Pencarian

Pencuri Intelek 2

Kelompok 2 Dan 1 Pencuri Intelek Karya Dwianto Setyawan Bagian 2


"Ah, repot saja, Mbak!" songsong Yan melihat Mbak Ami keluar membawa nampan minuman dan kue kering.
"Tidak apa-apa. Ayo silakan!"
Ira membantu Ami Rifa menaruh cangkir-cangkir teh di meja.
Setelah duduk lagi, Ami Rifa bertanya, "Ehh, ngomong-ngomong apa yang dikatakan Bu Nurman tentang diriku" Apakah beliau mencurigaiku sebagai pencuri arlojinya""
Anak-anak agak kaget mendengar pertanyaan gadis itu.
Kemudian Yan cepat-cepat menjawab, "Tidak! Bu Nurman tidak bilang apa-apa. Beliau juga tidak menyatakan mencurigai salah seo
rang karyawan atau karyawatinya."
"Betul, Mbak! Waktu ditanya Pak Letnan, Bu Nurman mengatakan bahwa ia tidak punya gambaran sedikit pun tentang orang yang bisa dicurigainya," Ira menguatkan jawaban kakaknya.
Ami Rifa memandang ketiga anak itu dengan pandangan aneh. Sepertinya ia meragukan keterang-an itu. Meskipun demikian ia berkata, "Yah, syukurlah kalau begitu." Lalu ia menghela napas.
"Bagaimana menurut Anda sendiri"" celetuk Dede tiba-tiba. "Apakah Anda punya bayangan - siapa yang pantas dicurigai""
"Aku" Ah. tidak! Sama sekali tidak!"
Kelompok 2&1 tinggal beberapa waktu lagi di rumah Ami Rifa. Hingga tiba saatnya mereka harus meninggalkan rumah itu. Mereka mengucapkan terima kasih atas sambutan Mbak Ami yang baik.
Hari telah gelap ketika mereka duduk dalam bemo. Mendung semakin pekat. Tiba dekat rumah Yan, mendung mulai menumpahkan air yang dikandung-nya. Anak-anak itu segera berlari supaya cepat sampai di rumah!
XII. MENUNGGU 19 Malam itu - hingga televisi selesai menyiarkan acara Dunia Dalam Berita - Kelompok 2&1 masih menunggu kedatangan Letnan Dipa. Mereka me-nunggu sambil mendiskusikan informasi yang mereka peroleh hari itu.
Di ruang keluarga Pak Mintaraga sedang membaca sebuah buku tebal. Kadang-kadang dosen itu membuka kamus, untuk mencari terjemahan kata-kata sukar yang ditemuinya dalam buku berbahasa Inggris itu. Sementara itu istrinya asyik mempraktek-kan cara membuat kembang dari kertas, menurut petunjuk bonus sebuah majalah.
Pak Minta menggeliat, lalu memijit-mijit tengkuknya yang terasa pegal-pegal. Sambil menguap ia menaruh buku di atas meja. Diliriknya Bu Minta yang sedang mengelem potongan-potongan kertas. Sayup-sayup telinganya menangkap suara anak-anaknya yang sedang bercakap-cakap di ruang depan. Laki-laki yang hidungnya mirip hidung Yan itu bangkit sambil mendesah. Lalu berjalan ke ruang muka.
"Bagaimana"" tanya Pak Minta dengan gaya agak membanyol. "Sudah ketemu malingnya"" ia memang sudah tahu tentang kasus yang sedang ditangani Kelompok 2&1 dari Ira.
"Hampir. Tapi masalahnya memang lebih sulit daripada menangkap maling ayam... hahaha!" sahut Dede sambil tertawa renyai. "Pencurinya pencuri intelek!"
Pak Minta tergelak. "Kalau menemui kesulitan, mengapa tidak minta tolong kepada saya"" Pak Minta melucu. "Dalam waktu satu hari - saya tanggung pencurinya akan kutemukan."
"Ketemu apanya, Pak" Rumusnya"" balas Yan, melucu pula.
"Ah, kalau soal perkara misterius - Bapak tahu apa"" sergah Ira, mengerling. "Kami nih jagonya!"
"Lain soal kalau soal ilmu kependudukan," kata Yan.
"Yah, kalau soal itu kita memang harus angkat topi pada Bapak!" sambung Ira.
Pak minta tergelak. Tetapi rupanya ia belum puas menggoda anak-anak. Kali ini Ira jadi sasarannya
"De, bagaimana pendapat Anda tentang Nona Ira, selama 'beliau' ikut menyelidiki sebuah kasus"" tanyanya.
Dede langsung menjawab, "Wah, payahi Dia terlalu memakai perasaan. Sehingga analisa yang kami buat suka menjadi kacau!"
Ira langsung menyikut Dede yang duduk di dekatnya.
"Uhk!" "Hahaha!"
"Asal saja... asal saja..." Pak Minta berusaha menahan tawanya, "Ira tidak terkecoh seperti dulu.
Penjahat dikiranya orang baik. Sehingga ia terpaksa meringkuk dalam sekapan penjahat."[baca: Kelompok 2&1: Rahasia Pesan Serigala]
"Ah, itu kan dulu! Orang kan makin berpengalaman!" Ira berkilah.
Senda gurau antara Pak Minta dan anak-anak terus berlangsung. Sehingga memancing Bu Minta untuk bergabung. Sampai akhirnya Bu Minta merasa sudah cukup. Wanita itu memberi tahu anak-anak bahwa malam sudah larut.
"Pulanglah, De," kata Bu Minta pada Dede Sofyan. "Besok saja diskusi kalian lanjutkan."
"Tapi saya sedang menunggu Letnan Dipa, Bu," tolak Dede bernada protes.
"Letnan pasti tidak kemari. Sudah malam begini kok," tukas Bu Minta.
Pak Minta ikut membujuk Dede, sambil melirik Yan.
Akhirnya Yan berkata, "Iya, De, besok saja kita lanjutkan. Kurasa Pak Dipa tidak akan kemari. Mungkin beliau harus menyelesaikan urusan yang tidak bisa ditunda."
"Baiklah," ujar Dede akhirnya
meski dengan roman muka kecewa. Lalu ia minta diri, dan pulang ke rumahnya yang hanya berjarak tiga rumah dari rumah Hardian.
Pak Minta menutup pintu dan memadamkan lampu ruang muka.
20 Keesokannya, pagi-pagi, Dede sudah muncul lagi di rumah Yan. Pada waktu Yan akan masuk ke kamar mandi. Anak berkaca mata itu perlu menanyakan, tadi malam Letnan Dipa datang atau tidak"
"Tidak." Yan mengalungkan handuk ke leher. "Aku pun heran. Padahal kemarin pagi Pak Dipa berjanji akan menemui kita setelah rapat di Kowil."
"Rasanya aku tidak sabar untuk menyampaikan laporan kepada Pak Letnan." Dede menggaruk-garuk bagian bawah pipinya. "Lalu, apa rencana kita""
"Menemuinya di kantor," jawab Yan pasti. Lalu ia masuk ke kamar mandi.
Bertepatan dengan selesainya ia menyabuni tubuhnya. Yan mendengar suara seruan Ira. Seruan yang memberitahukan bahwa Letnan Dipa datang. Yan seketika mempercepat mandinya, berpakaian, lalu berlari setengah menubruk-nubruk ke kamarnya untuk bersisir.
Yan keluar. Di halaman dilihatnya Pak Dipa sedang bercakap-cakap dengan Pak Minta. Kemudian Pak Minta berangkat ke kampus. Letnan Dipa masuk ke rumah diiringi Dede dan Ira.
"Selamat pagi, Yan!" sapa Letnan Dipa melihat Yan. "Baru bangun""
"Tidak. Pak. Cuma baru mandi." Yan tersenyum. "Kemarin kami menunggu Anda sampai larut malam."
"Sudah kusangka. Sebenarnya jam tiga rapat di Kowil sudah selesai. Tapi tiba-tiba ada instruksi mendadak. Aku harus ikut menyiapkan penyambutan Bapak Kapolri, yang akan mampir ke Kowil dalam perjalanan beliau kembali ke Jakarta. Acara itu baru selesai malam hari."
Yan mengangguk maklum. Pandangannya meneliti seragam polri yang dipakai Pak Letnan. Pak Letnan nampak gagah dengan seragam itu. Silakan duduk, Pak," Ira berkata.
Letnan Dipa duduk dikelilingi anak-anak. Lalu ia menanyakan hasil penyelidikan Kelompok 2&1 terhadap Mbak Ami, Pak Bakri, dan Pak Miskun.
"Wawancara kami dengan Mbak Ami dan Pak Miskun cukup berhasil. Tapi terhadap Pak Bakri... sayang sekali..." Yan membuka tangannya.
"Kenapa"" tanya Letnan Dipa sambi! mengernyit.
Dede mendahului Yan. Kemarahannya yang terpendam terhadap Pak Bakri meledak. Dengan berapi-api - sambil sesekali diselingi celaannya terhadap kesombongan Pak Bakri - ia melapor kepada Letnan Dipa.
Letnan Dipa tertawa. "Mestinya kalian lebih taktis menghadapi orang berperangai seperti Bakri," ujarnya.
"Mau taktis bagaimana, Let" Kalau ia sama sekali tidak memberi kesempatan" Belum apa-apa, daun pintu sudah digabrukkan!" Dede bersungut jengkel.
"Ya, sudahlah! Biar nanti aku yang menanyainya," kata Letnan Dipa. "Bagaimana dengan Miskun dan Ami"" tanya Letnan sambil berpaling pada Ira.
Ira melapor. Mula-mula diceritakannya wawancara-nya dengan Pak Miskun. Dengan catatan mengenai keadaan keluarga laki-laki itu yang mendapat perhatian besar darinya. Terutama tentang sakitnya Kasdi, anak Pak Miskun.
Kemudian Ira menyampaikan tentang Mbak Ami Rifa.
Sambil melapor ia kadang-kadang melihat catatannya. Sementara Yan dan Dede melengkapi.
"Hem, jadi Ami dan Miskun lebih mau mengerti mengenai maksud kedatangan kalian""
"Betul, Let. Keduanya juga terbuka. Semua pertanyaan kami dijawab tanpa berbelit-belit." kata Yan.
"Lalu, bagaimana kesimpulanmu, Yan" Apakah ada dan antara mereka berdua yang lebih pantas untuk dicurigai""
"Wah, kalau soal itu..." Yan menggaruk-garuk belakang telinga, "saya belum dapat memastikan. Let. Rasanya baik Pak Miskun dan Mbak Ami sama-sama memiliki alasan, andaikata mereka benar-benar pencurinya."
Letnan Dipa menatap Yan. Begitu juga Dede dan Ira. Mereka ingin tahu alasan yang dimaksudkan Hardian.
"Begini... alasan yang saya lihat pada Mbak Ami ialah ucapannya sendiri. Mbak Ami bilang, ia menyukai arloji Bu Nurman. Karena memang bagusi Bahkan ia pun ingin memilikinya. Tapi sayang, ia tidak punya uang untuk membeli arloji semahal itu. Saya pikir, kan bukannya tidak mungkin, keinginan Itu dapat mendorongnya untuk mengambil arloji itu" Mengam-bil, tidak untuk dijual!
"Sedangkan Pak Miskun... andaikata benar ia
pencurinya, alasannya pasti lebih pada kebutuhan akan uang. Pak Miskun tidak akan memperhatikan arloji itu cantik atau tidak. Yang jelas, akan menghasilkan uang kalau barang itu dijual. Dan pada saat-saat ini ia memang butuh uang!"
Ira tidak memberi komentar ketika kakaknya berbicara tentang Pak Miskun. ia takut dianggap terlalu melibatkan perasaan.
"Tapi itu baru dugaan saja, Let," Yan menam-bahkan.
"Yah, semua memang baru dugaan." Letnan Dipa mengusap-usap bibir dan dagunya. "Setelah mende-ngarkan laporan kalian, aku punya pandangan lain. Jangan-jangan ada dua orang pelaku dalam kasus pencurian itu. Yang satu menginginkan arloji. Yang lain menginginkan dokumen. Alasanku begini..." Letnan Dipa mencondongkan duduknya sedikit, "tidak seorang pun yang benar-benar melihat isi dokumen itu. Sedangkan untuk mempelajari dokumen tentunya dibutuhkan waktu cukup lama. Sebelum kita yakin dokumen itu sungguh-sungguh berharga atau tidak. Kan lain dengan arloji" Begitu seseorang melihat barangnya bagus, diduga harganya mahal, dengan cepat ia bisa mengambil. Menyembunyikannya pun gampang. Tinggal masukkan ke dalam kantung. Tetapi satu berkas dokumen""
"Kalau begitu, kenapa dokumen itu bisa ikut lenyap"" tanya Dede.
"Justru itu yang membingungkan, De, justru itu.... Letnan Dipa menyandar lagi.
"Ada satu informasi yang benar-benar penting. Pak. Yaitu, bahwa antara pukul dua dan tiga siang itu, kantor PT Segara sempat kosong!" kata Ira.
"Ya, ya, itu harus kita ingat-ingat." sahut Pak Dipa.
"Lalu, bagaimana dengan pendekatan Anda terhadap Kak Nia Nurman dan Pak Edi Wilis"" tanya Yan setelah keadaan senyap sesaat.
"Aku belum sempat menyelidiki mereka, Yan. Rencanaku pekerjaan itu akan kulakukan pagi ini... dengan kalian," tambah Pak Letnan.
"Dengan kami"" sambut anak-anak antusias.
"Sekarang""
"Ya, kita bersama-sama ke kantor Ibu Nurman."
"Yihuiii!" Dede menyambut kepastian itu dengan berjingkrak-jingkrak. Sinar matanya menunjukkan bahwa ia sedang membayangkan sesuatu yang mencekam.
"Kenapa kamu"" sentak Yan.
"Kubayangkan aku akan bertemu dengan Pak Bakri," jawab Dede sambil menggerakkan kepalanya ke muka dan ke belakang - sehingga kaca matanya seperti melompat-lompat. "Aku ingin tahu bagaimana rupanya melihat kita datang dengan Letnan Dipa." Dede mengayunkan lengannya. "Huh, si Mata Ikan itu pasti kelincutan!"
"Tapi kita tidak perlu sombong, De," Ira memperingatkan.
"Siapa yang mau sombong" Aku cuma ingin tahu! Boleh kan, Let"" tanya Dede pada Pak Letnan.
Letnan Dipa menjawab dengan senyum simpul. Lalu disuruhnya anak-anak sarapan dulu. "Kutunggu," katanya.
Dede tidak sarapan di rumah Yan. ia pulang ke rumahnya sendiri.
Ira muncul di hadapan Letnan Dipa yang menunggu anak-anak. "Let, Ibu minta Anda mau ikut makan pag sekalian," kata anak itu.
"Terima kasih, Ir. Aku baru makan. Kalian saja. dan agak cepat ya""
Ira mengiyakan, lalu menghilang ke dalam.
XIII. YANG BELUM DISEBUT 21 Kelompok 2&1 dan Letnan Dipa tiba di kantor PT Segara. Mereka langsung menemui Ibu Yuniti Nurman. Pada waktu memasuki kantor, Dede langsung mengedarkan pandangan ke sekeliling. Mencari Pak Bakri. Dede kecewa karena laki-laki itu tidak dilihatnya, ia lalu bertanya pada Mbak Ami. Kata Mbak Ami, Pak Bakri masih keluar sebentar. Tapi akan segera kembali. Apa boleh buat, Dengan gontai Dede Sofyan menaiki tangga ke lantai dua.
Bur Nurman agaknya memang mengharapkan kedatangan Letnan Dipa. Dipersilakannya Letnan Dipa dan anak-anak masuk ke ruang kerjanya. Kemudian ia mengunci pintu. Melalui interkom ia berpesan pada Ami Rifa, "Mi, kalau ada yang ingin bertemu, bilang aku sedang sibuk. Untuk sementara jangan diganggu."
Setelah itu ia menghadap pada Letnan Dipa dan anak-anak.
"Bagaimana hasilnya"" tanya wanita itu.
"Emm, terus terang kami belum bisa menyimpul-kan. Karena Anda belum menceritakan semuanya."
Sahutan Letnan Dipa - yang langsung disertai pandangan tajam itu - membuat Bu Nurman tersentak. Bola matanya melebar membalas pandangan Letnan Dipa.
"Apa yang belum saya
ceritakan"" tanya wanita itu. Mengenai Nia, putri Anda. Sekitar waktu kejadian Nia juga masuk kemari, bukan""
Untuk sesaat Bu Nurman seperti mau menyangkal. Tetapi kemudian wanita itu menghempaskan punggung ke sandaran kursi, lalu mengeluh.
Ira menghembuskan napas lega. Sebab kelakuan Bu Nurman telah menjelaskan semuanya. Bahwa Nta memang masuk ke ruang kerja ibunya. Dan itu berarti teorinya betul. Ini membuat gadis kecil itu merasa puas
Yan melirik gerak-gerik adiknya, dan mengangguk. "Apakah dugaan saya betul. Bu"" desak Letnan Dipa.
Bu Nurman mengangguk berat, "Yah, yah," desahnya berulang kali. "Waktu itu Nia memang masuk kemari." Bu Nurman menatap Letnan Dipa dengan pandangan menyelidik. "Apakah ada yang mengatakan kepada Anda""
Letnan Dipa tersenyum. "Tidak ada yang memberi tahu kami," katanya sambil menggeleng. Lalu sambil menoleh pada Ira ia melanjutkan, "Namun berkat ketelitiannya, Ira berhasil menyimpulkan hal itu... bahwa Nia masuk ke ruang kerja Anda. Ayo, Ir, ceritakan pada Bu Nurman tentang teorimu!"
Ira mengiyakan perintah itu. Secara urut dan lancar ia mengetengahkan penemuannya di hadapan Bu Nurman. Tentang es krim LOLITA. semut yang berkerumun di laci, dan foto yang berserakan di lantai.
"Kemudian saya membicarakan petunjuk-petunjuk itu dengan Kak Yan, Dede, dan Pak Dipa. Akhirnya kami berkesimpulan - ada orang lain yang masuk ke ruangan ini, selain Mbak Ami. Pak Bakri, Pak Miskun, ataupun Pak Edi Wilis - yang belum Ibu katakan kepada kami. Ada kemungkinan orang itulah si pencuri itu! Dan orang itu adalah Kak Nia!"
Bu Nurman menatap kagum pada Ira. "Kini aku baru percaya akan omongan Letnan Dipa tentang anak-anak ini. Jelas mereka bukan anak sembarangan!" pikirnya.
Sementara itu Letnan Dipa mengeluarkan selembar foto dari sakunya. Itulah foto Nia Nurman yang diberikan Ira kepadanya. Pak Letnan menyodorkan foto itu pada Bu Nurman.
"Inilah salah satu foto yang dipungut Ira untuk kepentingan penyelidikan," kata Letnan.
Ibu Nurman menerima foto itu. Memperhatikannya selintas tanpa memberi komentar. Lalu mukanya terangkat, kembali memandang Letnan Dipa.
"Saya berpikir setelah mengetahui tentang foto itu. Kemudian saya mulai memperoleh gambaran tentang apa kira-kira maksud Nia datang kemari." Pak Dipa mengusap-usap dagunya.
"Anda memperoleh gambaran" Tetapi Anda belum mengatakan pada kami!" potong Dede dengan nada memprotes.
"Justru sekarang akan kukatakan. Tenanglah!" Letnan Dipa mengembalikan arah pandangannya pada Bu Nurman. Lanjutnya, "Mari kita pusatkan perhatian kita pada foto-foto yang berserakan di lantai. Mengapa foto itu harus berserakan" Jawabannya, bisa jadi karena perbuatan orang yang sedang gugup dan tergesa-gesa. Mengapa ia gugup dan tergesa-gesa" Tentunya karena suatu alasan!
"Sekarang mari kita andaikan apa yang dilakukan Nia siang itu. ia masuk ke ruang kerja ini ketika Anda sedang mengaso. Yang tidak boleh kita lupakan - waktu itu Nia sedang makan es krim. Agaknya Nia sedang mencari sesuatu. Buktinya ia sampai harus membuka-buka laci!"
"Dan es krimnya ada yang jatuh ke dalam laci," celetuk Dede.
Letnan Dipa mengangguk. "Lalu apa yang dicari Nia" Jawaban yang paling kena, saya kira adalah foto itu. Fotonya ketika ia bertamasya ke Dewi Sri."
"Ahh!" seru Ira tertahan. "Jadi pemandian yang tergambar dalam foto itu adalah pemandian Dewi Sri" Benar, aku ingat sekarang! Dewi Sri... aku pernah ke sana. Makanya waktu melihat foto itu, aku seperti lupa-lupa ingat," pikirnya. Ira melontarkan kucirnya ke belakang pundak. Matanya kembali tertuju peda Pak Letnan.
"Nia datang kemari untuk mengambil foto itu. Namun ada sesuatu yang lain yang menarik perhatiannya! Dugaan saya - ia lalu mengambil sesuatu itu dengan tergesa-gesa, dan ia sangat gugup. Sehingga akhirnya ia malahan melupakan foto yang menjadi tujuannya semula. Foto itu - berikut amplopnya - lalu jatuh ke lantai tanpa disadarinya." Letnan Dipa menyandarkan punggungnya setelah menguraikan teorinya.
Ibu Yuniti Nurman menghela napas panjang. Sementara Yan menatap lekat pada Pak Dipa. ia ben
ar-benar merasa kagum pada kecermatan analisa letnan polisi itu.
"Apa yang Anda uraikan tidak meleset sedikit pun, Let. Anda memang polisi yang hebat!" puji Bu Nurman.
"Jangan memuji saya. Saya tidak akan mungkin membuat kesimpulan itu, jika Ira tidak bercerita tentang hal-hal yang ditemukannya. Ya, Ir"" Pak Letnan memandang Ira. Sehingga yang dipandangnya agak tersipu-sipu.
"Kini kita tentu ingin tahu, kenapa Ibu menutupi hal itu," cetus Hardian.
"Apakah karena Kak Nia yang mencu... eh, mengambil"" sambung Dede.
"Oh, tidak! Bukan dia!" jawab Bu Nurman cepat. Ibu Nurman menarik napas. Wajahnya yang periang berubah sedikit muram. Lalu, setelah berdiam diri beberapa saat. ia memberi penjelasan.
"Siang itu, antara pukul dua dan tiga, anak saya memang datang kemari. Untuk mengambil foto. Persis seperti dugaan Letnan. Sebab kemarinnya ia menitip film pada saya, untuk saya afdruk-kan di studio foto."
"Ibu bertemu dengan Kak Nia"" tanya Ira.
"Tidak. Nia masuk ke ruang kerja ini ketika saya baru terlena. Menurut pengakuannya, ia tidak ingin membangunkan saya. Karena dilihatnya saya sedang pulas, ia bermaksud mencari foto itu sendiri. Maka ia pun membuka laci. Amplop foto itu memang saya simpan di dalam laci. Ketika membuka laci itulah timbul pikiran buruk dalam kepala anak saya."
Bu Nurman termenung agak lama sebelum melanjutkan,
"Hari itu sebenarnya Nia sedang gelisah. Karena kemarin malamnya ia baru menubrukkan mobil milik paman salah seorang temannya. Ceritanya, Nia dan teman-temannya pergi ke sebuah pesta ulang tahun. Nia ikut naik mobil si Sani. Pulang dari pesta ulang tahun temannya itu, Nia iseng-iseng ingin mencoba menyetir. Sani memperbolehkan. Padahal Nia belum bisa menyetir, walaupun ia sudah pernah belajar pada sopir saya. Akhirnya mobil itu menyerempet pagar sebuah jembatan. Bumper depannya pesok-pesok. Catnya terkelupas. Bagaimanapun Nia merasa bertanggung jawab untuk membetulkannya di beng-kel. Dan ongkos untuk itu cukup mahal. Sementara untuk minta pada saya, Nia tidak berani.
"Kembali pada waktu Nia membuka laci meja kerja saya. Saat itu ia melihat uang saya. Uang itu berjumlah Rp 54.000,- Saya sediakan untuk membeli perlengkapan administrasi buat Ami. Nia lalu mengambil... atau tegasnya... mencuri uang itu!
"Tetapi pada dasarnya Nia anak baik. ia tidak pernah menyusahkan orang tuanya. Juga tidak pernah mencuri. Maka ia jadi takut dan gugup setengah mati. Setelah menyimpan uang itu dalam tasnya, pada perasaannya ia juga telah memasukkan foto ke dalam tas itu juga. Tetapi nyatanya foto-foto itu jatuh ke lantai tanpa disadarinya."
Suasana dalam ruang kerja Bu Nurman berubah hening setelah wanita itu selesai bercerita. Tentu saja cerita itu mengundang timbulnya pertanyaan-pertanyaan baru pada diri Letnan dan anak-anak.
22 Kemudian Yan bertanya, "Bagaimana Ibu dapat menceritakan itu semua" Maksud saya tentang apa yang dilakukan Kak Nia di ruangan ini" Padahal waktu itu Ibu kan sedang tidur.
atau tertidur.... Apakah Kak Nia telah mengakui segala perbuatannya""
"Dia telah mengaku," jawab Bu Nurman, mengenakkan letak kakinya yang saling bersilang. "Begini, Yan, sebelumnya aku tentu tidak tahu. Ketika aku terbangun, sekitar jam tiga siang itu, aku melihat ada sapu tangan di atas meja kerjaku. Dan aku mengenalinya - sapu tangan itu milik Nia. Jadi Nia kemari" Kapan"' pikirku. Kalau begitu mungkin tidurku cukup lelap. Sehingga tidak tahu anakku datang.'
"Kemudian, aku tahu tentang uang yang hilang itu. Amplop foto pun sudah tidak ada. Seketika aku sadar akan perbuatan Nia. Aku geram dan marah. Anakku berani mencuri" Sungguh kurang ajar! Namun kemarahan itu terpaksa kutahan, karena justru pada saat itu aku sadar bahwa dokumen dan arloji itu pun hilang!
"Bagiku dokumen itu lebih penting. Maka aku memutuskan untuk menunda urusan Nia. Yang lebih penting adalah menemukan dokumen itu! Kemudian aku menelepon Letnan Dipa."
"Tetapi Anda tidak menceritakan masuknya Kak Nia kemari!" sergah Dede tidak puas,
"Memang kusengaja. Untuk itu aku minta maaf. Aku tidak ing
in Pak Dipa juga mencurigai anakku dalam kasus hilangnya dokumen itu."
"Tepat, seperti dugaan kami. Anda mau melindungi anak Anda!" cetus Dede lagi.
"Maaf... tetapi sebagai ibu... ah. Anda tentu memahami perasaan saya, Let," kata Bu Nurman sambil berpaling pada Letnan Dipa.
"Saya mengerti. Namun bagaimanapun saya tidak bisa membenarkan hal itu. Keterangan lengkap tentang siapa saja yang masuk ke ruang ini sangat penting. Termasuk Nia! Bagaimana kalau justru Nia yang mengambil dokumen itu"" tanya Letnan Dipa tajam.
"Oh, tentang hal itu - saya yakin Nia tidak melakukannya. Saya percaya pada anak saya," tukas Bu Nurman.
"Bagaimana Anda bisa begitu yakin""
Bu Nurman menatap Dede dengan sinar mata kurang senang akan pertanyaan-pertanyaannya yang tajam menusuk. "Karena saya mengenal anak saya." Bu Nurman melanjutkan dengan suara keras, "Setelah kalian datang, setelah kita makan malam bersama itu, saya langsung melabrak Nia di rumah." Bu Nurman diam beberapa saat. Ketika berkata-kata lagi nada suaranya tidak sesengit tadi. "Dan Nia mengakui perbuatannya. Tetapi yang dicurinya hanya uang itu. ia sama sekali tidak menyentuh dokumen atau arloji. Bahkan berpikir untuk mengambilnya pun tidak. Kalian boleh meragukan pengakuannya, tapi saya percaya dia sungguh-sungguh berkata jujur. Nia tidak ada hubungan dengan hilangnya dokumen dan arloji itu. Dia cuma mencuri uang... cuma uang itu saja!"
Dede tampak akan menyeletuk lagi. Tapi Letnan Dipa memberinya isyarat supaya menahan diri. Tidak ada gunanya mendesak wanita yang sedang membela anaknya.
"Saya telah memaafkan Nia. Setelah saya mende-ngar alasannya sehingga ia mengambil uang itu. Malahan uang itu masih kurang untuk memperbaiki mobil paman si Sani. Saya terpaksa menambah lagi," kata Bu Nurman dengan muka muram. "Yang saya sesalkan hanya satu. Mengapa ia tidak berkata terus terang" Mengapa ia mesti mencuri" Padahal kalau dia mau berterus terang, tentu saya akan memberinya. Walaupun barangkali sambil mengomel."
"KRIINGNG!" Telepon berdering. Bu Nurman menyambar tangkai telepon. Rupanya dari pabrik Bukit Cerme. Bu Nurman berbicara sebentar, lalu meletakkan tangkai telepon itu.
Letnan Dipa berkata pada wanita pengusaha itu, "Saya kira keterangan Anda tentang Nia sudah cukup jelas. Meskipun demikian mungkin nanti saya ingin berbicara sendiri dengan Nia."
"Bisa. Bagaimana kalau sore nanti Anda ke rumah""
"Kita lihat nanti."
"Saya masih punya beberapa pertanyaan. Bu." kata Yan. Setelah Bu Nurman duduk lagi. Yan meneruskan. "Menurut pengakuan Kak Nia, berapa lama ia berada dalam ruangan ini""
"Oh ya, itu juga kutanyakan kepadanya. Katanya, tidak lama. Mungkin cuma sekitar lima menit," jawab Bu Nurman. "Pokoknya setelah itu ia langsung keluar."
"Apakah ada yang melihat waktu Kak Nia masuk ke kantor ini""
"Katanya - tidak ada. Waktu itu kantor di ruang bawah sedang sepi. Tidak nampak seorang pun! Aku heran setelah mengetahui hal itu. Tetapi kemudian aku mengerti sebabnya dari Ami Rifa. Ternyata siang itu ada peristiwa pencopetan yang menyebabkan 'anak-anak' berhamburan ke luar."
Yan mengangguk puas. Lalu ganti Bu Nurman yang bertanya, "Apakah Anda sudah menemui Ami dan yang lain"" Pandangannya tertuju pada Letnan Dipa.
"Baru Mbak Ami dan Pak Miskun," sahut Ira mendahului. Lalu tanpa disuruh Ira menerangkan hasil pembicaraan mereka dengan kedua orang itu.
Bu Nurman nampak terkejut mendengar sakitnya Kasdi. "Kasdi sakit" Miskun tidak omong apa-apa," katanya.
"Karena Pak Miskun sungkan menerima kebaikan Ibu terus-menerus," kata Ira.
"Ahh. tidak bisa begitu! Miskun sudah lama bekerja padaku. Jasanya cukup besar. Baiklah, nanti aku akan berbicara dengan dia," Bu Nurman berjanji.
Ira ikut senang mendengarnya.
"Yang belum kami tanyai tinggal Pak Bakri. Bagaimana dengan dia Let"" celetuk Dede sambil menoleh pada Letnan Dipa.
"Kita tanyai dia sekarang," sahut Letnan Dipa. "Apakah Anda bisa memanggil Bakri sebentar""
"Boleh." Bu Nurman lalu menekan tombol interkom. Menyuruh Ami memanggil Pak Bakri. "Dia akan kemari."
Dede menunggu kedatangan laki-laki itu dengan perasaan tegang. Bola matanya yang membulat menatap ke arah pintu.
Sementara Yan memanfaatkan waktu untuk melemaskan tubuhnya yang penat karena kelamaan duduk. Anak laki-laki itu berjalan ke jendela di belakang meja Bu Nurman. Kemudian membalikkan tubuh dan memandang sekeliling. Hingga akhirnya perhatiannya berhenti pada kursi baca mini yang sejak kemarin telah menarik perhatiannya. Kulit dahi Yan berkerut. Kelihatan bahwa ia sedang memikirkan sesuatu. Namun sebelum ia sempat berpikir lebih lama. terdengar pintu ruang kerja itu diketuk.
"Bakri"" "Ya, saya. Bu!"
"Masuk!" XIV. SAMA-SAMA GERAM 23 Pak Bakri berdiri di ambang pintu. Pandangannya menyapu hadirin dalam ruang kerja. Kentara bahwa ia agak kaget melihat kehadiran Dede dan kawan-kawan. Dari kaget berubah menjadi canggung. Kemudian tatapannya berserobok dengan mata Dede. Laki-laki itu mendelik, sehingga bola matanya yang bundar melotot, tampak seolah-olah akan melompat ke luar, ketika ia melihat cara Dede menatapnya. Begitu tajam, menusuk, dibarengi senyuman mengejek.
"Duduk, Kri!" perintah Bu Nurman. "Ada yang ingin ditanyakan Pak Dipa kepadamu."
Suara Bu Nurman memaksanya melepaskan tatapan pada Dede. ia lalu duduk dengan perasaan kurang senang yang tidak disembunyikan.
Letnan Dipa memperhatikan muka Pak Bakri beberapa saat. Kemudian dengan kedua tangan saling menggosok, Letnan Dipa berkata,
"Saudara Bakri, ada yang perlu saya tanyakan. Apakah kemarin Ibu Nurman telah bercerita pada anda mengenai hilangnya arlojinya" Dan bahwa kemungkinan Anda akan ditanyai tentang masalah itu""
Pak Bakri tidak segera menjawab. Kepalanya menoleh-noleh. Baru setelah itu ia berkata, "Sudah, Pak."
"Tetapi kenapa kemarin Anda bilang 'belum' kepada kami"" sergah Dede meluapkan kegeraman.
"Karena, aku tidak punya urusan dengan kamu!" balas Pak Bakri keras, ia berpaling pada Bu Nurman, "Ibu mengatakan Letnan Dipa yang akan mena-nyaiku."
"Benar" Ah, kau pasti salah dengar. Kri!" sela Bu Nurman. "Aku kan bilang, kalau tidak Letnan Dipa, ya ketiga anak itu yang akan menemuimu."
"Tapi saya tidak suka ditanyai anak-anak!" sahut Pak Bakri "Bisa apa mereka""
Dede langsung bangkit dari kursinya. "Bisa apa kata Anda" Jangan terlampau meremehkan anak-anak. Pak! Kami sudah sering menangani perkara
Ira tahu, Dede berniat menguraikan perkara-perkara yang pernah mereka tangani. Untuk meyakinkan Pak Bakri. Tapi untuk apa" Tidak ada gunanya mengadu lidah dengan laki-laki itu. Maka Ira menarik Dede supaya kembali duduk. Sambil disabarkannya anak itu.
Dede menghempaskan pantat, keras. Sambil menggerutu.
"Saudara Bakri, saya punya alasan untuk menyuruh anak-anak ini menemui Anda," ujar Letnan Dipa setelah Pak Bakri nampak lebih tenang. "Karena pada kenyataannya anak-anak ini memang sering membantu saya. Dan mereka sudah cukup berpengalaman dalam mengumpulkan keterangan. Di sam-ping itu, saya melaksanakan permintaan Bu Nurman.
Agar dalam mengusut perkara hilangnya arloji itu, saya tidak bersikap terlalu resmi. Itu sebabnya saya melibatkan anak-anak ini." Letnan diam sebentar. "Baiklah, kita lupakan soal kemarin. Sekarang tolong jawab pertanyaan saya."
Lalu Letnan Dipa mengajukan pertanyaannya. Tentang saat-saat sekitar masuknya Pak Bakri ke dalam ruang kerja Ibu Nurman.
Dan inilah jawaban Pak Bakri:
"Sekitar jam itu saya memang masuk ke ruangan ini. Saya membutuhkan tanda tangan Ibu. Waktu itu saya melihat Ibu sedang mempelajari dokumen..."
"Sebentar, dari mana Anda tahu bahwa itu dokumen"" sela Ira.
Pak Bakri menoleh pada Ira. Lagi-lagi mukanya menampilkan rasa tidak senang. Lalu ia memandang Letnan Dipa
"Saya juga akan menanyakan hal yang sama," kata Letnan Dipa tenang. "Silakan Saudara jawabi"
Dengan setengah terpaksa, Pak Bakri menjawab, "Karena saya sempat meliriknya."
"Ahh!" seru Ira dalam hati. "Seperti kuperkirakan, dia sempat meliriknya!"
"Apakah Anda tahu isi dokumen itu"" pancing Letnan Dipa.
"Tidak. Saya kan cuma melirik, tidak membaca" Meskipun demiki
an saya tahu bahwa yang sedang dibaca Ibu itu pasti dokumen penting. Kan tidak sulit mengenali sebuah dokumen""
Yan mengernyitkan kening. Jawabannya kok kedengaran berbelit-belit!
"Hemm, setelah itu - apa yang Saudara kerjakan"" tanya Letnan Dipa.
"Setelah mendapat tanda tangan Ibu" Ya saya langsung keluar."
"Apakah Anda tidak mengatakan sesuatu pun pada Bu Nurman"" desak Letnan Dipa.
"Tidak... ehh, rasanya saya bicara juga. Saya mengatakan bahwa tagihan dari Toko Dua-dua baru bisa diterima besok. Ya kan. Bu"" katanya sambil berpaling pada Bu Nurman. "Tetapi tampaknya Ibu sangat tercekam oleh isi dokumen yang sedang dipelajarinya. Ibu cuma bergumam. Yah, saya kira cuma itu!"
"Saya dengar siang itu terjadi keributan di depan kantor ini. Gara-gara ulah seorang pencopet. Apakah Pak Bakri ikut menyaksikan keributan itu"" tanya Yan.
Pandangan Pak Bakri menyambar Yan. Dengan ogah-ogahan ia menjawab, "Tidak, saya tidak ikut menyaksikan."
"Jadi Anda tetap di dalam kantor"" sambar Dede cepat. Sementara itu dalam hati Dede membatin, "Kalau saja dia menjawab ya! Kalau saja...."
Namun pengandaian Dede serentak buyar. Karena Pak Bakri justru menjawab, "Tidak!" Sambil meman-dang Letnan Dipa. Seolah-olah jawaban itu ditujukan-nya pada Letnan Dipa. Padahal Dede yang bertanya!
Dede amat geram melihat kelakuan laki-laki itu.
"Jadi, waktu itu Anda tidak berada di kantor" Lalu di mana"" tanya Letnan Dipa.
"Setelah meninggalkan ruang kerja ini, saya pergi ke pabrik di Bukit Cerme. Ada yang harus saya urus di pabrik."
Dede nampak kecewa oleh keterangan itu. Tetapi sesaat kemudian ia berkata dalam hati, "Siapa yang tahu kau sungguh-sungguh ke pabrik atau tidak. Siapa tahu kau cuma bersembunyi di dekat-dekat sini."
Sementara itu Yan berpikir lain. Pikirnya, "Soal dia ke pabrik atau tidak pada waktu itu, kan bisa dicek!"
"Sampai pukul berapa Anda di pabrik"" tanya Letnan Dipa.
"Kira-kira satu jam. Saya kembali menjelang waktu kerja berakhir."
Letnan mengajukan beberapa pertanyaan lagi. Setelah cukup ia memperbolehkan Pak Bakri meninggalkan ruangan.
"Sudah cukup," kata Letnan Dipa pada Bu Nurman. "Saya tinggal berbicara dengan Nia dan Edi Wilis."
"Edi sedang pergi."
"Oh ya" Pergi ke mana""
"Ke Bali. Katanya, ia akan mencari pekerjaan di sana."
"Dari mana Anda tahu"" tanya Pak Letnan.
"Edi memberi tahu Ami kemarin. Dia bilang, rasanya sulit mengharapkan saya menerimanya bekerja di sini. Maka ia akan menemui seorang temannya di Bali, untuk minta pekerjaan."
Letnan Dipa termenung sebentar. "Sayang sekali! Padahal mungkin dia bisa memberi informasi yang berharga." Pak Letnan mengusap-usap bibir dan dagunya. "Kapan katanya dia kembali""
Bu Nurman mengangkat bahu.
"Sayang sekali," gumam Pak Dipa sekali lagi.
"Let, saya punya permintaan khusus," kata Bu Nurman. Nampak ragu-ragu sebentar. "Ehhh, me-ngenai Nia..."
"Ya, kenapa"" potong Letnan Dipa.
"Saya harap Anda sendiri saja yang menemuinya." Sambil berkata, wanita itu melirik Yan dan kawan-kawan.
"Maksud Ibu, kami jangan ikut"" tanya Yan yang memaklumi maksud Bu Nurman. "Kenapa, Bu""
Bu Nurman menghela napas. "Saya khawatir kalau Nia akan merasa tertekan, karena malu pada kalian. Biar bagaimana Nia anakku. Aku tidak ingin ia tertekan." Bu Nurman diam agak lama. "Aku bisa membayangkan perasaannya jika kalian yang mena-nyainya. Maka kupikir - biar Letnan Dipa saja. Kalau Pak Dipa kan lain""
"Wah, kok jadi begitu"" tukas Yan tidak puas. "Biar bagaimana kami kan ingin mendengar informasi dari mulut Kak Nia sendiri""
Letnan Dipa memberi isyarat pada Yan. "Kita harus bisa menyelami perasaan Bu Nurman," ujar polisi itu. "Aku tahu... aku mengerti...." Letnan Dipa mengang-guk-anggukkan kepalanya. "Baiklah, biar aku sendiri yang menemuinya."
Yan tidak berani membantah keputusan Letnan Dipa. Apa boleh buat! Walaupun dengan perasaan kecewa ia terpaksa menerima.
"Aku tahu kalian kecewa. Tapi kuharap kalian mau mengerti demi perasaan Nia," ujar Bu Nurman penuh permohonan. "Aku bahkan berharap lebih dari itu. Yait
u, agar perbuatan Nia jangan kalian katakan kepada siapa pun. Yah, tapi itu hak kalian."
Ira merasa iba melihat kesungguhan Bu Nurman. ia lalu mewakili kedua temannya dengan berkata, "Jangan khawatir, Bu. Kami akan menyimpan rahasia itu rapat-rapat."
"Terima kasih."
Setelah itu anak-anak dan Letnan Dipa minta diri.
Mereka menuju ke pintu. Ketika lewat dekat kursi baca mini itu Yan berhenti. Sekali lagi perhatiannya tertuju pada kursi baca mini itu.
Ohh aku tahu sekarang!" katanya dalam hati. Sejak tadi kurasakan ada yang berubah pada kursi ini. Ternyata bantal-bantal pelapisnya. Pertama kali kulihat bentuknya persegi. Tetapi sekarang segi lima."


Kelompok 2 Dan 1 Pencuri Intelek Karya Dwianto Setyawan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apa yang kauperhatikan"" sapa Bu Nurman yang mengamati kelakuan Yan.
"Ah. tidak hanya bantal kursi ini Rasanya kemarin bukan yang ini sahut Yan.
Memang bukan," sahut Bu Nurman. "Yang dulu diminta Pak Ukir." Pak Ukir""
Ukir Maz. kenalanku. Dia juga membuat kursi baca seperti itu. Tapi katanya, bantalnya belum ada. Dia ngotot meminta bantal-bantal itu kemarin. Aku heran, tampaknya dia ingin sekali memiliki bantal itu. Tapi... toh hanya bantal. Akhirnya ya kuberikan. Lalu kuganti dengan "ni." Bu Nurman menuding bantal kursi baca yang berbentuk segi lima itu.
Yan mengangguk maklum. Kemudian ia menyusul rekan-rekannya yang telah sampai di luar ruang kerja.
24 Letnan Dipa mengemudikan jip meninggalkan kompleks pertokoan Dasa Indah.
Kalian kuantar pulang. Setelah itu aku harus ke kantor," kata Letnan polisi itu pada anak-anak.
"Tidak usah sampai rumah. Let. Sampai Jalan Basuki Rahmat saja. Saya perlu ke toko buku," ujar Yan.
"Baik." Letnan Dipa menoleh. "Bagaimana pendapat kalian mengenai perkara ini""
"Oh, ruwet rasanya! Sampai saat ini saya belum mendapat gambaran siapa pencurinya. Orang-orang yang kita curigai masing-masing punya alibi yang kuat," sahut Dede.
"Dede tentu mengharapkan pencurinya Pak Bakri," goda Ira. "Kulihat kamu dan Pak Bakri tadi seperti orang mau berkelahi saja... hahaha!"
"Habis si Mata Ikan itu keterlaluan! Caranya yang melecehkan sungguh membuat hati ini sakit setengah mati!"
"Siapa si Mata Ikan"" tanya Letnan Dipa. "Pak Bakri, Pak. Matanya kan memang besar," Yan menjelaskan.
Letnan Dipa terkekeh, "Jangan suka mengolok-olok orang. Nanti kalau balas diolok-olok, kamu marah."
"Dia bilang, setelah keluar dari ruang kerja Bu Nurman, dia terus ke pabrik. Tapi, apa iya"" kata Dede.
"Untuk memastikannya - gampang. Cek saja ke pabrik Bukit Cerme," usul Yan.
"Itu usul yang bagus!" Pak Dipa memperlambat jip. "Nanti akan kucek ke pabrik Bukit Cerme."
"Ya, Pak, Anda harus mengeceknya. Semoga saja dia tidak ke pabrik waktu itu." Ucapan Dede ini memancing gelak rekan-rekannya.
"Dede kalau sudah terlanjur sentimen... gawat!" goda Yan.
"Jangan melibatkan perasaan, De. Jangan..." cetus Ira menyindir. "Kita harus obyektif. Pakai akal sehat!"
"Aku tidak melibatkan perasaan. Kenyataannya Pak Bakri memang pantas untuk dicurigai," ujar Dede sengit. "Coba kalian pikir. Hanya dia seorang yang langsung tahu bahwa yang sedang dibaca Bu Nurman waktu itu adalah sebuah dokumen penting. Iya kan" Mbak Ami dan Pak Miskun tidak berkata begitu."
"Pokoknya, dalam menyelidiki sesuatu, janganlah kita terlampau memakai perasaan," Ira terus menyindir Suaranya dilagukan.
"Aku tidak memakai perasaan' Tapi kenyataannya memang begitu!" jerit Dede kesal.
Letnan Dipa menengahi kedua anak itu.
"Ada lima pegawai di kantor Bu Nurman. Tiga orang telah kita tanyai. Dan nampaknya memang hanya mereka bertiga. Sopir Bu Nurman waktu itu sedang diperbantukan di pabrik. Liza Taroreh, gadis yang membantu Ami Rifa di bagian administrasi, waktu itu tidak masuk karena sakit." Letnan Dipa melanjutkan, "Edi Wilis tidak bisa kita mintai keterangan karena sedang ke luar pulau. Tinggal si Nia."
"Kapan Anda akan menjumpai Nia, Pak"" tanya Yan.
"Nanti sore." "Setelah itu""
"Akan kuusahakan untuk mampir ke rumahmu."
"Jangan sekadar diusahakan, Pak. Pak Letnan harus mampir. Kami kan ingin tahu bagaimana penjelasan Kak
Nia," kata Ira mendesak.
"Baiklah, baiklah." Letnan Dipa tertawa kecil. Sementara itu jip telah sampai di Jalan Basuki Rahmat. "Kalian turun di mana""
"Di sini saja. Pak. Ya. terima kasih."
Yan memimpin teman-temannya keluar dari jip.
"Sungguh ya. Pak, nanti kami tunggu lho!" pesan Ira sambil melongok melalui jendela jip.
"Beres! Nah, sampai nanti, Ir!"
Lalu Letnan Dipa menjalankan jipnya. Sementara Ira menyusul kedua anak laki-laki yang berjalan ke
trotoar seberang. Angin mati siang itu. Udara yang beberapa hari ini terasa sejuk, kini berubah panas. Sebab mendung tak nampak lagi di langit. Matahari bisa sesukanya menyinari aspal jalanan.
XV. KE RUMAH PAK MISKUN 25 Bagi Kelompok 2&1 siang itu adalah siang yang kurang menyenangkan. Udaranya terasa begitu gerah. Dan kegerahan itu semakin terasa karena batin mereka yang gelisah.
Pulang dari toko buku di Basuki Rahmat. Yan memimpin kedua rekannya untuk menganalisa keterangan yang telah mereka terima. Mulai dari Ibu Nurman. Ami Rifa, Pak Bakri, hingga Pak Miskun. Namun hingga detik itu mereka belum juga menemu-kan sesuatu yang bisa menjelaskan. Sesuatu yang mungkin bisa membimbing mereka dalam menemukan si pencuri dokumen. Semuanya masih terasa kabur dan simpang siur.
Dede tetap berkeras mencurigai Pak Bakri. Walaupun dasar kecurigaannya terasa lemah. Sementara perhatian Yan dan Ira mulai cenderung berat pada Kak Nia.
Menurut Yan, bagaimanapun Nia Nurman terasa paling mungkin melakukan pencurian itu. Jika Nia telah sempat mencuri uang ibunya, mengapa tidak mungkin ia menyikat arloji dan dokumen itu pula" Lagi pula Nia Nurman berada dalam posisi yang menguntungkan. Tidak ada yang melihatnya masuk atau keluar kantor itu. Berarti dia bebas dari kecurigaan. Andaikata Ira tidak menemukan petunjuk yang akhirnya membuktikan kehadirannya di ruang kerja Bu Nurman. Untung Ira menemukannya.
"Masalahnya, Bu Nurman terlalu melindungi anaknya." ujar Yan.
"Terlalu percaya." tambah Ira.
"Apa dasarnya sehingga Bu Nurman yakin bahwa Kak Nia tidak mengambil barang itu"" cetus Yan agak jengkel.
"Karena, Nia mengaku demikian," kata Dede.
"Ya, tapi apa tidak mungkin dia berbohong"" tanya Yan. "Tadi aku sebenarnya sangat kecewa. Ketika Bu Nurman melarang kita untuk menemui dan menanyainya." Yan menarik napas. "Yah, sekarang kita terpaksa mendengar pengakuannya dari Letnan Dipa. Padahal tentu lebih mantap kalau aku bisa mendengar sendiri. Langsung dari yang bersangkutan!" Yan memukulkan telapak tangannya ke kursi. Setelah itu ia berjalan mondar-mandir.
Ira berjalan menuju ke ambang pintu rumahnya. "Pasti baru sore nanti Pak Dipa datang," keluh anak perempuan itu.
Dede diam-diam menyelinap ke luar. Pulang ke rumahnya sendiri. Tetapi tidak lama. Kemudian ia kembali ke rumah Yan dengan membawa gitar. Gitar yang dibelikan oleh salah seorang pamannya setengah bulan yang lalu.
Dede masuk ke kamar Yan. Dilihatnya Yan sedang membaca mingguan olahraga. Anak berambut lebat itu membaca tentang sumpitan.
Ada yang mengusulkan sumpitan dimasukkan dalam acara pertandingan PON. Karena sumpitan memang khas. Merupakan salah satu olahraga tradisional yang berkembang dari tradisi suku Dayak di pedalaman Kalimantan Tengah. Orang Dayak menamakannya sipot.
Sumpitan suku Dayak itu panjangnya antara 1,5 sampai 2 meter. Anak sumpitnya berupa anak panah yang beracun. Di samping itu pada ujung batang sumpitan sering pula diikatkan mata tombak, yang berfungsi sebagai bayonet. Sumpitan dibuat demikian karena sumpitan merupakan senjata untuk berperang.
Tetapi itu dulu. Kini di Kalimantan sumpitan dijadikan olahraga. Semacam olahraga panahan. Penyumpit berusaha menembak sasaran yang diletakkan dengan jarak beberapa puluh meter. Yang mengumpulkan angka terbanyak dialah pemenang-nya.
Banyak yang ingin sumpitan dipertandingkan dalam PON. Agar olahraga tradisional itu dapat dilestarikan.
Lewat bahu Yan, Dede ikut membaca sebentar. Lalu ia duduk di tepi kasur dan mulai bermain gitar.
Sebenarnya tidak tepat kalau saat itu Dede disebut sedang be
rmain gitar. Sebab ia belum bisa bermain gitar. Lebih tepat kalau dikatakan ia sedang sekadar menyentil-nyentil dawai gitar. Asal mengeluarkan bunyi jrang-jreng-jrang-jreng! Berisik! Walaupun de-mikian Dede kelihatan menikmati perbuatannya. Seolah-olah dirinya sudah ahli dalam bermain gitar.
Yan merasa terganggu. Setengah menyentak diperingatkannya anak berkaca mata itu, "Berisik ah! Main di luar sana, jangan di sini! Mending kalau merdu didengar!"
Bukannya menurut, Dede malahan mencari gara-gara.
"Burung camar..." ia berkoar. Mulutnya terpentang lebar. Jarinya asal memetik dawai, "Jreng, jreng, jreng... jreengng!!"
Yan bersungut kesal. Dibatalkannya niatnya untuk mengisi TTS. Sambil membanting pensil ia bangkit dari duduknya. Lalu sambil berjalan ke luar kamar didorongnya Dede sampai telentang di kasur.
"Hohoho... hahaha!" Dede tergelak sendiri.
Masih sambil bersungut, Yan pergi ke belakang. Lewat di muka kamar Ira, Yan berhenti. Dilihatnya adiknya sedang membungkus majalah anak-anak yang sudah lama. Kelihatan bahwa Ira mau pergi.
"Mau ke mana, Ir"" tanya Yan.
"Ke rumah Pak Miskun," jawab Ira.
"Ke Pak Miskun" Jam sekian ini "" Yan memandang weker dalam kamar Ira. "Jam dua kurang. Pak Miskun pasti belum pulang dari bekerja." Yan menyandarkan bahunya ke bingkai pintu. "Lagi pula mau apa kamu ke sana""
Ira tersenyum. "Tujuanku ke sana tidak menyangkut Pak Miskun kok!" katanya. "Bukan dalam rangka penyelidikan. Kalau untuk itu aku kan mesti berunding dengan Kak Yan dan Dede" Ya toh""
"Lalu"" "Aku ingin memberikan majalah ini pada anak Pak Miskun. Itu lho - anak perempuan yang kita lihat waktu kita ke sana kemarin. Yah, daripada majalah-majalah ini menumpuk di gudang. Kupikir, anak Pak Miskun akan senang menerimanya."
Yan mengangguk maklum. Yan tahu, Ira terkesan oleh keadaan keluarga Pak Miskun. Dan Ira ingin melakukan sesuatu untuk menunjukkan simpatinya pada keluarga itu.
"Tidak apa-apa, kan"" tanya Ira.
"Tentu saja tidak," sahut Yan. "Kak Yan mau ikut""
"Kalau untuk itu saja-tidak perlu. Pergilah sendiri! Barusan kulihat Rahman dan teman-teman lain membawa bola voli ke lapangan. Aku akan ikut bermain dengan mereka. Untuk melewatkan waktu, menunggu Pak Letnan."
Terdengar suara Dede bernyanyi.
"Sedang apa dia"" tanya Ira.
"Si Brengsek itu sedang kacau pikirannya. Dari tadi bikin ribut melulu. Kurasa dia sekarang sedang berlagak jadi Gombloh. Tuh dengar suaranya... selengah gila... selengah gila, katanya. Mudah-mudahan dia tidak gila sungguh-sungguh!"
"Hahaha!" Tawa Ira meledak mendengar kelakar kakaknya.
Bosan bermain gitar Dede keluar dari kamar Yan.
"Kok sepi"" Lalu ia berteriak, "Yan, Ir! Yaannn!"
Dede berjalan ke kebun belakang, dan berpapasan dengan Bu Minta.
"Yan mana. Bu""
"Main voli sama Rahman."
"Ohh!" seru Dede lega. Sebab, sebelumnya ia sudah khawatir kalau Yan dan Ira bergerak melakukan penyelidikan, dengan meninggalkannya.
Kemudian ia pun pergi ke lapangan menyusul Hardian.
26 Ira menuntun sepedanya ketika memasuki lorong, menuju rumah Pak Miskun. Beberapa kali ia harus minggir - sangat ke pinggir, ketika berpapasan dengan tukang baso yang sedang mendorong gerobaknya.
Akhirnya ia sampai di rumah Pak Miskun.
Seperti dugaan Yan, Pak Miskun belum pulang. Namun Ira sudah puas karena berhasil menemui Bu Miskun dan Karsi, anak perempuan Pak Miskun itu.
Karsi senang sekali mendapat majalah itu.
Katanya, "Aku juga senang membaca. Tetapi tidak pernah bisa membeli majalah atau buku. Paling-paling aku cuma pinjam ke teman atau ke perpustakaan."
Ira tersenyum pada anak perempuan yang sebaya dengannya itu.
"Tetapi di sekolahmu sudah ada perpustakaan, bukan""
"Untungnya sudah," jawab Karsi.
Bu Miskun mengira Ira masih mempunyai hubungan famili dengan Ibu Yuniti Nurman, majikan suaminya. Itu sebabnya ia bersikap sangat sopan pada Ira. Ketika Ira menanyakan tentang Kasdi, Bu Miskun mengeluh,
"Saya masih harus membawanya kembali ke dokter. Tapi infeksinya sudah berkurang."
"Di mana Kasdi sekarang""
"Sedan g tidur." Ira sudah pamit akan pulang, ketika Pak Miskun datang.
Laki-laki itu nampak senang mendengar perhatian Ira pada Karsi.
"Saya juga harus berterima kasih pada Nak Ira," kata Pak Miskun, setelah mereka terlibat dalam percakapan.
"Berterima kasih pada saya" Untuk apa, pak"" "Karena Nak Ira memberi tahu Bu Nurman tentang sakitnya Kasdi." "Oh ya, saya memang memberi tahu Bu Nurman."
"Tadi saya dipanggil Ibu. Dan Ibu menegur saya, mengapa saya tidak bilang mengenai Kasdi. Kemudian Ibu memberi uang untuk Kasdi berobat. Nih!" Pak Miskun mengeluarkan amplop dari saku celananya yang kumuh. Diberikannya amplop berisi uang itu kepada istrinya. "Untuk ongkos dokter dan beli obat, kata Ibu."
Bu Miskun menerima amplop itu dengan perasaan lega.
"Alhamdulillah, aku tidak perlu bingung lagi untuk ongkos dokter nanti!" Lalu wanita kurus itu berkata pada Ira, "Terima kasih ya. Nak."
"Lho, kok berterima kasih pada saya." kata Ira tersipu-sipu.
Tetapi bagaimanapun ia ikut merasa lega melihat perubahan air muka Bu Miskun.
Lalu Ira meninggalkan rumah itu. Pak Miskun memaksa mengantarnya sampai ke luar lorong, meskipun Ira berkali-kali bilang, "Tidak usah."
Ternyata Pak Miskun punya tujuan, ia ingin menyampaikan sebuah informasi pada Ira. Dan sesuatu itu disampaikannya di pinggir jalan raya.
"Tadi, setelah ditanyai Letnan Dipa di ruang kerja Bu Nurman, Pak Bakri keluar sambil marah-marah. Katanya pada saya, 'Kita dicurigai mencuri arloji Ibu. Salah seorang dari antara kita! Aku menyarankan yang mengambil mengaku saja. Daripada kita semua tidak enak!'
"Mbak Ami juga mengeluh. Yah, aku juga merasa begitu. Padahal aku tidak tahu-menahu soal itu. Pak Miskun, bagaimana denganmu"' Saya kaget ditanya seperti itu. Wah, kelihatannya perkara itu semakin gawat. Bisa-bisa saya juga akan dicurigai." Pak Miskun diam.
"Tetapi, Bapak tidak mengambilnya, bukan"" tanya Ira hati-hati.
"Oh, tidak! Sama sekali tidak! Bukan saya!" sahut laki-laki itu cepat.
"Saya percaya," kata Ira menenteramkan laki-laki itu. "Kemudian, setelah itu apa yang Pak Miskun lakukan""
"Saya ingin perkara itu cepat selesai. Lalu saya teringat bahwa Pak Ukir Maz keluar dan kantor siang
itu." "Pak Ukir Maz" Siapa dia"" tanya Ira tegang.
"Dia adalah teman Bu Nurman... malahan saya kira lebih dari teman biasa." Pak Miskun mencondongkan mukanya ke arah Ira. Lalu melanjutkan, "Ada yang bilang Pak Ukir itu naksir Bu Nurman. Malahan dengar-dengar dia sudah pernah melamar Bu Nurman untuk dijadikan istri."
Ira terkekeh geli. "Ah, Bapak ini ada-ada saja. Masa dalam umur seperti sekarang, Bu Nurman mau menikah lagi""
"Lhoo, kenapa tidak" Ada orang yang lebih tua dan Bu Nurman yang menikah lagi. Itu bukan soal yang aneh! Nak Ira harus ingat, Bu Nurman seorang janda. Sedangkan Pak Ukir seorang duda. Saya malahan yakin, tak lama lagi mereka akan menikah." Pak Miskun nampak serius ketika berkata begitu.
Ira berhenti tertawa. Ikut serius.
"Apakah Pak Ukir sering ke kantor PT Segara""
"Sering sekali. Ke rumah Ibu juga sering. Kalau datang ke kantor, dia sudah seperti keluarga sendiri. Bebaslah, pokoknya."
"Apa pekerjaan Pak Ukir""
"Pengusaha juga."
"Kembali pada cerita Pak Miskun lagi. Jadi siang itu Pak Miskun melihat Pak Ukir Maz keluar dari kantor"" Setelah Pak Miskun mengangguk, Ira melanjutkan, "Jam berapa kira-kira""
"Waktu saya kembali dari rumah makan itu. Saya sedang enak-enak melenggang. Dari jauh saya melihat Pak Ukir keluar. Terus berjalan ke arah yang bertentangan dengan saya Waktu itu saya tidak punya pikiran buruk tentang dia. Saya pikir, mungkin dia baru menemui Ibu Lalu harus tergesa-gesa mengurus pekerjaannya. Ya, sudah!"
"Mengapa Pak Miskun tidak mengatakan hal itu pada kami, waktu kami menemui Bapak kemarin"" tanya Ira.
"Saya lupa. Karena sungguh waktu itu saya tidak punya pikiran buruk padanya. Baru tadi pikiran itu timbul. Setelah saya mendengar omongan si Bakri. Jangan-jangan Pak Ukir... Tetapi saya pikir lagi, ah mana mungkin"! Dia orang kaya. Masa mau mencuri arloji""
"Apakah Bapa k telah memberitahukan hal ini kepada Bu Nurman""
"Belum. Mana saya berani" Memberi tahu itu sama saja dengan mencurigai, bukan" Bagaimana kalau Bu Nurman tersinggung" Itu sebabnya saya menyampaikannya kepada Nak Ira. Nak Ira yang harus memberi tahu Ibu. Tapi jangan sebut dari saya, ya" Nanti saya tidak enak pada Bu Nurman dan Pak Ukir."
Ira berjanji. Ira merasa semakin percaya pada laki-laki yang lugu itu. Karena itu kemudian ia menyampaikan informasi tentang Nia. Nia Nurman yang pada siang itu juga masuk ke ruang kerja Bu Nurman.
"Apakah Bapak melihat Kak Nia""
"Tidak." Pak Miskun nampak tercengang "Jadi Non Nia siang itu juga datang" Wah!"
"Tapi Pak Miskun tidak melihatnya, bukan""
"Tidak, sungguh! Saya hanya melihat Pak Ukir," jawab Pak Miskun mantap.
Ira mengangguk puas. "Keterangan Bapak sangat berharga. Mudah-mudahan bisa membantu me-nyelesaikan urusan pencurian itu."
"Asal jangan dikatakan dari saya lho." pesan Pak Miskun lagi.
"Jangan khawatir. Saya tahu bagaimana harus mengatakannya."
Ira menaiki sepeda, lalu mengayuh ke arah rumahnya.
Hati anak perempuan yang rambutnya dikepang itu berdebar-debar.
"Tak sengaja aku telah menemukan keterangan yang sangat berharga. Keterangan yang sama sekali di luar perhitungan. Barangkali ini hikmahnya berbuat baik," pikirnya, teringat pada simpatinya terhadap keluarga Miskun.
Anak perempuan itu membayangkan ketika ia menyampaikan keterangan itu pada Yan dan Dede. Ohh! Tiba-tiba mukanya nampak klan berseri-seri.
XVI. YANG DIPEROLEH PAK LETNAN
27 Pulang dari kantor, Letnan Dipa mengaso sebentar. Kemudian mandi dan berpakaian rapi. Hem batik kegemarannya nampak licin membungkus tubuhnya yang langsing. Setelah itu ia meninggalkan rumahnya. Dijalankannya jip menuju rumah Ibu Yuniti Nurman.
Sesampainya di rumah Bu Nurman yang besar dan bagus. Pak Dipa turun.
Langkah Pak Dipa baru menginjak lantai serambi, bersamaan dengan itu pintu rumah terbuka. Nia tampak berdiri di ambang pintu. Menatap kepadanya dengan matanya yang sayu.
"Ah, Nia! Apa kabar"" sapa Pak Dipa sambil tersenyum ramah.
Nia menyahut dengan suara lemah. Kemudian dipersilakannya polisi itu masuk. "Silakan masuk, Pak."
Letnan Dipa masuk ke mang tamu yang luas, lalu duduk di kursi yang empuk. Pak Letnan sengaja membuat sikapnya nampak santai.
"Tidak ada acara keluar""
Nia menggeleng. "Ibu menyuruh saya menunggu Bapak."
"Ohh." Pak Dipa mengangguk. "Lalu, mana Ibu""
"Belum pulang. Pak. Hanya tadi Ibu menelepon waktu Nia pulang dari rumah teman." Gadis kelas tiga SMA itu menunduk.
Letnan Dipa memperhatikan gadis itu.
Tidak seperti ibunya yang periang, Nia nampak serius. Pendiam. Raut mukanya agak persegi dengan mulut yang sering tertutup rapat.
Letnan Dipa diam sesaat lagi. Kemudian, sambil melepaskan punggung dari sandaran kursi yang empuk, ia mulai dengan maksud kedatangannya. Keterangan Bu Nurman tentang apa yang dilakukan Nia di kantor ibunya diuraikannya secara singkat.
Rupanya gadis itu sudah siap. Tanpa berbelit-belit ia mengakui semua perbuatannya.
"Saya menyesal sekali setelah melakukannya. Pak. Saya heran bahwa saya bisa melakukannya. Saya heran pada diri saya sendiri. Tapi," Nia mendeguk ludah, "waktu itu saya sedang kacau. Mana si Sani terus nyap-nyap, ketakutan dimarahi pamannya. Saya lalu nekat. Terus saja kuambil uang itu...." Nia menunduk, muram. "Kemudian Ibu pulang. Ibu memarahi saya habis-habisan. Saya malu. Pak. Di samping itu juga kecewa pada diri saya sendiri. Karena saya telah mengecewakan Ibu yang sangat memperhatikan saya." Nia menyeka matanya.
Letnan Dipa berdeham, "Hem, hem, ekhmm, tapi Nia cuma mengambil uang itu saja, bukan""
"Ya. Saya kaget waktu malam itu Ibu memberi tahu, selain kehilangan uang yang saya ambil - Ibu juga kehilangan arloji dan dokumen penting. Ibu mengusut, apakah saya mengambil dokumen dan arlojinya" Saya katakan, tidak! Karena saya memang tidak mengambilnya. Menyentuhnya pun tidak!"
"Nia melihat dokumen dan arloji itu"" "Ya, di atas meja."
"Jadi berarti waktu Nia masuk, dokumen dan arloji itu masih ada," kata Pak Dipa setengah bergumam.
"Saya kira begitu. Pokoknya, setelah mengambil uang, saya terus keluar. Saya khawatir kalau Ibu terbangun."
"Nia tahu apa isi dokumen itu" Maksudku, sebelum peristiwa itu terjadi""
"Tahu, Pak. Ibu pernah memberi tahu bahwa Bang Arfan akan mengiriminya formula bahan pipa pralon."
"Ohh, kata Bu Nurman, tidak ada yang tahu isi dokumen itu." Letnan Dipa membungkuk. Kedua tangannya saling memegang di antara kedua lutut. "Kemudian bagaimana, Nia""
"Saya bergegas-gegas turun ke lantai satu. Keadaan di situ masih sepi - seperti ketika saya masuk. Mbak Ami dan yang lain belum kembali. Syukur, pikir saya, jadi tak ada yang melihat aku datang. Saya terus keluar. Lalu..."
"Lalu"" Letnan Dipa menyimak perubahan pada mimik muka Nia.
"Saya sudah meninggalkan pintu kantor kira-kira dua puluh meter Lalu saya mendengar ada yang berteriak memanggil nama saya."
Letnan Dipa menunggu kelanjutan keterangan gadis itu dengan sabar. Dan Nia melanjutkan,
"Tapi saya tidak menghiraukan. Menoleh juga tidak. Saya berpura-pura tidak mendengar. Saya justru mempercepat langkah ke luar kompleks."
"Ahh." Pak Letnan menengadahkan dagunya. "Apakah Nia mengenali itu suara siapa"" tanyanya kemudian.
"Mula-mula saya tidak ingat. Suara panggilan itu hanya sekali, Nia'' Namun siang itu baru saya ingat-itu suara siapa...."
"Suara siapa""
"Pak Maz!" Alis Letnan Dipa terangkat.
"Ukir Maz, pacar Ibu!" Suara Nia terdengar sengit ketika berkata.
"Ohh, dia!" Letnan Dipa mengangguk maklum. Dia memang pernah mendengar bahwa ada seorang laki-laki yang belakangan ini berusaha mendekati Ibu Yuniti Nurman. Tetapi ia belum tahu nama laki-laki itu. Ternyata namanya - Ukir Maz!
Pak Letnan memandang Nia dengan tatapan menggoda.
"Kelihatannya Nia tidak senang kalau ibumu menikah lagi."
"Bukan begitu, Pak. Saya bisa menerima kalau Ibu menikah dengan laki-laki yang baik. Sungguh, saya akan menerima dengan tulus hati. Asal jangan dengan Pak Maz."
"Memangnya dia kenapa, Nia""
"Orangnya terlalu banyak lagak! Tengik! Omong-nya besar!" Nia mendengus.
"Apakah ibumu sudah pasti akan menikah dengan Pak Maz itu""
"Oh, belum. Pak. Kelihatannya Ibu masih berpikir-pikir. Tetapi orang itu selalu berusaha mendekati Ibu. Kadang-kadang saya berpikir, jangan-jangan dia punya maksud buruk terhadap Ibu."
"Misalnya, menginginkan harta ibumu"" potong Letnan Dipa.
Nia mengangguk. "Tapi dia kan kaya, Nia"" pancing Letnan.
"Meskipun demikian - siapa tahu"" "Di mana tempat tinggal Pak Maz"" Nia menyebutkan alamat yang ingin diketahui Pak Letnan.
"Apakah ibumu terbuka kepada Pak Maz""
"Entah ya! Tapi saya sering melihat Ibu minta saran-sarannya dalam hal tertentu."
"Jangan-jangan ibumu pernah bercerita tentang dokumen itu kepada Pak Maz. Bagaimana menurut Nia"" Lagi-lagi Pak Letnan memancing.
"Mungkin saja!"
Letnan Dipa menghela napas dalam. "Kalau itu benar," ujarnya perlahan-lahan, "berarti sudah ada yang tahu tentang isi dokumen itu sebelumnya." Lalu kepalanya mengangguk-angguk.
"Dia punya usaha apa sih"" tanya Pak Dipa kemudian.
"Katanya di bidang perkayuan. Dia datang dari Kalimantan. Lalu katanya, dia akan membuka cabang usaha di sini. Sejak itu dia sering mondar-mandir dari sini ke Kalimantan."
"Jadi belum lama dia tinggal di kota ini""
Nia menggeleng. "Seingat saya belum satu tahun."
Letnan Dipa menatap mata Nia lurus-lurus.
"Nia, dari nada kata-katamu saya menduga bahwa kamu mencurigai Pak Maz sebagai pelaku pencurian itu. Bagaimana"" tanya Pak Letnan sambil meneleng-kan kepala.
"Saya memang curiga kepadanya. Sebab, mungkin saja dia masuk ke kantor setelah meneriaki saya," jawab gadis itu mantap
"Baiklah, Nia, terima kasih atas keteranganmu." Letnan Dipa bangkit dari duduknya.
"Lalu bagaimana. Pak""
"Yah, saya akan melanjutkan penyelidikan. Salam untuk ibumu!"
Pak Letnan berjalan menuju pintu. Nia menemani sampai ke halaman.
Letnan Dipa menyetir sambil berpikir. Semua keterangan yang telah di
perolehnya, yang berhu-bungan dengan perkara pencurian itu, diolahnya dalam pikiran. Sebuah gambaran mulai nampak dalam kepalanya. Gambaran itu makin lama makin jelas. Pak Letnan mengangguk puas. Tak sadar telapak tangannya memukul tombol klakson mobil, yang kemudian berbunyi nyaring: TINNN!
Seorang tukang becak yang sedang menjalankan becak dengan santai di depan mobil - terjingkat lantaran kaget.
Letnan Dipa terus menjalankan mobilnya, ia tersenyum ketika sebuah ide melintas dalam pikirannya.
XVII. PEMBAHASAN TERAKHIR
28 Di rumah Pak Mintaraga, Kelompok 2&1 telah selesai mendiskusikan informasi baru yang diperoleh Ira.
Tadi, kembali dari rumah Pak Miskun, Ira langsung mencari Yan dan Dede di lapangan voli. Diajaknya kedua anak laki-laki itu pulang. Kemudian dengan penuh semangat Ira menyampaikan keterangan Pak Miskun tentang Pak Ukir Maz. Keterangan itu mengejutkan Yan dan Dede, sekaligus membuat gembira. Semangat anak-anak untuk membicarakan perkara pencurian itu timbul kembali.
Lalu mereka berdiskusi. Kesimpulan penting yang mereka dapatkan ialah Pak Ukir Maz harus dicurigai. Jika Kak Nia bisa menyelinap secara diam-diam ke ruang kerja Bu Nurman waktu itu. mengapa Pak Ukir tidak bisa"
Sayangnya, mereka belum tahu banyak tentang Pak Ukir Maz.
Oleh karena itu mereka memutuskan untuk menunggu Letnan Dipa. Lalu mereka akan me-nyampaikan informasi tentang Pak Ukir Maz itu.
Setelah itu mereka mandi.
Tak lama kemudian ketiganya telah nampak rapi. Menunggu kedatangan Letnan Dipa dalam kegelisah-an yang meruyak-ruyak.
Maka, kiranya wajar apabila mereka bersorak ketika melihat jip Letnan Dipa datang.
Letnan Dipa tertawa lebar menyaksikan tingkah Yan, Ira, dan Dede.
"Pasti kalian sudah tidak sabar menungguku," kata polisi itu sambil menutup pintu jip.
"Memang, rasanya saya ingin menjemput Anda," sahut Ira. tertawa renyah.
"Anda sudah mengecek tentang Pak Bakri"" tanya Dede.
"Bagaimana dengan Kak Nia"" Yan menumpangi. "Sabar, sabar... kita bicara di dalam saja. Masa di sini""
Anak-anak dan Letnan Dipa masuk ke rumah. Pak Minta - yang pada sore itu tidak memberi kuliah - menyongsong Letnan Dipa. Kedua kenalan lama itu bercakap-cakap sabentar.
"Ayo. Pak, saya sudah tidak sabar untuk membicarakan masalah itu," celetuk Dede Sofyan.
Letnan Dipa lalu duduk dikelilingi ketiga anggota Kelompok 2&1.
"Aku boleh ikut mendengar, kan"" tanya Pak Mintaraga yang rupanya sedang tidak punya ke-sibukan.
"Boleh, asal Bapak tidak merepotkan," sahut Yan berkelakar.
Pak Minta tergelak. Didorongnya belakang kepala Yan.
"Aku ingin tahu penyelesaiannya," ujar Pak Minta sambil duduk di sebelah Ira "Kelihatannya perkara kalian kali ini kok ruwet sekali."
"Bagaimana, Let" Anda sudah mengecek tentang Pak Bakri"" tanya Dede, memulai dengan kurang sabar.
"Sudah Tadi aku menelepon Pak Emji, wakil Ibu Nurman di pabrik Bukit Cerme. Kutanyakan apakah siang itu Bakri sungguh-sungguh ke sana."
"Apa jawabannya""
Letnan Dipa memandang Dede. "Bakri memang ke sana. Sampai sekitar pukul tiga."
"Ahh!" Dede berseru kecewa.
"Apa artinya itu"" celetuk Pak Minta sambil mengernyit. Agaknya Pak Minta terkesan melihat kekecewaan yang terpancar pada muka si Dede.
"Artinya, Pak Bakri harus disingkirkan dari daftar orang yang kamu curigai. Padahal Dede 'sangat berharap' Pak Bakr-lah pelaku pencurian itu. Karena sentimen." kata Yan menggoda temannya.
"Wah. masa detektif mengusut pencuri dengan dasar sentimen"" sambut Pak Minta. "Tidak betul itu. Del"
"Bukan begitu. Pak!" jawab Dede menyanggah. Tapi ia tidak tahu harus mengetengahkan alasan apa untuk memperkuat sanggahannya. Maka ia pun diam. Hanya berkata, "Ah, sudahlah!" Sambil menghem-paskan punggung ke sandaran kursi.
"Hei, jangan keras-keras kalau bersandar. Nanti kaki kursi itu patah!" seru Bu Minta yang keluar menghidangkan minuman untuk Letnan Dipa.


Kelompok 2 Dan 1 Pencuri Intelek Karya Dwianto Setyawan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Semua tertawa. Dede makin kesal. Karena kegeramannya justru menjadi bahan tertawaan.
"Kemudian, bagaimana keterangan Nia Nurman""
Letnan Dipa mengangguk pada Yan. Disampaikan-nya hasil penyelidikannya terhadap Nia Nurman.
"Berdasarkan pengalaman dan pengamatanku sebagal seorang polisi, aku yakin bahwa Nia telah mengatakan yang sebenarnya." Pak Letnan meletakkan cangkir kopi yang baru diteguknya sedikit. "Artinya, ia sungguh-sungguh hanya mengambil uang itu. Tetapi kalian tentu boleh beranggapan lain. Asal bisa membuktikan."
Yan mengangguk-angguk. "Kemudian, ada satu keterangannya yang tidak pernah terlintas dalam pikiranku selama ini. Yaitu, tentang seorang laki-laki yang bernama Ukir Maz!"
Ira tersentak mendengar Pak Letnan menyebut nama itu. "Ukir Maz"" serunya mengulangi. Ira akan memberi tahu Pak Letnan bahwa Pak Miskun juga menyebut nama itu. Namun ia terpaksa menunda karena dilihatnya Letnan Dipa sedang berkata-kata penuh semangat.
"Nia mendengar laki-laki itu memanggilnya ketika ia keluar dari kantor PT Segara." Letnan Dipa menerangkan secara singkat tentang pengakuan Nia mengenai Pak Ukir Maz. Lalu, setelah diam sesaat. Letnan Dipa melanjutkan, "Nah, Anak-anak, aku punya gagasan. Gagasan itu timbul ketika aku sedang dalam perjalanan ke rumah ini."
"Gagasan apa. Pak"" tanya Dede.
"Informasi yang kalian butuhkan sudah lengkap. Kini kuminta kalian mendiskusikan semua itu. Kemudian buatlah kesimpulan siapa pencuri itu. Aku ingin tahu bagaimana hasilnya! Sementara itu," Letnan Dipa tersenyum pada Pak Minta, "aku akan menunggu sambil bermain catur dengan Pak Minta. Tidak berkeberatan. Pak Dosen""
"Ohh, saya senang sekali. Sebentar ya, saya ambil papan caturnya." Pak Minta bangkit.
Yan memandang Letnan Dipa Dari gerak-geriknya ia tahu bahwa sebenarnya Pak Letnan sudah punya gambaran siapa pencuri dokumen dan arloji itu. Cuma Pak Letnan ingin menguji mereka.
"Oke!" katanya kemudian penuh semangat. "Akan kita pecahkan misteri ini. De, Ir. ayo kita bicarakan di kamarku!"
Sebelum anak-anak meninggalkan ruang tamu, Letnan Dipa menambahkan, "Oh ya, ada tambahan satu informasi lagi. Sesungguhnya sudah ada yang tahu apa isi dokumen itu - sebelum pencurian itu terjadi. Yang tahu adalah Nia Nurman
"Dan Pak Ukir Maz"" tebak Dede.
"Betul. Nia mengaku sandiri bahwa ibunya pernah berkata, Ir. Arfan akan mengirimkan sebuah dokumen penting. Sedang mengenai Pak Ukir Maz. aku mengeceknya pada Ibu Nurman. Tadi. Kutelepon dia yang masih di kantornya. Kuminta agar mengingat-ingat apakah ia pernah bercerita tentang isi dokumen itu pada Pak Ukir. Akhirnya Bu Nurman mengakui. Sebelumnya dia memang pernah bilang juga pada Pak Ukir."
Yan mengangguk. Lalu diajaknya Ira dan Dede ke kamar.
29 "Nah. mari kita diskusikan masalah yang membi-ngungkan ini sampai setuntas-tuntasnya," ujar Yan setelah mereka berada dalam kamar. "Selama ini kecurigaan kita mula-mula tertuju pada tiga orang. Yaitu, Mbak Ami. Pak Bakri. dan Pak Miskun. Merekalah yang kita pikir paling punya kemungkinan untuk melakukan pencurian dokumen dan arloji itu.
"Tetapi kemudian muncul dua orang lagi. Yaitu, Nia dan Pak Ukir Maz. Kehadiran Nia sudah kita buktikan. Dan Ibu Nurman pun sudah mengakui bahwa waktu itu anaknya memang masuk ke ruang kerjanya. Sedangkan tentang Pak Ukir Maz. mula-mula kita dengar dari Ira. Berdasarkan keterangan Pak Miskun. Kemudian barusan, dari Letnan Dipa. Berdasarkan informasi dari Kak Nia. Sekarang soalnya, siapa pencuri itu" Dan yang penting juga - bagaimana ia melakukannya!"
Dari kelima orang itu sudah jelas ada dua yang bisa kita singkirkan dari daftar," ujar Ira. "Pertama adalah Pak Bakri. Yang kedua adalah Pak Miskun."
"Pak Bakri memang punya alibi yang kuat. Itu harus kuakui sekarang," kata Dede yang nampaknya sudah bisa mengatasi perasaannya. "Tetapi apa dasar alasanmu mencoret nama Pak Miskun""
"Dia orang jujur, De. Di samping itu keinginannya untuk membantu kita menemukan si pencuri, menunjukkan bahwa ia bersungguh-sungguh. Bahwa ia ingin perkara ini cepat terselesaikan. Di samping itu ada satu hal yang baru terpikir olehku." Ira mengangkat telunjuknya. "Pak Miskun orang yang sederhana. Pendidikannya terbatas. Rasanya tidak mungkin d
ia yang mencuri dokumen itu Kalau arloji, ya bisalah! Tapi untuk mencuri dokumen" Kurasa dia tidak tahu banyak tentang dokumen. Apalagi kalau dokumen itu rumit dan ruwet." Ira memandang Dede. "Seperti katamu sendiri, pencurinya lebih cocok kalau seorang intelek. Pencuri intelek! Kamu pernah bilang begitu, kan" Kalau itu benar, pasti bukan Pak Miskun orangnya!" "Aku sependapat dengan Ira," kata Yan.
"Yah, kupikir betul juga." Dede mendorong kaca matanya ke belakang. "Nia juga harus kita coret, bukan"" tanyanya.
"Ya. Kita harus percaya pada kecermatan Letnan Dipa. Dia yang bertemu langsung dengannya." Yan menggosok-gosok hidungnya yang agak pesek. "Jadi - tinggal Mbak Ami dan Pak Ukir."
"Yan. kita tidak perlu berbelit-belit." tukas Dede. "Sebenarnya kamu sudah mulai curiga pada Pak Ukir Maz. bukan""
"Ya," jawab Yan setelah diam beberapa saat.
"Dan kamu"" Dede berpaling pada Ira.
Ira mengangguk. "Kalau begitu kita harus memusatkan perhatian pada laki-laki itu." Dede melanjutkan, "Aku punya alasan untuk menuduh laki-laki itu. Pertama, Kalau Nia bisa menyelinap ke dalam ruang kerja Ibu Nurman, Pak Ukir pasti bisa juga menyelinap secara diam-diam. Tanpa diketahui orang lain. Setuju""
Yan dan Ira mengangguk. "Kedua, untuk mengetahui isi dokumen itu penting atau tidak. Berguna atau tidak. Sekurang-kurangnya orang harus membaca dokumen itu. Betul, kan" Dalam keadaan tergesa-gesa, karena datang dengan maksud jahat, seseorang tak mungkin membaca dokumen itu lama-lama. Paling-paling cuma selintas pinlas. Tetapi karena sebelumnya ia telah mendengar bahwa akan ada dokumen penting yang diterima Bu Nurman; maka biar dia cuma melirik selintas, dia segera tahu... 'Ah, inilah dokumen itu! Sebaiknya kuambil saja! Karena kalau kujual pada yang membutuhkan - akan menghasilkan uang!'" Dede menarik napas sebentar. "Dan Pak Ukir memenuhi syarat-syarat itu. Dia masuk ke ruang kerja. Dia tahu isi dokumen itu sebelumnya, dari Bu Nurman sendiri!"
"Yahh, begitulah kira-kira!" sambut Yan sambil menuding Dede. Tiba-tiba dahi Yan berkerut. Temannya segera tahu bahwa anak itu pasti menemukan sesuatu yang penting, bila ia bersikap saperti itu. Tiba-tiba Yan bertepuk tangan. "Aha, aha! Jangan-jangan itu ada hubungannya... dan bisa menjadi bukti juga!"
"Itu" Apa itu""
"Bantal!" Yan seperti mau berjingkrak-jingkrak. "Bantal""
Yan lalu menceritakan tentang bantal pelapis kursi baca mini yang sempat menarik perhatiannya.
"Bantal itu mula-mula persegi empat, kemudian diganti. Ketika iseng-iseng kutanyakan kepada Bu Nurman, ia mengatakan bantal itu diminta oleh Pak Ukir. Jadi nama Ukir Maz ternyata pernah kudengar. Waktu itu, dari Ibu Nurman. Tapi aku tidak seberapa memperhatikan.
"Bu Nurman mengatakan. Pak Ukir ngotot sekali ketika meminta bantal-bantal itu. Sehingga Bu Nurman tercengang, kenapa Pak Ukir begitu meng-inginkan bantal-bantal itu" Sekarang baru aku sadar!"
Ira dan Dede menunggu kelanjutan kata-kata Hardian.
"Akan kucoba menggambarkan apa yang dilakukan Pak Ukir siang itu." Yan berdiri dari duduknya di pinggir kasur. "Siang itu Pak Ukir datang ke kantor PT Segara. Ketika ia hampir sampai di pintu kantor, dilihatnya Nia Nurman keluar tergesa-gesa. Karena ia mengenal Nia, otomatis ia berteriak memanggil, 'Nia!'. Tetapi Nia berpura-pura tidak mendengar. Lalu.
mungkin sambil bertanya-tanya kenapa Nia begitu, Pak Ukir masuk ke kantor."
"Dan mungkin Pak Ukir terheran-heran untuk kedua kalinya. Karena tidak ada seorang pun di dalam kantor," Ira menyela.
Yan mengangguk. "Lalu dia terus ke ruang kerja Ibu Nurman di atas. Pak Ukir sudah biasa masuk-keluar kantor Bu Nurman. Setelah masuk dilihatnya Bu Nurman sedang tidur. Seperti Nia, agaknya ia tidak bermaksud membangunkan Bu Nurman. Sehingga akhirnya ia melihat dokumen dan arloji itu!
"Orang suka iseng ketika sedang menunggu. Atau karena tidak tahu apa yang bisa dilakukannya. Kukira - demikian juga keadaan Pak Ukir waktu itu. Iseng-iseng ia mengamat-amati arloji Bu Nurman yang bagus. Iseng-iseng pula ia membuka-buka map. Sampai akhirnya ia sadar
akan isi dokumen di hadapannya."
Dede menyeletuk, "Dan ia teringat pada omongan Bu Nurman padanya. Bahwa dalam beberapa hari, Ir, Arfan akan mengirimkan sebuah dokumen yang mahal nilainya."
"Ya. Saat itulah timbul niat jahat dalam pikiran Pak Ukir Maz. Dia lalu memutuskan untuk mengambil dokumen itu..."
"Dan arloji itu"" potong Ira.
Yan menjawab mantap, "Ya, kurasa kedua-duanya diambilnya." ia melanjutkan, "Untuk menyembunyi-kan arloji tidak sulit. Tinggal masukkan ke dalam saku. Tetapi sebuah dokumen" Jika ia asal membawa, bagaimana jika nanti ia berpapasan dengan Mbak Ami, atau yang lain di bawah" Pak Ukir tentunya ingin menghindari risiko itu. Maka cara yang paling aman adalah menyembunyikannya dokumen itu untuk sementara. Sampai keadaan memungkinkan baginya untuk mengambilnya."
"Ahh. begitu!" seru Dede, menepuk meja belajar Yan. "Ditelusupkannya dokumen itu ke dalam sarung bantal kursi baca itu. Dan ia bisa melenggang ke luar dengan aman. Sementara dokumen itu tersembunyi di balik sarung bantal, tanpa kita menyadarinya."
"Dan ketika keluar dari kantor ia dilihat oleh Pak Miskun," Ira menimbrung.
Yan mengangguk. Mukanya memancarkan ke-puasan. "Lalu tibalah saatnya ia mengambil dokumen itu. ia datang kepada Bu Nurman dan meminta bantal itu. Bu Nurman memberikan. Meskipun dengan perasaan heran."
"Kurasa memang hanya itu yang bisa kita simpulkan. Bukankah begitu"" Dede memasang kaca mata yang baru diletakkannya di meja. Sambil berdiri ia mengajak, "Ayo. kita sampaikan pada Letnan Dipa!"
XVIII. PECAH LAGI! 30 Anak-anak masuk ke ruang tamu.
Sementara itu Letnan Dipa dan Pak Minta baru selesai bermain catur. Rupanya Pak Letnan kalah. Sambil mengeluh perwira polisi itu menata letak biji-biji catur untuk menantang Pak Minta sekali lagi.
Letnan Dipa melihat anak-anak. Niat untuk melanjutkan permainan terpaksa ditundanya.
"Bagaimana" Ketemu"" tanyanya.
"Beres, Pak!" sahut Yan gembira.
"Oh ya" Coba uraikan!"
Yan, Ira, dan Dede menyampaikan hasil pembahasan mereka.
Letnan Dipa mendengarkan. Pak Mintaraga juga menyimak dengan penuh perhatian.
"...maka kami berkesimpulan," kata Yan. "si pencuri itu adalah orang yang sebelum ini sama sekali di luar dugaan kita... seorang pencuri intelek.... Dia adalah Pak Ukir Maz!"
"Hebat," puji Letnan Dipa. "Kesimpulan kalian klop dengan apa yang kupikirkan." Letnan Dipa menoleh pada Ira. "Jadi, Pak Miskun melihat Pak Ukir siang itu""
"Ya. Pak." "Bagus! Itu bisa memperkuat bukti-bukti kita," sambut Pak Dipa puas.
"Sebentar, Let!" sela Pak Minta yang makin tertarik pada perkara itu. "Dari hasil pembahasan anak-anak. rasanya ada yang masih meragukan. Yaitu, tentang pencurian arloji. Saya belum begitu yakin. Kalau soal dokumen, rasanya masuk akal! Sebagai orang yang mengerti nilai dokumen itu - memang mungkin Ukir Maz terdorong untuk mencurinya. Tapi soal arloji, saya tidak yakin. Katanya, dia orang kaya."
"Keberatan yang tepat!" balas Letnan Dipa. "Baiklah, akan saya tambahkan. Sesudah mendengar keterangan Nia Nurman, saya mulai mencurigai Ukir Maz. Namun di samping itu saya juga masih ragu-ragu. Teringat status Ukir Maz. Dia saya bayangkan sebagai pengusaha yang sukses. Masa sampai hati mencuri arloji" Saya tidak tinggal diam.
"Sebelum kemari, lebih dulu saya cari keterangan tentang diri Pak Ukir Maz. Bagi saya tidak sulit mengumpulkan keterangan. Setelah keterangan tentang dirinya saya dapat, semuanya terasa lebih jelas.
"Ukir Maz adalah seorang penipu. Tetapi penipu yang lihai. Dia selalu berhasil mengakali korbannya, tanpa korbannya berhasil menuntutnya di muka hukum. Sebab segala tindakan kejahatannya telah diperhitungkannya dengan cermat, ia selalu lolos dari penangkapan polisi, ia pernah terlibat dalam penipuan uang berjumlah puluhan juta di Banjarmasin. Kemudian di Bandung. Hingga akhirnya ia pindah ke kota ini Di sini ia berlagak menjadi orang kaya, yang mengaku punya usaha perkayuan di Kalimantan. Padahal itu semua tidak benar. Salah satu kebiasaan buruknya ialah main bilyar alias bola sodok sambil taru
han dalam jumlah besar. Kalau main bilyar ia tahan bermain semalam suntuk. Dan kalau kalah taruhan, tidak tanggung-tanggung. Bisa sampai ratusan ribu rupiah!
"Akhir-akhir ini ia mulai mendekati Ibu Yuniti Nurman. Penampilannya yang perlente dan meyakinkan - membuat Ibu Nurman percaya padanya. Ibu Nurman rupanya belum sadar akan maksud licik laki-laki itu. Tapi Nia, anaknya, bisa merasakan."
Letnan Dipa berhenti berkata-kata. Dihabiskannya minumannya dengan sekali teguk. Setelah itu baru ia melanjutkan:
"Aku sengaja tidak menceritakan latar belakang kehidupan Pak Ukir, waktu kalian akan mengadakan pembahasan tadi." Pandangannya menyapu Yan dan kawan-kawan. "Sebab kalau belum-belum kucerita-kan, kalian pasti akan dengan gampang menebaknya sebagai pencuri yang kita cari. Padahal aku ingin menguji ketajaman analisa kalian." Pak Letnan tertawa.
"Hmm, setelah tahu latar belakangnya, saya percaya," ujar Pak Mintaraga. "Masuk akal jika ia yang mengambil arloji itu. Mungkin ia baru kalah taruhan bilyar. Dan butuh uang banyak. Dan setelah mencuri arloji, dia belum puas. Disikatnya dokumen itu sekalian. Untuk dijualnya pada saat yang tepat."
"Saya kira memang itu yang dipikirkannya," kata Letnan Dipa.
"Apakah Anda sudah berjumpa dengan Pak Ukir Maz sendiri"" tanya Yan.
"Belum, keterangan tentang dirinya kuperoleh dari tangan kedua," sahut Pak Dipa.
"Kenapa Anda tidak langsung menemuinya"" tanya Ira.
"Lhoo, kupikir kalian ingin ikut menemuinya"" jawab Letnan.
"Ahhh!" Ira sadar akan maksud Pak Letnan, yang tetap ingin memberi kesempatan kepada Kelompok 2&1. Untuk ikut menyelesaikan perkara pencurian itu. Ira tertawa manis. "Pak Dipa memang baik. Tidak melupakan jasa orang...."
"Hahaha!" "Kapan kita ke rumah Pak Ukir"" tanya Yan antusias.
"Kapan lagi. kalau tidak sekarang"" sahut Pak Letnan.
Anak-anak menyambut kata-kata itu dengan girang.
"Aku ikut, ah!" ujar Pak Minta. "Tiba-tiba aku ingin melihat bagaimana tampang si Ukir Maz itu. Boleh, kan""
"Silakan," sahut Letnan Dipa. "Ya deh, biar ramai!" sambut Dede. "Ir, coba kita lihat, apakah Bapak mampu jadi detektif," Yan berkata sambil tertawa pada adiknya.
Ibu Minta yang keluar heran melihat kesibukan di ruang tamu. "Mau ke mana ini"" sapa wanita itu.
Yan menerangkan, "Bapak juga mau ikut. Bu," tambahnya.
"Bapak"" Bu Minta menoleh pada suaminya. Memandang nyaris tidak percaya.
"Sekali-sekali kan tidak apa-apa. Sayang," kata Pak Minta sambil tertawa.
Lalu mereka beramai-ramai pergi.
Tinggal Bu Minta mengeluh seorang diri. "Ohh, padahal semua sayur sudah kupanasi... padahal aku sudah memasak lauk tambahan untuk makan malam bersama... ohhh! Dasar...!"
31 Letnan Dipa meminggirkan jipnya di tepi jalan itu. Jalan itu terletak di kawasan yang tenang. Tidak terlalu lebar, beraspal licin, diterangi lampu neon.
"Itu rumahnya." Letnan Dipa menunjuk sebuah rumah melalui kaca depan mobil. "Bukan rumahnya sendiri. Rumah kontrakan."
"Wah, dalam waktu singkat, informasi tentang Pak Ukir telah Anda dapatkan semua," ujar Pak Minta
"Pak Dipa kan komandan polisi. Pak. Kalau polisi tidak bisa mengumpulkan informasi secepatnya kan gawat"" Dede Sofyan nyengir pada Letnan Dipa.
Sementara itu Ira mengamati rumah sasaran mereka. Rumah itu mempunyai halaman yang cukup luas. Ada jalur semen dari pintu halaman ke pintu rumah. Dikelilingi pagar besi bercat biru muda Terasnya diterangi oleh lampu yang remang-remang sinarnya.
"Pak, bagaimana kalau kami masuk lebih dulu"" tanya Yan. Lalu diuraikannya rencananya. Letnan Dipa setuju.
"Tetapi apakah tidak berbahaya"" tanya Pak Minta, khawatir.
"Kenapa berbahaya" Kami kan datang sebagai tamu"" bantah Yan.
Letnan Dipa mengangguk. Pak Minta terpaksa menekan rasa khawatir. Lalu berkata, "Aku akan menemani kalian." Agaknya ia masih mengkhawatirkan keselamatan anak-anak.
Yan mau menolak. Namun Letnan Dipa mengizinkan Pak Minta ikut.
"Asal Bapak tidak grogi saja," katanya berkelakar.
"Oh, jangan khawatir! Aku sudah biasa menghadapi mahasiswa. Bahkan yang paling badung d
an garang," sahut Pak Minta. "Kamu kok meremehkan sih!"
"Heee... hehehe."
Ketiga anak itu menyeberangi jalan menuju rumah Pak Ukir Maz. Pak Minta mengiringi mereka.
Letnan Dipa segera menyusul. Setelah anak-anak diterima oleh Pak Ukir.
Dede mendorong pintu pagar, lalu masuk diikuti kedua temannya. Pak Minta nampak canggung. Meskipun demikian ia memaksakan diri mengikuti anak-anak.
Tiba-tiba terdengar anjing menyalak ramai dari dalam rumah.
"Wah, ada anjingnya," gumam Ira agak gentar.
Dede yang berjalan paling depan, tak sadar memperlambat langkah. Namun Yan terus mendo-rong punggungnya. Sampai di teras. Salak anjing terdengar makin keras.
Sedang mereka berdiri di muka pintu, gorden yang melapisi kaca lebar di samping pintu tersibak sedikit. Sepasang mata mengintai. Kemudian gorden diturunkan kembali.
"Diam, Alas! Diam! Ayo masuk! Masuk!" Terdengar suara laki-laki menghardik anjing itu.
Agak lama - setelah suara anjing tidak terdengar - baru pintu dibuka. Seorang laki-laki bertubuh atletis menjulang di ambang pintu.
"Pasti dia Pak Ukir Maz," pikir Yan.
Orang itu memang Pak Ukir.
Pak Ukir Maz bermuka bulat. Pipinya licin. Bagian atas bibirnya ditumbuhi sepasang kumis yang rapi terpelihara. Usianya kira-kira sebaya dengan Ibu
Nurman. Tetapi karena mukanya masih kencang, ia jadi kelihatan lebih muda.
ia memakai celana dan hem setelan yang apik. Berbau wangi. Sepatunya berkilat-kilat. Dia memang laki-laki yang menarik!
Pandangan Pak Ukir menyapu para tamu.
"Ehhh... siapa, ya" Rasanya saya belum pernah jumpa," kata laki-laki itu. Suaranya enak didengar. Pandangannya jatuh pada Pak Minta.
Pak Minta terpaksa memperkenalkan diri. "Ehh, saya Mintaraga," katanya canggung. "Ehh... saya hanya... ehh, perlu mengantar anak-anak untuk menemui Anda."
"Untuk menemui saya"" Pak Ukir menuding dadanya. "Emm, sebetulnya saya mau keluar. Ada urusan penting. Tapi bolehlah! Mari, silakan masuk." Didorongnya pintu sehingga terbuka lebih lebar.
Para tamunya masuk dan duduk.
Ira kelihatan serba salah. Penampilan Pak Ukir Maz yang meyakinkan, mengguncangkan kemantapan rasa curiganya terhadap laki-laki itu.
"Jangan-jangan kita salah menuduh," pikirnya.
Pak Ukir Maz memindahkan sebuah bungkusan tipis dari meja tamu ke kursinya. Kemudian ia mengenakkan duduknya.
"Silakan," katanya. Memberi isyarat agar anak-anak segera mengutarakan maksud kedatangan mereka.
"Kami... kami..." Yan tak sanggup melanjutkan. Ketenangan Pak Ukir, dan pandangan matanya yang penuh rasa percaya diri, membuatnya jadi gugup. "Sialan! Padahal biasanya aku tidak seperti ini," keluhnya dalam hati.
"Kami datang untuk mengusut, Pak!" Dede yang melanjutkan. Karena tergesa-gesa, dan karena terpengaruh oleh kebingungan Yan, ucapannya lalu terdengar kasar.
"Mengusut"" Alis Pak Ukir Maz terangkat. "Mengusut apa""
Dede mengeraskan hatinya Sudah kepalang basah, pikirnya, ia lalu berkata, "Mengusut pencurian dokumen. Dan arloji. Itu, yang terjadi di kantor Ibu Nurman."
"Ahhh." Pak Ukir Maz berseru panjang. "Jadi soal itu" Ya. ya, aku sudah mendengar dari Bu Nurman. Tetapi mengapa kalian datang kepadaku" Aku kan tidak tahu-menahu soal itu""
"Wah, ketenangannya betul-betul bikin aku grogi," keluh Dede dalam hati. Tetapi dasar Dede, tak sudi ia menyerah begitu saja. Dengan tandas ia menjawab, "Kami pikir Bapak justru mengetahuinya - Karena Bapaklah pelakunya!"
"Apa"! Jadi kamu menuduhku"" Muka Pak Ukir berubah merah padam. "Kamu jangan main-main! Datang-datang langsung menuduh orang seenaknya! Kamu belum kenal siapa aku, ya" Aku Ukir Maz -orang kaya! Untuk apa aku mencuri arloji""
Pak Ukir berpaling pada Pak Minta. "Saudara ayah dari anak itu"" tanyanya. Sebelum Pak Minta menjawab. Pak Ukir telah menyambung, "Saudara harus bisa mendidik anak Saudara. Supaya tahu sopan santun. Astaga, aku dituduhnya mencuri arloji, dan dokumen!" ia menggebrak meja. "Aku tidak bisa menerima fitnahan itu begitu saja. Tidak mungkin! Akan kubawa persoalan ini pada polisi!"
Bertepatan dengan berakhirnya gertakan Pak Ukir
, pintu didorong orang dari luar. Letnan Dipa muncul.
"Wah, rupanya sedang terjadi keributan," ujar Pak Letnan. Lalu sambil memandang Pak Ukir, letnan polisi itu melanjutkan, "Saya dengar Anda membutuhkan polisi. Saya polisi... Dipa... Letnan Dipa..."
Ketika mendengar Pak Dipa memperkenalkan diri, seketika sikap Pak Ukir Maz berubah. Ketenangan dan kegarangannya rontok, ia nampak mulai salah tingkah.
"Anak ini menuduh saya," katanya, agak tergagap.
"Tetapi memang benar, bukan"" sergah Letnan Dipa langsung.
"Apa maksud Anda, Letnan"" teriak Pak Ukir.
"Hentikan sandiwaramu!" bentak Letnan Dipa. "Saya sudah tahu semua perbuatan Anda. Mana dokumen dan arloji itu""
"Bukan saya yang mengambil!" jerit Pak Ukir Maz.
"Lalu siapa"" tukas Letnan Dipa. "Anda tidak bisa mengelabui saya lagi, Saudara Ukir Maz!" Lalu, Pak Letnan menguraikan dugaan akan apa yang diperbuat Pak Ukir Maz siang itu. Bagaimana ia menyelinap ke kantor Ibu Nurman secara diam-diam. Bagaimana ia mengambil arloji dan dokumen. Juga tentang Nia yang mengenali suaranya, dan Pak Miskun yang melihatnya keluar tergesa-gesa.
Maka, benar-benar runtuhlah benteng kepura-puraan Pak Ukir. Sekonyong-konyong, di luar dugaan, laki-laki itu bergerak. Mula-mula ia menyambar bungkusan tipis itu dari kursi. Kemudian berlari menerobos ke luar. Dede yang berdiri tepat di hadapannya, dilanggarnya sampai terpental. Ira menjerit. Pak Minta dan Yan tertegun.
Dede terpental. Punggungnya terhempas ke dinding. Kaca matanya terlempar ke lantai, PREK!
Anak itu menatap kaca matanya dengan mata terbelalak.
"Astaga, pecah lagi." keluhnya. Dengan muka mendung, sedih bercampur geram, ia berjongkok. Diamatinya kaca mata itu. Betul, lensanya retak sebelah.
Sementara itu Letnan Dipa tidak tinggal diam. Melihat Pak Ukir menerobos, ia langsung mengejar.
Letnan Dipa berhasil menjemba belakang leher baju Pak Ukir Maz. Dan dengan sedikit kekerasan -yang terpaksa dilakukannya - dipaksanya Pak Ukir menyerah.
XIX. TIDAK MELESET 32 Anak-anak dan Pak Minta pulang sendiri, naik bemo. Letnan Dipa tidak bersama mereka.
Sesudah berhasil meringkus Pak Ukir Maz, Letnan Dipa mengatakan bahwa ia akan terus ke kantor polisi. Membawa Pak Ukir. Karena itu terpaksa ia tidak bisa mengantarkan anak-anak dan Pak Minta.
Maka, Pak Minta dan anak-anak pulang sendiri.
Di sepanjang perjalanan tak putus-putusnya mereka mempercakapkan peristiwa itu. Akhir dari penyelidikan yang cukup mengagetkan. Pembicaraan tentang hal itu terus berlanjut sampai mereka tiba di rumah. Bahkan sampai di meja makan. Ketika mereka makan malam bersama.
Mendengar cerita anak-anak dan suaminya, Bu Minta cuma bisa menggeleng dengan perasaan tidak menentu.
"...Aku tadi sangat kaget. Ketika dia tiba-tiba berlari ke luar," kata Ira.
"Ya, tiba-tiba saja dia melompat bangkit dari duduknya. Lalu berlari. Wah, betul-betul seru. Bu!" cerita Pak Minta pada istrinya. "Dan, Dede ditabrak-nya sampai terpental... hahaha!"
"Sampai kaca malanya pecah lagi," sambung Yan, terkekeh.
Dede bersungut-sungut. "Kaca matamu pecah lagi"" tanya Bu Minta.
"Ya. tapi kali ini Ibu jangan menyalahkan saya," sahut Dede cepat. Mencegah agar Bu Minta tidak mengomelinya. "Itu bukan karena saya ugal-ugalan. Tapi akibat melaksanakan tugas. Masalahnya kan lain""
"Tugas... tugas... tugas apaan"!" sergah Bu Minta.
"Pak, Bu Minta selalu sinis kalau mendengar cerita petualangan yang seru. Barangkali karena Ibu belum pernah mengalami- Sehingga Ibu tidak bisa merasakan asyiknya mengalami peristiwa semacam itu," kelakar Dede pada Pak Minta. "Bagaimana kalau sekali-sekali kita ajak" Sehingga Ibu tahu di mana asyiknya""
"Boleh, boleh... hahaha!" Pak Minta tergelak. Bu Minta mancibir. "Tak bakal aku mau!" katanya ketus.
"Aku tadi geli melihat kelakuan Bapak," kata Yan menggoda ayahnya. "Rasanya Bapak begitu cang-gung dan ketakutan."
"Siapa yang takut"" sela Pak Minta keras, pura-pura tersinggung. "Kamu sendiri juga begitu. Iya tidak"" tambahnya.
Yan terbahak. "Ternyata menghadapi pencuri lain
dengan maha-siswa, ya Pak"" sindir Ira.
"Tentu saja! Sebadung-badungnya mahasiswa, tentu dia masih punya rasa takut pada dosen. Khawatir tidak dinaikkan," kata Dede. "Tapi penjahat" Biar dosen, dia tidak akan peduli!"
Yan dan Ira terpingkal-pingkal.
"Bu, tolong. Bu. Aku sedang digarap anak-anak," Pak Minta pura-pura mengeluh pada istrinya.
Kemudian Pak Minta berkata dengan suara serius, Tapi, siapa pun rasanya tidak akan menduga bahwa Pak Ukir Maz mencuri. Penampilannya begitu meyakinkan. Sampai-sampai tadi aku bimbang. Jangan-jangan analisa kalian keliru. Bagaimana kalau bukan Pak Ukir" Bagaimana kalau dia menuntut, karena nama baiknya dirugikan""
"Ahh, tidak mungkin. Pak!" bantah Yan. "Dalam hal seperti itu kami tidak pernah berlaku gegabah."
"Kami juga tahu bahwa kita tidak boleh menuduh orang seenaknya." sambung Ira.
"Oleh karena itu kami baru berani menunjuk, bila kami sudah benar-benar yakin orang itu pelakunya. Dalam hal seperti itu kami sudah berpengalaman kok," Dede menimpali.
"Yah, asal kalian tidak ngawur dan ceroboh." Pak Minta berdiri. "Lelnan Dipa tidak mungkin kemari malam ini. Sebaiknya kalian segera beristirahat!"
33 Keesokan harinya baru Letnan Dipa muncul. Perwira polisi itu sengaja mampir ke rumah Yan untuk memberi kabar.
"Sudah beres," ujar Letnan Dipa. "Pak Ukir Maz sudah mengakui semua perbuatannya. Tidak meleset dari apa yang kita perkirakan. Siang itu, setelah Nia keluar, ia menyelinap masuk ke ruang kerja Bu Nurman. Maksud kedatangannya adalah untuk meminjam uang kepada Ibu Nurman. Untuk suatu keperluan. Berhubung ceknya di BNI baru bisa dicairkan keesokan harinya. Tetapi itu semua cuma alasan. Kemudian ia mengaku baru kalah taruhan di meja bilyar. Uangnya ludas.
"Namun Bu Nurman sedang tidur. Dan ia melihat arloji di atas meja kerja. Dia pun menyikat arloji itu. Untung, pikirnya. Dia tidak perlu meminjam kepada Bu Nurman. Kalau meminjam kan gengsinya bisa anjlok! Setelah arloji disikatnya, perhatiannya tertumbuk pada map dokumen itu. Iseng-iseng ia membuka map itu. Seketika ia sadar, itu adalah dokumen penting yang pernah diceritakan Bu Nurman kepadanya, ia tahu. uang dalam jumlah besar akan mengalir ke kantungnya, jika ia menjual dokumen itu pada saingan Bu Nurman. Maka ia pun menyikat dokumen itu sekalian.
"Tetapi bagaimana caranya membawa ke luar dengan aman" Di sini aku harus memuji kecermatan analisa Hardian. Ternyata memang benar. Pak Ukir menyembunyikan map itu di dalam sarung bantal kursi baca. Pikirnya, siapa yang mengira bahwa dokumen yang dicari justru tersembunyi di situ" Dia memang cerdik!
"Siang itu juga ia pergi ke Surabaya dan menjual arloji di sana. Keesokan harinya ia datang lagi ke kantor Bu Nurman. Berlagak baru mengetahui tentang pencurian itu. Berlagak ikut prihatin. Dan berjanji akan membantu Ibu Nurman untuk menemukan pencurinya. Setelah itu ia meminta bantal-bantal itu. Dengan alasan untuk kursi baca mini seperti kepunyaan Bu Nurman yang baru ia beli.
"ia sudah mendapatkan semuanya. Petang kemarin, ketika kita datang ke rumahnya, ia sedang akan keluar, ia akan menemui seseorang yang bersedia membeli dokumen itu. Kalian ingat bungkusan tipis yang dibawanya" Ingat" Nah, bungkusan itu berisi dokumen yang kita cari. Rencananya gagal karena dia lebih dulu bisa kita ringkus. Permainan sandiwaranya telah berakhir."
Letnan Dipa mengakhiri kata-katanya. Suasana dalam rumah hening sebentar.
"Apakah Ibu Nurman sudah tahu"" tanya Pak Mintaraga.
"Sudah. Tadi malam saya meneleponnya. Bu Nurman ikut mendengarkan pengakuan Pak Ukir," jawab Letnan Dipa.
"Tentu ia bingung mengetahui perkembangan itu," gumam Yan.
"Apakah Bu Nurman memang mau menikah dengan laki-laki itu"" tanya Bu Mintaraga ingin tahu.
"Ah, tidak kok. Bu Nurman mengatakan pada saya, dia suka pada Pak Ukir. Dia senang berteman dengan laki-laki itu. Tetapi untuk menikah - tidak terpikir olehnya." Letnan Dipa menggerakkan bahunya. "Isyu bahwa ia akan menikah dengan Pak Ukir itu sebenarnya berasal dari dugaan karyawannya sendi-ri. Termasuk Nia."
"Lalu, sela njutnya bagaimana dengan Pak Ukir"" tanya Ira.
"Proses verbalnya sedang dibuat. Kurasa dia harus diajukan ke pengadilan." Pak Letnan melanjutkan. "Orang seperti dia harus diberi pelajaran. Supaya dia tahu bahwa mencuri, mengakali, menipu itu ada risikonya. Risiko yang sangat pahit!"
Ira menghela napas. "Oh ya, De, aku sempat menceritakan soal kaca matamu pada Bu Nurman," kata Letnan Dipa sambil tertawa. "Bu Nurman berjanji akan membelikanmu kaca mata baru."
"Yihuu!" Dede bersorak senang.
"Kemudian aku juga harus menyampaikan undangan Bu Nurman. Nanti malam kita diharapkan datang ke rumahnya. Ada pesta kecil, katanya. Kuharap Bapak dan Ibu Minta mau ikut serta Letnan Dipa mengambil topi polisinya. Lalu dipasangnya topi itu dengan rapi di kepalanya. "Saya permisi dulu."
"Sampai nanti malam. Let!" Yan mewakili teman-temannya.
"Ya, sampai nanti malam!" Lalu Letnan Dipa menjalankan jipnya.
"Kurasa sebaiknya siang ini aku tidak makan. Supaya nanti malam bisa makan lebih banyak... hahahaha!" Dede tertawa mengakak.
-end- Raja Alam Sihir 2 Matemacinta Karya Razy Bintang Argian Misteri Kelompok Penyihir 1
^