Pencarian

Kuncup Sebelum Berbunga 3

Luruh Kuncup Sebelum Berbunga Karya Mira W Bagian 3


umurnya"" "Tapi tidak dengan jalan operasi, Dokter! Tidak! Saya tidak rela anak saya dioperasi! Dia masih kecil! Terlalu kecil!"
Dokter Siswojo menghentikan pembicaraan me-
reka ketika disadarinya suara Kris telah sampai pada taraf histeris.
"Saudara perlu istirahat," katanya sabar. "Dalam keadaan letih dan sedih, kita memang tidak mampu berpikir. Kembalilah jika Saudara sudah memutuskan yang terbaik untuk Ari."
Tetapi Kris tidak sempat berpikir lagi. Malam itu juga, Ari panas lagi. Muntah-muntah. Kejang-kejangnya pun diikuti dengan penurunan kesadaran yang cukup lama. Dokter Siswojo yang dipanggil mendadak malam itu juga, langsung menyiapkan tindakan emergency.
"Sekarang saya tidak dapat lagi menunggu keputusan Saudara." katanya pada Kris yang masih tertegun seperti orang linglung. "Jika saya tidak bertindak sekarang juga, Ari tidak akan sempat lagi melihat matahari esok pagi!"
*** Kris memang sudah menandatangani surat izin operasi. Tetapi jika dia ditanya lagi apa yang telah dilakukannya malam itu, dia pasti sudah lupa. Dia sudah tidak ingat apa-apa lagi.
Yang diingatnya hanyalah dia berjalan di samping brankar Ari, yang didorong ke dalam kamar operasi. Dia memegang tangan Ari yang sudah separo tidak sadar itu, melintasi koridor panjang yang gelap dan sepi.
Angin malam yang bertiup silir-silir dingin menusuk tulang. Tetapi lebih dingin lagi tangan dan kakinya. Malaikat Maut seperti telah terasa mengikuti perjalanan panjang mereka ke ruang operasi. Kelepak sayapnya yang hitam menyeramkan telah menciptakan bayang-bayang ke-matian di sekitar mereka.
Dewi terus-menerus terisak di samping brankar. Tetapi tidak seorang pun berminat untuk menghiburnya. Tidak juga Kris. Bagaimana dia dapat menghibur orang lain pada saat dia sendiri perlu dihibur"
Baru ketika di ambang pintu ruang operasi, Dewi tidak mau melepaskan rangkulannya dari tubuh Ari, Kris terpaksa meraih istrinya.
"Tabahkan hatimu, Wi," bisiknya menahan tangis. "Mari kita sama-sama berdoa...."
Dewi membenamkan wajahnya di dada suaminya. Dan membiarkan tangisnya pecah di sana.
Sambil menatap Ari untuk terakhir kalinya sebelum pintu ruang operasi tertutup, Kris mendekap istrinya erat-erat. Lalu pintu pun tertutup sudah. Dan dunia mereka telah terpisah.
Ari tertelentang seorang diri di dalam ruang operasi yang terang benderang. Menyerahkan tubuh dan nyawanya di tangan para ahli yang akan berjuang sekuat tenaga untuk merebut kembali hidupnya dari tangan Malaikat Mau
t. Sementara di luar sana, Kris dan Dewi bergulat dalam harapan dan keputusasaan. Dalam kegelapan
malam yang pekat dan sepi. Mereka duduk berangkulan di depan kamar operasi. Tanpa mampu mengucapkan sepatah kata pun. Tetapi jauh di dalam hati, doa mereka seperti air bah yang tak putus-putusnya mengalir.
*** Yang satu jam itu terasa setahun. Yang dua jam pun terasa seabad. Akhirnya penantian mereka berakhir. Tetapi ketegangan masih berlanjut sampai ke ruang pascabedah.
Ketika melihat Ari terbaring tak bergerak-gerak, begitu kecil di tengah-tengah ruangan yang dibatasi kaca pemisah dari tempat mereka, Dewi mengira dia sudah berhadapan dengan jenazah anaknya.
Wajah Ari begitu pucat. Putih seperti tembok. Matanya terpejam rapat. Kepalanya dibalut. Sebotol infus tergantung di sisi pembaringannya. Jarumnya menghunjam dalam pembuluh darah di dekat mata kaki kanannya.
Dewi melekatkan mukanya pada kaca yang memisahkan mereka. Ingin melihat lebih jelas wajah anaknya. Masih hidupkah dia" Masih ber-napaskah Ari" Mengapa dia begitu diam"
Ari yang lincah! Ari yang lucu! Mungkinkah dia membeku selama itu dalam kesunyian"
Tetapi air mata yang terus-menerus merembes keluar dari matanya membasahi kaca. Membaurkan penglihatannya. Menghalangi ketajaman pandangannya. Sudah terbukakah mata Ari" Atau dia masih tetap terpejam seperti tadi"
Lalu seseorang memegang bahunya. Ketika Dewi menoleh, dia melihat Kris.
"Dokter mengizinkan seorang di antara kita masuk ke dalam," katanya parau.
Dan Dewi hampir tidak mengenali suaminya sendiri. Dalam semalam saja, Kris telah demikian berubah. Tubuhnya-demikian lunglai. Punggungnya separo membungkuk, seakan-akan tulang belakangnya tidak kuat lagi menyangga beban kesedihan yang harus dipikulnya.
Wajah Kris demikian pucat. Lesu. Letih. Matanya bersorot redup, antara takut dan sedih. Penampilannya demikian memilukan. Bertambah tua dan kehilangan semangat. Dia seperti sesosok patung hidup yang dapat berjalan tapi tidak bernyawa.
Sebenarnya Dewi ingin sekali masuk. Menyentuh Ari. Menciumnya. Saat ini, tak ada lagi keinginan yang lebih besar dari itu.
Tetapi melihat keadaan suaminya, Dewi sadar, penderitaan Kris tidak lebih ringan daripada penderitaannya sendiri. Kerinduan suaminya untuk mendekap dan menyentuh Ari pun tidak kurang. Karena itu dia mengalah.
"Masuklah," bisiknya sambil menggigit bibir menahan tangis. "Rasanya aku tidak kuat."
Seandainya Dewi dapat memutar kembali
rekaman kehidupan ini, rasanya dia pun takkan menyesal membiarkan suaminya masuk lebih dulu. Mengambil satu-satunya kesempatan yang ditawarkan kepada mereka, yang mungkin merupakan kesempatan yang terakhir.
Melalui kaca yang memisahkan mereka, Dewi melihat bagaimana Kris seperti melayang masuk ke dalam ruangan itu. Menghampiri Ari seperti seorang musafir yang kehausan menemukan sebuah mata air.
Sesaat Kris seperti hendak melompat memeluk Ari. Sekujur wajahnya telah penuh bersimbah air mata. Tetapi sesampainya di sisi tempat tidur, tiba-tiba saja dia berhenti. Tangannya yang telah terulur mendadak mengejang di udara. Dia tertegun sejenak.
Lalu Dewi melihat adegan yang justru lebih mengharukan. Kris tidak memeluk tubuh Ari. Tidak mencium mukanya. Dia hanya berlutut. Menyentuh kaki anaknya. Dengan hati-hati seperti menyentuh bahan peledak. Lalu dia bersimpuh. Dan menangis.
Di luar, Dewi terisak sendiri. Memalingkan wajahnya. Tidak sampai hati menyaksikan suaminya menangis.
*** Berapa lama lagi, Tuhan" Pertanyaan itu selalu menggema di dalam setiap doa Kris. Karena sekarang dia tahu persis apa penyakit Ari. Diagnosa dokter telah jelas. Tumor otak. Tidak ada salah diagnosa. Walaupun Kris mengharapkan sebaliknya.
Dugaan Dokter Rahman terbukti benar. Yang disebutnya biji itu memang tumor. Ada daging lebih di jaringan otak Ari. Dia hanya tidak ingin menakut-nakuti Kris dan Dewi sebelum diagnosanya terbukti. Foto-foto kepala Ari dengan alat-alat yang paling mutakhir seperti CT Scan akhirnya membuktikan dugaan Dokter Rahman memang benar. Foto itu juga menunjukkan dengan tepat di
mana letak tumor tersebut.
Untuk menentukan jenis tumor itu dan keganasannya, dokter harus melakukan biopsi. Mengambil sedikit jaringan tumor itu untuk diperiksa di Laboratorium Patologi Anatomi.
Jika ternyata tumor itu ganas, artinya Ari menderita kanker otak. Dan kepalanya harus dibedah lagi. Untuk mengangkat tumor itu seluruhnya. Secepatnya. Sebelum kanker itu ber-metastasis ke mana-mana sampai akhirnya merenggut nyawa Ari.
"Kita harus berpacu dengan waktu," kata Dokter Siswojo tegas.
Operasi yang dulu hanya mengeluarkan cairan. Hanya menghilangkan gejala. Tetapi operasi kali ini untuk melenyapkan sumber penyakitnya. Jadi benar-benar operasi besar. Operasi yang penuh
risiko. Antara hidup dan mati. Dan Kris masih tetap keberatan kalau Ari harus dioperasi.
Dokter memang memberikan alternatif lain. Radiasi. Penyinaran. Tapi bagaimana hasilnya, masih merupakan tanda tanya besar.
Dokter tidak dapat menjamin kesembuhan Ari. Kalaupun sembuh, untuk berapa lama" Enam bulan" Satu tahun" Mampukah Ari bertahan" Jangankan setahun, enam bulan pun dokter tidak berani menjamin. Jadi penyembuhan macam apa itu"
Jika memang umur Ari tidak mungkin diperpanjang lagi, mengapa tidak menggunakan saja sisa waktunya dengan sebaik-baiknya" Mengapa harus memperpendek kesempatan yang ada dengan operasi"
Ketika pertama kali mendengar betapa buruknya prognosa Ari, Kris menangis tersedu-sedu seorang diri di dalam kamarnya di hotel. Ketika itu, Dewi masih di rumah sakit, menjaga Ari.
Kris meratap sambil memukuli dinding, seakan-akan ingin memberontak terhadap nasib buruk yang menimpa keluarganya. Dia menjerit. Memekik. Memprotes pada Tuhan.
Tetapi ketika lambat-lambat kesadaran memasuki kembali pikirannya, Kris insaf. Percuma melawan kenyataan. Dia harus menerima, bagaimanapun inginnya dia menolak.
Akhirnya Kris sadar, semua ini nyata. Bukan semata-mata mimpi buruk. Dan dia tidak boleh luluh dalam kedukaan. Dia harus berusaha mempertahankan Ari. Sampai suatu titik di mana dia tidak mungkin lagi memilikinya.
Dan sebelum sampai ke titik itu, Kris harus berjuang untuk mempergunakan setiap kesempatan yang ada. Memanfaatkan setiap detik yang tersisa.
"Besok pagi aku pulang dulu, Wi," katanya malam itu, ketika menggantikan Dewi berjaga di rumah sakit. "Ambil uang."
"Apa kata dokter tadi, Mas" Ari masih lama
di sini"" "Dia harus disinar, Wi. Setiap hari. Selama sebulan. Rasanya kita butuh tambahan uang."
"Mas pinjam lagi di kantor""
"Akan kuusahakan. Pokoknya aku pasti kembali membawa uang."
Majikannya memang memberikan tambahan pinjaman tanpa banyak rewel. Tetapi sampai kapan" Uang itu pasti tidak cukup.
Jakarta sangat mahal. Apalagi rumah sakitnya. Setiap sepuluh hari, rumah sakit minta agar administrasinya diselesaikan lebih dulu. Jika masih harus tinggal, mereka minta uang muka untuk sepuluh hari perawatan yang akan datang.
Setelah sebulan disinar, kelihatannya keadaan Ari memang agak membaik. Nafsu makannya mulai timbul kembali. Gejala-gejala penyakitnya
tak pernah kambuh lagi. Tetapi Dokter Siswojo minta agar penyinaran kepala Ari dilanjutkan setengah bulan lagi. Terpaksa Kris kembali ke rumah. Dan menjual motornya.
Karena Kris baru dapat kembali ke Jakarta keesokan harinya setelah menerima uang penjualan motor, Dewi-lah yang hari itu harus menggantikan tugas Kris. Mendukung Ari ke kamar penyinaran. Meminumkan obat tidur. Dan menunggu di luar sampai Ari selesai disinar.
Dari terminal bus, Kris langsung ke rumah sakit. Meskipun belum waktu berkunjung, dia diizinkan masuk. Dan dia segera menuju ke kamar Ari. Separo berlari. Tetapi begitu membuka pintu, Kris merasa lemas. Ari tidak berada di sana. Kamarnya kosong! Dengan panik Kris berlari ke kantor perawat. Menyerbu satu-satunya perawat yang kebetulan ada di sana. Sore-sore begini seharusnya Ari sudah kembali dari kamar penyinaran. Dia harus sudah berada di kamar. Lalu... ke mana dia"
"Suster!" sergahnya tanpa dapat mengatur napasnya lagi. "Di mana Ari" Apa yang terjadi""
"Dibawa Dokter Siswojo," sahut perawat itu tenang. Tanpa memindahkan
matanya dari tumpukan kartu status di hadapannya. "Ke mana"" "Ruang sebelah. "Istri saya""
"Pulang sebentar. Istirahat. Keadaan Ari baik kok hari ini."
Lalu mengapa dia dibawa ke ruang sebelah" Konsultasi" Karena perawat itu seperti tidak ingin menjawab pertanyaannya, Kris memaksa masuk ke ruang sebelah. Dan dia melihat Ari. dikelilingi oleh enam orang mahasiswa.
Dokter Siswojo tegak di tengah-tengah. Memperagakan bagaimana caranya memeriksa refleks. Lalu keenam orang mahasiswa itu bergantian memukulkan palu kecil mereka ke lutut Ari. Ke sikunya. Yang sudah selesai mencoba menggoreskan ujung palu refleks mereka ke telapak kaki Ari. Yang lain mengintai ke dalam matanya dengan sebuah alat yang bernyala seperti senter.
Ari memang tidak menangis. Dia berbaring diam di atas meja periksa. Tetapi dari matanya, Kris tahu dia bosan. Jengkel. Letih.
Kris juga tahu, rumah sakit ini sebuah rumah sakit pendidikan. Di sana dididik mahasiswa-mahasiswa kedokteran yang kelak akan meneruskan pengabdian guru-guru mereka untuk menolong orang sakit.
Tetapi kalau anaknya yang dijadikan bahan pelajaran, Kris benar-benar tidak rela. Apalagi dalam keadaan seperti ini. Stres membuat Kris mudah tersinggung. Mudah marah.
Tanpa permisi lagi, Kris menghambur mendapatkan Ari.
"Maaf, Dok," katanya pada Dokter Siswojo.
"Saya kira Ari sudah letih." Dengan marah, digendongnya Ari keluar dari ruang itu.
*** "Saya harap Saudara tidak marah karena kejadian tadi," kata Dokter Siswojo ketika menerima Kris di dalam ruang kerjanya. "Sebagaimana Saudara ketahui, rumah sakit ini merupakan rumah sakit pendidikan. Di sini kami mendidik calon dokter. Kasus Ari termasuk kasus yang langka. Karena itu, saya ingin mahasiswa-mahasiswa saya melihatnya. Supaya mereka dapat mempelajari dan mengingatnya. Jika pada suatu hari nanti mereka menemukan kasus seperti Ari, mereka dapat mengenalnya. Barangkali Saudara tahu, diagnosa dini pada kasus-kasus tumor sangat mempengaruhi prognosa atau nasib pasien."
"Saya minta izin pulang bukan karena itu, Dokter." Kris menghela napas berat. "Tapi karena alasan ekonomi. Biaya perawatan di sini sangat mahal. Belum lagi ditambah biaya hidup saya dan istri saya. Selama di sini, saya pun tidak dapat bekerja. Sampai sekarang, sudah hampir dua bulan, Dokter. Tidak dapatkah penyinaran Ari dilakukan di kota kami saja""
"Ari harus menyelesaikan dulu pengobatannya di sini. Jika sudah selesai, tentu saja dia boleh pulang. Akan saya titipkan surat untuk Dokter
Rahman. Jika sampai tiga bulan tidak ada serangan, dapat kita harapkan Ari mampu bertahan."
*** Tetapi yang tidak dapat bertahan lebih dulu bukan fisik Ari. Melainkan mentalnya. Dalam dua bulan saja, Ari telah jauh berubah.
Dia lebih pendiam. Lebih pelupa. Lebih pemarah. Ketika Kris masuk ke kamarnya hari itu, Ari sedang menangis.
"Ari!" sergah Kris kaget, mengira Ari sakit. "Ada apa"" Dia memburu ke tempat tidur. Dan merangkul anaknya erat-erat.
"Pulang, Pa!" tangis Ari jengkel. "Ari mau pulang! Bosan di sini!"
"Ari belum sembuh, Sabar ya."
"Ari kepingin ketemu Pinta. Ingin main sepeda...."
"Tentu. Nanti kalau Ari sudah boleh pulang." "Ari mau pulang sekarang!" "Belum diizinkan dokter, Ari." "Biar!"
"Nanti Ari sakit lagi." "Biar!"
"Ari nggak sayang Papa" Kalau Ari sakit lagi, Papa sedih." "Ari mau pulang!" "Sabar ya. Beberapa hari lagi."
"Sekarang!" Ari memukuli dada ayahnya sambil menangis sampai Kris kewalahan menghentikannya. "Ari!" bentak Kris tak sabar. "Jangan begitu!" Ari menghentikan pukulan-pukulannya. Tetapi sebagai gantinya, dia menangis tersedu-sedu dalam pelukan Kris.
Kris membelai-belai kepala anaknya dengan sedih. Saat itu Dewi masuk. Wajahnya langsung memucat begitu melihat Ari sedang menangis dalam pelukan suaminya. Tanpa mengacuhkan tasnya lagi, dilemparkannya tas itu begitu saja ke atas meja. Lalu dia menghambur memeluk Ari. Dan air matanya langsung mengucur.
"Ari tidak apa-apa," kata Kris segera, menenangkan istrinya. "Dia cuma ingin pulang!"
"Ari kepingin ketemu Pinta! Kepingin naik sepeda!"
Sesaat Dewi be rtukar pandang dengan Kris. Tidak mudah memang membawa Pinta kemari. Tetapi kalau itu yang diinginkan Ari... Jangan sampai mereka tak pernah bertemu lagi!
Dan ketika melihat bagaimana mengharukannya pertemuan kedua sahabat cilik itu setelah sekian lama berpisah, baik Dewi maupun Kris tidak menyesal telah membawa Pinta menemui Ari. Meskipun untuk itu Kris terpaksa bolak-balik dari rumah sakit ke rumahnya dan kembali ke rumah sakit lagi. Terpaksa minta izin khusus pada Dokter Siswojo agar diperkenankan mem-
bawa seorang anak di bawah umur dua belas tahun masuk ke dalam rumah sakit untuk menemui Ari.
Begitu mendengar Kris mengatakan akan membawanya ke Jakarta menengok Ari, Pinta hampir pingsan karena bahagia. Terus terang Kris belum pernah melihat kebahagiaan yang lebih tulus daripada yang dilihatnya bersinar di wajah yang jarang disentuh kebahagiaan itu. Rasanya seandainya kakaknya melarang pun, Pinta akan ikut juga.
"Bapak akan membawa saya menemui Ari"" tanya Pinta dalam nada tidak percaya.
"Ari ingin bertemu dengan Pinta," sahut Kris sabar. "Pinta mau ikut""
"Tentu! Tiap hari Pinta berdoa pada awan-awan di atas sana! Bapak lihat awan di langit itu""
Tidak sadar Kris ikut menengadah. Sesudah menengadah, dia baru ingat, Pinta buta. Bagaimana dia bisa melihat awan"
"Saya minta supaya Ari cepat pulang. Supaya kami cepat bertemu kembali."
"Ari belum boleh pulang." Suara Kris tersekat di tenggorokan. Hatinya terasa pedih. Masih sempatkah Ari pulang" Hari-harinya telah dapat dihitung... setiap saat segalanya dapat terjadi.... "Dia belum sembuh."
"Kalau begitu, pasti awan itu telah menyampaikan pesan saya pada Ari, Dia yang mengirim Bapak kemari."
Begitu melihat Pinta, Ari seolah-olah mendapatkan kembali gairah hidupnya. Dia hampir melompat dari atas tempat tidurnya jika Dewi tidak keburu menangkapnya.
"Pinta!" teriak Ari sekuat-kuatnya. "Ari!" seru Pinta dengan seluruh cadangan udara yang ada di dalam paru-parunya.
Lalu Pinta melompat setinggi-tingginya seakan-akan ingin melompat ke atas ranjang Ari. Tetapi karena dia tidak melihat di mana letak ranjang itu, dia masih terlalu jauh untuk menjangkau Ari. Yang ditubruknya justru Dewi, yang dengan terperanjat buru-buru merangkulnya. Dan menggendongnya ke atas ranjang Ari. Di sana mereka berpelukan sambil tertawa-tawa. Begitu cerianya seakan-akan tidak pernah ada penyakit yang bernama kanker di dunia ini!
Sekejap Dewi dan Kris pun melupakan jarum-jarum duka yang setiap hari menikam hati mereka. Melihat kegembiraan Ari, ingin rasanya Kris mengabadikan saat-saat seperti ini. Saat dia dapat tersenyum kembali!
Suara tawa Ari dan Pinta serasa begitu merdu dipantulkan oleh keempat dinding kamar yang bisu itu. Sampai tawa Pinta tiba-tiba lenyap. Tidak sengaja tangannya menyentuh muka Ari. Tepat pada tulang pipinya. Dan dia tertegun bingung.
"Ri!" desahnya antara kaget dan kuatir. "Kok muka Ari ada tulangnya""
Yang terkejut bukan cuma Ari. Kris dan Dewi pun ikut menahan napas. Lebih-lebih melihat Ari sekonyong-konyong terdiam. Ikut meraba-raba pipinya dengan terkejut.
"Tidak apa-apa," hibur Kris sambil berusaha menyembunyikan kegetiran dalam suaranya. "Ari hanya lebih kurus sedikit, jadi tulang pipinya lebih menonjol."
"Betul nggak apa-apa ya, Pa"" Ari mendapatkan lagi senyum dan keriangannya. "Nanti kalau sudah sembuh, Ari bisa gemuk lagi, kan""
Dewi memalingkan mukanya agar Ari tidak melihat matanya yang mendadak berkaca-kaca. Sementara Pinta yang masih penasaran tetap meraba-raba sekujur wajah Ari, membuat sahabat kecilnya itu harus memejam-mejamkan matanya menahan geli.
Ketika jari-jemarinya meraba kepala Ari, Pinta melakukannya dengan begitu hati-hati seolah-olah dia sedang meraba bahan peledak yang setiap saat dapat mencabut nyawa.
"Sakit, Ri"" bisiknya takut-takut.
"Nggak." "Yang mana yang sakit"" "Nggak ada."
Sekali lagi Dewi terpaksa membuang muka untuk menyembunyikan air matanya. Ternyata
dalam keadaan sakit pun. Ari masih berusaha untuk menghibur sahabat kecilnya!
"Betul nggak ada yang sakit"" desak Pinta penasaran
"Ari n ggak apa-apa." Tetapi saat itu Pinta justru meraba bekas luka di kepala Ari. Dan dia memekik karena terkejut. "Dulu kepala Ari nggak begini!" "Ah, nggak apa-apa. Itu bekas operasi." "Operasi" Apaan tuh"" "Dibuka."
"Dibuka"" Kali ini Pinta betul-betul shock. Air matanya langsung mengalir. "Ari pasti kesakitan!"
"Nggak terasa. Dibukanya kan waktu Ari bobo."
"Ari sakit apa sih"" gumam Pinta lirih, di sela-sela tangisnya. "Kenapa kepala Ari mesti dibuka segala""
"Ditanami tanduk!" Mendengar tangis Pinta, Ari masih mencoba menghibur sahabatnya dengan bergurau.
"Tanduk apa"" Pinta terlongong heran.
"Tanduk kambing!" Ari tertawa geli. "Nanti kepala Ari ada tanduknya! Pinta Ari seruduk!"
Dan Ari benar-benar menikamkan kedua belah jari telunjuknya ke perut Pinta. Ari tertawa terkekeh-kekeh melihat Pinta menggeliat-geliat geli. Melihat ulah anaknya, mau tak mau Dewi ikut tersenyum. Dan ikut merasa menyesal ketika waktu kunjungan berakhir.
"Besok Pinta ke sini lagi, ya" tanya Ari penuh harap.
"Ya," sahut Pinta mantap, seolah-olah rumah sakit ini terletak di sebelah rumahnya. Bukan di Jakarta.
"Besok Pinta harus pulang, Ri," potong kris terpaksa.
"Kapan Pinta datang lagi""
"Kapan saja Ari minta," sahut Pinta tegas "Ari
pesan saja sama awan, ya""
Sambil menghapus air matanya, Dewi bertukar pandang dengan Kris.
Bab VIII Pulang! Rasanya sudah seribu tahun Ari menunggu-nunggu kata itu. Pulang! Bertemu Pinta. Eyang Kakung. Eyang Putri. Main sepeda. Sekolah. Bergulat dengan Didi. Teman sebangku-nya.
Wah, rasanya Ari hampir tidak sabar lagi menunggu hari esok. Hampir tidak dapat memejamkan mata. Gelisah.
Ari sudah rindu kembali ke kehidupannya yang biasa. Kehidupannya yang dulu. Dia sudah bosan bertemu dengan dokter. Perawat. Bosan melihat warna putih. Bosan minum obat. Bosan disinar.
Sekarang Ari boleh pulang. Wah! Disambutnya dengan gembira salam perpisahan Dokter Siswojo. Suster Tina. Suster Ning. Suster Katrin. Mantri Brojo. Dan entah siapa lagi. Ari sekarang memang menjadi pelupa.
"Sampai bertemu lagi ya, Ri. Mudah-mudahan kalau kembali kemari lagi, Ari sudah sembuh," kata Suster Katrin, walaupun dia sendiri tidak
yakin akan kata-katanya. Tentu saja dia tahu apa penyakit pasien ciliknya ini.
"Nanti Ari main-main ke sini lagi," sahut Ari mantap, dengan kepolosan seorang anak kecil.
Suster Tina bertukar pandang dengan Suster Katrin. Tatapan mereka melukiskan sesuatu yang belum dapat dimengerti oleh anak seumur Ari.
"Tentu saja Ari boleh main-main ke sini," potong Dokter Siswojo ramah. Dia tidak takut hantu. Sepanjang profesinya sebagai seorang ahli bedah saraf, entah sudah berapa puluh orang pasiennya yang meninggal. Tidak satu pun arwah mereka datang menyambanginya. "Tapi kalau Ari datang kemari lagi, jangan untuk berobat ya. Kalau Ari datang lagi, Dokter mau Ari sudah sembuh."
"Ari pasti datang," sahut Ari tegas. "Sekarang juga Ari sudah sembuh, kan""
Tidak seorang pun menjawab pertanyaannya. Tidak juga Dokter Siswojo. Tidak ada seorang pun yang sampai hati menjawabnya. Mereka pura-pura tidak mendengar. Dan mengalihkan pembicaraan.
Ari sendiri tidak begitu peduli. Dia sedang sangat gembira. Sepanjang perjalanan dia tidak henti-hentinya bicara. Kebiasaan lama yang sudah menghilang untuk beberapa saat selama dia berada di rumah sakit.
Dia bersorak gembira ketika pertama kali melihat rumahnya kembali. Rumah kecil. Sederhana.
Rumah kontrakan pula. Tapi itulah rumahnya. Rumah yang dirindukannya.
Pinta sudah tegak menyambut di depan rumah. Ibu Kris pun sudah berada di sana.
Tetapi begitu Ari turun dari mobil yang menjemputnya di terminal bus, hanya Pinta yang menghampiri Ari. Ibu Kris tertegun kaku di tempatnya berdiri. Hampir-hampir tidak mengenali cucunya lagi.
Ari begitu kurus sehingga bajunya tampak longgar. Kulitnya kehitam-hitaman. Rambutnya rontok. Pipinya yang dulu montok, kini tampak kempot sampai tulang pipinya terlihat menonjol. Dan matanya terbenam lebih dalam. Cekung dan redup.
Ibu Kris tidak dapat menahan keharuannya melihat perubahan penampilan Ari.
Tetapi dia tidak mengucapkan sepatah kata pun. Ditelannya saja keharuannya seorang diri.
Lain dengan Pinta. Kepolosannya sebagai seorang anak langsung tercetus dalam kata-katanya. Heran. Bingung. Tidak percaya. Begitu dia memeluk Ari, meraba kepala dan mukanya, dia langsung meledak, "Kok Ari kurus" Rambutnya botak" Ke mana rambut Ari""
Pertama kali bertemu cermin di dalam kamarnya, Ari langsung mengamati-amati dirinya. Terutama rambutnya. Mula-mula dia juga tampak sedih.
Tetapi begitu melihat bayangan ibunya sedang menangis dalam cermin, Ari langsung berbalik.
"Jangan nangis, Ma," katanya sambil lari memeluk kaki Dewi. "Rambut kan bisa tumbuh lagi" Mama nggak usah sedih, ya""
Dewi berlutut. Mendekap Ari ke dadanya. Dan membelai-belai kepalanya dengan penuh haru.
"Mama tidak peduli Ari tidak punya rambut sekalipun," bisik Dewi getir. "Asal Ari sembuh. Selalu menemani Mama. Ari jangan pergi, ya" Mama tidak bisa hidup tanpa Ari!"
"Ari nggak pergi," sahut Ari mantap, tidak begitu mengerti ke mana arah kata-kata ibunya. "Kalau Ari pergi kan selalu sama-sama Mama-Papa""
Tapi kali ini Ari harus pergi seorang diri, tangis Dewi dalam hati. Ke suatu tempat yang tidak dapat Papa-Mama antarkan!
"Mama jangan nangis dong." Ari mengeringkan air mata yang mengalir di pipi ibunya dengan ujung jarinya. "Nggak punya rambut juga Ari nggak sedih. Lelaki botak kan nggak apa-apa, Ma""
Dewi terpaksa menggeleng sambil memaksakan sepotong senyum. Walaupun sebenarnya dia ingin menangis. Merintih. Menjerit.
"Biar botak Ari pasti tetap ganteng," sahutnya dengan suara menggeletar menahan tangis. "Kalau sudah besar, Ari pasti gagah seperti Papa."
"Kalau sudah besar, Ari bikin rumah buat Mama," kata Ari mantap. "Yang dekat pasar ya, Ma" Supaya Mama dekat kalau belanja."
Sekarang Dewi tidak mampu mengucapkan sepatah kata pun. Kata-katanya tersekat di teng-gorokan. Dia cuma mengangguk sambil menggigit bibir. Karena dia tahu, kalau dia membuka mulut tangisnya pasti pecah.
Di luar, Kris yang memperhatikan mereka sejak tadi, berbalik dengan air mata berlinang. Matanya bertemu dengan mata ibunya, yang sudah lama berada di belakangnya tanpa diketahui.
Sesaat dua pasang mata yang sama-sama merah berair saling tatap. Lalu seperti digerakkan oleh tenaga gaib. Kris menghambur memeluk ibunya. Pada saat yang sama, ibunya membuka lengannya. Dan menerima Kris dalam pelukannya.
Kris meletakkan kepalanya di bahu ibunya. Dan mereka sama-sama menangis. Saat itu Kris bahkan tidak ingat, inilah pertama kalinya mereka berpelukan lagi setelah sekian tahun berlalu.
Ibu sudah melupakan sakit hatinya. Mereka telah berdamai kembali. Ari telah merentangkan kembali benang batin mereka yang terputus.
*** Malam itu Ari tertidur dengan nyenyaknya. Inilah malam pertama dia kembali ke rumah. Tidur di kamarnya sendiri. Memeluk robot-robot yang disayanginya.
Mama menunggu di samping tempat tidur sampai Ari terlelap. Membelai-belai pahanya dengan lembut. Seperti dulu.
Eyang Putri membawa seekor burung perkutut berikut sangkarnya. Pemberian Eyang Kakung. Dan untuk malam ini saja, Mama memberi izin istimewa. Burung itu boleh tidur di dalam.
Papa membawa sepedanya masuk ke kamar. Menaruhnya di sudut kamar. Di tempat yang mudah terlihat oleh Ari. Begitu dia membuka matanya, sepeda itulah yang pertama kali terlihat.
Ketika Ari telah terlelap, Kris meraih Dewi dan membawanya ke kamar. Di sana, untuk pertama kalinya setelah sekian minggu berlalu, mereka berpelukan.
Dewi membenamkan tangisnya di dada suaminya. Di tempat dia dapat menumpahkan perasaannya sepuas-puasnya. Tangisnya yang tertahan-tahan sepanjang hari ini di depan Ari, dilimpahkannya dalam dekapan suaminya.
Kris juga tidak mampu berkata sepatah pun. Dia hanya mendekap Dewi dengan air mata berlinang. Berminggu-minggu mereka tidak pernah berkumpul seperti ini lagi.
Kalau Kris berjaga di rumah sakit Dewa pulang ke hotel beristirahat. Demikian pula sebaliknya. Tak pernah mereka melewati malam di dalam satu kamar. Apalagi berdekapan begini. Seluruh indra, hati, dan pikiran
mereka tertuju bulat-bulat pada Ari. Hanya Ari.
Baru sekarang, ketika Dewi berada dalam pelukannya, menangis di dadanya, Kris tiba-tiba sadar, bukan hanya Ari yang membutuhkannya. Dewi pun memerlukannya. Dalam kesedihan, mereka seolah-olah telah saling melupakan.
Baru malam ini, hati dan perasaan mereka seolah-olah bertemu kembali. Dan baru malam ini pula Kris menyadari, betapa telah berubahnya penampilan istrinya.
Dewi tampak demikian kurus. Lesu. Karena dia tidak lagi berhias seperti dulu, wajahnya jadi terlihat jauh lebih tua dan pucat.
"Rasanya seperti mimpi, Mas," desah Dewi di sela-sela tangisnya. "Kita akan kehilangan Ari! Dia telah menjadi bagian dari hidupku... aku tidak dapat membayangkan hidup ini tanpa dia...."
"Masih ada harapan, Wi," bisik Kris, walaupun dia sendiri sudah hampir kehilangan harapan itu. "Selama Ari masih berada di tengah-tengah kita, kita tidak boleh putus asa. Kita harus terus berusaha, menempuh segala cara untuk menyembuhkannya...."
*** Cara yang pertama mereka tempuh adalah mencari pertolongan medis. Dari satu dokter mereka pergi ke dokter lain. Ketika semuanya sudah
mengangkat tangan, mereka mulai mendekati Tuhan. Berharap dapat mengubah nasib Ari melalui belas kasihan Tuhan.
Mereka menjadi lebih rajin ke gereja. Lebih sering menghadiri pertemuan rohani. Mendengarkan khotbah-khotbah pendeta. Membaca Kitab Suci. Padahal selama ini, mereka tidak pernah ingat lagi di mana mereka menyimpan Kitab Suci yang mereka miliki.
Mendekatkan diri kepada Tuhan memang membuat Dewi dan Kris merasa lebih terhibur. Lebih tabah. Tetapi rupanya tak mampu mengubah takdir.
Pada awal bulan yang kedua, Ari mulai memperlihatkan lagi gejala-gejala penyakitnya. Dia mulai lagi mengeluh sakit kepala. Muntah. Kejang. Bola matanya bergerak ke samping tanpa dapat dikuasainya.
Ketika suatu pagi Ari tidak dapat turun dari tempat tidur, tiba-tiba saja Kris sadar, saat-saat terakhir sudah hampir tiba. Kelumpuhan mulai menyerang Ari!
Kris memeluk erat-erat anaknya yang sedang menangis ketakutan. Sementara Dewi sudah tidak dapat menahan air matanya lagi. Semua harapannya sia-sia.
Tidak ada satu kekuatan lagi pun yang dapat menahan Ari! Dia akan segera pergi! Dia akan segera meninggalkan mereka!
"Papa, kenapa Ari nggak bisa jalan"" tanya
Ari dengan suara yang terdengar amat memelas di telinga Kris. Dia hampir tak dapat mengenali suara Ari lagi. Suara yang basah berselimut tangis itu begitu penuh ketakutan. "Kapan Ari bisa jalan lagi, Pa""
"Ari akan segera bisa jalan lagi." Kris menekan kedukaan dalam suaranya agar Ari tidak dapat merasakannya. "Papa akan bawa Ari pada orang pandai. Ari pasti bisa jalan lagi."
"Bisa naik sepeda lagi""
Tertusuk hati Kris mendengar secercah harapan dalam suara anaknya. Lebih-lebih melihat sorot mata Ari yang demikian penuh harapan. Haruskah dia mendustai anaknya" Atau... dia justru harus berterus terang"
Ah, Kris tidak sampai hati. Apa pun yang terjadi, dia tidak rela Ari sedih. Ari harus tetap gembira. Sampai saat terakhir. Dia tidak boleh menderita. Kris akan berusaha sekuat tenaga untuk menyembuhkannya.
Jika jalur medis sudah tidak menolong, dia akan mencoba jalur nonmedis. Dia menulis surat pada seorang pastor yang kabarnya memiliki kekuatan untuk penyembuhan rohani. Sebelum suratnya berbalas, Kris sudah membawa Ari ke Jawa Tengah. Menemui seorang ahli kebatinan yang terkenal.
Melihat jumlah pasiennya yang sedemikian banyak, timbul setitik harapan di dalam hati Kris. Jika pengobatannya tidak manjur, mustahil
manusia sebanyak ini datang kemari dari berbagai tempat!
Ahli kebatinan itu tidak membutuhkan sinar radiologis. Tidak memerlukan pisau bedah. Dia malah melarang pasien-pasiennya untuk mencampurkan pengobatannya dengan obat-obat dokter.
Selama berobat padanya, obat dokter mesti dijauhi. Dan dia menganjurkan pantangan keras terhadap beberapa jenis makanan dan minuman, termasuk daging dan es. Padahal, Ari paling suka makan bakso dan minum es krim.
Hari-hari pertama tinggal di rumah ahli kebatinan ini, Ari memang memperliha
tkan kemajuan. Dia menjadi lebih lincah. Lebih rewel. Dan tidak begitu pelupa.
Di rumah akhir-akhir ini Ari selalu lupa di mana meletakkan mainannya. Tetapi di sini, dia bahkan ingat hari apa hari ini. Jadi meskipun hampir setiap hari Ari merengek minta pulang, Kris mematuhi perintah ahli kebatinan itu untuk tinggal selama dua bulan di tempatnya.
Setiap hari ahli kebatinan itu mengurut kaki Ari, melakukan semacam fisioterapi.
"Bulan depan dia sudah dapat berjalan," katanya membangkitkan harapan Kris yang hampir pudar, setelah hampir sebulan Ari tinggal di sana.
Jadi meskipun pada hari-hari terakhir ini Ari sudah tidak dapat lagi menelan makanan yang
disuguhkan di sana, Kris masih membujuknya untuk tinggal sebulan lagi. Bahkan ketika Ari mulai muntah-muntah, Kris masih mengira Ari hanya bosan pada menu yang dihidangkan.
"Tahan sebentar lagi ya," Ri," bujuk Kris iba. "Nanti kalau Ari sudah sembuh, kita makan bakso lagi, ya"" "Dua mangkuk ya, Pa""
Mula-mula Ari memang masih dapat menawar. Tetapi beberapa hari kemudian, dia hanya bisa menganggukkan kepala. Dia tampak lesu. Dan tidak tertarik lagi pada makanan apa pun. Yang ditanyakannya justru aneh di telinga Kris. Membangunkannya dari mimpi yang membuatnya terlena selama tiga puluh enam hari.
"Pa, Ari bakal jadi orang cacat ya, Pa"" "Lho, kok Ari tanya begitu"" Kris tersentak kaget. Tiba-tiba saja dadanya berdebar tidak enak. Bukan hanya pertanyaan Ari yang terdengar aneh. Sorot matanya pun ganjil. "Ari nggak bakal bisa jalan lagi, kan"" "Jangan omong begitu, Ri. Ari kan dengar sendiri apa kata Pak Joyo" Bulan depan Ari pasti bisa jalan."
"Ari nggak percaya." "Ari nggak boleh putus asa, ya"" "Ari rasa Ari bakal cacat, Pa. Seperti Pinta." "Ah, Ari omong apa sih"" "Ari lumpuh. Pinta buta. Kita nggak bisa lagi main sepeda ya, Pa""
"Siapa bilang" Ari akan sembuh. Dan bisa naik sepeda lagi memboncengi Pinta."
"Rasanya Ari sudah nggak kuat, Pa. Jalan saja nggak bisa, bagaimana bisa genjot sepeda" Kalau Ari bisa kasih satu mata Ari buat Pinta..."
"Ari!" sergah Kris gemetar.
Tiba-tiba saja Kris merasa kepalanya seperti diguyur dengan seember air es. Dia merasa dingin. Bulu tengkuknya meremang. Dan jantungnya berdegup tak keruan. Tidak beraturan.
Anak sekecil Ari... bagaimana dia dapat bicara seperti itu" Masih diakah yang berbicara tadi" Atau... sudah timbulkah firasat pada anak sekecil dia"
Kris sudah bertekad untuk membawa Ari pulang. Besok dia akan minta izin pada Pak Joyo. Dia akan membawa Ari pulang untuk beberapa hari. Supaya dapat berkumpul kembali dengan ibunya. Di sini Dewi hanya dapat menjenguk dua hari sekali.
Rumah Pak Joyo terlalu kecil jika setiap pasien anak harus ditemani oleh kedua orangtuanya. Padahal Kris ingin dia dan Dewi hadir di dekat Ari kalau memang saatnya telah tiba. Jadi walaupun Pak Joyo keberatan, Kris tetap berkeras membawa Ari pulang.
Tidak seperti ketika pulang dari rumah sakit dulu, Ari tidak tampak gembira. Dia diam saja tatkala Kris mengatakan besok mereka akan pulang. Dia hanya menatap ayahnya dengan tatapan
kosong. Sepanjang perjalanan pulang pun Ari lebih banyak tidur di pangkuan Kris.
"Jangan tidur tenis, Ri," bujuk Kris dengan perasaan tidak enak. Cemas melihat kondisi Ari. "Kita sudah hampir sampai. Ari ingin ketemu Mama, kan" Ingin lihat burung Ari" Pinta pasti sudah menunggu di depan rumah."
"Bangunkan Ari kalau sampai ya, Pa," kata Ari dengan suara lemah sesaat sebelum matanya terpejam.
Tetapi ketika tiba di rumah, Ari agak sulit dibangunkan. Berkali-kali Kris mencoba membangunkannya. Ari hanya membuka matanya sedikit. Sesudah itu dia langsung memejamkannya kembali. Tanpa berkata sepatah pun.
Kelihatannya Ari begitu lelah. Mengantuk. Sehingga Kris tidak sampai hati membangunkannya lagi. Dibiarkannya saja Ari terlelap. Digendongnya dengan hati-hati.
Dewi hampir pingsan ketika melihat Kris tiba-tiba muncul menggendong Ari. Dia membutuhkan waktu beberapa detik untuk meyakinkan dirinya bahwa semua itu bukan ilusinya semata-mata. Ari benar-benar muncul. Dan dia... masih hidup!
"Dia tidak apa-apa. Cuma capek," kata Kris secepat mungkin sebelum istrinya jatuh pingsan.
Dewi langsung mengambil Ari dari gendongan suaminya. Mendukungnya ke kamar. Dan meletakkannya dengan hati-hati di tempat tidur.
Begitu kepalanya ditaruh di atas bantal, Ari
segera terlelap. Napasnya perlahan dan dalam, Seperti jika dia sedang tidur nyenyak.


Luruh Kuncup Sebelum Berbunga Karya Mira W di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ari tidak menyapaku sama sekali, Mas" rintih Dewi kuatir.
"Dia capek sekali. Biarkan dia tidur."
"Aku kenal Ari, Mas. Dia pasti menyapaku kalau pulang."
"Ari sakit, Wi. Kondisinya tidak seperti biasa."
"Pak Joyo yang menyuruhnya pulang""
"Tidak. Aku yang minta."
"Pengobatannya belum selesai, kan""
"Kurasa akan sia-sia saja." Kris menghela napas getir. "Kita tidak bisa membohongi diri kita sendiri."
"Mas!" Dewi menatap suaminya dengan air mata berlinang.
"Aku sudah sampai pada titik kulminasi perjuanganku, Wi," desah Kris lirih. "Rasanya lebih baik jika sekarang kita mulai mempersiapkan Ari. Rasanya waktunya tidak akan lama lagi..."
Sampai di sini, Kris tak dapat melanjutkan lagi kata-katanya. Dia sudah menangis.
"Mas!" Dewi memeluknya sambil meratap. "Aku belum rela, Mas! Aku belum mau kehilangan Ari!"
"Percuma, Wi..." gumam Kris terputus-putus di sela-sela tangisnya. "Mari kita gunakan... setiap detik yang tersisa... untuk... untuk membahagiakannya.... Sudah sebulan lebih... dia kepingin makan bakso... kepingin minum es
krim... ingin tidur sama Mama... ingin main sepeda sama Pinta.... Mengapa tidak kita berikan... semua itu... pada saat-saat terakhirnya""
*** Tetapi semuanya telah terlambat. Keinginan Ari yang terakhir tidak pernah tercapai. Kris tidak sempat lagi mewujudkannya. Sejak sore itu Ari tak pernah sadar kembali. Dia tidur terus sepanjang malam.
Ketika sampai pagi Ari masih terlelap dalam dengkurnya, Kris baru menyadari, Ari bukan lagi tertidur. Ari telah jatuh dalam keadaan tak sadar. Dan tak dapat dibangunkan lagi.
Sia-sia Kris mengguncang-guncang tubuhnya sambil memanggil-manggil namanya. Sia-sia Dewi menangis meratapi anaknya. Ari tetap terbujur diam. Lelap dalam dengkurnya yang dalam. Pulas dalam tidurnya yang nyenyak.
"Maafkan Papa, Sayang!" ratap Kris getir. "Papa tidak dapat membangunkan Ari lagi!"
Kris membawanya ke rumah sakit. Bukan lagi dengan harapan untuk menyembuhkannya. Tetapi sekadar minta waktu untuk mewujudkan keinginan-keinginan Ari yang terakhir.
Ketika kesempatan yang terakhir itu tidak kunjung diberikan juga, Kris tak habis-habisnya menyesali dirinya sendiri. Mengapa Ari harus
dilarang makan bakso" Mengapa dia tidak boleh minum es krim pada saat-saat terakhir hidupnya" Mengapa dia tidak boleh melewatkan malam terakhirnya bersama ibunya dalam keadaan sadar" Mengapa dia tidak sempat lagi main sepeda dengan Pinta"
Pinta. Tiba-tiba saja kata-kata Ari yang terakhir seperti terlintas lagi di telinga Kris. "Kalau Ari bisa kasih satu mata Ari buat Pinta..."
"Tidak!" bantah Dewi histeris. "Jangan ucapkan lagi itu di depanku, Mas!"
"Tapi itu satu-satunya permintaan Ari yang terakhir, Wi!" Suara Kris gemetar dicekam tangis. "Itu satu-satunya keinginan Ari yang masih dapat kita kabulkan!"
"Tidak! Kalau Ari harus pulang, biarlah dia pulang dengan utuh seperti ketika dia datang!"
Kemudian Dewi tidak dapat diajak bicara lagi. Dia sudah menangis tersedu-sedu.
Tidak tahan mendengar ratapan istrinya, Kris memutar tubuhnya, hendak keluar dari kamar itu. Di ambang pintu, dia berpapasan dengan ibunya. Tetapi kali ini Ibu tidak sendiri. Dia datang bersama Ayah dan Pinta....
"Anak ini bilang Ari masuk rumah sakit lagi!" sergah ibu Kris begitu melihat anaknya. Mulutnya masih separo terbuka, ketika matanya berpapasan dengan tubuh cucunya yang terbaring diam.
Mata Ari terpejam rapat. Dengkurnya dalam. Pipa oksigen dimasukkan ke hidungnya untuk
membantu pernapasan. Sementara cairan infus menetes satu-satu ke dalam pembuluh darah di kaki kirinya. Dan ibu Kris tak dapat lagi menahan keharuannya. Lebih-lebih melihat menantunya sedang meratap di tepi pembaringan Ari.
"Kris"" Dia menoleh dengan tatapan bertanya yang berlumur ke
cemasan. "Ari...""
Kris tidak mampu menjawab. Begitu sedihnya dia sampai tidak menyadari inilah pertama kali ibunya memanggil namanya setelah belasan tahun berlalu. Dia hanya dapat menggelengkan kepalanya sambil menggigit bibir menahan tangis.
Dengan air mata berlinang, ibu Kris menghampiri pembaringan Ari. Menggenggam tangannya erat-erat. Dan mengawasi wajahnya dengan sedih.
Anak yang lincah dan lucu itu telah terdiam bisu. Mungkin untuk selama-lamanya. Tidak ada lagi bocah kecil yang dengan setia membantu menggulung benang rajutannya. Mendengarkan dongeng-dongengnya. Berteriak gembira setiap kali robot kesayangannya mengalahkan monster.
Tidak terasa air mata ibu Kris meleleh ke pipinya, ketika dia mengenang hari-hari indah yang telah mereka lewati bersama. Lebih-lebih melihat gadis cilik yang buta itu ikut membelai-belai tangan Ari dengan hati-hati dan penuh kasih sayang.
Sementara Dewi masih meratap seorang diri, seolah-olah hanya dia dan Ari yang ada di sana.
Untuk pertama kalinya Dewi tidak menyapa mertuanya. Dia malah seolah-olah tidak melihat siapa pun kecuali Ari.
Tetapi kali ini ibu Kris tidak marah. Tidak merasa tersinggung. Dia malah ikut menitikkan air mata haru mendengar ratapan ibu yang hampir kehilangan anaknya itu.
"Jangan pergi, Ari! Jangan tinggalkan Mama! Ya Tuhan! Berilah kesempatan sekali lagi pada kami! Kalau dia harus pergi, tolonglah, Tuhan, jangan sekarang!"
Tidak tahan Kris mendengar ratapan istrinya yang demikian memelas. Dia membalikkan tubuhnya menghadap ke dinding. Menelungkup ke sana. Dan menangis. Sampai seseorang menyentuh tubuhnya dengan lembut.
Ketika Kris menoleh, dia melihat ayahnya. Tegak di hadapannya dengan air mata berlinang. Saat itu Kris seolah-olah kehilangan kesadarannya. Rasanya dia tidak peduli apa-apa lagi. Dirangkulnya ayahnya. Dan untuk pertama kalinya, dia melakukan sesuatu yang tak pernah lagi dilakukannya setelah dewasa. Dia menangis dalam pelukan ayahnya.
"Siapa yang akan menjaganya nanti, Ayah" Siapa yang akan menemani Ari" Dia masih begitu kecil! Mengapa dia harus berjalan sejauh itu seorang diri" Dia belum tahu apa-apa! Lemah. Sakit pula. Siapa yang akan menggendongnya jika dia menangis""
"Tuhan sayang pada anak kecil, Kris," bisik ayahnya penuh haru. "Dia tahu siapa yang harus menjaga Ari..."
Sesudah mengucapkan kata-kata itu, ayah Kris pun tak mampu lagi membuka mulutnya. Dadanya sesak menahan tangis. Misteri kehidupan yang satu itu memang belum terpecahkan sampai kapan pun. Ke mana manusia pergi sesudah hari kematiannya" Siapa yang akan menemani anak sekecil Ari sesudah dia kehilangan orangtuanya"
*** "Eyang! Yang!" Suara Ari yang lincah ceria menerpa kembali telinga ayah Kris. Gemanya memantul berulang-ulang ke dinding hatinya yang paling gelap. Yang telah lima belas tahun tak pernah tersentuh oleh cahaya kasih sayang dan belas kasihan.
Segurat sesal membengkak menjadi sebongkah perasaan bersalah. Mengapa harus menutup diri dalam penjara dendam yang dibuatnya sendiri" Penjara yang memisahkannya dengan anak-cucu-nya!
Hampir enam tahun Ari dibiarkan Tuhan menjadi miliknya. Cucunya. Darah dagingnya. Mengapa harus disia-siakannya waktu sesingkat itu" Mengapa justru baru pada saat-saat terakhir dia menyadari kesalahannya" Bahkan sesudah air matanya pun tak mampu lagi membangunkan Ari! Menggugahnya dari tidurnya yang lelap!
Dan tiba-tiba ayah Kris tersentak dari lamunannya. Entah sudah berapa lama dia berbaring di kursi malasnya sambil melamun. Puntung rokok sudah bertumpuk-tumpuk di dasar asbak. Asap bergulung-gulung menyesakkan napas. Memedihkan mata.
Tetapi sekonyong-konyong dia terkesiap. Lamunannya buyar. Dipasangnya telinganya baik-baik.
Ada suara orang berjalan di depan. Langkah-langkah sepatunya demikian jelas menginjak kerikil di muka rumahnya. Siapa yang datang" Utusan Kris dari rumah sakit" Ah, pasti tentang Ari! Jangan-jangan...
Bergegas ayah Kris bangkit. Dan dia terpaksa duduk kembali. Pandangannya gelap. Kepalanya terasa enteng. Dadanya berdebar tidak enak. Keringat dingin serentak menerob
os keluar dari pori-pori di seluruh tubuhnya.
Ayah Kris ingin bangkit secepat-cepatnya. Membuka pintu lebih dulu daripada istrinya. Lebih baik dia yang mendengar kabar buruk itu lebih dulu....
Sekuat tenaga ayah Kris memaksakan dirinya untuk bangkit. Tertatih-tatih menyeret kakinya ke pintu depan. Dadanya terasa berat. Seperti ada beban beratus-ratus kilogram yang menindihnya. Tetapi sambil menebah dada, digapainya
daun pintu... kosong. Tak ada siapa pun. Suara apa yang didengarnya tadi" Mungkinkah cuma sebuah ilusi dari hatinya yang sedang gundah"
Ayah Kris sudah hendak menutup pintu ketika tiba-tiba matanya menangkap sepucuk surat yang terhantar di dekat kakinya. Surat! Malam-malam begini. Siapa yang mengirim surat padanya"
Ragu-ragu dipungutnya surat itu. Amplopnya lusuh. Tanpa prangko. Tanpa alamat pengirim. Bahkan tanpa alamat yang dituju. Kosong melompong. Jadi benar ada orang tadi! Orang itu berada di sini! Melemparkan surat ini ke depan pintu....
Ada angin yang berkesiur menerpa mukanya. Lututnya terasa lemas. Tiba-tiba saja dia merasa dingin. Cepat-cepat ditutupnya pintu itu. Ayah Kris terbatuk-batuk. Dadanya terasa nyeri. Napasnya sesak. Terhuyung-huyung dia kembali ke ruang tengah. Dicarinya kacamatanya. Diisapnya rokok yang tadi diletakkannya di pinggir asbak. Tak sengaja, tangannya bergetar ketika membuka sampul surat itu....
Surat itu hanya berisi delapan baris. Tetapi sudah cukup untuk membuat rokok yang tinggal separo itu jatuh dari sela-sela bibirnya....
Sesosok tubuh Miskin dan papa Dihanyutkan air sungai Sampai ke muara Utang nyawa Terbayar lunas sudah Karena lima belas tahun di
penjara Tak cukup untuk membayarnya
Surat itu tidak ditutup oleh nama pengirimnya. Tetapi ayah Kris tahu sekali siapa dia!
Seandainya tadi ayah Kris berhasil memergoki Tato ketika dia mengantarkan surat kaleng yang mirip penggalan puisi ini... barangkali dia masih dapat mencegah pemuda itu melaksanakan niatnya.... Dia dapat menjelaskan pada Tato, tak perlu lagi mengalirkan darah mengorbankan nyawa untuk mencuci dendam mereka. Dendam itu telah pupus. Sakit hati telah lenyap. Tidak perlu korban lagi! Ari dengan kepolosan dan kejenakaannya telah membayar lunas semua utang darah dalam keluarganya....
"Pak"!" tegur ibu Kris heran melihat suaminya berjalan sempoyongan ke kamarnya. Matanya yang masih merah bekas menangis menatap suaminya dengan penuh tanda tanya. "Kenapa, Pak" Sakit""
"Tidak apa-apa." Ayah Kris menyembunyikan surat itu di balik tubuhnya. Dicobanya berjalan dengan tegak. Melangkah dengan mantap. Tetapi jalannya masih tetap terhuyung-huyung seperti dahan pohon tertiup angin kencang. Berat sekali
rasanya mengangkat kakinya. "Cuma capek. Mau istirahat sebentar."
*** Mula-mula Dewi mengira Pinta sedang berbicara dengan seseorang. Dia baru kembali dari WC. Dan melewati tempat anak itu duduk di lantai, di luar kamar Ari, agak jauh di sudut. Di tempat yang agak gelap.
Rumah sakit telah mulai sepi. Waktu berkunjung telah lewat. Tetapi Pinta minta izin untuk tetap tinggal. Demikian bersungguh-sungguhnya dia sehingga jangankan Kris, perawat-perawat pun tidak tega mengusirnya.
Pinta mohon agar diperbolehkan menemani Ari. Malam ini saja. Dan karena tidak seorang pun yakin Ari masih dapat melihat hari esok, tidak seorang pun berani menyuruhnya pulang. Takut menimbulkan sesal.
"Tiap malam Pinta minta bisa lihat lagi," kata Pinta seorang diri. "Tapi malam ini, Pinta minta yang lain. Kalau Tuhan cuma mau mengabulkan satu permintaan saja, tolong kabulkan permintaan Pinta! Jangan permintaan Ari! Ari selalu berdoa supaya Pinta bisa lihat lagi. Tapi Pinta sudah lama buta. Buta terus juga nggak apa-apa. Sama saja. Tapi Ari biasanya bisa lihat. Bisa ngomong. Bisa
tertawa. Bisa cerita. Tolong, Tuhan, suruh Ari bangun!"
Tiba-tiba saja Dewi sadar, Pinta bukan sedang bicara dengan seseorang. Atau bicara seorang diri. Dia sedang berdoa! Untuk Ari!
Anak gembel itu! Yang tidak pernah diperhatikannya. Yang selalu dilihatnya dengan rasa jijik dan curiga. Yang selalu dikuatirkan akan
menularkan penyakitnya. Memindahkan kuman-kumannya pada Ari. Kini dia sedang berdoa. Untuk Ari. Dia bahkan rela kehilangan penglihatannya untuk selama-lamanya asal sahabat kecilnya dapat sadar kembali!
Air mata Dewi mengalir deras membasahi kedua pipinya. Dia ingat kata-kata Kris. Ingat pesan Ari yang terakhir.
"Kalau Ari bisa kasih satu mata Ari buat Pinta..."
Anak kecil! Mereka makhluk yang sering diremehkan karena usianya. Ternyata mereka punya sesuatu yang lebih dari orang dewasa. Mereka menghargai persahabatan dengan ketulusan.
Jika Pinta rela menjadi buta untuk selama-lamanya asal Ari dapat sembuh, jika Ari rela memberikan matanya supaya Pinta dapat melihat kembali, mengapa Dewi begitu egois, tidak menghargai kemurnian persahabatan mereka"
Pinta mungkin akan menyesali Tuhan karena permintaannya tidak dikabulkan. Haruskah Dewi membiarkan Ari juga menyesali orangtuanya ka-
rena permintaannya yang terakhir tak diluluskan pula"
Dewi memang tidak rela Ari disakiti lagi. Tapi masih merasa sakitkah dia nanti" Dari tempatnya yang tinggi di atas sana kelak, tidakkah An lebih berbahagia melihat sahabat kecilnya sudah tidak buta lagi" Jika Ari lebih berbahagia meninggalkan sebagian dirinya di dunia untuk dikenang oleh orang-orang yang dikasihinya, mengapa Dewi harus menghalanginya karena menghendaki Ari pergi dengan utuh"
"Bu. Bapak ada"" tegur seorang perawat yang tiba-tiba telah berada di belakangnya.
"Di dalam." sahut Dewi menggagap. "Ada apa, Suster"" "Ada telepon untuk Bapak." Telepon" Berdebar hati Dewi. Malam-malam begini" Dari mana"
"Mas!" panggil Dewi dari ambang pintu kamar. "Ada telepon."
"Untukku"" tanya Kris heran. "Dari mana"" Dewi mengangkat bahu. Dia lupa menanyakannya. Dan perawat itu telah keburu berlalu.
Kris menyapu air matanya. Dia bangkit dari tepi pembaringan Ari. Dan menuju ke kantor perawat. Tidak sampai lima menit kemudian Kris telah kembali. Seluruh tubuhnya lemah lunglai. Wajahnya pucat pasi. Penuh bersimbah air mata.
"Wi..." Kris merangkul istrinya sambil menangis.
Dewi memeluk suaminya dengan menahan napas. "Ada apa, Mas" Telepon dari siapa""
"Ibu..." suara Kris menggeletar menahan tangis.
"Ibu" Ada apa"" desak Dewi dengan dada berdebar-debar.
"Ayah..." Kris mulai terisak-isak. "Ayah... meninggal...."
"Mas!" sergah Dewi antara terkejut dan tidak percaya. "Tidak mungkin! Ayah baru saja dari sini! Sehat!"
Kris menyeka air matanya. Dan mengeringkan air yang mengalir dari lubang hidungnya.
"Ibu menemukannya di kamar... sudah tidak ada...."
"Tapi Ayah sakit apa""
"Kata dokter, mungkin serangan jantung."
"Oh, Mas!" Dewi merangkul suaminya dengan air mata berlinang.
Kris memeluk istrinya sambil menangis.
"Ayah baru saja memaafkanku, Wi," desahnya pilu. "Aku belum sempat merasakan hari-hari damaiku bersama Ayah! Lima belas tahun aku menunggu hari ini, Wi. Hari Ayah mau menerimaku kembali! Mengapa justru hari ini juga dia sudah harus pergi meninggalkanku""
"Tabahlah, Mas," Dewi mendekap suaminya erat-erat, seakan-akan ingin berbagi duka dengan belahan jiwanya. "Ayah tidak berpesan apa-apa sebelum pergi""
"Ibu bilang. Ayah hanya mengatakan lelah, ingin istirahat.... Oh, Wi, mengapa Ayah harus pergi pada saat kita hampir kehilangan Ari""
"Mungkin Ayah ingin menemani Ari, Mas," bisik Dewi terharu. "Ayah tidak tega membiarkan Ari pergi seorang diri... Tak seorang pun tahu betapa besar cintanya sebenarnya pada cucunya...."
*** Malam itu Dewi hanya berdua saja dengan Ari. Kris membawa Pinta melayat ayahnya.
"Kurasa saatnya sudah hampir tiba, Wi," terngiang lagi kata-kata Kris sebelum pergi tadi. "Ayah telah pergi mendahului Ari. Firasatku mengatakan. Ayah telah menunggu Ari... mereka akan berjalan bersama-sama... berbimbingan tangan.... Mudah-mudahan Ari mau menungguku... mudah-mudahan masih ada kesempatan bagiku untuk mengucapkan selamat jalan padanya...."
Masih terbayang di mata Dewi bagaimana Kris berlutut di tepi pembaringan Ari. Menciumi tangannya dengan air mata berlinang. Membelai pipinya dengan penuh kasih sayang.
"Tunggu Papa ya, Ri... Papa akan
ke sini lagi... Papa lihat Eyang dulu ya...." Kris menggigit bibir untuk menahan tangisnya. "Eyang
sudah pergi mendahuluimu, Ri... Ari jangan takut ya.... Eyang akan menemani Ari... Ari tidak akan sendirian...."
Malam ini pun Dewi telah pasrah. Dia sudah menyerah. Sudah rela. Firasatnya juga membisikkan, Ari akan meninggalkan mereka malam ini.
Hanya ada satu keinginan Dewi yang terakhir. Dia ingin Ari sadar. Sesaat sebelum meninggalkannya untuk selama-lamanya. Dia ingin mendengar Ari memanggilnya Mama untuk terakhir kalinya. Sebagai salam perpisahan. Sesudah itu, dia takkan pernah lagi mendengar suara anaknya. Entah kapan mereka baru akan bertemu kembali. Entah kapan dia baru dapat mendengar tawa Ari lagi. Melihat matanya. Senyumnya. Entah ke mana harus dicarinya Ari jika rindu ingin bertemu.
"Bangunlah, Sayang," bisik Dewi malam itu, ketika sepi telah mendekap malam. "Bicaralah dengan Mama... sebentar saja.... Mama mohon, bukalah mata Ari... sekali lagi saja...."
Dewi membelai-belai kepala anaknya dengan penuh kasih sayang. Menunggu kalau-kalau mata Ari terbuka.... Tetapi mata itu tetap terpejam. Sementara panas badannya kian meningkat, sehingga kalung es di lehernya dan kompres di kepala serta sela pahanya seakan-akan sia-sia saja....
Dewi mengecup pipi anaknya dengan lembut. Dibelai-belainya pahanya. Seperti dulu. Seperti
yang selalu dilakukannya sesaat sebelum Ari terlelap.
"Bangun sebentar ya, Ri"" pinta Dewi dalam nada memelas. "Ari sayang Mama, kan" Mama minta, Ari panggil Mama, sekali saja...."
Tepat ketika tengah malam merangkul bumi, Dewi melihat pelupuk mata Ari bergerak-gerak. Dengkurnya lenyap. Napasnya mulai tak teratur.
"Ari..." bisik Dewi sambil menahan napas. "Ini Mama, Ri.... Buka matamu, Sayang.... Panggil Mama!"
Dan Dewi sudah dalam keadaan separo sadar akibat histerianya ketika tiba-tiba dia melihat mata Ari terbuka. Ari menatap langsung ke dalam matanya. Seperti biasanya kalau dia minta sesuatu. Lalu bibirnya bergerak.
Dewi harus membungkukkan badannya lebih dalam. Mendekatkan wajahnya ke bibir Ari untuk mendengar suara anaknya yang terakhir....
"Mama..." desah Ari perlahan. Lemah. Lirih. Lalu dia menutup matanya kembali.
Dewi meraung sambil memeluk anaknya erat-erat. Dua orang perawat berlari masuk. Yang satu keluar lagi untuk memanggil dokter jaga begitu dia melihat keadaan Ari. Yang kedua memeriksa nadi Ari dan membesarkan volume aliran oksigen untuk membantu pernapasan Ari yang telah menjadi dangkal tak teratur.
"Tunggu Papa, Ari!" desis Dewi histeris. "Tunggu Papa! Jangan pergi dulu!"
"Berdoalah, Bu." Perawat itu menghela napas berat. "Saatnya hampir tiba.... Lapangkanlah jalannya...."
Saat itu pintu terbuka. Tetapi yang masuk bukan dokter. Melainkan Kris. Begitu melihat keadaan Ari, dia tahu, dia hampir terlambat. Dia menubruk tubuh Ari. Dan mendekapnya erat-erat.
"Terima kasih mau menunggu Papa, Ri," bisiknya menahan tangis. "Papa sudah rela.... Pergilah, Ri.... Eyang sudah menunggu Ari.... Selamat jalan, Sayang.... Suatu hari nanti kita akan bertemu lagi...."
Kris ingin menangis. Ingin menumpahkan kesedihannya. Ingin meraung. Tetapi ketika melihat napas Ari tinggal satu-satu, Kris sadar, tugasnya sebagai ayah belum berakhir. Masih ada satu kewajiban lagi. Melapangkan jalan Ari ke surga. Diajaknya Dewi berdoa.
"Kami serahkan anak kesayangan kami ke dalam tangan-Mu, ya Tuhan.... Tolonglah pimpin dia. Tunjukkan jalan yang benar ke rumah-Mu. Lapangkan jalan yang harus ditempuhnya.... Dia kecil dan lemah... masih terlalu muda.... Bimbinglah tangannya, ya Tuhan, supaya dia tidak tersesat...."
Sesaat pelupuk mata Ari terbuka. Dia seperti menatap ayahnya. Lalu bola matanya terbalik ke atas. Dan kehilangan sinarnya. Napasnya berhenti. Bersamaan dengan berhentinya denyut jantung dan nadinya.
"Dia sudah berlalu," bisik perawat itu lirih. "Selamat jalan, Sayang."
Dewi mencium bibir Ari yang masih terasa hangat. Diusapnya pelupuk matanya sampai ter-tutup. Dibelainya wajahnya dengan penuh kasih sayang. Lalu dia menelungkup di atas tubuh Ari dan menangis terse
du-sedu. Kris masih menggenggam tangan Ari sambil menangis ketika Pinta muncul di pintu. Dalam kegugupannya bergegas menemui Ari karena takut terlambat, Kris telah melupakan Pinta.
Anak itu tertinggal di pintu gerbang. Entah bagaimana caranya dia dapat sampai ke sini. Tersayat hati Kris ketika membayangkan bagaimana gadis cilik yang buta itu tertatih-tatih mencari jalan ke tempat ini.
"Ari..."" desah Pinta sambil meraba-raba mencari pembaringan sahabatnya. Suara tangis Dewi membuatnya panik. Dia merasa sesuatu telah terjadi. Sesuatu yang tidak menyenangkan telah menimpa sahabatnya.
Kris membimbing tangan Pinta menghampiri pembaringan Ari.
"Ari telah pergi, Pinta," desahnya getir menahan tangis. "Tetapi dia telah meninggalkan sesuatu untukmu... supaya kamu tidak pernah melupakannya.... Ari meninggalkan sebagian miliknya untuk dikenang oleh kita...."
Tidak mengerti apa yang dibicarakan oleh Kris, Pinta memegang tangan Ari. Mengguncang-guncangnya dengan halus.
"Ari..." panggilnya berulang-ulang. Ketika dirasanya Ari tidak menjawab juga, dia mulai menangis. "Pinta nggak mau apa-apa dari Ari.... Pinta mau Ari bangun! Bangun, Ri! Bangun!"
Saat itu dokter masuk bersama perawat yang memanggilnya. Sekali lihat saja, dia sadar, tak ada lagi yang dapat dilakukannya. Tetapi dia tetap melakukan tugasnya. Memeriksa jantung Ari yang sudah tidak berdenyut. Dan membuka pelupuk matanya sambil menyorotkan lampu senter.
Ketika dokter itu yakin sudah tidak ada lagi refleks cahaya di dalam mata Ari, dia menyudahi pemeriksaannya. Menyuruh perawatnya menghentikan infus dan oksigen yang masih mengalir walaupun tidak ada lagi yang menghirupnya. Lalu memutar tubuhnya menghadap Kris.
"Menyesal sekali, tidak ada lagi yang dapat kami lakukan."
"Masih ada sesuatu yang dapat Dokter lakukan untuk Ari." Kris menggigit bibirnya menahan perasaannya. "Memenuhi keinginan Ari yang terakhir...." Ketika mengucapkan kata-kata selanjutnya, air matanya mengalir deras membasahi pipinya. "Ari ingin memberikan sebagian miliknya untuk sahabatnya ini...."
Kris menyentuh bahu Pinta yang masih menangis.
"Jika kornea mata Ari masih baik, maukah Dokter menolong saya, memberitahukan apa yang harus saya lakukan supaya dapat mewariskan kornea Ari untuk anak ini""
*** Pada hari yang sama, ketika hujan turun rintik-rintik membasahi bumi, Ari dimakamkan berdampingan dengan kakeknya. Di tepi liang lahat, dari dalam petinya yang mungil, Ari menyaksikan Eyang Putri dan ayahnya saling rangkul sambil menangis.
Kepergiannya ternyata tidak sia-sia. Kepergiannya telah menyatukan mereka kembali. Membawa damai di hati Eyang. Menyatukan keluarga yang telah belasan tahun terpecah belah.
Sementara itu, dalam sebuah kamar operasi, Ari juga menyaksikan peninggalannya yang lain. Sebuah kornea matanya yang ternyata masih baik, ditransplantasikan ke dalam mata Pinta, sahabat karibnya.
Pinta memang akan memperoleh penglihatannya kembali. Tetapi impiannya untuk melihat wajah sahabatnya bila dia dapat melihat kembali, tak pernah kesampaian. Dia hanya dapat melihat foto Ari. Melihat sepeda kesayangannya. Dan melihat batu nisannya.
Ari telah pergi jauh. Entah kapan mereka baru dapat bertemu kembali. Sekarang Pinta sudah dapat melihat mega-mega yang berarak di langit. Dan setiap kali Pinta melihat awan-awan itu, dia tidak pernah lupa menitipkan pesan untuk Ari.
"Kalau Pinta kangen sama Ari, bilang saja sama awan itu. Dia berjalan terus. Dia pasti lewat di tempat Ari."
Dan Pinta percaya, awan-awan itu pasti akan menyampaikan pesannya pada sahabatnya.
Tentang Pengarang Awal karier Mira W. sebagai penulis dimulai pada tahun 1975. ketika cerpennya yang pertama berjudul Benteng Kasih dimuat di majalah Femina. Sesudah itu, cerpen-cerpennya banyak dimuat di majalah-majalah Ibukota.
Pada tahun 1977, novelnya yang pertama, Dokter Nona Friska, dimuat sebagai cerita bersambung di majalah Dewi, dibukukan dan difilmkan dengan judul Kemilau Kemuning Senja pada tahun 1981.
Bukunya yang pertama, Sepolos Cinta Dini, diterbitkan oleh Penerb
it Gramedia pada tahun 1978, setelah sebelumnya dimuat sebagai cerber di Harian Kompas.
Sampai sekarang bukunya telah berjumlah 60 buah, sebagian besar telah difilmkan dan disinetronkan.
Selain menulis, Mira W. juga menekuni profesinya yang lain sebagai seorang dokter dan staf pengajar di sebuah perguruan tinggi di Jakarta.
Buku-buku karya Mira W. selengkapnya adalah sebagai berikut:
1. Sepolos Cinta Dini (Gramedia, 1978)
2. Cinta Tak Pernah Berhutang (1978)
3. Permainan Bulan Desember (1979, Gramedia 1999)
4. Tatkala Mimpi Berakhir (1979. Gramedia 1998)
5. Matahari di Batas Cakrawala (1980. Gramedia 1999)
6. Kuduslah Cintamu, Dokter (1980, Gramedia 1998)
7. Ketika Cinta Harus Memilih (Gramedia, 1980)
8. Di Sini Cinta Pertama Kali Bersemi (Gramedia, 1980)
9. Kemilau Kemuning Senja (1981)
10. Benteng Kasih (Kumpulan Cerpen, Gramedia, 1981)
11. Firdaus yang Hilang (1981, Gramedia 1997) 12. Cinta di Awal Tiga Puluh (1981, Gramedia
1996) 13. Seandainya Aku Boleh Memilih (1981, Gramedia 1999)
14. Masih Ada Kereta yang Akan Lewat (Gramedia, 1982)
15. Dari Jendela SMP (Gramedia, 1983)
16. Tak Cukup Hanya Cinta (1983, Gramedia 1995)
17. Seruni Berkubang Duka (Gramedia, 1983)
18. Saat Genta Cemburu Berdentang (Kumpulan Cerpen, 1989, diterbitkan oleh Gramedia
pada tahun 1983 dengan judul Mekar Menjelang Malam)
19. Relung-relung Gelap Hati Sisi (Gramedia, 1983)
20. Tak Selamanya Gelap Itu Gulita (Kumpulan Novelet, 1984)
21. Jangan Pergi, Lara (1984, Gramedia 1998) 22. Merpati Tak Pernah Ingkar Janji (Gramedia,
1984) 23. Memburu Jodoh (Kumpulan Cerpen, 1984)
24. Galau Remaja di SMA (Gramedia, 1984)
25. Cinta Cuma Sepenggal Dusta (Gramedia, 1985)
26. Kidung Cinta buat Pak Guru (Gramedia, 1985)
27. Di Tepi Jeram Kehancuran (Gramedia, 1986)
28. Perisai Kasih yang Terkoyak (Gramedia, 1986)
29. Bilur-bilur Penyesalan (Gramedia, 1986) 30. Satu Cermin Dua Bayang-bayang (Gramedia,
1987) 31. Sematkan Rinduku di Dadamu (Kumpulan
Novelet, 1987) 32. Luruh Kuncup Sebelum Berbunga (1988,
Gramedia 2002) 33. Dakwaan dari Alam Baka (Gramedia, 1988)
34. Biarkan Kereta Itu Lewat, Arini (Gramedia, 1988)
35. Tersuruk dalam Lumpur Cinta (Gramedia, 1988)
36. Perempuan Kedua (1989, Gramedia 1998)
37. Cinta Seindah Tatapan Pertama (1989)
38. Trauma Masa Lalu (1990, Gramedia 1995)
39. Di Bahumu Kubagi Dukaku (Gramedia, 1990)
40. Sekelam Dendam Marisa (1991, Gramedia 1995)
41. Jangan Biarkan Aku Melangkah Seorang Diri (Gramedia, 1991)
42. Kuukir Pelangi Kasih di Hatimu (1991) 43. Mahligai di Atas Pasir (1991, Gramedia
2001) 44. Sampai Maut Memisahkan Kita (Gramedia, 1992)
45. Di Ujung Jalan Sunyi (1993, Gramedia 1999)
46. Segurat Bianglala di Pantai Senggigi (Gramedia, 1993)
47. Limbah Dosa 1, 2 (Gramedia, 1993,1994)
48. Nirwana di Balik Petaka (1994, Gramedia 1999)
49. Perempuan Tanpa Masa Lalu (Kumpulan Novelet, 1995)
50. Bukan Cinta Sesaat (Gramedia, 1995)
51. Deviasi (Gramedia, 1996)
52. Delusi (Gramedia, 1998)
53. Jangan Ucapkan Cinta (Gramedia, 1998)
54. Semburat Lembayung di Bombay (Gramedia, 1998)
55. Dunia Tanpa Warna (Kumpulan Novelet, 1999)
Pemburu Dosa Leluhur 2 Pedang Kilat Membasmi Iblis Karya Kho Ping Hoo Penyakit The Sickness 1
^