Pencarian

Mahabharata 1

Mahabharata Karya Nyoman S. Pendit Bagian 1


MAHABHARATA oleh: Nyoman S. Pendit Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama Jakarta, 2003
Buku ini dipersembahkan kepada:
Bapak I Made Putu dan Ibu Ni Made Toya, orangtua istri saya Luh Putu Murtini, sebagai tanda bakti dan terima kasih
Edit & Convert Jar, Txt: inzomnia
http://inzomnia.wapka.mobi
Daftar Isi Kata Pengantar Pendahuluan
Silsilah Kaurawa dan Pandawa
Mahabharata 1. Cinta Dushmanta Terpaut di Hutan
2. Dewabrata, Putra Raja Santanu dan Dewi Gangga
3. Dewabrata Bersumpah Sebagai Bhisma
4. Amba, Ambika, dan Ambalika
5. Ilmu Gaib Sanjiwini 6. Kutukan Mahaguru Sukra
7. Yayati Tua Ingin Muda Kembali
8. Mahatma Widura 9. Pandu Memenangkan Sayembara Dewi Kunti
10. Pandawa Lahir di Hutan
11. Bhima Menjadi Sakti karena Racun dan Bisa
12. Karna, Anak Sais Kereta Kuda
13. Drona, Seorang Brahmana-Kesatria
14. Istana dari Papan K"yu
15. Pandawa Terhindar dari Maut
16. Bakasura Terbunuh 17. Sayembara Memperebutkan Draupadi
18. Membangun Ibukota Indraprastha
19. Pertarungan Melawan Jarasandha
20. Krishna Menerima Penghormatan Tertinggi
21. Undangan Bermain Dadu
22. Semua Dipertaruhkan dalam Permainan Dadu
23. Dritarastra Selalu Cemas
24. Sumpah Setia Krishna 25. Arjuna dan Pasupata 26. Penderitaan adalah Karunia Dharma
27. Pengembaraan di Rimba Raya
28. Pertemuan Dua Kesatria Raksasa
29. Duryodhana yang Haus Kekuasaan
30. Telaga Ajaib 31. Hidup dalam Penyamaran
32. Kedaulatan Negeri Matsya Dipertaruhkan
33. Pertemuan Para Penasihat Agung
34. Di Antara Dua Pilihan
35. Duryodhana Menjebak Raja Salya
36. Usaha Mencari Jalan Damai
37. Krishna dalam Wujud Wiswarupa
38. Yang Berpihak, Yang Bertentangan, dan Yang Berdamai
39. Pelantikan Mahasenapati
40. Saat-Saat Sebelum Perang
41. Perang di Hari Pertama
42. Perang Hari Kedua 43. Perang Hari Ketiga 44. Pahlawan-Pahlawan Muda Berguguran
45. Kedua Pihak Berusaha Keras untuk Menang
46. Gugurnya Mahasenapati Bhisma
47. Rencana Penculikan Yudhistira
48. Abhimanyu Gugur 49. Jayadrata Harus Ditumpas
50. Mahasenapati Drona Tewas Terhormat
51. Duryodhana Tewas Sesuai Swadharma-nya
52. Setelah Perang Berakhir
53. Yudhistira Menjadi Raja di Hastinapura
54. Musnahnya Bangsa Yadawa
55. Pengadilan Terakhir Tentang Pengarang Kata Pengantar Sudah sejak lama orang mengenal kisah Mahabharata. Para pecinta karya sastra mengenalnya dari berbagai sumber tulisan berupa naskah-naskah kuno. Dalam perjalanan panjang Mahabharata, semenjak diciptakan sekian
ratus tahun yang lalu hingga kini, telah berkembang berbagai versi yang tersaji dalam bahasa yang indah dan sarat dengan ajaran moral.
Mahabharata sebagai wiracarita atau cerita kepahlawanan kini dikisahkan kembali oleh Nyoman S. Pendit
dengan bahasa yang sederhana, dengan harapan akan lebih bisa dinikmati oleh generasi muda. Dalam versi ini, Nyoman S. Pendit tak ingin jauh-jauh meninggalkan tanah kelahiran Mahabharata, yaitu India, sehingga penggambaran suasana India dalam epos ini terasa begitu kental. Kecuali itu, pengarang menyajikan episode-episode secara runtut, dimulai dengan munculnya tokoh Bharata sampai keturunannya yang berkembang menjadi sebuah wangsa yang besar. Dua keturunan Bharata yang termasyhur,
yaitu Kaurawa dan Pandawa, akhirnya berperang dalam perang besar Bharatayudha untuk memperebutkan kekuasaan.
Mahabharata versi Nyoman S. Pendit ini disajikan dalam lima puluh lima bagian cerita dan dihiasi gambar-gambar yang menarik.
Selamat menikmati. Jakarta, 2003 Penerbit Pendahuluan Dalam kesusastraan Indonesia kuna kita mengenal dua epos besar, yaitu Ramayana dan Mahabharata, yang
pada awalnya ditulis dalam bahasa Sanskerta. Menurut para arif bijaksana, Ramayana dikatakan lebih tua
daripada Mahabharata. Keduanya memuat uraian tentang
adat istiadat, kebiasaan, dan kebudayaan manusia di jaman dahulu.
Pengarang-penyair epos Ramayana adalah Walmiki, dan pengarang-penyair epos Mahabharata adalah Bhagawan Wyasa. Menurut para arif bijaksana pula, kedua karya besar itu menjadi sungguh-sungguh besar seperti yang kita kenal sekarang, karena banyak cerita puitis ditambahkan kemudian, dan pengarang banyak menambahkan pujian dan berbagai keterangan, mes
kipun tambahan ini bukan sepenuhnya hasil karya pengarang, namun kemudian menjadi bagian dari epos itu.
Mahabharata berasal dari kata maha yang berarti 'besar' dan kata bharata yang berarti 'bangsa Bharata'. Pujangga Panini menyebut Mahabharata sebagai "Kisah Pertempuran Besar Bangsa Bharata". Dalam anggapan tradisional, Bhagawan Wyasa sebagai pengarang-penyair epos Mahabharata, dikatakan juga menyusun kitab-kitab suci Weda, Wedanta, dan Purana, kira-kira pada 300 tahun
sebelum Masehi sampai abad keempat Masehi. Dengan jarak waktu seperti itu, maka sulit dipercaya bahwa Bhagawan Wyasa adalah pengarang-penyair Mahabharata dan juga penyusun-pencipta kitab-kitab suci.
Dalam kitab-kitab suci Purana dikenal adanya wyasa yang berjumlah 28 orang. Kata wyasa artinya 'penyusun'
atau 'pengatur'. Dalam hubungan arti ini maka mungkin penyusun-pencipta atau pengarang-penyair pada jaman dahulu disebut Bhagawan Wyasa. Terlebih jika hasil ciptaannya merupakan monumen atau mahakarya dari jamannya, maka wajarlah para pengarang-pencipta itu mendapat pujian dan dihormati jika tidak boleh dikatakan
"didewa-dewakan". Lagi pula, tidak jarang dijumpai, suatu
ciptaan atau karya besar dari jaman dahulu itu tanpa nama atau tidak diketahui pengarang-penciptanya. Situasi semacam ini kiranya menambah kuat kesimpulan yang menyatakan bahwa karya-karya itu adalah ciptaan seorang
wyasa, atau dengan sebutan penghormatan: Bhagawan Wyasa.
Interpretasi ini dikuatkan oleh pendapat seorang sarjana kebudayaan kuna yang mengatakan, "Maha-bharata bukan hanya suatu buku, melainkan karya kesusastraan yang luas cakupannya dan disusun dalam jangka waktu yang sangat lama."(1)
Pendapat M. Winternitz itu didasarkan pada kisah-kisah
dalam epos Mahabharata yang melukiskan kejadian, peristiwa, masalah dan berbagai keterangan tentang keadaan masyarakat dan pemerintahan yang terdapat dalam kitab-kitab suci Weda, Wedanta, dan Purana.
Meskipun demikian, para ahli kebudayaan kuna dari Barat maupun Timur, baik yang bersepakat dengan pendapat tradisional maupun pendapat modern, semua setuju bahwa pengarang-penyair atau penyusun epos Mahabharata adalah Wyasa, atau secara lengkap disebut Krishna Dwaipayana Wyasa.
Wyasa adalah anak Resi Parasara dengan Satyawati, buah dari hubungan yang tidak sah. Wyasa dibesarkan di dalam lingkungan keagamaan dan kesusastraan dengan bimbingan ayahnya. Satyawati, gadis nelayan yang ayu itu,
[(1) Winternitz, M. History of Indian Literature (English translation, published by the Calcutta University).
Hopkins, E.W. "The Princes and Peoples of the Epic Poems" dalam The Cambridge History of India. Vol. I Ancient India, Ed. By E.J. Rapson.]
diceritakan menjadi gadis perawan lagi berkat restu suci Resi Parasara, suaminya.
Raja Santanu bertemu dengan Satyawati di tepi hutan. Sang Raja jatuh cinta kepadanya dan mengangkat Satya-wati menjadi permaisurinya. Santanu adalah kakek Drita-rastra dan Pandu, dan moyang Kaurawa dan Pandawa. Sebagai putra Satyawati, boleh dikatakan Wyasa adalah kakek tiri dan berkerabat dekat dengan Kaurawa dan Pandawa yang menjadi pelaku utama dalam perang dahsyat di padang Kurukshetra.
Jika kita cermati garis keturunan Wyasa, kita akan tahu bahwa wajar jika Wyasa dapat melukiskan peristiwa dalam Mahabharata dengan sangat jelas dan mengharukan. Teristimewa pula, Wyasa dapat dikatakan selalu "terlibat" dalam peperangan besar itu, setidak-tidaknya dari segi moral dan spiritual.
Waishampayana, murid Wyasa, menceritakan kisah pertempuran besar itu kepada Raja Janamejaya ketika sang Raja melangsungkan upacara besar Sunaka. Jana-mejaya adalah putra Maharaja Parikeshit, cucu Arjuna.
Mengenai sejarah disusunnya epos Mahabharata, dijumpai banyak pendapat yang saling berlawanan, baik pendapat sarjana Barat maupun sarjana Timur. Pendapat dari Timur menyatakan bahwa Bhagawan Wyasa hidup kira-kira 3800 tahun yang lalu, yaitu pada jaman disusunnya kitab-kitab suci Weda bagi orang Hindu. Pendapat lain menyatakan bahwa jaman kitab-kitab suci Weda adalah
sekitar tahun 3102 SM. Pendapat lainnya lagi menyatakan
bahwa jaman kitab-kitab suci Weda berakh
ir pada tahun 950 SM atau mungkin pada tahun 250 SM.(2)
Dalam bukunya yang berjudul The Great Epic of India,
E.W. Hopkins mengemukakan pendapatnya, yang pada
[(2) Munshi, KM. "Veda Vyasa: the Author" dalam Indian Inheritance,
Literature, Philosophy and Religion. Gen. Eds. K.M. Munshi and N.
Chandrasekhara Aiyer. Vol. I.
Pusalker, AD. Studies in Epics and Puranas of India. Bombay: Bharatya Vidya Bhavan.]
umumnya diterima oleh para ahli kesusastraan kuna, yaitu bahwa perkembangan epos Mahabharata dari bentuk aslinya hingga menemui bentuknya yang sekarang ini adalah sebagai berikut:
- Tahun 400 SM terdapat kisah tentang asal-usul bangsa
Bharata, tetapi Pandawa belum dikenal pada masa itu.
- Tahun 400-200 SM muncul kisah-kisah tentang Mahabharata yang menceritakan bahwa Pandawa adalah pahlawan-pahlawan yang memegang peranan utama dan Krishna adalah manusia setengah dewa.
- Antara tahun 300 SM-100-200 M, Krishna dikisahkan
sebagai Dewa. Ada penambahan kisah-kisah baru yang bersifat didaktis yang bertujuan untuk mempertinggi semangat dan moral-spiritual para pembaca.
- Tahun 200-400 M, bab-bab pendahuluan dan bahanbahan baru ditambahkan.
Pendapat tersebut di atas didukung kesimpulan M. Winternitz yang mengatakan bahwa Mahabharata tidak mungkin ditulis sebelum abad 4 SM dan tidak mungkin pula pada abad 4 M.
Para ahli kesusastraan dan filsafat Barat mulai tertarik pada kisah-kisah epos Mahabharata sejak kira-kira dua abad yang lalu, lebih-lebih karena adanya Bhagavadgita dan episode Syakuntala. Charles Wilkins telah bekerja keras menerjemahkan naskah kesusastraan yang mengandung filsafat ini pada tahun 1758 dan tahun 1795. Episode Mahabharata diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh Bopp pada tahun 1819. Sejarah perkembangan epos Mahabharata secara kritis dipelajari oleh Ch. Lassen pada tahun 1837. Ch. Lassen berpendapat bahwa epos asli Mahabharata lahir kira-kira pada tahun 400-500 SM.(3)
A. Weber (1852) dan A. Ludwig (1884) mencoba mengadakan penelitian tentang asal-usul epos Mahabharata.
[(3)Lassen, Ch. Indische Alterthumskunde]
Mereka menyimpulkan bahwa memang terdapat hubungan yang mendasar antara sumber-sumber kitab suci Weda dan materi epos Mahabharata.
Soren Sorenson melakukan penelitian tentang Mahabharata pada tahun 1883 untuk menemukan rekonstruksi
karya besar itu dan menarik kesimpulan bahwa epos ini bentuk aslinya adalah sebuah saga, ciptaan pemikiran seseorang yang tidak mengandung pertentangan, ulangan atau penyimpangan. Dengan menyisihkan semua tambahan pada aslinya, Sorenson berpendapat bahwa epos Mahabharata yang asli terdiri dari 7000 sampai 8000 sloka.(4)
Para sarjana Timur, khususnya dari India, sekarang beranggapan bahwa peristiwa-peristiwa bersejarah dalam epos Mahabharata terjadi antara 1400-1000 SM dan bahwa kehadiran epos yang besar itu tidak mungkin sebelum atau
sesudah kurun waktu itu.(5)
Kisah yang diceritakan dalam epos Mahabharata adalah konflik antara dua saudara sepupu, Kaurawa dan Pandawa, yang berkembang menjadi suatu perang besar dan menyebabkan musnahnya bangsa bharata yang juga disebut bangsa Kuru.
* * * Diceritakan ada dua bersaudara putra seorang maharaja, yaitu Dritarastra dan Pandu. Dritarastra, si putra sulung, terlahir buta. Karena cacat, menurut kepercayaan Hindu ia tidak bisa dinobatkan menjadi raja menggantikan ayahnya. Sebagai gantinya, Pandu si putra bungsu dinobatkan menjadi raja.
Dritarastra mempunyai 100 putra yang dikenal sebagai Kaurawa, sedangkan Pandu mempunyai lima putra yang dikenal sebagai Pandawa. Kelima Pandawa itu adalah
[(4) Sorensen, Soren. 1893. Om Mahabharata's Stilling I Den Indiske
Literatur. Kjoben-haven. (5) Mehendale, Dr. MA. "Language and Literature" dalam The Age of Imperial
Unity. Ed. By R.G Mayumdar and AD. Pusalker. Bombay, 1953.]
Yudhistira, Bhima, Arjuna, Nakula dan Sahadewa. Raja
Pandu meninggal dalam usia yang masih muda, ketika anak-anaknya belum dewasa. Oleh sebab itu, meskipun buta, Dritarastra diangkat menjadi raja, mewakili putra-putra Pandu.
Dritarastra membesarkan anak-anaknya sendiri dan Pandawa, kemenakannya. Ia dibantu Bhisma, paman t
irinya. Ketika anak-anak itu sudah cukup besar, Bhisma menyerahkan mereka semua kepada Mahaguru Drona untuk dididik dan diberi ajaran berbagai ilmu pengetahuan dan ilmu keprajuritan yang harus dikuasai putra-putra bangsawan atau kesatria.
Setelah para kesatria itu selesai belajar dan menginjak usia dewasa, Dritarastra menobatkan Yudhistira, Pandawa yang sulung, sebagai raja. Kebijaksanaan dan kebajikan Yudhistira dalam memerintah kerajaan membuat anak-anak Dritarastra, terutama Duryodhana putra sulungnya, dengki dan iri hati. Duryodhana bersahabat dengan Karna, anak sais kereta yang sebenarnya putra sulung Kunti, ibu Pandawa, yang terlahir sebelum putri itu menjadi permaisuri Pandu.
Sejak semula Karna selalu memusuhi Arjuna. Permusuhan Karna dengan Pandawa diperuncing karena persekutuannya dengan Sakuni. Kedengkian dan iri hati Kaurawa terhadap Pandawa makin mendalam. Kaurawa menyusun rencana untuk membunuh Pandawa dengan membakar mereka hidup-hidup ketika para sepupu mereka sedang beristirahat dalam istana yang sengaja dibuat dari papan kayu. Pandawa berhasil menyelamatkan diri dan lari ke hutan berkat pesan rahasia Widura kepada Yudhistira, jauh sebelum peristiwa pembakaran terjadi.
Kehidupan yang berat selama mengembara di hutan membuat Pandawa menjadi kesatria-kesatria yang tahan uji dan kuat menghadapi segala marabahaya dan kepahitan hidup. Pada suatu hari, mereka mendengar tentang sayembara yang diadakan oleh Raja Drupada dari Negeri Panchala untuk mencarikan suami bagi Dewi Draupadi,
putrinya yang terkenal cantik, bijaksana dan berbudi halus.
Sayembara itu diselenggarakan dengan megah dan meriah. Banyak sekali putra mahkota dari berbagai negeri datang untuk mengadu nasib. Tak satu pun dari para putra mahkota yang semuanya gagah perkasa itu berhasil memenangkan sayembara. Tak satu pun kesatria yang mampu memanah sasaran berupa satu titik kecil di dalam lubang sempit di pusat cakra yang terus-menerus diputar. Arjuna yang saat itu menyamar sebagai brahmana maju ke tengah gelanggang. Semula sayembara itu hanya boleh diikuti oleh golongan kesatria, tetapi karena tidak ada kesatria yang mampu memenangkannya, Raja Drupada mempersilakan para pria dari golongan lain untuk ikut.
Panah Arjuna tepat mengenai sasaran, ia memenangkan sayembara dan berhak mempersunting Draupadi. Pandawa membawa Draupadi menghadap Dewi Kunti, ibu mereka. Sesuai nasihat Dewi Kunti dan sumpah mereka untuk selalu berbagi adil dalam segala hal, Pandawa menjadikan Dewi Draupadi sebagai istri mereka bersama.
Munculnya Pandawa di muka umum membuat orang tahu bahwa mereka masih hidup. Dritarastra memanggil mereka pulang dan membagi kerajaan menjadi dua, untuk Kaurawa dan Pandawa. Kaurawa mendapat Hastinapura dan Pandawa mendapat Indraprastha. Di bawah pemerintahan Yudhistira, Indraprastha menjadi negeri yang makmur sejahtera dan selalu menegakkan keadilan.
Duryodhana iri melihat kemakmuran negeri yang diperintah Pandawa. Ia menyusun rencana untuk merebut Indraprastha dengan mengundang Yudhistira bermain dadu. Dalam tradisi kaum kesatria, undangan bermain judi tidak boleh ditolak. Dengan licik Kaurawa membuat Yudhistira terpaksa bermain dadu melawan Sakuni yang tak segan-segan bermain curang hingga Yudhistira tak pernah bisa menang.
Yudhistira kalah dengan mempertaruhkan kekayaannya, istananya, kerajaannya, saudara-saudaranya, bahkan
dirinya sendiri. Setelah semua yang bisa dipertaruhkannya habis, Yudhistira yang tak kuasa mengendalikan diri mempertaruhkan Dewi Draupadi, istri Pandawa. Karena kalah berjudi, Yudhistira dan saudara-saudaranya serta Dewi Draupadi diusir dari kerajaan. Mereka diharuskan hidup mengembara di hutan selama 12 tahun, lalu pada tahun ketiga belas harus hidup dalam penyamaran selama satu tahun.
Setelah 12 tahun hidup dalam pembuangan, Pandawa hidup menyamar di negeri Raja Wirata. Yudhistira menyamar sebagai brahmana dengan nama Jaya atau Kanka, Bhima sebagai juru masak dengan nama Jayanta atau
Ballawa atau Walala, Arjuna sebagai guru tari yang seperti wanita dengan nama Wijaya atau Brihanala, Nakula sebagai tukang kuda dengan nama J
ayasena atau Granthika atau Dharmagranthi, Sadewa sebagai gembala sapi dengan nama Jayadbala atau Tantripala atau Aistanemi dan Drau-padi sebagai dayang-dayang permaisuri raja dengan nama Sairandhri.
Setelah tiga belas tahun mereka jalani dengan penuh penderitaan, Pandawa memutuskan untuk meminta kembali kerajaan mereka. Perundingan dilakukan dengan
Kaurawa untuk mendapatkan kembali Indraprastha secara
damai. Sayang, perundingan itu gagal karena Duryodhana menolak semua syarat yang diajukan Yudhistira. Kemudian kedua belah pihak berusaha mencari sekutu sebanyak-banyaknya. Raja Wirata dan Krishna menjadi sekutu Pandawa, sedangkan Bhisma, Drona, dan Salya memihak Kaurawa.
Setelah semua usaha mencari jalan damai gagal, perang tidak bisa dihindarkan. Dalam pertempuran di padang Kurukshetra, Arjuna sedih melihat bagaimana sanak-saudaranya tewas di hadapannya. Arjuna ingin tidak
berperang. Ia ingin meletakkan senjata. Untuk membangkitkan semangat Arjuna dan mengingatkan dia akan tugasnya sebagai kesatria, Krishna, sebagai pengemudi keretanya, memberi nasihat mengenai tugas dan kewajiban
seorang kesatria sesuai panggilan dharma-nya. Percakapan antara Krishna dan Arjuna itu dimuat dalam Bhaga-vadgita.
Pertempuran dahsyat antara Pandawa dan Kaurawa berlangsung selama delapan belas hari. Darah para pahlawan bangsa Bharata membasahi bumi padang pertempuran. Bhisma, Drona, Salya, Duryodhana dan pahlawan-pahlawan besar lainnya, juga balatentara Kaurawa musnah di medan perang itu. Aswatthama, anak Drona, membalas kematian ayahnya dengan masuk ke perkema-han Pandawa di malam hari. Ia membunuh anak-anak Draupadi dan membakar habis perkemahan Pandawa.
Pada akhirnya Pandawa memang menang, tetapi mereka mewarisi janda-janda dan anak-anak yatim piatu karena seluruh balatentara musnah. Aswatthama berusaha memusnahkan Pandawa dengan membunuh bayi dalam kandungan istri Abhimanyu. Berkat kewaspadaan Krishna, bayi itu dapat diselamatkan. Bayi itu lahir dan diberi nama Parikeshit.
Setelah perang berakhir, Yudhistira melangsungkan
upacara aswamedha dan ia dinobatkan menjadi raja.
Dritarastra yang sudah tua tidak dapat melupakan anak-anaknya yang tewas di medan perang, terutama Duryodhana. Walaupun Dritarastra tinggal bersama Yudhistira
dan selalu dilayani dengan sangat baik, namun pertentangan batinnya dengan Bhima tidak dapat dielakkan. Akhirnya Dritarastra minta diri untuk pergi ke hutan dan bertapa bersama istrinya, Dewi Gandhari. Sesuai janji mereka untuk selalu bersama, Kunti menemani Gandhari pergi ke hutan. Dalam sebuah kebakaran hebat yang terjadi di hutan, mereka musnah dimakan api.
Kedukaan yang mendalam atas kematian sanak-saudara mereka dalam perang membuat hati Pandawa tidak bisa tenang. Akhirnya, setelah menyerahkan takhta kerajaan kepada Parikeshit, cucu mereka, Pandawa meninggalkan ibukota dan pergi mendaki Gunung
Himalaya. Seekor anjing menyertai mereka. Dalam perjalanan ke puncak Gunung Himalaya, satu per satu Pandawa gugur. Roh mereka segera disambut Indra, Hyang
Tunggal di surga. Demikianlah ringkasan kisah epos Mahabharata.
* * * Seperti telah disebutkan di atas, epos Mahabharata mengalami tambahan-tambahan dari berbagai pengarang-penyair dari masa ke masa. Namun demikian, inti pokok uraiannya tidak perlu diragukan merupakan basis kenyataan-kenyataan dalam tradisi Hindu di jaman dahulu.
Epos Mahabharata dalam bentuknya yang sekarang, jika dibaca secara keseluruhan, mengandung berbagai
dongeng, legenda (purana), mitos, falsafah, sejarah (itihasa), kosmologi, geografi, geneologi, dan sebagainya. Karena
banyaknya tambahan di sana-sini, maka epos Maha-bharata ini juga dipandang sebagai puisi berisi ajaran kebajikan yang ditulis dalam metrum India (kavya), sebagai
sloka yang berisi ajaran budi pekerti (sastra), atau sebagai
kitab yang berisi sejarah, ilmu pengetahuan dan ajaran lain (sruti). Ringkasnya, Mahabharata juga bisa dianggap sebagai semacam ensiklopedia.
Dalam bentuknya yang kita kenal sekarang, epos Mahabharata adalah naskah yang lebih besar dibandingkan kitab-kitab suci Weda. Menurut Prof. Heinrich Zimmer, isi Mahabharat
a delapan kali lebih besar daripada
Odyssey and Iliad. Berbagai manuskrip tersebar dari Timur Tengah sampai Indonesia (Bali) dalam berbagai macam bahasa, antara lain: bahasa Nepali, Maithili,
Bengali, Dewanagari, Telegu, Grantha dan Malayalam. Naskah yang lebih muda kita dapati dalam bahasa Jawa
Kuno (abad X), bahasa Kashmir (abad XI) dan bahasa Persia (di masa pemerintahan Akbar). Epos Ramayana dan
Mahabharata dengan ekspresi yang lain di Indonesia ditulis dalam bahasa Jawa Kuno. Sebagai contoh, Ramayana dan Mahabharata secara ringkas telah disusun di Jawa Timur
dalam bentuk yang disebut kakawin. Beberapa kakawin
yang dikenal luas adalah Ramayana, Bharatayudha,
Arjunawiwaha atau Smaradahana. Kakawin-kakawin
tersebut sesungguhnya bukan salinan dari karya asalnya.
Selanjutnya, secara verbal serta khas kakawin-kakawin tersebut divisualkan dalam bentuk drama/teater atau
wayang yang pelaku-pelaku utamanya diambil dari epos
Ramayana dan Mahabharata (misalnya Rama, Kaurawa
dan Pandawa) dan dilengkapi dengan tokoh-tokoh sejarah dan kesusastraan tradisional, serta tokoh-tokoh lain yang diambil dari mitos daerah di Indonesia.
The Russian Academy di Moskow telah menerbitkan terjemahan Adiparwa atau buku pertama epos Maha-bharata dalam bahasa Rusia di masa Perang Dunia II. Episode dan bagian-bagian tertentu epos Mahabharata juga diterjemahkan ke dalam bahasa Prancis, Inggris dan Jerman.
Dalam Aswalayana Srautasutra disebutkan bahwa epos
Mahabharata versi awal terdiri dari 24.000 sloka. Versi
tersebut terus berkembang hingga dalam bentuknya yang
sekarang terdiri dari 100.000 sloka. Di bawah ini disajikan
ringkasan dari delapan belas buku (parwa) epos
Mahabharata: 1. Adiparwa (Buku Pengantar): memuat asal-usul dan
sejarah keturunan keluarga Kaurawa dan Pandawa;
kelahiran, watak, dan sifat Dritarastra dan Pandu, juga anak-anak mereka; timbulnya permusuhan dan pertentangan di antara dua saudara sepupu, yaitu Kau-rawa dan Pandawa; dan berhasilnya Pandawa memenangkan Dewi Draupadi, putri kerajaan Panchala, dalam suatu sayembara.
2. Sabhaparwa (Buku Persidangan): melukiskan persidangan antara kedua putra mahkota Kaurawa dan Pandawa; kalahnya Yudhistira dalam permainan dadu, dan pembuangan Pandawa ke hutan.
3. Wanaparwa (Buku Pengembaraan di Hutan): menceritakan kehidupan Pandawa dalam pengembaraan di hutan Kamyaka. Buku ini buku terpanjang; antara lain
memuat episode kisah Nala dan Damayanti dan pokok-pokok cerita Ramayana.
4. Wirataparwa (Buku Pandawa di Negeri Wirata): mengisahkan kehidupan Pandawa dalam penyamaran selama setahun di Negeri Wirata, yaitu pada tahun ketiga belas masa pembuangan mereka.
5. Udyogaparwa (Buku Usaha dan Persiapan): memuat
usaha dan persiapan Kaurawa dan Pandawa untuk
menghadapi perang besar di padang Kurukshetra.
6. Bhismaparwa (Buku Mahasenapati Bhisma): menggambarkan bagaimana balatentara Kaurawa di bawah
pimpinan Mahasenapati Bhisma bertempur melawan musuh-musuh mereka.
7. Dronaparwa (Buku Mahasenapati Drona): menceritakan berbagai pertempuran, strategi dan taktik yang digunakan oleh balatentara Kaurawa di bawah pimpinan Mahasenapati Drona untuk melawan balatentara Pandawa.
8. Karnaparwa (Buku Mahasenapati Karna): menceritakan peperangan di medan Kurukshetra ketika Karna
menjadi mahasenapati balatentara Kaurawa sampai
gugurnya Karna di tangan Arjuna.
9. Salyaparwa (Buku Mahasenapati Salya): menceritakan bagaimana Salya sebagai mahasenapati balatentara Kaurawa yang terakhir memimpin pertempuran dan bagaimana Duryodhana terluka berat diserang musuhnya dan kemudian gugur.
10. Sauptikaparwa (Buku Penyerbuan di Waktu Malam):
menggambarkan penyerbuan dan pembakaran perke-mahan Pandawa di malam hari oleh tiga kesatria
Kaurawa. 11. Striparwa (Buku Janda): menceritakan tentang banyaknya janda dari kedua belah pihak yang bersama dengan Dewi Gandhari, permaisuri Raja Dritarastra,
berdukacita karena kematian suami-suami mereka di
medan perang. 12. Shantiparwa (Buku Kedamaian Jiwa): berisi ajaran-ajaran Bhisma kepada Yudhistira mengenai moral dan tugas kewajiban seorang raja dengan maksud untuk memberi ketenangan jiwa
kepada kesatria itu dalam
menghadapi kemusnahan bangsanya.
13. Anusasanaparwa (Buku Ajaran): berisi lanjutan ajaran
dan nasihat Bhisma kepada Yudhistira dan berpulangnya Bhisma ke surgaloka.
14. Aswamedhikaparwa (Buku Aswamedha): menggambarkan jalannya upacara Aswamedha dan bagaimana Yudhistira dianugerahi gelar Maharaja Diraja.
15. Asramaparwa (Buku Pertapaan): menampilkan kisah
semadi Raja Dritarastra, Dewi Gandhari dan Dewi Kunti di hutan dan kebakaran hutan yang memusnahkan ketiga orang itu.
16. Mausalaparwa (Buku Senjata Gada): menggambarkan kembalinya Balarama dan Krishna ke alam baka, tenggelamnya Negeri Dwaraka ke dasar samudera, dan musnahnya bangsa Yadawa karena mereka saling membunuh dengan senjata gada ajaib.
17. Mahaprashthanikaparwa (Buku Perjalanan Suci): menceritakan bagaimana Yudhistira meninggalkan takhta kerajaan dan menyerahkan singgasananya kepada Parikeshit, cucu Arjuna, dan bagaimana Pandawa melakukan perjalanan suci ke puncak Himalaya untuk menghadap Batara Indra.
18. Swargarohanaparwa (Buku Naik ke Surga): menceritakan bagaimana Yudhistira, Bhima, Arjuna, Nakula, Sahadewa dan Draupadi sampai di pintu gerbang surga, dan bagaimana ujian serta cobaan terakhir harus dihadapi Yudhistira sebelum ia memasuki surga.
Selain delapan belas parwa tersebut, sebuah suplemen
yang disebut Hariwangsa ditambahkan kemudian. Suplemen ini memuat asal-usul kelahiran dan sejarah kehidupan Krishna secara panjang lebar. Tetapi berdasarkan
penelitian, buku ini ternyata mengacu pada data yang masanya jauh sekali dari masa kehadiran parwa-parwa
itu. Dilihat dari segi kesusastraan, epos Mahabharata memiliki sifat-sifat dramatis. Tokoh-tokohnya seolah-olah nyata karena perwatakan mereka digambarkan dengan sangat hidup, konflik antara aksi dan reaksi yang berkelanjutan akhirnya selalu mencapai penyelesaian dalam bentuk kebajikan yang harmonis. Nafsu melawan nafsu merupakan kritik terhadap hidup, kebiasaan, tatacara dan cita-cita yang berubah-ubah. Dasar-dasar moral, kewajiban dan kebenaran disampaikan secara tegas dan jelas dalam buku ini. Menurut Mahatma Gandhi, konflik abadi yang ada dalam jiwa kita diuraikan dan dicontohkan dengan sangat jelas dan membuat kita berpikir bahwa semua tindakan yang dilukiskan di dalam Mahabharata seolah-olah benar-benar dilakukan oleh manusia.
Pentingnya epos Mahabharata dapat kita ketahui dari peranan yang telah dimainkannya dalam kehidupan manusia. Lima belas abad lamanya Mahabharata memainkan
peranannya dan dalam bentuknya yang sekarang epos ini menyediakan kata-kata mutiara untuk persembahyangan dan meditasi; untuk drama dan hiburan; untuk sumber inspirasi penciptaan lukisan dan nyanyian, menyediakan imajinasi puitis untuk petuah-petuah dan impian-impian, dan menyajikan suatu pola kehidupan bagi manusia yang mendiami negeri-negeri yang terbentang dari Lembah Kashmir sampai Pulau Bali di negeri tropis.(6) Dalam kepercayaan Hindu, epos Mahabharata juga
dikenal sebagai Weda yang kelima (pertama = Regweda, kedua = Samaweda, ketiga = Yayurweda, dan keempat =
Atharwaweda), terutama karena memuat Bhagavadgita yang dipandang sebagai kitab suci oleh penganut agama Hindu. Ajaran-ajaran Bhisma kepada Pandawa yang termuat dalam Santiparwa dan Anusasanaparwa juga
[(6) Zimmer, Heinrich. 1956. Philosophies of India. New York: Meridian
Books.] dianggap kitab suci. Epos Mahabharata telah meletakkan doktrin dharma yang menyatakan bahwa kebenaran bukan hanya milik satu golongan dan bahwa ada banyak jalan serta cara untuk melihat atau mencapai kebenaran karena adanya toleransi. Epos Mahabharata mengajarkan bahwa kesejahteraan sosial harus ditujukan bagi seluruh dunia dan setiap orang harus berjuang untuk mewujudkannya tanpa mendahulukan kepentingan pribadi. Itulah dharma yang diungkapkan epos Mahabharata sebagai sumber kekayaan rohani atau dharmasastra.
1. Cinta Dushmanta Terpaut di Hutan
Pada suatu hari Raja Dushmanta yang tampan dan gagah perkasa pergi berburu bersama balatentaranya yang kuat dan bersenjata lengkap. Setelah berjalan beberapa lama, tibalah mereka di hutan lebat dengan pohonnya
yang besar- besar. Tanah di hutan itu berbatu-batu, sebatang air pun tak tampak di sana. Macan, singa, gajah, banteng, badak dan binatang buas lainnya berkeliaran. Raja Dushmanta dan balatentaranya memburu gajah. Raja memerintahkan balatentaranya untuk mengumpulkan hasil buruan yang sudah mati. Tetapi, gajah-gajah yang terluka dan belum mati mengamuk menyerang balatentara Raja. Korban berjatuhan. Ada prajurit yang mati dililit belalai, ditusuk gading, atau diinjak-injak gajah. Mereka yang selamat terus memburu binatang-binatang itu hingga mereka lari cerai-berai masuk ke hutan yang lebih lebat.


Mahabharata Karya Nyoman S. Pendit di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Setelah puas berburu, Raja Dushmanta dan balatentaranya meneruskan Perjalanan. Mereka menyeberangi padang rumput yang tandus dan sangat luas. Hamparan rumput terbentang sampai ke kaki langit. Setelah menempuh perjalanan beberapa hari, mereka sampai di tepi hutan lain. Penduduk desa di tepi hutan itu berkata, di hutan itu ada pertapaan Resi Kanwa, seorang keturunan Kasyapa yang termasyhur. Raja Dushmanta memutuskan untuk berhenti berburu dan mengunjungi Resi Kanwa.
Ia menyuruh balatentaranya menunggu, sementara ia masuk ke dalam hutan diiringkan beberapa pengiring. Ia
berjalan menembus pepohonan yang tidak terlalu lebat, sampai ke tepian sungai kecil yang jernih airnya. Di tepi sungai itulah terletak pertapaan Resi Kanwa. Pertapaan itu tampak bersih dan asri. Bunga-bunga aneka warna mekar harum semerbak menyemarakkan pelatarannya. Di luar pertapaan, sampai jauh ke dalam hutan, tampak bermacam-macam pohon yang dahannya sarat dengan buah-buah ranum yang menerbitkan liur. Suasana di situ sungguh teduh dan tenang.
Sampai di gerbang pertapaan, Raja memerintahkan semua pengiringnya menunggu. Sendirian ia masuk ke halaman pertapaan. Di sana ia tidak menemukan siapa-siapa, kecuali seorang gadis cantik yang mengenakan pakaian pertapa.
Setelah menyampaikan penghormatan selamat datang,
gadis cantik itu bertanya, "Nama hamba Syakuntala. Apa yang dapat hamba lakukan untuk Tuanku" Hamba menanti sabda Paduka."
Raja Dushmanta menjawab, "Aku terpesona oleh kecantikanmu, wahai putri jelita. Di manakah Resi Kanwa yang
termasyhur itu""
Syakuntala menjawab, "Bapa hamba sedang pergi memetik buah-buahan. Kalau Tuanku sudi menunggu sebentar, Tuanku bisa menemuinya setelah beliau kembali nanti."
Sambil memandangi wajah ayu Syakuntala, Raja Dush-manta bertanya, "Siapakah sebenarnya engkau putri jelita" Putri siapakah engkau dan mengapa engkau tinggal di hutan ini" Wahai, putri jelita, hatiku telah tercuri olehmu pada pandangan pertama."
Syakuntala menjawab sambil tersenyum, "Oh, Tuanku,
hamba adalah anak Resi Kanwa."
Mendengar jawaban itu, Raja Dushmanta tercengang dan bertanya lagi, "Resi yang sangat dihormati di jagad ini
telah mengumbar nafsu birahinya" Jika orang biasa
berniat melaksanakan dharma, bisa saja dia lalai. Tetapi, seorang resi yang suci telah bersumpah tidak akan
membiarkan gejolak nafsu menjerumuskannya. Wahai
putri cantik, bagaimana mungkin Tuan ini anak Resi Kanwa" Maafkan aku karena ragu. Jawablah dan hapuslah keraguanku ini."
Syakuntala berkata, "Baiklah, akan hamba ceritakan asal-usul hamba sebagaimana yang Bapa Resi ceritakan kepada seorang pertapa pengembara yang datang menghadap dan bertanya tentang diri hamba. Begini ceritanya...
'Adalah seorang pria sakti bernama Wiswamitra yang tidak puas akan kesaktiannya. Untuk membuat dirinya
semakin sakti, dia terus-menerus bertapa dengan khusyuk. Begitu kuat tapanya, hingga Batara Indra ketakutan. Batara Indra tahu, jika tapa Wiswamitra berhasil, pria itu akan mampu menggulingkannya dari takhtanya di Indraloka atau kahyangan. Untuk menggagalkan tapa Wismamitra, Batara Indra memanggil Dewi Menaka dan diperintahkannya bidadari itu untuk menggodanya.
'Dewi Menaka berkata, "Paduka Batara, Wiswamitra
adalah seorang suci yang sangat sakti dan berkuasa. Ia juga sangat gampang marah. Kekuatan, ketekunan dan dendam jiwanya yang teramat keras sudah membuat Paduka Batara khawatir. Apalagi hamba, hamba takut menghadapinya. Dialah yang membuat Wasistha menderita kesedihan yang mendalam karena melihat anak-anaknya ma
ti sebelum dewasa. Dia dilahirkan sebagai kesatria, tetapi karena kebajikan dharma-nya dan kesaktiannya
yang mendalam dia menjadi brahmana.... Dia mampu
membakar tiga dunia, neraka, bumi, dan kahyangan dengan kesaktiannya, ia juga mampu membuat gempa bumi. Karena kesaktiannya itu, ya Paduka Batara, bantulah hamba waktu hamba menggoda dia. Hamba mohon agar Maruta, sang Dewa Angin menyebarkan wewangian dari pohon-pohon hutan. Waktu hamba bermain-main di dekatnya nanti, hamba mohon Dewa Angin menerbangkan
pakaian hamba dan Manamatha sang Dewa Cinta
sebaiknya juga membantu hamba."
'Setelah berkata demikian, pergilah Dewi Menaka ke
tempat Wiswamitra bertapa. Sesampainya di depan pertapa
sakti itu, ia memberi salam hormat. Kemudian, mulailah dia merayu. Ketika itu berhembuslah angin kencang,
melambaikan ujung bawah pakaiannya hingga betisnya yang indah tampak sekilas. Tapi, angin bertiup semakin kencang dan akhirnya menerbangkan pakaiannya. Tanpa busana, Dewi Menaka pura-pura malu dan hendak mengejar pakaiannya. Tak kuasa mengalihkan pandangannya, Wiswamitra terpesona oleh keindahan payudara Dewi Menaka. Ia tergoda, tak mampu melanjutkan tapanya.
Gagal. Wiswamitra menghentikan tapanya, memilih sang
Dewi, dan mereka hidup bersama.
'Beberapa waktu kemudian, Dewi Menaka mengandung. Ketika tiba saatnya melahirkan, ia pergi ke tepi Sungai Malini di lembah Gunung Himalaya yang indah. Di sana ia melahirkan seorang bayi perempuan. Bayi itu ditinggalkannya di tepi sungai lalu ia terbang kembali ke kahyangan.
'Bayi itu dipungut dan diangkat anak oleh Resi Kanwa. Karena ketika ditemukan dilindungi oleh burung-burung
syakuntala, maka bayi itu diberi nama Syakuntala dan anak itu menganggap Resi Kanwa sebagai ayahnya.'
"Itulah cerita yang pernah hamba dengar dari Resi Kanwa, Paduka Raja," kata Syakuntala mengakhiri ceritanya.
Mendengar cerita itu, Raja Dushmanta berkata, "Menikahlah denganku, wahai Syakuntala yang jelita. Seluruh kerajaanku akan menjadi milikmu. Maukah kau menikah
denganku sekarang juga dengan upacara gandharwa" Upacara gandharwa adalah yang paling utama dalam
keadaan seperti ini."
Syakuntala menjawab, "Oh, Tuanku Raja, tunggulah sampai Bapa Resi datang. Mintalah ijin lebih dulu pada beliau. Hamba yakin, Bapa Resi pasti merestui kita."
Dushmanta berkata lagi, "Wahai putri nan jelita dan sempurna, aku ingin engkau menjadi pendampingku. Menurut hukum penciptaan, seseorang adalah teman bagi dirinya sendiri dan karena itu ia bertanggung jawab atas
dirinya sendiri; dia sendirilah yang menentukan segala
sesuatu tentang dirinya sendiri. Menurut hukum itu, engkau dapat merestui dirimu sendiri. Dan ketahuilah, di jagad ini ada delapan macam perkawinan. Manu, sang manusia pertama, merumuskan delapan jenis perkawinan, lengkap dengan urutan upacaranya. Cara gandharwa adalah yang paling sesuai dengan sifat kesatria. Janganlah engkau takut, jangan pula merasa bimbang dan ragu. Wahai putri tercantik, hatiku penuh cinta kepadamu, semoga engkau pun demikian. Kabulkanlah permintaanku dan kita menikah sekarang juga."
Mendengar itu Syakuntala berkata, "Bila itu memang cara yang dibenarkan oleh agama, dan bila sesungguhnya hamba berhak memutuskan untuk diri hamba sendiri, dengarkanlah wahai pria utama keturunan bangsa Puru,
ada syarat-syarat yang harus Paduka penuhi! Berjanjilah
bahwa apa pun yang hamba pinta akan Paduka kabulkan. Anak laki-laki yang akan hamba lahirkan hendaknya kelak menjadi ahli waris kerajaan Paduka. Itulah syarat hamba! Wahai Raja Dusmanta, jika Tuanku menerima syarat ini, hamba bersedia menikah sekarang juga."
Tanpa mempertimbangkan syarat-syarat yang diajukan Syakuntala, Raja Dushmanta menjawab, "Baiklah, akan kupenuhi semua permintaanmu! Aku bahkan bermaksud memboyongmu ke istana setelah kita menikah. Sebagai permaisuriku, sepantasnyalah engkau tinggal di istanaku."
Kemudian, Dushmanta dan Syakuntala menikah secara
gandharwa. Mereka bergandengan tangan mengelilingi api
suci sambil mengucapkan mantra-mantra. Maka sahlah hubungan mereka sebagai suami-istri.
Dalam keasyikan memadu kasih, Dushmanta berulang-ulang berjanji k
epada Syakuntala bahwa ia akan mengirim seorang utusan untuk menjemputnya. Utusan itu akan dikawal sepasukan prajurit kehormatan. Digambarkannya bagaimana Syakuntala akan masuk ke kota diiringkan utusannya dan pasukan kehormatan serta dielu-elukan oleh rakyatnya. Setelah mengumbar janji dan puas
berasyik masyuk, Raja Dushmanta kembali ke kota raja.
Dalam perjalanan ke istana ia berpikir-pikir, "Apa kata Resi Kanwa yang suci dan agung itu jika mengetahui semua ini""
Tak lama setelah Raja Dushmanta pergi, Resi Kanwa tiba di pertapaannya. Syakuntala yang merasa malu dan bersalah tidak menyongsongnya, seperti biasanya. Tanpa ada yang memberi tahu dan karena kesaktiannya, resi agung itu mengerti apa yang telah terjadi.
Dengan kekuatan mata hatinya, Resi Kanwa memandang putri angkatnya. Kemudian, dengan perasaan senang dan lega ia berkata kepada Syakuntala, "Anakku sayang, apa yang telah kaulakukan secara diam-diam dan sembunyi-sembunyi tanpa menunggu restuku" Aku tahu, engkau sudah menikah dengan seorang lelaki. Tak usah kau cemas, pernikahan itu takkan menghancurkan kebajikanmu. Sesungguhnya, upacara perkawinan gandharwa antara seorang wanita yang bersedia dengan seorang laki-laki yang mencintainya adalah salah satu upacara terbaik di antara cara-cara kesatria. Dushmanta seorang lelaki
yang baik dan berbudi tinggi. Engkau, anakku Syakuntala,
telah menerima dia sebagai suamimu. Anak laki-laki yang akan kaulahirkan, akan menjadi pemuda yang kuat dan ternama di seluruh dunia. Ia akan menguasai lautan dan dikaruniai kesaktian yang tak terkalahkan. Dia akan menjadi raja diraja dan punya berlaksa-laksa balatentara perkasa."
Syakuntala bersimpuh di depan ayah angkatnya dan membasuh kaki sang Resi. Kemudian, sambil menata buah-buahan yang dipetik sang Resi, Syakuntala berkata, "Hamba mohon, Bapa Resi berkenan merestui Dushmanta yang telah hamba terima sebagai suami. Hamba juga mohonkan restu untuk rakyat dan kerajaannya."
Resi Kanwa menjawab, "Demi kau, anakku sayang, aku akan merestui Dushmanta. Tetapi untukmu sendiri, pintalah hadiah yang kauinginkan."
Syakuntala ingin agar keturunannya dengan Raja
Dushmanta kekal sampai ke akhir jaman. Karena itu, ia memohon hadiah restu dari Resi Kanwa agar raja-raja Paurawa, yaitu raja-raja keturunan wangsa Puru tidak akan pernah kehilangan kerajaannya dan senantiasa ternama di seluruh dunia.
Ketika tiba waktunya, Syakuntala melahirkan seorang bayi laki-laki yang sehat. Waktu berumur tiga tahun, anak itu sudah kelihatan tampan, agung, perwira, tangkas dan terampil serta pandai dalam berbagai ilmu pengetahuan. Hari demi hari berlalu, kesaktian anak itu semakin bertambah dan nyata terlihat. Dengan mudah ia menaklukkan binatang-binatang buas yang berkeliaran di sekitar pertapaan. Para resi pertapa di hutan itu menyebut dia dengan nama Sarwadamana, artinya 'sang penakluk semua'.
Demikianlah, tiga tahun berlalu ... Jangankan mengirim
utusan untuk menjemput, mengirim pesan atau kabar pun Raja Dushmanta tidak pernah. Apakah Dushmanta sudah melupakan Syakuntala"
Pada suatu hari Resi Kanwa memanggil Syankuntala, menyuruhnya agar menghadap sang Raja. Resi itu berpendapat bahwa sudah tiba waktunya untuk mengantarkan Sarwadamana menghadap ayahnya. Katanya, "Anakku, wanita yang sudah menikah tak boleh terus-menerus tinggal di rumah orangtuanya karena ia takkan dapat menjalankan kewajibannya terhadap suaminya dan kebajikannya akan rusak."
Setelah mohon diri dan mendapat restu Resi Kanwa, berangkatlah Syakuntala dan Sarwadamana diiringkan beberapa resi sebagai pengawal. Berhari-hari mereka berjalan menembus hutan, menyusuri sungai, dan menyeberangi padang rumput luas sebelum akhirnya tiba di gerbang istana Hastinapura.
Dengan hati berdebar-debar, Syakuntala dan anaknya memasuki gerbang istana dan minta dibawa menghadap sang Raja. Setelah mengucapkan salam hormat sepatutnya, ia berkata kepada Raja, "Inilah hamba Tuanku,
Syakuntala, istri Paduka dari pertapaan Resi Kanwa.
Lihatlah, wahai Paduka, anak yang tampan ini. Dia adalah
putra Paduka yang selama ini hamba asuh di pertapaan. Wahai Raja termulia di dunia,
penuhilah janji Paduka dan
nobatkanlah dia menjadi putra mahkota. Ingatkah Paduka
akan janji yang Tuan ucapkan waktu kita menjalankan upacara perkawinan gandharwa di pertapaan Resi Kanwa dahulu""
Mendengar perkataan Syakuntala, Raja Dushmanta ingat semua yang telah terjadi. Tetapi, ia malu. Di hadapan para perwira dan menteri kerajaan, ia malu mengakui perkawinannya dengan gadis pertapa yang tak jelas asal keturunannya. Untuk menutupi rasa malunya, ia berkata dengan marah, "Berani benar engkau bicara seperti itu! Aku tak kenal kau! Aku tak pernah bertemu kau! Siapakah engkau, hai perempuan jahanam yang menyamar menjadi pertapa suci" Aku tidak punya hubungan apa pun
denganmu, baik karena dharma, kama maupun artha.'
Enyahlah engkau dari sini dan jangan pernah kembali!"
Mendengar kata-kata Raja, Syakuntala sangat kaget, bagai disambar halilintar. Sekonyong-konyong kesedihan menghunjam hatinya, membuatnya terpana, tegak berdiri
bagai tonggak, tak sadarkan diri. Tetapi... kemudian
matanya memerah, merah saga bagai besi terbakar. Bibirnya bergetar menahan perasaannya. Dengan sorot mata tajam ia memandang sang Raja, seakan hendak membakarnya hidup-hidup dengan api kemarahannya. Namun, karena terbiasa hidup sebagai pertapa, Syakuntala berhasil memusatkan pikiran sucinya dan menahan kemarahannya yang makin memuncak serta kepedihan hatinya yang seperti disayat-sayat.
Syakuntala pun berkata sambil memandang Raja dengan tajam, "Dengarlah, wahai Tuanku. Hanya orang rendah budi yang dengan mudah berdusta dan ingkar
' Ketiga bentuk hubungan yang dimaksud adalah hubungan tugas-kewajiban hidup, hubungan seksual dan hubungan kekayaan harta-benda.
janji. Hamba yakin, dalam hati Paduka pasti mengakui
kebenaran kata-kata hamba. Tetapi, mengapa Paduka memilih berdusta, berkata tak pernah mengenal hamba,
tak pernah menikahi hamba" Hati nurani adalah saksi atas kebenaran dan kepalsuan."
Syakuntala diam sejenak. Kemudian melanjutkan dengan tegas dan penuh amarah. Raja tak lagi disapanya dengan sebutan Paduka atau Tuanku.
"Jika engkau mengatakan yang sebenarnya, takkan
turun derajatmu. Orang yang mengingkari kenyataan dirinya berarti mencuri atau merampok dirinya sendiri. Kaupikir, kau dapat mengatakan tidak tahu atas perbuatanmu sendiri. Tidakkah kau tahu bahwa Yang Maha Purba, Yang Maha Tahu bersemayam di hatimu" Ia mengetahui dosamu, dan kau telah berbuat dosa di hadapanNya.
Seorang pendosa mungkin berpikir bahwa tak seorang pun tahu akan dosanya, tetapi sesungguhnya segala perbuatannya dilihat oleh Dia yang bersemayam di hati setiap manusia. Orang yang menghina dirinya sendiri dengan berdusta, tidak akan direstui olehNya, bahkan jiwanya sendiri pun tidak akan merestui.
"Aku adalah istri yang mengabdi pada suami. Dengan kemauanku sendiri aku datang kemari untuk menemui kau, suamiku. Itu benar. Tetapi janganlah karena alasan itu aku kauperlakukan hina. Aku adalah istrimu, istri raja, dan karenanya berhak mendapat perlakuan yang terhormat. Apakah engkau tidak bersedia menerimaku karena aku datang atas kemauanku sendiri" Di hadapan begitu banyak orang, di istanamu yang megah mulia, mengapa kauperlakukan aku seperti perempuan biasa" Bukankah engkau yang memintaku menjadi permaisurimu" Lupakah engkau" Tidakkah engkau mendengar kata-kataku"
"Wahai Raja Dushmanta, jika engkau menolak apa yang
kupinta, waspadalah ... kepalamu akan pecah menjadi seribu, seketika ini juga!"
Karena Raja Dushmanta tetap diam, tak menanggapi, bahkan membuang muka, Syakuntala melanjutkan katakatanya.
"Seorang suami yang merasuk ke dalam tubuh istrinya
akan keluar dalam wujud anak. Begitulah yang selayaknya
terjadi. Karena itu seorang istri disebut jaya, yang berarti 'dari mana seseorang dilahirkan'. Sebutan itu berasal dari para ahli kitab suci. Anak yang terlahir secara demikian
akan menyelamatkan jiwa nenek-moyangnya dari api neraka dan karena itu disebut putra oleh Sang Pencipta. Karena melalui anaknya seseorang akan mampu menaklukkan tiga dunia. Melalui anaknya pula seseorang akan dapat menikmati kedamaian abadi. Dan bersama anak-cucu dan cicitnya, seseorang akan menikm
ati kebahagiaan kekal. "Istri yang sejati pandai mengatur rumah tangga. Istri
yang sejati mengabdikan seluruh jiwanya kepada suaminya. Ia bagaikan belahan jiwa suaminya dan menjadi teman utama di antara semua teman suaminya. Istri adalah dasar agama, keberuntungan, dan hasrat-keinginan.
Istri adalah akar kelepasan untuk mencapai moksha,
kebahagiaan hidup abadi. Ia yang mempunyai istri dapat melaksanakan hidup berkeluarga dan mempunyai teman di waktu suka dan duka. Istri berperan sebagai ayah dalam upacara keagamaan, sebagai ibu di kala sakit dan duka. Bagi seorang pengembara, istri adalah penghibur di kala gundah. Ia yang mempunyai istri dipercaya oleh semua orang. Karena itu, istri adalah harta paling berharga yang bisa dimiliki seorang lelaki. Ketika suami meninggalkan dunia ini dan menghadap Batara Yama, istri yang setia akan mengikutinya ke dunia sana. Istri yang lebih dulu meninggal akan menanti suaminya di dunia sana, tetapi jika suami mendahuluinya, istri yang bijaksana akan segera menyusulnya ke dunia sana.
"Atas dasar semua itulah, wahai Raja Dushmanta, seorang lelaki menikahi seorang perempuan. Seorang suami menikmati keakraban seorang istri baik di dunia ini
maupun di dunia sana. Telah dikatakan oleh para arif
bijaksana bahwa seorang suami pada hakikatnya terlahir sebagai anak lelaki istrinya. Karena itu, istri yang
melahirkan anak laki-laki haruslah dianggap sebagai ibu sendiri oleh suaminya. Memandang wajah putranya, seorang lelaki seperti berdiri di depan kaca dan menatap wajahnya sendiri. Ia akan merasa bahagia ibarat orang suci yang mencapai surga. Laki-laki yang muram karena sedih hatinya atau sakit badannya akan merasa segar kembali di samping istrinya, bagai orang yang kegerahan mendapat air sejuk untuk membersihkan badan. Tidak seorang laki-laki pun, bagaimanapun marahnya dia, dibenarkan melakukan sesuatu yang tidak menyenangkan istrinya. Istri ibarat tanah suci tempat suaminya dilahirkan. Bahkan dewa pun tidak sanggup mencipta makhluk tanpa wanita. Adakah kebahagiaan yang lebih besar daripada kebahagiaan seorang ayah waktu anaknya lari ke dalam pelukannya"
"Karena itu, wahai Raja Mulia, mengapa engkau bersikap tidak peduli pada anakmu yang datang menghadap ayahnya" Lihatlah, anakmu memandangmu, penuh harap dan ingin disambut oleh pelukan ayahnya. Seekor semut saja bisa memindahkan telurnya tanpa merusaknya, mengapa engkau tidak bisa menerima anak ini" Hatimu dingin membeku. Kauingkari anakmu, darah dagingmu
sendiri! Coba resapkan, sentuhan lembut seorang wanita
atau segarnya air yang sejuk jernih tak sebanding dengan kebahagiaan yang akan kaurasakan ketika kausambut dia dalam pelukanmu.
"Biarlah anak ini menyentuh dan memelukmu. Di dunia ini, tak ada yang lebih nikmat daripada pelukan anak
kandung kita. Wahai Pahlawan Perkasa Penakluk Musuh, akulah yang melahirkan anak ini! Wahai Raja, anak inilah
yang akan bisa mengenyahkan segala kesusahanmu.
"Raja bangsa Puru yang mulia, anak ini akan melangsungkan upacara aswamedha dengan korban seratus
kuda! Sesungguhnya, orang yang bepergian jauh dari rumahnya akan menggendong anak orang lain. Dengan mencium kepala anak itu mereka merasakan kebahagiaan yang besar. Engkau, wahai Raja, pastilah tahu bahwa para
pendeta mengucapkan doa dari kitab suci Weda waktu mentahbiskan seorang anak. Doa itu adalah:
kau dilahirkan dari badanku kau tumbuh dari hati nuraniku
kau adalah diriku sendiri dalam wujud bayi
hiduplah seratus tahun lagi
hidupku tergantung padamu
juga kelangsungan bangsaku
wahai anakku, justru kepadaNya wahai anakku, justru karenaNya
hiduplah kau penuh bahagia hingga seratus tahun usia
"Sadarlah wahai Raja, ia lahir dari badanmu. Ia adalah bagian dirimu! Lihatlah anakmu ini, maka engkau laksana melihat bayang-bayangmu di air telaga bening. Ibarat api pemujaan yang dinyalakan di rumah, demikian pula anak ini berasal dari dirimu, menjadi pelita hidupmu. Walaupun tunggal, engkau telah membagi dirimu.
"Waktu kau berburu, mengejar-ngejar binatang di dalam hutan, aku engkau dekati. Wahai Raja, waktu itu aku masih gadis di pertapaan bapaku, Resi Kanwa. Kau tan
ya asal-usulku dan kujawab aku putri Dewi Menaka, bidadari
yang diperintahkan Batara Indra untuk turun dari kahyangan dan menggoda Wiswamitra, seorang pertapa mahasakti. Bersama bidadari-bidadari Urwashi, Purwachitti, Sahajanya, Wiswachi, dan Gritachi, Dewi Menaka berhasil
menggagalkan tapa Wiswamitra. Pertapa itu tak kuasa menahan nafsunya melihat kecantikan Menaka. Mereka memadu cinta. Sayang, Wiswamitra meninggalkan Menaka yang sedang mengandung. Ketika tiba waktunya, Menaka melahirkan aku di lembah Gunung Himalaya. Karena tidak mendapat kasih sayang suami, ia kembali ke kahyangan, meninggalkan anaknya.
"Dosa apakah yang pernah kulakukan dalam kehidupanku sebelum ini, hingga waktu masih bayi aku dibuang
oleh orangtuaku" Dan sekarang ... engkau membuangku,
mengingkariku! Kalau kau tak sudi menerimaku, aku akan kembali ke pertapaan Bapaku. Tetapi, tidak pantas engkau membuang anakmu sendiri!"
Setelah mendengar semua itu, Raja Dushmanta berkata, "Hai Syakuntala, aku tak ingat pernah punya anak laki-laki denganmu. Banyak bicaramu, tapi tak ada artinya sedikit pun. Bicara dusta, itu yang engkau bisa! Siapa yang akan percaya pada ceritamu" Karena kehilangan kasih sayang, Dewi Menaka yang jalang membuang bayinya di lembah Gunung Himalaya. Ayahmu, Wiswamitra, brahmana hidung belang yang gagal tapanya karena tergoda juga kehilangan kasih sayang. Aku tahu, Dewi Menaka adalah bidadari utama dan ayahmu adalah resi paling agung. Mengingat engkau anak mereka, mengapa engkau bicara seperti perempuan jalang" Kata-katamu tidak pantas didengar. Tidak malukah engkau menceritakan asal-usulmu yang penuh dosa" Pergilah, hai perempuan jalang yang menyamar sebagai pertapa suci. Di mana ayahmu, Resi Wiswamitra yang masyhur" Di mana ibumu, Dewi Menaka bidadari yang utama" Mengapa orang sehina engkau menyamar sebagai pertapa suci" Aku tidak kenal engkau!
Enyahlah, pergilah ke mana engkau suka!"
Syakuntala menjawab, "Wahai Raja, engkau bisa melihat kesalahan orang lain walau hanya sekecil butir pasir, tetapi engkau tak mampu melihat keburukanmu yang sebesar gajah. Dewi Menaka adalah bidadari utama yang tinggal di kahyangan. Karena itu, hai Dushmanta, kelahiranku sesungguhnya lebih mulia daripada kelahiranmu. Kau berjalan menginjak tanah di bumi, sedangkan aku mengembara di langit biru! Lihatlah perbedaan di antara kita, saksikanlah kekuatanku nanti. Aku bisa mengunjungi kahyangan tempat tinggal Dewa Indra, Kuwera, Yama, Baruna, dan dewa-dewa lain, kapan saja. Sungguh aku tidak berdusta.
"Orang yang buruk rupa selalu menganggap dirinya lebih tampan dari orang lain, sampai ia melihat wajahnya sendiri di kaca. Ketika itu barulah ia sadar akan perbedaan wajahnya dengan wajah orang lain. Dia yang selalu bicara jahat berhati busuk, ibarat babi yang selalu mencari kubangan lumpur walaupun berada di tengah taman bunga.
"Demikianlah, dia yang jahat selalu mencari-cari keburukan dalam kata-kata orang lain, namun orang yang bersih hatinya selalu menyimak kata-kata orang lain dan
menyaringnya; yang baik dan benar diterima, yang salah
dan dusta dilupakan. Ibarat angsa yang selalu dapat
memisahkan susu dari air*, orang jujur senang menghormati orang yang lebih tua dan tidak suka membicarakan keburukan orang lain. Sebaliknya, orang jahat senang memfitnah dan mencari-cari kesalahan orang lain. Yang jahat selalu berkata buruk tentang yang jujur, tetapi yang jujur tidak pernah menyakiti yang jahat walaupun ia sendiri disakiti.
"Seorang pria yang punya anak laki-laki -yang merupakan bayangannya sendiri- tidak akan pernah mencapai
dunia yang diidam-idamkannya bila ia tak mau mengakui anaknya. Dewa-dewa akan menghancurkan kebahagiaan dan kejayaannya. Nenek moyang kita mengajarkan bahwa anak laki-laki adalah penerus kehidupan keluarga dan bangsanya. Karena itu, upacara yang dilaksanakannya adalah upacara terbaik dari segala jenis upacara keagamaan dan tidak seorang pun boleh melupakan putranya.
"Menurut Manu ada 5 macam anak laki-laki: 1) yang diciptakan bersama istri sendiri, 2) yang diperoleh dari pemberian orang lain, 3) yang dibeli berdasarkan pertimbangan terten
tu, 4) yang diasuh dengan kasih
sayang, dan 5) yang diperoleh dari wanita-wanita yang tidak dikawini. Anak laki-laki memperkuat agama dan apa yang diperolehnya akan memperbesar kegembiraan
* karena angsa yang anggun dan putih bersih adalah perlambang
kebajikan ayahnya. Karena itu, wahai Raja perkasa, tidak perlu engkau membuang anakmu sendiri.
"Wahai Raja penguasa dunia, pujalah kebenaran, kebajikan dan dirimu sendiri dengan memuja anakmu. Tidak pantas engkau mempertahankan kebohonganmu. Kebenaran lebih penting daripada seratus upacara korban suci. Tidak ada yang lebih tinggi dari kebenaran. Wahai Raja, kebenaran adalah Dia Yang Maha Benar. Kebenaran adalah sumpah tertinggi! Oleh sebab itu, jangan langgar sumpahmu. Biarlah kebenaran bersatu dengan engkau. Kalau engkau menghiraukan kata-kataku ini, dengan kemauan sendiri aku akan pergi dari sini. Sesungguhnya aku tahu bahwa persahabatan denganmu lebih baik dihindari. Tetapi, hai Dushmanta, kelak setelah engkau tiada, anakku ini yang akan menguasai dunia yang dikelilingi empat samudra dan dihormati oleh raja-raja dari segala penjuru."
Setelah mengucapkan kata-kata keras, Syakuntala meninggalkan Dushmanta. Begitu Syakuntala hilang dari pandangan, terdengarlah suara dari langit meskipun tak ada sosok yang terlihat. Dushmanta, dikelilingi para pendeta istana dan para menteri, mendengar suara itu berkata.
"Seorang ibu ibarat kulit dari daging. Anak laki-laki berasal dan merupakan citra ayahnya. Karena itu, wahai Dushmanta, sayangilah putramu dan janganlah menghina Syakuntala. Wahai Raja mulia, anak yang berasal dari benihmu akan menyelamatkanmu dari kekuasaan Batara Yama dengan upacara-upacara keagamaan. Engkau adalah asal-mula anak ini. Syakuntala tidak berdusta. Ingatlah, suami yang membagi dirinya menjadi dua, terlahir kembali melalui istrinya dalam wujud anak laki-laki.
"Wahai Dushmanta, pujalah dan sayangilah anakmu, buah rahim Syakuntala. Kau akan tertimpa malapetaka besar jika menyia-nyiakan dia. Anak yang berjiwa agung itu akan dikenal dengan nama Bharata, artinya yang dipuja'!"
Kemudian suara dari kahyangan itu lenyap.
Setelah mendengar kata-kata itu, Raja merasa sangat gembira. Ia berkata kepada semua orang yang ada di hadapannya, "Kalian dengar sabda dari langit tadi" Sebenarnya aku telah mengakui anak ini sebagai anakku sendiri.
Tetapi, jika kupungut dia dan kuturuti kata-kata Syakuntala begitu saja, rakyatku pasti curiga dan anakku dianggap anak haram."
Akhirnya Raja memerintahkan agar dilakukan upacara
khusus, yaitu upacara yang dipersembahkan seorang ayah untuk anaknya. Dengan upacara yang lain, Syakuntala diterima sebagai permaisuri. Anak itu diberi nama Bharata dan dinobatkan menjadi putra mahkota. Kelak di kemudian hari, keturunan Bharata menjadi bangsa yang besar.
*** 2. Dewabrata, Putra Raja Santanu dan Dewi Gangga
"Wahai Dewiku, maukah engkau menjadi istriku" Aku
tidak peduli siapa pun engkau. Aku terpesona oleh
kecantikanmu dan jatuh cinta padamu. Siapakah engkau dan dari manakah asalmu"" kata Raja Santanu kepada seorang gadis jelita yang berdiri di hadapannya.
Sesungguhnya gadis itu adalah Dewi Gangga, bidadari kahyangan yang turun ke bumi dalam wujud manusia. Parasnya yang cantik, lekuk tubuhnya yang indah, dan tindak-tanduknya yang halus membuat Raja Santanu terpikat dan bangkit gairah asmaranya.
Sang Raja berjanji akan mempersembahkan seluruh cinta, kekayaan, dan kerajaannya -bahkan seluruh hidupnya- kepada gadis jelita itu.
Tanpa curiga atas pertanyaan Raja Santanu, gadis itu menjawab, "Wahai Raja perkasa, hamba bersedia menjadi istri Paduka asalkan Paduka berjanji memenuhi syarat-syarat hamba."
"Apakah itu"" tanya Raja Santanu tak sabar.
"Pertama, jika hamba sudah menjadi istri Paduka, tak seorang pun, tidak juga Paduka, boleh bertanya siapa sesungguhnya hamba dan dari mana asal-usul hamba.
Kedua, apa pun yang hamba lakukan -baik atau buruk,
benar atau salah, wajar atau ganjil- Paduka tidak boleh menghalang-halangi. Ketiga, Tuanku tidak boleh marah kepada hamba - dengan alasan apa pun. Keempat, Paduka tidak boleh mengatakan sesuatu yang membuat per
asaan hamba tidak enak. "Begitu Tuanku melanggar syarat-syarat itu -walau
hanya satu- hamba akan meninggalkan Tuanku saat itu juga. Apakah Tuanku setuju dan bersedia berjanji untuk tidak melanggarnya""
Tanpa berpikir panjang, Raja Santanu yang sedang dimabuk asmara langsung bersumpah akan memenuhi semua syarat yang dikatakan si gadis jelita.
Demikianlah, tanpa mengenal siapa namanya dan tanpa mengetahui dari mana asal-usulnya, Raja Santanu mem-persunting gadis jelita yang ditemukannya di tepi Sungai
Gangga. Dibawanya gadis itu ke istana dan dinobatkannya
menjadi permaisurinya. Hari demi hari berlalu. Raja Santanu semakin mencintai
permaisurinya yang jelita, lebih-lebih karena selain cantik, permaisurinya itu sangat berbakti kepadanya dan halus tutur katanya. Kebahagiaan Sang Raja semakin lengkap ketika tahu permaisurinya mengandung.
Sembilan bulan mereka lewatkan dengan penuh bahagia. Tak terasa waktu berlalu begitu cepat dan tibalah saatnya Dewi Gangga melahirkan. Sang Dewi pamit kepada suaminya, mengatakan bahwa dia akan pergi menyendiri dan melahirkan di tepi Sungai Gangga. Dia tak mau ditemani siapa pun, tidak juga sang Raja.
Maka pergilah Dewi Gangga seorang diri. Sampai di tepi sungai, dia mencari tempat yang teduh dan terlindung untuk melahirkan. Bayi yang dilahirkannya langsung dibuangnya ke sungai. Setelah membersihkan diri, sang Dewi kembali ke istana dengan wajah berseri-seri, seolah-olah tak terjadi apa-apa.
Raja Santanu menyambutnya dengan penuh harap. Hatinya bahagia akan menyambut sang bayi, buah kasihnya dengan permaisuri yang dicintainya. Tetapi, betapa kecewanya Raja melihat Dewi Gangga datang tanpa sang
bayi. Perasaan Baginda campur aduk. Heran, melihat istrinya kembali tanpa sang bayi. Cemas, memikirkan nasib
sang bayi. Murka, karena permaisurinya tampak tenang
dan tidak merasa bersalah. Raja merasa berdosa, karena tak kuasa berbuat apa pun kecuali diam seribu bahasa. Tak berani bertanya. Tak berani melanggar sumpah yang telah diucapkannya.
Raja Santanu, yang terlanjur mencintai dan terpesona oleh kecantikan permaisurinya, tak berani bertanya sepatah kata pun. Disambutnya sang Dewi dengan mesra, seakan-akan tak terjadi apa-apa. Mereka melanjutkan kehidupan seperti biasa.
Hari berganti minggu dan minggu berganti bulan. Dewi Gangga kembali hamil dan ketika tiba saatnya melahirkan, sekali lagi dia mohon diri hendak menyepi di tepi Sungai Gangga. Syarat yang diajukannya tetap sama: tak seorang pun boleh mengikutinya.
Hal yang sama terulang. Sang Dewi kembali ke istana tanpa menggendong bayi. Sang Raja, dengan perasaan tertekan, menyambut istrinya seolah-olah tak terjadi apa-apa.
Demikianlah, kejadian itu berulang sampai tujuh kali. Tetapi, pada kehamilan yang kedelapan, Raja Santanu tak kuasa menahan diri lagi. Sudah lama ia bertanya-tanya dalam hati, siapa dan dari mana asal perempuan kejam yang menjadi istrinya itu. Di mana semua anak yang telah
dilahirkannya" Sungguh kejam ibu yang menelantarkan
bayi-bayinya. Diam-diam Raja membuntuti istrinya ke tepi Sungai Gangga. Alangkah terkejutnya Baginda melihat sang Dewi mengangkat bayi yang baru dilahirkannya dan siap mence-burkannya ke dalam sungai. Tanpa berpikir panjang dan lupa akan sumpahnya, Baginda berteriak lantang, "Hentikan! Ini pembunuhan kejam! Rupanya kau tega membunuh bayi-bayimu yang tidak berdosa!" Sambil berteriak
demikian, Raja mencengkeram tangan Dewi Gangga, menahannya agar tidak melaksanakan perbuatan terkutuk itu.
"Wahai, Raja yang Agung! Kau telah melanggar janjimu padaku karena hati dan perasaanmu telah tertambat pada bayi ini. Itu artinya, engkau tidak menginginkan aku lagi. Baiklah, aku tidak akan membunuh bayi ini! Tetapi
sebelum aku pergi dan sebelum engkau menyimpulkan sesuatu tentang aku, dengarkanlah ceritaku ini.
Aku adalah bidadari yang dipaksa memainkan lakon duka ini karena sumpah Resi Wasistha. Sesungguhnya aku ini Batari Gangga yang dipuja para dewa dan manusia.
Resi Wasistha telah menimpakan kutuk-pastu kepada delapan wasu yang akan terpaksa lahir ke bumi ini. Para wasu itu kemudian memohon agar aku bersedia menjadi
ibu me reka. Dengan perkenanmu, Raja Santanu, aku melahirkan mereka ke dunia, sebagai anak-anakmu. Sebagai balas budi karena telah menolong mereka, kelak engkau akan mencapai tempat yang mulia tinggi di alam baka.
Sekarang, aku akan membawa bayi ini dan mengasuhnya sampai dia cukup besar dan tiba waktunya untuk kuserahkan kembali kepadamu. Anak ini akan menjadi
lambang dan kenangan atas cinta kita berdua."
Setelah berkata demikian, Batari Gangga menghilang bersama bayinya. Kelak, bayi itu dikenal dengan nama Bhisma dan menjadi kesatria sakti yang termasyhur.
*** Terkisahlah bagaimana asal mulanya hingga para wasu itu menerima kutuk-pastu dari Resi Wasistha.
Pada suatu hari, kedelapan wasu itu berjalan-jalan di pegunungan bersama istri-istri mereka. Di pegunungan itu
terdapat pertapaan Resi Wasistha. Mereka masuk ke
pertapaan itu, tetapi sang Resi tidak ada. Di pelatarannya,
seorang wasu melihat Nandini, sapi kepunyaan sang Resi, sedang makan rumput. Nandini tampak indah, sehat dan menawan.
Istri-istri para wasu itu terpesona oleh keelokan Nandini. Salah seorang dari mereka meminta suaminya menangkap sapi itu.
Suaminya berkata, "Apa gunanya sapi itu bagi kita para Dewa" Nandini adalah kepunyaan Resi Wasistha yang
menguasai daerah ini. Karena kesaktian sang Resi, susunya akan membuat orang yang meminumnya hidup abadi. Tapi, apa gunanya bagi kita karena sebagai dewa
kita sudah ditakdirkan hidup abadi" Janganlah kita serakah. Biarkan sapi itu tenang merumput. Lagi pula, kalau celaka kita bisa kena kutuk-pastu dan murka Resi
Wasistha - hanya karena menuruti hasrat dan kesenangan belaka."
Tetapi istrinya tak mengindahkan hal itu. Ia berkata, "Aku punya teman yang sangat kukasihi. Dia manusia biasa. Aku ingin memberikan susu Nandini kepadanya agar ia bisa hidup abadi. Demi dialah aku memintamu menangkap Nandini. Sebelum Resi Wasistha kembali ke pertapaan ini, kita sudah pergi jauh dari sini sambil membawa sapi itu. Lakukanlah demi keinginanku, karena permintaanku ini sangat berharga bagiku."
Akhirnya, suaminya menurut. Kedelapan wasu itu bersama-sama menangkap Nandini dan anaknya, lalu melarikannya jauh-jauh.
Ketika Resi Wasistha kembali ke pertapaan, Nandini dan anaknya tak dilihatnya. Sapi kesayangannya itu hilang bersama seekor anaknya. Sapi yang selama ini memberinya hidup dan tak dapat dipisahkan kegunaannya dalam upacara persembahan setiap hari.
Berkat kekuatan yoganya, sang Resi mengetahui apa yang telah terjadi. Alangkah murkanya dia. Dengan lantang ia mengucapkan kutuk-pastu, mengutuk para wasu.
Karena kutukan itu, para wasu akan terlahir ke dunia dan hidup sebagai manusia yang menderita. Itulah hukuman bagi mereka yang telah merampas satu-satunya harta berharga miliknya.
Ketika para wasu tahu bahwa mereka kena kutukpastu, mereka sangat menyesal. Tapi... penyesalan selalu
datang terlambat. Segera mereka kembali ke pertapaan Resi Wasistha, mengembalikan Nandini dan anaknya, lalu bersimpuh di depan sang Resi, memohon ampun atas dosa mereka.
Resi Wasistha berkata, "Kutuk-pastu telah terucapkan dan akan berlaku pada waktunya. Wasu yang melarikan sapiku akan hidup lama di dunia dalam kemewahan dan kesenangan duniawi, tetapi wasu-wasu lain akan terlepas
dari kutuk ini segera setelah dilahirkan sebagai manusia.
Aku tak bisa menarik kutukanku, tetapi aku bisa melunakkannya."
Kemudian Resi Wasistha bersemadi. Diatur napasnya,
ditenangkan pikirannya, dan diredakan amarahnya.
Sesungguhnya, seorang resi yang sedang ber-tapabrata
memang bisa memperoleh kesaktian untuk mengutuk-pastu. Tetapi, setiap kali ia menggunakan kesaktiannya untuk melontarkan kutuk-pastu, derajat kesucian yang telah berhasil dicapainya akan berkurang.
Para wasu merasa lega karena ada kemungkinan kutukan itu akan dilunakkan. Kemudian pergilah mereka
menghadap Dewi Gangga dan memohon, "Kami datang
memujamu, Batari. Kami mohon, sudilah kiranya Batari menjadi ibu kami. Kami mohon agar Batari bersedia turun
ke mayapada dan menikah dengan seorang raja. Kelak,
satu per satu dari kami akan terlahir lewat rahim Paduka. Dan, segera setelah kami lahir, buanglah kami ke dalam s
ungai agar kami terbebas dari kutuk-pastu."
Dewi Gangga mengabulkan permohonan mereka. Ia turun ke bumi, di tepi Sungai Gangga. Di sana ia bertemu dengan Raja Santanu yang kemudian menyuntingnya menjadi permaisurinya.
Kembali ke kisah Dewi Gangga yang meninggalkan Raja Santanu. Sang Dewi menghilang bersama bayinya yang kedelapan dan tidak pernah muncul kembali. Sejak itu, sang Raja meninggalkan kesenangan duniawi dan memerintah kerajaannya dengan lebih bijaksana serta didasari semangat kerokhanian.
Pada suatu hari, Raja Santanu berjalan-jalan di tepi
Sungai Gangga. Ia melamun, mengenangkan saat-saat pertemuannya dengan Dewi Gangga. Sungguh kenangan yang sangat indah namun meninggalkan kepedihan di hati. Kemudian dia melihat seorang anak laki-laki yang dikelilingi aura kemegahan dan keagungan dari Dewendra, raja dari segala dewa dan batara, anak kecil yang sedang tumbuh menjadi remaja. Anak itu sedang bermain panah. Berkali-kali ia melepas anak panah-anak panah dari busurnya, mengarahkannya ke seberang Sungai Gangga. Tak terlihat siapa-siapa di dekatnya. Begitu pula di seberang sungai. Raja Santanu takjub dan terharu melihat ketampanan dan ketangkasan anak itu. Raja mendekati
anak itu, ingin bertanya padanya. Tetapi... tiba-tiba dia
melihat Dewi Gangga muncul di hadapannya.
Dewi Gangga berkata dengan lemah lembut, "Wahai, Paduka Raja, inilah anak kita yang kedelapan. Dia kunamai Dewabrata dan kuasuh hingga mahir berolah senjata, menguasai ilmu perang dan memiliki kesaktian yang setara
dengan kesaktian Parasurama. Ia telah mempelajari Weda dan falsafah Wedanta dari Resi Wasistha. Kecuali itu, ia
juga menguasai kesenian, kebudayaan dan ilmu gaib San-jiwini yang dikuasai Sukra. Sambutlah anak ini. Terimalah dan asuhlah dalam istanamu. Kelak dia akan menjadi kesatria besar, ahli siasat perang dan senapati agung."
*** 3. Dewabrata Bersumpah Sebagai Bhisma
Dengan hati bahagia Raja Santanu menyambut putranya dan membawanya ke istana. Anak yang dikelilingi aura keagungan dan menunjukkan watak-watak kesatria sejati itu dinobatkannya menjadi putra mahkota. Dewabrata diangkat sebagai yuwaraja atau putra mahkota yang
bertugas mendampingi Raja dalam memerintah. Dia pula yang akan mewarisi kerajaan ayahnya, kelak setelah ayahnya mengundurkan diri dengan bijaksana.
Empat tahun berlalu. Pada suatu hari, Raja Santanu berjalan-jalan di tepi Sungai Yamuna. Tiba-tiba angin
berhembus dan terciumlah olehnya keharuman yang memenuhi udara. Raja mencari sumber keharuman yang suci itu dan melihat seorang gadis cantik jelita, secantik bidadari kahyangan, duduk melamun di tepi sungai.
Sejak Dewi Gangga meninggalkannya, Raja Santanu selalu berusaha menahan hasrat dan hawa nafsunya dan berusaha hidup dengan sepenuhnya mengutamakan kebajikan. Tetapi, kecantikan wajah dan keharuman tubuh
gadis itu membuatnya lupa akan tapabrata-nya. Hatinya


Mahabharata Karya Nyoman S. Pendit di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bergejolak, dilanda cinta asmara yang meluap-luap. Raja Santanu meminang gadis itu agar mau menjadi permaisurinya.
"Wahai gadis jelita, siapakah namamu dan dari mana
asalmu" Aku terpesona oleh kecantikanmu. Maukah engkau kupersunting menjadi istriku"" kata sang Raja.
Berkatalah sang juwita, "Daulat Tuanku, nama hamba
Satyawati. Hamba seorang penangkap ikan. Ayah hamba kepala kampung nelayan di sini. Hamba persilakan Paduka membicarakan permintaan itu dengan ayah hamba. Semoga dia menyetujuinya."
Satyawati mengantarkan sang Raja ke rumah orangtua-nya di kampung nelayan yang agak jauh dari tempatnya mencari ikan. Sampai di rumah, sang Raja dipersilakan untuk mengutarakan niatnya.
Kata Raja Santanu, "Wahai Bapak nelayan, aku
temukan putrimu yang jelita ini di tepi sungai sedang mencari ikan. Aku sangat terpesona oleh kecantikan dan tutur katanya yang lembut. Aku ingin mempersunting dia menjadi istriku dan memboyongnya ke istanaku."
Ayah gadis itu orang yang cerdik. Ia menyembah Raja Santanu dan berkata, "Daulat Tuanku. Memang sudah waktunya anak hamba menikah dengan seorang lelaki, seperti gadis-gadis lain. Paduka Tuanku adalah raja yang mulia dan berkedudukan jauh di atas dia. Hamba tidak keberatan jika anak hamba Pad
uka persunting. Tetapi, sebelum Satyawati hamba serahkan, Paduka harus berjanji."
Kata Raja Santanu, "Apa pun syarat yang kauajukan, aku akan memenuhinya."
Kepala kampung nelayan itu memohon, "Jika anak
hamba melahirkan seorang bayi lelaki, Paduka harus menobatkannya menjadi putra mahkota dan kelak setelah Paduka mengundurkan diri, Paduka harus mewariskan kerajaan ini kepadanya."
Meskipun tergila-gila pada anak gadis kepala kampung nelayan itu, namun Raja Santanu tak dapat menyanggupi persyaratan itu. Ia sadar, jika dia memenuhi semua syarat yang diajukan ayah si gadis, berarti ia harus menyingkirkan Dewabrata yang sudah dinobatkannya menjadi yuwa-raja dan berhak atas takhta kerajaannya kelak. Terlalu besar yang harus ia pertaruhkan untuk mempersunting Satyawati. Sungguh tidak pantas dan memalukan, jika ia menuruti kata hatinya. Setelah bergulat dengan perasaannya, Raja Santanu kembali ke istananya di Hastinapura. Perasaannya campur aduk, sedih karena mungkin harus menyingkirkan Dewabrata, senang karena sedang jatuh cinta. Tetapi, sang Raja menyimpan rahasianya rapat-rapat. Tak seorang pun diberi tahu akan hal itu. Raja lebih banyak mengurung diri di ruang peraduannya dan melamun. Tugas-tugas kerajaan lebih banyak dilakukan oleh Dewabrata.
Mengetahui hal itu, suatu hari Dewabrata bertanya kepada ayahnya, "Ayahanda mempunyai segala sesuatu yang mungkin diinginkan oleh seorang manusia. Tetapi mengapa Ayahanda kelihatan begitu murung" Apa sebabnya Ayahanda berduka demikian rupa" Wajah Paduka seakan-akan menyimpan rahasia dan menanggung beban berat."
Jawab Baginda, "Anakku sayang, apa yang kaukatakan itu benar. Sesungguhnya Ayahanda sedang tersiksa oleh perasaan duka dan cemas. Engkau putraku satu-satunya. Engkau selalu sibuk mengurus kerajaan dan melatih para prajurit agar mahir berperang. Hidup di dunia ini tidak pasti dan tidak kekal. Perang dan damai silih berganti tiada henti. Jika kau mati tanpa punya anak, maka garis keturunan kita akan putus, habis.
"Sudah tentu seorang anak -apalagi anak tunggalsama berharganya dengan seratus anak. Para tua-tua cendekia yang mahir akan makna kitab-kitab suci berkata,
'Di mayapada atau di dunia ini, punya anak hanya seorang sama dengan tidak punya anak sama sekali'. Sungguh
sayang jika kelangsungan hidup keluarga dan keturunan kita hanya bergantung pada seorang saja. Sebenarnya, Ayahanda memikirkan kelangsungan garis keluarga dan keturunan kita sampai beratus-ratus tahun kelak. Itulah yang membuatku gelisah dan berduka."
Raja Santanu berusaha keras untuk menyembunyikan isi hatinya yang sesungguhnya karena ia malu pada putranya. Dewabrata yang bijaksana dan setia kepada ayahnya menyadari hal itu. Ia tidak mau mendesak agar ayahnya
mengungkapkan hal-hal yang dirahasiakannya dan menyebabkannya berlaku seperti itu, selalu murung dan gelisah.
Dewabrata kemudian bertanya kepada sais kereta ayahnya. Barulah ia tahu bahwa belum lama ini ayahnya
berkenalan dengan seorang gadis cantik penangkap ikan di tepi Sungai Yamuna, bahwa ayahnya kemudian meminang gadis itu, dan bahwa ayahnya tak sanggup memenuhi syarat-syarat yang diajukan ayah si gadis.
Mendengar itu, Dewabrata memutuskan untuk menemui kepala kampung nelayan itu dan meminang putrinya atas nama ayahnya.
Kepala kampung nelayan itu berpegang teguh pada pendiriannya, "Wahai sang Putra Mahkota, sesungguhnya anak hamba pantas menjadi permaisuri ayahanda Paduka. Karena itu, sungguh wajar jika kelak anaknya dinobatkan menjadi raja, menggantikan ayahanda Paduka. Apakah Tuanku sependapat dengan hamba"
"Hamba tahu, Paduka telah dinobatkan menjadi yuwaraja dan dengan sendirinya kelak akan menggantikan beliau. Demi anak hamba, jangan sampai hal itu terjadi." Kata Dewabrata, "Baiklah. Ingat baik-baik kata-kataku
ini: Jika anakmu melahirkan seorang anak lelaki, anak itu
kelak akan dinobatkan menjadi raja. Aku rela turun takhta demi keinginan ayahanda Raja Santanu untuk melanjutkan keturunannya."
Mendengar kata-kata Dewabrata, nelayan itu bersujud, "Wahai Putra Mahkota yang paling bijaksana di antara semua keturunan Bharata, apa yang Tuan lakukan sung
guh berani dan belum pernah dilakukan orang sebelumnya. Tuanku seorang pahlawan besar. Silakan Tuanku membawa anak hamba untuk dipersembahkan kepada ayahanda Paduka.
"Hamba yakin, Tuanku pasti akan memenuhi janji. Tetapi, apa yang dapat hamba pakai sebagai pegangan yang menguatkan harapan hamba" Bagaimana putra-putra yang lahir sebagai keturunan Tuanku akan rela menyerahkan hak-hak mereka sebagai ahli waris kerajaan"
Putra-putra Tuanku pasti akan menjadi pahlawan-pahlawan besar seperti Tuanku sendiri. Tuanku pasti sulit menjelaskannya kepada mereka. Pasti sulit menghalangi keinginan mereka untuk kembali memiliki kerajaan - entah dengan kekerasan atau secara baik-baik. Inilah keraguan hati hamba yang selalu membuat hamba cemas."
Mendengar pertanyaan yang sangat sulit dijawab itu, Dewabrata dengan penuh niat suci memutuskan untuk melepaskan diri dari segala sesuatu yang bersifat duniawi, demi ayahnya.
Kemudian ia bersumpah di hadapan ayah si gadis penangkap ikan, "Aku berjanji tidak akan kawin. Dengan demikian, aku takkan pernah punya anak. Seluruh hidupku akan kupersembahkan untuk berbakti pada rakyat dan kerajaan dan untuk kesucian."
Ketika Dewabrata mengucapkan sumpah sucinya, berguguranlah kembang-kembang harum suci menaburi kepalanya, sementara di angkasa bergema suara merdu,
"Bhisma... bhisma... bhisma...."
Kata bhisma menyatakan bahwa seseorang telah mengucapkan sumpah yang berat dan suci dan berjanji akan benar-benar melaksanakannya. Dewabrata memenuhi syarat-syarat itu.
Sejak itu, Dewabrata melepas gelar yuwaraja dan tidak lagi berkedudukan sebagai putra mahkota. Kemudian dia digelari dengan nama Bhisma, sebagai penghormatan akan kesetiaannya kepada ayahnya dan keteguhan hatinya yang suci.
Demikianlah, Dewabrata putra Dewi Gangga memboyong Satyawati ke Hastinapura untuk diserahkan kepada ayahnya, Baginda Raja Santanu.
Dari perkawinannya dengan Satyawati, Raja Santanu
mempunyai dua putra, Chitranggada dan Wichitrawirya. Chitranggada meninggal lebih dulu daripada adiknya, tanpa meninggalkan seorang putra pun; sedangkan Wichitrawirya mempunyai dua putra, yaitu Dritarastra dan Pandu dari dua permaisurinya, Ambika dan Ambalika.
Dritarastra berputra seratus orang; mereka dikenal sebagai Kaurawa. Pandu berputra lima orang, mereka termasyhur sebagai Pandawa. Adapun Bhisma, sebagai kakek-paman dan sesepuh anak-cucu Raja Santanu, hidup sampai usia tua, disegani dan dihormati oleh seluruh sanak keluarganya. Kelak Bhisma meninggal sebagai senapati dalam perang besar Bharatayuda di padang Kurukshetra.
*** 4. Amba, Ambika, dan Ambalika
hitranggada, putra Satyawati, tewas dalam pertempuCran melawan gandarwa. Karena ia tewas dalam peperangan tanpa memiliki anak, maka Wichitrawirya, adiknya,
dinobatkan menjadi raja menggantikannya. Tetapi, karena
waktu naik takhta dia belum dewasa, tampuk pemerintahan untuk sementara dipegang oleh kakaknya dari lain ibu, yaitu Dewabrata alias Bhisma, sampai dia dewasa.
Ketika Wichitrawirya telah cukup dewasa untuk menikah, Bhisma mencarikan calon istri yang pantas bagi
adiknya itu. Ia mendengar bahwa tiga putri Raja Kasi akan
memilih calon suami menurut adat-istiadat kaum bangsawan, yaitu dengan mengadakan sayembara. Bhisma memutuskan mengikuti sayembara itu agar bisa memboyong putri-putri Raja Kasi untuk adiknya.
Pada hari sayembara, di alun-alun Kerajaan Kasi berkumpul putra-putra mahkota dari Kerajaan Kosala,
Wangsa, Pundra, Kalingga dan lain-lain. Mereka semua
berminat mempersunting putri-putri Raja Kasi yang sangat terkenal kecantikan dan keanggunannya. Karena ada tiga putri yang diperebutkan, sayembara itu diselenggarakan secara besar-besaran. Meskipun datang dengan semangat tinggi, banyak juga putra mahkota yang merasa cemas, takut menanggung malu jika gagal memenangkan sayembara; lebih-lebih ketika melihat Bhisma hadir di antara mereka.
Bhisma terkenal sakti dan mahir menggunakan segala
macam senjata perang. Kecuali itu, karena kesetiaan dan keteguhan hatinya, semua orang segan padanya.
Semula para putra mahkota menyangka Bhisma datang hanya untuk menyaksikan jalannya sayembara karena pan
geran itu telah bersumpah takkan pernah menikah. Tetapi, ketika mengetahui bahwa Bhisma mengikuti sayembara, sangatlah kecut hati mereka.
Tak ada yang menyangka bahwa Bhisma datang untuk maksud yang sama. Dan tak seorang pun tahu bahwa ia datang demi saudaranya yang lebih muda, Wichitrawirya.
Para putra mahkota itu berbisik-bisik, membicarakan Bhisma. Seseorang berkata, "Dia memang keturunan Bharata yang sakti dan bijaksana. Sayang sekali, ia lupa diri. Tak sadar bahwa sudah tua dan lupa akan sumpahnya untuk hidup sebagai brahmacarin yang seumur hidup tidak akan kawin. Untuk apa dia ikut sayembara ini" Dasar pangeran tak tahu malu!"
Putri-putri Kasi yang hendak memilih calon suami mereka sama sekali tak menghiraukan kehadiran Bhisma. Mereka menganggapnya pemuda tua yang tidak menarik. Mereka berbisik-bisik mengolok-olok jagoan tua itu sambil membuang muka, tak mau memandangnya.
Bhisma, yang merasa diejek dan dipermainkan, menjadi berang. Ditantangnya semua putra mahkota untuk berpe-rang-tanding dengannya. Tak ada yang berani menolak meskipun sadar semua takkan mampu mengalahkan kesatria tua itu. Tak ada yang mau dipermalukan di depan putri-putri jelita idaman mereka.
Satu per satu mereka berperang-tanding melawan Bhisma. Semua kalah. Segera setelah mengalahkan semua putra mahkota, Bhisma menyambar ketiga putri jelita itu dan melarikan mereka dengan keretanya yang termasyhur. Begitu kencang laju kereta itu hingga seakan-akan mereka terbang meninggalkan gelanggang sayembara, menuju Hastinapura. Belum lagi jauh dari arena sayembara Kerajaan Kasi, mereka dihadang Raja Salwa dari Kerajaan Saubala. Raja itu menantang Bhisma untuk bertarung.
Sebenarnya, Raja Salwa sudah menjalin kasih dengan Amba dan Amba yang jelita telah memilih Salwa sebagai
calon suaminya. Setelah perkelahian sengit, Salwa takluk. Menyerah. Bhisma mengangkat senjata, hendak membunuh, tetapi dicegah oleh Amba. Karena permintaan putri itu, Bhisma urung membunuh Salwa.
Setibanya di Hastinapura, Bhisma segera mempersiapkan pernikahan Wichitrawirya. Ketika tamu-tamu mulai berdatangan, Amba berkata kepada Bhisma dengan nada
mencemooh, "Wahai putra Dewi Gangga yang masyhur,
Tuan pasti tahu yang terkandung dalam kitab-kitab suci yang kita hormati dan muliakan. Seharusnya Tuan juga tahu bahwa aku telah memilih Salwa, Raja Kerajaan Saubala, untuk menjadi suamiku. Tuan memaksa diriku menerima pernikahan ini. Bila Tuan mengerti akan hal ini,
bertindaklah sesuai dengan ajaran kitab suci."
Sementara pernikahan Ambika dan Ambalika, adik-adik Amba, dengan Wichitrawirya berlangsung dengan baik dan penuh kebesaran, Bhisma mengantarkan Amba kepada Raja Salwa.
Hal itu dilakukan Bhisma karena memahami maksud putri itu dan demi menaati apa yang tertulis dalam kitab suci. Diiringkan sejumlah pengawal kehormatan yang pantas, diantarkannya Amba ke istana Kerajaan Saubala. Sampai di sana, Bhisma menghadap Raja Salwa dan menyerahkan Amba kepadanya. Segera sesudah itu, pangeran tua itu kembali ke Hastinapura.
Dengan perasaan gembira dan mesra, Amba menceritakan semua yang telah terjadi kepada Raja Salwa. Setelah itu ia berkata, "Sejak semula hamba telah tetapkan hati untuk mengabdikan diri, lahir dan batin kepada Tuanku. Pangeran Bhisma menerima penolakan hamba dan mengantarkan hamba ke hadapan Tuanku. Jadikanlah hamba permaisuri Tuanku menurut ajaran kitab-kitab suci
sastra." Maharaja Salwa menjawab, "Bhisma telah menaklukkan aku dan telah melarikan engkau di depan umum. Aku
merasa sangat terhina. Karena itu, aku tidak bisa menerima engkau menjadi istriku. Sebaiknya engkau kembali
kepada Bhisma dan lakukan apa yang ia perintahkan."
Setelah berkata demikian, Raja memanggil beberapa pengawal dan memerintahkan mereka untuk mengawal Amba kembali kepada Bhisma.
Sampai di Hastinapura, Amba menceritakan apa yang
telah terjadi kepada Bhisma. Pangeran tua itu kemudian membujuk adiknya agar mau menikahi Amba. Tetapi, Wichitrawirya tegas-tegas menolak, karena putri itu telah memberikan hatinya kepada orang lain.
Penolakan Wichitrawirya merupakan beban berat bagi Bhisma, karena dia sendiri telah
bersumpah tidak akan pernah menikah. Tak mungkin dia melanggar sumpahnya
sendiri. Lebih-lebih karena ia keturunan bangsawan yang
terhormat. Ia iba kepada Amba, tetapi tak kuasa berbuat apa-apa. Beberapa kali dicobanya membujuk Wichitra-wirya, tetapi adiknya itu tetap pada pendiriannya. Tak ada jalan lain. Ia terpaksa menasihati Amba agar kembali lagi kepada Salwa.
Hal itu sungguh sangat berat bagi Amba. Karena tak berani kembali ke Kerajaan Saubala, selama beberapa waktu Amba terpaksa bersembunyi di Hastinapura. Akhirnya dengan perasaan berat, Amba mencoba kembali kepada Raja Salwa.
Sekali lagi, dengan suara yang keras dan tegas, Raja Salwa menolak Amba.
Demikianlah, Amba yang jelita kemudian terpaksa melewatkan hari-harinya dalam kemurungan. Hampir enam tahun lamanya ia hidup tanpa cinta, penuh duka, dan tanpa harapan. Parasnya yang segar dan jelita menjadi layu dan kisut. Hatinya yang menderita berubah, berisi
kepahitan dan kebencian kepada Bhisma - yang menurutnya telah menghancurkan hidupnya. Sia-sia ia berusaha mencari seorang kesatria tangguh untuk bertarung melawan Bhisma dan kalau bisa ... sekaligus membunuh pangeran tua itu. Tak seorang kesatria pun berani bertarung
dengan Bhisma yang termasyhur sakti dan perkasa.
Akhirnya, Amba pergi ke hutan dan bertapa dengan sangat tekun. Ia memohon kepada Dewa Subrahmanya agar membantunya menghancurkan Bhisma. Dewa itu menghadiahkan seuntai kalung bunga teratai segar yang
sudah diberi restu-pastu. Orang yang berkalung bunga
teratai segar itu akan menjadi sakti dan dengan kesaktiannya ia akan mampu mengalahkan Bhisma.
Amba menerima kalung bunga teratai itu. Kemudian sekali lagi ia mencari seorang kesatria yang mau memakai kalung bunga hadiah Dewa Subrahmanya, dewa sakti berwajah enam. Sayang sekali, tak seorang kesatria pun mau menerimanya. Tak seorang kesatria pun berani melawan Bhisma yang termasyhur kesaktiannya. Kemudian Amba menghadap Raja Drupada. Raja ini juga menolaknya. Akhirnya, Amba meninggalkan kalung bunga itu di pintu gerbang istana Raja Drupada lalu pergi mengembara ke dalam hutan.
Kepada beberapa pertapa yang ditemuinya di hutan, Amba menceritakan pengalamannya yang menyedihkan itu. Mereka menasihatinya agar menghadap Parasurama. Amba menuruti nasihat mereka, ia pergi menghadap Parasurama.
Mendengar cerita Amba, Parasurama merasa kasihan. Ia berkata, "Wahai anakku yang jelita, apa yang kau-kehendaki sekarang" Aku dapat meminta Salwa untuk mengawinimu jika engkau mau."
Amba menjawab dengan hati teguh, "Tidak, saya tidak menginginkan itu lagi. Saya tak punya hasrat lagi untuk menikah atau mencari kebahagiaan. Satu-satunya yang saya inginkan dalam hidup ini adalah membalas dendam kepada Bhisma. Saya bersumpah, yang saya inginkan tak lain hanyalah kematian Bhisma."
Parasurama mendengarkan kata-kata Amba dengan penuh perhatian. Ia sendiri amat membenci golongan kesatria. Karena itu, ia memutuskan untuk menolong Amba dan bertarung melawan Bhisma. Pertempuran mereka
sangat hebat dan berlangsung lama. Dua-duanya setara kesaktian dan kemahirannya dalam olah senjata. Tetapi, akhirnya Parasurama harus mengakui keunggulan Bhisma.
Setelah dikalahkan Bhisma, ia menemui Amba dan berkata, "Aku sudah berusaha sekuat tenaga untuk menaklukkan dan menghancurkan Bhisma, tetapi aku kalah. Satu-satunya jalan bagimu adalah kembali kepadanya dan menyerahkan nasibmu kepadanya. Hanya itu yang dapat kaulakukan."
Dengan membawa duka, sakit hati, dendam, dan kebencian, akhirnya Amba pergi ke kaki Gunung Himalaya untuk bertapa. Dengan khusyuk ia bertapa dan terus-menerus melakukan penyucian diri agar dapat menerima karunia Batara Shiwa karena di dunia tak ada lagi manusia yang bisa menolongnya.
Setelah lama bertapa dengan sangat khusyuk, Batara
Shiwa muncul di hadapannya dan memberinya restu: 'dalam inkarnasinya yang akan datang, Amba dapat membunuh Bhisma'.
Amba tidak sabar menunggu hingga masa inkarnasinya yang akan datang. Karena itu, ia membuat api unggun
besar dan melakukan satya, mengorbankan diri dengan terjun ke dalam api yang berkobar-kobar. Dengan satya,
badannya akan hangus ter bakar. Atas pertolongan Batara Shiwa, Amba berinkarnasi, terlahir kembali sebagai putri Raja Drupada. Ajaib! Beberapa tahun kemudian ia menemukan kalung bunga teratai yang dahulu ia gantungkan di pintu gerbang istana Raja Drupada. Kalung bunga itu masih elok dan segar, seakan-akan tak pernah disentuh orang. Maka dikalung-kanlah untaian bunga itu di lehernya. Melihat perbuatannya yang gegabah itu, Raja Drupada menjadi cemas karena ingat bagaimana dahulu Amba mengalungkan untaian bunga itu di situ sebelum meninggalkan istana Hastina-pura dengan hati penuh dendam. Putri yang mendendam itu kemudian bertapa di hutan yang lengang dan sunyi.
Begitulah, putri Raja Drupada mengambil untaian bunga itu dan mengalungkannya di lehernya. Ajaib! Lama
kelamaan, kelamin putri Raja Drupada itu berubah. Ia
menjadi seorang laki-laki dan kemudian termasyhur dengan nama Srikandi, artinya "pahlawan perang."
Kelak dalam perang besar Bharatayuda, Srikandi
bertempur di depan kereta Arjuna melawan Bhisma. Dalam perang di padang Kurukshetra itu, Bhisma tahu benar bahwa Amba telah lahir kembali dalam wujud Srikandi, yakni perempuan yang berubah menjadi laki-laki dan karena penampilannya yang tetap seperti wanita, menurut tata krama, aturan perang dan sumpahnya sendiri, dalam keadaan apa pun Bhisma tidak boleh melawannya. Dalam keadaan apa pun Bhisma tidak akan bertempur melawan Srikandi yang termasyhur dan gagah berani.
*** 5. Ilmu Gaib Sanjiwini Pada jaman dahulu kala, sering terjadi pertempuran-pertempuran panjang dan sengit antara para dewata
dengan para raksasa. Mereka berebut ingin menguasai ketiga dunia. Para dewata dipimpin seorang resi bernama
Wrihaspati yang sangat terkenal karena pengetahuannya
yang mendalam tentang kitab-kitab Weda, sedangkan para raksasa dipimpin Mahaguru Sukra yang arif bijaksana.
Wrihaspati dan Sukra sama-sama ahli perang yang
sangat termasyhur. Tetapi, Sukra memiliki keunggulan
yang sangat mengerikan, yaitu ilmu gaib Sanjiwini yang
dapat menghidupkan siapa saja yang sudah mati. Jadi,
setiap kali ada raksasa mati di medan pertempuran, Sukra dapat menghidupkannya lagi. Begitu berkali-kali, sehingga jumlah mereka tak pernah berkurang dan mereka dapat melanjutkan perang melawan para dewata. Akibatnya, para dewata selalu kalah melawan para raksasa.
Akhirnya, para dewata berunding, mencari akal untuk mengalahkan para raksasa. Diputuskanlah untuk menemui Kacha, putra Wrihaspati, dan meminta bantuannya. Mereka berharap Kacha bisa menawan hati Sukra dan membujuknya agar ia diijinkan menjadi murid mahaguru itu. Dengan menjadi murid Sukra, para dewata berharap Kacha bisa menguasai ilmu gaib Sanjiwini, dengan cara mulia atau cara curang, sehingga para dewata bisa terhindar dari kekalahan terus-menerus.
Kacha menyanggupi permintaan para dewata itu. Ia lalu
pergi menghadap Mahaguru Sukra yang tinggal di istana
Raja Wrishaparwa, raja para raksasa.
Sampai di hadapan mahaguru itu, Kacha memberi
salam hormat lalu berkata, "Hamba ini cucu Resi Angiras
dan anak Resi Wrihaspati. Hamba telah bersumpah menjadi seorang brahmacharin dan ingin menuntut ilmu di bawah asuhan Yang Mulia Mahaguru."
Sesuai adat, seorang guru yang bijaksana tidak boleh menolak murid yang ingin berguru kepadanya. Maka
Mahaguru Sukra berkata, "Kacha, engkau adalah keturunan keluarga baik-baik. Aku terima kau sebagai muridku. Dan ingatlah, aku terima kau karena aku ingin menunjukkan hormatku kepada Resi Wrihaspati, ayahmu."
Demikianlah, Kacha pun menjadi murid Mahaguru Sukra. Semua tugas kewajiban yang diberikan oleh gurunya dikerjakannya dengan sungguh-sungguh. Salah satu tugasnya adalah menghibur putri Mahaguru Sukra yang bernama Dewayani. Mahaguru itu hanya memiliki seorang anak. Tak heran, Dewayani menjadi tumpahan kasih sayangnya. Semua keinginannya selalu dikabulkan.
Kacha diperintahkan menghibur Dewayani dengan menyanyi, menari atau mengajaknya bermain. Lama kelamaan, Kacha tertarik kepada putri itu. Tetapi, karena ia telah bersumpah menjadi brahmacharin yang sepenuhnya mengabdikan diri untuk belajar ilmu agama di bawah bimbingan seorang guru dan mengamalkan se
gala kebajikan hidup tanpa menikah, ia menahan diri dan berusaha keras untuk tidak melanggar sumpahnya.
Sementara itu, para raksasa yang mengetahui bahwa pemimpin mereka mengambil anak Wrihaspati sebagai murid merasa cemas dan curiga. Jangan-jangan niat Kacha tidak tulus berguru. Jangan-jangan sebenarnya Kacha ingin mencari kesempatan untuk membujuk gurunya agar memberikan rahasia ilmu gaib Sanjiwini. Karena itu, mereka berunding, mencari akal untuk membunuh Kacha.
Pada suatu hari, seperti biasa Kacha menggembalakan
sapi-sapi gurunya ke padang rumput. Tiba-tiba datang beberapa raksasa, mereka menyergapnya lalu membunuhnya. Mayat Kacha dicincang dan dibiarkan menjadi makanan anjing.
Sore harinya, sapi-sapi itu pulang ke kandang tanpa Kacha. Dewayani yang melihat hal itu merasa cemas. Ia segera menemui ayahnya. Katanya sambil menangis tersedu-sedu, "Matahari telah terbenam, dan pedupaan untuk pemujaan malam Ayahanda telah dinyalakan, tetapi Kacha belum pulang. Sapi-sapi gembalaannya sudah pulang ke kandang. Ananda khawatir kalau-kalau sesuatu yang buruk menimpa Kacha. Tolonglah dia, Ayah. Ananda sangat mencintainya dan tak dapat hidup tanpa dia."
Mendengar permohonan putri kesayangannya, Mahaguru Sukra segera mengucapkan mantra. Dengan kesaktiannya, ia tahu Kacha sudah mati. Karena itu, untuk menghidupkan kembali dan memanggil pemuda itu, ia mengucapkan mantra gaib Sanjiwini. Seketika itu Kacha hidup kembali dan berada di hadapan mereka dengan wajah tersenyum. Dewayani bertanya, mengapa ia terlambat pulang. Kacha bercerita, ia diserang dan dibunuh para raksasa ketika sedang menggembalakan sapi. Tetapi, bagaimana ia bisa hidup kembali dan berada di hadapan mereka, ia tidak bisa menerangkannya.
Para raksasa kecewa melihat Kacha hidup kembali. Mereka terus memata-matai pemuda itu, mencari kesempatan untuk membunuhnya.
Suatu hari, Kacha pergi ke hutan, mencari bunga yang langka untuk Dewayani. Ketika sedang berada di dalam hutan lebat, ia disergap para raksasa lalu dibunuh. Mayatnya dicincang, dibakar, lalu abunya dibuang ke laut.
Berhari-hari Dewayani menunggu, tetapi Kacha tak pulang-pulang. Akhirnya putri itu menghadap ayahnya dan mengadukan hal itu kepadanya. Sekali lagi, Resi Sukra menggunakan ilmu gaib Sanjiwini dan memanggil Kacha. Pemuda itu hidup kembali.
Para raksasa semakin geram. Ketika ada kesempatan,
untuk ketiga kalinya mereka membunuh Kacha. Dengan cerdik mereka membakar mayatnya, lalu mencampurkan abunya ke dalam minuman anggur yang mereka persembahkan kepada Resi Sukra. Tanpa curiga, pemimpin mereka meminum anggur itu. Sore harinya, sapi-sapi itu pulang kandang tanpa gembalanya. Sekali lagi Dewayani menghadap ayahnya, menangis dan memohon agar ayahnya memanggil dan menghidupkan kembali Kacha.
Resi Sukra menghibur anaknya, "Walaupun Ayah sudah dua kali menghidupkan Kacha, rupa-rupanya para raksasa sudah bertekad membunuhnya. Wahai, Anakku, kematian adalah hal biasa. Sungguh tidak pantas orang yang berjiwa
besar seperti engkau menangisi kematiannya. Nikmatilah
hidupmu yang dilimpahi berkah kegembiraan, kecantikan dan kemurahan hati serta penuh damai di dunia."
Dewayani tak merasa terhibur oleh kata-kata ayahnya. Ia sangat mencintai Kacha. Demikianlah, sejak dunia tercipta, nasihat resi yang paling bijaksana pun tak pernah bisa menghilangkan duka hati seorang wanita yang kehilangan kekasihnya.
Dewayani berkata, "Kacha, cucu Angiras dan putra Wrihaspati adalah pemuda yang tidak berdosa. Ia telah menyerahkan diri untuk melayani kita. Aku mencintainya sedalam lubuk hatiku. Tetapi sekarang ia mati dibunuh. Hidupku menjadi hampa dan tanpa cinta. Karena itu,
wahai Ayahanda, aku akan mengikutinya." Setelah berkata
demikian, Dewayani berpuasa, tidak makan dan tidak minum.
Resi Sukra tak tega melihat putri kesayangannya berduka. Ia marah kepada para raksasa yang telah membunuh Kacha. Pembunuhan terhadap brahmana adalah dosa terkutuk. Mereka pasti akan mendapat balasan yang setimpal.
Sekali lagi Resi Sukra mempergunakan ilmu gaib Sanji-wini untuk menghidupkan Kacha. Sekali lagi Kacha hidup kembali dari anggur yang sudah m
asuk ke lambung sang Mahaguru. Tetapi ia tidak bisa keluar karena berada di
tempat yang sangat aneh. Ia hanya dapat menjawab dengan menyebutkan namanya dan mengatakan tempat ia berada.
Mendengar itu, Resi Sukra berkata dengan berang, "Hai,
Brahmacharin, bagaimana engkau bisa masuk ke dalam tubuhku" Apakah karena perbuatan para raksasa" Sungguh keterlaluan. Ingin rasanya aku membunuh semua raksasa dan menyatukan diriku dengan para dewata. Tetapi, sebelum itu kulakukan, ceritakan dulu semuanya kepadaku."
Dengan susah payah, dari dalam lambung Resi Sukra, Kacha menceritakan apa yang dialaminya.
Resi mahasakti itu menyahut, "Kini aku, Resi Sukra yang suci, luhur budi, dan termasyhur, menjadi geram karena ditipu dengan persembahan minuman anggur. Karena itu, demi kebajikan dan peri kemanusiaan, kuperingatkan bahwa kesucian dan keluhuran budi akan meninggalkan siapa pun yang meminum anggur dengan
tidak bijaksana. Orang yang demikian akan terkutuk.
Demikian pesanku dan hal ini akan dinyatakan dalam kitab-kitab suci sebagai larangan yang tak boleh dilanggar."
Setelah berkata demikian, Resi Sukra memandang Dewayani sambil berkata, "Anakku sayang, sekarang engkau harus memilih. Kalau kau ingin Kacha hidup kembali, ia harus keluar dari dalam tubuhku dan itu berarti kematian bagiku. Ia hanya bisa hidup di atas kematianku."
Dewayani menangis tersedu-sedu sambil berkata, "Oh Dewata, sungguh pilihan yang tak mungkin kupilih. Aku sangat menyayangi Ayahanda dan Kacha. Jika salah satu dari kalian mati, aku akan mati. Aku tak sanggup hidup tanpa kalian berdua."
Sambil mencari jalan untuk menyelesaikan masalah berat itu, Resi Sukra berkata kepada Kacha, "Wahai putra Wrihaspati, sekarang aku tahu apa sesungguhnya niatmu datang berguru kepadaku. Kau akan memperoleh apa yang
kauinginkan. Aku akan menghidupkan kau kembali demi Dewayani dan demi dia pula aku tidak boleh mati. Satu-satunya jalan adalah mengajarkan ilmu gaib Sanjiwini kepadamu. Dengan menguasainya, kau akan bisa menghidupkan aku kembali meskipun tubuhku hancur setelah mengeluarkan engkau. Berjanjilah untuk menggunakan ilmu gaib Sanjiwini yang akan kuajarkan kepadamu untuk menghidupkan aku kembali, agar Dewayani tidak berduka atas kematian salah satu dari kita."
Dari dalam lambung gurunya, Kacha mengucapkan janjinya.
Demikianlah, Mahaguru Sukra memberikan rahasia ilmu gaib Sanjiwini kepada Kacha. Seketika itu juga Kacha keluar dari dalam tubuh gurunya, sementara sang Resi langsung rubuh, wafat dengan tubuh hancur berkeping-keping. Kacha memenuhi janjinya. Ia segera sujud di
Monte Cristo 4 Pengemis Binal 15 Sengketa Orang-orang Berkerudung Musibah Kedua 2
^