Pencarian

Kuncup Sebelum Berbunga 1

Luruh Kuncup Sebelum Berbunga Karya Mira W Bagian 1


Mira W. Luruh Kuncup Sebelum Berbunga
Scan by: otoy http://ebukita.wordpress.com
Edit & Convert to Jar, Txt, Pdf: inzomnia
http://inzomnia.wapka.mobi
Kuncup itu telah gugur Luruh sebelum berbunga Tetapi... Dia gugur untuk menjadi pupuk kehidupan
Bagi alam sekitarnya.... Bab I Ari meniup kelima batang lilin di atas kue ulang tahunnya itu kuat-kuat. Hup. Hup. Hanya dua lilin yang padam. Ketiga lilin yang lain masih hidup. Lidah apinya bergoyang-goyang menantang.
"Tiup lagi, Ari!" Kris memberi semangat. "Tiup lagi! Lebih kuat!"
Ari menarik napas dalam-dalam. Mengisi paru-parunya sepenuh-penuhnya dengan udara. Lalu... hup! Diembuskannya udara itu kuat-kuat.
Dua batang lilin padam sekaligus. Tetapi lilin yang ketiga belum. Apinya masih melenggang-lenggok nakal diembus angin dari celah-celah pintu. Di luar hujan memang sedang lebat-lebat-nya.
Ari sudah memonyongkan mulutnya dengan gemas. Siap meniup lilin yang terakhir. Dewi yang berlutut di sisi anaknya pun sudah menahan napas. Kris bahkan telah mengangkat kedua belah tangannya. Siap untuk bertepuk tangan begitu lilin yang nakal itu padam.
Tetapi Ari belum sempat meniup. Ada angin yang amat kencang menerobos masuk. Mengempaskan pintu yang memang belum terkunci. Dan mendahului memadamkan api lilin yang terakhir.
Berbareng dengan itu, halilintar menggelegar membelah udara. Memutuskan aliran listrik. Lampu dalam rumah serentak padam. Gelap langsung menyergap. Dan Ari menjerit ketakutan.
Cepat-cepat Dewi meraih anaknya. Memeluknya erat-erat. Sementara Kris menutup pintu. Dan menguncinya. Dinyatakannya pemantik api. Disulutnya kembali lilin-lilin di atas kue itu.
Seberkas sinar menerangi paras Ari yang pucat pasi. Matanya terbelalak ketakutan. Dia tampak begitu kecil dan lemah dalam pelukan ibunya.
Segores perasaan tidak enak menyergap hati Kris. Entah mengapa bayangan wajah Ari saat itu terasa amat berkesan. Mengguratkan sesuatu, entah apa, di hatinya. Sesuatu yang menyakitkan. Menakutkan. Mengerikan....
"Tidak apa-apa, Ari..." suara Dewi terdengar bergetar di sela-sela desau angin dan gemericik hujan. "Cuma hujan...."
Saat itu, tidak sadar Kris menoleh pada istrinya. Dan dia melihat wajah Dewi sama pucatnya dengan paras Ari. Terselip jugakah perasaan tidak enak itu di hatinya" Atau... dia hanya terkejut"
"Sini, Ari, sama Papa," Kris mengulurkan tangannya. Hendak didekapnya anak itu, seakan-akan hendak melindungi buah hatinya dari setiap mara bahaya.
Tetapi Dewi tidak mau melepaskan Ari. Dia malah mengetatkan pelukannya.
"Selamat ulang tahun, Sayang," bisiknya lembut. Diciuminya anaknya dengan penuh kasih sayang.
Kris merangkul mereka berdua. Dan mengecup dahi Ari.
"Selamat ulang tahun ya, Ri."
Kris berusaha meringankan suaranya. Ini hari gembira. Hari bahagia mereka. Hari ulang tahun Ari. Mengapa harus berduka"
Persetan dengan segala macam firasat. Yang bertingkah tadi cuma angin. Kebetulan saja malam ini hujan lebat. Halilintar dapat menggelegar kapan saja. Memadamkan listrik. Itu soal biasa. Angin pun dapat berembus kencang setiap saat.
Pintu memang baru tertutup. Belum sempat dikunci. Lumrah jika angin kencang seperti ini mengempaskannya. Jadi, apa yang harus ditakuti"
Mengapa dia jadi bersikap seperti wanita begini" Apa-apa firasat. Pertanda. Alamat buruk. Ah. Tidak masuk akal! Dia harus dapat mengusir kemuraman pada malam ulang tahun anaknya ini. Mereka harus bergembira. Harus!
"Coba, Ari ingat nggak, Ari minta apa sama Papa" Buat kado ulang tahun Ari. Ingat""
Ari mengangguk pelan. Masih meringkuk dalam pelukan ibunya. Tetapi ketakutan di dalam matanya telah memudar. Pipinya yang montok mulai bersinar kembali.
"Ari minta apa sih sama Papa"" Dewi pura-pura tidak tahu, meskipun sejak kemarin dia harus membagi tempat yang sempit di kamarnya dengan benda itu.
"Sepeda," sahut Ari mantap. "Yang ada bon-cengannva." "Mengapa mesti ada boncengannya"" "Supaya Pinta bisa ikut." Pinta adalah anak perempuan yatim-piatu yang tinggal di rumah sebelah. Teman main Ari. Umurnya mungkin empat tahun. Mung
kin lebih. Mungkin pula kurang. Tidak ada yang tahu.
Tubuhnya jauh lebih kecil daripada tubuh Ari. Kurus kering. Kotor. Tidak pernah memakai sandal. Apalagi sepatu. Bajunya hanya seminggu sekali berganti. Rambutnya entah sudah berapa bulan tak pernah dicuci. Rambut itu bergumpal menjadi satu. Lengket. Basah berminyak peluh dan debu.
Sebenarnya Dewi tidak suka Ari-nya yang bersih dan montok itu bermain-main dengan Pinta. Ibu mana yang senang anaknya bergaul dengan sarang kuman"
Entah sudah berapa kilo cacing yang diternak di dalam usus Pinta. Belum lagi jamur-jamur yang tumbuh subur di kulitnya. Bagaimana tidak" Pinta mencari nafkah dengan membantu kakaknya mengorek-ngorek tempat sampah. Mencari kertas-kertas bekas. Karton. Kardus. Botol plastik. Kaleng bekas. Entah apa lagi.
Makannya tidak teratur. Tidur pun semaunya. Mandinya dua hari sekali. Tidak ada yang tahu dia punya sabun atau tidak.
Satu-satunya alasan yang menyebabkan Dewi tidak tega melarang anaknya bermain-main dengan Pinta cuma ini: anak yatim-piatu itu buta. Setiap kali melihat Pinta, dia merasa iba. Sudah miskin. Yatim-piatu. Cacat pula. Ah, entah dosa apa yang telah diperbuat orangtuanya.
Lamunan Dewi dibuyarkan oleh sorakan Ari. Dia melonjak gembira. Dan meloloskan diri dari pelukan ibunya. Disongsongnya ayahnya yang keluar dari dalam kamar menuntun sebuah sepeda kecil.
"Eh, nanti dulu, Bung!" Kris menyergap Ari yang sudah menghambur ke atas sepeda barunya dengan penuh semangat. "Bilang apa dulu sama Papa""
"Terima kasih, Papa!" sahut Ari asal saja. Sama sekali tidak menoleh pada Kris. Matanya yang bersinar-sinar dibalut kegembiraan tak lepas-lepasnya menatap sepeda itu. Dewi menahan senyum melihat ulah anaknya.
"Cuma itu"" Kris pura-pura merajuk. Tidak dilepaskannya Ari dari rangkulannya. Padahal dia tahu sekali, Ari sudah tidak sabar. Hendak menyentuh sepedanya.
"Mahal-mahal Papa beli sepeda ini, Ari cuma bilang terima kasih""
"Ala, Papa! Habis Ari mesti bilang apa lagi dong""
"Cium Papa!" Secepat, kilat Ari mengecup pipi ayahnya. Baru juga ujung bibirnya menyentuh kulit muka Kris, tubuhnya sudah bergerak hendak melepaskan diri dari pelukan ayahnya.
"Lho, belum kena!" protes Kris.
"Ah, Papa!" Agak gemas Ari mencium pipi ayahnya. Kali ini lebih keras. Lebih seru. Lebih lama. Sampai berbunyi. Cup. Cup.
"Aduh!" Kris pura-pura menjerit. "Ari mencium atau menggigit""
"Ah. Papa begitu sih! Cerewet!"
"Sekali lagi, ya. Tapi yang enak. Yang mesra."
Sekali lagi Ari mencium pipi ayahnya. Kali ini dia memang bersungguh-sungguh. Matanya tidak lagi melirik sepedanya.
Kris merasa dadanya berdebar hangat ketika bibir Ari yang mungil memagut pipinya. Didekapnya Ari erat-erat. Diciumnya wajah anaknya dengan mesra.
Dewi tersenyum antara haru dan bahagia melihat adegan itu. Dia tahu betapa sayangnya Kris pada Ari. Delapan tahun mereka menunggu hadirnya seorang anak di tengah-tengah mereka. Pernah suatu waktu mereka malah sudah berputus asa.
"Barangkali kita dikutuk orangtua, Mas," keluh Dewi lirih setiap kali tamu yang tidak diundang itu hadir. Sudah beberapa kali haidnya terlambat. Tetapi pengharapannya selalu sia-sia. Yang terlambat itu ternyata memang cuma terlambat. Bukan tidak datang.
"Ah, jangan berkata begitu, Wi," bantah Kris tegas, meskipun hatinya sendiri ragu. "Masa ada orangtua yang tega mengutuk anaknya" Ayah memang tidak merestui pernikahan kita. Tetapi itu tidak berarti Ayah sampai hati untuk mengutuki perkawinan ini."
"Yang tidak setuju kan bukan cuma ayahmu, Mas."
"Ibu juga tidak merestui perkawinan kita. Tapi aku kenal Ibu, Wi. Beliau takkan pernah me-nyumpahiku."
"Mungkin bukan menyumpahimu, Mas. Tapi aku!"
"Sudahlah. Jangan menyalahkan siapa-siapa! Barangkali Tuhan belum mengizinkan kita menimang seorang anak."
"Tapi apa dosaku pada Tuhan, Mas" Mengapa Tuhan tidak pernah mengabulkan permintaanku""
"Kata siapa belum pernah, Wi" Tak pernahkah kamu minta sesuatu yang lain pada Tuhan" Yang telah dikabulkan-Nya""
Kris meraih tubuh istrinya dengan lembut. Diciumnya bibir Dewi dengan penuh kasih sayang.
"Dulu kamu tak percaya kita akan dapat memiliki hari-hari seperti ini dalam hidup kita, bukan" Tapi Tuhan telah memberikannya pada kita, Wi. Hari-hari yang begitu penuh kebahagiaan. Mengapa kamu tidak mau berterima kasih, Wi" Apa artinya anak jika dibandingkan dengan kebahagiaan yang telah kita miliki sekarang""
Satu hal Kris benar. Anak memang tidak dapat dibandingkan dengan kebahagiaan mereka. Tidak ada suatu pun yang dapat ditukar dengan pernikahan ini. Tapi Dewi juga tahu, Kris berdusta jika dia mengatakan tidak mengharapkan seorang anak.
Setelah tahun-tahun kemanisan cinta mereka mulai memudar, mereka sama-sama mengharapkan sesuatu yang lain. Seutas tali pengikat yang lebih kuat. Mungkin bahkan lebih kuat daripada tali cinta mereka. Anak. Pupuk penyubur pohon perkawinan mereka. Dan itulah yang tak pernah mereka miliki. Sampai tahun perkawinan mereka yang kedelapan.
Bab II "Dengan adik Tato" Tidak, Kris! Tidak! Jika sudah tidak ada perempuan lagi di dunia ini pun, Ayah tidak sudi menikahkan kau dengan perempuan itu!"
"Lebih baik kau tidak usah menikah daripada Ibu harus melamar anak perempuan mereka!" geram Ibu sama berangnya.
"Masih banyak perempuan lain," desis Ayah menahan marah. "Dengan anak tukang becak pun Ayah tidak peduli! Asal jangan dengan perempuan itu! Ayah tak sudi kau menikah dengan dia!"
"Tapi saya mencintai Dewi, Ayah," desah Kris putus asa. Dia tahu, sia-sia memohon. Meratap. Mengemis. Pasti tak ada gunanya.
Setelah peristiwa naas itu, kedua keluarga mereka saling bermusuhan. Malangnya, cinta justru tumbuh di antara anak-anak mereka. Dan orang yang paling malang itu adalah dia sendiri. Dia justru jatuh cinta pada Dewi, putri Pak Prawoto, orang yang paling dibenci ayahnya.
Cinta memang sudah lama tumbuh di antara Kris dan Dewi. Sejak SMA. Dulu tak ada rintangan dalam hubungan mereka. Apalagi kedua abang mereka. Tato dan Handi, bersahabat sejak kecil.
Tetapi justru persahabatan merekalah yang membawa petaka. Dalam keadaan mabuk, Tato terlibat perkelahian. Handi mencoba menolong sahabatnya. Memang bukan salah Tato jika ujung pisau lawannya kemudian mengenai lambung Handi. Semuanya hanya kebetulan belaka.
Tato bahkan mengamuk ketika melihat keadaan sahabatnya. Tatkala dilihatnya Handi terkapar berlumuran darah, dia melompat merebut pisau lawannya. Dan menikamkannya ke dada pemuda pemilik pisau itu.
Namun kendatipun Tato harus mempertanggungjawabkan perbuatannya dengan kehilangan kebebasannya selama bertahun-tahun di dalam penjara, orangtua Handi tidak dapat memaafkannya. Mereka kehilangan Handi untuk selama-lamanya. Dan untuk selama-lamanya pula mereka tidak mau mengenal lagi keluarga Tato.
"Abangnya berandalan! Pemabuk! Tukang berkelahi! Pasti adiknya juga brengsek!"
"Dewi tidak seperti itu, Bu!" bantah Kris separo mengeluh. "Ibu kan tahu bagaimana sifatnya'"
"Tapi kau juga kan tahu apa yang telah dilakukan abang gadis itu pada abangmu!"
"Bukan Tato yang membunuh Handi!"
"Tapi dia yang mencelakakannya!"
"Mereka terlibat perkelahian..."
"Tidak akan terjadi, kalau berandal itu tidak mabuk-mabukan! Dan tidak mengajak Handi! Sudah sejak dulu Ibu peringatkan abangmu, jangan bergaul dengan bajingan itu! Tapi Handi selalu membelanya! Sampai dia harus kehilangan nyawanya sendiri...."
Ibu Kris mulai menangis lagi. Dan kalau sudah sampai di sana, Kris tahu, percuma memohon lagi. Semua jalan telah tertutup
*** "Tak ada jalan lain, Wi," kata Kris akhirnya. Sudah seratus kali lebih mereka membincangkan hal itu. Perkawinan mereka. Masa depan mereka. Selalu menemui jalan buntu. Sikap orangtua Kris sudah sedemikian kerasnya. Tak mungkin dicairkan dengan apa pun.
"Pilih kami atau gadis itu," ancam ayahnya kemarin, ketika untuk kesekian kalinya Kris mengajak orangtuanya berembuk. Dan Kris sadar, tidak mungkin menawar lagi. Dia harus mengambil keputusan.
"Aku sudah berhenti kuliah, Wi. Dan sudah melamar pekerjaan. Begitu aku kerja, aku akan membawamu pergi."
"Dan kehilangan orangtuamu"" "Aku tidak mungkin memperoleh kedua-duanya."
"Biarlah aku mencoba sekali la
gi. Aku akan datang memohon pada ayahmu. Aku akan berlutut mencium kaki mereka...."
"Percuma. Kamu cuma menyakiti hatiku."
"Aku tidak mau kamu dikutuk orangtua."
"Tidak ada pilihan lain. Jika Tuhan menganggapku berdosa kepada orangtuaku, aku rela menanggung hukumannya."
Dewi memeluk kekasihnya dengan terharu. Cinta Kris terhadapnya demikian besar. Dia bahkan rela dibuang oleh keluarganya. Asal tidak usah meninggalkan Dewi. Panorama laut di ujung senja di tepi pantai seakan-akan menjadi saksi ketulusan cinta mereka.
"Mungkin hidup kita akan susah, Wi." Kris mendekap gadis itu ke dadanya. Dibelai-belainya rambut Dewi dengan penuh kasih sayang. "Aku tidak punya apa-apa...."
"Kamu punya sesuatu yang sangat indah," bisik Dewi lembut. "Cintamu."
"Kita tidak bisa hidup hanya dengan cinta, Wi."
Tapi cinta akan menguatkan kita. Dalam penderitaan yang bagaimanapun beratnya, cinta akan menghangatkan kita." "Kamu tidak menyesal"" "Kamu menyesal""
Kris menggeleng. "Aku sudah memikirkannya masak-masak. Keputusanku telah bulat. Aku akan membawamu pergi."
"Kalau begitu jangan tanya lagi, Kris. Aku akan ikut ke mana pun kamu membawaku."
Sekali lagi mereka berdekapan. Kali ini lebih lama. Lebih hangat. Lebih penuh arti.
"Tunggu sampai aku mendapat pekerjaan, Wi. Lalu akan kita wujudkan impian kita. Akan kubuktikan kepada orangtuaku, aku tidak salah memilihmu."
"Mengapa harus menunggu" Mengapa kita tidak menikah sekarang saja" Aku tidak mau berpisah lagi denganmu."
"Kita tidak bisa hidup hanya dengan cinta, Wi. Aku harus mencari nafkah. Untukmu. Untuk anak-anak kita nanti."
"Aku sudah kerja. Aku sanggup membiayai rumah tangga kita."
"Dan memberi makan suamimu""
"Apa salahnya" Siapa bilang hanya laki-laki yang boleh mencari nafkah""
"Tapi aku tidak mau dibiayai istri! Aku tidak rela kamu membanting tulang untuk menghidupi rumah tangga kita!"
"Apa salahnya aku yang membiayai rumah tangga kita sebelum kamu mendapat pekerjaan" Jangan terjebak pada egoismemu sebagai laki-laki! Semuanya harus lelaki!"
"Jangan salah sangka, Wi. Semua itu karena aku sayang padamu. Aku tidak rela kamu bekerja keras sementara aku enak-enakan di rumah!"
"Kata siapa kamu enak-enakan di rumah" Kamu juga sedang mencari pekerjaan, kan""
"Tapi kita kan harus punya rumah, Wi. Dari mana kita punya uang untuk mengontrak rumah""
"Tabunganku sudah cukup. Perhiasan-perhias-anku pun bisa dijual. Kurasa cukup untuk mengontrak rumah kecil di pinggiran kota."
"Yang jauh dari tempat kerjamu" Jam berapa kamu harus berangkat dari rumah, Wi" Ah, aku tidak tega menyiksamu seperti itu!"
"Mengapa kamu jadi takut menderita" Bukankah katamu tadi kita harus membuktikan kepada orangtuamu pilihan kita tidak keliru" Atau kamu cuma mau menderita seorang diri" Cuma kamu yang boleh membuktikan kepada dunia bahwa cinta kita tidak sia-sia""
*** Cinta mereka memang tidak sia-sia. Bertahun-tahun mereka berjuang untuk hidup tanpa bantuan siapa pun. Mengontrak sebuah rumah sederhana di pinggiran kota. Mereka bergulat melawan nasib yang tak pernah terlalu ramah.
Ketika keadaan mereka mulai membaik, Kris bahkan mencoba melanjutkan kuliahnya sambil bekerja. Dewi-lah yang mendorongnya untuk meneruskan studinya.
"Aku tidak ingin cinta kita menggagalkan kariermu, Mas. Di sanalah letak masa depan kita."
"Tapi aku ingin kamu berhenti bekerja, Wi. Sudah waktunya kamu istirahat di rumah. Bukankah kamu ingin punya anak""
"Mas yakin kita belum dikaruniai anak gara-gara aku bekerja""
"Bukan begitu, Wi. Mungkin kamu terlalu capek."
"Lanjutkan dulu studimu, Mas. Setelah Mas berhasil, aku akan berhenti bekerja. Masih ada waktu untuk bayi kita menanti saat yang lebih baik, kan" Jika hidup kita sudah lebih mapan, hidup anak kita pun akan lebih terjamin."
Tetapi ketika saat yang ditunggu-tunggu itu telah tiba, ketika Kris telah berhasil meraih gelar Drs.-nya, anak yang mereka nantikan tidak kunjung datang juga. Sungguhpun Dewi telah hampir tiga tahun berhenti bekerja.
Ketika Dewi berkonsultasi dengan seorang dokter, yang ditemukannya bukan benih seorang anak. Melainkah
sebuah kista di salah satu indung telurnya. Sudah cukup besar. Sebesar bola tenis. Setelah melakukan beberapa pemeriksaan, dokter menganjurkan agar kista itu diangkat.
"Tapi saya ingin sekali mempunyai anak, Dokter." keluh Dewi separo meratap.
"Tentu saja Ibu masih bisa punya anak. Rahim Ibu tidak diangkat. Dan Ibu masih memiliki satu indung telur yang masih baik. Hanya saja Ibu harus sabar. Mungkin Ibu harus menunggu lebih lama."
Dan penantian yang panjang itu berbuah pada awal tahun perkawinan mereka yang kedelapan. Untuk pertama kalinya, Dewi hamil. Dan mereka menjaga kandungan mahal itu seperti menjaga sebutir intan delapan puluh karat.
Dewi praktis tidak boleh mengerjakan apa-apa lagi. Semuanya dikerjakan oleh Kris. Dia malah sudah berniat mengambil seorang pembantu kalau tidak dicegah oleh Dewi.
"Apa yang akan dikerjakan oleh pembantumu itu""" Dewi menahan senyumnya. Dia merasa sangat dimanja.
"Apa saja. Asal kamu tidak usah bekerja!"
"Termasuk mengurus suamiku""
"Aku bisa mengurus diriku sendiri."
"Lalu apa yang harus dikerjakannya" Mas sudah mengerjakan semuanya. Mencuci baju. Membersihkan rumah. Mencari uang...."
"Jangan bergurau. Wi! Aku benar-benar tidak mau kamu kehilangan bayi kita."
"Aku juga tidak. Tapi kata siapa menyapu rumah saja wanita hamil bisa kehilangan bayi" Rahimku cukup kuat kok. Dokter juga tidak
menganjurkan aku berbaring terus di tempat tidur seperti orang sakit."
"Pokoknya kamu tidak boleh bekerja. Urusan rumah serahkan saja padaku. Pulang kerja akan kubereskan semuanya."
"Dan aku harus menunggumu pulang untuk menyiapkan makan siangku""
"Akan kuminta Bu Min mengirimkan makan siangmu tiap hari."
"Ah, tidak usah! Bikin malu aku saja. Bu Min pasti mencibir. Anaknya sudah tiga belas. Tapi belum pernah dia minta dimasakkan makanan oleh orang lain."
"Tapi kamu tidak boleh kerja!"
"Yang ringan-ringan kan tidak apa-apa. Masa masak untuk diri sendiri saja tidak boleh""
"Kenapa sih kamu bandel sekali"" Kris meraih tubuh istrinya dengan hati-hati. Begitu hati-hatinya sampai Dewi merasa geli. Bahkan memeluk istrinya sendiri pun Kris takut! Takut mencederai kandungan Dewi!
"Barangkali pembawaan anakmu ini," Dewi menyentuh perutnya. "Bandel seperti ayahnya."
"Siapa bilang aku bandel" Yang bandel ibunya kok."
"Siapa yang lari dari rumah"" Kris tersenyum. Tapi Dewi melihat kepahitan mewarnai senyum suaminya. "Ingat ayahmu"" "Sudah kuberitahu orangtuaku."
"Bahwa istrimu hamil"" Kris mengangguk. Dibelai-belainya rambut istrinya. Tetapi pandangannya menerawang jauh ke langit-langit kamar. Dewi yang berbaring di sisi Kris memindahkan kepalanya ke atas dada suaminya. Ditatapnya mata Kris lekat-lekat. "Apa kata ibumu""
"Ibu tidak memberi komentar apa-apa. Tetapi Ayah begitu marah melihat kedatanganku. Kemarahannya tidak surut mendengar kabar yang kubawa, Aku sungguh kecewa."
"Mas mengharapkan kehadiran anak kita dapat meluluhkan kebencian mereka kepadaku""
"Setiap malam aku berdoa, Wi. Tapi rupanya aku belum berhasil juga melunakkan hati Ayah."
"Kita perlu waktu, Mas." Dewi mengelus-elus wajah suaminya dengan lembut. "Bersabarlah."
Tapi kesabaran mereka belum berbuah juga kendatipun kini usia Ari telah genap lima tahun. Belum pernah sekali pun orangtua Kris mengunjungi mereka. Padahal Kris dan Dewi begitu mengharapkannya.
Tidak inginkah orangtua Kris melihat seperti apa rupa cucu mereka" Sepeninggal Handi, Kris adalah anak satu-satunya. Itu berarti baru Arilah cucu mereka.
Mengapa mereka begitu keras hati" Tidak inginkah mereka melihat seperti apa cucu mereka" Menyaksikan kelucuan-kelucuannya" Mendengar
suara nyanyiannya" Merasakan kelembutan kulitnya"
"Makin besar Ari makin mirip Ayah ya, Wi"
Kris menyandarkan kepalanya di pangkuan istrinya. Dia sedang duduk di lantai bersama Ari. Membersihkan sepeda masing-masing.
Kalau Ari melihat ayahnya membersihkan sepeda, dia akan lekas-lekas mengambil sepedanya sendiri. Dan ikut membersihkannya pula. Dewi yang sedang duduk di kursi menisik celana Ari yang robek, berhenti menusukkan jarum.
"Tentu saja. Ari kan betul-betul cuc
unya. Mas kan tidak mencurigaiku""
Dewi memang hanya bergurau. Tentu saja dia tidak melihat kemiripan Ari dengan mertuanya. Apanya yang mirip"
Ari montok. Hidungnya mancung. Matanya bulat dan bening. Sementara mertuanya" Wah. Sudah pipinya kempot. Hidungnya pesek. Kepalanya botak di depan. Matanya pun sudah hampir merapat ditarik kerut-merut. Satu-satunya yang masih terlihat mentereng mungkin hanya kumisnya.
Tetapi kalau Kris menginginkan Ari mirip ayahnya, Dewi takkan membantah. Asal dapat menghibur Kris, apa salahnya"
"Ayah siapa sih, Pa"" potong Ari ingin tahu. "Ari mirip siapa""
"Eyangmu." "Memang Ari punya eyang""
"Tiap orang punya eyang." "Ari kok belum pernah melihatnya. "Ari mau melihat Eyang"" "Di mana""
"Tentu saja di rumahnya." "Jauh""
"Tidak terlalu jauh. Kira-kira setengah jam dari sini."
"Kok Eyang nggak pernah nengok Ari""
Karena Kris tidak mampu menjawab, Dewilah yang menyela,
"Eyang kan sudah tua, Ri. Tidak kuat lagi berjalan jauh."
"Kalau begitu kenapa kita tidak ke sana""
"Ke mana""
"Melihat Eyang."
Sekarang baik Kris maupun Dewi sama-sama tidak menjawab. Sekilas mereka hanya saling pandang.
"Ari mau melihat Eyang"" tanya Kris akhirnya.
"Mau. Seperti apa sih Eyang, Pa"" "Sudah tua." "Seperti Mbah Goro""
Mbah Goro adalah penjual pisang yang sering dilihat Ari memikul dagangannya lewat di depan rumah mereka. Punggungnya yang bungkuk hampir terlipat dua kalau dia sedang berjalan memikul bebannya yang cukup berat. Matanya yang rabun hampir selalu melihat ke bawah karena
sulitnya dia menegakkan kepala. Kumis, janggut, alis, dan rambutnya telah memutih semua.
Ari senang sekali kepadanya karena dia ramah dan tak pernah marah meskipun sering diganggu anak-anak. Ari selalu minta pada ibunya agar membeli pisang Mbah Goro. Dan meskipun sedang tidak ingin makan pisang, Dewi terpaksa membelinya juga.
Diam-diam Dewi juga kasihan pada kakek itu. Dalam usia selanjut itu, dia masih harus berjuang untuk hidup. Jadi meskipun sudah bosan makan pisang, Dewi tak pernah menolak kedatangan Mbah Goro.
"Tukang pisang yang tua itu," Dewi menjelaskan pada Kris. "Langganan Ari."
"Oh." Kris mengulum senyum. "Eyang belum setua dia."
"Tapi lucu seperti Mbah Goro"" desak Ari. "Mungkin tidak selucu dia," sahut Kris ragu. Duh, kalau saja Ari tahu, seperti apa eyangnya! "Dongeng-dongengannya banyak"" "Mbah Goro suka mendongeng"" "Sering."
"Eyang mungkin tidak bisa mendongeng."
"Bisa main sulap""
"Sulap"" "Mbah Goro bisa sulap. Pisang tiga bisa hilang. Tinggal satu."
Kalau dia bisa menyulap sebuah pisang menjadi tiga, barangkali dia tidak perlu berjualan
tiap hari. pikir Dewi geli. Apalagi bila dia dapat menyulap pisangnya menjadi emas!
"Nggak lucu. Nggak bisa dongeng. Nggak bisa sulap. Uh, Ari nggak mau ketemu Eyang. Buat apa!" gerutu Ari kecewa.
Bab III Dewi hampir tidak mempercayai penglihatannya sendiri. Sarung bantal Ari memerah. Merah sekali. Darah!
"Ya Tuhan!" pekik Dewi tertahan, antara terkejut dan takut. "Kenapa kamu, Ari""
Melihat ibunya secemas itu, matanya mem-beliak ketakutan, Ari jadi ikut takut. Dia menangis. Dan Dewi melihat darah yang mengalir dari lubang hidung Ari bertambah banyak.
"Mas!" teriaknya panik. "Mas! Tolong Ari!"
Ketika Kris menerobos masuk, Ari sedang muntah. Muntahannya menyemprot tanpa permisi lagi. Dewi bertambah panik. Dan Ari menangis makin hebat.
"Sudah! Sudah! Jangan nangis, Ri."
Kris berusaha mengambil Ari dari gendongan ibunya. Tetapi Ari malah melekat makin kuat. Dewi merangkulnya erat-erat. Pakaiannya telah basah oleh cairan muntah dan noda-noda darah.
Kris mengambil saputangan. Dan mencoba menghambat darah yang keluar dari dalam hidung Ari.
"Baringkan di tempat tidur, Wi. Biar aku kompres."
"Aduh. Ari. Sudah Mama bilang, jangan terlalu banyak main sepeda!" keluh Dewi sambil membaringkan tubuh anaknya. "Apanya yang sakit""
Ari menggeleng. "Mual"" Ari menggeleng lagi. "Kepalanya sakit" Pusing"" Samar-samar Ari mengangguk. "Tuh. Mama bilang apa. Jangan main sepeda terus!"
"Sore tadi dia main sepeda""
"Sampai magrib. Sama si Pinta
! Anak itu kan sudah besar. Berat kan diboncengi terus! Mana tadi sore gerimis lagi! Inilah akibatnya. Ari jadi sakit!"
"Besok jangan main sepeda dulu ya, Ri." Kris menghela napas panjang.
Ari mengangguk pelan sambil menatap ayahnya.
"Dan jangan memboncengi si Pinta lagi!" sambung Dewi kesal.
Sekarang Ari menoleh pada ibunya. Dan matanya mengawasi ibunya dengan sayu.
"Sekali-sekali boleh saja memboncengi teman, Ri," hibur Kris. Tidak tega melihat cara Ari menatap ibunya. "Tapi jangan tiap hari, ya" Dan jangan lama-lama. Nanti kamu kecapekan."
"Pokoknya tidak usah memboncengi teman! Terlalu berat untuk Ari! Lihat, hidungnya sampai keluar darah begini!"
"Anak-anak mimisan kan biasa, Wi. Apalagi kalau sedang sakit."
"Mas sih selalu membela anak," gerutu Dewi ketika Ari sudah tidur dan mereka kembali ke kamar sendiri. "Kalau aku sedang memberitahu Ari, Mas jangan membantah dong, supaya Ari memperhatikan nasihatku!"
"Maafkan aku, Wi. Tapi aku tidak tega melihat Ari dimarahi begitu."
"Kan bukan dimarahi, Mas. Cuma diberitahu. Kalau bukan kita yang melarangnya, siapa lagi" Hampir tiap hari dia keliling-keliling naik sepeda memboncengi si Pinta! Mas kira anak itu tidak berat" Ari kan masih kecil!"
"Pinta satu-satunya sahabat Ari. Lagi pula anak itu buta. Tidak punya sepeda. Kasihan kan dia."
"Mas tidak kasihan pada Ari""
"Tapi Ari juga senang kok. Aku pernah lihat mereka naik sepeda berdua beberapa hari yang lalu. Mereka ngobrol sepanjang jalan. Tertawa-tawa bersama. Ari begitu gembira. Pinta juga."
"Tapi jangan tiap hari, Mas! Ari kecapekan! Mas kira tidak berat memboncengi anak sebesar itu""
"Mungkin Ari sakit karena kehujanan tadi
sore. Wi. Sudahlah. Kasihan dia. Sedang sakit, dimarahi pula."
*** Sebenarnya Dewi tidak membenci Pinta. Hanya kurang suka. Anak itu baik. Sopan. Tapi itulah. Dewi tidak dapat mengenyahkan pikiran itu dari kepalanya.
Pinta sarang kuman. Bergaul dengan dia, Ari dapat ketularan penyakitnya. Entah sudah berapa banyak penyakit yang bersarang di tubuhnya. Mungkin sakit Ari sekarang pun berasal dari dia.
Tetapi ketika keesokan harinya Dewi membuka pintu rumahnya, Pinta sudah berada di sana. Di ambang pintu. Entah sudah berapa lama dia duduk di depan pintu rumah Dewi. Dia tidak berani mengetuk. Dia hanya menunggu dengan sabar sampai seseorang keluar membuka pintu.
"Ada apa"" tegur Dewi dingin. Anak ini pasti mencari Ari! Karena sakit Ari belum boleh bermain-main di luar. Sekarang, dia berani datang ke rumah!
Pinta meraba-raba pintu di depannya. Dan mau tak mau, jatuh belas kasihan Dewi melihatnya.
"Ari ke mana. Bu"" tanyanya lirih.
"Sakit." "Boleh Pinta ketemu Ari, Bu""
Serbasusah, pikir Dewi kesal. Dilarang masuk, kasihan. Diizinkan, ah, kotornya kaki anak itu!
"Boleh Pinta masuk, Bu"" Tangannya menggapai-gapai ke depan. Menerbitkan iba.
"Masuklah." Dewi mengembuskan kata itu bersama helaan napasnya. Apa boleh buat. Terpaksa dia melebarkan pintu.
Tertatih-tatih sambil meraba-raba Pinta melangkah masuk. Dan Ari yang sedang bermain-main di atas tempat tidurnya langsung berseru gembira ketika melihat Pinta. Dia sudah hendak melompat dari atas tempat tidurnya.
Tetapi sesaat sebelum menghambur mendapatkan temannya, Ari melihat ibunya muncul di belakang Pinta. Dan dia langsung membatalkan niatnya. Wajahnya berubah takut.


Luruh Kuncup Sebelum Berbunga Karya Mira W di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ari sakit, ya""
Pinta meraba-raba tempat tidur Ari. Dewi menghela napas panjang melihatnya. Sepulangnya Pinta nanti, seprai Ari mesti diganti. Kotor semua jadinya!
Ari mengulurkan tangannya. Memegang tangan Pinta. Dan menariknya. Sesaat sebelum Pinta duduk, Dewi menegurnya.
"Duduk di sini saja, Pinta. Jangan di ranjang Ari. Ari sedang sakit."
Yang terkejut bukan cuma Pinta. Ari juga.
Ketika Pinta meletakkan pantatnya di lantai, Ari meluncur turun mengikuti sahabatnya.
"Duduk di kursi. Ari!" bentak Dewi jengkel. "Kamu kan sedang sakit! Di lantai dingin!"
"Pinta boleh duduk di kursi, Ma""
"Siapa yang menyuruhnya duduk di lantai""
"Kata Mama dia kotor."
"Asal jangan duduk di tempat tidurmu!"
Dengan kesal Dewi meninggalkan mereka.
Serbasalah. Kalau saja mereka tinggal di tengah kota, pikir Dewi murung, barangkali Ari akan memiliki teman-teman yang lebih bersih. Lebih sehat! Bukan yang seperti ini!
"Duduk sini, Pinta."
Ari menarik tangan sahabatnya. Pinta meraba-raba kursi itu sebelum mendudukinya.
"Empuk ya kursinya," katanya polos. "Enak." Dicobanya mengayun-ayunkan pinggulnya ke atas kursi itu.
Ari menonton ulah temannya sambil tertawa geli. Lucu. Barangkali Pinta baru pernah duduk di kursi yang ada joknya.
"Kamu sakit apa, Ri""
"Pusing," sahut Ari asal saja.
"Pinta tunggu-tunggu Ari dari tadi."
"Kita main. yuk."
"Main apa" Sepeda""
"Ari belum boleh keluar."
"Jadi kita main apa""
"Robot, Ari punya robot baru,"
Ari berlari kecil menuju ke lemarinya. Dan mengeluarkan sebuah robot.
"Ini yang baru, Pinta. Robot Voltus. Kata Papa harganya mahal sekali. Ini punya anaknya teman Papa. Sudah rusak. Kakinya lepas sebelah. Tapi Papa bisa nyambung lagi."
Pinta meraba-raba robot itu.
"Lebih besar dari yang dulu ya," gumamnya kagum. "Ada pedangnya juga""
"Sudah hilang. Tapi Papa janji mau bikinkan pedang baru."
"Pinta bawa mainan buat Ari."
"Mainan apa""
"Lihat," Pinta mengeluarkan segenggam tanah liat dari dalam saku celananya.
"Buat apa tanah itu"" tanya Ari heran.
"Bisa dibikin robot." Pinta mengeluarkan sesuatu dari balik bajunya. Orang-orangan. Dari tanah liat.
"Tapi Mama marah kalau Ari main tanah." Ari melirik takut ke pintu. "Kata Mama tanah itu kotor. Banyak cacingnya."
"Tapi kita bisa bikin robot sendiri, Ri. Sebanyak-banyaknya."
"Nanti saja ya, kalau Ari sudah sembuh. Kita main ke luar. Sekarang kita main robot ini saja, ya" Pinta mau yang mana" Voltus atau Gaban""
"Pinta lapar, Ri."
"Oh, ya. Hari ini Ari belum bawa kue buat Pinta, ya" Roti mau" Ari punya sepotong di
bawah bantal. Bekas sarapan tadi pagi. Ari sembunyikan buat Pinta."
Setelah dua kali mengerling ke pintu, Ari berjingkat ke tempat tidurnya. Merogoh ke bawah bantal. Dan memberikan sepotong roti cokelat kepada Pinta.
Mencium harumnya bau roti, Pinta langsung mengulurkan tangannya. Dan mengambil roti itu dari tangan Ari. Setelah dua kali menggigit dan mengunyahnya dengan lahap, tiba-tiba Pinta seperti teringat sesuatu. Disodorkannya kembali roti itu pada Ari.
"Rotinya masih begini besar. Ari pasti tidak makan tadi pagi."
"Makan sedikit. Ari nggak kepingin makan."
"Ari kan lagi sakit. Mesti banyak makan. Supaya sehat. Nih. makan sedikit."
Pinta menyodorkan rotinya. Dan Ari langsung menggigitnya. Untung ibunya tidak melihat.
*** "Beberapa malam ini aku mimpi bertemu dengan Ayah, Wi," cetus Kris ketika mereka sedang makan malam bersama. "Aku kuatir Ayah sakit."
Dewi berhenti menyuap. Diletakkannya sendoknya. Ditatapnya wajah suaminya dengan sungguh-sungguh.
"Pergilah menengok Ayah, Mas. Memang
sudah hampir enam tahun Mas tidak ke sana. Sejak mengabarkan aku hamil, kan""
Kris menghela napas. Disendoknya nasi di piringnya tanpa selera.
"Kamu ikut, Wi""
"Aku ingin sekali, Mas. Tapi aku takut..."
"Takut ayahku marah" Atau takut sambutan mereka tidak ramah""
"Bukan cuma itu, Mas. Aku takut pertemuanmu dengan mereka terganggu. Mungkin tanpa kehadiranku, orangtuamu lebih dapat menumpahkan rasa rindunya padamu."
"Rindukah mereka padaku, Wi""
"Setelah memiliki Ari, aku malah lebih dapat menghayati bagaimana rasanya kehilangan anak, Mas. Aku tidak percaya orangtuamu tidak rindu."
"Tapi maukah mereka menyatakannya" Orangtuaku terlalu sombong. Lebih-lebih Ayah. Maukah Ayah mengakui dia juga kehilangan aku""
"Siapa tahu orangtuamu telah berubah, Mas. Tiap hari orang bertambah tua. Semakin tua seseorang, bukankah dia semakin merasa membutuhkan anaknya""
"Kalau begitu besok kita ke rumah mereka ya, Wi""
"Kita"" "Ya. Kita. Aku, kamu, dan Ari. Maukah kamu, Wi" Kita tanggung bersama segalanya." "Tentu saja aku mau, Mas. Aku sudah cukup
dewasa untuk menerima seperti apa pun perlakuan orangtuamu pada kita. Tapi Ari""
"Ari masih kecil. Dia belum mengerti apa-apa. Dia sudah sembuh, kan""
"Sudah tak pernah mimisan lagi. Nafsu makannya pun mulai
timbul. Setiap pagi dia minta dua potong roti cokelat. Yang satu disimpan. Katanya untuk bekal kalau lapar."
"Bagus kalau begitu. Tidak pernah muntah lagi""
"Cuma sekali waktu malam itu saja. Aduh, aku masih ngeri kalau membayangkannya, Mas. Darah begitu banyak mengalir dari dalam hidungnya Muntahnya pun menyemprot mengejutkan. Ah, anak-anak kalau sakit memang selalu membuat bingung!"
"Mungkin hanya masuk angin biasa. Untung dia cepat sembuh."
"Tapi sudah kularang dia main sepeda terlalu lama, Mas. Apalagi kalau memboncengi si Pinta."
"Jangan terlalu keras melarangnya, Wi. Aku kasihan pada anak buta itu. Kamu tahu apa kata Bang Miun yang tinggal di dekat jalan kereta api sana""
"Bang Miun yang matanya picak sebelah itu""
"Iya. Kemarin dulu aku ngobrol sama dia."
Tumben sempat ngobrol."
"Dia kan warga paling lama di sini. Dia kenal semua penghuni di sini. Aku iseng-iseng tanya barangkali ada rumah kecil yang mau
dijual. Masa kita mau ngontrak terus selamanya, Wi""
"Kalau Mas sudah ingin ingin punya rumah sendiri, aku lebih setuju kita mencicil rumah, Mas. Uang mukanya tidak terlalu besar. Sekitar dua juta. Cicilan sebulan delapan puluh sampai sembilan puluh ribu. Kita boleh mencicil sampai lima belas tahun, Mas. Mumpung umur Mas masih mengizinkan. Kalau kita berhemat, kurasa kita mampu melunasi cicilan tiap bulan, Mas."
"Rupanya kamu juga sudah ingin punya rumah sendiri." Kris tersenyum lega. "Tadinya aku belum ingin membicarakannya denganmu. Takut kamu kecewa kalau aku gagal."
"Aku juga baru dalam tahap mencari info, Mas. Belum berani mengungkapkannya. Takut Mas bilang tidak tahu diri."
"Apakah tabungan kita sudah cukup untuk membayar uang mukanya, Wi""
"Kalau belum cukup, kita bisa mencicil rumah yang lebih kecil, Mas. Yang tipe 45. Kukira cukup untuk kita bertiga."
Sekali lagi Kris tersenyum. Lebih lebar. Kali ini separo bergurau.
"Hanya bertiga" Kamu tidak mengharapkan adik lagi untuk Ari""
"Masih mampukah aku, Mas" Dengan indung telur yang hanya sebelah begini""
"Dokter bilang kamu masih mungkin hamil, Wi. Oh ya, kamu sudah periksa lagi ke dokter""
"Belum, Mas. Malas."
"Hams, Wi. Aku takut kista itu tumbuh lagi pada indung telurmu yang sebelah. Nanti sore kuantar, ya""
"Omong yang lain, ah. Aku takut kalau ke dokter. Oh ya, Mas ngobrol apa dengan Bang Miun""
"Sampai lupa. Itu tentang si Pinta. Dulu kan waktu orangtuanya masih hidup, mereka tinggal dekat rumah Bang Miun. Kamu tahu kenapa matanya sampai buta""
Tentu saja Dewi tidak tahu. Tetapi bukan itu yang membuatnya melonjak.
"Bukan buta sejak lahir"" tanya Dewi kaget. Cemas. Dia langsung ingat Ari. "Penyakit menular, Mas""
"Kata dokter yang dulu memeriksa Pinta waktu ada aksi sosial di sini, matanya pernah kena infeksi. Sudah terlambat untuk diobati. Seandainya orangtuanya masih hidup dan dia dibawa ke dokter, barangkali Pinta tidak buta. Sekarang infeksinya sudah tenang. Tidak menular lagi. Kamu tidak usah kuatir."
"Tidak bisa disembuhkan lagi, Mas""
"Sudah terlambat. Harus dengan transplantasi kornea."
"Trasi besi korea itu apaan sih, Pa"" sela Ari yang tahu-tahu sudah berada di belakang Kris. Entah sudah berapa lama dia bersembunyi men-dengarkan pembicaraan orangtuanya.
Kris memutar tubuhnya. Dewi menoleh. Dan mereka sama-sama melihat tatapan yang polos dan bening itu bersorot penuh keingintahuan. Kris meraih Ari ke dalam gendongannya.
"Artinya memindahkan selaput bening mata orang yang sudah meninggal ke mata Pinta, Sayang."
"Jadi... mata Pinta mata orang mati"" belalak Ari ngeri.
"Bukan seluruh matanya. Hanya selaput beningnya." "Ih!"
"Sudahlah, itu bukan cerita untuk anak-anak, Mas!" potong Dewi dengan perasaan ngeri yang dia sendiri tidak tahu dari mana datangnya.
Tetapi Kris belum sempat membelokkan percakapan ketika Ari sudah bertanya lagi,
"Kalau dapat mata orang mati, Pinta bisa lihat lagi""
"Ya. Ari mau nggak ikut ke rumah Eyang"" "Eyang yang sudah tua"" "Iya. Eyang Ari." "Kapan, Pa"" "Besok sore."
"Besok sore" Wah!" Ari mengerut kecewa.
"Ada apa, Tuan Besar" Kayak yang repot saja!" Sambil tertawa geli melihat u
lah Ari, Kris mencubit pipi anaknya. Diturunkannya Ari dari gendongannya. Dipukulnya pantatnya dengan lembut. "Sana pergi main!"
*** Ari mengendap-endap mendekati gubuk Pinta. Tangannya memegang sebuah bungkusan berisi roti.
"Pinta!" serunya dengan suara dikecil-kecilkan, dekat sebuah lubang yang berfungsi sebagai jendela.
Seperti telah menunggu suara yang telah berabad-abad dinantikan, Pinta langsung muncul. Entah dari mana. Buru-buru Ari menyorongkan
bungkusannya. "Roti." katanya singkat. "Ari nggak main deh sore ini. Mau pergi sih. Ari pulang, ya""
"Kok buru-buru"" sergah Pinta kecewa.
"Takut ketahuan Mama! Sudah ya!"
Tetapi belum sempat Ari melangkah, pintu terkuak. Uti, kakak Pinta, tegak di sana. Walaupun tidak melihat, Pinta dapat merasakan kehadiran kakaknya. Refleks disembunyikannya bungkusannya. Diselipkannya ke balik bajunya.
"Pinta, masuk!" perintah Uti singkat. Tegas. Judes.
Tanpa berani membantah, Pinta buru-buru menyelinap masuk. Meninggalkan Ari yang masih tertegun bengong di tempatnya. Matanya menatap bolak-balik pada pintu tempat Pinta menghilang dan Uti yang masih tegak di hadapannya seperti seorang guru.
"Sana, pulang!" suara Uti tawar, hampir sampai ke nada dingin. Uti memang begitu. Judes. Sikapnya kepada Ari tak pernah ramah. Entah mengapa. "Nanti dicari ibumu!"
Lalu tanpa berkata apa-apa lagi, dia memutar tubuh. Dan melangkah masuk menyusul Pinta.
Tetapi Ari masih penasaran. Dia belum mau pulang. Rasa penasarannya mengalahkan rasa takutnya. Dia ingin tahu apa yang terjadi pada Pinta. Hhh, dia pasti sedang dimarahi kakaknya! Uti memang jahat. Pantas saja mukanya selalu asam. Menakutkan seperti nenek sihir....
Dan roti itu... berhasilkah Pinta menyembunyikannya" Atau... Uti sudah mengetahuinya" Merampasnya dari tangan Pinta dan... ah, Uti pasti melahapnya sendiri! Serakah dia! Serakah! Jahat! Padahal Ari tahu, Pinta suka sekali roti cokelat. Dan dia selalu kelaparan.
Hampir tiap hari Ari menyisakan sarapan rotinya. Menyembunyikannya dari penglihatan Mama. Dan menyelundupkannya untuk Pinta. Sekarang orang lain yang makan roti itu! Huh, Ari betul-betul penasaran! Tidak rela!
Mengendap-endap dia menghampiri lubang di dinding gubuk Pinta. Dan mengintai ke dalam....
Uti sedang berdiri di dekat sebuah peti sabun yang berfungsi sebagai meja. Di dekatnya Pinta tengah berjongkok, meraba-raba sebuah buku kumal yang terselip di antara tumpukan kaleng bekas dan kertas bekas pembungkus.
Tetapi bukan itu yang membuat Ari terperangah. Uti sedang membuka sebuah bungkus-an. Bukan bungkusan roti yang diberikan Ari pada Pinta. Bukan!
Bungkusan itu dari daun. Isinya nasi dengan sedikit sayur. Dan yang membuat Ari heran, Uti membagi isi bungkusan itu menjadi dua. Tetapi tidak sama banyaknya. Bungkusan yang terbesar, isinya jauh lebih banyak, ditaruhnya dalam sebuah piring plastik yang tepinya sudah pecah. Sisanya, isinya tinggal sedikit sekali, dibiarkannya di atas daun.
Yang sedikit itu pasti untuk Pinta, pikir Ari gemas. Curang!
Tetapi sekali lagi dia terkejut. Perkiraannya meleset. Uti memanggil Pinta. Dan memberikan piring plastik itu padanya!
Ari ternganga keheranan. Mengapa si judes itu justru memberikan bagian yang terbanyak kepada Pinta" Ternyata dia tidak serakah seperti yang selama ini Ari sangka!
Dan Ari lebih heran lagi melihat cara Uti makan. Belum pernah Ari melihat orang makan dengan selahap itu. Rasanya belum sempat Ari berkedip, daun pembungkus itu telah licin tandas. Seluruh isinya telah berpindah ke perut Uti.
Beberapa butir nasi yang tertinggal diambilnya dengan rajin satu per satu. Lalu dimasukkannya ke dalam mulut. Seperti mengetahui apa yang sedang dilakukan kakaknya, Pinta langsung menyodorkan piringnya.
Sekejap Uti menatap piring adiknya. Masih ada sisa nasi di piring itu. Hampir menitik air liur Uti. Tetapi dia tidak mau Pinta kelaparan. Kalau harus memilih, dia tahu yang mana yang harus dipilihnya.
"Buat Pinta saja," katanya sambil mendorong piring itu kembali.
"Tapi Kakak lapar!" protes Pinta, berkeras menyorongkan piring itu
kepada kakaknya. "Pinta juga lapar!"
Uti mendorong piring itu kembali. Dan kali ini, terlalu keras. Piring itu terlepas dari pegangan Pinta. Jatuh ke tanah. Isinya tumpah berserakan.
Uti memekik antara terkejut dan menyesal. Sejenak dia hanya dapat menatap butir-butir nasi yang berserakan itu dengan air mata berlinang.
Habislah semuanya! Mereka sama-sama tak dapat menikmatinya. Sama-sama kelaparan!
"Kak," Pinta memegang lengan kakaknya dengan sedih. Dia memang tidak dapat melihat. Tapi dia dapat merasakan kesedihan kakaknya. Dia tahu apa yang terjadi dengan nasi mereka. Dengan ragu-ragu disodorkannya roti yang tadi disembunyikan di balik bajunya. "Kita makan sama-sama ya, Kak...."
Uti menoleh. Dan memandang roti di tangan Pinta dengan terharu.
"Pasti dari Ari," tidak ada nada marah dalam suaranya.
Tetapi Ari sudah lari lintang-pukang. Takut
ketahuan mengintip. Dan takut Uti marah melihat roti itu.
"Ari baik ya. Kak," desah Pinta lirih.
"Tapi Pinta tidak boleh mengemis padanya. Selama Kakak' masih bisa mencari makan, kamu tidak boleh menerima belas kasihan orang! Kita bukan pengemis!"
"Pengemis apaan sih. Kak""
"Tukang minta-minta. Yang kerjanya cuma minta belas kasihan orang!"
"Kak. kenapa Pinta nggak punya papa kayak Ari""
"Lho, kok tanya begitu""
"Kalau kita punya papa kayak Ari, barangkali kita tiap hari punya roti ya, Kak," dengan lahap Pinta menggigit roti cokelatnya. Sesudah mengunyah, dia baru ingat kakaknya. Buru-buru disorongkannya sisa roti itu kepada Uti.
"Orangtua kita sudah meninggal, Pinta."
"Pinta nggak bisa punya papa lagi""
"Pinta kan punya Kak Uti."
"Kalau Pinta punya papa, Pinta nggak buta ya. Kak""
Uti menyusut air mata yang mengalir ke pipinya. Hatinya terasa sakit. Sakit sekali. Bagaimana menjelaskan kepada adiknya bahwa dia takkan pernah punya orangtua lagi"
Tiap malam Pinta berdoa. Tiap hari dia berharap.
"Pinta kepingin bisa melihat. Kepingin punya papa. Punya mama. Kayak Ari."
Dan Uti tak pernah sampai hati mengatakan kepada Pinta, harapannya akan sia-sia belaka! Permohonannya tak mungkin terkabul! Orangtua mereka tidak mungkin hidup kembali. Dan Uti tidak mempunyai biaya untuk membawa Pinta ke dokter. Mengobati matanya.
Bagaimanapun kerasnya Uti bekerja, kedua lengannya yang kecil dan lemah ini tidak mampu mengumpulkan uang lebih banyak lagi.
Bang Miun pernah menawarkan pekerjaan padanya. Menjadi pembantu rumah tangga. Yah, pekerjaan apa lagi yang dapat dilakukan oleh seorang anak perempuan berumur empat belas tahun yang hanya berpendidikan kelas dua Sekolah Dasar"
Tetapi pekerjaan itu pun tak dapat diraih oleh Uti. Tempat kerjanya cukup jauh. Dan dia harus tinggal di sana. Dengan siapa Pinta di rumah" Siapa yang akan mengurusnya" Uti tidak sampai hati menitipkan Pinta pada tetangga. Dia masih terlalu kecil. Dan dia cacat. Buta.
Ah, kadang-kadang Uti menyesali nasibnya. Bukan hanya sekali-dua dia memprotes Tuhan. Mengapa cobaan seberat ini harus dipikul oleh bahu mereka yang lemah" Jika mereka sudah ditakdirkan menjadi yatim-piatu pada usia sedini ini, mengapa Pinta harus buta" Mengapa" Belum cukupkah penderitaan mereka sehingga masih harus ditambah lagi"
Sering Uti menatap adiknya jika Pinta sudah
tertidur di atas satu-satunya balai-balai di gubuk mereka. Dalam tidurnya, wajah Pinta bersih dan suci seperti malaikat di puncak pohon Natal.
Pada saat seperti itu, tak ada lagi bayangan gadis cilik yang buta dan papa. Dia sama seperti anak-anak lain. Polos. Tanpa dosa. Tanpa beban pikiran apa pun. Kesusahan dan penderitaan le-nyap dan wajahnya yang manis dan lugu.
Ah, seandainya saja Pinta dilahirkan oleh orang kaya... tinggal dan hidup bersama orangtua yang mengasihi dan memanjakannya... mungkin dia tidak pernah kehilangan penglihatannya.... Tetapi siapa yang dapat memilih kapan dia dilahirkan dan siapa yang melahirkannya"
Bab IV Kris benar-benar kecewa. Sikap orangtuanya terhadap mereka masih tetap sedingin dulu. Ari yang montok dan lucu pun tidak mampu mencairkan kebekuan yang menyelimuti pertemuan mereka.
Sungkem Dewi d isambut oleh mertuanya dengan tawar. Tanpa membalas sapaan mereka sepatah pun. Mula-mula Ibu memang tampak terharu melihat Kris. Meskipun disembunyikannya, Kris sempat melihat mata Ibu bercahaya sekejap.
Tetapi begitu Ayah muncul, sinar itu lenyap. Dan Ibu membisu seperti batu karang. Ketika Kris memperkenalkan Ari, mereka hanya menatap sekilas. Tanpa berkata sepatah pun.
"Duduklah," suara Ibu sedingin lantai di bawah kaki mereka. "Mau minum apa""
"Jangan repot-repot, Bu," sahut Dewi seramah mungkin. Percuma. Keramahannya seperti angin menabrak tembok. Sia-sia. Bahkan buah tangan yang mereka bawa masih tetap teronggok di dekat pintu. Tidak terjamah.
"Ayah baik"" tarn a Kris setelah tak tahu lagi harus bicara apa.
Ayah cuma mendengus dingin. Ketika dia mendengus, kumisnya yang telah berwarna dua itu bergerak. Dan Ari tersenyum geli melihatnya.
Eyang memang tidak selucu Mbah Goro. Tapi Ari suka melihatnya. Kumisnya tebal. Hidungnya pesek. Kepalanya botak di depan sehingga dahinya terlihat dua kali lebih besar. Telinganya lebar seperti gajah. Pipinya kempot. Dan perutnya... uh. Ari ingin tertawa melihatnya. Perut itu gendut. Seperti Mbah Nem yang hamil itu.
"Kaki Ayah bagaimana" Masih sering sakit""
"Kaulihat sendiri, Ayah masih bisa berjalan!"
Kris menahan napas. Hatinya terasa pedih.
"Ibu"" Dia berpaling pada ibunya. Mencoba mengalihkan kepahitan akibat jawaban ayahnya. "Jantungnya bagaimana, Bu" Sudah periksa ke dokter lagi""
"Lho, kok baru tanya sekarang!" Ibu mengangkat sudut bibirnya dengan sinis. "Sudah lima tahun lebih kau tidak pernah menengok Ibu!"
Serbasalah, pikir Dewi. Tapi dia tidak berani menarik napas panjang. Ditekannya saja kepengapan dadanya. Apalagi didengarnya ayah Kris sudah mendengus lagi.
"Maaf, Bu. Kris baru datang sekarang."
"Kalau jantung Ibu ada apa-apa, pasti sudah terlambat!"
Dewi menggigit bibir menahan perasaannya.
Dia iba melihat keadaan suaminya. Tetapi tidak mampu berbuat apa-apa.
"Seharusnya Kris memang lebih sering datang, Bu." Kris menundukkan wajahnya yang memerah. "Tapi Kris takut Ibu marah."
Ayah mendengus sekali lagi. Kali ini lebih keras. Dan kali ini, Ari tidak dapat menahan tawanya lagi. Kakek tua itu sungguh lucu. Kumisnya bergerak-gerak kalau dia mendengus-dengus begitu.
Dewi dan Kris sama-sama menoleh pada anaknya dengan terkejut. Sungguh tidak tepat tertawa pada saat mereka hampir beku ketakutan!
Ibu juga melirik sekejap ke arah Ari. Cuma Ayah yang tidak. Dia duduk separo berbaring di kursi malasnya. Memilin-milin kumisnya dengan kesal. Begitulah memang kebiasaannya bila dia sedang jengkel.
Ari suka sekali melihat tingkah kakeknya. Tidak sadar dia meniru-niru apa yang dilakukan Eyang. Memilin-milin sambil mendengus-dengus. Karena dia belum mempunyai kumis, jarinya seolah-olah memilin-milin udara. Dan karena tidak ada yang bergoyang-goyang waktu dia mendengus, Ari mengerut-ngerutkan hidungnya.
Dua-tiga kali ibu Kris melirik ke arahnya. Walaupun dia mulai terlarik pada ulah cucunya, dia tidak berani menyatakannya. Apalagi kini suami dan anaknya sedang terlibat pembicaraan yang cukup menegangkan.
"Belum punya rumah juga"" gerutu ayah Kris antara sengit dan sinis. "Coba lihat si Frendi, teman kuliahmu dulu! Rumahnya sudah dua!" "Nasib tiap-tiap orang kan tidak sama, Yah." "Nasib" Kau masih percaya pada nasib" Seperti orang kuno saja! Percaya pada nasib! Nasib harus dilawan, tahu" Dengan kerja keras! Jangan menyerah saja pada nasib!" "Mungkin saya belum beruntung, Ayah." "Jangan menyalahkan peruntungan! Kau gagal karena tidak punya modal! Karena kuliahmu tidak selesai, dan kau tidak punya uang!"
"Saya sudah berhasil menyelesaikan kuliah saya. Ayah. Uang memang saya belum punya. Tetapi beberapa bulan lagi kami mungkin sudah memiliki rumah sendiri."
"Hhh," Ayah mendengus lagi. "Paling-paling rumah di kampung!"
Dengan kesal ayah Kris bangkit dari kursi malasnya. Saat itulah dia melihat Ari. Sekejap mata mereka bertemu. Dan Ari yang sedang mengerut-ngerutkan hidungnya sambil memilin-milin udara, menghentikan geraknya.
Dia menyeringai kocak. Ompongnya langsung kelihatan. Dan ayah Kris terpaksa mengakui, si ompong yang montok ini memang lucu menggemaskan.
Sayang, saat itu baik Kris maupun Dewi telah kehilangan kesabarannya. Buat apa diam di sini kalau dihina terus" Orangtua Kris tidak menaruh
respek sama sekali pada mereka. Kedatangan mereka pun tampaknya tak berarti apa-apa. Jadi buat apa menahan perasaan terus" Lebih baik mereka pulang.
Cuma Ibu yang mengantar mereka ke pintu. Ayah lebih suka memanggil-manggil burung perkututnya di halaman belakang.
"Kami pulang dulu, Bu," kata Dewi sambil menekan perasaannya. "Jaga diri Ibu baik-baik."
Ibu Kris tidak menyahut sepatah pun. Menoleh saja tidak. Seolah-olah matanya sakit kalau harus bertemu pandang dengan menantunya.
"Nanti kalau sudah punya rumah, Kris bawa Ibu ke sana, ya." Kris memegang tangan ibunya seperti memohon. "Mau ya, Bu""
"Ayahmu sudah bersumpah tidak mau menginjak rumahmu. Sudahlah, percuma saja kaubujuk dia. Selama kau masih berkeras menuruti kata hatimu sendiri, Ayah tetap menganggap kau bukan anaknya lagi!"
*** Belum pernah Dewi melihat paras suaminya semuram itu. Bahkan ketika dia memutuskan untuk meninggalkan rumahnya, Kris tidak sampai semurung sekarang.
"Hampir lima belas tahun sudah," keluh Kris lirih. "Tapi mereka belum juga mau memaafkanku."
"Sudahlah, Mas." Dewi menyusut air matanya. Dia merasa hatinya teramat pedih. Tetapi lebih nyeri lagi melihat keadaan suaminya. "Orangtua-mu benar-benar kejam."
"Kukira mereka akan memaafkan kita setelah melihat Ari."
"Mereka bahkan tidak memandang sebelah mata pun padaku dan Ari."
"Kupikir waktu telah menyembuhkan luka di hati mereka akibat kehilangan Handi. Rupanya aku keliru."
"Sudahlah, Mas. Jangan sedih. Aku percaya suatu hari nanti, mereka pasti akan menerimamu kembali. Mereka sudah tua. Tidak punya siapa-siapa lagi kecuali Mas. Mustahil mereka tidak memerlukan anaknya."
"Aku kenal ayahku. Kalau menunggu sampai Ayah membutuhkan diriku, kita pasti telah terlambat."
*** Dewi hampir tidak dapat mempercayai matanya. Sejenak dia tertegun di ambang pintu. Sebelum butir-butir air mata runtuh dan bergulir ke pipinya.
"Mas Tato!" sergahnya terharu. Tanpa dapat menahan dirinya lagi, Dewi menghambur merangkul abangnya.
Lima belas tahun berpisah, Tato tampak sudah demikian berubah. Tubuhnya jauh lebih kurus. Kulitnya lebih hitam. Wajahnya yang bersih kini dikotori oleh kumis dan janggut yang menyemak liar. Dan matanya seolah-olah terbenam dalam rongga matanya yang cekung.
Tak ada lagi sorot mata seorang kakak yang hangat melindungi. Tatapan Tato kini dingin dan sepi. Sesepi perasaannya sendiri.
Sebuah gurat bekas luka yang diperolehnya di penjara, memanjang di pipinya, dari tepi bawah mata sampai ke sudut mulut. Parut itu menimbulkan kesan menyeramkan. Membuat sosok penampilan Tato lebih terasa lagi keasingannya.
Sesaat, Dewi seperti menemukan orang lain. Juga setelah tubuh laki-laki itu berada dalam pelukannya. Tak ada lagi pelukan yang dikenalnya. Pelukan hangat seorang kakak. Dia seolah-olah memeluk seonggok batu karang. Keras. Tangguh. Tapi dingin. Kaku.
"Mas," Dewi merenggangkan dekapannya. Ditatapnya abangnya dengan terharu. "Mas baik""
"Seperti kaulihat sendiri."
"Mas berubah." "Penjara yang mengubahku."
"Sampai sedingin ini""
"Tidak ada yang hangat di penjara."
"Juga jika Mas berhadapan denganku""
"Jangan menuntut terlalu banyak, Wi. Aku yang sekarang memang bukan abangmu yang dulu."
"Tapi aku ingin Mas tetap seperti dulu!" desah Dewi menahan tangis. "Mas Tato yang kukenal!"
"kau takkan pernah menemukannya lagi."
Tato membuang pandangannya ke tempat lain.
"Kita bicara di dalam ya. Mas""
"Tidak usah. aku mau pergi. Cuma ingin melihatmu."
"Tidak ada siapa-siapa di dalam. Mas. Masuklah."
"Di mana anakmu"" "Sekolah." "Suamimu"" "Kerja."
"Ini rumahmu""
"Masih kontrak. Mas. Belum mampu beli rumah sendiri."
"Mertuamu belum mau menerima suamimu kembali""
"Mereka belum dapat memaafkannya, Mas."
Tato menghela napas berat. Mukanya mengerut seperti menahan sakit.
"Jadi mereka tetap belum memaafkanku. Walaupun belasan tahun aku telah menebus kesalahanku di penjara. Rupanya hukuman penjara saja belum cukup untuk menyilih dosaku."
"Sudahlah, Mas. Aku dan Mas Kris tak pernah menyesali perkawinan kami."
"Aku yang menyesal. Semua salahku.!'
"Mas sudah menebusnya di penjara. Jangan disesali lagi"
"Sekarang aku tahu, semua itu belum cukup. Orangtua Kris belum dapat mengampuniku "


Luruh Kuncup Sebelum Berbunga Karya Mira W di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tidak usah dipikirkan lagi, Mas. Jika Tuhan saja dapat mengampuni umat-Nya yang telah bertobat, mengapa manusia yang berdosa tidak dapat mengampuni sesamanya""
"Tuhan..." Ada senyum yang sulit diartikan di bibir Tato. Dewi merasa tidak enak melihat senyum itu. Itu bukan senyum abangnya. Bukan bagian dari orang yang sangat dikenalnya. Bukan milik Tato! Itu warisan dari penjara! Dingin. Pahit. Liar.
"Masih adakah Tuhan di atas sana" Di hatiku Tuhan telah lama mengungsi."
"Jangan berkata begitu, Mas! Arwah Ayah dan Ibu akan menangis kalau dari tempatnya yang suci di atas sana mereka mendengar kata-katamu itu!"
"Antarkan aku melihat kuburan mereka, Wi."
"Tempatnya agak jauh, Mas. Tunggu Mas Kris, ya""
"Aku tidak mau bertemu dengan suamimu."
"Tapi dia tidak bersalah apa-apa!"
"Memang tidak. Aku yang bersalah padanya."
"Dia sudah memaafkanmu."
"Tapi orangtuanya belum. Kalian ikut terhukum karena kesalahanku."
"Waktu akan menyembuhkan luka di hati mereka, Mas."
Tato menggelengkan kepalanya. Tatapannya segetir binatang yang terluka.
"Jika sudah lima belas tahun luka itu belum sembuh juga, sampai kapan kita harus menunggu" Tidak, Wi, cuma aku yang dapat menyembuhkan luka itu!"
"Mas!" sergah Dewi cemas. Ngeri melihat sorot mata abangnya. Sorot itu begitu aneh....
"Jangan berbuat yang bukan-bukan! Sudah cukup Mas menyiksa diri!"
"Belasan tahun hukumanku dalam penjara rupanya tidak membuat orangtua Handi mengampuni dosa-dosaku. Kupikir hanya ada satu cara untuk memaksa mereka mengampuniku. Dan ini kesempatanku yang terakhir untuk menebus dosaku pada mereka. Pada Handi. Pada suamimu. Dan padamu, Wi."
"Mas! Jangan!" erang Dewi takut. "Jangan berbuat yang bukan-bukan!"
"Aku tahu apa yang harus kulakukan. Nah, di mana makam orangtua kita""
"Tinggallah malam ini di sini, Mas. Besok kita pergi menengok makam Ayah-Ibu bersama-sama."
"Sudah kukatakan, aku tidak ingin bertemu dengan suamimu."
"Mas tinggal di mana""
"Aku dapat mengurus diriku sendiri. Tidak usah kuatir."
"Tapi di mana aku dapat menemuimu, Mas""
"Tidak usah mencariku. Kalau kangen, aku akan datang menemuimu."
"Kalau aku yang kangen""
Tato tersenyum. Senyum itu juga. Senyum yang aneh. Dingin. Pahit. Liar. Dewi tidak dapat memahami senyum itu. Tidak juga lama sesudah tubuh Tato menghilang di kelok jalan.
"Jadi dia sudah bebas," gumam Kris murung ketika malamnya Dewi menceritakan kedatangan Tato.
"Kelihatannya Mas juga tidak gembira."
"Aku ingat Handi."
"Mas masih menyesali kepergiannya""
"Dia pergi dengan begitu tragis."
"Tapi Mas Tato telah menebus kesalahannya di penjara, Mas. Belasan tahun dia menderita di sana."
"Dia sudah kembali. Tapi Handi tetap tidak dapat kembali lagi."
"Mas juga belum dapat memaafkannya"" sergah Dewi kecewa.
"Entahlah, Wi. Aku sendiri tidak mengerti. Ketika dia masih di penjara, rasanya aku dapat memaafkannya. Tetapi ketika mendengar dia sudah bebas, tiba-tiba saja aku teringat kembali pada Handi. Tato dapat kembali padamu. Tapi Handi tak dapat kembali kepada orangtuaku. Barangkali itu sebabnya Ayah tak dapat memaafkannya."
"Jadi Mas Tato yang benar!" tangis Dewi
antara kesal dan kecewa. "Dosanya benar-benar tak berampun, meskipun dia telah menebusnya di dalam penjara!"
"Ari mimisan lagi, Mas!" pekik Dewi antara terkejut dan panik.
Kris melompat dari kursinya begitu mendengar suara Dewi. Dia menerjang pintu kamar yang separo tertutup. Dan menghambur masuk.
Dewi tengah duduk di sisi pembaringan. Ari berada dalam pelukannya. Di tangannya, dia memegang saputangan yang bernoda darah.
"Baringkan di tempat tidur," perintah Kris segera. "Kita kompres lagi. Cepat ambil daun sirih."
Sejak Ari sering mimisan, Kris mem
ang sudah menyuruh istrinya membeli daun sirih. Bila lubang hidung Ari disumbat dengan daun sirih yang digulung kecil, perdarahannya lebih cepat berhenti.
"Masa hidungnya terus-menerus keluar darah sih, Mas"" keluh Dewi cemas. "Kita bawa ke dokter ya, Mas" Siapa tahu ada apa-apa dalam hidungnya.... Aku kuatir terlambat...."
"Baiklah. Besok kucoba pulang lebih sore."
"Lebih baik ke rumah sakit saja, Mas. Lebih murah. Mas bisa minta izin""
"Kalau pagi agak sulit, Wi. Pekerjaan sedang banyak-banyaknya. Tapi akan kucoba. Ari tak usah sekolah dulu. Di rumah saja sama Mama ya, Ri""
"Papa juga nggak kerja"" Ari menatap ayahnya dengan ragu.
Kris tersenyum. Dicubitnya pipi Ari dengan lembut.
"Papa mesti kerja, Ri. Cari uang untuk Ari." "Papa bilang mau main sepeda sama Ari...." "Hari Minggu depan, ya" Oke"" "Oke," sahut Ari lesu.
"Sekarang Ari bobo, ya. Besok nggak usah bangun terlalu pagi. Ari tidak usah sekolah dulu."
"Ari boleh main sama Pinta""
"Tentu saja. Tapi jangan main sepeda dulu,"
"Ari main di rumah saja sama Mama, ya"" bujuk Dewi lembut. "Mama juga bisa main sama Ari."
"Main apa""
"Main apa"" Dewi menjadi gelagapan. Dan Kris hampir tertawa melihatnya. "Ari mau main
apa"" "Sepeda""
"Jangan dulu. Ari kan lagi sakit." "Mama bisa naik sepeda"" "Tentu saja. Mama dulu sering naik sepeda." "Dibonceng Papa""
Sekarang Kris tak dapat menahan tawanya lagi. Tawanya langsung meledak.
"Siapa bilang"" sergah Dewi tersinggung. "Sejak Ari belum lahir, Mama sudah bisa naik sepeda."
"Tapi Mama kok nggak punya sepeda""
"Nggak punya sepeda kan nggak berarti Mama nggak bisa naik sepeda""
"Nanti kalau Ari sudah baik, kita naik sepeda berdua ya, Ma""
"Ari boncengi Mama""
"nggak kuat dong. Mama mesti naik sepeda Papa."
"Papa"" sela Kris sambil tersenyum.
"Papa dibonceng Mama," sahut Ari lantang. Polos. Tanpa berpikir lagi.
Kris tertawa geli. Dewi tersenyum. Dikecupnya dahi Ari dengan lembut.
"Bisa-bisa Papa sampai duluan ke selokan, Ri," gurau Kris sambil merangkul pinggang istrinya dari belakang.
*** Mula-mula Ari senang melihat dokter yang kepalanya ada lampunya itu. Tetapi setelah telinganya diintai, hidungnya dikorek-korek dan tenggorokannya dimasuki alat, dia menjadi kesal.
"Si Kepala Lampu itu cari apa sih, Ma"" protes Ari ketika mereka sedang berjalan ke laboratorium.
"Cari apa yang menyebabkan Ari mimisan
terus." "Ketemu""
"Belum. Karena itu Ari harus periksa darah. Mau ya, diambil darahnya sedikit"" "Ditusuk"" sambar Ari ngeri. "Sedikit." "Sakit""
"Sedikit. Ari kan sudah besar. Jagoan lagi. Masa takut diambil darah"" "Ari nggak takut."
"Pintar." Dewi menghela napas lega. Sebagian karena keberanian anaknya. Sebagian lagi untuk mengusir ketakutannya sendiri. "Anak Mama memang jagoan."
"Tuh Eyang!" teriak Ari tiba-tiba. Lantang. Tanpa ragu sedikit pun.
Seperti disambar petir Dewi mendengar teriakan anaknya. Dan petir itu benar-benar menyambar ketika dilihatnya ibu mertuanya sedang duduk di depan laboratorium... ya, perempuan tua itu benar-benar dia!
Ari sudah menghambur lari mendapatkan neneknya sebelum Dewi sempat mencegah.
"Yang!" teriak Ari gembira. "Eyang!"
Ibu Kris menoleh dengan terkejut. Dan matanya yang sekejap tadi terlihat bingung langsung menyipit begitu melihat Dewi.
"Cucunya ya, Bu"" cetus perempuan di sebelahnya. "Lucu ya. Montok."
Ibu Kris berpaling sejenak sambil mengangguk.
Dan Dewi hampir tidak dapat mempercayai matanya sendiri. Dia seperti melihat sorot kebanggaan di mata mertuanya itu....
Dewi masih tertegun ketika Ari yang sudah sampai ke depan ibu Kris langsung mencium tangannya. Entah siapa yang mengajarinya.... Dan perempuan yang duduk di sebelah mertua-nya itu kembali memuji.
"Aduh, cucu Ibu pandai sekali!" Dengan gemas, tangannya langsung terulur mencubit pipi Ari. "Siapa namanya""
"Ari." sahut Ari tegas, tanpa takut sedikit pun.
"Aduh... pintarnya! Umur berapa sih""
"Lima tahun." "Sudah sekolah belum""
"Sudah." "Kelas berapa""
"Nol besar." Ibu itu langsung mengelus-elus perutnya sendiri.
"Mudah-mudahan kalau saya betul hamil, Bu, anak saya bisa s
epandai dan secakap cucu Ibu!"
Dan sekali lagi Dewi terenyak. Sekali lagi dia melihat kebanggaan melintas di mata ibu mertuanya. Kali ini. dia malah tersenyum. Meskipun cuma kepada ibu di sebelahnya.
Lekas-lekas Dewi menghampiri mereka. Dan memberi salam. Dia tidak mau mereka menganggap anaknya lebih sopan daripada dirinya sendiri.
Tetapi ibu Kris menyambut salam menantunya dengan dingin. Untung ibu di sebelah itu tidak tahu karena Ari keburu menyela lagi dengan pertanyaannya.
"Eyang Kakung mana, Yang""
"Di rumah. Kakinya sakit."
Kali ini Dewi tidak percaya kepada telinganya. Suara ibu mertuanya tidak sedingin biasa.
"Eyang ngapain di sini" Mau lihat Ari ambil darah""
"Ari mau ambil darah""
Sekejap ibu Kris berpaling pada Dewi. Ada keterkejutan di dalam matanya. Tetapi hanya sekejap. Sebelum Dewi sempat menjawab, dia telah menoleh lagi pada Ari.
"Kenapa" Ari sakit apa""
"Mimisan," sahut Ari lantang. Polos. Dia menunjuk hidungnya.
"Oh." Neneknya menghela napas. Dewi sendiri ragu, benarkah dia merasa lega. Atau dia memang cuma kebetulan ingin menghela napas" "Eyang juga mau ambil darah."
"Ibu sakit""
Kali ini Dewi bertekad untuk mendahului Ari. Kalau tidak, dia tidak kebagian bicara. Nanti dikira tidak sopan. Diam saja di depan mertua.
"Ah, cuma kontrol darah," sahut ibu Kris dingin.
"Eyang juga mimisan"" potong Ari lucu. "Ka-
yak Ari" Mesti disumbat hidungnya pakai daun sirih, Yang""
Ibu yang di sebelah mertua Dewi itu tertawa geli.
"Aduh, pintarnya!" pujinya kagum. "Tapi Eyang tidak mimisan," suara ibu Kris memang belum terlalu ramah. Tapi paling tidak, terhadap Ari sikapnya lebih hangat. "Eyang periksa minyak."
"Minyak"" Mata Ari yang bulat itu membesar. "Di dalam badan Eyang ada minyak" Keluar dari hidung""
"Minyak di dalam darah Eyang tinggi. Kata dokter, tidak bagus untuk jantung."
"Wah, Eyang pasti suka makan minyak! Pantas Eyang gemuk begini!"
"Ari!" tegur Dewi kaget. Dia melirik mertuanya dengan kecut. Tetapi heran. Ibu Kris tidak tampak gusar.
"Jangan takut, Yang," sambung Ari dengan suara seperti seorang ayah yang sedang membujuk anaknya. "Kata Mama, cuma sakit sedikit. Ari berani. Eyang takut"" "Takut sedikit."
Dewi sendiri kaget. Heran. Dia memandang ibu Kris dengan bingung. Tidak menyangka perempuan itu akan menjawab demikian. Entah sudah berapa puluh kali dia memeriksakan darahnya. Mustahil dia masih takut! Benarkah dia menjawab demikian karena Ari"
"Jangan takut, Yang! Nanti masuknya sama Ari, ya"" "Ari berani"" "Berani. Ari jagoan kok." "Siapa yang bilang""
"Mama." Ari menoleh kepada ibunya, seakan-akan dia baru ingat dengan siapa dia datang. "Betul ya, Ma" Ari jagoan""
Dewi hanya dapat mengangguk. Suaranya tersekat di tenggorokan.
*** Begitu nama neneknya dipanggil, Ari langsung minta izin ikut masuk.
"Menemani Eyang," katanya tegas. "Supaya Eyang jangan takut."
"Jangan, Ari!" cegah Dewi sambil melirik mertuanya.
Tetapi ibu Kris malah menarik tangan Ari. Tanpa mengacuhkan Dewi sedikit pun.
"Ayo masuk, katanya mau menemani Eyang."
"Boleh ya, Ma"" Ari menoleh pada ibunya. "Kasihan Eyang. Sudah tua."
Terpaksa Dewi mengangguk. Habis dia mesti bagaimana lagi" Situasi benar-benar telah menyudutkannya. Serbasalah.
Ari langsung melompat gembira. Dan mengikuti neneknya.
"Siapa namamu"" tanya laboran yang ramah itu.
"Ari," sahut Ari tegas. "Ari mau menemani Eyang. Supaya Eyang tidak takut."
"Nanti habis Eyang. Ari juga diambil darahnya, kan""
"Eyang takut" Biar Ari dulu. Ari berani."
"Baiklah. Ari dulu." Laboran itu mengedipkan matanya pada nenek Ari. "Boleh ya, Bu""
"Oh. tentu." sahut ibu Kris segera. "Ari lebih berani daripada saya kok!"
"Ibunya mana"" Laboran itu menoleh ke luar.
"Saya." Dewi cepat-cepat melongokkan kepalanya ke pintu.
"Ibu mau ikut masuk""
"Tidak. Saya di sini saja," sahut Dewi tanpa menyembunyikan perasaannya. "Saya ngeri. Tidak sampai hati melihatnya."
"Mama takut, ya"" Ari tersenyum bangga. "Ari berani."
"Kalau begitu Ari duluan, ya""
"Boleh. Eyang lihati Ari dulu ya."
"Mau dipegangi tangannya, Ri""
"Tidak usah, Yang. Ari ng
gak bakal nangis." "Takut Ari kaget."
"Ah. nggak usah. Nggak usah. Ari nggak apa-apa kok, Yang."
Dengan tabah Ari mengulurkan tangannya. Meskipun dia agak ngeri melihat jarumnya, dia tidak mau terlihat takut. Apalagi di depan neneknya.
Dewi buru-buru kembali ke kursinya. Dan memejamkan matanya. "Sakit, Ri""
Tak sadar ibu Kris memegangi lengan cucunya yang sebelah lagi begitu jarum ditusukkan dan Ari mendesah. Pada saat itu sebuah perasaan ganjil, entah apa, mengalir dari tangan ibu Kris ke hatinya.
"Ah, nggak," sahut Ari menahan sakit. "Eyang nggak usah takut!"
"Kamu betul-betul berani, Ri," gumam ibu Kris kagum.
"Cucu Ibu betul-betul hebat!" komentar laboran itu, senang karena pekerjaannya menjadi lebih mudah. "Sudah ya, Ri. Kamu betul-betul jagoan. Lihat, ini darah Ari. Merah, ya""
"Apa warna darah Eyang""
"Ya merah juga."
"Lebih tua""
"Tidak." "Kan Eyang sudah tua."
"Tapi warna darah tidak tergantung umur."
"Meskipun darah Eyang banyak minyaknya""
"Ya." "Ayo, Yang. Sekarang Eyang." Ari memegangi tangan ibu Kris dengan serius. "Eyang takut" Sini, Ari pegangi!"
Meskipun tidak takut, terpaksa ibu Kris bersandiwara. Pura-pura takut. Dan sekali lagi Dewi heran melihat sikap mertuanya. Dalam beberapa
saat saja, kedua nenek dan cucu itu sudah begitu akrab!
*** "Mas tidak percaya"" tanya Dewi bersemangat setelah menceritakan pengalamannya siang tadi.
"Tentu saja aku percaya. Ari memang lucu. Dan aku bersyukur pada Tuhan kalau benar Ari dapat melunakkan hati Ibu."
"Ibu sudah mau menanyakan sekolah Ari segala, Mas!"
"Kepadamu""
"Bukan. Kepada Ari! Kepadaku Ibu masih tetap dingin. Tetapi kepada Ari... ah, menyesal Mas tidak melihatnya!"
"Mudah-mudahan lambat laun sikap Ibu kepada kita juga berubah ya, Wi."
"Mungkin karena itu Tuhan memberikan An kepada kita, Mas. Untuk mendamaikan kembali kita dengan orangtua."
"Apa kata dokter, Wi""
"Semuanya baik. Hanya disuruh periksa darah."
"Tidak diberi obat""
"Dua macam. Yang satu vitamin katanya." "Syukurlah kalau tidak ada apa-apa. Kapan kembali""
"Besok. Ambil hasil laboratorium. Lalu kembali ke dokter"
"Besok aku ikut. Ke kantor sebentar minta izin. Lalu pulang."
"Ah, biar saja, Mas. Aku bisa sendiri. Mas kan repot. Lagi pula kalau sudah siang, pasien makin banyak."
"Besok aku bisa minta izin tidak masuk sehari, Wi. Siapa tahu bertemu Ibu lagi di sana."
"Ah, nanti seperti tadi. Sudah kutunggu-tunggu Mas tidak pulang-pulang juga. Akhirnya terpaksa pergi sendiri."
"Tadi betul-betul tidak bisa, Wi. Pekerjaan bertumpuk-tumpuk. Tidak bisa ditinggal."
"Bukan karena ada pegawai baru""
"Pegawai yang mana""
"Mas kan lebih tahu."
"Ah, kamu ini!" Kris meraih istrinya ke dalam pelukannya. Dan mengecup lehernya. "Sudah tua masih cemburu!"
"Jadi aku sudah tua!" gurau Dewi sambil menggeliat geli. "Sainganku yang di kantormu itu pasti masih muda belia!"
Teror Orang Orangan Sawah 2 Olga 08 Freelance Pendekar Satu Jurus 8
^