Pencarian

Edensor 1

Edensor Karya Andrea Hirata Bagian 1


EDENSOR Andrea Hirata Cetakan Pertama, Mei 2007
Cetakan Kedua, Juli 2007 Cetakan Ketiga, Agustus 2007
Cetakan Keempat, September 2007
Cetakan Kelima, Oktober 2007
Penyunting: Imam Risdiyanto
Perancang sampul: Andreas Kusumahadi
Pemeriksa aksara: Yayan R.H.
Penata aksara: lyan Wb. llustrasi isi: Pirie Tramontane (sigitramontane@yahoo.com)
llustrasi "Lifting" oleh Budi Gugi, Studio Lonely Painter,
Ubud, Bali Diterbitkan oleh Penerbit Bentang
Anggota IKAPI (PT Bentang Pustaka) Jin. Pandega Padma 19, Yogyakarta 55284
Telp. (0274) 517373 - Faks. (0274) 541441
E-mail: bentangpustaka@yahoo.com
Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)
Hirata, Andrea Edensor/Andrea Hirata; penyunting, Imam Risdiyanto. Yogyakarta: Bentang, 2007.
xii + 290 him; 20,5 cm ISBN 978-979-1227-02-5 I. Judul. II. Imam Risdiyanto.
813 Didistribusikan oleh: Mizan Media Utama Jin. Cinambo (Cisaranten Wetan) No. 146
Ujungberung, Bandung 40294
Telp. (022) 7815500 - Faks. (022) 7802288
E-mail: mizanmu@bdg.centrin.net.id
N.A. Masturah Seman Said Harun
* * * Untuk KMR, Rindu, Cinta dan Sayang hanya untukmu....
* * * "Janganlah menyembah jikalau tidak
mengetahui siapa yang disembah,
jika engkau tidak mengetahui
siapa yang disembah akhirnya cuma
menyembah ketiadaan, suatu sembahan
yang sia-sia." (Syekh Siti Jenar) Untuk Ibuku a Mozaik 1 10 Laki-Laki Zenit dan Nadir
Persyarekatan Bangsa-Bangsa
Juru Pendamai Pengembara Samia Partner in Crime Rahasia Gravitasi Segitiga Tak Mungkin Wawancara Saputangan Curly John Wayne Paranoia Nyonya Besar Mozaik 11 1 13 17 21 25 29 33 37 45 51 20 57 67 75 Isi Buku Paradoks Pertama Aku dan Anggun C. Sasmi Mengapa Kau Masih Tak Mau Mencintaiku"
The Pathetic Four Katya Paradoks Kedua Gracias, Serior Helium Adam Smith vs Rhoma Irama
Surat dari Ayahku Paradoks Ketiga Artikulatif Cinta Adalah Channel TV Pertaruhan Nama Bangsa Street Performance Kutukan Capo Lam Nyet Pho
Mevraouw Schoenmaker Ke Utara, Terus ke Utara Pohon-Pohon Plum Ujung Dunia Enigma Arloji Janda-Janda Kecoa Transendental Mozaik 21 Mozaik 31 81 85 89 95 105 111 117 30 123 129 137 145 151 157 165 173 177 189 40 193 197 201 205 211 217 229 Enam Belas Tahun Tuhan Menunggu 237
Andrea Hirata viii Cinta, di Mana-Mana Cinta 245
Galliano 255 Mozaik 41 44 Tanah yang Telah Dijanjikan Mimpi-Mimpi 259
Indonesia Raya 269 Turnbull 273 Lorong Waktu 279 Tentang Tetralogi Laskar Pelangi
Andrea Hirata: Out of the Blue 285
ix EDENSOR Hidup dan nasib, bisa tampak berantakan, misterius, fantastis,
dan sporadis, namun setiap elemennya adalah subsistem
keteraturan dari sebuah desain holistik yang sempurna. Menerima
kehidupan berarti menerima kenyataan bahwa tak ada hal sekecil
apa pun terjadi karena kebetulan. Ini fakta penciptaan yang tak
terbantahkan. Diinterpretasikan dari pemikiran agung
Harun Yahya Jika hidup ini seumpama rel kereta api dalam eksperimen
relativitas Einstein, maka pengalaman demi pengalaman
yang menggempur kita dari waktu ke waktu adalah cahay;
i yang melesat-lesat di dalam gerbong di atas rel itu. Relativitasnya
berupa seberapa banyak kita dapat mengambil pelajaran
dari pengalaman yang melesat-lesat itu. Analogi eksperimen
itu tak lain, karena kecepatan cahaya bersifat sama
dan absolut, dan waktu relatif tergantung kecepatan gerbong
ini pendapat Einstein maka pengalaman yang sama
dapat menimpa siapa saja, namun sejauh mana, dan secepat
apa pengalaman yang sama tadi memberi pelajaran pada
seseorang, hasilnya akan berbeda, relatif satu sama lain.
Banyak orang yang panjang pengalamannya tapi tak
kunjung belajar, namun tak jarang pengalaman yang pendek
mencerahkan sepanjang hidup. Pengalaman semacam
itu bak mutiara dan mutiara dalam hidupku adalah lelaki
yang mengutuki hidupnya sendiri, namanya Weh.
Mozaik 1 Laki-Laki Zenit dan Nadir Kini lihatlah perbuatan Weh. Taikong Hamim, penggawa
masjid, sampai mengacung-acungkan tombak mimbar
pada khalayak yang silang sengketa.
"Tahu apa kalian soal hukum agama!
"Jangan mandikan mayatnya di masjid! Biar dia hangus
di neraka berdaki-daki!"
Langit, kemudi, dan layar, itulah samar ingatku tentang Weh.
Tapi di sekolah lama Molten Bass Technisce School di Tanjong
Pandan, aku pernah melihat fotonya. Tak bohong orang bilang
bahwa dia bukan sembarang, karena Belanda hanya menerima
pribumi yang paling cerdas di sekolah calon petinggi
teknik kapal keruk timah itu. Foto kuno itu sudah buram.
Weh seorang pemuda yang gagah. la bergaya, berdiri condong
menumpukan tubuh kekarnya di atas pemukul kasti.
Namun, sesuatu yang menyayat tersembunyi dalam matanya.
Seringainya hambar, jauh, dan kesakitan. Weh mengawasi lekat
siapa pun yang mendekati fotonya. Aku menatapnya, lama,
lalu bisikan garau mendesis dari foto itu, "Engkau, laki-laki
zenit dan nadir...." Bulu tengkukku meruap, seseorang seakan
berdiri di belakangku, aku berbalik, sepi.
Mengapa Weh kesakitan"
Semula ia baik-baik saja, bahkan tempatnya terhormat
di kelas. Sampai penyakit nista merampok hidupnya. Ia kena
burut. Burut terkutuk yang meniup skrotum dan kelakilakiannya,
bengkak seperti balon sampai jalannya pengkor.
Jampi dan ramuan tak mempan. la atau sanak leluhurnya
pernah melangkahi Qur'an, kualat, tuduh orang kampung
tanpa perasaan. Hidup Weh disita malu. Semangat pemuda
penuh harapan itu tumbang. la keluar dari Technisce
School, mengasingkan diri, meninggalkan tunangannya.
Weh menjadi nelayan, tinggal di perahu.
Aku masih kecil dan Weh sudah tua ketika kami bertemu.
Weh adalah sahabat masa kecil ayah ibuku. Puluhan tahun
ia telah hidup di perahu. Perkenalan kami terjadi gara-gara
aku disuruh ayahku mengantar beras dan knur untuknya.
Semula aku ragu mendekati perahunya. Laki-laki itu keluar
dari lubang palka, tubuhnya aneh. Ia tampak miris bertemu
manusia. "Lemparkan!" hardiknya melihat benda-benda di tanganku.
Aku terkejut. Enak saja, tidak adil. Ayahku membawa
kebaikan untuknya dan ia sama sekali tak punya basa-basi.
Dia bisa menakuti siapa saja, bukan aku. Weh meradang,
aku bergeming. "Keras kepala! Mirip sekali ibumu!"
Ia menibar pokok terunjam, merapatkan perahunya
ke pangkalan. Aku melompat dan berdiri tertegun di buritan.
Sampai aku pulang kami tak berkata-kata.
Esoknya, tak tahu apa yang menggerakkanku, aku
kembali ke pangkalan. Weh juga pasti tak tahu mengapa ia
kembali menibar pokok terunjam. la hilir mudik di depanku
lalu menghunus sebilah terampang dari punggungnya
sambil menunjuk gerinda di dekatku. Tanpa bicara, aku
meraih terampang itu, memutar gerinda, dan mengasah
lekak-lekuknya. Aku masih tak tahu mengapa setiap hari aku mengunjungi
Weh. Yang kutahu, ketika melihat matanya yang bening
dan kesakitan, hatiku ngilu, ketika melihat jalannya
timpang karena burut mengisap air dalam tubuhnya, mengumpul
di selangkang, kubuang pandanganku karena hatiku
perih, dan ketika melihatnya tidur, memasrahkan tubuhnya
yang dikhianati nasib pada senyap sungai payau,
aku gelisah sepanjang malam. Akhir bulan aku memecahkan
tabungan pramukaku lalu bersepeda puluhan kilometer
ke Manggar demi satu tujuan: membeli radio saku untuk
Weh. "Irama Semenanjung Pak Cik, programa RPM Malaysia.
Banyak pantun dan lagu cinta, pasti Pak Cik senang."
Weh menerima radio itu, meletakkannya di atas rak, dan
tak menyentuhnya selama seminggu.
Dua minggu berikutnya aku harus ke Tanjong Pandan
mengikuti ujian sekolah. Tak tahu mengapa, setiap hari di
Tanjong Pandan, aku merindukan Weh. Kembali dari Tanjong
Pandan aku bergegas ke pangkalan. Dekat perahu
Weh kudengar sayup lagu sendu. Aku menyelinap pelanpelan.
Weh tidur meringkuk sambil memeluk radio pemberianku.
Tak pernah kulihat wajahnya sedamai itu. Prog
rama RPM Malaysia mengalunkan "Kasih Tak Sampai",
kemerosok, timbul tenggelam. Aku menggenggam kuatkuat
bungkusan beras di tanganku, hatiku mengembang.
Berminggu-minggu berikutnya aku bersusah payah membujuk


Edensor Karya Andrea Hirata di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ayahku agar diizinkan berlayar bersama Weh.
"Tak ada orang yang bernyali ke Mentawai hanya dengan
menaikkan layar. Kautahu, Bujangku" Weh menyelami
teripang, empat puluh meter di dasar Lingga yang pekat, dengan
tabung udara dadanya saja. Hanya dia yang masih berani
ke Pulau Lanun. la tak peduli lagi dengan nyawanya."
Ayah memilih kata dengan teliti. la tak ingin aku terinspirasi
keberanian Weh yang gelap
. Namun, semakin keras Ayah melarangku, semakin kuat inginku. Ketika Ayah menyerah,
semalam suntuk tak dapat kupejamkan mataku.
Akhir pekan, pagi buta, kami bertolak ke tenggara.
Weh mengambil jalur pintas penuh bahaya. Perahu ia layarkan
melintasi lor-lor ganas Karimata. Di selat sempit itu,
Laut Jawa dari utara dan Laut Cina Selatan beradu, terjebak
dalam pusaran yang dahsyat. Aku melihat buih berlimpahlimpah. Perahu bergoyang halus tapi cepat serupa
denting senar sitar, setiap benda gemeletar, paku-paku
yang mengikat papan berderak bak gemelutuk gigi, seolah
akan bingkas meledak. Perahu meluncur pelan dan waswas
dalam intaian maut, laksana melintas titian serambut terbelah
tujuh di atas neraka yang berkobar-kobar.
Terlepas dari daya isap pusaran air, Weh tersenyum
melihatku yang pucat karena telah memuntahkan seluruh
isi lambungku. Perahu terlontar memasuki perairan Kalimantan
di wilayah Tanjung Sambar. Tengah malam, Weh
menyalakan obor, merapal sebaris mantra, aku merinding
melihat gerakan-gerakan halus di bawah air. Ribuan kerisi
dan cumi-cumi menyerbu perahu. Sampai habis tenagaku
meraupnya. Mereka tersihir cahaya obor dan aku tertenung
kehebatan Weh. Hari pertama bulan September, Weh mengajakku berburu
ikan hiu gergaji. Kami menghadang kawanan besar,
memotong jalur migrasi kafilahnya dari terumbu-terumbu
Belonna yang dingin di Tasmania menuju Kuala Trenggano
yang hangat. Semakin dekat, raksasa-raksasa kelabu itu ternyata
jauh lebih besar dari yang selalu kubayangkan. Mereka
adalah gajah di laut. Air bah bersimbah setiap kali mereka
mengempaskan dadanya yang dilekati teritip. Aku gemetar
mengokang tuas harpun dan membidik seekor hiu yang
lebih panjang dari perahu kami. Kuinjak pegas tuas, tempuling
yang ditambat seutas tali melesat dari larasnya, menikam
punggung hiu dan penguasa laut itu menggelinjang
berguling-guling seperti buaya mematahkan leher lembu.
Simpul tempuling dalam genggamku tersentak, aku terlempar
ke udara, melayang, lalu tertujam ke laut laksana peluru.
Weh terjun menyelamatkanku. la meraih tali tempuling,
aku menahannya. Aku tak rela melepaskan hiu besar itu. Ini
adalah perburuanku yang pertama, pertaruhan harga diri
ku. Aku terombang-ambing diseret hiu yang kalap. Weh
mencabut sundang di pinggangnya, dengan satu gerakan
tangkas, meski tertahan tekanan air. la menampas tali tempuling.
Aku terlonjak ke permukaan, kehabisan napas.
"Keras kepala! "Keras kepala, seperti ibumu!
"Kau bisa tewas tak berguna!"
Weh menatapku tajam. Aku tahu ia membacaku. Kuangkat
wajahku, tak kusembunyikan siapa diriku.
Perburuan itu, pembuktian martabat itu, berakhir dengan
kesimpulan bahwa aku pantas diajak Weh mengelana
samudra. Ada gunanya tak kulepaskan hiu gergaji itu. Kami
beranjak pulang. Di tengah perjalanan kembali, Weh menghampiriku.
"Ikal, malam ini, engkaulah nakhoda," tantangnya.
Aku terpana. Laut, hanya laut dan riak gelombang, delapan
penjuru angin, sejauh pandang. Bagaimana aku akan
membawa perahu kecil ini pulang"
"Kalau salah arah, kita akan terdampar di Teluk Hauraki,
Selandia Baru, mati kering seperti ikan asin."
Aku mereka-reka arah, tanpa kompas, tak dapat kubuat
keputusan apa pun. Weh bersungut-sungut, menikmati saat
berkuasa karena ilmunya. Ia diam sampai aku menyerah.
Sejurus kemudian, ia menunjuk ke arah yang jauh,
nun di sana, empat kerlip bintang trapesium perlahan
menjelma di horizon. "Rasi belantik.... "Itulah timur...."
Aku kagum. Perlahan kuputar gagang kemudi. Sekarang
barat daya jelas bagiku. Ke sanalah tujuanku. Sepanjang
malam aku menatap belantik. Rasi itu bergerak pelan
seakan meniti langit karena bumi berputar. Columbus telah
lama tahu pengetahuan ini, maka ia berani bertaruh
bumi ini bulat. Tengah malam, trapesium belantik terpancang
tepat di atas kepalaku, kubelokkan perahu ke timur
laut. Weh berkisah. "Tahukah engkau, Ikal..."
"Langit adalah kitab yang terbentang...."
Perahu menyusur gugusan pulau.
"Sejak masa Azoikum, ketika kehidupan belum muncul,
langit telah mencatat semua kejadian di muka bumi...."
Dedaunan trembesi yang merunduk memagari tepian
delta, pukat yang centang-pe
renang, tonggak-tonggak tambak
yang diabaikan, laut sepi pasang malam, dan kecipuk
anak-anak buaya muara, tepekur menyimaknya.
"Semburat awan-awan tipis itu ...."
Weh menuding langit utara. Berjuta serpih putih terapungapung seperti telah dihalau tenaga dahsyat, punggung
gemawan berkilau membias cahaya rembulan.
"Adalah ekor puting beliung yang sepanjang hari ini
menyapu Selat Gaspar...."
Dramatis. "Awan-awan sisik di tenggara sana mengabarkan sebentar
lagi telur-telur ikan belanak akan menetas ...."
Aku terpesona. "Angin ini, semilir angin ini! Ikal! Dapatkah kaurasakan""
Weh bersidekap, kedinginan.
"Ini bukan Angin Selatan! Ini Angin Timur!
"Artinya, kemarau akan panjang tahun ini."
Weh bangkit. "Tampakkah olehmu lingkaran itu""
Weh menunjuk berjuta bintang, tak kasat olehku lingkaran
itu karena tersembunyi di antara gemerlap miliaran
benda langit. la menarik sebatang kayu bakar dan melukis
langit. Bara kayu bakar melingkar
merah. Aku mengikuti lukisannya.
Perlahan, seperti menyimak
gambar tiga dimensi, sebentuk lingkaran merekah.
la membagi lingkaran menjadi dua belas iris. Ajaib!
Di setiap puncak jejarinya
tampak bintang yang lebih gemerlap
dari sekitarnya. Dipatrinya
simbol-simbol aneh dalam setiap iris lingkarannya, berulangulang, sehingga dapat kugambar dalam kepalaku.
Pada setiap simbol Weh bersabda, "Keseimbangan,
perawan, Leo sang singa, matahari pertama musim panas,
bintang kastor, musim menyemai benih ...."
Mendebarkan! Langit adalah kitab yang terbentang, kata
Weh. Laki-laki uzur ini memiliki indra keenam untuk
membagi lapisan langit menjadi halaman-halaman ilmu.
Aku mengerti, itulah konstelasi zodiak!
Pada iris kesepuluh ia berpaling padaku.
"Anak Muda, dirimu, lelaki Oktober. Sambaran api
Mars dan arus dingin Pluto akan menjebakmu ...."
Napasku tercekat. "Engkau, laki-laki zenit dan
nadir...." Aku terkesiap. Malam itu, ingin kujadikan malam
puisi-puisi Lucretius tentang jagat angkasa, galaksi
andromeda, dan nebulanebula triangulum.
Tak 'kan kukejar Weh dengan
pertanyaan-pertanyaan praktis
untuk menerjemahkan kalimatnya yang bersayap-sayap.
Malam itu terlalu agung untuk memohon petunjuk pedoman
hidup yang oportunistik kepada seorang pembaca
langit yang adiluhung. Angin meniup layar, perahu menusuk kabut. Dini hari,
tampak sayup setangkup wujud diselimuti halimun hanyut.
Apakah pulau itu tujuanku"
Tiga ekor elang gugok melesat diam-diam. Aku tahu,
predator itu ingin menyerbu kawanan pipit yang baru bangun
di sabana Genting Apit. Darah akan bersimbah di
bilah-bilah ilalang. Aku yakin, daratan itulah tujuanku,
Belitong. Aku berdiri di hidung haluan seperti Admiral
Hook. Aku telah menjadi seorang navigator alam. Weh-lah
guru yang mengajariku mengeja bintang. Sulit kugambarkan
perasaanku. Aku pulang dari tengah samudra dengan
membaca langit. Weh telah membuatku, untuk pertama
kalinya, merasa menjadi seorang laki-laki.
Berat sekali ketika harus kembali kutinggalkan Weh dua
minggu untuk ujian sekolah ke Tanjong Pandan. Menghadapi
kertas ujian, pikiranku tak dapat kualihkan dari rencana
kami berlayar ke Mentawai untuk melihat penduduknya
melukis tubuh dengan tinta daun. Pulangnya, kami
akan memburu gurita. Turun dari bus reyot, tak sempat aku pulang ke rumah,
aku langsung ke pangkalan. Namun, kulihat perahu
Weh limbung, layaknya bahtera tak bertuan. Penambatnya
terseret lunglai. Lampu badai masih menyala. Layarnya bergulung.
Di ujungnya terjuntai sepasang kaki yang pucat.
Hatiku dingin. Aku melompat ke sungai, berenang menuju
perahu. Tubuh Weh terbungkus lilitan layar, berayunayun.
Laki-laki pembaca langit itu telah mati, mati meragan
menggantung dirinya sendiri di tiang layar. Penyakit yang
tak tertanggungkan telah merobohkan benteng terakhir semangatnya,
benteng terakhir itu adalah aku.
Tubuhku menggigil waktu membuka jalinan tali rami
yang menjerat lehernya. Kupeluk tubuh Weh, wajahnya
yang tua, keras, dan biru terkulai di lenganku. Di sakunya
masih mendesis lagu-lagu cinta orang Melayu dari programa
radio RPM Malaysia. Aku berteriak-teriak, tapi suaraku
surut diisap sunyi semenanjung, serak ditingkah riak o
mbak, lindap ditelan angin, terhalau ke Laut Cina Selatan.
Usungan digotong. Pemikulnya menggerutu. Seperti
hidup mereka yang terbuang, kuburan para pembunuh diri
itu pun dipisahkan, dikucilkan nun di sana, dekat rawa-rawa
nifah, tempat gulma bergumpal-gumpal disarangi biawak.
Aku diam terpancang seperti nisan-nisan kayu sekunyit yang
didesaki ilalang. Orang Melayu bekerja keras sepanjang
hidup, membanting tulang-belulang, berkeringat darah, berlumur
cobaan berat, siapa yang menyerah tak dapat tempat
di hati mereka. Hanya aku sendiri yang tersedan. Lututku
lemas melihat Weh dicampakkan ke dalam lubang, diuruk
sekenanya, ditancapi gagang pacul yang tadi patah waktu
menggali liang lahatnya, lalu ditinggalkan begitu saja.
Pesan terakhir Weh, zenit dan nadir, seperti akar ilalang
yang menusuk-nusuk kakiku, menikam hatiku. Nanti, harus
kujelajah separuh dunia, berkelana di atas tanah-tanah
asing yang dijanjikan mimpi-mimpi, akan kutemui perempuan
yang membuat hatiku kelu karena cinta, karena rindu
yang menyiksa, untuk memahami kalimah misterius
itu. Di kuburan usang, di antara nisan para pendusta agama
itu, aku sadar aku telah belajar mencintai hidupku dari
orang yang membenci hidupnya, dan Weh adalah orang
pertama yang mengajariku mengenali diriku sendiri.
Mozaik 2 Persyarekatan Bangsa-Bangsa Einstein kedua dalam hidupku yang mengenalkanku
pada diriku sendiri adalah tokoh legendaris ini: Mak
Birah, dukun beranak kampung kami.
"Waktu kau lahir, Ikal....
"Nyalo." Nyalo, tak lain ucapan terakhir yang dipakai orang Melayu
jika kehabisan kata untuk melukiskan dahsyatnya
angin, gemuruh hujan, dan gempita petir.
"Tengah malam pula...."
Mengapa alam bergelora menyambutku" Tak jelas,
yang pasti hanya saat itu ibuku senewen ingin anak perempuan.
Ibu sudah bosan setiap hari dikerubuti laki-laki:
ayahku dan empat orang abangku yang cenderung mengacau.
Tertekan batinnya mengurusi makhluk yang secara
alamiah punya ego lebih besar dari tubuhnya sendiri. Ibu,
yang berteori bahwa seni pengelolaan rumah tangga terletak
pada anak perempuan, mengaku lambat laun terkorosi
jiwanya, sebab bujang-bujang di rumah kami hanya bisa diredam
dengan menerapkan manajemen mandor kawat.
Dulu, setelah mendapat anak lelaki pada persalinan
pertama, Ibu tersenyum pahit mendengar Mak Birah meneriakkan
Bujang! pada persalinan kedua. la bersalin lagi, Mak
Birah memekik: Nomor tiga! Bujang lagi! Persis teriakan panitia
penghitungan suara. Namun Ibu, yang besar dalam penindasan
Jepang sehingga menjadi pribadi yang liat, tak sudi takluk
meski Mak Birah, lagi-lagi, berseru bujang pada persalinan
keempat. la pantang menyerah sebelum Mak Birah berteriak
dayang! "Persalinan kelima ...," cerita Mak Birah.
"Bahkan ibumu sudah menyiapkan nama anak perempuan."
Nama itu, Nur Tantiana Wassalam. Nur adalah cahaya.
Tantiana dari bahasa Melayu pedalaman, tanti', artinya ditunggutunggu. Wassalam, ya wassalam. Secara halus, nama
itu berarti cahaya terakhir yang telah lama ditunggu-tunggu.
Hari persalinan tiba. Mak Birah selalu menceritakan ini
setiap aku mengantar tembakau untuknya.
"Ibumu, perempuan yang keras pendiriannya....
"Kau tahu, Ikal" Tanggal 23 Oktober waktu itu, pukul
setengah dua belas malam, hujan lebat. Sudah satu jam ibumu
sakit perut, tapi tak sedikit pun ia mau mengejan."
Perempuan tua temperamental itu meninggikan suaranya.


Edensor Karya Andrea Hirata di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kupaksa berkali-kali ia mengejan, dilawannya semua
perintahku! Ibumu tersengal-sengal, matanya melotot melihat
jam weker. "Jam weker! Masya Allah! Jam weker! Aneh, bukan"!"
Tembakau yang tadi kuberikan tak dilinting Mak Birah
tapi diremasnya menjadi bola kecil dan dibelesakkannya
ke dalam geraham. Artinya, ia sedang serius.
"Tak ada yang paham apa mau ibumu!"
Cerita makin seru. "Hampir pukul dua belas malam, ketubannya pecah!
Ibumu megap-megap tapi masih berkeras tak mau mengejan!
Matanya tak berkedip mengawasi jam weker! Bibibibimu
tak dapat membujuknya agar mengejan, keadaan
sudah gawat, kami cemas bukan buatan!
"Kuhardik ibumu: 'Nyi! Mengapa kaupandangi terus
jam weker itu"! Kau mau melahirkan tidak"!'
"Ibumu tak peduli! Sama sekali tak p
eduli! Dianggapnya angin saja gertakku! "Itulah kalau kau mau tahu watak ibumu! Keras seperti
kawat! Aku marah besar!"
Aku tegang menyimak. "Kumarahi lagi ibumu: 'Apa maumu Nyi"! Keluarkan
bayimu! Sekarang!' "Ibumu pucat, kehabisan napas, tapi masih membatu!
"Air ketuban bersimbah-simbah, aku panik, habis sudah
kesabaranku! "Apa kau mau mati, Nyi!"'
"Ibumu tersentak, ia menatapku, tajam sekali."
Dan inilah bagian yang paling kusukai dari seluruh
cerita ini. "Sambil terengah ibumu membentakku: 'Kautengok
baik-baik jam weker itu, Rah! Tunggu sampai jarum panjangnya
lewat angka dua belas! Aku ingin anak ini lahir
tanggal 24 Oktober! Tidakkah kaudengar maklumat di
radio"! Dua puluh empat Oktober adalah hari berdirinya
Persyarekatan Bangsa-Bangsa, PBB! Hari yang penting! Aku
mau anak ini jadi juru pendamai seperti PBB!'"
Pukul dua belas malam lewat sedikit, bayi itu lahir,
sungsang, kakinya lebih dulu. Baru setengah tubuhnya di
alam bebas, lewat paha sedikit, bahkan sebelum matanya
melihat dunia, demi mengecek propertinya, Mak Birah
bersorak. "Nomor lima! Bujang!"
Mozaik 3 Juru Pendamai Bayi nomor lima itu berkening luas. Ayahku menamainya
Aqil Barraq Badruddin. "Aqil, bahasa Arab, artinya akal. Barraq adalah berkilauan,
bahasa tinggi orang Yaman," papar Ibu.
Peran serta Badruddin atau purnama agama tak lain
adalah karena nama lelaki Melayu selalu berakhiran Din.
Dalam terjemahan yang paling bebas, makna namaku itu
kurang lebih Anak soleh berjidat mengilap yang tidak akan
melakukan hal-hal yang tidak masuk akal dalam hidupnya.
Di belahan dunia lain orang boleh mengatakan apalah
arti sebuah nama. Namun bagi orang Melayu pedalaman
seperti kami, nama amat penting, nama berurusan dengan
agama dan dianggap sumber aura. Din itu buktinya,
asalnya Dienul Islam: agama Islam. Jika tabiat anak tak beres,
pasti namanya yang pertama diselidik. Kebijakan purba
itu dianut taat oleh ayahku.
Ternyata, harapan menggelora yang diletakkan di atas
deretan kata agung namaku itu, hancur berserakan. Aku
belum sekolah waktu bersekongkol dengan adikku si no
mor enam yang juga bujang dan membuat ibuku kapok
bersalin menyembunyikan naskah khatib sehingga ia
gelagapan di atas mimbar. Aku dan adikku, bak Qabil dan
Habil. Kejadian itu menjadi memorandum premier kejahatanku
seumpama catatan debut Qabil dalam sejarah kriminalitas
umat. Kalau terompah Wak Haji pindah ke langit-langit dan
beduk bertalu-talu bukan jam salat, pasti aku yang dicari
karena memang aku pelakunya. Sering aku menyamar memakai
mukena sepupuku, menyelinap dalam saf putri,
membuat onar. Bulan puasa, aku melubangi buku-buku
bambu dengan linggis, kuisi air dan karbit, lalu kuarahkan
ke jendela masjid saat seisi kampung tarawih. Gas karbit
yang mampat dalam lubang bambu yang sempit berdentum
laksana meriam saat sumbunya kusulut. Jemaah kocarkacir.
"Keriting berandaaaaaalll!!" teriak Taikong Hamim,
penggawa yang kondang garangnya.
Aku ditangkap. Malamnya aku didamprat ibuku.
"Lihatlah dirimu itu!" bentak Ibu. "Inikah sang juru
pendamai itu!" Bikin malu!"
Wajahnya kaku karena bersusah payah menahan diri.
Aku tahu, sebenarnya Ibu ingin menghamburkan omelan
yang lebih tajam, tapi pasti ia merasa setiap kata yang ia
semprotkan memantul lagi kepadanya. la sadar aku menuruni
watak kepala batunya, karena setiap inci diriku berasal
dari setiap inci dirinya.
"Terserah Yah Ni...."
Ayah yang pendiam hanya menatapku putus asa. Dalam
keadaan ini, biasanya Ayah menaikkanku ke tempat
duduk belakang sepeda Forever-nya, mengikat kakiku ke
tuas di bawah sadel dengan saputangannya agar tak terlibas
jari-jari ban, lalu memboncengkanku ke bendungan PN
Timah. Sepanjang jalan Ayah menasihatiku tentang kedamaian
hidup seperti dicontohkan burung-burung prenjak
berdasi, capung-capung, dan kaum kecebong. Pulangnya
aku dibelikan tebu yang ditusuk tangkai-tangkai lidi.
Kejadian meriam bambu itu adalah bukti bahwa nama
Aqil Barraq Badruddin terlalu berat untukku. Ayah
memutuskan untuk menggantinya. Demi menemukan nama
baru, Ayah rajin berunding dengan juru tulis kantor
desa, perawat puskesmas, polisi pamong praja, pe
layan restoran, penjaga pintu air, atau siapa saja yang berseragam.
Bagi Ayah, orang-orang berseragam lebih pintar dari orang
kebanyakan. Siang ini ia berbincang dengan pria yang gerakgeriknya seperti beruk karena ia seorang pemanjat kelapa.
Di kampung kami ada persatuan pemanjat kelapa dan
mereka berseragam. Pulang ke rumah, Ayah bersukacita.
"Telah kutemukan nama baru untuk si Ikal itu, Bu!"
"Kabar gembira!" jawab Ibu.
"Dengan nama ini, kau pasti jadi santri teladan, Ikal."
Waktu itu aku dan adikku tengah dihukum mencuci
piring karena tanpa alasan jelas mengibarkan bendera merah
putih setengah tiang. MOZAIK 4 Pengembara Samia "Tak tanggung-tanggung, Bu, kata Mahader pemanjat
kelapa, nama ini dapat membuat orang menjadi bijak."
Aku ngomel dalam hati, bagaimana kalau aku tak sudi
dengan nama baru itu"
Ayah: Arti nama ini adalah pria lemah lembut nan berjiwa
besar! Aku: Hmm... bagus sekali ya, tak seorang pun minta pendapatku,
padahal akulah yang akan memikul nama itu seumur
hidup! Adikku, yang gembrot dan lugunya minta ampun itu,
tak peduli. la meniup-niup gelembung sabun. Bruuuphhh...
brupphh. "Apakah gerangan nama yang hebat itu, Yah Ni""
Ayahku bangkit, berkumandang.
"Waaa ... dudh!! Wadudh! Itulah namanya! Kata
Mahader, nama itu gelar untuk menghormati orang yang
paling tinggi akhlaknya di kalangan pengembara Samia!"
Ibu: Subhanallah! Mahasuci Allah! Hebat nian nama
itu! Aku: Wadudh" Pastilah pengembara berkafiyeh yang suka
minum susu kambing itu! Adikku: Bruuuphhh... brupphh.
Sayang seribu sayang, pengembara Samia yang bijak bestari
itu menjelma menjadi garong. Tak lama setelah nama agung
itu dilekatkan kepadaku, aku memimpin komplotan santri
untuk menjarah tambul, penganan yang disumbangkan
umat ke masjid jika Ramadan. "Ketua Wadudh," begitu santrisantri itu memanggilku. Nakalku makin menjadi. Aku
blingsatan mencari diriku sendiri, tersesat dalam ide-ide
yang sinting. Dengan sogokan sebungkus kuaci, kuhasut
adikku si nomor enam itu untuk menyanyikan lagu "Indonesia
Raya" dengan pengeras suara masjid. Suaranya yang
cadel melolong-lolong seantero kampung.
Aku dan Ayah kena sidang.
"Wadudh sudah tak bisa diatur!! Tak boleh lagi dia ke
masjid ini!" Haji Satar emosi.
Para penggawa yang mengelilingi kami menganggukangguk.
"Oh, gawat...."
Wajah Ayah biru menahan malu. la menatapku. Tatapan
yang tak pernah kukenal sebelumnya. Naluriku berbisik,
Ayah akan mengambil tindakan ekstrem untuk
mengganjarku. Aku mengerut ketakutan.
"Onar! Hanya onar saja dibuatnya!!" Wak Tarjik histeris.
Kopiahnya pernah kulumuri minyak rem.
Ayah makin tajam menatapku. Aku tak pernah dikasari
ayahku, bahkan ia tak pernah menaikkan suaranya kepadaku,
tak pernah, walau hanya sekali. Namun, kejadian
"Indonesia Raya" itu memang sudah kelewat batas. Majelis
menuntut Ayah bertindak tegas. Dalam mata Ayah, jelas
kubaca ia tak tega kepadaku. Posisinya serbasalah. Ia bak
Ibrahim yang diperintah Tuhan menyembelih anaknya.
Aku miris membayangkan dibuang Ayah ke pesantren Pulau
Penyengat, menyeberangi Selat Melaka, tak pulang bertahuntahun. Aku terlalu kecil untuk sanksi sekeras itu.
"Beri hukuman berat sekalian agar Wadudh jera!"
hardik Taikong Hamim. Berat sekali cobaan Ayah.
"Bagaimana keputusanmu, Pak Cik"! Apa tindakanmu
agar tabiat buruk Wadudh tak terulang lagi"!" Taikong
tak sabar, nadanya mengancam.
Suasana hening. "Bagaimana, Pak Cik""
Ayah berulang kali menarik napas panjang.
"Baiklah, Taikong...."
Suara Ayah terbata-bata karena ia akan menyesali keputusan
kejamnya padaku. Tapi ia tak punya pilihan lain.
Aku terkulai di lengannya. Majelis waswas menunggu keputusan
keras Ayah.... "Akan kuganti lagi namanya...."
Mozaik 5 Partner in Crime Ratusan ribu kalong menyerbu pesisir. Perutnya buncit
karena puas menjarah putik kemang di pulau-pulau
kecil tak bertuan. Kepaknya sombong tak peduli. Hewan
berparas mengerikan serupa tikus terkutuk itu mendekor
langit dengan bercak-bercak hitam, hanyut di angkasa dilatari
deburan troposfer. Belitong menjelang malam, adalah
semburan warna dari seniman impresi yang melukis spontan,
tak dibuat-buat, dan memikat. Az
an magrib mengalir ke dalam rumah-rumah panggung orang Melayu, umat berduyunduyun menuju masjid, menuju kemenangan.
Masjid, seperti oase bagi semua anak Melayu udik. Di
sana, bukan sekadar tempat salat dan mengaji, tapi tempat
bermain dan membuat janji-janji. Masjid nan indah, tasbihnya
berupa-rupa, kaligrafinya memesona, dan pilar-pilar
tingginya memantul-mantulkan suara. Di atas lantai pualam
terbentang sajadah panjang dari Turki, semerbak harum
setanggi, kitab-kitab tua sejarah nabi, dan lebih dari
Ayah kembali pusing memikirkan namaku. Wajahnya redup.
Diusap-usapnya kopiah resaman-nya. la kehabisan cara
mengatasiku dan kehabisan nama untukku.
"Baiklah Bujang, sekarang pilihlah sendiri nama untukmu...."
Saat itu aku tengah membolak-balik halaman majalah
Aktuil. Di salah satu pojoknya aku membaca berita usang
tentang polisi Italia yang dibuat repot seorang wanita sinting
karena memanjat tiang telepon dan mengancam menerjunkan
diri jika Elvis Presley tak membalas suratnya.
Nama wanita itu Andrea Galliano.
"Ayahanda, bagaimana kalau Andrea""
Telinga Ibu berdiri. "Aih! Nama macam apa itu" Itu bukan nama orang
Islam!" semuanya, para jemaah putri! Belum lagi satu kegembiraan
yang aneh, kegembiraan yang secara ajaib menjelma kalau
Ramadan tiba. Mungkin jika Ramadan, orang Islam mendadak
menjadi dermawan, berebutan mengantar tambul ke
masjid. Semuanya semakin indah karena keluarga kami memungut
Arai, sepupu jauhku, yang mendadak menjadi sebatang
kara dalam usia delapan tahun. Maka, aku memanggilnya
Lone Ranger. la memanggilku Tonto dan kami
segera menjadi partner in crime.
Ayah berpendirian lain. Mungkin karena ia sudah mati
akal. "Kalau begitu maumu Bujang, apa tadi" Andrea... ah,
bagus juga kedengarannya, tak ada salahnya dicoba ...."
Ibu tak terima. "Yah. Ni, tak ada nama orang Melayu seperti itu. Itu
nama orang Barat. Mereka tak peduli soal nama dan itu
nama anak perempuan."
Ayah menangkis. "Bukankah selalu kauidamkan anak perempuan, Bu""
Ibu berbalik meninggalkan kami, marah, tapi aneh, ia
tersenyum. Mulai malam itu aku punya nama baru. Di peraduan
kukenang kembali nama-namaku. Aku menarik kesimpulan,
ternyata tabiat orang tak berhubungan dengan
gelar yang disematkan kepadanya, bukan pula bagaimana
ia menginginkan orang hormat kepadanya, tapi lebih pada
berapa besar ia menaruh hormat kepada dirinya sendiri.
Kebenaran sederhana ini membuat hatiku ngilu.
Mozaik 6

Edensor Karya Andrea Hirata di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Rahasia Gravitasi Ketika pertama kali melihatnya, melihat paras kukunya,
lebih tepatnya, aku merasa seperti dipeluk arus
Sungai Lenggang, berenang bersama lumba-lumba, dijemput
jutaan kunang-kunang, lalu diterbangkan menuju bintang,
la tersenyum, aku tak dapat bernapas.
"Namaku A Ling ...," katanya menyalamiku, menggenggam
hatiku. Ingin kusampaikan satu nama terbaik dari
deretan nama agung pemberian ayahku, tapi tak satu
pun kuingat. Di depan gadis kecil Hokian itu, aku lupa semua
namaku. Perasaan indah memancar sampai ke ujungujung
simpul pembuluh darahku. Minggu depan kami akan bertemu. Berkali-kali aku
berkaca. Rupanya aku telah berkumis! Maka tak ada alasan
takut untuk minta izin kepada bapaknya. Kami akan naik
komidi putar! Sabtu sore, dengan enam helai kumis terhunus,
kudatangi toko kelontong Sinar Harapan milik bapaknya,
A Miauw. Laki-laki gendut itu sedang menjentikkan
biji-biji sempoa. Melihatku, jentikannya makin keras.
"Ba ... Ba... Baba...."
"Apa Ba, Ba" Mau apa!""
Sebenarnya dia tahu aku ingin mengajak putrinya.
"Ba, hmm ... hmm ... mmm ...."
"Apa! Mau apa!""
"Begini Ba... hmm ...."
"Apa begini, begini"!"
Tiba-tiba A Ling muncul dari balik tirai. la menarik
tanganku, kami kabur. "A Ling! "Oi hii na boui"!.1
"Chon lisak!!2 "A Ling! "A Liiiiing...!! "Njoo Xian Liiiiiiing...!!!"
Teriakan bapaknya layap dan kami melayang-layang
dalam komidi. Indah sekali, melebihi ledakan aurora di
atas belantara Amazonia. Kuberi tahu Kawan, rahasia romansa
komidi putar adalah fisika sederhana: hukum gravitasi!
Waktu komidi mencapai posisi empat puluh lima derajat
dari porosnya, daya tarik bumi membuat mempelai
dalam kurungan ayam tadi seperti akan terjungkal. A Ling
1 Mau ke mana" 2 Ke sini! Rupanya, tak ada yang lebih aneh selain orang dimabuk
cinta. Segalanya tiba-tiba berubah menjadi serbabaik. Kini,
dalam penglihatanku, setiap benda menjadi indah, semuanya
memiliki dimensi geometris yang berseni. Sekolah Muhammadiyahku
yang doyong seperti gudang kopra itu ternyata
bangunan kubus simetris yang efisien, bergaya etnik
tropikal dengan spesifikasi multifungsi: sebagai kelas dan
kadang-kadang sebagai kandang ternak. Bukankah optimal"
Kalong-kalong yang rakus bukan lagi tikus yang terkena
kutukan tapi hewan langka familia
Palaeochiropteryx tupaiodon yang
harus dilindungi, kalau perlu
dengan undang-undang. Pengganggu
hewan rupawan itu tak lebih dari manusia tak tahu
diri. Taikong Hamim! Haji
Marhaban Hamim bin Muktamar
Aminnudin nama lengkapnya,
sama sekali bukan guru ngaji yang kejam, bukan, sahisteris,
takut campur manja, memeluk erat lenganku. Perasaanku
melambung, melesat-lesat seperti mercon banting.
Gadis Hokian itu menatapku mohon perlindungan
dan aku jatuh cinta, sungguh jatuh cinta, untuk pertama
kalinya. ma sekali bukan, tapi ia tak lain manusia terpilih penegak
syiar Islam, ulama penting penyelamat anak-anak Melayu
dari rayuan iblis. Aku mengaji dengan khusyuk. Kacamata
Taikong sampai merosot, bibirnya tumpah. Ia bergegas menemui
ayah ibuku. "Tak pernah kulihat Ikal seperti ini, Pak Cik, teduh
nian tabiatnya sekarang. Kalian apakan dia""
Ayah kaget, sumringah. Ibu ternganga.
"Mahasuci Allah! Bu, percayakah kau sekarang""
Ibu masih menganga. "Apa kataku soal nama Italia itu!"
Mozaik 7 Segitiga Tak Mungkin Arai, Weh, dan Mak Birah, bagiku seperti bangunan
segitiga tak mungkin, impossible triangle Oscar Reutersvard
dengan dimensi yang susah diterjemahkan, dengan sudutsudut yang mengandung anomali. Mak Birah, seorang
protagonis, amat menghargai kehidupan dan menganggapnya
sebagai perayaan kebesaran Allah. Sebaliknya Weh, sang
antagonis, mengutuki hidupnya sendiri. Baginya, kelahiran
adalah keputusan aklamasi tanpa negosiasi dan selamatlah
manusia yang tak pernah lahir. Sedangkan Arai, ketika
orang yang senasib dengannya tersuruk-suruk,
ia malah memperlihatkan jiwa besar,
lebih dari siapa pun. Hari ini, di kelas, Lone Ranger
itu menggenggam tanganku kuat-kuat. Ia terpesona pada
benda yang dibawa guru sastra
SMA kami, Pak Balia. "La originalidad consiste en volver al origen, Antoni Gaudi,
maestro mozaik, Barcelona 1877."
Dengan gaya teatrikal, Pak Balia memikat murid-muridnya
sambil mengelus benda itu seekor iguana dari tanah
liat replika karya Gaudi.
"Orisinalitas berarti kembali pada bentuk orisinal."
Kulit iguana itu ditempeli ratusan mozaik berwarnawarni
dari pecahan kecil porselen: piring, kendi, tempayan,
dan ubin. Unik, ganjil, artistik.
"Murid-muridku, berkelanalah, jelajahi Eropa, jamah
Afrika, temukan mozaik nasibmu di pelosok-pelosok dunia.
Tuntut ilmu sampai ke Sorbonne di Prancis, saksikan
karya-karya besar Antoni Gaudi di Spanyol."
Kalimat itu adalah letupan pertama angan-angan yang
menggelisahkan kami sepanjang waktu. Pungguk merindukan
bulan! Tapi kepribadian Arai membuatku selalu
berada di puncak Everest semangatku.
"Bermimpilah, karena Tuhan akan memeluk mimpimimpi
itu," katanya. Esoknya Arai menumpang truk ke
Tanjong Pandan. la terbanting-banting di dalam bak, berdiri
di celah tong-tong timah, hanya untuk membeli poster
Jim Morrison. "Penyanyi kesayanganku, Kal!" Arai bangga memamerkan
poster itu. Tak tampak lelah di matanya.
"Mengapa Jim Morrison, Rai""
"Karena aku akan berjumpa dengannya, walau hanya
pusaranya, di Prancis!"
Arai yakin pada Jim Morrison, yakin pada Prancis,
dan yakin pada pujaan hatinya Zakiah Nurmala, perempuan
yang selama tiga tahun di SMA ditaksirnya, dan selama
tiga tahun itu pula ia ditolak. Tak pernah kujumpai
orang segigih Arai. Suatu ketika, pada bulan puasa, kami harus pulang karena
ayahku sakit. Tak ada kendaraan yang dapat ditumpangi.
Kami berjalan kaki, tiga puluh kilometer dari kota tempat
SMA kami berada. Matahari membara, tepat di atas kepala. Panas menjerang
tanpa ampun, aspal meleleh. Perutku kosong, kerongkongan
kering. Aku melangkah seperti rangka kayu yang
reyot. Pandangan berkunang-kunang. Kami kehausan dan
menderita dehidrasi, bahkan sudah tak lagi berkeringat.
Aku tak sanggup, waktu melewati danau aku ingin membatalkan
puasaku. "Jangan," sergah Arai tersengal-sengal.
la membopongku. Kami melangkah terseret-seret.
Aku tak mampu bertahan. Kembali melewati danau, aku
mendesak ingin minum. "Jangan," sergah Arai.
"Jangan, Tonto, jangan menyerah."
Arai menaikkan tubuhku ke atas punggungnya. la memikulku.
Langkahnya limbung, terseok-seok berkilo-kilo
meter. la istirahat sebentar, lalu memikulku lagi. Napasnya
meregang satu per satu, hidungnya mendengus-dengus seperti
hewan disembelih. Tumitnya mengucurkan darah karena
terjepit jalinan kasar sepatu karet ban mobil. la melangkah
terus, terhuyung-huyung. Tak sedikit pun ia mau
menyerah. Sampai di rumah, aku terkapar tak berdaya. Arai tersenyum.
Aku menatap matanya dalam-dalam. Tiba-tiba
Prancis rasanya dekat saja.
Mozaik 8 Wawancara Tamat SMA, aku dan Arai merantau ke Jawa. Di Bogor
kami melamar kerja. Sebuah usaha distributor memanggil
untuk wawancara. Wawancara: indah dan kota sekali
kedengarannya. Kami mempersiapkan diri dengan
membaca buku Tiga Serampai Rahasia Sukses Wawancara.
Pada bab tujuh "Membuat Pewawancara Terkesan", pengarang
buku itu berulang kali mengingatkan "jangan sekalikali
mengulang pertanyaan pewawancara, karena pertama,
Anda dianggap tidak memerhatikan, kedua, Anda tidak sopan,
dan ketiga, ada yang tak beres dengan telinga Anda."
Dengan pakaian terbaik, kami berangkat. Aku gugup.
Seumur-umur baru kali ini aku diwawancara, ah, diwawancara,
sungguh modern! Ternyata calon majikan kami, seorang wanita mungil
berkulit putih, sangat informal. la menemui kami di kantornya,
sebuah garasi. la baru bangun tidur, berkaus oblong dan
celana pendek. Kardus besar bertumpuk-tumpuk berantakan.
Di luar garasi, seorang pria menggeber gas Harley Davidson.
Gadis itu membaca surat panggilan. la berusaha keras
mengingat sesuatu. Agaknya ia lupa pernah membuat panggilan.
la mengamati kami dan berteriak, "Da... da... na...."
Broomm ... bum! Bum ... brooomm ....
Gadis itu menggeleng. Tendangan gas Harley memekakkan,
ia menjerit. "Phaaa ... kha ...."
Bromm!! Bum! Brom!! "Phaa " Brom! Brooomm.... "Kha!!!!""""
"Naik kapal, Bu, ya, naik kapal!! Brom! Kapal ternak!!"
"Phaa..."""
Brom! Brom! "Kapal ternak, Bu, K A P A L...!"
Bbroooomm.... "Phaa!"" "KAPAAAAAAALLL!"
"Ja ... na ..."
Broooom.... "Na... da"""
Suaranya timbul tenggelam di antara raungan Harley.
Kuingat pesan buku Tiga Serampai: pantang mengulang
pertanyaan pewawancara! Aku pun menebak-nebak.
"Dari Belitong, Bu...."
Broomm ... bum! Brooomm ....
"Ya, dari Belitong!!"
Gadis itu jengkel. la membanting surat panggilan, menarik
tanganku, lalu merogoh sakunya, mengeluarkan
uang lima ribu. "Ini ongkos angkot3. Pulang sana!"
Meski gagal dengan gadis kecil itu tapi tak mengapa. Paling
tidak kami telah diundang, walau ia lupa pernah mengundang,
dan diundang untuk wawancara, ah, kata itu, selalu
menimbulkan perasaan senang dalam hatiku.
Berbekal ijazah SMA, kami melamar lagi. Sebuah perusahaan
penyedia keperluan dapur memanggil. Sesuai wejangan
buku Tiga Serampai, kami melatih pernapasan agar
tak gampang gugup. Kantor perusahaan itu adalah sebuah ruko. Kami memencet
bel, rolling door bergulung naik. Di dalamnya, seorang
perempuan gemuk berbalik. Agaknya tadi ia mau ke kamar
kecil karena di depannya ada pintu bertulisan TOILET. Ia
mengamati kami yang berdiri di ambang pintu ruko.
"Kalian diterima," katanya.
Ya, begitu saja. Tanpa basa-basi apa pun, bahkan tanpa
mempersilakan masuk dan tanpa wawancara!
Perempuan itu masuk ke dalam toilet, srak! Srok!
Srak! Srok! lalu keluar dan sambil mengeringkan tangannya
yang basah dengan tisu, ia bersabda, "Potong rambut
Angkutan kota Peny. gondrongmu itu, mandi yang bersih, besok pagi pukul
enam datang lagi ke sini."
Cepat dan praktis. Tak ada kejadian seperti yang sering
kulihat di TV, misalnya: Congratulations! Selamat bergabung!
Silakan menandatangani kontrak, Anda akan menjadi
aset penting perusahaan kami! At
au, Orang dengan kualifikasi
seperti Andalah yang kami cari selama ini!
Esoknya perempuan itu menyuruh kami naik ke bak
mobil pick up, berkeliling, lalu menurunkan kami di sebuah
perumahan. la menyerahkan dua tas besar dan memberi
sedikit instruksi. Jadilah kami salesman alat-alat dapur,
dari pintu ke pintu. Hanya beberapa minggu bekerja, kami dipecat. Penjualan
kami memalukan, demikian istilah perempuan itu.
Nasibku membaik karena diterima bekerja di kantor
pos. Sedang Arai merantau ke Kalimantan, bekerja dan kuliah
di sana. Sambil bekerja di kantor pos Bogor, aku melanjutkan
kuliah. Lewat surat kukabarkan kepada ayahku


Edensor Karya Andrea Hirata di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bahwa aku telah menjadi seorang amtenaar dalam kolom
pangkat tata usaha, dan punya seragam. Benar pendapat
Ayah dulu, mereka yang berseragam tampak lebih pintar.
Pangkatku: Pengatur Muda Pos. Bukan sembarang, Kawan.
Dengan pangkat itu aku berwenang mencairkan wesel sampai
seratus lima puluh ribu rupiah. Di atas angka itu, atasanku,
Amtenaar Odji Dahrodji, yang turun tangan.
Aku berjasa bagi mahasiswa miskin yang tak punya
bukti sah bahwa ia warga Republik, sehingga sulit meng
uangkan wesel. Biasanya mahasiswa IPB dari daerah minus
itu cengar-cengir menghadapku, dan wajahnya berbunga
waktu punggung weselnya kuhantam dengan cap sakti
mandraguna ini: Saat menghujamkan cap itu aku dilanda perasaan
menjadi orang penting, dirasuki sindrom kekuasaan. OK,
Power is sweet. Sekarang aku paham mengapa orang gila kuasa.
Aku mengerti mengapa banyak pejabat hilir mudik ke
paranormal agar tetap berjaya, dan maklum melihat pejabat
pensiun segera kena borok usus atau mati separuh badan.
Aku dan Arai berhasil menyelesaikan kuliah tepat
waktu. Kami mengikuti tes beasiswa untuk sekolah strata
dua ke Eropa. Sejak kecil aku harus bekerja keras demi pendidikan,
mengorbankan segalanya. Harapan yang diembuskan beasiswa
itu membuatku terpukau. Aku sadar bahwa apa yang
kualami selama ini bukanlah aku sebagai diriku. Beasiswa
itu menawarkan semacam turning point: titik belok bagi hidupku,
sebuah kesempatan yang mungkin didapat orang
yang selalu mencari dirinya sendiri. Aku telah tertempa untuk
mengejar pendidikan, apa pun taruhannya.
Aku memutuskan keluar dari pekerjaan di kantor pos
yang telah menggiringku ke kutub moderat. Semakin lama
semakin berkurang tantangannya. Pekerjaan itu tidak
memberiku kelimpahan, tapi memberi keamanan finansial
dan kehidupan yang itu-itu saja, demikian gampang diramalkan
kesudahannya. Aku terjamin secara sederhana, terlindung
oleh sistem, stabil secara psikologis, mapan secara
sosial, dan semua itu membuatku bosan. Aku merasa seperti
tupai yang sibuk menggendong pinangnya, kura-kura
yang mengerut ke dalam tamengnya, atau siput yang sembunyi
di balik cangkangnya. Aku ingin hidup mendaki puncak tantangan, menerjang
batu granit kesulitan, menggoda mara bahaya, dan memecahkan
misteri dengan sains. Aku ingin menghirup beruparupa pengalaman lalu terjun bebas menyelami labirin
lika-liku hidup yang ujungnya tak dapat disangka. Aku
mendamba kehidupan dengan kemungkinan-kemungkinan
yang bereaksi satu sama lain seperti benturan molekul
uranium: meletup tak terduga-duga, menyerap, mengikat,
mengganda, berkembang, terurai, dan berpencar ke arah
yang mengejutkan. Aku ingin ke tempat-tempat yang jauh,
menjumpai beragam bahasa dan orang-orang asing. Aku
ingin berkelana, menemukan arahku dengan membaca
bintang gemintang. Aku ingin mengarungi padang dan
gurun-gurun, ingin melepuh terbakar matahari, limbung
dihantam angin, dan menciut dicengkeram dingin. Aku
ingin kehidupan yang menggetarkan, penuh dengan penaklukan.
Aku ingin hidup! Ingin merasakan sari pati hidup!
Mozaik 9 Saputangan Aku dan Arai menerima surat pengumuman tes
beasiswa itu di Belitong. Dr. Michaella Woodward
yang memberi komentar pada pengumuman itu membuat
kami berbesar hati. Intinya, ia menganggap hasil riset kami
berpotensi melahirkan teori baru dalam disiplin ilmu kami
masing-masing. Karena itu Dr. Woodward meluluskan tes
beasiswa kami. Aku gembira, berbulan-bulan kutekuni buku
tebal yang runyam berjudul Financial Econometrics, sebelum
menyusun p roposal risetku, ternyata ada gunanya. Namun,
aku tahu persis, kesuksesan proposalku bukan hanya
karena aku dapat mengaplikasikan teori ketidakpastian
termasuk gerak Brown atau segala sebaran Gauss untuk
memetakan interkoneksi telekomunikasi, namun karena
Motivation Letter-ku yang hebat luar biasa. Beginilah kutulis
motivasiku: Akan saya sumbangkan seluruh ilmu dan pengalaman riset
yang saya dapatkan di Sorbonne demi kemajuan nusa dan
bangsa, demi tanah. tumpah darah saya! Tak berlebihan
saya sampaikan bahwa secara diam-diam, sebenarnya saya
telah lama bercita-cita ingin mencurahkan seluruh kemampuan
yang saya miliki, tak digaji pun tak apa-apa, demi
mengangkat harkat dan martabat umat manusia yang masih
terbelakang di negeri saya, negeri yang benar-benar saya
cintai dengan sepenuh jiwa ....
Aku yakin, kata-kata yang kusadur dari sebuah buku
berjudul Garis-Garis Besar Hainan Negara itu telah membuat
Dr. Woodward terharu hatinya dan tak menemukan alasan
untuk tidak memberiku beasiswa. Maka, bagi kawan
yang sedang menulis buku Tiga Serampai Tata Cara Memperoleh
Beasiswa Luar Negeri, kusarankan jangan lupa memasukkan
siasatku itu. Arai berusaha menghubungi Zakiah Nurmala cinta bertepuk
sebelah tangannya itu untuk pamitan. Zakiah pasti
menerima surat Arai, tapi tak sudi membalas. Seperti dulu
sejak SMA, perempuan itu tetap indifferent, tak acuh.
Baru kutahu ada orang yang ditampik hampir sepuluh
tahun tapi tetap kukuh berjuang. Arai tak pernah tertarik
pada perempuan lain. Zakiah adalah resolusi dan seluruh
definisinya tentang cinta. la telah menulis puluhan puisi
untuk belahan hatinya itu, telah menyanyikan lagu di
bawah jendela kamarnya, berhujan-hujan mengejarnya,
dan bersepeda puluhan kilometer hanya untuk menemuinya
lima menit. Zakiah tetap tak acuh. Mungkin Arai telah
diserang sakit gila nomor dua puluh enam: takbisa membedakan
diterima dan ditolak. Sementara aku merindukan A Ling. Malam hari, aku
keluyuran, menjumpai para sahabat lama: dermaga dan
toko kelontong Sinar Harapan. Aku melamun di depan toko
yang telah diabaikan itu. Pintu pagar berdecit-decit ditiup
angin. Kuingat A Ling berdiri di balik pagar itu, tersenyum
padaku. A Miauw telah meninggal. Keluarganya terpecah
belah. Sejak meninggalkanku ke Jakarta waktu aku
SMP dulu, tak ada yang tahu kabar A Ling. la pergi, aku
merasa seakan semua makhluk di Belitong dinaikkan Nabi
Nuh ke bahteranya, aku tak diajak, hanya aku sendiri tak
diajak. Mengetahui aku dan Arai akan pergi jauh, doa Ayah lebih
panjang dari biasanya. la bersimpuh terpekur. Jika kami
cium tangannya, ia menggenggam tangan kami kuat-kuat.
Kami tahu, sebagian hatinya ingin kami tak pergi. Kukatakan
pada Ayah, kami akan terbang enam belas jam dan transit
di Frankfurt. Ayah bersedekap, tercenung. Tak sedikit
pun kenyataan itu dipahaminya. Aerodinamika gelap baginya,
ia bahkan tak paham arti kata transit. Aku semakin
dekat dengan ayahku. Setiap hari aku mengakurkan jam
weker kenangan pensiun PN Timah untuk Ayah setelah
beliau bekerja di perusahaan itu hampir empat puluh tahun.
Jam serupa juga dihadiahkan PN Timah untuk kakekku
dan ayah kakekku. Ayah baru pensiun. Mengherankan ia dapat bertahan
di tambang selama puluhan tahun. Ayah adalah seorang
family man. Sejak muda ia mengencangkan ikat pinggang,
bekerja membanting tulang. Seluruh hidupnya tercurah
hanya untuk istri dan anak-anaknya. Setiap tindak lakunya
hanya untuk memberikan yang terbaik pada keluarga.
Minggu pagi, kami bertolak ke Bandara Soekarno
Hatta naik Fokker 28 dari bandara perintis Buluh Turnbang
di Tanjong Pandan. Pagi yang amat pilu. Kami berpamitan,
Ayah menyerahkan bungkusan untuk kami.
"Buka jika telah sampai di sana," katanya. Ayah mengatakan
ia bangga aku mampu mencapai apa yang tak
pernah dicapainya. Aku bangga ayahku mengatakan itu,
karena itu berarti ia melihat dirinya dalam diriku.
Ayah melepas kami seperti tak 'kan melihat kami lagi.
Bagi beliau, Eropa tak terbayangkan jauhnya. Ayahku yang
pendiam, tak pernah sekolah, puluhan tahun menjadi kuli
tambang. Paru-parunya disesaki gas-gas beracun, napasnya
berat, tubuhnya keras s eperti kayu. Ia menatap kami seakan
kami hartanya yang paling berharga, seakan Eropa
akan merampas kami darinya. Air matanya mengalir pelan.
Aku memeluk ayahku, ayah yang kucintai melebihi apa
pun, tangannya yang kaku merengkuhku. Betapa aku menyayangi
ayahku. Pesawat kecil itu terangkat, dari jendela kulihat Ayah
melambai-lambai dengan saputangan, saputangan yang
dulu sering dipakainya untuk mengikat kakiku pada tuas
sepeda Forever-nya, supaya kakiku tak terjerat jari-jari ban.
Setiap sore aku dibonceng Ayah naik sepeda ke bendungan.
Dadaku sesak. Aku tahu aku akan merindukan laki-laki
pendiam itu. Kulihat lambaiannya sampai jauh, sampai tak
tampak lagi. Aku tersedu sedan.
Mozaik 10 Curly Di Bandara Soekarno Hatta aku mempelajari
lampiran surat pengumuman beasiswa Uni Eropa
itu. Berlapis-lapis. Semuanya ada di sana: jalur detail perjalanan,
penjemput, bahkan telah disiapkan alamat e-mail
intranet, lengkap dengan user name dan password untuk
akses data warehouse universitas.
Kami akan ke Belanda dulu dan akan dijemput seorang
pegawai dari kantor perwakilan Uni Eropa di Amsterdam
lalu ke kantor pusat Uni Eropa di Belgia. Kulihat
nama penjemput kami: Ms. F. Somers. Dari cara menulis
namanya, aku mendapat kesan pastilah Somers ini seorang
ibu-ibu gemuk, atau lajang lapuk, pegawai yang tak penting,
pengurus hal remeh temeh dibagian administrasi.
Ms. itu ditegaskan betul dalam deretan namanya. Suatu
isyarat yang nyata, seperti bubungan tebal asap unggun Indian
Cherokee, bahwa dirinya available, masih sendiri.
Hijau, hijau seluas mata memandang. Biru, biru tak putusputus, semakin tinggi semakin biru, samar, dan melesat,
kutinggalkan Indonesia. Tiga puluh tiga ribu kaki di atas permukaan
laut, enam belas jam paling tidak, diam, sepi, terapungapung. Dini hari, lewat jendela kulihat tiga aliran sungai
berkejaran. Kubuka buku saku Coffins World Atlas. Sungaisungai itu Rhein, Maas, dan Schelde bermuara di Belanda.
Permukaannya ganjil. Tak pernah kulihat tanah berwarna
putih. Desember, musim salju. Tiba di bandara Schippol
Arai membentangkan kedua tangannya lebar-lebar, persis
seperti dilakukannya dulu di atas bak truk kopra ketika ia masih
kecil saat aku dan ayahku menjemputnya: Dunia, sambutlah
aku! Ini aku, Arai, datang untukmu! Demikian maknanya.
Masih dalam lingkar pemanas Bandara Schippol, kami tak
menyadari kalau suhu dingin di luar seganas gigitan hewan
buas. Kami celingukan mencari wanita gemuk petugas administrasi
itu. Pasti ia berdiri di sana, di antara para penjemput,
sambil memegang benda semacam bat pingpong
dengan tulisan dari tinta emas: Mr. Andrea Hirata and
Mr. Arai Ichsanul Mahidin, welcome to Holland. Namun,
tak ada tanda semacam itu. Yang ada hanya gadis muda
berandal yang berteriak-teriak tak keruan ini.
"Oiiik! Oiiik! Oiiiiikkkk!"
Ia berlari-lari menuju kami, kami terkejut, menoleh
kiri-kanan, siapakah dia! Ia pasti salah mengenali orang.
"Oiiik! Oiiik! Oiiiikk!!"
Tapi memang kami yang dipanggilnya. Aneh. Kami
berhenti, ia megap-megap.
"Waithhhh..." dengusnya. Ia membungkuk, keringatnya
bersimbah, dadanya kembang kempis. Lalu ia tegak lagi,
bertelakan pinggang sambil mengatur napas. Kami masih
mematung. Bingung. Siapakah gadis berandal ini! Ia sangat
jangkung, 180 senti mungkin. Atletis, padat berisi. Tubuhnya
dibangun kerangka Kaukasia yang sempurna. Ia
mengenakan shapely tank top. Perutnya kelihatan dan pasti
dia sering sit up. Rambutnya berantakan, pirang menyalanyala.
Belakangan kami tahu, oik adalah cara orang Belanda
menyebut hai. Aku harus menengadah untuk melihat wajahnya dan
aku terkesiap. Ia gadis muda yang luar biasa cantik, gorgeous.
Aku seakan menatap cover majalah Vogue.
Apa yang diinginkan wanita bule yang jelita ini!
Ia mengatur napas dan kami terbius pesonanya. Ia sangat
mirip Daria Werbowy, Anda tahu kan" Supermodel
haute couture yang sering melenggok di Fashion TV berbusana
Dolce and Gabbana itu. Kenal, kan" Kenal" Sudahlah,
tak usah dipusingkan. Aku sendiri tak kenal.
"EU scholarship awardees, yeeah ..."" tanyanya akrab.
Tak menunggu jawaban ia nyerocos lagi.
"Saya Famke ...." Ia menyala
mi Arai. Bola matanya biru
langit, bukan, lebih indah, biru buah ganitri muda.
"Famke Somers."
Ya, Tuhan, inilah Ms. F. Somers yang kusangka ibuibu
gendut petugas administrasi itu. Sekarang, terus terang
aku gugup karena ia cantik tak kepalang tanggung.
"Saya mengenali kalian dari foto saja...." Ia tersenyum
senang. "Saya Arai," orang udik itu memperkenalkan diri.
"What! Ray!" "Oh, no ...A... rai."
"Great ...." Kalau sempat Arai mengiyakan Ray itu, aku sudah siap
mengenalkan diri sebagai curly4.
"And you ... bagaimana sebaiknya aku memanggilmu,
Kawan"" Native Eropa pertama yang kami temui di tanah airnya
sendiri, keramahannya mencengangkan. Ia meraih koper
kami. Koper berat kulit buaya itu ringan saja di tangannya.
"Ikut aku, dan pakai jaketmu."
Kami membuntutinya menuruni tangga dan memasuki
platform kereta underground. Terlepas dari sistem pemanas
Bandara Schippol, kami langsung menggigil digigit suhu


Edensor Karya Andrea Hirata di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dingin delapan derajat celcius. Famke tergelak melihat
kami gemelutuk. Ia sendiri hanya bercelana jeans ketat bolongbolong dan tank top itu.
"Jangan cemas, Kawan, kita segera naik kereta, nanti
di dalam panas lagi," katanya.
4 Ikal-Peny. Aku takjub melihat gadis Belanda ini. Tak sedikit pun
ia kedinginan. Tak heran Kumpeni bisa menjajah kita sampai
karatan. Dari central station Amsterdam kami naik kereta
menuju Brussel. Dalam sekejap, kami akrab dengan
Famke. Ia tak berhenti bicara dan kami tak berkedip menatap
kecantikannya. Seperti kami, ia juga penerima beasiswa
Uni Eropa, ia mahasiswi Amsterdam School of the Arts. Ia
mendalami street performances atau pertunjukan seni jalanan.
Perspektifnya tentang seni jalanan amat memikat.
"Jalanan adalah karya seni instalasi yang sempurna. Ia
lurus, berhiaskan lampu dan bunga, menikung, menanjak,
dan kadang-kadang buntu. Ia mengarahkan, meloloskan,
menjebak, dan menyesatkan."
Aku terpana. "Jalan tempat berparade, pamer kejayaan, juga tempat
menggelandang. Jalan tempat lari dari kenyataan, tempat
mencari nafkah. Orang hilir mudik di jalan, mereka bergerak
indah, melamun, riang, dan berduyun-duyun, siapa
mereka" Ke manakah mereka""
Belum pernah kudengar pandangan seperti itu, pandangan
yang mengandung kecerdasan seni tingkat tinggi.
"Jalanan seperti panggung dengan kemungkinan konfigurasi
dekorasi yang amat luas. Semua kemungkinan seni
dapat ditampilkan di jalanan. Seniman jalanan menghadapi
tantangan seni terbesar."
John Wayne Kereta meluncur melintasi Utrecht dan Dordrecht,
terus melaju keluar Belanda lewat Breda, langsung
ke kota kecil di pinggir Belgia, yaitu Brugge. Di sanalah akomodasi
kami. Dari penduduk Belgia yang separuh berbahasa
Belanda separuh Prancis, Brugge lebih Belanda. Kami
tiba di muka pagar besi sebuah rumah bertingkat yang berdesain
kaku dan berwarna hitam. "Oke, sampai di sini, Kawan. Temui...." Famke membuka
sepucuk kertas. "Simon Van Der Wall. la landlord5
tempat ini. All set. Aku yakin kita akan berjumpa lagi."
Kami bersalaman. "Senang sekali telah kenalan dengan kalian, take care."
Berat sekali berpisah dengan Famke. la telah menjadi
sahabat yang sangat baik. Sayang sekali ia harus mengejar
kereta terakhir kembali ke Amsterdam karena ada keperluan
mendesak. 5 Induk semang/pemilik kost Peny.
Aku dan Arai memasuki halaman dan tertegun di
depan pintu yang membingungkan. Diketuk berkali-kali,
tak direspons; diputar-putar gagangnya, terkunci; didorongdorong, macet. Dari kaca jendela, tampak beberapa
orang ngobrol di dalam. Mereka melongok lalu kembali
ngobrol karena tak kenal mereka merasa tak perlu membuka
pintu. Kami mafhum, ini negeri mind your own business!
Uruslah urusanmu sendiri.
Tak ada bel. Yang ada, di samping pintu, hanya deretan
kotak kecil, nomor-nomor lantai gedung, tombol-tombol,
speaker, dan label nama. Aku memencet tombol berlabel
Van Der Wall. Ding dong, bel melengking.
Drreeeeeetttt ... disambut kumandang seseorang di
speaker. "Oik! Hhrrgghh hoegnog nog geehhnn nog nog gog
ggghrhrhrh ..." "Brghrrh... grrrrh ... oik! Oik!"
Secuil pun tak kupahami, disambung lagi.
"Grrhhh nog ikhh grrhhstgen grrrrrh ... oik!"
Pasti bahasa Belanda, karena selu
ruhnya dibunyikan dari kerongkongan, berat seperti beruang menderam-deram.
Dreett itu meraung lagi, lalu sepi. Kupencet lagi, ding
dong... lembut bergema-gema.
Dreeeetttt!! "Grrhhh nog!! Ikhh grrhhstgen grrrrrr!!!"
Pasti dia jengkel. Diam. Sepi lagi, kupencet lagi.
"Ghhirrr...!!" Senyap. Kupencet lagi. "Oiikkk!! Ghhhhrrrrrrrr!!"
"Mis ... Mister ... Mister Van Der Wall..."" Aku mendekatkan
mulut ke speaker. "Ghhhhrrrrrrrh!!"
"Mister... Mister...."
"Ghhhrrrrr!!Ghhhhrrrrrr!!"
"Mister, English please ..."
Diam sebentar, dreeeeeeetttttttt... plus jeritan histeris.
"PUSH THE DOOR RIGHT AFTER THE BELL!"
Dreeeettttttttttttt.... Kami cepat-cepat mendorong pintu, terbuka. Rupanya
suara dreet yang tadi berulang kali melolong adalah
alarm kunci pembuka pintu. Kami tertawa. Sederhana saja
tampaknya perkara pintu ini, tapi inilah persentuhan pertama
kami dengan individualisme. Sikap Van Der Wall,
orang-orang yang ngobrol dan tak peduli meskipun tahu
kami terjebak di muka pintu, teknologi pintu itu, gedung
apartemen ini, sesungguhnya desain sosiologi orang Barat.
Di lantai tiga kami melihat pintu ditempeli pelat: Simon
Van Der Wall, MVgT, Building Manager. Kami mengetuk
dengan sopan dan masuk ke dalam ruangan. Simon
tinggi besar dan berewokan, santai tapi angker, duduk menekuri
meja seperti burung pemakan bangkai menunggui
mangsa. Seluruh wajahnya disita oleh hidung bongkoknya.
Gayanya mengembuskan cerutu secara mencolok, sekali
gus menggelikan, jelas mencitrakan dirinya John Wayne.
Bukan baru sekali aku berjumpa dengan tipe seperti ini,
yaitu mereka yang masa remajanya tercekoki film macho
konyol John Wayne, lalu sepanjang hidupnya mati-matian
ingin seperti John Wayne. John Wayne wannabe istilahnya.
Semenit bicara dengan Van Der Wall, aku langsung menyesal
mengapa Famke buru-buru pergi.
"Saya sudah berulang kali mengonfirmasi kedatangan
kalian pada Jakarta, tak ada jawaban.
"Memang ada kamar kosong, tapi sistem di sini tidak
bekerja seperti ini. "Impossible," tukasnya tanpa perasaan.
Kami tak diberi kesempatan berdalih.
"Ini hari Minggu, kebetulan saja saya ada di kantor.
Jika tidak, bahkan kalian tak bisa melewati pagar itu!"
Sikap Van Der Wall delapan derajat celcius, lebih dingin
satu strip dari suhu di luar. Kulihat Arai ingin marah
dan aku ingin mengatakan bahwa kami tak tahu harus ke
mana jika tak boleh tinggal di apartemen itu. Tapi kami
tahu sikap itu hanya akan membuat Van Der Wall memuntahkan
kata-kata yang lebih menyakitkan, misalnya: Itu bukan
urusanku! Silakan menggelandang di luar, itu urusan
kalian! Nasib kalian sial karena ketololan kalian sendiri!
Atau, begitulah cara kalian orang Indonesia bekerja! Tak
ada sistem! Tak bisa antisipasi! Tak efisien sama sekali!
"Tunggu sampai besok, hubungi Dr. Woodward. Kalau
administrasi beres, baru kalian bisa tinggal di sini."
Dari jendela, kulihat lajur-lajur putih sepanjang jalan,
berkilat tepi-tepinya karena bentangan es. Butir-butir kecil
seperti terigu melayang-layang dari langit. Perutku naik menyundulnyundul ulu hatiku. Betapa kerasnya dunia setelah
ini. Kami keluar ruangan, sempat kulirik Van Der Wall. la
mengawasi kami. Tubuhnya ia tumpukan pada tangan kanan
yang menekan ambang pintu, sedikit nungging, seakan
sepucuk pistol dan selempang peluru melilit pinggangnya.
Tangan kirinya mengayun-ayunkan cerutu. Seringainya seperti
ia baru saja menghalau cecunguk pelintas batas dari
Meksiko, John Wayne palsu! Tengik bukan main.
Kami meninggalkan gedung yang tak bersahabat itu, terseok
memanggul ransel dan menyeret koper butut yang berat,
tak keruan tujuan, yang ada dalam pikiran hanya bagaimana
menyelamatkan diri dari sengatan dingin. Dalam rumahrumah persegi berjendela kaca, orang berkerumun di
ruang tamu, mengelilingi pohon natal, temaram, bersenda
gurau, tak mau jauh dari jangkauan pemanas. Di sini tak
bisa sembarang mengetuk pintu rumah orang. Pengalaman
dengan Van Der Wall sedikit banyak mengajari kami, dan
kami belum melapor pada pihak berwenang. Mengetuk
pintu dalam keadaan seperti itu sangat mungkin berurusan
dengan hukum. Motel tak tampak. Brugge sama sekali
bukan tuju an wisata. Semua bangunan tertutup, tak seorang pun keluar rumah
dan tak ada kendaraan melintas. Kami tak tahu bahwa
semua orang bersiap untuk situasi gawat yang akan terjadi
malam nanti. Suhu akan drop secara ekstrem. Kami malah
mengobral diri, berkeliaran di alam terbuka, mengumpankan
diri pada taring iblis musim salju. Arai membeli lilin di
sebuah kios kecil yang kemudian langsung tutup.
Kami bergerak terus agar tak membeku. Pohon-pohon
menjadi putih. Jalan raya menyempit dilamun bongkahan
es. Atap-atap digelayuti timbunan salju.
Dari buku Collins World Atlas aku melihat Brugge tepat
berada di sisi North Sea (Laut Utara), laut terdingin yang
disarankan untuk dihindari selama winter (musim salju),
karena dinginnya berbahaya. Laut Utara adalah mainstream
laut es Artik di Kutub Utara. Jika winter tiba, bahkan burungburung red knox di Brugge melarikan diri ke pantaipantai
Italia. Di ujung Jalan Oudlaan kami menemukan bangku taman.
Kami duduk di bawah naungan kanopi. Hujan salju
makin lebat. Sunyi, mencekam. Desis angin berubah menjadi
seribu mata lembing, menghujam tubuh kami yang
lapar dan kedinginan. Seumur hidup dijerang suhu dalam
kisaran tiga puluh empat derajat celcius, bahkan baru sehari
yang lalu di Belitong kami bermandi panas tiga puluh
sembilan derajat, kini kami menghadapi suhu yang bisa jatuh
sampai minus. Malam merambat. Iblis es dari Kutub Utara gentayangan.
Mula-mula menggigit daun telinga, berdenging, lalu men
cakar-cakar pipi, dan menyerap ke dalam tubuh, menusuknusuk
tulang, membekukan sumsum. Kami terperangkap
suhu dingin yang terus merosot sampai sulit bernapas.
Pukul dua pagi, Arai mengeluarkan termometer, kami
terbelalak, suhu telah terjun ke titik minus sembilan derajat
celcius. Kami cemas karena sama sekali tak berpengalaman
dengan suhu seekstrem ini. Tak seekor hewan pun
tampak, semuanya berlindung di dalam liang, menyelamatkan
diri dari gempuran salju yang buas.
Semakin malam makin tak tertahankan. Embusan
uap es dari Laut Utara menyapu Semenanjung Zeebruggae
di perbatasan Belanda, melesat bebas bersiut-siut, yang
menghalanginya hanya dua tubuh kurus anak Melayu yang
seumur hidupnya tak pernah berjumpa dengan salju. Gelap
mengerucut dililit dingin, suara alam lenyap terisap
angin, bahkan angin sendiri membeku.
Kami duduk berpelukan, lengket, mengerut, dan
menggigil hebat. Gigi gemelutuk seperti perkusi tulang, jemari
kisut dan perih. Tubuh gemetar tak terkendali seakan
diguncang-guncang. Dingin menyengatku sekejam sengatan
lebah yang paling berbisa, lalu kurasakan keganjilan dalam
diriku. Pandanganku berputar dan aku tak merasakan
kepalaku. Aku tak berkepala! Kemudian leherku tercekik.
Aku meronta-ronta. Inikah serangan maut pulmonary adema"
Arai menundukkan kepalaku, darah tumpah dari
rongga hidungku, merah menyala di atas salju yang putih.
Aku menghirup sedikit oksigen lalu kembali tercekik. Arai
membuka syalnya, melilitkannya di leherku.
"Bertahanlah, Tonto!" jeritnya panik.
la membuka koper, mengeluarkan semua pakaian, dibalutkannya
berlapis-lapis di tubuhku. Jemariku biru lebam,
aku tersengal-sengal. Tiba-tiba Arai mengangkat tubuhku
lalu pontang-panting, terhuyung-huyung melintasi
timbunan salju setinggi lutut, menuju pokok pohon rowan.
Aku ditidurkannya di tanah, di bawah rimbun dedaunan
rowan. Mengapa Arai menidurkanku di tanah" Aku
makin menderita karena tanah telah menjadi balok es.
Aneh sekali kelakuan Arai. Apakah ia kalut dan menjadi
gila karena tahu aku akan tewas" Tindakan Arai makin ganjil.
Ia menimbuniku dengan daun-daun rowan.
"Apa yang kaulakukan, Ranger""
Ia tak menjawab. Wajahnya cemas, mulutnya komat
kamit, matanya sembap. Ia terus menimbuniku dengan daun.
Aku tak dapat mencegahnya karena seluruh sendi tubuhku
lumpuh. Arai menghiba-hiba, "Bertahanlah, Tonto! Jangan
pergi! Jangan takluk!"
Namun tubuhku makin lemah, lorong putih berkelebatkelebat
dalam pandanganku. Beginikah rasanya ajal" Kesadaranku
timbul tenggelam. Aku berusaha menguatkan diri, aku
tak mau mati! Tak mau mati konyol seperti ini di hari pertama petualanganku!
Aku masih ingin mengelana Eropa sampai ke Afrik
a, aku mau kuliah di Sorbonne, aku belum menemukan A Ling!
Arai memelukku kuat-kuat, air matanya meleleh. "Bangun!
Bangun!" ratapnya putus asa.
Aku tahu, sesuatu yang fatal akan menimpaku. Suhu
mungkin telah jatuh sampai minus belasan derajat. Aku tak
'kan tertolong. Detik demi detik merayap, lorong putih yang
berkelebat itu padam, gelap, senyap. Kemudian pelan, pelan
sekali, terjadi keajaiban. Hawa hangat yang halus berdesir di
punggungku. Daun-daun busuk yang ditimbunkan Arai ke
sekujur tubuhku seakan menguapiku. Arai melihat perubahan
itu, ia kembali menimbuniku dengan daun rowan.
Kesadaranku berangsur pulih, detak jantungku kembali normal,
sedikit demi sedikit kukumpul-kumpulkan lagi nyawaku.
Aku takjub menatap Arai, ia memekik girang.
"Humus! Humus, Kawan. Humus Pyrus aucuparia menyimpan
panas! Begitulah cara tentara Prusia bertahan di
musim salju! Apa kau tak pernah membaca buku sejarah""


Edensor Karya Andrea Hirata di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aria kembali bersemangat menimbuniku dengan daundaun rowan sambil tertawa terkekeh-kekeh. Untuk kesekian
kalinya, sejak kecil dulu, aku kagum akan beragam
ilmu-ilmu antik sang simpai keramat ini.
Arai menyalakan lilin dan membuka bungkus plastik
ikan teri sangon ibuku. Kami memanggang ikan mungil itu
dengan cahaya lilin. Inilah gala dinner kami di Eropa. Bau
ikan teri membangunkan keluarga tupai, kelinci, dan rakun
mapache. Suasana semarak karena makhluk-makhluk
itu jinak. Mereka mencicit-cicit gembira, pipinya gembil,
sibuk memamah biak ikan teri, rakus tapi lucu. Anak-anaknya
bermunculan dari liang hibernasi, malas, manja, dan
gendut-gendut. Beberapa ekor berdiri, seolah berkata, "Selamat
datang di Eropa, Pangeran Salju."
Pagi sekali kami berjumpa orang-orang yang mengenakan
kaus bertuliskan kampanye beraroma diskriminasi
Belgy for the Belgium. Mereka tergopoh-gopoh, barangkali
ingin berangkat unjuk rasa. The Belgium, begitulah penduduk
asli Belgia menyebut diri mereka. Mereka sibuk berdemo
untuk mengusir imigran yang mereka anggap telah
merampok lapangan kerja. Salah satu dari mereka menunjuki
kami arah menuju Stasiun Brugge.
Hebat sekali kantor Uni Eropa, meraja di jantung kota
Brussel, kukuh berwibawa melambangkan supremasi
bangsa-bangsa Eropa. Arsitektur dasarnya seperti kuburan
juragan kaya Tionghoa, seperti tubuh yang ingin memeluk.
Maksud desain itu bukan hanya soal estetika, namun lenganlengan yang merengkuh taman berlantai granit itu
adalah rancangan untuk berlindung dari guncangan bom.
Selain sebagai lambang digdaya, gedung Uni Eropa juga
metafor paranoia, penyakit kronis orang Barat.
Mozaik 12 Paranoia Di gedung itu berseliweran tentara dengan seragam
berupa-rupa, tampak tentara bayaran yang gagah: legiun
asing Prancis. Delegasi berbagai bangsa disambut para interpreter
yang terpelajar. Bahasa-bahasa asing hiruk-pikuk. Delegasi
Afrika hadir dengan atribut-atribut tradisinya: para
wanita mengenakan amuria, amdu, dan bubu berwarna-warni
dengan ikat kepala tinggi-tinggi. Pria-prianya berselempang
panjang, berjubah yoruba, babariga, dan bertopi asa
oke. Mereka sangat bergairah, barangkali ingin membicarakan
program peternakan burung unta dengan para petinggi
Uni Eropa. Setelah itu bergelombang kelompok
orang dengan tanda pengenal Dominican Republic. Mereka
juga gembira, menyapa setiap orang, tentu bersemangat
akan mendiskusikan soal komputerisasi di kawasan
Karibia. Wajah mereka optimis menatap masa depan. Terakhir,
di pintu masuk untuk orang-orang yang kurang penting,
di pojok sana, aku melihat segelintir manusia yang rasanya
kukenal. Aku sering melihat mereka bertengkar soal
minyak tanah di televisi tanah air. Mereka kelihatan semakin
tidak penting dengan sosoknya yang kecil di antara raksasa
hitam dan putih. Agak berbeda dengan delegasi lain,
mereka kurang percaya diri, sedikit malu-malu, tertunduktunduk
memasuki kantor Uni Eropa. Ini pasti soal utang
piutang. Pengamanan di kantor Uni Eropa amat ketat. Jika tak
menyebut nama Dr. Woodward jangan harap bisa melintasi
sekuriti yang tak terhitung lapisnya. Kamera CCTV ter
pasang di mana-mana. Terakhir, lekuk-lekuk tubuh kami
digeledah, ini untuk ketiga kalinya, oleh ses
eorang yang telah lupa bagaimana cara tersenyum. Lalu, seorang perempuan
bertubuh penuh, bukan gendut, cantik dan pirang,
menyambut kami. Ia tak mengucapkan apa pun selain good
morning. Aku menduga ia seorang Skandinavia.
Erika Ingeborg, nama perempuan itu, sekretaris Dr.
Woodward. Benar sangkaku, ia seorang Skandinavia, Finlandia
tepatnya. Ia tak begitu ramah, tapi jelas ia peduli, dan
seperti Skandinavian umumnya: ia tampak cerdas dan efisien.
Erika membawa kami ke kantor Dr. Michaella Woodward,
pengambil keputusan terakhir beasiswa Uni Eropa.
Aku selalu menduga Michaella orang yang temperamental.
Dulu dibantingnya telepon waktu mewawancaraiku
tentang akibat ekonomi penyakit sapi gila. Jawabanku memang
tak keruan. Sekarang, sepintas melihatnya, aku langsung
tahu kalau wanita Irlandia itu lebih keras dari dugaanku.
Umurnya mungkin empat puluh lima tahun. Kerutan
di pangkal hidungnya mengesankan ia sering mengambil keputusan
dilematis yang berakibat pada hajat hidup orang banyak.
Namun secara umum, ia sama sekali tak dapat dikatakan
tidak menarik. Waktu remaja ia pasti seperti Claire Forlani,
lalu dewasa mirip Carrie-Anne Moss, sekarang setengah
baya ia tampak tak kurang dari Juliette Binoche, nanti
jika tua ia akan mirip almarhumah Jessica Tandy.
Michaella adalah seorang doktor ekonomi yang sangat
cemerlang, dan seorang keynesian karena ia penganut ajar
an ekonom kondang John Maynard Keynes. Otomatis, ia
juga seorang monetarist, yakni orang yang percaya bahwa
sektor moneter (keuangan) adalah katalisator pembangunan
ekonomi. Di sebuah jurnal ternama, Dr. Woodward pernah menulis
artikel berjudul Why Monetary Reform Works" Bagi para
ekonom, judul itu provokatif, karena makna generiknya
adalah mengapa reformasi moneter berhasil membangun ekonomi,
sedangkan reformasi sektor riil tidak" Artinya, Dr. Woodward
terang-terangan mengibarkan bendera perang pada
penganut ajaran klasik ekonom Adam Smith yang justru
percaya bahwa sektor riil sebagai katalisator pembangunan
ekonomi. Dr. Woodward adalah generasi kesekian yang
melestarikan pertikaian kronis mazhab klasik dan mazhab
moneter yang telah berlangsung ratusan tahun. Dalam berbagai
forum, aku telah melihat sepak terjang keynesian.
Kesimpulanku: jika tak siap dengan argumentasi cerdas
dan data yang komplet, jangan berurusan dengan mereka.
Keynesian adalah pendebat yang kompulsif, tak mau kalah.
Aku gugup menemui Dr. Woodward.
Lagi pula, ternyata kami datang pada waktu yang keliru
karena Dr. Woodward sedang diprotes Famke Somers
lewat telepon. Rupanya semalam Famke menelepon Simon
Van Der Wall untuk menanyakan keadaan kami. Mengetahui
perlakuan Simon, Famke menyemprot John
Wayne kodian habis-habisan. Dr. Woodward juga marah
dan celakanya, baru saja ia menutup telepon, masuklah
empat orang pria. Tanpa basa-basi, mereka langsung mendebat
Dr. Woodward. Seorang pria selalu melontar kata
bernada tinggi: aberrant! S'effondrer! lnfere! Aku paham katakata
Prancis itu, artinya: tak masuk akall Bangkrut! Implikasi!
Pria kedua membantah dalam bahasa Spanyol: cuanto cuesta"
lmporta, esta incluido!". Pria ketiga sering menyebut rabota.
Setahuku, itu kata Rusia untuk kerja. Pria keempat berbahasa
Inggris. Mereka beradu pendapat, dan luar biasa,
Dr. Woodward meladeni setiap orang dengan bahasa ibu
mereka. Kurang dari sepuluh menit di ruangan itu aku telah
mendengar Dr. Woodward bicara paling tidak dalam
empat bahasa! Termasuk bahasa Rusia. Wajar saja Irlandia
tak pernah dapat dijajah siapa pun. Si Prancis paling agresif.
Jelas ia juga seorang keynesian. Ia dan si Inggris memihak
Dr. Woodward. Mereka menyerang orang Spanyol dan Rusia
itu mungkin kedua orang ini penganut paham klasik
Adam Smith. Debat memanas, akhirnya melalui sebuah teriakan
marah, Dr. Woodward menyuruh mereka keluar.
"Nanti kita sambung lagi!" cetusnya tak puas. "Aku
mau mengurusi orang-orang Indonesia ini dulu!"
Tubuh Dr. Woodward tampak kaku. Aku ngeri membayangkan
ia berbalik dan melolong.
"Apakah kalian juga pengikut Pak Tua Adam Smith itu"!
"Kalau iya keluar dari ruangan ini!
"Saya tidak menerima tamu selain monetarist!
" Keluar!" Tapi itu tak terjadi. Ia berbalik dan mendesah.
"Sungguh keterlaluan Simon Van Der Wall itu. Unbelievable!
Terrible! Horrible!"
Dr. Woodward berusaha ramah. la ingin menetralisir
suasana. "Ok then, let's start over!!
"Maafkan aku atas kejadian semalam, Anak Muda. Saya
dengar suhu drop sampai minus enam belas, bagaimana
kalian bisa bertahan" Outrageous!! Tapi jangan khawatir,
Erika akan membawa kalian kembali ke Brugge dan membereskan
semua persoalan dengan Simon, ok""
Erika menanggapi tanpa ekspresi.
"Istirahatlah, besok kembali lagi. Seminggu ini kita
akan membuat term of reference riset kalian. Sabtu depan
kalian bisa ke Sorbonne."
Mendengar kata Sorbonne, kerak-kerak es yang lengket
di dinding hatiku berderak pecah dan meleleh.
Bersama Erika kami kembali ke Brugge. Di jalan, Erika tak
banyak bicara. la konsentrasi menyetir dengan sikap tubuh
penuh tanggung jawab pada keselamatan penumpang. Kami
sampai di apartemen Brugge. Di pintu apartemen, kami
tak perlu memencet-mencet bel konyol itu.
Di kantor Van Der Wall, Erika menolak dipersilakan
duduk. Aku dan Arai berdiri di belakangnya.
"Aku tak punya banyak waktu!" tegas Erika.
"Simon, dengar ini baik-baik. Sediakan akomodasi
lengkap untuk orang-orang ini."
Kami bersorak dalam hati.
"Bantu semua keperluan mereka dan registrasikan
mereka segera ke Alien Police!"
Pria Belanda itu mengerut di balik meja. Rasakan olehmu,
John Wayne jadi-jadian! "Hari ini juga! Dan semua yang kaukerjakan harus
kaulaporkan padaku paling lambat pukul tiga."
Mana lagak tengikmu sekarang" Mana segala teorimu tentang
sistem-sistem" "Kalau terjadi lagi peristiwa seperti semalam, kau
akan berurusan denganku!"
Van Der Wall beringsut-ingsut di kursinya.
"Paham"!" Kawan, itulah contoh efisiensi Skandinavia. Tak heran
bangsa Viking berulang kali menindas bangsa-bangsa
lain di Eropa. Sementara kami menciut di belakang Erika.
Tak heran bangsa kita tertindas selama tiga ratus lima puluh
tahun. ... 13 mozaik Nyonya Besar Seminggu penuh kami bekerja keras merumuskan terms riset. Jika ada sedikit waktu, kami menghambur ke La rue de L'etuve, melihat patung bocah
lucu yang sedang pipis: manekken pis, aikon pariwisata Belgia pahatan Jerome
Duquesnoy tahun 1619. Belum ke Belgia kalau belum
melihat patung anak kecil
gembrot yang tingginya hanya sekitar setengah meter ini. Brussel adalah kota tua yang indah, senyawa cita rasa Belanda yang fungsional
dan Prancis yang berseni.
Palais Des Beaux Arts dan
pusat jajan yang ditata artistik di seputarnya, mem
buktikan bahwa kaki lima tidak harus kumuh dan mengganggu. Tetapi kami tak peduli dengan semua itu karena pikiran kami tertuju pada Prancis.
Sabtu malam, naik bus Euroline, kami melesat ke Prancis. Sepanjang jalan aku melamun. Seminggu sudah kami di Eropa. Sebenarnya belum apa-apa perjalanan kami. Bentuknya baru seperti huruf 5 yang tak sempurna, melintasi tiga negara yang saling bersambung Belanda, Belgia, dan Prancis tapi kami telah berjumpa dengan gadis secantik super"model: Famke Somers, seorang John Wayne wannabe, seorang gadis Skandinavia yang efisien, dan seorang doktor ekonomi pejabat tinggi Uni Eropa. Pun telah kami rasakan tikaman maut suhu dingin Laut Utara. Pelajaran moral nomor sepuluh dapat dipetik dari semua itu, yaitu jangan sekali-sekali datang ke Eropa pada bulan Desember.
Bus melaju, sopirnya saksama menyiasati jalan bersalju. Meretas ke selatan, kami melewati tempat-tempat yang semakin lama semakin Prancis: Liege, Marche, Bastogne. Rumah-rumah penduduk sepi menyendiri dan pertanyaan mengerumuniku: bagaimana kota-kota itu jatuh dan bangun dalam masa perang Eropa" Bagaimana rasanya berada dalam tarik-menarik budaya Belanda dan Prancis" Bahasa apa yang mereka pakai" Mengapa bahasa bisa berbeda padahal hanya terpisah sejauh tetangga" Inikah akibat kutukan seribu bahasa dari Tuhan pada kaum hedonis Babylonia, karena telah kurang ajar membangun tangga menuju surga" Apakah Njoo Xian Ling tersembunyi di salah satu
rumah yang temaram itu"
Aku berusaha tidur, namun sejak bertolak dari Brussel aku dan Arai tak dapat memejamkan mata. Sebabny
a jelas, karena mimpi perjalanan ke Prancis telah bersemayam dalam kalbu kami selama bertahun-tahun. Sulit kupercaya bahwa aku duduk dalam bus ini, menjalani kenyataan mimpi itu dan tak lebih dari empat jam lagi kami akan sampai di Prancis!
Prancis belum bangun ketika kami tiba di ter"minal bus Gallieni. Sepi. Di sudut-sudut terminal, di bantaran lorong-lorong menuju platform kereta underground, para imigran gelap membenahi sleeping bag-nya. Sebagian duduk terkantuk-kantuk, tampak lelah berjuang di metropolitan Paris.
Kami bergegas menuruni tangga yang curam menuju metro, kereta underground. Seorang pria berkulit gelap meneguk kopi dari cangkir besar dalam sebuah booth persegi berjeruji. la pasti telah lama menjadi penjual tiket sehingga menyatu dengan perabot dalam booth. Setiap benda yang ia perlukan berada dalam jangkauannya. Ia menerima kami sebagai pembeli tiket pertama. Ia ramah dan aku langsung terkena imbas pertikaian ratusan tahun Inggris dan Prancis. Apa pun yang kutanyakan dalam bahasa Inggris, dijawabnya dengan bahasa Prancis.
"Dua tiket, my friend. Tiket apa pun yang
menuju Menara Eiffel."
Dia tergelak. "Selamat datang di Paris, Monsieur."
Kami melompat ke dalam metro. Penumpang-nya hanya beberapa gelintir orang berbaju tebal dan semuanya berwajah Asia dan Afrika. Kuduga mereka pembantu rumah tangga yang berangkat subuh-subuh menuju rumah majikannya di downtown Paris.
Aku mempelajari jalur metro yang terpajang di atas pintunya, membingungkan, karena hanya berupa sambungan titik-titik berwarna merah dan biru yang berawal dari Gallieni dan berakhir di satu tempat yang sulit diucapkan: Pont de Levallois-Becon. Metro meluncur deras di bawah tanah. Kami excited membayangkan kesan pertama melihat Eiffel tapi masih belum tahu cara menuju ke sana. Metro berhenti di sebuah stasiun, seorang wanita India berbaju sari masuk. la duduk di sampingku, aku bertanya.
"Eiffel" The Tower" Trocadero!" katanya.
"Di situlah kalian harus berhenti.
"Sampai Stasiun Havre Caumartin kalian ganti metro ke Pont de Sevres, lalu turun di Trocadero, ok""
Kami mengikuti saran perempuan berbaju sari itu. Akhirnya kami sampai di Stasiun Trocadero. Tak ada siapa-siapa karena masih sangat pagi. Kami berjalan menyusuri lorong dan pelan-pelan menaiki anak-anak tangga untuk keluar dari bawah tanah. Kami menyeret koper besar dan menenteng ransel.
Arai berjalan di depanku, tiba-tiba ia memekik.
"Subhanaiiahl" Aku berlari meloncati anak tangga menyusul Arai, ingin tahu apa yang terjadi. Aku terpaku melihat sosok hitam samar-samar dibalut kabut, tinggi perkasa menjulang langit seperti hantu. Menara Eiffel laksana nyonya besar. Tegak kekar, tak peduli. Puncaknya mencakar ketinggian yang tak terkatakan, serupa mahkota yang melayang-layang dalam buaian halimun. Ia pongah dengan kepala mendongak dan hanya mau bercakap-cakap dengan awan. Namun, kerlingnya tajam mengawasi setiap gerakan kecil di Eropa Barat. Kami terkesima di bawah roknya yang lebar. Semilir angin yang terhembus dari riak-riak emas Sungai Seine menyambut kami. Sungai itu terbelah dua ditudungi selang-seling jembatan-jembatan artistik berusia ratusan tahun. Damai dan tenang seperti air yang pelan-pelan dicurahkan. Katedral, avenue, taman-taman, ornamen, dan galeri-galeri menghiasi pemandangan kiri kanan kami, harmonis memeluk kaki sang nyonya besar berkaki empat itu. Kudekati Eiffel, kusentuhkan tanganku padanya. Ia masih tak peduli. Apalagi sekarang, ia makin cantik karena matahari merekah menghangatkan lengan- lengan perkasanya yang hitam berkilat-kilat. Kawan, mimpi-mimpi telah melontarkan kami sampai ke Prancis.
14 mozaik Paradoks Pertama Maurent LeBlanch nama perempuan itu. Tiga puluh tahunan. Tipikal ibu muda saja. Kalau di-nilai dari wilayah perut dan lingkar pinggangnya yang mulai berebut menonjolkan diri, barangkali ia sudah beranak satu atau dua, atau boleh jadi ia salah satu pasangan yang menikah dan hidup bersama, tapi tak berminat punya anak. Suatu pilihan gaya hidup yang sedang booming di Prancis. Konon pemerintah republikan pening dibuat gaya hidup ini karena persentas
e kelahiran native Prancis merosot tajam.
"Lama-lama bangsa ini bisa punah," ujar seorang nasionalis di sebuah tabloid.
Titouan Bernarzou dan Isabelle Copernic, yang telah seminggu ini menjadi sahabat baik kami di Apartemen Mallot, berpendirian lain.
"Anak" "Ughhhh ...no way, man ...."
"Ngompol, basah, lengket, bau, ribut, dan sa
ngat egois!" Isabelle bersabda.
Titouan menyambung: Repot bukan main dan mahalnya minta ampun!
Isabelle retorikal: Kausangka murah punya anak"
Titouan pesimis: Di zaman edan ini kriminalitas di mana-mana, anak sangat mungkin jadi korban kejahatan. Lebih sedih lagi, sangat mungkin ia sendiri jadi penjahat!
Kompak betul pasangan itu. Tak heran mereka harmonis hidup bersama tanpa anak selama lima belas tahun. Mereka memenuhi kualifikasi kebahagiaan perkawinan versi Oprah: kesamaan pandangan.
Aneh, mengapa mereka gamang soal sumber daya" Titouan adalah fotografer profesional, kontributor Maisort de la France, dan Isabelle seorang literary agent yang ternama, tugasnya menilai naskah-naskah sastra, mendesain intellectual framework sebuah diskusi buku, sampai mengurusi beberapa penulis kondang Prancis. Di sisi lain, jaminan sosial sangat bagus bagi warga Prancis.
Lalu di tanah air" Kriminalitas mengganas, ja"minan sosial amblas, pendapatan per kapita terjun bebas, tapi bayi terus-menerus lahir. Rajin sekali kita beranak. Di Apartemen Mallot kutemukan paradoks pertama.
Maurent Leblanch membuyarkan lamunanku tentang paradoks. Ia hilir mudik mengamati apartemen kami.
"Kuharap kalian betah di sini. Jangan lupa ke kantor saya besok, pukul dua, untuk membereskan administrasi."
Maurent akan selalu berhubungan dengan kami karena ia adalah Liaison Officer, petugas penghubung kami dengan Sorbonne. Artinya, sejak awal, kesan yang baik harus ditunjukkan padanya.
Maurent memandang ke luar jendela. Jika di-amati dengan teliti, ia adalah perempuan yang atraktif.
Pertama, aku tertarik pada tasnya. Diam-diam, aku mengembangkan semacam keahlian menilai perempuan dari tas mereka. Tas itu Fendi, maka jelas ia punya cita rasa, juga punya uang. Tasnya bergaya clutch, talinya pendek dan dipakai dengan cara disandangkan di bahu. Body tas diapit di bawah ketiak, sehingga pemakainya seperti mengokang senapan. Pengamatanku menunjukkan bukti bahwa perempuan yang senang memakai tas clutch seperti itu memiliki gabungan kepribadian maskulin dan feminin. Mereka selalu siap, terbuka namun menjaga jarak, berpikir untuk menilai situasi, dan penuh antisipasi. Mengesankan.
Kedua, adalah kenakalan yang kusembunyikan jauh di dalam hati, sehingga Maurent sendiri tak tahu bahwa aku selalu berusaha agar dia menyebut namanya berulang-ulang.
"Jadi, besok kami harus menjumpai Anda ...," aku berlagak mengingat sebuah nama, sambil
menunjuknya. "Maurent ...," jawabnya riang.
Mengingat tugasnya yang runyam di Sorbonne, ia tergolong masih muda. Mengurus ratusan mahasiswa baru dari berbagai bangsa dengan beragam ekspektasi, tentu memusingkan. Dapat dikatakan ia cocok untuk jabatan itu karena ia berpembawaan gembira.


Edensor Karya Andrea Hirata di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Baiklah, kami akan ke kantor Anda. Pada petugas resepsi kami akan mengatakan ingin menjumpai
Anda ... siapa" Aduh, maaf, cepat sekali saya lupa ii
"Maurent ...," jawabnya lagi, tak berkurang riangnya.
Ah, ia sebutkan lagi namanya! Aku senang karena orang Prancis membunyikan ng secara sengau pada setiap akhiran n. Morong, begitulah pendengaranku. Ng sengau itu meyakinkanku bahwa aku benar-benar sedang berada di Prancis.
"Tapi Madame, pasti banyak pintu di sana. Apakah tertempel nama Anda di pintu" Sehingga kami mudah menemukannya" Bagaimana nama Anda tertera di sana""
"Maurent, Maurent LeBlanch." Indah bukan main. Morong LeB/ang, sengau, beradab, terpelajar, dan sangat berkelas.
15 mozaik Aku dan Anggun C. Sasmi Apartemen Mallot yang kami tempati terletak dekat Stasiun Gare de Lyon, salah satu stasiun antarnegara. Apartemen itu memberi kami satu keistimewaan yang manis karena jika jendelanya dibuka, menjelmalah nyonya besar Eiffel yang congkak dan tak punya urusan pada siapa pun itu.
Kalau Eiffel dianggap sebagai jantung hati Pa"ris
, Gare de Lyon, yang tentu saja musti dibunyikan dengan sedikit gaya sengau Gard' Liong, boleh dianggap sepelemparan batu saja dari jantung Paris. Aku selalu menyukai ide tinggal dekat dengan pusat kota. Ide itu kuanggap sebagai tantangan bagi orang yang selalu ingin berada di tengah pusaran kejadian. Semua itu memberiku kesan bahwa aku memiliki informasi yang selalu ter-up date.
Dengan mudah, kami dapat menemukan kantor Maurent LeBlanch. Kemudian ia mengajak kami melakukan tur orientasi. Kami berjalan melewati
sebuah selasar yang dibangun pada Abad Pertengahan. la menjelaskan bahwa ruang kuliah di kiri kanan selasar itu pernah dihinggapi Montesquieu, Voltaire, Pascal, Louis Pasteur, Rene Descartes, Derrida, dan Beaudelaire. Hatiku bergetar. Nama-nama itu mengintimidasiku, menuntut dedikasiku sebagai kompensasi privilese belajar di universitas yang melegenda ini. Nama-nama itu memaksaku mengakselerasi metamor-fosisku dari seseorang yang selalu setengah-setengah melakukan sesuatu, dan hanya tertarik dengan aspek petualangan dari apa pun, menjadi pribadi yang harus siap memikul konsekuensi sebagai seorang ilmuwan. Sungguh menyesakkan. Aku sendiri belum yakin apakah akan mampu mengemban komitmen itu, bahkan belum yakin apakah aku memiliki kualifikasi yang memadai untuk menyelesaikan risetku. Tapi aku yakin akan satu hal, bahwa ketika melewati selasar itu, mimpi kami menginjakkan kaki di atas altar suci almamater Sorbonne telah menjadi kenyataan. Ingin segera kukabarkan berita ini kepada Pak Balia, guru sastra 5MA kami dulu, yang pertama kali meletupkan cita-cita agung ini padaku dan Arai.
Minggu berikutnya kami mulai matrikulasi dan terjebak dalam rutinitas yang hanya berisi tiga macam kejadian: kuliah, menonton pertunjukan seni, dan belajar di apartemen. Baru kali ini kute
mukan rutinitas yang tak membosankan, karena Paris adalah gelimang pesona. Sering pulang kuliah kami mengambil jalur memutar untuk singgah di berbagai studio, galeri, dan teater. Ekspresi seni diumbar sampai tandas, bahkan pengamen jalanan tampil atraktif. Penduduk Prancis memiliki culture litterair, melek budaya, dan bercita rasa tinggi.
Paris, selalu memberi kejutan yang menye-nangkan. Pulang kuliah sore ini kami iseng mengunjungi toko musik di kawasan elite L'Avenue des Champs-Ely sees. Kami meloncat-loncat girang karena di antara jejeren compact disk musisi dunia tampak album Anggun C. Sasmi dengan lagu yang dibawakan dalam bahasa Prancis. Aneh, untuk pertama kalinya rasa patriotik membuncah dalam diriku, semuanya karena seorang vokalis dan saat aku berada di negeri orang. Perasaan ini amat sulit kutumbuhkan selama aku hidup di bawah naungan Burung Garuda Pancasila.
Anggun membuatku bangga menjadi orang Indonesia. Apalagi pulangnya, di dalam metro kami berkenalan dengan sekelompok gadis Prancis. Begitu tahu kami orang Indonesia, mereka serentak berteriak.
"O la la\\ Anggung! Anggung!!"
"Voulez-vous me presenter Anggung"" Mak-sudnya: Mau nggak mengenalkan kami sama Anggun"
Kami sering iseng menanyakan pada orang Prancis apakah mereka mengenal Anggun. "La Neige au Sahara1." pekik mereka. Semua orang mengenal
perempuan Jakarta nan hebat itu. Jika aku belajar sampai dini hari dan radio-radio FM Paris meng-udarakan lagu "La Niege au Sahara", aku berhenti membaca, kututup bukuku, kupejamkan mataku.
Si la poussiere emporte tes reves de lumiere
Je serai ta lune, ton repere
Et si le soleil nous brule
Jeprierai qui tu voudras Pour que tombe la neigi au Sahara
Jika harapanmu hancur berkeping-keping
Aku akan menjadi bulan gang menerangijalanmu
Matahari bisa membutakan matamu
Aku akan berdoapada langit
Agar salju berderai di Sahara
Suara Anggun membawaku melayang. Aku teringat akan bangsaku, bangsa yang gemar membanggakan diri, padahal babak belur karena carut marut. Tapi aku ingin pulang. La Niege au Sahara: Snow on The Sahara adalah metafora hidupku. Anak Melayu pedalaman di Paris, tak ubahnya salju di Sahara. Lagu itu selalu diputar radio-radio lokal, menggema seantero Prancis. Anggun telah mengharumkan nama bangsa. la satu-satunya artis Indonesia yang pu
nya international fan c/ub. Anggun adalah artis kesayanganku, selain Rhoma Irama tentu saja.
16 mozaik Mengapa Kau Masih Tak Mau Mencintaiku"
Beberapa hari ini aku merasa tak enak hati, tanpa alasan jelas. Gejala ini semacam sixth -sense yang tumpul. Bisa tak berarti apa-apa, namun dalam banyak kejadian, sesuatu yang buruk akan menimpaku. Arai pamit ingin pergi ke suatu tempat yang tak mau ia katakan. Janggal. Sebentar saja, katanya. Petaka.
Malam menjelang, aku menunggu di apartemen. Arai tak kunjung pulang. Tak pernah sebelumnya ia begini. Semalaman aku menunggu, tak ada kabar. Kuhubungi teman-temannya, nihil. Aku waswas tapi tak tahu harus mencari ke mana. Pagi-pagi kepalaku pening karena tak tidur.
Aku tergopoh-gopoh ke kampus. Kuharap ia ada di Departemen Biologi, sedang sibuk mengaduk-aduk zat ajaib berwarna hijau dalam tabung labunya, atau ia ketiduran di laboratorium. Tapi ia tak ada. Kutanyai semua orang, bahkan kutanyai supervisor risetnya, tak seorang pun tahu. Gelap.
Arai raib. Aku naik ke tingkat tertinggi gedung Sorbonne. Dari atas kulihat belantara gedung dan Sungai Seine yang berkelak-kelok, sayup sampai di luar batas pandang. Aku cemas, ke manakah Arai"
Aku pulang ke apartemen, berharap Arai sudah menunggu di sana, mengejutkanku di pintu, ter-tawa, menggodaku dengan jenaka, seperti biasa-nya. Namun, Arai tak tampak batang hidungnya. Sudah sore, nyaris dua puluh empat jam Arai hilang. Haruskah kulaporkan pada polisi"
Ini perkara serius. Bukan baru sekali kubaca di Internet berita penculikan orang Asia oleh sebuah sindikat, organisasi-organisasi rahasia, atau penganut sekte pemuja setan. Korbannya dipenggal atau dibedah untuk dipreteli ginjalnya, bola matanya, jantungnya, atau disedot sumsum tulang belakangnya, untuk dijual atau untuk ritual sesat. Atau, jangan-jangan, tanpa sepengetahuanku, Arai terlibat kegiatan tertentu di tanah air, sehingga ia diciduk di Paris, diracun dan dilenyapkan" Hatiku ngilu.
Bayangan-bayangan seram membuncah. Aku menghambur keluar apartemen, tak tentu arah seperti ayam diuber. Aku menyelusuri Jalan Hector Mallot. Tiba-tiba, aneh sekali, dari radio-radio kecil para penjual bunga aku mendengar lagu yang sama. Semua radio membunyikan lagu yang sama! Mana mungkin" Kusimak lagu itu sampai usai, makin aneh! Lagu yang sama itu diulang lagi, semuanya sama! Mustahil!
This is the end my beautiful'friend It hurts to set you free The end of nights we tried to die This is the end....
Mengapa semua stasiun radio mengudarakan lagu yang sama" Aku beranjak, syair itu membuntutiku. Aku berlari ketakutan menuju Diderot, menyembunyikan diri dalam keramaian, namun radio di kios-kios koran di Diderot juga menyiarkan lagu yang sama. Aku dikepung lagu mistik, syairnya berdengung di telingaku seperti tiupan mantra dari mulut iblis. Apakah ini hanya pendengaranku" Mungkinkah karena kalut kehilang-an Arai aku menjadi sinting"
Aku panik, berlari pontang-panting ke stasiun metro, menerobos kerumunan orang yang heran melihatku. Aku melompat ke dalam metro. Apa yang terjadi padaku" Pada Arai" Perempuan yang duduk di sampingku tak memeduhkanku. Ia tepekur menghayati lagu dari headphone. Kusimak lagu yang samar mendesis dari headphone itu, dan aku hampir pingsan karena yang kudengar juga lagu yang sama tadi! Aku gemetar, berkeringat dingin. Bertahun-tahun jarum jam kewarasan telah berdetak dalam kepalaku dan sore ini jarum itu mati. Aku telah menjadi orang gila.
Wanita itu hanyut bersama syair-syair setan yang menyiksaku. Wajahnya terpejam lalu air matanya meleleh. Ia sedih. Mengapa ia menangis" Kusimak lagi sayup syair yang berbisik dari
headphone, kucoba mengenali suara penyanyinya. Sekonyong-konyong lonceng berdentang keras dalam kepalaku. Aku langsung siuman dari tamparan maut sakit gila. Jarum kewarasanku berdetak lagi.
Aku paham mengapa hah ini semua radio di Pa"ris menyiarkan lagu yang sama. Di stasiun behkutnya aku turun dan berlari melintasi beberapa blok bangunan sampai di sebuah taman yang luas dengan gapura logam antik bertulisan Cimetiere du Pere-Lachaise. Taman ini adalah kuburan angker
berusia ratusan tahun. Aku menyelinap di antara celah nisan yang berdesakan, tinggi menjulang, berukir-ukir kata latin, hitam behumut-lumut. Bulu tengkukku meruap melihat nisan kukuh bergaya Roman Catholic, di atas salib balok beton tertulis nama komponis Frederick Chopin. Hampir dua ratus tahun ia telah bersemayam di situ.
Banyak nisan yang patah, tertungging meng-hujam tanah, atau tersandar pada nisan sebelahnya. Burung-burung gagak bertengger, berkaok-kaok. Aku teringat film dedemit The Omen. Kabut hanyut membelai burung-burung neraka itu. Aku mencium bau harum, bercampur busuk. Seorang Shaman pernah mengatakan padaku, bau hangus, harum, dan busuk adalah pertanda kehadiran lelembut.
Kudengar sayup senandung, seperti nyanyian dan ratapan. Aku melangkah ke sana. Semerbak aroma dupa dan harum bunga menyambutku. Aku bergabung dengan orang-orang yang berpakaian seperti Hippies. Mereka memegang lilin dan
menaburkan bunga pada sebongkah pusara. Sebaris nama terpahat di pusara itu: Jim Morrison. Hah ini, tiga Juli, peringatan kematian Jim Morrison, seorang rocker flamboyan, pentolan The Doors, dewa bagi penganut mazhab antikemapanan.
Ratusan penggemar Morrison dari berbagai belahan dunia bersimbah air mata. Mereka melakukan penghormatan pada sang legenda dengan caranya masing-masing. Seorang lelaki tua, dengan kecapinya, membawakan lagu abadi Jim: "End of Night", lagu yang sepanjang hah ini diputar radio-radio Paris. Seorang wanita kulit hitam meniup saxophone melantunkan "Amazing Grace". Para hadirin sesenggukan. Aku terhanyut dalam kesedihan sekaligus takjub dengan kharisma almarhum. Seorang pria Jepang memainkan lagu Jim yang lain "Light My Fire" dengan harmonika. Silih berganti pengagum Morrison mengungkapkan perasaannya. Hening sejenak, lalu seorang pria kerempeng berpakaian rombeng seperti gipsi, gembel lebih tepatnya, tampil ke depan. Wajahnya sendu. Ia tampak sangat terpukul atas kepergian artis pujaan hatinya. Lama ia tepekur kemudian pelan-pelan ia mengeluarkan secarik kertas dari sakunya. Napasnya naik turun menahan rasa. Ia membentang kertas itu dan membaca puisi dengan suara garau penuh tekanan. Dipekikkannya untaian kata yang pedih sambil menepuk-nepuk dadanya.
Puisi untuk satu-satunya cinta dalam hidupku'
Zakiah Nurmala.... Di sini! Disaksikan pusara Jim Morrison, kukatakan
padamu! Rampas jiwaku! Curi masa depanku' Jarah harga diriku' Rampok semua mitikku! Sita! Sita semuartya! Mengapa kau masih tak mau mencintaiku"!
Para peziarah, yang tak mengerti bahasa Indonesia, bertepuk tangan mengapresiasi puisi yang dibawakan Arai sepenuh jiwa. Tak ada yang paham kalau puisi itu bukan untuk Jim. Namun, Jim Morrison dan Zakiah Nurmala adalah belahan hati Arai. Keduanya telah menempati kamar yang menyesakkan dadanya. Hah ini, Arai mengguncang-guncang kamar itu dan cinta, rindu, harap dan putus asa yang lama bertumpuk di sana, terburai-burai, tumpah ruah di atas pusara Jim Morrison.
17 mozaik The Pathetic Four Sejak dulu, aku senang mengamati kehidupan.
Aku selalu tertarik menjadi semacam life obser-ver, sejak aku menemukan fakta bahwa sebagian besar orang tak seperti bagaimana mereka tampaknya, dan begitu banyak orang yang salah dipahami. Di sisi lain, manusia gampang sekali menjatuhkan penilaian, judge minded. Aku suka mempelajari motivasi orang, mengapa ia berperilaku begitu, mengapa ia seperti ia adanya, bagaimana perspektifnya atas suatu situasi, apa saja ekspektasinya. Ternyata apa yang ada di dalam kepala manusia seukuran batok kelapa bisa lebih kompleks dari konstelasi galaksi-galaksi dan Kawan, di situlah daya tarik terbesar menjadi seorang fife observer. Aku bergairah menemukan kelasku di Sorbonne. Mahasiswa-mahasiswa dari beragam bangsa di dalamnya membuat kelasku seperti laboratorium perilaku. Kelasku bukan sekadar ruang untuk belajar science tapi juga university of fife.
Selalu berkoar-koar seperti angsa trumpeter, tak lain orang-orang Inggris, The Brits. Mereka paling meriah dan bermulut besar. Belum selesai dosen bicara mereka tunjuk tangan: bertanya, berteori, membantah, mengeluh, prates, atau te
rang-terangan mengajak bertengkar. Namun, meski mereka provokatif, konfrontasi mereka beradab. Ini tak lain produk sekolah yang mem-biasakan mereka berbeda pendapat secara positif sejak usia dini.
Selain itu, kutemukan catatan yang objektif bahwa dari dua ratus orang paling berpengaruh dalam sejarah manusia, sebagian besar orang Inggris, tentu Isaac Newton dan Adam Smith termasuk. Sebaliknya, dari buku Crank and Crankpots hasil riset Margareth Nicholas, dikabar-kan pula bahwa sebagian besar manusia paling eksentrik di muka bumi ini, juga The Brits. Bagaimana makhluk-makhluk dari pulau kecil yang bentuknya seperti tatakan kue sempret itu dapat berbuat hebat begitu rupa" Orang Inggris, karena bakat dan nyentriknya, selalu mendapat tempat tersendiri di hatiku.
Naomi Stansfield, lebih senang dipanggil nama belakangnya Stansfield, dialah dedengkot The Brits. Seperti kebanyakan orang Inggris, sikapnya primordial. Perangai itu ia kibarkan lewat makian British kebanggaannya: bollock! Jika mood-nya sedang encok, ia semburkan: bloody moron! Stansfield seorang perempuan yang trendy. Orang Inggris sendiri menjuluki orang seperti dia sebagai a
dedicated follower of fashion, orang yang berkejar-kejaran dengan mode, kira-kira begitu.
Setiap melenggang ke dalam kelas, aku tahu, Stansfield menikmati tatapan kagumku pada pakaiannya. Ia tersenyum berbunga-bunga.
"It's a Mooks, Man,'1 bisiknya sembari mema-merkan jaket barunya.
Seperti kebanyakan kawula muda Londonesse, Stansfield senang berdandan sporty, sepatu kets, kaus dengan nomor besar bintang sepak bola favoritnya, dan jaket training yang tak dikancingkan. Nyatanya ia memang hooligan klub Queens Park Ranger. Banyak yang heran bagaimana aku bisa akrab dengan Stansfield yang sengak itu. Padahal rahasianya gampang, yaitu pujian. Pujian bagi wanita tertentu, tak ubahnya bulu ketiak Benyamin Tarzan Kota, di situlah titik lemahnya.
Mahasiswa yang doyan meladeni The Brits ha-nya pemuda-pemudi dari negeri Paman Sam. Kepala gengnya Virginia Sue Townsend. Pernahkah Kawan mendengar istilah Vermont Stubborn" Alkisah, ladang pertanian di Vermont, negara bagian keempat belas di Amerika, berkarang-karang. Hanya kemauan baja yang dapat menaklukkannya. Karena itu, orang-orang Vermont terkenal keras kepala hingga lahir julukan Vermont Stubborn. Nah, Virginia lahir dari keluarga Vermont tulen.
Townsend sadar betul kalau dirinya mirip Jen"nifer Aniston, maka ia habis-habisan meng-copy janda kembang itu. F word merupakan ciri khas makiannya, trade mark-nya. Sungguh tidak santun.
Jika Stansfield mengumpatnya Bloody Aniston Moron, Townsend membalasnya yeah, yeah, yeah, Stansfield, ha ... f@$#king Brit! Go to f@$#king hell, yeah, dengan logat British yang dilebih-lebihkan untuk mengejek.
Ada empat orang Amerika di kelas kami dan kaum Yankee ini bertabiat sepadan dengan leluhurnya, orang-orang Britania itu, tapi terdapat sedikit perbedaan. Dalam diskusi, kelompok Amerika cenderung mendominasi, intimidatif, penuh intrik untuk mengambil alih kendali, lalu mem-bangun aliansi. Perangai yang tak asing, bukan"
Prestasi akademik The Brits and Vankee fluktuatif. Sesekali paper mereka mengandung terobosan yang imajinatif. Misalnya, ketika mengobservasi perilaku konsumen lewat konstruksi kubus, mereka membuat survei yang kreatif untuk mendeteksi perubahan paradigma utilitas konsumen dari waktu ke waktu. Ide-ide cemerlang mereka sampai dapat mengubah silabus mata kuliah perilaku konsumen. Dosen sering menghargai mereka dengan nilai tres bien alias bagus sekali.
Selalu duduk di tempat duduk yang sama di tengah kelas, pasti hadir sepuluh menit sebelum acara, taktis, metodikal, dan sistematis, adalah beberapa gelintir mahasiswa Jerman: Marcus Holdvessel, Christian Diedrich, dan yang paling istimewa, seorang wanita Bavaria nan semlohai,
Katya Kristanaema. Mereka tak pernah ribut, sering kikuk, layaknya orang yang sedang mengumpul-ngumpulkan kepercayaan diri. Ini pasti akibat hujatan seantero jagat pada tingkah polah Paman Fuhrer, pria berkumis Charlie Chaplin itu, dalam Perang Dunia Kedua. Jika bicara, mereka sepert
i berbisik-bisik saja. Mereka sangat tenang, quite, sepi, tenteram, persis kota kecil Purbalingga, pukul sepuluh malam.
Selayaknya mesin-mesin otomotif buatan negerinya, mereka adalah pribadi-pribadi yang penuh antisipasi. Motto mereka Tiga P: Preparations Perfect Performances, maksudnya, penampilan yang sempurna tak lain karena persiapan yang matang. Mereka tak mau melakukan sesuatu tanpa ancang-ancang. Tergopoh-gopoh tak keruan, bukanlah nature mereka.
Katya, Marcus, dan Christian sangat unggul dalam materi-materi hitungan. Matematika, statistika, dan analisis kuantitaif seperti mengalir dalam darah mereka. Paper mereka jarang menerobos namun intensitasnya mencengangkan. Kajiannya atas konstruksi kubus tadi tak sekadar soal utilitas, tapi sampai pada pembuktian geometri dimensional. Itulah buah manis pendidikan dasar berstandar tinggi di Jerman sana. Ide mereka lebih besar daripada ide The Brits dan Yankees, yaitu bukan hanya mengubah silabus mata kuliah perilaku konsumen, melainkan orang-orang Jerman ini menyarankan untuk sekalian mengubah silabus ilmu ekonomi. Nilai mereka tak pernah kurang dari
Kemelut Di Majapahit 14 Pendekar Cacad Karya Gu Long Menjenguk Cakrawala 2
^