Pencarian

Katak Hendak Jadi Lembu 3

Katak Hendak Menjadi Lembu Karya N. St. Iskandar Bagian 3


At-maja pula. "Ha, ha, ha!" i
Sampai semalam-malam hari banyak juga orang duduk
bercakap-cakap di rumah Zubaidah itu. Di ruang tengah dan di
langkan lampu terpasang dengan terang-benderang. Segala
sesuatu menyatakan kegirangan orang di situ.
Hanya jalan percakapan di ruang tengah tidak selancar dan
segembira di beranda muka, sebab Zubaidah selalu berusaha
mengelakkan puji-pujian yang berlebih-lebihan, bagaimana jua
pun dicoba oleh raden-raden ayu, terutama istri Guru Atmaja,
Chadijah, yang jadi tamunya jua. Bahkan ia lebih banyak
menampakkan kuatir daripada gembira ....
Pagi hari, waktu akan pergi kerja pun masih terbayang
sukacita pada gerak bibir dan mata manteri kabupaten. Telah
tampak-tampak olehnya, bahkan sudah terasa oleh hatinya
betapa pula macam puji-pujian yang akan dihujankan orang
kepadanya di kantor kelak. Tentu patih akan bersalam,
memberi selamat kepadanya!
Ketika ia sampai ke pintu pagar kantor, dilihatnya Suminta
tak ada menantikan dia sepe rti biasa. Tiada menyambut
kereta anginnya! Apa sebabnya! Ia melayangkan mata arah ke
pintu kantor. Orang ramai di da lam, bergalau saja rupanya.
Kedengaran gelak riuh-ren dah. Ada apa gerangan"
Dengan perlahan-lah an Suria berjalan di sisi kereta
anginnya, lalu masuk ke dalam pekarangan. Oleh karena resik
di pasir, sekalian orang menoleh ke luar. Demi tampak Suria
mereka itu pun tiba-tiba berdiam diri.
Hening! Apa sebabnya" Hati Suria jadi berdebar-debar. Ia
masuk ke dalam, memandang ke kiri dan ke kanan. Patih
kelihatan berdiri di ambang pintu dengan sebelah kaki, seraya
bersandar dengan bahu kiri pada sebuah tiang pintu itu. Suria
memberi salam kepadanya dengan takzim, hampir be
rlipat dua badannya. Raden Atmadi Nata tersenyum dan berkata akan
menghilangkan sunyi-senyap ya ng tak menyenangkan hati
manteri itu. "Ada di antara kita yang sudah beruntung."
"Siapa"" tanya Suria seraya memandangi teman
sejawatnya. "Den Kosim, ia sudah diangkat jadi klerk di kantor
asisten-residen." "Siir," bunyi darah Suria. Mukanya pun pucat, tetapi lekas
pula menjadi merah. Dengan tangan gemetar ia memberi
selamat kepada anak muda yang beruntung itu.
"Terima kasih banyak-banyak, Juragan," jawab Kosim
seraya menjawat salam Manter i Suria dengan hormatnya.
"Berkat asuhan Juragan jua maka saya mendapat anugerah
itu." "Dan bagi Manteri pun untung pula, tak jadi menyimpang
ke pekerjaan lain," kata patih ak an mengobat hati manteri itui
Ia tahu, bahwa Suria amat kecewa. "Tangga yang mesti Den
Suria lalui ialah tangga ke pangkat camat atau ajung-jaksa
atau jaksa. Klerk itu pangka t bagi orang-orang muda, ya,
sembarang orang saja boleh menjabat dia. Akan tetapi Den
Suria priyayi B.B. Tentu lebih baik kalau Den Suria hendak
pindah ke golongan lain, ke ba hagian justisi: jadi jaksa ...."
"Mudah-mudahan, Juragan," sahut Suria sambil menahan
hati dan memaniskan muka. "Dan memang perkataan Juragan
Patih itu sudah lebih dahulu saya pikirkan dalam-dalam. Bukan
tempat saya di sana jadi klerk ....! Dan dalam pada itu saya
sudah ada jua beroleh kurnia daripada Tuhan Maka
diceritakannyalah keangkatan anaknya dengan senyum
gembira. "Selamat, selamat," kata se kalian yang hadir dengan
sukacita, seraya bersalam pula dengan Suria. Lebih akrab
daripada semestinya, karena salam itu berarti juga akan
mengobat hatinya yang luka itu. Gelak dan kegirangan hati
pun dinyatakan benar-benar.
Sungguhpun demikian setelah duduk bekerja, terbayang
juga pada air muka, gerak dan laku Suria itu kesal dan sakit
hatinya, karena ia berasa telah dilangkahi oleh magangnya.
XI. Timbul Pengharapan Lain
Tak dapat dilengah dan dihila ngkan oleh Suria malu yang
tercoreng, di keningnya. Tiada terlihat lagi olehnya muka
orang. Jangankan kepada orang lain, kepada istrinya dan
anaknya, bahkan kepada dirinya sendiri pun ja berasa malu
akan halnya dibelakangkan daripada magang itu.
Sebab-alasan maka terjadi de mikian tiada dicarinya pada
dirinya sendiri, melainkan diberatkannya kepada kecurangan
orang, lain. Marah dan sakit hatinya bertaut kepada Raden
Atma di Nata, sebab pikirnya, kalau tidak karena pengaruh
patih itu takkan mungkin Kosim mendapat pekerjaan itu.
"Nyata tiada lurus hati patih terhadap kepadaku," katanya
pada suatu malam, sedang duduk bertopang dagu dalam
kamar tulis di rumahnya. "Mulut manis, tetapi, ya, tunjuk lurus
kelingking berkait. Jika aku tida k meminta nasihat lebih dahulu
kepadanya, sebelum melamar pangkat itu, sudah sepatutnya
ia memajukan orang lain. Aku takkan salah terima. Siapa pula
lagi yang akan ditolongnya, ji ka tidak anak emasnya" Akan
tetapi aku disuruhnya memasukkan rekes, diberinya advies
baik-baik. Dalam pada itu si Kosim di kemukakannya dengan
diam-diam! Ia menggelengkan kepalanya.
"Oleh karena dia tak berharga sesen jua pun lagi aku di
mata orang. Terlalu memang karena pertolongannya dan
pengaruhnya, maka Kosim diangkat jadi klerk itu! Kalau tidak ,
masa dia -anak yang masih mengentak-entak ubun-ubunnya
lebih diutamakan orang di atas daripada aku, yang sudah
bertahun-tahun dalam dinas gubernemen dengan setia"
Kepandaian" Apa benari kekuranganku daripadanya" Bahasa-Belanda, ya, tetapi tentang pekerjaan kantor sepuluh lawan
satu mau aku bertaruh dengan dia. Aku takkan kalah! Dengan
kelingking pun dapat kukerjakan pekerjaan klerk itu.
Suria termenung beberapa saat lamanya. "Malang nasibku."
pikirnya. "Wahai, bagaimana kesudahannya ....""
Benar jua pepatah orang: Tiap-tiap celaka ada gunanya.
Semenjak cita-citanya diputu skan orang lain itu, sudah
kerapkali Suria teringat akan nasibnya yang buruk itu! Dan
sudah acap pula, terasa olehnya kesusahan hidup, yang
ditanggungkan istrinya selama ini.
Oleh karena Zubaidah tiada tahan lagi diganggu-ganggu
penagih utang, ia pun sudah berl epas diri. Segala rekening
ditolaknya ke pada suaminya. Bagaimana jua pun Suria
mengelak-elak, ke mana jua pun ia mengendap-endap, dicari
dan diturutkan juga oleh orang yang bersangkutan dengan
dia. Malah ke kantor pun orang sudah berani datang menagih.
Buruk muka tak dapat ditutup-tutup, kemiskinan tak dapat
disembunyikan lagi. Maka diambilnya sehelai kertas, dipegangnya sebatang
pensil, lalu dituliskannya tiap-tiap macam utangnya.
Dikumpulkannya .... Ia terkejut, karena jumlahnya jauh lebih
besar daripada yang disangkanya. Dengan hati berdebar-
debar diulangnya mengumpul sekali lagi. Sesen pun tiada
berselisih. Lebih daripada enam kali gajinya sebulan! Pensil
terlepas dari tangannya. Ia terkampai pada sandaran kursinya,
sedang kedua tangannya tergantung ke bawah.
"Heran," katanya sambil menarik napas lambat-lambat,
"mengapa sampai sebanyak itu" Rupanya Zubaidah tak boleh
dipercaya .... Aku menyerah sa ja kepadanya. Sekalian uang
terpegang di tangannya, tetapi rupanya tidak dibayarkannya
kepada utangnya!" Dengan renyuk ia bangkit berdiri, hendak memanggil
istrinya. Segala kesalahan hend ak ditumpahkannya ke atas
kepala perempuan, yang "tak pandai memelihara rumah
tangga" itu. Akan tetapi entah apa sebabnya, ia duduk terperanyak
kembali. Letih tulangnya, hilang tenaganya. Jumlah utang itu
direnunginya dan dimulainya me nghitung dari bawah ke atas.
Tetapi tiada jua berubah pendapatannya. Ia bertambah kuatir,
sebab makin diperiksanya makin nyata kepadanya, bahwa
kebanyakan daripada utang itu tak dapat dilalai-lalaikan lagi.
Sebuah yang sangat mengacau pikirannya: utang lelang!
Utang itu besar, dan sudah-sampai tempohnya, mesti dibayar
lunas dengan segera. Tak boleh dijanjikan!
Akan tetapi dengan apa akan dibayarnya" Kiriman dari
Tasik tak dapat lagi diharapkannya, sebab mentuanya sudah
banyak mengeluarkan uang untuk Abdulhalim, yang baru
berumah tangga di kota Bandung yang ramai itu. Jadi dalam
beberapa bulan itu takkan dapat ia menolong! Demikian
katanya dalam suratnya yang akhir sekali.
Akan menggadai, apa jua ya ng akan digadaikan" Gadai
yang ada saja pun hampir, eh, entah lalu sudah" Akan mau
jugakah Zubaidah menambah gadai itu" Dan kalau istrinya
sudah bulus, tiada beperhiasan sedikit juga lagi, apa saja kata
orang kelak" Takkan terbukakah rahasianya"
Ia berpikir dengan gelisah. Tiba-tiba bersinar matanya, lalu
ia bangkit dan berdiri sekali.
"Apa boleh buat," katanya, "daripada dapat malu besar,
lebih baik aku menghamparkan sayap kepada seorang
sahabatku. Tentu ia takkan sampai hati menolak permintaanku
sekali ini." Setelah berpakaian, ia pun berjalan ke luar cepat-cepat.
Senjakala telah lalu, setan dan iblis tiada berkeliaran lagi.
Meskipun hari baru pukul delapan lewat sedikit, hawa malam
sudah mulai terasa pada diri: sejuk. Di berand a sebuah rumah
yang bagus di kampung Kaparek lampu terpasang dengan
terang, tetapi orang tak ada kelihatan di situ. Sungguhpun
demikian Suria tak segan-segan naik dan mengetuk pintu
rumah itu. Sebentar antaranya pintu itu pun dibukakan oleh seorang
laki-laki tua yang masih tegap tubuhnya, tetapi lehernya
berpalut dengan sehelai kain daripada bulu.
"He, Juragan Manteri Kabupate n"" kata orang itu, ketika
dilihatnya Suria berdiri di luar. "Terserah-serah Juragan datang
malam hari, ada apa" Masuk ke dalam, Jurgan. Angin ...."
Maka Suria pun disilakan duduk di kursi ruang tengah oleh
Raden Natanegara, yaitu opseter pensiun. Biasanya ia "suka
menolong" orang yang terses ak dalam segala perkara.
"Saya agak salah benang, tiba -tiba batuk sedikit," katanya
sambil memperbaiki letak kain lehe rnya itu. "Barangkali karena
lama duduk di luar tadi." Setelah menutupkan pintu kembali,
ia pun duduk di hadapan tamunya. "Ada apa, Juragan" Anak-anak baik""
"Berkat doa~Juragan," jawab Suria dengan lemah-lembut.
"Syukur! Dan saya dengar pu tra Juragan yang sulung
siapa gerangan namanya" Ya, Raden Abdulhalim ia sudah
memegang pekerjaan, bukan""
"Benar, Juragan. Dan sudah diambil oleh jaksa kepala di
Tasik jadi menantunya."
"Dua kali beruntung Juragan."
"Sesungguhnya kedatangan saya ke mari pada malam ini
maaf, saya telah menggangg
u kesenangan, Juragan berhubung dengan ... untung anak itu. Ketika ia akan mulai
berumah tangga di kota besar itu, amat banyak ia
mempergunakan uang. Segala dibeli: meja, kursi, lemari dan
lain-lain, dari mana di kor ek uang" Tentu dari kantung
ayahnya juga. Sekalian isi si mpanan saya sudah saya
keluarkan, saya kirimkan kepadanya. Oleh karena hendak
menyenangkan hati anak, saya tak ingat lagi akan keperluan
diri sendiri, ya, lebih baik saya katakan keperluan rumah
tangga anak-beranak di sini. Saya lupa selupa-lupanya, bahwa
saya ada berutang lelang ...."
Suria berdiam diri sejurus dan memandang kepada R.
Natanegara, yang tersenyum-simpul saja mendengarkan
ocehannya. "Oh," katanya dengan gerak bibir yang banyak artinya.
"Maklum, teruskan."
"Mujur.Juragan lekas maklum akan kesempitan saya
sekarang ini," kata Suria pula dengan perlahan-lahan. "Sebab
itu tak guna saya berpanjang kalam lagi tentang maksud
sengaja kedatangan saya ini. Sudah Juragan hindarkan batu
besar yang mengimpit dada saya, yang menyesakkan napas
saya akan menghamparkan perasaan. Luka di badan yang
dapat ditutup-tutup dengan baju, tetapi luka di kening
bagaimana akan menyembunyikan dia" Juragan lepaskanlah
saya dari sesak, pinjamilah saya uang seratus lima puluh
rupiah." Raden Natanegara tiada menjawab dengan lekas. Rupanya
ia berpikir-pikir. Sementara itu Suria berkata pula, "Takkan
lama, Juragan, dan segala syarat-syaratnya akan saya turut
dan penuhi. Tolong benarlah saya sekali ini jangan sampai
saya mendapat malu besar."
"Tentu saya suka menolong Juragan Manteri," sahut R.
Natanegara dengan perlahan-lahan. "Jangankan Juragan,
sahabat karib saya, orang lain pu n, jika ia kesusahan, saya
tolong juga sedapat-dapatnya. Akan tetapi sayang sekarang
saya sedang tiada menaruh uang."
"Juragan!" "Apa boleh buat! Sebab sesungguhnya saya dalam
kekurangan pula. Uang tak ada di tangan sekarang ini."
Ia berdusta. Bukan ia tiada be ruang., bukan pula ia kuatir
Suria akan mungkirkan janji. Tidak, tentang uangnya takkan
kembali, kalau dipinjamkannya, ia tiada takut sekali-kali. Ada
beberapa akal padanya akan pe ngikat orang yang berutang.
Cuma perasaan tak sudi telah timbul lebih dahulu, hatinya
tiba-tiba merangsang saja terhadap kepada manteri itu.
Mungkin karena segala alasan yang dimajukan Suria buat
meminjam uang itu: jangankan hal itu akan melunakkan hati
atau menimbulkan belas-kasiha n, malah memualkan perutnya.
Ia tahu, bahwa dalam kesusahan Suria melagak dan
menyombong juga. Mengaku: sudah berhabis-habis untuk
anaknya! Padahal peri keadaannya bukan rahasia lagi kepada
orang. Akan tetapi apa daya akan menolak permintaan itu,
sehingga Suria tiada merasa kecil hati akan dia" Sekonyong-konyong ia pun berkata dengan manis, "Cuma dengan akal
saya dapat menolong Juragan agaknya."
"Bagaimana""
"Juragan kenal kepada Haji Junaedi, bukan"" Suria
tersenyum. "Haji Junaedi di Rancapurut" Masa saya tak kenal


Katak Hendak Menjadi Lembu Karya N. St. Iskandar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

akan sahabat saya itu"" "Juragan bersahabat dengan dia"
Bagus! la sangat pemurah, bu kan" Tentu ia dapat dan suka
melepaskan Juragan daripada kesempitan."
"Saya percaya. Tetapi saya piki r, sebelum saya minta tolong
sejauh itu, saya hendak bertenggang dahulu kepada sahabat
kenalan di sini saja. Mula-mula teringat oleh saya Juragan.
Sebab saya yakin, bahasa Juraga n takkan sampai hati melihat
saya dalam kesusahan. Apalagi, baru sekali ini saya minta
tolong. Dan kalau Juragan menghendaki jaminan perkakas
rumah saya sampai cukup, da n tentang perkara bunga uang,
berapa saja Juragan kehendaki saya bayar."
"Ah, takkan sampai begitu benar, kalau uang ada pada
saya, Juragan Manteri! Sungguh saya tak beruang sekarang
ini." Suria termenung, kecew a benar ia rupanya.
"Sayang .... Akan tetapi Haji Junaedi tentu dapat inenolong
Juragan. Dan, jangan kecil hati kepada saya!"
"Tak apa, dan terima kasih, mujur juga telah Juragan
ingatkan saya kepada sahabat saya itu. Nanti saya pergi
kepadanya," ujar Suria seraya mengangkatkan kepala dan
tersenyum sedikit, sekalipun jauh.
"Yang dekat ada jua .... Orang setangga Juragan Manteri
sendiri." "Siapa"'/
"Seorang priyayi yan
g pandai hidup, suami istri." "Siapa
gerangan" Tidak ada di tempat kediaman saya seorang priyayi
yang mungkin dapat melebihi ... ah, saya tidak tahu!"
"Raden Atmaja! Masa.JuraganMa nteri tidak kenal akan dia!"
"Oh, terima kasih," sahut Suria sambil mencibir
mengejekkan. "Tak mungkin dia guru itu, akan, ... ya, masa
hidupnya akan lebih baik daripada hidup seorang priyayi B.B.
seperti saya ini!" "Kedua suami-istri itu hemat dan cermat, Juragan, dan insaf
akan kesulitan hidup dalam musim buruk seperti sekarang ini."
"Entahlah! Tetapi rumahnya, ah, orang desa lebih tahu
akan kebersihan dan kesenangan daripada mereka itu.
Memberi malu priyayi .... Istimewa istrinya! Kikir, tapi banyak
cakap! Tidak, kalau memang Juragan tidak dapat menolong
saya, lebih baik saya turut nasihat Juragan yang pertama tadi:
pergi kepada Haji Junaedi, sahabat saya itu."
"Baik, sekali lagi saya minta maaf, Juragan Manteri, karena
betul-betul langkah Juragan ke mari ... kurang tepat."
"Tidak apa. Asal saya mau, banyak lagi kawan saya yang
suka bertolong-tolongan. Hidup di dunia berbalasan, bukan""
"Ya, baik dibalas dengan baik pula. Saya dengar, Juragan
Manteri sudah banyak berjasa kepada orang di sini, tentu ....
Sayang saya sendiri .... Tetapi Haji Junaedi tentu akan
melepaskan Juragan daripada kesulitan itu."
"Mudah-mudahan ...."
Setelah bercakap-cakap sebentar lagi, ia pun mohon diri
hendak pulang. Nama Haji Junaedi itu menimbulkan pengharapan besar di
dalam hatinya. Bukan tentang perkara uang saja, tetapi ada
lagi suatu perkara yang lebih penting. Perjalanannya ke
Rancapurut beberapa bulan dahulu tiba-tiba terbentang pula
di hadapan matanya. Rumah yang indah, pekarangan yang
luas dan penuh dengan pohon bu ah-buahan, istimewa "seri"
rumah itu pun jelas pula ta mpak olehnya ketika itu.
Scanned book (sbook) dan Pembuatan Ebook ini
hanya untuk pelestarian buku dari kemusnahan.
DILARANG MENGKOMERSILKAN dalam bentuk apapun
apalagi dijual dalam bentuk CD/DVD
atau hidup anda mengalami ketidakbahagiaan dan
ketidakberuntungan "Dari dahulu perasaanku sudah terhadap kepadanya,"
katanya sambil berjalan menu ju pulang dengan lambat-lambat. "Sungguh cantik parasnya, tiada kalah dari paras anak
kota. Fatimah, ya, demikian nama anak gadis itu, patut benar
jadi jodoh seorang priyayi. Kalau gadis itu kuminta, tentulah
diberikan oleh ayahnya. Masa Haji Junaedi akan menolak
permintaanku! Menjadi kemuliaan baginya bermenantukan
seorang priyayi, bukan" Wala u aku sudah berbini sekalipun,
takkan menjadi keberatan kepadanya. Apa arti
penyambutannya yang sangat berlebih-lebihan kepadaku
tempo hari itu" Apa arti persahabatannya dengan daku sejak
itu sampai sekarang ini! Aku jua yang berlalai-lalai, sebagai tak
arif .... Kalau tidak ada salah suatu maksudnya terhadap
kepada diriku ini, takkan m ungkin ia berbuat sedemikian."
Ia tertegun sebentar, berpikir-pikir. Angin berembus sepoi-sepoi basa, hawa sudah bertambah dingin, tetapi tiada terasa
oleh Suria yang sedang dihanyutkan pengharapan itu.
"Anak itujsengaja dibawa ibunya ke luar," katanya sambil
melangkah pula dengan gembira, "supaya kelihatan olehku.
Tentu maksudnya ...."
Dengan riang Suria berjalan juga. Tidak beberapa langkah
lagi akan sampai ke halama n rumahnya, air mukanya pun
agak suram sedikit. "Tetapi kalau Fatimah sudah bertunangan"
Kalau aku terlambat"" pikirnya. Suria tepekur. Jalan darah di
dadanya agak keras rasanya. Ia cemas ....
"Tidak mungkin," ujarnya dengan cepat akan
menghilangkan kecemasan itu, "baru-baru ini aku bertemu
dengan bapaknya, tak ada Ha ji Junaedi menyebut-nyebut
perkara itu." Ia masuk ke dalam rumah, terus ke kamar tulis. Dengan
tiada berpikir panjang lagi ditulisnyalah sepucuk surat.
Rupanya surat itu penting benar. Setelah selesai, dibacanya
berulang-ulang. Senang hatinya akan perasaan halus yang
dilukiskannya dalam surat itu.
"Kalau surat yang semacam ini tak dapat menarik hati
orang tak tahu aku lagi," ujarnya seraya memasukkan surat itu
ke dalam sampulnya. "Jangankan hati manusia, hati batu pun
akan telap dirayunya."
Di luar sudah sunyi-senyap, tak ada orang lalu-lintas,
tak ada kendaraan lagi. Hanya sekali-sekali kedengaran bunyi
daun pohon asam menderu-deru ditiup angin. Dan sekali-sekali pula angin itu masuk dari celah-celah pintu dan jendela.
Baru ketika itu terasa oleh Suria hawa dingin dan baru ia insaf,
bahwa hari sudah jauh malam.
Surat itu dimasukkannya ke da lam saku baju yang akan
dipakainya ke kantor besok pagi. Setelah lampu dikecilkannya,
ia pun bersiap hendak tidur. "Sekali merangkuh
dayung,'\pikirnya dengan senyumnya, "dua tiga pulau
terlampau! Istri baru dapat, da n ... tentu saja segala utangku
dengan istri lama ini akan selesai!"
Suria berbaring .... Anak-anak dan istrinya telah lama
mendengkur, dan telah digoda mimpi agaknya.
XII. Kosim Lagi Hari Jumat petang. Matahari sudah hampir tersembunyi di
balik gunung sebelah barat. Langit bersih, udara hening lagi
jernih. Puncak pohon kayu yang tinggi-tinggi berwarna kilau-kilauan dan sawah yang luas-l uas bagai dihampiri dengan
emas perada, sebab kena sinar penghabisan sang surya yang
hendak masuk ke peraduannya. Akan tetapi di bawah pohon-pohonan itu sudah mulai gela p, sedang hawa berangsur-angsur sejuk rasanya.
Seorang orang tua duduk di be randa rumahnya, yang kelin-dungan dari jalan raya oleh pohon buah-buahan. Rupanya
kesedapan hawa dan keindahan petang hari itu tiada terasa
olehnya. Ia gelisah. Sebentar ia berdiri dari bangku panjang di
sisi beranda itu, berjalan hilir mudik sambil berpikir, dan
sebentar lagi ia pun terperanyak duduk pula.
"Hem, dari dahulu sudah terpikir juga olehku demikian! Tak
bermalu! Ia mengaku bersahabat dengan daku, tetapi begini
niatnya ...." Di tangannya ada sepucuk surat, yang terbuka dan sudah
dibacanya. Akan tetapi ia belum puas rupanya, sebab surat itu pun
dibacanya sekali lagi, dengan lambat-lambat dan tenang. Tiba-tiba ia tersenyum mengejekkan.
"Pangkat sedemikian yang dipanggakkannya! Apa saja
perasaannya" Bininya, anak-anaknya hendak diapakannya,
maka ia berani benar meminta anakku" Hem, Fatimah akan
bermadu, akan berlaki tua, akan jadi istri manteri itu" Ha, ha,
ha ...." Ia pun segera berdiam diri, se bab pintu berkicut dibukakan
orang dari dalam. Nyai Salamah ke luar dan berkata dengan
senyumnya, "Suka benar hati Ak ang rupanya, tertawa seorang
diri. Ada apa Akang""
Perempuan itu pergi duduk ke ujung bangku yang diduduki
suaminya, seraya memandang ke luar sebagai acuh tak acuh.
"Ada kabar aneh, lucu," kata haji Junaedi dengan senyum
simpul dari ujung yang lain.
"Coba ceritakan, saya dengar."
"Fatimah di mana""
"Ada di belakang bermain-main: tapi ada apa"" tanya
perempuan itu dengan agak berdebar-debar hatinya. "Engkau
kenal Juragan Suria""
"Manteri kabupaten" Mengapa takkan kenal" Yang ke mari
dulu, dan sahabat Akang""
"Benar, ya, sahabat akang itu berkirim surat kepada
akang. Ia meminta Fatimah akan jadi istrinya. Ini suratnya,
manis dan halus benar isinya."
Haji Junaedi memperlihatkan surat yang masih dipegangnya
itu kepada istrinya. Nyai Salamah terkejut, ternganga
mulutnya dan pucat warna mukanya.
"Engkau suka bermenantukan manteri itu"" tanya suaminya
dengan tenang. "Bermenantukan orang tua, yang berbini dan beranak itu"
Daripada anakku bermadu, lebih baik dia tiada berlaki selama-lamanya. Tidak,Akang, saya ti dak mengharapkan pangkat,
hanya kesenangan anak saya. Rupanya ia suka kepada ....
Siapa gerangan orang muda itu" Den Kosim, ya, benar!
Bagaimana rundingan dengan juragan patih,Akang""
"Belum ada keputusannya."
"Lebih baik hal itu Akang segerakan, ulang rundingan
dengan juragan patih. Katakan, bahwa kita sudah siap."
"Jadi engkau tiada suka kepada manteri kabupaten itu" Ia
bagus, berpangkat; mulutnya manis ...."
"Jangan berolok-olok juga, Akang. Bila Akang hendak
"pergi ke kota" Surat itu lebih baik dibakar saja! Rupanya tak
.ada sedikit iua ia segan kepada Akang"
"Kita orang desa, tak berharga di matanya. Ya, hari Ahad di
muka ini saya ke rumah Juragan patih. Surat ini saya bawa,
ada gunanya. Akan penguatkan rundingan, supaya ia jangan
berlalai-lalai juga."
Sesungguhnya pada hari yang ditentukan itu, pukul lima
petang, Haji Junaedi sudah ada di rumah
patih. Ia disambut oleh R. Atmadi Nata dengan senang hati. Sesudah bercakap-cakap beberapa menit lamanya, maka kata patih itu, "Jadi
maksud Akang hendak menyegerakan pekerjaan itu. Akan
tetapi apa perlunya diburu-buru benar" Takkan lari gunung
dikejar. Apalagi ia baru dua bu lan bekerja, te ntu belum dapat
menyediakan apa-apa."
"Dari dahulu sudah saya kataka n: tak usah dia bersedia-sedia. Sekaliannya tanggungan saya, bukan" Yang perlu
sekarang lekas "Menyesak benar rupanya! Apa sebabnya""
"Kerja baik elok dilekaskan, Juragan, supaya jangan disela
oleh kerja buruk." "Ada alasannya""
"Banyak. Pertama Fatimah sudah besar, kedua kami sudah
siap dan ketiga ..." ujar H. Junaedi dengan senyumnya, dan
sambil mengunjukkan sepucuk su rat ke tangan R. Atmadi
Nata, ia pun menyambung perkataannya, "Ini yang penting
sekali Juragan. Saya harap supaya Juragan baca sendiri."
Baru melihat tulisan alamatnya saja, R. Atmadi Nata sudah
tahu dari siapa surat itu. Dengan tenang surat itu pun
dibacanya. Kemudian dilipatnya dan diberikannya kepada Haji
Junaedi kembali, seraya katanya, "Tak kusangka-sangka!
Agaknya sudah terbalik otaknya. Jadi bagaimana pikiran Akang
sekarang"" "Saya menurut timbangan Juragan sendiri. Elok kata
Juragan elok; buruk kata Jura gan, buruk. Asal kerja itu
dilekaskan." "Dengan manteri itu""
Haji Junaedi terkejut, pucat mukanya.
"Ha, h", ha," tertawa R. Atmadi Nata dengan tiba-tiba,
"Jangan Akang cemas, nanti saya berunding dengan Den
Kosim. Tetapi bila manteri kabupaten bertemu dengan
Fatimah"" "Dahulu, ketika ia bertandang ke rumah saya. Barangkali
Juragan masih ingat: ia hendak ayam ...."
"Ya, saya masih ingat."
"Beberapa hari sesudah itu ia datang ke desa, lalu saya
sambut sebagai biasa. Ketika itu sudah ada jua terpikir oleh
saya, bahwa akalnya tidak lurus. Salah pandangnya kepada
anak saya itu." "Hem, ya ...." "Benar, Juragan! Tunjuk lurus, kelingking berkait."
"Tetapi mengapa sekarang ba ru teringat olehnya akan
berkirim surat sedemikian"" tanya patih, seraya
menggelengkan kepalanya. "Nasib Suria L," katanya pula
dalam hatinya. Sekarang Kosim lagi yang jadi batu penarung
baginya! Ya, benar kata Akang tadi," ujarnya kuat-kuat.
"Baik disegerakan kerja itu. Tentang surat itu, lebih baik
dipandang sebagai tak ada saja. Robek atau bakar, jangan
sampai diketahui orang lain. Tung gu sebentar ...." Ia bangkit
berdiri dari kursinya, lalu masuk ke dalam. Sejurus antaranya
ia pun ke luar dan duduk pula.
Keduanya berdiam diri. Patih memandang ke samping, lalu
kelihatan olehnya Raden Kosim datang dari belakang. Pada air
mukanya terbayang kesenangan hatinya, suka, sebagai sudah
mendapat sesuatu yang diharap-harapkannya. Ia tersenyum
simpul, naik ke langkan dan memberi salam kepada Haji
Junaedi dengan takzim. Sesudah it u ia pun tegak berdiri. Patih
memberi isyarat, supaya ia duduk di kursi di antara kedua
mereka itu. "Kosim,". kata R. AtmadiNata dengan perlahan-lahan.
"Emang Haji datang sekali ini sengaja hendak menentui
rundingan tempo hari. Bagaimana pikiranmu sekarang"
Sudahkah engkau terima jawab dari ibumu""
"Saya, Juragan," sahut orang mu da itu, antara kedengaran
dengan tiada. "Kebetulan ada saya menerima sepucuk surat
dari Garut tadi, tengah hari." Ia pun minta izin akan
mengambil surat itu ke kamarnya. Ketika ia datang kembali,
diserahkannyalah surat itu ke tangan patih.
"Nah, selesai sudah," kata patih, sesudah membaca surat
itu. "Kehendak Akang Haji te lah berlaku dan berkenan. Ia
sudah beroleh izin dari ibunya."


Katak Hendak Menjadi Lembu Karya N. St. Iskandar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Alhamdulillah!"
Dengan segera patih menyur uh Kosim memanggil ibunya ke
belakang. Setelah istri patih duduk, demikian pula Kosim,
keempat-empatnya pun mulai memperundingkan cara dan
waktu perkawinan Kosim dengan Fatimah akan dilangsungkan.
Tentang perkara tempat, lama istri patih bertegang-tegang
dengan Haji Junaedi. Masing-masing mengeraskan di
rumahnya. Akan tetapi akhirnya istri patih terpaksa mengalah.
"Apa boleh buat," katanya dengan senyumnya, "Benar, tentu
tak enak bagi Mak Fatimah, kala u beralat di sini. Jadi bila
waktunya"" Tiga pasang mata memandang kepada Kosim. Dengan
kemalu-maluan o rang muda itu p un berkata, ujarnya, "Apabila
ibuku datang dari Garut, Ibu."
"Di Rancapurut sudah sedia sekaliannya, bukan"" kata
patih. "Sudah, Juragan. Bila saja dapat dilangsungkan ...."
"Kalau begitu," kata istri patih pula, "sekarang ini tanggal
lima belas. Tanggal 2 tanggal 3 bu lan di muka jatuh pada hari
Minggu bagaimana kalau hari itu""
"Baik," kata Haji Junaedi dengan cepat dan riang.
"Pikirku begini," kata R. Atmadi Nata, "sebab ibu Kosim
akan datang ke mari, sebagaimana tersebut dalam surat ini,
lebih baik dengan dia kita sama-sama mencari saat yang
sempurna. Ingat: anaknya yang laki-laki cuma seorang ini
saja. Hendaknya jangan karena ha l yang sedikit itu ia berasa
dibelakangkan. Jangan kita ambil sekalian kekuasaannya."
"Benar pula itu," kata Haji Junaedi. "Pendeknya, saya
menurut saja." Tiga pekan kemudian daripada itu, pada hari Ahad,
kelihatan banyak oto berangkat dari kota Sumedang ke
Rancapurut, ditumpangi oleh priyayi dan menak-menak
dengan istrinya masing-masing, karena pada hari itu ada
perjamuan besar di sana. Mereka itu terpanggil akan
menghadiri upacara nikah kawin Kosim dengan Fatimah, yang
diramaikan dengan bunyi-bunyian dan permainan yang biasa
di tanah Pasundan. Ada nayuban, tari-tarian, dan pada malam
hari dipertunjukkan wayang golek yang sangat digemari
orang. "Demikian ramai orang besar-be sar ke perjamuan itu," kata
Suminta yang berdiri di pinggir jalan, "tapi heran, Juragan
Suria tiada tampak. Ke mana dia gerangan""
"Juragan istri pun tidak juga," sahut bininya.
"Hem, ya, mungkin ... beralangan," kata Suminta pula.
"Sayang, padahal Juragan Suria suka benar akan keramaian
serupa itu. Dan wayang golek kegemarannya ...."
"Barangkali malam kelak dia ke sana, siapa tahu"" sahut
bini Suminta pula, sambil masuk ke pekarangan rumahnya, di
sebelah atas jalan raya itu. "Keadaan orang masing-masing
tidak dapat kita tentukan!"
XIII. Hendak Bersenang-senang Dengan Anak"
Bermula boleh dikatakan patih ada menaruh percaya pada
Suria tentang kerajinan dan kebersihan kerjanya. Akan tetapi
kemudian, lama-kelamaan, dan lebih-lebih dalam waktu yang
akhir itu kepercayaan itu sudah berkurang-kurang. Sebab
banyak kerja yang diserahkan kepadanya, tiada
diselesaikannya lagi dengan sepatutnya.
Sebenarnya sejak bermula sama-sama bekerja sudah
kelihatan juga oleh R. Atmadi Nata, bahwa sifat Suria agak
lain: angkuh dan tinggi hati. Kadang-kadang ia pun seakan-akan malas rupanya. Tetapi la ma-kelamaan nyata kepadanya,
bahwa manteri itu tidak malas. Betul ia berlaku di kantor
seperti orang besar, bekerja de ngan gaya dan gagah, tetapi
apa yang diperbuatnya tak ada salahnya.
Kewajiban sebagai pegawai kantor selalu dipenuhinya. Betul
pula Suria pesolek dan royal, betul dalam segala hal ia seakan-akan melewati watas keadaannya dan derajatnya, sehingga
mula-mula timbul syak dalam hati patih kalau-kalau uang kas
yang dipegangnya tiada selesai, tetapi tiap-tiap diperiksanya
kas itu tiada pernah kedapatan cacatnya. Oleh sebab itu
lambat-laun R. Atmadi Nata perc aya jua akan dia dan akhirnya
keangkuhan dan ketinggian hati Suria itu pun tiada menjadi
waswas lagi kepadanya. "Tiap-tiap orang ada sifat dan
tabiatnya," pikirnya. "Asal pekerjaannya baik dan rapih, apa
gunanya kuindahkan bawaan yang seperti itu""
Akan tetapi kemudian tampak nyata oleh patih perubahan
yang timbul atas diri manteri itu. Seolah-olah kewajibannya
telah diabaikannya, telah disia-siakannya. Pada sinar mata dan
air mukanya pun sudah terbayang kesusahan yang
mengganggu sukmanya. Tenaga Suria hendak bekerja tak ada lagi. Ia sudah malas
dan ... menaruh sakit hati juga. Kalau ia harimau, sudah lama
Kosim dikoyak-koyaknya; kalau ia berkuasa, tak dapat tiada
orang muda itu telah dibinasakannya! Bukantah Kosim yang
memutuskan pengharapannya, bukantah Kosim jua yang
menghalangi hawa-nafsunya"
Bukan buatan sakit hatinya menerima panggilan ke alat
perkawinan di Rancapurut itu. Ia berasa diberi malu sangat
oleh Haji Junaedi. Malah kehendaknya tidak diindahkannya,
tiba-tiba ia pun diminta pula akan menyaksikan dengan mata
sendiri Fatimah bersanding dua
dengan orang lain, dengan
orang yang dipandangnya sebagai musuhnya! "Tidak,"
katanya seraya merobek-robek surat panggilan itu lumat-lumat, "aku takkan pergi."
Akan tetapi kekerasan hati yang demikian tiada membawa
kebaikan kepada kehormatan diri nya. Kebalikannya, karena itu
orang jadi bertanya-tanya apa sebab maka ia sendiri yang tak
kelihatan dalam alat yang ramai itu" Jadi bukan suaminya dua
laki istri saja, malah sekalian orang pun tahu dan heran juga!
Sebab pada pemandangan orang alat itu alat patih juga, Den
Kosim itu anak angkatnya, bukan" Dan Suria bekerja di bawah
patih, sekantor dahulu dengan Kosim dan orang tahu bahwa ia
dengan Haji Junaedi ada berkenalan, kalau bukan bersahabat!
Jadi ada tiga buah alasan yang kuat bagi Suria akan
menghadiri perkawinan itu. Tetapi ia tidak hadir, apakah
sebabnya" Segala sesuatu sudah menghilangkan kebenarannya,
menggelapkan pemandangannya. Dan apa pun, baik pandang
orang kepadanya, baik desus orang, sudah menyirapkan darah
di dadanya. Ia tak senang diam lagi, selalu gelisah saja. Apa
sebabnya" Kota Sumedang sudah bagai bara hangat bagi
tapaknya. Ia mesti berangkat dari situ dengan secepat-
cepatnya. Ke mana" Pindah" Dapat tak dapat, ia mesti
pergi.... Dalam pada itu paras anaknya, rupa kandidat-amtenar di Bandung itu sudah terbayang-bayang di ruangan
matanya. Pada suatu hari patih menyuruh Suria menyusun surat-surat
di atas rak-rak, sebab tidak teratur lagi letaknya. Perintah itu
tidak dilakukan oleh Suria sendiri, melainkan diperintahkannya
pula kepada orang suruh-suruhan, yang tiada pandai
membaca. Jangankan dijaganya, ditunjukkannya pun tidak
bagaimana meletakkan surat-surat itu sekurah-sekurah atau
sehelai-sehelai. Oleh karena itu tentu surat-surat itu
bertambah kacau, bertambah sukar mencari salah suatu surat
manakala perlu. Demi dilihat patih hal itu, ia pun menggelengkan kepalanya.
Ia memandang kepada Suria tenang-tenang, hendak marah
rupanya. Tiba-tiba ia masuk ke dalam kamarnya, seraya
memberi isyarat kepada Suria agar mengikutkan dia.
Suria masuk ke dalam kantor majikannya. Pintu dikuncikan-nya, dan ia pun duduk di hadapan patih itu.
Sunyi sejurus. Seakan-akan tak seorang jua yang kuasa
akan membuka mulut. Setelah R. Amatdi Nata mengudut
rokok sekali dua kali, ia pun berkata dengan lemah-lembut,
"Rupanya dalam waktu yang akhir ini Manteri tidak seperti
dahulu lagi." Suria tak lekas menjawab. Lebih dahulu ia
memperselesaikan napas rupanya. Timbul sifatnya yang asli,
acuh tak acuh. "Saya, Juragan," sahutnya kemudian dengan
tenang. "O, jadi Manteri tahu""
"Tahu, Juragan."
"Apa maksud Manteri mengacaukan surat-surat itu"
"Mengacau, Juragan" Siapa yang mengacaukan surat-surat""
sahut Suria dengan sikap seakan-akan menentang
berlainan dengan sikapnya sehari-hari. Patih terkejut dan
heran. "Manteri yang saya suruh mengaturkan surat-surat itu,
bukan"" katanya dengan menahan hati. "Mengapa diserahkan
kepada si ... bodoh itu""
"Kalau ia bodoh, sayalah yang salah""
"Begitu jawab manteri kepadaku, kepada kepala manteri
sendiri"" kata patih dengan naik darah. "Tidak ingatkah
manteri akan akibat perkataan yang sekasar itu""
"Ingat, dan akibatnya itulah yang saya kehendaki sekarang,
kini jua," jawab Suria dengan tak menaruh gentar sedikit jua,
seakan-akan laku orang nekat.
Apa sebab ia berkata sedemikian kepada patih, kepada
kepala yang berpengaruh atas dirinya"
Sebab sudah tetap persangkaannya, bahwa patih itu telah
berlaku kurang lurus kepadanya. Tidak adil, curang .... Segala
kemalangannya, segala rintangan atas cita-citanya dan
keinginannya itu banyak sedikitnya telah dipersangkutkannya
dengan pengaruh patih itu. Oleh karena patih itu maka ia tak
diangkat jadi klerk; oleh karena patih jua maka permintaannya
ditolak oleh Haji Junaedi itu. Demikian pikirnya. Bukantah Haji
Junaedi minta nasihat kepadanya .... Kalau tidak, mengapa
Kosim pula, anak emasnya itu jua yang menghambat
langkahnya" Jadi karena panas dan sakit hatinya, lupalah ia
akan kehormatan dan kebenaran.
"Apa yang manteri kehendaki itu"" tanpa patih kemudian
dengan perlahan-lahan. "Berhenti ...."
"Berhen ti"" kata patih pula de ngan ragu-ragu, seolah-olah
ia tiada percaya akan pendengarannya. "Manteri hendak minta
berhenti dari pekerjaan""
"Saya, Juragan""
"Apa sebabnya""
Suria tiada menjawab, melainkan menundukkan kepalanya.
"Jika karena tak senang tinggal di sini lagi, lebih baik
Manteri minta pindah saja."
"Tak senang tinggal di si ni"" kata Suria sambil
mengangkatkan kepala pula. Ha tinya berdebar-debar, kalau-kalau patih tahu akan segala rahasianya! "Tidak, Juragan,"
katanya pula dengan cepat.
"Tak ada yang mengecewakan hati saya di sini, baik
tentang percampuran dengan Juragan, baik pun dengan orang
lain-lain. Saya hendak minta berhenti, lain tidak, karena
hendak bersenang diri! Tidak kuat lagi saya bekerja ...."
Patih tersenyum-senyum, dan gerak bibirnya dan kernyit
alisnya menunjukkan "sesuatu," yang banyak artinya. "Den
Suria," katanya kemudian lambat-lambat, "sebelum
mengeluarkan perkataan itu, sudahkah Manteri berpikir habis-habis dahulu" Sebab mesti ingat musim sekarang, musim
segala susah. Kalau pekerjaan su dah lepas dari tangan, jangan
diharap akan dapat kembali. Berapa banyaknya orang yang
terlantar sekarang ini" Dalam segala golongan: orang pandai-pandai tidak mendapat pekerjaan, menganggur: orang dagang
merugi atau tak maju dagangannya; orang tani ... Manteri
selalu membaca rapor-rapor kesusahan di desa-desa dewasa
ini, bukan" Manteri tahu bagaimana susahnya kita
menjalankan perintah pada masa ini, bagaimana sukarnya
memungut pajak, karena rakyat hampir tak dapat makan lagi.
Dalam waktu semacam ini Manteri hendak meletakkan
jabatan" Tidak sayangkah akan anak-anak""
"Selama ini anak-anak saya ti dak juga mengharapkan gaji
saya," jawab Suria dengan teru s-terusan. Tetapi sekonyong-konyong merah warna mukanya, ma lu agaknya, lalu dialihnya
perkataannya, "Tidak, saya takkan makan tanah,* jika tak
makan gaji." "Hendak ke mana Manteri"" tanya R. Atmadi Nata dengan
bertambah-tambah heran. "Saya sudah mulai tua, hendak bersenang-senang lagi."
"Bersenang-senang dengan tiada berpencaharian "" " "Lebih
baik saya berkata dengan terus-terang kepada Juragan," kata
Suria dengan agak perlahan -lahan, "supaya lekas tamat
rundingan ini. Rasanya lebih payah hidup saya makan gaji
sebagai sekarang ini, daripada tidak bekerja. Selama ini saya
tahan, saya tanggungkan segala kesusahan dan kepayahan,
lain tidak karena hendak memajukan anak, hendak mendidik
anak-anak supaya menjadi orang baik-baik. Sekarang anak
saya sudah bekerja, sudah cukup pencahariannya. Sudah
sepatutnya pula dia menyenan gkan orang tuanya, bukan""
R. Atmadi Nata memandang kepada Suria tenang-tenang.
Terbit suatu persangkaan di dalam hatinya: kalau-kalau
manteri kabupaten itu sudah bertukar akal! Sedang segala
riwayat kehidupannya tidak rahasia lagi kepada orang, ia
berani berkata demikian kepadanya! Timbul kasihan di dalam
hatinya, sehingga marahnya kepada Suria hilang semata-
mata. Maka dicobanya juga hendak membawa dia ke jalan
kebenaran, katanya, "Jadi Manteri hendak ke Bandung""
"Saya, Juragan,"
"Tidak kasihan kepada anak""
"Mengapa Juragan berkata demikian"" tanya Suria dengan
agak tercengang. "Raden Suria," kata patih dengan lemah-lembut. "Saya
tahu, bahwa anak Raden sudah bergaji besar. Besar, kalau
dibandingkan dengan gaji kita mula-mula bekerja dahulu.
Akan tetapi bagi dia, yang sudah mendapat didikan "tinggi" di
sekolah tinggi dalam segala-galanya gaji sekian belum
boleh dikatakan besar lagi. Cara aturan rumah tangganya,
cara makan minumnya, pakaiannya, pergaulannya,
pendeknya segala gerak-geriknya jauh berbeda dengan cara
kita; yang telah masuk bilangan "kuno" ini. Caranya itu segala
mahal, modern. Saya takut kalau, anak yang semuda itu diberi
beban berat sekali, timbul sesal tak putus kelak. Lebih baik
sampaikan dinas Manteri dahulu berapa tahun lagi"
Sepuluh" nah, sesudah sepuluh tahun Manteri berhenti
dengan pensiun, sedang anak Meneer ketika itu tentu sudah
ada di tingkat yang lebih tinggi."
"Wah, menanti waktu sepuluh tahun itu barangkali saya
sudah mati melarat, sedang yang dinanti itu tidak seberapa
pula pentingnya. B erapa benar pensiunan seorang manteri
kabupaten" Tidak Juragan, tak guna saya menanti-nanti lagi.
Saya perbuat surat permohonan berhenti kelak, harap, supaya


Katak Hendak Menjadi Lembu Karya N. St. Iskandar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Juragan tolong mengirimkan ...."
"Pikir benar-benar dahulu, Raden Suria," kata patih
memberi nasihat penghabisan. "Mupakat dengan orang di
rumah masak-masak. Sekali lagi saya katakan: sekarang
musim susah, segala susah. Apa saja dikerjakan tiada
mendatangkan hasil. Lebih-lebih bagi kita amtenar waktu
sekarang ini bukan musim me leset saja, tetapi musim
penyusutan pegawai juga. Usahkan diminta-minta,
gubernemen sendiri hendak menyusuti amtenarnya. Jadi
kehendak manteri itu sebagai me ngayuh biduk hilir .... Pikirkan
dinas selama ini akan hilang cuma-cuma saja! Meskipun sedikit
pensiun itu, tapi menurut pikiran saya, biar sedikit daripada
tidak ada sama sekali. Tambahan pula uang pensiun itu uang
manteri sendiri, bukan" Uang simpanan .... Dan ingat, jika
manteri telah berhenti, meskipun dengan hormat, jangan
diharap akan dapat diangkat kembali dalam jabatan apa pun
pada musim semacam ini. Dan uang simpanan itu niscaya
hilang percuma saja."
"Apa boleh buat ...."
"Dan sedikit lagi, Den Suria, sekadar penghilang, waswas
saya sendiri sebagai kepala, yaitu kalau tak sanggup menanti
waktu pensiun itu, ada jalan lain lagi: Minta disusuti saja. Lima
tahun lamanya manteri masih mendapat tunjangan, meskipun
tidak bekerja. Dan lepas lima tahun itu baru manteri
diperhatikan benar-benar, mu ngkin diberi pensiun kurang.
Tapi lumayan ju"a, bukan""
"Tak perlu bersusah-susah bena r, Juragan. Berhenti habis
perkara." R. Atmadi Nata termenung sejurus. Kemudian ia pun
berkata pula, "Apa benar yang mendorong Den Suria akan
minta berhenti itu" Coba katakan kepada saya dengan terus-terang .... Barangkali Den tidak sudi lagi bercampur dengan
saya"" "Ha," ujar Suria sambil tersenyum menyeringai. "Saya rasa,
Juragan sudah tahu akan hal itu. Sebab "pertolongan",Juragan
sangat banyak kepada saya, sehingga tidak dapat saya
lupakan selama-lamanya. Lebih-lebih dalam waktu yang akhir-akhir ini."
"Oh, begitu"" sahut patih de ngan bimbang dan gelisah. .
"Benar, Juragan. Dan supaya kenang-kenangan akan segala
kebaikan Juragan itu tetap tinggal dalam hati saya, dan
supaya Juragan senang sentosa tinggal di sini, baiklah J y
ragan perkenankan saja permintaan saya itu."
R. Atmadi Nata tercengang, berpikir-pikir, sambil menahan
hati sedapat-dapatnya. Dalam pada itu Suria berkata pula
dengan tegas, "Jadi Juragan sudah maklum akan pendirian
saya, bukan"" "Raden Suria!" "Mohon diri, Juragan."
"Kalau begitu, ya, tammat rund ingan kita sudah," ujar R.
Atmadi Nata dengan suram. "Tapi sungguhpun demikian
masih ada waktu untuk berpikir lagi."
"Terima kasih, Juragan," sahut Suria sambil bangkit dari
kedudukannya. "Heran," kata patih di dalam hatinya, setelah ia tinggal
seorang diri pula, "ia hendak berhenti .... Apa sebabnya"
Karena malu dilangkahi Kosim dalam kedua cita-citanya itu"
Hanya karena itu saja" Dan hal itu disalahkannya,
diberatkannya kepada saya" He m, ya ...." Patih termenung
pula, dan tiba-tiba terbitlah dalam ingatannya suatu perkara,
yang lebih menyuramkan mukanya. "Tak mungkin itu saja
sebabnya," pikirnya, "takkan gila ia meletakkan jabatannya
begitu saja, suka melepaskan gaji dari tangannya, jika tak ada
sebab yang amat penting. Ia bukan anak kecil .... Dan hendak
bersenang-senang dengan anak, ya, tetapi mesti ada sesuatu
sebab lain yang lebih mengacaukan pikirannya. Siapa tahu,
barangkali karena banyak utangnya" Baru-baru ini ia
membayar utang lelang, dari man". diambilnya uang sebanyak
itu"" Sudah bergerak-gerak jari R. Atmadi Nata hendak
membunyikan lonceng, akan memanggil Suria masuk kembali.
Tetapi sekonyong-konyong ditaha nnya kehendak hatinya. "Tak
baik tergesa-gesa," katanya, "leb ih baik aku selidiki perkara itu
dahulu dengan halus."
Ketika kantor sudah ditutup dan Suria telah pulang, diam-bilnyalah buku kas "dana kant or" dari atas meja manteri
kabupaten itu, lalu dibawanya ke rumahnya.
Sementara ia memeriksa bu ku itu dengan hemat dan
cermat di rumahnya, ketika itu Suria b
ersoal jawab dengan Zubaidah di rumahnya pula.
Rupa-rupanya tak sebuah jua daripada nasihat patih itu
yang termakan olehnya. Ba hwasanya perkara hendak
bersenang-senang diri dengan anak itu sudah kerapkali
disebut-sebutkannya, tetapi niat hendak berhenti itu baru
sekali itu dibukakannya. Sebab itu Zubaidah terkejut jua.
Bukan karena ia takut dan gentar akan telantar jika suaminya
tiada bekerja lagi. Tidak, ses ungguhnya suka hatinya kalau
Suria berhenti, sebab selama ia dalam pekerjaan bukantah
hidupnya masih ditolong orang lain" Kebalikannya: asal ada
berusaha, meskipun kehasilan kecil, namanya sudah
berpencaharian juga. Yang kecil itu ialah hasil peluh sendiri.
Kalau dibelanjakan secara kecil pula, tentu memadai juga.
Akan tetapi Zubaidah sudah putus asa: tak mungkin Suria
akan dapat mengubah perangainya dalam hal bergaul dengan
uang. Sudah dicobanya melepaskan urusan rumah tangga kepada
Suria dalam dua bulan yang ak hir itu, tetapi jangankan
menjadi beres, malah bertambah kelam kabut rupanya. Jadi
supaya jangan menambah-nambah berat beban, supaya
jangan mempertinggi tempat jatuh, disetujuinyalah niat
suaminya itu. Maka sudah tam-pak-tampak olehnya muka
orang tuanya, kampung halamannya yang sudah lama
ditinggalkannya, dan sudah pula direka-rekanya dalam hatinya
apa yang akan dikerjakannya di desa kelak .... Cara orang
desa! Dengan sabar ia pun berkata, "Kalau Akang tak senang
bekerja lagi, apa hendak dikata!"
"Jadi kau semupakat""
"Ya, tetapi bagaimana utang kita di sini""
"Kita bayar, kita selesaikan. Masa kita akan meninggalkan
nama buruk di sini! Sekarang sudah tampakkah olehmu apa
gunanya aku membeli barang banyak-banyak" Ganti
menyimpan uang, Dik! Sekarang barang-barang itu boleh
dipergunakan pembayar utan g. Kita perlelangkan."
"Sesudah itu kita pulang, boleh menolong-nolong ibu di
rumah." "Akan mumuk di desa" Tidak, Edah! Dari sini kita terus saja
ke Bandung. Akang sudah berkirim surat kepada Abdulhalim.
Saya suruh dia berusaha mencari tempat pada H.I.S. di sana
bagi Saleh dan Aminah. Dan ini balasannya," lalu diberikannya
sepucuk surat ke tangan istrinya.
Surat itu dibaca oleh perempuan itu dalam hati saja, tiada
kedengaran suaranya. Tiba-tiba air matanya
menggerabak,'jatuh membasahi surat itu. Apakah isinya"
Melarang ia datang" Sekali-kali tidak. Sungguhpun Abdulhalim
agak heran apa sebab ayahnya tiba-tiba saja minta berhenti,
tetapi ia bersukacita juga, sebab akan tinggal bercampur-campur dengan orang tuanya. Yang menerbitkan air mata
Zubaidah ialah memikirkan khidmat dan adab anaknya itu
terhadap kepada ibu bapaknya , yang boleh dikatakan tak
sedikit jua memelihara akan dia semenjak kecil. Tiba-tiba ibu
bapak yang demikian, setelah anak yang diabaikannya itu
menjadi orang, hendak melekap kepadanya! Dan akan
disambut oleh Abdulhalim dengan sukacita! Alangkah baik
budinya, alangkah halus peras aannya! Tetapi Zubaidah tiada
sampai hati akan menyusahkan anaknya yang masih muda itu.
Abdulhalim baru memasuki duni a penghidupan. Akan diberi
beban sekali, dan bukan pula beban yang ringan! Empat
beranak orang yang akan dita nggungnya Tak mungkin," kata
hati perempuan itu. Apalagi lain daripada itu ada lagi hal yang
lebih penting terbayang dalam ingatannya. Andaikata
Abdulhalim dapat membawakan sifat dan perangai ayahnya,
tetapi istrinya" Sutilah anak jaksa kepala Tasik itu biasa
manja .... Senang, jadi mustahil ia akan mengalah saja
seperti dia. Tiba-tiba ia mengangkatkan kepalanya dan berkata dengan
tegas, "Baik, saya setuju Akan g minta berhenti tetapi dengan
syarat; kita kembali ke Tasik, lalu berusaha di sisi ayah."
"Tak perlu, sebab anak kita sudah sanggup menerima
kedatangan kita serta adik-adiknya."
"Sampai hatikah Akang memberati bebannya""
"Anak harus menyenangkan orang tuanya. Jadi kita mesti
ke Bandung, bukan ke tempat lain."
"Akang .. ." "Jadi Edah sudah se tuju demikian""
"Pikirkan baik-baik dahulu melarat dan manfaatnya, Akang!
Agar jangan menyesal kemudian."
"Sudah habis pikirku, tak dapat diubah-ubah lagi."
Ya, walau bagaimana jua pun Zubaidah mengeraskan
supaya jangan bercampur de
ng an anak, tetapi Suria tiada
gerak daripada pendiriannya. Ia hendak tinggal bersama-sama
dengan aqak yang dikasihinya jua. Hendak bersenang-senang
...." Tentu saja, sebagaimana biasa, kehendaknya juga yang
berlaku. Pendapatan, buah pikiran orang lain salah semata-mata!
Dan keesokan harinya, ketika ia telah duduk berdua saja
pula dengan patih di dalam bilik kantornya, ia pun
mengatakan ketetapan hatinya.
"Oh, jadi tak dapat dipersurut lalukan lagi"" tanya patih.
"Tidak, Juragan," jawab Suria dengan pendek.
"Coba katakan kepadaku, apa sebab yang sebenar-benarnya maka sekeras itu benar hati manteri hendak
meletakkan jabatan."
Hati Suria berdebar-debar, dan pucat mukanya.
"Mengapa Juragan berkata demikian"" tanyanya dengan
agak gagap. "Kemarin sudah saya terangkan, bukan""
"Coba berkata terus terang benar, tak guna bersemhunyi-sem-bunyi kepadaku," jawab patih seraya membuka buku kas
"dana kantor" yang terletak di hadapannya, sedang matanya
tenang memandang ke muka manter i itu. "Di sini ada tertulis:
saldo dalam kas Rp325,75. Ambil peti uang manteri, adakah
uang itu di dalamnya""
"Juragan," kata Suria dengan terkejut melihat buku itu,
sedang mukanya bertambah puca t juga. "Mengapa buku itu
ada di sini"" "Saya ambil dari atas meja manteri kemarin, sudah lama
tidak saya periksa, bukan" Dan kedapatan ada ketinggalan
uang dalam kas sekian. Coba perlihatkan kepada saya!"
"Maaf, Juragan, sesungguhnya itulah sebabnya maka saya
hendak minta berhenti."
"Artinya"" kata patih dengan agak naik darah, bertambah
syak hatinya. "Uang itu sudah terpakai oleh saya."
"Terpakai! Berani manteri memakai uang gubernemen""
kata patih dengan agak keras, seraya melepaskan buku itu
dari tangannya. "Saya mohon supaya perlahan-lahan sedikit .Juragan," kata
Suria sambil menoleh ke pintu. Demi dilihatnya pintu itu ada
tertutup, ia pun meneruskan perkataannya, "Apa boleh buat,
karena terdesak ... utang lelang mesti dibayar dengan lekas."
"Berapa manteri ambil uang itu""
"Tiga ratus rupiah .... Ada lagi utang lain-lain yang harus
segera juga saya lunaskan."
"Tidak ingatkah manteri, kalau perbuatan salah itu
ketahuan, bahwa badan manteri tentangannya" Berhenti, dan
masuk penjara""
"Itu sebabnya maka saya hendak minta berhenti lekas-lekas, Juragan. Jika saya telah berlelang, boleh saya tutup kas
yang kurang itu." "Baru kemarin manteri menyebut hendak berhenti, ketika
saya marah karena alasan lain ...."
"Kebetulan, tetapi dahulu da ri itu sudah terniat juga di
hati saya demikian. Tak mungkin saya tinggal di sini lagi."
"Dan kalau ketahuan sebelum itu, sebelum manteri berhenti
sebelum berlelang, seperti sekarang ini, apa pikiran manteri""
tanya patih seraya menggelengkan kepalanya.
"Terserah kepada Juragan .... Tetapi saya mohon dengan
sangat, supaya sebagaimana akal Juragan kekurangan itu
ditutup dahulu. Kalau sudah laku barang saya, tak dapat tidak
saya bayar. Juragan patih, tolonglah saya sekali ini,
peliharalah nama saya dan anak-anak saya yang masih kecil."
"Oleh karena hendak menolong dan memeliharakan anak-anak manterilah maka saya nasihatkan, supaya manteri
jangan berhenti dahulu! Lebih baik minta lelang saja."
Suria tepekur. "Berlelang saja, dengan tidak bersebab""
pikirnya. "Apa kata orang" Te ntu bertanya-tanya, dan tentu
terbuka jua rahasiaku .... Tidak," kata hatinya yang sombong.
"Takkan terderitakan olehku ejekan orang, takkan terlihat
olehku muka orang di sini." Dan sambil tersenyum ia pun
berkata dengan perlahan-lahan, tetapi tetap bunyi suaranya,
"Lebih baik saya berhenti juga, Juragan."
Patih menggeleng-gelengkan kepala pula. Ia maklum akan
keangkuhan manteri it-u. Oleh karena tinggi hati dan
sombong, oleh karena malu rahasianya yang disangkanya
tertutup erat itu akan diketahui orang, maulah ia
menghilangkan pencahariannya. "Ya, tiap-tiap orang ada
sifatnya," katanya dalam hatinya, seraya mengangkat bahu.
Dan setelah itu ia pun berkata dengan tenang, "Baik, saya
tutup perkara itu, dan mulai sekarang biansaya sendiri
memegang kas. Lain daripada itu, manteri, coba hilangkan
dari sanubari, manteri syak wasangka, seolah-ol
ah saya yang mencelakakan manteri, saya yang mengalangi kenaikan
pangkat manteri, sebagaimana sindiran manteri kemarin itu.
Tidak, saya tak bersalah, melainkan manteri sendiri yang
menggali lubang akan jadi kubur manteri." Suria diam,
terpekur. Scanned book (sbook) dan Pembuatan Ebook ini
hanya untuk pelestarian buku dari kemusnahan.
DILARANG MENGKOMERSILKAN dalam bentuk apapun
apalagi dijual dalam bentuk CD/DVD
atau hidup anda mengalami ketidakbahagiaan dan
ketidakberuntungan Beberapa hari kemudian daripada itu Suria diperhentikan
dengan hormat. Kabar itu pun lekas pecah di kota Sumedang
yang kecil itu, sehingga telah ada pada hal yang akan
diperbisik-bisfkan dan ditanya-tanyakan orang, sudah ada pula


Katak Hendak Menjadi Lembu Karya N. St. Iskandar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang akan jadi buah tutur ....
Pada waktu yang ditentukan barang-barang Suria, manteri
kabupaten luncur itu, diperlelangkan. Banyak juga orang yang
datang menghadiri lelang itu, sebab patih ada berusaha
hendak menolong. Banyak orang yang datang membeli,
sehingga harga lelang tiada berapa kurangnya daripada
patutnya. Setengah ada juga yang naik harganya. Oleh karena
itu hasilnya yang bersih dapatlah dipergunakan pelunaskan
segala utangnya, bahkan ada juga sisanya, sekadar buat
belanja di jalan. Di dalam buruk ada juga yang baik perangai Suria itu.
Walau ia angkuh, gaduk dan sombong, tetapi ia takut juga
akan meninggalkan utang. Setelah selesai sangkut pautnya, ia pun berangkatlah
dengan anak bininya. Burung ketitiran, sahabat kentalnya,
tentu saja tiada tinggal! Mest i dibawanya., akan penambah-nambah kesenangan di rumah anak ....
"Sudah kurang "menak" seorang di sini," kata seorang di
antara orang yang mengantarkan dia sampai ke jalan raya,
ketika oto telah jauh. "Ya, di bawa oleh kesombongannya," ujar yang lain dengan
senyumnya. "Ia hendak bersenang-senang dengan anaknya!"
"Benar itu sebabnya" Heran ...."
XIV. Hidup Menumpang Sesungguhnya peristiwa yang tersebut di atas telah
mencepat-kan cita-cita Suria hendak "bersenang-senang"
dengan anak. Kalau tidak karena itu, ia masih berniat hendak
bekerja beberapa tahun lagi, biarpun sekadar menanti-nanti
Abdulhalim mendapat pangkat yang lebih tinggi dan gaji yang
lebih besar. Hal itu nyata dari peri keadaan, ketika sedang timbul
kebenaran di dalam kalbunya, ketika isi hati istrinya dimenung
dan direnungkannya dengan seda lam-dalamnya. Ketika itu ada
jua teringat olehnya akan me ncoba berusaha sebagai orang
pereman kelak. "Benar, sekadar penyenangkan hati Edah dan
pemetang-metangkan hari, baiklah aku mencari-cari jua
buatan di kota yang besar ini," pikirnya mula-mula
menginjakkan kaki di kota Bc.n dung yang indah lagi ramai itu.
"Masa diriku, tenagaku dan pengalamanku sebagai amtenar
BB, takkan dihargai orang di sini!"
Akan tetapi baru beberapa hari saja ia tiada bekerja, baru
terlepas dari segala kewajiban, ia pun lupa akan pikirannya
yang baik itu, malah akan sekali an hal-ihwal yang terjadi atas
dirinya, yang semata-mata timbul karena kesalahannya itu jua.
la sudah berasa "amat senang tinggal dengan anaknya. Tak
sebuah jua lagi yang akan diusahakannya. Makanan
mendapati telah terhidang, bujang tinggal menyuruh saja, ya,
segala keperluannya sehari-har i sudah disiapkan dan diadakan
orang dengan sepatutnya. Bangun pagi, yang sangat berat baginya selama dalam
jabatan, tak perlu lagi dihirau dipikirkannya. Bila saja ia
hendak jaga atau bangun, boleh, tak ada alangan dan
rintangannya. Apa saja yang akan diperbuatnya, tak
berbantah dan berlarang. Sedikit saja ia membuka mulut,
belum sampai lagi ia memerintah, kehendaknya sudah tersedia
di hadapannya. Suria sudah menjadi "tuanku senang". Sudah sampai
citacitanya! Ia tidak perlu lagi memecah-mecah otak untuk
memikirkan urusan rumah-tangga. Tanggungan dan
kewajibannya sebagai seorang suami dan bapak sudah
dikirapkannya dari tubuhnya. Sekaliannya itu sudah
dipikulkannya ke bahu anaknya, sudah terserah ke tangan
Abdulhalim, yang telah "berpencaharian cukup" dan
"berpangkat mulia" itu.
Pukul sembilan pagi si pencari-nafkah tak ada di rumah lagi.
Masing-masing sudah hadir di tempat pekerjaannya. Amtenar
kantor dan pegawai toko suda
h bersingsing lengan baju
melakukan kewajibannya. Tukang angkat telah mulai mandi
keringat memikul barang-barang dari suatu tempat ke tempat
lain. Tak peduli berat, tak indahkan panas, barang-barang itu
mesti diangkatnya dan dibawanya dengan sekuat-kuat
tenaganya barang ke mana disuruhkan dan dikehendaki oleh
yang empunya dia, karena mengharapkan upah sesen dua sen
untuk nafkah diri dan anak-bini. Tukang gali tanah sudah
turun naik napasnya mengayunkan pacul atau linggis, sudah
berkilat-kilat punggungnya yang berpeluh ditimpa panas,
tetapi ia tiada berasa enggan dan malas, karena ia didorong
oleh rasa kewajiban kepada diri dan seisi rumah yang
bergantung padanya. Ora*g tani, saudagar, pendeknya segala
lapisan dan golongan masyarakat telah sibuk dengan kerja
masing-masing. Seujud dan semaksud belaka: mencari
nafkah. Sedang si pencari-nafkah be rusaha dengan membanting
tulang sedemikian, bekas manteri kabupaten Sumedang
berbaring me-ngampai di atas kursi panjang di beranda
belakang sebuah rumah batu yang bagus di kampung
Kejaksaan. Matanya sebagai lekat pada sangkar yang
tergantung di bawah ujung atap , dan jarinya selalu memetik-metik ke arah burung yang ada di dalam sangkar itu. Pada
tiap-tiap petik jari itu si Dingin burung pingitan itu pun
berbunyi, sangat merdu pada pendengaran telinga Suria dan
sangat menyenangkan hatinya, sehingga ia lupa akan waktu
yang berjalan dengan tiada berhenti-hentinya.
Sementara itu tiada pula ia melengahkan perbuatan orang
di dalam rumah. Sejak dari pekerjaan dapur sampai-sampai
kepada mengatur letak perkakas dalam rumah itu senantiasa
dalam tilikannya. Tiada luput daripada cacat-celanya
barangsiapa yang tiada mendengarkan perintahnya, tiada
menurutkan kesukaan hatinya.
Puas bersenang-senang dalam rumah ia pun berjalan-jalan
ke mana-mana dalam kota Bandung yang indah dan permai
itu. Tak tentu masa ketikanya. Saku selalu berisi diisi anak!
Biasanya ia pergi bertandang ke rumah sahabat-kenalannya.
Ia bekas amtenar dan bapak kandung kandidat-amtenar yang
dihormati dan dimuliakan orang. Tentu saja sahabat-kenalannya itu dipilihnya di antara orang baik-baik saja.
Kebanyakan menak-menak pensiun, yang tak perlu menjual
tenaga lagi. Dengan orang ya ng beruang tumbuh itu ia
bercakap-cakap, tak tentu hilir mudiknya. Maklum cakap orang
senang, rundingan pemetang-metangkan hari dengan tiada
mengindahkan keadaan masa sedikit jua pun. Oleh sebab itu
tak heran, jika Suria makin gemuk dan sehat.
Apa yang dirusuhkan! Rokok dibelikan orang, saku diisi
orang! Lebih senang hidupnya dan perasaannya daripada
setengah orang pensiun, yang seketika-seketika perlu juga
menambah-nambah pencaharian: untuk uang sekolah anak-anak dan lain-lain. Istimewa kalau ia dipuji orang
berhadapoadapan, "Sungguh berbahagia. Dan Suria ini,
disenangkan oleh anak yang berbakti. Di surga ia rasanya
Berlajnan benar keadaannya dengan istrinya. Warna muka
Zubaidah makin lama makin pucat, badannya bertambah
kurus. Rupanya hawa Bandung yang sejuk-segar itu tiada
menyehatkan tubuhnya. Pada cahaya matanya dan lakunya
yang makin lama makin pendiam, terbayang, bahwa ia makan
hati berulam jantung. Lain dari pada kesal memikirkan tingkah
laku suaminya yang tak insafkan diri itu, ia cemas melihat
korenah anaknya. Dari sehari ke sehari tampak olehnya
perubahan yang timbul pada diri Abdulhalim. Mula-mula
bercampur dengan ibu-bapaknya dan adik-adiknya sangat
besar hatinya, riang sikapnya. Akan tetapi lama-kelamaan
Abdulhalim menjadi singkat sungu: marah-marah tak keruan.
Segala perbuatannya tergesa-gesa, dan di atas rumahnya
sendiri pun ia sebagai berpijak di atas bara hangat. Pulang
dari kantor, diempaskannya tas tempat surat-suratnya di atas
meja kuat-kuat; makan ia diam-diam saja dan sesudah itu ia
berkubur di dalam kamar. Istrinya, Enden Sutilah, yang selama
ini sangat dikasihinya, pun seakan-akan tidak diindahkannya
lagi. Sudah kerapkali terjadi pertikaian pikiran dan
pertengkaran di antara kedua laki-istri yang muda belia itu.
Hati ibu mana pula yang takkan bimbang melihat keadaan
anak semacam itu" Apalagi pandang yang dilay
angkan Abdulhalim sekali-sekali
kepada ayahnya dan kepada ibun ya tiada sama rupanya. Yang
terhadap kepada Suria bagai laku orang kesempitan; yang
terhadap kepada Zubaidah bagai orang sedih dan pilu.
Kadang-kadang ketakutan. Hal itu sangat menggemparkan
darah di dada Zubaidah yang halus perasaan itu.
Pada suatu petang hari, ketika Abdulhalim duduk membaca
surat kabar seorang diri di beranda rumahnya, datanglah
Zubaidah dengan perlahan-lahan ke dekatnya. Abdulhalim
meletakkan surat kabarnya dan mengangkatkan kepalanya
arah kepada ibunya dengan hormat. Baru ia melihat wajah
Zubaidah yang pucat sayu itu, berdebar-debarlah hatinya.
"Apa.ilbu"" katanya dengan lemah-lembut.
"Aku hendak berunding dengan engkau," kata Zubaidah
antara kedengaran dengan tiada.
Dengan segera Abdulhalim bangkit dari kursinya.
"Berunding tak baik di sini, lebih baik kita masuk ke
kamar tulis,.Ibu," sahutnya sebagai orang yang tahu gerak
bahwa perundingan itu penting adanya. Setelah duduk
berhadap-hadapan di dalam ka mar itu, sedang pintu telah
terkunci baik-baik, tiba-tiba Zubaidah menangkup ke meja di
hadapan anaknya itu serta berkat a dengan tangisnya, "Malang
engkau berorang-tua, Lim. Hidup menyempit dan
menyusahkan engkau saja."
"Ibu," kata orang muda itu dengan pilu, "apa yangilbu sebut
itu" Tak ada yang menyempit dan menyusah di sini."
Zubaidah mengangkatkan kepala nya, lalu mengeringkan air
matanya. "Lebih baik aku kaulepas ke Tasik. Dari dahulu aku minta
kepadamu, tak engkau biarkan. Tapi sekarang, biar aku
pulang kepada nenekmu. Tak terlihatkan, tak terpandangi
olehku hal keadaanmu seperti sekarang ini." "Ibu, wahai ...."
"Engkau masih muda, Lim. Seharusnya dalam waktu begini
engkau merasai nikmat masa-m udamu itu: berkasih-kasihan,
hidup manis dengan istrimu. Terutama bagi Sutilah, tak
boleh kita rampas masa yang mahapenting itu daripadanya.
Bagi kami bangsa perempuan masa-muda tiada lama, pendek
sekali. Kalau kami sudah beranak, dunia kami sudah berubah
semata-mata. Sudah dirintang anak ....
Zubaidah berhenti berkata-kata sejurus. Abdulhalim
termenung. Kemudian Zubaidah berkata pula, "Sekarang
karena "kami" engkau sudah dan sebagai kena siksa! Engkau
dan istrimu tiada dapat merasai nikmat kesenangan masa
muda itu. Kasihan! Oleh sebab itu sekali lagi ibu minta: biar
ibu pulang ...." "Apa sebab terbit perasaan sedemikian dalam hati Ibu""
tanya Abdulhalim dengan tiba-tiba serta agak marah rupanya.
"Adakah Sutilah mengumpat mencerca ibu""
Perempuan itu menggelengkan kepalanya.
"Tidak, Lim. Belum pernah kulihat istrimu menampakkan
muka muram kepada ibu, dan kepada adik-adikmu pun tidak
pula. Akan tetapi ia perempua n, dan aku pun perempuan jua,
jadi perasaannya takkan berubah dengan perasaan ibu sendiri.
Kasihan aku padamu, lebih kasihan lagi akan menantu ibu
yang masih muda itu. Sepatutnya dan seharusnya ia boleh
bersenang-senang dan bermanja-manja ... di rumah ibu
sendiri. Tapi sekarang kebalikannya, ibu bapakmu
menumpangkan diri kepadamu dua suami istri. Padahal Sutilah
anak yang dimanjakan oleh ibu bapaknya, anak yang tak
pernah merasa kekurangan selama ini, Lim."
Iba dan sayu hati Abdulhalim mendengar perkataan ibunya
sedemikian. Daripada perkataan itu nyata dan terang benar
kepadanya, betapa halus budi ibu itu. Oleh karena itu ia pun
makin tertambat kepadanya, makin tak sanggup, tak cakap,
ya, tak sampai hati akan bercerai dengan dia. Walau setapak
pun tidak! Sambil menatap muka ibunya yang pucat kusam
itu, ia pun berkata pula,
"Kalau tak ada kesalahan dari pi hak Sutilah, tidak pula dari
pihak saya, mengapa ibu hendak meninggalkan kami""
"Lim, perangaimu dalam waktu yang akhir ini mencemaskan
hati ibu. Tunggu jangan engkau sela sekali perkataanku.
Biarkan aku berkata dengan terus terang. Aku tahu, bahwa
engkau dan istrimu tiada berkek urangan terhadap kepada ibu
dan adik-adikmu. Terima kasih banyak-banyak! Akan tetapi
seburuk-buruk rupa laki, Lim, sesalah-salah perangainya,
Akang Suria laki ibu jua. - Bagaimana pun, sebagaimana
katamu di Sumedang dahulu, ia bapakmu jua dunia akhirat."
"Jadi"" tanya Abdulhalim dengan gelisa
h. "Untung ibu buruk, malang. Sudah nasib pada ibu akan
berkekalan dengan dia .... Jadi, supaya dia jangan
menyempitkan rumahmu di sini, lebih baik kami ke Tasik,
Lim," kata Zubaidah sambil menahan air matanya yang
hendak jatuh menggerabak ke pangkuannya.
"Oh, dari situ asal mula dukacitajIbu,"kata Abdulhalim
seraya menengadah ke loteng. Ti ba-tiba ia meluruskan kepala
dan ber-" kata pula, "Oleh karena,Ibu sudah berkata dengan
terus-terang, tak perlu saya bersembunyi-sembunyi lagi.
Sungguh hati saya tak senang melihat keadaan Ayah. Ampun,
Ibu, apa guna saya sembunyikan" Ya, tak ada sedikit jua
melekat perasaan saya kepadanya. Selalu saya berusaha
hendak mendekatkan semangat sa ya akan dia, sebab ia Ayah
saya. Dan saya cari-cari jala n, saya rasai dalam hati,
bagaimana pertalian anak dengan Ayah, tetapi tak dapat.
Apa boleh buat, malah makin dalam saya pikirkan hal itu,
makin jelas terbayang di ruangan mata saya segala penang-"
gungan dan perasaan ibu sela ma bercampur dengan dia.
Betapa ibu ditinggal-tinggalkannya, ketika mengandung saya
ini .... Ya" Allah, demi saya terpancar ke dunia ini air mata
Abdulhalim berlinang-linang ,Ibu pun ditalakinya. Sesudah
itu" Kalau tidak karena Nenek .... Tidak, saya berkata
demikian tidak sebagai memban gkit-bangkit hal-ihwal itu,
sekali-kali bukan hendak melukai hati^Ibu. Hanya akan
menyatakan bahwa sayang saya sebagai sayang seorang anak
kepada Bapak tidak ada terhadap kepadanya. Pada perasaan
saya, pertalian saya dengan dia lain tidak: hanya karena ia
suami Ibu saya saja! Saya terima bahkan saya minta dia
tinggal dengan saya di sini , sebab ia tak bekerja lagi, lain
tidak maksud saya, jika sudah bercampur dengan dia, agar
supaya kasih anak kepada bapak timbul dalam sanubari saya.


Katak Hendak Menjadi Lembu Karya N. St. Iskandar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ingin hati saya hendak berbapa seperti orang lain. Tetapi
kebalikannya yang bersua, Bu . Apa sebabnya" Kesalahan
saya" Entah ... Abdulhalim berdiam diri sejurus. Sekonyong-konyong ia pun
berkata pula dengan agak keras, tetapi bertambah suram,
"Ibu tahu, apa sebab Ayah berhenti" Sebab yang sebenarnya"
Hanya karena kesukaran uang, gaji kecil ...." Telah saya
selidiki, tetapi syukur Ibu sudah ada di sini dengan saya!
Sekarang Ibu hendak pulang, hendak jauh pula daripada saya,
karena sayang kepadanya" Perasaan Ibu yang halus itu,
kesucian hati ,Ibu selama ini, saya junjung setinggi langit.
Dalam seribu mahal seorang perempuan yang akan seperti
(Ibu. Suka rela menanggungkan dan menderitakan
kesengsaraan hidup berlaki istri! Akan tetapi jika karena dia
maka Ibu hendak beranjak dari rumah saya ini, sekali-kali
tiada saya biarkan. Pertama saya tiada sampai hati bercerai
dengan Ibu dalam hal sebagai seka rang ini, kedua karena saya
sudah berasa wajib \nemelihar a Ibu selama hayat dikandung
badan. Dan kepada Nenek pun saya berutang budi pula, utang
yang takkan dapat dilunaskan selama-lamanya. Hanya sekadar
akan angsuran saya hendak melepaskan dia daripada
beban:,Ibu, adik-adik saya hendak saya tanggung sedapat-dapatnya. Jadi janganjbu pulang, Nenek sudah tua."
"Lim, anakku!" "Ibu, ya, ibu mesti tetap di sini. Cuma permintaan saya
kepada ibu kalau dapat supaya ibu tolong menerangkan
kepada ayah: jangan dicampurinya juga urusan rumah tangga
saya sampai-sampai ke dapur dan ke dalam kamar saya. Jika
ayah dapat berlaku seperti orang tua saja, sudah menolong
saya dia namanya." Zubaidah tepekur. "Sudah, Ibu" Jangan Ibu bersusah hati juga, rusuh hati
saya. Kalau Ibu iba kepada kami adik-beradik, senangkanlah hati
Ibu, peliharakanlah kesehatan diri Ibu."
"Terima kasih, Lim," kata Zubaidah dengan perlahan-lahan
dan keluar dari dalam kamar itu.
Sebudi-akal Zubaidah ada berusaha menjalankan nasihat
anaknya itu. Dengan halus da n kadang-kadang dengan kasar
juga sudah diingatkannya kepada suaminya, supaya ia tahu
membawakan diri sebagai orang menumpang nasib dan
peruntungan kepada orang lain! Akan tetapi suatu pun tidak
berhasil, sia-sia belaka. Sega la ikhtiar itu menimbulkan
kebalikannya. Perkataan "menumpangkan nasib" itu
menyinggung kehormatan diri Suria, sangat melukai hatinya.
Sekali-kali tidak terasa o
lehnya, apa sebab bapak yang tinggal
dengan anak kandungnya akan dikatakan sebagai orang
menumpangkan nasib peruntungan kepada orang lain"
Bukankah kewajiban anak me melihara bapak, yang tak
"kuasa" lagi" Sebagai seorang bapak, Suria merasa wajib
mengetahui dan mengamat-amati hal ihwal istri, anak-anak
dan menantunya. Ia wajib mengatakan dan menunjukkan
kepada mereka itu apa-apa yang salah pada
pemandangannya, apa-apa yang tak setuju pada hati dan
pikirannya. Pada pendapatannya, Suti lah tiada betertib-sopan.
Perempuan muda itu gaduk, sombong, tak hormat sedikit jua
kepada mentua, tak tahu adat! Paras saja yang elok, bangsa
dan turunan saja yang tinggi, tetapi apa guna paras dan
keturunan bangsawan bagi pere mpuan, jika ia tidak tahu
perbasaan hidup berkaum-keluarga, beripar-besan, tiada
pandai memelihara rumah ta ngga" Tiada patutkah ia,
mentuanya, mengingatkan segala kesalahan itu kepada
menantunya" "Coba 'kau pikir," katanya pada suatu hari kepada Zubaidah
dengan berangsang, "aku disindir-sindirnya: tempat
menggantungkan sangkar si Dingin dikatakannya antena, tiang
radio! Kurang a .... Patutkah seorang menantu menghinakan
mentuanya, patutkah seorang perempuan berkata sekasar itu
terhadap kepadaku, bekas manteri kabupaten" Sudah salah
ayahmu mengawinkan Abdulhalim dengan anak jaksa-kepala
itu. Mengharapkan gelar dan paras saja! Coba diturutkan
nasihatku dahulu: dikawinkan Abdulhalim dengan anak
wedana, yang telah jadi guru di Tasik itu, tentu takan
begini jadinya." "Alasan Akang itu hanya sebagai pertahanan bagi pendirian
Akang sendiri, tak dapat dibenarkan oleh orang lain, yang
memandang keadaan itu dengan kaca mata sendiri pula.
Kepadaku dapat Akarig berbuat sedemikian, sesuka hati
Akang, tetapi kepada orang lain seperti Sutilah itu tidak
boleh sekali-kali." "Sutilah orang lain" Menantu akang sendiri, bukan""
"Menantu kupandang sama dengan orang lain, Akang,
istimewa dalam urusan rumah tangga. Dia, yang berkuasa di
sini, bukan kita orang menumpang ini!"
"Tidak, tidak! Aku berkuasa atas anakku, jadi atas
menantuku juga. Kalau ia tidak mau menurut nasihatku, ya
...." "Jangan keras-keras, Akang,"kata Zubaidah memutuskan
perkataan suaminya dengan air matanya. "Sudah, kalau Akang
betul-betul tak dapat meneri ma pertimbangan orang."
Ia bangkit berdiri dari kursinya, lalu masuk ke dalam
biliknya. Tanpis dan air mata juga yang dapat mengalirkan
segala perasaan ya ig terkandung dalam sanubarinya, ke luar.
Suria tetap Suria dahulu juga. Dan anak menantunya"
Mula-mula Sutilah sebagai menatang minyak penuh
menyelenggarakan bapak suaminya itu. Akan tetapi lama-kelamaan kehormatannya kepa da Suria berkurang-kurang
juga, karena hatinya selalu disakiti. Langkahnya diturut-turutkan, tingkah lakunya diamat-amati.... Ia tiada boleh
leluasa menguruskan rumah tangganya. Apa yang
diperbuatnya disalahi dan dicacat oleh Suria dengan terus
terang. Oleh karena itu bukan bu atan luka hatinya. Lebih-lebih
sesudah bersoal jawab dengan Zubaidah itu, karena tak puas
hatinya, Suria menumpahkan sekalian perasaannya pula
kepada perempuan muda itu. Sutilah dikata-katainya. "Suka
mengadu-adu," katanya.
Tentu saja hal itu tak dapat dideritakan oleh Sutilah,
perempuan terpelajar dan bangsawan, yang sudah tahu akan
harga dirinya itu. Dengan marah bercampur sedih cerca-cercaan itu pun di balasnya dengan kasar dan tajam pula.
Dan tidak hingga itu saja. Mala h akhirnya, ia pun terpaksa
mengadu kepada suaminya. "Tak berguna aku tinggal di rumahmu ini, Lim," katanya
dengan sedih. Abdulhalim terkejut sebagai disengat kalajengking.
"Apa sebabnya"" katanya samb il melihat kepada istrinya
dengan tercengang. "Masuk tak genap, keluar tak ganjil aku di sini. Lebih baik,
supaya sentosa pergaulanmu be rkaum keluarga, aku kembali
saja kepada orang-tuaku. Apa boleh buat ....!"
Abdulhalim memandang kepada Sutilah sebagai
mengumpat. Perempuan itu terkejut melihat pandang
sedemikian, lalu memperbaiki perkataannya. "Bukan saya
berkecil hati kepadatIbudan Adik-adik kita, Lim, sekali-kali
tidak," katanya. "Saya sangat kasih kepadanya, sebagai
kepada Jbu dan s audara sekandung saya sendiri. Tetapi Ayah
...." Abdulhalim naik darah. Dengan tidak disangka-sangka ia
pun merentak dan berkata dengan kasar dan keras, "Tak jua
berubah tingkah-lakunya! Meskipun Ibu ... sudah
menyampaikan pendapatan kita kepadanya! Tak tahan aku
lagi, biar dia ... enyah dari sini."
Kebetulan ketika itu Zubaidah sedang menyapu tiada jauh
dari tempat kedua laki-istri bercakap-cakap itu. Demi
didengarnya perkataan yang akhir itu, terlepaslah sapu dari
tangannya. Darah terselip, muka pucat, tenaga hilang, lalu ia
beringsut-ingsut ke dalam kamar. Ia merebahkan diri ke
tempat tidur, menangis terisah-isak dengan sedih. Sejak itu
Zubaidah yang lemah semangat itu tiada bangkit-bangkit lagi.
Ia pun ditimpa penyakit jantung.
Salah terimakah Zubaidah kepada anaknya" Diakah yang
disuruh enyah oleh Abdulhalim dari rumah itu" Tidak,
perkataan Sutilah terang betul terdenga r olehnya. Ia tahu, bahwa
perkataan itu terhadap kepada Suria saja! Tetapi hendak
diapakan. Suria itu suaminya! Dan tiada pula ia berkecil hati,
jika Abdulhalim kurang cinta dan tak cinta kepada ayahnya,
karena tak ada sedikit jua pun diulurkan oleh Suria tali akan
pengikat semangat anak itu sejak kecil sampai kepada masa
itu. Sesal Zubaidah terhadap kepada Suria semata-mata, dan
sesal tak putus itulah yang mendatangkan penyakit
kepadanya. Segala usaha telah dijalankan oleh Abdulhalim akan
mengobati ibunya. Dokter sudah tiga empat orang
dipanggilnya, dan kesudahan akal dan ikhtiar obat mantera
dukun pun dipintanya pula. Tatkala nyata tak menolong usaha
dukun-dukun di Bandung, maka dukun dari Tasik pun dibawa
juga oleh ibu bapaknya. Akan te tapi sia-sia belaka. Janji telah
sampai tak boleh ditambah, tali yang putus tak dapat
disambung lagi walau dengan apa jua pun.
Pada petang Kamis malam Jumat, sesudah orang
sembahyang Isya, Zubaidah mengembuskan nyawa yang
penghabisan dengan tenang dan lemah-lembut di hadapan
segala kaum-keluarganya. Dan beberapa hari sesudah mayat perempuan itu
ditanamkan, Suria tidak ada di rumah batu dalam kampung
Kejaksan lagi. Dengan terus terang Abdulhalim mengatakan, bahwa
ibunya yang masih muda itu berpulang lain tidak karena
makan hati oleh tingkah-laku ayahnya, oleh sebab disia-siakannya. Dengan tidak sembunyi-sembunyi lagi
diterangkannya kepada Suria segala berita yang diperolehnya
dari Sumedang tentang kelakuan dan perbuatan ayahnya itu
dalam waktu yang akhir di sana: hal hendak kawin dengan
seorang gadis dan hal memakai uang kas "dana kantor" itu.
Tentu saja karena itu timbul perselisihan yang hebat antara
bapak dengan anak. Rupanya ra hasia diri dan perbuatannya,
yang ditutupnya rapat-rapat dengan mengurbankan mata
pencahariannya, diketahui orang jua. Malah tiba-tiba hal itu
dibangkitbangkit oleh anaknya sendiri! Bukan kepalang
malunya, dan malu itu pun menerbitkan api sombong, marah
dan berang hatinya senyala-nyal anya. Ya, akhirnya si bapak
terpaksa mengangkat kaki dan mengayunkan langkah turun
dari rumah kandidat-amtenar itu, sedang Haji Hasbullah dua
laki istri tidak berkata sepatah kata jua, karena hatinya sedih
sesedih-sedihnya. XV. Ke Mana" Meskipun hari belum malam benar lagi, baru kira-kira pukul
sembilan lewat sedikit, tetapi desa Rajapolah dalam daerah
Tasikmalaya, sudah sunyi senyap. Tak ada kelihatan orang
berjalan atau lalu lintas dalam desa itu, tak ada kedengaran
derak derik atau derum kend araan, tak ada musik, lain
daripada bunyi cengkerik yang mendering berbalas-balas
dengan nyaring di tengah sawah. Rupanya sekalian isi desa itu
sudah tidur nyenyak, sudah bergelora dengkurnya dan
bermacam-macam mimpinya. Seba gaimana kebiasaan di desa-desa, memang orang di sana lekas mencari tempat tidur,
mengukur tikar, sebab kelela han bekerja pada siang hari
melemahkan sendi-tulangnya. Tidak, dalam sebuah rumah
panggung kecil, berdinding buluh beranyam jarang-jarang dan
beratap lalang yang telah mu muk dan tipis tak mungkin
dapat lagi menahan hujan yang agak lebat masih kelihatan
seorang laki-laki duduk membungkuk menganyam topi
daripada pandan dekat sebuah lampu minyak yang terkejap-kejap dan kurang
terang. Kalau diperhatikan laku laki-laki itu bekerja, nyata, bahwa
pekerjaan yang dihadapinya itu ti dak di hatinya. Hanya karena
terpaksa! Ia menganyam tidak dengan sungguh-sungguh.
Amat lambat dan lamban tangan dan jarinya menggerakkan
pandan, dan sebentar-sebentar ia pun tertegun, tercengang
dan mengeluh. Ketika topi bengkalai itu diletakkannya,
berkatalah seorang perempuan tua yang duduk menganyam
pula di hadapannya dengan sedih, sebagai laku hendak
menangis, "Anak, Suria! Jangan engkau ingat jua masa
yang telah lalu itu. Sudah nasibmu akan jadi begini, tawakallah
kepada Tuhan dan bekerjalah sedapat-dapatnya.''
Suria" Benar dia itu!
Hai, sudah berubah betul pa rasnya. Walaupun umurnya
belum berapa lebih daripada empat puluh satu atau empat
puluh dua tahun, tetapi rupanya sudah tua benar. Pipinya
cekung, kulitnya hitam kesat dimakan panas, rambutnya
sudah banyak uban dan tulang dadanya yang tiada ditutup
baju itu sudah boleh dibilang. Pada cahaya matanya yang
telah mulai rabun senia terbayang penderitaan dan
penanggungan yang dirasair^a. Ia sudah enam bulan tinggal
di desa Rajapola dengan seorang perempuan tua, bekas
bujang almarhum ayahnya. Keti ka ia di dalam kesenangan,
ketika jadi amtenar gubernemen yang disegani dan dihormati
orang, tak pernah ia ingat akan Mak Iyah, orang tani tua itu.
Akan tetapi setelah ia melarat, tiada bertempat diam dan tiada
berpencaharian lagi, maka bekas bujang, bekas orang gajian
itu pun sudah lebih dari keluarga dekat baginya. Dengan tiada
disangka-sangka ia sudah tiba sa ja di desa, di hadapan orang
tua itu. Mula-mula Mak Iyah tiada kenal kepadanya, sebab
berlainan benar rupanya dengan Suria yang masih terlukis
dalam ingatannya: Suria semasa muda remaja, semasa berada
dan sesudah itu semasa berpangkat dan jadi menantu orang
kaya. Demikian pada perasaannya; sangkanya Suria masih
tetap dalam kemewahan! Tapi sekonyong-konyong datanglah
Suria yang berpakaian kotor, bercelana yang berlumur debu
dan melenggang saja. Seorang kuli, jika pulang ke desa dari
kota dan lain-lain, ada juga membawa bungkusan di tangan.
Atau sebuah pikulan di bahu ....! Padahal & bulus siapa
yang akan menyangka dia manteri kabupaten" Mukanya pucat
suram, rambutnya panjang dan kusau! Tidak, Mak Iyah tak
kenal akan orang itu. "Mak," kata Suria dengan senyum pedih, ketika mula-mula
datang itu, "tak kenalkah lagi Mak kepadaku ini""
Mak Iyah memandang tenang kepada orang itu dan
menggelengkan kepalanya. "Aku Suria ...."


Katak Hendak Menjadi Lembu Karya N. St. Iskandar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Baru tersebut nama itu ia pun dipeluk oleh Mak Iyah
dengan tangis dan ratapnya. "A nak, anakku Suria, mengapa
Agan jadi begini""
Suria bercerita panjang lebar tentang yntung-nasibnya, dan
sejak itu ia pun tinggal di ruma h orang tua itu dengan niat dan
maksud hendak bekerja, bertani, dengan rajin dan sesungguh-sungguh hatinya, sambil menjauhkan dan menghilangkan diri
daripada pergaulan. Demikian isi ceritanya: Setelah keluar dari rumah anaknya dengan rajuk dan
berang, ia pergi ke setasiun. Dengan segera ia naik kereta api,
yang akan berangkat ke Jakarta ....
Baru turun dari setasiun Gambir, ia pun berkendaraan ke
Kepuh, ke rumah seorang sahabatnya, lalu menumpang di
sana. Bukan main sakit hatinya kepada Abdulhalim dan Haji
Hasbullah laki istri, sebab ia berasa sangat dihinakan oleh
mereka itu. Sumpah dan makinya tak tersudu oleh itik, tak
tercocok oleh ayam. Rumah mere ka itu akan dihitamkannya,
takkan dijejak ditempuhnya lagi selama-lamanya.
Itu sebabnya maka ditinggalkannya Bandung dengan
selekas-lekasnya. Ia teringat akan seorang klerk di kantor
Geminte Jakarta Raya, Mas Marta, yang senegeri dengan dia.
Dua tahun dahulu ia sudah tinggal dengan sahabatnya itu dua
minggu lamanya, dan sudah berjalan-jalan di kota Jakarta
yang besar dan ramai itu.
Baru tiga hari tinggal di rumah Mas Marta itu, ia pun pergi
mencari kerja ke dalam kota. Tentu saja pekerjaan tulis
menulis jua yang mula-mula teringat olehnya. Baik di kantor,
baik pun di toko sama saja, pikirnya. Asal ada pekerjaan.
Bagus betul niatnya ketika itu, seakan-akan telah mengirap
sifat malas, sifat bersenang-senang dari tubuhnya. D
ari kehormatan yang tersinggung timbullah hawa keinsafan.
Dengan sungguh ia naik kantor turun kantor, naik toko
turun toko, menawarkan diri dan meminta pekerjaan. Tak
dapat hari ini, besok Ya, tidak sekarang, besok lusa tentu
dapat juga," katanya akan pengobat-obat jerih payahnya.
"Asal rajin mencari Akan tetapi musim-"meleset" makin lama
makin merajalela jua. Jangankah kantor atau toko akan
menerima pegawai baru, sedangkan pegawai lama pun
banyak diperhentikan. Malah tokotoko banyak yang ditutup
dan dilak, sebab jatuh rugi ! Pekerjaan, perusahaan tak
terbilang yang ditiadakan. Mala ise mengamuk dengan hebat!
Suria mulai gelisah, kecut hatinya. Uang tak ada lagi,
barang-barang pakaian yang ada dalam peti sudah berangsur-angsur berpindah ke rumah batu, ke pajak gadai.
Sesal mulai tumbuh! Dalam sebulan saja sudah jauh perubahan badannya.
Cahaya kesenangan yang terlukis pada air mukanya selama ini
sudah pudar, berganti dengan bayangan sesal dan sedih. Apa
yang dipikirkannya mula-mula mudah, nyata sukar sulit
belaka. Mencari kerja masa dapat dilawan berlumba anak
muda-muda yang bersenjata lebih tajam: bertulang kuat dan
berkepandaian lanjut! Sedangkan orang yang demikian itu pun
bergelandangan di jalan raya, tiada mendapat pekerjaan,
istimewa pula Suria yang ku rang tenaga. Sedangkan anak
muda-muda lepasan sekolah Mulo, AMSi) dan HBS2), bahkan
keluaran sekolah tinggi pun tiada beroleh apa yang terbayang-bayang dalam ingatannya, apa yang dicita-citanya semasa
duduk di bangku sekolah bertahun-tahun lamanya! Sedangkan
mereka itu pun bingung dan mengeluh!
Musim susah dan sukar. Sebulan, dua bulan dan telah tiga bulan Suria menumpang
di rumah sahabatnya itu. Berapa benarlah kekuatan seorang
sahabat menanggung hidup seseorang! Sebab hal tanggung-menanggung itu bukan saja be rhubung dengan keuangan dan
tempat kediaman serta pergaulan, tetapi bersangkut-paut
benar pula dengan kerelaan dan kesucian hati. Dan Suria ....
Sedangkan anak kandungnya sendiri pun lagi merasa
kesempitan ditumpanginya, sebab sifat tabiatnya tak dapat
disesuaikannya dengan tabiat orang sekelilingnya. Apalagi
orang lain, yang tak bertalian keluarga dengan dia!
Susah, sesal, kesal, sukar dan sedih sudah mengharu
birukan semangat Suria pula.
1) Algemene Middelbare School = Sekolah Menengah
Umum = SMA. 2t Hogere Burgerlijke School = SMA.
Pukul dua belas tengah hari, sedang panas terik dan udara
bergetar menyilaukan mata, ia pun singgah ke dalam kedai
minum-minuman di sudut jalan Poncol, dekat setasiun Senen.
Kelelahan dan kehausan, lalu ia terperanyak duduk di atas
sebuah kursi. Maka dimintanyalah air es dengan susu asam
segelas. Tapi minumnya tiada lezat rupanya. Sereguk air es, sekali
keluhnya. Akhirnya ia p un bermenung, sambil menahan
kepalanya dengan tangan kiri nya. Gerak dan desus kereta
langsir, seru dan teriak kuli-ku li di setasiun, tiada kedengaran
olehnya. Oto, demmo, sado dan kendaraan lain-lain yang
bergalau lalu lintas di dekat setasiun ya ng ramai itu seakan-akan tiada dilihatnya, tiada diindahkannya, meskipun matanya
tenang memandang ke sana. Pikirannya melayang jauh ....
"Tuan datang, dari mana"" kata orang kedai kepadanya.
Suria mengangkatkan kepalanya dan memandang kepada
orang itu. "Tiada dari mana-mana, saya tinggal di sini," jawab Suria
sebagai baru habis bermimpi.
"Sudah lama""
"Baru tiga bulan."
"Di mana Tuan bekerja""
"Sedang mencari kerja."
Orang kedai memandangi tubuh Suria sejak dari kepala
sampai ke kakinya, penuh de bu; ujung kaki celananya dan
lengan bajunya sudah mengaki sepesan. Topinya sudah usang
tak tentu lagi warnanya. "Dahulu"" tanya orang keda i pula perlahan-lahan.
"Manteri kabupaten di Sumedang."
"Oh, jadi Tuan berasal dari Sumedang""
"Bukan, dari Tasikmalaya."
"Dari Tasik, kerja apa yang Tu an cari di sini sekarang""
"Apa saja, sekarang saya tak memandang pangkat lagi.
Asal dapat makan. Tetapi sungguhpun demikian tentu saja
lebih saya harapkan juga kerja yang sepadan dengan
kepandaian dan kekuatan bada n saya. Kerja kantor ...."
"Kalau diharapkan pekerjaan kantor juga, saya kira takkan
dapat," kata orang kedai itu de ngan geleng kepala. "Sebab
saya sendiri sudah mencoba berbulan-bulan lamanya. Tiap-tiap kantor sudah saya jalani, sudah saya masuki. Meskipun di
muka kantor-kantor itu ada tergantung pemberitahuan dengan
huruf besar dan terang: geen vacature, tak ada pekerjaan di
sini, tetapi saya masuk juga. Saya pergi menghadap kepala,
saya ceritakan kepadanya, untung-malang, dan saya minta
belas-kasihnya, tetapi ia mengangkat bahu saja! Sebab
memang tak ada kerja yang akan diberikannya. Oleh karena
itu, karena sudah walang dan ke cewa, lalu saya putar haluan.
Untung uang simpanan saya ada juga tinggal sedikit, lalu saya
buka kedai ini." "Dahulu Tuan jadi apa"" tany a Suria seakan-akan timbul
minatnya. "Kepala taksir pada pegadaian Negeri. Kurban penyusutan.
Apa hendak dikata! Perut tak dapat ditahan, tangis anak-anak
minta makan tak terdengarkan .... Habis akal, tawakal, maka
saya coba berkedai es. Ada juga hasilnya. Kalau Tuan suka
menurutkan nasihat saya, lebih baik Tuan ikut jejak saya ini.
Bukan maksud saya supayaTuanberjual es pula .... Bukan
karena takut akan persaingan orang itu tersenyum tidak,
melainkan supaya Tuanbersingsing lengan baju, bekerja
dengan tenaga sendiri pula! Baru sekarang, Tuan, saya insaf
bahkan saya rasai, bahwa bekerja dengan tenaga dan
kekuatan sendiri itu jauh lebih bermanfaat, jauh lebih
menyenangkan hati daripada mengaki ... kepada orang lain.
Pikiran bebas ...." Suria tercengang-cengang.
Tuan sudah berjalan-jalan di Pasar Senen, bukan" Di situ
Tuan lihat anak muda-muda berjual obral barang-barang
pelbagai macam: sabun, sisi r, gunting, pisau, buku-buku
usang, obat-obatan, kain. Tak segan-segan dan tak malu-malu
mereka itu berkedai di tanah saja, berpanas, sebaik-baik
untungnya duduk di kaki lima, di bawah ujung atap toko
orang, sambil berteriak memuji -mujikan dan mengobralkan
barang dagangannya kepada orang lalu-lintas. Tahukah Tuan,
siapa anak muda-muda itu" Kebanyakan lepasan sekolah, ada
yang dari HIS, dari Mulo, dan ad a juga yang dari ,AMS, yang
tiada berpengharapan lagi akan bekerja di kantor, akan jadi
amtenar dan sebagainya. Apa jua ditunggu lagi" Mereka itu
bersingsing lengan baju, bekerja seperti itu, sebab kehendak
perut tak dapat ditahan-tahan. Berhasil" Banyak yang telah
empunya modal barang kadarnya, tetapi yang utama sekali
mereka itu sudah terlepas daripada bahaya nganggur dan
lapar." "Benar," kata Suria dengan perlahan-lahan. "Bagus usaha
itu, tetapi berniaga tentu dengan modal. Kata Tuan tadi,
untung ada juga simpanan Tuan. Akan tetapi pada ,saya ....""
Suria mengeluh dan menundukkan kepalanya. Dan orang
kedai itu pun belas-kasihan akan dia, lalu berkata pula, "Modal
bukan uang saja, Tuan! Kecuali pengetahuan dan kepandaian,
terutama sekali kemauan dan keinsafan. Kalau kita mau
mengerjakan sesuatu dan kalau kita insaf bahwa pekerjaan itu
untuk hidup-mati kita, saya percaya, bahwa usaha kita akan
berhasil. Sekurang-kurangnya dapat untuk bertahan-tahan
larat, dan untuk menghadapkan pikiran ngelamun kepada
suatu tujuan hidup. Anak-anak itu pun mula-mula tak seorang
jua yang bermodal!" Suria te rmenung, rupanya tak lantas
angannya. "Kalau begitu," kata orang kedai itu dengan belas-kasihan " sebaik-baiknya Tuan be rbalik ke desa saja." "Apa
kerja di desa"" tanya Suria dengan tercengang. "Banyak,Tuan.
Pertama-tama di desa hidup lebih murah daripada di kota:
menumpang-numpang dengan pamili, lamun makan sesuap
pagi dan sesuap petang dapat ju ga. Akan tetapi mengapa kita
akan berlaku sedemikian" Sepert i orang sontok akal" Berusaha
seperti orang, seperti ibu bapa k dan sanak-saudara kita di
desa: bersawah, berladang, jadi orang tani! Dan di negeri
Tuan, saya kira, banyak pintu pencaharian: menganyam
tempat rokok daripada pandan, membuat topi, bakul, tempat
sirih, keranjang dan sebagainya daripada rotan."
Suria berdiam diri pula. Air mukanya yang keruh semakin
keruh. "Atau, kalau tak terasa begitu," kata orang kedai yang
ceramah itu pula," kerja lain pun tak kurang di daerah Tasik.
Lain daripada bertani, orang di sana tukang-tukang. Ada
tukang emas, ada tukan g besi, tukang tenun dan batik. Asal
tuan mau membanting tulang, maaf, jadi kuli sesuatu
pekerjaan itu akan dapat juga makan sesuap pagi dan sesuap
petang! Tentu pekerjaan itu mula-mula berat rasanya, lebih-lebih karena awak biasa bersenang-senang, biasa mencari
rezeki dengan tangkai pena. Awak amtenar .... Tetapi kalau
hati mau dan insaf, seperti kataku tadi, suatu pun tak ada
yang berat dan sulit, Tuan. Buruk disebut baik datang; lebih
baik mati bekerja, daripada ma ti kelaparan .... Ya, es susu"
Nah, pikirkan baik-baik perkataan saya itu. Saya hendak
melayani orang yang minta es itu sebentar. Ia pun berangkat
dari kedudukannya, sedang Suria termangu-mangu jua.
"Ke desa," pikirnya dengan sedih. "Baik, tetapi di mana
desaku" Ke mana aku akan pulang" Wahai, nasib ...."
Rupa Abdulhalim dan Haji Hasbullah terbayang di matanya.
Ada terkira di hatinya hendak kembali kepada mereka itu,
hendak menghamparkan sayap. Akan tetapi mereka itu
disumpahinya! Dua hari kemudian daripada itu Suria sudah ada di desa
Raja-polah. Akan ongkos ke sana, sewa kereta api dan lain-lain, dijualnya barang apa ya ng masih ada padanya. Harta-bendanya, kepunyaannya, cuma yang lekat pada tubuhnya
saja lagi, sebagai mana mula-mula kelihatan oleh mak Iyah
itu. Hendak mengapa di sana"
Suatu pun tak menjadi, suatu pun tak menarik hatinya.
Apa yang akan dapat dikerjakan oleh Suria, bekas anak
orang senang, bekas amtenar yang selalu dihormati orang,
bekas menantu orang kaya itu" Dari kecil ia belum pernah
memegang pacul, belum pernah berpanas atau berhujan di
tengah sawah! Dari kecil ( ia telah memandang hina pekerjaan
pak tani, pekerjaan buruh kasa r, sekonyong-konyong ia
akan berkubang lecah dan mandi peluh" Murah menyebut,
tetapi sukar mengerjakan! Baru ia hendak memegang tangkai
pangkur, teringat tangkai pe na. Baru hendak mengenakan
celana pendek dan baju pont ong, terkenang kain tenun
gerusan dan jas yang biasa dipakai ke kantor dan perjamuan!
Hendak berkuli, memburuh, tenaga tak ada! Dan sekali-kali
meskipun perut berbunyi-bunyi minta makan malu pun
terasa juga. Malu dahulu bias a menggoyang-goyang kaki di
atas kursi, sekarang ia akan angkat-mengangkat dan pikul
memikul barang" Serba susah, serba salah. Ini tak kuat, itu tak sanggup. Dan
sementara itu pikiran dan semangat selalu dikacaukan dan
diharu-birukan oleh sesal tak putus, sedih tak berkesudahan.
Teringat sawah dan rumah pusaka bapak, yang telah dijual
dan dihabiskan! Terkenang kebaikan istri, yang telah
meninggal dunia karena makan hati oleh perbuatan dan
kelakuan diri sendiri. Di mana tinggal kemegahan selama ini"
Akan pelengah-lengah pikiran dan akan pembeli-beli nasi
Mak Iyah, mau tak mau, ia pun bekerja juga menganyam topi
daripada pandan seperti pada malam itu.
Akan tetapi perasaannya se lalu tergoda, semangatnya
senantiasa terganggu! Hal kematian istrinya, pertengkaran anaknya dan hal
untung malang yang lain-lain, ada malam itu sekaliannya
merupa dalam ingatannya. Tiba-tiba angin bertiup serenyuk,
terus masuk rumah dari celah-cel ah dinding yang jarang itu.
Lampu minyak tanah itu pun padam. Gelap-geulita .... Azal
yang tak dapat dipikirkan!
"Oh, padam," kata Mak Iyah dengan kesal hatinya. "Ada
geretan, Suria""
"Tidak ada," jawab Suria dengan perlahan-lahan dan sedih.
Ya, sebagai nyawanyalah yang padam ... ditembus topan!
"Tunggu, saya lihat api di dapur; kalau masih hidup."
"Tak usah, Mak. Hari sudah larut, biar kita tidur," kata Suria
seraya menarik napas panjang.
Dalam gelap itu kedua orang it u pun meresek-resek tempat


Katak Hendak Menjadi Lembu Karya N. St. Iskandar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tidur masing-masing. Akan tetapi Suria, walaupun ia sampai ke
perba-ringan, ah, tiada dapat tidur dan memejamkan
matanya. Ia gelisah, pikirannya semakin berkacau.
"Nasib," keluhnya. "Tak salah nasihat patih kepadaku ....
Disangka panas akan samp ai petang! Anakku, dan
perkataan pun benar pula, karena aku maka Zubaidah
meninggal dunia itu! Dari dahulu ia makan hati karena
perangaiku, dari dahulu ia memberi nasihat kepadaku supaya
insaf, supaya mengen al awal dan akhir!
"Anakku, Halim .... Dapatkah dia disalahkan, jika hatinya
tak melekat pa da ayahnya" Apa tanda aku beranak
kepadanya" Wahai, nasib, wa hai, anakku: Halim, Saleh dan
Aminah, malang engkau berbapakan daku yang malang-celaka
ini. "Mentuaku! Apa yang kuse salkan kepadanya" Kedua-duanya-pun ada sesampai-sam painya menolong aku ini,
memelihara kehormatan dan menyenangkan menantu! Aku
jua yang tak tahu , diri!"
Rasakan putus rangkai hatinya teringat kepada mereka itu,
rasakan mau ia sebentar itu juga pergi minta maaf kepadanya.
Tergambar di matanya rupa Saleh dan Aminah yang masih
ber-bapak, tetapi dipelihara orang seperti anak yatim-piatu.
"Anakku, di mana ibumu, yang akan membelai-belai kamu
kedua sebagai selama ini dengan kasih-sayangnya" Karena
aku maka kamu, wahai, anak-anakku, jadi piatu, bahkan yatim
juga." Angin berembus sepoi-sepoi basa, daun-daun padi di
tengah sawah sekeliling rumah it u berdesir-desir. Dalam pada
itu ceng-kerik mendering jua de ngan agak tertahan-tahan,
gelang-gelang tanah mendengung dengan tiada berkeputusan
dan burung hantu mendengus-dengus di atas bubungan.
Sekalian bunyi itu bercampur, bergetar dan bergelombang
dalam lapangan ... sampai ke telinga Suria yang tengah
dimabuk sesal dalam gelap gulita itu. Pada pendengarannya,
gelombang dan alun serta getar bunyi itu tiada lain daripada
suara orang berseru-seru .de ngan sayup-sayup sampai.
Sangkanya Zubaidah memanggil dia dengan beriba-iba.
Sungguh, ketika itu ruh perempuan itu pun berdiri di
hadapannya: berpakaian serba putih.
Dengan segera Suria bangkit duduk. Ia pun mengulurkan
kedua belah tangannya ke muka, sambil berdiri dan
melangkah, seakan-akan hendak memeluk leher istrinya.
"Adinda. Edah ...." Akan teta pi makin didekatinya, bayang-bayang putih itu makin undur. Jaraknya kira-kira sejembaan,
tak dapat dipegang. Ia undur ke luar, ke tengah sawah yang
sedang berpadi, berbuah lebat. Suria menurutkan dia,
maju, maju, sedang kedua belah tangannya teranjung jua ke
hadapan. Makin lama makin cepat dan jauh ....
Bam! Suria jatuh tersungkur ke bawah pematang yang agak
tinggi. Ketika ia bangkit berdir i pula, dilihatnya bayang-bayang
tadi itu tidak ada lagi. "Astagfirullah," katanya, seraya memandang ke kiri dan ke
kanan. Sekelilingnya tiada lain daripada padi yang berdesir-desir ditiup angin. "Hendak ke mana aku dibawanya" Edah,
Edah, wahai Adinda, ke mana ak u ini hendak engkau ajak" ke
mana ..."" Badan Suria dingin bulu romanya berdiri! Akan tetapi rupa
Zubaidah yang pucat pasi, matanya yang memandang sayu
kepadanya dalam bayangan ruh itu tiada dapat dilupakan.
Dengan terharu sangat ia berpaling ke rumahnya, yang
kelihatan dari tempat itu seperti hantu hitam. Tersaruk-saruk
di batang padi, ditiup angin dingin sampai ke tulang dan
sebentar-sebentar menoleh juga ke belakang; akhirnya ia pun
sampai jua ke halaman. Ia terengah-engah, takut bercampur sedih, lalu terduduk di
atas sebuah balai-balai, seorang diri, dirayu-rayu suara gaib
yang memutuskan rangkai hati.
Makin lama ia duduk demikian, ia pun makin gelisah. Tak
senang diam. Aduhai .... Mata terlayang ke kiri dan ke kanan, Menoleh ke muka dan
ke belakang, Akan melihat dan menyaksikan, Siapa konon nan
berseru berulang-ulang"
Kilat bersabung terang sebentar, Terbayang kemewahan
indah sekali, Nampak selintas kekayaan alami, Berdesir,
bergerak dan bergetar-getar, Oleh sang angin bernyanyi riang,
Marayu kelana nan suram-malang.
Cumbuan Sri lemah-gemulai, Deru-desau si air madu al-Kausar, Disela rindu si pungguk jabar, Nikmatnya tiada dapat
dinilai. Akan tetapi bagi Suria edan,
Sekaliannya itu cibir-ejekan,
Mengapa dia, manusia nan kuat berakal,
Melarat, sengsara, berkain tambal-temambal"
Suria merenung menatap diri, Da ri dada sampai ke kaki,
Mengapa dia daif memalukan, Kulit kesat bak jangat pari,
Padahal dahulu halus menawan putri" Sekarang begini, aduhai
tuan, Sesal berungut tiada terperikan.
Ruh ayahnya pun merupa suram durja, Mengumpat,
mencela teranja-anja Kini, aduhai, buruk tiada bertara, Akibat
congkak tak kenal mara. Ia mengeluh, berhati murung,
Mata terbeliak menyadari untung,
Dan, senyum bergelut sekonyong-konyong,
Melihat asap bergelung-gelung ..
.. Zubaidah pula" Mengubit, menyeru kakanda gundah, Sayu-rawan
menunjukkan arah, Ke mana dia harus pergi, Lautan mana
hendak diarungi, Wahai, insan boneka sang kala ....
Rupanya pemandangan dan seruan gaib itu menarik hatinya
dan menggerakkan anggotanya yang lemah-lesu itu akan
berangkat .... Dan sebagai bayang-bayang ia pun berdiri pula,
berjalan, sedang mulutnya selalu bergerak menyebut-nyebut
perkataan, "Kemana dan apa ma ksudmu berlaku demikian"
Edah, Edah ..."" dengan tiada berkeputusan.
Keluh-kesah sang malam kelu sudah. Gelap-gulita lenyap,
fajar telah menyingsing di sebelah timur ....
Riang ...." Mak Iyah duduk term angu-mangu di atas balai-balai tempat Suria terpesona tadi di hadapan rumahnya.
Bilik, dapur dan sekeliling pekara ngan sudah diselidiki dan
diperiksanya. Yang dicarinya tiada bersua ....
Ia sudah tinggal sebatang kara pula. Anak yang datang
kepadanya dengan tak disangka-sangka, sudah meninggalkan
dia pula dengan sekonyong-konyong. Tak disangka-sangka
juga dan tidak pula ada kabar berita yang ditinggalkannya.
Suria telah berangkat pada malam itu.
Ke mana" Wallahu alam. Allah jua yang Mahakuasa dan mengetahui
segala hal-ihwal hambanya!
Scanned book (sbook) dan Pembuatan Ebook ini
hanya untuk pelestarian buku dari kemusnahan.
DILARANG MENGKOMERSILKAN dalam bentuk apapun
apalagi dijual dalam bentuk CD/DVD
atau hidup anda mengalami ketidakbahagiaan dan
ketidakberuntungan tamat Cintaku Selalu Padamu 1 Pendekar Rajawali Sakti 142 Istana Ratu Sihir Memanah Burung Rajawali 18
^