali Mbak Ini dan Itu yang lebih senior minta tolong digantikan bila mereka berhalangan. Biasanya halangan itu berasal dari rumah tangga, entah anak mereka sakit atau perlu menemani suami menghadiri perjamuan dan lainnya. Aku sih enggak pernah menolak. Malah senang bisa menghabiskan waktu di bangsal ketibang sendirian saja di kamar enggak tahu mau ngapain.
Nonton TV memang enggak hobi. Membaca buku sering malah jadi ngantuk kecuali bukunya memang mengasyikkan. Ada untungnya, aku enggak pernah susah tidur, karena dengan gampang bisa kuraih sejilid obat tidur dari rak buku.
Pada suatu malam aku kebetulan sedang jaga. Untuk perintang waktu, aku dengarkan lagu-lagu keroncong milik seorang rekan, sekalian membaca buku horoskop. Nah, bacaan begini lebih memikat untuk iseng, dijamin enggak bakal bikin aku ngantuk. Habis infonya selalu aktual bagiku yang masih bau bawang, belum tahu dunia.
Misalnya, aku enggak pernah terpikir, wanita berbintang Leo (itu lho, mereka yang lahir antara 22 Juli dan 23 Agustus) kayak aku senang dipuja dan dimanja oleh pria yang dicintai dan mencintainya. Masak iya"! Aku enggak pernah menyadari, diriku begitu haus pujaan. Sebenarnya aku malahan termasuk golongan yang tak acuh saja terhadap cowok. Enggak tertarik, gitu. Yah, kecuali sama satu orang! Tapi orang itu terang di luar jangkauan-ku. Dia sudah begitu mapan, sedangkan aku cuma keroco. D
ia sudah menjadi kepala bagian, aku barusan lulus. Dia dokter spesialis yang mapan, aku cuma perawat.
Malam itu bangsal cukup tenang, jadi aku leluasa menggunakan waktu untuk mempelajari horoskop. Siapa tahu kelak akan ada faedahnya, enggak untuk dipraktekkin, ya paling sedikit untuk meramaikan suasana kalau sedang kumpul-kumpul dengan konco-konco. Rata-rata cewek-cewek kepingin tahu gimana hari depannya, dan siapa yang cocok untuk jadi calonnya.
Tentu saja pertama-tama perhatianku tertarik pada bintangku sendiri. Jadi aku tuliskan di atas secarik kertas semua ciri-ciri dan nasihat yang kubaca. Setelah itu aku berniat membuat ikhtisar mengenai bintang mana saja yang paling kompatibel untukku. Betul saat itu aku belum terpikir untuk pacaran, tapi nasib kan siapa tahu. Mungkin saja bulan depan aku bakal ketemu seseorang, lalu gimana aku bisa tahu cocok enggaknya"
Sedemikian asyiknya aku sehingga pintu ruang perawat yang dibuka orang enggak terdengar olehku. Engselnya memang belum karatan sih, jadi mulus tanpa bunyi. Sedangkan karpet di atas lantai meredam bunyi langkah, apalagi kalau sepatu itu sudah enggak baru tentunya enggak bakal berderit.
"Ah, asyik betul kelihatannya!"
Aku nyaris mencelat ke langit-langit, maksudku ke arahnya, bukan sampai menerjang plafon, demikian kagetnya aku mendengar suara halus yang lembut dan mengandung humor itu. Tanganku otomatis membeku, kepalaku menoleh, kupaksa diriku tersenyum walau mungkin kelihatan seperti orang tolol, lalu bibirku komat-kamit, moga-moga sih suaraku yang mirip cicit tikus kedengaran jelas olehnya. "Selamat malam, Dok."
Sungguh mati aku enggak tahu bakal ada kunjungan. Biasanya rencana itu dituliskan di dalam buku kerja perawat disertai persiapan apa yang perlu disediakan oleh kami. Dokter kan biasanya menganggap diri mereka seimbang atau hampir mirip dengan dewa (dalam hubungan dengan pasien serta perawat keroco kayak aku), jadi mereka mengharapkan perlakuan yang setimpal. Walaupun setahuku belum pernah ada dewa yang mampir ke dunia untuk tinggal di sini, dokter-dokter rupanya paham seperti apa sembah sujud yang pantas mereka terima.
"Selamat malam. Mana map Pak Ibrahim"" tanyanya seraya menghampiri kabinet tempat kartu-kartu itu disimpan.
Bergegas aku bangkit. "Saya tidak tahu Dokter mau datang, tidak ada dalam buku laporan," ujarku, secara langsung minta maaf. Mampus aku kalau dilaporkan pada Mbak Rani keteledoranku menyambut kunjungan Bos atau dokter siapa saja yang datang. Tapi tentunya dosa terhadap Bos timbangannya lebih berat daripada kesalahan terhadap seorang dokter muda
"Memang tidak direncanakan. Mendadak saja teringat oleh saya, pasien itu sudah harus dipulangkan, tapi saya masih ingin memeriksanya sekali lagi. Untuk kepastian dia memang boleh pulang."
Dokter Lukito minggir sedikit, membiarkan aku dengan tangan gemetar membalik-balik map-map yang tergantung dan depan ke belakang, mendadak lupa huruf I itu letaknya di mana. Setelah J atau sebelum G"
Akhirnya ketemu juga. Ibrahim. Setelah Hanuman, sebelum Linawati. Aku serahkan dengan tangan masih gemetar. Maklum masih keroco. Kalau sampai ditulis: konduite kurang mengenai diriku, bisa-bisa aku enggak bisa naik pangkat atau malah dipecat! Iiih, amit-amit dipecat! Bakal susah cari lowongan lagi, sebab calon majikan (direktur rumkit atau kepala perawat) akan bertanya melit. apa sebabnya aku dipecat.
Jadi maklum saja kalau aku kedengaran agak merendahkan diri terhadapnya, malah berlagak seperti setengah pembantu rumah tangga. Selain itu. aku punya alasan pribadi untuk mendewakan bosku!
Dokter Lukito langsung duduk di atas kursiku (maksudku, kursi yang barusan aku duduki) tanpa permisi lagi. Memang juga kenapa dia harus minta izin" Itu kan bukan kursi milikku, dan itu yang terdekat dengannya. Kursi-kursi lainnya berada di pojok ruangan, jauh. Ya, kira-kira sepuluh langkah.
Beliau langsung asyik melembari kertas-kertas laporan serta hasil-hasil labor pasien. Aku berdiri di samping agak ke belakang, meremas-remas jari-jariku, berusaha memutuskan apa aku perlu menawarkan minum. Setelah pikir-pikir tiga
menit, terlontar juga dari mulutku, "Mau minum. Dok""
Kami mempunyai air bening dalam wadah beling, disuplai setiap hari. Air itu sudah steril, enggak perlu dimasak lagi. Kami juga menyimpan Coca-Cola di lemari es dalam botol-botol raksasa, biasanya diminum kala siang panas.
"Ah, boleh juga. Ada kopi"" tanyanya menoleh dengan senyum yang mendebarkan. Aku merasa bagaikan mendapat anugerah. Senyum yang begitu simpatik enggak kulihat setiap saat dari setiap orang. Manusia zaman sekarang biasanya sudah teramat sibuk dengan urusan masing-masing, mana ada waktu untuk melontarkan senyum simpatik setiap kali mereka diajak bicara" Lebih gampang mengerutkan kening, bukan" Makan energinya lebih sedikit.
Karena kesenangan dikasi anugerah, mana aku mau mengakui, kopi belum tersedia"! Selain itu apa sih sulitnya menyeduh kopi" Cuma lima menit.
"Ada. Dok!" sahutku gagah, lalu langsung menyalakan mesin di pojok yang digunakan untuk membuat kopi.
Ketika kopi itu aku hidangkan di depannya bersama butiran-butiran gula serta susu cair dalam tempatnya masing-masing. Dokter Lukito mengucap terima kasih, kemudian mengangkat muka menatapku. "Kau sendiri""
Semula aku enggak segera mengerti maksudnya, sebab lumrah saja bila aku merasa belum pantas minum bersama atasan yang paling teras. Jadi aku melongo saja sejenak. Diulangnya maksudnya dengan kata-kata lain yang lebih mendesak. "Ayo, temani saya!"
Barulah otak udangku terbangun. Dengan tersipu-sipu aku melangkah lagi ke mesin di pojok untuk mengambil secangkir bagiku. Mana berani aku menolak permintaan Bos! Kalau datangnya dari Bos. permintaan selalu sama artinya dengan perintah. Betul, kan"
"Ambil kursi untukmu!" ujarnya lagi menunjuk ke sudut.
Itu merupakan perintah yang gamblang, dengan sendirinya langsung aku kerjakan. Jadi duduklah kami berhadap-hadapan, saling menghirup kopi. Dia malah memasukkan dua butir gula ke dalam cangkirku tanpa bertanya lagi. seakan sudah tahu itu dosis yang lumrah untukku. Kalau mau jujur, sebenarnya aku kurang suka manis-manis. Bukan kurang suka sebenarnya, tapi ngeri menjadi gemuk. Ketika dia mau menuangkan susu, aku tolak dengan halus, telapak tanganku kupasang di depan cangkir seolah melindunginya.
Tapi Bos rupanya tidak kenal penolakan. Sambil berdesah, "Ah!" (entah apa artinya), jari-jarinya terjulur menjepit tanganku, menyingkirkannya ke samping tanpa melepasnya, sedangkan dengan tangan yang lain dituangnya sedikit susu ke dalam cangkirku.
Aku langsung mengalami kesemutan begitu tersentuh olehnya, hatiku berdebar dan tanganku terasa dingin. Namun Bos terus tenang seakan tidak menyadari diriku sudah hampir semaput.
Setelah memberi perintah, "Aduklah," dicucur-kannya juga susu ke dalam cangkirnya. Sedangkan aku, untuk melaksanakan perintah mutakhir, terpaksa (memang betul terpaksa! Sebab aku ogah melepaskan diri dari cengkeramannya, tahu deh kenapa) menarik tanganku dari jepitan jari-jarinya yang kokoh dan berambut sedikit. Lucu juga menyaksikan rambut-rambut tumbuh di atas persendian tengah jari-jari. Pikiranku segera melayang, gimana ya rasanya mengelus rambut-rambut pendek itu"!
"Hm. Sedap""
Pertanyaan yang lugu itu sempat membuat pipiku terasa panas seolah itu berkaitan dengan pikiran kotor yang tengah melanda benakku. Saat itu aku masih betul-betul bocah, belum tahu dunia. Sama sekali buta mengenai seks. Maklum belum pernah ada yang memberiku penerangan di bidang itu. Di sekolah, kami cuma belajar mengenai kembang dan kumbang. Di rumah, saudaraku cuma seorang Laki-laki. Terang enggak bakal aku menanyakan hal begituan padanya. Ibuku" Terlalu pendiam dan pemalu. Terkadang aku merasa jangan-jangan Ibu sama lugunya denganku! Kelebihannya paling banter karena dia sudah pernah melahirkan dua kali. Tapi apa itu seks mungkin enggak bisa dijawabnya. Ibu merupakan wanita yang biasa menyerahkan segalanya pada suami. Juga-mungkin- soal seks. Yah, gimana mau tahu banyak kalau seks itu cuma berlangsung dalam suasana gelap" Tanpa lampu, tanpa kata, tanpa imajinasi"
Wah. kok satu kata sedap" saja sudah membuat aku terlontar memikirkan topik yang muski
l-muskil (yang mungkin belum saatnya kupikirkan"). Setengah terpusi-pusi (maksudku, tersipu-sipu... uh! Apa otakku sudah mulai ngadat" Aku pernah baca, kalau orang suka terbalik-balik mengucapkan suku kata, maka itu pertanda otaknya sudah harus dicek!) aku cepat-cepat mengangguk (tanpa mampu mengucapkan sepatah kata pun).
Aku menyangka Bos akan kembali menekuni laporan Pak Ibrahim. Ternyata beliau malah mengajukan pertanyaan-pertanyaan seakan aku ini yang jadi pasien.
"Kau lahir di mana. Karla""
Uuuiiit! Kok Bos mau tahu masalah pribadi bawahan" Tapi kujawab juga. Berani, enggak"! Pertanyaan kan sama artinya dengan perintah kalau datangnya dari atas!
"Di Jakarta. Dok."
"Berapa saudaramu""
"Cuma seorang, Dok."
"Abang" Kakak""
"Abang." "Dokter"" "S.H., Dok." Tanya-jawab itu enggak mungkin lebih lama dari tiga menit, tapi terasa bukan main lamanya, napasku sampai sesak. Kemudian baru aku sadari, selama interview itu aku terus-terusan menahan napas! Huh! Untung enggak sampai tujuh keliling. Menurut teori kan kalau orang menahan napas terus-menerus akhirnya bisa tujuh keliling (kalau enggak pingsan duluan!).
Lega hatiku ketika Bos meletakkan cangkirnya yang sudah kosong, lalu mendorong kursi dan bangun. "Saya mau melihat Pak Ibrahim."
Aku juga cepat-cepat meletakkan cangkir yang masih setengah penuh (habis, kapan sempatnya minum, kalau tahan napas terus) dan ikut bangun (atasan berdiri, masak kita berani duduk"!).
Aku mundur-maju, berperang batin: ikut-jangan, ikut-jangan. Sebab aku enggak tahu apa yang mau dilakukan oleh Bos terhadap Pak Ibrahim. Enggak begitu apal aku mengenai kasus yang satu ini. Kalau enggak salah, riwayat penyakitnya berupa keluhan kencing, malam hari bisa lima kali ke WC. Dikawatirkan kandung kencingnya tertekan oleh kelenjar prostat yang membesar. Usianya sudah lima puluh delapan, saat di mana banyak pria mengalami gangguan serupa.
Sebelum aku bertanya apakah bantuanku diperlukan, Bos sudah lebih dulu meminta, 'Tolong bawakan saya handschoen dan jelly."
"Baik, Dok." Mana berani aku membantah" Namanya minta tolong, tapi hakekatnya tetap merupakan perintah. Maka aku pun mengintil di belakangnya dengan sarung tangan dan botol pelumas di atas nampan.
Pak Ibrahim menempati kamar sendiri, kelas VVIP. Dia sedang duduk di atas ranjang, menonton video yang rupanya disediakan oleh klinik. Kelas utama itu memang mendapat layanan istimewa berupa video dan jam kunjungan yang lebih fleksibel.
Bos sangat memperhatikan perasaan pasien. Beliau enggak sembarangan mendobrak pintu, melainkan mengetuk sekali dengan pelan namun tegas, baru diputarnya gerendel dan didorongnya daun pintu.
Pak Ibrahim kulihat tengah menatap pintu dengan wajah tegang. Begitu melihat siapa yang masuk, wajahnya langsung berseri penuh senyum. Tanpa diminta, langsung diraihnya alat kontrol untuk mematikan video.
"Selamat malam, Pak Ibrahim!" sapa Bos berdentum dengan ramah. Suaranya berbobot dan tegas, lain sekali dengan nadanya yang halus dan lembut ketika bicara denganku.
"Selamat malam, Dok!" sambut pasien dengan senyum lebar.
Bos berdiri di kaki tempat tidur, menyandarkan kedua lengan bawahnya di atas besi ranjang, map pasien dipegangnya dengan dua tangan. "Nah, siap pulang"" tanyanya ketawa.
"Siap, Dok!" "Sudah rindu masakan istri"!"
Pak Ibrahim ketawa gelak tanpa membantah. Dilipatnya kedua lengannya di dada, dan disilangnya tungkainya yang dibungkus piyama loreng-loreng biru-putih, kakinya tertutup sedikit dengan selimut yang teronggok di ujung ranjang.
"Tapi bagaimana urusan Pak Ibrahim malam hari" Masih sering ke WC""
Pasien menggaruk belakang kepalanya dan menyeringai. "Asal saya tidak minum lagi selewat jam delapan, aman, Dok. Paling cuma harus bangun sekali."
"Itu lumrah. Sekali-dua kali masih normal. Bukan lima kali." Bos menepuk map berisi seluruh laporan kasus pasien. "Yang utama, apa yang ditakutkan tidak terbukti. Bapak tidak menderita kanker prostat. Pemeriksaan labor juga normal. Memang organ tersebut membesar, tapi cuma sedikit, belum perlu mengawatirkan. Dan tidak mengganggu kandung kencing. Fungsi g
injal, normal. Ini penting sekali dijaga, sebab Bapak menderita tekanan darah tinggi. Jadi untuk sementara ini sebaiknya Bapak berusaha minum lebih banyak pada siang hari dan mengurangi jatah malam."
"Sehari berapa gelas. Dok""
"Delapan cukup. Kalau udara sedang panas, boleh ditambah lagi satu-dua gelas. Saya akan memberikan obat baru yang akan membantu usaha ini, sehingga malam hari tidur Bapak tidak terganggu oleh desakan ke WC."
"Baik, Dok." Pasien mengangguk patuh seperti anak kelas nol.
"Terakhir Bapak diperiksa oleh Dokter Anwar dua minggu lalu, bukan" Waktu itu saya masih cuti. Sekarang sebelum dipulangkan, saya perlu memeriksa sekali lagi untuk memastikan keadaan masih stabil. Oke"" Bos menunjuk ke arah nampan yang telah kuletakkan di atas meja tamu. Di kamar VVIP itu terdapat meja dan kursi untuk menerima tamu.
Pak Ibrahim kelihatan mengangguk tanpa membantah, tandanya tidak keberatan. Bos menoleh padaku dan memberi isyarat agar membawa nampan itu ke dekatnya. Bos sendiri melangkah ke tembok untuk mematikan lampu di langit-langit yang terang benderang, tinggal lampu meja yang syahdu sinarnya.
Bos mengenakan sarung tangan, tugasku cuma memegangi botol berisi jelly untuk meminyaki sarung tangan agar dapat masuk dengan mudah ke lubang dubur. Setelah Bos mengambil jelly dengan sarung tangan yang masih bersih, botol pun kututup rapat dan kuletakkan lagi ke atas nampan.
Bos kemudian meminta pasien menurunkan celana piyamanya, lalu berbaring miring di ranjang. Aku berdiri dekat dinding, memperhatikan pemeriksaan itu tanpa emosi.
Katarina terpaksa menutup buku harian itu dengan enggan, sebab terdengar bunyi gerendel pintu dibuka. Kareem sudah pulang.
Bab 23 PROSES penyembuhannya berlangsung tanpa gangguan sedikit pun. Bila semua berjalan lancar terus, kemungkinan dia akan dapat kembali ke Jakarta bulan depan sesuai dengan rencana. Berbagai perasaan melanda dirinya. Di satu pihak, tentu saja dia gembira akan bisa berkumpul lagi dengan orangtua dan sanak keluarga, serta bertugas kembali di Rumah Sakit Sabara-Birka. Di lain pihak, hatinya terasa kosong bila sudah membayangkan hidupnya tanpa Kareem. Dia enggan sekali berpisah dengannya. Tapi apa dayanya"
"Bagaimana kontrolmu tadi pagi"" tanya Kareem malam itu di meja makan.
"Semua lancar, sesuai dengan rencana."
"Jadi kapan selesainya latihanmu""
"Sebulan lagi. Setelah itu aku akan pulang."
"Jangan cepat-cepat begitu."
"Habis mau ngapain aku di sini" Di sana kan tugasku menunggu. Aku akan mulai membantu Dokter Ishtar melatih anak-anak seperti diriku menggunakan jari-jari mereka untuk berkomunikasi. Harapanku, mereka juga akan bisa mendapat kesempatan untuk di-OP seperti ini, supaya bisa mendengar lagi. Transplantasi ini penemuan yang sangat hebat, sanggup menolongku keluar dari kepompong bisu. Aku harap, akan banyak anak-anak yang bisa ditolong."
"Itu cita-citaku juga. Karena itu aku spesialisasi di bidang ini. Kelak aku akan balik ke tanah air dan melakukan transplantasi yang akan memberikan hari depan baru bagi semua penderita."
"Berapa tahun lagi kau akan selesai""
"Dua-tiga tahun lagi."
"Dulu kau bilang, tahun depan bisa beres!"
"Betul. Tapi aku dinasihatkan supaya kontrak kerja setelah itu untuk cari pengalaman, termasuk menolong anak-anak di tanah air, menentukan siapa-siapa yang cocok untuk OP tersebut. Lalu aku dapat melakukannya di bawah pengawasan dan bantuan mentor."
Dua-tiga tahun lagi. Apa itu berarti kita harus berpisah begitu lama" Mana tahan aku rindunya!
Seolah bisa menebak jalan pikiran Katarina, Kareem menepuk lengannya di atas meja, lalu sambil tersenyum cerah menghiburnya, "Jangan takut. Kita akan sering-sering ketemu. Selain itu, kau enggak boleh pulang terlalu cepat. Aku akan minta izin libur dua minggu. Begitu kau beres dengan latihan dan kontrolmu, kita akan berangkat ke Pulau Kanguru, berlibur lima belas hari. Aku sedang mencari-cari pemondokan. Jangan langsung pulang, ya. Kita harus menikmati saat-saat bersama ini semaksimal mungkin!"
Katarina tidak tahu harus ketawa atau meringis. Hatinya merasa gembira, namun
otaknya tetap ragu. Adakah gunanya memperlambat perpisahan yang memang enggak bisa dielakkan" Pulang dari liburan dua minggu nanti, kami toh harus berpisah juga. Kapan bisa ketemu lagi" Siapa tahu sementara itu Beti kembali melancarkan serangannya, dan siapa tahu sekali ini Kareem terjerat juga....
Namun seberapa besar pun keraguannya, Katarina tak kuasa menolak ide yang cemerlang itu. Memang sejujurnya dia juga ingin mengulur waktu, kalau dapat selama mungkin terus bersama orang yang dicintainya. Perasaannya terhadap Kareem telah merasuk ke dalam sumsum tulang, bagaikan tumor yang sudah merajalela....
Selama bulan terakhir itu Beti sempat mengajaknya jalan-jalan dua kali lagi. Berbelanja, memborong oleh-oleh untuk dibawa pulang.
"Sebenarnya aku ingin tiap minggu ketemu denganmu, tapi enggak bisa. Tugasku kelewat banyak. Tempo-tempo Sabtu harus dinas. Nah, Minggu-nya terkapar deh seharian tanpa makan tanpa minum. Aku memang raja tidur, dalam keluargaku satu-satunya yang lebih suka mengukur ranjang daripada ngebut ke Puncak pada akhir pekan."
Beli selalu ceria, tidak membosankan. Terlebih karena dia tak pernah lagi menyinggung soal Kareem pertapa atau apa deh, Katarina juga senang bergaul dengannya. Tapi hiburannya yang utama adalah menenggelamkan diri ke dalam buku harian Karla. Hampir setiap hari kerja sepulang dari kontrol dan latihan di klinik, pasti buku itu yang disambarnya dan dibawanya ke atas sofa. Kareem sedang dinas, Beti juga sibuk dengan pasien-pasien, jadi tak ada seorang pun yang akan mengganggunya selama beberapa jam itu. Sampai Kareem pulang.
* * * Ibu Mesniar memiliki semua yang didambakan kebanyakan wanita. Wajah cantik, suami kaya dan setia, sepasang anak yang cakep dan pinter. Tapi pasien ini jauh dari bahagia. Gara-gara migren (sakit kepala sebelah) yang dideritanya sejak berusia tiga puluh, berarti sudah dua belas tahun. Setahun dia dikunjungi tamu brengsek itu tiga sampai lima kali. Dia terpaksa menelan obat seperti makan permen,. Akibatnya dia sekarang kecanduan obat, masuk klinik untuk melepaskan diri dari kebiasaan yang fatal itu sekaligus berusaha mengenyahkan derita itu dari kepalanya yang brilian.
Ini sangat penting baginya. Masa depannya tergantung dari berhasil-tidaknya migren itu diusir pergi. Sebagai S.H. yang menangani urusan-urusan silang sengketa antara sesama perusahaan raksasa internasional, jabatannya sangat menegangkan saraf. Tanpa migren pun dia sudah gampang dihinggapi sakit kepala yang disebut tension headache, sakit kepala karena emosi dan saraf tegang. Kalau harus ditambah dengan migren, dia betul-betul nyerah. Terpaksa nanti menuruti kehendak suami: stop praktek sebagai S.H. Diam di rumah, ngurus anak dan dapur!
Dia sudah bisa membayangkan, tugas ini pun dalam satu-dua tahun saja sudah akan memberinya sakit kepala. Sebab dia bukan dilahirkan untuk semata-mata menjadi ratu rumah tangga. Dia besar dalam keluarga di mana ayah, ibu, paman, dan bibi semuanya punya karir. Ayahnya pengusaha, ibunya dokter, pamannya pengusaha, bibinya dokter gigi. Lalu kedua abangnya insinyur, kedua kakaknya dokter, adiknya ekonom yang membantu Ayah, masak dia cuma ibu RT tok"
Tapi migren ini betul-betul membuatnya takluk. Terutama mual dan muntah yang menyebabkannya tak bisa berkutik, terpaksa diam di rumah. Habis, masak mau ongkek-ongkek di kantor" Sekali kedengaran langganan, bisa gawat. Dari mulut ke mulut dia akan digosipkan, dianggap tidak lagi bisa diandalkan.
Aku bisa mengerti kalau orang bilang, migren itu merupakan momok yang sangat mengerikan. Sebelah kepala berdenyut nyeri selama beberapa jam atau berhari-hari. enggak tahan mendengar suara, enggak tahan melihat cahaya. Penderita selalu bilang, kepingin mati rasanya saking kagak tahan lagi. Kalau saat itu ditawarkan obat apa saja yang dijamin akan bisa membantu, pasti akan disambutnya dengan spontan. Disuruh bayar mahal pun mau. diminta mencium kaki pun rela.
Aku senang bercakap-cakap dengan Ibu Mesniar, tapi Bos lebih senang lagi. Rupanya sebab wanita itu merupakan kelinci percobaannya yang paling utama. Ibu Mesniar sedang
diberi obat antimigren yang terbaru, masih dalam taraf percobaan di luar negeri walau sudah ratusan pasien yang ikut serta dalam testing itu dengan hasil yang membesarkan hati.
Sudah beberapa kali aku jaga malam kepergok Bos. Atau tepatnya, Bos yang kebetulan muncul saat aku sedang dinas malam. Aku enggak tahu persis, apakah Bos memang punya kewajiban untuk mengontrol malam-malam" Logikanya sih, kalau dokter-dokter lainnya enggak ada yang pernah muncul kecuali kalau memang sedang dinas jaga, maka seharusnya kepala bagian enggak perlu nongol, benar enggak"
Tapi siapa sih aku berani nanya-nanya atau mengutarakan rasa heran" Kalau Bos kepingin datang, itu kan urusannya. Aku sendiri sama sekali enggak punya keberatan apa-apa. Selain itu, udara malam kan sejuk walau ini Jakarta. Sedap juga kalau bisa minum kopi ditemani sambil ngobrol soal-soal ilmiah. Biasanya dokter muda yang harus jaga sudah terlelap di bawah selimut, jadi cuma kami berdua saja. Bos dan aku.
Oh ya, terdengar kabar santer di kalangan perawat. Bos berniat membeli sebuah klinik di daerah pegunungan sekitar Puncak. Berarti beliau akan pindah ke sana. Uh, sedih juga hatiku kalau kebetulan teringat ke situ. Tapi yah, keroco kayak aku sih enggak punya hak apa-apa dalam hidup. Semuanya ditentukan oleh keputusan orang-orang sekitar yang lebih berkuasa dari kita sendiri. Misalnya, waktu kecil: orangtua, di sekolah: guru-guru, setelah kerja: majikan, entah mbak perawat atau seorang dokter senior.
Malam itu Bos datang. Rupanya mau menjenguk Ibu Mesniar. Ini dalam rangka riset, bukan kunjungan iseng. Bos bilang, dia ingin tahu apakah penyakit itu bisa timbul pada malam hari atau cuma siang saja, pada saat sepi dan lengang atau cuma kalau suasana hektik dan kacau seperti di tempat tugas.
Seperti sudah aku duga, pertanyaan pertamanya adalah, "Bagaimana keadaan pasien VIP kita""
Ibu Mesniar memang tinggal di ruang VIP, kalah dikit dari VVIP (very very important person), namun toh menurutku sudah sangat menyenangkan. Punya kamar sendiri, ada ruang tamu, kamar mandi, pesawat TV seperempat layar bioskop, mau apa lagi" Aku enggak melihat beda yang nyata antara kedua kamar termahal itu kecuali warna dindingnya. Kamar VIP warna kertas dindingnya hijau muda dengan bebungaan warna pastel, sedangkan dobel VIP diberi warna keemasan, hiasannya bercorak abstrak mirip karya pelukis Spanyol-siapa-itu-namanya-aku-kebetulan-lupa. Aku pribadi lebih menyukai warna pastel ketibang gambar abstrak. Walaupun wajah bintang terkenal, kalau dilukis abstrak pasti kelihatan mengak-mengok, lebih menarik foto kucingku.
"Biasa saja, Dok," sahutku setenang mungkin (dalam hati sih cuma aku yang tahu).
"Kalau begitu, lebih baik kita minum kopi dulu,
oke"" Rupanya kopi hangat ini sudah merupakan acara rutin setiap kali beliau meronda. Ah, ya, aku teringat: Bos tinggal dalam kompleks klinik, cuma lima menit jalan kaki dalam lorong-lorong dari apartemennya ke Bagian Penyakit Dalam. Mungkin beliau kesepian sendirian enggak ngapa-ngapain" Entah di mana keluarganya, aku enggak berani nanya-nanya. Melihat jari-jarinya yang polos, rupanya memang belum berkeluarga. Padahal menurut taksiranku, usianya sudah di atas tiga puluh. Atau bahkan lebih. Tapi yah, bagi pria enggak jadi soal, sebab kan enggak dikenal istilah yang sepadan dengan "perawan tua". Apa sebabnya, ya" Mungkin karena hampir enggak ada cowok yang tinggal "perawan" (atau perjaka, istilahnya) walau enggak kawin"!
Itulah ketidakadilan dunia. Pria boleh gentayangan semaunya tanpa kehilangan kehormatan, sedangkan gadis! Sekali terjerumus, hilang selaput perawannya atau istilah kerennya, salah satu kata kegemaran Mbak Rani, hymen, maka untuk seumur hidup orang bilang enggak bakal ada pria yang mau kawin dengannya. Tapi kalau pria, walau sudah ratusan kali terjerumus, tetap laku terus. Mbak Rani bilang, habis mereka enggak punya selaput perjaka sih, jadi enggak ada yang bisa dibilang sudah hilang. Menurut aku sih, dasar pria mau menang sendiri. Mentang-mentang dia yang mencari duit, mengongkosi keluarga, jadi boleh bebas bertindak semaunya" Nah,
gimana zaman sekarang di mana banyak istri juga sudah ikut mencari nafkah, bahkan bisa lebih dari suami" Apakah istri bisa mendapat hak yang lebih dari suami" Boleh punya laki muda misalnya, seperti suami boleh punya istri muda"
"Ha, ha, ha!" Mbak Rani ketawa gelak diikuti perawat-perawat lain. "Lucu banget kau. Karla! Pikiranmu menjelimet. Susah deh orang yang nanti jadi suamimu!"
"Barangkali mendingan enggak kawin, Mbak," ujarku sok tahu.
Mbak Uli menyeringai. "Kau masih bau susu, jangan sembarang ngomong. Nanti kalau sudah tahu nikmatnya, nah kagak bisa lepas lagi, deh!"
"Amit-amit!" gerutuku sok bandel. Waktu itu aku memang sama sekali buta mengenai apa yang dipercakapkan. Kawin" Apa sih itu"
Bos menghirup kopinya dengan rupa nikmat. Di hadapannya terbentang lembaran majalah kedokteran dalam bahasa asing yang sebentar-sebentar diliriknya sambil menghirup minumannya. Seperti biasa, aku juga disuruh minum menemaninya.
Rupanya sesuatu yang dibacanya membuatnya geleng-geleng kepala, lalu menggumam sendiri, bukan khusus ditujukan padaku. "Maigrein ini memang benar-benar bikin orang KO."
Aku tahu apa yang dimaksud. Cuma Bos mengucapkannya dalam bahasa asing, bukannya migren. Aku juga ngerti artinya KO, knock out. Istilah yang diberikan pada petinju yang terkapar kalah.
Entah dari mana datangnya keberanian itu yang membuat aku nyeletuk, "Apa sih sebabnya, Dok""
Bos mengangkat muka dan tiba-tiba memandangku seakan dia baru pertama kali melihat diriku atau mungkin juga baru betul-betul menyadari kehadiranku di depannya. Dia enggak segera menjawab. Mungkin cuma beberapa detik, tapi menurut perasaanku laamaa sekali, cukup membuat jantungku berdebar, darahku berdesir di pelipis, dan dadaku sesak, sebab rupanya aku telah menahan napas saking tegang atau merasa serbasalah sebab sudah lancang nanya-nanya.
Diletakkannya cangkirnya sebelum menjawab, matanya bergeming menatapku. Terdengar helaan napas berat. "Kita semua masih belum tahu, Karla. Teori semula, karena disebabkan oleh aliran darah yang menderas dengan mendadak ke otak sehingga menekan saraf di sekitar dan menimbulkan nyeri hebat itu. Tapi sekarang diduga, saraf-saraf itu yang terangsang lebih dulu, mereka mengeluarkan protein yang menyebabkan pembuluh darah melebar sehingga membengkak dan menyebabkan nyeri. Saraf yang diduga biang keladinya itu adalah saraf trigeminus yang mengurus daerah muka, rahang, dan dahi."
Aku mendengarkan dengan takjub, sebenarnya lebih takjub lagi menyaksikan gerak bibirnya. Sungguh tampan wajahnya, kumisnya itu betul-betul memesona. Mataku yang melotot dan bibirku yang mungkin saja setengah terbuka tanpa kusadari saking terseponanya (maksudku, terpesona; wah, kembali aku salah eja suku kata!) rupanya membuat Bos juga semakin getol meneruskan kuliahnya.
Beliau memajukan tubuh ke depan sampai dadanya menekan pinggir meja, lengannya yang terlipat dibukanya dan dijulurkannya ke tengah meja tanpa menyentuhku. Bibirnya yang memukau itu tampak tersenyum "kecil ketika melanjutkan, "Anehnya, sakit kepala sebelah ini bisa ditimbulkan oleh bermacam-macam sebab. Misalnya ada orang yang kena serangan kalau makan coklat."
"Coklat"" cetusku tanpa berpikir lagi, lupa bahwa aku bukan sedang ngobrol dengan Mbak Rani atau mbak lainnya.
Bos enggak tersinggung disela begitu, tapi malahan ketawa senang, kepalanya juga manggut-manggut seperti mainan dengan per. "Ya, coklat! Lucu, bukan" Ada lagi yang sakit kepala setelah makan hot dog, karena asam nitratnya. Ada lagi yang tidak tahan sinar lampu neon, pasti serangan."
"Susah juga kalau tidak diketahui penyebabnya."
"Betul. Sebagian orang merasa kesal karena tidak sembuh-sembuh, akhirnya mereka tak mau lagi makan obat kalau timbul serangan. Ini sebenarnya sikap yang keliru. Sebab sudah terbukti, bila penyakit ini tidak diobati setiap kali muncul, kelak akan semakin sulit menanggulanginya. Ayo, mari kita lihat Ibu Mesniar."
Dengan perintah yang mirip ajakan itu, Bos bangkit dari kursi. Aku terbirit-birit ngikut walau kopi masih belum habis. Sebenarnya aku enggak diperlukan pada pemeriksaan seperti ini
, tapi bagaikan kepala negara yang enggak pernah tampil tanpa menteri-menterinya, begitu juga kepala bagian harus selalu punya pengiring. Enggak sebagai pembantu, ya paling sedikit sebagai pembawa map atau senter atau alat atau obat.
"Ibu Mesniar," ujar Bos dengan ramah namun meyakinkan, "saya punya kabar yang cukup menyenangkan buat Ibu. Lusa Ibu boleh pulang. Obat baru yang saya berikan boleh terus dimakan, jangan minum kopi yang mengandung kafein, ganti semua lampu neon di rumah dan di kantor. Yang penting, mulai sekarang buatlah daftar mengenai apa yang tengah Ibu hadapi ketika terjadi serangan sakit kepala itu. Apa Ibu sedang makan sesuatu, atau sedang ada problem di kerjaan, atau kesal hati, atau sedang keramas di kamar mandi, atau sedang belanja di supermarket dan lampunya menyilaukan mala. Banyak hal yang bisa mempengaruhi timbulnya serangan. Tapi satu hal yang mahapenting. Ibu tidak boleh menyetir mobil. Sampai kita ketahui dengan pasti faktor apa yang jadi penyebab dan bagaimana menghindarinya."
Masih banyak lagi yang diwejangkan oleh Bos, tapi bagiku cuma masuk kuping kiri keluar kuping kanan. Perhatianku lebih tertarik pada jambulnya yang berombak, kumisnya yang mahasimpatik, dan alisnya yang tebal. Dalam hati aku mengeluh, kenapa aku enggak bisa dapat cowok kayak gini" Maksudku, yang sama penampilan, kehalusan dan keramahannya, tapi tentu saja bukan yang jabatannya selangit begitu, membuat diriku terasa kecil seperti semut.
Begitu keluar dari kamar VIP itu, aku sudah lupa semua yang dikatakan Bos terhadap pasien. Justru apa yang teringat dan akan kuingat terus sampai mati adalah apa yang diutarakannya di luar kamar.
Kami berjalan sepanjang lorong yang sepi, sebab semua pasien sudah tidur, termasuk dokter yang kena dinas malam itu. Perawat yang jaga seharusnya ada dua orang, umumnya suster dan bruder. Tapi malam itu aku kebetulan sendirian. Pak Amin baru akan datang untuk menggantikan aku nanti. Tiara yang seharusnya bersamaku, sudah minta i/in Mbak Rani untuk bolos sebab ada urusan keluarga. Diizinkan sebab mereka tahu tak ada kasus gawat saat itu. Karena bangsal kami bukan Bagian Gawat Darurat, berarti takkan kedatangan pasien mendadak. Semua itu akan ditampung di depan, Bagian Trauma atau Gawat Darurat sampai besok sebelum dipindahkan ke Bagian Bedah atau Bagian Anak atau lainnya.
"Kau senang bertugas sebagai perawat, Karla""
Aku sedikit terkejut mendengar pertanyaan yang tiba-tiba itu, terlebih karena bersifat pribadi. Tentu saja kujawab dengan positif. Apalagi karena bekerja untuk bos seganteng itu!
"Mau ikut aku pindah""
Semula aku sangka Bos sedang guyon, sebab disertai ketawa kecil. Lalu aku kira kupingku salah dengar, mungkin halusinasi"! Tapi ketika aku menoleh dan Bos juga kebetulan sedang menatapku, tahulah aku itu serius. Alisnya terangkat naik sebelah (kemudian hari aku mengerti, itu kebiasaannya bila tengah mengharapkan sesuatu atau saking tegangnya menunggu jawaban), bibirnya tersenyum penuh bujukan.
"Pindah ke mana, Dok"" tanyaku nyaris enggak terdengar, sebab jantungku sedang berpacu kayak kuda balap.
"Ke dekat Puncak. Jakarta terlalu panas untukku."
Hm. Jadi betul gosip itu! Bos mau pindah, rupanya memang sudah membeli klinik. Dan... aku diajaknya ikut" Apa artinya ini"
Hiii, kepalaku nyaris mutar tujuh keliling, pandanganku berputar-putar kayak gasing. Untung aku masih sanggup menguatkan diri untuk terus melangkah di samping Bos walau terasa agak limbung. (Sukur enggak disadari oleh Bos! Malu iiih, kalau sampai ketahuan.)
"Jadi betul sudah membeli klinik di sana, Dok"" ujarku tanpa tertahan lagi, bukannya menjawab pertanyaannya. Kalau ini ujian, pasti aku enggak lulus.
"Bukan aku beli sendiri, tapi patungan," sahutnya tenang, namun kutangkap juga nada bangga dalam suaranya. Selain itu perasaanku mendadak melambung tinggi, sebab aku baru saja mendengarnya membahasakan dirinya "aku", bukan lagi "saya"! Itu kan sudah setingkat lebih intim!
Hiii, monyong! Apa yang intim! Pegangan tangan saja belum pernah!
"Jangan kawatir, gajimu akan lebih baik dari di sini!" janjinya. "Mau""
Mendadak aku tersenyum dalam hati. Barusan aku enggak langsung menjawab saking setengah heran, setengah kurang percaya mendengar tawarannya. Tapi rupanya Bos mengira kebisuanku itu menunjukkan keraguan. Apakah Bos takut aku menolak sampai ditawarkannya gaji yang lebih tinggi" Hiii...! Kenapa Bos enggak mau aku menolak"
Saat itu aku sudah sebelas bulan dinas di klinik, pengalamanku sudah lebih dari lumayan. Tentu saja aku gembira mendengar tawaran sebagus itu. Siapa sih yang enggak mau naik gaji" Tapi hatiku enggak bisa ditipu. Jangan pura-pura ini mengenai kenaikan gaji tok! Kau tahu betul apa sebabnya kau gembira diajak pindah! Sok berlagak lugu. Kaukira siapa yang mau kaubohongi"
"Mau, Karla""
Bayangkan! Bos sampai merendahkan diri, menanyai aku tiga kali! Buru-buru aku jawab dengan suara parau, "Mau, Dok!"
Itulah titik permulaan yang membawa perubahan drastis dalam hidupku.
Katarina terpaksa melepaskan buku itu sebab panggilan untuk ke WC tak dapat diabaikan lagi. Dia sering kesulitan, jadi kalau mulas, hatinya gembira seperti kena lotre. Langsung mencelat bangun seolah ada telepon dari kantor undian besar!
Bab 24 HA, kiranya Gemini kalau ngomong senang diulang-ulang. Orang-orang kelahiran 21 Mei sampai 21 Juni itu susah diajak bicara. Mereka tanya sesuatu, belum lagi kita jawab, semenit kemudian sudah diulangnya lagi pertanyaan yang sama. Mereka juga enggak pernah yakin apa yang mereka inginkan dalam hidup.
Mbak Sari kayak gitu orangnya. Apa dia kelahiran Gemini, dikuasai planet Mercury" Kapan-kapan aku mau coba tanya tanggal berapa ultahnya. Enggak usah tanya tahunnya, sebab kadang perempuan segan ketahuan umur mereka. Ini gara-gara ulah cowok! Mereka yang menentukan umur kita. perempuan. Mereka ciptakan deh istilah "perawan ting-ting", "perawan tua", "janda muda", "janda kembang". Sebenarnya apa sih salahnya orang tahu usia kita" Haa, karena kalau sudah mencapai umur tertentu, kita enggak lagi menggairahkan bagi pria" Iiih, persetan menggairahkan apa enggak! Memangnya tanpa cowok, perempuan enggak punya kehidupan, enggak bisa punya karir, enggak mungkin bahagia"
Ya, aku sih bukannya anti sama pria. Buktinya aku senang sama Bos. Saat ini aku sudah hampir dua tahun pindah bersamanya ke rumah sakit di daerah pegunungan yang sejuk. Aku happy-happy saja.
Wah, rupanya kalau Virgo paling enggak bisa melihat kesalahan orang lain tanpa memberitahu dan mengkritik sekalian! Mereka juga paling sulit mengubah jalan pikiran untuk menerima keadaan yang kurang dari biasa. Pokoknya, terlalu mementingkan logika. Kalau memang biasanya begini, harus begini selamanya! Kalau dulu enggak pernah mungkin terjadi, selamanya enggak bakal kejadian. Siapa ya bintang Virgo di klinik"
Untung juga Bos enggak suka ngritik. Kalau ada yang melakukan kesalahan, Dokter Luki (nama kesayanganku baginya) biasanya memberitahu secara halus, dengan taktis, dan sebisanya tanpa kedengaran orang ketiga. Itu salah satu sifatnya yang kupuji.
Sayang, atau lebih tepat, aneh, kenapa dokter yang begitu sukses dan simpatik, kok masih bujangan terus" Kenapa enggak mau menikah" Uh. pasti bukan lantaran enggak ada yang mau. Orang seganteng dan sebaik itu, mau perawan ting-ting pun pasti bisa dapat selusin, tinggal pilih satu. Atau dua" Ah, rasanya orang kayak dia enggak bakal berbini lebih, sebab dia terlalu setia.
Tempo-tempo mau juga Bos mengunjungi kandangku yang berantakan itu. Kalau kebetulan aku masak sesuatu yang lumayan (maklum, aku sebenarnya enggak betah di dapur, akibatnya keteram-pilanku cuma berkisar antara nasi goreng dan dadar telur. Pendeknva, yang enggak perlu bumbu-bumbu menjelimet yang namanya saja susah diingat. Sesekali pernah juga aku masak ayam kari atau opor atau lodeh, tapi bumbunya dibeli jadi, siap pakai dalam kemasan menarik), aku tawarkan ikut makan. Dan Bos enggak pernah menolak. Malah pernah ikut membantu cuci piring setelah itu!
Dalam hati sebenarnya aku kurang paham, mau apa Bos datang-datang ke tempatku kalau malam. Aku hitung (diam-diam aku catat di kalender kecil tempat aku biasa mencatat tanggal haidku) sudah
enam kali dia muncul. Selalu tahu kapan aku enggak jaga malam. Tentu saja enggak sulit, sebab daftar roster selalu digantung di ruang perawat.
Kalau mau jujur, aku merasa bahagia dengan perhatian yang dilimpahkan padaku. Malah dadaku terasa mau meletus saking senangnya, kepalaku mau pecah, ketika Bos datang membawa bingkisan! Begitu melihat wajahku tercengang, lidahku kelu enggak mampu bilang apa-apa, Bos ketawa kecil.
"Selamat ulang tahun, Karla. Ini sekedar pernyataan terima kasih karena kau sudah bekerja keras selama ini. Kalau enggak ada kau, pasti tugas di bangsal berantakan. Yang lain-lain kurang minat pada tugas mereka, dalam kepala mereka cuma ada rupiah, yang ditunggu cuma waktu istirahat serta waktu pulang."
Aku tersipu, malu, tapi enggak mampu menolak.
Terpaksa kuucap terima kasih dengan suara sehalus dengung lebah, bingkisan itu tergenggam erat dalam kedua tanganku.
"Enggak mau dibuka"" usulnya dengan penuh nada... apa ya"! Seandainya dia kekasihku, pasti itu nada mesra. Tapi karena dia bukan, aku juga enggak bisa bilang itu mesra. Yah, mungkin nada hangat begitu.
Dengan jari-jari gemetar aku buka bingkisan kecil itu. Saking gemetarnya hampir enggak berhasil aku menguraikan simpul pita merah yang mengikatnya. Menuruti hati, kepingin aku gunting saja, cekrisss... pasti beres. Tapi aku kawatir itu akan melukai hati Bos, seakan menunjukkan pemberiannya (termasuk pita pengikat) kurang dihargai.
Setelah berkutetan sedikit, akhirnya terlepas juga ikatannya. Hati-hati aku buka kertas pembungkus, jangan sampai koyak. Dalam hati aku sudah memutuskan akan menyimpan kertas yang mewah itu untuk sampul buku mini.
Kotak itu terbuka. Di dalamnya masih ada kotak lagi berwarna coklat, terbuat dari kulit atau plastik mahal, aku kurang tahu. Seolah bisa membaca pikiranku, terdengar suara Bos, "Itu kulit buaya."
Wah! Pasti mahal. Selain sulit menangkapnya, jumlah buaya kan enggak sebanyak cecak! Aku buka tutup kotak dengan berdebar, penuh tanda tanya Apa sih isinya" Apa sih... wow! Arloji! Aduh, bagusnya! Apa ini beling, kaca, atau intan"
Mataku mendadak terasa basah ketika aku mengangkat muka. Betapa kikuknya aku. Dalam hati aku memaki diri sendiri. Brengsek! Masak segitu saja sudah terharu, mau nangis"! Nanti disangka cengeng! Sentimentil! Kayak anak belasan tahun!
"Te-te-ri-ma... ka-sih. Dok." Brengsek! Sejak kapan aku gagap"!
Untung sekali Bos enggak kelihatan menyadari kegagapanku. Wajahnya berbinar, mungkin lebih cerah dari wajahku, senyumnya melebar dari kuping satu ke kuping lain, suaranya terdengar penuh rayuan (ini halusinasiku sendiri saking tegangnya perasaanku; tentu saja Bos bukan sedang merayu diriku yang hina ini), "Kau suka""
Aku langsung manggut, enggak mempercayai suaraku lagi. Tengah aku mengagumi hadiah itu, Bos menjulurkan tangan, mengambil benda itu dari tempat persemayaman, lalu meraih pergelang-anku.
Tanpa kata dipasangnya arloji itu sekeliling per-gelanganku yang sebelah kiri, lalu dijauhkannya sedikit lenganku untuk dikagumi olehnya. Senyumnya betul-betul penuh kebanggaan. "Batu-batu ini asli. Diamond!"
Kepalaku terasa oleng. Aku sungguh merasa enggak pantas menerimanya, dan kukatakan begitu terus terang.
"Nonsens!" tukasnya dengan nada "tidak boleh dibantah!"
Diangkat dan didekatkannya lenganku ke bibirnya, lalu... dikecupnya tanganku!!! Astaga! Saking kagetnya, aku enggak teringat untuk menarik kembali tanganku. Kalaupun ingat, pasti enggak sanggup, sebab mendadak saja tenagaku sirna, tubuhku terasa lemas bagaikan kapas.
Bos enggak melepas pegangannya, tapi membimbingku ke sofa, lalu duduk di sebelahku. Matanya langsung menerkam kolak pizza di alas meja depan sofa. Kebetulan sore itu aku malas masak. Pikir-pikir, untuk merayakan HUT sendirian saja, bolehlah aku manjakan diriku dengan sekotak pizza yang kupesan dari dapur klinik. Biasanya aku agak menjauhi makanan yang bikin gemuk, karena ingin menjaga kelangsingan badan. Kalau aku makan pizza atau nyamikan lainnya, paling-paling cuma sepolong. Tapi sekali ini kupesan sekotak. Ya, terpaksa harus kuhabiskan semua!
Kehadiran Bos merup akan surprise yang menyenangkan. Langsung saja dengan halus aku usulkan supaya pizza itu diganyang bersama. "Untuk merayakan hari jadi saya!" ujarku ketawa menunjuk kotak yang segera aku raih dan buka. Isinya masih utuh. "Belum sempat saya makan, sudah keburu Dokter datang. Ayo, Dok, sebelum jadi dingin."
Bos tidak menolak, langsung mencomot sejuring. "Aku juga suka sekali pizza. Hm. Sedaaap." ujarnya dengan mata terpejam. Lalu mendadak dia menoleh padaku. Mulutnya kebetulan kosong. "Karla," katanya seraya membereskan anak rambutku yang turun ke dahi. "Mulai sekarang, kalau bukan sedang di bangsal, kalau kita cuma berdua, jangan panggil aku Dok. Sebut saja namaku, Luki. Oke""
"Perintah, nih"" Aku sendiri kaget, kok berani lancang begitu. Entah dari mana datangnya keberanianku untuk bergurau seperti dengan teman biasa. Sebelum dia sempat menjawab, sudah aku tambahkan, "Mana berani aku melanggar perintah"! Oke, Bos!"
Luki memandangku dengan agak tercengang, lalu mendadak terbahak-bahak. Setelah reda, baru dia bicara. "Bukan main! Enggak kusangka, selain cakep ternyata kau juga humoris. Bagus! Aku paling senang perempuan yang bisa bikin aku ketawa. Nah, sekarang mana minumnya" Aku sudah menghabiskan tiga potong, leher sudah mulai panas kena oregano, lada, dan entah apa lagi nih bumbunya!"
"Kau mau apa"" tanyaku dengan keberanian luar biasa. Hatiku terasa bernyanyi-nyanyi, buat pertama kali aku menyebutnya kau. Hal yang belum pernah kubayangkan bisa terjadi, bahkan dalam pikiran atau angan-angan, aku enggak pernah coba-coba memanggilnya tanpa gelar. Selalu Dok atau Bos.
"Kau betul-betul mau tahu aku mau apa"""!" tantangnya membelalak.
Aku celangap, bengong, mendadak jadi bingung bercampur takut. Jantungku berdebar, napasku terengah seperti habis berlari dikejar maling. Tiba-tiba dia menunduk, dan... tanpa siaga lagi aku sudah disergap! Bibirnya merangkum bibirku yang terbuka itu, lalu mengulumnya sampai aku merasa akan pingsan.
Itu adalah pengalamanku yang pertama di bidang ini. Belum pernah sekali pun aku membayangkan atau merindukan atau menganalisa atau... pakai deh selusin kata kerja lainnya, faktanya tetap enggak berubah. Aku belum pernah dijamah siapa pun.
Jadi begini rasanya dikecup cowok! Kalau sering-sering, apa jantungku sanggup bertahan" Sekarang saja rasanya sudah seperti mau copot, sedangkan paru-paruku hampir enggak kemasukan udara saking terengah.
Untunglah akhirnya dihentikannya juga serangan itu. Barangkali sih cuma lima menit, tapi menurut perasaanku empat kali lebih lama.
"Sori," bisiknya mengusap bibirku dengan jarinya, membersihkannya dari remah-remah pizza yang ditularkannya. Dia menunduk. "Aku terbawa nafsu."
Aku masih tetap bengong seperti orang sawan, tak bergerak sama sekali. Mungkin ditafsirkannya sikap ini sebagai penolakan, sebab terdengar lagi sambungan kata-katanya. "Takkan terulang lagi. Aku janji!"
Khidmat sekali bunyi suaranya. Aku masih bengong, tapi mataku sudah berkedip. Lalu, ketika ucapannya itu sudah diserap oleh otakku yang agak bebal, aku jadi panik. Apa" Enggak akan terulang lagi" Mana bisa! Setelah pengalaman pertama ini, aku akan selalu menunggu lagi saat-saat seperti ini Aku enggak bakal bisa hidup tanpa Luki! Ini kenyataan. Entah pahit atau manis, pendeknya fakta!
"Apa maksudmu, enggak bakal terulang lagi"" tuntutku setengah mendesak.
Luki menaikkan sebelah alisnya. "Apa kau sudah enggak ngerti bahasa Indonesia"" sindirnya, tapi aku tahu dia cuma bergurau.
"Lalu kenapa kaulakukan tadi"" Suaraku agak meninggi, seakan tersinggung. Kalau aku ingat-ingat sekarang, alangkah gampangnya aku merasa sederajat dengannya, bukan lagi sebagai keroco di hadapan atasan. Sebagai bawahan, mana berani aku menuntut penjelasan ini-itu.
"Karena, sehat, aku menyukaimu!" sahutnya gamblang, disertai senyum kecil dan mata mengedip seakan menggoda. Luki memang fasih ngomong Belanda, tapi jarang.
"Bohong!" Masak aku disebutnya "kekasih""
"Lho! Perlu kaubelah dadaku buat melihat hatiku""
Senda-gurau yang enggak lucu! Siapa sih yang bisa melihat isi hati orang dari organnya langsung" Me
ntang-mentang aku cuma perawat, disangkanya aku belum pernah melihat kayak apa yang dinamakan hati" Mungkin betul, aku belum pernah melihat hati manusia, sebab memang belum pernah membedah mayat. Tapi aku kan pernah melihat, memegang, dan memotong-motong hati sapi! Organ lembek yang isinya darah tok. Pasti hati manusia juga enggak beda. Nah, di mana isinya yang mau kita baca"!
"Logikanya, kalau kau enggak mau mengulanginya, berarti kau sudah enggak menyukai aku lagi, benar enggak""
Dia mesem-mesem, mengacak-acak rambutku. "Aku lupa menambahkan. 'Kecuali kau enggak keberatan atau kau menghendaki....' Nah, puas sekarang""
"Sungguh""
"Lho! Perlu bukti""
Aku tercengang, sejenak enggak tahu harus menjawab apa.
Matanya mengerling jenaka sementara bibirnya yang memukau itu berkeciap, "Enggak berani menjawab tantangan""
Aku benar-benar tersepona, eh terpesona, oleh kerlingannya. Kumisnya itu! Aduh, simpatiknya. Jadi kaukira aku takut terhadap tantangan" Uh! Aku malah enggak sungkan melancarkan serangan duluan! Sayang aku kawatir kau nanti menganggap aku murahan....
"Hm, rupanya kau memang benar-benar enggak berani!"
Vonis yang begitu gampang, membuat darahku bergolak juga. Dengan beringas aku sambut, "Siapa bilang"!"
Itulah kata sandi yang meletupkan serangan kedua. Lebih gencar, lebih mendidih....
Kalau aku ingat-ingat sekarang, aku enggak tahu apakah sikapku waktu itu benar atau salah. Yang pasti, aku tahu aku enggak pernah menyesal.
Malam itu untuk pertama kali dalam hidupku yang gersang dan perawan, aku tersenyum menciumi bantalku. Memang enggak terjadi apa-apa yang drastis, tapi bagiku sebuah kecupan membara kayak gitu sudah cukup untuk mengguncang hidupku, enggak pernah lagi sama seperti sebelumnya.
Hebatnya, esoknya ketika kami ketemu di bangsal, Luki bersikap netral saja. "Selamat pagi, Suster Karla," sapanya seperti kemarin-kemarin. Aku puji ketabahannya.
"Selamat pagi, Dok," sambutku enggak mau kalah. Mulailah hidupku yang penuh kebohongan dan...
"Duh, asyiknya!"
"Oh, hai! Aku enggak dengar pintu dibuka," ujar Katarina menoleh ke pintu dengan roman tersipu-sipu.
Dibakar Malu Dan Rindu Karya Marga T di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tentu saja! Saking keasyikan!" tuduh Kareem tersenyum.
Katarina menutup buku harian itu, meletakkannya ke atas meja kopi, lalu bangkit untuk menyambut yang baru pulang. Kareem memeluk dan mengecup pipinya. Dalam tangannya terdapat sepucuk surat dengan prangko Indonesia. Kotak pos terletak di bawah, dekat jalanan. Biasanya Katarina turun sekitar jam sebelas atau setelah makan siang untuk mengambil pos, tapi hari ini dia lupa. Betul diagnosa Kareem: "saking keasyikan".
"Dari ibumu," ujar Kareem menyerahkan surat itu.
Katarina langsung menyambarnya dan mencari pembuka surat di atas meja. Tanpa mencari kursi.
dibacanya surat itu sambil berdiri, sementara Kareem meletakkan tas dan membuka sepatu lalu ke kamarnya mengganti baju. Ketika dia keluar lagi surat itu sudah selesai dibaca, dan Katarina tengah sibuk menghangatkan nasi yang dimasak tadi pagi. Kareem membantu menyiapkan makanan. Mereka memanggang ayam, dimakan dengan saus cabai dan kecap manis, diberi perasan jeruk. Sayuran seperti biasa cuma dikukus. Malam itu asparagus dan buncis, kegemaran Kareem sebab banyak seratnya.
"Ada berita apa dari rumah"" tanyanya ketika mereka tengah menghadapi piring masing-masing.
Katarina tersenyum. "Enggak ada yang luar biasa. Cuma soal anjingku beranak empat, sepupuku melahirkan anak pertama, perempuan."
"Besok kita enggak usah masak. Kawanku, John, berulang tahun. Dia mengundang kita makan malam di apartemennya."
Walaupun sudah beberapa kali ketemu dengan teman-teman Kareem, Katarina masih belum terbiasa diperkenalkan sebagai "gadisku", my girl. Tak ada seorang pun yang pernah menunjukkan rupa heran mendengarnya. Bagi orang-orang itu, biasa saja tinggal serumah walau belum menikah.
Memang diajak tinggal bersama ada juga manfaatnya bagi Katarina. Dia tak usah keluar uang untuk membayar sewa flat yang lumayan mahalnya. Dia tinggal gratis termasuk pangan. Itu berarti dia dapat menghemat banyak, dan uang ini digunakannya untuk membeli oleh-oleh ser
ta barang-barang yang diperlukannya, terutama pakaian yang model serta ukurannya cocok dengannya. Atau sepatu yang bagus-bagus.
Namun kadang dia terpikir, apakah pantas dia mengorbankan perasaannya demi semua barang itu. Antara mereka berdua tak ada masalah. Kareem tak pernah mencoba melanggar perbatasan. Dia aman di dalam kamarnya, Kareem tak pernah melangkahkan kaki ke sana. Tapi terhadap orang luar dia merasa risi. Setiap kali diperkenalkan, "Ini K., gadisku," dalam hati dia selalu menambahkan, tapi aku belum pernah tidur dengannya, lho! Aku masih perawan.
Tentu saja semua teman Kareem tahu, mereka tinggal bersama dalam satu flat. Hal lumrah. Mungkin. Seandainya mereka memang sudah jadi pasangan. Pernah ditimbulkannya topik itu dan reaksi Kareem sungguh tak terduga.
"Kalau dua orang betul-betul sudah sepakat untuk menjadi pasangan, setia sampai mati, kenapa mereka enggak berhak tinggal bersama seatap" Apa bedanya dengan pasangan yang punya surat kawin yang sering kali enggak dihargai" Bedanya di mataku, cuma soal biaya. Untuk membeli surat kawin dan mengundang ratusan orang makan-makan, meriah-meriah... laa apa gunanya kalau tahun depan sudah ribut, dan sepuluh tahun kemudian cerai!"
"Kau terlalu skeptik," tukas Katarina ketawa geli. "Masak setiap pasangan akan pisah setelah sepuluh tahun""
"Enggak semua, tapi beberapa yang aku kenal!" dia ngotot sok tahu.
"Ah, orangtuaku buktinya sampai sekarang masih bersama!" ujarnya dengan bangga. "Padahal mereka mengalami kemelut yang cukup berat."
"Tapi kakekku kebalikannya!" Kareem nyaris mendengus, rupanya saking kesal teringat ulah kakeknya.
"Kakekmu"" tanyanya dengan mata lebar. Baru pertama kali ini dia mendengar Kareem membawa-bawa Kakek. "Suami Nenek Karla""
Kareem berdehem, tidak menjawab langsung, cuma, "Sudah habis kaubaca buku harian itu""
"Separuh kira-kira."
"Teruskan, nanti kau bisa tahu sendiri kisahnya. Enggak perlu aku ceritakan, bikin minatmu nanti lenyap!" sahutnya diplomatis. Tapi Katarina merasa ada yang tidak beres, sesuatu yang negatif yang segan diutarakannya.
Malam hari sebelum tidur, Katarina mengangkat buku harian itu dari atas meja, mau dibaca di ranjang. Melihat tindakannya, Kareem menegur sambil melirik, "Awas, jangan sampai enggak tidur!"
Katarina menyambut perhatian itu dengan tersenyum, lalu terdorong impuls dia berjinjit dan mendaratkan sekilas kecup hangat di pipi sang dokter yang segera mengusap-usap wajahnya dengan mata berbinar. "Wah. aku bakal mimpi indah, nih! Boleh setiap malam!" Lalu diulurnya telunjuknya untuk mengelus hidung bangir Katarina.
"Sana! Nikmati bacaanmu, tapi jangan lewat jam sebelas! Nanti cepat tua kalau kurang tidur!" Ditepuknya punggung gadis itu bagaikan tengah menghadapi sesama teman dalam regu sepak bola.
* * * ...Petak umpet. Aku enggak bakal lupa seumur hidup malam itu. Pada kesempatan (kebetulan saja) kami berduaan di ruang perawat (cuma selama lima menit, sebab kemudian masuk Sri Astuti, perawat yang belum lama dinas di sana), Luki berhasil menyampaikan undangan padaku.
"Nanti malam aku ingin mengajakmu makan di luar."
Seakan sudah yakin aku enggak bakal menolak, langsung disambungnya tanpa memberikan kesempatan bagiku untuk menanggapi, "Aku jemput jam tujuh!"
Walaupun kami boleh dibilang sudah semakin dekat, di tempat dinas aku masih merasa sebagai bawahan, meski bukan lagi keroco. Aku sekarang sudah diangkat sebagai wakil kepala perawat seluruh rumah sakit! Tapi di hadapan Bos, aku selalu merasa tidak berhak menentang perintahnya.
Pas sebelum Sri Astuti melangkah masuk (pintu tentu saja enggak ditutup, memang enggak pernah selama jam dinas; bagus juga supaya enggak menimbulkan gosip atau bikin orang lain curiga), aku sempat manggut, lalu meraih nampan dengan cangkir-cangkir obat dan keluar untuk membagi-bagikannya pada pasien yang sudah beres makan siang.
Ternyata aku dibawa ke Hotel Puncak Tower. Langsung ke lift setelah Luki mengambil kunci dari petugas. Saking heran, aku enggak sempat mengajukan pertanyaan kenapa kami justru jalan menghindari ruang makan.
Di dalam lift ketika cum a berduaan, Luki menjelaskan. "Restoran di sini beken sekali, sering dikunjungi dokter-dokter kita. Aku enggak mau kita kepergok, nanti namamu rusak, jadi aku sengaja menyewa kamar."
"Buat makan""
"Ya. Kan kurang enak bagimu kalau sampai terlihat oleh dokter-dokter mana saja."
Memang betul juga. Aku paling sebal kalau dijadikan bahan gosip. Manusia rata-iata memang senang menggunjingkan orang lain.
Setibanya dalam kamar, Luki berseru, "Kau pasti enggak tahu! Saat ini adalah hari ulang tahunku!"
Aku menatapnya dengan sedikit terkejut dan tercengang, juga malu karena enggak punya hadiah apa-apa. Kuhampiri dia dan kupeluk pinggangnya sambil tengadah. "Selamat ulang tahun kalau begitu."
Bukan aku yang mengecup, tapi dia yang menunduk sehingga bibir kami berpadu. Soal kecup-kecupan memang sudah cukup sering, namun enggak pernah berlanjut. Cuma kecup tok. Begitu juga saat itu. Aku segera melepaskan diri, berlagak mau memeriksa meja yang sudah ditata di tengah ruangan. Aku berlagak enggak melihat ranjang raksasa yang rapi banget di seberang ruangan.
Luki menghampiri telepon untuk meminta hidangan diantarkan. Rupanya karena sudah dipesan, cuma selang setengah jam sudah muncul karyawan dapur. Dengan telaten dipindahkannya piring serta mangkuk-mangkuk berisi makanan ke atas meja.
"Kue ini biar di atas troli dulu ya, Pak"!" ujarnya memberitahu Luki yang mengangguk tanpa komentar. Dari dompet dicabutnya sehelai lembaran rupiah yang diulurkannya pada petugas. Setelah mengucapkan terima kasih dan selamat makan, orang itu mengundurkan diri dengan sopan.
Tinggallah kami berdua. Tengah menikmati santapan yang lezat itu, hatiku terasa kurang enak, sebab aku sama sekali enggak punya hadiah apa juga untuknya. Waktu aku ultah tiga bulan yang lalu, Luki memberiku sebuah arloji yang luar biasa bagus. Penuh taburan intan, membuat aku enggak berani memakainya sembarangan. Misalnya waktu dinas, jelas enggak mungkin, terlalu mewah. Kalau diajak pesta makan dengan kalangan dokter dan perawat, enggak berani juga aku pakai. Kawatir menarik perhatian sesama rekan. Mereka pasti akan mau tahu dari mana benda mahal itu. Kami, perawat, tentu saja enggak mungkin bisa membelinya.
Tapi malam ini entah pikiranku sedang ke pinggir barangkali, mendadak tadi aku ingin memakai arloji itu dan kuturuti bisikan hatiku. Sekarang sebentar-sebentar mataku singgah ke pergelangan tangan, mengingatkan diriku aku harus memberi Luki hadiah juga.
"Wah, aku senang melihat kau menghargai hadiahku!" ujarnya ketawa lebar, menunjuk arloji itu dengan garpunya.
Aku tersipu, malu. Setelah mulutku kosong dan tenggorokanku bersih (dengan berdehem kecil), aku memberanikan diri mengakui, "Aku enggak punya apa-apa untukmu, Luki. Habis, aku sama sekali enggak tahu kau ulang tahun. Aku enggak tahu hadiah apa yang pantas...."
Luki menggoyang-goyang garpu seraya ketawa seakan menegurku. "Teledor! Sampai enggak tahu ultahku! Ke mana sih perhatianmu sebenarnya""
Kritik itu walau aku tahu cuma main-main, sempat membakar wajahku. Pasti terlihat merona merah. Luki ketawa, meletakkan garpu dan pisaunya, melap bibir dengan serbet, lalu mengulurkan lengan menepuk-nepuk tanganku. Senyumnya terlihat misterius sekali, matanya mengedip. "Jangan kawatir, aku tahu hadiah apa yang dapat kauberikan untukku...."
Dan ternyata hadiah itu adalah... diriku sendiri! Entah di mana pikiranku saat itu. Aku sama sekali enggak terpikir sedikit pun untuk menolak atau menyatakan keberatan. Malah kusambut perhatiannya dengan hati terbuka, hangat, penuh angan-angan, spontan, dan bahagia. Aku merasa mendapat kehormatan!
Di kemudian hari sempat aku analisa, rasanya enggak mungkin aku dihinggapi perasaan seperti saat itu bila kejadiannya di siang hari atau di tempat lain. Tapi apa mau dikata. Saat itu kami berada di hotel, di bawah cahaya remang-remang yang syahdu dan aku dibebani utang hadiah ulang tahun bagi orang yang... kukagumi. Mungkin juga kucintai. Ya. kurasa, aku memang mencintainya. Kalau enggak, mana mungkin aku mau menyerah....
Kami tinggal di situ sampai lewat tengah malam. Alasannya masuk akal,
"Kita harus menunggu sampai restoran tutup, jadi kemungkinan kesamprok dokter-dokter lain sudah tak ada."
Aku enggak membantah, dalam hati menyetujui jalan pikirannya. Luki memeluk aku dari belakang (kami masih berbaring di ranjang) sambil berbisik, "Jadi kita ngapain sementara menunggu""
Dia mengecup leherku. Aku menggelinjang kegelian, lagakku manja bagaikan teenager yang sudah lama pacaran dan sudah ahli.
"Daripada bengong terus di depan TV, lebih baik kita bunuh waktu itu dengan..." bisiknya, lalu mulai lagi merayuku dengan mesra.
Aku enggak sanggup menggambarkan perasaanku saat itu. Pendeknya, aku terlontar ke awang-awang. Belum pernah aku merasa begitu hidup, begitu bergairah, begitu bahagia. Belum pernah aku merasa begitu yakin betapa cerahnya hari depan yang menungguku....
Katarina menguap untuk kesekian kalinya. Uh! Dengan hati berat ditutupnya buku itu dan diletakkannya ke atas meja di samping ranjang. Kemudian dia bangkit dan melangkah keluar kamar menuju WC Daripada nanti terbangun tengah malam, mendingan sekarang saja aku bereskan!
Bab 25 MBAK MIN adalah atasanku, kepala perawat seluruh rumah sakit. Putranya yang berusia lima tahun enggak pernah bisa tenang, diam seperti kebanyakan anak-anak seumurnya. Kiki selalu lari ke sana kemari, meloncat sana meloncat sini, setengah mati menjaganya. Guru TK-nya kewalahan. Repot bukan main. Anak itu selalu mengacau di kelas. Enggak pernah duduk diam di tempat, tapi selalu mondar-mandir, mengganggu yang lain-lain, segan mendengarkan kalau guru bicara, enggak mau meladeni kalau disuruh mengerjakan sesuatu seperti teman-temannya, misalnya melipat kertas atau belajar menulis.
Dokter memberinya obat. Memang dia lebih penuh perhatian sekarang, mau mendengarkan apa yang dikatakan oleh ibu guru. Tapi dia juga jadi sulit tidur dan kurang nafsu makan. Selain itu matanya suka ngedip-ngedip terus atau bahunya naik-turun mirip orang senewen. Karena itu gejala sampingan dari obat, terpaksa dokter menyetopnya.
Kiki kembali lagi pada sifatnya yang semula. Kemudian Mbak Min dinasihati orang supaya memberinya minyak ikan tuna yang mengandung asam lemak tertentu yang ternyata kurang pada anak-anak seperti Kiki. Menurut Mbak Min, ini bukan minyak ikan levertraan (yang biasa aku makan waktu kecil) yang mengandung banyak vitamin A, jadi bagus untuk mata, tulang, gigi, dan dapat mencegah kanker. Minyak ikan untuk Kiki, misalnya berasal dari ikan tuna yang biasa jadi santapan orang-orang Eskimo, sama sekali enggak mengandung kolesterol. Mungkin itu sebabnya orang Eskimo jarang sekali kena serangan jantung walau ikan yang dimakan semuanya banyak lemaknya.
Yah, semoga lekas normal kembali anak itu dan Mbak Min enggak usah bermuram durja sepanjang minggu. Kiki sebenarnya anak yang tampan dan pandai. Sayang kalau sampai mendapat kesulitan di sekolah.
Rupanya orang-orang sedang keranjingan hidup sehat. Luki sekarang senang ngoceh mengenai keperkasaan pria, libido, serta semua hal yang berkaitan dengan seks. Hubungan kami yang dimulai pada saat hari ulang tahunnya itu telah berlangsung mulus selama tujuh bulan. Hampir setiap malam Minggu dia mampir ke tempatku, cuma absen kalau aku beritahu sedang berhalangan, yaitu mens, haid. Biasanya kami makan bersama dilanjutkan dengan indehoi. Dia belum pernah nginap, katanya takut kepergok atau ketahuan anak buahnya.
"Aku sedang pikir-pikir, apa aku perlu menelan aphrodisiac enggak, ya" Menurutmu, gimana"" tanyanya suatu malam ketika kami sedang rileks di depan TV.
"Itu kan obat pembangkit nafsu seks"" sahutku ketawa geli. "Apa kau merasa masih kurang poten""
"Aku ingin lebih. Coba lihat ini!" Diperlihatkannya padaku sebuah brosur. "Di India ada tumbuhan yang dinamakan ashwaganda, di Brazil ada tanaman Muira puama, di Cina tanaman kambing bandot, nama kerennya Epimedium sagittatum. Yang mana yang sebaiknya aku pilih""
Aku telusuri brosur itu sepintas lalu. "Apa hubungannya semua ini sama vitamin E""
"Oh, vitamin E adalah antioksidan yang kuat, bisa menjaga kelancaran sirkulasi darah. Ini kan penting sekali bagi laki-laki untuk mempe
rtahankan ereksi. Orang Korea biasanya makan ginseng, tapi aku kurang suka baunya."
"Kalau begitu, ya sudah, telan saja vitamin E." Dalam hati aku geleng-geleng kepala. Bos yang dulu aku anggap angker, semua perkataannya aku anggap sama dengan perintah, ternyata sikapnya terkadang seperti anak kecil, takut ini ngeri itu.
Spesialis penyakit dalam. Siang hari begitu terhormat, malam hari main kucing-kucingan, sebab takut ketahuan orang. Kalau sampai terjadi skandal, pasti efeknya negatif baginya, enggak usah pikirkan diriku. Paling sedikit dia bisa disuruh turun sebagai kepala rumkit
Sebenarnya aku sendiri juga bukannya tenang-tenang saja. Dalam hati selalu kebat-kebit, ngeri ada yang tahu. Aku belum pernah menyembunyikan sesuatu terhadap ibuku, tapi sudah tujuh bulan ini surat-suratku ke rumah isinya pepesan kosong saja, mengenai kejadian-kejadian umum yang enggak ada artinya. Aku sengaja enggak mau menceritakan apa juga yang khusus cuma menyangkut diriku. Habis, memang enggak bisa dan enggak mungkin.
Enggak mungkin aku mengaku pada ibuku mengenai hubunganku dengan Bos. Aku juga bohong, dua kali enggak pulang ke rumah dengan alasan yang dibikin-bikin, kerjaan banyak, enggak bisa ditinggal sebab yang harus menggantikan sedang sakit.
Aku tahu, status quo ini enggak bisa dipertahankan. Aku sudah mikir-mikir hampir setiap malam sebelum tidur sampai tempo-tempo kepalaku terasa mau pecah, bagaimana caranya mengubah situasi ini. Cuma dua jalan: mengakhirinya atau meresmikannya.
Jalan pertama sama sekali enggak berkenan di hatiku. Aku insaf, aku enggak mampu hidup tanpa Luki. Aku sudah kepalang terlalu mencintainya. Hidup sendiri bukanlah idamanku. Kenapa aku bilang "sendiri"" Lantaran aku cuma bersedia kawin sama Luki. Kasarnya, Luki atau enggak sama sekali! Aku nekat mau hidup sendiri kalau enggak bisa jadi istrinya!
Sekarang jalan yang kedua. Ini yang menyita pikiranku siang dan malam. Aku sedang berusaha mengumpulkan keberanian buat berdialog mengenai topik ini. Sudah tentu aku enggak bakal mendesak, mana mungkin aku yang harus mengusulkan"! Itu sama saja dengan melamarnya! Sejak kapan ada wanita melamar pria"! Kecuali di mana. tuh" Di Bhutan" Atau Nepal" Ah, aku sudah lupa ilmu bumi di sekolah! Tapi seenggaknya, aku boleh kan nanya, ke mana tujuannya hubungan ini. Apa jun-trungannya, sampai kapan berlangsungnya....
Ternyata masalah itu punya cara sendiri, enggak mau diatur olehku atau olehnya. Sudah lama aku ingin tahu di mana sebenarnya keluarganya, maksudku orangtua dan saudara-saudaranya. Mengenai istri, aku yakin memang enggak ada. Luki pasti masih bujangan, sebab jari-jarinya polos. Selain itu, mana mungkin dia berani pacaran denganku kalau sudah enggak bebas lagi. Dia kan orang yang terhormat, punya kedudukan tinggi. Taruhlah, aku ini keroco, enggak jadi soal bagiku hidup dalam dua dunia. Tapi baginya pasti ini bukan hal remeh yang bisa dilakukan begitu saja. Dampaknya bagi karirnya...
Malam ini dia datang ke tempatku. Biasa, malam Minggu. Aku juga sudah menyiapkan makanan kesukaannya, ayam goreng. Aku sengaja pergi ke dapur umum, memohon resepnya dari koki kepala. Ibu Nuri. Setelah latihan dua kali, aku merasa mantap dan mencobanya untuk disuguhkan padanya.
Setelah makan, biasanya kami menonton TV. Kalau TV membosankan, barulah kami ganti acara dengan yang lebih seru, dua puluh tahun ke atas!
Tumben kali ini dia menolak nonton. Romannya tegang. Baru aku sadari, sejak datang tadi belum kedengaran selorohnya yang biasa membahana di apartemenku.
"Duduk sini," perintahnya menunjuk ujung sofa
Karena sudah kebiasaan duduk berdempetan, aku langsung menjatuhkan diri persis di sampingnya. Sesaat dia bergeming, tapi kemudian menggeser dua puluh senti lebih ke samping sampai terbentur lengan sofa. Aku masih belum menyadari arti sikapnya itu. Maklum, aku asyik menunggu gerakannya selanjutnya. Biasanya, lengannya akan langsung terjulur melingkari bahuku, lalu bibirnya yang panas turun me...
"Karla. ada yang mesti kukatakan padamu."
Aku kaget mendengar helaan napasnya yang sedih banget. Selama ini seingatku belum per
nah dia menghela napas sedih atau kesal. Biasanya selalu penuh ketawa, senang dan gembira.
Tapi dasar pandir, aku masih menyangka dia mempunyai kejutan yang luar biasa. Dan mau enggak mau aku menjadi tegang menunggu proklamasinya. Aku menyangka, ini pasti ada kaitannya dengan hubungan kami. Mungkin dia mau meresmikan" Hiii... aku mulai merasa panas-dingin saking tegang dan penuh harap. Aku punya alasan otentik untuk berharap, tapi nanti dulu. Baru akan kukatakan setelah dia bicara. Supaya aku yakin dia enggak merasa terpaksa.
Akhirnya, bibirnya pelan-pelan terbuka sementara kepalanya menunduk. Oh ya, memang kejutan yang maha luar biasa. Oh ya, memang mengenai hubungan kami. Tapi kejutan yang bagaimana dulu! Yang menimbulkan gairah" Atau kebalikannya"
"Karla, keluargaku akan datang ke sini." Ditatapnya aku dengan mata penuh rindu (atau paling tidak, itulah kesanku. Mungkin juga aku keliru, maklum, pandir sih!), dielusnya pipiku dengan ujung jempolnya. Biasanya ini merupakan prolog dari permainan kami. Tapi sekali ini enggak ada kelanjutannya kecuali desahan sendu, "Ah, Karla yang kucintai...."
Dikecupnya puncak kepalaku. Aku enggak bergerak saking bingung. Belum pernah aku melihat orang yang begitu murung karena keluarganya akan datang menjenguk. Aku sih pasti akan melonjak girang bila ayah-ibuku datang ke sini. Sayang, ibuku suka mual dan mabuk kalau naik mobil, jadi lebih senang tinggal di rumah. Paling banter cuma ke pasar. Jalanan Jakarta yang sering macet total kayak Bangkok (mau nyaingin rupanya) sangat ideal bagi Ibu. Berarti sopir enggak bisa ngebut, jadi kemungkinan mual atau mabuk kecil sekali.
Nah. saking kelewat heran, terceplos juga dari bibirku, "Kau kelihatan enggak gembira mau kedatangan papi-mami!" Aku berusaha tersenyum, tapi rasanya seperti nyengir kuda.
Luki menggeleng dua kali. Dielusnya kepalaku, dirapikannya rambut-rambut yang berantakan ke samping dan ke depan. Didekatkannya wajahnya ke pipiku. Suaranya pelan sekali, nyaris seperti berbisik, kayak orang pasrah. "Karla, bukan orang-tuaku yang mau ke sini."
Aku betul-betul melongo. "Laa, habis siapa""
Kalau ada perlombaan mencari orang yang paling pandir, pasti aku bisa jadi juara. Kalau orang menyebut "keluargaku", menurut otakmu yang bebal siapa yang dimaksud" Orangtua" Oke. Tapi kalau bukan orangtua" Adik-kakak" Oke. Aku masih sempat berpikir, apa dia kurang senang sama saudaranya itu" Apa mereka pernah ribut" Masih musuhan"
Dasar bego! Enggak ketolongan pandirnya! Harus dicekokin dulu infonya dari a sampai z, baru terbuka matamu, pandir!
"Karla, istri dan anakku akan ikut tinggal bersamaku!"
Astaga! Seperti disambar geledek kagetnya aku. Kedua tanganku gemetar keras sampai cangkir dalam genggaman berguncang, kopi yang baru diteguk dua kali tepercik ke luar menjadi bercak-bercak hitam di atas blus kuning.
Dengan lembut Luki menarik cangkir itu dan meletakkannya ke atas meja di depan kami. Aku enggak mengerti kenapa aku enggak ngamuk atau marah padanya. Bukankah terang-terangan dia sudah menipuku" Membiarkan diriku menyangka dia masih bebas"
Mungkin saat itu aku shock, enggak mampu berpikir lagi. Tapi sekarang kalau diingat-ingat, sebenarnya aku enggak bisa menyalahkannya. Aku sendiri yang salah. Dasar bodoh dan bego. Dia sendiri enggak pernah berusaha mengelabui aku. Enggak pernah bilang dia bebas, juga enggak pernah menjanjikan apa-apa. Dia cuma ingin kencan dan aku enggak menolak. Nah, salah siapa"
"Kisahku tragis. Selama ini selalu kutekan, coba kulupakan. Karena itu aku segan membebernya, belum pernah kuceritakan pada siapa pun. Aku dipaksa kawin oleh orangtuaku. Aku rasa, istriku juga dipaksa oleh orangtuanya. Aku berharap seandainya bisa menunjukkan kami berdua tidak cocok, akhirnya boleh diizinkan putus. Karena itu aku pergi sendirian, dinas di klinik tempo hari dan sekarang di sini. Tapi rupanya tanpa aku ketahui, waktu aku pergi istriku sudah hamil. Anak itu sekarang sudah empat tahun lebih. Aku belum pernah ketemu, cuma melihat foto yang dikirimkan ibunya. Mana mungkin lagi aku menceraikannya. Selama ini aku hidup dalam kha
yalan, berangan-angan akan bisa bersamamu seumur hidup sebagai suami-istri ideal. Tapi kenyataannya, kita terpaksa cuma sampai di sini saja. Aku mohon kau jangan sakit hati. Aku juga merasa terpukul, musnah harapanku untuk hari depan yang bahagia. Aku sungguh mencintaimu, bukan cuma di mulut. Bukan main-main. Maafkan aku. Kau boleh marah, tapi jangan sakit hati. Aku juga sama menderitanya seperti dirimu."
Aku enggak kuasa membuka mulut, diam saja seperti orang kesurupan. Tapi pikiran dan perasaanku berpacu kencang, susul-menyusul. Sekarang enggak mungkin kukatakan apa xang mau aku kasi tahu sejak kemarin. Kabar yang semula aku anggap menggembirakan, sekarang pasti bakal menjadi malapetaka baginya. Tegakah aku menambah bebannya" Kalau dia memang enggak bahagia dalam perkawinan yang dipaksakan itu, buat apa aku tambah deritanya dengan menyodorkan kemungkinan masuk paradise yang enggak bisa dilaksanakannya" Buat apa kukatakan kemungkinan besar aku sekarang sudah hamil"
Setelah berulang kali didesak, akhirnya aku sanggup juga membuka mulut menjawabnya, "Aku enggak sakit hati, enggak marah."
Suaraku sengau, halus seperti dengung nyamuk, mataku terasa basah. Aku menunduk. Ketika diangkatnya daguku, aku terpaksa juga menatapnya. Terpandang olehku matanya juga berkaca-kaca. Enggak tahan aku, mendadak saja terisak. Diraihnya diriku ke dalam pelukannya, dielus-elusnya punggungku. Selama dua puluh menit atau lebih, kami dalam posisi tersebut bagaikan pantomim di pasar malam.
"Kapan mereka akan datang"" "Bulan depan."
* * * Aku harus cepat mengambil keputusan. Selain emoh ketemu istrinya, aku juga enggak mau keadaanku ketahuan orang. Tubuhku jangkung dan kurus. Kalau perutku melendung, pasti bakal mencurigakan. Aku harus enyah dari sini sebelum itu terjadi.
Buku kecil tempat aku mencatat tanggal mens kupelajari dengan seksama. Selama bertahun-tahun belum pernah haidku telat, kecuali beda sehari-dua hari. Tapi sekarang sudah telat dua belas hari! Anehnya, sedikit juga aku enggak merasa menyesal kenapa enggak pakai penjagaan Sebenarnya dengan gampang aku bisa menghitung kapan hari suburku, sebab haidku selalu teratur. Nah, kehamilan bisa dicegah kalau pada hari subur itu dihindari pertemuan intim....
Nasi sudah jadi bubur! Ah, maksudku telur dan sperma sudah menjadi janin! Yang penting bagaimana menanggulangi masalah ini. Ah, jangan sebut masalah. Ini bukan problem, melainkan anugerah bagiku. Problem itu timbul gara-gara norma-norma yang dicipta oleh masyarakat yang belum tentu menerapkannya pada diri mereka sendiri.
Yang jelas, anak ini enggak bakal aku enyahkan Biar duniaku kiamat, aku enggak mau membuangnya. Aku akan menjaga dan merawatnya. Tapi persoalannya sekarang (lagi-lagi karena norma-norma masyarakat), bagaimana menutupinya dari mata umum.
Setelah malam yang membawa petaka itu, kami masih ketemu dua kali lagi. Cuma untuk berdiskusi. "Sebaiknya kau cuti setahun, Karla. Aku akan memberikan surat pengantar bagi kawanku, direktur rumah sakit di Jakarta. Kau bisa menambah pengetahuan, mengambil spesialisasi, misalnya menjadi perawat ruang bedah atau apa saja yang kausukai.
Aku akan membiayainya. Setelah itu kau kembali ke sini dan aku akan mengangkatmu sebagai kepala perawat."
Usul ini cocok sekali dengan situasiku. Tanpa sungkan langsung aku setujui. Sekarang tinggal bagaimana menghadapi orangtuaku. Mudah-mudahan mereka enggak akan memaki atau mengusirku. Terutama ayahku yang agak kolot....
Kareem mengutarakan rencananya untuk libur ke Pulau Kanguru nanti. Dia sudah memesan tempat penginapan serta tiket untuk naik feri penyeberangan.
"Apa rencanamu besok"" tanyanya di meja makan malam itu.
"Latihan seperti biasa. Terus, ikut kursus sampai tengah hari. Lalu pulang, makan, istirahat."
Latihannya berjalan mulus. Katarina dapat menggunakan kuping bioniknya dengan sempurna. Kalau kebetulan dia ingin menyepi, tak mau mendengarkan ocehan orang-orang di sekitarnya, dimatikannya prosesor dalam kantongnya. Karena alat itu bukan lagi tipe yang digantung di belakang telinga, jadi tidak begitu menarik perhatian sepe
rti model yang dulu. Selama bulan terakhir ini Katarina mengikuti kursus untuk bicara dengan tangan seperti yang dulu dilakukannya sewaktu belum dioperasi, supaya dapat mengajar anak-anak tuli yang tak mampu mendengar sedikit pun. Dokter Ishtar mengkoordinir kursus tersebut dan minta agar Katarina mau ikut membantu sebagai guru.
Dua tahun yang lalu dia pernah kursus, dan sekarang kembali lagi untuk penyegaran. Dia bertekad mau membantu anak-anak yang kurang beruntung dibanding dirinya sendiri. Kemungkinan besar mereka untuk selamanya takkan bisa dioperasi dan ditolong sampai benar-benar dapat mendengar. Selain itu, banyak yang masih bisa mendengar sedikit-sedikit yang berarti mereka takkan mendapat pencangkokan seperti yang dialaminya.
Dengan adanya Kareem, kemungkinan akan lebih banyak anak yang bisa mendapat manfaat. Anak-anak yang semula tak punya harapan karena orangtua mereka takkan mampu membiayai ongkos pengobatan ke luar negeri, kini akan dapat ditolong di tempat masing-masing. Katarina merasa bangga sekaligus terharu bila teringat kebolehan yang akan dibawa pulang oleh Kareem ke tanah air. Kalau dia mau, mudah saja bagi seorang spesialis untuk terus bekerja di luar negeri, persetan dengan negeri asal yang bayarannya minim. Tapi Kareem justru ingin kembali untuk membantu para pasien yang kurang mampu. Bukan main agungnya watak seperti itu, sama sekali tak peduli dengan jumlah honor yang bisa diperoleh, kekayaan yang bisa dikumpulkan.
Semakin dekat dengan akhir bulan, semakin trenyuh perasaannya. Masa berpisah semakin dekat. Dia berusaha melupakannya dengan menyibukkan diri mengepak pakaian serta barang-barang yang akan dibawa ke Pulau Kanguru. Dan saat yang dinanti-nantikan itu pun akhirnya tiba.
Bab 26 Mereka berangkat jam sepuluh dari Melbourne dengan mobil. Semula mau start jam delapan supaya tak usah bermalam di Adelaide, tapi Kareem mengubah rencana itu sebab kasihan kalau Katarina terpaksa harus bangun terlalu pagi. Jam enam dianggap terlalu pagi, sebab masih gelap. Maklum, itu bulan Juni, berarti musim winter di belahan selatan bumi. Karena berangkat lebih siang, mereka harus bermalam di jalan. Lebih enak ya di dalam kota, bukan di luar.
Kareem sudah pernah ke sana dengan rekan-rekan dokter semasa liburan, jadi kurang-lebih masih ingat. "Kita sekarang berada di jalan utama Al-ini cuma kode seperti jalan-jalan di Amerika-delapan jam sampai ke Adelaide. Kalau lebih santai, berhenti makan, ya sembilan jam. Berarti jam tujuh masuk kota. makan malam, banyak waktu untuk istirahat. Besok pagi kita akan ambil A13, turun ke bawah satu setengah jam sampai ke Cape Jervis, naik feri satu jam. Sampai deh di tujuan akhir."
Katarina menikmati perjalanan semacam itu, berdua saja tanpa penumpang umum, mendengarkan musik Acker Bilk atau tiupan seruling dari tanah air, menatap horizon jauh di depan, langit tenang biru keputihan disaput sedikit keemasan sinar mentari, menikmati pemandangan di kiri-kanan, pepohonan rindang, padang sepi cuma dihuni dua-tiga ternak, tak ada manusia seorang pun kecuali di dalam kendaraan yang sama-sama melaju atau datang dari arah berlawanan.
"Alangkah sentosanya," bisiknya pada diri sendiri, tapi tertangkap juga oleh kuping di sebelahnya yang tokcer.
"Cocok buat bersemadi!" komentar Kareem.
"Seandainya seluruh dunia bisa seperti ini..." ujarnya setengah melamun.
"Banyak orang bakal nganggur, sebab pabrik-pabrik senjata terpaksa gulung tikar!"
Katarina menoleh dan memukul lengan Kareem. Main-main. "Kau! Jangan sinis, ah!"
"Apa aku salah" Di mana-mana kan sering timbul onar atau perang saudara atau pemberontakan terhadap pemerintah. Nah, dari mana mereka memperoleh senjata" Kan enggak mampu bikin sendiri. Ya, sebagian dapat dari Barat, sebagian lagi dari Timur. Semuanya sama-sama cari langganan. Aku baca ada orang Rusia yang mencuri bubuk uranium dikit-dikit saking kepingin beli kulkas! Rupanya dia bertugas di pusat pembangkit tenaga listrik dengan nuklir. Satu bom perlu empat setengah kilogram uranium. Baru terkumpul sepersepuluhnya, tiga kali nyuri. sudah ketahuan, ya penja
ra hadiahnya, bukan lemari es!"
"Negara kita sebenarnya sangat kaya. Kenapa ya sudah lebih setengah abad merdeka, tapi rakyat kok masih lelap miskin saja"!" keluhnya dengan nada kesal.
"Karena, Manis, uang yang seharusnya digunakan untuk memajukan negara, menambah kesejahteraan rakyat, semuanya masuk kantong!"
"Kantong siapa""
"Apa otakmu di dengkul" Anak SD saja bisa menjawab. Kalau kau enggak bisa-itu malah bukan pertanyaan ujian-berarti kecerdasanmu diragukan." Kareem ketawa, Katarina latah.
"Apa mereka enggak bisa ditindak""
"Gimana, kalau yang harus nindak juga ikut terlibat""
"Apa ini ciri khas manusia kita""
"Bukan. Sebab utamanya adalah gaji mereka jauh dari memadai. Kalau aku berada di tempat mereka, mana barang-barang mewah semakin banyak, mana keluarga harus dikasi makan, mana orang-orang yang harus kita layani ternyata selangit hartanya, gimana aku enggak bakal terseret arus" Gimana aku enggak bakal tergoda" Apalagi setelah tahu, enggak bakal ada sanksi apa-apa. Aku juga ingin menikmati hidup, bukan cuma kerja mati-matian tanpa hasil. Benar, enggak""
"Jadi caranya menyehatkan negara adalah dengan menaikkan gaji pegawai negeri sampai cukup untuk hidup layak... begitu""
"Tindakan pertama, ya."
"Kaukira akan bisa menyetop kebiasaan atasan yang sudah keenakan dapat subsidi gratis""
"Nah, tindakan kedua adalah penerapan hukum yang keras tanpa pandang bulu."
"Ah, mendingan aku mendengarkan musik sambil melamun. Urusan negara cuma bikin kepalaku pening."
"Melonjorlah, tutup matamu, rileks."
"Ah, enggak. Aku ingin menikmati pemandangan alam. Hei, jalan di depan begitu kosong, kenapa enggak ngebut" Biar cepat sampai."
"Kaukira bisa ngebut begitu saja tanpa akibat" Kalau sedang sial, bisa dikasi tiket denda dan SIM diskors."
"Wow! Rajin banget petugas LL-nya!" Katarina meleletkan lidah.
Ramai juga mereka bercengkerama mengenai pelbagai topik, dari korupsi sampai bagaimana caranya mengatur diet supaya bisa ke belakang setiap hari.
"Pagi ini aku belum ke WC. Seandainya aku nanti mulas, apa kita bisa stop di tengah jalan"" tanya Katarina.
"Tentu saja. Di mana-mana ada WC umum. kok. Dan tempatnya selalu dijaga kebersihannya. Ada yang ngurus dari bagian kebersihan setempat. Seperti sampah, gitu. Pernahkah kau melihat ada gundukan sampah seperti di Jakarta" Enggak, kan"! Karena selalu diangkut secara teratur, seminggu sekali. Dan tong-tong sampahnya banyak, juga enggak diambil dibawa pulang. Buat apa, toh setiap rumah sudah dikasi satu, gratis. Ya. bukan gratis betulan, tapi mereka enggak usah bayar, sebab dibeli dengan uang iuran mereka. Sebutlah iuran kota praja atau desa, semacam pajak begitu. Tapi ngomong-ngomong, apa kau ada kesulitan b.a.b.""
"Ya. Kalau kurang minum atau kurang banyak makan, berarti aku bisa enggak nyetor sampai dua hari. Tapi siapa yang mau makan terlalu banyak" Aku kan enggak mau gendut!"
"Kau bisa mengatur setoran tanpa harus jadi gemuk. Cobalah makan banyak serat. Itu kunci utama ke WC setiap hari. Pengalaman pribadi, nih! Dulu aku selalu kesulitan, kadang dua hari sekali, biasanya malah lebih jarang lagi. Tapi sejak aku banyak makan sayuran dan buah, ternyata hasrat selalu muncul dengan teratur, tiap hari. Sekali atau dua kali. Serat itu juga bagus untuk kesehatan, bisa mencegah wasir dan kanker usus, bisa mengikat kolesterol sehingga kadarnya menurun dalam darah-ini kan penting buat jantung sehat-, bisa mencegah diabetes dengan mengontrol kadar gula darah supaya jangan anjlok ke atas ke bawah, dan juga bisa menurunkan berat badan."
"Gimana, gimana, sekali lagi. Soal wasir dan kanker sih aku sudah mengerti kurang-lebih, juga kolesterol dan diabet enggak menarik, keduanya normal untuk aku. Tapi soal berat badan ini, apa hubungannya sama serat""
"Makanan yang penuh serat membuat orang merasa cepat kenyang, jadi mencegah kita makan terlalu berlebihan. Selain itu, karena serat mengontrol kadar gula, jadi mengurangi ketagihan terhadap makanan manis-manis yang tinggi kalori. Itu saja, semuanya bisa dimengerti pakai logika. Tapi kau enggak perlu takut. Perutmu masih lurus seperti
papan!" Mereka ketawa geli. "Ha, itu sebabnya kau lebih suka rebus-rebusan daripada goreng-gorengan"" tebak Kareem meliriknya tersenyum.
"Habis, minyak kan bikin gemuk!" sahut Katarina, defensif.
"Betul, tapi enggak perlu sampai begitu tragis asal tahu mencegahnya. Selain itu tubuh kan perlu lemak. Asam lemak utama."
"Gimana orang bisa makan lemak tanpa jadi gemuk""
"Organ hati yang pegang peranan penting. Liver ini, seperti sudah kaupelajari di sekolah, fungsinya banyak sekali, antara lain memproduksi asam amino L-carnitine. Nah, ini yang mengangkut asam lemak ke dalam sel, ke bagian yang disebut mitochondria. Kau enggak perlu apal namanya. Pokoknya tahu, di situlah energi kita diproduksi. Tentu saja selain asam amino tersebut, metabolisme lemak perlu bahan-bahan lain seperti inositol, choline, DL-methionine. Jadi kalau liver kita tokcer, enggak usah takut lemak akan bertimbun jadi bantalan yang bikin gemuk "
"Kalau livernya malas, gimana""
"Bisa dibantu sama tablet yang berisi bahan-bahan tersebut di atas."
"Tapi aku sih enggak perlu bantuan." Sepanjang perjalanan mereka bercengkerama, berseloroh, berdiskusi, bersenandung. Udara kebetulan cerah, menambah keriangan hati. Pemandangan juga indah. Pokoknya Katarina merasa hidupnya belum pernah sebahagia saat itu.
Tengah hari mereka berhenti di tempat yang disediakan di pinggir jalan, lalu membuka bekal. Kareem telah menyiapkan setumpuk roti yang diisi dengan telur dadar diberi ikan sarden, sekerat buah advokat, dan tomat. Mereka juga membawa lima liter air minum serta buah-buahan.
Tanpa halangan sedikit pun mereka tiba di Adelaide, langsung check-in ke hotel. Dalam kamar terdapat dua ranjang, yang besar untuk orangtua, yang kecil untuk anak. Kareem rebahan di ranjang kecil. Setelah istirahat sejam, mereka keluar mencari makanan, putar-putar keliling kota sebelum pulang untuk tidur.
"Aku belum bisa pulas," keluh Katarina.
"Cobalah membaca sampai letih."
Usul itu memang sedang ditunggu olehnya. Dia kawatir sinar lampu akan mengganggu. Setelah direstui oleh Kareem, dia langsung mengeluarkan buku harian Karla yang dibawanya. Ternyata Kareem rebah miring ke arah dinding sehingga cahaya lampu sama sekali tidak mengganggunya. Katarina melalap tulisan itu sampai hampir jam dua belas. Teringat besok harus bangun subuh, dia terpaksa stop walau hatinya sangat ingin terus.
Inilah yang dibacanya: Setahun aku cuti. Ibuku cuma meratap dari menepuk dada mendengar kisahku tanpa memarahi diriku. Ayahkulah yang naik pitam, mengutuk perbuatanku dan memerintahkan supaya bayi itu diberikan pada orang lain setelah lahir nanti. Abangku menyela di tengah. Dia mengusulkan agar bayiku diangkat anak olehnya saja.
Setelah berdebat panjang-lebar, ayahku menyerah. Tapi kesulitannya, saat itu abangku belum menikah walau sudah punya tunangan. Akhirnya diputuskan, bayi yang masih tujuh bulan lagi dalam kandunganku itu akan dicarikan ibu asuh sampai saatnya dapat dirawat sendiri oleh istri abangku.
Tidak tahunya empat bulan kemudian ayahku berubah pikiran. Dia keberatan anak itu mengenalku sebelum dewasa.
"Aku enggak mau anak itu tahu siapa ibu kandungnya sebelum dewasa. Ini untuk mencegah dia merasa ditelantarkan dan dibuang," ujarnya tegas.
Jadi abangku terpaksa setuju, bayiku akan diserahkan pada orang lain, abangku tetap akan membiayainya, dan cuma dia yang berhak menjenguk. Baru setelah dewasa anak itu boleh tahu riwayatnya dan bertemu dengan aku.
Supaya menghindari ocehan para tetangga, aku diungsikan ke tempat nenekku jauh di pedalaman sampai melahirkan. Dan saat yang seharusnya penuh bahagia itu ternyata membuat aku menumpahkan air mata berhari-hari. Bayiku laki-laki, begitu tampan dan sempurna. Dan aku enggak bakal bisa melihatnya lagi sampai dia dewasa dan mau sendiri ketemu denganku. Bagaimana seandainya dia enggak mau" Seandainya dia merasa ditelantarkan olehku" Bagaimana aku akan meyakinkan anakku betapa aku mencintainya" Betapa sebagian dari jiwaku binasa hari ini. Karena aku harus melepas nya pergi. Aku enggak bisa merawat dan mengecupnya setiap saat.
Aku hanya diperke nankan memberinya nama. Dan aku pilih namanya. Arman. Arman Rejana. Dia tak dapat kuberi nama ayahnya. Sayang sekali.
Esoknya mereka berangkat pagi-pagi menuju tempat penyeberangan ke Pulau Kanguru, naik feri di Cape Jervis. Saat itu pertengahan musim dingin, tiket feri diturunkan. Dua orang dengan harga seorang saja, dan tiga puluh persen diskon untuk biaya penginapan di pulau.
Mereka tiba di pulau sekitar jam satu siang, lama perjalanan dengan feri seharusnya cuma lima puluh menit. Tapi karena laut agak bertingkah, terpaksa lima menit lebih lamaan. Katarina turun ke darat mengikuti para penumpang lain, sedangkan Kareem masuk ke lift untuk mengambil mobil dari lambung feri.
Sebelum melanjutkan perjalanan mereka makan siang dulu. Setelah itu mobil melaju ke selatan. Jalanannya mulus dan sepi. Kadang sampai setengah jam tak ada kendaraan lain yang dijumpai. "Di sini pentingnya telepon genggam ya, Rim," ujar Katarina.
Kareem mengiakan, lalu bertanya, "Adakah sesuatu yang terasa lain di sini, Rina""
Melihat gadis itu menoleh ke kiri ke kanan mencari-cari, dibantunya, "Perhatikan jalanannya!"
Katarina masih tak dapat menebak apa yang dimaksud dan setelah tungak-tongok lima menit, menyerah. "Enggak tahu, deh."
"Rambu lalu lintas!" ujar Kareem ketawa.
"Maksudmu"" Gadis itu mengerutkan kening, lalu berseru semenit kemudian, "Ah! Ya, ya, sejak tadi enggak kelihatan tanda-tanda lalu lintas sepotong pun! Kenapa""
"Karena memang enggak ada!"
"Kenapa"" Dia semakin heran.
"Karena enggak perlu. Lalu lintasnya kelewat sedikit, orang-orangnya jumlahnya minim dan rupanya semuanya tahu aturan, enggak sok nyelak atau mengambil jalanan orang lain!"
Pendekar Panji Sakti 4 Pendekar Pedang Matahari 3 Iblis Bukit Setan Bocah Sakti 1