Pencarian

Dibakar Malu Dan Rindu 5

Dibakar Malu Dan Rindu Karya Marga T Bagian 5


"Berapa sih jumlah penduduk di sini""
"Pulau ini luasnya delapan kali Singapura, tapi penduduknya cuma empat ribu lima ratus."
"Mata pencaharian mereka apa""
"Bercocok-tanam, beternak, dan turisme. Jangan kira enggak laku. Sekarang saja jalanan kelihatan sepi, sebab sedang musim dingin..."
"Tapi enggak dingin," potong Katarina.
"Memang enggak sedingin benuanya. Tapi kalau malam lumayan juga, harus tidur pakai selimut dan perapian. Yah, saat ini kelihatan sepi. Kalau musim panas, sebaliknya. Banyak turis dari Eropa dan Amerika, lho."
"Ada pabrik apa di sini""
"Enggak ada pabrik. Sebab enggak boleh mengotori udara."
Tiga jam lebih kemudian mereka tiba di tempat penginapan. Tak ada orang, tak kelihatan kantor. Melihat Katarina culak-cilek, Kareem menjelaskan, "Kantornya bukan di sini, di daerah lain. Kita langsung mencari pondok kita, kuncinya sudah disediakan di bawah keset kaki, lalu kita masuk. Sederhana, kan""
Katarina membelalak heran. "Enggak takut ada orang lewat yang masuk" Yang enggak berhak""
Kareem nyengir geli. "Itulah keistimewaannya tempat ini. Enggak ada rampok atau maling, enggak ada rambu-rambu lalu lintas!"
"Ah, ada juga tempo-tempo enggak berguna!"
"Maksudmu""
"Di Jakarta! Apa enggak tahu atau sudah lupa" Di persimpangan kita diatur oleh orang-orang untuk belok atau nyeberang. Harus selalu sedia uang kecil buat tip mereka. Lampu LL sih enggak diladeni."
Di kompleks itu terdapat enam kabin atau pondok. Masing-masing punya pintu keluar serta tempat parkir sendiri. Kareem membungkuk untuk mengangkat keset dan mengambil kunci pintu yang ditusukkannya ke dalam lubang pintu. Diputarnya kunci dan didorongnya daun pintu, lalu menyilakan Katarina masuk lebih dulu. Dia sendiri kembali lagi ke mobil untuk mengambil kedua koper mereka.
Tempat itu jauh dari mana-mana. Karena itu para turis sudah diberitahu agar membawa bekal makanan sendiri. Dapur serta alat-alat masak tersedia lengkap.
Sore itu mereka duduk-duduk di pantai menikmati matahari terbenam. Malamnya mereka makan nasi dengan ikan goreng, spesialisasi Kareem.
Karena kabin itu memang diperuntukkan bagi keluarga, di situ terdapat dua kamar besar. Yang satu berisi sebuah ranjang ukuran king, kamar lain berisi dua ranjang susun untuk empat orang. Kareem tidur di salah satu ranjang susun. Katarina mendapat ranjang besar yang menghadap ke pantai. Dia dibangunkan esoknya oleh siul burung serta debur ombak dan
matahari subuh merayap naik. Dua malam kemudian dia tidur ditemani cahaya bulan purnama.
Alangkah indahnya. Sayang romantisnya kurang sebab aku cuma sendirian.... Tak disangka tak dinyana, kerinduannya terobati beberapa malam kemudian!
* * * Esoknya mereka mengunjungi cagar alam koala. Katarina sudah bersiap dengan kameranya, sedangkan Kareem membawa juga teleskop. Sepintas kelihatannya pohon-pohon minyak kayu putih yang tenang itu cuma menonjolkan daun-daun mereka yang lebat dan rindang. Tak tampak gerakan apa-apa sama sekali. Namun Kareem yang sudah pernah ke sini bersama teman-temannya tak dapat dikecoh.
Dengan teleskop diajarinya Katarina bagaimana dan di mana mencari koala-koala yang tengah beristirahat, sendirian atau menggendong anaknya
"Mereka tidur pada siang hari. Begitu magrib baru mulai makan, mengunyah daun-daun kayu putih ini," dijelaskannya pada Katarina yang membelalak terus matanya, jelilatan kian kemari.
"Ha! Ini satu!" serunya hampir terpekik sebelum teringat olehnya pesan Kareem agar jangan mengagetkan hewan-hewan tersebut. Dipotretnya koala yang sedang tidur di cabang teratas pohon. Sementara itu Kareem sudah menemukan pasangan koala bersama anaknya di pohon lain yang direkamnya ke dalam video.
Mereka sangat menikmati saat-saat itu. Yang seorang memotret, yang lain merekam dengan video. Setelah cukup puas (belum seratus persen, komentar Katarina, disambut oleh Kareem dengan janji, besok-besok boleh kembali lagi) mengamati koala, mereka melanjutkan penjelajahan pulau tersebut.
Acara mereka padat sekali. Setiap hari meluncur dari barat ke timur atau dari selatan ke utara, dari sini ke sana, ratusan kilometer. Puas mereka menikmati liburan itu. Dan juga capek. Katarina boleh dibilang tidak sanggup dan tak ada waktu untuk membaca buku harian kesukaannya. Tapi dia tidak menyesal.
Apa yang dilihatnya semua mengesankan. Tak pernah terpikir olehnya di dunia masih ada tempat yang demikian perawan. Siapa sangka anak-anak anjing laut begitu lucu, suka mengajak bercanda dan lemah gemulai gerakannya. Elok sekali.
"Tapi jangan coba-coba mendekati yang dewasa," ujar Kareem mencibir. "Tempo hari kawanku mencoba bergumul dengan seekor seal yang gendut. Wah, kalau enggak dibantu kawan lain, bisa-bisa ringsek dia ditindihnya!"
Kesukaan Katarina akan keju domba terpenuhi di tempat peternakan serta pembuatan keju. Sedangkan Kareem tergila-gila pada madu istimewa yang dihasilkan khusus oleh pulau tersebut.
"Kumbang-kumbangnya didatangkan dari Italia, sekian ratus tahun yang lalu," Kareem menerangkan. "Di tempat asalnya sendiri serangga itu sudah musnah. Jadi sekarang dunia mengimpor kumbang-kumbang spesial itu dari sini."
Katarina terpaksa mengakui, madu itu terasa lain dari yang pernah dicobanya, tapi dia tetap tidak begitu bergairah pada yang serbamanis. Pikirannya langsung melantur ke kalori dan timbangan. Kareem memborong selusin botol, maklum produk ini tidak diekspor, jadi tak bisa dibeli di luar pulau. Khusus untuk oleh-oleh turis.
Di salah satu pantai mereka melihat serombongan turis asal Rusia. Wah, ramainya melebihi pasar malam. Tingkah mereka terkadang menggelikan, seperti anak kecil. Cuma melihat ikan paus berakrobatik, sudah meloncat-loncat dan jerit-jerit.
"Maklum baru sekarang bebas bepergian ke luar negeri!" cetus Kareem tersenyum geli.
Di sana-sini sepanjang jalan terdapat restoran yang buka hingga malam. Mereka bisa makan di situ. Atau bila mengunjungi kota-kota, mereka dapat membeli perbekalan untuk esok atau lusa.
Tanpa terasa mereka sudah seminggu liburan. Berduaan terus dua puluh empat jam sehari ternyata ada dampaknya. Mereka semakin dekat, semakin intim, semakin manja satu sama lain. Dan tak tercegah lagi....
Sore itu keduanya dalam keadaan ekstase. Semua berjalan lancar, apa yang dilihat serba mengagumkan, apa yang disantap serbanikmat. Baru jam enam, tapi langit sudah agak lembayung sebab ini musim dingin. Mereka berjalan-jalan di pantai, saling berpelukan, menikmati keindahan ciptaan Tuhan. Ketika mereka mendaki bukit kecil yang menjorok ke tengah laut, sebentar-sebentar Ka
reem mengelus dan mengecup pipinya. Katarina tidak berusaha mengelak, tapi malahan dibalasnya kecupan itu, membuat sang perjaka tersipu-sipu dengan mata berbinar. Katarina berbunga hatinya melihatnya. Ketika dia dikecup lagi di atas batu karang raksasa, dikembalikannya kecupan itu. Kareem demikian bahagia rupanya, sehingga ditariknya Katarina ke dalam pelukannya dan diremuknya. Mereka berpelukan di tengah alam raya, tanpa seorang manusia lain di dekat situ, hanya disaksikan oleh langit dan mentari yang tertutup awan.
Kareem mengajaknya duduk berjuntai di tepi karang, berpelukan, berkecupan. sambil sesekali jeda untuk menatap laut nan mahaluas dan sinar lembayung yang pelan-pelan beringsut pergi ditimpa bayang-bayang yang semakin pekat.
Kareem menariknya berdiri, lalu beringsut ke tengah sampai ke belakang semak. "Aku ngeri kecebur!" selorohnya seraya menatap gadis itu dengan mesra, membenahi rambutnya yang tergerai ke dada dan memindahkannya ke belakang. Dengan lembut dirangkumnya dagunya, dikecupnya bibirnya.
Baru pertama kali itu dia mengecup bibir merah merekah itu. Katarina merasakan gejolak aneh yang belum pernah dikenalnya selama ini. Dia merasa lemas, tak kuasa bergerak, apalagi menolak. Kareem mengelusnya berulang-ulang, membisikkan kata-kata mesra yang dikembalikannya dengan pelukan sekeliling pinggang pemuda itu.
Kemudian Kareem menariknya ke bawah, ke atas batu datar yang terlindung di balik semak. Darahnya demikian bergolak sehingga sama sekali tidak dirasakannya betapa dingin batu itu....
* * * Sejak itu mereka menempati ranjang besar di kamar belakang. Kareem sempat minta maaf atas keterlanjurannya, namun Katarina membungkamnya dengan kecupan hangat.
"Ssst." Kepalanya menggeleng, matanya mengerling. "Bukan salahmu," bisiknya mesra.
"Aku sangat mencintaimu, Rin," ujar Kareem parau saking menahan emosi.
"Aku juga," bisik Katarina. merebahkan kepala ke pangkuannya. Saat itu mereka tengah duduk-duduk di teras kabin, memandang ke tengah laut.
"Gimana kalau tahun depan kita menikah""
Tersenyum malu-malu, Katarina mengangguk.
"Beritahu orangtuamu, lalu tentukan tanggal berapa mereka bersedia menerima kedatangan paman-bibiku."
Katarina sudah tahu, orangtua Kareem keduanya telah tiada. Ayahnya meninggal ketika dia baru masuk Taman Kanak-Kanak. Ibunya patah hati, tak mau disuruh kawin lagi, seakan cuma ingin hidup sampai anaknya tamat sekolah dan menjadi dewasa. Tiga tahun yang lalu dia meninggal karena kanker indung telur yang sudah menjalar ke seluruh tubuh.
Bab 27 INI adalah hari pertama aku kembali masuk kerja. Mbak Min, kepala perawat, ternyata sudah pindah ke Jakarta minggu lalu, sebab suaminya mendapat kerjaan baru di sana. Kebetulan juga. Lebih baik bagi anak mereka, Kiki, yang memerlukan perawatan khusus karena menderita kesulitan memusatkan perhatian serta selalu mengganggu teman-temannya selama kelas berlangsung.
Dokter Luki sedang cuti. Dokter Anwar, wakilnya, yang saat itu menempati kursinya, memanggilku ke kantor dan memperlihatkan surat keputusan yang sudah dibuat oleh Dokter Luki sebelum dia pergi bulan lalu.
"Dokter Luki telah mengangkatmu untuk menggantikan Suster Min," ujarnya tersenyum.
Aku demikian kagetnya, sehingga untuk beberapa detik cuma bengong melongo seperti orang bego yang enggak ngerti apa yang didengar. Dokter Anwar rupanya maklum akan reaksiku, sebab dimajukannya kepalanya ke depan, lalu diulanginya kalimatnya.
"Jangan bilang kau akan menolak!" tambahnya, nyengir menggoda. Dijentriknya jarinya membuat aku berkedip dan kesadaranku seolah pulih kembali.
"Dokter... Lu-ki... me-nan-da-ta-ngani-nya"""" tanyaku terbata-bata, bukan karena aku kurang percaya pada Dokter Anwar, tapi cuma sebagai luapan rasa heran. Rupanya Dokter Luki menepati janji dulu yang diberikannya sebelum aku cuti!
"Ya." Dokter gemuk yang ramah dan suka melucu itu mengangguk. "Alasannya, dengan ijazahmu yang mutakhir itu, saat ini kaulah yang paling cocok menggantikan Min. Meskipun Dokter Luki akan balik minggu depan, aku ingin kau diresmikan sekarang juga. Tak usah menunggu dia kembali.
Soalnya, tugasmu sudah menumpuk! Ha, ha, ha.... Ditinggal baru seminggu oleh Mbak Min, bangsal-bangsal sudah mau kacau-balau. Tanggung jawabmu sekarang untuk membereskannya dengan atau tanpa pengangkatan ini. Jadi, kalau harus menunggu sampai Dokter Luki balik, selama seminggu kau takkan dibayar sebagai kepala perawat, melainkan cuma sebagai perawat biasa. Enggak mau, dong"" godanya ketawa geli, membuat aku terpaksa ikut ketawa.
Saat-saat seperti itu sanggup membuat pikiranku istirahat sejenak, melupakan bayi montok yang telah direnggutkan orang dari haribaanku. Entah di mana si buyung itu sekarang, sedang apa dia. Apakah ibu asuhnya menyayanginya" Apakah dia enggak terlantar"
"Jadi, kaububuhkan tanda tanganmu di sini, pertanda kau setuju dengan pengangkatan ini. Soal peresmian dengan makan-makan, itu boleh ditunda nanti. Sampai Bos kembali. Biar dia yang nanggung ongkosnya. Kas kita sudah minim."
Demikianlah aku diberi jabatan baru yang lebih penuh tanggung jawab. Aku harus bisa mengatur anak-anak buahku, sebagian baru saja tamat akademi perawat. Karena fisikku yang tinggi serta keterampilanku yang terbina dalam pendidikan tambahan selama aku cuti setahun, maka aku merasa sanggup melaksanakan tugas itu. Tampaknya bawahanku juga menginsafi hal ini dan mereka menerima aku dengan hati terbuka.
Jangan bilang waktu seminggu itu singkat atau panjang. Bisa keduanya, tergantung bagaimana perasaan kita saat itu. Karena aku sangat kangen dengan Luki yang sudah setahun tidak aku lihat, bagiku itu adalah seminggu yang terpanjang dalam hidupku. Kemudian ternyata juga yang paling bermakna, takkan pernah bisa dihapus dari riwayatku.
Dalam perjalanannya dari Bandung kembali ke klinik, Luki mengalami kecelakaan lalu lintas. Mobilnya ditabrak truk dan terjungkal ke jurang, terbakar. Kami mendengar tentang kecelakaan itu dalam warta berita malam di TV, tapi baru esoknya mengerti siapa korban yang tewas.
Rasanya aku ikut mati saat itu. Kemudian muncul perasaan lain. Ingatan pada anak kami memberiku tekad untuk tetap hidup. Aku ingin ketemu anakku pada saat dia sudah dewasa. Aku harus melihatnya. Aku harus mengatakan padanya siapa ayahnya. Seandainya ayahnya tahu mengenai kehadirannya, pasti ayahnya akan mencintainya. Sebab dia mencintaiku, anakku.
Untung istri Luki serta anak mereka tidak ikut dalam mobil itu. Rupanya keduanya masih di Bandung, sebab sang anak sedang selesma berat. Tapi rencana untuk menyusul belakangan tak pernah terlaksana tentu saja. Buat apa lagi nyusul.
Luki dikubur di Bandung. Dokter Anwar serta dokter-dokter lainnya pergi melayat. Aku juga diajak untuk ikut, tapi enggak berani. Aku yakin enggak bakal bisa bertahan menyaksikan jenazahnya terlentang tak berdaya. Kalau aku pingsan atau banjir air mata, pasti orang akan curiga. Paling tidak, akan jadi omongan bertahun-tahun. Aku juga enggak mau menyakiti hati istrinya. Aku memang enggak tahu dia sudah beristri waktu itu. Tapi seandainya tahu juga, aku enggak yakin akan mampu membunuh cintaku terhadap Luki....
Makan seafood adalah kegemaran Kareem. Dia sanggup menghabiskan lobster raksasa sendirian, sementara Katarina cuma cemal-cemil bagian ekor. Senang hatinya melihat seorang laki-laki yang demikian hebat nafsu makannya. Lebih kagum lagi sebab ternyata semua kalori dan protein yang masuk itu tidak ditimbun jadi lemak, melainkan diubah sebagai energi. Kareem senang olahraga: jagoan berenang, mendayung, tenis, jangan bilang lagi golf yang menurut pendapatnya cuma merupakan gerak jalan belaka.
"Dan untuk usaha memukul-mukul bola golf, orang bisa ketiban rezeki ratusan ribu dolar, siapa yang enggak mau" Sama seperti tanding catur. Pertandingan melawan komputer saja hadiahnya sudah hampir sejuta dolar, bayangin! Sayang aku enggak pernah tekun belajar catur. Kalau enggak, mungkin sudah bisa jadi miliuner tanpa harus ngapalin gambar-gambar Spalteholz!"[nama buku anatomi (kedokteran)] ujarnya suatu saat, dulu.
"Lalu, siapa yang akan menolong anak-anak tuli kayak aku"" tuntut Katarina berlagak merengut.
Kareem menjawil dagunya seraya ketawa meriah. "Itu kan cum
a angan-angan. Sejak aku tahu ayahku dokter, aku sudah bertekad untuk mengikuti jejaknya."
"Kau suka makan enak, nih!" tukas Katarina setengah bertanya.
Kareem mengangguk. "Ibuku pintar masak. Hobi juga baginya."
"Gawat! Aku enggak becus apa-apa. Sejak kecil enggak dibiasakan di dapur. Bisaku cuma makan." Katarina ketawa malu.
Kareem menatapnya dengan senyum mesra. Kepalanya menggeleng. "Ah, enggak jadi soal. Enggak perlu kau pusing."
"Untunglah. Jadi enggak bakal ada masalah""
"Tentu saja enggak. Sebab aku akan menjadi gurumu di dapur!"
"Apa"""!" Katarina melotot.
"Enggak usah bayar uang les!" ujarnya serius, manggut-manggut. "Kau akan belajar masak dari aku! Gimana mengupas bawang tanpa nangis, gimana ngupas kunyit tanpa merusak kuku..."
"Yang benar! Kau enggak serius!" tuduh Katarina kebat-kebit. Dia benar-benar enggak suka di dapur. Tak pernah bisa mengerti kenapa ibunya begitu betah di sana.
"Kau lihat aku gimana"" tantangnya. "Serius apa enggak""
Katarina mendelu dalam hati, menatap Kareem dengan ragu. "Terus terang, aku enggak bergairah kawin cuma untuk ngendon di dapur...." Suaranya kecil, campuran sedih dan kesal.
Kareem menatapnya beberapa saat, lalu mendadak meledak terbahak, membuat Katarina nyaris meloncat dari kursi saking kaget. "Ha... ha... ha... aku cuma main-main, Rin. Aku enggak bakal melepaskanmu, enggak peduli apa kekuranganmu. Aku enggak peduli kau enggak bisa masak nasi atau enggak suka nyapu atau apa kek. Selama perangaimu cocok, seperti sekarang ini, aku akan selalu mencintaimu. Yang penting konduite, bukan keahlian masak, bukan kepintaran cari duit! Jelas""
Diraihnya gadis itu dan dikecupnya lehernya yang jenjang. Karena pelayan muncul membawakan minuman, terpaksa dilepasnya pelukan itu. Ketika mereka pulang ke kabin setelah itu. diteruskannya intermezo itu dalam mobil tanpa selesai. "Nanti di kabin," bisiknya, membuat Katarina menggelinjang penuh harap. Sekarang tiap malam mereka terlibat acara intim begitu, sehingga bacaannya terlantar berat. Untung buku tersebut sudah hampir habis. Terakhir dia sampai pada babak baru dua puluh tahun lebih kemudian ketika Karla telah memasang iklan dengan bantuan temannya, pengacara Razak, mengundang anaknya supaya datang menemuinya.
Karla mengakui betapa Razak naksir dirinya, tapi dia sudah bertekad takkan mau menikah. Cintanya sudah terkubur bersama Luki. Hidupnya kini cuma merupakan penantian untuk berjumpa dengan Arman, anaknya.
Razak sempat menikah dengan wanita lain. Sekarang mereka berjumpa lagi, sebab Karla memerlukan pertolongannya. Ternyata istri Razak telah meninggal, kedua anak mereka sudah dewasa. Dan Razak masih menyimpan perasaan yang sama terhadap Karla. Namun Karla berlagak tidak tahu. Baginya yang utama adalah Arman.
Abang Karla yang dulu telah membantunya menghadapi kutukan ayah mereka, baru-baru ini meninggal, putri tunggalnya kini diserahkan padanya, sebab sudah yatim-piatu. Ibu anak itu meninggal ketika dia baru dua tahun. Jadi sekarang cuma tinggal Karla berdua keponakan. Orangtua Karla sudah meninggal lama. Karla sendiri masih menjadi kepala perawat seluruh rumah sakit yang sejak kematian Dokter Luki dinamakan Rumah Sakit Sabara.
Katarina mengerti, sekarang rumah sakit itu disebut RS Sabara-Birka, sebab sudah dibeli oleh Prof. Birka. Beliau juga mempunyai sebuah rumah sakit lagi di Jakarta. Penjualan itu terjadi ketika Katarina masih kecil, yaitu ketika ayahnya diciduk polisi!
Tiap kali teringat pada Ayah, cepat-cepat dialihkannya pikirannya ke hal lain. Dia kembali ke buku harian, teringat bab terakhir yang dibacanya, di mana penantian Karla rupanya akan segera berakhir.
Pada suatu hari muncul seorang laki-laki gagah yang membawa koran dengan iklan tersebut. Ketika dia cuma berduaan dengan Karla, dikeluarkannya dari kantong celananya sepasang kaus kaki bayi....
* * * Aku kaget selengah mati, hampir terjajar ke belakang saking kaget. Gimana enggak. Orang itu ternyata adalah Dokter Edo Sabara, yang sudah hampir lima tahun dinas di RS Sabara! Kaus kaki itu yang terbuat dari kain katun berwarna biru dengan bunga an
eka warna adalah tanda mataku untuk Arman. Bahannya aku gunting dari gaunku sendiri, dan gaun itu masih aku simpan!
Inikah dia" Sudah begini gagah" Selama empat tahun lebih aku melihatnya tanpa menyangka sedikit pun...! Aku selalu menganggapnya anak...! Oh, betapa rindu aku ingin memeluknya! Tapi aku belum berani, kawatir ditolak. Aku mengerti sepenuhnya bila dia sampai merasa sakit hati padaku, menuduhku telah menelantarkannya. Sebab memang itu yang telah kulakukan walau atas paksaan ayahku.
Wajahnya memang mirip Luki, jadi lumrah saja aku mengira dia anaknya! Pantas air mukanya sering muram. Pasti karena hidupnya menderita sejak kecil. Ketika dia direnggutkan dari pelukanku, usianya baru beberapa minggu. Hampir setahun lamanya dia dirawat oleh pembantu di tempat yang enggak boleh aku kunjungi (waktu itu aku sudah dinas lagi setelah cuti setahun untuk menambah ilmu, hadiah dari Dokter Luki), lalu begitu ultah pertamanya berlalu, dia diserahkan pada orangtua angkatnya.
Aku enggak pernah tahu siapa dan di mana. Cuma abangku yang boleh tahu. Dan aku mempercayakan darah dagingku padanya. Abangku menengoknya setiap bulan, sekalian membawakan biaya perawatannya. Aku cukup terhibur, sebab sesekali abangku memberitahu (dengan pesan jangan sampai kedengaran ayah atau ibuku, sebab Ibu enggak pernah bisa menyimpan rahasia terhadap Ayah, pasti dia akan keceplos ngomong) tentang keadaan anakku serta perkembangannya. Ternyata dia cerdas dan rapornya selalu bagus, enggak pernah ada tinta merah.
Ketika aku diberitahu Arman masuk kedokteran, air mataku menetes saking gembira dan bangga. Dan sekarang saatnya telah tiba. Dia kini tengah berdiri di hadapanku! Sayang abangku sudah tiada, sehingga dia tak dapat bantu memperkenalkan kami berdua. Kini aku harus berkenalan sendiri dengannya dan memastikan betulkah ini orangnya" Betulkah dia anakku" Wajahnya memang mirip Luki.
Tapi kenapa namanya Edo" Siapa yang mengganti" Kenapa abangku enggak pernah bilang apa-apa mengenai hal ini" Edo minta maaf, karena selama ini dia telah menyamar sebagai orang lain demi memperoleh kedudukan di rumah sakit. Dia berlagak sebagai Edo Sabara, padahal Edo-almarhum Edo Sabara-adalah sahabat karibnya di FK yang meninggal kena kanker. Sekarang setelah membaca iklan tersebut, dia sadar betapa ibunya menderita menantikan perjumpaan mereka selama puluhan tahun. Dia bertekad tak mau menunda-nunda lagi reuni itu, walau akibatnya kurang enak baginya. Sebab itu bisa berarti dipecat dari jabatan. Malah dengan tidak hormat! Tapi demi kebahagiaan ibunya, aku, dia menyatakan tak peduli akibat itu. Oh, betapa terharu hatiku mendengar cintanya yang sebesar itu pada ibu kandungnya, aku!
Rupanya enggak sia-sia aku menunggu sekian puluh tahun! Anakku ternyata tidak membenciku. Dia mencintaiku seperti aku mencintainya! Ketika aku coba menjelaskan bahwa aku terpaksa memberikan dia pada orang lain, Edo mengibaskan tangan sebagai tanda aku enggak perlu bilang apa-apa, yang lalu biarkan lalu. Yang penting kita sekarang sudah berkumpul lagi, katanya. Dia juga bilang, akan segera mengganti kembali namanya menjadi Arman begitu dia disahkan sebagai ahli waris! Betapa bahagia hatiku mendengarnya. Aku langsung siap menerimanya sebagai anakku, tak peduli nama, tak peduli motivasi penipuannya selama bertahun-tahun ini. Aku sudah menunggu puluhan tahun, aku cuma hidup untuk saat ini!
Selama beberapa hari aku terayun di awang-awang. Tapi di dunia memang tak ada yang kekal. Kami biasa iuran gosip kalau sedang kumpul-kumpul, makan di kantin. Dan hari itu salah seorang perawat ruang bersalin nyeletuk mengenai Dokter Sabara yang didengarnya dari dokter lain. "Dokter S. (enggak berani disebut nama lengkapnya, kawatir kedengaran orang yang enggak berhak) itu benci sekali sama ayahnya, lantaran ayahnya telah menelantarkan dia dan ibunya!" Aku terkesiap. Mana mungkin dia tahu siapa ayahnya, mana mungkin dia tahu ibunya telah ditelantarkan" Atas pertanyaan yang lain, Nunuk menjelaskan, "Ayahnya dulu kerja di sini bertahun-tahun, enggak sekali juga pulang ke Bandung! Dia baru melihat ayahnya per
tama kali setelah umur berapa tuh, aku lupa, empat atau lima. Puguh wae benci atuh" Aku diam saja mendengarkan. Perawat-perawat ini semuanya masih muda-muda, ibaratnya anak buahku, tentunya enggak pantas aku ikut-ikutan atau kelihatan tertarik pada gosip mereka. Tapi jangan salah, kupingku terbuka lebar-tegak bagaikan radar di Pentagon, dan hatiku bagaikan dirajam beling. Sesaat itu darahku mendidih. Jadi Edo sebenarnya tahu aku bukan ibunya. Dengan sengaja mengecohku. Kurang ajar! Haramzad...! Tapi mendadak ingatan pada ayahnya melintas di kepala, dan aku batal mengutuknya.
Aku enggak tahu lagi harus berpikir apa. Oh, seandainya dia sampai tahu apa sebabnya ayahnya enggak pernah pulang! Seandainya dia tahu ayahnya mencintai wanita lain, dan wanita itu adalah...!
Deritaku bukan cuma sampai di situ saja. Setelah melayang di awang-awang, aku terbanting lagi ke realita. Sebenarnya Razak telah menemukan Arman! Atau katakanlah, orang yang mengaku sebagai dia telah datang ke kantornya. Di sinilah timbul kesulitannya. Razak yakin itulah anak kandungku. Celaka dua belas! Sebab orang itu ternyata membawa kalung berlian dan namanya di KTP, Arman! Dalam perdebatan dengan Razak, aku membela Edo. Logikanya, orang enggak akan tertarik untuk mencuri kaus kaki yang sudah tua dan lusuh. Sebaliknya, banyak orang akan selalu tergiur melihat kalung bermata berlian.
Ketika Razak bertanya dengan dahi berkerut, "Bagaimana kau tahu rupa kalung itu"", aku kaget, sadar hampir keterlepasan omong. Soalnya Razak enggak tahu, Arman adalah anakku. Dia cuma tahu, kami sedang mencari anak angkat almarhum abangku. Menurut surat wasiatnya, harta warisannya harus dibagi dua antara putri tunggalnya serta anak angkat ini.
Aku merasa lega ketika Razak menggeleng atas pertanyaanku, "Tahukah kau siapa ibu Arman""
"Abangmu tidak mengatakannya. Tapi dia sudah memenuhi persyaratan untuk menjadi ahli waris."
"Tidak bisa! Edo yang harus menjadi ahli waris!"
"Alasannya""
"Karena dia sudah membuktikan, dialah anak angkat yang dimaksud!"
"Dengan sepasang kaus kaki" Tidak, Karla!"
"Tapi Edo mirip sekali dengan ayahnya!"
"Karla, hukum tidak mengenal emosi! Abangmu tidak menyebut-nyebut soal kaus kaki atau kemiripan dengan sang ayah. Dia cuma bicara tentang seuntai kalung. Itulah yang akan dilihat hakim bila kita maju ke pengadilan!"
"Jadi"" "Dokter Arman yang akan menerima warisan!"
"Aku belum menyerah kalah!" tukasku sengit. Memang betul aku menjagoi Edo. Oh ya, aku punya firasat, orang yang mengaku sebagai Arman itu bukanlah anakku. Seorang ibu dapat merasakannya. Entah dari mana diperolehnya kalung berlian milik ibuku itu. Kalung itu diberikan oleh ibuku sebagai tanda mata bagi cucu yang takkan pernah ditimangnya karena ayahku yang keras tidak bisa menerima keturunan yang lahir di luar perkawinan.
Arman bukan benihku. Namun aku juga sudah tahu, Edo bukan anakku. Aku bertanya-tanya sendiri bagaimana dia bisa memperoleh kaus kaki tua yang sudah enggak menarik itu. Mustahil didapatnya sebagai suvenir" Siapa yang mau suvenir yang sudah dekil begitu" Di lain pihak, kalung yang berharga jutaan itu pun enggak mungkin diperoleh dengan senyum manis tok.
Pikir punya pikir, aku sampai pada kesimpulan anakku sudah binasa. Tapi aku enggak berhak menunjukkan perasaan sedih, sebab enggak mau membuat Razak atau yang lain curiga. Aku terima nasib. Karena sudah membuangnya ketika dia membutuhkan perlindunganku, maka untuk selamanya aku juga takkan berhak dipanggil Ibu olehnya. Ganjaran yang setimpal bagiku.
Karena itu aku nekat mau berusaha melimpahkan harta warisan abangku sebagian ke tangan Edo. Aku sama sekali enggak tahu siapa yang mengaku Arman ini. Tapi paling sedikit aku yakin, Edo adalah anak tunggal Luki. Luki yang masih selalu kucintai....
Kemudian muncul pelbagai insiden yang menegangkan serta fatal. Dimulai dengan kematian pacar keponakanku. Anak muda itu bermalam di sini setelah menghadiri pesta untuk memperkenalkan keponakanku dengan para staf rumah sakit. Razak dan Jonas, sang korban, nginap sebab kemalaman untuk balik ke Jakarta. Paginya Jonas ditemuka
n sudah terbujur kaku! Serentetan kecelakaan timbul. Keponakanku mengeluh hampir kena celaka ketika mengendarai mobilnya. Remnya blong. Bensinnya kosong. Aku sendiri hampir kena listrik ketika memakai alat pengering rambut. Dan Arman senantiasa hadir di latar belakang....
Hatiku menjadi waswas. Tahukah dia, bagian keponakanku akan jatuh ke tangannya bila keponakanku itu meninggal" Ya, aku rasa dia sudah diberitahu oleh Razak. Seandainya dia telah membaca surat wasiat abangku, dan aku rasa memang sudah, dia pasti tahu. Keduanya, Arman dan Edo. Tapi siapa yang melakukan semua ulah itu" Siapa yang membunuh Jonas"
Dugaanku lebih berat ke arah Arman. Masalahnya, Edo sudah mulai menjalin hubungan dengan keponakanku. Dengan sendirinya dia enggak perlu mencelakakannya. Justru kalau calon istrinya meninggal, dia akan gigit jari, uang bagian mereka akan jatuh ke tangan Arman. Ini kalau Razak berhasil meyakinkan pengadilan untuk mengesahkan Arman sebagai ahli waris.
Jadi dipikir-pikir sampai mumet, kemungkinan besar Arman-lah biang keladinya. Problemnya: enggak ada bukti secuil juga untuk menyeretnya ke depan polisi.
Keponakanku sudah resmi bertunangan dengan Edo. Aku merasa agak lega. Paling sedikit itu akan melindunginya terhadap tangan-tangan jahat. Sebab dalam keadaan sekarang, seandainya terjadi sesuatu padanya, warisan bagiannya takkan jatuh ke tangan Arman (yang sampai detik itu secara diam-diam aku curigai mempunyai andil dalam semua insiden yang nyaris mencelakakan putri tunggal abangku itu).
Karena itu bagaikan disambar geledek...
Kareem dengan lembut menarik buku harian itu dari genggamannya dan meletakkannya ke atas meja. Dilepasnya alat pendengar dari belakang kuping dan dicabutnya prosesor dari dalam kantong daster Katarina. Semua itu dipindahkannya ke meja. Diurainya rambut yang terikat pita, lalu dia menunduk mengulum bibir yang merah merekah.
Sofa itu cukup lebar walau kurang panjang. Mereka bergumul sebentar sementara bara dalam perapian di ruang keluarga itu menghangatkan ruangan. Musim winter di pulau ini memang tidak sedingin di atas benua. Katarina mendesah dan balas memagut. Lembayung petang perlahan berubah jadi gelap. Mereka tak perlu menutup gorden, sebab semua kabin menghadap ke pantai. Mereka juga tak dapat dilihat oleh orang-orang di pantai sebab ada semak-semak yang melindungi bagaikan pagar antara kabin-kabin dan laut. Karena letak kabin jauh lebih tinggi, mereka dapat menikmati tepi laut tanpa terhalang.
Dan sambil menunggu langit menjadi kelam, mereka meneruskan acara pribadi yang intim itu yang sama sekali tidak memerlukan kata-kata. Dengan sendirinya alat pendengar pun dianggap berlebihan. Belaian dan sentuhan, kecupan dan rabaan, sama artinya dengan kata-kata mesra yang diucapkan.
Sudah tak terhitung kali mereka bermesraan, tapi malam itu lebih istimewa. Sebabnya" Karena itu adalah malam terakhir mereka di sana. Esok mereka harus kembali pulang ke Adelaide, dari sana ke Melbourne. Seperti tempo hari, nginap semalam di ibu kota Aussie bagian selatan sebelum melaju ke ibu kota Negara Bagian Victoria.
Lelah bermain, keduanya tertidur. Katarina terbangun ketika hidungnya mencium harumnya bumbu supermi. Dibukanya mata Ternyata Kareem tengah sibuk di dapur yang bersambung dengan ruang keluarga dan ruang makan. Dengan lamban dia menguap dan mengulet, lalu mengangkat tubuh, duduk di sofa. Dirapikannya bajunya, rambutnya, dipasangnya alat pendengar, lalu diraihnya sandalnya. Dia berdiri dan melangkah sampai ke belakang Kareem, memeluk pinggangnya, mengecup tengkuknya.
"Bisa tidur"" tanya Kareem ketawa mesra, membalas kecupan yang mendarat di pipi.
"Wah, nyenyak. Aku sampai enggak tahu kau bangun! Apa ini""
"Sudah lapar" Duduklah di meja. Lima menit lagi siap!"
Katarina balik ke meja makan beberapa langkah dari situ, lalu menjatuhkan diri. Matanya menatap ke luar, tapi cuma bintang-bintang yang kelihatan. Langit sudah kelam. Lonceng kecil di atas meja menunjukkan jam delapan kurang sepuluh.
Mereka bersantap dengan nikmat walau lauknya cuma supermi dengan sisa ayam goreng. "Aku enggak masa
k nasi sebab besok kan sudah mau pulang, tanggung. Tapi buah-buahan masih banyak. Apel, jeruk, pisang." Mereka pesta malam itu.
Di tempat itu tak ada telepon atau TV. Jadi betul-betul istirahat total. Kareem memang membawa radio, sekedar untuk mendengarkan ramalan cuaca. "Wah, besok angin kencang. Berarti feri bisa dihantam gelombang. Pasti ada penumpang yang akan muntah-muntah," tukas Kareem. "Kau siap-siap saja obat antimabuk. Siapa tahu sekali ini olengnya hebat."
"Jam berapa kita akan berangkat""
"Jam tujuh pagi."
"Wah, kantor pasti belum buka."
"Kantor apa""
"Yang mengurus penginapan ini. Kita harus mengembalikan kunci, kan"!"
"Enggak perlu. Sudah disuruh taruh di bawah keset seperti yang mereka lakukan."
"Jadi kita bisa berlibur di sini tanpa sekali pun ketemu dengan para petugas"" tanya Katarina heran dan kagum.
"Ketemu sih mungkin pernah tanpa kita sadari. Kan mereka bergilir datang tiap hari mengontrol keadaan, entah membersihkan lapangan parkir atau membetulkan salah satu kabin yang mungkin keran ledingnya macet. Tapi kau benar. Secara formal kita belum pernah ketemu dan berjabat tangan dengan seorang pun dari mereka. Pembayaran saja diurus melalui Internet."
"Gejala yang disebut Orwell dalam bukunya Sembilan Belas Delapan Empat sudah mulai timbul. Hubungan antarmanusia akan semakin berkurang, semua melalui mesin. Sekarang saja ambil duit bisa langsung dari mesin, enggak usah ke bank. Bisa setiap saat. Cuma bahaya penodongannya juga semakin besar. Aku sih ogah, makanya enggak mau punya kartu buat ambil duit. Enggak bisa ingat nomor PIN yang enggak boleh ditulis di mana-mana."
"Hei, kau tahu Orwell"" Kareem membelalak, tersenyum mesra. "Enggak kusangka bacaanmu cukup luas."
Katarina hanya tersenyum malu, menyebabkan Kareem berseru, "Biasanya kalau dikasi pujian harus tahu dong apa imbalannya! Paling dikit sepuluh dolar...."
"Aku cuma punya dua dolar tiga."
"Ogah ah recehan, berat!"
"Ya udah. Aku bilang trims aja deh."
Katarina melirik manja ketika Kareem menyorongkan wajahnya ke depan, bibirnya dicucutkan. "Paling sedikit harus ada bentuknya. Trims dalam kata saja kurang."
Katarina mengabulkan keinginan itu, memberikan kecup yang diminta. Malam itu mereka tidur nyenyak, masing-masing merasa bahagia. Terutama Katarina. Tak pernah termimpi olehnya akan ketemu sebungkah cinta yang demikian asli. Tak habis pikir dia apa jasanya sampai diberi anugerah sebesar itu dalam hidup.
Bab 28 Karena itu bagaikan disambar geledek aku ketika pada suatu petang Arman muncul bersama seorang wanita yang menggandeng seorang bocah cakep. Wanita itu bernama Yustina, anaknya Kareem.
Arman yang tinggi kurus dan biasanya sinis air mukanya, saat itu dengan wajah muram mengelus kumisnya yang tipis seperti goresan jelaga. Matanya yang tajam menatapku ketika dia bicara. "Nama saya sebenarnya Niko. Arman adalah sahabat karib saya di fakultas kedokteran. Saya tidak sanggup menyelesaikan studi, karena terlanjur lebih senang jadi wartawan."
Aku melongo saja mendengar ocehannya, firasatku sudah mulai enggak keruan. Arman disebut-sebut, tapi mana orangnya" Pantas kan bila firasatku jadi kurang enak"
Setelah meneguk teh yang disediakan pembantu, Niko melanjutkan. "Saya sedang dinas di Sulawesi waktu Arman tewas di Jembatan Semanggi dalam perjalanan ke kantor Pak Razak. Yustina mengirim faks ke kantor redaksi, dan saya berangkat ke Jakarta saat itu juga. Menurut saksi mata, mobilnya terpental, rupanya mau menghindari tabrakan- dari belakang mau nyusul tapi di depan ada jip, mobil belakang itu mepet, terpaksa Arman banting setir ke kiri-tapi enggak bisa ngerem, nabrak pagar jembatan, terbalik! Menurut Yus, tidak ada barang yang hilang dari mobilnya, dompet dan tasnya utuh, kecuali sepasang kaus kaki yang tergantung di depan kaca spion..."
Tekkk! Hatiku langsung stop berdetak untuk sedetik. Sebuah wajah muncul di relung mataku. Tapi otakku masih belum bisa menerima. Mungkinkah" Masak sih"! Di lain pihak, dari mana Edo memperoleh kaus kaki itu"! SEBAIKNYA AKU TANYA DIA NANTI!!!
"Arman saat itu sudah menjadi dokter. Semasa
dia masih kuliah, Edo kebetulan pernah menjadi mentornya, membantunya dalam melakukan riset atau membuat skripsi, dan lain-lain. Menurut Yus, Arman masih punya hubungan dengan Edo. Malah begitu membaca iklan Pak Razak, dia langsung menelepon Edo, minta ditemani ke kantor Pak Razak. Edo yang menyarankan hari dan jamnya, dengan alasan cuma itu saat luangnya."
"Tapi kalau memang benar dia mengincar warisan itu, kenapa enggak segera dijawab" Iklan itu dimuat sampai tiga kali, baru ada respons!" ujarku.
"Barangkali itu taktiknya supaya jangan memberi kesan terlalu bernafsu, takut mencurigakan," sambut Niko. "Arman tewas sesudah iklan pertama. Iklan kedua lewat begitu saja. Setelah iklan ketiga, muncul saya yang mengaku sebagai Arman. Rupanya sekarang dia merasa harus segera bertindak, jangan sampai saya disahkan jadi ahli waris."
"Ya, dia juga bilang begitu padaku," kataku mengangguk.
Yustina ikut bicara, "Niko datang ke tempat ini atas permintaan saya untuk mendapatkan warisan itu. Demi anak saya, Kareem. Saya tidak punya kepandaian berarti untuk mencari nafkah, saya kawatir Kareem nanti terlantar. Niko- menyanggupi. Maka saya serahkan kalung tanda mata nenek Arman pada Niko, disertai KTP yang sudah tua dan kebetulan fotonya agak buram, jadi gampang dikira itu foto Niko. Untunglah Arman sudah disahkan sebagai ahli waris dan kelihatannya kalau enggak ada halangan apa-apa, Kareem akan memperoleh apa yang menjadi haknya. Tapi saya datang hari ini karena terpaksa, juga atas permintaan Niko, setelah mendengar kemungkinan Dokter Edo akan kawin dengan keponakan Ibu. Kami yakin perkawinan itu hanya taktik untuk menguasai harta keponakan Ibu, jadi harus dicegah.
"Arman pernah menceritakan pada saya riwayatnya. Saya rasa, dia juga sudah mengatakannya pada Edo.
"Ayah Kareem pernah bilang sama saya, dia dikasi tahu oleh ibu asuhnya siapa ibu kandungnya, tapi enggak tahu siapa ayahnya. Dia sudah beberapa kali ingin minta izin pada ayah angkatnya untuk menemui Ibu, tapi saat terakhir selalu batal, keberaniannya hilang. Dia takut ditolak, nanti kecewa berat."
Hatiku terasa diiris-iris sembilu mendengar perkataan Yustina. Arman takut ditolak olehku" Dia enggak tahu, justru aku yang ngeri ditolak olehnya!
"Arman sangat baik hati, sekilas tampak periang, tapi sebenarnya dia penakut kelas berat. Selalu takut ditolak oleh guru, oleh teman, selalu ngeri nanti kecewa."
Aku pandang Niko dengan perasaan lain. Untuk pertama kali aku betul-betul merasa tengah menatap anakku sendiri. Saat itulah aku memutuskan untuk buka kartu. Kukatakan pada mereka siapa ayah Arman sebenarnya, dan kenapa dia diberikan pada orang lain. Tak tertahan air mataku menetes turun, diawasi oleh si kecil yang begitu manis dan lugu, ingin rasanya aku menariknya ke dalam pelukan dan mengecupinya. Tapi aku enggak berani lancang, kawatir dia takut dan kaget, sebab baru pertama kali itu kami berjumpa.
"Apa Edo tahu siapa ayah Arman"" tanya Niko.
Aku menggeleng. "Sepintas lalu dia tanya, tapi aku jawab belum waktunya dikasi tahu. Rupanya di bawah sadar aku masih belum yakin dia itu anakku. Entah kenapa. Sekarang kalau dipikir-pikir, mungkinkah karena dia enggak membawa kalung neneknya" Kalau benda itu ada padanya, kenapa enggak dibawanya sekalian dengan kaus kaki""
Niko mengangguk tanpa kata. "Jangan kawatir, aku akan menyelesaikan masalah ini secepatnya. Kareem pasti akan mendapat apa yang menjadi haknya. Mari sini sama Nenek," aku panggil dia.
Ibunya mendorong anak itu ke arahku. "Sana, cium Nenek! Dia kan ibu ayahmu," Yustina menjelaskan.
Cucuku yang ganteng itu maju tanpa berkedip. Aku menunduk memberikan pipiku yang dikecup-nya dengan bibir mungil yang terasa hangat. Mendadak aku jadi ketagihan, kuberikan pipi yang sebelah lagi. Di tengah gelak tertawa ibunya serta Niko, diulangnya prestasi perdana tadi. Hatiku bahagia sekali. Belum pernah aku merasa seperti saat itu. Mempunyai cucu selucu dan sehebat itu rasanya sudah cukup sebagai pengganti sang ayah yang enggak pernah kukenal. Aku bertekad akan membongkar persoalan ini sampai ke akar-akarnya demi cucuku yang
tercinta. Aku sudah enggak diberi kesempatan oleh nasib untuk mencintai anakku, biarlah cinta itu sekarang aku alihkan pada cucuku.
Yustina memperlihatkan surat kawin serta sebuah album yang penuh dengan foto-foto Arman bersama istri dan kawan-kawan. Tampaknya Arman berperangai riang, tubuhnya tegap, wajahnya ganteng, eh mirip-mirip Luki!
"Boleh aku pinjam album ini untuk sementara""
"Lebih baik jangan dulu, supaya Edo jangan belum apa-apa sudah tahu siapa yang mendalangi perubahan situasi ini," saran Niko. "Kita harus menjaga keselamatan Kareem dan ibunya."
Ada benarnya juga. Kalau mereka dianggap sebagai penghalang, bisa-bisa mereka juga akan menemui nasib serupa dengan Arman. Saat itu menyelip dalam benakku sebuah pikiran: mungkinkah Jonas juga dibunuh, karena menghalangi jalan untuk merebut hati keponakanku yang notabene nilainya sekian miliar rupiah dalam bentuk saham, rumah-rumah, dan uang tunai"!
Setelah mereka berlalu (Niko resah, ingin cepat-cepat berlalu, supaya jangan sampai kepergok musuh. Sudah kuberitahu orang itu sedang kencan bersama keponakanku dan akan kembali sekitar jam sekian-sekian), aku enggak sabar lagi menunggu keponakanku dengan tunangannya itu pulang. Hm. Tunangan gadungan!
Katarina membalik sisa halaman buku itu, tapi tak ada tulisan apa-apa lagi. Rupanya memang cuma sampai di situ. Tentu saja hatinya tidak puas. Bahwa Arman itu sebenarnya Niko, dia sudah menduga, karena sudah tahu dari Kareem, ayahnya telah meninggal ketika dia masih kecil, kecelakaan mobil. Tapi tidak mungkin kisah itu cuma sampai sekian. Pasti harus ada lanjutannya. Mana"""!
Saat itu mereka sudah kembali ke Melbourne. Minggu depan dia akan terbang ke Jakarta, goodbye untuk sementara. Sampai jumpa lagi tahun depan atau lebih cepat.... Menjadi Nyonya Dokter Kareem Rejana"! Uh, gagah kedengarannya. Atau sebagai Katarina Rejana" Rasanya lebih keren daripada sekarang, Katarina Kiripan.
Kalau bisa, dia kepingin diresmikan secepatnya. Alasannya, haidnya sudah terlambat dua belas hari!!! Ibunya pernah bilang, kalau stres memang bisa telat. Masak gara-gara tur" Turnya enggak stres kok, tapi malah menyenangkan. Atau karena dia merasa bersalah sudah melakukan yang tidak... lumrah" Rasa bersalah kan memang merupakan stres.
Tidak, dia sama sekali tidak merasa bersalah atau menyesal. Hatinya yakin apa yang mereka lakukan bukanlah pelanggaran norma, akan tetapi sungguh-sungguh luapan cinta sejati. Anggap saja kami ini masih hidup di zaman batu, di mana belum ada surat kawin dan undang-undang. Aku bukanlah main dengan sembarang orang, dan juga bukan direncanakan. Semua terjadi dengan polos. Dan kami memang sudah berniat hidup bersama. Kecelakaan yang telah terjadi terpaksa dimaafkan saja oleh Papi-Mami. Maklum, kami ini manusia lemah.
Masalahnya sekarang, dia harus memberitahu Kareem sebelum balik ke Jakarta. Berarti rencana kawin tahun depan terpaksa dimajukan. Yang harus dilakukannya adalah melakukan tes supaya terbukti positif atau... negatif.
Rencananya besok dia akan ke apotek membeli tes tersebut. Tapi malam ini dia mau santai, ogah mengingat-ingat apa yang masih belum pasti. Sehabis makan biasanya mereka duduk di depan TV mendengarkan warta berita atau kemudian menonton film.
Katarina teringat bacaannya. Langsung ditanyakannya pada Kareem mana lanjutannya. "Oh, buku itu memang cuma sampai situ." "Kenapa"" tanyanya heran banget. "Karena malam itu juga nenekku meninggal." "Hah"! Sakit apa""
"Dibunuh! Bibiku juga hampir tewas."
Katarina menyandarkan diri ke punggung sofa, memeluk bantal kursi dan mencoba menenangkan diri. Napasnya terasa memburu seakan baru habis lari setengah maraton, hidungnya mengembang, matanya melotot heran bercampur ngeri, bibirnya menganga sedikit.
Tak pernah terpikir olehnya nenek Kareem dibunuh orang! Dan selama sebulan lebih dia menikmati buku tersebut, dia sudah merasa dekat dengan Nenek Karla, seolah dikenalnya perempuan itu. Mengetahui akhir hidupnya demikian tragis membuatnya sesaat tak sanggup membuka mulut.
Kareem melihat keadaannya. Dia bangkit dan mengambilkan teh hangat yang di
tuangnya pelan-pelan ke celah bibir yang menjadi pucat itu. Bibir cantik yang biasa merah merona itu tampak seperti daging yang sudah kelamaan dalam kulkas, serinya sudah lenyap.
Setelah minum beberapa teguk, Katarina mengedip, mengejapkan mata, dan menggigit bibirnya. Kareem meletakkan cangkir ke atas meja di depan mereka, lalu duduk merangkul bahu gadisnya, merebahkan kepalanya yang harum ke dadanya. Dia menunduk dan mengecup sejenak bibir yang saat itu tampak kuyu. Namun lambat laun warna merah yang biasa menantang itu muncul lagi. Kareem pun diam-diam menarik napas lega.
Katarina merasa baikan, gemuruh dadanya sudah reda, pelan-pelan diangkatnya kepalanya dan duduk tegak bersandar ke sofa. Kareem masih merangkul bahunya tapi tidak lagi memeluknya.
"Kau kaget"" bisiknya.
Katarina mengangguk. "Aku sudah merasa Karla seperti nenekku sendiri, enggak sangka nasibnya begitu jelek."
Kareem menunduk sambil manggut-manggut.
"Pembunuhnya ketangkap""
Kareem mengangguk dengan bibir terkancing.
"Motifnya apa" Perampokan""
Kareem menggeleng pelan, menghela napas, menarik lengannya dari bahu gadis itu, lalu mengatupkan kedua tangan di atas pangkuan. "Memang soal duit, tapi bukan mau merampok."
"Siapa orangnya""
"Yang membunuh" Edo."
"Coba ceritakan. Kau tahu kan kisahnya""
"Bibiku yang ngasi tahu. Malam itu dia pulang bersama Edo, langsung ke kamar mandi. Rupanya nenekku konfrontasi langsung, menuduh Edo telah membunuh anaknya, yaitu ayahku. Paginya dia ditemukan tewas. Rupanya Edo masuk dari pintu teras yang terbuka ke halaman samping. Halaman itu bersatu dengan hutan. Namanya kan daerah pegunungan, mereka enggak pasang pagar, cukup batang-batang pohon cemara saja. Memang juga lebih asri."
Kareem menarik napas sedih.
"Dan bibimu"! Katamu, dia juga hampir tewas...."
"Memang." Kareem mengangguk. "Dia diangkut oleh tunangannya, Edo, ke bangsal, dimasukkan ke kamar isolasi. Di sana mau disuntik mati. Untung pada saat terakhir muncul Niko yang menyelamatkannya... happy end!" Kareem mencoba tersenyum kecil, namun tidak mendapat tanggapan dari Katarina.
Gadis itu kelihatan tegang, bibirnya digigit-gigit-nya, matanya setengah jelilatan seakan mencari sesuatu. Akhirnya tercetus juga sepotong kalimat dengan suara serak, "Apa sih motifnya""
"Sudah aku bilang, duit! Bangsat itu punya anak cacat. Rupanya dia perlu duit banyak untuk menolongnya. Dia sedang melakukan riset yang makan duit. Dia juga membunuh pacar bibiku yang kebetulan nginap di tempat Nenek. Bibi tinggal bersama Nenek setelah ayahnya meninggal. Setahun sebelumnya dia telah membunuh ayahku, saudara tirinya."
"Sau-da-ra... ti-ri-nya"!" bisiknya gagap.
"Ya." Kareem mengangguk tegas. "Ayah mereka itu sama. Dokter Lukito Sabara."
"Sa-ba-ra"""!" Suaranya semakin kecil, nyaris kayak orang tercekik. Bibirnya semakin keras digigitnya.
"Betul. Luki Sabara, kakekku, punya anak tunggal, Edo. Tapi dia pacaran dengan nenekku, lalu tanpa setahu Kakek, Nenek melahirkan ayahku, Arman. Kau kan sudah tahu kisahnya. Kakek tewas terjungkal ke jurang. Ayahku diangkat anak oleh abang Nenek yang cuma punya seorang anak, bibiku. Karena itu namanya Rejana, bukan Sabara."
Katarina menggigil dalam hati, tapi masih berusaha menghibur diri. Orang yang namanya Sabara kan banyak! Kakekku juga dokter, tapi namanya Ogus, bukan Lukito. Cuma... kok nama anaknya bisa kebetulan sama dengan ayahku" Edo Sabara!
"Kau punya foto-foto mereka" Nenekmu Karla, dan kakekmu Ogus... oh, maaf, maksudku Luki." Tangannya meremas-remas ujung bantal saking senewen.
Kareem sedang menunduk memandangi lantai, tangannya terkatup di antara lututnya yang terbuka, dia tidak melihat betapa gundahnya gadis itu. Dengan tenang dia manggut tanpa mengangkat muka, "Kakekku memang punya dua nama. Lukito Ogus Sabara! Enggak, aku enggak nyimpan foto mereka, tapi Bibi Tania kalau enggak salah, punya satu."
Katarina merasakan tenggoroknya tersekat. Ada lima menit dia termangu, lemas. Ketika Kareem bangkit, mungkin mau ke WC, dipaksanya bertanya, "Betulkah nenek dan ayahmu dibunuh oleh..."" Ternyata dia tak sanggup menyelesai
kan kalimatnya, tak kuasa menyebut nama sang pembunuh.
Kareem berdiri, jangkung bagaikan menara, di hadapannya, bahunya terangkat, bibirnya sedikit mencibir. "Edo Sabara sudah mengakuinya." Tanpa menunggu reaksi Katarina, dilangkahkannya kakinya ke dalam, memang mau ke WC.
Ditinggal sendiri, Katarina bengong menatap ke arah TV tapi tidak melihat apa yang disuguhkan. Tanpa disadarinya tangannya meremas-remas bantal di pangkuannya, lalu menggigiti ujung bantal seperti perangainya dulu semasa kecil. Ketika didengarnya suara WC dibasuh, dia terenyak seolah kaget. Bergegas dia berdiri dan sebelum Kareem kembali ke ruang duduk, dia sudah menghilang ke dalam kamarnya.
Kesulitannya sekarang, kamarnya tidak lagi merupakan benteng baginya. Kareem juga sudah biasa masuk, cukup mengetuk saja sekali. Dan fatalnya, pintu kamar tidur di sini tidak punya kunci.
"Hai, Rina, di mana kau"" terdengar suara Kareem dari arah ruang duduk.
Katarina menggigit bibir, menelan ludah, dan menjawab dengan suara yang dipaksanya agar kedengaran biasa, "Aku ngantuk, good night deh."
"Oh, oke, oke. Selamat mimpi!"
Katarina tidak berani tersedu-sedan, kawatir terdengar ke luar. Namun demikian dia tak kuasa membendung air matanya yang mengalir terus sepanjang malam. Sarung bantal sengaja ditatakinya dengan sehelai handuk kecil yang biasa digunakan untuk melap muka agar tidak kena bercak air mata.
Sekarang dia tahu siapa Kareem sebenarnya. Takkan mungkin baginya berterus terang soal keterlambatan haid. Tes itu pun tidak penting lagi. Positif atau negatif, sama saja. Dia tidak bisa memberitahu Kareem. Keponakan Tania. Tania yang membiayai pengobatannya selama ini, sehingga pendengarannya dapat bekerja lagi. Tania yang hampir tewas disuntik ayahnya, tapi membalasnya dengan kebaikan.
Apakah sekarang dia akan menusuk hati emas itu dengan melakukan hal yang memalukan, mencoreng aib ke mukanya" Apakah dia tetap bertekad mau menjadi istri Kareem"
Walaupun sekarang sudah zaman gila-gilaan, rasanya dia tidak sanggup menikah dengan saudara sendiri. Ayah-ayah mereka ternyata abang-adik, cuma lain ibu! Oh, kenapa nasibku begini malang"! Untung empat hari lagi aku sudah bisa pulang. Aku enggak tahan berduaan terus dengan orang yang terlarang bagiku, karena aku sangat mencintainya. Dia juga sangat mencintaiku. Pasti bisa tepercik lelatu yang akan berkobar jadi bara panas, dan itu enggak boleh terjadi lagi. Ah, seandainya aku bisa terbang besok!
Bab 29 Sudah tiga bulan Katarina balik ke Jakarta. Berarti sudah tiga bulan juga usia kandungannya. Dia sering bermimpi mengenai tes yang dilakukannya diam-diam sewaktu Kareem sedang dinas. Tentu saja peralatan tes langsung dibuangnya ke tempat sampah di halaman agar jangan sampai dipergoki oleh Kareem. Dia merasa tragis karena tak mampu meloncat gembira ke dalam pelukannya seperti yang selama itu diharapkannya. Biasanya seorang perempuan akan tersenyum bahagia bila tes positif. Akan tetapi dia justru meneteskan air mata. Sama sekali tidak tahu apa yang akan terjadi dengan anaknya kelak. Tidak punya ayah!
Karena tubuhnya cukup gempal, sama sekali tak kelihatan tanda yang mencurigakan. Pinggulnya memang sejak dulu sudah membulat, namun perutnya masih serata papan cucian ketika dia balik ke Jakarta.
ibunya sudah dikasi tahu, tapi dia menolak mengatakan siapa nama sang ayah. Untuk menghindari tanya-jawab yang terlalu menjelimet, Katarina cepat-cepat meninggalkan Jakarta, kembali ke asrama di RS Sabara-Birka meneruskan tugasnya.
Dia disambut dengan meriah. Dokter Ishtar mengadakan jamuan makan siang di kantin, dihadiri semua dokter dan perawat. Ibu Tania spesial muncul dengan seloyang besar roti kukus berisi ikan tuna kesukaan Katarina. Tania sekarang mengepalai dapur rumah sakit. Dia masih terlibat dengan sekolah yang pernah didirikannya, tapi hanya sebagai ketua yayasan, tidak lagi mengajar di depan kelas.
Semua berjalan mulus sejauh itu menyangkut dinas dan pergaulan Katarina dengan sesama staf. Lain ceritanya dengan Kareem. Begitu dia terbang pulang, malamnya Kareem sudah mengirim e-mail. Tentu saja dia t
ak tahu, sebab dia baru masuk kerja empat hari kemudian. Saat itu sudah ada empat e-mail dari Kareem. Dibalasnya semua sekaligus.
"Aku sudah tiba dengan selamat. Enggak ada kesulitan sedikit pun. Kemarin aku masuk kerja buat pertama kali, disambut dengan hangat. Sungguh mengharukan. Dan tadi siang mereka mengadakan jamuan kecil, kami makan siang bersama. (Katarina sengaja tidak mau membawa-bawa nama Tania yang menyuguhkan roti ikan tuna kesukaannya.)
"Mengenai usulmu untuk menghubungi bibimu, aku minta ditunda dulu. Nanti aku kabari kalau saatnya sudah tiba...."
* * * Untung sekali dia tidak mengalami komplikasi apa pun. Tak ada muntah-muntah hebat atau gangguan nafsu makan. Semua biasa. Tiga bulan kemudian perutnya masih tetap kempis, tapi berdasarkan pemeriksaan dokter Jakarta yang dikunjunginya diam-diam, janin itu sudah berkembang subur. Tinggal enam bulan lagi....
Dokter Ishtar mulai mengajaknya untuk mengelola kelas-kelas tuna rungu. Tidak secara mendadak, melainkan sedikit-sedikit, pelan-pelan, sebab tugasnya yang utama masih tetap di bagian tata usaha. Tapi rencananya lambat laun dia akan masuk ke bagian pendidikan.
Dia mulai memperhatikan gosip-gosip seperti dulu. Mengenai pasien-pasien maupun para staf. Dia mendengar mengenai Dokter Sabrina yang dimasukkan ke Bagian Psikiatri oleh suaminya dengan alasan dia mau mengenyahkan anaknya yang pertama setelah melahirkan yang kedua. Atau kira-kira seperti itu.
"Tapi Dokter Sabrina justru menuduh suaminya sudah sekongkol dengan seorang perempuan yang ingin merebut cintanya," seorang perawat bercerita untuk seisi meja ketika mereka sama-sama bersantap siang.
"Aku dengar perempuan itu sebenarnya teman Dokter Sabrina!" tukas yang lain.
"Kabarnya begitu. Malah seorang dokter juga," kata yang lain lagi.


Dibakar Malu Dan Rindu Karya Marga T di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ada yang bilang, perempuan itu sebenarnya dulu adalah istri laki-laki itu. Dia meninggal ketika melahirkan, lalu sang suami menikah lagi dengan Dokter Sabrina. Bayi itu dirawat oleh sang dokter"
"Bayi yang sekarang ingin dienyahkannya""
"Iya. Aku sendiri hampir enggak bisa percaya. Apalagi aku dengar alasannya adalah karena ibu anak itu menuntutnya kembali!"
"Hah!" pekik seseorang. "Baru dengar orang mati bisa kembali! Kan dia sudah mati waktu melahirkan"!"
Katarina mendengarkan tanpa komentar. Dia tak begitu mau memusingkan kepala dengan gosip serupa itu. Urusannya sendiri bisa dijadikan gosip buat sepanjang tahun asal mau! Selain itu, kepalanya sudah cukup mabuk memikirkan bagaimana menghadapi serangan e-mail yang gencar dari Kareem.
Dia berusaha menjawab dengan sikap riang, ringan, penuh humor, namun tanpa komitmen. Semua pertanyaan yang menjelimet ke arah perkawinan dielakkannya tanpa mencolok. Diusahakannya menulis jawaban yang netral, bukan penolakan, bukan pula persetujuan.
Main kucing-kucingan begini menguras energi, membuatnya susah tidur, tapi apa boleh buat. Dia masih belum mampu untuk membuka kartu. Tak tahu apakah dia akan pernah bisa berterus terang dalam hal ini. Sering terpikir olehnya untuk menjauhkan diri dari jangkauan Kareem, tapi ke mana dia bisa pergi" Kareem sudah tahu alamatnya di RS Esbe (sebutan umum untuk Sabara-Birka). Dan bila dia memutuskan hubungan, Kareem pasti akan minta bantuan Tania untuk mencarinya. Identitasnya akan segera ketahuan, begitu juga di mana tempat tinggal orangtuanya.
Ini harus dicegahnya. Kareem tidak boleh memberitahu Tania. Hubungan mereka berdua tak boleh bocor ke sana. Tania pasti akan segera tahu, mereka berdua masih terlibat hubungan keluarga.
Menginjak bulan keenam barulah tampak sedikit tanda-tanda perut mulai menonjol ke depan. Begitu lama tidak mencurigakan, itu disebabkan dia selalu mengenakan pakaian yang longgar. Terutama celana panjang ditutupi blus longgar yang lepas di luar. Namun bulan ini adalah batasnya. Bulan depan pasti sudah tak mungkin ditutupi lagi.
Tak ada jalan lain. Dia harus cuti sampai melahirkan. Alasannya apa" Dia minta nasihat pada ibunya yang ditengoknya dua minggu sekali. Ibunya malah memintanya pulang setiap minggu, bukan sebulan sekali seperti zaman dulu. Tapi dia keb
eratan, dengan alasan nanti terlalu capek.
Melita Kiripan menasihati putrinya supaya pura-pura perlu istirahat sekalian menemani Nenek Kiripan yang baru saja menjadi lumpuh akibat stroke. Memang rencananya dia mau tinggal bersama Nenek di luar kota, dekat Cilacap.
Pada Kareem dipintanya agar menghentikan e-mail untuk sementara sampai dia dinas kembali. Tentu saja laki-laki itu sangat kecewa, tapi tak bisa berbuat apa-apa. Dia juga tak mungkin menyusul ke Jakarta sampai pertengahan tahun depan. Untuk Katarina, situasi ini merupakan semacam keuntungan. Dia bisa sedikit tenang menghadapi keadaannya. Ketenangan ini cuma relatif, tidak seratus persen benar.
Dalam hati dia tahu takkan pernah tenang lagi buat seumur hidup. Mana mungkin aku akan tenang dan bahagia kalau terpaksa harus melepaskan satu-satunya orang yang pernah kucintai! Dan yang mencintaiku! Sungguh ironis. Sudah begitu cocok, ternyata orangtua kami menjadi penghalang. Ayahku telah membunuh ayah serta neneknya! Begitu tahu aku ini anak si "bangsat" Edo, mungkin juga cintanya langsung berubah jadi kebencian. Mungkin juga dia akan berusaha menyakiti hatiku untuk membalas dendam pada ayahku. Dan aku sama sekali enggak bisa menyalahkannya. Dia pantas merasa sakit hati. Kematian ayahnya sudah merusak keluarganya. Ibunya jadi sakit-sakitan dan akhirnya meninggal. Yah, gimana juga kami berdua masih bersaudara, ayah-ayah kami mempunyai orangtua yang sama. Kami berdua enggak mungkin berjodoh....
Katarina mendengarkan nasihat orangtuanya dengan berdiam diri. Dia mengerti tak ada yang dapat dilakukannya untuk menolak.
"Percayalah kami bertindak demi kepentinganmu sendiri, Rina. Demi menjaga namamu. Sebaiknya jangan ada orang luar yang tahu mengenai keadaanmu. Sampai saat ini masih aman, bukan"" tanya ibunya dengan lemah lembut seperti biasa kalau bicara dengannya.
Katarina manggut dengan bibir terkancing. Ayahnya sejak tadi menunduk saja memandangi karpet, bibirnya pun bergeming.
"Nah, kebetulan sekali Santi dan suaminya sudah begitu lama mendambakan seorang anak. Mami mengusulkan supaya baby itu diserahkan pada mereka. Dengan begitu kau bisa melihatnya terus, enggak usah berpisah jauh. Juga hatimu akan tenteram, tahu dia pasti akan dicintai oleh orangtua-nya."
Santi adalah sepupunya. Ibu Santi, kakak sulung ibunya. Secara kebetulan pikiran serupa juga pernah melintas sekali-dua kali dalam otaknya, walau belum pernah diutarakannya.
"Bagaimana, Rin"" ayahnya menegaskan.
Katarina mengangkat kepalanya, menatap ibunya tapi tidak mau memandang ayahnya. Sejak kembali dari Australia hampir delapan bulan yang lalu, kontak-bicara antara dia dan ayahnya masih bisa dihitung dengan jari. Kalau nelepon, dia selalu minta ibunya. Bermalam di rumah juga jarang banget. Sekarang dia lebih sering mutar di antara sepupu-sepupu serta paman-bibi, nginap di sini semalam, di sana dua malam. Keponakan tersayangnya saat ini, Popy, yang lahir ketika dia sedang di Australia.
"Enggak ada jalan lain kan, Mam" Ya, terpaksa setuju," ujarnya singkat.
Ibunya mengangguk-angguk tanpa komentar.
"Besok Santi dan Albin akan datang menemui kamu," ayahnya memberitahu. "Jangan ke mana-mana," sambungnya.
Pertemuan itu singkat, hangat, dan penuh manfaat. Santi berusia tiga puluh delapan, suaminya, Albin, empat tahun lebih tua. Wajah Santi mirip dengan Katarina, berarti mirip dengan ibu-ibu mereka. Sinar terang yang menandakan harapan membuat wajahnya tampak berseri, cantik, dan sepuluh tahun lebih muda. Memandang sepupunya yang demikian tulus menantikan kelahiran sang bayi, membuat Katarina terharu sekaligus terhibur.
Apa pun yang akan terjadi padaku, yang penting adalah anakku. Dan aku sudah enggak kawatir lagi memikirkan hari depannya. Aku yakin dia akan dirawat dan diasuh sebaik-baiknya oleh Santi dan Albin.
Mereka tidak bicara panjang-lebar. Cuma garis-garis besar apa yang akan dilakukan bila saatnya telah tiba. "Rina akan tinggal di tempat Nenek, kecuali bila dokter menasihatkan lain. Tapi sejauh ini, dokter tidak keberatan dia ditolong oleh bidan, sebab tak ada kelainan apa-apa," ibunya menjel
askan pada Santi. "Kalau kau mau, kalian berdua boleh ikut menemani pada saatnya. Santi, kau boleh ikut menyaksikan kelahiran itu supaya ikatan batinmu dengan anak itu langsung timbul saat dia muncul di dunia. Dan seminggu kemudian kalian bisa pulang ke rumah membawa sang bayi." Tante Melita Sabara tersenyum hangat pada keponakannya.
"Boleh aku ikut menyaksikan, Rin"" tanya Santi dengan waswas, sikapnya seperti anak kecil, membuat Katarina tersenyum geli.
Dia mengangguk, tidak perlu kata-kata. Anakku sedang dilelang! Tapi lebih baik begini baginya, daripada dia harus menanggung malu sebagai anak tanpa ayah! Jangan pikirkan perasaanku sendiri. Bagaimanapun toh nasibku sudah enggak tertolong, karena aku jatuh cinta pada orang yang salah. Ayahku dan ayahnya bersaudara! Ayahku telah membunuh ayahnva! Gara-gara diriku juga. Kenapa telingaku rusak, sampai-sampai ayahku terpaksa membunuh untuk mendapatkan uang buat riset bagiku!
Santi memeluknya dengan penuh sayang ketika mereka pamitan. "Terima kasih sebanyak-banyaknya, Rina!" bisiknya ke telinganya. "Percayalah, apa juga yang terjadi, aku enggak akan menyia-nyiakannya. Aku akan mencintainya seperti anak kandungku sendiri."
"Betul, Rin!" sambung Albin meletakkan tangan di bahunya. "Kami akan mencintainya seperti anak kandung. Kami sangat bersukur atas kepercayaan yang kauberikan pada kami. Anak itu takkan pernah terlantar. Dan kau juga boleh tetap mengenalnya."
"Cuma sebagai tante," komentar Melita, tertawa kecil. Semua orang ikut terkekeh. Sesaat itu Katarina cukup terhibur. Anaknya sudah mantap hari depannya. Yang jadi masalah tinggal satu: bagaimana mengelakkan Kareem. Bagaimana aku harus membatalkan rencana kawin kami tanpa melukai hatinya"
Agaknya Santi sudah dikisiki oleh Tante Melita, jadi sekali pun tak pernah disinggungnya siapa gerangan ayah anak itu. Malah mungkin baginya lebih baik bila tidak tahu, jadi takkan pernah takut kena gugat.
Katarina mengantar Santi dan Albin ke mobil dengan wajah tersenyum. Ibunya tampak tidak kurang leganya karena kesulitan besar itu sudah terselesaikan. Namun ketika dia sudah sendirian dalam kamar menjelang tidur, air matanya menetes turun.
Kenapa aku enggak boleh merawat sendiri buah hatiku" Oh, Tuhan, kenapa aku harus melepaskan anakku" Kenapa aku enggak boleh memeluk dan mengecupnya setiap malam, memeluk dan mengecupnya setiap pagi" Mendengarkan ocehannya" Memandikannya" Menyuapinya " Menggendongnya" Mengajaknya bermain" Mendendangkannya Nina Bobo"
Karena keluarga Kakek Luki Ogus Sabara mempunyai kelainan bawaan di kuping, aku berharap semoga anakku jangan kena. Maklum, ibunya (aku) dan ayahnya (Kareem) sama-sama cucu Luki!
* * * Kelahiran Arman berlangsung mulus, tepat seperti yang direncanakan. Nama itu diberikan oleh Katarina sebagai peringatan pada sang kakek. Dokter Arman, yang tewas di tangan kakek lainnya, Dokter Edo. Ibunya menemani sejak dia pindah ke tempat Nenek. Santi dan Albin baru muncul setelah dipanggil melalui telepon oleh ibu Katarina.
Bidan Emi sudah berusia setengah abad, penduduk lama di situ, kenal baik dengan Nenek. Atas permintaan Katarina, ibunya melarang siapa pun ngoceh sama bidan. Sepintas lalu ibunya sudah memberitahu Ibu Emi, "Suami Rina sedang di Papua, tugas."
Untuk mencegah pelbagai tanda tanya dari pihak bidan maupun tetangga, mereka balik ke Jakarta bersama-sama dalam satu mobil. Katarina dan ibunya memang diantarkan oleh Albin dan Santi tempo hari. Pasangan itu kemudian pulang lagi ke Jakarta, dan baru balik setelah mendapat telepon.
Selama dalam mobil, Katarina dipersilakan menggendong bayinya oleh ibunya. Dengan alasan, karena Santi duduk di depan, di sebelah sopir. "Bayi dan anak-anak sebaiknya jangan duduk di depan. Kalau terjadi benturan, dampaknya lebih berat," ujar Tante Melila.
"Betul, Tante," angguk Santi setuju. "Kami berniat membeli kursi spesial baginya bual ditaruh di belakang."
Katarina tidak mengikuti percakapan itu. Dia asyik sendiri memperhatikan putranya yang cakep. Dalam hati diingat-ingatnya semua ciri-cirinya, dihitung dan dielusnya setiap jari tangan dan
kaki, disentuhnya ujung hidungnya yang sudah kelihatan akan menjadi bangir, dipilinnya pelan-pelan rambut-rambutnya yang halus, dikecupnya bibirnya yang demikian mungil.
Ini adalah penghabisan kali kulakukan sebagai ibumu. Setelah kita sampai di Jakarta nanti, kau sudah bukan lagi milikku. Selamat tinggal, biji mataku. Selamat bahagia dalam hidupmu.
Satu-satunya hal yang membuatnya tenteram adalah kenyataan bahwa anaknya tidak mempunyai kelainan pendengaran. Kemungkinan besar sekali tidak.
Bab 30 Katarina kembali dinas di RS Esbe dengan perasaan baru. Dia merasa seakan hidupnya baru saja merekah, segalanya mulai lagi dari awal. Beberapa rekan sekerja menanyakan kenapa dia libur begitu panjang. Dia sudah siap dengan jawaban baku mengenai nenek kesayangannya yang jatuh sakit, tak mau dirawat orang lain kecuali cucu yang satu ini, yang akan menjadi ahli warisnya yang utama, bla... bla... bla....
Tapi umumnya kebanyakan orang, seperti misalnya Dokter Ishtar yang perlu bantuannya, sudah senang melihatnya kembali dan tidak melontarkan satu pun pertanyaan. Dalam waktu seminggu saja dia sudah sibuk lagi dengan tugasnya. Sekarang dia juga membantu Dokter Ishtar mengajar anak-anak tuna rungu agar dapat berkomunikasi dengan jari-jari mereka sebagai pengganti pendengaran.
Paling sedikit ada empat anak yang sudah dipilih untuk menjalani OP bila saatnya sudah tiba. Ini berkaitan dengan penyediaan dana serta tenaga ahli yang akan melakukan operasi itu.
"Saya harap Dokter Kareem akan lekas menyelesaikan pendidikannya supaya dapat segera membantu anak-anak itu," ujar Dokter Ishtar padanya.
Katarina cuma manggut tanpa komentar. Dia tak berani membuka mulut, kawatir ketahuan suaranya parau atau bibirnya gemetar saking debur jantungnya yang berpacu bagaikan kuda balap. Setiap kali dia mendengar atau teringat nama keramat itu, jantungnya pasti tunggang langgang. Dia harus berlagak tidak kenal dengan Dokter Kareem.
Mengherankan bila dia menghadapi orangnya langsung, yaitu ngobrol dalam Internet, suasana perasaannya tenang dan meriah saja. Dia sudah kembali bisa bergurau dan berkelakar seperti tempo dulu. Tentu saja dia harus menjaga jangan sampai keterlepasan omong mengenai bayi Arman. Tapi rasanya memang tak perlu, sebab semakin lama dia semakin merasa tak terlibat dengan hidup si kecil. Dalam hatinya akan selalu tersimpan se-bungkah cinta bagi Arman, namun dalam keadaan sadar dia berusaha menjaga jarak agar tidak mengganggu perkembangan jiwa anak itu sebagai putra tunggal Santi dan Albin. Hiburan terbesar baginya adalah melihat kenyataan betapa kedua suami-istri itu mencintai Arman. Dia yakin anak itu akan tumbuh dalam lingkungan yang sehat dan bahagia.
Menghadapi Kareem di e-mail sama sekali tidak membawa kesulitan baginya. Dia tetap bisa berlagak seperti gadis ingusan yang sedang mabuk cinta.
"Lama betul cutimu!" keluh Kareem ketika pertama kali dikontaknya
"Sori, abis nenekku sakitnya berat. Untung sembuh. Kalau enggak, mungkin aku akan depresi dan enggak bisa lagi ngontak kamu!" Katarina ketawa sendiri ketika mengetik kalimat ini.
"OMONG KOSONG!" protes Kareem dengan keras, ditandai dengan huruf besar dan tebal.
"Lain kali, biarpun harus cuti, aku bisa ngatur supaya kita tetap bisa kontak," bujuknya sebagai pelipur lara.
Tapi tanggapan Kareem meledak di luar dugaan. "Enggak ada lain kali'! Kita kan sudah bakal nikah"! Masak lupa""
Katarina tercengang sejenak, tapi cepat juga membiarkan dirinya larut, semata-mata agar Kareem jangan sampai jadi curiga, dia sudah berubah hati.
"Mana mungkin lupa" Itu yang kupikirkan siang-malam!" Secara jujur, itu memang benar. Cuma dengan alasan lain. Bukan dipikirkan karena ingin segera terlaksana, melainkan karena tahu takkan mungkin terjadi. Dipikirkan dengan rindu dan malu, didambakan dengan sesal dan penasaran. Biasanya ditutup dengan tarikan napas berat. Pada akhirnya dia sadar, tak ada yang dapat dilakukannya selain menyesali nasib dan meratap, atau bangkit lagi, hidup biasa, dan lupakan masa lalu!
"Kalau begitu kenapa kaularang aku menghubungi Tante Tania" Kan dia bisa
membantu menyiapkan apa yang diperlukan, dan begitu aku datang nanti, langsung bisa mulai dengan upacaranya!"
Katarina mendecak, dalam hati meratap pedih. Begitu Tania mendengar namaku kausebut, dia pasti akan meloncat setinggi langit, dia pasti akan memerintahkan supaya kau menjauhi aku! Melarangmu mendekati diriku....
Menghadapi Tania merupakan tekanan batin baginya saat ini. Dia merasa telah menipu wanita yang sudah banyak membantunya itu, karena tak berani terus terang, dia telah mengenal keponakannya (yang foto wisudanya terpampang jelas di dalam lemari buku, diapit oleh foto-foto keluarga). Tania dan Niko, suaminya, memiliki sepasang anak, namun mereka mencintai Kareem bagaikan anak sendiri. Setiap kali salah seorang anak mau bertingkah, Tania selalu menyebut Kareem sebagai panutan yang perlu ditiru.
Saat yang ditakutinya akhirnya tiba ketika Katarina diundang oleh Tania merayakan ultah Niko. Itu adalah kunjungannya yang pertama sejak melahirkan, yang kedua sejak pulang dari Melbourne. Tania mengajaknya ke dapur, membantu sekalian ngobrol. Tania dan ibunya sama-sama gemar memasak, sesuatu yang terasa aneh bagi Katarina. Dia lebih suka disuruh menyetrika daripada menumbuk laos dan kunyit.
Ketika dia tengah sibuk mengupas telur rebus (Kok susah betul sih, bocel sana-sini, enggak bisa mulus! keluhnya. Dijawab oleh Tania: rendam dulu dalam air dingin barang tiga menit, pasti gampang lepas kulitnya-betul saja), Tania bertanya seakan sambil lalu, "Apa aku enggak ngasi tahu, keponakanku juga ada di Melbourne""
Jantungnya terasa nyaris putus. Paling tidak, sempat berhenti, menyebabkannya sesak napas. Dia cuma punya waktu dua detik untuk memutuskan mau menyangkal atau ngaku. Enggak, bahkan enggak sampai dua detik. Sebab Tania menoleh padanya dan dia terpaksa menjawab, "Enggak, tuh. Keponakan yang mana""
"Yang diwisuda di Trisakti, itu yang fotonya ada di lemari buku. Apa kau enggak ketemu anak-anak Indonesia di sana""
Dia bersukur, foto wisuda itu berdiri agak ke dalam, mungkin takut terlontar ke luar kalau terjadi gempa bumi, kaca pecah kan bisa dianggap sial oleh sebagian orang, sedangkan foto-foto keluarga yang cuma kecilan sedikit dari Lapangan Banteng itu lebih menarik perhatian. Jadi kalau sudah terpojok, dia bisa berlagak "kurang memperhatikan wisudawan tersebut dalam jubah dan topi kebesarannya".
"Ya, saya memang ketemu beberapa anak Melayu. Ada dokter jiwa yang sudah lama disuruh pulang oleh ibunya, mau disuruh nikah, ada dua-tiga mahasiswa, ada yang sudah kawin...." Dia mengulur-ulur waktu, supaya kelihatan sulit mengingat-ingat seolah-olah dia sudah pulang empat tahun yang lalu, bukan baru setahun kurang.
"Yang namanya Kareem"" tanya Tania seperti ingin membantu ingatannya,
Jantungnya kembali terlempar ke atas trampolin. "A... pa"" Suaranya setengah parau saking senewen, napasnya sudah kalang kabut.
"Kau pasti pernah melihatnya! Dia sedang studi di bagian THT, kok. Cuma kurang jelas, apa tempatnya sama dengan klinik tempat kau dibehandel. Coba nanti tanya Oom Niko, dia pasti tahu. Uh, Tante udah pikun, kenapa enggak ngasi tahu sebelum kau berangkat, kan bisa kenalan." Tante Tania mendesah, menyesali diri.
Katarina tidak tahan. Dia merasa seperti cacing yang tak ada harganya bila dia masih terus mau berlagak pilon terhadap orang yang sudah demikian berjasa memulihkan pendengarannya. Ditariknya napas dalam-dalam, ditahannya sejenak, lalu keluar ucapannya sebelum keberaniannya surut kembali. "Memang ada dokter Jakarta yang sedang spesialisasi. Namanya... Kaaariim. Dia..."
"Laaa, itu kan dia!" pekik Tante Tania ketawa lebar. "Masak kau enggak tahu itu keponakanku!" Bukan pertanyaan, melainkan tuduhan. Katarina terdiam, berlagak konsentrasi penuh pada sebung-kah kulit telur yang bandel.
"Enggak kaukenali dari fotonya di dalam"" tanya Tante Tania menggerakkan kepala ke arah ruang duduk.
Katarina menggeleng dengan rupa jengah yang lekas-lekas disembunyikannya dengan menundukkan kepala. Untung Tante sibuk menusuki sate ayam, jadi tidak begitu menggubris sikap Katarina yang sebenarnya agak, katakanlah, kur
ang lumrah. Dia cuma bergumam sendiri, "Memang letaknya kele-wat dalam, susah dikenali sepintas lalu." Maksudnya, foto wisuda itu. Tante tidak kedengaran antusias untuk memamerkan keponakannya yang tersayang itu, dan Katarina maklum sebabnya. Tentu saja dia enggak ingin kami berdua jatuh cinta! Sebab tahu silsilah kami! pikirnya dengan rasa pedih di ulu hati yang bukan disebabkan karena kebanyakan makan sambal.
Setelah hening beberapa saat, Tania kembali ngoceh mengenai keponakannya, padahal sebenarnya Katarina sudah menarik napas lega, mengira topik itu sudah tamat. "Kareem ini dulu vegetarian tulen, Rina," ujarnya. "Dia enggak makan daging bukan karena alasan kesehatan, tapi semata-mata karena kasihan sama hewan yang harus dibantai untuk menghidupi kita, manusia. Sudah sejak muda dia menolak daging. Proteinnya didapat dari ikan. Setelah di kedokteran, mau juga dia sekali-sekali makan ayam, tapi tetap menolak sapi dan kambing."
Tentu saja dia tahu semua itu, tapi mana mungkin dikatakannya" Oh, banyak sekali yang bisa diceritakannya pada Tania. Tapi dia tak ingin membuat hatinya rusuh, memikirkan yang bukan-bukan. Tania tak boleh tahu mengenai kisah kasihnya agar ketenteraman batinnya tidak terkoyak. Kalau dia sampai membayangkan kayak apa senda-gurau keponakannya dengannya...!
"Oh, enggak bisa! Kau harus menemui orang-tuaku lebih dulu! Siapa tahu mereka keberatan...
ha... ha... ha...!" Keadaan sebenarnya, Katarina tidak merasa ingin ketawa, sebab ini bukan lelucon. Siapa yang sanggup membuat lelucon dari tragedi hidupnya sendiri"!
"Ah. aku lupa, diriku memang hina dina. Ya, ya, siapa tahu mereka sudah punya calon bagimu! Cukong gede yang menguasai tiga perempat ekonomi Asia! Tapi jangan senang dulu! Kalau aku enggak bisa mendapat kamu, orang lain juga enggak!"
"Iiih, ancamanmu nakutin! Kau mau bunuh aku"" "Lebih dari itu! Kita akan mati bersama!" "Hiii, ngeri! Makan endrin atau nyuntik heroin""
"Gimana kalau kita nyebur ke kawah Gunung Merapi" Biar lebih spektakuler, bisa masuk TV seluruh dunia."
"Aha, ide menarik, tuh. Aku memang sudah lama kepingin masuk TV. Enggak bisa sebagai penyanyi pop, ya sebagai cuplikan warta berita juga lumayan. Tapi sebelum kita nekat, aku masih kepingin jalan-jalan ke Kutub Utara, Kutub Selatan, pendeknya ke tempat-tempat menarik dan eksotik. Biar kita habiskan uang kita, toh kita bakal segera mati, bukan" Kapan kita akan mulai petualangan ini""
"Rin, kau barusan makan apa sih" Sekarang terus terang aja, apa ada calon lain bagimu""
"Ah, apa peduliku ada atau enggak! Toh aku enggak bakal mau." Hatinya merintih pedih. Begitu lama aku menantikan sepotong cinta sejati. Sepotong saja. Sekali saja. Enggak tahunya, setelah ketemu terpaksa harus dilepas lagi. Pertemuan sama sekali enggak bisa menjamin persatuan yang kekal. Barangkali jauh lebih mending kalau kita enggak pernah saling ketemu, Rim. Jadi aku bisa terus mimpi menggantang asap, menunggu kedatangan pangeran yang akan menguasai hatiku dan menyemarakkan hidupku....
"Aku gembira mendengar tekadmu yang bulat itu. Begitu, dong! Itu baru namanya gadis kesayanganku! "
"Jangan senang dulu! Tunggu nanti tanggal mainnya!" Katarina menarik napas berat. Dalam relung pikirannya sudah bisa dibayangkan kira-kira apa yang akan terjadi. Kalau kau juga enggak merintih dan meratapi nasib, iris kupingku yang bagus ini! Meski aku tuli, daun telingaku sedap dipandang, lho!
* * * Dan tanggal main itu pun akhirnya tiba. Kareem kembali ke Jakarta, disambut oleh Tania, bibinya. Dia memang akan tinggal sementara di sana. Katarina sudah tahu hal ini, sebab dua-tiga minggu sebelumnya, Tania sudah sibuk mendengung-de-ngungkan ke sana kemari perihal kedatangan keponakannya yang tercinta. Katarina juga tahu, Tania sedang berusaha mencarikan jodoh bagi Kareem.
"Sudah saatnya untuk berumah tangga, mau tunggu apa lagi. Sudah punya titel, punya penghasilan bagus, umur jalan terus...." tukasnya pada Katarina. Setiap gadis yang masih lajang dan kelihaian tidak imbesil, pasti didekatinya. Sejauh itu tak pernah dia terpikat pada Katarina yang cantik dan ju
ga tidak bodoh (walau ada kekurangan di bidang pendengaran). Beberapa orang, misalnya Dokter Ishtar, pernah menyatakan keheranannya langsung pada gadis itu, namun Katarina cuma tersenyum. Dalam hati sih meratap pilu. Sebab dia mengerti dengan jelas kenapa-nya.
Mengetahui Kareem akan tinggal bersama Tania, Katarina sengaja minta cuti seminggu untuk menjauhi RS Esbe. Sudah bisa diduga. Kareem akan dibawa oleh bibinya menemui pentolan-pentolan RS Esbe, terutama Dokter Ishtar yang telah menanti-nantikan kedatangannya. Tak mungkin dia hadir di sana pada saat-saat itu. Di mana akan disembunyikannya mukanya bila Kareem menyapanya di depan Tania" Dan apa penjelasannya untuk wanita yang berbudi luhur itu, mengapa dia tidak berterus terang, sudah intim dengan keponakannya"! Percakapan mereka di dapur tempo hari memberi kesan bahwa dia cuma mengenal Kareem dari jarak kamera video, sama sekali bukan dekat.
Jadi dengan hati kebat-kebit ditunggunya kedatangan Kareem di rumah orangtuanya. Lambat atau cepat, waktunya pasti akan datang. Saatnya sudah tiba untuk menghadapi kenyataan yang terpahit dalam hidupnya. Mungkin lebih pahit dari sekedar tak mampu mendengar dengan sempurna.
Kareem muncul dengan senyum cerah yang memancarkan sinar kerinduan demikian banglas, membuat Katarina bercekat jangan-jangan akan sulit sekali membuatnya mengerti kenapa mereka harus putus.
Tanpa sungkan, Kareem sudah langsung menariknya ke dalam pelukannya. Katarina kemekmek tak mampu menolak. Terpaksa ditahannya debur jantungnya, dan untuk penghabisan kali dilingkarkan-nya lengannya ke sekeliling pinggang kekasihnya. Harum shampoo menerpa hidungnya. Kareem sangat apik menjaga kebersihan dirinya.
Ketika dirasakannya pelukan itu telah berlangsung cukup lama (padahal baru dua menit), dengan lembut dilepaskannya lengan-lengan kokoh itu dari tubuhnya. "Ini bukan di Melbourne," bisiknya setengah ketawa, setengah menegur.
"Ah. aku lupa!" goda Kareem nyengir. "Biasanya kau yang enggak mau lepas!"
Itu memang betul. Dia paling senang berdekapan tanpa berbuat apa-apa, cuma saling memeluk. Wajahnya memerah sedikit dan terasa panas, sebab tuduhan itu tidak meleset dari fakta.
Katarina mengajak Kareem duduk, tapi bukan di atas sofa yang sama. Mereka saling pandang, seolah mau menemukan ciri-ciri kerinduan pada wajah masing-masing.
"Kau kurusan, Rina. Sakit rindu, pasti!"
Katarina cuma ketawa tanpa membantah atau mengiakan. "Kau sendiri biasa saja, berarti enggak rindu!"
Kareem mendelik. Tubuhnya dimajukannya ke depan, lengannya terjulur mau menjangkaunya. "Coba bilang sekali lagi!" desisnya. "Akan kutunjukkan sekarang juga sampai di mana puncak kerinduanku padamu!"
Ah, itu enggak bakal terjadi lagi. Rim! Nasib sudah menentukan, kisah kita cuma sampai di sini.
Karena merasa tak ada gunanya ditunda-tunda lagi, Katarina bangkit menghampiri Kareem. "Yuk, ketemu orangtuaku. Mereka sedang di kebun belakang."
Dengan penuh antusias Kareem pun ikut bangkit, menyambut ajakan itu. Sambil tersenyum dia berdiri di depan sebuah pigura berkaca, lalu berlagak mematut diri, becermin sambil mengelus-elus rambutnya. "Perlu kelihatan rapi, ah!" kelakarnya, tapi Katarina sudah menarik tangannya, diajak ke dalam rumah, terus ke belakang.
Di luar, penampilan Katarina biasa saja, malah masih bisa tersenyum dan melirik atau menimpali guyonnya. Tapi di dalam, cuma dia sendiri yang tahu. Hatinya sesambat, menangis pilu. sebab saat perpisahan sudah tiba.
Dari jauh dia sudah berseru memanggil ayah dan ibunya, "Mam, Pap, ini ada kawan saya mau ketemu!"
Ibu Melita sedang mengurus kebun bersama suaminya. Keduanya mengangkat kepala mendengar seruan itu. Ketika melihat siapa yang datang, mereka pun berdiri dari jongkok, menunggu Katarina tiba bersama tamunya. Tni Dokter Kareem."
Ibunya sudah melepas sarung tangan dan langsung mengulurkan tangan yang dijabat oleh Kareem dengan hangat. "Ayah Kareem juga dokter, Mam. Almarhum Dokter Arman."
Katarina menunjuk ayahnya. "Rim, ini ayahku. Dokter Edo Sabara!" Dengan tenang (padahal dalam hati nyaris putus jantungnya saking terguncang pelbagai p
erasaan ekstrem) dipandangnya pemuda itu. Ketika dia menoleh dengan air muka terkejut, Katarina menatapnya tanpa berkedip seolah mau bilang: ya, betul, ini adalah musuh besarmu.
"Pap, Kareem Rejana ini spesialis THT, dari Melbourne."
Sekarang giliran Edo Sabara untuk menunjukkan wajah pucat. Lengannya sebenarnya sudah setengah terulur, namun belum disambut oleh Kareem, entah karena kaget atau memang tidak mau. Sekarang mendengar nama lengkap tersebut, lengan Edo terkatung di udara, akhirnya terkulai kembali, lurus ke samping tubuh.
"Pa...." Ibu Melita menyentuh bahu suaminya yang kelihatan bernapas terengah-engah, wajahnya berkeringat, bibirnya yang memucat setengah terbuka. Matanya yang tampak penuh duka menatap anak muda yang mematung di depannya. Suaranya parau ketika bibirnya bergerak, "Aku sama sekali tidak tahu, Arman adalah saudaraku...."
Terdengar helaan napasnya, dadanya masih turun-naik dengan cepat. Kepalanya menggeleng. "Aku tahu aku tidak pantas minta ampun padamu. Tapi percayalah, tindakanku itu bukan disebabkan oleh ketamakan atau kebencian."
Edo Sabara memejamkan sejenak matanya, menarik napas panjang, lalu memandang kembali tamunya. "Aku terdorong oleh rasa putus asa yang luar biasa. Anak tunggalku terancam bisu-tuli, apa jadinya dia nanti bila kedua orangtuanya sudah tidak ada" Dia takkan mampu mencari nafkah dengan keadaannya itu, dia juga takkan mungkin menikah... siapa yang akan tertarik dengan wanita cacat"! Karena itu..." Sepasang mata yang sendu bagaikan mata seekor kucing yang terluka parah, menatap Kareem dengan penuh permohonan.
Kareem menunduk dan mengangguk beberapa kali. Katarina menoleh padanya. Hatinya bercekat melihat laki-laki itu memucat, bibir bawahnya digigitnya keras-keras sampai berubah putih warnanya. Katarina merasa trenyuh sekali, namun tak kuasa berbuat apa pun untuk menolongnya.
"Tahukah Tania kau mengenal keponakannya"" tanya Ibu Melita pada putrinya.
Sebelum Katarina sempat menjawab, Kareem telah mendahului, "Bibi saya belum tahu apa-apa. Rina selalu melarang. Sekarang saya mengerti apa sebabnya...." Nadanya sarat dengan duka, namun tak ada kepahitan atau amarah atau sesal. Katarina menggenggam tangan Kareem yang balas mencekal dengan erat. Sikapnya merupakan luapan rasa terima kasih karena pemuda itu tidak menunjukkan kebencian atau kekasaran terhadap ayahnya, atau bahkan mengutuknya.
"Tantemu sudah tahu aku pernah ketemu denganmu di Melbourne."
"Tapi sebaiknya jangan dikasi tahu yang mendetil. Ini demi menjaga perasaannya, supaya dia jangan kawatir enggak keruan," ujar ibu Katarina menasihati.
Kedua orang muda itu tidak memberi komentar. Edo Sabara sementara itu sudah melangkah ke kursi kebun yang terbuat dari plastik putih, dan menjatuhkan diri ke situ dengan bunyi keras seakan plastik tersebut tak mampu lagi menahan bobot tubuhnya yang kelihatan agak mengurus dari dulu (pakaiannya tampak longgar sekali, kulitnya bukan cuma berkerut tapi juga bergelambir).
Ibu Melita cepat-cepat menyuruh Katarina membawa tamunya pergi. "Ambilkan Kareem minum, Rina." Tangannya terjulur menyentuh lengan pemuda itu. "Apa pun yang sudah terjadi, Rim, kami tetap keluargamu. Ayah Katarina adalah pamanmu. Dia sudah diganjar hukumannya, bukan cuma dalam penjara, tapi yang lebih berat adalah pengucilan dari kolega-koleganya. Tak seorang pun yang masih mau mengenalnya. Karena itu dia tidak bisa lagi praktek di luar, terpaksa cuma menangani pasien-pasien dalam penjara ini tanpa honor apa-apa. Semua dosanya dilakukannya karena cinta pada Rina. Ampunilah pamanmu. Janganlah musuhi Rina. Anggaplah dia seperti adikmu...."
Kareem kelihatan menelan ludah dengan susah payah. Sebelum dia sempat membuka mulut (seandainya berkenan), Katarina sudah menariknya dengan keras, sengaja mengajaknya menyingkir supaya dia tak usah dipaksa menanggapi perkataan ibunya.
Kareem menurut saja bagaikan anak kecil Tanpa bersuara sedikit pun dia mengikuti Katarina yang menggenggam tangannya erat-erat. Kedua orangtua Katarina mengawasi mereka dengan rupa tertegun. Setelah yang diawasi hilang di balik pintu yang
menuju ke ruang makan, barulah mereka saling pandang. Edo mengusap rambut tipis di kepalanya dan menghela napas panjang. Ibu Melita juga menarik napas.
Dengan suara tercekik, Edo berkata. "Dialah ayah Arman kecil!" Istrinya tidak menanggapi, tapi juga tidak membantah.
* * * Katarina mengajak Kareem ke beranda samping. Tawaran minum telah ditolaknya. "Aku mau pulang saja," keluhnya.
"Rim...." Katarina mengalungkan kedua lengannya ke bahu laki-laki itu dan merebahkan kepalanya di dadanya yang bidang. Belum setahun yang lalu, dada ini telah memberinya kehangatan yang dipastikannya akan menjadi miliknya seumur hidup. Namun sekarang kenyataan telah berbalik total.
Kareem masih merangkulnya seperti dulu, tapi nuansanya sudah tidak lagi erotik, tidak lagi penuh rindu. Sambil mengelus rambut hitam yang tebal dan harum itu, dia berbisik parau, "Kiripan itu nama siapa"" "Ibuku."
"Kau sudah lama tahu ini"" "Ya."
"Sebelum pulang ke Jakarta""
"Setelah mendengar penjelasanmu empat hari sebelum aku take-off. Ingat, aku pernah nanya kenapa buku harian nenekmu itu enggak tamat...."
Kareem menarik napas berat, mengangguk. Dike-cupnya kening Katarina. Matanya berkaca-kaca, memandang redup ke depan. Suaranya seakan datang dari jauh. "Apa yang akan kita lakukan sekarang""
"Kau harus melupakan diriku, dan mencari ganti..."
Kareem menggeleng. "Aku akan selalu mencintaimu, Rina." "Sama-sama...."
"Apa juga yang akan terjadi, cintaku tetap milikmu. Aku enggak akan kawin dengan orang lain."
"Tapi, Rim, kita enggak bakal bisa kawin!" "Enggak jadi soal. Cinta enggak selalu mesti diakhiri dengan perkawinan. Enggak mutlak...." "Kita enggak boleh punya hubungan apa juga!" "Bisa dan boleh!"
"Rim! Kau gila! Lupakan hubungan intim kita! No sex, oke"!"
"Hubungan enggak selalu berarti seks, Rin. Sebagai adik juga bisa. Ah! Enggak kusangka, aku bisa punya adik secantik ini. Jangan cepat-cepat kawin, ya. Nanti aku kesepian...." Kareem berusaha mau ketawa, tapi malah jadi meringis.
Katarina menggeleng dengan mata sendu. "Aku enggak bakal kawin seumur hidup! Cintaku sudah kuberikan padamu, enggak adil untuk suami bila aku enggak mampu mencintainya."
"Kau enggak kepingin jadi ibu"" tanyanya sambil mengelus rambut Katarina.
"Kau sendiri, enggak kepingin jadi bapak"" dia balas menantang.
"Anak bagiku enggak penting. Dunia sudah terlalu padat, karena kebanyakan orang enggak bisa menahan diri, harus-tanpa bisa ditawar-tawar- punya anak, bukan satu tapi setengah lusin! Jadi orang-orang seperti aku yang enggak bakal merana tanpa anak, harus rela menyingkir ke samping, biarlah kebanggaan sebagai bapak itu aku lewati. Lebih penting bagiku, bagaimana menolong sesama manusia."
Katarina menarik napas, mengelus wajah Kareem tanpa kata. Pikirannya sibuk berputar bagaikan gasing. Suatu saat kelak, mungkin berpuluh tahun lagi, aku akan memberitahukan padanya sebuah keajaiban dunia. Namanya Arman. Untuk mengenang dan menghormati ayah yang tak pernah dikenalnya karena pergi meninggalkannya terlalu dini. Gara-gara diriku. Akulah penyebab malapetaka dalam hidupmu, Rim. Ayahku memang pelaku kejahatan itu. tapi akulah penyebabnya. Maafkan aku. Rim.
"Maafkan aku, Rim. Untuk perbuatan ayahku terhadap ayahmu dan nenekmu. Akulah gara-garanya."
"Ssst. Jangan bilang begitu. Cinta enggak mengenal dendam atau sakit hati, Rina. Aku masih merasa bersukur sudah pernah mengenal cinta sejati selama beberapa bulan, dan akan terus mengenalmu sampai akhir hidupku!"
Daftar nama tokoh-tokoh dalam Dibakar Malu dan Rindu yang pernah muncul dalam kisah-kisah lain (yang mungkin tak ada hubungan langsung dengan kisah ini):
Ishtar Hadiz, dr (Seribu Tahun Kumenanti: Dicabik
Benci dan Cinta; Kuraih... Namun Tak Terjangkau;
Dipalu Kecewa dan Putus Asa)
Katarina Kiripan/Sabara (Dicabik Benci dan Cinta;
Kuraih... Namun Tak Terjangkau)
Niko (Kuraih... Namun Tak Terjangkau; Dipalu
Kecewa dan Putus Asa) Razak (Dicabik Benci dan Cinta; Didera Sesal dan Duka)
Sabrina, dr (Sekuntum Nozomi: menyusul(, sepupu Vashti (Amulet dari Nubia) dan Vanessa (Dicabik Benci dan Cinta)
Tan ia (Didera Sesal dan Duka; Kuraih... Namun Tak Terjangkau; Dipalu Kecewa dan Putus Asa)
Petualang Asmara 15 Oeyse Karya Thio Tjin Boen Rahasia Makam Mahesa 3
^