Pencarian

9 Dari Nadira 3

9 Dari Nadira Karya Leila S. Chudori Bagian 3


sekitar 20 -an, mengenakan rok den im m in i dan t-shirt
dengan ukuran satu nomor kekecilan, berdir i di sam ping
Nadira. Nadira menengadah dan tidak tahu kenapa gadis
ber lesung pipit dan t-shirt kekecilan itu menatapnya. Tito
ter senyum . "Saya m au latte saja..., kamu m au apa, Nad?"
"Oh... Kopi hitam saja, Mbak..."
"Tessa, nam a saya Tessa...," si lesung pipit tersenyum
m an is. "Ter im akasih, Tessa," kata Nadira setengah linglung.
"Cream or m ilk?" tanya Tessa dengan suara seper ti
suara pramugar i di atas pesawat.
Nadira menger utkan ken ing, lalu menggeleng.
"Sugar?" Tessa ber tanya lagi. Nadira menggeleng. Si
Lesung Pipit melenggang menghilang.
"Nah, Nadira..., apa yang saya bisa bantu" Katanya
kamu ingin mengetahui kasus saya dengan Anto J anuar"
Semua ke terangan pengacara saya tidak cukup?"
"Begin i, Pak Tito..."
"Tito saja..." Nadira menelan ludah. "Eh, ya... Begin i... keterangan
Pak Er win semuanya nor m atif. Saya membutuhkan yang
lebih r inci sebetulnya; dan saya mengharapkan Pak Tito..."
133 Tasbih "Tito..." "Ya, saya mengharapkan Anda bersedia terbuka dan
be ran i menjawab apa adanya..."
Mata Nadira yang bulat bercahaya menantang Tito
Putranto; konglomerat muda yang tak bisa ditantang. Dia
ter senyum . "Shoot y our quest ion!"
"Per tanyaan saya sederhana sekali. Apa yang sebetulnya
ter jadi pada tanggal 19 Mei jam 11 m alam di kantor Anda
lantai 17?" Tessa datang bersama nampan, lengkap dengan se cangkir kopi latte, secangkir kopi hitam , dan sepasang le sung
pipit. "Ter im akasih, Mbak...," kata Nadira mener im a kopi
hitam itu. "Tessa...," si Lesung Pipit mengoreksi Nadira.
"Ah, ya... Ter im akasih, Tessa."
"Saya selalu ingin semua pelayan saya orang-orang
yang bersih, cantik, dan terdidik," kata Tito menatap Tessa
yang melenggang, menghilang dar i r uangan em as itu.
"Nah, jawaban dar i per tanyaan mu tadi, sederhana
saja...," Tito tersenyum , "J anuar sudah mempunyai per janjian legal dengan per usahaan saya untuk mengembalikan
pin jam an ser ta bunga secara ber tahap. Sudah jatuh tempo
enam bulan yang lalu, kam i hanya member i per ingatan..."
"Dengan menggelantung tubuhnya terbalik di balkon,
seper ti seekor kelelawar yang sedang gelayutan di pohon?"
Terdengar ledakan tawa Tito. Terbahak-bahak.
"Kamu cerdas... Kamu sungguh cerdas... Kelelawar yang
gelayutan..., itu sebutan yang jitu," Tito ter pingkal-pingkal
hingga air m atanya menyembul dar i ujung m atanya.
Nadira menggar uk dagunya yang tidak gatal.
134 Leila S. Chudori "J adi J anuar mem ang digelantung dengan kaki di
atas, kepala di bawah di balkon lantai 17 kantor Anda?"
Nadira mem ajukan tape recorder-nya, "Pengacara Anda
menyangkal..." "Ah, dia kan har us menger jakan per intah saya... Saya
mem bayar dia begitu m ahal, m asakan tidak bisa mengusir
per kara sepele seper ti in i..."
Nadira diam . "Apa yang ter jadi?"
Tito tersenyum . "Har us ada tiga orang yang memegang
satu kakinya. J anuar lelaki yang sangat kuat. Dia juga gem ar
berenang dan jogging seper ti saya. Bedanya, dia juga senang
m ain golf. Buat saya, golf itu olahraga untuk pem alas. Lihat...,
saya tak punya per ut kan?" Tito menunjukkan tubuhnya
yang tegap dan atletis dan menepuk-nepuk per utnya yang
keras. Nadira terkesiap. Bukan karena acara pamer tubuh
itu; tetapi karena Tito dengan santai mem amerkan metode
penyiksaan nya. "Setelah dia akhir nya menyebut nomor account gundik nya yang ber isi segudang duit, bar u kam i bebaskan
J anuar. Dia mem ang licin; dan belut seper ti dia har us di...,"
Tito menggebrak meja, "hajar!"
J antung Nadira hampir meloncat keluar dar i dadanya.
Tito tersenyum lagi. "Akhir nya, hanya dalam waktu 10 men it, selur uh
pinjam an lengkap dengan bunganya kembali... Beres!!
Ter us-terang dia juga menawar i saya untuk mem akai gundiknya. Tapi saya m alas. Saya tidak selera dengan yang
montok..." "Soal tuntutan J anuar yang lain...," Nadira segera memo tong kalim at Tito yang sudah mulai kacau, "J anuar menga takan penyiksaan itu juga menyebabkan kedua tangannya patah; kepala gegar otak dan m ata kir inya nyar is buta
135 Tasbih karena habis diinjak" Itu kan ar tinya ada proses pe nyiksaan
sebelum nya?" "Oooh, itu bukan tanggung jawab saya. Mungkin dia
ke seleo atau ketabrak pohon sesudah dia membayar ke wa jiban nya pada saya. Waktu dia pulang dar i per temuan kam i,
dia baik-baik saja. Saya hanya ber tanggung jawab soal gaya
kelelawar tadi...," Tito kembali ter tawa, "Itu bagus juga sebutan mu... Lain kali saya akan menggunakan istilah itu."
"J adi, yang Anda lakukan m alam itu hanya meng gelan tung..."
"Oh, bukan saya, yang melakukan itu anak-anak buah
saya. Malam itu saya nonton sepak bola."
"Iya, m aksud saya...," darah Nadira mulai naik ke ubunubun melihat betapa dingin nya bandit in i, "J anuar disiksa
oleh ketiga orang sur uhan Anda, atas per intah Anda..."
"Bukan disiksa..., hanya diber i pelajaran agar dia menghor m ati per janjian kam i!" Tito mengoreksi kalim at Nadira
seper ti seorang gur u Bahasa Indonesia memperbaiki kalim at mur idnya.
Nadira ingin sekali menyemprot wajah Tito dengan
selang air yang bergelung-gelung di kebun nya yang sangat
luas itu. "Begin i, Nadira..., ada empat hal yang orang har us ingat
ka lau berhadapan dengan saya. Per tam a, jangan per nah sekalipun mengingkar i kesepakatan yang telah dibuat dengan
saya; kedua, jangan per nah membohongi saya dan ketiga,
jangan mengkhianati saya. Kalau ketiga hal in i dilanggar,
me reka semua sudah tahu akibatnya. Tetapi saya tak akan
per nah membunuh. Itu kr im inal."
Nadira menger utkan ken ing. Menyiksa itu boleh, mem bunuh itu tindak kr im inal.
"Yang keempat...?"
136 Leila S. Chudori "Yang keempat...," Tito berdir i. Sebuah pintu, yang
menghu bungkan r uang em as itu dengan r uang lain, mem buka diri. Seonggok tubuh tua yang bungkuk duduk di atas
kur si roda, meluncur menghampirinya. Tito mendekati kursi
roda itu dengan takzim dan mencium tangan orang itu.
Nadira yakin selur uh tubuh perempuan itu seolah dise limuti selembar kulit penuh ker ut. Rambutnya seputih salju disanggul ke be lakang. Nadira mengira-ngira, usianya
mungkin sudah men capai 90 tahun. Tidak salah, tidak lain,
in ilah ibunda Tito. Setelah Tito mencium kedua pipinya dengan lembut,
dia membiarkan suster yang mendorong kursi roda sang ibu
membawanya ke luar r uangan.
"Keempat..., aku hanya akan membunuh mereka yang
beran i menghina ibuku..."
Tito Putranto mengucapkan kalim at itu sembar i mem an dang ibunya yang tengah meluncur di pinggir kolam
re nang. Selajur cahaya m atahar i menyelinap melalui gelas
kaca yang menaungi sebagian atap kolam renang. Nadira
melihat dengan jelas: m ata Tito berkilat-kilat. Kali in i dia
tidak ber gurau. "Ibuku adalah sumber kekuatan ku...," katanya dengan
nada teatr ikal. Nadira menelan ludah. Tiba-tiba saja suara Bapak X
yang merdu itu kembali menggaung di telinganya.
*** Tara m enjenguk kem bali ke kolong m eja itu. Kali ini Nadira
m eringkuk dengan m ata yang m asih terbuka. Tara m elihat
jejak air m ata di pipi Nadira, sem entara jari-jarinya sibuk
m encabut setiap helai bunga seruni pem berian Tara.
Bibirnya kom at-kam it tanpa suara. Sem ula Tara berniat
137 Tasbih m enegurnya. Tetapi belakangan dia m enyadari: Nadira tak
berada di situ bersam anya. Dia berada di alam lain bersam a
m antra yang diucapkannya pada setiap helai seruni itu.
**** J akar ta, 4 J un i 20 0 9
138 CIUMAN TERPANJANG TIBA-TIBA saja Niko menghampir i perempuan itu. Dia me ngenakan gaun putih dan berdir i sendir ian di pojok r uangan seper ti sebatang patung yang terbuat dar i lilin. Entah
ba gaim ana, r uangan yang penuh sesak oleh sekitar ser ibu
tamu resepsi perkawinan itu"perkawinan anak pe jabat
yang ter paksa mereka hadir i"hampir terlihat se per ti se gerombolan sosok kelabu yang tidak penting. Kegiatan mereka
berhenti, seperti dalam sebuah adegan ilm yang dihentikan
oleh satu tombol jeda. Niko Yuliar adalah satu-satunya
sosok ber war na yang bergegas melintasi r uangan dan
menyambar tubuh perempuan itu; perempuan yang pipinya
penuh jejak air m ata. Niko mengambil pipi perempuan
yang sudah lam a ingin dia usap. Sebelum seisi r uangan itu
sempat mengeluarkan bunyi desis, sebelum seisi r uangan
Leila S. Chudori diizin kan bergerak, Niko melakukan sesuatu yang dia
ingin kan sejak kali per tam a dia ber temu dengan nya. Dia
mencium bibirnya. Sebuah cium an yang panjang, yang tak
member i kesempatan bagi perempuan itu untuk bernafas.
Sebuah cium an yang ter us-mener us; cium an yang begitu
dalam hingga menancap ke tulang-belulang, ke sum sum ,
dan akhir nya ke jantung hati sang perempuan. Cium an
yang membuat patung lilin yang semula terdiam kaku itu
ke mudian meleleh dan membentuk dir inya sesuai yang diingin kan kedua tangan lelaki itu. Patung lilin itu menjelm a
men jadi setangkai Nadira yang menyerahkan selur uh isi tubuhnya kepada lelaki yang begitu beran i.
Pada saat itu, dun ia betul-betul berhenti; seolah membe r ikan kesempatan kehidupan bagi pasangan bar u in i.
*** Tara m elongok ke kolong m eja Nadira. Ajaib. Bersih. Licin.
Tak ada sebutir debu pun yang berani bertengger di situ.
Satim in pasti bahagia sekali karena dia bisa m enyapu dan
m engepel kolong m eja ini dengan baik, tanpa harus m e ngusir em punya m eja.
"Mbak Nadira sedang m akan di kantin. Tadi sam a m as
yang?" "Ya, ya, ya." Tara memotong penjelasan Satim in. Sudah jelas dia tak
ber m inat mendengar nam a itu.
"Orangnya tinggi, besar, ganteng, dan?"
"Ya, Mas?" "Dan rajin m engantar Mbak Dira?"
"Ya, ya"."
Tetapi Satim in nam paknya asyik dengan kekagum annya sendiri. Dia tak paham bahwa tingkat kem asam an
141 Ciuman Terpanjang wajah m ajikannya sudah m encapai titik puncak. Artinya,
Tara harus pergi meninggalkan Satimin yang kelihatannya
ikut berbahagia m enyam but perubahan yang terjadi pada
Nadira. Hidup Nadira m em ang tengah berwarna m erah jam bu.
Kolong m eja kerjanya kini bersih, karena Pak Satim in
dengan m udah bisa m enyapu dan m engepel. Nadira sudah
lam a tak bergelung di sana. Hidup Nadira m enjadi m erah
jam bu, karena dia kini tidur teratur dan bangun dari tem pat
tidur yang nyam an dengan dua buah bantal dan satu
guling yang setia m em berinya kehangatan. Dia m ulai rajin
m em buat sarapan dan hidup sehat seperti para perem puan
"norm al" lainnya yang m andi dan berdandan, m engenakan
pem oles bibir dan sedikit bedak dan m inyak wangi segar;
yang m engenakan jins dan kem eja terbaiknya setiap hari,
lalu m elangkah di udara. Tara m engetahui itu; seluruh
kantor m engetahui itu. Nadira kini tak lagi m enyeret-nyeret
kakinya seperti seorang narapidana yang kakinya ditahan
se buah bola besi. Kaki Nadira kini m enjadi ringan, se ringan
kapas, seringan hatinya, setelah em pat tahun dia m e rasa
ditindih sebuah batu yang m em buat ia tak m am pu bernafas.
Tara bisa melihat itu. Seluruh isi kantor bisa melihat itu.
Itulah sebabnya Tara tak ingin mempersoalkan hu bungan Nadira dengan lelaki yang nampaknya mampu mengangkat batu yang selama bertahun-tahun menindih hati
Nadira. "Saya m inta cuti, Mas..."
Akhirny a, akhirny a dia m inta cuti. Setelah bertahuntahun aku m eny uruhny a untuk cuti sejak kem atian ibuny a,
baru sekarang dia m erasa butuh untuk cuti dari kantor
dan m eninggalkan kolong m ejany a y ang sudah busuk itu.
Nadira m enyodorkan dua halam an form ulir warna kuning,
142 Leila S. Chudori form ulir cuti. Tara m engam bil form ulir cuti itu dengan enggan, tetapi dia juga agak lega. Karena itu artinya dia tak
per lu m elihat lelaki itu, lelaki yang sangat dikenalnya itu,
men jemput Nadira setiap malam. Tara mengambil bolpen
dari sakunya, dan tiba-tiba dia m em baca sebuah kata dalam
form ulir itu yang m em buat tubuhnya m em batu.
"Cuti... m enikah?"
"Ya, Mas..." Tara menatap wajah Nadira. Dia melihat danau kembar itu berkilat-kilat, bercahaya. Nadira kelihatan begitu hidup dan begitu bahagia. Tara m enelan ludah. Dia m e nandatangani form ulir itu dengan jari yang sedikit ge m etar, lalu
m eninggalkan kertas kuning itu di atas m eja.
*** Arya tengah m em baca, atau tepatnya m enatap buku karya
Nurcholis Madjid. Tetapi matanya tak bisa beranjak dari
kata yang sam a. Buku yang selam a beberapa hari terakhir
ini berhasil m eringkus per hatian Arya kini hanya se perti lautan kata, kata, kata... Perhatian Arya kini ada pada
adik bungsunya. Adiknya m em utuskan untuk m enikah.
Seharusnya Arya ikut berbahagia, karena akhirnya Nadira
berhasil m enem ukan kebahagiaannya di usia 33 tahun. Dia
akan m enikah dengan Niko Yuliar, lelaki berusia 39 tahun.
Arya memandang Nadira yang tengah memberes-bereskan buku-bukunya dan memasukkannya ke dalam kotak
kar dus. Sejak Nadira pindah ke tempat kos dekat kan tornya, ia hanya m em bawa baju dan beberapa buah buku
saja, karena kam ar kosnya terlalu sem pit. Tetapi kini, m enjelang pernikahannya, Nadira dan calon suam inya be rencana pindah ke sebuah rum ah Niko Yuliar yang asri, yang
kebetulan terletak tak jauh dari Bintaro; dekat dengan rum ah keluarga Suwandi.
143 Ciuman Terpanjang Nadira m em isahkan buku-buku yang akan dibawanya
ke rum ah cinta bersam a Niko. Buku-buku itu dicem plungkan ke dalam kardus berlabel N N . Huruf NN itu kem udian
dilingkari dengan gam bar hati. Arya jadi sakit perut. Sejak
kapan adiknya senang m enggam bar hati"
Dan lihat itu, buku-buku m alang yang dielim inasi
dari hidup Nadira, dim asukkan ke dalam kardus berjudul


9 Dari Nadira Karya Leila S. Chudori di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Gu d a n g . Setiap kali Nadira m encem plungkan buku-bukunya ke dalam kardus, darah Arya terasa bergerak sem akin
deras. "Nad..." "Ya..." Arya m encoba m encari kalim at yang tepat. Kata,
kata, kata. Kenapa kata-kata justru sering m engaburkan
m akna. "Mem angnya m au langsung pindah?"
"Ya, barang-barang sebaiknya dipindah dari sekarang,
jadi habis akad nikah, bisa langsung beres."
"Hm ... Nad..."
"Ya?" "Nad, berhenti. Kang Arya m au tanya sesuatu."
Nadira m enghentikan kesibukannya. Abangnya ter dengar serius.
Kata, kata, kata... "Nad..., kam u sudah cukup m erasa kenal dengan Niko"
Sudah m erasa yakin?"
Nadira m erasa heran dengan pertanyaan abangnya.
"Aku kira Kang Arya akan ikut senang."
"Pasti, pasti Akang ikut senang kalau kam u bahagia.
Tapi Akang hanya m au pasti betul..., kam u sudah m antap
dengan Niko?" Nadira tertawa dan m eneruskan m em bereskan buku-
144 Leila S. Chudori buku. Virginia Woolf, Sylvia Plath, Anne Sexton, kenapa begitu banyak sastrawan yang m em utuskan bunuh diri" Nadira
m enyingkirkan buku-buku itu dan m encem plungkannya ke
dalam kardus yang diberi label Gu d a n g .
"Itu sem ua karya-karya kesukaan Ibu!" Arya ham pir
m en jerit. "Ya, tapi hidupku m enjadi gelap m em baca karya m ereka. Aku tinggalkan saja di sini, Kang."
"Tapi itu karya-karya yang penting untuk kam u."
Nadira sem akin sem angat m encem plungkan bukubuku yang dianggap m am pu m enyurutkan hatinya m enjadi
kelam itu. Dia tam pak yakin ingin m enguburkan buku-buku
itu ke dalam kardus besar berjudul Gu d a n g . Dia tak peduli
jika m ata Kang Arya bakal m enggelinding. Lebih-lebih
ketika Nadira ikut m encem plungkan biografi Vincent van
Gogh sebagai korban penggusuran berikutnya. Arya ham pir
tak bisa bernafas. Bagaim ana bisa adiknya yang m e m ajang
serangkaian karya Van Gogh yang dibuat dalam ben tuk
poster yang dibelinya di Museum Tropen Am sterdam itu
kini m engubur sem uanya ke dalam gudang"
"Pokoknya sem ua senim an yang selam a hidupnya
ha nya penuh dengan depresi sebaiknya m enjauh dariku.
Aku ingin m elihat m atahari. Aku ingin m elihat hidup yang
sesungguhnya." Arya m enggaruk-garuk dagunya. Dia sem akin tak m am pu ikut bergem bira m elihat adiknya yang tengah m elalui sebuah pencerahan.
Plung, plung, plung. Buku-buku sastrawan Rusia sem ua
dicem plungkan ke dalam kardus elim inasi.
"Apa pula dosa Tolstoy, Chekov, dan Dostoyevsky?"
"Oh, m ereka tidak salah apa-apa, cum a Niko benar. Penulis Rusia sering bertele-tele, meski tema karya-karyanya
145 Ciuman Terpanjang memang penting. Anna Karenina?" Nadira mengacungkan
novel yang luar biasa tebal itu, "kata Niko sebaiknya
digunakan untuk m engganjel kaki m eja yang tak rata,"
Nadira ter kekeh-kekeh. "Oh. J adi penulis m ana yang m enurut dia hebat?"
Arya tak bisa m enyem bunyikan nada sinis dalam
suaranya. Nadira tak m endengar atau pura-pura tak m endengar.
Dia sibuk m enyeleksi beberapa buku yang sudah jelas tak
disukai Niko. "Robert Browning, minggir. Keats, minggir. Semua J ane
Austen minggir, minggir, minggir. Apalagi Charles Dickens
dan Thom as Hardy, m inggir saja. Nah, T.S. Eliot dan J oseph
Brodsky akan aku bawa. Milan Kundera, Octavio Paz, se lam at datang ke rum ah baru."
"Dengan kata lain, Niko tidak m enyukai karya klasik
abad 19," Arya m enyim pulkan. Dingin.
"Sebetulnya bukan begitu...," suara Nadira tetap riang,
sam a sekali tidak m em perhatikan nada suara Arya, "m enurut Niko, beberapa karya sastra Inggris abad 19 sering
m em buat pem ikiran m acet. Persoalan utam a dalam karya
m e reka adalah m encari jodoh dan harta. Dan Kang Arya...
Aku yakin, sebelum para penulis era Victoria itu m em buat
se buah novel, m ereka sudah m em buat sem acam diagram ,
di m ana setiap bab akan ada kejutan versi opera sabun. Si
A ternyata anak dari hubungan di luar nikah antara se orang
tuan tanah dengan pelayannya; atau si B ternyata m em punyai hubungan gelap dengan sepupunya sendiri... Sem ua
seluk-beluk perselingkuhan dan hubungan gelap selalu menjadi masalah di setiap bab. Masalah perbedaan kelas dan
revolusi industri akhirnya semakin kabur."
Ini pendapat yang sungguh klise. Nadira tak perlu
146 Leila S. Chudori m engutip Niko kalau cum a m au m em aparkan kelem ahan
novel era Victoria. Sem ua orang yang m em baca novel era
Victoria akan tahu risikonya. Sebetulnya Arya setuju dengan
pendapat itu. Tetapi karena Nadira m engutip Niko"seolah
adiknya yang luar biasa cerdas itu m enjelm a m enjadi orang
dungu karena bertem u lelaki tam pan seperti Niko"m aka
Arya m erasa itu pendapat yang konyol.
Kini tum pukan kaset-kaset kena giliran penggusuran.
Genesis, ikut. Yes, ikut. Led Zeppelin, tentu saja. Rolling
Stones, apalagi. Sem ua kaset itu dim asukkan ke dalam
kardus "rum ah cinta". Lalu selebihnya dielim inasi. Queen,
Tears for Fears, dan sem ua band tahun 1980 -an. Tunggu
dulu. "Apa pula dosa Queen?"
"Niko suka tertawa kalau aku pasang Queen...," Nadira
m engangkat bahu, "dia bilang suara dan gaya Freddie
Mercurie bukan selera dia."
Arya terdiam . "Tapi kam u kan suka sekali suara Freddie Mercury,
Nad." "Ya, tapi daripada nanti kam i bertengkar...
Sudahlah..." "J adi..." m uka Arya m ulai berwarna m erah karena m enahan rasa jengkel, "nanti isi rum ahm u adalah sem ua karya
sastra yang hanya disukai Niko; jenis m usik yang didengar
Niko; sem ua lukisan yang hanya disukai Niko, sem ua
m akanan yang hanya disukai Niko..."
"Tentu yang disukai kam i berdua...," Nadira tertawa
renyah. Dia sam a sekali tak m enyadari nada jengkel abangnya. "Nam anya orang kawin, ya sem ua yang ada di rum ah
kam i m ewakili selera kam i berdua. Dua m enjadi satu..., hati
kam i terpadu," Nadira m engatakan itu sem ua dengan pipi
147 Ciuman Terpanjang yang bersem u m erah. Arya belum pernah m elihat adiknya tertawa sekenes
itu. Ini perangai yang tidak beres. Apakah Nadira sudah kem asukan setan"
"Itu lirik lagu dangdut?" tanya Arya yang sudah tak
tahan lagi. Nadira tertawa terkekeh-kekeh ceria dan tak m enyadari
bahwa Arya sem akin berlipat kedongkolannya.
Arya m endehem , "Nad..., aku sungguh ingin kam u
bahagia. Aku harus tahu, apa kam u yakin ini m em ang
pilihanm u." Kini wajah Nadira berubah m endung. "Ada apa, Kang"
Kenapa Kang Arya tidak suka Niko?"
"Oh bukan, bukan, ini tidak ada urusannya dengan
Niko...," Arya buru-buru m enenangkan adiknya yang wajahnya m enjadi kelabu. "Akang cum a heran..., apa yang terjadi dengan Tara" Bukannya dia sudah lam a m enaruh hati
pa dam u" Sudah ratusan tahun, tepatnya begitu...
"Sosok Niko ini baru kau kenal selam a enam bulan,
tiba-tiba kam u sudah dilam ar. Ada baiknya kalian saling
m engenal dulu lebih jauh. Pernikahan kan kalau bisa sekali.
Kam u sudah lihat bagaim ana rum ah tangga Yu Nina dan
Mas Gilang." Nadira terdiam . Dia sam a sekali tak berm inat m ende ngarkan kegagalan rum ah tangga kakaknya. Tepatnya,
urusan perkawinan Yu Nina dan Gilang itu selalu dikelir
war na hitam di dalam lem ari ingatan Nadira.
Sebuah buku hitam kini tergenggam di tangan Nadira.
Nadira tak bisa m em utuskan, apakah dia akan m em bawa
buku harian ibunya itu ke rum ah barunya; atau ditinggalkan
saja di Bintaro. "Nad..., tolong, tolong dengarkan Kang Arya," kini Arya
148 Leila S. Chudori se tengah m endesak. "Kang Arya...," mata Nadira menatap abangnya dengan
tajam. Arya m engem balikan tatapan tajam itu. Dia m enantang
Nadira dan m engharapkan serangkaian jawaban yang galak,
yang tegas, dan m ungkin defensif. Yang serba Nadiralah
pokoknya. Tetapi, ternyata Arya hanya m elihat sepasang
bibir yang bergerak-gerak tanpa m engeluarkan suara.
Kang Ary a, pernahkah kau m erasa hidupm u hany a
bersinggungan dengan em pat dinding lubang kubur; dan
pandanganm u hany a terdiri dari langit y ang berubahubah w arna. Pernahkah kau m erasa kau ingin segera
saja bersatu bersam a tanah; karena ingin bersatu dengan
segala zat y ang ada di dalam ny a. Bukankah kitab-kitab
suci m engatakan bahw a kita sem ua diciptakan dari
tanah" Tahukah Kang, selam a bertahun-tahun sejak Ibu pergi
m eninggalkan kita, ada sebuah batu besar y ang m em bebani
tubuhku, hatiku, jantungku, y ang m eny ebabkan aku hany a
bisa celentang di dalam kubur itu, tanpa bisa hidup, dan
juga tidak m ati" Dan tahukah, Kang Ary a, tidak ada satupun, tidak
ada siapapun y ang bisa m engangkatku dari lubang kubur.
Tara hany a bisa m enjenguk diriku ke perm ukaan liang
kubur dan m em berikan w ajah sim pati. Seisi kantor hany a
bisa kasak-kusuk m engasihani aku, seorang w artaw an
y ang bernasib m alang karena ibuny a bunuh diri. Yang
kem udian tak akan pernah berani m enjalin hubungan y ang
serius dengan lelaki m anapun. Di luar" Sanak saudara kita
tak m erasa m em puny ai reaksi y ang tepat... antara rasa
prihatin, sedih, kasihan sekaligus am arah.
149 Ciuman Terpanjang Bertahun-tahun, setelah aku terpuruk di lubang kubur
itu, aku tak kunjung m endapatkan jaw aban: m engapa Ibu
sengaja m em utuskan pertalian kita. Mengapa Ibu m em ilih
untuk m eninggalkan kita dengan cara y ang begitu sia-sia.
Sam pai akhirny a hany a satu, y a satu lelaki y ang datang dan m eny odorkan tanganny a. Dia langsung m engam bil tanganku dan m engajakku untuk bangun dari
lu bang kubur itu. Tanpa ragu, tanpa jeda. Dia tak m em butuh kan w aktu untuk berpikir ulang, karena dia y akin aku
ha rus bersam a dia. Hany a satu lelaki y ang bisa m em buat badan ini hidup
kem bali. Dia tidak hany a m em andang aku di perm ukaan
liang kubur seperti y ang dilakukan Utara Bay u, tetapi dia
langsung m engguncang aku, m eny adarkan aku, bahw a
aku seorang perem puan y ang bisa hidup bahagia. Dialah
y ang berhasil m em buat hidup ini berguna. Dialah y ang
m enghidupkan hidupku y ang sudah m ati. Dan lelaki itu
bernam a Niko..." Pada saat itulah air m ata Nadira runtuh. Seluruh isi
hatinya hanya m am pu berhenti di dadanya. Dia tak berhasil
m engeluarkan lautan kata-kata itu m elalui m ulutnya. Bibir nya bergetar dan air m atanya m em bentuk sungai yang
m eninggalkan jejak di pipinya. Seketika itu pula Arya
m enyesal telah bersikap begitu keras. Dia m em egang tangan
adiknya dengan penuh kasih.
"Biar Kang Arya yang m enyim pan buku harian Ibu ini.
Teruskanlah beberes... Nanti buku-buku yang tidak kam u
bawa, kita sim pan di gudang."
Nadira m engangguk-angguk sem bari m engusap air
m atanya. 150 Leila S. Chudori *** Jalan Kesehatan, Jakarta, Juni 1989
Benarkah apa y ang dikatakan Nina, bahw a dari tubuhny a lahir cahay a y ang m em buat hidup Nina lebih
hangat" Benarkah Gilang adalah seseorang y ang m am pu
m em buat dia m enjadi pusat kehidupan"
Hari ini Nina m engirim kabar itu. Bram dan aku tak
tahu apakah kam i harus ikut berbahagia karena anak sulung kam i y ang cantik itu m em utuskan untuk m enikah;
atau kam i harus khaw atir karena Gilang Sukm a, penari
dan koreografer terkem uka itu sudah pernah m eninggalkan ketiga perkaw inanny a y ang terdahulu. Tiga!
Sudah past i ak u tak akan m engham burkan per tany aan- pertany aan ala keluarga besar Suw andi, seperti:
apa kerjany a" Apakah dia puny a penghasilan bulanan"
Apakah kalian akan tinggal di Jakarta atau di New York"
Lalu pertany aan Bram y ang sudah m enjadi sebuah
per tany aan utam a dari keluarga Salem ba Bluntas: apakah kalian akan m enikah secara Islam " Apakah Gilang
salat, khatam Quran, puasa bulan Ram adan, dan setia
ber zakat" Kalau m au m engikuti pertany aan y ang akan didesasdesuskan adik-adik Bram , inilah kira-kira y ang akan m eluncur: Ha" Dia sudah m enikah tiga kali" Kenapa" Kenapa
bisa cerai" Kenapa Nina y ang cantik dan pandai itu harus
berjodoh dengan seorang duda" Apa pekerjaanny a" Menari" Lo, m em ang m enari ada gajiny a"
Sekali lagi, sekali lagi aku diingatkan oleh kata-kata
Mam a dulu: perkaw inan di Indonesia adalah perkaw inan
dua keluarga, dua kultur, dua kebuday aan.
151 Ciuman Terpanjang Persatuanku dengan Bram terny ata bukan hany a per satuan sepasang m anusia y ang ingin hidup bersam a, tetapi m enjadi sebuah kontrak sosial antara sebuah keluarga
Suw andi dan sebuah keluarga Abdi Yunus. Sebuah keluarga
Sunda y ang sangat relijius, y ang dekat dengan partai NU,
dan sebuah keluarga sekuler y ang bergaul dengan orangorang PSI. Perkaw inan dua kelom pok y ang harus saling
ber adaptasi dan m encoba m em aham i.
Apakah N ina m eny adari itu" Apakah N ina tahu bahw a kedisiplinanny a dari dunia akadem is akan m engalam i
adap tasi y ang luar biasa dengan kehidupan kesenian
Gilang" Aku tak tahu. Bram juga tak tahu. Tetapi N ina
tam pak begitu bahagia. Dia kelihatan sangat m encintai
Gilang, duda y ang sudah pernah m enikah tiga kali dan
su dah ber cerai tiga kali itu.
Ary a dan Nadira nam pak khaw atir. Tetapi m ereka tak
ber suara. Pada acara m akan m alam y ang lalu, aku sudah
m em bay angkan hal-hal y ang terburuk; sebagaim ana y ang
sering terjadi dalam hidupku. Aku sengaja m eny ajikan
em pek-em pek lenjeran buatanku sendiri, hidang an y ang
lazim ny a berhasil m em buat suasana hati anak-anakku
terangkat. Sedangkan untuk m akan m alam , aku m em asak
em pal gentong Cirebon kesukaan Bram ha sil ajaran ibu
Bram . Bram m engenakan kem ejany a y ang terbaik; Ary a


9 Dari Nadira Karya Leila S. Chudori di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

m en coba m em asang seny um , sedangkan Nadira seperti
biasa berupay a keras m enunjukkan sikap dukungan ter ha dap keinginan saudara-saudarany a, m eski aku tahu Nadira
tengah m em asang tanda "w aspada" y ang ter pancar dari
sorot m atany a. N adira m engenal Gilang dari beberapa acara pem entas an di Tam an Ism ail Marzuki dan Gedung Kesenian
Jakarta. Beberapa kali N adira m eliput kesenian di m asa
152 Leila S. Chudori aw alny a bekerja di m ajalah Tera. Dia pernah m ew a w ancarai Gilang. Entah bagaim ana, aku m endapat kesan,
N adira agak khaw atir dengan m asa depan hubungan
N ina dan Gilang. "Jadi, setelah pesta, kalian langsung kem bali ke
New York?" tany a Bram dengan ceria, sem entara Nina
m eng am bilkan potongan em pek-em pek ke piring calon
suam iny a. Ary a sangat m eny ukai em pek-em pek lenjeran"
ter utam a jika digoreng hingga reny ah. Karena itu dia m elotot m elihat Nina m eraup sem ua potongan em pek-em pek
y ang reny ah itu ke dalam m angkuk Gilang. Tapi kelihatanny a dia tak bisa apa-apa, karena hari ini adalah hari untuk
Nina dan Gilang Sukm a. "Kam i akan ke Solo dan Yogy a dulu karena ada latihan
dengan para penari..."
"Oh..." "Gilang m em buat tafsir tentang Panji Sem irang, Yah...,"
kata Nina dengan bangga sam bil m enuangkan cuka ke
dalam m angkuk Gilang. "Oh, itu cerita y ang betul-betul m encuri w aktu tidur
say a...," aku tiba-tiba saja berseru dan m elupakan keraguan ku terhadap Gilang.
"Terutam a ketika di sebuah pagi Candra Kirana m enjelm a m enjadi seorang Panji...," Nadira juga tiba-tiba bergairah. Bukan karena Gilang, tetapi Nadira m em ang selalu
bergairah pada cerita-cerita klasik. "Judulny a apa, Mas?"
"Kirana. Judulny a Kirana, Nad."
"A very beautiful choice of title," Nadira m engangguk.
Ary a m enguny ah-nguny ah em pek-em pek sam bil
m endelik m elihat aku dan Nadira tiba-tiba seperti "berkhianat" dan m eny eberang ke pihak "m usuh".
"Ya, say a m engam bil tafsir Jaw a, karena secara geo grais ini cerita tentang kerajaan Daha dan Kediri. Saya
153 Ciuman Terpanjang sudah m eny usuri sejarahny a dan bertahun-tahun m eriset ny a dengan beberapa dalang dari Jaw a Tengah dan
Jaw a Tim ur. Ini tafsir y ang m odern, tentu saja...," Gilang
berbicara dengan suara y ang berat dan rasa percay a diri
y ang berlipat. "Tapi orangtua Gilang ini dari Tanah Pasundan, bukan?" kata Bram .
"Oh, iy a, Pak. Keduany a sudah alm arhum . Tetapi
kam i berdua, say a dan adik say a, sebetulny a cukup lam a
belajar di Yogy a..."
"Itu sebabny a kary a-kary a Mas Gilang ini lebih bany ak dipengaruhi tari Jaw a, Yah," kata Nina. "Of course it
is a m odern rendering..."
Gilang m enjelaskan beberapa m aster tari Jaw a kla sik
y ang selam a ini m enjadi guruny a, sem entara Bram m engangguk-angguk. Gilang y ang m em perlihatkan diriny a
sebagai seorang senim an besar itu akhirny a m enjaw ab
per tany aanku: ketika anakku berdam pingan denganny a,
pusat kehidupan itu bukan Nina, tetapi Gilang. Seperti
y ang dia pernah akui padaku, anak sulungku itu akan bisa
hidup dan bernafas karena kehadiran Gilang. Nina tam pak m erasa hangat, karena Gilang seperti m atahari y ang
m enguraikan cahay a. Kulihat Ary a sibuk m engaduk-aduk cuka em pek-em pek
tanpa m enguny ahny a sam a sekali. Dia seperti tengah m encari sebutir intan di situ.
Begitu sibukny a dia m engaduk-aduk, hingga m engeluarkan suara y ang agak bising dan m enguing. Kulihat
Bram m ulai terganggu dengan tingkah Ary a dan m encari
cara untuk m elibatkan Ary a dan Gilang ke dalam sebuah
peradaban. "Ary a baru saja m eny elesaikan kuliahny a di Fakultas
Kehutanan... di Bogor."
154 Leila S. Chudori Gilang m engangguk dengan sopan, "Apa rencana selanjutny a, Ary a?"
Ary a m asih m engaduk-aduk m angkukny a. Kasihan
betul sendok itu. "Kang Ary a m au kuam bilkan em pek-em pek lagi?" tany a Nadira dengan nada khaw atir. Nadira sangat sa y ang
pada abangny a itu. Dia tak ingin ada friksi di m eja m a kan,
m eski Nadira pasti tahu ketidakny am anan ini bu kan garagara kurang m akan.
Ary a m enatap Gilang dengan tajam , "Aku hany a ingin
kepastian..." "Silakan Ary a, keluarkan pertany aanm u," Gilang m eny am but dengan tenang. Pasti ini bukan kali pertam a Gilang
disam but dengan dingin oleh keluarga calon istriny a.
"Apakah Yu Nina akan diperlakukan dengan baik?"
"Ary a!" suara Bram m enghantam .
Tiba-tiba saja aku kehilangan nafas. Suara bentakan
Bram y ang jengkel itu tidak m em buat Ary a m erunduk. Dia
m alah sem akin m enantang. Gilang m em balas tatapan Ary a
dengan berani. Aku khaw atir rum ah kam i y ang sudah tua
itu akan m eledak karena kedua anak m uda ini.
"Aku m em baca dan m endengar nasib tiga bekas istrim u. Anak-anakm u. Aku harus m erasa y akin, kau tak akan
m em perm ainkan Yu Nina!"
"Ary a! Cukup!"
Kini Yu Nina berdiri. Dia m em inta Ary a untuk pergi
m eninggalkan m eja m akan. Ary a berdiri dan m em inta
per m isi pada Bram , aku, dan kedua saudarany a. Aku tahu,
Ary a pasti m engam bil air w udu dan salat. Dari ketiga
anakku, dialah satu-satuny a y ang sangat rajin beribadah
dan m em atuhi sem ua pendidikan agam a dari m ertuaku.
Setelah Bram m em inta m aaf atas tingkah laku Ary a,
kam i m elanjutkan m akan m alam seolah tak pernah terjadi
155 Ciuman Terpanjang apa-apa. Gilang m em uji em pal gentong buatanku dan
tam pak m enikm atiny a. Dia m em uji betapa seim bangny a
porsi santan dan kuny itny a dan juga potongan kucai y ang
m em buat rasa em pal gentong itu sedap dan segar. Pada
saat aku m eny endokkan sesendok besar em pal gentong
ke m angkuk Gilang, aku sudah m ulai m erelakan anakku
m enikah denganny a. Kam i m em bicarakan anak-anak Presiden y ang sekarang sudah dew asa dan m ulai berbisnis. Kulihat, perlahan, Bram juga sudah m ulai jatuh hati pada Gilang,
karena senim an ini m em ang berw aw asan luas. Tetapi sebelum m em inta diri, Gilang m eny atakan sesuatu kepada
Bram dan aku: "Bagi say a, perceraian adalah bentuk lain dari sebuah
perdam aian. Jika itu bentuk y ang harus say a lalui, m aka
say a harus m elakukanny a. Bukan sesuatu y ang say a
banggakan, tetapi itu sem ua harus say a lalui," katany a
m encoba m enjelaskan posisiny a sebagai duda dari tiga
m antan istri. Bram dan aku terdiam . Nina juga tak m engeluarkan
suara apa-apa. Tetapi dengan kalim at akhir inilah Gilang m em buatku
run tuh, "Ibu, Bapak, say a tak bisa m enjanjikan sesuatu
y ang m uluk. Say a hany a bisa m eny erahkan seluruh diriku
untuk Nina." Bram m enepuk bahu Gilang. Dan aku paham artiny a.
Kam i sem ua ingin Nina bahagia. Karena itu, kam i
hany a akan berdoa. Meski aku tidak rajin beribadah, aku
sangat m encintai-Mu. Aku selalu kangen m eny ebut nam aMu setiap kali aku m em inta perlindungan bagi Nina.
Aku ingin dia bahagia. *** 156 Leila S. Chudori Arya menutup buku harian ibunya dan menghela nafas. Enam
tahun kemudian, Arya merasa keluarga Suwandi mengha dapi
problem yang sama. Seorang lelaki mencoba masuk dalam
keluarga. Kali ini, Arya tak ingin dianggap seperti begundal
yang menyusahkan. Dia mencoba memaha mi adiknya, meski
luar biasa sulit. Apakah Niko menjadi ma tahari yang membuat
Nadira merasa hangat" Arya tak per nah lupa wajah Nadira
yang lebih mirip mayat hidup sejak ibunya tewas empat tahun
yang lalu. Arya mengubur diri ke hutan, sementara Nadira
mengubur diri dalam pekerjaan. Memang baru kali ini Arya
melihat kilat-kilat pada mata Nadira. Arya tahu, dia harus
merelakan Nadira memilih jalan hidupnya. Dia hanya bisa
berharap adiknya membuat pilihan yang tepat.
*** ... Gunung-gunung m enjulang Langit pesta w arna di dalam senjakala.
Dan aku m elihat Protes-protes y ang terpendam ,
Terhim pit di baw ah tilam ,
("Sajak Sebatang Lisong", Rendra)
Nadira perlahan bergeser dari rak-rak buku yang m elekat
pada dinding itu m enuju sebuah teras. Sayup-sayup dia
m endengar suara Niko Yuliar yang tengah m em bacakan
sajak karya Rendra di atas panggung kecil dadakan yang
dibangun khusus untuk acara ini. Mata Nadira m enyisir
judul-judul buku itu, sem entara suara Niko m asih terdengar
sayup-sayup. Nadira m engam bil salah satu buku karya Am artya
157 Ciuman Terpanjang Sen ketika dia mendengar tepukan para tamu. Nadira tak
m e nyadari dia sudah cukup lam a m engungsi ke per pus takaan rum ah Niko. Inilah kali pertam a dia diundang ke acara
m akan m alam di rum ah Niko. Nadira tahu betul, acara m akan
m alam dan kum pul-kum pul ini sebetulnya tak penting betul
untuk diliput. Tetapi Tara dan Andara m e yakinkan Nadira
bahwa dia perlu kem bali "keluar" dan ber gaul kem bali
dengan dunia sastra. Niko Yuliar seorang aktivis terkem uka
di zam annya. Dia ikut berdem onstrasi m e nentang NKK
dan BKK1 di akhir tahun 1970 -an. Tara m engajaknya ke
sana karena dia butuh beberapa ha sil penelitian lem baga
survei yang diketuai Niko; dan juga karena dalam acara
yang diselenggarakan Niko, "Makanannya selalu sedap;
dia selalu m enyajikan sop kam bing Bang Dul, m artabak
Kubang, dan kerak telor si As, lengkap dengan gerobaknya,"
kata Andara nyengir. Itu saja sudah cukup m em buat Nadira
ingin ikut berbondong-bondong m engunjungi rum ah Niko
yang dibangun dari kayu dan dilindungi rerim bunan pohonpohon.
Inilah sajakku Pam plet m asa darurat Apakah artiny a kesenian,
Bila terpisah dari derita lingkungan
Apakah artiny a berpikir,
Bila terpisah dari m asalah kehidupan.2
NKK dan BKK adalah singkatan dari Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan
Koordinasi Kemahasiswaan, dibentuk berdasarkan SK Menteri Pendidikan
dan Kebudayaan No. 0457/0/1990. Kebijakan pemerintahan Orde Baru ini
membungkam aksi kritis mahasiswa terhadap jalannya pembangunan dan
kebijaksanaan pemerintah saat itu. Dua akronim tersebut menjadi momok bagi
aktivis gerakan mahasiswa tahun 1980-an.
"Sajak Sebatang Lisong", karya Rendra.
158 Leila S. Chudori Nadira m endengar tepukan tangan yang keras. Artinya
pem bacaan puisi sudah selesai. Nadira m elangkah keluar.
Oh, ini pasti teras yang disebut-sebut Tara sebagai teras
ter indah, tem pat dia ngobrol tentang politik dan ekonom i
dengan Niko Yuliar. Teras itu terletak di lantai dua bangunan
rum ah Niko, di luar perpustakaan. Nadira m elihat dua buah
kursi yang terbuat dari rotan dengan bantal-bantal yang
em puk dan sebuah sofa gantung yang seolah m enyam but
sem ilir angin m alam . Nadira m elangkah perlahan sem bari
m e nenteng buku Am artya Sen dan m encoba m em utuskan
kur si m ana yang akan didudukinya.
"Sofa gantung itu enak sekali, kunam akan dia sofa
bulan sabit..." J antung Nadira m eloncat. Niko Yuliar sudah berada di
belakangnya. Tersenyum . "Hai..., kam u pasti Nadira dari Tera..."
"Ya, sori, saya lancang naik ke sini... Mas Tara bilang
teras perpustakaan Anda nyam an sekali."
Niko tersenyum dan m em persilakan duduk. Nadira
akhirnya duduk di sofa itu dan berayun-ayun. Niko duduk
di hadapannya. "Tara dan Andara m encari-cari kam u. Mereka di
bawah..." "Oh, kalau begitu..."
"Ah, m ereka sudah dewasa... Ngapain am bil Am artya
Sen?" Niko m enunjuk buku yang tengah digenggam Nadira.
"Oh, cum a m au baca saja sedikit. Mas Tara pernah m ewa wancarai beliau di Inggris. Saya jarang m em baca bukubuku ekonom i. Tapi Mas Tara m enjelaskan begitu m enarik,
jadi saya tertarik m em bacanya."
Niko m engangguk, "Saya ada beberapa buku karya dia
kalau m au pinjam ."
"Oh, biar saya baca ini dulu saja."
159 Ciuman Terpanjang Niko m engangguk. Dia terdiam lam a karena tertarik
pada sepasang m ata Nadira yang bening seperti Danau
Maninjau. Dia m em bayangkan betapa sejuknya terjun ke
dalam danau itu. "J adi kam u sekarang m eliput apa?"
"Saya sedang tertarik dengan hukum dan kriminalitas."
Niko m engangguk, "Saya baca wawancaram u dengan
Bapak X, sangat tajam !"
"O ya?" Ini bukan pertanyaan yang m eragukan ucapan Niko,
te tapi pernyataan senang. Nadira sendiri terkejut oleh
ucapan nya sendiri. "Ya..., wawancaram u itu m enjadi diskusi banyak orang,
term asuk kawan-kawan di kantor saya."
Baru kali ini Nadira m ulai m erasa bisa tersenyum kem bali setelah bertahun-tahun bibirnya digem bok oleh ke pedih an. Pujian Niko terasa sebagai sebuah perhatian yang tulus pada hasil pekerjaannya.
"Sebetulnya ada insiden sesudah wawancara itu," kata
Nadira. "Oh ya...?" Niko tam pak tertarik sekali, "Insiden apa?"
Nadira tak langsung m enjawab. Dia baru m engenal
Niko beberapa detik, dan jika dia m em beritahu insiden
yang m em alukan itu, Niko akan segera m enghakim i Nadira
sebagai perem puan yang em osional, yang tidak bisa m enahan diri. Tetapi ada sesuatu di dalam m atanya yang m em buat jantung Nadira berloncatan kian kem ari.
"Saya tonjok dia!"
Niko tertawa terbahak-bahak, terurai-urai begitu panjang hingga Nadira bisa m elihat air m ata yang m enyem bul
di ujung m atanya. Bunyi gelegak tawa itu begitu m enular,
sehingga Nadira akhirnya ikut tertawa terkikik-kikik.
"Dia... terlalu tahu situasi hati saya," Nadira m asih
160 Leila S. Chudori tertawa. "Akhirnya... Akhirnya... blep... Saya tonjok m ukanya..."


9 Dari Nadira Karya Leila S. Chudori di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mereka tertawa begitu seru, seolah sebuah sekrup dalam otot bibir Nadira dan Niko sudah dol.
Sejak pertem uan itulah Nadira m enjadi pengunjung
tetap kantor Niko, Lem baga Survei Ekonom i Nusantara. Di
perpustakaannya, Nadira hanya akan m em injam salah satu
buku untuk sekadar dibuka-buka; Niko akan m enyelesaikan
rapat dengan stafnya, lalu m ereka pergi m enyusuri pori-pori
J akarta. Mie ayam di Petak IX, sop kam bing di Petam buran,
nasi goreng kam bing di Kebon Sirih, buku bekas di Pasar
Senen, pem entasan dram a Teater Kom a, dan pem bacaan sajak di Tam an Ism ail Marzuki.
Di suatu m alam , di tahun 1995, em pat tahun setelah
kem atian ibu Nadira, Niko m enggenggam tangan Nadira
begitu erat dan dia m em bisikkan sebait puisi. "Sajak Ibunda"
karya Rendra: "Mengingat ibu Aku m elihat janji baik kehidupan.
Mendengar suara ibu, Aku percay a akan kebaikan hati m anusia
Melihat photo ibu, Aku m ew arisi naluri kejadian alam sem esta..."
Nadira m enatap Niko. J antungnya kem bali berloncatan
kian kem ari dan ham pir saja keluar m elesat dari dadanya.
Dan em pat tahun setelah kem atian ibunya itu, dunia Nadira
yang kelabu perlahan berwarna m erah jam bu.
*** 161 Ciuman Terpanjang Dari jauh, Yosrizal m elihat kepala Tara yang m em belakanginya. Ini terlalu klise, patah hati dan m inum di J oe"s
Bar. Yosrizal duduk di sebelah kiri Tara dan m em esan bir.
Tara diam tak bereaksi. Di atas m eja bar, Yosrizal m elihat
undangan perkawinan Nadira Suwandi dan Niko Yuliar
yang berwarna beige. Undangan itu sudah dibagikan ke
seluruh penjuru. Yosrizal m enghela nafas.
"Taruhan seluruh gajiku, m ereka tak akan bertahan
lam a. Paling lam a lim a tahun, m ereka akan bercerai," kata
Yosrizal. "Lim a tahun terlalu lam a...," tiba-tiba Andara
bergabung dan duduk di sebelah kanan Tara, "Kacangnya,
J o..., aku taruhan gaji dan bonusku, dua tahun m ereka akan
pisah. Niko itu orang gila!"
Tara sam a sekali tak terhibur dengan kalim at solidaritas
kawan-kawannya. Dia bahkan tak peduli dengan sepiring
ke cil kacang goreng yang biasa dikunyah. Ini sudah gelas
anggur keem pat. "Nadira ingin bahagia... dan m ungkin Niko hanya satusatunya yang bisa m em bahagiakan dia," Tara bergum am
pada dirinya sendiri. Yosrizal dan Andara terdiam .
"Saya banyak m endengar cerita tentang Niko..."
"J angan m em bicarakan yang tidak pasti! Kita bukan
wartawan penggunjing!" Tara m enyentak Andara. Tiba-tiba
m ereka tertawa tanpa sebab. Dan untuk seterusnya, ketiga
lelaki itu hanya berbicara yang rem eh-tem eh sem bari m enertawakan segala hal yang tidak lucu.
Ketika jarum jam sudah m enunjuk pada angka dua, ketiganya sudah tak punya bahan untuk ditertawakan. Tara
ter m enung m em andang gelas anggurnya yang kosong. Dia
sudah tak bisa m enghitung lagi berapa gelas yang sudah di-
162 Leila S. Chudori habiskan. Pada saat itulah seorang perem puan berusia sekitar 50
tahunan, m engenakan celana panjang kulit, ikat pinggang
rantai, blus tanpa lengan, dan sepatu hak setinggi lim a
sentim eter m asuk ke bar, berpegangan tangan dengan seorang pem uda yang tinggi, berkulit terang, berwajah halus
dan licin dan lebih pantas jadi anaknya. Tara m e ne lan ludah.
Dia m erasa berada di dalam dunia kom ik karya Zaldy.3
"Aku rasa Nadira terbetot oleh Niko karena dia
karism atik...," Yosrizal m ulai berteori.
Tara m asih m enatap perem puan paruh baya itu dari kejauhan. Pasangan itu duduk di pojok dan bercium an begitu
he bat. Tara m asih m enatap m ereka dengan kepala yang sudah m ulai berputar.
"Karism atik taik!" Andara m enjawab sem barangan.
"Zam an dem o anti NKK/ BKK, katanya dia top."
"Heri Akhm adi itu top. Niko Yuliar itu siapa" Dia bukan
siapa-siapa..." Tara seolah tidak mendengarkan debat kedua kawannya.
Dia sudah setengah m abuk. Dan pikirannya m elayang ke
berbagai arah. Dia sendiri tak tahu apakah dia tengah m e racau atau tengah m elam un. Sekali lagi, dia m erasa ber ada
di dunia kom ik Zaldy. "Apa Nadira tahu, sebelum dia ada Marita...," Tara
m enggum am . "Dan Yani," Andara m enam bahkan.
Zaldy adalah seorang komikus "roman Jakarta" terkemuka di tahun 1970-an.
Jika Hans Jaladara dan Ganes T.H. dikenal sebagai komikus silat, maka Zaldy di
masa itu dikenal sebagai pencipta komik melankolik yang biasanya bercerita
tentang mahasiswa yang jatuh cinta pada seorang perempuan cantik, tapi akhirnya sang mahasiswa jatuh ke pelukan perempuan yang usianya dua kali lipat
dari sang pemuda. 163 Ciuman Terpanjang "Dan Opi," Yosrizal m engucapkan nam a itu sem bari
ber dahak. "Dan Tante Nila."
"Dan Tante Sofie."
Tara tak tahan dengan godam yang terus m em ukulm ukul kepalanya. Kepalanya m enyungkur di atas m eja bar.
Te tapi bibirnya terus m eracau.
"Dan Alina..." Kali ini, Andara dan Yosrizal tersentak. Mereka saling
m e m andang, tak percaya.
"Eh, siapa" Siapa" Alina?"
"Iya..., Alina... Tante Alina, Ibu Alina... Alina," Tara
mengucapkan nam a itu sem bari tiduran.
"Maksudm u, Alina... Alina..."
"Iya, Alina Putranto..., istri Tito Putranto..."
Setelah m engucapkan itu, Tara terjerem bab ke lantai.
Undangan perkawinan Nadira dan Niko m elam bai jatuh,
m e nutupi wajah Tara. Gelap. Hitam .
**** J akarta, 24 J uli 20 0 9
164 KIRANA DAN di dalam gelap, aku m elihat dia duduk di pojok.
Sen dirian. Dari selajur sinar y ang m elalui w ajahny a,
aku m elihat jejak air m ata di pipiny a. Aku m enyem bah
sedalam -dalam nya sem entara lam at-lam at terdengar denting gam elan yang m engiringi gerak tubuhku. Dan dari
ujung jariku, tercipta dunia Kirana: 1
Pertunjukan tari Kirana karya Gilang Sukma dalam cerita ini adalah tafsir dari
kisah Panji Semirang. Candra Kirana adalah putri Raja Daha yang teraniaya oleh
ibu tirinya, Paduka Liku. Candra Kirana memutuskan untuk eksil bersama sejumlah tentara dan dayang, dan menyamar menjadi seorang lelaki bernama
Panji Semirang. Dalam penyamaran sebagai Panji, ia mendirikan perkampungan
Asmarantaka, sembari mencari kekasihnya, pangeran Kediri Inu Kertapati.
Leila S. Chudori "Sy ahdan ram but Kirana
bagaikan kain beludru hitam
m eny elim uti halam an istana,
m elilit tiang-tiang m em belai kulit m uka bum i;
m engikat hati pangeran Kediri"
Aku menunduk, dan rambutku yang menutupi seluruh panggung kemudian diinjak oleh Sang Prabu yang murka. Pa duka
m engeluarkan perintah yang m enggelegar.
"Katakan Apakah ram but sutera m alam
y ang berhasil m em bungkus jantung Sang Pangeran
adalah tanda harkatm u"
Sang Prabu m aju dua langkah. Bunyi gam elan m em berontak,
m em ecah panggung. Aku hanya bisa m enunduk dan seluruh
dunia tertutup oleh ram butku. Sang Prabu m enjejakkan
kakinya begitu keras ke atas ram butku yang m enyelim uti
bum i. Dan bum i bergetar begitu hebat. Kulihat sepasang
m ata di pojok, berkaca-kaca. Air sungai y ang m engalir
perlahan... "Seketika... Ram butku y ang m elilit tiang istana
Yang m eny elim uti lantai
Dan seluruh dataran hutan
Sem akin erat m em eluk bum i
Seolah tak ingin lepas dari kepalaku"
167 Kirana Tangan Baginda sungguh perkasa. Seluruh ram butku lepas
dari akarnya... *** Nadira baru saja selesai m em andikan J odi ketika dia m endengar suara pertengkaran di teras rum ah. Sem ula Nadira
m e ngira ribut-ribut itu berasal dari tetangga. Tetapi ke m udian dia m enyadari, itu suara Yu Nah yang tengah m em pertahankan pendapatnya bahwa sang nyonya sedang m e m andikan anaknya, sedangkan sang tuan... Dia tak tahu ke m ana
Tuan Niko Yuliar. Nadira m engeringkan tubuh J odi dan segera m enge nakan kaus biru kesukaan si kecil yang baru berusia tiga tahun.
Suara Yu Nah sem akin tinggi. Nadira m ulai khawatir. Dia
m em berikan buku bacaan kecil yang dibelikan ayah Nadira
untuk sang cucu. J odi m enyam barnya dan m enatap gam bargam bar itu dengan asyik. Nadira m elangkah keluar. Astaga.
Yu Nah m enghadapi dua pria yang ukuran tubuhnya dua
kali lipat Yu Nah. Salah satu dari m ereka, yang berkulit gelap dan tubuhnya hanya terdiri dari tulang dan otot, langsung m enerobos
m engham piri Nadira. Yu Nah m enjerit-jerit m elihat lelaki
itu m asuk ke dalam tanpa diundang.
"Ibu Nadira?" "Ya, ada apa, Pak?"
"Kam i m encari Pak Niko, Bu," katanya dengan suara
tegas, m eski tetap sopan.
"Pak Niko sedang ke luar kota."
"Ke m ana, Bu?" lelaki yang satunya, yang warna kulitnya
lebih terang dan tubuhnya sedikit lebih kem pis daripada
lelaki pertam a, kini m enerobos juga.
168 Leila S. Chudori Nadira tersenyum tenang. Perlahan dia m enggiring kedua lelaki itu kem bali ke teras.
"Mari duduk di teras saja. Yu Nah, tolong sediakan m inum untuk tam u kita. Lantas tem ani J odi..."
Yu Nah m endelik, enggan m enyediakan m inum untuk
kedua lelaki yang sudah jelas lebih m irip tukang pukul daripada tam u yang layak diperlakukan dengan sopan.
"Bapak siapa" Ada perlu apa dengan suam i saya" Bagaim ana Anda tahu nam a saya?"
Kedua lelaki itu m asih berdiri dan m enatap kursi teras
rum ah Nadira seperti kutu asing yang tak pernah m ereka
tem ui. "Silakan duduk, Pak."
Akhirnya lelaki berkulit legam itu m encoba duduk,
m eski terlihat dia tidak nyam an. Mungkin karena tubuhnya
ter lalu besar untuk kursi teras sekecil itu. Mungkin juga
seum ur hidupnya dia tak pernah dipersilakan duduk, karena
harus berdiri bertolak pinggang.
"Sekali lagi, kalian berdua siapa?"
Mereka m asih diam tak m enjawab. Mungkin m ereka
terbiasa sebagai sosok anonim .
Yu Nah datang dengan nam pan berisi dua cangkir kopi
hitam. Kepulan asap dari kedua cangkir itu pasti mewakili
ke pulan kem arahan Yu Nah yang nam pak keluar dari
telinganya. "Saya... Obi, Bu... Ini J o..."
Nadira selalu tak tahu bagaim ana bereaksi jika seseorang m em perkenalkan diri dengan nam a panggilan belaka.
Dia m asih diam , m enanti keterangan selanjutnya.
"Suam i saya sedang pergi. Bisa saya bantu?"
Obi saling berpandangan dengan J o. Mereka tidak
bisa m em buka m ulut. Tiba-tiba saja kedua bangunan tubuh
169 Kirana yang kokoh dan tegap itu m ulai rontok. Nadira m ulai dapat
m eraba-raba. "Pak Obi bekerja untuk siapa?"
"Saya bekerja sam a siapa saja..."
Nadira tersenyum , "Siapa yang m enyuruh Pak Obi dan
Pak J o m enem ui suam i saya?"
Lagi-lagi m ereka berpandangan.
"Kam i pam it saja, Bu..."
"Kopinya dim inum dulu..."
Obi dan J o berusaha m eraih cangkir dan m ereguk
dengan terburu-buru. Mereka berdiri, hanya m engangguk,
dan perm isi pergi. Nadira m em andang keduanya berjalan
m e nuju m obil SUV berwarna hitam yang terparkir di depan
rum ah. *** Angin m alam berdesir. Mem bisikkan kata-kata penuh dendam . Di dalam hem busan angin, Sang Panji bisa m endengar
sebuah keputusan: hancurkan pesta perkawinan itu. Katakanlah, w ahai angin. Kenapa Kirana dalam tubuh Panji,
seperti lautan dendam y ang m em iliki om bak y ang berlipatlipat.
Aji Sirep m enyihir Daha. Sem ua warga berjalan di udara.
Ajeng tidur di atas awan. Dem i m elihat peraduan pengantin,
Sang Panji, Sang Kirana, m engobrak-abrik seluruh ruangan.
Peraduan dijungkirbalikkan. Ajaib. Ajeng tetap tertidur di
atas awan. Dia tak tahu, perkawinannya telah digagalkan.
Kedua punggawa m erobek tirai, m erangsek singgasana.
Menyulut obor dan m em bakar seluruh keputren. Terdengar
suara gam elan m enggedor-gedor. Daha riuh-rendah.
Di pojok penonton. Perem puan dengan jejak air m ata
di pipiny a tam pak penuh hasrat m em andangku.
170 Leila S. Chudori Sebelum m eninggalkan Daha, Sang Panji m em buka
Aji Sirepnya. Perlahan suara gam elan yang lam at itu m em bangunkan Daha. Daha m enjerit. Sang Panji m em etik se helai daun Surga, daun berbentuk hati dari pohon yang
hanya tum buh di Daha. Ia m enyim pannya di balik telinga.
*** Nun di sebuah jalan, di pojok J akarta. Sebuah ke pala diadu
berkali-kali ke tem bok beton. Satu kali. Dua kali. Tiga kali.
Em pat kali. Bunyi jeritan pem ilik kepala itu ter tutup oleh
suara kedua lelaki tegap yang m enyiksanya.
"Yang ini dari Bapak Tito!"
Kaki yang besar dengan sepatu bergerigi m enginjak
pipi lelaki itu. "Yang ini dari Ibu Alina!"
Sebuah tendangan ke punggung menghentikan jeritannya.
Nun di sebuah jalan. Tubuh yang sudah hancur-lebur
itu dilem par. Ia m enggelinding dari sebuah m obil SUV berwarna hitam . Itu sem ua terjadi di pojok J akarta.
*** Pagi yang basah. Kirana m enatap ribuan jarum air yang m enusuk bum i. Di atas batu besar itu, dia m elihat sepe rangkat
kain, panah, busur, dan m ahkota Sang Panji. J arum air itu
tak m am pu m em basahinya.
"Aku berm im pi Seekor burung m em baw a kabar
Dim ulai dari sebuah pagi


9 Dari Nadira Karya Leila S. Chudori di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku akan m enjadi seorang Panji"
171 Kirana Seorang ksatria, yang tam pan dan jelita, yang tegap
dan gem ulai, yang berm ata elang dan beram but ikal panjang
m em balut bum i; berjari keras berkuku lentik; berwajah
lelaki bersuara perem puan, kini berdiri di tengah hutan.
Menantang dunia. Menantang nasib. Mencari cinta. Mencari
kebahagiaan di dalam Kirana.
Tetapi siapakah itu, seorang perem puan yang sejak
tadi m em andangku dari pojok ruang. Di antara penonton
yang gelap, tanpa nam a, tanpa suara, dia satu-satunya yang
tam pak bercahaya m enatapku tak berkesudahan. Matanya
bertanya. "Siapakah engkau Ksatria dengan jem ari y ang gem ulai
Kenapa aku terpikat padam u
Meski aku tahu kau hany a ada dalam dunia reka"
Di belakang panggung, hanya ada selajur sinar lampu
yang menjurai. Dia melangkah menghampiriku. Aku baru
saja akan melepas baju Sang Panji, hendak kembali ke tubuhku, tubuh Kirana. Tangannya yang halus itu menggenggamku.
Bisakah kita beberapa saat terlupa. Siapa engkau,
siapa aku. Siapa siang, siapa m alam . Siapa perem puan,
siapa lelaki. Bisakah kita m em bebaskan diri. Dari sem ua
nam a-nam a y ang m em batasi tubuh ini. Bisakah kita bergerak m engikuti hasrat"
Aku m enarik tubuhnya. Dan tercium arom a tubuhnya
lak sana suasa. Seluruh darahku melesat berkumpul pada
satu titik hasrat. Dari mana aroma itu" Dari mana hasrat itu"
172 Leila S. Chudori Dan hanya dalam beberapa detik, bibirnya sudah ber satu
dengan bibirku. Darahnya berdesir di antara aliran da rahku.
Tubuhnya berada di dalam tubuhku.
*** "Kita harus bercerai."
Suara Nadira terdengar datar. Tenang. Tanpa em osi.
Seperti sebatang sungai di pedalam an kawasan Ontario
yang tak m engenal riak dan gerak.
Nadira tengah m em asukkan potongan tom at ke dalam
panci berisi sup Hungarian Goulash. Sedangkan Niko terseok-seok m enuju m eja kerjanya. Mukanya berwarna biru
lebam . Tetapi, m encoba gagah perkasa, dia tidak peduli
dengan tubuhnya yang rontok. Nadira juga berpura-pura
tak m em perhatikan tubuh Niko yang sudah berubah bentuk
dan warna. Dia tahu, Niko akan lebih berterim akasih jika dia
tak banyak tanya. Niko sibuk m em asukkan beberapa buah
buku ke dalam ransel besarnya. Dia hanya m enggum am dan
m engatakan setuju. "Ya, ya, ya, pulang dari Yogya nanti, saya akan beresberes dan keluar dari rum ah ini."
Nadira m erasa m atanya panas. Apakah karena bawang
bom bai yang tadi dia potong-potong" Atau barangkali karena
secercah lada memutuskan untuk menyelip ke ujung matanya"
"Kalau kam u sudah siap, kita bisa bicarakan soal anak,
harta, dan rum ah ini. Senin depan, aku sudah kem bali dari
Yogya. " "Aku tidak ingin apa-apa. Kecuali J odi. Aku hanya ingin
J odi." Kali ini Niko m enghentikan kegiatannya m engepak. Dia
m enatap Nadira. Matanya yang berwarna biru dan m erah,
cam pur-aduk itu, m em andang Nadira.
173 Kirana "Kam u berhak m endapatkan rum ah ini."
Nadira m enggelengkan kepala, "Aku hanya ingin J odi."
"Saya tak tahu apakah saya juga akan tinggal di sini,"
Niko m enggum am dan m elanjutkan m em bereskan ransel;
m e m a suk kan tiket dan beberapa pernak-pernik kecil,
"m ungkin ya, m ungkin tidak..."
Nadira m asih m engaduk-aduk sup Hungarian Goulash
yang sem ula diduga telah m em buat m atanya begitu panas.
Kini air m ata m enitik. Nadira m em atikan api, sup Goulash
belum beres. Tetapi dia sudah tak m ungkin m eneruskan kegiatan nya. Nadira duduk di hadapan suam inya. Suam inya
yang begitu dicintainya pada awal perkawinan m ereka.
"Kita tidak harus berpura-pura pedih," kata Niko sam bil m elirik Nadira yang tengah m engusir air m atanya dengan
usapan yang kasar. "J elaskan pada saya, apa yang sebetulnya terjadi" Apakah kam u akan segera m engawini Rim a?"
"Saya hidup dalam kebohongan. Kam u pernah tidur
dengan suam i kakakm u!"
Nadira terpana. "Kau baru saja berbincang dengan Yu Nina..."
"Tak penting siapa narasum bernya. Gilang Sukm a adalah tokoh terkem uka, setiap perem puan yang ditidurinya
akan diketahui publik."
"Aku tidak pernah tidur dengan Gilang."
Niko m em andang wajah Nadira.
"Itu tidak benar, Niko."
"Bagaim ana caranya saya harus percaya padam u?"
"Karena aku tidak m enghorm ati apa yang dilakukan
Gilang pada perem puan, Niko."
Niko m em andang wajah istrinya dengan sangsi.
"Ini bukan pem belaan diri, Niko. Ini fakta."
174 Leila S. Chudori "Itu hanya gunjingan?"
"Mungkin gunjingan yang sam a yang wara-wiri tentang
kam u, Niko, yang m engatakan kam u tidur dengan sederetan
perem puan, term asuk berbagai istri kawan-kawanm u, bahkan setelah kita m enikah."
Niko tidak m enjawab. Dia tam pak m alas sekali m enjawab ucapan Nadira yang terdengar m ulai nyinyir. "Itu soal
lain. Aku lelaki. Dan perem puan-perem puan yang kutiduri
itu tidak ada yang kau kenal."
Tiba-tiba saja dunia Nadira yang gelap m enjadi terangben derang. Nadira m endapatkan pencerahan. Dia kini paham kenapa abangnya tak pernah setuju dan tak pernah suka
ke hadiran Niko dalam hidupnya. Bahkan setelah J odi lahir,
sang abang hanya bisa m enunjukkan sikap kasih kepada
J odi sem ata. Begitu berhadapan dengan Niko, per sediaan
ke ram ahan Arya ludes seketika. Arya tak pernah per caya
bahwa Niko akan m em perlakukan Nadira dengan baik.
"Itu sem ua tak terlalu penting," kata Niko sam bil m enghela nafas, "inti perm asalahannya adalah: kita tidak saling
m en cintai lagi." Nadira tak m enjawab. Niko dengan wajah yang kini
ber warna cam puran biru, m erah, ungu itu kem udian m elun curkan senjatanya yang terakhir, "Aku m endengar
kam u sekarang rajin m enyaksikan pertunjukan tari Kirana,
ciptaan Gilang Sukm a. Dia sudah m enjadi m antan suam i Yu
Nina. Mantan! Tapi tetap saja kam u ke sana. Setiap m alam .
Setiap m alam kam u m enyaksikan pertunjukan itu."
Nadira berdiri dan kem bali m enyalakan api. Dia m eneruskan kesibukannya yang tadi terganggu: Sup Hungarian
Goulash. Tidakkah dia tahu. Aku m enem ukan seseorang
y ang begitu indah. Aku bertem u seorang panji. Kam i tak
tahu kam i hidup di abad keberapa. Kam i tak peduli kam i
175 Kirana ber cinta di dalam jelaga m alam atau sebuah pagi. Kam i
sosok-sosok y ang tak perlu bicara. Arom a dan dengusan
ada lah pertanda. "Urus saja perceraian kita. Aku tahu kam u akan m enga wini Rim a. Aku juga sudah tahu tentang persoalanm u
dengan Alina dan Tito Putranto."
Tiba-tiba saja wajah Niko m em beku. Baru kali ini
nam a-nam a itu m eluncur dari m ulut istrinya. Wajahnya terasa panas. Dia bukan saja tertangkap basah karena tidur
dengan perem puan lain. Ternyata istrinya tahu: segala perjuangan nya selam a ini sudah basi.
"Ada dua orang prem an yang datang ke rum ah ini
beberapa bulan yang lalu," kata Nadira m engaduk-aduk isi
pancinya dengan tenang. "Mereka kirim an Tito Putranto,"
kata Nadira. Kini dia berbicara dengan nada yang sangat
tenang. Mulut Niko terkunci begitu erat.
"Aku hanya ingin J odi. Selebihnya, aku tak peduli,"
kata Nadira dengan lega. Seolah-olah beban yang selam a ini
m em berati pundaknya sudah lepas. Matanya sudah kering.
Niko m engangguk, lalu berdiri dan m enghilang. Dan
selesailah perkawinan itu.
*** Dengarlah langkah kuda Sang Pangeran. Aku sudah m enem u kan sang kekasih. Pangeran yang telah m encariku hingga
ke pelosok hutan; m endesak ke seluruh gua, m endaki sem ua
gunung, dan m em belah sungai. Dia bersum pah tak akan pulang, sebelum m enem ukan aku.
Ia tak berubah. Hanya sorot wajahnya lebih tua. Bertahun-tahun dia m encariku. Seluruh urat nadi perm ukaan
bum i ditelusurinya. Oh, betapa aku m encintainya. Aku sudah
siap kem bali m enjadi Kirana. Tetapi tunggu. Dia, perem -
176 Leila S. Chudori puan dengan jejak air m ata di pipinya itu, m enghadang. Dia
m encengkeram tubuhku. Biarkan dirim u m enjadi Panji.
Oh, betapa aku m erindukannya.
"W ahai m atahari y ang m elahirkan pagi
Sury a y ang m engungkap seorang panji
Jangan segera datang, Biarkan m alam tetap berjelaga
Kita m enjadi sosok tanpa nam a"
Dia m enolak Kirana. Dia ingin berenang dalam tubuh
Panji. Arom a tubuhnya kem bali m enguasai hidungku. Cam puran arom a jeruk dan daun Surga. Seluruh syarafku m acet
hanya karena sergapan yang begitu cepat, keras, dan efektif.
J ari-jarinya m enyusuri setiap jengkal tubuhku. Aku lum puh
tak bergerak. Dan kekasihku Sang Pangeran terasa sem akin
jauh... *** Baju-baju, sepatu, lukisan, televisi, lem ari es, alat dapur,
dan sem ua buku-buku itu sudah m asuk ke dalam puluhan
kardus. Tetapi buku-buku itu... Apakah dia akan m em bawa
Das Kapital" Siapa pem ilik Death in Venice karya Thom as
Mann" Niko atau Nadira" Lalu siapa yang akan m em bawa
sem ua kum pulan cerita J .D. Salinger" Mereka m em belinya
bersam a-sam a ketika sedang berhenti di sebuah toko buku
kecil di Am sterdam . Lalu buku foto Henri Cartier-Bresson
yang m ereka beli di Shakespeare & Co di Paris" Siapa yang
akan m em bawa cangkir kopi dengan wajah Sam uel Becket
yang dibeli di Dublin itu" Dan buku Things Fall Apart yang
ditandatangani oleh Chinua Achebe yang m ereka tem ui
177 Kirana dalam sebuah acara sastra di Dublin" Bukankah tandatangan
itu bertuliskan: To Nadira and Niko, tw o interesting people
from Indonesia. Nadira sulit m em utuskan. Karena sesungguhnya dia tak
suka m enginjakkan kaki di tanah orang. Kecuali kebodohan
yang pernah terjadi beberapa tahun silam ketika dia berada
di studio Gilang Sukm a, hingga seluruh dunia langsung
m enuduhnya dia sudah tidur dengan suam i kakaknya.
Tuduhan keji itu akan m enghantui Nadira seum ur hidupnya.
Tapi hanya Nadira"dan ibunya di Surga"yang percaya,
Nadira tak akan m elakukan tindakan yang m enurunkan
harkatnya. Karena itu, Nadira juga m em utuskan untuk tidak
akan berebut harta. Niko juga nam pak tak peduli. Dia hanya ingin bebas.
"Nik... Franny and Zoey ?"
"Am bil..." "On the Road?" "Am bil." "Kum pulan dram a Sam uel Beckett?"
Niko m engham piri Nadira, m eraih kedua bahunya,
"Nadira..., am bil seluruh isi perpustakaan ini. Kam u tak
m au m engam bil rum ah ini, jadi paling tidak am billah sem ua
isinya..., bahkan kursi kesayanganm u itu, seharusnya kam u
bawa." Nadira m erasa m atanya kem bali panas. Kursi itu
khu sus dipesan Niko ketika Nadira baru m elahirkan J odi.
Saat itu Niko m erasa Nadira m em butuhkan sebuah pojok
yang nyam an untuk m enyusui J odi. Tetapi Nadira tak
ingin m enangis di depan m antan suam inya. Kam u salah.
Sebetulny a kita m asih saling m encintai. Hany a kam u terlalu m encintai dirim u, dan aku tak cukup untuk m enam pung egom u y ang jauh lebih luas daripada negeri ini.
Nadira m em asukkan sem ua buku-buku itu dan m en-
178 Leila S. Chudori coba m encem plungkan wajahnya ke dalam kardus agar Niko
tak m elihat air m atanya. Sayup-sayup dia m endengar suara
seorang perem puan m encericit. Niko nam pak m engenali
suara itu, sem entara Nadira tetap m eneruskan m em bereskan buku-bukunya.
"Hai..., Mbak Dira."
Nadira m erasa disiram seem ber es. Tetapi dia m em balikkan tubuhnya dan berhasil m em bentuk senyum .
"Hai, Rim a..."
"Sibuk, Mbak" Mau saya bantu" Aduh, bener kata Bang
Niko, buku Mbak Dira banyak sekali..."
Rim a, gadis berusia 25 tahun itu, tam pak seperti seekor
bu rung prenjak yang bercuit-cuit tanpa henti. Nadira tersenyum dan m em asukkan buku-bukunya sem bari m e nanam kan kepalanya sem akin dalam ke dalam kardus besar
bekas pem bungkus lem ari es.
Karena Nadira tak m enjawab tawarannya, Rim a m e ngundang dirinya sendiri untuk ikut m engangkat buku-buku
yang bertebaran dan m em bacanya sekilas. O, Am uk Kapak,
Sutardji Calzoum Bachri. Bila Malam Bertam bah Malam ,
Putu Wijaya. To the Lighthouse, Virginia Woolf.
Ketika Rim a m em buka-buka sebuah buku hitam tebal, Nadira m elirik. J antungnya langsung m elonjak, dan
m e lesat keluar dari dadanya. Entah bagaim ana, tiba-tiba
tangan kanannya seolah m em iliki jiwanya sendiri. Tangan
itu m enyam bar sang buku hitam dengan sigap dan sedikit
kasar. Rim a m enguik terkejut seperti seekor tikus yang
diinjak sepotong kaki bersepatu lars tentara. Tetapi insiden
itu segera terlupakan. Hanya beberapa saat sebuah langkah kecil berlari-lari.
Rim a kem bali m enguik dan m enangkap J odi sem bari m em eluknya.
"Haiiiii, J odiiiiii..., apa kabar, Sayang?"
179 Kirana J odi m enggeliat dan m inta m elepaskan diri dan m em e luk kaki ibunya. Saat itu Nadira m enem ukan sehelai
daun berbentuk hati; daun Surga dari Asm arantaka. Dia
tersenyum . Apakah aku sedang berm im pi. Atau dia
m em ang terus berkelebat m elintas antara dunia ny ata
dan dunia tari" Nadira m engam bil daun Surga yang sudah
m ulai kering itu dan m encium nya. Arom a itu. Arom a yang
m em bawa m ereka pada sebuah hasrat. Dia m eletakkan daun
Surga itu di dalam buku bersam pul hitam m ilik ibunya, lalu
dia m em asukannya ke dalam ransel.
"Tunggu dua jam lagi, kam u sudah bisa m enem pati rum ah ini. Biarkanlah saya m em bereskan buku-buku saya,"
kata Nadira dengan nada datar. Dia m enggiring J odi ke kam ar, m em bantu m engepak m ainan dan buku-buku.
*** Penghuni hutan Asmarantaka tertawa. Langit biru menyelimuti atap hutan. Aku memutuskan untuk menetap di
sini, selamanya. Bersama dia. Tanpa nam a. Tanpa tepi y ang
m em batasi. Tanpa ujung y ang pasti.


9 Dari Nadira Karya Leila S. Chudori di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

**** J akarta, Maret 20 0 8-Tanjung Pandan, J uli 20 0 9
180 SEBILAH PISAU SUDAH dua jam . Rapat ini belum juga selesai. Aku selalu
he ran m elihat kem am puan reporter dan redaktur untuk
ber celoteh tak berkesudahan. Mirip burung cucakrawa yang
ba ru m inum obat perangsang. Tidakkah m ereka tahu: sem a kin banyak m ereka berbicara, sem akin dungu wajah m ereka" Misalnya Yosrizal, inilah yang biasa dia lakukan ber sam a Andara.
Leila S. Chudori Biasanya kalau kedua redaktur dungu itu sibuk berde bat tentang laporan utam a apa yang layak, Tara akan
m e ne ngahi m ereka. Tara m em ang cocok jadi wasit. Dia
punya obsesi terhadap filsafat "w in-w in solution". Nam a
te ngahnya m em ang Utara "w in-w in solution" Bayu, karena
se tiap problem di kantor ini selalu diselesaikannya dengan
"m enyenangkan sem ua pihak".
Aku hampir mati karena bosan. Rapat antara desainer
dan bagian tata letak dan ilustrator m ajalah Tera biasanya
tak banyak cingcong. Tidak seperti rapat redaksi yang bicara kesana-kem ari tak jelas ujungnya; atau saling pam er
pe nge tahuan ("m enurut info dari sum ber saya, akan ada
m erger dua perusahaan raksasa itu..."); saling pam er nam anam a terkenal ("tapi Menteri A kem arin telepon saya dan
m em bantah tuduhan itu: Menteri B siang ini m engajak saya
m akan siang."). Di antara acara pam eran itu, aku selalu m em perhatikan
satu sosok yang tak banyak bicara. Setelah mengajukan usul,
biasa nya dia duduk di pojok, membaca. Sekali waktu, dia
mem baca Franny and Zoey karya J .D. Salinger. Kali lain, bibirnya ter senyum ketika m enenggelam kan wajahnya ke da-
183 Sebilah Pisau lam novel Buddha of Suburbia karya Hanif Kureishi. Pernah
juga satu kali, ketika Yosrizal m ulai bertengkar di dalam
rapat, perem puan ini m engeluarkan kom ik Lat, dan dia tertawa sendiri.
Nadira m em punyai dunianya sendiri.
Dan aku tak pernah berhasil m eraba isinya.
*** Aku bertem u dengan Nadira Suwandi tahun 1989. Dia
m eluncur di hadapanku sebagai sosok yang m em asuki dunia
jurnalism e dengan penuh daya hidup. Dia perem puan m uda
yang segar; beram but ikal panjang (yang agak jarang disisir,
tapi selalu cukup rapi untuk digerai hingga m enyentuh
bahunya); m alas berdandan seperti lazim nya wartawan perem puan lainnya di dunia m edia berita (kecuali seulas be dak
tipis dan polesan gincu yang sam ar-sam ar, nyaris ber warna
seperti bibirnya). Hari pertam a di m ajalah Tera, Nadira
m engenakan jins dan kem eja putih. Dia m enyandang sebuah ransel dari bahan jins yang sudah m em udar yang penuh dengan buku-buku. Mungkin Nadira m enyangka m ajalah Tera adalah sebuah kam pus. Tetapi sejak hari pertam a
184 Leila S. Chudori ke datangannya, dia sudah menjadi bahan pembica ra an. Aku
rasa karena dia sudah dikenal sebagai penulis. Atau bisa juga
karena Nadira sangat ekonom is dengan kata-kata sehingga
dia m em ilih untuk m em baca saja daripada ber bincang
dengan rekan-rekannya. Di dalam ruang rapat, Nadira pasti m em bawa buku"
kali ini dia m em bawa novel berjudul Novem ber"dan agenda tebal serta sebatang pena. Selam a Utara Bayu m em per kenalkan Nadira kepada para reporter, Nadira hanya
m e ngangguk dan tersenyum pada setiap reporter. Matanya
yang bagus itu m enatap papan tulis putih dengan intens
ketika Tara m enje laskan rencana laporan utam a. Selam a
m e natap papan tulis itu, tangannya tetap m em egang novel
itu dengan erat, seolah dia takut bukunya akan m elesat keluar dari jari-jarinya.
Karena beberapa kawan langsung m erubung dan m engajak nya berbincang, aku langsung m em batalkan rencana
untuk m enanyakan isi buku yang dibacanya.
Kali pertam a kam i bertukar kata ketika Nadira ikut
antre di m eja panjang, tem pat m akanan katering disediakan
setiap J um at dan Sabtu m alam . Inilah antrean ular yang terjadi di m eja m akan lantai tujuh kantor kam i setiap J um at
185 Sebilah Pisau m alam . Dia satu-satunya yang antre sam bil m em baca buku
sem bari m aju selangkah dem i selangkah setiap kali antrean
sem akin m endekati m eja.
Karena aku berdiri persis di belakang Nadira, aku selalu
harus m encoel bahunya jika sudah ada "om pong" di depan
antre kam i. Dan dia akan m aju selangkah tanpa m enoleh.
Begitu seterusnya. Ketika dia terlalu lam a tidak m aju, padahal antrean
su dah panjang, aku m endehem . Nadira agak terkejut dan
m e noleh. Secara spontan dia m engatakan m aaf sem bari
m engam bil satu langkah yang besar. Dan saat itu, dia baru
m enyadari ke ha dir an orang lain di luar bukunya yang sudah
m engisap per hatian dia.
"Bukunya pasti bagus sekali...," aku m engucapkan itu,
sedikit m enyentil. Nadira menoleh lagi dan tersenyum .
"Iya..., m aaf...," Dia m aju selangkah dan kini kam i
sudah ada di ujung m eja. Nadira m eletakkan bukunya yang
kecil itu ke saku jaketnya dan m engam bil satu piring m akan
untukku dan untuk dirinya.
"Tentang seorang anak rem aja yang lari dari
rum ahnya... Dia m erasa terlalu tergantung pada ibunya dan
dia ingin m elepas segala ikatan prim ordial. Dia tidak ingin
dikenal sebagai anak sang ibu, hingga dia m enggunakan
identitas yang baru dan m engalam i banyak peristiwa yang
m engejutkan sepanjang perjalanan."
"Kenapa judulnya Novem ber?"
"Perisiwa kaburnya dia dari rum ah pada bulan Novem ber, ketika setiap hari dari langit tum pah hujan," jawab
Nadira dengan sem angat sam bil m enciduk nasi begitu
banyak. Dia pasti lapar sekali.
186 Leila S. Chudori Porsi nasi perem puan lain
Porsi nasi N adira Ketika Nadira sudah m engam bil lauk dan m eletakkannya di gunung nasinya itu, dia perm isi dan duduk di m eja
ker janya di antara lautan cubicle reporter yang lain. Kam i
tak banyak berinteraksi setelah pertem uan pertam a, karena
urusanku lebih banyak dengan ilustrasi dan desain. Para
desainer dan ilustrator berkantor di lantai delapan, sedangkan redaksi ditem patkan di lantai tujuh kantor kam i. Tetapi
aku tak pernah sabar m enanti setiap J um at dan Sabtu m alam
untuk antre bersam a m engam bil m akanan yang disediakan
kantor. Setiap kali antre, aku selalu berusaha ber diri di belakang Nadira.
Tidak sukar juga m elihat ada beberapa lelaki yang sejak
awal m encoba m eringkus perhatian Nadira. Tetapi yang paling nyata adalah tingkah laku Tara. Sebetulnya Tara, seperti
juga diriku, bukan lelaki yang ekspresif.
Tetapi karena dia tidak ekspresif, m aka kam i m elihat
se buah perbedaan ketika Tara m enawarkan Nadira untuk
m inum teh hangat saat J akarta dihajar hujan; atau m em perha tikan riset apa yang dibutuhkan sang reporter dalam sebuah laporan utam a; atau kecenderungan Tara untuk lebih
ge m ar m engecek kelom pok reporter yang duduk di dekat
jendela (dekat m eja Nadira) dibanding kelom pok reporter
187 Sebilah Pisau yang duduk di sebelah barat. Yosrizal senang sekali m eledek
kecenderungan Tara yang baru ini.
Nadira kelihatan lebih sibuk dengan tugasnya, dengan
tantangannya m engejar Menteri Sudom o dalam kasus Petisi
50 dan m engejar beberapa narapidana dalam rubrik krim inalitas. Pada saat yang agak luang, Nadira akan tenggelam
dengan buku-buku yang dibawanya, dan m eladeni satudua pertanyaan atau kom entar rekannya. Tetapi kesan ku,
dia bu kan perem puan yang gem ar bersosialisasi. Tepatnya,
dia bukan orang yang senang berada di dalam rom bongan.
Buktinya jika dia tengah berbincang berdua saja dengan
Tara atau dengan Andara, dia tidak kikuk. Tetapi begitu dia
berada dalam sebuah kelom pok, m atanya terlihat redup,
dan perlahan dia akan m elipir keluar rom bongan, dan
m engam bil buku dari sakunya, lalu tenggelam sendiri dalam
dunianya. Aku sungguh tak bisa m eraba dunia Nadira.
*** Setelah tiga bulan bergabung dengan m ajalah Tera, Nadira
m ulai m enyadari: hidup tidak m anis seperti gulali. Sebagian
188 Leila S. Chudori reporter m enjadi sahabatnya; sebagian m enjadi kritikusnya.
Yang belakangan biasanya adalah orang-orang yang rendah
diri dan tidak tahu apa yang harus dilakukan selain m encerca
orang lain yang berhasil m elibas m ereka. Itu dunia politik
m ajalah Tera. Itulah dunia politik perkantoran.
Dan sudah pasti, itulah yang terjadi ketika Nadira ber hasil m ewawancarai Presiden Cory Aquino pada saat
Presiden itu bertahan dari upaya kudeta. Nadira pulang ke
J akarta m enerim a kritikan yang sam a banyaknya dengan pujian. Tentu saja Tara dan beberapa redaktur pelaksana m em uji-m ujinya, Nadira seperti biasa, tidak bersuara. Hanya
m atanya yang berbinar. Tetapi dengan segera, m atanya
kem bali redup ketika beberapa redaktur lain m enghajarnya
di papan otokritik (sebuah papan yang diletakkan di tengah
ruang redaksi yang berisi berbagai kritik tentang tulisan
m ajalah Tera yang dianggap kurang bagus).
Kini dia duduk di lantai delapan, karena dia harus m enye rahkan beberapa hasil foto hasil liputannya di Manila ke
bagian Foto. Dia m enggunakan kam era Nikon m anual.
"Ini pasti bukan m ilik kantor," kataku m engham piri
Nadira dan kam eranya. "Ya. Ini kamera milik saya." Nadira memegang dan me mangku kamera itu seperti seorang ibu memangku anaknya.
Aku m em inta izin m em egang kam eranya dan m engintip
dari balik lensanya. "Ini kam era bagus. Klasik."
Nadira tersenyum , dia berdiri dan m engam bil film nya
untuk dicuci-cetak bagian film nya.
"Selam at ya?" Nadira m engerutkan kening.
"Ya, kam u berhasil m ewawancarai?"
"Oh itu, lupakanlah. Tidak penting," katanya dengan
wajah m urung. 189 Sebilah Pisau Aku m em berinya isyarat untuk duduk. Dia duduk dan
kembali memangku kameranya. Belum pernah kulihat matanya redup seperti itu.
"Aku tidak m enyangka aku akan jatuh cinta pada
pekerjaan ini," tiba-tiba saja dia nyerocos. Aku belum
pernah m endengar Nadira m engucapkan kalim at sepanjang
itu. Astaga. "Itu pertanda bagus kan?" kataku seadanya.
"Ngng" m ungkin tidak. Karena sekali aku jatuh cinta,
aku bisa jadi obsesif, terlalu konsentrasi pada satu hal. Pada
hal yang kucintai." "Lo, itu bagus dong," kali ini aku berkata dengan tulus.
"Untuk kantor ini, ya bagus. Tapi untuk kehidupan sosialku, ini hal yang buruk. Aku jadi tidak pernah nonton,
mulai sulit mencari waktu membaca, apalagi mengutak-atik
cerita pendekku." Oh, panjangnya kalimat itu. Apa dia pernah berbicara
se banyak ini dengan Tara"
"Kamu terganggu dengan sikap beberapa reporter?"
"Sam a sekali tidak, Mas. Kita sem ua perlu dikritik,"
nada bicara Nadira terdengar jujur.
"Kritik mereka lebih bernada politis"," kataku dengan
nada datar. Nadira diam. Dia malah berdiri dan menghampiri meja ku. Tiba-tiba matanya membelalak. Matanya berpindah
dari satu gambar ke gambar lain. Semuanya, oh hampir semua lembar sketsaku menggambarkan Nadira atau ke giatan
Nadira. Kakinya. Wajahnya. Matanya.
Gila. Aku lupa menyimpannya. Membuangnya. Menyem bunyikannya. Sinting. Dia pasti menyangka aku seorang pengintip kehidupan pribadinya.
190 Leila S. Chudori Nadira terlihat pucat dan bingung. Dia kemudian pergi
meninggalkan ruang desain tanpa permisi.
Aku merasa seperti orang paling dungu di dunia.
*** Untuk waktu yang cukup lam a, aku tak pernah berte m u
dengan Nadira. Bahkan aku lupa kehadirannya; sam pai
akhir nya aku m endengar berita yang sungguh m engguncang.
Pada tahun 1991, dua tahun setelah Nadira bergabung dengan
kantor ini, ibu Nadira tewas bunuh diri. Ah".
Sejak itu, wajah Nadira tak pernah sama seperti yang
kukenal. Ram butnya sem akin berantakan; wajahnya kusut
dan pipinya selalu terdapat jejak air mata, seolah dia tak
pernah mem basuh mukanya. Kolong meja kerjanya berubah
menjadi tempat dia menyembunyikan seluruh kesedihannya.
Aku sering m elihat kaki Nadira yang m engenakan sepatu kets m enyem bul dari kolong m ejanya. Itu tepat se bulan
sesudah kem atian ibu Nadira, di suatu siang di tahun 1991.
Aku ingin sekali m enegurnya, tapi Tara m enggelengkan kepalanya. Akhirnya aku duduk dan m encoba m enggam bar
191 Sebilah Pisau dan m enggam bar. Tapi tak pernah berhasil. Sem ua gelondongan kertas berakhir di tem pat sam pah. Aku hanya ingat
kaki Nadira yang dibungkus sepatu kets yang m uncul dari
kolong m eja itu. Tiba-tiba aku tak paham , kenapa hatiku seperti ikut
dita rik oleh sebuah batu besar dan perlahan m elayang ke
dasar danau. *** Aku m eninggalkan sehelai sketsa di atas m ejanya ketika dia
sedang tertidur di kolong m ejanya. Kolong m eja itu sudah
m enjadi "rum ahnya". Sketsa wajah Nadira ketika dia sedang
tertawa m endengar gurauan Guntur Wibisono, pem im pin
redaksi kam i. Aku m enulis nota kecil:
Aku tak bisa m em bay angkan gelapny a duniam u,
Nadira. Tapi kam i sem ua m enem ani kam u...
m udah-m udahan suatu hari kam i bisa m elihat
w ajahm u seperti ini. Kris. *** Guntur Wibisono adalah seorang penyair, sebelum dia m enjadi seorang Pemimpin Redaksi. Dan seluruh dunia ter sirap
oleh kata-katanya, kecuali Nadira. Setiap kali Mas G, de m ikian kam i m em anggilnya, m em asuki ruang redaksi di lan tai
192 Leila S. Chudori tujuh, m aka sekitar em pat atau lim a orang akan segera m erubungnya seperti segerom bolan laron yang lengket dengan
lampu neon. Mereka akan meminta pendapatnya, mencoba ikut m asuk dalam lingkaran diskusinya, atau bah kan
sekadar m enatapnya dengan penuh kekagum an. Kadangka dang, aku turun ke lantai tujuh untuk m enem ui Tara,
dan dari jauh kulihat Nadira tetap saja bergelung di kolong
m ejanya. Tak peduli dengan gejolak dunia, apalagi sekadar
kehadiran Mas G. Suatu kali Mas G ikut m elongok ke kolong m eja. Sertam erta Nadira m elonjak seperti seorang prajurit yang ke tahuan tengah m engorek kutilnya.
"Siap, Pak"."
Mas G terlihat iba m elihat wajah pucat Nadira. Tetapi
m ungkin dia tahu Nadira tak ingin dikasihani.
"Betah ya, tidur di kolong?" Mas G berusaha bertanya
dengan nada yang sangat biasa. Datar.
"Ngng"." "Nanti m am pir ke ruangan saya ya, Dira."
Nadira m engangguk dengan wajah tegang.
Mas G hanya m enepuk bahunya dan m eninggalkan m eja Nadira diikuti em pat-lim a orang penggem arnya. "Penggem ar", m aksudku ya itu tadi, orang-orang yang selalu berupaya m e nyenang-nyenangkan dia. Aku yakin setiap kantor
m e m iliki spesies sem acam itu.
Pada saat itulah Nadira baru melihat ada memo dan


9 Dari Nadira Karya Leila S. Chudori di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sket sa yang kuletakkan tadi pagi. Dia membacanya dan nampak menatap sketsa itu. Dan entah bagaimana, dia seperti
mengetahui bahwa aku memperhatikan dari jauh. Nadira
menoleh. Ada sedikit senyum di ujung bibirnya. Mata nya
m engucapkan terim akasih.
*** 193 Sebilah Pisau "Beres?" Utara Bayu, seorang wartawan serius, berhidung lancip, berm ata tajam . J ika dia dipaksa untuk ikut pentas wayang orang, pasti dia dim inta m em erankan Arjuna, m eski
na m anya m engandung kata Bayu. Hidungnya yang lancip
itu yang sering m em buat orang m engira-ngira di antara
pohon keluarga Tara yang penuh dengan nam a-nam a J awa,
pastilah ada seorang tuan atau noni Belanda yang sem pat m enikah dengan nenek m oyangnya. Bibirnya selalu
terkatup m enyim pan seluruh perasaan dan kata-kata di
da lam tubuhnya. Dia sekap, dia gem bok, dan kuncinya dilem par ke sebuah danau. Seharusnya hanya Nadira yang bisa
m engam bil kunci itu di dasar danau. Tetapi seorang Nadira
terlalu sibuk dengan tragedi dalam hidupnya. Bagaim ana
m ungkin dia akan m enyelam ke danau m ilik Tara dan
m engubek-ubek kunci hatinya.
Mungkin karena itu, seorang Utara Bayu yang berhidung lancip dan berm ata tajam dan cerdas itu, hingga
akhir hayatnya tak akan pernah bisa m enggapai Nadira.
Dia tak akan bisa m enyentuh apalagi m em iliki hati Nadira.
Tindak-tanduknya yang m inim -kata terlalu m irip dengan
tingkah laku Nadira. "Apanya yang beres" Mas G m inta aku tetap m enugaskan Nadira seperti biasa, karena kelihatannya Nadira belum
m au m enghadapi kesedihannya. Dia m aunya kerja dan tidur
di kolong m ejanya."
Tara terdiam menatap keluar jendela, mobil-mobil yang
ber seliweran m elalui kawasan Kuningan itu tak peduli dengan apapun yang terjadi dengan kunci yang dilem par
Tara ke sebuah danau. J akarta di tahun 1992 sedang berbe nah karena pem erintah akan m enjadi tuan rum ah sebuah
per helatan dunia. Puluhan kepala negara akan hadir di
Indonesia, term asuk Yasser Arafat.
194 Leila S. Chudori "Mas G m alah m enyuruh aku m em asukkan Nadira dalam tim peliputan Konferensi Non Blok."
Tara m enghela nafas. "Lalu?" aku tak tahu bagaimana harus bereaksi. Aku
tahu, Tara adalah seorang wartawan dan manajer yang baik.
"Ya, aku akan m em asukkan dia dalam tim liputan ini.
Problem nya bukan pada kom petensinya, tetapi suasana
hatinya. Dia sangat m enyim pan kesedihannya. Suatu hari,
aku khawatir, dia akan m eledak."
Apa yang dikhawatirkan Tara terjadi.
*** Liputan Konferensi Non Blok yang lebih m irip sebuah panggung teater dunia itu diselenggarakan para reporter dengan
baik. Nadira m engerjakannya dengan patuh dan sigap. Mata nya yang tajam dan berbinar-binar itu selalu m em buat
langkahku berhenti sejenak di lantai tujuh.
Dia m elahap sem ua tugas Tara seperti seorang gem bel
yang sudah berpuasa selam a berm inggu-m inggu. Tak peduli
dengan m enu m akanan, seluruh isi piring ditelan begitu
saja. Dia ingin m engubur luka hatinya dengan tugas yang
tak berkesudahan. Tiga tahun setelah kem atian ibunya, Nadira sudah
m em perlakukan kolong m ejanya seperti sebuah kam ar pribadi. Sem ua buku, sepatu, kertas-kertas dokum en investigasi berserakan di kolong m eja, seperti seorang gem bel
yang m em perlakukan kolong jem batan sebagai ru m ahnya.
Sleeping-bag yang dibentangkan di kolong m eja sudah
berwarna m erah pudar; tetapi kesedihan Nadira tidak
kunjung berlalu. Mas G m elarang para redaktur yang ingin
m erecoki ketidaklazim an ini. Ketika salah seorang redaktur m engeluh arom a sleeping-bag Nadira yang sudah
195 Sebilah Pisau m engganggu, Mas G m alah m endelik. Maka bubarlah sudah
per debatan "apakah kita perlu m enertibkan gem bel yang
ber nam a Nadira dari kolong m eja." Satu pelototan Mas G
sudah diterjem ahkan sebagai kalim at perintah: "Biarkan dia
tidur di situ." Akibatnya, Nadira m endapat julukan "penjaga kolong
m eja Tera". Dia tak peduli, atau m ungkin tak m endengar
bisik-bisik itu. Terkadang aku sengaja berjalan m elalui m ejanya,
dengan wajah sibuk. Aku bertingkah seolah-olah aku tengah m engham piri
m eja Yosrizal atau m eja Tara. Tetapi sebetulnya aku cum a
ingin m elirik ke arah m eja Nadira, dan m em eriksa, siapa
tahu kaki yang terbungkus sepatu kets itu tidak m enjulur
keluar. Siapa tahu, karena sebuah keajaiban, kolong m eja itu
sudah kosong dan dia sudah hidup norm al seperti m anusia
lainnya: tidur di atas tem pat tidurnya di rum ah.
Tetapi setiap kali aku tertipu. Setiap kali aku m enyangka
kolong m eja itu kosong dan bersih, pada detik itu pula
kaki berbungkus sepatu kets m erah pudar itu m uncul
seketika. Tung! Kaki yang dibungkus sepatu kets brodol itu
m engejekku dan m engatakan, "Ini rum ahku!"
"Masih. Dia m asih seperti gem bel. Mau m enggam bar
lagi?" Andara tersenyum. Lalu terbahak-bahak meninggalkan ku.
*** Nadira duduk di hadapanku m engusap-usap tangannya.
Lantai tujuh tengah heboh karena Nadira baru saja m enonjok salah satu sum bernya, Bapak X, seorang psikiater yang
saat ini sedang ditahan polisi. Aku tak tahu persis apa yang
ter jadi dalam wawancara itu. Yang aku tahu, di tengah ke-
196 Leila S. Chudori sibukanku m elukis untuk sam pul depan laporan utam a,
Nadira tiba-tiba saja sudah m eluncur ke hadapanku dengan
wajah kem erah-m erahan, ram but berantakan, dan tubuh
yang dibanjur keringat. Dia m enatapku dengan m ata berair,
bukan karena ditim pa kesedihan. Mata itu m em ancarkan
kem arahan. Untuk 15 m enit pertam a, karena aku belum paham
apa yang terjadi, aku m enghubungi Tara m elalui telepon
di m ejanya. Tara hanya m em berikan penjelasan versi ringkas: Nadira ditugaskan mewawancarai Bapak X, seorang
psikiater yang dituduh m em bunuh sejum lah perem puan paruh baya. Pada akhir wawancara (atau tepatnya di tengah
wawancara), Nadira m enonjoknya. Aku tak tahu apa yang
terjadi. Tara juga belum tahu rincian kisahnya, karena "Aku
cum a m endapat telepon dari Pak Ray dan Nadira langsung
ke lantai delapan dengan wajah yang sangat m arah. Aku m enyangka dia ingin m enem ui Mas G."
"Tidak. Dia ada di sini sekarang, di m ejaku," kataku
berbisik sam bil m elirik Nadira yang sedang m engusap-usap
kepalan tangannya. "Kris, tolong tem ani dia dulu. Anak-anak redaksi sedang ram ai m em bicarakan dia di sini. Aku sedang m encoba
m enghalau gerom bolan burung nazar ini. Aku juga harus
m e ngurus keluhan dari pengacara Bapak X," kata Tara
dengan nada datar. Aku m enutup telepon. Nadira tam pak m enggosok-gosok
tangannya dengan wajah gelisah. Wajahnya basah. Aku tak
tahu apakah itu keringat atau air m ata. Aku m enyodorkan
tisu, tetapi Nadira tidak m enyam butnya. Aku m em berikan
se gelas air putih. Dia m enyodorkan kepalan tangannya, dan berkata agak
lantang, "Tolong buat sketsa kepalan tanganku, Mas Kris."
197 Sebilah Pisau "He?" "Iya. Kan Mas Kris sering m em buat sketsa badan saya...
Tolong buat sketsa kepalan ini, kepalan yang sudah m eninju
wajah Bapak X." Aku m asih belum tahu apa yang ada di dalam tubuh
dan kepala Nadira. Tetapi tanganku, seperti ada nyawanya
sendiri, sudah m enyam bar sehelai kertas dan pensil. Nadira
m enyeringai dan m enyodorkan kepalan tangan kanan
seperti seorang anak kecil yang m enyuruh kita m enebak isi
tangannya. Kepalan tangan Nadira berwarna kem erahan
dan kulitnya nam pak terkelupas. Sesekali aku m eluruskan
posisi tangan Nadira agar aku bisa m em buat sketsa itu
dengan baik. Kulit Nadira selicin batu pualam . Pantas saja
Tara tidak pernah bisa m enghalangi dirinya untuk tidak
tertarik pada perem puan aneh ini. Sesekali Nadira tak
tahan, dia m enggaruk pipinya yang basah oleh keringat; lalu
m enyodorkan tangannya. "Lantai tujuh heboh ya?" tanyaku sam bil m encoratcoret di atas kertas.
"Mungkin..." Nadira menjawab dengan nada tak peduli.
Sketsa itu selesai. Nadira m enatap sketsa itu dengan intens. Perlahan senyum nya m engem bang. Tiba-tiba dia berdiri dan m enarik
lenganku. 198 Leila S. Chudori Pertanyaanku tak kunjung dijawab. Di lantai tujuh, dia
m enyam bar ranselnya dan m engajak aku pergi ke luar kantor. Aku m erasakan seluruh isi warga lantai tujuh m e ngikuti
tingkah laku Nadira dengan ekor m atanya.
Pem akam an Tanah Kusir siang itu tidak terlalu ram ai.
Hanya berisi nisan, rum put gersang, dan angin kering m usim kem arau. Aku m engikuti langkah Nadira yang begitu
lincah seperti baru saja m enenggak obat perangsang. Kam i
ber henti di muka sebuah makam yang diberi nisan batu hitam
yang sangat sederhana. Bersam a tanah, dedaunan, dan batu-batu
Bersam a doa dan rindu Ibu, istri, dan kakak kam i, Kem ala Suw andi
Pergi di sebuah pagi Untuk berjum pa kem bali, suatu hari
Lahir: Tanjungkarang, 9 Septem ber, 1932
Wafat: J akarta, 10 Desem ber, 1991
Aku hampir yakin, itu adalah hasil tulisan Nadira. Tetapi
aku tak sempat bertanya apa-apa, karena kulihat tangan
Nadira membersihkan beberapa helai rumput teki yang mulai
tumbuh di pinggir makam ibunya. Dia me nun duk sebentar
dan berdoa. Aku juga menunduk dan pura-pura berdoa meski
ekor mataku mencuri pandang mem per hatikan Nadira. Hanya
beberapa menit, lalu dia me le takkan sketsa buatan ku di atas
makam ibunya. Setelah Nadira mengusap wajahnya sendiri,
barulah dia mengajak aku kembali ke kantor. Angin kering itu
berhembus. Bintik keringat di wajah Nadira itu..., akhirnya
aku mengambil tisu dan, entah bagaimana, tanganku seperti
memiliki ruhnya sen diri. Tangan itu mengusap keringat di
kening Nadira. Nadira perlahan-lahan tersenyum.
199 Sebilah Pisau "Aku akan m em belikan kam u sebatang sisir," kataku
m em perbaiki ram butnya yang awut-awutan.
Dia tertawa. Terbahak-bahak. Aku berhasil m em buatnya tertawa.
*** "Cerdas, tapi terlalu aneh."
"Ya, pasti jadi aneh, ibunya bunuh diri, ya anaknya pasti
pada aneh sem ua." "Kalau ke kantor bawa buku satu ransel, seperti m au
kuliah!" "Katanya Bapak X ditinju ya?"
"Babak-belur oi..."
"Ha" Babak-belur?"
"Yeah..." "Cum a biru m ukanya, babak-belur apa"! Hiperbolik
betul kau!" "Tulang hidungnya patah!"
"Halah, pem bunuh sinting begitu, biarlah!"
"Lo, m asalahnya dia itu narasum ber. Bajingan atau
pah lawan, kita harus tetap sopan dan bertugas m e wa wancarai. Habis perkara."
"Nadira tidak bisa m enjaga letupan em osinya!"
"Dia tidak bisa m enjaga nam a m ajalah Tera."
"Tapi pasti dia tidak dihukum ... Mas Tara terlalu lem bek
sam a dia." "Seharusnya dia dirawat di rum ah sakit jiwa, buat apa
punya reporter cerdas kalau sinting dan m enghajar narasum ber?"
"Dia nggak sinting lah."
"Ya, m iring lah?"
200 Leila S. Chudori Seandainya aku memiliki seember air berisi es, aku ingin
m enyiram kannya ke atas kepala burung-burung nazar ini.
Tapi aku hanya punya kertas dan pensil. Dan tentu saja tak
m ungkin aku m encelobot perut m ereka dengan pensilku
yang tajam . Aku tak ingin dipenjara. Apapun kesalahan
Nadira, seharusnya m ereka m em bela dia sebagai kawan;
sebagai anggota keluarga Tera.
*** "Apa kata Mas G?"
Nadira duduk di bawah kolong m ejanya, m enggigit apel
hijau. Aku sudah m em berinya sebatang sisir, tapi ram but
Nadira tetap berm inyak, berantakan, seperti belum kena air
se lam a sebulan. Penam pilannya seperti gem bel, m eski dia
m e ngenakan kem eja putih dan jins berm erek m ahal. Aku
duduk bersila di lantai. J adilah kam i duduk di lantai kantor
seperti lesehan di Malioboro.
201 Sebilah Pisau "Pak G cum a m em berikan buku tentang Anne Sexton.
Penyair yang bunuh diri," katanya sem bari m engunyah,
"Kenapa kam u m em anggil dia Pak G?" tanyaku heran.
Nadira m engerutkan kening, "Mau m enyebut dia "Mas",
ter lalu aneh. Saya m engenal dia sejak kecil. Kawan Ayah.
Mau m enyebut dia "Om ", juga aneh. Ini kan kantor, bukan
rum ah. Ya, saya panggil Pak G saja..."
Dia mengunyah apelnya dengan semangat. "Mau, Mas?"
dia m enyodorkan apel hijau yang sudah digigitnya itu. Aku
hanya m em andang gigitan apel itu..., besar sekali.
"Ibu selalu bilang agar saya m akan apel setiap hari, karena wartawan sering tidur larut m alam , dan perlu buah dan
m adu," katanya terus m engunyah karena aku tak m e nyam but apel yang sudah digigit itu.
"Nadira..." "Ya...," dia tetap m enggerogoti apel hijau itu.
Aku tak bisa m enum pahkan kekhawatiranku. Nadira
tam pak terserap betul oleh nikm atnya sebuah apel; atau
tepatnya: Nadira terserap oleh dunianya sendiri. Biar ada
1.0 0 0 burung nazar yang beterbangan di atas jiwanya yang
sudah rapuh itu, Nadira akan lebih sibuk m eniupkan kekuatannya untuk bangun dan berdiri.
"Kenapa, Mas?" dia m enjenguk jam tangannya, "Aku
harus ketem u Mas Tara, aku m au dihukum ... He he he..."
202 Leila S. Chudori Dia terkekeh. Hanya beberapa detik, Nadira terlihat lelah
dan tua. Dia berhenti mengunyah dan menyenderkan tubuhnya ke kaki m eja. Lalu dia m enggum am kan lagu "My Sweet
Lord" perlahan dan berulang, seperti sebuah mantra. "I really


9 Dari Nadira Karya Leila S. Chudori di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

w ant to see You/ I really w ant to be w ith You..."
Itu lagu yang m enggetarkan dari penyanyi dan pencipta
lagu paling jenius di dunia ini: George Harrison. Akhirnya
aku ikut m enggum am kan lirik lagu itu, dan baru m enyadari
repetisi kalimat keinginan untuk melihat-Nya. Aku baru tahu,
Nadira mengucapkannya seperti sebuah mantra.
Apel itu sudah tinggal gelondong. Nadira m em ejam kan
m a ta nya sem bari terus m enyanyikan lagu itu. Di sudut m ata nya, aku m elihat sebutir air yang m enyem bul.
*** "Di Salemba Bluntas, kerjaku cuma main-main... Kakakkakak dan sem ua sepupuku tertib belajar m em baca Quran,
aku m alah m em buat kem ah di atas tem pat tidur m enggunakan kelambu Kakek dan Nenek...," Nadira bercerita
sam bil m e m andang langit J akarta yang hitam karena polusi.
Kam i tengah duduk di atas rooftop lantai sem bilan.
"Ibu jarang ikut salat jam aah, dia cum a duduk di belakang dan aku tidur-tiduran di pangkuan Ibu. Waktu itu
aku m asih lim a atau enam tahun. Dan sum pah, aku m asih
ingat apa yang dibisikkan Ibu...," Nadira tersenyum . Dia
m em bisikkan kalim at-kalim at zikir itu. Yang rupanya m em buat Nadira lebih tenang. Barangkali.
Aku tidak bisa m em berikan reaksi apa-apa, kecuali
m ena warkan rokok. Tentu saja dia m enolak. Lalu aku
m engisap se batang sem bari ikut m elihat langit J akarta yang
begitu kusam seperti air got.
"Aku sering m em bayangkan, ibuku bersam a orangorang hebat yang sudah m eninggal itu m ungkin sedang
203 Sebilah Pisau ngobrol dan berdiskusi atau bahkan bertengkar: Karl
Marx, Darwin, J ohn Lennon, Virginia Woolf, Sylvia Plath,
Kartini, Bung Karno, Chairil Anwar... Apa saja yang m ereka
ributkan?" Nadira kini m em ejam kan m atanya.
"Mungkin Chairil Anwar yang ingin hidup 1.0 0 0 tahun
lagi akan berdebat dengan orang-orang seperti Virginia
Woolf, Sylvia Plath, dan Anne Sexton yang m em utuskan
tidak ingin hidup selam a itu...," kataku agak sem barangan.
Nadira tampak terkejut. Aku juga terkejut oleh ucapanku.
Tapi Nadira kemudian tertawa. "Itu betul. Chairil akan sangat
m arah pada m ereka yang m eninggalkan hidup?"
Dia lam a terdiam , tapi aku yakin, kulihat bibirnya bergumam terus-menerus seperti mengucapkan zikir. Mata nya
terpejam . Aku m ulai percaya, Nadira m enyelam atkan dirinya dengan zikir yang didengarnya sejak ia m asih kecil.
Kali ini hatiku pecah dan sekuat tenaga aku m elawan air
m ata. Sesungguhnya Nadira tengah berjuang m elawan keingin an untuk m ati.
*** Undangan itu bukan hanya m enyentakku, tetapi m e nyentak
seluruh isi kantor. Nadira akan m enikah! Em pat tahun
setelah kem atian ibunya, barulah Nadira hidup kem bali.
Dia dibangunkan oleh seseorang bernam a Niko Yuliar,
aktivis 1970 hingga 1980 -an yang pernah ikut dem onstrasi
m enentang NKK/ BKK. Aku sendiri tak tahu apa profesi Niko saat ini. Aku
hanya m endengar dia sudah berm esraan dengan berbagai
pe ngusaha dengan judul pekerjaan "konsultan". Entah apa
yang dikonsultasikan, karena keahlian Niko sebetulnya berpolitik di lapangan. Mungkin dia jadi broker politik, atau
m ungkin juga dia betul-betul m enjadi konsultan profesional
204 Leila S. Chudori dalam urusan bisnis, aku tak tahu. Yang jelas, Niko m em bangun sebuah kantor survei politik dan ekonom i. Tetapi
zam an sekarang m em bangun sebuah kantor dengan berbagai
nam a sam a m udahnya dengan m engeluarkan angin dari lubang pantat.
Dan aku juga tahu, sosok yang paling m erasa terpuruk
karena perkawinan ini adalah Tara. Lelaki berhidung lancip
dan berm ata tajam itu tiba-tiba terlihat m urung dan gelap,
sem entara Nadira"seperti yang dium um kan segenap rom bongan burung nazar lantai tujuh m ajalah Tera"telah berubah m enjadi Tinkerbell yang lincah tak keruan. Tertawa
ba hagia hingga mengikik-ngikik seperti seorang gadis puber,
m e ngenakan baju dengan warna-warni yang cerah, m engucapkan selam at pagi atau selam at siang kepada siapa saja
yang ditem uinya, dan bahkan m encoba ikut bergabung
Cinta Sang Naga 1 Kisah Pendekar Bongkok Karya Kho Ping Hoo Harta Karun Di Galiung 1
^