Jangan Main Main 1
Jangan Main Main Dengan Kelaminmu Karya Djenar Maesa Ayu Bagian 1
JANGAN MAIN-MAIN (DENGAN KELAMINMU) kumpulan cerpen Djenar Maesa Ayu untuk Banyu Bening, Btari Maharani dan
Edhi Widjaja, bapaknya Daftar Isi ...tidak lebih karena cinta
Jangan Main-main dengan Djenar oleh Richard Oh
1. Jangan Main-main (dengan Kelaminmu)
2. Mandi Sabun Mandi 3. Moral 4. Menyusu Ayah 5. Cermin 6. Saya adalah Seorang Alkoholik!
7. Staccato 8. Saya di Mata Sebagian Orang
9. Ting! 10. Penthouse 2601 11. Payudara Nai Nai Sejarah Penerbitan Tentang Djenar ...TIDAK LEBIH KARENA CINTA
Rasanya ucapan terima kasih dalam buku ini tidak akan banyak berbeda dengan apa yang saya tulis dalam buku sebelumnya. Orangtua, keluarga, dan saudara-saudara saya tentunya tidak akan pernah berubah walaupun tidak menutup kemungkinan akan bertambah. Sahabat-sahabat saya tidak banyak berubah. Penerbit saya pun belum berubah. Maka jika lagi-lagi saya merasa mutlak mengucapkan rasa terima kasih yang mendalam, tidak lebih karena cinta dan dukungan dari mereka kepada saya yang tak pernah berubah. Karena itu, pertama-tama saya akan mengucap syukur dan terima kasih kepada Tuhan yang telah memberi saya cinta lewat orangtua saya, Tutie Kirana dan Alm Syuman Djaya. Juga orangtua saya yang lain: Soetikno dan Astuti Widjaja, Farida Oetoyo, Zoraya Perucha, Hartono Parbudi, Nanang D Soelaksana, Feisol Hasyim dan August Melasz. Juga saudara-saudara yang terkasih, Arya Yudistira Syuman, Sri Aksana Syuman, Hyza Samara, Panji Rahadi Hartono, Fiezea-Fay-Fionny Feisol, Marey-Christ Melasz, dan Hadi-Lestiyani-Kiwi-Lili-Erwin-Lina-Sanny- Hendra Widjaja.
Tanpa bermaksud mengabaikan dukungan sahabat-sahabat yang lain, kali ini saya mutlak berterima kasih secara istimewa -karena ia benar-benar istimewa- kepada Richard Oh, yang berperan sangat besar dalam proses kreatif dan non kreatif buku ini. Dukungan dan pengertian yang tidak bisa saya "bayar" dengan hanya ucapan terima, kasih inilah yang telah membuat segala yang saya impikan terwujud.
Yang juga tidak akan pernah berubah adalah rasa terima kasih kepada ketiga guru yang sangat saya hormati, Sutardji Calzoum Bachri, Budi Darma, dan Seno Gumira Ajidarma.
Dan tentunya, terima kasih untuk sahabat-sahabat pendukung acara peluncuran buku saya ini, yang membuat saya merasa "kaya" baik moril maupun materil. Sekali lagi, Richard Oh -QB Worldbooks, Guntur Santoso -Paperina, Mas Robby Sumendap, Mas Adi Taher, Charles Menaro, Bapak Sanusi -Kota Baru Parahyangan, Cynthia -Male Emporium, Ferry Salim, teman-teman di MTV Trax, Reader's Digest, dan Trans TV. Juga kepada Kiki Taher, Wai, Wendy, Sandy, Ronald, dan Firman, yang sudah kerja keras lembur sampai pagi ketika proses pembuatan dokumentasi film untuk acara peluncuran buku, dan semua pihak yang sudah berkenan diwawancarai, termasuk Alm Saut Sitompul-sahabat dan penyair yang saya kagumi -yang masih sempat memberi komentar empat jam sebelum berpulang ke Yang Maha Kuasa.
Terima kasih untuk sahabat minum dan ngerumpi, Takashi Ichiki, Tommy F Awuy, Sitok Srengenge, Nirwan Ahmad Arsuka, Hudan Hidayat, Butet Kartaredjasa, Indra Herlambang, Kumia Effendi, Iswadi gemblung Pratama, FX Rudy Gunawan, Vera Lydia, Ratna Ayu Wahadi, Norini, Stefanny Hid, Fira Basuki, Rieke Diah Pitaloka, Jajang Pamoentjak, Nia Di Nata, Nelden Djakababa, Amal, Garin Nugroho, Jujur Prananto, Eddy SS, Enison Sinaro, Harry Simon, Freddy Pangkay, Ratna Indraswari dan Benny Ibrahim, Cornelia Agatha, Gugun Gondrong, Tongclay, dan Moammar Emka.
Terima kasih untuk pengalaman baru bersama teman-teman baru; teman-teman nyontek di P2FTV dan segenap jajaran dan kru Insert yang dengan sabar menahan panas telinga mendengar obrolan "murahan" yang terpaksa saya lakukan untuk merespons Indra H (huehehehehehehe)-off air tentunya ", juga segenap rombongan Athena, Bapak Sri Hastanto, Romo Mudji Sutrisno, Sudjiwo Sutedjo, Ary Sutedja, dan Mikhail, Hanafi, I Made Wianta, Taufik Rahzen, Edward Hutabarat, Davy Linggar, Sari Madjid, Mugiyono, Dorothea Rosa Herliany, Nyak Ina Raseuki, Leo Kristi, Bai, Pak Mus, Bu Baryati, Seno Joko, Doddy, Pak Aspari, Pak Basuki, dan Joseph Christoper.
Terima kasih untuk seluruh sta
f penerbit Gramedia Pustaka Utama: adik dan editor saya yang manic Mirna Yulistianti, Mas Priyo, Mbak
Widid, Mbak Ninin, Mas Nung, Mas Dwi, Medy Zanzibarian, Mas Danang di Surabaya, dll, yang dengan segala hormat tidak bisa saya sebutkan satu persatu di sini. Juga tak kalah penting, terima kasih kepada para sahabat pers dan pembaca atas dukungan dan apresiasi yang amat berarti selama ini.
Dan yang terakhir, selalu amat sangat tak terbilang besar terima kasih dan cinta saya untuk Banyu Bening, Btari Maharani, dan Edhi Widjaya, bapaknya. Kepada merekalah saya dedikasikan hasil jerih payah saya ini, atas hasil jerih payah mereka demi mengerti berbagai perubahan situasi yang saya alami dan akhirnya sedikit banyak mengubah "sistem" dalam kehidupan kami.
Sekali lagi terima kasih atas cinta yang tidak pernah berubah. Mohon maaf kepada yang namanya luput saya cantumkan-sengaja maupun tidak sengaja- terima kasih saya akan selalu ada untuk semua, karena hidup selalu menyisakan jejak sejarah dan sejarah tidak akan pernah berubah.
-Djenar Maesa Ayu- JANGAN MAIN-MAIN DENGAN DJENAR
Dalam kumpulan cerpen terbarunya, Jangan Main-main (dengan Kelaminmu), Djenar Maesa Ayu menampilkan satu dunia yang dipadati manusia terluka, marginal, dan terkhianati. Tak ada pijakan kokoh dalam dunia ini. Komitmen dapat berubah setiap saat, ikatan tidak mengikat, dan logika tak punya validitas. Karakter-karakter yang bermunculan dalam cerpen-cerpen tersebut boleh dikatakan hampir semuanya antihero. Jangan berharap mereka akan membawa berita segar. Tapi jangan pula mengira mereka mengemis pengertian ataupun empati kita. Tidak. Mereka eksistensialis, karakter-karakter penuh paradoks, tercipta dari lingkungan yang brutal. Mereka adalah steel magnolia di tengah kehidupan kita. Dengan mengikuti perjalanan karakter-karakter ini, terasa sekali kita menangkap mereka dalam suatu perjalanan yang krusial sehingga kita belajar sedikit tentang diri kita, beban-beban yang ditumpukkan di bahu kita oleh teman-teman kita, pasangan kita, atau lingkungan pergaulan kita.
Dalam cerpen berjudul Saya di Mata Sebagian Orang, tokoh utamanya menghardik masyarakat yang mendakwanya dengan kebenaran seseorang yang merasa berhak untuk memilih cara hidupnya:
Sebagian orang menganggap saya munafik. Sebagian orang menganggap saya pembual. Sebagian lagi menganggap saya sok gagah. Sebagian lagi menganggap saya sakit jiwa. Sebagian lagi menganggap saya murahan! Padahal saya tidak pernah merasa munafik. Tidak pernah merasa membual. Tidak pernah merasa soli gagah. Tidak pernah merasa sakit jiwa. Tidak merasa murahan!
Setelah pembelaan ini karakter saya kemudian menceritakan bagaimana ia berteman dengan lelaki dan dalam keintiman pertemanan itu ia pun bersetubuh dengan mereka.
Saya melakukannya karena saya mau, bukan karena paksaan. Saya menikmati kebersamaan kami. Menikmati tiap detail manis yang kami alami. Makan malam di bawah kucuran sinar rembulan dan keredap lilin di atas meja. Percakapan yang mengasyikkan penuh canda dan tawa. Sentuhan halus di rambut saya. Kecupan mesra di kedua mata, hidung, pipi, dan bibir yang berlanjut dengan ciuman panas membara lantas berakhir dengan rapat tubuh kami yang basah berkeringat di atas tempat tidur kamar hotel, di dalam mobil, di teman hotel, di toilet umum, di dalam elevator, di atas meja kantor atau di dalam kamar karaoke.
Tentu saja ia tidak melakukan itu dengan hanya
satu teman, tapi dengan semua temannya. Perilaku yang tentu saja tidak akan mengundang simpati kita, tetapi memang bukan simpati yang diharapkan. Karena dalam keadaan sekarat pun pada akhir cerpen itu, ia masih berang dan membela cara hidupnya dengan pernyataan:
Karena, ketika saya positif mengidap HIV ternyata saya masih punya banyak teman yang setia menyiapkan air hangat untuk bilas badan. Mengirim makan siang. Menemani makan malam. Mendongeng tentang sebuah peristiwa lucu di suatu kafe. Bercerita tentang film yang baru saja diputar, membayar ongkos perawatan, ketika sebagian orang sibuk bergunjing atas akibat yang saya terima karena saya munafik. Pembual. Sok gagah. Sakit jiwa.
Murahan! Ironinya, hingga detik-detik terakhir pun ia sama sekali tidak menyesali apa yang terjadi pada dirinya. Tak juga marah pada teman-temannya yang sebenarnya adalah penyebab utama ia mengidap HIV. Ini adalah salah satu paradoks karakter-karakter Djenar yang kadang membuat kita gemas dengan kenaifannya. Dan dalam kegemasan kita atas kenaifannya, sekaligus kita merasakan kegetiran jiwa karakter yang terlihat nyata dalam pembelaan yang begitu gigih untuk eksistensinya. Baginya, kebebasan adalah segalanya, sekalipun kebebasan itu harus dibayar dengan jiwanya.
Moral bukan merupakan pegangan atau sesuatu yang sakral bagi karakter-karakter dalam cerpen-cerpen Djenar. Moral malah diperolok dalam satu cerpen yang berjudul Moral. Di sini moral dianggap seperti barang obralan seharga lima ribu rupiah tiga! Prinsip-prinsip pribadi, keutuhan individualisme, adalah kode etik pribadi, atau hak penuh masing-masing karakter tanpa ada kompromi. Karena dalam keadaan terpojok mereka merupakan pegangan, kadang penyelamat, bagi kewarasan jiwa mereka. Seperti dalam cerpen Menyusu Ayah -menurut saya cerpen terbaik dalam kumpulan ini- Nayla yang sejak kecil menyusu penis ayahnya tidak begitu mempersoalkan kalau ia kemudian juga menyusu penis teman-teman ayahnya. Tetapi ketika salah satu teman ayahnya mulai meraba dadanya dan kemaluannya, ia langsung merasa seakan integritas dirinya diperkosa:
Pada suatu hari ketika saya sedang asyik menyusu salah satu teman ayah, ia meraba payudara saya yang rata. Saya merasa tidak nyaman. Ucapan ayah bahwa payudara bukan untuk menyusui namun hanya untuk dinikmati lelaki terngiang-ngiang di dalam telinga saya. Saya tidak ingin dinikmati. Saya hanya ingin menikmati...
Dan pada saat-saat terpojok atau tak berdaya, ia bersandar pada beberapa hal yang merupakan pilar-pilar penopang eksistensinya:
Apakah ini" Saya berusaha mengingat-ingat peristiwa ketika saya masih di dalam rahim ibu. Seingat saya tidak pernah ada juga lidah yang mengunjungi saya, juga tidak lidah ibu.
Walaupun ia tidak berhasil mempertahankan dirinya secara fisik, ia mencoba mempertahankan keutuhan psikisnya
Terkesan kuat dalam beberapa cerpen seperti Mandi Sabun Mandi, Penthouse 2601, dan Jangan Main-main (dengan Kelaminmu), kalau sang penulis menampilkan berbagai adegan secara gamblang untuk mengomentari tentang penyimpangan perilaku, pengkhianatan bersilang, dan kesemuan hidup metropolitan. Seperti dalam Mandi Sabun Mandi, di mana Meja dan Cermin dalam kamar motel menjadi saksi pengkhianatan bersilang lelaki dan pacar gelapnya. Sophie, sang pacar gelap, mengomentari sewaktu melihat Si Mas mandi tanpa memakai sabun motel:
"Kenapa Mas, takut ketahuan istri kalau wangi sabunnya beda""
Kemudian di akhir cerita ketika tengah bercumbu dengan lelaki lain, Sophie ditelepon oleh Si Mas dan bergegas ke kamar mandi:
... Sophie tersenyum geli membayangkan ekspresi Si Mas yang sedang gundah saat ini. Lalu ia
menyelesaikan bilasan terakhirnya, tanpa memakai sabun mandi.
Dalam satu twist sederhana, di saat Sophie dengan penuh pengalaman menolak pakai sabun mandi di motel, Djenar mengomentari betapa licik dan rapuhnya komitmen dalam hubungan gelap seperti itu.
Dalam Penthouse 2601, satu impian murni menjadi kandas karena dicemari oleh para tamu yang berlaku seronok dalam salah satu kamar penthouse sebuah hotel berbintang.
Tapi, aku sudah tidak berani berharap. Aku takut kecewa. Seperti yang aku katakan pada anda di awal cerita, aku pernah begitu berharap kelak tamu-tamuku adalah sebuah keluarga bahagia. Atau pasangan yang sedang berbulan madu. Tapi kenyataannya, hanya orang-orang yang kaya bertambah kaya, seperti yang pernah digumamkan petugas kebersihan itu saja yang datang bertandang. Mereka tidak menghargaiku. Bagaimana mungkin orang-orang seperti itu bisa menghargaiku yang hanya sebuah kamar, sementara mereka tidak prihatin pada sesamanya" Aku juga yakin, mereka pun tidak menghargai diri mereka sendiri. Kelakuan mereka benar-benar seperti binatang, mungkin jauh lebih rendah dari binatang.
Kata-kata cukup pedas dari penulis yang biasanya lebih suka ber
main dengan metafora dan frasa ekspresi yang kreatif.
Sementara dalam cerpen Ting! Djenar mengupas tema yang sama, kesenjangan sosial, dengan pendekatan yang lebih menarik. Ia membiarkan kita melihat sendiri kenyataan yang memilukan itu dan mengambil kesimpulan sendiri. Kali ini Djenar juga terkesan cukup bermurah hati pada karakternya, di mana sangat jarang kita temukan dalam cerpen-cerpen lain dalam kumpulan terbarunya ini. Ia memberikan secercah harapan bagi seorang pekerja seks yang sepertinya terperangkap dalam suatu kehidupan tanpa penghujung. Diceritakannya tentang sang tokoh penghibur yang sedang "cuti" itu ketika berada dalam elevator yang meluncuri lantai demi lantai. Sepanjang perjalanan menuju ke lantai yang ditujunya, kita ikut merasakan kerisihannya pada orang-orang yang menatapnya dengan sorotan mata mendakwa, kecemburuan terhadap kelengkapan kebahagiaan satu keluarga yang tak pernah ia rasakan, juga rasa ketidakadilan pada nasib yang dilimpahkan pada dirinya. Tetapi semua kepedihannya lenyap ketika ia disambut di depan pintu oleh anaknya dengan teriakan, "Mama..."
Dambaan akan kehidupan normal, cinta seorang ibu, dan kesempurnaan kebahagiaan keluarga yang lengkap, terbersit dalam beberapa cerpen Djenar. Seperti dalam cerpen Penthouse 2601, sebuah kamar mewah merasa kesepian dalam kemewahan semu,
karena ia hanyalah tempat hiburan bagi orang-orang berduit. jauh dari bayangan sebelumnya, yaitu kamarnya akan dihuni oleh keluarga bahagia atau pasangan yang sedang berbulan madu. Dalam Menyusu Ayah, seorang anak perempuan yang kehilangan ibunya menyusu penis ayah untuk mengganti kerinduan pada cinta ibunya. Dan dalam Cermin, kegagalan komunikasi antara seorang anak perempuan dengan ibunya mengakibatkan sebuah akhir yang tragis. Aspek humanis yang bergerak di bawah permukaan ini memberikan napas segar bagi cerpen-cerpen Djenar yang kadang terkesan begitu "menyesakkan", dengan kata lain sangat brutal.
Jangan Main-main (dengan Kelaminmu) menurut saya perlu dibahas bersama dengan dua cerpen lainnya, yakni Staccato dan Saya adalah Seorang Alkoholik! Ketiga cerpen ini ditulis dengan gaya penuturan yang sangat eksperimental, khas inovasi Djenar dengan mengandalkan pengulangan, mengitari satu titik sentral cerita dan mengikis terus hingga ke esensi permasalahan. Kadang seperti dalam Saya adalah Seorang Alkoholik! teknik rewind dipergunakan hanya untuk mendapatkan efek dunia seorang alkoholik yang tak jelas ujung pangkalnya. Staccato, seperti judulnya ditulis dengan efek staccato, dada dada tada tada.. Metode ini sengaja direkayasa untuk menciptakan kesan ucap yang gagap dari seseorang yang baru bangun dengan hangover. Jangan Main-main (dengan Kelaminmu), dirancang dalam struktur penceritaan yang rumit, hubungan
silang antara tokoh suami, istri, pacar gelap, dan sahabat sang suami, melalui pengakuan masing-masing tokohnya.
Ketiga cerpen ini menurut saya merupakan suatu pembaharuan bagi pengucapan narasi dalam perkembangan sastra dewasa ini. Dengan hanya mengandalkan sedikit fakta integral, Djenar memutarnya menjadi satu cerpen yang bukan saja menakjubkan dalam cara pengucapannya, tetapi juga efek keseluruhannya sama sekali tidak seperti cerpen-cerpen biasa.
Dalam metode ada sedikit persamaan antara Jangan Main-main (dengan Kelaminmu) dengan Staccato. Keduanya mengandalkan pengulangan satu fakta dari paragraf ke paragraf.
Saya heran, selama lima tahun kami menjalin hubungan, tidak sekalipun terlintas di kepala saya tentang pernikahan. Tapi jika dikatakan hubungan kami ini hanya main-main, apalagi hanya sebatas hasrat seksual, dengan tegas saya akan tolak...
Dan baca perspektif karakter lain dalam paragraf berikut yang dituturkan dengan pola yang sama, dengan kalimat-kalimat yang kalau tidak hati-hati dibaca akan tampak sangat mirip.
Saya heran, selama lima tahun mereka menjalin hubungan, tidak sekali pun terlintas di kepala mereka tentang pernikahan. Tapi jika saya
katakan hubungan mereka itu hanya main-main, apalagi hanya sebatas hasrat seksual, dengan tegas mereka akan menolak.
Paragraf pertama adalah penuturan dari per
spektif sang suami, sedangkan paragraf kedua oleh sahabat suami, selanjutnya di paragraf ketiga oleh pacar sang suami dan paragraf keempat oleh istrinya. Keseluruhan cerpen disusun dari paragraf ke paragraf dengan penuturan fakta yang diulang-ulang hingga ke titik akhir cerpen di mana jati diri keempat karakter ini terbongkar, setelah tentunya, cerpen ini dibaca beberapa kali.
"Saya hanya main-main, Ma ... saya cinta kamu. Beri kesempatan saya untuk memperbaiki kesalahan saya."
"Saya sering katakan, jangan main api nanti terbakar."
"Saya tidak main-main. lm leaving you..." "Saya tidak main-main. lm leaving you..."
Merancang cerpennya dengan kerangka seperti ini, Djenar berhasil menciptakan satu dampak yang memberi nilai tambah. Efek satu dunia di mana para karakternya bermain-main dengan kata dan manipulasi pernyataan tampak amat nyata.
Staccato sebenarnya juga menggunakan metode serupa tapi jauh lebih ketat karena dalam paragraf yang sama urutan fakta sengaja dijungkirbalikkan
dan kadang disempurnakan di kalimat berikut.
Pagi. Rokok. Kopi. Gosok gigi. Mandi. Apalagi" Pagi. Rokok. Kopi. Tidak gosok gigi. Tidak mandi. Tidur lagi. Hmmm... normal sekali. Pagi. Rokok. Kopi. Tambah roti. Supaya ada energi. Lari pagi dong... badan sehat. Jantung sehat. Banyak Rokok. Banyak minum whiskey malam tadi. Nanti dulu! Kalau banyak minum alkohol mana mungkin bisa bangun pagi" Berarti tidak ada alkohol. Tidak ada party. Pagi. Rokok. Kopi. Roti. Lari pagi. Gosok gigi. Mandi. Wangi. Birahi. Wah... mana pasangannya" Pagi. Birahi. Kelamin saling silaturahmi. Tidur lagi. Di mana" Kamar dong! Mosok di taman" Party. Whiskey. Birahi...
Kesan seseorang yang baru bangun dengan hangover sedang menghayati kembali apa yang terjadi malam sebelumnya. Fakta demi fakta diulang, tersendat-sendat dan diperbaiki di kalimat berikut, di paragraf berikut, dengan semakin meningkatnya daya ingat.
Kok bisa" Malam hari. Rokok. Whiskey. Ecstasy. Laki-laki. Birahi. Di mana" Diskotik dong! Yang ada house music! Malam hari. Diskotik. House music. Rokok. Whiskey. Ecstasy. Laki-laki. Birahi. Memang bisa lihat laki-laki" Diskotik gelap begitu"! Huh! Malam hari. Karaoke. House music. Rokok. Whiskey. Ecstasy. Laki-laki. Birahi. Bisa apa minum ecstasy
pakai whiskey" Penuturan semacam ini membuka kemungkinan baru dalam bernarasi. Sang penulis berhasil memanipulasi bahan yang sangat sederhana lantas menyulapnya menjadi satu cerpen yang original. Membaca cerpen ini mengingatkan saya pada film Memento yang tokohnya mengalami amnesia sehingga daya ingatnya sangat singkat. Untuk menciptakan efek daya ingatnya yang pendek, film itu mengulangi terus kejadian yang sama dengan penambahan detail demi detail pada pengulangan-pengulangan seterusnya.
Eksplorasi gaya penuturan seperti ini membuka jalan baru bagi penulisan prosa, sekaligus membuktikan bahwa kekuatan narasi tidak hanya terletak pada kemahiran berbahasa, tetapi yang lebih penting penguasaan dalam berekspresi, dalam gaya pengucapan. Ini sangat sejalan dengan perkembangan sastra internasional yang sudah lama meninggalkan metode penuturan berdasarkan bahasa formal dengan susunan kata yang rapi atau gramatika yang tak tercela. Zaman itu sudah lama berlalu sejak Mark Twain memasukkan unsur vernakular dalam cerita-cerita Tom Sawyer dan sejak Hemingway memperkenalkan kalimat-kalimat sederhana dan pengulangan kata-kata. Bahkan dalam perkembangan terakhir Ben Okri malah bereksperimentasi untuk membawa fiksi kembali ke alam imajinasi yang sebenarnya, yaitu bebas dari embel-embel formalitas, kembali ke alam
yang mempesona bagaikan penyulap yang begitu memukau penontonnya sehingga mereka tidak sadar sedang di atas deck kapal pesiar di tengah hamparan laut. Dalam perkembangan fiksi dewasa ini, di mana segala cara bernarasi sudah pernah ditempuh penulis sebelumnya, originalitas dalam pengucapan menjadi sangat penting bagi penulis yang ingin memisahkan diri dari penulis lainnya.
Oleh sebab itu, dalam kumpulan cerpen Jangan Main-main (dengan kelaminmu) yang tidak saja cukup berani menampilkan tema-tema yang kontroversial seperti Menyusu Ay
ah, Djenar Maesa Ayu memperkenalkan suatu gaya penulisan yang menurut saya merupakan pembaharuan yang berarti dalam perkembangan Sastra Indonesia saat ini.
-Richard Oh Jakarta, 4 November 2003 JANGAN MAIN-MAIN (DENGAN KELAMINMU)
Saya heran, selama lima tahun kami menjalin hubungan, tidak sekali pun terlintas di kepala saya tentang pernikahan. Tapi jika dikatakan hubungan kami ini hanya main-main, apalagi hanya sebatas hasrat seksual, dengan tegas saya akan menolak. Saya sangat tahu aturan main. Bagi pria semapan saya, hanya dibutuhkan beberapa jam untuk main-main, mulai main mata hingga main kelamin. Bayangkan! Berapa banyak main-main yang bisa saya lakukan dalam lima tahun"
Saya heran, selama lima tahun mereka menjalin hubungan, tidak sekali pun terlintas di kepala mereka tentang pernikahan. Tapi jika saya katakan hubungan mereka itu hanya main-main, apalagi hanya sebatas hasrat seksual, dengan tegas mereka akan menolak. Mereka sangat tahu aturan main. Bagi mereka, hanya dibutuhkan beberapa jam untuk main-main, mulai main mata hingga main kelamin. Bayangkan! Berapa banyak main-main yang bisa saya lakukan dalam lima tahun"
Saya heran, selama lima tahun kami menjalin hubungan, tidak sekali pun terlintas di kepala saya tentang pernikahan. Tapi jika dikatakan hubungan kami ini hanya main-main, apalagi hanya sebatas hasrat seksual, dengan tegas saya akan menolak. Saya sangat tahu aturan main. Bagi wanita secantik saya, hanya dibutuhkan beberapa jam untuk main-main, mulai main mata hingga main kelamin. Bayangkan! Berapa banyak main-main yang bisa saya lakukan dalam lima tahun"
Saya heran, selama lima tahun mereka menjalin hubungan, tidak sekali pun terlintas di kepala mereka tentang pernikahan. Tapi jika saya katakan hubungan mereka itu hanya main-main, apalagi hanya sebatas hasrat seksual, dengan tegas mereka akan menolak. Mereka sangat tahu aturan main. Bagi mereka, hanya dibutuhkan beberapa jam untuk main-main, mulai main mata hingga main kelamin. Bayangkan! Berapa banyak main-main yang bisa saya lakukan dalam lima tahun"
Ini tidak main-main! *** Awalnya memang urusan kelamin. Ketika pada suatu hari saya terbangun dan terperanjat di sisi seonggok daging tak segar dipenuhi gajih yang tak akan mudah hilang dengan latihan senam mauupun fitness setiap hari sekalipun. Hanya sedot lemak yang dapat menyelamatkan onggokan daging itu dari lemak-lemaknya. Setelah itu pun harus pandai-pandai merawatnya. Dan kerut-merut di sekitar mata, kening, dan lehernya, hanya dapat tertolong oleh bedah plastik. Kalau hanya akupunktur, entah berapa juta jarum yang harus ditusukkan supaya dapat mengembalikan ke kencangan semula. Lantas apakah ada teknologi pengubah pita suara" Ketika onggokan daging itu bernyawa, ia benar-benar bagai robot dengan rekaman suara. Celakanya, rekaman suaranya cempreng seperti kaleng rombeng. Astaga... pusing saya mendengarnya. Pagi-pagi sebelum berangkat kerja saya mau tenang. Sebentar kemudian saya akan terjebak kemacetan, bertemu klien yang menyebalkan, dan karyawan yang tak berhenti minta tanda tangan, rutinitas yang membosankan. Anehnya, sejak hari itu, saya lebih memilih lekas-lekas berada di tengah-tengah kemacetan dan segudang rutinitas yang membosankan itu ketimbang lebih lama di rumah melihat seonggok daging yang tak sedap dipandang dan suara yang tak sedap didengan. Kalau saya saja sudah jengah bertemu, apalagi kelamin saya"
Awalnya memang urusan kelamin. Pada suatu hari, ia terbangun dan terperanjat di sisi seonggok daging yang tak lagi segar. Ah... saya tak sampai hati menyampaikan apa yang diutarakannya pada saya. Tak pantas menyamakan seorang istri dengan seonggok daging, apalagi daging yang tak segar. Bahkan ia mengatakan senam kebugaran tak akan menyelamatkan istrinya dari serbuan lemak. Hanya sedot lemak yang dapat menyelamatkan, katanya. Setelah itu pun harus pandai-pandai merawatnya. Dan kerut-merut yang menggelayut di wajah istrinya, hanya dapat diselamatkan dengan cara bedah plastik. Akupunktur hanyalah sia-sia belaka. Sebenarnya kalimat sia-sia belaka pun sudah saya perhalus. Yang ia katakan ada
lah, diperlukan berjuta-juta jarum untuk mengembalikan kulit istrinya ke kenyalan semula. Lebih gilanya lagi, ia menanyakan apakah ada teknologi yang dapat mengubah pita suara manusia. Suara istrinya bagai kaleng rombeng, bagai robot. Ia lebih memilih terjebak kemacetan, bertemu klien yang menyebalkan, ketimbang berlama-lama di rumah. Dan dengan santai dengan muatan gurau ia berkata, "Kalau saya saja sudah jengah bertemu, apalagi kelamin saya""
Awalnya memang urusan kelamin. Ketika pada suatu hari ia terbangun dan terperanjat di sisi seonggok daging, sebongkol lemak, gulungan kerut-merut hingga suara kaleng rombeng. Saya sudah terbiasa
mendengar keluhan suami-suami tentang istri-istri mereka. Saya juga tahu, mereka senang, sayang sampai cinta pada saya, awal mulanya pasti urusan fisik, urusan mata, urusan syahwat. Mana mungkin bertemu langsung sayang, pasti senang dulu, dan senang itu bukan urusan perasaan tapi pemandangan, bukan" Sebenernya, saya tidak terlalu nyaman mendengar keluhannya itu. Saya toh seorang perempuan yang suatu saat akan menjadi istri, yang berlemak, berkerut-merut dan cerewet seperti kaleng rombeng, yang pada suatu saat nanti mungkin akan dicampakkan dan dilupakan seperti istrinya sekarang. Tapi sekarang ya sekarang, nanti ya nanti. Saya cantik, ia mapan. Saya butuh uang, ia butuh kesenangan. Serasi, bukan" Namun begitu, saya sering menasihatinya supaya tak terlalu kejam begitu pada istri. Sekali-kali, tak ada salahnya memberi istri sentuhan dan kepuasan. Bukannya saya sok pahlawan. Bukannya saya sok bermoral. Bukannya saya sok membela perempuan tapi saya memang tak ada beban. Target saya hanya kawin urat, bukan kawin surat. Tapi ia kerap menjawab, "Kalau saya saja jengah bertemu, apalagi kelamin saya""
Awalnya memang urusan kelamin. Ketika ia terbangun dan terperanjat di sisi seonggok daging yang tak lagi segar, begitu ucapannya yang saya dengar dalam bisik-bisik perbincangan telepon dengan entah teman, atau daging segarnya yang baru.
Sebenarnya saya sudah sering dinasihati teman-teman, untuk senantiasa menjaga berat badan. Tapi ketika saya sudah mulai mengikuti senam kebugaran, saya mendengar ia mengatakan -masih dalam perbincangan telepon yang sama- bahwa lemak saya tak mungkin terselamatkan dengan senam setiap hari sekali pun! Bahkan ia juga menyebut-nyebut tentang terapi akupunktur yang sedang saya ikuti untuk memperkencang kulit muka saya yang mulai melorot. Saya hanya sempat mendengar ia menyebut jutaan jarum, tidak jelas apa maksudnya. Mungkin saja maksudnya, jutaan jarum pun tak sanggup menyelamatkan kerut-merut di wajah saya. Dan ada lagi, ia mengatakan kalau suara saya bagai kaleng rombeng! Saya sadar, saya memang cerewet. Tapi sudah menjadi kewajiban saya untuk cerewet. Tanpa saya cereweti, pembantu-pembantu pasti kerjaannya hanya ongkang-ongkang kaki. Saya ingin rumah selalu terjaga rapi, bersih, supaya ia senantiasa betah di rumah. Supaya perasaannya tenang sebelum dan sesudah meninggalkan rumah. Saya juga sudah bosan cerewet. Cerewet itu lelah. Mengatur dan mengurus pekerjaan rumah tidaklah mudah. Bahkan untuk urusan rumah inilah kulit saya keriput, tubuh saya gembrot, karena saya sudah tak punya waktu lagi selain mengurus rumah, rumah, dan rumah. Tapi ternyata yang saya lakukan bukan membuatnya bertambah menghargai jerih payah saya, melainkan menjauhkan dirinya dari saya. Bukannya saya melebih-lebihkan. Tapi saya benar-benar dengan jelas
mendengar ia mengatakan, "Kalau saya saja jengah bertemu, apalagi kelamin saya""
*** Saya heran. Bisa juga seonggok daging itu hamil. Padahal saya hanya menyentuhnya sekali dalam tiga sampai lima bulan. Itu pun karena kasihan. Juga dengan ritual, terlebih dulu minum ginseng supaya ereksi. Juga dengan catatan, lampu harus mati dan mata terpejam. Karena saya sudah terbiasa melihat dan menikmati keindahan. Tubuh tinggi semampai. Kaki belalang. Rambut panjang. Leher jenjang. Pinggang bak gitar. Dan buah dada besar. Ah... seperti apakah bentuknya nanti setelah melahirkan"
Saya heran. Ternyata istrinya hamil. Padahal ia mengaku hanya menyenuhnya sekali dala
m tiga sampai lima bulan. Itu pun ia harus terlebih dulu minum ginseng supaya bisa ereksi. Dan ia melakukannya harus dengan kondisi lampu mati dan mata terpejam supaya memudahkannya untuk membayangkan tubuh tinggi semampai, kaki belalang, rambut panjang, leher jenjang, pinggang bak gitar dan buah dada besar. Ah... saya tidak bisa bayangkan, apa yang akan terjadi setelah istrinya melahirkan"
Saya heran. Ternyata istrinya hamil. Padahal ia
mengaku hanya menyentuhnya sekali dalam tiga sampai lima bulan. Itu pun harus terlebih dulu minum ginseng untuk ereksi dan memadamkan lampu supaya ia bisa dengan leluasa membayangkan saya. Mungkin selama ini ia hanya berbohong untuk menyenangkan saya. Sesungguhnya hubungan dengan istrinya baik-baik saja dan jika mereka punya anak, pastilah hubungan mereka tambah membaik. Ah... saya tidak bisa bayangkan, apa yang akan terjadi setelah istrinya melahirkan"
Saya heran. Ternyata saya hamil. Padahal jarang sekali ia menyentuh saya. Benar-benar hanya sekali dalam tiga bulan, bahkan tidak jarang sampai lima bulan. Itu pun dengan lampu yang dipadamkan dan matanya pun selalu terpejam. Seolah-olah ia sedang tidak bersama saya. Ia sedang berada di dunia lain dan tidak mau berbagi dengan saya. Tapi saya hamil. Saya akan memberikannya seorang anak. Mungkin perkawinan kami bisa terselamatkan dengan kelahiran anak kami kelak. Ah... saya tidak bisa bayangkan, apa yang akan terjadi setelah saya melahirkan"
*** Saya heran. Kehamilan ini tidak juga membuat hati saya bahagia. Kehamilan ini membuat saya bingung. Apakah memang saya ditakdirkan untuk selamanya
terperangkap dengan onggokan daging yang tak segar, gelayut lemak, dan bunyi kaleng rombeng, hanya karena saya terlanjur dikaruniai anak" Sahabat saya bilang, seharusnya saya bersyukur. Sebentar lagi saya akan diberi karunia dan diberi jalan untuk menata kembali rumah tangga saya. Apakah saya tidak berhak menentukan dan memilih kebahagiaan saya sendiri"
Saya heran. Kehamilan istrinya tidak juga membuat hatinya bahagia. Ia malah bingung. Ia merasa kehamilan ini adalah upaya alam yang hendak memerangkapnya seumur hidup bersama seonggok daging yang tak segar, gelayut lemak, dan bunyi kaleng rombeng. Padahal, saya melihatnya sebagai karunia, sebuah jawaban dan upaya dari alam supaya ia bisa mulai menata kembali rumah tangganya. Tapi ia malah melontarkan pertanyaan pada saya dengan nada keras. "Apakah saya tidak berhak menentukan dan memilih kebahagiaan saya sendiri""
Saya heran. Kehamilan istrinya tidak juga membuat hatinya bahagia. Ia malah bingung. Padahal seharusnya saya yang bingung. Apakah pernyataannya yang seolah-olah seperti ngeri terperangkap dengan istrinya seumur hidup itu benar" Jangan-jangan hanya di mulut belaka. Dulu, ia katakan jarang menyentuh istrinya. Tapi ternyata
istrinya hamil. Lantas apakah yang sedang dilakukannya sekarang di depan saya lagi-lagi hanya sebuah lelucon" Matanya menerawang dan kerap mengulang gumaman, "Apakah saya tidak berhak menentukan dan memilih kebahagiaan saya sendiri" Saya rasa saya sudah melangkah terlalu dalam. Sudah begitu banyak waktu terbuang hanya untuk urusan gombal-gombalan. Sudah saatnya saya bertindak tegas. Tidak seperti dirinya yang hanya dapat bergumam saya akan menentukan dan memilih kebahagiaan saya sendiri.
Saya heran. Kehamilan saya sepertinya tidak juga membuatnya bahagia. Ia lebih kelihatan bingung. Saya merasa kehamilan ini bukanlah karunia baginya melainkan derita yang kelak akan memerangkapnya untuk tetap bertahan dalam mahligai rumah tangga. Saya tidak berlebihan. Ia lebih jarang ada di rumah sekarang. Mungkin saya sudah terlalu lama merendahkan diri saya sendiri dengan membiarkannya menginjak-injak harga diri saya selama pernikahan kami. Tapi jangan harap ia bisa melakukan hal yang sama kepada anak saya. Sudah saatnya saya bertindak tegas. Saya berhak menentukan dan memilih kebahagiaan saya sendiri.
*** "Saya hanya main-main, Ma... saya cinta kamu. Beri
kesempatan saya untuk memperbaiki kesalahan saya."
"Saya sering katakan, jangan main api nanti terbakar."
"Saya tidak main-main. I'm leaving
you..." "Saya tidak main-main. I'm leaving you..." Ini tidak main-main!
-Jakarta, 8 Desember 2002, 8:52:47
MANDI SABUN MANDI Moncong sebuah mobil mewah berkaca super gelap membelok perlahan ke arah jalan setapak dengan papan penunjuk bertuliskan IN. Jalan setapak itu sedikit menanjak dan berkelok dengan barisan rapi cemara dan akasia di kiri kanannya. Mobil mewah berhenti sejenak di depan kantor resepsionis. Tidak ada tanda-tanda si empunya mobil mewah turun dari mobil. Laki-laki berseragam tergopoh-gopoh keluar dari dalam kantor dengan menggenggam rangkaian kunci di tangannya sambil memberi isyarat kepada pengemudi mewah agar mengikuti. Seperti siput, mobil mewah bergerak mengikuti laki-laki itu menuju garasi sebuah kamar yang terbuka. Cekatan lelaki berseragam itu menutup rolling door sesaat setelah mobil mewah tenggelam kedalam garasi. Namun kurang dari semenit, rolling door terbuka sedikit. Tubuh lelaki berseragam keluar dengan cara merunduk dalam-dalam dan segera menutupnya kembali. Ia berlari menuju kantor resepsionis, menukar kunci, kembali menuju kamar, membuka rolling door, menunggu mobil mewah keluar dari garasi, dan bergegas menuku kamar lain yang lebih besar. Ia berhenti di sebuah kamar bertingkat dua. Sama dengan tadi, dengan cekatan ia menutup rolling door
garasi yang dengan sekejap menelan mobil mewah beserta bayangannya.
"Kau ini, sudah tahu mobil semewah itu masih juga kau beri kamar standar!" seru rekan lelaki berseragam sesaat setelah ia keluar dari pintu kamar sambil memasukkan tip puluhan ribu ke dalam saku.
"Mana aku tahu. Tak semua mobil mewah mau kamar VIP. Apalagi kalau ambil perempuan dari sini, biasanya mereka sewa kamar standar."
"Memang betinanya tak seperti anak sini, ya" Kau sempat lihat" Bagaimana, aduhai""
"Bukan aduhai lagL.seperti bidadari. Seperti bintang pilem!"
"Memang bintang pilem kali..."
"Benar juga kamu, mungkin bintang pilem. Kalau anak sini ada yang secantik itu, aku rela gaji sebulan amblas untuk nyicipi"
Mereka berderai tawa, lantas serta merta berlari ketika melihat dua mobil lain yang tengah antri di depan kantor.
*** Cermin di ruangan itu basah berembun, sama seperti pantulan sepasang manusia yang erat basah di atas tempat tidur nan porak poranda. Menampakkan sang perempuan yang berpeluh melenguh, "fuck me..."
"Pasti mereka bukan suami istri. Hei Meja, aku tak sok tahu. Aku memang tahu. Aku adalah benda
tertua di kamar ini. Tanpa aku, motel ini tak akan laku. Kau tahu Meja, motel yang tak ada cerminnya itu kuno! Apa" Variasi" Bisa saja. Tapi variasi seperti ini bukan variasinya suami istri, Meja. Kau tak percaya" Lihat saja buktinya nanti, taruhan pria tua itu orgasme di luar. Aduh... masak tak ngerti, sih..." Orgasme di luar karena takut perempuannya hamil. Kondom" Gila, kamu memang ketinggalan jaman, kamu memang barang antik. Jaman sekarang laki-laki lebih takut bikin bunting perempuan ketimbang kena penyakit!"
Cermin itu terus memantulkan bayangan keduanya. Mata mereka setengah terbuka, kepala mereka tengadah dan mulut mereka desahkan gairah. Tubuh mereka blingsatan tak karuan.
"Masya Allah, dia orgasme di dalam!"
"Apa" Kamu tak salah lihat" Kalau begitu kali ini aku kalah taruhan, Meja. Ternyata ia tak takut menghamili perempuannya. Mungkin benar, mereka suami istri yang sedang mencari variasi."
"Kamu tak kalah taruhan, kamu benar, Cermin."
"Hah, apa maksudmu, Meja""
"Dia tidak orgasme di dalam vagina. Dia orgasme di dalam mulut!"
*** Perempuan muda berparas indo, berkulit putih dengan kaki belalang itu tengah berkaca di depan wastafel. Ia menyapu bibirnya tipis-tipis dengan pewarna. Laki-laki setengah baya, berperut tambun,
sedang mencuci diri di bawah siraman air hangat shower. Perempuan indo membuka pembungkus sabun lalu menyerahkan kepada lelaki itu yang langsung ditolak mentah-mentah.
"Kenapa Mas, takut ketahuan istri kalau bau sabunnya beda"" mimik muka perempuan indo cemberut.
"Bukan begitu, aku alergi kalau sembarang pakai sabun."
"Kamu memang paling pintar cari alasan, Mas."
"Aku bukannya banyak alasan, memang alasannya cuma satu, aku alergi sabun murahan!
" tukasnya sambil mematikan keran shower lantas mengeringkan badannya dengan handuk.
"Coba buktikan kalau berani. Aku mau lihat apa Mas benar-benar alergi."
"Kamu ini memang tak masuk akal. Aku sudah selesai kok disuruh mandi lagi""
"Cinta memang tak masuk akal, Mas, tak pakai rasio. Ayo buktikan atas nama cinta!"
"Sudahlah Sayang, jangan kekanak-kanakan begitu..." Si Mas buru-buru keluar kamar mandi menghindari pertengkaran dan resiko tertangkap basah oleh kekasih indonya. Perempuan indo mengikuti dari belakang dengan tubuh masih telanjang. Si Mas acuh tak acuh mengenakan pakaian.
"Kok buru-buru" Enggak mau nambah"" dengan manja perempuan indo membuka kembali retsleting celana Si Mas.
"Sophie....!" Sophie segera tahu kalau Si Mas mulai serius dengan cara memanggil namanya tanpa embel-embel sayang. Namun Sophie tak mau mengalah. Ia malah menghujani Mas dengan ciuman.
"Sophie, hati-hati lipstick kamu nempel di bajuku dong!" Mas mulai marah dan menghindar.
"Mas pengecut! Benar kan, Mas masih takut istri, Mas gombal! Katanya sudah pisah ranjang, sedang proses cerai, buktinya.."
"Aku ada meeting, Sophie... tak enak dan tak pantas dilihat relasi!"
"GOMBAL!" Sophie berteriak sambil menyabar pakaiannya yang berserakan di lantai, lantas ke kamar mandi dan membanting pintu keras-keras. Si Mas menghela napas. Ia mengaktifkan kembali ponselnya. Serta merta ponsel berdering. Kalimat home calling berkedip-kedip. Mas lari ke garasi, menyalakan mesin mobil lalu menerima telepon.
"Kok, ponselmu dari tadi mati""
"Sedari tadi aku meeting, baru saja selesai, sekarang sudah di jalan." Si Mas pura-pura membunyikan klakson. Sekonyong-konyong rolling door dibuka dari luar. Si Mas melotot ke arah laki-laki berseragam yang membuka rolling door dan mengisyaratkannya agar menutup kembali.
"Kata sekretarismu makan siang, mana yang benar""
Laki-laki berseragam masih terlonggong-longgong di tempatnya. Si Mas tambah melotot, tanpa suara mulutnya mengucapkan kata T U T U P.
"Hei... meeting atau makan siang""
"Habis meeting langsung makan siang. Sudah ya, Ma, jalanan macet ini..."
"Loh, kamu nyetir sendiri" Di mana Pak Sopir""
"Waktu keluar kantor tadi, aku pangil lewat car call tak datang-datang. Mungkin juga sedang makan siang. Daripada terlambat, aku nyetir sendiri. Sudah ya..." Mas menghentikan pembicaraan, lantas berteriak ke laki-laki berseragam,
"Tutup pintunya, goblog!"
Sophie menyaksikan semuanya dari balik pintu kamar.
*** Dalam perjalanan pulang, Mas wanti-wanti ke Pak Sopir untuk mengatakan pada Nyonya di rumah kalau jam sebelas tadi Pak Sopir tak ada di tempat karena makan siang. Awan menggelayut berlapis abu-abu merah. Nyala lampu-lampu menghias jalan raya. Mulut Mas mendendangkan lagu kesayangannya yang berkumandang dari CD, I don't like to sleep alone, stay with me don't go... lantas jatuh tertidur dengan senyum tersungging di bibirnya.
Mas baru terbangun ketika sampai di depan rumah. Ia longgarkan dasi dan memeriksa kembali apakah ada aroma mencurigakan yang masih tertinggal di tubuhnya. Setelah yakin keadaan aman, Mas melangkah dengan gagah masuk ke dalam rumah.
"Nyonya ada di mana, Sum"" Mas bertanya pada pembantu yang sedang membawakan tas kantornya.
"Di kamar, Pak," jawab Sumiatun sambil membungkuk beringsut perlahan ke dalam kamar kerja.
Mas segera menuju kamar utama. Istriny sedang membaca di ranjang dengan baju tidur yang menggairahkan, namun tak cukup menggairahkan Si Mas yang mendadak merasa tua tak ubah umurnya. Tidak seperti di samping Sophie, ia selalu merasa jauh lebih muda, kuat dan bergairah. Si Mas tak acuh saja membuka pakaian kantor dan meminta piyama ke istrinya.
"Tidak usah pakai baju dulu, Pa... kelihatannya kamu lelah betul, aku pijit sebentar, ya."
Si Mas menghempaskan tubuhnya di atas ranjang empuk mewah berukuran extra king dan menjawab, "Aku dikeroki saja tak usah dipijit, Ma. Rasanya aku tak enak badan."
Istrinya kesal sekali ditolak secara halus. Namun ia tetap patuh pada suaminya tercinta.
"Kamu punya uang recehan, Pa""
"Coba lihat di kantong celanaku, Ma."
Mas memejamkan mata sambil memanjakan nostalgianya
dengan sophie. Sang istri merogoh kantong celana panjang suaminya yang terpuruk di lantai. Tangannya menyentuh sebuah benda kecil keras di dalam kantong. Ia menariknya keluar. Dahinya berkerut ketika menatap pembungkus benda di tangannya
yang bertuliskan, Soap-Bukit Indah Inn, Bar and Restaurant.
*** "Cermin, bukankah itu perempuan yang datang kemarin"" "Ya, Meja."
"Tapi ia tak bersama laki-laki yang kemarin."
"Meja... Meja... begitu saja kok heran. Lelaki itu juga sering gonta-ganti pasangan kemari."
"Wah... wah... jaman modern sekarang ini tak ada yang luar biasa lagi ya, Cermin. Semuanya jadi super biasa."
Pasangan itu terengah-engah di ranjang. Jari perempuan itu mencakar-cakar seprai hingga acak-acakan. Tangan prianya menggenggam erat rambut perempuannya. Setelah itu, mereka diam dalam kebersamaan. Hanya terdengar desah napas mereka yang berangsur-angsur mereda.
Tiba-tiba kesunyian pecah oleh suara dering ponsel. Tangan perempuan itu mencari-cari ponsel di atas meja sementara tubuhnya masih berada di bawah.
"Sophie! Kita harus bicara!"
"Tak bisa sekarang."
"Jangan menghindar, ini penting! Kuhubungi kamu setengah jam lagi setelah aku dapat nomor kamar!"
Sophie tertawa geli dalam hati, lalu tersenyum mesra menatap sang pria.
"Aku harus segera pergi, ada pekerjaan yang tak bisa ditunda."
Sang pria yang kelihatan lebih muda dari Sophie mengecup keningnya seolah sudah mengerti maksud Sophie. Sophie beranjak ke kamar mandi. Di bawah kucuran air hangat shower, Sophie tersenyum geli membayangkan ekspresi Si Mas yang sedan gundah saat ini. Lalu ia menyelesaikan bilasan terakhirnya, tanpa memakai sabun mandi.
-Jakarta, 15 April 2001 dedicated to all my girlfriends
MORAL Kemarin saya melihat moral di etalase sebuah toko. Harganya seribu rupiah. Tapi karena saya tertarik dengan rok kulit mini seharga satu juta sembilan ratus sembilan puluh delapan ribu delapan ratus rupiah, akhirnya saya memutuskan untuk menunda membeli moral. Pakai kartu kredit, hutang sudah banyak. Sementara, uang di dompet saya pas dua juta rupiah. Kalau saya membeli moral berarti sisa uang saya tinggal dua ratus rupiah. Bagaimana saya harus membayar parkir yang satu jamnya seribu rupiah plus pajak pemerintah dua puluh persen menjadi seribu dua ratus rupiah" Alhasil setelah membayar rok mini kulit yang menurut saya akan terlihat sangat seksi di tubuh saya itu, saya langsung ambil langkah seribu ke lapangan parkir. Lebih satu detik saja, bisa celaka! Terpaksa saya harus kembali ke pertokoan mengambil kas di ATM khusus untuk bayar parkir ...tak usyah ye. Untuk urusan yang satu ini saya memang selalu kucing-kucingan alias tidak mau rugi , tepatnya tidak mau dirugikan.
Tetapi sesampainya saya di rumah, ternyata rok kulit yang saya beli ukurannya salah. Pasti tertukar dengan milik orang lain di kasir. Jadi terpaksa saya
kembali ke pertokoal itu. Dan saya cukup senang juga karena saya tidak punya alasan khusus untuk membeli moral. Kepentingan saya datang adalah menukar rok mini yang sudah terlanjut saya bayar mahal dan membuat saya mimpi bisa bergaya ala rock star. Jadi iseng-iseng berhadiah. Tapi wah... alangkah kecewanya saya karena harga moral sudah naik menjadi tiga ribu rupiah! Jelas saja saya protes. Baru kemarin saya lihat dengan mata kepala sendiri harga moral seribu rupiah. Bagaimana mungkin dalam sehari, bahakan belum sampai dua puluh empat jam -kemarin saya datang ke pertokoan ini malam hari dan sekarang saya datang pagi hari- tapi harga sudah naik dua ratus persen" Sungguh kelewatan! Tentunya saya lagi-lagi berpikir seribu kali sebelum membeli moral walaupun harganya relatif jauh lebih murah dari harga rok mini. Siapa tahu di pertokoan ini moral tidak laku maka harganya dinaikkan. Atau jangan-jangan justru karena laku" Yang jelas, lebih baik saya check dulu ke toko-toko lain yang menjual moral. Saya ingin bersikap sebagai pembeli yang tidak mau merugi apalagi untuk sebuah barang yang tidak terlalu penting-penting amat. Maka sekali lagi, saya urung membeli moral.
Saya pergi ke spa. Banyak hal yang perlu saya lakukan untuk persiapan pesta nanti malam.
Sudah beli baju mahal tapi diri kita sendiri kacau balau juga percuma. Antara baju dan pemakai harus saling menunjang. Seksi boleh, tapi jangan terkesan jorok.
Kalau pakai rok mini tapi kakinya seperti pakai stocking bulu, tetap saja tidak enak dilihat. Salah-salah jadi bahan tertawaan. Jadi saya mutlak luluran supaya kulit berkilau dan tentunya cabut bulu kaki dan ketiak, dong... juga rambut dan rias wajah. Tak apa pegal sedikit karena tidak leluasa bergerak menunggu malam. Yang penting penampilan nanti malam harus yahud. Harus menarik perhatian. Minimal tak kalah gaul!
Setelah mempersiapkan diri habis-habisan, rasanya tidak sabar menunggu hingga acara nanti malam. Mau tidur tapi tidak nyaman akibat rambut yang sudah di-blow natural. Kompensasinya jadi ingin makan. Tapi itu pun tidak bisa saya lakukan karena takut perut kelihatan besar. Celakanya lagi, saya hari ini belum juga buang air besar. Akhirnya dengan hanya makan sekerat roti saya banyak mengkonsumsi kopi untuk merangsang hajat supaya cepat-cepat keluar, tentunya dengan alasan supaya perut tidak kelihatan buncit tadi. Pokoknya saya ingin kelihatan sempurna malam ini. Bayangkan, jumlah perempuan jauh lebih banyak daripada laki-laki. Kalau saya tidak mengupayakan diri secara optimal, bagaimana nasib saya di kemudian hari" Umur saya sudah dua puluh lima tahun. Belum punya pacar sungguhan. Lima tahun lagi saya akan dicap sebagai perawan tua. Lima tahun sesudahnya lagi, jatah saya cuma duda. Pasti sudah sulit bagi saya untuk hamil. Kalaupun sampai bisa hamil, risiko yang saya tanggung sangatlah besar.
Urusannya sudah nama di batu nisan. Jadi, syukur-syukur saya dapat duda dengan anak maksimal dua orang. Ia pun sudah tidak terlalu peduli dengan masalah keturunan dan sudah barang tentu risiko diceraikan berkurang. Atau, mungkin jatah saya nanti jadi istri kedua" Naik peringkat sedikit dari posisi saya sekarang yang jadi pacar gelap suami orang. Habis... mau bagaimana lagi" Saya tidak punya pekerjaan. Mau sekolah tinggi-tinggi, orangtua melarang. Kata mereka, "tak usah kamu sekolah tinggi-tinggi. Yang penting buat perempuan cuma pintar-pintar rawat diri dan pintar-pintar rawat suami. Lebih baik kamu belajar masak. Cinta dimulai dari mata turun ke perut dan dari perut turun ke hati." Aneh, dari perut kok turun ke hati" Mungkin dari perut turun ke bawah perut tapi mereka tidak tega mengatakannya walaupun tega anaknya mempraktekkannya. Tapi kenyataannya, jangankan masak dan merawat suami. Akhirnya cuma dapat suami orang. Tapi saya ambil segi positifnya saja. Yang penting saya melakukannya demi masa depan yang berarti juga menyenangkan hati orangtua. Kalau pacar saya yang suami orang sekarang ini bisa memberi fasilitas yang kelak mempermudah saya mencari jodoh sesuai kemauan orangtua, bukankah itu sebuah pahala" Pokoknya, saya tidak merugikan siapa pun. Yang saya lakukan berdasarkan senang sama senang. Saya tidak ingin merebutnya dari sang istri. Mungkin saja keadaannya akan berubah jika saya sudah berumur tiga puluh lima tahun. Tapi ingat, saya masih dua puluh lima
tahun. Saya masih punya kesempatan lima tahun lagi untuk bersaing mendapat jodoh yang lajang. Dan lima tahun selanjutnya lagi untuk bersaing mendapat duda, atau... jadi istri kedua" Wah... mudah-mudahan tidak. Bagaimanapun juga kami kan sesama perempuan, walaupun saya ingin menyenangkan hati ibu saya yang juga perempuan. Tapi... kenapa pula saya jadi melantur sejauh ini" Wong saya masih punya lima tahun termasuk satu malam, nanti malam, untuk mempertaruhkan peruntungan jodoh dan masa depan saya.
*** Akhirnya saat yang saya tunggu-tunggu tiba juga. Dengan sangat berhati-hati saya membasuh tubuh supaya jangan sampai rias wajah dan rambut yang sudah tertata rusak dengan percuma. Memang serba salah. Penampilan sempurna tapi bau badan tidak sedap akibatnya bisa fatal. Maka dengan khidmat saya melakukan ritual demi ritual dengan penuh kerelaan dan perasaan bahagia.
Saya pun menghubungi teman untuk sama-sama datang ke pesta. Tentunya bukan perempuan. Ia laki-laki tapi banci. Kalau sama-sama perempuan, selain nanti sain
gan pasti akan kelihatan sekali tidak lakunya. Walaupun dengan banci bukan berarti bebas dari urusan persaingan loh... sudah banyak laki-laki zaman sekarang yang lebih senang pada laki-laki. Tapi
kesannya lebih enak saja dilihat dengan laki-laki daripada bergerombol dengan perempuan yang kelihatan sekali seperti sedang mencari mangsa. Apalagi dengan banci yang pura-pura laki-laki, sayang yang perempuan walaupun bukan banci, punya kebutuhan yang seimbang. Keseimbangan ini yang membuat perasaan jadi hangat dan nyaman. Keseimbangan ketika kami sama-sama merasa seperti pesakitan di tengah makhluk-makhluk sosial yang bersosialisasi, kan" Andaikan kami apes tidak bertemu pasangan yang sedang berstrategi seperti kami, paling tidak kami tidak terlalu kehilangan muka di depan publik. Tapi yang paling menyebalkan dari teman laki-laki yang indah ini adalah kecerewetannya jauh melebihi perempuan. Sesampainya ia di rumah saya, masih saja ia merasa kurang dengan penampilannya. Pilih-pilih minyak wangi, patut mematut di kaca supaya jangan sampai benar-benar terlihat banci, dan walaupun saya memaklumi karena beban yang ditanggungnya jauh lebih berat ketimbang perempuan tak laku seperti saya, tetap saja hal ini sering mengganggu. Tapi inilah harga sebuah persahabatan apalagi jika senasib dan seperjuangan. Maka dengan perasaan tidak sabar mau tidak mau saya lagi-lagi harus menyaksikan ritual-ritual seperti yang saya lakukan sepanjang hari ini.
*** Akhirnya, kami benar-benar sampai di pesta!
Semerbak wangi berbagai parfum merek ternama campur baur menyeruak ke dalam lubang hidung kami yang kembang kempis akibat hati yang berbunga-bunga. Kemilau cahaya lampu-lampu kamera. Suara derai tawa mengguncang telinga. Ini pesta! Ini belantara manusia! Ini masa depan kami, masa depan kita semua! Teman hidup hingga hari tua!
Dengan langkah pasti kami menjejakkan kaki meniti anak tangga menuju segala harapan kami tertumpah di sana. Rok kulit mini yang saya kenakan dengan paduan tank top merah menyala membuat kepercayaan diri memuncak seketika. Namun setibanya kami di mulut tangga, begitu terhenyaknya kami melihat pemandangan yang ada. Semua tamu di ruangan itu memakai moral. Ada yang dipasang sebagai hiasan kepala. Ada yang memakai sebagai penghias dada. Ada yang memakai sebagai manset. Bahkan ada yang menghiasi seluruh bajunya. Kami saling berpandang-pandangan, tidak ada dari kami yang memakai moral. Betapa kecewanya saya yang tidak jadi membeli moral kemarin hingga pagi tadi. Apalagi ketika pasangan saya berbisik, "Moral diobral lima ribu tiga di gedung DPR hari ini."
-Jakarta, 15 Oktober 2003, 1:36:41 AM
MENYUSU AYAH Siapa yang dapat menjamin bahwa seorang bayi tidak memiliki daya ingat" Buktinya saya masih mengingat dengan jelas proses persalinan saya. Bahkan saya juga mengingat suara Ibu mendendangkan lagu Nina Bobo ketika saya masih meringkuk di dalam perutnya. Saya juga masih ingat pertengkaran antara Ibu dengan Ayah. Ayah menuduh bahwa janin dalam kandungan Ibu bukan miliknya. Ibu menangis sambil mengusap-usap kulit perutnya demi menenteramkan perasaan saya. Ibu mengatakan agar saya memaafkan kekhilafan Ayah. Ibu kerap mengulang-ulang bahwa kelak saya akan menjadi seorang anak yang kuat, dengan atau tanpa figur ayah.
Nama saya Nayla. Saya perempuan, tapi saya tidak lebih lemah daripada laki-laki. Sayalah yang membantu Ibu melahirkan, bukan dokter kandungan. Ketika Ibu kehabisan napas dan sudah tidak dapat lagi mengejan, saya menggigiti dinding vagina Ibu dengan gusi supaya jalan keluar bagi saya lebih mudah. Ketika detak jantung Ibu melemah dan desah napasnya tinggal satu-satu, saya menendang rahim Ibu dan mendorong badan saya keluar keras-keras. Dokter kandungan memegang kedua kaki saya dan
mengangkat saya hingga jungkir balik. Saya menangis keras. Saya ingin memeluk Ibu. Tapi dokter kandungan seperti tidak peduli. Ia malah menggunting tali pusar saya lalu menaruh saya ke dalam gendongan suster yang selanjutnya memandikan saya. Saya berteriak memohon Ibu. Suster mengeringkan badan saya dengan handuk. Saya berteriak memohon Ibu. Suster membeb
at saya dengan selimut. Saya berteriak memohon Ibu. Dokter menutup tubuh Ibu dengan kain putih. Saya berteriak memohon Ibu. Suster membawa saya keluar dari kamar bersalin. Terpisah dari Ibu.
*** Nama saya Nayla. Saya perempuan, tapi saya tidak lebih lemah dari laki-laki. Karena, saya tidak mengisap puting payudara Ibu. Saya mengisap penis Ayah. Dan saya tidak menyedot air susu Ibu. Saya menyedot air mani Ayah.
Saya mengenakan celana pendek atau celana panjang. Saya bermain kelereng dan mobil-mobilan. Saya memanjat pohon dan berkelahi. Saya kencing berdiri. Saya melakukan segala hal yang dilakukan anak laki-laki.
Potongan rambut saya pendek. Kulit saya hitam. Wajah saya tidak cantik. Tubuh saya kurus kering tak menarik. Payudara saya rata. Namun saya tidak terlalu peduli dengan payudara. Tidak ada pentingnya bagi saya. Payudara tidak untuk menyusui tapi hanya
untuk dinikmati lelaki, begitu kata Ayah. Saya tidak ingin dinikmati lelaki. Saya ingin menikmati lelaki, seperti ketika menyusu penis Ayah waktu bayi.
Saya heran, kenapa Ayah tidak pernah menyusui lagi. Padahal saya sudah haus. Padahal saya sudah rindu. Tapi Ayah malah menyangkal. Katanya saya hanya mengada-ada. Katanya, ia tidak pernah menyusui saya dengan penisnya. Bahkan ketika saya menjelaskan bahwa saya bisa mengingat kejadian demi kejadian waktu masih bayi, ia malah menghajar saya dengan sabuknya dan membenturkan kepala saya ke dinding supaya pikiran kotor saya hilang. Kata Ayah, saya mewarisi pikiran-pikiran kotor almarhumah Ibu, salah satu sifat yang sangat dibenci Ayah atas Ibu.
"Ibumu itu pelacur! Untung ia lekas pergi. Kalau tidak, aura mesum ibumu bisa mempengaruhimu."
Saya ingin membela Ibu. Saya ingin mengatakan kalau Ayah yang sebenarnya mempunyai pikiran-pikiran kotor dengan menuduh Ibu tidur dengan laki-laki lain. Saya ingin memberitahu Ayah, kalau saya sudah lebih siap kehilangan figur ayah ketimbang ibu. Saya ingin menguak rahasia Ayah yang sempat menuduh bayi dalam kandungan Ibu hasil perselingkuhan. Padahal sekarang, saya mirip sekali dengan Ayah. Saya ingin menelanjangi Ayah dan membuktikan bahwa saya (bayi yang) bisa mengingat tidak seperti bayi-bayi pada umumnya. Tapi tangan Ayah masih menggenggam sabuk. Matanya masih berkilat-kilat seperti siap membenturkan kepala saya
kapan saja. Niat saya urung. Dan saya hanya dapat berdiam diri di sudut ruangan menunggu Ayah tenang. Menunggu Ayah menyusui. Namun Ayah pergi meninggalkan saya sendiri dengan harapan yang memudar dan kelak, saya menamakannya birahi yang terlantar.
*** Sejak Ayah tidak lagi sudi menyusui, saya berpaling ke teman-teman Ayah. Saya tidak ingin mencicipi lagi susu teman-teman laki saya yang sebaya. Susu mereka belum berproduksi banyak. Mereka terlalu cepat kehabisan susu. Dan biasanya mereka tidak mau bergaul dengan saya lagi. Setiap kali saya mendekati mereka yang sedang asyik main kelereng, lantas satu persatu meninggalkan saya pergi. Bahkan ada yang jelas-jelas melarikan diri ketika baru melihat saya datang mendekat. Mereka tidak seperti teman-teman Ayah.
Saya senang jika teman-teman Ayah memangku dan mengelus-elus rambut saya, tidak seperti teman-teman sebaya yang harus saya rayu terlebih dahulu. Saya senang setiap kali bibir mereka membisiki telinga saya bahwa saya adalah anak gadis yang manis. Anak gadis yang baik. Tidak seperti teman-teman sebaya yang menjuluki saya gadis perkasa, gadis jahat, atau gadis sundal. Saya senang cara mereka mengarahkan kepala saya perlahan ke bawah dan membiarkan saya berlama-lama menyusu di sana. Saya senang
mendengar desahan napas mereka dan menikmati genggaman yang mengencang pada rambut saya. Saya merasa dimanjakan karena mereka mau menunggu sampai saya puas menyusu. Saya menyukai air susu mereka yang menderas ke dalam mulut saya. Karena saya sangat haus. Saya sangat rindu menyusu Ayah.
Mereka tidak pernah pergi meninggalkan saya sendiri, seperti Ayah dan teman-teman. Mereka justru datang pada saat rumah sepi. Mereka datang pada saat-saat yang dibutuhkan. Hati saya tidak lagi gundah kehilangan teman-teman. Saya sudah tidak perlu lagi mengint
ip diam-diam dari kejauhan ketika mereka bermain kelereng atau memanjat pohon dengan hati hancur berantakan. Saya sudah tidak perlu lagi mendengar kalimat sundal dari mulut mereka seperti yang dikatakan Ayah tentang Ibu. Dan lebih dari semua itu, saya tidak perlu lagi memohon Ayah. Tidak perlu lagi kecewa dan ketakutan di bawah ancaman sabuk dalam genggaman tangan Ayah. Ya, Ibu benar. Saya adalah anak yang kuat, dengan atau tanpa figur Ayah.
Tapi tidak ada pesta yang tidak usai. Kebahagiaan adalah saudara kembar kepahitan. Ternyata orang dewasa lebih mampu berkhianat. Ternyata tidak semua orang dewasa hanya mau menyusui.
Pada suatu hari ketika sedang asyik menyusu salah satu teman Ayah, ia meraba payudara saya yang rata. Saya merasa tidak nyaman. Ucapan Ayah bahwa payudara bukan untuk menyusui namun
Jangan Main Main Dengan Kelaminmu Karya Djenar Maesa Ayu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
hanya untuk dinikmati lelaki terngiang-ngiang di telinga saya. Saya tidak ingin dinikmati. Saya hanya ingin menikmati. Namun pada saat itu saya tidak kuasa berbuat apa-apa. Saya terhipnotis oleh kenikmatan yang memenuhi mulut saya. Akhirnya saya membiarkan peristiwa itu lewat begitu saja dan berjanji untuk melupakannya.
Namun hari demi hari ia semakin kurang ajar. Ia tidak saja hanya meraba payudara saya, tapi juga kemaluan saya. Saya ingat kemaluan Ibu. Saya ingat bagaimana tubuh saya meluncur di lorong kemaluannya. Saya juga masih ingat jari-jemari Ibu mendekati dan mengelus-elus kepala saya. Tidak pernah sekalipun jari laki-laki mengunjungi saya ketika saya masih berada dalam rahim. Tidak juga jemari Ayah. Hanya ada jemari Ibu. Maka, bagi saya kemaluan hanyalah milik ibu dan bayinya.
Rasanya saya ingin segera menyudahi saja. Tapi ternyata ia hanya meraba bagian luar kemaluan saya tanpa memasukkan jarinya. Kembali, saya memaafkannya. Dan saya berdoa memohon maaf pada Ibu.
Hingga suatu hari ia merebahkan tubuh saya. Saat itu, pancaran matanya tidak seperti teman-teman Ayah yang lain. pancaran matanya begitu mirip Ayah. Saya memalingkan pandangan ke berbagai arah. Tapi ia memaksa saya menatap matanya. Ia mencium kening saya, turun ke bibir, turun ke dagu, turun ke leher, turun ke payudara dan terus turun hingga kemaluan saya. Apakah ini" Saya
berusaha mengingat-ingat peristiwa ketika saya masih di dalam rahim Ibu. Seingat saya tidak pernah ada juga lidah yang mengunjungi saya, juga tidak lidah Ibu. Ia merentangkan kaki saya lalu menindih saya dengan tubuhnya yang penuh lemak. Saya diam saja. Saya tidak berani menolak, walaupun saya merasakan sakit yang luar biasa di kemaluan saya. Saya menggigit bibir keras-keras menahan jerit. Kepala saya dipenuhi berbagai pertanyaan. Apakah ini yang dirasakan Ibu ketika melahirkan saya" Apakah rasa sakit ini yang membuat Ibu kehilangan napasnya satu demi satu" Apakah kebencian ini yang membuat Ibu pergi meninggalkan saya untuk selamanya"
Saya merasakan sesuatu yang hangat menyembur deras dalam kemaluan saya. Tapi saya sudah kehilangan hasrat untuk mengisapnya. Mendadak perut saya mual. Saya mual membayangkan penis Ayah. Mual membayangkan penis teman-teman sebaya saya. Mual membayangkan penis teman-teman Ayah. Dan mual membayangkan penisnya yang tengah berada di dalam kemaluan saya.
Tangan saya meraih patung kepala kuda di atas meja dan menghantamkan ke kepalanya. Tubuhnya mengejang sesaat sebelum ambruk ke tanah. Matanya masih membelalak ketika terakhir kali saya menatapnya sebelum dunia menggelap. Pancaran mata itu, tidak seperti pancaran mata teman-teman Ayah yang lain. Pancaran mata itu, sama seperti pancaran mata Ayah.
*** Nama saya Nayla. Saya perempuan, tapi saya tidak lebih lemah dari laki-laki. Karena, saya tidak mengisap puting payudara Ibu. Saya mengisap penis Ayah. Dan saya tidak menyedot air susu Ibu. Saya menyedot air mani Ayah.
Kini, saya adalah juga calon ibu dari janin yang kelak akan berubah menjadi seorang anak yang kuat, dengan atau tanpa figur ayah.
-Jakarta, 21 Januari 2002.
kado ulang tahun untuk Hudan Hidayat
CERMIN Kucari kau kucari. Kucari kau di kelengangan dalam...
Dan ia seperti biasa, menatap cermin dengan pandangan jauh menembus bayangan tubuhnya sendiri yan
g terpantul di sana. Sudah dua bulan cermin besar itu di sudut kamar berdiri. Sudah dua bulan putri satu-satunya tewas bunuh diri. Sudah dua bulan ia menyempatkan diri setiap hari, duduk menatap cermin tanpa mau melihat bayangan dirinya sendiri.
Sebelum putrinya ditemukan satpam sebuah hotel berbintang lima dengan kondisi sangat mengenaskan. setelah terjun dari lantai dua puluh tiga-putrinya yang manis, putrinya yang pendiam, putrinya yang penurut, putrinya yang tak bermasalah, putri yang sangat dibanggakan, putri yang sangat diharapkan, putri yang diberi nama Puteri ketika lahir dengan harapan kehidupannya kelak bak putri-putri, damai, sejahtera, bahagia dan berlimpah cinta, kehidupan yang sama sekali lain dari yang pernah dijalaninya -ia menemukan sebuah cermin berdiri di sudut kamarnya. Cermin itu pemberian Puteri. Secarik kertas merah jambu menempel di cermin itu. Di situ tertulis,
Kucari kau kucari. Kucari kau di kelengangan dalam...
Setelah itu Puteri pergi tanpa pernah kembali.
Dan seperti biasa, dalam dua bulan terakhir ini ia duduk menatap cermin dengan tempelan secarik kertas warna merah jambu. Tulisan tangan Puteri terlihat jelas dari tempatnya duduk. Namun tanpa perlu menoleh atau membaca ulang apa yang tertulis dalam kertas merah jambu itu, kalimat Puteri selalu tertancap di hatinya yang selama dua bulan ini dirundung pilu. Putri satu-satunya pemberi kekuatan hidup. Putri satu-satunya kerap menulis kalimat-kalimat cinta dan mesra kepadanya lewat sms di sela-sela pekerjaan kantor yang menumpuk. Putri satu-satunya yang bagai tak pernah kehilangan ide ketika menuliskan kalimat-kalimat cinta. Apa yang ditulis Puteri selalu baru, selalu segar, bagai sisa embun di garang siang. Tidak terlalu basah namun menyegarkan. Bukan hanya sekadar kalimat cinta saja, namun cara Puteri menyampaikannya pun berbagai macam rupa. Pernah ia menemukan kalimat cinta itu di bawah cangkir kopinya. Pernah Puteri menaruhnya di dalam lipatan celana dalamnya -Puteri tidak pernah lupa menyiapkan baju kerja sebelum berangkat sekolah. Dan jika Puteri dalam satu hari tidak mengirim kalimat cinta, selalu ada saja akal dan ulahnya seolah ingin mengganti kalimat cinta yang tertunda karena mungkin Puteri sedang kehabisan kata-kata. Misalnya Puteri memasak nasi goreng dan dibentuk serupa hati atau menyiapkan air hangat di bak kamar mandi lengkap dengan taburan bunga mawar kesukaannya. Puteri yang pada akhir hayatnya
mengirim kalimat duka. Dan memang bukan Puteri jika hanya menulis tanpa memaknai dengan perbuatannya, terjun dari lantai dua puluh tiga hotel berbintang lima.
Dan seperti biasa, dalam dua bulan terakhir ini, ia duduk menatap cermin untuk mencari makna pesan terakhir Puteri. Tapi hanya luka yang ia rasakan dan pertanyaan-pertanyaan baru yang bermunculan. Bagaimana mungkin Puteri tega menghabisi nyawanya sendiri dengan cara seperti itu, bagaimana mungkin Puteri tega meninggalkannya ketika segala sesuatu terasa begitu indah, bagaimana mungkin Puteri tega menyakitinya" Apa pemicu Puteri melakukan tindakan itu" Yang ia tahu, Puteri belum punya kekasih. Tidak banyak berteman. Setiap kali usai sekolah Puteri selalu pulang tepat waktu dan tak lupa menelepon atau mengirim sms untuk memberi tahu kalau sudah selamat sampai di rumah. Tapi memang bukan Puteri jika bisa bermanja-manja lewat telepon. Memang bukan Puteri jika bisa bermanis-manis lewat percakapan sehari-hari. Dalam pembicaraan telepon tak sekalipun Puteri mengungkapkan cintanya. Kata-katanya begitu lugas dan terbatas. Namun satu detik setelah Puteri menutup telepon, ia tahu, sebentar lagi Puteri akan mengirim kalimat-kalimat cinta lewat pesan sms atau ia akan menemukan kalimat cinta Puteri pada secarik kertas di dalam saku, di dalam tas kerja, di setiap tempat dan kesempatan yang tak terduga. Tak terduga....
Ternyata bukan perasaan cinta saja yang ingin
Puteri ungkapkan dengan cara tak terduga. Kesunyi-annya, kekosongannya pun diungkapkan dengan cara yang sama. Ia bayangkan tubuh Puteri melayang-layang menyapa setiap lantai, dua puluh dua... dua puluh satu... dua puluh... dan ekspresi s
etiap orang di dalam kamar hotel yang kebetulan menyaksikannya. Andai ia bisa bertemu dengan semua saksi mata pada saat itu, tentulah ia tak perlu lagi mencari makna kelengangan yang Puteri tulis pada secarik kertas merah jambu di cermin itu. Apakah Puteri memejamkan mata, ataukah matanya membelalak menatap maut, ataukah ada guratan-guratan takut dan sesal sebelum tubuhnya jatuh berdebam di atas aspal kelabu yang setelah itu berubah menjadi merah kehitaman oleh aliran darah Puteri, ataukah bibirnya menyungging senyum bahagia, ataukah menyeringai senang menyambut kemerdekaannya"
Dan seperti biasa, dalam dua bulan terakhir ini, ia duduk menatap cermin pemberian Puteri. Ada sebuah bangku di dalam cermin itu. Bangku yang sedang ia duduki, namun tak terlihat jelas bayangan dirinya sendiri. Sementara segala sesuatu di dalam kamar itu, temaram nyata lampu di atas meja sebelah tempat tidur, layu bunga mawar di dalam pot, botol-botol minyak wangi, bedak, gincu, dan tissue di atas meja rias, daun pintu lemari yang terbuka, emas cahaya bulan meliuk di sela-sela tirai jendela, begitu jelas tampak di sana. Ia ingat, dulu kalimat-kalimat cinta Puteri kerap terselip di setiap perabot, di kamar mandi, di ruang tamu, di dapur, di ruang makan,
mungkin seluruh sudut rumah sudah pernah menjadi tempat Puteri menaruh kalimat-kalimat cintanya selama tujuh belas tahun. Tapi Puteri tidak sekadar menaruh. Puteri senang kejutan. Puteri selalu mengaturnya sedemikian rupa supaya tersembunyi, tidak seperti ketika menempel secarik kertas merah jambu di cermin sebelum mati.
Apa yang diinginkan Puteri lewat cermin" Apa yang dimaksud Puteri dengan kalimat terakhirnya" Tak ada yang dapat ia temukan di sana. Cermin itu hanya memantulkan segala pemandangan ke mana pun ia memindahkannya. jika cermin itu di dalam kamar, maka isi kamar itulah yang terpantul di dalamnya. jika ia memindahkannya ke beranda, maka beranda dan bunga-bungaanlah yang terpantul di sana. Tak ada bedanya dengan cermin-cermin lain. Vang membedakan hanyalah secarik kertas merah jambu yang menempel di cermin itu. Kalimat yang begitu luka, begitu sunyi, begitu tak mencerminkan Puteri. Tapi jika hanya pesan itu yang ingin Puteri sampaikan, mengapa harus ada cermin itu" Cermin dengan kaki-kaki penyangga dari rotan. Cermin yang tak dapat diajak bercakap-cakap seperti cermin dalam dongeng Puteri Salju. juga bukan cermin mediator dengan arwah-arwah tak tenang atau yang tewas sebelum waktu. Adalah hanya cermin, di sudut ruangan dengan secarik kertas merah jambu.
Dan seperti biasa, dalam dua bulan terakhir ini, ia duduk menatap cermin yang sama. Cermin itu masih lengang dan masih tak menunjukkan keistimewaan.
Mungkin memang tak ada yang harus ia cari dalam cermin itu. Segala sesuatu sudah berjalan dengan baik. Ia adalah ibu yang baik. Kalau tak baik, tentu Puteri tak mau bersusah payah menulis kalimat-kalimat cinta untuknya setiap hari. Kalau tak baik, tentunya ia sudah menikah lagi setelah kematian ayah Puteri. Kalau tak baik, untuk apa ia membanting tulang demi mencukupi kebutuhan Puteri. Mereka adalah orang-orang baik yang bernasib tidak baik.
Lantas kenapa pula ia masih menatap cermin itu setiap hari" Cermin yang hanya memantulkan benda-benda dan suasana dengan jelas, namun menampilkan bayangan dirinya secara Samar. Di cermin itu, tubuhnya tembus pandang. Tubuhnya bukan bentuk. Tubuhnya seakan bukan bagian dari ruangan itu. Bukan bagian dari cermin Puteri.
*** Tubuhnya menukik tajam menuju aspal kelabu yang sebentar lagi berubah merah kehitaman oleh darahnya. Dalam sekelebat detik ia menyaksikan tubuhnya yang meluncur itu lewat pantulan kaca jendela lantai dua puluh dua... dua puluh satu... dua puluh.... Seorang saksi mata mengatakan matanya membeliak dan mulutnya menganga, namun si saksi mata tak dapat menjelaskan seperti apa tepatnya pancaran matanya. Apakah mata itu memancarkan ketakutan, rasa sesal, atau bahagia, si saksi mata tidak tahu. Hanya ia yang benar-benar tahu. Mata-
nya dengan jelas menangkap bayangan tubuhnya di kaca jendela tak seperti bayangan tubuhnya di cermin pemberian Puter
i. Hanya ia yang tahu, kalau selama ini ia menatap cermin tanpa mau melihat bayangan dirinya sendiri.
Kucari kau kucari. Kucari kau di kelengangan dalam...
-Jakarta, 23 September 2002, 22:27:02
Untuk A.A *) Cuplikan puisi Sutardji Calzoum Bachri dari esainya yang berjudul Kafe
SAYA ADALAH SEORANG ALKOHOLIK!
Udara dingin menampar ketika saya berlari ke luar. Sebelumnya di dalam, saya sudah sangat sadar kalau cuaca sedang tidak peduli akan jeritan kulit-kulit telanjang. Tapi saya merasa lebih baik dikoyak dingin ketimbang harus lebih lama berdiam diri mendengarkan dan memandang tatapan penuh harap orang-orang di dalam, sekalipun, saya hanya mengenakan kaos tanpa lengan dan celana perdelapan.
Saya terus berlari tanpa arah tujuan. Hujan melebat dan angin semakin kurang ajar. Sementara, suara beberapa orang yang berujar lantang bergantian, "Saya adalah seorang alkoholik!" dan langsung ditimpali gemuruh tepuk tangan, terus terngiang-ngiang. juga pemandangan puluhan bangku melingkar berisikan orang-orang yang saling bergenggaman tangan tidak kunjung hilang.
Saya berhenti berlari ketika sampai di depan sebuah pertokoan. Sempat terlintas untuk berteduh di dalam. Tapi niat saya untuk masuk urung karena kondisi saya yang kadung basah kuyup tidaklah memungkinkan. Malta saya meneruskan langkah, melebur di antara orang-orang yang memakai payung besar bagai lautan cendawan.
Beberapa anak kecil mengerubungi saya dan menawarkan payung yang hendak mereka sewakan. Segerombolan anak-anak muda yang berteduh di bawah halte bus bersuit-suit sambil tertawa cekikian melihat puting payudara saya tercetak jelas di balik kaos putih yang sudah sangat basah hingga tembus pandang. Lama kelamaan saya mulai merasa tidak nyaman. Lalu saya memutuskan kembali ke arah gedung pertokoan dan masuk ke dalam salah satu taksi yang antri parkir membentuk barisan panjang.
Sayembara Angkin Pembawa 2 Gento Guyon 12 Ki Anjeng Laknat Hantu Langit Terjungkir 3
JANGAN MAIN-MAIN (DENGAN KELAMINMU) kumpulan cerpen Djenar Maesa Ayu untuk Banyu Bening, Btari Maharani dan
Edhi Widjaja, bapaknya Daftar Isi ...tidak lebih karena cinta
Jangan Main-main dengan Djenar oleh Richard Oh
1. Jangan Main-main (dengan Kelaminmu)
2. Mandi Sabun Mandi 3. Moral 4. Menyusu Ayah 5. Cermin 6. Saya adalah Seorang Alkoholik!
7. Staccato 8. Saya di Mata Sebagian Orang
9. Ting! 10. Penthouse 2601 11. Payudara Nai Nai Sejarah Penerbitan Tentang Djenar ...TIDAK LEBIH KARENA CINTA
Rasanya ucapan terima kasih dalam buku ini tidak akan banyak berbeda dengan apa yang saya tulis dalam buku sebelumnya. Orangtua, keluarga, dan saudara-saudara saya tentunya tidak akan pernah berubah walaupun tidak menutup kemungkinan akan bertambah. Sahabat-sahabat saya tidak banyak berubah. Penerbit saya pun belum berubah. Maka jika lagi-lagi saya merasa mutlak mengucapkan rasa terima kasih yang mendalam, tidak lebih karena cinta dan dukungan dari mereka kepada saya yang tak pernah berubah. Karena itu, pertama-tama saya akan mengucap syukur dan terima kasih kepada Tuhan yang telah memberi saya cinta lewat orangtua saya, Tutie Kirana dan Alm Syuman Djaya. Juga orangtua saya yang lain: Soetikno dan Astuti Widjaja, Farida Oetoyo, Zoraya Perucha, Hartono Parbudi, Nanang D Soelaksana, Feisol Hasyim dan August Melasz. Juga saudara-saudara yang terkasih, Arya Yudistira Syuman, Sri Aksana Syuman, Hyza Samara, Panji Rahadi Hartono, Fiezea-Fay-Fionny Feisol, Marey-Christ Melasz, dan Hadi-Lestiyani-Kiwi-Lili-Erwin-Lina-Sanny- Hendra Widjaja.
Tanpa bermaksud mengabaikan dukungan sahabat-sahabat yang lain, kali ini saya mutlak berterima kasih secara istimewa -karena ia benar-benar istimewa- kepada Richard Oh, yang berperan sangat besar dalam proses kreatif dan non kreatif buku ini. Dukungan dan pengertian yang tidak bisa saya "bayar" dengan hanya ucapan terima, kasih inilah yang telah membuat segala yang saya impikan terwujud.
Yang juga tidak akan pernah berubah adalah rasa terima kasih kepada ketiga guru yang sangat saya hormati, Sutardji Calzoum Bachri, Budi Darma, dan Seno Gumira Ajidarma.
Dan tentunya, terima kasih untuk sahabat-sahabat pendukung acara peluncuran buku saya ini, yang membuat saya merasa "kaya" baik moril maupun materil. Sekali lagi, Richard Oh -QB Worldbooks, Guntur Santoso -Paperina, Mas Robby Sumendap, Mas Adi Taher, Charles Menaro, Bapak Sanusi -Kota Baru Parahyangan, Cynthia -Male Emporium, Ferry Salim, teman-teman di MTV Trax, Reader's Digest, dan Trans TV. Juga kepada Kiki Taher, Wai, Wendy, Sandy, Ronald, dan Firman, yang sudah kerja keras lembur sampai pagi ketika proses pembuatan dokumentasi film untuk acara peluncuran buku, dan semua pihak yang sudah berkenan diwawancarai, termasuk Alm Saut Sitompul-sahabat dan penyair yang saya kagumi -yang masih sempat memberi komentar empat jam sebelum berpulang ke Yang Maha Kuasa.
Terima kasih untuk sahabat minum dan ngerumpi, Takashi Ichiki, Tommy F Awuy, Sitok Srengenge, Nirwan Ahmad Arsuka, Hudan Hidayat, Butet Kartaredjasa, Indra Herlambang, Kumia Effendi, Iswadi gemblung Pratama, FX Rudy Gunawan, Vera Lydia, Ratna Ayu Wahadi, Norini, Stefanny Hid, Fira Basuki, Rieke Diah Pitaloka, Jajang Pamoentjak, Nia Di Nata, Nelden Djakababa, Amal, Garin Nugroho, Jujur Prananto, Eddy SS, Enison Sinaro, Harry Simon, Freddy Pangkay, Ratna Indraswari dan Benny Ibrahim, Cornelia Agatha, Gugun Gondrong, Tongclay, dan Moammar Emka.
Terima kasih untuk pengalaman baru bersama teman-teman baru; teman-teman nyontek di P2FTV dan segenap jajaran dan kru Insert yang dengan sabar menahan panas telinga mendengar obrolan "murahan" yang terpaksa saya lakukan untuk merespons Indra H (huehehehehehehe)-off air tentunya ", juga segenap rombongan Athena, Bapak Sri Hastanto, Romo Mudji Sutrisno, Sudjiwo Sutedjo, Ary Sutedja, dan Mikhail, Hanafi, I Made Wianta, Taufik Rahzen, Edward Hutabarat, Davy Linggar, Sari Madjid, Mugiyono, Dorothea Rosa Herliany, Nyak Ina Raseuki, Leo Kristi, Bai, Pak Mus, Bu Baryati, Seno Joko, Doddy, Pak Aspari, Pak Basuki, dan Joseph Christoper.
Terima kasih untuk seluruh sta
f penerbit Gramedia Pustaka Utama: adik dan editor saya yang manic Mirna Yulistianti, Mas Priyo, Mbak
Widid, Mbak Ninin, Mas Nung, Mas Dwi, Medy Zanzibarian, Mas Danang di Surabaya, dll, yang dengan segala hormat tidak bisa saya sebutkan satu persatu di sini. Juga tak kalah penting, terima kasih kepada para sahabat pers dan pembaca atas dukungan dan apresiasi yang amat berarti selama ini.
Dan yang terakhir, selalu amat sangat tak terbilang besar terima kasih dan cinta saya untuk Banyu Bening, Btari Maharani, dan Edhi Widjaya, bapaknya. Kepada merekalah saya dedikasikan hasil jerih payah saya ini, atas hasil jerih payah mereka demi mengerti berbagai perubahan situasi yang saya alami dan akhirnya sedikit banyak mengubah "sistem" dalam kehidupan kami.
Sekali lagi terima kasih atas cinta yang tidak pernah berubah. Mohon maaf kepada yang namanya luput saya cantumkan-sengaja maupun tidak sengaja- terima kasih saya akan selalu ada untuk semua, karena hidup selalu menyisakan jejak sejarah dan sejarah tidak akan pernah berubah.
-Djenar Maesa Ayu- JANGAN MAIN-MAIN DENGAN DJENAR
Dalam kumpulan cerpen terbarunya, Jangan Main-main (dengan Kelaminmu), Djenar Maesa Ayu menampilkan satu dunia yang dipadati manusia terluka, marginal, dan terkhianati. Tak ada pijakan kokoh dalam dunia ini. Komitmen dapat berubah setiap saat, ikatan tidak mengikat, dan logika tak punya validitas. Karakter-karakter yang bermunculan dalam cerpen-cerpen tersebut boleh dikatakan hampir semuanya antihero. Jangan berharap mereka akan membawa berita segar. Tapi jangan pula mengira mereka mengemis pengertian ataupun empati kita. Tidak. Mereka eksistensialis, karakter-karakter penuh paradoks, tercipta dari lingkungan yang brutal. Mereka adalah steel magnolia di tengah kehidupan kita. Dengan mengikuti perjalanan karakter-karakter ini, terasa sekali kita menangkap mereka dalam suatu perjalanan yang krusial sehingga kita belajar sedikit tentang diri kita, beban-beban yang ditumpukkan di bahu kita oleh teman-teman kita, pasangan kita, atau lingkungan pergaulan kita.
Dalam cerpen berjudul Saya di Mata Sebagian Orang, tokoh utamanya menghardik masyarakat yang mendakwanya dengan kebenaran seseorang yang merasa berhak untuk memilih cara hidupnya:
Sebagian orang menganggap saya munafik. Sebagian orang menganggap saya pembual. Sebagian lagi menganggap saya sok gagah. Sebagian lagi menganggap saya sakit jiwa. Sebagian lagi menganggap saya murahan! Padahal saya tidak pernah merasa munafik. Tidak pernah merasa membual. Tidak pernah merasa soli gagah. Tidak pernah merasa sakit jiwa. Tidak merasa murahan!
Setelah pembelaan ini karakter saya kemudian menceritakan bagaimana ia berteman dengan lelaki dan dalam keintiman pertemanan itu ia pun bersetubuh dengan mereka.
Saya melakukannya karena saya mau, bukan karena paksaan. Saya menikmati kebersamaan kami. Menikmati tiap detail manis yang kami alami. Makan malam di bawah kucuran sinar rembulan dan keredap lilin di atas meja. Percakapan yang mengasyikkan penuh canda dan tawa. Sentuhan halus di rambut saya. Kecupan mesra di kedua mata, hidung, pipi, dan bibir yang berlanjut dengan ciuman panas membara lantas berakhir dengan rapat tubuh kami yang basah berkeringat di atas tempat tidur kamar hotel, di dalam mobil, di teman hotel, di toilet umum, di dalam elevator, di atas meja kantor atau di dalam kamar karaoke.
Tentu saja ia tidak melakukan itu dengan hanya
satu teman, tapi dengan semua temannya. Perilaku yang tentu saja tidak akan mengundang simpati kita, tetapi memang bukan simpati yang diharapkan. Karena dalam keadaan sekarat pun pada akhir cerpen itu, ia masih berang dan membela cara hidupnya dengan pernyataan:
Karena, ketika saya positif mengidap HIV ternyata saya masih punya banyak teman yang setia menyiapkan air hangat untuk bilas badan. Mengirim makan siang. Menemani makan malam. Mendongeng tentang sebuah peristiwa lucu di suatu kafe. Bercerita tentang film yang baru saja diputar, membayar ongkos perawatan, ketika sebagian orang sibuk bergunjing atas akibat yang saya terima karena saya munafik. Pembual. Sok gagah. Sakit jiwa.
Murahan! Ironinya, hingga detik-detik terakhir pun ia sama sekali tidak menyesali apa yang terjadi pada dirinya. Tak juga marah pada teman-temannya yang sebenarnya adalah penyebab utama ia mengidap HIV. Ini adalah salah satu paradoks karakter-karakter Djenar yang kadang membuat kita gemas dengan kenaifannya. Dan dalam kegemasan kita atas kenaifannya, sekaligus kita merasakan kegetiran jiwa karakter yang terlihat nyata dalam pembelaan yang begitu gigih untuk eksistensinya. Baginya, kebebasan adalah segalanya, sekalipun kebebasan itu harus dibayar dengan jiwanya.
Moral bukan merupakan pegangan atau sesuatu yang sakral bagi karakter-karakter dalam cerpen-cerpen Djenar. Moral malah diperolok dalam satu cerpen yang berjudul Moral. Di sini moral dianggap seperti barang obralan seharga lima ribu rupiah tiga! Prinsip-prinsip pribadi, keutuhan individualisme, adalah kode etik pribadi, atau hak penuh masing-masing karakter tanpa ada kompromi. Karena dalam keadaan terpojok mereka merupakan pegangan, kadang penyelamat, bagi kewarasan jiwa mereka. Seperti dalam cerpen Menyusu Ayah -menurut saya cerpen terbaik dalam kumpulan ini- Nayla yang sejak kecil menyusu penis ayahnya tidak begitu mempersoalkan kalau ia kemudian juga menyusu penis teman-teman ayahnya. Tetapi ketika salah satu teman ayahnya mulai meraba dadanya dan kemaluannya, ia langsung merasa seakan integritas dirinya diperkosa:
Pada suatu hari ketika saya sedang asyik menyusu salah satu teman ayah, ia meraba payudara saya yang rata. Saya merasa tidak nyaman. Ucapan ayah bahwa payudara bukan untuk menyusui namun hanya untuk dinikmati lelaki terngiang-ngiang di dalam telinga saya. Saya tidak ingin dinikmati. Saya hanya ingin menikmati...
Dan pada saat-saat terpojok atau tak berdaya, ia bersandar pada beberapa hal yang merupakan pilar-pilar penopang eksistensinya:
Apakah ini" Saya berusaha mengingat-ingat peristiwa ketika saya masih di dalam rahim ibu. Seingat saya tidak pernah ada juga lidah yang mengunjungi saya, juga tidak lidah ibu.
Walaupun ia tidak berhasil mempertahankan dirinya secara fisik, ia mencoba mempertahankan keutuhan psikisnya
Terkesan kuat dalam beberapa cerpen seperti Mandi Sabun Mandi, Penthouse 2601, dan Jangan Main-main (dengan Kelaminmu), kalau sang penulis menampilkan berbagai adegan secara gamblang untuk mengomentari tentang penyimpangan perilaku, pengkhianatan bersilang, dan kesemuan hidup metropolitan. Seperti dalam Mandi Sabun Mandi, di mana Meja dan Cermin dalam kamar motel menjadi saksi pengkhianatan bersilang lelaki dan pacar gelapnya. Sophie, sang pacar gelap, mengomentari sewaktu melihat Si Mas mandi tanpa memakai sabun motel:
"Kenapa Mas, takut ketahuan istri kalau wangi sabunnya beda""
Kemudian di akhir cerita ketika tengah bercumbu dengan lelaki lain, Sophie ditelepon oleh Si Mas dan bergegas ke kamar mandi:
... Sophie tersenyum geli membayangkan ekspresi Si Mas yang sedang gundah saat ini. Lalu ia
menyelesaikan bilasan terakhirnya, tanpa memakai sabun mandi.
Dalam satu twist sederhana, di saat Sophie dengan penuh pengalaman menolak pakai sabun mandi di motel, Djenar mengomentari betapa licik dan rapuhnya komitmen dalam hubungan gelap seperti itu.
Dalam Penthouse 2601, satu impian murni menjadi kandas karena dicemari oleh para tamu yang berlaku seronok dalam salah satu kamar penthouse sebuah hotel berbintang.
Tapi, aku sudah tidak berani berharap. Aku takut kecewa. Seperti yang aku katakan pada anda di awal cerita, aku pernah begitu berharap kelak tamu-tamuku adalah sebuah keluarga bahagia. Atau pasangan yang sedang berbulan madu. Tapi kenyataannya, hanya orang-orang yang kaya bertambah kaya, seperti yang pernah digumamkan petugas kebersihan itu saja yang datang bertandang. Mereka tidak menghargaiku. Bagaimana mungkin orang-orang seperti itu bisa menghargaiku yang hanya sebuah kamar, sementara mereka tidak prihatin pada sesamanya" Aku juga yakin, mereka pun tidak menghargai diri mereka sendiri. Kelakuan mereka benar-benar seperti binatang, mungkin jauh lebih rendah dari binatang.
Kata-kata cukup pedas dari penulis yang biasanya lebih suka ber
main dengan metafora dan frasa ekspresi yang kreatif.
Sementara dalam cerpen Ting! Djenar mengupas tema yang sama, kesenjangan sosial, dengan pendekatan yang lebih menarik. Ia membiarkan kita melihat sendiri kenyataan yang memilukan itu dan mengambil kesimpulan sendiri. Kali ini Djenar juga terkesan cukup bermurah hati pada karakternya, di mana sangat jarang kita temukan dalam cerpen-cerpen lain dalam kumpulan terbarunya ini. Ia memberikan secercah harapan bagi seorang pekerja seks yang sepertinya terperangkap dalam suatu kehidupan tanpa penghujung. Diceritakannya tentang sang tokoh penghibur yang sedang "cuti" itu ketika berada dalam elevator yang meluncuri lantai demi lantai. Sepanjang perjalanan menuju ke lantai yang ditujunya, kita ikut merasakan kerisihannya pada orang-orang yang menatapnya dengan sorotan mata mendakwa, kecemburuan terhadap kelengkapan kebahagiaan satu keluarga yang tak pernah ia rasakan, juga rasa ketidakadilan pada nasib yang dilimpahkan pada dirinya. Tetapi semua kepedihannya lenyap ketika ia disambut di depan pintu oleh anaknya dengan teriakan, "Mama..."
Dambaan akan kehidupan normal, cinta seorang ibu, dan kesempurnaan kebahagiaan keluarga yang lengkap, terbersit dalam beberapa cerpen Djenar. Seperti dalam cerpen Penthouse 2601, sebuah kamar mewah merasa kesepian dalam kemewahan semu,
karena ia hanyalah tempat hiburan bagi orang-orang berduit. jauh dari bayangan sebelumnya, yaitu kamarnya akan dihuni oleh keluarga bahagia atau pasangan yang sedang berbulan madu. Dalam Menyusu Ayah, seorang anak perempuan yang kehilangan ibunya menyusu penis ayah untuk mengganti kerinduan pada cinta ibunya. Dan dalam Cermin, kegagalan komunikasi antara seorang anak perempuan dengan ibunya mengakibatkan sebuah akhir yang tragis. Aspek humanis yang bergerak di bawah permukaan ini memberikan napas segar bagi cerpen-cerpen Djenar yang kadang terkesan begitu "menyesakkan", dengan kata lain sangat brutal.
Jangan Main-main (dengan Kelaminmu) menurut saya perlu dibahas bersama dengan dua cerpen lainnya, yakni Staccato dan Saya adalah Seorang Alkoholik! Ketiga cerpen ini ditulis dengan gaya penuturan yang sangat eksperimental, khas inovasi Djenar dengan mengandalkan pengulangan, mengitari satu titik sentral cerita dan mengikis terus hingga ke esensi permasalahan. Kadang seperti dalam Saya adalah Seorang Alkoholik! teknik rewind dipergunakan hanya untuk mendapatkan efek dunia seorang alkoholik yang tak jelas ujung pangkalnya. Staccato, seperti judulnya ditulis dengan efek staccato, dada dada tada tada.. Metode ini sengaja direkayasa untuk menciptakan kesan ucap yang gagap dari seseorang yang baru bangun dengan hangover. Jangan Main-main (dengan Kelaminmu), dirancang dalam struktur penceritaan yang rumit, hubungan
silang antara tokoh suami, istri, pacar gelap, dan sahabat sang suami, melalui pengakuan masing-masing tokohnya.
Ketiga cerpen ini menurut saya merupakan suatu pembaharuan bagi pengucapan narasi dalam perkembangan sastra dewasa ini. Dengan hanya mengandalkan sedikit fakta integral, Djenar memutarnya menjadi satu cerpen yang bukan saja menakjubkan dalam cara pengucapannya, tetapi juga efek keseluruhannya sama sekali tidak seperti cerpen-cerpen biasa.
Dalam metode ada sedikit persamaan antara Jangan Main-main (dengan Kelaminmu) dengan Staccato. Keduanya mengandalkan pengulangan satu fakta dari paragraf ke paragraf.
Saya heran, selama lima tahun kami menjalin hubungan, tidak sekalipun terlintas di kepala saya tentang pernikahan. Tapi jika dikatakan hubungan kami ini hanya main-main, apalagi hanya sebatas hasrat seksual, dengan tegas saya akan tolak...
Dan baca perspektif karakter lain dalam paragraf berikut yang dituturkan dengan pola yang sama, dengan kalimat-kalimat yang kalau tidak hati-hati dibaca akan tampak sangat mirip.
Saya heran, selama lima tahun mereka menjalin hubungan, tidak sekali pun terlintas di kepala mereka tentang pernikahan. Tapi jika saya
katakan hubungan mereka itu hanya main-main, apalagi hanya sebatas hasrat seksual, dengan tegas mereka akan menolak.
Paragraf pertama adalah penuturan dari per
spektif sang suami, sedangkan paragraf kedua oleh sahabat suami, selanjutnya di paragraf ketiga oleh pacar sang suami dan paragraf keempat oleh istrinya. Keseluruhan cerpen disusun dari paragraf ke paragraf dengan penuturan fakta yang diulang-ulang hingga ke titik akhir cerpen di mana jati diri keempat karakter ini terbongkar, setelah tentunya, cerpen ini dibaca beberapa kali.
"Saya hanya main-main, Ma ... saya cinta kamu. Beri kesempatan saya untuk memperbaiki kesalahan saya."
"Saya sering katakan, jangan main api nanti terbakar."
"Saya tidak main-main. lm leaving you..." "Saya tidak main-main. lm leaving you..."
Merancang cerpennya dengan kerangka seperti ini, Djenar berhasil menciptakan satu dampak yang memberi nilai tambah. Efek satu dunia di mana para karakternya bermain-main dengan kata dan manipulasi pernyataan tampak amat nyata.
Staccato sebenarnya juga menggunakan metode serupa tapi jauh lebih ketat karena dalam paragraf yang sama urutan fakta sengaja dijungkirbalikkan
dan kadang disempurnakan di kalimat berikut.
Pagi. Rokok. Kopi. Gosok gigi. Mandi. Apalagi" Pagi. Rokok. Kopi. Tidak gosok gigi. Tidak mandi. Tidur lagi. Hmmm... normal sekali. Pagi. Rokok. Kopi. Tambah roti. Supaya ada energi. Lari pagi dong... badan sehat. Jantung sehat. Banyak Rokok. Banyak minum whiskey malam tadi. Nanti dulu! Kalau banyak minum alkohol mana mungkin bisa bangun pagi" Berarti tidak ada alkohol. Tidak ada party. Pagi. Rokok. Kopi. Roti. Lari pagi. Gosok gigi. Mandi. Wangi. Birahi. Wah... mana pasangannya" Pagi. Birahi. Kelamin saling silaturahmi. Tidur lagi. Di mana" Kamar dong! Mosok di taman" Party. Whiskey. Birahi...
Kesan seseorang yang baru bangun dengan hangover sedang menghayati kembali apa yang terjadi malam sebelumnya. Fakta demi fakta diulang, tersendat-sendat dan diperbaiki di kalimat berikut, di paragraf berikut, dengan semakin meningkatnya daya ingat.
Kok bisa" Malam hari. Rokok. Whiskey. Ecstasy. Laki-laki. Birahi. Di mana" Diskotik dong! Yang ada house music! Malam hari. Diskotik. House music. Rokok. Whiskey. Ecstasy. Laki-laki. Birahi. Memang bisa lihat laki-laki" Diskotik gelap begitu"! Huh! Malam hari. Karaoke. House music. Rokok. Whiskey. Ecstasy. Laki-laki. Birahi. Bisa apa minum ecstasy
pakai whiskey" Penuturan semacam ini membuka kemungkinan baru dalam bernarasi. Sang penulis berhasil memanipulasi bahan yang sangat sederhana lantas menyulapnya menjadi satu cerpen yang original. Membaca cerpen ini mengingatkan saya pada film Memento yang tokohnya mengalami amnesia sehingga daya ingatnya sangat singkat. Untuk menciptakan efek daya ingatnya yang pendek, film itu mengulangi terus kejadian yang sama dengan penambahan detail demi detail pada pengulangan-pengulangan seterusnya.
Eksplorasi gaya penuturan seperti ini membuka jalan baru bagi penulisan prosa, sekaligus membuktikan bahwa kekuatan narasi tidak hanya terletak pada kemahiran berbahasa, tetapi yang lebih penting penguasaan dalam berekspresi, dalam gaya pengucapan. Ini sangat sejalan dengan perkembangan sastra internasional yang sudah lama meninggalkan metode penuturan berdasarkan bahasa formal dengan susunan kata yang rapi atau gramatika yang tak tercela. Zaman itu sudah lama berlalu sejak Mark Twain memasukkan unsur vernakular dalam cerita-cerita Tom Sawyer dan sejak Hemingway memperkenalkan kalimat-kalimat sederhana dan pengulangan kata-kata. Bahkan dalam perkembangan terakhir Ben Okri malah bereksperimentasi untuk membawa fiksi kembali ke alam imajinasi yang sebenarnya, yaitu bebas dari embel-embel formalitas, kembali ke alam
yang mempesona bagaikan penyulap yang begitu memukau penontonnya sehingga mereka tidak sadar sedang di atas deck kapal pesiar di tengah hamparan laut. Dalam perkembangan fiksi dewasa ini, di mana segala cara bernarasi sudah pernah ditempuh penulis sebelumnya, originalitas dalam pengucapan menjadi sangat penting bagi penulis yang ingin memisahkan diri dari penulis lainnya.
Oleh sebab itu, dalam kumpulan cerpen Jangan Main-main (dengan kelaminmu) yang tidak saja cukup berani menampilkan tema-tema yang kontroversial seperti Menyusu Ay
ah, Djenar Maesa Ayu memperkenalkan suatu gaya penulisan yang menurut saya merupakan pembaharuan yang berarti dalam perkembangan Sastra Indonesia saat ini.
-Richard Oh Jakarta, 4 November 2003 JANGAN MAIN-MAIN (DENGAN KELAMINMU)
Saya heran, selama lima tahun kami menjalin hubungan, tidak sekali pun terlintas di kepala saya tentang pernikahan. Tapi jika dikatakan hubungan kami ini hanya main-main, apalagi hanya sebatas hasrat seksual, dengan tegas saya akan menolak. Saya sangat tahu aturan main. Bagi pria semapan saya, hanya dibutuhkan beberapa jam untuk main-main, mulai main mata hingga main kelamin. Bayangkan! Berapa banyak main-main yang bisa saya lakukan dalam lima tahun"
Saya heran, selama lima tahun mereka menjalin hubungan, tidak sekali pun terlintas di kepala mereka tentang pernikahan. Tapi jika saya katakan hubungan mereka itu hanya main-main, apalagi hanya sebatas hasrat seksual, dengan tegas mereka akan menolak. Mereka sangat tahu aturan main. Bagi mereka, hanya dibutuhkan beberapa jam untuk main-main, mulai main mata hingga main kelamin. Bayangkan! Berapa banyak main-main yang bisa saya lakukan dalam lima tahun"
Saya heran, selama lima tahun kami menjalin hubungan, tidak sekali pun terlintas di kepala saya tentang pernikahan. Tapi jika dikatakan hubungan kami ini hanya main-main, apalagi hanya sebatas hasrat seksual, dengan tegas saya akan menolak. Saya sangat tahu aturan main. Bagi wanita secantik saya, hanya dibutuhkan beberapa jam untuk main-main, mulai main mata hingga main kelamin. Bayangkan! Berapa banyak main-main yang bisa saya lakukan dalam lima tahun"
Saya heran, selama lima tahun mereka menjalin hubungan, tidak sekali pun terlintas di kepala mereka tentang pernikahan. Tapi jika saya katakan hubungan mereka itu hanya main-main, apalagi hanya sebatas hasrat seksual, dengan tegas mereka akan menolak. Mereka sangat tahu aturan main. Bagi mereka, hanya dibutuhkan beberapa jam untuk main-main, mulai main mata hingga main kelamin. Bayangkan! Berapa banyak main-main yang bisa saya lakukan dalam lima tahun"
Ini tidak main-main! *** Awalnya memang urusan kelamin. Ketika pada suatu hari saya terbangun dan terperanjat di sisi seonggok daging tak segar dipenuhi gajih yang tak akan mudah hilang dengan latihan senam mauupun fitness setiap hari sekalipun. Hanya sedot lemak yang dapat menyelamatkan onggokan daging itu dari lemak-lemaknya. Setelah itu pun harus pandai-pandai merawatnya. Dan kerut-merut di sekitar mata, kening, dan lehernya, hanya dapat tertolong oleh bedah plastik. Kalau hanya akupunktur, entah berapa juta jarum yang harus ditusukkan supaya dapat mengembalikan ke kencangan semula. Lantas apakah ada teknologi pengubah pita suara" Ketika onggokan daging itu bernyawa, ia benar-benar bagai robot dengan rekaman suara. Celakanya, rekaman suaranya cempreng seperti kaleng rombeng. Astaga... pusing saya mendengarnya. Pagi-pagi sebelum berangkat kerja saya mau tenang. Sebentar kemudian saya akan terjebak kemacetan, bertemu klien yang menyebalkan, dan karyawan yang tak berhenti minta tanda tangan, rutinitas yang membosankan. Anehnya, sejak hari itu, saya lebih memilih lekas-lekas berada di tengah-tengah kemacetan dan segudang rutinitas yang membosankan itu ketimbang lebih lama di rumah melihat seonggok daging yang tak sedap dipandang dan suara yang tak sedap didengan. Kalau saya saja sudah jengah bertemu, apalagi kelamin saya"
Awalnya memang urusan kelamin. Pada suatu hari, ia terbangun dan terperanjat di sisi seonggok daging yang tak lagi segar. Ah... saya tak sampai hati menyampaikan apa yang diutarakannya pada saya. Tak pantas menyamakan seorang istri dengan seonggok daging, apalagi daging yang tak segar. Bahkan ia mengatakan senam kebugaran tak akan menyelamatkan istrinya dari serbuan lemak. Hanya sedot lemak yang dapat menyelamatkan, katanya. Setelah itu pun harus pandai-pandai merawatnya. Dan kerut-merut yang menggelayut di wajah istrinya, hanya dapat diselamatkan dengan cara bedah plastik. Akupunktur hanyalah sia-sia belaka. Sebenarnya kalimat sia-sia belaka pun sudah saya perhalus. Yang ia katakan ada
lah, diperlukan berjuta-juta jarum untuk mengembalikan kulit istrinya ke kenyalan semula. Lebih gilanya lagi, ia menanyakan apakah ada teknologi yang dapat mengubah pita suara manusia. Suara istrinya bagai kaleng rombeng, bagai robot. Ia lebih memilih terjebak kemacetan, bertemu klien yang menyebalkan, ketimbang berlama-lama di rumah. Dan dengan santai dengan muatan gurau ia berkata, "Kalau saya saja sudah jengah bertemu, apalagi kelamin saya""
Awalnya memang urusan kelamin. Ketika pada suatu hari ia terbangun dan terperanjat di sisi seonggok daging, sebongkol lemak, gulungan kerut-merut hingga suara kaleng rombeng. Saya sudah terbiasa
mendengar keluhan suami-suami tentang istri-istri mereka. Saya juga tahu, mereka senang, sayang sampai cinta pada saya, awal mulanya pasti urusan fisik, urusan mata, urusan syahwat. Mana mungkin bertemu langsung sayang, pasti senang dulu, dan senang itu bukan urusan perasaan tapi pemandangan, bukan" Sebenernya, saya tidak terlalu nyaman mendengar keluhannya itu. Saya toh seorang perempuan yang suatu saat akan menjadi istri, yang berlemak, berkerut-merut dan cerewet seperti kaleng rombeng, yang pada suatu saat nanti mungkin akan dicampakkan dan dilupakan seperti istrinya sekarang. Tapi sekarang ya sekarang, nanti ya nanti. Saya cantik, ia mapan. Saya butuh uang, ia butuh kesenangan. Serasi, bukan" Namun begitu, saya sering menasihatinya supaya tak terlalu kejam begitu pada istri. Sekali-kali, tak ada salahnya memberi istri sentuhan dan kepuasan. Bukannya saya sok pahlawan. Bukannya saya sok bermoral. Bukannya saya sok membela perempuan tapi saya memang tak ada beban. Target saya hanya kawin urat, bukan kawin surat. Tapi ia kerap menjawab, "Kalau saya saja jengah bertemu, apalagi kelamin saya""
Awalnya memang urusan kelamin. Ketika ia terbangun dan terperanjat di sisi seonggok daging yang tak lagi segar, begitu ucapannya yang saya dengar dalam bisik-bisik perbincangan telepon dengan entah teman, atau daging segarnya yang baru.
Sebenarnya saya sudah sering dinasihati teman-teman, untuk senantiasa menjaga berat badan. Tapi ketika saya sudah mulai mengikuti senam kebugaran, saya mendengar ia mengatakan -masih dalam perbincangan telepon yang sama- bahwa lemak saya tak mungkin terselamatkan dengan senam setiap hari sekali pun! Bahkan ia juga menyebut-nyebut tentang terapi akupunktur yang sedang saya ikuti untuk memperkencang kulit muka saya yang mulai melorot. Saya hanya sempat mendengar ia menyebut jutaan jarum, tidak jelas apa maksudnya. Mungkin saja maksudnya, jutaan jarum pun tak sanggup menyelamatkan kerut-merut di wajah saya. Dan ada lagi, ia mengatakan kalau suara saya bagai kaleng rombeng! Saya sadar, saya memang cerewet. Tapi sudah menjadi kewajiban saya untuk cerewet. Tanpa saya cereweti, pembantu-pembantu pasti kerjaannya hanya ongkang-ongkang kaki. Saya ingin rumah selalu terjaga rapi, bersih, supaya ia senantiasa betah di rumah. Supaya perasaannya tenang sebelum dan sesudah meninggalkan rumah. Saya juga sudah bosan cerewet. Cerewet itu lelah. Mengatur dan mengurus pekerjaan rumah tidaklah mudah. Bahkan untuk urusan rumah inilah kulit saya keriput, tubuh saya gembrot, karena saya sudah tak punya waktu lagi selain mengurus rumah, rumah, dan rumah. Tapi ternyata yang saya lakukan bukan membuatnya bertambah menghargai jerih payah saya, melainkan menjauhkan dirinya dari saya. Bukannya saya melebih-lebihkan. Tapi saya benar-benar dengan jelas
mendengar ia mengatakan, "Kalau saya saja jengah bertemu, apalagi kelamin saya""
*** Saya heran. Bisa juga seonggok daging itu hamil. Padahal saya hanya menyentuhnya sekali dalam tiga sampai lima bulan. Itu pun karena kasihan. Juga dengan ritual, terlebih dulu minum ginseng supaya ereksi. Juga dengan catatan, lampu harus mati dan mata terpejam. Karena saya sudah terbiasa melihat dan menikmati keindahan. Tubuh tinggi semampai. Kaki belalang. Rambut panjang. Leher jenjang. Pinggang bak gitar. Dan buah dada besar. Ah... seperti apakah bentuknya nanti setelah melahirkan"
Saya heran. Ternyata istrinya hamil. Padahal ia mengaku hanya menyenuhnya sekali dala
m tiga sampai lima bulan. Itu pun ia harus terlebih dulu minum ginseng supaya bisa ereksi. Dan ia melakukannya harus dengan kondisi lampu mati dan mata terpejam supaya memudahkannya untuk membayangkan tubuh tinggi semampai, kaki belalang, rambut panjang, leher jenjang, pinggang bak gitar dan buah dada besar. Ah... saya tidak bisa bayangkan, apa yang akan terjadi setelah istrinya melahirkan"
Saya heran. Ternyata istrinya hamil. Padahal ia
mengaku hanya menyentuhnya sekali dalam tiga sampai lima bulan. Itu pun harus terlebih dulu minum ginseng untuk ereksi dan memadamkan lampu supaya ia bisa dengan leluasa membayangkan saya. Mungkin selama ini ia hanya berbohong untuk menyenangkan saya. Sesungguhnya hubungan dengan istrinya baik-baik saja dan jika mereka punya anak, pastilah hubungan mereka tambah membaik. Ah... saya tidak bisa bayangkan, apa yang akan terjadi setelah istrinya melahirkan"
Saya heran. Ternyata saya hamil. Padahal jarang sekali ia menyentuh saya. Benar-benar hanya sekali dalam tiga bulan, bahkan tidak jarang sampai lima bulan. Itu pun dengan lampu yang dipadamkan dan matanya pun selalu terpejam. Seolah-olah ia sedang tidak bersama saya. Ia sedang berada di dunia lain dan tidak mau berbagi dengan saya. Tapi saya hamil. Saya akan memberikannya seorang anak. Mungkin perkawinan kami bisa terselamatkan dengan kelahiran anak kami kelak. Ah... saya tidak bisa bayangkan, apa yang akan terjadi setelah saya melahirkan"
*** Saya heran. Kehamilan ini tidak juga membuat hati saya bahagia. Kehamilan ini membuat saya bingung. Apakah memang saya ditakdirkan untuk selamanya
terperangkap dengan onggokan daging yang tak segar, gelayut lemak, dan bunyi kaleng rombeng, hanya karena saya terlanjur dikaruniai anak" Sahabat saya bilang, seharusnya saya bersyukur. Sebentar lagi saya akan diberi karunia dan diberi jalan untuk menata kembali rumah tangga saya. Apakah saya tidak berhak menentukan dan memilih kebahagiaan saya sendiri"
Saya heran. Kehamilan istrinya tidak juga membuat hatinya bahagia. Ia malah bingung. Ia merasa kehamilan ini adalah upaya alam yang hendak memerangkapnya seumur hidup bersama seonggok daging yang tak segar, gelayut lemak, dan bunyi kaleng rombeng. Padahal, saya melihatnya sebagai karunia, sebuah jawaban dan upaya dari alam supaya ia bisa mulai menata kembali rumah tangganya. Tapi ia malah melontarkan pertanyaan pada saya dengan nada keras. "Apakah saya tidak berhak menentukan dan memilih kebahagiaan saya sendiri""
Saya heran. Kehamilan istrinya tidak juga membuat hatinya bahagia. Ia malah bingung. Padahal seharusnya saya yang bingung. Apakah pernyataannya yang seolah-olah seperti ngeri terperangkap dengan istrinya seumur hidup itu benar" Jangan-jangan hanya di mulut belaka. Dulu, ia katakan jarang menyentuh istrinya. Tapi ternyata
istrinya hamil. Lantas apakah yang sedang dilakukannya sekarang di depan saya lagi-lagi hanya sebuah lelucon" Matanya menerawang dan kerap mengulang gumaman, "Apakah saya tidak berhak menentukan dan memilih kebahagiaan saya sendiri" Saya rasa saya sudah melangkah terlalu dalam. Sudah begitu banyak waktu terbuang hanya untuk urusan gombal-gombalan. Sudah saatnya saya bertindak tegas. Tidak seperti dirinya yang hanya dapat bergumam saya akan menentukan dan memilih kebahagiaan saya sendiri.
Saya heran. Kehamilan saya sepertinya tidak juga membuatnya bahagia. Ia lebih kelihatan bingung. Saya merasa kehamilan ini bukanlah karunia baginya melainkan derita yang kelak akan memerangkapnya untuk tetap bertahan dalam mahligai rumah tangga. Saya tidak berlebihan. Ia lebih jarang ada di rumah sekarang. Mungkin saya sudah terlalu lama merendahkan diri saya sendiri dengan membiarkannya menginjak-injak harga diri saya selama pernikahan kami. Tapi jangan harap ia bisa melakukan hal yang sama kepada anak saya. Sudah saatnya saya bertindak tegas. Saya berhak menentukan dan memilih kebahagiaan saya sendiri.
*** "Saya hanya main-main, Ma... saya cinta kamu. Beri
kesempatan saya untuk memperbaiki kesalahan saya."
"Saya sering katakan, jangan main api nanti terbakar."
"Saya tidak main-main. I'm leaving
you..." "Saya tidak main-main. I'm leaving you..." Ini tidak main-main!
-Jakarta, 8 Desember 2002, 8:52:47
MANDI SABUN MANDI Moncong sebuah mobil mewah berkaca super gelap membelok perlahan ke arah jalan setapak dengan papan penunjuk bertuliskan IN. Jalan setapak itu sedikit menanjak dan berkelok dengan barisan rapi cemara dan akasia di kiri kanannya. Mobil mewah berhenti sejenak di depan kantor resepsionis. Tidak ada tanda-tanda si empunya mobil mewah turun dari mobil. Laki-laki berseragam tergopoh-gopoh keluar dari dalam kantor dengan menggenggam rangkaian kunci di tangannya sambil memberi isyarat kepada pengemudi mewah agar mengikuti. Seperti siput, mobil mewah bergerak mengikuti laki-laki itu menuju garasi sebuah kamar yang terbuka. Cekatan lelaki berseragam itu menutup rolling door sesaat setelah mobil mewah tenggelam kedalam garasi. Namun kurang dari semenit, rolling door terbuka sedikit. Tubuh lelaki berseragam keluar dengan cara merunduk dalam-dalam dan segera menutupnya kembali. Ia berlari menuju kantor resepsionis, menukar kunci, kembali menuju kamar, membuka rolling door, menunggu mobil mewah keluar dari garasi, dan bergegas menuku kamar lain yang lebih besar. Ia berhenti di sebuah kamar bertingkat dua. Sama dengan tadi, dengan cekatan ia menutup rolling door
garasi yang dengan sekejap menelan mobil mewah beserta bayangannya.
"Kau ini, sudah tahu mobil semewah itu masih juga kau beri kamar standar!" seru rekan lelaki berseragam sesaat setelah ia keluar dari pintu kamar sambil memasukkan tip puluhan ribu ke dalam saku.
"Mana aku tahu. Tak semua mobil mewah mau kamar VIP. Apalagi kalau ambil perempuan dari sini, biasanya mereka sewa kamar standar."
"Memang betinanya tak seperti anak sini, ya" Kau sempat lihat" Bagaimana, aduhai""
"Bukan aduhai lagL.seperti bidadari. Seperti bintang pilem!"
"Memang bintang pilem kali..."
"Benar juga kamu, mungkin bintang pilem. Kalau anak sini ada yang secantik itu, aku rela gaji sebulan amblas untuk nyicipi"
Mereka berderai tawa, lantas serta merta berlari ketika melihat dua mobil lain yang tengah antri di depan kantor.
*** Cermin di ruangan itu basah berembun, sama seperti pantulan sepasang manusia yang erat basah di atas tempat tidur nan porak poranda. Menampakkan sang perempuan yang berpeluh melenguh, "fuck me..."
"Pasti mereka bukan suami istri. Hei Meja, aku tak sok tahu. Aku memang tahu. Aku adalah benda
tertua di kamar ini. Tanpa aku, motel ini tak akan laku. Kau tahu Meja, motel yang tak ada cerminnya itu kuno! Apa" Variasi" Bisa saja. Tapi variasi seperti ini bukan variasinya suami istri, Meja. Kau tak percaya" Lihat saja buktinya nanti, taruhan pria tua itu orgasme di luar. Aduh... masak tak ngerti, sih..." Orgasme di luar karena takut perempuannya hamil. Kondom" Gila, kamu memang ketinggalan jaman, kamu memang barang antik. Jaman sekarang laki-laki lebih takut bikin bunting perempuan ketimbang kena penyakit!"
Cermin itu terus memantulkan bayangan keduanya. Mata mereka setengah terbuka, kepala mereka tengadah dan mulut mereka desahkan gairah. Tubuh mereka blingsatan tak karuan.
"Masya Allah, dia orgasme di dalam!"
"Apa" Kamu tak salah lihat" Kalau begitu kali ini aku kalah taruhan, Meja. Ternyata ia tak takut menghamili perempuannya. Mungkin benar, mereka suami istri yang sedang mencari variasi."
"Kamu tak kalah taruhan, kamu benar, Cermin."
"Hah, apa maksudmu, Meja""
"Dia tidak orgasme di dalam vagina. Dia orgasme di dalam mulut!"
*** Perempuan muda berparas indo, berkulit putih dengan kaki belalang itu tengah berkaca di depan wastafel. Ia menyapu bibirnya tipis-tipis dengan pewarna. Laki-laki setengah baya, berperut tambun,
sedang mencuci diri di bawah siraman air hangat shower. Perempuan indo membuka pembungkus sabun lalu menyerahkan kepada lelaki itu yang langsung ditolak mentah-mentah.
"Kenapa Mas, takut ketahuan istri kalau bau sabunnya beda"" mimik muka perempuan indo cemberut.
"Bukan begitu, aku alergi kalau sembarang pakai sabun."
"Kamu memang paling pintar cari alasan, Mas."
"Aku bukannya banyak alasan, memang alasannya cuma satu, aku alergi sabun murahan!
" tukasnya sambil mematikan keran shower lantas mengeringkan badannya dengan handuk.
"Coba buktikan kalau berani. Aku mau lihat apa Mas benar-benar alergi."
"Kamu ini memang tak masuk akal. Aku sudah selesai kok disuruh mandi lagi""
"Cinta memang tak masuk akal, Mas, tak pakai rasio. Ayo buktikan atas nama cinta!"
"Sudahlah Sayang, jangan kekanak-kanakan begitu..." Si Mas buru-buru keluar kamar mandi menghindari pertengkaran dan resiko tertangkap basah oleh kekasih indonya. Perempuan indo mengikuti dari belakang dengan tubuh masih telanjang. Si Mas acuh tak acuh mengenakan pakaian.
"Kok buru-buru" Enggak mau nambah"" dengan manja perempuan indo membuka kembali retsleting celana Si Mas.
"Sophie....!" Sophie segera tahu kalau Si Mas mulai serius dengan cara memanggil namanya tanpa embel-embel sayang. Namun Sophie tak mau mengalah. Ia malah menghujani Mas dengan ciuman.
"Sophie, hati-hati lipstick kamu nempel di bajuku dong!" Mas mulai marah dan menghindar.
"Mas pengecut! Benar kan, Mas masih takut istri, Mas gombal! Katanya sudah pisah ranjang, sedang proses cerai, buktinya.."
"Aku ada meeting, Sophie... tak enak dan tak pantas dilihat relasi!"
"GOMBAL!" Sophie berteriak sambil menyabar pakaiannya yang berserakan di lantai, lantas ke kamar mandi dan membanting pintu keras-keras. Si Mas menghela napas. Ia mengaktifkan kembali ponselnya. Serta merta ponsel berdering. Kalimat home calling berkedip-kedip. Mas lari ke garasi, menyalakan mesin mobil lalu menerima telepon.
"Kok, ponselmu dari tadi mati""
"Sedari tadi aku meeting, baru saja selesai, sekarang sudah di jalan." Si Mas pura-pura membunyikan klakson. Sekonyong-konyong rolling door dibuka dari luar. Si Mas melotot ke arah laki-laki berseragam yang membuka rolling door dan mengisyaratkannya agar menutup kembali.
"Kata sekretarismu makan siang, mana yang benar""
Laki-laki berseragam masih terlonggong-longgong di tempatnya. Si Mas tambah melotot, tanpa suara mulutnya mengucapkan kata T U T U P.
"Hei... meeting atau makan siang""
"Habis meeting langsung makan siang. Sudah ya, Ma, jalanan macet ini..."
"Loh, kamu nyetir sendiri" Di mana Pak Sopir""
"Waktu keluar kantor tadi, aku pangil lewat car call tak datang-datang. Mungkin juga sedang makan siang. Daripada terlambat, aku nyetir sendiri. Sudah ya..." Mas menghentikan pembicaraan, lantas berteriak ke laki-laki berseragam,
"Tutup pintunya, goblog!"
Sophie menyaksikan semuanya dari balik pintu kamar.
*** Dalam perjalanan pulang, Mas wanti-wanti ke Pak Sopir untuk mengatakan pada Nyonya di rumah kalau jam sebelas tadi Pak Sopir tak ada di tempat karena makan siang. Awan menggelayut berlapis abu-abu merah. Nyala lampu-lampu menghias jalan raya. Mulut Mas mendendangkan lagu kesayangannya yang berkumandang dari CD, I don't like to sleep alone, stay with me don't go... lantas jatuh tertidur dengan senyum tersungging di bibirnya.
Mas baru terbangun ketika sampai di depan rumah. Ia longgarkan dasi dan memeriksa kembali apakah ada aroma mencurigakan yang masih tertinggal di tubuhnya. Setelah yakin keadaan aman, Mas melangkah dengan gagah masuk ke dalam rumah.
"Nyonya ada di mana, Sum"" Mas bertanya pada pembantu yang sedang membawakan tas kantornya.
"Di kamar, Pak," jawab Sumiatun sambil membungkuk beringsut perlahan ke dalam kamar kerja.
Mas segera menuju kamar utama. Istriny sedang membaca di ranjang dengan baju tidur yang menggairahkan, namun tak cukup menggairahkan Si Mas yang mendadak merasa tua tak ubah umurnya. Tidak seperti di samping Sophie, ia selalu merasa jauh lebih muda, kuat dan bergairah. Si Mas tak acuh saja membuka pakaian kantor dan meminta piyama ke istrinya.
"Tidak usah pakai baju dulu, Pa... kelihatannya kamu lelah betul, aku pijit sebentar, ya."
Si Mas menghempaskan tubuhnya di atas ranjang empuk mewah berukuran extra king dan menjawab, "Aku dikeroki saja tak usah dipijit, Ma. Rasanya aku tak enak badan."
Istrinya kesal sekali ditolak secara halus. Namun ia tetap patuh pada suaminya tercinta.
"Kamu punya uang recehan, Pa""
"Coba lihat di kantong celanaku, Ma."
Mas memejamkan mata sambil memanjakan nostalgianya
dengan sophie. Sang istri merogoh kantong celana panjang suaminya yang terpuruk di lantai. Tangannya menyentuh sebuah benda kecil keras di dalam kantong. Ia menariknya keluar. Dahinya berkerut ketika menatap pembungkus benda di tangannya
yang bertuliskan, Soap-Bukit Indah Inn, Bar and Restaurant.
*** "Cermin, bukankah itu perempuan yang datang kemarin"" "Ya, Meja."
"Tapi ia tak bersama laki-laki yang kemarin."
"Meja... Meja... begitu saja kok heran. Lelaki itu juga sering gonta-ganti pasangan kemari."
"Wah... wah... jaman modern sekarang ini tak ada yang luar biasa lagi ya, Cermin. Semuanya jadi super biasa."
Pasangan itu terengah-engah di ranjang. Jari perempuan itu mencakar-cakar seprai hingga acak-acakan. Tangan prianya menggenggam erat rambut perempuannya. Setelah itu, mereka diam dalam kebersamaan. Hanya terdengar desah napas mereka yang berangsur-angsur mereda.
Tiba-tiba kesunyian pecah oleh suara dering ponsel. Tangan perempuan itu mencari-cari ponsel di atas meja sementara tubuhnya masih berada di bawah.
"Sophie! Kita harus bicara!"
"Tak bisa sekarang."
"Jangan menghindar, ini penting! Kuhubungi kamu setengah jam lagi setelah aku dapat nomor kamar!"
Sophie tertawa geli dalam hati, lalu tersenyum mesra menatap sang pria.
"Aku harus segera pergi, ada pekerjaan yang tak bisa ditunda."
Sang pria yang kelihatan lebih muda dari Sophie mengecup keningnya seolah sudah mengerti maksud Sophie. Sophie beranjak ke kamar mandi. Di bawah kucuran air hangat shower, Sophie tersenyum geli membayangkan ekspresi Si Mas yang sedan gundah saat ini. Lalu ia menyelesaikan bilasan terakhirnya, tanpa memakai sabun mandi.
-Jakarta, 15 April 2001 dedicated to all my girlfriends
MORAL Kemarin saya melihat moral di etalase sebuah toko. Harganya seribu rupiah. Tapi karena saya tertarik dengan rok kulit mini seharga satu juta sembilan ratus sembilan puluh delapan ribu delapan ratus rupiah, akhirnya saya memutuskan untuk menunda membeli moral. Pakai kartu kredit, hutang sudah banyak. Sementara, uang di dompet saya pas dua juta rupiah. Kalau saya membeli moral berarti sisa uang saya tinggal dua ratus rupiah. Bagaimana saya harus membayar parkir yang satu jamnya seribu rupiah plus pajak pemerintah dua puluh persen menjadi seribu dua ratus rupiah" Alhasil setelah membayar rok mini kulit yang menurut saya akan terlihat sangat seksi di tubuh saya itu, saya langsung ambil langkah seribu ke lapangan parkir. Lebih satu detik saja, bisa celaka! Terpaksa saya harus kembali ke pertokoan mengambil kas di ATM khusus untuk bayar parkir ...tak usyah ye. Untuk urusan yang satu ini saya memang selalu kucing-kucingan alias tidak mau rugi , tepatnya tidak mau dirugikan.
Tetapi sesampainya saya di rumah, ternyata rok kulit yang saya beli ukurannya salah. Pasti tertukar dengan milik orang lain di kasir. Jadi terpaksa saya
kembali ke pertokoal itu. Dan saya cukup senang juga karena saya tidak punya alasan khusus untuk membeli moral. Kepentingan saya datang adalah menukar rok mini yang sudah terlanjut saya bayar mahal dan membuat saya mimpi bisa bergaya ala rock star. Jadi iseng-iseng berhadiah. Tapi wah... alangkah kecewanya saya karena harga moral sudah naik menjadi tiga ribu rupiah! Jelas saja saya protes. Baru kemarin saya lihat dengan mata kepala sendiri harga moral seribu rupiah. Bagaimana mungkin dalam sehari, bahakan belum sampai dua puluh empat jam -kemarin saya datang ke pertokoan ini malam hari dan sekarang saya datang pagi hari- tapi harga sudah naik dua ratus persen" Sungguh kelewatan! Tentunya saya lagi-lagi berpikir seribu kali sebelum membeli moral walaupun harganya relatif jauh lebih murah dari harga rok mini. Siapa tahu di pertokoan ini moral tidak laku maka harganya dinaikkan. Atau jangan-jangan justru karena laku" Yang jelas, lebih baik saya check dulu ke toko-toko lain yang menjual moral. Saya ingin bersikap sebagai pembeli yang tidak mau merugi apalagi untuk sebuah barang yang tidak terlalu penting-penting amat. Maka sekali lagi, saya urung membeli moral.
Saya pergi ke spa. Banyak hal yang perlu saya lakukan untuk persiapan pesta nanti malam.
Sudah beli baju mahal tapi diri kita sendiri kacau balau juga percuma. Antara baju dan pemakai harus saling menunjang. Seksi boleh, tapi jangan terkesan jorok.
Kalau pakai rok mini tapi kakinya seperti pakai stocking bulu, tetap saja tidak enak dilihat. Salah-salah jadi bahan tertawaan. Jadi saya mutlak luluran supaya kulit berkilau dan tentunya cabut bulu kaki dan ketiak, dong... juga rambut dan rias wajah. Tak apa pegal sedikit karena tidak leluasa bergerak menunggu malam. Yang penting penampilan nanti malam harus yahud. Harus menarik perhatian. Minimal tak kalah gaul!
Setelah mempersiapkan diri habis-habisan, rasanya tidak sabar menunggu hingga acara nanti malam. Mau tidur tapi tidak nyaman akibat rambut yang sudah di-blow natural. Kompensasinya jadi ingin makan. Tapi itu pun tidak bisa saya lakukan karena takut perut kelihatan besar. Celakanya lagi, saya hari ini belum juga buang air besar. Akhirnya dengan hanya makan sekerat roti saya banyak mengkonsumsi kopi untuk merangsang hajat supaya cepat-cepat keluar, tentunya dengan alasan supaya perut tidak kelihatan buncit tadi. Pokoknya saya ingin kelihatan sempurna malam ini. Bayangkan, jumlah perempuan jauh lebih banyak daripada laki-laki. Kalau saya tidak mengupayakan diri secara optimal, bagaimana nasib saya di kemudian hari" Umur saya sudah dua puluh lima tahun. Belum punya pacar sungguhan. Lima tahun lagi saya akan dicap sebagai perawan tua. Lima tahun sesudahnya lagi, jatah saya cuma duda. Pasti sudah sulit bagi saya untuk hamil. Kalaupun sampai bisa hamil, risiko yang saya tanggung sangatlah besar.
Urusannya sudah nama di batu nisan. Jadi, syukur-syukur saya dapat duda dengan anak maksimal dua orang. Ia pun sudah tidak terlalu peduli dengan masalah keturunan dan sudah barang tentu risiko diceraikan berkurang. Atau, mungkin jatah saya nanti jadi istri kedua" Naik peringkat sedikit dari posisi saya sekarang yang jadi pacar gelap suami orang. Habis... mau bagaimana lagi" Saya tidak punya pekerjaan. Mau sekolah tinggi-tinggi, orangtua melarang. Kata mereka, "tak usah kamu sekolah tinggi-tinggi. Yang penting buat perempuan cuma pintar-pintar rawat diri dan pintar-pintar rawat suami. Lebih baik kamu belajar masak. Cinta dimulai dari mata turun ke perut dan dari perut turun ke hati." Aneh, dari perut kok turun ke hati" Mungkin dari perut turun ke bawah perut tapi mereka tidak tega mengatakannya walaupun tega anaknya mempraktekkannya. Tapi kenyataannya, jangankan masak dan merawat suami. Akhirnya cuma dapat suami orang. Tapi saya ambil segi positifnya saja. Yang penting saya melakukannya demi masa depan yang berarti juga menyenangkan hati orangtua. Kalau pacar saya yang suami orang sekarang ini bisa memberi fasilitas yang kelak mempermudah saya mencari jodoh sesuai kemauan orangtua, bukankah itu sebuah pahala" Pokoknya, saya tidak merugikan siapa pun. Yang saya lakukan berdasarkan senang sama senang. Saya tidak ingin merebutnya dari sang istri. Mungkin saja keadaannya akan berubah jika saya sudah berumur tiga puluh lima tahun. Tapi ingat, saya masih dua puluh lima
tahun. Saya masih punya kesempatan lima tahun lagi untuk bersaing mendapat jodoh yang lajang. Dan lima tahun selanjutnya lagi untuk bersaing mendapat duda, atau... jadi istri kedua" Wah... mudah-mudahan tidak. Bagaimanapun juga kami kan sesama perempuan, walaupun saya ingin menyenangkan hati ibu saya yang juga perempuan. Tapi... kenapa pula saya jadi melantur sejauh ini" Wong saya masih punya lima tahun termasuk satu malam, nanti malam, untuk mempertaruhkan peruntungan jodoh dan masa depan saya.
*** Akhirnya saat yang saya tunggu-tunggu tiba juga. Dengan sangat berhati-hati saya membasuh tubuh supaya jangan sampai rias wajah dan rambut yang sudah tertata rusak dengan percuma. Memang serba salah. Penampilan sempurna tapi bau badan tidak sedap akibatnya bisa fatal. Maka dengan khidmat saya melakukan ritual demi ritual dengan penuh kerelaan dan perasaan bahagia.
Saya pun menghubungi teman untuk sama-sama datang ke pesta. Tentunya bukan perempuan. Ia laki-laki tapi banci. Kalau sama-sama perempuan, selain nanti sain
gan pasti akan kelihatan sekali tidak lakunya. Walaupun dengan banci bukan berarti bebas dari urusan persaingan loh... sudah banyak laki-laki zaman sekarang yang lebih senang pada laki-laki. Tapi
kesannya lebih enak saja dilihat dengan laki-laki daripada bergerombol dengan perempuan yang kelihatan sekali seperti sedang mencari mangsa. Apalagi dengan banci yang pura-pura laki-laki, sayang yang perempuan walaupun bukan banci, punya kebutuhan yang seimbang. Keseimbangan ini yang membuat perasaan jadi hangat dan nyaman. Keseimbangan ketika kami sama-sama merasa seperti pesakitan di tengah makhluk-makhluk sosial yang bersosialisasi, kan" Andaikan kami apes tidak bertemu pasangan yang sedang berstrategi seperti kami, paling tidak kami tidak terlalu kehilangan muka di depan publik. Tapi yang paling menyebalkan dari teman laki-laki yang indah ini adalah kecerewetannya jauh melebihi perempuan. Sesampainya ia di rumah saya, masih saja ia merasa kurang dengan penampilannya. Pilih-pilih minyak wangi, patut mematut di kaca supaya jangan sampai benar-benar terlihat banci, dan walaupun saya memaklumi karena beban yang ditanggungnya jauh lebih berat ketimbang perempuan tak laku seperti saya, tetap saja hal ini sering mengganggu. Tapi inilah harga sebuah persahabatan apalagi jika senasib dan seperjuangan. Maka dengan perasaan tidak sabar mau tidak mau saya lagi-lagi harus menyaksikan ritual-ritual seperti yang saya lakukan sepanjang hari ini.
*** Akhirnya, kami benar-benar sampai di pesta!
Semerbak wangi berbagai parfum merek ternama campur baur menyeruak ke dalam lubang hidung kami yang kembang kempis akibat hati yang berbunga-bunga. Kemilau cahaya lampu-lampu kamera. Suara derai tawa mengguncang telinga. Ini pesta! Ini belantara manusia! Ini masa depan kami, masa depan kita semua! Teman hidup hingga hari tua!
Dengan langkah pasti kami menjejakkan kaki meniti anak tangga menuju segala harapan kami tertumpah di sana. Rok kulit mini yang saya kenakan dengan paduan tank top merah menyala membuat kepercayaan diri memuncak seketika. Namun setibanya kami di mulut tangga, begitu terhenyaknya kami melihat pemandangan yang ada. Semua tamu di ruangan itu memakai moral. Ada yang dipasang sebagai hiasan kepala. Ada yang memakai sebagai penghias dada. Ada yang memakai sebagai manset. Bahkan ada yang menghiasi seluruh bajunya. Kami saling berpandang-pandangan, tidak ada dari kami yang memakai moral. Betapa kecewanya saya yang tidak jadi membeli moral kemarin hingga pagi tadi. Apalagi ketika pasangan saya berbisik, "Moral diobral lima ribu tiga di gedung DPR hari ini."
-Jakarta, 15 Oktober 2003, 1:36:41 AM
MENYUSU AYAH Siapa yang dapat menjamin bahwa seorang bayi tidak memiliki daya ingat" Buktinya saya masih mengingat dengan jelas proses persalinan saya. Bahkan saya juga mengingat suara Ibu mendendangkan lagu Nina Bobo ketika saya masih meringkuk di dalam perutnya. Saya juga masih ingat pertengkaran antara Ibu dengan Ayah. Ayah menuduh bahwa janin dalam kandungan Ibu bukan miliknya. Ibu menangis sambil mengusap-usap kulit perutnya demi menenteramkan perasaan saya. Ibu mengatakan agar saya memaafkan kekhilafan Ayah. Ibu kerap mengulang-ulang bahwa kelak saya akan menjadi seorang anak yang kuat, dengan atau tanpa figur ayah.
Nama saya Nayla. Saya perempuan, tapi saya tidak lebih lemah daripada laki-laki. Sayalah yang membantu Ibu melahirkan, bukan dokter kandungan. Ketika Ibu kehabisan napas dan sudah tidak dapat lagi mengejan, saya menggigiti dinding vagina Ibu dengan gusi supaya jalan keluar bagi saya lebih mudah. Ketika detak jantung Ibu melemah dan desah napasnya tinggal satu-satu, saya menendang rahim Ibu dan mendorong badan saya keluar keras-keras. Dokter kandungan memegang kedua kaki saya dan
mengangkat saya hingga jungkir balik. Saya menangis keras. Saya ingin memeluk Ibu. Tapi dokter kandungan seperti tidak peduli. Ia malah menggunting tali pusar saya lalu menaruh saya ke dalam gendongan suster yang selanjutnya memandikan saya. Saya berteriak memohon Ibu. Suster mengeringkan badan saya dengan handuk. Saya berteriak memohon Ibu. Suster membeb
at saya dengan selimut. Saya berteriak memohon Ibu. Dokter menutup tubuh Ibu dengan kain putih. Saya berteriak memohon Ibu. Suster membawa saya keluar dari kamar bersalin. Terpisah dari Ibu.
*** Nama saya Nayla. Saya perempuan, tapi saya tidak lebih lemah dari laki-laki. Karena, saya tidak mengisap puting payudara Ibu. Saya mengisap penis Ayah. Dan saya tidak menyedot air susu Ibu. Saya menyedot air mani Ayah.
Saya mengenakan celana pendek atau celana panjang. Saya bermain kelereng dan mobil-mobilan. Saya memanjat pohon dan berkelahi. Saya kencing berdiri. Saya melakukan segala hal yang dilakukan anak laki-laki.
Potongan rambut saya pendek. Kulit saya hitam. Wajah saya tidak cantik. Tubuh saya kurus kering tak menarik. Payudara saya rata. Namun saya tidak terlalu peduli dengan payudara. Tidak ada pentingnya bagi saya. Payudara tidak untuk menyusui tapi hanya
untuk dinikmati lelaki, begitu kata Ayah. Saya tidak ingin dinikmati lelaki. Saya ingin menikmati lelaki, seperti ketika menyusu penis Ayah waktu bayi.
Saya heran, kenapa Ayah tidak pernah menyusui lagi. Padahal saya sudah haus. Padahal saya sudah rindu. Tapi Ayah malah menyangkal. Katanya saya hanya mengada-ada. Katanya, ia tidak pernah menyusui saya dengan penisnya. Bahkan ketika saya menjelaskan bahwa saya bisa mengingat kejadian demi kejadian waktu masih bayi, ia malah menghajar saya dengan sabuknya dan membenturkan kepala saya ke dinding supaya pikiran kotor saya hilang. Kata Ayah, saya mewarisi pikiran-pikiran kotor almarhumah Ibu, salah satu sifat yang sangat dibenci Ayah atas Ibu.
"Ibumu itu pelacur! Untung ia lekas pergi. Kalau tidak, aura mesum ibumu bisa mempengaruhimu."
Saya ingin membela Ibu. Saya ingin mengatakan kalau Ayah yang sebenarnya mempunyai pikiran-pikiran kotor dengan menuduh Ibu tidur dengan laki-laki lain. Saya ingin memberitahu Ayah, kalau saya sudah lebih siap kehilangan figur ayah ketimbang ibu. Saya ingin menguak rahasia Ayah yang sempat menuduh bayi dalam kandungan Ibu hasil perselingkuhan. Padahal sekarang, saya mirip sekali dengan Ayah. Saya ingin menelanjangi Ayah dan membuktikan bahwa saya (bayi yang) bisa mengingat tidak seperti bayi-bayi pada umumnya. Tapi tangan Ayah masih menggenggam sabuk. Matanya masih berkilat-kilat seperti siap membenturkan kepala saya
kapan saja. Niat saya urung. Dan saya hanya dapat berdiam diri di sudut ruangan menunggu Ayah tenang. Menunggu Ayah menyusui. Namun Ayah pergi meninggalkan saya sendiri dengan harapan yang memudar dan kelak, saya menamakannya birahi yang terlantar.
*** Sejak Ayah tidak lagi sudi menyusui, saya berpaling ke teman-teman Ayah. Saya tidak ingin mencicipi lagi susu teman-teman laki saya yang sebaya. Susu mereka belum berproduksi banyak. Mereka terlalu cepat kehabisan susu. Dan biasanya mereka tidak mau bergaul dengan saya lagi. Setiap kali saya mendekati mereka yang sedang asyik main kelereng, lantas satu persatu meninggalkan saya pergi. Bahkan ada yang jelas-jelas melarikan diri ketika baru melihat saya datang mendekat. Mereka tidak seperti teman-teman Ayah.
Saya senang jika teman-teman Ayah memangku dan mengelus-elus rambut saya, tidak seperti teman-teman sebaya yang harus saya rayu terlebih dahulu. Saya senang setiap kali bibir mereka membisiki telinga saya bahwa saya adalah anak gadis yang manis. Anak gadis yang baik. Tidak seperti teman-teman sebaya yang menjuluki saya gadis perkasa, gadis jahat, atau gadis sundal. Saya senang cara mereka mengarahkan kepala saya perlahan ke bawah dan membiarkan saya berlama-lama menyusu di sana. Saya senang
mendengar desahan napas mereka dan menikmati genggaman yang mengencang pada rambut saya. Saya merasa dimanjakan karena mereka mau menunggu sampai saya puas menyusu. Saya menyukai air susu mereka yang menderas ke dalam mulut saya. Karena saya sangat haus. Saya sangat rindu menyusu Ayah.
Mereka tidak pernah pergi meninggalkan saya sendiri, seperti Ayah dan teman-teman. Mereka justru datang pada saat rumah sepi. Mereka datang pada saat-saat yang dibutuhkan. Hati saya tidak lagi gundah kehilangan teman-teman. Saya sudah tidak perlu lagi mengint
ip diam-diam dari kejauhan ketika mereka bermain kelereng atau memanjat pohon dengan hati hancur berantakan. Saya sudah tidak perlu lagi mendengar kalimat sundal dari mulut mereka seperti yang dikatakan Ayah tentang Ibu. Dan lebih dari semua itu, saya tidak perlu lagi memohon Ayah. Tidak perlu lagi kecewa dan ketakutan di bawah ancaman sabuk dalam genggaman tangan Ayah. Ya, Ibu benar. Saya adalah anak yang kuat, dengan atau tanpa figur Ayah.
Tapi tidak ada pesta yang tidak usai. Kebahagiaan adalah saudara kembar kepahitan. Ternyata orang dewasa lebih mampu berkhianat. Ternyata tidak semua orang dewasa hanya mau menyusui.
Pada suatu hari ketika sedang asyik menyusu salah satu teman Ayah, ia meraba payudara saya yang rata. Saya merasa tidak nyaman. Ucapan Ayah bahwa payudara bukan untuk menyusui namun
Jangan Main Main Dengan Kelaminmu Karya Djenar Maesa Ayu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
hanya untuk dinikmati lelaki terngiang-ngiang di telinga saya. Saya tidak ingin dinikmati. Saya hanya ingin menikmati. Namun pada saat itu saya tidak kuasa berbuat apa-apa. Saya terhipnotis oleh kenikmatan yang memenuhi mulut saya. Akhirnya saya membiarkan peristiwa itu lewat begitu saja dan berjanji untuk melupakannya.
Namun hari demi hari ia semakin kurang ajar. Ia tidak saja hanya meraba payudara saya, tapi juga kemaluan saya. Saya ingat kemaluan Ibu. Saya ingat bagaimana tubuh saya meluncur di lorong kemaluannya. Saya juga masih ingat jari-jemari Ibu mendekati dan mengelus-elus kepala saya. Tidak pernah sekalipun jari laki-laki mengunjungi saya ketika saya masih berada dalam rahim. Tidak juga jemari Ayah. Hanya ada jemari Ibu. Maka, bagi saya kemaluan hanyalah milik ibu dan bayinya.
Rasanya saya ingin segera menyudahi saja. Tapi ternyata ia hanya meraba bagian luar kemaluan saya tanpa memasukkan jarinya. Kembali, saya memaafkannya. Dan saya berdoa memohon maaf pada Ibu.
Hingga suatu hari ia merebahkan tubuh saya. Saat itu, pancaran matanya tidak seperti teman-teman Ayah yang lain. pancaran matanya begitu mirip Ayah. Saya memalingkan pandangan ke berbagai arah. Tapi ia memaksa saya menatap matanya. Ia mencium kening saya, turun ke bibir, turun ke dagu, turun ke leher, turun ke payudara dan terus turun hingga kemaluan saya. Apakah ini" Saya
berusaha mengingat-ingat peristiwa ketika saya masih di dalam rahim Ibu. Seingat saya tidak pernah ada juga lidah yang mengunjungi saya, juga tidak lidah Ibu. Ia merentangkan kaki saya lalu menindih saya dengan tubuhnya yang penuh lemak. Saya diam saja. Saya tidak berani menolak, walaupun saya merasakan sakit yang luar biasa di kemaluan saya. Saya menggigit bibir keras-keras menahan jerit. Kepala saya dipenuhi berbagai pertanyaan. Apakah ini yang dirasakan Ibu ketika melahirkan saya" Apakah rasa sakit ini yang membuat Ibu kehilangan napasnya satu demi satu" Apakah kebencian ini yang membuat Ibu pergi meninggalkan saya untuk selamanya"
Saya merasakan sesuatu yang hangat menyembur deras dalam kemaluan saya. Tapi saya sudah kehilangan hasrat untuk mengisapnya. Mendadak perut saya mual. Saya mual membayangkan penis Ayah. Mual membayangkan penis teman-teman sebaya saya. Mual membayangkan penis teman-teman Ayah. Dan mual membayangkan penisnya yang tengah berada di dalam kemaluan saya.
Tangan saya meraih patung kepala kuda di atas meja dan menghantamkan ke kepalanya. Tubuhnya mengejang sesaat sebelum ambruk ke tanah. Matanya masih membelalak ketika terakhir kali saya menatapnya sebelum dunia menggelap. Pancaran mata itu, tidak seperti pancaran mata teman-teman Ayah yang lain. Pancaran mata itu, sama seperti pancaran mata Ayah.
*** Nama saya Nayla. Saya perempuan, tapi saya tidak lebih lemah dari laki-laki. Karena, saya tidak mengisap puting payudara Ibu. Saya mengisap penis Ayah. Dan saya tidak menyedot air susu Ibu. Saya menyedot air mani Ayah.
Kini, saya adalah juga calon ibu dari janin yang kelak akan berubah menjadi seorang anak yang kuat, dengan atau tanpa figur ayah.
-Jakarta, 21 Januari 2002.
kado ulang tahun untuk Hudan Hidayat
CERMIN Kucari kau kucari. Kucari kau di kelengangan dalam...
Dan ia seperti biasa, menatap cermin dengan pandangan jauh menembus bayangan tubuhnya sendiri yan
g terpantul di sana. Sudah dua bulan cermin besar itu di sudut kamar berdiri. Sudah dua bulan putri satu-satunya tewas bunuh diri. Sudah dua bulan ia menyempatkan diri setiap hari, duduk menatap cermin tanpa mau melihat bayangan dirinya sendiri.
Sebelum putrinya ditemukan satpam sebuah hotel berbintang lima dengan kondisi sangat mengenaskan. setelah terjun dari lantai dua puluh tiga-putrinya yang manis, putrinya yang pendiam, putrinya yang penurut, putrinya yang tak bermasalah, putri yang sangat dibanggakan, putri yang sangat diharapkan, putri yang diberi nama Puteri ketika lahir dengan harapan kehidupannya kelak bak putri-putri, damai, sejahtera, bahagia dan berlimpah cinta, kehidupan yang sama sekali lain dari yang pernah dijalaninya -ia menemukan sebuah cermin berdiri di sudut kamarnya. Cermin itu pemberian Puteri. Secarik kertas merah jambu menempel di cermin itu. Di situ tertulis,
Kucari kau kucari. Kucari kau di kelengangan dalam...
Setelah itu Puteri pergi tanpa pernah kembali.
Dan seperti biasa, dalam dua bulan terakhir ini ia duduk menatap cermin dengan tempelan secarik kertas warna merah jambu. Tulisan tangan Puteri terlihat jelas dari tempatnya duduk. Namun tanpa perlu menoleh atau membaca ulang apa yang tertulis dalam kertas merah jambu itu, kalimat Puteri selalu tertancap di hatinya yang selama dua bulan ini dirundung pilu. Putri satu-satunya pemberi kekuatan hidup. Putri satu-satunya kerap menulis kalimat-kalimat cinta dan mesra kepadanya lewat sms di sela-sela pekerjaan kantor yang menumpuk. Putri satu-satunya yang bagai tak pernah kehilangan ide ketika menuliskan kalimat-kalimat cinta. Apa yang ditulis Puteri selalu baru, selalu segar, bagai sisa embun di garang siang. Tidak terlalu basah namun menyegarkan. Bukan hanya sekadar kalimat cinta saja, namun cara Puteri menyampaikannya pun berbagai macam rupa. Pernah ia menemukan kalimat cinta itu di bawah cangkir kopinya. Pernah Puteri menaruhnya di dalam lipatan celana dalamnya -Puteri tidak pernah lupa menyiapkan baju kerja sebelum berangkat sekolah. Dan jika Puteri dalam satu hari tidak mengirim kalimat cinta, selalu ada saja akal dan ulahnya seolah ingin mengganti kalimat cinta yang tertunda karena mungkin Puteri sedang kehabisan kata-kata. Misalnya Puteri memasak nasi goreng dan dibentuk serupa hati atau menyiapkan air hangat di bak kamar mandi lengkap dengan taburan bunga mawar kesukaannya. Puteri yang pada akhir hayatnya
mengirim kalimat duka. Dan memang bukan Puteri jika hanya menulis tanpa memaknai dengan perbuatannya, terjun dari lantai dua puluh tiga hotel berbintang lima.
Dan seperti biasa, dalam dua bulan terakhir ini, ia duduk menatap cermin untuk mencari makna pesan terakhir Puteri. Tapi hanya luka yang ia rasakan dan pertanyaan-pertanyaan baru yang bermunculan. Bagaimana mungkin Puteri tega menghabisi nyawanya sendiri dengan cara seperti itu, bagaimana mungkin Puteri tega meninggalkannya ketika segala sesuatu terasa begitu indah, bagaimana mungkin Puteri tega menyakitinya" Apa pemicu Puteri melakukan tindakan itu" Yang ia tahu, Puteri belum punya kekasih. Tidak banyak berteman. Setiap kali usai sekolah Puteri selalu pulang tepat waktu dan tak lupa menelepon atau mengirim sms untuk memberi tahu kalau sudah selamat sampai di rumah. Tapi memang bukan Puteri jika bisa bermanja-manja lewat telepon. Memang bukan Puteri jika bisa bermanis-manis lewat percakapan sehari-hari. Dalam pembicaraan telepon tak sekalipun Puteri mengungkapkan cintanya. Kata-katanya begitu lugas dan terbatas. Namun satu detik setelah Puteri menutup telepon, ia tahu, sebentar lagi Puteri akan mengirim kalimat-kalimat cinta lewat pesan sms atau ia akan menemukan kalimat cinta Puteri pada secarik kertas di dalam saku, di dalam tas kerja, di setiap tempat dan kesempatan yang tak terduga. Tak terduga....
Ternyata bukan perasaan cinta saja yang ingin
Puteri ungkapkan dengan cara tak terduga. Kesunyi-annya, kekosongannya pun diungkapkan dengan cara yang sama. Ia bayangkan tubuh Puteri melayang-layang menyapa setiap lantai, dua puluh dua... dua puluh satu... dua puluh... dan ekspresi s
etiap orang di dalam kamar hotel yang kebetulan menyaksikannya. Andai ia bisa bertemu dengan semua saksi mata pada saat itu, tentulah ia tak perlu lagi mencari makna kelengangan yang Puteri tulis pada secarik kertas merah jambu di cermin itu. Apakah Puteri memejamkan mata, ataukah matanya membelalak menatap maut, ataukah ada guratan-guratan takut dan sesal sebelum tubuhnya jatuh berdebam di atas aspal kelabu yang setelah itu berubah menjadi merah kehitaman oleh aliran darah Puteri, ataukah bibirnya menyungging senyum bahagia, ataukah menyeringai senang menyambut kemerdekaannya"
Dan seperti biasa, dalam dua bulan terakhir ini, ia duduk menatap cermin pemberian Puteri. Ada sebuah bangku di dalam cermin itu. Bangku yang sedang ia duduki, namun tak terlihat jelas bayangan dirinya sendiri. Sementara segala sesuatu di dalam kamar itu, temaram nyata lampu di atas meja sebelah tempat tidur, layu bunga mawar di dalam pot, botol-botol minyak wangi, bedak, gincu, dan tissue di atas meja rias, daun pintu lemari yang terbuka, emas cahaya bulan meliuk di sela-sela tirai jendela, begitu jelas tampak di sana. Ia ingat, dulu kalimat-kalimat cinta Puteri kerap terselip di setiap perabot, di kamar mandi, di ruang tamu, di dapur, di ruang makan,
mungkin seluruh sudut rumah sudah pernah menjadi tempat Puteri menaruh kalimat-kalimat cintanya selama tujuh belas tahun. Tapi Puteri tidak sekadar menaruh. Puteri senang kejutan. Puteri selalu mengaturnya sedemikian rupa supaya tersembunyi, tidak seperti ketika menempel secarik kertas merah jambu di cermin sebelum mati.
Apa yang diinginkan Puteri lewat cermin" Apa yang dimaksud Puteri dengan kalimat terakhirnya" Tak ada yang dapat ia temukan di sana. Cermin itu hanya memantulkan segala pemandangan ke mana pun ia memindahkannya. jika cermin itu di dalam kamar, maka isi kamar itulah yang terpantul di dalamnya. jika ia memindahkannya ke beranda, maka beranda dan bunga-bungaanlah yang terpantul di sana. Tak ada bedanya dengan cermin-cermin lain. Vang membedakan hanyalah secarik kertas merah jambu yang menempel di cermin itu. Kalimat yang begitu luka, begitu sunyi, begitu tak mencerminkan Puteri. Tapi jika hanya pesan itu yang ingin Puteri sampaikan, mengapa harus ada cermin itu" Cermin dengan kaki-kaki penyangga dari rotan. Cermin yang tak dapat diajak bercakap-cakap seperti cermin dalam dongeng Puteri Salju. juga bukan cermin mediator dengan arwah-arwah tak tenang atau yang tewas sebelum waktu. Adalah hanya cermin, di sudut ruangan dengan secarik kertas merah jambu.
Dan seperti biasa, dalam dua bulan terakhir ini, ia duduk menatap cermin yang sama. Cermin itu masih lengang dan masih tak menunjukkan keistimewaan.
Mungkin memang tak ada yang harus ia cari dalam cermin itu. Segala sesuatu sudah berjalan dengan baik. Ia adalah ibu yang baik. Kalau tak baik, tentu Puteri tak mau bersusah payah menulis kalimat-kalimat cinta untuknya setiap hari. Kalau tak baik, tentunya ia sudah menikah lagi setelah kematian ayah Puteri. Kalau tak baik, untuk apa ia membanting tulang demi mencukupi kebutuhan Puteri. Mereka adalah orang-orang baik yang bernasib tidak baik.
Lantas kenapa pula ia masih menatap cermin itu setiap hari" Cermin yang hanya memantulkan benda-benda dan suasana dengan jelas, namun menampilkan bayangan dirinya secara Samar. Di cermin itu, tubuhnya tembus pandang. Tubuhnya bukan bentuk. Tubuhnya seakan bukan bagian dari ruangan itu. Bukan bagian dari cermin Puteri.
*** Tubuhnya menukik tajam menuju aspal kelabu yang sebentar lagi berubah merah kehitaman oleh darahnya. Dalam sekelebat detik ia menyaksikan tubuhnya yang meluncur itu lewat pantulan kaca jendela lantai dua puluh dua... dua puluh satu... dua puluh.... Seorang saksi mata mengatakan matanya membeliak dan mulutnya menganga, namun si saksi mata tak dapat menjelaskan seperti apa tepatnya pancaran matanya. Apakah mata itu memancarkan ketakutan, rasa sesal, atau bahagia, si saksi mata tidak tahu. Hanya ia yang benar-benar tahu. Mata-
nya dengan jelas menangkap bayangan tubuhnya di kaca jendela tak seperti bayangan tubuhnya di cermin pemberian Puter
i. Hanya ia yang tahu, kalau selama ini ia menatap cermin tanpa mau melihat bayangan dirinya sendiri.
Kucari kau kucari. Kucari kau di kelengangan dalam...
-Jakarta, 23 September 2002, 22:27:02
Untuk A.A *) Cuplikan puisi Sutardji Calzoum Bachri dari esainya yang berjudul Kafe
SAYA ADALAH SEORANG ALKOHOLIK!
Udara dingin menampar ketika saya berlari ke luar. Sebelumnya di dalam, saya sudah sangat sadar kalau cuaca sedang tidak peduli akan jeritan kulit-kulit telanjang. Tapi saya merasa lebih baik dikoyak dingin ketimbang harus lebih lama berdiam diri mendengarkan dan memandang tatapan penuh harap orang-orang di dalam, sekalipun, saya hanya mengenakan kaos tanpa lengan dan celana perdelapan.
Saya terus berlari tanpa arah tujuan. Hujan melebat dan angin semakin kurang ajar. Sementara, suara beberapa orang yang berujar lantang bergantian, "Saya adalah seorang alkoholik!" dan langsung ditimpali gemuruh tepuk tangan, terus terngiang-ngiang. juga pemandangan puluhan bangku melingkar berisikan orang-orang yang saling bergenggaman tangan tidak kunjung hilang.
Saya berhenti berlari ketika sampai di depan sebuah pertokoan. Sempat terlintas untuk berteduh di dalam. Tapi niat saya untuk masuk urung karena kondisi saya yang kadung basah kuyup tidaklah memungkinkan. Malta saya meneruskan langkah, melebur di antara orang-orang yang memakai payung besar bagai lautan cendawan.
Beberapa anak kecil mengerubungi saya dan menawarkan payung yang hendak mereka sewakan. Segerombolan anak-anak muda yang berteduh di bawah halte bus bersuit-suit sambil tertawa cekikian melihat puting payudara saya tercetak jelas di balik kaos putih yang sudah sangat basah hingga tembus pandang. Lama kelamaan saya mulai merasa tidak nyaman. Lalu saya memutuskan kembali ke arah gedung pertokoan dan masuk ke dalam salah satu taksi yang antri parkir membentuk barisan panjang.
Sayembara Angkin Pembawa 2 Gento Guyon 12 Ki Anjeng Laknat Hantu Langit Terjungkir 3