Pencarian

Katak Hendak Jadi Lembu 1

Katak Hendak Menjadi Lembu Karya N. St. Iskandar Bagian 1


Karya : N. St. Iskandar Katak Hendak Menjadi Lembu
Download Ebook Jar Lainnya Di
http://mobiku.tk http://inzomnia.wapka.mobi
Scanned book (sbook) dan Pembuatan Ebook ini
hanya untuk pelestarian buku dari kemusnahan.
DILARANG MENGKOMERSILKAN dalam bentuk apapun
apalagi dijual dalam bentuk CD/DVD
atau hidup anda mengalami ketidakbahagiaan dan
ketidakberuntungan Riwayat Hidup Pujangga yang telah menulis tak kurang dari 80 judul buku
ini lahir di Sungaibatang. Mani njau, tanggal 3 Nopember 1893.
Setelah mengalami pendidikan pada sekolah Melayu lalu
diangkat jadi guru. Selama mengajar itulah ia belajar sendiri
dari buku-buku terutama tentang bahasa Melayu dan bahasa
Belanda. Dalam bidang karang-mengarang ia pun kerap
menulis membantu surat-surat kabar di Padang.
Nur Sutan Iskandar ketika kecil bernama Muhammad Nur.
Setelah beristri diberi gelar Sutan Iskandar. Ini sesuai menurut
adat Minangkabau dari ma na pengarang berasal.
Ketika pindah ke Balai Pustaka mula-mula bekerja sebagai
korektor. Kemudian berturut-tur ut diangkat menjadi redaktur
dan redaktur kepala. Cipta sastranya yang mula-mula terbit berjudul Apa Dayaku
Karena Aku Perempuan (1922). Kemudian terbit lagi berturut-turut antara lain: Cinta Ya ng Membawa Maut (BP - 1926).
Salah Pilih (BP - 1928), Hulubalang Raja (BP - 1934), Neraka
Dunia (BP 1938), Mutiara (BP 1946).
Selain menampilkan karya-karya sastra ia juga menulis
buku bacaan untuk pelajar SD, SMP dan SMA. Sedang
terjemahan-terjemahannya dari buku-buku pengarang luar
negeri antara lain adalah: Tiga Orang Panglima, Perang Karya
Alex. Dumas(BP 1922), Dua Pu luh Tahun Kemudian karya
Alex. Dumas (BP 1925), GraafDe Monte Cristo Oleh Alex.
Dumas, 6 Jilid (BP 1925), Iman Dan Penga- 4 sihan oleh
Sienkiewich, 3 jilid (BP 1953).
Sebagai pejuang kemerdekaan Nur Sutan Iskandar
dianugerahi tanda kehormatan ol eh Departemen Sosial berupa
Perintis Kemerdekaan. Dan dalam lapangan kebudayaan beliau
dianugerahi Satyalencana tanggal 20 Mei 1961.
BP 1.0101 84 KATAK HENDAK JADI LEMBU oleh
N. St. ISKANDAR PN BALAI PUSTAKA Jakarta 1985
Penerbit dan Percetakan PN BALAI PUSTAKA BP No. 1175 Hak pengarang dilindungi oleh undang-undang
Cetakan kesatu 1935 Cetakan kedua 1952 Cetakan ketiga
1955 Cetakan keempat 1970 Cetakan kelima 1978 Cetakan
keenam 1985 Perancang kulit: Supriyono
KATA PENGANTAR Katak Hendak Jadi Lembu, karya Nur St. Iskandar ini
merupakan salah satu buah sastra yang menarik, yang terbit
pertama kali pada tahun 1935. Buku ini dicetak ulang yang ke-7 untuk memenuhi permintaan peminat baru dan lama.
Karangan ini mengandung ajaran moral yang sangat
bermanfaat. Ajaran mawas diri yang ditulis pengarang untuk
masyarakat di tahun 30-an ini masih tetap berlaku bagi
masyarakat sekarang. Semoga buku ini bermanfaat bagi
pembaca. - PN Balai Pustaka Jika hati dikemudikan kehendak, Bahagia hilang haram
terasa, Awal dikenang akhir tidak, Alamat badan akan binasa
Daftar Isi Kata pengantar I. Tiada berwaswas....... ............. ..........
II. Rumah tangga.......... ............. ......... 22
III. Di Kantor............................. ....... 37
IV. Berjalan-jalan ke desa............... ............ 50
V. Kewajiban ............ ....................... 63
VI. Perselisihan ......... ................ ......... 76
VII. Belum beranak sudah di timang.................. 86
VIII. Bulan muda........... ............. .......... 97
IX. Di rumah bola .......................... ...... 106
X. Lenyap pengharapan se buah........ ........... 114
XI. Timbul pengharapan la in............ .......... 123
XII. Kosimlagi............................... ...... 131
XIII. Hendak bersenang-senang dengan anak".......... 137
XIV. Hidup menumpang...................... ....... 150
XV. Ke mana"..... .................. ............. 162
Prakata Cerita roman ini saya kara ng dalam tahun 1935, ketika
akibat kekacauan ekonomi di Eropa terasa jua hebat di tanah
air kita ini. Musim malaise atau musim meleset, kata kita,
karena memang pada ketika itu apa-apa yang dikerjakan
boleh dikatakan meleset sekaliannya.
Yang amat banyak menanggungkan sengs
ara akibat meleset itu ialah kaum buruh, termasuk juga seluruh pegawai
negeri. Banyak orang yang diperhentikan dari jawatannya,
jumlah pegawai disusuti benar-benar, dan karena itu seakan-akan tertutuplah pintu bagi pemuda dan pemudi tamatan
sekolah sejak dari sekolah rendah sampai kepada sekolah
tinggi akan mencari rezeki de ngan tangkai pena di kantor-kantor.
Sekalian rakyat gelisah dan kuatir melihat keadaan yang
amat buruk itu. Sungguhpun demikian banyak jua orang yang
terbawa oleh sifat-tabiatnya seolah-olah tidak mengindahkan
hal itu. Orang yang demikian hanyalah dikemudikan oleh
kemauan hatinya, kalau tidak baik dikatakan oleh hawa
nafsunya saja. Maka hal semacam itulah yang saya gambarkan di dalam
cerita "Katak Hendak Jadi Lembu" ini. Walaupun di sana-sini
orang mengeluh, mengerang-erang karena kesempitan hidup,
tetapi si Katak tak lain niatny a melainkan hendak melebihi si
Lembu yang jauh lebih besar dan kuat daripadanya.
Akhirnya .... Mula-mula saya agak takut-takut akan menerbitkan roman
ini, pertama karena kebetulan tempat terjadinya di dalam
daerah yang tiada saya kenal benar, dan kedua lebih-lebih lagi
karena adat-istiadat serta kebiasaan orang di situ kurang pula
saya pahami. Akan tetapi kemudian, setelah "Katak Hendak Jadi Lembu"
terbit dan tersebar, ketakutan saya itu berangsur-angsur
dihilangkan oleh pembaca dari golongan suku bangsa Sunda
sendiri dengan ucapan, bahwa isi buku itu sungguh-sungguh
sesuai dengan peri keadaan, bahkan ibarat "tembak" tepat
mengenai sasarannya. "Memang banyak peristiwa sedemikian
di tanah Pasundan", kata me reka itu baik dengan lisan
maupun dengan tulisan kepada saya.
Istimewa pula sesudah keluar pemandangan seorang
pujangga dan ahli bahasa di Eropa, Dr. Teeuw bertambah
legalah perasaan saya. Setelah buku-buku karangan saya yang
diterbitkan oleh Balai Pustaka dan penerbit lain-lain
dibicarakannya, maka tentang Katak Hendak Jadi Lembu itu
katanya: "Lain daripada mengandung segala kebaikan karang-karangan Iskandar, juga tentang komposisi dan psychologi,
buku itu pun mempunyai kebaikan-kebaikan yang menurut
perasaan saya membuatnya jadi karangannya yang terbagus."
Hal itu menyebabkan cetakan pertama lebih lekas habis
terjual daripada yang dikira-kirakan, sehingga cetakan kedua
harus disegerakan. Akan tetapi zaman beralih musim bertukar,
maka karena pertukaran pemerintahan banyaklah buku Balai
Pustaka yang baik-baik tidak dapat lagi diterbitkan, walaupun
rakyat makin lama makin berhajatkan buku-buku bacaan juga.
Baru dalam tahun 1952 ce takan kedua itu dapat
dilaksanakan. Sekarang cetakan ketiga sudah terbit pula. Tak lain dan tak
bukan pengharapan saya, moga-moga buku ini dapat jua
dipergunakan sekedar penambah-nambah bilangan buku-
bacaan dengan tak usah dikata kan telah basi isinya, karena
apa-apa yang dipaparkan dalam beberapa tahun dahulu itu
lepas dari suasana kolonial at au merdeka masih terdapat
dan terjadi di dalam masa kini dan mungkin juga dalam masa
depan, bahkan sepanjang zaman agaknya!
Saya kira, sifat katak sedemi kian takkan kunjung hilang.
Jakarta , 14 Mei 1955 Pengarang
I. Tiada Waswas Malam. Hitam gelap, seolah-olah takkan ada kesudahannya.
Azal yang tak dapat dipikirkan.
Sunyi, kosong belaka! Hampir tak ada apa-apa sedikit juga,
laksana masa langit belum bumi pun belum ada lagi!
Hanya sekali-sekali kesunyian itu terganggu sedikit, terjaga
dari pada mimpinya. Bergerak perlahan-lahan, lambat-lambat
benar. Bagai desir napas masa azali, bagai bunyi hujan rintik-rintik di atas muka air laut yang tiada berhingga berbatas,
tiada bertepi berpinggir.
Kemudian senyap pula, tak ada suatu apa juga lagi.
Sekaliannya sudah beku! Sunyi dan gelap sudah mengalir
menjadi satu, senyawa. Seseorang terjaga, mengunjur panjang di atas
petidurannya. Tiada terasa ol ehnya sendi anggotanya yang
berat dan penat, napas yang turun naik dalam
rongkongannya, langkah beraturan kawannya yang setia di
dalam dadanya, jalan darahnya di dalam seluruh bagian
dagingnya. Ia jaga, seorang saja di dalam sunyi dan gelap itu.
Ia jaga, hanya pikirannya yang amat jernih dan tenang itulah
yang menjadi nyawa malam sunyi itu ....
Orang itu jaga. Malam sudah ada isinya. Telah tampak oleh
orang itu, dalam ingatannya, bumi terbentang di hadapannya,
sawah ladang dengan tanam-tanamannya, hutan rimba
dengan kayu-kayunya, jurang lembah yang dilingkungi bukit
yang hijau warnanya, jalan ya ng terentang lurus dan rumah
yang berjajar berderet-deret. Ia pun memandang dengan
hemat dan cermat berkeliling kamar. Tempat yang sunyi itu
sudah ada penghuninya, udara sudah bergetar. Angin
berembus dari celah-celah pintu dan tingkap, yang tertutup
erat-erat. Setelah itu, seperti kaca yang pecah tertekan oleh
suatu kekuatan rahasia, berkua klah kesunyian: kokok ayam
kedengaran berderai-derai.
Sekonyong-konyong sunyi pula. Akan tetapi tiada lama,
kokok ayam kedengaran lagi, lebih riuh, lebih ramai dari tadi;
bersahut-sahutan, atas-mengata si keindahan kokok masing-masing. Lalat yang masih berhal antara lelap dengan jaga,
telah terbang mendengung di dalam kamar dengan untung-untungan, tertumbuk pada dinding, berpaling, hinggap pada
kain kelambu dengan marah se bal, lalu tidur kembali.
Di luar sudah gemersik bunyi berturut-turut, seperti bunyi
jam yang makin lama makin nyaring dari detik ke detik. Di
antara kokok ayam yang berbalas-balasan itu sudah mulai
kedengaran langkah orang 4i jalan kecil, berdambun-dambun,
dan berdesir-desir pasir yang dipijakkannya. Tutur yang
perlahan-lahan, sekali-sekali dan putus-putus, ditingkah oleh
kicut pedagang turun naik sedang ditahan oleh bahu yang
bidang. Rupanya orang dagang sudah banyak pergi ke pasar,
akan mencari rezeki seperti ti ap-tiap hari. Sejurus kemudian
terdengarlah pula bunyi yang sangat nyaring, mersik dan
keras, yaitu suara orang azan di mesjid Muaddin berseru
kepada sekalian hamba Allah agar supaya bangun dan
sembahyang subuh. Jalan raya sudah mulai agak ramai, bunyi tuter kendaraan
telah kedengaran sekali-sekali: menderu dan mendengung ....
Akan tetapi orang itu mulai memperbaiki kain selimutnya,
berselubung, sebab hawa dingin sudah terasa olehnya. Ia
merapatkan badannya ke bantal guling, menyingkirkan dan
menjauhkan segala ingatan yang ada dan yang akan timbul
lagi dalam kepalanya. Ia hendak tidur kembali, lebih nyenyak
dari tadi itu, dengan dibuai diayunkan oleh puput serunai
dinihari itu. Tetapi tak dapat lagi.... Jangka sampai, ukuran
datang. Ketika matanya hampir tertutup pula,
pendengarannya sedang timbul tenggelam, berkicutlah pintu
dan jendela rumah itu. Malam sudah binasa, jangkanya akan hilang telah tiba.
Cahaya sudah terbit di dalam ge lap gulita. Jendela! Fajar pun
telah menyingsing. Akan tetapi cahayanya masih pucat pudar,
belum dapat melenyapkan kegelapan sama sekali.
Keluh kesah sang malam hampir tak kedengaran lagi, telah
berubah jadi napas sang kala sendiri. Sebagai air sungai
sepanjang pinggir kapal yang be rlabuh, keluh kesah itu sudah
mengalir berombak-ombak ke ki ri dan ke kanan sisi sebuah
rumah yang terdiri teguh di antara pohon-pohonan yang
rindang. Keluh kesah sang malam kelu sudah; dunia menahan
napasnya. Murai telah berkicau, mula-mula seekor saja, kemudian
bersahut-sahutan dengan kawan-kawannya, di atas pohon
jambu mawar di sudut rumah itu. Ia bertengger di atas dahan,
yang rimbun daunnya. Bulunya masih kusut masai, tapi
kicaunya telah kedengaran ke sana sini dengan amat nyaring:
Siang! Siang! Bangun! Bangun!
Sekonyong-konyong kedengaran pula suara di dalam rumah
itu. Mula-mula tertahan-iahan, sepatah-sepatah' perkataan.
Kemudian lantung lantang bunyinya, tetapi tak dapat
diartikan, sebab tiada terang benar. Perkataan itu dijawab oleh
perkataan lain,.pun tiada jelas, karena sama lantung-lantang,
sama bergalau, sama riang. Kedua suara itu bercampur,
bergetar, bergelombang > dan mengalir di dalam ruang.
Seru, tertawa, nyanyi! Anak-anak sudah berlompatan dari atas ranjangnya, terus
ke luar dari dalam kamar.
Sungguh, seluruh rumah itu sudah terlepas daripada
kesunyian. Berderak, berderik , bergaung dan berdengung!
Pintu, jendela telah terbuka dan ternganga. Dengan riang dan
gembira, seperti orang yang menang berperang, masuklah
sinar ke da lam rumah itu ... putih bersih dan berkilat-kilat
seperti air terjun. Telah tiba pula hari sehari lagi!
Orang tadi memasang telinganya, mendengarkan apa-apa
dengan hati-hati. Ia menggeliat ke kiri dan ke kanan,
mengumpulkan sekalian kekuatan badannya, lalu bangun. Ia
pun duduk di tepi ranjang, di antara kedua pinggir kain
kelambu, seraya merentangk an kedua belah tangan dan


Katak Hendak Menjadi Lembu Karya N. St. Iskandar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengangakan mulut sebesar-besarnya. Seorang anak gadis
kecil datang ke kamarnya. Dari pintu, sambil berjalan
mengenakan ikat rambutnya, gadis itu pun berseru, "Pak, Pak,
bangun, Pak, hari sudah tinggi." Akan tetapi ketika
dilihatnya orang yang diba ngunkannya itu telah duduk
berjuntai, ia pun menyambung perkataannya, "Eh, Bapak
sudah bangun." Ia mundur, berp aling dan berlari ke belakang
dengan kemalu-maluan. Bapak itu tersenyum, tegak berdiri di atas selop rumput,
yang telah tersedia di lantai di bawah kakinya. Seraya
menggosok-gosok mata, ia pun melangkah dengan perlahan-lahan ke pintu kamar dan berjalan ke belakang. Ia tiada terus
pergi ke kamar mandi, melainkan duduk berpangku tangan
dahulu di kursi rotan yang terletak di ruang jalan ke dapur.
"Siapa yang kabodoani) tadi, eh"" tanyanya, sambil mengu-jurkan kaki serta memandang dengan senyum kepada anak
yang tengah disisiri ibunya.
"Enah," sahut seorang anak laki-laki yang tengah mengikat-ikatkan tali sepatunya. "Enah kabodoan, Bapak sudah bangun,
dibangunkannya.'' "Habis, Ibu suruh," jawab anak gadis yang dipanggilkan
Enah itu, sebenarnya Aminah, seraya memandang kepada
orang yang menyisiri dia.
"Sangka ibu, bapakmu masih tidur; hari sudah tinggi,"
jawab ibunya seraya tersenyum pula.
"Ibu sudah kerja dari tadi, su dah sembahyang, tetapi Bapak
. "Bapakmu hendak ke kantor, bekerja lebih keras dari ibu,"
kata ibunya pula dengan ce pat memutuskan perkataan
anaknya. "Sekarang sudah se lesai rambutmu, erat letak
pitamu. Nanti pulang dari sekolah rambut kusut, pita hilang ....
Berdirilah, mengapa saja engkau di sekolah, Enah""
"Bergelut," sahut Saleh, anak yang laki-laki, yaitu kakak
anak gadis itu. "Bergelut!" kata ibunya pula, seraya memperhatikan kedua
anaknya dengan pandang yang membayangkan kasih sayang,
"bergelut Aleh tahu dia bergelut, tapi Aleh biarkan saja!
Tidak Aleh jaga adik. Eh, bedakmu tiada sama rata,
bertumpuk-tumpuk, Enah. Mari ibu ratakan."
1) Sd.: tertipu. .. . "Celepuk dandang, tikus keluar dari kandang," kata Saleh
dengan riang menggoda adiknya.
Saleh dan Aminah dua bersauda ra. Yang laki-laki berumur
antara 11 dengan 12 tahun, sudah duduk di kelas 5 HISi) di
kota Sumedang. Adiknya kira-kira berumur 9 tahun, baru
duduk di kelas 2 sekolah itu juga. Anak-anak itu manis
tingkah-lakunya, selalu bersenda-gurau, berkelakar dan
berolok-olok. Jarang sekali berkelahi. Terhadap orang tuanya,
mereka itu lebih dekat, lebih terikat kepada ibunya dari
kepada bapaknya. Dan kalau di pakai perkataan sayang pun
mereka itu lebih sayang nampaknya kepada yang pertama itu.
Bapaknya yang masih duduk senang di atas kursi rotan itu
jadi manteri kabupaten di kantor patih Sumedang. Ia sudah
lebih dari separuh baya, sudah masuk bilangan orang tua
tua umur tetapi badannya masih muda rupanya. Bahkan
hatinya pun sekali-kali belum boleh dikatakan "tua" lagi, jauh
daripada itu. Barang di mana ada keramaian di Sumedang
atau di desa-desa yang tiada jauh benar dari kota itu, hampir
selalu ia kelihatan. Istimewa dalam alat kawin, yang
diramaikan dengan permainan seperti tari-menari, nayuban
dan lain-lain, seakan-akan dialah yang jadi tontonan! Sampai
pagi mau ngibing2), dengan tiada berhenti-hentinya. Hampir
di dalam segala perkara ia hend ak di atas dan terkemuka ...
rupanya dan cakapnya. Memang ia pantang kerendahan,
perkataannya pantang dipatahkan. Meskipun ia hanya
berpangkat manteri kabupaten, bergaji kecil dan "semah"3)
pula di negeri Sumedang, tetapi hidupnya tak dapat dikatakan
berkekurangan. Rumahnya bagus, lebih daripada sederhana;
perabotnya cukup, lebih bany ak, lebih pantas daripada
perkakas rumah amtenar yang sederajat dengan dia. Bahkan
walaupun dibandingkan dengan orang yang seti
ngkat dua tingkat lebih tinggi pangkatnya dari dia, rasanya ia takkan
kalah jua, yakni pada lahirnya, nampaknya! Yang batin
siapa tahu" Pakaiannya
1) Hollandsch Inlandsche Sc hool = Sekolah Bumiputra,
yang berbahasa Belanda. 2) Ngigel = menari. 3) tamu. selalu rapih dan bersih, demi kian pula pakaian bini dan
anak-anaknya. Kedua anaknya itu belajar di sekolah yang
patut dan mahal bayarannya. Tidak, bukan dua orang itu saja
anaknya, ada seorang lagi. Yang sulung bersekolah di Osviai),
sekolah menak di Bandung. Barangkali, kalau tak ada aral
melintang, setahun lagi tamatlah pelajarannya di sana. Dalam
waktu yang akhir ini selalu anak itu di bibirnya, selalu jadi
buah mulutnya, bahkan menjadi kebanggaan kepadanya
dalam waktu bercakap-cakap tentang perkara anak-anak
dengan sahabat handai dan teman se-jawatnya. Akan tetapi di
rumah, dengan kedua anak-anak itu sendiri agak kurang
pergaulannya. Sebagai acuh tak acuh, sebagai tak peduli saja
ia kepada mereka itu. Bercak ap-cakap di mana perlu saja,
bersenda-gurau jarang sekali. Kalau ada, hanya dengan tak
disangka-sangka seperti pada pagi itu. Tiada sayang, tiada
kasih kepada anak" Entah, tapi marahnya hampir tidak ada,
bencinya pun tiada kelihatan.
Acuh tak acuh! Jadi tak heran, jika anak-anak itu pun agak
jauh daripada dia. Jarak, ya, berlainan benar dengan halnya terhadap kepada
ibunya. Bagai siang dengan malam. Dengan Zubaidah mereka
itu amat manja, amat riang da n terbuka hati dan pikirannya^.
Memang Zubaidah senantiasa berlaku dengan manis dan
lemah lembut kepada anak-anaknya. Didikan dan pengajaran
kepada mereka itu dilakukannya dengan senyum-simpul
dengan tertib-sopan. Kesalahan, cacat dan cela anak-anak itu
ditunjukkannya dengan kiasan, tapi terang dan masuk
senyum, ke dalam hati mereka itu.
"Berangkat, Ibu," kata kedua an ak itu kepada ibunya yang
berdiri di beranda muka memperhatikan mereka itu berjalan
ke luar pekarangan. "Baik-baik di jalan, Anak, jangan berlari, Enah ... nanti
jatuh, Nak. Jaga adikmu, Aleh. Awas, sado, oto ...!" demikian
kata Zubaidah dengan kasih-sayang yang tergambar terang
dalam 1) Opleidingsschool voor Inla ndsche Ambtenaren = Sekolah
bagi Amtenar Bumiputra, pamong praja.
seri dan caya mukanya, sambil menurutkan buah hatinya itu
dengan matanya. Setelah kedua anak itu hilang dari
pemandangannya, terlindung oleh pohon kayu di kelok jalan,
barulah ia pergi ke belakang akan meneruskan pekerjaannya
pada pagi hari itu. Akan tetapi ingatannya kepada anak juga.
Sebelum anak-anak itu pulang pula, hampir tak luput ia
daripada waswas dan kuatir kalau-kalau mereka itu mendapat
salah satu kecelakaan di tengah jalan akan pergi dan atau
balik dari sekolah. Sesampai ke kamar makan, dilihatnya
cangkir kopi masih tertutup dan makanan belum bersentuh
lagi. Ia memandang ke ruang jalan ke dapur, lalu berkata
sambil mendekati suaminya, "Akang, belum juga mandi lagi"
Hari sudah tinggi, nanti Akang terlambat tiba di kantor."
"Pukul berapa hari"" jawab Suria, seraya beringsut sedikit
dari kursinya. "Sudah hampir pukul tujuh, anak-anak sudah .... Acapkali
benar Akang berlalai-lalai, tidak marahkan Juragan patih""
"Anak emas! Dalam segala hal juragan patih menyerah
saja kepada akang." "Akan tetapi ...."
"Di kantor boleh dikatakan akanglah yang berkuasa,
Juragan patih tahu beres saja." "Syukur, tetapi ...."
"Benar, dia tahu beres saja. Dia baru di sini, tapi akang
sudah lama, sudah paham benar seluk-beluk pekerjaan kantor
dan lain-lain." Sambil berkata de mikian, ia pun bangkit berdiri
dari kursi malas dan melangkah ke kamar mandi.
Kira-kira setengah jam kemudian kelihatan ia sudah
berpakaian dengan patut. Ia berdiri di kamar makan seraya
melayangkan mata berkeliling, te rutama ke atas meja. Ketika
ia hendak duduk minum kopi yang tersedia di atas meja itu, ia
pun berseru dengan suara ya ng agak nyaring, "Babu!"
"Saya Juragan," kedengaran suara dari beranda muka.
Seketika itu juga kelihatanlah seorang perempuan yang sudah
agak tua berdiri di hadapa n Suria dengan hormatnya.
"Apa,Juragan""tanyanya sera ya membungkukkan dirinya.
"Ini apa"" kata Suria deng
an belalak mata kepada perempuan itu, seraya menunjuk dengan telunjuk kiri ke atas
meja makan. "O," sahut babu itu dengan ketakutan, sambil menyeka-nyeka-kan beberapa butir remah dari atas meja itu. "Agan
Aleh dan Enah makan di sini tadi ...."
"Ada apa, Icih!"" kata Zubaidah tiba-tiba dari belakang
dengan agak cemas, tetapi manis jua bunyi suaranya. "Ada
apa"" "Kotor, remah bertaburan di atas meja," sahut suaminya
sambil makan bebikai) dengan sambal goreng sedikit.
"Anak-anak tadi .... Tapi sudah bersih, Icih""
"Su ... sudah, Juragan."
"Bagus, teruskanlah kerjamu ta di. Biar saya di sini."
Setelah babu itu pergi ke luar, ia pun berkata dengan lemah
lembut kepada suaminya, yang telah berdiri dari kursinya.
"Sedikit saja Akang makan! Kopi pun tidak habis Akang
minum." "Hem, ya "Barangkali kurang manis""
"Manis cukup," kata Suria sambil meraba-raba saku
bajunya. "Rokok Akang! Saputangan sudah ada""
"Sudah," dan Suria mulai merokok sigaretnya, sambil
berjalan dua tiga langkah ke belakang. Di bawah ujung atap
gang tergantung sebuah sangkar. Suria berdiri dekat sangkar
itu, seraya bertekan pinggang dengan tangan kirinya. Dan
dengan jari tengah dan ibu jari tangan kanan ia pun memetik-metik beberapa kali, dan tiap-tiap petik itu diiringinya dengan
suara "ak-ak" serta angguk kepala. Burung ketitiran2) yang
ada di dalam sangkar itu berbunyi; angguk kepala Suria pun
bertambah cepat. "Sudah mengerti benar burung itu," kata Zubaidah, sambil
berdiri di sisi suaminya, "tahu benar ia akan bunyi petik (Jan
suara Akang." "Tur ketutut ...."
1) kue bika 2) Perkutut. "Sudah kaugariti airnya, Edan""
"Sudah, makanannya pun telah saya tambah pula."
"Tur ketutut ...."
"Riang benar ia pagi ini," kata Suria dengan senang hatinya,
sehingga ia lupa perkara lain-lain.
"Lebih-lebih kalau digantungkan di tiang bambu yang tinggi
itu," kata Zubaidah, sambil memandang ke tanah lapang di sisi
rumahnya. "Benar, nanti pindahkan ke sana."
"Neng, neng ...."
"Zubaidah terkejut, lalu berk ata dengan gelisah," Sudah
pukul delapan, Kang. "Sepedaku sudah dibawa ke luar"" kata Suria dengan
tenang, sambil mengudut sigaretnya yang sudah hampir habis
terbakar saja. Zubaidah berjalan dengan langkah yang cepat ke muka
rumah, diturutkan oleh suaminya, yang menoleh jua beberapa
kali kepada burungnya. Sesampai ke halaman, dilihatnya
kereta angin sudah tersandar di sisi pintu pagar. Di atas
tempat barang-barang telah terikat dua tiga buku tebal dan
panjang dengan erat. Suria menolak sepeda itu ke luar
pekarangan. Ketika ia hendak melompat ke atasnya, ia pun
berkata kepada istrinya, "Jangan lupa Edah, burung itu!
Gantungkan di panas sebentar, dan sudah itu bawa kembali ke
tempat yang teduh." "Tentu saja," jawab Zubaidah dengan manis.
Suria merokok dahulu sebatang lagi. Setelah
mengembuskan asap ke udara tiga kali, barulah ia menaiki
kereta anginnya. Ia berangkat ke kantor dengan perlahan-lahan dan tenang tiada kelihata n ia bergesa-gesa, walau hari
sudah tinggi sekalipun. II. Rumah Tangga "Mengapa sampai jadi begitu tadi, Icih" Sampai juraganmu
marah seperti itu"" kata Zubaidah kepada babunya, ketika
Suria tiada kelihatan lagi, sambil mendekati Icih, yang sedang
bekerja menyeka-nyeka serta mengaturkan letak keempat
kursi berkeliling meja bu ndar di ruang tengah.
"Saya, Juragan. Ada saya periksa meja makan sesudah
Agan Aleh dan Enah berangkat, tak ada apa-apa saya lihat,
bersih," jawab babu itu mempertahankan dirinya.
"Bersih, tetapi ada kedapatan remah."
"Hanya dua tiga butir, Juragan! Remah sekian saya pikir ....
Dan tiada kelihatan oleh mata saya."
"Sekian, remah juga, kotoran juga, Icih. Engkau tahu,
juraganmu! Siapa yang akan enak makan di tempat yang
kotor" Yang akan datang ini hendaklah dijaga benar-benar,
segala kerja harus bersih."
Icih berdiam diri. "Sekarang," kata Zubaidah pula sambil memandang
berkeliling. "Jika sudah beres dalam rumah semuanya,
pergilah ke dapur. Periksa apa-apa yang kurang untuk hari
ini." Sepeninggal babu, yang berjalan ke belakang dengan agak
bersungut-sungut, duduklah Zubaidah di atas kursi. Pada air
mukanya yang tak dapa t dikatakan bulat penuh lagi, karena
sudah agak lanjut umurnya, tetapi masih elok dan manis
parasnya, terbayang suatu perasaan yang terkandung di
dalam hatinya. Rupanya perasaan itu sangat menyesakkan
dadanya. Dua tiga kali ia menarik napas panjang, mengeluh
dengan perlahan-lahan: "Suria! Hal yang sekecil itu sudah menerbitkan marahnya,
remah anaknya telah menyempitkan merihnya! Akan tetapi hal
lain-lain, yang patut dan mesti diperhatikan, hampir tiada
pernah dipedulikannya. Rumah tangga! Begini sulitnya urusan
rumah tangga, begini susahnya hidup sekarang ini, Suria
berlaku bagai acuh tak acuh juga. Yang dipentingkannya


Katak Hendak Menjadi Lembu Karya N. St. Iskandar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hanyalah kesenangan dirinya. Burungnya lebih perlu
kepadanya daripada anak-anaknya. Hampir tak pernah ia
bertanya, bagaimana sekolah Aleh dan Enah ..."
Zubaidah berdiam diri sejurus, menarik napas panjang pula,
sedang air mukanya bertambah keruh juga.
"Rupa senang, nampak di luar sentosa, selesai, tetapi di
dalam kusut sebagai benang dilanda ayam. Bagaimana hidup
akan senang, kalau tiada berkecukupan" Dan bagaimana pula
hidup akan dapat berkecukupan, kalau bayang-bayang tiada
sepanjang badan, kalau belanja tiada diukur dengan
pendapatan" Gaji Suria kecil, pintu rezeki kami sangat sempit.
Aku tahu dan Suria pun lebih tahu lagi! Tetapi ia ... priayi,
amtenar BBi), mesti hidup lebih daripada orang kebanyakan!
Lonjaknya, gayanya, jika tidak akan lebih mesti sama dengan
amtenar lain-lain!! Ia harus mulia di mata orang! Akan
mencapai ketegakan serupa itu dan akan meme-" lihara
derajat jangan sampai turun, walau pasak besar daripada
tiang sekalipun, ia tiada peduli apa-apa rupanya. Aku yang
memegang rumah tangga, yang se lalu mesti mengetahui peri
keadaan dalam rumah sampai ke sudut-sudut bilik dan ke
balik-balik tungku, aku sena ntiasa menanggungkan sekalian
akibat perbuatannya. Aku yang selalu berhadapan dengan
orang warung, aku yang bertentangan dengan si penagih
utang! "Gaji kecil, dari bulan ke bulan tiada sampai-menyampai!
Akan tetapi kalau Suria mau bermupakat dengan daku lebih
dahulu tentang apa-apa yang akan dibeli atau diadakan,
rasanya akan dapat juga aku mempertenggangkan
pendapatan yang sekecil itu. Walau tak berkecukupan benar,
kesempitan sangat tentu tiad a pula. Betapa jua pun kecil
kehasilan, asal dijalankan de ngan hemat dan cermat, dengan
perhitungan yang betul, tentu ak an dapat juga bertahan-tahan
larat. Berapa banyaknya orang yang tiada berpencaharian
tetap, tak tentu pintu rezekinya, tetapi ia
1) Binnelandsch Bestuur = Pemerintahan Dalam Negeri.
tiada melarat! Orang desa ti ada bergaji, tapi hatinya
berlipat ganda sentosa dari pada aku ini. Tidurnya nyenyak,
makannya kenyang, langkahnya lepas. Aku was-was
sebesar bukit. Angan lalu, paham tertumbuk.
"Kalau terus-menerus begini cara kehidupan kami, niscaya
celaka akhir-kelaknya. Berutang ki an-kemari... terjerat leher,
ter-kongkong badan. Anak-anakku ...."
Terbang semangat Zubaidah , ibu yang berhati lemah-lembut itu, demi terpikir ol ehnya nasib anak-anaknya dalam
masa yang akan datang. Kalau ia tiada ingat-ingat
mengemudikan rumah-tangganya, bagaimana ia akan cakap
mendidik mereka itu dengan sepatutnya" Masa sekarang dan
terutama masa yang akan datang ialah masa kepandaian,
masa ilmu pengetahuan. Dengan kepandaian orang berjuang
dalam penghidupan sekarang ini, dengan ilmu pengetahuan
orang merebut kedudukan yang berarti dalam pergaulan
hidup. Bukan sebagai dalam dua puluh atau dua puluh lima
tahun dahulu. Ketika itu hidup orang senang, pencaharian
mudah, segala ada, pangkat dan derajat boleh dibeli dengan
uang dan harta, dengan gelar atau keturunan yang baik.
Bahkan kadang-kadang dionyok-onyokkan sesuatu pangkat
kepada seseorang yang bergelar dan berharta; padahal ia
tiada berhajatkan pang kat itu! Dewasa ini, pengetahuanlah
yang diutamakan orang. Hilang rona karena penyakit, hilang
bangsa karena tak beruang tak ada salahnya dan
janggalnya jika pepatah itu ditambah sekarang dengan: hilang
bangsa dan negeri karena tiada berpengetahuan. Pendeknya,
ilmu pengetahuan itu terpandang di dalam segala perkara.
Kemiskinan dilipu r oleh pengetahuan, paras yang kurang
bagus dipupur dan dibedaki oleh pengetahuan.
"Anak-anakku," ujar Zubaidah dengan bermawas jua, "tentu
akan terlantar. Takkan sampai sekolahnya! Dengan apa uang
sekolah akan dibayar, dengan apa keperluannya akan
dicukupkan, sedang belanja sehari-hari saja berkurang-kurang" Bapakku ya, untung bapakku sampai kepada saat
ketika ini masih sanggup menolong-nolong kami. Akan tetapi
tiap-tiap sesuatu ada batasnya. Kalau beliau tak cakap lagi,
tak sanggup dan tak berdaya lagi, hii, kalau baik dipinta buruk
datang, wahai, bagaimana jadinya""
Dalam cemas memikirkan kehendak Allah yang tak dapat
ditentukan, kalau-kalau ayahnya yang telah tua itu terdahulu
dari padanya, bertambah pedihlah hatinya mengira-ngirakan
nasib peruntungannya dan bertambah sempitlah pula alamnya
mengenangkan tingkah-laku suaminya. Sudah hampir dua
puluh tahun ia jadi istri Suri a, selama itu boleh dikatakan
belumlah ada lagi ia yang lepas daripada tanggungan orang
tuanya. Zubaidah sudah berumah tangga sendiri, bahkan
sudah menjadi ibu tiga orang anak, bersuami, yang
berpencaharian tetap, tetapi ia masih menyusahkan orang
lain, masih menjadi beban orang yang seharusnya sudah lama
disenangkannya. Waktu berjalan jua dengan tiada berhenti-hentinya, umur manusia dari sedetik ke sedetik, dari semenit
ke semenit bertambah lanjut jua; apabila lagi ia akan
bersedia-sedia untuk hari tuanya" Usia Zubaidah sudah 35
tahun, Suria hampir 40, seda ng selama-lama hidup manusia
dalam zaman ini hanya kira-kira 60 tahun lebih. Dan sekuat-kuat orang mencari, berusaha, biasanya cuma hingga berumur
50 tahun! Jadi bilakah akan menyediakan jaminan untuk masa
tiada cakap bekerja lagi"
Jaminan! Anaknya yang sulung bukantah ada sekolah
menak" Kalau sekolah Abdulhalim tamat tahun depan, niscaya
ia diangkat jadi amtenar, dengan gaji yang cukup. Bukan
tah anak itu sudah boleh jadi jaminan baginya" Bukantah anak
harus, wajib memelihara ib u bapak dalam masa tuanya"
Pertanyaan itu menambah meng acau-balaukan pikiran ibu,
yang tengah bermenung seoran g diri itu. Anak memelihara
bapak, tapi ia sendiri sudah setua itu anak-beranak
masih jadi beban ayahnya! Terbalik, dan benarkah jalan
pikiran sedemikian, yakni anak harus memelihara orang
tuanya" Zubaidah menggeleng-gelengkan kepalanya, yang penuh
dengan kekuatiran itu. Makin lama makin jelas dan terang terbentang di hadapan
ingatannya peri keadaan selama ia bercampur dengan
suaminya. Kira-kira 20 tahun dahulu Suria menjadi magang di kantor
asis-ten-resideni) Tasikmalaya. Ketika itu ia masih muda
remaja, parasnya elok dan manis. Kulitnya kuning langsat,
badannya sedang, tiada besar dan tiada pula kecil, dimakan
pakaian benar-benar. Bapaknya Haji Zakaria, masuk bilangan
orang yang berada di negeri itu. Ia tiada beranak seorang jua,
lain daripada Suria. Sebagaimana kebiasaan pada anak
tunggal, Haji Zakaria selalu memperkenankan permintaan
anaknya. Tiada heran, jika karena itu Suria jadi kemanja-manjaan, pesolek dan tinggi hati. Meskipun ia hanya magang,
pegawai kantor yang tiada bergaji, tetapi gaya dan lagaknya
lebih daripada jurutulis; angkuhnya serupa jaksa. Maksud Haji
Zakaria memintakan dia kerja di kantor itu bukanlah karena
mengharapkan pencahariannya, melainkan untuk kesenangan
anaknya. Dan terutama sekali untuk kemuliaan dirinya. Ia
berada, disegani dan dimalui orang desa! Tentu ia akan
bertambah : mulia lagi di mata orang, kalau anaknya yang
tunggaj itu menjadi orang berpan gkat kelak. Cita-cita Suria
sendiri pun demikian pula. Ia tiada berangan-angan hendak
menurutkan jejak ayahnya, hendak menjadi orang tani. Tidak,
sekali-kali tidak! Ia lebih suka, lebih senang duduk di kantor
negeri dengan memegang tangkai pena, walau belum
mendatangkan hasil sesen jua pun, daripada menjadi "orang-tani-kaya" saja! Hasil, bukantah belanjanya cukup setiap
hari, bukantah segala keperluannya diadakan oleh ayahnya"
Haji Zakaria bersahabat karib dengan Haji Hasbullah, khatib
di Tasikmalaya, yakni Ayah Zubaidah. Semenjak kecil boleh
dikatakan mereka itu sepermainan, seperjalanan dan sama-sama pula
pergi naik haji ke Tanah Suci. Senasib, sama-sama
beranak-tunggal. Cuma lainnya, Haji Hasbullah beranak
perempuan dan lebih berbahagia daripada dia. Haji Hasbullah
lebih kaya, lebih beruntung. Ia jadi khatib dan ternama ramah
dan lurus di negerinya. Zubaid ah, setelah tamat belajar di
sekolah rendah, dididiknya di rumah dengan budi-bahasa yang
halus, baik tentang perkara adat sopan-santun, baik pun
tentang perkara agama. Sebagai
i) pembantu residen, berked udukan di kota kabupaten.
menatang minyak penuh ia berl aku kepada Zubaidah itu.
Seboleh-bolehnya anaknya yang hanya seorang itu dapat
hendaknya memelihara namanya yang baik itu. Demikian cita-citanya. J^ain daripada itu ia berharap juga, moga-moga
Zubaidah mendapat suami daripada orang baik-baik dan
berpangkat, supaya boleh bertambah bersemarak rumahnya,
lebih-lebih agar menantunya itu boleh menggantikan dia
dalam hal menjagai harta-benda yang akan ditinggalkan
kalau ia berpulang kepada Zubaidah kelak.
Ketika gadis itu telah berumur 14 tahun lebih, sudah dicari
beberapa akal, sudah dijalankan pelbagai ikhtiar dengan halus
oleh Haji Hasbullah, supaya Zubaidah dipinang oleh jaksa-kepala akan jadi menantunya. Dewasa itu Raden Prawira,
anak jaksa-kepala itu, telah menjadi menteri polisi. Bukan
main besar hatinya, jika ia dapat jadi junjungan anaknya.
Mereka itu akan dise-nangkannya, akan ditambak-tambaknya
dengan emas. Akan tetapi asing maksud asing sampai!
Sementara menanti-nantikan hasil ikhtiarnya, tiba-tiba Haji
Zakaria datang meminta Zubaidah . akan jadi istri Suria, yang
telah hampir diangkat jadi hulpschri-jven).
Permintaan sahabat karib, yang berkata dengan sungguh-sungguh bahwa sejak dari kecil Zubaidah sudah diangan-angankannya akan jadi menantunya, supaya persahabatannya
bertambah karib dan kekal selama-lamanya, dapatkah
ditolaknya" Bagaimana jalan akan menampik permintaan yang
demikian" Apalagi Haji Hasbullah sendiri pun bukan pula tiada
berkenan kepada anak muda, yang indah rupa dan paras itu.
Rasa-rasa akan sejodoh benar dia dengan Zubaidah, baik
tentang rupa dan umur, baik pun tentang bangsa dan
derajatnya. Yang dikejar pada Raden Prawira ialah
pangkatnya, dan Suria bukantah akan berpangkat pula" Tetapi
Prawira bergelar raden, anak jaksa-kepala pula, jadi ada
kelebihannya! Sungguh, tapi , ya, kehendak dan desakan
sahabat, bagaimana ak al akan menolak dia"
"Apa boleh buat," kata Haji Hasbullah akhirnya, "Benar,
1) Jurutulis pembantu. akan lebih selamat agaknya Zubaidah di tangan anak
sahabatku sendiri, daripada di tangan orang lain yang lebih
tinggi pangkat dan derajatnya, sebab kami sama-sama
keturunan orang kebanyakan sahaja. Memang pertikaian
derajat itu kerapkali menjadi pokok perselisihan dalam
percampuran laki-bini, dan kerapkali merugikan pihak
perempuan. Suria, betul fiil-perangainya kurang berkenan
kepadaku, tapi ia masih muda dan belum biasa berpikir
dengan sungguh-sungguh. Ada harapan perangainya itu akan
berubah kepada yang baik kelak, apabila ia telah
berpengalaman, telah masuk ke gelanggang kehidupan. Muka
yang tak boleh diubah-ubah, tetapi Iaku-perangai berubah
senantiasa." Dengan pikiran demikian dipe rkenankannyalah permintaan
sahabatnya. Diperkenankan! Akan tetapi Zu baidah sendiri tidak ditanya-tanyai, bahkan tidak diberitahu apa-apa tentang hal itu. Ah,
ya, apa tahunya, apa timbangan anak gadis sebesar itu" Ia
masih jadi tanggungan, masih jadi beban orang tuanya! Jika
beban itu akan dihilangkan, tentu orang tuanya sendiri yang
harus berusaha akan menghilangkan dia, bukan" Dan anak
gadis harus dikawinkan, 1 bukan kawin dengan kehendak
sendiri, dengan orang laki-laki yang dipili h sendiri. Demikian
menurut adat kebiasaan dan demikian pula harus dijalankan
menurut aturan agama, kata ayahnya.
Sesungguhnya kata hati Zuba idah lain, yaitu bahwasanya
agama Islam menentukan dengan tegas: Nikah kawin hanya
boleh dijalankan, apabila si laki-laki dan si perempuan yang
bersangkutan sudah setuju, sudah suka sama suka akan
menjadi suami-istri. Bukan menurut kebiasaan dan atau
kemauan orang tua masing-masin g saja. Jadi pilih
an sendiri sangat penting .... Akan tetapi karena ia masuk golongan anak
patuh, yang tunduk kepada segala kemauan orang tuanya,
maka pertunangan dia dengan bujang itu pun dapat
dilangsungkan dengan mudah. Dan untung, kebetulan
beberapa pekan sesudah itu Suria diangkat jadi hulpschrijver
di kabupaten. Dan tiada lama ke mudian, yakni ketika gadis itu
sudah akil-balig, sudah cuku p lima belas tahun umurnya,
kedua muda remaja itu pun dikawinkan dengan resmi,
diramaikan dengan tari-tarian, nyanyi-nyanyian dan perjamuan
besar dua hari dan dua malam lamanya. Maklum kedua-duanya anak orang berada dan anak tunggal pula! Istimewa
lagi kerja itu ada dua maksud tujuannya: beralat kawin dan
menyukuri keang-katan mempelai laki-laki jadi jurutulis ...
pembantu itu! Akan tetapi perkawinan itu boleh dikatakan tak membawa
bahagia! Tiada bersua sebagaimana pengharapan Haji
Hasbullah, yaitu kalau Suria telah kawin, perangainya akan
berubah jadi baik. Tidak, malah kebalikannya. Sepeninggal
Haji Zakaria, yang mati dengan sekonyong-konyong, tabiat
Suria sudah bertambah teranja-anja, bertambah congkak dan
sombong. Harta pusaka banyak, awak elok, berpangkat,
disegani dan "ditakuti orang, niscaya ia dapat berlaku
sekehendak hatinya. Hawa-nafsu tak dapat ditahan-tahannya,
selalu dilepasi dan dipuaskannya. Kasih-sayangnya kalau
boleh dikatakan ada kasih-sayang pada perkawinan
sedemikian kepada Zubaidah makin lama makin berkurang-kurang. Dan ketika perempuan itu melahirkan seorang anak
laki-laki yakni Abdulhalim, tiba-tiba ia pun ditinggalkannya.
Tiga tahun lamanya perempuan muda itu meranda, sambil
memelihara anak kecil. Sekian lama pula ia menahan hati
dengan sabar dan tawakkal kepada Allah subhanahu wa taala.
Dalam pada itu hak alam berlaku juga. Panas tiada sampai
petang. Air laut pun, jika senantiasa ditimba, lambat-laun akan
kering juga. Istimewa pula harta-benda! Memang harta
pusaka yang dikemudikan oleh Suria yang boros itu, habis
sudah. Licin tandas! Ketika itu baru teringat kebenaran, baru
timbul sesal. Dengan tiada malu-malu ia pun datang
menyembah-nyembah kepada Haji Hasbullah laki-istri, minta
belas-kasihan ... dan mem-benar-benar serta mengaku
kesalahan kepada Zubaidah. Ia berjanji kepadanya: sesat
surat terlangkah kembali, sehingga ketiga orang yang berhati
lemah-lembut itu tiada kuasa lagi akan menolak "sembah-simpuh" serupa itu!
Demikian Suria pulang ke rumah Zubaidah kembali.
Dua tahun kemudian ia pun di angkat jadi jurutulis dan
dipindahkan ke kantor patih di Sumedang. Akan tetapi
Abdulhalim tinggal di Tasikmalaya dengan neneknya. Setelah
anak itu berumur 6 tahun, lalu dimasukkan oleh Haji Hasbullah


Katak Hendak Menjadi Lembu Karya N. St. Iskandar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ke sekolah Belanda dan kemu dian ke sekolah menak di
Bandung, dengan ongkosnya sendiri. Dan ketika Suria
diangkat jadi manteri kabupaten, telah bertambah gajinya,
pun tidak juga Abdulhalim dibe lanjai oleh ayahnya. Sekadar
membantu-bantu mentua pun tidak! Malah kebalikannya, Haji
Hasbullah juga yang senantiasa memberi sokongan kepada
mereka itu. Sekali-sekali ia datang ke Sumedang bukan sedikit
pembawaannya. Beras, kelapa, ikan .... Pendeknya pelbagai
macam, barang yang patut dijadikan oleh-oleh, buah tangan,
dari Tasik kepada menantu kesa yangan. Dalam pada itu tiada
pula ia khali daripada membantu Zubaidah sewaktu-waktu.
Sebab pikirnya, siapa lagi yang akan rnemakan hasil
kekayaannya lain daripada mereka itu, anak cucunya"
Tambahan pula ia insaf, bahwa gaji Suria masih kecil dan ia
tinggal di negeri orang! Dengan gaji sekian, sekecil itu, takkan
mungkin dapat hidup secara patutnya seseorang pegawai
negeri, yang mesti dihormati orang. Sungguh selalu Zubaidah
menceritakan kesempitan hidupnya kepada ayahnya. Kerapkali
ia berkirim surat beriba-iba kepadanya, mengabarkan: uang
sekolah Saleh dan Aminah belum terbayar, belanja dapur tak
berkecukupan dan lain-lain. Bapak mana pula yang akan
sampai hati mendengarkan keluh-kesah anak kesayangan
semacam itu" "Tidak, tak mungkin begini selamanya, selalu menyusahkan
orang tua," kata Zubaidah dengan suara yang agak keras dan
tetap. "Kalau hendak selamat, aku mesti belajar hidup se
kuat tenaga sendiri, jangan mengharapkan bantuan dari ayah juga.
Aku mesti berhemat. Mulai dari sekarang, meskipun sudah
agak terlambat ...."
"Segala tak ada untuk hari ini, Juragan," tiba-tiba terdengar
suara dari sebelah ke dapur. Zubaidah menoleh ke belakang,
lalu kelihatan olehnya babu berd iri lurus-lurus di muka pintu.
"Apa, Icih" Segala tak ada, maksudmu""
"Susu habis, Juragan; mentega tak ada lagi."
"O, pergi ambil ke warung .... Tidak, Icih, tiada minum
susu sekali ini tak jadi apa. Mentega beli saja minyak kelapa
setengah botol. Apa yang akan kau goreng, Icih""
"Akan tetapi, Juragan ...."
"Apa"" kata Zubaidah sambil bangkit dari kedudukannya
akan pergi mengambil uang ke dalam kamar. "Apa katamu""
"Juragan pameget lekas benar marah, tiada sudi kalau
goreng ikan salam berbau minyak kelapa."
"Biar aku menggoreng ikan itu, pergilah engkau ke warung.
Dan terus ke pasar sekali, akan membeli sayur-sayuran."
Ketika babu itu telah kelihatan keluar dari pekarangan,
Zubaidah duduk kembali ke kursi tadi itu. "Bagus," katanya
dengan agak lapang dadanya, "sudah aku mulai. Suria takkan
mati, kalau tidak minum susu dan makan mentega. Ikan
salam! Ikan sungai, ikan tebat lebih enak daripada ikan dalam
belik itu. Harganya pun murah. Kalau makanan dalam belik itu
dapat ku-singkirkan, kuganti dengan makanan biasa, sudah
banyak tertolong rumah-tanggaku. Utang ke warung tentu
banyak sekali berkurang."
Ia termenung pula sebentar. "Roti, kalau mentega tidak
dipesan lagi, niscaya langganan roti dihentikan pula. Tetapi
besar benar pertengkaran dengan Suria nanti ...."
"Punten," sekonyong-konyong terdengar suara di luar. *
Dengan segera Zubaidah bang kit dari kursinya, pergi ke
serambi muka, lalu berkata dengan senyumnya, "Mangga,
Juragan! Ai, Juragan istri guru! Silakan masuk, Aceuk," ujar
Zubaidah pula dengan manis dan riang.
Akan tetapi tamu itu, Khad ijah namanya > sudah agak
tua sedikit dari Zubaidah seakan-akan tak mendengar
perkataan nyonya rumah itu. Ia berdiri dan memandang
berkeliling serambi itu. Rupanya segala perkakas yang ada di
situ, kursi dan meja, pelbagai jambangan bunga daripada
kuningan di atas kakinya yang indah-indah, gambar-gambaran
yang bergantungan di dinding de ngan beraturan serta di sela-sela dengan piring yang mahal-mahal harganya, ya,
sekaliannya itu sangat menarik pemandangannya. Laku
Khadijah melihat barang-barang itu diperhatikan oleh
Zubaidah dengan sudut matanya. Dengan senyum kemalu-maluan ia pun berkata pula, "Silakan, Aceuk! Mari kita duduk
ke dalam!" Sebagai terbangun dari mimpi istri guru itu menoleh kepada
Zubaidah dengan senyum-simpul, lalu masuk ke ruang tengah
dengan tiada berkata sepatah jua. Di situ ia bertambah heran,
bertambah tercengang, sebab keadaan di situ lebih mengikat
matanya, bahkan lebih daripada yang telah terkira di dalam
hatinya. Ia pun duduk di atas sebuah bangku besar dan luas,
tetapi agak rendah, yang diha mpiri dengan sehelai permadani
halus dan berbunga-bunga, dengan ingat-ingat dan perlahan-lahan, seolah-olah ia bera sa sayang akan menduduki
hamparan yang indah-permai itu.
"Maaf, makan sirih, Aceuk. Tapi barangkali tak cukup
lagi," kata Zubaidah seraya menyorongkan sebuah tempat
sirih daripada kuningan yang berkilat-kilat dan duduk pula di
hadapan jamunya. Khadijah memandang kepada te mpat sirih yang indah dan
kepada nyonya rumah itu, lalu mulai berkata dengan perlahan-lahan dan senyum manis, "Saya tiada makan sirih, Dik."
"O, saya pun tidak pula. Hanya saya taruh juga sirih, kalau
ada orang datang." "Sejak mula-mula pindah ke kampung ini saya sudah
berniat hendak bertandang ke mari, tetapi selalu ada
rintangan." "Baik benar hati Aceuk. Sepatutnya saya yang lebih dahulu
datang ke rumah Aceuk. Sebab Aceuk yang tua dan baru pula
tinggal di sini!" "Tidak, yang baru datanglah yang mesti berkunjung lebih
dahulu. Akan tetapi seperti kata saya tadi, saya tidak lepas
daripada buatan. Sekaliannya tergantung atas diri sendiri.
Menjaga anak, mencuci pakaian, memasak .... Maaf saya
sudah menceritakan hal rumah-tangga saya."
"Berapa orang anak Aceuk""
"Empat orang, nakal Allahu rabbi!"
"Tentu ada bujang."
"Allah, bujang pula yang ak an terpelihara dalam musim
sekarang ini, Dik. Cukup saja yang akan dimakan petang-pagi,
terbayar uang sekolah anak setiap bulan, sudah untung! Maka
saya pindah ke kampung Regolp in i dari kampung Cangkuduk,
tempat menak-menak itu, lain tidak karena hendak
mengurangi ongkos.'* "Apa maksud Adik dengan mengurangi ongkos itu""
"Di sini, di kampung ini, kita dapat berhemat, hidup
sederhana, sebab bukan tempat orang bertanding ... kebang-sawanan."
"Oh....." "Ya, anak Adik berapa orang"" "Tiga orang." "Bersekolah di
mana"" Zubaidah menceritakan sekolah ketiga anaknya.
"Berbahagia benar, Adik," kata Khadijah dengan perlahan-lahan, rupanya sayu hatinya," sanggup menyerahkan anak ke
sekolah menak. Anak saya yang tua hanya di Normali). Betul
adik-adiknya sekarang ada di H I S juga, tetapi bukan main
berat uang sekolahnya. Kalau tidak dipertenggangkan belanja
sehari-hari: mana yang boleh dikurangi, dikurangi, mana yang
tak perlu benar, tak diadakan, barangkali takkan terus sekolah
anak-anak itu." "Masa, gaji Juragan guru 'kan besar""
"Besar, kata Adik" Kalau besar gajinya, takkan melarat ini
benar hidup kami. Untung Adik belum bertandang ke rumah
kami. Memberi malu! Rumah buruk, perkakas tak ada: tiada
berbangku seperti tempat duduk ini, tiada berbufet, jangan
kata .... gramopon." Sambil berkata demikian ia pun
memandang kepada bupet berkaca dan gramopon di lemari
yang terdiri di sudut ruang it u. Besar dan bagus keduanya,
berkilat-kilat warna catnya.
Warna muka Zubaidah jadi muram, seakan-akan langit
disaputi awan. Perkataan Khadijah yang akhir itu
menyinggung hatinya yang luka. Bahkan, melukiskan rupa Haji
Hasbullah di ruangan matanya. Sebab barang-barang itu
bukan carinya, bukan hasil pe ndapatan suaminya, melainkan
beli ayahnya belaka. Ia tunduk, akan menyembunyikan rasa
hati yang terbayang di mukanya. Ketika ia meng angkat kepala
pula, ia pun berkata dengan tenang, "Apa gunanya barang,
kalau hati tiada senang""
1) Sekolah buat guru bantu.
"Benar, Adik. Bagi kami kesenangan hati itulah yang perlu,
yang diutamakan. Meskipun sa ya payah bekerja, tiada
menghentikan tangan dari pagi sampai petang, berbarang
hanya sekedar perlu saja, tapi betul-betul hati saya senang
rasanya. Sebab dengan demikian saya dapat mengukurkan
belanja hingga batas pendapatan bapak anak-anak ... Hai,"
katanya tiba-tiba seraya bering sut dari kedudukannya, setelah
menengok ke jam besar di dinding." Sudah tinggi hari, Dik,
kewajiban banyak menanti di rumah. Ini betul-betul karena
ingin hendak bertemu dengan Adik saja maka saya
bertandang ke mari, Maaf ...."
"Astaga! Sudah saya bawa bercakap-cakap sajaAceukdari
tadi. Tunggu sebentar, Aceu k. Babu saya, oh, tunggu
sebentar, saya ambil air teh. " Dengan tiada mengindahkan
perbasaan tamunya, ia pun bergesa-gesa ke belakang. Akan
tetapi sesampai ke dapur, ia tertegun. Apa yang akan
diambilnya, apa yang hendak di sajikannya" Segala tak ada.
Kopi habis, tempat coklat kosong. Hanya ada air teh dingin,
lebih dia dan anaknya pagi itu. Babu alangkah lamanya si
Icih di pasar, akan disuruh ke warung .... Hampir tak tentu
yang akan diperbuatnya. Malu be nar ia akan memberi air. teh
saja kepada jamunya. Ia berbalik ke gang, pucat mukanya.
Tiba-tiba ia berdiri, dan air mukanya pun merah pula. Senyum
bermain di bibirnya. "Ah, apa akan kumalukan," katanya
dengan tetap. "Inilah paksa yang baik bagiku akan berlaku
seada-adanya." Tiada berapa lama antaranya masuk ke dalam kembali
dengan menating sebuah baki yang berisi dua cangkir teh dan
dua peles kue. Ketika itu jamunya telah pergi ke beranda
muka, berdiri melihat-lihat gambar di dinding dan kemudian
duduk di kursi ... Zubaidah tersenyum. Sambil meletakkan
penganan itu di atas meja bundar, di hadapan jamu itu,
berkatalah ia dengan manis,
"Cuma ini yang ada, Aceuk. Mari kita minum teh dingin ini."
"Kalau Adik datang ke rumah saya, takkan bersua kue-kue
seperti ini. Barangkali hanya air dingin saja. Dan maaf, saya
sudah lancang ... pindah duduk ke kursi ini Dik. Senang di
kursi m odern ini." "Hem, ya, silakan minum, Aceuk," sahut Zubaidah seraya
duduk di kursi yang di hadapan jamunya.
Keduanya minum dan makan kue-kue dengan tertibnya,
sambil bercakap-cakap jua dengan tiada berkeputusan.
"Nah, terima kasih akan penerimaan Adik yng baik ini," kata
tamu kemudian, sambil berdiri dari kursinva. "Permisi,
sudah lama benar saya mengganggu kesenangan Adik."
"Saya pun terima kasih banyak akan kesudian Aceuk datang
ke mari," sahut Zubaidah seraya berdiri pula. "Seperti, saya
katakan tadi: Saya, yang harus berkunjung lebih dahulu! Akan
tetapi, ya, moga-moga pertemuan kita sekali ini membawa
berkat. Pemandangan hidup A ceuk besar gunanya. Sungguh
celaka, rasanya, kalau kita tidak mengetahui perputaran roda
dunia kehidupan dewasa ini."
"Benar, tapi sekaliannya itu terutama bergantung pada
kebijaksanaan Juragan kita, bukan"" "Berbahagia, Aceuk
dalam hal itu." "Ah, ya, selamat tinggal," ujar Khadijah sambil menjabat
tangan Zubaidah dengan sopan-santun.
"Selamat ... bertemu pula," sahut Zubaidah dengan
senyumnya. Dan Khadijah pulang ke rumahnya. Zubaidah tinggal
seorang diri pula, seraya memikir-mikirkan sekalian perkataan
tamu tadi itu. "Sedangkan dia, istri guru, lagi berpendirian sederhana:
sukarela bekerja sendiri! Padahal gaji suaminya jauh lebih
besar daripada gaji seorang manteri kabupaten. Benar, kalau
hendak selamat, mesti berbuat demikian. Aku berbabu!
Sekecil ini rumah tanggaku, hanya beranak dua orang, pun
sudah besar-besar pula, ah, manja benar aku ini! Banyak yang
dapat kuhematkan, kalau aku he ndak dan mau berhemat. Jadi
susu mesti hilang, mentega lenyap, roti enyah: babu
diperhentikan ... aku bekerja sendiri! Akan tetapi Suria,
adakah akan sudi dia menerima cita-citaku itu dengan baik""
Ia tepekur pula. "Dahulu sudah juga aku bicarakan itu dengan
dia, tetapi katanya: priyayi mesti lebih daripada orang
kebanyakan, Edah. Istri priyayi mesti empunya bujang. Kalau
tidak malu ....! Hanya demikian kebijaksanaan Juragan"**
Maka tertumbuk pula paham Zubaidah memikirkan hal itu.
Apa yang akan dilakukannya"
Dalam pada itu datanglah Icih dari pasar membawa
pembeliannya. Dengan segera Zubaidah pergi ke dapur,
seraya berkata dalam hatinya, "A pa iua pun yang akan terjadi,
cita-citaku yang baik itu akan kupertahankan jua di hadapan
suamiku, yang kurang bijaksana itu!"
III. Di Kantor "Ring, ring ...."
Belum habis lagi dengung loncen g yang dibunyikan patih di
atas meja tulis dalam kantornya, seorang opas sudah berdiri di
hadapannya dengan hormat dan tertib. Patih itu
mengangkatkan matanya dari sepucuk surat yang baru habis
dibacanya dan, sambil melipat dan memasukkan surat itu
kembali ke dalam sampulnya, berkatalah ia kepada opas itu
dengan tenang, "Berikan surat ini kepada manteri."
"Saya. Juragan," sahut Suminta, seraya mendekat ke muka
meja selangkah, akan menyanibut surat itu dari tangan
tuannya. "Akan tetapi, Juragan manteri belum datang lagi."
Patih menarikkan arloji dari dalam saku kecil bajunya.
Setelah dilihatnya, lalu ia menoleh kepada jam yang
tergantung di dindin g, seakan-akan ia tidak percaya akan jalan
arlojinya itu. "Belum datang"" ujarnya dengan perlahan-lahan,
sambil meluncurkan arlojinya itu kembali ke dalam sakunya.
"Belum, hum, letakkan saja surat itu di atas mejanya dan
katakan kepadanya, kalau ia sudah datang kelak, bahwa aku
pergi dengan asisten-wedana ke daerah Situraja."
"Saya Juragan."
Pesuruh itu undur ke belakan g, berpaling, lalu keluar


Katak Hendak Menjadi Lembu Karya N. St. Iskandar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan cepat dari dalam kantor patih itu.
Sejurus antaranya mesin oto yang menanti di halaman
kedengaran berderum. Pati h dan asisten-wedana ter
beschikking disebut orang asisten-wedana tebei) masuk
ke dalam kendaraan itu, lalu be rangkat ke jalan raya dengan
ingat-ingat. Ketika asap yang dibusaka n mesin ke belakang belum
hilang benar lagi, masih kelihatan berkepul dan bertumpuk-tumpuk naik ke udara dengan perlahan-lahan sepanjang jalan
yang dilalui oto itu, padahal kendaraan itu sendiri sudah agak
lama tersembunyi di kelok jalan, nampaklah orang berkereta
angin dari pihak lain. Di muka pintu pagar ia mengelok ke
dalam peka rangan. Opas Su-minta berlari-lari menyongsong
dia, akan mengambil kereta anginnya. Orang itu pun
melompat turun ke tanah, lalu menyerahkan kendaraannya ke
tangan opas itu dengan acuh ta k acuh dan berjalan ke muka
pintu kantor lambat-lambat serta tak lupa melayangkan mata
ke kiri dan ke kanan dan meng anggukkan kepala sedikit ke
arah orang-orang yang memberi hormat kepadanya. Ia terus
masuk ke dalam sebuah kamar, ke dekat sebuah meja tulis
besar, yang penuh dengan buku -buku dan surat-surat. Ketika
ia hendak menyangkutkan baju pada sandaran sebuah kursi,
dilihatnya ada sepucuk surat terletak di atas meja itu, berimpit
dengan timah kecil. Dengan sekali pandang, seketika saja,
alamat surat itu pun dapatlah dibacanya. Akan tetapi surat itu
tiada dijamahnya, jangan kata dibukanya! Ia duduk ke
kursinya dengan senang, lalu merokok sebatang. Tengah ia
mengembuskan asap sigaretnya, masuklah Suminta membawa
buku-buku, yang dibawanya dari rumah dengan kereta angin
tadi itu. 1) Asisten-wedana, yang diperbantukan pada patih di
kantor. "Apa kabar, Suminta"" tanya Suria dengan senyurrmya.
"Adakah ramai wayang golek semalam""
"Di mana, Juragan" Saya tiada ke luar-luar, semalam-malaman tadi."
"Mengapa" Banyak kerja"" "Anak saya kurang sehat,
Juragan." "Sayang! Kabarnya, di rumah opseter pensiun. Saya kira,
engkau ada hadir di situ." "Tidak, dan ...." "Juragan patih
sudah masuk"" "Sudah berjalan pula, Juragan," jawab pesuruh itu, seraya
melayangkan mata ke atas meja. "Itu ada surat
ditinggalkannya." "Dia sendiri yang meletakkan surat ini di sini""
"Tidak, saya .... Dan baju Juragan,"kata Suminta, sambil
berjalan ke belakang kursi manteri itu, "nanti kusut
seterikanya." "Oh, ya, sangkutkan di sana! Tapi awas dan ke mana dia
pergi"" Setelah menyangkutkan jas Suria baik-baik pada sangkutan
di dinding, Suminta menyampa ikan pesan patih kepadanya
dengan tertibnya. "Lain dari itu tak ada lagi katanya"" tanya Suria pula. "Tidak
dikatakannya, pukul berapa dia akan kembali"" "Tidak,
Juragan." Suria mengampai ke sand aran kursinya, sambil
mengembuskan asap rokoknya pula lambat-lambat.
Sekonyong-konyong ia pun du duk lurus-lurus dan berkata
dengan agak bersungguh-sungguh, "Jadi tidak tentu bila ia
kembali" Berdirilah di luar, Suminta, Dan beri kerja opas yang
lain-lain itu." Suminta berjalan ke serambi muka. Setelah pintu
ditutupkannya, Suria mengambil surat itu, lalu dibukanya dan
dibacanya. Akan tetapi lekas pula diletakkannya. Ia bangkit
dari kursinya dan berjalan selangkah-selangkah ke kamar
sebelah. Di dalam kamar itu ad a tiga orang sedang bekerja,
seorang jurutulis, seorang "hulpschrijver" dan seorang lagi
magang. Ketiganya duduk baik-baik, menunduk dan berdiam
diri saja. Agak jauh dari situ, di kantor banyak pegawai lain,
yang telah asyik melakuka n pekerjaan masing-masing.
"Apa kerjamu"" tanya manteri seraya mendekati magang.
Diam pertanyaan itu tiada Jekas berjawab. Yang ditanyai
seakan-akan terkejut lakunya, dan memandang tenang-tenang
kepada Suria seketika lamanya. Manteri kabupaten bertanya
pula dengan lebih keras dan belalak mata, "Apa kerjamu,
Kasim" Apa yang kau tik itu""
Sir bunyi darah orang itu, dan mukanya pun tiba-tiba jadi
merah, sebab ia dipanggilkan Kasim itu. Padahal namanya
terang: Kosim. Raden Muha mmad Kosim! Perubahan itu
kelihatan oleh Suria, lalu ia be rtanya sekali lagi dengan agak
lembut: tetapi bibirnya berkerenyut mengejekkan.
"Apa kerja Juragan Raden Muhammad Kosim""
Bertambah pedih hati anak muda itu rasanya
"Processverbaal" jawabnya dengan gagap, alamat ia
mengeluarkan perkataan itu sambil menahan gelora hati, yaitu
hati muda yang pantang tersinggung.
"Hati-hati Raden mengetik surat itu, jangan sehuruf jua
salah, sebab akan dikirimkan kepada jaksa."
Dengan tiada menantikan jawab magang itu Suria kembali
ke-kamarnya. Di pintu perhubungan ia menoleh ke belakang
sebentar, sambil berkata, "Lekas sudahkan, akan dikirim hari
ini," dan pintu itu pun diraihkannya keras-keras.
Kosim seorang anak muda yang tangkas parasnya. Sempit
keningnya dan hitam berkilat-kil at matanya, alamat ia keras
hati. Ia d uduk termenung di hadapan mesin tulis. Warna
mukanya sebentar pucat dan sebentar pula merah seperti api,
sedang matanya bergilir-gilir melihat ke pintu dan kepada
kedua temannya yang menekur menulis di sudut dan di
tengah kamar. Perkataan mant eri itu sangat menyakitkan
hatinya. Sindir menghinakan .... Pada timbangannya, tak patut
Suria menghiraukan pekerjaannya, sebab ia bekerja langsung
di bawah "asisten-wedana tebe" dengan suruhan patih. Ia
baru sebulan jadi magang di situ, baru datang dari Garut.
Kosim sudah setahun lebih ke luar dengan baik, tamat, dari
sekolah Mulo di Bandung dan sudah sekian pula lamanya ia
mencari kerja ke sana ke mari. Segala kota di tanah Pasundan
sudah dijalaninya. Segala kant or, baik kantor gubernemen
maupun kantor maskapai, sudah dinaikinya dan ditingkatnya,
tetapi tiada berhasil! Di mana -mana ia ditolak orang dengan
perkataan: tak ada lowongan", tak ada kerja di sini. Seorang
pun tak ada yang memberi penghargaan kepadanya. Dengan
putus asa ia pun pulang ke negerinya.
Mujur di sana akhirnya teringat olehnya wedana Raden
Atmadi Nata, sahabat karib alma rhum ayahnya. Ketika ada di
Garut ketika itu ayah Kosi m jadi manteri guru Kosim
sangat dikasihi oleh wedana it u, dipandangnya hampir seperti
anak kandung. Kini ia ada di Sumedang, jadi patih. Dengan
sepucuk surat daripada ibunya, yang beriba-iba menceritakan
untung nasibnya dan kemiskinannya semenjak ditinggalkan
oleh almarhum suaminya, berangkatlah Kosim mendapatkan
patih itu. Ia pun diterima oleh R. Atmadi Nata laki istri dengan
baik. Dan untuk sementara, akan belajar-lajar, ia pun disuruh
patih bekerja membantu ju rutulis di kantornya.
Tiba-tiba bukan sekali itu saja, sudah dua tiga kali
manteri kabupaten memerintahi dia dengan angkuh, dengan
belalak mata. Kosim tidak mengerti, belum paham seluk-beluk
pekerjaan kantor. Ia tidak tahu bahwa di bawah patih ada pula
kepala kantor yang berkuasa atas dirinya. Sebab itu ia pun
lekas merasa hati, kalau diperb uat orang dengan laku yang
pada sangkanya tiada sepatutnya. Pikirnya, Suria hendak
berleluasa saja kepadanya, sementang-mentang ia manteri
kabupaten! Dan apalagi ia sudah mendengar bisik desus
kawan-kawannya, bahwasanya Suria "gila" kekuasaan. Atau
gila-hormat, kata orang! Dengan menahan hati, menyejukkan darah muda yang
lekas naik ke kepala, Kosim mu lai menjalankan mesin tulisnya.
Daripada bunyi tik-tik yang mula-mula hanya sekali-sekali,
tetapi segera berangsur-angsur jadi cepat dan keras, nyata,
bahwa perasaan orang muda itu lama-kelamaan telah baik dan
tenang pula. Suria pun telah bekerja deng an senang. Beberapa pucuk
surat telah selesai ditulisnya, beberapa daftar dalam buku
besar sudah diisinya. Dalam pada itu sudah dua tiga buah
puntung sigaret dicampakkannya ke dalam tempat abu rokok,
yang terletak dekat tempat tinta di hadapannya.
Matahari makin lama makin naik dari sebelah timur menuju
ke puncak langit, ke tempat ya ng setinggi-tingginya, sedang
sinar cahaya bertambah terik juga. Udara yang tenang telah
mulai bergetar, beriak-riak, silau mata memandangi dia. Di
muka kantor patih, yang tiada seberapa besarnya dan tiada
banyak pula pegawainya, bertumpuk-tumpuk orang duduk.
Masing-masing dengan lakunya. Ada yang duduk berjuntai di
atas bangku, ada pula yang bersila di rumput, di bawah
bayang-bayang pohon-pohon di halaman. Tak seorang jua
yang riang rupanya, tak seorang jua yang bercakap-cakap
dengan nafsu. Sekaliannya hamp ir bermenungan saja, seolah-olah menantikan sesuatu yang ditakutinya. Dan jika bercakap,
bertanya seorang kepada seorang, jawab mereka itu pun
pendek-pendek saja dan disertai dengan keluh kesah. Memang
mereka itu dipanggil datang ke situ akan menghadap patih,
karena bersangkut dengan pe rkaranya masing-masing. Patih
tidak ada, manteri Suria menyuruh mereka itu menunggu di
luar, menantikan pemeriksaan.
Tiba-tiba kedengaran suara ge muruh di jalan raya, sebuah
oto sedan berhenti di muka pintu pagar. Sekalian yang hadir di
dalam pekarangan terkejut, berdiri dari kedudukannya dan
memandang kepada kendaraan itu. Sangkanya, patih datang.
Segala pesuru h pun tegak berdiri, sambil membetul-betulkan
pakaiannya. Akan tetapi setelah dilihatnya oto itu, mereka itu
pun duduk kembali serta berkata dengan perlahan-lahan, "Oh,
bukan juragan...." "Siapa itu, Suminta"" tanya su atu suara dari dalam kantor.
"Juragan patih""
"Bukan, Juragan."
Seorang haji yang berpakaian patut dan bersih: berbaju
lakan hitam halus, berkain sarung sutera tenunan Bojongjati,
bercenela daripada kulit berlapih dan beserban sutera nenas
kekuningan, yang terjumbai ujungnya sedikit ke bahu kirinya,
keluarlah dari dalam kendaraan itu. Dengan langkah yang
tetap dan gaya yang tampan, sedang kaca mata emasnya
terkilat-kilat kena sinar mataha ri, ia pun berjalan masuk ke
dalam pekarangan. "Juragan Haji," demikian ke luar perkataan dari mulut
Suminta dengan hormatnya. Ia pun bangkit dari
kedudukannya, lalu pergi mengel u-elukan orang itu "Assalamu
alaikum, Juragan Haji .... Hendak bertemu dengan Juragan
patih"" "Saya, Suminta," jawab Haji Junaedi dengan senyumnya,
"ada beliau di kantor""
"Pagi tadi pergi ke Situroja, Juragan, dengan asisten-wedana tebe."
Orang itu agak kecewa rupany a. Suminta diajaknya berdiri
ke tempat yang agak teduh. "Panas di sini," katanya.
"Saya, Juragan, terik benar pana s hari ini. Tapi apa kiranya
...." "Ya," sahut Haji Junaedi memutuskan perkataan pesuruh
itu, "pukul berapa Juragan patih kembali""
"Tidak tentu, sebab tidak dikabarkannya. Akan tetapi kalau
Juragan ada berkeperluan apa-ap a, urusan tanah umpamanya,
boleh berbicara dengan Juragan manteri saja. Ia ada di
kantor, akan saya kabarkan""
Haji Junaedi mengernyitkan alis matanya. Air mukanya agak
suram. Rupanya ragu-ragu hatinya. "Tak tentu bila ia
kembali," katanya dengan perl ahan-lahan, seraya melihat
arlojinya. "Tapi saya sudah be rkirim surat kepada beliau,
mengabarkan bahwa saya hendak datang menghadap beliau
hari ini." "Surat" Tadi pagi betul ada Juragan patih menyuruh saya
memberikan sepucuk surat kepada Juragan manteri.
Barangkali surat itu""
"Benar"" ujar Haji Junaedi dengan cepat. "Kalau begitu,
tolonglah katakan kepada Juragan Suria, bahwa saya sudah
ada di sini." "Baiklah, Juragan."
"Suminta!" demikian kedengar an suara keluar dari dalam
kantor dengan nyaring. "Alamat langkah baik, Juragan Haji, baru berniat dalam hati
sudah terpanggil. Tinggal Juragan di sini dahulu, saya pergi.
Saya, Juragan!" sahutnya keras-ke ras, seraya berlari ke pintu
dan terus masuk ke tempat datang panggilan itu.
"Kopi," kata Suria, ketika Su minta telah berdiri di hadapan
meja tulisnya. Lekas sedikit."
"Dengan es, Juragan"" tanya Suminta sambil mengambil
sebuah gelas besar dari atas meja itu..
"Tentu saja, hari sepanas ini," kata Suria serta
mengangkatkan kepalanya dari daftar besar dan lebar yang
sedang dikerjakannya, dan memandang ke halaman. Siapa
yang berdiri di luar itu""
"O, ya, Haji Junaedi, Juragan. Ia hendak menghadap
Juragan patih. Tapi karena Jura gan patih tidak di kantor, ia
bermohon kalau dapat ia bertemu dengan Juragan saja."
"Haji Junaedi dari Rancapurut"" tanya Suria sambil berpikir-pikir. "Benar, tapi pergi ambil kopi dahulu."
"Saya suruh dia masuk""
"Kopi kataku, lekas!"
Suminta mendekati meja pula.
"Apa lagi"" tanya Suria deng an membelalakkan matanya.
"Bon, Juragan."
Suria menulis kertas secarik kecil. "Ini," katanya sambil
mengunjukkan "bon" itu ke tangan pesuruh itu. "Lekas, sudah
kering kerongkonganku."
Suminta berjalan ke luar membawa gelas dan "bon" dengan
cepat. Di dekat Haji Junaedi ia berkata dengan perlahan,
"Tunggu sebentar!" sambil terus menuju ke kedai minum-minuman, yang tiada berapa jauh letaknya dari kantor itu.
Sejurus antaranya ia pun datang kembali, lalu masuk pula
ke kamar manteri. Kira-kira seperempat jam kemudian, ketika Suminta sudah
ada di luar dan bercakap-cakap dengan "tamu" itu,
kedengaran pula suara nyarin g memanggil dia. Baru ia
kelihatan di muka pintu, Suria berkata kepadanya, sambil
minum seteguk dengan sejuknya, "Suruh masuk orang itu!"


Katak Hendak Menjadi Lembu Karya N. St. Iskandar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Demi didengar oleh Haji Junaedi suruhan itu, ia pun masuk
dan berdiri di hadapan meja manteri itu. Ia memandang
dengan ragu-ragu kepada seb
u ah kursi dekat meja itu.
"Haji Junaedi," kata Suria, seraya memandang kepada
orang itu tenang-tenang. Dan ketika dilihatnya haji itu masih
berdiri dan menurut gerak bada nnya dan matanya ia hendak
duduk di atas kursi yang kosong itu rupanya,
disambungnyalah perkataannya dengan angkuh, "Itu kursi,
duduklah." Setelah itu ia menekur ke meja, berbuat pura-pura asyik
bekerja. Sepuluh kerut kening nya, seolah-olah ia tengah
memikirkan suatu perkara yang sangat sukar sulit. Jalan
penanya pun sangat lambat rupanya.
Daripada sikap yang demikian nyata kepada Haji Junaedi,
bahwa manteri kabupaten itu tak suka melihat dia duduk di
kursi. Orang desa mesti duduk di lantai, jika berhadapan
dengan amtenar! Malu amat ia akan dirinya, sebab dihinakan
orang. Daripada duduk di kursi dengan silaan semacam itu,
lebih suka ia bersila di lantai dengan kain suteranya yang
indah dan mahal itu. Tengah ia kebimbang-bimbangan itu,
Suria mengangkatkan kepalanya pula dan duduk lurus-lurus
serta berimpitkan kaki di atas kursinya.
"Duduklah," katanya pula, seraya meminum kopinya.
Haji Junaedi duduk dengan rupa kemalu-maluan, lalu
merokok dan memandang kepada manteri itu dengan hormat.
"Apa maksud Haji datang kemari"" tanya Suria dengan
selesai, senang benar hatinya.
"Besar hajat saya datang ke sini, juragan manteri," jawab
haji itu dengan lemah lembut, tapi sungguhpun demikian
terbayang juga pada air mukany a, yang bertukar-tukar pucat
dan merah, perasaan hati yang sangat ditahan dan ditekan.
"Lebih dahulu saya sudah berkirim surat kepada Juragan patih,
tetapi... syukur saya bertemu de ngan Juragan... wakil beliau.
Dan saya hendak membeli sebidang tanah ...."
"Membeli tanah, mengapa datang kemari"" Sebab
hendak membeli tanah ...."
"Hem, di sini bukan tempat be rjual beli tanah! Hal itu boleh
diuruskan dengan lurah saja."
"Betul, Juragan. Tetapi tanah yang akan saya beli itu tanah
lurah sendiri. Lebih dahulu saya hendak mengetahui watas-watasnya. Saya minta, supaya Juragan tolong melihat di
dalam registen), entah tanah itu sudah tergadai kepada orang
lain ...." "Tanah mana""
"Yang di belakang rumah lurah, sebagaimana saya
tunjukkan dalam surat saya itu."
"Pajak Haji tahun ini sudah dibayar"" tanya manteri
mengelakkan permintaan itu.
"Sudah, Juragan." jawab Haji Junaedi dengan tersenyum.
"Berapa Haji dikenakan pajak tahun ini"" *
"Tiga ratus lima puluh ...."
"Masih kecil sekali buat Haji. Sekarang hendak membeli
tanah lagi. Sekalian harta orang Rancapurut hendak haji
borong. Eh. banyak ayam di desa itu"" kata Suria dengan tiba-tiba manis seperti madu.
"Ada juga, Juragan. Kalau Juragan suka membuang-buang
langkah ke pondok saya ...."
1) daftar. "Kerapkali saya pergi ke Rancapurut, ke rumah Raden
Suwita. Empangnya luas-luas, dan ikan di dalamnya besar-besar. Senang benar hatiku memancing di situ. Tetapi ya,
saya suka benar beternak ayam."
"Nanti saya carikan biangnya yang besar, Juragan."
"Ketitiran, burung perkutut ada di sana""
"Ada juga, Juragan. Kalau Juragan suka, boleh saya carikan
yang bagus, yang merdu bunyinya."
"Nanti saya datang ke sana, Kosim!" seru Suria kepada
magang di kamar sebelah. "Tunggu saja di luar, Haji, nanti
kupanggil lagi." Haji Junaedi bangkit berdiri da n pergi ke luar, sedang Suria
memberi perintah kepada Kosim akan mengambil daftar pajak
tanah di daerah Rancapurut.
Tengah Suria memeriksa perkara dua tiga orang lain, yang
duduk merukuk di lantai dengan takzim di hadapannya,
sebuah oto sedan masuk ke dalam pekarangan dengan cepat
dan berhenti di muka kantor itu. Patih dan asisten-wedana
tebe keluar dari dalam kendaraan itu. Ketika R. Atmadi Nata
hendak melangkahi ambang, tampaklah olehnya Haji Junaedi
datang ke dekatnya. "Akang Haji," katanya dengan riang, seraya menjabat
tangan Haji Junaedi itu. "Sudah lama Akang datang" Saya tak
dapat menantikan Akang, perlu pergi komisi!"
"Saya, Juragan."
"Tetapi, saya ada bertinggal kata kepada manteri,
mari kita masuk." "Saya,,Juragan."jawab Haji Junaedi dengan hormatnya,
sambil berjalan mengiringkan patih ke dalam kantor.
Berlainan benar, sebagai siang dengan malam,
pe nyambutan patih dengan Manteri Suria atas kedatangan
orang itu. Raden Atmadi Nata menyilakan dia duduk di atas
kursi besar, yang sengaja disediakan penerima jamu patut-patut di dalam kamar kantornya. Bukan dengan angkuh,
bukan karena terpaksa, hanya semata-mata dengan rela dan
riang hati cara menerima tamu semacam manusia. Ia disuguhi
cerutu yang enak rasanya, dilawan bercakapcakap dan
berhandai-handai dengan riang, tertawa-tawa, dan di-perbasakan dengan halus lagi sopan oleh patih itu.
Haji Junaedi ternama di desanya. Daripada angka-angka
pajak yang wajib dibayarnya, sudah dapat dikira-kirakan
berapa besar kekayaannya. Kehasilan sawah-Iadangnya,
empang ikannya dan lain-lain dalam sebulan tiada kurang
daripada empat atau lima ratus rupiah. Rumahnya besar dan
indah: perkakas di dalamnya teratur dengan baik, sehingga
pantas didiami orang yang berpangkat tinggi dan bangsawan.
Patih R. Atmadi Nata jika pergi komisi ke Rancapurut, selalu
singgah di situ. Budi-bahasanya baik, pemurah dan dermawan.
Pendeknya, ia seorang tua kaya yang suka dimakan.
Scanned book (sbook) dan Pembuatan Ebook ini
hanya untuk pelestarian buku dari kemusnahan.
DILARANG MENGKOMERSILKAN dalam bentuk apapun
apalagi dijual dalam bentuk CD/DVD
atau hidup anda mengalami ketidakbahagiaan dan
ketidakberuntungan Tua! Benar, umurnya sudah lebih dari empat puluh lima
tahun, jadi sudah lebih tua daripada Manteri Suria itu.
Tiada kenalkah Suria kepada Haji Junaedi yang kaya itu"
Kenal tetapi pikirnya, kaya tinggal kaya, tua tinggal tua, di
kantor dia yang berkuasa. Manter i kabupaten lebih mulia, lebih
utama daripada orang desa yang kaya bagaimana sekalipun!
Demikian anggapan Suria, tetapi tidak begitu sangka Raden
Atmadi Nata,, patih, induk-semangnya.
"Jadi permintaan Akang sudah diuruskan oleh manteri,"
kata patih sambil mengem buskan asap cerutunya.
"Sudah, Juragan, sudah disuruhnya magang memeriksa
daftar pajak tanah, tetapi ...."
"Keterangan belum Akang peroleh lagi, bukan"" Patih
membunyikan lonceng sekali. Sebentar itu juga Manteri Suria
kelihatan berdiri di ambang pintu. "Manteri," kata patih
kepadanya, "sudah dilihat da lam daftar apa yang diminta
akang Haji ini dengan suratnya yang saya tinggalkan tadi
pagi" Lekas, tolonglah dia."
Suria hilang dari pintu, pergi ke kamar Kosim dengan cepat.
Di situ terjadi pertengkaran mulut antara manteri dengan
magang. Daftar tanah itu belum bersua lagi. Entah ada dicari
Kosim di rak-rak, entah tidak. Pendeknya, tidak ada daftar di
atas meja magang itu. Hanya dari mulutnya ada keluar
perkataan, "Saya tidak tahu tempatnya, saya baru di sini."
Dengan bersungutsungut Suria terpaksa mencari serta
mencatat sendiri apa yang dikehendaki itu. Merengat peluh di
keningnya dan merah padam mukanya. Demikian ia masuk ke
kamar patih kembali. "Bagus," kata patih, seraya menyambut sepucuk surat
catatan dari tangannya. Setelah dibacanya sebentar dan
kemudian diparafkan, surat itu pun diserahkannya kepada Haji
Junaedi itu. "Alhamdulillah, Juragan." katany a. "Dalam tiga empat hari
ini sudah boleh dilangsungkan jual beli itu. Nanti saya datang
ke mari bersama-sama dengan lurah. Dan terima kasih
banyak-banyak, Juragan Manteri, Rupanya Juragan sudah
bersusah-payah benar karena saya." Ia memandang dengan
muka manis kepada Suria, yang sedang menghapus peluh di
keningnya, serta menyambung perkataan dengan senyum
yang banyak artinya, "Mudah-mudahan, sungguh-sungguh
Juragan datang ke pondok saya kelak. Banyak ayam biang di
desa saya, Juragan."
"Manteri hendak beternak ayam"" tanya patih seraya
tertawa sedikit dan memandang kepada Suria dengan riang.
"Baik, tetapi awas, jangan terlalu banyak makan telur
mentah." Suria menekur kemalu-maluan. Akan tetapi demi dilihatnya
patih suka berkelakar rupanya, tiba-tiba ia pun
mengangkatkan kepalanya pula dan berkata dengan senyum
masam, "Ya, kabarnya, air di desa "Juragan" Haji Junaedi
jernih, ikannya jinak-jinak."
Haji Junaedi tertawa sedikit. "Moga-moga," katanya,
"Juragan Manteri takkan kecewa."
Suria balik ke kamarnya kembali dengan perasaan yang tak
dapat ditentukan. Adakah ia berasa malu
melihat beda penyambutannya dengan penyambutan patih atas diri haji itu,
atau tidak, sedikit pun tiada terbayang pada air mukanya. Ia
memakai perkataan "juragan" kepada orang itu, bukan
"berhaji" saja seperti bermula tadi itu, adakah dengan tulus
hatinya" Atau karena terpaksa sebab di hadapan kepalanya,
yang selalu memperbasakan dia dengan pantas" Entah, hal itu
tak dapat diketahui dan dikira-kirakan. Yang dapat dipastikan
hanya kehormatan dirinya sangat tersinggung oleh kelakuan
Kosim, yang tiada memperdulikan perintahnya.
Baru sejurus Suria bekerja pula, Haji Junaedi bermohon
hendak pulang. Ia diantarkan oleh patih sampai ke pintu.
Ketika ia lalu di hadapan meja Suria, tiada lupa ia
membungkukkan badan ke muka, hampir berlipat dua, seraya
berkata dengan hormat dan khidmat, "Mohon diri, Juragan
Manteri, dan saya harapkan benar-benar kedatangan juragan
Manteri ke pondok saya."
"Asal jangan lupa menyediakan ayam biang," kata patih
sambil mengerlingkan mata kepada Suria dengan senyumnya.
Haji Junaedi berjalan ke luar, patih kembali ke dalam kamar
kantornya, sedang Suria du duk bekerja dengan senyum
masam. IV. Berjalan-jalan ke Desa
Meskipun niat Suria hendak berjalan-jalan ke Rancapurut
sudah agak. masuk angin, seol ah-olah telah menjadi olok-olok
baik dari pihak patih maupun da ri pihak Haji Junaedi sendiri,
tetapi tiga empat pekan kemu dian, yakni pada hari Ahad,
manteri kabupaten itu pergi juga ke sana.
Ia diperbasakan sangat oleh haji yang kaya itu. Barang ke
mana Suria berjalan-jalan da lam desa, diiringkannya, dan
kemudian diajaknya melihat-lihat ikan dalam tebatnya yang
luas. Banyak ikan yang besa r-besar di dalam tebat itu,
terutama ikan emas: semuanya jinak-jinak, seakan-akan dapat
ditangkap dengan tangan saja. Kalau dilompatkan salah suatu
barang ke dalam tebat itu, ikan itu pun berkejaran ke tempat
jatuh barang itu, sambil berkerumun dan berebut-rebutan.
Senang hati melihat gerak-gaya nya, hilang segala was-was
dan kenang-kenangan. Kata Haji Junaedi: di antara ikan yang
besar-besar itu adalah yang telah berpuluh tahun umurnya,
jarang menyembul ke muka air, hanya kalau akan menyatakan
suatu kejadian, baik atau buru k. Ikan sakti, katanya. Suria
diam saja, tetapi segenap pikirannya terhadap rupanya kepada
ikan yang bergalau dan berkilatan itu.
Dari situ Suria berjalan pula dengan Haji Junaedi ke kebun
buah-buahan, ke perusahaan tenun dan ke tempat lain-lain,
yang lebih menyenangkan ha ti dan melapangkan dada
bernafas, karena baik dan sedap hawanya.
Besar dan riang benar hati Su ria di situ. Bukan karena
pemandangan yang indah dan perm ai saja, tetapi lebih-lebih
lagi karena barang di mana ia bertemu dengan orang,
sekaliannya memberi hormat kepadanya, memuliakan dia
dengan sepatutnya. Sehingga ke tika akan berbalik ke rumah
Haji Junaedi pula, keluarlah perkataan dari mulutnya dengan
congkak dan gembira, "Besar benar artinya hari sehari ini
bagiku, Haji. Aku selalu duduk di kantor, bertekun menghadapi
meja tulis, memeriksa dan memutuskan perkara ini dan itu,
sekarang dapat melihat-lihat kerajinan orang desa sambil
melengah-lengah pikiran dalam hawa yang amat seda,p|
rasanya." "Syukur, Juragan! Tetapi apa benarlah kelebihan desa yang
kecil dan buruk ini," jawab Haji Junaedi dengan merendahkan
diri. Itu pun jika boleh disebutkan ada kelebihannya, lain tidak
karena berkat kebijaksanaan dan doa Juragan juga."
"Dan beruntung benar Haji membeli tanah itu. Tanah kebun
dan sawah yang kita lalui tadi, bukan" Murah harganya, tanah
yang seluas itu. Akan teta pi lurah ke mana" Tak ada
kelihatan," kata Suria sambil menoleh kepada orang yang
berjalan mengiringkan dia di belakang.
"Ada saya beritahukan kemari n kepadanya, bahwa Juragan
manteri kabupaten akan datang kemari. Sayang, ia tiada dapat
mengelu-elukan Juragan, sebab kemarin juga, sore, ia
terburu-buru berangkat ke kota akan menghadap Juragan
patih." "Sekarang belum pulang""
"Rupanya belum lagi, Juragan."
"Perkara apa""
"Tentu saja Juragan manteri tahu, perkara uang pajak
tanah." Suria berpikir sejurus, sambil menggosok peluh di
keningnya dengan, saputangannya.
Tiba-tiba sebagai laku orang yang baru ingat akan sesu atu yang sudah lama lupa, ia
pun berkata pula, "Benar, tentu saja aku tahu. Aku yang
memeriksa buku-bukunya, aku yang mengingatkan juragan
patih akan memanggil dia dan aku pula yang membuat surat


Katak Hendak Menjadi Lembu Karya N. St. Iskandar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

panggilan. Akan tetapi, karena banyak kerja, aku sudah
lupa'bahwa kemarin ia mesti menghadap."
"Maaf kusutkah buku-bukunya"" tanya Haji Junaedi
dengan agak gelisah. "Tidak. Kusut benar tidak, tetapi ada mendatangkan syak
sangka sedikit, lebih-lebih se sudah ia menjual hartanya."
"Harta itu dijualnya, karena ia hendak mengawinkan
anaknya, Juragan. Ia seorang lurah yang lurus .... Dan kalau
saya tidak salah, dahulu ia mendapat surat pujian dari
almarhum kanjeng bupati, yaitu nenek juragan patih sekarang
ini." "Akan tetapi dalam waktu yang akhir ini ia agak lalai
rupanya. Banyak perintah yang disampaikan kepadanya, tidak
dijalankannya. Di sini amat banyak tanah yang masih kosong,
mengapa tidak ditanami dengan pohon buah-buahan" Seperti
jeruk manis, Jeruk Siam dan lain-lain" Padahal sudah
diperintahkan kepada lurah-lurah, agar tanah-tanah
diperkebuni belaka, yaitu mana-mana yang tak baik dijadikan
sawah. Dengan demikian tentu rakyat beroleh penghasilan
tambahan, dan pajak banyak masuk bagi negeri. Dan Haji
sendiri pun tidak menjalankan.perintah itu."
"Juragan ...." "Lihat, tanah yang baru Haji beli itu! Masih kosong ...." "O,
telah kusediakan bibit untuk itu, Juragan. Penuh pesemaian
saya dengan bibit jeruk dan ... cokelat juga." "Di mana""
"Di belakang rumah saya, Juragan. Boleh Juragan lihat
kelak." "Akan tetapi rakyat yang lain-lain, apa kerjanya""
"Bermacam-macam, Juragan, menurut kesanggupan dan
kepandaian masing-masing. Tentu Juragan takkan lupa
sebagai... wakil Juragan Patih bahwa di antara segala desa
dalam daerah ini, kelurahan Rancapurut inilah yang terbaik
menurut timbangan juragan patih," jawab Haji Junaedi sambil
menentang muka manteri itu. "Seperti Juragan Manteri lihat
tadi kebun buah-buahan tidak kurang dan kerajinan apa saja
pun ada di desa ini."
Suria tegak sebentar, seraya memandang berkeliling. "Oh,
ya," katanya dengan perlahan-lahan, "ya, mudah-mudahan
akan bertambah baik dan makmur lagi, apabila segala perintah
dijalankan!" Ia pun meneruskan perjalanan nya pula dengan angkuhnya.
"Akan tetapi, Juragan, kita sudah sampai," kata Haji Junaedi
sejurus kemudian, "di sini pond ok saya." "Oh, di sini" Bagus
betul." "Silakan masuk, Juragan."
Rumah batu yang terdiri di tengah-tengah pekarangan yang
luas itu rumah haji yang kaya itu. Kalau dilihat dari jalan
besar, yang terentang dihadapannya, hampir tiada kelihatan
sebab di muka dan kiri-kanan serta di belakangnya banyak
tumbuh pohon buah-buahan yang rindang daunnya. Pada
ketika itu sekalian pohon-pohonan itu sedang berbuah lebat:
ada mangga, ada jeruk, jambu ma war dan lain-lain, tetapi di
bawahnya amat bersih. Sehelai daun kering pun tiada
kedapatan di sana, alamat pekarangan itu dijaga . dan
diselenggarakan dengan sebaik-baiknya. Sedang Suria berdiri
memandangi kebersihan dan keindahan di situ, Haji Junaedi
bermohon masuk dahulu akan melihat kalau-kalau di dalam
rumah sudah siap sekaliannya. Di serambi ada berdiri seorang
laki-laki, yang berpakaian de ngan patut dan pantas. Haji
Junaedi bercakap-cakap dengan orang itu sebentar. Setelah
itu ia pun bersegera mendapatka n Suria pula akan menyilakan
dia masuk ke dalam. "Bagus rumah ini. Sejuk meskipun hari panas, dingin
segar di sini rasanya," kata Suria, seraya memandang
berkeliling dengan co ngkok dalam serambi yang luas, teratur
baik-baik perkakasnya. "Rumah di desa, dalam kebun, Juragan," kata Haji Junaedi
dengan hormat sambil menyilakan manteri itu duduk di atas
sebuah kursi goyang. Dengan gaya "tamu besar" Suria duduk di atas kursi yang
ditunjukkan itu. Dua tiga orang yang berdiri dekat dinding, lalu
bersila di tempat itu dan meneku r ke lantai dengan takzimnya.
Sejurus antaranya datanglah seorang bujang yang berpakaian
bersih menyajikan sebuah ge las besar dan dua buah botol
dengan baki porselin di atas meja di hadapan manteri
kabupaten. Ket ika bujang itu hendak membuka tutup botol itu,
Haji Junaedi maju ke muka serta berkata dengan lemah-lembut, "Biar saya menuang gelas."
Dengan segera dipegangny a sebuah botol, hendak
dibukanya, tetapi tiba-tiba Suria berkata, "Air apa itu"" "Air
Belanda, Juragan." "Oh, aku kira limonade .... Akan tetapi baik, bukalah!" "Atau
barangkali .Juragan hendak minuman lain" Di kota banyak
minuman seperti ini, tentu Juragan sudah bosan. Kalau
Juragan hendak mengubah-ubah air selera, dengan
minuman desa, ada saya sediakan air jeruk dan air kelapa
muda." "Air jeruk lebih baik. Hari panas," kata Suria dengan
senyumnya. Dengan segera minuman itu dibawa orang ke langkan
segelas besar. Suria minum dengan lazatnya. Ia mengampai ke sandaran
kursi, yang bergoyang terang guk-angguk ke muka dan ke
belakang dengan perlahan-lahan . Sepatah dua patah kata ia
bertanya kepada orang-orang ya ng bersila di lantai itu,
tentang perkara kehidupan di desa dan lain-lain. Tentu saja,
sebagai seorang amtenar yang se lalu menggahkan diri dengan
anggapan bahwa ia senantiasa mengetahui hal-ihwal
pemerintahan negeri di mana saja seperti kepada Haji
Junaedi tadi , ia tiada lupa membawa-bawa perkara pajak
dan cukai dalam percakapan, sehingga mereka itu bertambah
segan dan takut kepadanya. Akan tetapi perintah tentang hal
bertanam-tanam tadi itu tidak disinggung-singgungnya, karena
barang ke mana dilayangkannya pemandangan sudah tampak
olehnya, bahwasanya pohon buah-buahan amat banyak
dipelihara orang. Lebih-lebih dalam pekarangan Haji Junaedi
itu, dan hasilnya pun sudah dirasainya. Oleh karena itu
tergigitlah lidahnya akan menempelak-nempelak lagi. Bahkan
pesemaian bibit itu pun sudah di lupa-lupakannya. Apalagi hal
itu hanya akan jadi buah tutur saja braginya, sekadar
memperlihatkan kekuasaannya.
Pukul tengah dua berbunyi. Rupanya panas badan Suria
telah, hilang, perasaannya te lah segar kembali, karena
meminum air jeruk segelas penuh. Haji Junaedi menyilakan
dia masuk ke ruang tengah.
Sesungguhnya Manteri Suria diperbasakan, dimuliakan
benar-benar oleh orang seisi rumah. Di ruang tengah yang
luas, dihampari dengan permad ani tebal dan berbunga-bunga
yang ditutup pula dengan kain putih bersih, sudah terhidang
dengan sempurna makanan yang lazat citarasanya dalam
barang-barang porselin yang halus dan mahal harganya.
"Rupanya Haji hendak bersedekah," kata Suria dengan
senyum-simpul, ketika akan duduk di tempat yang disediakan
baginya. "Bukan, Juragan," jawab Haji Junaedi, sambil menyilakan
orang lain-lain duduk pula berkeliling hidangan itu, "hanya
sekedar hendak menyukuri Juragan Manteri sudah sudi
melangkahkan kaki ke pondok saya ini. Cara desa, tidak
makan di meja. Saya harap Juragan santap dengan senang
apa-apa yang terhidang ini. Seada-adanya saja. Bismillah,
Juragan." Mereka itu pun mulai makan. Ragu pikiran memandang
hidangan itu. Semuanya sama sedap rupanya. Ikan goreng
berekor-ekor, ayam bulat dan mana yang akan dipatahkan"
Sekali-annya sengaja disajikan akan disantap bukan akan
dijadikan perhiasan hidangan saja. Dengan tak malu-malu
Suria makan dengan lahapnya.
Suap dan kunyah di sela-sela dengan tutur-kata kisah
sederhana, sekadar pelama-Iamakan makan dan peresapkan
rasa nikmatnya. Setelah selesai daripada maka n itu, Suria berpindah duduk
ke serambi pula. Ketika itu barula h jamu lain-lain bergerak dari
kedudukannya. Ada yang mohon diri pulang ke rumahnya
masing-masing, bersalaman dahulu dengan manteri itu, dan
ada pula yang pergi dengan diam-diam saja. Lalu ke belakang
sedang Haji Junaedi agak menj auh-jauh. Segan hendak duduk
dekat tamu mulia wan itu!
"Ke sini duduk, Haji, di kursi di hadapanku ini. Ah, jangan di
situ kita tiada di kantor, bukan"" kata Suria, demi dilihatnya
korenah Haji Junaedi sedemikian , sedang jamu lain tidak ada
lagi. Rupanya ada juga terasa malu dalam hatinya, sebab tuan
rumah itu sangat 'memuliakan dia, seolah-olah berlebih-lebihan. Haji Junaedi yang arif itu sangat tahu
menenggangkan hati jamunya, lalu duduk di kursi di sebelah
meja berhadapan dengan manteri itu. Suria mulai bercakap-cakap dengan senang, seka
li-sekali mengembuskan asap
cerutu ke udara dengan selesai, sedang menggoyang-goyangkan kursinya. Sebentar antaranya kopi pun disajikan
oleh seorang anak gadis remaja dua cangkir beserta dengan
dua peles kue-kue. Suria memandang kepada gadis itu
tenangtenang, tetapi lekas ia menundukkan kepalanya. Ketika
anak itu sudah masuk ke dalam pula, sambil menutupkan
pintu di belakangnya, bertanyalah ia kepada tuan rumah, "Oh,
ada semarak rumah ini""
Haji Junaedi agak terkejut, terangkat kepalanya.
"Itu anak Haji"" tanya Suria pula, sambil memperbaiki
gayanya. "Saya, Juragan."
"Ada jua Haji beranak gadis, sudah berapa umurnya""
"Bulan di muka ini cukup 16 tahun, Juragan." "Sudah besar
dan parasnya cantik, tentu sudah ada tunangannya."
Air muka Haji Junaedi berubah sedikit, agak kemalu-maluan
rupanya. Sambil membawa cangki r kopi ke mulutnya ia pun
berkata dengan senyumnya, "Silakan minum, Juragan, makan
kue-kue ini. Buatan anak desa, bukan seperti ... dan silakan!"
Manteri Suria mengambil sekerat kue dari dalam peles, lalu
diletakkannya di pinggir tadah cangkirnya. Ia minum sereguk
dan berkata pula, "Siapa tunangannya, Haji""
"Belum ada, Juragan," jawab Haji Junaedi dengan cepat.
"Siapa yang akan suka kepada anak sebodoh itu""
"Tidak bersekolah""
"Ada, dan mengaji pun ada juga , tetapi anak desa .... Anak
Juragan ada berapa orang""
"Tiga. Seorang, yang sulung, sekarang ada bersekolah
menak di Bandung. Beberapa bulan lagi ia akan jadi amtenar
BB," kata Suria dengan congkaknya. "Tidak, bakal
tunangannya sudah ada, anak wedana di Tasikmalaya.
Sekarang ia masih duduk di kelas tinggi Sekolah Guru di
Yogyakarta untuk anak-anak perempuan."
"Haji Junaedi termenung. Menyesal ia bertanyakan anak
Suria itu, sesudah memperkata kan anaknya. Seolah-olah ia
menghendaki anak manteri itu! Padahal sebetulnya ia hendak
memutar percakapan saja jangan anak gadisnya dibawa-
bawa dalam percakapan sedemikian. Walaupun benar anak
Suria akan bertunangan atau sudah bertunangan dengan
murid Sekolah Guru, anak wedana itu, walaupun tidak, apakah
pedulinya" Bukan perkaranya. Akan tetapi sebagai seorang
yang berbudi, ia tak mau menampakkan perasaan yang tiada
enak kepada jamunya. Melainkan ke mana kelok lilin ke sana
kelok loyang, pikirnya. Deng an rupa bersungguh-sungguh
serta menganjung-anjungkan ia pun berkata pula, "Berbahagia
benar Juragan, ada beranak laki -laki yang bersekolah menak.
Jarang amtenar yang seperti Juragan. Sedangkan patih kita
sekarang ini pun katanya, tak sanggup menyerahkan anak-anaknya ke sekolah tinggi. Tapi, ya, air cucuran atap ke mana
jatuhnya, kalau tidak ke pelimbahan juga" Juragan pun tak
lama lagi tentu jadi ... wedana."
"Ha, ha, ha," tertawa Suria dengan besar hatinya.
"Melompat tinggi amat, meskipun dugaan juragan itu sudah ...
pada tempatnya. Sebab juragan patih sendiri memang kagum,
akan kecakapan dan kepandaian saya."
"Betul, Juragan. Hal itu ada dikatakannya ...."
"Apa katanya tentang diriku ini""
"Katanya, bahwa Juragan Manteri sangat cakap, insaf,
terutama tentang mendidik anak-anak," sahut H. Junaedi
memutar percakapan pula dengan ingat-ingat, sebab ia berasa
sudah telanjur menyinggung-nyinggung pekerjaan, yang lebih
menggetarkan kesombongan manteri itu.
"Ya, aku lain," jawab Suria dengan agak kecewa, tapi
bertambah sombong jua, sehingga mengipas-ngipas cuping
hidungnya. "Aku hidup, aku makan gaji untuk keperluan anak.
Dan anak-anakku mesti lebih daripada aku kelak. Sekarang
anakku yang dua orang lagi, ada di HIS Sumedang."
"Tentu besar biayanya."
"Tentu saja, tetapi kewajiban bapak kepada anak tidak
memandang biaya atau ongkos. Badan diri kita pun, kalau
terpaksa, mesti kita kurbankan untuk didikan anak-anak."
"Sungguh jarang orang yang seperti Juragan Manteri,
berpikiran sedalam itu!"
"Kalau tidak begitu, sia-sia kita hidup di dunia ini."
"Saya, Juragan."
"Uangku boleh dikatakan habis buat anak-anak saja."
"Tentu kemudian ada balasnya, Juragan. Ibarat berniaga:
rugi ada menentang laba."
"Benar, tentu itu cuma pengharapan. Yang sebenarnya:
anak-anak sekarang, terutama anak laki-laki, mesti
bersekolah, mes ti mendapat didikan yang sempurna."
"Benar. Akan tetapi sekarang ... seakan-akan kepandaian
tidak berharga, bukan""
"Mengapa Haji berkata begitu""
"Sebab, sebab, maaf, saya lihat banyak anak muda-muda
terpelajar yang tak mendapat pekerjaan."
"Oh, anakku mesti tentu diangkat pemerintah pada BB
lepasan sekolah menak ...."
"Raden Muhammad Kosim, magang di kantor Juragan
lepasan sekolah apa"" tanya Haji Junaedi dengan cermat.
Suria menentang muka tuan ru mah itu. Terpikir olehnya
apakah sebabnya Haji Junaedi tiba-tiba menyebut nama anak
itu" Sebagai perbandingan de ngan anaknya, atau adakah
pertaliannya dengan dia" Ah, benarkah" Boleh jadikah ada
niatnya" Anak gadis yang mena ting kopi tadi itu terbayang
pula dalam ingatannya. Seraya tersenyum simpul pertanyaan
Haji Junaedi itu pun dijawabnya dengan pertanyaan pula,


Katak Hendak Menjadi Lembu Karya N. St. Iskandar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mengapa Haji bertanyakan sekolah anak itu""
"Tidak, bukan karena apa-apa", jawab Haji Junaedi dengan
tenang, "Hanya, karena pada suatu hari saya diperkenalkan
Juragan Patih dengan dia. Elok benar tingkah lakunya, saya
lihat. Dan pada air mukanya tampak terbayang bahwa ia
seorang anak yang masak pelajaran, pandai dan sopan. Akan
tetapi belum berpangkat ...."
"Oh," kata Suria dengan cemooh dan mengerenyutkan
bibirnya. "Aku tak mengerti mengapa anak serupa itu diterima
patih menjadi magang. Tinggal pun di rumahnya pula!
Padahal... kalau ia pandai, takkan sampai ia ke mari, takkan
sampai setahun lebih mencari kerja kian ke mari. Dan di
kantorku ... nyata kelihatan kebodohannya. Sebuah pun tak
ada kepandaiannya. Percuma saja bertahun-tahun duduk di
Mulo1') .... Membuat surat perintah
.1) Meer Uitgebreid Lager Onderwijs Sekolah Lanjutan =
SMP. saja pun ia tidak cakap. Karangannya tiada beraturan,
berkacau-balau, dan bahasa Belandanya banyak yang salah.
Tidak sempurna. Tapi, ya, apakah kepandaian, pengetahuan
anak Mulo itu! Jauh lebih kurang dari pengetahuan anak Osvia
seperti anakku itu. Ya, karangan Kosim tak keruan, sehingga
aku mesti selalu memperbaiki .... Jadi tak berulas, tak
bersambung sedikit juga tanganku olehnya. Lagi pula ia malas
dan keras kepala. Tidak, jika Haji bertanyakan anak itu dengan
suatu niat tersembunyi," ujar Su ria dengan agak lunak, sambil
menentang muka tuan rumah itu tenang-tenang, "aku
ingatkan: lebih baik niat itu jangan disampaikan."
Haji Junaedi berdiam diri saja, agak tercengang.
"Banyak yang lain lagi, yang lebih patut, asal Haji suka ...."
Ketika itu naiklah darah ke kepala haji itu. Merah warna
mukanya. Seakan-akan tersinggung hatinya. Dan ia pun heran
pula apa sebabnya Suria sangat merendahkan Kosim semacam
itu" Kosim keluaran Mulo, benarkah manteri kabupaten cap
lama itu dapat membetuli bahasa Belandanya" Tahukah
mengertikah Suria bahasa itu" Dan apakah maksudnya dengan
perkataan: ada yang lebih pa tut asal Haji suka itu"
"Mengapa Haji termenung"" tanya Suria dengan
senyumnya. "Sungguh, kepada orang yang sekaya Haji ini
takkan kurang orang datang. Jangan dipermurah-murah harga
anak. Aku, kalau Abdulhalim belum bersangkutan kata dengan
anak wedana Tasik ... Eh, ada burung di sini, Haji"" katanya dengan tiba-tiba
mengalihkan percakapannya, de mi terdengar olehnya bunyi
burung kutitiran. Ia bangkit dari kursinya dan melangkah
selangkah dua langkah ke muka. Sambil bertelakan pada
bendul terali, ia pun menole h ke pohon jambu mawar di
hadapan rumah itu, yakni ke tempat datang bunyi burung itu.
Maka kelihatan olehnya sebuah sangkar yang indah
tergantung di dahan tengah pohon itu. Dengan muka berseri-seri Suria berpaling kepada tuan rumah, lalu berkata dengan
riang, "Ada juga rupanya Haji memelihara burung bagus,
memang burung itu dapat menyenangkan hati, dapat
merintang-rintang hati susah."
Haji Junaedi tersenyum. "Sebenarnya saya tiada
memelihara burung," katanya.
"Akan tetapi burung itu""
"Saya sediakan untuk Juragan, akan penebus janji saya
tempoh hari." "Benar" Ah, terima kasih, haji. Terima kasih banyak-banyak," jawab Suria dengan suka hatinya, "Tetapi berapa
harganya"" "Takkan berjual," jawab Haji Junaedi dengan senyum yang
banyak artinya. Suria tersenyum pula. Kedua cuping hidungnya mengipas-ngipas. Rupanya suka benar hatinya. Kalau sudah tergilir
percakapan kepada burung, lupala h ia akan perkara lain-lain.
Kebaikan burung, tuah buru ng, bunyi burung, pendeknya
segala peristiwa burung itu sampai-sampai kepada bulu
sisiknya menjadi percakapan yang maha penting baginya.
Baik perkataannya didengarkan orang, maupun tidak, tiadalah
dipedulikannya. Ia tiada tahu, bahwa Haji Junaedi sudah penat
dan bosan mengiakan tuturnya, sehingga "ia" itu sudah diganti
dengan ang- o guk kepala saja. Itu pun sudah jarang-jarang
pula. Ia tiada insaf, apa arti laku Haji Junaedi meraba-raba
rantai arlojinya beberapa kali, seakan-akan hendak
mengeluarkan arloji dari dalam sakunya. Melainkan ia asyik
menceritakan burung juga. Untung sesudah ia mengatakan
bahwa burungnya yang ada di rumah sekarang itu bertuah
sudah kerapkali ia bermimpi terbang dengan dia
kedengaranlah bunyi jam di ruang tengah empat kali.
"Eh, sudah pukul empat," kata Haji Junaedi, sambil menarik
arloji, yang sudah lama diagak-agaknya akan mengeluarkan
dia. . "Betul" Pendek benar hari rasanya di rumah Haji ini,"
kata Suria. "Akan tetapi, sungguh, sudah sehari-harian saya di
sini. Sudah patut saya berangsur-angsur ke kota sekarang."
Ia mendekati meja, lalu me ngambil sebuah cerutu dari
tempatnya. Api-api pun digoreskannya. Ketika hendak
membakar ujung rokok itu, ia pun berkata pula dengan manis.
"Terima kasih, Haji. Sampaikan salamku kepada seisi rumah,
aku mohon diri hendak pulang."
Ia memandang arah ke pintu.
"Lekas amattetapi tunggu dahulu," kata tuan rumah sambil
membuka pintu dan masuk ke da lam. Sejurus antaranya ia
ber-balik ke serambi kembal i, lalu turun ke halaman
mengiringkan manteri kabupaten itu.
Dan Suria berjalan lambat-lambat, sekali-sekali menoleh
juga ke belakang dan memandan g ke rumah itu dengan tajam
dan tenang, seakan-akan amat berat hatinya hendak beringsut
dari situ. Dan cakapnya pun tidak berkeputusan. Ada-ada saja
yang akan ditanyakannya kepa da orang yang menurutkan
tumitnya-kan, seolah-olah apa yang tumbuh di halaman itu
mendatangkan minat kepadanya. Akan tetapi matanya ...
melayang juga ke pintu, ke jendela bahkan ke segenap bagian
rumah yang indah itu. Sementara itu seorang bujang sudah
berlari-lari ke jalan raya, akan mencari kendaraan.
Sesampai ke muka pintu gerbang, Suria tegak berdiri dan
berpaling ke belakang, seraya mengembuskan asap serutunya
lambat-lambat dengan mengeroncongkan kedua bibirnya.
Tiba-tiba mukanya berseri-seri dan matanya bersinar-sinar
kegirangan. Ia tersenyum ma nis, sambil memandang jauh-jauh ... arah ke sudut rumah itu.
"Jangan lupa pesanku tadi, Ha ji," katanya seraya tegak
menampan. "Apa gerangan"" tanya Haji Ju naedi dengan agak terkejut,
"pesan apa,Juragan""
"Pelupa benar. Haji. Coba pikirkan benar-benar."
Ia tersenyum pula, tetapi lebih dimaniskan lagi dan
pandang jauh itu pun bertambah gairat rupanya. Mau tak mau
Haji Junaedi menoleh pula ke belakang, ke arah pandang
manteri itu. Maka kelihatan olehnya Fatimah, anaknya, berdiri
dekat ibunya di balik batang pohon jambu mawar. Darah Haji
Junaedi tersirap, dan ia pu n menundukkan kepalanya.
Rrr, sebuah oto berhenti di jalan raya dekat mereka itu.
"Nah, selamat tinggal," kata Suria seraya melangkah ke
dekat pintu kendaraan itu. "Dan masih lupa, Haji" Burung tadi
...." Dan ia pun menoleh ke belakang pula.
"Burung," kata Haji Junaedi seraya mengangkatkan
kepalanya, sebagai bangun dari mimpi. "Nanti saya suruh
antarkan ke kota, bersama-sama dengan barang lain-lain,
oleh-oleh bagi anak-anak Juragan.''
"Lain daripada memelihara buru ng, saya gemar pula akan
kese-nian kita, yaitu kesenian Sunda asli."
"Apa maksud^uragan"" tanya Haji Junaedi dengan rasa
cemburu dan mulai kesal. "Sayang saya tak dapat lama-lama di sini, tak sempat
memerintahkan, eh, meminta kepada Haji akan mengadakan
tari-tarian ... gadis-gadis. Tari Kupu-kupu misalnya. Dan anak
Haji tentu suka juga akan kesenian itu, bukan""
Merah muka haji itu, tertusuk hatinya. Akan tetapi ia dapat
juga tersenyum sedikit, walau serupa orang sakit gigi
sekalipun. "A gama telah mendesak kesukaan Juragan itu,"
katanya. "Dan, ya, bu rung itu nanti saya suruh antarkan ...."
"Terima kasih," kata Suria samb il tersenyum sakit gigi pula
dan masuk ke dalam oto. "Dan sekali lagi, sampaikan salam
dan terima kasihku kepada Juragan istri, dan ... ke kota,
sopir!" Oto itu fc>un berlari dengan kencangnya.
"Ah,"ujar Suria di dalam hatinya dengan kesal, "mengapa
aku pelupa benar" Ada kesempatan baik tadi akan pergi ke
belakang ... akan memeriksa persemaiannya. Ah, kalau
teringat olehku, tentu tak segan-segan aku ke sana... boleh
melihat wajah gadis itu dekat-dekat. Memang cantik parasnya.
Ah, cepat sedikit, sopir," katanya keras-keras, "hari sudah
petang benar." V. Kewajiban Mula-mula tepekur, tetapi tiba-tiba gelak terbahak Haji
Junaedi memikirkan perangai manteri itu. Sambil menurutkan
oto itu dengan matanya, ia pun berkata di dalam "hatinya,
"Benar kiranya bisik desus orang di kota. Patut banyak orang
yang memberi ingat kepadaku, supaya jangan berkenalan
dengan dia. Tak salah peringatan itu, memang ia gila hormat,
sombong dan ... cis, perkat aannya meninggi saja. Anaknya
di sekolah menak dan di HIS, katanya. Boleh.jadi, tetapi
mungkinkah dia sendiri yang menanggung biaya sekolah anak-anak itu" Berapa besar gaji seorang manteri kabupaten"
Congkak, berkata-kata dengan orang tua tak berbahasa sedikit
juga!" Ia berjalan lambat-lambat ma suk pekarangan. "Ha, ha,
kalau saya teruskan "dongeng" naik pangkat, *bahwa ia patut
jadi wedana itu, niscaya sombongnya ...." Dan di tangga
serambi ia disambut oleh Nyai Salamah, istrinya, dengan
perkataan ini, "Baik betul hati Juragan manteri itu. Sudi ia
sehari-hari bertamu di rumah kita."
"Ya," kata Haji Junaedi dengan cepat, seraya
mengangkatkan kepalanya, "ya, baik hatinya .... Mana
Fatimah" Saya lihat, ia ada di sini tadi."
"Sudah pergi ke belakang. Dan awak pun sangat
memuliakan dia. Juragan patih datang ke mari tidak dihidangi
makanan seperti itu benar."
"Juragan patih lain, dia suda h kerapkali datang ke mari.
Sahabat lama, tapi manteri tadi itu sahabat baru," sahut si
suami dengan tersenyum masam. Sesungguhnya ia berbuat
demikian, menjamu Suria dengan cara yang agak berlebih-lebihan itu, akan membalaskan sakit hatinya dengan halus
kepadanya, karena ia tempoh hari diterimanya di kantor
dengan angkuh saja. "Sebab itu," katanya pula kepada
istrinya, "masukkan buah-buahan yang saya suruh panjat tadi
ke dalam keranjang, pilih yang besar-besar dan bagus-bagus,
bungkus ikan mas itu baik-baik, suruh antarkan sekaliannya
kepada Dadang bersama-sama dengan burung itu ke
rumahnya." "Memelihara burung pun suka pula ia rupanya," kata Nyai
Salamah. "Ketika ia hendak naik oto, tak lupa ia mengingatkan
burung itu kepada awak, bukan""
"Kaudengar""
"Jelas kedengaran sampai ke mari. Saya berdiri di balik
pohon itu." "Oh, memang ia gemar memelihara burung," kata Haji
Junaedi, seraya naik ke atas rumah dengan istrinya itu.
"Tetapi apakah arti pandangannya" Apakah maksud
peringatannya tadi itu"" pikirnya, ketika istrinya sudah masuk
ke,dalam. Tiba-tiba perkara itu dipertalikannya dengan perkataan
manteri itu, ketika tersebut bahwa Fatimah belum
bertunangan lagi; dengan lakunya mencela dan mencerca
Kosim, dengan gayanya men ceritakan bahwa anaknya,
Abdulhalim, sudah berhubungan dengan gadis murid Sekolah
Guru itu. Kalau Suria bersan gka, bahwa Haji Junaedi ada
berniat hendak menerima Kosim jadi menantunya, lalu
diingatkannya: jangan, ada yang lebih baik, yaitu anaknya,
apakah sebabnya maka dikatakannya pula dengan congkak
dan pongah bahwa Abdulhalim sudah dalam rundingan
dengan anak wedana" Ada yang lebih patut, katanya. Apakah
maksudnya" Air muka Haji Junaedi sekonyong-konyong pucat
pula. Ia membulatkan tinjunya, menggertakkan gerahamnya,
sedang matanya berapi-api ruplanya. "Dia ...." Ya, dia gemar
akan tari ... jadi dia akan .... " Tidak," demikian keluar dari
mulutnya yang bulat, "tidak sekali-kali!"
"Tidak apa"" tanya bininya yang datang ke serambi pula
dari ruang tengah dengan heran, dan bertambah heran lagi,
demi dilihatnya warna muka suaminya berubah-
ubah. "Tidak jadi dikirimkan barang-barang itu""
"Bukan, melainkan lekas suruh antarkan..Sudah
kausiapkan" Bagus benar ...," ka ta Haji Junaedi dengan cepat.
Dan akan menghilangkan peras aan hati yang terbayang di
mukanya, ia pun segera berjalan ke dajam.
Siang berebut dengan senja, ma tahari tiada kelihatan lagi.
Hanya cahayanya yang kuning emas masih mengelimatang di
langit yang berawan menyisik ikan dan di puncak gunung.
Ketika itu, sedang ayam bera ngsur-angsur masuk ke dalam
kandangnya, sedang orang yang suka makan-makan angin
petang berjalan-jalan di lorong dengan perlahan-lahan, sambil
berundiiig-runding kecil dengan temannya atau istrinya yang
ada di sisinya, Suria duduk dengan Zubaidah di beranda
rumahnya, yang agak kelin-dungan dari jalan raya oleh pohon-pohonan dan bunga-bungaan. Dua orang anak, yang sebagai
merpati dua sejoli, bermain-main di halaman, berjalan-jalan di
antara pokok-pokok bunga yang tengah berkembangan.
Bagaimana segarnya bunga-bunga itu kena hawa senja yang
sudah mulai sejuk, begitu pula rupanya seri rupa kedua anak
itu. Seri keelokan, seri kesehatan dan seri keriangan, ketiga-tiganya berpadu menjadi satu dan membayang kepada
pakaian sederhana yang lekat rapih di badannya. Seorang
Naga Beracun 18 Lupus Cinta Olimpiade Kait Perpisahan 1
^