Pencarian

9 Dari Nadira 2

9 Dari Nadira Karya Leila S. Chudori Bagian 2


kesukaan Ayah..." "Tapi lain dengan lasagna buatan kantin...," suara ayahnya terdengar mengger utu. Ada nada m anja orang tua. Tapi
Nadira mendengar suara kehilangan.
Nadira terdiam . "Mana ada m asakan kantin yang enak, Yah" Sudah.
Saya bawa cah kailan restoran Tr io, ya. Mau?"
"Tidak!" suara ayahnya menyentak, "Makanan kantin
kantor Ayah paling enak."
Intergovernmental Group on Indonesia, dibubarkan tahun 1992, merupakan forum internasional yang membantu Indonesia menyusun program perekonomian.
Melukis Langit Nadira menggigit bibir nya. Dar i kejauhan dia melihat
En i mem anggil karena ada telepon untuknya di kawasan
Koordinator Repor tase. "Yah, sudah ya, Yah... Ada telepon
untuk Dira..." "Tunggu, Dira. Kalau m au bawa m akanan buat Ayah,
dar i kantin kantor Ayah saja ya" Beli lasagna buatan Ibu
Mur n i. Lantas, sekaligus beli kue lumpur surga beberapa
buah. Nanti m alam ada film Alfred Hitchcock di tivi."
"Ya, ya...," Nadira menutup telepon nya.
Utara Bayu sudah ada di hadapan nya.
"Dira, wawancara Menter i Sudomo besok subuh, dia
m au ter im a kita, kejar soal Petisi 50 . Lalu kejar semua anggota Petisi 50 . Oh, ya siap-siap hubungi kontak kamu di
Man ila. Kam i sudah memutuskan, kamu berangkat lagi."
Suara Utara Bayu, kepala bironya, meluncur tanpa titik,
tanpa kom a, tanpa jeda. Seandainya Nadira terkena kan ker
pun, Utara nampaknya tak akan ber tanya. Di otaknya yang
ter tutup oleh rambut tebal, ikal, dan bagus itu hanya ada
setumpuk persoalan jur nalistik.
*** Matahari sudah selesai tugasnya m engurai-urai cahaya hari
itu. Seluruh J akarta sudah cukup berkeringat. Suara penyiar
televisi yang m erdu dan dengung nyam uk di kupingnya
m em berikan sebuah tanda. Ayahnya sudah duduk di depan
pesawat televisi. Ham pir setahun lam anya, pem andangan itu
m en jadi bagian rutinitas kehidupan keluarga Suwandi. Saat
ini, keluarga Suwandi hanya tinggal Nadira dan ayahnya.
Yu Nina m asih m em ilih New York sebagai tem patnya m enem puh pendidikan. Arya bertapa di tengah hutan.
Kem ala Suwandi, ibu Nadira, telah lam a mem ilih bah wa
hidupnya sudah selesai. Itu ter jadi setahun lalu, tahun 1991.
Leila S. Chudori Hingga detik in i, Nadira tak per nah tahu kenapa ibunya
memutuskan untuk pergi. Apa yang ada dalam pikiran
ibunya; apa yang dirasakan nya hingga dia memutuskan
untuk menenggak pil tidur itu di suatu pagi yang suram .
Apa karena dia tak tahan hidup bersam a tiga anak yang
selalu penuh kon flik" Itu tesis yang bur uk, karena ibunya
adalah ibu yang paling sabar dalam menengahi gejolak ketiga
anak nya yang berkarakter kepala batu. Apakah ibunya tak
tahan dengan kehidupan war tawan yang ekonom inya sangat
pas-pasan" Ibunya, Kem ala Yunus, adalah putr i sulung
Abdi Yunus, seorang pengusaha terkemuka di zam an Bung
Kar no. Ia menempuh pendidikan di Belanda dengan harapan
bisa mener uskan per usahaan ayahnya di m asa yang akan
datang. Tetapi dia ber temu dengan Bram ant yo Suwandi,
ayah Nadira, seorang m ahasiswa beasiswa di Gemeente
Un iversiteit di Am sterdam . Nadira bisa membayangkan
ayah nya terlalu tinggi hati untuk mener im a fasilitas dan
uang dar i kakek Nadira yang kaya-raya.
Beker ja sebagai war tawan dengan tiga orang anak terlalu mengisap selur uh perhatian Bram ant yo pada pekerjaan nya. Ayahnya begitu bersem angat dengan peker jaan nya,
m aka sungguh mengejutkan ketika suatu har i ayahnya mendadak mendapat sebuah tawaran kedudukan yang ganjil.
Kepala Bagian Iklan. Tepatnya, bukan sebuah tawaran; melain kan sebuah per intah.
Hanya Nadira yang menyadar i, ayahnya mendadak
lum puh dalam hidup. Ayahnya pasti tersiksa, mengapa
ber ita-ber ita yang begitu dahsyat lalu-lalang di hadapan nya,
dan dia tak bisa menjadi bagian yang mengur us rangkaian
be r ita itu. Dia har us mengur us penghasilan iklan. Adalah
Nadira yang perlahan men iupkan sem angat ke dalam hidup
ayahnya dengan ter us-mener us memperlihatkan sikap
Melukis Langit berguru pada ayahnya. ("Sebetulnya apa latar belakang Petisi
50 , Yah" Tolong cer itakan. Ayah kenal Ali Sadikin, kan" Ibu
S.K. Tr imur ti" Kenapa mereka menyebut kelompok pejabat
itu Berkeley Mafia, Yah?" Dan seter usnya). Dan sang ayah,
se orang war tawan sen ior yang dihor m ati itu, dengan senang hati mencer itakan semua latar belakang politik dan
ekonom i republik yang dia cintai in i. Terkadang dia bersem angat hingga suaranya menggedor jendela saking tingginya; terkadang m atanya berkaca-kaca karena banyak
se kali tokoh yang dia cer itakan itu kin i tengah dipenjara.
Nadira mencatat itu semua dengan takzim . Dan itu membuat
Ayahnya terhibur. Nampaknya, selam a fase "menem ani" sang ayah, Nadira
dan kedua kakaknya lupa bahwa ibunya juga sudah rapuh.
Di suatu pagi yang mur ung, Nadira menemui wajah
ibunya yang bir u di pinggir tempat tidur ("Mula-mula aku
mengira ia sedang tidur di lantai. Malam -m alam Ibu ser ing
kegerahan," Nadira berbisik kepada Utara Bayu, pada har i
penguburan ibunya. Tanpa ratapan. Tanpa air m ata). Nadira
ingat, itulah satu-satunya saat Utara menggenggam tangan
Nadira dan mengucapkan duka citanya. Hanya saat itu dia
tahu, Utara Bayu yang jarang bicara dengan para repor ter
itu ter nyata bukan sesosok mesin yang hanya m ampu menge luarkan per intah.
Kem atian ibunya yang mendadak telah membuat
Nadira begitu tua. Sejak penguburan ibunya setahun silam ,
lingkaran hitam di bawah kedua m atanya tak per nah
hilang. Dan sejak kem atian itu pula, Nadira mem andang
segala sesuatu di mukanya tanpa war na. Semuanya tampak
kusam dan kelabu. Dia tidur, bangun, dan merenung di
kolong meja ker janya. Setiap har i. Dia hanya pulang sesekali
menjenguk ayahnya, tidur sem alam dua m alam di r um ah,
Leila S. Chudori untuk kembali lagi merangsek kolong meja itu.
Ar ya sem akin ser ing ber tapa di dalam hutan dan seper ti
tak ingin keluar lagi dengan alasan hutan jati di Indonesia
membutuhkan in sinyur kehutanan seper ti dia: pecinta pohon dan dedaunan. Pecinta alam yang menghargai anu gerah Tuhan dan merasa ber tugas menjaganya. Hu bungan
Ar ya dengan berbagai kekasih (dar i yang luar biasa cantik,
hingga yang luar biasa cerdas) tak per nah ada ke lanjutan.
Ar ya menjadi anggota keluarga Suwandi yang lam a sekali
membujang. Nina tak ber m inat pulang ke J akar ta. Nina tak per nah
ber m inat dengan apapun di Indonesia. Bagi dia, adalah haknya untuk mem ilih berdom isili di New York dan mem biarkan
ke dua adiknya mengurus kepusingan ke luarga. Nadira menganggap kakaknya m asih terluka akibat kepergian ibu nya
yang begitu mendadak. Hanya Nadira sendiri yang menghadapi ayahnya. Nadira
memperhatikan tawa ayahnya yang terkekeh-kekeh itu sebagai sebuah upaya untuk mengusir air m atanya yang selalu
mendesak keluar. Nadira juga tahu ketak-ketok bakiak ayahnya setiap jam tiga pagi adalah bunyi detak jantung ibunya
yang saling berkejaran dengan bunyi lonceng kem atian.
Dan kin i, dia juga tahu, meski ayahnya sedang duduk
di muka televisi, menyaksikan adegan dem i adegan tanpa
ber kedip, pikiran ayahnya berada jauh melayang-layang ke
la pangan jur nalistik: ke per temuan OPEC, IGGI, berbagai
ne gara Afr ika yang per nah dia sentuh bersam a war tawan
sen ior lain nya. Sudah jam delapan. Ayahnya segera mem atikan televisi. ("Saya tak sanggup melihat acara gunting pita dan pukul gong. Semuanya adalah pameran kepandiran," ujar ayahnya. Dan itu dilakukan secara r utin
sejak kem atian ibunya). Ayahnya mem asukkan kaset video
Melukis Langit yang sudah dikenalnya: All the President"s Men. Film itu
sudah ditonton nya puluhan kali. Tiba-tiba ayahnya merasa
ada yang memperhatikan dir inya. Ia menoleh.
"Nadira..." Nadira menyodorkan pir ing ber isi lasagna dan mem bersihkan kerongkongan nya, "Lasagna buatan kantin kantor Ayah. Masih ada dua potong terakhir..."
Mata ayahnya berkilat menatap pir ing di tangan anaknya. Ia tersenyum kecil.
"Ketemu siapa saja di kantin?"
Nadira mengambil pir ing di lem ar i dan menjawab
sekilas. "Pak Riswanto..."
Ayahnya terdiam . Dipandangnya dua potong lasagna
itu. Kilat m atanya kembali redup. Kemudian menatap ke
layar televisi. Ada adegan kesibukan di r uang kantor har ian
The Washington Post. Lantas muncul Dustin Hoffm an. Terdengar dengung nyamuk di kupingnya.
"Yah, in i sudah saya bawakan, Yah... Ada kue lumpur
surga juga, Yah" "Ya, ya..., tolong pindahkan ke pir ing kecil."
Nadira mem indahkan dua potong lasagna dan mem indahkan beberapa potong kue lumpur surga ke pir ing kecil
yang lain. Didekatinya ayahnya dan disodorkan nya kedua
pir ing itu. Ayahnya mengambil pir ing-pir ing itu dar i tangan
anak bungsunya. Diletakkan nya kedua pir ing itu ke atas
meja kecil di sebelah kursinya. Tatapan nya tetap lur us ke
arah layar televisi. Nadira diam . Lalu dia menyambar handuk dan m asuk
ke kam ar m andi. Segayung air dingin yang dibanjurkan ke
mukanya bercampur dengan air hangat yang mengalir mem basahi pipinya.
*** Leila S. Chudori "Yu Nin..." "Hei, Dira" Gila..., jam berapa in i?"
Nadira melirik ke jam dindingnya. Jam setengah tiga pagi.
"I need y ou..."
"Of course... Kalau tidak kau tak akan segila in i. Ada
apa?" Nadira terdiam . Dia tak bisa langsung menjawab apa
yang ingin diutarakan nya. Kelihatan nya begitu sepele, begitu remeh-temeh, hingga ingin rasanya ia meletakkan
ga gang telepon itu. Namun suara Yu Nina yang biasanya
m an tap dan sedikit tergesa-gesa karena kesibukan nya,
kin i terdengar lebih sabar. Mungkin karena dia menyadar i
urgen sinya telepon adik bungsunya itu. Nadira mem ang
tak terlalu ser ing menelepon kakak sulungnya yang tengah
ber gulat menyelesaikan diser tasi doktor nya di Amer ika.
Selain ongkos telepon terlalu m ahal, dia tak suka dengan
ke tergesaan kakaknya yang selalu sibuk untuk mengem balikan buku ke per pustakaan atau har us ber temu dengan
salah satu pembimbingnya.
"Kenapa, Dira" Ayah?"
"Dia tidak m akan m akan, sudah sehar ian in i...," akhirnya meluncur juga kata-kata itu.
"God, that m an... Sudah berapa lam a?"
"Kem ar in sih m akan, meski cum a gado-gado dar i
kantin. Padahal Yu Nah sudah membuatkan urap kesukaannya. Empat har i yang lalu, dia juga menolak m akan lalu menyu r uh saya membelikan soto ayam dar i kantin. Yu Nah
sudah mulai tersinggung, merasa m asakan nya nggak dihargai."
"J adi in i mengadu soal Yu Nah atau Ayah?"
Nadira bisa mendengar, suara Yu Nina sudah mulai
jengkel dan tak sabar. "Ya, dua-duanya. Tapi Ayah mender ita sekali, Yu. Lagi-
Melukis Langit pula, dia terserang in som n ia akhir-akhir in i. Setiap m alam
aku dengar kletak-kletuk bakiaknya di dapur."
"Insomnianya kan sudah lama, sejak dia jadi wartawan..."
"Ya, tapi m akan nya" Kan Ayah biasa jagoan m akan?"
"Ya, itu m anja saja, Nad. Nanti juga dia m akan kalau
lapar..." Nadira menggigit bibir. "Dia... dia hanya suka menonton
televisi, Yu. Tepatnya nonton video. Dia nonton video All the
President"s Men ber ulang-ulang cum a untuk mengingat
m asa lalunya sebagai war tawan."
"Ya, bagus dong. Dar ipada seper ti Oom Arbi yang
menghabiskan waktunya m inum di bar?"
"Oom Arbi kan mem ang suka alkohol. Ayah tidak suka.
Aku yakin, dia jadi bar tender zam an m ahasiswa cum a
untuk cuci m ata"." Nadira mencoba bergurau. Tetapi dia
tak mendengar sambutan apapun dar i Nina. Kakaknya tidak
me nanggapi humor Nadira.
"Lagi pula, sumber fr ustrasi mereka berbeda. Oom
Arbi kan di-PHK, kalau Ayah..."
"Nah... Ayah kenapa" Dia yang keras kepala! Coba
tawaran mutasi Pak Riswanto diter im a..."
"Gim ana sih kau, Yu" Ayah itu lulusan Gemeente
Un iversiteit, dia sar jana politik. Semua itu dia raih dengan
bea siswa sambil ker ja. Gila, kan" Anak dusun, ketur unan
keluarga NU ker ja sebagai bar tender" Selam a jadi war tawan
dia sudah meliput berbagai sidang internasional seper ti IGGI
dan OPEC. Sudah per nah mewawancarai tokoh-tokoh besar
seper ti"." "Oi,oi, kok kamu jadi ketularan Ayah, memutar rekam an
lam a. Aku kan sudah mendengar biografi Ayah sejak kamu
m asih bayi. Tapi dengan segala latar belakang intelektual itu,
apa salahnya dia jadi Kepala Divisi Iklan" Merasa terhina?"
Nadira tak tahan. Dadanya terbakar hingga dia merasa
Leila S. Chudori hatinya melepuh saking panasnya. Ucapan Nina pasti disebab kan dua hal: per tam a, Nina merasa kon sentrasinya terganggu, hingga ucapan-ucapan nya m ir ip orang mencret.
Atau, kedua, Nina mem ang terlalu pragm atis dan tak peduli
pada kegairahan hidup m anusia lain di luar dir inya. Nadira
men coba ber pikir positif: Nina tidak peka terhadap ayahnya
karena dia sedang sibuk dengan diser tasinya.
Nadira meletakkan gagang itu perlahan-lahan. Ketika
telepon berder ing-der ing kembali, Nadira mem atikan lampu
kam ar nya. Dan der ing telepon itu pun berhenti. Kehen ingan
m alam itu hanya diganggu suara bakiak ayahnya yang
mondar-m andir di dapur. Nadira keluar dar i kam ar nya dan
menyeret kakinya ke kam ar m andi. Dicelupkan nya selur uh
kepalanya ke dalam bak m andi, lantas diangkatnya selur uh
kepalanya yang kuyup. Dipandangnya tembok putih kam ar
m andi itu. Semuanya kelihatan kelabu. Ber ulang-ulang dia
mencelupkan kepalanya ke bak m andi dan mengangkatnya
kembali. Sementara jam dinding m ilik kakek mengumum kan waktu pukul tiga pagi.
*** "Nadira" "Ya, Ayah" In i Ayah?"
"Wah, jelas betul terdengar nya, Dira... Seper ti kau ada
di J akar ta. J ustr u kalau telepon satu kota, kita har us ter iakter iak, ya. Nad, kau baik-baik saja, kan?"
"Ya, oke saja. Di Bandara Ninoy tadi agak m igren. Biasa.
Kan kumuh dan bau. Tapi tadi sempat tidur dua jam , lalu
m akan m alam dengan Tony."
"Kau betul baik-baik saja?"
"Ya, Yah. Kenapa, sih?"
"Tadi sore di koran ada ber ita, Honasan mengancam
akan menggulingkan pemer intahan Cor y lagi."
Melukis Langit "Ah, politik Filipina kan selalu ada ancam an itu setiap
men it. Biasa, Yah. Orang mendiskusikan tentang kudeta seenteng orang bilang m au ke pasar. Begitu saja..."
"Tapi itu bukan sekadar ger tak sambal. Hotelmu dijaga
ketat" Dan sebaiknya kau ke m ana-m ana dengan si Tony
saja..." " Tenanglah, Yah. Aku mengenal Man ila seper ti mengenal por i-por i tubuhku sendir i."
"Nadira, hati-hati dengan anak buah En r ile."
Nadira ter tawa sembar i mengambil tape recorder dar i
dalam ran selnya dan mengecek kaset yang m asih kosong.


9 Dari Nadira Karya Leila S. Chudori di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Yah, mereka bukan m afioso. Tenanglah. Besok aku
akan mewawancarai En r ile di Makati."
"Sudah dapat janji?"
Nadira mem asuk-m asukkan kaset kembali ke dalam
tas, mengecek bolpen dan notes sambil mem indahkan kop
te le pon nya dar i telinga kir i ke telinga kanan.
"Ya, sudah, dong. Sam a Fidel Ramos juga sudah. Pejabat tinggi Filipina kan tidak seper ti kebanyakan pejabat
tinggi Indonesia, sok penting. Sok mem andang rendah
sam a war tawan." "Kenapa tidak sekalian dengan presiden nya saja?"
"Ah, Ayah..." "Kenapa tidak" Ayah dulu ketika mewawancarai Indira
Gandhi..." "Ya, Ya..., aku ingat Ayah sudah wawancara Indira
Gandhi." "Oh, kalau soal wawancara J enderal Zia-ul-Haq" Ayah
di kasih pisau pembuka surat yang bergagang m ar mer itu"
Lantas dipajang di kantor Ayah?"
"Sudah, Yah. Sejak aku di SD, Ayah sudah per nah menga jak aku ke kantor Ayah supaya bisa lihat pisau bergagang
m ar mer itu." Leila S. Chudori "Sejak kau SD" Sudah begitu lam akah" Aduh, rasanya
bar u kem ar in Ayah ke Pakistan. Ayah cum a m au menasihati,
meski kau tak setuju dengan kebijakan politik pejabat yang
kau wawancarai, kau har us tetap bersikap netral. Sebaliknya
kalau mewawancarai Cor y Aquino, mentang-mentang perem puan, jangan lantas jatuh simpati tak kar uan. Dingin.
Kau har us tetap dingin."
"Yah, wawancara Cor y Aquino bukan dalam rencanaku.
Lagi pula..." "Yaaaa, in i kan seandainya... Ayah saja waktu wawancara Indira Gandhi juga tak ada rencana dan semula tak tertar ik. Semuanya mengalir begitu saja. Pak Mahmud m asih
punya klipingnya..."
Nadira terdiam dan menggigit bibir nya. Dia menyingkap tirai jendela hotelnya. Alangkah jauhnya ayahnya. Tapi
alangkah dekatnya suara itu. Tiba-tiba, di tengah kawasan
Roxas Boulevard Man ila, Nadira melihat sebuah layar ka pal
yang besar dan hitam . Dan dengan jelas ia melihat ayahnya yang mengenakan sar ung mondar-m andir di dapur
mencar i-car i kaleng kopi dan gula.
Lantas ia mendengar bunyi ketak-ketok bakiak...
"Nadira..." "Ayah, tidurlah. Sudah malam. Memangnya susah tidur
lagi?" "Ah, ya kebetulan habis nonton All the President"s
Men... Bukan video. Televisi!"
"Ya Tuhan, apa Ayah tidak bosan nonton film itu?"
"Luar biasa. Ayah r indu pada Bob. Hei, Ayah sudah cer ita waktu berkunjung ke kantor The Washington Post kan"
Ayah sudah kasih lihat foto bersam a Bob Woodward" Ooo,
dia sangat rendah hati. Dia war tawan luar biasa. Salah satu
yang terbaik di dun ia. Mana ada war tawan kita yang sehebat dia?"
Melukis Langit "Yah..." "Bukannya Ayah mengharapkan agar war tawan bisa
menggulingkan seorang pem impin. Bukan. Tapi kem am puan Woodward dan Ber n stein dalam invest igat ive report ing
itu, Nak. Apa kamu tidak ingin seper ti mereka?"
Nadira terdiam . Ran selnya sudah siap. Dia melongok
ke luar jendela. Kin i yang terlihat, sebuah r uang yang luas
di sebuah gedung tinggi yang melambai-lambai ke langit
dengan m asyarakat war tawan di dalam nya. Tiba-tiba, melalui jendela kaca itu, Nadira merasa sedang menonton kesibukan dan ketergopohan kawan-kawan nya yang tengah
mem bur u ber ita. Masyarakat war tawan, di m ata Nadira,
ada lah sebuah m asyarakat yang selalu menuntut hal-hal
yang besar, yang terbaik, terkadang muluk dan paradoksal.
Se buah m asyarakat yang, terkadang secara tidak sadar,
me rasa moralnya berada di atas apa yang disebut sebagai
"m asyarakat awam". Sebuah kelompok yang mengklaim
dir inya sendir i sebagai pembawa kebenaran, atau bahkan
mesiah yang bisa menyembuhkan borok dalam pemer intah
dan borok dalam m asyarakat. Masyarakat war tawan m ir ip
rom bongan komentator olahraga yang dengan asyiknya
ber kata, "Ya, tendangan nya kurang akurat kali in i saudarasaudara...," dan mereka sendir i bukan lah pem ain bola. Bahkan menyentuh r umput lapangan bola pun tak per nah.
"Selain itu, menur ut Ayah, bagaim ana kita bisa bikin
film sebagus itu, coba" Apa bisa" Di Indonesia, membuat
film politik yang bagus adalah sebuah kemustahilan. Belum
apa-apa, judulnya sudah diubah oleh pemer intah. Debat
judul saja sudah m akan dua tahun. Lantas, skenar ionya
har us dibaca dulu. Membuat film kok har us m inta izin."
Bayangan di hadapan Nadira hilang. Kelap-kelip lampu
kapal ber munculan satu persatu.
Leila S. Chudori "Nadira bisa membuat film yang bagus, Yah."
"Apa?" "Saya bisa membuat film tentang kehidupan war tawan..
Tapi bukan seper ti All the President"s Men. Saya akan mem buat war tawan yang idealis, yang ingin membawa ke benaran, yang..."
"War tawan yang tak mungkin menulis tentang kebenaran, karena kalau kita menulis tentang bisn is anak-anak
pejabat, kita akan ditelepon."
"J udulnya: Meluk is Langit. Cer itanya tentang bagaim ana para war tawan dengan sem angat menggebu-gebu meliput tentang kebanjiran di sebuah desa; tentang jatuhnya
se buah kapal terbang, tentang kudeta di Thailand dan
Filipina, dan juga tentang kasus pembebasan tanah. Tapi
kita tak bisa menulis tentang borok di neger i sendir i. Kita
ha nya bisa menulis tragedi di neger i orang. Para war tawan
dalam film saya in i akan terlihat gagah dan bersem angat.
Mereka merasa sebagai m akhluk yang paling moralistis di
atas muka bum i in i?"
"Menjadi war tawan mem ang har us mem iliki n ilai-n ilai
moralistis yang tinggi, Nak."
"Lantas suatu har i, sang war tawan kita in i sudah capek
men jadi pahlawan kebenaran yang keok di neger inya sen dir i. Dia ber temu dengan seekor kucing yang sedang menyusui
keempat ekor anaknya di trotoar. Dia segera menyambar
anak kucing itu, dan dim asukkan nya ke dalam tasnya
yang biasa digunakan untuk menenteng tape recorder dan
kamera kecil m ilik kantor..."
"Film apa itu, Nak?" ayahnya terdengar terkejut.
"Di dalam taksi menuju kantor nya, kucing itu menggeliat-geliat dan mengeong-ngeong hingga sang supir taksi
menengok ke belakang beberapa kali dan mem andang
Melukis Langit wajah sang war tawan dengan cur iga. Tapi war tawan itu
tenang-tenang saja sambil menghembuskan asap rokoknya.
Mengisap, menghembus. Mengisap, menghembus. Ketika
taksi berhenti di muka kantor nya yang ber tingkat 30 itu,
sebuah kantor yang pucuknya melambai-lambai ke langit,
supir taksi itu ber tanya, "Bawa apa, Neng?"
"Sang war tawan mem andang supir taksi itu dengan
jijik, lalu ia meludah. Crott! Sambil ter tawa terbahak-bahak,
sang war tawan mem asuki gedung kantor itu..."
"Nadira..., kamu perlu tidur..."
Suara ayah Nadira terdengar bergetar.
"Di dalam lift yang penuh sesak, beberapa pegawai ban k
mengam ati wajah sang war tawan, seolah-olah dia m akh luk
asing yang tur un dar i planet. Tas kain yang disandang
war tawan itu bergerak-gerak dan itu membuat selur uh
penduduk lift itu sem akin tegang. Tapi mereka tak beran i
ber tanya. Ada kilat di m ata war tawan itu yang membuat
mereka lebih suka menutup bibir serapat mungkin. Ketika
bunyi berdenting pada lantai 27, pegawai-pegawai ban k itu
menghela nafas lega dan bersiap menghambur keluar, agar
bisa menjauh dar i war tawan aneh itu.
"Kin i war tawan kita melangkah ke luar lift. Sebelum
pintu lift ter tutup, ia meludah dengan sem angat Crot! Crot!
Lantas ter tawa sejadi-jadinya. Ditinggalkan nya penduduk
lift yang terbelalak mem andangi tingkahnya"."
"Nadira!" "Di r uang besar lantai dua puluh tujuh, seper ti biasa
para war tawan ke sana-kem ar i dibur u deadline; dibur u
persaingan; dibur u tuntutan eksklusivitas. Mereka ter tawa
terbahak-bahak sementara jar i-jar inya mengetik ber ita
ten tang seorang gadis ber usia tujuh tahun yang diperkosa
kakeknya sendir i atau kor uptor kelas kakap yang dibebaskan
dar i tuduhan. Di pojok yang lain, ia melihat salah seorang
Leila S. Chudori kawan nya dengan bibir menganga mem andangi layar
komputer v ideo gam e. Sekitar tujuh orang mengelilinginya
dan mengerutkan kening, ikut mem ikirkan langkah-langkah
yang har us dilakukan seolah-olah ur usan v ideo gam e adalah soal hidup dan m ati.
"Sang war tawan ber jalan ke tengah r uangan. Lantas ia
mengeluarkan kucing itu dar i dalam tas. Kedua m ata kucing
itu menatapnya, pasrah, dan mengerang perlahan. Ia segera
mengambil tali rafia dar i meja salah satu redaktur yang
gem ar menar ik mobil-mobilan dengan tali rafia di waktu
senggangnya. Beberapa pasang m ata mulai mem andangnya
dengan was-was " "Nadira", sadar, ibumu datang. Lihat, ibumu datang
melalui jendela... Nadira, bukakan pintu..."
"War tawan itu memegang ekor kucing itu dan mengayun-ayun kepalanya seper ti sebuah pendulum . Beberapa
temannya, para sekretaris ber teriak melihat kela kuan war tawan itu. Dia malah tersenyum. Ia senang melihat beberapa
kawannya masih punya belas kasih terhadap bina tang itu.
Dengan menggunakan benang rafia, sang war tawan mengikat ekor kucing itu dengan erat lantas digantungkan nya pada
pegangan pintu. Erangan kucing itu sem akin nyar ing..."
"Nadira..., ibumu datang..."
Di luar jendela, kelap-kelip lampu kapal sudah hilang.
Malam begitu pekat Nadira seper ti ter jebak ke dalam
gumpalan tinta gur ita. Dan dia terengah-engah.
*** "Bu..." "Nadira... Kamu kur us sekali."
"Aku sedang m impi ya, Bu. Kan sehar usnya Ibu sudah
m ati..." Wajah ibunya yang bulat berser i sem akin seper ti bulan
Melukis Langit pur nam a karena senyum nya yang lebar. "Tentu saja kau
sedang m impi. Mana bisa kita ber temu di luar m impi?"
Nadira merebahkan kepalanya di atas paha ibunya yang
gembur karena kelebihan lem ak. Begitu empuk dan hangat.
Dalam sekejap, paha ibunya sudah basah oleh air m atanya.
Ibunya mengusap dan sesekali mencium kepalanya.
"Ber ikan kopi jahe saja pada Ayah, Nadira," bisik
ibunya. "Nanti dia akan sem akin rajin mondar-m andir ke
dapur setiap m alam , Bu. Tanpa kopi saja dia sudah susah
tidur." "Pijiti kakinya..."
"Mana ada waktu... Setiap har i aku mengejar
deadline." "Kau m asih betah jadi war tawan, Nadira?"
Nadira diam tak menjawab. Bibir nya bergerak-gerak.
"Kamu har us keluar dar i kolong meja itu, Nadira."
Nadira menggelengkan kepalanya perlahan.
"Aku ingin ber tanya, Bu."
Ibunya terdiam . Dan Nadira tahu, dia tak mungkin
me na nyakan satu hal yang selalu mengganggu hatinya, hati
ayahnya, hati kedua kakaknya. Apa yang sebetulnya ter jadi
setahun yang lalu, hingga akhir nya ibunya memutuskan
untuk menyelesaikan hidupnya.
Ibunya mengusap-usap kepala Nadira.
"Kopi jahe, Dira..., untuk Ayah."
*** "Kok pagi-pagi betul?" tanya ayahnya heran melihat
Nadira sudah menyisir rambutnya. Yu Nah bar u saja me rebus air panas untuk m andi, sementara ayam jago tetangga
se belah bar u saja menjer it-jer it, mengumum kan bahwa pagi
itu dialah yang sedang piket. Ayahnya tengah menghadap
Leila S. Chudori se cangkir kopi hitam berkepul-kepul untuk menghalau
kan tuknya. Di tangan nya, m ajalah Tera menampilkan
kulit muka Cor y Aquino yang berhasil diwawancarai oleh
Nadira. "Bukan nya setelah tugas begitu berat, biasanya boleh
istirahat, sehar i dua har i?" ayahnya membuka-buka m ajalah itu dengan wajah m asih mengantuk, meski ia tam pak
bangga. "Har us meliput kasus Petisi 50 ..., dan..."
Kalim at itu membuat ayahnya melotot, "Kamu akan
ber temu siapa" Pak Hoegeng" Pak Ali Sadikin?"
"Ya, Ayah." "Pak Natsir!" Nadira terdiam . Dia hampir saja lupa, ada nam a penting
in i. Penting untuk ayahnya.
"Kamu har us menulis ber ita in i dengan ber imbang.
Mereka adalah orang-orang yang telah ber jasa untuk neger i
in i." "Ya, Ayah." "Lalu, selain Petisi 50?"
"Mau jemput J.P. Pron k."2
"O, kamu ikut meliput Pron k" Tolong titip salam dar i
Ayah," tiba-tiba wajah ayahnya yang mengantuk itu berkilatkilat.
"Nadira tak akan mewawancarainya. Itu bagian desk
ekonom i. Ini cum a peliputan biasa, Yah. Paling-paling melihat
Pron k tur un dar i pesawat dan disalam i pejabat Indonesia
dan menjawab per tanyaan war tawan. Begitu saja..."
Nadira mengenakan sepatunya perlahan-lahan tanpa
ingin melihat wajah ayahnya.
J.P. Pronk adalah seorang Belanda yang pernah menjabat sebagai ketua IGGI
periode 1973-1977 dan 1989-1992.
Melukis Langit "Kenapa kau tidak mewawancarai Pron k" Ayah punya
bahan IGGI yang paling lengkap. Sejak kamu m asih bayi,
Ayah adalah salah satu war tawan per tam a yang selalu meliput IGGI. Ayo, jangan bilang kamu enggan dengan soal
ekonom i. Masalah bantuan IGGI kan bukan hanya persoalan ekonom i. In i persoalan sosial dan politik," Ayah
Nadira menggebu-gebu. Nadira mem andangi sepatunya dengan saksam a
seolah-olah ada kutu yang ber tengger di situ. Tapi ayahnya
ter us-mener us mengoceh tentang pengalam an nya meliput
IGGI di Belanda, ketika "Ayah m asih gagah dan lincah seper ti kau". In i gawat.
Tiba-tiba Nadira ingat m impinya sem alam .
"Mau kopi jahe, Yah?"
Ocehan ayahnya berhenti seketika.
"Kopi jahe?" ada jeda beberapa detik, "kok tumben.
Kau m au bikin in?" "Oke deh...," Nadira melompat dengan lincah dan
melesat ke dapur. Ketika Nadira kembali membawakan secangkir kopi
jahe yang mengepul-ngepul, ayahnya sibuk mem ijit-m ijit
nomor telepon. "Telepon siapa, Yah" Masak pagi-pagi m au pidato sam a
Mahmud?" "Neen..., neen... Ik w il de Nederlandse Am bassadeur


9 Dari Nadira Karya Leila S. Chudori di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

telefoneren.3 Ayah m au m inta daftar acara Pron k. Kita
undang saja dia m akan siang di sin i..."
*** "Nadira..." Tidak..., tidak... Saya akan telepon Duta Besar Belanda.
Leila S. Chudori "Yu Nina..." Nadira melir ik jam di atas meja, pukul dua pagi.
Kakaknya sinting. "Di New York tidak ada arloji?" Nadira merebahkan
kepalanya, suaranya serak dan pasrah. Tak m ampu untuk
m arah. "Tentang m impimu" dalam suratmu itu."
"Mimpi yang m ana" Aku m impi melulu setiap jam
dalam hidupku. Berganti-ganti. Bisa jadi badut, lalu jadi
ratu, lalu jadi pelacur...," Nadira terkekeh, meski suaranya
m asih parau. "Mimpimu tentang kucing yang kamu ikat dengan
benang rafia itu." "Ralat. Itu bukan m impi. Itu cer ita pendek yang kuciptakan dalam sekejap?"
"Oh, Thank God. J adi itu bukan m impi. Suratmu kubaca terbur u-bur u. Kalau soal per temuan dengan Ibu" Itu
pasti m impi?" "Ya, itu m impi. Ibu gemuk sekali dalam m impiku."
Kakaknya terdiam . Tapi Nadira bisa mendengar bunyi
nafasnya. "Itu karena kamu kesepian, mengur us Ayah sendir ian.
Aku sibuk dengan kuliah; Ar ya sibuk dengan hutan hingga
dia sudah m ir ip orang utan. Dan kamu, seper ti biasa
anak yang berbakti, sendir ian," suara Yu Nina terdengar
men jengkelkan. Suara seorang kakak ter tua, sulung, merendahkan.
"Lalu ada m impi lain..., did I tell y ou?"
"Yang m ana lagi?"
Kin i Nadira duduk, dia menyenderkan punggungnya.
"Aku ber m impi, kepalaku berkali-kali dim asukkan ke
dalam air toilet. Masuk, keluar, m asuk, keluar. Dan setiap
Melukis Langit kali kepalaku keluar, aku dipaksa mengatakan am pun,
ak u tak akan m encuri lagi. Am pun, ak u tak akan m encuri
lagi". Lalu sem akin lam a aku mengucapkan kalim at itu,
sem akin lam a pula kepalaku disodokkan ke dalam jamban
toilet yang sudah ada kencing yang belum disiram ..."
Kali in i Nadira tak mendengar apa-apa. Dia hanya
men dengar der u nafas kakaknya. Nafas yang membur u.
"Dan terdengar suara lelaki yang menjer it dan
menyur uh kegiatan in i dihentikan. Akhir nya aku bisa
ber nafas" aku mengangkat kepalaku. Ter nyata?"
"Soal Ibu?" suara Nina terdengar sedingin es, "dia mem ang tak per nah bahagia" Dia terlalu mencintai Ayah, dan
tak m ampu menampung semua persoalan Ayah dan persoalan dir inya, persoalan keluarga ibunya?"
"Ter nyata ketika aku bisa ber nafas, aku bar u menyadar i,
orang yang sedang menghukum ku itu adalah Yu Nina?"
Nadira ter tawa berderai-derai.
Nina terdiam . Hen ing. Nadira melanjutkan. Dia men ikm ati sekali saat-saat
se per ti in i. "Untuk beberapa saat, di dalam m impi itu, aku
tak ingat, kenapa Yu Nina menghukum ku" Kenapa aku
dianggap sudah mencur i. Bagaim ana Yu Nina bisa menuduhku bahwa aku mencur i..."
"Nadira..., keluarga Ibu adalah keluarga yang dis fungsional. Sejak awal, aku merasa Ibu selalu ingin memberontak.
Belum lagi, Ibu har us menyangga persoalan Ayah sebagai
war tawan; persoalan keluarga Ayah dan juga tiga anaknya
yang mem iliki kesulitan nya sendir i-sendir i," Nina nyerocos
seolah-olah Nadira sedang mendengarkan dengan penuh
perhatian. "Apakah Ibu terlalu cengeng dan rapuh" Selam a in i,
aku menyangka Ibu adalah seorang m anusia yang tahan
Leila S. Chudori ban ting. Lihat bagaim ana kuatnya Ibu ber tahan beker ja di
dalam in stitusi m acam UNHCR, 4 di m ana ia har us menghitungi jum lah korban perang yang tak habis-habisnya
sementara setiap pulang kantor ia har us menyediakan
r uang di dadanya untuk menampung keluh-kesah Ayah.
Tubuh Ibu tak cukup untuk menampung persoalan Ayah."
Nadira kini diam, tapi bukan karena mendengarkan kakaknya. Suara kakaknya terdengar jauh, sayup-sayup, bu kan
karena dia menelepon dar i New York, tetapi karena Nadira
sedang m asuk ke sebuah per iode yang aneh, yang gelap, di
m asa kecilnya. Nadira berbisik pada dir inya sendir i, "Dan ter nyata"
Yu, belakangan aku menyadar i, itu bukan m impi...," Nadira
tersenyum . Dia merasakan asin air m atanya, "karena sam pai sekarang aku m asih bisa merasakan rasa dan arom a pesing air jamban?"
Nadira berbicara sendir i, setengah berbisik. Telepon
itu tidak lagi diletakkan di telinga kir inya tetapi kin i sudah
ter kulai di atas pangkuan nya, sementara Nina m asih mener uskan monolognya.
"Nadira, Ibu telah tumbuh menjadi seorang pelukis yang
mengukir langit dengan angan-angannya: tentang se buah
keluarga yang sakinah, yang m an is dan santun; tentang
m asa depan neger inya. Ketika kita menemukan nya dengan
wajah membir u di pinggir tempat tidur dan botol obat
tidur yang menggeletak di sampingnya, mungkin Ibu bar u
menyadar i bahwa apa yang dilihatnya selam a in i adalah
hasil lukisan nya di langit. Bukan hasil lukisan Tuhan di
kanvas hidup" Nadira" kamu har us menyadarkan Ayah
UNHCR: United Nations High Commissioner for Refugees, organisasi PBB yang
melindungi dan membantu pengungsi sedunia.
Melukis Langit agar dia jangan ikut m ati bersam a Ibu. Ayah berhak hidup
dan men ikm ati hidup" sehar usnya dia mener im a tawaran
posisi bar u itu, dan kita semua bisa hidup tenang?"
Nadira meletakkan kop telepon itu. Mati.
Di luar, suara ketak-ketok bakiak ayahnya mengisi kehe n ingan. Lantas jam dinding m ilik kakeknya kembali menyentaknya. Pukul tiga pagi.
*** "Nak Dira... Kok kur us betul kamu. Bar u m inggu kem ar in kem ar i, kok, kayaknya daging kamu susut..."
Nadira tersenyum , "Dua bungkus lasagna, Bu."
Bu Mur n i mengangguk dan mencomot dua potong
lasagna dar i oven. "Kebetulan m asih panas. Ayah baik-baik saja?"
"Seper ti biasa. Kangen m asakan Bu Mur n i."
Bu Mur n i, ibu yang m akmur dengan daging dan keringat itu, semakin lebar senyum nya. "Ini Ibu tambahkan kue
lumpur surga dua buah. Ndak usah bayar. Ibu nger ti, ayahmu
suka betul sam a kue lumpur surga...," katanya ter tawa.
"Alaa, Bu. J angan begitu..." Nadira bur u-bur u mengorek-ngorek dompetnya dan mengeluarkan selembar sepuluh r ibu r upiah.
"Sudah-sudah... Bayar lasagna saja. Nih, kembalinya.
Salam buat ayahmu, ya. Aduh, Ibu ir i. Ayahmu sudah bisa
ongkang-ongkang men ikm ati pen siun ya."
Ayah bukan pen siun, ucap Nadira dalam hatinya sambil
menuju bajaj yang menantinya. Ayah bukan pen siun.
J am setengah tujuh. Seper ti biasa, ayahnya ditem an i
dengung rombongan nyamuk dan suara "good evening"
yang fasih dar i pembaca ber ita televisi. Nadira melangkah
perlahan dan berhenti tepat di belakang kursi ayahnya. Ada
pember itaan tentang acara serah-ter im a jabatan pimpinan
Leila S. Chudori di sebuah har ian. Adegan di televisi itu berlangsung begitu
cepat. Di situ ada Ayah. Dan di situ ada Pak Riswanto.
Kin i Pak Riswanto menduduki jabatan Ayah. Nafas Nadira
ter tahan. "Yah..., saya bawa lasagna buatan kantin..."
Ayahnya menengok. Tiba-tiba Nadira melihat wajah
ayahnya yang begitu tua. Bar u kali in i Nadira menyadar i
kepala ayahnya diselimuti war na putih. J antungnya berdegup.
"Ayah...," Nadira terbata-bata sambil menyodorkan
pir ing ber isi beberapa potong lasagna dan kue lumpur
surga, "Kue lumpur surga dar i Bu Mur n i..."
Plak! Ayahnya menepis tangan anaknya. Pir ing itu ter pental
dan pecah berkeping-keping. Kue-kue itu, lasagna itu, bertebaran dan celemotan di lantai. Nadira tercengang. Lebihlebih ketika melihat ayahnya ber jongkok, memunguti kue
itu satu persatu dan meletakkan nya kembali ke atas pir ing,
se mentara pipinya basah.
Nadira berlar i ke kam ar m andi. Dicelupkan nya kepala nya ke dalam bak m andi. Lantas diangkatnya. Kali in i
dia bar u menyadar i, in i kebiasaan yang ter jadi karena dia
terbiasa dihukum dengan mencelupkan kepalanya ke jam ban ber isi kencing.
Dia mencelupkan kepalanya. Semua gelap-gulita seper ti tinta gur ita. Dicelupkannya kepalanya. Lagi. Lagi. Berkali-kali.
**** J akar ta, Maret 1991-Feb 20 0 9
TASBIH Di dalam s.e.r.u.n.i k utelusuri diri-Mu. *** SETIAP kali melalui r um ah itu, Nadira selalu membentangkan sebuah skenar io bar u dalam benaknya. Mungkin r um ah
itu m ilik seorang pengusaha; atau seorang pengacara yang
ge m ar membela m afia. Atau seorang pejabat pemer intah
yang rajin kor upsi. Yang pasti, r um ah itu bukan m ilik sese orang yang rendah hati. Pem ilik r um ah in i begitu berse m angat memperlihatkan selur uh har ta benda dan kekuatan nya.
Leila S. Chudori Rumah itu terletak di sebuah pojok di kawasan Bintaro.
Setiap kali Nadira bar u saja mengunjungi r um ah ayahnya
di Bintaro pada akhir pekan, ia sengaja melalui r um ah besar in i. Biasanya, Nadira mem inta supir taksi yang ditum panginya berhenti sejenak. Lim a men it, atau 10 men it. Bahkan dia mempersilakan sang supir merokok, sementara
Nadira membuka jendela kaca taksi yang ditumpanginya,
dan menatap r um ah besar dan mewah itu.
Rum ah itu menonjol sendir ian di antara r um ah-r um ah
Bintaro yang mem iliki for m at yang m ir ip antara satu dengan
yang lain. Rum ah-r um ah di kompleks Bintaro lazim nya
lebih seper ti deretan kotak korek api yang tak mem iliki
kepr ibadian. Rum ah in i berdir i dengan angkuh di atas luas
tanah yang tak terbayangkan; ber tingkat empat disangga
oleh tiang-tiang yang tinggi seolah ingin menggapai langit.
In ilah perangai sang r um ah: megah, besar, dan m ampu
melahap m anusia. Lalu, lihatlah motor-motor besar yang
ter lihat galak itu, yang ber pose di halam an depan dan
bukan di dalam garasi yang sangat luas"
Yang paling menar ik m ata Nadira adalah patung lelaki
besar yang menyer upai sosok Napoleon itu. Wajah patung
nampaknya digantikan oleh wajah empunya r um ah: muka
lelaki J awa ber usia sekitar 50 -an dan berkum is tipis.
Di sekeliling patung Napoleon dar i J awa itu, Nadira
me lihat dua patung Cupid yang mendampinginya. Selain
itu"nah, in i adegan yang paling disukai Nadira"tujuh
patung perempuan yang tengah menatap kagum kepada
Napoleon. Nadira seolah bisa mendengar bisikan salah satu
pa tung perempuan yang mem inta Tuan Besar Napoleon
untuk menyemprotkan kasih cintanya barang setetes. Nadira
sengaja tak ingin ber tanya pada pem ilik war ung ro kok di
pojok jalanan tentang identitas pem ilik r um ah in i. Ia lebih
suka ber m ain-m ain dengan im ajinasinya.
Tasbih Setelah upacara m ingguan itu selesai, Nadira kembali
ke realita, ke atas taksi yang menantinya, lalu berangkat
mengar ungi lautan kem acetan J akar ta.
*** Tara m enghela nafas. Lagi-lagi dia melongok ke bawah meja ker ja yang penuh
dengan buku-buku, beberapa boks, dan seorang perempuan
muda yang bergelung seper ti seekor kucing kedinginan.
Nadira Suwandi. Tara tahu, Nadira ingin menenggelam kan selur uh
ke se dihan nya ke kolong meja itu. Dia hanya akan keluar
jika ter paksa. Ter paksa untuk beker ja. Atau ter paksa melawan m atahar i. Mata Nadira m asih ter pejam . Tetapi, Tara
tahu Nadira bukan sedang terlelap. Bibir nya kom at-kam it
mengucapkan entah apa. Arloji dinding m ajalah Tera
menunjukkan pukul delapan pagi. Dan Nadira m asih mengenakan baju yang sam a seper ti kem ar in.
"Mas Tara...," Satim in berbisik sembar i menggenggam
tongkat pel, "saya ndak beran i mbangun in Mbak Dira..."
Tara mengangguk dan member i isyarat agar Satim in
me ngepel di bagian lain saja dulu. Satim in mengangguk
pa tuh. Tara memegang bahu Nadira dengan lembut agar
Nadira tak terkejut. Perlahan-lahan Nadira membuka
m atanya. Begitu dia menyadar i pem ilik tangan yang mem ba ngun kan nya, Nadira segera duduk tegak dan menggosokgosok m atanya. Dia keluar dar i kolong meja; menyambar
han duk dar i salah satu lacinya.
"Selam at pagi, Mas... Saya ke kam ar m andi dulu..."
"Saya tunggu di r uang rapat lantai delapan ya, Dir..."
"Siap!" Hanya 30 men it kemudian, Nadira sudah hadir di r uang
rapat, lebih segar dan sudah berganti baju. Tara tersenyum ,
Leila S. Chudori meski tak bisa menyembunyikan kepr ihatinan nya. Nadira
langsung duduk di hadapan Tara dan melir ik ke kir i dan
kanan. "Yang lain m ana?"
"Yang lain sedang liputan, Dir. Saya m au bicara..."
"Oh...," Nadira terdiam beberapa saat, "saya juga m au
me ngajukan satu per mohonan, Mas..."
"Ya?" "Saya tahu, kita tak boleh mem ilih penugasan. Tapi,
hanya untuk m inggu in i... saya m inta untuk tidak dilibatkan
dalam tim laporan utam a."
Dalam keadaan biasa, sang Kepala Biro akan member i
ceram ah dua jam tentang filsafat m ajalah Tera: bahwa
siapapun tak boleh menolak penugasan yang diber ikan. Tetapi setelah tiga tahun kem atian ibu Nadira, Tara tak per nah
me lihat Nadira tersenyum atau menangis (kecuali ketika
me reka menemukan bunga ser un i yang mengir ingi ke pergian jenazahnya ke liang lahat). Diam -diam Tara mem perha tikan, Nadira sudah tak mem iliki emosi. Apa yang disebut
emosi (yang diperkirakan Tara bersatu-padu dengan "hati",
dan dalam hal in i Tara tak ingin berdebat apakah hati seharusnya merupakan ter jemahan dari "jantung" atau "liver"),
seper ti ikut-ikutan menguap bersam a roh sang ibu; dan
se olah tak ada rencana kembali ke tubuh Nadira. Dengan
kata lain, selam a tiga tahun, Nadira tak per nah me lakukan
apa pun selain beker ja 24 jam sehar i, tujuh har i dalam sem inggu.
Semua tugas investigasi dan tugas-tugas peliputan ke
luar neger i dilahapnya sigap; dan begitu peker jaan selesai,
Nadira tak segera pulang. Dia terlelap bergelung di bawah
mejanya, hingga Pak Satim in yang bebersih di pagi har i terpaksa membiarkan kawasan meja Nadira dibersihkan siang
har i, setelah si Non berangkat liputan.
Tasbih J ika kali in i Tara membuat perkecualian untuk Nadira,
pasti bukan karena perasaan yang selam a in i ditekan-tekan
di lapisan hati yang paling bawah, melain kan karena Tara
tahu betul, Nadira berhak untuk mem inta istirahat.
"Saya setuju. Kamu perlu libur. Kam i semua sudah
kha watir, karena selam a in i..."
"Saya tidak m inta cuti!" Nadira menyela.
"Oh..." Nadira menyenderkan punggungnya, lalu melempar
pandangan nya ke luar jendela dan bergum am . Tapi Utara
bisa mendengar kalim at Nadira dengan jelas. Hanya untuk
pekan in i, Nadira m inta ditugaskan meliput sesuatu yang


9 Dari Nadira Karya Leila S. Chudori di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

r ingan, seper ti kr im inalitas atau hukum . Tara menatap
Nadira. Tara member ikan jawaban yang sudah diulangulang kepada hampir setiap repor ter yang pada tahun-tahun per tam a m asih mencoba merengek. Nadira tak pernah merengek. Bar u kali ini dia mem inta sesuatu. Tapi
Tara merasa har us member ikan pidato umum itu. Se bagai
repor ter yang sudah senior, Nadira tetap tak boleh mem ilih.
"Lagi pula, siapa bilang liputan kr im inalitas itu lebih
r ingan?" Tara menambahkan di ujung kalim atnya, karena
Nadira tak kunjung menjawab.
"Maksud saya, lebih r ingan untuk hati saya," kata
Nadira. "Rubr ik Kr im inalitas punya tujuan yang jelas, pem bu nuh bersalah; yang dibunuh adalah korban. Pemerkosa
itu salah; yang diperkosa itu korban."
"Dan itu lebih mer ingan kan hati kamu?"
"Lebih r ingan karena saya tidak perlu ber temu dengan
orang-orang yang merasa dir i pandai... Dun ia politik, terutam a anggota DPR, penuh dengan orang-orang seper ti itu.
Dun ia sen i terlalu ber isik," Nadira melihat keluar jen dela
lagi. Bibir nya menggum am . Kali in i Tara hanya me lihat
Leila S. Chudori gerak bibir Nadira. "Aku menemukan buku har ian Ibu...," Nadira
mengulang kalim atnya. Tara terdiam beberapa lam a sebelum member ikan
reaksi. "Kapan?" "Dua tahun yang lalu, kam i sedang membongkar
gudang..." Tara akhir nya duduk tepat di sebelah Nadira.
"Sudah dibaca?"
"Ya..." Sunyi. Tara mem andang sepatunya.
"Ibu menyebut-nyebut seuntai tasbih?"
"Seuntai apa?" "Tasbih, seuntai tasbih?"
"Oh?" Mereka terdiam lagi. "Menur ut catatan har ian Ibu, tasbih itu diperoleh dar i
Kakek Suwandi..." "Ya?" "Ibu selalu merasa tenang memegang tasbih itu..."
Tara m asih diam menanti kalim at ber ikutnya.
"Aku... aku per nah melihat tasbih itu..."
Tara menunggu lanjutan kalim at Nadira. Tapi kalim atnya ter tahan segumpal ludah.
"War nanya cokelat..., mungkin dar i kayu. Atau bahan
se m a cam kayu ber war na redup, mungkin war na yang bisa
mem buat Ibu tenang..."
"Kamu tahu bukan war nanya yang membuat dia
tenang." "Ya, Mas..." "Kamu lihat di m ana, Nad?"
Tasbih "Ayah" Ayah memegangnya waktu Ibu..."
Tiba-tiba saja Tara ingin mengambil kepala Nadira dan
mem benam kan selur uh tubuh yang gelisah itu ke dadanya.
Tetapi dia tetap diam dan hanya menatap tumpukan m ap
pe nugasan di atas meja. Nadira kemudian menenangkan
dir inya. Kin i dia menatap lur us pada Tara.
"Liputan Kr im inalitas dan Hukum m inggu in i sebe tulnya sangat berat..."
Nadira menyodorkan tangan nya. Tara menghela nafas
putus asa. Dia member ikan dua m ap ber isi lembar penugasan. Setelah Nadira membaca sekilas, dia kembali menatap Tara.
"Penugasan kr im m inggu in i akan menguras hati," Tara
mengingatkan. "Semula aku akan member ikan in i kepada
Andara. Dia kan belajar psikologi. Rencanaku tadinya m au
mem asukkan kamu ke tim laporan utam a bersam a Yosr izal.
Kita ada liputan besar kasus pembelian kapal J er m an Timur.
Saya rasa kamu..." "Saya ambil kr im , Mas!"
"Saya tidak setuju!"
"Kenapa?" Tara menghela nafas. "Waktu Andara mengajukan
per m intaan wawancara, psikiater in i hanya bersedia diwawancarai kamu. Dia menyebut nam amu. Saya tidak nyam an, Dira."
Nadira menger utkan ken ing. "Kenapa?"
Tara menggelengkan kepalanya, "Saya tidak m au
mengabulkan per m intaan seorang kr im inal seper ti dia."
"Mungkin saya har us menemui dia. Nanti saya car i
tahu, kenapa dia ingin ber temu dengan saya."
Tara m asih sangsi. Nadira berdir i. Dia menatap Tara kembali. Menekan.
100 Leila S. Chudori Tiba-tiba Tara melihat kesedihan yang luar biasa yang terpancar dar i m ata Nadira yang besar. Tara selalu ber usaha
menghindar i tatapan m ata Nadira yang mem inta. Bagi
Tara, kedua bola m ata Nadira terbuat dar i air danau yang
ber war na bir u. Tara menam akan nya Danau Kembar yang
m ampu membuat Tara tenggelam ke dasar dan tak akan
per nah bisa muncul ke per mukaan realita. In i sangat
berbahaya. Tara tak ingin tenggelam . Dan Tara tak ingin
gelagapan. Karena itu, ketika danau kembar itu kembali
ham pir melahapnya, Tara bur u-bur u mengangguk.
Nadira berdir i, tiba-tiba dia ingat sesuatu.
"Mas tadi m au membicarakan apa?"
Tara terdiam . Dia sudah tak tahu lagi apakah cukup
penting untuk menyaran kan Nadira istirahat di r um ah dan
tidur. Dia bahkan tak tahu apakah saran untuk cuti akan
membantu mengembalikan Nadira yang dulu, yang per nah
hidup tiga tahun yang lalu sebelum ibunya wafat.
"Mas kepingin tahu kapan saya pindah dar i kolong
meja?" Tara mengangguk perlahan.
"Saya ingin kamu bisa tidur yang lelap."
"Saya ser ing ber m impi, saya celentang... tidak bergerak,
tidak berbicara apa-apa. Hanya celentang di lubang kubur.
Saya merasa tenang di sana. Dan saya selalu menyesal setiap
kali bangun dar i m impi itu."
Tara terdiam . Tidak bereaksi.
Nadira membersihkan tenggorokan nya dan melangkah
pergi. *** Mayor Polisi Ray Wiradi member i tanda kepada anak buahnya. Ray Wiradi, seorang serse muda yang sudah sangat lama
101 Tasbih mengenal Nadira sejak dia m asih menjadi repor ter bar u
m ajalah Tera. Kedua anak buahnya keluar untuk menjemput
tahanan yang ingin ditemui Nadira.
"Kamu yakin, Dira" In i orang gila."
"Kamu tahu kenapa dia mem inta kamu secara khusus"
Saya sebetulnya sudah menyampaikan pada Utara, tak perlu
mengabulkan per m intaan sinting itu."
Nadira mengangkat bahu, "Mungkin karena dia per nah
membaca ber ita tentang kem atian Ibu. Kan sempat ada
ber itanya juga, Bang..., meski kecil."
Ray agak sangsi dengan jawaban Nadira. Dia menggar uk-gar uk dagunya yang tidak gatal, kebiasaan nya kalau
tidak bisa menggenggam sesuatu yang tidak jelas.
"Apapun motivasi dia, Bang, kam i perlu wawancara
eksklusif dengan Bapak X. J adi... biarlah, saya tidak takut."
Ray menghela nafas. Lalu akhir nya dia mengambil
sebuah m ap yang tebal. "Secara gar is besar, in fo in i sudah kam i sampaikan
me lalui kon feren si pers. Tapi saya tahu, kamu selalu ingin
in for m asi yang lebih r inci...," kata Ray sambil membuka
m ap itu. Nadira tersenyum senang. Dia tahu betul, isi m ap yang
dipegang Ray sangat eksklusif. Ray melir ik tersenyum melihat wajah Nadira yang sedikit lebih cerah.
"Saya bar u kali in i melihat kamu tersenyum lagi..."
"Tolong penjelasan yang kronologis, Bang," Nadira
mengambil bolpen dan notes.
"Nad..." Nadira mengangkat kepalanya.
"Dia bukan seorang psikiater biasa. Dia seorang jenius."
"Saya bisa menghadapi dia, Bang Ray..., percayalah..."
"Hm ...," Ray menjenguk isi m apnya yang ber isi laporan
102 Leila S. Chudori dan foto-foto korban pembunuhan. "Korban yang paling
bar u ber nam a Mur yan i Handoko, 52 tahun, ibu seorang anak
lelaki. Dia ditemukan tewas di r um ahnya dua pekan lalu,
10 J un i 1994. Bapak X mengaku telah mencekik Mur yan i
dan... lihat in i...," Ray memperlihatkan foto Mur yan i, "dia
mencongkel biji m ata kir inya dan merobek bibir nya postm ortem ."
Nadira terkesiap. Bagian ini tidak pernah ada di media.
"In i kam i simpan rapat dulu dar i publik," kata Ray
yang sudah mengenal alam pikiran Nadira, "karena kam i
m asih ingin mencar i tahu, kenapa semua korban nya selalu
perempuan par uh baya yang mempunyai anak lelaki; dan
kenapa setelah dibunuh, mulut perempuan itu dirobek."
Nadira mencatat itu semua dengan jar i-jar i gemetar
dan hati berdebar. Saat itulah Wisnu m asuk member itahu
bahwa Bapak X sudah siap diwawancarai oleh Nadira.
"Data lim a korban lain nya kita ter uskan setelah kamu
wawancara dia, Nad... Saya hanya bisa member i waktu
setengah jam saja dengan dia. Cukup, kan?"
"Sangat cukup, Bang. Ter im akasih,"
Ray mengangguk kepada anak buahnya. Hanya bebe rapa men it, mereka menggir ing seorang lelaki setengah baya
ke hadapan Nadira. Ray tersenyum sin is dan member i tanda pada Bapak X untuk duduk di r uang tengah kantor polisi
yang hanya diisi dengan sebuah meja, dua buah kursi, dan
potret Presiden Soehar to dan Wakil Presiden Tr y Sutr isno
yang digantung di dinding.
Nadira langsung melontarkan selur uh pandangan nya
hanya dengan satu kali "tonjokan". Nadira mem iliki apa
yang disebut Tara sebagai "photographic m em ory ". Wajah
seorang lelaki yang usianya sudah merambat pada tingkat
melebihi setengah abad; sebuah tahap yang membuat para
103 Tasbih lelaki di dun ia menger ut dan tak berdaya, karena pen isnya
sudah lebih m ir ip buah ter ung yang layu dan bergelayut siasia. Pada tahap in i, mereka merasa kelelakian mereka sudah
mulai diper tanyakan. Nadira menatap wajah Bapak X. Wajah lelaki ber usia
62 tahun itu telah ter pampang di berbagai media. Entah
bagaim ana, Bapak X selalu tersenyum menunjukkan rangkaian gigi putihnya setiap kali kamera mengarah pa danya.
Seolah tak ada yang lebih membuatnya bangga dar ipada
ter tangkap dan disorot oleh berbagai kamera televisi. Tetapi
dia hanya ingin diwawancarai oleh satu orang.
"Nadira Suwandi..."
Suara Bapak X berat, ber iram a seper ti seorang penyanyi. Dia menatap Nadira. Dan Nadira mem andangnya
tanpa rasa takut. "Akhir nya saya mendapatkan anugerah yang sudah
lam a saya ingin kan," Bapak X memejam kan m atanya, seper ti men ikm ati kehadiran Nadira. Nadira ber usaha tidak
ter pengar uh oleh gaya teatr ikal Bapak X.
Nadira memotret selur uh kehadiran Bapak X. Tinggi
180 sentimeter; tubuh atletis yang sudah pasti dipelihara
oleh peralatan gim dan berbagai vitam in dan nutr isi; rambut berombak perak; dan wajah yang penuh bilur-bilur yang
sudah dipastikan kena tonjok orang-orang yang m arah
padanya. "Apa yang bisa saya bantu, Nadira?"
Nadira mengeluarkan notes dan bolpen nya.
Bapak X ter tawa lembut. Nadira mengangkat wajahnya.
"Kenapa?" "Betul kata orang. Kau war tawan yang tak suka menggunakan tape recorder kalau tak ter paksa?"
"Saya ingin ber tanya tentang m asa kecil Anda."
Bapak X ter tawa kecil, nyar is tak mengeluarkan suara.
104 Leila S. Chudori Halus dan mengelus. "Har i sudah senja, m asih juga percaya pada Freud..."
Dia menyentuh tangan kir i Nadira yang ditumpukan
di atas meja. Nadira ser ta-mer ta menar ik tangan nya. Ray
jengkel dan berdir i mendekati Bapak X. Nadira menahan
Ray. "Bang Ray kan sedang sibuk... Biarkan saya ur us dia
sendir i." Bapak X tersenyum menang.
Ray ingin sekali menghabiskan binatang di depan nya
in i dengan sekali hajar; pasti mudah sekali. Sekali ayun,
muka yang halus itu langsung jadi bubur, dan serangkaian
giginya yang putih itu rontok satu persatu, berantakan.
"Pintu tetap saya buka. Di luar ada Pak Anton dan Pak
Wisnu. Ter iak aja kalau dia aneh-aneh...," Ray bergum am
dengan nada tak ikhlas. Nadira mengangguk tersenyum .
Akhir nya Ray pergi men inggalkan mereka berdua
dengan wajah yang sangat tidak rela. Tetapi Nadira tahu,
Ray ada di r uang sebelah, dan dia sengaja membuka pintu
penghubung antara kedua r uangan itu.
Bapak X mem ajukan wajahnya hingga wajah Nadira
ha nya ber jarak beberapa sentimeter dar i hidungnya. Tapi
Nadira sam a sekali tidak ter intim idasi oleh tingkah laku
in i. "Bisa saya bantu?"
"Ayah Anda men inggal waktu Anda m asih kecil. Apa
yang ter jadi?" Bapak X menyenderkan punggungnya dengan m alas
dan mengambil sebatang rokok.
"Kamu tak ingin tahu kenapa saya mem inta ber temu
dengan mu?" Nadira menggeleng. 105 Tasbih "Itu penting. Sangat, sangat penting. Kamu perempuan istimewa. Yang sudah menulis cer ita pendek sejak kecil,
dan mempunyai dua orang kakak yang pasti merasa menjadi
bayang-bayangmu... Saya tebak, pasti kakak perempuan mu
bukan kakak yang menyenangkan. Dan saya yakin, seumur
hidupmu, kamu adalah sosok yang gelisah."
Nadira merasa aliran darahnya berhenti seketika.
"Keluarga saya baik-baik saja, kakak-kakak saya sangat
mendukung saya," Nadira mencoba tenang. "Saya ingin tahu
tentang ibu Anda..."
"Ibu...," tiba-tiba saja senyum Bapak X hilang, "yang
mengambil sem angkuk cabe rawit giling dan menyem ir nya
ke mulutku waktu saya m asih ber usia tujuh tahun?"
Bapak X menggosok-gosok bibir nya sendir i, mem perlihat kan bagaim ana ibunya memborehkan cabe rawit giling
ke mulutnya. Nadira menunduk dan ber pura-pura sibuk menulis agar dia tak ter pengar uh.
"In i adalah hukum an jika saya melontarkan kata yang


9 Dari Nadira Karya Leila S. Chudori di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tak senonoh... Waktu saya ber usia sembilan tahun, dan
saya terlambat pulang sekolah, Ibu mengikat saya di tiang
r um ah belakang... Codet di jidat saya in i" Ibu melempar
sebuah pir ing, karena saya tidak menghabiskan m akan
siang saya..." Nadira terdiam. Bapak X mem andangnya dengan raut
puas, karena merasa membuat Nadira tak m ampu ber debat.
Nadira mengambil catatan nya, dan mengumpulkan
segala kekuatan nya, "J adi karena m asa kecil Anda yang
bur uk, Anda mempunyai dorongan untuk membunuh setiap
perempuan yang sudah ber usia senja; yang mem iliki anak
lelaki tunggal seper ti Anda...?"
"Saya ingin membantu anak-anak lelaki yang disiksa
ibunya sendir i...," Bapak X menggosok-gosok tangan nya
106 Leila S. Chudori dengan sem angat. "Bagaim ana Anda mengetahui anak-anak in i disiksa
ibunya sendir i?" "Saya tak per nah ragu... Saya tahu tanda-tanda anakanak yang dihajar oleh ibunya sendir i... Ray, polisi yang
jatuh hati padamu itu, sudah memperlihatkan foto-foto
kar ya sen i saya?" Bapak X ter tawa berderai-derai. Nadira
tidak menjawab dan menyibukkan dir i dengan mencatat.
"Korban per tam a...?" Nadira ber tanya dengan suara
yang sangat dikontrol. "Meidina Sat ya!" Bapak X menyela seper ti seorang
pe ser ta kuis yang merasa mengetahui jawaban yang dilon tarkan pembawa acara. "Dia ber usia 54 tahun, seorang
ibu yang mengontrol jadwal anak lelakinya dar i menit ke
men it...," Bapak X berser u dengan nyar ing dan girang.
"Setiap kali anaknya terlambat hanya beberapa men it, dia
akan menghukum anaknya. Dia mengikatnya, mengur ung
anaknya sehar ian tanpa m akan dan m inum ..."
Bapak X mencer itakan itu dengan ber nafsu dan hampir
tak ber nafas. "Menghabiskan dia paling gampang..."
Nadira memperhatikan wajah Bapak X yang men ce r ita kan setiap adegan pembunuhan itu dengan r inci, seper ti
mem ber ikan sebuah kursus kepada seorang pembunuh pemula.
"Waktu kali per tam a saya merobek mulut Meidina Sat ya,
rada susah..., agak liat. J adi saya har us menggunakan kedua
tangan saya...," Bapak X bercer ita dengan sem angat, m atanya berkilat-kilat girang dan kedua tangan nya mem ber ikan
contoh bagaim ana ia menguakkan bibir korban nya.
Nadira mencatat sembar i mencoba meredam debar
di dadanya. "Nah, setelah beres...," Bapak X melanjutkan,
"bar ulah saya membereskan bola m atanya."
107 Tasbih "Kenapa..." suara Nadira serak, "kenapa har us bibir
dan m ata?" "Mata adalah pancaran jiwa; mulut adalah pancaran
hati...," kata Bapak X seper ti tengah membaca puisi.
"Kamu m au catat yang kedua juga kan?" Bapak X terlihat sem akin r iang. Nadira ter paksa mengangguk dengan
jengkel melihat Bapak X yang menemui kebahagiaan nya
dengan membicarakan korban-korban nya itu.
"Maulina Hadi... 47 tahun, ibu dar i kembar lelaki dan
perempuan... Wajah anak lelakinya terlalu m ir ip suam inya
yang jalang. J adi kembaran itu tumbuh seper ti sepasang
anak em as dan anak tir i... Anak lelakinya hidup seper ti
pem bantu." "Bagaim ana Anda ber temu dengan mereka semua?"
"O, m acam -m acam . Yang per tam a dan kedua adalah
pasien saya...," jawab Bapak X dengan nada r iang.
"Yang ketiga..."
"Naaah...," Bapak X memotong per tanyaan Nadira
dengan cer ia, "Mar yati Danu itu sebetulnya ibu m aha siswa
saya. Mahasiswa saya itu seper ti seonggok daging busuk
yang ter paksa hidup di kelas saya. Setelah saya ca r i latar
belakangnya..., seper ti halnya saya car i latar belakangmu,
Nadira..., saya langsung tahu pender itaan dia. J adi saya
selesaikan saja." Nadira terdiam cukup lam a. Dia merasa Ray berdir i di
ambang pintu ikut mendengarkan wawancara itu. Tiba-tiba
saja, tanpa diduga, Bapak X menembak Nadira dengan satu
per tanyaan. "Bagaim ana posisi ibumu waktu kau temukan" Celentang atau mer ingkuk?"
Nadira tersentak. Bapak X menyer ingai. Sederet giginya yang putih tampak bersinar ditimpa cahaya lampu di
108 Leila S. Chudori r uang serse. Bapak X tahu betul, Nadira kin i tengah mem bayangkan kembali posisi ibunya saat per tam a kali dite mukan dalam keadaan tak ber nyawa.
"Cer itakan bagaim ana kakakmu yang kau benci itu
men jer it, melengking..., dan kau pastilah anak yang selalu
ha r us membereskan semua persoalan keluargamu...," Bapak
X menyer ingai kembali. Bapak X tampak terlalu percaya
dir i. Perlahan dia menyentuh jar i-jar i Nadira. Dan seper ti
disetr um listr ik, Nadira tersentak. Darahnya mendidih.
"Ada apa?" tanya Ray yang sudah melesat ke dalam
r uangan. Suaranya seper ti godam palu yang siap meme cahkan batok kepala Bapak X.
"Tidak apa-apa...," Nadira menjawab sembari menenangkan dir inya sendir i. Dengan m atanya, dia mem inta Ray
kem bali ke r uangan sebelah agar dia bisa menyelesaikan
wa wancaranya. "Pokoknya kalau kamu menyentuh Nadira, sekali
saja...," Ray menggebrak meja hingga jantung Nadira
hampir loncat ke leher, "awas!" Ray menatap Bapak X
selekat mungkin; nyar is seper ti seekor har im au yang siap
mengganyang m angsanya. Bapak X, nampaknya sudah terbiasa dengan tempe ramen Ray, mengangguk. Memperlihatkan kepatuhan yang
me nga gum kan. "Nadira akan utuh."
Ray keluar dar i r uangan seraya sekali lagi menghunjam kan pandangan yang men ikam pada Bapak X.
Nadira kembali pada posisi semula: war tawan.
"Kenapa semua korban Anda ber in isial hur uf M?"
"Kamu cerdas... pasti sudah tahu jawaban nya. Ray,
serse yang sangat melindungimu itu, pasti sudah member i
arsipku padamu." 109 Tasbih "Nam a ibu Anda ber in isial M?"
Bapak X terkekeh-kekeh. "Ber in isial M, beranak lelaki satu orang; anak lelaki
yang tak diingin kan; yang tak jelas siapa ayahnya..."
Nadira mulai tercekam . Keterangan in i tak ada di dalam
arsip serse. Dia bisa mendengar langkah Ray mendekati pintu dan ikut mendengarkan, meski dia memenuhi janji pada
Nadira untuk tak mencampur i wawancara itu.
Bapak X merasa senang ada hadir in yang sungguh berm inat pada ucapan nya. Dan "hadir in" itu ber nam a Nadira
Suwandi. Itu membuat dia terangsang untuk berkisah.
"J adi... keenam nya adalah perempuan par uh baya yang
sendir ian, yang membenci anaknya sendir i, dan membenci
predikat sundal dar i m asyarakat..."
"Saya tak percaya... Saya tak percaya mereka adalah
ibu yang jahat. Itu semua karangan mu saja," Nadira mulai
emosional. Bapak X tersenyum , "Tentu saja... Tentu saja kau tak
percaya... Ibumu mencintai kalian seper ti seekor induk
bur ung yang sayapnya mer ingkus kalian ber tiga ke dalam
satu pelukan yang ketat, yang protektif dan penuh cinta..."
Nafas Nadira ter tahan. Untuk kali per tam a, ada perasaan yang asing yang mulai tumbuh; campuran rasa takut,
benci, sekaligus kagum pada Bapak X. Psikiater in i mem ang
cerdas. Melalui perkiraan, ser ta membaca in for m asi ke m atian ibunya di beberapa media, tiga tahun silam"seorang
istr i war tawan sen ior tewas bunuh dir i"psikiater in i sudah
bisa membuat sebuah kesimpulan yang jitu.
"Nah, sekarang saya har us tahu: bagaim ana ibumu
meng habiskan nyawanya" Racun" Pil tidur" Yang pasti
bukan gantung dir i, itu terlalu purba...," Bapak X ter tawa halus. Bapak X terkekeh-kekeh. Matanya berkilat-kilat karena
merasa Nadira sudah m asuk dalam teras r um ahnya.
110 Leila S. Chudori Tetapi tawanya menusuk jantung Nadira. Tepat di
tengah-tengah. Detaknya berhenti seketika.
Bapak X men ikm ati wajah Nadira yang pucat.
"Apa yang kau lihat per tam a kali..."
"Bunuh diri m em ilik i sebuah bahasa khusus..."1
Bapak X mengucapkan ini dengan nada yang mengalun.
Nadira tersentak. Bapak X, psikiater ter nam a in i menyitir sajak An ne Sexton:
Suicides have a special language.
Like carpenters they w ant to k now W hich Tools.
They never ask W hy Build. 2
Nadira tidak menjawab sam a sekali dan tidak ber n iat
me laden i kegilaan Bapak X. Tetapi sialan! Per tanyaan itu
m a lah membentangkan sebuah layar m asa lalu, tiga tahun
lalu tepatnya, ketika kali per tam a dia menemukan ibunya
ter geletak di lantai r um ah, dalam keadaan tak ber nyawa.
Tubuh yang bir u. Pipi yang bir u. Dan bibir yang keputihan
karena busa yang ker ing. Bunga ser un i yang memenuhi
m akam Ibu. "Cer itakan...," Bapak X berbisik dengan ber nafsu, "cer ita kan perasaan mu... Bagaim ana reaksi kakak-kakakmu...
Aku bisa membayangkan dinam ika kehidupan kalian..."
"Kami baik-baik saja. Saya mencintai kakak-kakak saya!"
Nadira buru-buru menancapkan pagar di sekeliling tubuhnya.
Bapak X ter tawa terbahak-bahak. Girang sekali melihat
Nadira ter pancing. "Kenapa saya tak percaya?"
Terjemahan bebas puisi "Wanting to Die" karya penyair Anne Sexton.
Puisi "Wanting to Die" karya Anne Sexton.
111 Tasbih Suara Bapak X kali in i tur un drastis. Lembut.
Tetapi suara seper ti in i yang membuat Nadira lupa
bah wa dia berada di kantor polisi. Dia lupa di r uang se belah
ada Ray yang sedang ber jaga-jaga agar tak ter jadi apa-apa
dengan Nadira. Ruangan itu mendadak gelap. Hitam. Dan
tiba-tiba saja dia merasa ada di sebuah r uang m asa lalu,
tepat 20 tahun yang lalu...
Jalan Kesehatan, Jakarta Pusat, 8 Januari 1974
Nadira m encium arom a asap bubuk hitam y ang
m eny eruduk m asuk ke ruang m akan. Nam pak ny a arom a
it u datang dari halam an belakang di m ana Ary a dan kedua put ra Bibi Rania tengah jejingk rakan m eny ulut petasan. It u sisa petasan m alam tahun baru y ang selalu saja
m asih disim pan oleh Ary a dan kedua sepupuny a, Iw an
dan Mursid. "Meny am but tahun 1974!" kata Ary a dengan sinar m ata berkilat-kilat. Ay ah sedang pergi karena bany ak sekali
protes m ahasisw a m enjelang kedatangan Perdana Men teri
Jepang Tanaka. Ibu sedang m enem ani Bibi Rania ke dokter.
Dari m eja m akan, tem pat Nadira tengah m e nget ik cerita
pendek, ia m endengar say up-say up suara T VR I y ang
pas t i hany a disak sikan Yu Nah. Lonceng y ang berbuny i
delapan kali it u lantas sam bung-m eny am bung dengan
suara ledakan petasan dan sorak-sorai sang abang dan dua
"baw ahanny a". Sungguh m engganggu kon sen t rasi. Nadira
berdiri dan m engham piri ket iga lelak i rem aja it u.
"Main petasanny a pindah dong...," Nadira bertolak
pinggang jengkel. Dia m em elotot i rum put halam an be lakang y ang sudah berselim ut kapuk. "Ibu akan m enikam
kam u!" Ary a, si Bandel, terseny um -seny um , "It u cum a bantal
112 Leila S. Chudori bekas y ang sudah bau busuk... Ay o, Sid! Siap!"
Duar, duar!!!! Petasan m eledak. Dua buah bantal hancur-lebur dan
ju taan kapuk m elay ang-lay ang sepert i salju y ang m eny elim ut i rum put tanam an belakang.
"Salju, salju di Jakarta!!" t iga ekor m ony et m enarinari di atas r um put y ang penuh oleh kapuk.
Nadira m enggelengkan kepalany a. Abangny a dan
kedua sepupuny a it u seharusny a sudah m em asuk i usia
rem aja y ang "dew asa". Mereka bert iga duduk di kelas sat u
sekolah m enengah atas, tetapi t ingkah lak u m ereka lebih
m irip penghuni Ragunan. Nadira duduk kem bali di m uka m esin t ik m ilik ay ahny a
di m eja m akan. Ini adalah cerita pendek ny a y ang keenam
y ang akan dik irim ke m ajalah Mata Hati. Lim a cerita pendek y ang sebelum ny a sudah dim uat, sudah digunt ing sang
ay ah dan dibingkai, dipajang di ruang kerja ay ahny a.
Ay ahny a begit u bangga. Set iap kali m ereka m akan m alam
ber sam a, ay ahny a akan m encium ubun-ubun Nadira dan
m eny atakan anak bungsuny a y ang baru berusia 12 tahun
itu pasti bisa m eneruskan pekerjaan ay ahny a kelak. Dada
ay am goreng y ang biasany a disim pan unt uk sang ay ah
k ini ber im igrasi dar i pir ingny a ke pir ing anak bungsu.
Nadira tak pernah m eny adari sepasang m ata Yu Nina
y ang berk ilat-k ilat m arah m eny ak sikan perpindahan sepo tong dada ay am y ang berharga it u. Nadira terlalu sibuk
m e nangk is kak i Ary a y ang m enendang t ulang keringny a
dan w ajah Ary a y ang m em ohon... Sepert i biasa, Nadira
t idak tega dengan w ajah abangny a y ang sangat m e ny ukai
dada ay am it u. Dia akan m em indahkan sepotong ay am it u
ke piring abangny a. Adegan-adegan sepert i ini hany a berbekas di hat i Nina. Unt uk Ary a si Bandel, y ang pent ing dia
m endapatkan jatah dada ay am . Beres.
113 Tasbih Duar, duar!!! Terdengar sorak-sorai gem bira t iga m ony et it u. Makin
ber gairah dan m akin m engguncang rum ah t ua m ereka di
ka w asan Petojo, di pusat Jakarta. Nadira m enghela nafas. Dia akhirny a m engem as kertas-kertas dan m esin t ikny a. Untuk kali pertam a dia m em utuskan m enggunakan
"fasilitas"y ang dianugerahkan ay ahny a, y aitu, "kam u boleh
m enggunakan kam ar kerja Ay ah kalau ingin m encari
ketenangan." Nadira m eletakkan m esin t ik it u tepat di tengah m eja
kerja ay ahny a; kertas uk uran folio di sebelah k iri dan dua
halam an pertam a y ang sudah selesai diket ik di sebelah kanan m esin t ik. Nadira m eny adar i: dia dikelilingi cerpencerpen kar y any a y ang dipajang ay ahny a di dinding. Nadira
m e rasa risih dan aneh. Mungk in it u pent ing bagi ay ahny a.
Tetapi Nadira m erasa t idak ada sebut ir debu dibanding
penulis-penulis y ang dipujany a: Mark Tw ain, Louisa May
Alcott, dan Charles Dicken s. Mereka m em bangun sebuah
dunia y ang m am pu m engisap pem baca. Mereka berhasil
m em buat para pem baca m elekat di dalam dunia it u
seum ur hidupny a. Art iny a: para penulis luar biasa ini,
m enurut Nadira, m em buat dia tak ingin kem bali ke dunia
ny ata. Mereka sudah m em berikan k unci pada sebuah
dunia gaib di abad silam dengan cerita y ang oh, luar
biasa, sungguh Nadira tak ingin dipak sa unt uk m enaik i
tangga dan ny em plung ke Jakarta di tahun 1974. Sungguh
suram , k usam , dan tak m enarik. Nadira sudah terlanjur
m erasa sepert i bagian dari huruf-huruf y ang dibacany a.
Dia adalah penduduk dunia rekaan para penulis y ang dicintainy a.
Karena it u, Nadira m erasa t idak (atau belum ) lay ak
m e m ajang cerpen-cerpenny a di saat y ang m asih terlalu
pagi dan dini di dinding ruang kerja ay ahny a. Mungk in


9 Dari Nadira Karya Leila S. Chudori di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

114 Leila S. Chudori bo leh saja dia m em ajang di dinding kam arny a, tapi jangan
di sini, di kam ar kerja ay ahny a. Nadira m erasa dia t idak
sebanding dengan para penulis pujaanny a. Dia m enu runkanny a satu persatu dan m em baw a kelim a bingkai itu ke
kam arny a: sebuah kam ar besar y ang ditem pati oleh Nadira
dan Nina. Nina m elirik heran. Dia tengah m engerjakan pekerjaan rum ahny a.
"Apa t uh?" "Cerpenk u y ang dibingkai Ay ah. Ak u m au sim pan di
lem ari saja..." "Disim pan di sini" Kenapa?"
"Risih..." "Jadi, kam u m au letakkan di lem ari pakaian k ita?"
Nadira baru m eny adari nada keberatan kakak ny a.
"Iy a..., disim pan, supay a tak perlu dipam er..."
"Kenapa?" Nadira heran. Apakah Yu Nina t uli"
"Ak u sudah bilang, ak u risih."
"Ay ah sudah tahu" It u kan dipajang di dinding kam ar
kerja Ay ah." Nadira m engangkat bahu, "Nant i ak u jelaskan. Ak u
keberatan kalau kary ak u dipajang di tem bok Ay ah..."
"Ini kam ark u juga. Lem ari pakaian bersam a. Ak u keberatan juga."
Nadira m engerutkan kening. Tak paham .
"Ak u bukan m au m em ajang di tem bok, Yu. Justru ak u
ingin m eny im pan di bagian baw ah lem ari, kalau perlu dik ubur di paling baw ah, dit um puk di baw ah seprei," Nadira
m enjelaskan dengan sabar, karena t idak bisa m em baca
hat i kakak ny a y ang m ulai m endidih.
"Ak u t idak m au m elihat om ong-kosongm u di lem ari
k ita. Di kam ar ini."
Kini Nadira sem ak in tak paham apa y ang tengah
115 Tasbih terjadi. Dia m eletakkan kelim a cerpen y ang sudah dibingkai
it u sat u persat u di dasar lem ari pakaian y ang m ereka guna kan bersam a. Nina m eny ak sikan gerak-gerik adik ny a
dengan sat u lirikan. Dia m enut up buk uny a dengan geram
dan m eninggalkan kam ar.
Nadira m enut up lem ari pakaian it u. Dia kem bali ke
m eja kerja ay ahny a dan m encoba kon sent rasi. Sepuluh
jariny a y ang kecil m ulai bergerak lincah. Suara rentetan
petasan tak terdengar, karena keasy ikan Nadira dalam
duniany a. Tiba-t iba... Duar... Duar... Duar! Duar! Nadira tersentak. Buny i petasan kali ini sepert i
m eng hantam sebuah benda keras. Bahkan ledakan berik ut ny a sepert i m engak ibatkan pecahny a berbagai barang
pecah-belah. Nadira berdebar-debar. Hany a dalam bilang an sedet ik dia sudah berada di depan kam arny a.
Pem bant uny a, Yu Nah tengah m enjerit. Dia m elihat Yu
Nina hany a berdiri di depan kam ar tanpa ek spresi apaapa m eny ak sikan kam arny a y ang m endadak sepert i korban ledakan bom . Saat it u juga, Nadira m endengar t iga
m ony et geruw alan berlari m eny usul dan ternganga m elihat kam ar Nina dan Nadira.
Nadira m elangkah perlahan m endekat i lem ari pakaian ny a y ang sudah hancur pint uny a. Baju-baju Nina dan
Nadira sebagian koy ak dan hangus. Beberapa sepat u
berhak t inggi y ang disim pan dalam kotak sepat uny a hancur berantakan. Lim a cerita pendek Nadira sudah hancur berkeping-keping. Nadira m em andang per cikan gelas
bingkai y ang bertebaran sepert i pecahan ber lian. Dia m enoleh dan m elihat w ajah Ary a y ang pucat.
Ary a m enggeleng-gelengkan kepalany a tak percay a.
116 Leila S. Chudori Nadira bisa m elihat dengan jelas, abangny a bukan hany a
ke tak utan, tetapi juga terkejut dan heran. Bagaim ana
m ung k in t iga m ony et y ang sedang berloncatan di luar bisa
m eledakkan petasan di dalam kam ar" Sudah past i ada
orang lain y ang m elak ukanny a. Tapi siapa"
Yu Nah m enjerit dan m engancam akan m em beritahu
Ay ah dan Ibu saat m ereka sudah pulang dari kondangan.
Nadira m elirik Nina y ang m asih berdiri di pint u, m elipat
tanganny a. Wajahy a tanpa ek spresi. Dia tak m arah m elihat baju-bajuny a y ang digant ung hancur-lebur dihajar
pe tasan. Nina hany a m engeluarkan sat u perintah unt uk
Yu Nah. "Yu Nah, jangan bany ak m ulut. Bersihkan saja!"
Kalim at it u terdengar dingin. Nina m em balikkan t ubuh ny a dan m eninggalkan kam arny a.
Sejak it u, y a sejak it u, Nadira tahu: dia tak akan pernah m em aaf kan kakak sulungny a. Ket ika dia m elihat
abangny a dihuk um oleh Ay ah dan Ibu (tak boleh m ain
petasan seum ur hidup; tak boleh keluar pada hari Minggu;
tak boleh m ain bola, m em baca Quran set iap hari di r um ah
Kakek Suw andi; tak boleh nonton telev isi; dan y ang paling sulit, tak boleh bertem u dengan Iw an dan Mursid
unt uk w akt u y ang lam a), Nadira m eny im pan kem arahan
y ang sungguh dalam . Dia tak m au lagi t idur sat u kam ar
dengan Nina. Dan dia tak m au lagi m elihat m ata kakak
sulungny a. *** "Kamu membenci kakakmu... Saya bisa melihat dar i
m atamu." Suara Bapak X yang r iang mengembalikan Nadira ke
dalam r uangan serse. Nadira segera mengumpulkan ke sadaran nya yang ter pecah-belah. Dia mengambil sehelai tisu
117 Tasbih dar i dalam ran selnya dan mengusap-usap bibir nya.
"Kamu membencinya...," Bapak X terlihat men ikm ati
raut muka Nadira yang berker ingat.
Nadira mulai m asuk ke dalam arena yang dibentangkan
Bapak X. Psikiater itu pasti cerdas dan licin. Seper ti tukang
sihir dalam dongeng anak-anak Han sel dan Gretel, yang
mem bujuk lidah anak-anak dengan r um ah gula-gula. Bapak X tahu betul, ada sesuatu yang hitam dan membusuk di
dasar hati Nadira yang perlu dicungkil dan dikeluarkan.
"Cer itakan... bagaim ana kakakmu melolong waktu
menemukan ibumu tewas..."
"Bagaim ana Anda tahu dia melolong?"
Oh, betapa kilat-kilat m atanya menger jap bahagia.
Nadira terdiam , dan dia m asih bisa mendengar suara lolongan Yu Nina.
"Ibu selalu mengingin kan bunga ser un i...," tiba-tiba
Nadira berbicara, lebih untuk dir inya sendir i.
"Ya...," Bapak X seolah-olah paham , "kalau saya diekse kusi nanti, saya juga sudah mempunyai per m intaan
khusus..." Nadira seper ti tak lagi berada di r uangan itu. Dia sudah terlempar lagi ke dalam kehidupan nya tiga tahun silam ,
ketika dia menyer uak selur uh J akar ta untuk mencar i bunga
ser un i dem i ibunya. "Ibu tidak m au bunga melati... dan Yu Nina ter us-mener us melolong; menangis tersedu-sedu...," Nadira mengucapkan itu sembar i menerawang.
Bapak X perlahan tersenyum . Nadira sudah m asuk
da lam genggam an nya. Alangkah lezatnya. Bapak X me nahan dir i untuk tidak menyentuh jar i-jar i Nadira, khawatir
Nadira terbangun dar i keasyikan nya.
"Aku tak per nah paham kenapa Ibu memutuskan untuk
m ati." 118 Leila S. Chudori "Ibumu pasti punya beban yang begitu berat..., kalau
tidak, dia pasti tak akan mungkin memutuskan untuk men inggalkan ketiga anaknya yang sangat dia cintai... Kenapa,
menur utmu, kenapa dia memutuskan untuk pergi?"
Per tanyaan itu. Per tanyaan itulah yang selalu menggang gu Nadira hingga detik in i. Per tanyaan yang membuat
Nadira bergelung di kolong meja ker janya setiap m alam .
Per tanyaan yang membuat Nadira tak ingin pulang untuk
me nemui ayahnya yang pasti duduk di depan televisi
dite m an i r ibuan nyamuk yang berdesing. Per tanyaan
yang mem buat Nadira bahkan tak beran i lagi mendekati
r uangan tem pat ibunya ditemukan tergeletak tiga tahun
lalu, tanpa nyawa. Per tanyaan yang mendesak-desak syaraf
keingintahuan Nadira, hingga Nadira kerap menjedukjedukkan kepalanya ke dinding kam ar nya, karena rasa sakit
di ubun-ubun nya yang tak kunjung pergi. Per tanyaan yang
akhir nya mendorong Nadira untuk pindah ke tempat kos,
karena dia tak sanggup lagi tinggal di r um ah yang m asih
dihantui kenangan ibunya.
"Aku... tak per nah paham kenapa Ibu mengingin kan
bunga ser un i yang mengantar nya ke r um ahnya yang terakhir," suara Nadira mulai serak. Dia menahan tangis.
Bapak X menyentuh tangan Nadira. Dan kali in i Nadira
tidak menolak. "Arom a bunga melati terlalu semerbak..., mem ang
tidak cocok dengan kepr ibadian ibumu..."
Nadira terdiam menahan air m atanya yang nyar is tum pah. Suara Bapak X men iup-n iup luka hatinya yang tengah
menganga. "Bunga sedap m alam terlalu m istis...," Bapak X mengucapkan itu seper ti menyanyi.
"Nadira, mem ang bunga ser un i cocok untuk seseorang
yang..." 119 Tasbih Nadira seper ti tersentak.
"Seseorang yang apa...?"
"Seseorang yang..." Bapak X sengaja memotong ka lim at nya; sengaja membuat Nadira sem akin m asuk dalam
ka m ar tidur im ajinatifnya.
"Apa?" Nadira hampir meledak.
"Seseorang yang lelah dengan dun ia... Seseorang yang
ingin pen siun dar i hidupnya..."
Suara Bapak X sangat lembut diatur seper ti satu bait
lagu. Dia mengucapkan itu sembar i memejam kan m atanya.
Dia sudah mencapai tingkat ekstase yang diingin kan nya.
Hanya dalam waktu dua detik, wajah Bapak X dihajar
sebuah tonjokan yang luar biasa keras.
*** Sinar m atahari pagi seperti tum pah-ruah m enyiram i ge rom bolan alam anda di kebun rum ah keluarga Suwandi.
Di bawah lindungan rer imbunan kembang kun ing itulah Bram Suwandi ter tatih memer iksa anggreknya satu
persatu. Tepatnya anggrek m ilik alm arhum ah istr inya. Tara
me m arkir mobilnya di samping r um ah, dan dia bisa melihat
ayah Nadira yang hampir mencapai usia 70 tahun itu tengah
ber usaha membuat sisa hidupnya lebih berar ti: berbincang
dengan bunga-bunga pen inggalan istr inya.
Meski dia sudah senja, dan telinga kir inya sudah mu lai
tak ber fungsi dengan baik, Bram selalu punya in sting yang
jitu. Ada seseorang yang berdir i di belakangnya. Dia me noleh. Senyum nya mengembang perlahan.
"Selam at pagi, Pak..."
Tara menyalam i Bram Suwandi, war tawan veteran
yang sangat dikagum inya; yang memberinya inspirasi untuk
menjadi war tawan. Bram mempersilakan Tara duduk di kursi
kebun agar dia bisa menatap anggrek m ilik istrinya itu.
120 Leila S. Chudori "Daun-daun nya sudah lam a tidak saya ber i m inyak...,"
Bram menggum am . "Mau kopi atau teh, Nak?"
"Ter im akasih, Pak... Saya bar u sarapan..."
Bram mengangguk dan mereguk kopinya, "Apa yang
saya bisa bantu, Nak" Nadira sudah tidak tinggal di sin i,
kan dia kos dekat kantor Tera... Akhir m inggu biasanya dia
ke sin i..." "Ya..., saya tahu, Pak..."
Tara memperbaiki letak kursinya.
"Maaf mengganggu pagi Bapak... Nadira ser ing
mengatakan, pagi untuk Bapak adalah waktu menyapa
kebun..." Bram ter tawa terkekeh-kekeh.
"Tidak apa-apa, Nak Tara..."
"Bagaim ana penulisan buku Bapak?"
Bram menggar uk-gar uk kepalanya yang m asih menyisakan rambut yang m asih lum ayan tebal dibanding lelaki
tua seusianya. "Belum saya pegang lagi... sejak..." Bram membersih kan
ke rongkongan nya, "m asih belum saya ter uskan lagi. Saya
juga bingung apakah pembaca m asa kin i m asih ter tar ik
dengan soal Malar i..."
"Penting, Pak..., mumpung beberapa tokohnya m asih
hidup dan Pak Bram salah satu war tawan yang menyaksikan
pe r istiwa itu." Bram mengangguk, meski wajahnya memperlihatkan
ke sangsian. Bukan sangsi pada ucapan Tara, tetapi pada
dir inya. "Ada yang bisa saya bantu, Nak?"
Tara ber pikir cukup lam a, hingga akhir nya dia memutus kan langsung saja pada tujuan nya untuk datang.
"Nadira... menyebut seuntai tasbih m ilik ibunya..."
Bram menger utkan ken ingnya.
121 Tasbih "Tasbih" Yang dar i kayu itu" Itu pember ian ayah saya
untuk istr i saya," Bram tersenyum .
"Ya, Pak... Nadira bercerita tentang tasbih itu... Apa bisa
saya pinjam sebentar, agar Nadira memegangnya" Mungkin...
agar dia bisa... bisa tenang..."
Bram terdiam . "Nadira m asih belum bisa tidur?"
"Hampir setiap m alam dia tidur di kantor..., di kolong
mejanya...," Tara menjawab dengan suara agak bergetar.
Bram mengambil sebatang rokok dan menawarkan pada
Tara. Tara menolak dan mengucapkan ter im akasih. Dengan
suara rendah Bram mencer itakan di antara para sepupunya
yang ber jum lah 21 orang itu, Nadira"seper ti ibunya"yang
saat itu bar u ber usia enam tahun, selalu menolak mem atuhi
str uktur. Setiap libur, mereka diwajibkan belajar membaca
Quran, mendengarkan Kakek Suwandi bercer ita tentang
mukjizat para nabi. Bram ingat bagaim ana m ata puluhan
ke ponakan nya, para sepupu Nadira, yang membelalak mendengar kisah Nabi Musa yang membelah Laut Merah.
"Ayah saya bercer ita sembar i menggambarkan lautan
yang terbelah itu di papan tulis dengan kapur war na-war n i...
Fantastis...," kata Bram mengisap rokoknya.
Tara tersenyum membayangkan gerombolan sepupu
Nadira. "Tapi pasti ada satu kisah Nabi yang paling melekat di
hati Nadira...," Tara menebak.
Bram tersenyum , "Waktu pelajaran membaca Quran,
Nadira tidur-tiduran di bale sambil membaca. Kadangkadang ketika para sepupunya tengah diceram ahi aqidah
oleh neneknya, Nadira ber m ain kem ah-kem ahan dengan
meng gu nakan kelambu m ilik nenek dan kakeknya. Ayah saya
mem biarkan dia melakukan apa yang diingin kan nya. Ibu
saya kurang suka dengan ketidakaturan Nadira, dan ser ing
122 Leila S. Chudori se kali menegur istr i saya...," Bram mereguk kopinya. "Tapi
ayah saya membiarkan Nadira dengan tingkah laku nya.
Gara-gara itu, ayah dan ibu saya ser ing berselisih pa ham ,
karena ibu saya sangat rapi dan percaya pada str uktur...,"
Bram mengisap rokoknya lagi dan menghembuskan nya
dengan tenang. "Ayah saya bersikeras membiarkan Nadira berkembang
se suai alam . Karena setiap kali saat mereka diuji membaca,
ter nyata Nadira membaca dengan baik, dengan suara yang
merdu. Mem ang Nadira menolak mengenakan ker u dung


9 Dari Nadira Karya Leila S. Chudori di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

selendang saat mengaji, karena dia kepanasan dan se lur uh
kulitnya br untus saat berker ingat. Dengan ker ingat berleleran itu, toh Nadira m ampu membaca surah Al-Baqarah
dengan begitu merdu, yang membuat selur uh r uangan
terdiam . Senyap. "J adi ayah saya tak peduli kapan Nadira mempelajar i
itu semua, dia juga tak peduli apakah Nadira mengenakan
ker udung itu atau tidak, yang penting, dia bisa membaca
Quran...," Bram mem atikan rokoknya.
"Dia menyukai kisah Nabi Chaidir...," kata Bram lagi,
menjawab per tanyaan Tara.
Tara mengangguk dan entah mengapa, dia sendir i sudah menebak pasti kisah Nabi Chaidir itulah yang melekat
di hati Nadira. "Di saat kam i salat ber jem aah pada bulan Ram adhan,
istr i saya duduk di belakang, menghor m ati, tapi tak ingin
ikut bergabung. Biasanya Nadira duduk di pangkuan ibunya,
pada hal badan nya sudah mulai liat dan ber isi, karena ser ing
lar i-lar ian atau m ain galah dengan anak Gang Bluntas..."
Tara m asih tak paham apa yang ingin disampaikan
ayah Nadira dengan kisah nostalgia m asa kecil in i. Tapi
dia sabar menunggu. Yang penting dia bisa melakukan sesuatu yang bisa membuat Nadira kembali menjadi sosok
123 Tasbih yang dikenalnya dulu. Ber tahun-tahun yang lalu. Sebelum
per istiwa... "Saya tak per nah tahu apa yang dilakukan istr i saya
saat kam i salat. Biasanya saya menjadi im am bergantian
dengan ayah saya. Tetapi, suatu har i, saya datang terlambat
untuk salat tarawih. Waktu itu tahun 1968, Soehar to sudah
mengambil-alih pimpinan neger i ini. Setiap war tawan asing
m aupun lokal, term asuk saya, sedang mencar i cara agar bisa
menemui Bung Kar no yang ter isolasi saat itu. Gagal ter us.
Saat saya datang ke Gang Bluntas untuk salat, saya lihat
ayah saya sudah memulainya. Dan, seper ti biasa istr i saya
duduk di lantai, di atas tikar di r uangan yang sam a. Dia
memejam kan m atanya. Nadira saat itu duduk di sampingnya
sambil men idurkan kepalanya..."
Tara mem ajukan kepalanya.
"Istri saya memegang tasbih cokelat itu... dan dia kom atkam it... Saya yakin Nadira menerim a hembusan zikir itu ke
daun telinganya..." Kali in i Tara yakin, dia melihat m ata tua yang berkacakaca.
Tara ter ingat bagaim ana dia menemukan Nadira di
bawah kolong meja yang memejam kan m ata sambil kom atkam it.
"Mungkin... Mungkin jika Nadira memegang tasbih
ibu nya itu... dia akan bisa lebih tenang. Lebih ikhlas dengan
ke pergian ibunya," kata Tara, penuh harap.
Bram menghela nafas. Dia menggeleng-gelengkan
kepalanya. "Tasbih itu tidak ada pada saya, Tara..."
Bram mengambil rokok dan kembali menawarkan kepada Tara. Tara menolak sembar i mengucapkan ter im akasih.
124 Leila S. Chudori Bram mengisap rokoknya dalam -dalam , dan dengan
suara bergetar dia menar ik Tara ke sebuah m asa yang penuh asap, ker ingat demon stran. Ketika J akar ta dikoyakkoyak sejarah...
Jalan Kesehatan, Jakarta Pusat, 16 Januari 1974
Jarum jam sudah m enunjukkan puk ul t iga pagi.
Ary a m em berondong m asuk ke ruang tengah dan Kem ala
langsung m enjerit. Dia m em eluk anak lelak i kam i, sekaligus
m engguncang-guncang t ubuh Ary a sem bari berlinangan
air m ata. Berkali-kali Kem ala m em pertany akan dari m ana
dia sem alam an. Dari nadany a, Kem ala agak m eny alahkan
say a. Ket ika it u, Nina baru berusia 16 tahun dan Ary a
15 tahun; m ereka m asing-m asing duduk di kelas 2 dan 1
SM A. Nadira m asih di sekolah dasar dan dia m em puny ai
duniany a sendiri. Dia sedang asy ik m enulis cerita pendek,
m esk i say a tahu, dalam diam ny a, Nadira m em perhat ikan
t ingkah lak u kedua kakak ny a.
Kem ala tak set uju say a sudah berbagi cerita polit ik
pada anak kam i pada usia sedini it u. Say a m em ang sudah
m engajak m ereka berdisk usi tentang sit uasi polit ik y ang
tengah panas: partai-partai polit ik y ang sudah ditaklukkan, dom inanny a pem erintahan Orde Baru, k unjungan
Perdana Menteri Tanaka, soal penanam an m odal luar
negeri. Ist ri say a m enganggap inform asi sepert i it u terlalu
berat unt uk disangga anak-anak say a y ang seharusny a
m asih se kolah. Har i it u, tanggal 15 Januar i, ket ika say a
sibuk m e liput kerusuhan dem on st rasi dan pem bakaran
m obil-m obil buatan Jepang, say a baru tahu terny ata kedua
anak say a m enghilang sem alam an. It ulah y ang m eny ebabkan Kem ala histeris.
125 Tasbih "Say a cum a ik ut-ik utan m engem piskan ban m obil
buat an Jepang di daerah Menteng,"kata Ary a m enggarukgarukkan kepala sam bil m enggosok-gosok leherny a y ang
bersim bah peluh. Nina m enggosok-gosok kepala Ary a.
Bangga. "Kam u! Kam u dari m ana?" Kem ala m enunt ut Nina
dengan suara y ang garang.
"Nina cum a ke Salem ba, Bu. Cum a ik ut ny any i dan
tepuk tangan dengan kakak-kakak m ahasisw a. Dengan
tem en-tem en sekolah."
"Kam u ik ut t urun ke jalan"!!" suara Kem ala ham pir
m e rontokkan rum ah kam i.
Nina m enggeleng, "Hany a di Salem ba, duduk-duduk,
ik ut y el-y el..." "Kam u bolos?" "Tidak ada y ang sekolah hari ini, Bu. Kan dari pagi
sudah dium um kan ada dem o di m ana-m ana... Nina diajak
tem en-tem en." Kem ala sudah siap m eraung ket ika Nadira m endadak
m uncul dengan ram but aw ut-aw utan, m engenakan piy am a dan m ata setengah terpejam . Dia agak heran m elihat
seluruh anggota keluargany a berk um pul tanpa diriny a.
"Da apa, Bu?" "Tidur sana!" Nina m erasa terganggu karena t ibat iba saja perhat ian kam i terpecah.
"Sini...!" Kem ala m enarik Nadira dan m engajak dia t iduran di
atas pangk uanny a. Nadira langsung saja tert idur kem bali
se telah Kem ala m engusap-usap alis m ata Nadira.
"Kita harus bersepakat bahw a t idak ada lagi anakanak Ibu y ang ik ut-ik utan t urun ke jalan sam pai kalian
m aha sisw a!" suara Kem ala lantang hingga Nadira y ang
sudah m em ejam kan m ata terbangun lagi.
126 Leila S. Chudori "Bu!" Nina protes.
"Tidak ada taw ar-m enaw ar!"
Kem ala m enarik Nadira dan m engajak ny a kem bali ke
kam arny a. Nina dan Ary a m em andang say a dengan jengkel. Say a diam -diam terseny um . Lalu k utepuk-tepuk bahu
Nina dan Ary a. Terus-terang say a bangga. Tapi Kem ala
tak boleh tahu bahw a say a gem bira.
"Sebentar lagi kalian k uliah... Sabarlah."
*** "Saya selalu merasa mengecewakan Nina..., ter utam a
karena ketika dia lahir, kam i tak mem iliki apa-apa; kam i
hidup dengan keuangan yang sangat terbatas saat kam i di
Am sterdam ," Bram mengambil rokoknya lagi.
Tara m asih belum m ampu menghubungkan cer ita itu
dengan per tanyaan nya. "Tasbih itu saya ber ikan pada Nina. Setelah Kem ala
pergi, roh anak-anak saya seper ti ikut bersam anya. Saya
pun juga seper ti tak punya guna...," suara Bram terdengar
serak. Ia mencoba menghalangi air m atanya yang akan
tum pah. "Saya merasa, Nina paling membutuhkan tasbih
ibunya. Saya tahu Ar ya dan Nadira selalu kuat; selalu bisa
me ngatasi luka kehilangan ibunya."
Tara mengangguk, setengah paham .
"Di m alam 15 J anuar i itu, saya tahu betul: Nina ingin
se buah pengakuan dar i saya. Sedangkan Ar ya lebih ter tar ik
oleh gairah suasana yang heroik. Tapi Nina... Nina selalu
mem butuhkan pengakuan."
Kin i Tara mengangguk dalam -dalam .
*** "Tulang hidung yang r usak; m ata yang lebam ... dan sebuah som asi!"
127 Tasbih Tara duduk di hadapan Nadira. Setengah putus asa.
Gadis muda itu sudah mendadak tua; ter utam a sejak
ibunya begitu saja pergi. Dia bar u ber usia 32 tahun; dan
ada kemungkinan dia mem ilih tidak men ikah sam a sekali.
Tetapi di m ata Tara, Nadira sudah ber usia 45 tahun. Lingkaran hitam di bawah m atanya; segerombolan ker ut yang
tiba-tiba menyerbu dahinya tanpa diundang. Dar i m ana ketuaan itu datang"
"Saya tidak akan m inta m aaf."
Tara sudah tahu Nadira akan menyodorkan kalimat itu.
"Pasti sebentar lagi Mas Tara akan mengatakan, saya
kan sudah bilang, jangan menger jakan penugasan itu..."
Tara menyeret kursinya dan duduk begitu dekat dengan
Nadira yang sedang dikelilingi api dan asap kem arahan.
"Som asi itu akan dicabut kalau kau m inta m aaf."
"Saya tidak takut dituntut ke pengadilan."
"Yang bilang kamu takut, siapa?"
Nadira terdiam . "Nadira..., kamu tahu berapa kali aku menemukan mu
me r ingkuk di bawah kolong meja ker jamu" Tidak tidur;
kamu cum a memejam kan m ata."
Nadira menelan ludah. "Apa hukum an saya, Mas" Potong gaji" Tidak boleh me liput dua bulan" Saya akan jalan i."
"Apa yang membuat kamu lepas kontrol?"
"Dia menghina Ibu."
Tara menger utkan ken ing, "Menghina ibumu?"
"Pokoknya dia menghina Ibu!"
Tara menahan dir i untuk tidak menyemprot Nadira.
In i bukan waktu yang tepat.
"Kamu har us menulis ber ita acara yang lengkap dan
r in ci tentang semua kejadian; apa yang dia katakan; apa yang
dia lakukan, men it per men it; tran skr ip semua wawancara
128 Leila S. Chudori ka lian. Lalu difotokopi untuk Pem impin Redaksi, Redaktur
Eksekutif, bagian Legal, dan saya."
"Ya, Mas..." Nadira m asih duduk, menanti von is hukum an nya. Tara
mengorek-ngorek tumpukan m ap penugasan nya. Terlihat
sibuk atau pura-pura sibuk. Yang jelas gerak-ger iknya yang
terasa lamban itu membuat Nadira ingin sekali menem peleng dia. Toh dia sudah menonjok satu orang gila; kenapa
tidak sekalian dia tempeleng atasan nya yang susah betul
meng ucapkan satu bentuk hukum an, agar siksaan itu selesai: mengepel kakus; puasa menulis dua bulan; tak boleh
me me gang liputan tiga bulan; duduk menyor tir surat di
meja sekretar is enam bulan; atau potong gaji" Ayo. Lempar
hu kum an itu sekarang juga.
Nadira hanya menatap Tara, dan Tara tetap terlihat
sibuk mengorek-ngorek tumpukan m ap di atas meja. Nah,
akhir nya dia menemukan apa yang dicar inya, lalu dia mem ber ikan nya pada Nadira: Penugasan Wawancara.
Nadira ter perangah. "J angan girang dulu. Itu hukum an mu yang per tam a.
Nanti ada serangkaian hukum an ber ikutnya. Apalagi kalau
kamu tidak m au m inta m aaf, kita akan menghadapi tuntutan Bapak X. Tapi saya kira, in i akan berakhir dam ai.
Nanti sore kamu har us menghadap Pem impin Redaksi. Biar
be liau saja yang meyakin kan kamu untuk m inta m aaf."
Nadira berdir i. Sebelum melangkah, dia mendengar Tara mem anggilnya. Kali in i dengan suara yang lebih netral, seolah-olah
ke m arahan nya sudah mulai menguap.
"Aku ada sesuatu untukmu...," Tara mengambil seikat
bunga ser un i ber war na putih dar i laci. "Aku tak berhasil
me nemukan tasbih ibumu..."
"He?" 129 Tasbih "Bawa saja..." Nadira mener im a seikat kembang itu dan menatapnya,
m asih tak percaya. Lalu dia mencabut tiga tangkai ser un i
dan mem asukkan nya ke dalam ran selnya.
*** Nadira berdiri di m uka rum ah itu, rum ah di pojok ka was an
Bintaro. Yang selalu m elahirkan skenario baru da lam be naknya. Ternyata rum ah ini adalah istana m ilik Tito Putranto.
Nadira m enahan nafas. J adi Tito Putranto ingin kita sem ua
m engetahui bahwa ia m em punyai rum ah ber tingkat em pat
yang disangga tiang-tiang yang tinggi dan tebal; dia juga
ingin kita sem ua tahu bahwa dia m em iliki m otorboat dan
m otor-m otor besar yang konon harganya m e lebihi harga
m obil itu. Nadira bar u menyadar i, pem ilik r um ah yang selalu
mem buat dia menyetop per jalanan nya itu, ter nyata seorang
pe ngusaha ter kemuka di neger inya yang dikenal sebagai seseorang yang mem iliki puluhan per usahaan proper ti (untuk
ter nak uangnya), mem iliki beberapa ban k (untuk mencuci
uangnya), dan gem ar m ain di pasar uang. Pengusaha yang
ter kenal sebagai ter m inal terakhir pem injam an duit jika
ban k sudah sekarat karena pendarahan: pengusaha yang
dikenal per nah menyiksa salah satu ban kir yang ter lambat
mengembalikan pinjam an kepadanya; atau per nah juga
ada bisik-bisik bahwa dia menggelantung pacar anak nya di
balkon lantai 17, dengan kaki di atas dan kepala melayanglayang; kaki siap dilepas dar i genggam an jika dia tidak
ber janji men inggalkan anak sang konglomerat. Tito yang
dikenal mem iliki ratusan orang yang ber fungsi sebagai pasukan pengam anan pr ibadinya; yang konon dilatih me lebihi
kesigapan pasukan khusus m iliter di Indonesia.
Seorang lelaki yang mengenakan safar i hitam mem -
130 Leila S. Chudori bukakan pintu dan mempersilakan Nadira m asuk.
"Bapak sudah menunggu, silakan m asuk."
Nadira melangkah perlahan, karena dia ingin "memotret" halam an depan. Oh, patung Napoleon itu, Nadira
har us, har us menyentuhnya. Napoleon Putranto itu berdir i
dengan gagah perkasa menghadap jalanan dikelilingi tujuh
orang bidadar i (entah bagaim ana ada perkawinan antara
kisah J oko Tar ub dan Napoleon). J ika bidadar i dalam kisah
J oko Tar ub kehilangan selendang; di sin i ketujuh bidadar i
tampak mengagum i tubuh Napoleon Putranto. Dar i ketujuh
bidadar i yang duduk di pinggir, ada salah satu bidadar i
mem bawa tempayan yang memuncratkan air m ancur ke selur uh penjur u.
Nadira menghampir i salah satu bidadar i m alang pem bawa tempayan itu, dan mencuci tangan nya.
Kemudian dia melangkah m asuk. Prajur it bersafar i
hitam tadi membawa Nadira ke dalam lorong-lorong panjang yang akhir nya ber ujung pada sebuah r uangan besar
ter tutup beratap tinggi penuh ukiran keem asan yang melin dungi sebuah kolam renang yang bir u, luas, dan tenang.
Di sebelah kir i kolam renang, Nadira melihat sebuah tubuh
tengah membelah kolam bir u itu menjadi dua dengan gaya


9 Dari Nadira Karya Leila S. Chudori di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bak dolfin yang lincah, naik-tur un, naik-tur un, naik-tur un.
Dengan sekejap sang Dolfin sudah tiba di pinggir kolam renang. Kepalanya yang basah muncul dan dia segera
mem buka kacam ata renangnya.
"Nadira" Hai...," Tito segera meloncat naik ke pinggir
kolam renang. Nadira tersenyum mengangguk, dan tidak tahu apakah
dia har us tetap berdir i menyaksikan sang Dolfin mengibasngibas air dan mem amerkan dadanya yang tegap, atau dia
duduk saja di rentetan kursi besi di pinggir kolam renang.
Dalam sekejap, entah dar i m ana datangnya, tiga orang me-
131 Tasbih nyodorkan handuk, membantu sang Dolfin mengenakan kimono handuk ber war na bir u dengan pinggir keem asan; sebuah tangan lain lagi menyodorkan sepasang sandal r um ah
ber war na bir u dengan sulam an em as ber in isial TP.
"Duduk saja dulu, Nad... Saya ganti baju dulu ya..."
Nadira mengangguk dan kemudian mem ilih salah satu
kursi besi. Dia mem andang air kolam renang bir u yang menam pilkan dasar kolam yang terbuat dar i mozaik keram ik
yang membentuk hur uf TP. Nadira mulai membayangkan
ba gaim ana para peker ja keram ik yang m alang dihardik
untuk menghasilkan hur uf TP itu dengan saksam a dan rapi
seper ti itu. Kepala Nadira ikut m ir ing mengikuti hur uf T
yang melingkar-lingkar ber pelukan dengan hur uf P dengan
presisi yang mengagum kan. Pada saat itulah cu ping Nadira
mengembang karena arom a par fum se gar yang menyerbu.
Nadira mengangkat kepalanya. Tito Putranto sudah berdir i
di sampingnya. Tersenyum . Dia kin i mengenakan celana
hitam dan kemeja putih. "Suka renang?" "He?" "Ayo..., kita pindah ke dalam ..."
Kali ini mereka mem asuki sebuah r uang duduk sebe sar
lapangan bola. Tiba-tiba saja Nadira diserbu warna em as yang
menyilaukan m atanya. Belum pernah dia melihat tembok
yang dipenuhi ukiran em as yang begitu banyak. Kali in i
dia melihat lukisan wajah Tito Putranto yang dicangkokkan
ke tubuh Napoleon Bonapar te. Lukisan seluas dinding itu
dibingkai ukiran yang ker iting, lagi-lagi, ber war na em as.
"Oh, itu cat em as mur n i...," kata Tito menanggapi
Nadira yang tengah menatap bingkai itu dengan takjub.
Nadira m asih menganga. Em as. Dia membayangkan para
peker ja yang mengukir bingkai yang terbuat dar i em as
mur n i itu pasti senewen betul; bayangkan jika ter jadi setitik
132 Leila S. Chudori kesalahan, bukan kah itu em as mur n i"
"Ayo... duduk, duduk Nadira. Mau kopi, teh, juice" Atau
air m ineral?" Nadira duduk di kursi, berhadapan dengan Tito yang
duduk di sofa berselimut beludr u bir u keem asan. Di belakangnya, ter pajang lukisan Napoleon ber wajah Tito. J adilah
Nadira merasa sedang berhadapan dengan dua sosok Tito.
Yang mengenakan celana panjang hitam dengan kemeja putih dan yang mengenakan seragam Napoleon. Se orang ga dis
berkulit bersih, ber m ata ben ing dan berlesung pipit, ber usia
Harimau Mendekam Naga Sembunyi 19 Pendekar Kembar 14 Rahasia Dedengkot Iblis Kisah Para Pendekar Pulau Es 14
^