Pencarian

Jingga Dan Senja 4

Jingga Dan Senja Karya Esti Kinasih Bagian 4


Sekarang yang jadi pertanyaan, harapan tepatnya, sanggup nggak parfum yang dibeli di salah satu kota pusat mode dunia itu mengalahkan bau keringat" Karena cowok biar gantengnya kayak apa juga, tetep aja keringetnya bau sapi!Sementara itu di kejauhan...
"Gimana"" Ari bertolak pinggang. Pura-pura meminta pendapat teman-temannya tentang baju seragam Tari yang sekarang melekat teramat erat di tubuhnya, yang semua kancingnya jelas tidak mungkin bisa terkait.
Semua temannya lalu mengamati dengan tampang serius. Ada yang sambil menyipitkan mata. Ada yang keningnya sampai berkerut-kerut. Ada yang memiringkan kepala ke kiri dan ke kanan.
Tari menggeleng-gelengkan kepala tanpa sadar. Takjub. Kok ada ya, penyakit gila yang sampai massal begitu"
"Hmm, bentar... bentar," suara Ridho memecahkan hening keseriusan pura-pura itu. 'Kayaknya ada yang kurang. Apa ya"" tu cowok belagak mikir. "Oh, iya!" serunya kemudian sambil menjetikkan jari. "Kemaren-kemaren gue liat ada tonjolannya deh. kok sekarang nggak ada""
Muka TAri langsung merah padam. Apalagi setelah beberapa pasang mata langsung menoleh dan menatapnya. Sebagian besar adalah anak-anak kelas X-3, yang kegiatan berolahraganya jadi on-off gara
-gara melihat Tari dan teman-teman ceweknya berdiri bergerombol di tengah lapangan basket.
Oji, Ridho, dan teman-teman Ari yang lain lalu berlagak mencari-cari. Lagi-lagi dengan tingkat keseriusan yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan keseriusan mereka saat belajar di kelas. Tak lama Eki menegakkan tubuh, setelah beberapa saat menyibaki rumput yang tumbuh di tepi lapangan futsal. Seolah-olah yang dimaksud Ridho dengan kalimatnya tadi adalah sejenis jangkrik atau belalang.
"Tu tojolan yang kayak apa sih"" tanya Eki, berlagak blo'on. "Bingung juga gue nyarinya kalo nggak tau bendanya."
"Terangin, Ji!" perintah Ari pada Oji dengan nada berwibawa, memicu tawa-tawa geli dan suit-suitan.
"Ck, tolol lo emang. Makanya pacaran." Oji menatap Eki, berlagak prihatin. "Udah, cepet jelasin!" sentak Ari.
"Eh, iya, Bos. Bentar." Oji merinigs sambil garuk-garuk kepala. Kemudian dia berpikir keras. Tak lama dia berseru keras sambil menjentikkan jari.
"Lo tau gedung DPR/MPR, nggak"" ditatapnya Eki dengan kedua mata membulat lebar. Keliatan jelas Oji girang banget karena berhasil menemukan padanan objek. Sementara Ari mengulum senyum melihat antek-anteknya itu sukses berkelit.
"He-eh"" Eki mengangguk, tapi dengan tampang dibikin seolah-olah dia nggak paham.
"Tau kan bentuk atapnya kayak gimana""
"Iya tau." Eki mengangguk lagi. Tapi masih belagak nggak mudeng.
"Nah, kayak gitu benda yang kita cari."
"Ooh, kayak kutang gitu ya""
"IYAAAAAA, DISEBUTIN!!!" Oji berteriak. "Gue udah capek-capek pake metafora. Dasar gobloooook! Kampungan! Udik! Katro! Hare gene, masih pake sebutan zaman feodal. Buka tesaurus dwoooong. Cari sinonimnya. Bikin malu kelas kita aja. Pindah ke kelas laen aja lo, Ki!"
Oji berlagak histeris abis. Memicu tawa-tawa terbahak meledak tak terkendali. Ari sendiri sampai membungkukkan tubuh. Satu tangannya memegangi perut, sementara tangan yang lainnya berpegangan pada salah satu tiang gawang. Kedua bahunya berguncang-guncang karena tawa.
Joke itu emang bikin Ari dan semua temannya jadi terpingkal-pingkal. Sementara para junior mereka, termasuk teman-teman cowok sekelas Tari, jadi tersenyum lebar. Sebagian besar tidak bisa menahan mata mereka dan hinggap di objek tertawaan. Tapi untuk Tari, pasti juga untuk semua cewek yang ada diposisinya-dengan catatan tu cewek waras, ngak kecentilan-asli, itu pelecehan berat!!! Diapit Fio dan Nyoman dikiri-kanan, yang jadi merangkulnya tanpa sadar, Tari berdiri diam. Diam yg menekan gelegak kemarahan. Enggan banget dihampirinya Ari lalu ditonjoknya bertubi-tubi. Tapi cewek itu juga sadar, nekat menghampiri Ari hanya akan membuat dirinya semakin jadi bulan-bulanan. Sementara Pak Adang, yang selama 15 menit terakhir perhatiannya tercurah penuh pada Renata dan sembilan anak lain yang berada dilapangan futsal, seketika mengerutkan kening saat melihat aktivitas dilapangan basket berhenti total. 10 siswi yang tadi ditinggalkannya dengan setumpuk instruksi kini berdiri bergerombol. Menatap serius ke satu titik dan sama sekali tidak melakukan satu pun instruksi yang dia berikan. Sementara sisanya yang tadi duduk-duduk ditepi lapangan menunggu giliran, bergabung bersama kesepuluh teman mereka. Juga serius menatap ke fokus yang sama. Bukan hanya mereka. Kegiatan dilapangan voli dan lapangan futsal yang lain, tempat rekan sejawatnya menitipkan padanya pengawasan terhadap anak-anak didiknya, aktivitas olahraga juga tidak berjalan lancar. Beberapa orang yang jadi ikut-ikutan menatap ke titik yang sama dengan Tari dan teman-temannya, jelas jadi menghambat permainan.Dengan kesal Pak Adang menghampiri para siswi yang berdiri bergerombol itu.
"Ada apa"" tanyanya tajam.
"Bapak cuma bisa mengajar satu jam. Jadi jangan dibuang-buang waktunya." Tari langsung menarik napas lega. Berharap Pak Adang akan menolongnya lagi.
"Baju seragam saya diambil sama kak Ari, Pak." Ditunjuknya Ari di kejauhan. Pak Adang menoleh kearah yang ditunjuk Tari lalu menghela napas. Diluar harapan Tari, kali ini Pak Adang tidak melakukan apapun untuk menolongnya. Beliau malah memerint
ahkan para siswi itu kembali ke posisi masing-masing dan melanjutkan permainan. "Baju seragam saya Paaaaak!" Kembali Tari menunjuk Ari lurus-lurus. Kali ini hampir menangis. "Nanti Bapak ambil," Pak Adang menenangkan. Ditepuknya satu bahu Tari. "Sekarang lanjutkan dulu basketnya." Terpaksa Tari mematuhi perintah itu, tapi jelas konsentrasinya ngak bisa total. Jangankan total, 50% juga ngak ada. Hampir semua konsentrasi cewek itu nyangkut di Ari. Meskipun hanya satu orang yang kacau, itu jelas akan mengacaukan semua orang yang ada dilapangan. Pak Adang berdecak. Beliau segera melangkah kelapangan futsal. Setelah meninggalkan sederet instruksi untuk kesepuluh siswa yang berada dilapangan tersebut, guru olahraga itu kembali kelapangan basket. Untuk memaksa Tari berkonsentrasi penuh pada permainan, sekaligus untuk menyelamatkan jam mengajarnya dari gangguan Ari, Pak Adang ikut bergabung bersama anak-anak didiknya itu. Sebentar-sebentar beliau mengeluarkan perintah dengan seruan keras. Usahanya tak sia-sia. Meskipun tidak mencapai 100%, Ari dan eman-temannya kini tidak lagi menjadi pusat perhatian yang mengacaukan keempat lapangan olahraga. Ditepi lapangan futsal, Ari yang telah kehilangan panggung kehormatannya menatap kelapangan basket dengan geram. "Tu guru ganggu kesenengan gue aja!"
"Udah cukuplah man..." Ridho menepuk-nepuk satu bahunya. "Kasian tu cewek kalo lo godain lagi. Tadi aja udah dua kali hampir nangis. Ditengah lapangan nih. Banyak banget orang." Oji berjalan menghampiri. "Bajunya lepas deh, Bos. Bentar lagi kayaknya bakalan robek tuh. Soalnya udah pada ketarik." Dibantu Oji, Ari melepaskan baju seragam Tari yang dipakainya dengan paksa. Harus ekstra hati-hati karena baju itu melekat teramat erat ditubuhnya, nyaris seperti kulit kedua. Cowok itu kemudian melangkah menuju pos sekuriti dan menyandarkan punggung telanjangnya ditembok belakang bangunan mungil itu, mengawasi lapangan basket. Meskipun sudah berusaha keras berkonsentrasi penuh, gangguan-gangguan Ari itu membuat kemampuan bermain basket Tari yang sudah parah jadi semakin parah lagi. Ari ketawa pelan saat untuk kesekian kali dilihatnya lemparan Tari meleset. Yang terakhir ini, sumpah, parah banget. Bukan cuma ngak masuk keranjang. Melenceng hampir 2 meter! Pak Adang, yang berdiri ditepi lapangan futsal tempat teman-teman cowok sekelas Tari bermain, mengawasi 2 lapangan sekaligus, juga ikut kesal. Dia perintahkan Maya yang sedang mengejar bola basket yang berlari keluar lapangan karena lemparan meleset Tari-untuk meleparnya kembali ke Tari. "Coba sekali lagi!" seru guru olahraga itu. Tiba-tiba Ari melesat meninggalkan tempatnya. Di detik Tari tengah mengambil ancang-ancang untuk melemarkan bola ditangannya, di saat kedua matanya tertuju lurus pada lingkaran besi tak jauh diatas kepalanya, dari arah depan Ari menyambar pinggangnya dengan kedua tangan lalu mengangkatnya tinggi-tinggi. Tari menjerit kaget. Seketika bola terlepas dari tangannya. Menggelinding menjauh. Cewek itu terpaksa berpegangan pada kedua bahu Ari karena tidak ada lagi tempat bagi kedua tangannya menemukan pegangan selain dikedua bahu telanjang cowok itu. Tari sempat bergidik, karena kulit bersentuhan dengan kulit. Ari menikmati keterkejutan yang lalu memberi rona merah padam pada wajah yang menunduk tepat diatasnya itu. "Bilang dong kalo ngak bisa main basket. Gue ajarin," ucapnya lembut. Tari sempat tertegun. Tatapan kedua mata hitam itu hangat. Meskipun samar, sorot lembutnya bisa tertangkap. "Kak Ari, turunin," pintanya. Suaranya terdengar lemah saking tidak percayanya Ari akan melakukan tindakan ini. Ari tersenyum lebar. Tidak dengan kedua bibirnya, tapi dengan kedua matanya. Pijar hangat dikedua mata hitam itu kini menyala. "Kok bego sih" Hmm" Gue angkat supaya lo bisa masukin bola keranjang. Malah dilepas lagi bolanya." Tari mengeluh lirih. Sesaat kepalanya semakin menunduk lagi.
Kemudian dia ulangi permintaannya, kali ini hampir menangis. "Tolong turunin dong, kak." Ari mengabaikan permintaan itu. Seolah ingin Tari benar-benar mencamkan dirinya adalah penguasa disini. Cowo
k itu terlihat tidak bisa menyembunyikan rasa senangnya, karena kali ini Tari benar-benar tidak mampu melawannya. Dalam rengkuhan sinar matahari, dalam sedetik momen yang melenyapkan seluruh latar, sungguh-sungguh keduanya adalah keindahan. Sampai kemudian pukulan tangan Pak Adang yang lumayan keras dipunggung telanjang Ari mengoyak lukisan indah itu dan melemparkan kembali realitas ke tengah-tengah semuanya. Beku yang memeluk seluruh tubuh yang sejak tadi menjadi saksi tak ayal tercairkan. Dan seketika menghadirkan sorak, suitan, serta tepuk tangan yg seakan mampu meruntuhkan langit. Di sisa-sisa tatapan hangat Ari yang masih bisa dirasakan Tari, sesaat dilambungkannya cewek itu lebih tinggi lagi. Seolah akan dipersembahkannya Tari pada kemegahan sang matahari tunggal yang sesungguhnya. Refleks, Tari meraih dan memeluk leher Ari karena semakin menjauhnya bumi. Adegan itu menaikkan oktaf gemuruh sorak riuh para saksi mata ke level histeria. Kemudian Ari menurunkan Tari. Mengembalikan cewek itu, juga dirinya sendiri, pada realitas. Seketika tatap hangat dan lembut tadi menghilang, berubah jadi ilusi sesaat. Setelah sempat membeku dalam ketidakpercayaan akan apa yang beruntun dilakukan Ari terhadap dirinya, Tari berlari ke kelas dengan muka merah padam dan bibir tergigit. Fio bergegas menyusul. Pak Adang terpaksa membiarkan. Guru itu balik badan, sudah siap akan memarahi Ari habis-habisan, karena ini kali kesekian siswa itu mengganggu jam pelajarannya, dan hari ini adalah yang paling kelewatan. 3x Ari membuat ulah dalam waktu hanya 1 jam. Sayangnya, Ari sudah melangkah menjauhi lapangan, sambil mengenakan baju seragamnya yang sesaat tadi dilemparkan Oji. Akhirnya Pak Adang cuma bisa geleng-gelang kepala. Gita menyaksikan peristiwa itu sambil menggigit bibir. Tak bisa dicegah, pikirannya melayang pada Angga. Kalau saja sepupunya itu menyaksikan adegan didepannya ini, bisa dipastikan akan terjadi perkelahian sengit. Begitu sampai kelas, Tari langsung mengeluarkan ponselnya dari dalam tas. Dicarinya nama Ata didaftar kontak lalu ditekannya tombol bergambar garis hijau. Tidak diangkat. Dicobanya lagi. Tetap tidak diangkat. Dicobanya sekali lagi dan sekali lagi dan sekali lagi. Tetap tidak diangkat. "Pasti dia lagi belajar juga deh Tar," ucap Fio hati-hati. Tari menghentikan usahanya. Cewek itu kemudian menelungkupkan kepala diatas meja dan terisak. Fio hanya bisa geleng-geleng kepala sambil menarik napas panjang, lalu mengembuskannya kuat-kuat. Tak lama ponsel Tari bergetar. Seketika cewek itu menegakkan tubuh dan menyambar ponselnya. Dari ekspresi mukanya, Fio langsung tahu Ata-lah yg menelepon. "Halo"...lagi belajar ya"...sori banget gue jadi ganggu elo...iya, tadi dilapangan dia gangguin gue...Aduh, pokonya nyebelin banget tau ngak! Tu orang apa sih maunya! Dikira ngak malu-maluin apa, ditonton orang ditengah-tengah lapangan gitu! Pasti deh ntar jam istirahat, satu sekolah udah pada tau ceritanya. Trus kemanapun gue pergi, diliatin kayak gue udah kena flu babi!" Tari langsung mengadukan perbuatan Ari pada Ata, dengan intonasi seperti muntahan peluru senapan mesin. Ditambah iringan banjir bah isak tangis dan air mata. Ketika percakapan telepon yag nyaris hanya searah itu akhirnya berakhir, Tari terlihat lebih tenang. "Lo cuci muka gih. Mumpung anak-anak belum pada datang." saran Fio dengan suara pelan. "Nih gue beliin air es dikantin. Kompres tu mata biar ngak bengkak-bengkak amat." Tari mengangguk. Keduanya berdiri lalu berjalan menuju toilet. Ketika kemudian teman-teman sekelas muncul, 20 menit sebelum jam olahraga selesai, kondisi Tari sudah agak membaik. Ternyata teman-teman sekelasnya cukup bijak untuk tidak bertanya apa-apa. Beberapa dari mereka bahkan bersikap seolah-olah peristiwa tadi tidak pernah terjadi.Renata menghampiri Tari dengan sesuatu ditangan kanannya. Ternyata baju seragam Tari yang sudah dalam keadaan terlipat rapi.
"Dari kak Ari nih," ucapnya dengan suara pelan, sambil mengangsurkan seragam ditangannya pada sang pemilik.
"Makasih ya Ren," ucap Tari, juga dengan suara pelan. Renata mengangguk dan t
idak bicara apa-apa lagi. Ditepuk-tepuknya bahu Tari, kemudian melangkah menuju bangkunya sendiri. Suasanan kelas X-9 kembali normal. 20 menit jam olahraga yang msh tersisa langsung dimanfaatkan oleh sebagian besar penghuni kelas untuk merapikan catatan biologi. Karena dari desas-desus yang santer beredar, Bu Endang akan melakukan pemeriksaan catatan mendadak. Sebagian besar dari mereka masih mengenakan kaus olahraga, menunggu sampai keringat benar-benar kering. Sayangnya, suasana yang sudah membaik dan tenang itu dirusak oleh kedatangan Oji. Tiba-tiba saja antek Ari itu muncul diambang pintu dan langsung memasuki kelas. Tangan kanannya menenteng paperbag warna merah hati. Seisi kelas kontan terdiam, menghentikan kegiatan masing-masing dan memfokuskan perhatian pada sang senior itu. Mereka sudah bisa menduga, kemunculan Oji pasti berkaitan dengan peristiwa dilapangan.
"Dari Ari." ucap Oji pendek. Diletakkannya paperbag itu di meja Tari. Tari menatap paperbag itu dengan pandang dingin. "Kenapa ngak dia sendiri yang datang minta maaf"" tanyanya ketus.
"Weits! Ati-ati lo ngomong," ucap Oji dengan nada tajam.
"Siapa bilang Bos minta maaf" Dia cuma nyuruh gue ngasih ni coklat. Buat elo katanya."
"Trus, kalo bukan untuk minta maaf, ngapain dia ngasih-ngasih coklat""
"Ya ngasih aja. Emangnya kudu pake alesan" Coklat mahal tuh. Langganannya orang-orang kaya sama selebriti. Lo pasti belum pernah ngerasain kan" Makanya dia beliin."
liih! Tari menatap Oji dengan mata menyipit saking ngak percayanya. Kok ada ya, cowok yang brengseknya kayak Ari sama jongosnya ini!
"Bawa lagi tu coklat. Gue ngak sudi. Kalo gue mau, gue bisa beli sendiri. Semahal apa sih harga coklat"" Oji tidak mengacuhkan ucapan Tari itu. Dia malah mengeluarkan isi paperbag. Seisi kelas kontan ternganga. Mereka langsung menyesalkan keputusan Tari menolak pemberian Ari itu. satu stoples coklat yang benar-benar cantik. Bentuknya macam-macam. Ada yang lucu, ada yang manis, warna-warni pula. Kekaguman teman-teman sekelas Tari yang menjelma dalam bentuk dengungan samar membuat Oji mengangkat kedua alisnya tinggi-tinggi. Cowok itu yakin Tari pasti kagum juga dan tidak jadi menolak. Dugaannya melesat.
"Kakak kali, yang belum pernah ngerasain coklat kayak gitu," ejek Tari.
"Gue sih udah pernah. Biasa aja. Cuma coklat kayak gitu aja sampe jadi langganan seleb sama orang kaya. Ngak mungkin! Bohong lo! Belagu!"
"Oh, gitu." Sekali lagi Oji mengangkat alis.
"Oke." Dikeluarkannya ponselnya dari saku celana.
"Coklatnya ditolak Bos." Seisi kelas kontan menahan napas. Bakalan gawat nih!"
Lo tuh ya, apa-apa ngadu, apa-apa ngadu," desis Tari kesal.
"Ini laporan. Bukan ngadu," jawab Oji kalem. Perhatiannya kemudian kembali ke ponsel yang masih menempel di satu telinganya itu.
"Siap Bos!" dia mengangguk-angguk. Dijauhkannya ponselnya dari telinga.
"Kata Bos Ari, terima, terima semua. Tolak, tolak semua. Jadi, sini seragam lo. Kasih ke gue."
"Lo sinting ya!"" Tari kontan melotot. Oji langsung menempelkan kembali ponselnya ke telinga. "Gue dikatain sinting Bos!" lapornya dengan intonasi seolah-olah dirinya terluka dan sakit hati. "Gitu"...siap Bos!" Cowok itu mematikan ponselnya, kemudian menatap Tari.
"Beneran nih elo ngak mau terima coklatnya"" kembali dia memastikan untuk yang terakhir kali. "Iiiih!" Dengan gemas Tari mengetuk-ngetukan bolpoinnya ke meja.
"Kakak tuh budeknya parah banget ya" Nih, gue ulangin. Dengar ya..." Tari diam sesaat. Kemudian dia teruskan kalimatnya dengan penekanan. "Gue...ngak...mau...terima... tu coklat! Ngak akan!!!" Sekali lagi sebagian besar teman-teman sekelas Tari menyesalkan keputusan itu. Kalau Tari ngak sudi menerima apalagi memakannya, banyak banget mulut yang siap menampung. satu stoples gitu doang kurang malah. Gila, tuh coklat bikinan toko coklat te-o-pe be-ge-te. Harganya dipastikan muahal. Rasanya juga bisa dipastikan uenak. Bentuknya juga lucu-lucu buanget. Pokoknya ngak bisa dibandingin sama coklat-coklat yang dijual di supermarket-supermarket. Apalagi coklat yang dijual dikantin. Juauh!
"Oke." Oji mengangguk. Sikapnya tetap santai. Diambilnya stoples berisi coklat itu, lalu dia masukkan kembali kedalam paperbag. Kemudian didekatkannya ponselnya ke telinga setelah sebelumnya ditekannya tombol kontak.
"Fix, Bos. Dia ngak mau terima coklatnya." Seisi kelas kontan jadi tegang. Termasuk Tari sendiri. Tapi dia sudah bertekad, akan dilawannya Ari habis-habisan. Biar tu cowok tahu, ngak semua orang takut sama dia. Juga ngak semua cewek naksir dia dan pastinya, ngak semua cewek gampang lumer sama rayuannya. Apalagi cuma pake coklat! Tak lama Ari muncul. Suasana kelas jadi semakin tegang. Kedua matanya langsung tertancap pada Tari. Bahkan ketika Oji mengangsurkan paperbag berisi stoples coklat cantik itu, tatapan Ari tidak berpaling. Diterimanya paperbag itu tanpa bicara. Cowok itu menunjukan ucapan pertamanya untuk Fio.
"Gue pinjem bangku lo sebentar, Fi." Fio jelas langsung melaksanakan perintah itu.
"Gue ngungsi dulu ya, Tar." ucapnya lirih. Dengan rasa bersalah tapi tak bisa berbuat apa-apa, Fio bangkit berdiri dan mengungsi ke bangku kosong terdekat.
Sambil meletakkan paperbag diatas meja, Ari menggeser bangku Fio yang sekarang kosong itu, mendekati Tari. Cowok itu duduk dan meletakkan kedua tangannya diatas meja. Kesepuluh jarinya lalu saling bertaut. Kemudian, dengan punggung sedikit dibungkukkan agar sejajar dengan Tari, Ari menoleh dan menatap cewek yang posisi duduknya telah dibuatnya teramat dekat disebelahnya itu. Wajah yang cemberut, mata yang memerah serta menyorotkan kemarah, dan bibir yang terkatup rapat, membuat Ari sejenak menarik napas panjang.
"Sampe kapan lo mau terus ngelawan gue"" tanyanya dengan suara pelan. Tari tidak menjawab. "Bodyguard lo, si Angga, udah ngak ada. Lo mau ngelawan gue sendirian"" Lagi-lagi Tari tidak menjawab. Gangguan Ari yang beruntun dilapangan tadi membuat kekuatan mentalnya mencapai batas akhir. Tapi kedua matanya menentang tatapan Ari, lurus dan terang-terangan. Ari tersenyum. "Capek lo ntar," ucap Ari lunak. Digesernya paperbag didepannya ke depan Tari. "Ni coklat gue sendiri yang beli. Bukan nyuruh Oji atau orang lain. Gue sendiri yang jalan kesana tadi dan ini pertama kali nya gue ngasih sesuatu buat cewek." Tari menatap paperbag itu dengan pandangan dingin. Bentuk penolakan tanpa kata-kata. Ari menunggu. Ketika beberapa detik terlewat dan cewek disebelahnya itu tak juga memberikan reaksi lain selain diam, diulurkannya tangan kirinya dan diletakkannya di puncak kepala Tari. Seketika Tari berusaha mengelak dgn menjauhkan kepalanya, tapi ternyata kelima jari Ari mencengkeram puncak kepala Tari seperti jari-jari sebuah robot. Cowok itu kemudian memaksa Tari menatap kedua matanya dan ketika kemudian dia bicara, nada lunaknya mulai diwarnai penekanan.
"Jadi lebih baik lo berenti ngelawan. Karena kalo lo terus kayak gini, terus ngelawan gue, lama-lama gangguan gue akan semakin parah dan belum tentu gue bersedia berenti meskipun lo udah nyerah." Monolog itu, karena Tari terus bungkam, diucapkan Ari dengan suara pelan. Tapi karena suasana kelas yang sontak hening begitu pentolan sekolah itu muncul di ambang pintu tadi, suara Ari bisa ditangkap oleh hampir sebagian besar isi kelas. Termasuk Oji, yang duduk diatas meja Devi, dua meja dibelakang meja Tari. Cowok itu langsung mengatupkan kedua bibirnya, menahan senyum. Ngasih coklat tapi buntutnya ngancem. Emang dasar si Ari! ucap Oji dalam hati, geli. Tiba-tiba Ari mendekatkan tubuhnya dan berbisik di telinga Tari.
"Ni coklat, murni. Bukan karena Ata abis telepon gue. Curhat lo pasti penuh dengan tangis dan air mata ya, karena tadi ditelepon Ata sampe ngamuk. Sama sekali bukan karena itu. Tanpa Ata telepon pun, gue udah niat ngasih coklat ke elo." Ari menjauhkan kembali tubuhnya. Diusap-usapnya puncak kepala Tari.
"Okeee"" nada suaranya kembali normal. "Tolong dipertimbangkan omongan gue barusan. Kemudian cowok itu bangkit berdiri."Balik Ji," ucapnya sambil berjalan kearah pintu. Oji langsung melompat turun dari meja yang didudukinya dan menjajari Ari. Tari mengikuti kepergian pentolan sekolah
itu dengan tatapan benci. Begitu Ari telah hilang dibalik pintu. Tari langsung berdiri. Dengan kesal disambarnya paperbag berisi coklat pemberian Ari, lalu dilemparnya begitu saja kearah kerumunan teman-temannya. Dengan sigap, Chiko buru-buru menangkap. "Lo-lo pada makan deh tuh coklat. Abisin!"
"Asyeeeeeiiik!!!" langsung terdengar seruan-seruan riang. Setelah mengambil ponselnya dari dalam tas, Tari kemudian bergegas keluar. Melihat itu Fio langsung berdiri. Tapi ternyata untuk mencapai pintu yang jaraknya tidak terlalu jauh itu, sekarang diperlukan usaha keras. Bentuk coklat yang lucu-lucu dan warna-warni pula, ditambah jumlahnya yang mungkin cuma setengah dari jumlah penghuni kelas, kontan mengubah ruang kelas itu menjadi medan pertempuran memperebutkan coklat pemberian Ari. Nongender. Cowok-cewek. Saling tarik, saling dorong, saling rebut. Ruang kelas jadi penuh manusia yang berlarian ke segala arah. Meja dan bangku jd berantakan. Cewek-cewek menggunakan serangan yang para cowok ngak tega untuk membalas. Nyubit. Gantinya, para cowok melancarkan serangan balik yang membuat para cewek berlarian menghindar atau menjerit-jerit. "Ayooo, kasih ngak coklatnya ke gueee" Kalo ngak, entar gue peluk nih. Atau gue cium malah." Alhasil, yang kemudian keluar sebagai pemenang sebagian besar emang cowok-cowok. Fio, yang setengah mati berusaha mencapai pintu untuk menyusul Tari, akhirnya berseru kesal.
"AWAS KENAPA SIIIH!"" Dia entakkan kaki keras-keras ke lantai."Dasar udik. Baru coklat gitu aja direbutin. Pada ngak pernah makan coklat kayak gitu ya" Dasar norak!"
"SPONGEBOB SQUAREPAAAAAANTS!!!" sebuah seruan keras menyertai sebuah tangan yang tiba-tiba terjulur tepat didepan muka Fio, menggenggam salah satu tokoh kartun favoritnya, Spongebob. "Iih, lucuuuuu!" Fio langsung histeris.
"Buat gue! Buat gue!" serunya sambil berusaha merebut coklat itu.
"Enak aja!" Seketika tangan itu, yang ternyata milik Jimmy, menghilang dari depan muka Fio.
"Lo ngak liat apa" Gue harus membunuh 5 orang teman demi mendapatkan si busa kotak." Jimmy menjauh sambil ketawa-ketawa puas, karena Fio adalah cewek kesekian yang histeris melihat coklat ditangannya tapi tak berdaya untuk merebut.
"Kok gue jadi ikut-ikutan gini sih"" Fio tersadar. "Ck!" Dijitaknya kepalanya sendiri, lalu buru-buru dicarinya jalan untuk mencapai pintu. Fio berhasil keluar kelas bertepatan dengan dua orang guru dari dua kelas yg bersebelahan mendatangi kelasnya dengan muka marah. Soalnya kegaduhan dikelas itu sudah seperti ditengah pasar. Ketika Fio sampai digudang dan membuka pintunya yang ternyata tidak dikunci, dilihatnya Tari sedang bicara ditelepon dengan nada berapi-api.
"Iya, barusan aja dia ngasih coklat. Tapi maksa. Gue kudu terima. Udah gitu, abis itu gue diancem, disuruh berenti ngelawan dia. Katanya kalo gue ngak berenti ngelawan, dia gangguinnya juga bakalan makin parah...coklatnya gue kemanain"...Gue sebar dikelas!...Ngak sudi gue makan coklat yang dikasih kak Ari. Ntar kalo dia taroin racun, gimana hayo" Atau dia kasih jampi-jampi. Dari musuhan trus kami jadi temenan deh gitu. Malah trus jadi akrab banget...Kok lo ketawa sih"...Hiperbola"...Ngaklah. Itu bisa kejadian tau!" Fio mengunci pintu gudang. Sebentar lagi bel istirahat berbunyi. Jangan sampai ada yang tidak sengaja membuka pintu lalu memergoki pembicaraan Tari. Cewek itu kemudian menyandarkan punggung ke dinding. Menunggu Tari selesai menumpahkan kemarahannya, yang bahkan baru diteleponnya 30 menit yang lalu. Begitu menutup telepon, Tari langsung menatap Fio."Lo punya duit ngak""
"Buat apa"" Fio balik menatap, bingung.
"Ya beli baju seragam baru lah. Dikoperasi. Masa gue mesti pake baju seragam gue yang tadi dipake kak Ari" Bekas keringetnya dia gitu. Gila kali!"
"JADI, rival gue sekarang sodara kembar gue sendiri nih""
Tari, yang baru saja menapaki koridor utama yang menuju ke arah tangga nyaris saja terlonjak. Ari sudah berdiri rapat di sebelah kanannya. Dan dengan membungkukkan punggung, kalimat barusan dibisikkan cowok itu tepat di telinganya. Kemudian cowok itu menegakka
n kembali tubuhnya. "Nggak masalah," ucap Ari dengan nada ringan. Sejenak diangkatnya kedua alis. "Tapi gue sama dia sifatnya hampir sama lho."
"Nggak. Beda banget, tau!" serta-merta Tari membantah. Ari tersenyum geli.
"Elo tau apa sih" Gue kenal dia dari kecil. Dan dalem perut malah."
"Beda!" Tari tetap ngotot. Senyum Ari jadi semakin lebar.
Cowok itu mengulurkan tangannya ke belakang, seperti mencari-cari sesuatu di saku belakang celana panjangnya. Sekotak rokok kemudian tergenggam di tangan kirinya.
"Kalo deket elo tuh gue harus nyiapin rokok. Buat peredam. Soalnya elo suka ngelawan. Kalo nggak ada peredam, bisa-bisa lo gue apa-apain ntar," ucapnya sambil memasukkan kotak rokok itu ke saku kemeja. Penjelasannya membuat Tari bergidik dan seketika mundur selangkah tanpa sadar.
"Tu korek ke mana, lagi"" kembali Ari mengulurkan tangannya ke belakang. Tiba-tiba ponselnya mengeluarkan ringtone tanda ada panggilan masuk. Dikeluarkannya benda itu dan saku depan celana panjangnya. Sesaat keningnya berkerut saat menatap layar ponsel.
"Panjang umuuuuur," sapanya untuk lawan bicaranya di telepon. "Kami lagi ngomongin elo nih."
Ata! Tari tertegun. Tak menyangka akan menyaksikan komunikasi langsung kedua kembar itu di depan matanya. Langkahnya sampal terhenti. Ari ikut menghentikan langkah. Cowok itu kemudian pindah posisi ke depan Tari. Sementara mulutnya berkomunikasi dengan saudara kembarnya di ujung lain telepon, kedua matanya terarah lurus pada Tari. Ada pijar yang tak dimengerti Tari, berkilat di kedua mata Ari.
"Sekarang gue lagi berduaan sama si kembar ketiga nih," ucap Ari. Kemudian terdiam. Perlahan kedua matanya menyipit tanpa fokus, sementara perhatiannya terkonsentrasi pada ponsel di satu telinganya itu. "Lo semalem udah marah-marah hampir sejam! Masih kurang ya" Sekarang masih mau ngamuk lagi" Gue tutup teleponnya nih! ... Mau ngomong"" Kedua mata Ari melebar, kemudian dia tertawa geli. "Elo tuh bego ya" Kita rival, kan" Nggak mungkinlah gue kasih lo ngomong sama dia selama ini cewek ada sama gue. Apalagi pake HP gue pula. Bukan cuma nggak sopan, itu berarti nantang. Paham""
Sekarang Tari mengerti makna pijar yang bekerlip di kedua mata Ari. Ini pertarungan tiga kubu! Keberadaan Ata yang tidak bersama-sama mereka memang membuat Ari jadi punya dua lawan terpisah. Sementara Ata dan Tari yang tidak bisa bersama-sama mau tidak mau harus menghadapi pentolan SMA Airlangga ini sendiri-sendiri. Dan yang posisinya berada di atas angin untuk saat ini memang hanya satu orang. Ari!
Sepertinya Ata memutuskan pembicaraan dengan tiba-tiba, karena kemudian Ari menjauhkan ponselnya dari telinga lalu memandangnya dengan kening berkerut.
"Nggak sopan. Main tutup gitu aja," dengusnya. Tapi kemudian seulas senyum geli yang juga bisa diartikan sebagai kemenangan tercetak di bibirnya. "Gimana kalo gue kirimin dia SMS, pemberitahuan kalo ntar siang gue mau maksa nganter lo pulang"" Ditatapnya Tari dengan kedua alis terangkat. "Pasti makin berasep ubun-ubunnya. Sayang gue nggak bisa ngeliat langsung." Sambil menekan-nekan tombol ponselnya, Ari menyeringai geli.
Dasar jahat emang ni orang! desis Tari dalam hati. Tak lama kemudian, gantian ponselnya yang mengeluarkan ringtone pertanda ada panggilan masuk. Cewek itu bergegas mengeluarkannya dari saku kemeja.
Tapi belum sempat Tari melihat nama siapa yang muncul di layar, Ari sudah keburu merebutnya. Seketika Tari berusaha merebut kembali ponselnya, tapi gagal. Dengan tangan kanan mematahkan setiap usaha Tari untuk mengambil kembali ponselnya, Ari menatap ke arah layar. Keningnya sesaat berkerut.
Ketika usahanya tak juga berhasil, akhirnya Tari menyerah. Cewek itu hanya bisa melotot marah, yang tentu saja tidak berefek apa-apa.
"Nah, begitu dong. Tenang sedikit kenapa sih"" Ari memasukkan ponsel miliknya ke saku celana, kemudian menepuk-nepuk puncak kepala cewek di depannya. Sama sekali tidak mengacuhkan sepasang mata yang menatapnya dengan kilatan marah itu.
Tari mengepalkan kesepuluh jarinya kuat-kuat. Kalau saja tidak sedang berada di sekol
ah, mungkin dia sudah menjerit-jerit saking marahnya. Ari mendekatkan ponsel Tari ke satu telinganya.
"Ya"" ucap cowok itu, kemudian tertawa pelan. "Kok gue lagi" Kan tadi udah gue bilang, gue lagi berduaan sama kembar kita yang ketiga. Di depan gue persis nih orangnya... Oh, gue emang hobi merampas HP siapa aja... Balikin HP-nya ke dia" ... Ini perintah" ... Kalo gue nggak mau, gimana"" Ari menyeringai lalu tertawa geli.
"Ata...," ucapnya kemudian dengan nada belagak prihatin, "lo nggak bisa apa-apa. Lo pikir lo ada di mana" Selama Tari ada di wilayah kekuasaan gue, apalagi kalo orangnya lagi ada di deket gue begini, otomatis dia ada di bawah otoritas gue."
Selama beberapa detik berikutnya Ari tidak bicara apa-apa, hanya tetap menempelkan ponsel Tari di telinga sambil tersenyum, kadang tertawa tanpa suara.
"Sst!" cowok itu menempelkan telunjuk kanannya ke bibir. Seolah-olah Tari sedang menciptakan keributan. Padahal setelah usahanya merebut ponsel gagal, dan tadi cewek itu cuma diam menahan marah. "Ada yang lagi memohon,' bisik Ari. Dia kedipkan satu matanya. Kemudian selama beberapa detik cowok itu terdiam lagi, serius dengan ponsel Tari yang menempel di satu telinganya itu.
Pembicaraan berakhir. Ari menjauhkan ponsel itu dan telinganya tapi tidak menyerahkannya kepada sang pemilik.
"Tolong jangan ganggu elo, katanya," Ari membenitahu Tari percakapan terakhimya dengan Ata. "Permohonan sia-sia. Kalo gue mau ganggu elo, bisa apa dia" Iya nggak" Tapi gue seneng sih dengernya. Ada yang sampe memohon! Coba lo bayangin. Ck ck ck!" dia berdecak sambil geleng-geleng kepala. Sementara jarinya sibuk menekan tombol-tombol di ponsel Tari. "Kalo saham, nilai lo melonjak, Tar."
Kurang ajar! maki Tani dalam hati. Tapi kemudian dia menyadari apa yang sedang dilakukan Ari terhadap ponselnya.
"Kakak ngapain"" tanyanya seketika. Ari tidak menjawab. Jarinya semakin cepat menekan tombol-tombol ponsel di tangannya.
"Kakak ngapain sih!"" seru Tari. Kali ini sambil berusaha merebut ponselnya. Ari berkelit. Dia julurkan tangan kirinya yang memegang ponsel Tari tinggi-tinggi. Sementara tangan kanannya mematahkan setiap usaha Tari untuk merebut ponselnya kembali. Tak lama...
"Nih!" Ari menyerahkan kembali ponsel itu pada sang pemilik. Tari menerimanya dengan tampang murka.
Sesaat cowok itu menatap Tari, yang langsung sibuk memeriksa ponselnya. Sorot kedua matanya menyiratkan kepuasan sekaligus seperti menunggu sesuatu. Kemudian dia balik badan dan pergi dengan langkah-langkah santai. Segera Tari tahu apa yang telah hilang dati ponselnya. Nomor ponsel Ata!
Tidak tanggung-tanggung. Ari bukan saja menghapus nama saudara kembarnya dan fitur Contacts, tapi juga dan Received Calls, Missed Calls, Messages, dan semua fitur-fitur lain. Keseluruhan jejak Ata di ponsel Tati lenyap. Bersih!
"Kak Ari kok nomomya Ata dihapus sih!"" seru Tari. Ari tidak mengacuhkan. Terus berjalan. "Kak Ari!"" seru Tari lagi. Kali ini sambil dihampirinya cowok itu.
Ari menoleh ke belakang dan terkejut mendapati Tati tengah menghampininya dengan langkah-langkah cepat, nyaris setengah berlari, dan ekspresi yang benan-benar marah. Begitu jarak mereka tinggal selangkah, mendadak Tari mengulurkan tangan kanannya.
Kondisi cewek itu sudah cukup membuat Ari waspada sejak tadi. Karenanya begitu tangan kanan Tari terulur, apa pun tujuannya, dengan sigap Ari menangkapnya tepat di pergelangan tangan. Begitu tangan kanannya terkunci, Tari langsung mengulurkan tangan kirinya. Kali ini dengan tekad harus bisa melukai Ari.
Jelas lebih mudah bagi Ari untuk mengunci serangan itu dengan tangan kanannya yang bebas. Tari sampai mengepalkan kedua tangannya, saking kerasnya dia berusaha untuk bisa menyentuh Ari. Cubitan, cakaran, tinju. Apa aja, yang penting kena.
Ari tak perlu mengerahkan banyak tenaga untuk menahan serangan itu. Dua kepalan tangan penuh amarah itu tenhenti sepuluh sentimeter dari dadanya. Dan terhenti pada jarak itu. Sekuat apa pun Tari berusaha, tubuh di depannya tetap tak bisa disentuhnya.
Kedua kepalan tangan Tari kemudian t
erbuka. Kali ini coba disentuhnya Ari dengan ujung-ujung jari menambah jangkauan sepanjang tujuh sentimeter dan tinggal menyisakan tiga sentimeter ruang kosong di antara mereka.
Jarak teramat tipis yang sayangnya, sekuat apa pun Tari mengerahkan tenaganya, tidak benhasil ditembus karena Ari mengetatkan cekalan kedua tangannya. Tiga sentimeter yang akhirnya menguraikan emosi cewek itu dalam bentuk sesaat isak lirih yang tak lagi mampu ditahan. Bukan saja kanena peristiwa penghapusan nomor Ata dari ponselnya, tapi juga akumulasi tindakan Ari di lapangan olahraga kemarin serta semua tindakan Ari sebelum-sebelumnya. Namun, tak lama kemudian Tari berhasil memaksa tangisnya untuk habis tertelan. Semata karena dia tidak ingin cowok sialan di depan matanya ini bisa menikmati kekalahannya lebih lama.
"Kenapa elo hapus nomor Ata!"" kali ini Tari benar-benar hanya bertanya. Kedua tangannya yang masih dicengkeram Ari melunglai.
Lagi-lagi Ari tidak menjawab. Tapi makin dicermatinya kondisi cewek yang hanya berjarak beberapa senti di depannya itu. Dan hanya dua reaksi yang ditemuinya. Tangis tertahan yang meskipun sesaat tadi sempat terurai dan kemudian dipaksa untuk hilang dengan jelas masih bisa dilihatnya membayang dalam dua mata yang kini tengah ditatapnya. Dan ledakan kemarahan.
Sebagian dari hati dan dirinya menghangat menyaksikan reaksi Tari itu. Namun sebagian lagi mendingin dan mulai disergap perih.
"Lo budek ya!" Kenapa lo hapus nomor Ata!"" bentak Tari.
Baru Ari bergerak. Ditariknya kedua tangan Tari yang sedari tadi dicekalnya, melewati bahu. Memaksa tubuh cewek di depannya itu merapat ke arahnya. Seketika Tari melawan tarikan itu, berusaha keras untuk menjauh. Ari langsung mengetatkan cekalan kesepuluh jarinya.
Dibiarkannya Tari berontak, sampai cewek itu akhimya menyadari bahwa kekuatan cewek tidak didesain untuk sanggup melawan kekuatan cowok. Tari berhenti berontak. Ari tersenyum tipis dan melonggarkan cekalan kesepuluh jarinya.
"Pilih mana"" bisiknya. "Gue hapus nomor Ata, atau gue ambil simcard lo""
Tari tertegun. Sesaat dia mengira Ari tidak serius dengan ucapannya. Tapi sorot kedua mata di depannya seketika menepiskan dugaan itu. Cowok ini tidak pemah tidak serius dengan ancamannya.
"Kenapa sih elo tuh jahat banget"" Intonasi suara Tari menurun, sadar dirinya tidak mungkin bisa menekan setan di depannya itu.
"Pertanyaan bego," cemooh Ari, tapi dengan sorot menggoda di kedua matanya. "Jelas gue harus defensif dengan sesuatu yang udah gue anggap milik pribadi."
Tari tercengang. "Lo emang sialan banget!" desisnya.
"Terima kasih," sambil menyeringai, Ari menjawab sopan. Dia lepaskan tangan kiri Tari. "Udah mau bel. Gue anter lo ke kelas."
"Nggak usah. Gue bisa pergi sendiri!" Dengan kasar Tari melepaskan tangan kanannya yang masih digenggam Ari, lalu balik badan dan berjalan menuju tangga. Ari segera meraih kembali tangan kanan Tari dan menahan langkah cewek itu.
"Jangan jalan sendiri," ucapnya halus. "Mata lo masih merah. Kalo nggak mau gue anter, biar Fio jemput." Ari mengeluarkan ponsel dari saku depan celana panjangnya.
"Fio, jemput Tari di tangga bawah."
Fio segera muncul. Bukan saja karena Ari yang meneleponnya, juga karena apa yang terjadi di ujung tangga itu sudah menjadi pembicaraan ramai. Gara-gara itu, siswa-siswa kelas sepuluh terpaksa menggunakan tangga yang terletak di jantung area kelas sebelas. Akibatnya, beberapa dari mereka jadi korban pemerasan kakak-kakak kelas sebelas.
Tak ingin tapi tak bisa mencegah, sesaat Fio menatap Ari. Bingung, ada apa lagi sekarang" tanyanya melalui mata yang jelas tidak akan mendapatkan jawaban. Kemudian diraihnya satu tangan Tari dan digandengnya teman semejanya itu menuju kelas. Keduanya pergi diiringi tatapan Ari. Ketika undakan anak-anak tangga itu telah kosong, Ari tercenung.
Perlahan disentuhnya saku belakang celana panjangnya. Tempat sebuah ponsel yang baru dimilikinya dalam waktu belum lama tersimpan sejak tadi. Ponsel yang hanya digunakannya untuk bejkomunikasi dengan satu orang saja.
Dikeluarkannya al at komunikasi dengan tipe terbaru itu dari sana. Jarinya sudah bergerak akan menekan tombol bergambar garis hijau, tapi mendadak dia batalkan.
Ari mematung. Kedua matanya tetap tertuju ke anak-anak tangga, namun fokusnya telah hilang dalam kedalaman gelombang benak yang menderu berputar. Akhirnya, dirinya tidak bisa lagi menghindari bagian terberat dalam rencana nekat yang diambilnya. Tak ayal, rasa cemas juga gelisah menyeruak tak terhindarkan. Juga takut yang terselip di antaranya.
Sambil menarik napas panjang, Ari memasukkan kembali ponsel barunya ke saku belakang celana abu-abunya. Kemudian dia balik badan dan meninggalkan tempat itu. Ketenangannya yang terlatih berhasil membungkus rasa gelisah, cemas, dan takutnya dengan baik. Teramat baik.
*** Tatapan-tatapan ingin tahu yang langsung menyambut begitu Tari muncul di kelas bersama Fio tadi pagi yang tidak bisa diungkapkan secara verbal karena guru keburu muncul begitu bel istirahat berbunyi dan sang guru telah meninggalkan kelas seketika berubah menjadi langkah-langkah cepat setelah para pemilik tatapan melejit dari bangku masing-masing.
Tari berdiri dan langsung menghentikan bahkan di saat belum seorang pun sampai di sebelahnya.
"Apaaa!"" tanyanya galak. Sambil bertolak pinggang, dipandanginya teman-teman sekelasnya.
"Nggak ada konferensi pers!" tandasnya. "Mau tau aja!"
"Yaaaah...." Iangsung terdengar koor lenguh kecewa. "Cerita dong, Tar. Dikit aja nggak pa-pa deh."
"Iya dong. Cerita dikit aja. Tadi pagi di tangga bawah kayaknya seru tuh."
Kalimat yang diontarkan Maya dan Jimmy jelas disambut antusias teman-teman yang lain. "Males!" jawab Tari judes. "Paling-paling lo-lo pada cuma bakalan heboh doang. Sama ngasih dukungan moril yang nggak membantu. Nggak rnembantu masih mending tuh. Dukungan dari kalian kayaknya nggak berguna malah. Iya, kan""
Seketika di sekeliling Tari mengembang senyum-senyum sumir dan cengiran-cengiran. Kemudian mereka membelokkan langkah ke luar kelas. Terlibat dengan Ari sudah pasti mendatangkan banyak masalah. Karena itu mereka maklum kalau sekarang Tari jadi agak judes dan gampang emosi. Begitu kelas sudah kosong, Tari mengempaskan tubuhnya kembali ke bangku.
"Nggak ke kantin"" tanya Fio pelan.
"Nggak laper," Tari menjawab pendek sambil mengeluarkan ponselnya dari dalam tas. Muka judesnya seketika berganti muram. Fio langsung bisa menduga, pasti berkaitan dengan masalah tadi pagi.
"Gue ke kantin bentar deh. Beli lemper sama minum," katanya sambil bangkit berdini dan berjalan keluar. Ketika kembali dari kantin, dilihatnya Tari begitu serius dengan ponsel di tangannya.
"Bener-bener bersih," desah Tari lirih. Ekspresi mukanya seperti akan rnenangis. Fio yang baru saja akan membuka daun pisang pembungkus lemper kontan meletakkannya di meja karena melihat ekspresi itu.
"Tadi pagi itu ada apa sih, Tar"" tanya Fio hati-hati. Tapi Tari seperti tidak mendengar. Cewek itu mengangkat muka dan langsung bertanya.
"Lo punya nomor HP Ata, nggak"" Kedua matanya menatap Fio penuh harap.
"Nggak. Kenapa"" Fio menggeleng. Bingung.
Tari kontan lemas. Dia terlihat seperti benar-benar akan menangis. "Beneran lo nggak punya"" tanyanya lagi. Berharap Fio akan memberikan jawaban yang berbeda.
"Ya nggaklah. Dia kan nggak pernah nelepon gue."
Tari semakin lemas. Kepalanya menunduk dalam-dalam. Menatap ponselnya yang berada dalam genggaman di atas pangkuan.
"Emangnya ada apa sih, Tar""
"Kak Ari ngapus nomor Ata di HP gue. Emang bener-bener setan tu cowok!"
Kedua mata Fio kontan melebar.
"Udah lo cek di SMS" Missed calls atau received calls""
"Udah. Nggak ada." Dalam tunduknya, Tari menggeleng lemah. "Udah gue cek di semua fitur. Tiga kali! Kali aja masih bisa kelacak. Tapi nggak ada sama sekali. Bersih!"
"Ya udah. Lo telepon aja dia."
"Nggak inget. Ata tuh nomornya susah."
Satu ironi memang telah tercipta dari hubungan unik ketiganya. Tari tidak hafal nomor ponsel Ata, karena kombinasi angka-angkanya yang rumit. Sementara nomor ponsel Ari kini justru nyaris dihafalnya luar kepala. B
ukan saja karena Ari tetap gigih meneleponnya meskipun dirinya tidak pernah sudi mengangkat dan membombardimya dengan SMS-SMS yang sering kali nggak penting bahkan kosong, juga karena nomor ponsel Ari punya kombinasi angka yang keren banget.
Enam angka belakang dan sepuluh deret angka itu terdiri atas tiga angka paling terkenal dalam sejarah peradaban manusia. Lambang kegelapan, 666. Sementara tiga sisanya adalah kebalikannya, 999.
"Yah, terpaksa lo tunggu sampe dia nelepon," sambil mengusap-usap punggung Tari, Fio berkata pelan. Tari cuma bisa mengangguk tanpa suara. Memang tidak ada lagi yang bisa dilakukannya selain menunggu Ata meneleponnya....
*** Namun, ternyata yang menelepon Tari pertama kali untuk menanyakan penstiwa itu adalah Angga. Sejak Ari memenangkan "pertarungan" itu, praktis yang tersisa dan hubungan Angga dan Tari adalah komunikasi via telepon dan SMS.
Tari melarang keras Angga untuk datang ke rumahnya karena takut itu akan menyebabkan Gita kenapa-kenapa.
"Yah, emang sih Kak Ari cuma kadang-kadang aja lewat depan rumah. Itu juga dulu. Sekarang kayaknya gue malah nggak pernah ngeliat dia lewat lagi. Tapi kan mendingan jaga-jaga. Kasian Gita."
Itu alasan yang pernah dikatakan Tari dulu. Angga terpaksa setuju. Namun sejak kemunculan Ata, tanpa sadar Tari tidak lagi antusias mempertahankan hubungan yang hanya berpegang pada sisa-sisa fondasi itu. Karena hati kecilnya amat sangat menyadari, meskipun kerap dengan sengaja disangkalnya dengan berbagai macam pembelaan, kenyataannya kini Angga memang tidak lagi mampu melindunginya dari Ari.
Angga jelas bisa merasakan perubahan Tari itu. Sangat. Karena sekarang Tari tidak lagi sering meneleponnya lalu mengadukan semua tindakan yang dilakukan Ari.
Angga mencium kehadiran seseorang.
Tapi, karena sejak awal ini memang bukan soal hati, secara pribadi dan emo Angga tidak peduli siapa yang akhirnya berhasil memiliki Tari. Asal bukan Ari!
"Lo diapain Ari tadi pagi""
Begitu Tari mengangkat panggilannya, Angga langsung ke inti masalah, bahkan tanpa mengucapkan "halo".
Tari tergeragap. Meskipun pertanyaan itu sudah diduganya, cara Angga menanyakan, langsung di kalimat pertama, juga intonasi pengucapannya, seketika membuat Tari merasa tersudut. "Biasalah, digangguin," dia mencoba berkelit. "Elo kan tau sendiri, dia tuh hobi banget gangguin gue."
"Iya, gue tau," jawab Angga halus. "Dan gangguannya selalu kelewatan. Makanya abis itu lo selalu nelepon gue, ngadu. Tapi sekarang kok nggak lagi ya" Kalo gue nggak nelepon, gue rasa lo juga nggak akan cerita soal kejadian tadi pagi di deket tangga. Trus kejadian di lapangan basket waktu itu, yang segitu hebohnya, lo juga nggak cerita. Kenapa, Tar""
Tari terkesiap. Dalam waktu kurang dan lima menit, sudah dua kali dia merasa disudutkan Angga lewat kalimat-kalimatnya. Pasti Gita yang ngomong nih, desisnya dalam hati.
"Tari" Halo"" Angga mengusik keterdiaman Tari, tetap dengan suara halus.
"Yaaah, dia kan emang begitu, hobi gangguin gue," kernbali Tari berkelit.
"Sekarang bukan soal Ari yang gue tanyain. Kayak yang lo bilang barusan, dia emang begitu, hobi gangguin elo. Yang gue tanya, kenapa sekarang lo jarang banget nelepon gue""
Tari mengeluh dalam hati. Kali ini benar-benar tersudut. "Jangan sekarang deh ceritanya. Besok aja ya. Gue lagi banyak PR nih. Nggak banyak sih. Cuma satu, fisika doang. Tapi soalnya banyak. Secara dan SMP gue bolot banget fisika."
Tari mencoba mengulur waktu. Berharap besok dia telah menemukan alasan yang tepat. Di seberang, Angga tertawa pelan.
"Sekarang aja deh," ucap Angga. Nada suaranya tenang namun tak terbantah. "Soalnya gue udah ada di depan rumah lo nih. Soal PR fisika, gampang. Ntar gue bantuin. Biar tukang tawuran, gini-gini gue pakar kalo urusan mata pelajaran yang satu itu. Yah, kalo cuma nilai delapan sih, gue jamin di tangan. Oke""
Angga langsung menutup telepon. Seketika Tari melompat dari kursi, langsung diserang panik. Belum sempat dia memikirkan kalimat-kalimat apa yang sebaiknya nanti diucapkan, pintu kamarnya telah diketuk
. "Ada Angga di teras," ucap mamanya begitu dibukanya pintu.
"Iya, Ma." Tari mengangguk. Cemas. Bingung.
Begitu Tari muncul di pintu, sepasang mata Angga langsung merangkumnya. Tidak ada sapa pembuka. Tidak ada senyum seperti biasa. Hanya kedua matanya yang lekat menatap. Menuntut penjelasan dalarn bahasa hening. Diam-diam Tari menarik napas panjang.
Menghadapi Ari bersama-sama, tanpa sadar selama ini Tari telah menganggap dirinya dan Angga seperti satu kesatuan. Kini, berhadapan dengan cowok itu dengan sesuatu yang tidak lagi bisa dibagi bersama, sebuah rahasia, Tari nyaris tidak mempunyai pertahanan untuk menutupinya.
Meskipun mati-matian coba diredam, kegelisahannya terbaca jelas. Juga rasa bersalahnya. Seperti tirai tipis yang hanya menutupi identitas namun menampakkan bentuk utuh di baliknya, bahkan sampai pada setiap detailnya.
Kegelisahan Tari, rasa bersalah yang terekspresi begitu jelas di wajah cewek itu, peristiwa pagi tadi yang didengarnya lewat Gita, dan peristiwa-peristiwa sebelumnya yang selalu didengarnya lewat laporan saudara sepupunya itu, bukan dari mulut orang yang terlibat langsung di dalamnya, akhirnya meyakinkan Angga bahwa seseorang memang telah hadir menggantikan dirinya. Sepuluh menit telah terlewat. Dan yang paling bersemangat mendominasi, nyaris total, adalah keheningan. Saksi untuk tatapan Angga yang terus tertuju pada cewek di depannya, menunggunya bicara.
Sementara yang dilakukan Tari adalah menatap ke mana saja, berganti-ganti fokus, asal bukan cowok di dekatnya. Satu-satunya kalimat yang terucap dari bibirnya, beberapa menit yang lalu, tidak menjelaskan apa-apa.
"Gue nggak mau Gita kenapa-napa."
Alasan yang sepenuhnya benar tapi juga sepenuhnya tidak benar, tergantung dari sudut mana dia dilihat. Akhirnya Angga mengambil inisiatif. Dan cowok itu tidak merasa perlu untuk menggunakan prolog. Buang waktu.
"Ada orang lain ya, Tar""
Tari terkesiap. Mukanya sontak memucat.
"Nggak. Nggak. Ini nggak kayak yang lo kira kok," ucapnya buru-buru.
Reaksi Tari yang begitu cepat itu membuat Angga tersenyum lebar. Dia bangkit berdiri lalu pindah ke sebelah Tari. Kemudian cowok itu menoleh dan dengan kepala agak dimiringkan, ditatapnya cewek di sebelahnya itu.
"Gue kenal dia, nggak"" tanyanya halus.
"Ini tuh nggak kayak yang lo kira, Ga. Jauh deh," kembali Tari membantah. Suaranya mulai diwarnai kegugupan.
"Elo tuh ya, yang gue tanya apa, lo jawabnya apa."
"lya, tapi ini sama sekali nggak kayak yang lo kira."
"Menurut lo, emang apa sih yang gue kira""
Telak! Muka Tari sontak merah padam. Angga tersenyum ketika menunggu beberapa saat, dan pertanyaan terakhirnya ternyata membuat Tari benar-benar bungkam. Kemudian senyum itu hilang, berganti dengan helaan napas panjang.
"Lo pikir gue bakal marah, ya" Elo salah," ucapnya pelan. "Gue malu. Harusnya gue berdiri di depan elo dan bukannya ngebiarin elo begini. Sendirian ngadepin Ari."
Tari menatap Angga dengan sejuta kata yang tercekat di tenggorokan. Mewujud dalam bisu dan keterdiaman. Sementara tatap Angga yang selalu tertuju pada Tari sejak detik kemunculannya, kini meredup perlahan.
"Kalo akhirnya ada orang lain yang maju dan berdiri di depan elo...," Angga bicara, kini dalam kepasrahan. Kedua matanya menatap Tari dengan sorot seakan-akan cewek yang teramat dekat dengannya itu berada sangat jauh di batas horison sana. "Yah, gue harus ikhlas. Nggak rela sebenemya, tapi harus."
Kemudian diulurkannya tangan dan diusapnya kepala Tari.
"Baik-baik lo ya. Jangan sampe ada info yang sampe ke kuping gue kalo lo kenapa-kenapa. Pasti akan nyakitin gue banget, karena gue nggak bisa nolong."
Angga meraih cewek yang terdiam pucat di sebelahnya itu, sejenak menenggelamkannya dalam rengkuhan dan detak dadanya. Ketika peluk itu akhirnya terurai, dia membagi dua perih yang sama. Masing-masing belah untuk keduanya.
Mulut Tari sudah terbuka, namun kemudian mengatup kembali. Ditelannya sakit untuk seribu kata yang tidak bisa diucapkannya.
"Tolong maafin gue," ucap Angga lirih.
Tari menatap cowok di sebelahnya itu dengan pandang nanar. Wajah yang dihiasi senyum. Sepasang mata yang menatapnya lembut. Kata-kata yang diucapkan dengan nada halus. Pelukan sesaat yang terasa hangat dan menenangkan. Namun semua itu mengiringi sesuatu yang menyakitkan.
Ini adalah ucapan perpisahan!
Bagi Angga, ini bukan soal hati. Bukan soal rasa. Ini murni dendam. Asal bukan ke Ari, cewek ini boleh pergi ke mana pun dia suka. Asal bukan pada Ari silakan dia berlari pada siapa pun juga.
Tiba-tiba Angga tertegun. Dia merasakan, dalarn dirinya ternyata mulai muncul tanda tanya. Meluluhlantakkan kepastian dan keyakinan. Serta menggantinya dengan tikaman keraguan dan penyangkalan.
Benarkah ini yang sungguh-sungguh diinginkannya"
*** Keputusan Angga untuk mundur sepenuhnya benar-benar mengejutkan Tari. Meskipun bisa dikatakan kini nyaris dihadapinya Ari sendirian, paling tidak dia merasa masih ada seseorang di luar sana. Seseorang yang bisa menjadi tempatnya berlari seandainya suatu saat nanti dirinya benar-benar telah letih menghadapi Ari. Tempatnya sejenak terpuruk. Sejenak mengeluh. Sejenak ambruk untuk kemudian bangkit kembali setelah kekuatan baru telah terhimpun. Seseorang yang sanggup mengatasi Ari dan semua kesintingannya.
Namun, seseorang itu kini memilih pergi. Karena dia telah merasakan hadirnya sang pengganti. Mengisi tempatnya selama ini berdiri. Dan bisa dipastikan dia akan jadi pelindung untuk Tari, tugasnya selama ini.
Sementara yang sesungguhnya terjadi adalah, Tari tidak bisa menerangkan siapa orang ini. Karena identitasnya terlarang untuk dikatakan.
Baru satu kali pertemuan dan beberapa kali sambungan telepon. Meskipun Ata sepertinya punya sifat yang bertolak belakang dengan Ari, Tari tidak yakin Ata akan seperti Angga. Sepenuhnya membela dan melindunginya dan Ari. Karena darah lebih kental daripada air!
Kepergian Angga ternyata menciptakan satu lubang menganga. Tari tak menyangka kekosongan yang timbul sesudahnya bisa amat sangat menikamnya. Mewujud dalam bentuk hampa dan rasa sendirian. Seperti tidak ada siapa pun di atas bulatan bumi kecuali dirinya sendiri.
Kehilangan itu kemudian pecah dalam bentuk tangis dan Fio-lah satu-satunya orang yang dibiarkan Tari untuk tahu dengan pasti keadaannya.
Keesokan haninya Tari baru muncul di sekolah setelah nyaris bel, dengan kedua mata masih agak bengkak bekas menangis semalam. Sengaja dia datang nyaris bel supaya terbebas dari berondongan pertanyaan. Sedikit saja dirinya terlihat kenapa-kenapa, teman-teman sekelasnya langsung bisa menduga, pasti berhubungan dengan Ari. Dan itu selalu membuat mereka antusias ingin tahu ada apa.
Sayangnya untung memang tak pernah bisa diraih, dan malang juga, kalau sudah takdir, tak pemah bisa ditolak.
Ari juga baru datang. Cowok itu sedang memarkir motornya saat lewat sudut mata, ditangkapnya sosok Tari. Seketika keinginan untuk mengganggu muncul. Tapi kemudian disadarinya langkah-langkah Tari terlihat gontai. Kepalanya yang kali ini tanpa hiasan apa pun, tertunduk. Segera dihampirinya cewek itu dan dihentikannya langkahnya tepat di hadapan.
Tari tersentak dan seketika menghentikan langkah. Dia mengeluh dalam hati, karena orang yang berdiri tepat di depannya itu adalah orang yang paling tidak ingin dilihatnya saat ini. Dan lagi-lagi, dia juga harus ikhlas. Karena sebentar lagi pasti mereka akan menjadi bahan tontonan, seperti yang selalu terjadi tiap kali dia ketemu Ari.
Dugaan Tari benar. Tak lama kemudian, di sekeliling mereka, dalam jarak yang terjaga, mulai terbentuk titik-titik penonton yang menatap ke arah keduanya dengan sorot ingin tahu. Dan karena sekarang mereka masih berada di area depan, di antara koridor utama dan lapangan olahraga, formasi penonton yang tercipta jelas yang paling lengkap. Perwakilan semua angkatan, kelas sepuluh sampai dua belas. Komplet!
Hebat! Kayaknya gue emang calon seleb nih, ntar bakalan jadi orang ngetop! desah Tari dalam hati.
"Lo kenapa""
Ari murni khawatir melihat kondisi cewek di depannya. Sayangnya Tari telanjur menganggapnya monster berwujud manusia
. Karena itu dia menyangka tampang cemas di depannya itu pasti palsu, cuma pura-pura. Dan jawaban untuk pertanyaan senius Ari tadi adalah bentakan kasar.
"Minggir kenapa sih!" Lo nggak tau kalo bentar lagi bel, apa!""
Ari tidak peduli. Bahkan sepertinya dia tidak menyadari sikap kasar Tari. Fokusnya tertuju pada kedua mata Tari yang agak sembap. Yang jelas jelas habis menangis. Kemungkinan semalam.
"Gue nanya serius nih. Lo kenapa" Bukan abis nangisin gue, kan""
"Nangisini elo!"" Tari membelalakkan kedua matanya lebar-lebar. "Hahaha," dia memperdengarkan tawa dalam bentuk suku kata. "Maaf, gue terpaksa mengecewakan elo, Kakak. Tapi, elo mati pun gue nggak bakalan nangis, tau!" Namun, langsung diralatnya kalimat itu. "Eh, tapi nggak pa-pa ding. Gue akan nangis. Kalo perlu yang paling kenceng. Plus ucapan syukur..." Tari menyipitkan kedua matanya. Mempraktikkan ekspresi yang akan dipakainya kalau Ari benar-benar mati. "Kak Ari, akhirnya lo mati juga. Kenapa baru sekarang sih" Tapi nggak pa-pa deh. Yang penting lo udah mati!"
Kalimat-kalimat yang, sumpah, sadis banget. Tapi Ari tidak terpengaruh. Kedua mata bengkak itu kini jadi beban pikirannya.
"Jadi, nangisin siapa lo sampe mata pada bengkak begitu""
"Bukan urusan lo! Mau tau aja!"
Bel masuk berbunyi. Tari langsung merasa punya alasan untuk menyingkirkan cowok yang telah menghentikan langkahnya itu.
"Awas, lo! Minggir!" bentaknya. Ari bergeming. "Udah bel, tau!"
Dengan kasar dan dengan mengerahkan tenaga cukup besar, Tari menyingkirkan tubuh tinggi yang telah menghadangnya itu. Sebenamya lebih mudah melewati sisi kiri atau kanan Ari, tapi bisa melakukan satu tindakan kasar terhadap cowok itu, meskipun hanya menyingkirkan tubuh cowok itu tak lebih dari dua puluh senti, rasanya lebih puas.
Tari meneruskan langkahnya yang sempat tertunda. Tapi baru dua langkah, mendadak dia kembali lagi.
"Nangisin elo"" ditatapnya Ari tepat di kedua bola matanya. "Terima kasih!"
Diteruskannya langkahnya yang tertunda. Ari membalikkan tubuh. Diikutinya setiap langkah Tari dengan tatapan yang tanpa sadar, menajam. Kedua rahangnya perlahan mengatup keras. Bagian terberat dalam rencana nekatnya, yang selama ini terus dia ulur karena mental dan emosinya belum siap, ternyata harus dia masuki secepatnya. Karena temyata dirinya belum menang sepenuhnya.


Jingga Dan Senja Karya Esti Kinasih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Berbeda dengan siswa-siswa lain yang segera berlari ke kelas masing-masing, Ari justru kembali menghampiri motornya. Sambil mengenakan jaket hitamnya, dikontaknya Raka.
"Ka, ada yang nganggur, nggak""
"Tinggal yang biasa gue pake."
"Ya udah, nggak pa-pa. Gue ambil itu aja." "Lama""
"Kayaknya begitu. Tapi itung harian aja." "Kapan mau lo ambil""
"Kemungkinan siang ini. Tapi pasti-nggaknya ntar gue kabarin." "Oke."
Ari memasukkan kembali ponselnya ke saku celana lalu menghidupkan mesin motomya. Tak lama kemudian, cowok itu telah berada di jalan raya. Meninggalkan gerbang sekolah jauh di belakang, semua mata pelajaran, guru-guru, dan teman-teman dalam ketidakpedulian.
*** Bel istirahat berbunyi. Tari menanik napas lega. 4 x 45 menit yang sia-sia. Tidak secuil pun pelajaran yang diberikan para guru berhasil menembus tempurung kepalanya. Tertahan oleh kesedihan karena keputusan Angga untuk mundur sepenuhnya. Tiba-tiba ponsel yang dia letakkan dalam laci bergetar. Tari meraihnya.
"Ata!" serunya tertahan. Seketika muram di wajahnya tersapu bersih. Dan pendar segera menggantikan kabut kelam di kedua matanya.
Fio tertegun. Seketika tanda tanya tercetak di dalam kepalanya. Sepertinya Angga bukanlah penyebab sepenuhnya.
"Gila, tepat amat!" ucap Fio heran. Keningnya sampai berkerut. "Jangan-jangan dia bisa telepati. Atau nggak, berarti jam istirahat sekolahnya samaan sama kita."
Tari sama sekali tidak menyimak kata-kata Fio itu. Dia segera bangkit berdiri.
"Gue di gudang, Fi," ucapnya pelan dan langsung berlari ke luar kelas.
Tari menuju gudang dengan langkah-langkah cepat, nyaris setengah berlari. Dalarn genggaman, ponselnya terus bergetar. Sementara dalam luap emosi yang tertah
an, dadanya bergetar. Begitu memasuki gudang, langsung ditutupnya pintu dan diputarnya anak kunci dua kali putaran sekaligus.
"Kok lama ngangkatnya" Udah bel istirahat, kan"" Ata langsung bertanya begitu Tari membuka kontak.
"Kok elo baru nelepon sekarang" Ke mana aja siiih"" Tari juga langsung menyerangnya dengan pertanyaan, seakan-akan dia tidak mendengar pertanyaan Ata barusan. Intonasi suara Tari membuat Ata seketika itu juga diserang kecemasan.
"Kenapa" Lo diganggu Ari lagi""
"Kapan sih dia nggak gangguin gue"" tanya Tari dengan suara tinggi.
Dan seperti hari-hari kemarin, pengaduan meluncur dari mulutnya seperti rentetan peluru senapan mesin. Namun kali mi tidak hanya itu. Tangis hebat menyertai. Hingga ketika ribuan kata itu usai terkatakan, keheningan yang benar-benar senyap tercipta di ujung tempat Ata berdiri. Ketika beberapa saat kemudian cowok itu bicara, itu adalah untuk yang pertama kalinya Tari mendengar suaranya dalarn intonasi yang berbeda.
"Tar...," Ata terdiam sesaat, "tolong jawab yang jujur ya. Lo nangis sampe kayak gini, bener cuma karena Ari ngapus nomer gue dan HP lo""
Sontak Tari tersentak. "Ng... iya," jawabnya dengan keraguan yang bahkan bisa didengar Ata dengan jelas.
"Bener"" cowok itu mengulangi pertanyaannya.
"Iya. Kenapa" Gue terlalu heboh ya"" Tari tertawa malu. "Abis kalo gue nggak bisa ngontak elo, ntar gue ngadu ke siapa dong, soal kembaran lo yang brengsek banget itu""
"Mau berapa kali pun Ari ngapus nomor gue dari HP lo, sebenernya nggak jadi masalah, kan" Gue pasti akan nelepon lo."
"Mmm... iya sih."
"Jadi apa"" "Apa""
"Yang bikm lo nangis sampe begini" Gue jadi khawatir soalnya kemaren-kemaren lo nggak pernah nangis sampe kayak gini."
Tari terdiam. Mendadak dia juga menyadari, ini bukan sepenuhnya soal hilangnya nomor telepon Ata dan ponselnya. Jangan-jangan...
Cewek itu tertegun. "Kok gue ngerasa, kayaknya ini bukan soal Ari ya," ucap Ata dengan nada lunak. Namun, nada lunak itu seketika menampar Tari. Memperjelas keraguannya sendiri yang bahkan baru saja tenlintas dan masih samar-samar.
"Ng...," Tari jadi tergagap.
"Nggak pa-pa. Gue nggak lagi menyelidik kok." Ata terawa pelan, menenangkan.
Suara ketukan di pintu menghentikan percakapan itu.
"Bentar, Ta. Ada yang ngetok pintu. Pasti Fio." Tari mengulurkan tangannya, memutar anak kunci. Tak lama Fio menyelinap masuk.
"Bener Fio"" tanya Ata.
"He-eh." "Bagus deh. Jangan sampe ada orang lain yang ngeliat elo dalam kondisi kayak gini." Ata menarik napas. "Balik ke masalah penghapusan nomor telepon gue. Kalo soal itu, lo nggak usah kuatir deh. Mau berapa kali pun Ari ngapus nomor gue dan HP lo, gue akan tetep ngontak elo. Jadi kita nggak akan putus komuniikasi. Kecuali kalo Ari merealisasi ancemannya, ngambil simcard lo."
Ata mengatakan terus terang rencananya. Membuat Tari terdiam. Karena kalau sampai kejadian, tuh urusan pasti bakalan ribet, kisruh, dan bikin gempar. Dan yang pasti juga, bakalan panjang!
"Oke, Tar""
"Eh, iya deh. Oke deh," Tari menjawab tak yakin. "Udah tenang sekarang""
"Yah, gitu deh. Akan gue tenang-tenangin. Mudah-mudah bisa."
"Ada gue. Lo nggak sendirian. Jadi nggak usah cemas."
"Kalo gitu, oper HP lo ke Fio. Ada yang mau gue omongin sama dia."
Tari menyerahkan ponselnya ke Fio. Sahabatnya itu menerima dengan ekspresi heran. Pembicaraannya ternyata tak lama.
"Kata Ata, gue disuruh beliin elo teh manis anget sama air es buat ngompres mata," kata Fio sambil mengembalikan ponsel di tangannya kepada sang pemilik. Tari melihat ke arah layar dan mendapati Ata telah mengakhiri komunikasi.
"Gue ke kantin dulu." Fio meraih hendel pintu dan berjalan keluar. Tak lama dia kembali dengan benda-benda yang diperintahkan Ata.
Dua teguk teh manis hangat memang membuat Tari kemudian jadi tenang. Dengan menggunakan tisu cewek itu lalu mengompres kedua matanya dengan air dingin. Fio melihat jam tangannya. Dua menit lagi bel masuk berbunyi.
"Kayaknya lo terpaksa ngerem di sini deh, Tar. Meskipun udah dikompres, tetep aja lo kelia
tan jelas abis nangis. Ntar gue bilang ke Pak Isman deh kalo lo sakit. Ada di ruang PMR."
"Nggak ah," Tari langsung menolak. "Gila lo, gue disuruh ngerem di tempat kayak gini."
"Lo mau nekat masuk kelas dengan mata bengkak gitu""
Fio tercengang. "Lo ngaca deh. Mata lo tambah bengkak tuh. Tadi pagi aja anak-anak udah pada ribut nanyain gue. Semua udah nebak semalem lo pasti nangis abis-abisan."
"Ah, bodo amat... " Tari mengusap kedua matanya, mengeringkan sisa-sisa air mata. "Ngumpet juga percuma, tau! Tetep aja semua orang tau gue abis nangis. Gue keluar ntar pas bel pulang juga, tetep aja bengkaknya belom ilang. Lagian juga nggak mungkinlah gue ngumpet di sini sampai jam dua. Gila aja. Bisa-bisa ntar waktu lo jemput, badan gue udah penuh sarang laba-laba."
"Terus, mau ngomong apa lo kalo ditanya""
"Apa kek." Tari tak peduli.
Fio menyerah. Sejak terlibat dengan Ari, Tari mulai ketularan sifat cowok itu. Peduli amat apa kata orang!
Lima menit setelah bel berbunyi, baru keduanya keluar dari gudang. Koridor sudah sepi. Tari melepaskan ikatan rambutnya. Membiarkan helai-helai rambut itu menjadi tirai untuk menutupi kedua matanya. Dia memang tidak mungkin bisa menyembunyikan bengkak baru di kedua matanya itu dari teman-teman sekelasnya. Tapi dari anak-anak kelas lain, jelas akan diminimalisasinya saksi mata sesedikit mungkin.
Cewek itu berjalan menyusuri koridor dengan kepala ditundukkan, hingga mukanya tertutup uraian rambut. Di sebelahnya, Fio berjalan antara cemas tapi juga pasrah. Dia tidak berhasil mencegah teman semejanya ini. Jadi, apa yang akan terjadi, ya udah, terjadilah. Mau gimana lagi"
Benar saja. Begitu Fio mengetuk pintu, seisi kelas yang tadinya hanya sekadar mengangkat muka dari keseriusan memelototi buku di hadapan masing-masing, kontan menegakkan tubuh. Menatap penuh perhatian saat mendapati kedua mata Tari lebih sembap dibandingkan tadi pagi.
Begitu juga Pak Isman. Yang tadinya hanya sekadar menoleh dan bermaksud memerintahkan kedua murid yang terlambat itu untuk segera duduk karena beliau tidak suka membuang-buang waktu mengajarnya seketika ikut menatap Tari dengan perhatian penuh.
"Maaf, Pak. Kami terlambat," ucap Fio setelah menganggukkan kepala. Tari juga menganggukkan kepala tapi tidak mengatakan apa-apa. Keduanya masuk dan langsung melangkah menuju bangku masing-masing.
"Sini kamu." Pak Isman menggerakkan kelima jari tangan kanannya. Sesaat Tari dan Fio saling pandang, kemudian mereka balik badan, melangkah menuju meja guru.
"Kamu yang habis nangis." Pak Isman menegaskan siapa yang dipanggilnya. Seketika Fio kembali berjalan ke arah bangkunya, sementara Tari ke depan kelas.
"Kamu kenapa"" Pak Isman menatap sepasang mata sembap dan merah itu.
Seisi kelas langsung menyiagakan kedua telinga masing-masing. Yang nanya guru, Tari pasti nggak bakal berani ngeles. Jadi sekarang mereka bisa tau kenapa tu cewek semalem nangis dan sekarang nangis lagi. Ceritanya pasti seru deh!
Dugaan mereka meleset. Tari tetap memilih tidak akan membuka urusan pribadinya. Tapi karena yang bertanya guru, guru killer pula, cewek itu berpikir keras bagaimana agar keterbungkamannya tidak dianggap telah melecehkan wibawa guru di depannya ini. Dan Tuhan memang Maha baik dan Maha Pengertian. DIA tiupkan ide ke dalam kepala Tari dalam hitungan jentikan jari.
"Bapak tau Kristen Stewart, nggak" Itu lho, yang jadi Bella di film Twilight. Di situ dia pacaran sama vampir namanya Edward, Pak. Yang meranin si Robert Pattinson. Itu, yang jadi Cedric Diggory di serial Harry Potter. Bapak tau, kan""
Mana Pak Isman tau! Dunia guru fisika dan dunia ABG itu bukan beda tata surya lagi, tapi udah beda galaksi! Jadi, nama-nama ngetop di kalangan ABG kayak Emma Watson, Daniel Radcliffe, Megan Fox, dan dua nama yang disebutkan Tari tadi Kristen Stewart dan Robert Pattinson mana guru fisika tau.
Soalnya, nama-nama ngetop di kalangan guru-guru fisika adalah Archimedes, Robert Boyle, Isaac Newton, Albert Einstein, Emilie Du Chatelet, terus keluarga Currie, dan masih banyak lagi. Orang-orang ya
ng menyandang predikat "ilmuwan besar". Berotak superencer, tapi rata-rata tampangnya, yaaaah, agak pas-pasan deh gitu.
"Kenapa mereka"" tanya Pak Isman kemudian, dengan nada dingin.
"Itu, Pak, gosipnya sekarang si Kristen Stewart itu lagi hamil. Katanya sih itu anaknya Robert Pattinson, Pak," Tari menjelaskan dengan kepala tertunduk dan jari-jari tangan saling memainkan satu sama lain. Seisi kelas mulai tersenyum-senyum geli.
"Terus kenapa"" tanya Pak Isman.
"Ya saya kan ngefans banget sama si Robert Pattinson itu, Pak. Sejak dia masih main di Harry Potter. Belom ngetop banget. Makanya pas denger gosip itu, saya jadi...," Tari diam sejenak, "agak-agak broken heartgitu deh. Kan pasti sebentar lagi mereka berdua bakalan nikah."
"Jadi, saking patah hatinya, kamu sampai nangis-nangis" Begitu""
"Iya, Pak." Tari mengangguk. Norak norak deh, ucapnya dalam hati.
Seketika seisi kelas menahari tawa dengan cara mereka masing-masing. Sementara Pak Isman cukup bijaksana untuk dengan cepat menyadari sekaligus memaklumi, yang dihadapi murid di depannya ini pasti persoalan yang cukup berat, sampai tidak bisa mengendalikan diri dan menangis di sekolah.
"Tapi masih sanggup belajar, kan"" "Masih, Pak." Tari mengangguk lagi.
"Ya sudah. Kembali ke bangku kamu. Lupakan dulu patah hatinya, sekarang waktunya belajar."
"Terima kasih, Pak," ucap Tari pelan sambil sekali lagi menganggukkan kepala, kemudian berjalan ke bangkunya. Disambutnya senyum, tawa tertahan, dan tatapan geli teman-teman sekelasnya dengan sikap tidak peduli.
*** Bel pulang berbunyi. Lima detik kemudian ponsel Tari menggetarkan laci tanpa bunyi. Cewek itu buru-buru meraihnya. Dengan posisi tangan di atas pangkuan, diperiksanya layar.
"Ata!" bisiknya.
"Wah, tepat lagi!" seru Fio tertahan. Kedua matanya terbelalak menatap Tari. Kemudian dia teruskan ucapannya dengan suara berbisik, karena guru jam terakhir masih ada di depan, duduk di bangkunya.
"Beneran, tu orang pasti punya kemampuan telepati deh. Tadi waktu nelepon lo jam istirahat juga pas banget. Abis bunyi bel."
Dengan gerakan sembunyi-sembunyi dan dengan kepala merunduk dalam-dalam hingga uraian rambutnya membentuk tirai, Tari mendekatkan ponselnya ke satu telinga.
"Halo"" bisiknya.
Tak lama cewek itu tersentak hebat. Kedua matanya terbelalak dan mulutnya ternganga lebar, yang kemudian refleks ditutupnya dengan satu tangan.
"Kenapa" Kenapa"" Fio langsung cemas.
Tangan Tari yang menggenggam ponsel terjatuh ke pangkuan tanpa sadar. Cewek itu menoleh dan menatap Fio den gan raut tegang.
"Sekarang Ata ada di depan sekolah!"
Ganti Fio yang tersentak hebat.
BEGITU guru jam pelajaran terakhir meninggalkan ruangan, Tari langsung berdiri.
"Buruan, Fi," desaknya tak sabar dan langsung keluar dengan langkah setengah berlari. Fio memasukkan buku-buku dan alat-alat tulisnya ke dalam tas dan segera menyusul Tari. Raut muka keduanya tegang. Mereka sudah menduga Ata akan melakukan tindakan nekat ini. Tapi tidak dalam waktu secepat ini.
Begitu sampai di koridor utama, tanpa sadar sarnbil terus berjalan dengan langkah-langkah cepat, keduanya mencari-cari sosok Ari. Tapi cowok itu tidak terlihat sama sekali. Lagi-lagi tanpa sadar dan nyaris bersamaan, keduanya menarik napas lega.
Sepuluh meter setelah melewati gerbang sekolah, Tari dan Fio menghentikan langkah lalu menoleh ke semua arah, mencan-cari. Tak lama ponsel Tari berdering. Cepat-cepat cewek itu mengeluarkannya dari saku kemeja.
"Halo" ... Iya ... Lo di mana" ... Ooh ... Oke deh. Kami ke situ." Tari menutup telepon. Terlihat lega. "Gue kirain dia bener-bener nunggu di depan sekolah. Yuk," digamitnya satu tangan Fio.
"Nunggu di mana dia"" tanya Fio.
"Di jalan masuk kompleks."
Kedua cewek itu bergegas meninggalkan tempat mereka berdiri, menuju sebuah jalan kecil yang merupakan jalan masuk belakang sebuah kompleks perumahan. Satu-satunya percabangan jalan yang dimiliki ruas jalan yang melalui depan sekolah. Mereka belum berbelok terlalu jauh ketika mendadak Ata muncul dari balik kerindangan rumpun
bugenvil yang tumbuh di pinggir jalan.
"Hai," sapanya. Cowok itu tersenyum, bukan hanya dengan bibir tapi juga kedua matanya.
Tari dan Fio tertegun. Mematung, tak bisa dicegah. Di depan mereka berdiri sosok yang begitu sama dan serupa dengan Ari. Sesaat sikap waspada muncul sebagai bentuk refleks, sebelum sorot hangat kedua mata itu dan senyum yang tetap tercetak menyadarkan keduanya bahwa sosok itu bukan Ari.
"Akhirnya..." Ata tertawa pelan saat kewaspadaan itu mengendur dan akhimya hilang. "Udah yakin sekarang kalo gue bukan Ari""
Untuk pertama kalinya senyum mengembang di bibir Tari dan Fio.
"Maaf..." Tari tertawa malu. "Tadi refleks. Abis mirip banget."
"Gue tau," jawab Ata halus. Kemudian cowok itu tersadar. Dia menoleh cepat ke arah mulut jalan. "Kita nggak bisa lama-lama di sini. Bentar gue ambil kendaraan dulu. Nggak enak juga kelamaan nitip di garasi rumah orang."
Ata meninggalkan kedua cewek itu, berjalan menuju salah satu rumah dan menghilang ke dalam halamannya yang tertutup pagar tinggi. Tak berapa lama Tari dan Fio tertegun. Di depan mereka berhenti sebuah mobil yang bisa dikategorikan mewah. Everest!
Kesan pertama yang mereka tangkap pada pertemuan kedua dengan Ata ini adalah, sama kayak Ari tu cowok juga tajir banget. Ata turun dan belakang kemudi.
"Kok jadi bengong" Kalian pikir gue bakalan bawa motor ya, sama kayak Ari gitu"" Dia tersenyum kecil. "Kalo soal kendaraan, kami beda selera. Yuk." Dibukanya pintu kiri depan untuk Tari dan pintu tengah untuk Fio.
Meskipun bertahun-tahun terpisah, kembar ternyata memang tidak sepenuhnya beda. Lepas dari jumlah rodanya, Ari dan Ata punya selera yang sama soal kendaraan. Berbadan besar dan berwama hitam legam.
Ragu-ragu Tari dan Fio. menghampiri kedua pintu yang terbuka itu. Ata tersenyum lagi, agak geli. Dihampirrnya kedua cewek itu kemudian ditariknya mereka ke arah Everest hitamnya tanpa terkesan memaksa.
"Kita nggak bisa lama-lama di sini," dia mengingatkan dengan nada halus. "Ari nongol, urusannya bisa panjang. Bukannya takut, tapi jam empat gue harus udah ada di Bogor lagi. Jadi nggak bisa ngelayanin dia."
Ucapan Ata itu seketika menyadarkan Tari dan Fio dan satu hal yang sempat terlupakan. Keduanya buru-buru naik. Ata menutup kedua pintu lalu melangkah cepat ke sisi lain mobil.
"Lo nggak pingin ketemu Kak Ari"" Tari menatap cowok di sebelahnya dan bertanya dengan nada hati-hati.
Tapi Ata tidak mendengar. Kedua matanya yang sedari tadi terus waspada melihat situasi di sekeliling, terutama ruas jalan yang merupakan bagian dan jalan yang melalui depan SMA Airlangga, kini menatap ruas jalan itu lurus-lurus.
"Aman nggak kalo kita lewat depan sekolah kalian"" tanyanya tanpa menoleh.
"Tadi sih kami nggak ngeliat Kak Ari sama sekali." Tari menggeleng.
"Tapi tadi gue sempet ngeliat Kak Ari, Tar. Di koperasi. Tapi tau deh, ada Kak Ari juga apa nggak," ucap Fio.
"Kalo gitu mending nggak usah gambling deh," putus Ata. "Kita cari amannya aja." Diraihnya tongkat persneling dan Everest hitam itu berbalik arab. "Sori, Tar, lo tanya apa tadi"" tanyanya setelah mereka sampai di jalan raya.
"Oh, itu. Lo nggak kepingin ketemu Kak Ari" Nggak pingin tau kayak apa dia sekarang"" ucap Tari dengan nada hati-hati.
"Maksudnya sekarang, hari ini"" Ata menoleh sekilas. "Dengan lo ada sama gue begini" Gue perlu cari, minimal kayu, buat proteksi."
Tari ketawa pelan. Tawa prihatin.
"Iya sih," dia terpaksa membenarkan.
"Secara fisik, udah pasti dia nggak beda sama gue. Karena dua kali ketemu, dua kali juga lo ngira gue Ari. Tapi kalo karakter, sifat, ini yang lagi gue cari tau. Kayaknya dia udah bukan lagi orang yang selalu bareng gue dari dalem perut Nyokap sampe umur delapan tahun. Kayaknya dia udah jadi orang yang beda. Seberapa beda, makanya sekarang gue jemput elo."
Tari menoleh. Ditatapnya Ata dengan kedua alis berkerut.
Tapi Ata tidak mengeluarkan suara lagi. Kedua matanya terarah lurus ke jalan raya di depannya. Akhimya keheningan mendominasi.
Dan ternyata, baik Ari maupun Ata, keduanya sama-sama raj
a jalanan. Mobil yang dibawanya berbadan besar, tapi begitu keluar kompleks dan memasuki jalan raya, jarum spidometer langsung bergerak tajam. Menunjukkan bahwa keempat roda berputar dengan kecepatan tinggi. Meskipun begitu, Everest hitam itu meliuk di antara padatnya lalu lintas Jakarta dengan gerakan luwes.
Tak lama mobil berbelok, memasuki jalan kecil dan berhenti di depan sebuah rumah makan sederhana. Terlalu sederhana, hingga ketika Everest hitam itu diparkir di halaman depannya yang sempit, hal itu jadi terlihat seperti sebuah kesalahan besar yang bisa mengubah tatanan dunia.
"Di sini makanannya enak. Menunya sih sederhana, kayak masakan rumah. Tapi enak," ucap Ata sambil membuka pintu di sebelahnya lalu turun. Sesaat Tari dan Fio saling pandang, kemudian ikut turun.
Gila, anak Bogor tau di tempat nyempil gini ada tempat makan enak. Gue yang anak Jakarta aja nggak tau sarna sekali, ucap Tari dalam hati.
Dia tak yakin apa masakannya benar-benar enak, seperti yang dikatakan Ata tadi. Tapi kebanyakan menu yang tersaji memang seperti masakan yang biasa didapat di rumah-rumah. Oseng-oseng oncom, tumis kangkung, pindang iris cabe hijau, dan menu-menu sederhana lainnya. Sistem prasmanan, tanpa pelayan.
Dilihatnya Ata mengambil piring dengan semangat dan mulai mengamati deretan sayur dan lauk di meja. Tak lama piringnya sudah penuh dengan semunjung nasi, sayur lodeh labu, dan dua potong tempe mendoan.
"Nggak makan"" tanyanya ketika dilihatnya Tari dan Fio cuma berdiri diam.
"Masih kenyang. Tadi istirahat kedua kami baru makan nasi soto." Tari menggeleng.
"Kalo gitu kalian harus nyobain es dawetnya. Sumpah, enak. Sebentar gue ambilin." Ata menyerahkan piring nasin ya ke Tari sambil menunjuk meja kosong di sudut. "Kita duduk di sana aja."
Cowok itu balik badan dan berjalan ke arah sudut ruangan yang berlawanan, menuju sebuah meja tempat barisan gelas diletakkan. Tak lama dia kembali dengan sebuah gelas di masing-masing tangan. Diletakkannya kedua gelas itu di depan Tari dan Fio. Kemudian dia menarik sebuah kursi tepat di depan Tari dan menggeser piring makannya ke hadapan.
"Gue makan dulu ya. Tadi nggak sempet makan."
"Oh, iya. Makan aja dulu," jawab Tari langsung.
Kedua cewek itu takjub mendapati cowok borjuis di depan mereka ternyata doyan makanan kaum proletar. Lahap malah.
"Lo cabut"" tanya Tari, setelah menunggu beberapa saat sampai Ata menyelesaikan makannya.
"Hmm..." Ata mengangguk kecil. Sendok di tangannya mengumpulkan butir-butir nasi terakhir di piring dengan gerakan cepat. "Lo nangis sampe kayak begitu di telepon, nggak mungkinlah gue bisa konsen belajar."
Muka Tari sontak memerah.
"Maaf deh," ucapnya pelan.
"Ini yang mau gue omongin, Tar. Tapi waktu gue mepet. Sekarang lo cerita garis besarnya aja dulu."
Seketika kedua alis Tari menyatu. Ditatapnya Ata dengan bingung. "Di telepon kan gue udah cerita semuanya""
"Udah," Ata mengangguk. Ditelannya makanan terakhir dalam mulutnya, diangkatnya wajah, lalu ditatapnya Tari sambil menggeser piring kosongnya ke tengah meja. "Gue mau memastikan seberapa parah yang udah dia bikin ke elo. Jadi gue tau, mesti gue apain tu anak nanti."
Sepasang matanya melembut saat mengucapkan itu. Tari tertegun. Untuk kedua kalinya mukanya bersemu merah. Buru-buru dia menunduk, mengaduk-aduk es dawethya. Melihat itu Ata tersenyum tipis. Diraihnya salah satu gelas dari empat gelas kosong yang disediakan pemilik warung di tiap-tiap meja.
"Lo diapain dia hari ini"" tanyanya sambil menuang teh tawar dan teko plastik.
"Hari ini sih nggak diapa-apain. Cuma ditanya-tanyain," Tari menjawab, masih sambil menunduk. Terus mengaduk-aduk es dawetnya.
"Nggak tega dia, karena lo nongol dengan mata bengkak. Abis nangis. Berarti tu anak hatinya masih berfungsi. Cuma momen sama alasannya harus pas."
"Kok tau"" Tari mengangkat kepala serta-merta. Kaget. Begitu juga Fio. Ata hanya mengembangkan senyum, tidak menjawab. Kemudian sikapnya berubah serius.
"Berarti hari ini aman. Kalo yang kemaren-kemaren itu gimana ceritanya""
"Oh..." Ta ri menarik napas panjang lalu mengembuskannya kuat-kuat. Mula-mula dia bercerita dengan canggung. Intonasi dan kata-katanya terjaga. Kenyataan bahwa wajah dan postur tubuh Ata begitu mirip dengan Ari membuatnya seperti sedang membicarakan seseorang langsung di depan orang itu sendiri. Tapi lagi-lagi ketenangan Ata juga sorot hangat kedua matanya yang jelas jauh berbeda dengan Ari yang eksplosif dengan cepat menenangkan Tari.
Kekang terurai, dan tak lama kemudian cewek itu sudah bercerita dengan nada berapi-api. Berkali-kali Ata terlihat susah-payah menahan tawa saat emosi membuat Tari mengeluarkan doa-doa jelek dan kutukan-kutukan sadis untuk Ari.
Lima belas menit kemudian cowok itu mengulurkan tangan kirinya dan menepuk-tepuk lengan kanan Tari dengan lembut, menghentikan rentetan kata yang keluar dan bibir cewek itu, yang lebih tepat dikatakan sebagai pengaduan penuh ledakan emosi daripada cerita.
"Oke, cukup. Gue udah dapet intinya."
"Tapi gue ceritanya belom selesai," Tari langsung protes.
"Sampe besok pagi juga belom tentu selesai." Ata tersenyum geli. Kemudian dia berdeham. Kedua bola mata hitamnya bergerak untuk mengganti fokus. Untuk pertama kalinya, Ata menatap Fio. Lurus-lurus.
"Dan di mobil lo terus ngawasin gue. Kenapa"" Fio tergeragap. Mukanya sontak merah padam.
"Ng... nggak kok!" Fio memberikan reaksi spontan dengan gelengan kepala kuat-kuat dan gerakan kedua telapak tangan.
"Masih nggak yakin kalo yang di depan lo ini bukan Ari"" Ata mengangkat kedua alisnya tinggi-tinggi. "Perlu gue telepon emak gue biar lo bener-bener yakin""
"Nggak kok. Bukan gitu. Soalnya Kakak mukanya minip banget sama Kak Ari."
"Di mana-mana yang namanya kembar tuh kebanyakan mukanya mirip, Fio. Sering kali mereka malah nyanis sama. Yang adik-kakak aja banyak yang mirip."
"Eh, iya sih." Fio meringis. Tatapan Ata kembali ke Tari.
"Sori banget, Tar. Gue kudu balik. Ada acara jam empat."
"Iya, nggak apa-apa." Tari menggelengkan kepala, tersenyum mengerti. Ketiganya bangkit berdiri.
"Bentar ya, gue bayar dulu," ucap Ata lalu balik badan, menghampiri ibu pemilik warung makan. Tak lama dia kernbali. "Yuk."
Ketiganya melangkah keluar. Ata membukakan pintu mobil untuk kedua cewek itu. Tak lama setelah tiba di jalan raya, cowok itu menghentikan mobilnya.
"Gue minta maaf lagi nih. Nggak bisa nganter kalian sampe rumah."
"Iya, nggak pa-pa. Bus yang ke rumah kami kebetulan lewat jalan ini kok. Kami turun di sini aja. Yuk, Fi." Tari membuka pintu di sebelahnya.
"Satu bus"" Ata langsung ikut turun.
"Nggak. Beda. Tapi dua-duanya lewat sini."
"Wah, nggak deh!" Ata langsung geleng kepala. "Gue nggak bisa ngebiarin cewek naik bus sendirian. Pake taksi aja. Siapa yang mau duluan""
"Kenapa" Gue sama Fio udah biasa kok naik bus sendirian."
"Nggak, kalo abis ketemu gue!" tandas Ata. "Jadi, siapa yang mau duluan nih""
"Satu taksi aja deh. Buang-buang uang aja kalo dua."
"Gitu ya"" Ata menoleh. Ditatapnya kedua cewek itu bergantian lalu tersenyum geli. "Daripada buang-buang uang... Tapi kok gue nangkepnya Iebih karena kalian mau ngomongin gue ya"" Telak banget. Rona merah seketika menjalari wajah keduanya. Mengubah senyum geli Ata menjadi tawa tanpa suara.
"Nggak pa-pa. Santai aja. Wajar kok," ucapnya kemudian dengan nada penuh pengertian.
Ketiganya lalu berdiri berjajar di tepi jalan, menunggu taksi kosong lewat.
"Lo kenapa sih nggak cari nomor HP yang gampang diinget"" Tari menoleh sedikit, menatap Ata yang berdini di sebelah kanannya. "Nomor cantik gitu. Kan banyak dijual. Kayak nomornya Kak Ari tuh. Keren banget."
"Emang banyak yang protes sih. Katanya nomor ponsel gue ribet, susah diinget. Masalahnya, itu lucky numbers. Jadi sori banget, Tar, nggak bisa diganti."
"Ooh, gituuu." Tari mengangguk-angguk. Ata melirik cewek yang berdiri di sebelah kirinya itu.
"Jadi nomor ponselnya Ari keren, ya" Tapi ada lambang setan lho di dalemnya."
"Justru itu. Cocok deh. Pas banget!" Tan mengacungkan jempol kanannya. Seketika tawa Ata pecah. Kedua bahu cowok itu sampai bergun
cang. "Kayaknya mau nggak mau gue harus nongol di sekolah sodara kembar gue lagi nih. Soalnya sebentar lagi bakalan ada yang nangis di telepon lagi."
Tari balas melirik. Tampangnya cemberut, tapi dalam hati dia terpaksa membenarkan kalimat itu. Ata ketawa lagi. Diulurkannya tangan kirinya dan sesaat diusap-usapnya puncak kepala Tari. Kemudian tangan itu terulur ke depan, menghentikan sebuah taksi kosong yang muncul di kejauhan.
Cowok itu tidak sadar, tindakannya barusan menibuat Tari seketika mernatung. Hingga ketika taksi kosong itu berhenti di hadapan, Tari tetap berdiri diam di tempatnya. Dia baru tersadar setelah Fio menggamit lengannya lalu
menaniknya ke arah taksi, karena Ata sudah membukakan salah satu pintu belakangnya. Begitu Tari sudah duduk di jok, Ata meletakkan selembar uang seratus ribu di pangkuannya lalu menutup pintu. Kemudian cowok itu mengetuk jendela, meminta Tari menurunkan kaca.
Ata membungkukkan tubuh dan meletakkan kedua lengannya di ambang jendela yang kini terbuka seluruhnya. Ditatapnya Tari tanpa bicara. Jenis tatapan yang tidak biasa hingga Tari balas menatap dengan bingung.
"Lupa, ada yang mau gue tanya..." sesaat Ata menghentikan kalimatnya. "Siapa yang udah bikin lo nangis semalem""
Tari tersentak seketika. "Mak... sud lo"" tanyanya terbata.
"Iya. Siapa yang udah bikin lo semalem nangis" Kayaknya abis-abisan gitu. Karena tadi pagi lo nongol di sekolah, mata lo bengkaknya masih parah."
Tari terperangah. Kedua bibirnya sampai sempat ternganga.
"Kok... elo tau"" desisnya.
"Ari ngontak gue tadi pagi. Dia ngamuk di telepon. Nuduh gue yang udah bikin lo nangis." Ata ketawa pelan. "Tu anak amnesianya parah juga. Emangnya siapa yang selama ini selalu bikin elo nangis kalo bukan dia""
Kali ini Tari benar-benar menatap Ata dengan mulut ternganga.
"Jadi, Tar, lain kali kalo ada yang bikio elo nangis selain sodara kembar gue itu, mending lo cepet telepon gue deh. Jadi gue bisa ngarang cerita kalo kemudian kena tuduh kayak tadi pagi. Oke"" Ata mengangkat kedua alisnya. "Atau nggak...," cowok itu memasukkan sedikit kepalanya ke jendela taksi, "gimana kalo itu lo jadiin alasan kuat untuk lari ke gue" Biar gue juga jadi punya alasan untuk berdiri di depan lo dan berhadapan langsung dengan Ari. Karena lo crying for help ke gue, gitu. Jadi gue nggak akan keliatan kayak orang usil yang suka ikut campur urusan orang lain, meskipun dia jelas-jelas bukan orang lain. Gimana""
Ata jelas-jelas tidak menginginkan jawaban, karena setelah mengatakan itu dia menarik keluar kepalanya.
"Telepon gue kalo udah sampe rumah ya. Trus kasih tau kalo uangnya kurang." Tatapannya kemudian beraith ke sopir taksi. "Jalan, Pak."
Bapak sopir taksi yang sedan tadi hanya diam menganggukkan kepala dan langsung menginjak pedal gas. Lewat kaca spion, Tari bisa melihat Ata tetap berdiri di tepi jalan sampai taksi yang ditumpanginya berbelok.
"Kayaknya urusannya bakalan ribet nih, Tar," ucap Fio pelan.
"He-eh." Tari mengangguk lemah lalu menghela napas panjang.
*** "Gue tau maksud Kak Ata, pengen ngedeketin Kak Ari," gumam Fio.
"Pasti," Tari menyetujui, juga dengan gumaman.
Keduanya menatap muram ke arah atap gedung sebuah instansi milik pemerintah yang terletak di belakang sekolah. Siang itu, pas jam istirahat kedua, mereka berdiri dengan tubuh menempel rapat di dinding pembatas koridor di depan gudang. Satu-satunya tempat yang aman untuk bicara.
"Menurut lo, gue perlu cerita soal Angga, nggak"" Tari menoleh dan menatap Fio.
"Mendingan centa sih." Fio mengangguk. "Soalnya nggak mungkin selama ini lo cuma sendirian ngadepin Kak Ari. Pasti ada yang bantuin. Kalo lo nggak cerita, ntar Ata malah jadi mikir yang nggak-nggak, Tar. Lagian gue juga nggak ngeliat alasan kenapa lo harus nggak cerita."
"Gitu, ya"" desah Tari lirih.
"Iya." Fio mengangguk. Keduanya lalu terdiam lagi. Sama-sama menatap tanpa bicara ke barisan genting berwarna hijau tua itu.
"Ternyata lo cerdas juga ya, Fi."
Sebuah suara memecah kebisuan. Kedua cewek itu terkejut dan seketika balik bad
an. Ari berdiri tidak jauh di depan mereka, entah sejak kapan. Kedua tangannya terlipat di depan dada. Disambutnya keterkejutan Tari dan Fio dengan sebuah senyum tipis. Kedua matanya lalu menatap Tari.
"Bener yang tadi Fio bilang, mending lo cerita kalo ada yang namanya Angga. Jadi Ata tau, yang ada bukan cuma elo dan gue."
Tari langsung cemberut. "Apa gue aja yang cerita"" Ari menawarkan diri. Cowok itu rnaju selangkah. "Tapi jangan salahin gue kalo cerita itu nanti jatuhnya subjektif ya. Soalnya gini-gini gue juga suka ngegosip lho. Dan kadang-kadang gue juga suka melankolis. Biar gimana, dia sodara kembar gue. Kalo dia denger gue teraniaya, pasti dia nggak bakal terima."
Teraniaya!" Mulut Tari dan Fio sontak ternganga.
"Jangan kejam begitu dong ekspresmya. Sebentar-sebentar dimarahin guru, itu juga termasuk teraniaya, lagi."
Ekspresi muka Tari dan Fio, yang masih menatapnya dengan mulut ternganga, membuat Ari akhirnya tak sanggup menahan tawa gelinya. Tapi kemudian tawa itu menghilang, dan raut mukanya kembali seperti raut muka Ari yang selama ini dikenal Tari dan Fio dengan sangat baik. Sang penguasa sekolah!
"Lebih baik lo cerita. Biar Ata tau dengan jelas situasinya. Soalnya ini mulai senius. Tadi pagi dia nelepon gue, ngasih peringatan untuk nggak ngeganggu elo. Dan asal lo tau... Gue nggak suka! Apa-apaan dia" Nongol tiba-tiba dari antah-berantah dan langsung ikut campur urusan gue."
Kalirnat panjang Ari itu mulai menyelinapkan rasa takut. Tari menggenggam satu tangan Fio erat-erat. Ari melirik sekilas ke sepuluh jari yang bertaut itu, lalu tersenyum mendengus. Tiba-tiba dia melangkah maju lalu menjatuhkan diri ke celah sempit di antara kedua cewek itu. Seketika genggaman tangan Tari dan Fio terlepas dan kedua cewek itu spontan melejit ke arah yang berlawanan.
Dengan gerakan cepat, Ari merentangkan tangan kirinya hingga telapak tangannya menyentuh dinding. Tari tersentak. Kaki kanannya yang baru saja akan membuat gerakan pertama untuk pergi secepatnya, seketika terhenti. Di depannya terentang penghalang yang tak mungkin didobrak meskipun itu cuma sebuah tangan. Kedua mata Ari menyorot dingin.
"Jadi, Angga yang udah bikin lo nangis waktu itu"" tanyanya tajarn. "Lo diapain""
"Nggak diapa-apain. Emangnya dia kayak Kakak""
"Ini gue nanya serius. Lo diapain"" Mulai terdengar nada berbahaya dalam suara Ari. Entah kenapa, setiap kali Ari menyebut nama Angga, seketika itu juga rasa takut Tari berkurang di samping cewek itu memang sudah merasa terlalu sesak.
"Nggak diapa-apain. Guenya aja yang merasa diapa-apain," sahut Tari sengit. Kemudian dia membungkukkan tubuh dan menerobos barikade lengan Ari. "Yuk, Fi," ajaknya tanpa menoleh. Fio buru-buru mengejar Tari yang melangkah menjauh.
"Tari!" panggil Ari tajam. Tari balik badan dan ditentangnya kedua bola mata Ari.
"Gue yang ge-er. Mau apa lo sekarang"" tantangnya. Langsung dia balik badan lagi dan diteruskannya langkahnya yang sempat terhenti.
Ari mengikuti kepergian cewek itu dengan tatapan tajam dan kedua rahang yang perlahan mengeras.
*** "Lo tuh ya, udah tau Kak Ari orangnya kayak gitu, malah lo pancing mulu." Sambil mengaduk-aduk nasi sotonya, Fio melirik Tari. Agak kesal.
"Nggak bisa nahan gue, Fi. Tiap kali ngeliat dia bawaannya pingin ngamuk mulu." Juga sambil mengaduk-aduk nasi sotonya, Tari menghela napas.
"Ya ditahanlaaah."
"Pinginnya sih begitu, tapi nggak bisa." Panjang umur!
Orang yang barn saja mereka bicarakan mendadak muncul dan langsung duduk di sebelah kanan Tari. Dia lalu mengulurkan tangan kirinya di sedikit ruang kosong di antara Tari dan Fio, menyentuh tepi meja kayu dengan telapak tangan. Tari seketika melekatkan tubuhnya rapat-rapat ke meja. Cewek itu merinding saat merasakan sentuhan lengan Ari di punggungnya. Sementara dengan tangan kanannya yang bebas, Ari melepaskan sendok dari genggaman Tari lalu menaruhnya di mangkuk. Kemudian digesemya mangkuk soto itu ke depannya dan langsung dilahapnya isinya. Baik sang empunya mangkuk, juga Fio dan seluruh isi kantin, menatap adegan itu de
ngan tampang bingung atau mulut ternganga.
Setelah empat suapan, Ari menggeser mangkuk soto itu kembali ke hadapan pemiliknya. Gantinya, dia meraih gelas teh tawar hangat Tari dan meneguk isinya sampai tinggal setengah. Setelah itu dia berdecak puas. Ketika menoleh dan mendapati Tari tengah menatapnya dengan muka kaku, tu cowok belagak nggak paham.
"Ya udah. Dilanjut aja makannya. Kok bengong" Atau mau gue suapin""
Kedua mata Tari kontan terbelalak. Juga mata semua pengunjung kantin yang bisa mendengar kalimat itu. Perlahan kedua mata Tari menyipit marah, sementara kedua bibirnya menguncup kaku. Diulurkannya tangan kirinya, hendak mengenyahkan tangan kiri Ari yang mengurungnya. Tapi kelima jari Ari
ternyata lebih cepat bergerak. Tangan cowok itu masih di tempat semula, tapi sekarang dengan tangan Tari di dalam genggamannya.
Karena tangan yang dicekalnya terus meronta, berusaha keras untuk bisa lepas, Ari mengetatkan cekalannya. Pertarungan itu membuat sedikit celah di antara lengan Ari dan punggung Tari menutup. Sekarang lengan dan punggung itu melekat erat. Sudah tidak ada lagi cara untuk menciptakan jarak, karena Tari sudah menempelkan tubuhnya rapat-rapat ke tepi meja.


Jingga Dan Senja Karya Esti Kinasih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Akhirnya cewek itu berhenti berontak. Sementara pasrah. Adegan itu tak pelak menjadi tontonan seluruh penghuni kantin. Ari menahan senyumnya agar tidak mengembang lebar. Tapi kilat kemenangan itu terlihat sangat jelas di kedua matanya, karena cowok itu memang sengaja tidak ingin menyembunyikannya. Diketatkannya lingkaran lengannya. Kurungan itu sekarang berubah menjadi pelukan. Kemudian cowok itu mendekatkan kepalanya.
"Siapa yang udah bikin lo nangis waktu itu" Hmm"" bisiknya.
Tari tidak menjawab. Kepalanya menunduk dalam-dalam. Dia benar-benar tidak berani mengangkat muka, karena dia sangat tahu, saat ini perhatian seisi kantin pasti sedang terarah padanya. Di sebelahnya, Fio hanya bisa menyaksikan tanpa mampu menolong.
Tak lama bel berbunyi. Diam-diam kedua cewek itu menarik napas lega. Siswa-siswa kelas sepuluh yang memenuhi kantin bangkit dari duduk mereka dengan enggan. Ini tontonan super menarik dan jelas mereka sangat ingin menyaksikan sampai selesai. Pingin tau ending-nya gimana.
Sayangnya bel yang bunyinya melengking itu adalah hukum yang tidak bisa dilawan. Tak lama kantin nyaris kosong. Tinggal tersisa para pedagang dan tentu saja, ketiga orang itu.
"Kalo nggak mau bilang, lo nggak akan gue kasih balik ke kelas," ancam Ari. Nadanya kalem, tapi Tari tahu ancaman itu serius.
"Kak Ari," ucap Fio dengan suara pelan dan hati-hati, "kami ada ulangan biologi sekarang." Ari mengalihkan fokus tatapannya. Diberinya Fio sebentuk senyum.
"Dan ruang guru ke kelas lo perlu waktu. Abis itu, tu guru juga harus lebih dulu nyuruh seluruh isi kelas untuk ngosongin laci. Semua buku harus masuk tas. Setelah itu baru soal dibagiin. Jadi kira-kira perlu waktu sepuluh menit sebelom ulangan bisa bener-bener dimulai."
Tari mengatupkan kedua rahangnya kuat-kuat. Diam-diam diangkatnya kaki kanannya. Kemudian dengan gerakan tiba-tiba, diinjaknya kaki kiri Ari kuat-kuat.
"AAAKKH!!!" Ari berteriak keras. Seketika cekalannya di pergelangan tangan Tari terlepas. Tari langsung menggunakan tangannya yang sudah berhasil bebas itu. Disikutnya rusuk Ari keras-keras. Cedera cedera deh. Bodo' desisnya dalam hati.
Untuk kedua kalinya Ari berteriak keras karena siku Tari menghantam rusuknya telak-telak. Tubuhnya terhuyung. Tari tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Dengan kedua tangan, didorongnya tubuh Ari sampai cowok itu jatuh terjerembap ke lantai dengan punggung lebih dulu.
"Ayo, Fi. Cepetan!" serunya sambil cepat-cepat melangkahi bangku panjang yang sedari tadi didudukinya.
Fio, yang sejak Tari memberikan perlawanan menyaksikan dengan tampang terlongo-longo, tidak menangkap seruan itu.
"Ayo, buruan balik ke kelas! Kok elo malah bengong sih!"" Tari yang sudah berlari sampai hampir mencapai ambang pintu terpaksa balik lagi. Ditepuknya satu bahu Fio keras-keras. Teman semejanya itu sontak tersadar dan buru-buru menyusul. Denga
n cepat dilangkahinya bangku panjang yang sedari tadi didudukinya dan langsung berlari menuju pintu kantin. Ari melompat bangun. Disambarnya pinggang Tari.
"Ngajak main kasar lo ya" Oke, gue layanin!"
Tari menjerit. Dengan panik dia berusaha mengenyahkan tangan Ari yang melingkari pinggangnya. Fio langsung membantu. Direnggutnya tangan Ari lalu dengan paksa dilepaskannya dari pinggang Tari. Ketika usahanya menunjukkan tanda-tanda tidak akan berhasil, Fio langsung mengubah sasaran. Dilihatnya tangan Ari yang lain masih memegangi rusuknya yang tadi kena sikut Tari. Fio segera mencengkeram tangan itu, lalu sekuat tenaga menghantam rusuk Ari yang sakit itu. Seakan belum cukup, Fio lalu memutar tangan itu ke belakang. Tindakan yang dipraktikkannya dari hasil baca komik.
"AAKKH! ADUH!!!" Ari mengerang keras. Cowok itu terhuyung limbung. Lingkaran tangannya di pinggang Tari akhirnya terlepas. Meskipun begitu, terlihat jelas dia menikmati "perkelahian" itu. Karena, meskipun tindakan Fio tadi membuat tubuhnya nyaris sekali lagi membentur lantai, bibir cowok itu menyeringai lebar. Dengan sigap Ari menyambar tepi salah satu meja dan menjadikannya tumpuan untuk menstabilkan kembali keseimbangan tubuhnya.
"Ati-ati lo berdua. Sekarang gue serius!" serunya sambil menegakkan diri dan langsung melompat ke arah Tari dan Fio. Kedua cewek itu menjerit bersamaan dan seketika lintang-pukang melarikan diri.
Bel baru saja berbunyi, jadi kebanyakan para guru belum sampai di kelas tujuan masing-masing. Karena itu jeritan Tari dan Fio tadi, ditambah keduanya kemudian terbirit-birit melarikan diri, menciptakan gemuruh derap kaki di sepanjang koridor, jelas menarik perhatian.
Dalam sekejap, deretan jendela didesaki muka-muka antusias dan pintu-pintu disesaki jubelan penonton yang berdiri berimpitan rapat. Semua menatap dengan perhatian penuh, tapi tidak satu pun dari para penonton itu berniat menolong. Karena menurut mereka, itu sesuatu yang konyol. Cari mati dan nggak guna.
Kepada siapa pun yang berurusan dengan Ari, yang lain emang cuma bisa bilang, "Maaf deh. Itu derita elo." Karena itulah para penonton itu hanya berdiri diam dan menikmati peristiwa itu. Tari dan Fio berlari dengan muka panik, sementara tidak jauh di belakang mereka Ari mengejar dengan muka dipenuhi senyum lebar.
Beruntung Bu Endang, guru biologi Tari, sudah datang. Beliau baru saja muncul di ujung tangga. Tari langsung menghambur menghampiri gurunya itu.
Dilewatinya kelasnya sendiri, membuat teman-teman sekelasnya menatapnya bingung.
"IBUU! IBUUUUUU!!!" cewek itu menjerit, melengking keras. Bu Endang sampai terkejut. Apalagi setelah Tari, Fio menyusul, melesat menghampirinya lalu bersembunyi di belakang punggungnya.
"Ada apa sih jerit-jerit" Kalian kira kalian itu umur berapa!"" hardik Bu Endang.
"Bu, Kak Ari tuh, Bu!" Dengan napas terengah-engah Tari menunjuk Ari lurus-lurus. Ari langsung mengerem larinya.
"Siang, Bu," sapa Ari dengan nada santun. Lengkap dengan senyum manis dan anggukan kepala.
"Bikin apa lagi kamu"" Bu Endang langsung melotot.
"Nggak bikin apa-apa, Bu," Ari menjawab dengan tenang. Mukanya langsung memunculkan ekspresi seolah-olah dia juga bingung. "Kan udah bel. Saya buru-buru mau ke kelas. Karena kelas saya jauh, makanya saya lari. Mereka berdua aja yang paranoid, ngira mau saya apa-apain."
"Kenapa kamu di sini" Ini daerah kelas sepuluh."
"Soto ayamnya yang paling enak kan di sini. Ibu juga tau, kan""
Alasan yang pas. Dibanding dua kantin yang lain kantin kelas sebelas dan kantin kelas dua belas soto ayam di kantin kelas sepuluh memang yang paling enak.
Bu Endang mendengus. Tahu itu cuma alasan. "Cepat ke kelas kamu sana!" perintahnya.
"Iya, Bu. Selamat siang." Ari mengangguk, tersenyum.
Tanpa menoleh ke arah Tari, Ari berjalan menuju tangga lalu menuruninya. Tak lama cowok itu hilang dari pandangan. Seketika Tari menanik napas lega.
Kemudian bergegas disusulnya Bu Endang, yang dibuntuti Fio, berjalan menuju kelas.
Menjelang sampai pintu kelas, ponsel Tari berbunyi. Ada SMS masuk. Sambil te
rus berjalan, dikeluarkannya benda itu dari saku kemeja. Sekaligus akan digantinya ke posisi silent karena pelajaran sudah dimulai.
Tapi detik itu juga langkah Tari terhenti. Kedua matanya terbelalak menatap layar ponselnya. Nama Ari muncul di sana. Dan begitu SMS itu terbuka, Tari langsung membeku. Isinya singkat namun seperti sanggup menghentikan aliran darahnya saat itu juga.
Krn lo udh jual... GW BELI! Jangan dikira lo bisa lari!
Tari mengangkat kepala dengan cemas. Dia tak mengerti maksud isi SMS itu. Tapi apa pun maksudnya, ujungnya sudah pasti cuma satu macam. Bencana!
Tanpa sadar Tari menoleh ke arah tangga. Sontak dia terkesiap. Ari ada di sana!
Tegak di tempat tadi cowok itu berdiri, Ari tengah menatapnya. Dengan senyum lebar di bibimya. Ponselnya tergenggam di tangan kiri. Seperti terhipnotis, Tari balas menatapnya. Terus menatapnya. Tak mampu menoleh. Sampai Ari mengakhiri keterpanaan itu. Masih dengan senyum di bibir, cowok itu mengedipkan satu matanya. Dan dengan senyum itu juga, yang kemudian mengembang semakin lebar, cowok itu balik badan lalu rnenuruni tangga. Hilang dari pandangan. Baru Tari tersadar. Dihelanya napas dengan tarikan berat. Kemudian dia balik badan dan berjalan menuju kelas dengan lunglai.
*** Ternyata itu adalah awal teror. Pemandangan pada pagi hari saat Tari muncul dengan kedua mata sembap Ari tidak bisa mengenyahkan bayangan itu dan kepalanya. Sampai detik ini, pagi itu terus membayangi dan membebani pikirannya. Karena itu, akan terus diganggunya Tari. Sampai kedua bibir cewek itu terbuka dan mengatakan penyebabnya....
Ratu Bukit Brambang 1 Lintang Kemukus Dinihari Karya Ahmad Tohari Seruling Samber Nyawa 14
^