Pencarian

Hafalan Shalat Delisa 1

Hafalan Shalat Delisa Karya Tere Liye Bagian 1


Hafalan Shalat Delisa Tere Liye Download Ebook Jar Lainnya Di
http://mobiku.tk http://inzomnia.wapka.mobi
Daftar Isi HAFALAN SHALAT DELISA DAFTAR ISI 1. SHALAT LEBIH BAIK DARI TIDUR
2. KALUNG SEPARUH HARGA 3. JEMBATAN KELEDAI 4. DELISA CINTA UMMI KARENA ALLAH
5. 26 DESEMBER 2004 ITU! 6. BERITA-BERITA DI TEVE 7. BURUNG-BURUNG PEMBAWA BUAH
8. HIDAYAH ITU AKHIRNYA DATANG
9. MEREKA SEMUA PERGI! 10. KALUNG YANG INDAH ITU
11. PERTEMUAN 12. PULANG KE LHOK NGA 13. HARI-HARI BERLALU CE PAT
14. DELISA CINTA ABI KARENA ALLAH
15. NEGERI-NEGERI JAUH! 16. IBU KEMBALI! 17. AJARKAN KAMI ARTI IKHLAS!
18. AJARKAN KAMI ARTI MEMAHAMI!
19. HADIAH HAFALAN SHALAT DELISA
1. Shalat lebih baik dari tidur
Adzan shubuh dari meunasah terdengar syahdu.
Bersahutan satu sama lain. Menggentarkan langit-langit
Lhok Nga yang masih gelap. Jangan salah, gelap-gelap
begini kehidupan sudah dimulai. Remaja tanggung sambil
menguap menahan kantuk mengambil wudhu. Anak lelaki
bergegas menjamah sarung dan kopiah. Anak gadis
menjumput lipatan mukena putih dari atas meja. Bapak-bapak membuka pintu rumah menuju meunasah. Ibu-ibu
membimbing anak kecilnya bangun shalat berjamaah.
"Asshalaatu'airummminannaum!"
Delisa menggeliat. Geli. Cut Aisyah nakal menusuk
hidungnya dengan bulu ayam penunjuk batas tadarus.
"Bangun! Bangun pemalas!" Aisyah bertambah jahil
demi melihat wajah polos Delisa. Menarik-narik baju tidur
Delisa yang kebesaran. Yang ditarik malah memukul lemah
tangan Aisyah. Kembali bergelung melanjutkan tidur, tidak
peduli. "UMMI.... DELISA NGGAK MAU BANGUN!"
Aisyah berteriak kencang-kencang. Mengalahkan suara
adzan dari meunasah. Cut Zahra saudara kembarnya hanya
menyeringai datar dari belakang melihat kelakuan Aisyah.
Zahra baru keluar dari kamar mandi, mukanya basah oleh
wudhu. "Ais, kamu memangnya nggak bisa bangunin Delisa
nggak pakai teriak-teriak apa"" Cut Fatimah masuk,
langsung melotot dari bawah daun pintu. Fatimah sudah
mengenakan mukena bagian bawah. Tangannya memegang
mukena bagian atas. Muka dan ujung rambutnya juga
basah oleh air wudhu. "Yeee, Delisa jangankan digerak-gerakan kencang-kencang, speaker meunasah ditaruh di kupingnya saja, ia
nggak bakal bangun-bangun juga!" Aisyah membela diri.
"Suara kamu tuh juga ngelebihin sepuluh speaker
meunasah, tahu!" Fatimah melotot membesar sambil
melangkah mendekat, duduk di atas ranjang Delisa,
mengambil alih urusan. Aisyah seperti biasa menyeringai sebal kepada Fatimah,
hidung dan bibir atasnya terangkat. Lucu sekali menatap
Aisyah menyeringai seperti itu. Turun dari atas tempat
tidur, beranjak mendekati Zahra yang berdiri
memperhatikan. Zahra berbalik mengambil mukena tidak
mempedulikan. Ah selalu begini kan setiap pagi" Ribut
membangukan Delisa. "Delisa bangun, sayang.... Shubuh!" Fatimah, sulung
berumur lima belas tahun membelai lembut pipi Delisa.
Tersenyum berbisik. "Delisa masih tidur, kak Fatimah...." Delisa men-ceracau
lemah, menggeliat menarik selimutnya.
"Aduh, orang tidur kok masih bisa ngomong:
'Delisa masih tidur, kak Fatimah...1" Fatimah tertawa
menggoda. "Kak Fatimah ganggu saja.... Delisa masih ngan-tuk!"
Delisa bandel menarik bantal. Ditaruh di atas kepala. Malas
mendengar suara tertawa kak Fatimah.
"Nanti kak Fatimah gelitikin ya! Kalau nggak bangun-bangun..." Jari-jari Fatimah menjulur mengancam.
"Ya kak.... Gelitikin aja, kak!" Aisyah berseru senang.
Menyemangati. Kembali loncat ke atas ranjang.
Delisa tak mendengarkan. Juga tak melihat jari-jari yang
mengancam itu (terutama jari-jari tangan Aisyah, mana
kukunya belum dipotong lagi).
"Benar ya...." Delisa tetap tak bergeming.
"S-a-t-u, d-u-a, t-i-g-a!" Fatimah sambil
tersenyum mulai menggerayangi perut, ketiak, dan telapak
kaki adiknya. Aisyah merangkak mendekat, ikut
membantu, lebih ganas, tertawa lebih bahak.
"Ampun! Ampun!!" Delisa berteriak melempar bantal-bantal. Badannya bergerak bangun. Tangannya sembarang
menangkis tangan-tangan jahil itu. Fatimah sambil
menahan tawa memegang tangan Aisyah agar
menghentikan gelitikan. Delisa sudah terbangun, sudah
duduk nyengir. Mata Delisa menatap merah, sayu setengah terpejam.
Mulutn ya menguap. Pipinya mengukir ke-pulauan
nusantara. Tangannya mengacak-acak muka.
"Iya Delisa bangun nih!" sebal sekali suara Delisa
terdengar. Ia memandang kakak-kakaknya sirik.
"Kak Fatimah dan kak Aisyah jahat.... Bangunin Delisa
maksa!" gadis berumur enam tahun itu mengalah, beringsut
turun dari ranjangnya. Fatimah ikut beranjak turun mengambil bantal-bantal
yang jatuh di lantai. Aisyah yang tetap tertawa senang
masih sempat-sempatnya iseng menjawil badan Delisa dari
belakang dengan bulu ayam penunjuk tadarus Ummi.
"Kak Fatimah!" Delisa berseru, tangannya menunjuk
Aisyah, mengadu masygul. Aisyah hanya tertawa, memasang tampang tak berdosa.
Mengangkat bahu. Aisyah memang lagi senang-senangnya
mengganggu orang lain. Umurnya dua belas tahun, hanya
terpisah 23 menit dari kembarannya Zahra, kelas satu
madrasah tsanawi-yah negeri 1 Lhok Nga. Adiknya Delisa
memang terlalu jauh umurnya, berbeda enam tahun, jadi
kenakalan Aisyah terlalu dominan, tanpa perlawanan,
Delisa selama ini hanya bisa mengadu seperti itu.
"Aisyah jangan ganggu Delisa.... Lagian kamu kenapa
pula belum ambil wudhu"" Fatimah melotot. "Yeee, orang
kamar mandinya di pakai Zahra ini!"
"Itu Zahra sudah selesai dari tadi! Kamu kenapa nggak
dari tadi wudhu!" Fatimah menunjuk Zahra yang sudah
rapi, sempurna memakai mukena putihnya.
Aisyah hanya nyengir, kan tadi masih dipakai.
Ummi masuk dari bingkai pintu sudah mengenakan
mukena putih juga.... "Eh kenapa pada belum siap-siap""
"Delisa lagi-lagi susah bangun...." Aisyah menjawab
sambil menyeringai, menunjuk Delisa.
"Tapi kamu kenapa pula belum ambil wudhu"" Ummi
bertanya. Pertanyaan yang sama dengan Fatimah. Aisyah
buru-buru kabur ke kamar mandi, kan gak mungkin
jawaban yang sama pula, jelas-jelas Zahra sudah selesai dari
tadi. Sayangnya ia keduluan oleh adiknya. Ia tiba pas Delisa
menutup pintu kamar mandi. Aisyah seketika memasang
tampang sebal. Lagi-lagi meski ia yang bangun paling pagi,
tetap ia yang paling telat datang ke ruang keluarga tempat
shalat berjamaah. Lhok Nga menggeliat dalam remang. Cahaya matahari
menyemburat dari balik bukit yang memagari kota. Orang-orang sudah dari tadi kembali dari meunasah. Orang-orang
beranjak mulai mengukir hari. Yang berdagang pergi ke
pasar, membuka toko-toko. Yang bekerja di kantoran
mandi bersiap diri. Yang sekolah menyiapkan buku-buku
dan peralatan lainnya. Tetapi hari ini hari Ahad. Libur.
Lebih banyak yang menyiapkan aktivitas di rumah saja.
Tidak kemana-mana. Ummi sedang mengaji, mengajari Cut Aisyah dan Cut
Zahra. Fatimah membaca Al Qur'an sendiri.
Tidak lagi diajari Ummu, Ah, kak Fatimah bahkan
setahun terakhir sudah khatam dua kali. Ini jadwal rutin
mereka setiap habis shubuh. Belajar ngaji dengan Ummi,
meskipun juga belajar ngaji TPA dengan ustadz Rahman di
meunasah. Delisa sedang memegang Jus'amma-nya. Terbata-bata
mengeja alif-patah-a, Ia masih banyak menguap. Terkantuk-kantuk menunggu giliran menghadap Ummi. Menyetor
bacaan yang sedang diejanya pelan-pelan.
Cut Aisyah dan Cut Zahra kenapa pula lama sekali....
Kan sudah mau khatam juga, katanya tinggal dua jus
lagi...." Delisa menguap panjang.
Ah iya, kalau sudah khatam pertama kali, berarti besok
lusa pasti ada syukuran.... Delisa menyeringai senang. Ia
sedikit tersadarkan dari kantuknya. Kalau ada syukuran,
pasti ada uang receh yang dilempar.... Kan lumayan buat
beli manisan di sekolah.... Delisa sama sekali tidak
membaca alif-patah-a lagi, ia sibuk mengkhayal denang
senang.... Menguap lagi....
"Delisa!" Ummi memanggil. Delisa masih sibuk....
"Giliran kamu tuh!" Aisyah menjawil lengannya dengan
bulu ayam penunjuk tadarus. Tak sengaja bagian keras bulu
ayam menusuk lengan Delisa. Delisa meringis menahan
sakit, menyeringai marah. Siap mengadu ke siapa saja.
"Delisa!" panggilan Ummi mengekang pengaduannya.
Aisyah tertawa kecil, senang terselamatkan.
Delisa mendekati Ummi, membuka setorannya shubuh
ini. Ummi menunggu. Delisa membaca taawudz dan
bismillah pelan sambil memperbaiki kerudung birunya.
"Alif-patah-ya-mati-ai, nun tanwin depan nan....
Ainan...." Delisa memang masih pemula. Ia baru belajar
mengaj i enam bulan terakhir, sejak mulai masuk kelas satu
sekolah ibtidaiyah dekat rumah. Kalau di TPA, ustadz
Rahman mengajar pakai Iqra. Di rumah Ummi mengajar
pakai Jus'amma. Setorannya lancar. Delisa kan anak yang pandai. Tetapi
baru setengah jalan, Delisa mendadak berhenti, mengangkat
kepalanya. "Ummi, kenapa ya Delisa selalu susah bangun shubuh-shubuh"" Ia bertanya sambil menguap. Teringat masalah
tadi, juga masalahnya selama ini, susah bangun.
"Yee... kamu nyetor dulu... entar nanyanya!" Aisyah
seperti biasa memotong dari belakang. Aisyah sudah
melipat mukenanya. Juga Zahra. Selesai menghadap
Ummi, berarti selesai pula mengajinya. Hanya Fatimah
yang masih mengaji dengan langgam merdu. Delisa
menoleh Aisyah sebal. Ibu mengabaikan Aisyah.
Tersenyum. "Karena kamu sering lupa doa sebelum tidur kan""
"Nggak.... Delisa nggak pernah lupa!" Delisa menjawab
cepat. Ngotot. Ibu tersenyum lagi.
"Emangnya kamu baca doa apa"" Aisyah nye-letuk dari
belakang. "Eh... eh...." Delisa gelagapan.
"Ayo, kamu baca doa apa coba!" Aisyah menyeringai
lucu. Hidung dan bibir atasnya terangkat lebih tinggi.
"Ehh... Delisa bilang, b-i-l-a-n-g.... ya Allah, Delisa mau
bobo, dijaga ya.... B-e-g-i-t-u!" Delisa berkata pelan.
Mulutnya terbuka. Malu-malu.
Bahkan Fatimah ikut tertawa.
"Tuh kan, Ummi.... Delisa tuh paling malas disuruh
ngapal doa-doa...." Aisyah merayakan kemenangannya.
"Tapi... Tapi kata ustad Rahman doanya boleh pakai
bahasa Indonesia kok...." Delisa ngotot, melotot kepada
kakaknya. Aisyah hanya nyengir.
"Bisa kan Ummi" Bisa pakai bahasa Indonesia kan""
Delisa menoleh, mencari dukungan. Ummi hanya
tersenyum. Mengangguk. Delisa bersorak senang.
"Tetapi doanya tetap nggak seperti itu kan, Delisa...." Ibu
menambahkan. "Kamu kan dikasih tahu artinya oleh ustadz
Rahman.... Nah kamu boleh baca seperti artinya itu.... Itu
lebih pas.... Atau kalau Delisa mau lebih afdal lagi, ya pakai
bahasa Arabnya! Entar bangunnya insya Allah nggak susah
lagi.... Ada malaikat yang membangunkan Delisa."
Delisa seperti biasa mengangguk-angguk cepat. Sok-paham. Sok-mengerti. Mukanya yang lucu, terlihat
menggemaskan. Mukena bagian atasnya sudah agak lepas
ikatan belakang. Membuat rambutnya terlihat separuh.
Lebih lucu lagi memandangnya.
Ummi menunjuk juz'amma lagi. Delisa
melanjutkan setorannya sejenak. Baru dua kata lanjut,
Delisa berhenti, mendongakkan kepala lagi.
"Ummi, tadi kak Aisyah baca shalatnya nggak keras-keras.... Delisa kan jadi nggak bisa ngikutin...." Ia teringat
sesuatu. Mengadu. "Makanya kamu cepetan menghafal bacaannya.... Bikin
repot saja!" Aisyah memotong cepat, membela diri.
"Kak Aisyah cuma bisik-bisik gitu.... Gimana Delisa bisa
ngikutin!" Delisa menatap Ummi, berharap Ummi
memarahi Aisyah. Sebenarnya Delisa ingin membalas olok-olok Aisyah
tadi. "Lagian kalau Aisyah keras-keras, emang kamu dengar"
Kamu kan ngantuk sepanjang shalat tadi... Qunut aja
dia lupa, Mi! Kita-kita qunut, Delisa malah turun mau
sujud." sekarang malah Aisyah yang melapor.
Ummi hanya tersenyum tipis. Setiap shalat, Ummi yang
menjadi imam. Abi mereka bekerja jadi pelaut. Di salah
satu kapal tanker perusahaan minyak asing, Arun. Pulang
tiga bulan sekali. Delisa lagi belajar menghafal bacaan
shalat, nah sejauh ini Aisyah lah yang bertugas setiap shalat


Hafalan Shalat Delisa Karya Tere Liye di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

untuk membaca lebih keras di belakang, agar Delisa bisa
meniru. Agar Delisa belajar lebih cepat. Tetapi selama dua
minggu terakhir, Delisa lebih banyak ngadunya, kak Aisyah
bacanya kepelanan. "Delisa mau sekarang yang berdiri dekat Delisa, kak
Zahra saja! Atau kak Fatimah!" Delisa membujuk
Umminya, meminta perubahan.
"Ya sudah.... Biar Zahra atau kak Fatimah sajalah.
Aisyah juga malas baca bacaan shalat keras-keras. Nggak
khusuk!" Aisyah menyeringai senang (ia sebenarnya senang
terbebaskan dari beban itu). Delisa juga ikut senang
mendengar kalimat Aisyah barusan. Menatap Ummi agar
membuat keputusan. Ummi menggeleng. Tidak! Ummi memang sengaja
menunjuk Aisyah melakukan pekerjaan itu, agar Aisyah
lebih bertanggung-jawab atas adiknya.
Menggeleng tegas sekali lagi.
Demi melihat gelengan itu Aisyah dan Delisa mengeluh
bersama. Lagi-lagi Ummi menolak. Fatimah tertawa. Zahra
hanya memandang datar, ah, selalu begini, kan" Mereka
berdua saja yang nggak pernah cocok. Satu nggak pernah
merasa suara itu cukup keras, satu lagi nggak pernah
merasa suara itu cukup kedengaran.
Delisa melanjutkan setoran Jus'amma-nya dengan suara
mengkal. Lebih lamban dari sebelumnya.
Sejenak. Lagi-lagi mengangkat kepalanya.
"Satu lagi Ummi.... Kenapa kalau Delisa sudah baca doa
sebelum tidur, Delisa tetap saja ngantuk pas udah
bangunnya... Kata Ummi tadi Delisa pasti bisa bangun
lebih cepat dan nggak ngantuk lagi, kan"" Delisa
memikirkan fakta lainnya. Bertanya sambil menguap lebar.
"Kayak sekarang kan"" Aisyah yang sekarang duduk
membaca buku cerita nyeletuk jahil dari ujung ruang
keluarga. Tetapi tak ada yang memperhatikan Aisyah.
Fatimah sibuk menjelaskan sesuatu ke Zahra. Pelajaran
sekolah. Ummi tersenyum memandang Delisa, "Itu karena kamu
nggak baca doa bangun tidur kan"" Delisa nyengir.
Ah, sudahlah. Ummi nggak percaya deh kalau Delisa
bilang sudah baca. Delisa sungguh baca, kok.... Tapi ya
doanya dalam bahasa Indonesia, teks-nya juga sesuai
dengan versi Delisa sendiri... ya Allah, Delisa sudah
bangun, makasih ya! Hari ini seperti yang dibilang sebelumnya adalah hari
Ahad. Jadi Delisa tidak sekolah. Juga kakak-kakaknya.
Keluarga Abi Usman memang bahagia. Apalagi yang
kurang" Empat anak yang salehah. Kehidupan yang
berkecukupan. Baik bertetangga dan bersahaja. Apa
adanya. Mereka tinggal di komplek perumahan sederhana.
Dekat sekali dengan pantai. Lhok Nga memang tepat di
tubir pantai. Pantai yang indah. Rumah mereka paling
berjarak empat ratus meter dari pantai. Komplek itu seperti
perumahan di seluruh kota Lhok Nga, religius dan
bersahabat. Ummi sehari-hari bekerja menjahit, membordir dan
apalah pakaian pesanan tetangga. Abi seperti yang dibilang
sebelumnya bekerja di tanker perusahaan minyak. Setiap
tiga bulan baru kembali merapat di pelabuhan Arun.
Kemudian pulang ke Lhok Nga selama dua minggu,
sebelum balik lagi berlayar mengelilingi lautan. Terus saja
begitu sepanjang tahun, kecuali pas ramadhan dan lebaran.
Abi cuti panjang, satu bulan.
Fatimah tipikal anak sulung yang bisa diandalkan.
Umurnya 16 tahun. Meski masih kelas satu madrasah
aliyah, Fatimah bisa menggantikan peran Ummi dengan
baik, juga partner Ummi kalau Abi tidak ada di rumah
seperti sekarang, ikut menjaga adik-adiknya.
Cut Aisyah dan Cut Zahra meski kembar benar-benar
bertabiat bagai bumi-langit. Yang satu jahilnya minta
ampun, ya ng satu kalem bin pen-diamnya minta ampun.
Tetapi mereka anak-anak yang baik dan penurut. Anak-anak yang cerdas.
Delisa si bungsu, berwajah paling menggemaskan. Ia
sungguh tidak terlihat seperti anak Lhok Nga lainnya. Beda
sekali dengan kakak-kakaknya. Rambut Delisa ikal
berwarna. Kulitnya putih-kemerah-merahan bersih.
Matanya hijau. Delisa lebih terlihat seperti anak-keturunan.
Meskipun itu tidak aneh, Ummi Delisa memang keturunan
Turki-Spanyol (meskipun itu jauh ke kakek-kakeknya
Delisa). Mungkin salah satu gen itu setelah terpendam
begitu lama akhirnya menurun ke Delisa.
Delisa juga punya hobi beda dengan anak-anak gadis
kecil di komplek perumahan mereka. Ia setiap sore lebih
suka main bola bersama teman-teman lelakinya
dibandingkan dengan kakak-kakak dan teman-teman
ceweknya. Mendingan main bola kan, daripada dijahilin
mulu kak Aisyah ini. Delisa memang beda. Jadi terlihat amat lucu saat
memandang ia berada di tengah-tengah mereka. Berlari-lari
mengejar bola. Meskipun demikian, Delisa tetap tidak beda
dengan kebanyakan gadis kecil perempuan lainnya untuk
urusan tampang. Amat menggemaskan. Sungguh imut
wajahnya. Apalagi kalau ia sedang nyengir.
Satu lagi bedanya dengan anak-anak lain, Delisa anak
yang banyak bertanya. Meskipun sering bandel, Delisa
memiliki pola pikir yang beda dengan anak-anak seumuran.
Membuat orang dewasa di sekitarnya terkadang mendesah,
"Kok bisa""
Delisa suka mengamati dan meniru-niru orang dewasa.
Mengingat detail dengan baik. Dan pandai sekali
menghubung-hubungkan sesuatu, entah itu berbagai
kejadian, atau hanya kalimat-kalimat orang yang
didengarnya. Cara berpikir Delisa amat lateral. Ia berpikir
dengan cara yang berbeda.
"In-na sha-la-ti, wa-nu-su-ki, wa-ma.... wa-ma.... wa-ma...." Delisa kesulitan melanjutkan hafalan bacaan
shalatnya. Matanya terpejam. Tangannya menjawil-jawil
rambut keritingnya. "Wa-ma.... Waaa-, waaa, wa-ma...."
"Waaaa ma-cet nih ye!" Aisyah yang sedang bermain
gundu dengan Zahra tertawa kecil. Menyahut begitu saja.
"Kak Fatimah! Kak Aisyah gangguin lagi tuh!" Delisa
berteriak kencang. Fatimah melempar Aisyah dengan dua biji jambu hijau.
Mereka berempat sedang duduk di bawah pohon jambu
yang sedang berbuah di sebelah rumah, masih kecil-kecil
sih. Hijau lucu-lucu, banyak yang berjatuhan, mungkin
bekas kelelawar semalam. Aisyah dan Zahra asyik bermain
gundu di atas balai-balai bambu. Fatimah duduk di samping
mereka, membaca buku "Taman orang-orang jatuh cinta
dan memendam rindu!" Delisa sih nggak tahu itu buku
apaan. Delisa lagi sibuk duduk di ayunan pohon jambu yang
dibuatkan Abi dua bulan lalu pas pulang. Berayun-ayun
pelan, sambil menghafal doa iftitah. Delisa memang lagi
berjuang menghafal bacaan shalat minggu-minggu ini.
Setiap kesempatan yang ada, ia pasti menenteng-nenteng
buku hafalan bacaan shalatnya. Meski terkadang buku itu
hanya sekadar dibawa-bawa saja. Tidak dibaca. Setidaknya
ia kelihatan sibuk menghafal, dan Ummi tidak banyak
menengurnya. "Kok kak Fatimah marah sih" Kan benar tuh! Waaa ma-cet...." Aisyah nyengir sebal. Membela diri. Tidak sensitif.
Fatimah melotot. Melempar lagi dua biji buah jambu
(Aisyah tertawa menghindar). Buji jambu itu mengenai
Zahra. Fatimah menyeringai, meneruskan bacaannya.
Delisa yang senang dibela kembali ke hafalannya.
"In-na sha-la-ti, wa-nu-su-ki, wa-ma.... wa-ma.... wa-ma ma-ti.... Wa-ma yah-ya..."
"Yee... salah. Kebalik tuh!" Aisyah nyengir,
mendapatkan bahan baru menggoda adiknya. Bacaan doa
iftitah Delisa tertukar urutannya.
Zahra menepuk lengan Aisyah. "Giliran Aisyah
sekarang!" Aisyah buru-buru melanjutkan permainan.
Delisa juga buru-buru melihat buku bacaan shalat di
tangannya. Eh iya, kebalik. Delisa nyengir menggemaskan.
"Kan nggak mungkin mati dulu, baru yahya.... Makanya
Delisa kalau menghafal ingat artinya! Jangan cuma dihafal"
Aisyah sok-dewasa, sok-paham menasehati.
Bagaimana pula adiknya akan tahu teknik menghafal
seperti itu" Mati berarti mati, yahya berarti hidup. Delisa
mana tahu artinya. Delisa baca arab-nya saja ribet minta
ampun, belum bisa, baru belajar.
Tetapi Delisa diam saja di olok seperti itu. Delisa justeru
sedang berpikir sendiri. Memikirkan olok-olok kak Aisyah
barusan. Ya... di mana-mana mati pasti terakhir kan"Jadi dia
setelah wama-yahya.... Baru wama-mati. Menutup lagi
buku hafalan shalatnya. "In-na sha-la-ti, wa-nu-su-ki, wa-ma.... wa-ma.... wa-ma ma-yah-ya.... Wa-ma ma-ti..."
Lancar! Delisa nyengir senang.
"Makasih ya kak!" Deli sa berseru kepada Cut Aisyah.
Giliran Aisyah yang bingung! Terima kasih apanya"
Ummi keluar dari dalam rumah. Mengenakan kerudung
warna ungu. Bersiap hendak pergi ke pasar. Pagi Ahad,
jadwal belanja mingguan Ummi seperti biasa.
"Ih, Ummi kenapa pakai warna itu"" Fatimah yang apa
mau dikata meskipun bacaannya kelas berat tetaplah remaja
serba tanggung, segera berkomentar saat melihat warna
kerudung yang dipakai Ummi. Keberatan.
"Nggak pa-pa kan" Kerudung Ummi yang lain lagi kotor!
Yang tersisa tinggal ini...." Ummi memegang ujung
kerudung ungunya. Mematut penampilan sambil menatap
tak mengerti Fatimah. "Ummi bisa pinjam punya Fatimah, kan! Warna apa
saja. Asal jangan warna yang ini. Sebentar ya, Fatimah
ambilin...." Fatimah buru-buru berdiri. Meletakkan
bukunya di atas balai bambu. Lari masuk ke dalam rumah
tanpa ba-bi-bu. Ummi menatapnya bingung. Aisyah dan Zahra tak
peduli sibuk bertengkar tentang biji gundu yang entah bisa
menghilang kemana. "La-sya-ri-ka-la-hu...." Delisa terus sibuk menghafal.
Fatimah keluar membawa kerudung berwarna putih.
"Emangnya kenapa, kalau Ummi pakai kerudung warna
ungu"" Ummi bertanya penasaran pada Fatimah sambil
menerima kerudung dari tangan sulungnya.
"Yeee, Ummi masak nggak tahu. Ungu itu warna
janda! Pertanda buruk!" Fatimah menjelaskan serius sekali.
Warna janda" Bahkan Delisa yang sedang menghafal
ikut tertawa. Apalagi Aisyah, langsung tertawa lebar. Ia
juga baru tahu. Ungu warna apa" Warna Janda" Ah, terus
kenapa" Ummi nyengir. Berpikiran sama dengan Aisyah,
memangnya kenapa kalau warna janda" Tetapi menatap
gurat wajah Fatimah yang amat serius Ummi mengalah. Ya
sudahlah! Fatimah belakangan memang suka
mengomentari penampilan orang lain. Ummi saja sudah
tiga kali terpaksa berganti kostum selama sebulan ini pas
hendak ke pasar. Namanya juga ABG.
"Pemerhati pesyen!" Itu kata Aisyah sok-gaul sok-paham
pakai bahasa Inggris beberapa minggu lalu, sirik ngomel
kepada kak Fatimah yang hobi berkomentar tentang
pakaian teman-teman Aisyah yang bertamu ke rumah.
Ummi keluar lagi dari bingkai pintu, sudah berganti
kerudung. Fatimah tersenyum senang. Mengacungkan
jempol tangan. Kembali ke bacaannya.
"Delisa, kamu kok belum pakai kerudung"" Ummi
menegur Delisa, melangkah mendekat.
"Wa-bi-ja-li-ka.... U., u... Um-mi" Delisa menoleh
bingung ke arah Ummi. Ia menghentikan gerakan ayunan.
"Kamu kan ikut Ummi ke pasar sekarang!"
"Eh.... Nggak ah, Delisa menghafal saja hari ini!" Delisa
menggeleng buru-buru. "Kamu harus ikut, sayang.... Ummi mau beli itu- i-t-u
tuh!" Ummi membuat bundaran dari jemari telunjuk dan
jempol dua tangannya. Lingkaran kalung! Delisa menatap tak mengerti dua
kejap. Tetapi segera berteriak beberapa detik berikutnya.
Meloncat dari ayunan.... "UMMI MAU BELI KALUNG"" Delisa berseru senang.
"Kalung buat Delisa"" Delisa sudah mencengkeram baju
Ummi. Wajahnya yang lucu sungguh menggemaskan.
Rambut ikalnya yang pirang bergerak-gerak. Mata hijaunya
menyala. Ummi mengangguk. "Hore! ....Sebentar!" Delisa sudah melesat lari ke dalam
rumah. Meletakkan buku hafalan bacaan shalatnya
sembarangan. Menyambar kerudung kecil di atas meja.
Sambil lari, sambil jalan, Delisa mengenakan kerudung
itu apa-adanya. Belepotan. Ummi melangkah mendekat,
membantu membenahi kerudung biru bungsunya.
"Yeee, belum tentu juga Delisa hafal ini bacaan
shalatnya!" Aisyah nyengir menggoda sambil menjalankan
gundunya. "Delisa pasti hafal!" Delisa berseru cuek. Tidak
mempedulikan Aisyah yang menyeringai ke arahnya.
"Delisa boleh pilih hadiah kalungnya sendiri kan" Seperti
punya kak Fatimah, punya kak Zahra, atau seperti punya
kak Aisyah kan!" Ummi mengangguk. Sekarang malah Delisa yang
menyeret tangan Umminya keluar pekarangan rumah.
Semangat! Mereka akan ke pasar Lhok Nga. Membeli kalung
hadiah hafalan bacaan shalat Delisa (di samping belanjaan
rutin mingguan Ummi lainnya). Kalung yang dijanjikan
Ummi sebulan lalu. Kalung yang membuatnya semangat
belajar menghafal bacaan shalat minggu-minggu terakhir.
Kalung yang akan membawanya ke semua lingkaran
mengharukan cerita ini. 2. Kalung separuh harga "Haiya, kalau begitu kalungnya separuh harga saja
Ummi Salamah!" Koh Acan tersenyum riang.


Hafalan Shalat Delisa Karya Tere Liye di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pasar Lhok Nga ramai sekali. Sepanjang jalan tadi,
Delisa kencang memegang baju Ummi. Ia jelas tidak mau
kehilangan jejak kaki Ummi. Itulah yang tadi menjelaskan
kenapa Delisa pertama kali buru-buru menyeringai malas
saat diajak Ummi ke pasar.
Ia pernah tertinggal dari Ummi. Dan sepanjang pagi itu
Delisa berteriak-teriak mencari Ummi di seluruh pasar.
Panik. Takut. Delisa benar-benar takut dengan kata-kata
sendirian. Beruntung ada yang mengenali Delisa. Berbaik
hati mengantarnya pulang. Ummi juga waktu itu panik
sekali. Sempat-sempatnya lapor ke pos polisi pasar. Dicari
kemana-mana, eh tahunya yang di cari sudah makan siang
di rumah. Aisyah menggodanya sepanjang minggu.
Buronan polisi! "Ah, nggak usah. Biar saya bayar penuh Koh Acan!"
Ummi menggeleng pelan. Tersenyum menolak.
"Tidaklah.... Kalau untuk hadiah hafalan shalat ini,
Ummi Salamah bayar separuh saja, haiya!"
Delisa nyengir, menarik-narik baju Ummi, menatap tak
mengerti 'Ummi napa sih, mau dikasih setengah harga gak
mau, kan sayang.' Tetapi Ummi tidak memperhatikannya.
"Buat kamu kan.... Ah iya nama kamu Delisa kan" Anak
yang manis, " Koh Acan mengusap-usap kerudung Delisa.
Delisa tersenyum lucu. Se
moga begitu malah gratis.
Mereka memang selalu ke sini kalau membeli perhiasan.
Sedikit di antara toko emas yang ada di Lhok Nga. Tadi
Ummi benar-benar membiarkan Delisa memilih sendiri
kalungnya. Sekarang tinggal membayar. Dan sepertinya
Koh Acan yang dari ujung rambut hingga ujung kaki China
tulen, berbaik hati untuk kesekian kalinya.
"Janganlah Koh. Saya jadi tidak enak hati.... Dulu waktu
Fatimah beli Koh Acan juga hanya mau dibayar separuh,
waktu Zahra dan Aisyah beli juga.... Kali ini biarlah Delisa
bayar penuh...." Ummi mengeluarkan dompet dari tas.
Mengambil uang seharga kalung tersebut.
"Nggak... Haiya, saya nggak mungkinlah pasang harga
mahal kalau buat hadiah hafalan shalat! Nggak
mungkinlah...." Koh Acan memperbaiki dupa di atas meja
pajangnya, tersenyum meyakinkan. Koh Acan 100%
Konghucu. "Kata Abi Usman dulu, shalat itu kan untuk amm-mar
mak-rup na-khi mhung-khar-" Koh Acan kesulitan mengeja
ujung kalimatnya. "Saya senang sekali anak-anak kecil belajar shalat.... Itu
berarti Lhok Nga akan jadi lebih baik kan.... Apalagi anak-anak Abi Usman dan Ummi Salamah sudah seperti anak
saya sendiri ini...." Koh Acan menggeleng tegas menatap
uang itu. Ummi memaksa menyerahkan uang penuh. Koh Acan
sebaliknya memaksa mengembalikan separuh-nya. Dan
Delisa dengan sukarela, dengan tampang menggemaskan
ringan-tangan menerima separuh uang itu dari tangan Koh
Acan. Ummi menyeringai. Mendelik ke arah Delisa. Ingin
menyuruh Delisa mengembalikannya. Tetapi Delisa,
lihatlah, justeru menggenggam uang itu erat-erat. Ya
sudahlah! Seharusnya ia tadi pergi ke toko lain saja kalau
tahu begini.... Masalahnya mau ke toko mana lagi"
Suaminya kan selalu menyuruh dia belanja di sini. Koh
Acan sudah seperti kakak-adik dengan suaminya.
"Daaa Koh Acan! Khamsia...." Delisa menyeringai. Koh
Acan balas melambai tertawa lebar. Khamsia!
Mereka melanjutkan belanja lainnya.
"Kamu belajar darimana kata khamsia tadi"" Ummi
bertanya pelan kepada Delisa.
"Dari orang yang barusan belanja sebelum kita.... Orang
itu bilang begitu! Koh Acan juga bilang begitu. Delisa ikut-ikut saja, memang artinya apa-an, Mi"" Delisa menjawab
sekaligus balik bertanya.
Ummi hanya menggeleng kecil, mengatakan artinya.
Delisa mengangguk-angguk sok-paham. Ah, besok ia juga
akan bilang begitu ke siapa saja kalau mau bilang terima
kasih. Kata-katanya lebih enak didengar.
Mereka diam selama sepuluh langkah berikutnya.
"Ummi.... Ummi, biar Delisa yang pegang kalungnya!"
Delisa menarik-narik baju Ummi.
"Biar Ummi saja!" Ummi menoleh menggeleng. Tetap
melangkah menuju toko kelontong tempat Ummi biasa
belanja. "Ah, kalau begitu Ummi nggak percaya ama Delisa!"
Delisa menyeringai. Kalimat itu, sebulan terakhir
pamungkas sekali untuk membujuk Ummi.
"Bukan, sayang.... Kan kita sudah janji, kamu nggak
akan pegang kalungnya sebelum kamu hafal seluruh bacaan
shalat! Sebelum lulus dari ujian Bu Guru Nur." Ummi
berkata tegas. "Yeee, Delisa kan cuma mau bantu bawain ini.... Kan
Ummi repot bawa barang belanjaan!" Delisa membujuk.
Kecewa, bujukan pertamanya tidak mempan.
Ummi tertawa kecil. Jelas-jelas tangannya tidak
memegang apa-apa, selain tas kecil. Mereka kan belum
belanja apa-apa. "Biar Ummi yang bawa.... Lagian Ummi kan belum
bawa kantong plastik apapun, Delisa. Belum perlu dibantu."
"Yaaa, maksud Delisa entar pasti Ummi bawa banyak
barang belanjaan kan, jadi dari sekarang Delisa bantu bawa
kalungnya!" Delisa tak mau kalah. Maksa mencari
penjelasan lainnya. Menarik-narik baju Ummi. Ia jelas-jelas
bukan ingin membawa kalung tersebut, melainkan ingin
memakainya. Ummi hanya menggeleng. Meneruskan langkah kakinya.
Benar-benar diluar dugaan cara berpikir bungsunya. Nanti"
Delisa buru-buru ngintil lagi, dengan tampang separuh-kecewa, separuh-takut ketinggalan.
Ah, Delisa kan hanya ingin merasakan memakai kalung
tersebut sekarang. Besok-lusa juga pasti jadi miliknya ini"
Kecemburuan itu bagai api yang membakar semak
kering. Cepat sekali menyala. Melalap apa saja di
sekitarnya. Dan itulah yang terjadi sesiang, sesore, dan
semalaman saat Delisa dan Ummi sudah pulang dari pasar
Lhok Nga. Kecemburu an di dalam rumah itu. Delisa dengan bangga memamerkan kalung itu (setelah
membujuk Ummi habis-habisan agar ia bisa
memperlihatkan kalung tersebut kepada kakak-kakaknya).
Kalung itu biasa saja sebenarnya. Kalung emas 2 gram.
Sama seperti milik Fatimah, Zahra, juga Aisyah. Yang
membuatnya berbeda, karena kalung itu diberikan
gantungan huruf. Huruf D.
"D untuk Delisa!" Delisa riang berseru (menirukan Koh
Acan tadi pagi). Aisyah menatap sirik. Ia benar-benar cemburu. Kalung
milik Delisa jelas-jelas lebih bagus dibandingkan miliknya.
Kan nggak ada huruf A. A untuk Aisyah.
Aisyah diam saja sepanjang sisa sore. Ia hanya datar
melihat Fatimah, Zahra dan Delisa bermain bulu tangkis di
halaman rumput sebelah rumah. Harusnya permainan itu
berempat. Ganda. Fatimah berpasangan dengan Delisa
lawan Zahra dan Aisyah. Biar seimbang.
"Kakiku sakit!" Itu kata Aisyah pendek menolak ajakan
bermain. Lantas duduk di ayunan. Benci melihat Delisa
yang tertawa-tawa mengejar kok kesana-kemari. Bahkan
Aisyah tidak bergerak sedikitpun saat kok terjatuh dekat
kakinya. Ia kan bisa bantu lempar balik ke lapangan" Cuma
menggapai sedikit, kok bulu tangkis itu sudah bisa terambil
tangannya. Fatimah menghela nafas melangkah mendekat
mengambil kok tersebut. Menyeringai sebal ke arah Aisyah.
"Kaki Aisyah segitu sakitnya ya" Sampai-sampai
ngambilin kok saja nggak bisa""
Aisyah hanya menggerakkan hidung dan bibirnya.
Menyeringai tak peduli. Fatimah malah tertawa
melihatnya, urung melanjutkan omelan. Itu selalu lucu
dilihat. Permainan terus berlanjut hingga menjelang
maghrib. Malamnya Aisyah yang duduk bersama Zahra juga
berdiam diri saat mengerjakan PR buat besok. Tidak
sedikitpun mengganggu Delisa yang terbata-bata terus
menghafal bacaan shalat di ruang belajar.
"Su-bha-nal-lah rab-bi-yal a'-la wa-... wa-... wa....
bihamdih!" "Aduh itu kan bacaan buat sujud, Delisa!" Fatimah yang
juga sedang belajar bersama-sama menoleh. Tadi Delisa
bukankah baru saja membaca surat pendek, kemudian
takbir hendak ruku1.... Jadi harusnya ia kemudian baca
bacaan ruku1 kan. Bukan bacaan sujud.
"Eh, emang Delisa lompat langsung hafal bacaan sujud
kok! Entar-entar bacaan ruku'nya...." Delisa nyengir.
Padahal sungguh ia suka sekali ketukar-tukar menghafal
bacaan shalat tersebut.... Doa iftitah tadi saja ketukar-ketukar. Apalagi ini. Bedanya cuma a'la dan
azdhimi. Delisa suka bingung mana bacaan ruku1,
mana bacaam sujud. Fatimah menyeringai. Adiknya selalu saja bisa
menjawab pertanyaan orang. Meneruskan membaca
entahlah (bacaan kak Fatimah sekarang aneh-aneh, baca
buku-buku tebal, judulnya panjang-panjang, juga terkadang
baca komik" Kalau Abi tahu kak Fatimah baca komik bisa
diomelin kan") Delisa mengulang lagi menghafal dari bacaan surat
pendek. Takbir. Kemudian bacaan ruku1 lagi.
"Su-bha-nal-lah rab-bi-yal a... a... a____a'-la wa-bi-ham-dih!" Aduh ketukar lagi kan"
Delisa nyengir. Fatimah menatapnya sambil tersenyum
tipis. Malas menegur lagi. Jawabannya juga pasti ngeles.
Delisa menoleh ke arah Aisyah. Maksudnya teramat
jelas.... Kalau tadi pagi kak Aisyah bisa kasih "tips" bagus
biar do'a iftitah-nya nggak ketukar-tukar, sekarang pasti bisa
kasih tips yang keren biar bacaan sujud dan ruku1 tak
ketukar-tukar. Sayang yang ditoleh, sibuk belajar. Hening tak
mempedulikan kegiatan Delisa. Lebih hening dari pada
Zahra yang memang pendiam. Hanya goretan pulpennya
yang terdengar. Benar-benar diluar kebiasaan Aisyah yang
selama ini seperti minum obat menjahili Delisa. Bukan tiga
kali sehari, tetapi tiga kali setiap tiga puluh menit iseng.
Ummi sedang menjahit di luar. Suara mesin jahit juga
terdengar hingga ke dalam ruang belajar.
Delisa menarik nafas. Menggaruk-garuk rambut
pirangnya. Ia teringat hadiah kalung itu..... Indah sekali
kan! Delisa tersenyum senang. Ia harus hafal bacaan shalat
ini segera biar dapat kalung itu. HARUS!
Delisa malah sibuk membayangkan ia mengenakan
kalung itu sekarang. Manyun senyum-senyum sendiri.
Saking senangnya mengkhayal, Delisa lantas beranjak dari
kursi. Berlari-lari kecil menuju Ummi. Kakak-kakaknya
tidak memperhatikan. Sibuk dengan kegiatan masing-ma
sing. "Ummi, Delisa bisa lihat kalungnya sekali lagi"" Delisa
membujuk Ummi yang sibuk memotong kain.
Ummi menoleh. Menatap sebentar. Menggeleng tegas.
"Ah.... Delisa lihat bentar saja, kok...." Ummi
menggeleng lagi. "Bener... sebentar saja!" Delisa mengacungkan dua
jarinya. Suer! Entah ia melihat dari mana gaya seperti itu.
Ummi tersenyum. Menggeleng sambil mengusap rambut
ikal Delisa yang pirang. Delisa mendesah kecewa. Ia kan
hanya pengin lihat sebentar saja, biar belajar menghafalnya
semangat. Ummi kalau sudah menggeleng susah dibujuk.
Dan ternyata kalung itu sakti sekali.
Esok shubuhnya Delisa bangun tepat muadzin di
meunasah baru membaca "Allaahu-akbar!" pertama
kali. Delisa menggosok matanya. Teringat kalungnya. Buru-buru turun dari atas ranjang. Menuju ke kamar mandi.
Yang justeru tidak bergeming sekarang adalah siapa lagi
kalau bukan Aisyah. Cemburu itu membakar apa saja.
Termasuk rekor bangun tidurnya.
"Aisyah bangun!" Fatimah pelan membangunkan.
Tidur semalaman justeru membuat hati Aisyah terbakar
lebih luas, lebih dalam. Ia mengibaskan tangan Fatimah.
Hatinya pagi ini teramat dongkol. Ia sebenarnya sudah dari
tadi bangun. Hanya saja malas sekali melihat Delisa ada di
dekatnya. Melihat Delisa turun dari ranjang dengan riang.
Mereka bertiga sekamar. Kak Fatimah punya kamar
sendiri. Delisa kembali dari kamar mandi.
"Kak Aisyah bangun!" Delisa iseng memercikkan
tangannya ke muka Aisyah. Aisyah menutup kepalanya
dengan bantal. Mengkal sekali.
"Bangun Ais.... Nanti kak Fatimah gelitikin Ion!"
Fatimah mengeluarkan senjata pamungkasnya. Delisa
berseru senang. Asyik, balas dendam. Meloncat ke atas
tempat tidur. Menyiapkan jari-jarinya (juga belum dipotong
kukunya). Tetapi sebelum kak
Fatimah menghitung, Aisyah sudah melempar bantal
duluan. Beranjak duduk. Bersungut-sungut menatap kak Fatimah. Apalagi saat
menatap Delisa. Mukanya mengkal sekali. Aisyah dongkol
patah-patah turun dari tempat tidur.
Ibu masuk dari bingkai pintu, sudah mengenakan
mukena putih.... "Eh kenapa pada belum siap-siap""
"Kak Aisyah bangunnya susah...." Delisa melapor sambil
nyengir, 100% meniru intonasi Aisyah kemarin shubuh saat
melaporkannya. Aisyah tambah mengomel dalam hati
mendengar suara Delisa, berjalan tersuruk-suruk menuju
kamar mandi. Sial! Di dalam ada Zahra.
Mereka tidak mengaji seperti biasa pagi ini.
Senin pagi. Itu berarti jadwal Abi menelpon setiap
minggu. Mereka duduk di ruang keluarga menunggu
telepon. "Ummi, tadi kak Aisyah malah sama sekali nggak
bersuara pas shalat... Delisa kan jadi nggak baca apa-apa!"
Delisa yang duduk dekat Ummi melapor.
Aisyah yang sedang menunduk, menjawil-jawil ujung


Hafalan Shalat Delisa Karya Tere Liye di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kerudungnya diam saja. Tidak mempedulikan pengaduan
Delisa. Tabi atnya aneh sekali, biasanya ia langsung
membantah apa saja kalimat Delisa. Ummi menoleh ke
arah Aisyah, meminta penjelasan. Aisyah tetap tak
bergeming. "Kamu kenapa, sayang"" Ummi bertanya kepada
Aisyah. Urung bertanya soal pengaduan Delisa. Aisyah
diam saja. "Kamu sakit"" Ummi mendekat. Duduk sambil
memegang dahi Aisyah. Menggeleng, dahi itu tidak panas.
"Panas ya, Mi"" Delisa mendekat. Tangannya ikutan
hendak menyentuh dahi Aisyah. Sok-baik sok-perhatian
seperti biasa. Senyum-senyum.
Ya Allah, Aisyah reflek mengibaskan tangan adiknya.
Delisa mengaduh. Lumayan sakit. Fatimah yang sedang
membaca buku tebal lainnya menoleh. Zahra juga menoleh.
Suasana di ruang keluarga segera berubah. Menegang.
Ummi menatap Aisyah penuh tanda tanya. Sedikit marah.
"Kenapa tangan Delisa kamu kibaskan""
Aisyah diam seribu bahasa. Ia semakin mengkal. Kan
sudah jelas! Ia nggak suka Delisa dapat kalung lebih bagus!
Ah, beginilah tipikal pencemburu. Merasa
permasalahannya sudah tersampaikan kepada orang lain
dengan merajuk tak jelas maksudnya. Jelas-jelas tidak ada
yang tahu kalau Aisyah sedang marah karena urusan
kalung itu. Aisyah kan belum bikin spanduk, baliho atau
karton demonstrasi. Aisyah belum memproklamirkan
kemarahan tersebut. Tetapi Aisyah merasa ia sudah
menjelaskan masalah dari mukanya yang sekarang mulai
memerah. Delisa mengurut-urut tangannya menjauh, duduk dekat
Fatimah sambil mengomel "Kak Aisyah jahat! Delisa kan
cuma pengin tahu panas atau nggak! Malah dipukul-"
Aisyah justeru menatapnya garang.
Ummi mengambil alih permasalahan.
"Ada apa Aisyah" Apa salah adikmu"" Suara Ummi
tegas. Menyelidik. Aisyah diam, mukanya semakin merah.
Ia hendak berteriak marah, bagaimana Ummi tidak tahu,
jelas-jelas ia tidak suka Delisa dapat kalung lebih bagus!
Telepon berdering. Perhatian terpecah. Ummi bangkit dari duduknya. Sudah
jadi prosedur normal. Ummi yang pertama kali mengangkat
telepon dari Abi. Nanti baru mereka yang bergiliran
berbicara langsung dengan Abi.
"Assalammualaikum...."
Ummi sumringah sekali. Seperti biasa kalau berbicara
lewat telepon dengan Abi, Ummi bertingkah seolah-olah
Abi ada di depannya saja. Pernah Delisa bertanya "Ummi
kenapa sih senyum-senyum kayak gitu, kan Abi nggak lihat
kalau Ummi senyum...." Ummi hanya menjawab lembut
"Tapi Abi kan bisa merasakan kalau Ummi sedang
tersenyum.... Ah, Delisa nanti kalau kamu sudah besar
kamu bakal tahu, istri yang baik selalu bersikap sungguh-sungguh melayani suaminya...."
Delisa manyun. Akan butuh waktu lama sekali ia akan
mengerti kalimat Ummi itu. Lah sekarang saja umurnya
baru enam tahun. Ummi entah membicarakan apa. Sepertinya banyak.
Mereka menyimak suara Ummi dengan baik, meski kadang
tak terlalu mengingat dan mengerti. Kadang Ummi terlihat
tersipu. Del isa memandang kakaknya Fatimah. Kak
Fatimah mengangkat bahu, nyengir. Dengarkan saja!
Sepuluh menit kemudian, Ummi menyerahkan telepon
ke Delisa. "Assalammualaikum, Delisa....
"Waalaikumussalam, Abi kemarin Delisa ke pasar-beli-kalung-untuk Delisa-buat hafalan shalat-kalungnya
bagus-ada huruf D-D untuk Delisa-ah iya Koh Acan baik
sekali-ah iya minggu depan-Delisa harus maju-praktek-shalat-depan Bu Guru Nur-Abi bantu doa ya-"
Bagai mitraliur Delisa menyampaikan berita (Delisa
buru-buru karena ingat kata-kata di teve itu, kalau pakai
listrik hemat-hemat. Gerakan hemat nasional. Jadi nelpon
juga harus hemat-hemat, ia mesti cepat-cepat
menyampaikan kabar). Abi tertawa di seberang. "Delisa ceritanya pelan-pelan!"
"Nggak-Delisa-mesti-buru-buru."
"Ah iya, nanti Abi juga kasih hadiah buat Delisa.
Sepeda!" Abi berkata lembut.
"Sepeda"... Beneran, ya! Abi janji, kan!" Mendengar
berita itu, Delisa tidak usah disuruh dua kali, kembali bicara
normal seperti biasa. Berteriak senang.
"Ya, nanti kita beli di pasar! Pas Abi pulang!" "Asyik....!
Delisa mau yang warna biru!" "Delisa boleh milih sendiri,
kok!" Delisa berjingkrakan. Kerudung birunya tersingkap.
Aisyah menatap semakin terluka dari atas kursi.
Giliran Fatimah berikutnya. Lima menit. Aduh, kak
Fatimah ngomong apa sih" Bahas buku-buku itu, bikin
pusing! Ngomong apa gitu! Kan sayang pulsa kebuang
cuma buat nanya yang aneh-aneh.
Lima menit kemudian giliran kak Zahra. Nggak lama,
cuma dua menit. Zahra kan pendiam, jadi lebih banyak
mendengar nasehat Abi. Lebih banyak diamnya.
Mengangguk-angguk. Giliran Aisyah. Va Allah, Aisyah mentah-mentah
menolak bicara. "Aisyah, ayo.... Abi nunggu nih!" Ummi
menatap tajam. Aisyah tetap tak bergeming.
"Aisyah-nya merajuk, Bi!" Ummi menjelaskan. Bicara
lagi beberapa menit. Memutus hubungan.
Dan sekarang Aisyah benar-benar mendapatkan
perhatian 100% dari Ummi.
Ummi mendekat. Duduk di samping Aisyah.
"Kenapa, Ais" Kamu kenapa menolak bicara pada Abi""
Ummi bertanya tajam. Urusannya jauh lebih serius
dibandingkan dengan memukul tangan adiknya tadi.
Aisyah melotot menatap lantai.
"Ada apa"" Ummi memegang bahu Aisyah. Meminta
penjelasan! Pegangan itu mengeras.
Aisyah yang sedari tadi menahan marah, pecah sudah,
bukan! bukan menjadi marah benaran. Tetapi menangis.
Marah dan menangis itu satu jenis. Kalian akan menangis
jika saking marahnya. Menangis itu juga satu jenis dengan
senang. Kalian akan menangis jika saking senangnya. Dan
tentu saja menangis itu benar-benar satu jenis dengan sedih.
Kalian akan menangis kalau sedih.
Aisyah menangis terisak. Lah!
Ummi menghela nafas. Fatimah memandang bingung.
Zahra menyeringai, Ah seperti biasa, pasti merajuk nggak
jelas lagi! meskipun Zahra tidak tahu Aisyah merajuk
karena a paan. Delisa mendekat, juga bingung. Tetapi
sungguh hati Delisa bagai mutiara, seperti terlahir seperti
itu. Delisa memegang tangan kakaknya dengan lembut.
"Kak Aisyah kenapa menangis"" mata hijau Delisa
menatap wajah kakaknya yang berderai air. Menggemaskan
sekali melihat ekspresi muka Delisa. Polos bertanya.
Aisyah yang menangis tidak mengibaskan tangan itu.
Tidak juga menoleh ke arah Delisa. Hatinya kebas, jadi ia
tidak memikirkan hal lain kecuali kecemburuannya. Tidak
mendengarkan pertanyaan adiknya yang sok-perhatian.
"Ada apa, sayang-" Ummi mengelus rambut Aisyah.
"Bukankah.... Bukankah Ummi sudah tahu!" Aisyah
terbata memotong. "Tahu apanya, Aisyah kan belum bicara...."
"Kenapa... kenapa Delisa...." Suara Aisyah patah-patah,
menunjuk Delisa di sampingnya. Mencoba menahan sedan.
"Kenapa apa"" Lembut Ummi bertanya.
"Kenapa Delisa dapat kalung yang lebih bagus! Kenapa
kalung Delisa lebih bagus dibandingkan dengan kalung
Aisyah... juga kalung Zahra.... Kalung kak Fatimah!" Jelas
sudah! Ummi menghela nafas. Fatimah beranjak mendekat.
Delisa menatap tak mengerti. Lebih bagus apanya" Orang
Delisa kemarin pagi milih kalungnya sengaja mirip dengan
punya kak Aisyah. "Kalungnya kan sama saja dengan punya Aisyah-"
"Tetapi punya Delisa ada hurufnya!" Aisyah memotong
Ummi cepat, ia masih tersedan. Berusaha mengelap ingus
dengan ujung kerudung. Delisa menatap nyengir, "Idih, kak Aisyah jorok. Masak
ngelap ingus pake jilbab!" Delisa berseru jijik sambil
mengambil selembar tisu dari atas meja. Menyerahkannya
ke tangan Aisyah. Aisyah menatap galak. Mengambilnya tetapi tidak
sedikitpun bilang terima kasih.
"Kamu tuh aneh, Aisyah.... Zahra saja nggak cemburu
kok Delisa dapat kalung lebih bagus.... Kak Fatimah juga
nggak! Lagian cuma beda huruf doang" Fatimah mendekati
adiknya. Mencoba membantu Ummi membujuk Aisyah.
Aisyah hanya diam. Iya juga kan" Tetapi ia buru-buru
membuang pendapat kak Fatimah. Diam.
"Ibu kan pernah bilang, sayang.... Jangan pernah lihat
hadiah dari bentuknya... Lihat dari niatnya... Abi kan juga
sering bilang, Kalau kamu lihat hadiah dari niatnya, insya
Allah hadiahnya terasa lebih indah.... Ah iya, bukankah
ustad Rahman juga pernah bilang: kita belajar shalat itu
hadiahnya nggak sebanding dengan kalung.... Hadiahnya
sebanding dengan surga...."
Aisyah masih menggeleng keras kepala.
"Memangnya Aisyah pas belajar shalat hanya agar dapat
kalung"" Aisyah terdiam. Dulu sih ia memang berharap agar
dapat kalung. Kalau sekarang sudah banyak mengerti,
belajar shalat jelas-jelas bukan untuk dapat kalung saja.
Aisyah menggeleng pelan. Tetapi ada yang mengangguk
kencang-kencang. Delisa! Delisa tersenyum manyun, tanpa
dosa, jelas-jelas ia belajar shalat agar dapat hadiah kalung
dari Ummi. Itu janji Ummi sebulan lalu. Meskipun tidak ada yang
memperhatikan tampang menggemaskan Delisa.
"Nah, kalau bukan untuk kalung, kamu nggak
sepantasnya cemburu dengan hadiah adikmu, kan" Ah iya,
besok-lusa kita kan bisa ke tempat Koh Acan lagi, masing-masing nanti beli huruf untuk kalungnya.... F untuk
Fatimah, A untuk Zahra dan Aisyah-"
"U untuk Ummi.... A untuk Abi!" Delisa memotong. Ia
tidak tahu memangnya nama Ummi dan Abi seperti itu, itu
kan hanya panggilan. Fatimah ikut nyengir tertawa.
Aisyah tersenyum tanggung mendengar kalimat Ummi
(bukan melihat gaya Delisa yang sok-tahu tadi).
Kemarahannya berkurang. Cemburunya memudar. Ia akan
dapat huruf A. Tetapi ia masih ingat sesuatu.
"Tetapi kenapa Delisa dapat hadiah sepeda dari Abi""
Ummi menghela nafas. "Memangnya sepeda itu buat Delisa doang. Aisyah kan
bisa pinjam. Zahra juga bisa pinjam. Kak Fatimah juga bisa
pinjam.... Seperti tas kalian yang saling pinjam...."
Aisyah menyeringai lagi. Masuk akal sih.
"Nah kalau kamu mau ke sekolah pakai sepeda, sambil
bonceng Delisa.... Kamu mesti baca bacaannya keras-keras
pas shalat, biar adikmu bisa dengar. Biar ia shalat sambil
belajar. Semakin cepat adikmu bisa, kan nanti Abi bisa
langsung beliin saat pulang dua minggu lagi...."
Aisyah mengangkat hidung dan bibirnya. Menyeringai.
Tetapi bagaimana kalau Delisa tidak mau minjamin
sepedanya" "Iy a kak, entar Delisa kasih pinjem, deh!"
3. Jembatan keledai Delisa mengaduk-aduk lemari pakaiannya (yang
digabung dengan lemari pakaian Aisyah dan Zahra), tega
sekali ia membuat lipatan pakaian kakak-kakaknya porak-poranda.
"Ummi! Baju ngaji Delisa kok nggak ada!" Delisa
berteriak sambil terus mengaduk.
"Kan Ummi sudah taruh di atas meja!" Ummi balas
berteriak. Ummi lagi di ruang depan. Membordir pesanan
ustadz Rahman. "Eh iya!" Delisa nyengir. Buru-buru menuju meja
belajarnya. Meninggalkan isi lemari yang jungkir-balik.
Menemukan baju TPA berwarna biru. Delisa dengan cepat
mengenakan kerudung biru.
"Yaa, Ummi napa kerudungnya yang ini.... Delisa sering
gatal-gatal kalo pakai yang ini...." Delisa mendekati Ummi.
Menunjuk kerudung yang tengah dirapikannya.
"Itu karena kamu malas cuci rambut, sayang!" Ummi
terus konsentrasi pada bordirannya.
"Delisa juga sering kepanasan...." Delisa mendaftar
keluhan berikut. "Kan kamu bisa lepas nanti kalau terasa panas!" Ummi
menjawab seadanya. Delisa tidak mendengarkan. Ia sudah
beranjak menuju pintu keluar.
"Eh, nanti Delisa langsung main ya, Mi!" Delisa
berteriak dari pintu depan.
Ummi mengangguk. Mana Delisa bisa lihat anggukan
Ummi" Ia sudah membuka pintu rumah. Ah, kalau Ummi
diam tidak-berteriak itu berarti oke.
"Daa Ummi, assalamualaikum!" Delisa berteriak
langsung lari. Ummi tersenyum menjawab salam Delisa
pelan. Bungsunya selalu begitu. Pamit selalu lari sambil
berteriak mengucap salam.
Delisa berlari-lari kecil. Kerudung birunya bergoyang.
Bukan sekadar karena gerak tubuhnya, tetapi juga karena
desir angin laut yang menerpa. Penghujung bulan akhir
tahun ini, angin laut bertiup lebih kencang. Udara lebih
lembab dari biasanya. Delisa sudah terlambat. Tadi sepulang sekolah ia piket
dulu. Di sekolahnya memang begitu. Piket membersihkan
ruangan kelas dilakukan setelah pulang. Delisa masih kelas
satu, pulangnya pukul setengah sepuluh, sekolah
seperempat hari. Sekarang sudah jam sepuluh lewat lima. Buru-buru
Delisa ke meunasah yang terletak dua ratus meter dari


Hafalan Shalat Delisa Karya Tere Liye di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rumahnya. Jadwal harian belajar mengaji TPA dengan
ustadz Rahman. Kata ustadz Rahman, muslim yang baik selalu bisa
menghargai waktu. Delisa tidak tahu apa artinya
menghargai waktu, Yang ia tahu, saat ustadz Rahman
menjelaskan, itu berarti kita harus datang tepat waktu,
nggak boleh terlambat, Delisa berusaha datang tidak pernah
telat. Seperti sekarang, ia lari lebih cepat. Tasnya
bergoyang-goyang mengikuti irama tubuh. Dahi Delisa ber-keringatan.
Suara anak-anak yang membaca Iqra terdengar dari
kejauhan. Delisa nyengir. Ya.... ia telat lagi.
Tiba di halaman meunasah setengah menit kemudian.
Buru-buru masuk ke muenasah. Ustadz Rahman
menatapnya. "Delisa tadi piket....!" Delisa menjelaskan tanpa diminta.
Menyeka dahinya. Ustadz hanya tersenyum. Dia tahu
setiap hari Senin Delisa pasti datang terlambat. Semua anak
yang lain juga telat kalau lagi jadwal piket di sekolah.
Bedanya dengan Delisa, Delisa selalu berkepentingan
menjelaskan. Meskipun penjelasannya itu-itu juga.
"Tapi entar kalau Abi sudah pulang, Delisa nggak bakal
telat lagi...." Delisa berkata sambil mengambil rihal. Duduk
di sebelah ustadz. Posisinya.
Ustadz Rahman yang sejenak tadi sibuk mengawasi dua
puluh anak sepantaran Delisa yang sedang membaca Iqra
masing-masing, menoleh ke arah Delisa, bertanya lewat
tatapan. Tidak telat lagi"
"Karena Abi janji beliin Delisa sepeda! Hadiah hafalan
shalat Delisa! Jadi wuss... Delisa pasti nggak telat lagi!"
Delisa menyeringai bangga. Membuka iqra-nya.
"Memangnya Delisa sudah hafal bacaan shalatnya""
Ustadz bertanya lembut, tersenyum. "B-e-l-u-m...." Delisa
menggeleng lucunya. Ustadz Rahman tersenyum lagi.
Delisa mulai membaca Iqranya. Nanti seperti ngaji
dengan Ummi, ia juga akan nyetor dengan ustadz Rahman.
Tetapi ramai-ramai. Ustadz ngajar-nya serempak di papan
tulis. Kecuali yang sudah baca Al-Qur'an seperti kak Aisyah
dan kak Zahra. Baru ditartil satu persatu.
Ustadz Rahman umurnya sekitar 26 tahun. Lulusan
IAIN Banda Aceh.... Eh, Delisa lupa nama sekolahnya.
Panjang! Nggak sependek nama sekolah Delisa: Ibtidaiyah
Negeri 1 Lhok Nga. Ustadz Rahman baik. Mungkin yang
bisa ngalahin kebaikan ustadz Rahman hanya Umi, Abi,
Ibu Guru Nur, dan kak Fatimah. Kalau dibandingin dengan
kak Aisyah. Uuh, jauh baikan ustadz Rahman. Meski
ustadz sering galak ke anak-anak yang becandaan mulu di
dalam meunasah. "Ustad, kenapa ya Delisa sering kebolak-balik"" Delisa
nyeletuk. Mengangkat kepalanya dari buku iqra di atas
rihal. Ingat sesuatu. Ustadz Rahman menatapnya" Kebolak-balik" Oo, bacaan shalat.
"Biar nggak kebolak-balik kamu mesti menghafalnya
berkali-kali.... Baca berkali-kali.... Entar nggak lagi! Entar
pasti terbiasa." ustadz menjelaskan.
"Delisa sudah baca berkali-kali, kok.... Tetap saja
begitu!" Ustadz tersenyum. Semua anak memang punya masalah
seperti ini kalau menghafal bacaan shalat. Terbalik-balik.
Bedanya dengan Delisa ya pertanyaan selanjutnya ini,
"Ustadz, emangnya nggak boleh baca kebolak-balik""
Ustadz Rahman yang barusan melototin Teuku Umam
yang lagi iseng menjawil jilbab Tiur menoleh. Buru-buru
menjawab. "Eh.... Nggak boleh, Delisa!"
"Kenapa nggak boleh" Kan semuanya tetap dibaca....
Lengkap!" Delisa memasang wajah seolah-olah ikut berpikir
serius. Pertanyaan itu juga serius sekali sebenarnya.
Ustadz Rahman menyeringai. Kan susah kalau dia mesti
jelasin shalat itu "ibadah besar". Jadi mesti sesuai dengan
tuntunan Rasul. Tidak boleh ada yang beda. Beda sedikit
bisa jadi bid'ah. Lah bid'ah itu apaan" Pasti Delisa bertanya
balik. Dan urusan semakin kapiran. Bukan. Bukan ustadz
Rahman tidak mau menjelaskan panjang lebar. Tetapi
mengajari anak kecil seperti Delisa, harus ada tekniknya.
Atau kalau tidak, akan terjadi mall-praktek mendidik anak-anak.
"Eh.... Kalau Delisa pakai kaos-kaki kebolak-balik
warnanya boleh nggak""
"Boleh.... Boleh-boleh saja.... Delisa pernah kok!" Delisa
menjawab serius (ia memang pernah, maksudnya nggak
sengaja salah pasang, diketawain Cut Aisyah, tetapi kan
boleh-boleh saja). "Eh.... Kalau Delisa pakai sepatu di kepala... Terus
kerudung di kaki bisa gak kebolak-balik begitu"" Ustadz
Rahman mencari analog lain. Menyesal dengan contoh
sebelumnya. Jelas-jelas dia sedang menghadapi Delisa.
Delisa sekarang terdiam. Berpikir. Kemudian nyengir.
Menggeleng pelan. Ustadz Rahman tersenyum. Delisa tidak
perlu penjelasan lebih lanjut. Ia selalu bisa mengambil
kesimpulan sendiri. Delisa meneruskan membaca Iqranya.
Eh, tetapi ustadz kan belum jelasin bagaimana caranya
agar nggak kebolak-balik" Delisa hendak bertanya lagi.
Terlambat, ustadz Rahman sudah mengetuk papan tulisnya.
Tanda mereka akan beramai-ramai membaca Iqra.
Pertanyaan itu tersimpan dalam hati.
"Pernah ada sahabat Rasul, saking khusuknya shalat,
kalajengking besar menggigit punggungnya dia tidak
merasakan sama sekali.... Ya kalajengking besar...." Ustadz
Rahman menggambar kalajengking itu dengan gerakan
tangannya. Bersua ra seperti capit kalajengking yang
menganga. Anak-anak bergidik. Ustadz Rahman pintar bercerita.
Setiap habis membaca Iqra bersama-sama, biasanya ustadz
Rahman akan mengajari mereka banyak hal, selain
mengaji. Doa-doa harian, hafalan-hafalan surat, bernyanyi.
Favorit Delisa dan teman-temannya tentu saja "cerita".
Sekarang ustadz bercerita soal bagaimana khusuknya shalat
Rasul dan sahabat-sahabatnya.
"Kenapa dia nggak kerasa sakit, kan badannya jadi
bengkak"" Kalau anak lain bergidik, Delisa justeru
mengacungkan tangan bertanya. Memandang ingin tahu.
Ustadz Rahman menelan ludah.
"Eh, karena orang yang khusuk pikirannya selalu fokus.
Pikirannya satu! Misalnya Delisa lagi asyik main bola di
pantai. Pikirannya cuma satu kan, nendang-nendang bola.
Meski kaki misalnya keseleo sakit, Delisa tetap main. Meski
hujan-hujanan, Delisa juga tetap main. Bahkan dipanggil
Ummi, Delisa juga nggak mendengarkan, kan...."
Anak-anak lain tertawa. Delisa nyengir.
"Nah, jadi kalian shalat harus khusuk. Harus satu
pikirannya.... Andaikata ada suara ribut diseki-tar, tetap
khusuk. Ada suara gedebak-gedebuk, tetap khusuk. Jangan
bergerak. Siapa di sini yang kalau shalat di meunasah sering
gangguin temannya""
Semua anak-anak menunjuk Teuku Umam yang jahil
tadi. Termasuk tangan Delisa. Ustadz Rahman tersenyum.
Teuku Umam hanya menyeringai galak.
Mereka mendengarkan lanjutan cerita tersebut lima belas
menit lagi. Kemudian ustadz Rahman menutup pengajian
TPA mereka dengan membaca doa bersama. Keras-keras.
"Anak-anak sebentar!" Ustadz meminta perhatian teman-teman Delisa yang sibuk membereskan rihal dan tas
masing-masing. Bersiap pulang. Mereka menoleh.
"Besok kita libur!" Ustadz Rahman tersenyum
mengatakan itu. Mukanya riang, tidak seperti biasanya
kalau mengumumkan soal libur. Ustadz Rahman kan tidak
suka kata-kata libur. "Hore!!" teman-teman Delisa lebih senang lagi.
Melanjutkan berbenah siap pulang.
"Memangnya ustadz mau kemana"" Delisa mendekat
bertanya, ia melepas kerudung birunya (tuh kan bener,
terasa panas!). "Ke Meulaboh!" "Ooo iya.... Ustadz mau nikah ya"" Delisa teringat
ucapan Ummi beberapa hari lalu. Bordiran pakaian Ummi
tadi pagi juga buat bawaan ustadz melamar.
Ustadz Rahman tersipu mukanya.
"Asyik! Pasti ada kenduri besar-besaran kan"" Delisa
berseru riang. Yang beginian memang hobinya. "Pasti ada
arak-arakan... uang receh yang dilempar... banyak
manisan!" Delisa menghitung semua hal menyenangkan
tersebut dengan jemarinya.
Ustadz hanya tersenyum mengangguk. Ah, pernikahan
mereka tidak akan semeriah itu, Delisa. Dia kan hanya guru
ngaji" Tetapi apa salahnya membuat Delisa senang.
Mengangguk bisa berarti banyak, belum tentu berbohong.
Dan Delisa sudah melesat keluar meunasah bersama
teman-temannya, memberitahukan mereka tentang kabar
menyenangkan tersebut! Plus "bumbu- bumbu" kenduri
yang diharapkannya. "Kamu nggak jadi main"" Ummi yang sedang
mengenakan mukena bertanya. Delisa masuk sambil
bersenandung. Menggeleng. Tadi Delisa mau main, tetapi Tiur
mengajaknya pulang dari meunasah naik sepedanya. Jadi ia
ikut saja. Naik sepeda ini. Delisa meletakkan tasnya.
"Kalau begitu kamu shalat dzuhur bareng Ummi ya!"
Delisa mengangguk. Ke kamar mandi. Mengambil
wudhu. Memakai mukenanya pelan, melangkah mendekati
Ummi yang sudah menunggu.
Ummi membaca bacaan shalat keras-keras hingga
terdengar Delisa yang berdiri di sebelah kiri. Delisa tetap
saja ribet, meski suara Ummi lebih terdengar dibandingkan
suara kak Aisyah. Delisa pusing dengan kata-kata yang
sama. Apalagi pas duduk di antara dua sujud, rab-bil-fir-li, war-ham-ni, waj-bur-ni.... Kenapa pula kata-katanya
mesti mirip begitu" Mana depan, mana belakangnya"
Tetapi Delisa tidak banyak bertanya setelah shalat, ia
banyak berpikir sekarang. Pasti ada cara yang lebih baik
untuk menghafal bacaan-bacaan itu. Ia saja yang belum
tahu. Setelah makan siang bersama Ummi, Delisa kembali ke
ayunan di bawah pohon jambu. Menenteng buku bacaan
shalatnya. Kata ustadz Rahman kan harus sering diulang-ulang. Baiklah! Delisa akan mengulang-ulangnya. Tiga
puluh menit ia mencoba mengulang-ulang. Berkonsentrasi.
Masalahnya otak Delisa sekarang bukan dipenuhi oleh
bacaan shalat, melainkan oleh "kalung" itu. Jadi Delisa
kebanyakan bengongnya. Mengkhayal. Satu jam kemudian.
Delisa menyerah untuk siang itu. Melipat buku bacaan
shalatnya. Masuk ke dalam lagi. Ummi masih sibuk
melanjutkan bordiran, nanti sore harus diantar ke rumah
ustadz Rahman. "Kak Aisyah dan kak Zahra kok belum
pulang ya, Mi""
Harusnya jam segini mereka sudah pulang. Kalau
Fatimah memang pulang sorean. Jam setengah tiga.
Sekolahnya agak jauhan. Juga jam sekolah kak Fatimah
memang lebih lama. "Mereka kan latihan tari Saman hari ini!" Ummi
menjelaskan tanpa melihat Delisa. Tangan Ummi lincah
menggerakan alat bordir. Delisa membuka mulut, ber-ooo.
"Delisa main ya, Mi!" Delisa yang bingung mau
melakukan apa terpikirkan ide pamungkasnya. Ia
sebenarnya bukan bingung mau melakukan apa. Ia
penasaran saja dengan hafalannya. Penasaran dengan
kalungnya. Kalau sudah begitu maka ia biasanya butuh
refreshing (meski Delisa tidak tahu apa arti kata itu, ia
pernah mendengarnya sekali, yang penting ia tahu mesti
main sebentar kalau bingung mau melakukan apa).
Ummi mengangguk. Delisa tidak melihatnya. Ia sudah
kabur lagi sambil beteriak mengucap salam.
Menuju lapangan sepakbola. Empat ratus meter dari
r umahnya. Lapangan itu persis berada di pantai Lhok Nga.
Siang ini udara teduh. Awan menggumpal di langit.
Menyenangkan berada di lapangan. Pasir di mana-mana.
Angin laut bertiup kencang. Burung camar melenguh ber-
pekikan berterbangan di kejauhan. Suara ombak memecah
bibir pantai menambah suasana menyenangkan itu.
Sudah ada beberapa teman cowok Delisa yang sedang
menendang-nendang bola di sana. Delisa menggemaskan
berlari mendekat. Rambut ikal pirangnya tertiup angin laut,
bergoyang-goyang lucu. Kerudung biru itu sudah masuk
kantong celana panjangnya. Panas banget!
"Delisa ikutan ya!" Ia langsung masuk kerumunan.
"Nah jadi lengkap! Kamu masuk tim Teuku Umam
saja!" salah seorang temannya mendorong tubuh Delisa
bergabung dengan salah satu kerumunan anak lainnya.
Delisa menoleh ke arah tim Teuku Umam. Mengangguk.
Untuk urusan bola, Umam jagonya. Kalau urusan lain,
Delisa tidak akan pernah satu kelompok dengan Teuku
Umam. Raja jahil, sama seperti kak Aisyah, ratu jahil.
Sebenarnya, justeru karena Umam jago itulah maka
Delisa oleh teman-temannya digabungin ke sana. Biar
imbang. Maka bermainlah mereka, tanpa wasit. Enam lawan
enam. Bola plastik itu diuber beramai-ramai. Delisa terlihat
beda sekali. Meskipun ia lumayan gesit. Lumayan pandai
menendang. Rata-ratalah. Apalagi ia kan anak cewek ini.
Delisa awal-awalnya dulu hanya ditaruh jadi kiper.
Tetapi ia protes mulu. Delisa benci hanya berdiri bengong
menunggu bola. Karena temannya sebal dengan protesnya
yang tak kunjung henti, dan juga banyaknya gol yang
masuk ke dalam gawangnya, Delisa dibiarkan mengambil
posisi yang paling ia inginkan. Striker.
Hari semakin sore. Matahari mulai beranjak turun. Satu
jam kemudian Tiur datang membawa sepedanya. Melambai
berteriak ke arah Delisa yang sedang berlari mengejar-
ngejar bola. Delisa teringat sesuatu. Ah iya, ia kan tadi janji
mau belajar bersepeda dengan Tiur. Maka begitu saja
Delisa meninggalkan lapangan. Padahal permainan sedang


Hafalan Shalat Delisa Karya Tere Liye di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seru-serunya: 3-3. Teman-teman cowoknya berseru keki.
"Delisa mau belajar naik sepeda!" Delisa menjawab
pendek menjelaskan saat teman laki-nya menarik bajunya,
tak sensitif. "Yaaa.... Kan jadi nggak lengkap timnya!" Teuku Umam
melotot ke arahnya, dia benar-benar keberatan Delisa
keluar sekarang, timnya bisa kalah untuk pertama kalinya.
Delisa cuek mendekati Tiur. Membiarkan Umam yang
marah. Permainan terus dilanjutkan meski Teuku Umam
melempar Delisa dengan pasir. Tak masalah benar. Sepak
bola kan bisa dimainkan dengan formasi apapun. Yang
penting bahagia. Lari. Dan tendang. Tak ada yang peduli
soal menang atau kalah. Mungkin Teuku Umam saja yang
peduli soal menang-kalah sekarang.
Setengah jam berikut dihabiskan oleh Delisa belajar naik
sepeda. Ternyata tidak semudah main sepakbola. Delisa
sudah tiga kali jatuh berdebam di atas pasir.
Lututnya bahkan lecet (ia sih pakai digulung segala
celananya). Rambut ikal pirangnya penuh butiran pasir.
Tetapi Delisa tetap cuek. Tak kenal menyerah.
Berteriak-teriak agar Tiur tidak melepaskan
pegangannya. Tiur hanya tertawa-tawa di belakang. Bilang
"iya dipegang ini!" namun tangannya sibuk ngupil.
Satu jam kemudian, suara adzan ashar terdengar dari
meunasah. Delisa tetap belajar menaklu-kan sepeda Tiur. Ia
khusuk sekali. Benar-benar seperti yang dikatakan ustadz
Rahman tadi. Coba ia belajar menghafal bacaan shalatnya
seperti ini, kan jauh lebih cepat uru sannya. Tidak sepanjang
hari semata-mata membayangkan hadiah kalung itu.
Matahari bergerak menghujam bumi semakin rendah.
Jingga memenuhi langit. Indah. Angin bertiup lebih lembut.
Lapangan lebih ramai. Ramai oleh penduduk Lhok Nga
yang sedang berjalan menghabiskan sore setelah bekerjan
seharian. Menatap bentang cakrawala yang elok nian.
Burung camar berpekikan kembali ke sarang. Ombak
semakin kencang. Pantai terlihat menakjubkan.
Delisa sudah lima menit lalu duduk menjeplak di sebelah
Tiur. Badannya baret-baret. Memar di sana-sini. Tetapi ia
menyeringai senang. Setidaknya dua-tiga meter Delisa
sudah bisa jalan sendiri. Cepat sekali ia belajar, habis Delisa
teringat janji Abi! Ia mesti bisa belajar naik sepeda sebelum
A bi membelikannya sepeda. Lima menit lagi Delisa beranjak pulang.
Tiba di rumah, Ummi ngomel! Delisa pulang ke-sorean.
"Mi, tadi Delisa belajar naik sepeda.... Nggak main kok...
belajar!" Delisa sok-serius berusaha menjelaskan,
memangnya dengan kata belajar semua urusan jadi
termaafkan. Delisa buru-buru mengambil handuk, bergegas
masuk ke dalam kamar mandi sebelum Ummi mencubit
perutnya. Kak Aisyah dan kak Zahra belum kelihatan, pasti sedang
ngaji di meunasah, mereka jadwalnya memang sore. Kak
Fatimah sedang membantu Ibu membungkus pakaian-pakaian pesanan utsadz Rahman di ruang depan. Mandi
super-cepat. Lima menit kemudian. Delisa dengan rambut basah,
pakaian bersih sudah bergabung di ruang depan.
"Ibu Guru Eli calon ustadz Rahman itu kan cacat, Mi!"
"Memangnya kenapa kalau cacat" Kamu kok ngom ongin
aib orang, Fatimah""
Fatimah dan Ummi lagi-lagi membicarakan hal-hal yang
tidak Delisa mengerti. Delisa duduk saja memperhatikan
mereka. Ia tiba-tiba demi melihat pakaian-pakaian yang
sedang disiapkan itu teringat kancing bajunya yang tadi
lepas waktu belajar naik sepeda bersama Tiur. Delisa buru-buru ke belakang, mengambil pakain kotornya. Meminta
benang dan jarum ke Ummi.
"Kamu mau ngapain"" Fatimah bertanya.
"Jahit kancing baju...." Delisa menyeringai.
"Aduh, pakaiannya kotor gini di bawa-bawa ke sini....
Jahitnya kan bisa besok-besok saja, kalau sudah dicuci!"
Fatimah merampas baju itu dari tangan Delisa.
Delisa nyengir. Orang mau jahit ini.... kan niatnya baik.
Kenapa nggak boleh" Ummi hanya tersenyum. Delisa
kembali duduk di atas kursinya. Memperhatikan. Lagi-lagi
tentang pembicaraan itu. Cacat. Nikah. Setia. Bahagia.
Sakinah. Ma... ma-wa... ma-wa-entahlah. Apa coba
maksudnya. Malam datang menjelang. Mereka jamaah lagi shalat
maghrib. Kali ini kak Aisyah melakukan tugasnya dengan
baik dan benar. Bersuara keras-keras. Meski itu tidak
berpengaruh banyak buat kemajuan Delisa. Sepanjang
shalat ia hanya berpikir dua hal. Satu bagaimana agar dia
nggak kebolak-balik lagi. Dua ya kalung itu.
Mereka makan malam bersama.
"Tadi siapa yang ngacak-ngacak lemari pakaian"" Zahra
yang pendiam (tetapi pencinta ketertiban) bertanya pelan.
Semua mata memandang ke Delisa.
"Nggak kok.... Delisa cuma nyari pakaian ngaji doang!
Sama sekali nggak ngacak-ngacak." Delisa merasa tak
berdosa menyendok sayur bayam.
"Iya! Tapi kamu nyarinya kan bisa lebih pelan dikit"
Nggak mesti merusak lipatan pakaian yang lain, kan""
Zahra menyeringai kepada Delisa.
Delisa mengangguk. Meski tidak berjanji. (Delisa
memang lebih respek dengan Zahra dibandingkan Aisyah,
mungkin karena Zahra pendiam, jadi seram saja berdebat
dengannya). "Delisa tuh paling lupa untuk ngecek di atas mejanya
dulu, kalau nyari sesuatu!" Fatimah berkata datar.
Delisa diam saja. Iya sih!
"Jangan-jangan Delisa juga belum lihat meja belajar sore
ini"" Entah mengapa Aisyah bertanya tiba-tiba kepada
Delisa. Delisa menoleh, tidak mengerti. Yang lain tidak
memperhatikan. "Kan kak Aisyah sudah taruh di atas meja habis pulang
latihan tari Saman tadi!" Aisyah berkata serius.
Delisa mengernyitkan dahi. Apanya yang ditaruh di atas
mejanya" Orang Delisa dari tadi memang nggak lihat-lihat
tuh meja. Tetapi ia turun dari kursinya. Menghentikan
makannya. Beranjak ke meja belajar. Penasaran. Di atas
meja itu ada selembar kertas. Jembatan Keledai. Itu
petunjuk cara menghafal shalat yang baik. Seperti
bagaimana agar bacaan ruku tidak ketukar dengan bacaan
sujud. Bagaimana agar bacaan di antara dua sujud tidak
kebolak-balik. Semuanya ada 'jembatan keledai'-nya. Cara
menghafal dengan menganalogkan hafalan dengan urutan
huruf atau benda-benda menarik lainnya.
Delisa berteriak senang! Kertas ini menyelamatkannya!
Ia berlari ke meja makan lagi. Kertas itu yang buat Aisyah.
Tadi siang ketika di sekolah, Pak Guru Jamal bilang,
sungguh saudara-saudara kita akan menjadi tameng api
neraka. Maka berbuat baiklah kepada mereka. Sungguh
adik-kakak kita akan menjadi perisai cambuk malaikat.
Maka berbuat baiklah kepada mereka. Sungguh saudara-saudara kita akan menjadi penghalang siksa dan azab
himpitan liang kubur. Maka
berbuat baiklah kepada mereka. Aisyah ingat cemburunya. Ia amat malu sepanjang Pak
Guru Jamal menjelaskan. Ya Allah, Aisyah malu sekali.
Lihatlah, ia justeru mengganggu adiknya saat Delisa sedang
berjuang menghafal bacaan shalat.
Aisyah hampir menangis mendengar penjelasan Pak
Guru Jamal. Ia memang sering jahil kepada Delisa, tetapi
hatinya juga bagai mutiara.
Siang itu sambil menunggu latihan tari Saman, ia
membuat kertas petunjuk "jembatan keledai" itu.
"Terima kasih, kak Aisyah!" Delisa melompat, memeluk
kakaknya. Aisyah hanya ber "hiss".... Risih juga mendapatkan
perlakuan seperti itu. Memang begitulah adiknya. Eksplosif.
Ummi t ersenyum senang. Fatimah menghela nafas lega.
Zahra hanya bergumam pendek: Ah, entar pasti berantem
lagi! 4. Delisa cin ta Ummi karena Allah
Waktu berjalan cepat. Senin-Selasa-Rabu langsung wusss
hari Sabtu. Bagi Delisa waktu juga bergerak cepat. Dengan
adanya jembatan keledai itu Delisa menghafal bacaan
shalatnya lebih cepat, lebih lancar. Memang masih bolong
di sana-sini, tetapi ibarat bangun rumah, sudah kelar 95%.
Hari-hari juga di isi pertengkaran Delisa dengan Aisyah
(benar kata Zahra, mereka berdua memang seperti itu, akur
satu jam, bertengkar sehari-semalam). Bermain bola di
pantai bersama geng Teuku Umam (yang selalu terpotong
setiap Tiur datang, Delisa sudah lancar bersepeda di pantai
sekarang. Tinggal praktek di jalan). Mengaji dengan ustadz
Rahman ("Ustad, katanya calon istri ustadz cacat, ya"" itu
tanya Delisa sehari setelah libur ngaji. Ustadz hanya
tersenyum, tidak berkata banyak, padahal kak Fatimah di
rumah berkomentar banyak sesore itu, yang juga dinasehati
banyak oleh Ummi). Dan yang lebih banyak lagi, waktu banyak dihabiskan
oleh Delisa untuk membujuk Ummi agar mengijinkan ia
melihat kalung itu. "Delisa pengin pegang sebentar saja...!
Bener, sebentar! Suer deh, Mi!" Ummi hanya menggeleng
(karena jelas sekali maksud Delisa, mau memamerkan
kalung itu ke Aisyah yang baru saja menjahilinya, balas
dendam, biar kak Aisyah cemburu lagi).
Mereka shubuh itu kembali shalat berjamaah.
Sabtu pagi, 25 Desember 2004.
Rutinitas harian biasa. Delisa seminggu terakhir sudah
bisa bangun tepat waktu. Keributan kamar mandi berkurang
banyak. Aisyah juga melakukan tugasnya dengan baik dan
benar. Delisa juga tidak banyak protes.
Yang tidak rutin, sehabis shalat ketika Ummi memimpin
mereka berzikir. Delisa tiba-tiba maju ke depan. Merangkak
dengan mukena masih membungkus tubuhnya. Fatimah
melotot menyuruhnya duduk kembali. Tetapi Delisa tidak
peduli, tetap mendekati sajadah Ummi. Aisyah nyengir.
Zahra tak memperhatikan melanjutkan zikir meniru suara
Ummi. Delisa duduk bertelekan lutut di belakang Ummi.
Kemudian pelan memeluk leher Ummi yang duduk
berdzikir di depannya. "Ada apa, sayang"" Ummi menghentikan zikirnya,
menoleh menatap muka Delisa yang ada di bahu kanannya,
tersenyum. Ya Allah, mata Delisa teduh sekali. Mukanya lembut
menatap Umminya. Muka keturunan dengan mukena putih
menghias wajahnya. Muka yang habis dibasuh wudhu.
Muka Delisa yang habis dibasuh sujud (meski Delisa lupa
lagi bacaan sujud tadi). Muka yang habis dibasuh dengan dzikir. Muka itu
mempesona. Mata hijau Delisa mengerjap-ngerjap.
"Ada apa sayang"" Ummi menggerak-gerakkan
badannya. Seolah-olah akan menggendong Delisa dari
belakang. Tersenyum, menggoda Delisa. Fatimah menatap
menyeringai dari belakang. Zikir mereka terhenti. Aisyah
dan Zahra bertatapan satu sama lain.
Bibir Delisa menyimpul senyum. Matanya sedang
menatap beningnya bola mata Ummi. Berbisik.
"Delisa.... D-e-l-i-s-a cinta Ummi.... Delisa c-i-n-t-a
Ummi karena Allah!" Ia pelan sekali mengatakan itu. Kalah
oleh desau angin pagi Lhok Nga yang menyelisik kisi-kisi
kamar tengah. Tetapi suara itu bertenaga. Amat
menggentarkan. Terdengar jelas di telinga kanan Ummi.
Kalimat yang bisa meruntuhkan tembok hati.
Ummi Salamah terpana. Ya Allah, kalimat itu sungguh
indah. Kalimat itu membuat hatinya meleleh seketika.
Delisa cinta Ummi karena Allah.... Tasbih Ummi terlepas.
Matanya berkaca-kaca. Ya Allah, apa yang barusan
dikatakan bungsunya" Ya Allah darimana ia dapat
ide untuk mengatakan kalimat seindah itu. Tangan Ummi
gemetar menjulur merengkuh tubuh Delisa.
"U-m-m-i juga cinta sekali Delisa.... -U-m-m-i c-i-n-t-a
Delisa karena Allah!" Ummi Salamah terisak memeluk
bungsunya. Memeluknya erat. Fatimah di belakang
menghela nafas. Adiknya sungguh diluar dugaan.
Zahra terdiam menundukkan kepala.
Aisyah tersentuh. Ia beranjak merangkak mendekat ke
depan. Ikut memeluk Umminya dari belakang, berbisik
lemah, "Aisyah juga cinta Ummi...."
Zahra dan Fatimah ikut mendekat. Mereka berpelukan
erat. Berlima. Anak-anak gadis yang sale-hah, dengan
Ummi pemberi teladan. Bertangisan bahagia. Delisa
merangkul kakak-kakaknya, menangis tersedan.
Pagi itu, Sabtu 25 Desember 2004. Sehari sebelum badai
tusnami menghancurkan pesisir Lhok Nga. Sebelum alam
kejam sekali merenggut semua kebahagian Delisa.
Pagi itu sebilah cahaya menyemburat dari rumah
sederhana itu, menghujam langsung ke langit. Cahaya
kemilau menakjubkan. Cahaya yang menggentarkan arasy
Allah. Membuat penduduk langit ramai bertanya. Siapa"
Lepas sekolah, Delisa berlarian pulang. Melempar
tasnya. Mengganti pakaiannya. Mencari baju mengajinya.
Lagi-lagi ia mengaduk-aduk pakaian di lemari. Mulutnya
terbuka, sudah mau berteriak bertanya pada Ummi,
teringat, oh iya ada di atas meja. Delisa buru-buru menuju
meja belajarnya. Melompat mengambil baju TPA-nya.
Ia ingat sesutau lagi. Entar kak Zahra pasti marah. Buru-buru merapikan kembali tumpukan pakaian dalam lemari
mereka. Ampun, malah semakin acak-kadut.
Delisa berteriak pamit mengaji kepada Ummi. Seperti
biasa mengucap salam jarak jauh. Hari ini Delisa berangkat
ngaji TPA semangat sekali. Ada hadiah yang hendak
ditagihnya. Tadi pagi kan sukses besar.
Sepanjang mengaji, Delisa juga tak sabar menunggu
pengajian TPA-nya usai, bahkan tidak memperhatikan
banyak saat ustadz Rahman sibuk bercerita tentang ihklas
dan tulus. Ikhlas dan tulus" Ah, Delisa tidak


Hafalan Shalat Delisa Karya Tere Liye di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mendengarkan. Ia sibuk membayangkan hadiah yang akan
ia dapat. Ketika ustadz Rahman mengucap salam menutup
pengajian. Delisa langsung maju ke depan. Kerudung
birunya dilepas lagi. Gatal! Mulutnya juga gatal menagih
janji. "Ustadz, Delisa sudah melakukan seperti yang ustadz
bilang dua hari yang lalu..."
"Yang mana"" ustadz bertanya sambil menghapus papan
tulis. Lupa! "Yang bilang ke Ummi! Kan ustadz yang bilang: 'Nah
coba kalian katakan kepada Ummi masing-masing. Nanti
kalau Umminya sampai menangis, ustadz beri hadiah!',"
Delisa persis menirukan suara ustadz Rahman waktu itu.
Amat menggemaskan caranya meniru.
Ustadz Rahman tertawa. Dia ingat sekarang. Soal kata-kata: Aku mencintai Ummi, karena Allah. Dia memang
bilang itu dua hari lalu. Menyuruh murid TPA-nya
mengatakan itu ke Ummi mereka masing-masing. Itu
sunnah rasul. Kalian bilang ke seseorang yang kalian cintai
karena Allah. "Memangnya Ummi Salamah menangis""
Delisa memandang dengan mata hijau berbinar-binar.
Bangga. Mengacungkan dua jempolnya. Top dah!
"Bahkan kak Fatimah, kak Zahra, kak Aisyah juga
ikutan menangis...." Delisa nyengir melaporkan.
Ustadz Rahman tertawa lagi. Sejauh ini tak ada anak
yang melapor sesukses Delisa. Atau mungkin anak-anak
lain malas melakukannya. Tetapi Delisa beda, ia selalu
merasa kalau sesuatu itu menarik untuk dikerjakan, pasti
akan dikerjakan sungguh-sungguh. Apalagi kalau ada
hadiahnya. Makanya tadi pagi dia benar-benar serius
melakukannya. Dan sukses besar!
Tangan Delisa menjulur menagih janji.
Ustadz Rahman tersenyum. Merogoh saku baju
kokonya. Dia memang menyiapkannya. Siapa tahu dua-tiga
hari ke depan benar-benar ada yang bisa melakukannya.
Dan ternyata benar kan" Tentu saja Delisa bisa
melakukannya! Ia bahkan bisa melakukan hal-hal yang
lebih seru lagi. Delisa berseru senang. Ustadz Rahman memberikan satu
batang coklat besar. Hatinya riang. Delisa benar-benar lupa
kalau shubuh tadi, sebenarnya hatinya juga ikutan terharu.
Ia menangis benar-benar. Saat ia mera ngkak mendekati Ummi, saat ia memeluk
leher Ummi, ia memang masih men-skena-riokan banyak
hal. Tetapi saat menatap wajah teduh Ummi, bening
matanya. Menatap Ummi yang terisak. Bergetar
menyebutkan kalimat yang sama, ia benar-benar bahagia, entah tidak mengerti kenapa.
Kalimat tadi shubuh itu benar-benar keluar dari hatinya.
Tidak ada pengharapan yang aneh-aneh. Apalagi soal
cokelat ini. Ah, Delisa lupa fakta tersebut. Lebih asyik
memasukkan batag cokelat tersebut ke dalam tasnya.
Delisa pulang ngaji naik sepeda Tiur lagi. Dibonceng.
Kak Aisyah dan Kak Zahra lagi-lagi belum pulang. Lagi-lagi latihan tari Saman, "Kan mau pentas dua minggu lagi
di balai kota, Delisa kan mau nonton bareng Abi!" Ummi
menjawab datar, entah sedang sibuk mengerjakan pesanan
pakaian dari siapa. Kak Fatimah juga belum pulang. Delisa seperti biasa
bingung hendak melakukan apa, akhirnya memutuskan
untuk melesat menuju ke lapangan. Bermain bola.
"Eh, kamu nggak menghafal lagi" Kan besok praktek
shalatnya"" Ummi mencegahnya.
"Delisa sudah siap kok...."
"Katanya masih ketukar-tukar dikit""
"Besok sudah siap kok...." Delisa sudah kabur duluan.
Berteriak mengucap salam.
Hari ini benar-benar menyenangkan buat Delisa. Tadi
pagi di sekolah dapat ponten 9 buat ulangan matematika-nya. Ibu Guru Nur memujinya. Terus dapat hadiah cokelat
dari ustadz Rahman. Ustadz
Rahman juga memujinya. Terus menang main bola lagi.
Delisa bikin dua gol. Masih kalah dengan Teuku Umam
sih, dia bikin tiga gol. Tapi mereka jadi menang 5-0. Dan
Teuku Umam jarang-jarang juga ikut memujinya.
Pas Tiur datang, mereka memutuskan untuk belajar
sepeda langsung di jalan. Dan Delisa lancar melakukannya.
Tidak gugup. Tidak takut. Ia juga dipuji Tiur. Jadilah ia
menghabiskan sepanjang sore dengan riang gembira.
Satu jam kemudian duduk menatap pantai Lhok Nga.
Bersebelahan dengan Tiur. Memegang ranting. Menggurat-gurat pasir yang basah.
"Abi-mu belum pulang"" Tiur bertanya pelan meningkahi
suara anak-anak yang masih bermain bola (anak-anak yang
lebih besar). "Dua minggu lagi..." Delisa menjawab pendek. Ia
sekarang asyik memperhatikan lapangan bola. Ada kakak
yang memakai baju Ronaldo. Tangkas menggiring bola
(entar ia mau seperti itu! maksudnya seperti Ronaldo,
bukan seperti kakak itu).
"Asyik ya... Delisa masih punya Abi!" Tiur berkata
pelan. Menelan ludah. Kalimatnya lemah terdengar.
Delisa menoleh. Ah, tentu saja ia tahu, Abi Tiur sudah
lama meninggal. Katanya mati di hutan. Delisa tidak tahu
urusan pertikaian politik itu. Tidak tahu apa maksud GAM
dan lain sebagainya. Yang ia tahu waktu Abi Tiur
meninggal setahun silam ia juga ikut sedih. Benar-benar
sedih. Bagaimana mungkin kalian tidak akan sedih melihat
kesedihan teman sendiri"
Tiur jadi yatim (itu istilah dari ustad Rahman), teman
yang baik, berbuat dua kali lebih baik dengan temannya
yang yatim.... Itu juga kata-kata ustad Rahman.
"Kan Abinya Deli sa bisa jadi Abinya Tiur"" Delisa
tersenyum manis. Muka itu sungguh tulus. Dan pernyataan
itu tidak mengada-ada. Meski Delisa jagonya mengada-ada.
Setiap kali Abi pulang, Tiur yang tiga rumah dari rumah
mereka, selalu mendapatkan hadiah, sama banyaknya
dengan hadiah Delisa (dan Delisa tidak protes seperti kak
Aisyah). Selalu ikut mereka bersama kemana-mana. Ummi
Tiur sudah tua dan sakit-sakitan. Kakak-kakaknya bekerja
serabutan, kurang memperhatikan adiknya.
Tiur tersenyum lemah. Menatap Delisa.
"Kamu rindu Abimu ya"" Delisa berkata sok-mengerti.
Rambut ikal pirangnya bergerak-gerak. Mata hijaunya
berkerjap-kerjap. Pantai semakin anggun. Angin berhembus
menyibak anak rambut Delisa.
Tiur mengangguk. Mereka berdiam diri lagi. Delisa sibuk berpikir dalam
hati, ia jelas-jelas masih beruntung, meski rindu Abi,
Abinya setiap tiga bulan pulang membawa banyak oleh-oleh. Lah Tiur"
Pulang-pulang Delisa diomelin Ummi lagi.
"Delisa kan belajar naik sepeda, Mi. Tanya Tiur deh!"
Mereka berkumpul malam itu di ruang keluarga. Malam
minggu, menonton teve. Ummi amat ketat kalau
menyangkut urusan nonton teve. Mereka hanya boleh
nonton di waktu-waktu tertentu, seperti malam minggu ini.
Karena mereka sudah terbiasa dengan aturan main tersebut,
mereka tidak banyak protes.
Kak Fatimah malah asyik membaca. Sama sekali tidak
tertarik dengan acara teve. Kak Aisyah dan kak Zahra juga
asyik membuat entahlah d ari karton-karton. Ummi di atas
kursinya juga membaca sesuatu. Hanya Delisa yang sibuk
menonton (dan acaranya juga tidak ia mengerti).
Tadi ia hendak bergabung dengan Kak Aisyah dan kak
Zahra. Membantu mereka menggunting-gunting dan
menulisi karton itu, tetapi mereka mengusirnya. Apa sih
yang mereka kerjakan, sampai tega mengusir Delisa jauh-jauh. Delisa dongkol sekali balik ke depan teve.
Tiba-tiba telepon berdering.
Ummi beranjak. Mengangkat telepon.
"Waalaikumussalam, A-B-I!"
Semua kepala tertoleh. Bergerombol mendekati Ummi.
Abi yang telepon. Kenapa" Kan jadwalnya baru senin pagi
lusa, bukan malam minggu ini" Abi ternyata sengaja
menelepon buat menyampaikan taklimat atau 'kalimat
penyemangat' besok untuk Delisa.
"Tenang saja, Bi! Delisa sudah hafal kok!" Abi tertawa.
"Hadiah sepedanya jadi ya!"
Abi tertawa lagi. Telepon bergiliran diserahkan ke yang lain. Kak Aisyah
minta maaf soal Senin lalu. Yang lain hanya nyengir
mendengarnya. Ummi menceritakan soal tadi pagi, soal
kalimat Delisa yang menyentuh, suara Ummi terdengar
terharu lagi. Abi dari ribuan kilometer sana menghela nafas
mendengarnya. Terdiam. Dia juga akan menangis kalau
ada di sana.... Lima belas menit kemudian Ummi menutup telepon,
persis berbarengan dengan seruan Aisyah.
"INI COKELAT SIAPA"" Aisyah mengangkat tinggi-tinggi cokelat milik Delisa yang tidak sengaja jatuh dari
sakunya saat mendekati Ummi.
"Punya Delisa... ITU PUNYA DELISA!" Delisa
melompat menyambarnya. Kapiran sekali urusan, kalau ia
tidak bisa segera merebutnya. Kak Aisyah kan suka iseng,
biasanya pasti nanya, "Mana buktinya kalau ini punya
Delisa"", "Mana saksinya"" Menyebalkan pokoknya.
Delisa berhasil merebutnya. Berlari mendekat Ummi.
Berlindung di belakang Ummi, khawatir kalau-kalau Aisyah
kembali merebut cokelatnya.
Aisyah menatap menyelidik.
"Kamu dapat cokelat dari mana""
"Hadiah!" "Hadiah siapa""
"Ustadz Rahman!"
"Ngapain pula ustadz Rahman ngasih kamu hadiah
cokelat"" Aisyah menyelidik. Sebenarnya pertanyaan yang
salah, Delisa memang sering dapat hadiah dari ustadz
Rahman. Masalahnya, orang-orang yang berbuat kekeliruan
selalu saja merasa salah tingkah untuk menjelaskan. Begitu
juga dengan Delisa. Ia bingung menjawab pertanyaan
sesederhana itu. "Ee...." Kalimat Delisa terhenti. Tidak mungkin cerita
kan" Apalagi Delisa baru saja melihat muka Ummi yang
terharu menceritakan kejadian tadi pagi dengan Abi pas
menelpon. Tiba-tiba Delisa merasa bersalah sekali. Ia tiba-tiba
menyadari baru saja memanfaatkan Ummi hanya untuk
hadiah sebatang cokelat. Ya Allah-
"Ayo hadiah apa""
Delisa menelan ludah. Ia kan tidak bisa berbohong.
Tetapi akan lebih rumit kalau ia cerita sekarang. Pasti
dihabisin kak Aisyah. Ah, besok-besok kan masih ada
waktu. Delisa akan cerita deh... Tetapi besok-besok
ceritanya. Janji Delisa dalam hati sungguh-sungguh
(Sayangnya Delisa tidak tahu! Tidak ada lagi besok-besok
itu). "Ehh, hadiah karena Delisa anak yang baik...." Delisa
ngarang menjawabnya. Tertawa kecil (men-tertawakan
idenya barusan, kan nggak bohong" Kalimat itu bermakna
banyak, sama seperti anggukan ustadz Rahman saat ditanya
soal acara pernikahannya). Aisyah tidak puas atas jawaban
itu. Mendekat dengan tatapan semakin mengancam.
Delisa buru-buru membuka cokelatnya. Memotongnya
sepertiga. Menyerahkannya pada kak Aisyah.
"Nih buat kak Aisyah!"
Suapan itu ternyata sukses. Ummi tertawa melanjutkan
membaca buku, memang sering sekali Delisa pulang bawa
hadiah dari ustadz Rahman. Kak Fatimah hanya
menyeringai tidak berkomentar. Zahra tak bergeming di
atas meja. Aisyah mengambil potongan cokelat tersebut. Lantas
kembali ke atas meja. Melanjutkan pekerjaan rahasia
bersama Zahra. Entah menulis apa di atas karton-karton itu.
Zahra langsung menyambutnya dengan berbisik pelan,
"Eh itu warnanya harusnya biru, Delisa kan suka biru!"
5. 26 Desember 2004 Itu! Delisa bangun dengan semangat. Shalat shubuh dengan
semangat. Tadi bacaannya nyaris sempurna (kecuali sujud,
bukan ketukar, entah mengapa tiba-tiba Delisa lupa bacaan
sujudnya, sebelum ingat bacaannya Ummi sudah keburu
bangkit duluan dari sujud, empat kali sujud,
empat kali delisa lupa secara sempurna).
Tetapi Delisa mengabaikan fakta itu. Toh, nanti pas di
sekolah ia punya waktu banyak untuk mengingatnya. Kalau
belum ingat, ya jangan bangkit dulu dari gerakan sujud.
Delisa bersenandung lagu "Aisyah Adinda Kita" sambil
mengenakan seragam sekolahnya (Delisa hafal lagunya,
karena sering diputar kak Aisyah di kamar, mentang-mentang lagunya memakai nama kak Aisyah ini, itu
komentar Delisa dulu, terganggu dengan suara kaset yang
diputar itu-itu mulu). Delisa semangat berangkat sekolah hari ini. Janji kalung
itu membuatnya sumringah. Tadi selepas shubuh Delisa
sempat memaksa Ummi untuk memperlihatkan kalung
tersebut, Ummi dengan tegas menolak lagi.
Ibu Guru Nur memang sengaja memindahkan praktek
shalat anak-anak kelas satu ibtidaiyah ke hari Ahad. Biar
anak-anak lebih rileks. Biar keluarga mereka ikut
mengantar. Lagian akan memakan waktu lama, sayang
dengan jadwal pelajaran reguler lainnya. Mereka bisa
menghabiskan hari minggu ini full untuk ujian hafalan
bacaan shalat anak-anak. Anak-anak juga senang datang hari minggu itu. Mereka
sudah berjejer rapi di halaman sekolah. Rapi memakai
seragam. Meskipun hampir semua anak memasang
tampang cemas, sibuk menghafal sendiri-sendiri, berbisik
sendiri-sendiri, khawatir lupa satu-dua bacaan saat maju
menghadap. Ummi ikut mengantar Delisa. Hari ini sekolah ramai
oleh ibu-ibu. Umminya Tiur yang batuk-batuk juga datang.
Sekolah seperti ada acara kecil. Memang setiap tahun Ibu
Guru Nur membuat ujian praktek shalat ini menjadi "pesta


Hafalan Shalat Delisa Karya Tere Liye di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kecil" saja. Yang tidak ada, ya itu, lemparan uang receh
logam. Saat Ummi dan Delisa berangkat tadi pagi. Cut Aisyah
dan Cut Zahra buru-buru memasang karton-karton itu di
depan rumah. Berwarna biru-biru-biru. Diberi hiasan biru-biru-biru. Fatimah tersenyum membacanya. Ah, mereka
berdua juga kakak-kakak yang baik!
Jam tujuh teng. Anak-anak berebut masuk kelas. Ummi menunggu di
luar, berbincang dengan Ummi Tiur (menanyakan
kesehatannya, menjanjikan akan menyuruh Fatimah
mengantarkan sweater buat Ummi Tiur, Ummi Tiur batuk,
tersenyum lemah. Berpikir lemah, ah, Ummi Salamah
benar-benar berhati emas, pantas anak-anaknya demikian
pula). Sementara di kelas, tegang sekali tampang anak-anak.
Masih berisik mencoba memanfaatkan sisa-sisa waktu.
Ibu Guru Nur mengambil daftar absen. Mulai
memanggil satu persatu anak-anak untuk membaca hafalan
shalatnya di depan kelas. Langsung praktek. Kelas terdiam
seketika. Satu anak maju. Anak-anak melotot memperhatikannya.
Sama-sama tegangnya. Anak yang maju itu pertama-tama
gugup. Patah-patah. Ibu Guru Nur menenangkan. Pelan-pelan mulai lancar. Dua puluh menit kemudian kelar. Ibu
Guru Nur mengangguk. Lulus! Menyerahkan selembar
kertas. Anak itu berlari senang keluar dari kelas.
Menunjukkan kertas tersebut. Ummi-nya menyambut riang.
Kelas jadi riuh lagi. Delisa menelan ludah. Ia gugup. Bagaimana kalau ia
tiba-tiba lupa bacaan shalatnya" Seperti mau sujud tadi
pagi. Ia kan tiba-tiba lupa begitu saja, Aduh bagaimana ini"
Satu anak lagi maju. Patah-patah juga. Lupa bacaan
ruku1. Bu Guru Nur membantunya. Patah-patah lagi.
Tetapi dia hafal hingga sisanya. Juga lulus! Delisa menarik
nafas lega. Gak pa-pa lupa sedikit tuh! Delisa menyeringai
senang. Otaknya langsung membayangkan kalung itu.
Kalung itu akan indah di lehernya. Urusan ini tidak sesulit
yang dibayangkannya. Dua anak lagi maju. Dua puluh menit masing-masing.
Lulus dua-duanya! Suasana berubah semakin santai. Tidak
sulit! Satu anak lagi maju. Nah yang ini benar-benar kacau.
Banyak lupanya. Ibu Guru Nur menggelengkan kepala.
Tidak lulus. Delisa menyeringai menenangkan diri, ia jauh
lebih baik dari anak barusan. Bersiap untuk maju.
"Alisa Delisa" Delisa menggigit bibir. Maju ke depan.
"Kamu pasti bisa sayang, kan ponten matema-tika-nya
kemarin dapat 9. Tertinggi di kelas!" Ibu Guru Nur
menatapnya sambil tersenyum. Menenangkan Delisa yang
muka keturunan-nya sudah memucat. Jadi kentara
tegangnya dibandingkan teman-temannya yang lain.
Delisa senang dipuji. Ia tiba-tiba jauh lebih lega (Ibu
Guru Nur sungguh pintar membesarkan hati). Delisa pelan
m enyebut taawudz. Sedikit gemetar membaca bismillah.
Mengangkat tangannya. Tangan itu bergetar meski suara
dan hati Delisa pelan-pelan mulai mantap. Va Allah, Delisa
siap untuk shalat yang sempurna untuk pertama kalinya
kepadaMu. Delisa siap melewati ujian praktek ini. Delisa
akan khusuk. "Allaahu-akbar!" xSxS Seratus tiga puluh kilometer
dari Lhok Nga. Persis ketika Delisa usai ber-takbiratul-ihram, Persis ucapan itu hilang dari mulut Delisa. Persis di
tengah luatan luas yang beriak tenang. Persis di sana!
LANTAI LAUT RETAK SEKETIKA. Dasar bumi terban
seketika! Merekah panjang ratusan kilometer.
Menggentarkan melihatnya. Bumi menggeliat. Tahan
kematian itu mencuat. Mengirimkan pertanda kelam-menakutkan.
"Allahu-akbar ka-bi-ra walham-dulillahi ka-si-ro....
Ya Allah, terban itu seketika membuncah bumi. Tanah
bergetar dahsyat, menjalar merambat menggentarkan
seluruh dunia radius ribuan kilometer. Bumi bak digoyang
tangan raksasa. Dan.... Ya Allah, air laut seketika bagai
mendidih. Tersedot ke dalam rekahan tanah maha luas itu.
Tahan kematian semakin mengerikan. Aroma tragedi besar
menggantung di langit-langit samudera. Ratusan ribu
penduduk Aceh dan sekitarnya tidak tahu. Milyaran
penduduk dunia belum tahu! Tetapi seribu malaikat
bertasbih di atas langit Lhok Nga. Melesat siap menjemput.
"Innashalati, wanusuki, wa-ma-... wa-ma-...wa-ma-yah-ya, wa-ma-ma-ti____
zSitZ Gempa menjalar dengan kekuatan dahsyat. Banda
Aceh rebah jimpa. Nias lebur seketika. Lhok Nga
menyusul. Tepat ketika di ujung kalimat Delisa, tepat ketika
Delisa mengucapkan kata wa-ma-ma-ti, lantai sekolah
bergetar hebat. Genteng sekolah berjatuhan. Papan tulis
lepas, berdebam menghajar lantai. Tepat ketika Delisa bisa
melewati ujian pertama kebolak-baliknya, Lhok Nga
bergetar terbolak-balik. Gelas tempat meletakkan bunga segar di atas meja Bu
Guru Nur jatuh. Pecah berserakan di lantai, satu beling
menggores lengan Delisa. Menembus bajunya. Delisa
mengaduh. Ummi dan Ibu-ibu berteriak di luar. Anak-anak
berhamburan berlarian. Berebutan keluar dari daun pintu.
Situasi menjadi panik. Kacau-balau. "Gempa! Gempa!!"
Orang-orang berteriak diluar sana.
"Innashalati, wanusuki, wa-ma-... wa-ma-... wa-ma-yah-ya, wa-ma-ma-ti....
xSxS Delisah gemetar mengulang bacaannya yang
terganggu tadi. Ya Allah, Delisa takut.... Delisa gentar
sekali.... Apalagi lengannya yang berdarah, membasahi baju
putihnya. Menyemburat merah. Tetapi bukankah kata
ustadz Rahman, sahabat Rasul bahkan tetap tak bergerak
saat shalat ketika punggungnya digigit kalajengking.
Bahkan salah satu sahabat rasul lainnya begitu tenang
shalat meski dua temannya baru saja dipancung, dan dia
juga akan dipancung setelah shalatnya. Mereka manusia-manusia pilihan begitu khusuk kala menghadap kepadaMu.
Delisa ingin untuk pertama kalinya ia shalat, untuk
pertama kalinya ia bisa membaca bacaan shalat dengan
sempurna, Delisa ingin seperti sahabat Rasul... Delisa ingin
seperti itu. Delisa ingin khusuk, ya Allah.
Delisa bergetar melanjutkan bacaannya.
"La sya-ri-ka-la-hu wa-bi-, wa-bi-, wa-bi-jalika-u-mir-tu
wa ana minal mus-li-min....
jtSjtS Ketika Delisa tiba di kalimat ini. Tiba di
penghujung kalimat itu. Bagai dipukul tenaga raksasa. Air
yang tersedot ke dalam rekahan tanah tadi kembali
mendesak keluar. Kembali menghempas berbalik. Sejuta
laksa air laut segera menderu menerpa amat ganas, bagai
tangan-tangan raksasa menuju bibir-bibir pantai. Mendesis
mengerikan. Bergemuruh menakutkan. Tingginya tak
kurang sepuluh meter. Kecepatannya bagai deru pesawat.
Melibas apa saja. "Al-ham-du-lillahirabbil 'a-la-min. Ar-rah-ma-nir-ra-him. Ma-li-ki-yau-mid-din...." xSxS Ibu Guru Nur yang
demi melihat Delisa tetap tak bergerak membaca hafalan
shalatnya, ikut tak bergerak di atas meja. Kelas sudah
hampir kosong. Ummi mencoba masuk ke dalam kelas.
Mencari Delisa. Tetapi gempa sudah reda. Kepanikan
sudah lewat. Delisa bungsunya tak kurang satu apapun
masih takjim membaca hafalan shalatnya. Ibu Guru Nur
juga masih duduk di atas kursi gurunya. Ummi menghela
nafas panjang menatapnya. Ia tiba-tiba merasa seperti
melihat ada kemilau indah
dari kerudung bungsunya. Ummi balik melangkah ke halaman sekolah, membantu
Ummi Tiur yang tadi terjatuh pas berlarian. Kekacauan
mulai terkendali. Meski, ya Allah mereka tak tahu,
kekacauan yang lebih besar siap menghantam.
"Ih-di-nas-siratol-mus-ta-qim....."
xSxS Seluruh isi perahu nelayan itu berseru panik saat
melihat lautan seperti ditinggikan puluhan meter begitu
saja. Perahu mereka yang puluhan kilometer dari bibir
pantai Lhok Nga mental oleh tenaga besar. Tidak
terjungkir, tidak berdebam terguling, tetapi mengerikan
sekali melihat ombak besar itu melewati mereka.
Menggentarkan menyaksikan tenaganya.
Mereka sedikitpun tidak berpikir, sejenak lagi gelombang
itu akan meluluh-lantakkan rumah-rumah mereka. Mereka
sudah terlampau pias. Menyaksikan deru ombak yang
semakin menjauh menjama h bibir pantai. Ombak itu
teramat tinggi! Ada yang tidak beres.
"Ar-ro-ai-tal-la-zi yu-kad-di-bu-bid-din. Pa-dja-li-kal-la-ji ya-du'ul... ya-du'ul... ya-du'ul____" Delisa lupa
Pendekar Kidal 6 Siluman Ular Putih 21 Setan Haus Darah Pendekar Wanita Penyebar Bunga 16
^