Pencuri Intelek 1
Kelompok 2 Dan 1 Pencuri Intelek Karya Dwianto Setyawan Bagian 1
KELOMPOK 2&1 Pencuri Intelek Dwianto Setyawan Djvu: BBSC Edit & Convert Txt, Jar, Pdf: inzomnia
http://inzomnia.wapka.mobi
I. HUH, DASAR DEDE! 1 "Yan! Yan!" Mendengar namanya dipanggil, Hardian menoleh. Tangannya otomatis menekan rem belakang. Laju sepedanya melambat. Akhirnya sepeda berhenti di tepi kiri jalan. Yan meletakkan kaki kirinya di trotoar. Tubuhnya diputarnya ke arah belakang. Memperhatikan Dede Sofyan yang bersepeda, melaju kencang, ke arahnya.
Dede agak membungkuk. Kaca matanya merosot ke ujung hidung. Kakinya naik-turun mengayuh pedal. Caranya naik sepeda nampak ugal-ugalan.
Di trotoar seberang nampak tiga anak perempuan sebayanya. Mereka berjalan ke arah yang berlawanan dengan arah yang ditempuh Dede. Mereka memperhatikan Dede sambil tersenyum-senyum.
Dede makin bergaya. Jalan sepeda diliuk-liukkan-nya. Mukanya menghadap ke arah anak-anak perempuan sambil cengar-cengir.
Melihat lagak Dede, Yan mendengus geram.
Sepeda Dede sudah berada kira-kira tiga meter di belakang Yan yang diam menunggu. Adalah di luar dugaan, pada saat itu sebuah Volkswagen muncul dari arah depan. Sedan putih itu menyalip sebuah truk. Tetapi cara menyalipnya terlalu ke kanan. Dan sedan itu nyelonong begitu saja ke arah Dede.
Dede - yang sedang meliuk-liuk di atas sepeda-kaget setengah mati! Untuk menghindari serudukan sedan yang tidak menghargai sopan santun berlalu lintas itu, ia mengayuh pedal kencang-kencang. Sambil membanting setang ke kiri... persis ke arah sepeda Hardian!
Yan terlonjak kaget. Secara refleks ia meninggalkan sepedanya, melompat ke trotoar. Kemudian... BRAKK! Sepeda Dede menabrak sepedanya. Lalu... WUSSS! Sedan yang kurang ajar itu berkelebat di dekat mereka.
Dede jatuh tertelungkup di atas dua buah sepeda yang bertumpang tindih. Sepedanya sendiri dan sepeda Yan. Kaca matanya terlempar ke atas trotoar.
Teriakan kaget terdengar dari anak-anak perempuan itu. Juga dari orang-orang lain yang lewat. Namun melihat Dede tidak mengalami sesuatu yang perlu sangat dicemaskan, mereka pun melanjutkan perjalanan. Termasuk ketiga anak perempuan itu. Mereka meneruskan perjalanan sambil menertawakan Dede.
Sementara itu Dede masih merasa kesakitan. Tulang keringnya terasa nyeri. Perutnya sakit tersodok setang sepeda. Dagunya yang lecet karena mencium trotoar terasa pedih. Dengan susah payah Dede berdiri.
Sambil bertolak pinggang, dan dengan muka beku, Yan memperhatikan gerak-gerik temannya.
"Monyongi Kamu malah menjadikan aku tontonan! Bantu-bantu sedikit, kenapa"!" bentak Dede yang sangat geram melihat kelakuan Yan.
"Untuk apa aku membantu anak yang banyak lagak macam kamu!" balas Yan garang. "Yang salah juga kamu sendiri. Sudah tahu di jalan ramai - banyak lagak! Hasilnya apa" Kaupikir anak-anak perempuan itu akan bertepuk kagum"" Yan menuding ke arah tiga anak perempuan yang makin menjauh. "Lihat! Mereka malahan menertawakanmu! Dasar konyol!"
"Tutup mulutmu, Yan! Jangan bikin aku marahi" ancam Dede. mendelik. Dadanya serasa mau meledak dikata-katai demikian.
"Memang... sekali konyol tetap konyol!" Sambil bersungut Yan memungut kaca mata Dede. "Nih!"
Dede menyambar kaca mata itu. "Wah," serunya setelah melihat salah satu kacanya retak. "Kapok!" olok Yan.
"Tidak apa-apa. Aku bisa beli lagi!" tukas Dede sengit.
Yan melirik tajam, lalu menegakkan sepeda Dede. Kemudian sepedanya sendiri. Anak itu mengumpat ketika menyadari setang sepedanya miring gara-gara peristiwa tadi. Sambil bersungut-sungut ia meluruskan, setang sepedanya. Kedua pahanya menjepit roda depan dengan posisi lurus ke depan. Tangannya menekan setang sampai kembali pada posisi semula.
Yan sudah bersiap-siap menjalankan sepeda. Melihat Dede tetap berdiri sambil melotot kepadanya, ia menghardik, "Ayo. tunggu apa lagi"! Apa kamu mau berdiri di situ sampai petang""
Dede mendengus geram. Dalam hati ia ingin mengumpat dan marah-marah pada Yan. Akan tetapi tak tahu mesti bilang apa. Maka ia cuma bisa mendengus. Kemudian dengan tingkah uring-uringan ia menghampiri sepedanya, ia merin
gis kesakitan ketika melangkahkan kaki di atas sadel.
"Aduh sakitnya!" Rasa nyeri menyentak tulang keringnya.
"Hahaha!" Yan tak bisa menahan tawanya. BRAKK! Dede menubrukkan ban depan sepedanya ke sepeda Yan.
"Masih mau terus tertawa"" hardiknya mengancam.
Tawa Yan terhenti. Berganti menjadi senyuman tipis. "Ah, sudahlah!" katanya sambil menepis udara. "Mau apa kamu memanggilku" Mau ikut ke rumah Idris""
Dede tidak segera menyahut, ia masih sengit pada Yan.
Yan menggerakkan bahu, lalu bersiap-siap menjalankan sepeda. "Tunggu!"
Setelah Yan menoleh lagi. Dede melanjutkan. Kali ini dengan mimik bersungguh-sungguh, "Letnan Dipa menunggu kita."
"Letnan Dipa"" Kulit dahi Yan berkerut.
"Pak Dipa di rumahmu. Kita harus cepat!" ujar Dede.
"Ada apa, De"" tanya Yan ingin tahu.
Dede tidak menjelaskan, ia membiarkan Hardian bertanya-tanya. Sebagai pembalasan karena kelakuan Van terhadapnya.
Yan mendengus, ia terpaksa membatalkan niatnya ke rumah Idris, teman sekolahnya. Diputarnya sepeda ke arah dari mana ia datang. Lalu diikutinya Dede yang bersepeda di depannya.
2 Hardian biasa dipanggil Yan. Seorang anak laki-laki berbadan tegap. Sikapnya tegas, ia berotak encer dan pandai berbicara.
Yan berambut lebat. Matanya lebar. Di bawah sepasang mata yang lebar itu bertengger sebuah hidung yang agak pesek. Ayahnya - Pak Mintaraga - adalah seorang dosen.
Dede Sofyan berbeda sifat dengan Yan. Dede yang berkaca mata anak tunggal seorang pengusaha kaya. Anaknya bandel, sering-sering mau menang sendiri. Terhadap siapa pun ia suka tidak mau kalah. Kecuali pada Yan. Karena Yan, teman sekelasnya, telah mengenal jiwa dan perangainya. Sehingga dalam hal tertentu Yan bisa mengemongnya.
Dede berbadan kurus tinggi. Seorang anak yang punya bakat menjadi jangkung. Rambutnya kemerah-merahan. Rumahnya berdekatan dengan rumah Yan.
Kedua anak laki-laki itu tetap beriring-iringan mengayuh sepeda mereka. Jalan di mana rumah mereka terletak semakin dekat.
Sore terus merambat. Dari menit ke menit. Langit di atas nampak makin kelabu, kecuali di ufuk barat yang masih terang oleh bias cahaya mentari. Angin segar berhembus. Menggoyangkan pucuk-pucuk tanaman di halaman depan rumah-rumah.
"Pak Dipa menungguku di rumah. Ada apa, ya"" pikir Yan. "Pasti ada sesuatu yang penting!
Yan bersama Ira, adiknya, dan Dede adalah anggota Kelompok 2&1. Sebagai anggota Kelompok 2&1 telah sering mereka menangani perkara-perkara misterius. Perkara-perkara rumit dan pelik yang hanya mungkin dipecahkan oleh anak-anak yang berbakat menjadi detektif seperti mereka. Dalam urusan menangani perkara, telah beberapa kali mereka bekerja sama atau membantu Letnan Dipa.
Letnan Dipa, komandan wilayah kepolisian kawasan itu, sangat kagum pada kecerdasan Yan dan kawan-kawan, ia dan anak-anak itu lalu menjadi kenalan baik.
Kedua anak laki-laki itu telah sampai di rumah Yan.
Di halaman tampak jip Letnan Dipa sedang parkir. Dan Ira berdiri di balik pagar. Ditilik dari tingkah lakunya tampak bahwa anak perempuan itu dalam keadaan gelisah - tidak sabar menunggu. Maka air mukanya seketika berubah melihat kedatangan kakaknya.
"Di mana kamu berhasil menyusul Kak Yan" Di rumah Idris"" tanyanya menyongsong Dede.
Yang ditanya tidak menyahut. Dede terus masuk ke samping rumah. Sepeda disandarkannya, lalu ia ke kamar mandi untuk mencuci tangan dan kakinya yang kotor karena terjatuh tadi. Dede sudah biasa keluar-masuk di rumah Yan.
Sementara itu Ira minta penjelasan pada kakaknya. Apa yang terjadi dengan Dede" Kelihatannya si Kaca Mata sedang uring-uringan, kenapa"
Ira terkekeh setelah mengetahui sebabnya.
"Untung tadi aku cepat-cepat melompat ke trotoar. Kalau tidak... tentu ikut konyol. Tidak ikut berlagak, ikut merasakan sakit. Kan konyol""
"Hahaha," Ira tertawa nyaring.
Ira seorang anak perempuan bermuka mungil. Matanya seperti mata Yan. Rambutnya yang panjang dan hitam dikepang dua.
Ira memiliki hati yang lembut. Ingatannya sangat kuat. Teliti dan penuh perhitungan. Hubungannya dengan kakaknya sangat erat. Mere
ka jarang bertengkar. "Letnan - sudah lama"" tanya Yan, mengarahkan dagu kepada jip Letnan Dipa.
"Lumayan. Tiba-tiba Pak Dipa datang, ia mencari kita bertiga. Kebetulan yang ada cuma aku," sahut Ira. "Kemudian aku memanggil Dede. Setelah itu kuminta Dede menyusul Kak Yan ke rumah Idris."
"Memangnya ada perkara apa" Kelihatannya penting sekali!"
"Pak Dipa belum menjelaskan, ia menghendaki kita bertiga lengkap hadir. Baru ia akan mengatakan maksudnya kemari," sahut Ira. "Ayo, Kak!"
Yan mengiakan. Dituntunnya sepeda mengiringi Ira yang mendahului ke rumah.
Dari dalam terdengar suara percakapan Letnan Dipa dan Bu Mintaraga.
II. SEBUAH AJAKAN 3 "Selamat sore, Pak!" kata Yan sambil melangkah masuk.
"Sore, Yan," balas Letnan Dipa dengan muka berseri-seri "Maaf, ya. Aku terpaksa mengganggu acaramu.'
"Ah, tidak! Saya tidak punya urusan yang penting dengan Idris. Cuma mau main-main saja," jawab Yan.
"Ahh! Kukira mau belajar bersama," kata Letnan Dipa.
"Belajar" Ini kan waktu libur, Pak! Masa harus belajar terus. Bisa botak kepala beta!" ucap Yan melucu.
"Oh iya... hahaha!" Letnan Dipa terbahak.
Letnan Dipa bertubuh ramping, tapi tidak terlalu kurus. Rambutnya tipis dan jarang. Dahinya lebar. Pandangannya tajam dan menampakkan kesungguh-an. Pada saat-saat tertentu, pandangannya itu membuatnya nampak semakin berwibawa.
"Ada apa. Pak" Ada perkara misterius baru-yang bisa kami bantu penanganannya"" tanya Yan.
"Ah, tahumu cuma perkara misteri melulu!" tukas Bu Mintaraga.
"Lho, itu penting lho, Bu!" Yan tertawa pada ibunya.
Bu Minta mendengus pendek. Meskipun demikian bibirnya yang bagus menyungging senyum.
Sore itu Pak Mintaraga tidak berada di rumah, ia sedang memberi kuliah malam.
Letnan Dipa menggeleng. "Bukan. Bukan sebuah perkara misterius. Hanya sebuah teka-teki. Tapi panggil dulu Ira dan Dede," suruh Pak Letnan.
Yan bangkit dari tempat duduknya dan masuk ke dalam.
Di ruang belakang ia melihat Ira sedang membantu Dede, memberi obat merah pada luka-lukanya. Ira menotol-notolkan kapas ke dagu Dede yang lecet Dede mendongak-dongak dan mengaduh.
"Ah, manja!" damprat Ira. "Diberi obat begini saja tingkahmu seperti orang mau dioperasi."
"Perih, Ir. Sungguh!" Dede meyakinkan.
"Ayo, sekarang lututmu!" Ira mengecat luka itu dengan obat merah. Nah, sudah! Makanya lain kali jangan suka nampang!"
Dede tergelak. "Terima kasih ya, Ir. Kamu baik deh! Sayang aku tidak punya adik. Kalau punya, pasti inginnya yang seperti kamu. Baik, manis, suka menolong orang lain..."
"Gombal, gombal! Aku tidak punya uang kecil!" potong Ira, berjalan ke lemari obat.
Tawa Dede makin keras, ia mengambil kaca mata dari meja lalu memakainya. Pandangannya terganggu oleh retak pada kaca kanan kaca mata itu. ia bersungut. Lalu dengan muka memberengut ia menyentakkan kaca mata dari mukanya.
Yan tersenyum geli melihat tingkah temannya.
"Tidak apa, nanti aku beli lagi," Dede menyombong.
"Mau beli, mau tidak... itu urusanmu." Yan menggerakkan tangan. "Pak Letnan menunggu." Lalu ia menyusul Ira ke ruang tamu.
Dede muncul paling akhir.
4 Letnan Dipa mengernyit melihat keadaan Dede. Dagu anak itu beroleskan obat merah. Tidak memakai kaca mata.
Bu Minta menatap Yan, minta penjelasan.
"Apa yang terjadi, De"" tanya Letnan Dipa.
"Ah, tidak apa-apa," sahut Dede berlagak acuh tak acuh. Lalu duduk.
Yan memandang Letnan Dipa dan ibunya, "Ngg..." Yan tertawa sendiri.
"Ada apa sebenarnya" Dede baru berkelahi"" tanya Bu Minta.
"Berkelahi" Siapa yang berkelahi"" sahut Dede.
"Yah, dia baru berkelahi... melawan sepeda dan trotoar... hahaha!" Yan. terbahak lagi. Lalu ia menuturkan peristiwa di jalan tadi.
Pak Dipa menggeleng-geleng.
Bu Minta pun mengomel, "Heran, untuk apa bertingkah ugal-ugalan" Jalan raya itu ramai, De. Jangan dibuat main-main! Terus, mana kaca matamu""
Dede menunjukkan kaca matanya yang retak.
Dede tidak tersinggung diomeli Bu Minta. Meskipun Bu Minta bukan apa-apanya. Malahan kadang-kadang ia merasa senang diomeli seper
ti itu. Karena bukankah omelan orang yang lebih tua menunjukkan adanya perhatian terhadap kita" Ibunya sendiri -seperti juga ayahnya - adalah orang-orang yang sibuk Mereka hampir tidak pernah mengomelinya.
Segala permintaannya dituruti. Dede suka bosan menghadapi keadaan seperti itu. Ada kalanya ia merindukan omelan orang tuanya apabila ia melaku-kan kekeliruan.
Bu Minta mencondongkan tubuhnya untuk meng-amati kaca mata Dede. "Pecah""
"Cuma retak. Tidak apa-apa. Nanti saya beli lagi," ujar Dede.
"Beli lagi... beli lagi... seperti kamu sudah bisa cari duit sendiri!" lanjut Bu Minta. "De, karena kamu anak orang kaya maka kamu mudah berbicara seperti itu. Tapi coba - kalau orang tuamu tidak punya uang! Apa yang dipakai membeli" Padahal tanpa kaca mata penglihatanmu terganggu. Kamu sendiri akan susah. Orang tuamu juga pusing!"
"Tapi saya tidak sengaja," bantah Dede.
"Ibu mengerti. Makanya lain kali hati-hati. Kamu mengerti maksud Ibu, bukan""
"Mengerti, Bu." Dede mengangguk, ia menoleh karena mendengar Ira tertawa cekikikan. "Kenapa tertawa"" sentaknya sengit.
Ira menahan tawa dengan menutupkan tangan ke mulut. "Aku geli," ujarnya sambil menoleh pada Hardian. "Dede bisa sepatuh itu... hihihi."
Dede cemberut, lalu mengalihkan perhatian pada Letnan Dipa.
"Bagaimana sekarang. Let"" tanyanya.
"Oh ya... oh ya... akan kujelaskan." Letnan Dipa tersenyum. Kemudian ia mengutarakan maksud kedatangannya mencari Kelompok 2&1.
Tadi siang ia menerima telepon dari Ibu Yuniti Nurman, kenalan baiknya. Ibu Yuniti seorang wanita pengusaha yang berhasil. Pemilik sebuah pabrik pipa plastik yang terus berkembang. Menurut kesan Letnan Dipa, Ibu Yuniti seorang yang periang dan suka bercanda.
Lewat telepon itu Ibu Yuniti berpesan, "Let, apakah nanti sore Anda punya waktu untuk datang ke kantor saya" Saya punya sebuah teka-teki yang sangat menarik. Saya tidak yakin Anda akan dapat memecahkan teka-teki ini."
"Teka-teki apa sih"" tanya Letnan Dipa ingin tahu.
"Pokoknya unik dan menarik. Bagaimana kalau kita bertaruh" Saya akan mentraktir Anda jika Anda bisa memecahkannya. Tapi jika tidak... hahaha!" "Baik, saya akan datang. Kebetulan nanti sore saya tidak punya acara. Kalau saya tidak bisa memecahkan teka-teki itu, saya yang akan mentraktir Anda. Tapi... di warung saja, hahaha! Maklum, Bu, penghasilan polisi tidak bisa dibandingkan dengan pengusaha sukses seperti Anda!"
Letnan Dipa memandang ketiga anggota Kelompok 2&1.
"Aku merasa penasaran mendengar kata-kata Bu Nurman," ujarnya.
"Kata-kata yang mana"" Ira menegaskan. "Itu - bahwa dia tidak yakin aku bisa memecahkan teka-tekinya," jawab Letnan Dipa. Lalu dengan mimik pura-pura tersinggung Letnan menyambung, "Itu kan menyepelekan namanya! Iya tidak"" "Hahaha!" Yan tertawa geli melihat mimik Letnan Dipa.
"Itu sebabnya aku penuhi tantangannya." Letnan Dipa bersandar. Diluruskannya hem batiknya dengan kara menarik ujung hem batik biru itu. "Tapi di samping itu aku juga khawatir kalah. Tidak bisa memecahkan teka-teki Ibu Nurman." Letnan Dipa menggerakkan telunjuknya. "Ibu Nurman pandai mengada-ada dan banyak akalnya. Mungkin saja dia akan mengajukan teka-teki yang sulit sehingga aku tidak dapat menjawab. Oleh karena itu aku mau mengajak kalian."
"Untuk ikut memikirkan jawaban teka-tekinya"" Ira menegaskan.
Letnan Dipa mengangguk. "Ya. Kalian sudah biasa menghadapi perkara yang rumit. Kalian juga sudah biasa menganalisa peristiwa dan menarik kesimpulan yang tepat. Kupikir kalian akan bisa membantuku nanti."
"Tuh, Bu, dengarkan pendapat Pak Letnan tentang anak-anak Ibu," Yan berkelakar pada ibunya. "Seharusnya Ibu bangga punya anak seperti saya, hahaha!"
Bu Mintaraga mencibir. "Jadi..." Dede menggaruk-garuk kepalanya, "hanya untuk ikut memecahkan sebuah teka-teki""
Letnan Dipa berpaling cepat. "Kenapa" Malas" Kalau malas, tidak ikut ya tidak apa-apa."
"Ah, jangan begitu. Let!" Dede menyeringai. "Kalau saya tidak ikut Anda pasti kalah. Sebab rasanya hanya Dede Sofyan yang bisa menemukan jawabannya!"
"Huuuu!" Ira meruncingkan mul
utnya. "Anak-anak, aku sudah minta izin kepada Ibu," ucap Letnan Dipa, memandang Bu Minta. "Kita berangkat sekarang!"
"Bu, rasanya nanti malam kami tidak perlu makan di rumah. Tapi di restoran. Ditraktir Ibu Nurman," kata Yan pada ibunya.
"Hem, jangan terlalu yakin!" Bu Minta mengantar-kan Letnan Dipa ke halaman. Anak-anak langsung masuk ke dalam jip. Bu Minta memandang Letnan Dipa "Saya heran Anda kelihatan serius menanggapi undangan Ibu Nurman. Sampai mengajak anak-anak segala. Apakah itu merupakan salah satu cara untuk bersantai""
"Kira-kira begitulah!" Pak Letnan tersenyum. "Seharian saya sibuk di kantor. Menangani aneka macam perkara. Mengusut pelbagai peristiwa keja-hatan. Kadang-kadang saya ingin meredakan ketegangan pikiran. Dan inilah salah satu caranya." Letnan Dipa mengangguk. "Saya permisi dulu" Lalu ia menuju ke mobil.
III. WANITA PENGUSAHA 5 "Kantor PT Segara terletak di kompleks pertokoan DASA INDAH. Pabriknya - pabnk pipa plastik itu terletak di Jalan Bukit Cerme. Sebagai pemilik sekaligus direktris PT itu. Bu Nurman lebih sering berada di Dasa Indah," Letnan Dipa menerangkan sambil menyetir jip. Hujan turun lagi. Sejak dua hari terakhir hujan memang sering menyirami kota. Sebentar-sebentar turun.
Letnan Dipa menghidupkan wiper jip. Untuk membantu, ia mengusap-usapkan punggung tangannya ke kaca depan. Lalu melanjutkan,
"Bu Yuniti Nurman seorang janda. Suaminya meninggal lima tahun yang lalu. Anaknya tiga. Yang pertama laki-laki. Yang kedua dan si bungsu, perempuan. Yang pertama dan kedua sudah berkeluarga. Nia Nurman, si bungsu, masih bersekolah di SMA kelas tiga."
"Tampaknya Anda kenal baik dengan keluarga itu," Dede nyeletuk.
"Hanya dengan Bu Nurman. Aku mengenalnya di Semarang. Waktu kami sama-sama menghadiri pesta perkawinan anak kerabatku. Hubungan kami menjadi lebih baik setelah peristiwa pencurian di pabnknya. Seorang karyawannya mencuri uang. Aku yang mengusut perkara Itu dan menangkap pencurinya. Sejak itu kadang-kadang aku mampir ke kantornya," kata Letnan Dipa.
"Pabrik pipa plastik itu warisan almarhum suami nya"" tanya Yan yang duduk di jok belakang. "Ya. Tetapi konon pabrik itu lebih maju setelah ditangani langsung oleh Ibu Nurman." Letnan Dipa menoleh ke belakang sekilas. "Tapi dia memang wanita yang kreatif, supel, dan mau bekerja keras!" "Itu bukti bahwa wanita tidak kalah dengan pria," celetuk Ira sambil menoleh ke arah Dede. "Tidak bisa!" sahut Dede, mencondongkan muka-nya ke dekat kepala Ira yang duduk di depan. "Wanita akan selalu kalah dengan pria. Tidak percaya" Ayo kamu balapan lari denganku. Kalau bisa menang!"
"Lari! Tentu saja!" tukas Ira sengit. "Ehh, belum tentu lho," ujar Yan pada Dede. "Coba kamu balapan lari sama Mbak Uce yang mau diterjunkan ke PON. Pasti kalah!" Letnan Dipa terkekeh, ia mengoper persneling masuk gigi dua karena mereka telah sampai di tujuan. Jip itu berbelok perlahan-lahan, memasuki halaman Kompleks pertokoan Dasa Indah. Seorang tukang parkir menyongsong, ia melambai-lambaikan tangan, menunjukkan tempat parkir untuk jip itu.
Kompleks pertokoan Dasa Indah terletak di lapangan berlantai semen yang luas. Terdiri dari dua deret bangunan yang memanjang dan saling berhadapan. Masing-masing bangunan bertingkat dua. Dalam kompleks itu terdapat toko buku, toko alat-alat listrik, dan lain-lain. Di samping itu ada yang memanfaatkan lokal-lokal dalam kompleks itu untuk perkantoran. Antara lain PT Segara.
Kantor PT Segara termasuk besar. Terdiri dari empat lokal yang dihubungkan menjadi satu. Dua di bawah dan dua di lantai atas. Pintu masuknya hanya satu. Terletak di ruang sebelah kanan. Ruang sebelah kiri berbatas dengan dinding dan kaca lebar. Di atas pintu terpampang papan nama PT Segara.
Letnan Dipa dan anak-anak mendekati kantor PT Segara. Mereka berlari-lari kecil agar cepat mencapai serambi. Hujan rintik-rintik membasahi lantai semen. Keadaan dalam kompleks pertokoan itu mulai sepi. Beberapa kantor sudah tutup. Lampu-lampu telah dinyalakan karena hari sebentar lagi gelap.
Letnan Dipa mendorong pintu ka
ca dan masuk ke ruang bawah kantor PT Segara yang masih terang-benderang. Di belakang sebuah meja tampak seorang gadis sedang duduk membaca majalah. Gadis itu mengangkat mukanya, ia berumur sekitar dua puluh lima tahun. Rambutnya panjang, dan mukanya lonjong, ia memakai mantel biru muda.
"Ibu Nurman ada"" tanya Letnan Dipa pada gadis itu.
"Maaf, Bapak siapa"" tanya gadis itu sopan. Agaknya ia sudah terbiasa bersikap seperti itu pada tamu kantor.
"Saya Letnan Dipa."
"Oh, Pak Dipa! Ibu sudah lama menunggu Anda. Sebentar ya...." Gadis itu menekan tombol interkom, memberi tahu Ibu Nurman di lantai dua. Setelah mendapat jawaban ia berkata pada Letnan Dipa, "Ibu akan segera turun."
Terdengar suara langkah kaki menapak di anak tangga. Ibu Yuniti Nurman muncul.
6 "Ah, syukurlah akhirnya Anda datang juga," sapa wanita itu. Wajahnya memancarkan kelegaan.
Ira memperhatikan wanita itu.
Ibu Yuniti Nurman berumur sekitar 45 sampai 50 tahun. Tubuhnya yang agak gemuk terbungkus gaun yang bagus. Wajahnya bulat dengan mata yang bersinar-sinar penuh rasa percaya diri. Ujung bibirnya tertarik ke arah pipi sehingga nampak selalu tersenyum.
"Maaf, saya terpaksa membuat Anda menunggu cukup lama. Soalnya saya masih harus menjemput sahabat-sahabat saya." Letnan Dipa melirik Ira dan kawan-kawan, lalu tersenyum pada Ibu Nurman.
Muka Bu Nurman berubah. Agaknya ia tidak mengira Letnan Dipa akan datang membawa tiga anak Dan ini membuatnya kurang senang.
Letnan Dipa memahami perasaan Bu Nurman. ia tersenyum lagi.
"Mereka akan membantu saya menjawab teka-teki Anda," katanya.
Dede Sofyan - yang kali ini terpaksa tidak berkaca mata - mengangguk.
Tingkah Bu Nurman makin nampak serba salah. Rupanya ia tidak ingin masalah teka-teki itu didengar oleh gadis pegawainya. Cepat-cepat ia berkata pada gadis itu. "Ami, kau boleh pulang sekarang!"
"Baik, Bu," si gadis mengiakan.
"Dia Ami Rifa, sekretaris saya. Ami saya minta menemani saya selama menunggu kedatangan Anda," Bu Nurman menerangkan.
Ami Rifa mengambil tasnya, berpamitan pada Bu Nurman dan Letnan Dipa, lalu melenggang ke luar.
Setelah gadis itu keluar, Bu Nurman menutup pintu kantor dan menguncinya.
Kemudian ia menarik lengan Letnan Dipa, menjauhi ketiga anggota Kelompok 2&1.
"Mengapa Anda mesti membawa anak-anak itu"" bisik Bu Nurman.
"Memangnya kenapa" Tidak boleh"" Letnan Dipa menyambung. "Mereka saya minta mendampingi saya selama mendengarkan teka-teki Anda. Anda belum tahu sih! Ketiga anak itu amat pandai memecahkan teka-teki."
"Tapi ini bukan sekadar teka-teki!" tukas Bu Nurman agak kesal.
"Lalu, apa""
"Hehhh!" Bu Nurman memandang anak-anak.
Dede mendekatkan mulutnya ke telinga Ira. "Kelihatannya nenek itu tidak senang melihat kehadiran kita," bisik Dede.
Ira tidak menanggapi ucapan Dede. Matanya yang bening memandang Bu Nurman. Sementara Yan berdiri dengan sikap tenang. Kepalanya miring ke kiri sedikit.
"Mereka anak-anak yang hebat. Punya bakat menjadi detektif," kata Letnan Dipa pada Bu Nurman. "Telah beberapa kali ketiganya membantu saya memecahkan perkara yang misterius."
"Betul"" Bu Nurman memutar kepalanya, meman-dang Letnan Dipa.
"Betul, untuk apa saya membohongi Anda," Letnan Dipa meyakinkan. Sementara dalam hati ia bertanya-tanya menyaksikan kelakuan dan mimik muka Bu Nurman yang berubah-ubah.
"Saya percaya pada omongan Anda. Kalau demikian soalnya lain! Yah, siapa tahu ketiganya ungguh-sungguh bisa membantu," kata Bu Nurman setengah bergumam.
"Anda kelihatan aneh. Ada apa sebenarnya"" tanya Pak Letnan.
"Kita bicarakan di atas saja. Mari! Ayo, Anak-anak!" ajaknya pada Yan dan kawan-kawan.
Yan dan Dede saling memandang. Yan mengang-kat bahunya.
Dede bergumam, "Tingkahnya aneh!" Yang dimak-sudkannya Bu Nurman. "Sebentar-sebentar berubah!"
"Seperti orang bingung." jawab Yan dengan suara rendah.
Sementara itu Bu Nurman memadamkan lampu, sehingga keadaan dalam ruangan itu berubah remang-remang. Setelah itu ia memimpin keempat tamunya menaiki anak tangga ke lantai dua.
"Anda kelih atan aneh. Tidak biasa begini. Apakah Anda menemukan teka-teki yang menarik, sehingga tidak sabar ingin menyampaikannya pada saya"" goda Letnan Dipa yang menaiki anak tangga di samping Bu Nurman.
"Ya. Nanti Anda akan tahu," jawab Bu Nurman. Kakinya telah menginjak lantai kedua.
Yan, Dede, dan Ira mengikuti kedua orang dewasa itu.
IV. LEBIH DARI SEKADAR TEKA-TEKI
7 Ibu Nurman berhenti di muka pintu ruang kerjanya yang tertutup. DI seberang pintu terdapat seperangkat kursi tamu. Wanita itu menggerakkan tangannya ke arah kursi, "Kita bicara di sini dulu, sebelum nanti saya ajak masuk ke ruang kerja saya. Ayo silakan!"
Mereka duduk. Ira melirik lampu antik di langit-langit yang menyala terang. "Manis sekali bentuknya," pikirnya.
Letnan Dipa menatap lurus mata Bu Nurman.
"Nah, silakan Anda menyampaikan teka-teki itu," katanya sambil tersenyum. "Kalian - dengarkan baik-baik." tambahnya pada anak-anak.
Dede mengangguk mantap. Bu Nurman menarik napas dalam-dalam. "Sebetulnya ini lebih dari sekadar teka-teki. Let," katanya kemudian.
"Maksud Ibu"" Yan nyeletuk.
"Maksudku, kita bukan akan sekadar maini tebak-tebakan. Masalahnya benar-benar serius." Mimik muka Bu Nurman nampak bersungguh-sungguh. "Karena masalahnya mengenai sebuah pencurian."
"Sebuah pencurian"" Dede mencondongkan tubuhnya ke arah Bu Nurman. "Maksud Anda teka-tekinya tentang pencurian" Wah, saya paling senang menebak teka-teki seperti itu. Apakah teka-teki itu karangan Ibu sendiri"" "Karangan" Apa maksudmu"" balas Bu Nurman bertanya. "Ini bukan karangan, tetapi sungguh-sungguh terjadi... di sini! Tepatnya di ruang kerjaku!" Dede melongo. "Sungguh-sungguh terjadi"" gumamnya. Tampak bahwa ia bingung. Hal yang sama dirasakan pula oleh Yan, Ira, dan Letnan Dipa.
Pak Letnan akan bertanya. Bu Nurman melambai-kan tangan dan mendahului, "Akan saya jelaskan," Barnya.
Letnan Dipa mengangguk sambil bersandar. "Tadi, sekitar pukul tiga siang, telah terjadi pencurian di ruang kerja saya. Di sana." Bu Nurman menuding pintu ruang kerjanya yang tertutup. "Karena yang hilang adalah sesuatu yang masih saya rahasiakan, saya tidak ingin orang lain mengetahuinya. Tetapi, bagaimanapun, pencurian itu harus diusut bukan"" Bu Nurman menjatuhkan pandangannya kepada Dede. Seakan-akan hanya kepada Dede dia ingin bertanya.
"Yah." Dede mengangguk. "Yah, tentu saja mesti diusut!"
"Itu sebabnya saya segera menelepon Letnan Dipa." Bu Nurman berganti memandang Letnan Dipa. "Telepon Anda saya terima persis ketika saya mau pulang." Letnan Dipa menggaruk pipi. "Betul, sekitar jam tiga. Tapi..."
"Saya berbicara mengenai tantangan menebak teka-teki""
"Ya" Letnan Dipa membenarkan.
"Itu memang saya sengaja, Let. Untuk menutupi peristiwa sebenarnya. Saya tidak menghendaki karyawan saya, atau sekretaris saya, atau siapa pun, mengetahui bahwa saya telah kecurian sesuatu yang sangat berharga. Sesuatu yang menyangkut masa depan usaha saya. Oleh karena itu saya berusaha bersikap sewajar mungkin. Dengan suara riang saya mengundang Anda untuk main tebak-tebakan teka-teki Padahal sesungguhnya pikiran saya tidak keruan. Kacau! Rasanya saya ingin menangis...."
Letnan Dipa dan anak-anak memandang Bu Nurman. Samar-samar mereka mulai merasa bahwa mereka tengah memasuki awal sebuah perkara yang misterius. Sebuah teka-teki yang bukan sekadar teka-teki. Perasaan itu membangkitkan semangat penyelidik pada diri Kelompok 2&1. Sebagai akibatnya, mereka lalu lebih memperhatikan kete-rangan Bu Nurman selanjutnya.
"Apa yang dicuri"" tanya Letnan Dipa memecah keheningan.
"Satu berkas dokumen penting... dan sebuah arloji yang bagus. Arloji perak itu saya beli di Paris, waktu saya ikut tour ke Eropa...." Bu Nurman menghela napas. Wajahnya diliputi kemurungan. "Arloji itu memang mahal. Harganya hampir tiga perempat juta rupiah.
"Fiuuu!" Yan meruncingkan bibir.
"Tapi, meskipun demikian, nilainya belum sebanding dengan berkas dokumen yang juga lenyap itu." Bu Nurman kembali menghela napas.
"Kalau saya boleh tahu, isi dokumen itu mengenai apa"" ta
nya Letnan Dipa hati-hati.
Bu Nurman nampak bimbang. Duduknya gelisah.
"Bagi saya penting untuk mengetahui isinya," kata Letnan Dipa.
"Ya, ya. saya mengerti. Tapi..." Bu Nurman menatap Letnan Dipa dan anak-anak silih berganti" saya minta Anda merahasiakannya. Juga kalian!"
"Jangan khawatir, Bu! Kami tahu cara menyimpan rahasia." sahut Dede tanggap.
"Begini, anak saya yang sulung seorang insinyur kimia. Dia tinggal di Jakarta. Bersama seorang temannya, ia berhasil menemukan formula baru untuk pembuatan bahan pipa plastik pralon. Pendeknya kalau bahan itu dibuat menjadi pipa, hasilnya akan lebih kuat dan lebih tahan lama. Di samping itu-yang lebih penting - harganya bisa lebih murah.
"Arfan, anak saya yang sulung itu, mengirimkan formula itu berikut keterangannya kepada saya. Berkas dokuman berharga itu saya terima tadi pagi. Saya senang bukan main! Tetapi apa boleh buat. kini dokumen itu telah hilang." Bu Nurman menghempaskan punggungnya ke sandaran kursi, ia kelihatan sedih sekali. Ira sangat terpengaruh oleh sikap wanita pengusaha itu. Anak perempuan itu menggigit-gigit bibirnya. Bu Nurman melanjutkan keluhannya, "Saya tidak berani membayangkan andaikata dokumen itu jatuh ke tangan saingan saya." Bu Nurman menuding-nuding dinding di sebelahnya. "Usaha saya bisa gulung tikar."
"Apa maksud Ibu menunjuk ke sana"" tanya Ira. "Apakah..."
"Yah. kantor sebelah milik PT Tiga Jaya." potong Bu Nurman. "Hingga saat ini mereka memproduksi selang plastik. Tapi saya dengar mereka juga akan segera memproduksi pipa pralon. Kalau mereka sampai mendapatkan formula itu..." Bu Nurman mengayunkan tangannya yang terkepal, "habislah... habislah!"
"Apakah dengan demikian berarti Ibu mencurigai perusahaan saingan Ibu itu"" pancing Yan.
"Oh, tidak... bagaimana saya bisa mencurigai, kalau tidak ada bukti"" balas Bu Nurman bertanya.
"Tadi Ibu mengatakan belum ada yang tahu' mengenai formula itu, kecuali Ibu sendiri," kata Ira.
"Memang, justru karena itu aku berusaha menutup-nutupi peristiwa sebenarnya. Aku tidak ingin kelihatan panik. Sehingga orang yang mencuri dokumen itu tahu bahwa isi dokumen itu sangat berharga, dan bisa menghasilkan banyak uang kalau dijual kepada pihak yang mengerti. Karena ada kemungkinan si pencuri belum tahu nilai dokumen itu. Itu menurut perkiraanku lho"
"Pendeknya aku harus kelihatan tenang. Jangan sampai ada yang tahu aku kehilangan sesuatu yang bernilai tinggi. Itu sebabnya, aku tidak melaporkan peristiwa pencurian itu secara resmi kepada Letnan Dipa. Aku lebih senang memakai cara diam-diam. Diam-diam saja! Juga nanti kalau sudah mulai mengadakan penyelidikan. Anda saya harap tidak bersikap resmi, Let. Jangan sampai kita menyadarkan si pencuri yang mungkin belum menyadari arti dokumen itu." Bu Nurman memandang Letnan Dipa dengan sinar mata memohon.
"Saya mengerti... saya mengerti...." Letnan polisi itu mengusap-usap dagunya. Pandangannya menera-wang ke langit-langit yang dibentuk sangat artistik.
"Ibu mengundang Letnan Dipa untuk menebak atau bermain teka-teki" kata Yan pelan.
"Betul!" Bu Nurman mengarahkan telunjuknya pada Yan. "Itu yang harus kalian katakan pada setiap orang. Tapi," sambung wanita itu, "bukankah ini memang sebuah teka-teki""
"Yah, memang sebuah teka-teki," sahut Yan. Tangannya latah menirukan Pak Letnan, mengusap-usap bibir dan dagu.
V. ISI RUANGAN 8 Ketiga anak dan kedua orang dewasa itu duduk membisu. Sampai Ira melontarkan pertanyaan pada Pak Letnan, "Apa yang harus kita lakukan sekarang""
Letnan Dipa tersentak. Matanya memandang jam dinding. Pukul tujuh lebih sedikit. Kemudian ia memandang Ira, "Kita harus memulai penyelidikan. Apa lagi"" ia menoleh pada Bu Nurman, "Bolehkah saya memeriksa ruang kerja Anda""
Ibu Yuniti Nurman berdiri dan melangkah ke pintu ruang kerjanya yang tertutup.
"Setelah kejadian itu," katanya, "saya langsung mengunci pintu ruang kerja saya. Tak seorang pun saya izinkan masuk. Saya tidak ingin ada yang berubah. Apa pun jangan! Maksud saya untuk memudahkan Anda dalam melangsungkan pe-nyidikan."
"Terima kasih. Hal itu sungguh harus saya hargai," sahut Letnan Dipa.
Bu Nurman memutar anak kunci, lalu mendorong pintu.
Kelompok 2 Dan 1 Pencuri Intelek Karya Dwianto Setyawan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pandangan Ira langsung menyapu isi ruang kerja Bu Nurman.
Ruang kerja Bu Nurman luas. Karena ruangan itu sebenarnya terdiri dari dua lokal yang dijadikan satu, dikurangi ruang tunggu tempat mereka tadi mengobrol.
Dalam ruangan itu terdapat sebuah meja kerja yang besar dan bagus. Dengan kursi yang bisa berputar. Ada tiga buah kursi. Satu kursi untuk Bu Nurman. Dua lagi untuk tamunya.
Selain itu, di sudut, ada seperangkat kursi tamu yang ukurannya lebih kecil daripada kursi tamu di luar. Juga ada kursi baca mini yang berlapis bantal-bantal empuk.
Meja kerja Bu Nurman membelakangi jendela besar. Disampingnya ada pintu yang menuju ke halaman belakang bangunan kantor.
Di sebelah kiri ruangan, tegak berdiri sebuah rak berukuran raksasa. Tingginya sampai langit-langit. Dibuat demikian karena rak itu juga berfungsi sebagai penyekat antara ruang kerja dengan ruang di baliknya.
"Hmm, siapa pun pasti kerasan bekerja di ruangan yang apik seperti ini," gumam Dede sambil melirik Bu Nurman.
Di tengah kegalauan perasaannya. Bu Nurman sempat tersenyum mendengar komentar Dede.
Yan mengamat-amati kursi baca mini di sudut ruangan Kursi itu tanpa kaki. Hanya terdiri dari sandaran dan alas tempat duduk. Bahannya dari kayu yang bisa disetel dengan gampang. Baik sandaran maupun alas duduknya dilapisi dengan bantal-bantal empuk. Jumlahnya tiga buah. Bantal-bantal berbentuk segi empat itu terbungkus sarung bantal bersulam dengan ritsleting pada satu sisinya.
"Ir, pasti asyik membaca dengan duduk berselonjor pada kursi seperti ini," katanya pada adiknya.
Ira mengangguk sependapat. "Ibu sering membaca di sini"" tanyanya pada Bu Nurman.
"Ya, kalau aku merasa capek," sahut wanita itu. Telunjuknya menuding kursi kerjanya. "Berjam-jam duduk di kursi itu bisa membuat punggung pegal. Kalau sudah demikian biasanya aku pindah, duduk berselonjor kaki di kursi itu, sambil membaca koran atau majalah."
Sementara itu Letnan Dipa memperhatikan meja kerja Bu Nurman. Di situ ada tempat pulpen yang antik, tumpukan map, majalah wanita yang terbuka, satu kantung plastik permen, satu pigura foto keluarga Bu Nurman. Dalam foto itu tampak Bu Nurman, Pak Nurman semasa masih hidup, dan ketiga anak mereka. Juga ada cangkir berisi kopi yang sudah diminum separuh.
"Bagaimana dengan ruang sebelah"" Letnan Dipa menunjuk ruang di balik rak penyekat.
"Silakan." Bu Nurman mendorong pintu dorong di antara rak dan dinding.
"Ruang apa lagi ini"" tanya Pak Letnan sementara matanya memperhatikan isi ruangan yang berukuran jauh lebih kecil daripada ruang kerja.
"Ini ruang istirahat saya." Bu Nurman menunjuk sebuah dipan pendek. "Ada kalanya saya harus bekerja sampai malam. Kadang-kadang saya letih dan ingin memejamkan mata sejenak. Sementara pulang ke rumah - tidak sempat. Anda kan tahu rumah saya cukup jauh dari sini. Maka saya memutuskan untuk membawa tempat tidur... itu!" Bu Nurman menuding dipan. "Sehingga saya bisa berbaring sebentar kalau kondisi tubuh saya menuntut demikian."
"Juga kalau Anda ingin menjerang air atau memasak super mi"" Letnan Dipa memperhatikan kompor listrik di sudut, dekat kulkas kecil.
"Ya." Bu Nurman tertawa kecil. "Pendeknya di samping berfungsi untuk kamar tidur, ruangan ini juga berfungsi sebagai dapur mini."
"Pokoknya komplet!" Dede mengomentari. Tanpa minta izin, tangannya langsung terulur membuka kulkas. "Nah, betul kan" Komplet!" ia menunjuk minuman dalam kaleng, fanta, es krim, dan makanan lainnya dalam kulkas.
Bu Nurman tersenyum. "Kalau ingin minum, boleh ambil sendiri," katanya.
"Terima kasih. Bu. Saya tidak haus kok." Dede merapatkan pintu kulkas.
Sementara itu Ira kembali ke ruang kerja. Anak perempuan itu mengamat-amati meja kerja Bu Nurman.
"Ihh, semut!" serunya ketika melihat semut-semut kecil berkerumun di sekitar celah-celah laci meja kerja itu.
Tergerak oleh rasa ingin tahu akan apa yang mengundang datangnya semut-semut itu, Ira menarik la
ci sebelah atas. Jarinya menyentuh sesuatu yang berperekat Seperti bekas gula cair. Cairan manis itu meleleh sampai ke dalam bagian laci, yang berisi berkas-berkas, notes, dompet, dan sebuah kotak uang.
Kening anak perempuan itu berkerut. Setelah termenung beberapa saat ia kembali merapatkan laci.
Kemudian ia berjongkok karena melihat sesuatu yang menarik perhatiannya - dekat kaki meja.
"Foto," gumamnya. Beberapa lembar foto jatuh ke lantai.
Foto itu menggambarkan seseorang gadis bercelana jeans dan berkaus, sedang berdiri dekat kolam renang. Ira seperti pernah melihat kolam renang itu. Tetapi kolam renang mana, ia tidak berhasil mengingatnya.
Ira memasukkan foto-foto itu ke dalam amplop putih, tempat foto. Tetapi tidak semuanya. Hati kecilnya berbisik agar ia menyimpan selembar. Mungkin ada gunanya kelak! Maka ia pun menarik selembar foto dan menyimpan dalam saku mantelnya. Setelah itu amplop berisi foto diletakkannya di atas meja.
Sebelum berdiri, sekilas lagi ia memperhatikan lantai dekat kaki meja. Ada apa lagi"
"Ah, bungkus es krim! Kok dibuang seenaknya" Jadi ini yang mengundang semut." Ira memungut kertas bekas bungkus es krim LOLITA itu dan dimasukkannya ke dalam keranjang plastik tempat sampah.
Pada saat itu Letnan Dipa, Yan, Dede, dan Bu Nurman masuk lagi ke ruang kerja.
VI. APA YANG TERJADI"
9 "Nah, sekarang saya minta Anda ceritakan rangkaian kejadian, sekitar waktu hilangnya dokumen itu," pinta Letnan Dipa pada Ibu Yuniti Nurman.
Ira meminta kertas pada Bu Nurman, dan meminjam bolpen Letnan Dipa. Sudah menjadi kebiasaannya untuk mencatat hal-hal yang penting dalam kasus seperti itu.
Bu Nurman menerangkan, "Kira-kira pukul dua... yah, rasanya sekitar itu... saya tidak ingat persis waktunya... saya mulai memeriksa dan mempelajari formula kiriman Arfan. Hal itu saya lakukan sekitar setengah jam. Kemudian saya merasa penat. Saya memutuskan untuk mengaso sebentar. Lalu saya masuk ke situ." Bu Nurman menunjuk ruang di balik rak penyekat.
"Apa yang Anda lakukan di situ"" tanya Letnan Dipa.
"Pertama-tama saya menyeduh kopi secangkir. Setelah itu saya merebahkan diri untuk melepaskan rasa penat. Dan selanjutnya, saya kira... saya ketiduran."
"Sebentar," potong Letnan Dipa sebelum Bu Nurman melanjutkan. "Waktu Anda meninggalkan ruang kerja ini. di mana dokumen itu""
"Saya tinggalkan di atas meja, dalam map seperti ini" Bu Nurman menunjuk sebuah map ukuran tanggung, di antara tumpukan map di atas meja kerjanya. "Di atas map saya letakkan arloji saya. Yah, saya ingat betul!"
"Sebentar, Bu, Ibu tahu bahwa dokumen itu sangat penting. Mengapa Ibu meninggalkannya begitu saja"" tanya Yan.
"Ya, misalnya, kenapa tidak Ibu simpan dalam lemari arsip"" tambah Dede sambil menuding lemari arsip di sudut ruangan.
"Juga tentang arloji itu," Ira ikut bertanya. "Mengapa Ibu tinggalkan di atas meja""
Bu Yuniti Nurman tetap tenang menghadapi rentetan pertanyaan ketiga anak itu. "Begini," ia menjelaskan, "ruang kerja ini boleh dikatakan juga sebagai ruang pribadi saya. Karyawan-karyawan saya tidak biasa keluar-masuk ke sini. Kecuali bila saya panggil, atau ada sesuatu yang mereka perlukan sehingga mereka harus menghadap saya. Saya biasa meninggalkan apa saja di meja. Arloji, cincin, atau yang lain. Dan selama itu tidak pernah ada yang hilang."
Anak-anak memikirkan jawaban Bu Nurman.
"Hal begitu bisa saja terjadi Kalau Bu Nurman memang sungguh-sungguh mempercayai para pegawainya," pikir Yan.
Dede mengangkat mukanya. Sebagaimana kebia-saannya, tangannya naik untuk membetulkan letak kaca matanya- Tetapi ia segera sadar bahwa saat itu ia tidak memakai kaca mata. Maka gerak tangannya pun berubah - menarik-narik ujung hidung. Sambil berbuat demikian, ia bertanya, "Apakah sebelum masuk ke ruang tidur. Ibu mengunci pintu ruang kerja ini""
"Tidak." Bu Nurman menggeleng. "Itu tidak biasa saya lakukan." "Berapa orang karyawan Ibu"" tanya Ira. "Banyaki Di pabrik..."
"Bukan, maksud saya yang di sini. Yang membantu Ibu di kantor ini," Ira menegaskan.
"Ehh..." Bu Nurman mengingat-ingat, "Enam... eh. Lima! Sekretaris, bagian administrasi, bagian pema-saran, pesuruh. Itu yang di sini. Bagian produksi dan lain-lain di pabrik Bukit Cerme."
"Baiklah!" Letnan Dipa memberi isyarat agar anak-anak menyimpan pertanyaan mereka berikutnya. Giliran dia kini yang mau bertanya. Pak Letnan menatap Bu Nurman, "Jadi, Anda masuk ke ruang tidur, berbaring, lalu ketiduran. Setelah itu""
"Saya terlena sekitar dua puluh menit atau setengah jam. Kira-kira sekitar itu, karena ketika saya terbangun, weker di ruang tidur menunjuk pukul tiga kurang sedikit."
"Anda bangun sendiri, atau karena mendengar suara sesuatu"" sela Letnan Dipa.
"Saya terbangun sendiri. Lalu saya kembali ke ruang kerja. Saya menghampiri meja kerja untuk melanjutkan mempelajari formula itu. Saat itulah saya sadar bahwa dokumen dan arloji itu telah lenyap. Saya langsung lemas."
"Apakah hanya itu yang hilang"" tanya Latnan Dipa.
"Hanya itu, dokumen berikut mapnya dan arloji sahut Bu Nurman.
Bu Yuniti Nurman berjalan ke ruang tidur, mengambil empat botol fanta untuk tamunya, ia menyilakan Yan dan kawan-kawan minum.
10 Sementara itu Letnan Dipa berdiri dekat jendela di belakang meja kerja Bu Nurman. ia memperhatikan jendela yang tertutup itu sebentar. Jendela itu tidak berengsel di bagian samping, tetapi di bagian atas. Untuk membukanya kita harus mendorong sisi bagian bawah, lalu penahan akan bekerja secara otomatis. Daun jendela akan membentuk celah dengan bingkai, sekadar untuk memasukkan udara dari luar. Kiranya tidak mungkin orang menerobos melalui celah sesempit itu.
Letnan Dipa termenung, mengusap-usap dagu dan bibir.
Yan mendekati polisi itu, ikut mengamat-amati jendela.
Kemudian, perhatian Letnan Dipa beralih pada pintu di samping jendela. Sebuah pintu berukuran sedang untuk menuju ke halaman belakang kantor.
"Waktu Anda kembali ke sini, apakah pintu ini terbuka"" tanya Pak Latnan sambil membalikkan badan menghadap Bu Nurman.
"Tidak, pintu itu tertutup, seperti sebelum saya masuk ke ruang tidur. Tetapi tidak terkunci," jawab Bu Nurman.
Letnan Dipa membuka pintu itu. Yan, Dede, dan Ira mengikuti langkah letnan polisi itu.
Mereka berempat berdiri di balkon sempit. Balkon itu berhubungan dengari anak tangga semen menuju ke halaman bawah, di belakang bangunan kantor.
Halaman belakang itu tidak luas. Paling-paling lebarnya hanya lima meter. Panjangnya sepanjang lokal kantor. Dikelilingi oleh pagar tembok yang tinggi. Tanpa pintu. Jadi untuk memasuki halaman itu hanya ada dua jalan. Pertama, melewati pintu belakang ruang kena Bu Nurman. Kedua, melewati pintu kantor di lantai pertama. Halaman itu penuh dengan tumpukan peti kemas. Keadaannya cukup terang oleh cahaya lampu di sudut halaman.
"Bagaimana pendapat Anda, Let"" tanya Yan. "Tampaknya perkara ini rumit sekali. Tidak ada petunjuk apa pun."
Letnan Dipa diam. mengusap-usap bibir dan dagu.
"Dari wawancara kita dengari Bu Nurman sejak kita datang, memang kita belum mendapat petunjuk atau bukti-bukti. Bahkan kita belum mendapat gambaran sedikit pun mengenai siapa pelaku pencurian itu, mengapa dan bagaimana ia melakukannya," ujar Pak Letnan kemudian. "Tetapi pertanyaan kita kepada Ibu Nurman belum lengkap. Misalnya, kita belum menanyakan siapa saja yang masuk ke ruang kerja selama Bu Nurman mempelajari formula penting itu. Atau sebelum itu, siapa yang masuk." Letnan Dipa memandang ketiga anak itu. "Itulah yang harus kita ketahui sekarang. Ayo, kita tanyai Bu Nurman."
Letnan Dipa dan anak-anak meninggalkan balkon, kembali ke ruang kerja.
Bu Nurman sedang duduk melihat-lihat koran.
Letnan Dipa dan anak-anak duduk mengelilingi wanita itu. Lalu Letnan Dipa menanyai Bu Nurman. Tentang orang-orang yang mungkin layak dicurigai.
Namun jawaban Bu Nurman terasa tidak sesuai dengan harapan mereka. Bu Nurman berkata, "Saya tidak tahu. Saya sungguh tidak tahu siapa yang pantas saya curigai dalam peristiwa ini. Kejadiannya begitu mendadak. Sehingga saya tidak punya bayangan sedikit pun tentang siapa yang bisa dicurigai."
Letnan Dipa mengangguk maklum. "Apakah ada yang masuk ke ruang ini pada saat Anda sedang mempelajari dokumen itu""
"Ada. yang pertama Miskun, pesuruh kantor. Dia masuk sebentar, mengambil piring."
"Piring" Piring apa. Bu"" tanya Yan.
"Piring bekas gado-gado. Miskun harus mengembalikannya ke restoran seberang. Restoran langganan saya," jawab Bu Nurman. "Kemudian Bakri, pegawai saya dari bagian pemasaran, ia minta tanda tangan saya untuk sebuah nota pengeluaran."
"Apakah Pak Bakri lama bercakap-cakap dengan Anda"" tanya Ira.
"Ya, lumayan. Sementara saya memeriksa perincian pengeluaran yang harus saya setujui, Bakri duduk di depan meja kerja saya."
"Apakah waktu itu map dokumen itu dalam keadaan tertutup""
"Tidak." jawab Bu Nurman. "Terbuka. Kan saya sedang mempelajari dokumen itu waktu Bakri masuk""
Ira mengangguk. "Berarti Pak Bakri punya kesempatan untuk melirik isi dokumen itu," pikir Ira. Lalu Ira menulis dalam catatannya.
"Lalu, siapa lagi yang masuk"" tanya Dede Sofyan.
"Ami. Ami Rita, sekretaris saya. Dia masuk untuk mengambil suatu berkas dalam lemari arsip."
"Jadi Mbak Ami masuk setelah Pak Bakri"" Dede menegaskan.
"Ya." "Lamakah ia di sini""
"Rasanya cukup lama. Entah ya... ehh... saya tidak begitu memperhatikan dia, karena perhatian saya sedang terpusat pada dokumen- yang sedang saya pelajari"
Dede membayangkan posisi Mbak Ami dan Bu Nurman waktu itu. Bu Nurman duduk menekuni dokumen dengan perhatian penuh. Sementara itu Mbak Ami berada di dekat lemari arsip. Berarti di belakang Bu Nurman. Mungkin saja - karena tertarik melihat keseriusan Bu Nurman - diam-diam Mbak Ami melongokkan kepala, mengintip dokumen yang sedang dibaca Bu Nurman. Tanpa Bu Nurman menyadarinya!
Lamunan Dede terputus oleh pertanyaan Letnan Dipa pada Bu Nurman, "Apakah waktu Anda mempelajari dokumen, arloji sudah Anda tanggalkan dan Anda taruh di meja""
"Waktu itu belum. Saya menanggalkan arloji sebelum masuk ke ruang tidur. Tiba-tiba saya melihat sebuah noda kecil pada rantai arloji itu. Tangan saya jadi gatal. Saya lepaskan arloji itu, lalu saya bersihkan sebentar. Setelah itu saya taruh di atas map dokumen yang tertutup. Lalu saya pergi beristirahat."
Letnan Dipa mengangguk. "Lalu, siapa lagi yang masuk"" tanya Hardian.
"Tidak ada. Pada waktu saya sedang mempelajari dokumen, cuma mereka bertiga yang masuk kemari," jawab Bu Nurman meyakinkan.
"Kalau sebelumnya" Maksud saya, sebelum Ibu mempelajari dokumen"" tanya Yan lagi.
"Wah, kalau sebelumnya saya tidak ingat siapa saja yang masuk ke ruang ini. Saya tidak ingat. Tetapi pada waktu saya mempelajari dokumen, saya ingat persis siapa yang datang. Ya itu tadi, Miskun, Bakri. dan Ami Rifa. Hanya ketiga orang itu."
"Betul" Ibu tidak ingat"" tanya Yan dengan nada mendesak.
Bu Nurman mengeluarkan napas melalui hidung. "Kalaupun aku ingat, apa ada gunanya" Waktu itu aku kan belum membuka map dokumen itu""
"Mungkin, kelihatannya tidak ada gunanya sekarang. Tapi siapa tahu kelak"" jawab Yan tangkas.
Bu Nurman mengangguk-angguk. Agaknya ucapan Hardian terdengar masuk akal di telinganya. "Coba kuingat ingat., oh ya, ada! Edi Wilis!"
"Siapa dia""
"Bekas pegawai PT Tiga Jaya...." "PT saingan Ibu itu""
"Ya. Sebulan yang lalu dia bentrok dengan Sirapu. Theo Sirapu adalah direktur PT Tiga Jaya. Kemudian Edi Wilis keluar."
"Apa maksudnya menemui Ibu"" tanya Yan.
"Dia mau minta pekerjaan. Edi Wilis merengek-rengek kepadaku. Supaya aku mau menerimanya sebagai karyawan."
"Bagaimana jawaban Anda"" Letnan Dipa menyeletuk.
"Saya belum memberi jawaban. Saya katakan, sulit juga menerima dia sebagai karyawan saya. Apa kata Theo Sirapu nanti" Theo saingan saya Hubungan kami tidak begitu baik. Nanti jangan-jangan Theo mengira saya sengaja menarik Edi supaya pindah ke pabrik saya. Padahal tidak. Kan tidak enak""
"Jadi hanya Pak Edi Wilis yang Ibu ingat masuk ke ruangan ini, sebelum Ibu mempelajari dokumen itu"" Yan menegaskan sekali lagi.
"Betul. Kukira hanya dia. Ami Rifa yang mengantarkannya menemuiku," sahut Bu Nur
man. "Tadi Ibu sempat lupa mengatakan tentang kehadiran Pak Edi Wilis. Apakah Ibu tidak lupa menyebutkan orang-orang yang masuk ke ruangan ini - pada waktu Ibu sedang mempelajari dokumen" Benarkan hanya Pak Miskun, Pak Bakri. dan Mbak Ami Rifa"" tanya Yan sambil menatap mata Bu Nurman lurus-lurus.
Letnan Dipa diam-diam melirik Yan. ia kagum pada pertanyaan yang diajukan Yan. Pertanyaan yang bisa menjebak, andaikata Bu Nurman sengaja 'melupakan' sebuah nama selain Miskun, Bakri, dan Ami Rifa.
Letnan Dipa berganti menatap Bu Nurman. ia ingin tahu reaksi wanita itu dalam menanggapi pertanyaan Yan. Ira dan Dede juga melakukan hal yang sama.
Mimik muka Bu Nurman nampak berubah. Bibirnya bergerak, seperti akan menyampaikan sesuatu. Tetapi kemudian 'sesuatu' itu ditelannya kembali. Dan ia berkata, "Tidak, aku tidak lupa! Aku yakin hanya mereka bertiga yang masuk ke ruangan ini pada saat aku mempelajari dokumen." Dan Bu Nurman menarik napas panjang.
Yan dan Letnan Dipa saling melempar pandangan.
VII. PRIBADI YANG MENGESANKAN
11 "Saya kira pertanyaan kami sudah cukup." ujar Letnan Dipa selang beberapa waktu kemudian. Laki-laki itu melihat arloji. "Wah, sudah hampir jam sembilan! Padahal kalian belum makan!" Pak Dipa memandang anak-anak.
"Tidak jadi soal. Kami tidak lapar kok!" sahut Dede. "Anda kan sudah tahu kebiasaan kami, Let" Kami sanggup menyisihkan rasa lapar jika sedang mengusut perkara... hahaha!" Dede tertawa sendiri.
Tawa Dede terasa mengendurkan urat syaraf, setelah sekian lama mereka tercekam keseriusan.
"Kita makan sama-sama saja," Bu Nurman menawarkan.
"Bagaimana"" tanya Letnan Dipa pada anak-anak.
"Setuju!" sahut Yan dan Dede hampir serempak.
Ira tertawa kecil. Sebelum meninggalkan kantor itu. Bu Nurman menanyakan langkah apa yang akan diambil Letnan Dipa.
"Saya akan menanyai Ami Rifa dan yang lain. Itu jelas. Tindakan selanjutnya masih harus saya pikirkan," jawab Letnan Dipa.
"Tapi ingat, Let, saya tidak menghendaki peristiwa itu menjadi sesuatu kehebohan. Seperti yang saya katakan tadi. Jangan sampai kita justru menyadarkan si pencuri akan pentingnya isi dokumen itu."
"Itu kalau si pencuri belum sadar akan nilai dokumen itu. Kalau dia sudah tahu"" Letnan Dipa merentangkan tangan. "Permintaan Anda agak merepotkan. Tapi akan saya coba untuk mengusut perkara ini tanpa banyak menimbulkan kehebohan." Letnan Dipa memandang Ira, Dede, dan Yan yang sedang melangkah menuruni tangga ke lantai pertama. "Untuk itu barangkali saya bisa memakai jasa mereka."
"Mudah-mudahan," ujar Bu Nurman. "Tapi harus saya akui, mereka anak-anak yang cerdas dan teliti. Pertanyaan-pertanyaan mereka tadi terasa berbobot, punya tujuan. Tidak asal membuka mulut."
Letnan Dipa terkekeh, "Anda baru tahu, ya" Saya sendiri sering merasa heran melihat kecerdasan anak-anak sekarang. Seperti Yan, Dede, dan Ira itu. Sebagai orang tua, kita harus merasa bangga. Karena bukankah mereka yang akan melanjutkan perjuangan kita dalam mencapai keadilan dan kemakmuran yang merata""
Bu Nurman mengiyakan. Lalu kedua orang itu menyusul anak-anak yang sudah menunggu dekat pintu.
Mereka meninggalkan kompleks pertokoan Dasa Indah. Bu Nurman mengajak Ira naik mobilnya, yang disetirnya sendiri. Yan dan Dede naik jip bersama Letnan Dipa.
Dalam perjalanan menuju rumah makan Ira sempat mengajukan beberapa pertanyaan tambahan kepada Bu Yuniti Nurman. Misalnya, apakah Bu Nurman tidak punya sopir sehingga harus menyetir sendiri"
"Aku punya sopir. Tetapi kadang-kadang aku lebih suka menyetir sendiri. Pada waktu lembur-di mana aku harus pulang larut malam seperti sekarang -sopirku selalu kusuruh pulang lebih dulu. Dia punya anak-istri. Tentunya dia juga ingin menyisihkan waktu untuk keluarganya. Kasihan kan kalau dia harus terkantuk-kantuk menungguku" Padahal aku toh bisa membawa pulang mobil ini sendiri."
"Ibu baik sekali." kata Ira.
"Jangan terlalu memuji. Kamu belum setengah hari mengenalku. Siapa tahu aku tidak sebaik yang kamu kira"" Bu Nurman tertawa kecil, sambil menoleh pada Ira.
Ira agak tersentak mendengar ucapan yang tiba-tiba itu.
"Yahh, tapi aku memang selalu berusaha memper-hatikan kesejahteraan karyawanku." Bu Nurman menghidupkan lampu sein kanan, lalu perlahan-lahan memutar setir. Jalan di depan mereka lengang. Cahaya lampu neon di pinggir jalan berpendar-pendar. Ibu Nurman melanjutkan, "Soalnya dulu aku juga pernah menjadi pegawai kecil. Sebelum aku menikah dengan Pak Nurman. Jadi aku tahu bagaimana penderitaan dan harapan seorang pega-wai kecil. Kalau kita pernah mengenyam penderitaan, kita akan lebih peka melihat penderitaan orang lain. Soalnya kita telah merasakan sendiri pahitnya penderitaan itu. Betul, tidak""
Ira mengangguk. Anak perempuan itu makin menaruh hormat pada pribadi wanita pengusaha itu.
"Oh ya, siapa yang mengirimkan dokumen itu kepada Ibu"" tanyanya kemudian.
"Si Arfan - tentu saja," sahut Bu Nurman. "Bukan itu maksud saya. Ehh... apakah melalui pos""
"Tidak. Dokumen itu dikirim Arfan melalui per-usahaan pengangkutan Cepat-Aman. Aku biasa memakai jasa Cepat-Aman. Tidak pernah ada masalah."
"Apakah waktu sampai ke tangan Ibu, bungkusnya masih dalam keadaan rapi""
"Ya. aku menyaksikannya sendiri." Bu Nurman tertawa. "Betul apa yang dikatakan Pak Dipa. Kamu teliti sekali." Lalu ia menghidupkan lampu sein kiri. "Kita sudah sampai. Itu restoran langgananku. Ayam gorengnya enak sekali."
Di belakang mereka jip Pak Dipa membuntuti.
Berlima mereka makan di restoran itu. Selama makan Letnan Dipa dan Bu Nurman mengobrol tentang banyak hal. Tetapi mereka tidak menyinggung soal hilangnya dokumen dan arloji. Hingga tibalah saat meninggalkan rumah makan.
"Besok saya akan menghubungi Anda lagi." ujar Letnan Dipa pada Bu Nurman sebelum masuk ke mobil masing-masing.
Bu Nurman mengiyakan. "Selamat malam, Bu," kata anak-anak.
"Selamat malam! Bantu mencari jawabannya, ya" Kalau kalian gagal memecahkan teka-teki itu, ayam goreng yang sudah kalian makan akan kuminta kembali," kata Bu Nurman berkelakar.
"Hahaha!" Letnan Dipa mengantarkan Yan dan Ira, dan kemudian Dede, sampai di rumah masing-masing.
Sebenarnya Dede belum mau pulang, ia masih ingin mendiskusikan perkara yang baru ditemui itu dengan Yan dan Ira. Tetapi Letnan Dipa melarang.
"Sekarang sudah setengah sebelas, De! Jangan ngawur! Besok sa|a diskusinya. Setelah itu hubungi aku. Mungkin aku punya tugas untuk kalian."
"Jam setengah sebelas juga tidak apa-apa. Sekarang kan waktu liburan...," bantah Dede.
"Pokoknya tidak!" Letnan Dipa menggeleng. "Nanti aku tidak enak pada orang tuamu. Ayo, kuantar kamu pulang!" Lalu Letnan Dipa berkata pada Yan dan Ira yang baru turun dari jip. "Kalian juga... harus cepat tidur! Segarkan pikiran untuk besok!"
Letnan Dipa memasrahkan Yan dan Ira kepada Pak Mintaraga yang menunggu kepulangan kedua anak-nya. Setelah itu mengantarkan Dede Sofyan.
VIII. ES KRIM, SEMUT, DAN FOTO
12 Dede meluncur di atas sepeda. Ketika melewati pintu halaman rumah Ira. tangannya diayunkannya bertumpu pada tiang pintu pagar, sehingga sepeda-nya makin melaju.
Bel sepedanya berbunyi berdering-dering.
Ira keluar menyongsongnya. "Hai" seru anak perempuan itu.
Dede melompat turun dari sepeda.
"Lama amat, De" Kesiangan bangun"" tanya Ira.
"Aku baru dari toko kaca mata," jawab Dede, menyandarkan sepeda
"Lalu"" "Nanti siang lensa yang retak itu selesai diganti." ia melindungi mata dengan lengkung telapak tangan dan memandang ke ufuk timur. "Jam berapa sekarang""
"Jam sembilan kurang. Aku dan Kak Yan sudah tidak sabar menunggumu." kata Ira. Digandengnya Dede ke dalam.
Di serambi belakang Yan sedang menyemir sepatu. Untuk melewatkan waktu sementara menunggu kehadiran Dede.
Dede menyeringai. Timbul keisengannya melihat Van begitu tekun menggosok sepatu sampai berkilat-kilat, ia mengayunkan kaki kanannya yang bersandal kulit. Sandal itu terlontar, mengenai betis Yan yang sedang duduk di kursi plastik berkaki pendek. "Tolong sandalku sekalian!" teriaknya.
Yan melotot geram. "Hahaha!" Dede tergelak. "Jangan bimbang! Ambil dan se
mirlah baik-baiki Nanti ongkosnya 'Bapak' kasih... hohoho!"
Ira ikut terkekeh-kekeh. Mata lebar Yan makin membulat. Tiba-tiba ia memungut sandal si Dede dan menimpukkannya ke arah Dede.
"Eitt!" Dede berkelit.
Sandal kulit menghantam pintu belakang, DUUEERR!!
"Yaann! Ada apa"" Terdengar seru Bu Mintaraga dari kamar.
Ketiga anak itu tidak menjawab. Dede dan Ira terkekeh. Yan bangkit, mendelik sekali lagi pada Dede, lalu membawa sepatu ke rak.
"Hahahaha!" Sambil tertawa nyaring Dede membungkuk-bungkuk. Yan muncul lagi. "Hei, simpan dulu tawamu. Kita harus segera membicarakan kasus itu!" sentak Yan.
13 Ketiga anggota Kelompok 2&1 memilih kebun belakang untuk memperbincangkan kasus Bu Nurman. Mereka mencari tempat yang teduh.
"Sejak tadi malam aku bertanya-tanya. Kasus pencurian yang disampaikan Bu Nurman itu sungguh-sungguh terjadi, atau tidak" Tetapi kemudian aku yakin Bu Nurman bukan sedang mengakali kita. Umpamanya sebuah teka-teki rekaannya sendiri, dikatakannya dengan sangat meyakinkan. Sehingga rasanya seperti sungguh-sungguh," ujar Yan meng-awali diskusi.
"Pasti sungguh-sungguh. Tentang itu aku tidak ragu-ragu sedikit pun," kata Ira.
Pikiranmu itu pasti disebabkan oleh omongan Pak Letnan," kata Dede, menggerakkan telunjuk ke arah Yan. "Pak Letnan bilang Bu Nurman orangnya suka bercanda. Ini berarti mungkin juga ia senang mengecoh orang sebagai sebuah kelakar."
Yan tidak membantah sangkaan Dede.
"Mula-mula aku juga punya pikiran seperti itu. Kan sia-sia kita ngotot menyelidiki kasus itu, ehh... kemudian ternyata hanya kejadian khayalan Bu Nurman saja!" Dede menggerakkan tangannya. "Tapi, kita harus yakin bahwa pencurian itu sungguh-sungguh terjadi"
"Ah, kenapa kalian masih meragukannya"" sentak Ira agak jengkel. "Percayalah, Bu Nurman tidak cuma mengada-ada. Kelakuannya tadi malam tidak bisa menipuku. Sudah jelas bahwa ia sangat risau."
"Baiklah." Yan menarik napas. Punggungnya ditekankannya ke batang pohon. Pandangannya menatap Dede. "Lalu, apakah kamu sudah berhasil menarik sebuah kesimpulan mengenai pelakunya""
"Belum." Dede menggeleng-geleng. "Mana bisa kita menarik sebuah kesimpulan kalau petunjuk yang kita peroleh masih sangat sedikit. Bahkan belum ada. Aku harus berbicara dulu dengan mereka itu."
"Ami Rifa" Bakri" Miskun"" sela Yan.
Dede mengangguk. "Barangkali juga dengan yang lainnya lagi. Baru setelah itu kita bisa mendapat gambaran yang lebih lengkap dan jelas."
"Yah, sampai detik ini kita baru mendengar dari Bu Nurman sendiri. Memang repot!" Yan menyisir rambutnya yang lebat dengan jari tangan.
Ira menyela, "De, tadi kamu bilang, kita belum menemukan petunjuk satu pun. Sebenarnya sudah. Aku sudah menceritakannya kepada Kak Yan. Tapi kami belum tahu apa hubungannya dengan kasus pencurian itu. Atau dengan kata lain, adakah hubungan antara petunjuk yang kutemukan dengan si pelaku kejahatan""
"Apa"" tanya Dede tertarik.
Ira menyampaikan hasil pengamatannya di meja kerja Bu Nurman. Bahwa ia melihat cairan manis yang meleleh ke laci. semut-semut yang berkerumun, foto yang berserakan di lantai, dan kertas pembungkus es krim dengan merek Lolita.
"Perasaanku - juga Kak Yan - mengatakan, hal itu pasti mempunyai arti yang penting. Hanya bagaimananya yang aku belum tahu," ujar anak perempuan yang rambutnya dikepang itu.
"Mana fotonya"" pinta Dede.
Ira menyerahkan foto gadis di tepi kolam renang itu.
"Kenapa kamu tidak membicarakan penemuan ini tadi malam"" tanya Dede.
"Di hadapan Bu Nurman"" ucap Ira. "Entahlah! Hanya perasaanku mengatakan, sebaiknya aku diam dulu. Tapi nanti aku akan melaporkannya pada Pak Dipa."
"Hmmm. aneh," gumam Dede.
"Apanya"" sergah Ira, mengharap Dede mengeta-hui sesuatu.
"Waktu itu aku kan membuka kulkas" Aku memang melihat ada es krim di dalamnya. Tetapi tidak ada yang capnya LOLITA. Aku yakin! LOLITA adalah es krim doyananku. Aku hapal gambar dan warna bungkusnya."
Ira mengerutkan kening mendengar keterangan itu. Lalu sambil menggerakkan tangan, tiba-tiba ia berseru. "Ahh, kiranya di situlah l
etak hubungan petunjuk yang kutemukan dengan kasus pencurian itu!"
Kedua anak laki-laki melemparkan pandangan ke arahnya.
Dengan ujung jari Ira melemparkan kucirnya ke belakang bahu. "Dede bilang tidak ada es krim Lolita dalam kulkas. Berarti es krim itu datang dari luar. Maksudku, ehhhh, bagaimana ya"" Ira menemukan kesulitan dalam mengutarakan jalan pikirannya.
"Maksudmu, mungkin ada orang yang datang ke kantor Bu Nurman, dan seseorang itu makan es krim LOLITA"" Yan membantu adiknya.
"Ya, itu!" "Belum tentu!" sela Dede tidak sependapat "Bagaimana kalau begini, sebelumnya memang ada es krim LOLITA dalam kulkas itu. Tapi cuma tinggal satu. Kemudian Bu Nurman sendiri yang meminumnya. Yaitu yang bungkusnya kamu temukan di bawah meja. Mungkin juga kan""
Ira menggoyang-goyangkan telunjuk, "itu memang mungkin terjadi, De. Tapi ada satu hal lagi yang membuat aku tetap yakin bahwa orang yang minum es krim itu bukan Ibu Nurman!" Ira melanjutkan, Bu Nurman adalah orang yang sangat memperhatikan kebersihan dan kerapian. Itu bisa kita lihat dan caranya mengatur ruang kerja dan ruang tidurnya. Rapi, bersih, sangat menyenangkan!"
Dede mengangguk-angguk. "Mengingat hal itu. apakah mungkin Bu Nurman berlaku begitu ceroboh" Membuang bungkus es krim sembarangan, kececeran, sehingga sebagian es yang manis itu meleleh ke dalam laci."
"Sehingga mengundang semut," Yan me-nyambung.
"Ya!" sahut Ira bersemangat. "Maka aku tetap yakin, si peminum es krim itu bukan Bu Nurman. Tapi orang lain... salah seorang dari mereka yang masuk ke kantor itu!"
"Wah, hebat sekali jalan pikiran Nona Ira!" puji Dede.
Yan bertepuk tangan, "Ayo kita sambut dengan tepuk tangan!" Dan ia pun bertepuk tangan. "Hahaha!"
Ira mencubit lembut bahu kakaknya. Bibirnya tersenyum simpul. Pipinya bersemu merah.
"Masalahnya kini, siapa orang itu"" tanya Yan setelah diam beberapa saat. "Aku tidak percaya bahwa Mbak Ami, Pak Bakri, Pak Miskun, atau bahkan Pak Edi Wilis - menghadap Bu Nurman sambil minum es krim! Bagaimanapun Bu Nurman kan majikan mereka" Mestinya mereka menghargai."
"Kecuali kalau waktu itu Bu Nurman sedang tidak ada," ujar Dede penuh arti.
"Ketika Bu Nurman sedang mengaso, maksudmu"" Ira menegaskan. "Kalau begitu si peminum es krim adalah si pencuri"" Bibir anak perempuan itu berdecap, meragukan kesimpulannya sendiri. "Tapi masa ada orang mencuri sambil makan es krim""
Dede menggaruk-garuk kepala. Matanya memper-hatikan foto gadis di tepi kolam renang. "Siapa dia"" gumamnya pelan.
"Barangkali Letnan Dipa tahu," kata Ira. Dimintanya fdto dari Dede. Sambil berpaling pada kakaknya ia bertanya, "Kapan kita menemui Letnan Dipa""
"Sekarang saja!" Yan menarik punggungnya dari batang pohon.
"Ayo!" sambut Dede antusias.
Yan memandang kedua rekannya. "Setidak-tidaknya sekarang kita sudah tahu sesuatu. Sehingga Pak Letnan tidak menganggap kita terlalu tolol, tidak bisa menarik kesimpulan sedikit pun dari penyelidikan tadi malam. Ayo!"
"Kita mampir ke toko kaca mata sebentar, ya" Barangkali kaca mataku sudah selesai diperbaiki."
IX. TAKTIK LETNAN DIPA 14 Kelompok 2&1 berhasil menemui Letnan Dipa di kantor polisi. Letnan Dipa-yang memang menunggu mereka - langsung menyuruh masuk.
Pak Dipa berdecak dan tertawa melihat Dede Sofyan sudah memakai kaca mata. "Kamu memang lebih ganteng kalau pakai kaca mata," katanya.
"Nah, apa kubilang"" Dede menoleh pada Ira. Kepalanya diangkat. Dadanya membusung. "Aku memang anak ganteng!"
"Uuuuu!" Ira mencibir.
"Jangan dipuji. Let. Nanti kepalanya bisa-bisa memuai!" seloroh Yan. Letnan Dipa terbahak.
"Bagaimana hasil diskusi kalian mengenai kasus Bu Nurman" Menemukan suatu kesimpulan"" tanya Pak Letnan.
"Sudah, Pak. Tapi masih samar-samar...."
"Oh ya"" Letnan Dipa memandang Ira. "Coba jelaskan!"
Ira menyampaikan teorinya tentang seseorang yang masuk ke ruang kerja Bu Nurman - dan bahwa orang itu minum es krim merek LOLITA.
"Bu Nurman tidak pernah menyinggung tentang orang yang menghadapnya sambil minum es krim. Meskipun demikian, saya
pikir orang itu perlu dicari, Pak. Sebab bukan tidak mungkin dialah si pencuri itu," kata Ira mantap. "Wah, hebat! Boleh juga teorimu! Kita beruntung karena Ira menemukan petunjuk yang berharga." Letnan Dipa mengangguk-anggukkan kepalanya.
Lalu Ira menyambung dengan masalah foto yang juga ditemukannya. "Ini fotonya. Pak. Apakah Anda pernah melihat
gadis dalam foto ini"" tanyanya. "Lho, ini kan Nia"" seru Letnan Dipa terkejut. "Nia Nurman"" tanya Yan. "Ya. dia!" Letnan Dipa terdiam. Pikirannya mulai mengaitkan hal yang satu dengan yang lain. Sambil merenungi foto si Nia dan mengusap-usap dagu. Tiba-tiba Yan berkata, "Jangan-jangan Nia Nurman, memang dia! Orang yang kita duga menghadap Bu Nurman sambil minum es krim!"
Kelompok 2 Dan 1 Pencuri Intelek Karya Dwianto Setyawan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Letnan Dipa mengangguk dan menggumamkan sesuatu.
"Ir, kamu kan bilang, cairan yang mungkin bekas es krim itu meleleh masuk laci, sehingga mengun-dang semut," Dede ikut menimbrung.
Ira mengiyakan. "Kalau kita pikir, mana ada pegawai yang berani membuka-buka laci bosnya sambil minum es krim"
Lain soal kalau dia adalah - anak si bos itu sendiri!"
Dede membuka lengan dengan muka puas. "Ya, itulah!" kata Yan sependapat.
"Pak, Apakah Anda kenal dengan Kak Nia"" tanya Ira pada Letnan Dipa.
"Bu Nurman pernah mengenalkan Nia kepadaku. Tapi asal berkenalan saja. Aku tidak tahu banyak mengenai dirinya," jawab Pak Dipa.
"Yang mengherankan, kalau betul Kak Nia juga masuk ke ruang kerja Bu Nurman waktu itu, mengapa Bu Nurman tidak mengatakannya pada kita"" tanya Ira lebih kepada diri sendiri.
"Tentu saja supaya anaknya tidak ikut dicurigai," sahut Dede.
"Aku ingat sekarang!" sela Yan. Kata-katanya selanjutnya ditujukannya kepada Letnan Dipa. "Tadi malam - sebelum meninggalkan kantor - saya sempat menanyakan sesuatu kepada Bu Nurman. Saya bertanya, 'Apakah Ibu tidak lupa mengatakan tentang orang lain-selain Mbak Ami, Pak Bakri. Pak Miskun - yang juga masuk ke ruang kerja Ibu, pada waktu Ibu sedang mempelajari dokumen"'" Yan diam sebentar. "Saya ingat betul. Pertanyaan saya membuat roman muka Bu Nurman berubah."
"Aku juga melihat, Yan," ujar Letnan Dipa. "Bu Nurman seperti akan mengatakan sesuatu, tetapi tidak jadi."
"Persis!" Yan nampak puas karena Letnan Dipa sependapat.
"Jadi, apakah Kak Nia pencurinya"" Ira minta kepastian.
"Ahh, belum tentu, Ir, belum tentu! Yang jelas kini kita mendapat sebuah petunjuk lagi. Yaitu, bahwa Nia Nurman juga masuk ke ruang kerja itu. Dan bahwa Bu Nurman sengaja menutupi hal itu. Kemudian, apa yang dilakukan Nia di ruang kerja ibunya, dan mengapa Bu Nurman menutupi hal itu... itulah yang harus kita ketahui." Letnan Dipa mengangguk mantap.
"Apa rencana Anda, Pak"" tanya Yan.
"Kita harus menanyai Bu Nurman khusus mengenai Nia," Jawab Pak Dipa. "Tapi itu nanti." Pak Dipa mengulapkan tangan. "Sebelumnya aku punya tugas untuk kalian. Kalian harus membantuku mewawanca-rai Ami Rifai, Bakri, dan Miskun."
"Mewawancarai mereka dalam kasus itu"" tanya Dede heran.
"Tentu saja. Masa mengenai sepak bola... hahaha!"
"Bukan begitu, Let!" potong Dede. "Kan tadi malam sudah ada kesepakatan antara Bu Nurman dengan kita" Bahwa peristiwa itu jangan sampai berkembang menjadi sebuah kehebohan. Bahwa Bu Nurman tidak menghendaki karyawan atau karyawatinya tahu tantang hilangnya dokumen itu. Iya, kan""
Sambil tetap tertawa lebar Pak Dipa membenarkan. "Benar. Tapi apakah kita bisa menyelidiki sesuatu kalau masalahnya tidak jelas"" ujarnya. "Tidak bisa, kan" Maka aku lalu memikirkan sebuah cara lain."
Anak-anak menunggu kelanjutan kata-kata Letnan Dipa dengan penuh perhatian.
"Caranya begini, kita tetap harus mewawancarai orang-orang yang kita butuhkan keterangannya. Terutama mereka yang masuk ke ruang kerja pada waktu Bu Nurman sedang menekuni dokumen. Tetapi," Letnan menaikkan telunjuknya, "dalam menanyai mereka, kita tidak perlu menyinggung masalah lenyapnya dokumen itu. Yang kita bicarakan adalah tentang hilangnya arloji Ibu Nurman!"
Anak-anak mengangguk-anggukkan kepala. Dalam hati mereka memuji kejiluan taktik Letnan Dipa.
"Dengan d emikian." Letnan melanjutkan, "kita tetap bisa mengusut tanpa membuat orang lain tahu.
kecuali si pencuri, bahwa Bu Nurman telah kehilangan dokumen penting."
"Bagus!" seru Yan, puas dan sangat setuju.
"Anda sudah membicarakan rencana itu kepada Bu Nurman"" tanya Ira.
"Sudah. Tadi pagi, sebelum ke kantor, aku mampir ke rumah Bu Nurman. Kuutarakan rencanaku, ia mengerti, dan yang penting setuju. Kemudian kami atur demikian. Hari ini Bu Nurman akan memberi tahu Ami Rifa Miskun dan Bakri tentang hilangnya arlojinya yang berharga tiga perempat juta. Dan bahwa ia telah melaporkan kejadian itu kepadaku, kepada polisi! Maka nanti Ami, atau Bakri, atau Miskun, jangan kaget bila ada yang minta keterangan pada mereka." Letnan Dipa mengacungkan telunjuk kepada anak-anak. "Dan tugas untuk minta keterang-an pada mereka kuserahkan kepada kalian. Ini sesuai dengan harapan Bu Nurman. Supaya dalam peng-usutan perkara ini polisi tidak kelihatan terlampau ikut campur. Tinggal bagaimana kalian. Sanggup""
"Sanggup, Pak!" sahut Dede langsung.
"Aku percaya pada kemampuan kalian." Letnan Dipa menghembuskan napas dengan tiupan besar. "Setelah ini aku harus menghadiri rapat di Kowil[Komando wilayah] Nanti sore, mungkin agak malam, aku akan ke rumahmu Yan. Kuharap waktu itu aku dapat menerima laporan lengkap."
"Siap. Let!" Yan berdih dan memberi salut. "Tugas akan kami laksanakan sebaik-baiknya!"
Letnan Dipa tersenyum lebar.
"Jadi hanya ketiga orang itu yang harus kami datangi" Bagaimana dengan Pak Edi Wilis"" tanya Ira.
"Edi dan Nia bagianku," sahut Letnan Dipa. "Ada pertanyaan lain""
"Cukup, Pak. Kami mohon diri untuk segera melaksanakan tugas." jawab Yan.
"Sekarang"" Letnan Dipa mencondongkan mukanya ke depan. "Sekarang masih jam kerja. Yan. Tugas itu baru bisa kaulakukan nanti sore, setelah orang-orang itu pulang kerja. Datangi rumahnya. Katakan bahwa kalian adalah wakil-wakilku. Oh ya... alamatnya. Catat dulu, Ir!"
Ira mencatat alamat Mbak Ami, Pak Miskun, dan Pak Bakri.
Setelah itu Kelompok 2&1 meninggalkan kantor Letnan Dipa. Di halaman tampak beberapa polisi yang masih muda-muda - baru selesai berlatih seni bela diri pencak silat. Wajah mereka kemerah-merahan dan bersimbah peluh. Sementara di depan kantor lalu lintas, seorang polisi lalu lintas yang baru berpatroli, turun dari sepeda motor. Bapak polisi ini, yang kenal dengan Dede, melambaikan tangan.
X. LAKI-LAKI YANG SEDANG RISAU
15 Pak Miskun tinggal di sebuah rumah sempit, di sebuah kampung yang penghuninya berjubel-jubel. ia tinggal di situ bersama istri dan keempat anaknya
Pak Miskun berusia 40-an. Namun penampilannya kelihatan jauh lebih tua daripada umurnya sebenarnya. Barangkali itu disebabkan karena pelbagai macam penderitaan yang mesti ditanggungnya Maklumlah, dia hanya seorang pesuruh dengan gaji pas-pasan. Sementara ada sekian banyak jiwa yang menjadi tanggung jawabnya. Kiranya bisa diperkirakan betapa sulit hidupnya.
Laki-laki tamatan SD, yang tidak sempat melanjutkan ke SLTP itu, bermuka lancip. Pipinya bergaris-garis kerut. Rambutnya yang sudah beruban disisir ke belakang. Kering. Tanpa minyak. Penampilannya amat sederhana. Ketika sore itu ditemui Yan dan kawan-kawan, ia memakai sarung dan kaus oblong yang telah usang.
Kelompok 2&1 memutuskan untuk menanyai laki-laki itu pertama kali. Supaya sejalan atau searah kalau nanti mereka harus ke rumah Pak Bakri dan Mbak Ami Rita.
Yan dan kawan-kawan memperkenalkan diri kepada Pak Miskun. Sambil memberi tahu bahwa mereka datang ke situ mewakili Letnan Dipa.
Pak Miskun segera maklum. Anaknya yang bungsu - yang sedang menggambar di meja tamu disuruhnya bermain-main di luar.
"Tadi Ibu..." Maksudnya Bu Nurman, "sudahi memberi tahu mungkin saya akan didatangi Pak Letnan, atau tiga orang anak. Ternyata kalian yang datang. Apa yang bisa saya terangkan. Nak""
Anak-anak segera menyukai Pak Miskun. Terutama pada sikapnya yang kelihatan menghargai orang lain.
"Kami cuma ingin minta keterangan sedikit. Pak," kata Yan. "Bapak sudah mengerti masalahnya, bukan""
"Sudah. Saya kaget waktu tadi Ibu memberi tahu bahwa arlojinya yang bagus itu-dicuri. Padahal arloji itu harganya mahal sekali. Kasihan, Ibu." Caranya menjawab dan berkata-kata sangat polos, wajar. Tidak ada rasa gugup atau gelisah. Sehingga memberi kesan ia tidak tahu apa-apa mengenai kasus pencurian itu.
Yan merasakan hal itu. Namun ia sudah cukup berpengalaman menanyai orang dalam suatu kasus. Itu sebabnya ia tidak ingin terkecoh. Dengan tenang ia menyusulkan pertanyaan-pertanyaannya:
"Kata Ibu, sekitar jam dua Bapak masuk ke ruang kerja Ibu. Untuk mengambil piring. Berapa lama Bapak di ruang kerja itu""
"Paling-paling satu menit," jawab Pak Miskun. "Mengambil piring, lalu keluar lagi."
"Tidak omong-omong"" pancing Dede.
Pak Miskun menggeleng. "Saya lihat Ibu sedang tekun membaca. Saya tidak berani mengganggu.
jadi, setelah mengambil piring, saya langsung keluar."
"Waktu itu Bu Nurman membaca koran, majalah, atau..." Ira - yang ikut bertanya - sengaja tidak menyelesaikan pertanyaannya. Maksudnya agar Pak Miskun yang menyelesaikan.
Namun jawaban Pak Miskun di luar harapannya. Pak Miskun berkata, "Ibu sedang membaca apa, ya" Wah. saya tidak begitu memperhatikan. Pokoknya waktu itu Ibu sedang duduk di belakang meja dan membaca. Lalu saya mengambil piring bekas gado-gado itu, terus keluar."
"Terus, Pak Miskun ke mana"" tanya Yan.
"Ke rumah makan. Mengembalikan piring."
"Rumah makan itu juga dalam kompleks pertokoan Dasa Indah"" tanya Yan lagi.
"Ya, tapi agak jauh dan kantor Ibu."
"Berapa lama Bapak di situ"" Ganti Dede yang bertanya.
"Cukup lama juga. Kira-kira setengah jam lebih. Atau malahan satu jam."
"Wah, lama sekali!" kata Dede, mendorong kaca mata ke belakang. "Kenapa begitu lama, Pak""
"Saya mengobrol dengan kasir rumah makan itu," jawab Pak Miskun tenang. "Kadang-kadang memang begitu. Habis, pekerjaan saya sudah beres. Daripada ngantuk di kantor" Mendingan mengobrol sambil menunggu waktu pulang."
"Lalu. bagaimana kalau tenaga Bapak diperlukan""
"Ya, dipanggil! Orang kantor kan sudah saya pamiti." Pak Miskun mengangkat tangannya. "Sebentar, saya ambil tembakau dulu. Mulut saya kecut kalau tidak merokok."
Lalu laki-laki itu menyibakkan gorden yang membatasi ruang tamu dengan ruang dalam. Tak lama kemudian ia muncul lagi, membawa tembakau dan kertas rokok.
"Bapak tidak bisa menyuguh kalian. Minuman pun tidak. Soalnya istri saya sedang pergi. Maaf, ya," katanya sambil duduk lagi.
"Ah, tidak apa-apa, Pak," jawab Ira. "Istri Bapak ke mana""
"Ke dokter. Mengantarkan anak saya yang ketiga." Sambil berkata-kata tangannya melinting kertas rokok yang berisi tembakau, dengan gerak yang cekatan. Setelah jadi, lidahnya menjilati tepi kertas rokok, menggulungnya, kemudian dijepitkannya rokok itu ke bibir. "Anak saya sakit. Entahlah, ada-ada saja halangan yang terjadi pada keluarga saya." Pak Miskun menghela napas. Tampak prihatin.
"Sakit apa, Pak"" tanya Ira.
"Infeksi. Kata dokter, cukup parah. Harus diinjeksi beberapa kali." Tanpa diminta Pak Miskun menerang-kan penyebab penyakit anaknya, "Hari Minggu kemarin ia pergi memancing dengan teman-temannya. Ketika menuruni tebing sungai, Kasdi tergelincir, ia jatuh. Jatuhnya tidak seberapa. Tapi malangnya, kaki Kasdi tercocok dahan yang runcing. Setelah itu kakinya bengkak dan bernanah. Makin lama kelihatannya kok makin parah. Lalu oleh ibunya Kasdi dibawa ke dokter. Ternyata infeksi. Kasep, kata Pak Dokter. Terpaksa dia harus balik beberapa kali. Injeksi, obat, ongkos dokter...." Pak Miskun menghela napas panjang. "Pusing saya memikirkannya. Mana kami ini orang miskin!"
Anak-anak terdiam mendengar keluh kesah Pak Miskun. Ira menatap laki-laki itu dengan pandangan
menyiratkan rasa ikut prihatin. Kemudian ia bertanya, Bapak tidak minta bantuan kepada Ibu Nurman" Kan
kelihatannya Ibu Nurman orang yang baik"" "Oh ya, Ibu memang orang baik. Tetapi dalam soal sakitnya Kasdi. saya sengaja tidak memberi tahu Ibu.
Saya sungkan. Nak. Sudah sering saya-menerima Bantuannya." Pak Miskun mematikan api rokok da
lam asbak "Kalau terus-terusan saya jadi tidak enak pendiri."
Ira memandang kakaknya. Dan Yan bertanya, "Tampaknya Pak Miskun sudah lama bekerja pada Bu Nurman""
"Sudah. Sejak Pak Nurman masih hidup, dan mulai merintis usaha pabrik pipa pralon itu." "Kembali kepada soal tadi. Pak. Setelah dari rumah makan Pak Miskun ke mana"" Pak Miskun memandang Yan. "Ya terus kembali ke kantor. Waktu itu jam kerja hampir berakhir."
"Menurut penglihatan Bapak bagaimana suasana dalam kantor waktu itu""
"Biasa saja. Ibu juga kelihatan biasa. Malahan bada waktu saya berpamitan, beliau masih bisa berkelakar pada saya. Oleh karena itu saya tidak mengira bahwa waktu itu Ibu baru kehilangan arloji. Setelah tahu, saya heran! Alangkah pintarnya Ibu menyembunyikan perasaannya - yang tentunya sedih dan marah karena hilangnya arloji itu."
Ketiga anggota Kelompok 2&1 saling bertukar pandang. Mereka merasa tidak ada pertanyaan lain yang harus mereka ajukan. Setelah mengobrol [beberapa saat lagi dengan Pak Miskun, mengenai Kasdi, mereka pun minta diri
Ira berkata pada laki-laki itu, "Saya doakan anak Bapak cepat sembuh. Jangan terlalu susah, Pak." Ira tersenyum, menguatkan hati Pak Miskun. Setelah itu ia menyusul kedua anak laki-laki yang sudah berjalan lebih dulu.
16 Ketiga anak itu berjalan di lorong-lorong yang sempit, jalan berlapis batu yang menanjak, hinggai akhirnya mencapai tepi jalan raya.
Dalam rangka perjalanan penyelidikan kali itu mereka sengaja tidak naik sepeda. Mereka memutus-kan naik bemo, mengingat jarak rumah-rumah yang harus didatangi terletak di kawasan yang berjauhan
Sebuah bemo ke jurusan alamat Pak Bakri -sasaran mereka yang kedua-lewat melintas. Tetapi Yan tidak menyetop, ia malahan mengajak kedua rekannya menepi ke tepi jalan yang agak sepi. Di situ ia membicarakan kesimpulannya mengenai Pak Miskun.
"Kukira kalian sependapat," ujarnya, "Jika aku berkata, sulit rasanya mencurigai Pak Miskun dalami kasus itu."
Ira langsung menyambut kata-kata kakaknya dengan anggukan mantap. "Pak Miskun rasanya terlalu jujur untuk mencuri. Ketika kita tanya, jawabannya lancar dan meyakinkan. Menunjukkan bahwa ia tidak tahu sama sekali mengenai pencurian itu."
"Rasanya kamu ingin segera menyisihkan Pak Miskun dari daftar orang-orang yang bisa dicurigai, bukan"" tebak Yan yang mengerti jalan pikiran Ira Yan tersenyum lebar.
Ira tidak menyangkal. "Tetapi, rasanya ia punya alasan. Andaikata ia melakukan pencurian itu," kata Dede pelan. Ira memandangnya lurus. Dede melanjutkan, Keadaan nya sedang terpepet. Anaknya sedang sakit, ia butuh uang!"
"Tuduhanmu tidak adil, De!" sergah Ira keras. "Biar terpepet aku yakin Pak Miskun tidak mau melakukan perbuatan tercela itu. Lagi pula masa setiap orang yang terpepet - terus mencuri" Pak Miskun sangat menghormati Bu Nurman. ia pun sangat menghargai kebaikan Bu Nurman terhadapnya. Tidak mungkin ia akan sampai hati membuat sedih hati Bu Nurman, dengan mencuri miliknya." Terdorong oleh rasa simpatinya terhadap Pak Miskun, Ira berbicara berapi-api. ia ingin membela Pak Miskun dari pendapat negatif kedua rekannya. "Eee... eee... kamu kok jadi sewot" Siapa yang menuduh' Kita ini kan sedang melakukan penyelidik an" Tentunya siapa pun yang bisa kita curigai, harus kita curigai. Tidak terkecuali Pak Miskun!" sahut Dede. matanya melotot. "Aku juga punya perasaan yang sama denganmu terhadap Pak Miskun. Tetapi jangan karena itu, kita lalu menjadi lemah!" Yan tertawa kecil melihat perdebatan antara adiknya dan Dede.
Ira mengerling sengit. Kemudian dengan perilaku merajuk ia membalikkan badannya, berjalan ke tepi
jalan raya untuk menyetop bemo.
"Inilah susahnya kalau kita melibatkan anak perempuan!" sungut Dede. "Perasaan melulu yang didulukan!"
Yan terbahak Lalu digamitnya bahu Dede. Kedua anak laki-laki itu menghampiri Ira yang sedang menunggu bemo dengan muka cemberut.
Hingga kemudian sebuah bemo berhenti di depan
mereka. XI. YANG GARANG DAN YANG RAMAH
17 Yan memijit bel di atasnya. Bemo tua yang mesinnya berbunyi ogrok-ogrok itu
menepi, lalu berhenti. Anak-anak turun, Yan membayar ongkos-nya, kemudian melangkah ke seberang jalan.
Dede Sofyan melihat Ira masih cemberut. Hatinya jadi gatal. Digodanya Ira habis-habisan. Sampai anak perempuan itu bisa tertawa lagi. Meskipun untuk itu Dede harus membayar dengan rasa perih pada lengannya karena cakaran Ira.
"Rumahnya nomor 34, kan"" tanya Yan pada adiknya.
Ira mengangguk. "Dua nomor lagi.... Itu dia!" Yan menuding sebuah rumah di kanan jalan itu.
Rumah Pak Bakri bercat kuning. Di depan rumah itu tampak seorang wanita-pembantu rumah tangga-sedang melongok-longok ke ujung jalan. Entah apa yang sedang ditunggunya. Barangkali tukang sate.
Yan mendekati wanita itu. dan menanyakan apakah Pak Bakri ada di rumah.
"Kalian siapa"" tanya pembantu itu dengan suara garang.
"Kami disuruh Bu Nurman," jawab Dede singkat. "Tolong beri tahu Pak Bakri!"
"Oh." Sikap pramuwisma - yang mula-mula kelihatan acuh tak acuh itu - berubah, ia tahu bahwa Bu Nurman adalah majikan dari majikannya. "Mari!" ajaknya.
Anak-anak mengikuti pramuwisma itu sampai ke teras rumah.
"Tunggu sebentar," kata pramuwisma itu. Lalu ia masuk untuk memberi tahu majikannya.
Anak-anak menunggu. Dari dalam sayup-sayup terdengar suara musik film. Dede menduga Pak Bakri sedang menyetel video.
Tak lama kemudian seorang laki-laki muda bertubuh pendek muncul di pintu. Laki-laki itu berpipi penuh dan berkumis. Tatapan matanya tajam menusuk. Kelihatannya ia cukup sombong.
"Aku Bakri. Ada perlu apa"" tanyanya tanpa menyilakan anak-anak masuk.
Ira dibuat mengkerel oleh sambutan laki-laki itu. Sebaliknya Yan mencoba bersikap tenang. "Selamat sore. Pak," katanya. "Kami disuruh Letnan Dipa untuk sekadar omong-omong dengan Anda...."
"Disuruh Letnan Dipa, atau Bu Nurman"" tukas Pak Bakri tajam.
Dede tidak sabar melihat sifat sok laki-laki itu. Dengan lantang ia menjawab, "Kedua-duanya! Letnan Dipa juga. Bu Nurman juga! Saya kira tadi Bu Nurman telah memberi tahu Anda bahwa kami, atau Letnan Dipa, akan menemui Anda."
"Memberi tahu tentang apa" Aku tidak diberi tahu apa-apa!" Mata Pak Bakri melotot.
Dede tersentak. "Wah, jadi Bu Nurman belum memberi tahu Pak Bakri" Kukira sudah... seperti yang terjadi pada Pak Miskun...." Dede jadi salah tingkah.
Yan segera bertindak untuk mendinginkan suasana. Dengan suara tenang dan sopan, ia berkata, "Ehh, anu... begini. Pak... mengenai masalah itu... saya yakin Ibu Nurman sudah memberi tahu Anda."
Di luar dugaannya, Pak Bakri mengulapkan tangan. Dengan suara bernada mengusir, ia berkata, "Aku sedang nonton video. Aku tidak punya waktu untuk beromong kosong dengan kalian. Maaf ya. Anak-anak!" Mulutnya berkata 'maaf, tapi mukanya mencerminkan keangkuhan. Nada suaranya membentak.
Anak-anak merasa kehilangan akal untuk mendekati laki-laki itu. Sebelum mereka mengatakan sesuatu lagi, Pak Bakri telah menggabrukkan daun pintu.
"Sombong!!" umpat Dede. Kaki kanannya diayunkannya, seolah-olah mau menendang daun pintu. Tepat pada saat yang sama, pintu dibuka lagi oleh Pak Bakri. Bola mata laki-laki itu seperti akan melompat keluar dari rongganya melihat tingkah si Dede
"Mau apa kamu" Mau apa"!" sentak laki-laki itu sambil melangkahi ambang pintu.
Mata Dede yang terlindung kaca mata menentang pandangan Pak Bakri. Namun kakinya melangkah mundur-mundur.
Melihat gelagat yang tidak menguntungkan, Ira segera menarik lengan Dede. Ditariknya Dede untuk meninggalkan rumah Pak Bakri. Yan menyusul kedua rekannya. Tanpa berpamitan, bahkan tanpa menoleh sekali pun, ketiga anak itu bergegas-gegas menjauhi rumah Pak Bakri.
Dede melontarkan cacian sejadi-jadinya setelah mereka berada jauh dari rumah Pak Bakri. "Amit-amit, ada orang kok sombongnya seperti itu! Matanya seperti mata ikan, melotot terus! Untung tidak betul-betul melompat keluar dari pelupuknya! Aku tidak terima... aku tidak terima...." Sambil melangkah Dede mengayun-ayunkan kepalan tangannya.
"Sttt, jangan seperti orang sinting!" Ira memperingatkan. "Biar kamu tidak terima, apa yang bisa kamu lakukan""
"Dia b elum kenal siapa kita!" kata Yan yang juga panas hati bila teringat lagak. Pak Bakri. "Ah, sudahlah! Anggap saja kita telah gagal mendekati Pak Bakri. Biar nanti Letnan Dipa sendiri yang mengusut si Angkuh itu," ujar Ira menenangkan. "Memang cuma itu yang bisa kita lakukan. Tapi biar bagaimana aku tetap merasa kurang enak. Karena kita telah gagal mewawancarai salah seorang dari mereka bertiga," ucap Hardian dengan muka muram. "Pak Bakri sama sekali tidak memberi kesempatan kepada kita!"
"Jangan-jangan karena Bu Nurman memang belum memberi tahu dia," sela Ira.
"Tidak mungkin!" cetus Dede. "Jika Pak Miskun sudah diberi tahu. tentu dia juga sudah. Hanya dia tidak mau menemui kita. Dasar si Mata Ikan!"
Ira mengayunkan langkah, membarengi kedua anak laki-laki, sambil mengerutkan kening. Teringat dia akan jawaban Bu Nurman tentang Pak Bakri tadi malam.
Bahwa Pak Bakri masuk menemui Bu Nurman untuk minta tanda tangan, tepat pada waktu Bu Nurman sedang mempelajari dokumen itu. Pada waktu mendengar keterangan itu ia sempat berpikir, "Berarti Pak Bakri punya kesempatan untuk memperhatikan isi dokumen itu secara diam-diam...."
Tadi sebelum tiba di rumah Pak Bakri, Ira sudah merencanakan pertanyaan yang bisa memberi kepastian tentang hal itu. Apakah Pak Bakri membaca dokumen itu secara diam-diam, atau tidak" Namun kini semuanya buyar, karena Pak Bakri tidak menunjukkan sikap yang bersahabat!
Ira menghela napas. Kemudian ia berkata untuk membesarkan hatinya sendiri dan hati kedua rekannya, "Tak apalah! Kita masih bisa bertanya pada Mbak Ami. Siapa tahu kita menemukan petunjuk baru. Sehingga tidak perlu lagi berurusan dengan Pak Bakri!"
18 Mendung meliputi langit di atas kota. Sore terasa kelabu. Orang-orang yang berlalu-lalang memper-cepat langkah. Khawatir kalau hujan tiba-tiba tercurah. Hal yang mendorong orang untuk tergesa-gesa itu juga meliputi perasaan Yan, Dede, dan Ira. Mereka mempercepat langkah sampai tiba di rumah Mbak Ami Rifa.
Ira terkesan melihat rumah mungil berhalaman hijau asri di hadapannya. "Pasti ini rumahnya," katanya.
Yan mendorong pintu halaman yang sebelumnya sudah terbuka sedikit. Perlahan-lahan ia mendekat ke rumah.
"Kok sepi, ya" Apa dia tidak keluar"" suara Ira hampir berbisik. Langkahnya dalam mengikuti kakaknya membayangkan keraguan. Agaknya anak perempuan itu masih tercekam oleh sambutan Pak Bakri tadi. Bagaimana kalau Mbak Ami juga begitu"
Mukanya berkerut membayangkan sambutan kasar yang mungkin bakal diterimanya.
Sementara itu Yan menoleh pada Dede. Dede menggerakkan dagunya. Yan lalu menghampiri pintu rumah dan bersiap-siap memijit bel. Namun sebelum itu dilakukannya, terdengar suara menyapa dari arah samping rumah.
Anak-anak menoleh. Tampak Mbak Ami Rifa muncul dari sudut rumah. Gadis berumur dua puluh lima, yang bermuka lonjong itu, membawa gunting tanaman. Sambil tersenyum ramah Ami Rifa mendekati anak-anak.
Melihat sikap Mbak Ami. seketika legalah hati ketiga anak itu. Mereka mulai yakin bahwa di rumah ini, mereka takkan menjumpai sambutan kasar dan bermusuhan - seperti di rumah Pak Bakri.
"Jadi kalian yang menemuiku, bukan Letnan Dipa"" tanya Mbak Ami. Pertanyaan itu jelas menunjukkan bahwa ia telah diberi tahu oleh Bu Nurman.
"Pak Letnan harus mengikuti rapat di Kowil, Mbak," Ira yang menjawab. Tidak takut-takut lagi. "Dan kami yang diberi tugas menemui Anda."
"Hemm, jadi kalian ini detektif cilik""
"Ah, bukan." jawab Yan merendah.
Namun dengan sikap sebaliknya, Dede justru berkata, "Kira-kira begitulah! Kami telah beberapa kali membantu Pak Letnan menangani sebuah kasus. Itu sebabnya beliau mau mempercayai kami... yah, dalam soal-soal seperti itu!"
Yan mengerling tajam pada Dede. Dede mencondongkan mukanya ke arah Hardian. Seakan-akan mau berkata, "Kenyataannya memang begitu toh" Kenapa mesti ditutup-tutupi""
Mbak Ami mengajak anak-anak masuk ke rumah.
"Aku tidak tahu sama sekali bahwa Bu Nurman kecurian arloji. Aku tahu baru tadi, setelah Bu Nurman membeberkan kasus pencurian itu. Ayo, silakan duduk!" Mbak Ami mengarahk
an tangan ke kursi tamu. "Wah, Mbak Ami pandai mengatur rumah. Menyenangkan sekali duduk di ruang tamu seperti ini," kata Ira sambil mengedarkan pandangan. Akhirnya pandangannya berhenti pada penyekat ruangan dari bambu yang dipernis. Ira menggamit bahu Dede yang duduk di sebelahnya, "Lihat itu, De. Artistik sekali, ya""
Dede mengangguk. "Rumah Mbak Ami biar mungil tapi bagus," pujinya.
Ami Rifa terkekeh. Senang hatinya menerima pujian anak-anak.
"Tapi sayangnya rumah ini bukan rumahku sendiri. Aku menyewa. Dik... siapa namanya""
"Dede, Dede Sofyan," sahut Dede memperkenalkan diri.
"Adik yang itu""
"Yan, Hardian. Ini adik saya - Ira." "Anda tinggal sendiri di sini"" tanya Hardian. "Bersama seorang adikku - Tiar. Dia sedang pergi kuliah."
Lalu Mbak Ami menuturkan asal-usulnya secara singkat, ia lahir dan besar di Kuala Kapuas, Kalimantan Tengah. Setelah lulus SMA ia melanjutkan sekolahnya ke Akademi Sekretaris di Yogyakarta. Lulus dari akademi itu ia mendapat pekerjaan di Surabaya. Kemudian pindah lagi ke kota kelahiran Yan. Di kota ini mula-mula ia bekerja di pabrik termos. Lalu pindah ke kantor Ibu Yuniti Nurman.
Merasa telah cukup mapan. Mbak Ami kemudian mendatangkan Tiar, adiknya, yang juga ingin melanjutkan studinya di Pulau Jawa. Sejak satu tahun yang lalu ia menyewa rumah yang ditempatinya sekarang. Sangat menyenangkan mengobrol dengan Ami Rifa. Terutama karena sifatnya yang hangat dan ramah taman.
"Mbak, ngomong-ngomong apakah arloji Bu Nurman yang hilang itu betul-betul bagus"" pancing Ira setelah mereka bercakap-cakap tentang diri Mbak Ami.
"Oh, bukan cuma bagus... begini!" Mbak Ami mengacungkan jempolnya. "Maklum, harganya saja sekian mahalnya. Pokoknya bagus deh! Aku pernah mencoba melingkarkan arloji itu di tanganku. Aduh, manis sekali! Sayang, aku tidak punya uang sebanyak itu untuk membelinya... hehehe."
Dede menatap tegang pada mata gadis itu. ia teringat pada jalan pikirannya sendiri, tadi malam, setelah mendengarkan keterangan Bu Nurman: Ami masuk waktu aku sedang menekuni dokumen, ia mencari berkas dalam lemari arsip di belakang. Di belakang kursi Bu Nurman" Berarti Mbak Ami punya kesempatan untuk melirik isi dokumen secara diam-diam! Dede menarik napas. Dan membuang pandangan ketika Mbak Ami balas menatapnya.
Yan mengajukan pertanyaan seperti kepada Pak Miskun,
"Kata Bu Nurman, sekitar jam dua lebih kemarin. Mbak Ami masuk ke ruang kerja Bu Nurman. Untuk mengambil berkas di lemari arsip. Waktu itu apakah Bu Nurman duduk di belakang mejanya""
"Ya. kulihat Bu Nurman sedang menekuni sesuatu. Tampaknya berkas-berkas dalam sebuah map. Ketika aku masuk, Bu Nurman cepat-cepat melingkarkan lengannya di atas map itu. Rupanya dia tidak ingin aku mengetahui isi berkas itu." Mbak Ami diam sesaat "Aku pun tidak ingin tahu," sambungnya. "Aku minta izin untuk mengambil berkas penting yang kubutuh-kan. Setelah Bu Nurman mengangguk, aku langsung menuju lemari arsip."
"Dan apa yang dilakukan Bu Nurman kemudian""
"ia kembali menekuni berkas dalam map itu. Aku pun sibuk mencari berkas-berkas yang kuperlukan untuk membuat laporan."
"Apakah Anda tidak ingin tahu tentang doku... eh, berkas... yang sedang ditekuni Bu Nurman"" cetus Dede, memancing.
"Untuk apa" Hal itu sedikit pun tak terlintas dalam pikiranku. Aku cuma ingin segera menemukan berkas yang kucari. Supaya lekas bisa menyelesaikan laporan yang mesti kubuat." Mbak Ami membalas pandangan Dede.
"Berapa lama Mbak Ami dalam ruang kerja Bu Nurman"" tanya Ira.
"Wah, aku tidak ingat! Pokoknya begitu aku menemukan berkas yang kucari, aku pun keluar."
"Mbak tidak bercakap-cakap dulu dengan Bu Nurman""
"Tidak. Aku langsung keluar."
"Apakah waktu itu Mbak Ami melihat arloji itu"" tanya Yan.
"Ya, tapi masih melingkar di pergelangan Bu Nurman. Makanya aku heran, bagaimana arloji itu bisa hilang" Kata Bu Nurman, ia melepaskan arloji itu sebelum mengaso di ruang tidur. Aku bilang, apa Ibu tidak lupa" Tapi dia tetap berkeras. Tidak, katanya."
Mbak Ami akan berdiri dari kursinya. "Kuambilkan kalian minum
an dulu. ya"" "Ah, tidak usah. Mbak," cegah Hardian cepat.
"Tidak apa-apa." Ami Rifa berdiri.
"Baiklah, tapi nanti saja. Mbak," cegah Yan lagi. "Biar saya menyelesaikan pertanyaan saya dulu."
"Oke!" Mbak Ami duduk lagi.
Setelah itu Yan kembali melanjutkan pertanyaan yang telah tersusun dalam kepalanya,
"Ehhh, oh ya, setelah keluar dan ruang kerja Bu Nurman, apa yang Mbak Ami kerjakan""
"Mengetik. Kan sudah kubilang bahwa aku harus mengerjakan sebuah laporan. Tapi... itu tidak lama." Ami Rifa menggeleng.
"Kenapa"" tanya Dede.
"Karena di luar kantor terjadi peristiwa yang menarik perhatian kami. Maksudku bukan aku sendiri, tetapi juga rekan-rekanku lainnya." Mbak Ami melanjutkan, "Waktu itu ada copet tertangkap basah. Dan copet itu bukan sembarang pencopet. Melainkan pencopet wanita yang cantik. Seperti peragawati! Langsing dan cantik. Siapa pun tidak akan mengira bahwa wanita secantik dia ternyata seorang pencopet!
"Kejadiannya, dia mencopet uang sejumlah delapan puluh ribu dari dalam tas seorang ibu. Ketika Ibu itu sedang berbelanja di toko kue-kue. Untungnya ibu yang menjadi korban itu tahu, ia langsung berteriak, 'Copet! Copet!' Orang banyak segera menangkap pencopet yang cantik itu. Suasana di kompleks DASA INDAH jadi heboh oleh peristiwa itu. Orang-orang berhamburan keluar dari toko atau kantor untuk melihat pencopet yang sedang diinterogasi di kantor keamanan."
"Termasuk Anda dan rekan-rekan"" sela Dede. "Ya."
"Semua pergi ke luar" Kalau begitu kantor PT Segara kosong""
"Kira-kira begitu." Mbak Ami tertawa. "Rasanya kurang disiplin, ya" Masa waktu bekerja kok malahan pergi ke luar semua" Tapi kalian jangan menyalahkan. Kejadian seperti itu kan tidak tiap hari terjadi" Jadi kami semua ingin tahu," tambah Mbak Ami.
Yan mengangguk-anggukkan kepala dengan bibir terlipat. "Anda tentunya cukup lama meninggalkan kantor. Begitu, kan"" tanyanya kemudian.
"Ya, lumayan juga! Aku ikut berdesak-desak dengan orang banyak di depan kantor keamanan. Sampai pencopet yang cantik itu dibawa ke kantor polisi."
"Jauhkah letak kantor keamanan dengan kantor PT Segara""
Ami Rifa menoleh pada Ira yang bertanya. "Kantor keamanan terletak di ujung kompleks Dasa Indah," sahutnya.
"Waktu itu siapa saja di antara rekan kerja Anda yang juga melihat di depan kantor keamanan"" tanya Yan. "Apakah Pak Bakri juga ada di sana""
"Wah, aku tidak memperhatikan, Dik Yan. Aku tidak tahu siapa-siapa di antara temanku yang ikut melihat. Pokoknya begitu terdengar teriakan Copet! Copet!', rasanya semua keluar." Mbak Ami kelihatan meng-ingat-ingat. "Ya, rasanya begitu... tapi aku tidak ingat persis...." Sebelum anak-anak bertanya lagi. Ami Rifa bangkit dan berjalan ke ruang dalam. Sambil berkata, "Kuambilkan kalian minum."
Anak-anak saling berbisik setelah gadis itu tidak tampak.
"Bagaimana"" tanya Ira.
"Rasanya pertanyaan kita sudah cukup," jawab Yan dengan suara rendah.
"Kita dapat banyak informasi. Yang paling penting pada waktu itu terjadi keributan di luar. Semua melihat, hingga kantor kosong. Sedangkan menurut perhitungan, waktu itu pas Bu Nurman sedang ketiduran! Mungkin ada seorang karyawan yang menyelinap masuk dengan diam-diam... terus masuk ke ruang kerja Bu Nurman... terus mengambil..."
"Stttt!" Ira menyetop uraian kesimpulan yang sedang diketengahkan si Dede. Sebab saat itu terdengar langkah Mbak Ami ke arah mereka. Ira berkata hampir tak terdengar, "Nanti saja kita diskusi. Jangan sampai kita memberi kesan bahwa kita mencurigai Mbak Ami juga."
Alap Alap Laut Kidul 3 Duel 2 Jago Pedang Pendekar 4 Alis Buku 3 Karya Khulung Pendekar Muka Buruk 18
KELOMPOK 2&1 Pencuri Intelek Dwianto Setyawan Djvu: BBSC Edit & Convert Txt, Jar, Pdf: inzomnia
http://inzomnia.wapka.mobi
I. HUH, DASAR DEDE! 1 "Yan! Yan!" Mendengar namanya dipanggil, Hardian menoleh. Tangannya otomatis menekan rem belakang. Laju sepedanya melambat. Akhirnya sepeda berhenti di tepi kiri jalan. Yan meletakkan kaki kirinya di trotoar. Tubuhnya diputarnya ke arah belakang. Memperhatikan Dede Sofyan yang bersepeda, melaju kencang, ke arahnya.
Dede agak membungkuk. Kaca matanya merosot ke ujung hidung. Kakinya naik-turun mengayuh pedal. Caranya naik sepeda nampak ugal-ugalan.
Di trotoar seberang nampak tiga anak perempuan sebayanya. Mereka berjalan ke arah yang berlawanan dengan arah yang ditempuh Dede. Mereka memperhatikan Dede sambil tersenyum-senyum.
Dede makin bergaya. Jalan sepeda diliuk-liukkan-nya. Mukanya menghadap ke arah anak-anak perempuan sambil cengar-cengir.
Melihat lagak Dede, Yan mendengus geram.
Sepeda Dede sudah berada kira-kira tiga meter di belakang Yan yang diam menunggu. Adalah di luar dugaan, pada saat itu sebuah Volkswagen muncul dari arah depan. Sedan putih itu menyalip sebuah truk. Tetapi cara menyalipnya terlalu ke kanan. Dan sedan itu nyelonong begitu saja ke arah Dede.
Dede - yang sedang meliuk-liuk di atas sepeda-kaget setengah mati! Untuk menghindari serudukan sedan yang tidak menghargai sopan santun berlalu lintas itu, ia mengayuh pedal kencang-kencang. Sambil membanting setang ke kiri... persis ke arah sepeda Hardian!
Yan terlonjak kaget. Secara refleks ia meninggalkan sepedanya, melompat ke trotoar. Kemudian... BRAKK! Sepeda Dede menabrak sepedanya. Lalu... WUSSS! Sedan yang kurang ajar itu berkelebat di dekat mereka.
Dede jatuh tertelungkup di atas dua buah sepeda yang bertumpang tindih. Sepedanya sendiri dan sepeda Yan. Kaca matanya terlempar ke atas trotoar.
Teriakan kaget terdengar dari anak-anak perempuan itu. Juga dari orang-orang lain yang lewat. Namun melihat Dede tidak mengalami sesuatu yang perlu sangat dicemaskan, mereka pun melanjutkan perjalanan. Termasuk ketiga anak perempuan itu. Mereka meneruskan perjalanan sambil menertawakan Dede.
Sementara itu Dede masih merasa kesakitan. Tulang keringnya terasa nyeri. Perutnya sakit tersodok setang sepeda. Dagunya yang lecet karena mencium trotoar terasa pedih. Dengan susah payah Dede berdiri.
Sambil bertolak pinggang, dan dengan muka beku, Yan memperhatikan gerak-gerik temannya.
"Monyongi Kamu malah menjadikan aku tontonan! Bantu-bantu sedikit, kenapa"!" bentak Dede yang sangat geram melihat kelakuan Yan.
"Untuk apa aku membantu anak yang banyak lagak macam kamu!" balas Yan garang. "Yang salah juga kamu sendiri. Sudah tahu di jalan ramai - banyak lagak! Hasilnya apa" Kaupikir anak-anak perempuan itu akan bertepuk kagum"" Yan menuding ke arah tiga anak perempuan yang makin menjauh. "Lihat! Mereka malahan menertawakanmu! Dasar konyol!"
"Tutup mulutmu, Yan! Jangan bikin aku marahi" ancam Dede. mendelik. Dadanya serasa mau meledak dikata-katai demikian.
"Memang... sekali konyol tetap konyol!" Sambil bersungut Yan memungut kaca mata Dede. "Nih!"
Dede menyambar kaca mata itu. "Wah," serunya setelah melihat salah satu kacanya retak. "Kapok!" olok Yan.
"Tidak apa-apa. Aku bisa beli lagi!" tukas Dede sengit.
Yan melirik tajam, lalu menegakkan sepeda Dede. Kemudian sepedanya sendiri. Anak itu mengumpat ketika menyadari setang sepedanya miring gara-gara peristiwa tadi. Sambil bersungut-sungut ia meluruskan, setang sepedanya. Kedua pahanya menjepit roda depan dengan posisi lurus ke depan. Tangannya menekan setang sampai kembali pada posisi semula.
Yan sudah bersiap-siap menjalankan sepeda. Melihat Dede tetap berdiri sambil melotot kepadanya, ia menghardik, "Ayo. tunggu apa lagi"! Apa kamu mau berdiri di situ sampai petang""
Dede mendengus geram. Dalam hati ia ingin mengumpat dan marah-marah pada Yan. Akan tetapi tak tahu mesti bilang apa. Maka ia cuma bisa mendengus. Kemudian dengan tingkah uring-uringan ia menghampiri sepedanya, ia merin
gis kesakitan ketika melangkahkan kaki di atas sadel.
"Aduh sakitnya!" Rasa nyeri menyentak tulang keringnya.
"Hahaha!" Yan tak bisa menahan tawanya. BRAKK! Dede menubrukkan ban depan sepedanya ke sepeda Yan.
"Masih mau terus tertawa"" hardiknya mengancam.
Tawa Yan terhenti. Berganti menjadi senyuman tipis. "Ah, sudahlah!" katanya sambil menepis udara. "Mau apa kamu memanggilku" Mau ikut ke rumah Idris""
Dede tidak segera menyahut, ia masih sengit pada Yan.
Yan menggerakkan bahu, lalu bersiap-siap menjalankan sepeda. "Tunggu!"
Setelah Yan menoleh lagi. Dede melanjutkan. Kali ini dengan mimik bersungguh-sungguh, "Letnan Dipa menunggu kita."
"Letnan Dipa"" Kulit dahi Yan berkerut.
"Pak Dipa di rumahmu. Kita harus cepat!" ujar Dede.
"Ada apa, De"" tanya Yan ingin tahu.
Dede tidak menjelaskan, ia membiarkan Hardian bertanya-tanya. Sebagai pembalasan karena kelakuan Van terhadapnya.
Yan mendengus, ia terpaksa membatalkan niatnya ke rumah Idris, teman sekolahnya. Diputarnya sepeda ke arah dari mana ia datang. Lalu diikutinya Dede yang bersepeda di depannya.
2 Hardian biasa dipanggil Yan. Seorang anak laki-laki berbadan tegap. Sikapnya tegas, ia berotak encer dan pandai berbicara.
Yan berambut lebat. Matanya lebar. Di bawah sepasang mata yang lebar itu bertengger sebuah hidung yang agak pesek. Ayahnya - Pak Mintaraga - adalah seorang dosen.
Dede Sofyan berbeda sifat dengan Yan. Dede yang berkaca mata anak tunggal seorang pengusaha kaya. Anaknya bandel, sering-sering mau menang sendiri. Terhadap siapa pun ia suka tidak mau kalah. Kecuali pada Yan. Karena Yan, teman sekelasnya, telah mengenal jiwa dan perangainya. Sehingga dalam hal tertentu Yan bisa mengemongnya.
Dede berbadan kurus tinggi. Seorang anak yang punya bakat menjadi jangkung. Rambutnya kemerah-merahan. Rumahnya berdekatan dengan rumah Yan.
Kedua anak laki-laki itu tetap beriring-iringan mengayuh sepeda mereka. Jalan di mana rumah mereka terletak semakin dekat.
Sore terus merambat. Dari menit ke menit. Langit di atas nampak makin kelabu, kecuali di ufuk barat yang masih terang oleh bias cahaya mentari. Angin segar berhembus. Menggoyangkan pucuk-pucuk tanaman di halaman depan rumah-rumah.
"Pak Dipa menungguku di rumah. Ada apa, ya"" pikir Yan. "Pasti ada sesuatu yang penting!
Yan bersama Ira, adiknya, dan Dede adalah anggota Kelompok 2&1. Sebagai anggota Kelompok 2&1 telah sering mereka menangani perkara-perkara misterius. Perkara-perkara rumit dan pelik yang hanya mungkin dipecahkan oleh anak-anak yang berbakat menjadi detektif seperti mereka. Dalam urusan menangani perkara, telah beberapa kali mereka bekerja sama atau membantu Letnan Dipa.
Letnan Dipa, komandan wilayah kepolisian kawasan itu, sangat kagum pada kecerdasan Yan dan kawan-kawan, ia dan anak-anak itu lalu menjadi kenalan baik.
Kedua anak laki-laki itu telah sampai di rumah Yan.
Di halaman tampak jip Letnan Dipa sedang parkir. Dan Ira berdiri di balik pagar. Ditilik dari tingkah lakunya tampak bahwa anak perempuan itu dalam keadaan gelisah - tidak sabar menunggu. Maka air mukanya seketika berubah melihat kedatangan kakaknya.
"Di mana kamu berhasil menyusul Kak Yan" Di rumah Idris"" tanyanya menyongsong Dede.
Yang ditanya tidak menyahut. Dede terus masuk ke samping rumah. Sepeda disandarkannya, lalu ia ke kamar mandi untuk mencuci tangan dan kakinya yang kotor karena terjatuh tadi. Dede sudah biasa keluar-masuk di rumah Yan.
Sementara itu Ira minta penjelasan pada kakaknya. Apa yang terjadi dengan Dede" Kelihatannya si Kaca Mata sedang uring-uringan, kenapa"
Ira terkekeh setelah mengetahui sebabnya.
"Untung tadi aku cepat-cepat melompat ke trotoar. Kalau tidak... tentu ikut konyol. Tidak ikut berlagak, ikut merasakan sakit. Kan konyol""
"Hahaha," Ira tertawa nyaring.
Ira seorang anak perempuan bermuka mungil. Matanya seperti mata Yan. Rambutnya yang panjang dan hitam dikepang dua.
Ira memiliki hati yang lembut. Ingatannya sangat kuat. Teliti dan penuh perhitungan. Hubungannya dengan kakaknya sangat erat. Mere
ka jarang bertengkar. "Letnan - sudah lama"" tanya Yan, mengarahkan dagu kepada jip Letnan Dipa.
"Lumayan. Tiba-tiba Pak Dipa datang, ia mencari kita bertiga. Kebetulan yang ada cuma aku," sahut Ira. "Kemudian aku memanggil Dede. Setelah itu kuminta Dede menyusul Kak Yan ke rumah Idris."
"Memangnya ada perkara apa" Kelihatannya penting sekali!"
"Pak Dipa belum menjelaskan, ia menghendaki kita bertiga lengkap hadir. Baru ia akan mengatakan maksudnya kemari," sahut Ira. "Ayo, Kak!"
Yan mengiakan. Dituntunnya sepeda mengiringi Ira yang mendahului ke rumah.
Dari dalam terdengar suara percakapan Letnan Dipa dan Bu Mintaraga.
II. SEBUAH AJAKAN 3 "Selamat sore, Pak!" kata Yan sambil melangkah masuk.
"Sore, Yan," balas Letnan Dipa dengan muka berseri-seri "Maaf, ya. Aku terpaksa mengganggu acaramu.'
"Ah, tidak! Saya tidak punya urusan yang penting dengan Idris. Cuma mau main-main saja," jawab Yan.
"Ahh! Kukira mau belajar bersama," kata Letnan Dipa.
"Belajar" Ini kan waktu libur, Pak! Masa harus belajar terus. Bisa botak kepala beta!" ucap Yan melucu.
"Oh iya... hahaha!" Letnan Dipa terbahak.
Letnan Dipa bertubuh ramping, tapi tidak terlalu kurus. Rambutnya tipis dan jarang. Dahinya lebar. Pandangannya tajam dan menampakkan kesungguh-an. Pada saat-saat tertentu, pandangannya itu membuatnya nampak semakin berwibawa.
"Ada apa. Pak" Ada perkara misterius baru-yang bisa kami bantu penanganannya"" tanya Yan.
"Ah, tahumu cuma perkara misteri melulu!" tukas Bu Mintaraga.
"Lho, itu penting lho, Bu!" Yan tertawa pada ibunya.
Bu Minta mendengus pendek. Meskipun demikian bibirnya yang bagus menyungging senyum.
Sore itu Pak Mintaraga tidak berada di rumah, ia sedang memberi kuliah malam.
Letnan Dipa menggeleng. "Bukan. Bukan sebuah perkara misterius. Hanya sebuah teka-teki. Tapi panggil dulu Ira dan Dede," suruh Pak Letnan.
Yan bangkit dari tempat duduknya dan masuk ke dalam.
Di ruang belakang ia melihat Ira sedang membantu Dede, memberi obat merah pada luka-lukanya. Ira menotol-notolkan kapas ke dagu Dede yang lecet Dede mendongak-dongak dan mengaduh.
"Ah, manja!" damprat Ira. "Diberi obat begini saja tingkahmu seperti orang mau dioperasi."
"Perih, Ir. Sungguh!" Dede meyakinkan.
"Ayo, sekarang lututmu!" Ira mengecat luka itu dengan obat merah. Nah, sudah! Makanya lain kali jangan suka nampang!"
Dede tergelak. "Terima kasih ya, Ir. Kamu baik deh! Sayang aku tidak punya adik. Kalau punya, pasti inginnya yang seperti kamu. Baik, manis, suka menolong orang lain..."
"Gombal, gombal! Aku tidak punya uang kecil!" potong Ira, berjalan ke lemari obat.
Tawa Dede makin keras, ia mengambil kaca mata dari meja lalu memakainya. Pandangannya terganggu oleh retak pada kaca kanan kaca mata itu. ia bersungut. Lalu dengan muka memberengut ia menyentakkan kaca mata dari mukanya.
Yan tersenyum geli melihat tingkah temannya.
"Tidak apa, nanti aku beli lagi," Dede menyombong.
"Mau beli, mau tidak... itu urusanmu." Yan menggerakkan tangan. "Pak Letnan menunggu." Lalu ia menyusul Ira ke ruang tamu.
Dede muncul paling akhir.
4 Letnan Dipa mengernyit melihat keadaan Dede. Dagu anak itu beroleskan obat merah. Tidak memakai kaca mata.
Bu Minta menatap Yan, minta penjelasan.
"Apa yang terjadi, De"" tanya Letnan Dipa.
"Ah, tidak apa-apa," sahut Dede berlagak acuh tak acuh. Lalu duduk.
Yan memandang Letnan Dipa dan ibunya, "Ngg..." Yan tertawa sendiri.
"Ada apa sebenarnya" Dede baru berkelahi"" tanya Bu Minta.
"Berkelahi" Siapa yang berkelahi"" sahut Dede.
"Yah, dia baru berkelahi... melawan sepeda dan trotoar... hahaha!" Yan. terbahak lagi. Lalu ia menuturkan peristiwa di jalan tadi.
Pak Dipa menggeleng-geleng.
Bu Minta pun mengomel, "Heran, untuk apa bertingkah ugal-ugalan" Jalan raya itu ramai, De. Jangan dibuat main-main! Terus, mana kaca matamu""
Dede menunjukkan kaca matanya yang retak.
Dede tidak tersinggung diomeli Bu Minta. Meskipun Bu Minta bukan apa-apanya. Malahan kadang-kadang ia merasa senang diomeli seper
ti itu. Karena bukankah omelan orang yang lebih tua menunjukkan adanya perhatian terhadap kita" Ibunya sendiri -seperti juga ayahnya - adalah orang-orang yang sibuk Mereka hampir tidak pernah mengomelinya.
Segala permintaannya dituruti. Dede suka bosan menghadapi keadaan seperti itu. Ada kalanya ia merindukan omelan orang tuanya apabila ia melaku-kan kekeliruan.
Bu Minta mencondongkan tubuhnya untuk meng-amati kaca mata Dede. "Pecah""
"Cuma retak. Tidak apa-apa. Nanti saya beli lagi," ujar Dede.
"Beli lagi... beli lagi... seperti kamu sudah bisa cari duit sendiri!" lanjut Bu Minta. "De, karena kamu anak orang kaya maka kamu mudah berbicara seperti itu. Tapi coba - kalau orang tuamu tidak punya uang! Apa yang dipakai membeli" Padahal tanpa kaca mata penglihatanmu terganggu. Kamu sendiri akan susah. Orang tuamu juga pusing!"
"Tapi saya tidak sengaja," bantah Dede.
"Ibu mengerti. Makanya lain kali hati-hati. Kamu mengerti maksud Ibu, bukan""
"Mengerti, Bu." Dede mengangguk, ia menoleh karena mendengar Ira tertawa cekikikan. "Kenapa tertawa"" sentaknya sengit.
Ira menahan tawa dengan menutupkan tangan ke mulut. "Aku geli," ujarnya sambil menoleh pada Hardian. "Dede bisa sepatuh itu... hihihi."
Dede cemberut, lalu mengalihkan perhatian pada Letnan Dipa.
"Bagaimana sekarang. Let"" tanyanya.
"Oh ya... oh ya... akan kujelaskan." Letnan Dipa tersenyum. Kemudian ia mengutarakan maksud kedatangannya mencari Kelompok 2&1.
Tadi siang ia menerima telepon dari Ibu Yuniti Nurman, kenalan baiknya. Ibu Yuniti seorang wanita pengusaha yang berhasil. Pemilik sebuah pabrik pipa plastik yang terus berkembang. Menurut kesan Letnan Dipa, Ibu Yuniti seorang yang periang dan suka bercanda.
Lewat telepon itu Ibu Yuniti berpesan, "Let, apakah nanti sore Anda punya waktu untuk datang ke kantor saya" Saya punya sebuah teka-teki yang sangat menarik. Saya tidak yakin Anda akan dapat memecahkan teka-teki ini."
"Teka-teki apa sih"" tanya Letnan Dipa ingin tahu.
"Pokoknya unik dan menarik. Bagaimana kalau kita bertaruh" Saya akan mentraktir Anda jika Anda bisa memecahkannya. Tapi jika tidak... hahaha!" "Baik, saya akan datang. Kebetulan nanti sore saya tidak punya acara. Kalau saya tidak bisa memecahkan teka-teki itu, saya yang akan mentraktir Anda. Tapi... di warung saja, hahaha! Maklum, Bu, penghasilan polisi tidak bisa dibandingkan dengan pengusaha sukses seperti Anda!"
Letnan Dipa memandang ketiga anggota Kelompok 2&1.
"Aku merasa penasaran mendengar kata-kata Bu Nurman," ujarnya.
"Kata-kata yang mana"" Ira menegaskan. "Itu - bahwa dia tidak yakin aku bisa memecahkan teka-tekinya," jawab Letnan Dipa. Lalu dengan mimik pura-pura tersinggung Letnan menyambung, "Itu kan menyepelekan namanya! Iya tidak"" "Hahaha!" Yan tertawa geli melihat mimik Letnan Dipa.
"Itu sebabnya aku penuhi tantangannya." Letnan Dipa bersandar. Diluruskannya hem batiknya dengan kara menarik ujung hem batik biru itu. "Tapi di samping itu aku juga khawatir kalah. Tidak bisa memecahkan teka-teki Ibu Nurman." Letnan Dipa menggerakkan telunjuknya. "Ibu Nurman pandai mengada-ada dan banyak akalnya. Mungkin saja dia akan mengajukan teka-teki yang sulit sehingga aku tidak dapat menjawab. Oleh karena itu aku mau mengajak kalian."
"Untuk ikut memikirkan jawaban teka-tekinya"" Ira menegaskan.
Letnan Dipa mengangguk. "Ya. Kalian sudah biasa menghadapi perkara yang rumit. Kalian juga sudah biasa menganalisa peristiwa dan menarik kesimpulan yang tepat. Kupikir kalian akan bisa membantuku nanti."
"Tuh, Bu, dengarkan pendapat Pak Letnan tentang anak-anak Ibu," Yan berkelakar pada ibunya. "Seharusnya Ibu bangga punya anak seperti saya, hahaha!"
Bu Mintaraga mencibir. "Jadi..." Dede menggaruk-garuk kepalanya, "hanya untuk ikut memecahkan sebuah teka-teki""
Letnan Dipa berpaling cepat. "Kenapa" Malas" Kalau malas, tidak ikut ya tidak apa-apa."
"Ah, jangan begitu. Let!" Dede menyeringai. "Kalau saya tidak ikut Anda pasti kalah. Sebab rasanya hanya Dede Sofyan yang bisa menemukan jawabannya!"
"Huuuu!" Ira meruncingkan mul
utnya. "Anak-anak, aku sudah minta izin kepada Ibu," ucap Letnan Dipa, memandang Bu Minta. "Kita berangkat sekarang!"
"Bu, rasanya nanti malam kami tidak perlu makan di rumah. Tapi di restoran. Ditraktir Ibu Nurman," kata Yan pada ibunya.
"Hem, jangan terlalu yakin!" Bu Minta mengantar-kan Letnan Dipa ke halaman. Anak-anak langsung masuk ke dalam jip. Bu Minta memandang Letnan Dipa "Saya heran Anda kelihatan serius menanggapi undangan Ibu Nurman. Sampai mengajak anak-anak segala. Apakah itu merupakan salah satu cara untuk bersantai""
"Kira-kira begitulah!" Pak Letnan tersenyum. "Seharian saya sibuk di kantor. Menangani aneka macam perkara. Mengusut pelbagai peristiwa keja-hatan. Kadang-kadang saya ingin meredakan ketegangan pikiran. Dan inilah salah satu caranya." Letnan Dipa mengangguk. "Saya permisi dulu" Lalu ia menuju ke mobil.
III. WANITA PENGUSAHA 5 "Kantor PT Segara terletak di kompleks pertokoan DASA INDAH. Pabriknya - pabnk pipa plastik itu terletak di Jalan Bukit Cerme. Sebagai pemilik sekaligus direktris PT itu. Bu Nurman lebih sering berada di Dasa Indah," Letnan Dipa menerangkan sambil menyetir jip. Hujan turun lagi. Sejak dua hari terakhir hujan memang sering menyirami kota. Sebentar-sebentar turun.
Letnan Dipa menghidupkan wiper jip. Untuk membantu, ia mengusap-usapkan punggung tangannya ke kaca depan. Lalu melanjutkan,
"Bu Yuniti Nurman seorang janda. Suaminya meninggal lima tahun yang lalu. Anaknya tiga. Yang pertama laki-laki. Yang kedua dan si bungsu, perempuan. Yang pertama dan kedua sudah berkeluarga. Nia Nurman, si bungsu, masih bersekolah di SMA kelas tiga."
"Tampaknya Anda kenal baik dengan keluarga itu," Dede nyeletuk.
"Hanya dengan Bu Nurman. Aku mengenalnya di Semarang. Waktu kami sama-sama menghadiri pesta perkawinan anak kerabatku. Hubungan kami menjadi lebih baik setelah peristiwa pencurian di pabnknya. Seorang karyawannya mencuri uang. Aku yang mengusut perkara Itu dan menangkap pencurinya. Sejak itu kadang-kadang aku mampir ke kantornya," kata Letnan Dipa.
"Pabrik pipa plastik itu warisan almarhum suami nya"" tanya Yan yang duduk di jok belakang. "Ya. Tetapi konon pabrik itu lebih maju setelah ditangani langsung oleh Ibu Nurman." Letnan Dipa menoleh ke belakang sekilas. "Tapi dia memang wanita yang kreatif, supel, dan mau bekerja keras!" "Itu bukti bahwa wanita tidak kalah dengan pria," celetuk Ira sambil menoleh ke arah Dede. "Tidak bisa!" sahut Dede, mencondongkan muka-nya ke dekat kepala Ira yang duduk di depan. "Wanita akan selalu kalah dengan pria. Tidak percaya" Ayo kamu balapan lari denganku. Kalau bisa menang!"
"Lari! Tentu saja!" tukas Ira sengit. "Ehh, belum tentu lho," ujar Yan pada Dede. "Coba kamu balapan lari sama Mbak Uce yang mau diterjunkan ke PON. Pasti kalah!" Letnan Dipa terkekeh, ia mengoper persneling masuk gigi dua karena mereka telah sampai di tujuan. Jip itu berbelok perlahan-lahan, memasuki halaman Kompleks pertokoan Dasa Indah. Seorang tukang parkir menyongsong, ia melambai-lambaikan tangan, menunjukkan tempat parkir untuk jip itu.
Kompleks pertokoan Dasa Indah terletak di lapangan berlantai semen yang luas. Terdiri dari dua deret bangunan yang memanjang dan saling berhadapan. Masing-masing bangunan bertingkat dua. Dalam kompleks itu terdapat toko buku, toko alat-alat listrik, dan lain-lain. Di samping itu ada yang memanfaatkan lokal-lokal dalam kompleks itu untuk perkantoran. Antara lain PT Segara.
Kantor PT Segara termasuk besar. Terdiri dari empat lokal yang dihubungkan menjadi satu. Dua di bawah dan dua di lantai atas. Pintu masuknya hanya satu. Terletak di ruang sebelah kanan. Ruang sebelah kiri berbatas dengan dinding dan kaca lebar. Di atas pintu terpampang papan nama PT Segara.
Letnan Dipa dan anak-anak mendekati kantor PT Segara. Mereka berlari-lari kecil agar cepat mencapai serambi. Hujan rintik-rintik membasahi lantai semen. Keadaan dalam kompleks pertokoan itu mulai sepi. Beberapa kantor sudah tutup. Lampu-lampu telah dinyalakan karena hari sebentar lagi gelap.
Letnan Dipa mendorong pintu ka
ca dan masuk ke ruang bawah kantor PT Segara yang masih terang-benderang. Di belakang sebuah meja tampak seorang gadis sedang duduk membaca majalah. Gadis itu mengangkat mukanya, ia berumur sekitar dua puluh lima tahun. Rambutnya panjang, dan mukanya lonjong, ia memakai mantel biru muda.
"Ibu Nurman ada"" tanya Letnan Dipa pada gadis itu.
"Maaf, Bapak siapa"" tanya gadis itu sopan. Agaknya ia sudah terbiasa bersikap seperti itu pada tamu kantor.
"Saya Letnan Dipa."
"Oh, Pak Dipa! Ibu sudah lama menunggu Anda. Sebentar ya...." Gadis itu menekan tombol interkom, memberi tahu Ibu Nurman di lantai dua. Setelah mendapat jawaban ia berkata pada Letnan Dipa, "Ibu akan segera turun."
Terdengar suara langkah kaki menapak di anak tangga. Ibu Yuniti Nurman muncul.
6 "Ah, syukurlah akhirnya Anda datang juga," sapa wanita itu. Wajahnya memancarkan kelegaan.
Ira memperhatikan wanita itu.
Ibu Yuniti Nurman berumur sekitar 45 sampai 50 tahun. Tubuhnya yang agak gemuk terbungkus gaun yang bagus. Wajahnya bulat dengan mata yang bersinar-sinar penuh rasa percaya diri. Ujung bibirnya tertarik ke arah pipi sehingga nampak selalu tersenyum.
"Maaf, saya terpaksa membuat Anda menunggu cukup lama. Soalnya saya masih harus menjemput sahabat-sahabat saya." Letnan Dipa melirik Ira dan kawan-kawan, lalu tersenyum pada Ibu Nurman.
Muka Bu Nurman berubah. Agaknya ia tidak mengira Letnan Dipa akan datang membawa tiga anak Dan ini membuatnya kurang senang.
Letnan Dipa memahami perasaan Bu Nurman. ia tersenyum lagi.
"Mereka akan membantu saya menjawab teka-teki Anda," katanya.
Dede Sofyan - yang kali ini terpaksa tidak berkaca mata - mengangguk.
Tingkah Bu Nurman makin nampak serba salah. Rupanya ia tidak ingin masalah teka-teki itu didengar oleh gadis pegawainya. Cepat-cepat ia berkata pada gadis itu. "Ami, kau boleh pulang sekarang!"
"Baik, Bu," si gadis mengiakan.
"Dia Ami Rifa, sekretaris saya. Ami saya minta menemani saya selama menunggu kedatangan Anda," Bu Nurman menerangkan.
Ami Rifa mengambil tasnya, berpamitan pada Bu Nurman dan Letnan Dipa, lalu melenggang ke luar.
Setelah gadis itu keluar, Bu Nurman menutup pintu kantor dan menguncinya.
Kemudian ia menarik lengan Letnan Dipa, menjauhi ketiga anggota Kelompok 2&1.
"Mengapa Anda mesti membawa anak-anak itu"" bisik Bu Nurman.
"Memangnya kenapa" Tidak boleh"" Letnan Dipa menyambung. "Mereka saya minta mendampingi saya selama mendengarkan teka-teki Anda. Anda belum tahu sih! Ketiga anak itu amat pandai memecahkan teka-teki."
"Tapi ini bukan sekadar teka-teki!" tukas Bu Nurman agak kesal.
"Lalu, apa""
"Hehhh!" Bu Nurman memandang anak-anak.
Dede mendekatkan mulutnya ke telinga Ira. "Kelihatannya nenek itu tidak senang melihat kehadiran kita," bisik Dede.
Ira tidak menanggapi ucapan Dede. Matanya yang bening memandang Bu Nurman. Sementara Yan berdiri dengan sikap tenang. Kepalanya miring ke kiri sedikit.
"Mereka anak-anak yang hebat. Punya bakat menjadi detektif," kata Letnan Dipa pada Bu Nurman. "Telah beberapa kali ketiganya membantu saya memecahkan perkara yang misterius."
"Betul"" Bu Nurman memutar kepalanya, meman-dang Letnan Dipa.
"Betul, untuk apa saya membohongi Anda," Letnan Dipa meyakinkan. Sementara dalam hati ia bertanya-tanya menyaksikan kelakuan dan mimik muka Bu Nurman yang berubah-ubah.
"Saya percaya pada omongan Anda. Kalau demikian soalnya lain! Yah, siapa tahu ketiganya ungguh-sungguh bisa membantu," kata Bu Nurman setengah bergumam.
"Anda kelihatan aneh. Ada apa sebenarnya"" tanya Pak Letnan.
"Kita bicarakan di atas saja. Mari! Ayo, Anak-anak!" ajaknya pada Yan dan kawan-kawan.
Yan dan Dede saling memandang. Yan mengang-kat bahunya.
Dede bergumam, "Tingkahnya aneh!" Yang dimak-sudkannya Bu Nurman. "Sebentar-sebentar berubah!"
"Seperti orang bingung." jawab Yan dengan suara rendah.
Sementara itu Bu Nurman memadamkan lampu, sehingga keadaan dalam ruangan itu berubah remang-remang. Setelah itu ia memimpin keempat tamunya menaiki anak tangga ke lantai dua.
"Anda kelih atan aneh. Tidak biasa begini. Apakah Anda menemukan teka-teki yang menarik, sehingga tidak sabar ingin menyampaikannya pada saya"" goda Letnan Dipa yang menaiki anak tangga di samping Bu Nurman.
"Ya. Nanti Anda akan tahu," jawab Bu Nurman. Kakinya telah menginjak lantai kedua.
Yan, Dede, dan Ira mengikuti kedua orang dewasa itu.
IV. LEBIH DARI SEKADAR TEKA-TEKI
7 Ibu Nurman berhenti di muka pintu ruang kerjanya yang tertutup. DI seberang pintu terdapat seperangkat kursi tamu. Wanita itu menggerakkan tangannya ke arah kursi, "Kita bicara di sini dulu, sebelum nanti saya ajak masuk ke ruang kerja saya. Ayo silakan!"
Mereka duduk. Ira melirik lampu antik di langit-langit yang menyala terang. "Manis sekali bentuknya," pikirnya.
Letnan Dipa menatap lurus mata Bu Nurman.
"Nah, silakan Anda menyampaikan teka-teki itu," katanya sambil tersenyum. "Kalian - dengarkan baik-baik." tambahnya pada anak-anak.
Dede mengangguk mantap. Bu Nurman menarik napas dalam-dalam. "Sebetulnya ini lebih dari sekadar teka-teki. Let," katanya kemudian.
"Maksud Ibu"" Yan nyeletuk.
"Maksudku, kita bukan akan sekadar maini tebak-tebakan. Masalahnya benar-benar serius." Mimik muka Bu Nurman nampak bersungguh-sungguh. "Karena masalahnya mengenai sebuah pencurian."
"Sebuah pencurian"" Dede mencondongkan tubuhnya ke arah Bu Nurman. "Maksud Anda teka-tekinya tentang pencurian" Wah, saya paling senang menebak teka-teki seperti itu. Apakah teka-teki itu karangan Ibu sendiri"" "Karangan" Apa maksudmu"" balas Bu Nurman bertanya. "Ini bukan karangan, tetapi sungguh-sungguh terjadi... di sini! Tepatnya di ruang kerjaku!" Dede melongo. "Sungguh-sungguh terjadi"" gumamnya. Tampak bahwa ia bingung. Hal yang sama dirasakan pula oleh Yan, Ira, dan Letnan Dipa.
Pak Letnan akan bertanya. Bu Nurman melambai-kan tangan dan mendahului, "Akan saya jelaskan," Barnya.
Letnan Dipa mengangguk sambil bersandar. "Tadi, sekitar pukul tiga siang, telah terjadi pencurian di ruang kerja saya. Di sana." Bu Nurman menuding pintu ruang kerjanya yang tertutup. "Karena yang hilang adalah sesuatu yang masih saya rahasiakan, saya tidak ingin orang lain mengetahuinya. Tetapi, bagaimanapun, pencurian itu harus diusut bukan"" Bu Nurman menjatuhkan pandangannya kepada Dede. Seakan-akan hanya kepada Dede dia ingin bertanya.
"Yah." Dede mengangguk. "Yah, tentu saja mesti diusut!"
"Itu sebabnya saya segera menelepon Letnan Dipa." Bu Nurman berganti memandang Letnan Dipa. "Telepon Anda saya terima persis ketika saya mau pulang." Letnan Dipa menggaruk pipi. "Betul, sekitar jam tiga. Tapi..."
"Saya berbicara mengenai tantangan menebak teka-teki""
"Ya" Letnan Dipa membenarkan.
"Itu memang saya sengaja, Let. Untuk menutupi peristiwa sebenarnya. Saya tidak menghendaki karyawan saya, atau sekretaris saya, atau siapa pun, mengetahui bahwa saya telah kecurian sesuatu yang sangat berharga. Sesuatu yang menyangkut masa depan usaha saya. Oleh karena itu saya berusaha bersikap sewajar mungkin. Dengan suara riang saya mengundang Anda untuk main tebak-tebakan teka-teki Padahal sesungguhnya pikiran saya tidak keruan. Kacau! Rasanya saya ingin menangis...."
Letnan Dipa dan anak-anak memandang Bu Nurman. Samar-samar mereka mulai merasa bahwa mereka tengah memasuki awal sebuah perkara yang misterius. Sebuah teka-teki yang bukan sekadar teka-teki. Perasaan itu membangkitkan semangat penyelidik pada diri Kelompok 2&1. Sebagai akibatnya, mereka lalu lebih memperhatikan kete-rangan Bu Nurman selanjutnya.
"Apa yang dicuri"" tanya Letnan Dipa memecah keheningan.
"Satu berkas dokumen penting... dan sebuah arloji yang bagus. Arloji perak itu saya beli di Paris, waktu saya ikut tour ke Eropa...." Bu Nurman menghela napas. Wajahnya diliputi kemurungan. "Arloji itu memang mahal. Harganya hampir tiga perempat juta rupiah.
"Fiuuu!" Yan meruncingkan bibir.
"Tapi, meskipun demikian, nilainya belum sebanding dengan berkas dokumen yang juga lenyap itu." Bu Nurman kembali menghela napas.
"Kalau saya boleh tahu, isi dokumen itu mengenai apa"" ta
nya Letnan Dipa hati-hati.
Bu Nurman nampak bimbang. Duduknya gelisah.
"Bagi saya penting untuk mengetahui isinya," kata Letnan Dipa.
"Ya, ya. saya mengerti. Tapi..." Bu Nurman menatap Letnan Dipa dan anak-anak silih berganti" saya minta Anda merahasiakannya. Juga kalian!"
"Jangan khawatir, Bu! Kami tahu cara menyimpan rahasia." sahut Dede tanggap.
"Begini, anak saya yang sulung seorang insinyur kimia. Dia tinggal di Jakarta. Bersama seorang temannya, ia berhasil menemukan formula baru untuk pembuatan bahan pipa plastik pralon. Pendeknya kalau bahan itu dibuat menjadi pipa, hasilnya akan lebih kuat dan lebih tahan lama. Di samping itu-yang lebih penting - harganya bisa lebih murah.
"Arfan, anak saya yang sulung itu, mengirimkan formula itu berikut keterangannya kepada saya. Berkas dokuman berharga itu saya terima tadi pagi. Saya senang bukan main! Tetapi apa boleh buat. kini dokumen itu telah hilang." Bu Nurman menghempaskan punggungnya ke sandaran kursi, ia kelihatan sedih sekali. Ira sangat terpengaruh oleh sikap wanita pengusaha itu. Anak perempuan itu menggigit-gigit bibirnya. Bu Nurman melanjutkan keluhannya, "Saya tidak berani membayangkan andaikata dokumen itu jatuh ke tangan saingan saya." Bu Nurman menuding-nuding dinding di sebelahnya. "Usaha saya bisa gulung tikar."
"Apa maksud Ibu menunjuk ke sana"" tanya Ira. "Apakah..."
"Yah. kantor sebelah milik PT Tiga Jaya." potong Bu Nurman. "Hingga saat ini mereka memproduksi selang plastik. Tapi saya dengar mereka juga akan segera memproduksi pipa pralon. Kalau mereka sampai mendapatkan formula itu..." Bu Nurman mengayunkan tangannya yang terkepal, "habislah... habislah!"
"Apakah dengan demikian berarti Ibu mencurigai perusahaan saingan Ibu itu"" pancing Yan.
"Oh, tidak... bagaimana saya bisa mencurigai, kalau tidak ada bukti"" balas Bu Nurman bertanya.
"Tadi Ibu mengatakan belum ada yang tahu' mengenai formula itu, kecuali Ibu sendiri," kata Ira.
"Memang, justru karena itu aku berusaha menutup-nutupi peristiwa sebenarnya. Aku tidak ingin kelihatan panik. Sehingga orang yang mencuri dokumen itu tahu bahwa isi dokumen itu sangat berharga, dan bisa menghasilkan banyak uang kalau dijual kepada pihak yang mengerti. Karena ada kemungkinan si pencuri belum tahu nilai dokumen itu. Itu menurut perkiraanku lho"
"Pendeknya aku harus kelihatan tenang. Jangan sampai ada yang tahu aku kehilangan sesuatu yang bernilai tinggi. Itu sebabnya, aku tidak melaporkan peristiwa pencurian itu secara resmi kepada Letnan Dipa. Aku lebih senang memakai cara diam-diam. Diam-diam saja! Juga nanti kalau sudah mulai mengadakan penyelidikan. Anda saya harap tidak bersikap resmi, Let. Jangan sampai kita menyadarkan si pencuri yang mungkin belum menyadari arti dokumen itu." Bu Nurman memandang Letnan Dipa dengan sinar mata memohon.
"Saya mengerti... saya mengerti...." Letnan polisi itu mengusap-usap dagunya. Pandangannya menera-wang ke langit-langit yang dibentuk sangat artistik.
"Ibu mengundang Letnan Dipa untuk menebak atau bermain teka-teki" kata Yan pelan.
"Betul!" Bu Nurman mengarahkan telunjuknya pada Yan. "Itu yang harus kalian katakan pada setiap orang. Tapi," sambung wanita itu, "bukankah ini memang sebuah teka-teki""
"Yah, memang sebuah teka-teki," sahut Yan. Tangannya latah menirukan Pak Letnan, mengusap-usap bibir dan dagu.
V. ISI RUANGAN 8 Ketiga anak dan kedua orang dewasa itu duduk membisu. Sampai Ira melontarkan pertanyaan pada Pak Letnan, "Apa yang harus kita lakukan sekarang""
Letnan Dipa tersentak. Matanya memandang jam dinding. Pukul tujuh lebih sedikit. Kemudian ia memandang Ira, "Kita harus memulai penyelidikan. Apa lagi"" ia menoleh pada Bu Nurman, "Bolehkah saya memeriksa ruang kerja Anda""
Ibu Yuniti Nurman berdiri dan melangkah ke pintu ruang kerjanya yang tertutup.
"Setelah kejadian itu," katanya, "saya langsung mengunci pintu ruang kerja saya. Tak seorang pun saya izinkan masuk. Saya tidak ingin ada yang berubah. Apa pun jangan! Maksud saya untuk memudahkan Anda dalam melangsungkan pe-nyidikan."
"Terima kasih. Hal itu sungguh harus saya hargai," sahut Letnan Dipa.
Bu Nurman memutar anak kunci, lalu mendorong pintu.
Kelompok 2 Dan 1 Pencuri Intelek Karya Dwianto Setyawan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pandangan Ira langsung menyapu isi ruang kerja Bu Nurman.
Ruang kerja Bu Nurman luas. Karena ruangan itu sebenarnya terdiri dari dua lokal yang dijadikan satu, dikurangi ruang tunggu tempat mereka tadi mengobrol.
Dalam ruangan itu terdapat sebuah meja kerja yang besar dan bagus. Dengan kursi yang bisa berputar. Ada tiga buah kursi. Satu kursi untuk Bu Nurman. Dua lagi untuk tamunya.
Selain itu, di sudut, ada seperangkat kursi tamu yang ukurannya lebih kecil daripada kursi tamu di luar. Juga ada kursi baca mini yang berlapis bantal-bantal empuk.
Meja kerja Bu Nurman membelakangi jendela besar. Disampingnya ada pintu yang menuju ke halaman belakang bangunan kantor.
Di sebelah kiri ruangan, tegak berdiri sebuah rak berukuran raksasa. Tingginya sampai langit-langit. Dibuat demikian karena rak itu juga berfungsi sebagai penyekat antara ruang kerja dengan ruang di baliknya.
"Hmm, siapa pun pasti kerasan bekerja di ruangan yang apik seperti ini," gumam Dede sambil melirik Bu Nurman.
Di tengah kegalauan perasaannya. Bu Nurman sempat tersenyum mendengar komentar Dede.
Yan mengamat-amati kursi baca mini di sudut ruangan Kursi itu tanpa kaki. Hanya terdiri dari sandaran dan alas tempat duduk. Bahannya dari kayu yang bisa disetel dengan gampang. Baik sandaran maupun alas duduknya dilapisi dengan bantal-bantal empuk. Jumlahnya tiga buah. Bantal-bantal berbentuk segi empat itu terbungkus sarung bantal bersulam dengan ritsleting pada satu sisinya.
"Ir, pasti asyik membaca dengan duduk berselonjor pada kursi seperti ini," katanya pada adiknya.
Ira mengangguk sependapat. "Ibu sering membaca di sini"" tanyanya pada Bu Nurman.
"Ya, kalau aku merasa capek," sahut wanita itu. Telunjuknya menuding kursi kerjanya. "Berjam-jam duduk di kursi itu bisa membuat punggung pegal. Kalau sudah demikian biasanya aku pindah, duduk berselonjor kaki di kursi itu, sambil membaca koran atau majalah."
Sementara itu Letnan Dipa memperhatikan meja kerja Bu Nurman. Di situ ada tempat pulpen yang antik, tumpukan map, majalah wanita yang terbuka, satu kantung plastik permen, satu pigura foto keluarga Bu Nurman. Dalam foto itu tampak Bu Nurman, Pak Nurman semasa masih hidup, dan ketiga anak mereka. Juga ada cangkir berisi kopi yang sudah diminum separuh.
"Bagaimana dengan ruang sebelah"" Letnan Dipa menunjuk ruang di balik rak penyekat.
"Silakan." Bu Nurman mendorong pintu dorong di antara rak dan dinding.
"Ruang apa lagi ini"" tanya Pak Letnan sementara matanya memperhatikan isi ruangan yang berukuran jauh lebih kecil daripada ruang kerja.
"Ini ruang istirahat saya." Bu Nurman menunjuk sebuah dipan pendek. "Ada kalanya saya harus bekerja sampai malam. Kadang-kadang saya letih dan ingin memejamkan mata sejenak. Sementara pulang ke rumah - tidak sempat. Anda kan tahu rumah saya cukup jauh dari sini. Maka saya memutuskan untuk membawa tempat tidur... itu!" Bu Nurman menuding dipan. "Sehingga saya bisa berbaring sebentar kalau kondisi tubuh saya menuntut demikian."
"Juga kalau Anda ingin menjerang air atau memasak super mi"" Letnan Dipa memperhatikan kompor listrik di sudut, dekat kulkas kecil.
"Ya." Bu Nurman tertawa kecil. "Pendeknya di samping berfungsi untuk kamar tidur, ruangan ini juga berfungsi sebagai dapur mini."
"Pokoknya komplet!" Dede mengomentari. Tanpa minta izin, tangannya langsung terulur membuka kulkas. "Nah, betul kan" Komplet!" ia menunjuk minuman dalam kaleng, fanta, es krim, dan makanan lainnya dalam kulkas.
Bu Nurman tersenyum. "Kalau ingin minum, boleh ambil sendiri," katanya.
"Terima kasih. Bu. Saya tidak haus kok." Dede merapatkan pintu kulkas.
Sementara itu Ira kembali ke ruang kerja. Anak perempuan itu mengamat-amati meja kerja Bu Nurman.
"Ihh, semut!" serunya ketika melihat semut-semut kecil berkerumun di sekitar celah-celah laci meja kerja itu.
Tergerak oleh rasa ingin tahu akan apa yang mengundang datangnya semut-semut itu, Ira menarik la
ci sebelah atas. Jarinya menyentuh sesuatu yang berperekat Seperti bekas gula cair. Cairan manis itu meleleh sampai ke dalam bagian laci, yang berisi berkas-berkas, notes, dompet, dan sebuah kotak uang.
Kening anak perempuan itu berkerut. Setelah termenung beberapa saat ia kembali merapatkan laci.
Kemudian ia berjongkok karena melihat sesuatu yang menarik perhatiannya - dekat kaki meja.
"Foto," gumamnya. Beberapa lembar foto jatuh ke lantai.
Foto itu menggambarkan seseorang gadis bercelana jeans dan berkaus, sedang berdiri dekat kolam renang. Ira seperti pernah melihat kolam renang itu. Tetapi kolam renang mana, ia tidak berhasil mengingatnya.
Ira memasukkan foto-foto itu ke dalam amplop putih, tempat foto. Tetapi tidak semuanya. Hati kecilnya berbisik agar ia menyimpan selembar. Mungkin ada gunanya kelak! Maka ia pun menarik selembar foto dan menyimpan dalam saku mantelnya. Setelah itu amplop berisi foto diletakkannya di atas meja.
Sebelum berdiri, sekilas lagi ia memperhatikan lantai dekat kaki meja. Ada apa lagi"
"Ah, bungkus es krim! Kok dibuang seenaknya" Jadi ini yang mengundang semut." Ira memungut kertas bekas bungkus es krim LOLITA itu dan dimasukkannya ke dalam keranjang plastik tempat sampah.
Pada saat itu Letnan Dipa, Yan, Dede, dan Bu Nurman masuk lagi ke ruang kerja.
VI. APA YANG TERJADI"
9 "Nah, sekarang saya minta Anda ceritakan rangkaian kejadian, sekitar waktu hilangnya dokumen itu," pinta Letnan Dipa pada Ibu Yuniti Nurman.
Ira meminta kertas pada Bu Nurman, dan meminjam bolpen Letnan Dipa. Sudah menjadi kebiasaannya untuk mencatat hal-hal yang penting dalam kasus seperti itu.
Bu Nurman menerangkan, "Kira-kira pukul dua... yah, rasanya sekitar itu... saya tidak ingat persis waktunya... saya mulai memeriksa dan mempelajari formula kiriman Arfan. Hal itu saya lakukan sekitar setengah jam. Kemudian saya merasa penat. Saya memutuskan untuk mengaso sebentar. Lalu saya masuk ke situ." Bu Nurman menunjuk ruang di balik rak penyekat.
"Apa yang Anda lakukan di situ"" tanya Letnan Dipa.
"Pertama-tama saya menyeduh kopi secangkir. Setelah itu saya merebahkan diri untuk melepaskan rasa penat. Dan selanjutnya, saya kira... saya ketiduran."
"Sebentar," potong Letnan Dipa sebelum Bu Nurman melanjutkan. "Waktu Anda meninggalkan ruang kerja ini. di mana dokumen itu""
"Saya tinggalkan di atas meja, dalam map seperti ini" Bu Nurman menunjuk sebuah map ukuran tanggung, di antara tumpukan map di atas meja kerjanya. "Di atas map saya letakkan arloji saya. Yah, saya ingat betul!"
"Sebentar, Bu, Ibu tahu bahwa dokumen itu sangat penting. Mengapa Ibu meninggalkannya begitu saja"" tanya Yan.
"Ya, misalnya, kenapa tidak Ibu simpan dalam lemari arsip"" tambah Dede sambil menuding lemari arsip di sudut ruangan.
"Juga tentang arloji itu," Ira ikut bertanya. "Mengapa Ibu tinggalkan di atas meja""
Bu Yuniti Nurman tetap tenang menghadapi rentetan pertanyaan ketiga anak itu. "Begini," ia menjelaskan, "ruang kerja ini boleh dikatakan juga sebagai ruang pribadi saya. Karyawan-karyawan saya tidak biasa keluar-masuk ke sini. Kecuali bila saya panggil, atau ada sesuatu yang mereka perlukan sehingga mereka harus menghadap saya. Saya biasa meninggalkan apa saja di meja. Arloji, cincin, atau yang lain. Dan selama itu tidak pernah ada yang hilang."
Anak-anak memikirkan jawaban Bu Nurman.
"Hal begitu bisa saja terjadi Kalau Bu Nurman memang sungguh-sungguh mempercayai para pegawainya," pikir Yan.
Dede mengangkat mukanya. Sebagaimana kebia-saannya, tangannya naik untuk membetulkan letak kaca matanya- Tetapi ia segera sadar bahwa saat itu ia tidak memakai kaca mata. Maka gerak tangannya pun berubah - menarik-narik ujung hidung. Sambil berbuat demikian, ia bertanya, "Apakah sebelum masuk ke ruang tidur. Ibu mengunci pintu ruang kerja ini""
"Tidak." Bu Nurman menggeleng. "Itu tidak biasa saya lakukan." "Berapa orang karyawan Ibu"" tanya Ira. "Banyaki Di pabrik..."
"Bukan, maksud saya yang di sini. Yang membantu Ibu di kantor ini," Ira menegaskan.
"Ehh..." Bu Nurman mengingat-ingat, "Enam... eh. Lima! Sekretaris, bagian administrasi, bagian pema-saran, pesuruh. Itu yang di sini. Bagian produksi dan lain-lain di pabrik Bukit Cerme."
"Baiklah!" Letnan Dipa memberi isyarat agar anak-anak menyimpan pertanyaan mereka berikutnya. Giliran dia kini yang mau bertanya. Pak Letnan menatap Bu Nurman, "Jadi, Anda masuk ke ruang tidur, berbaring, lalu ketiduran. Setelah itu""
"Saya terlena sekitar dua puluh menit atau setengah jam. Kira-kira sekitar itu, karena ketika saya terbangun, weker di ruang tidur menunjuk pukul tiga kurang sedikit."
"Anda bangun sendiri, atau karena mendengar suara sesuatu"" sela Letnan Dipa.
"Saya terbangun sendiri. Lalu saya kembali ke ruang kerja. Saya menghampiri meja kerja untuk melanjutkan mempelajari formula itu. Saat itulah saya sadar bahwa dokumen dan arloji itu telah lenyap. Saya langsung lemas."
"Apakah hanya itu yang hilang"" tanya Latnan Dipa.
"Hanya itu, dokumen berikut mapnya dan arloji sahut Bu Nurman.
Bu Yuniti Nurman berjalan ke ruang tidur, mengambil empat botol fanta untuk tamunya, ia menyilakan Yan dan kawan-kawan minum.
10 Sementara itu Letnan Dipa berdiri dekat jendela di belakang meja kerja Bu Nurman. ia memperhatikan jendela yang tertutup itu sebentar. Jendela itu tidak berengsel di bagian samping, tetapi di bagian atas. Untuk membukanya kita harus mendorong sisi bagian bawah, lalu penahan akan bekerja secara otomatis. Daun jendela akan membentuk celah dengan bingkai, sekadar untuk memasukkan udara dari luar. Kiranya tidak mungkin orang menerobos melalui celah sesempit itu.
Letnan Dipa termenung, mengusap-usap dagu dan bibir.
Yan mendekati polisi itu, ikut mengamat-amati jendela.
Kemudian, perhatian Letnan Dipa beralih pada pintu di samping jendela. Sebuah pintu berukuran sedang untuk menuju ke halaman belakang kantor.
"Waktu Anda kembali ke sini, apakah pintu ini terbuka"" tanya Pak Latnan sambil membalikkan badan menghadap Bu Nurman.
"Tidak, pintu itu tertutup, seperti sebelum saya masuk ke ruang tidur. Tetapi tidak terkunci," jawab Bu Nurman.
Letnan Dipa membuka pintu itu. Yan, Dede, dan Ira mengikuti langkah letnan polisi itu.
Mereka berempat berdiri di balkon sempit. Balkon itu berhubungan dengari anak tangga semen menuju ke halaman bawah, di belakang bangunan kantor.
Halaman belakang itu tidak luas. Paling-paling lebarnya hanya lima meter. Panjangnya sepanjang lokal kantor. Dikelilingi oleh pagar tembok yang tinggi. Tanpa pintu. Jadi untuk memasuki halaman itu hanya ada dua jalan. Pertama, melewati pintu belakang ruang kena Bu Nurman. Kedua, melewati pintu kantor di lantai pertama. Halaman itu penuh dengan tumpukan peti kemas. Keadaannya cukup terang oleh cahaya lampu di sudut halaman.
"Bagaimana pendapat Anda, Let"" tanya Yan. "Tampaknya perkara ini rumit sekali. Tidak ada petunjuk apa pun."
Letnan Dipa diam. mengusap-usap bibir dan dagu.
"Dari wawancara kita dengari Bu Nurman sejak kita datang, memang kita belum mendapat petunjuk atau bukti-bukti. Bahkan kita belum mendapat gambaran sedikit pun mengenai siapa pelaku pencurian itu, mengapa dan bagaimana ia melakukannya," ujar Pak Letnan kemudian. "Tetapi pertanyaan kita kepada Ibu Nurman belum lengkap. Misalnya, kita belum menanyakan siapa saja yang masuk ke ruang kerja selama Bu Nurman mempelajari formula penting itu. Atau sebelum itu, siapa yang masuk." Letnan Dipa memandang ketiga anak itu. "Itulah yang harus kita ketahui sekarang. Ayo, kita tanyai Bu Nurman."
Letnan Dipa dan anak-anak meninggalkan balkon, kembali ke ruang kerja.
Bu Nurman sedang duduk melihat-lihat koran.
Letnan Dipa dan anak-anak duduk mengelilingi wanita itu. Lalu Letnan Dipa menanyai Bu Nurman. Tentang orang-orang yang mungkin layak dicurigai.
Namun jawaban Bu Nurman terasa tidak sesuai dengan harapan mereka. Bu Nurman berkata, "Saya tidak tahu. Saya sungguh tidak tahu siapa yang pantas saya curigai dalam peristiwa ini. Kejadiannya begitu mendadak. Sehingga saya tidak punya bayangan sedikit pun tentang siapa yang bisa dicurigai."
Letnan Dipa mengangguk maklum. "Apakah ada yang masuk ke ruang ini pada saat Anda sedang mempelajari dokumen itu""
"Ada. yang pertama Miskun, pesuruh kantor. Dia masuk sebentar, mengambil piring."
"Piring" Piring apa. Bu"" tanya Yan.
"Piring bekas gado-gado. Miskun harus mengembalikannya ke restoran seberang. Restoran langganan saya," jawab Bu Nurman. "Kemudian Bakri, pegawai saya dari bagian pemasaran, ia minta tanda tangan saya untuk sebuah nota pengeluaran."
"Apakah Pak Bakri lama bercakap-cakap dengan Anda"" tanya Ira.
"Ya, lumayan. Sementara saya memeriksa perincian pengeluaran yang harus saya setujui, Bakri duduk di depan meja kerja saya."
"Apakah waktu itu map dokumen itu dalam keadaan tertutup""
"Tidak." jawab Bu Nurman. "Terbuka. Kan saya sedang mempelajari dokumen itu waktu Bakri masuk""
Ira mengangguk. "Berarti Pak Bakri punya kesempatan untuk melirik isi dokumen itu," pikir Ira. Lalu Ira menulis dalam catatannya.
"Lalu, siapa lagi yang masuk"" tanya Dede Sofyan.
"Ami. Ami Rita, sekretaris saya. Dia masuk untuk mengambil suatu berkas dalam lemari arsip."
"Jadi Mbak Ami masuk setelah Pak Bakri"" Dede menegaskan.
"Ya." "Lamakah ia di sini""
"Rasanya cukup lama. Entah ya... ehh... saya tidak begitu memperhatikan dia, karena perhatian saya sedang terpusat pada dokumen- yang sedang saya pelajari"
Dede membayangkan posisi Mbak Ami dan Bu Nurman waktu itu. Bu Nurman duduk menekuni dokumen dengan perhatian penuh. Sementara itu Mbak Ami berada di dekat lemari arsip. Berarti di belakang Bu Nurman. Mungkin saja - karena tertarik melihat keseriusan Bu Nurman - diam-diam Mbak Ami melongokkan kepala, mengintip dokumen yang sedang dibaca Bu Nurman. Tanpa Bu Nurman menyadarinya!
Lamunan Dede terputus oleh pertanyaan Letnan Dipa pada Bu Nurman, "Apakah waktu Anda mempelajari dokumen, arloji sudah Anda tanggalkan dan Anda taruh di meja""
"Waktu itu belum. Saya menanggalkan arloji sebelum masuk ke ruang tidur. Tiba-tiba saya melihat sebuah noda kecil pada rantai arloji itu. Tangan saya jadi gatal. Saya lepaskan arloji itu, lalu saya bersihkan sebentar. Setelah itu saya taruh di atas map dokumen yang tertutup. Lalu saya pergi beristirahat."
Letnan Dipa mengangguk. "Lalu, siapa lagi yang masuk"" tanya Hardian.
"Tidak ada. Pada waktu saya sedang mempelajari dokumen, cuma mereka bertiga yang masuk kemari," jawab Bu Nurman meyakinkan.
"Kalau sebelumnya" Maksud saya, sebelum Ibu mempelajari dokumen"" tanya Yan lagi.
"Wah, kalau sebelumnya saya tidak ingat siapa saja yang masuk ke ruang ini. Saya tidak ingat. Tetapi pada waktu saya mempelajari dokumen, saya ingat persis siapa yang datang. Ya itu tadi, Miskun, Bakri. dan Ami Rifa. Hanya ketiga orang itu."
"Betul" Ibu tidak ingat"" tanya Yan dengan nada mendesak.
Bu Nurman mengeluarkan napas melalui hidung. "Kalaupun aku ingat, apa ada gunanya" Waktu itu aku kan belum membuka map dokumen itu""
"Mungkin, kelihatannya tidak ada gunanya sekarang. Tapi siapa tahu kelak"" jawab Yan tangkas.
Bu Nurman mengangguk-angguk. Agaknya ucapan Hardian terdengar masuk akal di telinganya. "Coba kuingat ingat., oh ya, ada! Edi Wilis!"
"Siapa dia""
"Bekas pegawai PT Tiga Jaya...." "PT saingan Ibu itu""
"Ya. Sebulan yang lalu dia bentrok dengan Sirapu. Theo Sirapu adalah direktur PT Tiga Jaya. Kemudian Edi Wilis keluar."
"Apa maksudnya menemui Ibu"" tanya Yan.
"Dia mau minta pekerjaan. Edi Wilis merengek-rengek kepadaku. Supaya aku mau menerimanya sebagai karyawan."
"Bagaimana jawaban Anda"" Letnan Dipa menyeletuk.
"Saya belum memberi jawaban. Saya katakan, sulit juga menerima dia sebagai karyawan saya. Apa kata Theo Sirapu nanti" Theo saingan saya Hubungan kami tidak begitu baik. Nanti jangan-jangan Theo mengira saya sengaja menarik Edi supaya pindah ke pabrik saya. Padahal tidak. Kan tidak enak""
"Jadi hanya Pak Edi Wilis yang Ibu ingat masuk ke ruangan ini, sebelum Ibu mempelajari dokumen itu"" Yan menegaskan sekali lagi.
"Betul. Kukira hanya dia. Ami Rifa yang mengantarkannya menemuiku," sahut Bu Nur
man. "Tadi Ibu sempat lupa mengatakan tentang kehadiran Pak Edi Wilis. Apakah Ibu tidak lupa menyebutkan orang-orang yang masuk ke ruangan ini - pada waktu Ibu sedang mempelajari dokumen" Benarkan hanya Pak Miskun, Pak Bakri. dan Mbak Ami Rifa"" tanya Yan sambil menatap mata Bu Nurman lurus-lurus.
Letnan Dipa diam-diam melirik Yan. ia kagum pada pertanyaan yang diajukan Yan. Pertanyaan yang bisa menjebak, andaikata Bu Nurman sengaja 'melupakan' sebuah nama selain Miskun, Bakri, dan Ami Rifa.
Letnan Dipa berganti menatap Bu Nurman. ia ingin tahu reaksi wanita itu dalam menanggapi pertanyaan Yan. Ira dan Dede juga melakukan hal yang sama.
Mimik muka Bu Nurman nampak berubah. Bibirnya bergerak, seperti akan menyampaikan sesuatu. Tetapi kemudian 'sesuatu' itu ditelannya kembali. Dan ia berkata, "Tidak, aku tidak lupa! Aku yakin hanya mereka bertiga yang masuk ke ruangan ini pada saat aku mempelajari dokumen." Dan Bu Nurman menarik napas panjang.
Yan dan Letnan Dipa saling melempar pandangan.
VII. PRIBADI YANG MENGESANKAN
11 "Saya kira pertanyaan kami sudah cukup." ujar Letnan Dipa selang beberapa waktu kemudian. Laki-laki itu melihat arloji. "Wah, sudah hampir jam sembilan! Padahal kalian belum makan!" Pak Dipa memandang anak-anak.
"Tidak jadi soal. Kami tidak lapar kok!" sahut Dede. "Anda kan sudah tahu kebiasaan kami, Let" Kami sanggup menyisihkan rasa lapar jika sedang mengusut perkara... hahaha!" Dede tertawa sendiri.
Tawa Dede terasa mengendurkan urat syaraf, setelah sekian lama mereka tercekam keseriusan.
"Kita makan sama-sama saja," Bu Nurman menawarkan.
"Bagaimana"" tanya Letnan Dipa pada anak-anak.
"Setuju!" sahut Yan dan Dede hampir serempak.
Ira tertawa kecil. Sebelum meninggalkan kantor itu. Bu Nurman menanyakan langkah apa yang akan diambil Letnan Dipa.
"Saya akan menanyai Ami Rifa dan yang lain. Itu jelas. Tindakan selanjutnya masih harus saya pikirkan," jawab Letnan Dipa.
"Tapi ingat, Let, saya tidak menghendaki peristiwa itu menjadi sesuatu kehebohan. Seperti yang saya katakan tadi. Jangan sampai kita justru menyadarkan si pencuri akan pentingnya isi dokumen itu."
"Itu kalau si pencuri belum sadar akan nilai dokumen itu. Kalau dia sudah tahu"" Letnan Dipa merentangkan tangan. "Permintaan Anda agak merepotkan. Tapi akan saya coba untuk mengusut perkara ini tanpa banyak menimbulkan kehebohan." Letnan Dipa memandang Ira, Dede, dan Yan yang sedang melangkah menuruni tangga ke lantai pertama. "Untuk itu barangkali saya bisa memakai jasa mereka."
"Mudah-mudahan," ujar Bu Nurman. "Tapi harus saya akui, mereka anak-anak yang cerdas dan teliti. Pertanyaan-pertanyaan mereka tadi terasa berbobot, punya tujuan. Tidak asal membuka mulut."
Letnan Dipa terkekeh, "Anda baru tahu, ya" Saya sendiri sering merasa heran melihat kecerdasan anak-anak sekarang. Seperti Yan, Dede, dan Ira itu. Sebagai orang tua, kita harus merasa bangga. Karena bukankah mereka yang akan melanjutkan perjuangan kita dalam mencapai keadilan dan kemakmuran yang merata""
Bu Nurman mengiyakan. Lalu kedua orang itu menyusul anak-anak yang sudah menunggu dekat pintu.
Mereka meninggalkan kompleks pertokoan Dasa Indah. Bu Nurman mengajak Ira naik mobilnya, yang disetirnya sendiri. Yan dan Dede naik jip bersama Letnan Dipa.
Dalam perjalanan menuju rumah makan Ira sempat mengajukan beberapa pertanyaan tambahan kepada Bu Yuniti Nurman. Misalnya, apakah Bu Nurman tidak punya sopir sehingga harus menyetir sendiri"
"Aku punya sopir. Tetapi kadang-kadang aku lebih suka menyetir sendiri. Pada waktu lembur-di mana aku harus pulang larut malam seperti sekarang -sopirku selalu kusuruh pulang lebih dulu. Dia punya anak-istri. Tentunya dia juga ingin menyisihkan waktu untuk keluarganya. Kasihan kan kalau dia harus terkantuk-kantuk menungguku" Padahal aku toh bisa membawa pulang mobil ini sendiri."
"Ibu baik sekali." kata Ira.
"Jangan terlalu memuji. Kamu belum setengah hari mengenalku. Siapa tahu aku tidak sebaik yang kamu kira"" Bu Nurman tertawa kecil, sambil menoleh pada Ira.
Ira agak tersentak mendengar ucapan yang tiba-tiba itu.
"Yahh, tapi aku memang selalu berusaha memper-hatikan kesejahteraan karyawanku." Bu Nurman menghidupkan lampu sein kanan, lalu perlahan-lahan memutar setir. Jalan di depan mereka lengang. Cahaya lampu neon di pinggir jalan berpendar-pendar. Ibu Nurman melanjutkan, "Soalnya dulu aku juga pernah menjadi pegawai kecil. Sebelum aku menikah dengan Pak Nurman. Jadi aku tahu bagaimana penderitaan dan harapan seorang pega-wai kecil. Kalau kita pernah mengenyam penderitaan, kita akan lebih peka melihat penderitaan orang lain. Soalnya kita telah merasakan sendiri pahitnya penderitaan itu. Betul, tidak""
Ira mengangguk. Anak perempuan itu makin menaruh hormat pada pribadi wanita pengusaha itu.
"Oh ya, siapa yang mengirimkan dokumen itu kepada Ibu"" tanyanya kemudian.
"Si Arfan - tentu saja," sahut Bu Nurman. "Bukan itu maksud saya. Ehh... apakah melalui pos""
"Tidak. Dokumen itu dikirim Arfan melalui per-usahaan pengangkutan Cepat-Aman. Aku biasa memakai jasa Cepat-Aman. Tidak pernah ada masalah."
"Apakah waktu sampai ke tangan Ibu, bungkusnya masih dalam keadaan rapi""
"Ya. aku menyaksikannya sendiri." Bu Nurman tertawa. "Betul apa yang dikatakan Pak Dipa. Kamu teliti sekali." Lalu ia menghidupkan lampu sein kiri. "Kita sudah sampai. Itu restoran langgananku. Ayam gorengnya enak sekali."
Di belakang mereka jip Pak Dipa membuntuti.
Berlima mereka makan di restoran itu. Selama makan Letnan Dipa dan Bu Nurman mengobrol tentang banyak hal. Tetapi mereka tidak menyinggung soal hilangnya dokumen dan arloji. Hingga tibalah saat meninggalkan rumah makan.
"Besok saya akan menghubungi Anda lagi." ujar Letnan Dipa pada Bu Nurman sebelum masuk ke mobil masing-masing.
Bu Nurman mengiyakan. "Selamat malam, Bu," kata anak-anak.
"Selamat malam! Bantu mencari jawabannya, ya" Kalau kalian gagal memecahkan teka-teki itu, ayam goreng yang sudah kalian makan akan kuminta kembali," kata Bu Nurman berkelakar.
"Hahaha!" Letnan Dipa mengantarkan Yan dan Ira, dan kemudian Dede, sampai di rumah masing-masing.
Sebenarnya Dede belum mau pulang, ia masih ingin mendiskusikan perkara yang baru ditemui itu dengan Yan dan Ira. Tetapi Letnan Dipa melarang.
"Sekarang sudah setengah sebelas, De! Jangan ngawur! Besok sa|a diskusinya. Setelah itu hubungi aku. Mungkin aku punya tugas untuk kalian."
"Jam setengah sebelas juga tidak apa-apa. Sekarang kan waktu liburan...," bantah Dede.
"Pokoknya tidak!" Letnan Dipa menggeleng. "Nanti aku tidak enak pada orang tuamu. Ayo, kuantar kamu pulang!" Lalu Letnan Dipa berkata pada Yan dan Ira yang baru turun dari jip. "Kalian juga... harus cepat tidur! Segarkan pikiran untuk besok!"
Letnan Dipa memasrahkan Yan dan Ira kepada Pak Mintaraga yang menunggu kepulangan kedua anak-nya. Setelah itu mengantarkan Dede Sofyan.
VIII. ES KRIM, SEMUT, DAN FOTO
12 Dede meluncur di atas sepeda. Ketika melewati pintu halaman rumah Ira. tangannya diayunkannya bertumpu pada tiang pintu pagar, sehingga sepeda-nya makin melaju.
Bel sepedanya berbunyi berdering-dering.
Ira keluar menyongsongnya. "Hai" seru anak perempuan itu.
Dede melompat turun dari sepeda.
"Lama amat, De" Kesiangan bangun"" tanya Ira.
"Aku baru dari toko kaca mata," jawab Dede, menyandarkan sepeda
"Lalu"" "Nanti siang lensa yang retak itu selesai diganti." ia melindungi mata dengan lengkung telapak tangan dan memandang ke ufuk timur. "Jam berapa sekarang""
"Jam sembilan kurang. Aku dan Kak Yan sudah tidak sabar menunggumu." kata Ira. Digandengnya Dede ke dalam.
Di serambi belakang Yan sedang menyemir sepatu. Untuk melewatkan waktu sementara menunggu kehadiran Dede.
Dede menyeringai. Timbul keisengannya melihat Van begitu tekun menggosok sepatu sampai berkilat-kilat, ia mengayunkan kaki kanannya yang bersandal kulit. Sandal itu terlontar, mengenai betis Yan yang sedang duduk di kursi plastik berkaki pendek. "Tolong sandalku sekalian!" teriaknya.
Yan melotot geram. "Hahaha!" Dede tergelak. "Jangan bimbang! Ambil dan se
mirlah baik-baiki Nanti ongkosnya 'Bapak' kasih... hohoho!"
Ira ikut terkekeh-kekeh. Mata lebar Yan makin membulat. Tiba-tiba ia memungut sandal si Dede dan menimpukkannya ke arah Dede.
"Eitt!" Dede berkelit.
Sandal kulit menghantam pintu belakang, DUUEERR!!
"Yaann! Ada apa"" Terdengar seru Bu Mintaraga dari kamar.
Ketiga anak itu tidak menjawab. Dede dan Ira terkekeh. Yan bangkit, mendelik sekali lagi pada Dede, lalu membawa sepatu ke rak.
"Hahahaha!" Sambil tertawa nyaring Dede membungkuk-bungkuk. Yan muncul lagi. "Hei, simpan dulu tawamu. Kita harus segera membicarakan kasus itu!" sentak Yan.
13 Ketiga anggota Kelompok 2&1 memilih kebun belakang untuk memperbincangkan kasus Bu Nurman. Mereka mencari tempat yang teduh.
"Sejak tadi malam aku bertanya-tanya. Kasus pencurian yang disampaikan Bu Nurman itu sungguh-sungguh terjadi, atau tidak" Tetapi kemudian aku yakin Bu Nurman bukan sedang mengakali kita. Umpamanya sebuah teka-teki rekaannya sendiri, dikatakannya dengan sangat meyakinkan. Sehingga rasanya seperti sungguh-sungguh," ujar Yan meng-awali diskusi.
"Pasti sungguh-sungguh. Tentang itu aku tidak ragu-ragu sedikit pun," kata Ira.
Pikiranmu itu pasti disebabkan oleh omongan Pak Letnan," kata Dede, menggerakkan telunjuk ke arah Yan. "Pak Letnan bilang Bu Nurman orangnya suka bercanda. Ini berarti mungkin juga ia senang mengecoh orang sebagai sebuah kelakar."
Yan tidak membantah sangkaan Dede.
"Mula-mula aku juga punya pikiran seperti itu. Kan sia-sia kita ngotot menyelidiki kasus itu, ehh... kemudian ternyata hanya kejadian khayalan Bu Nurman saja!" Dede menggerakkan tangannya. "Tapi, kita harus yakin bahwa pencurian itu sungguh-sungguh terjadi"
"Ah, kenapa kalian masih meragukannya"" sentak Ira agak jengkel. "Percayalah, Bu Nurman tidak cuma mengada-ada. Kelakuannya tadi malam tidak bisa menipuku. Sudah jelas bahwa ia sangat risau."
"Baiklah." Yan menarik napas. Punggungnya ditekankannya ke batang pohon. Pandangannya menatap Dede. "Lalu, apakah kamu sudah berhasil menarik sebuah kesimpulan mengenai pelakunya""
"Belum." Dede menggeleng-geleng. "Mana bisa kita menarik sebuah kesimpulan kalau petunjuk yang kita peroleh masih sangat sedikit. Bahkan belum ada. Aku harus berbicara dulu dengan mereka itu."
"Ami Rifa" Bakri" Miskun"" sela Yan.
Dede mengangguk. "Barangkali juga dengan yang lainnya lagi. Baru setelah itu kita bisa mendapat gambaran yang lebih lengkap dan jelas."
"Yah, sampai detik ini kita baru mendengar dari Bu Nurman sendiri. Memang repot!" Yan menyisir rambutnya yang lebat dengan jari tangan.
Ira menyela, "De, tadi kamu bilang, kita belum menemukan petunjuk satu pun. Sebenarnya sudah. Aku sudah menceritakannya kepada Kak Yan. Tapi kami belum tahu apa hubungannya dengan kasus pencurian itu. Atau dengan kata lain, adakah hubungan antara petunjuk yang kutemukan dengan si pelaku kejahatan""
"Apa"" tanya Dede tertarik.
Ira menyampaikan hasil pengamatannya di meja kerja Bu Nurman. Bahwa ia melihat cairan manis yang meleleh ke laci. semut-semut yang berkerumun, foto yang berserakan di lantai, dan kertas pembungkus es krim dengan merek Lolita.
"Perasaanku - juga Kak Yan - mengatakan, hal itu pasti mempunyai arti yang penting. Hanya bagaimananya yang aku belum tahu," ujar anak perempuan yang rambutnya dikepang itu.
"Mana fotonya"" pinta Dede.
Ira menyerahkan foto gadis di tepi kolam renang itu.
"Kenapa kamu tidak membicarakan penemuan ini tadi malam"" tanya Dede.
"Di hadapan Bu Nurman"" ucap Ira. "Entahlah! Hanya perasaanku mengatakan, sebaiknya aku diam dulu. Tapi nanti aku akan melaporkannya pada Pak Dipa."
"Hmmm. aneh," gumam Dede.
"Apanya"" sergah Ira, mengharap Dede mengeta-hui sesuatu.
"Waktu itu aku kan membuka kulkas" Aku memang melihat ada es krim di dalamnya. Tetapi tidak ada yang capnya LOLITA. Aku yakin! LOLITA adalah es krim doyananku. Aku hapal gambar dan warna bungkusnya."
Ira mengerutkan kening mendengar keterangan itu. Lalu sambil menggerakkan tangan, tiba-tiba ia berseru. "Ahh, kiranya di situlah l
etak hubungan petunjuk yang kutemukan dengan kasus pencurian itu!"
Kedua anak laki-laki melemparkan pandangan ke arahnya.
Dengan ujung jari Ira melemparkan kucirnya ke belakang bahu. "Dede bilang tidak ada es krim Lolita dalam kulkas. Berarti es krim itu datang dari luar. Maksudku, ehhhh, bagaimana ya"" Ira menemukan kesulitan dalam mengutarakan jalan pikirannya.
"Maksudmu, mungkin ada orang yang datang ke kantor Bu Nurman, dan seseorang itu makan es krim LOLITA"" Yan membantu adiknya.
"Ya, itu!" "Belum tentu!" sela Dede tidak sependapat "Bagaimana kalau begini, sebelumnya memang ada es krim LOLITA dalam kulkas itu. Tapi cuma tinggal satu. Kemudian Bu Nurman sendiri yang meminumnya. Yaitu yang bungkusnya kamu temukan di bawah meja. Mungkin juga kan""
Ira menggoyang-goyangkan telunjuk, "itu memang mungkin terjadi, De. Tapi ada satu hal lagi yang membuat aku tetap yakin bahwa orang yang minum es krim itu bukan Ibu Nurman!" Ira melanjutkan, Bu Nurman adalah orang yang sangat memperhatikan kebersihan dan kerapian. Itu bisa kita lihat dan caranya mengatur ruang kerja dan ruang tidurnya. Rapi, bersih, sangat menyenangkan!"
Dede mengangguk-angguk. "Mengingat hal itu. apakah mungkin Bu Nurman berlaku begitu ceroboh" Membuang bungkus es krim sembarangan, kececeran, sehingga sebagian es yang manis itu meleleh ke dalam laci."
"Sehingga mengundang semut," Yan me-nyambung.
"Ya!" sahut Ira bersemangat. "Maka aku tetap yakin, si peminum es krim itu bukan Bu Nurman. Tapi orang lain... salah seorang dari mereka yang masuk ke kantor itu!"
"Wah, hebat sekali jalan pikiran Nona Ira!" puji Dede.
Yan bertepuk tangan, "Ayo kita sambut dengan tepuk tangan!" Dan ia pun bertepuk tangan. "Hahaha!"
Ira mencubit lembut bahu kakaknya. Bibirnya tersenyum simpul. Pipinya bersemu merah.
"Masalahnya kini, siapa orang itu"" tanya Yan setelah diam beberapa saat. "Aku tidak percaya bahwa Mbak Ami, Pak Bakri, Pak Miskun, atau bahkan Pak Edi Wilis - menghadap Bu Nurman sambil minum es krim! Bagaimanapun Bu Nurman kan majikan mereka" Mestinya mereka menghargai."
"Kecuali kalau waktu itu Bu Nurman sedang tidak ada," ujar Dede penuh arti.
"Ketika Bu Nurman sedang mengaso, maksudmu"" Ira menegaskan. "Kalau begitu si peminum es krim adalah si pencuri"" Bibir anak perempuan itu berdecap, meragukan kesimpulannya sendiri. "Tapi masa ada orang mencuri sambil makan es krim""
Dede menggaruk-garuk kepala. Matanya memper-hatikan foto gadis di tepi kolam renang. "Siapa dia"" gumamnya pelan.
"Barangkali Letnan Dipa tahu," kata Ira. Dimintanya fdto dari Dede. Sambil berpaling pada kakaknya ia bertanya, "Kapan kita menemui Letnan Dipa""
"Sekarang saja!" Yan menarik punggungnya dari batang pohon.
"Ayo!" sambut Dede antusias.
Yan memandang kedua rekannya. "Setidak-tidaknya sekarang kita sudah tahu sesuatu. Sehingga Pak Letnan tidak menganggap kita terlalu tolol, tidak bisa menarik kesimpulan sedikit pun dari penyelidikan tadi malam. Ayo!"
"Kita mampir ke toko kaca mata sebentar, ya" Barangkali kaca mataku sudah selesai diperbaiki."
IX. TAKTIK LETNAN DIPA 14 Kelompok 2&1 berhasil menemui Letnan Dipa di kantor polisi. Letnan Dipa-yang memang menunggu mereka - langsung menyuruh masuk.
Pak Dipa berdecak dan tertawa melihat Dede Sofyan sudah memakai kaca mata. "Kamu memang lebih ganteng kalau pakai kaca mata," katanya.
"Nah, apa kubilang"" Dede menoleh pada Ira. Kepalanya diangkat. Dadanya membusung. "Aku memang anak ganteng!"
"Uuuuu!" Ira mencibir.
"Jangan dipuji. Let. Nanti kepalanya bisa-bisa memuai!" seloroh Yan. Letnan Dipa terbahak.
"Bagaimana hasil diskusi kalian mengenai kasus Bu Nurman" Menemukan suatu kesimpulan"" tanya Pak Letnan.
"Sudah, Pak. Tapi masih samar-samar...."
"Oh ya"" Letnan Dipa memandang Ira. "Coba jelaskan!"
Ira menyampaikan teorinya tentang seseorang yang masuk ke ruang kerja Bu Nurman - dan bahwa orang itu minum es krim merek LOLITA.
"Bu Nurman tidak pernah menyinggung tentang orang yang menghadapnya sambil minum es krim. Meskipun demikian, saya
pikir orang itu perlu dicari, Pak. Sebab bukan tidak mungkin dialah si pencuri itu," kata Ira mantap. "Wah, hebat! Boleh juga teorimu! Kita beruntung karena Ira menemukan petunjuk yang berharga." Letnan Dipa mengangguk-anggukkan kepalanya.
Lalu Ira menyambung dengan masalah foto yang juga ditemukannya. "Ini fotonya. Pak. Apakah Anda pernah melihat
gadis dalam foto ini"" tanyanya. "Lho, ini kan Nia"" seru Letnan Dipa terkejut. "Nia Nurman"" tanya Yan. "Ya. dia!" Letnan Dipa terdiam. Pikirannya mulai mengaitkan hal yang satu dengan yang lain. Sambil merenungi foto si Nia dan mengusap-usap dagu. Tiba-tiba Yan berkata, "Jangan-jangan Nia Nurman, memang dia! Orang yang kita duga menghadap Bu Nurman sambil minum es krim!"
Kelompok 2 Dan 1 Pencuri Intelek Karya Dwianto Setyawan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Letnan Dipa mengangguk dan menggumamkan sesuatu.
"Ir, kamu kan bilang, cairan yang mungkin bekas es krim itu meleleh masuk laci, sehingga mengun-dang semut," Dede ikut menimbrung.
Ira mengiyakan. "Kalau kita pikir, mana ada pegawai yang berani membuka-buka laci bosnya sambil minum es krim"
Lain soal kalau dia adalah - anak si bos itu sendiri!"
Dede membuka lengan dengan muka puas. "Ya, itulah!" kata Yan sependapat.
"Pak, Apakah Anda kenal dengan Kak Nia"" tanya Ira pada Letnan Dipa.
"Bu Nurman pernah mengenalkan Nia kepadaku. Tapi asal berkenalan saja. Aku tidak tahu banyak mengenai dirinya," jawab Pak Dipa.
"Yang mengherankan, kalau betul Kak Nia juga masuk ke ruang kerja Bu Nurman waktu itu, mengapa Bu Nurman tidak mengatakannya pada kita"" tanya Ira lebih kepada diri sendiri.
"Tentu saja supaya anaknya tidak ikut dicurigai," sahut Dede.
"Aku ingat sekarang!" sela Yan. Kata-katanya selanjutnya ditujukannya kepada Letnan Dipa. "Tadi malam - sebelum meninggalkan kantor - saya sempat menanyakan sesuatu kepada Bu Nurman. Saya bertanya, 'Apakah Ibu tidak lupa mengatakan tentang orang lain-selain Mbak Ami, Pak Bakri. Pak Miskun - yang juga masuk ke ruang kerja Ibu, pada waktu Ibu sedang mempelajari dokumen"'" Yan diam sebentar. "Saya ingat betul. Pertanyaan saya membuat roman muka Bu Nurman berubah."
"Aku juga melihat, Yan," ujar Letnan Dipa. "Bu Nurman seperti akan mengatakan sesuatu, tetapi tidak jadi."
"Persis!" Yan nampak puas karena Letnan Dipa sependapat.
"Jadi, apakah Kak Nia pencurinya"" Ira minta kepastian.
"Ahh, belum tentu, Ir, belum tentu! Yang jelas kini kita mendapat sebuah petunjuk lagi. Yaitu, bahwa Nia Nurman juga masuk ke ruang kerja itu. Dan bahwa Bu Nurman sengaja menutupi hal itu. Kemudian, apa yang dilakukan Nia di ruang kerja ibunya, dan mengapa Bu Nurman menutupi hal itu... itulah yang harus kita ketahui." Letnan Dipa mengangguk mantap.
"Apa rencana Anda, Pak"" tanya Yan.
"Kita harus menanyai Bu Nurman khusus mengenai Nia," Jawab Pak Dipa. "Tapi itu nanti." Pak Dipa mengulapkan tangan. "Sebelumnya aku punya tugas untuk kalian. Kalian harus membantuku mewawanca-rai Ami Rifai, Bakri, dan Miskun."
"Mewawancarai mereka dalam kasus itu"" tanya Dede heran.
"Tentu saja. Masa mengenai sepak bola... hahaha!"
"Bukan begitu, Let!" potong Dede. "Kan tadi malam sudah ada kesepakatan antara Bu Nurman dengan kita" Bahwa peristiwa itu jangan sampai berkembang menjadi sebuah kehebohan. Bahwa Bu Nurman tidak menghendaki karyawan atau karyawatinya tahu tantang hilangnya dokumen itu. Iya, kan""
Sambil tetap tertawa lebar Pak Dipa membenarkan. "Benar. Tapi apakah kita bisa menyelidiki sesuatu kalau masalahnya tidak jelas"" ujarnya. "Tidak bisa, kan" Maka aku lalu memikirkan sebuah cara lain."
Anak-anak menunggu kelanjutan kata-kata Letnan Dipa dengan penuh perhatian.
"Caranya begini, kita tetap harus mewawancarai orang-orang yang kita butuhkan keterangannya. Terutama mereka yang masuk ke ruang kerja pada waktu Bu Nurman sedang menekuni dokumen. Tetapi," Letnan menaikkan telunjuknya, "dalam menanyai mereka, kita tidak perlu menyinggung masalah lenyapnya dokumen itu. Yang kita bicarakan adalah tentang hilangnya arloji Ibu Nurman!"
Anak-anak mengangguk-anggukkan kepala. Dalam hati mereka memuji kejiluan taktik Letnan Dipa.
"Dengan d emikian." Letnan melanjutkan, "kita tetap bisa mengusut tanpa membuat orang lain tahu.
kecuali si pencuri, bahwa Bu Nurman telah kehilangan dokumen penting."
"Bagus!" seru Yan, puas dan sangat setuju.
"Anda sudah membicarakan rencana itu kepada Bu Nurman"" tanya Ira.
"Sudah. Tadi pagi, sebelum ke kantor, aku mampir ke rumah Bu Nurman. Kuutarakan rencanaku, ia mengerti, dan yang penting setuju. Kemudian kami atur demikian. Hari ini Bu Nurman akan memberi tahu Ami Rifa Miskun dan Bakri tentang hilangnya arlojinya yang berharga tiga perempat juta. Dan bahwa ia telah melaporkan kejadian itu kepadaku, kepada polisi! Maka nanti Ami, atau Bakri, atau Miskun, jangan kaget bila ada yang minta keterangan pada mereka." Letnan Dipa mengacungkan telunjuk kepada anak-anak. "Dan tugas untuk minta keterang-an pada mereka kuserahkan kepada kalian. Ini sesuai dengan harapan Bu Nurman. Supaya dalam peng-usutan perkara ini polisi tidak kelihatan terlampau ikut campur. Tinggal bagaimana kalian. Sanggup""
"Sanggup, Pak!" sahut Dede langsung.
"Aku percaya pada kemampuan kalian." Letnan Dipa menghembuskan napas dengan tiupan besar. "Setelah ini aku harus menghadiri rapat di Kowil[Komando wilayah] Nanti sore, mungkin agak malam, aku akan ke rumahmu Yan. Kuharap waktu itu aku dapat menerima laporan lengkap."
"Siap. Let!" Yan berdih dan memberi salut. "Tugas akan kami laksanakan sebaik-baiknya!"
Letnan Dipa tersenyum lebar.
"Jadi hanya ketiga orang itu yang harus kami datangi" Bagaimana dengan Pak Edi Wilis"" tanya Ira.
"Edi dan Nia bagianku," sahut Letnan Dipa. "Ada pertanyaan lain""
"Cukup, Pak. Kami mohon diri untuk segera melaksanakan tugas." jawab Yan.
"Sekarang"" Letnan Dipa mencondongkan mukanya ke depan. "Sekarang masih jam kerja. Yan. Tugas itu baru bisa kaulakukan nanti sore, setelah orang-orang itu pulang kerja. Datangi rumahnya. Katakan bahwa kalian adalah wakil-wakilku. Oh ya... alamatnya. Catat dulu, Ir!"
Ira mencatat alamat Mbak Ami, Pak Miskun, dan Pak Bakri.
Setelah itu Kelompok 2&1 meninggalkan kantor Letnan Dipa. Di halaman tampak beberapa polisi yang masih muda-muda - baru selesai berlatih seni bela diri pencak silat. Wajah mereka kemerah-merahan dan bersimbah peluh. Sementara di depan kantor lalu lintas, seorang polisi lalu lintas yang baru berpatroli, turun dari sepeda motor. Bapak polisi ini, yang kenal dengan Dede, melambaikan tangan.
X. LAKI-LAKI YANG SEDANG RISAU
15 Pak Miskun tinggal di sebuah rumah sempit, di sebuah kampung yang penghuninya berjubel-jubel. ia tinggal di situ bersama istri dan keempat anaknya
Pak Miskun berusia 40-an. Namun penampilannya kelihatan jauh lebih tua daripada umurnya sebenarnya. Barangkali itu disebabkan karena pelbagai macam penderitaan yang mesti ditanggungnya Maklumlah, dia hanya seorang pesuruh dengan gaji pas-pasan. Sementara ada sekian banyak jiwa yang menjadi tanggung jawabnya. Kiranya bisa diperkirakan betapa sulit hidupnya.
Laki-laki tamatan SD, yang tidak sempat melanjutkan ke SLTP itu, bermuka lancip. Pipinya bergaris-garis kerut. Rambutnya yang sudah beruban disisir ke belakang. Kering. Tanpa minyak. Penampilannya amat sederhana. Ketika sore itu ditemui Yan dan kawan-kawan, ia memakai sarung dan kaus oblong yang telah usang.
Kelompok 2&1 memutuskan untuk menanyai laki-laki itu pertama kali. Supaya sejalan atau searah kalau nanti mereka harus ke rumah Pak Bakri dan Mbak Ami Rita.
Yan dan kawan-kawan memperkenalkan diri kepada Pak Miskun. Sambil memberi tahu bahwa mereka datang ke situ mewakili Letnan Dipa.
Pak Miskun segera maklum. Anaknya yang bungsu - yang sedang menggambar di meja tamu disuruhnya bermain-main di luar.
"Tadi Ibu..." Maksudnya Bu Nurman, "sudahi memberi tahu mungkin saya akan didatangi Pak Letnan, atau tiga orang anak. Ternyata kalian yang datang. Apa yang bisa saya terangkan. Nak""
Anak-anak segera menyukai Pak Miskun. Terutama pada sikapnya yang kelihatan menghargai orang lain.
"Kami cuma ingin minta keterangan sedikit. Pak," kata Yan. "Bapak sudah mengerti masalahnya, bukan""
"Sudah. Saya kaget waktu tadi Ibu memberi tahu bahwa arlojinya yang bagus itu-dicuri. Padahal arloji itu harganya mahal sekali. Kasihan, Ibu." Caranya menjawab dan berkata-kata sangat polos, wajar. Tidak ada rasa gugup atau gelisah. Sehingga memberi kesan ia tidak tahu apa-apa mengenai kasus pencurian itu.
Yan merasakan hal itu. Namun ia sudah cukup berpengalaman menanyai orang dalam suatu kasus. Itu sebabnya ia tidak ingin terkecoh. Dengan tenang ia menyusulkan pertanyaan-pertanyaannya:
"Kata Ibu, sekitar jam dua Bapak masuk ke ruang kerja Ibu. Untuk mengambil piring. Berapa lama Bapak di ruang kerja itu""
"Paling-paling satu menit," jawab Pak Miskun. "Mengambil piring, lalu keluar lagi."
"Tidak omong-omong"" pancing Dede.
Pak Miskun menggeleng. "Saya lihat Ibu sedang tekun membaca. Saya tidak berani mengganggu.
jadi, setelah mengambil piring, saya langsung keluar."
"Waktu itu Bu Nurman membaca koran, majalah, atau..." Ira - yang ikut bertanya - sengaja tidak menyelesaikan pertanyaannya. Maksudnya agar Pak Miskun yang menyelesaikan.
Namun jawaban Pak Miskun di luar harapannya. Pak Miskun berkata, "Ibu sedang membaca apa, ya" Wah. saya tidak begitu memperhatikan. Pokoknya waktu itu Ibu sedang duduk di belakang meja dan membaca. Lalu saya mengambil piring bekas gado-gado itu, terus keluar."
"Terus, Pak Miskun ke mana"" tanya Yan.
"Ke rumah makan. Mengembalikan piring."
"Rumah makan itu juga dalam kompleks pertokoan Dasa Indah"" tanya Yan lagi.
"Ya, tapi agak jauh dan kantor Ibu."
"Berapa lama Bapak di situ"" Ganti Dede yang bertanya.
"Cukup lama juga. Kira-kira setengah jam lebih. Atau malahan satu jam."
"Wah, lama sekali!" kata Dede, mendorong kaca mata ke belakang. "Kenapa begitu lama, Pak""
"Saya mengobrol dengan kasir rumah makan itu," jawab Pak Miskun tenang. "Kadang-kadang memang begitu. Habis, pekerjaan saya sudah beres. Daripada ngantuk di kantor" Mendingan mengobrol sambil menunggu waktu pulang."
"Lalu. bagaimana kalau tenaga Bapak diperlukan""
"Ya, dipanggil! Orang kantor kan sudah saya pamiti." Pak Miskun mengangkat tangannya. "Sebentar, saya ambil tembakau dulu. Mulut saya kecut kalau tidak merokok."
Lalu laki-laki itu menyibakkan gorden yang membatasi ruang tamu dengan ruang dalam. Tak lama kemudian ia muncul lagi, membawa tembakau dan kertas rokok.
"Bapak tidak bisa menyuguh kalian. Minuman pun tidak. Soalnya istri saya sedang pergi. Maaf, ya," katanya sambil duduk lagi.
"Ah, tidak apa-apa, Pak," jawab Ira. "Istri Bapak ke mana""
"Ke dokter. Mengantarkan anak saya yang ketiga." Sambil berkata-kata tangannya melinting kertas rokok yang berisi tembakau, dengan gerak yang cekatan. Setelah jadi, lidahnya menjilati tepi kertas rokok, menggulungnya, kemudian dijepitkannya rokok itu ke bibir. "Anak saya sakit. Entahlah, ada-ada saja halangan yang terjadi pada keluarga saya." Pak Miskun menghela napas. Tampak prihatin.
"Sakit apa, Pak"" tanya Ira.
"Infeksi. Kata dokter, cukup parah. Harus diinjeksi beberapa kali." Tanpa diminta Pak Miskun menerang-kan penyebab penyakit anaknya, "Hari Minggu kemarin ia pergi memancing dengan teman-temannya. Ketika menuruni tebing sungai, Kasdi tergelincir, ia jatuh. Jatuhnya tidak seberapa. Tapi malangnya, kaki Kasdi tercocok dahan yang runcing. Setelah itu kakinya bengkak dan bernanah. Makin lama kelihatannya kok makin parah. Lalu oleh ibunya Kasdi dibawa ke dokter. Ternyata infeksi. Kasep, kata Pak Dokter. Terpaksa dia harus balik beberapa kali. Injeksi, obat, ongkos dokter...." Pak Miskun menghela napas panjang. "Pusing saya memikirkannya. Mana kami ini orang miskin!"
Anak-anak terdiam mendengar keluh kesah Pak Miskun. Ira menatap laki-laki itu dengan pandangan
menyiratkan rasa ikut prihatin. Kemudian ia bertanya, Bapak tidak minta bantuan kepada Ibu Nurman" Kan
kelihatannya Ibu Nurman orang yang baik"" "Oh ya, Ibu memang orang baik. Tetapi dalam soal sakitnya Kasdi. saya sengaja tidak memberi tahu Ibu.
Saya sungkan. Nak. Sudah sering saya-menerima Bantuannya." Pak Miskun mematikan api rokok da
lam asbak "Kalau terus-terusan saya jadi tidak enak pendiri."
Ira memandang kakaknya. Dan Yan bertanya, "Tampaknya Pak Miskun sudah lama bekerja pada Bu Nurman""
"Sudah. Sejak Pak Nurman masih hidup, dan mulai merintis usaha pabrik pipa pralon itu." "Kembali kepada soal tadi. Pak. Setelah dari rumah makan Pak Miskun ke mana"" Pak Miskun memandang Yan. "Ya terus kembali ke kantor. Waktu itu jam kerja hampir berakhir."
"Menurut penglihatan Bapak bagaimana suasana dalam kantor waktu itu""
"Biasa saja. Ibu juga kelihatan biasa. Malahan bada waktu saya berpamitan, beliau masih bisa berkelakar pada saya. Oleh karena itu saya tidak mengira bahwa waktu itu Ibu baru kehilangan arloji. Setelah tahu, saya heran! Alangkah pintarnya Ibu menyembunyikan perasaannya - yang tentunya sedih dan marah karena hilangnya arloji itu."
Ketiga anggota Kelompok 2&1 saling bertukar pandang. Mereka merasa tidak ada pertanyaan lain yang harus mereka ajukan. Setelah mengobrol [beberapa saat lagi dengan Pak Miskun, mengenai Kasdi, mereka pun minta diri
Ira berkata pada laki-laki itu, "Saya doakan anak Bapak cepat sembuh. Jangan terlalu susah, Pak." Ira tersenyum, menguatkan hati Pak Miskun. Setelah itu ia menyusul kedua anak laki-laki yang sudah berjalan lebih dulu.
16 Ketiga anak itu berjalan di lorong-lorong yang sempit, jalan berlapis batu yang menanjak, hinggai akhirnya mencapai tepi jalan raya.
Dalam rangka perjalanan penyelidikan kali itu mereka sengaja tidak naik sepeda. Mereka memutus-kan naik bemo, mengingat jarak rumah-rumah yang harus didatangi terletak di kawasan yang berjauhan
Sebuah bemo ke jurusan alamat Pak Bakri -sasaran mereka yang kedua-lewat melintas. Tetapi Yan tidak menyetop, ia malahan mengajak kedua rekannya menepi ke tepi jalan yang agak sepi. Di situ ia membicarakan kesimpulannya mengenai Pak Miskun.
"Kukira kalian sependapat," ujarnya, "Jika aku berkata, sulit rasanya mencurigai Pak Miskun dalami kasus itu."
Ira langsung menyambut kata-kata kakaknya dengan anggukan mantap. "Pak Miskun rasanya terlalu jujur untuk mencuri. Ketika kita tanya, jawabannya lancar dan meyakinkan. Menunjukkan bahwa ia tidak tahu sama sekali mengenai pencurian itu."
"Rasanya kamu ingin segera menyisihkan Pak Miskun dari daftar orang-orang yang bisa dicurigai, bukan"" tebak Yan yang mengerti jalan pikiran Ira Yan tersenyum lebar.
Ira tidak menyangkal. "Tetapi, rasanya ia punya alasan. Andaikata ia melakukan pencurian itu," kata Dede pelan. Ira memandangnya lurus. Dede melanjutkan, Keadaan nya sedang terpepet. Anaknya sedang sakit, ia butuh uang!"
"Tuduhanmu tidak adil, De!" sergah Ira keras. "Biar terpepet aku yakin Pak Miskun tidak mau melakukan perbuatan tercela itu. Lagi pula masa setiap orang yang terpepet - terus mencuri" Pak Miskun sangat menghormati Bu Nurman. ia pun sangat menghargai kebaikan Bu Nurman terhadapnya. Tidak mungkin ia akan sampai hati membuat sedih hati Bu Nurman, dengan mencuri miliknya." Terdorong oleh rasa simpatinya terhadap Pak Miskun, Ira berbicara berapi-api. ia ingin membela Pak Miskun dari pendapat negatif kedua rekannya. "Eee... eee... kamu kok jadi sewot" Siapa yang menuduh' Kita ini kan sedang melakukan penyelidik an" Tentunya siapa pun yang bisa kita curigai, harus kita curigai. Tidak terkecuali Pak Miskun!" sahut Dede. matanya melotot. "Aku juga punya perasaan yang sama denganmu terhadap Pak Miskun. Tetapi jangan karena itu, kita lalu menjadi lemah!" Yan tertawa kecil melihat perdebatan antara adiknya dan Dede.
Ira mengerling sengit. Kemudian dengan perilaku merajuk ia membalikkan badannya, berjalan ke tepi
jalan raya untuk menyetop bemo.
"Inilah susahnya kalau kita melibatkan anak perempuan!" sungut Dede. "Perasaan melulu yang didulukan!"
Yan terbahak Lalu digamitnya bahu Dede. Kedua anak laki-laki itu menghampiri Ira yang sedang menunggu bemo dengan muka cemberut.
Hingga kemudian sebuah bemo berhenti di depan
mereka. XI. YANG GARANG DAN YANG RAMAH
17 Yan memijit bel di atasnya. Bemo tua yang mesinnya berbunyi ogrok-ogrok itu
menepi, lalu berhenti. Anak-anak turun, Yan membayar ongkos-nya, kemudian melangkah ke seberang jalan.
Dede Sofyan melihat Ira masih cemberut. Hatinya jadi gatal. Digodanya Ira habis-habisan. Sampai anak perempuan itu bisa tertawa lagi. Meskipun untuk itu Dede harus membayar dengan rasa perih pada lengannya karena cakaran Ira.
"Rumahnya nomor 34, kan"" tanya Yan pada adiknya.
Ira mengangguk. "Dua nomor lagi.... Itu dia!" Yan menuding sebuah rumah di kanan jalan itu.
Rumah Pak Bakri bercat kuning. Di depan rumah itu tampak seorang wanita-pembantu rumah tangga-sedang melongok-longok ke ujung jalan. Entah apa yang sedang ditunggunya. Barangkali tukang sate.
Yan mendekati wanita itu. dan menanyakan apakah Pak Bakri ada di rumah.
"Kalian siapa"" tanya pembantu itu dengan suara garang.
"Kami disuruh Bu Nurman," jawab Dede singkat. "Tolong beri tahu Pak Bakri!"
"Oh." Sikap pramuwisma - yang mula-mula kelihatan acuh tak acuh itu - berubah, ia tahu bahwa Bu Nurman adalah majikan dari majikannya. "Mari!" ajaknya.
Anak-anak mengikuti pramuwisma itu sampai ke teras rumah.
"Tunggu sebentar," kata pramuwisma itu. Lalu ia masuk untuk memberi tahu majikannya.
Anak-anak menunggu. Dari dalam sayup-sayup terdengar suara musik film. Dede menduga Pak Bakri sedang menyetel video.
Tak lama kemudian seorang laki-laki muda bertubuh pendek muncul di pintu. Laki-laki itu berpipi penuh dan berkumis. Tatapan matanya tajam menusuk. Kelihatannya ia cukup sombong.
"Aku Bakri. Ada perlu apa"" tanyanya tanpa menyilakan anak-anak masuk.
Ira dibuat mengkerel oleh sambutan laki-laki itu. Sebaliknya Yan mencoba bersikap tenang. "Selamat sore. Pak," katanya. "Kami disuruh Letnan Dipa untuk sekadar omong-omong dengan Anda...."
"Disuruh Letnan Dipa, atau Bu Nurman"" tukas Pak Bakri tajam.
Dede tidak sabar melihat sifat sok laki-laki itu. Dengan lantang ia menjawab, "Kedua-duanya! Letnan Dipa juga. Bu Nurman juga! Saya kira tadi Bu Nurman telah memberi tahu Anda bahwa kami, atau Letnan Dipa, akan menemui Anda."
"Memberi tahu tentang apa" Aku tidak diberi tahu apa-apa!" Mata Pak Bakri melotot.
Dede tersentak. "Wah, jadi Bu Nurman belum memberi tahu Pak Bakri" Kukira sudah... seperti yang terjadi pada Pak Miskun...." Dede jadi salah tingkah.
Yan segera bertindak untuk mendinginkan suasana. Dengan suara tenang dan sopan, ia berkata, "Ehh, anu... begini. Pak... mengenai masalah itu... saya yakin Ibu Nurman sudah memberi tahu Anda."
Di luar dugaannya, Pak Bakri mengulapkan tangan. Dengan suara bernada mengusir, ia berkata, "Aku sedang nonton video. Aku tidak punya waktu untuk beromong kosong dengan kalian. Maaf ya. Anak-anak!" Mulutnya berkata 'maaf, tapi mukanya mencerminkan keangkuhan. Nada suaranya membentak.
Anak-anak merasa kehilangan akal untuk mendekati laki-laki itu. Sebelum mereka mengatakan sesuatu lagi, Pak Bakri telah menggabrukkan daun pintu.
"Sombong!!" umpat Dede. Kaki kanannya diayunkannya, seolah-olah mau menendang daun pintu. Tepat pada saat yang sama, pintu dibuka lagi oleh Pak Bakri. Bola mata laki-laki itu seperti akan melompat keluar dari rongganya melihat tingkah si Dede
"Mau apa kamu" Mau apa"!" sentak laki-laki itu sambil melangkahi ambang pintu.
Mata Dede yang terlindung kaca mata menentang pandangan Pak Bakri. Namun kakinya melangkah mundur-mundur.
Melihat gelagat yang tidak menguntungkan, Ira segera menarik lengan Dede. Ditariknya Dede untuk meninggalkan rumah Pak Bakri. Yan menyusul kedua rekannya. Tanpa berpamitan, bahkan tanpa menoleh sekali pun, ketiga anak itu bergegas-gegas menjauhi rumah Pak Bakri.
Dede melontarkan cacian sejadi-jadinya setelah mereka berada jauh dari rumah Pak Bakri. "Amit-amit, ada orang kok sombongnya seperti itu! Matanya seperti mata ikan, melotot terus! Untung tidak betul-betul melompat keluar dari pelupuknya! Aku tidak terima... aku tidak terima...." Sambil melangkah Dede mengayun-ayunkan kepalan tangannya.
"Sttt, jangan seperti orang sinting!" Ira memperingatkan. "Biar kamu tidak terima, apa yang bisa kamu lakukan""
"Dia b elum kenal siapa kita!" kata Yan yang juga panas hati bila teringat lagak. Pak Bakri. "Ah, sudahlah! Anggap saja kita telah gagal mendekati Pak Bakri. Biar nanti Letnan Dipa sendiri yang mengusut si Angkuh itu," ujar Ira menenangkan. "Memang cuma itu yang bisa kita lakukan. Tapi biar bagaimana aku tetap merasa kurang enak. Karena kita telah gagal mewawancarai salah seorang dari mereka bertiga," ucap Hardian dengan muka muram. "Pak Bakri sama sekali tidak memberi kesempatan kepada kita!"
"Jangan-jangan karena Bu Nurman memang belum memberi tahu dia," sela Ira.
"Tidak mungkin!" cetus Dede. "Jika Pak Miskun sudah diberi tahu. tentu dia juga sudah. Hanya dia tidak mau menemui kita. Dasar si Mata Ikan!"
Ira mengayunkan langkah, membarengi kedua anak laki-laki, sambil mengerutkan kening. Teringat dia akan jawaban Bu Nurman tentang Pak Bakri tadi malam.
Bahwa Pak Bakri masuk menemui Bu Nurman untuk minta tanda tangan, tepat pada waktu Bu Nurman sedang mempelajari dokumen itu. Pada waktu mendengar keterangan itu ia sempat berpikir, "Berarti Pak Bakri punya kesempatan untuk memperhatikan isi dokumen itu secara diam-diam...."
Tadi sebelum tiba di rumah Pak Bakri, Ira sudah merencanakan pertanyaan yang bisa memberi kepastian tentang hal itu. Apakah Pak Bakri membaca dokumen itu secara diam-diam, atau tidak" Namun kini semuanya buyar, karena Pak Bakri tidak menunjukkan sikap yang bersahabat!
Ira menghela napas. Kemudian ia berkata untuk membesarkan hatinya sendiri dan hati kedua rekannya, "Tak apalah! Kita masih bisa bertanya pada Mbak Ami. Siapa tahu kita menemukan petunjuk baru. Sehingga tidak perlu lagi berurusan dengan Pak Bakri!"
18 Mendung meliputi langit di atas kota. Sore terasa kelabu. Orang-orang yang berlalu-lalang memper-cepat langkah. Khawatir kalau hujan tiba-tiba tercurah. Hal yang mendorong orang untuk tergesa-gesa itu juga meliputi perasaan Yan, Dede, dan Ira. Mereka mempercepat langkah sampai tiba di rumah Mbak Ami Rifa.
Ira terkesan melihat rumah mungil berhalaman hijau asri di hadapannya. "Pasti ini rumahnya," katanya.
Yan mendorong pintu halaman yang sebelumnya sudah terbuka sedikit. Perlahan-lahan ia mendekat ke rumah.
"Kok sepi, ya" Apa dia tidak keluar"" suara Ira hampir berbisik. Langkahnya dalam mengikuti kakaknya membayangkan keraguan. Agaknya anak perempuan itu masih tercekam oleh sambutan Pak Bakri tadi. Bagaimana kalau Mbak Ami juga begitu"
Mukanya berkerut membayangkan sambutan kasar yang mungkin bakal diterimanya.
Sementara itu Yan menoleh pada Dede. Dede menggerakkan dagunya. Yan lalu menghampiri pintu rumah dan bersiap-siap memijit bel. Namun sebelum itu dilakukannya, terdengar suara menyapa dari arah samping rumah.
Anak-anak menoleh. Tampak Mbak Ami Rifa muncul dari sudut rumah. Gadis berumur dua puluh lima, yang bermuka lonjong itu, membawa gunting tanaman. Sambil tersenyum ramah Ami Rifa mendekati anak-anak.
Melihat sikap Mbak Ami. seketika legalah hati ketiga anak itu. Mereka mulai yakin bahwa di rumah ini, mereka takkan menjumpai sambutan kasar dan bermusuhan - seperti di rumah Pak Bakri.
"Jadi kalian yang menemuiku, bukan Letnan Dipa"" tanya Mbak Ami. Pertanyaan itu jelas menunjukkan bahwa ia telah diberi tahu oleh Bu Nurman.
"Pak Letnan harus mengikuti rapat di Kowil, Mbak," Ira yang menjawab. Tidak takut-takut lagi. "Dan kami yang diberi tugas menemui Anda."
"Hemm, jadi kalian ini detektif cilik""
"Ah, bukan." jawab Yan merendah.
Namun dengan sikap sebaliknya, Dede justru berkata, "Kira-kira begitulah! Kami telah beberapa kali membantu Pak Letnan menangani sebuah kasus. Itu sebabnya beliau mau mempercayai kami... yah, dalam soal-soal seperti itu!"
Yan mengerling tajam pada Dede. Dede mencondongkan mukanya ke arah Hardian. Seakan-akan mau berkata, "Kenyataannya memang begitu toh" Kenapa mesti ditutup-tutupi""
Mbak Ami mengajak anak-anak masuk ke rumah.
"Aku tidak tahu sama sekali bahwa Bu Nurman kecurian arloji. Aku tahu baru tadi, setelah Bu Nurman membeberkan kasus pencurian itu. Ayo, silakan duduk!" Mbak Ami mengarahk
an tangan ke kursi tamu. "Wah, Mbak Ami pandai mengatur rumah. Menyenangkan sekali duduk di ruang tamu seperti ini," kata Ira sambil mengedarkan pandangan. Akhirnya pandangannya berhenti pada penyekat ruangan dari bambu yang dipernis. Ira menggamit bahu Dede yang duduk di sebelahnya, "Lihat itu, De. Artistik sekali, ya""
Dede mengangguk. "Rumah Mbak Ami biar mungil tapi bagus," pujinya.
Ami Rifa terkekeh. Senang hatinya menerima pujian anak-anak.
"Tapi sayangnya rumah ini bukan rumahku sendiri. Aku menyewa. Dik... siapa namanya""
"Dede, Dede Sofyan," sahut Dede memperkenalkan diri.
"Adik yang itu""
"Yan, Hardian. Ini adik saya - Ira." "Anda tinggal sendiri di sini"" tanya Hardian. "Bersama seorang adikku - Tiar. Dia sedang pergi kuliah."
Lalu Mbak Ami menuturkan asal-usulnya secara singkat, ia lahir dan besar di Kuala Kapuas, Kalimantan Tengah. Setelah lulus SMA ia melanjutkan sekolahnya ke Akademi Sekretaris di Yogyakarta. Lulus dari akademi itu ia mendapat pekerjaan di Surabaya. Kemudian pindah lagi ke kota kelahiran Yan. Di kota ini mula-mula ia bekerja di pabrik termos. Lalu pindah ke kantor Ibu Yuniti Nurman.
Merasa telah cukup mapan. Mbak Ami kemudian mendatangkan Tiar, adiknya, yang juga ingin melanjutkan studinya di Pulau Jawa. Sejak satu tahun yang lalu ia menyewa rumah yang ditempatinya sekarang. Sangat menyenangkan mengobrol dengan Ami Rifa. Terutama karena sifatnya yang hangat dan ramah taman.
"Mbak, ngomong-ngomong apakah arloji Bu Nurman yang hilang itu betul-betul bagus"" pancing Ira setelah mereka bercakap-cakap tentang diri Mbak Ami.
"Oh, bukan cuma bagus... begini!" Mbak Ami mengacungkan jempolnya. "Maklum, harganya saja sekian mahalnya. Pokoknya bagus deh! Aku pernah mencoba melingkarkan arloji itu di tanganku. Aduh, manis sekali! Sayang, aku tidak punya uang sebanyak itu untuk membelinya... hehehe."
Dede menatap tegang pada mata gadis itu. ia teringat pada jalan pikirannya sendiri, tadi malam, setelah mendengarkan keterangan Bu Nurman: Ami masuk waktu aku sedang menekuni dokumen, ia mencari berkas dalam lemari arsip di belakang. Di belakang kursi Bu Nurman" Berarti Mbak Ami punya kesempatan untuk melirik isi dokumen secara diam-diam! Dede menarik napas. Dan membuang pandangan ketika Mbak Ami balas menatapnya.
Yan mengajukan pertanyaan seperti kepada Pak Miskun,
"Kata Bu Nurman, sekitar jam dua lebih kemarin. Mbak Ami masuk ke ruang kerja Bu Nurman. Untuk mengambil berkas di lemari arsip. Waktu itu apakah Bu Nurman duduk di belakang mejanya""
"Ya. kulihat Bu Nurman sedang menekuni sesuatu. Tampaknya berkas-berkas dalam sebuah map. Ketika aku masuk, Bu Nurman cepat-cepat melingkarkan lengannya di atas map itu. Rupanya dia tidak ingin aku mengetahui isi berkas itu." Mbak Ami diam sesaat "Aku pun tidak ingin tahu," sambungnya. "Aku minta izin untuk mengambil berkas penting yang kubutuh-kan. Setelah Bu Nurman mengangguk, aku langsung menuju lemari arsip."
"Dan apa yang dilakukan Bu Nurman kemudian""
"ia kembali menekuni berkas dalam map itu. Aku pun sibuk mencari berkas-berkas yang kuperlukan untuk membuat laporan."
"Apakah Anda tidak ingin tahu tentang doku... eh, berkas... yang sedang ditekuni Bu Nurman"" cetus Dede, memancing.
"Untuk apa" Hal itu sedikit pun tak terlintas dalam pikiranku. Aku cuma ingin segera menemukan berkas yang kucari. Supaya lekas bisa menyelesaikan laporan yang mesti kubuat." Mbak Ami membalas pandangan Dede.
"Berapa lama Mbak Ami dalam ruang kerja Bu Nurman"" tanya Ira.
"Wah, aku tidak ingat! Pokoknya begitu aku menemukan berkas yang kucari, aku pun keluar."
"Mbak tidak bercakap-cakap dulu dengan Bu Nurman""
"Tidak. Aku langsung keluar."
"Apakah waktu itu Mbak Ami melihat arloji itu"" tanya Yan.
"Ya, tapi masih melingkar di pergelangan Bu Nurman. Makanya aku heran, bagaimana arloji itu bisa hilang" Kata Bu Nurman, ia melepaskan arloji itu sebelum mengaso di ruang tidur. Aku bilang, apa Ibu tidak lupa" Tapi dia tetap berkeras. Tidak, katanya."
Mbak Ami akan berdiri dari kursinya. "Kuambilkan kalian minum
an dulu. ya"" "Ah, tidak usah. Mbak," cegah Hardian cepat.
"Tidak apa-apa." Ami Rifa berdiri.
"Baiklah, tapi nanti saja. Mbak," cegah Yan lagi. "Biar saya menyelesaikan pertanyaan saya dulu."
"Oke!" Mbak Ami duduk lagi.
Setelah itu Yan kembali melanjutkan pertanyaan yang telah tersusun dalam kepalanya,
"Ehhh, oh ya, setelah keluar dan ruang kerja Bu Nurman, apa yang Mbak Ami kerjakan""
"Mengetik. Kan sudah kubilang bahwa aku harus mengerjakan sebuah laporan. Tapi... itu tidak lama." Ami Rifa menggeleng.
"Kenapa"" tanya Dede.
"Karena di luar kantor terjadi peristiwa yang menarik perhatian kami. Maksudku bukan aku sendiri, tetapi juga rekan-rekanku lainnya." Mbak Ami melanjutkan, "Waktu itu ada copet tertangkap basah. Dan copet itu bukan sembarang pencopet. Melainkan pencopet wanita yang cantik. Seperti peragawati! Langsing dan cantik. Siapa pun tidak akan mengira bahwa wanita secantik dia ternyata seorang pencopet!
"Kejadiannya, dia mencopet uang sejumlah delapan puluh ribu dari dalam tas seorang ibu. Ketika Ibu itu sedang berbelanja di toko kue-kue. Untungnya ibu yang menjadi korban itu tahu, ia langsung berteriak, 'Copet! Copet!' Orang banyak segera menangkap pencopet yang cantik itu. Suasana di kompleks DASA INDAH jadi heboh oleh peristiwa itu. Orang-orang berhamburan keluar dari toko atau kantor untuk melihat pencopet yang sedang diinterogasi di kantor keamanan."
"Termasuk Anda dan rekan-rekan"" sela Dede. "Ya."
"Semua pergi ke luar" Kalau begitu kantor PT Segara kosong""
"Kira-kira begitu." Mbak Ami tertawa. "Rasanya kurang disiplin, ya" Masa waktu bekerja kok malahan pergi ke luar semua" Tapi kalian jangan menyalahkan. Kejadian seperti itu kan tidak tiap hari terjadi" Jadi kami semua ingin tahu," tambah Mbak Ami.
Yan mengangguk-anggukkan kepala dengan bibir terlipat. "Anda tentunya cukup lama meninggalkan kantor. Begitu, kan"" tanyanya kemudian.
"Ya, lumayan juga! Aku ikut berdesak-desak dengan orang banyak di depan kantor keamanan. Sampai pencopet yang cantik itu dibawa ke kantor polisi."
"Jauhkah letak kantor keamanan dengan kantor PT Segara""
Ami Rifa menoleh pada Ira yang bertanya. "Kantor keamanan terletak di ujung kompleks Dasa Indah," sahutnya.
"Waktu itu siapa saja di antara rekan kerja Anda yang juga melihat di depan kantor keamanan"" tanya Yan. "Apakah Pak Bakri juga ada di sana""
"Wah, aku tidak memperhatikan, Dik Yan. Aku tidak tahu siapa-siapa di antara temanku yang ikut melihat. Pokoknya begitu terdengar teriakan Copet! Copet!', rasanya semua keluar." Mbak Ami kelihatan meng-ingat-ingat. "Ya, rasanya begitu... tapi aku tidak ingat persis...." Sebelum anak-anak bertanya lagi. Ami Rifa bangkit dan berjalan ke ruang dalam. Sambil berkata, "Kuambilkan kalian minum."
Anak-anak saling berbisik setelah gadis itu tidak tampak.
"Bagaimana"" tanya Ira.
"Rasanya pertanyaan kita sudah cukup," jawab Yan dengan suara rendah.
"Kita dapat banyak informasi. Yang paling penting pada waktu itu terjadi keributan di luar. Semua melihat, hingga kantor kosong. Sedangkan menurut perhitungan, waktu itu pas Bu Nurman sedang ketiduran! Mungkin ada seorang karyawan yang menyelinap masuk dengan diam-diam... terus masuk ke ruang kerja Bu Nurman... terus mengambil..."
"Stttt!" Ira menyetop uraian kesimpulan yang sedang diketengahkan si Dede. Sebab saat itu terdengar langkah Mbak Ami ke arah mereka. Ira berkata hampir tak terdengar, "Nanti saja kita diskusi. Jangan sampai kita memberi kesan bahwa kita mencurigai Mbak Ami juga."
Alap Alap Laut Kidul 3 Duel 2 Jago Pedang Pendekar 4 Alis Buku 3 Karya Khulung Pendekar Muka Buruk 18