Pencarian

Edensor 3

Edensor Karya Andrea Hirata Bagian 3


inspektur yang ingin menendang Arai. Aku syok. Tak pernah, sama sekali tak pernah, ada orang memperlakukan kami seburuk itu.
Esoknya polisi polisi itu mengantar kami ke luar batas desa. Kami dicampakkan dalam keadaan lapar, mulut bengkak, dan hati yang terluka. Peralatan penting, kompas dan Collins World Atlas, tertinggal di kantor polisi. Beberapa batang pohon plum tumbuh liar dekat kami. Musim berbuahnya telah lewat, bahkan putik-putiknya tak tampak. Kami gasak daun-daunnya. Rasanya, tak dapat kugambarkan karena aku mengunyahnya sambil memejamkan mata, menahan napas.
Di Syzran nasib yang paling sial menghadang. Kami ditangkap polisi karena dianggap mengganggu. Seorang inspektur dan dua orang kopral yang tak bisa berbahasa Inggris, malah tersinggung waktu kuterangkan bahwa kami punya dokumen sah dan dilindungi konvensi Schengen. Baginya semua orang harus berbahasa sepertinya, jika ingin bicara dengannya. Sungguh sombong. Ketiga kalinya kuulangi penjelasanku. Inspektur yang mulutnya berbau vodka itu marah. Ia menghantam perutku dengan popor Kalashnikov. Arai melompat ingin melindungiku, kopral menghantam tengkuknya dengan gagang pistol Glock. Ia tersungkur, wajahnya menabrak kaki meja. Aku menghalangi
9 Masyarakat yang tinggal di wilayah stepa sebelah Eropa Selatan. Mereka dikenal memiliki kemampuan militer dan mempertahankan diri yang tinggi - fony
33 mozaik Ujung Dunia Jika memang ada ujung dunia, Belush'ye-lah tempatnya. Belush'ye berada di Taiga Siberia, -bagian dari Siberia yang paling pelosok. Kota pelabuhan ini menempel di Cheshskaya, delta Laut Barents. Setelah itu tak ada apa-apa lagi selain Samudra Artik dan Kutub Utara. Jika musim dingin, suhunya merosot sampai minus 46 derajat celcius. Belush'ye dijuluki penjara dunia, surga bagi pelaut hidung belang dan orang-orang ganas yang tak menyukai daratan. Mengapa A Ling sampai terempas ke sumur neraka itu" Mengumpankan dirinya pada lelaki tak beradab" Jika terlintas akan hal itu, aku membeku di tempatku berdiri, waktu seakan diam, apa pun yang sedang kumakan, tawar rasanya.
Kami minta izin kondektur agar dapat menum-pang dalam gerbong yang mengangkut bahan bangunan. Tengah malam ia menurunkan kami begitu saja, bukan di stasiun karena ada inspeksi.
Kami berjalan menuju desa terdekat dan bingung menghadapi perempatan: Kungur, Ufa, Kazan, Magnitogorsk. Tanpa kompas dan peta kami seperti tikus buta di tengah labirin. Keputusan tak boleh sembrono. Jika tersesat bisa dimangsa beruang. Tiba-tiba aku teringat akan seorang navigator alam tanpa tanding: Weh!
Aku mengeja bintang satu per satu dan aku tersenyum. Nun di langit yang jauh, tampak samar trapesium yang pernah kukenal.
"Arai! Lihat rasi belantik itu. Itulah timur!" Demikian Weh dulu mengajariku membaca langit. Belantik berada di atas Kazan, berarti utara di sebelah kanan.
"Kungur, Arai! Kungur adalah tujuan kita!"
Celah-celah dinding papan rumah penduduk Belush'ye masih disumpal potongan koran ketika kami tiba. Ada lubang sedikit saja, angin dingin Laut Barents dapat berakibat fatal bagi penghuninya. Aku bertanya pada seorang rastafari, guide lokal, apakah ia pernah mendengar seorang wanita penghibur bernama Njoo Xian Ling. Ia tertawa lebar, sinar matanya senang, penuh kenangan indah akan Njoo Xian Ling.
"Aye, aye, Xian Ling""
Ia menunjuk sebuah perahu besar yang sengaja dikandaskan di tepi pantai. Perahu itu adalah rumah bordil. Pria-pria sangar keluar masuk pintu-pintu
kecil di anjungan. Aku ragu.
Aku bisa saja berbalik, melupakan rumah bordil sialan ini, melupakan A Ling, lalu hidup dengan tenang, penuh penipuan pada diri sendiri. Tapi aku tak ingin hidup seperti itu. Aku harus menemuinya, bagaimanapun hatiku akan berantakan. Aku menaiki tangga perahu, seorang pria menghadangku.
"Njoo Xian Ling"" kataku pelan.
Ya, Tuhan. Kuharap centeng itu mengatakan: siapa" Njoo Xian Ling, maaf tidak kenal, tidak ada yang namanya Njoo Xian Ling di sini.
"Aye, Xian Ling, ehmmm, dia ada di dalam," katanya tersenyum.
Meskipun aku telah mempersiapkan diri untuk kabar buruk ini, jawaban itu seperti tangan yang merobek dadaku, merogoh jantungku.
"Masuklah, Tuan."
"Bersenang-senanglah ...."
Aku melangkah menuju pintu. Kakiku seperti digantungi barbel. Aku berdebar-debar mengantisi-pasi pertemuan dengan A Ling. Aku memutar gagang pintu. Rupanya Xian Ling telah berdiri di situ menungguku. Ia tak mengenaliku. Ia montok seperti bass cekik, batang lehernya jenjang, pinggulnya aduhai, berderet-deret di atas rak. Aku melonjak girang seperti orang menang judi buntut karena Xian Ling adalah merek obat kuat yang tertempel di botol-botol.
34 mozaik Enigma Seperti konstelasi bintang penunjuk arah yang
.mulai kupahami, kini semua enigma tentang Njoo Xian Ling terang bagiku. Para pelaut dari Nangjin dan Tiangjin yang berlayar menyusuri Selat Bering, berbelok ke utara memasuki pantai Rusia dan buang sauh di Eropa Barat termasuk Belanda, membangun jaringan distribusi Xian Ling di rumah-rumah bordil murahan sepanjang pelabuhan. Karena itu, Mevraouw Schoenmaker sempat mengatakan Xian Ling mengingatkannya akan kota pelabuhan Rotterdam dan obat kuat lelaki dalam botol seksi itu pasti pernah singgah di lokalisasi Nieuwstad di Groningen. Konon Xian Ling diramu sendiri oleh para pelaut dari bahan empedu ikan singa dan teripang.
Kami berbalik lagi ke barat, menuju Olovyannaya nun di tapal batas Mongolia. Setiap melewati perkebunan zaitun kami melamar kerja membantu petani memetik buahnya demi upah beberapa butir kentang. Ribuan kilometer telah kami tempuh.
Tanpa peta, kami tak tahu berada di mana dan tak tahu Olovyannaya sudah dekat atau masih jauh. Kebanyakan orang yang kami tanyai tak tahu di mana Olovyannaya. Kalaupun tahu, mereka menye-butnya dengan cara berbeda. Mengapa kami tak kunjung sampai" Rusia sangat luas, tak ada habis-habisnya. Di atas daratan ini bumi seakan rata, tak ada kesudahannya. Sejauh mata meman-dang adalah Rusia. Sering pandangan terhalang gunung dan hutan. Di balik gunung-gemunung itu, masih Rusia, dan di balik hutan-hutan itu, masih Rusia lagi.
Kami melewati kampung ' demi kampung. Sebagian adalah kampung tambang yang telah diabaikan: dingin, terpencil, dan seram. Kami terperosok ke pedalaman, menjumpai hal-hal yang aneh misalnya orang Muslim beribadah seperti Nasrani dan orang Nasrani fasih membaca Al-Qur'an. Ada masyarakat yang memuja kambing, memandikan bayi baru lahir dengan darah lembu, dan melemparkan ari-ari ke atas atap, Ada pula komunitas yang demikian patriarkis, para istri harus tidur di lantai dua gudang
jerami dan hanya dikunjungi para suami jika diperlukan. Seperti kami inginkan dulu, terselip di antara bebatuan Gunung Ural, di desa-desa terisolasi yang tak pernah dikunjungi turis, kami melihat esensi Eropa. Kami menumpang kendaraan apa saja. Sering kali kami melakukan lifting, yakni mengacungkan jempol di pinggir jalan untuk minta tumpangan pada truk-truk ternak atau mobil tangki, dan kami makan apa saja yang ditemui di jalan, kebanyakan hanya daun.
Ajaib, secara fisik seharusnya aku telah runtuh. Namun, dalam diriku memantik bara yang membesar hah demi hah. Semakin kejam Rusia menindasku, semakin keras inginku menaklukkannya. Rusia telah membuatku menemukan intisari diriku. Rusia adalah potongan terbesar mozaik hidupku, yang membuka ruang dalam hatiku untuk memahami arti zenit dan nadir hidupku, seperti pesan Weh dulu.
Kami menumpang truk yang hanya kami tahu meluncur ke utara, berdesakan dalam baknya bersama perempuan pemetik buah pear. Mereka adalah orang-orang Chita, suku yang umumnya bekerja di kebun-ke
bun sebagai pemetik buah. Mereka bersahabat, mengajak kami bicara dengan bahasa yang sama sekali tak kupahami.
"Kai ... tuat ... kaituana ... tun ... na ... na ...."
Bak truk huh rendah karena mereka heran meli"hat orang asing. Dielus-elusnya rambut kami, dicubitinya kulit kami, diamatinya tubuh kami yang kumal dan compang-camping. Mereka memberi kami jeruk dan air minum. Perempuan-perempuan Chita
berwajah lain dari kebanyakan penduduk asli Rusia yang telah kulihat. Mereka seperti orang Tongsan tempo dulu: lengannya besar-besar, tengkoraknya kukuh, rambutnya kaku, matanya kecil. Truk ter-banting-banting di atas jalan berdebu. Pohon-pohon pear berjejer rapi. Tiba-tiba aku terperanjat, salah satu perempuan mengatakan sesuatu pada temannya.
"Tuat nai na Olovyannaya kai nai na."
"Tuat nai Olovyannaya."
Aku melompat ke depannya, memekik.
"OLOVYANNAYA!" Perempuan kecil itu terheran-heran.
"Nai ... Olovyannaya, Olovyannaya, nai ...." Kami menghampirinya, mengguncang-guncang tubuhnya. la bingung. Seisi bak truk menatap kami.
"Olovyannaya! Olovyannaya!" Kami menunjuk delapan penjuru angin. la pa-ham. la menunjuk selatan, ke perempatan jalan yang baru saja dilewati truk.
"Olovyannaya," katanya pelan.
"Stop! Stop!" Penumpang bak truk menggedor-gedor kap de-pan truk, menyuruh sopirnya berhenti. Kami meloncat turun. Mereka berteriak-teriak, senang dan haru. Mungkin mereka merasakan, Olovyannaya seperti tanah pengharapan yang telah kami cari seumur hidup.
"Olovyannaya! Olovyannaya!" puluhan tangan menunjuk ke arah yang ditunjuk gadis kecil tadi.
Pertemuan singkat kami dengan perempuan
perempuan Chita itu amat mengesankan. Kami seperti dicampakkan oleh tangan nasib ke dalam bak truk untuk bertemu dengan mereka, satu kesempatan dari ribuan kali mereka berangkat ke kebun pear. Tanpa mereka, kami tak 'kan pernah tahu di mana Olovyannaya. Mereka seperti lebah yang membantu bunga-bunga bersemi. Merekalah potongan mozaik terakhir kami di Rusia. Perempuan-perempuan buruh kebun itu melambai-lambai, tanda perpisahan. Ada yang menghapus air matanya. Truk berlalu, hilang ditelan luapan debu.
Kami berlari kencang ke selatan. Di kejauhan tampak papan lusuh berbentuk anak panah dengan tulisan yang kabur. Kami mendekatinya dengan gugup. Berjuta perasaan menggelegak dalam hatiku. Semakin dekat semakin jelas, di situ tertulis Olovyannaya.
Arai menatap plang nama itu, matanya berkaca-kaca. Kami duduk di bawahnya, diam, tak berkata-kata. Kami tak punya apa-apa lagi, tubuh kami ngilu, tak bertenaga, tak sanggup melangkah lebih jauh. Puluhan ribu kilometer telah kami tempuh, berbulan-bulan menjelajahi Rusia, dengan cara yang tak 'kan pernah dipercaya siapa pun, dengan kisah yang kata-kata tak 'kan cukup untuk melukiskannya. Di bawah tiang arah itu aku takjub akan kekuatan mimpi-mimpi masa kecil kami. Sesungguhnya bukan kami, tapi mimpi-mimpi masa kecil itulah yang telah menaklukkan Rusia.
35 mozaik Arloji Aku terpukau mendapati diriku tengah berdiri di haribaan Laut Kaspia. Di utara situ adalah tanah nah Parsi: Iran. Orang-orang Parsi yang elegan, kenyang akan cobaan. Wanitanya jelita, tangguh, misterius. Orang Parsi selalu diidentikkan sebagai orang Arab, padahal sama sekali berbeda. Mereka mewarisi budaya tinggi gemerlap Islam dan kental akan pengaruh Eropa. Parsi adalah tanah peradaban, pertaruhan gengsi masa lalu, dan tarik-menarik estetika yang membingungkan, namun memesona.
Tak jauh di sebelah timur, persis di belakang kami, adalah Mongolia yang tak tersentuh, mengandung mara bahaya yang menerbitkan rayuan petualangan. Ingin rasanya mencoba-coba tan-tangan yang diembuskan angin-angin lembahnya yang jahat, tidur di padang sabananya sambil menghalau serigala dengan kayu bakar, atau terhalusinasi hantu-hantu gurunnya yang berumur
ribuan tahun. Mongolia, sungguh menggoda! Tapi nanti saja, karena kami harus menemui janji-janji kami, kami harus ke selatan, terus beringsut ke selatan, menyelesaikan apa yang telah kami ikrarkan di Paris.
Dewi Fortuna tertawa lebar, sampai terbahak-bahak, ketika kami sampai di Akropolis, Yunani. Selesai tampil kami
duduk di kafe pinggir Pantai Nabpaktos memesan makanan terenak, sampai kembung kebanyakan minum soda. Kami telah berpuasa panjang di Skandinavia, ditiup angin dingin Laut Baltiknya yang tajam, lalu dirajam ganasnya Rusia, kelaparan, dan terlunta-lunta, akhirnya terdampar di selatan Eropa, di Nabpaktos, berbuka puasa sembari dibelai angin laut Mediterania yang hangat sepoi-sepoi. Kami gemuk lagi dan bergelimang uang. Aku membeli kacamata ray ban yang selalu kuidamkan. Lebar kacanya, besar tangkainya, dan cokelat warnanya. Berkilat-kilat dari jauh. Celanaku cutbrai kordurai, cokelat juga warnanya. Kawan, aku sengaja masuk salon untuk memelintir rambutku, bergaya Bob Marley. Kemejaku" Bukan main kemejaku itu, mereknya Manly Executive, biasa dipakai salesman asuransi tingkat atas untuk menaklukkan janda kaya yang keras hatinya.
Lengan kemejaku itu panjang, lengket mengikuti lekak-lekuk tubuh, dan tentu saja, cokelat
warnanya. Kemeja itu memiliki motto yang tertulis di bungkusnya: Baju untuk pria modern yang siap menghadapi tan tangan milenium baru. Bukan main. Sepatuku, tak kurang dari Nike yang paling mahal, kusesuaikan warnanya dengan warna favorit rumah-rumah nelayan Yunani di Levkas: biru laut. Sentuhan terakhir, ikat pinggang dengan kepala yang sangat besar bergambar wajah Presiden Amerika Serikat Benjamin Franklin, pembebas kaum budak. Aku melangkah anggun penuh gaya pada satu sore yang syahdu di sepanjang Pantai Preveza, disinari cahaya kesuksesan. Aku mirip pimpinan orkes dangdut.
Tapi biarlah, biarlah norak begitu. "Ton, kita sudah pernah menggasak daun plum untuk bertahan hidup," cetus Arai. la membeli jaket kulit yang hebat. Bulu cerpelai melingkari lehernya. Agak sedikit kurang cocok di penghujung musim panas ini sesungguhnya. Tapi biarlah, biarlah norak begitu. Sepatunya sepatu koboi yang dapat dipakai untuk menyalakan korek api. Yang paling istimewa, Arai membeli jam tangan besar dengan tiga lingkaran di dalamnya.
Arai sangat bangga, nyaris terobsesi dengan jam tangan itu. Tak pernah luput satu hah pun ia tak mengelapnya, dengan saputangan khusus tentu saja. Jika ia berangkat tidur, jam tangan yang sangat mahal itu ia selimuti secarik beledu, lalu, dengan satu gerakan hati-hati, dibaringkannya di dalam sebuah kotak yang lux. Kotak itu dimasukkan lagi ke dalam kotak lain berkunci nomor kombinasi.
Tak pernah jauh dari jangkauannya. Sebelum-nya ia mengamati dulu suhu kamar, apakah keadaan suhu tidak akan memengaruhi kinerja jamnya, sesuai petuah manualnya.
Kuamati jam yang hebat itu. Memang luar bia"sa. Satu lingkaran kecil di dalamnya menunjukkan waktu. Lingkaran lainnya seperti kompas, dan lingkaran ketiga, tak jelas. Dalam lingkaran ketiga ada cairan memantul-mantul liar. Ketika kukatakan pada Arai mungkin lingkaran ketiga itu semacam water pass atau neraca air yang biasa dipakai kuli bangunan untuk mengukur kemiringan permukaan papan, ia tersinggung tak kepalang.
"Lidah tak bertulang! Gampang nian kau bicara! Periksa kata-katamu, orang udik!"
Belum sempat aku membela diri ....
"Tahukah kau! Meskipun barang second, pen-jualnya bilang jam ini edisi langka Swiss Military!"
Aku menyusun kata untuk berkilah, tapi, belum sempat aku berteori ....
"Swiss Military! Dapatkah kaubayangkan itu"!"
Arai menggosok jamnya dengan lembut, seolah membujuk karena jam itu juga telah tersinggung.
"Jangan sembarang, ya! Ini arloji mahal! Tahan ban-ting, teknologi kinetik, kacanya kristal, bingkainya baja, tujuh turunan tak 'kan rusak! Tengok baik-baik, pernahkah kau melihat arloji segagah ini"!"
Benar juga, seingatku, aku hanya pernah meli"hat jam tangan seperti itu dipakai Syah Bandar Tanjong Pandan.
Ia merepet, "Jam ini kedap air, tahu! Bullet proof] Tahan peluru! Kaupikir Swiss Military jam kodian"! Jam ini dipakai para laksamana untuk berperang!"
Aku menyesal. Tak kuduga perkara arloji bisa sangat berarti bagi Arai. Aku ingin minta maaf pada sepupuku tersayang ini. Tapi ia masih sangat marah. Aku menyebut diriku sendiri sebagai ... insensitive.
"Tahu apa kau soal jam!"
Arai naik darah. Ia menggebrak meja, namun pada waktu
yang sama, mendadak sontak kaca penutup arloji yang melekat di lengannya copot, jatuh ke bawah meja. Aku terpana, Arai pucat pasi.
Mulut kami ternganga melihat kaca bulat pe"nutup arloji Swiss Military itu berguling-guling, berputar mengitari kaki meja, makin lama putar-annya makin lemah lalu terbaring menyedihkan seiring luruhnya semangat Arai. Mental Arai merosot tajam. Aku diam terpaku, wajah Arai tegang. Aku menikmati detik-detik kemenangan semanis madu sambil menahan tawa sehingga rasanya kepalaku akan pecah.
Suasana membeku, tak ada yang bicara. Aku berinisiatif menyatakan kebenaran hakiki pendapat-ku melalui satu sikap gentleman yang menyebalkan, yaitu dengan memungut kaca itu dan menyerah-kannya dengan takzim kepada Arai. Dalam hatinya pasti ia ingin mencekikku, tapi piramida kebang-gaannya telah rontok. Wajahnya kuyu. Ia tak percaya arloji itu telah tega mengkhianatinya.
Aku mengusap-usap punggung Arai untuk membesarkan hatinya. Kukatakan kepadanya bahwa industri jam tangan tak se-innocent yang ia duga. la mengangguk campur jengkel. Pelan-pelan kutinggalkan Arai dan aku merasa beruntung sebab kejadian itu memberiku pelajaran moral nomor tiga belas yang sangat berguna yaitu tukang jam, tukang reparasi televisi, tukang dadu cangkir, dan penerbit buku adalah profesi-profesi yang patut dicurigai, di mana pun mereka berada.
36 mozaik Janda- Janda Kecoa Sekonyong-konyong, nasib kami berbalik di .negeri Balkan. Orang-orang Balkan (Bosnia, Ser-bia, dan sekitarnya), korban perang itu, jangankan mengapresiasi seni, bahkan masih trauma akan peluru yang baru saja reda berdesing di atas kepala mereka. Secepat kehancuran Yugoslavia, sesegera itulah kami kembali jatuh miskin. Kacamata ray ban-ku, celana kordurai, jaket bulu Arai, sepatu koboinya, semuanya harus tergadai atau dibeli setengah paksa oleh manusia-manusia setengah tentara setengah preman kaum rebel, renegade, para oportunis perang demi setangkup roti. Pohon plum jarang tumbuh di Balkan sehingga kami tak dapat menjadi herbivora dengan menggasak daun-daunnya. Di perempatan-perempatan jalan di Macedonia, kami menunggu mobil salvation army utusan gereja. Para pengikut Kristus yang taat itu setiap malam berkeliling kota membawa dandang besar berisi sup kacang merah. Mereka memberi
makan para gelandangan, tanpa peduli gelandangan itu katholik, protestan, mormon, baptis, agnostik, atheis, budha, muslim, komunis, demokrat, repu-blikan, homo, lesbian, transeks, hetero, atau penjahat. Mobil bala keselamatan berkeliling kota setiap pukul sebelas malam. Jika kami berpuasa sunnah, maka kacang merah pukul sebelas malam itu adalah buka puasa sekaligus sahur kami untuk puasa esoknya.
Kami memasuki kantong-kantong kemiskinan Eropa: Bulgaria dan Rumania. Sejak hah pertama di Crainova, Rumania aku waswas. Seorang bapak tua berperawakan kurus tinggi selalu mengawasi kami. Gerak-geriknya mencurigakan. la berbaju over all seperti tukang, bersepatu boot, berkacamata gelap, kumisnya baplang, dan topi Greek Fisherman-nya jelas ia pakai untuk menyamarkan wajahnya. Ia celingak-celinguk. Jika kami dekati, ia menjauh. Ia mengisap tembakau dengan cangklong dan menyandang ransel. Isi ransel itu sebuah tabung. Seutas slang penyemprot menjulur dari kepala tabung. Ganjil. Selama menjelajahi Eropa, kami telah banyak melihat keanehan. Barangkali bapak tua itu dilanda waham kebesaran, megalomania, merasa dirinya detektif Sherlock Holmes, sakit gila nomor dua puluh empat.
Jika kami memandangnya, ia membuang muka. Kami beranjak, ia lekat mengikuti. Kalau kami tidur di bangku taman, ia tak jauh dari kami, mengintai sepanjang malam, seperti serigala menunggu mangsanya lengah. Malam ini kami kedinginan dan
memilih tidur di halaman sebuah taman kanak-kanak, di bawah perosotan, karena halaman aspal taman kanak-kanak menyimpan panas siang tadi.
Tengah malam, aku sontak terbangun karena backpack yang kujadikan bantal ditarik seseorang. Aku melonjak.
"Araii" Belasan tahun, sejak kecil, Arai selalu melindungiku. Secara refleks, dalam keadaan gen-ting, aku pasti memanggilnya.
"Ikal!" Rupanya refleks Ar ai sama denganku. Kami bangkit dan mundur. Tiga orang lelaki dan seorang perempuan dengan seringai mengancam mengepung kami. Pria-pria itu besar seperti pintu dan selintas saja aku langsung tahu kalau mereka langganan jeruji besi. Tato yang dibuat untuk menyatakan mereka jagoan merambati tubuh mereka. Namun, yang paling seram adalah sang perempuan. Dia pasti menenggak narkoba sejak sarapan dan jelas ia gembong para begundal itu.
Mereka menggertak bersahut-sahutan, baha-sanya, mungkin Slavia, sama sekali tak kami pahami. Tapi gerak lakunya adalah kalimah yang nyata bahwa mereka menginginkan apa pun yang kami miliki. Berulang kali kami dengar tiga pria itu menyebut Gothia jika bicara dengan sang perempuan. Kupastikan Gothia adalah nama betina liar itu. Pantas saja ia seram, namanya saja diambil dari kata Gothica.
"Jonas! Kostov! Ronin!" perintah Gothia pada
anak buahnya. Jonas mendekat sambil menghunus trisula. Kostov, laki-laki beruang itu, memutar-mutar pentungan baseball. Ronin membuka tutup lipatan pisau tajam Victory Knox, mengintimidasi. Situasi gawat, tapi aneh, Arai malah maju, kalem penuh nyali, sangat mengesankan.
"Guys, if you want to rob us, at least, do it in English ...."
Gothia marah. "EnglishatannnI "Hoitl Hoitl" Sekonyong-konyong ia merogoh jaketnya dan, astaga, kejam sekali, perempuan itu mengeluarkan double stick, dua pentungan yang dihubungkan rantai. Benda itu gampang sekali membuat kepala benjol. Arai bergeming, dan ajaib, ia malah mengambil kuda-kuda seperti Muhammad Ali akan menumbukkan ketupat Bengkulunya ke pelipis George Foreman. Arai menantang mereka. Gila!
Merasa diremehkan, para penjahat itu kalap. Mereka merangsek. Arai berlari-lari di tempat, mengayun-ayunkan tinjunya, persis Muhammad Ali. Sinting! Seumur-umur aku antikekerasan, tak pernah sok jago, tapi melihat gaya Arai, keberani-anku melambung. Aku menarik napas lalu mengeluarkan jurus-jurus yang aku sendiri tak tahu. Perampok makin rapat mengepung. Aku membuka ikat pinggang berkepala besar Presiden Amerika Serikat Benjamin Franklin pembebas kaum budak itu, kuputar-putarkan di udara, lalu aku melolong-lolong
seperti Bruce Lee. Kami tak 'kan menyerah begitu saja. Bagaimanapun Rusia telah mendidik kami dengan keras, menempa sekaligus mengobati seperti racun obat. Bukankah sesuatu yang tak mampu membunuhmu akan membuatmu makin kuat" Aku dan Arai saling memunggungi, siap menerima terkaman empat begal.
"Hoitl Hoitl" Gothia murka.
Mereka mengintai celah untuk menyerang. Aku tahu, sekali sergap saja kami pasti tumbang. Kami persis sepasang ayam hutan dalam kepungan kawanan jakal. Tapi kami tak 'kan menyerah tanpa berkelahi dulu. Tiba-tiba siasat ahli strategi perang Cina zaman purba Tsun Zhu menyelinap dalam kepalaku: buatlah musuhmu gelap mata. Mereka yang gelap mata tak 'kan menang. Sambil terengah gentar, aku mengejek para penjahat itu, agar mereka gelap mata.
"So, you don't understand English"1. Ye, Go-thial"
"I bet, you don'tl I
"Even a bitll" Arai paham maksudku, ia memprovokasi.
"Terribly stupid I "Can you read" Gothia"\m
Aku menyambung, memanas-manasi Gothia.
"Don't you have something important to do, Gothia]"
"Pathetic criminals1. Scumbags1.
"Hopeless I" Benar saja, seperti menggoda anjing beranak,
wajah mereka merah padam. Terutama Gothia. Lingkaran hitam matanya menjadi kelam, bibir kisut pecandunya bergetar-getar. la menyelipkan kembali double stick di pinggang kanannya, namun, ya ampun, dari pinggang kirinya ia mengeluarkan sebilah wakizashi, pisau yang dipakai orang Jepang untuk merobek perut dalam harakiri. Tajam berkilauan. Gothia naik pitam.
"You people, you die, tonight1. Hoit\
"Die, die, diel"
Tsun Zhu yang sok tahu! Pasti orang Cina tak pernah berhadapan dengan begundal Rumania! Mengapa kuikuti muslihat tololnya" Inilah akibatnya. Tadi mungkin Gothia hanya ingin merampas dan meninggalkan kami dalam keadaan benjol, tapi sekarang, mereka tak 'kan berhenti sebelum memotong telinga kami.
"Die, die, diel"
Kostov melayangkan pemukul baseball. Gothia menusuk-nusukkan wakizashi. Arai menendang-nendang dan aku memutar ikat pingg
ang kencang-kencang. Kawanan rampok makin beringas. Kami pasti habis kali ini. Turis tewas dijarah adalah berita biasa. Ronin berhasil menyentak Arai, ia terjeng-kang. Aku ingin melindungi Arai tapi wuth! Pentungan Kostov nyaris membabat lututku. Jonas menarik backpack-ku, isinya terburai. Gothia menunjuk kostum ikan duyung, ia menginginkan kostum itu. No way! Kostum Famke Somers itu adalah nyawa kami. Aku berusaha meraihnya tapi Gothia memotong jangkauanku dengan menampas
kan pisau wakizashi. Perempuan kejam itu bahkan tak peduli kalau tindakannya dapat memutuskan tanganku. Sadis tak kepalang. Barang-barang kami berhamburan. Mereka tak peduli karena bernafsu mencelakai kami. Mereka mendesak, kami terjajar ke dinding taman kanak-kanak, terpojok, tak berdaya. Gothia siap membantai kami. Ia maju dengan buas, nyawa kami di ujung tanduk, namun dalam krisis yang memuncak seseorang berteriak
"Tainuil Tainuil"
Sesosok bayangan berkelebat dan tiba-tiba, dari balik kegelapan, menyeruak bapak tua Sherlock Holmes itu. Ia menghambur dan jelas ingin menyelamatkan kami. Ia meraih kepala slang tabungnya, menutup hidungnya dan menyemprot para penjahat itu dengan gas putih. Aku mencium racun: pestisida! Kami menutup hidung. Para perampok kocar-kacir, berteriak memaki-maki, tunggang-langgang tak keruan arah. Bapak tua itu megap-megap. Begitu cepat semuanya berlang-sung. Beberapa detik yang lalu kami terancam bahaya maut, tiba-tiba dalam sekejap semuanya aman. Kami diselamatkan oleh pria yang dua hah ini kami anggap penderita sakit gila nomor dua puluh empat: waham kebesaran.
Terus terang aku takut. Jangan-jangan kami baru saja lolos dari mulut buaya dan masuk lagi ke kerongkongan ular boa, dan ular boa ini jauh lebih berbahaya. Senjatanya pestisida. Aku pernah tahu, di Lampung orang meracuni gajah dengan pestisida, mamalia jantan seberat lima ton dengan mudah
dapat putus nyawanya. Kehidupan malam di jalanan Eropa sering mengerikan. Psikopat, anarkis, paedophile, serial killer, exhibionist, megalomaniac, berkeliaran men-cari mangsa. Bapak tua ini pasti salah satunya, namun semua prasangka itu luntur waktu ia membuka penutup wajah balaclava-nya. Dari kilau kuning lampu jalan tampak wajah yang jenaka. Ia tersenyum bersahabat, meskipun agak mengerikan karena ia hampir tak punya gigi. Ia mengulurkan tangannya, menyalami kami, dan apa yang dikatakannya membuatku nyaris semaput.
"Nhamha sayhha Toha, ashlhii Purbhalinggha."
Arai memekik. "Toha! Asli Purbalingga"!"
Bapak itu tertawa lebar, mengangguk-angguk penuh semangat. Ia membuka topinya dan aku mengenali wajah pribumi yang biasa kulihat menjaga pintu kereta api, menarik ongkos bus ekonomi antarkota, atau menjual brem di sepanjang jalur Alas Roban. Menakjubkan, nun di kota terpencil nan kumuh Crainova, di pelosok Rumania, bahkan tak tampak di peta, kami menemukan orang Jawa.
Kami melompat-lompat berpelukan. Sejak per-tama melihat kami di Stasiun Crainova, Pak Toha yakin kami orang Indonesia, tapi ia minder untuk kenalan. Mengapa minder" Sekarang ia senang berjumpa dengan kami, seperti telah ditunggunya sepanjang hidup. Senyumnya tak kun-jung padam. Ia berkisah berapi-api. Dialek Banyumasnya masih kental. Hanya saja, giginya yang ompong menye-babkan kata-katanya banyak dicampuri huruf h dan
y. Namun, suaranya berubah menjadi berat saat bercerita bahwa ia telah tinggal di Rumania sejak tahun 196S. Menyebut tahun 1965, matanya berkaca-kaca. Kami tak bertanya. Tahun politik Indonesia yang gelap gulita itu telah membuat Pak Toha terpelecat jauh dari Purbalingga sampai ke negeri Balkan, dan merasa dirinya orang terbuang membuatnya minder. Pak Toha tahu sejak dua hari lalu kami diincar begal. Di-am-diam, ia mengawasi kami untuk melindungi.
"Athi-athi, bhhanyahhk rhamphhok." Menyenangkan sekali ngobrol dengan Pak Toha. Seperti kebanyakan orang Banyumas, ia bersahabat dan periang. Obrolan yang paling seru adalah soal profesinya.
"Akhu therkenhal mulhai dhari Orhadhea sampai ke Bhiradh."
Oradea sampai ke Birad, itu artinya Rumania dari ujung ke ujung. Kami bertanya, apa gerangan profesinya hingga i
a masyhur. "Akhu adhalah seorhang pembasymi kechoa."
Pak Toha ke mana-mana membawa tabung pestisida karena ia adalah seorang insect exterminator. Pekerjaannya mengusir tikus, nyamuk, rayap, kecoa, dan berbagai serangga pengganggu rumah. Dengan rendah hati dan humor khas Banyumas, ia memarginalkan dirinya sebagai pembasmi kecoa saja. Pak Toha ternyata juga seorang ahli elektronik. Dulu, sebelum hengkang dari Indonesia, ia tukang rep-rasi elektronik. Kami penasaran melihat benda kecil berbatere lima volt
rakitannya sendiri, ia memencet tombol on.
"Bhukanh syulhap, bukhan syihir, he ... he ... he ...!"
Mulanya tak terjadi apa-apa. Tapi lambat laun dari sela-sela rangka perosoton, dari balik papan ayunan anak-anak, dari dalam ban-ban mobil pengaman benturan, kulihat beberapa ekor kecoa berputar-putar kebingungan. Lalu aneh binti ajaib! Kecoa-kecoa itu mendekati perangkat kecil ciptaan Pak Toha. Belasan ekor jumlahnya. Mereka mengerumuni benda itu, lalu dengan satu gerakan tangkas yang terlatih, Pak Toha memencet kepala slang tabungnya, dua detik kemudian kecoa-kecoa bergelimpangan, tertungging-tungging seperti ekstremis dibedil Kumpeni. Aku terpana.
"Nashib syial kechoa jantan, he ... he ... he ...."
Perangkat kecil itu seperti tak berbuat apa-apa, diam saja di situ, tapi sebenarnya ia memancarkan suara frekuensi tinggi yang tak dapat didengar manusia, hanya didengar kaum kecoa. Lebih aneh lagi, Pak Toha mampu membuat suara godaan bagi kecoa jantan. Jika benda itu dihidupkan, kecoa jantan terbakar berahinya, berbondong-bondong menuju asal suara, namun ternyata mereka hanya menemui ajal di tangan malaikat sakaratul maut Toha. Pusing kepalaku memikirkan bagaimana Pak Toha melakukan semua itu. Arai, sebagai seorang mahasiswa biologi yang cemerlang dan telah belajar ilmu paal hewan-hewan, sampai mengaduk-aduk rambutnya.
Pak Toha rupanya ingin ke ibu kota Rumania:
Bukares. Kami ceritakan kepadanya bahwa kami pun hanya mampir di Rumania dalam rangka menjelajahi Eropa dan akan terus ke Eropa Barat sampai ke Afrika. Cangklong Toha menggantung, matanya yang lucu melotot. "Ghuendheng!"
Ketika akan berpisah, kuat sekali Pak Toha memeluk kami. Detak jantungnya lambat tapi berdegup-degup dan kutangkap satu kilatan yang pahit di matanya. Pasti karena kerinduan yang akut akan kampung halaman, atau karena penganiayaan batin tanpa belas kasihan. Kami saling menguatkan dengan menceritakan kejadian-kejadian lucu. Aku tak ingin sedih meninggalkan Pak Toha. Lagi pula, sulit kutahan tawa, sebab aku tahu, jika nanti Pak Toha sampai di Bukares, akan banyak kecoa Bukares yang menjadi janda.
Di antara senda guraunya, Pak Toha berkali-kali mengusap matanya yang basah. Aku mengagumi ketabahan dan prinsip-prinsipnya yang selalu optimis, meski mungkin ia telah difitnah, ditakut-takuti, dan ditinggalkan semua orang. Kami saling melambai sampai jauh. Pak Toha tetap terse-nyum, malah aku yang tersedu. Toha, orang Banyumas berhati mulia yang kutemui di pedalaman Eropa adalah Weh kedua dalam hidupku. Weh dan Pak Toha, laki-laki terbuang dengan pilihan hidup yang getir, mencerahkanku dengan cara yang tak dapat kujelaskan. Tapi paling tidak, Pak Toha telah memberiku pelajaran moral nomor empat belas tentang filosofi kebahagiaan, yaitu: tertawalah,
seisi dunia akan tertawa bersamamu; jangan bersedih karena kau hanya akan bersedih sendirian.
37 mozaik Trasendental Ibunda guru Muslimah Hafsari, adalah guruku
yang pertama. Dulu, waktu aku masih SD, be-liau pernah berpesan pada kami, murid-muridnya, para Laskar Pelangi, "Jika ingin menjadi manusia yang berubah, jalanilah tiga hal ini: sekolah, banyak-banyak membaca Al-Qur'an, dan berke-lana." Aku paham sekolah dan membaca Qur'an dapat mengubah orang karena di sanalah tersimpan kristal-kristal ilmu. Baru di sini, di Rumania, aku dapat menggenapi arti pesan itu.
Berkelana tidak hanya telah membawaku ke tempat-tempat yang spektakuler sehingga aku terpaku, tak pula hanya memberiku tantangan ganas yang menghadapkanku pada keputusan hitam putih, sehingga aku memahami manusia seperti apa aku ini. Pengembaraan te
rnyata memiliki paru-parunya sendiri, yang dipompa oleh kemampuan menghitung setiap risiko, berpikir tiga langkah ke depan sebelum langkah pertama diambil, integritas
yang tak dapat ditawar-tawar dalam keadaan apa pun, toleransi, dan daya tahan. Semua itu lebih dari cukup untuk mengubah mentalitas manusia yang paling bebal sekalipun. Para sufi dan mahasiswa filsafat barangkali melihatnya sebagai hikmah komunikasi transendental dengan Sang Maha Pencipta melalui pencarian diri sendiri dengan menerobos sekat-sekat agama dan budaya. Aku dan Arai menyebutnya sebagai: itulah akibatnya kalau berani-berani bepergian sebagai pengamen\
Awal September kami sampai ke Estonia. Tak seperti biasanya, Arai bermuram durja. Senyum manisnya yang selalu mengembang tiba-tiba padam. Seharian ia melamun di bawah pohon hawthorn yang juga selalu tampak sendu. Ia menghadap ke pelabuhan Estonia. Hatinya mendung, pandangannya jauh. Aku tahu, pikirannya hanyut menyeberangi Teluk Finlandia, meluncur ke Laut Utara, mengalun-alun di atas riak perairan Inggris, bergabung dengan Samudra Atlantik, berbelok ke Samudra Hindia, lalu hinggap di rumah kos Zakiah Nurmala di Srengseng Sawah, Depok.
Tanggal 14 September adalah ulang tahun Zakiah. Inilah sumber gundah gulana itu. Sungguh setia cinta dalam hati Arai. Cinta yang besar, suci, dan rabun. Aku ingin melipur laranya. Diam-diam kuloakkan second skin-ku, tindakan yang tolol tak terkira padahal jika dingin menyerang, second skin
itu nilainya sama dengan nyawa demi membeli Asiacard untuk Arai.
"Hadiah ulang tahun untuk Zakiah, Rai."
Arai tercengang, telinganya berdiri, hidung jambunya mengembang.
"Kau punya nomor telepon Zakiah kan, Rai" Telepon dia sekarang. Ucapkan selamat ulang tahun. Ini Asiacard, kartu internasional IP Telephone, teknologi Internet, canggih."
Arai melompat girang. Kesedihannya menguap.
"Sungguh perhatian, mengharukan! Orang se-pertimu akan masuk surga, Kal."
Sore itu kami bergegas ke booth telepon umum. Arai menggosok belakang kartu untuk memunculkan pin-nya dengan sikap seperti orang primitif memantik batu untuk menyalakan api. Setelah memencet nomor yang panjang dan mengikuti instruksi dalam bahasa Inggris yang merdu, telepon berdering di Srengseng Sawah sana. Hebat betui IP Telephone. Deringnya delay tapi suaranya nyaring. Arai pucat mengantisipasi suara Zakiah. Tubuhnya kaku waktu telepon diangkat. Dari speaker di gagang telepon yang dipegang Arai, jelas kudengar suara Zakiah. Ia menderam seperti mengigau. Pasti ia kaget disentak dering telepon.
"Hooaaacchhh ... eehmmm ... alo, alooo, hhooacchhh ...!" nadanya jengkel.
Saking bersemangat, aku dan Arai tak sadar kalau di Indonesia saat itu pukul dua pagi.
"Halo, halo, Zakiah, ini Arai, Arai!"
"Hhhooacchhh!" "Ini Arai, Arai, selamat ulang tahun, ya." Arai sumringah, tapi jawaban Zakiah sengak.
"Ha, Arai!" Arai, seperti biasa, menjawab dengan polos.
"Ya, Arai, Arai, selamat ulang tahun, ya ...."
"Arai!" bentak Zakiah kejam. "Tahukah kau jam berapa sekarang"!"
Arai cengar-cengir, tapi senang. Baginya, mendengar suara Zakiah Nurmala cukup untuk membuat hatinya bersuka cita, meski suara itu adalah omelan.
"Tahukah"!"
Arai kena semprot. "Menelepon anak perempuan pukul dua pagi, bahkan ayam-ayam belum bangun! Kausebut dirimu laki-laki Melayu yang santun"!"
Arai meringis. "Itu rupanya ajaran yang kaudapat di luar ne-geri, ya" Tak tahu adat!"
Crakk! Zakiah membanting telepon sekuat tenaga. Arai terpaku. Aku membuang wajah keluar booth telepon, tak tega memandang muka sepupu jauhku itu. Tapi kemudian Arai terkekeh sambil menepuk-nepuk bahuku.
"Jangan cemas Ikal, kaudengar tadi, kan" Dia masih mencintaiku."
is ^ \i Kami telah menusuk ulu hati Eropa setelah membabat habis seluruh Eropa Timur, Tengah, dan negeri-negeri Balkan. Estonia adalah puncaknya. Kami hanya terhenti ka-rena dihadang Laut Baltik. Kapal feri membawa kami dari pelabuhan Estonia ke Hamburg, merambah lagi Eropa Barat melalui Swiss.
Swiss, gemah ripah loh jinawi. Pada setiap su-dut tercermin kekayaannya. Kami menyelusuri avenue di Interlaken, sebuah mobil Bentley menepi da
n menekan klakson hati-hati. Aku menyingkir. Mobil mewah itu memperlambat lajunya lalu berhenti. Sopirnya, sudah tua, bertopi seperti pilot, menurunkan kaca dan melambai. Barangkali ingin me-nanyakan alamat. Aku mendekat. Dengan bahasa Inggris yang sangat halus, ia bertanya, "Bersediakah Anda masuk ke dalam mobil ini""
Ia melirik seseorang di jok belakang. Di situ duduk seorang pria Kaukasia setengah baya dengan pakaian top eksekutif yang elegan. Sepertinya ia sedang break sebentar dari sebuah seminar. Ia ramping dan tampan, rambutnya putih. Ia tersenyum dan mengangguk sopan.
Tawaran yang sangat baik dan tak biasa.
"Bersediakah""
"Terima kasih, maaf, saya biasa berjalan kaki, terima kasih."
Aku beranjak, dia bertanya lagi, "Bersediakah"" Laki-laki tampan tadi tersenyum, mengangguk lagi, agak aneh.
"Terima kasih, Pak. Tak apa-apa, saya jalan ka
ki saja." Aku melengos pergi. Bentley di-start, meluncur pelan mengiringiku. Sang sopir tak sabar. la berteriak kecil, memecah misteri.
"Tiga ratus tujuh puluh lima Euro" Bersedia""
Aku tertegun. Ah! Betapa naif aku tadi. Kini aku paham maksudnya, terang benderang. Laki-laki di jok belakang itu seorang gay.
"Short time, Boy," sopir makin eksplisit. "Not more than one hour," \a be rani kurang ajar.
Aku tak acuh, Bentley mengekor. "My boss wants you, Boy," kalimat sopir menjadi mekanik. "Please ...."
Mobil ngerem mendadak, diam di tempat de-ngan mesin menyala. Kuhampiri Bentley itu. Tiga ratus tujuh puluh lima Euro, bukan sedikit uang. Menggiurkan. Dirupiahkan hampir empat juta. Berdiri sebagai manusia patung ikan duyung selama lima jam, berhari-hari, belum tentu dapat segitu. Jika kuiyakan, aku termasuk high ciass male prostitute. Apa yang dilihat laki-laki itu pada diriku" la pasti berspekulasi aku akan meladeni tawarannya. Spekulasi, membuat transaksi ini mahal.
Kuketuk kaca belakang. la membuka jendela mobil. Sebenarnya aku ingin langsung mendamprat-nya tapi itu tak adil. Disorientasi bukan pilihan, homoseksualitas bukan kejahatan, dan ekspektasi adalah hak. Aku tak pantas melukai hatinya, aku bahkan tak perlu menjadi kasar untuk menegaskan bahwa aku hetero.
"Please accept my apology, Sir. Kind of busy today, how about some other time" May be""
la tahu aku telah menampiknya dengan halus.
"Fine, Young Man. Some other time then, have a wonderful day ...."
Bentley meluncur. Aku dan Arai melanjutkan perjalanan. Kulihat Bentley itu sampai jauh dan satu firasat terbit dalam benakku bahwa makin ke selatan aku beranjak, akan semakin ajaib penga-lamanku. Aku waswas mengantisipasi Austria di depanku.
38 mozaik Enam Belas Tahun Tuhan Menunggu
Ia menjual kebab di depan Stasiun Sentral
Austria. Namanya Mashood. Tubuhnya tambun, wajahnya licin, bulat, dan jenaka. Matanya hang.
"Brother Muslim1. Oh, Subhanallah, marhaban, marhaban."
Kami tanyakan di mana masjid. Merasa ditang-gap, ia senang tak kepalang. Mungkin selama hidupnya ia selalu tak dipedulikan, bahasa Inggrisnya tak keruan.
"Ada beberapa masjid, yeee, understand! Antum, understand, yeee ...." Kami manggut. "Very good." Darinya kami mendapat sedikit pelajaran ten-tang adat orang Islam di Eropa.
"Ada masjid orang Arab, dan hanya orang Arab di sana. Lain lagi masjid Turki, hanya melulu orang Turki, yeee. Selebihnya, brother muslim berkumpul di Masjid Afghanistan, di Gmunden."
Mashood mangatur napas. "Jema'ah Somalia, Sudan, Etiopia, Maroko, Syria, Palestina, Vordan, Irak, Iran, Malaysia, dan sering ada Indonesia tumplek di Masjid Afghanistan, yee ... very good, understand, yeee ... tapi ... brothers ...."
Mashood mendekat, berbisik, bangga meletup-letup dalam dirinya.
"Simak ini ...."
la menenangkan diri. "Siap ..." Siapkah kalian mendengarnya ..."!"
Kami merapat. "Sudah siapkah kau itu, brothers""
Menjengkelkan. Vang akan dikatakan tukang kebab ini tentu sangat penting.
"Imam masjid itu sangat hebat! Hebat sekali! Masih muda, bukan sembarang! Imam itu pahlawan Afghanistan! Bukan sembarang!"
Mashood benar-benar mengagumi sang Imam. Sampai-sampai berkeringat ia menceritakannya. la membekap dadanya, meredakan detak jantungnya, bers
usah payah me-matut-matut kalimatnya.
"Selain pahlawan perang, ia juga seorang hafiz, ia hafal Al-Qur'an! Dapatkah kaubayangkan itu" Tahukah engkau berapa ratus lembar Qur'an itu" Ludes di luar kepalanya! Yeee ... hebat bukan buatan Imam itu. Ia disegani Imam mas-jid mana pun, disegani siapa pun, bahkan Pemerintah Austria takut padanya."
Hebat nian, siapakah Imam itu"
"Gedung putih juga takut! Understand" Yeee
ii .... Kami manggut lagi. "Very very good1."
Kami penasaran. Ingin sekali berkenalan dengan Imam yang sakti itu. Jumat pagi kami berangkat ke Gmunden. Bangunan yang kami temukan sama sekali tak tampak seperti masjid, ia hanya sebuah bangunan tua art deco yang dulu mungkin gudang senjata. Umumnya negara-negara Eropa melarang eksposur atribut-atribut agama, bahkan azan tak boleh terdengar ke luar gedung.
Rupanya Mashood sudah menyebarkan berita akan datang dua jemaah baru dari Indonesia. Di depan masjid, kami disambut kelompok Palestina, hangat sekali. Lalu orang-orang Sudan dan Somalia: hitam, solid gang-nya, pekerja kasar, tapi taat salatnya. Mereka memeluk kami satu per satu. Berikutnya kelompok Syria, Iran, dan Mesir. Hari itu sangat ramai, ratusan orang berduyun-duyun. Mereka bergerombol mengelilingi kami, menanyakan kabar beberapa tokoh Islam penting di tanah air. Cukup mengagetkan karena mereka tahu sepak terjang tokoh-tokoh itu le-bih dari kami. Namun, belum kelihatan orang-orang Afghanistan. Tiba-tiba Mashood mendekat.
"Imam ingin bertemu kalian! Ah, alangkah beruntungnya!" pekiknya. "Very very gooooddd ...."
Jemaah lain mengangguk-angguk. Satu kesan
jelas kutangkap, orang Afghanistan disegani sesama orang Islam dari bangsa mana pun. Mungkin karena mereka patriot, para prajurit tempur, dan tetap tak terkalahkan meski negerinya porak poranda. Kemudian datanglah rombongan patriot Afghanistan itu. Mereka tak lain pejuang Mujahiddin yang mendapat suaka politik di Austria setelah bertikai dengan Aliansi Utara milisi Taliban.
Rombongan itu berjalan tenang, beriringan, jubahnya melambai-lambai. Tampak betui mereka tak pusing lagi dengan urusan dunia. Jelas terbaca dari pancaran wajahnya bahwa mereka dengan senang hati rela menyerahkan nyawa demi membela agama, bahwa yang paling mereka rindukan adalah pertemuan dengan Ilahi untuk diangkat ke Arash-Nya. Mereka tampak gagah berani. Keberanian yang tak diumbar melalui kata-kata kasar dan paras yang sangar. Keberanian mereka adalah keberanian yang dalam, tersembunyi di balik wajah tampan bercambang dan mata nan teduh. Aku takjub, aku seakan melihat serombongan kha-lifah penguasa jazirah.
Satu di antaranya sangat bersahaja. la dikelili-ngi pria-pria tinggi besar semacam body guard, la paling muda, tapi setiap orang menjaga jarak dengannya. Pastilah ia sang Imam. Rombongan yang tadi mengerubuti kami membuka jalan, menunduk takzim, dan bersahut-sahutan mengucap salam pada sang Imam. Aku paham, tak begitu saja seseorang dapat diangkat menjadi Imam untuk masjid pusat pertemuan muslim berbagai bangsa ini,
sang Imam, meskipun masih muda, tentulah bukan manusia sembarang. Setiap suku kata Mashood, benar adanya.
Di ambang pintu masjid seseorang menghampiri Imam, berbisik. Imam menoleh kepada kami, ia tersenyum. Aku terkesiap. Imam, bersama empat orang body guard-nya tadi, berbalik menuju kami. Aku gugup.
Sebenarnya posturnya kecil saja, sedikit lebih


Edensor Karya Andrea Hirata di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tinggi dariku, namun ada sesuatu yang membuatnya
kelihatan sangat besar, sesuatu yang tak
kasatmata. Ketika ia melangkah, seakan udara
bergelombangdilibasjubahnyayang
melayang-layang. Orang ini memiliki aura seorang raja. Imam semakin dekat, wajahnya yang tirus dihiasi cambang, bersih bercahaya karena air wudhu yang hidup terus-menerus. Arai pucat, aku gemetar, aku merasa seperti dihampiri malaikat.
"Assalamualaikum, my brothers," sapanya lem-but namun penuh tenaga. Ia langsung memelukku dan Arai.
Kami hanya mampu menjawab dengan lirih. Aku tak sanggup menatap wajahnya. Di depan orang ini, aku, dan ibadahku yang naik turun, rasanya tak pantas. Aku malu pada diri sendiri. Ia mengucapkan kata-kata selamat datang, kami masih ter
tunduk, lalu jantungku rasanya copot waktu ia mengenalkan namanya.
"Saya Oruzgan, Oruzgan Mourad Karzani ...."
Masya Allah1. Kami mengenalnya! Bertahun-tahun yang lalu kami telah mengenalnya! Dialah
yang kulihat di TVRI balai desa dulu dari reportase Ibu Toeti Adhitama. Inilah pahlawan besar Balloch yang menumbangkan resimen Tentara Merah di Lembah Towraghondi tahun 1988. Salah satu penentu hengkangnya Rusia setelah dua belas tahun menginvasi Afghanistan.
Dia memang sama sekali bukan orang semba-rang. Wajar saja kharismanya mampu menelan kami bulat-bulat. Laki-laki ini telah melemparkan granat ke iring-iringan tank Rusia, berjingkat-jingkat menghindari ladang ranjau, hidup bertahun-tahun dalam lubang perlindungan, menyerbu musuh dalam desing peluru, berlari menyandang senapan AK-47 di atas mayat-mayat yang bergehmpangan, ketika usianya baru empat belas tahun!
Betapa aku mengagumi Oruzgan. la menatap kami, sinar matanya lembut namun mengandung kekuatan yang dahsyat. Di depannya rasanya aku bersedia mengakui semua kesalahan yang pernah kulakukan, melaporkan semua kejahatan kecilku, Arai sampai ingin mencium tangannya.
Lama kami berbincang dengan Imam. Penge-tahuan agamanya seluas samudra.
"Al-Qur'an mengandung science dan sastra terhebat," ujarnya.
Azan pun berkumandang. Masjid penuh sesak. Aku dan Arai mengambil tempat di tengah. Nyaman rasanya berada di dalam masjid yang hangat, di antara ratusan brother muslim yang bersahabat. Usai khotbah, yang disampaikan dalam bahasa Arab, jemaah berdiri untuk salat Jumat, berdesakan.
Aku di sisi kiri Arai, Mashood di kanannya. Imam Oruzgan memimpin salat dan mulai membaca Al-Fatihah. Jemaah terpaku dalam khidmat.
Sejak imam mengucapkan Basmallah, aku dan Arai terpejam, khusyuk. Suara imam mendayu dalam masjid yang senyap. Aku dan Arai terhanyut. Senandungnya perlahan membawaku melayang ke Masjid Al-Hikmah di kampungku di Belitong, sebab lekukan tajwid, gaya, dan lagu imam sangat mirip dengan senandung imam kampung kami, Taikong Hamim. Ayat demi ayat mengalir, membelai-belai dan aku tercabut dari masjid itu. Aku serasa berdiri bersama puluhan anak Melayu di saf belakang Masjid Al-Hikmah. Suasana tenteram dan damai, namun ketika Imam Oruzgan sampai pada ayat terakhir Al-Fatihah, Walad Dholiiiiin kekhusyukanku sontak berantakan. Aku terperanjat mendengar jeritan panjang, nyaring meliuk-liuk, seperti serigala mengundang kawin.
"Aaammmiiinnn... mmmmmiiinn
mmiiiiiiiinnnnn ... mrnmiiiiiiiiiinnnn ...."
Rupanya Arai melolong seperti dulu sering dilakukannya di Masjid Al-Hikmah untuk mengejek Taikong. Aku lebih kaget lagi karena suara amin itu hanya sendiri, sebab mazhab yang dianut jemaah masjid ini hanya mengucapkan amin dalam hati. Suara Arai nyaring bergema-gema, meliuk-liuk, terpantul-pantul sendirian dari pilar ke pilar dalam ruangan besar itu. Di sebelahku tubuh Arai bergetar-getar hebat, kulitnya yang menempel padaku menjadi dingin, keringatnya mengalir deras,
dan giginya gemelutuk. Mashood mendengus-dengus seperti kambing bengek. la pasti setengah mati menahan tawa.
Tuhan Tahu tapi Menunggu, kata Tolstoy. Enam belas tahun Tuhan menunggu untuk membalas kejahatan Arai dengan rasa malu yang tak tertanggungkan pada jemaah Afghanistan yang terhormat. Ribuan kilometer dari Masjid Al-Hikmah di Belitong, nun jauh di negeri yang sedikit pun tak pernah terbayangkan, karma menemui Arai. Usai salat Arai menghampiri Imam, ia bersikap gentleman, memohon maaf dan mengatakan semua terjadi di luar kesadarannya.
"Sesuatu yang berasal dari keisengan masa ke-cil, Imamku," kilahnya menyesal.
Imam tersenyum simpul. "My brother," sapanya halus. "Tak selembar pun daun jatuh tanpa sepengetahuan Allah."
Kami bergegas kabur. Dari kejauhan kulihat segerombolan besar orang tertawa terbahak-bahak sambil meme-gangi perut, sampai terduduk-duduk. Mashood tergopoh-gopoh meraih sepeda ontelnya, pontang-panting menyusul kami.
"Brothers, brothers ....
"Very very goooood ...."
39 mozaik Cinta, di Mana-Mana Cinta Tepat tengah malam, kereta murahan yang kami
tumpangi dari Gmunden berhenti di Venesia. Stasiun Venes
ia berada di semacam semenanjung sehingga ia seperti pulau. Air, di mana-mana air. Dari jendela kereta kulihat ratusan backpacker bergelimpangan tidur di platform stasiun. Di antaranya backpacker yang selalu kukagumi, backpacker Kanada!
Kami telah melintasi Rusia dari ujung ke ujung, tapi cerita backpacker Kanada mencengangkan. Mereka melintasi Siberia, berangkat ke Beijing dari Moskwa dengan ke-reta ekonomi yang terus melaju selama tiga minggu. Seorang perempuan muda, Denyah Wilson namanya, tampak lebih cocok menjadi penjaga pameran mobil mewah, menjadi pentolan kelompok itu. Denyah seorang French Canadian dan mahasiswi antropologi di Quebec, bagian dari Kanada yang berbahasa Prancis. Ia hanya tinggal punya enam jari kaki, jemari lainnya
terpaksa ia kerat sendiri dengan pisau komando karena frostbite, la mengisahkannya seperti kehi-langan kaus kaki saja, namun mereka menunjukkan sedikit respek pada kami demi mendengar kami membiayai perjalanan sebagai pengamen ikan duyung.
"Fantastic1." kata mereka, tak tahu karena ka-gum atau geii.
"Bagaimana kalian bisa melakukan semua itu"" kalimat pujian itu Denyah alamatkan sambil mengunyah senyum, maka kupastikan: karena geii.
Kami diam saja, sebab tiga hah tiga malam tak 'kan cukup untuk mencehtakannya.
"Hati-hati backpack-mu, Kawan," saran Denyah. "Peluk backpack-mu kalau tidur."
Rupanya di Stasiun Venesia banyak pencoleng. Polisi berjaga-jaga. Seperti di Jerman, polisi Italia menghormati tradisi backpacking. Di luar lingkar lampu-lampu tinggi stasiun, kulihat gerak-gerik mencurigakan. Para pencoleng itu serupa rubah mengincar telur camar. Lengah sedikit saja, backpack melayang. Ini satu sisi gelap Italia yang hanya diketahui backpacker.
Namun, semua kecemasan sirna begitu mata-hari merekah dan kami mendapati diri dikelilingi air yang terhampar seperti permadani cahaya, beriak-riak menggenangi sudut-sudut Venesia. Kanal-kanal kecil berkilauan, meliuk-liuk menyelingi rumah tua penduduk. Gondola meluncur syahdu. Venesia, secara keseluruhan tampak seperti repli-ka, seperti negeri buatan. Lalu huh rendah teriakan.
"Grazie ...." "Amore ...." "Ciao ...." Pria wanita berkerumun di kafe-kafe dengan gerak laku seperti sedang bermain sandiwara. Dialek mereka mengalun seumpama nyanyian dan kadang meledak-ledak. Pria-pria berseliweran, membawa bunga atau bicara romantis dengan seorang wanita, di samping scooter berwarna kuning, meyakinkan wanitanya betapa ia mencintainya, dan bahwa semalam ia tak pergi dengan perempuan lain. Sang wanita bersikap dramatis persis di film-film. Tangannya bersilat-silat. Orang Italia, melihat hidup sebagai seni. Mereka merayakan kehidupan dan jatuh hati pada setiap sendinya.
Italiano mendamba kekasihnya lebih dari mendamba dirinya sendiri. Mereka tak sungkan me-nangis, membaca puisi, dan berdoa mengeks-presikan cintanya, meskipun se-dang berada di pasar ikan. Tak pernah, di mana pun, kusaksikan pemandangan semacam ini. Italia menyajikan landscape yang memesona dihiasi adegan-adegan cinta yang memukau.
Benar, seperti kubaca di buku. Pria Italia sung-guh flamboyan dan mereka passionate: penuh gairah. Kaum lelaki selalu berlagak agar perempuan di dekatnya terkesan. Agak sedikit norak barangkali. Jika ada wanita cantik lewat, mereka bersuit-suit. Kelakuan ini mengingatkanku pada Yogyakarta. Tapi tak pernah kulihat suatu komunitas di mana kaum pria rata-rata berwajah rupawan. Hanya Italia yang
seperti itu. Tukang parkir, penjaga toko, masinis kereta, calo, tukang pos, nelayan, pengemis, kondektur, sopir bus, bahkan pencopet, semuanya ganteng.
Penampilan kami yang paling mengesankan adalah di Fontana de Trevi, Roma. Dua ekor ikan duyung menghiasi air mancur terindah di planet ini. Ini yang disebut maestro seni jalanan Famke Somers sebagai pemilihan iokasi untuk meraih efek teatrikal. Di sudut sana, manusia patung lain menyaru sebagai tiga pendekar The Three Musketeers dan santa-santa, semakin mengentalkan nuansa seni sore itu.
Kami telah menampilkan seni patung ratusan kali hampir di seluruh Eropa. Barangkali sudah cukup pantas kami menyebut diri profesional. S
ekarang kami pandai berimprovisasi, tak lagi sekadar paduan ibu ikan duyung dan anaknya yang merana, tapi lebih kreatif, yaitu sebagai putri duyung yang nakal menggoda, putri duyung malu-malu kucing, putri duyung cemberut, putri duyung penurut. Bisa juga putri duyung musim panas, putri duyung musim hujan, putri duyung banyak uang, putri duyung banyak utang, putri duyung perawan, putri duyung janda kembang, atau putri duyung mata duitan, semuanya piawai kami lakoni.
Kadang kami tak peduli apakah akan ditonton, difoto, dipuji, dimaki, atau diberi uang. Kami telah
pandai menikmati daya tarik seni patung, yaitu sensasi teatrikal dari keseluruhan konteks artistik-nya. Jika sampai pada sensasi itu, aku merasa menjadi elemen keindahan dalam arsitektur kosmos. Menggetarkan, bukan" Jika memasuki sebuah kota, kami tak serta-merta berdandan dan tampil, namun, demi menciptakan efek teatrikal tadi, kami berkeliling dulu, menilai keadaan, mempelajari selera setempat, mencari-cari inspirasi, dan mereka-reka lakon. Di Verona, inspirasi itu adalah Romeo dan Juliette.
Jika ada sesuatu yang paling absurd di muka bumi ini, itu adalah cinta. Aku melihatnya sendiri di Verona. Tak jauh dari Colosseum Verona, ada sebuah rumah tua. Rumah tua yang biasa saja, namun dulu, William Shakespeare, jauh-jauh datang dari London untuk kost di rumah itu, tentu saja demi suatu ilusi suci yang disebut kaum seniman sebagai inspirasi. Shakespeare ingin menyerap gairah cinta Italia. Di rumah tua itulah ia menulis kisah cinta terbesar dalam sejarah umat: Romeo and Juliette.
Kota Praja Verona serta-merta memanipulasi kesintingan manusia akan cinta menjadi peluang bisnis. Rumah tua itu dijadikan objek wisata. Pamor rumah itu hampir mengalahkan Colosseum Verona. Aku memasuki kamar di tingkat dua yang disebut sebagai kamar Shakespeare. Di luar kamar itu ada
balkon. Waktu menulis adegan Romeo memanjat kamar dengan gordijn yang dijulurkan Juliette, Shakespeare pasti terinspirasi oleh balkon itu. Berbondong-bondonglah para turis, terutama yang sedang kasmaran mengunjungi balkon yang kondang dengan sebutan Juliette Balcony. Lebih indah lagi, mereka boleh menuliskan ikrar cintanya di sana. Awalnya hanya di balkon. Namun karena semakin banyak turis yang datang, mereka dibolehkan menulis ikrar asmara di seluruh dinding luar rumah.
Agar lebih dramatis, di bawah balkon didirikan patung perunggu Juliette dalam pose berdiri. la kemayu, matanya penuh cinta, namun bermuram durja, dan tubuhnya sedikit terbuka. Dengan sangat jeli karena tahu cinta itu absurd-petugas kota praja, atau tak tahu siapa, mendengungkan kabar yang sedikit melankoli bahwa jika romansa ingin langgeng, pasangan yang sedang dimabuk cinta harus mengusap dada patung Juliette.
Kawan, sering kudengar kabar tentang sinting-nya cinta namun baru di Juliette Balcony kubuktikan semuanya. Jutaan, ya, jutaan kekasih telah mengusap dada kanan Juliette sehingga mengilap seperti diamplas, sedang bagian tubuhnya yang lain tetap segelap perunggu. Kasihan aku melihat Juliette. Lalu para sejoli yang mabuk kepayang menulis ikrar cinta mereka. Puluhan, mungkin ratusan juta ikrar cinta dalam ratusan bahasa asing menghiasi tembok. Tembok tak cukup, mereka menulis di lantai, di bangku-bangku taman, di pilar, di tiang-tiang, bahkan di plafon. Pun Arai tak lupa,
karena sudah tak ada tempat, ia menulis di kusen jendela: Arai Zakiah Nurmala. Aku menulis cinta sahabatku Jimbron dan istrinya: Jimbron loves Laksmi kutulis di tungku. Aku sendiri tak mau kalah, dekat talang air kutulis namaku, nama A Ling, dan gambar hati yang besar. Satu lagi, namaku dan Katya, tapi gambar hati-nya lebih kecil nakal sekali.
Karena kejelian kota praja memanipulasi keko-nyolan cinta, Verona menjadi salah satu wilayah terkaya di Italia. Blessing in disguise, berk ah terselubung dari turis-turis mabuk kepayang yang sudah tak lurus lagi akalnya. Padahal banyak ahli sejarah yang meragukan apakah William Shakespeare menulis Romeo and Juliette di Verona dan pernah tinggal di rumah itu. Lebih dari itu, Romeo dan Juliette hanyalah sebuah fiksi. Pencitraan dan
representasi, itulah inti persoalan di sini. Kami ingin tampil merepresentasikan Juliette.
Di pelataran Colosseum Verona aku dan Arai mengambil pose persis patung perunggu Juliette. Seperti nasib buruk cinta Juliette, kami menjadi ikan duyung yang merana karena cinta terlarang. Ekspresi kami penuh romansa sekaligus putus asa. Sungguh suatu pertimbangan estetika yang sempurna. Dalam waktu singkat kami dikelilingi pasangan-pasangan yang sedang jatuh hati, rapat berlapis-lapis. Koin-koin Euro tumpah ruah. Bencana pun datang.
Mulanya sepasang kekasih berbahasa Mandarin mendekat. Mereka sudah tak muda, barangkali empat puluh lima tahun. Keduanya tampak tergila-gila satu sama lain. Dari penampilannya, aku menduga sang pria baru saja mengakhiri jabatannya sebagai bujang lapuk dan mendapatkan kekasih melalui biro jodoh atau lewat kencan buta. Sang perempuan, mungkin sudah lima kali kawin dengan empat belas anak dan akhirnya menemukan a love for a lifetime1. Tiba-tiba, dengan satu gerakan yang sama sekali tak kuduga, perempuan itu menjangkau dan mengusap dada kananku. Aku kaget tapi tak mungkin bereaksi. Aku adalah manusia patung profesional dan Famke Somers dengan tegas berpesan bahwa manusia patung tak boleh bereaksi, meski diprovokasi sekalipun.
Celaka, tindakan perempuan Tionghoa itu diikuti pasangan lainnya. Penonton menghampiri dan tanpa sungkan mengusap dadaku dan Arai seolah kami patung Juliette. Silih berganti, puluhan orang meraba dada kananku, sebagian mengusap, ada yang mencubit, bahkan meremas sambil cekikikan. Aku kesakitan, dadaku panas, merah, dan perih. Setiap kali seseorang membekapkan ta-ngannya ke dadaku rasanya aku ingin terkencing-kencing.
Pasangan kekasih tua, muda, setengah baya, homo, lesbi, hetero, satu per satu menggasak dada kami. Aku sudah tak tahan. Kulihat ekspresi Arai berubah dari putri ikan duyung Juliette yang jelita menjadi ikan duyung meringis. Sungguh besar cobaan menjadi seniman manusia patung. Akhirnya, satu jam berakhir dan kami cepat-cepat ambil langkah seribu dari Verona. Malamnya kami baru bisa tidur setelah mengompres dada dengan es. Cinta memang edan.
40 mozaik Galliano Ia lebih cantik dari segala hal yang ada di Milan.
Bahkan kolibri yang meracau-racau di pucuk-pucuk sibbaldia, bungkam waktu melihatnya berlari terpantul-pantul. la manis seperti madu dan baru saja melompat dari Ferrari merah marun. Pintu mobilnya dibukakan seorang pria Afro-Amerika berjas lengkap dengan dasi serasi. Wajah pria itu menunjukkan kesediaan sepenuh hati meng-umpankan tubuhnya sendiri pada peluru, jika ada seorang penggemar obsesif menembak majikannya. la berbusana serba putih. Kemeja tipisnya melayang-layang melapisi t-shirt kasual. la memasuki gedung dengan tulisan Why Not di atas pintunya. Apakah ia A Ling"
Di Internet ia adalah Roxane Ling. Kurang jelas apakah ia pemegang saham, desainer, atau model di Why Not sebuah agensi bagi para supermodel. Aku masuk untuk menemuinya.
Resepsionis menanyaiku, "Apakah sudah punya
janji"" "Belum." Gadis itu mengangkat gagang interkom.
"Rox, seseorang ingin berjumpa denganmu."
Tak ada jawaban. Interkom ditutup. Kulirik su-dut langit-langit yang dipasangi kamera-kamera CCTV. Aku tahu Roxane sedang mengamatiku. Tiba-tiba pria Afro body guard tadi datang. Bergaya sedikit over acting ia mengecek situasi. Ah, hanya seorang pria toioi yang ingin berfoto, pasti begitu pikirnya. la bicara pada CCTV.
"Ok, Babe, clear."
Roxane Ling keluar dari ruangan, berjalan menghampiriku. Aku gugup karena ia sangat mirip A Ling, tapi ia bukan A Ling. Tak dapat kusembunyikan kecewaku. Lama aku berbincang dengan Roxane, ia membesarkan hatiku.
"Kalau yang kaucari cinta, kau akan menemu-kannya," bujuknya bijak. "Percayalah ucapanku ini, kau akan menemukannya di Afrika."
Aku merinding. Tak pernah kuberi tahu siapa pun bahwa di Internet aku menemukan seseorang yang gambaran dan namanya serupa A Ling di Zaire, Afrika. Aku menatap Roxane. Ia serius. Ia sangat yakin akan kata-katanya. Sedetik aku dikuasai keyakinannya itu. Aku percaya, tapi detik berikutnya, aku ragu. Aku mohon diri. Di
ambang pintu aku menoleh pada Roxane, air mukanya tak sedikit pun berubah.
"Afrika," katanya pasti.
Malam-malam di Milan kami lewatkan dengan berlindung di gereja, karena Milan ternyata kota yang berbahaya. Berbulan-bulan hidup sebagai backpacker hidup di jalanan dan tidur di sembarang tempat kami telah pandai menimbang keadaan rawan. Taman adalah tempat tidur yang paling tidak aman. Lewat tengah malam, taman-taman di Eropa menjadi sanctum bagi para psikopat. Emper toko tempat berisiko tinggi. Terminal dan stasiun jauh lebih aman. Benda yang paling berharga bukanlah uang, tapi paspor. Paspor yang dipalsukan berharga fantastik di pasar gelap, dan ke-nalan yang terlalu ramah adalah kenalan yang paling jahat.
Banyak kota yang berkarakter seperti orang tua: melindungi warga seperti anak, menghormati tetangga, dan menyambut pendatang. Namun, ada pula kota yang berperangai seperti bandar judi: mencandu kemewahan, memberi kesempatan pada siapa saja untuk mempertaruhkan apa saja, lalu mencampakkan yang kalah tanpa ampun. Milan adalah kota semacam itu.
Di Milan pertempuran antarimigran gelap Maro-ko dan India yang bersengkongkol dengan orang-orang buangan dari Balkan telah akut bertahun-tahun. Siapa pun yang berada di jalanan saat larut malam sangat mungkin celaka jika terperangkap dalam pertempuran itu. Beberapa kali aku dan Arai mengalaminya. Mereka bertarung memperebutkan pekerjaan kasar mengais sampah atau soal parkir. Dalam keadaan ini, tak ada tempat
yang lebih aman selain gereja.
Masih di Milan, di depan sebuah butik bernama Eternita, aku tertarik menyaksikan sekelompok orang berpakaian seperti Elvis Presley. Rupanya mereka anggota klub penggemar Elvis yang berkumpul untuk meresmikan galeri memorabilia artis pujaannya itu. Aku mendatangi gedung itu. Di lobi, seorang perempuan sepuh menghampiriku. la menyapa dan menyalamiku. Rupanya ia pemilik klub itu. Peresmian dimulai. Seorang pria berpidato menggebu dalam bahasa Italia. Kupahami sedikit bahwa ia memuji perempuan kaya yang tadi menyapaku karena ia telah menyumbangkan rumahnya untuk dijadikan galeri. Tepuk tangan bergemuruh ketika nama perempuan murah hati itu disebut.
"Hadirin, tepuk tangan yang meriah untuk Andrea Gallianooooo ...!"
Aku terempas di atas tempat duduk. Dulu, waktu ayahku kehabisan nama untukku, aku menemukan potongan berita di majalah Aktuil tentang wanita Italia yang mengancam terjun dari tiang telepon jika Elvis Presley tak membalas suratnya. Nama perempuan itu Andrea Galliano. Nama depannya itu kuambil sendiri menjadi namaku. Dengan logika apa pun tak dapat kujelaskan bahwa beberapa menit yang lalu aku baru saja bersalaman dengan Andrea Galliano. Di tempat yang sangat
jauh dari rumahku, di sudut Milan, kutemukan lagi sepotong kecil mozaik hidupku.
Peristiwa dengan Andrea Galliano membuatku seperti melihat cahaya yang meyakinkanku bahwa sekecil apa pun hal terjadi memang karena suatu alasan. Karena itu, aku tak ragu menuju ke Florence. Aku tahu, hal yang menakjubkan bisa saja terjadi lagi padaku di sana, tanpa pernah kuduga dari mana arah datangnya.
41 mozaik Tanah yang Telah Dijanjikan Mimpi-Mimpi
Sepintas saja melihatnya aku tahu kalau laki-laki
itu pastilah seorang brother muslim. Secara na-luriah, aku kenal. Sejak kecil, aku dikelilingi laki-laki semacam itu: guru sekolahku, guru ngajiku, ayahku, khatib, atau juru sunatku. la menonton kami tampil di Ponte Vechio, Florence. Disampirkannya selembar uang sepuluh Euro, dengan kesan seakan uang itu bukan miliknya, tapi hak musafir seperti kami. la hanya dititipi Allah Yang Mahatinggi.
Sejak lama kami ingin tampil di Jembatan Ponte Vechio karena kecantikannya tak dapat dilukiskan kata-kata. Lengan-lengan jembatan itu dilekati rumah-rumah penduduk berusia ratusan tahun, bertingkat-tingkat seperti kandang merpati.
Usai tampil, aku termenung memandangi hak sungai di bawah jembatan purba itu. Aku tahu air sungai itu asin karena ia tak lain empasan ombak Tyrenian. Dari sinilah pa-da masa lampau pedagang gagah berani dari Zanzibar, Arab, Cina, dan India
memasuki Italia. Jantungku berdetak. Telah k
utempuh perjalanan yang amat jauh sampai ke Florence dan nun di situ, tak jauh dariku, bahkan tepat di depan hidungku, ombak Tyrenian terempas di pesisir yang telah lama kami impikan. Kawanku, tahukah dirimu" Lima belas derajat lintang selatan dari tempatku berdiri, tanpa ada lagi daratan menghalang, di situlah Afrika!
Kami tak tahu bagaimana dan dengan cara apa dapat mencapai Afrika. Afrika adalah sesuatu yang amat berbeda. Tak ada Schengen visa di sana, tak ada budaya backpacking, dan tak dapat diramalkan respons penduduknya pada seni jalanan. Di sana orang kehausan, penyakitan, kelaparan, bunuh-bunuhan, dan dilahap singa. Tapi di lengan Jembatan Ponte Vechio kami mengukir: Jimbron, kami akan ke Afrika! Kaudengarkah itu, Bron" Afrikaf Dari Florence, kami naik kereta ke ujung selatan Italia, Regio. Brother muslim itu melompat ke dalam
gerbong. Kami masih belum saling menyapa. Setiap melihat kami, ia tersenyum.
Makin ke selatan ternyata Italia semakin mis-kin. Kami naik kereta malam yang bobrok. Di dalamnya seperti barak dengan tempat tidur tingkat. Kami tertidur pulas berdesakan bersama nelayan-nelayan miskin. Tak pernah ada yang datang memeriksa tiket.
Dini hari seseorang berteriak, "Messina! Mes"sina!"
Celaka! Kami ketiduran dan bab/as. Kereta menyeberangi Selat Messina. Tiket kami hanya sampai Reggio tapi kami terangkut ke Messina, berarti kami terdampar di sarang gembong mafia: Pulau Sisilia.
Kami senang bercampur panik. Di kafe kecil ka"mi memesan kopi dan disuguhi dua gelas liliput. Pria-pria tua memakai rompi dan bertopi baret duduk mengelilingi meja-meja kecil. Dinding dengan tembok yang pecah-pecah, kapstok gantungan mantel dan topi, salib besar, patung Bunda Maria, kursi-kursi kayu berwarna hitam, lampu yang rendah dengan kap berenda-renda, persis film Godfather.
Seorang wanita, yang berwajah sangat Italia, menuangkan kopi ke dalam gelas liliput tadi. Kopi itu sedikit sekali, hitam, pekat dan kental. Kami melihat orang-orang minum kopi itu sekali teguk. Aku meneguknya dan seumur hidupku tak pernah kurasa kopi seperti itu. Ketika meluncur melalui tenggorokan, mataku langsung terang benderang seperti lampu yang hampir putus, lalu di dalam
kepalaku petir menyambar-nyambar. Itulah kopi kaum mafia.
Kami bergegas menuju kota terbesar di Pulau Sisilia, Palermo. Tak pernah kulihat sebuah kota di Eropa Barat yang sepi dikunjungi turis. Sisilia dan reputasi mafia membuat turis enggan berkunjung ke kota tua yang sesungguhnya indah itu. Kami tampil di Palermo dan anehnya, salah satu penonton kami adalah brother muslim itu!
"Assalamualaikum," sapanyaketika kami
berkemas-kemas. Namanya Bilal. la seorang pedagang keliling. la berdagang keperluan ibadah seperti sajadah, kopiah, dan baju-baju muslim. Kami saling bercerita tujuan masing-masing.
"Sebenarnya kami ingin ke Afrika."
"Berkunjung saja ke Tunisia," saran Bilal santai.
"Bicara apa kau, Brother" Tak terbayangkan susahnya urusan visa," cetus Arai.
"Visa" Kaubilang kau orang sekolahan""
Info dari Bilal membuat telinga kami berdiri. Sebagai sesama anggota OKI, organisasi negara Islam itu, ternyata muslim Indonesia bebas visa ke Tunisia. Tunisia adalah gerbang utara Afrika, batu loncatan untuk mengarungi Benua Hitam itu.
Tak buang tempo, kami tergopoh-gopoh menuju kantor duane dan segera naik kapal dari Mazara ke Tunisia. Kapal meluncur menembus Kanal Sisilia, terapung-apung dalam rengkuhan daratan luas
Italia, Pulau Sardinia, dan Pantai Malta. Kapal merapat di Dermaga Kelibia, Tunisia. Kami dilanda haru karena berhasil menginjak tanah yang belasan tahun telah dijanjikan mimpi-mimpi: Afrika.
Laut Mediterania tak ubahnya tabir ajaib yang memisahkan dua tempat yang sama sekali berbeda. Baru beberapa saat yang lalu kami berada di Eropa yang dingin dan tak peduli, kini kami berdiri di tanah Afrika yang panas dan terang benderang. Hatiku senang melihat laki-laki dan kambing-kambing berkeliaran. Perempuan memakai kerudung kaftan dan berdebu. Hatiku gembira meluapluap mendengar azan sahut-menyahut.
Aku berdiri di tengah padang rumput esparto. Sampai ke manakah padang rumput
esparto itu" Aku tak tahu. Padang itu terhampar sampai jauh ke sana. Lalu, di sebelah sananya, rumput esparto lagi. Afrika kosong, gersang, kuning, dan luas tak terbayangkan. Di angkasa burung-burung yang tak dikenal berkaok-kaok dengan suara lebih keras dari burung-burung di wilayah lain. Barisan pohon citrus seakan pagar yang tak putus-putus, semakin kecil sampai tak kelihatan, tapi tetap tak habis-habis.
Sebenarnya kami ingin melintasi Afrika dari titik paling utara, yakni Kalibia di Tunisia sampai ke titik paling selatan Pantai Gading. Setelah apa yang kami alami di Rusia, kami yakin mampu menaklukkan Afrika. Namun, kami tak punya waktu. Kami harus kembali ke Paris untuk menyelesaikan kuliah. Akhirnya, diputuskan ke titik tengah Afrika saja, yaitu Zaire. Itu pun karena ingin menemui Njoo Ling,
seseorang yang seusia dengan A Ling, dan ia seorang perawat. Mungkinkah ia A Ling seperti dugaan Roxane Ling" Apa yang A Ling lakukan di tengah-tengah Afrika" Apakah ia telah menjadi relawan yang bekerja untuk Unicef" Sejujurnya aku ragu itu A Ling, namun semakin aku ragu, semakin kuat kemauanku untuk memastikan. Aku tak 'kan menawar sumpah pada diriku sendiri bahwa aku ingin menemukan A Ling, di mana pun ia berada, bagaimanapun keadaannya.
Kami naik kereta api mengikuti jalur negara-negara OKI. Di perbatasan Nigeria dan Mali kami menjumpai serombongan kafilah pedagang yang akan melintasi Gurun Sahara menuju Burkuni. Rombongan itu beriringan dengan tenang. Wanita dan anak-anak dinaikkan ke punuk-punuk unta dan kambing-kambing ditarik dengan tali.
Seseorang yang mengambil air di oasis Niamey mengatakan sesuatu yang membuatku melonjak. "Mereka adalah pengembara Samia," katanya. Pengembara Samia! Aku dan Arai berlari mengejar kafilah itu. Dengan bahasa Arab seadanya, aku minta izin ikut rombongan mereka. Seorang anak yang kumal menunjuk pria di depan, pemimpin mereka. Aku berdebar melihat gerak-gerik pemimpin khalifah Samia itu. Gelar turun-temurun pria itu, Wadudh, dulu pernah dipakai Ayah untuk menamaiku.
Aku menjabat tangan Wadudh dan memeluk-nya. Aku merasa senang karena seakan aku memeluk diriku sendiri. Berhari-hari aku dan Arai hidup bersama rombongan pengembara Samia. Kami telah mengelana Rusia yang dingin tak bersahabat, kini kami mengarungi bantaran Gurun Sahara yang panas membara, dekat dengan orang-orang yang hangat. Tak tampak apa pun seluas mata memandang selain pasir bergelombang-gelombang, hanya pasir. Kami menutup wajah dengan kafiyeh, berjalan berhari-hari dengan tongkat, dan tidur beralaskan pelepah korma. Setiap sore, kami mendapat suguhan yang sangat istimewa: susu kambing.
Kami pun sampai ke Zaire dan menemui seorang wanita Skotlandia bernama Nadine Scott. Ia sudah tua dan sudah tidak cantik lagi. Tapi matanya bening seperti safir biru. Meski hanya ia sendiri perempuan berkulit putih di antara ratusan perem-puan Kamina yang berkulit gelap, namun tampak jelas ia paling berkuasa. Aku tak lepas mengamati-nya sejak tadi. Semua hal tentang perempuan yang sudah tidak cantik itu, membuatku terkesan. Terutama karena kuasanya atas perempuan Kamina yang bergaris wajah keras wajah mereka seperti topeng perunggu sama sekali bukan didapatnya dari otoritas atau mandat. Cinta kasih, hanya itu legitimasi Nadine.
Setiap hah, wanita dari Mwanza, Bukama, bahkan dari Moba di bantaran Danau Tanganyika (pemisah antara Zaire dan Tanzania) datang ke Kamina sambil menggendong anak dengan berupa-rupa penyakit. Suster Nadine mengobati anak-anak itu secara cuma-cuma. Nadine adalah muara segala keluh kesah yang telah mengabdikan hidupnya selama puluhan tahun untuk Afrika.
Kadang kala Suster Nadine dibantu relawan dari misi gereja. Dari sinilah terbetik informasi tentang perempuan serupa A Ling. Setahuku A Ling sendiri amat religius, bisa saja ia bekerja bersama Suster Nadine demi mengemban misi agama. Kucehtakan pada Suster Nadine bahwa aku ke Kamina bukan hanya untuk mengejar mimpi lamaku mengelana Afrika tapi juga untuk menemukan A Ling. Kenyataan yang kuhadapi pahit. A Ling tak ada di sini. Jejak menujunya buntu, ke mana pun bun
tu. Mengapa Roxane Ling di Milan begitu yakin aku akan menemukan A Ling di Afrika"
Suster Nadine menyampaikan satu kalimat bijak untukku, "Karnu telah mencari A Ling demikian jauh sampai ke Zaire, di tengah-tengah Afrika, dan tak kautemukan. Tidakkah kau berpikir kau telah menemukannya""
Aku terhenyak. Tiba-tiba ucapan Roxane Ling dan Suster Nadine terangkai dalam kepalaku menjadi sebuah filosofi pencarian, pencarian akan hal-hal yang paling kita inginkan dalam hidup ini dan pencarian akan diri kita sendiri. Maksud Roxane Ling dan Suster Nadine sama sekali tak seharfiah kalimat
mereka. Karena jika kita berupaya sekuat tenaga menemukan sesuatu, dan pada titik akhir upaya itu hasilnya masih nihil, maka sebenarnya kita telah menemukan apa yang kita cari dalam diri kita sendiri, yakni kenyataan, kenyataan yang harus dihadapi, sepahit apa pun keadaannya.
Aku dan Arai kembali pulang ke Eropa tanpa dapat menemukan A Ling. Namun aneh, aku merasa tak pulang dengan tangan hampa. Suster Nadine telah memberikan jawaban untuk salah satu pertanya-anku atas diriku sendiri. Dan, ia telah mempertemu-kanku dengan salah satu pencarian terbesar dalam hidupku: cinta.
Kami kembali ke Eropa melalui Maroko dan Casablanca. Sepanjang jalan aku membujuk diriku sendiri dengan perasaan gembira karena kami telah berjanji dengan MVRC Manooj, Gonzales, Ninoch, Stansfield, dan Townsend untuk berjumpa di Spanyol. Aku rindu sekaligus penasaran ingin tahu perjalanan mereka. Namun, aku juga waswas, jangan-jangan kami kalah dalam pertaruhan dan harus menerima hukuman yang memalukan di Paris. Dari Casablanca kami berlayar menuju Portugal dan langsung ke Barcelona, Spanyol.
Di Spanyol aku ternganga-nganga di bawah kubah Sagrada Familia, aku merasa seperti berada di dalam kerajaan kaum lelembut. Katedral itu disanggah pilar-pilar aneh dengan cita rasa seni
yang ganjil, menjulang, mengerucut, cokelat, tua, berukir-ukir, seakan tak mungkin dicapai imajinasi manusia. Tak dinyana arsiteknya adalah pria Catalan yang sempat dianggap sinting: Antoni Gaudi. Di Pare Gtiell, aku melihat karya agung Gaudi lainnya: replika reptil-reptil dengan kulit potongan-potongan mozaik. Dengan potongan-potongan mozaik itulah dulu Pak Balia mengibaratkan nasib manusia dan menginspirasi kami untuk berkelana. Di Barcelona aku mencapai puncak filosofi pengembaraanku. Pada titik ini, hatiku merunduk takzim pada pesan-pesan suci Al-Qur'an dan hipotesa Harun Yahya bahwa tak ada hal sekecil apa pun terjadi karena kebetulan.
Aku dan Arai telah menunggu lebih dari setengah jam di Kafe Nou Camp, bersebelahan dengan official store Barcelona Football Club. Di tempat ini kami berjanji untuk rendezvous berkumpul. Nun jauh di seberang jalan, dua orang pria melenggang gontai. Wajah mereka tak jelas tapi kami mengenali gesture-nya. Mereka tak lain MVRC Manooj dan putra sang pandai besi Gonzales. Demi melihatku, langkah Gonzales semakin cepat. Wajahnya sembap, seperti orang yang ingin mencurahkan berjuta v> rasa.
42 mozaik Indonesia Raya Mamma mia, mamma mia. "Dunia, Amigo ..." jerit Gonzales lirih. "Kejam
sekali ...."' MVRC Manooj, duduk mematung setelah meng-isap tandas air mineral yang baru kusuguhkan. Kusuguhkan segelas lagi, diisapnya, tandas lagi. la haus dan kelaparan. Lehernya, modal tarian goyang kepalanya itu, dipenuhi tempelan koyo. la bahkan sudah tak bisa menoleh. Jika bicara pandangannya lurus, kuyu, dan putus asa.
"Baru sampai Swedia, kami sudah terlunta-lunta," keluhnya.
Aku kasihan melihat pasangan unik itu. Amat berbeda dari ketika dulu mereka berangkat, sekarang mereka seperti gembel.
Sekonyong-konyong .... "Hi, Guy si" Stansfield! Ceria sekali, bersih, rapi, dan can-tik. Tak tampak trombonnya dan tak ada kesan
sebagai pengamen. la bahkan lebih segar dari biasanya. Stansfield datang bersama seorang pria macho, tinggi besar, menggunung seperti Conan dari Simeria.
"Kenalkan, ini Antonio, Antonio Blender, pacarku yang baru."
Kami tergelak, tapi pria itu, yang dari panda-ngan matanya bisa ditebak bahwa ia tidak terlalu pintar cuek saja. Ia sangat percaya diri. Ia menyalami kami
dengan akrab. Ia tak paham benar bahasa Inggris namun selalu berusaha memancing obrolan. Ia pria yang ramah dan minta dipanggil dengan nama pendek Mr. Blender. Di tengah obrolan, Mr. Blender mohon diri ke kamar kecil. Belum jauh ia pergi, kami merubung Stansfield.
Aku berbisik keras, "Starts, mengapa namanya sampai blender begitu"!"
Stansfield tersenyum puas. Ia tak bisa menyembunyikan perasaannya. Ia juga berbisik keras, "Karens dia aktor film dewasa!"
Semua orang langsung mafhum.
Tak lama kemudian Townsend datang. Ia digandeng mesra oleh seorang pria yang bertubuh seperti si Under Taker, pendekar smackdown itu. Nah, sampai di sini semuanya jelas. Stansfield dan Townsend, dan persaingan mereka yang telah berurat akar. Mulanya mereka keliling Eropa main trombon dan akordion sampai terdampar di Spanyol. Stansfield mendapatkan Blender, Townsend tak mau kalah. Setelah itu mereka tak pernah meninggalkan Barcelona karena fokus persaingan
mereka telah bergeser. Akhirnya, Ninochka tiba. Seperti biasa, ia ceria. Tak jelas apakah ia sukses atau menderita. Ninoch tetaplah Ninoch. Kami ngobrol menceritakan pengalaman masing-masing. Tak satu pun dari mereka percaya bahwa aku dan Arai telah melintasi Rusia sampai ke Afrika, bahwa kami telah menjamah Gurun Sahara dan Zaire, bahwa kami pernah dirampok dan bertahan hidup dengan makan daun.
Penjelajahan usai, Gonzales dan MVRC Manooj adalah tim yang kalah. Ketika kami ingatkan bahwa mereka harus menuntun sepeda mundur dari Le Louvre ke gerbang L'Arc de Triomphe melintasi L'Avenue des Champs-Elysees dengan sepeda yang digantungi pakaian rombeng, Gonzales dan MVRC Manooj termangu-mangu. Mereka tampak benci pada diri sendiri. Pemenang perlombaan adalah aku dan Arai. Aku terharu, rasanya ingin kunyanyikan lagu "Indonesia Raya".
Kami pulang ke Paris naik kereta malam. Rasa takjub tak kunjung kasip dalam hatiku. Ekspedisiku telah membuka jalan rahasia yang tersembunyi di antara lipatan sekat-sekat dimensi ruang dan waktu, jalan rahasia yang menghubungkan apa yang kualami saat ini dengan peristiwa-peristiwa masa laluku. Ini adalah ekstase terbesar yang hanya mungkin dicapai mereka yang berani bermimpi, berani keluar dari cangkang siputnya, untuk menemukan jawaban
pertanyaan atas dirinya. Inikah postulat hukum nasib" Inikah yang dimaksud Albert Einstein sebagai lingkaran alamiah filsafat manusia"
Tapi aku tetap merasa kesepian karena A Ling masih tak jelas rimbanya. Tak tahu lagi ke mana mencarinya. Hanya dari novel kenangannya aku dapat menemukannya. Kubuka lagi novel lusuh itu, kubaca lagi keindahan desa khayalan Edensor, untuk melipur rinduku.
Jalan-jalan desa menanjak berliku-liku dihiasi deretan pohon oak, berselang-seling di arttara jerejak anggur yang ditelantarkan. Lebah tnadu berdengung menge-rubuti petunia. Daffodil dan astuaria tumbuh sepanjang pagar peternakan, berdesakan di celah-celah bangku batu. Di belakang rumah penduduk tumpah man dedaunan berwarna orange, mendayu-dayu karena belaian angin. Laki terbentang luas padang rumput, permukaannya ditebari awan-awan kapas....
Demikian nyata gambaran Edensor di kepalaku, seakan dapat kucium semerbak daffodil dan astuaria yang menjalar sepanjang pagar peternakan itu, seakan dapat kusentuh hangatnya bangku-bangku batu yang disiram sinar matahari musim panas. Edensor telah menjadi sebuah bingkai dalam kepalaku. Dalam bingkai itu, aku menggambar gerbang desa Edensor berukir ayam jantan yang berputar seirama belaian angin. Di sisi kiri gerbang kulukis rumah-rumah penduduk. Di sisi kanannya kugambar pohon-pohon willow yang tumbuh di pekarangan.
43 mozaik Turnbull Waktu kami tiba, Paris telah digenggam lagi oleh
dingin yang jahat. Suhu sekonyong-konyong drop. Setiap orang bergegas, tak tahan berlama-lama di luar, gemelutuk, dan membungkus dirinya sampai telinga. Jalanan sepi. Gloomy.
Hopkins Turnbull, profesor yang amat terhor-mat, dan supervisor tesisku, susah payah menahan murka waktu aku masuk ruangannya. Mungkin hanya karena ia meng-anggap dirinya Saksi Jehova yang taat sehingga serapah terkunci di tenggorokannya.
"Tidakkah kau meras a dirimu berlibur terlalu la"ma, young man"1."
Mengingat reputasi Turnbull, kalimat itu seyogyanya lebih dari cukup untuk membuatku malu. Tak tahu diuntung. Siapa sin aku ini sehingga pantas disindirnya macam begitu" Karena itu, aku bungkam seribu basa saat ia menumpukiku dengan puluhan bacaan wajib dan setimbun tugas uji
statistik. Profesor Turnbull sudah sepuh. la sering me-ngaku, "Aku sudah tak punya energi untuk soal remeh temeh akademik yang dasar-dasar."
Pernyataan sambil lalu itu menimbulkan kesulit-an tak terperi bagiku karena artinya ia hanya mau berurusan dengan teorema-teorema. Uji dengan simulasi saja, dan hal-hal sepele semacam itu, akan langsung dicampakkannya. Apa pun yang kuhatur-kan ke haribaan meja besarnya yang berwibawa, sudah harus scientifically acceptable-dapat diterima secara ilmiah bukan sekadar hasil kerja tergopoh-gopoh karena deadline dengan argumentasi spekulatif. Bagi Turnbull, seorang mahasiswa pascasarjana di kelas science adalah umat manusia yang seharusnya mampu menciptakan teori. Setiap menghadapnya untuk melaporkan progres risetku, aku sering secara misterius diserang diare.
Butuh waktu dua hari me-reset mentalku dari euforia pengembara untuk kembali menekuni kewajiban sebagai mahasiswa. Beberapa waktu kemudian aku mulai tengge-lam dalam risetku, lupa diri, lupa waktu, nyaris tak memedulikan Arai yang juga sibuk dengan risetnya.
Namun hari ini rutinitas ilmiah itu terpecah. Katya meneleponku, suaranya tersedak-sedak. "Cepatlah ke kampus. Arai ...."
Aku langsung tahu ada musibah. Pontang-panting aku berlari ke kampus. Tiba di sana kulihat Arai digotong, hidungnya berdarah-darah. Ia dimasukkan ke iCU. Setengah jam kemudian
seorang dokter mengabarkan berita buruk.
"Penyakit ini bisa fatal kalau musim dingin. Sebaiknya, ia istirahat dulu di tempat yang lebih hangat."
Arai diserang Asthma Bronchiale. Penyakit ini berhubungan dengan kerja paru-paru, biasa melanda penduduk negeri miskin, dan mungkin bersifat genetik. Penyakit ini pula yang dulu merenggut nyawa ayahnya di usia muda. Arai mengalami bleeding berat di pangkal hidungnya karena vaso kontriksi: pembuluh darahnya mengerut lalu pecah akibat alergi dingin.
Maurent LeBlanch, Liaison Officer kami, priha-tin melihat kondisi Arai. Ia tahu Arai adalah mahasiswa yang cemerlang. Namun, Maurent mengemban tanggung jawab besar atas keselamatan mahasiswa dalam perwaliannya. Ia menghadapi pilihan sulit. Akhirnya Maurent memu-tuskan memulangkan Arai ke Indonesia dan Arai bisa kembali pada musim panas tahun depan untuk menyelesaikan tesisnya.
Hatiku dingin waktu berpisah dengan Arai di Bandara Charles de Gaulle. Ia duduk tak berdaya, wajahnya pucat. Tapi seperti biasa, dalam keadaan yang paling menyedihkan, ia justru berusaha membesarkan hatiku. Kutatap mata lelaki simpai keramat yang selalu membelaku itu, dialah Lone Ranger-ku. Matanya itu, masih mata yang polos.
Masih mata anak kecil sebatang kara yang menjulangku di pundaknya ketika kami bermain di lapangan memperebutkan bercak-bercak kapuk yang bertaburan. Masih mata anak kecil yang tanpa kutahu menisik bajuku yang terkoyak, menjahit kancing-kancing bajuku, dan menyelimutiku ketika aku sedang tidur.
Kini aku harus terpisah lagi dengannya. "Be strong, Tonto," katanya tersenyum.
Aku memeluk pahlawanku itu kuat-kuat. la ma"sih berdiri di depanku, tapi aku telah merindukannya. Dadaku sesak menatap punggung Arai menjauhiku. Air mata menepi di pelupukku.
Aku kembali ke apartemen dan semuanya terasa hampa. Ruangan tiba-tiba menjadi terlalu besar. Kemudian hah demi hah kulalui dengan menceburkan diri dalam risetku. Terutama untuk mengatasi kehilanganku akan Arai.
Cobaan hidupku makin berat waktu Maurent memanggilku, mengabarkan berita buruk lagi.
"Profesor Turnbull akan pensiun. la mau pulang kampung dan bekerja di sana, di Sheffield, Inggris."
Aku tercenung lesu. "Kalau tak ingin hilang waktu, ikut saja ex"change program, pindah ke Sheffield Hallam University, lanjutkan risetmu dengannya."
Sejujurnya, aku tak berminat ke Inggris. Setelah Arai pergi, aku hanya ingin cepat-cepat
menyelesaikan kul iahku di Sorbonne lalu mudik, tapi aku tak mungkin putus hubungan dengan Turnbull. Hanya ada enam profesor ekonomi dengan spesialisasi ekonomi telekomunikasi di dunia ini, Turnbull salah satunya, dan salah satu yang terbaik. Nasib tesisku ada di tangannya.
Kapal feri membawaku melintasi kanal Inggris dari Calais menuju Folkestone. Dari jauh, tampak White Cliff of Dover yang terkenal. Aku hampir menyentuh Britania tapi hatiku masih membiru. Semuanya sangat berbeda tanpa Arai. Aku merasa pincang, seperti layangan dengan teraju timpang, aku tak seimbang. Arai adalah inspirasi hidupku. Pikiranku dibayangi Arai kecil, delapan tahun usianya, meng-apit karung kecampang, menunggu aku dan ayahku menjemputnya di tengah ladang tebu. Aku menangisi nasib anak sebatang kara itu, namun ia malah menghiburku dengan gasing dan kumbang sagu.
Arai selalu meyakinkanku untuk menjunjung tinggi mimpi-mimpi kami, lalu ia membakar sema-ngatku untuk mencapainya. Arai adalah antitesis sikap pesimis, panglima yang mengobrak-abrik mentalitas penakut, dan hulu balang bagi jiwa besar. Ia telah membawaku mengalami hidup seperti yang kuinginkan. Hidup dengan tantangan dan gelegak mara bahaya. Bersamanya aku melepuh terbakar panas matahari, limbung dihantam angin,
dan menciut dicengkeram dingin. Sejak kecil kami bekerja keras tanpa belas kasihan. Kami pernah dirampok, diusir, terlunta-lunta, dan kelaparan. Kami pernah dijerang suhu panas sampai empat puluh lima derajat di Sahara dan terperangkap suhu dingin sampai minus sembilan belas derajat di Laut Utara. Dan, kami telah mengelana empat puluh dua negara hanya berbekal keberanian. Semuanya telah kami rasakan, dalam kemenangan manis yang gilang-gemilang dan kekalahan getir yang paling memalukan, tapi selangkah pun kami tak mundur, tak pernah. Kami jatuh, bangkit, jatuh lagi, dan bangkit lagi.
44 mozaik Lorong Waktu A ku termangu-mangu di Terminal Victoria, London, sepi dalam hiruk pikuk anak-anak muda yang ingin berangkat ke Bristol, kiblat bagi pencinta budaya pop, untuk belajar musik, performing arts, dan seni rupa.
Bus antarkota national express membawaku ke Sheffield, di Midland, wilayah tengah Inggris, dekat Manchester, Birmingham, dan Leeds.
Sampai di Sheffield, benar seperti yang pernah kubaca, nyata seperti yang kulihat di film Full Monty, tak dusta omongan semua orang, Sheffield memang tak menyenangkan. Kota ini tak lebih dari kota pabrik. Lebih parah lagi, pabrik-pabrik itu sudah bangkrut. Cerobong-cerobong asapnya hitam menjulang disarangi bangau sandhill. Gudang-gudang raksasa dipagari kawat: tinggi dan digren-del, telantar di mana-mana. Sebagian kecil orang berkerumun di kios-kios fish and chip. Itu pun hanya kalau terjadi derby, Sheffield United
menggempur saudaranya sendiri, Sheffield Wednesday, di Stadion Brammal Lane.
Di Sheffield, aku tinggal di London Road, dalam permukiman komunitas Pakistan. "Sheffield is dull," kata Zahid, Landlord-ku. Dull, satu kata yang dipakai jika boring: membosankan, kurang cukup.
Bulan demi bulan kulalui tanpa gairah. Kota yang pernah digadang-gadang sebagai sentra industri Inggris ini belum juga mampu bangkit dari resesi yang menekuknya sejak 1990-an. Orang-orang hilir mudik dari bar ke bar, persis seperti di film Full Monty, film tentang pria-pria mantan bu-ruh pabrik Sheffield yang terpaksa menjadi penari tanpa busana karena tak tahan menganggur setelah pabrik mereka gulung tikar.
Namun ada satu hal menarik: bahasa. Sungguh menawan bahasa Inggris orang Sheffield atau orang Midland umumnya. Lagunya, cengkoknya, dan basa-basinya sangat istimewa. Inikah akar bahasa Inggris" Aksen Inggris yang pa-ling asli" Jika menyebut O, tegas O. Jika mereka mengatakan enough tidak berbunyi inaf seperti biasa kita dengar, tapi inof. T menjadi K sehingga it menjadi ik, what menjadi wak, put menjadi puk. Kalau menanyakan kabar: how are you" Cukup satu kata: allright" Itu pun lucu kedengarannya: Oraikl Lebih dari itu, basa-basinya memesona. Laki-laki dan perempuan saling memanggil love atau dear. Love mereka bunyikan /of bukan laf. Lof dan dear terdengar empuk, meng
gelikan, dan menyenangkan di telingaku, di hatiku.
Namun, aku tetap tak betah di Sheffield. Jika malam, aku naik ke loteng apartemenku, mengintip ke luar jendela, memandangi langit. Kadang kala angin malam mendesis, menyibakkan kabut-kabut tipis, lalu melintas rasi belantik, melintas wajah Weh.
Tanggal 28 Maret, aku pergi ke Sungai Ouse di Sussex. Sepanjang hah aku melamun di tepi sungai itu membayangkan pengarang Virginia Woolf memberati sakunya dengan batu untuk meneng-gelamkan dirinya sendiri pada hah nahas 28 Maret itu. Bagiku, Sungai Ouse laksana Sungai Lenggang di kampungku. Hatiku kelam mengenang saat aku membuka ikatan tali rami yang menjerat Weh dan menegakkan lehernya yang terkulai. Di pinggir Ouse, aku menemukan kembali Weh yang meninggalkan rasa kelu sekaligus rindu dalam sukmaku.
Akhirnya, aku berhasil menyelesaikan risetku. Pukul tiga sore ini aku akan menemui Profesor Turnbull. Biasanya kami bertemu di kampus. Keluarga Turnbull masih me-melihara tradisi minum teh orang Midland. la mengundangku ke rumahnya untuk menandatangani laporan akhirku sambil minum teh bersama.
Rumah Profesor Turnbull jauh di luar Sheffield. Tepatnya di Doncaster. Rumah itu memiliki halaman dengan penataan yang memikat. Sebenarnya sederhana saja, yaitu Honorine Jobert
didesak-desakkan sekenanya di antara angelonia. Tanaman-tanaman itu tak lebih dari tumbuhan bunga liar. Kerapian hanya diperlihatkan pemilik rumah dengan memagari bunga-bunga liar tadi dengan barisan rapat marigold.
Aku memencet bel sekali. Langkah-langkah lam-bat berkecipak di dalam rumah. Seorang wanita berusia kira-kira lima puluh tahun berdiri di ambang pintu. la tersenyum. Wajahnya anggun, English lady tulen. Kulitnya putih berseri, rambutnya abu-abu, terawat baik, diikat dan diselipi sekuntum patula yang sewarna dengan renda-renda ba-ju dan sandal rumahnya.
"Oh, lof, kau pasti Andrea, ya ...," sapanya halus.
"Aduh, Kins tadi menunggumu, tapi tiba-tiba ia dipanggil ke kampus. Pesannya, silakan kamu menunggu ia kembali ...."
Baru kutahu, panggilan sayang Hopkins Turnbull adalah Kins.
"Harus kukatakan padamu, ia akan pergi selama dua jam, oh, Dear ...."
Wanita yang sangat baik itu mempersilakanku masuk. Aku duduk di ruang tamu yang segala sesuatu di dalamnya mencerminkan tuan rumah adalah orang-orang cerdas berperadaban tinggi. Aku betah berada di tengah rak-rak berseni, berisi buku-buku berbobot: ensiklopedia dan jurnal-jurnal temuan ilmiah terbaru. Namun, dua jam bukan waktu yang singkat. Nyonya Turnbull membaca pikiranku.
"Begini, Anak Muda. Kau bisa memilih. Minum teh dan ngobrol denganku di sini, atau kita berkeliling kebun kecilku, berdiskusi soal bunga dan musim, atau pernahkah kau mengunjungi pedesaan sekitar sini"
"Bus lewat setiap jam di halte depan situ, sore yang indah untuk melihat-lihat desa, dan kembalilah setelah dua jam."
Sebenarnya aku ingin sekali minum teh dan ngobrol dengan wanita elegan ini, tapi jalan-jalan ke pedesaan juga menggodaku. Selama ini aku sama sekali tak tertarik pada Sheffield. Apa salahnya mencoba"
Aku menuju ke halte bus lalu menaiki bus desa yang butut. Di dalamnya duduk terpisah-pisah segelintir petani. Diam. Setiap orang tenggelam dalam lamunan. Bus meluncur berderak-derak, berhenti di setiap desa, dan silih berganti naik turun petani yang kumal. Tak ada yang bicara. Di luar jendela kulihat gudang-gudang tua, ladang bunga matahari, rumput yang digulung untuk makanan ternak, dan kuda yang berlarian di lapangan luas. Sebuah senja yang muram nun di pedalaman Inggris.
Tak terasa, lebih dari sejam aku berada di da"lam bus, meliuk-liuk sampai ke pelosok desa yang tak kukenal, jauh, jauh sekali meninggalkan Sheffield. Lalu bus mendaki sebuah lereng bukit yang landai. Mulanya ujung tanjakan ditutupi pohon-pohon cemara yang rapat. Ketika bus berbelok, dedaunan cemara tersibak dan seketika
itu pula di depanku tersaji pemandangan yang membuatku merasa terlompat ke dalam sebuah bingkai dalam kepalaku.
Bus merayap, aku makin dekat dengan desa yang dipagari tumpukan batu bulat berwarna hitam. Aku bergetar menyaksikan nun di bawah sa
na, rumah-rumah penduduk berselang-seling di antara jerejak anggur yang telantar dan jalan setapak yang berkelak-kelok. Aku terpana dilanda deja vu melihat hamparan desa yang menawan. Aku merasa kenal dengan gerbang desa berukir ayam jantan itu, dengan pohon-pohon willow di pekarangan itu, dengan bangku-bangku batu itu, dengan jajaran bunga daffodil dan astuaria di pagar peternakan itu. Aku seakan menembus lorong waktu dan terlempar ke sebuah negeri khayalan yang telah lama hidup dalam kalbuku.
Aku bergegas meminta sopir berhenti dan menghambur keluar. Ribuan fragmen ingatan akan keindahan tern-pat ini selama belasan tahun, tiba-tiba tersintesa persis di de-pan mataku, indah tak terperi.
Kepada seorang ibu yang lewat aku bertanya, "Ibu, dapatkah memberi tahuku nama tempat ini""
la menatapku lembut, lalu menjawab.
"Sure lof, it's Edensor ...."
Tentang Tetralogi Laskar Pelangi
Andrea Hirata : Out of the Blue
Di negeri ini, tidak mudah menulis novel-novel
yang kesemuanya best seller, apalagi merupa-kan karya-karya pertama, ditulis seseorang yang tak berasal dari lingkungan sastra, dan lebih gawat lagi, novel-novel itu sama sekali tak sejalan dengan trend pasar. Tapi hal itu dapat dilakukan Andrea Hirata. Melalui Laskar Pelangi, Andrea Hirata langsung menempatkan dirinya sebagai salah satu penulis muda Indonesia yang amat menjanjikan. Laskar Pelangi telah beredar di luar negeri, bahkan mampu mencapai best seller di Malaysia.
Andrea Hirata, out of the blue, tak dikenal sebelumnya, tak pernah menulis sepotong pun cerpen, tiba-tiba muncul, langsung menulis tetralogi sesuatu yang juga cukup ajaib bagi penulis pemula dengan gaya realis bertabur metafora yang disebut Prof. Sapardi Djoko Damono, guru besar sastra Universitas Indonesia, sebagai metafora yang berani, tak biasa, tak terduga, kadang kala ngawur,
namun amat memikat. Bagaimana karya-karya Andrea dapat menjadi best seller tanpa harus mengorbankan mutul Tentu tak terlepas dari muatan intelektualitas dan spiritualitas buku-buku itu. Sastrawan Ahmad Tohari mengatakan, "Andrea adalah jaminan bagi sebuah karya sastra bergaya saintifik dengan penyampaian yang cerdas dan menyentuh." Prof. Dr. Syafii Maarif, mantan ketua umum Muhammadiyah berkomentar, "Andrea langsung membidik pusat kesadaran."
Meski masih terlalu hipotetik, karya Andrea diterima secara luas mungkin juga karena pembaca kita jenuh akan sajian metropop bertema urban super-ringan, pornografi, hedonistik, dan mulai mendamba tulisan yang lebih berkapasitas. "Andrea mengobati kehausan para pencinta buku akan buku-buku Indonesia bermutu" (Kompas, 11 November 2006).
Daya tarik yang menonjol dari karya-karya Andrea juga terletak pada kemungkinan yang amat luas dari eksplorasinya terhadap karakter dan peristiwa, sehingga paragrafnya selalu mengandung kekayaan. Setiap paragraf seakan dapat berkem-bang menjadi sebuah cerpen, dan setiap bab mengandung letupan intelejensia, kisah, dan romantika untuk dapat tumbuh menjadi buku tersendiri. Andrea tak pernah kekeringan ide dan tak pernah kehilangan tempat untuk melihat suatu fenomena dari satu sudut yang tak pernah dilihat orang lain. Setiap kalimatnya potensial. Ironi
diolahnya menjadi jenaka, cinta pertama yang absurd menjadi demikian memesona, tragedi diparodikan, ia menyastrakan fisika, kimia, biologi, dan astronomi. "Andrea adalah seorang seniman kata-kata," ujar Nicola Horner. Majalah Tempo menyebutnya, "Andrea berhasil menyajikan kenang-annya menjadi cerita yang menarik, deskripsinya kuat, filmis." Santi Indra Astuti, Msi., seorang dosen komunikasi, di Koran Tempo berpendapat, "Laskar Pelangi ageless, timeless, borderless." Garin Nugroho, "Inspiratif." Dan, Riri Riza, "A must read."
Novel pertama Andrea Hirata, Laskar Pelangi, telah berkembang bukan hanya sebagai bacaan sastra, namun sebagai referensi ilmiah. Novel ini banyak dirujuk untuk penulisan skripsi, tesis, dan telah diseminarkan oleh birokrat untuk menyusun rekomendasi kebijakan pendidikan.
Adapun dalam novel keduanya, Sang Pemimpi, Andrea menarikan imajinasi dan melantunkan stambul mimpi-mimpi dua anak Mela
yu kampung: Ikal dan Arai.
Novel Edensor adalah novel ketiga dari tetra-logi Laskar Pelangi. Novel ini bercerita tentang keberanian bermimpi, kekuatan cinta, pencarian diri sendiri, dan penaklukan-penaklukan yang gagah berani.
Novel keempat, atau terakhir dalam rangkaian empat karya tetralogi Laskar Pelangi, adalah Mary amah Karpov. Dalam Mary amah Karpov, dengan satirenya yang khas, ironi yang menggelitik, dan intelegensia yang meluap-luap namun
membumi, Andrea berkisah tentang perempuan dari satu sudut yang amat jarang diekspos penulis Indonesia dewasa ini.


Edensor Karya Andrea Hirata di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Membaca keempat novel tetralogi Laskar Pela-ngi, kita tak hanya menikmati epik yang bermutu. Kita juga akan menyaksikan bagaimana seorang penulis berbakat berevolusi dari satu karya ke karya lainnya untuk menuju master piece-nya.
Dhipie Kuron Pencinta sastra tamat Twilight 4 Maya Misteri Dunia Dan Cinta Karya Jostein Gaarder Bangau Sakti 38
^