Pencarian

3200 Miles Away From Home 7

3200 Miles Away From Home Karya Valerossi86 Bagian 7


Setelah selesai, terlihat Iman berjalan mendekatiku. "Topa mana Man"", tanyaku.
"Lagi di luar... ngeliwet nasi... Di tas lu masih ada sarden gak"" "Bentar..."
Kubongkar sedikit tas carrierku dan kuambil saja empat kaleng sarden terakhir yang dapat kutemukan di dalam tas tersebut.
"Nih, Man..." "Ok... Thank you Jo..."
Kemudian terlihat Iman berjalan dengan agak tertatih ke arah luar. Seketika itu juga aku teringat kondisi kaki Iman yang masih cedera. Segera saja aku menyusul Iman untuk berjalan ke luar dan mengambil kaleng-kaleng sarden tersebut dari tangannya.
"Udah biar gua aja yang bawain, Man." "Ih... Ga papa tau Jo..."
"Udah lah... Kaki ente masih sengkleh gitu... Biar ane aja yang bawa..." "Hahahaha... Ya udah lah..."
Kemudian kami berjalan berdua ke arah luar penginapan dan terlihat Topa sedang menjaga kompor kecil dengan panci kecil di atasnya.
"Oh iya, Jo... Azra teh saha" Tadi saya sama Topa bangun duluan gara-gara kamu pas tidur manggil nama itu... Bukannya pacar kamu namanya Riani yah Jo""
"HEH"!" "Iya Jo... Sumpah tadi saya kita teh bangun gara-gara kamu ngigo nyebut-nyebut "Azra" kitu... Ya nggak Pa"", sahut Iman ketika kami sudah mendekati Topa.
"Iya Jo... Sampe bangun gua tadi dengerin lu ngigo kayak gitu... Mimpi apaan sih lu sebenernya"", timpal Topa.
"Nah... Itulah masalahnya... Gua aja ga inget sama sekali gua mimpi apa semalem... Apalagi gua inget kalo gua ngigo nyebut-nyebut nama Azra""
Dan demi Tuhan, sampai saat ini aku tidak ingat sama sekali apa yang ada dalam mimpiku pada malam itu sampai-sampai aku memanggil nama gadis Turki itu. Kuambil saja ponselku dan begitu aku mengecek sinyal, untungnya masih ada sinyal jaringan di tempat itu walaupun wi-fi masih belum bisa aktif sejak kemarin sore. Kuketik saja sebaris pesan singkat untuk gadis yang katanya semalam berhasil menyatroni mimpiku. Quote: Morning Az... My friends said I was calling your name in my sleep... Did you come into my dream last night"
Beberapa menit kemudian, lima orang dari rombongan kami akhirnya ikut menikmati sarapan ala kadarnya yang barusan dibuat oleh Chef Topa. Menunya memang hanya nasi liwet dan ikan sarden yang merupakan sisa-sisa makanan kami yang terakhir. Brian dan Charlotte hanya menambah sedikit variasi dengan sedikit tambahan biskuit dan kacang merah kalengan. Penerangan di luar penginapan yang cenderung secukupnya ditambah sinar bulan yang masih cukup dominan pada saat itu menambah kuat kesan kesederhanaan tersebut. Meskipun sederhana, tapi entah kenapa rasa kebersamaan yang muncul pada saat itu berhasil membuat rasa masakan sederhana tersebut seolah lebih nikmat daripada masakan Chef lulusan kontes master chef season berapapun.
Hanya lima belas menit kami menikmati sarapan tersebut. Kami bergegas membereskan peralatan masak dan makan kami begitu rona merah mulai mengintip di ufuk Timur. Tidak sampai sepuluh menit kemudian kami sudah berkumpul kembali di depan penginapan ini untuk mengejar target kami berikutnya: menikmati matahari terbit di puncak Cheongwanbong yang menjadi titik tertinggi dari Gunung Jirisan ini.
Berhubung titik Cheongwanbong sudah tidak begitu jauh lagi, kami semua cukup bersemangat untuk segera mencapai titik tersebut. Segala rasa sakit dan lelah yang kami derita sebagai akibat dari pendakian ini seolah lenyap entah ke mana ketika kami teringat betapa dekatnya kami dengan salah satu titik tertinggi di Semenanjung Korea ini. Bahkan Iman yang sempat keseleo di pendakian hari pertama terlihat sangat normal dalam perjalanan menuju titik puncak ini.
Tidak sampai 20 menit berjalan, kami tiba di rute terakhir untuk mencapai Cheongwanbong di mana terdapat dua rute: mendaki tebing yang cukup curam meskipun tidak terlalu tinggi, atau berjalan menanjak dengan rute agak memutar.
"So, Jo... Wanna race me in climbing this cliff"", tantang Brian. "Challenge accepted, Bro!"
Segera saja kami berdua mengambil posisi di awal lajur pendakian tebing dan menunggu aba-aba dari Charlotte.
"On your mark... Get set... go!"
Segera saja sepasang tanganku secara naluriah mencari ujung-ujung tebing untuk jadi tumpuan pendakianku. Terlihat di sebelah Brian juga melakukan hal yang sama denganku. Sejurus kemudian aku tidak terlalu mempedulikan apa yang bule itu lakukan ataupun sampai mana pendakian si bule itu. Entah sejak kapan aku merasakan kenikmatan memanjat tebing ini. Beberapa kali aku terpeleset ataupun gagal mencengkeram titiktitik tumpu pendakianku. Tentu saja adrenalinku mengalir cukup deras ketika hal tersebut terjadi. Tetapi entah bagaimana prosesnya yang tiba di otakku bukanlah sensasi ketakutan namun adanya rasa nikmat dari mengalir derasnya adrenalin tersebut. Hal ini tentunya makin menguatkan semangatku untuk meneruskan pendakian ini.
Sampai tiba saatnya aku sampai di ujung titik pendakian. Aku sedikit kecewa karena aku masih berharap pendakian tadi dapat berlangsung sedikit lebih lama lagi. Selain itu aku juga belum dapat melihat Brian tiba di area di sampingku. Sepertinya aku berhasil mengalahkannya dalam perlombaan barusan. Bisa juga rupanya Indonesia mengalahkan Amerika.
Beberapa detik kemudian si bule itu tiba juga di area di sampingku. Ia langsung saja mengambil botol minuman dari tasnya sembari berjalan mendekatiku dan mengulurkan tangannya.
"Congrats, bud! I've never expected that you're that expert in climbing the cliff.", katanya terengah-engah.
"Well, I'd like to confess: that was my first time ever doing the cliff climbing. And I don't think that would be my last."
"What"! That's impossible!"
Aku hanya tersenyum dan mengangkat kedua bahuku yang mengartikan bahwa terserah padanya untuk percaya atau tidak.
"Okay... okay... Please promise me we'll have a rematch on the other circumstances..." "Sure!"
Kemudian kualihkan saja pandanganku ke arah Timur dan di sana terlihat pemandangan indah di mana sedikit demi sedikit sang surya melangkah dengan gagah ke singgasananya di ufuk Timur. Sinar oranye kemerahan tersebut seolah memamerkan sisi lembut sang penguasa siang tersebut yang entah bagaimana caraya membuatku jadi sedikit melankolis.
Dan tentu saja meningkatnya jiwa melankolis ini membuat banyak pikiran-pikiran dengan liarnya bersirkulasi keluar dan masuk otakku. Dengan bebas. Tanpa hambatan berarti.
Masa kecilku. Keluargaku.
Teman-temanku. Riani. Pendidikanku. Azra. Pekerjaanku. Azra. Khali. Azra. Kehidupanku di Korea. Azra.
Hei, kenapa si rambut merah itu jadi cukup dominan di dalam pikiranku"! Kenapa bukan Riani" Tentu saja pemikiran tersebut semakin berkecamuk di dalam diriku. Sampai pada satu ketika.
"Hayoh lo! Ngelamun aja Jo... Mikirin Riani atau Azra nih"", goda Rara yang entah sejak kapan sudah tiba di puncak ini.
"Eh... udah pada sampe sini toh... Ini lagi liatin matahari terbit... Bagus bener... Jadi rada sentimental nih gua..."
"Iya sih...Bagus emang matahari terbit dilihat dari tempat tinggi kayak gini..." "Jadi rada-rada melankolis sentimental gitu kan"", godaku.
Rara hanya bersemu malu saja ketika kugoda demikian.
"Eh, Jo... Tadi gua ambil foto lu pas lagi manjat... Cakep juga ternyata lu kalo lagi manjat...", kata Rara sembari memberikan kamera digitalnya kepadaku.
"Cakep gimana emang"", jawabku penasaran sembari mengutak-atik kameranya.
Terlihat beberapa fotoku sedang memanjat tebing tadi. Terlihat juga beberapa pose ketika aku bertumpu dengan satu tangan yang menunjukkan perjuanganku dalam mendaki tebing tersebut. Namun dari keseluruhan foto tersebut tiba-tiba aku menyadari satu hal.
"Ra... Ini foto gua kok ga ada mukanya semua ya""
"Lha... Emang lu gimana caranya manjat" Muka lu ngadep tebingnya kan" Masak iya dari gaya kayak gitu lu ngarep muka lu bisa kefoto""
"Lha terus maksud lu gua cakep kalo lagi manjat gimana"!" "Ya maksud gua itu emang lu itu belakang-genic..." "Terus dari depan"!"
"Ancur...", jawab Rara dengan gaya yang tenang.
Singkat kata, kami semua menikmati matahari terbit di puncak Chengwanbong tersebut. Tentu saja kami juga berfoto-foto dengan gaya aneh di atas puncak tersebut. Mulai dari gaya henshin kamen rider, kayang, bola semangat a la son goku, sampai gaya yang kulakukan berdua dengan Brian: Gaya fusion Son Goten dan Trunks. Tentu saja orang-orang yang mulai datang beberapa saat setelah kami memandang kami dengan aneh.
Sekitar satu jam kami berada di Cheongwanbong, kemudian kami memulai perjalanan turun kami ke suatu daerah yang dekat dengan kota Jinju. Dan sebagaimana perjalanan turun gunung, perjalanan ini bisa dibilang perjalanan yang cukup menyakitkan karena luka dan nyeri di kaki kami yang kami dapatkan dari proses pendakian seolah kompak untuk berdemo menunjukkan eksistensinya. Aku yang pada saat mendaki cukup perkasa dengan melangkah dengan cukup cepat kali ini tidak dapat melangkah secepat kemarin. Selain itu proses perjalanan turun yang seringkali memaksa kaki untuk mengerem juga cukup membuat kaki yang sudah lelah dan nyeri tersebut jadi tambah perih. Untungnya kami semua dapat bertahan dan berhasil tiba di titik turunan pada siang hari.
Pada sore harinya, kami sudah tiba di Busan setelah menaiki bus dari Jinju. Di kota ini juga kami harus berpisah dengan Brian dan Charlotte yang melanjutkan perjalanannya ke Jeonju dengan bus. Kami sendiri sudah memesan kereta mugunghwa terakhir menuju Seoul pada malam ini.
Pagi harinya aku berhasil tiba di asrama dengan langkah tertatih-tatih dan wajah amat lelah. Kebetuan pada saat yang sama di lobby aku bertemu dengan Saddam yang baru saja selesai jogging. "So how was Jirisan, Jo""
"Great, mate.... Unfortunately my legs are not great because of that mountain..."
Saddam hanya tersenyum mendengarnya dan segera saja ia memapah diriku yang tertatih menuju kamarku.
"Take a shower... You smell so terrible... And then take some rest... I'll get you some meals for lunch..." "Ahahahaha... Syukran ya Akhi!"
Dan Saddam hanya tersenyum tulus untuk membalasnya.
Segera saja aku mandi di shower dan tidak lama setelah mandi aku yang hanya memakai celana pendek langsung tertidur. Nyenyak. Dan kali ini kupastikan tidak ada mimpi.
Entah berapa lama aku kehilangan kesadaran. Sentuhan lembut di keningku dan pijatan-pijatan lembut dan nyaman di kedua tungkaiku sedikit demi sedikit mengembalikan kesadaranku ke alam nyata. Dan aku yang mulai sadar jadi bertanya-tanya siapa yang sedang memijat kakiku tersebut. Kucoba saja kubuka mataku dan kukejap-kejapkan untuk mengumpulkan kesadaran. Dan sesuatu yang kulihat sungguh mengejutkanku. "What" How come you could be here"!"
Side Story: Kejutan Tengah Malam 9 Desember 2015; 0100 hrs
Tubuhku yang terlelap pada malam itu merasakan ada sedikit guncangan. Pelan-pelan kesadaranku merayap kembali dari alam mimpi menuju alam nyata. Samar-samar terdengar suara lirih namun berfrekuensi tinggi di telingaku.
"Pa... Papa Jo... bangun..."
"Iya Tro... entaran lagi ya...", jawabku dengan malas dan mata masih tertutup.
Sampai dengan kusadari sesuatu. Kenapa bisa ada Astro" Aku kan sedang tidur di kamarku malam ini! Dan kupaksakan saja kubuka mataku dan melihat sosok yang sebentar lagi akan berusia empat tahun tersebut.
Terlihat senyum polosnya dan kali ini aku lihat tangan kirinya memegang sesuatu yang terbungkus kertas kado.
"Selamat ulang tahun Papa Jo!"
Spontan kupeluk saja dia dengan erat dan kuelus-elus rambutnya yang halus dan agak sedikit kecoklatan sebagaimana rambutku.
"Makasih ya Tro...", sahutku dengan agak bergetar karena menahan haru.
Kemudian lampu kamarku menyala dan terlihat Wulan, Tora, adikku Johan dan Jordan, Ibuku, serta tentu saja dia.
"Selamat ulang tahun Jojooooo!", sahut mereka bebarengan.
Kemudian mereka pun menyanyikan lagu selamat ulang tahun dan happy birthday kepadaku. Kupandangi saja wajah mereka satu persatu sembari mengucapkan terima kasih. Termasuk wajahnya yang masih tersenyum manis.
Senyum yang sama ketika kutemui dirinya pertama kali beberapa tahun lalu. Dan senyum yang sama ketika kujemput dirinya di bandara beberapa malam yang lalu.
She Moves "What" How come you could be here"!", seruku ketika aku melihat Azra berada di depan mataku.
Yup. Si Rambut Merah itu ada di depanku. Di depanku yang masih terbaring. Terbaring di peraduan empuk ini. Peraduan di dalam kamar di asramaku ini.
Ia tidak menjawab pertanyaanku dan hanya menempelkan ujung jari telunjuknya di tengah-tengah bibirnya. Terlihat ia meminta agar aku tidak terlalu berisik melihat keberadaannya di kamarku yang sejatinya merupakan zona bebas kaum hawa. Kemudian ia melanjutkan memijati kedua kakiku yang masih terasa sedikit nyeri setelah aku kembali dari pendakian tersebut. Terlihat kedua ujung bibirnya tersenyum manis sembari terus memijati sepasang kakiku tersebut. Dan terlihat juga ada sedikit jejak air mata di kedua pipinya yang putih kemerahan tersebut.
"Ah, Jojo... Finally you wake up! How about your legs" Feelin' better"", tanya Saddam yang muncul dari arah belakang Azra.
"Never been better ya Akhi... Thanks to Azra's special treatment...", jawabku yang kemudian membuat pipi si Rambut Merah itu bersemu malu.
"But, how come....", lanjutku yang segera dipotong oleh Azra.
"I've been calling you like billion times since this morning when I realised that you're coming back here today. But you didn't pick'em up even once!"
"Til I picked it up and heard her panic voice through the phone. Actually I was worried as well because you slept like you were dead. That's why I asked her to wear some masculine clothes and let her here to take care of you.", sambung Saddam.
Aku hanya tertegun mendengarnya. Dan kuperhatikan juga pakaian yang dikenakan oleh Azra. Hoodie berwarna Crimson khas Anam University yang juga dilengkapi dengan tudung penutup kepala serta celana panjang cargo yang menegaskan kesan maskulin pada Azra.
Tiba-tiba aku teringat dengan pakaianku sendiri. Aku baru saja menyadari jika saat itu aku hanya mengenakan celana sepanjang setengah paha berwarna putih dengan logo Mr. Smile berwarna kuning dengan dilengkapi tulisan "Have a Nice Day!" di atasnya. Hanya itu saja. Tanpa ada kain tambahan yang menutupi bagian tubuh atas dan paha ke bawah. Sontak saja kuambil selimut untuk menutup tubuhku.
"Guys, can you get outta here for a while""
Kedua orang itu terlihat agak kaget dengan ulahku barusan. "Please..."
Sejenak kemudian mereka saling pandang dan tersenyum. Dan pada akhirnya mereka meninggalkanku sendirian di kamar ini.
"ya Akhi, where is Azra"" tanyaku ketika aku sudah mengganti pakaianku dengan pakaian yang lebih proper.
"She told me that she has something to do for the time being. She also asked me to tell you to go see her in 20 minutes at the usual place"
"Oh well... I think I still have time to take a prayer... Wanna join"" "Nah... I have taken it like half an hour ago..."
"Okay..." Kemudian aku melangkah ke dalam shower room untuk mengambil wudhu. Kemudian setelah aku selesai dan melangkah keluar dari ruangan tersebut, terdengar suara Saddam dari dalam kamarnya. "My brother Jojo... Can I ask you about something""
"Please, ya Akhi..."
"Who is Azra, actually" She looks so into you." "a friend."
"Don't lie to me, ya Akhi. She won't do such thing like going through here if she just look at you merely as a friend."
Kuhela nafas panjang sebelum kujawab pertanyaannya.
"Well, honestly it's kinda complicated for me to answer that question ya Akhi. You know I already have a girlfriend in Jakarta. But you know... Well, what was your first impression towards her"" "She's kinda... irresistible""
"Exactly! That is the best word to describe her! And can you imagine when a girl as irresistible as her came into you and she addressed you as her significant""
"Well it's kinda problematic ya Akhi..." "..."
"Well, I have one request for you, then... I know how you live your life... positively and negatively... Please don't let her get into the negative part of your life..."
"Of course ya Akhi... Keep my words on not letting her into the dark side...", jawabku sembari tersenyum dan bergerak menuju kamarku.
Beberapa menit kemudian setelah aku menyelesaikan ibadahku dan bersiap turun ke bawah menemui Azra, terdengar ada suara pesan masuk melalui YM di ponselku.
Quote: Riani: Abang, bisa video call gak"
J: Bisa... bisa lah sayang... apa sih yang nggak buat kamu" Tapi tunggu lima menitan lagi ya"
R: Gombaaaaalllll.... J: R: tapi aku sukaaaakkk...
J: R: Beberapa saat kemudian aku tiba di basement atau tepatnya di sofa di ruang TV di mana aku biasa rendezvous dengan Azra. Terlihat belum ada siapapun di situ. Kunyalakan saja laptop yang kubawa serta kuaktifkan pula aplikasi skype yang memang sudah kupersiapkan untuk video call dengan Riani. "Halo Rianiku sayaaaannngggg..."
"Abaaaaanggg!" "Tumben nih... Lagi ada apa ngajak Video Call""
"Aku galau Bang... weekend ini udah kudu pindah ke Surabaya buat beberapa bulan ke depan..." Dan aku teringat dengan pembicaraan kami ketika kami menghabiskan waktu terakhir kali di Indonesia. "Duuuhhhh... calon istriku galau begini..."
"Tadi ngomong apa Bang""
"Galau"" "Bukan... Yang satu lagi..." "Apaan sih""
"Tadi ngomong calon apa gituh..." "Calon istriku""
Dan terlihat di monitor wajah Riani jadi memerah mendengarku mengucap kedua kata itu. "Coba ucapin lagi Bang... Aku seneng banget dengernya..."
"Ngucapin apa ya calon istriku""
Dan terlihat wajahnya jadi tambah bersemu. Aku hanya bisa menahan tawa saja mendengarnya walaupun ada sedikit rasa malu di hati ini.
"Ciiiieeee... udah gak galau lagi..." "Makasih ya Bang udah ngehibur aku..." "Sama-sama sayang..."
Dan kami berdua terdiam sembari memandang monitor kami masing-masing untuk beberapa saat. Di monitor tersebut terlihat wajah manis gadis yang sudah mewarnai hidupku selama hampir enam tahun belakangan ini. Dan masih terlihat jelas juga senyum manis serta sorot mata teduh yang sama ketika pertama kali kukenal dia di akhir masa SMA-ku.
Sampai kemudian... "Hi Jo... Having a call, eh"", terdengar suara lembut di sampingku.
Kutolehkan saja kepalaku ke samping dan terlihat Azra berada di sana membawa dua buah food container berukuran sedang.
"Hi Az... What's inside 'em"", balasku.
"Proudly present... My own made Jjajangmyeon!", jawabnya dengan bangga sembari menunjukkan isi dari food container tadi.
"That looks delicious, Az!", seru suara dari laptopku.
"Oh hi Riani! How is it going in Jakarta" You know, I just remembered that you told me Jojo like noodles. That's why I cooked this Jjajangmyeon for him. And I can guarantee it's halal!"
"You totally made me envy, Az... So when are we going to meet up" I can't wait to enjoy your own made food!" "We can arrange that, Ri!"
Dan begitulah. Kedua gadis itu kemudian meneruskan pembicaraannya melalui video call. Tentu saja sembari menikmati makan siang kami masing-masing. Aku dan Azra menikmati mie gandum bersaus hitam dengan taburan daging tersebut sementara Riani di ujung sana terlihat menikmati empal gentong.
Terlihat sekali mereka berdua sangat menikmati sesi makan siang bersama ini. Kulihat senyum dan tawa tidak pernah absen dari bibir mereka sepanjang sesi siang ini. Namun aku merasakan ada yang hilang dari keramahan dua gadis ini. Tatap mata mereka tidak terlihat hangat kendati pembicaraan pada siang itu berjalan dengan sangat hangat dan bersahabat.
Dan ketika aku akan mengakhiri panggilan video tersebut... "Makasih ya Bang... Aku udah ga galau lagi buat pindahan..." "Aku percaya kamu akan kuat kok, sayang..."
"Tadinya aku galau banget tau... udah jauh sama kekasih, harus ngejauh pula dari keluarga..." "Udah... nanti jadi galau lagi... Nanti aku bakal telpon Ian buat jagain kamu kok selama di sana..." "Makasih ya Bang...", jawabnya sambil tersenyum penuh arti.
"And for you, Az...", tutur Riani kepada Azra yang berada di sebelahku. "..."
"Please take care Jojo for me... Don't let him trapped in his dark side of his life..." "For sure, Ri..."
Kemudian video call berakhir. Dan segera saja kuambil calling card dan ponselku. Kusorot nama Ian pada daftar kontakku dan kutelepon dirinya.
"Halo, Assalamualaikum..."
"wa Alaikum salam, Cuk! Yo opo kabare"!", jawabku. "Woalah... masih urip koen"! Ono opo tah"" "Aku nek nitip, Cuk..."
"Nitip opo""
"Riani..." Bad Company Pembicaraanku terakhir kali dengan Ian pada dasarnya berinti pada dua hal: aku yang menitipkan Riani kepadanya dan permintaannya agar aku menginstall aplikasi whatsapp di ponselku. Ia mengatakan bahwa ada hal menarik terkait dengan aplikasi tersebut yang perlu kuketahui.
Pada malam harinya, aku coba saja menginstall aplikasi bersimbol hijau tersebut dan segera mengabarinya. Quote: J: Cuk... wis aku install iki... trus ono opo tah"
I: wis& sabar sik&
Dan tidak sampai semenit kemudian di ponselku terdapat notifikasi bahwa aku telah tergabung dalam sebuah group whatsapp yang terdiri atas delapan nomor kontak yang mana cukup banyak dari nomor-nomor tersebut sudah terdapat dalam daftar kontakku. Dan ketika aku ingat nama-nama yang terdapat di situ, aku tersadar sesuatu& Group ini merupakan kelompok aliran hitam yang cukup terkenal di jurusanku semasa aku berkuliah di Indonesia dulu& Tidaaaaakkk!
Dan benar saja. Pesan pertama yang kuterima di group tersebut adalah&
Quote: I: selamat datang Suhu Jojo yang tengah menuntut ilmu di negeri ginseng sana. Sudilah kiranya suhu bersedia bergabung dengan kelompok kami yang hina ini.
Dhika (D): Welkom Suhu Jojo... gimana Korea" Sudilah kiranya berbagi FR Suhu Jojo selama di negeri ginseng sana...
Rizki (R): Lebih bagus lagi kalo ada 3gp Jo...
Jamie (Ja): Gimana rasanya cewek Korea Jo" Pasti lebih legit daripada yang di Indonesia ya Jo"
Anas (An): Salut ane sama ente, Jo... sebagian besar dari kita masih berjuang cari sarang di sini, ente udah buka cabang aja di sana...
J: Woy! Group apaan nih"!
Baiklah& Biar kujelaskan sedikit mengenai kekacauan yang barusan terjadi. Jadi semasa aku kuliah dahulu, angkatanku terkenal sebagai angkatan yang jahil sekaligus cabul. Dan sudah menjadi rahasia umum jika kejahilan dan kecabulan angkatanku berinti pada lima orang pria: Anas, Ian, Moses, Gugun dan terakhir: aku. Celakanya lagi, lima orang pria tersebut entah dengan bagaimana caranya pada semester 7 bisa-bisanya mendapatkan posisi yang cukup prestis di kalangan mahasiswa: Asisten Dosen. Lebih gilanya lagi, Ian pada saat itu memiliki posisi juga sebagai seorang Ketua Himpunan Mahasiswa, Gugun dan Moses sedang merintis jalan sebagai peneliti muda, Anas sudah cukup memiliki nama dalam jurnalisme kampus, sementara aku cukup menikmati posisiku sebagai koordinator perpustakaan jurusan. Mengapa hal itu bisa terjadi" Well, itulah bukti jika Tuhan itu ada.
Kekacauan macam apa yang pernah kami lakukan" Mulai dari hal ringan seperti menggoda beberapa asisten peneliti yang menjadi counterpart jurusan kami dalam beberapa proyek penelitian, minum-minum dan menghisap ganja di ruangan perpustakaan jurusan dan ditemani dengan sajian film biru yang diunduh lewat jaringan internet di komputer perpustakaan, menggunakan ruangan perpustakaan jurusan sebagai tempat "check in" di malam hari, sampai dengan melakukan perjudian terselubung dengan modus taruhan dalam beberapa cabang olah raga di pertandingan olah raga yang diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Jurusan.
Tentunya jika kamu jeli, kamu akan menemukan beberapa nama yang sudah disebut namun belum dijelaskan. Dhika merupakan teman seangkatan kami yang level kenakalannya sudah jauh di atas kami. Di saat kami baru berani bertaruh maksimal 50000 rupiah, ia sudah mendapatkan motor CBR dari hasil menang taruhan final liga championss2005. Kemudian ketika kami masih perlu patungan untuk dapat membeli bir dan anggur merah di tukang jamu atau maksimal mix-max, Dhika dengan entengnya mendonasikan satu atau dua botol Jack Daniels maupun Absolut Vodka untuk kami nikmati bersama. Singkat kata, Dhika merupakan Maha Suhu dalam kelompok tersebut. Rizki dan Jamie merupakan senior dan junior kami yang tingkat kenakalannya cenderung di atas kenakalan teman-teman seangkatannya sehingga mau tidak mau terpaksa kami tampung di kelompok kami karena memang kami tidak tegaan melihat mereka tidak punya teman.
Dan ada satu lagi nama yang ada di situ yang mungkin akan membuat sebagian dari kalian akan sedikit kaget: Bemby.
Kenapa Bemby perlu ada di group itu" Apakah dia juga agak nakal dan cabul juga" Jawabannya tentu saja tidak. Jawaban yang tepat kenapa Bemby bisa ada di group itu simply karena group kami perlu objek penderita yang cukup sabar untuk menjadi obyek keisengan kami. Dan peran itu memang dijalani dengan sangat sempurna oleh Bemby.
Well, kira-kira baru sekitar 90 menit aku bergabung dengan group tersebut, tercatat 20 foto syur dan belasan tautan untuk mengunduh film biru tersimpan dengan baik di chat log group tersebut. Dari catatan tersebut rasanya aku tidak perlu menjelaskan apa saja yang kami bahas di group whatsapp tersebut.
Dan yang lebih gila lagi, tidak sampai sepuluh menit dari obrolan terakhir kami di group aliran hitam tersebut masuk lagi satu notifikasi ke ponselku. Kali ini terlihat salah satu sahabat lamaku, Dokter Dana memasukanku ke dalam sebuah group whatsapp. Dan kali ini aku dengan mudah dapat menebak jika group ini adalah group sahabat-sahabat lamaku yang lebih dikenal dengan nama Geng Maksiat. Tentu saja obrolan yang terjadi di group kedua ini nuansanya tidak jauh-jauh dari group pertama.
Dan sekali lagi: tidak perlu kuperjelas apa saja yang kami bahas di group pada malam itu. Yang jelas malam itu aku terpaksa menyambungkan ponselku dengan laptop untuk memindahkan gambar-gambar serta mengakses tautan untuk dapat mengakses harta berharga yang kudapat dari dua group tadi. Hal tersebut terpaksa kulakukan agar memori ponselku tidak terlalu penuh sehingga menjadi lambat dan berat. Bayangkan saja, tidak sampai empat jam aku bergabung dengan dua group whatsapp tiba-tiba ponselku nyaris kepenuhan
memorinya! Pada pagi harinya, aku bangun agak telat. Segera saja kupercepat langkahku ke kelas yang seharusnya akan dimulai beberapa menit lagi. Beruntung pada saat aku tiba di kelas, Professor Kang yang mengisi kelas international economy masih belum tiba. Tanpa pikir panjang, kududuki saja kursi yang terletak di barisan belakang tersebut. Kemudian kuteguk air mineral dalam botol yang kuambil dari dalam tas. "So... No longer fasting, Jo"", tanya seseorang di sebelahku.
"Nope... Ramadan's over a few days ago...", jawabku tanpa melihat ke arahnya.
Kemudian aku menyadari sesuatu dan kutolehkan leherku ke sebelah. Dan terlihat Khali tersenyum agak aneh. Tidak cukup dengan itu, aku juga merasakan ada pandangan sejenis dari arah depanku. Dan ternyata di sana sudah ada Jen dan Dao yang juga tengah tersenyum aneh kepadaku. Seketika perasaanku menjadi tidak enak.
"That's great, Jo... Very Great"
Tuhan, kenapa orang-orang di sekitarku modelnya seperti ini semua"!
Cerita Semalam Klab malam di Itaewon tersebut cukup ramai pada malam itu. Sementara itu dynamic duo Khali dan Jen menarik kedua tanganku agar lebih cepat lagi mengikuti langkah mereka melangkah lebih jauh ke dalam klab tersebut. Di belakangku Dao mendorong punggungku agar dapat melangkah lebih cepat ke dalam. Dan di meja di sudut klab itulah kami berempat duduk menikmati senin malam ini. Sekitar sepeminuman teh sejak kami duduk, seorang pelayan yang sepertinya sudah kenal Jen dengan baik membawa nampan berisikan sebotol Baileys dan empat gelas serta satu wadah es batu.
"Gomawoyo, Hong-sang oppa!"*, seru Jen kepada si pelayan yang barusan mengantarkan minuman tersebut.
Spoiler for *: Terima kasih, Abang Hong-sang
"You're welcome, Jen! Just enjoy your time tonight, okay!"
Kemudian dengan cekatan Jen menuangkan isi dari botol yang tadi sudah dibuka oleh Hong-sang ke masingmasing gelas hingga mencapai seperempatnya dan juga menuangkan beberapa butir es batu ke dalam masing-masing gelas.
"Guys, please enjoy the drink!"
Dan kami bertiga kemudian mengambil gelas yang tersedia namun seolah ada satu hal yang menahan kami untuk segera memindahkan isi gelas tadi ke dalam mulut kami. Kami berempat kemudian saling pandang untuk beberapa saat. Sampai kemudian aku memutuskan untuk memecah kebuntuan.
"Girls, for our reunion today, and for our next semester!", kataku sembari mengangkat gelas sedikit di atas wajahku
"Cheers!" Dan kami pun saling menempelkan dengan cukup lembut tepian atas dari gelas-gelas kami. Beberapa detik kemudian, isi dari gelas tersebut sebagian sudah berpindah ke dalam perut kami.
Tentu saja terasa ada sensasi hangat yang mulai bergerak dari kerongkongan sampai ke lambung kami. Sensasi tersebut kemudian diikuti oleh perasaan ringan yang sedikit demi sedikit menyelubungi otak kami. Dan di tengah perasaan ringan tersebut, kami memulai obrolan kami mengenai kabar kami selama liburan kemarin.
Meskipun minggu ini sebenarnya adalah minggu kedua perkuliahan, namun bagi mahasiswa semester lanjut seperti kami cukup banyak yang memilih untuk melewati minggu pertama begitu saja karena masih ingin menikmati liburan musim panas. Aku sendiri sebenarnya sudah bertemu dengan Khali dan juga Dao selama liburan musim panas. Jen sendiri baru kembali dari Vancouver ketika aku dalam pendakian ke Jirisan pertengahan minggu lalu.
Lalu di mana Suni" Well, menurut Jen yang berkomunikasi cukup intensif dengan Suni selama liburan musim panas Suni baru akan mendarat satu jam lagi. Dan yang cukup mengejutkan adalah Suni akan membawa serta kekasihnya yang baru saja diterima bekerja di salah satu chaebol di Seoul.
"So are they going to live in the same place as you live, Jen"", tanyaku. "Yeah... That's gonna be sucks, rite...", jawab Jen sembari meneguk Baileys dalam gelas.
"I will hear their moaning quite often... And the worst thing is his d*ck is small therefore it would turn me off..." Kami pun tertawa mendengarnya.
"Can you just live with me as well, Jo" Let's show those Thais who the real Boss is!" "That's impossible, Jen!", sahutku.
"Yeah, I object that!", dukung Khali.
Sementara Dao terlihat hanya kalem saja. Jen yang melihatnya sedikit merasa terganggu. "Say something,Dao!"
Dao hanya mengangkat tangannya sembari meneguk gelas berisi baileysnya yang kedua. Kemudian ia mengisi lagi gelas tersebut sampai seperempatnya dan barulah ia terlihat berancang-ancang untuk berbicara. "Well, Jen. What if I offer you a much better deal"", sahutnya dalam logat Vietnamnya yang khas tersebut. "What did you mean with a better deal"", tanya Jen.
"You know, I'm actually gonna have a same circumstance with Suni by next week." "Your boyfriend gonna be here"", tanya Khali kaget.
"Uh-huh... He'll have a joint research project with the doctors at the Shinchon-dae Hospital for six months ahead... so..."
"I'll take it, Dao! You can just live in my apartment and get lovey-dovey with your boy while I'll be living in your dorm and looking for chances to get intimate with Jo! So... When are we going to move"", sambar Jen dengan penuh semangat.
Kami semua kaget dengan reaksi cepat dari Jen tersebut. "Well, actually he's about to land here by next week. So..."
"Okay, so let's move our asses outta here and go straight to my apartment to help me moving out." "What the..."
"Come on guys! We still have plenty of time before those Thais arrive!", seru Jen.
Saking bersemangatnya Jen, ia sampai sedikit lupa jika ia baru saja meminum beberapa gelas liquor yang mana sedikit banyak berpengaruh terhadap saraf motoriknya. Terlihat jalannya sedikit sempoyongan sehingga tidak sengaja menyenggol seorang pria bertubuh tegap yang sedang berjalan ke arah meja di sebelah meja kami.
"Hey! Be careful mate!", seru pria itu dengan logat Bahasa Inggris yang menurutku sedikit kurang umum. Aku segera saja bereaksi cepat dan meminta maaf atas apa yang baru saja dilakukan oleh Jen.
"Please pardon us, mate. You know, she just had a very bad day."
"No prob, mate. But please keep your eyes on her otherwise she'll get more troubles.", balasnya dengan agak ramah.
Kemudian pria itu meneruskan langkahnya ke meja di sebelah meja kami. Terlihat di meja tersebut ada seorang gadis berambut pirang menyambut pria tadi dengan rengkuhan dan ciuman yang cukup panas. Dan aku tidak terlalu peduli pada mereka pada saat itu. Terserah jika mereka akan meneruskan sampai ke tetes terakhir di meja itu. Fokusku pada saat ini hanyalah bagaimana 'menggembala' tiga betina yang mulai tipsy ini dengan selamat hingga mencapai apartemen Jen. Dan perlu digarisbawahi juga aku pun pada saat itu sudah mulai merasakan ringan di kepala dan sedikit berkurangnya kontrol terhadap saraf motorik.
Setelah berjuang hampir selama satu jam, akhirnya kami tiba juga di kompleks apartemen Jen. Dengan agak susah payah aku dan Khali yang kesadarannya relatif lebih baik memapah Jen dan Dao yang sembari berjalan tadi ternyata sempat berbagi botol Baileys sisa kami di klub tadi sampai tandas.
"Jen, where's the bloody key"" tanyaku ketika kami tiba di depan unitnya yang masih terkunci.
Jen hanya tersenyum aneh dan tanpa kuduga ia membuka tiga kancing teratas kemeja putih yang dikenakannya.
"Please take it directly from here, Jo.", sahutnya sembari membusungkan dadanya yang mana terlihat jika kunci apartemen tersebut terselip di antara kedua belahan pay*daranya yang masih terbungkus kain berwarna tosca.
"Holy sh*t! Are you insane"!", seruku tak percaya. "We're all insane, Jo! We are!", sambar Dao.
Dengan sedikit terpaksa, namun menikmati juga, aku ambil saja kunci apartemen itu dan segera masuk ke dalam sembari memapah Jen yang mabuk berat. Di dalam, kududukkan saja Jen di sofa di ruang tengah dan terlihat Khali juga mendududukkan Dao tepat di sebelah Jen. Khali kemudian masuk ke dapur dan terlihat menyiapkan beberapa gelas untuk diisi air putih.
Tidak begitu lama, terdengar ada suara pesan masuk dari ponsel milik Jen. Dengan setengah sadar, Jen membaca pesan tersebut. Dan beberapa detik kemudian terdengar sorakannya.
"Guys! Their flights are delayed until this morning! It means that we'll have a party tonight!"
Aku dan Khali hanya saling memandang ketika Jen bersorak. Dan terlihat ada senyum ironis dari wajahnya. Jen sendiri kemudian melangkah re rak TV yang mana kini terlihat ada stereo set yang kompatibel dengan iPhone 4 milik Jen. Kemudian Jen mendudukkan iPhone 4 tadi dan terlihat memilih lagu untuk diputar. Dan tidak sampai sejurus kemudian apartemen berukuran sedang itu jadi riuh dipenuhi suara musik One More Time dari Daft Punk.
Jen kemudian berjoget dengan semangat. Tidak lama kemudian Khali ikut menyusul. Dao sendiri melangkah ke dapur dan terlihat ia membuka kulkas. Tidak begitu lama, Dao kembali dari dapur dan membawa beberapa botol minuman yang mana seluruh botol tadi diletakannya di meja di hadapanku. Dao kemudian membuka satu botol makgeolli dan ikut bergabung joget dengan Khali dan Jen.
Ketiga betina tersebut kemudian lanjut berjoget dan beberapa kali memberi isyarat padaku untuk bergabung dengan mereka. Dan beberapa kali itu juga aku menolaknya. Untungnya mereka juga tidak pernah memaksaku untuk berdansa karena memang mereka sudah mengetahui jika aku memang a terrible dancer. Aku hanya duduk saja di meja ini sambil menikmati sebotol makgeolli yang baru saja kubuka.
Masuk lagu ketiga, Khali memutuskan untuk berhenti dan duduk di sebelahku setelah sebelumnya mencomot sebotol bir. Ditinggal Khali, entah kenapa Dao dan Jen jadi semakin hot jogetnya. Gerakan mereka semakin sensual, dan ketika aku sadar, terlihat kedua tubuh tersebut hanya dilapisi celana dalam saja. Jelas saja pandanganku terpaku kepada kedua gadis itu. Khali sendiri hanya senyum-senyum saja sembari sesekali menggelengkan kepalanya ke arahku ketika kami semua sadar jika dance session barusan berubah menjadi strip show.
Dan setelah dua lagu berikutnya, kedua gadis yang sudah polos tersebut mendekat ke arahku dan menarik sepasang tanganku untuk mengikuti mereka ke arah kamar Jen. Aku berusaha untuk memberontak dan melihat ke arah Khali dengan ekspresi meminta tolong. Khali sendiri terlihat hanya menahan tawa melihatku diperlakukan seperti itu tanpa memberikanku pertolongan sedikitpun.
Dan di dalam kamar yang terjadi sangatlah mudah ditebak. Kedua gadis itu membuka paksa seluruh kain pembungkus ragaku. Kemudian diikuti oleh digasaknya seluruh titik sensitif di tubuhku. Dan tentu saja sesi penyatuan raga yang diakhiri dengan beberapa kali kenikmatan titik puncak menjadi penutup aksi malam ini.
Cerita Semalam Part Deux Tengah malam itu aku terbangun. Tubuhku masih polos tanpa ada kain melapisi tubuhku. Di sebelah kananku ada Dao yang masih memeluk cukup erat lengan kananku. Sementara itu Jen tertidur di atas tubuhku dengan sangat nyenyak seperti baru saja melakukan aktivitas berat. Ralat, ia memang baru saja melakukan aktivitas berat. Dan pada saat itu aku pun tersadar, kedua gadis itu kondisinya sama sepertiku: polos tanpa ada kain yang melapisi. Lebih parah lagi, sekitar lima kedipan mata kemudian aku tersadar jika tubuhku dan tubuh Jen masih tersambung di bawah sana.
Kerongkonganku terasa sangat kering dan seolah sedang protes agar ada cairan tak berasa untuk segera melumasi organ tersebut. Pelan-pelan aku berusaha menyingkirkan rengkuhan Dao dari lenganku dan juga tubuh Jen dari atas tubuhku. Kulakukan hal tersebut sepelan mungkin agar mereka berdua tidak terbangun. Namun tiba-tiba Jen terdengar mengatakan sesuatu dengan pelan tepat ketika aku akan melangkah dari ranjang di kamar tersebut.
"Jo... where are you going"", tanya Jen dengan mata tertutup.
"I need some water, Jen... Just back to your sleep, honey...", balasku sembari mengecup lembut gadis Korean- Canadian tersebut.
Aku elus lembut juga rambutnya yang halus dan sedikit berombak tersebut dan tidak begitu lama kemudian terdengar deru nafas lembut dari gadis manis itu. Setelah memastikan keduanya tidur dengan nyenyak, aku pun melangkah keluar kamar sembari dalam hati menanyakan keberadaan Khali.
Setelah aku tiba di luar, pertanyaan tersebut terjawab. Gadis Mongolia itu tertidur di sofa di ruang tamu dengan hanya mengenakan kaus longgar yang dapat kupastikan milik Suni. Sesekali kulihat ia bergidik. Terlihat juga beberapa rambut halus dan tipis di paha dan lengannya berdiri yang menandakan suhu di kamar tersebut yang sepertinya agak terlalu rendah. Refleks saja aku melangkah ke kamar Suni yang terletak bersebelahan dengan kamar Jen tempatku tertidur tadi untuk mengambil selimut. Begitu kubuka kamar tersebut, tiba-tiba aku memikirkan hal lain: Kenapa tidak kubawa saja Khali tidur di kamar ini" Segera saja aku kembali ke sofa tempat Khali tertidur dan setelah sedikit mengumpulkan tenaga, kugunakan kedua lenganku untuk menggendongnya ke kamar Suni.
Tidak begitu lama setelah itu, aku melangkah ke toilet untuk mengosongkan kandung kemih dan melangkah ke dapur untuk menunaikan niat awalku. Setelah kutuangkan air putih ke gelas yang kuambil dari rak piring, kuteguk saja air tersebut dan merasakan sensasi segar yang memenuhi rongga mulut dan kemudian meluncur dengan lancar ke dalam kerongkongan untuk mengobati dahagaku. Kemudian kutuang lagi gelas tersebut dengan air.
Tepat ketika air dalam gelas tersebut meluncur ke dalam mulutku, terasa ada sepasang lengan yang halus memeluk tubuh ini dari belakang. Diikuti dengan hembusan nafas yang tidak begitu lama kemudian digantikan dengan sentuhan lembut dari sesuatu yang lembut, hangat dan agak sedikit basah di tengkukku. "Jo..."
"Khal" wake up already""
Ia tidak menjawabnya. Ia hanya menyandarkan tubuhnya ke tubuhku sembari memejamkan matanya. "Don't sleep here. Back to your bed, will ya""
"Please sleep with me for the rest of this night, Jo..." "Gimme seconds for my last glass of water..."
Kupenuhi gelas itu dengan air untuk kuteguk terakhir kalinya. Kemudian Khali dengan mesra memegangi lenganku dan membimbingku ke arah kamar Suni tempatnya tertidur tadi. Namun tepat ketika kami melewati ruang tengah, terdengar potongan lagu I Just Had Sex dari Lonely Island yang menandakan ada panggilan masuk ke ponselku. Kulihat jam digital di ruang tersebut yang menunjukkan angka 0030. Aku jadi sedikit bertanya siapa orang yang menelponku jam segini. Beruntung ponel itu kuletakkan di atas meja sehingga bisa kusambi untuk mengambilnya dalam perjalananku menuju kamar Suni. Dan terlihat identitas penelepon tersebut. Azra.
Dan terlihat juga raut wajah Khali sedikit berubah melihat identitas si penelepon tadi.
Panggilan masuk itu akhirnya kujawab ketika aku sudah duduk di atas ranjang di kamar Suni. Tepat ketika aku menjawabnya, Khali duduk di belakangku dan menarik tubuh ini agar bersandar di tubuhnya. "Hallo Az... What's up""
"Hi Jo... I just can't sleep tonight... I bet you're not in your room, right""
"Guilty as charged, Az... I'm in a friend's place... You know I've got some... Ouch!", teriakku karena bagian sensitifku di bawah sana ditarik Khali dengan cukup keras.
"What's going on Jo""
"N-nothing Az... Just... Could you stop it, Khal"!", sahutku kepada Khali yang masih bermain-main dengan bagian yang satu itu.
"Khal" Are you with Khali, Jo"", tanya Azra.
Belum sempat kujawab, tiba-tiba Khali merebut ponselku dan menyalakan loudspeakernya. "Hi, Az! You know I'm having a very good time with Jojo now! You should've joined us here!"
"Don't listen to her Az... We're doing our group assignment... You know Khali is kinda psychotic who loves to be hurted... That includes doing the paper assignment like this..."
"Well, it looks like I'm disturbing you guys... I think I should finish this conversation soon..." "Nah, it's alright... It's alright... Just consider it as a practice for my multitasking skill..." "No... Just continue with your paper... I'm getting sleepy however..." "Well, if that's what you want, Az."
"Good night, Jo."
"Sleep tight, Az."
Setelah itu sepertinya Azra mengucapkan beberapa kata terakhir sebelum panggilan terputus. Sayangnya aku tidak mendengarnya karena Khali semakin nakal saja bermain di bawah sana. "Khal... Khal... Please stop will ya!"
Ia kemudian membaringkan tubuhku di atas ranjang dan dengan cekatan menduduki tubuhku yang sudah terbaring tersebut. Sejurus kemudian tubuh indah dan mulus bagai porselen Tiongkok tersebut terlihat setelah kaus longgar yang dikenakannya diloloskannya.
"Remember what we did in Daecheon before the summer break" Let's do it again, Jo!"
Belum sempat kubalas, sepasang bibirnya sudah membungkam bibirku. Ditambah lagi kedua tangannya juga mulai mengeksplorasi seluruh titik-titik sensitif di seluruh penjuru tubuhku. Aku pun akhirnya meresponsnya dengan tidak kalah bergairah. Dan pada akhirnya apa yang terjadi di Daecheon hampir dua bulan lalu terjadi lagi di kamar Suni ini.
Tepat ketika permainan panas kami berakhir dan Khali mulai terlelap, terdengar ada pesan kakao talk masuk di ponselku.
Quote: A: Do you want to have breakfast together this morning, Jo" I can prepare it for you if you want.
J: I'd be glad to A: J: Well, sepertinya aku perlu segera tidur agar dapat kembali ke dorm pagi nanti.


3200 Miles Away From Home Karya Valerossi86 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Anak Bekasi di Kelas Hari itu hari kamis siang. Aku baru saja menyelesaikan makan siangku bersama Azra dan Khali di kantin mahasiswa. Setelah itu kami bertiga, atau tepatnya aku dan Khali berpisah dengan Azra yang harus menghadiri kelas yang berbeda siang ini. Maklumlah, aku dan Khali statusnya memang mahasiswa program master di kampus ini sementara Azra adalah mahasiswa exchange pada program bachelor sehingga tidak mungkin bagi kami untuk satu kelas. Dan sebagaimana biasanya Khali dengan iseng memeluk erat lenganku tepat di depan wajah Azra ketika kami berpisah di lobby gedung GSIS. Melihat hal tersebut terang saja raut wajah Azra langsung terlihat muram dan segera balik kanan dan meninggalkan kami. Aku yang merasa tidak enak dengan kejadian tersebut langsung saja memelototi Khali yang hanya dibalas dengan juluran lidahnya ke arahku. Setelah itu kami melangkah ke arah kelas kami yang berada di ujung barat gedung GSIS ini.
Setibanya di kelas, terlihat bahwa masih belum banyak yang tiba di kelas ini. Segera saja kuletakkan tasku di salah satu meja yang dekat dengan sumber listrik dan kulangkahkan kakiku lagi menuju toilet. Yup, aku mencoba memanfaatkan waktu kosong sebelum kelas dimulai dengan beribadah. Lumayanlah untuk sedikit menyeimbangkan amalku yang belakangan ini cukup dipenuhi dosa. Sementara Khali lebih memilih untuk merokok di luar gedung untuk menunggu kelas dimulai.
Beberapa menit kemudian tepat ketika aku baru saja selesai beribadah di kelas, terlihat olehku pintu kelas terbuka dan masuk pria bersosok besar yang sepertinya pernah kulihat sebelumnya. Terlihat olehku dia sedikit terkaget melihatku baru saja menyelesaikan ibadah di kelas. Namun kekagetannya itu sepertinya muncul sekejap saja karena ia segera melanjutkan langkahnya menuju bangku kosong yang posisinya berada tepat di belakang bangku yang tadi kupilih. Kemudian setelah sajadah kulipat dan aku berusaha melangkah ke bangkuku, aku kembali melihat si pria besar itu. Dan aku teringat sesuatu!
Dia adalah pria besar yang beberapa malam lalu tidak sengaja ditabrak oleh Jen di sebuah Klab Malam di Itaewon! Pantas saja wajahnya tidak terlalu asing untukku. Kemudian aku duduk di meja tempatku duduk dan memasukkan sajadah ke dalam tasku. Setelah itu kucoba tolehkan wajahku ke arah belakang dan menegur si pria besar itu.
"Didn't attend last week meeting, mate""
"Yup... Last week I attended another class which was suck... My friend told me this class, especially the Professor, is very fun and friendly... Well, I think I should just switch to this class...", jawabnya dengan aksen Inggris yang sedikit kurang umum.
"Your friend didn't lie, mate... This class is quite fun since it won't force us to write lots of paper... And the Professor... Well, probably you'll be a bit surprised when you see him..."
"What's wrong with him" Is he wearing a Jedi suit""
"Nope... He simply looks like a Japs instead of Korean..." "He looks like a Japs" I bet his childhood was terrible in here!"
"Not really... He told us last week that he spent his childhood with his parents in the States..." "What a lucky child..."
Kemudian kami pun tertawa.
"By the way, I'm Rory... What's your name, mate"", tanyanya. "I'm Jonathan... Just call me Jojo or Jo to make it simpler..." "Jonathan" And you're a Muslim" Lemme guess... Indonesian"" "Bingo! How do you know that""
"Well... Before I got into this city actually I used to live in Bekasi... I bet you know where is it..." "Holly Cow! It's not so far away from my home! What did you do in there, mate"" "Well, an english course hired me to be a native speaker for several months in there..."
"Nice to know that... How about your origin" You now your accent is kinda unique for me... I bet you're not American..."
"Guilty as charged, Jo... I'm from Cork... Do you know where is it"" "Ireland""
"Bingo!" "What took you here, my Irish mate""
"Well, I'm kinda curious about life in Asia... especially in the East Asia... And so far I found it interesting... I really enjoyed my time in Indonesia... I believe the life here would be great as welll..." "Looks like you've got a great amount of wanderlust... Do you live here alone""
"Not really, actually... I met a girl during my time in Indonesia... She's American, by the way... And we got together ever since..."
"So she lives here as well..."
"Actually she's a student in this campus just like me..." "Really""
"Well, I'll introduce you to her later..." "Actually I've seen her a few days ago..." "Wait a minute... wait a minute... don't tell me..." "So you finally remember it, buddy..."
"So you were the guy that took care the drunk lady at the club" My goodness!" "The world's so small isn't it""
Tidak begitu lama kemudian, Professor Kim tiba di kelas yang mulai ramai ini. Kelas pun dimulai. Tidak begitu lama kemudian kursi di sebelahku terisi oleh Khali yang baru saja selesai merokok dan sepertinya kursi di sebelah Rory terisi oleh orang lain.
Seperti biasa, Professor Kim membawakan kelas ini dengan sangat menarik dan interaktif Dan tentu saja cukup banyak proses diskusi yang terjadi di dalam kelas. Dan terlihat juga bahwa orang yang duduk di sebelah Rory merupakan mahasiswa yang cukup aktif di kelas tersebut. Logat Britishnya yang kental entah kenapa terdengar begitu merdu dalam proses diskusi tersebut. Logat Irish dari Rory yang sesekali muncul juga menambah indah proses diskusi yang berlangsung. Selain itu beberapa kali terdengar juga logat American yang cukup umum dari duo American: Taleasha dan KW super dari Tom Cruise: Matthew. Ditambah lagi beberapa aksen khas seperti Korean dari beberapa mahasiswa, kemudian Thai dari duo Toey dan Aem serta Mongolian accent dari Khali dan aksen Indonesiaku. Ada juga aksen Azeri dari Farid yang cukup aktif berdiskusi. Tidak lupa juga dua mahasiswa Afrika James dan Benoit yang menambah ramai kelas ini. Mungkin terdengar konyol jika aku harus mengakui diskusi kelas ini menyenangkan karena beragamnya logat English yang berlalu lalang. Selain itu diskusi yang bersifat substansial di kelas ini juga berjalan tidak kalah seru. Terus terang saja selama aku belajar di Negeri Ginseng ini, kelas ini merupakan kelas yang paling hidup dalam segi interaksi antara dosen dan mahasiswanya. Bahkan kelas World Politics di summer class bisa dibilang kalah hidup dibandingkan dengan kelas ini.
Yang tidak terlupakan adalah bagaimana Professor Kim menutup pertemuan kelas ini pada hari itu.
"You know guys, I've never experienced a class which is very lively and totally diversed in term of the origin of the participants. I never believe I'll have Asian, American, Middle Eastern, European and even African discuss with each other in the same class. I know an Australian would complete us here. But well, I do love this class so much. If the you can keep the discussion process like this until the end of this semester, i can guarantee each of you will get minimum A on your grade."
Well, Prof. I think I have to agree with you.
Tesis dan Ajakan Saddam Satu hal lagi yang perlu kujelaskan mengenai beasiswa BKIK-GSIS Anam-dae ini adalah bagaimana kamu bisa menyelesaikan seluruh studi kami dalam waktu lebih kurang setahun di Negeri Ginseng ini. Yup. Semuanya" Dan berhubung program studi yang kuambil ini adalah program master, ini artinya seluruh konten program studi ini, TERMASUK DI ANTARANYA TESIS, harus selesai dalam kurun waktu tersebut. Hal ini berarti juga bahwa tesis sudah harus kumulai pada semester autumn ini.
Terus terang saja, menulis skripsi waktu aku menyelesaikan pendididikanku sebelumnya merupakan salah satu mimpi buruk secara akademik. Hal ini dimulai dari menentukan tema/judul. Memusingkan" Pasti! Bayangkan saja kamu perlu mencari wangsit dahulu untuk menemukan tema besar dari skripsi, kemudian didukung oleh literatur yang dapat mendukung tema besar tersebut, kemudian temuan dari literatur yang ada digabungkan dengan metode-metode penulisan ilmiah yang bisa kamu ambil sehingga dapat menghasilkan suatu proposal penelitian.
Dan proposal yang kamu susun itu bisa tidak ada artinya jika calon pembimbing kamu tidak setuju dengan tema yang ingin kamu tulis tersebut. Ibaratnya kamu sudah capek-capek menyusun miniatur candi borobudur dari batang korek api untuk dipersembahkan kepada seorang Raja, namun dengan enaknya sang Raja meniup candi borobudur dari batang korek itu sampai hancur berantakan. Rasanya seperti ingin menggaruk-garuk jalan tol yang dilapisi beton.
Hal ini tentunya bisa disikapi dengan hati-hati dalam memilih calon pembimbing skripsi. Beberapa temanku menyikapinya dengan memulai konsultasi secara informal tentang judul skripsi yang mau ditulis SATU SEMESTER SEBELUM PENULISAN PROPOSAL SKRIPSI. Bahkan untuk konteks seorang juniorku yang namanya pernah kusinggung di chapter berjudul Bonsai , belakangan aku mendapatkan info jika dia ternyata sudah memulai konsultasi informal untuk penulisan skripsi DUA SEMESTER sebelum penulisan proposal skripsi. Jika diibaratkan dengan pacaran, konsultasi informal tersebut mungkin bisa dianggap sebagai masa pdkt. Sehingga pada saat masuk semester penulisan skripsi jika pdkt cukup lancar, kamu bisa nembak dosen dengan kata-kata: maukah kamu membimbing skripsiku" So Sweet!
Kasus Moses, temanku, bahkan lebih parah lagi. Dari segi tema, seharusnya temanku ini mendapatkan bimbingan dari seorang dosenku, sebut saja bernama Mas Indra. Berhubung Mas Indra ini punya reputasi sebagai dosen yang cenderung tidak jelas maunya jika menyangkut penulisan skripsi, tentu saja Moses berupaya menghindar agar jadi anak bimbingan Mas Indra. Yang dia lakukan adalah ia melakukan konsultasi informal dengan dosen lain, sebut saja Mas Goro satu semester sebelum penulisan proposal. Walhasil, ketika jurusan merapatkan pembagian pembimbing untuk penulisan skripsi justru Mas Goro yang mati-matian mempertahankan Moses agar tidak jatuh ke tangan Mas Indra. Dan selamat lah Moses dari tangan Mas Indra dan pada akhirnya menikmati penulisan skripsi di bawah bimbingan Mas Goro.
Intinya jika kamu sudah bisa mendapatkan kombinasi pembimbing dan tema+proposal yang bagus, sebenarnya skripsi kamu sudah selesai 60%. Tinggal bagaimana kamu mengupayakan yang 40%-nya agar bisa berjalan dengan lancar.
Nah, untuk kasusku kali ini, yang mana merupakan penulisan tesis yang notabene lebih berbobot daripada skripsi, terus terang agak lebih berat.
Pertama dari segi tema alias judul, aku tidak bisa menulis sebebas aku menulis skripsi dulu karena program studi yang kuambil memang cukup membatasi cakupan tema tesis yang harus ditulis. Kedua, sebelum aku berangkat, Kepala Divisiku memaksaku untuk mengambil salah satu tema ilmiah untuk kujadikan tesis. Akhirnya aku perlu memeras otak untuk mengkompromikan tema yang dijejali oleh Kepala Divisiku dengan apa yang sudah dan sedang kupelajari selama belajar di negeri ginseng ini.
Masalah berikutnya kemudian timbul. Pada hari kedua semester ini berjalan, aku mencoba menghubungi salah seorang Professor yang secara kapasitas keilmuan akan sangat mumpuni jika menjadi pembimbingku. Namun dalam email yang dijawabnya sekitar tiga hari kemudian, ia minta maaf karena dalam setahun ke depan ia ternyata sedang dalam sabbatical leave dari Anam-dae.
Dalam kebingunganku aku mencoba hadir di salah satu conference di kampusku. Pada saat lunch session, entah bagaimana ceritanya tiba-tba aku bisa duduk dengan Dekan GSIS Anam-dae. Tentu saja pada sesi tersebut kami berkenalan dan mencoba saling mengenal lebih jauh. Ketika ia mengetahui statusku adalah peserta beasiswa BKIK, tentu saja ia menanyakan mengenai tesisku. Dikorek seperti itu, langsung saja semua permasalahan yang kuhadapi kuungkapkan semua ke hadapannya. Pada saat itu sepertinya ia cukup tertarik dengan tema dari tesisku tersebut dan ujungnya ia menyanggupi untuk menjadi pembimbing tesisku.
Okay, Jo. Can you please share the brief version of your thesis outline in one or two days" , pintanya di akhir pertemuan kami pada saat itu.
You ll have it by tomorrow, Prof! .
Dan benar saja, esok siangnya aku sudah mengirimkan graphic chart mengenai outline tesisku yang kubuat dalam format presentasi online di aplikasi prezi. Dalam waktu kurang dari 24 jam, Professor itu, sebut saja Professor Park, sudah memberikan balasan yang pada intinya setuju dengan konsep outline yang akan dikembangkan. Kemudian Professor itu memintaku agar outline tadi dapat dikembangkan menjadi sebuah proposal penelitian dalam waktu 10 hari.
Tepat pada hari kesepuluh, proposal yang diminta berhasil kukirim kepada Professor dan ia hanya membalasnya dengan akan mempelajari proposal tersebut. Satu hari, dua hari, tiga hari berlalu tanpa ada balasan maupun feedback dari Prof. Park. Dari sini aku mulai ragu apakah proposal yang kubuat terlalu rumit karena memang aku memasukkan cukup banyak teori dari berbagai literatur yang pernah kubaca untuk menjadi jiwa dari proposal tesis tersebut. Dan keraguan kedua muncul apakah jangan-jangan sebenarnya Prof. Park tidak terlalu mengerti dengan permasalahan yang sedang kujadikan tema tesis namun agak gengsi mengakui hal tersebut karena sudah kadung berjanji akan membantu penulisan tesisku.
Pada hari keempat, aku secara tidak sengaja bertemu dengannya setelah kelas soreku selesai. Aku melihat ada sedikit raut wajah terkejut begitu melihatku namun kemudian ia mencoba mengendalikan raut wajahnya agar terlihat tidak ada masalah. Bahkan ia kemudian mengajakku ke ruangannya.
So, Jo& Actually I have several questions regarding your proposal& I m listening, Prof&
Kemudian ia menanyakan cukup banyak hal utamanya mengenai latar belakang dan teori yang kugunakan dalam proposal tersebut. Awalnya aku merasa normal, namun makin ke sini aku merasa janggal karena ada beberapa hal yang seharusnya cukup dasar, namun masih ditanyakan olehnya. Makin ke sini aku jadi merasa sepertinya Prof. Park belum terlalu menguasai permasalahan yang hendak kujadikan tesis. Namun aku bisa apa" Sudah terlalu terlambat untuk mengganti pembimbing tesisku pada saat ini. Sepertinya aku perlu memeras otak secara ekstra untuk menyelesaikan tesisku ini. Dan pada saat hari sudah cukup gelap dan kami sudah merasa cukup dengan konsutasi hari ini&
You know, Jo& It s dark already& Let s go for dinner and drinking& Pada pagi harinya, aku bangun dengan kepala agak sedikit sakit akibat minum-minum dengan Prof. Park semalam. Segera saja setelah kuteguk segelas air aku segera pergi ke kamar mandi untuk cuci muka dan berwudhu. Tepat ketika aku keluar kamar mandi, aku berpapasan dengan tetangga sebelah kamarku, Saddam. Aku pun sedikit berbasa-basi saja dengannya.
Beberapa menit kemudian, aku yang baru saja selesai beribadah mendengar pintu kamarku diketuk. Begitu kubuka kulihat ada Saddam di sana dan raut wajahnya menunjukkan jika ia ingin mengatakan sesuatu padaku. Please go on ya Akhi& I know you wanna say something&
Well you know, I have a plan for next month& I wonder whether you can join me or not& What kind of plan" Are you planning to go somewhere!
Bullseye! You know next month is Hajj Season already& Can you join me to go for Hajj next month" You re asking me to go to Makkah and Madinah"
Saddam hanya mengangguk dan tersenyum antusias.
Dan aku tidak habis pikir dengan keturunan Firaun ini. Bisa-bisanya dia mengajak pergi haji dengan entengnya seperti mengajak jalan-jalan ke Busan. Atau mungkin jika aku saat itu sedang di Jakarta, ia mengajaknya dengan sangat enteng seperti mengajak jalan-jalan ke Bandung pada akhir bulan.
Ipselenti Pada salah satu chapter di paruh pertama cerita ini aku pernah sedikit menceritakan bagaimana rivalitas kampusku, Anam-dae dengan kampus biru Shinchon-dae. Persaingan antara kedua kampus tersebut terjadi tidak hanya pada ranah akademik, namun juga pada ranah non-akademik seperti misalnya pada ranah olah raga. Dan sebagian besar masyarakat Negeri Ginseng ini sudah mengetahui jika persaingan antara kedua kampus ini memang sudah mendarah daging. Salah satu bentuk kristalisasi persaingan antara dua kampus ini adalah adanya pertandingan olah raga tahunan yang dikenal dengan nama Chon-Am Jon.
Menurut catatan sejarah, pertandingan olah raga antara kedua kampus ini sudah dimulai semenjak tahun 1956. Namun akar dari pertandingan ini rupanya memiliki sejarah pada tahun 1927 ketika tim sepak bola Byosung College (nama lama Anam-dae) bertemu dengan Yonhi College (nama lama Shinchon-dae) di semifinal piala FA Korea. Semenjak tahun 1965, ditetapkan bahwa ajang Chon-Am Jon ini terdiri atas lima cabang olah raga: Bola Basket, Rugby, Ice Hockey, Baseball dan tentu saja sepak bola. Sayangnya aku tidak memiliki catatan tim mana yang lebih sering memenangkan ajang olah raga ini. Dan perlu diketahui juga jika pada akhirnya cukup banyak fakultas atau sekolah bawahan dari kedua kampus ini yang menyelenggarakan mini-Chon-Am Jon dengan cabang olah raga yang tentunya berbeda. Termasuk di dalamnya mini-Chon-Am Jon antara Anam-dae GSIS dengan Shinchon-dae GSIS.
Yang perlu juga dicatat adalah pada dasarnya Chon-Am Jon bukan hanya persaingan antaratlet di arena saja. Pendukung dari atlet tersebut juga sejatinya melakukan persaingan dalam memberikan semangat kepada para atletnya. Tidaklah mengherankan adanya persaingan antar pendukung tersebut kemudian melahirkan dua Cheering Squad yang cukup legendaris yang popularitasnya bisa dibilang 11-12 dengan ajang Chon-Am Jon itu sendiri. Sebelumnya juga perlu aku jelaskan di sini jika Cheering Squad di sini berbeda dengan cheerleaders yang umum kita lihat di banyak pertandingan olah raga di Indonesia. Bentuk Cheering Squad di Korea lebih menyerupai beberapa orang (biasanya laki-laki) yang memandu memberikan semangat dengan melakukan gerakan-gerakan atraktif seirama dengan musik penyemangat yang bermain untuk dapat diikuti oleh para pendukung tim olah raga.
Mungkin contoh Cheering Squad di Indonesia yang paling mendekati adalah Yuli Soemphil yang memiliki singgasana di Stadion Kanjuruhan, Malang yang selalu sukses memimpin para Aremania memberikan semangat kepada timnya.
Sebelum aku lupa, perlu diketahui juga jika nama Cheering Squad Shinchon-dae adalah Akaraka sementara Cheering Squad kampus kami adalah Ipselenti.
Masa persiapan menjelang Chon-Am Jon ini sendiri cukup menarik diikuti mengingat baik semua tim dan cheering squad terlihat mempersiapkan diri untuk menghadapi ajang tersebut. Yang paling menarik mungkin persiapan dari Ipselenti mengingat apa yang disebut sebagai persiapan tersebut sejatinya merupakan event tersendiri yang menurutku tidak kalah megah dengan Chon-Am Jon.
Aku masih ingat waktu itu hari Jumat di minggu ketiga bulan September dan aku baru saja kembali dari ibadah Jumat. Siang itu aku melihat ada keramaian di lapangan olah raga yang terletak tidak begitu jauh dari dorm-ku. Namun aku yang siang itu mengantuk karena kurang tidur semalam lebih memilih untuk langsung menuju kasur dan beritirahat. Setelah beristirahat sekitar tiga jam, aku terbangun dan langsung saja beribadah Ashar. Terdengar olehku keriaan di lapangan olah raga semakin hingar bingar. Dan tepat pada saat aku menyelesaikan ibadahku terdengar ada panggilan masuk ke ponselku.
"Hi Jo! Where are you""
"In my room, Az... What's up""
"Let's go to the Ipselenti! I'm on my way to the dorm now! Let's rendezvous at the lobby in 10 minutes... See ya!"
"Wait, wait! Az..."
Percuma saja. Teleponnya sudah ditutup. Padahal aku masih kurang mengerti apa sebenarnya Ipselenti yang tadi dimaksud Azra.
Sepuluh menit kemudian aku sudah berada di lobby namun dengan outfit yang sama ketika aku tertidur tadi: kaos oblong berwarna crimson dengan logo Anam-dae, celana pendek selutut dan sendal jepit swallow yang kubawa dari tanah air ketika aku berangkat bulan Februari lalu. Sementara di lobby terlihat Azra begitu cantik dengan kaos oblong serupa dengan yang kukenakan namun dengan extra sleeves di lengannya, celana jeans serta sneakers. Dan wajah eloknya yang terlihat natural itu bersemu merah ketika melihatku. Rambut merahnya yang agak bergelombang sampai menyetuh sedikit di bawah bahunya terlihat indah dengan ikatan ekor kuda tersebut.
Tanpa banyak bicara, ia melangkah dengan cepat ke arahku dan segera merengkuh lengan kananku. Belum sempat ku berkata-kata makhluk indah ini langsung berkata untuk segera melangkah menuju ke lapangan olah raga di dekat dorm. Aku pada saat itu hanya dapat mengikuti keinginan Bidadari berambut merah itu layaknya kerbau dicucuk hidung.
Tidak sampai lima menit kemudian, di pandanganku terlihat ada panggung besar di sisi barat lapangan olah raga tersebut. Sebagian besar orang yang hadir di sini mengenakan baju sewarna dengan kaos kami berdua. Dari kejauhan terlihat ada beberapa pria berbadan kekar topless di atas panggung tersebut di samping beberapa orang yang berkoar dalam Bahasa Korea dengan outfit crimson dengan style yang aneh .
"What the hell is going on here"", sahutku spontan ketika melihat pemdandangan yang menurutku agak menjijikan tersebut.
Tiba-tiba tiga orang yang berdiri di depanku menoleh ke arahku.
"Lah... baru keliatan lu Jo... Pas banget lu dateng pas lagi event Mr. Anam-dae... Doyan kan lu yang beginian"" "Ih najis deh ama yang beginian, Ra... Emangnya eke cowok apaan"", jawabku dengan gaya setengah jantan.
Kami berlima kemudian tertawa. Ya, termasuk Azra yang sebenarnya tidak mengerti apa yang aku ucapkan barusan. Sepertinya gaya setengah jantan yang kulakukan barusan merupakan suatu sinyal candaan yang bersifat universal.
"Lagi asyik nih Jo rupanya... Kita baiknya pindah tempat dulu deh...", sindir Arda yang melihat lengan kananku dalam rengkuhan Azra.
"Lah ente di sini ngapain Da" Anak Anam-dae bukan, tapi dateng ke sini."
"Ini nganterin si Soni. Maklumlah anak exchange, kudu dikenalin sama keriaan di kota ini.", jawab Rara.
"Ooo... Kirain...", jawabku dengan senyum menggoda ke arah Arda dan Rara. Dan segera saja aku teringat apa yang terjadi antara mereka di Jirisan.
"Son, itu mata tolong biasa yah... Anak orang jangan diliatin sampe ga kedip begitu.", semprot Arda. "Ehehehehe... Sori... Abis dari tadi kagak dikenalin...", jawab Soni.
"Hyahahaha! Well, Az... This is Soni, he's an exchange student in Gwanak-dae... Son, this is Azra, exchange student in Anam-dae..."
Kemudian mereka bersalaman dan terlihat Soni begitu terpesona dengan Azra sampai sepertinya ia lupa untuk melepas jabatan tangan mereka. Sampai kemudian Arda terlihat berbisik di telinga Soni dan Soni seperti menyadari sesuatu dan segera saja melepas jabatan tangannya dengan Azra dan menggaruk bagian belakang kepalanya yang aku yakin tidak gatal. Azra sendiri terlihat hanya tersenyum tipis dan beberapa kali memandang ke arahku.
Well, memang ada sedikit rasa cemburu di hati ini namun segera saja rasa itu terselubung perasaan maklum karena sepertinya ku pun akan bertindak bodoh sebagaimana dirinya jika ada pada posisi yang sama. Tindakan bodoh" Yup. Bodoh. Karena tadi Azra bersalaman tanpa melepas rengkuhannya di lengan kananku.
Situasi awkward tersebut kemudian hilang ketika MC meneriakkan sesuatu yang membuat perhatian kami berlima tersita seluruhnya ke panggung. Terlihat di atas panggung enam orang gadis muda dengan outfit crimson yang sangat menggoda mulai berjoget mengikuti irama musik yang menghentak. Dan orang-orang seolah kehilangan kontrol akan diri mereka. Kami semua pada akhirnya berjoget mengikuti irama musik. Aku pun tidak termasuk pengecualian. Kendati aku tidak pernah mendengar musik ini namun aku mengikuti saja naluri untuk terus menggerakkan tubuh ini mengikuti irama musik yang menghentak.
Musik pertama selesai, dilanjut dengan musik kedua, ketiga, keempat, dan seterusnya sampai aku lupa berapa musik yang dimainkan saat itu. Dan langit semakin gelap. Naluri tubuhku barusan untuk terus bergoyang ternyata membuatku menjauh dari Rara dkk. Tapi tidak dengan Azra. Dia ikut bergoyang juga mengikuti irama tanpa melepas genggaman tangannya di lengan atau tanganku. Dan tanpa kami sadari kami semakin dekat. Beberapa kali kami berselfie ria di setiap jeda antar lagu dengan iPhone 4s yang belum lama ini dimilikinya.
Tanpa sadar, Azra sudah bersender membelakangiku dengan lengan kananku melingkari pundaknya ketika girl band barusan meninggalkan panggung. Dan pada posisi ini terus terang aku bisa merasakan kehangatan dan aroma tubuhnya yang sepertinya tidak bisa ditutupi oleh keringat yang mengalir. Kemudian sekali lagi ia mengambil foto kami berdua dalam posisi itu. Kemudian dilihatnya foto tersebut dan terlihat wajah kami berdua tersenyum dengan tipe senyum yang sama. Senyum yang mengindikasikan sudah ada lebih dari sekadar ikatan emosi antara kami berdua. Memang foto tersebut agak gelap. Namun kegelapan itu tidak ada artinya dengan kilau senyum kami berdua.
Entah apa yang memerintahkan kami, yang jelas secara bersamaan kami berdua saling pandang satu sama lain setelah kami melihat foto tersebut. Aku tidak ingat berapa lama kami saling pandang tanpa ada kata di antara kami pada saat itu. Sampai kemudian gadis itu mulai menutup matanya. Seolah ada gaya gravitasi dari sepasang bibir pink itu, aku tanpa daya tidak bisa menolak ketika bibirku terkena efek dari gaya gravitasi bibirnya. Milimeter demi milimeter jarak yang ditempuh hanya membuat gaya gravitasi itu menguat. Dan ketika jarak antara kedua pasang bibir kami hanya sekitar 50 milimeter...
"ANAM-DAEEEEEE!"
Terdengar suara menggelegar dari arah panggung. Suara yang membuat gravitasi dari bibir Azra hilang seketika. Dan seketika kami berdua sadar jika kami masih berada di tengah keramaian orang-orang berbaju crimson. Seketika saja kulepas rengkuhan lenganku di pundaknya. Namun Azra segera menggandeng tanganku sembari tersenyum indah ke arahku.
Kemudian perhatian kami tersita ke arah panggung. Terlihat beberapa orang berpakaian lebih aneh daripada MC berkoar dalam bahasa Korea yang tidak kumengerti artinya. Namun dari konteksnya, sepertinya mereka adalah orang-orang penting dari Ipselenti.
Dalam hitungan menit, hingar bingar penonton lenyap ketika para pimpinan ipselenti itu terdiam di panggung. Kemudian musik mulai terdengar dan para pimpinan ipselenti tadi mulai bergerak. Tanpa ada komando semua orang mengikuti semua gerakan dari orang-orang tadi. Menunduk, mengangkat tangan, berteriak, merangkul orang di sebelah kami, melompat, apapun kami lakukan dengan mencontoh gerakan dari orang-orang di atas panggung. Satu lagu dan kemudian dengan lagu lainnya kami terus bergerak mengikuti contoh di depan. Sampai tidak terasa kami sudah berjoget bersama sampai hampir dua jam.
Tidak begitu lama kami berjalan bergandengan kembali ke dorm. Kemudian sebagaimana biasanya kami menunggu lift untuk kembali ke kamar kami masing-masing. Dan kali ini lift menuju lantai perempuan tiba lebih dulu.
Tanpa aku duga, gadis Turki ini mengecup pipi kananku sebelum melompat masuk ke dalam lift. "See you later, Jo...", ucapnya sambil bersemu ketika pintu lift mulai menutup. Aku hanya tersenyum saja.
Lima menit kemudian aku tiba kembali di kamarku. Kemudian aku minum sembari menyalakan laptop. Setelah itu kuaktifkan skype dan YM.
Well, ini sudah hari kelima dia tidak online sama sekali.
Chon-Am Jon "Halo, Cuk!"
"Oyi... ono opo Cuk"" "Sibuk koen""
"Sitik..." "Iku Cuk... Iso bantu liatin bojoku" Kok yo angel tenan mau kontak Riani belakangan ini""
"Ooohh... itu sih wajar... Aku kemarin ketemuan sama dia kok... Emang lagi banyak kerjaan dia di sini... Dia juga kemarin cerita saking sibuknya jadi mau online buat chatting sama ente aja susah..."
"Ooohhh... yo wis ben... Tapi mbok ya kalo ga bisa online sekali-sekali kirim e-mail gitu... Tolong kasih tau ya..."
"Siap, Jo!" "Yo wis... Suwun yo Yan..."
Kemudian kuputus sambungan teleponku dengan Ian. Tidak begitu lama kemudian ada pesan masuk dari Azra yang menyebutkan bahwa ia sudah tiba di lobby. Aku balas saja bahwa aku akan segera turun. Ya, kami memang janjian untuk menonton Chon-Am Jon hari ini yang akan menyajikan pertandingan baseball dan sepak bola yang diadakan di Jamsil Olympic Park.
Hari ini tepat seminggu setelah aku dan Azra menonton acara ipselenti di lapangan olah raga di dekat dormku. Atau tepat seminggu setelah Azra dengan berani mengecup pipiku ketika kami akan berpisah di lobby dorm. Dan selama seminggu ini tanpa aku sadari aku selalu menyempatkan menghabiskan waktu setidaknya sebentar dalam satu hari untuk bertemu dengannya. Sebutlah itu berangkat ke kampus bersama, makan, berbelanja, ngopi, ke perpustakaan, ataupun meminta bantuan untuk mengerjakan paper mengingat ada satu kelas yang ia ambil pernah kuambil juga ketika aku masih berkuliah di Indonesia. Dan setiap kami bertemu, baik aku sadar maupun tidak, Azra selalu mengambil potretku dengan ponselnya. Setiap kami bertemu pula tanpa kami sadari kami jadi semakin dekat. Secara emosional maupun secara fisik. Bergandengan, bermanja, saling menyandarkan tubuh, merangkul, membelai rambut dan punggung, bahkan berpelukan seolah sudah jadi menu biasa di tiap pertemuan kami. Tapi hanya sebatas itu saja. Tidak lebih. Atau mungkin lebih tepatnya belum.
Hari ini tepat hari kedua belas juga aku tidak pernah video call ataupun chatting dengan Riani. Selama rentang waktu tersebut kami hanya berhubungan dua kali: sekali lewat telepon dan sekali lewat e-mail. Itu pun hanya singkat saja. Riani hanya bercerita bahwa pekerjaannya di Surabaya ini pekerjaannya sangat banyak sehingga tidak bisa online. Bahkan ia juga cukup sering terpaksa harus bekerja di akhir pekan untuk mengurus logistik pengiriman produk tempat kerjanya. Isi komunikasi singkat kami yang dua kali itu hanya mengenai bagaimana sibuknya ia di sana dan permintaannya agar aku maklum jika ia jadi sulit dihubungi. Tidak ada detail mengenai sesibuk apa dirinya. Bahkan tidak ada pertanyaan darinya mengenai kabarku yang lazim ia tanyakan jika kami berkomunikasi.
Hal ini tentu saja sangat aneh bagiku yang sudah mengenal Riani begitu lama. Seperti ada hal yang disembunyikannya dariku. Namun belum begitu jauh aku berpikir mengenai Riani, senyum indah gadis berambut merah itu hadir dalam visualku dan mengacak-acak segala pikiranku tentang Riani.
"Let's go, Jo!", ajak Azra sembari tersenyum dan mengulurkan lengannya.
Kusambut lengan dengan jemari lentik tersebut dan kami pun berjalan bergandengan menuju Jamsil Olympic Park.
Sekitar 40 menit kami habiskan dari dorm menuju Jamsil. Selama 40 menit itu pula kedua tangan kami tidak terpisahkan. Outfit kami yang hari itu sama-sama mengenakan kaus berwarna crimson dan celana jeans serta sneakers akan membuat orang bodoh di mana pun mengerti jika kami adalah pasangan yang akan pergi berkencan. Selama kami berada di subway, pegangan tangan kami pun tidak terpisahkan. Sesekali kami saling pandang tanpa ada kata terucap. Biasanya sesi saling pandang ini diakhiri dengan pipinya yang mulai bersemu kemerahan dan disandarkannya kepalanya di pundakku.
Setibanya di Jamsil, kami melihat wilayah tersebut sudah didominasi warna biru dan crimson yang menjadi ciri khas dua kampus yang tengah berkompetisi ini. Hari ini merupakan hari pertandingan kedua yang mempertandingkan cabang olah raga baseball dan sepak bola. Hari pertama dilangsungkan kemarin di mana Anam-dae berhasil menang di cabang rugby, menyerah di cabang bola basket dan harus rela dengan hasil imbang di cabang ice hockey. Bisa dibilang hari ini merupakan hari penentuan siapa yang akan menjadi juara di pertandingan tahunan ini.
Ketika kami tiba, terdengar hiruk pikuk suara penonton dari arena olah raga baseball. Segera saja kami mempercepat langkah kami ke arah stadion baseball. Dan kami tahu bahwa kami datang terlambat ketika kami melihat papan pertandingan menunjukkan bahwa pertandingan sudah berada pada inning terakhir. Untungnya pada saat ini Anam-dae sedang unggul 14-11. Segera kami berdua mencari tempat tersisa untuk menonton pertandingan tersebut. Dan ternyata dalam inning terakhir ini, baik Anam-dae maupun Shinchon-dae samasama tidak berhasil untuk menambah skor. Dan seketika sorakan pendukung Anam-dae membahana ketika strike-out terakhir diterima oleh batter terakhir Shinchon-dae.
Sekitar 20 menit kemudian kami melangkah keluar dari stadion baseball untuk menuju salah satu daerah di mana penjual makanan berada. Belum lama kami berjalan, di antara beberapa tikar yang digelar di taman ada seseorang memanggil namaku dan begitu kulihat ternyata Carl dan rekan-rekan dari student council GSIS sudah berada di sana. Dan yang terbaik adalah ternyata tersedia beberapa makanan untuk makan siang. Sebagaimana kamu bisa tebak dengan mudah, aku pada akhirnya memilih bergabung dengan mereka. Tentu saja aku juga mengenalkan Azra dengan teman-temanku tersebut. Aku sempatkan juga beribadah di atas tikar yang digelar tersebut setelah aku melihat Amina ternyata menggunakan tikar tersebut untuk beribadah. Tentu saja kemudian Azra ikut beribadah bergantian denganku dengan meminjam mukena milik Amina.
Sekitar 40 menit kami di sini, kami semua kemudian bergerak ke dalam stadion sepak bola yang berada di tengah-tengah kompleks olah raga Jamsil ini. Lagi-lagi warna biru dan crimson memenuhi tribun penonton. Sembari menunggu kedua tim turun ke lapangan, baik ipselenti maupun akaraka memanaskan suasana dengan memandu kami semua untuk menyemangati tim yang akan bertanding. Tentu saja musik dan gerakan yang digunakan sama dengan yang kami lihat di acara ipselenti minggu lalu. Di depan sana terlihat beberapa pemimpin ipselenti bergerak memimpin kami memberi semangat terhadap tim Anam-dae.
Sekitar 15 menit kemudian kedua tim turun ke lapangan dengan kostum yang menunjukkan warna identitas kedua tim: biru dan crimson. Segera saja kedua tim kemudian bertanding dengan tempo pertandingan yang lumayan tinggi. Meskipun notabene hanya tim sepakbola kampus, namun perlu diakui jika kualitas permainan kedua tim termasuk berkelas sebagaimana tim sepakbola professional. Sembari menonton, kami sesekali bersorak dan juga ikut mengikuti gerak dari ipselenti yang terus memberi semangat kepada the Crimsons. Pada menit kedua puluh lima, the Crimsons berhasil membuka skor lewat sebuah skema serangan balik yang berawal dari gagalnya tim biru memanfaatkan peluang dari bola mati di dekat kotak penalti the Crimsons.
Tentu saja sorakan kami yang berbaju sewarna dengan mereka semakin mendominasi stadion ini.
Pada penghujung babak pertama, tim kami berhasil menambah keunggulan lewat tendangan bebas dari jarak sekitar 20 meter. Tentu saja kami kembali bersorak. Tidak lama setelahnya pertandingan masuk masa turun minum. Hal ini rupanya berarti juga turun minum bagi para pendukungnya.
Calvin dan Murod yang memang dewa alkohol di GSIS kemudian berkeliling membagikan masing-masing sekaleng bir kepada kami. Ketika mereka berdua melewatiku dan Azra, dengan iseng mereka mengulurkan sekaleng bir kepada Azra. Aku yang melihat hal itu langsung saja mengambil paksa bir itu sebelum jatuh ke tangan Azra. Kemudian aku memandang mereka dengan tatapan agak tersinggung. "Guys, please... Just give her any softdrinks, will ya""
Pria Uzbekistan dan Kanada itu hanya tertawa saja melihat reaksiku dan segera menawarkan sekaleng Chilsung Cider kepada Azra.
Tidak lama kemudian pertandingan dimulai lagi. Kali ini Tim Biru lebih banyak berinisiatif membangun serangan. Beberapa kali barisan pertahanan Anam-dae dipaksa bekerja keras untuk meredam gempuran dari Shinchon-dae. Pada menit ke 65, kerja keras Shinchon membuahkan hasil di mana mereka berhasil menipiskan ketinggalan mereka melalui sebuah serangan yang dibangun dari lini tengah. Kebobolan, Anamdae kemudian berfokus pada pertahanan dengan sesekali melakukan serangan balik.
Pertandingan kemudian berjalan semakin seru karena tim biru tampil ngotot untuk mengejar ketinggalan sementara the Crimsons terus berjibaku mempertahankan keunggulan. Menit ke-85, justru the Crimsons berhasil menambah keunggulan dari sepak pojok yang berhasil ditanduk masuk oleh kapten tim yang merupakan pemain bertahan mereka. Dan sampai dengan peluit panjang berbunyi, kedudukan tidak berubah. Anam-dae memenangkan pertandingan dengan skor 3-1.
Kemenangan tersebut juga mengunci kemenangan Anam-dae dalam keseluruhan ajang Chon-Am Jon dengan skor sama: 3-1. Segera saja kami yang berbaju crimson larut dalam euforia. Kami semua bersorak senang dan seolah terkomando kami semua bergerak dengan spontan kembali menuju tempat kami berasal: Anam-dong.
Ketika kami tiba di Anam-dong, banyak restoran, bar dan cafe membuka pintunya lebar-lebar seolah mempersilakan kami yang larut dalam euforia ini untuk memuaskan diri kami. Memang banyak dari mereka yang memberikan diskon yang besar jika Anam-dae menang dalam Chon-Am Jon. Beberapa malah menggratiskan produknya untuk mereka yang mengenakan baju berwarna crimson. Aku dan Azra pun tidak masuk dalam pengecualian. Kami tidak dapat menolak ketika anak-anak GSIS menggiring kami untuk masuk ke dalam sebuah cafe. Ramainya cafe tersebut dengan orang berbaju crimson memaksa kami untuk duduk terpisah cukup jauh.
Kemudian kami segera bercanda-canda sembari sesekali menertawakan tim Biru yang takluk oleh kami. Bersamaan dengan itu bergelas-gelas minuman beralkohol mengalir dengan deras di tempat kami. Bir, Soju, makgeolli, bahkan beberapa liquor juga mengalir deras. Aku yang larut dalam euforia tanpa berpikir panjang ikut menikmati aliran alkohol tersebut.
Setelah lewat kira-kira satu jam, aku baru ingat jika tadi aku ke tempat ini bersama gadis Turki itu. Langsung saja pengaruh alkohol dalam otakku tiba-tiba terasa hilang begitu saja dan langsung aku meluncur mencari keberadaan Azra. Tidak begitu lama kucari, akhirnya kutemukan dia terduduk di kursi di pojokan kafe ini dengan kepala tersandar di meja. Sepertinya tadi ia ikut minum alkohol. Dan segera saja aku merasa ikut bersalah atas hal ini. Kemudian setelah kudekati, ternyata tepat di sebelahnya ada gadis yang kukenal yang terlihat sudah sangat mabuk sehingga ia tertidur dengan posisi yang sama dengan Azra.
"Hey Jen! Can you take care of this Mongol girl later""
"Aye aye, Jo!", jawab Jen yang duduk tidak jauh dari Khali dan Azra. Ia terlihat masih sangat segar kendati di tangan kanannya tergenggam sebotol besar Jim Beam.
"See you later, Jen. I've got to take care this Red Head", seruku sembari menunjuk Azra.
Jen hanya mengangguk dan memandangku dengan ringan ketika aku memapah Azra ke luar cafe. Tubuh gadis ini memang tidak seringan Dao yang bisa kugendong jika dalam kondisi seperti ini. Namun perlu aku akui jika secara visual dan lebih daripada hal tersebut, Azra menang segalanya. Kendatipun berat, aku cukup menikmati memapah dirinya yang mabuk ini kembali ke dorm. Bukit Anam yang memiliki gradien besar tidak begitu terasa berat saat aku melewatinya sembari memapah Azra.
Dan ketika kami tiba di tempat yang agak gelap di dekat lobby dorm. "Jo... Please stop for a while..."
"OK, Az... what's wrong"", tanyaku sembari melepas rangkulanku dan bergerak ke depan wajahnya.
Tanpa aku duga lagi Azra menempelkan kedua tangannya ke wajahku dan menariknya mendekat sampai kedua pasang bibir kami bertemu. Tidak lama kedua pasang bibir kami bertemu. Mungkin dua detik pun tidak ada.
Tapi aku tidak dapat melupakan ekspresi wajahnya yang bersemu ketika ia melepas pertemuan bibir kami dan dengan lincah meninggalkanku yang masih terpaku dengan apa yang barusan terjadi. Melihat betapa lincah ia bergerak aku pun sadar jika barusan aku dikerjai olehnya.
Side Story: Coklat, coklat dan coklat!
Kantorku, 28 Desember 2015
Siang itu aku merasa enggan pergi ke kantin untuk makan siang kendati rasa lapar ini mulai melilit perut. Sebagaimana apa yang lazim dikenal dengan 'kelas menengah ngehe' aku sebenarnya sedikit bimbang antara pergi ke kantin dan mengisi perut dengan menu yang itu-itu lagi, atau makan di luar kantor yang mana aku terlalu malas untuk jalan terlalu jauh. Pilihan lain" Tentu saja ada. Sebut saja memesan makanan secara online. Tetap jujur saja jika memesan makanan secara online biasanya perlu memesan dalam jumlah cukup banyak untuk mengurangi tatapan-tatapan cemburu di kantor ini. Dan hal ini berarti aku perlu mencari teman sekantor yang juga memiliki niat yang sama.
Pucuk dicinta, ulam pun tiba!
"Mas Jo, aku mau pesen PH online nih... Mau gabung gak"", tawar seorang juniorku. Sebut saja dia Anti.
"Pas banget lu nawarin gua! Pesen pasta yang pake seafood deh..."
"Siap, Bos!", seru gadis manis berjilbab itu.
Well, sepertinya aku memang cukup beruntung hari ini. Pas saat aku lapar dan dalam kondisi 'mager', pas juga ada yang menawarkan untuk memesan makanan secara online.
Sekarang tinggal tunggu makanannya tiba saja sembari mengerjakan laporan hasil pertemuan terakhir dengan counterpartku dari pemerintahan beberapa hari lalu. Dan jika masih ada waktu mungkin akan kusempatkan juga untuk mengetik update cerita untuk thread-ku di kaskus. Tapi sepertinya perut yang mulai berirama keroncong ini perlu jadi prioritasku untuk dijinakkan terlebih dulu.
Seperti biasanya, aku selalu melakukan hal yang sepertinya sudah jadi naluri alamiah untukku yaitu mata dan tangan kanan tetap berfokus pada komputer, namun tangan kiri bergerilya ke laci tiga tingkat yang berada di kolong meja kerjaku. Dalam hitungan detik, tangan kiriku sudaah berhasil kembali di atas meja dengan beberapa bungkus kecil coklat batangan dengan bungkus oranye dan memiliki merek sama dengan selai coklat yang cukup fenomenal dua tahun belakangan ini. Dan selanjutnya bisa diprediksi, satu demi satu coklat masuk ke dalam perutku sementara aku terus terfokus menyelesaikan laporan yang tinggal sedikit ini.
Sepenanakan nasi kemudian, laporan selesai dan sebagai pria yang bertanggung jawab, aku bersedia menikahi dirinya yang kadung mengandung anakku.
Sebentar... Sepertinya ada yang salah...
Kenapa dialog basi ala film dan sinetron jadul ini bisa masuk ke cerita ini"! Baiklah... Sepertinya aku perlu mematikan komputer kerja di kamarku yang sedang menayangkan youtube film-film jadul ini dan berkonsentrasi pada mengetik update cerita ini.
Sepenanakan nasi kemudian laporan selesai dan sebagai pria yang bertanggung jawab, aku mengumpulkan bungkus-bungkus coklat tadi dan membuangnya di tempat sampah yang berjarak sekitar satu tombak dari kubikelku. Ketika aku membuangnya, aku jadi teringat dengan stok coklat di dalam laci. Segera saja aku buka laci paling atas tadi dan melihat sebagian besar dari laci tersebut dipenuhi oleh coklat beraneka merek dan jenis yang masih terbungkus rapi. Dalam laci di tengah juga terdapat beberapa hal serupa. Hanya laci bawah saja yang masi bebas dari coklat.
Dan seketika itu juga aku teringat perutku yang sudah tidak malu-malu lagi untuk menonjolkan dirinya. Memang beberapa teman dan keluargaku selalu berkomentar bagaimana aku bertambah gemuk dalam beberapa waktu belakangan ini. Yup, perlu aku akui saat ini aku dalam periode terberat dalam hidupku.
Bukan, bukan hidupku yang berat. Hidupku alhamdulillah tidak memiliki problem berarti pada saat ini. Yang berat adalah tubuhku. Belum pernah seumur hidupku aku mencapai berat badan sampai dengan kepala tujuh seperti saat ini. Dan terima kasih kepada coklat-coklat unyu itu yang berkontibusi maksimal dalam pencapaian fisik ini. Pencapaian fisik yang cukup membuatku merindukan tubuhku ketika aku masih berada di Negeri Ginseng dulu.
Beginilah jika bekerja di kantor yang sebagian besar stafnya ada yang melakukan perjalanan dinas ke luar negeri. Setidaknya dua minggu sekali selalu ada saja bungkusan coklat yang mampir di atas mejaku sebagai buah tangan. Aku pun sebenarnya sama saja dengan mereka karena aku juga cukup sering memberi oleholeh cokelat kepada kolegaku di kantor. Terakhir kali ketika Deputi Kepala Divisiku pergi ke sebuah negara Afrika sektar dua minggu lalu. Dan tentu saja, oleh-olehnya coklat!
"Sori yah Jo, oleh-olehnya coklat lagi. Abis itu negara emang komoditi andalannya kakao...", tuturnya ketika memberikan coklat tersebut kepadaku.
Dan aku teringat juga di mana di dalam kulkas di tempat tinggalku sekarang masih terdapat coklat dengan jumlah tak kalah banyak dengan coklat yang ada di laciku ini. Oh Tuhan, mau segemuk apa aku nantinya"
Sejurus kemudian, ada notifikasi dari group whatsapp teman-teman terdekatku yang anggotanya sebenarnya adalah teman-teman geng maksiat plus beberapa teman-teman yang wanita yang memang sudah dekat sedari kami remaja dahulu.
Quote:Bli Hendra: Guys, jadi rencana kita tahun baruan di tempatnya Jojo"
Toro: Iya nih, gimana jadinya"
Dokter Dana: Gimana Jo" Ane udah dapet ijin buat ga jaga nih dari konsulen ane pas tahun baru.
J: Siaaap! Keluarga ane udah approve rumahnya dipake buat tahun baruan. Lagian mereka juga udah lama ga ketemu kalian.
Tyo: Oke deh. Masih di situ kan rumahnya, deket SMA"
J: Yup. Siapa aja nih yang ikut"
Dan dari balasan yang muncul terlihat semua anggota geng maksiat akan hadir kecuali Yudha yang masih training di Bavaria. Teman-teman wanita di kelompok tersebut seperti Tya, Devi, Lina, dan tentu saja Wulan menyatakan akan ikut.
Quote: Wulan: Keluargaku boleh ikut kan"
J: Emang konsepnya family gathering, kok. Jadi diharapkan emang buat bawa keluarga atau pasangan masing-masing. Lagian kita ga bakal bikin yang aneh-aneh kayak ngundang stripper atau buka botol. Kita udah terlalu tua untuk itu.
Toro, Tyo, Dokter Dana, Bli Hendra dan Tama: Yaaaaaahhhhh!
J: Heh! Bli Hendra: Tapi kembang api masih boleh kan"
J: Kita gak akan pernah terlalu tua untuk yang satu itu, kok...
J: Oh iya Lan... Wulan: Kenapa" J: Astro ikut kan" W: Justru dia yang paling semangat waktu dikasih tau mau tahun baruan sama kamu. Walaupun aku yakin dia sebenernya bllom ngerti tahun baruan itu ngapain.
J: Dokter Dana: Kalo mau CLBK bisa via japri aja gak" Jangan di group ini gituh.
Tyo: Parah lu Jo... Binor digodain...
J: Kampret lu semuah! Tiba-tiba aku jadi memiliki ide brilian untuk mengatasi masalah penumpukan stok coklatku ini.
Quote:J: Guys, besok jangan pada bawa makanan manis ya... Bawa makanan yang gurih aja atau buat bakarbakaran gitu... Soal makanan manis biar ane yang handle.
Kemudian aku buka percakapan pribadi dengan Wulan via whatsapp.
Quote:J: Lan, kalo Tora coklat kesukaannya sama dengan Astro kan"
Sembari menunggu balasan, aku mencoba untuk kembali konsentrasi ke komputerku untuk melanjutkan
mengetik apdetan untuk cerita di thread kaskus. Yang mana hal tersebut terganggu oleh seruan seseorang.
"Mas Jo, pesenannya udah dateng nih!", seru Anti.
Well, bon appetit! Ini apdetan terakhir ya... ane mau lanjut apdet lagi tahun depan ajah...
Side Story: Kisah 4 Matahari Terbit Bogor, Oktober 2007
Pagi itu aku terbangun dan seperti biasanya aku langsung membersihkan diri dan diikuti dengan ritual ibadah pagi. Setelah selesai kulihat Riani masih tertidur di ranjangnya. Terlihat wajahnya begitu cantik dan sangat damai tanpa terlihat ada masalah yang dihadapi. Aku tidak tahan bergeming begitu saja dengan kecantikan alaminya itu dan kuberikan kecupan lembut di keningnya. Terlihat kemudian ia membuka sepasang kelopak matanya dan memberikan senyum manisnya kepadaku.
"Udah bangun, Jo""
"Biasa Ri... Subuh..."
"Oh... Aku juga deh kalo gitu..."
Kemudian ia bangkit dari ranjangnya dan mulai melangkah ke arah kamar mandi. Terlihat langkahnya agak canggung karena memang ada sesuatu di antara kedua kakinya. Terlihat agak aneh tubuh indah yang polos itu melangkah dengan demikian.
"Kamu gak papa Ri" Langkahnya masih rada ngangkang gitu..." "Gara-gara siapa coba semalem""
"Jadi kamu masih nyesel ya"", tanyaku dengan penuh rasa bersalah. Dia berbalik arah ke arahku dan menempelkan dahinya hingga bertemu dengan dahiku.
"Gak mungkin lah aku menyesal, Jo... Kalo soal itu sama kamu, dari awal aku udah siap Jo...", tuturnya sembari diikuti kecupan ringan di bibirku. Kemudian ia kembali melangkah menuju kamar mandi.
Setelah ia menutup pintunya, aku melangkah keluar kamar menuju dapur rumah Riani di lantai bawah. Terlihat suasana lantai ini sangat sepi karena memang tidak ada siapapun di lantai ini. Kedua orang tua Riani sedang dinas luar kota sementara adiknya menginap di sekolah untuk mempersiapkan suatu kegiatan. Well, ini memang bukan pertama kalinya aku berduaan saja dan menginap di rumah Riani.
Sekitar 7 menit kemudian, aku sudah berada kembali di lantai atas sembari membawa segelas kopi krim dan secangkir teh hangat. Langsung kusasar kursi yang berada di balkon di depan kamar Riani dan kuletakkan secangkir teh hangat di meja di samping kursi.
Di ufuk Timur sana langit mulai terlihat memerah dan sedikit mulai bergradasi menjadi oranye. Cukup terpesona aku dengan pemandangan indah yang sejatinya cukup rutin aku nikmati semenjak aku beranjak remaja ini. Dan kali ini memang pemandangan dahsyat ini sangat elok jika dapat ditemani dengan segelas kopi krim hangat.
Entah berapa lama aku terlarut dalam indahnya pemandangan pagi dan hangatnya kopi krim ini, tiba-tiba muncul sosok indah yang mendistorsi perhatianku ini. Dia berdiri tepat menghalangi pandanganku ke ufuk Timur.
"Pagi-pagi ngelamun aja!" "Udah selesai rupanya, Ri..."
Ia hanya menjawab dengan menganggukkan kepalanya sembari tersenyum manis. Gadis itu hanya mengenakan kaos putih panjang untuk menutupi bentuk tubuh indahnya itu.
Dan aku teringat kejadian semalam ketika untuk pertama kalinya kami melepaskan semua kehormatan kami atas nama apa yang disebut cinta. Entahlah, Aku sendiri sebenarnya cukup ragu apakah hal yang semalam itu merupakan manifestasi cinta atau lebih dekat pelampiasan nafsu belaka. Semua terjadi begitu saja. Begitu cepat. Begitu lembut. Tanpa ada intensi.
Aku masih teringat transformasi ekspresi wajahnya ketika ia memulainya dengan ekspresi malu, kemudian berlanjut dengan ekspresi penasaran, bergeser lagi ke ekspresi bergairah, kemudian ekspresi kesakitan, kembali lagi ke ekspresi bergairah dan diakhiri dengan wajah penuh kepuasan.
Dan kali ini wajah yang tadi malam terus menerus kupandangi itu terlihat begitu indah. Lebih bersinar ketimbang Sang Surya yang mulai menunjukkan eksistensinya di ufuk Timur sana. Dan senyum manisnya semakin membuatku berpikir sepertinya Sang Surya lebih baik kembali saja ke peraduannya.
"Jo... Jangan tinggalin aku, ya..." ----------------------------------------------------- Seoul, September 2011
Gadis berambut merah itu berjalan cukup lincah menaiki bukit bergradien sedang ini. Aku hanya mengikuti langkah si rambut merah ini yang terus menerjang jalan menanjak ini terus menuju ke atas bukit ini. Sekitar dua puluh menit yang lalu aku yang baru saja selesai beribadah subuh menerima telepon dari Azra. Dengan nada suara lembut seperti biasa, dia menceritakan keinginannya untuk mendaki bukit yang berada tepat di belakang asrama ini. Tidak ada sama sekali permintaan darinya untukku agar mau menemaninya. Namun suara yang lembut itu menyiratkan hal yang sebaliknya.
"OK... Let's meet at the lobby in five minutes", pungkasku mengakhiri pembicaraan di telepon.
Dan di sinilah aku sekarang. Sedikit terengah mengikuti langkah si Rambut Merah itu yang terus melahap jalur tanjakan ini dengan penuh semangat kendati suasana langit masih cukup gelap.
"Come on, Jo! Where's your spirit"", ejeknya sembari menoleh sedikit ke arahku.
Aku hanya tersenyum pahit. Jika begini sepertinya memang tidak ada pilihan lain selain mempercepat langkahku. Dan menjelang tanjakan terakhir di dekat puncak bukit aku berhasil mendekatinya. Kurengkuh saja tubuh indah itu dari belakang yang menghasilkan teriakan terkejut dari mulutnya.
Ternyata teriakan itu muncul hanya sekejap saja. Ia kemudian terdiam sembari mengarahkan pandangannya ke satu arah. Aku yang sedikit terheran kemudian mengarahkan pandanganku ke arah yang sama. Dan aku mengerti kenapa Azra terdiam.
Di ufuk Timur sana Ra masih belum terlihat namun sudah menunjukkan keberadaannya melalui gradasi sinar merah dan oranye. Dan tidak seperti Ra yang garang dengan putih kekuningan, pendahulunya ini hadir dengan nuansa lembut yang secara psikologis memberikanku dan Azra perasaan damai. Dan aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi selain memperkuat rengkuhan ini ke tubuhnya.
Entah berapa lama kami berdua terpaku. Sampai pada suatu saat gadis ini membalikkan tubuhnya hingga menghadapku. Dengan penuh perasaan wajah indah itu menatapku sampai ia kemudian menutup kedua matanya dan sedikit mendongakkan wajahnya.
Aku mengerti keinginannya.
Aku ikuti saja kemauannya dan begitulah. Kedua pasang bibir kami kembali bertemu untuk kedua kalinya sejak beberapa hari yang lalu. Hanya saja kali ini lebih berkesan. Tidak ada unsur penipuan. Tidak ada paksaan. Tidak ada perasaan terburu-buru. Hanya perasaan kami yang berbicara. Dan tentu saja sepertinya sang penguasa waktu memberikan kami waktu cukup lama bagi kedua pasang bibir kami untuk dapat bertemu.
Sampai kemudian kedua pasang bibir kami berpisah dan dia sedikit mundur ke belakang. Kemudian ia tersenyum sangat manis sembari membelakangi Sang Surya yang mulai terlihat bagian atasnya.
Dan aku bersumpah dia jauh lebih indah ketimbang Sang Surya yang baru terbit itu! ------------------------
Beverly, West Virginia, April 2015
Aku coba telusuri pinggiran kota kecil ini setelah aku menyelesaikan ibadahku tadi. Di sampingku seekor German Sheppard terlihat senang berjalan bersama denganku. Well, aku sebenarnya tidak begitu suka anjing. Namun entah kenapa dengan anjing peliharaan tanteku ini aku bisa sedikit berdamai.
Sekitar lima menit berjalan, aku melihat ada sebuah bukit kecil di balik gedung loji freemason. Kupandangi arlojiku dan kuputuskan untuk menaiki bukit kecil itu.
"Come on Rover, let's head for that hill!", ajakku kepada German Sheppard itu.
Bukannya mengikutiku, Rover malah berlari dengan cepat ke arah puncak bukit. Yah, aku memang tidak mengerti apa maunya anjing.
Tidak sampai sepuluh menit mendaki, aku tiba di puncak. Dan aku memang tiba pada saat yang tepat. Tepat ketika ufuk Timur berwarna merah dan oranye. Dan sebagaimana biasa, aku menikmati kontemplasi pada saat mentari terbit.
Entah berapa lama aku terlarut, tiba-tiba ada sepasang lengan merengkuh tubuhku dari belakang. Dari wangi dan kehangatan tubuh ini, dapat kutebak jika ini adalah dia. Dia memang ikut denganku ke negeri Paman Sam ini untuk menghabiskan sisa cuti tahunan yang belum sempat kugunakan pada tahun lalu ini.
Aku hanya tertawa kecil diperlakukan seperti itu. Kemudian dia melepaskan rengkuhannya dan bergerak ke hadapanku.
Dan... Ah! Lagi-lagi dia memberikan senyuman yang lebih indah dari mentari terbit itu. ---------------------------
Jakarta, 1 Januari 2016 Pagi itu aku masih belum bisa tidur. Aku baru saja selesai ibadah dan juga membereskan segala kekacauan akibat perayaan tahun baru kami semalam. Keluarga dan teman-temanku semuanya menginap di sini dan sebagian besar dari mereka masih terkapar dengan sukses di berbagai penjuru rumah. Aku sendiri mencoba mencicil pekerjaan membereskan kekacauan ini.
Sampai pada saat ketika pemandangan itu muncul tepat ketika aku tengah berada di balkon di lantai atas rumah orang tuaku.
Ufuk Timur yang berwarna lembut itu memang selalu sukses membawa lamunanku terbang tinggi ke awangawang. Kuputuskan untuk menunda pekerjaanku sejenak untuk duduk di bangku yang ada di balkon itu. Dan tentu saja mulai melamun.
Tidak begitu lama melamun, terdengar langkah dua pasang kaki mendekati balkon. "Lho Astro kok gak bobo""
"Maunya sama Papa Jo aja."
Kemudian bocah kecil itu naik ke atas pangkuanku dan mencari posisi ternyaman untuk meneruskan tidurnya. "As usual", sahutnya singkat sembari tersenyum ketika ia melihat kami di balkon itu.
Segera saja ia menarik satu kursi lagi dan ditempatkannya kursi itu tepat di sebelahku. Ia duduk dan merebahkan kepalanya di atas pundakku.
"Happy New Year, Jo"
Kali ini aku tidak dapat melihat senyum indahnya. Namun dengan adanya dua orang yang paling kusayang di pundak dan pangkuanku, aku bersumpah mentari terbit tahun ini merupakan mentari terbit terindah di dalam hidupku.
My oh My Arloji digitalku sudah menunjukkan pukul 2355. Biasanya bila aku tidak menyisihkan waktu sedikit untuk tidur siang seperti hari ini aku sudah terlelap di masa ini. Tetapi kali ini tidak. Mataku tidak bisa terpejam sedikitpun kendati aku sudah rebah di peraduan sejak lebih dari seratus menit yang lalu.
Aku sejujurnya pernah mengalami pengalaman seperti ini beberapa tahun yang lalu. Tepatnya ketika aku baru saja mengalami first kiss dengan Wulan. Ya. Rasa berdebar-debar dan menggelora itu sama persis dengan saat itu. Jantung rasanya bergerak hampir dua kali lebih cepat dan beberapa bagian rambut kecil di tubuh ini berdiri. Dan aku masih ingat pada saat itu berakhir dengan sama seperti saat ini: tidak bisa tidur selelah apapun aku pada hari itu. Dan aku ingat jelas satu hari setelahnya aku yang dengan sukses tertidur di kelas pada pelajaran fisika.
Aku masih belum mengerti dengan apa yang terjadi barusan sehingga bisa membuatku tidak bisa tidur seperti ini. Yang terjadi barusan entah sudah ke-berapa ribu kali kecupan bagiku. Tetapi entah kenapa rasanya sama dengan ciuman pertamaku. Bahkan first kiss-ku dengan Riani saja tidak menimbulkan sensasi sedahsyat ini. Dan tiba-tiba aku galau sendiri teringat Riani.
Secara naluriah aku bangkit dari peraduan dan meninggalkan kamarku. Entah kenapa aku ingin pergi ke lantai basement karena rasanya di sana aku dapat sedikit meredakan sensasi aneh yang sedang kurasakan ini.
Setibanya di sana aku lagi-lagi mengikuti naluriku untuk membeli lotte milkis di vending machine. Kemudian aku bergerak menuju ke sofa tempat aku biasa bertemu dengan Azra. Terlihat olehku di ruangan TV yang temaram itu ada sepasang anak manusia tengah asyik bercumbu. Well, aku tidak ambil pusing dengan mereka dan tetap menuju ke sofa tersebut dan dengan cuek aku jatuhkan begitu saja tubuhku ke atas sofa hingga menimbulkan suara agak keras.
Terlihat sepasang anak manusia itu menghentikan cumbuan mereka dan melihatku dengan tatapan tajam. Aku hanya cuek saja duduk di situ dan kemudian membuka kaleng lotte milkis. Kemudian aku mencoba sedikit ramah dengan mengangkat sedikit kaleng lotte milkis itu sembari tersenyum dan melihat ke arah mereka. Kemudian mereka melihat satu sama lain dan sejurus kemudian segera mengangkat kaki mereka dari ruangan tersebut. Aku hanya tertawa kecil saja melihat kelakuan mereka. Lalu aku pun kembali meneruskan menikmati sekaleng lotte milkis tadi.
Tidak begitu lama aku menikmati lotte milkis, tiba-tiba ada dua orang yang datang dan duduk di sebelah kanan dan kiriku.
"So, how was your first kiss with her, Jo"", tanya gadis Mongol itu. "What the... How do you guys know about it""
"Well, do you think she could come up with that trick all by herself" Come on!", jawab gadis Kanada itu. "Holy Mother of Jah!"
"I bet you found it so hard to get sleepy tonight, right"", lanjut Khali. Aku hanya diam saja sembari meneguk kaleng di genggaman.
"Come on! I already know even though you said nothing about it. You know, actually we just had a chat with her prior to come here. And that's we she said to us. She admitted it's kinda hard to get sleepy since she kept thinking about it over and over.", tutur Jen.
Harpa Iblis Jari Sakti 8 Fear Street Sagas 08 Tarian Kematian Dance Of Dead Durjana Dan Ksatria 12
^