Pencarian

Hafalan Shalat Delisa 2

Hafalan Shalat Delisa Karya Tere Liye Bagian 2


kelanjutannya. Bu Guru Nur yang mulai reda dari tegangnya hendak
membantu. Delisa menggeleng-gelengkan kepalanya.
Kerudung birunya bergetar. Jangan! Jangan bantu! Delisa
bisa ingat kok.... Ya, jembatan keledai kak Aisyah.... Surat
itu kan tentang Tiur.... Tentang Tiur yang yatim... ah iya....
"ya-du'ul-ya-tim..."
Delisa menyeringai, tersenyum senang. Hafalan ini
mudah. Semua ini mudah. Asal ia tenang. Asal ia khusuk.
xSxS Gelombang itu sudah menyapu kota Banda Aceh,
dan sepanjang pesisir yang lebih dekat dengan muasalnya.
Orang-orang berteriak histeris. Tak bisa melakukan apapun
untuk menyelamatkan diri. Rumah bagai sabut yang
disaput air. Pohon-pohon bertumbangan bagai kecambah
tauge yang akarnya lemah menunjang. Tiang-tiang listrik
roboh tanpa ampun bagai lidi yang ditancapkan di pasir
basah. Mobil-mobil terangkat seperti mainan, dan orang-orang yang tidak beruntung terperangkap oleh arus kencang
mematikan. Menjemput maut.
"Sub-ha-nal-lah-rab-bi-yala-dzi-mi wa-bi-hamdih...."
Gelombang tsunami sudah menghantam bibir pantai
Lhok Nga. Orang-orang yang di pagi Ahad biasanya duduk-duduk menikmati hari di pasir pantai berteriak terperanjat.
Terkejut melihat betapa dahsyatnya ombak yang tiba. Plesir
mereka berubah menjadi tahan kematian. Terlambat,
gelombang itu menyapu lebih cepat. Tanpa ampun. Tanpa
pandang bulu. Pohon kelapa bertumbangan. Lapangan bola Delisa
tersaput begitu saja. Tiang-tiang gawang itu ditelan ombak.
Gelombang terus menyapu bersih rumah-rumah di bibir
pantai, muenasah yang indah. Meunasah itu lebur seketika.
RumahMu ya Allah! Terus bergerak mengerikan, mendekat ke sekolah Delisa.
Menyebar hawa maut tak terkirakan.
"Sa-mi-al-la-hu-li-man-ha-mi-dah...."
xSxS Gelombang itu menyentuh tembok sekolah.
Beberapa detik sebelumnya terdengar suara bergemuruh.
Juga teriakan-teriakan ketakutan orang di luar. Delisa tidak
melihat betapa menggentarkan saputan gelombang raksasa
itu. Delisa mendengar suara mengerikan itu. Tetapi Delisa
sedang khusuk. Delisa ingin menyelesaikan hafalan
shalatnya dengan baik. Ya Allah Delisa ingin berpikiran
satu. Maka ia tidak bergeming dari berdirinya.
Ujung air menghantam tembok sekolah. Tembok itu
rekah seketika. Ibu Guru Nur berteriak panik. Ummi yang
berdiri lagi di depan pintu kelas menunggui Delisa berteriak
keras.. .SUBH AN ALLAH! Delisa tidak mempedulikan
apa yang terjadi. Delisa ingin khusuk. Delisa ingin satu.
"Rab-ba-na-la-kal-ham-du...."
Tubuh Delisa terpelanting. Gelombang tsunami
sempurna sudah membungkusnya. Delisa megap-megap.
Ya Allah, ia selintas bisa melihat hadiah kalungnya.
Hadiah kalung itu sudah dekat. Ya Allah Delisa ingin terus.
Delisa ingin khusuk di shalat pertamanya yang sempurna.
Shalat yang ia hafal seluruh bacaannya.
Gelombang tsunami tanpa mengerti apa yang diinginkan
Delisa membanting tubuh Delisa keras-keras. Kepalanya
siap menghujam tembok sekolah yang masih bersisa. Delisa
terus memaksakan diri, membaca takbir setelah i'tidal....
"Al-la-hu-ak-bar...." Delisa harus terus membacanya!
Delisa tidak peduli tembok yang siap menghancurkan
kepalanya. Tepat Delisa mengatakan takbir sebelum sujud itu, te
pat sebelum kepalanya menghantam tembok itu, selaksa cahaya
melesat dari arasy Allah. Tembok itu berguguran sebelum
sedikit pun menyentuh kepala mungil Delisa yang
terbungkus kerudung biru.
Air keruh mulai masuk, menyergap kerongkongan
Delisa. Delisa terbatuk. Badannya terus terseret. Ya Allah,
Delisa ditengah sadar dan tidaknya ingin sujud.... Ya Allah,
Delisa ingin sujud dengan sempurna.... Delisa sekarang
hafal bacaannya.... Delisa tidak lupa seperti tadi shubuh.
Ya Allah Delisa sungguh tidak lupa seperti empat kali
sujud shubuh tadi pagi. Delisa hafal. Gemetar jemari Delisa
hendak memberikan tanda ia ingin sujud.... Tetapi
terlambat, ia terlanjur pingsan. jtSjtS Tubuh Delisa
terlempar kesana-kemari. Kaki kanannya menghantam
pagar besi sekolah. Meremukkan tulang-belulang betis
kanannya. Delisa sudah tak bisa menjerit lagi. Ia sudah
sempurna pingsan. Mulutnya minum berliter air keruh.
Tangannya juga terantuk batang kelapa yang terserat
bersamanya. Sikunya patah. Mukanya juga dilibat pelepah
batang kelapa itu, menimbulkan baret luka di mana-mana.
Muka yang menggemaskan itu. Muka yang riang. Sekarang
lebam tak berbentuk lagi. Dua giginya patah seketika.
Darah menyembur dari mulutnya. **
zSitZ Ibu Guru Nur yang saat terlempar dari ruang kelas
sempat berpegangan pada sebilah papan, beberapa detik
melihat tubuh Delisa yang terseret di dekatnya. Ibu Guru
**Ya Allah... lihatlah'. Gadis kecil itu sungguh ingin
sujud kepadaMu... sungguh hanya ingin sujud kepadaMu
dengan sempurna untuk pertama kalinya. Tetapi sekarang
ia tak bisa melakukannya'.
Ya Allah, bukankah banyak sekali orang-orang jahat,
orang-orang munafik, orang-orang fasik yang bisa
semaunya melakukan hal-hal buruk di dunia ini. Engkau
sungguh tak menghalanginya'. Tetapi Delisa'. Ya Allah
Delisa justeru hendak sujud kepadaMu.... Hendak sujud'.
Kenapa Kau membuatnya pingsan sebelum ia sempat
melakukannya. Kenapa"Ya Allah, kenapa. Aku bertanya....
Aku butuh penjelasan.... Seribu malaikat bertasbih. Seribu
malaikat mengungkung langit lhok Nga. Turun enatap
semua itu. Dan mereka tidak melakukan apa-apa'.
*** Nur berseru panik demi melihat tubuh Delisa yang
muncul-tenggelam. Tersedak karena seruannya membuat ia
meminum air kotor lagi. Sambil menahan sakit badannya
yang setengah menit terakhir terhujam benda-apa-saja, Ibu
Guru Nur ber-takbir lemah "Allahu-akbar" mengayuh
tangannya sekuat tenaga mendekat. Tubuh itu mulai
tenggelam. Ibu Guru Nur dengan sisa-sisa kekuatan yang ada
berjibaku mendekati tubuh Delisa. Mulutnya tersedak.
Meminum lebih banyak air lagi. Tapi ia tidak peduli.
Gemetar tangan Ibu Guru Nur menggapai. Sakit sekali,
tangan itu terhantam balok kecil. Ibu Guru Nur menggigit
bibir keras-keras. Ia harus berhasil menyentuh Delisa tepat
waktunya. Tangan itu setelah kesekian kalinya panik mengaduk-aduk air yang semakin gila menyeret, akhirnya berhasil
mencengkeram kerudung biru Delisa persis sebelum Delisa
sempurna tenggelam. Ibu Guru Nur menariknya kencang-kencang. Sekencang tenaganya bersisa.
Kerudung Ibu Guru Nur robek entah dihantam apa saat
berusaha menarik tubuh Delisa. Tangannya berdarah-darah. Ia setelah tersengal-sengal berhasil meletakkan
Delisa di atas papan. Tetapi ia segera menyadari sesuatu.
Papan itu terlalu kecil. Tidak muat untuk mereka berdua.
Tak akan mampu menampung dua nyawa. Papan itu pelan
mulai tenggelam.** *** Tubuh Delisa mulai tenggelam. Tubuh Delisa mulai
menjemput kematiannya. Tubuh delisa-Ya Allah, lihatlah'.
Aku mohon.... Itu permohonanku yang pertama.
zSzS Ibu Guru Nur tidak sempat berpikir panjang. Saat
tubuh mereka berdua mulai perlahan tenggelam, Ibu Guru
Nur melepas kerudung robeknya. Mengikat tubuh Delisa
yang pingsan di atas papan sekencang yang ia bisa dengan
kerudung itu. Lantas sambil menghela nafas penuh arti,
bergetar tangan berlaksa maksud, gemetar bibir
memanggang makna, melepaskan papan itu dari tangannya
pelan-pelan, sebilah papan dengan Delisa yang pingsan
terikat kencang di atasnya.
"Kau, harus menyelesaikan hafalan itu, sayang.... Kau
harus menyelesaikannya!" Ibu Guru Nur berbisik sendu.
Menatap sejuta makna. Ma tanya meredup. Tenaganya sudah habis. Ibu Guru Nur bersiap menjemput syahid.
Akhir yang indah baginya! **
Tubuh lemah Delisa terus terseret jauh gelombang
tsunami. Terikat di atas papan. Bersama ribuan orang
lainnya. Hari itu pagi Ahad, 26 Desember 2DD4. Penduduk
dunia mencatatnya! Hari itu pagi Ahad, 26 Desember 2004. Penduduk langit
mencatatnya. Mencatat manusia- manusia terbaik....
** Ya Allah, padahal banyak sekali manusia, yang
katanya mahkluk terbaik ciptaanMu, bahkan memiliki
berjuta bilah papan yang bahkan cukup untuknya hidup
sejuta tahun.... Bilah papan yang tak pernah berbagi....
Bilah papan yang dimakan sendiri.... Demi nafsu dunia dan
cinta materi.... Tetapi lihat/ah, mereka hanya punya sebilah
papan. Hanya punya sebilah nyawa yang akan
diselamatkan. ** Seribu malaikat mengungkung langit lhok Nga
memuji namaMu ya Allah.... Seribu malaikat
mengungkung langit lhok Nga menyebut asmaMu ya
Allah.... tak pernah seperti itu semenjak Ibrahim a/ Pasai
memilih turun dari tahtanya. Meninggalkan seluruh
kenikmatan dunia demi berbagi di kerajaan Samudera
Pasai. Seribu malaikat mengucap salam untuk Ibu Guru
Nur. 6. Berita-berita di tev e
"Mam, look!" anak kecil berambut pirang,
mengenakan kaos putih polos, celana selutut, memakai
sepatu berkaos kaki berteriak memanggil ibunya.
Sebenarnya tak perlu-lah berteriak, mereka berdua duduk
bersama dalam ruang keluarga yang nyaman, terang
benderang. Hiasan natal tergantung di mana-mana. Salju turun
lembut diluar. Pagi yang indah. Setelah semalaman
merayakan christmas eve yang tenang. Pohon cemara
kerlap-kerlip menambah nyaman ruangan tersebut. Kaos
kaki sinterklas tergantung di dinding, dipenuhi kotak-kotak
hadiah. Sang ibu yang sedang membaca, menoleh. Melihat
anaknya yang terhenti menyusun balok-balok bangunan
(hadiah tadi malam juga). Ikut menatap teve, di mana
tangan anak tersebut tertunjuk.
Gempa berkekuatan 8,9 skala richter menghantam
bagian utara pulau Sumatera, Indonesia. Banda Aceh,
Sumatera Utara dan sekitarnya. Konfirmasi terakhir
mengatakan sekitar 3.000 orang meninggal. Tidak ada yang
tahu apakah korban akan bertambah atau tidak. Yang pasti,
gempa tersebut merupakan salah satu gempa terbesar yang
pernah terjadi di daerah tersebut. Bahkan di seluruh dunia.
Si Ibu menyeringai pelan. Pembawa acara News
Morning! CNN di layar teve pindah ke berita lainnya.
Berita itu mungkin biasa-biasa saja di salah satu
neighborhood sudut kota Helsinki, Finlandia tempat
rumahnya berada. Apalagi kejadian itu puluhan ribu
kilometer dari negara mereka. Tetapi istilah ujung pulau
Sumatera, Indonesia penting bagi keluarga itu. Banda Aceh!
Jangan-jangan! Si Ibu mendadak mendesis cemas.
Tergesa bangkit lantas berlari, gemetar menyambar gagang
telepon di atas meja. Bergetar menekan tombolnya.
Ketukan di tombol nomor pesawat telepon
bertransformasi menjadi perintah. Berubah menjadi kode
binari. Melesat melalui jaringan kabel optik kota Oslo.
Melesat menuju satelit melalui kubah pemancar. Lantas
dilemparkan ke atas samudera Indonesia. Tiba di satelit
palapa C-2. Turun menghujam ke bumi. Ke kota yang baru
saja remuk oleh bencana. Telepon genggam suaminya bergetar. Bernyanyi riang.
Mendesiskan lagu "My way". Pelan, penuh tenaga. Bukan
hanya pholyponic, melainkan dengking lagu yang
sempurna. Sayang. Jemari itu sudah membeku. Tangan itu
tertimbun sampah dan lumpur. Muka bule itu sudah tak
dikenali. Hanya HP satelit yang water resistance itulah yang
menunjukkan kehidupan. Sisanya tidak. Tidak juga radius
puluhan kilometer dari tubuh membeku itu. Hening.
Kepedihan baru saja memanggang kota ini.
Dr Michael J Fox. Pakar sosiologi universitas ternama
Helsinki, Finlandia menjemput maut, saat melakukan
penelitian tentang struktur dan tingkah laku religius
masyarakat Banda Aceh dan Lhok Nga.
Mahal sekali! Mengingat dia membutuhkan tak kurang
enam bulan hanya untuk mendapatkan ijin ke Banda Aceh
dan Lhok Nga. Mahal sekali! Mengingat anaknya Junior
yang berumur enam tahun ringan kembali meneruskan
menyusun balok, tak tahu apa yang telah terjadi pada papa-nya, baru tahun-tahun mendatang mengerti makna tent
ang hilang dan kehilangan. Mahal sekali! Mengingat istrinya
berteriak panik, gemetar menghubungi siapa saja yang bisa
ia hubungi. Mahal sekali! Mengingat seharusnya dia bisa saja
menghabiskan waktu perayaan natal bersama keluarga
tercinta tadi malam. Bukan malah menjemput maut di
negeri antah-berantah. Musnah! Semuanya musnah. Benar-benar tak bersisa.
Masalahnya informasi menyebar amat lambat
dibandingkan gelombang tsunami yang meluluhlantakkan
semua. Informasi bergerak merangkak. Terpotong-potong.
Sore hari. Dunia masih menyeringai! Kabar gempa itu
seperti tak ada bedanya dengan bencana dunia lainnya.
Makan siang masih indah. Menyeruput teh sambil
mencelupkan roti tawar masih nyaman. Bercanda dengan
teman dekat masih menyenangkan. Tak ada yang perlu
dikhawatirkan. Bukankah gempa bumi dan bencana alam
lainnya sering melanda bumi belakangan. Topan di
Amerika. Banjir besar di China. Bahkan perang di
Afganistan dan Irak saja mereka santai-santai. Pembantaian
di Palestina dan Checnya mereka oke-oke saja.
Lagi pula Indonesia bukan negara penting.
Tetapi puluhan wartawan tetap melesat menuju lokasi.


Hafalan Shalat Delisa Karya Tere Liye di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Skala gempa itu tinggi! Ada yang tidak beres. Wartawan
yang masih tersisa di Banda Aceh dan sekitarnya berjuang
mengirimkan tragedi yang sesungguhnya. Apa daya. Apa
yang bisa digunakan lagi" Kehidupan kembali primitif. Tak
ada pemancar, tak ada telepon, tak ada listrik. Semuanya
tak ada. Yang banyak di sini hanyalah kesedihan. Yang banyak di
sini hanyalah muka-muka kehilangan. Yang banyak di sini
adalah sisa-sisa kerusakan. Mayat! Bangunan hancur!
Pohon tumbang! Tumpukan sampah!
Malam hari. Berita pertama melesat. Gempa itu diikuti
gelombang tsunami! Kekhawatiran memuncak. Korban
tewas diperkirakan 15.000. Dunia mulai tersentak. Gambar
satelit ditayangkan teve-teve dunia yang memiliki teknologi
canggih. Makan malam mulai tak menyenangkan. Akhir pekan
sekaligus akhir tahun yang indah terganggu. Mengernyitkan
dahi. Keprihatinan mulai menjalar.
Sungguh berita seperti itu saja sudah menggentarkan.
Tak ada yang menyangka ternyata jumlah korban sepuluh
kali lipat lebih menggentarkan. Bahkan tetap tidak ada yang
tahu persis, jumlah korban enam bulan kemudian. Juga
hingga hari ini. Orang-orang mulai mengambil sikap!
"Kami harus berangkat ke Indonesia, Prof. Strout!" Istri
Michael J. Fox menahan tangis.
"Bersabar, Jinny! Tak ada yang bisa kita lakukan selain
menunggu!" "Bagaimana aku bisa bersabar profesor! Menurut CNN
korban sudah mencapai 15.000, bahkan diperkirakan lebih!
Kita tidak tahu apa yang terjadi dengan suamiku! Telepon
satelitnya tidak pernah diangkat! Itu jauh lebih mengganggu
dibandingkan tidak ada nada panggil misalnya!" Istri
Michael mulai tidak terkendali.
Prof. Strour mengenggam lengannya. Menghela nafas
panjang. Berbisik berkali-kali. Sabar! Situasi ini sungguh
tidak terkendali. Dia juga sama sekali tidak tahu harus
melakukan apa, selain mendekap istri kolega terbaiknya.
Malam itu, di rumah dekat kampus universitas Helsinki
yang bermandikan lampu hias. Lampu-lampu perayaan
natal. Lampu-lampu perayaan tahun baru. Kesedihan
merambat tak pandang bulu. Kehilangan melingkupi tak
mengenal ampun. Meski sayangnya terkadang hanya
berbilang waktu singkat saja!
Manusia memang bebal soal belajar dari berbagai
kejadian. Dan semuanya memang sungguh tak terkendali. Tak ada
yang mengerti harus melakukan apa 24 jam kemudian.
Indonesia bagai diguncang gempa berikutnya yang lebih
dahsyat. Kepanikan melanda di mana-mana. Anak-anak
perantauan Aceh dan yang berkepentingan lainnya berebut
mencari tahu. Apa yang sebenarnya terjadi di pagi hari
Minggu ketika hujan gerimis hampir membasuh seluruh
Indonesia. Apa yang terjadi di Banda Aceh dan sekitarnya.
Bandara dipenuhi orang-orang yang ingin mencari tahu.
Stasiun teve berebut mengirimkan orang-orang terbaik
mereka. Kecemasan melanda. Ketakutan muncul di mana-mana. Desah nafas tertahan, terdengar bagai menghitung
waktu mundur kala menonton tayangan teve yang perlahan
mengerikan. Semakin lama volumenya semakin bertambah.
Semakin membesar. Senin siang! Bencana itu semakin jelas. Angka kor
ban memang lambat bertambah. Tetapi itu urusan birokrasi.
Dunia sudah mendapatkan gambar-gambar! Dunia sudah
mendapatkan gambaran. Apa gunanya semua satelit itu.
Meskipun koran-koran nasional baru bergegas
menayangkan foto satelit itu beberapa minggu kemudian.
Gambaran itu bahkan separuh pun belum benar. Walau
separuh pun belum benar, cukup sudah untuk membuat
kaki kami lemas berdiri. Teve-teve mulai menayangkan doa.
Orang-orang semakin jelas mengambil sikap.
Panglima perang Indonesia mengontak negara-negara
sahabat. Bantuan harus segera dikirimkan. Apa saja yang
ada! Apa saja yang tersedia!
Di sana-sini memang masih terdapat keraguan. Masih
terdapat sisa-sisa kemunafikan. Masih terdapat gagap
bertindak. Tetapi itu hanya soal hitungan menit. Ketika
semua mulai jelas tersingkap. Hati itu luluh.... Entah besok
bisa jadi hitam menggumpal lagi, itu urusan lain!
Helikopter tempur berbagai negara, bantuan obat-obatan
militer negara-negara seberang melesat menuju ujung pulau
Sumatera. Sama cepatnya dengan ucapan belasungkawa.
Teve-teve mulai menggurat kesedihan di layar. Mulai
mendendang lenguh ratapan. Mulai memukul tifa luka
berenda air mata. Memilukan. Menatap potongan gambar
yang sebenarnya jauh dari lengkap. Video amatir menghias
profesional bingkai teve di rumah-rumah warga.
Makan siang sungguh tidak enak lagi! Sungguh
semuanya hancur. Sungguh semuanya musnah. Ya Allah,
kami tidak pernah melihat kehancuran seperti ini. Kota itu
tak bersisa, kota ini luluh lantak hanya meninggalkan
berbilang kubah masjid, kota itu menjadi coklat, kota ini tak
berpenghuni lagi. Kota ini! kota itu!
Kota-kota kami. "Bangsa Amerika ikut berduka cita...." Bush Junior
berkata datar. Esoknya dia dicerca rakyat negerinya sendiri
sebagai pemimpin negeri besar yang tidak tanggap dan tidak
peduli. Tetapi itu urusan mereka.
Urusan kita sekarang adalah di mana Delisa"
Di mana Delisa, wahai pemilik alam semesta"
Saat Bush berkata demikian....
Delisa justeru sedang bermimpi.
Ummi, Cut Fatimah, Cut Aisyah, Cut Zahra dengan
pakaian bercahaya menjemputnya di ujung taman indah.
Taman berjuta pohon, taman berjuta bunga, taman berjuta
warna. Ummi dan kakak-kakaknya bercengkerama riang.
Mereka berempat berjalan bergandengan. Tersenyum
menawan. Menjemput janji. Mereka berjalan di depan
Delisa menuju gerbang taman tersebut. Pakaian putih
mereka berkibar elok. Burung-burung camar melenguh di sekitar mengiringi.
Cahaya matahari redup menyenangkan. Gerbang taman itu
indah sekali. Delisa sedang duduk, saat mereka datang. Hei! Delisa
tidak bisa bergerak. Delisa tidak bisa berdiri. Dan mereka
berempat mengapa hanya berlalu begitu saja melewati
Delisa. Ummi, kak Fatimah, kak Aisyah, kak Zahra
melangkah menjauh, tidak menoleh. Bukankah mereka
akan menjemputku" Delisa panik. Tidak! Bagaimana mungkin mereka hanya
lewat begitu saja di depannya. Lewat di depannya yang
sedang duduk di atas tepi jalan menuju gerbang taman
tersebut. Tidak! Ia tidak i ngin seperti di pasar Lhok Nga. Ia
tidak ingin tertinggal. Bagaimanalah ia akan mencari tahu
di mana mereka kalau ia sampai tertinggal.
Bukankah tidak ada siapa-siapa kecuali mereka di sini.
"UMMI!" Delisa berteriak kencang. Berusaha
menggerakan kakinya. Berusaha berdiri. Berusaha
merangkak dari tepi jalan tersebut.
Ummi tidak mendengar. "KAK FATIMAH!" Delisa mulai panik. Bagaimana
mereka tak mendengarnya. Bagaimana mereka tak tahu
kalau aku tertinggal di belakang.
Kak Fatimah tidak mendengar.
"KAK ZAHRA!" Delisa semakin panik.
Kak Zahra sama sekali tidak mendengar.
Ya Allah, apa yang terjadi dengan semua ini. Delisa
takut. Delisa gentar. Delisa tak ingin ditinggal sendiri.
Kemanapun mereka akan pergi.... Delisa ingin ikut. Delisa
ingin ikut. Delisa meronta-ronta. Badannya tetap saja tak
bergeming. Apa yang terjadi dengan tubuhnya. Bagaimana
Delisa sedikitpun tidak bisa bergerak untuk menyusul
mereka. "KAK AISYAH!" Delisa tersengal. Suaranya lebih dari
panik sekarang. Ia berteriak sekencang yang ia bisa.
Suaranya parau. Parau oleh tangisan. Parau oleh
kecemasan. Dan kak Aisyah sedikitpun tidak mendengar.
Empat sosok ind ah itu hilang di bawah bingkai gerbang
taman indah. Meninggalkan Delisa yang terduduk di tepi
jalan. Sendiri! Begitu saja.
"Putar kemudi!" Laksamana Jensen Hawk berkata
dingin. Raut mukanya menegang. Bibirnya berkedut-kedut.
Perintah itu bagai seribu kartu yang berdiri dideretkan di
atas meja, kemudian dirobohkan ujungnya. Langsung
rebah. Menjalar hingga ke ujungnya. Kapal induk John F.
Kennedy yang menggunakan reaktor nuklir sebagai bahan
bakarnya langsung berputar haluan. Ribuan kelasi dan
pasukan yang ada di atas kapal diberitahu. Bagai seribu
kartu yang roboh, perintah itu menjalar.
Perintah super-penting. Menuju ujung utara pulau
Sumatera. Tak ada prajurit yang bertanya kenapa" Meski mereka
sebentar lagi akan tiba di rumah. Tak ada dengung
keberatan. Meski mereka sebentar lagi akan bertemu
dengan keluarga masing-masing. Meski mereka bersiap
libur setelah lama bertugas menjaga dunia.
Di mana Delisa" Saat laksamana di Kapal Induk mengatakan kalimat
tersebut, Delisa sedang bermimpi bertemu Ibu Guru Nur.
Ibu Guru Nur datang mendekat. Melangkah tersenyum.
Mengelus kerudung biru Delisa. Mengusap air mata Delisa
yang jatuh berderai. Mendiamkan Delisa yang menyebut
lemah dan tersedan Ummi, kak Fatimah, kak Aisyah, dan
kak Zahra. Ibu Guru Nur datang dengan kerudung indah. Kerudung
itu bagai dari air. Kerudung itu sungguh bagai air. **
"Jangan menangis, sayang!" Ibu Guru Nur tersenyum.
Merengkuh Delisa dalam pelukan.
"D-e-l-i-s-a t-a-k-u-t!" Delisa terisak.
"Apa yang kau takutkan, anakku"" Ibu Guru Nur
menatap amat mempesona. "Ummi, kak Fatimah, kak Aisyah, kak Zahra pergi...
Pergi... tak mengajak Delisa!"
** Ya Allah, aku pernah sekali melihatnya'. Jadikan ia
sebagai kerudung yang akan dipakai "perhiasan terbaikku".
Pinjamkan ia di atas kepala kekasih dunia-akheratku'.
"Mereka tidak ke mana-mana sayang...."
"Tetapi.... Tetapi Delisa takut s-e-n-d-i-r-i...."
Ibu Guru Nur mengusap pelan lengan Delisa.
Tersenyum lembut. Matanya bening menatap lamat-lamat.
"Kau memiliki lebih banyak teman dibandingkan seluruh
dunia dan seisinya, Delisa...."
Delisa menatap tak mengerti. Delisa menatap tak paham.
Bukankah ia jelas-jelas sendiri di depan taman indah itu.
Badannya tidak bisa bergerak. Tak bisa menyusul Ummi
dan kakak-kakaknya tadi. Bukankah tak ada siapa-siapa di
sini" Ibu Guru Nur tidak menjelaskan lebih lanjut seperti
biasanya kalau di kelas Delisa menatap dengan ekspresi
yang sama seperti itu. Ibu Guru Nur hanya tersenyum lagi.
Mengusap kerudung biru Delisa lagi. Delisa terdiam.
Senyuman dan usapan itu menenangkan. Delisa perlahan
berhenti dari sedu sedannya.
Membalas tatapan Ibu Guru Nur. Menatap betapa
indahnya kerudung Ibu Guru Nur.
"Kerudung Ibu Guru Nur indah sekali!" Delisa berkata
lemah. Tangannya menyentuh kerudung itu. Bagai
mengalir di jemari. Bagai menembus ujung-ujung jari.
Ibu Guru Nur tersenyum. "Ini kerudungmu sayang.... Ini kerudung yang kau
pinjamkan.... Kaulah yang membuat Ibu mendapatkan
kerudung seindah ini.... Ketahuilah, sayang, kau kelak akan
mendapatkan kerudung yang sepuluh kali lebih indah dari
kerudung ini.... Kau akan mendapatkannya. Kami semua
akan menunggumu...."
Ibu Guru Nur tersenyum. Mengelus kepala Delisa untuk
terakhir kalinya. Beranjak berdiri. Dan sebelum sempat
Delisa bertanya, atau apalah, Ibu Guru Nur sudah
melangkah menuju taman indah itu.
Delisa panik lagi. Ya Allah, Ibu Guru Nur mau kemana"
Delisa tidak ingin sendiri. Delisa tidak mau sendiri.
Bukankah Ummi, kak Fatimah, kak Aisyah, kak Zahra juga
sudah pergi meninggalkannya tadi"
"IBU GURU NUUUURM" Delisa berteriak parau.
Ibu Guru Nur tidak mendengarkan.
Elementary School Rose The Elizabeth. Tepat di jantung
kota London. Michelle dan Margaretha, kembar enam
tahun berdiam diri. Mukanya tertunduk takjim. Tangannya
merapat. Mata birunya terpejam. Seluruh isi kelas hening.
Tadi pagi sebelum mereka memulai pelajaran kelas satu.
Michelle dan Maragaretha berdiri di depan kelas.
Memimpin doa-doa. Berkata lemah.... "Untuk teman-teman
kami di Aceh.... Untuk teman-teman kami di
Indonesia....11 * * Ya Allah, bahkan mereka sekecil itu tahu
apa yang harus mereka lakukan'. Bahkan mereka sekecil itu tahu arti
ikut merasakan.... Ikut berbagi.... Ya Allah, sungguh ada
banyak sekali orang-orang yang bahkan tidak tahu buat apa
mereka hidup di dunia ini.... Tidak tahu Kau akan bertanya
banyak kelak di penghujung pengadilan. Tidak tahu kau
akan meminta seluruh pertanggung-jawaban kelak. Tidak
tahu semuanya pasti mendapatkan balas walau setitik d
jarah. Di mana Delisa" Delisa sedang bermimpi lagi ketika Michelle dan
Margaretha, kembar enam tahun berdiam diri. Ketika dua
muka kembar itu tertunduk memimpin do'a teman-temannya.


Hafalan Shalat Delisa Karya Tere Liye di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lewat di depan Delisa yang terduduk tak bisa bergerak:
Tiur, Ummi Tiur dan kakak-kakak Tiur.
"D-e-l-i-s-a!" Tiur tersenyum riang berlari memeluknya.
Ummi Tiur tidak batuk, tidak terlihat sakit. Ummi Tiur
amat sehat dan tersenyum bahagia. Kakak-kakak Tiur tidak
bertampang kusut seperti biasanya kalau mereka sedang
mengangkut barang-barang di pasar Lhok Nga. Wajah
mereka bahagia.... Meski tak secemerlang Ibu Guru Nur
tadi. "Tiur akan bertemu Abi!" Tiur berkata riang.
"Tiur mau kemana"" Delisa menatap tak mengerti.
"Tiur akan bertemu Abi!" Tiur menunjuk gerbang taman
yang indah itu. Delisa tidak mengerti.
Ummi Tiur membimbing Tiur berdiri. Delisa baru
mengerti. Mereka akan pergi ke sana. Sama seperti Ummi,
kak Fatimah, kak Aisyah, kak Zahra, dan Ibu Guru Nur.
Delisa sekarang mengerti. Ia akan sendirian lagi.
Rombongan itu meneruskan langkahnya. Tiur berontak
semakin beringas. Membentak kakinya yang tak bisa
bergerak. Membentak badannya yang tak bisa bergerak.
"TIUR!" Delisa berteriak.
Tiur tidak mendengarkan. "TIUUUR!" Kakak-kakaknya juga tidak bergeming.
"Ya Allah.... Tiur, j-a-n-g-a-n p-e-r-g-i...." Delisa
menyebut namaMu dengan lemah. Suaranya habis sudah.
Dan sekali ini Ummi mendengarkan. Ummi Tiur
menghentikan langkahnya. Berbalik. Beranjak mendekati
Delisa. Delisa tersedan, tangannya menggapai-gapai tubuh
Ummi Tiur yang mendekat lagi. "Ummi, Delisa ingin ikut!"
Ummi Tiur tersenyum. Menggeleng.
"Ummi, Delisa ingin ikut!"
Ummi Tiur beranjak duduk. Lembut mengelap air mata
Delisa. Mencium kening Delisa penuh makna. Berbisik
lemah. "Delisa harus tinggal, sayang...."
"DELISA MAU IKUT!"
"Delisa harus menyelesaikan hafalan itu, saya-ng.,.."
"DELISA TIDAK MAU SENDIRIAN!"
"Kau memiliki lebih banyak teman dibandingkan seluruh
dunia dan seisinya, sayang!"
Ummi Tiur beranjak berdiri. Melangkah anggun menuju
gerbang taman indah itu. Delisa terperangah. Delisa
nelangsa. Delisa sendiri lagi.
SBY-JK tergesa memasuki ruang rapat istana. Rapat
kabinet super-mendadak. "Ini masalah serius! Kita harus
melakukan banyak hal...." Suara itu sayangnya terdengar
"biasa-biasa" saja!
Kemarin-lusa dia datang ke Banda Aceh, lengkap dengan
pakaian super-rapi. Disetrika. Seperti berkunjung atau
plesiran. Bagai anjangsana ke Dufan atau Taman Safari
atau entahlah. Menyerahkan sekotak mie! Memangnya kesedihan ini bisa ditukar dengan mie,
walau jumlahnya bisa ditumpuk memenuhi langit Aceh!
Delisa terbatuk pelan. Abi Usman yang sedang bertugas di ruang mesin
sepanjang dua hari dua malam (mesin itu bermasalah lagi)
dihampiri teman negro-nya.
"Kamu sudah lihat berita sepanjang dua hari ini, buddy""
Abi tersenyum. Menoleh. Menyeka tampangnya yang
belepotan oli dan sebagainya. Tidak mudah pekerjaannya
sebagai maintenance ka pal tanker ini. Menatap negro itu
ramah. Menunjuk mesin yang sedikitpun tidak tahu apa
masalahnya sejak minggu pagi. Abi hanya beristirahat jika
malam tiba. Abi hanya bersitirahat saat jam makan dan
shalat datang. Dia benar-benar pekerja yang amanah!
"Ada gempa!" Wade, si negro menguap-me-ngantuk.
"Di mana"" Abi melanjutkan pekerjaannya. "Di Aceh!"
Abi menoleh. Semoga tidak serius. "Ada tsunami!"
"Di mana"" intonasi pertanyaan Abi mulai serius. "Di
Aceh!" Abi mengucap innalillah untuk yang kedua kalinya.
Semoga tidak serius. Menghentikan pekerjaannya lagi. Abi
mulai tidak enak di hati.
"CNN bilang sudah 15.000 orang korbannya!"
Tidak perlu dua kali. Abi melempar kunci Inggris di
tangannya. Melesat menuju tangga menuju palka atas.
Delisa batuk untuk yang kedua kalinya. Abi berseru tertahan menatap potongan gambar-gambar
itu! SUBH AN ALLAH! Abi sudah tak bisa berpikir lagi. Dengan pakaian
kotornya, dengan lengan kotornya, sambil men-desiskan
nama Ummi, Delisa, Aisyah, Zahra, dan Fatimah, Abi
sudah berlari kencang-kencang menuju ruangan kepala
maintenance. Dia harus pulang! Tak ada yang tahu apa yang terjadi dengan istri tercinta,
dan empat malaikat kecilnya. Tak ada yang tahu.
Dia harus segera pulang! Jemari Delisa gemetar. Bergerak kecil-kecil.
7. Burung-b urung pembawa buah
Delisa tak bisa bergerak, kaki kanannya hingga ke betis
sempurna terjepit di sela-sela dahan semak. Tubuh
mungilnya terjerambab di atas semak belukar tersebut.
Badannya terbaring dengan bagian sebelah kiri menyentuh
tanah. Kaki kanannya menggantung tak berdaya.
Muka Delisa biru lebam, sekujur tubuhnya juga penuh
baret dan luka, sisa garutan pelepah pohon kelapa, ranting-ranting pohon lainnya, benda-benda yang menghantam
tubuhnya sepanjang terseret gelombang tsunami, juga
semak-semak yang sekarang mencengkeram kaki kanannya.
Betis kanannya sungguh menyedihkan. Remuk. Darah
membeku menggumpal. Delisa nyaris telanjang. Seragam
sekolahnya robek besar di mana-mana, roknya lepas hanya
menyisakan celana dalam, itupun belepotan lumpur. Tubuh
itu meng-kerut kedinginan. Tubuh itu penuh biru lebam
oleh guratan luka. Sisa gelombang tsunami yang tak kenal
ampun enam hari lalu. Kerudung birunya hampir terbelah dua. Tersangkut di
lehernya. Rambut pirang Delisa kotor dan semrawut,
dedaunan menempel seperti sarang burung. Tubuh itu sama
sekali tidak mir ip manusia lagi. Tubuh itu bengkak
mengerikan. Tetapi Delisa masih bernafas.
Delisa masih hidup. Terseret empat kilometer hingga ke
kaki bukit Lhok Nga. Tersangkut di semak-semak.
Siku kanan Delisa juga patah! Sempurna sudah, ia tidak
berdaya. Hanya menggantung terbaring. Dengan badan
sebelah kiri menyentuh becek tanah yang sudah mengering.
Sebelah kanan badannya terjepit semak-belukar.
Matahari siang memanggang tubuhnya!
Delisa lama hanya mengerjap-ngerjapkan mata. Hening.
Senyap. Tak ada siapa-siapa. Di tempatnya tersangkut,
harusnya banyak orang. Bukankah kaki bukit ini masih
bagian kota Lhok Nga" Tetapi tidak ada siapa-siapa. Sepi.
Bukankah di sini banyak rumah-rumah" Kenapa tinggal
puing reruntuhan kayu dan timbunan sampah. Pohon-pohon bertumbangan.
Kemanakah orang-orang. Mata Delisa berkedip-kedip. Silau. Sinar terik matahari
mengembalikan panca inderanya. Delisa reflek
menggerakkan tangan kanannya. Ya Allah, sakit. Sungguh
sakit. Delisa meringis. Delisa menahan sesak. Sakitnya
lebih sakit dari suntikan dokter waktu ia demam dulu.
Lebih sakit juga dibandingkan saat bahunya di suntik
imunisasi di sekolahan. Siku tangan kanannya, tak bisa digerakkan.
Tulang tangannya tak mau menurut perintah, menolak
mentah-mentah digerakkan dengan rasa sakit itu. Delisa
mencoba berdiri. Semuanya juga sakit. Bagaimanalah ia
bisa berdiri dengan tubuh lemah dan terjepit seperti ini.
Delisa menahan tangis. Sakit ini sungguh tak tertahankan.
Kalau ia tidak ingat dulu Ummi berkali-kali menasehatinya
agar tak mudah menangis, dari tadi ia akan menangis.
Ummi" Delisa tiba-tiba ingat Ummi. Ya Allah di mana Ummi.
Kepala Delisa berputar mencari. Di mana pula kak
Fatimah" Kak Zahra" Kak Aisyah" Di mana mereka"
Pelan kenangan itu kembali. Lambat Delisa mengingat
kejadian enam hari lalu. Delisa sama sekali tidak pernah
tahu, hampir seminggu ia sudah terjerambab di atas semak-belukar tersebut. Sekolah! Ia di sekolah pagi itu. Ia, Ia
bukankah sedang menghadap Ibu Guru Nur menghafal
bacaan shalat. Ibu Guru Nur" Di mana Ibu Guru Nur sekarang" Delisa semakin
memaksakan kepalanya terus berputar. Di mana teman-teman sekelasnya. Bukankah ramai sekali" Anak-anak yang
sama sepertinya sedang menunggu dipanggil menghadap.
Ujian praktek shalat. Di mana Tiur, teman sebangkunya di
kelas" Tiur" Ya Allah, untuk yang satu ini Delisa tak perlu bersusah
payah mencarinya. Persis lima langkah di depannya, mayat
Tiur yang lebam terbaring begitu saja. Tertelentang
menghadap langit. Dan muka beku Tiur persis men
garah kepada Delisa yang tersangkut. Muka itu tidak seburuk
muka Delisa yang lebam. Delisa dengan cepat bisa
mengenalinya. Mengenali mayat Tiur yang pucat tak
berdarah. Mayat Tiur yang terbaring mengerikan di
hadapannya. Seketika Delisa mengeluh panjang. Keluhan gentar.
T-i-u-r" ** Delisa gemetar menahan tangis. Ia takut. Ia takut sekali
menatap mayat Tiur. Memandang tubuh membeku teman
terbaiknya. Delisa berusaha menutup matanya. Justeru
muka pucat Tiur memenuhi benaknya. Delisa berusaha
menggeleng-gelengkan kepalanya, mengusir bayangan itu.
Justeru tubuh membeku Tiur semakin mencengkeram
pikirannya! Delisa takut! Teramat takut.
Dan ia jatuh pingsan lagi.
Tiur keluar dari taman indah itu. Menggunakan
** Ya Allah, lihatlah'. Delisa haru enam tahun'. Delisa
bahkan belum mengerti makna mati dan kematian. Ya
Allah, lihatlah'. Delisa baru enam tahun'. Delisa bahkan
belum tahu makna derita dan penderitaan....
Banyak sekali ciptaanMu di dunia yang sungguh
bermewah-mewah dengan hidup. Lupa dengan makna mati
dan kematian, padahal mereka mengerti. Menciptakan
berjuta derita dan penderitaan bagi orang lain, padahal
mereka tahu-memahami. Tetapi mengapa Delisa yang
harus menyaksikan semua itu. Mengapa harus melalui mata
hijaunya yang bening kami harus mengerti ayat-ayatMu.
Mengapa ya Allah.... Aku sungguh tak mengerti....sepeda
bersayap putih. Lembut mendekat. Sepeda itu tidak
dikayuh. Sepeda itu bergerak seperti terbang. Delisa yang
tetap tak bisa bergerak di pinggir jalan menuju taman indah
menatapnya gembira. Berteriak senang!
"TIUR!" Akhirnya ada yang keluar dari taman indah itu.
Datang menjemputnya. Tiur tersenyum. Lembut beranjak turun.
Delisa menggapai-gapai baju putih Tiur.
Tiur jongkok menyentuh sikunya. Tiur pelan menyentuh
betisnya. Menatap tersenyum. Menatap mempesona.
"Tiur tidak rindu Abi lagi, Delisa.... Tiur sudah bertemu
Abi, " Hanya itu yang dikatakan Tiur. Dengan suara riang.
Lantas kembali menaiki sepedanya. Dengan lembut sepeda
itu kembali melesat menuju gerbang taman indah.
Meninggalkan Delisa yang mulutnya terbuka lebar.
Kecewa. Begitu saja" Hanya mengatakan kalimat pendek
itu" Ia pikir Tiur akan memboncengnya masuk ke dalam
taman indah itu. Mengajaknya ke sana sambil menaiki
bersama sepeda bersayap tersebut. Ia pikir"
Mata Delisa berkerjap-kerjap. Delisa kembali siuman.
Malam sudah lama turun. Dan hujan deras. Amat deras membasuh kota Lhok Nga.
Tubuh Delisa kuyup. Tubuh itu pucat kedinginan. Tubuh
itu gemetar menahan terpaan ribuan bulir air. Delisa
menolehkan kepalanya. Tubuhnya masih sakit digerakkan.
Ia melihat lagi mayat Tiur. Delisa masih takut. Tetapi apa
yang bisa ia lakukan sekarang" Lari" Tidak bisa!
Memejamkan mata" Percuma! Ini semua benar-benar
situasi yang tidak terelakkan.
Delisa benar-benar berada dalam situasi yang tidak
terelakkan. Dan seperti manusia-manusia terbaik
pilihanMu, situasi ini akan mendidiknya menjadi lebih baik.
Menjadi bersinar. Kejadian ini membuatnya cepat pulih.
Berpikir banyak hal meski tanpa disadari oleh Delisa
sendiri. Malam sempurna gelap. Hanya halilintar yang berkali-kali menyambar membuat terang langit-langit Lhok Nga.
Dimanakah semua lampu itu" Dimanakah semua cahaya
terang-benderang Lhok Nga" Delisa ingat, jam begini ia
seharusnya sedang belajar bersama kak Aisyah, kak Zahra,
kak Fatimah di ruang tengah. Ummi menunggui sambil
menjahit pakaian pesanan tetangga.
Atau mereka duduk-duduk di balai bambu sambil
mendengar Ummi bercerita. Melihat purnama. Melihat
bintang-bintang. Melihat lampu-lampu Lhok Nga yang
indah. Ah iya, cerita Ummi belakangan sering Delisa tak
mengerti! Kak Fatimah selalu mendesak Ummi bercerita
tentang pertemuan pertama Ummi dan Abi dulu. Kan cerita
seperti itu tidak asyik buat Delisa. Mending Ummi cerita
tentang sahabat rasul, dongeng-dongeng atau apalah. Yang
penting bukan kalimat-kalimat aneh tentang "cinta", atau
apalah tersebut. Delisa ingat mereka setiap malam jam begini juga sering
duduk-duduk di kursi hangat. Duduk sambil mengemil.
Menggambar dengan dua belas warna crayon. Nonton teve
(hanya Delisa yang menonton). Atau belajar menjahi
t dan

Hafalan Shalat Delisa Karya Tere Liye di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyulam bersama Ummi. Apa yang sedang terjadi" Apa yang telah menimpa
dirinya. Delisa hanya ingat terakhir ia sedang menghafal
shalat di depan Bu Guru Nur. Gempa bumi" Bukankah
waktu itu tanah terasa bergetar. Papan tulis jatuh. Gelas
untuk menaruh bunga di meja Ibu Guru Nur pecah, dan
satu pecahan beling melukai lengannya. Suara-suara itu.
Keributan diluar. Kemudian air yang banyak. Air di mana-mana. Mengepungnya. Menyeretnya. Entahlah! Ia lupa.
Delisa meringis. Ia lapar. Delisa teramat lapar. Sudah
enam-hari enam-malam perutnya kosong. Delisa juga tiba-tiba merasa teramat haus. Kesadaran dan pulihnya panca
indera Delisa membuat perutnya mengirim sinyal ke otak
tak tertahankan. Kemana pula ia harus mencari makanan. Tak ada meja
makan di sini. Tak ada Ummi yang bisa dimintai tolong.
Tak ada siapa-siapa. Gelap. Hanya hujan yang sempurna
membungkus tubuh menyedihkan itu.
Delisa entah apa sebabnya mulai menangis. Delisa
tersedu. Bibir biru itu mengeluarkan lenguh kecil.
Mengeluarkan dengking lemah. Delisa menyerah. Ia
menangis. Semua ini membuatnya takut.
Membuatnya bingung. Takut dan bingung itu dekat
sekali dengan menangis. Kalian akan menangis jika saking
takut dan bingungnya. Delisa tersedan panjang. **
Lama! Tak ada yang terjadi. Tak ada yang melihat.
Tak ada yang membantu. Hingga kesadaran itu ditanamkan di kepala Delisa. *** "
Delisa pelan membuka mulutnya. Ia haus. Dan air yang
turun dari langit menjadi berkah baginya. Delisa minum.
Tanpa mengerti mengapa ia harus minum. Mengapa ia
harus membuka mulutnya. Pengertian itu datang begitu
saja. Delisa berhenti menangis. Bibirnya yang lemah
melahap berkah air dari langitMu. Mulut yang giginya
tanggal dua itu bergetar lemah. Kerongkongannya basah.
Kesegaran masuk ke sekujur tubuhnya. Membantu banyak.
Tetapi Delisa juga lapar! Kemanakah ia harus mencari
makanan" Kemana" Bukankah tak ada yang tersisa lagi di
sekitarnya. Tak ada siapa-siapa. Delisa mengeluh panjang
saking kosong perutnya. Dan lima buah apel merah-ranum tergeletak begitu saja
di dekat tubuh Delisa. Rapi tersusun membentuk formasi
bintang. Paras Delisa menyeringai senang melihatnya.
Tangan kiri Delisa gemetar meraihnya. Masih sakit. Tetapi
ia pelan-pelan berhasil menggapainya. Sempurna sekali
letak lima buah apel tersebut. Tepat di ujung jangkauan
tangan kiri Delisa. Apel itu indah dan besar-besar. Dan
sungguh terasa lezat saat Delisa mengunyahnya. Mencair
begitu saja dalam mulut Delisa yang lemah. Apel itu entah
dari mana datangnya. "Kau memiliki lebih banyak teman dibandingkan seluruh
dunia dan seisinya, sayang!" **
MOVE... MOVE...." Sersan Ahmed membentak.
Dua belas prajuritnya dengan gesit berlari tergesa ke atas
helikopter Super Puma yang mendesing.
Pengatur landing-take off landasan Kapal Induk John F.
Kennedy memberikan tanda. HIJAU! Sersan Ahmed
tangkas melompat ke atas helikopter terakhir kali. Pemuda
berusia 35 tahun. Lulusan terbaik pendidikan tamtama
marinir Amerika Serikat lima belas tahun silam. Pemuda
afrika kelahiran Boston. Sedikit di antara muslim yang
bertugas di gugus perang John F. Kennedy. Sersan Ahmed
mualaf setelah pertempuran badai padang pasir Irak dulu.
Baling-baling Super Puma semakin keras mende-
* Ya Allah itu cemburuku yang pertama'.
**Lihatlah ya Allah'. Gadis kecil itu sungguh sendirian.
Bukankah kuasaMu menjejak walau sekadar basah atau
keringnya setangkai jerami. Bukankah kuasaMu menggapai
walau jatuh-tidaknya setetes air di tengah hutan belantara
luas. Aku mohon- Bantulah engan tak terkira kasihMu-
Bantulah dengan tak terhitung sayangMu.
*** Ya Allah, sungguh mulia Engkau. Kau-lah yang
menanamkan semua kesadaran itu. Kami lahir tak bisa
melihat, kau buat melihat. Kami lahir tuli, kau buat
mendengar, kami lahir tak bergerak, kau buat melangkah,
kami lahir tak mengerti, kau tanamkan pengertian.
sing. Bergetar. Lantas melesat ke atas langit. Mantap
bergerak menuju area tugas mereka. Area penyisiran
mereka hari ini. Pagi itu, Minggu 2 Januari 2005, hari ke
tujuh setelah bencana menggetarkan dunia itu terjadi.
Langit Aceh bagai penuh oleh ribuan helikopter.
Sersan Ahmed dengan tampang dingin menatap tajam
seluruh anak-buahnya. Tugas mereka berbeda sekali hari
ini. Tidak menyerbu musuh. Tidak menghabisi benteng
kokoh pertahanan penjahat. Tidak juga meluluh-lantakkan
gedung-gedung yang dianggap sarang gembong narkoba.
Bahkan Sersan Ahmed tidak tahu bagaimana cara terbaik
menghadapi musuh mereka sekarang. Musuh mereka
adalah menyisir kota untuk mengevakuasi mayat,
menyelamatkan segera orang-orang yang masih bernafas.
Musuh yang menyedihkan, memilukan hati.
Satu setengah jam kemudian, pesawat itu menyentuh
salah satu lapangan di Lhok Nga. Mendarat. Membuat
debu di lapangan itu berter-bangan. Apa mau dikata, kota
tersebut sudah menjadi lapangan semua. Apa gunanya lagi
disebut salah satu lapangan" Tetapi itu benar-benar
lapangan. Lapangan bekas sekolah Delisa.
Dua belas prajurit berloncatan gagah berani. Tampang
mereka akan beda sekali dibandingkan dengan penduduk
lokal kalau mendarat empat hari lalu. Wajah-wajah muda
bule. Wajah-wajah dengan garis, tekstur dan warna yang
berbeda. Tetapi hari ini, tak ada yang peduli kenyataan itu.
Ada banyak hal yang lebih penting dipedulikan.
Tak banyak yang menyambut helikopter mendarat,
karena sisa penduduk kota Lhok Nga hanya segelintir.
Prajurit yang bertugas di atas helikopter segera melempar
kardus-kardus bantuan ke tangan-tangan yang terjulur
mendekat. Sementara Sersan Ahmed dan prajuritnya mulai
bergerak menyisir. Tak banyak pula yang membantu pasukan marinir
tersebut. Posko sukarelawan baru dibuka beberapa hari
kemudian. Merekalah yang pertama tiba di Lhok Nga (juga
dibandingkan kamera teve nasional). Hanya penduduk
setempat yang selamat membantu mereka menyisir bekas
bencana. Tetapi penduduk selamat tersebut, lebih sibuk
mencari keluarga masing-masing.
Wajah-wajah cemas. Wajah-wajah meminta
pertolongan. Bukan sebaliknya. Sersan Ahmed menggigit
bibir. Dia terus membentak prajuritnya melakukan
penyisiran. "CARI TERUS! KUMPULKAN MAYAT SEBANYAK
MUNGKIN! PERIKSA SELURUH TEMPAT!" Sersan
Ahmad galak menatap pasukannya yang begitu lamban.
Anak buahnya bergegas memanggul kantong-kantong
mayat. Sore itu mereka mengumpulkan ratusan tubuh.
Sayangnya tak ada satupun yang ditemukan masih
bernafas. Tidak ada. Bagaimana mungkin keajaiban itu
ada" Lhok Nga hampir 80% musnah. Kalaupun ada yang
selamat, karena memang sedang
beruntung berada di manalah.
Hari itu, penyisiran mereka masih satu kilometer dari
tubuh Delisa yang terpanggang.
Tubuh Delisa terpanggang oleh teriknya matahari.
Tubuhnya semakin mengenaskan. Air dan beberapa buah
apel memang mengisi perutnya dengan baik semalaman,
tetapi itu tidak cukup untuk mengurangi semua rasa sakit.
Menjelang sore, kaki kanannya sudah benar-benar tak
terasa lagi. Seperti tidak ada lagi di sana, saking kebasnya.
Matanya perih menahan panas seharian. Kerudung biru
yang sekarang ditutupkannya di atas dahi tidak membantu
banyak. Delisa sudah lelah menangis. Air matanya sudah habis
sepanjang hari. Tujuh hari tujuh malam sudah ia terkapar.
Ia tidak takut lagi dengan mayat Tiur yang mulai
membusuk. Ia tidak takut lagi menatap sepinya kota. Tidak
takut lagi menatap gelapnya malam. Bahkan Delisa tidak
peduli dengan hujan deras yang selalu turun tiap malam.
Mengeriputkan badan kecilnya.
Ah, selalu begitu. Kejadian yang tak terhindarkan, selalu
mendidik manusia-manusia terbaikMu dengan cepat.
Kejadian itu selalu sementara. Pemahaman atas kejadian
itulah yang akan abadi. Tadi pagi beberapa orang yang selamat melintas di
dekatnya. Delisa ingin berteriak memanggil. Sayang
bibirnya sudah lemah. Ia sudah tak mampu berteriak lagi.
Ia sudah terlampau lemah walau sekadar menggerakkan
kepala. Menatap nelangsa orang-orang tersebut bergegas
menjauh darinya. Malam datang! Hujan deras turun lagi. Ya Allah, sungguh mengenaskan menyaksikan
pemandangan itu! Delisa membuka mulutnya. Mencoba
minum. Tetapi bibirnya sudah susah digerakkan. Mulutnya
lemah membuka. Jemari tangan kirinya pun sudah lemah
untuk menggapai lima buah apel yang entah dari mana
asalnya kembali utuh membentuk formasi bintang di
dekatnya. Delisa hanya menatap nelangsa apel-ap
el tersebut. Pelan-pelan sepanjang hari ini Delisa ingat apa yang
terjadi padanya. Ingat detail-detailnya. Tidak dalam bentuk
ingatan yang antara ada dan tidak. Ia benar-benar ingat
semuanya. Ingat malam sebelumnya Abi menelpon. Ingat
pagi-pagi ia dan Ummi berangkat menuju sekolah dengan
riang. Ingat Cut Aisyah dan Cut Zahra yang entah
sembunyi-sembunyi menempelkan apa di depan rumah saat
mereka berangkat. "Ummi, apa yang ditempel kak Aisyah dan kak Zahra!"
Delisa bertanya saat mereka berada di ujung tikungan gang.
Ia sempat melihat mereka berdua menaiki kursi
menempelkan karton-karton bertulisan warna biru.
Hiasan-hiasan warna biru.
Ummi hanya mengangkat bahu! Menyeringai,
menggeleng pura-pura tidak tahu.
"Apa sih Ummi"" Delisa semakin penasaran.
Ummi hanya tersenyum. Mempercepat langkah. Delisa
terpaksa ngintil semakin cepat.
Delisa ingat ia sedang menghafal bacaan shalat saat
semuanya terjadi. Saat tubuhnya terseret derasnya air.
Kemudian gelap, semuanya terasa gelap. Ia lupa dengan
apa yang terjadi berikutnya. Kemarin Delisa juga ingat
tentang ini, tetapi sekarang berbeda. Delisa tiba-tiba
menyadari sesuatu. Bibirnya gemetar. Ya Allah, Delisa
ingat.... Delisa harus menghadap Bu Guru Nur untuk
membaca seluruh bacaan shalat. Bukankah Delisa waktu itu
berusaha untuk shalat dengan khusuk. Tidak mempedulikan
suara-suara, tanah yang bergetar, juga air bah itu.
Delisa mau shalat sekarang. Delisa ingin menyetor
hafalan itu langsung kepadaMu. Delisa ingin melakukannya
sebelum semuanya terlambat.
Begitu saja, pikiran itu datang di kepalanya. Menuntun.
Delisa menggerak-gerakkan jemarinya. Delisa ingin
mengulang hafalan bacaan shalat itu. Di tengah-tengah
hujan deras ini. Langsung kepadaMu.
Gemetar bibir Delisa mengucap takbiratul-ihram. 7/Al-la-hu-ak-bar...."
Dan Delisa seketika lupa kelanjutannya. Delisa lupa
harus membaca apa sekarang" Delisa lupa seperti apa kata
awal doa iftitah. Delisa benar-benar menatap kosong!
Ya Allah, Delisa sungguh lupa. Lupa begitu saja. Semua
kesedihan ini, semua pemandangan ini, semua kesakitan
ini, semua perasaan ini. Delisa lupa. Bagaimanalah jadinya"
semua hafalan itu seperti tercerabut begitu saja dari
otaknya. Tak berbekas sedikitpun. Delisa kelu
menyadarinya. Delisa terpana tidak mengerti. **
** Ya Allah, bahkan banyak sekali orang-orang yang
lalai, orang-orang yang fasik, orang-orang munafik, orang-orang jahat yang tak pernah lupa atas rencana-rencana jahat
mereka.... Tidak pernah terlupakan. Bagaimana Delisa yang
hendak shalat padaMu. Delisa yang dalam keadaan
sungguh mengenaskan, ingin shalat padaMu dengan
sempurna, dan Kau buat ia lupa.... Bagaimanalah kalau
esok-lusa ia tidak sempat lagi menyetor bacaan itu"
Ketika Delisa kelu menyadari fakta itu, ketika Delisa
terjebak oleh semua kebingungan, seribu malaikat sedang
menyiapkan istana indah untuknya di surga, terukir
namanya dengan huruf-huruf besar di pigura depan: Alisa
Delisa. 8. Hidayah i tu akhi rnya datang
Jam tujuh pa gi. Super Puma itu melesat lagi dari kapal
induk. Sersan Ahmed semakin galak meneriaki prajuritnya.
Dia tahu, semua pemandangan kemarin sungguh
menggentarkan. Semua kota yang luluh-lantak itu sepuluh
kali lebih menekan dibandingkan pertempuran mereka
selama ini. Mayat-mayat yang bergelimpangan, tanpa
lengan, tanpa tangan, dan lain sebagainya seratus kali lebih
menakutkan dibandingkan mayat-mayat korban muntahan
peluru senjata mereka selama ini.
Memandang wajah-wajah tak berdaya yang selamat.
Wajah-wajah nelangsa. Penduduk kota Lhok Nga yang
dililit kesedihan. Mereka tidak saling mengenali. Tetapi raut
dan bentuk kesedihan sama di seluruh dunia. Universal!
Kesedihan tidak memerlukan perantara bahasa. Apalagi
kesedihan akibat bencana seperti ini. Semua itu menekan
dia dan prajurit-prajuritnya.
Sersan Ahmed menggigit bibir. Mereka harus
menemukan lebih banyak mayat lagi. Mungkin jika
beruntung satu-dua yang masih bernyawa. Meskipun itu
benar-benar sebuah keajaiban.
"Apa yang kau kunyah!" Sersan Ahmed bertanya tajam


Hafalan Shalat Delisa Karya Tere Liye di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kepada Prajurit Smith yang duduk tegang di depannya.
"P-e-r-m-e-n k-a-r-e-t, Sir!" Prajurit Smith me
njawab pendek. Menyeringai. Wajahnya terlihat berbeda sekali
dengan temannya. Ia tertekan dengan semua ini. Permen
karet itu membantunya. Sersan Ahmed mendengus. Dia tahu apa yang dilakukan
Prajurit Smith. Dia tahu persis semua kebiasaan anak-buahnya. Pertanyaan tadi hanya untuk membuat Smith
tetap fokus. Semua pemandangan ini pasti menggangu
Smith. Anakbuahnya yang baru enam bulan silam beruntun
kehilangan anak semata wayang dan istrinya di California.
Sersan Ahmed mengalihkan tatapan tajamnya dari muka
Prajurit Smith yang tegang, kembali memandang
pemukiman bawah sana yang hancur luluh. Sepanjang
pesisir menuju Lhok Nga, tak ada yang tersisa, hanya
kepedihan. Orang-orang yang menggapai-gapai ke udara
mengharap bantuan dilemparkan.
Orang-orang kelaparan. Semua ini entah hingga kapan selesai.
Delisa siang itu pingsan untuk kesekian kalinya. Tenaga
Delisa sudah melemah, tak bersisa. Delisa sudah tidak
makan-minum lagi selama sehari, semalam. Bibirnya tak
bisa dibuka sama sekali. Semuanya sudah hampir selesai
baginya. Habis. Matahari sekali lagi garang membakar tubuhnya. Tubuh
itu terpanggang sepanjang siang, setelah semalaman justeru
kedinginan menggigil di hajar hujan deras. Tubuh itu
semakin menyedihkan. Luka di betis kanannya mulai
bernanah. Lebam biru di parasnya membesar. Tubuh Delisa
biru-mengeriput. Sore datang menjelang. Cahaya matahari melembut,
tetapi itu tak membantu banyak. Delisa sudah hampir habis.
Kulitnya sudah kebas tak berasa.
Dua belas prajurit Sersan Ahmed juga sudah hampir
habis. Kelelahan. Lelah fisik dan lelah mental. Hanya suara
Sersan Ahmed yang masih garanglah membuat mereka
tetap bertahan. Mereka tadi pagi mendarat jauh dari bekas
lapangan sekolah Delisa. Menyisir kota Lhok Nga dengan
radius lebih jauh lagi. Parjurit Smith sudah menghabiskan permen karet yang
kedua belas, itu permen karet terakhirnya. Dia gontai
mendekati semak-belukar itu. Lemah menatap semua
pemandangan menyedihkan ini. Bau bangkai menyeruak
hidungnya. Prajurit Smith mendekat. Mencari tahu
sumbernya. Mayat Tiur! Prajurit Smith menelan ludah melihat mayat Tiur yang
membusuk. Lemah melangkah mendekat. Menghela nafas.
Menyiapkan kantong mayat.
Saat itulah. Sudut mata Prajurit Smith tak sengaja
menangkap siluet pemandangan yang menggentarkan itu.
Menatap semak belukar yang sebenarnya kalau tak ada
semua ini terlihat amat menawan. Semak-belukar itu
sedang berbunga. Bunganya putih kecil-kecil. Indah.
Melingkupi dengan sempurna seluruh dedaunannya. Tetapi
bukan itu yang membuat Prajurit Smith seperti dipakukan
seketika di tanah. Tubuh yang tersangkut di semak-belukar
itulah yang membuat Prajurit Smith tak bisa bernafas.
Mata Prajurit Smith membesar.
"JESU S CHRIST!" Smith mendesis menelan ludah.
Lututnya bergetar, ia sontak jatuh terduduk. Berdebam
lututnya menghantam tanah. Hatinya gentar seketika.
Matanya menatap tubuh Delisa yang tergantung.
Matanya menatap tubuh Delisa yang tergantung di
tengah-tengah semak belukar penuh oleh bunga-bunga putih
tersebut. Ya Allah, tubuh itu bercahaya. Tubuh yang ditatapnya
bercahaya. Berkemilauan-menakjubkan. Lihatlah! **
** Itu cemburuku yang kedua, ya Allah'. Bahkan
perbuatan terbaikku tak pernah membuat seujung kuku
wajahku bercahaya.... Tak pernah. Tak pernah sedikitpun'.
Apakah hati ini begitu kotornya"
Apakah tak ada sisa kebaikan yang ada di hati ini agar
bisa menyinari jalan kebaikan bagi orang lain. Apakah
semuanya tinggal sebongkah daging yang hitam kelam"
Tanpa perasaan lagi"
Sersan Ahmed berlari menuju semak belukar tersebut.
Beberapa prajurit lainnya juga bergegas saat mendengar
teriakan lemah Prajurit Smith barusan, "Ada yang hidup,
Sir!" Sersan Ahmed merekahkan dahan yang menjepit kaki
kanan Delisa. Yang lain buru-buru memegangnya agar
tubuh Delisa tidak terbanting ke tanah. Tubuh lemah Delisa
lantas di letakkan pelan-pelan di atas tanah. Tubuh yang
terlihat lebih mengenaskan dibandingkan mayat yang
mereka temukan sebelumnya. Beberapa prajurit lain
membuka kantong mayat, memasukkan mayat Tiur.
"TANDU!" Sersan Ahmed membentak.
Tergesa dua prajurit mengambil tandu di pendaratan
m ereka tadi. Tak ada yang berpikir akan menemukan
korban selamat. Mereka hanya membawa kantong mayat
sepanjang penyisiran. Langit merah. Malam segera menyergap Lhok Nga. Laut
begitu tenang. Burung camar melenguh kembali ke sarang
masing-masing. Tubuh Delisa akhirnya ditemukan. Tubuh
Delisa hati-hati dinaikkan ke atas tandu. Bergegas menuju
point pendaratan helikopter tadi pagi.
Helikopter Super Puma beberapa menit kemudian datang
mendarat sesuai dengan jadwalnya. Penjemputan.
Menerbangkan debu. Memedihkan mata. Terbirit-birit
prajurit yang memegang tandu membawa tubuh Delisa ke
atas helikopter. "Smith, kembali!" Sersan Ahmed menegur Prajurit
Smith. Yang ditegur masih terduduk di tanah. Tak bergerak
selama lima belas menit. Dan tetap tak bergerak meski
telinganya mendengar perintah Sersan Ahmed agar mereka
segera bergegas kembali ke kapal induk.
Pencarian hari ini selesai. Besok mereka akan kembali,
dengan kekuatan yang lebih besar. Membangun tenda-tenda. Lokasi ini mungkin membutuhkan satu bulan lebih
hingga bersih disisir. Dan tetap saja akan ada mayat yang
tidak pernah berhasil ditemukan.
"SMITH!" Sersan Ahmed mendekat, memegang tegas
bahu anak buahnya yang masih terduduk. Membentaknya.
Smith menoleh. Mata itu penuh berjuta tanya.
Helikopter Super Puma mendarat tergesa. Tandu dorong
rumah sakit sudah menunggu di pelataran pendaratan
Kapal Induk John F Kennedy. Dua suster berseragam putih
juga sudah menunggu. Berita itu cepat sekali sampai. Sersan
Ahmed melalui alat komunikasi helikopter segera
mengontak rumah sakit kapal induk.
Korban tsunami yang ditemukan hidup akan tiba di
kapal induk. Kondisi gawat darurat. Entah hidup entah
mati. Siapkan pertolongan pertama. Terburu-buru tubuh
Delisa dipindahkan dari tandu ke ranjang dorong. Segera
dibawa masuk ke dalam lift evakuasi. Meluncur cepat non-stop ke lantai rumah sakit.
Dua dokter senior antusias segera menyambut.
Sepertinya perhatian semua penghuni kapal tercurah ke
Delisa. Beberapa kamera wartawan lokal dan manca negara
yang kebetulan sedang berada di Kapal Induk buas
memangsa tubuh terkulai Delisa. Lampu sorot kamera
berebut menerkamnya. Tetapi ruang operasi segera ditutup.
Tubuh Delisa tergolek lemah di atas ranjang bedah,
berhadapan dengan puluhan peralatan medis super-canggih
yang coba membantu hidupnya. Semua dokter
mengerahkan kemampuan terbaik mereka. Suster-suster
berdiri tegang membantu. Dua belas jam ke depan tanpa
henti. Sementara prajurit Smith sedang gemetar memasuki
kabinnya. Semua ini menimbulkan berjuta tanya!
Abi Usman berlari kesana-kemari cemas. Mulutnya tak
henti bertanya. Dia baru tiba di Banda Aceh, setelah
penerbangan dua belas jam langsung dari Toronto, Kanada.
Sibuk bertanya apa ada kabar tentang Lhok Nga. Sibuk
bertanya apa dia bisa menumpang ke sana. Sibuk bertanya
apa ada data korban. Saking sibuknya Abi, dia sampai tidak memperhatikan
layar televisi yang ada di Pusat Informasi Bakortanas
Kantor Gubernuran Aceh. Layar teve yang jelas-jelas
menayangkan bungsunya terkapar tak berdaya.
Si bungsu yang sedang bermimpi berdiri sendirian di
tengah taman nan luas tersebut. Taman penuh bunga
berjuta warna. Penuh kupu-kupu berjuta warna. Penuh
pelangi-pelangi berjuta warna. Dan Delisa baru saja bisa
menggerakkan tubuhnya. Delisa dioperasi. Betis kaki kanannya yang sudah
membusuk diamputasi tanpa ampun. Siku tangan kanannya
di-gips. Masih bisa diselamatkan. Tubuhnya lemah sekali.
Tak ada yang bisa menjelaskan bagaimana tubuh selebam,
seluka, dan se-menyedihkan itu masih bisa bernafas.
Bertahan hidup. Rambut ikal-pirang Delisa dipangkas. Delisa gundul
total. Luka-luka kecil di kepalanya dijahit. Muka lebamnya
di balsem tebal-tebal. Lebih dari seratus baret di sekujur
tubuhnya. Lebih dari dua puluh jahitan di sekujur
tubuhnya. Tubuh itu sekarang tergolek lemah. Berganti baju
pasien rumah sakit. Baju itu berwarna biru. Warna
kesukaan Delisa. Biru, warna lautan pantai Lhok Nga.
Dua-hari dua-malam sudah tubuh itu terkapar di atas
ranjang rumah sakit. Tak berdaya. Pingsan. Selang infus
berjejalan dengan berbagai belalai peralatan kedokteran
lainnya. Kon disinya tidak memburuk, tetapi tak kunjung
membaik, tetap seperti itu-itu saja, seperti setelah ia
ditemukan pingsan selama lima-hari lima-malam di semak-belukar itu.
Malam ketiga ketika Delisa terbaring tak berdaya. Pukul
02.45. Dua pertiga malam. Waktu terbaik yang Engkau
janjikan. Prajurit Smith gentar melangkah masuk ke dalam
ruangan rawat Delisa. Dia lemah membujuk suster yang masih terjaga di depan.
Dia hanya ingin melihat gadis itu sekali lagi. Dia ingin
menyampaikan berjuta pertanyaan. Semoga Tuhan di atas
mau menjawabnya setelah dia melihat wajah gadis kecil itu
sekali lagi. Suster yang berjaga menatap tak mengerti.
Tetapi membiarkan Prajurit Smith, demi melihat matanya
yang sembab. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan.
Prajurit Smith paling hanya akan berdiri di sebelah
ranjang gadis kecil itu. Bukankah ia juga membiarkan saja
beberapa wartawan mengambil gambar Delisa beberapa
hari yang lalu. Bukankah menurut berita-berita di teve,
prajurit ini yang pertama kali menemukan tubuh Delisa.
Biarkan sajalah! Bergetar tangan Prajurit Smith membuka pintu kaca.
Saat dia menatap sekali lagi tubuh Delisa. Saat dia
menatap sekali lagi wajah itu. Prajurit Smith untuk yang
kedua kalinya jatuh terduduk. Jatuh terduduk begitu saja.
Sekarang tidak berdebam, lebih mirip bak sehelai kapas
yang jatuh ke bumi. "Oh, Jesus Christ...." Lirih dia menyebut.
Sungguh dia menduga akan mendapatkan lagi
pemandangan yang menggentarkan ini. Sungguh dia tahu,
dua hari lalu itu bukan halusinasinya. Bukan kekeliruan
otaknya akibat lelahnya melihat kesedihan menggantung di
langit kota Lhok Nga. Bukan! Semua ini nyata.
Wajah ini sama bercahayanya dengan saat dia
melihatnya pertama kali. Bahkan lebih elok.
Prajurit Smith tergugu. Menangis. Mendekap mukanya.
Ya Tuhan, dia ingat anak semata wayangnya yang
meninggal karena kanker enam bulan lalu. Persis seumuran
dengan gadis kecil di hadapannya. Dia ingat istrinya yang
meninggal, dua bulan setelah anaknya pergi. Ya Tuhan,
pertanyaan-pertanyaan ini. Lihatlah, muka itu damai sekali.
Teduh bercahaya. Pertanyaan-pertanyaan yang menggumpal itu pelan-pelan mulai mencair. Prajurit Smith mengerti. Mengerti
sudah. Semua pengingkarannya. Semua kebenciannya atas
takdir hidup. Semua kutukan atas musibah beruntun yang
menimpa keluarganya. Semua penolakannya!
Lihatlah, gadis kecil itu begitu damai. Wajahnya
menenangkan. Memberikan semua jawaban. Tak ada
gunanya menyesali semua takdir Tuhan atas anak dan
istrinya. Tak ada gunanya menyalahkan diri sendiri atas
kejadian tersebut. Apalagi sumpah serapah dan berbagai
kemarahan-kemarahan yang tidak jelas.
Lihatlah, gadis kecil ini menderita lebih banyak, tetapi
wajahnya teramat teduh. Gadis kecil ini sungguh menderita
lebih banyak dibandingkan dirinya, namun wajahnya
bercahaya oleh penerimaan. Pengertian itu datang kepada
Prajurit Smith. Pemahaman yang indah!
Hidayah itu akhirnya datang padanya.
Esok shubuh. Prajurit Smith akan mendatangi ruangan
mushalla yang terdapat di kapal induk itu. Patah-patah
dibimbing Sersan Ahmed mengambil wudhu. Lantas
bergetar menahan tangis mengucap sahadat. Esok pagi
Prajurit Smith memutuskan untuk menjalani hidup baru.
Bukan soal pilihan agamanya, karena itu datang
memanggilnya begitu saja, tetapi lebih karena soal
bagaimana ia menyikapi kehilangannya selama ini.
Penerimaan yang tulus. **
** Ya Allah, bahkan wajahku tak pernah sedikitpun
menginspirasikan orang lain untuk berbuat baik. Tak
pernah sedikitpun mengilhami orang lain untuk berubah.
Lihatlah'. Sungguh aku cemburu- Bagaimana aku harus
menjelaskan semua kecemburuan ini. Cemburu kedua-ku"
Istana itu semakin indah buat Delisa....
Ada sejuta burung bul-bul di halamannya sekarang.
9. Mereka semua pergi ! Empat hari empat malam. Delisa belum menunjukkan
tanda-tanda akan siuman. Tetap terbaring tak bergerak di


Hafalan Shalat Delisa Karya Tere Liye di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

atas ranjang. Hanya suara beep lemah peralatan medis di
sekitarnya yang menunjukkan Delisa masih bernafas
dengan baik. Masih ada kehidupan di sana.
Abi sekarang sedang melangkah patah-patah menuju
lokasi bekas rumah mereka. Abi tiba di Lhok Nga beberapa
menit lalu, setelah memb ujuk kesana-kemari akhirnya bisa
menumpang helikopter tentara tadi pagi dari Banda Aceh.
"Ya Allah, Astagfirullah!" Abi hanya bisa berkali-kali menyebut asmaMu. Semua pemandangan ini
menyedihkan. Menusuk-nusuk hatinya. Puing-puing
rumah, sampah bertumpuk tinggi. Pohon-pohon tercerabut.
Apalagi yang bisa diharapkannya. Keajaiban" Abi
menghela nafas panjang. Tiba di lokasi bekas rumah mereka. Hanya tiang pondasi
setinggi mata kaki yang tersisa. Seluruh tembok musnah.
Lantai marmer putih terlihat bersih setelah diguyur hujan
tadi malam. Itulah yang menunjukkan kalau sepetak tanah
tersebut bekas rumahnya. Itulah yang membuat Abi
mengenali sepotong masa lalu mereka. Itu kamar Delisa,
Aisyah, dan Zahra. Itu kamar Fatimah. Itu kamar Ummi.
Itu ruang keluarga, itu dapur, itu kamar mandi-
Abi jatuh terduduk. Tergugu lama.
Cahaya muka lelaki berumur empat puluh tahunan itu
meredup. Parasnya yang seharusnya terlihat berwibawa dan
menyenangkan padam. Tubuh kekarnya bergetar. Abi
mengusap rambutnya yang hitam legam. Mendesah ke
langit-langit pagi Lhok Nga. Udara yang lembut. Angin laut
bertiup lemah memainkan anak rambut Abi.
Hanya batang jambu itu yang tersisa, meskipun tak
berbentuk lagi. Dahannya patah separuh. Daunnya robek di
sana-sini. Buahnya habis berguguran dihantam gelombang
air bah. Tetapi ayunan itu masih terikat sempurna. Ayunan
itu utuh. Bergerak-gerak ditiup angin pagi. Abi berdiri,
melangkah mendekatinya. Gemetar tangan Abi
menyentuhnya. "Abi.... Abi ingin buat ayunan buat Delisa, kan""
Bungsunya repot membantu membawa martil dan paku-paku.
"Yeee, bukan! Buat Aisyah ini!" Aisyah yang duduk di
atas balai bambu berteriak mengganggu.
"Abi.... Abi buat untuk Delisa, kan" Bukan buat kak
Aisyah-" Bungsunya menarik-narik baju Abi.
"Bukan! Buat Aisyah ini!" Aisyah tertawa, semakin
senang memperolok adiknya, Zahra dan Fatimah yang
duduk di atas balai bambu hanya nyengir. Ummi yang
sedang menyulam di dekat mereka menjawil kerudung
Aisyah. Abi mengusap matanya yang basah.
Tergugu lama. "Bagaimana kondisinya"" dr Eliza bertanya.
"Tidak ada kemajuan, dok!" suster Sophi menjawab
sambil mengembalikan peralatan pengukur tensi dan lain
sebagainya ke dalam kotak, dr Eliza menghela nafas
beranjak mendekat. Memeriksa berbagai data dari kertas
yang diberikan suser Sophi. Beranjak memeriksa tubuh
Delisa beberapa menit kemudian.
"Sudah lima hari lima malam.... ini akan sulit sekali!"
"Apakah dia akan baik-baik saja"" suster Sophi bertanya.
Mata hitam bundarnya berkerjap-kerjap. Sedikit cemas.
"S-e-m-o-g-a...." dr Eliza hanya tersenyum tipis.
Melangkah memeriksa kondisi ibu-ibu yang terbaring di
ranjang sebelah Delisa. Ibu-ibu itu dari Banda Aceh, tiba di
rumah sakit sehari setelah Delisa. Kedua kakinya juga
diamputasi. Tetapi ia sudah sadar. Kondisi tubuhnya jauh
lebih baik dibandingkan Delisa saat ditemukan. Meski
masih lemah dan trauma. Ibu-ibu itu hanya diam sepanjang
hari. Menatap kosong ke siapa saja yang mendekatinya.
Suster Sophi masih menatap wajah teduh Delisa yang
terbaring tak berdaya. Paras cantik suster Sophi menatap
bersimpati. Gadis kecil ini sungguh tak beruntung. Suster
Sophi berdoa dalam hati. Menghela nafas sambil
memperbaiki kerudungnya. Kerudung"
Ya, Sophi satu di antara dua suster muslimah yang
bekerja di rumah sakit kapal induk itu. Ia kelahiran
Virginia, 25 tahun silam. Sudah tiga tahun bertugas di
gugus Kapal Induk ini. Keturunan Turki. Muslimah yang
baik. Ia juga suster yang baik. Ia yang meletakkan dua
boneka teddy bear di sebelah Delisa sekarang. Yang berdoa
setiap shalatnya agar Delisa segera sembuh. Meski ia sama
sekali tidak tahu siapa nama gadis kecil yang sedang
terbaring tak berdaya itu. Entah mengapa, suster Sophi
merasa dekat dengan Delisa. **
Sore datang menjelang. Di bekas rumah Delisa yang
hanya tinggal marmer putih dan pondasi semata kaki, Abi
masih tergugu panjang sepanjang hari. Menundukkan
muka. Meremas jemarinya. Koh Acan sedang berdiri di
depannya. Baru saja datang, langsung membawa berbagai
berita menyakitkan. "Cut Aisyah mayatnya sudah ditemukan empat hari lalu,
bang Usman." Koh Acan berkat
a pelan. Abi semakin tertunduk mengusap matanya.
"Mayatnya ditemukan sudah membusuk. Berpelukan
dengan Cut Zahra...." Bahkan suara Koh Acan hilang di
ujungnya. Menghela nafas panjang. Mereka terdiam lama.
** Dan memang begitulah, semua manusia yang masih
memiliki hati di dunia ini, akan selalu merasa dekat dengan
siapa saja yang kebetulan sedang tertimpa musibah.
Matahari Jingga untuk kesekian kalinya menyinari senja
di Lhok Nga. Bedanya, minggu-minggu ini hanya
kesedihan yang menggantung di kota tersebut. Kesedihan
yang menyaput bersaman dengan air laut yang menjilat-jilat
pantai. Kesedihan yang menggumpal di bukit-bukit Lhok
Nga. Suara burung camar yang melenguh, semakin
menambah nuansa berduka. "Apa lagi yang kau tahu"" Abi bertanya. Pertanyaan
yang menohok jantungnya. Dia bahkan takut dengan
pertanyaannya sendiri. Matanya memandang Acan lemah.
Tatapan yang sudah benar-benar pasrah dengan semua
kabar yang akan diberikan Acan. Tetapi Acan menggeleng.
"Hanya itu yang aku tahu, bang...." Koh Acan ikut
tertunduk sedih. Hanya itu" Haiya, itu saja cukup sudah
untuk membuat kesedihan sepanjang tahun.
Diam. "Bagaimana kabar istrimu"" Abi memutus kesunyian.
Balik bertanya pelan. Koh Acan tersenyum getir. Menahan tangis.
Menggeleng. "Mayat Chi-bi sudah dikuburkan.... Tak ada yang
bersisa, bang.... Tak ada.... Toko itu musnah.... Keluarga
saya musnah, papa Liem, Tian Er, pembantu-pembantu di
toko. Entahlah apa yang akan aku lakukan sekarang-" Koh
Acan ikut tersedu. Tertunduk. Abi mendesah tertahan mendengarnya.
Mereka diam lagi. "Ah, padahal.... Padahal baru tiga minggu lalu-" Koh
Acan mendesiskan sesuatu. Abi mengangkat kepalanya.
Menatap Acan yang tersenyum getir mengingat sesuatu.
"Padahal.... Baru dua minggu lalu Delisa datang ke toko,
bang.... Bersama Ummi Salamah. Ia riang mencari
kalungnya, hadiah buat hafalan bacaan shalat. Mukanya
senang menatap kalung itu! D untuk Delisa, " Koh Acan
mendesis lemah-terluka. Koh Acan benar-benar sahabat
yang baik. Tidak mengeluhkan keluarganya, tidak
membicarakan masalah dirinya, malah teringat dengan
gadis bungsu Abi, keluarga yang sudah dianggapnya
sebagai kakak. "Kalung...." Abi mendesah pendek. Seketika ingat
pembicaraannya dengan Delisa melalui telepon pagi itu.
Kalung itu dan Delisa entah di mana sekarang berada. Abi
mengusap rambutnya. Mengeluh dalam.
Terdiam lama lagi. ** ** Semua kesedihan ini bahkan cukup untuk membuat
panglima perang paling perkasa sekalipun tertunduk
menangis. Semua kesedihan ini. Semua perasaan ini.
Sayangnya ketahui/ah wahai penduduk bumi, kesedihan
tidak mengena/ derajat kehidupan yang diciptakan
manusia. Kesedihan hanya mengena/ derajat kehidupan
yang Engkau tentukan. Kesedihan tidak pernah berkolerasi
dengan standar kehidupan manusia yang amat keterlaluan
cinta dunianya. Kesedihan hanya mengenal ukuran yang
Engkau sampaikan lewat ayat-ayatMu. Kesedihan
seseorang sungguh seharusnya kegembiraan baginya.
Kegembiraan seseorang boleh jadi hakikatnya kesedihan
terbesar baginya. Hanya untuk orang-orang yang berpikir....
"Assalammualaikum, Shopi, Ah-iya, kenalkan ini
Shopi, Prajurit Salam! Shopi, ini Prajurit Salam!" Sersan
Ahmed tersenyum ramah mengenalkan Prajurit Salam.
Malam itu selepas isya di ruang perawatan Delisa.
Sersan Ahmed dan Prajurit Salam (nama baru Prajurit
Smith) datang membesuk Delisa di rumah sakit. Sophi
mengenal baik Sersan Ahmed. Tidak banyak muslim di
kapal induk itu. Mereka mengenal satu sama lain.
Tersenyum mengangguk pada Prajurit Salam, mualaf
lainnya, desis Sophi riang dalam hati.
"Bagaimana kabarnya"" Salam bertanya datar. Menatap
gadis kecil yang terbaring tak bergerak di atas ranjang.
Salam menelan ludah. Di matanya, wajah itu masih tetap
bercahaya. Dan itu sekali lagi, sepanjang minggu ini
membuat hatinya selalu gentar.
"Dokter Eliza tidak banyak berkomentar, Yang pasti
mereka tidak tahu bagaimana membuatnya segera sadar...."
Sophi menjelaskan dengan suara prihatin.
Sersan Ahmed menggeleng. Ikut menatap prihatin wajah
yang masih lebam tersebut. Kesembuhan itu lambat sekali
datangnya. "Tidak bisakah kepalanya diberikan kerudun
g"" Prajurit Salam berkata datar. Dia risih menatap kepala botak Delisa
dengan barut-marut tambal-luka. Menyedihkan.
Sophi hanya tersenyum. Menggeleng. Akan mengganggu
selang dan berbagai belalai peralatan medis.
Bertiga diam lagi menatap tubuh lemah-Delisa.
Sementara ibu-ibu yang terbaring di sebelahnya hanya
menatap kosong mereka. Tidak bergerak, meski otaknya
berpikir banyak, ternyata selain perempuan ini, ada muslim
lainnya di sini, mereka tak jauh beda dengan ia, hanya
tekstur dan gurat wajahnya yang berbeda, sepertinya
mereka muslim-muslim yang baik!
Fakta itu ternyata membuat ibu-ibu tersebut pelan-pelan
bisa kembali mengingat sesuatu. Apalagi kalau bukan
kembali mengingatMu, ya Allah. Ibu itu mulai menyadari
banyak hal. Ibu itu mulai ber-istigfhar. Dan itu
ternyata berguna untuk kesadaran Delisa nanti-nantinya.
Teuku Dien, tetangga terpisah sepuluh rumah Delisa di
Lhok Nga datang ke bekas rumah mereka. Malam semakin
larut. Abi yang masih saja duduk di sana mendesah pendek
saat Teuku Dien datang menyetuh bahunya. Mereka
berpelukan lama di bawah pohon jambu itu (Teuku Dien
adalah ayah Teuku Umam, masih terhitung saudara Abi).
"Cut Fatimah sudah dikuburkan tiga hari lalu,
Usman...." Teuku Dien menelan ludah. Memberitahukan.
Abi menunduk. Tak akan ada keajaiban itu. Tak akan
ada. Bagaimana mungkin dia masih berharap, setelah
melihat puing-puing ini" Tak akan ada yang selamat. Berita
dari Teuku Dien ini tak kalah menyedihkan, tetapi Abi
sudah lebih siap mendengarkan. Apalagi setelah mendengar
berita dari Koh Acan tadi pagi: kembarnya yang ditemukan
berpelukan. Kesedihan ini sudah menembus batasnya. Jadi
tidak akan ada bedanya lagi.
"Kalau begitu hanya tinggal Delisa dan Ummi...." Abi
mengusap mukanya. Berkata pelan. Tersenyum pahit.
"Kau sudah bertanya ke tenda marinir tentang kabar
mereka berdua, Usman""
Abi menggeleng lemah. Dia sudah bertanya. Kemana-mana. Ke siapa saja. Tetapi siapa-yang-mengenal siapa"
Mayat-mayat itu buruk sekali kondisinya. Dan sudah
banyak yang buru-buru dikuburkan. Marinir itu tidak bisa
mengenali siapapun. Hanya penduduk lokal sini yang
mengenali mayat-mayat tersebut. Itupun jika belum
terlanjur dikubur. Sayangnya marinir tersebut hanya
mengerti satu hal. Kuburkan sesegera mungkin, jika tidak
mayat-mayat yang mulai membusuk itu akan membuat
pengap langit-langit kota Lhok Nga.
"Berdoalah, semoga Delisa dan Salamah selamat,
Usman!" Abi hanya tersenyum datar. Getir! Teuku Dien menepuk
bahunya sekali lagi. Mereka berdiam diri. "K-e-l-u-a-r-g-a-m-u"" Abi Usman bertanya pelan,
memecah kesunyian malam. Bulan separuh
bersinar terang di langit. Juga jutaan bintang. Seharusnya
pemandangan tersebut terasa menyenangkan.
Teuku Dien tersenyum pahit. Senyum yang sama dengan
Koh Acan kemarin. Senyum yang sama dengan sisa-sisa
penduduk Lhok Nga yang selamat lainnya. Senyum itu!
Hanya Umam anak bungsunya yang selamat. Istri, anak-anaknya yang lain hilang entah tak tahu rimbanya.
Malam beranjak semakin larut. Kembali ke ruang rawat
Delisa di Kapal Induk yang membuang sauh tiga puluh
kilometer dari bibir pantai ujung barat-laut pulau Sumatera.
Ibu-ibu di sebelah Delisa entah apa sebabnya, tiba-tiba
ingin shalat. Ia ingin shalat malam, tahajud. Kesadaran itu
datang begitu saja. Mungkin karena mendengar
pembicaraan Sersan Ahmed, Parjurit Salam dan suster
Shopi selepas isya tadi. Mungkin setelah menyadari bahwa
di mana-mana, ternyata terdapat hambaMu yang baik dan
selalu mengingatMu. Mungkin setelah menyadari banyak
hal. Ibu-ibu itu ingin shalat malam.
Kondisi tubuhnya selain kaki yang terpotong, jauh lebih
sehat dibandingkan Delisa. Wajahnya tak selebam Delisa.
Tubuhnya juga tak seluka Delisa. Maka ibu-ibu itu dengan


Hafalan Shalat Delisa Karya Tere Liye di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mudah beranjak duduk bersandarkan bantal. Gemetar
tangannya pelan menepuk-nepuk seprai ranjang-
tayamum. Membasuh muka dan tangannya dengan debu.
Debu dan air itu dekat sekali. Sama-sama sebuah kenisca-yaanMu.
Diam sejenak. Menghela nafas. Lantas dengan tetap
bersandarkan bantal, ia memulai shalatnya.
Gemetar mengangkat tangan, takbiratul ihram.
Menghela nafas lagi. Terbata membaca doa iftitah.
Suaranya lemah mengisi langit-langit ruangan. Amat
lemah. Wajahnya masih tanpa ekspresi, tetapi matanya
mulai berair. Kesedihan melingkup hatinya. Doa
iftitah itu menyentuhnya. Menangis sejenak. Hanya
suara sedan lemah memenuhi ruangan mereka.
Meneruskan membaca Fatihah. Suasana terdengar semakin
sendu. Ibu-ibu itu lebih sering terhenti sekarang. Terisak.
Membaca surat pendek, alamnasroh! Ibu-ibu itu entah
mengapa memilih surat itu. Tiba di janjiMu itu, ia terdiam
lama. Fainnakal 'usri yusro. Sungguh setelah kesulitan
akan ada kemudahan! Sungguh! Itu janjiMu yang tertoreh di atas kitab suci.
Sungguh tak ada keraguan di sana! Bagaimanalah orang-
orang tak mempercayainya" Itu kata-kataMu. Janji dari
maha-pemegang janji! Ibu-ibu itu gemetar mengg erakkan tangannya, tanda
hendak ruku. Melanjutkan shalatnya. Membaca bacaan
ruku1 pelan. Menggerakkan tangannya lagi tanda hendak
i'tidal. Samiallahuliman-hamidah.
Rabbanalakalhamdu. Dan sujud! Ibu-ibu itu akan sujud.
Saat bibir ibu-ibu itu gemetar menyebut:
subhanallah rabbiyal a'la wabihamdih .... Bacaan
sujud yang selama ini Delisa tak pernah mampu hafal.
Jemari Delisa tiba-tiba bergerak-gerak.
Ya Allah, Delisa ingin sujud, Delisa ingin menyambung
sujud yang terhenti itu. Delisa ingin sujud sempurna
padaMu. Berikanlah kesempatan kepadanya,
Dan Delisa pelan-pelan sadar.
** Ya Allah, Delisa harus tirus hidup.... Ia belum pernah
sujud yang sempurna.... Aku mohon demi hidup dan
kehidupan ini'. 10. Kalung yang indah itu
Ibu-ibu di sebelah ranjang Delisa mengucap salam.
Shalat malamnya usai. Tahajud-nya sudah selesai. Ia
menangis tersedan. Tak ada yang perlu disesali. Bukankah
semua sudah terjadi. Tak ada yang bisa mengembalikan
waktu! Tidak ada yang bisa memutar ulang nasib, hidup
dan kehidupan. Ibu-ibu itu menghela nafas dalam.
Dan ternyata ada yang menghela nafas juga di ruangan
itu. Ia menoleh, melihat Delisa. Gadis kecil itu pelan-pelan
siuman. Suara nafasnya terdengar lebih keras. Mata Delisa
berkerjap-kerjap. Silau. Cahaya ruangan itu tidak terlalu
terang. Tetapi bagi Delisa yang hampir seminggu pingsan di
atas ranjang, ditambah dua minggu pingsan di semak
belukar itu, cahaya seperti apapun akan terasa
menyilaukan. Delisa mengaduh. Sakit. Badannya terasa amat sakit.
Tetapi sepertinya ia tidak tergantung di atas semak-belukar
itu lagi. Tubuh sebelah kirinya tidak basah di atas becek
tanah terkena hujan deras. Ia tidak panas dipanggang tanah
mengering dan garangnya sinar matahari siang. Ia sekarang
berada di atas ranjang yang empuk. Di mana" Di
rumahnya" Bukankah kasurnya tidak sebesar ini"
Delisa menolehkan kepala ke sana-kemari.
Ibu-ibu itu juga menolehkan kepala. Tidak ke sana-kemari, melainkan ke samping ranjangnya, tangannya
menggapai tombol untuk memberitahu perawat yang
sedang berjaga. "A-a-a...."" Delisa entahlah mau bilang apa. Suaranya
masih tersendat di tenggorokan. Menatap Ibu-ibu itu. Ibu-ibu itu menyeka sisa air matanya. Tersenyum. Tidak
membalas seruan Delisa. Apalagi ia tidak mengerti apa
yang dikatakan Delisa barusan.
"A-a-a....11 Suara Delisa terdengar sekali lagi.
Suster Sophi yang kebetulan malam itu berjaga
terkantuk-kantuk di meja depan, terburu-buru masuk
ruangan setelah melihat lampu di meja jaganya berkedip-kedip. Kode dari tombol yang ditekan ibu-ibu tadi.
Membuka pintu kaca ruang rawat Delisa. Dan mukanya
yang tadi amat cemas langsung menyungging senyum saat
menatap Delisa yang pelan terus menoleh kesana-kemari.
"Honey, kamu sudah siuman...." suster Sophi berseru
kecil, melangkah mendekat.
"A-a-a-a..." Delisa menatap suster Sophi. Suaranya tetap
belum terbentuk. Hanya matanya yang sempurna pulih
mengamati wajah orang yang mendekatinya sekarang.
Kerudung" Mbak-mbak ini berkerudung seperti kak
Fatimah. Seperti Ummi. Meski wajahnya sama sekali asing
bagi Delisa. Siapa ia" Delisa tidak mengenalinya.
Suster Sophi mengabaikan pertanyaan dari gesture muka
lebam Delisa. Buru-buru memeriksa seluruh layar hijau.
Selang dan belalai di tubuh Delisa. Mencatat entahlah.
Mengamati apalah. Tersenyum lagi. Lantas duduk di tepi
ranjang, menyentuh dahi Delisa lembut
. "Bagaimana perasaanmu sayang"" Sophi bertanya riang.
Semuanya membaik. Kesadaran ini membuat situasi gadis
kecil di hadapannya berubah drastis.
Namun Sophi mendadak terdiam. Bukankah urusan ini
akan sama saja dengan ibu-ibu di sebelah ranjang Delisa"
Mereka kan tidak mengerti bahasa satu sama lain.
Pertanyaannya tadi sedikitpun tidak dimengerti Delisa.
Delisa yang matanya mulai terbiasa oleh cahaya lampu,
masih menatap lamat-lamat wajah Shopi, tidak
mendengarkan Sophi barusan.
"D-i-m-a-n-a...."" Akhirnya Delisa bisa menyebut kalimat
yang utuh. Bukan erangan yang tersangkut di tenggorokan.
Shopi menelan ludah. Apa maksud pertanyaan itu"
Aduh, ia sedikitpun tak mengerti bahasa Indonesia.
"U-m-m-i...." Delisa mendesahkan kata lain.
Shopi tersenyum. Kalau yang satu ini ia mengerti. Ibu!
Gadis kecil ini memanggil ibunya. Sophi tersenyum riang.
Dan seketika terjadilah komunikasi yang ajaib itu. Delisa
dan Shopi berbicara satu sama lain. Tak mengerti masing-masing bahasa, tapi bisa saling memahami.
"Kau ada di rumah sakit, sayang!"
"Kak Fatimah...."
"Kami menemukanmu.... Kau sudah pingsan selama
enam hari, sayang! Tetapi sekarang kau sudah sadar....
Kondisimu sekarang baik. Amat baik."
"Kak Zahra.....11 "Dan.... D-a-n kami terpaksa.... Maafkan aku, sayang.
Kami terpaksa mengoperasi kakimu.... Kami juga
memasang gips di lengan kananmu."
"Kak Aisyah...."
Suster Sophi dan Delisa sekarang bertatapan. Delisa
hendak menggerakkan tangan kanannya. Tak bisa. Tangan
itu terbungkus gips. Dan saat matanya melihat kaki
kanannya, kaki itu sudah terpotong sempurna hingga lutut.
Delisa menatap kosong. Ia tiba-tiba tidak bisa berpikir
lebih banyak lagi. Terhenti begitu saja. Setelah menyebut
nama Ummi, kak Fatimah, kak Zahra, dan kak Aisyah tadi,
ingatannya pelan-pelan kembali. Masalahnya ingatan itu
kembali bersama "sepotong" hati dan otak yang tertinggal.
Apalagi setelah melihat kakinya yang terpotong. Semua ini
terasa menyedihkan. Terasa memilukan. Mata Delisa mulai
basah ber-air. Sophi menelan ludah. Mengelus lembut bahu
Delisa. Di mana ia sekarang" Ia jelas-jelas tidak berada di semak
belukar itu. Tidak terpanggang cahaya matahari. Tidak
diterpa hujan deras. Oh ya, jam berapa sekarang" Siangkah"
Atau malam" Di mana kota Lhok Nga-nya" Di mana"
Air.... "A-i-r____" Delisa tiba-tiba mendesis.
Shopi tahu kata yang satu ini. Ibu-ibu di sebelah ranjang
Delisa beberapa hari lalu juga menyebutkan kata itu. Shopi
buru-buru menjangkau gelas dan teko kaca di atas meja.
Mengisinya separuh. Dengan lembut mendekatkan gelas itu
ke bibir Delisa. Delisa menggeleng. Ia tidak haus.
Setidaknya itu yang ia rasakan sekarang.
Air di mana-mana. Air yang merekahkan tembok
sekolah. Air yang menyeret tubuhnya. Delisa ingat sikunya
terhantam pohon kelapa. Mukanya diparut pelepah pohon
kelapa. Betis kaki kanan! Betis itu menghantam pagar
sekolah. Ibu Guru Nur.... Di mana Ibu Guru Nur" Teman-teman sekelasnya" Tiur" Di manakah mayat Tiur yang
membeku" Delisa mengeluh dalam. Wajah Tiur yang putih
tak berdarah membayang di pelupuk mata.
Sophi mengembalikan gelas yang tidak disentuh bibir
Delisa. Menggeleng walau tetap tersenyum. Memperbaiki
posisi kepala Delisa agar Delisa bisa mengamati situasi
kamar lebih nyaman. "I-n-i rumah sakit"" Delisa batuk kecil, bertanya lagi.
Sophi mengangguk (ia tidak tahu apa yang dikatakan
Delisa, hanya mengangguk saja). Delisa menatap selang
infus, berbagai belalai yang melilitnya. Menatap peralatan
rumah sakit. Terdiam. Di manapun ia sekarang. Semua ini
terasa menyedihkan. Semua ini terasa aneh. Dan yang lebih
penting lagi, semua perasaan yang tiba-tiba menohok-nohok
hatinya. Perasaan merasa sendirian. Dan Delisa benar-benar sendirian.
Esok paginya. dr Eliza amat semangat memeriksa Delisa. Tersenyum
hangat melihat semua data. Kesehatan fisik Delisa maju
sekali. Sophi bahkan sekarang membantu melepas belalai-belalai itu-sudah tidak diperlukan. Delisa bahkan sudah
bisa beranjak duduk, dr Eliza mengusap kepala plontos
Delisa sebelum beranjak memeriksa ibu-ibu di sebelahnya.
Memuji Delisa anak yang pandai.
"Itu buatmu, sayang!" Sophi mend
ekat setelah dr Eliza pindah ke ranjang sebelah, menunjuk boneka teddy bear.
Delisa menatap boneka itu. Meraihnya. Mema-tut-matut.
Tidak ada yang berwarna biru. Mengamatinya sebentar.
Meletakkannya kembali. Tidak ter- lalu berselera, meski
Delisa amat suka dengan boneka.
"Kamu hari ini mandi ya. Sebentar, kakak siapkan dulu."
Sophi melangkah keluar kamar, entah mengambil apa.
Delisa menoleh ke arah ibu-ibu di sebelahnya, dr Eliza,
setelah memeriksa singkat ibu-ibu itu, sudah keluar kamar
menyusul suster Sophi. Ibu-ibu itu hanya balik
memperhatikan Delisa. Diam, membalas pandangan
Delisa. Tersenyum lemah. Hanya itu.
Sophi kembali dengan membawa sebaskom besar air
hangat. Kain kering yang lembut. Handuk besar dan
pakaian ganti. Membantu Delisa hati-hati duduk
bersandarkan bantal-bantal. Melepas atasan baju Delisa.
Delisa menurut saja. Membiarkan jemari suster Sophi
bekerja. Sophi menelan ludah. Tubuh gadis kecil di hadapannya
menyedihkan sekali. Ia mengambil kain, mencelupkannya
dalam air hangat di baskom. Memerasnya. Kemudian
lemah penuh perasaan jemari Sophi mengelap punggung
Delisa yang penuh parut. Sungguh menggentarkan menatap tubuh telanjang itu.
Sisa-sisa barut, jahitan luka panjang-panjang, lebam biru.
Sophi menghela nafas dalam senyap.
Hangat. Kain basah itu terasa hangat di badan Delisa.
Delisa menyeringai. Ini menyenangkan. Ternyata ini
maksudnya kakak-kakak ini dengan kata mandi tadi"
Jemari Sophi pelan mengelap bahu Delisa. Hati-hati agar
tidak menyentuh jahitan luka di sana. Sementara Delisa
menatap wajah Sophi. Memperhatikannya lamat-lamat.
Kakak-kakak ini baik sekali. Mukanya teduh seperti muka
Ummi. Wajahnya mirip seperti anak-anak Wak Burhan.
Kata Ummi dulu, anak-anak Wak Burhan itu memang
demikian. Wajah keturunan Arab. Jadi sepertinya kakak-kakak ini juga sama. Meski Delisa tidak tahu di mana
negara Arab itu berada. Mungkin Abi tahu, kan Abi pernah
pergi ke negara mana saja.
Sophi sekarang mengelap kepala Delisa. Yang sempurna
botak, juga penuh barut luka. Menelan ludah lagi.
Menghela nafas. "Kakak siapa""
Delisa tiba-tiba bertanya. Tangan Sophi terhenti.
Menatap Delisa yang menyeringai. Mulut Delisa terbuka,
dua giginya yang tanggal langsung menyeruak terlihat.
Sophi tak mengerti pertanyaan itu, tetapi menjawabnya
dengan benar tanpa sadar.
"Sophi!" Delisa mengangguk. C-o-f-i! Nama kakak ini ternyata
Cofi. Setidaknya itulah yang telinga Delisa dengar.
Sophi meneruskan membersihkan tubuh Delisa. Melepas
bagian bawahan pakaian Delisa. Di kaki kiri Delisa yang
utuh ada dua jahitan luka. Besar-besar. Sophi lebih lama
membersihkan bagian bawah tubuh Delisa. Mengganti
perban kaki Delisa yang diamputasi. Kemudian terakhir
mengeringkan tubuh Delisa dengan handuk besar. Handuk
ini besar sekali, seperti handuk Abi.... Delisa berpikir,
menyeringai. "A-b-i...." Sophi menoleh. Gadis kecil ini baru saja menanyakan
ayahnya. Sophi hanya tersenyum menggeleng. Tidak tahu
mesti bilang apa. Meneruskan mengganti pakaian Delisa.
Seragam pasien rumah sakit yang bersih. Biru. Delisa
menatap senang seragam itu. Setidaknya warna itu
membuatnya merasa tidak sendirian.
Dan dua hari kemudian, Delisa benar-benar tidak
sendirian. Shopi selalu menemaninya. Meski itu bukan jadwal
piketnya. Gadis berumur 25 tahun itu menggantikan peran
Ummi, kak Fatimah, kak Aisyah, sekaligus kak Zahra
dengan baik. Juga teman yang baik.
"Kak Cofi...." Delisa selalu berseru senang setiap Sophi
masuk ke ruangan rawatnya. Dan pagi itu Delisa juga
berseru senang menyambut suster Sophi.
Hari ketiga setelah Delisa siuman. Lebam muka Delisa
mulai memudar. Luka-lukanya mulai mengering. Barut-barut itu juga pelan-pelan terkelupas, digantikan kulit baru.


Hafalan Shalat Delisa Karya Tere Liye di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Masa-masa pertumbuhan kanak-kanak, fisiknya pulih lebih
cepat. Sophi tersenyum mendekat. Membalas riang sapaan
Delisa (meski ia belum tahu siapa nama gadis kecil itu).
Hari ini Sophi tidak bertugas. Maka ia datang dengan
pakaian biasa. Bukan dengan seragam putihnya. Sophi
sekarang mengenakan kerudung biru, baju panjang, seperti
baju yang sering digunakan kak Fatimah. Sophi sengaja
memakai kerudung biru. Ia ta
hu Delisa suka dengan warna
biru. Delisa mengatakan warna itu berkali-kali sejak dua
hari lalu. "Kakak bawa sesuatu untukmu!" Sophi melangkah
patah-patah mendekat. Dua tangannya tersembunyi di balik
badannya. Delisa menyeringai. Kak
Fatimah juga sering begitu dulu. Pasti tangan itu
menyembunyikan sesuatu. Kejutan.
"Tara...!" Sophi berseru kecil. Mengeluarkan benda
pertama. Berwarna biru! Kain! Kerudung kecil untuk
Delisa. Delisa tersenyum senang. Meraihnya dengan tangan
kiri. "Dan... Tara...!" Sophi mengeluarkan benda kedua.
Cokelat! Sebatang cokelat besar. Delisa benar-benar
berteriak senang sekarang. Ibu-ibu di sebelah mereka
bahkan ikut tersenyum. "COKELAT!" Delisa menyambarnya. Sophi tersenyum.
Duduk di tepi ranjang. Membantu memasangkan kerudung
di kepala botak Delisa. Manis sekali. Wajah gadis kecil di
hadapannya baru separuh pulih. Tetapi lihatlah! Ketika
kerudung itu terpasang di kepalanya, wajah itu seketika
berubah manis sekali! Sophi menelan ludah. "Kakak bantu buka ya ...." Sophi meraih cokelat itu.
Dengan satu tangan, Delisa tadi kesulitan membuka
bungkusnya. "Kak Cofi potong saja separuhnya...." Delisa berkata
sambil tersenyum saat Sophi hendak menyerahkan lagi
cokelat yang sudah terbuka.
Sophi menggeleng tak mengerti (bahasanya). Tetap
meletakkan seluruh cokelat itu di tangan Delisa. Delisa
yang memotongnya. Awalnya kesulitan meski akhirnya
berhasil. Lantas menyerahkan potongan itu ke tangan
Sophi. "Buat kak Sophi!"
Sophi tertegun. Ia mengerti sekarang. Gadis kecil di
hadapannya ternyata hendak berbagi. Sophi menelan ludah.
Tersenyum kaku menerima potongan itu. Va Allah, bahkan
Delisa di tengah situasi menyedihkan ini, reflek begitu saja
membagi cokelatnya.... Tulus berbagi....
Mereka berdiam diri. Dengan pikiran masing-masing.
Delisa menggigit cokelat itu. Cokelat ini membuat Delisa
ingat Ummi. Ingat ustadz Rahman. Bukankah Delisa belum
sempat menjelaskan kejadian shubuh itu kepada Ummi.
Delisa buru-buru memperbaharui janjinya, nanti kalau
ketemu Ummi, ia akan menjelaskan semuanya. Minta
maaf. Paling Ummi akan mencubit perutnya. Delisa
tersenyum senang dengan kemungkinan terburuk itu.
Sedikitpun tidak menyadari kemungkinan yang lebih buruk.
Sophi menggigit cokelat itu. Memandang wajah manis
Delisa di hadapannya. Wajah itu teduh sekali. Siapakah
nama gadis kecil ini" Sophi mendesah dalam hati. Di
manakah Abi-nya" Di manakah Ummi-nya" Di manakah
keluarganya. Jangan-jangan, sama seperti penduduk Aceh
lainnya. Sophi menghela nafas panjang. Ia sepanjang dua hari ini
selalu bertanya nama, alamat, dan data-data Delisa lainnya,
namun gadis kecil ini hanya mengangguk, menggeleng tak
mengerti. Ribet! Kalau sudah se-detail itu, cara komunikasi
mereka yang ajaib tidak jalan lagi. Jadi bagaimana ia harus
mendapatkan informasi sepenting itu dari Delisa"
Sophi hampir menghabiskan potongan cokelat-nya
(bahkan potongan miliknya lebih besar dibandingkan milik
Delisa), ketika tiba-tiba ia ingat sesuatu. Isian formulir. Ia
tidak bisa bertanya. Tetapi gadis kecil ini pasti pernah
melihat formulir seperti itu. Ia pasti bisa mengisinya.
"Sebentar, sayang!" Suster Sophi tiba-tiba berdiri. Delisa
mengangguk. Ia sudah mengerti gesture itu. Itu berarti kak
Cofi hendak keluar sebentar. Sophi buru-buru ke ruang jaga
rumah sakit. Meminta kertas dari suster yang berjaga di
depan. Delisa menoleh ke arah ibu-ibu di sebelahnya.
"Aduh, Delisa lupa bagi Ummi cokelatnya...." Delisa
baru ingat. Menatap ibu-ibu itu. Ibu-ibu itu hanya
tersenyum. Diam. Sudah tiga hari Delisa siuman, tetapi tak
sepotong patah pun yang keluar dari mulut ibu-ibu tersebut.
Delisa sebenarnya banyak bertanya, meski ibu-ibu itu
menjawab hanya dengan senyuman.
Sophi kembali. Membawa selembar kertas isian formulir
rumah sakit. Menyerahkannya dengan pensil dan alas
papan. Delisa menatapnya. Memegang kertas itu. Ia tidak
mengerti apa maksudnya. Tetapi Delisa pernah melihat
formulir seperti ini. Ia pernah melihat kak Fatimah
mengisinya. "Ini namanya kertas pendaftara n. Kak Fatimah mau ikut
PMR, kak Fatimah mengisikan nama.... alamat... apa saja
tentang kak Fatimah!" Kak
Fatimah menjelaskan waktu
Delisa bertanya. "Ngapain pula kamu nanya-nanya.... Paling juga nggak
ngerti kak Aisyah jelasin ini!" Itu waktu Aisyah pulang
membawa kertas pendaftaran latihan tari Saman-nya.
Seperti biasa ribut dengan Delisa. Tetapi kak Zahra berbaik
hati menjelaskannya. Lebih detail dibandingkan penjelasan
kak Fatimah dulu. Delisa menatap kertas tersebut, beralih memandang
Sophi. Sophi mengangguk. Membantu Delisa memegang
pensilnya dengan tangan kirinya (Delisa memang kidal
kalau menulis, meski normal saat melakukan pekerjaan
lainnya). "Isilah, sayang!"
Delisa tak tahu apa arti kolom di sebelah kirinya.
Name" Birthday" Sex" Address" Ia
hanya ingat ucapan kak Fatimah dan kak Zahra, maka ia
sembarang mengisinya. Menulis namanya. Menulis alamat
rumah mereka. Menulis nama SD-nya. Menulis nama Abi
dan Ummi (walaupun yang ditulis ya "Abi" dan "Ummi").
Menulis nama kakak-kakaknya. Menulis nama Ibu Guru
Nur. Menulis nama ustadz Rahman. Menulis nama Tiur.
Bahkan menulis warna kesukaannya. Apa saja, hingga
semua kolom pertanyaan itu penuh hingga ke bawah.
Sekacau apapun urutan Delisa menulis. Semua informasi
itu berguna sekali. Sophi tersenyum senang melihatnya.
Segera siang itu juga, semua data itu bergabung dengan
ribuan data korban selamat lainnya di Pusat Informasi
Banda Aceh dan Lhok Nga. Malamnya, Sophi datang lagi. Sekarang bajunya yang
berwarna biru. Kerudungnya berganti putih. Sophi
membawa beberapa foto keluarganya di Virginia. Malam
ini ia akan bercerita banyak dengan gadis kecil itu. Meski
mereka berdua tidak saling mengerti, menyenangkan saja
berbincang dengan gadis kecil itu. Menyimak wajah
teduhnya. Menatap beningnya mata hijau itu.
"Kak Cofi!" Delisa berseru riang. Duduk dari baringnya,
bersandarkan bantal-bantal.
"Da-le-sia!" Sophi membalas tersenyum. Untuk pertama
kalinya bisa menyebut nama gadis kecil di hadapannya
Ratu Perut Bumi 1 Pendekar Naga Putih 20 Bencana Dari Alam Kubur Tangan Geledek 12
^