Pencarian

Katak Hendak Jadi Lembu 2

Katak Hendak Menjadi Lembu Karya N. St. Iskandar Bagian 2


hanya bercelana pendek daripada kain bambu biru dan
berkemeja putih, seorang lagi berbaju gaun agak pendek,
terbuat dari kain cita yang berbunga-bunga kemerahan, tetapi
sungguhpun demikian bukan ke palang manis paras mereka
itu. Jangankan ibunya, orang lalu-lintas pun, terutama yang
tiada beranak dan ingin hendak empunya anak, tiada puas-puas matanya memandangi kedu a anak yang molek dan sehat
itu. Bagai musik yang merdu di telinganya bunyi tutur katanya
yang keluar dengan seada-adanya, bagai bunyi genderang
tertawanya yang berderai-derai.
Zubaidah, sementara duduk di kursi beranda muka itu,
tiada pernah lengah daripada memperhatikan Saleh dan
Aminah. Tiada pernah! Ya, tiada pernah kedua anak itu luput
dari ingatannya, meskipun ia sedang berhadapan dengan
suaminya. Pada air mukanya yang tenang, pada sinar matanya
yang jernih bersih sekali-sekali kelihatan bayangan
semangatnya, yaitu apabila la ma-lama ia menentang wajah
buah hatinya itu. Sekali-sekali suram wajahnya, kabur
pemandangannya, karena disaputi oleh perasaan yang
mengecangkan jalan darahnya dan mengganggu arah
pikirannya. Berlainan benar perasaanny a dengan perasaan yang
terlukis dalam warna muka suam inya. Suria amat riang, gelak
senyum selalu bermain di bibirnya. Gerak-gerik badannya
menggambarkan kesenangan hatinya. Pikiran susah tak ada
padanya, senang sentosa semata-mata. Oleh karena
pikirannya dewasa itu sedang dibuaikan angan-angan tinggi,
sedikit pun tiada kelihatan olehnya kabut yang menyaputi
wajah Zubaidah sebentar-sebentar. Sedikit pun tiada
diacuhkannya kedua anaknya yang bermain-main di halaman
itu. Asap rokoknya mengepul dan bergelung-gelung ke udara,
tutur-katanya bagai bunyi merendang kacang: gembira dan
girang. "Sudah kauperiksa kiriman Haji Junaedi tadi, Edah" Apa-apa" Mangga, jeruk .... Besar-besar dan masak-masak
sekaliannya, bukan" Sungguh se gan benar dia kepada akang!
Disambutnya kedatangan akang dengan kiriman itu."
"Kalau amtenar pergi ke desa, tentu demikian diperbuat
orang," kata. Zubaidah dengan perlahan-lahan sambil
mencibir. Akan tetapi hal itu ti ada kelihatan oleh Suria, yang
mengalaikan kepalanya ke sandaran kursi dan memandang ke
loteng. Apalagi hari sudah gelap pula". Sesudah berkata
demikian, Zubaidah pun menjulurkan kepalanya ke hadapan
dan berseru dengan lemah-lembut dan manis, "Aleh, sudah
gelap, Anak, bawa adikmu masuk! Enah, cuci kaki dan
tanganmu, masuklah. Ingat baik-baik, apa kerjamu lagi!"
"O, ya, mengapal," sahut kedua anak yang dipanggil itu
sekaligus dan sebentar itu jua me reka itu pun berlari-lari ke
belakang dengan riang ... ya, sesudah sembahyang""
Di dapur dalam rumah sudah terpasang lampu, tetapi di
serambi tempat kedua laki-istri duduk itu tiada boleh diterangi
oleh Zubaidah. . "Tak usah, tak perlu," katanya kepada babunya, yang
datang hendak memasang lampu di situ. Dan ia pun bangki
t dari kursinya, hendak pergi mengambil air sembahyang,
karena waktu magrib tiba sudah. Tabuh pada tiap-tiap langgar
sudah lama bersahut-sahutan de ngan gemuruh. Ia harus jadi
imam anak-anaknya. Akan tetapi sebab Suria meneruskan
perkataannya dan memandang kepadanya, seakan-akan
hendak menahan dia, dengan hati berat ia pun duduk pula.
"Dan burung itu, Edah," kata suaminya," Wah, bukan main
bagusnya. Sepasang benar dengan burung kita. Tak
kauperhati-kan bunyinya tadi, mula-mula dipersuakan dengan
burung lama" Betapa angguknya, betapa pula geleseknya,
sambil mengembangkan bulu tengkuknya yang berintik-rintik
tebal itu. Kata Haji Junaedi, bu rung itu burung aduan. Sengaja
dibelinya untuk akang, karena ia tahu, bahwa akang suka
memelihara burung ketitiran. Mahal dibelinya, karena baik
khasiatnya. Ketitiran itu dinama i oleh yang punya si Dingin,
sebab selama ia di tangan orang itu, sejuk hawa dalam
rumahnya dan murah rezekinya. Bahkan, belum sampai lagi ke
tangan kita, Haji Junaedi sudah menduga bahwa akang tentu
akan jadi wedana ...."
"Akang, ah, kalau begitu, mengapa dijualnya"" tanya
Zubaidah dengan kurang percaya dan agak gelisah.
"Karena dikatakan oleh Haji Junaedi: si Dingin itu untuk
manteri kabupaten, untuk akang. Tambahan pula engkau
maklum, berapa besar pengaruh uang."
"Ya, uang," kata Zubaidah mengulang perkataan suaminya
yang akhir itu, seraya memperbaiki kedudukannya. Pengaruh
uang ...." Sudah bergerak-gerak bibirnya hendak merentang
panjang perkara uang itu, se bab sangat berhubungan rapat
dengan perasaan yang selalu me nggelisahkan dia. Akan tetapi
rupanya desakan hatinya itu masih dapat ditahannya.
Daripada gelagat Suria berkata-kata dapat diketahuinya,
bahwa banyak lagi hal yang akan dipaparkannya. Sebab
sementara Zubaidah tertegun itu, Suria berkata pula dengan
nafsunya, "Jadi dengan kemurahan Haji Junaedi itu si Dingin
sudah ada di dalam tangan kita. Sudah ada teman burung kita
yang tak kurang pula tuahnya. Mudah-mudahan berkat khasiat
kedua ekor burung itu tercapai segala cita-citaku."
"Apa cita-cita Akang"" tanya Zubaidah dengan tiba-tiba,
agak berdebar hatinya, seolah -olah akan mendengar sesuatu
yang tiada diingininya. "Dengar, Edan," kata Suria seraya memandang ke muka
istrinya, yang suram nampakny a pada bayangan lampu dari
dalam. "Haji Junaedi yang pemurah itu, kaya, banyak
hartanya. Senang hidupnya akang lihat. Anak-beranak
sentosa, ya, dia ada beranak seorang ... gadis yang telah
remaja." "Hem, jadi"" tanya Zubaidah dengan tersenyum masam.
"Kata bapaknya, gadis itu ada bersekolah; sekarang
mengaji. Betul ia anak desa, te tapi saya lihat, tak kalah ia
daripada anak kota tentang perkara berpakaian dan berhias.
Aturan rumahnya, letak perkakasnya yang bagus-bagus
menarik pemandangan. Lebih daripada rumah menak-menak.
Parasnya pun ya, patut benar ia bersuamikan menak, orang
berpangkat." "Jadi Akang hendak kawin dengan dia" Bagus! Begini nasib
kita sekarang, baik dicari bini muda yang kaya," kata Zubaidah
dengan tersenyum, tetapi darahnya mendidih rupanya.
"Ha, haa," tertawa Suria dengan geli hatinya. "Lekas ke
sana saja ingatanmu, Edah. Tak baik pen ... dorong seperti
itu. Dengarkan dahulu perkataan akang sampai habis.
Maksudku, Abdulhalim sudah hampir tamat sekolahnya. Kalau
ia sudah jadi amtenar, tentu ia mesti berumah-tangga, bukan"
Jadi dari sekarang sudah patut kita lihat-lihat siapa yang patut
jadi menantu kita. Akang pikir, Fatimah, anak haji yang
dermawan itu, patut akan jodoh anak kita. Bukan untuk
akang, ha, ha, ha!" Merah warna muka Zubaidah, kemalu-maluan. Sungguhpun
demikian ia berkata- dengan geram juga, ujarnya, "Patut jadi
jodoh anak kita .... Bukan untuk Akang. Hem! Tetapi kian
kemari saja Abdulhalim akang peredarkan. Dengan anak
wedana Tasik sudah Akang angan-angankan, sekarang
dengan anak orang kaya itu pu la. Kalau tampak pula yang
lain, yang lebih licin keningnya, tentu gadis desa itu siapa
namanya, Fatimah" Hem sudah terletak di belakang pula.
Sekaliannya Akang palingkan kepada Abdulhalim, anak yang
belum tahu apa-apa itu. Akan tetapi sebuah pun tiada
berkep utusan, tidak tentu hilir-mudiknya, sebab memang
perkara Abdulhalim hanya di mulut saja bagi Akang.
Akan jadi teluk ulakan air saja. Sebenarnya Akang yang gila
bayang-bayang." "Mengapa begitu perkataanmu"" tanya Suria dengan naik
darah dan belalak mata, tetapi tak nampak oleh Zubaidah
sebab dalam gelap. "Tidak patutk ah aku tidak berakang lagi
memikirkan buruk baik anakku" Bukan kewajiban bapakkah
mencarikan teman hidup anakny a" Abdulhalim anakku, anak
aku dengan engkau, tidak wajibkah kita mengira-ngirakan,
melayang-layangkan mata, siapa yang baik dan layak akan
temannya serumah tangga kelak" Yang rasa-rasa layak
baginya, yang setuju pada or ang tuanya" Coba kaupikirkan
dalam-dalam." "Kewajiban Bapak! Benar, te tapi baru dalam tahun yang
akhir ini akang menyebut-nyebut bahwa Abdulhalim anak
Akang. Menyebut-nyebut, ada Akang dengar" Hanya
menyebut-nyebut saja," jawab Zubaidah dengan tenang,
tetapi pedih, sebab tak tertahan-tahan lagi olehnya perasaan
yang selama ini melonjak-lonjak dalam dadanya, mencari
jalan hendak ke luar. "Baru sekarang, ketika sudah hampir
tamat sekolahnya! Bukan saya yang mesti memikirkan hal itu
dalam-dalam, Akang. Melainkan sa ya balikkan kata itu kepada
Akang. Coba Akang menungkan benar-benar. Sejak anak itu
terpencar ke lantai, adakah Akang pedulikan" Kurang
semangat! dalam saya mengandung, Akang...."
Zubaidah tak dapat menerusk an perkataannya, karena
sesak dadanya dan terkunci rongkongannya, demi teringat
olehnya kesedihan masa muda yang dideritanya oleh kelakuan
suaminya. Suria berdiam diri saja. Meskipun ia tinggi hati,
pantang tersinggung kehormat annya, tapi kalau terbuka
tambo lama itu letihlah tulangnya. Hilang tenaganya. Hilang
tenaganya akan bertentangan dengan istrinya. Sekonyong-konyong, sebagai terlepas sumbat rongkongan perempuan itu,
bangkit-bangkitan yang pedih-pedih pun keluar pula dari
mulutnya. "Coba akang menungkan: Siapa yang mengasuh Abdulhalim
sejak dari kecil, siapa yang mengongkosi sekolahnya sampai
sekarang ini" Kalau tidak karena belas kasihan ayah, maaf,
bukan saya sombong entah bagaimana jadinya anak itu.
Takkan sampai dia seperti dewasa ini, bahkan takkan hidup
agaknya! Bukan dia saja, Akang.... Coba Akang pikirkan dalam-dalam,
kita ini pun anak-beranak sudahkah terlepas dari tanggungan
beliau" Bukankah kita masih jadi beban ayah, yang telah tua,
yang sepatutnya telah ditanggung dan dipelihara oleh
anaknya" Bukan menanggung dan memelihara lagi, Akang!
Kita sudah tua pula, sudah berpencaharian. Sekarang, ketika
Abdulhalim telah besar, telah hampir menjadi orang karena
belas-kasihan orang lain, tiba-tiba Akang berasa wajib akan
mencarikan dia seorang gadis. Padahal saya kira, banyak lagi
kewajiban lain yang mesti Akang jalankan, mesti Akang
penuhi. Tetapi Akang lengahka n! Terutama perkara urusan
rumah tangga kita yang kelam kabut ini. Memang, perkara
itulah yang wajib kita perkatakan sekarang, kita perhatikan
hingga ini ke atas."
Zubaidah memandang kepada suaminya, seraya meneguk
air seleranya. Dadanya yang tiada penuh benar lagi
ditekannya dengan tangan kirinya, akan menahan gelora
hatinya. Suria duduk mengampai pada sandaran kursi, kakinya
menolak-nolakkan meja, sedang ia mengembus-embuskan
asap rokok ke loteng. Senang saja ia rupanya, sedikit pun
tiada mengesan pada sikap dan geraknya, bahwa umpat-umpatan yang pedih dan kasar it u ada melukai hatinya. Ia pun
berkata dengan tenang, "Takkan kujawab umpat-umpatan
engkau itu, biar kutelan saja habis-habis. Yang sudah-sudah
itu, yang telah terlampau itu, sudahlah, tak guna dibangkit-bangkit lagi! Apa paedahnya" Cuma sedikit aku tak mengerti
akan pendirian engkau: tolongan ayah engkau katakan "belas-kasihan orang lain." Padahal ayah sendiri yang meminta
Abdulhalim tinggal dengan dia sejak dari dahulu. Dan tentang
kita masih ditanggungnya, itu pun perkara dia sendiri, ia
suka, dan karena permintaanmu ...."
"Ya, karena perbuatan Akang tidak ...."
"Tunggu! Dan apa katamu tadi! Bahwa bapak tiada wajib
memikirkan seorang perempuan, yang layak akan menjadi
jodoh anaknya" Heran! Dan ti ada patutkah
ayah memelihara anaknya, tiada patutkah mentua menolong menantu yang tak
berkecukupan" Ayahmu, mentuaku itu, menolong membantu
kita sampai sekarang ini, lain ti dak karena ia ingin melihat kita
dapat memelihara derajat kita: engkau sebagai istri priyayi.
Sebab ia tahu, bahwa kita sendiri tiada cakap berbuat
demikian, sebab berkekurangan.*'
"Berkekurangan," kata Zubaidah dengan bernafsu pula,
"berkekurangan karena dibuat-b uat, karena Akang tak mau,
bukan karena tak dapat menghinggakan bayang-bayang
sepanjang badan. Sudah berka li-kali saya ingatkan kepada
Akang, lebih-lebih dalam waktu yang akhir ini, supaya kita
berikhtiar mengurangi belanja sehari-hari. Betul bantuan itu
diberikan ayah karena permintaan saya, sebab saya yang
mengemis-ngemis selalu kepadanya, sebab saya tak tahan
senantiasa dalam kesempitan, dalam kekurangan karena
perbuatan Akang sendiri, Akang, yang hendak bertuah
senantiasa di mata orang, hend ak bertuah, hendak indah di
mata orang saja ada terdengar olehAkang" oleh karena
itu Akang tak mau mengurangi belanja sehari-hari itu."
"Bagaimana juga lagi hendak mengurangi belanja itu""
tanya Suria sambil menentang mata istrinya. Sudah mulai
merangsang pula hatinya. Kala u bukan tentang perkara lama,
yang menyinggung riwayat masa muda, rupanya Suria
sanggup mempertahankan diriny a dengan keras. "Segalanya
sudah engkau susuti segalany a sudah engkau hapuskan. Ke
kantor aku kadang-kadang sudah dengan perut kosong, tak
makan dan tak membawa roti lagi. Aku tahan, sebab begitu
yang akan baik bagimu, maka senang hatimu! Dan sekarang
apalagi kehendakmu""
"Hendak selamat, Akang. Selamat Akang, terpelihara anak-anak kita, lain tidak! Jangan kita bersifat seperti katak yang
hendak jadi lembu! Sebelum pecah perut menandingi ... orang
kaya, orang berpangkat tinggi" Kalau sudah begitu, baru
senang hati Akang" Tidak. Kalau Akang mau beria-ria,
bersurut-lalu dan ber-mufakat dengan saya tentang masalah
yang penting dan sulit itu, banyak lagi jalan yang dapat kita
tempuh buat menyeberangi lembah kemelaratan."
"Apa misalnya" Coba sebut."
"Maaf, Banyak surat utang Akang sendiri yang diantarkan
orang kepada saya tiap-tiap bulan. Utang, yang saya kira tak
perlu diperbuat! Dan kata Akang, kadang-kadang Akang
dengan perut kosong dari rumah" Baik. Sebab Akang tak mau
makan pagi bersama-sama dengan anak-anak. Tetapi bon kopi
di kantor bulan yang lalu ini, saya lihat, sudah bertambah
dengan bon roti keju .... Dan sekaliannya itu harus saya bayar,
sebab disodorkan orang kepada saya." Suria gelisah, masam


Katak Hendak Menjadi Lembu Karya N. St. Iskandar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mukanya. "Tambahan pula menonton komidi hampir setiap malam;
berjalan-jalan ke desa atau barang ke mana hampir setiap hari
Ahad atau hari perai! "Kondangan" ke mana saja dipanggil
orang, terlampau gemar bercampur gaul dengan orang yang
tinggi-tinggi dari awak, ya, bukankah sekaliannya itu jalan
uang saja"" "Oh, jadi kehendakmu, supaya aku berperam saja di rumah
sepanjang hari" Terima kasih, tiap-tiap orang ada
kesukaannya. Saya dari kecil sudah begitu .... Apalagi
bercampur dengan orang besar-besar itu bukan sedikit
paedahnya, Edah manis! Aku amtenar, aku anggota
pemerintah dalam negeri, aku priayi ...."
Kalau sudah begitu kata suaminya, kalau Suria sudah
memang-gakkan pangkatnya yang terhormat itu, Zubaidah
tidak pula dapat bertutur lagi. Emat bicaranya.
"Perkara mengurangi belanja dapur," kata Suria
meneruskan perkataannya, "itu perkaramu sendiri. Baik
seleraku akan kau tahan-taha n, baik aku akan engkau
tanggang, ya, bagaimana jua-pun, semata-mata terserah
kepada engkau sendiri. Akan tetapi awas, jika datang tamu-tamuku, menteri polisi, klerk, komis, assisten wedana,
saudagar dan lain-lain, jangan engkau beri malu aku! Jangan
kurang penyambutan engkau kepada mereka itu, jangan
tampak olehnya salah suatu peruba han di atas rumah ini, yaitu
perubahan, yang mendatangkan cacat dan cela. Selama ini
keadaanku dalam rumah tangga kita dipuji orang, namamu
jadi buah tutur orang seba gai istri priayi yang tahu
memelihara derajat suami."
"Tapi di balik pembelakangan awak dicibirkan orang," kata
Zubaidah dengan pedih hatinya
, lalu bergerak hendak berdiri.
"Amtenar, priyai, ah, hanya un tuk kesenangan sendiri ...."
"Tunggu sebentar, ya, dan lagi tentang perkara babu, yang
telah beberapa kali kaukatakan kepadaku," ujar Suria pula
dengan tiada mengindahkan cemooh istrinya. "Supaya
diperhatikan, supaya ditiadakan saja babu itu" Ya, hal itu
terserah kepadamu juga. Kalau engkau suka payah, jangan
pakai babu. Akan tetapi alangk ah janggalnya seorang istri
priyayi bekerja sendiri di dapur! Mencuci sendiri, berbasah-basah, berlumur abu dan arang
"Istri guru Atmaja bekerja sendiri, Akang," kata Zubaidah
dengan agak keras, mencoba-coba hendak menegakkan
benarnya. Selesai, teratur ju a rumah tangganya. Tak ada
janggalnya, saya lihat, meskipun pangkat suaminya, he,
meskipun gaji suaminya lebih besar dari gaji Akang. Hidupnya
senang, ia tak berutang kian ke mari; padahal ia tiada pernah
mendapat pertolongan dari orang tuanya, atau dari siapa pun
juga." "Kausamakan aku dengan guru itu! Guru
percampurannya cuma dengan anak-anak, tetapi aku banyak
bergaul dengan pegawai pemerintahan negeri. Dengan orang
besar-besar. Jauh perbedaan derajat kita dengan dia. Edan!
Sebab itu jangan engkau meniru-meneladan kepada istri guru
itu." "Kalau diperhentikan babu, bukantah gajinya boleh diambil
pembayar uang sekolah anak-anak" Tentu karena itu kurang
jua rekening sebuah."
"Menjaga kehormatan diri lebih perlu dari sekaliannya," kata
Suria dengan keras. "Sebab it u tak usah kita perbincangkan
juga perkara tetek-bengek, perkara yang berkecil-kecil itu. Aku
bukannya tiada tahu kewajiban. Kita mesti hidup. Tetapi hidup
di dunia ini takkan lama, sebab itu waktu yang sedikit itu
jangan dihabiskan dengan berkir a-kira saja. Perkara yang akan
datang, nanti pula diperbincangkan. Tamat""
"Belum, Akang. Sebab, kalau benar filsafat Akang, bahwa
perkara yang akan datang harus diperkatakan nanti pula,
mengapa perkara diri Abdulhalim, baik ia akan beristri ataupun
tidak, sudah Akang reka-rekakan sekarang ini! Akan
dipertunangkan, akan dikawinkan dengan gadis ini atau itu,
dengan anak priyayi ini atau anak orang kaya itu ...."
"Hem, kembali pula engkau ke pangkal rundingan," sahut
Suria dengan agak ku atir. "Padahal ...."
"Ya, padahal Akang sudah banyak melihat cermin yang
kabur dalam perkara itu, padaha l Akang sendiri sudah merasai
benar-benar, bahwa perkawinan yang ditentukan dan
ditetapkan oleh orang tua saja , tidak selamat. Padahal anak-anak muda kini sudah berlainan semangatnya, sudah jauh
pandangnya tentang bersuami istri itu. Bukan seperti kita,
orang zaman dahulu, ya, bukan seperti saya ini.... Dan tidak
insafkah Akang, bahwa anak -anak terpelajar sebagai
Abdulhalim itu takkan mau lagi dibung-kus-bungkuskan saja,
... seorang istri baginya""
"Anak harus seperintah bapak!"
"Dalam perkara mencari jodoh, yaitu teman hidup serumah-tangga, Akang, sulit dan berbahaya sekali kalau perintah dike-mukakan. Apalagi pada kita ini, dalam keadaan kita seperti
sekarang ini. Akang priyayi yang terhormat, hem, sedang
urusan rumah-tangga Akang sendiri masih porak-poranda,
Akang telah memikirkan pula ma salah yang belum perlu lagi"
Mengapa tidak terpikir oleh Akang, bahwa biaya perkawinan
itu tidak sedikit, lebih-lebih bagi anak Akang itu" Ya, jangan
ditambah-tambah jua beban, Akang!"
Suria berdiam diri. Darahnya mendidih, menggelagak
benar-benar. Akan tetapi dalam pada itu ia insyaf pula, bahwa
hati istrinya itu pun sedang pana s sangat pula. Oleh sebab itu,
mau tak mau, ia pun berkata dengan agak lunak, "Sudah,
Edah. Tak usah direntang panjang jua perkara itu! Rupanya
setan berkeliaran senja hari ini, dan engkau belum
sembahyang lagi. Dan aku pun hendak bekerja sekarang, aku
membawa kerja pulang."
Ia bangkit dari kursinya, lalu masuk ke dalam kamar
tulisnya. Zubaidah menarik napas panjang, letih rasanya tulang
anggotanya. Memang waktu magrib sudah hampir habis, dari
tadi ia sudah gelisah hendak berd iri dari kedudukannya, tapi ...
bahaya yang mengancam sudah tampak-tampak olehnya.
Sudah ter-berumbun di hadapa nnya, akan menyergap dia,
sebagai hantu hitam. Apa daya hendak mengelakkan ba
haya itu" Apa yang akan dibuatnya! Suria, lakinya, junjungannya
katanya lebih tahu daripada dia tentang kewajiban! Wahai
.... Dengan perlahan-lahan ia pun bangkit berdiri pula, masuk
ke dalam dan terus melalui bilik belakang, tempat Saleh dan Aminah mengapal
pelajaran dengan riang, ke kamar mandi, lalu bersegera
mengambil air sembahyang. "Ya, Allah, moga-moga Engkau
membelokkan jalan pikiran suamiku yang sesat itu ke jalan
yang lurus benar," demikian doanya dengan khusuknya,
sesudah sembahyang magrib itu.
VI. Perselisihan Beberapa bulan sudah Kosim menjadi magang di kantor
patih Sumedang, telah sekian lama pula ia mempelajari
bermacam-macam pekerjaan administrasi. Menjalankan mesin
tulis ia sudah pandai, bahkan sudah cepat dan cekatan. Balas-membalas surat perintah, surat dinas, baik dalam bahasa anak
negeri, maupun dalam bahasa Belanda, membuat proses
verbal perkara kecil-kecil, mengis i daftar ini dan itu tiada sukar
lagi baginya. Sekaliannya itu dipelajarinya bukan di kantor saja, tapi
terutama pula di rumah kepada R. Atmadi Nata, yang
memandang dia sebagai anaknya sendiri.
Sifat orang muda itu pendiam, tiada banyak cakap dan tak
banyak bermain-main. Kesuk aannya bekerja, bertekun
menambah ilmu pengetahuan. Akan tetapi ia tiada tinggi hati,
terjauh daripada sifat sombong. Tegur sapa orang kepadanya
tiada pernah dilengahkannya, senantiasa dijawabnya dengan
manis dan sopan santun. Cuma hatinya pantang tersinggung.
Naik sekali darah ke kepalanya, sehingga dalam sekejap mata
saja air mukanya yang tenang berubah menjadi masam dan
keruh, jika ia mendengar salah satu perkataan atau sindiran
yang agak mengenai dirinya.
Pegawai kantor patih, sesudah bercampur sebulan dua
dengan dia, kebanyakan sudah tahu akan sifatnya yang
demikian. Mereka itu sudah pandai membawakan tabiatnya.
Oleh karena itu sedikit-pun tak ada cacat-cela pergaulan
mereka itu dengan dia. Selalu aman, selalu kedua belah pihak
beramah-ramahan, sebab memang tingkah laku Kosim lemah
lembut jua. Kalau pandai membawakan tabiatnya! Dengan
siapa saja, dengan sekalian pesuruh pun, bukan main ramah
dan manis tutur katanya. Yang karib benar pergaulan Ko sim ialah dengan jurutulis
dan pembantunya. Tak ubah ke duanya sebagai saudara tua
baginya* Mereka itu yang mengajar dia bekerja di kantor,
mereka itu pula yang memimpin dia dalam jabatannya.
Kebalikannya, kedua pegawai it u pun banyak pula beroleh
pertolongan dari Kosim, terutama dalam hal mengertikan
peraturan atau undang-undang yang tertulis dalam bahasa
Belanda, karena mereka itu kurang paham akan bahasa itu.
Sementara itu pertolongan asisten-wedana tebe tiada
kurang pula kepadanya. Hanya dengan manteri kabupaten tak dapat dikatakan
dengan pasti buruk atau baik pergaulan orang muda itu. Betul
Suria yang menjadi kepala kantor, yang membagi-bagikan
kerja kepada pegawai lain-lai n, tetapi perhubungan Kosim
dengan dia kurang benar rupanya. Kalau tak perlu betul jarang
sekali ia mendekat-dekat ke meja manteri itu atau bertanya-tanya kepadanya. Entah ia takut kepada Suria, entah benci
kepada orang yang tinggi hati itu, tiada dapat dinyatakan ....
Pada suatu pagi hari asis ten-wedana tebe, sebelum
berangkat dengan patih ke desa, minta tolong kepada Kosim
akan mengantarkan sepucuk surat ke kantor asisten-residen
kelak. Rupanya surat itu penting. Asisten-wedana itu lebih
percaya menyerahkan dia ke tang an Kosim daripada ke tangan
salah seorang pesuruh. Kira-kira pukul sebelas Kosim minta
izin kepada jurutulis hendak pergi meluluskan permintaan itu.
Ketika ia lalu di hadapan meja tulis manteri kabupaten, ia pun
ditahan oleh Suria, yang mengangkatkan kepala dari kerjanya.
"Hai, hendak ke mana engkau"" katanya dengan agak
keras. Kosim tertegun, darah naik ke mukanya. "Ke kantor tuan
asisten," katanya dengan cepat, sambil melangkah ke pintu.
"Mengapa"" Hendak bermain-main" Patut kerjamu tidak ...
kurang sempurna, banyak salah."
"Juragan," kata Kosim dengan sesak napasnya.
"Dan sekarang, dengan tak setahu saya, engkau hendak
pergi"" "Juragan, saya disuruh oleh Juragan asisten-wedana tadi
dan saya sudah minta i zin kepada Juragan jurutulis."
"Tetapi, cuci gelasku sebentar," kata Suria pula, seraya
mengingsut sebuah gelas besar yang terletak di atas mejanya
arah ke dekat orang muda itu. "Lekas, saya haus."
"Saya bukan bujang Juragan," jawab Kosim dengan suara
gemetar. "Tidak mau" Engkau tidak mau menurut perintahku"" tanya
Suria dengan heran dan marah.
Perkataan itu terdengar kepada sekalian isi kantor. Segala
pesuruh berdiri dari bangku kedudukannya, memandang
kepada Kosim tenang-tenang. Warna muka orang muda itu
merah padam, matanya bersinar-sinar. Bukan main marahnya,
karena ia berasa dihinakan. Ia pun berkata pula dengan
gagap, "Saya bu ... bu kan bujang Juragan."
"Aku kepalamu, tuanmu tahu" Kepadaku engkau mesti
minta izin, jika hendak ke mana-mana dari kantor ini."
"Dan saya bukan tukang cuci gelas."
"Keras kepala, bin ... engkau ! Ini manteri kabupaten,
manteri Suria, mengerti" Awas ...."
Kosim gemetar, kedua bibirnya bertaut dan matanya
terbelalak berapi-api. Ia melangkah mendekati meja manteri
dan membulatkan tinjunya.
Seketika itu juga tangannya dipegang oleh Suminta cepat-cepat, lalu ia ditariknya ke luar.
"Sudah, Juragan Kosim," katanya perlahan-lahan. "Pergilah,
ah, ... mana gelas itu, Juragan manteri" Saya cuci, saya beli
kopi sekali"" "Suria berdiam diri, dagunya gemeletuk karena berang.
Sejurus antaranya ia pun memegang tangkai pena, seakan-akan hendak bekerja pula. Akan tetapi tak dapat, hatinya
masih berang. Dengan segera ia bangkit berdiri- dan pergi ke
kamar jurutulis, yang telah mulai meneruskan kerjanya.
"Begitulah jadinya, jika anak sampah semacam itu
dimanjakan," katanya dengan kasar dan keras. "Bagai
membesarkan anak macan! Berani ia membantah
perkataanku, perintahku ini! Da ri dahulu sudah kuingatkan
kepada jurutulis, apa gunanya dia ditaruh di sini. Kurang aj
tak tahu adat sedikit jua."
"Bukan saya yang menempatkan dia di sini, Juragan,
melainkan Juragan Patih; sendiri," sahut jurutulis Sastrawijaya
dengan lemah-lembut. "Dan sabar sedikit! Saya kira, Juragan
pun terdorong juga."
"Oh, jurutulis berpihak kepadanya, mempermenangkan
dia"" tanya Suria dengan menentang.
"Saya, ha, minum dahulu, Juragan. Itu kopi sudah
datang .... Dan saya tidak berpihak ke mana-mana. Hanya
saya pikir, takkan sampai terjadi apa-apa, jika .Juragan
berlaku agak halus sedikit."
"Berlaku dengan halus" Hem, jadi aku kasar""
"Apa salahnya, jika Juragan minta tolong kepadanya""
"Tadi saya tidak minta tolong""
"Tidak, melainkan memerintahkan dengan keras! Juragan
Manteri niscaya akan lebih tahu daripada saya tentang hal itu.
Apalagi anak muda-muda sekarang sudah jauh bedanya
dengan anak-anak masa kita, Juragan. Mereka itu sudah tahu
akan harga dirinya. Tak dapat kita lasi, kita perintah-perintah
saja lagi. Tetapi jika dengan ha lus .... Di mana semut yang tak
mati karena manisan""
"Kopi, Juragan," kata pesuruh
"God ver ... letakkan ke mejaku," sahut Suria dengan
marah. "Dan sedangkan tidak diberi hati sedemikian, lagi
begitu perangainya. Keras kepala, congkak, tak menurut
perintah kepala ... Tapi rusaknya akhlak anak itu lain tidak
juragan patih dan ... juragan asisten-wedana juga, sebab
mereka itu selalu memanjakan dia. Tidak, dengan saya tak
dapat begitu," katanya pula de ngan berungut, seraya kembali
ke kamarnya. "Nanti kuhajar ....!"
Di luar panas terik, tapi seolah-olah tiada terasa oleh Kosim.
Ia berjalan cepat-cepat. Hatiny a sangat sakit, pedih, sebab
dihina oleh orang yang lebih berkuasa daripada dia. Sangat


Katak Hendak Menjadi Lembu Karya N. St. Iskandar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

malu ia akan dirinya sendiri, dibuat orang sedemikian, sedang
ia berasa tiada bersalah sedikit jua. Betul Suria kepalanya, tapi
patutkah ia merendahkan dia semacam itu" Ia bekerja di
kantor itu jadi magang, bukan jadi bujang. "Awas," pikirnya,
"biar aku keluar dari kantor, biar aku tiada bekerja, asal
jangan dibuat orang seperti budak! Aku sudah biasa melarat,
takkan mati tiada makan." Dengan pikiran sedemikian ia pun
sampai ke tempat yang ditujuny a. Ia masuk ke dalam sebuah
kamar kantor, lalu minta bertemu dengan komis A Jansen.
Kosim diterima oleh komis asisten-residen itu dengan
manis. "Panas" Engkau tidak berker eta angin, Kosim"" katanya
dengan senyumnya, ketika dilihatnya muka Kosim merah
padam dan peluh merengat di dahinya.
"Tidak, Tuan," jawab Kosim sambil mengeringkan keringat
dengan saputangannya. "Duduk engkau sebentar," kata komis itu pula, setelah
selesai membaca surat yang diberikan orang muda itu
kepadanya. "Saya balas surat in i. Dan asisten-wedana ada
di kantor sekarang""
"Tidak, Tuan. Ia pergi ke de sa dengan Juragan Patih."*
"Kalau begitu lebih baik surat ini tidak saya balas, nanti saja
bertemu dengan dia."
"Baik, Tuan ...."
Dengan segera Kosim balik ke kantor patih kembali. Setelah
sampai, ia pun duduk pula ke tempatnya, bekerja seperti
biasa. Sedikit pun tiada d iindahkannya pandang orang
kepadanya. Ketika kantor sudah bertutup, Suria dan orang lain-lain
sudah pulang ke /umahnya masi ng-masing. Kosim bermohon
kepada jurutulis dan pembantunya akan mengudian sebentar.
Keduanya memandang kepada orang muda itu dengan sayu,
lalu duduk pula di kursinya.
Sunyi sejurus. Seorang pun tiada membuka mulut. Tiba-tiba
jurutulis berkata dengan perl ahan-lahan, "Apa kehendakmu,
Kosim" Coba katakan kepada kami."
"Sekali-kali saya tidak bersenang hati diperbuat Juragan
Suria seperti tadi itu. Saya dihinakannya. Juragan jurutulis
kepala saya, bahkan lebih dari itu: bapak saya di kantor ini,
dan saya selalu menghargakan segala pengajaran Juragan.
Dan engkau, Hamzah, saya pandang lebih dari saudara saya.
Sekarang saya minta timbangan kepada Juragan, layakkah dia
menghinakan semacam itu""
Sastrawijaya berdiam diri de ngan ingat-ingat. Tetapi
Hamzah mengeluarkan sigaret dari dalam sakunya. Sambil
membakar rokok itu, ia pun berkata dengan lurus,
"Menghinakan orang tentu tak layak, Kosim. Penghinaan apa
saja pun tidak patut sekali-kali. Demikian perasaan saya! Akan
tetapi "Ya, perasaan saya pun demikian juga," kata Sastrawijaya.
"Akan tetapi sebelum kita memberi timbangan tentang
sesuatu perkara, harus kita berpikir baik-baik dahulu. Ibarat
barang, lebih dahulu barang itu kita tangkup-telentangkan:
kita perhatikan kedua belah pihaknya, supaya jelas
nampaknya. Kalau saya katakan Juragan Suria salah tadi itu,
bukan maksud saya bahwa engkau pun tidak bersalah pula,
Kosim." "Apa kesalahan saya"" tanya orang muda itu dengan
tercengang. "Engkau pendorong, penaik darah. Lekas amat engkau
memasukkan perkataan orang ke dalam hati. Kalau engkau
ingat, bahwa Juragan Suria kepa lamu, bahwa ia jauh lebih tua
daripada engkau dan sudah se pangkat dengan ayahmu, tentu
takkan berani engkau mengatakan tidak mau disuruhnya."
"Aku dibuatnya lebih rendah, lebih hina daripada
bujangnya." "Bagaimanapun juga engkau patut menolo ng dia. Engkau
muda, dia sudah tua. Engkau magang, dia manteri kabupaten
dan kepala, pemimpin kita di kantor ini, jadi patut engkau
berlaku dengan hormat kepadanya."
"Jadi saya .Juragan pandang kurang hormat, tak tahu
adat"" kata Kosim dengan sebal dan sedih. "Mentang-mentang
saya anak kecil, tapi saya ada juga berperasaan
perikemanusiaan. Tahu saya akan harga diri saya, akan
kewajiban saya. Di sini saya bukan jadi bujang, maaf,
Juragan tapi kalau dengan baik, apa saja perintah orang
saya turut. Jangan saya dihinakan."
"Siapa tahu, ia menyuruh en gkau tadi bukan dengan
maksud hendak menghinakan," kata Hamzah dengan cepat.
"Boleh jadi engkau disangkanya ... anaknya."
"Kalau demikian sangkanya, seribu syukur. Saya terima
dengan senang hati. Tetapi bukan demikian laku bapak
kepada anak: Bapak takkan menyuruh anak dengan belalak
mata, dengan kasar dan bengis dan ancaman. Tidak!
Sekarang saya minta pertolongan kepada Juragan, supaya
kata-katanya yang keji, penghinaannya itu, besok dicabutnya."
"Apa maksudmu"" tanya jurutulis dengan heran.
"Saya dihinanya di kantor ini, di muka orang banyak. Saya
minta, supaya penghinaan itu ditelannya besok pagi di muka
orang banyak pula. Ia mesti minta maaf kepada saya."
"Minta maaf kepadamu" Suria, orang tua, akan menyembah
kepadamu"" tanya Sastrawijaya dengan berang.
"Minta maaf!" jawab Kosim dengan pendek dan tetap,
"sebab ia bersalah kepadaku, wa lau saya anak kecil sek
alipun. Saya yakin, kebenaran itu bu kannya ada pada pihak orang
besar saja, Juragan."
"Tak mungkin, takkan mau dia."
"Kalau dia tidak mau, saya tahu, apa yang hendak saya
kerjakan." "Engkau hendak mengadu kepada Juragan patih atau
kepada asisten-wedana"" tanya Hamzah dengan marah.
"Tidak ada engkau berniat demikian, bukan" Kalau engkau
adukan, tentu kita kena marah semuanya."
"Lebih-lebih saya," kata Kosim pula dengan panas hati.
"Kalau ia tidak mau minta maaf pada saya ini, saya ajak dia
berkelahi. Apa boleh buat, makan pisau saya di perutnya."
Sastrawijaya terkejut, Hamzah ketakutan. Keduanya
menentang muka orang muda it u dengan heran. Mereka itu
sudah lama tahu, bahwa Kosim sangat keras hati. Akan tetapi,
bahwa ia akan sampai hati mempergunakan senjata tajam
karena penghinaan yang demikian, baru ketika itulah
diketahuinya. Dengan tenang dan lemah-lembut jurutulis
berkata pula, "Sabar, Den* Kosim, jangan diperturutkan hati
panas, hati berang! Kebenaran takkan diperoleh dengan
pikiran yang kurang sehat, dengan akal sontok. Saya berkata
sebagai menyalahkan engkau, lain tidak, karena saya sayang
kepadamu. Engkau masih muda, kataku tadi. Dan pera-ngaf
serta tabiat yang digerakkan oleh darah muda itu kadang-kadang melampaui watas. Tapi masih mudah dibentuk-bentuk.
Tidak selamanya apa yang baik pada pikiranmu, baik pula bagi
orang lain dalam pergaulan. Dalam memelihara harga diri
sendiri, patut pula ditenggang kehormatan orang lain itu.
Sabar, ya, nanti saya bicarakan perkara itu dengan dia."
"Itu yang saya harapkan, Juragan. Tidak lain hanya supaya
rundingannya yang telanjur itu dicabutnya kembali."
"Kita lihat nanti."
Ketiganya bangkit dari kursinya, lalu keluar dari kantor itu.
Di serambi mereka itu berd iri sebentar, melihat dan
menantikan orang jaga mengunci pintu. Kosim berkata pula
kepada Sastrawijaya, ujarnya, "Bila saya mendapat kabar dari
Juragan"" "Kabar apa lagi""
"Bahwa ia sanggup meluluskan permintaan saya itu."
Jurutulis berpikir sejurus. "Ya, " katanya, "pukul tujuh malam
engkau datang ke rumahku."
"Terima kasih," kata orang muda itu.
Setelah bersalam-salaman, me reka itu pun pulang ke
rumahnya masing-masing deng an cepat. Senja kala, malam
hari .... Sesungguhnya ketika bunyi jam yang ketujuh kali masih
mendengung, sedang Sastrawijaya duduk membaca surat
kabar di beranda muka rumahnya , Kosim kelihatan berdiri di
ambang pintu. Ia disilakan duduk oleh jurutulis itu di atas
sebuah kursi. Sejurus kemudian Sastra bercerita kepadanya,
bahwasanya ia stidah bersia p hendak pergi mendapatkan
Suria. Akan tetapi tiba-tiba timbul pikiran baru di dalam
hatinya, yaitu lebih baik dan lebih sempurna lagi jika perkara
itu didiamkan saja. "Oh, begitu" kata Kosim dengan tersenyum, tapi air
mukanya i sekonyong-konyong muram rupanya. "Jadi
saya harus ...." "Kosim!" "Terima kasih nasihat Juragan itu," kata Kosim. "Tetapi
pikiran saya lain. Saya harus berbuat: perkara itu takkan saya
biarkan sampai besok. Saya hendak .berkirim surat
kepadanya, sekarang juga, dan saya suruh letakkan suratku
itu kepada bujang di atas mejanya."
"Apa isinya""
"Peringatan, supaya ia insaf ...."
"Jangan begitu, Kosim," ujar jurutulis melarang, "engkau
masih terlalu berang."
"Saya sangat sabar, Juragan," sahut Raden Kosim dengan
muka merah. "Yang perlu-perlu saja hendak saya kabarkan
kepadanya." "Raden Kosim," kata jurutulis dengan lambat-lambat, tetapi
kuat dan tetap bunyi suaranya . "Kalau begitu engkau tak
dapat bersurut-lalu, tak mau menerima nasihat orang. Saya
berjanji hendak menyelesaikan perkara itu. Tetapi tidak
dengan cara yang engkau kehendaki itu. Tiada dapatkah
engkau menanti dengan sabar" Tambahan pula, apa yang
engkau harapkan dengan ber-maaf-maafan di muka orang
banyak itu" Sangkamu, akan adakah paedahnya""
Sastrawijaya menggelengkan kepalanya, dan Kosim
berdiam diri. "Dimisalkan saya datang kepadanya. Saya minta supaya
ber-maaf-maafan dengan engkau. Boleh, dan tentu ia mau ....
Tetapi saya tak percaya akan baik hasilnya. Cuma karena
terpaksa! Dan karena malu, boleh jadi dendam kesematnya
bertambah besar dan mendalam kep
adamu! Nanti engkau juga yang akan menanggungkan akibatnya. Engkau bekerja di
bawahnya, jadi banyak kesempatan baginya akan berbuat apa
yang tak diharapkan atas dirimu. Kalau langit hendak
menimpa, mana dapat ditahan dengan telunjuk" Oleh sebab
itu lebih baik perkara itu didi amkan saja, Kosim. Siapa tahu,
barangkali dia sekarang telah menyesal akan perkataan yang
telanjur itu. Betul ia sombong da n tinggi hati, tetapi saya tahu,
ia tiada jahat." "Tetapi saya, ..." kata Kosim dengan ragu-ragu.
"Tak usah engkau membantah juga. Saya benarkan, bahwa
ia telah terdorong. Kasar perkataan yang keluar dari mulutnya
tadi itu, tetapi tadi juga sudah engkau balaskan, bukan"
Engkau bantah, engkau sanggah dia ... jadi tak ada malu lekat
padarnu lagi. Tapi kebalikanny a, dia sendiri, bukan main
malunya!" Kosim berdiam diri pula. "Tenangkan pikiran, kenang kan awal akhirnya, Raden
Kosim! Tentu akan nyata kepadamu kelak kebenaran kata-kata saya itu.
Engkau tadi tidak mendapat malu, tiada diberi malu dan
dihinakan. Melainkan karena pe rkara itu dia sendirilah yang
tak berharga lagi di mata tema n sekantor kita. Baru engkau
seorang yang berani menentang dia
"Apa boleh buat," kata Ko sim dengan perlahan-lahan.
"Jadi engkau mau menurut nasihat saya" Takkan
meneruskan niatmu lagi""
Raden Kosim mengangguk. "Syukur!" kata Sastrawijaya dengan sukacita. "Saya
tanggung, takkan terjadi apa-apa lagi."
Kosim menarik napas panjang. "Kalau tidak karena Juragan
katanya. "Ya, terima kasih! Saya mohon diri hendak
pulang." Ia tegak berdiri dan turun ke halaman, diturutkan oleh
jurutulis dengan matanya samp ai hilang di dalam gelap.
"Keras benar hatinya," pikir Sastra seraya menggelengkan
kepalanya. "Tahu akan harga di ri .... Tapi Suria, mudah-mudahan hal itu menjadi pengajaran benar kepadanya. Insaf,
bahwa bukan sekalian orang dapat diperbuat dengan tak
semena-mena!" Hawa makin lama makin dingin, embun telah naik. Pasar,
jalan raya dan kampung sudah sunyi-senyap, sebagai negeri
dialahkan garuda. Derak-derik kendaraan, hiruk-pikuk suara
orang telah bertukar dengan nyanyian cengkerik dan
margasatwa lain-lain yang biasa berbunyi pada malam hari.
Ya, hari sudah larut malam. Segala pintu dan jendela rumah
orang sudah tertutup erat-erat, orang telah tidur nyenyak.
Kecuali Kosim sendiri! Ia gelisah di atas tempat tidurnya,
membalik ke kiri dan ke kanan. Meskipun hawa sejuk, tetapi
badannya amat panas rasanya. Betapa juga pun
dipicingkannya kedua belah matanya, ia tiada dapat tidur,
sebab kekerasan hatinya belum dapat ditaklukkannya.
Melainkan ketika murai telah mulai berkicau dan fajar telah
menyingsing, barulah ia dapat berkuasa pula atas sukmanya.
Ia dapat tidur nyenyak beberapa lamanya.
VII. Belum Beranak Sudah Ditimang
"Rasakan! Sekarang baru ada lawan," kata seorang pesuruh
kepada temannya dengan senyum-cemooh, sedang duduk
berdua-dua di tempat yang agak sunyi, sesudah terjadi
perselisihan antara manteri kabupaten dengan magang itu.
"Jago kita sudah patah sayapnya," kata yang lain, "dilapur
oleh anak ayam. Kasihan "Ssst, jangan kuat-kuat," kata yang pertama pula dengan
kekuatan, "nanti kedengaran ke pada Juraga Manteri. Payah
kita dibuatnya!" "Hi, hi, hi ...."
"Diam, jangan hal itu dikabar-kabarkan kepada orang lain."
Akan tetapi jika yang memberi ingat itu bertemu dengan
orang lain, ia sendiri pun tak dapat menyimpan rahasia itu.
Dengan tidak diminta-minta, dengan tak ada suatu sebab-karenanya, perkara itu sudah meluncur dari antara kedua
belah bibirnya. Dengan bunganya sekali, bahkan bunga
berbunga pula! Sejengkal jadi sehasta dan sehasta jadi


Katak Hendak Menjadi Lembu Karya N. St. Iskandar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sedepa. Oleh sebab itu kedengaranlah di mana-mana bisik
desus dalam kota Sumedang yang. tiada berapa besar itu
tentang peristiwa itu. Setengah nya berpihak kepada Suria,
terutama kaum menak, dan mereka itu pun mempertahankan
derajatnya dan kehormatan manteri itu. Akan tetapi
kebanyakan orang memuji-muji keberanian Kosim, karena
mereka itu berpendirian: raja adil raja disembah, raja lalim
raja disanggah. Sebagaimana biasa pula perk ara yang demikian itu pun
tiada kekal. Sesudah keluar ap a yartg m
engentak-entak dalam hati masing-masing, lapanglah dadanya. Boleh jadi bertambah
hebat jadinya, jika orang yang kena perkara itu mempedulikan
bisik-desus itu. Yarig nyata adal ah kebalikannya. Baik Suria,
maupun Kosim rupanya tiada mengindahkan kejadian itu lagi.
Dengan demikian dalam sepekan saja perkara itu sudah
dilupakan orang habis, hilang-lenyap ditiup angin
puncabeliung. Dari pihak Kosim sungguh tiada tersebut-sebut perkara itu,
tidak pernah keluar dari mulutnya. Nasihat Sastrawijaya
adalah dipegangnya dengan erat dan teguh.
Sementara itu waktu berjalan juga dengan tiada berhenti-henti-nya. Bukan sedikit perubahan yang timbul di atas dunia
yang mahaluas ini. Perubahan, meskipun bukan setiap
perubahan itu membawa kebaikan. Dengan demikian jangan
pula dikatakan tak ada timbul kebaikan! Banyak orang yang
berkeluh-kesah, menangis dan meratap dalam masa kalut-malut itui), tetapi banyak pula yang bersukacita mendapat
perubahan yang hampir tak disangka-sangkanya dalam peri
kehidupannya. Seorang klerk di kantor asisten-residen
Sumedang diangkat jadi komis dan dipindahkan ke tempat
lain. Tempatnya mesti diisi pula, mesti ada gantinya.
Baru saja pecah kabar angkatan itu, timbullah cita-cita baru
di dalam hati Suria. Selama ini ia mengharap hendak naik-naik
pangkat pada jenjangnya: jadi camat, atau jadi ajung-jaksa
dan akhirnya jadi jaksa. Tetapi bila gerangan" Dan klerk,
gajinya lebih besar daripada gaji manteri kabupaten.
Tambahan pula daripada cakap-cakap istrinya nyata
kepadanya, bahwa bagi Zubaidah lebih perlu uang daripada
pangkat. Lebih-lebih dalam waktu itu! Sayang, pangkat
manteri kabupaten yang mulia itu akan diganti dengan
pangkat klerk .... Hendak keluar dari golongan B.B., dari ajung
turun ke sampan! "Tetapi, tak apa, memang sekarang uang
sangat perlu bagiku," kata Su ria dengan pikiran tetap, "dan
tentang pangkat itu, bukantah Abdulhalim ada yang akan
meneruskan jejakku dalam golongan B B itu""
1) Antara tahun 1929-1933, kekuat an di Eropa terasa juga
di Indonesia. Dengan segera Suria pergi me nghadap patih. Ia bermohon
supaya dipujikan untuk jadi klerk. Ia sudah lama dalam dinas,
tertua di antara segala pegawa i yang sederet dengan dia di
daerah Sumedang. Pada pikira nnya, ia lebih berhak akan
menduduki tempat yang terluang itu.
Perkataan Suria itu didengarny a oleh patih dengan tenang.
Sebab-sebab yang dikemukakan manteri itu terasa pula
olehnya. Akan tetapi syaratnya .... Ia memandang kepada
Suria dan berkata dengan lemah- lembut, "Manteri harus ingat:
orang yang diangkat jadi klerk mesti pandai berbahasa
Belanda. Sekurang-kurangnya yang berijazah K.E.i) atau yang
disamakan dengan itu."
"Saya, Juragan. Tetapi saya sudah lama dalam dinas, dan
saya pikir, pekerjaan saya di kantor Juragan ini jauh lebih
berat daripada kerja seorang kl erk, yang pandai berbahasa
Belanda itu. Takkan canggung saya menjalankan pekerjaan
itu, Juragan. Oleh sebab itu saya harap, moga-moga, Juragan
sudi menolong saya."
R. Atmadi Nata. termenung. "Coba-coba," katanya sejurus
kemudian, "buatlah rekes2)."
Dengan besar hati pada hari itu juga surat permohonan
ditulis oleh Suria.. Setelah diberi advies3) oleh patih, lalu
diantarkannya kepada tuan asisten-residen yang bersangkutan
dengan perkara itu. Pendapatan asisten-residen itu pun hampir serupa dengan
pendapatan patih itu: orang yang pandai berbahasa Belanda
lebih diutamakan untuk jadi klerk. Apalagi tangga yang harus
dinaiki manteri kabupaten, bukan pula menuju ke pangkat
klerk itu. Sungguhpun demikian pengharapan Suria sekali-kali
tiada diputuskannya. "Coba-coba dan tunggu saja," katanya,
sambil menerima rekes itu dan berjanji akan mengirim terus
kepada residen di Bandung, yaitu kepala daerah, yang harus
memutuskan perkara itu. Bagi Suria perkataan "coba-coba" daripada kedua orang
besar itu, istimewa pula kata "tunggu saja" daripada kepala
yang lebih tinggi itu sangat menggembirakan hati dan
menimbulkan pengharapan besar.
1) Klein-amtenaarseramen, semacam ijazah bahasa
Belanda. 2) Surat permintaan. 3 ) nasihat, pertimbangan.
"Tak ada jalan bagi mereka itu akan menolak p
ermintaan saya," pikirnya sambil berbalik ke kantornya dengan riang.
"Mereka itu tahu, bahwa kerjaku selama ini sangat terpakai.
Dan mereka itu pun tentu telah membaca segala catatan
almarhum bupati dalam daftar dinas saya. Baik belaka ....
Coba-coba tunggu saja! Tentu mereka itu tak dapat berkata
pasti, tetapi pada pikirannya: tentu sudah sepatut-patutnya
aku menjabat pangkat itu.
Angan-angan baru timbul di dalam kalbunya. Klerk!
Sekarang orang memanggilkan dia juragan manteri
kabupaten. Nanti, tak lama la gi panggilan itu akan berubah
jadi juragan klerk! Ai, manis pula gelar itu, merdu juga
terdengar di telinganya! Dan lebih manis dan merdu lagi gaji
sebagai klerk yang akan diterimanya! Dinasnya sudah tua.
Kalau ia diangkat jadi klerk kl. II umpamanya tetapi siapa
tahu, barangkali ia boleh melomp at jadi klerk kl. I sekali
tentu ia segera beroleh gaji pe nghabisan daripada pangkat itu.
Dua ratus rupiah, lebih berlipat ganda daripada gajinya
dewasa itu! "Tak usah engkau selalu mengeluh juga, Edah," ujarnya
kepada istrinya, sedang duduk petang hari di beranda
rumahnya. "Kalau sudah keluar surat angkatan akang jadi
klerk, tentu klerk kl. I, tak perl u kita disokong ayah dari Tasik
lagi. Dengan sekejap mata saja kita sudah lebih daripada
manteri polisi yang tertua dinasnya."
"Untung, kalau dapat," kata Zubaidah dengan bimbang,
sebab ia tahu kepastian su aminya kerapkali lebih
mendatangkan celaka daripada bahagia. "Akan tetapi
janganlah terlampau mengharapkan burung terbang tinggi."
"Bukan burung terbang tinggi! Sudah hampir dalam
tangan," kata Suria dengan gembira.
"Hampir, jadi belum di tangan Akang lagi."
"Mesti dapat. Patih menolong akang, asisten-residen
membantu pula, siapa lagi yang lebih daripada kedua kepala
itu" Jangankan perkara pangkat itu, perkara pegawainya,
kalau mereka itu mau, negeri Sumedang ini pun boleh
ditangkup-telentangkannya. Belum pernah pertimbangannya
yang tak didengar orang di atas. Lagi pula engkau harus ingat,
Edan! Lain daripada akang, tak seorang pun jua pegawai di
sini yang patut diangkat jadi klerk."
"Di sini tidak, tetapi di tempat lain""
"Masa dari jauh, sedang nan dekat ada! Dan ingat, Edah,
bahwa patih sendiri sudah bercerita kepada H. Junaedi ....
Katanya, akang pantas jadi wedana."
"Mudah-mudahan, kalau begitu ," kata Zubaidah dengan
perlahan-lahan. "Tetapi sungg uhpun demikian sementara itu
jangan awak berbesar hati benar. Bagi saya belum ada suatu
sebab akan bersukacita sekarang ini, meskipun pengharapan
saya tiada kurang daripada Akang.''
"Engkau selalu cemas saja. Selalu gelap pada
pemandanganmu masa yang akan datang! Sudah akang turut
kehendakmu: mau akang meningga lkan golongan B.B., asal
dapat gaji besar. Akan tetapi engkau tiada-juga bersenang
hati. Tak baik demikian, apa jua yang kaucemaskan""
"Barangkali hanya Akang saja ya ng tiada cemas, tiada takut
menentang zaman kalut-malut ini. Kembali kepada keadaan
kita sendiri: sekarang kita tak ubah seperti mangga manis,
Akang. Kulit kuning bersih, licin berminyak-minyak, tetapi
daging penuh dengan ulat."
"Tak lama lagi hal itu akan berubah! Akang diangkat jadi
klerk dan .... Abdulhalim sebentar lagi akan keluar dari
sekolah: jadi kandidat amtenar. Di mana jua terletak
kecemasan itu""
"Abdulhalim lagi ... dan sementara itu""
"Menanti dengan sabar, de ngan tenang," jawab Suria
sambil menentang muka istrinya. "Ya, " masih ada kopi
coklat, Edah" Dan roti mari ...."
"Ada kue panggang."
"Keras akang ingin roti ma ri. Suruh babu mengambil ke
warung sekaleng." Sebagai tak berdaya lagi Zubaidah bangkit dari kursinya.
Berat-ringan mesti dipikul, kehendak suaminya tak dapat
dibantahnya. Perkataan Suria tempoh hari masih mendenging-denging di telinganya: Baik aku akan engkau tanggang .... Istri
mana pula yang mau menanggang suaminya, menahan selera
bapak anak-anaknya yang sangat dikasihinya" Istri budiman
mana pula yang akan mela lui perkataan junjungannya"
Tidak, bagaimana jua pun pedih hatinya, Zubaidah tak mau
lagi membantah-bantah. Tambah an pula terpikir olehnya,
''Memang suami yang berkuasa dalam rumah tangga, memang
sua mi yang menanggungjawab at as elok atau buruk segala
urusan keluarganya: Kekurang an, dia yang akan mencari
tambahnya! Istri cuma menjalankan perint ah suami saja. Betul sekali-sekali ia boleh memberi nasihat, bermupakat, bahkan sama-sama berikhtiar juga; akan tetapi kalau buah pikirannya tiada
didengarkan, kalau usahanya ti dak diindahkan, apa dayanya"
Putus asa" Zubaidah yang arif budiman itu telah putusasa"
Wallahu alam! Sedang minum kopi coklat dan makan roti mari dengan
sedap, Suria meneruskan perkataannya, "Ada lagi yang
hendak akang katakan padamu, Edah. Sudah lama kita tidak
bersedekah, yaitu sedekah arwah umpamanya. Rindu akang
kepada orang tua kita, bapak dan ibu akang, jadi tidak baikkah
kita bersedekah bagi arwah be liau-beliau itu" Kita panggil
orang alim, tak usah banyak-banyak, empat lima orang cukup
sudah. Dalam pada itu kita minta datang juragan patih jua.
Sebab kini baik benar rasanya kita menjamu dia. Segan awak
kepadanya. jOan sekali membuka pura dua tiga utang
terbayar, bersama-sama dengan dia kita panggil pula H.
Junaedi .... Minggu di muka ini dapatlah kita langsungkan niat
itu"" Zubaidah berdiam diri. Air matanya berlinang-linang,
seakan-akan hendak menggerabak dengan lebatnya. Ia
menengadah ke loteng. "Mengapa takkan dapat"" jawabnya
sejurus kemudian dengan perlahan-lahan.
"Baik, jadi kita tetapkan hari Ahad di muka ini."
Hari Ahad yang ditentukan it u terlampau sudah. Perjamuan,
yang tentu saja banyak memakan uang dan menambah besar
rekening bulanan ke kedai langganan itu, telah langsung
dengan sepatutnya. Tidak, lebi h daripada sepatutnya. Sekalian
jamu takjub dalam hati melihat perjamuan yang berlebih-lebihan itu, yakni makanan terhidang berbaris amat banyak di
ruang tengah yang dihampari dengan permadani yang halus
dan mahal harganya, dan melihat kemewahan di dalam rumah
tangga manteri kabupaten itu. Te ntu saja keheranan itu ketika
keluar dari mulut masing-masing, berubah rupanya, sifatnya:
menjadi puji-pujian! Sungguh, yang diucapkan mereka itu
hanya pujian-pujian dan sanjung-sanjungan semata-mata
kepada tuan rumah. Itulah yang dikehendaki Suria, itulah yang
sangat menyenangkan hatinya! Sebagai di atas awang-awang
ia rasanya dipuji dan disanj ung orang. Apalagi mendengar
jawab patih kepada seorang jamu , yang bertanya tentang hal
rekesnya. "Ada pengharapan"" tanya orang itu.
"Tentu saja ada," jawab patih dengan tersenyum.
"Dan saya yakin, bahwa niat Juragan Manteri akan sampai,"
kata Haji Junaedi menyambung dengan gayanya.
Ketika itu Suria tak berasa di atas dunia lagi. Sudah ada di
langit yang ketujuh ia mendengar jawab sedemikian! Sehingga
ketika " jamu itu telah turun, ia pun berkata kepada Zubaidah
dengan gembira, "Apa kata akang kepada Edah" Bohong
akang" Telah keluar dari mulut juragan patih sendiri tengah
makan tadi, bahwa besar benar harapan kita akan mendapat
pangkat itu." Akan tetapi Zubaidah tiada gembira, tiada bersukacita
sedikit jua pun. Ia teringat akan utang yang timbul karena
perjamuan itu; dan lagi ia pun termenung memikirkan gelang
emasnya, yang digadaikan untuk menjamu orang makan-makan itu!
Suria, adakah ia peduli akan perkara itu" Rupanya ia sangat
gembira, sebab gajinya ak an bertambah besar ....
Bukan kepada istrinya saja, kepada orang lain pun tak
segan-segan lagi ia menceritakan , bahwa ia akan diangkat jadi
klerk asisten-residen! Sudah ada pula "sesuatu" yang akan jadi pokok bisik-desus
orang dalam kota Sumedang, su dah timbul pula peristiwa
yang akan menjalar dari suat u mulut ke mulut yang lain.
Ejekan dan pujian bersilih ganti pula!
Sepekan, dua pekan, bahkan sudah lebih dari sebulan Suria
menanti-nanti angkatan itu, tetapi belum juga datang lagi. Ia
sudah mulai gelisah, meskipun sekali-kali ia tiada putus
pengharapan. Ia tahu, bahwa jalan surat-surat di kantor
kadang-kadang agak lambat. Timbang-menimbang bukan
sedikit memakan tempoh! Dan meskipun agak lama, tentu
timbangan yang baik akan jatu h jua kepadanya. Takkan lari
gunung dikejar, maksudnya niscaya akan sampai juga!
Sekonyong-konyong, sebelum tentu hitam putih perkara itu,
asisten-re siden dipindahkan ke tempat lain. Ia harus
berangkat dengan lekas. Barang-barangnya sepotong pun
takkan dibawanya, sebab tempatnya yang baru itu jauh. Akan
diperlelangkan semuanya. Pada suatu hari, sejak dari pagi bunyi gung sudah
mendengung-dengung di hadapan rumah amtenar yang


Katak Hendak Menjadi Lembu Karya N. St. Iskandar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pindah itu. Sekalian priyayi dalam daerah Sumedang, sejak
dari pangkat yang rendah sampai kepada yang setinggi-tingginya, demikian pula lura h, khatib dan penghulu sudah
berkumpul di rumah yang besar lagi indah itu.
Orang kaya-kaya, segala sa udagar dalam kota pun sama
hadir belaka. Sekaliannya melihat-lihat barang-barang yang
disukainya, dan sekaliannya berniat hendak membeli barang
yang bagus-bagus dan terpelihara baik-baik itu. Sejak dari
perabot dapur sampai kepada perkakas di beranda muka:
periuk, cawan-pinggan, meja, lemari, kursi, gambar-gambar
dan lain-lain menarik hati semuanya.
Pukul sembilan lewat lelang dimulai. Mula-mula#
diperlelangkan seperangkat kursi di serambi muka. Tukang
lelang menyebutkan suatu harga, orang banyak berebut-rebut
memenaiki harga itu. Atas-mengatasi, sampai kepada harga
tertinggi, tiada diatasi orang lagi. Maka barang itu pun
diberikan kepada orang yang menawar penghabisan sekali itu.
Demikian juga halnya dengan barang yang lain-lain.
Ketika memperlelangkan barang-barang dalam kamar tulis
asisten-residen itu, orang bert ambah-tambah gembira, suara
bertambah gemuruh. Nafsu orang hendak membeli sudah
bertambah besar. Tukang lelang berteriak dengan keras, "Hai,
ini dia! Tangkai pena Tuan asisten-residen. Emas tulen, masih
bagus, Tuan-tuan. Buat tanda mata, Tuan-tuan, barang yang
selalu dipegang oleh majikan kita. Tangkai pena bertinta,
tinggal menuliskan saja lagi ...." "Seringit."
"Setali!" kata suara bergalau . "Dua rupiah tiga tali."
"Tiga setengah," kata suatu su ara dari tengah-tengah orang
banyak. "Masa barang yang sebagus itu ditawar setali-sefali.
Tiga setengah ...." Tukang lelang tertegun, dan bersama-sama dengan orang
lain-lain ia pun memandang ke te mpat datang suara itu, "Hai,"
katanya dengan tertawa, "itu betul, juragan manteri
kabupaten. Tiga setengah buat Juragan Suria, tiga rupiah
setengah sekali, tiga rupiah ...."
"Setali," kata orang lain.
"Tiga rupiah tiga tali."
"Empat rupiah," kata Suria pula.
"Empat rupiah."
"Setengah ...."
"Empat setengah, lima, enam, tujuh," kata tukang lelang
dengan cepat, sebab banyak orang yang mengejapkan mata
dan menganggukkan kepalanya, alamat naik-menaiki harga
itu. "Delapan ...." "Sembilan." "Sembilan sekali," kata tuka ng lelang sambil mencoba
mencip-takan tangan pena itu pada pinggir anak sakunya.
"Bagus,,Tuan Tuan, sembilan sekali, sembilan dua kali, tak
lebih lagi" Sembilan rupiah tiga kali, buat Juragan Suria,
manteri kabupaten Sumedang. Murah sekali, tanda mata dari
majikan, Juragan," ujarnya pula, sambil memberikan tangkai
pena emas yang telah usang itu kepada Suria dengan
senyumnya. Orang banyak tertawa bergumam.
"Ini temannya, Juragan! Tempat tinta .... Satu setengah."
"Dua rupiah." "Setali." "Dua rupiah setali, orang banyak. Seringit...." Demikian
naik-naik, sehingga akhirnya jatuh ke tangan Suria juga.
Lelang terus. Orang bertamba h gembira, hawa bertambah
panas. Mereka itu menawar berebut-rebutan, amtenar
berlumba-lumba membeli barang-barang induk-semangnya.
Menolong! Takkan senang sedikit jua, takkan termakan nasi
olehnya sesampai ke rumah kelak, jika mereka itu tiada
membawa salah sebuah barang dari lelang itu. Berapa
harganya mesti dibeli, malah kadang-kadang disengaja
menawar mahal, dinaikkan tinggi-tinggi harganya, tanda cinta
kepada majikan yang akan pergi. Menolong majikan, tanda
cinta kapada induk-semang!
Utang" Ketika itu tiada teri ngat bahwa tiap-tiap tawaran
menambah besar utang. Sanjungan-sanjungan dari teman
sejawat melupakan kebenaran! Tambahan pula, bukantah
uang itu boleh dibayar dalam ti ga bulan" Perlu tak perlunya
barang-barang itu pun tiada pula dipikirkan, tiada diindahkan
benar, sebab maksud sengaja melelang itu bukan hendak
barang, melainkan hendak menolong induk-semang semata-mata! Kalau hendak barang, bukantah di pas
ar banyak barang yang lebih bagus daripada itu, baru-baru belaka, dan harganya
pun jauh lebih murah"
Hanya saudagar yang arif dan insaf juga, yang menawar^
barang-barang seharganya, sepantasnya. Hanya orang yang
demikian jua yang tiada membeli barang yang tak perlu
baginya. Penjualan barang-barang itu cepat sekali, kira-kira pukul
dua belas sudah mulai berpindah ke bawah akan melelang
jambangan bunga dan lain-lai n, dan ke belakang akan
melelang ternak: ayam, itik, angsa dan sebagainya.
Pukul tiga lewat baru orang berangkat ke rumah masing-masing membawa pembeliannya. Suria pun pulang pula. Di
belakangnya ada mengiring sebuah gerobak, yang ditarik oleh
dua orang kuli. Di muka rumahnya gerobak itu berhenti; dari
dalamnya dikeluarkan orang lemari, kursi besar, jambangan
bunga dan kandang merpati dengan burungnya.
Sekaliannya itu barang pembelian Suria pada lelang itu.
Bertambah risau pikiran Zubaidah melihat barang-barang
itu. Sesak napasnya. Tak disangka-sangkanya Suria akan
melelang sebab sedikit pun tak ada ia berkata lebih dahulu
kepadanya. Apalagi kebanyakan barang-barang itu tiada perlu
baginya. Apa gunanya jambangan bunga itu" Sedangkan yang
sudah ada saja pun hampir tak terpelihara lagi. Apa gunanya
lemari dan kursi, sedang rumah sudah sesak oleh perkakas"
Burung. Siapa yang akan menjaga dan memberi makan
binatang itu" Zubaidah mengeluh, menarik napas panjang. Tetapi cuma
keluh jua yang keluar dari mulutnya. Dan pada mukanya tiada
ditampakkannya perasaan hatiny a. Dengan senyum-simpul jua
barang-barang itu diterimanya. Apa dayanya" Akan ditolak"
Tak mungkin, mustahil barang yang sudah dibeli pada lelang
akan dapat dikembalikan! Ketika Suria menghitung utangnya pada lelang itu lebih dari
pada tengah dua kali ganda juml ah gajinya sebulan. Zubaidah
tak dapat menahan hati lagi. Dengan tiada berkata sepatah
kata jua ia pun pergi ke dalam bilik, lalu menangis dengan
amat kesal dan sedih. Sedangkan utang yang telah ada saja sudah mengurangkan
tidurnya, istimewa pula ditambah dua tiga ratus lagi!
Suria juga yang lapang dadanya, ia juga yang selalu tenang
dan sabar. Bahkan senang benar hatinya, karena ia sudah
dapat menolong induk-semangnya yang berangkat itu,
kepalanya, majikannya, yang te lah berjanji akan menyokong
permintaannya! Dan apa yang akan dirisaukannya" Bukantah
gajinya akan bertambah" Kalau ia sudah jadi klerk, dua kali
terima gaji saja utang itu sudah boleh dilunaskannya. ,
VIII. Bulan Muda "Apa"" "Bapak ada""
"Tidak, pergi."
"Mama"" "Tidur." "Tidak, baru sebentar ini ibu ada di belakang. Enah
panggil"" "Ssst, sekarang dia sudah tidur," kata Saleh kepada
adiknya, yang bergerak hendak berlari ke ruang tengah.
"Jangan, Enah, ibu tidur."
"Oh. Tidur!" "Ya ada apa, tauke""
"Ini," kata orang yang dipanggilkan tauke itu sambil meraba
sakunya, hendak mengeluarkan sesuatu barang. Tetapi
setelah barang itu dikeluarka nnya, dipegangnya, ia pun
bertanya pula, "Pukul berapa Mama bangun""
"Saya tak tahu," sahut Saleh de ngan pendek. Ia berpaling
kepada adiknya, mengajak di a bermain-main ke halaman.
"Kalau Mama bangun kelak, katakan kepadanya, bahwa
saya sudah datang kemari, Den," ujar tauke sambil
mengikutkan Saleh dan Aminah dari belakang. "Nanti saya
balik kemari kembali."
Setelah berkata demikian, ia pun keluar dari pekarangan
dengan kesal hatinya. "Setiap saya datang kemari dia tidak di rumah. Istrinya
tidur! Cih, kata 'nden tidak ti dur, ada di belakang. Rupanya
saya sudah dipermain-mainkannya! Kalau saya bawa rekening
ke kantor, ia marah. Urusan reke ning di rumah, katanya. Akan
tetapi sudah dua bulan utangnya tidak dibayarnya sesen
juga." Demikian omelan tauke orang kedai minum-minuman
dan rokok itu sementara berjalan balik ke tempatnya.
"Kalau tak bisa bayar, jangan minum dan jangan merokok,"
katanya pula dengan marah, sambil menoleh ke rumah
manteri kabupaten. "Lagak seperti Tuan besar!"
Lain daripada orang Tionghoa yang empunya kedai minum-minuman itu, ada lagi dua tiga orang tukang rekening datang
ke rumah Suria, tetapi semuanya berbalik dengan tangan
hampa, "sebab: tuan tak ada di rumah dan
nyonya tidur! Baru empat hari bulan! Aneh, ganjil, jika bulan muda atau
baru seperti itu, sesudah terima gaji, pintu rumah seseorang
tertutup" Dalam dunia kehidupan orang makan gaji ada
kelihatan dua perkara yang be rlawan-lawanan: sebagai hitam
dengan putih. Sedang seseorang bersukacita menentang hari
terima gaji, berbesar hati akan memperoleh uang yang
diharap-harapnya dari bulan ke bulan, seorang nan lain
tersirap-sirap darahnya. Gelisah tidak keruan menanti
kedatangan waktu itu! Apa sebabnya" Ia sudah tahu, bahwa uang yang akan diterimanya tiada
cukup untuk membayar utang yang telah diperbuatnya di
dalam bulan itu. Dan ia suda h tahu pula, bahwa si penagih
utang kebanyakan tiada sabar, kasar. Kalau rekening yang
ditunjukkannya tiada dibayar, kefapkali ia mengeluarkan
perkataan yang tiada sedap dide ngar telinga orang baik-baik;
kerapkali ia membuat ribut di hadapan rumah, sehingga
menarik pemandangan orang setangga. Siapa yang akan
tahan mendengar umpat-cercaan , siapa yang takkan malu
melihat pandang cemooh dari pihak orang berhampiran, yang
memang selalu mengintai-intaikan cela yang timbul" Cela,
yang akan direntangnya panjang-panjang kepada orang lain,
supaya tersebar pada sepenuhan kampung! Dengan demikian
dalam sekejap mata saja nama baik seseorang boleh menjadi
cemar, "gunjing gujirak" menjalar kian kemari.
Jadi tiada heran, jika orang yang berutang lebih aman dan
sentosa jalan darahnya dalam pertengahan sampai
penghabisan bulan daripada dalam permulaan bulan. Dalam
bulan "tua" ia tiada seberapa di ganggu dan dikejut-kejuti si
penagih utang, dan dalam waktu itu ia pun dapat juga
membuat utang baru, pada bebe rapa langganan, sebab si
pemberi utang berpikir ... bulan baru dekat sudah! Akan tetapi
kalau "bulan baru" itu telah timbul" Pada ketika itu dalam
bulan "muda" itu dari segenap pihak ia diserkap oleh segala
langganan yang bersangk utan dengan dia itu.
Apa akal akan mengelakkan gangguan itu, kalau
pendapatan tak cukup buat pemenuhi kewajiban" Apa daya
akan menjauhi pertengkaran dengan tukang rekening, dengan
si penagih" Menghilang-hilang! Atau dikunci pintu, berbuat pura-pura
tidur nyenyak atau sakit!
Zubaidah sangat lemah semangatnya, pemalu! Selama
ini dijaganya benar supaya kefo rmatan dirinya, suaminya dan
rumah-tangganya jangan sampai menjadi ocehan dan ejekan
orang. Se-dapat-dapatnya uang yang diterimanya dari Suria
setiap bulan dibelanjakannya dengan hemat dan cermat.
Lebihnya pembayar utang. Meskipun tiada terpenuhi
sekaliannya, tetapi karena elok angsurannya, pembagiannya:
sedikit dibagi bercecah, banyak dibagi berumpuk, orang
tempat ia berutang itu tiada berkecil hati kepadanya. Atau
kalau sudah tersesak benar, kera pkali pula di-lulusnya subang
dan gelangnya, dipertaruhkanny a ke rumah ... batu! Dengan
uang tukaran petaruh itu dapatlah dilunaskannya utang yang
masih tinggal. Oleh karena itu, berapa jua pun sempit
hidupnya, lamun namanya tersebut baik juga dalam kampung.
Janjinya jarang yang mungkir, jadi orang percaya
memperutangi dia. Tentang barang yang dipetaruhkan dengan
terpaksa itu, sekali-kali ia tak kuatir tiada akan bertebus. Kalau
janji hampir sampai, kalau gada i rasa-rasa akan lalu, ia pun
dapat beriba-iba meminta uang kepada ayahnya. Selalu
berkenan, dan karena itu tak ada salahnya jika barang itu
selalu pula berulang-ulang "ke rumah batu" itu. Akan tetapi
waktu yang akhir ini seakan-akan tak sanggup lagi ia
mempertahankan bentengnya. Lubang selalu digali, tetapi
tanah penimbun kembali sudah berkurang-kurang. Gaji
jangankan bertambah, malah susut, sedang bantuan dari
Tasik tak dapat diharapkan benar lagi. Permintaan Zubaidah
sudah kerapkali dibalas Haji Hasbullah dengan beriba-iba pula.
Katanya, Zubaidah jangan terlalu mengharapkan kiriman dia
juga, sebab ia sendiri tengah dalam susah pula. Ia sudah tua,
sudah berangsur-angsur tak kuat lagi berusaha, sedang hasil
perusahaan dari sehari ke sehari bertambah tak berharga
juga, hampir tak mendatangkan uang lagi.
Dalam pada itu Abdulhalim, yang hampir tamat sekolahnya,
perlu pula ditenggang dan dipikirkan. Kalau ia sudah kel
uar dari sekolah dan diangkat jadi kandidat amtenar, bukantah
banyak keperluannya" Banyak yang mesti diadakan baginya
pakaian yang bagus berpasang-pasang, perkakas rumah
secukupnya dan lain-lain. Se kaliannya itu memakan uang,
mesti dibeli, dari mana jua uang akan dikorek, sebab mata
air sudah mulai kering"
Demikian bunyi surat khatib dari Tasikmalaya, demikian
kata ayah Zubaidah itu dengan sedih serta memberi nasihat,
supaya ia berhati-hati hidup hingga ini ke atas. Berhati-hati,
berhemat! Dari dahulu bukantah Zubaidah sudah berikhtiar hendak
berbuat demikian" Bukantah ia selalu cemas menentang masa
yang akan datang" Akan tetapi sebuah pun tak ada hasilnya.


Katak Hendak Menjadi Lembu Karya N. St. Iskandar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bagaimana ikhtiarnya akan berlaku, akan dapat tercapai, jika
Suria berselisih paham dengan dia" Suria kepala rumah-tangga, Suria yang bertanggungjawab dalam segala perkara.
Suami yang jadi kepala, istri sebagai ekor menurut saja di
belakang! Akan tetapi sampai ke mana dapat menurut" Tak adakah
hingga batasnya" Kalau sukatan sudah penuh ....
Pada petang hari itu Zubaidah bertengkar dengan
suaminya. Sebab tak dapat bertenggang, ia terpaksa mengaku
dengan terus-terang kepada Suria bahwa ia tiada sanggup lagi
menjalankan uang belanja bulan itu.
"Lebih baik Akang sendiri berhadapan dengan tukang
rekening," katanya dengan sedih.
"Apa" Aku akan melayani mereka itu" Terima kasih.
Bukantah segala gajiku sudah kuserahkan kepadamu""
"Tetapi tak cukup buat pembayar utang Akang sendiri.
Seada-adanya sudah saya bayarkan kepada yang perlu-perlu
benar. Banyak lagi yang belum diangsur sedikit jua. Sebentar
lagi mereka itu datang kemari."
"Janjikan saja bulan depan," kata Suria dengan mudah.
"Bulan depan tentu rekening sudah bertumpuk-tumpuk pula
.... Dan uang sekolah anak-anak sudah dua bulan tidak
berbayar." "Tunggu saja kiriman dari Tasik! Itu bukan tang
Hampir telanjur mulutnya mengatakan bahwa 'uang sekolah
anaknya bukan tanggungannya. Meskipun selama ini sungguh-sungguh bukan dia yang membay ar uang sekolah anak-anak
itu, tetapi rupanya tergigit jua lidahnya akan mengaku
berterang-terang. Malu jua ia menentang muka Zubaidah,
yang tiba-tiba amat pedih melihat lakunya sedemikian. Dengan
cepat ia pun bangkit dari kedudukannya. "Selesaikan saja
olehmu," katanya, seraya berjalan turun ke halaman dan terus
ke jalan raya. Apa daya Zubaidah lagi" Dengan terhuyung-huyung sebagai
orang mabuk sebab risau dan pakau, ia pun pergi ke
belakang. Bermenung mengenan gkan nasib! Kemudian ia
masuk ke dalam kamar, berbaring, berbuat pura-pura tidur,
sedang segala percakapan Saleh dengan sekalian orang yang
datang bertanyakan dia tiada sedi kit jua luput dari telinganya.
Sedih hatinya bukan kepalang mengingat orang berbalik
dengan hampa tangan. Padahal orang itu datang menjemput
haknya! Serasa mau ia berlari ke luar menemui si penagih
utang itu, meminta janji dengan menyembah-nyembah
kepadanya, tetapi malu mena han dia di tempat tidur,
mengikat kakinya akan bergerak ....
Jadi seorang pun tiada dijumpainya. Ia berkubur saja di
tempat tidur. Seada-adanya ia pergi duduk bermenung ke
ruang tengah. Tetapi kalau te rdengar bunyi kaki orang di
halaman, ia pun terkejut, darahn ya tersirap. Dengan cepat ia
bangkit berdiri, mengintai dari te pi kaca jendela dan jika nyata
kepadanya bahwa yang hendak masuk itu orang tempat dia
berutang, atau tukang rekening yang dikenalnya, ia pun lari
masuk bilik pula. Babu dan anak-anak sudah dipesannya: jika
ada orang menanyakan dia, ka takan saja dia tidak ada di
rumah, atau tidur! Demikian laku Zubaidah beberapa hari dalam bulan baru: ia
sudah takut melihat muka oran g. Tentu saja perubahan itu
sangat mengherankan kedua anaknya. Selama ini teman
mereka itu bergurau-senda, beriang hati di dalam rumah,
hanyalah ibunya. Dengan Suria mereka itu seolah-olah tidak serasi. Tak ada
manjanya, tak terbuka sedikit jua hatinya di hadapan ayahnya.
Kecut, ketakutan sebagai kucing dibawakan lidi! Sekonyong-konyong ibunya berhal seperti itu. Hati siapa takkan rusuh"
Dengan siapa lagi mereka itu akan bermain-main"
Sepuluh hari bulan! Zubaidah be rbaring seorang diri di atas
ba ngku, sambil merenda lambat-lambat. Warna mukanya
pucat rupanya, seperti paras orang sakit. Dengan perlahan-lahan, berse-jingkat, Aminah datang menghampiri dia. Ia
duduk di pinggir bangku itu, lalu berkata dengan manis, "Ibu!"
"Enah" sahut Zubaidah sambil berpaling kepadanya. "Apa,
Nak"" "Ibu sakit""
"Tidak, Nak. Mengapa engkau bertanya demikian"" ujar
ibunya dengan tersenyum, seraya meletakkan jahitannya.
"Kalau ibu sakit, Enah tidak mau ke sekolah. Enah hendak
menjaga ibu." "Tidak, Nak, ibu tidak sakit," kata Zubaidah seraya memeluk
dan mencium anaknya yang berperasaan halus itu dengan
kasih-mesra bercampur pilu, sehi ngga air matanya meleleh ke
pipinya. "Saya juga, Ibu. Saya tak boleh ke sekolah lagi," kata Saleh
dengan agak keras, sambil datang dari belakang.
Ibunya terkejut; mukanya yang pucat itu bertambah pucat,
jadi pasi. Sambil melepaskan Aminah dari pangkuannya
dengan perlahan-lahan, ia pun duduk lurus-lurus. "Apa
sebabnya"" tanyanya dengan heran.
Saleh duduk dekat adiknya, lalu berkata dengan terus-terang, "Meneeri) marah-marah saja. Uang sekolah kami
selalu lambat dibayar, katany a. Sampai sekarang sudah dua
bulan belum dibayar. Kalau tidak dibawa besok, kami tak
boleh datang ke sekolah lagi."
Zubaidah mengeluh, tak dapat mengeluarkan perkataan.
"Mengapa selalu terlambat, Ib u" Malu kami kepada teman-teman, dimarahi Meneer senantiasa. Katanya, "ayahmu
priyayi, terima gaji tanggal satu, tetapi uang sekolah selalu
terlambat. Mengapa begitu, ibu""
1) tuan (guru). Apa akan jawab Zubaidah" Akan dikatakannyakah kepada
anaknya yang masih kecil-kecil itu, perihal kesempitan
hidupnya" Bahwa gaji ayahnya tiada sampai-menyampai buat
kehidupan sehari-hari, karena pasak besar dari tiang" Tidak!
Pada pikiran Zubaidah: anak-anak belum boleh mengetahui
perkara itu. Dengan air muka ya ng dijernihkan ia pun berkata
kepada mereka, "Tidak, besok mesti engkau ke sekolah juga."
"Uang sekolah""
"Ada, lupa ibu memberikan ke padamu kemarin." Zubaidah
berdusta. Sesungguhnya ia ti ada beruang sesen jua. Akan
tetapi, ketika didengarnya ancaman guru kepada kedua anak
buah hatinya itu, sampailah tangannya ke telinganya, "Apa
guna barang," katanya dalam hatinya, seraya meraba-raba
anting-antingnya, "kalau an ak tiada dapat bersekolah"
Meskipun gelang belum ditebus, apa boleh buat, anting-anting
ini mesti masuk pula ...."
Bukan main besar hati kedua anak itu! Saleh dan Aminah
melonjak-lonjak kegirangan, ka rena ia takkan diusir dari
sekolah. Tengah ia bercak ap-cakap dengan ibunya,
sekonyong-konyong kedengaranlah seru "pos" di luar.
Hening! Ketiganya berdiam diri sejurus. Hampir sebentar itu
juga Saleh berpaling ke pintu, akan membukakan dia sekali. Di
beranda ia berdiri di hadapan seorang tukang pos, yang
memberikan sehelai wesel pos kepadanya. Dengan tenang
surat kecil itu dibacanya: angk anya, alamatnya dan tulisan di
pinggirnya. Ia berlari-lari masu k ke dalam dan berkata kepada
ibunya, "Uang dari nenek,B u, pembayar uang sekolah Aleh
dan Enah! Begitu kata nenek. Lihat, Ibu, ada tertulis di
sudutnya." Sambil berkata demikian, wesel itu pun
diunjukkannya kepada ibunya, yang berganti-ganti pucat dan
merah warna mukanya. "Sekarang Aleh tahu, apa sebabnya uang sekolah kami
selalu terlambat. Menantikan uang dari nenek dahulu!"
"Jadi bukan ayah yang mena nggung uang sekolah kami,
Ibu"" tanya Aminah pula dengan lancang.
"Pantas ayah kurang peduli pada kami," kata Saleh pula,
"bukan dia yang menyekolahkan kami."
"Ssst," kata Zubaidah serta memandang tenang-tenang
kepada Saleh dengan pilu hatinya "Siapa pula lagi yang
mengasuh dan mendidik engkau , jika bukan ayahmu, bukan
orang tuamu" Ayah, nenekmu, hanya membantu sekali-sekali.
Ketika kami dalam tersesak benar."
"Apa itu"" kedengaran suara dengan tiba-tiba. Ketiga-tiganya mengangkatkan kepalanya, menoleh arah ke pintu.
Maka pandangnya pun bertemu dengan pandang Suria, yang
masuk dengan diam-diam. "Apa itu, wesel""
Suria duduk ke atas kursi, yang terletak tiada jauh dari
tempat duduk istrinya. Ia memandang kepada Saleh dan
Aminah tenang-tenang. Rupanya ke dua anak itu tahu akan
arti pandang itu. Setelah menoleh sebentar kepada ibunya,
mereka itu pun berjalan ke belakang dengan perlahan-lahan.
"Wesel dari ayah"" kata Suria, ketika kedua anak itu tiada
kelihatan lagi. "Mengapa kauperlihatkan kepada anak-anak""
"Tidak saya perlihatkan. Dia sendiri yang menerima dari
tangan tukang pos," jawab Zubaidah dengan terus-terang.
"Apa kata ayah""
"Uang ini pembayar uang sekolah anak-anak."
"Begitu katanya"" kata Suria dengan agak keras. "Dan tentu
surat itu sudah dibaca oleh Saleh. Ah, engkau tak ingat sedikit
juga. Oleh karena itu niscaya bertambah jarak dia daripada
ayahnya Sesak napas Zubaidah mendengar perkataan itu. Dengan
tiada diketahuinya keluarlah pe rkataan yang kasar itu dari
mulutnya, "Bukan karena itu anak-anak jarak dari awak.
Melainkan Akang sendirilah yang menjauhi anak-anak, tak
memperdulikan mereka itu. Tak pernah Akang bermanis muka
kepadanya." "Hem, perempuan! Betul lain sekali didikan perempuan dari
didikan laki-laki kepada anaknya! Aku tak pernah mengajar
anak-anak manja. Tetapi sudahlah. Berapa ayah berkirim""
"Dua bulan uang sekolah anak-anak."
"Tak ada lebihnya" Heran! Dengan apa rekening tukang
jahit akan kubayar" Dinantikannya aku di tengah jalan tadi,
hampir aku tendang perutnya Memberi malu. Ya, bawa kemari
wesel itu, pembayar utang itu. Uang sekolah nanti saja
dibayar." Sesabar-sabar Zubaidah, setulus-tulus hatinya kepada
suaminya selama ini, tetapi permintaan Suria sekali itu tak
dapat diluluskannya. Sukatan penuh sudah! Dengan sedih
bercampur marah diten-tangnyalah muka suaminya. Dan
dengan sindiran tajam-tajam di-bangkit-bangkitnyalah dan
diumpat-umpatnyalah kelakuan Suria, yang tak mengindahkan
kepentingan anaknya. Bahkan tidak mempedulikan segala-galanya .... Tidak, biarpun dipenggal batang lehernya, namun
uang itu takkan diberikannya buat keperluan lain-lain. Pada
pikirannya, tak berguna ia hidup di dalam dunia lagi kalau
didikan anaknya takkan dapat diteruskannya, akan
dibiarkannya saja terganggu de ngan cara yang dikehendaki
Suria itu. Scanned book (sbook) dan Pembuatan Ebook ini
hanya untuk pelestarian buku dari kemusnahan.
DILARANG MENGKOMERSILKAN dalam bentuk apapun
apalagi dijual dalam bentuk CD/DVD
atau hidup anda mengalami ketidakbahagiaan dan
ketidakberuntungan Perselisihan timbul pula! Sekali itu lebih hebat daripada
yang sudah-sudah! Selama ini Zu baidah boleh dikatakan selalu
mengalah saja, supaya jangan terdengar pertengkaran kepada
orang lain. Akan tetapi sekali itu dinampakkannya benar
giginya, dinyatakannya, bahwa ia sekali-kali bukan budak
belian .... Sekalian perkara yang lama-lama dibongkarnya,
segala yang membuku-buku dalam dadanya itu
dikeluarkannya, sebab tak tertahan-tahan lagi. Kalau Suria
tiada lekas berjalan meningga lkan rumah, entah bagaimana
jadinya pertalian mereka itu.
Bisik desus orang sebelah-menyebelah sudah mulai
kedengaran. "Bertaras ke luar rupanya!" kata seorang dengan cemooh.
"Kalau pipit hendak jadi enggang, begitulah jadinya," kata
yang lain. IX. Di Rumah Bola Kota Sumedang yang biasanya sederhana dan sedang
ramainya, sudah bertambah ramai dan permai lagi. Rumah
menak-menak, rumah priyayi dan orang berada kelihatan
berseri-seri bersemarak. Gela k orang di situ kedengaran
berderai-derai, senda-gurau amat riuh bunyinya, sebab hampir
tiap-tiap rumah itu telah bertambah isinya dari sehari-hari:
anak-anak orang yang bersekolah di tempat lain-lain seperti
Bandung dan Jakarta sudah pulang pula. Pertengahan Mei,
anak-anak sekolah Mulo, HBS , dan sekolah menengah lain-lain sudah mulai pakansi, mereka itu sudah ada di rumah
orang tuanya masing-masing. Bersama-sama dengan mereka
itu ada pula sahabat-kenalannya, yang datang ke kota itu.
Rupanya mereka itu lebih memerlukan pakansi ke Sumedang
dari pada pulang ke kampun gnya, sengaja hendak melihat-lihat tamasya di situ. Memang di daerah Sumedang banyak
pemandangan yang indah-indah, tiada kurang daripada di
daerah tanah Priangan yang termasyhur permai sekalipun.
Barangsiapa pergi ke Sumedang dengan maksud sengaja
hendak melihat-lihat tamasya, ni scaya takkan senang hatinya,
jika ia tidak sampai ke kota lama yang didirikan oleh Pangeran
Gesanulun di atas sebuah bukit dalam permulaan abad yang
keenam belas, Dayeuhluhur namanya. Dari situ jelas
pemandangan ke segenap data ran rendah sekelilingnya,
terutama arah ke sebelah timur: Kadipaten, Cirebon dan
Inderamayu. Kalau hari cerah, kalau sinar terang-benderang,
sawah yang luas-luas di daerah itu bukan kepalang indah-permai rupanya. Hubaya-hubaya pagi-pagi, ketika matahari
mulai naik seakan-akan ia tersembul dari dalam laut yang
cemerlang dan puspawarna, wah, tak dapat diperikan
bagaimana perasaan dewasa itu.
Sungguh daerah Cirebon terang nyata benar kelihatan dari
Dayeuhluhur itu. Patut benar kota itu didirikan ,oleh Pangeran
Gesanulun, yang berperang-perangan dengan kerajaan
Cirebon di situ, supaya dapat mengintai-intai musuh yang
hendak datang menyerang ke Sumedang. Dan patut benar
pula kota itu dijadikan benteng, sebab tak mudah dapat
dihampiri musuh. Dari sana kelihatan pula pu ncak Gunung Karomong, yang
tak ubah sebagai mongmong berderet rupanya di sebelah
selatan tampak Gunung Ceremai, sebagai seorang ibu yang
asyik melihat dan mendengark an anak-cucunya membunyikan
mongmong itu. Dekat Palimanan terdiri gunung batu yang runcing. Asepan,
yaitu paku Pulau Jawa .... Kata orang Sunda, ketika Pulau
Jawa masih jungkang-jungkit, belum tetap lagi letaknya,
diberatilah dengan Gunung Ta mpomas. Akan tetapi tidak
setimbang, berat ke sebelah Gu nung Cermai itu. Oleh sebab
itu lalu dikudung puncaknya, akan dipindahkan ke Gunung
Tampomas. Kudungan itu-pun dipikul orang bersama-sama


Katak Hendak Menjadi Lembu Karya N. St. Iskandar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

malam hari. Akan tetapi karena mereka itu tiada semupakat,
rusuh, di tengah jalan tali pengikat beban yang amat berat itu
pun putus. Beban itu jatuh ke tanah, tak dapat diangkat lagi,
istimewa pula karena hari telah siang ... dan tinggal di situ,
yakni dekat Palimanan sampai sekarang ini.
Dekat Cimalaka ada tempat mandi yang kenamaan, yaitu
Cipanteneun: permandian itu pun senantiasa dikunjungi orang
dari mana-mana. Dan dekat Rancapurut ada Gunung Pangadegan; dari
puncaknya kelihatan kota Sumedang sebagai di bawah kaki.
Bukan buatan permai rupanya. Lain daripada itu tampak pula
Gunung Palasari, tempat benteng kompeni. Kalau dilayangkan
mata arah ke sebelah utara, kelihatan Gunung Kecapi:
rupanya seperti harimau yang hendak menerkam, duduk
merenung sambil memalingkan muka arah ke Gunung
Tampomas, yaitu kurungan besar yang dijaganya ....
Memang banyak pemandangan yang indah-indah di daerah
Sumedang itu. Amat banyak yang menarik hati di sana, lebih-lebih bagi anak muda-muda ya ng riang, sebagai anak-anak
sekolah yang dalam pakansi besar itu. Ada sebuah dua
gunung itu yang didakinya. Kemauan muda remaja .... Dan
petang-petang hari pun mereka berjalan-jalan dari suatu
lorong kepada suatu lorong, ba hkan kadang-kadang sampai ke
desa-desa yang agak jauh. Semuanya berpakaian bersih,
pantas dan bagus. Masing-masing dengan ragamnya dan
kesukaannya. Kebanyakan mereka itu ber-pantolan yang besar
atau lebar kakinya, dalam, sampai menelan tumit sepatunya,
tiada berbaju, hanya berkemej a dengan tiada berdasi dan
tiada pula terkancing buah lehernya. Ada pula yang tiada
bertopi, melainkan bersisir sa ja rambutnya licin-licin ke
belakang. Lengan kemeja yang tergulung hingga siku
menampakkan sintar dan teguh tangannya dan arloji yang
lekat rapat di per-gelangan kiri nya. Ada pula yang berpantalon
dan berbaju jas buka dengan patutnya; berdasi panjang dan
berkopiah beledu tinggi, yang agak terbenam lekat di
kepalanya. Senang hati melihat mereka itu berjalan
sebondong-sebondong empat lim a, sambil bercakap-cakap
dengan girang. Mereka itu sudah bertahun-tahun dididik dalam sekolah,
sudah berilmu pengetahuan barang kadarnya. Mereka itulah
tempat per-gantungan orang tuanya dalam masa yang akan
datang, menurut filsafat Suria" dan mereka itulah pula
yang akan meninggikan darajat kemajuan negeri dan
bangsanya. Bukantah kemajuan sesuatu negeri berhubung
rapat dengan kecerdasa n anak-anak mudanya"
Tentu saja dalam istilah "anak-anak muda" itu termasuk jua
beberapa orang "pemudi" yang berpendiri
an sudah agak bebas, ya, lebih bebas daripada "perawan", yang biasa disebut
"gadis kampung" tak berpelajaran. Mereka itu berjalan
bersama-sama dengan pemuda-pemuda, berbondong-bondong dan kadang-kadang berpasang-pasangan, sambil
bersenda-gurau dengan mesra. Mungkin golongan lain akan
mengatakan mereka itu seperti burung dua sejoli, akan tetapi
pada perasaan mereka itu sendiri hanya seperti sepasang
"sahabat karib" saja.
Pada suatu hari, ketika hawa panas berangsur-angsur
menjadi dingin, sebab sang surya telah hampir masuk ke
peraduannya, kelihatan orang ramai di rumah bola priyayi. Di
ruang tengah orang sedang asyi k main bola, dan di langkan
asyik bercakap-cakap. Di bagian lain ada pula yang membaca
surat kabar dan majalah. Di antara yang duduk bertukar-tukar
pikiran di beranda muka itu ad alah seorang jaksa pensiun.
Umurnya sudah hampir lima puluh tahun, sudah tua, tetapi
badannya masih tegap, dan sehat, pakaiannya rapih dan
tampan sejak dari kepala sampai ke kakinya tak ada cacatnya.
Matanya masih bersinar; kulit mukanya masih licin
nampaknya, barangkali karena ia tiada gemuk dan tiada kurus.
Pendeknya, sesuatu yang kelihatan pada batang tubuh orang
pensiun itu menyatakan kecukupan dan kesempurnaan
hidupnya. Tiba-tiba ia menunjuk ke jalan raya, arah kepada
tiga orang anak yang melintas di hadapan rumah bola itu.
"Eh, anak siapa itu"" katany a dengan gembira, "manis
benar!" Komis dan guru, yang sama-sama duduk dengan dia,
menurutkan tunjuknya dengan matanya masing-masing.
Kebetulan ketiga anak yang menarik pemandangan itu,
sambil berjalan, melihat-lihat juga ke rumah bola itu. Seorang
yang besar, bercelana dan berbaju gabardin keabu-abuan,
berdasi pendek dan berbendok batik halus yang beragi-agi.
Tubuhnya lampai, bentuk mukanya lemah-lembut. Kedua anak
yang berjalan kiri-kanannya be rpakaian cara anak Eropah.
Yang laki-laki berkemeja dan bercelana pendek; yang
perempuan bergaun dan ujung rambutnya yang terjalin baik-baik diikat dengan pita mera h. Manis dan cantik parasnya.
"Ini rumah bola priyayi, Akang," kata yang menengah
kepada kakaknya dengan bahasa Belanda, "Bapak kerapkali
datang ke mari." "Sekarang tentu Bapak ada di dalam," kata yang kecil.
"Enah berani melihat Bapak ke dalam"" kata yang menengah
pula. Anak yang bernama Enah itu menggelengkan kepalanya.
"He, penakut," kata Saleh dengan tertawa.
"Ssst," kata yang sulung samb il membimbing tangan kedua
adiknya. "Jangan ribut, mari ki ta terus ke pasar." Dalam pada
itu, meskipun ia tiada kenal kepada orang yang duduk di
beranda rumah bola itu, tetapi sebab mereka itu selalu
mengawasi dia, ia pun menganggukkan kepalanya dengan
hormatnya. "Manis, tahu adat betul," kata jaksa pensiun, setelah ketiga
anak itu sudah agak jauh, seraya berpaling kepada komis.
"Sungguh betertib! Anak siapa itu,.Tuan""
"Jaksa tak kenal akan anak-a nak itu"" ujar A. Jansen.
Jaksa pensiun menggelengkan kepalanya.
"Barangkali kepada yang besar tak kenal, tetapi kedua anak
kecil itu tak mungkin asing bagi Mamang," kata guru Wijaya.
"CobaMamang ingat benar-benar."
"Entahlah, lama lupa, banyak ragu. Dan orang tua seperti
saya ini sudah pelupa benar. Coba katakan, anak priyayi mana
itu" Anak juragan patih agaknya""
Guru Wijaya memandang ke ru ang tengah, ke tempat orang
main bola. Kebetulan ketika itu kedengaran suara tertawa riuh
seperti batu runtuh, "Ha, karombol .... Cepat benar kena bola
kedua-duanya, Juragan Suria." Dan guru itu pun berkata
kepada jaksa pensiun, "Anak dia itu!"
"Dia siapa""
"Yang main bola itu, dan manteri kabupaten."
"Betul"*Masya Allah, emang lupa. Itu anak-anak den
Manteri Suria! Tetapi yang besar itu""
"Anaknya juga, yang tua sekali. Itu patut Mamang tak
kenal, sebab ia datang kemari cuma dalam waktu pakansi
saja." "Di mana ia bersekolah""
"Di Bandung, di sekolah menak. Sekarang kabarnya, sudah
tamat." "Oh, tak sia-sia den Manteri Suria beranak."
Menyebut nama Suria itu dikeraskannya. Manteri
kabupaten, yang tengah asyik mengentak bola, tiba-tiba tegak
lurus-lurus dan memandang ke langkan. Ketika tampak
olehnya ketiga orang yang bercakap-cakap itu, ia pun
ters enyum. "Maaf," katanya, seraya mendekati mereka itu dengan
membungkukkan badan, terutama kepada jaksa pensiun,
"saya dengar nama saya disebut-sebut tadi. Dipanggil ...."
Tentang perkara apa, Mamang""
"Tidak, tidak dipanggil. Tapi sungguh, senang hati emang
mendengar kabar ini, Alo," kata jaksa dengan gembira.
"Selamat." Warna muka Suria berubah, pucat, tetapi seketika itu juga
merah pula. Ia menatap muka komis Jansen. Pada pikirannya,
ucapan selamat itu tak dapat tiada tersebab daripada sesuatu
perkataan yang keluar dari mulut A. Jansen itu. Ia hendak
bertanya, benarkah seperti perasaan yang timbul di dalam
hatinya" Akan tetapi pertanyaan itu tiada tergerakkan oleh
lidahnya, yang kaku rasanya. Hanya, akan ganti kata-kata, ia
memandang tenang-tenang kepada komis itu. Rupanya A.
Jansen mengerti akan maksud pandang itu. Akan
dikatakannyakah peristiwa yang se'benarnya" Sebagai seorang
yang berbudi halus, ia tak suka mengecilkan hati orang
dengan berterang-terang, tak sampai hati menghilangkan
sukacita orang. Maka ia pun berp aling kepada jaksa, meminta,
supaya ia meneruskan perkataannya.
"Selamat, Alo Manteri," ujar jaksa sekali lagi. "Tidak emang
sangka-sangka akan secepat itu! Betul Alo sudah kerapkali
menyebut-nyebut perkara itu, tapi emang pikir, belum
sekarang lagi." "Apa" Sudah keluar, Tuan Komis" Benar ....""
"Ya, hem." Perasaan kasihan terbayang"pada cahaya
matanya. "Tanyakan saja kepada tuan jaksa," katanya dengan
perlahan-lahan. Suria memandang pula kepada orang tua itu dengan agak
bimbang. "Sungguh beruntung Alo Manter i," ujar jaksa itu pula
dengan tak tahu apa yang sebenarnya terkandung di dalam
hati komis dan manteri kabupaten itu. "Sebentar lagi tentu ia
akan jadi amtenar." "Ia" Siapa"" tanya Suria dengan terperanjat, pucat pula
warna mukanya. "Siapa lagi ....Anak Alo suda h tammat sekolahnya, bukan""
"O," kata Suria sambil menarik napas panjang. Pada
geraknya menundukkan kepala nyata kelihatan kecewa
hatinya dan malunya. Akan tetapi kecewa dan malu itu lekas
pula hilang, karena yang diperbincangkan itu bukantah
anaknya yang selalu dibangga -banggakannya" "Ya, terima
kasih," katanya dengan tersenyum manis. "Betul Abdulhalim
sudah maju ujian penghabisan nomor satu .... Tapi mengapa
percakapan sampai ke sana""
"Ia lalu di sini tadi, dengan kedua adiknya. Masak ajaran
betul, sangat hormat dan halus budi bahasanya."
"Air cucuran atap ke mana pu la akan jatuhnya," kata Guru
Wijaya dengan senyum yang banyak artinya.
Mengipas-ngipas cuping hidung Suria mendengar pujian itu.
Istimewa pula ketika mereka itu sama-sama mengulurkan
tangan akan memberi selamat kepadanya, bukan buatan besar
hatinya. Lupa ia akan permainan bola yang ditinggalkannya
tengah terbengkalai, sehingga ia duduk menyertai percakapan
mereka itu. "Sukar didapat, mahal dicari seorang amtenar yang akan
cakap menyamai Alo Manteri," kata jaksa pula "Biasanya yang
sanggup memasukkan anak ke sekolah menak maaf
hanyalah priyayi besar-besar saja."
"Sungguh," kata Guru Wijaya pula dengan gaya sanjung
berlebih-lebihan, "banyak priyay i yang bergaji besar, tetapi
mereka itu tidak seperti juragan manteri Suria: sanggup
menyekolahkan sekalian anaknya ke sekolah yang berarti.
Dalam pada itu hidupnya pun se nang juga, bahkan masih ...
mewah! Sekalian orang dalam masa ini mengeluh karena
penghidupan tak berkecukupan, tapi juragan manteri Suria
selalu dalam suasana riang gemb ira! Bintangnya terang ....
"Anak tammat sekolah, sebentar lagi akan jadi amtenar
dengan gaji besar: Apa lagi yang disusahkan""
"Pendeknya, anak juragan Suria begini," kata komis seraya
menegakkan ibu jarinya. "Jempol, tak ada bandingnya."
"Padi masak, jagung mengurai pula," kata Guru Wijaya
dengan senyumnya "Anak jadi amtenar, bapak diangkat jadi
klerk." Sebagai di atas kayangan Suria rasanya. "Benarkah"
katanya di dalam hatinya. Darahnya berdebar-debar pula.
Salahkah persangkaannya" Tetapi mengapa komis
bersembunyi-sembunyi" Niscaya ia sudah tahu .... Dia bekerja
di kantor asisten-residen; surat-surat dinas dari residen dia
yang menerima ... dan kadang -kadang disuruh membuka da
n membalas juga. Sudah datangkah beslknya""
Ia pun memandang tenang-tenang kepada komis itu,
seakan-akan hendak bertanya. Akan tetapi A. Jansen berdiam
diri saja, sepatah kata pun tida k disebutnya perkara itu. Ia
berikhtiar hendak mencari jala n mengalih haluan percakapan.
Kebetulan ketiga anak tadi lalu pula di hadapan rumah bola.
Mereka itu pun dipanggil oleh ayahnya, diperkenalkannya
dengan tuan-tuan yang duduk itu. Lama mereka
bercengkerama d/r.gan Abdulhalim, kandidat amtenar, yang
lemah-lembut tutur-katanya, sedang kedua adiknya bermain-main di halaman.
Dengan demikian pertanyaan Suria kepada A. Jansen itu
sudah hilang di tengah saja. Pukul tujuh malam sudah
berbunyi, mereka itu pun bersiap hendak pulang ke rumahnya
masing-masing. Suria naik kendaraan dengan ketiga anaknya,
lalu berangkat dengan rasa hati kurang tenang.
Ketika kendaraan itu tiada kelihatan lagi, komis berbisik
kepada guru Wijaya, katanya, "Mengapa Tuan katakan dia jadi
klerk" Boleh jadi semalam-malaman ini dia tidak tidur."
"Bukantah ia sudah memasukkan rekes""
"Banyak orang lain yang me lamar pekerjaan itu. Di
antaranya ada yang lebih cakap untuk jabatan itu. Magang di
kantornya itu umpamanya, Raden Kosim, ia berijazah
Mulo." "O, tapi pengharapan manteri Suria besar sekali akan
menjabat pangkat itu. Katanya, juragan patih, tuan asisten-residen yang baru pindah, menolong dia ...."
"Boleh jadi! Akan tetapi diploma Mulo, kecakapan dan ...
anak angkat patih, jangan dilupa kan! Akan tetapi tak usah kita
panjangkan bicara tentang hal itu. Kita lihat saja kelak. Yang
telah nyata sekarang: karena perkataan Tuan tadi, niscaya
manteri Suria tiada dapat memejamkan matanya semalam-malaman ini."
"Ha, ha, ha!" "Ya," kata jaksa pensiun, "tiap-tiap orang mempunyai cara
sendiri dalam menerima atau menyaring kabar-berita yang
bersangkut dengan dirinya."
"Benar," ujar Guru Wijaya dengan senyumnya, "Tapi bagi
Juragan Suria: saringan berita itu selalu ... mana-mana yang
menggembirakan, bahkan yang membanggakan dirinya saja."
"Ha, ha, ha ...."
X. Lenyap Pengharapan Sebuah


Katak Hendak Menjadi Lembu Karya N. St. Iskandar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Berseri-seri wajah Zubaidah, bersinar-sinar matanya melihat
ketiga anaknya keluar dari dalam kendaraan bersama-sama
dengan ayahnya. Bukan perkara "naik deleman" itu yang
membesarkan hatinya, melainkan hal Suria sudah membawa
mereka itu berjalan-jalan. Suatu hal, yang jarang berlaku
selama ini. Dengan gelak- senyum anak-anak itu pun
disongsongnya ke halaman. Sambil membimbing anak yang
bungsu ke serambi muka ia pun berkata dengan manis.
"Enak pesiar dengan ayah, Enah" Ke mana" Mengapa ibu
tidak diajak bersama-sama""
Suria pun amat riang pula rupanya. Dengan Abdulhalim tak
ubah sebagai bersahabat, bercengkerama dengan ramah-tamah. Sampai-sampai kepada waktu makan malam kelima
beranak itu bersenang-senang di ruang tengah, bercakap-cakap dan berkelakar, sedang gramopon terus membunyikan
lagu beriang-riang. Saleh dan Aminah terbuka benar hatinya;
mereka itu meloncat-loncat dan menari-nari menurutkan lagu-lagu itu. Makin lama makin asyik, tertawa berderai-derai,
sebab selalu digembirakan oleh kakaknya ... dengan siul dan
kadang-kadang dengan nyanyi juga seperti dilagukan "peti
nyanyi itu. Apalagi karena ibu-bapaknya tiada melarang-larang, malah campur pula bertepuk-tepuk tangan.
Riuh-rendah bunyinya, siapa yang akan ingat kepada
kesusahan dalam saat semacam itu"
Hanya kalau senda-gurau telah habis, barulah pikiran
menjalar pula kian-kemari. Ketika Saleh dan Aminah sudah
pergi ke tempat tidur masing-masing, sedang Zubaidah
berunding dengan Abdulhalim sebagai takkan berkesudahan,
Suria pun masuk ke dalam biliknya. Berkurung ....
Tiada salah persangkaan komis. Setelah Suria tinggal
seorang diri saja, memang ia sangat gelisah. Duduk resah
tegak pun tak senang. Hatinya harap-harap cemas. Akan
tetapi banyak harap daripada cemas. Serasa betul-betul sudah
berlaku kehendaknya, makbul pe rmintaannya. Hanya seketika-seketika terbit waswas, timbul kuatir di dalam hatinya, yaitu
kalau teringat olehnya bagaimana muka Zubaidah dan
Abdulhalim rnuidengar. kabar itu dari mulutnya. Seakan-akan
mereka itu ragu -bimbang .... Tak ada sedikit jua tampak
sukacita mereka itu, ketika ia mengabarkan cara-cara
percakapan di rumah bola maka sampai tersinggung perkara
angkatan itu. 4 Keduanya berpandang-pandangan, tersenyum
berdiam diri, dan tiba-tiba mereka itu pun mengalih
perundingan kepada perkara lain. Tiada namakah
pengharapan mereka itu dengan pengharapannya" Betul
derajat agak turun setingkat kalau ia jadi klerk, tetapi kalau
gajinya bertambah, bukantah mereka itu jua yang akan
beruntung" Tak percaya" Sakit, pedih hatinya mengenangkan
istrinya dan anaknya sendiri ti dak percaya akan dia dalam hal
itu. Jika hari tidak sudah jauh malam, kalau ia tiada berasa
segan dan malu akan bertandang selarut itu, mau ia sebentar
itu juga pergi menjelasi perkara itu ke rumah komis itu.
Bahkan, sudah beberapa kali dianjur-anjurnya membuka
pintu dan hendak turun ke bawa h. Akan tetapi tiap-tiap ia
memegang putaran kunci pintu itu, tertahanlah kehendaknya.
Dan akhirnya, "Tidak," katanya, "takkan lari gunung dikejar.
Besok saja aku telepon dia dari kantor. Atau siapa tahu,
barangkali salinan beslit itu sudah ada di kantorku""
Memang sesuatu yang belum berketentuan sangat
mengacau-balaukan pikiran. Dengan berhal sedemikian Suria
pergi ke tempat tidur. Jadi tak heran, jika tiap-tiap ia terlena,
mimpi yang bukan-bukan datang mengganggu dia dengan
ganas. Sebelum mengerjakan kerja lain-lain, pada keesokan
harinya pagi-pagi benar Suria sudah bekerja memeriksa surat-surat pos yang datang malam ke kantornya. Berlainan dengan
keadaan yang biasa hawa dingin dinihari, kicau murai yang
riuh tiada lagi menyebabkan dia memperselubung kain
selimutnya, melainkan membangkitkan dia agar bangun
dengan segera. Suminta tercengang melihat dia serajin itu benar pada hari
itu. Biasanya yang memilih-mili h surat pos setiap pagi ialah
pesuruh itu. Sekali itu apakah sebabnya manteri kabupaten
sendiri yang bersusah-payah semacam itu" Dan datangnya ke
kantor pun luar biasa pagi-pagi benar!
Akan tetapi keheranannya itu tiada dinampakkannya. Ia
menyapu-nyapu debu dari atas meja dan dari buku di atas
rak-rak dengan sapu bulu ayam.
Sejurus antaranya Suria mengampai ke sandaran kursinya
sambil memandangi asap rokoknya yang naik ke atas dengan
selesai. Surat-surat bertumpuk-tu mpuk di hadapannya, di atas
meja tulis. Rupanya tak ada yang diharap-harapkannya, tak
bersua yang dicarinya. Kemudian ia duduk pula lurus-lurus lalu
melihat arlojinya. Perkakas pendengar telepon dirabanya
dengan tangan kiri, dibawanya ke telinganya. "Halo! Sambung
dengan kantor tuan asisten-residen .... Dengan tuan Komis
...." Diam sebentar. "Dan ... ia tabik, selamat pagi, Tuan
Jansen. Ini saya, manteri kabupa ten ... yang kemarin, Tuan ...
ya, Tuan .... Dan ... terima kasih, Tuan ..." demikian ia
berunding lambat-lambat dengan komis itu beberapa lamanya.
Daripada lakunya meletakkan pe rkakas telepon itu kembali
pada tempatnya dan sesudah itu daripada air mukanya dapat
pula dikira-kirakan, bahwa jawab yang diterimanya sangat
mengecewakan hatinya. "Apa gerangan yang dirisaukan Juragan manteri"" tanya
Suminta di dalam hatinya, sambil mengangkat setumpuk
surat-surat dari meja manteri kabupaten itu ke meja patih dan
beberapa pucuk ke meja asisten-wedana tebe. "Sangat keruh
air mukanya." Seperempat jam kemudian kerja di kantor itu pun berlaku
seperti biasa pula. Beberapa pekan telah lalu pula . Dalam pada itu siapa yang
beruntung akan mendapat pangka t yang terluang di kantor
asisten-residen itu belum juga tentu lagi. Bagi orang di luar,
yang tiada bersangkut-paut dengan perkara itu, tak menjadi
sebut-sebutan lagi. Bahkan sudah hampir lupa. Akan tetapi
bagi orang yang menggantungkan nasib pada pangkat itu,
maka hal "bagai terapung tak hanyut dan terendam tak basah"
itu bertambah menyirapkan darahnya. Dalam hatinya semakin
kuat perlawanan antara hara p dengan cemas dan senang
dengan rusuh. Sudah kerapkali ia termenung-menung.
Sepenuh kota orang tahu sudah, bahwa Suria akan jadi klerk,
tetapi sampai pada ketika itu belum juga tentu hitam
putihnya! Malukah ia karena itu"
Di rumah penghibur-hiburkan hat
inya cuma burung saja rupanya. Zubaidah sudah dimabuk kira-kira seperti sedekala
pula, bahkan ia sudah bertambah pendiam dan pencemas.
Kerapkali ia terkejut-kejut, re sik sesuatu, disangkanya dan
dirasanya sebagai langkah orang menagih .... Abdulhalim,
yang menyenangkan hatinya dan mengembalikan seri
mukanya dalam beberapa hari selama pakansi dekatnya itu,
sudah berbalik ke Tasik kembal i. Dan bersama-sama dengan
anak itu telah mengirap pula kesenangan dan kesentosaan
dari tubuhnya, yang kurus langsir itu.
Kalau ia tiada insaf akan kewa jibannya sebagai istri orang,
sudah lama ia tiada di Sumedang lagi. Sudah dari dahulu Suria
ditinggalkannya, sebagai Suria meninggalkan dia dengan tak
semena-mena dahulu itu! Apa yang dipergantunginya pada
laki-laki yang tak tahu akan diri dan tak mengindahkan
kewajiban sebagai ketua keluarga itu" Bagai bergantung pada
dahan lapuk! Di Tasikmalaya, dengan orang tuanya, ia akan
senang. Setidak-tidaknya akan luput dan terpelihara daripada
siksa utang. Ketika Abdulhalim akan pulang, sewaktu-waktu
sudah bulat pikirannya hendak mengikut dengan dia. Tentu
saja Saleh dan Aminah dibawanya bersama-sama; ke mana
dia, ke situ anak-anaknya. Apa jua yang dibunyikan di rantau
orang" Menantikan ara hanyut" Tidak sebelum sampai
tenggelam, lebih baik ia pulang dengan segera. Bagi suaminya
tinggal seorang diri boleh jadi mendatangkan kebaikan,
menjadi keentengan. Ia tak perlu memelihara rumah-tangga
lagi! Atau boleh disampaikannya niat maksudnya: Kawin lagi
dengan gadis kaya! Dan bagi Zubaidah sendiri pun baik pula
demikian. Jika ia sudah ada di Tasik, ia boleh membela ibu-bapaknya. Mereka itu sudah tua keduanya. Kata Abdulhalim,
sudah kerapkali mereka bercintakan dia .... Kalau tidak
dewasa itu, bila lagi ia akan dapat membalas guna mereka itu"
Dengan uang sudah terang tak mungkin, hanya dengan jerih
agaknya. Sekurang-kurangnya sekedar menyedia-nyediakan
minum-makannya. Oleh sebab itu biar panjang, maupun
hendak pendek, ia tak tahan lagi tinggal di Sumedang
bersama-sama dengan Suria yang tinggi lawak-lawak dan gila
hormat itu. Memang, ia m^sti melepaskan diri dari kesengsaraan.
Kalau hendak selamat ....
Akan tetapi tiba-tiba ia tepekur. "Selamat, seorang diri,
sedang suamiku ...." Tidak, se bentar itu juga pikiran yang
demikian mendapat bantahan yang sekeras-kerasnya dari
pihak rasa kemanusiaannya. Se bagai seorang perempuan yang
budiman dengan segera ia tunduk kepada rasa kewajiban,
yang timbul di dalam kalbunya. Ia istri orang, ia terikat kepada
Suria dengan tali nikah. Selagi pertalian itu belum putus, harus
dimuliakannya. Kewajiban istri kepada suami wajib
dijalankannya dengan tulus dan ikhlas. Tersungkur sama-sama
termakan pasir, tertelentang sama-sama terminum air. Elok-buruk mesti ditanggungkan berdua, karena sudah begitu
barangkali suratan dari awalnya!
Tambahan pula sebuah daripada perkataan Abdulhalim
kepadanya ketika memperundingkan untung perasaian,
sangatlah termakan olehnya. Tersisip benar di hatinya, tak
dapat dilupa-lupakannya kata anak muda itu, "Ibu, walau
bagaimana jua pun perbuatan ayah, selama-lamanya ia akan
tinggal tetap jadi ayah kandung kami juga!' Malu Zubaidah
akan dirinya mendengar pengajaran yang sedalam itu
daripada anaknya. Sebab sepatutnya dialah yang harus
berkata sedemikian kepada anak itu!!
Jadi lain daripada budi kemanusiaannya, rasa kewajiban
sebagai istri, buah pikiran anak nya itu pun menyentuh dia pula
akan tetap berkhidmat kepada suaminya.
Akan pengobat-obat hatinya kerapkali ia duduk zikir setiap
habis sembahyang: minta dikasihani oleh Allah subhanahu
wataala, supaya tetap imannya.
Ketika Abdulhalim masih di Sumedang, ada ia berkata
kepada orang tuanya, bahwa ia barangkali akan lekas
mendapat pekerjaan. Besar harapannya akan ditempatkan
pada salah sebuah kantor kabupaten, sebab jaksa-kepala di
Tasikmalaya mau menolong dia. Lain daripada itu bupati
Bandung pun sudah berjanji pula akan meminta dia agar
bekerja di kabupatennya. Sungguh, lima belas hari sesudah ia tiba di rumah
neneknya, ia pun berkirim surat kepada ibu-bapaknya,
mengabarkan, bahwa ia telah menerima beslit jadi kandidat-amtenar di kantor kabupaten Bandung.
Betapa besar hati seisi rumah Zubaidah mendengar kabar
itu tak dapat diperikan. Bukan mereka itu saja, orang
setangga pun turut pula bersukacita. Beberapa orang laki-istri
sengaja datang memberi selamat ke rumah manteri kabupaten
itu. Tentu saja ketika itu puji-pujian kepada Suria, yang amat
pandai mendidik anak itu, tiada kelupaan dari "sahabat-kenalan."
"Kalau bertanam, lambat-laun beroleh hasil jua," kata
seseorang dengan senyumnya, sedang duduk di kursi beranda
muka menghadapi hidangan kue-kue di atas meja. "Sekarang
Juragan sudah mendapat buahnya."
"Berapa gaji permulaan seor ang kandidat-amtenar yang
berasal dari sekolah menak Juragan""
"Seratus tiga puluh rupiah," jawab Suria dengan sepatah-sepatah perkataan.
"Wah, bukan sedikit!" kata Manteri Guru Atmaja dengan
kagum. "Baru bekerja telah bergaji besar!"
"Tetapi bukan perkara gaji itu yang penting, melainkan
tentang tangga kenaikan ke pang kat B.B. Sekarang Abdulhalim
sudah ada pada tangga yang pertama. Nanti naik-naik lagi jadi
asisten-wedana. Eh, minum kopi,Tuan-tuan. Kalau telah dingin
tak enak lagi rasanya .... Dan, itu yang terutama sekali,
bukan"" "Benar," kata jamu lain, sambil membawa cangkir ke
bibirnya. "Bintang terang, bapak di B.B. anak di B.B. pula."
Bersinar-sinar mata Suria karena sukacita. Sambil
menyirihkan rokok cerutu kepada jamu-jamu itu, ia pun
berkata pula, "Tentang diri saya, saya tak banyak pikiran lagi.
Rasanya cukup sudah anak saya di golongan B.B. Itu
sebabnya maka saya hendak pi ndah ke bahagian lain, jadi
pegawai kantor saja." "Apa maksud Juragan""
"Klerk," kata jamu yang la in, "Bukantah Juragan Manteri
sudah hendak pindah kerja ke kantor asisten-residen""
"O, hampir saya lupa," ujar ma nteri guru pula. "Akan tetapi
dengan demikian Juragan tidak jatuh ke bawah, melainkan
melompat ke atas. Gaji klerk jauh lebih besar daripada gaji
manteri polisi. Di kantor tuan asisten-residen, kurangkah
kemuliaan di situ" Lebih dekat kepada kepala, lebih di ...
dihormati orang. Sudah tiba beslitnya""
"Belum, tapi..." kata Suria, seraya menjentik-jentik
cerutunya dengan jari telunjuk tentang tempat abu rokok,
"mungkin ...." "Tentu tak takkan lama lagi, mesti datang jua," kata
jamu yang lain pula. "Kalau sudah datang, patut benar
Juragan menyembelih kambing kebiri seekor."
"Tentu saja! Bukan lebih dari itu, ya Juragan"" kata guru
The Broker 7 Pendekar Rajawali Sakti 182 Dendam Sepasang Gembel Bidadari Untuk Ikhwan 3
^