Pencarian

Ketika Barongsai Menari 5

Ketika Barongsai Menari Karya V. Lestari Bagian 5


Adam merasa pendapat Kristin itu ada benarnya. Meskipun ada kecemasan, tapi ia sendiri juga ingin tahu.
Maka sore itu setelah mandi ia ke kamar bayi bersama Kristin. Rasanya sudah lama sekali ia tidak masuk ke situ. Padahal cuma dalam hitungan hari. Adam berlindung di belakang Kristin ketika mereka mendekati boks Jason. Kristin merasa geli melihat tingkah Adam, tapi ia pun tegang. Toh ia optimis. Bukankah selama ini ia tidak pernah bosan "membujuk" Jason agar mau menerima Adam"
Jason membuka matanya yang jernih. Ia menatap ibunya.
"Hai, Son! Baru bangun, Sayang"" sapa Kristin. Jason cuma menatap.
314 "Papa datang menjengukmu, Son. Terima Papa, ya" Nih, dia sembunyi di belakang Mama," kata Kristin lagi. Lalu dia menyisih sambil menarik Adam ke sisinya. Maka Adam berhadapan dengan Jason. Keduanya saling menatap. Kristin mengamati dengan penuh ketegangan.
Jason diam saja. Matanya tampak jernih seperti biasa.
Kristin menyikut pelan lengan Adam. "Belai kepalanya," ia berbisik.
Adam mengulurkan tangan. Dengan takut-takut ia menyentuh sebentar kepala Jason, lalu menariknya lagi dengan cepat. Tak ada reaksi apa-apa dari Jason.
Kristin semakin yakin. Ia membungkuk lalu mengangkat Jason dan menggendongnya. Ia mencium Jason. "Kau manis sekali, Son! Terima kasih ya, sayang"" katanya penuh syukur. "Sekarang sama Papa, ya""
Kristin menyodorkan Jason kepada Adam. Sesaat Adam ragu-ragu. Kekhawatiran masih menguasainya. Tapi Kristin mengangguk memberi semangat. Adam mengulurkan tangan, mengambil alih Jason dengan hati-hati. Jason diam. Matanya masih menatap biasa saja. Kristin tersenyum lega.
Akhirnya dia menyerah juga, pikir Adam dengan perasaan senang tak kepalang. Ada rasa menang juga. Mungkin pengaruh dari perkembangan situasi belakangan ini. Dia di pihak yang menang.
Lalu Adam terpaku. Kaget dan kengerian tampak di wajahnya. Lenyap sudah senyum dan kelembutan yang semula diekspresikannya. Tak salahkah matanya"
315 Tak salahkah" Yang ada di tangannya itu bukanlah wajah mungil Jason, melainkan wajah Sonny dengan mata terbelalak!
Adam memekik. Jason pun melengkingkan tangisnya. Lalu dengan gerakan mendadak Adam melempar Jason! Kristin menjerit. Tapi karena ia sudah siap dengan reaksi-reaksi tak terduga, apalagi setelah melihat ekspresi Adam yang aneh, maka ia segera bergerak dengan cepat. Setelah sempat terpaku sejenak ia menggerakkan tubuhnya dengan lentur dan sigap ketika ia melompat dan berhasil menangkap Jason sebelum bayi itu menyentuh lantai! Sambil memeluk Jason ia terduduk di lantai lalu tersedu-sedu.
Adam masih berdiri dengan wajah kaku. Kedua tangannya terangkat seolah siap melakukan perlawanan atas penyerangan terhadapnya.
Kristin memeluk Jason yang masih menangis. Tatapannya tertuju kepada Adam dengan sorot ketakutan. "Kau kenapa, Mas" Kenapaaa..."" tanyanya dengan suara gemetar. Tubuhnya pun gemetaran.
Adam segera sadar. Ia menurunkan tangannya. Tapi ekspresi
horor di wajahnya masih tampak. Ia menatap Kristin dan Jason bergantian lalu mendekat. Kristin beringsut menjauh dan mendekap Jason lebih erat. "Jangan, Mas! Jangan!" serunya ketakutan.
Adam menghentikan langkahnya. Apa yang dilihatnya tadi tak tampak lagi sekarang. Tetapi debaran di jantungnya masih kencang. Setelah lebih tenang, yang terasa adalah kemarahan. "Dasar anak setan!" ia berseru.
Kristin terbelalak. "Apa katamu" Apaaa"" jeritnya. "Anak setan!" ulang Adam lebih keras.
316 "Sadarkah kau... siapa yang kaumaksud"" Kristin gemetar. Sedih, takut, marah, semua menjadi satu.
Adam mengarahkan telunjuknya kepada Jason. Tangis Kristin pun meledak. Jason dalam pelukannya menangis lagi, padahal tadi sudah diam.
"Pergi kau! Keluar!" seru Kristin di sela isak tangisnya.
Adam melemparkan tatap kebencian sekali lagi kepada Kristin dan Jason, lalu melenggang pergi. Ketika membuka pintu kamar, ia memergoki Bi Iyah sedang berdiri di situ. Dengan tersipu Bi Iyah cepat-cepat pergi. Hampir saja Adam membentaknya. Tapi kemudian ia teringat bahwa Bi Iyah loyal kepadanya.
Kemudian ia memutuskan untuk keluar rumah. Ia mengambil kunci mobilnya. Tanpa mengatakan sesuatu kepada Kristin ia pergi. "Bilang Ibu, aku pergi sebentar!" katanya kepada Bi Iyah.
Kristin mencium Jason lalu meletakkannya kembali di boksnya. Anak itu sudah tenang kembali. Kemudian Kristin mengempaskan tubuhnya di atas dipan. Perasaannya hancur luluh. Ia tak bisa memahami bagaimana mungkin Adam setega itu mengatai Jason dengan sebutan mengerikan seperti itu. Benar-benar sakit hatinya.
Sekarang ia benar-benar putus asa. Semula harapannya selangit, lalu harapan itu hampir jadi kenyataan ketika tadi melihat Jason sudah menerima Adam saat dibelai dan kemudian digendong. Lalu begitu saja Adam memekik dan memandang Jason seolah melihat hantu. Tentu saja Jason menangis. Sekarang situasi jadi terbalik. Mulanya Jason yang menolak Adam,
317 sekarang Adam menolak Jason. Bahkan Adam tega melemparkannya bagaikan melempar benda mati. Bagaimana kalau ia tak berhasil menangkap Jason" Anak itu pasti... aduh, ia tak berani membayangkannya!
Barangkali dirinya salah karena telah mendorong Adam. Seandainya ia tidak melakukannya, maka kengerian itu pastilah tidak terjadi. Padahal mereka sudah bertekad untuk memperbaiki dan membina kembali hubungan yang mendingin. Sia-sia semuanya. Bukan saja mereka kembali ke nol, tapi bahkan lebih mundur lagi.
Seharusnya ia bersabar. Tadi Adam sudah segan. Tapi ia memaksa. Inilah akibatnya. Salah diakah" Apa yang salah" Tadi tak ada yang salah. Adam-lah yang salah!
Kristin tersentak. Ia duduk tegak. Lalu memandang berkeliling. "Sonny" Engkaukah yang mengganggu"" katanya pelan. "Ah, pasti engkau! Tapi kenapa" Kau baik, kan""
Terdengar isakan Jason. Kristin tersadar. Apakah Jason pipis atau lapar" Ia mengurus Jason dengan air mata berlinang. Ia bicara sendiri mengeluhkan nasibnya. Tetapi tak ada yang menyahut. Tak ada Sonny. Tak ada siapa-siapa.
Terdengar ketukan di pintu kamarnya yang bersebelahan dengan kamar bayi. "Kris! Kris!" Itu suara Maria.
Kristin cepat-cepat mengeringkan air matanya. Ia merapikan Jason di boksnya.
"Kris! Kau baik-baik saja"" kembali terdengar suara Maria.
318 "Ya, Tante! Masuk saja!" teriak Kristin.
Tak lama kemudian Maria masuk. Kristin memalingkan muka. Tapi Maria keburu melihat wajahnya yang memerah. "Kenapa, Kris" Tadi aku dengar kegaduhan di sini. Lalu kulihat Adam keluar dengan mobilnya. Aku memberanikan diri menjengukmu. Kau tidak apa-apa"" tanya Maria khawatir.
"Tidak apa-apa, Tante." Kristin berusaha gagah.
Maria menatap tidak percaya. "Betul tidak apa-apa" Bukan maksudku ikut campur, Kris. Aku cuma mengkhawatirkan dirimu dan Jason."
Lalu Kristin tak kuasa lagi menahan diri. Ia memeluk Maria dan tersedu-sedu.
Setelah berulang-ulang mempelajari coretan Harun yang ditemukannya, Anwar mengambil keputusan. Bila ayahnya telah melakukan kesalahan, maka ia bertekad akan memperbaiki kesalahan itu. Ia tak boleh menirukan atau mengulangi kesalahan yang sama. Tetapi ia juga ingin membantu ayahnya dengan melanjutkan jerih payahnya yan
g terpaksa ia tinggalkan. Catatan itu dibuat dengan pemikiran mendalam.
Ia bukan cuma bersedih, tapi juga marah dan dendam.
Selesai makan malam bersama orangtuanya, Tom mengangkat telepon yang berdering. Jantungnya berdebar lebih kencang ketika si penelepon memperkenalkan dirinya sebagai Anwar, putra Harun. Anwar mengatakan, ia memperoleh nomor telepon ini dari Henry. Ia ingin bertemu dan berbicara malam itu juga, kalau Tom tidak keberatan. Masalahnya, ia
319 ingin kasus ayahnya selesai secepat mungkin. Supaya nanti malam bisa enak tidur, katanya sambil tertawa. Tentu saja Tom bersedia. Ia sendiri menghendaki hal yang sama.
Kedua orangtuanya ikut merasakan ketegangan.
"Jadi masih ada masalah, ya"" keluh Lien.
"Apa kematian Harun bisa melibatkan kita"" Bun Liong cemas.
"Jangan khawatir dulu. Kita kan belum bertemu dengannya," hibur Tom. "Mungkin ada informasi baru yang diceritakan Harun kepada anaknya. Sesuatu yang dianggapnya penting untuk kita ketahui juga. Kalau ia menganggap kita terlibat atau bersalah, apa salahnya""
Ketiganya merasa gelisah menunggu kedatangan Anwar.
Maria menemani Kristin selama beberapa waktu.
"Apa saya salah, Tante"" tanya Kristin.
"Menurutku tidak. Adam yang salah. Apa dia mengatakan alasannya, kenapa ia sampai melempar Jason""
"Tidak. Tapi dia memandang Jason seperti melihat hantu. Padahal sebelumnya tidak."
"Hantu"" Maria melihat berkeliling seolah ingin mencari pembuktian.
"Ya. Matanya melotot. Lalu dia memekik kaget. Sesudah itu dia melempar Jason."
"Begitu"" "Ya. Aneh, kan""
Kristin menyatakannya dengan serius. Meskipun ia sudah menduga apa yang sebenarnya dilihat Adam
320 hingga ia begitu kaget, tapi ia tidak mengerti kenapa Adam bisa ikut "melihat" seperti dirinya. Bukankah hanya orang yang punya kepekaan tertentu saja yang punya kemampuan seperti itu, seperti yang diyakininya selama ini" Apalagi sebelumnya Adam tidak pernah memperlihatkan gejala seperti itu. Kalau memang iya, sampai menimbulkan ketakutan, kenapa Adam bertahan tinggal di situ" Apalagi rumah itu pilihan Adam sendiri, dan dia tahu betul riwayatnya. Selama ini ia menilai Adam bermental kuat dan memiliki keberanian.
Tetapi Kristin bertahan untuk tidak menceritakan semua hal itu kepada Maria, meskipun ia merasakan kedekatan bagaikan kepada ibu sendiri. Yang tahu hanyalah Tom. Biarlah tetap Tom seorang yang tahu.
"Aneh memang. Tapi kau tidak takut, kan""
"Tidak, Tante," Kristin berkata dengan sesungguhnya. Selama ini ia yakin, Sonny adalah "sahabat". Karena itu ia pasti akan melindunginya. Bukan mencelakakan. Sayang ia tak bisa menjelaskannya kepada Maria.
"Syukurlah. Itu yang penting. Kau harus menjaga Jason baik-baik."
"Tentu saja, Tante. Dia adalah segalanya bagi saya."
Maria menepuk Kristin, memberinya semangat. Sebenarnya ia merasa itu merupakan saat yang baik untuk menanyakan semua keanehan yang pernah diperlihatkan Kristin sebelumnya. Tapi ia tidak tega. Ia juga khawatir kalau pertanyaannya nanti justru membangkitkan ketakutan Kristin.
"Jaga diri baik-baik ya, Kris"" pesan Maria sekali
321 lagi sebelum pulang. "Kalau ada apa-apa, berteriaklah. Tante dan Oom akan datang secepatnya!" "Terima kasih, Tante."
Sesudah Maria pulang, Kristin meraih telepon. Ia sudah memutuskan. Demi Jason, ia membutuhkan bantuan orang lain. Orangtuanya sendiri jauh dan ia tak punya teman atau kerabat dekat.
Telepon di rumah Tom berdering, membuat orang-orang yang sedang gelisah terlonjak kaget. Tom mengangkatnya. Wajahnya tampak surprise mendengar suara Kristin. Apalagi Kristin bicara dalam bahasa Inggris. Ia tak menyangka bahwa Kristin cukup fasih berbahasa Inggris. Tapi ia segera memahami bahwa Kristin bukanlah sedang membanggakan diri. Pasti ada alasannya kenapa Kristin menggunakan bahasa itu.
Tom terkejut mendengar cerita Kristin yang menggegerkan. Tengkuknya meremang membayangkan cedera yang bisa menimpa Jason seandainya tak terselamatkan. Lalu ia sadar kedua orangtuanya tekun mendengarkan omongannya, berusaha memahami apa yang tengah dibicarakan. Tentu mereka mengamati ekspresinya yang risau.
Setelah telepon diletakkan Tom menceritakan apa
yang telah disampaikan Kristin. Lien memekik kaget, sedang Bun Liong menggeleng-gelengkan kepala.
"Jadi apa sebabnya Adam berlaku seperti itu"" Lien tak habis pikir.
"Entahlah. Kristin sendiri tak mengerti." Tom tak menceritakan kesimpulan Kristin, sesuai perjanjian mereka sebelumnya. Bagian yang satu itu biarlah dipahami dirinya seorang saja.
322 "Jangan-jangan..." Lien tak melanjutkan.
"Jangan-jangan apa, Ma"" tanya Bun Liong.
"Di rumah itu ada Sonny."
"Ha" Yang bener, Ma," bantah Bun Liong.
"Itu sebabnya Kristin memberi nama Jason pada anaknya."
"Tapi Kristin tidak terganggu di situ."
"Sonny tidak ada masalah dengan Kristin. Yang tidak disukainya adalah Adam. Lihat saja sikap Jason pada Adam, padahal dia kan bapaknya sendiri," Lien menyimpulkan.
Tom diam saja. Ia cuma menyimak. Mungkinkah ibunya benar"
Mereka menyambut kedatangan Anwar dengan penuh keramahan. Sebelumnya rasa belasungkawa disampaikan dulu. Lalu mereka duduk berhadapan dengan sikap canggung dan juga tegang. Dan seperti biasanya tata krama, mereka berbasa-basi lebih dulu. Ada kata-kata pendahuluan sebelum tiba ke masalah pokok yang sebenarnya mau dibicarakan.
Lalu Anwar merogoh sakunya dan mengeluarkan amplop berisi uang yang ditemukannya di dalam lemari Harun. Amplop itu diletakkannya di atas meja.
"Saya bermaksud mengembalikan uang yang dulu diminta Bapak kepada Pak Bun. Tapi jumlah yang saya temukan tinggal tiga setengah juta."
Ketiga tuan rumah terperangah kaget. "Lho, kok dikembalikan"" tanya Bun Liong. "Itu ikhlas saya berikan kok, War. Jangan dikembalikan."
"Tidak, Pak," sahut Anwar dengan penuh kepastian.
323 "Bapak telah melakukan kesalahan. Tidak seharusnya ia minta imbalan untuk barang jarahan. Bagi saya itu haram. Memang ini uang Bapak. Dia yang memintanya. Tapi karena saya anaknya dan saya pewarisnya, maka sekarang saya berhak untuk menentukan. Saya berterima kasih untuk keikhlasan Pak Bun. Maafkan saya karena saya tak bisa menerimanya."
Anwar menangkupkan kedua telapak tangannya, lalu didekatkan ke dada. Ia tampak tulus hingga tuan rumah terharu. Tom menganggukkan kepala kepada ayahnya sebagai isyarat.
"Baiklah," kata Bun Liong. "Kami juga berterima kasih. Pak Harun patut bangga."
Mata Anwar berkaca-kaca. Ia juga bangga akan dirinya sendiri. Di zaman yang susah ini pastilah berat melepas uang tiga setengah juta rupiah yang sudah ada di tangan, bahkan sudah ikhlas diberikan. "Masih ada lagi yang mau saya berikan," katanya, lalu merogoh saku lagi. Kali ini ia mengeluarkan kertas coretan Harun yang terlipat. Ia membuka lipatannya. "Ini hasil analisa Bapak sebelum meninggal. Buat Pak Bun sekeluarga pasti berguna. Saya sudah mempelajarinya. Kira-kira saya memahami. Tapi saya pikir, saya tidak berhak ikut-ikutan. Jadi saya serahkan saja kepada Pak Bun. Atau Pak Tom." Anwar menyodorkan kertas itu kepada Tom yang duduk berdekatan dengannya.
Tom membacanya sebentar. Sejenak ekspresinya tampak kelam. Kemudian ia memandang Anwar. "Saya tidak tahu bagaimana saya harus berterima kasih kepada Pak Anwar. Ini amat sangat berharga buat kami. Pak Harun hebat sekali."
324 Bun Liong mengulurkan tangannya dengan tak sabar. Ia juga ingin tahu apa yang ada pada kertas itu. Tom menyerahkan kertas itu kepada ayahnya. Lien pindah duduk ke sisi suaminya, ikut membaca. Usai membaca keduanya berpandangan. "Si Adam!" jerit Lien sambil melempar kertas itu, seolah itu benda yang mengerikan. Jatuh ke lantai. Tom memungutnya, melipatnya dengan hati-hati, lalu memasukkannya ke dalam sakunya. Ia ingin mempelajarinya lagi.
"Jangan menuduh dulu, Ma. Jangan," cegah Bun Liong. "Ingat. Menuduh tanpa bukti itu fitnah."
"Ya. Itu baru kesimpulan," Anwar membenarkan. "Saya kenal Pak Sonny. Saya ikut berduka atas kejadian itu. Tapi saya hanya bisa membantu sampai di sini."
"Oh, bantuanmu ini tak ternilai, War!" seru Bun Liong. Sesaat tatapannya tertuju kepada amplop di meja. Sebelum tangannya bergerak ke situ, Anwar menggoyangkan tangannya. "Jangan, Pak. Apa yang saya lakukan itu sewajarnya saja. Harusnya memang begitu. Apa gunanya kertas itu saya simpan""
"Terima kasih, War," cuma it
u yang bisa diucapkan Bun Liong.
Kemudian Anwar pamitan. "Boleh saya minta sesuatu, Pak"" tanyanya sebelum berlalu. "Tentu saja boleh."
"Janganlah sebut nama saya kepada Adam. Saya tak ingin berhubungan lagi dengannya." "Oh, tentu. Kami berjanji, War." Janji itu memang harus ditepati.
Tom memikirkan Kristin. Ia tak merasa puas dengan hanya menelepon. Meskipun Kristin sendiri mengata-
325 kan bahwa ia baik-baik saja, tapi Tom ingin melihatnya dengan mata kepala sendiri. Terutama Jason. Benarkah dia tidak apa-apa" Sebagai seorang dokter ia bisa memeriksa dengan saksama.
Sebelum berangkat ia menelepon dulu. Ternyata Adam belum pulang. Ia menganggapnya sebagai kesempatan yang baik. Orangtuanya mendukung niatnya. Mereka pun menyayangi Kristin dan Jason. Dan membenci Adam! Tapi mereka sepakat untuk tidak menceritakan kunjungan Anwar itu kepada Maria dan Henry. Setidaknya untuk sementara. Hal itu berhubungan dengan janji mereka kepada Anwar.
Kristin sudah mempersiapkan Jason di ruang depan. Ia bersyukur atas kunjungan Tom, yang dianggapnya sebagai perhatian. Kepada Bi Iyah ia mengatakan bahwa Tom seorang dokter yang akan memeriksa Jason.
Dengan stetoskop lama miliknya yang disimpan ayahnya, Tom memeriksa Jason. Ia menyimpulkan Jason sehat-sehat saja. Apalagi anak itu sendiri memang tenang. Matanya yang jernih itu menatapnya sambil berkejap-kejap. Tom tersenyum. Betapa ia menyukai anak itu. Terpikir, bila kelak ia kembali ke Amerika pasti ia akan merasa kehilangan. Memang ia bisa kembali lagi untuk menjenguk. Tapi ketika itu terjadi tentunya Jason sudah lebih besar.
Kristin mengamati keduanya dengan perasaan campur aduk. Lalu Tom menoleh kepadanya. Mereka berpandangan sejenak. Aneh, rasanya seperti magnit. Tatapan mereka bertautan tak mau lepas. Lalu mereka tersenyum. Kehangatan pun terasa merebak memasuki seluruh pori-pori, terus ke dalam mengikuti aliran
326 darah ke mana-mana. Tom melupakan nestapanya. Kristin terhibur duka laranya. Tanpa sadar Tom mengulurkan tangan lalu meraih tangan Kristin yang terletak di pinggiran kereta bayi. Kristin menyambut. Keduanya saling menggenggam erat dengan pandang yang terus bertaut.
Tetapi semua itu berlangsung cuma sekejap. Jason kembali jadi pusat perhatian.
"Untung dia punya ibu yang sigap," puji Tom.
Kristin tersenyum, bangga oleh pujian itu.
"Kau mau ke rumah sebelah"" tanya Kristin kemudian.
"Kukira sebaiknya tidak. Sudah malam. Aku juga tak bisa lama-lama. Kalau Adam pulang, dia bisa salah paham."
Kristin melepas kepergian Tom dengan janji untuk selalu memberi kabar mengenai perkembangan situasi.
Ketika melangkah menuju kereta untuk membawa Jason kembali ke kamarnya, Kristin melihat kertas terlipat di kolong kereta. Ia memungutnya lalu mengamati. Pada satu sisi kertas itu merupakan sebuah brosur yang warnanya berlepotan, hasil karya cetakan yang salah. Tapi pada sisi di baliknya terdapat coretan-coretan tulisan tangan dengan bolpen. Ia melihat nama Adam tertulis di situ. Perasaannya tak enak. Ia cepat melipat kembali kertas itu, lalu memasukkannya ke dalam saku celana pendeknya.
Sambil menaiki tangga dan menggendong Jason ia memikirkannya. Pasti kertas itu milik Tom, yang terjatuh dari sakunya ketika ia menarik stetoskop dari dalamnya. Bila Tom menganggapnya penting
327 pasti ia akan kembali lagi untuk mengambilnya. Atau setidaknya menelepon untuk memberitahu.
Tapi sebelum itu terjadi ia akan mempelajarinya dulu.
Ketika turun dari taksi di depan rumahnya, Tom mengambil dompetnya. Saat itulah ia menyadari kertas itu sudah tak ada lagi di kedua saku celananya. Yang masih ada hanya dompet dan stetoskopnya. Ia memarahi diri sendiri. Begitulah kalau tak bisa menghilangkan kebiasaan memasukkan segala macam barang ke dalam saku. Ia lebih terkejut lagi ketika terpikir akan kemungkinan bahwa kertas itu terjatuh di rumah Kristin. Mungkin saat ia mengeluarkan stetoskop. Ia memang tak ingat di saku sebelah mana kertas itu berada. Maka ia masuk kembali ke dalam taksi dan menyuruh sopir kembali ke kawasan Pantai Nyiur Melambai.
Kristin mempelajari tulisan pada kertas yang ditemukannya itu. Ia dudu
k di dipan di kamar bayi. Jason tidur dengan tenang.
Tidak sukar baginya untuk menyimpulkan bahwa coretan itu dibuat oleh Harun. Siapa lagi yang mengalami hal-hal yang tertulis di situ selain dia" Ia pun sudah tahu cukup banyak mengenai kisah itu. Catatan Harun sepertinya tinggal melengkapi saja. Keterlibatan Adam seperti yang tertulis membuatnya terpukul. Apakah kesimpulan yang muncul bisa menjelaskan kekacauan yang terjadi di rumah ini" Apakah pilihan Adam akan rumah ini merupakan suatu kesalahan besar" Atau bisa disebut sebagai kebodohan"
328 Perasaan Kristin tertekan sekali. Terlalu banyak yang harus ditanggung dalam waktu singkat. Ia ingin menangis lagi seperti tadi. Ia mengerjapkan mata tapi tak ada air mata yang keluar. Entah karena sudah habis atau dorongannya kurang. Pelan-pelan ia melipat kembali kertas itu sesuai garis semula. Ia tidak tahu dari mana Tom mendapatkan kertas itu, mengingat Harun sudah tiada. Tapi ia tidak ingin tahu. Yang penting baginya adalah isinya. Jelas Tom baru saja mendapatkannya karena masih berada dalam sakunya. Kenapa Tom tidak menceritakan kepadanya" Ah, pasti Tom bermaksud baik. Dan ternyata Tom juga tidak pergi ke rumah sebelah. Padahal biasanya antara keluarga Tan dan keluarga Lie selalu saling tukar informasi. Maria pun sepertinya belum tahu.
Kalau Tom menganggapnya penting ia akan kembali lagi sesegera mungkin.
Perkiraannya benar. Bahkan sebelum ia beranjak dari tempatnya ketukan, pada pintu kamar terdengar, disusul suara Bi Iyah, "Buuu! Dokter yang tadi balik lagi!"
Tom menatap Kristin dengan cemas. Sudah dibaca dan dipelajarinyakah coretan pada kertas itu" Tetapi Kristin tampak cerah. Sama seperti saat ia meninggalkannya tadi. Kristin menyodorkan lipatan kertas itu kepadanya. Suaranya biasa-biasa saja. "Kau pasti kembali untuk mengambil ini, bukan""
Tom menerima kertas itu dan buru-buru memasukkannya ke dalam sakunya. "Apa kau... kau membacanya"" tanyanya, tak bisa menyembunyikan kekhawatiran dalam suaranya.
329 Kristin tertawa. "Wah, apa ya isinya" Rahasia"" ia balas bertanya.
Tom tertawa juga. Ia lega. "Bukan sih."
"Kalau gitu, lihat dong!" Kristin mengulurkan tangannya. Isyarat meminta. Tapi Tom menangkap tangannya dan memegangnya selama beberapa saat. "Nggak usahlah, Kris! Kasihan. Nanti kau jadi pusing."
"Oh ya" Tujuh keliling begitu""
"Ya. Kira-kira begitu. Padahal kau lagi pusing, kan""
"Tak apa. Kau dokter. Bisa memberi obat." "Wah. Kayaknya resepku tak berlaku di sini." Mereka tertawa ketika menuju ke pintu. Taksinya menunggu.
Tom pergi dengan perasaan lega. Tetapi Kristin menyimpan bebannya.
Malam itu Adam tidak pulang.
*** Esoknya, Adam pulang pagi-pagi sekitar pukul enam. Tanpa mengatakan apa-apa kepada Kristin yang menyambutnya ia segera masuk ke kamar mandi, berpakaian, dan kemudian sarapan sambil membaca koran. Ia bersikap seolah tak ada apa-apa.
Kristin ikut sarapan. Ia pun tidak bertanya apa-apa. Ia sabar menunggu. Setelah semalaman bergulat dengan perasaannya, ia berhasil mengatasi dan memutuskan untuk bersikap pasif sementara waktu. Kepergian Adam semalam ada baiknya. Ia bisa berpikir tenang.
330 Sambil makan ia pun masih memikirkan hal itu. Aneh juga rasanya bahwa ia bisa bersikap dingin dalam situasi yang mestinya membangkitkan amarah itu. Di mana tanggung jawab Adam sebagai suami dan ayah" Kalau dulu-dulu mana mungkin ia bisa bersabar seperti itu. Pasti ia segera saja meledak pada kesempatan pertama. Apalagi sikap Adam tampak begitu melecehkan. Dia seolah dianggap angin. Tapi sekarang perlakuan itu tidak mengusik emosinya. Ada masalah yang lebih besar.
Dari balik koran yang dibacanya sebentar-sebentar Adam mengintip ke arah Kristin. Ia melihat Kristin makan pelan-pelan lalu menghirup susunya pelan-pelan juga. Tatapan Kristin ke meja, tanpa beralih ke tempat lain. Melihat kepadanya pun tidak. Ia heran juga kenapa Kristin bisa begitu diam. Bahkan tenang. Padahal bila seorang suami pergi semalaman tanpa memberitahu apa-apa, mestinya merupakan kesalahan besar di mata istrinya. Rasa herannya berubah menjadi curiga. Bila seseorang tidak bersikap seperti biasanya
, pastilah ada sesuatu yang luar biasa.
Selesai makan, Kristin segera naik ke loteng untuk mengurus Jason. Adam sudah pergi lebih dulu ke ruang duduk membawa korannya. Tapi setelah melihat Kristin pergi, Adam memanggil Bi Iyah. Perempuan itu memang sudah menunggu bagai abdi yang setia. Sejak awal bekerja dan punya dua majikan, ia sudah tahu kelak akan ada kemungkinan di mana ia harus memilih kepada siapa kesetiaannya harus ditujukan. Ia memutuskan akan berpihak kepada yang punya uang!
Kristin menyusui Jason sambil bersenandung pelan
331 mengikuti irama musik yang dipasang. Ia ingin menguraikan kekusutan pikirannya supaya air susunya tetap lancar. Konon kelancaran air susu juga bisa dipengaruhi secara psikologis. Jadi pada saat itu ia berusaha tidak memikirkan Adam. Segala sesuatu mengenai Adam disingkirkannya dari pikirannya. Tetapi rasanya sulit untuk mengosongkan pikiran sama sekali. Maka ia memikirkan yang lain. Sesuatu yang menyenangkan dan menimbulkan kedamaian di hati. Tom!
Ia teringat kehangatan sentuhan Tom. Genggamannya yang erat dan akrab itu terasa melindungi. Belum pernah ia merasa begitu yakin akan ketulusan seorang lelaki seperti yang ditemukannya pada diri Tom. Bahkan Adam... Oh, tidak. Jangan berpikir tentang Adam. Pada Tom saja. Itu lebih menyenangkan. Dan lebih aman!
Kenapa Tom tahan menduda selama bertahun-tahun" Tak bisa menghapus trauma atau dendam kepada perempuan" Tapi sikap Tom kepadanya, yang begitu ramah dan hangat, tidak mengindikasikan hal itu. Lelaki yang membenci perempuan pasti bersikap dingin dan tak mau dekat-dekat, kecuali kalau terpaksa. Tiba-tiba Kristin merasa khawatir jangan-jangan Tom memiliki teman kumpul kebo di Amerika. Orang sana biasa begitu. Ah, apa pedulinya tentang hal itu" Yang penting perhatian Tom sangat menyenangkan.
Tahu-tahu Jason telah selesai dan tertidur kekenyangan. Entah sejak kapan. Kristin mengembalikan pikirannya yang mengembara sambil tersenyum. Ternyata Jason tidak merasa kurang. Ia tidak perlu mencemaskan air susunya.
332 Kristin tidak menyadari, Adam mengamatinya dari celah pintu yang terpentang.
Adam yakin, ekspresi Kristin yang melamun sambil tersenyum-senyum itu pasti bukan karena memikirkan dirinya. Apa yang telah ia lakukan bukanlah sesuatu yang pantas mengundang senyum keceriaan di wajah Kristin. Ia tahu siapa yang ada di benak Kristin. Laporan yang diberikan Bi Iyah kepadanya barusan cocok dengan apa yang disimpulkannya.
Adam dibakar api cemburu. Kristin harus menyadari dia bukanlah suami yang bisa diperlakukan seenaknya. Kalau ia membiarkannya, maka lama-kelamaan ia akan diinjak. Tapi masih ada kesadaran untuk tidak dikuasai emosi. Ia sudah belajar, Kristin bukanlah orang yang bisa ditaklukkan dengan deraan fisik. Sebaliknya, kekerasan cuma membuat Kristin semakin menentang dan melawan.
Kristin terkejut mendapati Adam sudah berada di kamar tidur mereka, yang bersebelahan dengan kamar bayi.
"Mau apa Tom datang ke sini semalam" Kau memanggilnya mentang-mentang aku tidak ada, ya"" Adam mulai. Ternyata sesudah memulai, emosinya pun bekerja.
"Ya. Aku memanggilnya karena dia dokter. Aku takut Jason kenapa-kenapa karena dilempar olehmu."
"Oh, begitu" Memangnya tak ada dokter lain" Dia kan bukan dokter anak."
"Tapi dia bisa dipanggil."
"Aku tidak percaya! Kok mesra-mesraan""
333 "Apa"!" Kristin melotot. "Siapa yang mesra-mesraan""
"Kalian berdua. Bi Iyah saksi mata. Lupa, ya"" "Apa katanya""
"Pokoknya, apa yang dia lihat adalah apa yang kalian lakukan." Adam mulai sulit mengendalikan emosinya.
"Apa yang dia katakan belum tentu sama dengan apa yang dia lihat. Kau sampai hati menyuruh pembantu memata-matai istri."
"Itu bukan memata-matai namanya. Ah, terserahlah kau mau bilang apa. Awas saja! Jangan nyeleweng! Atau sudah"" Muka Adam memerah, membayangkan tempat di mana mata Bi Iyah tak bisa menjangkau. Itu adalah rumah Maria. Bila Kristin ke sana lalu Tom pun ke sana, maka...
Kristin menjadi takut. Di matanya Adam sudah menjadi orang yang berbahaya. Maka ia diam, berusaha untuk tidak memancing emosi Adam. Tapi sikap diamnya justru membuat Adam semakin marah.
"Bila kau diam, berarti kau mengaku!" ia berseru.
"Aku tidak nyeleweng dengan siapa pun!"
"Lantas kenapa kau dan dia begitu akrab" Pandang-pandangan. Pegang-pegang tangan. Bahkan kaubiarkan dia mendorong kereta si Jason. Sikapnya kepada anak itu juga sudah seperti dialah ayah kandungnya. Apa yang kelihatan itu tidak bisa membohongi orang!"
Kristin diam lagi. Ia menyadari kesalahannya telah bertindak impulsif. Tapi ia tidak menyesal. Yang disesalinya hanyalah ia membiarkan Bi Iyah melihatnya.
334 "Kertas apa yang kauberikan kepadanya""
"Itu miliknya sendiri yang terjatuh dari sakunya waktu mengambil stetoskop."
"Apa isinya" Kau membacanya, bukan" Kau kaget membacanya, bukan" Lalu kau membawanya ke kamar. Kemudian Tom datang lagi. Dia kelihatan takut kalau-kalau kau membacanya. Tapi kau bilang tidak membacanya. Jelas bohong, kan""
Kristin tertegun. Wajahnya memucat tanpa dikehendakinya. Tiba-tiba saja ia takut kalau-kalau Adam bisa menebak apa sesungguhnya yang telah dibacanya itu. Beberapa saat kemudian baru ia sadar bahwa hal itu tidak mungkin. Adam boleh saja mencurigai, tapi ia takkan tahu apa yang ia pikirkan. Bahkan Adam pasti takkan menyangka sedikit pun mengenai apa yang telah dibacanya itu. Dalam hal itu Bi Iyah tidak tahu apa-apa.
"Lihat! Mukamu pucat! Nah, memang ada sesuatu, kan""
"Kalaupun memang ada sesuatu, aku tidak mau bicara! Kau tidak berhak memaksaku bicara!"
"Oh ya" Mungkin aku tidak berhak, tapi aku bisa."
Kristin diam. Rasa takut mulai menguasainya kembali.
Adam menatap arlojinya. "Masih ada waktu," katanya. Lalu ia menatap Kristin dengan ekspresi mencemooh. "Pakai bahasa Inggris segala, ya" Itu malah semakin kentara bahwa kau menyembunyikan ke-busukanmu. Supaya nggak dimengerti Bi Iyah, kan""
Kristin masih tak menyahut. Sebenarnya ia ingin keluar kamar menghindar dari Adam, tetapi ia tak
335 mau meninggalkan Jason. Bagaimana kalau Jason diapa-apakan oleh Adam" Sudah terbukti Adam sangat tega.
"Tak mau menjawab, ya" Berarti kau memang salah!"
"Bagimu, semuanya selalu salah! Aku tidak mengerti kenapa kau jadi berubah begini."
"Kau tidak mengerti" Sejak kelahiran anak itu." Adam menunjuk kamar bayi. "Semua menjadi kacau!"
"Kau menyalahkan Jason""
"Ya! Dia biang kekacauan!"
Kristin tertegun. Ia menganggap, tuduhan itu sangat keji. Tetapi dengan demikian menjadi semakin jelas baginya. "Kalau kau tidak menghendaki kami berdua di rumah ini..."
Belum selesai Kristin bicara, Adam sudah tertawa. "Siapa bilang begitu, Sayang" Aku tidak memintamu pergi. Kau kan istriku."
"Baiklah. Kalau kau tidak menginginkan aku pergi, suruhlah dia pergi!"
"Dia siapa""
"Bi Iyah!" Adam tertawa keras. "Lantas siapa yang akan membantumu""
"Aku tidak perlu dibantu!"
"Oh, tidak. Aku kasihan sama kau. Bi Iyah tidak akan pergi."
"Kalau begitu biar saja aku pergi sama Jason. Itu lebih baik daripada kita ribut melulu."
"Kau mau ke mana"" tanya Adam dengan nada mencemooh.
336 "Aku mau pulang ke Semarang!"
"Dan membebani orangtuamu""
Kristin tidak menyahut. Gagasan itu memang terlalu mendadak. Ia spontan saja bicara karena dorongan emosi. Sesungguhnya situasi tidak memungkinkan baginya untuk menumpang di rumah orangtuanya, apalagi dengan membawa Jason. Bukan saja Jason masih terlalu kecil untuk dibawa pergi jauh, tapi menurut kabar terakhir yang diterimanya dari ibunya, ayahnya mengidap penyakit paru-paru yang gampang menular. Di samping itu sekarang ini ia bergantung sepenuhnya kepada Adam. Ia sudah berhenti bekerja atas permintaan Adam, yang ia setujui sepenuhnya karena ingin memberi seluruh waktunya kepada Jason. Kelak ia akan bekerja lagi, bila Jason sudah berusia lebih dari lima tahun.
Ia bisa saja pindah ke rumah kontrakan dengan menggunakan tabungan pribadinya bila motivasinya cuma untuk menjauh dari Adam. Tapi untuk seberapa lama" Pergi ke mana pun Adam masih tetap suami dan ayah Jason. Ia takut kepada Adam!
Seseorang yang di masa lalu mampu melakukan kekejian, kemungkinan bisa mengulanginya di masa mendatang. Itu disebabkan karena perasaan teganya kepada orang lain sudah tumpul akibat pengalaman sebelumnya. Semakin sering sebuah
pisau digunakan untuk memotong, semakin cepat tumpulnya. Orang yang tak pernah memukul akan berpikir seribu kali bila keinginan itu muncul. Tetapi orang yang pernah memukul tak perlu berpikir lagi untuk mengulanginya. Dan orang yang pernah membunuh... Ah, bukankah ada cinta yang bisa jadi penghalang" Tetapi ia sendiri
337 mengalami, bahwa cinta itu memiliki kadar yang tidak pasti karena ketergantungannya pada banyak hal. Ada kalanya cinta itu terasa selangit. Luar biasa. Tetapi anehnya bisa menjadi benci di saat yang lain!
Kristin masuk ke kamar bayi dan menutup pintunya. Pada saat konflik dengan Adam, cuma tempat itulah yang bisa memberinya rasa aman. Dia berdua Jason. Ia baru akan keluar bila Adam sudah pergi.
Sebelum pergi ke kantor, Adam berpesan kepada Bi Iyah, agar bertahan di rumah itu bila Kristin menyuruhnya pergi. Bukan Kristin yang menggajinya. Tentu saja Bi Iyah setuju. Dia memang tak ingin pergi.
Sebelum mengeluarkan mobilnya ke jalan, Adam baru menyadari ia belum mengenakan dasi. Biasanya Kristin tak pernah lupa menyediakan perangkat pakaiannya untuk ke kantor. Dengan jengkel ia bergegas kembali masuk rumah dan meninggalkan mobilnya dalam keadaan hidup. Bi Iyah yang menunggui.
Setibanya di depan kamar tiba-tiba muncul rasa iseng. Ia tahu tadi Kristin masuk ke kamar bayi dan akan menunggu sampai ia pergi baru keluar. Bila ia tiba-tiba berada di kamar tanpa suara, tentulah Kristin akan kaget sekali. Pelan-pelan ia membuka pintu lalu masuk setelah sebelumnya melepas sepatu di depan pintu.
Tetapi Kristin masih berada di dalam kamar bayi. Pintunya masih tertutup. Terdengar suara ocehan Kristin. Pasti bicara kepada Jason. Lama-lama ia bisa sinting, pikir Adam. Bayi yang belum mengerti apa-apa itu diajak bicara.
338 Adam berindap-indap ke depan pintu kamar bayi. Di situ ia menguping. Suara Kristin memang samar-samar, tapi masih bisa terdengar.
"Kenapa Papa begitu ya, Son" Mama sungguh tidak ingin punya kesimpulan begitu. Sungguh tidak ingin. Tapi kenapa kesimpulan seperti itu muncul" Apa yang telah dilakukan Papa kepada Sonny" Membunuhnya" Ah, barangkali cuma membuatnya pingsan. Masa sih dia sekejam itu, ya""
Adam terkejut bukan kepalang. Rasanya seperti mendapat tamparan keras sekali. Mukanya pucat dan badannya terasa dingin. Ia syok. Lalu bulu romanya berdiri ketika mendengar isakan Jason. Tiba-tiba isak tangis bayi itu berubah menjadi rintih kesakitan Sonny! Adam berlari keluar kamar.
Kristin sadar, tak ada gunanya bersikap emosional dengan mengusir Bi Iyah, walaupun ia sangat ingin melakukannya. Ia harus menempuh cara lain untuk keluar dari kemelut itu tanpa melakukan sesuatu yang sudah disadari kesia-siaannya. Berpikirlah dengan kepala dingin. Demi dirinya sendiri dan tentu saja demi Jason. Setakut-takutnya kepada Adam, ia tidak boleh memperlihatkannya secara berlebihan.
Saat itu ia membutuhkan udara segar. Maka ia mendorong kereta Jason ke rumah sebelah. Sebelum pergi ia berkata kepada Bi Iyah, "Bi, aku ke sebelah. Jadi Bibi nggak usah melongok keluar untuk melihat sendiri."
Bi Iyah tersipu memalingkan muka. Ia cuma meng-iyakan dengan suara lirih. Tapi memutuskan untuk tidak perlu merasa malu. Semuanya toh sudah jelas.
339 Ia cuma menjalankan perintah majikan. Untuk itulah ia dipekerjakan.
Setelah Kristin pergi, Bi Iyah ke dapur lalu membuat kopi susu untuk dirinya sendiri. Ia menikmatinya bersama kue kering dalam setoples yang biasanya jadi camilan majikannya. Ia perlu juga menghibur diri. Mendengarkan pertengkaran demi pertengkaran yang tak ia pahami ujung-pangkalnya membuatnya ikut stres.
340 XI Jakarta, pertengahan bulan Juli.
Atas desakan Debbie, pada hari Minggu pagi Vivian menelepon untuk mengajak Tom berekreasi ke Taman Impian Jaya Ancol. Ke tempat favorit Debbie, yaitu Sea World. Ternyata Tom mau, dan itu membuat Debbie senang bukan kepalang. Mereka pergi dengan mobil yang dikendarai Vivian.
Ketika Debbie tak mendengar, Vivian mengatakan pada mulanya ia pesimis Tom mau ikut mereka. Sudah beberapa hari sejak pertemuan pertama ia tak memberi kabar atau membuat janji bertemu seperti yang disepakati
semula. Tom menceritakan kesibukannya mengunjungi sanak keluarga. Tapi Tom tidak berminat menceritakan kasus yang membuat keluarganya gempar. Tentu Viv tahu peristiwa tragis yang menimpa Sonny. Tapi Tom tidak menginginkan simpati Viv dalam kasus itu.
Vivian memahami kesibukan Tom. Tapi sesungguhnya ia juga khawatir kalau-kalau Tom tidak mau bertemu lagi dengannya sesudah pertemuan pertama itu. Mungkin luka lamanya berdarah lagi. Entah dia atau Debbie penyebabnya.
341 Setelah melihat sikap Tom yang penuh perhatian kepada Debbie, kekhawatiran Viv itu lenyap. Tom memang sibuk dan sepantasnya memprioritaskan keluarganya lebih dulu. Tetapi diam-diam muncul kekhawatiran lain dalam diri Viv. Sampai saat itu Tom belum juga menanyakan hal yang dulu sangat ingin diketahuinya. Siapa ayah Debbie"
Memang Debbie hampir selalu menyertai mereka. Tapi kalau mau diusahakan mereka bisa mencari waktu untuk bicara berdua saja. Tampaknya Tom tidak melakukannya. Kenapa" Apakah Tom menunggu dia yang berinisiatif lebih dulu" Ataukah Tom sudah tidak peduli karena menganggap mereka bukan apa-apanya lagi sekarang" Dulu Tom peduli karena situasinya lain. Sekarang tak ada masalah lagi. Seharusnya aku merasa lega karena tak lagi dikejar-kejar, pikir Viv. Tapi ternyata tidak. Ia merasa tak berguna.
Selama berada di Sea World Debbie berlaku seperti guide terhadap Tom. Ia mengajaknya ke sana kemari sambil berceloteh seolah dia paling tahu.


Ketika Barongsai Menari Karya V. Lestari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Pasti kau sudah sering ke sini," komentar Tom tertawa.
"Oh iya, Oom. Hampir tiap minggu!" Debbie mengakui dengan bangga.
"Pantas! Rupanya kau suka laut, ya""
"Suka sekali, Oom. Kelak Debbie ingin jadi pelaut, naik kapal besar."
"Wah. Jadi Sinbad the Sailor""
"Betul, Oom!" Debbie bersorak.
Viv mengamati keakraban kedua orang itu dengan perasaan pedih. Tom cuma hadir sebentar. Tapi yang
342 sebentar itu mampu menggugah kerinduan Debbie akan keberadaan seorang ayah. Padahal anak itu tahu betul, orang seperti Tom tidak mungkin jadi ayahnya. Kalau sedang menonton film Barat di televisi, Debbie akan menunjuk aktor yang paling tampan. "Daddy pasti seperti itu!" katanya. Aktor yang ditunjuknya itu tentu saja berkulit putih, berambut pirang, dan bermata biru!
Viv memperkirakan bahwa bagi Debbie, Tom adalah seorang companion yang menyenangkan. Mungkin juga ia menganggapnya sebagai substitusi seorang ayah, di mana dalam angan-angannya ia membayangkan Tom berkulit putih, berambut pirang, dan bermata biru. Debbie akan kehilangan Tom bila ia kembali ke Amerika nanti. Dan itu tak lama lagi. Setelah itu bisa terjadi dua kemungkinan. Pertama, Debbie akan semakin merasakan kekosongan itu. Kedua, ia cukup terhibur dan terobati hingga tidak lagi merasa kosong. Viv berharap kemungkinan kedualah yang terjadi.
Viv bersyukur dan berterima kasih kepada Tom karena sikapnya yang begitu menyenangkan kepada Debbie. Sungguh sesuatu yang di luar persangkaannya. Mimpi atau berkhayal pun tidak. Justru ia menyangka Tom akan menghindar dari Debbie atau menatapnya dengan benci bila perjumpaan terjadi. Itulah yang disampaikan Ron kepadanya lewat e-mail. Tom pernah mengatakan kepada Ron bahwa ia takut bertemu atau melihat Debbie karena dalam diri anak itu ia melihat kehancuran kebahagiaannya. Di samping itu ia takut melihat wajah ayah kandung Debbie di wajahnya. Jadi melihat apa yang terjadi sekarang, Viv merasa aneh sekali, karena segala
343 kemungkinan buruk itu tidak terjadi. Bahkan justru sebaliknya. Tom menerima Debbie bukan cuma dengan dua tangan terbuka, tapi juga dengan kehangatan seorang ayah.
Mata Viv menjadi basah saat mengamati kelakuan Tom dan Debbie. Kedua orang itu benar-benar bertingkah seperti ayah dan anak. Tom sangat natural. Tak ada kepura-puraan atau kepalsuan. Baru pada saat itu mata Viv terbuka melihat kebenaran. Tom orang yang baik. Terlalu berharga untuk disisihkan demi kesenangan sesaat. Penyesalan meroyak perasaannya. Kenapa penyesalan selalu datang terlambat"
Arogansi Viv runtuh. Pada saat itu mau rasanya ia mencium kaki Tom sambil menyampaikan segala penyesalannya. Tetapi ia juga cukup menyadari bahwa apa pun yang ia lakukan
tidak bisa memulihkan kerusakan yang telah diperbuatnya di masa lalu. Ia tahu, tanpa harus diucapkan pun, Tom telah memaafkannya. Kesediaan Tom menemuinya saja sudah menyatakan hal itu.
Pada suatu kesempatan, ketika Debbie sedang asyik mengamati kura-kura sambil mendengarkan penjelasan seorang guide, Viv mengutarakan isi hatinya itu dengan suara perlahan. Tom terkejut, tak menyangka bahwa Viv mengatakannya di tempat itu. Padahal saat mereka hanya berdua, di mana Viv punya banyak kesempatan untuk mengutarakannya, Viv malah bicara tentang hal lain dan menghindari topik peka itu.
"Sudahlah, Viv. Aku sudah memaafkan, bukan" Sebagai manusia, berapa pun usia kita, kita takkan
344 henti-hentinya belajar memahami kehidupan. Kita berulang kali jatuh-bangun. Lihat, kita sudah sama-sama bangkit kembali. Bukan cuma aku yang mengalami masa pahit. Kau juga. Tak bisa dibilang, siapa yang lebih menderita. Aku cuma sendirian. Kau berdua dengan Debbie."
"Tapi semua itu terjadi karena aku."
"Bisa juga aku. Siapa saja bisa khilaf."
"Aku kagum padamu, Tom. Kau jadi begitu bijak."
Tom tertawa. "Apa iya begitu" Wah, rasanya jadi tambah tua!"
Viv merasa terhibur oleh gurauan itu. "Aku berdoa, Tom, supaya kau segera mendapat seorang pendamping yang mencintai dan dicintai olehmu! Kau berhak mendapatkannya."
Tom tertegun sejenak. Ucapan yang tulus itu membuatnya terharu. Cinta! Masih adakah yang seperti itu untuknya" Tiba-tiba saja muncul wajah Kristin dan Jason dalam angan-angannya! Dua orang sekaligus! Ah, sungguh absurd! Bukankah mereka milik orang lain"
"Aku juga mendoakan hal yang sama untukmu, Viv!" katanya cepat-cepat sambil menghalau angan-angan absurd itu.
"Terima kasih, Tom. Maukah kau menerimaku sebagai sahabat""
"Ya. Tentu saja mau. Kau dan Debbie."
"Oh, terima kasih!" Viv sadar, cuma itu yang bisa dimintanya dari Tom. Itu pun sudah luar biasa.
"Kelak kita memelihara hubungan lewat e-mail. Seperti yang kaulakukan dengan Ron."
Viv tersipu. "Ya, dia teman yang baik."
345 Mereka diam sejenak mengamati Debbie dengan kura-kuranya.
"Sampai saat ini kau tidak menanyakan siapa ayahnya," Viv memberanikan diri.
"Aku menunggu kau mengatakannya sendiri."
"Jadi kau masih ingin tahu" Kukira kau tak peduli lagi. Menurut Ron..."
"Ron memang punya banyak perkiraan."
"Tapi ada satu hal yang mengganjal perasaanku, Tom. Bila kukatakan, apa yang akan kaulakukan terhadapnya""
"Ya. Pertanyaan itu pun sudah kupikirkan sendiri. Aku tidak akan melakukan apa-apa!"
"Apakah itu bisa kuanggap sebagai janji""
"Ya. Jadi kau masih peduli padanya."
"Bukan. Aku tak ingin membuat kerusakan lagi."
"Itu niat yang baik. Percayalah padaku."
Lalu Viv mencondongkan tubuhnya ke dekat Tom dan membisikkan sebuah nama. Wajah Tom tidak berubah ketika mendengarnya. Viv menoleh lalu mengamatinya dengan cermat dan waswas.
"Aku sudah mengira," Tom menenangkan.
"Dari wajah Debbie""
"Itu salah satu."
Viv diam. Ia sudah memperhitungkan. Begitu soal itu dikemukakan pastilah perasaannya menjadi tidak enak. Malu dan bersalah. Tetapi ia sadar, kalau tidak mengemukakannya sekarang bisa jadi akan terpendam tanpa penyelesaian. Bukan cuma untuk dia dan Tom, tapi lebih-lebih untuk Debbie. Padahal pertemuan dengan Tom bisa jadi cuma sekali-sekalinya ini saja.
Tom mengamati wajah Viv dari pinggir. Ia tahu
346 apa yang dirasakan Viv. Lalu ia meraih tangan Viv dan menggenggamnya. "Ingatlah, Viv. Kita sudah memutuskan untuk bersahabat. Kita harus menjalani hidup ini dengan cara yang terbaik menurut masing-masing. Dan tentu saja terus belajar dari kesalahan yang dulu."
Viv terharu. Kalau saja tidak berada di tempat umum tentu sudah dipeluk dan diciumnya Tom se-bagai ungkapan terima kasihnya.
Debbie kembali, lalu menyita perhatian Tom.
Begitu pulang, Tom segera mengirim e-mail pada Ron. Ia menceritakan pertemuannya dengan Vivian dan Debbie.
Begitulah, Ron. Aku sudah tahu sekarang. Mestinya aku sudah menyangkanya dari dulu. Tapi aku tak ingin mempercayai. Mestinya kau juga tahu, ya" Tapi kau tentunya serbasalah. Di sini teman, di sana juga teman. Masalahnya dialah yang tidak ksatria. Tolong sampaikan pada
nya. Aku tidak marah. Semua sudah lewat. Aku juga sudah berdamai dengan Viv. Hidup dengan kedamaian itu sangat, sangat membahagiakan.
Tapi ada masalah dengan Debbie. Ia merindukan ayahnya, seorang lelaki kulit putih yang berambut pirang dan bermata biru. Selama ini gambaran tentang si ayah itu melulu didapatnya dari film Hollywood. Dan kalau diajak ke mal oleh ibunya, ia suka benar memelototi lelaki kulit putih, pirang, dan bermata birui Daddy-kah itu" Yang mengibakan, sebelum berpisah ia tak lupa berpesan agar kalau
347 aku kembali ke Amerika tolong carikan Daddy-nya, lalu menyuruhnya ke Jakarta untuk menemuinya. Ia sangat rindu!
Sampaikan kepadanya, Debbie seorang anak yang bukan cuma cantik, tapi juga cerdas. Dia sepatutnya bangga punya anak seperti itu!
Usai mengirim e-mail itu, Tom merasa sudah berhasil menyelesaikan salah satu misinya dengan sukses. Sekarang ada lainnya yang menunggu. Tetapi yang satu ini, yang sekarang disebutnya sebagai kasus Adam, merupakan persoalan yang mahasulit.
Sampai saat itu, dia dan kedua orangtuanya sepakat untuk menyimpan dulu informasi dari Anwar itu sampai mereka menemukan cara yang terbaik untuk menyelesaikannya. Bahkan kepada Henry dan Maria pun mereka belum berani mengatakannya. Kedua orang ini adalah tetangga yang akrab dengan Kristin, istri Adam. Bagaimana kalau Kristin sampai tahu" Bagaimana kalau Adam sampai tahu bahwa Kristin tahu" Itu riskan sekali. Padahal selama ini hubungan suami-istri itu sudah kritis. Tom senang bahwa kedua orangtuanya pun menyayangi Kristin dan Jason seperti anak dan cucu sendiri. Mungkin karena sikap Kristin yang selalu mengorangtuakan mereka, seperti pengganti orangtuanya sendiri. Sedangkan Jason, walaupun dia anak Adam, tapi punya riwayat kelahiran yang unik. Dan panggilannya pun sama dengan Sonny! Soal yang tampaknya sepele itu sangat menyentuh perasaan mereka.
Tapi Tom masih suka memikirkan apakah benar Kristin tidak membaca catatan Harun yang ditemukan-
348 nya itu. Semakin lama dipikirkan, semakin terasa kemustahilannya. Setiap orang memiliki rasa ingin tahu. Pada saat menemukan kertas itu, sewajarnya bila Kristin melihat dulu kertas apakah itu, agar dia bisa menentukan pemiliknya. Mungkin saja milik Adam atau miliknya sendiri yang tercecer entah dari mana. Ia membuka lipatannya lalu melihat tulisan. Masuk akalkah bila tulisan itu tidak dibacanya" Mau tak mau tentu terbaca. Lalu ia menemukan nama Adam di situ dan karenanya menjadi lebih serius. Pasti ia terpukul karenanya. Istri mana yang tak terpukul bila suaminya disangka terlibat dalam suatu peristiwa pembunuhan" Catatan Harun memang tak langsung menuduh seseorang. Tetapi cuma mengindikasikan saja. Dan Kristin terlalu cerdas untuk tidak menemukan sesuatu di dalamnya. Selanjutnya hampir dapat dipastikan ia akan mencocokkan fakta yang disebutkan dengan perilaku Adam yang dilihatnya sendiri. Pantas Jason menolak Adam! Pantas Adam melempar Jason dari pegangannya! Dua peristiwa itu tidak rasional. Tetapi hal-hal yang tidak rasional cukup familiar bagi Kristin.
Kemudian Tom membayangkan lagi bagaimana manisnya sikap Kristin saat mengembalikan kertas itu kepadanya. Kristin berpura-pura tidak tahu. Dia pandai berpura-pura karena rasa kagetnya sudah lewat. Tentunya karena ia sudah cukup memahami isinya dan memutuskan bagaimana harus bersikap. Yang meresahkan Tom, seandainya kesimpulan itu benar kenapa Kristin tidak mendiskusikan hal itu dengannya" Kenapa Kristin tidak membicarakannya dengan orang lain, misalnya dengan Maria sebagai
349 orang yang selalu menolongnya bila dibutuhkan" Nyatanya Maria belum tahu. Bila tahu, pasti Maria sudah ribut. Apakah Kristin merasa malu karena Adam adalah suaminya" Atau Kristin takut terlibat" Atau ada sesuatu yang akan dilakukan Kristin sendirian, misalnya dengan mengkonfrontir Adam dengan fakta yang disebutkan" Bila itu benar, maka tindakan itu mengandung risiko. Siapa bisa memprediksi tentang apa yang akan dilakukan Adam terhadap Kristin bila dia dikonfrontir seperti itu"
Semakin dipikirkan, Tom semakin cemas. Ja belum memberitahu kedua orangtuanya mengenai kekhawa
tirannya. Ia merasa bersalah telah menjatuhkan kertas itu. Karena kelalaiannyalah Kristin jadi tahu dan ikut menanggung beban. Jadi sepantasnya ia mengajak Kristin untuk mendiskusikannya. Ia harus tahu apa yang dipikirkan Kristin dan membantu meringankan bebannya.
Tapi ada juga pemikiran lain. Bagaimana kalau Kristin benar-benar belum tahu seperti yang diakuinya sendiri" Mungkinkah itu"
Ia sadar, pertanyaan itu tak mungkin dijawabnya sendiri. Padahal ia tak boleh ragu-ragu terus.
Tom menelepon Maria. Setelah berbasa-basi sejenak, ia menanyakan Kristin.
"Waduh, kebetulan amat. Punya insting ya, Tom"" Maria tertawa. "Dia di sini kok. Sama Jason lho!"
"Bisa bicara dengannya sebentar, Tante"" Tom senang. Hal itu sebetulnya bukanlah kebetulan. Ia sudah memperhitungkan. Ia memang tak mau menelepon Kristin di rumahnya walaupun Adam tak ada. Seperti yang dikatakan Kristin, pembantunya di
350 rumah selalu memberitahu Adam mengenai apa saja yang dilakukannya.
Tak lama kemudian terdengar suara Kristin. Kedengaran gembira. "Hai, Tom! Ada kabar baru""
"Jason baik-baik saja, Kris""
"Oh, dia baik, Tom. Tuh lagi bercanda sama Tante."
"Begini, Kris," Tom berkata serius, "aku ingin sekali bicara denganmu tanpa didengarkan Tante Maria atau pembantumu. Tapi kayaknya susah, ya. Kau tak bisa ke mana-mana."
"Memangnya kenapa, Tom""
"Eh, ngomongnya hati-hati, Kris. Jangan sampai Tante ingin tahu lho. Ingat kertas terlipat yang kautemukan waktu aku ke sana itu" Betulkah kau tidak membacanya" Serius lho, Kris."
Diam sejenak. Lalu terdengar jawaban Kristin yang di telinga Tom terdengar kurang tegas. "Betul, Tom."
"Jadi kau tidak tahu apa yang tertulis di situ""
"Tidak," jawab Kristin lebih cepat.
"Seandainya kau sudah membacanya, aku ingin mendiskusikannya denganmu. Kapan saja terserah kau."
"Dan kalau belum""
Tom tertegun. Ia semakin yakin bahwa Kristin memang sudah membacanya tapi tak ingin mendiskusikannya. "Ah, kalau begitu, ya nggak usah. Sori ya, Kris. Tapi bila kau ada ide, apa saja, jangan ragu menghubungiku."
"Ya, Tom. Itu pasti."
"Cium untuk Jason, ya"" Tom terpaksa mengakhiri pembicaraan. Ia merasa Kristin sedang tidak ingin
351 berbincang. Kristin juga tidak bersemangat mendiskusikan materi yang dimaksudkannya itu. Bagaimana ia bisa mengungkapkannya bila Kristin tetap mengatakan tidak pernah membacanya"
Tom merenung. Ia teringat kepada diskusi yang berlangsung antara dirinya dengan kedua orangtuanya.
"Pasti si Adam yang berbuat jahat kepada Sonny!" kata Lien yakin. "Si Sonny itu sayang sama motornya. Mana mungkin dipinjami, apalagi sampai beberapa hari seperti yang ditulis Harun itu. Jadi pastilah dibawa lari oleh Adam sesudah dia membunuhnya!"
"Jangan terlalu pasti, Ma," sanggah Bun Liong. "Itu tuduhan yang serius. Membunuh kan bukan main-main."
"Ingat, Pa! Ada laporan rekening bank. Beberapa hari sebelum kejadian, si Sonny menarik dolarnya dalam jumlah besar. Setengah juta! Ke mana tuh""
"Yah, tentu saja ludes diambil penjarah. Atau hangus terbakar."
"Siapa yang tahu""
"Betul, Ma," Tom mencoba menenangkan emosi ibunya. "Kita tidak punya bukti apa-apa. Apa yang kita miliki cuma kesimpulan dari rangkaian kejadian. Saksi yang masih ada, si Angga itu, cuma bisa mengatakan bahwa Adam memakai motor Sonny pada hari yang sama. Tetapi siapa yang tahu sebab-musababnya""
"Jadi kalian tidak punya prasangka terhadap Adam"" tanya Lien gemas.
"Punya, Ma. Cuma kita perlu bukti."
"Oh, bagaimana mencari keadilan dong"" keluh Lien sedih.
352 "Pelan-pelan saja, Ma. Yang penting sekarang kita sudah punya pegangan," hibur Tom.
"Dan ingat pada Kristin. Adam itu suaminya," Bun Liong mengingatkan.
Tom memang ingat. Dan ia merasa tak rela, bagaimana Kristin bisa bersuamikan orang seperti Adam. Bagi Kristin, masalahnya memang menjadi sulit. Bagaimanapun, Adam adalah suaminya dan ayah dari anaknya. Membela atau menentang" Salah satu harus dipilih, padahal sama sulitnya.
Ada dorongan besar untuk pergi menemui Kristin sekarang juga dan membicarakannya secara terbuka. Tetapi ia juga menyadari bahwa ia harus menghargai keinginan Kristin untuk tidak membicarakannya.
"Ngapain si Tom"" tanya Maria.
"Dia nanyain Jason. Apa baik-baik saja."
"Perhatiannya besar, ya" Dia sayang sama Jason."
"Apa dia memang penyayang anak, Tante""
"Wah, nggak tahu, Kris. Tapi kukira ada hubungannya dengan pengalaman pahitnya. Dulu dia begitu senang menunggu kelahiran anaknya dari Viv. Tahu-tahu yang lahir anak bule. Bayangin."
Kristin mengangguk. Tapi dia tidak begitu yakin apakah perhatian yang ditunjukkan Tom kepada Jason memang semata-mata disebabkan karena trauma itu. Bukankah Tom juga memberi perhatian besar kepada dirinya" Pikiran itu membuatnya malu.
Lalu mengenai telepon Tom barusan. Ia tahu, Tom tidak percaya akan pengakuannya. Itu masuk akal. Kedengarannya Tom resah. Mungkin itu pertanda perhatiannya yang lain. Atau semata-mata ka-
353 rena Adam" Sonny itu adik Tom, anak keluarga Lie. Ia malu mengetahui perbuatan Adam. Sesungguhnya, orang seperti apakah yang mampu melakukan perbuatan keji kemudian menempati rumah korbannya tanpa merasa bersalah atau dikejar dosa" Dia pasti bermental kuat. Seseorang yang patut ditakuti. Sebaiknya Tom jangan mendekati dirinya dan Jason bila tidak ingin keselamatannya terancam.
Sebenarnya ia sangat ingin berbicara dengan Tom mengenai masalah itu. Menurut perkiraan Tom, cukup kuatkah dugaan bahwa Adam telah berbuat keji kepada Sonny" Apakah Tom juga punya kesimpulan sama seperti dirinya" Tetapi Tom merahasiakannya dari Maria dan Henry. Kenapa" Apakah untuk melindungi dirinya" Dari apa dan siapa" Oh, betapa inginnya dia mengetahui jawaban semua pertanyaan itu. Cuma Tom yang bisa memberinya jawaban. Tetapi ia tak bisa menanyakannya.
Tom menghadapi dilema. Waktunya yang singkat di Jakarta seperti memaksanya untuk menuntaskan segala masalah. Mumpung ia masih di situ. Sebagai anak yang tinggal satu-satunya dari orangtuanya dan kakak Sonny yang dicintainya, ia merasa bertanggung jawab untuk menyingkap misteri masa lalu. Sebenarnya, Sonny dibunuh massa perusuh atau dibunuh Adam" Padahal menanyai kedua pihak adalah kemustahilan. Mana ada pembunuh yang mau mengakui perbuatannya selama ia merasa aman"
Tetapi bukan itu saja. Ada Kristin di situ. Dan juga Jason. Seandainya memang Adam pelakunya, bagaimana perasaan mereka nanti" Tentu saja dia
354 dan orangtuanya, begitu pula orang-orang lain, akan tetap menerima keduanya seperti semula tanpa cacat cela. Bahkan ia siap mencurahkan simpati dan empatinya kepada mereka dengan sepenuh hati. Tetapi hampir pasti Kristin tetap terluka hati dan harga dirinya. Tom tidak tega.
Ibu dan ayahnya agak berbeda pendapat. Bila ibunya keras hati dalam hal itu, ayahnya bersikap lunak.
"Kita memang tidak punya bukti," begitu pendapat ibunya. "Tapi tak ada salahnya mengkonfrontir dia dengan temuan Pak Harun itu. Lihat bagaimana reaksinya. Pasti dia tidak akan mengaku. Kalau perlu kita ancam dia."
"Apakah Mama akan melapor ke polisi"" tanya Tom ngeri.
"Kalau perlu. Yang penting kita bikin dia takut, lalu lihat reaksinya."
"Bagaimana kalau reaksinya itu membahayakan"" tanya ayahnya.
"Ah, dia bisa apa" Dia kan tahu kita sulit mencari bukti."
"Lantas buat apa segala susah payah menuntutnya"" Tom dan ayahnya bingung.
"Yang penting melihat reaksinya. Aku yakin bisa membaca kebohongan orang dari kelakuannya atau jawaban-jawabannya. Biarpun dia tidak bisa dituntut atau dihukum, aku puas kalau bisa mengungkap misteri itu."
Bun Liong tak seyakin itu. "Ada orang yang pintar menutup kebohongannya, Ma. Bagaimana kita bisa membaca isi hatinya" Amatilah si Adam selama ini. Dia sopan dan hormat. Dia juga akan bilang,
355 kalau dia memang telah membunuh Sonny, mustahil dia berani menempati rumahnya."
"Justru itu, Pa. Itu menandakan dia orang yang kejam. Pikirkan juga kejanggalan yang diungkapkan Pak Harun. Dan keanehan lain."
"Bagaimana dengan Kristin, Ma"" tanya Bun Liong.
"Dia juga harus tahu suami macam apa yang dimilikinya. Kita harus jujur kepadanya! Dengan menutup-nutupi, maka kita akan membuatnya menderita. Aku kan sama-sama perempuan, Pa. Aku mencoba menempatkan diriku di tempatnya."
Pendapat ibunya itu terpaksa dibenarkan oleh Tom. Mampukah Kristin mengatas
inya" Bun Liong tetap tidak setuju. "Jadi tujuanmu cuma menyudutkan Adam, sesudah itu meninggalkannya saja di sudut" Aku takut membayangkan bagaimana orang yang keji akan bereaksi, Ma."
"Kalau takut-takut terus orang tidak akan menghasilkan apa-apa. Berbuat maupun tidak berbuat, tetap ada risikonya."
"Aku lebih suka membiarkan saja si Adam itu. Di dalam hati kita kan sudah tahu kesalahannya."
"Belum, Pa. Kita belum tahu pasti. Di dalam hati kita cuma menyimpan tuduhan saja."
"Kan tak ada bukti, Ma."
"Ah, kau ini muter-muter saja. Kita bisa mengetahui dari reaksi yang diperlihatkannya bila dia dihadapkan pada fakta yang kita dapatkan. Memang tak banyak, tapi arahnya jelas. Dia harus tahu bahwa kita tahu."
"Biarkan dia menerima hukum karma saja, Ma!"
356 Tapi Lien menggeleng tak setuju. Maka dalam hal itu tak ada kesepakatan yang bisa dicapai. Ketika mereka berpaling pada Tom untuk mengetahui kepada siapa ia berpihak, ternyata Tom pun tak bisa menentukan. "Dua-duanya ada benarnya," katanya. Bukan sekadar diplomatis, tapi memang benar demikian.
Lalu kedua orangtuanya menyerahkan tindakan selanjutnya kepadanya. Dialah penentu dan juga penindak. Maka dia pun sarat beban.
Untuk kedua kalinya Kristin tercengang menghadapi sikap Adam. Seperti waktu pertama kali Adam mengajaknya berbaikan setelah konflik hebat di antara mereka, kali ini pun demikian. Adam membawakannya bunga mawar dan kue kesukaannya. Adam juga meminta maaf untuk sikap kasarnya dan berjanji tidak lagi berbuat demikian. Dan seperti dulu, Kristin pun tak bisa lain daripada menyatakan kesediaannya memaafkan. Tapi bedanya, kali ini ia tidak tulus. Ia justru merasa ketakutannya bertambah. Kenapa Adam begitu mudah berubah-ubah" Tetapi tentu saja ia tidak bisa mengatakannya terus terang. Demi ketenangan suasana ia harus menerimanya saja. Tapi ia yakin dan pasti akan satu hal. Ia tidak akan pernah lagi mencoba mendekatkan Adam kepada Jason!
Tekad Kristin itu bukan cuma sepihak. Adam sendiri memiliki tekad yang sama walaupun dengan tujuan yang berbeda. Ia sudah menanamkan keyakinan di dalam dirinya, bahwa Jason bukanlah anaknya! Rasional atau irasional, ia merasa berhak akan
357 keyakinannya sendiri. Tentunya Kristin tidak perlu diberitahu hal itu bila ia tidak ingin menimbulkan konflik baru lagi. Ia memang tak bermaksud men-ciptakan konflik. Sebaliknya, ia akan berusaha menghindarinya sedapat mungkin.
Dulu ia bukan cuma mengangankan punya rumah, tapi juga sebuah keluarga. Rumah bagus tak ada artinya bila tidak diisi oleh keluarga, yaitu istri dan anak-anak. Itu tentunya angan-angan wajar dari setiap orang nomal. Tetapi bila keluarga yang ia miliki tidak menyukainya dan juga tidak disukainya, maka ia berhak mengganti mereka! Apa artinya punya keluarga yang tidak suka dan tidak respek kepadanya, bahkan mencurigainya sebagai pembunuh" Bukan saja tidak berguna, tapi bisa menghancurkan! Maka ia harus bertindak proaktif. Sebelum dihancurkan, ia akan menghancurkan terlebih dulu!
Tom mengantarkan seperangkat komputer berikut sarana internet ke rumah Maria. Suami-istri itu merasa kurang enak menerimanya. Ada rasa malu seolah mereka tidak mampu atau terlalu pelit untuk membeli sendiri. Tetapi Tom mengatakan, "Ini untuk Susan juga, Oom dan Tante. Mumpung saya di sini, kapan lagi" Jadi saya bisa ikut mendengar berita apa saja yang disampaikan Susan lewat e-mail kepada Oom dan Tante berdua"
Begitu mendengar nama Susan disebut, segera hilang segala pertimbangan tak enak pada diri Maria, diganti oleh kegembiraan. "Kau dengar itu, Pa"" katanya kepada Henry. "Demi Susan, katanya. Berarti dia benar-benar sayang pada anak kita!"
358 Henry cuma terperangah. Lalu memutuskan untuk ikut bergembira. Sekarang ia sudah memiliki komputer yang bisa ia manfaatkan bukan cuma untuk mengirim e-mail kepada Susan, tapi juga buat pekerjaannya. Sudah lama ia ingin membeli benda itu, tapi Maria selalu menghalangi dengan mengatakan belum saatnya. Ia memang tak bisa menyalahkan Maria yang sekarang menjadi manusia penuh perhitungan kalau tak mau dikatakan pelit. Nasib selalu punya andil dalam membentuk seseora
ng. Dengan adanya benda itu Tom punya alasan untuk mengunjungi rumah Maria setiap hari. Ia yang memasangkan kabel-kabel dan segala sesuatunya supaya bisa digunakan senyaman mungkin. Lalu ia datang lagi keesokan harinya untuk mengecek apakah segala sesuatu berjalan lancar. Dan begitu seterusnya. Waktunya di Jakarta tinggal sebentar lagi. Mula-mula masih dalam hitungan minggu, lalu hitungan hari. Semakin lama jadi semakin bernilai.
Dengan demikian ia bisa bertemu Kristin dan Jason setiap hari. Mereka bermain dan mengobrol. Tentu saja Maria ikut serta. Tetapi Tom bisa menikmati waktunya yang berharga. Selama waktu itu mereka tak pernah membicarakan Adam atau Sonny atau Harun.
Tom ingin tahu juga mengenai Adam. Tapi ia tidak berani menanyakannya langsung kepada Kristin. Baru setelah Kristin pulang ke rumahnya ia bertanya kepada Maria, "Apakah mereka tak ribut lagi, Tante""
"Oh, mereka baikan lagi, Tom."
"Baikan"" Tom tak mengerti. Entah kenapa, ada rasa kecewa yang mendalam di hatinya. Apakah
359 kasus itu justru membuat Krstin berbaikan dengan suaminya padahal dia sudah tahu orang macam apa suaminya itu" Ia mengenang kembali keceriaan dan kecerahan wajah Kristin saat berbincang dan bercanda dengannya. Itukah sebabnya"
"Ya. Kristin bercerita, Adam minta maaf dan berjanji tidak akan kasar lagi."
"Oh, begitu" Untuk kedua kalinya" Dan Kristin percaya kepadanya""
"Tom, Adam itu suaminya. Apa lagi yang harus dilakukannya" Masa ribut terus-terusan""
"Pasti ia terpaksa, Tante. Demi Jason."
"Yah, apa lagi"" keluh Maria. "Ia sangat menyayangi Jason."
"Lebih daripada Adam"" Tom ingin tahu.
Tiba-tiba Maria menatap curiga. "Kenapa kau bertanya begitu""
Tom terkejut ketika menyadari kecurigaan Maria. Ia tidak hati-hati. Cepat-cepat ia memperbaiki, "Semata-mata demi Jason, Tante. Ia harus menyayangi Jason lebih daripada Adam supaya bisa melindunginya dengan baik."
Maria bernapas lega. Jadi itulah maksud Tom. "Ya. Mudah-mudahan saja begitu. Kukira Adam itu perayu ulung. Aku pernah mengintipnya beberapa hari yang lalu. Ia membawa satu buket bunga mawar merah tua. Wow! Indah sekali, Tom. Aku jadi iri. Orang setua aku jadi sentimentil. Aku ingat, seumur perkawinanku Henry tidak pernah membawakan bunga untukku. Yang murah sekalipun! Ih, kok aku jadi gitu, ya"" Maria tertawa geli.
Tom ikut tertawa. Untunglah ia sudah memperbaiki
360 suasana. Ada rasa bersalah. Ia tahu, Maria dan Henry sudah menganggapnya sebagai calon menantu. Ia tak ingin mengecewakan mereka.
Tapi tawanya lenyap ketika kekecewaan tadi muncul lagi. Begitu mudahkah Kristin hanyut oleh rayuan walaupun tahu siapa Adam sebenarnya" Itukah sebabnya kenapa Kristin tak ingin memasalahkan tulisan pada kertas yang ditemukannya itu" Apakah cinta jadi penyebabnya" Nyatanya memang ada orang yang tetap mencintai dan setia pada seseorang yang diketahuinya sebagai psikopat, atau orang yang tetap ingin menikahi seorang terpidana mati!
Rasanya tidak adil. Kenapa dirinya yang selalu setia kepada Viv dan berusaha memelihara cintanya justru dikhianati" Ah, dia jadi ikut-ikutan sentimentil seperti Maria!
361 XII Jakarta, menjelang akhir Juli.
Bi iyah merasa diperlakukan tak adil ketika pagi-pagi Adam menyuruhnya pulang ke kampung. Atau dengan kata lain memberhentikan dirinya! Ia diberi pesangon dua bulan gaji. Alasannya terasa aneh.
"Ibu menyuruh aku memilih. Dia yang pergi atau Bibi," begitu kata Adam.
"Tapi..." "Sudah. Carilah pekerjaan di tempat lain saja, Bi." Adam bicara dengan wajah keras, hingga Bi Iyah takut menyampaikan protesnya. Ia tidak berdaya. Bahkan ia tidak diperbolehkan pamitan dulu kepada Kristin yang ketika itu berada di kamar bayi, hingga ia yakin sesungguhnya Kristin tidak tahu-menahu. Dulu, saat terjadi keributan Adam justru mempertahankannya. Sekarang di saat damai ia malah disuruh pergi.
"Mestinya Bapak mendapatkan pembantu baru dulu, baru saya pergi. Kasihan Ibu dong," Bi Iyah mencoba mengulur waktu.
"Itu urusanku, Bi! Tak usah mengajari!" kata Adam tak senang.
362 Ekspresi yang diperlihatkan Adam membuat Bi Iyah ingin cepat-cepat pergi. Tak ada gunanya mengulur waktu. Ia
cuma bisa mengutuk dalam hati. Adam cuma memanfaatkannya. Kalau sudah tak terpakai lagi lalu dibuang. Barangkali Adam sudah punya calon pembantu yang lebih disukainya dan akan segera dijemputnya setelah ia pergi. Barangkali pembantu itu muda dan cantik.
Adam memberitahu Kristin, "Bi Iyah pulang mendadak, Kris. Barusan ada kerabatnya dari kampung menjemput. Ngomongnya sih mau seminggu di sana. Lantas bagaimana kau di rumah, Kris"" tanyanya dengan sikap iba.
Kristin malah senang. "Ah, itu bukan masalah buatku. Bila Jason tidur aku bisa bekerja."
"Aku punya ide. Mintalah bantuan pada pembantu Tante Maria. Bayar harian. Dia toh tidak sibuk sepanjang hari, bukan""
"Oh, itu ide yang baik, Mas," Kristin mengiyakan saja.
"Kau tak usah masak. Pulang kantor aku beli makanan matang." "Begitu juga baik."
Setelah Adam pergi, Kristin menikmati kesendiriannya di rumah. Hari itu ia tidak berkunjung ke rumah Maria. Ia pun tidak bermaksud meminta bantuan pembantu Maria. Ia ingin mengecek kemampuannya sendiri dalam mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Bila suatu waktu kelak ia terpaksa mandiri, ia sudah siap.
Lalu Maria menelepon. "Kau baik-baik saja, Kris""
363 "Baik, Tante." "Kok nggak main ke sini""
"Sibuk, Tante. Bi Iyah pulang kampung."
"Kenapa"" "Entah, Tante. Kata Adam, ada kerabatnya yang datang menjemput. Saya sendiri tidak tahu karena sedang mengurus Jason."
"Oh, jadi Adam bilang begitu""
"Ya, Tante. Memangnya kenapa""
"Ah, nggak apa-apa. Tapi... apa kau tidak kecapekan nanti, Kris" Perlu bantuan" Kusuruh si Iyem ke sana, ya" Dia toh tak banyak kerja di sini."
Itu memang ide Adam, pikir Kristin. Tapi saat itu ia tidak merasa capek. Ia menikmati pekerjaannya. Selama Jason baik-baik saja tak ada masalah baginya. "Terima kasih, Tante. Nanti kalau saya membutuhkan, saya telepon, ya""
"Ingat, Kris. Kau tak boleh capek lho. Nanti air susumu berkurang!"
Maria meletakkan telepon lalu menatap Tom yang belum lama tiba. Ia sudah tahu maksud kunjungan Tom. Pasti bukan untuk menemuinya. Tom ingin melihat Jason. Rasa sayangnya kepada anak itu sudah diketahui semua orang. Toh naluri Maria masih mencurigai sesuatu yang lain. Sungguhkah cuma Jason yang ingin ditengok Tom"
"Kalau kau ingin menjenguk Jason, pergi saja ke rumahnya, Tom. Pembantunya kan tak ada," Maria menguji Tom.
Naluri Tom juga bekerja. Sebelumnya ia sudah menyadari kecurigaan Maria. Jadi untuk selanjutnya
364 ia harus berhati-hati. Maka ia menggelengkan kepala. "Wah, jangan, ah. Nggak enak, Tante. Kalau Adam cemburu, kasihan Kristin. Apalagi dia sedang sibuk."
Kembali Maria merasa lega. Tetapi kelegaannya cuma sebentar. Iyem, pembantunya, kembali dari warung lalu melapor, "Tadi ketemu Bi Iyah dari rumah sebelah, Bu. Katanya dia dipecat dan diusir!"
Maria terkejut. Demikian pula Tom.
"Siapa yang memecat dan mengusir"" tanya Maria.
"Pak Adam!" "Lho! Kenapa" Apa dia nyolong""
"Nggak tahu, Bu. Katanya, tiba-tiba aja. Nggak hujan, nggak angin."
Maria berpandangan dengan Tom. Setelah Iyem menghilang ke dalam rumah, baru Maria bersuara, "Kok ceritanya lain ya, Tom""
"Kristin pasti tidak bohong, Tante. Yang bohong itu Adam."
"Lantas apa maunya" Mungkin mau mengambil hati Kristin, ya""
"Mungkin. Tapi kalau mau mengambil hati kan lebih baik berterus terang saja."
"Barangkali dia tidak mau kehilangan muka. Dulu Kristin kan ingin Bi Iyah itu pergi, tapi Adam tidak mengizinkan."
"Ya. Mungkin begitu." Tom tak mau menentang pendapat Maria.
Tak lama kemudian Tom pamitan. Ia menyadari ketidakpuasan Maria karena tak biasanya ia terlalu cepat pergi. Ia juga tahu bahwa Maria mengamati kepergiannya dari pintu pagarnya. Pasti Maria masih menyimpan kecurigaan kalau kalau ia berkunjung
365 diam-diam ke rumah Kristin. Dengan sengaja ia melangkah ke arah yang berlawanan. Baru setelah berada pada jarak yang aman, ia mengeluarkan telepon genggam yang dipinjamnya dari ayahnya.
Tom senang mendengar suara Kristin
"Kuharap tidak mengganggu kesibukanmu, Kris."
"Sama sekali tidak, Tom. Sedikit lagi selesai kok."
"Jangan capek-capek ya, Kris."
"Oh, nggak. Senang kok. Eh, menelepon dari rumah Tante, ya""
"Nggak. Dar i jalan." "Di jalan" Kukira kau ada di rumah Tante tadi."
"Ya. Saat Tante meneleponmu aku ada di sana. Tapi karena kau dan Jason tak ada, aku pamitan saja. Nggak enak sama Tante."
"Kenapa"" Kristin tertawa. Kedengaran ceria.
"Aku punya feeling dia curiga maksud kedatanganku bukan cuma untuk menjenguk Jason."
"Tapi apa""
"Ah, nggak usahlah. Malu mengatakannya." Kristin terdiam sejenak.
Cepat Tom meneruskan, "Kau sekarang baik-baik saja, kan""
"Ya. Baik, Tom."
"Jadi Bi Iyah pulang kampung karena dipanggil kerabatnya""
"Kata Adam begitu. Memangnya kenapa"" Nada suara Kristin terdengar risau.
"Ah, nggak. Cuma menegaskan saja."
"Tapi kau seperti kurang percaya."
"Bukan begitu. Aku cuma prihatin. Kau sendirian dengan Jason."


Ketika Barongsai Menari Karya V. Lestari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

366 Kristin tertawa menenangkan. "Kan ada Tante Maria dan Oom Henry. Aku sudah janji, kalau ada apa-apa aku akan berteriak sekeras-kerasnya."
"Baiklah. Hati-hati saja ya, Kris""
"Terima kasih, Tom."
Ketika hubungan akan diputuskan, terdengar panggilan Kristin, "Oh ya... Tom!"
"Ya, ada apa, Kris"" Tom menjadi tegang. "Ah... nggak deh. Nggak apa-apa." "Katakan saja."
"Nggak. Nggak apa-apa. Sudah ya, Tom""
Hubungan putus. Tom penasaran. Apa sebenarnya yang mau dikatakan Kristin" Ia terdorong untuk menghubunginya lagi, tapi kemudian mengurungkan niatnya.
Kristin termangu. Rona merah masih mewarnai mukanya. Tadi begitu saja muncul dorongan untuk mengundang Tom ke rumahnya. Tiba-tiba muncul niat untuk membicarakan catatan pada kertas yang ditemukannya itu dan akibat yang timbul pada dirinya. Satu-satunya orang yang bisa diajaknya berbagi tentang soal itu hanyalah Tom. Lama-lama ia merasa tak enak karena memendamnya terus-terusan. Apalagi tingkah Adam semakin lama tampak semakin tidak wajar. Kepura-puraan yang diperlihatkannya kepada Adam, seolah dia menerima dan senang dengan kebaikan dan kemesraan Adam kepadanya, lama-lama jadi menyiksa. Sampai kapan hal itu bisa berlangsung" Ia sedang memikirkan jalan keluar. Tapi ia ingin membicarakannya dulu dengan seseorang yang bisa dipercaya. Bukankah Tom sudah
367 mengindikasikan bahwa ia pun ingin membicarakan masalah itu"
Tetapi pada saat berikutnya ia pun teringat pada pada ucapan Tom yang lain, bahwa Maria mencurigai sesuatu. Kristin bisa menebaknya. Apalagi Tom kedengaran malu mengatakannya. Ya, dia sendiri pun malu. Dia mengakui adanya ketertarikan di antara mereka berdua. Tapi dia merasa malu. Sebab dia istri orang, sementara Tom masih bebas. Jadi wajarlah kalau tak pantas ia mengundang Tom ke rumah pada saat ia hanya sendirian, meskipun motivasinya jauh dari hal-hal yang negatif. Apalagi Maria sudah curiga. Bagaimana kalau Maria memergoki Tom di rumahnya padahal tadi dia mengaku pada Maria akan pulang" Bayangkan bagaimana malu dan rikuhnya dia. Rasanya ia seperti membalas air susu dengan air tuba. Padahal, ia tahu betul bahwa Maria sudah menganggap Tom seperti calon menantu. Ia sering sekali bercerita mengenai Tom dan Susan.
Bukan cuma Maria dan Henry yang berpendapat begitu. Orangtua Tom sendiri pun memiliki keyakinan dan harapan yang serupa. Tentu akan ideal sekali bila Tom menjadi pengganti Sonny bagi Susan. Keluarga itu akan kembali bersatu. Dan apa haknya menjadi pengacau, walaupun ia sama sekali tak bermaksud mengacau" Siapa yang akan percaya" Dia cuma orang luar yang tiba-tiba nimbrung.
Padahal, selama ini mereka semua sangat baik kepadanya dan Jason. Mereka selalu siap membantunya. Tapi, rupanya dalam masalah yang satu ini ia harus mandiri. Ada saatnya ia harus berdiri sendiri!
Kristin teringat lagi saat tangan Tom menggenggam
368 tangannya, sementara mata mereka saling berpaut. Begitu hangat sentuhannya, terbawa dalam aliran darah di seluruh tubuhnya, membuat jantungnya berdegup lebih kencang. Dan, tatapan Tom yang penuh makna itu hanya bisa dipahami oleh mereka yang punya perasaan yang sama! Padahal Tom bukanlah jenis lelaki yang gampang mengeskpresikan rasa tertariknya pada perempuan. Kristin yakin akan hal itu dari pengamatannya sendiri maupun dari cerita yang didengarnya.
Ia cuma bisa mengungkapkan isi hatinya kepada Jason.
Sore itu Adam pulang memba
wa beberapa jenis masakan di dalam rantang.
"Rantangnya aku beli dulu, Kris. Dan tadi sudah dicuci di restoran."
Kristin mengangguk saja. "Tadi aku ke Penyalur Pembantu. Tapi lagi kosong."
"Bukankah Bi Iyah cuma sebentar di kampung" Untuk sementara biarlah begini dulu." "Nggak capek"" "Nggak."
"Katamu kau benci sama Bi Iyah. Nggak senang dia pergi"" "Senang." "Nah."
"Penggantinya belum tentu lebih baik." "Cari yang baik dong. Masa sih nggak dapat," kata Adam optimis.
Tapi bagi Kristin kesannya Adam menggampang-
369 kan Mungkin dia memang tak peduli. Ah, dia pun tak perlu terlalu memikirkannya. Kehadiran pembantu bukanlah sesuatu yang penting.
"Kau lebih senang begini kelihatannya."
"Kenapa"" Kristin khawatir jangan-jangan Adam berniat memancing keributan lagi.
"Kau bisa bebas, ya" Aku yakin tadi ada yang datang bertamu."
Kristin tertegun. Ditatapnya Adam dengan sikap waspada. Aku takkan terpancing, pikirnya.
Tapi Adam lalu tertawa. "Hei, peka amat sih kau!" serunya. "Aku cuma bercanda kok!"
Kristin tak ikut tertawa. Suara tawa Adam telah membuat bulu romanya berdiri.
Usai makan malam, Adam memaksa mencuci piring. Ia menyuruh Kristin beristirahat. "Kau sudah capek seharian mengurus rumah. Sekarang giliranku."
Adam bahkan menolak dibantu. "Masa begini aja tak bisa sendiri," katanya.
Kristin menurut saja. Mestinya aku merasa tersentuh, pikirnya. Tetapi kenapa malah tidak"
Untuk menyembunyikan perasaan sesungguhnya ia ke kamar bayi dengan membawa setumpuk bacaan. Pintu penghubung dengan kamar tidurnya ia biarkan terbuka. Kalau ditutup nanti Adam berprasangka buruk.
Setelah menyusui Jason ia duduk di dipan lalu mulai membaca. Tak ada keinginan sedikit pun untuk turun ke bawah, bergabung dengan Adam. Atau melakukan kegiatan lain bersama Adam.
Ketika mulai mengantuk, terdengar suara memanggil. Ia membuka matanya yang sudah hampir
370 menutup. Adam berdiri di ambang pintu. Tangannya yang satu membawa telepon genggam, sedang yang lain memegang sebuah kaleng minum yang sudah dibuka dengan sedotan di dalam lubangnya. "Oh, kau. Masuk saja, Mas," kata Kristin.
Adam mendekat. Ia melirik sejenak ke boks Jason, tapi tak mendekatinya. Ia mengulurkan kaleng minuman. "Minumlah. Jus jeruk," katanya. Kristin menerimanya. Kebetulan ia sedang haus. Jus itu langsung dihirupnya.
"Kris, aku perlu membicarakan urusan pekerjaan dengan seorang rekan. Urusan ini tak bisa kuselesai-kan lewat telepon. Gimana, ya""
"Sudah malam," kata Kristin.
"Kalau kau keberatan ditinggal, tak usah saja. Tapi..."
"Ah, tidak apa-apa, Mas. Aku sudah biasa sendirian, kok."
"Ini malam hari." "Sungguh tidak apa-apa."
"Mau minta tolong sama Tante Maria supaya dia menemanimu di sini""
Kristin terperangah. Dia tak pernah minta bantuan seperti itu dari Maria. Rasanya seperti bayi atau anak kecil yang perlu dijaga. "Tidak usah. Kau tidak lama, kan""
"Kuusahakan tidak. Tapi supaya lebih terjamin, teleponlah Tante Maria dan bilang bahwa kau sekarang sendirian. Jadi mereka tahu dan bisa berjaga-jaga untuk membantumu kalau ada apa-apa."
Kristin mengerutkan kening. Cara Adam berbicara itu seolah mengesankan memang akan terjadi apa-
371 apa. Sebelum ia menjawab, Adam sudah menyodorkan telepon genggamnya. "Ini, bicaralah. Aku segera pergi. Tapi tidak pakai mobil, supaya tidak repot membuka dan menutup pintu pagar." Lalu ia mengeluarkan secarik kertas di mana tertulis sebuah alamat dan nomor telepon. "Ini tempat yang kutuju. Beritahu Tante Maria nomor telepon ini. Suruh dia mencatatnya. Kalau ada sesuatu hubungi nomor itu."
Kristin mengikuti instruksi itu. Anjuran Adam itu untuk kepentingannya sendiri.
Seperti sudah diduga, Maria menyambut hangat permintaannya. "Kalau ada apa-apa, teriak saja yang keras ya, Kris!" gurau Maria seperti biasa.
"Nah, sekarang aku merasa lega meninggalkanmu. Kau tak usah turun mengantarkan aku. Aku bawa kunci sendiri. Jadi tidurlah bila kau sudah mengantuk."
Pada saat Kristin masih tertegun, Adam mendekat lalu mencium dahinya. Bibirnya terasa dingin di kulitnya. Lalu Adam melangkah ke pintu. "Aku pergi, ya!"
"Hati-hati, Mas!" seru Kristin. Mestinya ia menga
ntarkan kepergian Adam sampai ke pintu, pikirnya. Tapi ia merasa malas sekali. Tubuhnya terasa berat.
Tak lama kemudian ia mendengar pintu rumah tertutup keras. Sepertinya Adam ingin memberitahu bahwa ia sudah keluar. Kristin kembali merasa lega. Ia menghirup minumannya dengan nyaman.
Setelah membuka pintu pagar Adam melihat Henry sedang berdiri di balik pintu pagar rumahnya sendiri. Adam mendekati. "Selamat malam, Oom!" "Oh, selamat malam, Dam! Mau ke mana""
372 "Ke rumah teman, Oom. Urusan kantor. Saya titip Kris ya, Oom""
"Oh ya, tentu saja. Nggak pakai mobil""
"Nggak, Oom. Pakai taksi saja. Pergi dulu, Oom."
Setelah Adam berlalu, Maria muncul ke sisi Henry. "Tumben dia perhatian begitu. ya Pa""
"Mungkin lagi lurus!"
Mereka tertawa, lalu masuk rumah.
Seperempat jam kemudian Adam kembali lagi. Ia membuka pintu pagar perlahan-lahan supaya tak berbunyi. Tadi sore engselnya sudah ia minyaki supaya derit-deritnya tak kedengaran lagi. Kemudian ia melangkah pelan-pelan lalu membuka pintu rumah dengan hati-hati. Bila Kristin memergoki ia bisa beralasan bahwa ada barang yang ketinggalan.
Adam menaiki tangga dengan cepat setelah mencopot sepatunya. Ia membuka pintu kamar tanpa menutupnya kembali lalu terus ke kamar bayi yang pintunya masih terbuka. Sama seperti saat ia pergi tadi. Di ambang pintu ia melihat Kristin masih berada di atas dipan. Tetapi sekarang Kristin sudah terkulai setengah bersandar dengan kaleng minuman di atas pangkuannya. Matanya terpejam. Tubuhnya tak bergerak.
Adam tersenyum puas. Sesaat ia melirik ke boks Jason yang ditutupi kelambu. Dari tempatnya berada ia tak bisa melihat sosok Jason dengan jelas. Tapi itu lebih baik. Ia memang tidak perlu menjenguknya. Ia punya rencana yang harus dikerjakan dengan cepat.
Mula-mula ia melepaskan celana panjang dan
373 kemejanya yang diletakkannya di atas dipan, dekat kaki Kristin. Dengan bercelana pendek dan berkaus singlet ia segera bekerja. Sebuah tangga diletakkannya di bawah plafon di sudut kamar bayi. Sebagai perancang rumah itu ia tahu semua seluk-beluk rumah. Juga peralatan listriknya. Ia naik sambil membawa sebuah tas kecil, lalu membongkar plafon.
Di samping punya ahli dalam bidang arsitektur, ia juga memahami perlistrikan. Di bagian atas kamar, antara plafon dengan atap, berseliweran kabel-kabel listrik. Ia naik ke atas dengan hati-hati, kepalanya ditundukkan supaya tidak terbentur. Kemudian ia berjongkok dan mengeluarkan obeng, tang, gunting. Ia harus ekstra hati-hati supaya tidak terkena arus listrik. Bila ingin aman, mestinya ia mematikan arus listrik dulu, lalu bekerja dengan senter. Tapi penerangan yang tiba-tiba padam di seluruh rumahnya bisa memancing kecurigaan tetangga. Apalagi bagi Maria dan Henry yang mengira ia sudah pergi jauh. Jadi hal itu tak mungkin dilakukan.
Pekerjaannya tak membutuhkan waktu lama. Segera keluar percikan api dari kabel yang terkelupas dan berbenturan. Percikan itu menyambar kayu kaso! Memang tak segera membakar, karena berlangsung sedikit demi sedikit. Dengan demikian ia masih punya waktu untuk merapikan sisa pekerjaannya, menyimpan tangga, mengenakan pakaiannya, lalu bergegas ke luar rumah. Tentu dengan harapan tidak terlihat siapa pun. Cuaca yang gelap dan suasana malam yang dingin akan menyembunyikan kepergian-nya dari pandangan tetangga, karena pada saat seperti itu mereka lebih suka berada di dalam rumah. Ter-
374 masuk Henry dan Maria. Sesudah itu ia harus pergi secepatnya ke rumah teman yang alamat dan nomor teleponnya sudah ada pada Maria. Itu adalah alibinya.
Adam sudah bertekad. Rumah yang tadinya menjadi kebanggaannya akan ia korbankan. Demikian pula keluarganya. Ia tak merasa sayang karena kebanggaan itu sudah tak ada lagi. Dan tentunya bukan cuma itu. Perasaan terancam dan tersudut menjadi pendorong utama. Anak setan di sana itu misalnya. Masih kecil saja sudah bisa menerornya, apalagi bila sudah besar. Jadi mumpung masih kecil harus cepat dimusnahkan. Dan rumah ini" Sebagus apa pun hasil karyanya, tapi bila tak bisa ia kuasai seutuhnya, untuk apa dipertahankan" Dari asal puing biarlah ia kembali menjadi puing!
Adam terkejut ketika mendengar bunyi gemeretak. Ah, ia tak boleh membuang waktu lebih lama lagi. Tapi bunyi itu bukan berasal dari kayu kaso yang tepercik api. Bunyi itu adalah isakan Jason! Mula-mula yang terdengar cuma isakan, tapi kemudian berubah menjadi rintihan Sonny! Ketika Jason mulai menangis, lanjutannya adalah jeritan kesakitan Sonny!
Ia segera menyadari, bahwa Jason bisa membangunkan tetangga. Jadi ia harus membungkam bayi itu lebih dulu. Saking terburu-buru kakinya yang kesemutan terpeleset. Ia terjerembab dan jatuh justru di atas kabel yang terbuka! Ia menjerit kesakitan, sementara tubuhnya menggelepar. Bersamaan dengan itu percikan api sudah mulai membakar kayu kaso, dan dengan cepat menjalar ke mana-mana.
Jason melengkingkan tangisnya. Kristin tetap diam tak bergerak.
375 *** Malam itu Tom merasa gelisah. Ia mondar-mandir saja tanpa bisa berkonsentrasi pada satu kegiatan. Ia belum mengantuk. Malam belum terlalu larut. Baru sekitar pukul sepuluh. Kedua orangtuanya sudah tidur. Ia masih saja memikirkan Kristin. Apa yang sebenarnya mau dikatakan Kristin tapi lalu diurungkannya tadi" Mestinya itu sesuatu yang berat diungkapkan.
Apakah Kristin baik-baik saja" Kenapa pembantu yang ditugaskan Adam memata-matai Kristin malah diusir" Itu berarti si pembantu tak diperlukan lagi. Kenapa" Mungkin Adam punya rencana lain. Kenapa Kristin dibohongi" Pasti berkaitan dengan rencana itu. Tiba-tiba Tom ketakutan. Ia menggigil. Ia memutar telepon rumah Kristin. Ia tak peduli lagi bila Adam yang menerima. Yang penting ia harus mendengar suara Kristin. Bila ia bisa mendengarnya, berarti Kristin baik-baik saja. Tapi tak ada yang mengangkat telepon di rumah Kristin. Sudah tidurkah mereka" Tom tidak yakin. Ia ganti menelepon Maria. Lama menunggu.
Dering telepon di rumah Maria sangat gigih. Terus berbunyi. Maria dan Henry yang bara saja tertidur, segera terbangun. Henry mengangkatnya. Tapi saat itu juga Maria mendengar lengking tangis Jason. Ia terkejut, lalu lari ke luar. Henry melihatnya, tapi ia harus menjawab telepon Tom, "Oh, Kristin" Dia baik-baik. Tadi..." Ia tak bisa meneruskan karena terdengar jeritan Maria,
"Paaa! Cepat, Paaa! Aduh! Tolong! Tolong! Kebakaran! Kebakaran!"
376 Henry melepas gagang pesawat telepon. Ia membiarkannya saja tergantung, lalu segera berlari ke luar.
Tom mendengar jeritan itu. Jantungnya serasa mau copot. Ia berlari ke dalam, menggedor pintu kamar orangtuanya. "Paaa! Saya ke rumah Oom Henry! Ada kebakaran!" serunya. Tanpa menunggu jawaban ia berlari ke luar. Untung masih sempat menyambar dompetnya. Lalu ia berlari di jalan seperti maling dikejar warga. Untung ada taksi yang tak mencurigainya dan bersedia ditumpangi. "Cepat ya, Pak! Ada kebakaran!"
Sopir taksi bingung, tapi memutuskan untuk tidak bertanya. Ikuti saja kehendak penumpang. Yang penting dia bukan perampok.
Ketika Tom tiba, suasana di sekitar rumah Kristin sudah hiruk-pikuk. Terdengar sirene mobil pemadam kebakaran. Tom lemas. Bagian atas rumah Kristin sudah seperti obor! Di sana ada kamar bayi dan kamar tidur Kristin! Tom merangsek maju menerobos kerumunan sambil berteriak, "Kris! Kristiiiiin....! Kristiiiin...!"
Sebelum berhasil memasuki rumah ada yang menarik tangannya. Ia meronta. "Tom! Tenang, Tom!"
Tom menoleh. Henry di sampingnya. "Oom, bagaimana Kristin dan Jason""
"Mereka baru saja diselamatkan. Ada di sana, Tom! Tolong mereka, ya"" Henry menunjuk rumah di seberangnya. Lalu Henry berlari ke rumahnya sendiri. Ia bermaksud menyelamatkan barang-barangnya andaikata api menjalar ke rumahnya.
377 Tom berlari ke seberang. Di sana Maria sedang menangis sambil menggendong Jason. Betapa terkejutnya Tom ketika melihat Kristin terbaring diam di sofa. Wanita pemilik rumah tampak bingung.
"Saya dokter, Bu!" Tom mengenalkan dirinya ketika memeriksa Kristin. Ia lega karena Kristin masih hidup. Tapi gejalanya memperlihatkan kondisi terbius. Ada juga kemungkinan menghirup asap. Lalu ia memeriksa Jason. Anak itu tenang meskipun tidak tidur. Dan tampaknya baik-baik saja. Tom meminta tolong pada pemilik rumah untuk memanggil ambulans. Setelah itu b
aru ia teringat. "Adam! Apakah dia..."" tanyanya kepada Maria.
"Dia lagi pergi. Oh ya, dia harus diberitahu, ya"" Maria seperti orang linglung. "Tadi Kristin memberi-tahu nomor telepon teman Adam yang mau dikunjunginya. Kalau rumahku selamat, tentu catatan nomornya pun ada."
"Malam-malam kok pergi," gerutu Tom.
Maria menjadi lebih tenang melihat pemadam kebakaran sudah datang dan mulai bekerja. Untunglah rumahnya dengan rumah Kristin tidak berdempetan. Dan angin pun tidak bertiup kencang. Sambil menunggu ia bisa bercerita.
"Aku yang menggendong Jason. Oom dan si Iyem menggotong Kristin. Kamarnya penuh asap."
Maria menciumi Jason. Ia membasahi wajah Jason dengan air matanya.
Rumah Maria selamat. Yang terbakar hanya rumah Kristin, dan hanya ruang bawahnya saja yang tersisa. Kristin sadar di rumah sakit. Ia menangis bukan
378 karena rumahnya yang hancur, tapi oleh rasa bersyukur bahwa Jason pun selamat. "Apakah Adam sudah tahu"" tanyanya. "Kok belum datang""
"Dia sudah ditelepon di alamat yang kauberikan itu, Kris," jelas Maria. "Tapi menurut yang punya rumah, Adam tidak ada di sana. Adam tidak pernah ke sana!"
Tom sangat geram. Apalagi ketika ia melihat kesan yang sama muncul di wajah Kristin.
"Setelah aku minum jus yang diberikannya, rasanya kok mengantuk dan berat sekali."
"Kita harus melaporkannya, Kris. Ia pasti tertangkap. Mau lari ke mana sih"" kata Tom.
"Tapi belum tentu dia pelakunya, Tom."
"Ketika masuk kamar bayi, rasanya aku melihat tangga." Henry mengingat-ingat. "Dan... dan plafonnya bolong. Pas di atas tangga!"
"Oh ya." Maria pun teringat. "Ada celana panjang dan kemeja Adam di dekat kakimu, Kris."
"Betul. Itu yang dipakai Adam ketika kulihat meninggalkan rumah," Henry menyambung.
"Kalau begitu, dia kembali lagi. Tapi saat itu aku sudah tidak sadar jadi tidak tahu lagi apa yang dikerjakannya," keluh Kristin.
Lalu mereka berpandangan. Kesan sama muncul di wajah mereka.
"Masa dia pergi dengan baju dalam" Kenapa repot tukar baju dulu""
Pertanyaan itu terjawab kemudian. Petugas yang memeriksa tempat kejadian menemukan sesosok tubuh yang hangus. Dan untuk sementara mereka memperkirakan penyebab kebakaran adalah arus pendek listrik.
379 "Itu pasti Adam!" seru Lien, yang sudah datang bergabung bersama suaminya di rumah sakit untuk menjenguk Kristin dan Jason.
"Siapa lagi"" sambung Maria dengan kesal. Si Adam itu pasti sudah gila.
"Kok tega, ya"" Bun Liong tak habis pikir.
"Itulah yang namanya hukum karma!" seru Lien lagi. Penuh semangat dan kepuasan.
"Sudahlah, Ma!" kata Tom. Tatapannya tertuju kepada Kristin. Tampak wajah pucat Kristin penuh air mata. Mereka yang ribut tadi segera tersadar. Sempat terlupakan bahwa Kristin adalah istri Adam. Satu per satu mereka memeluk Kristin untuk meminta maaf. Kristin cuma terpaku. Yang terpikir olehnya adalah kenangan masa lalu. Ketika dia untuk pertama kalinya menatap rumah bagus itu. Dan Adam berdiri bangga di sisinya. "Ini persembahanku untukmu, Sayang!" kata Adam. Betapa bahagianya dia.
Ternyata kebahagiaan itu begitu singkat.
Dengan bantuan dana dari Tom, rumah Kristin segera diperbaiki. Semula Kristin bersikeras akan memperbaiki dengan tabungannya sendiri. Adam juga memiliki simpanan di bank, yang bisa digunakannya untuk memperbaiki rumahnya. Tapi Tom mengingatkan, bahwa masa depannya bersama Jason membutuhkan dana juga. Itu lebih penting. Padahal Kristin tidak bekerja.
Untuk sementara Kristin tinggal bersama Maria. Maka hari-hari menjelang kepulangannya ke Amerika, lebih banyak dihabiskan Tom di rumah Maria. Tak ada lagi yang perlu disembunyikannya dari peng-
380 amatan Maria setelah datang e-mail dari Susan untuk orangtuanya.
"Mama dan Papa tersayang, luar biasa berita yang terakhir itu! Tak salah lagi. Pastilah Adam yang membunuh Sonny. Sudahlah. Dia sudah menerima hukumannya. Saya jadi berpikir keras. Sepatutnya kita tidak menghukum siapa pun dengan dendam kita. Ada yang lebih berkuasa daripada kita, yang kelak akan menjatuhkan hukumannya. Saya akan datang ke Jakarta pada awal September sebagai warga negara Indonesia! Tapi saya tidak datang sendiri. Rencananya bersama
seseorang. Dia kekasih saya. Terimalah dia dengan terbuka, ya Ma, Pa""
Jadi Susan sudah punya kekasih" Dan dia bukan Tom" Maria dan Henry kecewa, tapi terobati. Susan sudah pulih dan menghapus sumpahnya. Mereka akan segera bertemu dengannya. Tapi siapa gerangan kekasihnya itu"
Tom menggelengkan kepala. Ia juga merasa sur-prise. Rupanya Susan pintar menyimpan rahasia.
"Mungkin orang Selandia Baru, Tante. Habis Susan tak pernah cerita."
"Apakah dia bule""
"Wah, nggak tahu juga, Tante."
Meskipun Susan meninggalkan teka-teki, Tom merasa gembira mendengar berita itu. Ia bisa mendekati Kristin tanpa dicurigai. Kedua orangtuanya maupun suami-istri Lie bisa menerima hubungannya dengan Kristin secara wajar.
Kristin mendapat pekerjaan sebagai penerjemah
381 free lance bahasa Inggris. Dengan demikian ia bisa bekerja di rumah tanpa harus meninggalkan Jason. Ia memang tak bisa bekerja full time di kantor seperti dulu. Biarpun honornya tak terlalu besar, tapi sebagai awal itu sudah cukup. Dengan bekerja ia juga bisa melupakan tragedi yang menimpanya. Tom juga mendukung hal itu. Pengalamannya sendiri membuktikan, bahwa mengisi waktu dengan bekerja bisa mengobati luka hati.
Pada suatu kesempatan, Tom bertanya kepada Kristin, "Maukah nanti kau tinggal di Amerika, Kris""
Kristin tertegun. "Amerika" Uh, ngapain aku di sana" Maksudmu, tinggal atau jalan-jalan""
"Mulanya jalan-jalan. Kalau kau suka, bisa tinggal di sana. Sama Jason tentunya."
"Tapi aku kerja apa, ya""
"Itu kan gampang. Kalau sudah punya green card bisa cari kerja. Kau pintar." "Tapi..."
"Aku memang muter-muter, ya" Sebenarnya waktunya kurang tepat. Adam belum lama meninggal. Kau tentunya masih bersedih. Tapi waktuku tinggal sedikit. Begini, Kris. Aku... ah... I love you so much! Maaf, ya. Mungkin aku kurang peka. Egois."
Kristin tersenyum. "Tidak apa-apa. Waktumu memang tinggal sedikit. Aku mengerti."
"Kau mengerti" Jadi, adakah harapan untukku""
"Ya, ada," sahut Kristin terus terang.
"Oh!" Tom bersorak.
"Tapi berilah aku waktu selama enam bulan." "Berapapun akan kuberikan. Asal jangan terlalu lama."
382 Tom merasa bagai bermimpi. Kristin pun serasa mendapat kejutan. Kebahagiaan memang bisa saja singkat. Tapi selama masih ada kehidupan, kemungkinan meraih kebahagiaan itu kembali tetap ada.
383 XIII New York City, awal bulan Agustus.
Ketika Tom kembali pada kegiatan rutin profesinya ia menemukan perubahan. Danny Martin sudah berhenti dari Presbyterian Hospital dan pindah kerja ke rumah sakit lain di New Jersey.
Ron yang memberitahu hal itu. Ia pun menyerah-kan sepucuk surat dari Danny.
Dear Tom, kau sudah tahu, bukan" Forgive me. Aku sudah menghancurkan rumah tanggamu. Aku juga pengecut. Tapi aku tak ingin kehilangan seorang sahabat yang baik. Menyesal pun percuma, ya" Kau pasti akan bilang begitu. Percayalah, Tom. Penyesalanku selangit. Aku memang sakit. Aku seorang maniak. Susan berkata begitu juga. Katanya aku perlu terapi. Penyakitku itu disebabkan karena aku merasa terlalu tampan. Penasaran kalau ada perempuan yang tak bisa kutaklukkan. Ternyata Susan lain sendiri. Dia sama sekali tidak terpikat olehku. Dia malah kasihan sama aku! Katanya, ketampananku itu bukan karunia, melainkan kutukan! Duh, mengerikan
384 sekali! Meskipun aku dibuatnya takut, tapi dia perempuan yang hebat. Katakan itu kepadanya.
Aku baru masuk kerja bulan depan. Jadi sebulan penuh aku menganggur. Aku mau ke Jakarta, Tom! Tentu kau bisa menebak apa tujuanku ke sana. Aku ingin menjenguk Debbie dan Viv.
Sekali lagi maafkan aku. Jangan mengutukku, ya" Please!
Tom termenung lama sesudah membacanya. Danny cukup bijak dengan menghindar darinya. Biarpun dendam sudah tak ada lagi, tapi rasanya jadi kurang enak untuk berdekatan dan bekerja sama dengannya setelah semuanya terbuka. Mau tak mau kenangan pahit itu muncul lagi kalau melihatnya. Tentu bukan cuma dirinya yang merasa begitu. Danny akan lebih menderita. Mengherankan juga bagaimana dia bisa tahan berpura-pura begitu lama. Mungkin juga dia malah menikmatinya. Lalu menunggu dengan senang campur tegang kapan tabir terkuak. Setiap orang punya keunikan da
n juga keanehan sendiri. "Apakah kau memaafkannya, Tom"" Ron ingin tahu.
"Ya. Dia memang sakit." "Seperti kata Susan."
"Ya. Susan memang hebat. Seperti diakui Danny sendiri. Oh ya, kabarnya Susan sudah punya kekasih. Dia mengirim e-mail kepada orangtuanya. Aku sempat diberitahu. Ada lagi kabar gembira lain. Dia akan ke Jakarta bulan depan bersama kekasihnya itu."
Ron tersenyum. "Jadi bukan kau orangnya."
385 "Ah, bukan. Dia selalu menganggapku sebagai kakak. Tapi aku heran. Waktu ke sini tempo hari dia tidak pernah bercerita soal itu. Malah dia mengaku belum punya kekasih. Apa ketemunya baru-baru saja, ya" Cinta kilat rupanya."
"Sebenarnya dibilang cinta kilat juga tidak, Tom. Semuanya berlangsung wajar saja. Dalam hal seperti itu biasanya kita punya indera keenam."
Tom bingung sejenak. Ia mengamati Ron dengan tatapan selidik. "Hei! Kamukah orangnya"" tanyanya takjub.
Ron mengangguk dengan ekspresi berbinar. "Ya. Akulah orangnya!" sahutnya bangga.
"Waduh, kapan kalian menjalin hubungan"" Tom hampir tak percaya.
"Tempo hari kan dia ke sini," kata Ron.
"Sesingkat itu"" Tom tak mengerti bagaimana Susan bisa bersikap ceroboh dengan menjalin cinta kilat. Ia memang sudah tahu kualitas seorang Ronald Brown, tetapi seharusnya Susan menemukannya sendiri. Bukan lewat perantara.
Ron masih tersenyum. "Oh, ada prosesnya dong, Tom. Kami tetap berhubungan lewat e-mail"
"Cukupkah itu""
"Tentu cukup." Tom tersadar. Ia segera menubruk Ron lalu me-meluknya dan menepuk punggungnya. "Selamat, Ron! Selamat! Maaf, terlambat."
"Ia akan mempertahankan kewarganegaraannya," kata Ron.
"Ya. Kudengar juga begitu. Orangtuanya bahagia
386 tak kepalang. Apa dia bilang padamu tentang alasannya""
"Katanya dia mulai berpikir lain setelah mendengar cerita tentang barongsai turun ke jalan." "Barongsai""
"Menurut Susan, itu simbol tentang harapan dan semangat."
Tom yakin, Susan belum pernah melihat barongsai menari di jalan-jalan Jakarta. Ia sendiri tidak ingat lagi apakah di awal usianya ia masih sempat melihat. Tak ada kenangan tentang itu dalam memorinya. Ia lebih banyak mendengar cerita orangtuanya.
Lalu giliran Tom bercerita mengenai pengalaman hebatnya di Jakarta. Ron pun memberinya selamat.
"Oh, aku tak sabar menunggu saat itu! Aku akan mengajak Susan berkenalan dengan Kristin bila ke sana nanti!" seru Ron. "Akan sabarkah kau menunggunya" Enam bulan kan lama. Mestinya kau menawar."
"Pada saat itu aku tak berada dalam posisi mampu menawar. Diterima saja sudah syukur. Tapi aku akan mengundangnya berlibur ke sini Desember nanti."
"Bersama anaknya""
"Eh, anakku juga lho!"
Mereka membagi kebahagiaan bersama. Andaikata Danny ada di situ, mungkin dia bisa ikutan berbahagia. Sebagai sahabat, Danny menyenangkan. Tom yakin, Danny akan jatuh hati kepada Debbie. Anak itu memang mewarisi keindahan fisik ayahnya. Mudah-mudahan saja tidak mewarisi "penyakitnya" juga.
Tom tak bisa membayangkan bagaimana reaksi
387 Maria dan Henry bila Susan datang bersama Ron. Ternyata sang kekasih bukan berkulit kuning, sawo matang, atau putih, melainkan hitam! Mudah-mudahan mereka bisa menerima dengan penuh ketulusan, bahwa warna kulit bukanlah penentu baik-buruknya seseorang.
Seharusnya Susan mempersiapkan orangtuanya dulu sebelum pertemuan itu terjadi. Membiarkannya sebagai misteri bisa mengejutkan mereka. Tom memutuskan akan menasihati Susan lewat e-mail. Ternyata dia jadi sibuk sekali dengan pekerjaan yang satu itu. Bukan cuma Susan yang perlu dikirimi e-mail, tapi juga orangtuanya, orangtua Susan, dan tentu saja Kristin. Ia akan mendahulukan Kristin dari semuanya!
TAMAT tamat Misteri Nuri Gagap 1 Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng Kite Runner 4
^