Pencarian

3200 Miles Away From Home 6

3200 Miles Away From Home Karya Valerossi86 Bagian 6


Pada saat sahur tersebut, kami juga menceritakan kepada Azra mengenai rencana kami berlima untuk berjalan-jalan ke Daejeon dan Busan. Tentu saja ia saat itu menceritakan ketertarikannya untuk ikut pergi bersama kami, namun sayangnya pada hari tersebut ia keburu membuat janji untuk jalan-jalan bersama teman sekamarnya. Kemudian ketika kami menanyakan apa yang terjadi antara dirinya dengan Khali ia hanya tertawa saja dan menjelaskan bahwa semuanya sudah baik-baik saja. Bahkan mereka berjanji untuk kapan-kapan jalan dan nongkrong bareng.
Tiga Hari Kemudian di Seoul-yok
Terlihat dua orang pria yang masing-masing membawa backpack berukuran sedang sedang memasukan kode pemesanan tiket ke sebuah mesin. Pria pertama terlihat santai memperhatikan pria kedua yang agak bingung dalam memasukan kode ke mesin tersebut.
"Lama amat Da masukin kode gitu doang."
"Iya nih. Rada bingung gua masukin kodenya yang atas apa yang bawah ya"" "Tuh kan... udah gua bilang tadi ganti menu bahasa inggris aja. Nekad amat pake bahasa korea." "Ya gua kan udah mau pulang masa ga ngerti-ngerti juga bahasa korea sih Jo" Tengsin gua!" "Tapi tengsin elu bukan pada waktu yang tepat, Huda!", sahutku dengan suara mulai agak keras.
Suaraku yang barusan ternyata menarik seorang perempuan Korea seumuranku untuk mendekat. Gadis ini tanpa perlu kami jelaskan paham dengan kesulitan kami dan segera saja membantu kami memasukkan kode tiket pesanan tersebut sampai kemudian tiket tersebut berhasil dicetak oleh mesin.
Begitu selesai, Huda dengan genitnya mengucapkan terima kasih kepada gadis tersebut dan tentu saja mengajaknya ngobrol dengan modus untuk mendapat kontak pribadinya. Aku hanya geleng-geleng kepala saja melihat kelakuan temanku ini.
Tidak begitu lama, si gadis itu melihat ke arahku dan tersenyum sembari melambaikan tangannya ke arahku. Sepertinya ia sudah selesai dan memohon diri dari situ. Aku balas saja dengan melakukan gesture serupa. Dan sejurus kemudian Huda sudah bergerak kembali ke arahku dengan senyum lebar. Sepertinya upayanya berhasil untuk mendapatkan kontak gadis itu.
"Seneng amat lu keliatannya""
"Ada hikmahnya kan kesotoyan gua pake bahasa korea tadi" Dapet nih kontak tu cewek kece barusan!" "Terus kalo udah dapet mau lu apain""
"Tindak lanjuti lah Jo... Gimana sih ente""
"Lah elu kan udah mau balik for good. Mau balik ketemu keluarga lagi pula. Gimana mau menindakjutinya""
Dan Huda dengan refleks menepuk dahinya dan secara perlahan menurunkan tangan yang digunakannya untuk menepuk dahinya tadi ke bawah. Yup, Huda langsung melakukan facepalm setelah mendengar katakataku tadi.
Lima belas menit kemudian, kami berdua sudah berada di atas kereta Mugunghwa yang akan membawa kami menuju Daejeon. Rencana kami sendiri di Daejeon hanyalah untuk mengikuti acara buka puasa bersama yang diselenggarakan oleh PPI wilayah II sekaligus bertemu dengan Bedul. Kereta pada saat itu sangat penuh sehingga kami tidak kebagian tempat duduk. Yup, memang tiket kereta yang kami beli saat itu adalah tiket kereta tanpa nomor tempat duduk alias tiket berdiri. Mungkin sebagian dari kamu agak kaget mengetahui tiket semacam ini masih ada di negara semaju Korea Selatan. Tapi percayalah, hal ini sungguh terjadi pada saat itu dan juga pada musim liburan seperti pada liburan chuseok dan seollal. Aku dan Huda sendiri pada saat itu duduk di gerbong restorasi tepatnya di salah satu meja yang kosong. Pemandangan musim panas yang ada di sekitar kami terus terang cukup menggoda iman kami yang pada saat itu sedang berpuasa. Beberapa gadis muda yang menggunakan pakaian yang memamerkan banyak dari tubuh indah mereka, minuman kaleng dingin yang dinikmati pada cuaca yang agak panas, sampai dengan nasi kotak dan kimbab yang disajikan oleh pelayan restorasi tersebut. Dengan kompak kami berdua menutup mata dan berpura-pura tidur untuk sebisa mungkin menahan diri dari godaan-godaan tersebut.
Dua jam kemudian, akhirnya kami tiba di Daejeon-yok. Segera saja kami berdua melangkah dengan cepat agar bisa keluar dari gerbong celaka penuh siksaan tersebut. Dengan sisa-sisa tenaga yang ada, kami melangkahkan kedua pasang kaki kami agar bisa bertemu dengan seseorang yang sudah menunggu kami di sini. Bedul.
Bedul adalah seorang pria seumuranku yang beretnis betawi asli dan berasal dari daerah Cinere. Selain itu ia juga merupakan junior dari Irul baik pada saat menempuh kuliah S1 maupun S2 di negeri ginseng ini. Secara fisik dirinya memang terlihat agak lemah. Kulit berwarna pucat, kurus dan tidak begitu tinggi serta rona wajah yang agak sayu. Namun secara intelektual dirinya tidak perlu diragukan lagi. Ia pernah mengungkap siapa hacker yang mencoba meretas data-data penting terkait dengan pemilihan calon ketua PPI Korea dan juga menghasilkan cukup banyak paper yang dipublikasikan di beberapa jurnal internasional di bidang Computer Science. Namun di kalangan anggota PPI, reputasinya yang paling terkenal adalah hobinya yang sering memberikan tebak-tebakan yang lebih ke arah garing bin jayus pada mailing list maupun laman Facebook PPI Korea. Bagiku pribadi, yang paling khas dari Bedul adalah cara tertawanya yang begitu unik dan terus terang aku belum bisa memberikan kata-kata yang pas untuk mendeskripsikan gaya tertawa tersebut.
Dan begitu aku dan Huda berhasil melangkah keluar dari stasiun, sosok ringkih itulah yang kami temui di dekat pintu utama stasiun. Ia memang sudah tiba lebih dulu dari sini karena ia menggunakan bus dari daerah tempatnya belajar menuju kota ini.
"Akhirnya sampe juga lu semua di sini. Udah lumayan juga ane nunggu sini nih. Ngomong-ngomong muka kalian kenapa nih" Kusut banget."
"Lu belom ngerasain disiksa di gerbong Korean summer ya Dul"", jawabku. "Korean Summer gimana maksud lu Jo""
Kemudian Huda menjelaskan dengan cukup detail siksaan apa saja yang kami temui di gerbong tadi. Dan tentu saja tawa khasnya langsung meledak setelah Huda selesai bercerita.
"Anjir! Gua kagak bisa berenti ketawa gini dengerin cerita kalian! Bwahahahahahaa! Parah abis!" "Yeeeee.... Tega bener lu sama kita!"
"Iye iye... ya udah yuk kita jalan aja ke tempat acaranya." "Tau lu tempatnya Dul""
"Tau lah... Itu tempat kan udah kayak hideoutnya anak-anak Indonesia terutama anak-anak PPI wilayah II. Ya udah yuk jalan."
Bedul yang sudah cukup familiar dengan kota ini kemudian memimpin rombongan kecil ini bergerak dari Daejeon-yok menuju area kampus Daejeon University of Advanced Technology. Merasa agak familiar dengan nama kampus ini" Memang kampus tersebut adalah kampus di mana Kakak Perempuan Khali berkuliah dan pernah disebutkan di salah satu chapter cerita ini.
Kurang lebih 40 menit kami menempuh perjalanan dengan subway dan bus, akhirnya kami tiba di area kampus tujuan kami. Dan tidak kami sangka, begitu sudah dekat dengan venue acara buka puasa bersama rupanya Ketua PPI wilayah II sendiri yang menyambut kami.
"Selamat datang di kampus DUAT wahai tamu agung dari PPI wilayah I! Kami merasa terhormat bisa menjamu anda semua!", sambut Ipul, sang Ketua PPI wilayah II dengan nada agak berlebihan.
"Lebay lu Pul! Jadi ga enak nih kita jadinya...", balas Huda.
"Iya Pul... Padahal kita ke sini cuma niat numpang makan doang, Pul.", sambungku. "Jo, bisa ga usah terlalu jujur gitu gak" Tengsin berat gua!", balas Huda dan Bedul bersamaan.
"Hahahahaha! Udah gua duga kalian berniat begitu! Ga papa kok. Emang mau lanjut lagi abis dari sini" Ke mana""
"Busan Pul. Ini kan udah ane niatin buat trip ane terakhir di Korea sebelum balik." "Wah, udah kelar lu rupanya, Da. Selamat ya!"
"Hehehehe... Tengkyu berat Bro!"
"Ya udah yuk, masuk. Udah mau mulai nih bentar lagi acaranya."
Kemudian kami mulai bergerak masuk ke venue acara buka puasa bersama. Namun baru beberapa langkah kami berjalan, terdengar ada seseorang memanggil namaku."
"Jojo! Is that you"", seru suara seseorang yang terdengar sangat familiar. "Khal" I didn't know you're here!"
"Yeah, I decide to spend the rest of my holiday here with my sister. But don't worry, I can still be your wake up alarm."
"Jo... Cakep tuh Jo... Ajak aja ikutan ke dalem... Bilang aja acara makan-makan... Tapi ntar kenalin ya doi sama ane...", bisik Ipul dengan nada agak mupeng.
Singkat kata, Khali dan kakaknya akhirnya ikut dalam acara tersebut. Dan sebagaimana bisa diprediksi, Khali terus nempel padaku karena pada saat itu aku secara otomatis bertindak sebagai penerjemah pribadinya mengingat banyak dari isi acara tersebut dibawakan dalam Bahasa Indonesia. Aku juga menjelaskan cukup banyak maksud dari rangkaian acara ini termasuk pada saat pembacaan Al-Quran mengingat acara ini sebenarnya adalah acara buka puasa bersama.
Dan sebagaimana bisa diduga juga, Khali kemudian jadi pusat perhatian juga mengingat penampilannya yang memang di atas rata-rata dari hadirin pada saat itu. Efeknya apa" Tentu saja pada saat sesi perkenalan, aku diwajibkan untuk memperkenalkan Khali. Dan juga yang paling horror: fit and proper test. Dan, yak! Pujian sekaligus cercaan kembali menghujaniku ketika aku memperkenalkan Khali kepada hadirin dan Khali seperti menampilkan gesture yang agak manja kepadaku. Mirip ketika aku memperkenalkan Khali pada acara piknik bersama anak-anak PPI I beberapa waktu lalu.
Secara umum, acara berlangsung dengan cukup lancar dan menarik. Kehadiran Bedul di sini juga menambah daya tarik acara ini dengan stock pertanyaan garingnya yang seolah tidak terbatas. Satu-satunya yang menurutku kurang dari acara ini mungkin makanannya karena tidak adanya masakan Rara atau setidaknya Azra di sini. Jadi agak menyesal juga aku membiarkan Rara langsung jalan ke Busan dan Azra yang tidak dapat hadir di sini.
Sekitar dua jam kemudian, aku, Huda dan Bedul kemudian pamit dengan mengatakan bahwa kita harus mengejar kereta terakhir ke Busan pada malam itu. Tentu saja kemudian Khali mengantar kami sampai Daejeon-yok dan melepas kami.
Dan sebagaimana bisa ditebak dengan sangat mudah, Khali memelukku sangat erat dan mengecup bibirku dengan hangat sebelum aku turun ke platform. Dan begitu aku sudah berada di platform, terlihat Huda dan Bedul cengar-cengir saja ke arahku.
"Gimana Jo" Anget" Empuk" Rada lembab juga ya"", goda Bedul. "Norak lu Dul. Kayak ga pernah aja."
"Emang belum pernah sih Jo.", balas Bedul. "Heh"! Seriusan""
"Lu emang wajar kalo ngiri parah sama Jojo, Dul. Di Seoul masih ada satu lagi yang naksir berat sama Jojo kayak si Khali tadi. Gak kalah cakep pula sama yang tadi."
Dan Bedul hanya bereaksi seperti ini setelah mendengar ucapan Huda barusan:
Kolam Ikan Tepat 30 menit menjelang tengah malam kereta Mugunghwa yang aku, Huda dan Bedul tumpangi dari Daejeon merapat di tujuan akhirnya: Busan-yok. Entah karena pengaruh perjalanan atau hal lainnya, kami bertiga sepakat untuk singgah sejenak di sebuah rumah makan tepat di seberang Busan-yok. Hal ini cukup mengherankan sebenarnya mengingat ketika kami berada di Daejeon tadi kami sangat memaksimalkan waktu kami di sana, alias makan dengan porsi sangat banyak.
Dul, ente udah coba hubungin Rara & Mei" , tanyaku sembari menikmati ojingo-teopbap.
Udah nih Jo. Baru aja Mei bales. Mereka udah sampe tadi pas jam buka puasa. Mereka sekarang lagi nginep di apartemennya Astri.", jawab Bedul sembari meniupi sundubu-jjigae yang terlihat masih berasap tersebut. "Terus kita gimana malem ini Dul"", tanyaku lagi.
"Tenang aja, Jo. Janu si penguasa kolam ikan udah setuju kok buat kita inepin. Tadi dia ngasih tau di kolam ikan lagi ada dua orang kita lagi. Paling mereka lagi nunggu kita lah."
"Kolam ikan" Jadi kita bakal camping di pinggir kolam gituh"", tanyaku polos.
"Hyahahahaha! Nggak gitu lah Jo. Kolam ikan tuh istilah dari anak-anak PPI III aja. Itu tempat udah kayak basecamp ga resmi anak-anak PPI III juga. Gua juga sebenernya penasaran kayak apa kolam ikan itu Jo.", jawab Huda sembari mengunyah bibimbap.
"Ente pada tenang aja deh. Enak kok tempatnya. Ga heran anak-anak PPI III pada doyan nge-base camp di situ. , pungkas Bedul.
Sepenanakan nasi kemudian, kami bertiga sudah berada dalam sebuah taksi yang membawa kami ke tempat yang disebut sebagai kolam ikan . Dan setelah menempuh perjalanan sekitar setengah jam, kami akhirnya tiba juga di kolam ikan . Ternyata yang disebut sebagai kolam ikan tersebut adalah sebuah bangunan bertingkat tiga dengan luas sekitar 500 meter persegi ditambah tanah di sekitarnya dengan luas total 1000 meter persegi di mana pada tanah tersebut terdapat cukup banyak kolam yang diisi berbagai macam ikan yang dibudidayakan. Sejatinya, kolam ikan tersebut merupakan salah satu laboratorium jurusan perikanan Namgu National University.
Lantas bagaimana ceritanya tempat tersebut bisa menjadi base camp anak-anak PPI III" Rupanya hal itu berawal dari Professor penanggung jawab laboratorium tersebut yang mulai rutin menerima mahasiswa Indonesia sejak awal dekade 2000an. Konon ceritanya menyebutkan si Mahasiswa pertama tersebut sangat impresif baik dalam performanya sebagai peneliti maupun secara personal. Sang Profesor yang terkesan tersebut kemudian secara rutin menerima Mahasiswa Indonesia pada setiap semester sebagai mahasiswa bimbingannya yang mana berarti juga menerima beasiswa dari kampus tersebut. Untungnya setiap mahasiswa Indonesia yang menjadi bimbingan sang Professor tadi memang selalu bisa menunjukkan performa yang sangat baik sehingga si Professor tadi sangat mengandalkan mahasiswa-mahasiswa Indonesia.
Masalah kemudian timbul ketika semakin banyak mahasiswa Indonesia yang berada di bawah bimbingannya. Namun sang Professor ini mencoba mensimplifikasikan penyelesaian masalah tersebut dengan menyulap salah satu ruangan yang ada di gedung laboratorium tersebut menjadi kamar bersama. Yup, salah satu ruangan yang sejatinya merupakan salah satu ruang kelas kemudian diisi beberapa tempat tidur bertingkat. Hal tersebut dapat dilihat sebagai sebuah solusi yang menyelesaikan banyak masalah sekaligus mengingat baik Professor maupun mahasiswanya tidak perlu lagi memikirkan tempat tinggal mahasiswa selama di Korea. Selain itu dibiarkannya mahasiswa tinggal di lab tersebut juga memudahkan sang Professor untuk mengontrol proyek-proyek penelitian maupun mahasiswanya.
Mahasiswa Indonesia sendiri mencoba memaksimalkan fasilitas tersebut dengan baik. Ketersediaan ruangan dan fasilitas laboratorium dimaksimalkan dengan baik untuk beberapa kali dijadikan tempat kumpul-kumpul maupun rapat pengurus PPI III. Sang Professor sendiri mengetahui dan mengizinkan penggunaan fasilitas laboratorium tersebut untuk kepentingan PPI mengingat selama ini mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang berada di bawah bimbingannya memang sangat bisa diandalkan. Lebih jauh, Sang Professor pada suatu kesempatan pernah secara tiba-tiba datang ke gedung laboratorium tersebut dan bertemu dengan para pengurus PPI III yang sedang rapat. Professor tersebut kemudian menginterupsi rapat sejenak untuk mengatakan sesuatu yang kemudian mengubah sejarah. Apakah kira-kira hal tersebut"
Well, Professor tersebut menyampaikan bahwa mahasiswa Indonesia, termasuk para pengurus PPI diperbolehkan untuk menangkap ikan yang berada di kolam secukupnya untuk dinikmati bersama-sama. Tentu saja hal tersebut harus memperhatikan jumlah ikan dimaksud apakah akan cukup untuk kegiatan penelitian di lab tersebut. Semenjak hari itu, secara tidak resmi akhirnya kolam ikan menjadi base camp dari mahasiswa Indonesia di wilayah PPI III, khususnya di wilayah Busan. Dan keberadaan kolam ikan sebagai base camp akan sangat signifikan pada saat jumlah ikan yang bisa dinikmati berada di atas ambang batas tertentu yang mana artinya akan ada pesta ikan bakar di kolam ikan.
Halo, Jan. Kita udah di depan gedung nih. Bukain dong pintunya. , kata Bedul kepada lawan bicaranya di sambungan telepon ketika kami sudah melangkah keluar dari taksi.
Oke sip. Kita tungguin ya. , katanya lagi setelah mendengar respons dari lawan bicaranya. Yuk guys, langsung tunggu di depan pintunya. , ajak Bedul.
Tidak sampai dua jurus kemudian, pintu gedung laboratorium tersebut terbuka dan terlihat seseorang dengan postur berotot namun agak lebih pendek dariku dan berkulit agak gelap membuka pintu gedung tersebut dari dalam. Kemudian senyum bersahabatnya muncul ketika melihat kami bertiga.
Selamat datang abang-abang sekalian di kolam ikan. Yuk masuk. , sambutnya ramah.
Guys, dia ini yang namanya Janu. Untuk saat ini bisa dibilang sebagai penguasa kolam ikan. O iya Jan, yang sama ane namanya Jojo & Huda.
Kemudian kami bertiga bersalaman untuk saling memperkenalkan diri. Tidak lama kemudian kami diarahkan oleh Janu ke dalam gedung dan diarahkan ke sebuah ruangan yang lebih mirip ruangan kantor. Di dalam ruangan tersebut terlihat ada lima orang yang sedang sibuk dengan komputer yang ada di hadapannya. Dan dari lima orang tersebut terlihat ada satu orang berkulit sawo matang dan berkaca mata melihat kedatangan kami. Begitu melihat kami, segera saja ia mencolek pria berkulit putih yang sedang duduk di sebelahnya.
"Dra, Chris, sini kenalan dulu sama tamu-tamu kita.", panggil Janu kepada dua orang tersebut. Kedua orang tersebut kemudian berjalan mendekati kami. Aku dan Huda yang baru pertama kali ke sini pun segera mengulurkan tangan kami kepada dua orang tersebut.
"Jojo...", kataku memperkenalkan diri.
"Huda..." "Indra...", sahut si sawo matang.
"Christian..." sahut teman Indra yang berwajah oriental.
"Lho... Orang Indonesia toh" Tak kira pribumi kamu Chris...", kata Huda polos.
"Hyahahaha... yang ini mah udah biasa... Well, selamat datang di kolam ikan... Tenang aja.. status kita sama kok di sini... Sama-sama tamu...", timpal Chris dengan santai.
"Lho... Kamu bukan mahasiswa kolam ikan toh Chris" Kalo ente gimana Dra"", tanyaku.
"Nggak... Aku juga tamu... Tamu yang lebih doyan tidur di sini daripada di dorm lebih tepatnya... Abis di sini lebih berasa kayak di rumah Jo...", jawab Indra.
"Persis kayak aku tuh, Jo. Di sini jauh lebih enak daripada di apartemenku. Apalagi penguasanya sekarang Janu. Udah berasa rumah sendiri banget.", sambung Chris.
"Emang kalo yang jaga gua kenapa heh" Ada juga gua suka manfaatin tenaga kalian buat bantu-bantu bersihin kolam...", tanya Janu balik.
"Nah... Justru itu Jan... Biasanya abis bersihin kolam ada tuh 4-5 ekor ikan yang gak bisa diselamatkan... Akhirnya kan terpaksa kita selamatkan dengan berakhir di perut masing-masing.", timpal Chris sembari mengelus perutnya yang memang terlihat agak buncit.
Kami berlima kemudian mengobrol ngalor ngidul di ruangan kantor tersebut. Dari situ kami ketahui bahwa Indra dan Christian merupakan mahasiswa jurusan Arsitektur dan Teknik Mesin di Namgu-dae. Indra asli Semarang, sementara Christian memiliki keluarga yang tinggal di daeerah Serang. Janu yang asli Sumbawa Besar sendiri merupakan mahasiswa Indonesia terakhir yang ada di kolam ikan. Sebenarnya masih ada dua mahasiswa Indonesia lain yang terdaftar sebagai binaan Professor penguasa sejati kolam ikan. Hanya saja kedua mahasiswa tersebut merupakan mahasiswa doktoral yang sebentar lagi akan menyelesaikan disertasinya. Dan untuk kepentingan penelitian disertasi tersebut, kedua mahasiswa tersebut pulang ke Indonesia untuk mencari data-data primer yang dibutuhkan. Janu sendiri menyebutkan tidak pulang ke Indonesia saat ini karena ia akan menghadiri sebuah konferensi internasional di Yokohama bulan depan sehingga ia perlu menyelesaikan paper yang harus dipresentasikannya di konferensi tersebut. Lebih jauh, Janu bercerita ekspektasi tinggi sang Professor terhadapnya serta masa depan kolam ikan. "Jadi kalian mungkin termasuk kelompok akhir-akhir yang bisa nikmatin fasilitas kolam ikan ini.", tutur Janu. "Emang kenapa Jan"", tanyaku.
"Well... Professor penguasa sejati kolam ikan ini bakal pensiun tahun depan Jo. Pas juga masa studi gua tinggal dua semester lagi. Hal itu juga yang bikin kenapa Professor ga pernah terima mahasiswa binaan lagi selama setahun terakhir ini. Bisa dibilang emang gua ini mahasiswa terakhir binaan si Professor lah. Dan mungkin hal ini juga yang bikin Professor punya harapan tinggi sama gua. Dia tau ilmu yang bakal gua dapet bakal kepake banget di kampung gua, selain itu ya buat kenang-kenangan personal buat dirinya" "Sebenernya ada satu hal lagi sih Jo kenapa itu Professor punya ekspektasi tinggi sama Janu.", sela Chris. "Wah... Apaan tuh" Kayaknya seru nih buat diceritain...", sambung Huda.
"Udah sih ga usah diceritain Chris...", potong Janu yang terlihat sedikit malu. "Udah sih biarin aku aja yang ceritain, Jan... Ga usah malu gitu... Jadi gini, Da, Dul, Jo..." Kami bertiga kemudian memasang posisi fokus untuk mendengar cerita Indra.
"Si Janu ini bisa sampe sini bukan dia yang apply sebenernya... Tapi si Professor yang nemu dia di kampungnya."
"Wah... Talent Scouting nih ceritanya"", tanya Bedul.
"Ga juga sebenernya... Waktu itu Professornya kebetulan lagi ambil sampel penelitian di kampungku... Kebetulan aku waktu itu baru aja lulus kuliah dan masih nganggur-nganggur gitu di kampung... Kebetulan Pak Kades yang tau aku dulu kuliah perikanan tau-tau nyuruh aku nemenin si Professor buat bantu ambil sampel di kampungku itu pas si Professor mau minta izin ngambil sampel buat penelitian di kampung... Aku mikirnya ya lumayan lah daripada nganggur... Gak taunya si Professor puas banget sama bantuanku waktu itu... Dan dia kayak gak rela gitu kalo aku kelamaan nganggur... Dan akhirnya aku ditawarin lah beasiswanya itu dengan syarat aku harus ngerjain tesis dan penelitian terkait dengan topik yang waktu itu dia kerjain di kampungku... Kayaknya emang aku ditakdirkan buat nganggur lama-lama... And here I am...", tutur Janu mengenang masa lalunya.
Kami semua hanya memandang Janu dengan terkesima dengan ceritanya.
"Well, kalo yang pernah gua denger dari Professornya sih sebenernya topik yang dikerjain sama Janu ini bisa jadi solusi jangka panjang buat memecahkan masalah perikanan terutama tambak di kampungnya Janu. Jadi emang sebenernya yang berharap banyak sama Janu ini bukan cuma Professornya doang, tapi juga orangorang sekampungnya.", sambung Chris.
Tentu saja aku beserta Huda dan Bedul tambah kagum dengan Janu. Kami tidak pernah menyangka adanya harapan yang besar dari orang-orang di sebuah kampung di Sumbawa sana terhadap pemuda berkulit gelap ini.
Kemudian kami terus mengobrol santai dan sesekali bernyanyi-nyanyi dengan iringan gitar yang dimainkan bergantian antara Janu dan Huda. Ketika waktu menunjukkan pukul 0145, kami menghentikan kegiatan kami dan bergerak keluar dari Gedung Lab. Yup, waktu tersebut merupakan waktu yang sangat tepat untuk mencari makanan untuk sahur. Tidak jauh dari kompleks Namgu-dae, terdapat cukup banyak kedai yang menjual makanan 24 jam. Tentunya hal tersebut sangat menolong kami yang perlu sahur sebelum jam 0300. Kemudian kami menentukan pilihan kami untuk makan di salah satu kedai yang menjual makanan laut dan kami berlima pun menikmati nasi dengan ikan sebagai menu sahur kami.
Sepiring Besar Sashimi dan Pantai
Saat itu pukul 2100. Dua belas tungkai kaki kami menyusuri jalan-jalan yang agak sempit di daerah pelabuhan tersebut. Terlihat daerah tersebut juga tidak memiliki penerangan yang cukup baik karena hanya mengandalkan bohlam model konvensional untuk penerangannya.
"Masih jauh gak sih Nyu"", tanya Mei terhadap seorang lelaki berambut keriting dan bertubuh agak gemuk tersebut.
"Bentar lagi, Mei. Sabar dikit ya.", jawab Banyu, lelaki yang barusan ditanyai oleh Mei. "Kayaknya 5 menit yang lalu lu ngomong gitu juga deh Nyu...", sahut Rara. Banyu hanya nyengir saja ditanggapi demikian oleh Rara.
Tidak sampai sepeminuman teh kemudian, Banyu kemudian menunjuk satu lorong temaram yang terlihat cukup ramai.
"Tuh udah keliatan lorongnya. Bener kan gak jauh lagi"", seru Banyu.
"Tapi seriusan nih Nyu tempatnya di sini" Masak iya sih tempat makan enak adanya di daerah kumuh begini"", tanyaku kali ini.
"Ente belum pernah denger sashimi Busan rupanya Jo. Emang tempatnya di daerah rada kumuh begini. Logis aja sih. Sashimi yang enak kudu pake ikan yang seger kan" Nah ikan paling seger adanya di mana" Pelabuhan dan pasar ikan! Makanya kita rela becek-becekan ke sini buat nikmatin sashimi endeus tersebut!", terang Banyu.
"Udah Jo, entar nikmatin aja sashiminya. Ane jamin paten banget dah itu barang!", sahut Bedul kepadaku. "Nah, ini dia tempatnya Guys. Yuk langsung masuk aja!", ajak Banyu.
Kemudian keenam pasang kaki kami pun melangkah masuk ke sebuah kedai berukuran sekitar 60 meter persegi. Kedai tersebut terlihat sangat bersih kendati lokasinya berada dalam daerah yang agak becek seperti ini.
"Ajeossi, yeoseot-myeong juseyo!*", seru Banyu kepada seorang pria paruh baya yang terlihat menyambut kami.
Spoiler for *: Pak, tempat untuk enam orang ya!
"Nae! Changshimannyo...*", balas pria paruh baya tersebut.
Spoiler for *: Ya! Tunggu sebentar... Sejurus kemudian pria tersebut mengarahkan kami berenam ke sebuah meja untuk enam orang dan dengan luwes membagikan menu makanan kepada kami.
"Yang khas dan enak apa nih di sini Nyu"", tanya Huda.
"Sepiring gede sashimi aja gimana" Kita nikmatin rame-rame gitu.", usul Banyu. "Cuma sepiring" Emang cukup"", tanyaku agak skeptis.
"Ente beneran belom tau nih rupanya Jo. Udah lah sepiring aja dulu. Ntar kalo kurang baru pesen lagi.", jawab Bedul.
Akhirnya kami sepakat untuk memesan sepiring besar sashimi untuk dinikmati bersama. Dan sejurus kemudian Banyu memanggil pria paruh baya yang tadi melayani kami. Terlihat pria keriting tersebut berbicara dengan pria paruh baya tadi dengan sangat lancar. Yup! Di antara kami berenam pada saat itu memang Banyu yang memiliki jam terbang paling tinggi di negeri ginseng ini. Ia telah tinggal sejak tahun 2007 di negeri ini tepatnya di kota Daegu. Empat tahun lebih di negeri ini tentunya membuatnya secara natural mengerti tentang bahasa setempat dengan sangat baik. Ia berada di negeri ini untuk melanjutkan studi integrated (S2 + S3 secara simultan) pada bidang teknik material di sebuah Universitas di daerah Daegu. Dan sepertinya ia memang masih akan tinggal di negeri ginseng ini sampai dengan beberapa tahun lagi ke depan.
Kami sendiri secara tidak sengaja bertemu dengannya di masjid Busan pada acara ngabuburit di masjid tadi. Setelah seharian menjelajahi beberapa spot wisata di Busan, kami memang menjatuhkan pilihan kami untuk berbuka puasa di Masjid Busan. Dan dengan sukses, atas 'provokasi' dari Pria agak gemuk ini acara ngabuburit yang seharusnya berjalan agak ringan tadi berubah menjadi acara sosialisasi sistem program pelatihan yang akan dijalankan pada semester depan. Rupanya keberadaan aku dan Mei yang memang jadi pengurus program pelatihan tersebut dimanfaatkan dengan baik olehnya serta para TKI yang sore itu kebetulan berada pada acara ngabuburit tadi. Mungkin kamu semua agak heran bagaimana pria keriting ini bisa dengan sukses memprovokasi hal tersebut" Well, aku memang lupa menyebutkan bahwa pria keriting bertampang agak konyol ini merupakan Ketua dari PPI di Negeri Ginseng ini pada saat itu. Provokasi" Sebagai tokoh Mahasiswa nomor satu di negeri ini plus latar belakangnya sebagai aktivis mahasiswa ketika masih menjalani studi di tanah air mungkin hal yang ringan saja baginya. Untungnya bagiku, mempresentasikan sesuatu, termasuk di antaranya program untuk semester depan, merupakan hal yang paralel sebagaimana Banyu dengan Provokasi. Kendati persiapan kami minim, namun presentasi yang kami berikan kepada para TKI tersebut terlihat cukup memuaskan mereka.
Sekitar sepenanakan nasi kemudian, pesanan kami tiba. Terus terang aku melihat pesanan kami dengan sangat takjub. Bayangkan saja, sebuah piring dengan diameter 40-50 cm disajikan di tengah-tengah kami dan di atas piring tersebut telah tersaji dengan artistik aneka potongan ikan dan beberapa jenis makhluk laut lainnya. Kemudian pelayan tadi membagikan beberapa piring mungil dan juga sumpit kepada kami. "Gede bener ya. Bakal abis gak nih"", sahutku dengan polos.
"Nah! Tadi yang gak yakin sepiring bakal cukup siapa ya"", sahut Huda.
Aku kontan saja tersenyum malu-malu sementara rekan-rekan di sekitarku kompak menertawakanku. Untungnya hal tersebut tidak lama karena keenam mulut kami tidak begitu lama kemudian langsung sibuk memasukan potongan-potongan daging segar yang sempat mampir ke piring kecil berisi kecap asin tersebut ke dalam mulut kami. Tentu saja mulut kami langsung merasakan adanya sensasi kelembutan daging ikan yang tercampur dengan rasa dan aroma kecap asin dan sedikit sentuhan pedas-segar wasabi. Semakin kami kunyah, semakin sensasi percampuran rasa, aroma serta kelembutan tekstur daging tersebut menyebar ke seluruh penjuru rongga mulut kami sebelum akhirnya potongan daging tersebut meluncur ke kerongkongan. Dan aku bersumpah pada saat itu bahwa aku tidak pernah merasakan sashimi sedahsyat itu sebelumnya.
Tanpa terasa, sepiring besar sashimi tersebut pada akhirnya tandas juga. Rasa yang nikmat serta kenyataan bahwa kami menghabiskan sashimi tersebut sembari mengobrol santai membuat kami semua tidak sadar ketika potongan terakhir daging ikan tuna yang tersisa berhasil diklaim dan meluncur dengan mulus ke dalam rongga mulut Huda. Dan tepat pada saat itu juga Indra yang memang berniat menyusul kami baru saja tiba di tempat itu.
"Yah... udah abis ya" Kok ga pada nungguin sih"", protes Indra.
"Udah ga usah protes! Pesen lagi aja sana... Ane juga masih muat nih perutnya!", jawabku. "Pesen aja lagi tapi jangan yang segede yang tadi, ya. Gua udah ga kuat lagi nih Jo.", sambung Rara. Dan kami melanjutkan obrolan seru kami setelah Indra memesan piring sashimi kedua.
Setelah satu jam terlewati, kami semua melangkah keluar dari kedai tersebut dan melangkah ke tempat kami menginap masing-masing. Banyu yang tinggal di Daegu malam itu memilih untuk menginap di kolam ikan dan akan berangkat kembali ke Daegu menggunakan kereta pertama besok pagi. Dan malam itu di kolam ikan, sebagaimana malam sebelumnya, kami semua tidak tidur melainkan seru-seruan mengobrol, bermain games di komputer, ataupun bernyanyi-nyanyi sembari bermain gitar. Sempat juga kucuri waktu untuk video call dengan Riani yang mana hal tersebut berujung dibullynya diriku beramai-ramai oleh para makhluk-makhluk yang malam itu menginap di kolam ikan. Bullyan tersebut semakin parah ketika secara berurutan Khali dan Azra meneleponku setelah aku menyelesaikan video call-ku dengan Riani. Dan tentu saja ketidakpercayaan mereka bahwa aku yang cenderung bertampang biasa saja ini bisa dekat dengan ketiga gadis yang menarik tersebut.
"Ini Da orangnya si Khali & Azra" Anjrit lah bening banget! Riani juga bohai bener... Ngedukun di mana lu Jo"!"
"Bangs*t lah lu Jo! Gua udah 24 tahun hidup blom bisa lepas dari jebakan status jomblo, elu malah seenaknya ngembat tiga! Bagi-bagi napa""
"Palsu banget lu kalo ga ngedukun tapi bisa sampe kayak gini, Jo!" "Fix lah elu maen dukun Jo!"
"Ilmu dukun mana yang bisa nyeberangin laut woi!" Ketika waktu menunjukkan pukul 0130, atau tepatnya ketika kami akan bergerak untuk mencari makanan untuk sahur, aku masih ingat jelas bagaimana Banyu mengutuk kami:
"Brengsek lah lu semua. Niatnya mau istirahat di sini malah jadi kagak tidur gua. Mana pagi ini ada lab meeting pula."
Dan kami semua hanya tertawa ngakak saja mendengar rutukan tersebut.
--------------------------------------------------------
Hari kedua, aku, Huda dan Bedul kembali berjalan mengeksplorasi Busan. Hanya saja rute jelajah kami hari ini lebih banyak terfokus ke pantai dan mirip dengan rute jelajah Busanku ketika aku terakhir kali menjelajahi kota ini sendirian. Kami bertiga janjian dengan Rara dan Mei di pantai Haeundae untuk sedikit melihat-lihat sekitar pantai ini. Ketika kami sedang enak-enaknya menikmati suasana pantai ini, tiba-tiba Bedul terlihat berubah air mukanya setelah melihat panggilan masuk di ponselnya. Setelah permisi sejenak untuk mengangkat teleponnya, ia kemudian berbicara pada kami. "Guys... Gua ijin balik duluan ya... Professor gua nih..." "Knapa emang Dul"", tanya Mei.
"Tau-tau minta gua udah balik ke lab malem ini. Katanya besok ada rapat mendadak sama sponsor." "Hyah... Ya udah lah... Mau gimana lagi kalo Professor udah bersabda demikian"", sambung Rara.
Dan akhirnya, siang itu Bedul melarikan diri ke terminal bus terdekat dan kembali ke labnya. Ini juga berarti kami tinggal berempat saja menjelajahi Busan hari ini. Meskipun demikian, kami tetap melanjutkan penjelajahan kami di sekitar kota Busan ini. Dan ketika waktu menunjukkan pukul 1930, kami sudah berada di salah satu pantai yang menjadi icon kota ini: Gwangalli.
"Udah mau buka nih. Mau buka puasa apaan"", tanya Huda. "Patbingsoo!", dengan kompak Rara dan Mei menjawab. "Good idea, girls!", sambut Huda.
"Patbingsoo apaan sih"", tanyaku polos.
"Udah liat aja ntar dan nikmatin. yang jelas patbingsoo itu bagian ga terpisahkan dari Korean Summer Jo.", terang Mei.
Sepeminuman teh kemudian kami berempat sudah berada di sebuah coffee shop yang berada tidak jauh dari pinggiran Pantai Gwangalli. Segera saja kami berempat memesan patbingsoo untuk menu buka puasa kami hari itu. Sekitar 10 menit kemudian, Huda yang mengambil patbingsoo pesanan kami akhirnya tiba dengan membawakan pesanan kami tersebut.
"Oooo... Kayak gini toh patbingsoo itu..." Gwangalli dan Mimpi-mimpi Kami
Huda membawa sebuah nampan besar yang berisi empat gelas ukuran ekstra besar. Di dalam masing-masing gelas besar tersebut terisi es serut yang memenuhi hampir tiga perempat dari seluruh volume gelas tadi. Di atas muatan es serut tadi terlihat di dua buah gelas telah tertuang kacang merah yang dihiasi taburan irisan kacang almond, susu, serta satu scoop es krim vanilla di puncaknya. Sementara di dua gelas lainnya kacang merah yang ada pada dua gelas pertama digantikan dengan aneka buah-buahan. Cuaca yang masih cukup panas membuat keempat gelas tadi terlihat berembun. Seiring dengan embun yang membasahi gelas tersebut, air liurku yang seharian ini mengering karena puasa mulai terbit melihat keempat gelas berisi patbingsoo tersebut.
"Jadi ini toh patbingsoo itu"", tanyaku.
"Yup. Kayak gini. Mau yang mana lu Jo"", balas Huda.
"Yang buah aja deh. Kayanya seger banget nih buka puasa pake beginian.", jawabku sembari mengambil salah satu gelas patbingsoo berisi buah-buahan. Dengan instan segera saja gelas tersebut kuaduk-aduk agar es dengan topping buahnya dapat bercampur. Begitu selesai kuaduk, secara refleks kusendok saja isi gelas tersebut dan kuarahkan ke mulutku.
"Jo Jo Jo! Entar dulu kenapa"", seru Mei ketika sendok tersebut sudah dekat dengan mulutku. "Ih... Apaan sih"! Udah kering banget nih gua! Lu mau tukeran" Atau mau gua adukin"", balasku sengit. "Bukan itu Jo! Sekarang belom magrib! Belom waktunya buka puasa!"
"Eh..." Dan sontak saja meja kami menjadi riuh oleh tawa dari tiga orang temanku tersebut. "Bwahahahahaha! Goblok sumpah Jo tampang lu barusan!"
"Makanya kalo puasa tuh sabar napa""
"Gini nih kalo jauh sama ceweknya..." Setelah menunggu beberapa menit, akhirnya waktu yang ditunggu datang juga. Dan begitu saatnya tiba, ternyata kami semua jadi begitu beringas menghabiskan masing-masing satu gelas besar patbingsoo tersebut. Tidak lebih dari sepuluh menit, keempat gelas yang awalnya terisi penuh tadi langsung tandas. "Trus sekarang ke mana nih" Cari makan kita"", tanyaku.
"Cari tempat yang enak buat solat dulu deh Jo. Abis solat baru cari makan. Lumayan lah buat nurunin patbingsoo barusan.", jawab Rara.
"Okelah." Tempat ideal kami untuk beribadah malam itu sebenarnya tidak cukup sulit kriterianya: memiliki luas yang cukup dan tidak terlalu ramai. Namun mengingat hari itu adalah hari jumat, area Pantai Gwangalli jadi sangat ramai oleh pengunjung. Akhirnya kami terpaksa menyisir daerah pesisir tersebut mulai dari coffee shop tempat kami berbuka puasa ke arah Utara. Setelah menyisir daerah tersebut selama lebih kurang lima belas menit, akhirnya kami menemukan sebuah tempat agak sempit yang biasa digunakan untuk piknik di daerah Utara pantai tersebut. Meskipun sempit, namun tempat tersebut masih cukup untuk melaksanakan ibadah dan yang terpenting adalah tidak terlalu banyak dilalui orang. Dengan cukup tenang, kami bergantian beribadah di tempat tersebut.
Setelah beribadah, kemudian kami bergerak dari tempat tersebut untuk mencari makanan. Dan untuk kali ini, restoran Thailand yang terletak tidak jauh dari tempat kami beribadah. Aku tidak terlalu mengingat apa yang kami pesan pada saat itu karena memang tidak terlalu berkesan bagi kami. Sekitar satu jam kami habiskan di tempat tersebut, kemudian kami bergerak keluar dari restoran tersebut.
"Ke mana lagi nih abis ini"", tanya Huda.
"Blom tau nih... Ada ide gak"", tanyaku balik kepadanya dan dua orang lainnya.
"Gak tau nih. Yang jelas gua rada capek juga kalo kudu jalan lagi. Duduk aja dulu yuk di mana gitu...", sahut Rara.
"Boleh juga tuh Ra. Duduk-duduk di pinggir pantai aja yuk sambil ngobrol-ngobrol. Pas jembatannya lagi nyala tuh lampunya.", sambung Mei.
Dari tempat kami memang terlihat jembatan Gwangalli sangat cantik menghiasi keindahan malam di pantai ini. Kecantikan yang didukung oleh kelap-kelip ornamen lampu yang tertata rapi di titik-titik terbaik dari jembatan tersebut. Beberapa kali terlihat juga nyala lampu dari kendaraan yang melintas di jembatan tersebut menambah elok tampilan jembatan tersebut. Hal tersebut didukung juga dengan cuaca malam itu yang cerah yang seolah membiarkan bulan dan bintang-bintang memamerkan segala keindahan pada diri mereka. Segera saja kami memacu kedelapan tungkai kami ke arah pantai untuk mencari posisi terbaik untuk duduk-duduk dan menikmati keindahan Pantai Gwangalli di malam hari. Dan sepertinya kami sangat beruntung pada malam tersebut. Tepat pada tempat yang menurut kami sangat baik untuk menikmati keindahan pemandangan tersebut ada sebuah karpet plastik yang sepertinya ditinggalkan oleh pemiliknya. Tanpa banyak berwacana, segera saja kami menempatkan tubuh kami di atas karpet plastik tersebut.
"Hoki banget dah kita. Ada yang ninggalin beginian di sini." "Mungkin itu hikmah puasa kita hari ini ya Da""
"Hikmah ente hampir batal puasa di menit-menit terakhir, Jo."
"Hyahahahahaha! Gua jadi inget tampangnya si Jojo pas lu ingetin pas lagi nyendok tadi, Mei." "Please deh, Ra..."
Tanpa dikomando, kami secara tiba-tiba terdiam sampai sekitar sepeminuman teh. Masing-masing dari kami sepertinya sibuk dengan pikiran kami masing-masing. Walaupun secara fisik kami terlihat tengah meresapi keindahan malam ini yang disumbang oleh indahnya tata lampu di jembatan serta keindahan langit yang tercipta secara alami.
"Kok, jadi pada diem gini ya"", tanyaku memecah kesunyian.
"Eh iya... Kok tau-tau diem semua gini"", kali ini giliran Rara yang menyambung. "Kayaknya pada mikirin sesuatu nih...", sahut Mei.
"Ente kali Mei yang lagi mikirin sesuatu...", balas Huda.
"Iya sih... Emang ada yang gua pikirin... Tapi gua yakin gak cuma gua doang yang lagi mikirin sesuatu... Lu semua juga ada yang dipikirin kan""
"Kalo boleh jujur, iya... Emang ada yang gua pikirin.", jawabku. "Nah... dishare dong Jo...", tagih Rara.
"Ogah ah... Gua mau share kalo lu semua juga pada mau cerita..." "Gini aja... Gini aja... Kita semua bakal cerita apa yang sedang kita pikirin ya... Setuju"", kata Huda menengahi kami semua.
"Setuju!" "Oke kita mulai dari yang paling tua... Silakan Mei...", tutur Huda.
"Lah, Da... yang paling tua di sini kan ente Da... Ente dong yang mulai....", potongku. "Eh... iya ya""
"Iya Da... Elu yang paling tua di sini... Tuh buktinya... Sama umur sendiri aja lupa...", timpal Rara. "Sianjir! Okelah... Gua mulai..."
Kemudian Huda menceritakan kembali cerita yang pernah dibicarakan berdua denganku saat itu. terlihat Rara dan Mei beberapa kali terkejut dengan berlika-likunya perjalanan cinta Huda. Kemudian Huda juga menceritakan rencananya setelah ia kembali ke Indonesia.
"Well, gua bakalan balik ke kantor lama gua. Terus juga gua mau coba ngeberesin hubungan gua sama bini gua. Mudah-mudahan aja ada solusi terbaik ya Guys. Doain aja."
"Trus abis ini giliran siapa nih"", tanyaku.
"Oke... Secara umur abis ini giliran gua, Jo. Bentar ya, minum dulu.", jawab Mei sembari meneguk sebotol air mineral yang tadi dipegangnya.
Segera saja setelah air meluncur melalui kerongkongannya, Mei bercerita tentang rencananya setelah menyelesaikan studinya. Ia bercerita bagaimana dirinya ingin menjadi orang nomor satu di sebuah institusi ekonomi terkemuka di Indonesia. Kemudian ia juga bercerita apa saja yang sudah ia coba lakukan untuk memenuhi cita-citanya tersebut. Kemudian ia juga menceritakan bagaimana ia baru saja 'menolak' lamaran seorang pria yang tertarik dengan dirinya seraya menceritakan kriteria pria idamannya. Dan ia terlihat begitu berharap jika suatu saat pria dengan karakteristik yang menurutnya ideal tersebut akan datang dan memintanya untuk menjadi istrinya.
"Masak iya sih Mei ada cowok yang model begitu" Terlalu ideal itu mah...", goda Huda. "Kalo ada yang model begitu Mei, apa yang bikin ente yakin kalo ente adalah wanita idamannya"", timpalku. "Iiiiiiiiihhhh... Tega lu semua! Gua mimpi aja masih dicengin begini!"
Dan meledaklah tawa kami semua di tengah pantai tersebut. "Abis ini siapa" Jojo atau Rara"", tanya Huda.
"Rara... Ultah ane kan akhir tahun...", jawabku. "Oke... Tapi dari mana ya gua kudu mulainya" Bentar..."
Kemudian Rara menceritakan rencananya untuk menyelesaikan studinya semester depan dan berusaha untuk membereskan tesisnya. Ia juga bercerita untuk mencoba mencari pekerjaan di Negeri Ginseng ini setelah studinya selesai. Kemudian dengan iseng Huda bertanya mengenai Muneef. Rara terlihat berpikir sejenak sebelum menjawab pertanyaan iseng Huda barusan.
"Jadi sebenernya dia udah minta gua buat ikut ke Pakistan kalo kita udah sama-sama selesai.", jawab Rara dengan mata menerawang ke arah laut.
"Dan terus terang gua sampe saat ini ga pernah kebayang buat ikut ke Pakistan. Pakistan! Dan kalo gua ikut ke sana itu kan artinya gua jadi istrinya dia yang mana harus nurut sama suami. Yang gua tau Dia itu cinta banget sama Pakistan dan beberapa kali bilang kalo dia udah balik lagi ke negaranya, dia ga bakal mau pindah ke luar negeri lagi. Dia bakal tinggal di sana for good. Terus terang aja yang begitu bakal berat banget buat gua. Gua kudu pikir-pikir lagi nih buat lanjutin hubungan sama doi."
Rara terlihat menghela napasnya setelah mengakhiri ceritanya barusan. Terlihat ada sedikit kelegaan pada air mukanya setelah diceritakannya beban yang mengganggu pikirannya tersebut. Mei, sahabat Rara semenjak SMP, kemudian merangkulnya dan terlihat berusaha untuk menenangkan Rara. Dan suasana kemudian jadi hening kembali untuk beberapa saat.
"Okeh... Berarti sekarang giliran gua ya"", tanyaku untuk memecah es di antara kami. "Silakan, Bro!", timpal Huda.
"Kalo buat lu kayaknya kudu dimulai dengan siapa sebenernya yang mau lu pilih Jo... Riani, Khali atau Azra"", sambung Rara.
"Bisa dimulai dengan hal lain""
"Nggak Jo. Harus dimulai dari situ. Tenang aja, kita bakal cerita apa yang terjadi malam ini ke siapapun kok. Even sama Riani walaupun Riani itu temen gua sama Rara."
"Okelah. Kalo cerita awal-awal gua sama Riani gua udah pernah cerita kan"" "Iya... itu kita udah tau...", jawab Mei.
"Well, kita udah pacaran hampir enam tahun. Udah banyak banget yang kita lalui selama hampir enam tahun belakangan. Dan gua cukup yakin kalo Riani itu masa depan gua. Gua udah kebayang banget ngabisin sisa hidup gua sama Dia. Membangun keluarga sama dia. Ngabisin hari tua sama dia. Yah... begitulah..." Terlihat mereka bertiga masih menunggu kelanjutan ceritaku.
"Tapi entah kenapa keyakinan tadi gua agak goyah semenjak gua balik dari liburan musim panas kemaren. Sori, ralat. Setelah gua kenal sama Azra. You know guys... Gua emang baru seumur jagung aja kenal sama si cewek rambut merah itu, tapi entah gimana caranya dia bisa dengan mudah masuk ke hidup gua." Kuhentikan sejenak kisahku untuk meneguk botol minuman ringan yang sejak tadi kupegang.
"Lebih gilanya lagi, itu cewek bisa dengan cukup enaknya menyesuaikan diri dengan orang-orang yang lebih dulu ada di hidup gua. Dia bisa begitu aja deket sama Riani. Even sama Khali walaupun awalnya mereka terlihat kayak berkompetisi gitu. Kayaknya sejak awal emang ada satu sudut dalam hidup gua yang emang udah disiapkan buat ditempatin sama Azra."
Kuhela nafas sejenak sebelum kulanjutkan ceritaku.
"Dan lu tau yang Azra omongin kemarin di telepon" Dia cerita kalo dia udah dapet izin dari Riani kalo misalnya dia pingin merangkul, gandeng tangan, atau bahkan meluk gua. Asli gua ga abis pikir sama Azra & Riani soal beginian. Khali aja yang menurut gua agak gila ga pernah sampe segininya."
Dan mereka terlihat shock mendengar apa yang barusan kuceritakan tersebut.
"Terus terang gua bimbang banget antara Azra dengan Riani. Gua sayang banget sama Riani tapi Azra tuh kayaknya emang ditakdirkan buat gua."
"Yah... Kalo jadi lu gua juga bakal bingung banget sih Jo... Apalagi gua udah cukup kenal sama Riani sejak SMA. Gua udah sering ngobrol sama Riani dan emang keliatan lu berdua cocok banget. Tapi ya begitu liat Azra sama lu juga, gua juga jadi agak goyah antara Riani atau Azra yang lebih cocok buat lu.", sambung Rara. "Trus Khali gimana Jo"", tanya Mei.
"Kalo dia mah gua lebih sayang sebagai sahabat. Doi kalo ke gua kan selalu mulai dengan curhat. Lagian blom lama ini dia cerita mantannya udah mulai ngehubungin dia lagi. Yah, emang kudu siap kalo tau-tau dia balik sama mantannya itu."
"Jadi emang two horses race nih Jo"", tanya Rara. "Yah... Begitulah..."
Kemudian aku melanjutkan ceritaku mengenai rencanaku setelah selesai studiku di negeri ginseng ini. Kuceritakan juga ambisiku untuk dapat menjadi petinggi di salah satu insitusi ekonomi global.
Tanpa terasa kami sudah menghabiskan beberapa jam di pantai itu. Ketika waktu di ponselku menunjukkan pukul 0130, kami bergerak ke sebuah restoran cepat saji yang buka 24 jam di sekitar pantai itu. Sembari menikmati makan sahur, kami masih melanjutkan obrolan kami sembari bercanda-canda. Namun memang tubuh kami tidak dapat berbohong. Terlihat kami semakin lemas ketika kami mengobrol sembari menghabiskan makanan untuk sahur tersebut. Ketika Mei dengan iseng menggunakan kamera video pada ponselku untuk merekam aktivtias kami saat sahur pun terlihat bagaimana tidak bertenaganya kami.
"Annyyeooooonnnggg! Ini kita sedang sahur dan terlihat tidak bertenaga karena kita habis begadang! Hehehe! Tuh liat aja Om Huda yang matanya udah 5 watt..."
"Apa sih Mei" Iseng banget deh sumpah...", gerutu Huda. "Trus keliatan juga Rara yang kayaknya udah ga ada tenaga banget..." "Meeeiiiii.... Please deh...."
"Ra... Jangan tidur dulu Ra... Bentar lagi subuh... Dan tentu saja orang galau yang punya hape ini... Jojo!"
"Meeeeeeiiiiii... Popo Juseyooooo*....", sahutku dengan gaya seolah-olah aku sedang mengigau sembari memonyong-monyongkan bibirku.
Spoiler for *: Kiss me please "Jojooooo! Jijaaaaaaayyyy!"
Side Story: Rendezvous after Gwangalli Suatu hari di Bulan November 2012
Aku melangkahkan sepasang tungkaiku dari sebuah area parkir sepeda motor di lantai bawah tanah dari sebuah pusat perbelanjaan raksasa yang terletak tidak jauh dari salah satu area favorit untuk demonstrasi di Jakarta ini. Kupandangi sejenak arlojiku dan terlihat sepertinya aku sudah cukup terlambat tiba di tempat ini. Benar saja. Sesaat setelah kuperiksa waktu, ponselku bergetar dan mengumandangkan lagu Internationale dalam Bahasa Rusia. Sembari meneruskan langkahku, kujawab saja panggilan masuk tersebut.
Halo, Jo& Udah sampe mana" , tanya seorang wanita di ujung sana. Baru abis markirin motor nih& Udah pada dateng semua ya"
Iya nih tinggal lu doang& Kita di foodcourt ya& kursinya ga jauh dari Mr. Park& Wuih! Mr. Park! Mentang-mentang mau ngumpul alumni Korea nih ceritanya" Udah cepetan ke sini!
Siap Nyah! , pungkasku yang diikuti dengan menutup sambungan.
Tidak sampai lima menit kemudian, aku sudah tiba di lantai di mana foodcourt tersebut berada. Aku sengaja mampir di Mr. Park dulu ketimbang langsung ke meja tempat mereka berkumpul karena aku sudah bisa memperkirakan lokasi meja yang mereka pilih. Selain itu aku memang sudah sangat lapar pada saat itu. Dalam hitungan menit, aku sudah bisa melenggang meninggalkan counter Mr. Park sembari membawa nampan yang di atasnya terdapat sebuah mangkok tembikar tebal yang berisi bibimbab yang terlihat masih berasap serta segelas ice lemon tea.
Assalamualaikum guys! , sapaku ketika sudah berada dekat meja tempat mereka duduk. Wa alaikum salam! , balas mereka berbarengan.
"Akhirnya sampe juga ente Jo...", sambut seorang pria yang terlihat sedikit lebih kurus ketimbang saat aku bertemu dengannya terakhir kali.
"Sori nih Da... Tadi pas mau berangkat jam 11an tau-tau ditahan sama Bos ane buat jelasin dokumen yang mau dibawa buat kerjaan minggu depan..."
"Minggu depan" Mau dines ke mana lu Jo"", tanya seorang gadis berkaca mata yang kali ini sudah tidak mengenakan behel lagi.
"Adelaide Ra...", jawabku singkat.
"Wuih! Enak bener kerjanya jalan-jalan melulu, Jo. Kayaknya ente juga belom lama ini pulang dines dari Bali kan"", kali ini giliran gadis berjilbab yang bertanya padaku.
"Awalnya sih enak, tapi ya lama-lama pegel juga, Mei... Belom lagi waktu tidur jadi rada ngaco keseringan di atas pesawat... , jawabku sembari mengaduk-aduk bibimbab yang masih berasap tersebut. Kalian sendiri gimana" Huda & Mei ga makan nih"
Belum sempat mereka menjawab, terlihat seorang pelayan mengantarkan sebuah nampan besar berisi dua piring besar bebek goreng yang terlihat sangat menarik tersebut.
Setelah itu selama beberapa menit tidak ada komunikasi dari kami berempat. Kami semua berfokus pada wadah-wadah makanan dan seisinya yang tersaji indah di depan kami.
Jadi kalian apa kabar nih" Sori ya baru bisa ikutan ngumpul sekarang ini. Biasalah diajakin Bos kelling melulu. , tanyaku memecah kebekuan ketika bibimbab yang tadinya mengisi penuh wadah di depanku tersisa tinggal sedikit saja.
Makanya jangan telat... Tadi kita udah ngobrol lumayan banyak soalnya... , ledek Rara sembari menghabiskan potongan fettucinni terakhir di piring yang ada di hadapannya. Ya maap... Namanya juga ditahan Bos... Karir euy taruhannya... Jadi bener Jo lu balik ke kantor lama" , kali ini Huda bertanya padaku.
Iya... Kemaren menjelang pulang udah diemail sama Bos buat balik... Dijanjiin bakal dipromosiin soalnya trus kalo waktunya udah cukup dijanjiin bakal dibantu buat lanjut PhD juga..."
"Lu mau PhD Jo" Ga berasep tuh kepala"", tanya Mei.
"Well, gua juga masih pikir-pikir sih sebenernya. Perlu gua akuin emang gua punya ambisi juga buat PhD. Tapi ya lu tau gua kan" Gua termasuk orang yang santai sama ambisi gua. Kalo ada jalannya mah bakal tercapai juga kok."
"Gua ikutan aminin aja deh Jo. Semoga bisa tercapai dan misalnya lu udah sukses ya mudah-mudahan masih inget sama kita , sambung Rara.
Kalian sendiri gimana" Terutama ente Da... Masih sering bolak-balik ke Papua" Masih lah Jo& Cuma frekuensinya udah ga sepadat dulu sih& Lumayan sering di Jakarta lah& Trus& Kali ini Huda terlihat menarik nafas sebelum melanjutkan kata-katanya.
"Gua udah single lagi nih guys..."
Kami bertiga sontak saja terlonjak mendengar ucapannya yang terakhir.
Seriusan Da" Sayang amat! Kok tadi lu ga cerita sama kita sih"", tanya Mei dengan nada tidak percaya.
Well, gua emang sengaja nunggu pemainnya lengkap buat ngasih tau ini semua... Dan itu juga prosesnya panjang banget... Udah dimulai sejak gua balik dari Korea pas tahun lalu... Intinya gua sama mantan gua udah diskusiin ini baik-baik dengan kepala dingin apakah kita baiknya lanjut atau stop... Yah... Dari proses diskusi itu kita berdua sepakat pada satu kesimpulan kalo kita baiknya sahabatan aja... Dan itu beneran... Gua sama dia masih kontak-kontakan sampe sekarang... Bahkan kita suka iseng ngejodoh-jodohin gitu kalo ada kandidat yang menurut gua atau dia bagus..."
Huda kemudian menghentikan sejenak omongannya dan meneguk es teh manis dalam gelas di hadapannya.
"Nah... Jadi sekarang gimana" Ada temen yang bisa lu semua kenalin ke jomblo imut di hadapan kalian ini"", tanya Huda dengan nada agak genit.
"Jijay bajay lu Da!", respons Mei geli. Kami semua kemudian tergelak setelahnya.
Lu sendiri gimana Mei" Jadi mau gabung ke BI"", tanyaku.
"Nggak... Pas pulang kemarin tau-tau udah ditahan aja sama Bokap buat handle tambang batu bara punya doi. Well, gua sih coba jadi anak yang berbakti sama orang tua aja deh. Lagian abang-abang gua juga ga ada yang mau handle itu tambang."
Jadi lu bos tambang sekarang nih Mei" Wah... Kapan-kapan boleh nih ane kasih proposal..." "Tambangnya ga gede juga Jo... Kecil... Paling ya omsetnya cuma beberapa M sih sebulan... Cuma beberapa M...
Trus gimana pencarian lu atas pria dengan kriteria yang pernah lu sebutin waktu di Gwangalli" , goda Huda. Soal itu...
Wajah Mei terlihat bersemu. Kemudian ia menarik nafas sejenak sebelum melanjutkan kata-katanya.
"Alhamdulillah ketemu. Gak semua kriteria dia punya sih. At least 80an persen lah. Dan yang terpenting sih dia mau sama gua.
Wah& Gimana nih ketemunya"
Waktu di pesawat pas pulang kemarin kita duduk sebelahan. Gua mau pulang, dia baru selesai conference di Daejeon. Trus sebelum balik ke kampusnya di Darwin dia sempetin dulu pulang ke kampungnya di Bogor. Dan di pesawat itulah kita bertemu.
Hoooo... Trus rencana lu gimana"
Well... Dia masih ada kira-kira setahun lagi studinya di Darwin... Rencananya sih kalo disertasinya udah beres ya doi mau ngelamar... Doain aja ya...
Amiiiinnn , sahut kami semua.
Nah sekarang giliran lu Ra... Lu belom lama ini balik ke sini kan" Sibuk apa sekarang"", tanyaku.
"Sebenernya baru tadi pagi gua dikasih tau kalo gua baru aja diterima kerja di provider telco yang merah itu. Jadi ya selama ini mah santai-santai sembari apply sana sini aja. Alhamdulillah tadi pagi ada berita bagus kalo gua diterima."
"Wah... Selamat! Trus kapan mulai kerja""
"Bulan depan. Jadi gua masih ada kesempatan buat jalan-jalan nih. Lumayan lah buat main-main ke kampung bokap di Jogja minggu depan. Ikutan yuk pada...
Yeeee... baru ngajak sekarang... Kalo ke Bogor doang mah hayuk... Lha ini Jogja... , ledek Mei. Giliran ke Bogor semangat nih... Mau ketemu camer ya" , balas Rara.
Iiiiiihhhh.... Oh iya Ra... Gua terus terang kaget lu akhirnya jadian sama itu anak... Muneef lu ke manain" , tanyaku.
Nah itu Jo... Seoke-okenya Muneef, gua tetep ga bisa ngikutin keinginannya buat ikut ke Pakistan. Kita udah bicarain ini baik-baik dan... Well, kayaknya emang itu tanda kalo kita emang ga jodoh Jo... Terus terang berat banget buat gua ninggalin Muneef... Siapa sih yang ga berat ninggalin cowok seoke dia" Tapi ya itu... Ada satu hal yang ganjel banget dan menurut gua itu prinsipil banget... Dan akhirnya kita emang kudu pisah... Dan setelah pisah itu kita tetep sahabatan kok... Bahkan ketika si doi akhirnya deket sama gua dan jadian sama gua, Muneef ngedukung banget...
Trus rencana lu gimana Ra"
Ya kudu nunggu dia beresin studinya dulu lah... Mungkin dia selesai dua tahun lagi... Hoooo oke...
Sejurus kemudian mereka bertiga serentak melihat ke arahku. Jo, dari tadi kita bertiga udah cerita nih... Sekarang ente dong yang cerita... Gua ya" , tanyaku sambil nyengir.


3200 Miles Away From Home Karya Valerossi86 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Iya lah Jo... Kita udah ga sabar nih denger cerita lu... , sahut Mei. Oke... oke bentar...
Kemudian aku meneguk sedikit es lemon tea dalam gelas di depanku dan mulai bercerita.
And She s Getting Deep and Deeper
I just had sex! And it felt so good! I can t believe when I put my pe*is inside of her! Sore itu suara tinggi dari Akon pada nomor I Just Had Sex yang merupakan kolaborasinya dengan rap group Lonely Island berhasil membangunkanku dari lelap. Aku yang pada saat itu masih dengan enaknya bertamasya di alam mimpi seolah diseret untuk kembali ke dunia nyata ketika suara tinggi dari penyanyi bernama lengkap Aliaune Damala Bouga Time Bongo Puru Nacka Lu Lu Lu Badara Akon Thiam berkumandang dari ponselku. Yup, aku dengan latar belakang kondisiku yang masih relatif muda pada saat itu memang menjadikan lagu dengan nuansa cabul tersebut sebagai nada panggilan masuk dari ponselku. Tanpa membuka mataku, tanganku seolah bergerak sendiri ke arah lantai di bawah ranjangku untuk meraih ponsel tersebut dan menjawab panggilan yang masuk tanpa melihat nomor yang memanggilku tersebut. "Yeah Hallo...", jawabku.
"Annyong Haseyo... Jeo neun &*%^#@%&%^#..."
"Mian ne... Hangugo mullayo... Jeo neun uegugin ieyo...* Can you just please speak English, please""
Spoiler for *: Maaf... Saya tidak bisa Bahasa Korea... Saya orang asing...
"Oh sorry.... I just want to tell you about a great news, Sir...", jawab suara di ujung sana. "What kind of great news""
"He's coming soon! He's coming soon to save us with His great love!" "Who is He" Ron Jeremy""
"Of course not him... He's directly sent by God to save all of us!"
"Sent by God" Sorry... I am a Pastafarian and do not believe that Flyin Spaghetti Bowl would send someone to save us... If it's sending any guy, he would be Gordon Ramsay...", jawabku yang mulai mengerti ke mana arah pembicaraan seseorang yang meneleponku barusan.
"Pastafarian" Oh My God!", jawab lawan bicaraku di ujung sana dengan nada kaget sekaget-kagetnya. "Yup! And may the force be with you!", pungkasku sembari memutus sambungan.
Telemarketer memang salah satu masalah yang sering kuhadapi khususnya ketika aku sudah memiliki ponsel sejak tahun 2002. Dan masalah ini terjadi padaku tanpa peduli di mana keberadaanku. Sewaktu aku di Indonesia, Swiss, bahkan ketika aku sudah pindah ke Negeri Kimchi ini masih saja terkena terror dari para telemarketer ini. Dan jika boleh jujur, dari ketiga negara tersebut, telemarketer di Korea Selatan ini merupakan yang terburuk dibandingkan ketiga negara tersebut. Kenapa" Well, jujur saja di Indonesia dan Swiss para telemarketer tersebut menawarkan produk-produk yang cukup rasional untuk ditawarkan mlalui proses telemarketing. Bahkan jujur saja aku beberapa kali membeli produk yang ditawarkan tersebut karena memang aku kebetulan sedang butuh produk tersebut. Nah, yang membuat telemarketer Korea ini konyol dibandingkan dengan telemarketer Indonesia dan Swiss adalah ketika para telemarketer Korea mulai "menjual" agama.
Dalam seminggu aku cukup sering mendapat panggilan masuk, pesan singkat ataupun email dari para telemarketer tersebut. Dan dari keseluruhan pesan tersebut, para telemarketer agama bisa memiliki porsi sekitar 20-40%. Aku sendiri bukannya alergi dengan dakwah agama karena aku sendiri dengan segala kondisiku yang cukup ajaib ini sebisa mungkin mendakwahkan agamaku dengan caraku yang menurutku tidak terlalu eksplisit dan relatif bersahabat. Tapi dakwah agama dengan menggunakan telemarketing" Please...
Menurutku agak konyol saja jika harus mendakwahkan agama dengan cara seperti itu karena terkesan bahwa mendakwahkan agama itu perlu semacam target penjualan. Aku sendiri termasuk orang yang percaya jika masalah agama dan kepercayaan ini seharusnya berasal dari dalam akal dan hati pribadi masing-masing sehingga cara-cara telemarketing agama seperti itu tidak akan efektif.
Dengan agak jengkel dan mata masih berat kuletakkan kembali ponselku di lantai dan mulai mencoba kembali ke alam mimpi. Namun tidak begitu lama suara dari Akon berkumandang kembali dari ponselku. Aku terus terang pada saat itu mulai agak emosi.
"Come on... I told ya I'm a bloody pastafarian and do not believe about His sending of His son! Which part of it that you didn't understand"!"
"Jo... Wake up already"", tanya suara lembut di ujung sana. "Az""
"Yeah this is me. Are you at your room already" Khali told me earlier today that you're returning from Busan today and she asked me to wake you up around this hour."
"Sorry... I just had a problem with a religion telemarketer. I believe you have experienced it as well."
"Ahahahahaha... The last time they called me I told them I'm waiting for a UFO from the Orion to pick me up. And they hung up the phone."
"Brilliant strategy! I'll try that one when they call me again. Or do you think Cthulhu is better"" "Hahahahaha! You should try it first and tell me the result"
Dan panggilan telepon pada sore itu intinya bercerita bahwa Azra sudah membuat salad buah untukku berbuka puasa nanti. Dan tentu saja ia kembali mengajakku dan juga Huda untuk berbuka puasa bersama di basement. Aku yang masih kelelahan karena baru tiba dari Busan siang ini pun tidak menolak tawaran tersebut. Dan sebelum panggilan tersebut diakhiri, Azra tidak lupa mengingatkanku untuk beribadah sore itu.
Pada pukul 1930, aku turun menuju basement. Dan pada sofa di mana aku dan Azra biasa bertemu terlihat Huda sudah duduk di sana sembari melakukan video call melalui laptopnya. Huda yang melihat kedatanganku menyapaku sejenak sembari melambaikan tangannya ke arahku. Aku tidak sampai hati mengganggu kegiatan tersebut sehingga lebih memilih menyalakan televisi besar yang ada di ruangan tersebut untuk mengusir kebosanan. Baru saja beberapa menit menyaksikan tayangan highlight pertandingan liga baseball Korea, satu tepukan ringan mendarat di pundakku. Refleks saja kutolehkan leherku ke arah si penepuk tadi. "Hi Jo! Come on... It's almost maghrib time.", kata gadis berambut merah yang tadi menepuk pundakku. "Sure, Az...", jawabku sembari mematikan televisi.
Dan tanpa kuduga sebelumnya Azra menarik tanganku untuk berdiri dan mengikutinya berpindah ke sofa tempat tadi Huda duduk. Dan Huda yang terlihat baru saja selesai dengan video callnya melihat ke arah kami dengan senyuman yang cenderung menyebalkan.
Sebagaimana biasanya, buka puasa sore itu berlangsung hangat dengan obrolan kami bertiga. Kami cukup banyak bercerita tentang petualangan kami selama di Busan sementara Azra bercerita tentang perjalanannya ke DMZ bersama teman sekamarnya. Tidak lupa kami juga beribadah magrib di ruang ibadah di lantai tersebut setelah kami menghabiskan salad buah yang Azra buat.
Satu hal yang kuingat pada saat itu adalah bagaimana aku selalu memperhatikan satu persatu kata yang meluncur dari bibir indahnya dan merasakan adanya kehangatan dari tatapan mata Azra kepadaku. Dan Azra terlihat melakukan hal yang sama kepadaku. Ia tidak mengalihkan pandangannya dariku ketika aku berbicara dan beberapa kali tertangkap olehku curi-curi pandang ke arahku ketika ia mendengarkan Huda bercerita. Dan ketika kami sudah selesai ibadah magrib dan akan kembali ke kamar kami sejenak,
"Jo... Want me to cook you some dinner" Rara just sent me some Indonesian foods recipe. I wanna try to cook it for you."
Aku hanya mengangguk saja ditawari hal tersebut mengingat aku masih sedikit lelah akibat perjalanan kembali dari Busan.
"How about you, Huda""
"Nah... I'm good. I already have an arrangement to have dinner with my friends around Anam Junction. Just enjoy your time together.", jawabnya dengan senyum menyebalkannya.
"So... How about tarawih together after the dinner, Jo"", tanya Azra dengan wajah bersemu merah. "Well... okay..."
Dan senyum menyebalkan di wajah Huda terlihat semakin lebar.
And She s Getting Deep and Deeper (cont'd.)
Gadis berambut merah itu terlihat agak repot membawa sebuah food container berukuran cukup besar ketika aku melangkahkan kakiku dari lift di lantai dasar tersebut. Segera saja kuhampiri dirinya dan menawarkan tenagaku kepadanya.
"Hei Az, just let me carry it. And you can just carry this plastic bag. It's much lighter." "It's alright, Jo. I haven't got any work out recently. Not a big deal then." "Well, if that's what you want. By the way, what have you cooked""
Azra hanya tersenyum saja mendengar pertanyaanku dan malah mempercepat langkahnya menuju sofa tempat kita biasa menghabiskan waktu. Setibanya di sofa tersebut, ia meletakkan food container yang tadi dibawanya dan sembari tersenyum menggodaku, ia membuka wadah tersebut.
"Surprise!" Aku tidak bisa berkata-kata begitu gadis Turki itu membuka tutup wadah tersebut karena di balik wadah tersebut terlihat tumpukan nasi dengan warna kuning kemerahan dan ada kesan minyak di permukaannya. Terlihat juga potongan daging, cabai iris, serta irisan bawang pada nasi tersebut. Dan begitu tutup food container tersebut terbuka seluruhnya, menyeruak aroma masakan tersebut seiring dengan asap tipis yang masih terlihat sedikit mengepul dari nasi goreng tersebut. Dari penampakan serta aroma dari masakan itu, terlihat jelas bagaimana Rara cukup sukses mengajari Azra memasak nasi goreng yang biasa ia buat.
Tanpa banyak bicara lagi, kami berdua menikmati masakan tersebut. Kombinasi rasa lapar dan rasa dari nasi goreng tersebut memaksa kami untuk hanya dapat membiarkan sensasi panas, gurih dan sedikit pedas serta perasaan berminyak ini untuk menyebar ke seluruh rongga mulut kami sebelum akhirnya mengarah ke kerongkongan untuk dicerna lebih lanjut oleh sistem pencernaan kami. Sensasi kenyal dari daging serta renyah dan segar dari potongan bawang yang sesekali muncul semakin menambah nikmat makan malam kami waktu itu.
"Azra, you have successfully made it. I believe Rara was a good instructor and you were a good disciple."
"Really"", tanyanya meminta konfirmasiku. Terlihat jelas mata coklat mudanya berbinar-binar sejalan dengan senyum manisnya serta pipinya yang mulai bersemu ketika ia menanyakan hal tersebut.
Aku hanya menanggapinya dengan tersenyum tulus sembari menganggukkan kepalaku dengan ringan. Kemudian kedua tangannya segera memegang tanganku. Sepertinya ia ingin berterima kasih atas pujianku tersebut. Namun aku merasa ada sesuatu di jarinya tersebut. Dan sebelum sepasang bibir indah tersebut meluncurkan kata-kata terima kasih padaku, kusela saja.
"Hey Az, what's wrong with your fingers"", tanyaku ketika menyadari beberapa helai plester menghiasi jemari lentik tersebut.
"Well, you can call it beginner's cut. You know, Rara gave me instructions through a phone call to made this nasi goreng. It made me a bit out of focus thus I got these injuries."
Aku hanya terdiam mendengar penjelasan tersebut. Terus terang aku jadi cukup tergugah dengan perjuangannya untuk membuat nasi goreng tersebut. Tanpa aku sadari juga Azra ikut terdiam setelah memberikan penjelasan tersebut. Dan kami tidak sadar bahwa kedua tangan kami saat itu masih menggenggam satu sama lain. Aku hanya teringat dalam diam tersebut dua pasang mata kami saling bertemu tanpa diganggu suara sedikitpun dari mulut kami.
"I just had sex! And it felt so good!"
Suara tinggi dari Akon yang mengalun dari ponselku mengganggu momen keheningan yang terjadi antara aku dan Azra yang entah sejak beberapa lama lalu terjadi. Sadar dengan ringtone yang cukup konyol tersebut, segera saja aku lepaskan tangan indah tersebut dan menjawab panggilan masuk tersebut. Adapun Azra terlihat menahan tawa dengan menutup mulutnya. Entah hal itu akibat ringtone konyol tersebut atau akibat menyadari sesuatu yang konyol yang terjadi pada kami barusan.
"Ciiieeeeee yang lagi dinner bareng... Gimana nasi gorengnya" Enak"", seru suara seorang perempuan di ujung sana.
"Alhamdulillah, oke banget Ra. Sukses lu jadi guru masak. Lagi di mana lu"" "Di deket anam junction nih. Lagi males masak gua. Sama gua lagi ada Mei, Pandu, Jani..." "Anam Junction" Wah, Huda juga tadi katanya mau makan di sekitar situ, Ra... Ketemu dia"" "Lha ini Huda juga ikutan sama kita."
"Lhoh.. Kok gua ga diajak sih""
"Ya biar lu ada waktu romantis sama Azra lah Jo!", kali ini terdengar suara Huda yang menjawab. "Kok jadi lu yang jawab sih Da""
"Soalnya telepon ini di-loud speaker, Jo!", kali ini Pandu yang menjawab. "Heh"! Loud speaker" Untung gua belom ngomong yang aneh-aneh. Rese emang lu semua!"
Dan meledaklah tawa di ujung sana. Sementara aku masih melanjutkan gerutuanku atas rencana mereka yang yang mencoba mencomblangiku dengan Azra barusan.
"Jo... Bisa kasih ke Azra sebentar gak"", tanya Rara. "Bisa... Tapi ga pake loud speaker lho."
"Iya lah... Gua juga mau ngomong berdua aja sama dia kok."
Kemudian aku menoleh ke arah Azra dan memberi isyarat agar ia mau berbicara di ponselku tersebut. Terlihat Azra beberapa kali terkaget, tersenyum, tertawa kecil ketika mendengar lawan bicaranya di ujung sana. Dan entah sejak kapan aku tidak memperhatikan apa yang ia bicarakan melainkan lebih memperhatikan gerak tubuh serta perubahan ekspresi wajahnya.
Lamunanku buyar ketika Azra menyelesaikan pembicaraan via telepon tersebut. Ia kemudian menatap wajahku dengan senyum yang sangat manis dan memberikan ponselku kembali. Setelah itu ia mengingatkanku akan janji kami untuk salat tarawih berjamaah denganku setelah makan.
Dan aku masih teringat bagaimana kami malam itu tarawih berjamaah. Dan lebih teringat lagi bagaimana, ketika kami selesai ibadah, tangan lembut tersebut menyalami tanganku dan kemudian diikuti kecupan lembut pada punggung tanganku dari bibir indah itu.
---------------------------------------------------- 23 Agustus 2011, Incheon International Airport
Kuseret saja koper besar itu mengikuti arah langkahku. Terlihat beberapa langkah di depanku Huda yang membawa backpack berukuran agak besar serta sebuah tas jinjing bergerak cukup cepat menuju counter check in yang terlihat masih kosong. Begitu Huda berhasil tiba di salah satu counter tersebut, ia kemudian berbicara dengan gadis yang menjaga counter tersebut. Sementara aku masih berjalan dengan agak santai sembari menyeret koper besar milik Huda. Sejenak Huda melirik ke arahku dan memberikan isyarat agar aku mempercepat langkahku ke counter tersebut.
Sepuluh menit kemudian, kami sudah berada di depan pintu akses menuju pintu imigrasi.
"Damn! Lu udah kudu pulang nih Da" Asli nih gua bakal kehilangan lu banget. Terus terang nih gua berharap bisa kenal lu lebih lama lagi."
"Gua juga Jo. Gua kira lu cuma sok asik aja secara umur kita bedanya lumayan jauh. Tapi dari lu gua udah belajar banyak. Lu juga udah jadi sahabat gua banget selama beberapa bulan terakhir ini."
Kemudian kami bersalaman erat yang diikuti dengan dekapan yang tidak kalah erat. Dekapan dua sahabat yang akan terpisah seolah tidak akan dipertemukan lagi.
"Oh iya, Da... Semoga ente bisa dapet penyelesaian terbaik buat masalah ente ya." "Lu juga Jo. Mudah-mudahan lu bisa milih mana yang lebih baik buat lu..." Dan sebelum Huda membalikkan badannya ke arah pintu imigrasi...
"...dan ini serius gua kasih tau ya Jo... Si Rambut Merah itu pernah ngomong sama gua kalo dia bener-bener sayang sama lu... Mungkin lu udah tau soal itu... Dan menurut gua dia itu cocok banget sama lu... Jadi tolong lu pikirin baik-baik soal ini..."
Loneliness "Jo... Bangun Jo... udah subuh nih...", sahut Rio pagi itu membangunkanku. "Subuh ya" Emang Ied-nya mulai jam berapa sih"", jawabku sembari mengumpulkan nyawaku.
"Jam 7 sih biasanya. Udah lah mendingan lu bangun trus solat dulu aja. Nanti jam setengah 6an kita jalan ke KBRI. Kita kan udah janji mau bantu jadi panitia Solat Ied."
"Siap Bos! Trus Topa mana""
"Lagi jalan ke GS cari nasi kotak. Lumayan lah nyunah sarapan dulu sebelum ke tempat Solat."
Kemudian aku segera melangkahkan kakiku ke sebuah kamar mandi yang terletak di ujung lorong di rumah kost ala Korea atau yang umum dikenal dengan nama Goshiwon. Malam ini aku memang memutuskan untuk menginap di goshiwon di mana Rio, Topa dan Iman tinggal karena pertimbangan lokasi yang cukup dekat dengan KBRI. Apalagi kami bertiga memang diminta tolong oleh PPI, khususnya oleh Banyu selaku ketua PPI untuk membantu pelaksanaan solat Ied di KBRI.
Bertiga" Yup, bertiga: aku, Rio dan Topa. Ke mana Iman" Kebetulan ia mendapat kesempatan untuk menghabiskan liburan musim panasnya di Bandung. Ia sendiri dijadwalkan baru akan terbang kembali ke Seoul setelah solat Ied di Jakarta.
Pada pukul 0600, kami akhirnya tiba di KBRI dan sudah cukup banyak warga Indonesia yang berkumpul di sana. Dan belum lama kami tiba di sana, terlihat sesosok orang yang kami kenal cukup baik tengah memanggil kami.
"Jo, Yo, Pa! Sini cepetan! Urgent banget nih!", seru seorang pria berambut keriting kepada kami. "Ada apaan nih Nyu" Apa yang bisa kita kerjain"", tanyaku ketika kami sudah berada di dekat Banyu.
"Gua lagi butuh banget tambahan tenaga nih... Pas banget kalian bertiga dateng... Langsung gua bagi kerjaan aja ya"", tanya Banyu yang kami balas dengan anggukan kepala kami.
"Kalo lu biasa lah Yo... Bantu-bantu dokumentasi... Bawa kamera lu kan" Apalagi tadi Pak Dubes kayaknya cuma percaya sama lu buat ngedokumentasiin acara ini."
"Siap Bos!", jawab Rio sembari mengeluarkan kamera DSLR kesayangannya.
"Pa, bisa bantu nyiapin ruangan buat tamu-tamu VIP dubes gak" Jadi nanti lu kalo bisa ambil shaf yang paling kanan deket kediamannya dubes..."
"Oke" "Kalo ente, Jo... Nanti bantu-bantu ngawasin pembagian konsumsi ya... Panitia udah masakin ketupat sayur, opor ayam sama rendaang tuh buat dibagiin abis solat. Kalo ente udah laper duluan ente bolehlah icip-icip dulu sebelom mulai dibagiin. Ntar paling ane ikutan nyicipin."
"Dih! Enak banget bagian lu Jo!", seru Rio dan Topa bersamaan setelah mendengar apa yang menjadi tugasku.
Singkat kata, kami sudah menyelesaikan ibadah solat Ied yang diikuti khutbah. Kemudian banyak dari kami yang mulai bersilaturahmi sesama WNI sembari mengantri konsumsi yang mulai dibagikan di bawah pengawasanku. Sampai saat itu aku merasa kehangatan persaudaraan antara sesama Warga Indonesia di Negeri Ginseng ini. Apalagi cukup banyak juga beberapa rekan TKI yang notabene menjadi klienku dalam program pelatihan TKI yang kubantu pengurusannya. Mereka cukup senang bertemu denganku dan beberapa di antara mereka bahkan meminta untuk foto bersama denganku. Terus terang sampai saat tersebut aku tidak merasakan sama sekali kesendirian akibat harus merayakan hari besar ini jauh dari orang-orang terdekat.
Tepat pada pukul 1200, aku memohon diri pada saudara-saudara setanahairku di KBRI. Hari Idul Fitri pada saat itu memang bertepatan dengan hari pertama semester baru perkuliahanku. Dan aku cukup ingat bahwa tepat pada siang harinya aku ada kelas kuliah yang perlu kuhadiri.
"Nyu, Yo, Mei, Ra... Cabut duluan ya..."
"Lho Jo... mau ke mana"", tanya Rara. "Lebaran lah..."
"Lebaran ke mana lu" Orang yang lu lebaranin kan ada di sini semua Jo...", sahut Banyu. "Gua tau nih... Sama Azra ya"", cetus Rara.
"Azra" Siapa lagi tuh"", tanya Rio penasaran. "Ngaco lu! Mau lebaran sama Professor gua!"
"Emang Professor lu ada yang lebaran juga Jo"", kali ini Rio yang bertanya dengan polosnya kepadaku.
Aku hanya nyengir kuda saja tanpa memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut. Kemudian kupacu langkahku agar dapat mengejar kereta berikutnya ke arah kampusku.
Sekitar satu jam kemudian, aku berhasil tiba di kelas di mana kelas siang ini akan berlangsung. Kusempatkan diriku untuk beribadah dzuhur di ruangan kelas tersebut mengingat kondisi kelas yang belum dipenuhi mahasiswa. Dan setelah selesai ibadah tersebut, aku mulai merasa galau akibat adanya sesuatu yang hilang dari lebaran kali ini.
Well, aku memang boleh mengklaim tidak merasakan kehilangan suasana lebaran ketika di KBRI. Namun perasaan itu memang perlu diakui hanya bertahan selama aku berada di kompleks tersebut. Biasanya setiap lebaran aku memang bersilaturahmi dengan warga sekitar perumahanku, keluargaku, dan handai taulanku. Terkadang teman-teman terdekatku juga datang untuk bersilaturahmi dengan keluargaku. Belum lagi makanan ringan yang umum kutemukan saat lebaran seperti misalnya kacang bawang, kue keju, putri salju, nastar. Intinya suasana lebaran yang terjadi pada hari itu dapat bertahan dalam benakku tidak hanya di lapangan tempatku beribadah lebaran, namun juga sampai setelah aku pulang atau bahkan sampai beberapa hari ke depan. Acara sungkeman dan juga berkeliling ke rumah handai taulan yang cukup sering kuhindari karena perasaan malas juga entah kenapa jadi kurindukan pada lebaran kali ini. Dan aku merasakan suatu kepahitan karena harus menghadiri kelas tepat di hari lebaran.
Well, mumpung Professor masih belum hadir di kelas ini kucoba saja melakukan langkah pertama untuk mengobati perasaan sepi yang pahit tersebut. Kuambil ponselku serta calling card yang berada di tempat pensilku. Dan beberapa saat kemudian...
"Assalamualaikum, Pa... Ini Jojo Pa... Maaf lahir batin ya Pa..." ---------------------------------------
Ketika Professor sudah tiba di kelas, kuakhiri saja panggilan teleponku kepada Ayahku. Kemudian kunyalakan laptopku sembari mengikuti pembahasan dari Professor. Tidak lupa kunyalakan juga Yahoo Messenger dan berharap bisa berlebaran melalui media penyampai pesan tersebut. Dan benar saja. Tidak terlalu lama setelah aku online pada media tersebut, masuk sebuah pesan dari dia yang paling kusayang.
Quote: R: Assalamualaikum Bang! Selamat lebaran ya! Maaf Lahir Batin... J: Waalaikumsalam... Maaf lahir batin juga ya sayang.... R: Iya Bang... Gimana lebarannya"
Dan kami pun bertukar cerita bagaimana lebaran hari itu kami alami. Dan terus terang aku merasakan kehilangan yang sangat besar pada lebaran hari itu. Aku merasakan iri yang luar biasa kepada Riani waktu itu karena dapat menghabiskan hari lebaran bersama orang-orang terdekat. Apalagi jika dibandingkan denganku yang harus menghabiskan lebaran dengan hadir di sebuah kelas perkuliahan.
Ya! Aku sangat rindu kacang bawang lebaran! Aku rindu bertemu dan berbasa-basi dengan keluarga jauh dari pihak ayah dan ibuku yang mungkin hanya bisa kutemui setahun sekali.! Aku rindu berkeliling jabotabek hanya untuk mengunjungi keluarga jauh yang entah bagaimana kaitannya denganku pun tidak aku ketahui! Aku rindu dipaksa untuk makan setiap kali kami singgah di kediaman keluarga jauh kami! Kamu merasa hal-hal tersebut agak konyol" Memang! Tetapi aku merindukan semua hal konyol tersebut yang hanya dapat terjadi ketika aku berlebaran bersama keluargaku di tanah air!
---------------------------------------
Perasaan kehilangan tersebut masih ada walaupun aku sudah cukup banyak mengobrol dengan Riani melalui Yahoo Messenger sepanjang kelas tadi. Beberapa temanku menyadari adanya perubahan air mukaku yang biasanya cerah menjadi agak mendung pada hari itu. Aku hanya melakukan tindakan yang dapat dianggap denial dengan menyatakan bahwa aku baik-baik saja dan hanya sedikit kurang istirahat saja. Beberapa dari mereka bahkan ada yang ingat bahwa hari itu merupakan hari lebaran dan mengucapkan selamat lebaran kepadaku. Terus terang aku cukup senang mendengarnya namun masih belum bisa mengusir rasa kehilangan dari dalam hati ini.
"Wanna go out for dinner, Jo" You can just consider it as an eid dinner with us...", ajak Atongba di mana di belakangnya sudah ada Amina, Muhirwa, Omar dan Veng.
"Nah... Can we make it tomorrow instead" I think I'll just go straight to my room and take some rest. I really need some sleep for the time being."
"Sure, Jo... Catch ya tomorrow, then."
Kemudian aku melangkah dengan lesu ke arah dorm dengan awan mendung yang masih menggelayuti perasaanku saat itu. Begitu sampai di lobby dorm, entah kenapa aku merasa bahwa aku harus ke lantai basement dorm ini. Aku ikuti saja naluri yang muncul tiba-tiba tersebut dan setibanya di bawah sana aku tidak menemukan siapapun di lantai tersebut. Entah bagaimana ceritanya tiba-tiba saja aku mendekati vending machine dan membeli sekaleng lotte milkis kesukaanku.
Setelah aku memegangi kaleng minuman soda tersebut, aku balikkan badanku dan aku cukup terkejut dengan apa yang kulihat.
Terlihat bidadari berambut merah itu menatap ke arahku. Rona mukanya mencerminkan adanya suatu kehilangan atau mungkin kerinduan. Sepertinya sama dengan apa yang kualami.
Tanpa perlu bicara, kami mendekat satu sama lain dan secara naluriah kami saling memeluk. Dan tidak sampai sejurus kemudian kami secara bersamaan mengeluarkan segala kesedihan kami pada hari itu. Kami tidak malu untuk terisak dan membasahi pipi serta pakaian kami dengan air mata kami yang mengucur deras pada sore itu di lantai basement dari dorm kami. Tepat di depan vending machine.
1915 metres above the sea level
Sebelum aku melangkah pada cerita utama pada chapter ini, ada baiknya aku sedikit flashback pada masa ketika aku menginap di goshiwon yang ditempati Rio, Topa dan Iman.
Quote: Malam itu waktu sudah menunjukkan pukul 2200, namun rasanya seperti masih sore saja. Belum terasa larut. Mungkin memang demikian atmosfir musim panas di negara dengan empat musim seperti Negeri Ginseng ini. Aku baru saja menyelesaikan satu sesi makan malam dengan Azra di Restoran India di dekat Anam Junction. Yup, beberapa hari terakhir di bulan puasa ini aku memang selalu makan malam dengan Gadis Turki ini di berbagai tempat. Keputusan Khali untuk menemani kakaknya sepanjang sisa liburan dan sudah kembalinya Huda ke tanah air jadi alasan utama kenapa aku selalu makan malam dengannya selama beberapa hari terakhir ini. Tentu saja kami tidak selalu berdua ketika sedang makan malam karena beberapa kali temanku maupun temannya juga ikut makan bersama kami.
Tetapi tentu saja kami lebih sering makan berdua. Dan selalu ada saja yang bisa kami bicarakan dalam setiap sesi makan malam kami. Hal yang dibicarakan tersebut juga seolah mengalir begitu saja secara natural tanpa harus kami persiapkan sebelumnya.
Untuk makan malam terakhir kali di bulan Ramadan kali ini, aku sempat mengajaknya merayakan lebaran di KBRI. Awalnya dia cukup tertarik, namun segera memutuskan untuk tidak ikut selain karena ia sudah berjanji dengan teman-teman sebangsanya untuk bertemu di Itaewon besok, ia juga terlihat sedikit turn off ketika kusampaikan bahwa khutbah Idul Fitri di KBRI akan disampaikan dalam Bahasa Indonesia.
Dan beginilah akhirnya. Aku berpisah dengannya di Anam Junction di mana aku melangkah ke arah Anamyok sementara Azra melangkah kembali ke asrama. Dan masih cukup membekas dalam ingatanku betapa erat genggaman tangannya di tanganku ketika kami melangkah keluar dari Restoran India tadi ke arah Anam Junction serta kesan berat yang terlihat dari rona wajahnya ketika kami berpisah.
Sekitar setengah jam kemudian, akhirnya aku tiba di depan goshiwon. Tepat pada saat yang sama di mana Topa dan Rio baru saja kembali dari makan malam di sekitar kompleks Sinchon University. Tentu saja kami mengobrol sejenak di saat kami tiba di dalam goshiwon tersebut. Aku masih belum lupa ketika kami berada di dalam kamar Iman yang kutempati untuk malam itu. Terutama saat menjelang aku memutuskan untuk tidur sejenak karena esok harinya aku sudah mulai masuk kelas di semester baru ini.
"Jo... Liburan chuseok besok hiking yuk...", ajak Topa.
"Wah... hayuk ajah atuh... Ke mana""
"Nah... Ente biasanya kalo hiking cuma sehari aja kan" Paling pagi mulai naik trus makan siang udah di bawah lagi... "
"Iyah..." "Nah, kalo pake nginep gimana" Blom pernah sampe nginep kan""
"Belom sih... Nginep maksudnya nenda gitu""
"Sebenernya kalo boleh nenda ya gua juga pengen sih nenda... Tapi dari pengalaman gua bakal susah nenda gitu..."
"Lah... Jadi nginep di mana" Penginapan""
"Iya... Gua emang mau ngajak lu hiking ke Jirisan... Salah satu puncak tertinggi di Korea tuh... Di beberapa pos emang tersedia penginapan buat para pendaki makanya nenda ga begitu disarankan kalo hiking di situ..."
"Kayaknya rada kurang greget yah Pa..."
Topa hanya mengangguk saja.
"Tapi berhubung ane blom pernah hiking sampe nginep-nginep gitu sama sekali, boleh lah. BTW, tingginya berapa tu gunung""
"Puncaknya sih 1915 Jo. Berhubung ente kayaknya udah lumayan berpengalaman hiking di gunung-gunung sekitar Seoul sini... Apalagi beberapa bulan terakhir udah lumayan banyak puncak yang ente taklukin, kayaknya ga perlu terlalu banyak persiapan fisik lah... Paling logistik & peralatan aja... Ntar abis lebaran ane temenin belanja lah... Toh kuliah juga bloman padet kan""
"Okelah... Ane ikut... Siapa lagi yang akan ikutan""
"Iman udah oke... Rara, Arda, sama satu anak exchange di Gwanak temennya Arda juga bakal ikut..."
"Lha ente ga ikutan Yo""
"Pingin sih.... Tapi gimana ya" Professor ane nyuruh dateng ke open house pas chuseok..."
"Bah! Macam pejabat aja lah tu Professor..."
"Itu mah udah Dewa Yang Maha Kuasa buat gua Jo... Bisa luntang-lantung gua kalo ga ngikutin maunya dia..."
Dan di sinilah aku sekarang, sendirian dalam perjalanan dari pos pertama tempat kami menginap menuju pos kedua. Dengan cukup percaya diri, aku dengan bertelanjang dada dan bercelana selutut serta membawa tas carrier berkapasitas 55 liter yang kubeli atas petunjuk dari Topa.
Mungkin sebagian dari kamu ada yang heran mengapa aku berjalan sendirian" Well, semenjak pendakian hari pertama tim kami yang terdiri atas masing-masing dua representasi mahasiswa GAS* cukup sering terpencar. Kemarin aku berjalan bersama Arda dan Rara sementara Topa yang paling berpengalaman dalam pendakian terpaksa berjalan belakangan menemani Iman yang tiba-tiba mengalami keseleo serta Aryo, si mahasiswa exchange yang masih sangat hijau soal dunia pendakian. Dan pada kejadian kemarin, terpisahnya rombongan kami ternyata mendatangkan berkah karena penginapan di pos pertama tersebut sudah lumayan penuh. Kedatangan kami bertiga yang lebih awal pada akhirnya dapat mengamankan tempat menginap untuk kami berenam di pos pertama tersebut.
Pada hari kedua ini, kami semua sepakat untuk tidak terlalu terikat pada kelompok kami lagi mengingat rute pendakian di gunung ini sangat sangat aman untuk sebuah rute pendakian gunung. Betapa tidak" Semua rute sudah diberikan jalur pathway dari kayu dan semen, petunjuk arah yang sangat jelas, sampai dengan tangga kayu dan besi pada 90% jalur menanjak yang memiliki sudut >60 derajat. Yang terpenting dari keputusan untuk tidak terlalu terikat pada kelompok adalah agar siapapun yang dapat tiba paling awal di pos berikutnya dapat mereservasi tempat untuk kami berenam.
Dan untuk hari ini, aku berada paling depan karena memang aku berjalan paling cepat dibandingkan mereka berenam. Aku cukup ingat rombongan paling belakang seperti kemarin: Topa, Iman dan Aryo. Sementara di belakangku ada Rara dan Arda. Sementara aku berada paling depan dengan kecepatan jalanku yang sebenarnya menurutku biasa saja namun bagi banyak orang seringkali dianggap terlalu cepat.
Kulihat cuaca sejenak ke atas dan kusadari jika hari itu berawan tebal. Nampaknya hujan akan segera tiba. Aku pada saat itu merasa bimbang apakah aku perlu menunggu rombongan yang lain. Ketika kuputuskan menunggu siapapun dari rombonganku berikutnya yang akan segera tiba, aku memutuskan untuk duduk di sebuah batu yang berada di tepi sebuah tanjakan curam. Dan dari spot itu juga aku melihat pemandangan yang cukup mengejutkanku!
Tidak kusangka kulihat Rara dan Arda berjalan bersama sembari bergandengan tangan. Wah, sepertinya Arda > Muneef nih... Menarik!
Tidak enak akan mengganggu mereka berdua, akhirnya kuputuskan saja untuk terus berjalan menuju sebuah tempat peristirahatan kecil yang berada di tengah perjalanan menuju pos berikutnya. Namun perlu kuakui keputusan itu tidak terlalu baik buatku. Tepat ketika aku berada di tengah sebuah tanah lapang yang cukup luas, hujan turun dengan derasnya. Tidak adanya tempat untuk berteduh di situ memaksaku untuk terus bergerak. Dan untuk mencegah kaus yang kupakai jadi terlalu basah, kubuka saja kaus tersebut dan kumasukkan ke dalam tas carrier bersamaan dengan jaketku yang memang sudah kumasukkan sebelumnya. Berhubung suhu pada saat itu masih berkisar di angka 20an derajat celcius, dengan nekat kusongsong saja hujan yang turun dengan deras tersebut.
Ketika aku tiba di sebuah tempat peristirahatan kecil yang kumaksud sebelumnya, cukup banyak mata yang memperhatikan tubuh agak kurus ini yang dengan sangat percaya diri dipamerkan begitu saja. Sebagian dari mereka bahkan terlihat menahan tawa ketika melihatku. Berhubung pada saat itu tepat pada waktu makan siang, aku tidak peduli lagi dengan pandangan tersebut. Kuambil saja dua kaleng sarden yang sudah kusimpan di kantong terluar dari tas carrier tersebut beserta sepasang sendok dan garpu. Tidak sampai sepuluh menit kemudian kedua kaleng sarden tersebut sudah tandas akibat berpindahnya isinya ke dalam perutku. Aku merasa cukup kenyang dan mencoba beristirahat sejenak di tempat peristirahatan tersebut. Dengan kondisi masih topless, tentu saja.
Sekitar sepeminuman teh kemudian, terlihat Arda dan Rara tiba di tempat peristirahatan itu dengan menggunakan jas hujan model ponco. Dan sebagaimana mudah ditebak, mereka terkejut melihatku topless di tempat tersebut.
"Jo, ngapain lu topless gini. Badan bagus kagak, dipamer-pamerin!" "Lha tadi ujan deres, Ra! Daripada kaos gua basah trus masuk angin, gimana hayo!"
"Perasaan jaket yang lu punya water proof deh Jo... Kan waktu belanja peralatan bareng gua & Topa lu sempet pamer-pamerin tu jaket ke kita...", timpal Arda dengan polosnya.
Perkataan Arda tersebut seolah menyadarkanku akan sesuatu. Tanpa ragu lagi kubongkar tas carrier tersebut dan mengeluarkan jaket yang tadi dimaksud oleh Arda. Begitu kutemukan langsung saja kutarik jaket berwarna biru gelap itu dan kuperiksa labelnya yang terdapat di dalam kerah.
Dan pada label jaket itu tertulis dengan cukup jelas: WATER PROOF.
"Kok orang kayak lu bisa dapet beasiswa dari BKIK sih Jo""
Side Story: Monyet Bersenapan Mesin
Pagi itu kupacu kendaraanku ke sebuah apartemen di wilayah Jakarta Selatan. Karena masih pagi, kondisi lalu lintas di wilayah ini tidaklah sehoror biasanya. Namun karena masih pagi pula aku sedikit ragu apakah orang yang sangat ingin kutemui tersebut sudah terjaga atau belum.
Setelah sekitar dua puluh menit perjalanan terlewati, aku berhasil tiba di sebuah kompleks apartemen kelas menengah tersebut. Kuparkirkan saja mobilku di fasilitas parkir di kompleks tersebut kemudian langsung kutuju saja lobby apartemen tersebut tanpa lupa membawa satu kantong plastik berisi buku bergambar untuk anakanak yang memang sudah kusiapkan setiap kali aku akan bertemu dengannya.
Baru saja sepasang kakiku ini menjejak lobby apartemen ini, terdengar suara pekikan yang memanggilku. "Papa Jooooo!"
Terlihat sesosok mungil berlari ke arahku. Kusambut saja sosok mungil berambut lurus dan bermata bulat tajam tersebut ketika ia menghambur ke arahku. Kemudian kugendong ia tinggi sampai melewati tinggi badanku. Terlihat di wajahnya ia begitu senang diperlakukan demikian.
"Lagi Papa Jo! Lagi!", seru bocah itu ketika akhirnya ia kuturunkan.
"Astrooo, kasian ah Papa Jo kamu suruh gendong-gendong tinggi begitu. Kamu tuh udah tambah berat tau..."
"Ga papa kok Lan... itung-itung aku udah lama ga work out. Ngomong-ngomong kamu apa kabar" Sehat"", tanyaku sembari kembali menggendong tinggi Astro sampai kemudian ia kuletakkan duduk di kedua pundakku. "Aku alhamdulilah sehat, Jo. Si dedek yang di perutku juga sehat."
"O iya... Adiknya Astro laki apa perempuan nih""
"Terakhir cek sih perempuan, Jo. Pas lah jadi sepasang." "Tuh, Tro... Kamu mau punya adik cewek... Kamu seneng gak"" "Of course, Papa Jo! Pasti nanti cantik kayak Mama." "Wiiiii.... sok nginggris nih kamu Tro..."
"Tuh, kan... Udah mulai ngegombal dan rada sok ngerti dia, Jo... Aku yakin banget dia itu anak kamu, Jo...", bisik Wulan. Aku yakin maksudnya adalah menjawab sedikit keraguanku ketika kutunjukkan artikel yang sempat trending di kaskus beberapa waktu lalu. Aku hanya meringis saja mendengarnya. "Papamu mana Tro""
"Papa lagi ke bengkel..."
"Lho... Emang mobilnya kenapa""
"Gara-gara kamu ganti peleg trus pamer di path, Mas Tora jadi panas tuh Jo... Semalem sampe pegel aku dirayu-rayu sama dia biar dibolehin ganti peleg..."
Sejurus kemudian kami bertiga tiba di unit apartemen tempat tinggal mereka bertiga. Aku langsung duduk di sofa tamu bersama Astro sementara Wulan meluncur langsung ke dapur.
"Ga usah repot-repot bikin minuman, Lan... Nanti kalo mau aku ambil ke dapur aja lah...", seruku kepada Wulan di dapur.
"Ga papa Jo... Aku baru aja dikasih Thai tea sama temennya Mas Tora..." "Thai Tea"! Kalo gitu bikinin di gelas gede deh Lan!"
"Papa Jo, itu di kantong plastik isinya apa""
"Biasa lah Tro... Buku... dan kali ini, buku tentang Thomas si kereta api!" "Bacain dong Papa Jo, bacain!"
"Siaaaaappp!" Kemudian waktu selama sekitar 30 menit berlalu dengan aku yang menceritakan isi buku cerita yang baru saja kubeli tersebut. Terlihat perubahan raut wajah Astro bersamaan dengan dinamika cerita yang kuceritakan tersebut. Terlihat sekali Astro menikmati sesi tersebut.
"Papa Jo... Nanti bisa cariin buku yang ceritanya tentang monyet yang perang pake senapan mesin gak"", tanyanya polos.
"Monyet perang pake senapan mesin" Buku apaan tuh Tro"
"Kemarin aku nonton filmnya sama Papa di TV... Seru ceritanya Pa... Monyet-monyet yang biasanya gelantungan trus makan pisang tapi ini bisa perang pake senapan mesin..."
Terus terang aku tambah bingung dengan cerita apa yang dimaksud Astro. "Lan, ini Astro nyeritain apa sih" Masak ada monyet perang pake senapan mesin"" "Wah, kemarin kayaknya pas aku tidur siang dia nonton sama papanya deh... Aku juga ga nonton kemarin." Tepat pada saat itu, terdengar pintu apartemen terbuka. Dan secercah harapan bagiku pun tiba. "Assalamualaikum!"
"Wa alaikum salam!"
"Wah... Ada Jojo rupanya... Udah lama Jo" Apa kabar"" "Kang, abdi bade nanya yeuh....*"
Spoiler for *: Kang, aku mau bertanya nih...
"Nanya naon""
"Kamari maneh jeung Astro lalajo naon" Ieu budakna menta ditingalikeun buku anu isina teh monyet nu perang pake senapan mesin kitu*"
Spoiler for *: Kemarin kamu dengan Astro nonton apa" Ini anaknya minta dicarikan buku yang isinya tentang monyet yang perang memakai senapan mesin
"Heh" Kamari nya"", jawab Tora sembari berpikir. "Itu Pa... Yang jagoannya namanya Caesar..."
Sejenak aku dan Tora berpandangan. Kami akhirnya mengerti dengan cerita dimaksud. "Ooooo.... Planet of the Apes!", kataku dan Tora berbarengan.
Siang itu kami makan siang berempat di apartemen itu. Ayam panggang buatan Wulan menjadi menu utama pada saat itu. Terlihat Wulan agak kerepotan menyuapi Astro yang terlihat cukup aktif siang itu. Sembari mengunyah makanannya terlihat Astro senang sekali berbicara denganku.
"Cuma sama kamu doang, Jo dia kayak begini. Aku juga ga ngerti kok bisa begini. Jangan-jangan kalo kamu ngaku-ngaku jadi Bapaknya orang-orang yang belom kenal bakal percaya aja.", kata Tora. Aku cukup kaget mendengar kata-kata tersebut sampai nyaris tersedak. "Minum dulu Jo.... minum... nih airnya...", sahut Tora sembari memberikan segelas air dingin. "Papa Jo ga papa""
"Ga papa kok Tro... udah ga papa...", jawabku setelah air meluncur melewati kerongkonganku. Kemudian kusendok lagi nasi beserta ayam panggang menuju dalam mulutku.
"Papa Jo... Astro kan mau punya adik nih dari Mama dan Papa... Kapan dong Papa Jo mau kasih Astro adik" Kalo bisa adiknya perempuan juga yang cantik kayak Tante yang waktu itu foto sama Papa Jo ya..." Dan untuk kedua kalinya pada siang itu aku tersedak.
1915 metres above the sea level part deux
Aku kembali melanjutkan perjalananku menuju pos peristirahatan berikutnya dan meninggalkan pasangan Rara dan Arda di tempat peristirahatan kecil tadi. Dan kali ini aku sudah sedikit lebih cerdas daripada beberapa menit lalu karena aku saat ini mengenakan kaus dan diapisi jaket biru tua yang kutebus seminggu lalu dengan biaya 65000 won di Myeongdong. Rute dari tempat peristirahatan tadi menuju pos peristirahatan selanjutnya mungkin rute tersulit dari seluruh pendakian ini karena semakin banyak tanjakan dengan gradien tinggi serta beberapa jalur yang tidak tertutup kayu maupun semen dan cukup berpasir. Namun perlu diakui juga jika jalur ini menyuguhkan pemandangan terindah dari seluruh jalur pendakian di mana cukup banyak jurang dengan pemandangan aneka tanaman bunga di dasarnya serta beberapa aliran mata air yang membentuk sungai kecil di dasar jurang.
Dan untungnya, dalam rute perjalanan menuju tempat berakhir ini aku mendapat teman seperjalanan. Mereka adalah pasangan Bryan dan Charlotte dari Amerika Serikat. Mereka mengaku sangat menggemari kegiatan hiking di manapun mereka berada. Mereka juga menceritakan mengenai keberadaan mereka di Korea ini karena Bryan yang ditugaskan tempat kerjanya selama enam bulan di Jeonju.
Tentu saja mereka juga menanyakan tentang diriku dan asalku. Begitu kuceritakan bahwa aku adalah orang Indonesia, mereka sangat tertarik mendengarnya dan sebagaimana mudahnya untuk ditebak, mereka langsung menanyakan beberapa gunung di Indonesia yang cukup terkenal bagi kalangan pendaki di luar negeri. Tentu saja aku hanya menjelaskan gunung-gunung tersebut sebatas pengetahuanku saja. Namun aku juga mereferensikan Topa, temanku yang memang sudah memiliki jam terbang tinggi untuk masalah hiking. Dan begitu kusebut Topa juga ikut dalam pendakian ini, mereka terlihat tak sabar untuk segera bertemu dengan Topa.
Setelah berjalan sekitar 150 menit, akhirnya kami bertiga tiba di pos peristirahatan tujuan kami. Kami cukup beruntung karena tempat peristirahatan tersebut terlihat belum terlalu ramai. Tanpa membuang waktu lagi kupesan saja tempat istirahat untuk delapan orang mengingat kini ada Bryan dan juga Charlotte. Setelah kami mendapat tempat beristirahat dalam bentuk petakan wilayah dalam sebuah ruangan besar yang akan ditempati para pendaki bersama-sama, kami bertiga segera beristirahat. Tentu saja aku menyempatkan diri dahulu untuk beribadah di petakan wilayah kami sebelum benar-benar beristirahat. Bryan dan Charlotte sendiri nampak tidak terlalu asing melihatku beribadah. Mungkin mereka sudah cukup sering melihat muslim beribadah di Illinois, tempat asal mereka berdua.
Kelelahan, beberapa bagian kaki yang sakit karena beberapa kali membentur batu dalam perjalanan menuju ke sini, serta kelegaan karena aku sudah beribadah berhasil memaksaku untuk berpindah dari alam nyata ke alam mimpi. Sekitar dua jam aku tertidur, kemudian aku terbangun oleh getaran ponselku. Terlihat nama Rara pada layar ponselku.
"Jo, di mana lu" Kita udah di depan tempat peristirahatan nih..." "Oh, oke... Bentar... bentar.... Ane ke depan dulu..."
Aku kemudian berjalan ke depan tempat peristirahatan besar tersebut dan melihat sepasang wajah kelelahan dari Rara dan Arda. Tanpa banyak bicara aku ajak saja mereka ke dalam dan kuarahkan mereka ke area peristirahatan yang sudah disediakan untuk kami. Tidak lupa juga kuperkenalkan mereka dengan Bryan dan Charlotte. Terlihat dua pasangan tersebut masih lelah sehingga tidak terlalu banyak yang mereka bicarakan. Aku sendiri tidak bisa tidur lagi setelah terbangun oleh panggilan masuk dari Rara tadi. Dengan iseng kucek saja apakah ada wi-fi di tempat itu, Dan ternyata ada.
Segera saja kubuka kakao talk dan kukirimkan saja pesan kepada gadis itu.
Quote: J: Hi Az... Finally we've just reached the last checkpoint before the summit. How is it going in there, BTW"
A: Hallo Jo! Finally, some words from you! You know it feels kinda strange without you here. I think I should
just join you when you asked me to come last week.
J: How about last night event" Was it fun"
A: Yup... that was quite fun... The Malay guys were quite nice to me... I feel so honoured...
Malam tadi Azra memang sudah memiliki janji dengan teman sekamarnya yang berasal dari Malaysia untuk ikut hadir dalam acara kumpul-kumpul Mahasiswa Malaysia. Itulah mengapa ia tidak dapat mengikuti acara pendakian kami saat ini di samping memang ia belum memiliki persiapan yang mencukupi. Kemudian ia juga mengirimkan beberapa foto dari kegiatan semalam. Terlihat dalam banyak foto cukup banyak mahasiswa Malaysia mencoba mencuri-curi kesempatan untuk berpose sedekat mungkin dengan Azra. Entah kenapa ada rasa sakit yang sedikit demi sedikit menyeruak ketika melihat tingkah para mahasiswa Malaysia tersebut. Ingin kusampaikan rasa tidak nyaman tersebut, namun aku segera menyadari posisiku yang hanya sebatas teman dari si Rambut Merah itu. Yah, baiknya kupendam saja rasa sakit itu.
Aku pun kemudian mengirimkan beberapa foto yang sempat kuambil selama pendakian ini. Termasuk foto sebelum pendakian di mana di situ terlihat aku yang memakai jaket biru tua baruku tengah berdiri sendirian dengan latar belakang gunung yang telihat hijau. Dan setelah foto tersebut tekirim, Azra mengirimkan pesan singkat melalui kakao talk.
Quote: A: ashitaka! Sepertinya aku pernah mendengar kata yang ia sebutkan. Kucoba balas saja pesan tadi untuk menanyakan maksudnya, namun sialnya pada saat yang sama pula sinyal wi-fi mendadak hilang. Tidak sampai sejurus kemudian seorang pengurus masuk ke ruang istirahat yang besar tersebut dan seperti memberikan pengumuman kepada kami dalam Bahasa Korea.
"Dia barusan kasih pengumuman sekaligus permintaan maaf kalo wi-fi di sini mati, Jo. Ada gangguan teknis katanya.", terang Arda yang ternyata masih belum tertidur.
Well, akhirnya kupaksakan juga diri ini untuk beristirahat ketimbang bengong tanpa harus mengerti apa yang harus kulakukan. Mana di tempat peristirahatan ini tidak terdapat hiburan pula. Lagipula entah kenapa rasanya beberapa titik di kakiku yang berkali-kali terbentur semenjak pendakian kemarin mulai terasa nyeri.
1915 metres above the sea level part troix "Jo... bangun Jo... udah subuh nih..."
Kubuka kelopak mata ini dan kukejap-kejapkan mataku untuk mempercepat proses pengumpulan nyawaku. Terlihat ada Topa dan Iman di depanku. Mereka terlihat sudah cukup segar dan terlihat juga sudah siap untuk melanjutkan perjalanan yang sudah sangat dekat ke puncak. Sementara itu Rara, Arda, Aryo, Bryan dan juga Charlotte terlihat masih tertidur. Kupaksa saja langkahkah sepasang kakiku ini ke arah toilet yang terletak dekat dengan pintu masuk penginapan ini.
Ketika tiba di sana, kubuka saja keran air dan kupaksa kulitku untuk menerima air dini hari yang terasa sangat dingin di kulit. Namun demikian efeknya cukup luar biasa. Kira-kira 60% kantukku terusir akibat sentuhan kulitku dengan air tersebut. Setelah cukup terbangun, kuambil saja wudhu dan segera kembali ke ruangan besar tempat istirahat kami. Dan kali ini terlihat orang-orang yang tadi masih terlelap sudah mulai terbangun. Sejenak kuberikan senyumku ke arah mereka dan mereka tampaknya masih terlalu mengantuk untuk membalasnya. Kugelar saja sajadah yang kuambil dari tas carrier ku dan seperti biasanya kulakukan ibadah pada subuh hari itu di sana.
Panik Di Sirkus Sarani 2 Fear Street - Malam Mencekam Ii Silent Night Kuda Putih 2
^