Pencarian

9 Dari Nadira 1

9 Dari Nadira Karya Leila S. Chudori Bagian 1


Terimakasih untuk segalanya.
Jakar ta, September 20 0 9
Leila S. Chudori MENCARI SEIKAT SERUNI Inikah hari terbaik bertem u dengan-Mu
JAKARTA tidak m em iliki bunga seruni. Tetapi aku akan
m en carinya sam pai ke ujung dunia, agar Ibu bisa m engatupkan m atanya dengan tenang.
Ibu selalu berkata, jika dia m ati, dia tahu apa yang akan
ter jadi. Yu Nina akan menangis tersedu-sedu (mungkin dia
akan melolong); Kang Ar ya akan membacakan surat Yasin
dengan suara ter tahan sembar i mencoba mengusir air m atanya. Aku akan melakukan segala yang paling pragm atis
yang tak ter pikirkan oleh mereka yang tengah berkabung:
me lapor kepada Pak RT, mengur us tanah pem akam an,
men car i mukena, mengatur menu m akanan dan botol
air m ineral untuk tamu, dan sekalian mencar i kain batik.
Leila S. Chudori Ter akhir, yang paling penting"yang selalu disebut-sebut
Ibu"aku pasti mengais-ngais bunga-bunga kesukaan Ibu
yang sulit dicar i di Indonesia: bunga ser un i putih. Dia tidak
menyebut melati; juga bukan m awar merah putih. Har us
ser un i ber war na putih. "Kenapa ser un i" Dan kenapa har us
putih?" Ibu tidak menjawab. Dan aku tak pernah men desak nya.
Ram alan Ibu tepat. Itulah yang mem ang ter jadi.
Kam i menemui Ibu yang sudah membir u. Wajah yang
membir u, bibir yang bir u keunguan yang mengeluarkan busa putih. Di atas lantai yang licin itu, aku tak yakin apakah
Ibu terlihat lega karena bisa mengatupkan m atanya, atau karena dia kedinginan. Kam i menemukan sebuah sosok yang
te lentang bukan karena sakit atau ter jatuh, tetapi karena
dia memutuskan: hari ini, ak u bisa m at i.
Mungkin Ibu tak per nah bahagia.
Atau mungkin dia merasa hidupnya mem ang sudah
selesai hingga di sin i. Kang Ar ya memeluk tubuh dingin itu
tanpa suara. Aku hanya menutup mulut, sementara hatiku
r ibut. Tangan ku sibuk. Aku menutup segala per tanyaan ku
dengan pragm atisme: bagaim ana caranya mengangkat tubuh Ibu dar i lantai itu agar Ayah tidak melihat keadaan Ibu
yang serba bir u. J angan sampai Ayah melihat bahwa in i
sebuah per nyataan dar i Ibu. Selain itu, Ibu har us segera diangkat karena dia pasti kedinginan. Lihat, war na bir u itu
se m akin lam a sem akin ungu kekun ingan. Sayup-sayup kudengar suara Ibu: hari ini ak u ingin m at i.
Untuk sementara, aku merasakan ada ombak yang bergulung, menyesak dada. Tapi, aku mem iliki kekuatan yang
luar biasa untuk mengunci gudang air m ataku. Aku mem iliki
ke m ampuan menekan kepedihan seberat apapun agar har i
yang penuh luka in i bisa segera selesai. Sementara aku sibuk
Mencari Seikat Seruni ber tanya-tanya kenapa ibuku memu tuskan men inggalkan
kam i, tiba-tiba kulihat Yu Nina me nyer uak dar i ker umunan.
Dia mengusir tangan-tangan yang menghalanginya. Astaga,
tubuh sekecil Yu Nina bisa men dorong tangan para pam an
dan bibi yang sudah ikut ber ker umun. Yu Nina menyerbu
tu buh Ibu yang telentang. Tubuh Ibu yang sudah diam dan
te tap ber warna bir u. Yu Nina melolong" tapi suaranya tak
per nah keluar. Namun aku bisa mendengar lolongan Yu Nina
hingga har i in i. *** Am sterdam , Desem ber 1963
Nadira m enolak t ubuhk u. Nadira m enolak susuk u. Ini
m em buatk u tak ny am an. Dia hany a m em ejam kan m a tany a sam bil sesekali m engeluarkan rint ihan kecil. Ak u m endengar suara angin tajam y ang m enusuk-nusuk jen dela.
Angin Desem ber di Am sterdam sungguh m urung. "Wat een
melancholische dag is het vandaag..."1
Kuletakkan Nadira di atas tem pat t idur kam i (y ang
kam i sebut tem pat t idur sebenarny a hany a dua buah pet i
ka y u y ang kam i rapatkan; di atasny a kam i letakkan selem bar kasur bekas). Nadira m enolak segalany a. Susu. Tubuh k u. Suara ay ahny a. Gangguan kedua kakak ny a: Nina
y ang bersuara ny aring. Ary a y ang tert ib dan taklid.
Dari jendela, ak u m em bay angkan sosok Bram m e rapat kan kerah jaket ny a di keram aian Kalvelst raat. Musim
dingin bukan hany a m elahirkan berbagai peny ak it, tetapi
juga rasa kesendirian. Sedangkan m usim panas, m eski Am sterdam selalu di1
Betapa murungnya hari ini...
Leila S. Chudori banjiri t uris y ang ingin keliling Eropa, selalu m em berikan
rasa opt im ism e. Kalvelst raat selalu saja penuh sepert i
pasar, tapi Bram dan ak u selalu senang m eny usuri jalan ini
hany a unt uk sat u hal: m encium bau rendang di halam an
luar restoran Padang di pojok jalan; dan bau asap rokok
k retek y ang dijual oleh Andries.
Am sterdam kota y ang kont radikt if. Am sterdam selalu
rapi dan rajin m em basuh diri, sedangkan penduduk ny a
m alas m andi. Bram Suw andi di antara m ereka"sepert i
juga para penduduk Indonesia di sini"terlihat paling
bersih, rapi, dan rajin bertem u dengan air. Am sterdam
juga serba kont radikt if, karena sem asa k uliah, ak u bisa
m endapatkan dua tetangga y ang posisi apartem enny a
sekaligus m enunjukkan t it ik spekt rum y ang berlaw anan.
Johanna adalah seorang penganut Protestan y ang ketat,
y ang rajin ke gereja dan rak buk uny a penuh dengan
buk u-buk u renungan ilahiah; sem entara Bea adalah gadis Belanda y ang pada hari pertam ak u di Am sterdam
m eng ajak si gadis Indonesia y ang sem ula dianggapny a
pem alu ini, m eny usuri rum ah-rum ah lam pu m erah, hany a
agar ak u kelojotan. Dia begit u kepingin tertaw a hingga
terbungk uk-bungk uk m elihat seorang gadis Asia y ang
m enjerit m elihat suasana Rosse Buurt Red Light Dist rict.
Terny ata reak sik u m em buat dia kecew a. Ak u m elalui
jalan it u dengan santai, m alah bany ak bertany a dan ik ut
duduk berbincang dengan Anneke, Carla, dan Elise sem bari
berbagi rokok, m endengarkan cerita tentang langganan
m ereka. Aku terseny um m engingat itu sem ua. Hingga kini,
Johanna dan Bea tetap tem anku terbaik di apartem en ini.
Mesk i berbeda ideologi dalam hidup, m erekalah y ang
m em bant u pernikahank u y ang dilangsungkan dengan
Mencari Seikat Seruni begit u sederhana di kota ini. Jauh dari orangt ua dan jauh
dari suara-suara kekeluargaan dan bau rem pah-rem pah
y ang m eruap dari m asakan Indonesia.
Kulihat lam pu-lam pu jalanan sudah lengkap m enerangi jalanan. Pada saat ini, Bram dengan sepedany a
tengah m em belah m alam . Setelah m enerjang angin dingin
m en cari berita di siang hari, dia akan pulang sebentar, lalu
berangkat lagi ke De Groene Bar hingga dini hari.
Suara derit pint u apartem en m enandakan Bram sudah di dalam apartem en. Ak u sudah tahu, pipiny a y ang
dingin it u akan terasa tebal, em puk, dan berw arna biru kehitam an oleh janggut ny a y ang segera saja t um buh begit u
pisau cuk ur m enerabasny a set iap pagi. Bram m enut up
pint u. Dia tam pak lelah. Tapi m atany a tetap bersinar.
"Ada apa?" Bram m em andangk u tanpa seny um .
"Nadira agak aneh?"
"Aneh kenapa?" "Dia m enolak susuk u?"
Bram m em buka sepat uny a sat u persat u dan m encopot
kaus kak iny a. Lalu dia segera m encuci tanganny a dan
m eng gosok ny a dengan sabun seolah sabun it u bisa m enggusur jutaan bakteri Am sterdam . Akhirny a setelah y ak in
seluruh t ubuhny a bersih, Bram m eny ent uh dahi Nadira.
"Tidak dem am "," gum am ny a, "kenapa" tadi kam u
m akan apa" Ay o, Schatj... wat scheelt jou..."2
Ak u m encoba m engingat-ingat. Tidak ada y ang aneh,
telur, sedik it kentang, dan say uran. Akhir bulan sepert i ini,
lem ari es kam i hany a berisi beberapa potong say ur dan
buah. Persediaan daging sudah m enipis dan it u sem ua ak u
siapkan unt uk Bram dan anak-anak. Bram m em egang
dahi dan pipi Nadira. Kenapa kau, Sayang" Leila S. Chudori "Dia t idak dem am ..."
Tiba-t iba Bram m endengus. Ak u juga m encium bau
sangit. Dengan gerak cepat k ubuka selim ut Nadira. Kotoran
Nadira m erem bes ke m ana-m ana. Warna k usam seprei berubah m enjadi cokelat. Tanpa bany ak kata, kam i gerabakgerubuk m em bersihkan seluruh t ubuh Nadira y ang sudah
bele potan. Dengan tangkas, Bram m engangkat seprei dan
m en cem plungkanny a ke em ber. Pipik u basah, tapi segera
k u sem buny ikan. Kam i tak m am pu unt uk cengeng.
"Ak u telepon Jan?"
"Jangan!" Bram berseru. "Utang k ita sudah num puk!
Hoeft n iet."3 Ak u duduk m enggant i celana dalam Nadira. Dia hany a m elenguh, lem ah. Nadira m asih m enolak susuk u. Ak u
te tap berpik ir keras m akanan apa y ang m eny ebabkan
Nadira m enolak susuk u. Jam dinding berbuny i delapan kali. Set iap dentangny a
berbuny i bersam a detak jant ungk u.
"Ak u antar Nina dan Ary a t idur dulu?" kata Bram
tanpa m engeluarkan solusi apa-apa. Suarany a m uram ,
dan terasa m enekan rasa cem as.
Ak u m enggendong Nadira. Dia m eny andarkan ke pa lany a y ang bundar dan bagus y ang diselim ut i ram but hitam
tebal it u ke pundakk u. Nadirak u... ak u ingin sekali peny ak it apapun y ang dideritany a pindah kepadak u. Hany a
beberapa m enit kem udian, ak u m endengar suara m esin t ik
Bram dari kam ar m akan. Lalu suara jari-jari y ang asy ik
it u se sekali diselingi deru angin bulan Desem ber.
"Kalau dia sudah t idur, art iny a dia t idak apa-apa","
ter dengar suara Bram di antara riuhny a m esin t ik.
Nadira m em ang sudah terlelap. Tapi dia belum m inum
Tidak perlu. Mencari Seikat Seruni apa-apa. Ak u m eletakkan Nadira di atas tem pat t idur tanpa
seprei. Ak u m eletakkan Nadira tanpa setetes pun air susu
di dalam t ubuhny a. Ak u m engelus-elus pipiny a, sekaligus
m engusir-usir air m atak u y ang m em ak sa keluar.
*** J akar ta, Desember 1991 Bunyi geremengan surat Yasin itu terdengar seper ti
dengung lebah yang mengusap hati. Saling bersahut, mer ubung dan mem agar i Ibu. Dar i jendela dapur, aku melihat
laut an peci dan ker udung hitam yang duduk berbar is rapi
se per ti ir ing-ir ingan semut hitam . Tampak Ayah dan Kang
Ar ya membacakan Yasin di dekat kepala Ibu, seolah ingin
men jaga selur uh jasad Ibu dar i gangguan siapapun. Aku
me lihat seuntai tasbih ber war na cokelat tua di antara jar ijar i Ayah. Aku belum per nah melihat tasbih yang kelihatan
sudah tua itu. Di bela kang Ayah, kulihat Kakek dan Nenek
Suwandi membaca Yasin dengan suara yang lebih halus.
Orangtua Ibu sudah wafat beberapa tahun silam .
Aku m asih bisa mendengar sedu-sedan Yu Nina di kam ar Ibu. Lalu terdengar beberapa bibi yang mencoba me nenangkan dia, agar kecender ungan nya untuk hister is segera
reda. Alangkah leganya jika kita punya kem ampuan ekspresif
seper ti Yu Nina. Alangkah bahagianya bisa mem antulkan
kem bali apa yang sudah memenuhi dada. Dar i m ana dia
bisa belajar menjer it, menangis, dan sesenggukan ber kepan jangan seper ti itu" Ibu per nah mengatakan, sejak lahir
Yu Nina mem iliki pabr ik air m ata di beberapa kantung m atanya. Apa saja yang tak ter penuhi akan menyebabkan kantung air m atanya ser ta-mer ta produktif. Alangkah enaknya.
Leila S. Chudori Apakah karena aku lahir sebagai anak terakhir, m akanya
Ibu kehabisan persediaan kantung air m ata"
Beberapa ibu dar i kompleks tempat tinggal orangtuaku
menjer it kian-kem ar i menyiapkan m inum alakadar nya dan
se sekali mem inta persetujuan ku yang, entah oleh siapa, diangkat sebagai "pimpro" acara belasungkawa in i. Sebuah
mobil kijang mencer icit m asuk. Winda, salah seorang sepupuku yang keranjingan menjadi nyonya repot itu tur un dar i
mobil dan ber ter iak mem inta bala-bantuan. Seketika, tiga
atau empat pembantu menyambut Winda yang ter nyata
mem bawa beberapa baskom bunga melati. Tiba-tiba, untuk
kali per tam a, ada rasa panas yang membakar hatiku. Siapa
yang memesan melati di har i kem atian ibuku"
Aku mendekati Winda, "Siapa yang memesan kembang
melati in i?" Aku terkejut mendengar suaraku seper ti siram an air
es. Dingin. Dingin. Padahal aku tahu betul ada api yang tengah berkobar. Dadaku menggelegak.
Winda menatapku terkejut. Bibir nya yang mungil hanya bergerak. Dia tahu betul aku jarang m arah.
"Siapa?" Suaraku menekan. Winda tak beran i ber nafas.
"Aku pikir..." Tiba-tiba saja, entah dar i m ana, ada tangan yang langsung saja meraih baskom yang penuh dengan tum pukan melati itu. Dan entah bagaim ana, baskom melati ter pe lanting dan terdengar bunyi gedumbrangan di lantai.
Ratusan kuntum melati kecil yang ber nasib sial itu jatuh
ter burai-burai bersam aan dengan jatuhnya suara cempreng
bas kom yang terbuat dar i kaleng itu.
Bersam aan dengan suara ber isik itu, geremengan
surat Yasin di dalam terhenti seketika. Aku tak kuat lagi.
Mencari Seikat Seruni Aku bar u menyadar i, ter nyata tangan ku yang menyebabkan
bunyi ram ai itu. Dan entah bagaim ana, hanya dalam beberapa detik aku sudah berlar i dan berlar i ke belakang.
Aku berlar i diir ingi tatapan heran ratusan pelayat. Ser un i.
Ke m ana aku bisa mendapatkan bunga ser un i yang selalu
diingin kan Ibu" *** Am sterdam , April 1957 De Groene Bar selalu m enjadi t ujuan Bea dan ak u,
jika kam i ingin bert ingkah sem auny a. Lebih tepat ny a: jika
Bea sedang gatal ingin lelak i dan ak u sedang haus m encari
alkohol. Kam i m em ang baru saja m endekam seharian
dengan Sen se and Sen sibilit y kary a Jane Austen, sebuah
no vel y ang harus kam i disk usikan besok, sem entara ak u
he ran sekali kenapa tahun pertam a kam i dijejali oleh novelnovel kary a penulis Inggris abad 19 y ang selalu m engkhaw at irkan jodoh dan harta. Bea dan ak u m ulai gelisah.
Austen m em buat kam i resah dan bosan. Keli hatan ny a ak u
but uh lelak i dan alkohol.
Bea m eny eretk u sem bari berbisik. Asap rokok ny a m engepul m engham bur ke m ukak u. Dia m em bisikkan sat u
na m a di telingak u sem bari cek ik ikan. Mendengar usulny a,
ak u m alah tak bersem angat.
"Malas ah! Ak u tak berm inat pada lelak i Indonesia."
"Yang ini berbeda..."
"Apany a y ang berbeda" Mereka sem ua selalu m enghak im i; rajin t idur dengan perem puan Belanda tapi ingin
kaw in dengan perem puan Indonesia y ang m anis dan penurut," ak u m eny am bar jaketk u, "k ita ke Kalverst raat persim pangan Spui saja."
Leila S. Chudori "Naaaaaay, k ita ke De Groene Bar," Bea setengah m em ak sa.
"Bosan! Penuh snob."
"Biarkan. Percay alah, ada lelak i ganteng it u m alam
ini. Kau harus lihat."
Hany a dalam w akt u setengah jam , t iba-t iba saja ak u
sudah berada di De Groene Bar y ang penuh sesak; bukan
saja oleh m ahasisw a Vrije dan Gem eentelijke Universiteit,
tetapi lengkap dengan arom a t ubuh m ereka y ang m alas
m an di bercam pur dengan asap rokok dan alkohol. Bea m em ang sialan. Ak u tak berm inat m engunjungi bar ini, ka rena
90 persen pengunjungny a adalah m ahasisw a VU4 dan GU5
y ang m erasa diriny a sebagai senim an, intelekt ual, dan
ber t ingkah sok bohem ian. Mereka y ang baru saja kem bali
dari Sorbonne Universit y, Paris, hany a unt uk program pert ukaran sat u sem ester dan sem pat m elihat Sart re se kilas
dari jauh atau secara tak sengaja bertem u dengan pah law ank u, Sim one de Beauvoir. Biasany a m ereka ha ny a berani m enatap pasangan dahsy at it u; lantas di Am sterdam
para snob y ang dungu it u akan berkoar-koar m e rasa sudah berada di dalam lingkaran intelekt ual Eropa.
Dari tem patk u berdiri, ak u bisa m elihat Prof Ern st van
Dijk, seorang penulis Belanda terkem uka y ang dikagum i
para m ahasisw a (atau m ahasisw i tepat ny a; karena ak u


9 Dari Nadira Karya Leila S. Chudori di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tak pernah m elihat dia berjalan dari sat u kelas ke kelas
lain tanpa entourage). Ada t iga m ahasisw i y ang duduk m engelilinginy a, dan dua m ahasisw a y ang m em esan anggur
m e rah. Salah sat u m ahasisw i, y ang blonda tent u saja,
m eng gelant ungkan lenganny a ke atas bahu sang profesor.
Vrije Universiteit. Gemeentelijke Universiteit.
Mencari Seikat Seruni Tiba-t iba m ata Prof Van Dijk m enangkap pandangank u. Dia terseny um dan m elam baikan tangan agar ak u
m eng ham piri m ejany a. Ak u pura-pura tak pa ham dan m eny ibukkan diri dengan Bea.
"Bea, ak u tak tahan gerom bolan preten sius ini...," ak u
m e narik lengan Bea. Tetapi tangan Bea m enunjuk pada seorang barkeeper y ang sedang m eladeni seorang m aha sisw a beram but panjang blonda y ang m engenakan sepa sang
ant ing y ang besar, bulat, dan panjang. Bar Man it u m em berikan sat u gelas jonge 6 pada si blonda. Dari ke jauh an,
dan dari cahay a bar y ang m inim , ak u bisa m elihat sebuah
w ajah Asia (atau jazirah Arab atau Afrika Utara") y ang
tam pak terlalu serius dan sant un di tengah reriuhan m aha sisw a gondrong, k um el, dan bau badan ini.
Tiba-t iba saja, tanpa sadar ak u sudah m eluncur m endekat i bar. Past i t ulang hidungny a (y ang m ancung it u)
ter buat dari m agnet dan seluruh t ubuhk u terbuat dari besi
m urah-m eriah y ang bersedia m eny eret-ny eret diri unt uk
berpelukan dengan m agnet ini. Dan sang m agnet it u m enatapk u hany a dengan sat u lirikan y ang tajam .
"Mau m inum apa?"
Lo, dia tahu ak u bisa bahasa Indonesia"
"Kasih dia Ouwe 7...," kata Bea cek ik ikan, "ak u pilsje."8
Ak u diam , dan lelak i m ancung y ang bisa berbahasa
Indonesia it u m engam bil m inum an y ang dipesan it u sam bil
m atany a tetap m enatapk u.
"Kam u dari Jakarta...," katany a y ak in.
"Say a bet ul-bet ul m eny angka kau dari Lebanon atau
Maroko." Sejenis gin Belanda. Sejenis gin Belanda. Bir Belanda. Leila S. Chudori Dia m endorong gelas Ouwe it u ke depank u.
"Ya, bany ak y ang m eny angka ak u dari jazirah..."
"Jadi... kam u dari m ana" Bukan dari Jakarta?" Bea
ber tany a sam bil m elirik kenes. Si lelak i ganteng dan m ancung it u m encoba m eny ibuk kan dir i dan m eng gu m am kan
sebuah kata y ang tergilas di dalam jeritan suara rom bongan m ahasisw a y ang sedang bertepuk tangan di m eja
paling ujung. Entah siapa y ang sedang berulang tahun
atau m ungk in m eray akan werkstuk 9 y ang m endapat pujian; ak u tak peduli. Belum sem pat ak u m em inta dia m engulang ucapanny a, Bea m em buat sebuah alasan y ang berbau "dusun" bahw a dia harus m enem ui Christel di m eja
lain. Bea m eninggalkan bar sem bari m engedipkan sebelah
m atany a. Si lelak i ganteng terseny um . Barulah ak u m elihat, dia
m em ang dari Indonesia... Entah seny um ny a atau m ungk in bent uk daguny a, tetapi sekarang ak u y ak in dia orang
Indonesia. Ak u m erasa seseorang m em perhat ikan ak u
dari jauh. Profesor m aha tahu it u m enatapk u.
"Kenapa dia?" tany a sang lelak i ganteng it u dengan
nada curiga. Ak u m eneguk Ouwe it u, tak peduli, "Past i dia m au
m e nagih werkstuk y ang terlam bat."
"Menagih werkstuk di bar?" sang lelak i terseny um
dengan dalihk u. Sem ak in m agnet ik.
"Prof Van Dijk dan entourage sedang m em bicarakan
per tem uan m ereka dengan Sart re dan Sim one...," katak u
ter seny um . Dia tertaw a m endengar suarak u y ang tak
tahan unt uk t idak m engejek.
"Biarkanlah dia bangga dengan pertem uan-pertem uan sekejap, m esk i hany a sebagai peserta sem inarny a,"
Makalah atau paper. Mencari Seikat Seruni suarany a terdengar t ulus. Lelak i ganteng di balik bar y ang
m agnet ik it u kem udian m enggosok tanganny a dengan lap.
Lalu m engam bil jaket ny a.
"Mijn werk zit erop.10 Ak u antar kam u pulang."
Siapa y ang m au pulang" Tapi ak u sudah m enem ukan
dirik u sepert i besi y ang m engik ut i lelak i y ang m agnet ik
it u; y ang m enggiringk u berjalan m em belah angin m alam
di aw al m usim sem i di Am sterdam . Tidak terlalu dingin
unt uk uk uran Belanda; tetapi kam i, para inlander, tent u
saja m engenakan jaket. Lelak i y ang seluruh t ubuhny a terdiri dari m agnet ini hany a m encangk ing jaket ny a di balik
bahu. "Keluarga say a dulu t inggal di Bogor, lalu belakangan
pindah ke Jakarta...," katany a m elangkah perlahan-lahan.
"Lum ay an terbiasa dengan udara sejuk."
"Siapa nam am u?"
"Bram ant y o."
"It u nam a Jaw a."
"Ibu say a m em ang orang Jaw a. Ay ah say a dari
Cirebon." Kam i m asih berjalan dalam diam . Tiba-t iba saja ak u
m e rasa langit Am sterdam sungguh cerah.
"Say a adalah pohon y ang t um buh dari langit..."
"He?" "Ibu say a lahir di Lam pung; ay ah dari Palem bang,
jadi say a t um buh dari langit, tanpa akar..."
Bram terseny um , "Kam u lahir di m ana?"
"Di Jakarta." "Dan it ulah akarm u."
Ak u tak bisa tak terseny um .
Kerjaku sudah selesai. Leila S. Chudori "Past i w akt u lahir, orangt uam u tak lupa m em beri
nam a." Dia lucu juga. Dan sabar.
"Kem ala. Nam ak u Kem ala."
"Masih tahun pertam a di VU?"
Ak u terseny um , "Terlalu kelihatan y a?"
"Tahun pertam a selalu penuh dengan anak-anak
y ang gelisah, y ang m encoba m em berontak dari hidup
y ang sudah dipetakan orangt uany a."
Dia pengam at m anusia y ang ulung.
"Kam u sudah senior di VU?"
Bram anty o m engeluarkan sebungkus rokok, lalu m e na w arkanny a padaku. Aku m engam bil sebatang. "Di GU...."
Ak u m engangguk, "Jadi kam u term asuk rom bongan
jenius..." "Jenius?" "Anak-anak y ang dapat beasisw a."
"Say a terpak sa m enem puh pendidikan di universitas
y ang m au m em berikan beasisw a. Sem ula ak u m enem puh
pen didikan di Fak ultas Kedokteran Hew an di Bogor, karena hany a jurusan it u y ang m em berikan beasisw a. Lalu
ada selek si beasisw a di GU, ak u langsung ik ut karena sudah lam a ak u ingin belajar polit ik dan ekonom i..."
Ak u diam . Tapi dia past i tahu, kekagum ank u padany a
sem ak in berlipat, karena ak u sem ak in m erapatkan t ubuh.
Bukan karena kedinginan, tetapi karena ak u besi dan dia
m agnet. "Kam u m au am bil apa?" tany a Bram ant y o sam bil
m e ny alakan api unt ukk u. Jariny a m eny ent uh telunjuk tangan k u. Cuk up sek ilas, tetapi cuk up m eny et rum . Mungk in kah m agnet m engeluarkan set rum "
Ak u m enghem buskan asap unt uk m enekan-nekan
Mencari Seikat Seruni set rum an sialan it u, "Mungk in sast ra... ak u belum tahu.
Ma hasisw a Sast ra Inggris dan Sast ra Prancis kelihatan
se pert i sek um pulan snob y ang dungu. Sibuk m engut ip
nam a-nam a besar di dalam set iap kalim at m ereka. Lalu
sejak Fran z Kaf ka m enjadi m ode di sini, set iap m a hasisw a
sast ra akan m engut ip dia. Pathetique! Ak u tak m au m enjadi
salah sat u gerom bolan pathetique."
"Entourage Profesor Van Dijk?"
Bram ant y o terny ata m engetahui para sosok di VU.
"Dia past i m engincarm u sejak lam a. Dalam entourageny a biasany a harus ada sat u barang ek sot ik," kata Bram
tanpa em osi apa-apa. Datar.
Ak u t idak m enam bahkan observasiny a, karena segala y ang dikatakanny a sudah tepat. Bram terseny um dan
m eng hem buskan asap rokok ny a. Ak u heran m elihat w arna k ulit ny a. Jangan-jangan seluruh t ubuhny a terbuat dari
m agnet. "Ak u sudah tahu m odus operandiny a. Bea sudah pernah t idur dengan dia. Pertam a, Van Dijk akan m engail
per hat ian para m ahasisw i dengan analisis dia terhadap
kary a-kary a y ang buruk. Dia akan m engeluarkan kalim at
cerkas, y ang m em buat k ita ik ut m enertaw akan para penulis wan nabe di Eropa. Lalu, ket ika m angsa sudah m ulai bersedia m enggelay ut di lenganny a atau di leherny a,
dia m ulai m em bisikkan beberapa bait sajak ciptaanny a.
Yang pa ling rom antis. Ditem ani anggur m erah. Selebihny a
m e reka akan bergulat sam pai pagi... habis-habisan. Dia
sangat ahli di tem pat t idur."
Bram diam m endengarkan ulasank u.
"Kam u y ak in it u cer ita dar i Bea; bukan pe ngalam anm u?"
Ak u bisa m endengar segelint ir kecem buruan di dalam
pertany aan Bram ant y o.
Leila S. Chudori "Dia bukan selerak u."
Bram antyo berusaha m eyakinkan dirinya sendiri bah w a aku sedang m enceritakan pengalam an Bea; bukan peng alam ank u sendiri.
"Kalau bukan sast ra, apa pilihan keduam u?"
"Tidak ada pilihan kedua. Pilihan kedua m enunjukkan
hidup y ang terlalu tertata...," jaw abk u tanpa berpik ir. Ak u
terkejut dengan kalim at it u.
Bram berhent i m elangkah dan m enatapk u.
"Kam u cum a ingin m engoy ak-ngoy ak peta y ang dibuat orangt uam u."
Ak u terdiam . Lagi-lagi w arna k ulit ny a agak m enggang guk u. Mengganggu dalam art i y ang m eny enangkan,
te tapi m erepotkan gejolak darahk u.
"Kulit m u sepert i lelak i Maroko..."
"Ya?" "Berw arna bron z..."
Bram tertaw a. Giginy a putih dan rata, kontras dengan
k ulit bron z it u. Apartem enk u sudah kelihatan. Dan tiba-tiba
saja ak u tak ingin kehilangan segum pal m agnet bron z ini.
"Musim panas ini kam u m au ke m ana?"
"Mencari kerja... ak u puny a lim a orang adik di Bogor...
uang kerja di m usim panas sangat lum ay an."
Kerja. Tiba-t iba m alam m usim sem i m enjadi sem ak in
dingin. Ak u m enggigil. "Kam u ke m ana?"
Ak u terbat uk-bat uk m erasa sungkan m endengar rencana m usim panas Bram ant y o, seorang m ahasisw a, Bar
Man, berk ulit bron z it u. "Ngng... Bea m engajak ke pesta di
W ina. Lalu ak u akan bergabung dengan beberapa tem an
di Venice..." Bram m engangguk. Tidak m enghak im i. Tiba-t iba ak u
ingin sekali m asuk ke dalam jaket ny a y ang terasa hangat.
Mencari Seikat Seruni Dan t iba-t iba it ulah y ang terjadi. Lebih gila lagi, Bram
sam a sekali t idak terkejut dengan serangank u y ang begit u
m en dadak. "Ak u tak m au ke W ina dan ke Venice..."
Bram m alah m em elukk u sem ak in erat. Apakah m agnet terasa begini hangat; dan apakah ilm u fisika dulu sem pat m engajarkan bahw a m agnet bisa m engalirkan rasa
panas ke dalam t ubuh m anusia"
Malam it u kam i berbincang hingga pagi di kam ark u.
Kam i tak m elak ukan apa-apa, kecuali berpelukan dan berpegangan tangan. Dan it u sudah cuk up m eng ge tar kan k u.
Ak u lebih bany ak bercerita tentang buk u-buk u y ang
tengah k ubaca. Saat it u ak u baru m eny elesaikan She Came
to Stay dari Sim one de Beauvoir. Bram m endengarkan
oceh an k u dengan tenang. Matany a sepert i sebuah danau
y ang sanggup m enelank u.
"Tulisan siapa y ang kau kagum i?" tany ak u setelah
m e ny adari ak u berbicara bany ak. Bram terseny um . Hany a beberapa hari kem udian, setelah ak u m am pir ke apartem en ny a, ak u m elihat beberapa t ulisan kary a M. Natsir,
pem im pin Partai Masy um i.
*** J akar ta, 1992 Akhir nya kam i berhasil membuka gudang itu. Serom bongan debu menghambur. Yu Nina dan aku langsung saja
terbatuk-batuk; Kang Ar ya segera menyodorkan m asker.
Sementara mereka sibuk dengan perangkatnya m asingm asing untuk menghadang serbuan debu, aku lebih ter tar ik
pada sebuah peti antik kecil yang duduk sendir ian ditem an i
debu dan koran-koran bekas. Peti tradisional itu terbuat dar i
Leila S. Chudori jati, polos, berdebu, dan hanya dihiasi empat lempengan
perak di setiap sisi. Di sebelahnya terlihat beberapa tumpuk
koran dan m ajalah yang tak boleh dijual oleh Ayah (sebuah
la rangan yang ser ing diterabas oleh Ibu, ter utam a jika keuangan r um ah tangga sudah men ipis).
Kulihat Kang Ar ya mulai mengeluarkan beberapa kursi
antik yang rencananya akan dipoles oleh tukang antik langganan Ibu di Ciputat; tapi tidak kunjung ter jadi karena tak ada
uang. Yu Nina mulai mengger utu tentang orang-orang yang
me nanjak tua yang gem ar menumpuk barang-barangnya,
yang akhirnya tak pernah dinikm ati sam a sekali.
"Seper ti in i" Ngapain Ibu beli lampu seper ti in i... ada
enam biji...," kata Yu Nina mem indahkan beberapa lampu
duduk ber war na hijau. "Ada gompelnya lagi, siapa yang m au
menggunakan lampu in i?"
Aku hampir tak mendengar omelan Yu Nina. Aku juga
hanya mendengar sayup-sayup suaranya yang member i
in s tr uksi dar i balik m asker nya, agar kam i mem isahkan
barang-barang itu sesuai kategor i: kursi dan meja antik
yang m asih har us dipoles; beberapa pir ing, m angkok, dan
sendok-gar pu antik; beberapa buah lampu antik; dan terakhir buku-buku berbahasa Belanda m ilik Ibu dan Ayah
yang terletak di satu rak besar.
"Siapa yang m asih membaca bahasa Belanda?" Kang
Ar ya membuka-buka teks politik Ayah. Mataku m asih terpaku kepada satu peti jati itu. Suara ger undelan Yu Nina
dan komentar Kang Ar ya perlahan-lahan menghilang. Aku
duduk, menyemprot-nyemprot ingusku karena debu-debu
kurang ajar itu. Tumpukan koran dan m ajalah berdebu itu
ku pindahkan. Lalu, aku membuka peti yang tidak terkunci
itu. Tentu saja isinya bukan har ta kar un. Tetapi, seper ti
yang sudah kuduga, isinya adalah barang-barang pr ibadi
Mencari Seikat Seruni Ibu. Beberapa album foto, sebuah kipas hadiah Ayah untuk
Ibu, sebuah novel Sen se and Sen sibilit y kar ya J ane Austen
cetakan lam a sekali yang m asih utuh. Aku membuka beberapa halam an per tam a yang memperlihatkan beberapa catatan Ibu di tepi halam an. Tentu saja ditulis dalam ba hasa
Belanda. Aku yakin itu tulisan Ibu saat dia m asih kuliah.
Beberapa buku kar ya Simone de Beauvoir seper ti She Cam e
to Stay dan The Mandarin s juga m asih dalam kondisi yang
m asih bagus, bahkan desain sampulnya jauh lebih me nar ik
dar ipada m ilikku. Beberapa buku dalam bahasa Belanda
yang tak kupaham i ber tumpuk. Aku menyisihkan novel
kar ya J ane Austen dan Simone de Beauvoir itu, meski aku
sudah mem iliki versi bar u.
Mataku terhenti pada sebuah buku bersampul kulit
hitam . Nafasku terhenti. In i kelihatan seper ti sebuah buku
har ian. Tiba-tiba sebuah tangan merebut buku har ian yang
sedang kugenggam itu. "Kita baca sam a-sam a...," Yu Nina menukas.
Kang Ar ya yang sedang mengangkat kursi mem andang
kam i. Dia meletakkan kursi yang bar u saja dipindahkan dan
mendekat, lalu ikut duduk di sebelahku.
"Mau dibaca sekarang?"
Yu Nina membuka satu halam an dan mencoba mem bacanya keras-keras:
"Am sterdam , Juni 1957... Musim panas y ang m em bakar. Bram lebih sering telanjang dada dan dia...
Euuwwww..."

9 Dari Nadira Karya Leila S. Chudori di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Yu Nina melempar buku har ian itu ke pangkuan ku.
"Aku nggak m au baca tentang hubungan seks orangtuaku, euw, euw, euwwwww...," Yu Nina menutup kupingnya
sendir i. Kang Ar ya ter tawa terbahak-bahak. Aku merasa
puas melihat Yu Nina menyerah.
Leila S. Chudori "J adi menur ut dia, Dir... kita in i dibawa oleh bur ung
bangau... bukan hasil dar i aksi panas dua tubuh yang..."
"Euw... euwwwww...!!!" Yu Nina menutup kupingnya,
"Aku hanya m au mengenang orangtuaku sebagai pasangan
yang betul-betul sudah tua: berambut putih, berkulit ker iput, bersuara gemetar, dan organ tubuhnya sudah mulai
aus. Aku tak m au mengenang mereka sebagai pasangan yang
per nah muda dan panas bergairah... euwwww! Kalian yang
baca saja, dan laporkan padaku yang penting-penting. Ar ya,
keluarkan semua kursi!" tiba-tiba Yu Nina mengangkat
dir inya sebagai pimpro pembersihan gudang Ibu.
Aku membersihkan buku har ian Ibu dan menyimpannya di dalam ran selku.
*** Jakarta, 1964 Ay ah Bram m em ilik i w ajah gem bil y ang senant iasa
m asam . Kesank u, w ajah dan t ubuhny a begit u berat se olah
seluruh persoalan dunia harus disangga sendirian oleh ny a. Tapi ak u m encoba m em aham iny a. Dia m em ilik i enam
orang anak. Dan dia m em puny ai perat uran y ang sa ngat
ketat, tapi cuk up progresif di sebuah zam an y ang m em ent ingkan perkaw inan pada usia tertent u: sem ua anakny a hany a boleh m enikah jika m ereka sudah m en capai
gelar sarjana. Bahkan adik Bram , Rania, y ang m e nem puh
pendidikan kedokteran pun, tak boleh m enikah sebelum
dia selesai k uliah. It u hal y ang sangat berat, karena lazim ny a m ahasisw a kedokteran baru m encapai akhir m asa
st udiny a hingga enam atau t ujuh tahun. Tapi ay ah Bram
y ang selalu m asam it u bersik uk uh Rania hany a boleh
m enikah setelah selesai sekolah.
Karena it u, perist iw a perkaw inan Bram dengank u
Mencari Seikat Seruni sem ak in m eningkatkan w ajahny a y ang m asam . Bram
belum selesai k uliah, tetapi sudah berani kaw in. Dia bekerja
sem bari m encari naf kah tam bahan di De Groene Bar dan
m e nulis berita di kantor berita Indonesia Merdeka.
Tent u saja kam i tak perlu berk isah bahw a t ingkahk u
y ang t idur berm alam -m alam di apartem enny a m em buat
Bram gelisah dan serta-m erta m engajakk u kaw in. Dia sudah m antap. Ak u sudah m elekat. Bagik u hij is de m an.11
Bagi Bram , dia tak bisa berpaling lagi ke arah lain, selain
ke arahk u. Dan karena Bram adalah m uslim y ang taat,
se m entara ak u perem puan y ang sedang jat uh cinta pada
m uslim y ang taat, m aka kam i sepakat m enikah segera.
Kam i sepert i pasangan lengket y ang tak bisa dipi sah kan siapapun juga, bahkan oleh t unt utan akadem is. Munculny a t iga orang cucu y ang belum pernah ditem ui m ert uak u"karena jarak Am sterdam dan Jakarta"tak juga
m enghibur hat iny a. Tak heran jika w ajah gem bil it u sungguh sulit m em ben t uk seny um saat bertem u dengan ak u, m enant uny a
y ang m ung kin nam pak seperti seorang perem puan m uda
dan binal y ang m engaw ini putra sulungny a dan ber hasil
m e ngoy ak-ngoy ak peta y ang sudah digam barkan orangt uany a. Se orang perem puan y ang m eny ebabkan pen didikan anak su lungny a terulur-ulur. Dengan lahirny a Nina,
Ary a, dan Nadira, orangt ua Bram tak pernah m e ngetahui
pernikahan m a cam apa y ang dilalui putra sulungny a
(kecuali m elalui potret pernikahan kam i y ang sederhana
dengan kebay a pin jam an dan beberapa tangkai bunga
seruni putih y ang di selipkan di konde. Seruni. Bukan
y asm in. Bukan m aw ar. Seruni).
Dialah orangnya. Leila S. Chudori Pertem uan kam i y ang pertam a, sepert i halny a pertem uan kam i selanjut ny a, tak pernah berlangsung lan car.
Dia duduk di teras depan, rum ah m ereka di Gang Bluntas,
kaw asan Salem ba y ang selalu terasa gerah. Ha ny a beberapa rat us m eter dari Gang Bluntas, ak u bisa m en dengar
dem on st rasi m ahasisw a y ang berkepanjangan. Sua sana
polit ik sungguh panas. Tetapi, bagik u, tak sepanas y ang
ter jadi di rum ah keluarga Suw andi y ang guncang oleh keda tangank u.
Sem entara ak u m enggant i baju Nadira y ang selalu
basah oleh keringat dan m em andikanny a dengan bedak
y ang m endinginkan k ulit ny a; ak u m endengar buny i percakapan antara Bram dan sang ay ah, patr iarch keluarga
Suw andi. Ak u m em bay angkan Pak Suw andi, m ert uak u
it u, duduk di k ursi besar ruang tengah; sebuah k ursi y ang
hany a boleh disent uh oleh dia, sedangkan k ursi ist riny a
ada di sam pingny a. Tem bok antara kam ar depan, tem pat kam i "m engungsi", karena Nadira ingin t idur, begit u t ipis. Ak u bisa
m en dengar sem ua y ang terjadi, seolah-olah ak u berada di
ruangan y ang sam a. Nina dan Ary a y ang sudah "disita"
oleh para bibi dan pam anny a di halam an be lakang tengah
m enik m at i rindangny a pohon m angga y ang konon dulu
ditanam Bram saat dia m asih kecil.
"Jadi dia anak keluarga Abdi Yunus" Pengusaha y ang
dekat dengan istana it u?"
"Ya, Pak." Hening. "Sekolah apa di Belanda?"
"Tadiny a dia k uliah sast ra... lalu, y a lalu kam i kaw in
Pak, jadi..." Ayah Bram m em bersihkan kerongkongannya. Mungkin
Mencari Seikat Seruni di sit u ada dahak. Mungk in juga t idak. Bram tak m elanjutkan kalim at ny a.
"Jadi kam u kaw in dengan orang Sum atera..."
"Ada m asalah, Pak, dengan orang Sum atera?"
"Ndak...," Pak Suw andi kem bali m em bersihkan kerongkonganny a. "Sam a sekali ndak. Kaw an-kaw an Bapak
bany ak y ang dari Sum atera Barat, agam any a begini..."
Aku berasum si, "begini"pasti dilontarkan sam bil m eng acungkan jem polny a. Lalu ak u m endengar langkah se seorang y ang ik ut bergabung dalam disk usi (atau m onolog)
ini. Dari langkahny a y ang lunak, ak u m enebak past ilah it u
ibu m ert uak u. "Mak sud Bapak...," terdengar suara Bu Suw andi, ibu
m ert uak u, "apa dia salat, m engaji" Apa kalian m e nga jarkan m em baca Al-Quran pada anak-anak selam a kalian di
Belanda?" Bram terdiam . Baru kali ini ak u m endengar per tany a an sepert i it u.
"Sekolah ist rim u sudah selesai Bram ?"
"Tadi dia sudah jaw ab Bu, m ereka kan kaw in di negeri
Belanda it u, terus anak-anak lahir..."
Hening. "Mungk in orangt uany a dekat dengan PSI, Pak...," Bu
Suw andi berbisik. Hening. "Ary a sudah disunat Bram ?"
"Ya Pak, begit u lahir langsung disunat."
Terdengar suara keluhan kecew a Pak Suw andi.
"Bram ... kata Mang Priatna, kam u m em ilih Masy um i...,"
k ini giliran sang ibu m enginterogasi.
Oh, pem bicaraan bergeser dari sat u gum palan kekecew aan kepada gum palan kekecew aan lain. Mereka sudah kecew a tak dapat m eny ak sikan perkaw inan anak
Leila S. Chudori su lungny a di Belanda. Kelahiran ket iga cucuny a. Dan keny a taan bahw a m enant uny a adalah put ri pengusaha keluarga sek uler y ang tak terlalu pusing dengan kehidupan
spirit ual (kecuali jika spirit ualitas it u m elibatkan
alkohol). "Keluarga ini sudah t urun-tem urun keluarga N U, bagaim ana kam u bisa bergabung dengan Masy um i?"
"Ibu, say a akan selalu m enghorm at i pilihan polit ik
Bapak, Ibu, Ey ang Sur, dan Ak i. Tapi ini bukan kali pertam a ada y ang t idak m em ilih N U. Bibi Sam juga m em ilih
Muham m adiy ah. Say a m em ilih karena key ak inan hat i
say a." Kini Bram terdengar sepert i puny a otot. Suarany a
lebih bening dan ak u m em bay angkan k ilatan w arna bron z
dari k ulit ny a it u past i sem ak in bersinar.
"Key ak inan apa it u?" tany a ibuny a dengan nada y ang
lebih terdengar kecew a daripada keinginan tahu.
"Bu, k ita akan m asuk dalam perdebatan y ang tak ada
ujungny a. Posisi say a sam a dengan posisi Bibi Sam soal
N U. Say a m em but uhkan sebuah partai y ang sikapny a le bih
k rit is terhadap pem erintah; apakah it u di zam an Belanda
m aupun sekarang pem erintahan Bung Karno y ang sedang
dekat dengan k iri. Biarlah keluarga besar Suw andi tetap
m enjadi keluarga N U. Say a m em ilih ik ut Pak Natsir."
Hening. "Sudahlah Bu... sekarang prioritasny a keluarga Bram
dulu. Alham dulillah akhirny a Bram sudah selesai sekolah ny a. Sudah kem bali ke Jakarta, biarpun lam a betul selesainy a. Nah, kita harus ajarkan Islam dulu, biar m e nantu
dan cucu-cucu kita itu m engerti isi Quran. Soal Masy um i,
biar kita bicarakan nanti saja, y ang penting sam a-sam a
partai berbasis Islam ," Pak Suw andi m enegur istriny a.
Hening. Suara nafas Nadira y ang sudah lelap m engisi
kesuny ian y ang tak ny am an.
Mencari Seikat Seruni "Ya sudah, panggil ist rim u. Kita pik irkan bagaim ana
m em perkenalkan Quran pada anak-anak m u. Sepupuny a
pada sudah jauh belajarny a. Tapi past i Nina dan Ary a bisa
cepat m engejar ketert inggalanny a."
Ak u m endengar langkah Bram m endekat i pint u
kam ar. Ak u buru-buru m eny ibukkan diri, m enepuk-nepuk
paha Nadira y ang sebet ulny a sudah lelap bet ul. Tanpa
ber kata apa-apa, hany a dari pandangan m ata Bram , ak u
lang sung berdiri m eninggalkan Nadira y ang pulas m ering k uk di tem pat t idur.
Ay ah Bram m em ilik i w ajah gem bil y ang senant iasa
m a sam . Dia m enatapk u tanpa em osi sam a sekali. Ak u
m eng ham piri k ursiny a dan m encium tanganny a. Lalu ak u
m en cium tangan ibu m ert uak u. Dua gerakan y ang tak
per nah k ulak ukan seum ur hidupk u. Ak u terbiasa dengan
m en cium pipi, m encium bibir, m encium leher... te tapi m encium tangan" Kenapa tangan harus dicium " Ba gaim ana
jika tanganny a baru saja digunakan unt uk m e ny em prot
ingus" Atau bagaim ana jika seseorang baru saja kem bali
dari toilet dan... Ay ah m ert ua m endehem . Dahak ny a m engganggu
lagi. "Jadi... Kum ala..."
"Kem ala...," ak u m em perbaik i.
"Apa y ang kalian kenakan w akt u m enikah?" ibu m ert ua bertany a dengan nada y ang sangat sopan, m e nekan
rasa jengkel karena tak bisa hadir.
"Kebay a put ih, Bu..."
"Cara apa" Sunda" Jaw a?"
Ak u terdiam , "Cara... Indonesia."
Ak u berani bersum pah, k ulihat ada sekelum it seny um
y ang tersem buny i di pojok bibir ay ah m ert uak u y ang
gem bil. Nam pak ny a dia m erasa ist riny a terlalu rew el
Leila S. Chudori dengan hal y ang rem eh-tem eh.
"Lalu kondem u... kau bungk us dengan bunga apa"
Bunga m elat i?" tany a Bu Suw andi y ang sudah kehilangan
seny um . "Bunga seruni, Bu..."
"Seruni" Kenapa seruni?"
Hening. "Mem angny a susah m encari bunga m elat i di Belanda,
Bram ?" Ak u tahu, Bram tak m ungk in m em bohong.
"Bukan susah, Bu. Ak u m em ang m eny ukai bunga
seruni." "Tapi bunga..."
"Sudahlah. Bunga seruni atau m elat i, y ang pent ing
m ereka m enikah secara Islam ...," ay ah m ert ua m em otong
tak sabar. "Kalau dia suka seruni, y a seruni. Tak apa. Ijab
kabulny a lancar, Bram ?"
"Lancar, hany a sekali langsung jadi."
"Bagus." Bapak m ert ua m engeringkan tenggorokan.
"Nah, Kum ala... tadi Bapak sudah bicara dengan suam im u, anak-anak m u it u harus belajar m engaji..."
Ak u tak m enjaw ab. "Mereka datang ke Salem ba saja set iap hari. Atau
kalau m au gam pang, selam a libur ini m ereka t idur di sini
sa ja, ada bany ak kam ar..."
Jant ungk u berdegup. Ak u m elirik Bram .
"Mereka libur sekolah kan, Bram ?" ibu m ert ua bertany a.
"Ya Bu... tapi..."
"Bagus! Jadi Kum ala dan Bram nant i t inggal am bil
baju m ereka. Anak-anak m u t inggal di sini saja selam a libur
sekolah, biar kenalan sam a nenek-kakek ny a, kenalan sam a
Mencari Seikat Seruni sem ua pam an-bibiny a dan sepupu-sepupuny a sekalian belajar m engaji. Nant i nenek ny a juga m engajarkan salat
lim a w akt u." Ay ah Bram kem udian m enut up pem bicaraan dengan
m engangguk padak u; tanpa m enant i perset ujuank u. Dia
m engam bil tongkat ny a dan berdiri. Bedug zuhur sudah
terdengar, dan hany a beberapa det ik kem udian terjadi
hiruk-pik uk seluruh isi rum ah m enuju kam ar m andi unt uk
m em basuh t ubuh dengan air w udu. Dari jauh ak u m e lihat Ray, adik bungsu Bram , tengah m engajar Ary a unt uk
m e ngam bil air w udu. Ibu Suw andi dan Bram sudah m ening galkan ruang tengah, sem entara ak u m asih m e natap
bapak m ert uak u y ang berjalan dibant u tongkat.
"Ak u di sini saja, Pak."
Bapak Suw andi m enoleh. "Ak u akan salat kalau ak u ingin, kalau say a... siap,"
katak u m enatap m atany a.
Bapak Suw andi diam . Tapi, lagi-lagi, dari w ajah gem bil y ang m asam it u, ak u m elihat sinar m ata y ang sangat
ra m ah. Dia m eny odorkan seuntai tasbih y ang sejak tadi dipegangny a. Seuntai tasbih berw arna cokelat polos. Sangat
sederhana. "Kalau begit u, Kum ala, pegang ini saja..."
Ak u m enerim any a. Ak u bahkan lupa unt uk m em perbaik i cara dia m engucapkan nam ak u. Unt uk selanjut ny a
ak u akan m em biarkan dia m em anggilk u Kum ala, karena
entah bagaim ana, ak u bisa m elihat sinar y ang ram ah dan
t ulus y ang tersem buny i di balik w ajah y ang m asam it u.
Ucapan terim akasihk u m ungk in tak terdengar, karena
bapak m ert uak u kem udian berjalan tertat ih m enuju kam ar m andi.
*** Leila S. Chudori J akar ta, 1991 J enazah Ibu akan dim akam kan setelah salat J um at.
Ber baskom -baskom bunga melati di dapur itu m asih menumpuk sementara geremengan pembacaan surat Yasin
sem akin nyar ing. Kulihat Yu Nina kin i sudah bisa berdir i dan
keluar dar i kam ar diir ingi dua orang bibiku yang mem apah
Yu Nina, seolah dia sudah lumpuh total. Kedua m atanya
bengkak. Kenapa aku m asih saja belum bisa mengeluarkan
air m ata sebutir pun"
"Dira..." Aku mengenal suara itu. Utara Bayu. Bagaim ana dia bisa menyelip ke dapur, di
antara puluhan bibi dan pam an yang begitu banyak, yang
sedang wara-wir i tak ker uan" Utara mendekat. Apakah
wajah dingin dan galak sehar i-har i di kantor itu sebuah
topeng yang dia tanggalkan" Utara memegang tangan ku
dengan kedua tangan nya. "Saya ikut berduka cita."
"Ter im akasih..."
Lalu dia berbisik, "Bunga ser un i bisa kamu car i di
sin i... agak jauh. Tapi kalau kita ngebut, saya rasa kita bisa
kembali tepat waktu."
Aku menatap ker tas kecil yang diserahkan Utara
kepadaku:

9 Dari Nadira Karya Leila S. Chudori di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Daisy Nursery, Cileum ber, Jaw a Barat.
Hanya satu menit kemudian terdengar suara Nina
member i per intah kepada pembantu di dapur untuk meracik kembang melati menjadi untaian yang akan diletakkan
di atas jenazah Ibu. Aku melipat ker tas yang ber isi alam at
itu dan mengembalikan nya kepada Tara. Aku mencoba menyusun kalim at: bagaim ana Tara tahu aku sedang mencar i
Mencari Seikat Seruni bunga ser un i" Tetapi sementara hatiku sibuk ber tanya, dar i
mulutku m alah meluncur kalim at yang menggelegar:
"J angan!!" Beberapa tangan yang semula akan meraup kembang
melati di atas baskom itu berhenti seper ti patung. Yu Nina
terkejut. Semua yang tengah sibuk di dapur terdiam . Untung
saja kegiatan pengajian m asih berlangsung, karena aku
m asih bisa mendengar geremengan surat Yasin.
"Aku akan mencar i bunga ser un i untuk Ibu...," kataku
pada Yu Nina. Yu Nina mendekatiku dan nampak ber usaha menekan
rasa m arah, "Bunga... apa?"
"Ser un i... bunga ser un i..."
Yu Nina melangkah lagi hingga jarak kam i begitu dekat.
"Bunga ser un i?"
"Aku akan mencar i bunga ser un i untuk Ibu," kataku
mengulang ucapan ku. Aku melihat beberapa bibi menjauhkan baskom melati
dar i kam i berdua. Barangkali mereka khawatir akan ter jadi
sesuatu; entah apa. Yu Nina memegang kedua bahuku, seolah aku anjing galak yang siap menerkam jika perm intaannya tak dika bulkan.
"Nadira..." "Aku akan mencar i bunga ser un i untuk Ibu!" aku mengucapkan kalim at itu dengan tekanan yang yakin.
"Nina!" Kakek yang sudah tak gembil, dan sudah tak m asam itu,
ber dir i di belakang Yu Nina. Bukan saja dia kehilangan lem ak di tubuhnya, tetapi dia juga kehilangan daya hidupnya.
Ada kesedihan yang sungguh mendalam yang bisa kubaca
dar i m atanya. "Biarkan Nadira mencar i bunga kesukaan ibumu."
Leila S. Chudori Tiba-tiba saja Kakek Suwandi yang selam a ini nampak
dingin dan m asam saat mengajar kam i membaca Quran itu,
kini seper ti seorang lelaki tua yang bercahaya. Kepalanya
yang diselimuti rambut ber warna keperakan itu bersinar. Ge lom bang laut yang luar biasa itu kembali mendesak dadaku.
Tapi Ar ya yang tiba-tiba sudah muncul di sebelah Kakek
kemudian merogoh sesuatu dar i kantungnya. Dia melempar
kunci mobil landrover tua m iliknya. Aku menangkapnya
dan menar ik tangan Tara. Kam i men inggalkan Yu Nina yang
nampaknya m asih belum paham apa yang tengah ter jadi.
*** Am sterdam , Juli 1957 "Wajahm u berseri... sepert i..."
Bea m em bet ulkan kondek u dan m enjenguk cerm in.
Ak u m elihat w ajahk u y ang m engenakan rias y ang sangat
t ipis dan rapi. Entah dari m ana Bea belajar m em buat
konde sepert i ini; dan entah bagaim ana Johanna bisa
m enjahit kebay a put ih y ang terbuat dari brokat Belanda
y ang hargany a paling terjangkau.
"Sepert i bunga seruni...," kata Johanna sam bil m e m asang bunga seruni it u sat u persat u m enut upi kondek u.
"Mestinya kita m asih bisa m endapatkan bunga yasm in,"
Bea m enggerutu "Tolong am bilkan kotak y ang biru it u," katak u pada
Johanna. Kotak biru beludru it u adalah k irim an Mam a di
Jakarta. "O, Kem ala, ini indah sekali...," Bea m engeluarkan
seuntai kalung berm ata bat u t urquoise.
Aku m engenakanny a sepasang dengan giw angku. Setelah m em at ut-m at ut terakhir kaliny a, Johanna m em asang
Mencari Seikat Seruni sat u tangkai seruni terakhir di kondek u.
"Kam u akan m enjadi pengant in paling cant ik di
Am sterdam ...," kata Johanna.
"Di dunia...," kata Bea m em berikan buket kem bang seruni ke tangank u.
Di cerm in it u, ak u m elihat seorang pengant in berbaju
put ih, berhiaskan kem bang seruni put ih. Pengant in y ang
paling berbahagia di dunia.
*** J akarta, 1991 Utara mem arkir mobil di depan toko kembang keenam
di J akar ta. Nadira bersikeras untuk mencar i bunga ser un i
di J akar ta. Har us putih. Tidak boleh kun ing; tidak boleh
merah. Celakanya, semua toko bunga yang didatangi hanya
menyediakan bunga ser un i ber war na kun ing. Tetapi Tara
tidak menyemprotkan sepatah kata pun yang ber isi protes,
meski jar um jam sudah menunjukkan pukul 12 siang.
J enazah akan dim akam kan setelah asar.
Belum selesai Tara menyelesaikan ur usan parkir,
Nadira sudah kembali dengan wajah lesu dan menggeleng.
"Mem ang cum a ada di Daisy Nursery...," gum am Tara.
"Bisa kita ke sana dan kembali lagi sebelum pem akam an?"
Utara berkon sultasi dengan jam tangan nya. Dia menginjak gas dengan sengit. Mobil landrover tua m ilik Ar ya
itu mender u, membelah semua rentetan mobil J akar ta.
Nadira hanya memejam kan m atanya dan tak ingin tahumenahu kecepatan mobil itu. Dia seper ti tengah melayang
ke luar bum i dan mempercayakan selur uh jiwa dan raganya
kepada Tara. Dia merasa berada di sebuah pesawat"yang
selalu tergambar dalam im ajinasinya jika ia ingin keluar
Leila S. Chudori dar i kesem rawutan dun ia"yang tengah melepas dir i dar i
banalitas di bum i; yang membuat semua kegiatan di bum i
terhenti hanya untuk beberapa detik. Dia hanya mendengar
sayup-sayup suara Lou Reed di dalam tape mobil. Hanya
bunyi rem yang bercer icit yang akhir nya membangun kan
Nadira dar i terbangnya. "Sudah sampai...," Tara berbisik ke telinga Nadira.
Nadira sungguh merasa bibir Tara sudah hampir menyentuh
telinga kanan nya. Tetapi begitu dia membuka m atanya,
aneh. Tara tampak duduk di belakang setir: dingin dan
kaku seper ti biasa. Nadira menoleh: Daisy Nursery. Dan dia melihat suatu
pem andangan yang tak pernah terbayangkan. Beratusratus atau mungkin ber ibu keranjang bunga ser un i tampak
membungkus toko bunga dan perkebunan itu. Di m anam ana, di m ana-m ana. Nadira terbelalak. Tiba-tiba saja
ada gelombang air yang menyerbu tenggorokan nya dan
dadanya. Dia merasa ada sebuah dam yang selam a in i
ter tahan dan membludak. Dia menoleh melihat Tara yang
tengah mem andangnya. Mata Tara, yang selam a in i selalu
dingin dan hanya ber isi per intah itu kin i tengah berkata:
bunga ser un i untuk Ibu.
Pada saat itulah ombak itu kembali bergulung-gulung
men desak dada Nadira. Dia tak bisa menahan nya lagi.
Nadira menangis tersedu-sedu. Air m atanya mengalir tak
ber kesudahan. **** J akarta, 31 J anuari 20 0 9-Maret 20 0 9
NINA DAN NADIRA SATU, DUA, TIGA... kepalany a m asih di dalam jam ban
it u. Beberapa det ik. Nadira m asih bisa bertahan dengan
arom a air kencing dan bacin y ang m enggelegak m asuk ke
dalam hidung dan m ulut ny a. Tetapi ia tak bisa tahan rasa
sak it dan perih ram but ny a y ang ditarik oleh Nina.
Sam pai hit ungan ke-10, Nina m engangkat kepala
adik ny a. Tepat ny a, dia m enjam bak ram but adik ny a dari
jam ban it u. "Uang siapa" It u uang siapa" Kam u curi dari m ana?"
Nina m enjerit di telinga adikny a.
"Uangku." Nina m enceburkan kepala Nadira ke dalam jam ban
ber isi air kencing itu. Lagi dan lagi dan lagi.
"Masih m au bohong" Uang SIAPA?"
Leila S. Chudori Kali ini volum e suara Nina m enggelegar, m erangsek
gen dang telinga Nadira. "Ngaku..., kam u m encuri uang belanja Yu Nah" Iy a"
Kam u m encuri" Ngaku!!"
"Uangku, Yu! Uangku," Nadira m enjaw ab, air m atanya
ber linang-linang bercam pur dengan air jam ban dan
kencing. "Mana m ungkin kam u puny a uang sebany ak itu. Ibu
tak pernah m em beri uang saku sebany ak itu. Bohong!
Bohong!" Nina kem bali m em asukkan kepala adik bungsuny a it u.
Lagi, lagi, dan lagi... hingga akhirny a Nadira ingin sekali
teng gelam selam a-lam any a ke dalam jam ban.
*** Mata Nina mengikuti aliran warga New York yang tak hentihentinya mengalir seper ti air bah. Para peker ja setengah
berlari seolah kantornya akan menghilang disapu angin jika
mereka tidak datang tepat waktu. Para peker ja perempuan
mengenakan rok, blazer, dan"ini khas New York"sepatu
kets yang nanti pasti akan diganti dengan sepatu berhak
lim a sentimeter saat mereka tiba di gedung tinggi pencakar
awan. Lalu para peker ja lelaki, mengenakan jas dan celana
ser ta dasi, membawa segelas kopi. Sebagian menghilang ke
bawah kerajaan subw ay; sebagian berdiri di pinggir jalan
berebut taksi. Nina melir ik arlojinya. Dia m asih mempunyai 35
men it bersam a Ruth Snyder untuk berkeluh-kesah. Tetapi
har i itu Nina tak ingin mengungkapkan bab m asa lalunya
dar i lem ar i dendam nya. Biasanya, 60 men it bersam a Ruth
Snyder tak per nah bisa memuat selur uh lautan isi hati Nina
yang membludak. Kali in i, Nina terdiam . Masa kecil mereka
di J akar ta berkelebatan, keluar-m asuk dalam ingatan nya.
Nina dan Nadira "Nina..." Nina tidak menjawab. Ruth Snyder, psikolog yang sudah menem an inya selam a dua tahun terakhir selalu sa bar
jika Nina mulai melamun mem andang keluar jen dela. Ruth
tahu, Nina tengah mengingat sesuatu: yang me nye nangkan,
yang menyakitkan. Ruth paham , Nina pasti tengah mengusir
kelebatan bayangan yang ser ing meng gang gunya.
Mata Nina kembali mengikuti aliran orang-orang New
York yang m asih tergesa-gesa dikejar pagi yang hampir
se lesai. Lam a-kelam aan mereka seper ti satu gar is yang
bergerak-gerak ke beberapa arah.
Nina tak berhasil mengingat apapun yang bisa dicer itakan kembali pada Ruth. Dia ter ingat sebuah per istiwa
yang paling mengganggunya; yang tak akan per nah dia cer ita kan kembali pada orang lain.
Jalan Kesehatan, Jakarta, Oktober 1973
"Nina..." "Ya, Bu..." Kem ala berdiri di depan pint u kam ar Nina. Wajahny a
pucat dan tam pak khaw at ir.
"Nadira dem am ... Ibu sudah kasih obat."
Nina terdiam , hat iny a berdebar. Dia sedang m em baca
di tem pat t idurny a. "Dia sedang t idur...," Kem ala berjalan m endekat i tem pat t idur.
"Ibu m encium ram butny a, bau pesing. Ada apa, Nina"
Kenapa dia basah-k uy up?"
Malam sudah t urun bersam a hujan bulan Oktober.
Nina t iba-t iba m erasakan angin m alam y ang tak ram ah
pada k ulit ny a. Ibuny a m em baw a sebuah m ajalah di
Leila S. Chudori tangan ny a. Dia m endekat dan duduk di pinggir tem pat
t idur. Tanpa se patah kata pun, ibuny a m eny odorkan m ajalah it u. Nina m e nerim any a dengan ragu.
"Bacalah." Nina m em baca sek ilas. Sebuah cerita pendek anakanak berjudul "Perjalanan ke Negara Biru". Penulis:
Nadira Suw andi. Kini desiran angin m alam it u sem ak in
m a rah; terasa kering dan panas. Tapi it u belum seberapa
dibanding pandangan ibuny a y ang m enghunjam . Ibuny a,
pe rem puan y ang m elahirkanny a, y ang m eny usuiny a, y ang
m engajarkan bagaim ana m em baca dan m encintai buk ubuk u hingga m ereka bert iga m em but uhkan buk u sepert i
m a nusia m em but uhkan ok sigen. Ibuny a y ang dengan sabar m engajarkan bahw a m ereka harus bersikap sopan dan
ram ah kepada siapa saja jika ingin diperlak ukan de m ik ian
oleh orang lain. Ibuny a y ang m engajarkan m ereka ber t iga
unt uk m em perlak ukan sem ua orang dengan baik, tanpa
m elihat w arna k ulit, jender, stat us sosial, agam a, atau perbedaan pem ik iran. Dan ibuny a y ang m engajarkan bah w a
sebagai kakak tert ua, dia harus m enjaga dan m eraw at
adik-adik ny a. "Nadira bukan seorang pencuri, Nak. Uang y ang dim ilik i Nadira adalah honorarium dari cerita..."
"Bu!!" Nina m enubruk ibuny a. Kem ala m erasakan bahu ny a
basah oleh air m ata Nina.
*** "Saya tak per nah m inta m aaf pada Nadira."
Ruth mem andang Nina dar i balik kacam atanya.
"Com e again?" "Saya tak per nah m inta m aaf pada Nadira."
Nina dan Nadira Ruth mempunyai sebuah buku sakti yang ber isi semua
catatan pasien nya. Buku sakti itu tebal dan bersampul kulit
itu selalu dipangku sambil mendengarkan pasien nya yang
lazim nya tiduran di sofa panjang di hadapan nya. Nina adalah salah satu pasien nya yang jarang menggunakan sofa
itu. Dia lebih suka berdir i di muka jendela dan mem andang
keluar, menyaksikan New York di pagi har i.
"Kenapa tidak?"
"Saya merasa lebih bersalah pada Ibu."
"Kenapa" Kamu menyiksa adikmu; menuduhnya mencur i uang. Kamu ber utang pada adikmu. Kenapa kamu merasa bersalah pada ibumu; bukan pada Nadira?"
"Ruth, saya pasti banyak melakukan kesalahan dalam
hidup in i. Tapi ada satu peraturan dalam hidup saya: saya
men coba untuk tidak mengecewakan orangtua saya. Saya
men coba menjadi anak sulung yang baik. Karena itu, saya
me rasa bersalah pada Ibu, karena saya telah mengecewakan
Ibu. Karena Ibu selalu ingin saya menjadi kakak yang menya yangi dan merawat adik-adik..."
"Are y ou?" Nina kin i duduk di sofa dan bersender. "Saya tidak
tahu, Ruth. Tapi yang jelas, saya tak per nah bisa mem inta
m aaf pada Nadira." "Bagaim ana perasaan mu?"
Nina mengangkat bahunya, seper ti tak peduli. Tetapi
Ruth Snyder terlalu tahu Nina yang tengah menyembunyikan
perasaan nya. "Saya hanya tahu, per istiwa itu sudah lam a
saya hapus dar i lem ar i ingatan saya. Saya tutup, saya kunci,
dan saya buang kuncinya ke lautan."
Ruth meletakkan pena dan menutup buku saktinya.
Dia melepas kacam atanya.
"Nina..., tugasmu sekarang adalah, car ilah kunci itu, ke
Leila S. Chudori dasar lautan sekalipun; kau ambil, kau buka kembali, dan
kau hadapi. Dengan dem ikian, kamu bisa berdam ai dengan


9 Dari Nadira Karya Leila S. Chudori di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

m asa lalumu. Setelah itu, bar u kita bisa melangkah m aju
membicarakan perkawinan mu dengan Gilang."
*** J akar ta, 1989 Sudah ham pir satu jam Nadira m enanti, tetapi Gilang
tak kunjung m uncul. Nadira m enengok arlojinya. Novel yang
sedang dibacanya kem udian ditutup, lalu dia m em utuskan
m engham piri m eja Raisa, sekretaris Gilang.
"Mbak Raisa..."
"Aduh, maaf sekali, Nadira. Pak Gilang masih di dalam,
saya tak berani mengganggu. Atau mau kembali lagi besok?"
Wajah Raisa betul-betul terlihat tak nyam an dengan
tingkah laku atasan nya sendir i. In i membuat Nadira jatuh
ka sihan. "Tak apa Mbak, saya tunggu. Kalau boleh tahu, siapa
tamunya" Orang dar i Depar temen P dan K" Atau Dewan
Ke sen ian?" Raisa menggar uk-gar uk leher nya dan mendadak sibuk
dengan komputer nya, "Bukan..."
Nadira kembali ke kursi dan bukunya. Setengah jam
ke mudian Nadira mendengar gerabak-ger ubuk. Dia mengangkat kepalanya. Akhir nya... akhir nya Gilang Sukm a
mun cul: tinggi, gondrong, penuh senyum . Tak lam a ke mudian, seorang perempuan berkulit putih, berambut pan jang,
ber tubuh sintal menyusul. Entah mengapa, Nadira se gera
memutuskan untuk pura-pura membaca, meski ekor m atanya tetap mengam ati tingkah laku Gilang dan pe rem puan
sintal berambut ter urai hingga pinggang itu.
Nina dan Nadira "Hai, Nadira!" Suara Gilang tak terlalu nyar ing, tapi Nadira hampir
me loncat dar i kursinya karena merasa ter tangkap basah
saat dia mengintip dengan ekor m atanya.
"Ya, Mas..." Gilang melambai-lambaikan tangan nya agar Nadira
datang menghampir i mereka. Gilang dan perempuan sintal
be rambut ter urai hingga pinggang. Nadira membereskan
buku ke dalam ran sel lalu berlagak tersenyum menghampir i
mereka. "Mia, ini Nadira, wartawan majalah Tera. Nadira, ini Mia,
calon penar i untuk koreografiku yang terbar u. Dia akan
menjadi Ken Dedes." Nadira langsung menjabat tangan Mia dengan sopan.
Mia yang ber tubuh sintal itu menyambut tangan Nadira.
Se telah mereka berbicara dan ter tawa kecil dan saling meme gang lengan dan leher, akhir nya Gilang terlepas dar i gelungan Mia, sang penar i ber tubuh sintal berambut ter urai
hingga pinggang. "Ayo, m asuk, Nad...," Gilang membuka pintu r uang
stu dionya lebih lebar. Nadira sudah mengenal studio
tempat Gilang berlatih dan ber meditasi. Gilang Sukm a
adalah salah satu narasumber di m asa awal Nadira menjadi
repor ter m ajalah Tera. Meski Nadira lebih banyak diputar
ke r ubr ik kr im inalitas dan politik, setiap kali Gilang Sukm a
akan mementaskan kar yanya yang terbar u, Nadira pasti
ditugaskan mewawancarai koreografer itu.
Ketika mereka duduk bersila, saling berhadapan,
Nadira hampir saja melontarkan per tanyaan yang sejak tadi
ber tengger di kerongkongan nya:
"Apa yang sedang kau lakukan, Mas" Apakah kamu
m a sih m ilik Yu Nina?"
Tetapi Gilang yang gagah, tampan, gondrong, dan kar is-
Leila S. Chudori m atik itu m alah asyik mencer itakan proses kreativitasnya.
Pada men it kelim a, saat Gilang mulai men ce r itakan tafsir nya
ten tang sosok Tunggul Ametung, Nadira lupa per tanyaan
yang akan dilontarkan nya.
*** New York, September 1992 Nina berjalan kaki sendirian di kawasan Greenwich
Village di sebuah sore. Nina tahu, inilah bagian New York
yang disukai Nadira di m asa lalu: bohem ian, berarom a
inte lek tual, dan membebaskan warganya untuk menjadi
dir i sendiri. Tetapi Nina lebih m erasa bergairah di tengah
Manhattan. Meski Greenwich Village berlokasi di Lower
Manhattan, Nina selalu berm im pi suatu hari dia m enjadi
ba gian dari Upper East, di mana kehidupan warganya adalah gambaran tokoh-tokoh Woody Allen: kaya-raya tan pa
m e m ikirkan sum ber uang; m enyaksikan opera se bagai bagian dari kegiatan akhir pekan; m engadakan m akan m a lam
yang m enggairahkan bersam a para penulis, editor, sineas,
dram awan, sem bari m em bicarakan karya-karya se nim an
ter kem uka di apartem en yang dindingnya dige lan tungi litografi dan patung karya senim an dari negara-negara Dunia
Ketiga (dem ikianlah para New Yorker m enyebut negara
seperti Indonesia). Nadira tak cocok dengan karakter Amer ika, kecuali
New York. Bagi Nadira, New York membuat dia bisa mem a ham i Woody Allen dan J.D. Salinger, dua sen im an
dun ia yang me lekat di hatinya. Tapi Nadira tak akan mem ilih Amer ika sebagai tempat tinggal. Alasan Nadira:
Amer ika mem aksakan kon sep m elt ing-pot, siapa saja yang
datang dan menjadi im igran, diceburkan dengan paksa ke
dalam m angkok be sar ber nam a Amer ika Ser ikat sehingga
Nina dan Nadira kepr ibadian asal sang im igran akan hilang sebagian, jika
tak selur uhnya. Kanada, menur ut Nadira, adalah pemegang
kon sep pot pour r i. "Menur ut saya Kanada sam a seper ti
Indonesia," kata Nadira dalam salah satu perdebatan nya
dengan Nina, "bersatu dalam keragam an nya."
Nina mencintai Amer ika, jauh lebih dalam dar ipada
cintanya pada tanah air sendir i. Seandainya dia tak men ikah
dengan Gilang Sukm a pun, Nina akan mencar i jalan untuk
pindah ke negara in i. Nina merasa cocok dengan keteraturan,
segala yang serba sistem atis dan rapi gaya Amer ika.
Itulah sebabnya Nina dan Nadira seper ti sepasang
rel kereta api yang lur us yang tak per nah ber m inat untuk
ber temu di tengah. Di sebuah sore di musim sem i, Nina mem ilih ber jalan
kaki di Greenwich Village agar ia bisa menemukan "kunci"
yang ia sudah lempar ke dasar laut.
Kunci... Nina tahu, dia tidak membenci Nadira. Dia tak akan
bisa membenci adiknya sendir i. Tapi sejak lam a Nina sudah
menyadar i, dia tak akan bisa hidup bersam a di bawah satu
atap; atau bahkan di satu kota bersam a kedua adiknya:
Nadira dan Ar ya. Dan penyebabnya" Ruth menyaran kan
Nina menyelam dan mencar i kunci yang sudah dia buang
jauh-jauh. Nina memutuskan duduk di salah satu bangku di
Washington Square Park. Musim sem i mem ang m asih men iupkan sisa-sisa angin dingin yang membuat pipinya beku
dan merah. Tapi Nina sudah akrab dengan angin New York.
Dia mencoba mengingat-ingat apa yang menyebabkan dia
tak bisa membicarakan Gilang pada Ruth Snyder. Ah, ya...
m alam itu. Leila S. Chudori Jalan Kesehatan, 1989 "Ak u akan m enikah dengan Gilang Suk m a."
Ucapan Nina sepert i sebuah bom y ang dijat uhkan
dari pesaw at ke sebuah tam an bunga y ang penuh kelinci
y ang berloncatan. Malam it u, keluarga Suw andi tengah m enik m at i
m akan m alam y ang terdiri dari pepes ikan m as, say ur
asem dengan ulekan kem iri y ang kental, sam bal terasi
y ang digerus tom at hijau dan cabe raw it, ikan asin jam bal
goreng, dan lalap jant ung pisang godog. Menu ini selalu
dinant i Ary a dan Nadira. Biasany a m enu it u tersaji set iap
tanggal 28, sehari setelah Ay ah m enerim a gaji. Tetapi sejak
Ary a m em ilih k uliah di Bogor, Kem ala m engadaptasikan
tanggal peny ajian m enu it u persis saat kedatangan Ary a
ke Jakarta set iap akhir bulan.
Nadira dan Ary a belum sem pat m em egang piring,
ke t ika Nina m engucapkan kalim at y ang m engguncang seluruh keluargany a.
"Gilang Suk m a... koreografer" Gilang Suk m a...?"Ary a
m enganga, "Kapan kalian saling m engenal" Say a bahkan
tak tahu kalian berkencan."
Nina tertaw a kecil dan m enarik k ursi. Dia m ulai m enciduk nasi sem entara orangt ua dan kedua adik ny a m asih
sepert i pat ung m enatapny a, m em inta penjelasan.
"Nina..." "Ya, Bu..." "Ini harus dibicarakan dengan serius..."
"Iy a Bu, Nina serius."
Bram m asih diam m encoba m encari kata-kata. Anak
sulungny a y ang cant ik dan cerdas it u akhirny a m e m ut uskan unt uk m enikah dengan seseorang y ang hany a dia
Nina dan Nadira kenal m elalui koran dan m ajalah. Seorang senim an y ang,
m enurut koran-koran, sudah m enikah dan bercerai t iga
kali! "Yu..., sudah y ak in" Ini Gilang Suk m a, Yu...," Nadira
m en coba m encari kalim at y ang tepat.
"Kenapa Gilang Suk m a?"
"Mau k ita beberkan biodatany a di m eja m akan?"Ary a
m enciduk nasi dengan em osional hingga terlihat nasi y ang
m enggunung di atas piringny a, "Tiga kali kaw in, t iga kali
cerai, pacar di m ana-m ana. Tany a Nadira, dia past i tahu
bet ul gay a hidup Gilang Suk m a!"
Tiba-t iba sem ua m ata m enatap Nadira. Det ik it u juga,
Nadira m erasa ada beban berat di pundak ny a. Seolaholah kalim at apapun y ang m eluncur dari m ulut ny a akan
m en jadi babak penent uan kehidupan kakak sulungny a.
"Ay o, ceritakan sem ua y ang kau k isahkan padak u,
Nad. Ceritakan bagaim ana dia biasa m em baw a penaripenariny a ke st udio, bukan hany a unt uk berlat ih tetapi..."
"Ary a." Suara Bram tegas, m esk i tetap tenang dan lem but.
Cuk up sat u kata, Ary a langsung m engunci m ulut ny a.
"Sebaik ny a k ita m akan dulu. Sesudah m akan, Ary a
dan Nadira tolong bant u Yu Nah cuci piring. Ibu dan Ay ah
akan berbicara dengan Yu Nina," Kem ala m em ut uskan
sam bil m eny odorkan piring ikan pepes pada Ary a. Ary a
m e nerim any a dan m enggrauk ikan pepes it u tanpa berpik ir.
"Tinggalkan pepes ikanny a buat y ang lain, Say ang,"
Kem ala m enegur. Unt uk lim a m enit pertam a, sem ua terdiam , m eny ibukkan diri dengan m akanan m enu Sunda y ang seharusny a
dahsy at di lidah. Tetapi berita ini m em buat ikan pepes
dan say ur asem buatan Yu Nah terasa ham bar. Ary a y ang
Leila S. Chudori biasa m elahap m akanan apapun"kalau perlu k ursi goreng
pun akan dia telan"hany a m engorek-ngorek ikan pepes
it u tanpa gairah. Bram berhasil m eny odok m akanan it u
ke m ulut ny a, m esk i ia tengah berpik ir, sedangkan Kem ala
sibuk m eny orong piring lauk kepada suam iny a, Nina,
Ary a, dan Nadira. "Gilang seorang peray u, Yu Nina! Dia bukan lelak i
y ang set ia." Nadira terkejut oleh ucapanny a y ang m eluncur be git u saja dari m ulut ny a, tanpa kont rol, tanpa sen sor. Terde ngar suara dent ing sendok dan garpu. Ary a m elipat
ke dua tanganny a dengan w ajah puas; dia m em andang
ka kak ny a. "Bukan cum a peray u, Yu Nina. Dia t ukang kaw in.
Tu kang kaw in. Yu Nina akan m enjadi ist riny a y ang keem pat... Tiga ist riny a diceraikan hany a setelah bebe rapa
tahun dia m enikah," Ary a tak tahan lagi m engeluarkan
fakta-fakta tentang Gilang Suk m a y ang sebet ulny a sudah
diketahui seluruh dunia. "Ary a, Nadira...," Kem ala m engeluarkan suarany a
y ang dingin. Ini nada suara y ang paling ditak ut i oleh ket iga anak-anak ny a. Tapi nam pak ny a Ary a dan Nadira sudah nekad m elalui garis y ang dibentangkan ibuny a.
"Bu, beberapa kali ak u w aw ancara Gilang di st udio,
selalu saja ada perem puan y ang..."
"Nadira!" Kali ini Bram m engeluarkan suarany a y ang berat.
Nadira terdiam . Dia baru m eny adari Nina m enunduk dan
terisak. Nadira baru m eny adari orangt uany a m encoba
m enjaga harga diri kakak ny a.
Say ur asem dengan kem iri giling y ang dahsy at it u
nam pak ny a sudah m ulai dingin; ikan pepes dan sam bal
tom at juga m enggeletak begit u saja di atas piring. Seluruh
Nina dan Nadira gairah unt uk m elahap m enu Sunda kesukaan keluarga
Suw andi it u sudah pupus hingga ke t it ik nol.
Sam bil bergum am unt uk perm isi dari m eja m akan,
Ary a kem udian berdiri dan m em baw a piringny a ke dapur.
Nadira kem udian m eny usul abangny a.
*** New York, 1992 Senja sudah turun di Washington Square Park, jantung
Greenwich Village yang selalu dipilih Nadira sebagai tem pat
m em baca buku. Di m asa Nadira sekolah di Kanada persis
sem bilan tahun silam , dia m em ilih Greenwich Village se bagai
tem patnya melarikan diri selama musim panas. Dia bekerja di
beberapa tempat"belakang panggung Off Broadway, m agang
di beberapa m edia lokal, dan bahkan sem pat m enjadi tukang
cuci piring di sebuah kafe"untuk m engisi koceknya selam a
m usim panas. Nina hanya sem pat m engunjunginya satu kali
di New York karena dia sendiri tengah m enyelesaikan kuliah
di J urusan Sejarah di kam pus Rawam angun Universitas
Indonesia. Musim panas tahun 1983, tiba-tiba membangun sebuah hubungan yang bar u tanpa sejarah. Tanpa ingatan
m asa lalu. Tanpa bercak-bercak hitam di dasar hati. Tentu
saja Nina dan Nadira mempunyai pandangan yang berbeda
ten tang New York. Bagi Nina, New York adalah kemegahan
dan keberhasilan kapitalisme yang bisa din ikm ati melalui
Empire State Building di m alam har i; sedangkan Nadira men ikm ati New York pada setiap senja di Washington Square
Park sambil membaca salah satu buku yang dibelinya di
toko buku bekas. Bagi Nina, New York adalah kekuatan
Wall Street yang menjadi kompas bagi pergerakan saham
Leila S. Chudori dunia, yang selalu membuat darahnya mengalir dengan
deras; atau Metropolitan Museum of Ar ts yang seakan tak
habis-habisnya member ikan peluang bar u bagi inter pretasi
sejarah. Nadira lebih suka keluar-m asuk teater kecil di Off
Broadway menikm ati per tunjukan teater eksper imental. Sekali waktu, ketika ada festival "Mostly Mozar t" di Lincoln
Center, bar ulah Nadira bersedia mengeluarkan uang
untuk menginjakkan kaki di gedung per tunjukan yang
ter m asyhur itu. Dua pekan itu adalah har i-har i yang menyenangkan
bagi Nina dan Nadira, meski sekaligus sem akin memperjelas: mereka seper ti sepasang rel kereta api yang tak akan
per nah bersentuhan. "Aku har us kembali ke sin i untuk S2..., NYU atau
Columbia," kata Nina dengan nada penuh cita-cita.
"Let"s drink to that!" Nadira mengacungkan botolnya.
Mereka mendentingkan botol ber isi soda sembar i mengunyah m akanan jalanan. Nina mem ilih pretzel, Nadira
me ngunyah falafel. Mereka menyusur i jalan di kawasan
Greenwich Village di sebuah sore di ujung musim panas.


9 Dari Nadira Karya Leila S. Chudori di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ke tika kaki sudah mulai lelah, mereka mem ilih duduk di
bangku panjang di Washington Square.
Di bangku panjang itulah, sembilan tahun kemudian
Nina merenung, mencoba mencar i-car i kunci yang dia lem par ke lautan. Bayangan har i-har i bersam a adiknya di New
York itu mungkin sebuah kenangan yang diseleksi untuk m asuk dalam kategor i: menyenangkan. Tetapi Ruth me nya rankan, jika Nina ingin bisa melangkah m aju dalam hidup secara sehat lahir-batin jika dia bisa menghadapi m asa la lunya
dengan tabah dan ikhlas. Dia har us mengambil "kunci" itu.
Nina merasa belum menemukan "kunci" yang dia
lem par ke dalam lautan m asa lalu. Mungkin karena dia
Nina dan Nadira men car i di tempat yang salah. Mungkin karena secara tak
sengaja, dia menyeleksi kenangan m asa kecilnya bersam a
Nadira. Nina menyadar i ada banyak per istiwa hitam yang
tak ingin diingatnya. Kenangan nya di Greenwich Village,
di selur uh urat nadi New York bersam a Nadira sangat
terang-benderang. Tapi kenangan yang lain" Di m ana dia
mengubur nya" Tenggorokan terasa ker ing. Nina memutuskan untuk
menghir up kopi di Cup of J ava, salah satu tempat kopi kesukaan Nadira di Greenwich Village. Sembari ber jalan, Nina
ter paku pada tumpukan poster-poster di din ding bangunan
yang tengah direnovasi. Salah satu poster per tunjukan Gilang
Sukm a beberapa bulan silam yang menampilkan Gilang
dengan dada telanjang dan hanya mengenakan celana batik
dalam salah satu posisi tar inya, ber judul Tunggul Am et ung.
Poster itu berada di antara tumpukan poster tua 42nd
St reet, Cats, dan Les Miserables.
Nina ingat saat-saat perkenalan awal dengan Gilang
ke tika dia tengah memulai proses penciptaan Tunggul
Am et ung. Nina sengaja menyembunyikan hubungan nya
dengan Gilang untuk beberapa lam a, karena dia tahu keluar ganya akan terlalu banyak tanya, ter utam a Nadira yang
me m ang sudah mengenal Gilang. Nina tidak ingin menjadi
spesies yang disorot di bawah m ikroskop; ter utam a jika
yang menyorot adalah kedua adiknya yang rewel itu.
Nina memejam kan m atanya. Semula, mereka hanya
se r ing menyaksikan film , per tunjukan musik, atau tar i di
Tam an Ism ail Marzuki. Sejak merasakan cium an Gilang
yang lebih lezat dar ipada es kr im van illa itu, Nina khawatir
pada dir inya sendir i. Dia akan mudah jatuh ke pelukan
Gilang seper ti seekor lalat tersangkut tanpa daya di jar ing
laba-laba. Leila S. Chudori Setiap kali Gilang mengajaknya untuk berkunjung ke
r um ahnya, Nina menolak. Tetapi, suatu m alam , Gilang
me ng undangnya menyaksikan awal penciptaan koreografi
Tunggul Am et ung di studio Gilang. Nina menyanggupi,
mes ki setengah ragu. "Aku akan ajar i kamu ber meditasi...,
ba gus untuk keseimbangan tubuh dan jiwa," kata Gilang.
Malam itu, dia melihat Gilang duduk bersila di atas
lantai kayu, di tengah studio yang luas yang dikelilingi cerm in. Gilang tersenyum mem andang Nina yang melangkah
m asuk. Begitu Nina mendekat, Gilang langsung saja menar iknya dan mendudukkan Nina di atas pangkuan nya.
"Katanya kau akan mengajar iku meditasi...," Nina mencoba protes dengan suara lem ah.
Gilang tersenyum . Ujung telunjuk Gilang menyentuh
dada Nina. Sekilas. Tapi itu cukup membuat Nina gelagapan.
Ketika tangan Gilang perlahan membuka kancing baju Nina
dan mengelus-elus buah dadanya, Nina akhirnya ter jun
masuk ke dalam tubuh Gilang. Dia menikmatinya. Luar biasa.
Tiba-tiba saja Nina merasa dirinya seper ti se orang penari
yang lepas, bebas, dan mampu mencapai se buah ketinggian
yang tak per nah dirasakan sebelum nya.
Sejak m alam itu, Nina tahu, dia tak akan bisa me le paskan dir i dar i Gilang. Gilang membuat dia merasa tu buhnya
begitu sempur na dan begitu hidup.
Nina membuka m atanya. Dia kembali berada di sebuah
senja di Greenwich Village. Tiba-tiba dia merasa suara
Nadira ada di m ana-m ana.
"Mas Gilang seorang peray u, Yu Nina!"
*** "Mengapa Tunggul Ametung" Mengapa tidak mengambil dar i pandangan m ata Ken Dedes, m isalnya?"
Nina dan Nadira Nadira ber tanya dengan notes dan pena di pangkuannya.
Gilang ter tawa, "Aku sudah menduga, pasti kamu akan lebih
ter tarik sudut pandang Ken Dedes."
"Oh, tidak. Tunggul Ametung pun menar ik, sosok yang
tragis, dan mungkin akan men imbulkan simpati," Nadira
bur u-bur u menjawab, "tapi kan saya har us tahu mengapa
Anda mem ilih tokoh in i sebagai sentral cer ita."
Gilang ter tawa terbahak-bahak, "Sudah m au jadi calon
ipar, m asih menggunakan kata "Anda"..."
Nadira tidak menyambut keakraban Gilang dengan
ser ta-mer ta. Dia mencorat-coret notesnya tanpa tujuan dan
ber sumpah-serapah dalam hati karena dia tidak mem iliki
ke ahlian seper ti Kr is, ilustrator jagoan itu, yang selalu saja
bisa membuat sketsa apa saja di kala jengkel.
"Kamu dan Ar ya m asih meragukan n iatku mengawin i
Nina." Nadira tak bisa menjawab. Bagaim ana dia bisa men jawab. Dia yakin penar i ber tubuh sintal dan berambut panjang hingga ke pinggang itu bar u saja bercinta dengan calon
kakak ipar nya itu. Gilang duduk di lantai, berhadapan dengan Nadira.
"Nadira... kamu per nah jatuh cinta?"
Nadira menger utkan ken ing.
Gilang tersenyum , "Aku mencintai Nina. Ber ilah aku
kesempatan untuk memujanya..."
Nadira tidak menjawab. *** Keris yang dielus-elus oleh Em pu Gandring itu bisa berdiri tegak di atas bum i. Ken Arok tercengang dan silau
oleh sinarnya. Perlahan dia m endekati dan m enyentuhnya
dengan ujung jarinya. Tiba-tiba saja Ken Arok m erasa silau
Leila S. Chudori oleh cahaya yang berkilau-kilau yang terpancar dari keris
itu. Gerakan Ken Arok berputar dengan satu kaki, diiringi
gamelan yang riuh-rendah itu menggelegak. Ken Arok tiba
pada kesadaran: keris itu adalah sebuah jalan m enuju kebesarannya.
Nadira menyaksikan itu semua dengan dada bergetar.
Gilang mengangkat tangan nya, gamelan berhenti. Para penar i berhenti.
"Kita istirahat dulu, kembali lagi setelah makan siang..."
Gilang mendekati Nadira yang sedang mencatat semua
latihan dan wawancara dengan penar i yang dilakukan sebelum nya. Gilang mengeluarkan rokok dan menyalakan
api, tersenyum melihat Nadira tampak bergairah setelah
menyaksikan sebagian ciptaan nya.
"Mas Sapto luar biasa, Mas..." Nadira m asih memberesbereskan notes, kamera, dan alat perekam . Gilang tersenyum , dia menar ik tangan Nadira, "Ayo, ikut..."
Nadira tercengang, tapi juga ingin tahu, ter pontalpontal menggeret ran selnya mengikuti Gilang yang setengah
ber lar i menyeberang studionya. Gilang berhenti duduk di
hadapan rak ber isi tape recorder besar lengkap dengan
sound sy stem . Dia menyalakan nya.
"Dengar..." Terdengar bunyi sitar lam at-lam at mengeluarkan nada
pentaton ik: nglangut, mengusap-usap hati yang penuh r indu. Nadira mendengarkan dengan lekat.
"In i musik untuk adegan per temuan Ken Dedes dan
Ken Arok...," kata Gilang perlahan mendekat. Nadira tak
menyadar i betapa dekat wajah Gilang dengan wajahnya.
Ia memejam kan m ata mendengarkan petikan sitar itu dan
mem bayangkan tubuh Ken Dedes disiram cahaya bulan.
Tiba-tiba, dia merasakan nafas arom a tembakau yang
Nina dan Nadira begitu dekat dengan nya. Im aji Ken Dedes hilang. Dan
begitu Nadira membuka m atanya, ter nyata wajah Gilang
sudah berada hanya beberapa sentimeter di depan nya...
*** New York, 1991 "Mas..." "Ya, Say ang..."
"Kam u past i lupa..."
"Ah... astaga... ak u lupa w akt u, Say ang... Musim
dingin selalu m engaburkan siang dan m alam ."
Nina terdiam . "Nina..., ak u harus m eny elesaikan tarian ini..."
"Ya, Mas... tak apa... Mas m asih di st udio?"
"Ya, ak u harus m editasi dulu, Say ang."
Nina m enut up teleponny a. Dia m elirik m akan m alam
ist im ew a y ang sudah disiapkan sejak dua jam y ang lalu. Ini
adalah hari ulang tahun perkaw inan m ereka y ang kedua.
Nina m eniup lilin m erah y ang sejak tadi m enari ke sanake m ari dan m eny im pan Chicken Cordon Bleu dan m ashed
potatoes kesukaan Gilang ke dalam oven. Dia m enuang
anggur m erah ke dalam gelas dan m eregukny a sam bil m e m andang keluar jendela apartem en. Tiba-t iba, y a t ibat iba saja, Nina m erasa ada y ang sesuat u y ang aneh. Dia
ber diri dan m engam bil jaket, topi, dan sy al, serta sarung
tanganny a. Udara m usim dingin di Brookly n pada jam sepuluh
m a lam m enggerogot i k ulit ny a. Nina berjalan dengan cepat m enuju stasiun subway. Wajahny a terlihat garang
dan nafasny a tersengal. Ada sat u kata y ang m eny angk ut
di otak ny a, di dadany a. Ada suat u bay ang-bay ang y ang
m e nggangguny a. Meditasi... m editasi. Apa y ang dianggap
Leila S. Chudori m editasi oleh seorang Gilang Suk m a selalu m elibatkan
akt iv itas ek st ra k urik uler.
Nina tiba di Greenw ich Village dan m em buru angin
m alam seperti seekor anjing betina y ang tengah dikejar
angkara-m urka. Di depan studio m ini Gilang, Nina m enghentikan langkah. Nafasny a tersengal. Dia ragu. Say upsay up dia m endengar buny i gendang. Nina m asuk dari
pintu sam ping. Gelap. Suara gendang itu sem akin jelas
m eray ap ke telingany a. Kini sem akin dekat, Nina m endengar
kom binasi suara gendang dan suara desah, suara-suara
erangan. Jantung Nina berdegup.
Meski gelap, Nina bisa m eny ak sikan sebuah adegan
m elalui jendela. Sebuah adegan y ang sangat dikenalny a.
Meski hany a ada seurai cahay a bulan y ang m eny elinap
m asuk ke lantai studio itu, Nina bisa m elihat Gilang duduk
bersila tepat di tengah studio. Seperti biasa, seperti beberapa
tahun silam , Gilang duduk bersila telanjang dada. Tapi kini
bahuny a y ang bidang dan dadany a y ang padat dan keras
itu ditutup oleh ram but panjang seorang perem puan y ang
duduk di pangkuanny a. Buny i gendang itu m enghentak
sem akin cepat, sem akin keras, dan sem akin riuh m engikuti
naik-turunny a gerakan perem puan itu.
Nina terpaku. Udara dingin New York telah m em buat
dia beku. *** J akar ta, 1989 "Ibu..." "Ya, Sayang..."
"Seandainya... ini seandainya, Bu..., sahabat Ibu di
Belanda dulu, siapa Bu?"
"Beatrice... Tante Bea, kenapa?"
Nina dan Nadira "Nah, seandainya Tante Bea jatuh cinta dengan seorang
lelaki. Lalu di suatu har i yang nahas, lelaki itu m alah merayu
Ibu..." Kem ala mem andang Nadira terkejut. Ken ingnya berker ut. Kegiatan m inum kopi pagi itu tiba-tiba terganggu
oleh sebuah per tanyaan yang tak lazim .
Nadira duduk di samping ibunya sambil mengadukaduk kopinya.
"Ada apa, Nad?"
"J awablah, Bu..., kalau itu ter jadi, apakah Ibu akan
member itahu Tante Bea?"
"Pengalam an Ibu mengatakan, perempuan yang jatuh
cinta mem ilih untuk menyangkal tingkah-laku pasangan nya
yang tidak setia. Mereka cender ung ber musuhan dengan
pem bawa ber ita bur uk itu."
Nadira terdiam , "J adi seandainya Ibu melaporkan per istiwa itu, Tante Bea pasti menepis..."
"Mungkin dia tak akan langsung percaya. Dia akan
meng interogasi kekasihnya; dan tentu saja seper ti biasa
sang le laki membantah. Dan Tante Bea akan menenangkan
dir i, me ngatakan bahwa itu laporan yang tak relevan.
Hubungan Ibu dan Tante Bea akan merenggang, karena
Tante Bea akan men jauhkan dir i. Dia tak ingin diingatkan
oleh in siden yang dianggap tak ada itu."
Kem ala menatap Nadira dengan tajam , "In i sebuah
pilihan, apakah kamu akan menjadi pembawa ber ita bur uk
itu atau tidak. Yang m anapun yang kamu pilih, r isikonya
sam a-sam a akan melukai Nina."
Nadira tersentak. "Bu, kalau ada sesuatu yang bur uk tentang pasangan
saya, saya pasti ingin mengetahuinya," kata Nadira dengan
nada yakin. Leila S. Chudori Kem ala tersenyum dan menggeleng-geleng, "Saya rasa
kamu tak ingin mendengar satu kata pun yang bur uk tentang orang yang kau cintai."
"J adi, kita menyaksikan Yu Nina dibohongi ter usmener us oleh Mas Gilang?"
"Kita menyaksikan Yu Nina belajar untuk menjadi
de wasa; belajar menghadapi r isiko dar i keputusan nya,"
Kem ala mengucapkan kalim at itu dengan tegas.
Kem ala mengusap-usap codet kecil di atas alis m ata
Nadira, "Nad, kamu ingat dulu Ibu per nah mengatakan apa
yang ter jadi kalau Ibu m ati?"
"Ya, Bu...," suara Nadira serak dan khawatir, "tapi saya
tak per nah membayangkan Ibu m ati. Untuk saya, Ibu adalah per wujudan puisi Chair il Anwar. Ibu akan hidup 1.0 0 0
tahun lagi..." Kem ala mengelus rambut Nadira yang berantakan,
yang tak mengenal sisir itu. Lalu ujung jar inya mengusap
codet di atas alis m ata kir i Nadira.
"Kamu paham mengapa Yu Nina selalu membutuhkan
dukungan moral dua kali lipat dibandingkan kamu atau
Ar ya?" Nadira menggelengkan kepala.
"Tidak Bu, tidak paham . Tapi saya yakin Ibu punya
alas an yang tepat."
Kem ala menghir up kopinya, "Kita harapkan saja dia
bahagia dengan pilihan nya, Nad..., dan Ibu m inta, kalian
berdua mendukungnya dengan ikhlas."
Nadira mengangguk. *** Nina dan Nadira Am sterdam , 1964 Sebuah codet kecil di atas alis m ata kiri Nadira m em pu ny ai sejarah.
Aku tengah m engepak barang-barang untuk dikirim ke
Jakarta. Sebulan lagi, kam i akan pulang. Salem ba Bluntas
m eny im pan bany ak teka-teki, salah satuny a: bagaim ana
reak si keluarga Bram nanti ketika berkenalan denganku,
m enantuny a. Dan aku m engusir rasa senew en itu dengan
m engepak buku-buku Bram untuk dikirim m elalui kapal.
Sore itu anak-anak sudah m akan dan m engenakan piy am a.
Aku sudah m engingatkan Nina y ang saat itu berusia enam
tahun untuk m enjaga adik-adiknya, karena aku hanya m au
m em anaskan susu Nadira. Sesekali kudengar suara Ary a
y ang m enjerit-jerit. Dia pasti sedang m engajak kakak adikny a untuk m eloncat-loncat di atas tem pat tidur.


9 Dari Nadira Karya Leila S. Chudori di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tiba-tiba, aku m endengar suara bergelundungan di
tangga. Lalu disusul jeritan Nina. Jantungku m eloncat dan
aku m elesat m enuju tangga. Astaga, Nadira sudah telungkup di lantai. Ini kali ketiga Nadira m enggelundung ke baw ah. Pada usia yang m encapai dua tahun"usia yang m erasa sudah bisa m enjelajah dunia"Nadira m em ang sukar
untuk patuh. Bram sudah m em asang gelang dengan lonceng
kecil di pergelangan kaki Nadira, agar aku bisa m endengar
jika Nadira yang bandel ingin turun tangga. Gelang itu
hanya berusia dua hari, karena Nadira tidak betah dan
m inta abangnya m elepas gelang itu. Sang Abang segera
m elepasnya dan m engutak-atik gelang itu m enjadi rentetan
m erjan y ang digunakan untuk m enim puk-nim puk Nina.
Aku segera m em eluk Nadira dan perlahan m engangkatny a. Dia tidak m untah, tapi aku tetap m em baw any a ke
pediatrik, agar m erasa am an. Terny ata Nadira baik-baik
Leila S. Chudori saja. Karpet budukan pem bungkus tangga kay u itu selalu
m eny elam atkan Nadira. Tetapi kali ini ada luka kecil y ang
m eny ebabkan kulit di atas alis m ata kiriny a sobek kecil.
Mungkin karena saat m encapai lantai baw ah, dahiny a m engenai m obil-m obilan m ilik Ary a. Kulit di atas alis Nadira
harus dijahit, tapi kam i boleh langsung pulang.
Tiba di rum ah aku m elihat Bram sudah berhadapan
dengan Nina dan Ary a y ang m enunduk ketakutan.
"Sudahlah Bram , aku tadi m eninggalkan sekejap untuk
m em buat susu..., bukan salah m ereka."
"Masakan m enjaga si kecil barang satu m enit saja tak
bisa," gerutu Bram , "say a dulu m enjaga adik-adik say a, tak
pernah ada goresan sedikit juga..."
Ak u m elotot m endengar ocehan Bram y ang gem ar
m em banding-bandingkan kehebatanny a sebagai seorang
kakak y ang m enjaga adik-adikny a. Aku m enidurkan Nadira
y ang sudah ny eny ak sejak di trem . Kulihat m ata Nina sudah
m ulai berkaca-kaca. "Kenapa, Nina?"
"Salah Nina, Yah... tadi adik lari-lari... lalu jatuh..."
Kini pipi Nina basah oleh air m ata. Aku tak pernah tega
m elihat anak-anakku m erasa bersalah. Tetapi tetap ada
y ang tak beres dari ceritany a.
"Ary a?" "Ya Bu?" Ary a m engorek-ngorek hidungny a.
"Ary a tadi m ain dengan adik?"
"Iy a Bu, m ain petak um pet... Adik y ang m inta... katany a,
y uk, Kang m ain, m ain, m ain...,"Ary a m em beri alasan sam bil
sibuk m enggali-gali lubang hidungny a.
Bram dan aku berpandangan. Kam i tahu, jika Ary a
sudah sibuk dengan kotoran hidungny a, artiny a dia sedang
m enutupi kesalahanny a. Nina dan Nadira Kulihat Nina m engham piri Nadira dan m engusapusap luka di atas alisny a.
"Ini lukany a bisa bikin otakny a adik rusak, Bu?" Nina
ter isak-isak. "O tidak, Nak..., itu sobek, sudah dijahit oleh dokter...
Otak adik bagus, sem purna...," jaw abku.
Aku m em utuskan untuk m enem ani m ereka tidur.
Sebelum m ereka m em ejam kan kata, kuceritakan lanjutan
kisah Mahabharata. Ary a y ang bandel, pengagum Bhim a
itu, m endengarkan dengan m ata m elotot.
"Jadi Ary a, Bhim a itu tak akan pernah m enutupi kesa lahanny a. Kalau dia berbuat sesuatu, dia akan m em inta
m aaf..., dia tak akan m em biarkan abang atau adikny a y ang
m engam bil alih tanggung jaw ab."
Aku m elirik pada Ary a y ang m em andangku dengan kedua bola m ata y ang m em besar dan m ulut y ang m enganga.
Upilny a terlihat m enggelantung di cuping hidungny a y ang
kem bang-kem pis. Itu pertanda dia m erasa bersalah.
"Bu..., tadi adik jatuh karena lari-lari sam a Ary a, bukan salah Yu Nina...," Ary a y ang ingin m enjadi Bhim a itu
lang sung m engucapkan pengakuan resm i.
"Ya, Ary a, Ibu tahu..."
Aku m encium Nina dan Ary a dan m erapatkan selim ut
m ereka. Ketika kupindahkan Nadira ke tem pat tidur kam i,
Bram m enggeleng kepala. "Kenapa Nina selalu harus m erasa bertanggung jaw ab
atas sem ua kejadian?"
"Mungkin karena dia m erasa anak sulung...," kataku
sam bil m engelus-elus luka Nadira.
Bram m enggeleng, "Dia selalu butuh pengakuan, bahw a
dia anak y ang bertanggung jaw ab, bahw a dia bisa diperhitungkan dan bahw a dia sudah cukup besar untuk diikutsertakan dalam persoalan orang dew asa," kata Bram .
Leila S. Chudori Jiw a y ang begitu tua dalam tubuh kecil berusia enam
tahun. Nina akan selalu kucintai dan kulindungi.
*** J akar ta, 1993 Nina membuka m atanya ketika selajur m atahar i pagi
menyerang m atanya. Dia melihat siluet Nadira membuka
tirai kam ar, lalu duduk di samping Nina yang m asih telungkup. Nina mem icingkan m ata, lalu menutup ke palanya
dengan bantal. Nadira mengacungkan gelas ber isi kopi panas
dan meletakkan gelas itu dekat wajah Nina. Cuping hidung
Nina bergerak-gerak. Dia ter paksa membuka m atanya dan
menyambar gelas kopi itu dar i tangan adiknya.
"You are so relentless!"Nina menggerutu, tapi toh menghir up kopi itu. Matanya kin i mulai terbuka.
Nadira tersenyum dan membuka semua tirai dan
jendela. "Sudah lim a har i, Yu... Kalau kam ar in i punya mulut,
pasti dia akan menjer it-jer it m inta dim andikan... Yu
Nina betah dengan bau kam ar in i" Sudah lim a har i tidak
dibersihkan...," Nadira mengger utu sambil membereskan
kotak pizza, bungkus m ie ayam , kaleng soda, tempat
yoghur t, bungkus es kr im , kotak pop-cor n, bungkus cokelat,
dan beberapa botol m ineral kosong yang menggeletak di
m ana-m ana. Celana jin s, rok, t-shirt, blus lengan panjang,
bra ber gelantungan di atas kursi, meja, tempat tidur.
"Kandang kambing jauh lebih bersih daripada ini, Yu..."
Nina melempar bantal ke arah wajah Nadira, tapi
Nadira berhasil menghindar. Dia ter tawa dan akhir nya ikut
tiduran celentang. Kin i mereka berdua berbar ing celentang tak berkata
apa-apa. Tapi Nina tahu, dalam beberapa detik, Nadira akan
Nina dan Nadira mem inta dia untuk men inggalkan segala kepedihan nya dan
memulai lembaran bar u atau saran-saran sem acam itu yang
dilontarkan seorang adik yang sayang pada kakaknya.
"Yu..." "Dira..., biarkan aku berkemah di kamar ini sampai busuk. Sampai aku betul-betul puas makan dan berak di sini..."
"J angan Yu, in i kam ar Ibu..."
Nina diam , kin i dia memejam kan m atanya bukan karena m asih ingin tidur, tetapi karena ingin melar ikan dir i
dar i percakapan yang sudah lam a dia ingin hindar i. Kedua
kakak-adik itu menatap langit-langit seolah bayang-bayang
ibu mereka berkelebatan di kam ar itu.
"Yu..." "Hm ..." "Waktu itu, aku per nah ber tanya pada Ibu..."
Yu Nina memejam kan m atanya, tapi Nadira yakin telinganya tidak tidur.
"Aku ber tanya pada Ibu, kalau saja Tante Bea..."
"Tante Bea?" "Ya, Tante Bea, sahabat Ibu yang di Am sterdam ..."
"Oh..." "Kalau Tante Bea punya kekasih, yah seandainya Tante
Bea punya kekasih, dan kekasih Tante Bea itu merayu Ibu...,
apakah Ibu akan melaporkan tingkah laku kekasihnya itu
pada Tante Bea?" Nadira bisa melihat wajah Nina yang tampak ber ubah.
Matanya m asih tetap ter pejam , tapi bola m atanya bergerakgerak. Bibir nya menger ut menahan dir i untuk tidak mengucapkan sesuatu.
"Ibu mengatakan perempuan yang dia kenal biasanya
cender ung menyangkal kenyataan bahwa suam inya atau
kekasihnya punya kecender ungan tidak setia. Mereka biasa-
Leila S. Chudori nya m alah akan menghajar siapapun yang membawa ber ita
bur uk itu..." "Ibu membuat generalisasi yang berbahaya," Nina
meng gum am . Nadira terdiam . Bar u kali in i dia mendengar Nina
mem bantah pendapat ibunya.
"Yu...," suara Nadira mulai serak. "Yu Nina har us betulbetul melupakan Mas Gilang. Sungguh, Yu Nina terlalu berharga buat dia."
Hen ing. Nadira membersihkan tenggorokan nya, memberan ikan dir i. Ia har us melakukan in i, agar kakaknya bisa kem bali sehat.
"Yu..., beberapa tahun yang lalu, sebelum kalian
men ikah... Mas Gilang..."
Nina mencengkeram tangan Nadira. Dia menggelenggeleng. Matanya m asih ter pejam , tapi air m atanya mengalir
ter us-mener us. Setelah lim a har i mengur ung dir i di kam ar
r um ah keluarga Suwandi di Bintaro, bar u kali in i Nina
menangis. "Aku tahu..., aku tahu..., tak perlu dicer itakan... Aku
tahu dar i cara Gilang bercer ita tentang kamu..."
Nadira memeluk kakaknya erat-erat seolah tak ingin
melepasnya lagi. Kepala Nina menyusup ke dada adiknya.
Tiba-tiba saja, Nina bar u tahu letak kunci yang dia lempar
ke dalam lautan itu. Dan kin i dia merasa sudah siap untuk
mem inta m aaf kepada adiknya.
**** J akar ta, Mei 1992-September 20 0 9
MELUKIS LANGIT UNTUK kelim a kalinya Nadira menekan nomor telepon r um ahnya dengan tak sabar. Masih nada yang sam a. Sibuk.
Sudah jam dua siang. Apakah Ayah tengah ber pidato di
telepon" Nadira membanting gagang telepon itu.
Yosr izal, yang sejak tadi mengintip dar i balik m ajalah,
ter tawa cekikikan. "Santai, ayahmu baik-baik saja."
"Taik. Kamu nggak tahu kalau Ayah sudah menelepon
Pak Mahmud" Gila. Lim a jam . Gagang telepon sampai panas, Yos. Isinya: pengalam an di penjara zam an revolusi yang
diulang-ulang. Selur uh rekam an pengalam an m asa la lu nya
sudah diputar di muka setiap orang."
"Ayahmu biasa mengisi har i dengan peker jaan jur nalistik. Sekarang dia ditinggal ter us oleh anaknya yang setan
Leila S. Chudori ker ja," Yos membuka-buka m ajalah Tera yang m asih hangat
sehabis keluar dar i percetakan.
Nadira melir ik sambil ter us memencet nomor telepon
r um ahnya. Entah untuk keberapa kali.
"Ayah...?" "Eh, Dira... Aduh, Ayah bar u saja selesai ngobrol."
"Ayah pidato lagi, ya" Nanti reken ing telepon nya menjulang lagi."
Terdengar tawa ayahnya terkekeh-kekeh. Nadira menjauh kan gagang telepon nya sejenak, lantas mendekatkannya kem bali ke daun telinganya. Yos tersenyum .
"Anu, Dir..., Pak Mahmud tadi memuji-muji wawan caramu di m ajalah Tera. Katanya tajam betul per tanyaan mu.
Ayah bilang kan itu karena Dira ketur unan Ayah"," ayahnya
terkekeh kembali. Nadira tersenyum , "Bicara tiga kalim at saja har us sam pai lim a jam , Yah..."
"Ah, ya tidak sampai lim a jam , Dira. Ayah bar u cer ita
itu, film di tivi siang in i. Bagus sekali. Kamu sok menger itik
tivi swasta. Kamu tak tahu saja, tivi swasta muter film
bagus-bagus. Buktinya kem ar in mereka menayangkan film nya J ohn Wayne. Ayah ter ingat ketika awal per temuan
dengan ibumu. Gilanya, Ayah juga per nah mengajak pacar
Ayah satu lagi nonton film yang sam a"." Kin i bunyi tawa
ayah nya seper ti suara gor ila. Nadira kemudian duduk dan
tangan nya mulai mem asang komputer di atas mejanya.
"Film J ohn Wayne kok ditonton."
"Kamu... Persis sen im an sok intelektual itu. Kamu
kan tidak paham idiom -idiom J ohn Wayne, Clark Gable,
Humphrey Bogar t, atau Gregor y Peck?" suara ayahnya men ing gi. Nadira menghela nafas dan menjepit kop telepon itu
di antara pipi kir inya dan bahunya. Sepuluh jar inya mulai
Melukis Langit mengetik usulan laporan yang akan dibawakan dalam rapat
perencanaan siang itu. "Mereka mem ang aktor-aktor yang hidup di m asa lalu;
tetapi film -film nya m ampu menembus lorong waktu. Kau
jangan menganggap nam a J ohn Wayne itu sebagai kosa kata
m asa lalu. Apalagi sekarang kamu cum a tahu nam a-nam a
Rober t de Niro, J ack Nicholson, Dustin Hoffm an, atau siapa
itu yang jadi banci dalam penjara Brazil itu..."
"William Hur t... "
"Ya, William Hur t. Tapi nam a-nam a itu tidak legendar is. Film -film mereka belum tentu abadi, meski dalam
re sen simu itu kau puja-puja seolah mereka itu m ampu menembus lorong waktu. Nanti kita lihat apakah nam a-nam a
yang kau sebut sebagai aktor legendar is itu m ampu ber tahan atau tidak."
Nadira terdiam . Matanya menatap layar, karena dia sedang mengusulkan beberapa liputan. Di telinganya dia men dengar nam a J ohn Wayne, sedangkan di layar dia sedang
men coba mencar i sesuatu yang menar ik dar i soal Petisi 50
yang hidupnya sedang ber m asalah dengan pemer intah.
"Lantas apa bagusnya J ohn Wayne?"
"Wah, ya itu"kau tak bisa menghargai gerak-ger ik dan
olah tubuhnya J ohn," ayahnya kin i menyebut nam a J ohn
Wayne seolah dia adalah sahabat dekatnya. "Dia me nunjukkan m achism o tanpa har us jungkir-balik seper ti jagoan
n inja zam an sekarang. Dia sangat teguh, tegap, dan mewakili ketetapan hatinya. J ohn hanya berdir i di ujung jalan,
menghadapi 11 penembak ulung. Tapi kita tahu, mereka
semua akan m ati di tangan nya. Dor!"
In i gawat. Ayahnya sudah m asuk dalam fase yang susah
dipo tong kalim atnya. "Dan sebelas orang itu terkapar semua," ayahnya men ir u kan naik-tur un nada seorang komentator sepak bola.
Leila S. Chudori Nadira ter tawa kecil. "Itu yang tidak menar ik, Yah. Kita sudah tahu J ohn
Wayne bakal menang. Tidak ada daya kejut."
"Daya kejut" Apa pula itu" Anak zam an sekarang kok
mementingkan adegan kagetan suspen se. Intinya bukan
siapa yang bakal menang atau kalah," ayahnya sudah
naik pada nada yang ter tinggi. "Tapi bagaim ana ia bisa
mendapatkan kemenangan itu..."
Nadira menghela nafas. Dia mem indahkan telepon ke
telinga kanan, lalu mengusap telinga kir inya yang sudah
basah oleh ker ingat. "Ayah belum m akan, ya?"
Tak terdengar jawaban apa-apa.
"Yah...?" "Yaaa, sudah m inum kopi tadi pagi. Kopi itu cukup
mengisi per ut Ayah. Waktu dulu Ayah kon feren si IGGI 1 di
Am sterdam ..." "Yah," Nadira memotong kalim at ayahnya, meski ia
men coba meluncurkan kalim at yang lunak. Dia melir ik,
Utara Bayu, sang Kepala Biro, sudah terlihat ujung
kepalanya. Ar tinya, usulan para repor ter sudah har us
terkumpul. "Kok cum a kopi. Yu Nah janji m au m asak lasagna
Api Di Bukit Menoreh 13 Pendekar Super Sakti Serial Bu Kek Siansu 7 Karya Kho Ping Hoo Bara Naga 2
^