Pencarian

Memanah Burung Rajawali 18

Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong Bagian 18


"Tanpa perkenan dari Oey Peehu, siauwtit tidak berani meminjamkannya kepada lain
orang," Auwyang Kongcu menolak. "Harap Ang Peehu memaafkan aku."
"Hm!" Cit Kong perdengarkan suara dinginnya. Lalu ia kata di dalam hatinya,
"Benar-benar aku tolol! Mengapa aku hendak meminjam peta dari bocah ini" Dia
justru menghendaki sangat supaya Oey Lao Shia membenci muridku!"
Ketika itu dari dalam rimba terlihat munculnya serombongan orang dengan seragam
putih, yang diantar oleh seorang bujang gagu. Itulah tigapuluh dua nona-nona
tukang menari dari Auwyang Hong dan mereka segera memberi hormat seraya menekuk
lutut kepada Auwyang Hong itu sambil berkata: "Oey Laoya menitahkan kami turut
looya pulang." Tanpa memandang lagi kepada mereka itu, Auwyang Hong menggeraki tangannya
memberi tanda supaya mereka naik perahu, kemudian ia menoleh kepada Ang Cit Kong
dan Ciu Pek Thong seraya berkata: "Perahunya saudara Yok itu mungkin benar ada
rahasianya, maka itu baiklah kamu legakan hatimu, nanti perahuku mengikutinya
dari belakang, jikalau ada perlunya, akan aku memberikan bantuanku."
"Siapa kesudian kau berbuat baik kepadaku?" bentak Ciu Pek Thong gusar. "Aku
justru hendak mencoba-coba ada apakah yang aneh pada perahunya Oey Lao Shia ini!
Jikalau kau mengikuti kita, habisnya tidak ada bahaya, tidak ada bencana,
bukankah itu tidak ada artinya?"
Auwyang Hong tidak menjadi gusar, ia bahkan tertawa.
"Baiklah!" sahutnya gembira. "Sampai kita bertemu pula!"
Ia memberi hormat, terus ia naik ke perahunya.
Kwee Ceng sendiri mengawasi dengan mendelong jalanan yang diambil Oey Yong tadi.
"Adikku, mari kita naik perahu!" Ciu Pek Thong mengajak sambil tertawa. "Hendak
aku melihatnya, apakah bisa perahu ini membikin mampus kita bertiga?"
Lalu dengan sebelah tangan menarik Ang Cit Kong dan sebelah tangan yang lain
menarik adik angkatnya itu, ia bertindak turun ke perahu yang besar dan indah
itu. Di situ ada delapan bujang gagu yang menanti untuk melayani mereka. Semua
mereka itu membungkam. Melihat mereka itu, Ciu Pek Thong tertawa pula.
"Mungkin kalau satu hari Oey Lao Shia kumat tabiatnya, dia juga bakal mengutungi
lidah putrinya! Kalau itu sampai terjadi maka barulah aku percaya benar dia
mempunyai kepandaian lihay....?"
Kwee Ceng mendengar itu, ia menggigil sendirinya. Memang hebat kalau benar-benar
Oey Yok Su karena gusarnya memotong lidah anaknya.
"Apakah kau takut?" menanya Pek Thong tertawa bergelak-gelak. Tanpa memanti
jawaban, ia memberi tanda kepada si orang-orang gagu itu untuk mulai
memberangkatkan perahu itu. Mereka berlayar mengikuti angin Selatan.
"Sekarang mari kita periksa ke dasar perahu ada apanya yang aneh!" Cit Kong
mengajak. Pek Thong dan Kwee Ceng menurut, maka itu mereka lantas mulai bekerja. Mereka
mulai dari depan, lalu ke tengah, terus ke belakang. Semuanya dicat mengkilap.
Barang makanan pun lengkap: ada beras, ada daging, dan sayuran. Sama sekali
tidak ada bagian yang mana juga yang mencurigakan.
Ciu Pek Thong menjadi sangat mendongkol.
"Oey Lao Shia menipu!" teriaknya, sengit. "Dia bilang perahunya ini berbahaya,
toh bahayanya tidak ada! Sungguh menyebalkan!"
Cit Kong tapinya tetap curiga. Ia lompat naik ke atas tiang layar, ia tidak
dapatkan apa-apa yang luar biasa. Maka lantas ia memandang jauh ke laut. Ia
menampak hanya burung-burung laut beterbangan, angin meniup-niup keras,
membuatnya gelombang mendampar-dampar tanpa pangkalnya, seperti nempel langit.
Berdiam di atas kapal, ia justru merasa segar.
Ditiup angin, tiga batang layarnya membuatnya perahu menuju ke Utara.
Ketika Ang Cit Kong berpaling ke belakang, ia mendapatkan kenderaan airnya
Auwyang Hong mengikuti sejarak dua lie, terlihat nyata layarnya yang putih
sulaman dari ular-ularan yang berkepala dua sedang mengulur lidahnya.
Cit Kong lompat turun, kepada anak-anak buah ia memberi tanda agar perahu
diarahkan ke barat laut, ketika jurusan telah diubah, ia lantas melihat pula ke
belakang. Juga perahunya Auwyang Hong turut berubah, tetap mengikuti.
"Apa perlunya ia mengikuti terus?" Pek Kay menanya dirinya sendiri. "Benar-
benarkah ia bermaksud baik" Si tua bangka berancu itu tidak biasanya bertabiat
demikian baik budi...!"
Apa yang dia pikirkan itu, Cit Kong tidak beritahukan Pek Thong. Ia tahu tabiat
aneh dan aseran dari kawan ini, ia khawatir orang nanti kumat amarahnya atau
tabiat anehnya itu. Ia cuma menitahkan anak buah kapal kembali mengubah tujuan
ke timur lurus. Karena tujuan diubah, perahu berputar, bersama layar-layarnya kenderaan ini
miring dan menjadi kendor jalannya.
Belum lama, lalu tertampak perahunya Auwyang Hong pun menuju ke timur....
"Bagus juga jikalau kita mengadu ilmu di tengah laut," pikir Cit Kong kemudian.
Ia masuk ke dalam gubuk perahu. Ia tampak Kwee Ceng duduk menjublak saja, suatu
tanda pemuda itu kalut pikirannya.
"Muridku," menegur sang guru, "Mari aku ajarkan kau semacam ilmu mengemis nasi,
jikalau tuan rumah tetap tidak sudi mengamal, kau libat dia selama tiga hari
tiga malam, supaya kau buktikan nanti, dia suka mengamal atau tidak!"
Pek Thong tertawa mendengar perkataan orang itu.
"Jikalau tuan rumah memelihara anjing galak?" tanyanya. "Jikalau kau tidak
pergi, anjing jahat itu bakal menggigitnya! Habis bagaimana?"
"Tuan rumah yang demikian tidak berperasaan prikemanusiaan, kalau malamnya kau
santroni dan mencuri sepuasnya hartanya, itulah tidak melanggar hukum Thian..."
kata Cit Kong. "Adikku," Pek Thong terus menanya Kwee Ceng, "Mengertikah kau maksud gurumu" Itu
berarti dia menganjurkan kau menggerembengi mertuamu itu! Umpama kata dia tetap
tidak hendak menyerahkan putrinya dan bahkan hendak menghajar kau, maka pergilah
kau diwaktu malam membawa lari gadisnya itu!"
Mendengar demikian, mau tidak mau, Kwee Ceng tertawa. Kemudian ia mengawasi
orang jaqlan mondar-mandar, sikapnya tak tenang. Ia mendadak ingat suatu apa.
"Toako," ia menanya, "Sekarang kau hendak pergi ke mana?"
"Tidak ada tujuannya, adikku," Pek Thong menyahut. "Ke mana saja asal pesiar..."
"Aku hendak meminta sesuatu, toako...."
Pek Thong segera menggoyangi tangannya.
"Jikalau kau mau minta aku kembali ke Tho Hoa To untuk membantui kau mencuri
istri, itulah tidak nanti aku lakukan!"! sahutnya.
Merah mukanya Kwee Ceng. "Bukannya itu, toako!" ia menjelaskan. "Aku ingin toako pergi ke Kwie-in Chung
di telaga Thay Ouw."
Matanya si orang tua mencelik.
"Untuk apakah?" dia menanya.
"Chuncu dari Kwie-in-chung yaitu Liok Seng Hong ada seorang kesatria," Kwee Ceng
menerangkan. "Dia sebenarnya murid dari mertuaku, karena kerembet-rembet
urusannya Hek Hong Siang Sat, dia dihajar mertuaku itu hingga kedua kakinya
gempor, susah untuk baik kembali. Aku lihat kaki toako dapat sembuh, maka ingin
aku agar toako mengajarkan ia ilmunya supaya kakinya itu sembuh seperti
sediakala!" "Oh, itulah gampang!" sahut Pek Thong.
Kwee Ceng girang, hendak ia menghanturkan terima kasih, tatkala muncul suara
menjeblaknya pintu, lalu muncul seorang anak buah dengan romannya pucat saking
ketakutan, tapi karena ia tidak dapat bicara, dia cuma bisa menggerak-geraki
tangannya. Menduga mesti terjadi sesuatu, Cit Kong bertiga berlompat keluar untuk melihat......
* * * Oey Yong telah diajak pulang, dia terus ditarik hingga ke dalam rumah. Tentu
saja, karena dipaksa ayahnya itu, tidak dapat ia berbicara dengan Kwee Ceng. Ia
menjadi masgul dan dongkol sekali. Terus ia masuk ke dalam kamarnya, ia
menguncikan pintu. Ia menangis dengan perlahan.
Oey Yok Su menyesal juga telah mengusir Kwee Ceng karena ia menuruti hawa
amarahnya, terutama karena ia anggap si anak muda lagi menghadapi bahaya maut.
Hendak ia menghibur gadisnya tetapi Oey Yong tidak memperdulikannya. Anak ini
terus tidak membuka pintu kamarnya, diwaktu santap malam, ia tidak muncul untuk
berdahar. Ketika sang ayah menyuruh bujangnya perempuan membawa makanan naik dan
lauknya, ia lemparkan itu ke lantai hingga tumpah beserakan dan piring
mangkoknya pecah hancur. Keras Oey Yong berpkir. "Ayah akan lakukan apa yang dia ucapkan. Kalau engko Ceng datang pula ke mari,
dia bakal di hajar mati. Kalau aku buron, dilain hari aah pun tentu tidak bakal
mengasih ampun.... Pula, dengan membiarkan dia tinggal seorang diri saja, tidakkah
ia menjadi kesepian?" Bukan main berdukanya nona ini. Ia tidak dapat pikiran
yang baik. Ketika beberapa bulan yang lalu ia dimaki ayahnya, itu waktu ia buron tanpa
berpikir lagi, setelah bertemu pula dengan ayahnya itu, ia mendapatkan rambut
ayahnya itu mulai ubanan, hingga baru selang beberapa bulan, si ayah seperti
bertambah puluhan tahun. Melihat itu, ia masgul sekali, hingga ia bersumpah
tidak akan membikin ayah itu berduka pula. Sekarang" Di luar sangkaannya, ia
menghadapi ini kesulitan. Tidak buron, ia pikirkan Kwee Ceng. Kalau ia buron, ia
berati ayahnya.... Maka ia menangis sambil mendekam di pembaringan.
"Coba ibu masih hidup, tentulah ibu dapat mengambil putusan untukku.... Tidak
nanti ibu membiarkan aku bersusah hati begini..." Begitu ia berpikir, mengingat
ibunya yang sudah lama meninggalkan dunia fana ini. Ingat ibunya itu, ia menjadi
terlebih sedih. Ia berbangkit, ia membuka pintu, terus ia pergi ke thia, ruang
depan. Pintu rumahnya Oey Yok Su di pulau Tho Hoa To ini ada dipasang seperti untuk
main-main saja. Pintu besarnya siang atau malam dipentang lebar-lebar, maka itu
dengan tindakan perlahan, Oey Yong bisa keluar terus. Di luar pintu ia melihat
bintang-bintang di langit. Kembali ia berpikir keras.
"Tentulah sekarang engko Ceng sudah terpisah beberapa puluh lie dari sini,"
pikirnya. "Entah sampai di kapan aku bakal dapat bertemu pula dengannya...."
Ia menghela napas, ia menepas air mata dengan ujung bajunya. Lalu ia bertindak
ke dalam pohon-pohon bunga. Ia menyingkap cabang-cabang, ia mengebut-negbut
daun-daun, sampai ia berada di depan kuburan ibunya.
Di depan kuburan itu tumbuh pelbagai macam pohon bunga, yang di empat musim
berbunga bergantian. Semua itu ada bunga-bunga pilihan dan ditanam Oey Yok Su
sendiri. Kecuali harum bunga, dipandang diantara sinar rembulan, bunganya
sendiri pun permai indah.
Oey Yong menolak batu nisan, ke kira tiga kali, ke kanan tiga kali juga. Lalu ia
menarik ke depan. Dengan perlahan-lahan batu itu berkisar, memperlihatkan sebuah
liang atau lorong di dalam tanah. Ia bertindak ke dalam lorong itu. Ia membelok
tiga kali. Kembali ia membuka pintu rahasia, yang terbuat dari batu. Maka
tibalah ia di dalam, di kuburan dari ibunya yang pekarangannya lebar. Ia
menyalakan api, untuk memasang pelita di muka kuburan sekali.
Pintu kuburan semuanya tetlah tertutup sendirinya. Maka Oey Yong berada seorang
diri. Ia memandang gambar ibunya, yang dilukis oleh ayahnya sendiri. Ia berpikir
keras. "Seumurku belum pernah aku melihat ibuku," pikirnya. "Kalau nanti aku sudah
mati, bisakah aku bertemu dengannya" Bisakah ibu masih begini muda seperti
gambar ini, begini cantik" Di mana sekarang adanya ibu" Di atas langit atau di
bawah langit" Apakah ibu masih di dalam pekarangan yang luas ini" Baiklah aku
berdiam di sini untuk selama-lamanya, untuk menemani ibu...."
Di tembok di dalam liang kubur ini ada sebuah meja, di atas mana diletaki
pelbagai macam batu permata yang luar biasa, tidak ada satu juga yang tidak
indah. Semua itu dikumpulkan oleh Oey Yok Su dari pelbagai tempat, ketika dulu
hari ia malang melintang di kolong langit ini. Baik istana atau keraton, baik
gedung orang-orang berpangkat besar atau orang-orang hartawan, atau pun sarang-
sarang berandal, hampir tak ada tempat yang ia tidak pergikan, dan asal ada
barang permata yang ia sukai, lantas ia ambil atau ia rampas. Sebelum
mendapatkannya, belum ia puas. Ia gagah luar biasa, matanya sangat tajam, maka
ia bisa mendapatkan demikian banyak permata itu. Semua itu sekarang
dikumpulkannya di dalam kuburan istrinya itu, untuk dipakai menemani arwah
istrinya. Semua permata itu bergemerlapan tertimpa cahaya api.
Oey Yong berpkiri pula: "Semua permata ini tidak mempunyai perasaan tetapi
mereka benda yang hitung ribuan tahun tak akan rusak termusnah. Malam ini aku
melihatnya. Bagaimana kala nanti tubuhku sudah berubah menjadi tanah" Bukankah
permata ini tetap berada di dalam dunia" Benarkah makhluk yang berjiwa, makin
dia cerdik makin pendek umurnya" Oleh karena ibu cerdas luar biasa, dia cuma
hidup duapuluh tahun, lalu menutup mata..."
Ia menjublak mengawasi gambar ibunya itu. Kemudian ia padamkan api. Ia pergi ke
tepi peti kumala dari ibunya. Ia mengusap-usap sekian lama, lalu ia berduduk di
tanah, tubuhnya disenderkan kepada peti. Ia berduka sekali. Ia merasakan seperti
menyender pada tubuh ibunya. Lewat sekian lama, ia ketiduran dan pulas.
Mimpi Oey Yong. Ia merasa ia telah berada di kota raja, di dalam istana Chao
Wang dimana seorang diri ia melawan pelbagai jago. Lalu di tengah jalan di
perbatasan ia bertemu Kwee Ceng. Baru mereka bicara beberapa patah kata,
mendadak ia mendapat lihat ibunya, tak dapat, tak terlihat tegas. Ibunya itu
terbang ke langit, ia memburunya di bumi. Ibu itu tertampak terbang makin lama
makin tinggi. Ia menjadi sangat khawatir. Sekonyong-konyong ia mendengar suara
ayahnya, memanggil-manggil ibunya. Suara itu makin lama terdengar makin nyata.
Sampai di situ, mendusinlah si nona. Ia masih mendengar suara ayahnya. Ia lantas
menetapi hatinya. Sekarang ia mendapat kenyataan, ia bukan bermimpi lagi.
Ayahnya benar-benar telah berada di dalam kuburan ibunya itu, berada bersama
dia. Ia ingat, ketika ia masih kecil, sering ayahnya bawa ia ke dalam kuburan
ini, berdiam sambil memasang omong. Baru selama yang belakangan ini, jarang ia
bersama ayahnya memasukinya. Ia tidak menjadi heran yang ayahnya datang. Ia
berdiam. Diantara ia dan ayahnya itu ada menghalang sehelai kain. Karena ia lagi
mendongkol, tidak sudi ia menemui ayahnya itu. Ia mau keluar kalau nanti ayahnya
sudah pergi. Lalu ia mendengar suara ayahnya:
"Telah aku berjanji padamu hendak aku mencari Kiu Im Cin-keng sampai dapat,
hendak aku membakarnya supaya kau melihatnya, supaya arwahmu di langit mendapat
ketahui. Kitab yang sangat kau pikirkan itu, yang kau ingin ketahui apa
bunyinya, aku telah mencarinya sia-sia selama limabelas tahun. Barulah ini hari
dapat aku memenuhi keinginanmu itu...."
Oey Yong heran bukan main.
"Darimana ayah mendapatkan kitab itu?" ia menanya dalam hatinya.
Ia mendengar ayahnya bicara terus: "Bukan maksudku sengaja hendak membinasakan
mantumu itu. Siapa suruh mereka sendiri ingin menaiki perahu itu..?"
Oey Yong terkejut sendiri.
"Mantu ibuku?" pikirnya. "Apakah ayah maksudkan engko Ceng" Kalau engko Ceng
duduk di dalam perahu itu, kenapakah?"
Maka ia lantas memasang kupingnya pula.
Kali ini ayah itu bicara dari hal kesusahan hatinya dan kesepiannya sendiri
semenjak ia ditinggal pergi istrinya itu, yang cantik dan baik hatinya, yang
mencintainya. Tergetar hati Oey Yong mendengari keluh kesah ayahnya itu.
"Aku dan engko Ceng ada anak-anak baru belasan tahun, maka mustahil di belakang
hari kita tidak bakal bertemun pula," pikirnya. "Sekarang ini tidak dapat aku
meninggalkan ayah..."
Belum sempat Oey Yong berpikir lebih jauh, ia sudah dengar ayahnya berkata lebih
jauh: "Loo Boan Tong telah memusnahkan kitab bagian atas dan bagian bawah dengan
gencetan tangannya, ketika itu aku mengira tidak dapat aku mewujudkan
keinginanmu itu, siapa tahu seperti disuruh hantu atau malaikat, dia bersikeras
hendak menaiki itu perahu terpajang yang indah yang aku sengaja bikin untuk
pertemuan kita nanti..."
Kembali Oey Yong menjadi heran.
"Sering aku minta naik perahu itu, ayah selalu melarang dengan keras. Kenapa
ayah membuatnya itu untuk ia bertemu sama ibu?"
Anak ini ketahui tabiat ayahnya aneh tetapi ia masih belum tahu keinginan
terakhir dari ayahnya itu. Oey Yok Su aneh tetapi terhadap istrinya ia sangat
mencinta, sedang istri itu menutup mata karena dia. Maka ia telah memikir untuk
mengorbankan diri untuk istrinya itu. Ia tahu lihaynya kepandaiannya sendiri,
tidak nanti ia terbinasa dengan jalan menggantung diri atau meminum racun, maka
ia memikir satu cara lain. Ia pergi dari pulaunya, ia menculik pembikin perahu
yang pandai, yang ia suruh membuatnya perahu terpajang itu. Segala-galanya
perahu itu sama dengan perahu yang biasa, hanya papan dasarnya ia bukan
memasangnya kuat-kuat dengan paku, hanya ia ikat dengan tali yang dipakaikan
getah. Memang, berlabuh di muara, perahu itu terpandang indah, akan tetapi satu
kali dia berlayar di laut dan terdampar-dampar gelombang dahsyat, tidak sampai
setengah harian, dia bakal karam sendirinya. Sebab musnahlah itu "paku-pakun


Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

istimewa". Oey Yok Su telah memikir untuk membawa jenazah istrinya ke dalam
perahu itu, untuk berlayar dan nanti mati bersama di dalam gelombang, hanya
setiap kali ia mau berangkat, lalu hatinya tidak tega membawa pula anak daranya
yang manis itu. Ia juga tidak tega meninggalkan anak itu sebatang kara. Maka
diakhirnya, ia membuatnya pekuburan ini. Karena itu, perahu berhias itu
dibiarkan saja tak terpakai, setiap tahun dicat baru, hingga nampaknya terus
baru dan bagus. Oey Yong tidak ketahui pikiran ayahnya itu, maka heranlah ia. Ia terus berdiam
hingga ia mendengar pula perkataan ayahnya: "Loo Boan Tong dapat membaca kitab
Kiu Im Cin-keng di luar kepalanya, dai hapal sekali. begitu pun dengan si bocah
she Kwee itu, yang menghapalnya tak salah. Sekarang aku mengirimkan jiwa mereka
berdua, itu sama artinya dengan membakar habis kitab tersebut. Maka arwah kau di
langit, aku percaya puas dan tenanglah kau. Hanya sayang si pengemis tua she Ang
itu, tidak karu-karuan turut mengantarkan nyawnya..... Di dalam satu hari aku
membinasakan tiga ahli silat kelas satu, dengan begitu aku telah memenuhi
janjiku kepadamu, maka jikalau di belakang hari kita bertemu pula, pasti kau
akan membilangnya suamimu telah membuktikan perkataannya!"
Oey Yong kaget hingga ia bergidik. Ia belum mengetahui pasti tetapi ia dapat
menduga perahu berhias itu mestinya terpasangkan pesawat rahasia yang luar
bhiasa. Ia ketahui baik lihaynya ayahnya ini. Maka itu mungkin Kwee Ceng bertiga
sudah menjadi korban. Ia jadi sangat berkhawatir dan berduka, hampir ia
berlompat kepada ayahnya itu untuk memohon pertolongan untuk tiga orang itu.
Tapi ia terpengaruh kekhawatiran yang sangat, sampai kakinya menjadi lemas,
hingga tak kuat ia mengangkat kakinya unntuk bertindak, dan mulutnya pun tak
dapat mengeluarkan perkataan. Ia cuma mendengar suara tertawa ayahnya, yang
terus pergi berlalu. Sekian lama Oey Yong berdiam diri, ia mencoba menenangkan diri. Ia cuma berpikir
satu: "Aku mesti pergi menolongi engko Ceng! Jikalau aku tidak berhasil, aku
akan menemani dia mati...!"
Anak ini mengerti, percuma ia meminta bantuan ayahnya. Ayah itu terlalu
mencintai istrinya tidak akan bisa mengubah keputusannya. Maka ia lari keluar
dari perkuburan, terus ia ke pinggir laut, terus juga ia melompat naik ke sebuah
perahu kecil. Ia mengasih bangun seorang bujang gagu yang menjaga perahu itu,
menitahkan dia memasang layar dan mengayuh, untuk berlayar ke tengah laut.
Sementara itu terdengar tindakan kaki kuda yang lari keras dan berbareng pun
terdengar juga suara seruling dari Oey Yok Su, Oey Yong berpaling ke darat, maka
ia melihat kuda merah dari Kwee Ceng lagi lari mendatangi. Rupanya binatang itu
tak betah berdiam di pulau, malam itu ia keluar berlari-lari...
Oey Yong lantas berpkir; "Di laut begini luas, ke mana aku mesti cari engko
Ceng" Kuda kecil itu memang luar biasa tetapi begitu ia meninggalkan tanah, ia
pun tak dapat berbuat apa-apa lagi...."
Bab 40. Habis cucut, datang ular....
Bab ke-40 cersil Memanah Burung Rajawali.
Begitu lekas Ang Cit Kong, Ciu Pek Thong dan Kwee Ceng tiba di luar gubuk
perahu, mereka merasakan kaki mereka basah. Nyata mereka telah menginjak air,
atau kaki mereka kena kerendam air. Tentu sekali mereka menjadi sangat kaget.
Tapi mereka sadar, maka itu dengan menjejak tanah, dengan mengenjot tubuh,
mereka berlompat naik ke tiang layar. Cit Kong bahkan sambil menenteng dua
bujang gagu. Ketika ia memandang ke sekitarnya, yang nampak ialah laut yang
luas, perahunya sudah tergenang air.
"Pengemis tua, Oey Lao Shia benar hebat!" berteriak Pek Thong. "Bagaimana perahu
ini dibuatnya?" "Aku juga tidak tahu!" menjawab Ang Cit Kong. "Eh, anak Ceng, kau peluki tiang,
jangan kau lepaskan....!"
Kwee Ceng belum menjawab ketika mendadak, di antara suara keras, badan perahu
terbelah menjadi dua. Kedua anak buah kaget sekali, sampai pelukannya kepada
tiang layar terlepas dan tubuhnya kecebur ke air.
"Loo Boan Tong, kau bisa berenang atau tidak?" Cit Kong tanya.
"Coba-coba saja!" sahut Pek Thong tertawa. Suaranya tersampok angin hingga tak
terdengar nyata. Mereka terpisah.
Perlahan perahu tenggelam, sebagaimana tiang layar melesak perlahan ke dalam
air. Hanya pasti, tidak lama lagi, tiang itu bakal tenggelam juga.
Ang Cit Kong mendapat pikiran.
"Anak Ceng!" ia berkata, "Tiang ini menjadi satu dengan tubuh perahu, mari kita
patahkan! Mari!" Kwee Ceng menurut, maka keduanya lantas mengerahkan tenaga mereka. Dengan
berbareng mereka menebas dengan tangan mereka kepada batang tiang.
Tidak peduli tangguhnya tiang, serangannya dua orang itu toh membuatnya patah.
Maka dengan keduanya memeluki terus hingga mereka jatuh ke air. Dengan terus
memegang tiang itu, mereka tidak kelelap. Mereka pun bisa berenang.
Cit Kong mengeluh di dalam hati. Mereka sudah terpisah jauh dari tepian, di
sekitarnya tak nampak daratan. Tanpa pertolongan, biar bagaimana kosen, mereka
toh akan mati haus dan kelaparan.
Di sebelah selatan, di tengah laut, terdengar suara tertawa berkakakan. Itulah
suaranya Ciu Pek Thong. "Anak Ceng, marilah kita hampirkan dia!" Cit Kong mengajak.
Kwee Ceng menurut, maka dengan berpegangan tiang, sambil mengayuh, mereka
berenang ke arah si tua berandalan itu. Beberapa kali mereka terdampar balik
ombak yang keras. Angin keras, gelombang berisik, suaranya Pek Thong toh masih
terdengar lapat-lapat. Maka mereka mencoba berenang terus.
Tidak lama, terdengar pula suaranya Pek Thong itu: "Loo Boan Tong telah berubah
menjadi anjing kecemplung ke air! Inilah sup asin yang dipakai untuk menggodok
si anjing tua...!" Mau tidak mau, Kwee Ceng tertawa. Masih saja kakak itu bergurau, berguyon.
Tidakkah mereka lagi menghadapi bahaya maut" Sekarang terbukti benar-benar
artinya "Loo Boan Tong", si bocah bangkotan yang nakal.
Mereka mencoba terus, akhirnya tidaklah sia-sia percobaan mereka itu. Tidak lama
berselang, mereka toh datang dekat satu pada lain. Sekarang terlihat nyata, Pek
Thong itu menolong diri dengan mengikat kakinya kepada papan perahu, dengan
begitu ia menjadi bisa berdiri di atas air dan berjalan dengan bantuan ilmunya
ringan tubuh, sang gelombang tidak menjadi rintangan. Pantas ia bisa berkelakar
seperti tidak menghiraukan bahaya kehausan dan kelaparan.
Kwee Ceng menoleh ke belakang. Perahunya sudah lenyap dari muka laut. Dengan
begitu paszi hilang sudah semua anak buah perahu itu terkubur di dasar laut.
Disaat itu, sekonyong-konyong terdengar teriakan Ciu Pek Thhong: "Ayo! Hebat!"
Cit Kong dan Kwee Ceng menoleh dengan cepat, mereka pun menanya ada apa. Pek
Thong menuju ke arah jauh: "Lihat di sana! Cucut! Sebarisan ikan cucut!"
Kwee Ceng menjadi besar di gurun pasir, tak tahu ia hebatnya ikan cucut atau
hiu, maka heran ia menampak gurunya berubah air mukanya. Kenapa guru itu nampak
jeri begitu pun Pek Thong, sedang keduanya sangat lihay"
Cit Kong menhajar tiang layar, ia membikin patah, lalu potongan yang satu ia
pegangi sendiri, yang lain mau ia menyerahkannya pada Kwee Ceng.
Hampir itu waktu, air laut di depan mereka menjublar, lalu tertampak munculnya
seekor ikan cucut yang mulutnya dipentang, hingga nampak dua baris giginya yang
putih yang mirip gergaji, berkilau di bawah sinar matahari. Hanya sebentar saja,
dia sudah selam pula. "Hajar kepalanya!" kata Cit Kong pada Kwee Ceng sambil menyerahkan potongan
tiang layar itu, untuk dijadikan pentungan.
Kwee Ceng tapinya merogoh ke sakunya.
"Teecu ada punya pisau belati!" sahutnya. Dan ia lemparkan pentungan itu kepada
Ciu Pek Thong, yang menyambutinya.
Lalu datang empat atau lima ekor ikan, yang mengurung mereka. Mungkin belum
jelas, binatang laut itu tidak segera menyerang.
Pek Thong membungkuk, tangannya terayun. Hanya sekali kemplang, pecahlah
kepalanya seekor ikan. Begitu membaui darah, ikan-ikan itu menyambar tubuh kawannya, kemudian mereka
disusul sama yang lainnya, mungkin puluhan atau ratusan ekor. Mereka itu tak
kenal kawan, mereka cuma tahu daging harus dicaplok.
Kwee Ceng terkejut melihat keganasan binatang-binatang itu! Selagi ia mengawasi,
ia merasakan kakinya ada yang bentur. Lekas-lekas ia tarik kakinya itu. Dengan
bergeraknya air, seekor cucut menyambar kepadanya. Ia mendorong tiang layar
dengan tangan kirinya, untuk berkelit ke kanan, sebaliknya tangan kanannya
menyerang. Tepat serangan itu, pisau belatinya pun pisau belati mustika, maka
sekali tikam saja, berlobanglah tubuh ikan, darahnya mengucur keluar. Maka ia
pun lantas diserbu kawan-kawannya...!
Demikian tiga orang itu bertempur dengan kawanan ikan galak itu, mereka main
berkelit, saban hajarannya terus meminta korban. Bgausnya untuk mereka, asal ada
korban, korban itu dikepung ramai-ramai oleh ikan yang lainnya. Hanya
menyaksikan keganasan ikan-ikan itu, hati mereka terkesiap juga.
Yang hebat, ikan itu banyak sekali, tak dapat semuanya dibunuh habis. Mungkin
mereka sudah membinasakan duaratus ikan ketika mereka mendapatkan matahari mulai
doyong ke barat.... "Pengemis tua bangka! Adik Kwee!" berseru Ciu Pek Tong. "Kalau sebentar langit
gelap, tubuh kita bertiga, sepotong demi sepotong bakal masuk ke dalam perut
ikan! Sekarang mari kita bertaruh, siapakah yang bakal paling dulu di gegares
cucut...?" Cit Kong nyata tak kurang jenakanya.
"Yang digegares cucut itu yang menang atau yang kalah?" tanyanya.
"Tentu saja dia yang menang!" ia mendapat jawaban.
"Oh!" berteriak Cit Kong. "Kalau begitu, lebih suka aku kalah!"
Kata-kata ini disusuli sebatan tangan dengan jurus "Naga sakti menggoyang ekor",
maka seekkor cucut, yang mendadak menyambar kepadanya, kena terhajar mampus,
setelah dua kali meletik, ikan itu berdiam, tubuhnya mengambang, kelihatan
perutnya yang putih. Besar sekali ikan itu.
"Tangan yang lihay!" Pek Thong memuji. "Hayo, kau sebenarnya mau bertaruh atau
tidak"!" "Maafkan aku, tidak dapat aku menemani kau!" Cit Kong menolak, tetapi ia tertawa
lebar. Pek Thong pun tertawa terbahak-bahak.
"Eh, adik, kau takut atau tidak?" ia tanya adik angkatnya.
"Mulanya takut, tapi sekarang tidak lagi," sahut Kwee Ceng. Sebenarnya ia jeri
tetapi menyaksikan keberanian guru dan kakak angkatnya itu, yang demikian
gembira, ia pun jadi ketarik hatinya. Ia tengah berkata begitu ketika seekor
ikan menyambar ke arahnya. Ia lantas berkelit, tangan kirinya diangsurkan.
Itulah pancingan. Ikan itu kena dijebak. Dia berlompat ke muka air dan
menuburuk! Kwee Ceng menyingkirkan tangan kirinya, yang hendak disambar itu, berbareng
dengan itu, dengan tangan kanannya ia menikam. Pada tangan kanan ini ia mencekal
pisau belatinya. Tepat pisau ini menancap di tenggorokannya ikan. Tapi ikan lagi
berlompat, piasu itu nyempret ke bawah sampai di perutnya, hingga dia seperti
terbelek. Segera ia mati, perutnya udal-udalan, darahnya mengalir ke luar.
Itu waktu Ang Cit Kong dan Ciu Pek Thong juga telah dapat membinasakan masing-
masing seekor lagi, hanya kali ini, Pek Thong merasakan dadanya sakit. Inilah
sebab sakitnya belum pulih bekas dihajar Oey Yok Su. Tapi ia tertawa ketika ia
berkata: "Pengemis tua, adik Kwee, maaf, tidak dapat aku menemani kau lebih lama
pula. Hendak aku berangkat lebih dulu ke dalam perutnya si cucut!"
Habis berkata, Pek Thong berpaling, justru ia melihat sebuah layar putih dan
besar lagi mendatangi. Cit Kong juga sudah lantas mendapat lihat layar itu, bahkan segera ia mengenali
kayar perahunya Auwyang Hong.
Tiga orang ini mendapat harapan, maka semangat mereka seperti terbangun. Kwee
Ceng mendekati Pek Thong, untuk membantu kakak angkatanya itu.
Lekas sekali, perahu besar telah tiba, dari situ lantas dikasih turun dua perahu
kecil, untk menolongi tiga orang itu.
Pek Thong memuntahkan darah tetapi ia masih bicara sambil tertawa, suatu tanda
nyalinya sangat besar, kematian dipandang sebagai berpulang.... Ia menunjuk kepada
kawanan hiu itu dan mencaci kalang kabutan.
Auwyang Hong dan keponakannya menyambut di kepala perahunya. Hati mereka gentar
akan menyaksikan di laut situ berkumpul demikian banyak ikan hiu itu....
Tapi Auwyang Hong menjadi ketarik hatinya. Ia suruh beberapa orangnya memancing,
umpamnya daging, maka lekas sekali mereka dapat mengail delapan ekor ikan ganas
itu. "Bagus!" tertawa Ang Cit Kong sambil menuding ikan itu. "Kau tidak dapat gegares
kami, sekarang kamilah yang bakal gegares dagingmu!"
Auwyang Kongcu tertawa. "Keponakanmu ada mempunyai daya untuk peehu membalas sakit hati!" katanya. Ia
perintah orangnya mengambil bambu, yang terus diraut lancip dan tajam, kemudian
sesudah dengan tombak mulut ikan dipentang, tonggak bambu itu dikasih masuk ke
dalam mulut ikan itu, yang akhirnya dilepas pulang ke laut.
"Inilah cara untuk membikin mereka untuk selamanya tidak dapat makan!" berkata
si anak muda sambil tertawa. "Berselang delapan atau sepuluh hari, mereka bakal
mampus sendirinya!" "Inilah kekejaman!" pikir Kwee Ceng. "Cuma kau yang dapat memikir akal ini. Ikan
yang doyan gegares ini bakal mati kelaparan, sungguh hebat!"
Ciu Pek Thong melihat sikap tak puas dari Kwee Ceng, ia tertawa dan berkata:
"Anak, kau tidak puas dengan ini cara, kejam sekali, bukankah" Ini dia yang
dibilang, kalau pamannya yang jahat mesti ada keponakan yang jahat juga."
Adalah biasa bagi See Tok Auwyang Hong, jikalau orang mengatakan dia jahat, dia
tidak menjadi kurang senang, bahkan sebaliknya, dia girang sekali. Maka itu
mendengar perkatannnya Ciu Pek Thong, dia tersenyum.
"Loo Boan Tong," dia berkata, "Permainan kecil sebagai ini apabila dipadu sama
kepandaiannya si mahkluk berbisa bangkotan bedanya masih sangat jauh. Kamu
bertiga telah dikeroyok sekawanan cucut cilik, tetapi kamu sudah lelah hingga
tak dapat bernapas. Untukku, itulah keroyokan tidak berarti."
"Oh, si mahluk berbisa bangkotan sedang mengepul!" berkata Ciu Pek Thong.
"Jikalau kau dapat mengeluarkan ilmu kepandaianmu dan sanggup membuatnya semua
cucut ini terbasmi habis, maka aku si bocah bangkotan yang bakal berlutut dan
mengangguk-angguk di hadapanmu dan tigaratus kali dan aku akan memanggil engkong
padamu!" "Sampai begitu, itulah aku tidak berani terima," berkata Auwyang Hong. "Jikalau
kau tidak percaya, bolehlah kita berdua bertaruh!"
"Bagus, bagus!" berseru Pek Thong. "Bertaruh kepala pun aku berani!"
Ang Cit Kong sebaliknya bersangsi.
"Biarnya ia pandai mengukir langit, tidak nanti dia dapat membunuh ikan ratusan
itu semua," pikirnya. "Aku khawatir dia mengandung maksud jahat lainnya..."
Auwyang Hong tertawa. "Bertaruh kepala orang, itulah tak usah!" katanya. "Jikalau aku menang, cukup
aku minta kau melakukan satu apa yang kau tidak dapat tampik, dan jikalau aku
yang kalah, terserah kepadamu kau hendak menitahkan apa padaku. Kau lihat,
tidakkah ini bagus?"
"Taruhan apa juga yang kau kehendaki, aku terima!" menjawab Ciu Pek Thong.
Auwyang Hong segera berpaling kepada Ang Cit Kong.
"Aku minta saudara Cit menjadi saksi!" katanya.
"Baik!" Cit Kong menerima. "Hanya hendak aku menanya, kalau seorang menang dan
apa yang dia kehendaki, orang yang kalah tidak dapat melakukannya atau dia
menolak untuk melakukannya, bagaimana?"
"Dia harus terjun ke laut supaya dia digegares cucut!" berkata Ciu Pek Thong.
Auwyang Hong tersenyum, ia tidak membilang suatu apa, dia hanya menitah satu
orangnya membawakan dia sebuah cangkir kecil terisi arak, lalu dengan dua jari
kanannya ia menjepit lehernya ular di kepala tongkatnya, untuk mementang
mulutnya, maka dari mulut itu terus mengalir keluar racunnya, masuk ke dalam
cawan itu, habis mana itu cawan ia sambuti. Di situ terlihat bisa ular memenuhi
separuh cangkir, warnanya hitam. Kemudian ia meletaki ularnya, ia ambil yang
seekor pula, untuk dikeluarkan juga racunnya seperti pertama tadi.
Habis dikuras bisanya, kedua ular itu melilit di ujung tongkat, tubuhnya tak
berkutik, rupanya keduanya sangat letih dan tenaganya habis.
Auwyang Hong memerintah mengambil seekor cucut, diletaki di lantai perahu.
Dengan tangan kiri ia pegang mulutnya ikan itu bagian atas, mulutnya bagian
bawah ia injak dengan kakinya, begitu ia mengerahkan tenaganya, mulut ikan itu
terus terpentang lebar. Tidak tempo lagi, bisa ular di dalam cawan itu dituang
ke dalam mulut ikan. Setelah itu, mulut ikan itu dilepaskan hingga menjadi
tertutup pula. Akhirnya, See Tok memperlihatkan kepandaiannya yang lihay. Ia
geraki tangan kirinya, ia menyolok menampak ke perut ikan itu, lalu ia
mengangkat dengan kaget, menyusul mana tubuh ikan yang besar itu terlempar ke
laut, suaranya menjublar hebat, air lautnya muncrat tinggi.
"Ah, aku mengerti sekarang!" Pek Thong berseru tertawa. "Inilah caranya si
pendeta tua bangka mematikan kutu busuk!"
"Toako, apakah artinya si pendeta tua bangka mematikan kutu busuk?" Kwee Ceng
tanya. "Kau belum tahu?" menyahut sang toako. "Di waktu dulu di kota Pianliang ada


Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seorang pendeta yang jalan mengitar di jalan-jalan besar sambil berteriak-teriak
menjual obat peranti membinasakan kutu busuk, katanya obatnya sangat manjur,
umpama kata obatnya itu tidak dapat membinasakan kutu busuk hingga habis bersih,
ia suka mengganti kerugian pada si pembeli dengan harganya obat sepuluh kali
lipat. Dengan caranya ini ia menjadi dapat banyak pembeli, obatnya sangat laku.
Tinggal si pembeli obat. Satu pembeli pulang untuk menyebar obatnya di
pembaringannya. Malamnya" Haha! Kawanan kutu busuk tetap datang bergumul-gumul,
dia digigiti hingga setengah mampus! Besoknya dia cari si pendeta, dia minta
ganti kerugian. 'Tidak bisa jadi obatku todak mujarab!' kata si pendeta. 'Kalau
benar gagal, tentulah kau salah memakainya....' Si pembeli tanya, 'Habis bagaimana
cara memakainya"' Si pendeta menyahuti: ' Kau tangkap si kutu busuk, kau pentang
bacotnya, kau cekuki dia obat ini. Jikalau kutu busuk itu tidak mampus, besok
baru kau datang pula padaku...' Pembeli itu jadi mendongkol. Katanya, 'Kalau aku
dapat tangkap kutu busuk itu, asal aku pencet, masa dia tidak mampus" Kalau
begitu, untuk apa aku beli obatmu"' Lalu si pendeta menyahuti secara enak saja,
'Memangnya aku pun tidak larang kau memencetnya!'"
Mendengar itu Kwee Ceng, Ang Cit Kong dan Auwyang Kongcu juga tertawa berkakak.
Hanya See Tok si Bisa dari Barat meneruskan berkata: "Obatku tidak sama dengan
obat peranti mematikan kutu busuk dari pendeta itu."
"Coba kau menjelaskannya," minta Ciu Pek Thong.
Auwyang Hong menunjuk ke laut.
"Nah, kau lihat di sana!" sahutnya.
Cucut tadi, setelah jatuh di air, dia timbul pula, perutnya lebih dulu. Dia mati
dengan lantas. Segera setelah itu, tujuh atau delapan ekor cucut lainnya datang,
untuk menyambar menggigit, menggerogoti dagingnya, disusul oleh yang lainnya
lagi. Sebentar saja, cucut itu habis tinggal tulang-tulangnya yang tenggelam ke
dasar laut. Hanya aneh semua cucut yang menggerogoti itu, hanya berselang
beberapa menit, pada timbul pula dengan perut di atas, tubuhnya mengambang.
Sebab semauanya telah mati. Lalu mereka dikeroyok pula oleh yang lain-lainnya,
yang masih hidup. Kejadian ini terulang lagi. Setaip cucut yang memakan daging
kawannya lantas mati, dia digegaresi kawan lainnya, kawan ini pun mati dan
menjadi makanan kawannya lagi. Demikian seterusnya, matilah setiap cucut yang
makan daging kawannya sendiri. Maka juga selang sekian lama, bukan puluhan
melainkan ratusan mayat cucut pada mati ngambang. Mungkin itu akan menjadi
ribuan korban.... Menyaksikan itu, Ang Cit Kong menghela napas.
"Tua bangka beracun, tua bangka beracun!" katanya. "Dayamu sungguh-sungguh
sangat jahat! Cuma bisanya dua ekor ular, korbannya begini banyak...."
Auwyang Hong tidak menjawab hanya ia mengawasi Ciu Pek Thong, dia tertawa girang
sekali, tandanya hatinya sangat puas.
Pek Thong membanting-banting kakinya, tangannya mencabuti kumisnya.
Di muka air, di sana sini, terlihat hanya mengambangnya bangkai-bangkai cucut.
"Saudara Hong," kata Cit Kong kemudian, "Ada satu hal yang aku tidak mengerti,
ingin aku kau menerangkannya."
"Apa itu saudara Cit?" tanya Auwyang Hong.
"Racunmu secangkir, kenapa lihaynya begitu rupa dapat membinasakan cucut begini
banyak?" "Itulah sederhana saja!" Auwyang Hong tertawa. "Inilah disebabkan bisa ularku
berbisa luar biasa. Kalau bisa ini dimakan seekor ikan, ikan itu keracunan,
lantas semua dagingnya menjadi beracun juga, kalau dia dimakan oleh cucut yang
lain, cucut itu pun mati keracunan. Keracunan ini terjadi terus-menerus,
racunnya bahkan jadi semakin hebat, bukannya menjadi berkurang. Dan bekerjanya
racun tak habis-habisnya."
Kata-katanya See Tok ini dibuktikan dengan cepat. Kecuali bangkai cucut, di situ
tidak ada cucut lainnya lagi yang masih hidup. Mungkin ada yang telah kabur.
Ikan-ikan kecil pun menjadi korban cucut atau kabur juga....
Laut lantas menjadi tenang seperti biasa.
"Lekas, lekas menyingkir!" berkata Cit Kong. "Hawa racun di sini sangat hebat!"
Auwyang Hong memberikan titahnya maka tiga buah layar perahunya dikerek naik,
hingga di lain saat perahunya itu sudah menggeleser menuruti sampokan angin
Selatan menuju ke barat laut.
"Tua bangka berbisa, benar-benar bisamu hebat," berkata Pek Thong kemudian.
"Sekarang kau menghendaki aku berbuat apa" Kau bilanglah!"
Auwyang Hong tertawa. "Silahkan tuan-tuan masuk ke dalam dulu untuk menyalin pakaian," ia berkata.
"Kita pun perlu dahar dan beristirahat. Tentang pertaruhan, kita boleh bicarakan
perlahan-lahan." "Tidak, tidak bisa!" berkata Pek Thong, yang tidak sabaran. "Kau mesti
menyebutkannya sekarang juga!"
Auwyang Hong tertawa. "Kalau begitu, saudara Pek Thong, silahkan ikut aku!" katanya.
Kwee Ceng dan Ang Cit Kong melihat Pek Thong diajak Auwyang Hong dan
keponakannya ke perahu bagian belakang, mereka sendiri di minta datang ke gubuk
depan dimana empat nona berseragam putih muncul untuk melayani.
Cit Kong tertawa, dia berkata; "Seumurku, aku si pengemis tua, belum pernah
begini beruntung....!"
Ia lantas dibukai pakaiannya, tubuhny digosoki dengan sabun.
Mukany Kwee Ceng merah, ia tidak berani meloloskan pakaiannya.
"Takut apa?" kata Ang Cit Kong tertawa. "Masa kau nanti digegares?"
Dua nona menghampirkan, akan membukai sepatu dan ikat pinggangnya. Pemuda ini
lantas mendahului membuka sepatunya, ia menutupi diri dengan seprai, dengan cara
itu ia menukar baju dalam.
Cit Kong tertawa lebar, begitu pun keempat nona pelayan itu....
Baru habis mereka berdandan, dua nona datang membawa masing-masing penampan
berisikan arak, sayur dan nasi putih. Katanya mereka, majikan mereka
mempersilahkan keduanya dahar seadanya saja,
Kwee Ceng sudah lapar, ia lantas menyeret kursi.
"Mari, suhu!" ia mengajak.
"Kamu pergi dulu," kata Cit Kong kepada kedua nona itu, tangannya diangkat, "Aku
si pengemis tua tidak dapat dahar, apabila aku melihat nona-nona cantik manis!"
Kedua nona itu tertawa, mereka berlalu seraya menutup pintu perahu perlahan-
lahan. "Lebih baik jangan makan ini," ia bilang. "Si tua bangka berbisa sangat licin
dan licik. Kita makan nasi putih saja."
Habis berkata, Cit Kong menurunkan cupu-cupu araknya, ia membuka tutupnya dan
menggelogoki dua ceglukan, setelah itu, ia mulai dahar, nasi saja. Kwee Ceng
turut dahar. Mereka makan tiga mangkok. Sayurannya mereka tuang ke bawah lantai
perahu. "Entah dia minta apa dari Ciu Toako," kata Kwee Ceng kemudian.
"Entahlah, tetapi pasti sudah bukan urusan benar!" sahut Cit Kong.
Ketika itu pintu dibuka perlahan-lahan, satu nona berdiri di depan pintu.
"Ciu Loo-ya-cu mengundang tuan Kwee ke belakang," kata dia.
Kwee Ceng mengawasi gurunya, terus ia ikut budak itu. Mereka jalan dari samping
pergi ke belakang. Angin mulai meniup keras, perahu terombang-ambing. Si nona
bertindak perlahan, tetapi terang ia mengerti ilmu silat. Di belakang, ia
mengetok pintu tiga kali, perlahan-lahan, lalu ia menanti sebentar, untuk
kemudian membukanya pintu dengan perlahan juga. Ia pun kata dengan perlahan:
"Tuan Kwee sudah datang!"
Kwee Ceng masuk ke dalam, lantas pintu di belakang ditutup rapat. Ia lihat
sebuah ruang kosong, tidak ada orangnya. Ia heran. Tengah ia berpikir, pintu di
samping kiri ditolak, di situ muncul Auwyang Hong serta keponakannya.
"Mana Ciu Toako?" tanya Kwee Ceng.
Auwyang Hong tidak lantas menyahuti, ia hanya menutup dulu daun pintu, lalu ia
maju satu tindak. Mandadak saja ia mengulur sebelaha tangannya menyambar tangan
kiri Kwee Ceng. Pemuda ini tidak menyangka jelek, orang pun sangat sebat, tak
dapat ia menghindarkan diri. Bahkan ia terus dipencet nadinya hingga ia tak
dapat berkutik lagi. Di lain pihak Auwyang Kongcu dengan sangat gesit menyambar
pedang di dinding perahu, menghunus itu, ujungnya terus diancamkan ke
tenggorokan orang! Kwee Ceng berdiri menjublak. Ia bingung hingga ia merasakan kepalanya pusing. Ia
tidak mengerti, apa maksudnya itu paman dan keponakan.
Lalu terdengar Auwyang Hong tertawa tawar.
"Loo Boan Tong telah kalah bertaruh denganku," katanya, "Tetapi ketika aku
titahkan ia melakukan sesuatu, ia menolak!"
"Oh...!" Kwee Ceng berseru tertahan. Ia mulai mengerti.
"Aku menyuruh ia menulis Kiu Im Cin-keng untuk aku lihat," Auwyang Hong
memberikan keterangan terus. "Lalu ia membilangnya bahwa itulah tidak masuk
hitungan!" Kwee Ceng pun berpikir, "Tentu sekali mana toako sudi mengajarimu...?" Ia lalu
menanya: "Mana Ciu Toako?"
Auwyang Hong tertawa pula dengan dingin.
"Dia telah membilang, jikalau dia tidak bicara, ia nanti terjun ke laut untuk
tubuhnya dipakai memelihara ikan cucut," ia menyahuti. "Kali ini dia tidak
menyangkal." Kwee Ceng kaget tidak terkira.
"Dia...dia..." serunya. Ia mengangkat kakinya, berniat lari keluar. Tapi keras
cekalannya See Tok, ia terus ditarik kembali.
Auwyang Kongcu pun menggeraki tangannya maka ujung pedangnya membuat baju orang
pecah dan dan membentur tubuh.
Auwyang Hong menuding ke meja di mana ada alat-alat tulis.
"Di jaman ini cuma kau satu orang yang mengetahui seluruh isi kitab," ia berkata
bengis, "Maka lekaslah kau tulis semua ittu!"
Anak muda itu menggeleng kepala.
Auwyang Kongcu tertawa. "Kau tahu," katanya, "Sayur dan arak yang tadi kau gegares bersama si pengemis
tua telah dicampuri racun, jikalau kamu tidak makan obat pemunah istimewa buatan
kami, dalam tempo duabelas jam diwaktu mana racunnya bekerja, kamu akan mampus
seperti itu ikan-ikan hiu di dalam laut! Asal kau sudah menulis, jiwa kamu
berdua bakal diberi ampun...."
Kwee Ceng kaget. "Baiknya suhu cerdik, kalau tidak, tentulah kita celaka!"
pikirnya. Menampak orang berdiam saja, kemabali Auwyang Hong tertawa dingin.
"Kau telah mengingat baik bunyinya kitab, kau tulislah, untukmu tidak ada
ruginya sedikit juga," ia membujuk. "Apa lagi yang kau sangsikan?"
Mendadak kwee Ceng memberikan penyahutannya yang berani: "Kau sudah membikin
celaka kakak angkatku, denganmu aku mendendam sakit hati dalamnya seperti
lautan! Jikalau kau hendak bunuh, kau bunuhlah! Untuk memikir aku sudi menyerah,
itulah pikiran yang tidak-tidak!"
"Hm, bocah yang baik!" kata Auwyang Hong dingin. "Kau benar bersemangat! kau
tidak takut, baik, tetapi apakah kau juga tidak hendak menolongi jiwa gurumu?"
Belum lagi Kwee Ceng memberikan jawabannya, pintu perahu bagian belakang itu
bersuara sangat nyaring, lalu daun pintunya ambruk dan pecah berantakan, yang
mana disusul sama sambarannya air yang mengarah ke mukanya Auwyang Hong.
See Tok terkejut tetapi ia telah dapat menduga, itulah mestinya perbuatannya Ang
Cit Kong, kapan ia sudah mengangkat kepalanya, ia nampak Pak Kay muncul di
ambang pintu dengan masing-masing tangannya menentang setahang air. Ia
menginsyafi lihaynya si Pengemis dari Utara itu, bahwa tenaga banjuran air itu
hebat, bahwa kalau ia kena dibanjur, meski ia tidak terluka parah, luka sedikit
itulah mesti. Maka itu sebat luar biasa ia menjejak dengan kedua kakinya,
berlompat ke kiri. Sambil berlompat, ia pun menenteng tubuhnya si anak muda. Ia
tidak mau melepaskan cekalannya yang kuat itu.
Hebat banjuran itu, air muncrat ke segala penjuru.
Auwyang Konngcu tak sesebat pamannya, sedangnya ia kaget, ia sudah kena dicekuk
leher bajunya oelh Ang Cit Kong, yang sambil memanjur sambil lompat maju, hingga
ia pun kena ditenteng tanpa berdaya.
Segera si pengemis tua mengasih dengar tertawanya yang panjang.
"Makhluk beracun bangkotan!" katanya, "Dengan segala daya kau hendak mencelakai
aku, syukur Thian tidak mengijinkannya!"
Benar-benar licik si Bisa dari Barat ini. Begitu ia melihat keponakannya
tertawan, ia lantas tertawa.
"Saudara Cit," katanya, "Apakah kau hendak menguji juga kepandaianku" Kalau
benar, nanti saja di darat kita mengukur tenaga, temponya masih belum kasep."
Ang Cit Kong juga tertawa, sedikit pun ia tidak menunjuki kegusarannya.
"Kau demikian baik sekali dengan muridku, hingga kau mencekal erat-erat padanya
dan tidak hendak melepaskan tanganmu!" katanya.
Auwyang Hong tidak sudi mengadu bicara, ia merasa keteter.
"Aku telah bertaruh dengan Loo Boan Tong, aku telah menang, bukan?" ia menanya,
menyingkir dari saling ejek. "Bukankah kau saksiknya" Loo Boan Tong menyalahi
janji, maka sekarang terpaksa aku mesti menanyakan kepadamu, bukankah?"
Cit Kong mengangguk berulang-ulang.
"Tidak salah," sahutnya. "Mana Loo Boan Tong?"
Kwee Ceng tidak dapat menahan diri.
"Ciu Toako dipaksa dia hingga terjun mati ke laut!" ia memotong.
Cit Kong kaget, dengan menenteng Auwyang Kongcu ia pergi ke luar. Ia melihat ke
laut di sekitarnya. Ia tidak lihat Pek Thong, di sana hanya tampak sang ombak.
Sambil menuntun Kwee Ceng, Auwyang Hong pun turut keluar, sampai di luar, ia
kendorkan cekalannya. "Kwee Sieheng," katanya, "Kepandaianmu belum terlatih mahir! Kau lihat, secara
begini kau dituntun orang, kau mengikuti saja. Pergi kau ikuti pula gurumu, akan
belajar lagi sepuluh tahun, sesudah itu baru kau merantau."
Kwee Ceng sangat memikirkan Pek Thong, tidak sudi ia melayani bicara. Ia terus
merayap naik ke tiang layar, untuk dari sana memandang ke sekelilingnya.
Cit Kong mencekuk belakang lehernya Auwyang Kongcu, lalu ia melemparkan
keponakan orang itu kepada sang paman, sembari berbuat begitu, ia berkata dengan
membentak: "Makhluk beracun bangkotan, kau memaksakan kematiannya Loo Boan Tong,
buat itu nanti ada orang-orang Coan Cin Kauw yang membuat perhitungan denganmu!
Kau harus ketahui, biarnya kau sangat lihay, kau berdua dengan keponakanmu tidak
nanti sanggup melayani pengurungannya Coan Cin Cit Cu!"
Auwyang Kongcu tidak menanti tubuhnya terlempar jatuh atau membentur pamannya,
ia mengulur tangannya untuk menekan lantai, maka dilain saat ia sudah bangun
berdiri. Di dalam hatinya ia mencaci: "Pengemis bau, tak uash sampai duabelas
jam, kau bakal bertekuk lutut di hadapanku untuk memohon ampun....!"
Auwyang Hong pun tersenyum. Katanya, "Sampai itu waktu, sebagai saksi kau bakal
tidak dapat meloloskan diri!"
Kembali Ang Cit Kong tertawa.
"Baiklah!" jawabnya. "Sampai itu waktu aku nanti mencoba-coba lagi denganmu!"
Itu waktu Kwee Ceng sudah lompat turun. Sekian lama ia memandangi laut tanpa ada
hasilnya. Sekarang ia tuturkan kepada gurunya bagaimana barusan Auwyang Hong
menawan dia dengan memencet nadinya memaksa ia menulis bunyinya Kiu Im Cin-keng.
Ang Cit Kong mengangguk-angguk, ia tidak membilang suatu apa. Ia malah masgul di
dalam hati, karena pikirnya: "Mahkluk berbisa bangkotan ini biasa tak melepaskan
kehendaknya sebelum itu terpenuhi, maka juga sebelum ia memperoleh kitab, tidak
nanti ia mau sudah. Ini artinya muridku bakal dilibat terus olehnya..."
"Mari," ia mengajak muridnya, untuk masuk ke dalam perahu. Ia tahu kenderaan itu
lagi menuju ke barat, tak usah sampai dua hari, mereka bakal tiba di darat, dari
itu tak sudi ia memperdulikan Auwyang Hong. Ia pergi ke belakang untuk mengambil
nasi tanpa meminta lagi, ia ajak Kwee Ceng berdahar dengan kenyang. Ia tidak
meminta sayur atau lauk pauk lainnya, yang ia khawatir dicampuri racun. Habis
menangsal perut, ia ajak muridnya merebahkan diri untuk beristirahat.
Auwyang Hong dan keponakannya menanti sampai besoknya lohor, itu artinya sudah
lewat empat - atau limabelas jam semenjak mereka meracuni Ang Cit Kong dan Kwee
Ceng, sampai itu waktu, si pengemis dan muridnya masih tidak kurang suatu apa.
Mereka menjadi heran dan bercuriga. See Tok sendiri berkhawatir, kalau mereka
itu nanti mati keracunan, ia jadi tidak dapat meminta atau memaksa Kwee Ceng
menulis kitab yang ia kehendaki itu....
Kemudian si Racun dari Barat itu pergi mengintai di sela-sela bilik perahunya.
Ia mendapat lihat Cit Kong dan Kwee Ceng lagi duduk memasang omong. Ia menjadi
lebih heran lagi. "Jikalau bukannya si pengemis licik hingga mereka tidak kena makan racun,
tentulah mereka mempunyai obat pemunah racun," pikirnya. Karena ini ia jadi
memikir lain cara yang terlebih kejam pula....
Ang Cit Kong berbicara dengan muridnya dengan menuturkan aturan Kay Pang,
partainya dalam hal memilih ahli waris atau pangcu yang baru andaikata Pangcu
yang lama sudah waktunya mengundurkan diri.
"Sayang kau tidak suka menjadi pengemis," berkata guru ini, "Kalau tidak, kau
sungguh tepat. Di dalam partai kita tidak ada orang yang berbakat lebih baik
daripadamu. Asal aku menyerahkan tongkatku ini peranti mementung anjing, maka
kecuali aku si pengemis tua, cuma kamulah yang paling besar kekuasaannya!"
Ang Cit Kong menyebutkan tongkatnya sebagai Pa-kauw-pang, yaitu tongkat peranti
pengemplang anjing.

Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tepat mereka bicara sampai di situ, kuping mereka mendadak mendengar suara
dakdak-dukduk sebagai orang tengah mengampak kayu.
Cit Kong kaget hingga ia lompat berjingkrak.
"Celaka!" serunya. "Si bangsat tua hendak menenggelamkan perahu ini!" Ia berseru
kepada Kwee Ceng: "Lekas kau rampas perahu kecil di belakang!"
Belum berhenti suaranya pengemis ini, papan perahu telah kena dibikin bobol
dengan gempuran martil, maka berbareng dengan itu, segera terdengar suara sasss-
sussssus, lalu tertampak, bukannya air yang menerobos masuk hanya puluhan ekor
ular. Cit Kong tertawa tetapi dia berseru: " Si makhluk tua yang berbisa menyerang
dengan ularnya!" Sambil berseru, tangannya pun bekerja, menimpuk dengan puluhan
batang jarumnya, hingga binatang-binatang merayap itu pada tertancap perutnya
dan mengasih dengar suara kesakitan.
Menyaksikan ilmu menimpuk jarum gurunya itu, Kwee Ceng kagum bukan main.
"Yong-jie sudah lihay tetapi ia masih kalah dengan guruku ini," pikirnya.
Selagi anak muda ini berpikir, terlihat pula masuknya puluhan ular lainnya, dan
Ang Cit Kong segera menyambutnya dengan jarumnya lagi, hingga semua ular itu
menjadi korban seperti rombongan yang pertama, berisik suara kesakitannya. Hanya
celakanya, habis itu, muncul pula yang lainnya.
"Bagus betul!" berseru Ang Cit Kong. "Si tua bangka beracun memberikan aku
sasaran untuk melatih diri!" Ia lantas merogoh sakunya. Tempo tanganya mengenai
isi sakunya itu, ia kaget sendirinya. Ia mendapat kenyataan jarumnya itu tinggal
hanya tujuh atau delapan puluh batang. Inilah berbahaya sedang ular itu seperti
tidak ada habisnya. Tengah ia berdiam, tiba-tiba terdengar suara menjeblak ke
dalam disusul sama sambaran angin yang keras ke punggung.
Kwee Ceng berada di belakang gurunya, ia merasakan sambaran yang hebat itu,
lekas-lekas ia bergerak untuk menangkis. Ia merangkap kedua tangannya. Masih ia
merasakan tolakan yang hebat karena mana ia mesti kerahkan semua tenaganya.
Dengan begitu baru ia dapat mempertahankan diri, mencegah gurunya dibebokong.
Penyerang gelap itu Auwyang Hong adanya. Ia heran hingga ia menyerukan suara
"Ih!" perlahan, sebab pemuda itu sanggu menahan serangannya yang dahsyat itu.
Dengan lantas ia maju satu tindak dengan diputar balik, tangannya dipakai
menyerang pula. Kwee Ceng melihat cara jago tua itu menyerang, ia mengerti bahwa ia tak bakal
sanggup menangkis secara langsung, dari itu sambil menangkis dengan tangan
kirinya, dengan tangan kanan ia membalas menyerang. Ia mengarah rusuk kanan dari
See Tok. Di dalam keadaan seperti itu, tak gentar ia menghadapi musuh lihay ini.
Auwyang Hong tidak berani meneruskan serangannya itu. Ia menarik pulang
tangannya itu dengan cepat, lalu dengan cepat juga ia pakai menyerang pula, dari
atas turun ke bawah, merupakan bacokan.
Kwee Ceng mengerti ancaman bahaya bagi dia dan gurunya. Kalau Auwyang Hong dapat
menguasai pintu itu, tentulah sang ular tak dapat dibendung lagi. Maka itu
dengan terpaksa ia membuat perlawanan terus. Dengan tangan kiri ia menangkis
serangan, dengan tangan kanan ia menyerang, membalas. Terus menerus ia menggunai
siasatnya ini. Karena ia sangat lincah, sedang ilmu silat semacam itu belum
pernah Auwyang Hong melihatnya, See Tok menjadi heran, hingga ketika ia
tercengang, ia berbalik kena terdesak.
Dalam keadaan wajar, biarnya ia bergerak dengan dua tangan yang berlainan gerak-
geriknya, hingga ia menjadi dua melawan satu, Kwee Ceng bukannya tandingan dari
Auwyang Hong, hanya karena anehnya ilmu silatnya ini, See Tok terdesak tanpa dia
menginsyafinya. Walau bagaimana, si Bisa dari Barat adalah satu jago kawakan. Cuma sebentar ia
terdesak, segera ia bisa memperbaiki diri. Ia lantas menyerang dengan dua tangan
berbareng. Tentu saja satu penyerangan yang hebat. Tidak dapat Kwee Ceng
menangkis serangan itu dengan hanya sebelah tangan kirinya itu. Sudah begitu,
disaat ia bakal terdesak, rombongan ular itu menggeleser di arah belakangnya.
"Bagus, bagus sekali, mahkluk berbisa bangkotan!" berseru Ang Cit Kong dengan
ejekannya. "Sekalipun muridku, kau tidak sanggup melayaninya, maka mana dapat
kau menyebut dirimu enghiong, seorang gagah perkasa?"
Pak Kay bukan melainkan mengejek, berbareng ia menggeraki tubuhnya. Ia mengenjot
tubuhnya dengan kedua kaki, lantas tubuh itu meleset tinggi, melewati Kwee Ceng
dan Auwyang Hong, akan tiba di lain bagian di mana dengan satu tendangan ia
terus merobohkan Auwyang Kongcu, hingga orang jungkir balik, setelah mana ia
menyusuli dengan sikutnya, hingga tubuh pemuda itu terpental terlebih jauh ke
arah pamannya. Mau atau tidak mau, Auwyang Hong mesti berkelit, supaya ia terhindar dari
benturan dengan tubuh keponakannya itu. Karena berkelit ini, dengan sendirinya
ia seperti menarik pulang serangannya, dengan begitu Kwee Ceng jadi diperingan
ancaman bahaya untuknya itu.
Pemuda ini berkelahi dengan berbesar hati. Ia telah memikirnya: "Dia ini
seimbang dengan guruku, sekarang keponakannya bukan lagi tandinganku, bahkan si
keponakan sedang terluka, dari itu dua lawan dua, mestinya pihakku yang menang."
Maka dengan itu ia menyerang Auwyang Hong secara hebat sekali. Tadi ia dibokong,
dengan gampang ia tercekuk, sekarang ia waspada.
Ang Cit Kong berkelahi dengan mata dipentang ke empat penjuru, dari itu ia
melihat belasan ular lagi mendekati muridnya. Celakan kalau muridnya itu
diterjang binatang berbisa itu dan kena dipagut.
"Anak Ceng, lekas keluar!" ia berteriak dan sambil berteriak ia merangsak
Auwyang Hong, guna memberi kebebasan kepada muridnya.
Auwyang Hong merasakan sulitnya diserang dari depan dan belakang, atas
rangsakannya itu Pak Kay, terpaksa ia berkelit, dengan begitu, Kwee Ceng jadi
terlepas dan bisa lompat ke luar gubuk perahu. Ia sekarang melayani Cit Kong
seorang. Sementara itu sang ular, jumlahnya ratusan lebih, mulai mendekati.
"Sungguh tak punya muka!" mengejek Cit Kong. "Satu laki-laki berkelahi mesti
dibantui segala binatang!"
Di mulut pengemis ini menegur, di hati ia berkhawatir juga. Ia mainkan
tongkatnya hebat sekali, dengan begitu selain melayani Auwyang Hong, dapat juga
ie mengemplang mampus belasan ular, setelah mana ia berlompat untuk terus
mengajak Kwee Ceng lari ke tiang layar.
Auwyang Hong terkejut. Ia mengerti, kalau musuh sampai dapat memanjat layar,
untuk sementara tak dapat ia berbuat sesuatu terhadap mereka itu. Maka itu ia
berlompat pesat sekali, dengan maksud untuk menghalangi.
Ang Cit Kong dapat menerka maksud orang, ia menyerang dengan kedua tangannya.
Hebat serangannya itu, hingga Auwyang Hong mesti menyambuti.
Kwee Ceng hendak membantu gurunya ketika si guru teriaki padanya: "Lekas naik ke
atas tiang layar!" "Hendak aku membikin mampus keponakannya untuk membalaskan sakit hatinya Ciu
Toako!" berkata Kwee Ceng.
Tapi Cit Kong tidak memperdulikannya. "Ular! Ular!" teriaknya memperingatkan.
Kwee Ceng pun melihat mendekatinya binatang-binatang merayap yang berbisa itu,
maka itu setelah ia menanggapi sebatang Hui-yan ginso yang ditimpuki Auwyang
Kongcu kepadanya, ia berlompat ke tiang layar yang terpisah darinya setombak
lebih. Ia menyambar tiang dengan tangan kirinya. Justru itu ada sambaran angin dan
senjata rahasia, ia menimpuk dengan torak musuh yang berada di dalam cekalannya,
maka sebagai kesudahan dari itu kedua torak bentrok keras mental ke kiri dan
kanan menyemplung ke laut.
Dengan kedua tangannya merdeka, Kwee Ceng terus memanjat. Dengan cepat sekali ia
telah sampai di tengah-tengah tiang.
Ang Cit Kong sebaliknya tidak berhasil menyampaikan tiang layar itu. Ia
dirintangi sangat oleh Auwyang Hong yang merangsak dengan serangan-serangan
bertubi-tubi. Kwee Ceng melihat tegas kesulitan gurunya, sedang ular datang semakin dekat.
Tiba-tiba saja ia berseru, tubuhnya merosot turun, tangannya tetap memeluki
tiang. Berbareng dengan itu, Cit Kong menjejak dengan kaki kirinya, untuk
mengapungi tubuhnya, sementara kaki kanannya sekalian dipakai menedang musuhnya.
Sambil berlompat menyerang itu, tongkatnya diulur ke depan.
Inilah yang Kwee Ceng harap. Pemuda ini mengulur sebelah tangannya, menyambar
tongkat gurunya, setelah dapat mencekal, ia menarik dengan keras. Justri Ang Cit
Kong tengah mengapungkan tubuhnya, tubuhnya itu terus tertarik terangkat naik
oleh muridnya itu. Pak Kay lantas saja tertawa ponjang. Tengah tubuhnya terangkat, tangan kirinya
menyambar layar, maka dilain saat, ia seperti sudah tergantung di tengah udara,
berada di sebelah atas dari muridnya.
Sampai itu waktu, guru dan murid itu telah berada di atas tiang layar, di atasan
dari kedua lawan mereka. Dengan begitu mereka jadi menang di atas angin.
Auwyang Hong tidak berani lompat naik ke tiang layar, guna menyusul. Ia tahu
kedudukannya yang lebih tak menguntungkan.
"Baiklah!" ia berseru, bersiasat. "Mari kita bersiap! Putar haluan ke timur!"
Benar saja, hanya dalam tempo sedetik, arah perahu telah berputar. Sementara itu
di kaki tiang layar, kawanan ular sudah berkumpul.
Ang Cit Kong duduk bercokol, agaknya ia gembira sekali, karena ia sudah lantas
menyanyikan lagu "Lian Hoa Lok", atau "Bunga teratai rontok", nyanyian istimewa
untuk bangsa pengemis. Sebenarnya di dalam hati, ia sangat masgul. Ia
menginsyafi bahwa mereka terus terancam bahaya.
"Berapa lama aku dapat berdiam di sini" Bagaimana kalau si mahluk beracun
menebang tiang ini?" Demikian pikirnya. "Kalau ular itu tak mau bubar, mana bisa
aku turun dari sini" Mereka itu boleh dahar dan tidur enak, kita berdua mesti
makan angin....." Mendadak ia ingat suatu apa.
"Anak Ceng, kasih mereka minum air kencing!" tiba-tiba ia serukan muridnya
seraya ia sendiri lantas mengendorkan ikat celananya.
Dasar masih kekanak-kanakan, Kwee Ceng turut itu anjuran
"Nah, silahkan minum! Silahkan minum!" serunya.
Maka berdua mereka menyiram ke bawah!
"Lekas singkirkan ular!" teriak Auwyang Hong kaget. Ia sendiri segera berlompat
mundur beberapa tindak, hingga ia tak usah kena tersiram air harum itu.
Auwyang Kongcu heran atas seruan pamannya, ia tercengang. Justru itu, air
kencing mengenai mukanya!
Ia menjadi sangat mendongkol dan gusar sekali. Ia memangnya satu pemuda yang
resik. Berbareng dengan itu, ia pun ingat bahwa ularnya takut air kencing.
Segera terdengar suaranya seruling kayu, atas mana rombongan ular di kaki tiang
lantas bergerak, untuk merayap pergi, meski begitu, beberapa puluh ekor ular itu
basah kuyup basah, terus mereka bergulingan dan mulut mereka dipentang, untuk
menggigit satu pada lain, hingga mereka jadi kacau sekali.
Ular itu semua ada ular yang Auwyang Hong kumpul dari lembah ular di gunung Pek
To San, gunung Unta Putih, di See Hek, Wilayah Barat. Semua ular beracun, tetapi
ada pula kelemahannya yaitu jeri terhadap kotoran atau kencingnya orang atau
binatang kaki empat. Inilah sebabnya mereka menjadi korban dan kacau itu.
Ang Cit Kong dan Kwee Ceng menyaksikan sepak terjang kawanan ular itu, mereka
tertawa lebar. "Jikalau Ciu Toako ada di sini, dia tentu sangat bergembira," berpikir Kwee
Ceng, yang ingat kakak angkatnya. "Ah, sayang ia terjun ke laut yang luas ini,
ia tentulah menghadapi lebih banyak bencana daripada keselamatan...."
Auwyang Hong pun pandai menguasai diri. Ia tidak mengambil mumat lawannya
kegirangan. Ia membiarkan tempo lewat kira dua jam, selagi cuaca mulai gelap, ia
menitah orangnya menyiapkan barang hidangan serta araknya, sengaja ia berdahar
di tempat terbuka, bukan di dalam gubuk perahu, dengan begitu, ia menyebabkan
harumnya arak dan wangi lezat dari barang hidangan itu terbawa angin, melulahan
hingga ke atas tiang layar, menyampok hidungnya kedua orang di atas tiang itu.
Cit Kong seorang yang gemar minum dan dahar, napsu makannya segera kena juga
dipancing, maka itu ia sudah lantas mengambil cupu-cupunya, untuk menenggak
araknya hingga cupu-cupu menjadi kering seketika.
Untuk menjaga diri, Pak Kay bergilir dengan Kwee Ceng, akan tidur atau
beristirahat bergantian. Akan tetapi di bawah, beberapa orang memasang obor
terang-terang dan rombongan ular diatur mengurung kaki tiang, hingga tak ada
jalan untuk turun dari tiang layar itu.
Auwyang Hong menempatkan diri di dalam gubuknya, ia tidak mengambil peduli Ang
Cit Kong mencoba membangkitkan hawa marahnya dengan mencaci ia kalang kabutan,
dengan mengangkat juga leluhurnya beberapa turunan!
Ang Cit Kong mengoceh sampai ia letih sendirinya dan mulutnya kering, lalu ia
tertidur sendirinya. Kapan sang malam telah lewat, Auwyang Hong menitahkan orangnya berteriak-teriak
di bawah tiang layar: "Ang Pangcu! Kwee Siauwya! Auwyang Looya sudah menyajikan
hidangan yang terpilih serta arak yang wangi, silahkan pangcu dan siauwya turun
untuk bersantap!" "Kau suruh Auwyang Hong keluar, kami mengundang ia minum air kencing!" Kwee Ceng
menyahuti. Jawaban ini tidak dipedulikan, hanya sebentar kemudian di kaki tiang itu orang
mengatur meja serta barang-barang hidangannya, sayurnya masih mengepul-ngepul
asapnya, hingga wangi lezat sayur, serta harumnya arak, menghembus naik tinggi.
Kursi disediakan hanya dua, diperuntukan khusus buat Ang Cit Kong dan Kwee Ceng
berdua saja..... Dalam panasnya hati, Cit Kong mencaci pula dengan menyebut-nyebut "biang
bangsat" dan anjing.
Dihari ketiga Cit Kong dan murid merasakan kepala mereka pusing saking mereka
menahan lapar dan dahaga.
"Coba murid wanitaku ada di sini," berkata Ang Cit Kong, "Dia sangat cerdik,
pasti dia dapat mencari akal untuk menghadapi si racun tua ini. Kita berdua cuma
bisa membuka mata dan mengeluarkan ilar...."
Kwee Ceng menghela napas, ia memandang ke sekitarnya. Di tiga penjuru ia tak
nampak apa juga kecuali laut tetapi di barat, di sana terlihat dua titik putih
yang bergerak, mulanya samar seperti gumpalan mega kecil, ketika ia mendapatkan
dua titik itu makin tegas, ia menjadi girang sekali. Itulah dua ekor rajawali
putih, yang lekas juga datang dekat hingga suaranya terdengar.
Tanpa ayal sedetik jua, Kwee Ceng masuki jari tangan kirinya ke dalam mulutnya,
untuk memperdengarkan satu suara nyaring dan panjang. Atas itu kedua burung itu
terbang berputaran, lalu menukik, menceklok di pundak si anak muda.
Merekalah dua ekor rajawali, yang Kwee Ceng pelihara dari kecil di gurun pasir.
"Suhu!" berseru Kwee Ceng girang. "Mungkin Yong-jie mendatangi dengan naik
perahu!". "Itulah bagus!" seru Ang Cit Kong. "Kita terkurung dan tidak berdaya, biar dia
datang menolongi kita!"
Kwee Ceng mencabut pisau belatinya, ia memotong dua helai kain layar, di atas
itu ia mencoret dua huruf "dalam bahaya", serta gambar cupu-cupu, terus ia ikat
itu di kakinya kedua burung itu, setelah mana ia berkata: "Lekas kamu terbang
pula, kamu ajak Nona Yong ke mari!"
Dua ekor burung itu mengerti, keduanya berbunyi nayaring, terus mereka terbang
pergi, sesudah berputaran di atasan kepala, mereka menuju ke barat, dari arah
mana mereka datang. Bab 41. Pergulatan di tengah laut
Bab ke-41 cersil Memanah Burung Rajawali.
Belum ada satu jam sejak berlalunya kedua ekor rajawali, Auwyang Hong kembali
mengatur meja perjamuan makan di muka perahu di bawah tiang layar. Untuk ke
sekian kalinya ia memancing supaya Ang Cit Kong dan Kwee Ceng tidak dapat
menahan lapar dan nanti terpaksa turun untuk dahar pula.
Menyaksikan layagk orang itu, Cit Kong tertawa.
"Di antara empat yaitu arak, paras elok, harta dan napsu, aku si pengemis tua
cuma menyukai satu ialah arak!" ia berkata. "Dan kau justru menguji aku dengan
arak! Di dalam hal ini, latihanku menenangkan diri ada sedikit kelemahannya....
Anak Ceng, mari kita turun untuk menghajar mereka kalang kabutan. Setujukah
kau?" "Baiklah sabar, suhu," Kwee Ceng menyahuti. "Burung rajawali sudah membawa surat
kita, sebentar mesti ada kabarnya, sebentar pasti bakal terjadi suatu
perubahan." Cit Kong tertawa. Ia nyata suka bersabar.
"Eh, anak Ceng!" ia berkata, "Di kolong langit ini ada suatu barang yang sari
atau rasanya paling tidak enak, kau tahu apakah itu?"
"Aku tidak tahu, suhu. Apakah itu?" sahut sang murid sambil balik menanya.
"Satu kali aku pergi ke Utara," berkata sang guru, memberi keterangan, "Di sana
di antara hujan salju besar, aku kelaparan hingga delapan hari. Jangan kata
bajing, sekalipun babakan kayu, tak aku dapatkan di sana. Dengan terpaksa aku
menggali sana dan menggali sini di dalam salju, akhirnya aku dapat menggali juga
lima makhluk berjiwa. Syukur aku si pengemis tua berhasil mendapatkan makhluk
itu, dengan begitu jadi ketolongan untuk satu hari itu. Di hari kedua, aku
beruntung mendapatkan seekor serigala hingga aku dapat gegares kenyang."
"Apakah lima makhluk bernyawa itu, suhu?"
"Itulah cianglong dan gemuk-gemuk pula!"
Mendengar disebutkannya nama binatang itu, Kwee Ceng belenak sendirinya, hingga


Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hendak ia muntah-muntah. Cit Kong sebaliknya tertawa terbahak-bahak. Karena
sengaja ia menyebutkan binatang paling kotor dan paling bau itu untuk melawan
napsu dahar yang merangsak-rangsak mereka yang disebabkan harum wangi arak dan
lezat yang tersajikan di kaki tiang layar itu.
"Anak Ceng," berkata pula Cit Kong, "Kalau sekarang ada cianglong di sini,
hendak aku memakannya pula. Cuma ada serupa barang yang paling kotor dan paling
bau hingga aku segan memakannya, aku si pengemis tua lebih suka makan kaki
sendiri daripada memakan itu! Tahukah kau, barang apa itu?"
Kwee Ceng menggeleng-geleng kepalanya, atau mendadak ia tertawa dan menyahuti:
"aku tahu sekarang! Itulah najis!"
Tetapi sang guru menggoyangkan kepalanya.
"Ada lagi yang terlebih bau!" katanya.
Kwee Ceng mengawasi. Ia menyebut beberapa rupa barang, ia masih salah menerka.
Akhirnya Ang Cit Kong tertawa.
"Nanti aku memberitahukan kepadamu!" katanya keras-keras. "Barang yang paling
kotor dan bau di kolong langit ini ialah See Tok Auwyang Hong!"
Mengertilah Kwee Ceng maka ia pun tertawa berkakakan.
"Akur! Akur!" serunya berulang-ulang.
Maka cocok benarlah guru dan murid itu, hingga mereka membuatnya See Tok menjadi
sangat mengeluh. Ketika itu hawa udara kebetulan memepatkan pikiran, di empat penjuru angin
meniup perlahan. Memangny aperahu menggeleser perlahan, dengan berhentinya sang
angin, akhirnya kendaraan air itu menjadi berhenti sendirinya. Semua orang di
atas perahu pada mengeluarkan peluh. Di muka air pun kadang-kadang tertampak
ikan meletik naik, suatu tanda air laut juga panas. hawanya.
Cit Kong memandang ke sekelilingnya. Ia tidak menampak awan, langit bagaikan
kosong. Maka heranlah ia. Ia menggeleng kepala.
"Suasana aneh sekali," katanya perlahan.
Berselang sekian lama, ketika Cit Kong tengah memandang ke arah tenggara, ia
menampak ada mega hitam yang mendatangi dengan sangat cepat. Melihat itu, ia
menjadi keget hingga ia mengeluarkan seruan tertahan.
"Ada apakah, suhu?" tanya Kwee Ceng terperanjat.
"Ada angin aneh!" menyahut Cit Kong. "Tidak aman kita berdiam di tiang ini... Di
bawah ada demikian banyak ular....Bagaimana sekarang?" Ia menjadi seperti
menggerutu ketika ia berkata lebih jauh perlahan sekali: "Biar umpama kata kita
bekerja sama mati-matian, masih belum tentu kita bisa lolos dari ancaman ini,
apapula jikalau kita melanjuti pertempuran..."
Ketika itu ada angin yang menyambar ke muka. Cit Kong lantas merasa segar. Ia
pun merasa dadung layar bergerak sedikit.
"Anak Ceng," ia lalu berkata, "Kalau sebentar tiang patah, kau merosotlah turun.
Jaga supaya kau tidak terjatuh ke laut..."
Kwee Ceng heran. Di matanya, cuaca sekarang bagus, mustahil bencana bakal
datang" Tetapi ia biasa sangat mempercayai gurunya itu, ia mengangguk.
Belum lama, mendadak terlihat mega hitam bergumpal bagaikan tembok tebal
melayang menghamprkan, datangnya dari arah tenggara itu, bergerak sangat cepat.
Sebab segera juga mereka terdampar, di antara satu suara nyaring, tiang layar
benar-benar patah pinggang, karena mana, tubuh perahu bergerak bagaikan
terbalik. Kwee Ceng memeluk erat-erat kepala tiang, ia menahan napas. Tanpa berbuat
begitu, angin dapat membawa ia terbang entah ke mana. Ketika kemudian ia membuka
matanya, sekarang ia melihat air bergerak bagaikan tembok, air muncrat tinggi
sekali. "Anak Ceng, merosot turun!" terdengar teriakannya Cit Kong.
Kwee Ceng menurut, dengan mengendorkan pelukannya, tubuhnya lansung merosot
turun. Ia menahan diri setelah merosot kira-kira dua tombak. Ia mendapat
kenyataan, layar berikut tiangnya sebelah atas, yang patah, setahu dibawa kemana
oleh sang gelombang. Di lantai tidak terlihat lagi ular, rupanya semua binatang
berbisa itu telah disapu sang badai dan gelombang. Si tukang kemudi rebah dengan
kepala pecah, jiwanya sudah melayang pergi. Perahu sendiri terputar-putar di
tengah laut itu, miring ke kiri dan ke kanan bergantian. Lainnya barang di muka
perahu pun tersapu habis ke laut.
"Anak Ceng, kendalikan perahu!" kembali terdengar suaranya sang guru.
Memang kenderaan itu terancam untuk terbalik dan karam.
Kwee Ceng lompat turun ke buntut perahu, untuk memegang kemudi. Ia disambar
sepotong kayu yang terbawa angin, ia berkelit. Untuk mempertahankan diri, ia
lantas menyambar rantai. Ia orang Utara, belum pernah ia mengemudikan perahu,
tetapi karena ia bertenaga besar, bisa juga ia menguasai perahu itu, untuk
mencegah bergoncang keras. Ia mendengar suara angin dahsyat, ia melihat
perahunya berlayar pesat atas dorongan sang angin.
Tiang layar bagian atas telah patah, ada layar yang diterbangkan angin dahsyat
itu, tetapi di antaranya, masih ada layar yang utuh. Cit Kong berdaya untuk
menurunkan layar itu. Sudah ada dadung yang ia berhasil memutuskannya. Tengah ia
berkutat, tiba-tiba kupingnya mendengar suara menantang: "Saudara Cit, mari Pak
Kay dan See Tok sama-sama mengeluarkan kepandaiannya!"
Di sebelah sana Auwyang Hong mencekali keras ujung ynag lain dari layar itu.
"Turun!" Cit Kong berseru sambil ia mengerahkan tenaganya, ia menarik dengan
keras. Di pihak Auwyang Hong, See Tok pun menggunai tenaganya.
Hebat tenaganya kedua jago itu, layar kena ditarik roboh. Dengan begitu,
sampokan angin menjadi berkurang, tubuh perahu tidak lagi bergoncang keras
seperti tadi, hingga lenyaplah ancaman bahaya perahu itu karam.
Sebagai ganti badai, sekarang turun hujan lebat, butir-butirnya besar, menimpa
muka, rasanya sakit. Hanya syukur, mendekati cuaca gelap, angin dan hujan itu
mulai reda. "Saudara Cit!" berkata pula Auwyang Hong tertawa. "Jikalau tidak ada muridmu
yang lihay itu, pastilah kita sudah mati masuk ke dalam perut ikan! Maka itu
marilah kita sama-sama mengeringkan satu cawan, guna melepaskan hawa dingin!
Jangan kau takut, jikalau aku hendak meracunimu, biarlah aku Auwyang Hong
menjadi buyutmu turunan ke delapanbelas!"
Ang Cit Kong turut tertawa. Kali ini mau percaya See Tok sebab sebagai ketua
sebuah partai besar di jamannya nitu, satu kali dia mengeluarkan kata-kata, dia
mesti pegang itu. "Mari!" ia berkata kepada Kwee Ceng, yang ia suruh digantikan seorang anak buah
guna mengendalikan kemudi.
Dengan begitu mereka masuk ke dalam gubuk perahu untuk dahar dan minum.
Pak Kay minum dan dahar sampai kenyang, habis itu ia dan muridnya kembali ke
kamar mereka untuk tidur. Tapi tengah malam ia mendusin. Ia mendengar suara ular
sar-ser tak hentinya. "Celaka!" ia berseu.
Kwee Ceng pun sudah lantas sadar. Maka keduanya berlompat bangun, sama-sama
mereka membuka pintu untuk melihat ke luar. Sekarang perahu itu sudah terjaga
rapi oleh rombangan-rombongan ular, yang memenuhi bagian depan dan belakang.
Auwyang Kongcu, dengan kipas di tangan, berdiri di tengah-tengah ularnya itu. Ia
memperlihatkan wajah tersungging senyuman.
"Paman Ang, saudara Kwee!" ia berkata. "Pamanku cuma hendak meminjam lihat Kiu
Im Cin-keng sekali saja, ia tidak mengharap yang lainnya!"
"Dasar bangsat, dia tidak mengandung maksud baik!" mendamprat Cit Kong,
perlahan. Tiba-tiba ia mendapat suatu pikiran, tetapi pada parasnya ia tidak
kentarakan sesuatu perasaan.
"Hai, bangsat cilik!" ia mengasih dengar suaranya, "Nyata aku si tua kena
diperdayakan akal busuk paman anjingmu itu. Baiklah, sekarang aku mengaku kalah.
Lekas kau siapkan dulu barang hidangan dan arak, untuk kami dahar dulu, urusan
boleh dibicarakan besok pagi!"
Nampaknya Auwyang Kongcu girang, ia tertawa, sesudah mana ia benar-benar
menyuruh orang menyajikan barang hidangan, yang emsti dibawakan kepada kedua
musuhnya itu. Cit Kong mengunci pintu, ia terus dahar dan minum. Ia menggerogoti paha ayam.
"Apakah kali ini pun tidak ada racunnya?" Kwee Ceng menanya berbisik.
"Anak tolol!" sang guru menyahuti. "Jahanam itu hendak menitahkan kau menulis
kitab, mana bisa mereka mencelakai jiwamu" Mari dahar sampai kenyang, nanti kita
memikirkan daya upaya pula!"
Kwee Ceng percaya gurunya benar, ia pun lantas bersantap dengan bernapsu. Ia
menghabiskan empat mangkok nasi.
Ang Cit Kong menyusuti bibirnya yang minyakan, lalu ia berbisik di kuping
muridnya. "Si bisa bangkotan menghendaki ynag tulen, kau tulis yang palsu," demikian
ajarannya. "Yang palsu?" murid itu menegasi, heran.
"Ya, yang palsu! Di jaman ini melainkan kau seorang yang ketahui kitab yang
tulen, dari itu apa pun yang kau kehendaki, kau boleh tulis! Siapa yang akan
ketahui itulah kitab yang tulen atau yang palsu" Kau menulis jungkir balik
bunyinya kitab, biar ia mempelajarinya menurut bunyi kitab yang palsu itu,
dengan begitu kendati pun sampai seratus tahun, ia tak akan berhasil menyakinkan
sekalipun satu jarus....!"
Girang Kwee Ceng mendengar ajaran itu.
"Kali ini benar-benar si bisa bangkotan kena batunya!" pikirnya. Tapi sesaat
kemudian ia berkata: "Auwyang Hong sangat mahir ilmu suratnya, kalau teecu
menulis sembarangan, lantas ia ketahui, bagimana nantinya?"
"Kau harus menggunai siasat halus," Cit Kong mengajari. "Tulis tiga baris yang
benar lalu selipkan sebaris yang ngaco. Di bagian latihannya, kau boleh
tambahkan dan kurangi, umpama kitab menyebut delapanbelas kali, kau tulis
duabelas kali atau duapuluh empat kali, biarnya si bisa bangkotan sangat cerdik,
tidak nanti ia dapat melihatnya. Biarnya aku tidak gegares dan minum tujuh hari
tujuh malam, suka aku menonton si bisa bankotan itu mempelajari kitab palsu
itu!" Habis berkata, Cit Kong tertawa sendirinya, hingga muridnya turut tertawa juga.
"Jikalau ia menyakinkan kitab yang palsu," kata Kwee Ceng kemudian, "Bukan saja
dia akan menyia-nyiakan ketika akan bercapai lelah tidak puasnya, ada
kemungkinan dia nanti mendapat celaka karenanya."
Cit Kong tertawa pula. "Sekarang bersiaplah kau untuk memikirannya!" ia menganjurkan. "Kalau sampai ia
bercuriga, itulah gagal artinya...."
Kwee Ceng menurut, ia lantas kerjakan otaknya. Ia menghapal Kiu Im Cin-keng, ia
pikirkan tambalannya untuk menghambat dan mengacau. Ketika ia sudah memikir
puas, ia menghela napas sendirinya.
"Inilah cara mempermainkan orang, Yong-jie dan Ciu Toako paling menggemarinya,"
pikirnya. "Sayang yang satu berpisah hidup, yang lainnya berpisah mati.... Kapan
aku bisa bertemu pula dengan mereka, supaya aku bisa menuturkan bagaimana aku
mempermainkan si bisa bangkotan ini...?"
Besoknya pagi-pagi, begitu ia mendusin Ang Cit Kong pantang bacotnya kepada
Auwyang Kongcu. Katanya: "Aku si pengemis tua, ilmu silatku telah menjadi satu
partai tersendiri, maka juga tidak aku termahai Kiu Im Cin-keng, umpama kata
kitab itu dibeber di depan mukaku, tak nanti aku meliriknya! Cuma mereka yang
tidak punya guna, yang ilmu silatnya sendiri tidak karuan, dia ingin sekali
mencurinya! Sekarang kau kasih tahu paman anjingmu, Kiu Im Cin.keng bakal
ditulis untuknya, biar ia menutup pintu, mengeram diri, untuk memahamlannya!
Nanti, sepuluh tahun kemudian, biar ia muncul pula untuk mencoba menempur pula
aku si pengemis tua! Kitab itu memang kitab bagus tetapi aku si pengemis tidak
menghiraukannya! Lihat saja sesudah dia mendapatkan kitab itu, apa dia bisa
bikin terhadap aku si pengemis tua!"
Auwyang Hong berdiri diam di samping pintu, ia dengar semua ocehannya si
pengemis. Ia menjadi girang sekali. Pikirnya: "Kiranya si pengemis bangkotan
sangat jumawa, dia sangat mengandalkan kepandaiannya, hingga ia suka menyerahkan
kitab padaku, kalau tidak, ia tidak dapat dipaksa..."
Akan tetapi Auwyang Kongcu menyangkal.
"Paman Ang, kata-katamu barusan keliru sekali!" demikian bantahnya. "Ilmu
kepandaian pamanku sudah sampai dipuncaknya kemahiran! Paman boleh pandai tetapi
paman tidak nanti nempil dengannya! Perlu apakah dia mempelajari Kiu Im Cin-
keng" Sering pamanku itu mengatakan kepadaku, ia percaya Kui Im Cin-keng kitab
kosong belaka, melulu untuk mendustakan orang, maka hendak ia melihatnya, untuk
ditunjuki bagian yang ngaco belo itu, supaya semua ahli silat di kolong langit
ini dapat mengetahui kekosongannya! Tidakkah pembeberan itu ada faedahnya untuk
kaum Rimba Persilatan?"
Ang Cit Kong menyambutnya dengan tertawa terbahak.
"Ha, kau tengah meniup kulit kerbau apa?" senggapnya. "Anak Ceng, kau tulislah
Kiu Im Cin-keng dan kau serahkan pada mereka ini! Jikalau si bisa bangkotan
dapat menemui kekeliruan-kekeliruan dari kitab itu, nanti aku si pengemis tua
berlutut dan mengangguk-angguk di depannya!"
Kwee Ceng menyahuti sambil ia muncul, maka Auwyang Kongcu lantas ajak ia ke
dalam gubuk besar, kemudian ia mengeluarkan pit dan kertas, bahkan dia sendiri
yang menggosok bak, untuk membikin siap sedia segala apa untuk penulisan kitab
mujizat itu. Kwee Ceng belajar surat tak banyak tahun, tulisannya sangat jelek, sekarang pun
ia mesti mengubah bunyinya kitab asli, menulisnya jadi sangat perlahan. Ada
kalanya ia pun tidak dapat menulis sebuah huruf, ia minta Auwyang Kongcu yang
menuliskannya. Sampai tengah hari, tempo bersantap, kitab bagian atas baru
tercatat separuhnya. Selama itu Auwyang Hong sendiri tidak pernah muncul untuk
menyaksikan orang bekerja, hanya setaip lembar yang telah ditulis rampung,
Auwyang Kongcu lantas membawanya itu kepadanya di lain ruang dari perahu mereka
itu. Saban ia menerima sehelai tulisan, Auwyang Hong memeriksanya dengan seksama. Ia
tidak dapat membaca mengerti, tetapi memperhatikan bunyinya, ia tidak bercuriga.
Ia bahkan menduga, itulah huruf-huruf yang dalam artinya. Maka ia telah
berpikir, nanti sekembalinya ke See Hek, handak ia memahamkannya dengan
ketekunan. Ia percaya akan otaknya yang cerdas akan dapat menguasai isi kitab
itu, hingga akan terwujudlah cita-citanya beberapa puluh tahun akan mendapatkan
pelajaran Kiu Im Cin-keng itu. Ia tidak mengambil mumat tulisan Kwee Ceng yang
tidak karuan macam itu, ia hanya menerka orang tidak dapat menulis dengan bagus,
sama sekali tidak pernah ia menyangka, Kwee Ceng tengah menjalankan ajaran
gurunya untuk membikin kitab Kiu Im Cin-keng jungkir balik....!
Kwee Ceng menulis terus dengan keuletannya, maka ketika cuaca mulai gelap, ia
berhasil menulis hingga separuhnya lebih bagian bawah dari Kiu Im Cin-keng itu.
Auwyang Hong tidak menghendaki anak muda itu balik ke gubuk perahunya akan
berkumpul sama Ang Cit Kong, dia khawatir si pengemis merubah ingatannya dan
menyulitkan padanya. Masih ada kira separuh kitab berarti ia masih dapat
dipersukar. Maka ia lantas perintah orangnya menyajikan barang hidangan untuk si
anak muda, agar ia berdiam terus tanpa bersantap bersama gurunya.
Ang Cit Kong menanti sampai jam sepuluh, ia mendapatkan muridnya belum kembali,
ia merasakan hatinya tak tentram. Ia pun berkhawatir muridnya itu mendapat susah
apabila Auwyang Hong bercuriga. Maka diam-diam ia keluar dari gubuknya. Ia dapat
keluar karena sekarang tidak ada lagi penjagaan ular. Hanya tak jauh dari pintu
ada dua orang berpakaian serba putih tengah berjaga sebagai penunggu pintu.
Tidak sulit baginya untuk melewati dua orang itu. Dengan tangan kiri ia
menyerang ke arah layar, layar itu menerbitkan suara hingga mereka itu
berpaling, di waktu mana ia melompat ke arah kanan, maka lewatlah dia.
Dari jendela perahu terlihat molosnya sinar terang, Cit Kong menghampirkan
jendela itu, untuk mengintai ke dalam. Ia melihat Kwee Ceng asyik duduk menulis.
Dua nona dengan pakaian putih berdiri di sampingnya, untuk melayani memasang
dupa, menuangi air teh serta menggosok bak. Jadi muridnya itu dilayani dengan
baik. Hal ini membuat hatinya lega.
Tiba-tiba pengemis ini merasakan hidungnya disampk bau arak yang harum sekali.
Ia lantas mengawasi. Ia mendapatkan arak ditaruh di depan muridnya.
"Si bisa bangkotan sangat pandai menjilat!" pikirnya. "Muridku menulis kitab
untuknya, ia menyuguhkan arak jempolan, tetapi untuk aku si pengemis tua, ia
menyediakan arak yang tawar seperti air!" Ia jadi ingin mendapatkan arak itu. Ia
berpikir pula: "Mestinya si bisa bangkotan menyimpan araknya di dasar perahu,
baik aku meminumnya hingga puas, habis itu tahangnya aku isi dengan air
kencingku, biar nanti ia mencicipinya!"
Pengemis tua ini tersenyum. Ia merasa puas. Untuk pekerjaan mencuri arak, ia ada
sangat pandai. Dulu hari pun di Lim-an, di dalam dapur istana kaisar, ia dapat
menyekap diri hingga tiga bulan, semua arak dan batang santapan untuk kaisar ia
dapat mencicipinya terlebih dahulu! Penjagaan di istana rapat sekali tetapi ia
dapat berdiam di situ dengan leluasa, ia dapat datang dan pergi dengan merdeka.
Demikian denga berindap-indap ia pergi ke belakang. Ia tidak melihat siapa juga
di situ. Dengan hati-hati ia membongkar papan lantai. Dengan menggunai hidungnya
yang tajam, tahulah ia di mana arak disimpan.
Ruang perahu itu gelap petang tetapi tidak menghalangi pengemis yang lihay ini.
Hidungnya dapat membaui barang masakan dan arak. Ia bertindak dengan berhati-
hati. Untuk melihat tegas, ia menyalakan api tekesannya. Di pojok ia melihat
tujuh tahang arak, girangnya bukan kepalang. Segera ia mencari sebuah mangkok


Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sempoak. Ia padamkan apinya, ia simpan itu di dalam sakunya, terus ia
menghampirkan tahang. Dengan menggoyang tahang, ia mendapat tahu tahang yang pertama kosong. Yang
kedua ialah ada isinya. Ketika ia mengulur tangan kirinya, untuk membuka tutup
tahang, mendadak ia mendengar tindakan kaki dari dua orang. Enteng sekali
tindakan itu, hingga ia menduga kepada Auwyang Hong dan keponakannya. Ia lantas
menduga mungkin paman dan keponakan itu hendak melalukan sesuatu yang licik.
Kalau tidak, perlu apa malam-malam mereka pergi ke belakang" Maka ia lantas
bersembunyi di belakang tahang.
Kapan pintu gubuk telah dibuka, terlihatlah sinar api. Dua orang tadi pun
bertindak masuk, berdiri di depan tahang. Cit Kong tidak dapat melihat akan
tetapi kupingnya dapat mendengar. Kembali ia menduga-duga: "Mungkinkah mereka
hendak minum arak" Tapi kenapa mereka tidak menitahkan orangnya?"
Lalu terdengar suaranya Auwyang Hong; "Apakah semua minyak dan belerang di semua
ruang perahu ini sudah siap sedia?"
Atas itu terdengar tertawanya Auwyang Kongcu, yang terus menjawab: "Semua sudah
siap! Asal api dipakai menyulut, kapal besar ini akan segera menjadi abu, hingga
si pengemis tua bangka itu pun bakal mampus ketambus!"
Cit Kong kaget. "Ah, mereka hendak membakar perahu?" katanya dalam hatinya.
Lalu terdengar pula suaranya Auwyang Hong: "Pergi kau kumpuli semua gundik yang
paling disayangi di dalam ruang. Sebentar kalo si bocah Kwee sudah tidur pulas,
kau ajak semua ke perahu kecil, aku sendiri yang nanti pergi kemari untuk
menyalakan api." "Ular kita dan mereka yang merawatnya bagaimana?" Auwyang Kongcu menanya.
Auwyang Hong menjawab dengan dingin: "Si pengemis busuk ada jago silat kenamaan,
kepala dari suatu partai, pantas ada orang-orang yang berkorban untuknya...."
Habis itu keduanya bekerja membuka sumpalan tahang, atas mana Ang Cit Kong dapat
mencium bau minyak. Dari dalam peti-peti kayu, paman dan keponakan itu
mengeluarkan banyak bungkusan terisi belerang. Ketika minyak telah dituang
melulahan, tatal atau hancuran kayu disebar di atasnya. Di atas itu ada
palangan-palangan peranti meletaki bungkusan belerang. Selesai kerja, keduanya
pergi ke luar. Masih Cit Kong mendengar suaranya Auwyang Kongcu, yang berbicara sambil tertawa:
"Paman, lagi satu jam maka bocah she Kwee itu bakal dikubur di dasar laut,
setelah mana di dalam dunia ini tinggallah kau seorang yang mengetahui isinya
kitab Kiu Im Cin-keng!"
"Tidak, ada dua!" sahut sang paman. "Mustahilkah aku tidak mewariskannya
kepadamu?" Auwyang Kongcu girang dan tangannya menutup pintu.
Ang Cit Kong gusar berbareng kaget.
"Kalau tidak malaikat menyuruh aku mencuri arak, mana aku ketahui aka keji dua
orang ini?" pikirnya. "Kalau api dilepas, bagaimana kami bisa menyingkir?"
Ia menanti sampai tindakan kaki kedua orang itu sudah jauh, diam-diam ia keluar
dari tempatnya bersembunyi. Ia lantas kembali ke gubuk perahunya, di mana ia
mendapatkan Kwee Ceng sudah tidur pulas. Hendak ia mengasih bangun muridnya itu
tatkala ia mendengar satu suara di luar pintu. Ia menduga Auwyang Hong tengah
mengawasi, lantas ia bersuara nyaring berulang-ulang: "Arak yang wangi, arak
yang wangi! Mari lagi sepuluh poci!"
Auwyang Hong, orang di luar kamar itu, tercengang.
"Ah, dia masih saja minum!" pikirnya.
Lalu ia mendengar pula suaranya si pengemis; "Tua bangka yang berbisa, mari kita
bertempur pula sampai seribu jurus, untuk memastikan siapa tinggi, siapa rendah!
Oh, oh, bocah yang baik, akur, akur!"
Mendengar sampai di situ, Auwyang Hong ketahui orang sebenarnya lagi mengigau
atau ngelindur di dalam tidurnya.
"Lihat si pengemis bau, tinggal mampusnya saja masih dia ngaco belo!" katanya.
Cit Kong pura-pura ngigau tetapi kupingnya dipasang. Auwyang Hong boleh lihay
ringan tubuhnya tetapi tindakan kakinya yang sangat perlahan masih terdengar si
raja pengemis, yang mengetahui orang pergi ke kiri. Lekas-lekas ia menghampirkan
muridnya, akan pasang mulutnya di kuping orang, yang pun ia bentur pundaknya
dengan perlahan. Terus ia memanggil: "Anak Ceng!"
Kwee Ceng mendusin seketika, agaknya ia terkejut.
"Kau bertindak menuruti aku!" Cit Kong berbisik singkat. "Jangan menanyakan
sebabnya! Jalan dengan hati-hati, supaya jangan ada yang dapat melihat!"
Kwee Ceng merayap bangun, sedangn gurunya menolak pintu, lalu menarik tangan
bajunya. Mereka menuju ke kanan. Mereka pun berjalan sambil melapai. Auwyang
Hong lihay, mereka khawatir mereka nanti terdengar si racun dari Barat itu.
Kwee Ceng heran tetapi ia mengikuti tanpa membuka mulutnya. Lekas juga mereka
berada di luar. Ang Cit Kong menggunai kepandaiannya "Cecak memain di tembok", untuk bergerak
turun, matanya mengwasi muridnya. Ia berkhawatir juga sebab papan perahu licin.
Kalau tangan mereka terlepas, pasti mereka bakal tercebur ke laut dan mengasih
dengar suara berisik. Ilmu "Cecak memain di tembok" itu mungkin tepat di tembok kasar, tetapi dinding
perahu ini dicat mengkilap dan licin, basah pula, maka tak gampang untuk merayap
di situ, apapula perahu tengah dipermainkan ombak. Syukur untuk Kwee Ceng, Ma
Giok telah melatih sempurna padanya selama mereka berada di gurun di mana dia
diwajibkan naik turun jurang.
Ang Cit Kong merayap terus, separuh tubuhnya berada di dalam air. Muridnya itu
tetap mengikutinya. Tiba di belakang, di tempat kemudi, Cit Kong melihat di situ ada ditambah sebuah
perahu kecil. Ia menjadi girang sekali.
"Mari kita naiki perahu itu!" ia mengajak muridnya, segera bertindak. Ia
mengenjot tubuhnya, untuk menyambar perahu kecil itu, ketika ia dapat memegang
pinggarannya, ia jumpalitan untuk naik ke dalamnya. Ia tidak mengasih dengar
suara apa juga. Begitupun Kwee Ceng, yang menyusul gurunya.
"Lekas putuskan dadungnya!" Ang Cit Kong menitah.
Kwee Ceng menurut, dengan cepat ia menggunai pisau belatinya. Maka dilain saat,
perahu kecil itu sudah terombang-ambing dipermainkan sang ombak.
Cit Kong menggunai pengayuhnya untuk membikin perahu tak goncang hebat.
Dengan lewatnya sang tempo, perahu besar lenyap dari pandangan mata. Hanya
dilain saat, di sana terlihat api lentera yang dicekal Auwyang Hong, bahkan See
Tok terus menjerit keras sebab ia mendapatkan perahu kecilnya lenyap. Kemudian
jeritan itu disusuli dengan kutukan, tanda dari kemurkaan hebat.
Ang Cit Kong mengumpulkan tenaga dalamnya, lalu ia tertawa keras dan panjang.
Mendadak itu waktu, di arah kanan ada sebuah perahu enteng menerjang gelombang,
menuju cepat ke arah perahu besar.
Heran Ang Cit Kong, hingga ia menanya dirinya sendiri: "Eh, perahu apakah itu?"
Hampir itu waktu terlihat berkelebatnya dua burung rajawali putih, yang terbang
berputaran di atasan layar besar. Dari dalam perahu itu pun berlompat satu tubuh
dengan pakaian putih mulus, berlompat ke perahu besar itu. Samar-samar terlihat
berkilauannya gelang rambut emas di kepala orang itu.
"Yong-jie!" Kwee Ceng berseru perlahan.
Memang orang itu Oey Yong adanya. Ketika ia melihat kuda merah, ia ingat
sepasang rajawali. Di laut kuda tidak diperlukan, lain dengan burung. Maka ia
lantas bersuit keras memanggil dua burung piaran Kwee Ceng itu. Bersama burung
itu, ia layarkan perahunya. Kalau burung itu, yang matanya tajam, sudah lantas
melihat perahu besar, maka keduanya lantas terbang pergi. Dengan begitu
bertemulah mereka dengan tuan mereka, hingga Kwee Ceng bisa mengirim warta
kepada si nona, untuk mengabarkan mereka berada dalam bahaya. Oey Yong lantas
melayarkan perahunya dengan cepat sekali. Akan tetapi ia masih terlambat, Cit
Kong dan Kwee Ceng keburu naik perahu kecil kepunyaannya Auwyang Hong itu.
Keras Oey Yong mengingat keselamatan Kwee Ceng, maka itu begitu lekas ia melihat
burungnya terbang berputaran di atas layar, ia lantas lompat dari perahunya itu
naik ke perahu besar. Ia telah menyiapkan jarum dan tempulingnya ketika ia
berlompat itu. Justru itu di perahunya, Auwyang Kongcu lagi kelabakan seperti semut di atas
kuali panas. "Mana Kwee Sieheng"!" tanya si nona. "Aku bikin apa terhadapnya?"
Auwyang ong sendiri tengah mengeluh. Dia telah membawa api, menyulut minyak,
tatkala ia mengetahui lenyapnya perahu kecilnya, perahu yang hendak ia pakai
untuk menyingkirkan diri. Dalam keadaannya seperti itu, kupingnya mendapat
dengar tertawanya Ang Cit Kong dari tengah laut. Maka mengertilah ia bahwa dia
telah gagal mencelakai orang dan berbalik mencelakai diri sendiri. Tentu sekali
ia menjadi sangat menyesal dan bingung, mendongkol dan berkhawatir. Tapi justru
itu, dia melihat datangnya Oey Yong. Sekejab itu juga timbul harapannya - di
otaknya muncul pikiran yang sesat. Dia berlompat sambil berseru: "Lekas naik ke
perahu itu!" Dia maksudkan perahunya Oey Yong.
Akan tetapi perahu itu ada perahu yang dikemudikan oleh anak buah yang gagu. Dia
itu tidak dapat bicara tetapi dapat berpikir. Pula dia memang ada bangsa licik.
Selama berada dengan Oey Yong, dia takut, dia menurut saj atitah si nona. Begitu
lekas nona itu lompat ke perahu besar, ia memutar perahunya, untuk dikayuh
dengan segera, untuk dipasang layarnya. Maka dilain saat, dia sudah terpisah
jauh dari perahu besar itu.
Cit Kong dan Kwee Ceng dapat melihat Oey Yong berlompat ke perahu besar, diwaktu
mana dari arah belakang perahu terlihat asap mengepul naik disusul sama
berkobarnya api. Mereka kaget karena mereka insyaf bahwa Auwyang Hong sudah
bekerja. "Api! Api!" berteriak-teriak anak muda ini dalam kagetnya.
"Si bisa bangkotan sudah membakar perahunya!" Ang Cit Kong pun berteriak.
"Dengan caranya itu ia hendak membakar kita!"
"Lekas tolongi Oey Yong!" Kwee Ceng berteriak pula.
"Dekati perahu!" Cit Kong menyuruh.
Kwee Ceng menggunai tenaganya, untuk mengayuh. Perahu besar kecil itu pun
bergerak menyusul perahu besar, untuk mendekati. Di atas perahu besar sendiri
keadaan kacau disebabkan semua pengikutnya Auwyang Hong - laki-laki dan
perempuan lari serabutan karena takut api, suara teriakan atau jeritan mereka
riuh sekali. "Yong-jie!" terdengar teriakannya Cit Kong. "Bersama Ceng-jie aku berada di
sini! Mari lekas berenang! Lekas berenang ke mari!"
Langit gelap, laut pun bergelombang, tetapi Cit Kong perdengarkan teriakannya
itu oleh karena ia ketahui baik si nona pandai berenang. Pula di saat sepereti
itu tidak dapat mereka tidak berlaku nekat untuk menolong diri.
Oey Yong dapat mendengar suara gurunya itu, ia girang. Tentu saja tidak sudi ia
memperdulikan pula Auwyang ong dan keponakannya itu, bahkan tanpa bersangsi lagi
ia bertindak ke tepi perahu, untuk segera mengenjot tubuhnya guna terjun ke
laut! Sekonyong-konyong nona Oey merasakan lengannya ada yang cekal dengan keras
sekali. Tubuhnya sudah mencelat tapi karena cekalan itu, ia tidak dapat terjun
terus, ia kena ditarik kembali ke perahu. Ia terkejut sekali ketika ia menoleh
akan mendapatkan, orang yang mencekal padanya adalah Auwyang Hong, si Bisa dari
Barat yang lihay dan ganas itu.
"Lepas!" ia berteriak seraya dengan tangan kirinya ia meninju.
Hebat sekali Auwyang Hong, tangannya bergerak bagaikan kilat, maka tahu-tahu si
nona telah tercekal pula tangan kirinya.
Sementara itu See Tok melihat perahu kecil sudah pergi jauh hingga tidak ada
lagi harapan untuk menyusulnya. Sebaliknya perahunya sendiri mulai terbakar
hebat. Api telah melulahan menyambar tiang layar yang lantas patah karenanya. Di
muka perahu, kekacauan berjalan terus. Agaknya perahu bakal segera karam, maka
pertolongan untuk mereka tinggallah perahu yang diduduki Kwee Ceng dan Cit Kong
itu. "Pengemis busuk, Nona Oey ada di sini!" See Tok berseru. "Kau lihat tidak"!"
Ia mengerahkan tenaganya, kedua tangannya di angkat naik, dengan begitu tubuh
Oey Yong pun turut terangkat tinggi. Dengan begitu ia hendak mengasih lihat
tubuh nona itu. Ketika itu api telah berkobar besar dan mendatangkan sinar terang maka Ang Cit
Kong dan Kwee Ceng dapat melihat tegas Oey Yong berada di tangannya si Bisa dari
Barat yang jahat itu. Ang Cit Kong menjadi gusar sekali.
"Dengan menggunai Oey Yong, dia hendak memaksa kita!" katanya sengit. "Dia ingin
naik ke perahu kita! Nanti aku merampas Yong-jie!"
"Aku turut, suhu!" berkata Kwee Ceng, Ia berkhawatir melihat api.
"Tidak!" mencegah si guru. "Kau melindungi perahu ini supaya tidak sampai kena
dirampas si tua bangka yang berbisa itu!"
"Baiklah," sahut Kwee Ceng, yang terus mengayuh pula, untuk mendekati perahu
besar itu, yang sekarang sudah tidak bergerak lagi.
Lekas juga perahu kecil itu mendekati perahu besar, begitu lekas Ang Cit Kong
merasa ia dapat melompatinya, ia lantas menggeraki tubuhnya untuk berlompat
sambil mengapungkan diri. Ia berlompat seperti tengkurap, maka tempo ia tiba di
perahu, tangannya yang sampai terlebih dulu. Ia menggunai tangan kiri dengan
kelima jarinya yang kuat, untuk dipakai mencengkeram tepian perahu, habis mana,
dengan mengerahkan tenaga di tangannya itu, ia membuatnya tubuhnya tiba di atas
perahu itu. Auwyang Hong masih mencekali Oey Yong. Ia menyeringai.
"Pengemis bangkotan busuk, kau hendak apa!" dia menanya, menantang.
"Mari,mari!" Cit Kong juga menantang. "Mari kita bertempur pula seribu jurus!"
Jawaban itu dibarengi sama serangan kedua tangan saling susul.
Auwyang Hong berlaku licik, bukannya ia berkelit, ia menangkis dengan mengajukan
tubuh Oey Yong sebagai tameng. mau tidak mau, Cit Kong mesti batalkan
penyerangannya itu. Ketika itu dipakai oleh Auwyang Hong untuk segera menotok jalan darah si nona,
maka sesaat itu juga, lemaslah tubuh Oey Yong, tak dapat ia berkutik.
"Letaki dia di perahu!" Cit Kong menantang pula. "Marilah kita bertempur untuk
memastikan menang atau kalah!"
Auwyang Hong ada terlalu licik untuk meletaki tubuh nona itu. Ia pun melihat
keponakannya lagi didesak sambaran-sambaran api hingga ia mesti main mundur.
Tiba-tiba ia mendapat akal. Mendadak ia lemparkan Oey Yong kepada keponakannya
itu. "Pergi kamu lebih dulu ke perahu kecil!" memerintahnya.
Auwyang Kongcu menyambuti tubuh yang tak dapat bergerak itu. Ia melihat Kwee
Ceng di perahu kecil. Ia mengerti, kalau ia melompat bersama si nona, mungkin
perahu kecil itu akan karam karenanya. Maka ia menarik sehelai dadung, ia ikat itu di kaki tiang layar, habis itu dengan tangann kiri
memeluki Oey Yong, dengan tangan kanan ia menarik dadung itu, untuk meluncur ke
perahu kecil itu. Maka terayunlah tubuh mereka, turun menghampirkan perahu.
Kwee Ceng melihat Oey Yong tiba di perahunya, ia girang bukan main. Tentu sekali
ia tidak mengetahui yang kekasihnya itu sudah kena orang totok hingga menjadi
tidak berdaya. Ia lebih memerlukan mengawasi gurunya yang lagi bertempur sama
Auwyang Hong. Biar bagaimana, ia bergelisah untuk gurunya itu.
Dengan api berkobar-kobar, tertampak nyata kedua jago tua itu lagi mengadu jiwa.
Mendadak saja terdengar suara nyaring seperti guntur, lalu tertampak perahu
besar terbelah dua, sebab tulang punggungnya dimakan api dan pecah karenanya.
Menyusul itu kelihatan bagian perahu yang belakang mulai tenggelam, perlahan-
lahan karam ke dalam air.
Ang Cit Kong dan Auwyang Hong bertempur terus. Kadang-kadang mereka mesti
berkelit dari runtuhannya tulang layar atau dadungnya, yang jatuh termakan api.
Dalam pertempuran sengit ini, Ang Cit Kong lebih menang sedikit, dalam arti kata
ia tidak merasakan hawa panas seperti lawannya. Itulah sebab pakaiannya basah
bekas tadi merendam di air. Karena ini juga, dapat ia mendesak See Tok, yang
sebaliknya mesti berkelahi sambil mundur perlahan-lahan.
Pernah Auwyang Hong memikir untuk terjun ke laut, ia hanya menyesal, pikirannya
itu tidak dapat ia segera mewujudkannya. Ia didesak terlalu hebat, kalau ia
memaksa terjun, itu artinya ia tidak dapat membela diri, mungkin nanti ia kena
diserang lawannya yang lihay itu. Ada kemungkinan juga ia nanti terluka parah.
Saking terpaksa, ia melayani terus dengan otaknya dikasih bekerja tak hentrinya
untuk mencari jalan lolos....
Ang Cit Kong menyerang dengan hatinya terasakan puas. Bukankah ia terus
mendesak" Tengah ia merangsak, tiba-tiba ia teringat sesuatu.
"Kalau aku desak dia hingga dia terbakar, kalau ia sampai mengantar jiwanya, itu
tak menarik hati," demikian pikirannya yang menyandinginya itu. "Dia telah
mendapatkan salinan kitab dari Ceng-jie, jikalau dia tidak mendapat kesempatan
untuk mempelajarinya, bila nanti ia mampus, pastilah ia mampus tak puas! Tidak
dapat tidak, dia mestinya dibikin kena batunya...!"
Karena ini Pak Kay lantas tertawa terbahak-bahak. "Bisa bangkotan, hari ini aku
memberi ampun padamu!" ia berseru. "Kau naiklah ke perahu kecil itu!"
Kedua matanya Auwyang Hong mencelik, lantas ia terjun ke laut. Cit Kong hendak
menyusul tatkala ia dengar teriakannya See Tok.
"Tahan dulu!" demikian si Bisa dari Barat itu berteriak. "Sekarang tubuhku pun
basah, maka marilah kita berdua bertempur pula. Sekarang barulah adil, sama rata
sama rasa!"

Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Suara itu disusul sama berkelebatnya satu tubuh, maka di lain detik, Auwyang
Hong telah berdiri pula di atas perahu besar, di depan lawannya.
Sekejap Ang Cit Kong melengak, lalu ia tertawa lebar.
"Bagus, bagus!" serunya. "Seumur hidupnya si pengemis bangkotan, ini hari
barulah ia bertempur paling memuaskan!"
Kembali dua orang itu bertarung dengan hebat. Dengan tubuh basah kuyup, agaknya
See Tok menjadi segar sekali.
"Yong-jie," berkata Kwee Ceng kepada kekasihnya. "Kau lihat See Tok ganas
sekali!" Oey Yong tengah ditotok, ia tak dapat bersuara.
"Apakah tidak baik aku minta suhu turun ke mari?" Kwee Ceng berkata pula
menanyai si nona. "Perahu besar itu bakal lekas tenggelam...."
Oey Yong tetap tidak menyahuti.
Kwee Ceng heran, maka lekas ia berpaling. Semenjak tadi ia terus mengawasi ke
gelanggang pertarungan. Maka gusarlah ia untuk menyaksikan Auwyang Kongcu lagi
meringkus kedua tangan orang.
"Lepas!" ia lantas berteriak.
Auwyang Kongcu tertawa. "Jangan kau bergerak!" dia berseru. "Asal kau bergerak, satu kali saja, akan aku
hajar hancur kepalanya!" Dan dia mengancam.
Kwee Ceng tidak menggubris ancaman itu, bahkan seperti tanpa berpikir sejenak
juga, ia menyerang. Auwyang Kongcu berlaku sebat, ia berkelit sambil mendak.
Kwee Ceng penasaran, ia menyerang pula ke muka orang. Ia seperti merabu tanpa
jurus tipu silat. Auwyang Kongcu bingung juga. Perahu kecil, tidak merdeka untuk ia terus main
berkelit. Tapi ia mesti melawan. Maka ia membalas menyerang.
Kwee Ceng menangkis, dengan begitu kedua tangan bentrok. Auwyang Kongcu licik,
sambil menyerang ia terus memutar kepalannya, menyerang pula, maka "Plak!"
pipinya si anak muda kena terhajar.
Serangan itu keras, mata Kwee Ceng berkunang-kunang. Tapi ia mengerti bahaya, ia
membuka matanya. Justru itu datang serangan yang kedua kali. Kembali ia
menangkis. Pendekar Bloon 5 Pendekar Slebor 66 Tabir Pulau Hitam Tiga Iblis Pulau Berhala 2
^