Pencarian

Jangan Main Main 2

Jangan Main Main Dengan Kelaminmu Karya Djenar Maesa Ayu Bagian 2


*** Dingin makin mencabik-cabik ketika hembusan pendingin dalam taksi menghantam pori-pori. Tapi tak ada cara lain selain bertahan. Tak mungkin mengharap sopir taksi mematikan pendingin. Hujan masih deras di luar sehingga membuka kaca tidaklah mungkin dilakukan. Va... bertahan, bukankah hanya itu yang selama ini saya lakukan di separo perjalanan hidup yang melelahkan"
Sopir taksi menanyakan ke mana saya akan pergi. Saya menyuruh sopir taksi berputar-putar hingga baju saya kering. Setelah itu, saya akan mampir di sebuah kafe. Saya butuh minuman, saya butuh alkohol untuk menghangatkan badan dan menjernihkan pikiran. Atau lari... "
Di tepi jalan ada beberapa anak berlarian menuju kubangan-kubangan air. Yang sampai terlebih dulu melompat-lompat dan menendang air ke arah
teman-temannya yang baru datang. Dalam tawa anak-anak itu saya melihat tawa Banyuwangi, Bumiadji, Asmorodadi, Adjeng, dan nama-nama lain dari janin yang tidak pernah sempat dilahirkan untuk menyaksikan hujan, merasakan basah, bermain bola, mendengarkan musik, menari, mencicipi hidangan lezat, menjadi manusia, menjadi bagian kehidupan.
Betapa pikiran yang mengusik itu membuat saya semakin rindu akan alkohol. Tapi baju dan rambut saya masih basah, walaupun kulit saya sudah kering. Suara radio panggil taksi terus menerus berbunyi. Bapak Sani, Apartemen Simpruk kamar 1401, tujuan Sheraton Bandara. Ibu Karin, Jl. Sinabung No. 16, tujuan Grand Mahakam.... Begitu banyak hal yang bisa dilakukan orang lain. Bapak Sani dengan tujuan Sheraton Bandara, tentu ingin berkencan. Tak mungkin pergi ke hotel sejauh itu hanya untuk bermalam bagi seseorang yang tinggal di apartemen semewah Apartemen Simpruk, tak ubahnya hotel lima bintang. Tapi mengapa tak berkencan di apartemennya sendiri" Mengapa sekaya itu bepergian tanpa mobil pribadi" Mungkin sopirnya cuti dan ia malas menyetir sendiri. Mungkin ia sudah beristri dan ingin berkencan di tempat jauh, sepi, tersembunyi. Lantas Ibu Karin dengan tujuan Grand Mahakam" Hmmm... di sana ada lounge nyaman dengan sofa-sofa besar. Tapi bisa jadi ia hanya singgah di bank sebelah hotel untuk menukar dollar. Atau... ia juga akan berkencan diam-diam seperti Bapak Sani" Mungkin tidak. Jarak dari Sinabung ke Mahakam
t erlalu dekat. Kecuali mereka sudah sangat nekat. Va, begitu banyak alternatif, begitu banyak kemungkinan, sementara di kepala saya hanya ada alkohol dan mabuk.
Tapi apakah saya punya pilihan lain selain mabuk" Ah ya, tentunya saya punya pilihan lain yaitu kembali bergabung dengan kelompok yang sekarang saya yakini masih sedang menceritakan pengalaman pribadinya masing-masing sambil bergenggaman tangan. Saya masih ingat dengan jelas ekspresi seorang gadis yang baru saja kehilangan orangtuanya akibat kecelakaan. Gadis itu mengaku anak tunggal. Sejak kejadian yang merenggut nyawa kedua orangtuanya, ia kehilangan pegangan bagai layang-layang tak berbenang. Apalagi, ia juga berada di tempat kejadian. Hanya campur tangan takdir yang membuatnya selamat dari kecelakaan. Ayahnya terhimpit di antara jok dan kemudi sementara ibunya terpelanting ke luar. Gadis itu sering mengeluh mengapa ia dibiarkan hidup. Ia merasa lebih baik mati, dan memang itulah yang berusaha ia lakukan. Beberapa kali ia mencoba bunuh diri, mulai minum racun serangga hingga menyayat urat nadi. Namun segala upaya itu gagal. Dan ia merasa tak berdaya melawan kuasa Tuhan. Maka alkohol baginya merupakan solusi tunggal.
Ia masih tersedu berkepanjangan setelah pengakuannya usai. Tetap berpegangan tangan, kami diam dengan sabar menunggu satu kalimat keluar dari dalam mulutnya. Entah karena rasa lega, entah
karena kesabaran kami, entah karena rasa kebersamaan, entah karena merasa ditunggu, akhirnya sedu sedannya pun mereda. Perlahan namun pasti ia mengangkat wajahnya yang masih basah oleh sisa lelehan air mata dan berujar mantap, "Saya adalah seorang alkoholik!" Lalu kami pun memberi semangat dengan bertepuk tangan dan melayangkan puji-pujian.
*** Taksi yang membawa saya kini terjebak kemacetan. Biasanya, hujan membuat saya cemas. Jakarta yang diguyur hujan, adalah pertanda kemacetan, banjir, dan listrik mati yang berakibat pula terhentinya kucuran air PAM dan rusaknya saluran telekomunikasi. Bagi saya, waktu, air, dan komunikasi adalah sarana pokok mencari nafkah, untuk bertahan hidup. Saya harus bertemu klien tepat waktu. Dan sebelum bertemu, saya mutlak membersihkan badan terlebih dulu. Dalam keadaan normal saya akan mengutuk hujan. Namun entah mengapa, saat ini saya merasa tidak normal. Saya merasa bersyukur dalam kemacetan. Mendadak saya tidak berselera pada alkohol. Saya ingin berpikir tenang, saya ingin bertindak tanpa pengaruh alkohol. Maka saya pun tersenyum geli ketika melihat ekspresi gelisah Pak Sopir dari balik kaca spion yang begitu bertolak belakang dengan apa yang saya rasakan. Keadaan kami bagaikan dua suporter sepak bola yang
menonton di pinggir lapangan. Suporter yang ingin tim kesayangannya mempertahankan nilai kemenangan, merasa betapa waktu berjalan begitu lambat. Dan suporter satunya yang ingin tim favoritnya mencetak gol, merasa betapa waktu berjalan begitu cepat.
Tiba-tiba saya teringat ponsel yang sejak tadi saya matikan. Tak lama setelah ponsel saya aktifkan, di layar terpampang beberapa pesan. Baru saja hendak membaca pesan, nada panggil berbunyi. Namun membaca nama yang tertera di layar, membuat saya enggan lantas memutuskan untuk mematikannya kembali.
Begitu banyak nama-nama yang saya kenal tetapi sesungguhnya tak saya kenal. Begitu banyak nama-nama yang saya temui namun sesungguhnya tak ingin saya temui. Tapi, banyak pula nama-nama yang kerap singgah dalam angan, idaman, dan harapan, namun tak pernah hadir di dalam kenyataan. Nama-nama yang kini mungkin sudah berusia dua belas tahun, sepuluh tahun, tujuh tahun, lima tahun, tiga tahun, setahun, sebulan... " Tanpa terasa, tangan saya mengelus-elus kulit perut saya. Perut yang masih rata tapi sebentar lagi akan membuncit mengikuti pertumbuhan di dalamnya. Akankah ia menjadi seorang laki-laki atau perempuan" Akankah ia terlahir normal atau carat"
Lagi-lagi, begitu banyak kemungkinan. Namun bagi saya, hanya ada satu hal yang pasti. Ia tak akan bahagia. Karena ia akan terlahir tanpa pernah mengenal ayahnya, terlahir sebagai anak haram,
terlahir dari seorang pelacur.
Saya memberitahu Pak Sopir
ke mana saya ingin menuju dengan nada pasti, walaupun ada seribu sayat terasa dalam hati.
*** (PUTIH) *** Putih semakin lama semakin jelas menjadi putihnya ruang operasi. Close up wajah dokter bermasker. Dokter melepaskan jarum suntik dari paha saya. Dokter mengosongkan jarum suntik dari obat bius. Dokter menyerahkan jarum suntik ke tangan suster. Dokter menutup paha saya yang terbuka. Saya beranjak dari tempat tidur, berdiri. Saya melangkah mundur ke arah ruang ganti. Pintu ruang ganti tertutup, terbuka, tertutup. Saya menanggalkan baju operasi. Saya menggantungkannya di atas paku. Saya mengambil celana dalam dari paku yang lain. Saya mengenakan celana dalam. Saya mengambil baju dari paku yang lain. Saya mengenakan baju. Saya keluar dari ruang ganti. Saya berjalan mundur menuju pintu. Saya melewati pintu. Saya berjalan mundur sepanjang koridor. Saya berjalan mundur menuju kursi dalam ruang tunggu. Saya menghempaskan pantat di atas kursi. Saya termenung. Saya membaca majalah. Saya menaruh majalah. Saya beranjak ke meja
pendaftaran. Saya mengisi formulir pendaftaran. Saya berjalan mundur menuju pintu keluar rumah sakit. Saya berjalan mundur keluar pintu menuju taksi yang berhenti di depan lobby. Pintu taksi tertutup dan terbuka. Saya masuk ke dalam taksi. Pintu taksi tertutup. Saya membayar taksi. Taksi berjalan mundur ke arah boks tiket parkir Sopir taksi mengulurkan tangan mengembalikan tiket tanda masuk kepada petugas. Sopir taksi menarik tangannya kembali. Taksi berjalan mundur ke jalan raya. Pohon-pohon bergerak maju. Warung rokok bergerak maju. Taksi terjebak dalam kemacetan. Rumah dan tiang listrik diam. Saya memberitahu tujuan ke Pak Sopir. Saya mengusap-usap kulit perut saya. Saya termenung. Saya mengaktifkan ponsel. Saya membaca pesan pada ponsel. Saya mematikan ponsel. Saya tersenyum geli melihat ekspresi Pak Sopir. Saya melirik Pak Sopir dari balik kaca spion. Saya termenung. Saya memperhatikan anak-anak berlari mundur menuju kubangan air. Kucing berjalan mundur. Rumah-rumah bergerak maju. Mobil-mobil bergerak mundur. Gedung pertokoan bergerak maju. Taksi bergerak mundur ke arah pertokoan. Taksi berhenti dalam antrian panjang. Pintu taksi terbuka. Saya keluar dari taksi dan berjalan mundur ke arah jalan raya. Saya berjalan mundur melintasi halte bus dipenuhi laki-laki yang bersuit-suit mengejek puting susu saya yang tercetak jelas dari balik kaos saya yang basah. Saya berbalik mundur ke arah pertokoan. Saya tenggelam dalam warna-warni payung bak lautan
cendawan. Saya bertemu anak-anak yang menawarkan payung untuk disewakan. Saya berjalan mundur melewati pertokoan. Pertokoan bergerak maju. Saya berjalan mundur. Gedung-gedung bergerak maju. Saya bergegas mundur. Saya berlari kecil mundur. Saya berlari mundur. Saya berlari kencang mundur menuju sebuah gedung. Pintu gedung tertutup dan terbuka. Saya berlari mundur masuk. Pintu gedung tertutup. Saya berlari mundur sepanjang koridor gedung. Saya berlari masuk ke dalam sebuah ruangan. Saya berlari mundur menuju salah satu bangku kosong dari puluhan bangku yang diatur melingkar. Saya mendudukkan diri di atas kursi. Saya menutup muka dengan kedua belah tangan. Saya menangis. Saya membuka tangan yang menutupi wajah lalu menggenggam tangan orang yang duduk di bangku kiri dan kanan. Saya berkata lantang, "!IHUNUBMEP GNAROES HALADA AWAS"
-Jakarta, 20 Februari 2003, 1:21:28 AM
STACCATO Pagi. Rokok. Kopi. Gosok gigi. Mandi. Apalagi" Pagi. Rokok. Kopi. Tidak gosok gigi. Tidak mandi. Tidur lagi. Hmmm... normal sekali. Pagi. Rokok. Kopi. Tambah roti. Supaya ada energi. Lari pagi, dong... Badan sehat. Jantung sehat. Banyak rokok. Banyak minum whiskey malam tadi. Nanti dulu! Kalau banyak minum alkohol mana mungkin bisa bangun pagi" Berarti tidak ada alkohol. Tidak ada party. Pagi. Rokok. Kopi. Roti. Lari pagi. Gosok gigi. Mandi. Wangi. Birahi. Wah... mana pasangannya" Pagi. Birahi. Kelamin saling silaturahmi. Tidur lagi. Di mana" Kamar, dong! Mosok di taman" Party. whiskey. Birahi. Check in. Kelamin saling silaturahmi. Zzzzz... zzzzz.... Pagi. Ya ampun! Semalam lupa cuci-cuci!
Gosok gigi. Mandi. Rokok. Kopi. Birahi. Kelamin saling silaturahmi lagi. Tidur lagi. Terlalu mudah. Pagi. Terbangun telanjang di samping laki-laki. Siapa ini" Emang enak" Lari...!!!!!!!!! Hehehehehe... buka kartu... ada yang lain lagi" Pagi. Terbangun telanjang di samping laki-laki. Bukan suami. Duarrrr ... ! Mana suami"! Tapi laki-laki ini indah sekali. Birahi. Lupa diri. Que sera sera whatever will be will be... ! Wah Jangan! Kurang beradab! OK. Pagi. Terbangun telanjang di samping laki-laki. Laki-laki yang dicintai. Bukan suami.
Kok bisa" Malam hari. Rokok. Whiskey. Ecstasy.
Laki-laki. Birahi. Di mana" Diskotik, dong! Yang ada house music! Malam hari. Diskotik. House music. Rokok. Whiskey. Ecstasy. Laki-laki. Birahi. Memang bisa lihat laki-laki" Diskotik gelap begitu"! Huh! Malam hari. Karaoke. House music. Rokok. Whiskey. Ecstasy. Laki-laki. Birahi. Bisa apa minum ecstasy pakai whiskey" Namanya juga party. Malam hari. Party. Karaoke. House music. Rokok. Whiskey. Ecstasy. Laki-laki. Birahi. Lamas kalo Birahi diapain" Malam hari. Party. Karaoke. House music. Rokok. Whiskey. Ecstasy. Laki-laki. Birahi. Main mata. Basa-basi. Haha hihi. Memperkenalkan diri. Basa-basi" Apa yang bisa diomongin ribut begitu" Huaduh! Benar juga, ya" Malam hari. Party. Kafe. Live music. Tamu saling diperkenalkan. Makanan ringan. Obrolan ringan. Rokok. Whiskey. Tipsy. Laki-laki. Sensasi. Birahi. Yang mana" Siapa" Malam hari. Party. Kafe. Live music. Tamu saling diperkenalkan. Makanan ringan. Obrolan ringan. Rokok. Whiskey. Tipsy. Ada yang menarik hati. Lempar umpan. Buka pembicaraan. Humor ringan. Pura-pura geli lantas tergelak sambil menyentuh tangan sasaran. Umpan termakan. Konvensional amat sih! Konfliknya mana" Malam hari. Party. Kafe. Live music. Tamu saling diperkenalkan. Makanan ringan. Obrolan ringan. Rokok. Whiskey. Tipsy. Ada yang menarik hati. Lempar umpan. Buka pembicaraan. Humor ringan. Pura-pura geli lantas tergelak sambil menyentuh tangan sasaran. Umpan termakan. Tapi... saya sudah tidak sendiri lagi. Saya istri. Punya suami. Ah... kan cuma ngobrol-ngobrol. Cuma flirting. Tak
masalah dong.... Malam hari. Party. Kafe. Live music. Tamu saling diperkenalkan. Makanan ringan. Obrolan ringan. Rokok. Whiskey. Tipsy. Ada yang menarik hati. Lempar umpan. Buka pembicaraan. Humor ringan. Pura-pura geli lantas tergelak sambil menyentuh tangan sasaran. Umpan termakan. Obrolan makin mengasyikkan. Ada yang terisi. Kekosongan dalam hati. Mana suami" Tak peduli. Lupa diri. Asyik sendiri. So" Malam hari. Party. Kafe. Live music. Tamu saling diperkenalkan. Makanan ringan. Obrolan ringan. Rokok. Whiskey. Tipsy. Ada yang menarik hati. Lempar umpan. Buka pembicaraan. Humor ringan. Pura-pura geli lantas tergelak sambil menyentuh tangan sasaran. Umpan termakan. Obrolan makin mengasyikkan. Ada yang terisi. Kekosongan dalam hati. Mana suami" Tak peduli. Lupa diri. Mulai memisahkan diri. Berdua di tempat yang lebih sepi. Saling membuka diri. Berbagi. Meleleh air mata di pipi. Emosi meletup. Larut. Saling memagut. Birahi harus segera terwujud. Mohon diri. Pergi. Jadi birahi atau cinta" Ini baru namanya pertanyaan konvensional! Perhatikan ini. Malam hari. Party. Kafe. Live music. Tamu saling diperkenalkan. Makanan ringan. Obrolan ringan. Rokok. Whiskey. Tipsy. Ada yang menarik hati. Lempar umpan. Buka pembicaraan. Humor ringan. Pura-pura geli lantas tergelak sambil menyentuh tangan sasaran. Umpan termakan. Obrolan makin mengasyikkan. Ada yang terisi. Kekosongan dalam hati. Mana suami" Tak peduli. Lupa diri. Mulai memisahkan diri. Berdua di tempat yang lebih sepi. Saling membuka diri. Berbagi.
Meleleh air mata di pipi. Emosi meletup. Larut. Saling memagut. Asmara dan birahi bertaut. Desakan untuk menjadikannya segera terwujud. Mohon diri. Pergi. Tidak kembali. Tidak ke party. Tidak ke suami.
Sore hari. Suami tidak bisa dihubungi. Katanya banyak meeting hari ini. Tak tepati janji. Pesan taksi. Janji apa" Sore hari. Suami tidak bisa dihubungi. Katanya banyak meeting hari ini. Tidak mau diganggu dan ponselnya mati. Padahal sudah janji ikut ke party. Pesan taksi.
Pergi ke salon Sugi. Ngapain di salon" Biar kece! Sore hari. Suami tidak bisa dihubungi. Katanya banyak meeting hari ini. Tidak mau diganggu dan ponselnya mati. Padahal sudah janji ikut ke party. Pesan taksi. Pergi ke salon Sugi. Dandan funky. Rambut gimbal. Kaus ketat. Sepatu boot. Rok mini. Centil amat"! Sore hari. Suami tidak bisa dihubungi. Katanya banyak meeting hari ini. Tidak mau diganggu dan ponselnya mati. Padahal sudah janji ikut ke party. Padahal sudah khusus beli baju seksi. Buat suami. jarang disentuh akhir-akhir ini. Pesan taksi. Pergi ke salon Sugi. Dandan funky. rambut gimbal. Kaus ketat. Sepatu boot. Rok mini. Ngambek, nih" Sore hari. Suami tidak bisa dihubungi. Katanya banyak meeting hari ini. Tidak mau diganggu dan ponselnya mati. Padahal sudah janji ikut ke party. Padahal sudah khusus beli baju seksi. Harganya mahal sekali. Buat suami. jarang disentuh akhir-akhir ini. Sakit hati. Pesan taksi. Pergi ke salon Sugi. Dandan funky. Rambut gimbal. Kaus ketat. Sepatu boot. Rok mini. The show
must go on eh..."Absolutely! Sore hari. Suami tidak bisa dihubungi. Katanya banyak meeting hari ini. Tidak mau diganggu dan ponselnya mati. Padahal sudah janji ikut ke party. Padahal sudah khusus beli baju seksi. Harganya mahal sekali. Buat suami. Jarang disentuh akhir-akhir ini. Sakit hati. Pesan taksi. Pergi ke salon Sugi. Dandan funky. Rambut gimbal. Kaus ketat. Sepatu boot. Rok mini. Wow! Cantik sekali! Para stylist memuji. Percaya diri. Berangkat ke party. Sendiri. Tanpa suami.
Siang hari. Dapat telepon dari Presdir Plaza Senayan Mr. Takashi Ichiki. Sale... sale... sale! Kebetulan sekali! Langsung pergi. Pilih sana pilih sini. Tak ada yang di sukai. Tak usah beli! Siang hari. Dapat telepon dari Presdir Plaza Senayan Mr. Takashi Ichiki. Sale... sale... sale! Kebetulan sekali! Langsung pergi. Pilih sana pilih sini. Tak ada yang disukai. Tapi ada party malam nanti. Tak punya baju seksi seperti yang dipakai Jennifer Lopez pujaan suami. Kenapa mesti seperti J-Lo" Jadi diri sendiri, dong! Siang hari. Dapat telepon dari Presdir Plaza Senayan Mr. Takashi Ichiki. Sale... sale... sale! Kebetulan sekali! Langsung pergi. Pilih sana pilih sini. Tak ada yang disukai. Tapi ada party malam nanti. Tak punya baju seksi seperti yang dipakai Jennifer Lopez pujaan suami. Padahal suami janji ikut ke party. Jarang-jarang dia mau temani. Dan pasti banyak perempuan-perempuan a la J-Lo di party. Kok tak percaya diri" Siang hari. Dapat telepon dari Presdir Plaza Senayan Mr. Takashi Ichiki. Sale... sale...
sale! Kebetulan sekali! Langsung pergi. Pilih sana pilih sini. Tak ada yang disukai. Tapi ada party malam nanti. Tak punya baju seksi seperti yang dipakai Jennifer Lopez pujaan suami. Padahal suami janji ikut ke party. Jarang-jarang dia mau temani. Dan pasti banyak perempuan-perempuan a la J-Lo di party. Perempuan-perempuan yang akan main mata dengan suami. Muda, ganteng, kaya lagi! Sementara istrinya tak bisa menyesuaikan diri. Tidak ngerti model masa kini. Bosan dengar komentar kanan kiri. Bosan dengar complain suami. Jadi mau kasih kejutan" Ya, sekali-sekali. Siang hari. Dapat telepon dari Presdir Plaza Senayan Mr. Takashi Ichiki. Sale... sale... sale! Kebetulan sekali! Langsung pergi. Pilih sana pilih sini. Tak ada yang disukai. Tapi ada party malam nanti. Tak punya baju seksi seperti yang dipakai Jennifer Lopez pujaan suami. Padahal suami janji ikut ke party. Jarang-jarang dia mau temani. Dan pasti banyak perempuan-perempuan a la J-Lo di party. Perempuan-perempuan yang akan main mata dengan suami. Muda, ganteng, kayo lagi! Sementara istrinya tak bisa menyesuaikan diri. Tidak ngerti model masa kini. Bosan dengar komentar kanan kiri. Bosan dengar complain suami. Untung ada baju yang dicari. Tapi tidak sale dan mahal sekali. Tak peduli. Saya beli. Karena malam nanti ke party. Dengan suami.
Pagi hari. Rokok. Kopi. Gosok gigi. Mandi. Apa lagi" Pagi hari. Rokok. Kopi. Roti. Lari pagi. Gosok gigi. Mandi. Lantas" Pagi hari. Rokok. Kopi. Roti. Lari pagi.
Gosok gigi. Mandi. Wangi. Birahi. Pasangannya mana" Pagi hari. Rokok. Kopi. Roti. Lari pagi
. Gosok gigi. Mandi. Wangi. Birahi. Rebah di sebelah suami. Kecup kedua mata dan pipi. Berbisik manja minta disetubuhi. Asyik.... Pagi hari. Rokok. Kopi. Roti. Lari pagi. Gosok gigi. Mandi. Wangi. Birahi. Rebah di sebelah suami. Kecup kedua mata dan pipi. Berbisik manja minta disetubuhi. Matanya terbuka lantas terpejam lagi. Ia berbalik badan membelakangi. Jangan patah semangat dong...! Belum! Pagi hari. Rokok. Kopi. Roti. Lari pagi. Gosok gigi. Mandi. Wangi. Birahi. Rebah di sebelah suami. Kecup kedua, mata dan pipi. Berbisik manja minta disetubuhi. Matanya terbuka lantas terpejam lagi. Ia berbalik badan membelakangi. Kesal tapi langsung dinetralisir kembali. Lagi, ciuman dihujani. Perlahan tapi pasti. Pakaian mulai dilucuti. Hingga polos dari ujung kepala sampai ujung kaki. Bagus... bagus... terus...! Pagi hari. Rokok. Kopi. Roti. Lari pagi. Gosok gigi. Mandi. Wangi. Birahi. Rebah di sebelah suami. Kecup kedua mata dan pipi. Berbisik manja minta disetubuhi. Matanya terbuka lantas terpejam lagi. Ia berbalik badan membelakangi. Kesal tapi langsung dinetralisir kembali. Lagi, ciuman dihujani. Perlahan tapi pasti. Pakaian mulai dilucuti. Hingga polos dari ujung kepala sampai ujung kaki. Suami tetap tidur tidak ereksi. Biasa itu... harus dipanasin dulu. Pagi hari. Rokok. Kopi. Roti. Lari pagi. Gosok gigi. Mandi. Wangi. Birahi. Rebah di sebelah suami. Kecup kedua mata dan pipi. Berbisik manja minta disetubuhi. Matanya terbuka lantas terpejam
lagi. Ia berbalik badan membelakangi. Kesal tapi langsung dinetralisir kembali. Lagi, ciuman dihujani. Perlahan tapi pasti. Pakaian mulai dilucuti. Hingga polos dari ujung kepala sampai ujung kaki. Suami tetap tidur tidak ereksi. Tiba-tiba ingat wejangan teman kalau laki-laki suka penisnya dijilati. Tarik napas panjang, beranikan diri. Kalau pesing" Tak masalah yang penting barangnya berdiri. Setuju! Pagi hari. Rokok. Kopi. Roti. Lari pagi. Gosok gigi. Mandi. Wangi. Birahi. Rebah di sebelah suami. Kecup kedua mata dan pipi. Berbisik manja minta disetubuhi. Matanya terbuka lantas terpejam lagi. Ia berbalik badan membelakangi. Kesal tapi langsung dinetralisir kembali. Lagi, ciuman dihujani. Perlahan tapi pasti. Pakaian mulai dilucuti. Hingga polos dari ujung kepala sampai ujung kaki. Suami tetap tidur tidak ereksi. Tiba-tiba ingat wejangan teman kalau laki-laki suka penis-nya dijilati. Tarik napas panjang, beranikan diri. Kalau pesing" Tak masalah yang penting barangnya berdiri. Ahhhhhhhh... ! teriak suami. Dia benar-benar bangun kali ini. Tapi bukan barangnya! Ia bangun dan langsung berdiri. Pergi kencing masuk kamar mandi. Gosok gigi. Mandi. Ganti baju. Pergi. Tidak ngopi. Tidak ngerokok. Tidak makan roti. Banyak meeting hari ini, katanya, tapi janji ikut ke party malam nanti. Saya sendiri. Di rumah tanpa suami.
-Jakarta, 15 September 2003, 12:12:52 PM Ide judul Staccato oleh Mirna Yulistianti
SAYA DI MATA SEBAGIAN ORANG
Sebagian orang menganggap saya munafik. Sebagian lagi menganggap saya pembual. Sebagian lagi menganggap saya sok gagah. Sebagian lagi menganggap saya sakit jiwa. Sebagian lagi menganggap saya murahan!
Padahal saya tidak pernah merasa munafik. Tidak pernah merasa membual. Tidak pernah merasa sok gagah. Tidak pernah merasa sakit jiwa. Tidak pernah merasa murahan!
Dan apa yang saya rasa, toh tidak membuat mereka berhenti berpikir kalau saya munafik. Berhenti berpikir kalau saya pembual. Berhenti berpikir kalau saya sok gagah. Berhenti berpikir kalau saya sakit jiwa. Berhenti berpikir kalau saya murahan!
Sementara saya sudah berusaha mati-matian menjelaskan kalau saya tidak munafik. Kalau saya tidak membual. Kalau saya tidak sok gagah. Kalau saya tidak sakit jiwa. Kalau saya tidak murahan!
Tapi penjelasan saya malah semakin membuat
mereka yakin kalau saya munafik. Yakin kalau saya pembual. Yakin kalau saya sok gagah. Yakin kalau saya sakit jiwa. Yakin kalau saya murahan!
Maka inilah saya, yang tidak munafik. Yang tidak membual. Yang tidak sok gagah. Yang tidak sakit jiwa. Yang tidak murahan!
Walau sebagian orang tetap menganggap saya munafik. Menganggap saya pembual. Menga
nggap saya sok gagah. Menganggap saya sakit jiwa. Menganggap saya murahan!
*** Saya katakan ke banyak orang kalau saya tidak punya pacar. Saya tidak punya kemampuan untuk mencintai seseorang. Tapi bukan berarti saya tidak punya teman. Saya punya banyak sekali teman. Ada teman yang setiap pagi menyiapkan air hangat untuk mandi. Ada teman makan siang ketika rehat kantor. Ada teman yang menjemput sepulang kantor. Ada teman yang menemani nonton. Ada teman yang menemani clubbing. Mereka semua teman-teman yang baik. Mereka semua teman-teman yang bisa diandaikan dalam segala hal dan saya yakin saya pun cukup bisa diandalkan sebagai teman. Bukankah sudah sepatutnya begitu dalam hubungan pertemanan" Buktinya, tidak jarang sebenarnya saya malas makan siang. Tapi karena teman mengajak,
sering saya merasa tidak enak untuk menolak. Begitu juga halnya dengan nonton atau clubbing. Pulang kantor saya sering kelelahan. Inginnya lekas pulang dan tidur. Tapi jika ada teman yang mengajak nonton, rasanya saya tidak tega menolak apalagi ia sudah khusus jauh-jauh menjemput ke kantor. Maka saya akan mengiyakan walaupun belum tentu saya suka dengan film yang kami nonton. Pada saat kami nonton, tidak jarang pula ponsel saya berdering. Andaikan tidak saya angkat karena tidak sopan menerima telepon di dalam bioskop, tetap saja mereka bisa meninggalkan sms. Biasanya minta ditemani ke disko atau sekadar nongkrong di kafe. Sungguh, tidak selalu saya ingin menerima ajakan mereka. Tapi bagi saya itulah konsekuensi pertemanan. Apalagi, sekali lagi, mereka adalah teman-teman yang baik. Yang setia menyiapkan air hangat untuk mandi setiap pagi. Yang setia menemani makan siang. Yang setia menjemput pulang kantor. Yang setia menemani ke disko atau kafe. Yang setia memberikan perhatian dan waktu kapan pun saya butuhkan, walaupun mungkin mereka tidak selalu ingin mengiyakan, walaupun mungkin mereka sedang kelelahan, sama seperti apa yang sering saya rasakan.
*** Kepada merekalah saya sering menumpahkan apa yang saya rasakan. Kepada merekalah saya meminta bantuan. Tidak hanya sebatas perhatian dan waktu,
tapi juga dari segi financial. Kalau saya butuh uang, saya bilang. Kalau saya mau ganti ponsel model terbaru, saya beritahu. Kalau saya bosan mobil van dan ingin ganti sedan, saya pesan. Padahal karena banyak yang setia menjemput dan mengantar, mobil jarang sekali saya gunakan. Kalau saya dapat undangan pesta dan perlu gaun malam lengkap dengan perhiasan, saya utarakan. Kenapa harus sungkan" Toh, saya tidak memaksa. Toh, mereka ikhlas. Dan yang paling penting adalah mereka memang mampu mengabulkan apa yang saya minta. Saya tidak paksa mereka khusus menabung untuk saya apalagi sampai suruh mereka merampok bank. Saya juga teman yang baik. Saya tidak mau mereka susah hati karena tuntutan-tuntutan saya. Kalau sekali-sekali harus jebol tabungan atau terpaksa mencairkan deposito bolehlah... yang penting dananya memang ada. Itu pun bukan masalah yang harus saya besar-besarkan. Bukan sesuatu yang layak untuk membuat saya terharu. Apalagi jatuh cinta! Saya harus garis bawahi bahwa saya tidak memaksa. Apalagi saya sangat tahu, sangat sadar kalau jumlah dana yang dikeluarkan hanya sepersekian persen dari keseluruhan harta mereka. Coba bayangkan, kurang pengertian apa saya sebagai teman" Seperti yang sudah saya utarakan sebelumnya, tidak jarang saya harus mengorbankan waktu dan tenaga untuk mereka. Mungkin lebih tepat jika saya menggunakan kata merelakan ketimbang mengorbankan. Walaupun saya agak terganggu, tapi saya rela. Saya
melakukannya karena saya mau, bukan karena paksaan. Saya menikmati kebersamaan kami. Menikmati tiap detail manis yang kami alami. Makan malam di bawah kucuran sinar rembulan dan keredap lilin di atas meja. Percakapan yang mengasyikkan penuh canda dan tawa. Sentuhan halus di rambut saya. Kecupan mesra di kedua mata, hidung, pipi, dan bibir yang berlanjut dengan ciuman panas membara lantas berakhir dengan rapat tubuh kami yang basah berkeringat di atas tempat tidur kamar hotel, di taman hotel, di dalam mobil, di toilet umum, di dalam elevator, di atas
meja kantor, atau di dalam kamar karaoke. Saat-saat yang begitu melelahkan sekaligus menyenangkan. Saat-saat yang selalu membuat jantung saya berdegup lebih kencang dari biasanya. Saat-saat yang selalu membuat aliran darah saya menderas dan naik ke atas kepala. Saat-saat yang selalu membuat saya pulas tertidur dan mendengkur. Saat-saat yang tidak pantas untuk tidak membuat saya merasa bersyukur.
*** Dari sanalah segalanya berpangkal. Semua yang saya lakukan itu dianggap tidak benar. Sebagian orang menganggap saya munafik karena tidak pernah mengakui kalau saya tidak punya pacar. Sebagian lagi menganggap saya pembual setiap kali mengatakan kalau saya bilang hubungan kami hanya sebatas hubungan pertemanan. Sebagian lagi
menganggap saya sok gagah karena mereka berpikir saya tidak mau mengakui kalau sebenarnya saya mencintai seseorang. Sebagian lagi menganggap saya sakit jiwa karena berteman dengan begitu banyak orang. Sebagian lagi menganggap saya murahan karena saya bisa tidur dalam satu hari dengan orang yang berlainan. Perbuatan yang saya jalani dengan penuh kewajaran tiba-tiba berubah menjadi perdebatan. Semua orang merasa lebih tahu dibanding diri saya sendiri. Beberapa bagian dari mereka itu sibuk dengan pendapatnya masing-masing, dan lebih luar biasa lagi mereka bisa membahas perihal saya ini berjam-jam, berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan, bertahun-tahun, sementara teman-teman saya semakin banyak, silih berganti tanpa henti dan ini membuat mereka menjadi punya materi yang lebih dari cukup untuk terus mempergunjingkan saya seolah tidak ada hal lain yang lebih pantas untuk diangkat sebagai tema. Mereka bergunjing lewat telepon. Mereka saling bertukar pesan lewat sms. Mereka saling mengirim surat elektronik. Mereka saling bertukar pendapat di kafe-kafe. Di rumah. Di kantor. Di pertokoan. Di restoran. Apalagi jika secara kebetulan kami bertemu dalam satu kesempatan dengan membawa teman baru. Pembicaraan mendadak berhenti. Mereka sembunyi-sembunyi bertukar senyum. Mereka sembunyi-sembunyi bermain mata. Mereka sembunyi-sembunyi mengirim sms. Mereka saling berbisik dengan ekspresi wajah yang sulit untuk diterjemahkan.
Kadang ada satu dua kalimat yang terdengar dan sudah cukup bagi saya untuk merangkumnya utuh menjadi satu bagian. Kebanyakan berkisar pada seberapa indah dan seberapa tebal kantong teman yang saya bawa. Pandangan mereka menyapu bersih kami berdua dari ujung rambut hingga ujung kaki seperti serigala kelaparan. Menyeleksi mulai dari apakah ada pernak-pernik baru yang saya pakai, kantong belanja, hingga jenis kartu kredit saat membayar bon tagihan makan. jika teman saya kelihatan indah, maka dikaitkannyalah dengan seberapa dahsyat kehebatannya di atas ranjang. jika teman saya kelihatan berkantong tebal, maka dikaitkannyalah dengan seberapa besar saya menguras uang. Tapi jika kedua sisi itu tidak ada yang memenuhi standar pergunjingan, mulailah mereka dengan teori cinta-cintaan. Dan karena saya tetap bilang kalau kami benar-benar berteman, perdebatan pun dimulai dan mereka saling membuktikan pendapat siapa yang paling benar. Sebagian orang menganggap saya munafik. Sebagian lagi menganggap saya pembual. Sebagian lagi menganggap saya sok gagah. Sebagian lagi menganggap saya sakit jiwa. Sebagian lagi menganggap saya murahan!
*** Saya tidak bisa pungkiri banyak dari teman-teman yang akhirnya mempertanyakan. Banyak dari
teman-teman yang tidak ingin berbagi dan pada akhirnya hubungan kami harus terakhiri. Tapi tidak satu pun dari mereka yang mendendam karena saya menjunjung tinggi keterbukaan. Saya tidak pernah membohongi, saya tidak pernah akal-akalan. Sehingga jika dibilang hubungan kami berakhir, sebetulnya tidak sepenuhnya benar. Yang berubah hanyalah kami sudah tidak saling melenguh dan mencabik di atas ranjang. Tapi kami masih saling berbagi cerita walaupun jarang. Saling bertanya apakah sudah punya pasangan tetap, menikah, atau masih melajang. Hal-hal seperti ini yang sering tidak saya temukan pada sebagian orang yang menganggap saya munafik, pembual, sok gagah, sakit jiwa, atau murahan itu. Sebagian
dari mereka malah sering saya dapati tidak lagi bertegur sapa sama sekali dengan teman lamanya. Biasanya itu disebabkan karena hubungan mereka yang sembunyi-sembunyi dengan Si A ketahuan oleh Si B. Setelah putus dengan Si B ternyata ketahuan pulalah Si A berteman dengan perempuan lain. Alangkah sayangnya sebuah hubungan yang menempuh berbagai aral rintangan itu akhirnya harus kandas di tengah jalan. Tapi saya tetap menghargai sebuah pilihan. Saya hanya heran. Tapi walaupun saya heran, saya tetap tidak berani menganggap mereka munafik, pembual, sakit jiwa, sok gagah, atau murahan. Kadang saya juga mengalami kesulitan dalam satu hubungan. Beberapa kali saya bertemu dengan tubuh-tubuh indah yang membuat mata silau. Membuat darah saya berdesir
dan mengisyaratkan satu kenikmatan. Malam-malam panjang. Kontraksi dahsyat di tengah selangkangan yang nyatanya berakhir dengan rasa mual. Ereksi yang tidak lama kekal. Reaksi yang membuat waktu berjalan bagai tak berujung pangkal. Dan saat itulah alarm saya mengatakan segala rencana kencan lanjutan mutlak batal. Sebagian orang menamakan kejadian-kejadian seperti itu sebagai cipta semalam. Sebagian orang merasa kejadian-kejadian seperti itu bertentangan dengan moral. Sementara buat saya, kejadian-kejadian seperti itu hanyalah semata-mata proses pengenalan. Seleksi alam yang akhirnya menjawab apakah kami akhirnya bisa lanjut berteman atau tidak. Tapi tetap, orang menganggap saya munafik. Menganggap saya pembual. Menganggap saya sok gagah. Menganggap saya sakit jiwa. Menganggap saya murahan!
*** Mungkin jika bukan karena penyakit yang datang tanpa bisa saya larang tidak saya idap sekarang, saya hampir percaya pada pendapat sebagian orang yang akhirnya menyatu menjadi satu pendapat utuh. bahwa tindakan saya menyimpang. Mungkin jika bukan karena saya tergeletak tak berdaya dan diperlakukan bagai anjing kusta, saya hampir beralih dari apa yang selama ini saya percayai dan nikmati dengan hati lapang. Karena ketika saya positif mengidap HIV ternyata masih ada yang setia
menyiapkan air hangat untuk bilas badan. Mengirim makan siang. Menemani makan malam. Mendongeng tentang sebuah peristiwa lucu di satu kafe. Bercerita tentang film yang baru saja diputar, ketika sebagian orang sibuk bergunjing atas akibat yang saya terima karena saya munafik. Pembual. Sok gagah. Sakit jiwa. Murahan!
-Jakarta, 20 Agustus 2003, 11:35:54 PM
TING! Ting! Pintu elevator terbuka. Ia masuk dan langsung memencet sebuah tombol. Elevator segera meluncur ke bawah. Suara ting secara otomatis berbunyi di setiap pergantian lantai. Suara ting yang begitu akrab di pendengarannya selama lima tahun ini. Suara ting yang sering membuat perasaannya nyeri. Tapi, selalu akan ada suara ting yang bisa membuat perasaannya hangat dan bergetar, seperti saat ini.
Ting! Masih kurang lima lantai harus dilewati. Berarti ia akan mendengar lima kali suara ting lagi. Karena ia tidak sedang beruntung kali ini. Ada lima orang lain bersamanya dalam elevator, dan masing-masing mereka memencet tombol berbeda. Berarti ia terpaksa harus berhenti pada tiap lantai menunggu mereka keluar satu persatu sebelum ia mencapai lantai yang dituju. Tapi ia akan sabar menunggu. Apalah artinya menunggu lima ting dibanding penantiannya selama hampir separuh hari. Ya, sudah dua belas jam ia berada di hotel ini dan entah sudah
berapa ting yang ia dengar. Entah sudah berapa laki-laki ditemuinya dalam kamar. Entah sudah berapa orang bersamanya dalam satu elevator. Orang-orang dengan pandangan menyelidik, curiga, dan menghina. Namun kadang ada juga orang-orang yang memandang dengan tatapan mata seolah paham benar apa yang sedang ia rasakan. Sebenarnya ia tidak terlalu suka dengan pandangan mata seperti itu. Ia tidak suka setiap kali bibir mereka mengulum senyum, seperti senyum di bibir seorang perempuan muda di depannya, walaupun perempuan muda itu tidak tersenyum. Mulutnya sedang mengunyah permen karet. Tapi ia merasa perempuan muda bertubuh ramping, berambut hitam panjang, berpakaian serta ketat, dengan rias wajah tebal itu tersenyum kepadanya. Ia tak suka melihat seny
um getirnya tersungging di bibir perempuan muda itu. Ia tak suka melihat penampilan dirinya sendiri pada perempuan muda itu.
Ting! Astaga, masih sempat-sempatnya perempuan muda itu mengerling ke arahnya sebelum keluar dari elevator. Bahkan masih ada senyum di bibirnya yang dipoles gincu merah menyala. Padahal, perempuan muda itu tidak mengerling, juga tidak tersenyum. Perempuan muda itu memejamkan mata sejenak dan bibirnya bergerak-gerak seperti sedang melantunkan doa, sama seperti yang kerap dilakukannya sebelum
keluar elevator. Lantas, kenapa pula ia masih merasa perempuan muda itu tersenyum dan mengerling padanya" Ia segera mengalihkan pikirannya dari senyum perempuan muda yang mengganggunya itu. Ia ingin kembali kepada debaran di dadanya menunggu empat ting. Ia sudah terbiasa tak berpikir. Ia tak mau berpikir. jika ia berpikir, ia tak ingin hampir tiap hari menghabiskan waktu berpindah dari satu kamar ke kamar dalam hotel seperti ini. jika ia berpikir, tak mungkin ia menyangkal penampilan dirinya sendiri. jika ia berpikir... ah... apakah hidup selalu bisa terjawab dengan berpikir" Ia memang tak mau berpikir, bahkan ia tak ingin merasa. Tak ada ruang baginya untuk berpikir dan merasa, terlebih-lebih di saat-saat dalam elevator bersama orang lain yang tak dikenal. Sebab jika perasaannya dibiarkan, pastilah ia sudah lari keluar elevator sekarang. Ia tak tahan melihat gerak-gerik pasangan suami istri di dalam elevator yang kelihatannya akan menghadiri acara pernikahan sebab mereka berdua sama-sama mengenakan pakaian resmi. Wanitanya mengenakan gaun hitam dengan kalung mutiara putih dipadu mutiara hitam. Entah apakah karena kalung itu, atau sepasang anting berlian yang menjuntai di telinganya, yang membuat urat-urat lehernya keluar seperti menyandang beban berat ketika wanita itu berbisik di telinga suaminya, sesaat setelah menatap ke arah dirinya. Suami wanita itu kelihatan tidak antusias, dan karena itulah si istri terlihat jengkel. Entah jengkel sebab si suami tak mendengarkan dengan antusias,
atau jengkel sebab si suami ketahuan mencuri pandang ke belahan dadanya yang rendah. Ia merasa sudah sangat paham dengan laki-laki sejenis itu. Laki-laki yang merasa kapan saja dapat membeli segalanya dengan isi kantung mereka yang tebal. Laki-laki yang merasa kapan saja dapat membeli kenikmatan tubuh perempuan-perempuan seperti dirinya, juga perempuan muda yang lebih dulu keluar elevator tadi dengan harga relatif murah dibandingkan kekayaan mereka yang melimpah. Laki-laki yang merasa kapan saja dapat membeli istrinya sendiri. Lihatlah wanita bergaun hitam anggun dengan perhiasan lengkap nan tak kalah anggun itu hanya bisa menelan kejengkelan tanpa dapat memuntahkannya. Wanita itu, mengingatkannya pada boneka Barbie yang mengenakan baju-baju indah, ditiduri di atas ranjang dalam rumah mewah. Namun sepenuhnya menyerahkan diri ke tangan anak-anak yang memainkannya dengan pasrah.
Ting! Pasangan suami istri itu keluar elevator sekarang. Membuatnya merasa lega. Tadinya ia pikir mereka turun di lantai dasar tempat acara-acara resmi kerap diadakan dalam hotel berbintang. Mungkin mereka menjemput teman yang sama-sama menginap di hotel, atau sanak keluarga mereka yang lain. Si suami melangkah keluar lebih dulu dan wanita itu tergopoh-gopoh di belakang seraya berusaha menggamit
tangan si suami. Barbie... bisiknya lagi dalam hati sambil memegang erat tas tangan di bahunya seperti takut ada yang mencuri. Lagi-lagi perasaan hangat menyelimuti dadanya, memompa butir-butir air keluar dari sudut kelopak matanya. Tapi sepasang kelopak matanya bagaikan bendungan yang selalu siap menampung air sehingga tak akan setetes pun air meluncur keluar dari sana. Maka jika seseorang ada yang melihat matanya, matanya itu bagaikan kubangan sarat air hujan yang sesaat kemudian mengering akibat panas matahari yang melahapnya. Dan memang ada sepasang mata sedang menatapnya. Sepasang mata itu begitu jernih bagai telaga. Sepasang mata itu mengerjap-ngerjap lucu. "Tante mau nangis, ya..."" begitu suara yang keluar dari mulut sepasang mata telaga itu. "Hush...!" Sust
er anak bermata bak telaga segera menarik gadis kecil itu menjauh Jarinya, bersamaan dengan elevator berbunyi...
Ting! Gadis dan susternya bergegas keluar. Gadis kecil itu melambaikan tangan dan ia balas dengan lambaian tangan yang sama. Semua orang dalam elevator itu sudah keluar sekarang. Ternyata gadis kecil tadi yang memijit tombol tiap lantai sehingga ia terpaksa berhenti pada tiap lantai selanjutnya. Ah... tapi tak apa, toh sudah tak ada siapa-siapa. Alangkah nyamannya berada dalam elevator tanpa orang lain.
Tapi baru saja pintu elevator hendak menutup, sepasang tangan kekar menahannya. Gemerisik suara walkie talkie membuat hatinya menciut. Security melangkah masuk ke dalam. Ia paling merasa tak nyaman berada di dekat security hotel. Cara mereka memandang begitu merendahkan. Cara mereka bertanya mengandung curiga. "Mau ke lantai berapa, Mbak"" Benar saja. Mereka selalu menanyakan pertanyaan yang sama. Tidakkah mereka punya mata kalau tombol lantai yang sedang ia tuju sudah menyala" Dan memanggilnya dengan Mbak, itu sungguh keterlaluan. Seharusnya-bagaimanapun penampilannya saat ini- security itu memanggilnya Ibu. Tapi ia tak mau ambil peduli pada sapaan dan pertanyaan konyol membosankan itu. Ia menjawabnya hanya dengan anggukan ke arah tombol yang menyala. Lagipula tak ada alasan baginya untuk merasa takut. jika ingin mengikuti, silakan saja. Ia akan menuju sebuah tempat di mana surganya berada. Ia akan menuju sebuah tempat di mana segala pertanyaan, segala kebimbangan tak lagi ada. Ya, ia akan menuju sebuah tempat di mana debaran hatinya mengarah ke sana, membuat suara ting bagai lagu sebelum tidur yang disenandungkan ibunya semasa ia kecil. Mengantarkannya ke alam mimpi, ke alam penuh warna-warni.
Ting! Dengan langkah tegap dan mimik wajah pongah,
security itu meninggalkannya. Suara walkie talkie berhenti sesaat setelah pintu elevator tertutup. Kini ia benar-benar sendiri. Kini tinggal satu ting lagi. Suara ting yang begitu akrab di pendengarannya selama lima tahun ini. Suara ting yang sering membuat perasaannya nyeri. Tapi, selalu akan ada suara ting yang bisa membuat perasaannya hangat dan bergetar, seperti saat ini. Suara ting ini begitu lain dengan suara ting yang kelak akan mengantarkannya ke pelukan laki-laki yang sedang siap menunggu untuk meniduri. Laki-laki dengan perut tambun. Laki-laki dengan luapan birahi. Laki-laki yang kehilangan keharmonisan dengan para istri. Laki-laki yang hanya akan ia temui sekali dua kali. Laki-laki yang mendengus di atas tubuhnya seperti babi. Laki-laki yang tergeletak di atas ranjang ketika ia sibuk mencuci diri di kamar mandi. Laki-laki yang sering tidak memberi uang persenan setelah menyenggamainya bertubi-tubi. Laki-laki yang bahkan tak melirik kepadanya ketika ia pergi. Laki-laki yang tak ada beda dengan laki-laki yang dulu meninggalkannya pergi setelah menghamili. Ah... betapa ia begitu mengharapkan suara ting lain ini segera berbunyi. Betapa ia begitu mengharapkan pintu elevator segera membuka dan ia dapat berlari keluar dari sana. Betapa ia tak lagi mampu menahan debaran di hatinya. Betapa ia....
Ting! Akhirnya ting yang ditunggu tiba juga. Tapi ia tak berlari keluar seperti yang direncanakannya. Ia berjalan wajar melewati beberapa orang di sepanjang koridor itu. Makin dipegangnya erat-erat tas tangan yang melingkar di bahunya seperti takut ada yang mencuri. Barbie... bisiknya dalam hati. Mulai terasa keletihan di sekujur tubuhnya dan luka mencabik-cabik dadanya. Maka, ia melangkahkan kakinya lekas-lekas sekarang. Ia butuh segera mencapai tern-pat di mana lukanya dapat terbasuh. Ia butuh segera mencapai tempat di mana tangis tertahannya dapat berganti dengan tawa. Ia ingin sesegera mungkin mencuci tubuhnya yang penuh dosa. Ia ingin sesegera mungkin bermain di taman bunga, bermain, bermain, tanpa perlu berpikir, bermain, tanpa perlu bertanya, bermain, berbahagia. Ia menghentikan langkahnya di depan sebuah pintu. Rasa baru dan debar kembali mengguncang dadanya. Di pijitnya tombol di depan pintu itu...
Ting... tong...! Pintu terbuka. Satu suara menyergap kerinduannya. Me
nghalau kebimbangannya. Menyapa cintanya.
"Mama...." -Jakarta, 6 Oktober 2002, 15:01:11
PENTHOUSE 2601 Akulah Penthouse 2601. Ada dua kamar di kedua tanganku, lengkap dengan kamar mandi ber-jacuzzi tempat para tamu menceburkan tubuh mereka yang lekat sisa muntahan sperma ke dalam air hangat berbusa, sambil menonton televisi yang ditanam dalam dinding marmer tepat di depannya. Lorong panjang mulai dari kerongkongan hingga dadaku menyambungkan mulut pintu dengan ruang tamu di lambung kananku dan ruang makan di lambung kiriku. Di sebelahnya, ada dapur kecil tempat mereka memasak nafsu. Tidak jarang mereka melakukannya di atas meja pantry, meja makan, atau sofa empuk ruang tamu. Ketika mereka meninggalkan noktah peluh di sofa itu, ketika mereka mengembik bagai sapi sekarat, ketika mereka saling memuaskan hasrat, aku sering mengamati wajah mereka yang terlihat begitu mirip dengan orang-orang terkenal dan terhormat di dalam televisi yang sedang komat-kamit membahas tentang moral, agama, keluarga, kiat bisnis... ah ya... tentang negara, tentunya. Lihat, kau muncul di televisi, ujar wanitanya. Laki-laki itu memperhatikan dirinya sendiri sejenak di televisi dan tertawa, lalu ia kembali mengembik, mendengus, menguik bagai babi di atas wanitanya. Aku juga punya ruang kerja mungil di depan ruang tamu tempat mereka bergumul itu, dan anda dapat memanjakan mata lewat jendela kaca besar memandang sinar emas rembulan yang
memantul di atas air kolam renang yang tenang, redup lampu-lampu di atas pohon palem, dan keredap, lilin-lilin di atas meja-meja bundar di bawah naungan payung lebar bak cendawan. Ya, dulu aku memang pernah merasa bahwa aku dibuat sedemikian indah dan mewah untuk tamu-tamu yang butuh kenyamanan bekerja di tengah tawa ceria keluarga. Waktu suara palu bertalu-talu diketukkan ke paku, waktu cat memulas tubuhku, waktu wall paper dilekatkan pada kulitku, waktu tumpukan keramik menggunung di perutku, waktu permadani hangat menyelimutiku, aku pernah begitu bangga pada diriku dan amat berterima kasih pada penciptaku. Waktu itu, rasanya tidak sabar menunggu kaki-kaki kecil membuka mulut pintuku. Betapa aku begitu tidak sadar menyaksikan mata mereka membeliak mengagumi kemolekan dan keindahanku. Menyaksikan mereka melompat ke dalam kolam renang dan tawa mereka menggetarkan dadaku. Dan mungkin jeritan tertahan orangtua mereka yang sibuk memperingatkan anak-anak mereka berhati-hati agar jangan sampai tergelincir di tepi kolam renang yang licin. Mengapa harapan-harapan seperti itu muncul, tidak lain karena sejak awal aku sadar sudah ditakdirkan selamanya melajang.
Aku bukan seperti kamar-kamar lain bernama superior, deluxe, suite, regency suite, presidential suite, yang berdesak-desakan di lantai bawah. Mereka bertetangga. Jarak antara satu kamar dengan yang lain begitu dekat, sehingga kapan saja mereka dapat
berbincang-bincang, saling mengerling, berpacaran, dan menikah. Tidak seperti aku yang terletak di lantai tertinggi, lantai dua puluh enam. Hanya ada dua kamar sejenisku pada satu lantai. Namun kami sangat berjauhan. Sejauh mataku memandang, di sepanjang koridor hanya ada aku. Koridor itu melengkung sehingga aku tidak dapat melihat apa yang ada di balik lengkungan itu. Aku hanya dapat mengandalkan pendengaran. Ketika elevator berbunyi ting, itulah pertanda akan ada seseorang, dua orang, atau banyak orang menyemarakkan kehidupanku. Namun tidak jarang elevator itu hanya mengantar petugas kebersihan atau security lengkap dengan walkie talkie yang tidak pernah dimatikan. Suara walkie talkie mereka begitu mengganggu pendengaran. Kadang-kadang security yang bosan, memijit-mijit tuts piano dengan sembarangan. Sungguh menyebalkan. Oh ya, rasanya aku belum menceritakan kalau ada sebuah grand piano anggun di ujung koridor. Aku sering cemburu pada koridor itu. Kenapa piano itu tidak dipindahkan saja ke dalam tubuhku untuk mempercantik diriku, ketimbang tersia-sia dan hanya jadi lelucon para satpam" Sungguh hanya sebuah pemborosan. Walaupun sebenarnya, aku pun bisa dikategorikan sebagai satu bentuk pemborosan. Bayangkan, untuk menginap s
atu malam anda harus merogoh kocek tidak kurang dari dua puluh lima juta rupiah. Itu pun belum termasuk, pajak dan service sebesar dua puluh satu persen dari hargaku. Plus plus, begitu istilah perhotelan. Waktu mana krisis melanda negeriku, dan
kurs dollar mencapai titik empat belas ribu, aku dijual seharga dua ribu dollar plus-plus! Nah, anda sudah mengerti arti plus-plus sekarang, aku tidak perlu menjelaskannya lagi, bukan" Kalau anda bingung dari mana aku mendapat semua informasi itu, mari kuceritakan sebuah rahasia. Setiap pagi, ketika petugas kebersihan membersihkanku dari debu, memandikan sekujur tubuhku dengan sikat dan sabun, melepaskan lumut-lumut di kakiku, ia selalu meluangkan beberapa menit untuk berleha-leha di atas sofa sambil menonton televisi. Kadang ia menepuk-nepuk busa ranjang dan mengelus-elus bed cover sambil bergumam kalau harga bed cover itu lebih mahal dari penghasilannya dalam sebulan. Sering ia tak dapat menahan diri, lalu berbaring di atas ranjang sambil meringkuk dalam selimut. Bahkan kadang-kadang ia menggila. Ia melompat ke atas ranjang dan melonjak-lonjak hingga tubuhnya melambung tinggi-tinggi ke udara sambil tertawa-tawa. Tidak jarang air mata meleleh dari kedua matanya. Entah air mata duka atau suka. Awalnya aku benci padanya. Kalau saja aku bisa mengadu ke satpam yang sedang tidur-tidur ayam di bangku koridor, pasti aku akan mengadukannya. Tapi mulut pintuku ia kunci. Kalau hanya kunci, tentu aku bisa membuka diriku sendiri. Tapi mulutku pun digerendelnya sehingga tidak ada yang bisa kulakukan selain mengutuk petugas kebersihan dan satpam yang tidak berguna. Namun, akhirnya aku jatuh hati padanya. Hanya ia yang begitu tulus
mengagumiku. Hanya ia yang dengan tulus menghargaiku. Tapi yang membuatku jatuh hati untuk pertama kali, adalah ketika ia sedang berleha-leha di sofa ruang tamu sambil menonton televisi, dengan volume yang sangat rendah, tentunya. Pada saat itulah aku mendengar berita tentang kurs dollar. Korban banjir yang kelaparan. Aksi demonstrasi di jalan-jalan besar menuntut keadilan. Perang. Penganiayaan. Kemelaratan. Kemelaratan
Kemarahan. Kerusuhan. Kemelaratan. Pembunuhan. Kemelaratan. Perampokan. Kemelaratan. Pemerkosaan. Kemelaratan. Wabah penyakit mematikan.
KEMELARATAN! Aku terkesima melihatnya. Sejak aku diciptakan, aku hanya mengenaI kemewahan. Satu-satunya kemanusiaan yang kudapatkan hanya dari si petugas kebersihan ini, yang sedang terpaku memandang layar gelas, yang perlahan menggeleng-gelengkan kepalanya, yang dadanya naik turun menahan luka, yang lirih bergumam, yang melarat tambah melarat... yang kaya tambah kaya... sebelum akhirnya mematikan televisi. Lalu ia memandangiku sekali lagi sebelum meninggalkanku sendiri. Ah... kalau saja aku punya daya untuk mengundang wajah-wajah marah,
putus asa, dan duka di dalam televisi itu. Kalau saja aku bisa memanjakan dan merangkul mereka dalam kemewahanku. Kalau saja aku bisa tertawa bersama, menyaksikan mereka mencicipi buah segar import di atas meja, mereguk kesegaran Perrier meluncur di kerongkongan mereka, mengenyangkan lapar mereka dengan fillet mignon, mewujudkan khayal mereka sesaat dengan Dom Perignon, kalau saja aku bisa menukar kebahagiaan mereka dengan kebahagiaan tamu-tamu yang datang bermalam hanya untuk ugal-ugalan dan menghambur-hamburkan uang, aku akan melakukan apa saja untuk dapat mewujudkannya. Tapi, aku sudah tidak berani berharap. Aku takut kecewa. Seperti yang aku katakan pada anda di awal cerita, aku pernah begitu berharap kelak tamu-tamuku adalah sebuah keluarga bahagia. Atau pasangan yang sedang berbulan madu. Tapi kenyataannya, hanya orang-orang yang kaya bertambah kaya, seperti yang pernah digumamkan petugas kebersihan itu saja yang datang bertandang. Mereka tidak menghargaiku. Bagaimana mungkin orang-orang seperti itu bisa menghargaiku yang hanya sebuah kamar, sementara mereka tidak prihatin pada sesama" Aku juga yakin, mereka pun tidak menghargai diri mereka sendiri. Kelakuan mereka benar-benar seperti binatang, mungkin jauh lebih rendah dari binatang. Anda tahu apa yang mereka lakukan padaku" A
nda tahu mengapa aku sekarang begitu trauma setiap kali mendengar bunyi ting elevator yang dulu begitu
kutunggu itu" Karena mereka memperkosaku. Mereka merampas harga diriku. Mereka mematikan impian suciku. Mereka mengotoriku dengan sebongkol sperma di dalam kondom. Mereka mengotori meja-mejaku dengan gundukan-gundukan cocaine dan heroin. Mereka mencuci otakku dengan tawa yang mabuk. Mengguncang jantungku dengan desahan memuakkan. Dan astaga, mereka melakukannya beramai-ramai! Apa" Anda tidak mengerti" Ah, maafkan aku yang terbawa perasaan. Baiknya aku ceritakan satu persatu dari awal. Tamu pertamaku adalah dua orang laki-laki setengah baya dengan seorang perempuan muda. Ketika mereka menyusuri dan memperhatikan satu persatu lekuk tubuhku, aku menahan napas. Aku takut mereka tidak puas denganku. Ternyata kekhawatiranku terjadi. Sambil merebahkan diri di atas ranjang yang baru saja diinjak-injak petugas kebersihan, perempuan muda itu berkata, tapi kamarnya lebih kecil dari penthouse yang biasanya kita sewa ya! Saat itu juga, aku menjadi benci padanya. Untung salah satu dari lelaki yang datang itu menjawab, tapi Penthouse ini masih baru dan harganya paling mahal. Aku pun merasa lega. Aku ingin perempuan muda itu enyah. Tapi kenyataannya, kedua laki-laki itulah yang pergi. Tinggal aku dengan perempuan muda itu. Tidak lama kemudian perempuan itu menelepon teman-temannya. Sudah di Penthouse 2601. Ingat, turuti saja segala keinginan bos-bos nanti. Tenang aja, tak ada rasanya kok, nanti kita teler aja dulu. 0 ya, jangan
lupa bawa baju renang, walaupun nanti tak ada gunanya, tapi tetap perlu sedikit fashion show dulu lah... pemanasan. Anggap saja seperti fashion show biasa. Iya, nanti ada acara skinny dip. Pokoknya malam ini kita pesta, dan siap-siap basah!
Lamas ia tertawa keras hingga jantungku serasa copot. Hari itu, adalah kali pertama aku mengenaI istilah fashion show, skinny dip, teler, dan pesta. Dan hari itu, adalah kali pertama elevator dan bel di mulut pintuku serasa tak ada hentinya berdenting. Perempuan-perempuan muda cantik nan sensual, laki-laki setengah baya, pelayan, koki, memenuhi setiap sudut tubuhku. Namun mereka hanya sekadar berkenalan, berbincang, minum, dan makan. Setelah acara makan usai dan para pelayan juga koki sudah pergi, barulah acara pesta benar-benar di mulai. Berawal dari si perempuan yang kubenci berdiri di atas meja sambil mengangkat minuman. Inilah saatnya kita pesta! Disambut dengan sorak sorai, tepuk tangan, dan denting gelas beradu dengan gelas. Seperti sudah sangat tahu, tanpa perlu diberi aba-aba mereka semua berjalan menuju kolam renang. Di tepian, mereka mulai menyerepet cocaine dan menghirup heroin sambil tak henti-hentinya menuangkan alkohol ke dalam gelas-gelas yang kosong. Acara pun makin memanas ketika perempuan-perempuan muda itu mulai menanggalkan pakaiannya di tepi kolam renang hingga hanya memakai bikini. Tubuh mereka yang ramping dan lampai melenggak-lenggok di tepi kolam
renang layaknya sebuah pertunjukan busana. Lalu perempuan yang kubenci mendatangi mereka dan melucuti salah satu dari perempuan-perempuan itu. Tamu-tamu pria bersorak-sorai lantas dengan bernafsu ikut-ikutan melucuti perempuan-perempuan lain. Tanpa ragu-ragu mereka mempersilakan dirinya dilucuti, lalu menarik laki-laki yang melucutinya masuk ke dalam kolam renang. Di dalam kolam renang, mereka ganti membuka pakaian pasangannya hingga semua tak lagi mengenakan sehelai benang pun. Inilah skinny dip. Dan tidak hanya sekadar skinny dip yang mereka lakukan. Mereka juga bercumbu di setiap tempat, berganti dari satu lelaki ke lelaki lain, dari satu perempuan ke perempuan lain. Hingga fajar menyingsing, seluruh tubuhku sudah begitu kotor oleh ceceran peluh, sperma, alkohol, heroin, cocaine, dan gelimangan tubuh-tubuh tanpa busana atau setengah telanjang. Pemandangan yang begitu lain dari apa yang kubayangkan. Pemandangan yang amat jauh dari tubuh anak-anak kecil berlarian di tepi kolam renang, ayah yang sedang mengetik, dan ibu yang sedang membaca. Pemandangan yang amat berbeda dari geleng kepala petugas kebersihan y
ang membelai dan membersihkanku dengan penuh cinta. Pemandangan yang membuatku merasa begitu terkutuk sehingga sempat terlintas di pikiranku untuk menyudahi hidupku saja. Namun bunuh diri tidaklah menawarkan penyelesaian. Aku hanyalah sebuah kamar, dari banyaknya kamar-kamar sejenisku yang
sengaja diciptakan untuk kepuasan satu kalangan, yang tak akan berhenti hanya dengan ambruknya sebuah kamar. Mungkin akan lebih baik aku diam dan bertahan, agar suatu saat nanti aku dapat membeberkan sebuah kejadian, sebuah pesta, yang tak lazim diketahui banyak orang, di tubuhku, Penthouse 2601.
-Jakarta, 19 Februari 2003, 23:05:10
with a special thanks to BI
PAYUDARA NAI NAI Apakah orangtuanya punya pertimbangan tertentu ketika menamainya, Nai Nai tidak tahu menahu. Yang ia tahu dalam bahasa moyangnya, bahasa Mandarin, Nai Nai artinya payudara. Yang ia tahu, payudaranya tidak tumbuh sesuai bertambahnya usia dan pertumbuhan tubuhnya. Yang ia tahu, teman-teman prianya sering menambahkan kata 'kecil' di belakang namanya. Yang ia tahu, teman-teman prianya menyukai payudara teman-teman perempuannya, tapi tidak payudara Nai Nai.
Namun menginjak tahun keenam di sekolah dasar, adalah satu masa di mana Nai mensyukuri keberadaan payudaranya. Ketika anak-anak perempuan lain harus selalu siaga dari incaran tangan-tangan usil anak-anak laki yang kapan saja siap menarik tali kutang mereka dari belakang, Nai yang hanya memakai kaus kutang bisa melenggang dengan bebas merdeka. Namun apa yang disyukuri Nai tidaklah bertahan lama. Menginjak sekolah menengah pertama, adalah satu kejanggalan jika perempuan masih memakai kaus kutang bukan kutang. Kutang menjadi simbol kebanggaan perempuan, satu nilai lebih ketimbang hanya mengenakan miniset, apalagi hanya kaus kutang.
Dan pada saat itulah segala hal mengenai payudara menteror hari-hari Nai. Perbincangan tentang ukuran kutang yang sering dibahas teman-
teman perempuannya. Ritual ganti baju bersama sebelum dan sesudah pelajaran olahraga yang klimaksnya adalah saling memamerkan model kutang terbaru. Tidak terkecuali, sensasi yang mereka rasakan ketika pacar pertama menggerayangi payudara.
Tapi yang paling menteror Nai adalah setiap kali memasuki pertengahan tahun. Hari jadinya yang jatuh pada bulan Juni seolah menjadi peringatan bahwa usianya bertambah namun payudaranya tidak juga tumbuh. Selain itu sebagian besar kartu ucapan yang diterimanya tidak pernah luput dari kalimat semisal, "Semoga payudaramu cepat tumbuh" atau "Semoga payudaramu membesar." Nai sudah tak dapat lagi meraba apakah mereka benar-benar mendoakan atau sekadar memperolok. Dan lebih dari semua itu, tak pernah satu pun kartu ucapan ia terima dari laki-laki.
Selain hari ulang tahun, pertengahan tahun juga bertepatan dengan hari kenaikan kelas. Nai selalu gelisah ketika diharuskan untuk saling memperkenalkan diri dengan teman kelasnya yang baru karena ia tak bisa mengelak dari tatapan spontan semua orang yang memandang ke arah payudaranya setiap kali ia menyebutkan nama. Belum lagi jika tatapan mereka berakhir dengan senyum tipis atau kernyit di dahi. Nai Nai malu akan payudaranya, sebesar ia malu akan kehidupannya.
*** Nai Nai lahir dari keluarga yang sangat sederhana. Ayahnya bekerja sebagai pembersih pendingin ruangan waktu siang dan penjual buku stensilan di daerah Pecenongan waktu malam. Ibunya sudah lama meninggal. Nai hanya tahu ibunya meninggal karena sakit parah tanpa pernah tahu persis apa jenis penyakitnya. Mereka tidak punya cukup, uang untuk membayar perawatan dokter dan obat-obatan, begitu yang sering dikatakan Ayah Nai dengan pandangan menerawang seolah mengutuk hidup dan dirinya sendiri. Setelahnya, Ayah Nai akan menambahkan alasan yang membuatnya bersikeras menyekolahkan si anak semata wayang di sebuah sekolah swasta ternama, dengan harapan ia bisa hidup lebih layak ketimbang apa yang mereka lalui sekarang. Nai tahu, mereka mendapat keringanan karena ayahnya kebetulan juga bertugas sebagai pembersih pendingin ruangan di sekolah. Tapi Nai sebenarnya sangat kesulitan menghadapi lingkungannya yang mayoritas adalah kalangan me
nengah ke atas. Yang kebanyakan ayah-ayah mereka adalah seorang direktur bukan penjual buku stensilan. Yang datang ke sekolah dengan mobil pribadi bukan berjalan kaki. Tapi Nai tak pernah berani mengutarakan masalahnya kepada Ayah. Ia tidak sampai hati menyakiti perasaan ayahnya walaupun di satu sisi ia tak dapat menepis rasa rendah dirinya. Belum lagi masalah payudara. Rasanya tak mungkin menceritakannya kepada Ayah. Pada saat-saat seperti itu Nai begitu mengharapkan keberadaan
ibunya. Walaupun Nai sudah tak bisa mengingat figur ibunya dengan jelas, tapi ia yakin segala sesuatunya akan terasa lebih mudah jika mempunyai seorang ibu. Ibu yang perempuan, ibu yang memiliki payudara, ibu yang memakai kutang.
*** Ketika Ayah bekerja di siang hari, Nai sering membaca buku-buku stensilan yang sudah ayahnya persiapkan untuk dijual malam harinya. Disantapnya berbagai cerita pengalaman seksual seperti yang kerap didengar dari mulut teman-temannya, berikut ilustrasi yang melengkapinya. Hampir semua perempuan dalam gambar-gambar yang menghiasi buku-buku itu berpayudara seperti teman-teman perempuannya. Dan hampir semua cerita yang ditulis dalam buku-buku itu menggambarkan betapa lelaki begitu berhasrat kepada payudara besar, tapi tidak payudara rata.
Awalnya, Nai membenci buku-buku itu. Tapi semakin lama ia membaca, semakin ia menyukai dan menghayatinya. Ketika membaca, Nai bukan lagi perempuan berkaus kutang. Ketika Nai membaca, ia adalah perempuan berkutang yang digarap di atas meja direktur. Ia adalah perempuan berpayudara besar yang dapat menjepit penis laki-laki di antara payudaranya saat sedang mengalami menstruasi. Ia adalah perempuan yang bisa mengencani dua laki-laki dalam sehari. Bahkan ia adalah perempuan yang
dapat berhubungan seksual dengan empat laki-laki sekaligus! Dengan menggunakan lubang vaginanya, lubang anusnya, lubang mulutnya, dan... serta payudaranya.
Sedangkan laki-laki di dalam imajinasinya adalah Yongki. Teman laki-laki yang pertama kali menambahkan kata 'kecil' di belakang namanya dan seterusnya diikuti oleh anak-anak yang lain. Membuatnya tak betah berada di sekolah, membuat perasaan tidak percaya dirinya bertambah, membuatnya sangat marah, membuatnya lemah.
Nai Nai masih ingat reaksi Yongki ketika mereka saling bersalaman dan mengucapkan nama. Tanpa tenggang rasa sedikit pun sesaat setelah mengerling ke arah payudaranya, Yongki mengatakan nama Nai kurang pas kalau tidak ditambah dengan kata 'kecil'. Nai pun masih ingat reaksi teman-teman lain ketika mendengar ucapan Yongki. Ada yang membuang muka. Ada yang menahan tawa. Tapi tidak sedikit juga yang tertawa terbahak-bahak. Nai juga masih bisa merasakan hangat yang menjalar di mukanya, dan leleh air mata di pipinya. juga masih bisa merasakan panas di telapak tangannya ketika menampar mulut Yongki. Juga masih terbayang kilat mata Yongki ketika tawa bahak yang ditujukan pada Nai berganti arah kepadanya. juga masih terdengar langkah berat Yongki menjauh dan rasa sakit merajam dadanya. juga masih ada rasa yang tidak pernah bisa Nai terjemahkan kecuali ketika sedang membaca buku-buku stensilan yang akan
diperjualbelikan ayahnya di daerah Pecenongan.
*** Sejak saat itu, Yongki tidak pernah berhenti meledekinya. Dan julukan Nai Nai Kecil makin hari makin merajalela. Tidak hanya sampai di situ. Yongki selalu mencari apa pun yang bisa dijadikan senjata untuk memeranginya, tidak terkecuali, ayahnya yang hanya sebagai pembersih pendingin ruangan. Nai Nai semakin merasa teralienasi oleh lingkungan sekolahnya. Banyak memang teman-teman yang tidak mempermasalahkan status sosial Nai Nai. Tapi Nai kehabisan napas. Ia tidak dapat mengimbangi teman-teman ketika sedang membicarakan trend terbaru. Ia tidak mengerti nama-nama masakan. Ia tidak mengerti restoran-restoran. Ia tidak mengerti tempat-tempat hiburan. Ia tidak mengerti asyiknya berburu pernak-pernik obral di pertokoan. Ia tidak mengerti daerah-daerah plesiran. Ia tidak mengerti sensasi hubungan seksual kecuali dari buku-buku stensilan.
Hingga suatu hari ketika teman-temannya sedang saling berbagi cerita tentang penga
laman pertama kencan, Nai memberanikan diri untuk mengemukakan apa yang sering dibacanya dari buku-buku stensilan sebagai pengalaman pribadinya. Serentak teman-temannya terdiam. Semuanya mendengarkan. Semuanya memberi perhatian. Tidak pernah Nai merasa diperhatikan seperti itu. Walaupun ada juga
yang bertanya bagaimana, siapa, dan apakah yang Nai ceritakan adalah sebuah kebenaran, namun Nai sudah tidak terlalu mempedulikannya lagi. Ia menemukan kesamaan rasa ketika membaca dengan ketika menceritakannya, sekaligus menyadari bahwa dengan bercerita ia lebih dominan ketimbang membaca. Tidak seperti membaca, dengan bercerita membuat Nai berubah menjadi apa dan siapa yang sedang diceritakannya. Ia hanyut dalam imajinasi dan realitas. Campur baur. Tumpang tindih. Ia bukan hanya perempuan berkaus kutang yang menjelma sebagai perempuan berkutang. Ia bukan hanya perempuan berpayudara kecil yang menjelma sebagai perempuan berpayudara besar. Ia bukan hanya perempuan idaman yang bisa menggarap beberapa laki-laki bersamaan. Tapi ia adalah perempuan berkaus kutang, berpayudara kecil, yang bisa menggarap laki-laki.
*** Itulah ketika Nai Nai menginjak tahun ketiga di sekolah menengah pertama. Semuanya berubah hanya dengan bercerita, dengan mengutip buku-buku stensilan. Semua laki-laki yang sudah mendengar perihal pengalaman seksual Nai berlomba-lomba mendapatkan Nai. Berharap akan kehangatan tubuh Nai yang berpayudara rata namun piawai melumat penis dan menelan habis sperma itu. Berharap akan kehangatan lubang vagina dan juga anus itu.
Berpaling dari perempuan-perempuan yang hanya berani merelakan payudaranya tanpa berani menyerahkan keperawanannya dengan alasan menjaga nama baik keluarga itu. Perempuan-perempuan itu, tidak seperti Nai. Tapi laki-laki yang berharap itu, bukan Yongki.
Semakin Yongki tidak juga memberi perhatian pada ceritanya, semakin Nai antusias membaca buku-buku stensilan. Ia harus datang dengan cerita-cerita baru. Ia harus datang dengan cerita-cerita yang mencengangkan. Berharap Yongki terkesima. Berharap Yongki menaruh perhatian kepadanya. Tapi Yongki adalah Yongki. Yongki yang masih meledekinya dengan panggilan Nai Nai Kecil. Yongki yang menjaga jarak. Yongki yang tidak terpengaruh. Malahan sering sekali bibir Yongki menyeringai sinis setiap kali teman-teman bercerita tentang pengalaman-pengalaman Nai yang luar biasa. Semakin Yongki bertingkah seperti itu, semakin rakusnya ia melahap buku-buku stensilan demi memenangkan perhatian Yongki dan memanjakan imajinasinya. Karena segala yang ia baca, segala yang ia ceritakan dengan penuh percaya diri tanpa cela di depan teman-temannya adalah segala fantasinya terhadap Yongki.
*** Lantas. "Lantas""
Nai Nai tetap tidak berhasil mendapatkan perhatian Yongki. Payudaranya tetap tidak tumbuh. Tetap membaca buku-buku stensilan waktu siang yang siap dijajakan oleh ayahnya di daerah Pecenongan waktu malam.
"Hanya itu""
Ya, hanya itu. "Buat apa saya mendengarkan ceritamu kalau begitu. Padahal saya berharap cerita yang lebih seru, yang lebih bermakna! Kenapa Nai tidak mencoba cara lain untuk mendapat perhatian Yongki" Kenapa Nai tidak mencicipi laki-laki yang mendekatinya ketimbang hanya menjual cerita dari buku-buku stensilan yang dibacanya" Kapan Nai memakai kutang" ceritamu tidak masuk akal! Kalau cuma buat cerita picisan malam itu, cerita stensilan, saya juga bisa!"
Itulah masalahnya, semua orang merasa mampu bercerita lebih baik. Padahal...
Lonceng tanda masuk sekolah berbunyi. Sekelompok anak-anak yang sedang bergerombol di kantin itu serta merta bubar. Lepas apakah mereka percaya atau tidak, puas atau tidak, segera mereka akan berkumpul di kantin itu untuk mendengar cerita Nai, dan siapa pun yang bisa bercerita, karena ternyata tidak semua orang mampu bercerita.
-Jakarta, 23 Juni 2003, 23:34:49
:) Anggoro, "berceritalah".
SEJARAH PENERBITAN 1. CERMIN Harian Republika, Minggu, Oktober 2002
2. MENYUSU AYAH Jurnal Perempuan, Edisi Khusus Anti Kekerasan terhadap Perempuan, November 2002. Cerpen Terbaik Jurnal Perempuan 2002
3. TING! Koran Tempo, Minggu Januari 2003
4. MANDI SABUN MANDI Harian Lampung Post, Minggu 16 Februari 2003
5. JANGAN MAIN-MAIN (dengan Kelaminmu) Majalah Sastra Basis, Edisi April 2003
6. PENTHOUSE 2601 Majalah Matra, Edisi April 2003
7. SAYA ADALAH SEORANG ALKOHOLIK! Majalah Djakarta!, Edisi April 2003
8. PAYUDARA NAI-NAI Antologi Cerpen China Moon, Eksotika Karmawibhangga Indonesia, 2003
9. STACCATO Majalah Cosmopolitan, edisi Desember 2003
10. SAYA DI MATA SEBAGIAN ORANG Harian Kompas, Minggu November 2003
11. MORAL Belum pernah diterbitkan TENTANG DJENAR Shocking! Hanya satu kata ini yang tepat untuk mengomentari karya Djenar Maesa Ayu, kelahiran Jakarta, 14 Januari 1973. Karya-karyanya yang berani membuat penulis perempuan ini sering dimaki sekaligus dicintai. Cerpen-cerpennya telah tersebar di berbagai media massa Indonesia seperti Kompas, Republika, majalah Cosmopolitan, Lampung Post, majalah Djakarta!
Buku pertamanya yang berjudul Mereka Bilang, Saya Monyet! telah terbit, cetak ulang beberapa kali dan masuk dalam nominasi 10 besar buku terbaik Khatulistiwa Literary Award 2003, selain juga akan diterbitkan ke dalam bahasa Inggris. Saat ini cerpen dengan judul yang sama sedang dalam proses pembuatan ke layar lebar. Cerpen "Waktu Nayla" menyabet predikat Cerpen Terbaik Kompas 2003, yang dibukukan bersama cerpen "Asmoro" dalam antologi cerpen pilihan Kompas itu. Sementara cerpen "Menyusu Ayah" menjadi Cerpen Terbaik 2002 versi Jurnal Perempuan dan diterjemahkan oleh Richard Oh ke dalam bahasa Inggris dengan judul "Suckling Father" untuk dimuat kembali dalam Jurnal Perempuan versi bahasa Inggris, edisi kolaborasi karya terbaik Jurnal Perempuan.
Hampir semua tulisan Djenar menyingkap sisi kehidupan yang ditabukan oleh masyarakat kita.
Pembaca yang baru mengenalnya akan terusik, bisa jadi merasa tertampar oleh cerpen-cerpen yang disajikannya dengan gaya pengucapan eksperimental dan inovatif. Perempuan yang sangat mencintai keluarganya ini -istri Edhi Widjaja, ibu dari dua orang puteri yang cantik-cantik, Banyu Bening dan Btari Maharani- mungkin hanya sekadar menyodorkan cermin kepada pembacanya. Cermin yang jujur dan menampakkan apa yang terjadi di hadapannya. Cermin yang selama ini terlarang untuk ditatap, mungkin.
dikau - kaskus.us Edit & Convert: inzomnia
http://inzomnia.wapka.mobi
tamat Hantu Muka Dua 3 Wiro Sableng 028 Petaka Gundik Jelita Pedang Keadilan 5
^