Pencarian

Keberanian Manusia 2

Keberanian Manusia Karya Motinggo Busye Bagian 2


Pikirannya segera berkacau. Tukang sepatu itu tiba-tiba ingin menjadi pencuri. Ia ingin menjadi pencuri dari sepatu yang dibuatnya sendiri.
Kini dipandangnya sepatu kecil itu. Sepatu itu memang kecil. Dan tangannya menjamah. Alangkah bagus, alangkah bagus sepatu yang kubuat. Alangkah cantik, alangkah cantik bila anak perempuan kecil itu memakai sepatu kecil ini. Tangan tukang sepatu itu memegang sepatu itu. Ketika matanya berpaling sekeliling, anak perempuan itu, juga ibunya, juga bayi yang sedang digendong ibunya, tidak ada lagi dibalik kaca pajangan itu.
"Apa kerjamu"" bahunya ditepuk oleh majikan tokonya.
Ketika matanya bersua dengan mata majikannya, ia merasa malu. Tapi ia diam saja, sambil menaruh kembali sepatu dipajangannya.
Sejak itu, tukang sepatu itu merasa ada seorang yang senasib dengan dia. Tiap ia pulang dari kerja jam enam sore, ia bertemu dengan anak perempuan itu, sedang berdiri di depan toko lain, berdiri melihat sepatu-sepatu. Tentu yang dilihatnya sepatu-sepatu kecil.
Tapi ia melihat kejadian itu bukan tahun itu saja. Tiap tahun, menjelang lebaran, ia melihat anak itu sering-sering berdiri-diri di depan toko-toko sepatu. Tukang sepatu itu makin kenal baik-baik dengan wajah anak perempuan itu, terutama pada bentuk mata-nya yang hitam bilam itu.
Kota kami adalah kota yang subur dengan angan-angan. Ketika kota itu sepe
rtiga tubuhnya hancur dibom oleh Belanda, penduduknya berangan-angan akan membangunnya kembali menjadi sebuah kota yang baik. Walikota kami adalah
walikota yang dicintai rakyatnya, karena ia telah merubah kota itu sedemikian rupa, sehingga dalam tempo lima belas tahun kota itu seakan-akan bertukar rupa. Cuma sebuah tugu kemerdekaan yang tidak ditukar oleh arsitek-arsitek itu.
Tukang sepatu itu masih menjadi tukang sepatu. Tapi ia bukan saja menjadi tukang sepatunya, juga pemilik toko sepatu. Ia menyuruh anak buahnya, tukang-tukang sepatu yang lain, membikin sepatu-sepatu yang terbaik. Anak-anak buahnya, membikin sepatu-sepatu terbaik, sebab pemilik toko mereka telah membikin contoh, bagaimana membuat sepatu yang sebaik-baiknya.
Kalau sore hari, toko-toko itu terang oleh lampu-lampu neon. Banyak orang berbelanja dan banyak juga yang tidak berbelanja.
Bagi tukang sepatu yang mukanya capuk-capuk cacar itu, tidak menjadi soal apakah orang berbelanja atau tidak berbelanja.
Memang, kebanyakan pemilik-pemilik toko agak kurang senang hati terhadap orang-orang yang ke luar-masuk toko dengan tidak ada kepentingan berbelanja kecuali melihat-lihat saja.
Pemilik toko itu, yang masih juga bekerja sebagai buruh dirinya sendiri, sebenarnya belum berapa tua, biarpun ia merasa dirinya sudah tua. Orang yang belum kawin pada umumnya suka mengira dirinya semakin tua dari umurnya yang sebenarnya. Mereka seakan-akan bermusuh dengan waktu.
Ia melihat gadis-gadis yang masuk. Ada banyak gadis-gadis yang masuk, dan ia mendengar dan melihat bagaimana cara kebanyakan gadis-gadis itu memilih. Gadis-gadis umumnya suka memilih dan meniru. Ia ingin memiliki yang pernah dimiliki orang lain, kalau tidak persis benar, bahkan kepingin melebihi. Gadis-gadis suka bertanding memang.
"Berapa harga sepatu itu"" tanya seorang gadis.
"Dua ratus lima puluh," jawab tukang sepatu pemilik toko itu.
"Oh," kata gadis itu. Sebenarnya ia akan mengucapkan kata-kata, "Oh mahal sekali, tidak terbeli olehku."
Ucapan "oh" itu menarik perhatian gadis-gadis di sebelahnya, sehingga mata gadis-gadis itu sama menunduk, melihat ke kaki gadis-gadis itu. Mulanya maksud mereka memang tidak melihat ke arah sepatu gadis yang dilihatnya, mereka sebenarnya mau melihat betis gadis itu. Jadi, tidak benarlah juga anggapan umum, hanya anak-anak bujanglah yang suka memperhatikan betis gadis.
Gadis-gadis juga menyukainya, untuk ditandingi dengan betisnya sendiri.
Pemilik toko sepatu itu kini terbawa. Ia melihat ke kaki gadis itu. Tidak ada sepatu melekat di kakinya. Pemilik toko itu mengangkat kepalanya. Ia melihat wajahnya. Ia melihat matanya. Mata itu seakan-akan kekal dalam ingatannya. Waktu lima belas tahun seakan-akan tidak menjadi soal buatnya untuk mengenang.
Anak itu masih tidak bersepatu.
Anak itu telah menjadi seorang gadis berusia dua puluh tahun.
Ketika gadis itu cepat-cepat ke luar dari toko, pemilik toko mengikutinya. Ia mengikuti terus seperti orang tidak waras, sampai ke rumahnya. Di rumah itu ia bertemu dengan ibunya.
Adiknya yang dulu digendong kini sudah besar.
Lalu ia melamar anak gadis itu kepada ibunya. Ibunya mentertawakan, sebab anak gadisnya separuh dari usianya. Lalu ia merasa sedih. Sedih sekali dan kembali ke tokonya.
Ia telah berada di toko. Memang ia berada di toko sejak tadi. Ia tidak pergi. Angan-angannyalah yang pergi mengikuti gadis itu, dan angan-angannyalah yang menemui ibunya dan angan-angannyalah yang menolak dirinya sendiri dengan lamarannya.
Tapi, demi malunya yang besar terhadap dirinya sendiri itu, ia berjanji pada dirinya sendiri untuk benar-benar melaksanakan angan-angannya itu. Di saat main yang paling hebat, terutama malu pada diri sendiri, seorang manusia menjadi sangat berani.
Tukang sepatu itu, yang kini telah memiliki toko sepatu itu, suatu ketika didatangi keberanian yang hebat, dan dia pergi ke rumah perawan itu dan benar-benar melamarnya pada ibu anak perawan itu.
"Saya telah mengenal anak ibu selama lima belas tahun," katanya untuk pertama
kali. Ada dua jam ia di rumah itu. Dan pada saat akan pulang, ia berkata, "Terima kasih Bu. Besok saya d
atang lagi." Dan ketika ia berdiri di pekarangan, ia berkata lagi dengan sangat terharu sebab gembira, "Terima kasih, Bu."
Pada waktu itu ia tidak pernah berpikir, bahwa ia telah berusia empat puluh tahun.Yang dipikirnya ketika itu ialah, akhirnya ia suatu waktu bisa juga menjadi seorang suami.
Di simpang jalan, ia hampir saja ditabrak mobil.
"Terima kasih!" katanya pada sopir yang tidak jadi menabraknya itu.
TAMAT Mainan Keluarga Dari Kumpulan Cerpen "Keberanian Manusia"
Tidak ada hal-hal yang menyenangkan setelah ayah meninggal dunia, kecuali satu hal yang sudah pasti, bahwa tidak ada lagi seorang yang paling pemarah di rumah kami. Sesudah beliau mati, ternyata beliau meninggalkan banyak hutang. Sebanyak satu gudang barang-barang antik koleksi beliau, ternyata tidak diterima oleh orang-orang yang dihutanginya, karena alasan yang tepat juga. Barang-barang kesenian itu menurut penagih-penagih hutang tidak bakal laku, dan jika pun laku, kata mereka, harganya akan murah sekali. Untunglah kemudian, aku sebagai anak sulung, dan kemudian menjadi kepala keluarga di rumah, bekerja di sebuah perusahaan kopra dan dalam tempo lima tahun hutang-hutang itu lunas semua.
Keluarga kami sebenarnya terdiri dan orang baik-baik, jujur dan ramah, kecuali ayah yang punya sifat pemarah dan peminum.
Belakangan aku menjadi heran, kenapa dengan sifat-sifat beliau itu sebaliknya beliau mencintai barang-barang kesenian yang memerlukan satu gudang spesial buat menyimpannya.
Suatu hari Minggu, sekadar unluk mengetahui, kenapa barang-barang kesenian itu sangat dicintai, dan untuk mengetahui di mana rahasia kenikmatan yang ditimbulkan barang-barang itu terhadap seorang pemarah dan peminum, kubongkar barang-barang yang sudah berdebu itu. Yang paling banyak adalah kepala-kepala binatang yang sudah diair keras, kemudian porselin-porselin Cina, patung-patung yang menurutku buruk semuanya. Tapi sebuah patung kuda putih sangat menarik perhatianku. Semakin dibersihkan semakin bagus patung itu. Kemudian patung ini mendapat tempat yang terhormat di meja kerjaku, kuletakkan di samping mesin hitung uang di antara potret ibuku.
Sejak hari itu aku sudah tidak acuh lagi pada barang-barang kesenian di gudang, terutama karena pemimpin perusahaan mengatakan, bahwa penyelundupan kopra sangat berbahaya. Tapi kembali barang-barang kesenian itu menjadi perhatianku, sejak aku berhubungan dengan seorang gadis, sejak aku mulai memikir masalah-masalah cadeau ulang tahun, sejak aku mulai menaruh dugaan, barang-barang kesenian itu bisa dibawa-bawa sebagai alat percintaan. Karena aku lebih banyak tahu pada jenis- jenis kelapa dan kwalitet-kwalitet minyak saja selama ini, aku berusaha menemukan seorang kawan
yang kata orang-orang banyak ia seorang seniman, tapi setahuku cuma suka keluyuran belaka. Dulu aku benci sama orang ini, karena aku juga benci pada orang-orang yang tidak mau bekerja. Sejak aku membutuhkan dia untuk suatu pertimbangan, kebencianku telah berkurang.
Aku tanyakan padanya, apakah baik memberikan suatu barang kesenian pada seorang gadis pacar kila. Kawan ini bersemangat mendengarnya dan dia menanyakan apakah jenis barang kesenian itu, lukisankah atau patungkah. Aku mengatakan kulit macan.
Ia marah-marah mentertawakanku, karena katanya kulit macan tidak termasuk barang kesenian, kecuali kalau dipakai sebagai penghias dinding. Kataku, itulah yang kumaksudkan! Tapi dia menanyakan apakah aku menyimpan juga barang-barang kecil, misalnya patung. Aku bilang, aku punya patung kuda putih dari porselin.
Penganggur itu menepuk-nepuk bahuku dan dia menyarankan agar aku memberikan patung kuda putih itu saja. Tapi kemudian aku menjadi ragu-ragu, apakah gadis itu suka pada barang kesenian jenis patung kuda putih.
Di rumahnya ada tanduk menjangan, kataku. Barangkali dia lebih suka diberikan barang-barang jenis binatang-binatang mati.
"Kalau kau lihat seorang perempuan memakai baju biru," katanya memberi nasihat, "maka pujilah dia dan katakan padanya ia sangat cantik memakai baju biru muda."
"Aku tidak mengerti," kataku. "Engkau sangat goblok," katanya.
Lalu dia menyatakan, kar ena di rumah gadis itu sudah ada jenis barang-barang binatang mati, maka berikanlah kuda putih dan porselin itu.
Ternyata nasihatnya benar, aku kagum padanya, dan aku tidak benci lagi padanya. Aku merasa bangga sekali, karena di antara barang-barang cadeau ulang tahun yang bertumpuk-tumpuk banyaknya itu, porselin kuda putihkulah yang paling menarik perhatiannya, dibelai-belainya, matanya bersinar seperti mata cincinku.
Dipanggilnya ibunya yang duduk di sudut, yang kukira juga akan gembira melihat pemberianku.
Aku melihat gadisku meloncat-loncat di depan ibunya dan mengunjukkan barang itu. Kemudian ibu itu kaget, kukira begitulah, pasti ibunya kagum dan menghargai, karena sesudah itu, dari balik kaca matanya dia memandang kepadaku.
Ketika ibu itu memandang kepadakulah, aku pura-pura malu sambil memperbaiki dasi di leherku, melonggarkan ikatannya yang dalam beberapa menit terasa menjirat-jirat leherku. Barangkali leherku lebih tepat untuk dasi kupu-kupu.
Ada dua puluh dua kali aku datang ke rumah gadis itu, Tapi hanya satu kali ibunya ke luar itu pun hanya mencongokkan kepalanya dari balik gordin. Tapi keluargaku dari belahan ibu adalah keluarga baik-baik, dilarang menaruh curiga, dilarang membenci orang dengan dendam betul-betul, biarpun cara ibu itu sangat kubenci dan merendahkan dan menimbulkan dendam. Benar juga kiranya dugaanku, karena suatu kali gadisku menasihatkan begini, "Kalau bisa kau jangan sering-sering datang ke rumahku lagi."
"Kenapa"" tanyaku.
"Apa ibumu tidak senang padaku," tanyaku lagi.
Ternyata ia seorang gadis yang baik, sebab biarpun aku tahu bahwa memang begitulah hal yang sebenarnya, tapi dia membayangkan dari raut mukanya, bahwa yang kuduga adalah tidak benar.
Sampai di rumah, aku benar-benar lesu sekali. Aku duduk di beranda dengan tenang, walaupun dalam kepalaku sudah terkocok-kocok oleh keinginan marah-marah tak karuan. Aku lalu teringat akan nasihat ayahku, sifat-sifat ayahku. Waktu aku berusia sembilan tahun, aku disuruh ayah memanjat pohon kelapa. Anak-anak di kampung kami, pada usia tujuh tahun sudah mempunyai kepintaran memanjat dan memetik kelapa. Tapi aku tidak berani. Aku dihajar oleh ayahku dengan rotan dan beliau memaksaku sampai suatu ketika aku bangga sekali, dari tinggi sepuluh meter, kujatuhkan sebuah kelapa yang pertama kujatuhkan ke bumi.
Ayah selalu bercerita, bahwa beliau tidak pernah gagal dalam hidupnya. Aku juga ingat, ketika aku diludahi oleh seorang gadis, tepat di mukaku, dan beliau melihatnya.
"Bodoh," teriak ayah melihat aku terpaku saja.
"Buru dia!" teriaknya lagi, tapi aku masih terpaku, dan keterpakuan kemudian berubah menjadi terpelanting setelah aku merasa kepalaku ditamparnya. Ayah mengatakan bahwa kegagalan adalah pantang, lebih pantang lagi bila yang gagal adalah lelaki. Kemudian ayah menceritakan dengan bangga, bagaimana beliau dapat merebut ibu kami semasa gadisnya, dan bagaimana beliau kawin, dan bagaimana beliau tidak pernah ditolak oleh seorang gadis selama hidupnya.
Kalau aku ingat hal-hal itu, banggalah aku selayaknya. Tapi aku berasa malu dan kecil dan hina pada keluarga gadis itu, karena diriku tidak punya kebanggaan sama sekali. Dan sejak kunjungan yang kedua puluh dua kali itu, aku tidak lagi pernah ke rumah gadis itu.
Dan alanghah kagetnya aku, ketika suatu kali, seorang perempuan masuk pekarangan rumahku, dan dialah itu!
"Kenapa kau tidak pernah datang lagi"" tanyanya. Aku tidak bisa menjawab sebab aku sebenarnya sangat gembira, dan tumbuhlah kebanggaan dalam hatiku. Ia kemudian banyak bercerita, banyak menyesal, yang kesemuanya menambah-nambah kebanggaanku.
Tapi aneh, setiap dia kulamar, selalu minta ditangguhkan, dan sekali dia berterus
terang. "Ibuku tidak suka kau kawin denganku," katanya. "Kau bisa jadi perawan tua," kataku menggigil. "Saya juga heran kenapa begitu," katanya. "Ibumu kolot," kataku.
"Kau pemarah," katanya, sedangkan aku merasa tidak marah sama sekali karena aku mengucapkannya menggigit pelan-pelan,
"Ibuku benci sama lelaki pemarah," katanya.
Tidak ada hal-hal yang tidak menyenangkan lagi setelah ibunya, ibu gadis itu, suatu hari
meninggal dunia. Keluarga kami dilarang berdendam oleh pihak ibuku, karena itu aku menyaksikan sendiri bagaimana ibu itu menghembuskan nafasnya yang penghabisan.
Perempuan itu memandang saja, kepadaku dengan tidak berkedip, sedikitpun tidak ada benci, malah sebaliknya. Matanya yang hampir layu itu seakan menyampaikan maaf yang banyak, kata-kata yang tidak berkata.
Setelah dia mati, aku kawin dengan anaknya, dan kami pun dikurniakan anak-anak, sebagai hasil perkawinan itu.
Anak-anak meminta kesabaran kepada orang-orang tuanya, apalagi kalau mereka menangis. Dan beberapa hari belakangan ini kami sudah tidak sabar lagi melihat pekik anak kami yang pertama. Aku tidak tahu apa sebab dia menjerit-jerit. Istriku juga tidak tahu apa sebab dia menjerit-jerit.
"Ada apa sayang" Ada apa manis"" tanya istriku sambil mendekapnya.
"Hantu! Hantu!" pekiknya sambil menunjuk-nunjuk ke dinding kamarnya. Tahulah kami kemudian bahwa anak kami takut pada kulit dan kepala serigala yang sudah di air keras itu. Kuusul kan agar kulit serigala itu dipindah saja ke tempat lain. Istriku cepat-cepat melarang dan menarik tanganku.
"Ibuku semasa hidupnya melarang tiap-tiap orang di rumah ini membuka atau memindahkan barang itu."
"Tapi anak kita bisa gila karenanya," kataku dan segera membukanya tanpa tunggu-tunggu lagi.
Di belakang kulit serigala itu ada tulisan semacam tatto, yang menyatakan, sebagai pemberian kasih sayang dari seorang lelaki kepada seorang perempuan. Pengirim lelakinya tertulis jelas nama ayahku, ditujukan kepada nama seorang perempuan, nama ibu istriku.
Kemudian di bawahnya tertanggal 20 Juni 1927, jadi kira-kira tiga tahun sebelum aku dilahirkan oleh ibuku, dan berarti 34 tahun yang lampau.
Sebagai ahli hitung yang baik, aku menduga, antara tahun 1927 dan tahun 1929 ayahku pernah mengalami kegagalan. Aku tertawa terbahak-bahak.
Istriku sebaliknya menangis.
"Tentang kuda porselin itu," katanya.
"Kenapa"" tanyaku.
"Kuda putih itu pemberian ibuku pada ayahmu dulu. Aku sudah lama merahasiakan," katanya.
"Untung mereka tidak kawin," kataku tertawa terbahak-bahak lagi, sehingga anakku yang tadinya menangis-nangis, tertawa pula terbahak-bahak, dan mudah-mudahan saja ia tidak mentertawakan kakeknya atau neneknya.
TAMAT Pisau Karton Dari Kumpulan Cerpen "Keberanian Manusia"
Aku membuka dompetku, masih ada uang tiga rupiah untuk becak pulang. Itu adalah uangku yang terakhir dan sampai akhir bulan aku takkan punya uang lagi. Tapi aku tak pernah cemas.
Aku memang tak pernah cemas dalam soal uang, seperti aku tak pernah cemas akan jatuh sakit. Aku merasa sedikit mujur karena untuk dua-duanya itu aku takkan jadi sekarat. Aku tiba-tiba ingat ibuku, yang fotonya ada di balik kaca plastik dalam dompetku.
Biasanya, kalau aku ingat ibu, terasa ada sesuatu yang menggelepar dalam dadaku, karena aku tahu bahwa aku adalah anaknya, karena aku tahu aku tak sempat berbakti kepadanya seperti layaknya anak-anak terbaik dan ibu-ibu di dunia ini. Buatku ibu adalah kenang-kenangan yang menggelepar, sebab ia merupakan masa lampau yang hidup tanggung-tanggung dalam angan-anganku, karena aku cuma bisa sedikit sekali untuk mengingat wajahnya, kata-katanya yang lembut, dan kesabarannya yang besar. Suatu saat aku merasa goyah bila aku dihinggapi rasa sentimentil, sebab tiba-tiba merasa tidak akan punya lagi seseorang tempat aku membagi-bagi keindahan hidup ketika aku sedang bahagia dan menceritakan dukacita, ketika aku sedang dihantam kesedihan. Waktu itu aku merasa seperti kanak-kanak yang manja, kanak-kanak yang telah berusia seperempat abad yang menangis, biarpun aku sadar juga bahwa air mataku sudah kering untuk semuanya itu.
Kuangkat kepalaku, kulihat mukaku sendiri di kaca. Tapi yang dalam kaca itu bukanlah wajahku. Wajah itu adalah wajah seorang jejaka tua berumur kira-kira tiga puluh lima tahun dengan uban-uban di atas telinganya. Jejaka itu selama ini sudah amat cemas menghadapi hidup dan terutama wanita. Tapi kemudian ia datang ke rumah seorang gadis yang sudah jadi perawan tua pula dan ingin meminang gadis itu. Tapi mereka bertengkar. Mereka bertengkar bu
kan dalam hal pertunangan atau perkawinan.
Mereka bertengkar pada soal-soal kecil yang tak pantas dipertengkarkan, sehingga hampir saja lamarannya dikembalikan. Namun untuk suatu sukses tak penting pada cara memulainya, tapi bagaimana cara mendapatkannya kemudian. Kemudian ternyata lamarannya diterima oleh calon mertua dan gadis itu, dan kemudian diciumnya tangan perawan tua itu berkali-kali.
Aku mendengar kembali bagaimana sambutan orang ramai bersorak-sorak atas kemenangan jaka tua itu, Mereka adalah penonton-penonton suatu kehidupan.
Kini seharusnya aku melihat di kaca itu wajah berseri-seri dan jaka tua itu sebab lamarannya telah diterima. Tapi tidaklah demikian, sebab wajahnya murung.
Kuhapus wajahku dengan handuk. Aku pergi mencuci muka dan rambutku dan kembali ke kaca. Kini yang kelihatan di kaca itu bukan wajah jejaka tua itu tapi wajahku sendiri yang baru berusia mendekati dua puluh empat tahun. Dan tiba-tiba, dari sudut kaca itu kelihatan pintu kamar terbuka. Dua orang berdiri di pintu.
"He, kukira tak ada orang lagi di kamar rias ini," kata yang perempuan.
"Lagi apa kau"" tanya yang lelaki.
"Engkau tampan," pikirku. "Engkau lelaki tampan yang menjadi impian tiap-tiap wanita." Melewati kaca besar dihadapanku aku menyalam. Yang tampan mengangguk senyum dan ketika senyum ia semakin tampan. Kukira ia mirip Glenn Ford kalau tersenyum, dengan gigi yang tak ditunjukkannya itu. Dan yang di sebelahnya juga tersenyum. Wajahnya tidak mirip siapa-siapa.
Wajahnya cuma satu itu di dunia ini. Setengah jam sebelum itu ia menjadi seorang perawan tua yang dilamar oleh jejaka tua.
Mereka masih berdiri di pintu.
"Mari pulang bersama-sama."
"Mengapa kau masih di situ" Kau sakit"" Gadis itu masuk. Ia membawa bungkusan.
"Kami membawa oleh-oleh pisang goreng untuk mama. Biar mama senang, sehabis aku main sandiwara ada oleh-oleh pembuka pintu."
Lalu yang lelaki, yang tampan, berkata, "Kau mau pisang goreng"" "Terima kasih."
Mereka menjadi kaku dan kulihat sekilas di kaca yang lelaki memberi isyarat agar ke luar dan yang gadis menerima isyarat itu setelah menepuk punggungku. Di luar kudengar suara mereka, barangkali dia sakit.
Lalu kuingat pisang goreng itu. Kenapa tidak kuterima" Aku paling suka pada pisang goreng, dan sewaktu latihan-latihan aku minta pada sutradara agar makanan dalam istirahat latihan dibelikan pisang goreng. Biasanya aku berlatih agak malas tanpa pisang goreng.
Lalu kuingat lagi pisang goreng itu. Tapi kini pisang goreng itu bukan sebagai suatu jenis makanan kesukaanku dan enak dimakan. Aku ingat perkataan gadis itu, "Pisang goreng itu sebagai pembuka pintu sehabis main sandiwara."
Ingat pada pisang goreng, aku ingat kembali pada ibuku. Aku ingat bagaimana aku mengintip lewat lubang kunci ibuku tertidur dengan kepala di atas meja menantikan kami pulang. Ayah menjentik bahuku tanda aku boleh mengetuk pintu. Lalu kuketuk pintu.
"Ma" Ma" Mam"" teriakku kecil. Lalu kuintip lagi lewat lubang kunci. Ibu sudah berdiri dan membetulkan rambutnya.
Aku menoleh kepada ayah dan menunjukkan jempol jariku tanda keadaan tidak berbahaya. Ayah selalu memperingatkan, kalau wajah ibu cemberut aku harus menambahkan sebuah kalimat lagi.
"Aku membawa pisang goreng mam!"
Pintu pun terbuka dan kuberikan bungkusan pisang goreng.
Biasanya, ayah tidak berkata suatu apa lalu terus ke kamar mandi untuk mencuci muka, membersihkan sisa-sisa coretan di mukanya.
Waktu ayah di kamar mandi, biasanya ibu bertanya, "Bagaimana main papa tadi"" Aku biasanya berteriak girang, "Tentu, tentu hebat. Penonton-penonton menjawer sapu tangan dan duit!"
Tapi malam aku pulang itu ibu tak bertanya. Namun aku tetap menceritakan permainan ayah sebagai si Momba yang kejam adalah baik dan penonton-penonton bertepuk riuh dan menjawerkan sapu tangan-sapu tangan dan duit dan orang-orang melihat-lihat kepadaku.
"Mam, orang-orang ada yang tahu aku ini anaknya papa! Mereka memegang-megang rambutku dan aku marah-marah seperti Momba!" Aku berharap ibu tertawa. Tapi ibu tidak tertawa mendengar ceritaku dan aku menunjukkan pisau besar dari karton yang berbacah-bacah darah gincu.
"Mereka itu semua tolol-tolol, Ma. Mereka menjerit-jerit. Perempuan-perempuan menjerit-jerit dan menangis ketika papa menikamkan pisau ini ke perut Maharani yang bunting itu. Perempuan-perempuan menangis-nangis melihat papa mengeluarkan orok yang berdarah-darah dari perut Maharani yang bunting itu. Tapi aku ketawa-tawa, Mam. Penonton-penonton itu bodoh-bodoh, ya Mam" Ya, Mam""
Ibuku ketawa. Sangat mahal terasa ketawa itu. Aku melihat ayah muncul masih membersihkan mukanya dengan handuk dan menyeret aku cepat-cepat kekamar. Ayah berbisik, "Ibumu kenapa merengut"" "Ibu ketawa. Bukan merengut, kok," kataku.
Lalu aku ke luar kamar lagi sebab kamarku berada di sebelah kamar mereka. Kulihat pisang goreng yang kami beli tadinya belum disentuh ibu. Ibu hanya duduk di meja. Dari kamarku kuintip ibu sedang duduk saja. Kemudian kudengar ibu memanggil nama ayah dan ayah keluar dan ayah duduk dan mereka berkata pelan-pelan dan tidak kudengar percakapan mereka dan bila pun kudengar aku tak mengerti.
Malam itu aku susah untuk tidur. Barangkali mereka bertengkar. Barangkali kami pulang terlalu larut dan ibu bosan dengan pisang goreng. Barangkali ibu marah-marah pada ayah. Tapi ibu tak pernah marah pada ayah dan mereka tidak pernah berkelahi seperti tetangga-tetangga kami. Waktu itu aku teringat pada si Bakar yang selalu menyebut namanya dengan "Bakau" karena tidak bisa menyebutkan bunyi "r". Aku ingat bagaimana siang harinya aku dan Bakar menyelusuri kota kami. Di depan gedung komidi tertulis.besar-besar huruf- huruf MAHARANI dan tertulis nama ayahku. Di dekat pojok Bank Escompto ada lagi didirikan papan besar dengan huruf itu juga dan tertulis juga nama ayahku.
Aku berkata bahwa warna hijau pada poster itu akulah yang mencatnya, disuruh ayah. Dan aku juga berkata pada Bakar, huruf A dari nama ayahku itu aku yang mencatnya.
Kami pergi lagi ke dekat lapangan sepakbola dan poster sebuah lagi ada di sana dan aku tak berani mengatakan apa-apa. Sebab sekali aku pernah berbohong bahwa poster itu sebagian besar aku yang membuatnya. Bohongku ketahuan dan aku terus saja mengaku bahwa memang aku berbohong. Aku ingat lagi bagaimana aku berdiri sore-sore di depan gedung komidi yang terletak di jantung kotaku, seakan-akan menyuruh-nyuruh agar orang membeli karcis dan seakan-akan hendak menyatakan bahwa ayahkulah yang main sebagai Momba yang mengerikan dan akan kukatakan bahwa ayahku pemain baik.
Bila layar terbuka dan penyanyi-penyanyi menyanyi aku menjadi gelisah. Aku katakan pada orang di sebelahku, bahwa sehabis nyanyi "Hampir Malam Di Jogya", itu tandanya sandiwara akan mulai.
Sandiwara dimulai benar-benar setelah lagu "Hampir Malam Di Jogya" berakhir. Aku tidak ingat lagi bagaimana cerita sandiwara itu. Yang kuingat adalah ayahku bermain sebagai Momba yang kejam yang membunuh Maharani yang cantik. Ayah mencabut pisaunya. Perempuan -perempuan menggumam ngeri dan aku berbisik memberitahu, "Itu bukan pisau betul-betulan. Itu cuma karton!" Perempuan itu marah-marah. Aku berdiri melihat ke belakang dan seakan-akan mengatakan itu pada penonton di belakang dan akan mengatakan juga, bahwa yang memegang pisau karton itu adalah ayahku. Pisau karton itu tiba-tiba menggelegar sebab tangan ayahku menggigil. Dan ayahku berteriak dengan suara seperti hantu kubur, "Mahaaaaaraniii!" Penonton-penonton ngeri dan gedung komidi menggumamkan suara penonton dan aku berdiri lagi dan akan berteriak, kamu tolol semua.
Ayahku pura-pura marah itu! Ayahku berteriak lagi, "Mahaaaaaraniiii!" dan kemudian tertawa besar menggetar, "Ha-ha-ha-ha-ha!" dan ayah berteriak, "Maharani" lagi dan aku membalikkan tubuhku ke arah penonton belakang lagi dan akan menenteramkan hati mereka yang ngeri dan menyatakan bahwa ayahku pura-pura dan ayahku itu adalah ayahku!
Ayahku dengan rambut kusut masai macam hantu kemudian akan menikamkan pisau karton itu ke perut Maharani yang bunting. Kemudian Maharani menjerit keras-keras dan perempuan di sebelahku menutup mukanya dan aku berbisik, "Jangan takut, perempuan itu cuma pura-pura." Tapi perempuan di sebelahku tetap menutup mukanya.
Kulihat pisa u karton itu seakan-akan menembus ke perut Maharani dan ayahku tertawa keras-keras lagi ha-ha-ha, dan kemudian, ayah mengeluarkan orok dari perut Maharani yang bergelimang darah. Aku akan mengatakan sesuatu sekarang. Aku berdiri menghadap ke belakang. Aku akan mengatakan pada penonton-penonton yang ketakutan dan menangis-nangis itu, bahwa orok itu bukanlah orok betul-betulan. Itu adalah popi-popi si Aci. Si Aci adalah adikku. Itu bukan orok, itu popi dan popi bukan orok. Kamu semuanya tolol-tolol.
"Aduh, seremnya," kata seorang perempuan tua di belakangku.
"Tidak serem," kataku membantah.
"Serem. Anak kecil sialan!"
"Itu bohong-bohongan saja!" kataku.
"Lihat darahnya!" kata perempuan tua itu.
"Itu bukan darah betul-betulan," debatku. "Itu gincu saja. Itu gincu!"
Perempuan tua itu berdiri dan memegang leherku. Aku dimaki-makinya dalam bahasa Lampung totok. Aku duduk sekarang.
Aku jengkel dan ingin mengumumkan lewat mikropon itu rasanya bahwa kalian itu bodoh-bodoh semua. Biasanya di sekolah kuceritakan semua cerita bohong itu kepada kawan-kawan sekelasku, atau kuceritakan di rumah pada adikku yang kecil, tentang popinya yang menjelma jadi orok, kepada ibuku yang sudah bosan, kepada siapa saja yang mau mendengar ceritaku.
Malam ini aku teringat lagi pada ibuku, terutama ibuku. Aku ingat sejak malam beliau tak bergembira itu, ayah tak pernah main sandiwara lagi dan asyik dengan permainan brigde.
Aku berdiri dan kulihat lagi wajahku di kaca. Jauh lain dari ia yang dulu, penuh nafsu dan keberahian hidup. Aku ke luar dari kamar rias. Sepi gedung pertunjukan. Penjaga gedung sedang menyapu. Aku ke luar gedung. Sepi jalan raya. Aku berjalan menyelusuri Malioboro. Aku teringat pisau karton itu. Hanya pisau dari karton untuk menyatakan peristiwa pura-pura saja.
Tapi mungkin bagi ibuku dulu pisau karton itu adalah pisau yang sebenarnya buat beliau, aku tidak tahu benar. Aku waktu itu masih terlalu kanak-kanak untuk mengetahui kesedihan ibuku, kesedihan banyak orang. Aku waktu berjalan itu tidak peduli lagi apakah mereka tahu atau akan tahu, bahwa akulah yang bermain sebagai jejaka tua dalam cerita Anton Chekov yang barusan beberapa jam lalu kuperankan.
Aku lalu ingat pada sebuah cerita pendek Anton Chekov tentang seorang suami yang kematian istrinya, yang memuji-muji kejujuran istrinya sebagai perempuan setia, tapi yang semasa hidupnya disebarkannya berita bahwa istrinya main mata dengan kepala polisi di kota itu. Benih berita itu disebarkan si suami supaya orang-orang tidak mengganggu istrinya yang cantik dan orang takut mengganggu bukan sebab dia, tapi sebab orang-orang itu tentu akan takut pada kepala polisi itu.
Kubuka pintu kamar tempat aku memondok. Tidak ada seorang menunggu di kamar. Ada sebuah patung seorang tua yang bongkok di atas mejaku. Ia memegang tongkat. Patung itu kubeli di Bali dengan harga murah sekali, - setahun yang lalu. Di belakang patung itu ada kertas-kertas bekasan beberapa cerita pendekku yang tak jadi. Di belakang ada buku-buku pocket kumpulan cerita pendek atau novel atau roman dari pengarang-pengarang besar. Mereka banyak menceritakan tentang perempuan, banyak sekali.
Ketika kutaruhkan diriku di tempat tidur, tiba-tiba aku merasakan seakan-akan aku telah punya istri yang tertidur disebelahku.
Seakan-akan kudengar kata-kata, "Betapa pun, jagalah kesehatan engkau." Aku tidak malu, bahwa memang aku pernah punya angan-angan demikian.
TAMAT Restoran Masih Terbuka Dari Kumpulan Cerpen "Keberanian Manusia"
Sudah lima tahun lelaki itu jadi langganan restoran saya. Saya tahu benar siapa dia itu dulu dan sekarang. Dulu ia seorang mayor. Sekarang ia tidak punya gaji tetap. Ia pelukis. Karena itu pula saya tahu benar, kalau ia selesai makan dan tersenyum aneh dan mengacungkan tangannya ke atas, bukan berarti dia akan membayar, tapi berarti dia akan mengutang pada saya. Saya lantas mengambil buku bon dan menuliskan jumlah utangnya kepada saya.
Seperti juga saya, dia telah menjadi tua, lebih tua dari umur yang sebenarnya. Tapi berlainan dengan saya, yang sudah punya anak lima, dia, kawan lama saya itu, belum punya
anak seorang pun. Dia belum punya anak karena belum kawin. Saya tidak tahu apa sebab dia belum kawin, seperti juga saya tidak tahu apa sebab lelaki-lelaki lainnya yang menggemari hidup sendiri di dunia ini.
Belakangan ini saya khawatir melihat keadaannya. Dia makin pemurung. Pekerjaan saya sebenarnya bukan tukang hibur, pekerjaan saya adalah pemilik restoran ini dan tidak lebih dari seorang suami dan bapak dari lima anak, tapi pada saat saya mengetahui dia semakin pemurung, tergerak hati saya ingin menghiburnya.
"Mayor," kata saya, dan ia terkejut sekali seperti seorang yang sedang tidur dibangunkan. Dia tidak tidur. Dia sedang merokok.
"Mayor kelihatan susah," kata saya.
"Saya kepingin ada peperangan lagi," jawabnya.
"Aneh! Kenapa Mayor sampai berpikir begitu""
"Saya kepingin ada peperangan lagi," katanya.
Suaranya bukanlah suara peperangan. Suaranya biasa saja dan bukan seperti suara komandan perang.
"Ke Irian Barat"" tanya saya.
"Ya, ke Irian Barat boleh, Konggo boleh, Aljazair boleh. Saya kepingin mengulangi riwayat pelukis Goya."
Ketika saya mengingat film tentang pelukis Goya yang pro revolusi dan dalam kepala saya terbayang pula keberanian mayor ini dulu, masuklah seorang wanita yang juga jadi langganan saya. Saya sendiri tidak kenal dengan wanita itu apakah ia perawan
tua atau seorang janda. Yang saya kenal daripadanya cuma ia seorang langganan saya yang bila masuk terus memesan es kopyor. "Es kopyor," katanya.
Kawan saya bekas mayor itu saya perhatikan tidak mengacuhkan wanita itu. Saya menjadi jengkel. Saya jengkel kalau melihat seorang lelaki yang tidak mempunyai kegairahan jika melihat wanita, setidak-tidaknya kegairahan pada pandangan matanya saja dan tidak usah memeluknya di restoran.
"Makan"" tanya saya, ketika saya mengantarkan es kopyor.
"Ya, seperti biasa."
Seperti biasa dia makan soto dan nasi putih dan sepiring sup. Sup ini biasanya dimakannya belakangan dan lambat-lambat.
Ketika saya menoleh kembali kepada kawan saya bekas mayor itu, kawan saya bukan melihat ke arah wanita itu, tapi mengacungkan tangannya tanda akan berhutang. Lalu dia pergi.
"Siapa dia itu"" tanya wanita itu.
Saya lebih senang dengan pertanyaan wanita ini, dan wanita ini sendiri pada saat ini, punya kelebihan sedikit, untuk pertama kali dalam mata saya. "Dulu dia mayor."
"Sekarang""
"Sekarang dia pelukis." "Rasanya saya pernah kenal dia."
"Di mana""
"Saya lupa di mana," kata wanita itu sambil mengernyitkan keningnya.
Saya semakin senang dengan wanita ini. Bukan berarti saya menaruh hati kepadanya, sebab saya sudah punya istri dan lima orang anak. Seorang istri buat saya sudah lebih dari cukup, dan lima orang anak sudah cukup lebih-lebih merepotkan saya.
"Dia belum kawin," kata saya.
"Ya. Saya tahu dia belum kawin,"
Restoran sudah sepi, dan saya mencoba beramah-tamah sebentar. "Saya heran," kata saya memulai keramahan.
"Mengapa""
"Saya heran dalam zaman di mana kita berpikir secara praktis ini masih ada orang yang tidak suka pada perkawinan," kata saya.
"Perkawinan itu menolong hidup praktis." Saya terdiam sebentar menunggu jawaban. "Di mana Nyonya tinggal"" "Di Jalan Tanjung."
"Kenapa tidak datang membawa anak-anak"" tanya saya. "Saya tidak punya anak," jawabnya.
Sebenarnya saya mau menanyakan, "Kenapa Nyonya tidak bawa suami Nyonya ke sini"" tetapi saya takut dianggap lelaki tua yang kurang sopan.
Orang-orang tua memang mempunyai kesabaran dalam segala soal, mereka berusaha berhemat secermat mungkin dalam segala hal, juga dalam pertanyaan-pertanyaan. Kecuali jika mereka tambah tua dan mulai pikun, mereka kembali jadi anak-anak dan boros kembali dalam segala hal, juga dalam pertanyaan-pertanyaan.
Karena saya belum boros dan belum pikun, saya menanyakan yang lain, "Nyonya tampaknya dari daerah Sumatera."
"Memang. Saya masih baru di sini. Baru kira-kira enam bulan. Saya belum cocok dengan makanan di rumah tempat indekos saya, karena itu selama enam bulan di sini saja saya makan," katanya dengan ramah. "Di Sumatera saya tak berani makan di restoran."
Pada saat itu dia melihat kehidangan di depannya dan mengatakan pada saya bahwa dia ma
u mulai makan dan saya pun minta maaf.
Besoknya saya mengharap kawan saya bekas mayor datang lagi, karena ada hal penting yang akan saya sampaikan.
"Kenapa Mayor tidak menegur dia""
"Saya tidak kenal memang."
"Dia bilang kenal sama Mayor."
"Mungkin dia ngimpi. Perempuan-perempuan memang lebih pengimpi dan kita
laki-laki." Karena saya tahu benar, kawan saya bekas mayor itu memang tidak suka dengan cerita-cerita perempuan, saya menghentikan pertanyaan saya sampai di situ saja.
"Di mana dia tinggal"" tanya wanita itu ketika ia datang ke restoran saya lagi. "Tidak tahu saya."
"Mungkin Nyonya salah," kata saya kemudian.
"Tidak bisa. Saya kenal betul raut mukanya. Hidungnya itu tidak bisa dirubah-rubah lagi. Tapi dia sudah agak tua sekarang," kata wanita itu. Dia memesan segelas es kopyor lagi.
Seperti biasanya, wanita ini datang kalau restoran sudah hampir ditutup dan pengunjung-pengunjung sudah tidak kelihatan. Tadinya dia menanyakan kepada saya apakah bekas mayor itu sudah datang. Saya katakan tidak pernah lagi.
"Dia masih keras hati," kata wanita itu.
"Kalau begitu Nyonya kenal betul dengan dia," kata saya.
Wanita itu diam agak lama.
"Dulu dia guru saya," katanya kemudian.
"Di mana"" "Di Medan."
Kalau begitu seharusnya kawan saya bekas mayor itu kenal betul dengan wanita ini. Wanita ini dapat menceritakan semuanya tentang mayor itu. "Nyonya sekarang guru juga"" tanya saya. "Jangan panggil saya nyonya." Saya terdiam.
"Dia masih keras kepala," kata wanita itu sambil berdiri dan membuka tasnya dan memberikan uang. Lalu wanita itu pergi.
Biarpun sebenarnya restoran sudah pantas ditutup, karena saya masih memikirkan keanehan hidup ini, saya termenung saja di kursi dan minta pada pelayan segelas kopi. Tiba-tiba kawan saya bekas mayor masuk.
"Dia tadi ke sini lagi""
"Siapa"" "Perempuan tidak tahu malu itu," kata kawan saya. "Ya," jawab saya.
"Dia membuntuti saya terus. Perempuan kalau sudah gila sama lelaki begitulah. Bukan kita yang membuntuti dia, tapi dia membuntuti kita." "Ada apa rupanya""
"Dia murid saya dulu. Enam bulan yang lalu saya melihat dia pertama kali. Saya benci perempuan tidak berpendirian begitu."
Lalu kawan saya minta kopi pada pelayan dan memasang rokoknya. Agak lama dia terdiam dan agak lama pula saya kehabisan kata-kata. Saya melihat pada wajah kawan saya bekas mayor ini kebencian yang sangat terhadap wanita.
"Saya punya pendirian. Dia tidak," katanya.
"Tapi zaman telah berubah," kata saya melembutkan hatinya.
"Siapa bilang zaman telah berubah. Orang-orang yang telah berubah. Dan yang berubah itu otaknya," kata mayor itu.
"Kalau begitu saya yang salah," kata saya.
"Bung tidak salah. Bung betul. Bung buka restoran sehabis perang. Bung kawin. Bung beranak. Sudah berapa anak Bung""
"Lima." "Nah, lima. Tapi saya" Paling-paling saya akan hidup lima belas tahun lagi dan jika saya kawin sekarang, ketika saya tua, anak saya baru berumur empat belas tahun dan sedang lahap dengan cita-cita, sedang gairah kepada hidup ini, dan ketika itu saya mati dan saya mematahkan cita-cita dan kegairahan hidupnya! Lebih baik saya mematahkan kegairahan hidup saya daripada saya mematahkan kegairahan hidup anak muda" katanya dengan lesu.
"Pasti lima belas tahun lagi Mayor akan mati""
"Tidak pasti. Mungkin sepuluh tahun lagi. Atau mungkin juga besok" Siapa bisa menerka""
"Tapi Mayor sudah menerkanya sendiri," kata saya sambil ketawa, tapi kemudian menyesal kenapa saya ketawa. Saya ketawa sebab merasa lucu.
"Bung tahu berapa kira-kira umurnya"" tanyanya. Saya menggelengkan kepala. Dan dia menyatakan, "Tiga puluh setidak-tidaknya."
"Tiga puluh," kata saya, "masih cukup muda."
"Bung tahu, berapa lamanya saya berdendam""
"Tidak," jawab saya, sebab memang saya tidak tahu.
"Empat belas tahun saya berdendam. Waktu itu dia masih gadis berumur enam belas tahun dan murid saya yang baru lulus. Karena kekolotan orang tuanya, lamaran saya ditolak. Ditolak mentah-mentah. Benar ditolak mentah-mentah. Dan apa yang saya bilang ketika itu" Ini, seumur hidup anak bapak tidak akan ditawar orang," kawan saya tersenyum.
"Benar tidak ramalan mulut saya" Coba
, kalau dia pernah kawin, potong telinga saya. Anak itu sendiri sebenarnya mau. Namanya Nurhayati. Dan dia memang masih keturunan bangsawan. Tapi si Goya ini, ya, saya ini, mau melamar putri anak bangsawan, betapa gobloknya si Goya."
Kawan saya ketawa. "Tapi bapaknya sudah mati. Bukankah bapaknya yang menolak""
Dia termenung mendengar kata-kata saya itu. Lama dia termenung. Tapi tiba-tiba dia mengunjukkan acungan tangannya, tanda akan berhutang dan katanya, "Persetan, persetan. Sedang untuk hidup sendiri saja saya tidak sanggup dan berhutang, Apalagi mengawininya," katanya dan kemudian pergi begitu saja, sambil ketawa-ketawa.
Pada suatu kali datang lagi wanita itu. Dia menanyakan pada saya soal-soal sahabat saya itu, dan lebih dari bertanya, malah memaksa kelihatannya. Satu hal yang bisa saya katakan, "Dia takkan kawin-kawin."
"Empat belas tahun dia berdendam pada saya, Pak," kata wanita itu.
Mulanya wanita itu berwajah sedih. Tapi kemudian mukanya jadi merah padam dan sekilas saya menangkap kebencian seseorang di matanya,
Dan pada suatu kali restoran saya menerima kabar baru, karena saya melihat wanita itu tidak datang sendiri, tapi datang berdua.
Saya lihat wanita itu masuk dengan seorang lelaki, dan lelaki itu bukanlah bekas mayor kawan saya itu. Agaknya ia seorang seniman juga, sebab berjanggut dan berkumis. Saya mengatakan dia seniman, karena bagi saya tidak susah untuk julukan itu, karena julukan itu sudah terlalu populer dengan tanda-tandanya yang aneh, biarpun langganan saya juga ada beberapa orang yang perlente dan tetap seniman.
"Ini suami saya," kata wanita itu.
"Kau suka es kopyor"" tanya wanita itu lagi. Lelaki itu mengangguk. Saya gugup sejak mereka datang. Saya gugup betul-betul karena kabar ini akan menarik hati bila saya kabarkan pada kawan saya itu.
Tapi apa yang terjadi ketika berita itu saya sampaikan pada kawan saya bekas mayor itu, dia cuma menjawab dengan senyum mengejek, "Beberapa hari yang lalu dia minta permisi pada saya untuk kawin dengan seniman snobis itu. Empat belas tahun saya berjanji tidak akan mengucapkan sepatah kata, Bung kira saya ada menjawabnya"
Sepatah kata pun tidak. Dan dia pergi tersedu-sedu dan dia sekarang kawin dengan seniman picisan itu."
"Bagaimana Bung pikir" Kalau saya kawin apa tidak menggelikan" Apa nanti ditertawakan""


Keberanian Manusia Karya Motinggo Busye di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tidak," jawab saya.
"Ada seorang janda yang menarik hati saya di Jalan Mataram. Tapi saya kira sebaiknya tidak kawin. Masa empat belas tahun akan terhapus oleh hujan sehari"" tanyanya kepada saya.
Sungguh, selama saya jadi pemilik restoran, belum pernah saya melihat kejadian yang lebih menarik dari ini. Sebab sebulan kemudian saya melihat kawan saya bekas mayor datang ke restoran saya membawa seorang wanita berkebaya yang cantik sekali dan diperkenalkan kepada saya bahwa wanita itu adalah istrinya.
Hari itu malam Minggu. Di Meja nomor 5 duduk sepasang suami-istri, yaitu wanita dari medan dan suaminya, dan agak jauh sedikit di meja nomor 7 duduk sepasang suami-istri, yaitu kawan saya pelukis dan bekas mayor, dan istrinya. Kawan saya itu mendekati saya dan bertanya,
"Apa yang mereka pesan""
Lalu saya mengunjukkan apa yang dipesan oleh meja nomor 5. Lalu meja nomor 7 meminta supaya pesanan makanan mereka dua kali lipat.
"Saya dan istri saya baru saja dari Kaliurang," kata kawan saya. Suaranya agak keras sedikit dari biasa.
"Ya," kata istrinya.
"Pameran di Jakarta cuma dapat seratus ribu. Bung," katanya lagi, dengan suara agak keras.
"Cukup banyak," kata saya.
"Saya kepingin beli sedan kalau pameran laku lagi," katanya.
Lalu saya berpikir, memang aneh kehidupan ini, dan saya tidak ingin mengatakan bahwa kehidupan ini memang gila juga. Saya tidak keberatan jika pengunjung-pengunjung restoran saya bertanding dalam makan. Sebagai pemilik restoran yang baik, saya selalu berharap pengunjung-pengunjung restoran saya makan seenak mungkin dari makanan yang kami hidangkan. Lebih cepat tutup lebih baik, sebab saya bisa pulang lekas-lekas, bertemu istri dan lima anak saya. Besoknya saya bangun pagi-pagi dan berangkat ke sini lagi.
Cuma belakangan ini saya ingin membel
i radio pick-up barang sebuah membikin kebun di samping itu dengan lampu-lampu merah biru, lalu memperbesar ruangannya. Kalau perlu saya akan mencari akal, bagaimana supaya pengunjung-pengunjung lebih senang.
TAMAT Senjata Dari Kumpulan Cerpen "Keberanian Manusia"
Dia memakai ransel yang diikatkan dengan malas dipunggungnya yang bungkuk. Dan tangannya dimasukkan ke kantong jaket militernya.
Mulanya sama sekali tidak kuperhatikan orang itu. Aku asyik memikirkan uang sewa kamarku yang belum lunas bulan lalu dan harus dibayar dalam tiga hari ini. Yang kupikirkan bukan uang itu. Tapi cara yang punya rumah memintanya. Dia tidak tahu bagaimana kepahitan hidup seorang penulis yang menggantungkan diri kepada karangan-karangannya.
Malam ini aku tidak pulang ke rumah. Malas dan mengkal. Maka aku memilih dengan menyusuri jalan-jalan malam hari sampai akhirnya pegal dan kemudian memilih jalan yang sepi. Dan kemudian kupilih sebuah tembok rumah dan duduk-duduklah aku di tangganya sambil merokok kretek.
Mulanya memang aku tidak memperhatikan orang itu. Tapi sekali bawah sadarku merasakan sesuatu dan demi heranku melihat tingkahnya yang agak aneh. Dia jalan mondar-mandir dalam jarak dua puluh langkah dan itu dilakukannya lebih dari setengah jam kukira. Kalau pegal dia duduk di pagar jalanan dan kemudian jalan lagi.
Akhir-akhir ini aku takut pada tentara. Dulu aku menabrak seorang tentara malam-malam dengan sepeda. Untung dia sabar dan tidak memukulku. Anehnya ia sesudah tidak jadi memukul itu lantas menanyakan kartu penduduk. Dan soal kartu penduduk itu akhirnya menimbulkan perbuatan yang mencemaskan hidupku.
Aku tidak punya, jawabku dulu.
Ingatan itu belum habis, tentara yang mondar-mandir tadi itu tiba-tiba telah dihadapanku berdiri dengan tangan masih dimasukkan dalam jeketnya. Aku mulai takut kalau-kalau ia menanyakan kartu penduduk pula.
"Kau kawannya"" tanyanya tiba-tiba sambil memalingkan mukanya ke seberang
jalan. "Kawan siapa, Pak"" tanyaku berdebar.
"Maaf!" katanya kemudian dengan bersungguh hati. Dan kemudian menerusi, "Kau tinggal di mana, Mas"" pertanyaan yang aneh itu kujawab, "Jalan Wahidin."
Lalu dia duduk begitu saja di sampingku. Aku yakin ia susah, sebab beberapa kali nafasnya dilepaskannya.
"Kenapa kau duduk-duduk di sini," suaranya tidak mengancam, tapi isi kalimatnya terang mencurigaiku.
"Tidak apa-apa, Pak. Saya cuma kecapekan," jawabku jujur.
"Betul-betul kau tidak punya kawan lain yang pergi ke seberang sana"" agak keras suara itu buatku walau diucapkannya lembek sambil menolehkan kepala ke seberang jalan.
"Tidak!" "Awas kalau ada!" kini betul-betul mengancam ia rupanya.
"Kau dan dia akan saya tembak," sambungan suaranya tambah mempertakut
diriku. Sesaat kami tidak bicara. Ia kelihatan sebenarnya amat lesu. Tapi tetap gelisah. Aku tak berani memulai bicara sebab takutku. Dan ketika ia bergerak sedikit, darahku serasa luput semua. Tapi ia cuma berdiri tidak memandangku. Dan kemudian pergi lagi ke arah tempat ia mondar-mandir semula. Ia tidak mondar-mandir lagi, cuma berdiri tenang-tenang di bawah tiang listrik. Dan alangkah senangnya hatiku ketika ia bergerak ke arah pepohonan jeruk dan hilang di antara pagar-pagar gang.
Aku akan cepat-cepat pergi saja. Aku khawatir ia gila. Tapi kemudian kubantah sendiri: Tidak mungkin tentara gila dilepaskan dari markas pondokannya. Kemudian kubantah lagi, gila atau tidaknya, tidak peduli. Yang penting aku harus pulang kini-kini juga dengan segera, agar tidak terlibat dalam persoalannya. Tapi ini pun kubantah, dia tadi menanyakan alamatku dan aku ada menyebutkan. Dia tadi curiga padaku. Dan tentu dia akan makin curiga sebab aku pergi. Dan ini akan menjadikannya marah yang akan disusulnya dengan memburuku dan aku betul-betul akan ditembaknya. Kemudian kuputuskan, sebaiknya aku tinggal diam di sini sampai pagi datang, biarpun ini akan menyiksaku.
Aku menyesal telah terhampar ke tempat ini dan mempersulit keadaan diri sendiri saja. Akhir-akhir ini aku khawatir tentang keadaan diriku dan khawatir pula kalau diriku dapat kesulitan.
Pernah dulu aku berniat akan bunuh diri. Tapi ku
bunuh perasaan gila begitu. Kemudian datang pula seorang kawan. Dia juga penulis. Dan menceritakan juga kesulitan-kesulitan hidup. Lalu kusuruh secara bergurau, "Bunuh diri saja!" walau aku menyatakan dengan hati yang bersungguh-sungguh. Tapi seperti juga diriku, dia pun tak jadi bunuh diri. Dan ketika kami bertemu, kawan itu berkata, "Buat apa kita membunuh
diri kita. Lebih baik kita bunuh saja orang lain," sambil ketawa. Dan kemudian ia mengajakku merampok toko, sambi! ketawa pula. Tapi kami tak jadi membunuh orang atau merampok toko.
Ketika aku senyum sendiri, alangkah kagetku. Orang tadi keluar di antara pohon-pohon jeruk dan terus menjurus ke arahku.
Aku mulai pura-pura menekur dan takutku menyita sampai ke seluruh tulang-tulangku.
"Mas," tapi suara itu pun perlahan kudengar.
"Apa, Pak""
"Barangkali dia pulang jam empat atau setengah lima." "Siapa, Pak"" tanyaku.
Ia tak menjawab tapi terduduk. Kelihatan sukar sekali dia duduk. Dan aku hanya berdiam diri saja sebab takutku "Mas!" katanya. "Ya""
"Ada lelaki tidur dengan biniku sekarang!" kini barulah aku merasa tenteram. Dan suara itu dapat kurasakan sebagai tanda persahabatan.
"Mulanya kau kucurigai tadi. Tapi maaf, tadi aku agak pusing," katanya.
"Aku pulang dari operasi, Kereta masuk jam sembilan malam tadi," suaranya makin bersahabat. Dan betapa pun, aku senang kini.
"Aku minum-minum dulu di markas. Sebenarnya aku sudah boleh pulang tadi-tadi. Tapi jam sebelas aku pulang. Aku bawa oleh-oleh buat biniku, kutaruh di depan pintu belakang, sebab aku yakin lelaki itu pasti keluar dari pintu belakang."
Tiba-tiba pula takut menyentaki darahku. Aku tak kepingin ikut-ikut dalam soalnya dan dalam soal siapa saja dalam saat sekarang ini.
"Bagaimana, Mas""
"Tembak saja!" kataku tiba-tiba secara tak sadar, terpengaruh oleh perkataan "tembak" yang dari tadi sering beramuk di hatiku, sejak ketemu dengan orang ini agaknya.
Begitu senang aku, sebab aku tak ditanyai atas usulku yang terlanjur tadi. Dia memandangku lama-lama, kemudian mengeluh dalam-dalam. Barangkali ia takut mengambil resiko penembakan, pikirku. Ini kutangkap di matanya. Barangkali dia
masih sayang pada bininya, pikirku, dan akan dimaafkannya. Dan ini kutangkap di matanya.
"Apa tadi, Mas" Tembak""
Aku jadi terpana oleh pertanyaannya. Sebenarnya aku akan meneriakkan bantahan kembali, tapi aku sendiri nanti akan dicurigai dan diriku jadi korban pelor secara tak karuan. Dan aku bisa mati anjing.
"Ya. Tembak," katanya perlahan dan pilu.
Lama ia pandang wajahku. "Ketika operasi aku dapat menembak musuh dengan sebaik-baiknya. Kau tahu"" suaranya mengobarkan kebanggaan. "Dan setidak-tidaknya ada lebih lima yang kupasti," kemudian ia mengeluh dengan nafas yang sakit.
Kami saling terhening beberapa saat, di saat mana otakku dibalaukan oleh kebuntuan-kebuntuan pikiran. Dengan tiba-tiba saja ia bersuara, "Kita di sini saja sampai jam lima. Biarpun dia lewat jalan belakang, gang itu gang buntu," dan sekaligus suara-suara persahabatan begitu berakhir dengan ajakan agar aku terlibat dengannya.
"Kau tolong aku nanti. Mau kau menolong"" biarpun tidak kujawab, tapi ia sendirilah yang menjawabnya, "Tentunya kau mau menolong," demikian ngeri kuterima putusan kerja sama ini.
"Sudah jam berapa"" tanyanya gelisah.
"Aku tak punya jam!" jawabku takut-takut.
Ia meraihkan nafas dalam. Kami terdiam agak lama.
"Sudah jam berapa"" tanyanya lagi.
"Aku tak punya jam, Pak," kujawab dengan heran.
"O, iya, ya!" dan kemudian ia berdiri.
Kelihatan sekarang, dia makin gelisah. Dipandangnya ke arah di seberang dan matanya mulai menyala-nyala.
"Kau tolong aku!" perintahnya tiba-tiba. Ketika aku terdiam agak lama, ia menanyai agak mengancam, "Tak mau kau menolong aku""
"Mau Pak!" "Ambilkan pistolku di ransel belakang." Dan ia menunduk ketika itu, sehingga dengan mudah pistol itu kuambil dan kuberikan padanya. "Isikan pelornya! Itu kosong," perintahnya lagi.
Aku benar-benar takut dan pasti, bahwa ia gila. Aku gugup, sebab dalam hidupku aku belum pernah berkenalan dengan senjata api. Lama-lama aku terdiam deagan takut dan gelisah, sampai aku kemudian diben
taknya, "Tak mau kau menolong
aku"" "Aku tak pernah pegang pistol, Pak."
Matanya jadi merah dan tiba-tiba kurasa tanganku diraihnya, sehingga pistol itu
jatuh. Kucoba memandang dia dengan mata minta dikasihani, tapi begitu kaget aku ketika dalam matanya berenang butir-butir air mata putus asa. Biji matanya kemudian turun mengajak mataku melihat sesuatu.
Kedua tangannya! Tangan-tangannya tidak bertelapak dan berjari lagi, sebab putus tentang pertengahan lengan.
Ia menggigil. Tak berani aku memandangnya. Yang kudengar hanya tangisnya yang menggigit-gigit sepi malam.
TAMAT Tuhan dengan Suatu Malam Dari Kumpulan Cerpen "Keberanian Manusia"
"Maukah kau kawin dengan aku""
"Kenapa"" "Aku mau kawin,"
Perempuan ini ketawa sambil menuangkan teh ke cangkir. Lelaki itu pergi.
"Maukah kau kawin dengan aku"" "Edan!"
"Edan" Apa kau kira aku ini edan" Aku mengajak kau sungguh-sungguh!"
Dan ketika lelaki itu pergi dari warung itu, diikuti oleh mata perempuan itu sampai di balik penjual-penjual barang lowak, dan perempuan itu berkata kepada perempuan di sebelahnya bahwa lelaki itu sudah gila barangkali.
"Mau kau kawin dengan aku""
"Tidak!" Lelaki itu terdiam. Ia benar-benar terdiam mendengarnya. Dipandangnya perempuan itu. Perempuan itu membelah manggis dengan telapak tangannya dan menawarkannya kepadanya. Ia menolak.
"Aku tidak mau manggis. Aku mau kawin," katanya.
"Makanlah manggis ini dulu. Nanti kita kawin," jawab perempuan itu.
Dijamahnya manggis itu satu, tapi ia belum memakannya,
"Minum"" tanya perempuan itu.
"Tidak. Mau kau kubawa jalan-jalan" Aku punya uang banyak sekarang. Kemarin aku terima gaji."
"Ke mana kita jalan-jalan""
"Ke mana saja kamu suka. Asal jangan ke neraka, " kata lelaki itu.
Perempuan itu ketawa dengan riahnya, kemudian meladeni seorang lagi dan kemudian memeriksa tas hijaunya, kemudian menepuk bahu lelaki itu, kemudian keluar dari warung itu.
"Naik becak"" tanya perempuan itu.
"Tidak usah. Jalan saja dulu. Kalau kau capek kita naik becak." Lalu mereka jalan.
"Aku pernah melihatmu dulu sering menyanyi di rel-rel kereta api," kata lelaki
itu. "Ya, dekat Jembatan Kewek," jawab perempuan itu sambil tertawa dan membetulkan selendangnya, "Siapa namamu"" "Maria," jawab perempuan itu. "Kau Katolik," kata lelaki itu.
"Ya. Aku masih bisa sembahyang dan hafal lagu-lagu gereja. Kau mau mendengar aku menyanyikan lagu gereja""
Lelaki itu terdiam. Dan perempuan itu berpikir sebentar lalu bertanya, "Kau juga
Katolik, Mas"" "Ya."
"Siapa nama baptismu"" tanya perempuan itu. "Ignatius," jawab lelaki itu. "Di mana kau tinggal""
"Dekat palang sepur sana di utara," jawab lelaki itu. Dan perempuan itu merasa
riang. "Barangkali namaku yang tepat Maria Magdalena. Aku ingat romo pastor menceritakan hal itu.
Waktu itu aku menyanyi gereja dekat gereja. Aku habis ditipu oleh lelaki yang tidak mau bayar. Lalu aku sedih. Aku pikir Tuhan tidak kasihan denganku lagi. Sehingga aku merasa ditipu, ditipu, ditipu oleh orang-orang. Lalu aku menyanyi. Nyanyi itu nyanyi missa," perempuan itu ketawa serak, kemudian menepuk punggung lelaki itu, bertanya, "Kita ke mana""
"Ke mana saja kamu suka," kata lelaki itu.
"Tapi semua tempat-tempat itu sudah tutup. Kita bisa ditangkap polisi," kata perempuan itu.
"Besok-besokkan bisa. Jadi gimana kata pastor itu. Maukah pastor itu menegurmu"" tanya lelaki itu lagi.
"Heran! Heran sekali! Pastor itu mau menegurku dan menanyakan di mana aku belajar lagu itu. Aku menjawab, lagu itu kupelajari di gereja. Aku ikut ibu ke gereja dan tiap missa menyanyi sampai pandai."
"Rupa-rupanya," lalu perempuan itu ketawa geli, "rupa-rupanya pastor itu heran kalau ada perempuan macamku ini bisa menyanyi. Tapi kemudian pastor itu bertanya, siapa namaku. Dan kujawab bahwa namaku Maria. Dan pastor itu menyuruhku insaf.
Aku bilang aku tidak bisa dapat pekerjaan. Dan pastor itu bercerita tentang Maria Magdalena. Kau kan tahu cerita itu bukan"
"Berapa umurmu""
Lelaki itu menjawab, "Empat puluh lima." "Sudah tua juga kau ini," kata perempuan itu. "Memang," jawab lelaki itu.
"Kau kira aku bisa dimaafkan Yesus seperti Maria Magdalena'"" ta
nya perempuan itu. "Maria Magdalena! Itu cerita kudapatkan dari seorang kawanku yang juga Katolik. Dongeng itu akan kuingat selalu. Ya, kisah. di mana seorang pelacur akan dilempari batu oleh semua orang dan Yesus melarangnya," kata lelaki itu.
Lalu orang-orang itu berkata, "Bunuhlah wanita jalang itu. Ia wanita berdosa. Lempari dengan batu-batu," sambung perempuan itu menyambungi cerita lelaki itu.
"Tapi Yesus bertanya: 'Apa kalian sudah bersih dari dosa" Benarkah begitu ceritanya"" tanya lelaki itu.
"Ya, ya. Kira-kira begitu. Lalu orang-orang itu menyadari, bahwa mereka pun orang-orang yang berdosa dan setelah dijelaskan Yesus mereka tak jadi melemparinya," kata perempuan itu.
Kemudian perempuan itu bertanya, "Ke mana kita sekarang. Aku capek."
"Kita naik becak."
"Biarlah kita jalan saja," kata perempuan itu lagi. "Kau ini siapa"" tanya perempuan itu.
"Aku"" "Ya. Kau!"
"Aku orang yang berdosa!" jawab lelaki itu. "Aku khawatir tadi," kata perempuan itu.
"Kenapa"" Perempuan itu melepaskan nafasnya sambil ketawa dan mengebut-ngebut selendangnya. Kemudian berkata, "Kaukira kamu ini Yesus."
Laki-laki itu ketawa. Tiba-tiba ia merasa benar-benar senang dengan perempuan
itu. "Kamu berasal dari mana" "tanya lelaki itu,
"Dari Muntilan," jawab perempuan itu. "Di Muntilan ada gereja!"
"Aku barusan saja membunuh," kata lelaki itu tiba. "Tapi bukan aku yang berbunuh-bunuhan. Tapi aku percaya, rohku telah membunuh mereka. Atau Tuhan telah membunuh mereka," kata lelaki itu.
Perempuan itu terdiam. Lelaki itu terdiam pula. Kedua-duanya semakin terdiam. Tiba-tiba kedua-duanya sama mengingat Tuhan. Bila kedua-duanya sama mengingat Tuhan, kedua-duanya ingat pada masa kecilnya.
"Kamu mendongeng atau sungguh-sungguh"" tanya perempuan itu.
"Sungguh-sungguh," kata lelaki itu.
"Nanti kau bisa ditangkap polisi. Apa polisi tidak tahu kejadian itu"" tanya perempuan itu.
"Barangkali besok polisi tahu."
"Besok kau dicari polisi dan ditangkap," kata perempuan itu. Perempuan itu terdiam, Dalam terdiam ia ingat ayahnya.
"Ayahku setelah membunuh ibuku lalu tertangkap. Biarpun ayah kejam dan aku sayang padanya. Ayahku sayang padaku. Ibu yang jahat," kata perempuan itu.
"Ayah dihukum sepuluh tahun. Mati di dalam penjara," kata perempuan itu. "Kenapa ibumu dibunuhnya"" tanya lelaki itu. "Ibu berdosa," kata perempuan itu.
"Kenapa"" "Main-main dengan laki-laki," kata perempuan itu.
"Istriku juga demikian. Rumah itu dekat jembatan dekat palang sepur. Aku selama ini bekerja sebagai tukang palang sepur. Sampai sore tadi aku masih malang sepur. Aku bekerja sampai pagi. Aku sudah tahu bahwa istriku main-main. Sudah tiga kali aku diamkan. Akhirnya hilang kesabaranku. Aku tahu lelaki itu masuk jam delapan dan pulang jam dua belas. Dan tadi, aku sudah tidak sabar lagi. Aku batuk-batuk keliling rumah ketika mereka berada di rumahku. Laki-laki itu rupanya tidak berani ke luar, Aku batuk-batuk kecil, Dekat sumur. Lalu aku batuk-batuk besar dekat pintu. Aku berkata keras-keras seperti bercakap-cakap dengan seseorang. Dan aku sendiri yang menjawabnya dengan suaraku: 'Kepung saja rumah ini', kataku seperti bercakap-cakap
dengan seseorang. Lalu kukecilkan suaraku dan berkata seperti menjawab: 'Kamu bawa pisau"' Dan aku menjawab: 'Si Paidin bawa golok'. Dan dekat pohon-pohon pisang aku berseru: 'Masuk dari kakus, Paidin', Dan aku lari ke dekat pohon pisang, menjawab suaraku sendiri: 'Biar dulu. Kalau dia berani ke luar pintu kita bunuh saja'. Lalu aku lari ke dekat kamarku. Aku mendengar istriku dan laki-laki itu bertengkar. 'Kau larilah ke luar!' kata istriku. Laki-laki itu tidak berani 'Jangan ribut-ribut. Aku membawa pisau. Bisa kubunuh kau!' dan istriku menjawab: 'Coba kalau kau berani bunuh aku. Kau tidak punya tanggung jawab sebagai lelaki'. Lelaki itu mengancam lagi: 'Jangan berisik. Kucekik kau nanti'. Dan istriku berkata; 'Coba kalau berani. Kau yang kucekik'. istriku rupanya pintar berkelahi. Mereka bergulat. Akhirnya, akhirnya, kudengar dua-duanya merintih. Mereka dua-duanya rupa-rupanya saling bunuh-membunuh," lelaki itu letih bercerita dan menarik nafas.
"Kedua -duanya mati"" tanya perempuan itu.
"Mati. Betul-betul mati."
Perempuan itu kemudian berkata, "Kenapa kau lari""
"Aku tidak lari. Aku jijik menginjak rumah itu. Sebab itu aku jalan-jalan. Aku mau menghirup udara. Sekarang giliran kawanku jaga palang sepur," kata lelaki itu. "Kau tidak sedih istrimu mati""
'Tidak." "Aku memang pernah lihat kau jaga palang. Waktu itu kau lama-lamakan, sehingga orang-orang menggerutu menunggu palang terbuka," kata perempuan itu. "Aku suka sekali bikin lucu," kata perempuan itu lagi. Mereka kini telah berada di depan Gereja Bintaran. "Tahu-tahu kita sudah sampai di Gereja Bintaran," kata lelaki itu. "Ke mana kita sekarang"" tanya perempuan itu. "Masuk ke gereja. Sembahyang. Kau mau"" "Aku malu. Pastor sedang tidur barangkali," kata perempuan itu. "Kita ketuk saja pintunya. Kita katakan kita mau sembahyang," "Tapi aku wanita jalang. Gereja akan kotor." "Ah, tak apa."
Perempuan itu berdiri saja. Tapi tangannya kemudian menekan-nekan manggis. "Kau mau manggis"" kata perempuan itu. "Aku mau sembahyang," kata lelaki itu.
"Sudah dua puluh tahun aku tidak masuk-masuk gereja," kata lelaki itu. "Aku mau pulang," kata perempuan itu. "Kau punya uang buat becak aku ke pasar" Aku tadi ada janji sama seorang lelaki," kata perempuan itu lagi.
"Marilah masuk. Yesus telah memaafkan Maria Magdalena. Kenapa kau takut
masuk"" Perempuan itu kemudian berkata, "Sekarang tidak ada lagi orang yang seperti Yesus yang mau memaafkan Maria Magdalena." "Ada!" kata lelaki itu. "Siapa"" tanya perempuan itu. "Aku!" teriak lelaki itu.
Perempuan itu terkejut amat sangat. Dipandangnya lelaki tinggi itu. Lelaki itu berjanggut seperti Yesus dan dengan gemetar ia menangkap sekilas-sekilas dongeng-dongeng masa kecil dan gambar-gambar Yesus yang pernah dilihatnya. Lalu perempuan itu sangat menggigil, tidak dapat berkata, dan lari, ia lari sekuat-kuatnya melewati jalan-jalan Bintaran, Sayidan dan kemudian masuk pasar. Di warung dengan nafas; mendegap-degap ia berkata, "Aku ketemu Tuhan Yesus. Laki-laki tadi!"
Orang-orang di warung semua heran, tapi mereka kemudian ketawa. Perempuan itu marah-marah.
Lalu dia bercerita. Ketika perempuan itu bercerita di warung itu, dalam sebuah gereja, seorang lelaki berjanggut sedang berlutut berdoa, minta ampun atas segala dosa-dosanya. Ketika itu ia sendiri. Sangat sendiri. Ia adalah seorang manusia.
TAMAT Tukang Grafir Dari Kumpulan Cerpen "Keberanian Manusia"
Hanya ada satu tukang grafir di kota kami dan kebetulan dia adalah paman saya. Kalau dia bercakap dengan saya akhir-akhir ini, dia takkan bercerita tentang pekerjaannya, tapi akan lebih banyak bercerita tentang anak perawannya. Tapi pun, kalau dia bercerita tentang anak perawannya, dia takkan bercerita tentang kecantikan anak perawannya yang cantik itu, malah sebaliknya, yaitu tentang kecemasannya kepada anaknya yang mungkin takkan mendapat jodoh.
Hal ini merupakan kesedihan seorang bapak yang sungguh-sungguh. Dan ia, sepantasnya dihormati, seorang bapak yang bersungguh-sungguh, seperti paman saya itu, yang mengerti akan kehendak paksa dari zaman ini. Zaman ini makin hari makin mempunyai mode kehidupan yang beragam-ragam. Seorang pemuda lebih senang membujang daripada kawin lekas-lekas atau seorang gadis lebih senang bertukar pacar berkali-kali daripada diikat oleh cincin pertunangan.
Kecemasan paman saya itu pantas dihormati, Kecemasannya terletak pada mode yang terakhir ini. Hal ini mulai timbul pada suatu malam ketika saya mematahkan semangat kekagumannya pada sebuah foto seorang gadis yang terpasang di sebuah majalah,
"Seharusnya tiap-tiap gadis bersikap begini," katanya. "Kenapa""
"Gadis ini bercita-cita menjadi ibu rumah tangga yang baik," lalu dia memberikan majalah itu kepada saya, tapi saya tak mengacuhkannya, "Kau adalah contohnya pemuda-pemuda zaman ini," katanya.
"Kenapa"" "Acuh tak acuh," katanya.
"Soalnya," kata saya, "tiap-tiap gadis bisa mengucapkan kata-kata itu. Kalimat klise ini sudah sering saya dengar."
"Di mana""
"Di majalah-majalah."
"Kenapa"" "Kalimat itu sudah jadi klise, dan bukan cita- cita. Sama halnya nanti mer
eka suka pada yurk-yurk yang pendek dan kembang seperti penari balet dan mungkin tahun depan mereka tak suka lagi."
Saya sungguh menyesal telah mengucapkan kata-kata itu, sebab tiba-tiba mukanya jadi murung. Dia mengangguk-angguk sambil membuka kaca matanya yang setebal mikroskop kacanya itu, lalu menghapus-hapus tahi matanya. Dan kemudian dikatakannya kepada saya, bahwa anak perawannya akhir-akhir ini memang sering mendesak dia agar membelikan rok itu.
"Rok itu kau tahu namanya"" tanyanya.
"Saya dengar itulah yang disebut ken-ken," kata saya.
"Ya, ken-ken." katanya. Lalu ia tersenyum sesaat walaupun saya tidak merasa ada sesuatu yang menggelikan. "Saya dengar, begitu kembangnya rok itu, bisa dimasukkan sepuluh rantang di dalamnya. Zaman ini semakin aneh," katanya. "Tapi rok itu sendiri bisa juga dibikin dengan bahan lurik. Cuma, yang di dalamnyalah yang mahal. Seribu lima ratus di toko."
"Begitu mahal"" tanya saya,
"Itulah peti-kot," katanya dengan suara keras, seperti penemuan yang tiba-tiba dijumpai.
Tapi tiba-tiba pula kami pun kehabisan kata-kata. Sehingga seperti semula tadi, ia pun menjadi murung.
Dia memang kelihatannya agak pemurung setahu saya, sejak saya kecil dan mengenalnya sebagai tukang grafir. Di antara sebelas orang paman saya, dialah yang paling miskin. Saya akan teringat lagi akan kata-kata ayah saya, sewaktu saya sering membolos dulu semasa sekolah. Ayah saya selalu membandingkan kebolosan saya dengan menyebutkan nama paman. Kata ayah, bermalas-malaslah kau, nanti kau cuma bisa jadi tukang gratfir. Dulu terkesan di hati saya, seakan-akan pekerjaan tukang grafir adalah pekerjaan yang paling hina di dunia ini. Tapi kesan saya ini makin lama makin berkurang dan makin hilang, setelah saya tahu betapa kita seharusnya menaruh hormat pada orang-orang yang cinta pada pekerjaannya.
Paman saya tukang grafir itu sangat cinta pada pekerjaannya..
Dia berangkat dari rumah pada jam tujuh pagi, dan pulang pada jam sepuluh malam, setelah dia tahu tidak akan banyak lagi orang-orang lalu-lalang di jalan raya. Dia makan siang dan makan malam di tempat dia bekerja, sebuah pojokan kecil di muka
sebuah hotel kepunyaan orang Cina. Dengan tidak berbangga paman saya mengatakan, bahwa ia pun tahu akan huruf-huruf Cina, karena Cina-cina pun suka meminta supaya pulpennya atau barang-barang antiknya digrafir dengan huruf-huruf Cina yang dibuatkannya sendiri contohnya.
Suatu hari saya datang lagi ke tempat paman, bukan untuk melihat anak perawannya yang cantik di situ, tapi ingin mengobrol saja. Dia termasuk seorang yang saya kenal yang pandai bercerita tanpa menyombongkan dirinya, melainkan dengan kerendahan hati. Tiap orang yang diceritakannya, biar orang yang paling jahat dan terkutuk sekalipun, selalu diceritakannya dengan suatu rasa simpati. Bagi yang terkutuk dan paling jahat, seakan-akan diberinya maaf dan kadang-kadang seperti ia cuma merasa kasihan kepada mereka itu. Darinyalah saya banyak belajar arti kebaikan dan menghargai orang lain.
"Barangkali mata saya akan buta," katanya, sangat tiba-tiba.
"Mengapa""
"Huruf-huruf yang saya bikin, kata pemesan-pemesan saya itu, semakin buruk dan kurang padat. Baik huruf-huruf yang saya bikin di pulpen, maupun di piala ataupun apa saja. Barangkali mata saya akan buta."
Saya terdiam. Dan dia melanjutkan, "Kalau saya buta, ke mana anak-anak itu akan pergi"" Saya makin terdiam.
"Mereka akan kelaparan, berhenti bersekolah, sedangkan anak gadis saya belum laku," katanya.
Lalu saya berusaha menghiburnya. Saya katakan, bahwa anak perawannya yang cantik pernah saya lihat dibawa oleh seorang pemuda di sebuah bioskop. "Barangkali nanti akan menjadi jodohnya," kata saya.
Saya mengira semula kata-kata saya akan menyenangkan hatinya, tapi sebaliknya ia terdiam agak lama.
"Kalau jodoh, tidak apa. Tapi kalau cuma berpacar-pacaran," Paman saya menghapus kaca matanya yang tebal itu dan mengerunyutkan keningnya, melihat suatu yang jauh.
"Saya seakan-akan tidak melihat apa yang di depan itu lagi," katanya. "Sebaiknya diperiksakan ke dokter." "Barangkali mata saya akan buta," katanya.
"Saya punya seoran g kawan dokter mata," kata saya,
"Biarlah saya buta dan tidak melihat semua ini lagi."
Saya terdiam. Saya lihat dia memasang kaca matanya yang tebal itu lagi.
"Tapi mereka akan kelaparan," katanya pula.
Ketika itu lewat seorang anaknya dan melihat sebentar kepada kami. Saya tak tahu itu anaknya ke berapa, sebab anaknya semuanya ada sepuluh orang. Anak itu meminta kepada ayahnya dibelikan buku komik. Tapi ayahnya terdiam saja. Lain saya teringat lagi semasa kecil saya, di mana saya sangat menggemari buku.
Saya merasa seorang yang sangat beruntung ketika ini, karena dulu saya cuma mengucapkan dua-tiga patah kata saja, yaitu nama buku yang saya minta itu, besoknya ayah saya telah membawa saya ke toko buku itu dan biasanya, saya akan meminta dua buah buku lagi.
"Semua kawan-kawan sudah membeli, Pak," kata anak paman itu.
Saya melihat anak itu. Saya melihat matanya seakan-akan saya melihat diri saya sendiri ketika kecil, yang dalam kepalanya penuh keinginan pada dongeng-dongeng yang indah, mengerikan, menakjubkan. Anak itu merengek-rengek.
"Saya kepingin tahu bagaimana Flash Gordon naik ke bulan, Pak. Kawan-kawan yang sudah beli mengatakan, bahwa di bulan ada gunung dan Flash Gordon bikin rumah di sana," kata anak paman saya itu.
"Kan kamu tahu ceritanya," kata paman saya.
"Tapi saya tidak percaya. Saya mau melihat sendiri bagaimana di bulan orang bikin rumah. Dan apakah Lisa istri si Flash masak seperti ibu masak," katanya.
Sekali lagi anak ini membuat bayangan masa lampau kepada saya, di mana dulu sewaktu kecil saya ingin tahu semua dongeng-dongeng kehidupan, Yang setelah besar saya merasakan, bahwa bukan saja ingin tahu, tapi juga ingin mengatasinya dan mencintainya.
Anak paman saya duduk terus di ujung kaki ayahnya. Ia tidak pergi dan cuma berdiam diri selama setengah jam.
Kemudian ia jadi kesal rupanya, dan setelah merusaki susunan taplak meja. ia lari cepat-cepat karena dipanggil kawannya.
"Bukan buku saja yang mau dimakannya, dongeng-dongeng itu pun mau dimakannya," kata paman sambil tersenyum. Dan tiba-tiba tanyanya, "Benar kau lihat Sumini menonton di bioskop""
"Benar." Saya mengira dia akan senang dengan tekanan keras suara saya yang membenarkan itu, tapi ternyata tidak. Dia tetap kembali murung dan saya pun pulanglah.
Sejak itu saya memutuskan tidak akan pergi lagi ke rumah paman itu. Saya khawatir kalau kedatangan saya menyebabkan keadaannya semakin buruk.
Suatu kali, saya lihat dia tergesa-gesa mengejar saya. Sebenarnya saya sudah sukar untuk menghindar, tapi saya coba juga.
Akhirnya saya dengar nama saya dipanggilnya. Dia mengundang saya datang ke rumahnya dan menanyakan kenapa saya jarang-jarang lagi datang ke tempatnya. Hari sudah agak larut malam dan saya menjanjikan untuk datang besok saja. Tapi dia mengajak saya juga. Untunglah rumahnya tidak jauh. "Kenapa agak larut baru tutup"" tanya saya.
"Jam sepuluh tadi saya sudah putus asa. Kebetulan ada orang datang juga pada jam setengah sebelas tadi," katanya.
Di rumah diceritakan lagi olehnya, pada jam delapan malam itu ia merasa matanya semakin berair. Ia merasa makin khawatir akan buta saat itu dan dia menangis. Dia menangis karena pada hari itu tak seorang pun mengupah membuat huruf kepadanya, baik pada sebuah pulpen sekalipun.
Pada jam sepuluh sudah akan ditutupnya, seperti biasa. Dan ia melihat jalanan sudah sepi sekali.
Lampu petromaks sudah diturunkannya, tapi belum lagi dipadamkannya. Seorang penghuni hotel ke luar dari beranda dan menanyakan kepadanya kenapakah belum ditutup. Lalu dia menceritakan bahwa dia akan menunggu setengah jam lagi, akan terjadi kebakaran hebat di kota ini dan semua manusia bersama rumah-rumah akan musnah dimakan api. Penghuni hotel itu tertarik dan bertanya, dari manakah ia tahu. Ia merasa gila waktu itu telah menceritakan angan-angannya yang bukan-bukan itu, tapi tetap tidak diceritakannya apa yang akan dilakukannya kepada penghuni hotel itu.
Tiba-tiba ia melihat ada seorang menuju ke pojok hotel di mana ia bekerja setiap hari. Ia mengira orang itu akan mengupahkan membuat huruf grafir. Ia melihat orang itu membuka kotak kecil d
an jarak itu masih jauh. Orang itu datang terburu-buru ketika lampu petromaks diangkat dan cepat-cepat dikatakannya, "Jangan tutup dulu."
"Mau apa""
"Saya mau mengupahkan bikin nama."
Orang itu mengunjukkan sebuah pulpen kepadanya. Pulpen itu berkilat dan masih baru.
"Ini pulpen mahal. Setidak-tidaknya berharga tiga ribu rupiah," katanya. Orang itu agak malu-malu.
"Saudara akan dibikinkan huruf-huruf balok ataukah huruf yang mana"" kepada orang itu diunjukkannya contoh-contoh huruf. Kemudian diunjukkannya sebuah contoh huruf.
"Ini agak sukar. Mata saya semakin kabur dan tangan saya agak suka gemetar. Saya sudah tua. Tapi, huruf-huruf balok juga bagus."
"Biarlah yang ini saja. Berapa pun akan saya bayar," kata orang itu.
"Nanti Saudara menyesal, tapi baiklah akan saya coba."
Diambilnya alat-alat grafir dan dipasangnya lampu petromaks baik-baik.
"Duduklah dulu .Coba tuliskan di kertas ini nama yang akan ditulis di pulpen ini. Pulpen ini bagus dan mahal! Di mana saudara bekerja""
"Di sebuah NV, jadi kasir."
"NV mana""
"NV Sumbawa." "Saudara orang Sumbawa""


Keberanian Manusia Karya Motinggo Busye di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ya." "Sudah berumah tangga""
"Belum, Pak. Tapi mungkin tidak lama lagi. " Kini dilihatnya lelaki itu.
"Sebaiknya jangan lekas-lekas kawin. Umumnya orang-orang yang lekas kawin, kebanyakan menyesal, tidak bisa lama menikmati masa muda seperti saya. Saya kawin pada umur sembilan belas," katanya. Dan diperhatikannya lagi lelaki itu dari balik kaca matanya yang tebal itu.
"Tapi bukan seperti yang lain itu pendirian saya, Pak. Saya mau kawin karena ingin mencari keseimbangan dalam hidup ini," kata orang itu agak malu-malu sambil tertawa.
Orang itu dipandangnya tepat-tepat.
"Benar-benar ini"" tanyanya dengan suara kepastian.
"Benar-benar," kata lelaki itu dengan muka agak merah padam.
"Saya senang, Saudara begini muda sudah punya sikap hidup. Tulislah nama yang akan dibikinkan itu," katanya.
Diambilnya kertas itu. Dan dibacanya nama yang akan dibikinkannya itu. Ketika dibacanya, yang mula sekali tidak dipercaya adalah matanya sendiri, kemudian ia tak percaya pada hati dan perasaan dan pikirannya. Ia telah membaca sebuah nama, nama anak perawannya sendiri.
"Inikah calon istri Saudara itu""
"Ya." "Pernah Saudara membawa dia ke bioskop""
"Pernah." "Wah, alangkah bahagianya."
Tapi kegembiraannya tiba-tiba padam, sebab bukan anak perawannya seorang saja yang bernama Sumini, di dunia yang besar ini. Kemudian ia merasa semakin kecil.
"Saya ini orang tua yang nyinyir. Di mana tinggalnya anak ini" Rasanya saya pernah kenal," katanya dengan gugup.
"Di Jalan Pahlawan 45," kata orang itu.
Kini telinganyalah yang pertama kali tak dipercayanya, demi mendengar alamat
itu. "Jalan Pahlawan 45"" "Ya, Jalan Pahlawan 45."
Sifat-sifat tuanya dalam hal menerima suatu kegembiraan tiba-tiba terkuasai olehnya. Ia pun bertanya pada orang itu, "Ongkosnya mahal sekali Saudara, bukan mudah membuat huruf-huruf seperti ini, Seratus rupiah, Saudara,"
"Biarlah, biarlah. Besok dia ulang tahun. Saya harus menggembirakan hatinya. Berapa saja saya akan membayar untuk menggembirakan dia," kata orang itu.
"Tapi saya kira tahun depan Saudara akan datang ke sini lagi dan mengupahkan kepada saya dan namanya adalah nama gadis lain lagi."
Kini dipandangnya lelaki itu dan ia melihat wajah lelaki itu dengan urat-urat muka dikeningnya menuncit-nuncit.
"Maaf, maaf," katanya kemudian.
Telapak tangannya jadi basah dan dihapusnya dengan gugup. Tapi tiba-tiba ia menguasai kegugupan yang menggelepar di dadanya itu, menangkap kegugupan itu
erat-erat. Dibetulkannya kaca matanya yang tebal. Ia pun mulai bekerja, kerja terakhir hari itu. Sebagai tukang grafir yang sangat cinta pada pekerjaannya, saya kira, itulah hari yang paling menyenangkan, dan saya dapat membayangkan sendiri, bagaimana malam itu paman saya menuliskan sebuah nama yang belum pernah dibikinnya selama ini. Karena nama itu adalah nama anaknya sendiri. Lalu diceritakannya kepada saya bagaimana geli hatinya ketika membatalkan niatnya akan membakar kota itu dan dikatakannya pula kepada saya, bahwa memusnahkan dalam sekejap mungkin lebih gampang daripada membangunnya dal
am waktu bertahun-tahun. TAMAT tamat Serigala Siluman 3 Pengemis Binal 21 Muslihat Cinta Sang Pangeran Ninja Merah 3
^