Pencarian

Mahabharata 5

Mahabharata Karya Nyoman S. Pendit Bagian 5


Dan sekarang inilah akibatnya," kata Bhima sambil memandang Arjuna.
Dengan sikap membenarkan, Arjuna berkata, "Ya benar, aku juga tidak berbuat apa-apa ketika dihina oleh anak sais kereta itu. Inilah upahnya sekarang!"
Yudhistira merasakan kesedihan hati saudara-saudaranya. Mereka kehilangan semangat juang mereka. Untuk melengahkan pikiran, ia berkata kepada Nakula, "Adikku,
panjatlah pohon itu. Lihatlah baik-baik, barangkali di
dekat-dekat sini ada sungai atau telaga. Aku haus sekali."
Nakula naik ke pohon yang tinggi. Setelah melihat sekelilingnya, ia berteriak, "Di kejauhan kulihat ada air tergenang dan burung-burung bangau. Mungkin itu telaga!"
Yudhistira menyuruhnya turun dan pergi mengambil air. Nakula pergi dan memang menemukan sebuah telaga. Karena sangat haus, ia berpikir untuk minum dulu sebelum membawakan air untuk saudara-saudaranya. Baru saja ia hendak mencelupkan tangannya ke dalam air, tibatiba terdengar suara, "Janganlah engkau tergesa-gesa. Telaga ini milikku, hai anak Dewi Madri! Jawablah dulu
pertanyaanku! Jika kau bisa menjawab, barulah kau boleh minum." Nakula terkejut mendengar suara itu, tetapi karena sangat haus, ia tidak mempedulikan suara itu. Ia langsung mencedokkan tangannya, mengambil air dan meminumnya. Seketika itu juga ia jatuh tidak sadarkan diri.
Setelah lama menunggu dan Nakula tak juga kembali, Yudhistira menyuruh Sahadewa mencarinya. Setelah mencari-cari beberapa lama, Sahadewa terkejut melihat Nakula terbaring tak sadarkan diri di tepi telaga. Tetapi karena merasa haus, ia memutuskan untuk minum dulu. Tibatiba suara tadi terdengar lagi, "Wahai Sahadewa, telaga ini telagaku. Jawab dulu pertanyaanku, baru engkau boleh menghilangkan dahagamu." Sahadewa tidak peduli. Ia mencedokkan tangannya mengambil air yang jernih segar itu. Begitu minum seteguk, ia jatuh tersungkur tak sadarkan diri.
Bingung memikirkan kedua saudaranya yang belum kembali, Yudhistira menyuruh Arjuna mencari Nakula dan Sahadewa. "Tetapi jangan lupa untuk kembali membawa air," katanya kepada Arjuna.
Arjuna pergi berlari dan menemukan kedua saudaranya terbaring tak sadarkan diri. Ia sangat terkejut, mengira mereka tewas dianiaya musuh. Ia marah dan ingin menghancurkan yang telah membunuh saudara-saudaranya. Tetapi, karena haus, Arjuna memutuskan untuk minum dulu. Tiba-tiba suara itu terdengar lagi, "Jawab dulu pertanyaanku sebelum engkau minum air telaga ini. Telaga ini milikku. Kalau engkau tidak menurutiku, nasibmu akan sama dengan nasib saudara-saudaramu."
Arjuna sangat marah mendengar suara itu dan berteriak, "Hai, siapa engkau"! Tunjukkan dirimu! Jangan
pengecut! Kubunuh kau!"
Sambil berkata demikian, Arjuna membidikkan panahnya ke arah datangnya suara itu. Suara itu tertawa mengejek, "Panahmu hanya akan melukai angin. Jawab pertanyaanku dulu, baru kau boleh memuaskan dahagamu. Bila engkau minum air tanpa menjawab per
tanyaanku, engkau akan mati!"
Arjuna senang bisa berhadapan dengan pembunuh adik-adiknya. Tetapi, ia tak kuasa menahan rasa hausnya. Apa hendak dikata, setelah minum seteguk ia langsung rebah tak sadarkan diri.
Setelah lama menunggu dan Arjuna tak juga kembali, Yudhistira berkata kepada Bhima, "Bhimasena saudaraku, Arjuna belum juga datang. Sesuatu yang aneh mungkin terjadi. Bintang-bintang kita hari ini memang tampak
buruk. Carilah mereka. Dan bawakan air untukku. Aku
haus sekali." Begitu mendapat perintah Yudhistira, Bhima segera berangkat. Sampai di tepi telaga, ia sedih melihat ketiga saudaranya terbaring tak bergerak. "Ini pasti perbuatan para jin dan raksasa jahat," pikirnya. "Akan kumusnahkan mereka! Tapi aku sangat haus. Setelah minum, akan
kutamatkan pembunuh itu." Lalu ia turun ke tepi telaga.
Suara gaib itu terdengar lagi, "Hati-hatilah, hai Bhima-sena. Engkau boleh minum, setelah menjawab pertanyaanku. Kamu akan mati jika tidak mau mendengarkan kata-kataku."
Mendengar itu Bhima berteriak, "Siapa engkau" Berani
benar memerintah aku!" Lalu ia minum air telaga itu.
Seketika itu otot dan tulang Bhima yang liat bagai kawat baja dan keras bagai besi menjadi lemas. Seperti saudara-saudaranya, ia jatuh tak sadarkan diri.
Yudhistira menunggu dan menunggu dengan cemas. Dahaganya serasa tak tertahankan. Terbayang dalam
pikirannya, "Apakah mereka terkena kutuk-pastu" Apakah
mereka lenyap ditelan rimba dan tak tahu jalan kembali" Apakah mereka mati karena kehausan"" Kemudian Yudhistira bangkit dan berjalan mengikuti jejak-jejak kaki saudara-saudaranya. Ia memperhatikan setiap semak yang dilaluinya dengan teliti. Ia melihat jejak menjangan dan babi hutan, semuanya menuju arah yang sama. Ia menengadah melihat burung-burung bangau beterbangan, pertanda ada bentang air di dekat situ.
Setelah berjalan beberapa lama, ia sampai ke tanah terbuka. Di depannya terbentang telaga. Airnya berkilau
jernih bagaikan cermin cemerlang. Dan ... di pinggir telaga
ia melihat keempat saudaranya tergeletak tak bergerak. Dihampirinya satu per satu, dirabanya kaki, tangan, dahi, dan denyut jantung mereka. Yudhistira berkata dalam hati, "Apakah ini berarti akhir dari sumpah yang harus kita jalani" Hanya beberapa hari sebelum berakhirnya masa
pengasingan kita, kalian mati mendahului aku. Rupanya
para dewata hendak membebaskan kita dari kesengsaraan."
Menatap wajah Nakula dan Sahadewa, pemuda-pemuda yang di masa hidupnya periang dan perkasa tapi kini terbujur dingin tak bergerak, hati Yudhistira sedih. "Haruskah hatiku terbuat dari baja agar aku tidak menangisi kematian saudara-saudaraku" Apakah hidupku masih ada
gunanya setelah keempat saudaraku mati" Untuk apa aku
hidup" Aku yakin, ini bukan peristiwa biasa," gumam Yudhistira. Ia tahu, tak seorang kesatria pun akan mampu membunuh Bhima dan Arjuna tanpa melewati pertarungan hebat.
"Tak ada luka di badan mereka. Wajah mereka tidak seperti wajah orang yang kesakitan. Mereka kelihatan
tenang, seperti sedang tidur dalam damai." Hatinya terus
bertanya-tanya. "Sama sekali tak ada jejak kaki, apalagi bekas-bekas tanah atau rumput yang terinjak-injak dalam perkelahian. Ini pasti peristiwa gaib! Mungkinkah ini tipu muslihat Duryodhana" Mungkinkah Duryodhana telah meracuni air telaga ini""
Dengan berbagai pikiran di kepalanya, perlahan-lahan ia turun ke tepi telaga. Ia ingin melepaskan dahaganya yang sudah tak tertahankan lagi. Tiba-tiba suara gaib itu terdengar lagi, "Saudara-saudaramu telah mati karena tak menghiraukan kata-kataku. Jangan engkau ikuti mereka. Jawab dulu pertanyaanku, setelah itu baru puaskan hausmu. Telaga ini milikku."
Yudhistira yakin, suara itulah yang menyebabkan saudara-saudaranya mati. Pikirnya, ini pasti suara yaksa. Ia
berpikir, mencari cara untuk mengatasi situasi itu. Kemudian Yudhistira berkata kepada suara yang tidak berwujud
itu. Yudhistira : "Silakan ajukan pertanyaanmu."
Suara gaib : "Apa yang menyebabkan matahari bersinar
setiap hari"" Yudhistira : "Kekuatan Brahman." Suara gaib : "Apa yang dapat menolong manusia dari
semua marabahaya"" Yudhistira : "Keberanian adalah pembe
bas manusia dari marabahaya."
Suara gaib : "Mempelajari ilmu apakah yang bisa membuat manusia jadi bijaksana""
Yudhistira :"Orang tidak menjadi bijaksana hanya karena mempelajari kitab-kitab suci. Orang menjadi
bijaksana karena bergaul dan berkumpul dengan para cendekiawan besar."
Suara gaib : "Apa yang lebih mulia dan lebih menghidupi manusia daripada bumi ini""
Yudhistira : "Ibu, yang melahirkan dan membesarkan anak-anaknya, lebih mulia dan lebih menghidupi daripada bumi ini."
Suara gaib : "Apa yang lebih tinggi dari langit""
Yudhistira : "Bapa."
Suara gaib : "Apa yang lebih kencang dari angin"" Yudhistira : "Pikiran."
Suara gaib : "Apa yang lebih berbahaya dari jerami kering di musim panas""
Yudhistira : "Hati yang menderita duka nestapa."
Suara gaib : "Apa yang menjadi teman seorang pengembara""
Yudhistira : "Kemauan belajar."
Suara gaib : "Siapakah teman seorang lelaki yang tinggal di
rumah"" Yudhistira : "Istri."
Suara gaib : "Siapakah yang menemani manusia dalam kematian""
Yudhistira : "Dharma. Hanya Dialah yang menemani jiwa dalam kesunyian perjalanan setelah kematian."
Suara gaib : "Perahu apakah yang terbesar""
Yudhistira : "Bumi dan segala isinya adalah perahu
terbesar di jagad ini." Suara gaib : "Apakah kebahagiaan itu"" Yudhistira : "Kebahagiaan adalah buah dari tingkah laku
dan perbuatan baik."
Suara gaib : "Apakah itu, jika orang meninggalkannya ia dicintai oleh sesamanya""
Yudhistira : "Keangkuhan. Dengan meninggalkan keangkuhan orang akan dicintai sesamanya."
Suara gaib : "Kehilangan apakah yang menyebabkan orang bahagia dan tidak sedih""
Yudhistira : "Amarah. Kehilangan amarah membuat kita tidak lagi diburu oleh kesedihan."
Suara gaib : "Apakah itu, jika orang membuangnya jauh-jauh, ia menjadi kaya""
Yudhistira : "Hawa nafsu. Dengan membuang hawa nafsu
orang menjadi kaya." Suara gaib : "Apakah yang membuat orang benar-benar menjadi brahmana" Apakah kelahiran, kelakuan baik atau pendidikan sempurna" Jawab dengan tegas!"
Yudhistira : "Kelahiran dan pendidikan tidak membuat
orang menjadi brahmana; hanya kelakuan
baik yang membuatnya demikian. Betapapun pandainya seseorang, ia tidak akan menjadi brahmana jika ia menjadi budak kebiasaan jeleknya. Betapapun dalamnya penguasaannya akan kitab-kitab suci, tapi jika kelakuannya buruk, ia akan jatuh ke kasta yang lebih rendah."
Suara gaib : "Keajaiban apakah yang terbesar di dunia ini""
Yudhistira : "Setiap orang mampu melihat orang lain pergi menghadap Batara Yama, namun mereka yang masih hidup terus berusaha untuk hidup lebih lama lagi. Itulah keajaiban terbesar."
Demikianlah yaksa itu menanyakan berbagai masalah dan Yudhistira menjawab semuanya tanpa ragu. Pertanyaan terakhir yang diajukan yaksa itu langsung berkaitan
dengan saudara-saudaranya.
Suara gaib : "Wahai Raja, seandainya salah satu saudaramu boleh tinggal denganmu sekarang, siapakah yang engkau pilih" Dia akan hidup kembali."
Yudhistira : (Berpikir sesaat, kemudian menjawab.)
"Kupilih Nakula, saudaraku yang kulitnya
bersih bagai awan berarak, matanya indah bagai bunga teratai, dadanya bidang dan lengannya ramping. Tetapi kini ia terbujur kaku bagai sebatang kayu jati." Suara gaib : (Belum puas akan jawaban Yudhistira, yaksa itu bertanya lagi.) "Kenapa engkau memilih Nakula, bukan Bhima yang kekuatan raganya enam belas ribu kali kekuatan gajah" Lagi pula, kudengar engkau sangat mengasihi Bhima. Atau, mengapa bukan Arjuna yang mahir menggunakan segala macam senjata, terampil olah bela diri dan jelas dapat melindungimu" Jelaskan, mengapa engkau memilih Nakula!"
Yudhistira : "Wahai Yaksa, dharma adalah satu-satunya
pelindung manusia, bukan Bhima bukan Arjuna. Apabila dharma tidak diindahkan, manusia akan menemui kehancuran. Dewi Kunti dan Dewi Madri adalah istri ayahku dan mereka adalah ibuku. Aku, anak Kunti, masih hidup. Jadi Dewi Kunti tidak kehilangan keturunan. Dengan pertimbangan yang sama dan demi keadilan, biarkan Nakula, putra Dewi Madri, hidup bersamaku."
Yaksa itu puas sekali mendengar jawaban Yudhistira yang membuktikan bahwa ia adil dan berjiwa besar. Akhirnya, yaksa itu menghidupkan kembali
semua saudara Yudhistira.
Ternyata, menjangan dan yaksa itu adalah penjelmaan
Batara Yama, Dewa Kematian, yang ingin menguji kekuatan batin dan dharma Yudhistira.
Batara Yama berdiri di depan Yudhistira lalu memeluknya sambil berkata, "Beberapa hari lagi masa pengasinganmu di hutan rimba akan selesai. Di tahun ketiga belas, kalian harus hidup dengan menyamar. Yakinlah, masa itu pun akan dapat kalian lewati dengan baik. Tidak seorang musuh pun akan mengetahui keberadaan kalian. Kalian
pasti lulus dalam ujian yang berat ini. Dharma akan selalu menyertaimu, Yudhistira." Setelah berkata demikian, Batara Yama menghilang.
Pengalaman Arjuna dalam perjalanan mencari senjata pamungkas yang sakti, pengalaman Bhima bertemu dengan Hanuman dan Dewa Ruci, dan pengalaman Yudhis-tira bertemu dengan Batara Yama, menambah kekuatan jasmani, keyakinan batin serta kemuliaan rohani Pandawa. Secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama mereka semakin tekun menjalani dan mengagungkan dharma.
*** 31. Hidup dalam Penyamaran "Wahai Brahmana yang budiman, tahun ketiga belas
masa pengasingan kami telah tiba. Kini tiba waktunya untuk berpisah. Selama dua belas bulan mendatang kami harus hidup tanpa diketahui dan dikenali oleh mata-mata Duryodhana. Kami tidak tahu, kapan kita bisa bertemu lagi tanpa sembunyi-sembunyi dan dalam keadaan bebas dan damai. Sekarang, sebelum berpisah, kami mohon restumu. Doakan kami, semoga kami terhindar dari pengkhianatan orang-orang pengecut yang menginginkan hadiah dari Duryodhana," kata Yudhistira kepada Resi Dhaumya yang setia menyertai Pandawa dalam pengasingan. Pangeran itu tak dapat menahan rasa harunya. Suaranya bergetar dan wajahnya sedih.
Resi Dhaumya menghibur, "Berpisah memang berat. Bahaya dan malapetaka akan bertambah banyak dan bertambah besar. Tetapi, engkau orang yang bijaksana dan terlatih, tak dapat digoyahkan atau digertak musuh.
Menyamarlah! Setelah dikalahkan raksasa, Batara Indra
hidup menyamar sebagai brahmana dan tinggal di Negeri Nishada tanpa diketahui atau dikenali oleh siapa pun. Setelah menjalani penyamaran dengan baik, Batara Indra dikaruniai kemampuan untuk menghancurkan musuh-musuhnya. Demikian pula Batara Wishnu yang menyamar menjadi bayi Aditi untuk merampas kembali kerajaannya dari Maharaja Bali. Batara Narayana menyamar masuk ke dalam senjata Indra untuk menghancurkan Writa, raja
raksasa yang kejam. Batara Wishnu pernah menyamar menjadi anak Dasaratha agar dapat memusnahkan Rah-wana. "Demikianlah, banyak dewa dan kesatria agung di jaman dulu yang menyamar demi tujuan yang baik dan
luhur. Engkau pun hendaknya demikian, menyamar,
menghancurkan musuh-musuhmu dan memenangkan kemakmuran bagi saudara-saudara dan rakyatmu."
Akhirnya Yudhistira berpisah dengan Resi Dhaumya. Semua pengikut Pandawa diminta kembali ke negeri
masing-masing. Kemudian ia mengumpulkan saudara-saudaranya di suatu tempat tersembunyi untuk membicarakan langkah-langkah yang akan mereka tempuh. Pertemuan itu sangat rahasia, sebab jika sampai ketahuan oleh Kaurawa, mereka harus menjalani pengasingan selama dua belas tahun lagi.
Yudhistira berkata kepada Arjuna, "Dua belas tahun sudah kita jalani dengan selamat. Di tahun ketiga belas ini, kita harus hidup menyamar. Di antara kita, engkau yang punya pengalaman paling banyak dan engkau pula yang mengetahui keadaan dunia. Menurut pendapatmu, negeri
manakah yang paling cocok untuk tempat tinggal kita""
"Kakanda Raja, engkau telah direstui Batara Yama. Menurutku, tak sulit bagi kita untuk mencari tempat persembunyian. Banyak negeri yang baik untuk tempat bersembunyi, misalnya Panchala, Matsya, Salwa, Wideha, Bhalika, Dashrana, Surasena, Kalingga dan Magadha. Terserah padamu, mana yang akan dipilih. Tetapi, jika kau minta pendapatku, Matsya, negeri Raja Wirata, adalah pilihanku," jawab Arjuna.
"Wirata adalah raja yang berpendirian kuat dan bersimpati kepada kita. Ia berpandangan luas, ahli tata kerajaan, taat kepada dharma dan selalu melaksanakan kebajikan dalam perbuatan nyata. Ia tidak akan dapat dipengaruhi atau ditakut-takuti dengan gertakan Duryodhana. Ya, aku setuju kita hid
up menyamar di negeri itu," Yudhistira menanggapi.
"Jika demikian, pekerjaan apakah yang akan engkau
pilih dalam penyamaran ini"" tanya Arjuna.
Yudhistira tampak sedih karena kini ia harus bekerja untuk orang lain. Katanya, "Aku akan memohon kepada Raja Wirata untuk menjadi pelayan pribadinya. Aku bersedia menjadi temannya bercakap-cakap, misalnya ketika ia punya waktu senggang. Aku akan menyamar sebagai sanyasin dan menghiburnya dengan membacakan ramalan, membicarakan wasiat, membacakan tafsir Weda dan Wedanga, atau menemaninya mendalami falsafah, budi
pekerti, ilmu tata kerajaan dan hal-hal lain. Tentu aku harus hati-hati, tetapi jangan kuatirkan diriku. Dalam suatu kesempatan akan kuceritakan kepadanya bahwa aku kenal Yudhistira dan pernah belajar banyak darinya sewaktu mendapat kesempatan melayaninya. "Hai, Bhima, pekerjaan apakah yang akan kaucari di
negeri Raja Wirata" Carilah pekerjaan yang seimbang
dengan kekuatanmu. Kau telah membunuh naga Antaboga dan Nawatnawa, memusnahkan Rukmukha, Rukmakhala,
Bakasura, Hidimba dan Jatasura-semua raksasa perkasa
yang kejam. Engkau begitu hebat dan mudah dikenali. Bagaimana engkau bisa menyamar untuk menyembunyikan badanmu yang begitu besar"" kata Yudhistira dengan murung dan tak dapat menahan air matanya.
Bhima menjawab tanpa ragu dan dengan wajah berseri-seri, "Aku akan menyamar menjadi juru masak di istana. Kalian tahu, aku doyan makan dan pandai memasak. Aku terampil memasak untuk orang banyak, misalnya untuk pesta-pesta. Aku bisa mencari kayu api dan kuat memikulnya sendiri dari hutan. Jika ada acara adu kekuatan otot, aku akan ikut bertarung. Kemenangan pasti ada di tangan wakil Negeri Matsya dan Raja Wirata pasti akan senang."
Meskipun Bhima menjawab dengan riang dan mantap, Yudhistira tetap kuatir. Jangan-jangan, jika Bhimasena ikut adu kekuatan otot, lawannya akan mati dia banting. Jika itu terjadi, penyamaran mereka bisa terbongkar. Mengetahui kekhawatiran Yudhistira, Bhima berjanji akan berhati-hati jika ikut adu kekuatan otot.
"Aku juga bisa menolong rakyat yang hidup di pinggir hutan jika mereka diserang binatang buas," sambung Bhima.
Kemudian Yudhistira bertanya kepada Arjuna, "Pekerjaan apa yang hendak kauambil, hai kesatria sakti""
"Kakanda yang kuhormati, aku akan menyamar menjadi perempuan pelayan dan guru tari. Bekas-bekas tali busur di tanganku akan kututupi dengan baju wanita lengan
panjang. Dulu waktu aku menolak tawaran asmara Urwasi
dengan alasan dia kuanggap sebagai ibuku, ia mengutuk pastu aku menjadi banci. Untunglah, berkat restu Batara Indra dan karena kutuk-pastu itu, kapan saja aku mau, aku bisa bertingkah laku seperti perempuan. Aku akan mengenakan gelang, kalung, dan anting-anting. Aku akan merias wajahku seperti perempuan. Selain mengajar menari, aku juga akan mengajar menyanyi," jawab Arjuna.
Terbayang oleh Yudhistira, betapa merosotnya keadaan mereka sekarang. Padahal, mereka adalah keturunan Bharata yang seharusnya tak terkalahkan oleh siapa pun.
Keturunan Bharata seharusnya perkasa seperti Gunung
Mahameru yang kokoh tinggi menjulang. Tetapi nyatanya, mereka terpaksa hidup di pengasingan dan kini harus menyamar seperti penjahat yang dikejar-kejar.
Kemudian Yudhistira bertanya kepada Sahadewa, "Engkau ahli kitab-kitab suci dan ilmu pendidikan, apa yang akan engkau kerjakan di Negeri Matsya""
Sahadewa menjawab singkat, "Biarlah Nakula menjadi tukang kuda dan aku menjadi gembala sapi. Aku gemar dan punya pengalaman memelihara ternak."
Memandang Draupadi, Yudhistira tak mampu bertanya. Ia tertunduk. Ia tak sanggup membayangkan permaisurinya hidup menyamar. Ia malu dan putus asa karena tidak mampu menempatkan Draupadi pada kedudukannya sebagai ratu.
Tetapi Draupadi yang bijaksana berkata tanpa ditanya, "Wahai Rajaku, janganlah sedih dan mencemaskan aku. Aku akan menyamar menjadi Sairandri, pelayan permaisuri Raja Wirata. Kalau ditanya, akan kukatakan bahwa aku pernah menjadi juru rias dan pelayan permaisuri di Kerajaan Indraprastha."
Sesuai nasihat Resi Dhaumya, Pandawa membuat pedoman tentang apa saja yang harus mereka pegang teguh selama dalam
penyamaran. Yudhistira berkata, "Kita harus selalu waspada dan
bekerja tanpa banyak cakap; hanya memberi pandangan
atau pendapat jika diminta, tidak boleh memaksakan pendapat kita sendiri, dan harus bisa memuji raja di saat-saat yang tepat. Segala sesuatu, sekecil apa pun, hanya boleh dilakukan setelah disetujui raja, karena kita ini ibarat api yang mudah terbakar. Api tidak boleh terlalu dekat dengan raja, tetapi tidak boleh terkesan menjauhi atau menghindarinya. Betapapun besarnya kepercayaan yang diberikan raja, kita harus pandai menjaga diri karena sewaktu-waktu raja bisa memecat kita.
"Sungguh bodoh jika kita terlalu bergantung pada kepercayaan raja. Jangan gegabah jika duduk di dekat raja dan beranggapan bahwa raja sangat senang dan sayang kepada kita. Kita tidak boleh sedih atau kesal jika dimarahi dan tidak boleh terlalu senang atau takabur jika dipuji.
"Kita harus pandai menjaga rahasia. Jangan mau disuap oleh siapa pun. Kita tak boleh iri pada pekerja lain, karena raja mungkin menempatkan orang tolol sebagai
orang kepercayaannya dan menggeser orang-orang yang
pandai dan berbudi baik. Hal-hal semacam itu tak perlu kita hiraukan. Kita tidak boleh terlalu dekat dengan wanita-wanita yang ada hubungannya dengan raja. Sikap kita terhadap wanita-wanita istana harus samar dan bebas dari segala keruwetan.
"Kita harus bisa bertahan hidup menyamar selama satu tahun. Segala kesulitan akan teratasi dengan kerendahan hati dan kebesaran jiwa."
Demikian petunjuk yang digariskan Yudhistira untuk dirinya sendiri dan saudara-saudaranya, termasuk untuk Dewi Draupadi.
*** Yudhistira lalu mengenakan pakaian sanyasin, Arjuna berdandan seperti perempuan dan memilih nama Brihannala,
sementara Bhima, Nakula dan Sahadewa mempersiapkan
diri masing-masing sesuai dengan pekerjaan yang mereka pilih selama satu tahun masa penyamaran. Mereka berlatih cara berjalan, berbicara, bertingkah laku dan berbagai kebiasaan lain yang sesuai dengan penyamaran yang mereka pilih. Setelah dirasa cukup mempersiapkan diri, mereka memasuki Negeri Matsya dengan penuh keyakinan.
Pandawa berpencar, berusaha melamar pekerjaan sendiri-sendiri. Tapi alangkah sulitnya mendapat pekerjaan.
Meski sudah berusaha menyamar sebaik-baiknya, jika diperhatikan dengan saksama, sifat, wibawa dan gerak-gerik mereka sebagai putra-putra raja masih bisa terlihat.
Yudhistira, Bhima dan Draupadi akhirnya berhasil masuk ke lingkungan istana dan diterima bekerja di sana. Yudhistira menjadi pengawal pribadi raja, Bhima menjadi juru masak istana, dan Draupadi menjadi pelayan pribadi Ratu Sudesha, permaisuri Raja Wirata.
Sementara itu, Arjuna diterima sebagai guru tari dan seni suara di sanggar tempat putra-putri bangsawan belajar. Sahadewa menemui pengawas gembala yang bertugas mengawasi ribuan ternak raja. Setelah diuji, Sahadewa diterima menjadi pembantunya. Pengawas gembala itu senang karena Sahadewa rajin, cekatan dan cepat menguasai pekerjaannya. Nakula menemui panglima prajurit berkuda dan diterima sebagai tukang kuda.
Kedudukan panglima tertinggi Negeri Matsya dipegang oleh Kicaka yang gagah perkasa. Ia adik Ratu Sudesha. Di tangannya terletak keamanan Raja Wirata dan pertahanan Negeri Matsya. Sehari-hari ia sangat berkuasa. Begitu berkuasanya dia hingga rakyat berpendapat bahwa penguasa negeri itu sesungguhnya adalah Kicaka, bukan Wirata.
Setelah beberapa bulan Sairandri bekerja melayani Ratu Sudesha, Panglima Kicaka tampak sering muncul di istana
tanpa diketahui Sairandri. Diam-diam panglima itu tertarik melihat kecantikan pelayan kakaknya.
Lama kelamaan Sairandri tahu bahwa Kicaka menyukai dirinya. Ia berusaha untuk tidak memberi kesempatan,
tetapi panglima tampan itu sudah jatuh cinta kepadanya dan tak dapat menyembunyikan perasaannya. Ia sering mencari-cari alasan untuk menemui Ratu Sudesha agar bisa bertemu dengan Sairandri. Kicaka lupa, sebagai
Mahasenapati Negeri Matsya ia tak pantas menjalin cinta
dengan seorang pelayan. Sairandri takut dan malu, tak berani mengatakan hal itu kepada Ratu Sudesha atau kepada pelayan lain. Ia sadar, siapa dirinya dan bagaimana keadaannya se
karang. Tetapi Kicaka terus berusaha menemui dan merayunya, meskipun Sairandri selalu menghindari, menjauhi dan menolaknya. Untuk mengelabui, Sairandri berkata kepada Kicaka bahwa dia sudah bersuami dan suaminya raksasa yang sakti dan perkasa. Ia takut suaminya yang sakti itu secara gaib akan membunuh siapa pun yang berani meng-gangunya. Tetapi Kicaka tidak peduli.
Tingkah laku Kicaka yang semakin kurang ajar membuat Sairandri terpaksa mengadukannya kepada Ratu Sude-sha dan memohon pertolongannya. Mengetahui itu, tanpa malu-malu Kicaka menggunakan pengaruh kakaknya dan berkata kepada Ratu Sudesha bahwa ia menaruh hati pada pelayannya. Ia berharap Ratu menolongnya dengan memerintahkan pelayannya untuk menuruti perintah Kicaka.
Kicaka berkata, "Kakakku, aku tertarik pada pelayanmu yang ayu. Semakin hari aku semakin terpikat padanya. Makan tak enak, tidur tak nyenyak. Engkau harus menolongku dengan meyakinkan pelayanmu bahwa aku sungguh mencintainya dan tidak akan mempermainkannya. Tolonglah aku. Aku tak sanggup lagi menahan gejolak asmaraku."
Mula-mula Ratu Sudesha menasihati saudaranya agar tidak menuruti perasaannya, karena Sairandri sudah bersuami dan suaminya raksasa. Tetapi Kicaka tak bisa dinasihati dan malah akan nekat. Akhirnya Ratu Sudesha menemukan gagasan untuk menolong adiknya. Mereka lalu menyiapkan perangkap.
Pada suatu malam, Kicaka mengadakan pesta di kediamannya. Berbagai makanan hangat dan minuman keras disediakan untuk tamu-tamunya. Ratu Sudesha menyuruh Sairandri mengantar kendi emas berisi minuman istimewa ke kamar Kicaka. Mula-mula Sairandri menolak dengan alasan malu dan takut.
Sampai di kamar Kicaka, rupanya panglima itu sudah siap menjebaknya. Ia meminta Sairandri menginap di
rumahnya. Dengan kesal Sairandri berkata, "Mengapa
Panglima yang bangsawan menghiraukan aku, pelayan keturunan kasta terendah" Janganlah Panglima menempuh jalan yang salah. Mengapa Panglima menghendaki perempuan yang sudah kawin seperti aku" Suamiku raksasa, ia pasti tahu kalau istrinya diganggu orang dan ia
pasti akan membunuh pengganggu istrinya."
Meskipun dibujuk-bujuk dan dijanjikan akan diberi hadiah-hadiah, Sairandri tetap menolak. Dengan kesal Kicaka mencoba memegang tangan Sairandri waktu pelayan itu meletakkan kendi emas yang dibawanya. Dengan cepat Sairandri mengelak, lalu lari. Kicaka mengejarnya. Berkali-kali ia hampir berhasil menangkap pelayan itu, tetapi Sairandri selalu lolos. Akhirnya Kicaka marah dan menendang Sairandri sampai jatuh. Banyak yang melihat kejadian itu, tapi tidak seorang pun berani berbuat sesuatu karena Kicaka adalah Mahasenapati Negeri Matsya. Tidak seorang pun memikirkan peristiwa itu sebagai kejadian serius.
Sairandri marah dan sedih diperlakukan seperti itu. Dendam hatinya membuatnya lupa akan bahaya yang dapat menimpa Pandawa jika mereka dikenali sebelum masa penyamaran selesai. Malam itu juga ia pergi menemui Bhima, si juru masak, dan menceritakan apa yang
dialaminya. Katanya, "Aku tidak tahan lagi menghadapi
Kicaka. Bunuhlah manusia terkutuk itu. Demi kepentingan kita, aku relakan diriku menjadi pelayan Ratu
Sudesha. Semua tugas pelayan kujalani dengan ikhlas. Aku sudah relakan diriku menyiapkan segala sesuatu untuk Raja dan Ratu Sudesha. Tapi aku tak sudi melayani
manusia bejat itu. Jika dibiarkan, dia akan semakin kurang ajar. Jika aku tak dapat menahan diri lagi, bisa-bisa kita semua binasa!" Sambil berkata demikian ia memperlihatkan tangannya yang kini kasar karena banyak bekerja.
Bhima kaget dan geram mendengar cerita Sairandri. Ia perhatikan tangan Sairandri yang dulu halus lembut dan kini menjadi kasar dan tergores-gores, penuh bekas parut. Sambil menghapus air mata Sairandri, ia berkata dengan geram, "Aku tak peduli nasihat Yudhistira dan janji Arjuna. Aku tidak peduli apa pun yang akan terjadi. Aku akan
bunuh Kicaka malam ini juga!" Setelah berkata begitu,
Bhima bangkit dan siap pergi.
Sairandri menahannya dan menasihatinya agar jangan tergesa-gesa. Kemudian mereka menyusun rencana untuk menghabisi Kicaka. Bhima akan menunggu di kegelapan, dekat sanggar tempat berlatih menabuh
gamelan, pada malam yang sudah ditentukan. Ia akan menyamar sebagai perempuan. Jadi, bukan Sairandri yang akan menemui Kicaka, melainkan Bhima.
Beberapa hari kemudian lagi-lagi Kicaka mencoba merayu Sairandri dan mengatakan bahwa ia tidak bisa lagi menahan perasaannya. Katanya dengan wajah memerah
penuh nafsu, "Wahai Sairandri, aku terpaksa menendangmu malam itu karena engkau selalu menghindariku. Aku bisa berbuat lebih kasar dari itu. Adakah yang akan
menolongmu" Ketahuilah, Wirata hanya raja dalam
sebutan. Kekuasaan yang sebenarnya ada di tanganku, Mahasenapati Negeri Matsya. Sekarang, jangan berpura-pura atau bersikap keras kepala. Mari puaskan dahaga asmara kita dan engkau akan menikmati kebesaran sebagai Ratu Negeri Matsya."
Sairandri pura-pura menerima tawaran itu dengan
berkata, "Mahasenapati Kicaka, sebenarnya aku tidak dapat menolak permintaanmu. Tetapi, jangan sampai ada orang tahu mengenai hubungan kita. Kalau engkau mau bersumpah untuk merahasiakan hubungan kita, aku akan menuruti kemauanmu."
Mendengar jawaban itu, bukan main senangnya hati Kicaka. Ia segera berjanji akan memenuhi semua syarat yang diajukan Sairandri.
Sairandri berkata lagi, "Setiap sore, biasanya para putri belajar menari di ruang gamelan. Malam hari mereka pulang dan tempat itu menjadi kosong, sepi, dan gelap. Datanglah sendirian ke sana nanti malam. Aku menunggumu di sana."
Kicaka senang sekali. Malam itu ia mandi sebersih-bersihnya, mengenakan pakaian terbaiknya, dan memerciki tubuhnya dengan air wangi. Setelah hari gelap, ia pergi ke sanggar tempat putri-putri bangsawan berlatih menari. Tempat itu kosong dan gelap. Dengan berjingkat-jingkat ia masuk ke ruangan, melangkah maju sampai ke sudut gelap tempat Sairandri berjanji menunggu. Dalam kegelapan ia mengulurkan tangannya, meraba-raba. Benarlah, di sudut ia melihat sosok wanita berdiri menunggu. Ia mempercepat langkahnya, tak sabar ingin memeluk
perempuan pujaan hatinya. Tapi... alangkah kagetnya ia
ketika menyentuh tubuh itu! Bukan kulit halus lembut yang tersentuh tetapi kulit kasar dan tubuh berotot. Begitu disentuh, sosok itu menyergapnya bagaikan singa galak
menyergap mangsa. Kicaka bukan pengecut. "Ini pasti raksasa suami Sairandri yang akan membunuhku," pikirnya. Ia tak tahu bahwa orang itu adalah Bhima. Dia melawan mati-matian. Terjadilah perkelahian hebat di malam yang gelap. Kicaka memang perkasa. Kekuatannya setara dengan kekuatan Balarama atau Bhima. Meskipun sakti dan perkasa, malam itu Kicaka tidak siap berkelahi. Sebaliknya, Bhima memang sudah berniat membunuh Kicaka. Dalam waktu singkat Bhima bisa menundukkan Kicaka. Dibantingnya
tubuh panglima itu beberapa kali, dicekiknya, kaki dan tangannya dipatahkan hingga tubuhnya hancur tak ber-bentuk.
Demikianlah, Kicaka menemui ajalnya di tangan Bhima.
Bhima segera pergi menemui Sairandri untuk memberi-tahu bahwa Kicaka telah tewas. Setelah itu ia kembali lagi ke dapur, mandi membersihkan badannya lalu tidur nyenyak.
Sementara itu, Sairandri berlari-lari ke balai penjagaan hendak melaporkan bahwa Kicaka mati dibunuh suaminya karena mahasenapati itu sering mengganggunya. Dengan suara bergetar pura-pura ketakutan ia berkata, "Maha-senapati Kicaka sering menggangguku. Padahal sudah berkali-kali kukatakan bahwa aku sudah bersuami dan suamiku raksasa sakti. Tetapi Mahasenapati terus saja
menggangguku. Akhirnya ia mati di tangan suamiku. Oh,
penjaga, lihatlah Panglima di ruang gamelan yang gelap."
Para penjaga beramai-ramai pergi ke ruang gamelan. Ada yang membawa obor, ada yang membawa golok, parang, tombak atau senjata lainnya. Mereka mendapati Mahasenapati Negeri Matsya tidak bernyawa lagi, tubuhnya hancur tak berbentuk. Mereka membicarakan kematian itu sambil berbisik-bisik.
Peristiwa itu segera tersebar ke seluruh negeri. Orang mulai lebih memperhatikan Sairandri. Di mana-mana orang membicarakan dan mengutuk Sairandri sebagai perempuan yang berbahaya. Kaum wanita berbisik-bisik, "Perempuan itu memang cantik, pandai dan menarik di mata laki-laki, tetapi ia berbahaya. Apalagi dia bersuamikan raksasa. Sungguh perempuan yang bisa mem
bahayakan negeri ini, Ratu Sudesha dan Raja Wirata. Aku yakin, para raksasa akan dengan mudah membunuhi orangorang yang dilaporkan mengganggu perempuan itu. Yang
terbaik saat ini adalah mengusir perempuan jahat itu."
Pada suatu hari seorang utusan menghadap Ratu Sudesha dan memohon agar Ratu mengusir Sairandri yang membawa malapetaka.
"Perempuan setan," kata mereka.
Sudesha memanggil Sairandri dan berkata, "Tingkah lakumu dan kerjamu baik, kebaikanmu tak perlu diragukan, tetapi kuharap engkau segera meninggalkan istana dan negeri ini. Kami sudah cukup menerima kebaikanmu."
Masa penyamaran hanya tinggal satu bulan. Sairandri memohon kepada Ratu Sudesha agar diijinkan tinggal kirakira sebulan lagi. Dalam kurun waktu itu, para raksasa kawan suaminya akan mengambilnya dari Negeri Matsya.
Mereka akan berterima kasih kepada Wirata dan menawarkan persahabatan untuk menghadapi musuh Negeri Mat-sya. Jika sekarang Sairandri diusir, raksasa-raksasa itu pasti mengamuk, mengobrak-abrik dan menghancurkan Negeri Matsya.
Mendengar penuturan Sairandri, Ratu Sudesha tak berani memaksa. Pikirnya, apa jadinya jika raksasa-raksasa itu benar-benar datang menghancurkan istananya. Karena tidak mempunyai pilihan yang lebih baik, Ratu Sudesha mengijinkan Sairandri tinggal lebih lama lagi.
*** Sesungguhnya, sejak tahun ketiga belas tiba, Duryodhana telah menyebar mata-matanya ke mana-mana. Mereka berusaha melacak dan memasang perangkap rahasia untuk
menangkap Pandawa dalam penyamaran mereka. Enam bulan berlalu... tujuh bulan, delapan bulan, sembilan
bulan, sepuluh bulan ... hingga bulan kesebelas mereka terus berusaha, tetapi sia-sia. Para mata-mata itu terpaksa
kembali ke Hastinapura dan melaporkan bahwa mereka
tidak bisa menemukan jejak Pandawa. Mungkin Pandawa tersesat di rimba raya lalu mati dimakan binatang buas atau mati kelaparan, mereka menyimpulkan.
Pada suatu hari, tersiar kabar sampai ke Hastinapura bahwa Kicaka, Mahasenapati Negeri Matsya, tewas dalam
perkelahian melawan raksasa... gara-gara seorang perempuan. Semua orang tahu, Kicaka panglima yang gagah
perkasa dan hanya ada dua orang yang mungkin bisa
menandinginya. Salah satunya adalah Bhima dari Pandawa. Siapa tahu pembunuh Kicaka ternyata adalah Bhima
yang dikira raksasa. Duryodhana menebak-nebak, perempuan yang menjadi gara-gara itu pasti Draupadi. Kemudian Duryodhana mengundang raja-raja sahabatnya untuk membicarakan Pandawa yang hidup menyamar di persembunyian.
Dalam pertemuan itu Duryodhana berkata, "Menurutku sekarang Pandawa tinggal di ibukota Negeri Matsya. Kalian tahu, Wirata tidak sudi bersahabat dengan kita. Jadi, baik kalau kita serang negerinya dan kita rampas ternaknya. Jika benar Pandawa ada di sana, mereka pasti akan muncul membantu pasukan Wirata karena merasa berhutang budi. Dengan begitu, mungkin kita bisa membongkar penyamaran Pandawa sebelum tahun ketiga belas habis dan memaksa mereka hidup di pengasingan selama dua belas tahun lagi. Tetapi, seandainya Pandawa tidak ada di sana, tak apa-apa."
Susarma, raja Negeri Trigata, yang hadir di pertemuan itu menyetujui usul Duryodhana dengan sepenuh hati. Katanya, "Raja Negeri Matsya adalah musuhku. Kicaka, mahasenapati negeri itu, selalu mengganggu dan mengobrak-abrik kerajaanku dengan sombong. Kematiannya pasti melumpuhkan kekuatan Wirata. Sekarang juga kita serang dia," katanya.
Karna mendukung usul Susarma. Demikianlah, pertemuan itu menyetujui rencana penyerbuan ke Negeri Matsya.
"Susarma menyerang Wirata dari selatan. Jadi, prajurit Negeri Matsya pasti akan dikerahkan ke selatan untuk menghadapi balatentara Susarma. Kemudian, jika pertempuran di selatan semakin menghebat, Duryodhana dan pasukan Kaurawa akan melancarkan serangan tiba-tiba dari utara. Wilayah utara pasti kurang dijaga karena perhatian terpusat pada pasukan Matsya yang sedang bertempur di selatan," demikian kesepakatan mereka.
Demikianlah, Susarma dan balatentaranya menyerang Negeri Matsya dari selatan. Mereka merampas ternak, merusak dan menghancurkan tanaman di sawah dan ladang penduduk. Para gembala dan petani lari tunggang
langgang mencari perlin dungan. Laporan disampaikan kepada Wirata bahwa wilayah selatan kerajaan telah diduduki balatentara Susarma. Wirata bingung karena Kicaka sudah mati. Jika Kicaka masih hidup, Susarma
pasti tak berani menyerang Negeri Matsya.
Mengetahui situasi buruk itu, Kangka, sanyasin, yang sehari-hari melayani Wirata, berkata kepada raja, "Tuanku tak perlu khawatir. Walaupun aku ini pertapa atau sanyasin, sesungguhnya aku juga ahli pertempuran. Aku akan bertempur untuk Tuanku. Aku akan mengendarai kereta bersenjata lengkap dan mengusir musuh-musuh Tuanku. Sudilah Tuanku memerintahkan Walala, juru masak istana, Dharmagranti, si tukang kuda, dan Tantripala, si gembala sapi, untuk membantu menghadapi musuh. Kudengar mereka pernah menjadi kesatria perang. Kalau mereka bisa dikumpulkan dan dipersenjatai, musuhmusuh Tuanku pasti akan hancur."
Raja Wirata menyetujui usul Kangka dan memerintahkan orang-orang itu dipanggil dan dipersenjatai. Demikianlah, Kangka, Walala, Dharmagranti, dan Tantripala
yang tiada lain adalah Yudhistira, Bhima, Nakula dan
Sahadewa masuk ke barisan tentara Negeri Matsya untuk bertempur menghadapi pasukan Susarma.
Pertempuran hebat tak terhindarkan. Korban berjatuhan di kedua pihak. Susarma mencari sasarannya, yaitu
Wirata. Ia mengepung kereta Wirata, memaksanya turun
dan menangkapnya. Balatentara Negeri Matsya mundur, kucar-kacir, dan takut bertempur karena raja mereka ditawan musuh. Tetapi Kangka memerintahkan Walala untuk langsung menggempur Susarma, membebaskan Wirata, dan mengumpulkan kembali balatentaranya.
Mendengar perintah itu, Walala segera bersiap hendak mencabut sebatang pohon besar untuk dijadikan senjata.
Begitulah memang kebiasaan Bhima jika bertempur. Tetapi
Kangka melarangnya, "Jangan berbuat demikian! Ingat, kau jangan berteriak-teriak dalam pertempuran ini! Penyamaranmu akan terbongkar jika orang mengenalimu dari kebiasaan-kebiasaanmu. Bertempurlah sebagai orang biasa, sebagai prajurit biasa yang naik kereta dan bersenjata panah dan tombak."
Patuh akan perintah kakaknya, Walala naik kereta dan maju bertempur. Ia berhasil membebaskan Wirata, menangkap Susarma dan menyatukan kembali pasukan Matsya. Pertempuran di daerah selatan makan waktu berhari-hari, membuat penduduk ibu kota Negeri Matsya prihatin. Begitu berita kemenangan sampai ke ibu kota, rakyat lega dan gembira. Mereka turun ke jalan-jalan, bergembira dan menghias ibu kota seindah-indahnya.
Ketika penduduk ibu kota Negeri Matsya sedang sibuk mempersiapkan penyambutan untuk Raja Wirata yang kembali dari medan pertempuran di daerah selatan, datang berita bahwa dari utara mereka diserang oleh Duryodhana dan pasukannya. Mereka menyerang, merampas harta benda, ternak, dan mengobrak-abrik beberapa desa di perbatasan. Akhirnya mereka menduduki wilayah kerajaan di utara!
Para gembala dan petani berlarian ke ibu kota. Mereka
melaporkan kepada Pangeran Uttara, putra mahkota Negeri Matsya, bahwa balatentara Kaurawa menyerbu dari utara. Mereka memohon, "Wahai Pangeran Uttara, balatentara Kaurawa menyerbu dari utara, merampas sapi, biri-biri, kambing dan harta-benda kami, sementara Paduka Raja Wirata bertempur di selatan, mengusir balatentara Negeri Trigata. Kami tak punya tempat mengadu kecuali Pangeran. Kami mohon, lindungilah kami dan usirlah mereka! Pulihkan kedaulatan Negeri Matsya demi kehormatan keluarga Tuanku!"
Mendengar itu, Pangeran Uttara berkata dengan sombong di depan permaisuri dan putri-putri istana, "Kalau saja aku bisa mendapat seorang sais handal, aku akan
usir semua musuh itu sendirian. Akan aku kembalikan semua ternak dan harta-benda yang mereka rampas. Kalian harus tahu, aku ahli menggunakan senjata. Di dunia ini, hanya Arjuna yang mungkin dapat menandingi aku, Uttara. Sayangnya, aku tidak punya sais kereta."
Waktu itu Sairandri sedang berada di kamar Ratu Sudesha. Mendengar Pangeran Uttara berkata demikian, ia keluar menemui Uttari dan berkata, "Tuanku Putri Uttari, negeri kita ditimpa malapetaka besar. Jika saudaramu tidak bisa mendapat sais kereta, panggil saja Brihannala si guru tari. Aku dengar, ia pernah menjadi pengemudi ker
eta di Negeri Indraprastha dan pernah melayani Arjuna. Ia banyak belajar dari Arjuna tentang siasat perang dan pertarungan."
Uttari menemui saudaranya dan berkata, "Aku dengar dari Sairandri bahwa dulu Brihannala adalah sais kereta yang cekatan. Ia bahkan pernah menjadi sais kereta Arjuna di Indraprastha. Panggillah dia dan majulah bersama dia. Usir musuh kita! Kalau tidak, Negeri Matsya akan punah."


Mahabharata Karya Nyoman S. Pendit di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pangeran Uttara menyetujui usul Uttari. Ia segera menyuruh orang memanggil Brihannala.
Uttari berkata kepada guru tari itu, "Pasukan Kaurawa memasuki wilayah negeri kita dari utara, merampas kekayaan dan harta benda milik rakyat di perbatasan. Kata Sairandri engkau pernah menjadi sais kereta Arjuna. Pergilah bersama saudaraku untuk mengusir musuh. Uttara akan melindungimu dari hantaman musuh."
Brihannala pura-pura lupa bagaimana caranya menggunakan senjata dan memegang kendali kuda. Tetapi ia berkata bahwa dirinya akan senang jika diijinkan ikut berperang. Sambil mengemudikan kereta, ia berkata kepada para wanita yang mengantar Pangeran Uttara berangkat ke medan perang, "Putra Mahkota pasti menang. Kami akan hancurkan musuh. Jubah mereka yang bersulam benang emas akan kami rampas dan kami persembahkan kepada
kalian." Setelah berkata demikian, ia melecut kudanya dan
melarikan kereta dengan kencang. Para wanita itu terheran-heran. Siapa sebenarnya guru tari yang menjadi
sais kereta itu" *** 32. Kedaulatan Negeri Matsya Dipertaruhkan
Uttara meninggalkan ibukota Negeri Matsya dengan ke-reta yang dikemudikan Brihannala. Ia memerintahkan sais itu memacu kuda sekencang-kencangnya ke arah balatentara Kaurawa. Jauh di kaki langit tampak sebaris titik, memanjang, melingkar-lingkar, diselimuti debu yang mengepul ke angkasa. Itu pasti pasukan Kaurawa dalam jumlah besar.
Makin dekat makin jelas sosok mereka. Mula-mula tampak kereta-kereta yang dinaiki Bhisma, Drona, Mahaguru Kripa, Duryodhana dan Karna. Melihat rombongan Kaurawa, hati Uttara tiba-tiba menjadi kecut. Dia menyuruh Brihannala melambatkan keretanya. Uttara sangat ketakutan. Mulutnya terasa kering, bulu romanya berdiri, dan keringat dingin mengucur dari dahinya. Tangan dan kakinya gemetar. Ia menutupi matanya dengan kedua tangannya dan berkata lirih kepada Brihannala, "Bagaimana mungkin aku sendirian melawan musuh sebanyak itu"
Aku tidak membawa pasukan. Semua prajurit dibawa
ayahku ke selatan. Tidak mungkin aku melawan kesatria-kesatria yang termasyhur ahli berperang itu. Brihannala, berbaliklah! Kita pulang."
Brihannala menjawab, "Tuanku, engkau berangkat dengan semangat berapi-api hendak menghancurkan musuh. Permaisuri, penghuni istana dan rakyat mempercayakan nasib mereka kepadamu. Sairandri memuji-muji aku dan membuat engkau mengangkatku menjadi saismu. Kalau
kita kembali sekarang, tanpa merebut ternak kita yang dirampas musuh, kita akan ditertawakan. Aku tidak akan membelokkan kereta ini. Mari kita maju terus dan bertempur! Jangan gentar!"
Uttara berkata dengan gugup, "Aku tidak mau, aku tidak mau! Biarlah Kaurawa merampas ternak kita, biarlah perempuan-perempuan menertawakan aku, aku tidak peduli. Apa gunanya melawan musuh yang jauh lebih kuat dan lebih besar jumlahnya" Itu namanya tolol! Belokkan kereta! Kalau tidak, aku akan meloncat turun dan pulang dengan berjalan kaki."
Setelah mengucapkan kata-kata itu, Uttara membuang senjata-senjatanya sambil meloncat turun dari kereta. Rasa takut melihat kekuatan musuh mencekam jiwanya dan membuatnya panik. Ia lari kalang kabut, kembali ke ibu kota.
Brihannala mengejar Uttara sambil memanggil-manggil agar pangeran itu berbuat sebagai kesatria. Rambut panjang dan pakaian Brihannala melambai-lambai ditiup angin kencang. Uttara makin mempercepat larinya. Akhirnya pangeran itu terkejar juga. Uttara meminta agar Brihannala membiarkannya pulang.
Uttara berkata dengan suara mengiba, "Aku satu-satunya anak lelaki ibuku. Aku dibesarkan di pangkuan ibuku. Aku tak mau meninggalkan ibuku. Aku takut, aku takut sekali! Aku takut mati bertempur melawan musuh!"
Brihannala berusaha melepaskan Uttara dari ketakutannya dan membangkitkan keberan
iannya. Ia menggenggam tangan Uttara dan memaksanya naik lagi ke kereta.
Uttara menangis dan berkata terbata-bata, "Alangkah malunya aku, terlanjur omong besar. Apa jadinya aku nanti""
Brihannala menghiburnya, "Jangan takut! Aku yang akan menghadapi Kaurawa. Bantu aku, pegang tali kekang ini, selebihnya serahkan padaku. Percayalah padaku, tidak ada gunanya lari dari pertempuran. Akan kita enyahkan musuhmu dan kita dapatkan kembali semua ternak yang
mereka rampas. Kemenangan pasti di pihak kita. Percayalah!"
Setelah berkata demikian, Brihannala meminta Uttara agar menghela kereta itu ke arah sebatang pohon besar di dekat kuburan. Sampai di dekat kuburan, Brihannala meminta Uttara naik ke pohon besar itu dan mengambil senjata-senjatanya yang disembunyikannya di sana. Uttara memejamkan mata, tak berani memanjat pohon itu.
"Kata orang di pohon ini pernah tergantung mayat nenek tua yang berubah menjadi setan. Aku tak berani memegang mayat itu. Mengapa kau menyuruhku melakukan ini"" kata Uttara.
"Dengar, Pangeran, itu tidak benar! Itu bukan mayat. Itu kantong kulit. Di sana tersimpan senjata-senjata sakti milik Pandawa. Naiklah dan bawa turun senjata-senjata
itu. Cepat! Jangan buang-buang waktu," kata Brihannala
tegas. Karena Brihannala terus mendesak, Uttara terpaksa menurut. Ia memanjat pohon itu lalu mengambil kantong kulit besar yang disembunyikan di balik daun-daunan.
Alangkah kagetnya dia ketika melihat isi kantong itu:
senjata-senjata yang gemilang! Cepat-cepat dibawanya kantong itu turun dan diserahkannya kepada saisnya. Brihannala menyuruh Uttara meraba senjata-senjata itu. Begitu menyentuh senjata-senjata itu, Uttara merasa ada arus kekuatan gaib merasuki tubuhnya dan menguatkan jiwanya. Matanya sekarang berbinar memancarkan semangat baru.
Ia bertanya kepada Brihannala, "Alangkah anehnya! Katamu senjata-senjata ini milik Pandawa. Bukankah kerajaan mereka dirampas Kaurawa dan mereka diusir ke hutan oleh Kaurawa" Bagaimana mungkin engkau bisa tahu tentang senjata-senjata ini""
Secara ringkas Brihannala berkata bahwa sebenarnya sudah hampir satu tahun Pandawa tinggal di ibu kota
Negeri Matsya dan bekerja mengabdi Raja Wirata. Mereka adalah Kangka, Walala, Dharmagranti, Tantripala, dan
Sairandri. Brihannala juga bercerita tentang kematian Mahasenapati Kicaka yang berani menghina Draupadi.
"Aku ini Arjuna. Putra Mahkota, jangan takut. Engkau
akan melihat bagaimana aku menaklukkan Kaurawa. Biarpun di pihak Kaurawa ada Bhisma, Drona, Duryodhana dan Aswatthama, kita harus rebut kembali ternak dan harta yang mereka rampas. Dan engkau akan menjadi masyhur. Semua ini akan menjadi pelajaran berharga
bagimu," kata Arjuna meyakinkan Uttara.
Uttara segera mengatupkan kedua telapak tangannya, memberi hormat kepada Arjuna, dan berkata, "Tak kusangka engkau adalah Arjuna. Alangkah beruntungnya aku dapat bertemu denganmu. Arjuna, kau kesatria perkasa. Engkau telah menanamkan keberanian dalam jiwaku. Maafkan kesalahanku karena kedunguanku."
Di kereta yang dikemudikan Uttara, Arjuna bercerita tentang kisah-kisah kepahlawanan untuk membangkitkan keberanian Uttara.
Kini kereta semakin mendekati pertahanan pasukan Kaurawa. Arjuna minta agar kereta dihentikan. Kemudian mereka turun. Perhiasan wanita ditanggalkannya, rambutnya yang panjang diikat, pakaian perempuan ditukarnya dengan pakaian perang, dan senjata-senjatanya disiapkan. Dengan menghadap Batara Surya di arah timur, Arjuna bersila dan bersembahyang, memuja dan berdoa. Setelah selesai, ia berdiri tegak penuh keagungan, membuat Uttara
terkagum-kagum. Pangeran itu bangkit semangatnya. Ia naik ke kereta. Arjuna mengangkat busur Gandiwa, memasang anak panah, membidik ke angkasa, menarik tali
busur, dan ... meluncurlah anak panah itu membelah angkasa dengan bunyi mendesing-desing. Kemudian Arjuna meniup terompet kerangnya yang bernama Dewadatta. Suaranya menderu menggema ke seluruh penjuru!
Mendengar bunyi itu, pasukan Kaurawa terkejut. Mereka saling berpandangan. Dengan telinganya yang tajam, Drona memastikan bahwa suara itu berasal dari desingan anak panah Gandiwa dan gema terompet kera
ng Dewadatta milik Arjuna. Drona membisikkan hal itu kepada Karna yang menanggapi, "Mana mungkin itu Arjuna" Apa peduli kita kalaupun ia ada di sini" Apa yang bisa ia lakukan sendirian menghadapi kita, jika Pandawa lainnya bersama Wirata pergi ke selatan melawan Susar-ma" Paling-paling ia hanya bersama Uttara, Putra Mahkota yang pengecut itu!"
Duryodhana menyambung, "Kenapa kita mesti pusing-pusing" Walaupun itu Arjuna, paling-paling ia hanya akan menyerahkan diri ke tangan kita untuk ditemukan sebelum waktunya. Dan, karena itu kita bisa mengirim Pandawa ke hutan selama dua belas tahun lagi."
Dari kejauhan tampak sesuatu bergerak kencang. Debu mengepul bagaikan ekor binatang. Sekali lagi terdengar desing Gandiwa dan gema Dewadatta.
"Pasukan kita diserbu. Itu Arjuna datang menyerbu mereka," kata Drona dengan prihatin.
Duryodhana kesal melihat sikap Drona seperti itu. Ia berkata kepada Karna, "Sumpah Pandawa adalah menerima pengasingan di hutan selama dua belas tahun dan setahun bersembunyi tanpa dikenali. Tahun ketiga belas belum habis, tetapi Arjuna sudah berani muncul. Kenapa kita mesti prihatin" Mereka harus mengembara di hutan selama dua belas tahun lagi. Drona terlalu banyak mempelajari falsafah hingga jadi penakut. Biarlah ia bersembunyi
di belakang, kita maju terus!"
Karna mengangguk setuju dan berkata, "Memang, jika tidak biasa bertempur pasti gemetar. Kalaupun yang datang memang Arjuna, kenapa kita mesti takut" Para-surama sekalipun, aku tidak gentar. Aku akan hadang ia kalau ia berani maju. Balatentara Matsya mungkin bisa merebut kembali ternak mereka, tetapi Arjuna harus
berhadapan dengan aku." Kemudian Karna membunyikan
terompetnya sendiri dan meledakkan senjatanya tanda ia siap bertempur.
Mahaguru Kripa yang mendengar kata-kata Karna menasihati, "Jangan berbuat tolol. Kita harus menyerang
Arjuna bersama-sama dan serentak. Hanya dengan cara
itu kita akan berhasil. Jangan omong besar dan berperang tanding sendirian."
Karna naik pitam. Ia berkata lantang, "Oh, Mahaguru
Kripa ternyata sudah mulai menyanyikan lagu pujian untuk Arjuna. Apakah karena takut atau karena sayang
kepada Pandawa" Aku tidak tahu. Yang aku tahu, para
tetua semua takut dan menasihatkan agar kita tak usah bertempur. Kalau begitu, sebaiknya kalian tinggal di belakang dan menonton saja. Seharusnya, mereka yang telah makan garam di Hastinapura berani maju bertempur.
"Aku hanya mengenal cinta kepada kawan dan benci kepada musuh. Aku takkan mundur! Apa guna mereka mempelajari kitab-kitab suci, jika sampai di sini hanya memuji-muji musuh""
Aswatthama, putra Drona dan kemenakan Mahaguru Kripa, tak tahan mendengar sindiran tajam Karna. Ia menyahut, "Kita belum membawa pulang ternak ke Hasti-napura. Kita belum memenangkan pertempuran. Omong besarmu tidak ada gunanya. Mungkin kami bukan golongan kesatria; mungkin kami tergolong orang yang hanya membaca-baca mantra, Weda dan kitab-kitab Sastra.
Meski demikian, kami belum pernah menemukan ajaran yang menyatakan bahwa seorang raja dikatakan kesatria jika bisa merampas kerajaan lain dengan tipu daya dalam permainan dadu.
"Dengarlah, Karna. Mereka yang telah bertempur mati-matian dan menaklukkan banyak kerajaan tidak pernah
menyombongkan kemenangan mereka. Tapi... engkau"
Aku belum pernah melihat hasil perbuatanmu yang pantas engkau banggakan.
"Api tidak ribut tetapi membakar. Matahari bersinar bukan untuk dirinya. Bumi memeluk segala yang ada di bahunya tanpa berisik. Pujian apakah yang pantas diberikan kepada kesatria yang merampas kerajaan lain dengan tipu daya dalam permainan dadu" Keberhasilan menipu Pandawa tidak pantas dibanggakan, ibarat menangkap burung
piaraan sendiri dengan perangkap yang hebat.
"Duryodhana dan Karna, pertempuran apakah yang telah kalian menangkan melawan Pandawa" Pantaskah kalian merasa bangga karena telah mempermalukan Drau-padi" Kalian hampir saja menghancurkan bangsa Kuru, seperti si pandir menebang pohon cendana karena mabuk oleh keharumannya.
"Melemparkan dadu untuk mendapat angka 4 atau 2
tidak sesulit menghadapi desing Gandiwa Arjuna. Apa kalian kira Sakuni bisa menyulap
jalannya pertempuran agar kita menang" Mungkin kita semua sudah gila."
Para pemimpin pasukan Kaurawa mulai berperang mulut, saling mencaci dan memaki. Bhisma sedih melihat itu dan berkata dengan sabar, "Orang yang berbudi luhur tidak akan mencaci-maki mahagurunya. Orang yang pergi berperang pasti sudah memperhitungkan segala kemungkinan, yaitu tempat, waktu, dan situasi.
"Memang, orang pandai bisa juga kehilangan kendali atas dirinya sendiri. Karena marah, Duryodhana lupa bahwa kita berhadapan dengan Arjuna yang sekarang, bukan Arjuna yang dulu. Pikiranmu gelap terselubung amarah dan dendam kesumat, Duryodhana.
"Aswatthama, jangan kaumasukkan kata-kata Karna yang tajam itu ke dalam hatimu. Jadikan itu sebagai peringatan agar kau mawas diri dan lebih cermat dalam bertindak.
"Sekarang bukan waktunya untuk berkelahi atau membesar-besarkan perbedaan. Drona, Mahaguru Kripa dan Aswatthama harus memaafkan Karna. Kaurawa tak mungkin menemukan mahaguru yang hebat seperti Kripa dan Drona serta Aswatthama, putra Drona, yang sakti dan
perkasa. Mereka adalah kesatria-kesatria sakti yang mumpuni dalam ilmu kitab suci.
"Kita tahu, kecuali Parasurama, tak seorang pun bisa menandingi Drona. Kita hanya bisa menaklukkan Arjuna jika kita serang dia bersama-sama. Mari kita hadapi tugas berat ini bersama-sama. Kalau kita terus bertengkar, kita
tidak akan bisa menundukkan Arjuna." Demikianlah
nasihat Bhisma, sesepuh yang dimuliakan dan disegani
seluruh bangsa Kuru. Semua terdiam dan tertunduk
mendengar kata-kata Bhisma!
Bhisma menoleh kepada Duryodhana, lalu melanjutkan, "Wahai Raja para Kaurawa, Arjuna sudah datang. Waktu tiga belas tahun yang ditetapkan sebagai masa pengasingan dan persembunyian Pandawa telah habis kemarin. Perhitunganmu salah. Tanyakan kepada pendita yang tahu tentang pergantian hari, bulan dan peredaran bintang-bintang. Aku tahu masa pengasingan mereka sudah selesai ketika kita mendengar deru terompet Arjuna. Sekarang Pandawa telah bebas. Pikirkan baik-baik sebelum memutuskan untuk bertempur. Jika engkau mau berdamai dengan Pandawa, sekaranglah waktunya. Apa yang engkau kehendaki" Perdamaian yang adil dan terhormat, atau ... kehancuran bersama dalam peperangan" Pertimbangkan baik-baik dan tentukan pilihanmu."
Duryodhana menjawab, "Kakek Yang Mulia, aku tidak ingin berdamai. Aku tidak sudi menyerahkan satu desa pun kepada Pandawa. Mari bersiap untuk perang."
Drona berkata, "Kalau demikian, biarlah Baginda Dur-yodhana kembali ke Hastinapura dikawal seperempat balatentara kita. Separo dari balatentara yang ada akan mengawal ternak dan barang rampasan yang dibawa ke Hastinapura sebagai bukti bahwa kita menang perang. Dengan kata lain, tanpa ternak-ternak itu berarti kita
menerima kekalahan. Lalu, balatentara yang tersisa akan
mengawal kita berlima, Bhisma, Kripa, Karna, Aswatthama dan aku sendiri, untuk menghadapi Arjuna."
Kemudian, balatentara Kaurawa diatur menurut pembagian itu. Arjuna tidak melihat Duryodhana dalam pasukan Kaurawa yang dihadapinya. Ia berkata kepada Uttara, "Aku tidak melihat Duryodhana dan keretanya. Aku hanya melihat Bhisma. Mungkin Duryodhana sedang merebut ternak kita. Ayo kita kejar dia dan kita rebut kembali ternak kita."
Uttara melecut kudanya ke arah yang ditunjukkan Arjuna. Mereka mengejar pasukan Kaurawa yang menggiring ternak dan membawa barang-barang rampasan. Arjuna menyerang pasukan itu hingga mereka tunggang langgang meninggalkan ternak dan barang-barang rampasan. Setelah musuh kabur, Arjuna menyuruh para gembala mengambil kembali ternak mereka.
Kemudian Arjuna mencari Duryodhana. Mengetahui hal itu, Bhisma mengerahkan pasukan Kaurawa untuk membantu Duryodhana. Mereka mengepung Arjuna. Tahu dirinya dikepung, Arjuna memutuskan untuk menggempur pemimpin balatentara Kaurawa satu per satu. Pertama, diserangnya Karna dengan serangan kilat. Karna tak mampu melawan. Ia terpelanting jatuh dari keretanya. Kemudian Arjuna menerjang Drona hingga terjengkang. Aswat-thama melihat ayahnya kalah lalu cepat-cepat membantu. Serangan Aswatthama berhasil ditangkis Arjuna. Justru Aswatthama yang dibuat tidak be
rkutik karena serangan Arjuna yang bertubi-tubi.
Mahaguru Kripa menyerang Arjuna dari belakang, dibantu oleh Bhisma dan Duryodhana.
Arjuna ingin melumpuhkan mereka satu per satu, karena ia sadar tidak punya teman apalagi pasukan. Arjuna berhasil menghindari serangan Kripa dan Bhisma. Lalu ia memusatkan serangannya pada Duryodhana. Pangeran itu ingin sekali memancung leher Arjuna, tetapi ia justru dihujani panah dan terpaksa lari terbirit-birit seperti pengecut.
Karena kewalahan menghadapi Mahaguru Kripa dan Bhisma yang terus menyerangnya, Arjuna memutuskan untuk mengeluarkan ajian pembius. Ia lalu membuat kedudukan musuhnya terpusat. Setelah lawan berada dalam posisi yang diinginkannya, Arjuna melemparkan senjata saktinya ke tengah-tengah balatentara Kaurawa. Satu per satu orang-orang itu jatuh pingsan. Dengan mudah Uttara dan Arjuna merampas jubah mereka, sebagai tanda kemenangan.
Arjuna berkata kepada Uttara, "Belokkan arah kereta. Ternak dan harta benda telah kembali kepada rakyat kita
dan musuh sudah kita taklukkan. Wahai Putra Mahkota,
pulanglah engkau dan bawalah berita kemenangan ini."
Sebelum sampai ke istana, Arjuna menyimpan kembali senjata-senjatanya di tempat rahasia, membersihkan diri dan mengganti pakaiannya kembali seperti Brihannala, sang guru tari. Kemudian ia mengirim utusan ke ibu kota Matsya untuk menyampaikan berita kemenangan gemilang
Uttara kepada Raja Wirata.
Di tempat pertempuran, Duryodhana kembali ke induk pasukannya. Dilihatnya Bhisma dan yang lain-lain baru saja siuman dan jubah mereka tidak ada lagi. Artinya, Kaurawa kalah dan sebaiknya mundur. Dengan memikul kekalahan besar, Kaurawa kembali ke Hastinapura.
*** Dari arah selatan, Raja Wirata diiringkan balatentaranya kembali ke ibu kota setelah mengalahkan Raja Susarma
dari Negeri Trigata. Rakyat mengelu-elukannya. Tetapi,
sesampainya di istana, Wirata tak menemukan Uttara. Permaisuri dan para putri memberi tahu bahwa Uttara pergi ke utara menggempur Kaurawa yang menduduki sebagian wilayah Kerajaan Matsya. Mereka berharap semoga Uttara dapat menaklukkan musuhnya. Setelah tahu bahwa putranya hanya ditemani oleh Brihannala, guru tari yang banci, Raja Wirata pasrah. Ia yakin, putranya pasti kalah dan terbunuh dalam pertempuran.
"Anakku tercinta sekarang pasti sudah tewas," katanya sedih.
Ia lalu memerintahkan menterinya untuk mengirimkan pasukan terkuat ke utara guna membantu Putra Mahkota
Uttara. Jika pangeran itu masih hidup, pasukan itu harus
membawanya pulang. Pasukan rahasia dan pencari jejak dikirim ke segala penjuru untuk mengetahui ke mana Uttara pergi dan bagaimana nasibnya.
Kangka mencoba menghibur Wirata dengan mengatakan bahwa Putra Mahkota pasti selamat dan dapat memenangkan pertempuran karena ia didampingi Brihannala
sebagai sais kereta. "Kekalahan Susarma di selatan pasti sudah diketahui Kaurawa. Mereka pasti gentar dan memilih mundur," kata Kangka hati-hati.
Sementara itu, utusan Uttara tiba, mengabarkan berita kemenangan. Ternak dan harta benda yang dirampas sudah kembali ke tangan rakyat.
Wirata tak percaya. Menurutnya, berita itu terlalu dibesar-besarkan. Kangka terus berusaha meyakinkan Wirata bahwa berita itu memang benar. Bagi Wirata, kemenangan putranya merupakan suatu keajaiban. Karena gembiranya, ia berikan hadiah besar kepada pembawa berita itu. Kemudian ia memerintahkan para menteri, pimpinan pasukan dan seluruh penduduk ibu kota untuk menyambut kembalinya Putra Mahkota Uttara dari medan perang.
Berkatalah Wirata, "Kemenanganku melawan Susarma tidak berarti apa-apa. Kemenangan yang sebenarnya adalah kemenangan Putra Mahkota. Siapkan upacara kemenangan dan persembahyangan syukur di seluruh negeri. Pasang umbul-umbul aneka warna dan hiasi jalan-jalan agar semarak. Kerahkan penduduk untuk mengadakan arak-arakan gamelan, genderang, dan tetabuhan. Siapkan upacara penyambutan paling meriah untuk Putra Mahkota
yang berhati singa!"
Setelah memberi perintah, Wirata pergi ke beranda untuk berstirahat. Ia memanggil Sairandri dan Kangka. Mereka disuruhnya mempersiapkan permainan dadu. Sambil bermain dadu, Wirata berkata, "Aku san
gat bahagia. Lihatlah, betapa perkasanya anakku Uttara! Ia telah menaklukkan kesatria-kesatria Kaurawa."
"Benar demikian. Putra Mahkota Uttara beruntung didampingi sais kereta seperti Brihannala yang tangkas dan tahu bagaimana mengemudikan kereta perang."
Wirata merasa tersindir dan tidak suka mendengar kata-kata Kangka. Ia marah dan berkata lantang, "Kenapa engkau berulang-ulang menyebut nama si banci, padahal
aku sedang bahagia karena putraku memenangkan pertempuran" Bukankah sudah sepantasnya aku memuji putraku yang gagah perkasa" Kenapa engkau justru menekankan ketangkasan si banci sebagai sais kereta"" "Aku tahu Brihannala bukan orang biasa. Kereta yang
dikemudikannya pasti takkan salah arah dan ia pasti pantang menyerah. Brihannala selalu yakin akan bisa memetik kemenangan gemilang siapa pun musuhnya," jawab
Kangka tenang. Wirata tidak dapat menahan amarahnya. Ia menganggap kata-kata Kangka sebagai penghinaan terhadap anak dan dirinya sendiri. Ia naik pitam. Dilemparkannya dadu ke wajah Kangga, melukai pipinya hingga berdarah. Sairandri, yang kebetulan lewat, melihat darah di pipi Kangka. Dengan cepat disekanya wajah Kangka dengan
sari-nya. Darah Kangka yang titik ditampungnya dalam cawan emas.
Melihat itu Wirata semakin marah. Apalagi karena Sai-randri melakukannya di hadapannya, penguasa tertinggi
Negeri Matsya. Wirata menghardik, "Kurang ajar! Kenapa
engkau menadahi darah Kangka dengan cawan emas""
"Tuanku Raja, darah seorang sanyasin tidak boleh jatuh
ke bumi," jawab Sairandri tenang. "Kalau sampai darahnya menetes ke bumi, hujan tidak akan turun di negeri ini selama beberapa tahun, tanah akan retak kekeringan dan rakyat akan mati kelaparan. Karena itu, darahnya kutampung dalam cawan emas. Aku khawatir, Tuanku Raja belum mengenal kebesaran Kangka," Sairandri menambahkan.
Sementara percakapan itu berlangsung, seorang pengawal mengabarkan kedatangan Uttara, diiringkan Brihan-nala, yang ingin segera menghadap Baginda Raja.
"Persilakan mereka menghadapku," kata Wirata kepada pengawal itu.
Kesempatan itu dipergunakan Kangka untuk membisiki si pengawal agar Uttara datang menghadap sendirian, jangan sampai Brihannala ikut. Kangka berbuat demikian
karena Raja sedang marah. Ia tahu, Brihannala alias Arjuna pasti marah jika melihat pipi Kangka alias Yudhistira
berdarah karena dia sangat menyayangi saudaranya.
Uttara masuk dan menyembah Raja Wirata. Waktu menoleh ke arah Kangka, hendak mengucapkan salam hormat, ia terkejut melihat darah kering di wajah lelaki itu.
Sekarang Uttara sadar, Kangka tiada lain adalah Yudhis-tira yang agung.
"Tuanku Raja, siapa yang telah melukai dia, Yang Agung"" Uttara bertanya dengan cemas.
Wirata memandang putranya, lalu berkata, "Kenapa" Aku melempar mukanya dengan dadu karena kelancangan dan kesombongannya. Waktu aku sedang senang dan bangga karena kemenanganmu, dia justru memperkecil arti kemenanganmu. Setiap kali aku memuji kesaktian dan keperkasaanmu, ia justru menyebut-nyebut kemahiran si
banci. Aku memang telah melukainya, kuakui itu; tapi hal ini tak usah kita bicarakan lagi. Ceritakanlah bagaimana
engkau bertempur sampai menang."
Uttara merasa takut. Ia berkata, "Ya, Dewata, Ayah telah berbuat kesalahan besar. Berlututlah di hadapannya,
sekarang juga, Ayah. Mintalah maaf. Kalau tidak, kita akan
musnah dari akar sampai ke daun."
Wirata tidak mengerti maksud anaknya. Ia hanya duduk diam kebingungan. Tanpa menunggu lagi, Uttara segera berlutut di depan Yudhistira dan meminta maaf yang sebesar-besarnya.
Melihat itu, Wirata memeluk anaknya dan berkata, "Anakku, engkau benar-benar seorang kesatria! Aku tak sabar lagi menunggu ceritamu. Bagaimana engkau menaklukkan balatentara Kaurawa" Bagaimana engkau merebut kembali ternak dan harta benda kita""
Sambil menundukkan kepala karena sangat malu, Utta-ra berkata, "Bukan aku yang menaklukkan musuh. Bukan aku yang mengambil ternak itu kembali. Semua itu dilakukan oleh seorang Putra Mahkota yang sangat sakti dan perkasa. Dia yang memukul mundur pasukan Kaurawa
dan merebut kembali semua ternak dan kekayaan kita. Aku tidak berbuat apa-apa."
Wirata tidak percaya akan apa yang didengarnya. Ia bertanya lagi, "Di manakah Putra Mahkota itu sekarang" Aku harus berterima kasih kepadanya karena ia telah menolong engkau dan mengusir musuh. Akan kuberikan anakku, Dewi Uttari untuk dipersunting. Panggillah Uttari sekarang juga."
"Dia telah pergi. Mungkin besok atau lusa dia akan datang kemari," jawab Uttara.
*** Atas perintah Wirata, balairung dan ruang-ruang persidangan besar di ibu kota Negeri Matsya dihiasi sangat megah untuk merayakan kemenangan Raja dan Putra Mahkota. Undangan dikirimkan kepada raja-raja sahabat, tamu-tamu agung, dan orang-orang penting lainnya. Pesta besar akan dilangsungkan di ibu kota Negeri Matsya.
Kangka si sanyasin, Walala si juru masak, Brihannala si
guru tari, Dharmagranti si tukang kuda, dan Tantripala si penggembala, hadir di pesta. Sebenarnya mereka tidak diundang, karena yang diundang hanya tamu-tamu agung dan orang-orang penting. Dalam pesta itu juga tampak Sairandri, pelayan permaisuri. Hadirin berbisik-bisik, membicarakan kehadiran mereka. Ada yang berkata bahwa mereka pantas diundang karena jasa mereka dalam peperangan yang baru lalu. Ada yang menyesalkan, kenapa orang-orang seperti mereka diperbolehkan hadir dalam perjamuan besar itu. "Bukankah mereka hanya sanyasin, juru masak, guru tari, tukang kuda, gembala, dan pelayan""
Ketika masuk ke dalam ruangan, Wirata melihat Kangka si sanyasin, Walala si juru masak, dan yang lain duduk berjajar bersama para tamu. Raja sangat marah dan dengan kata-kata kasar menghina mereka. Karena sikap Wirata yang keterlaluan, maka tanpa ragu Pandawa menyatakan siapa diri mereka sebenarnya. Penyamaran
telah dibuka. Para tamu bersorak sorai dan menyambut
mereka dengan tepuk tangan meriah.
Wirata sungguh tidak menyangka bahwa orang-orang yang selama ini telah bekerja keras mengabdi kepadanya tiada lain adalah Pandawa. Wirata segera meminta maaf dan di hadapan para tamu, ia memeluk Kangka. Kemudian, secara resmi ia mengumumkan bahwa ia menyerahkan Negeri Matsya kepada Pandawa karena jasa-jasa mereka. Wirata juga menyerahkan putrinya, Dewi Uttari, kepada Arjuna untuk diperistri.
Pandawa mengucapkan terima kasih kepada Raja Wirata dan rakyat Negeri Matsya yang telah melindungi dan membantu mereka dalam keadaan sangat sulit selama satu tahun. Pandawa menerima penyerahan Negeri Matsya secara simbolik dan saat itu juga menyerahkannya kembali kepada Raja Wirata. Kemudian semua yang hadir mempersembahkan doa syukur bagi kemakmuran dan kesejahteraan Raja dan rakyat Negeri Matsya.
Arjuna menyela, "Tidak, ini tidak pantas karena Dewi Uttari belajar musik dan tari dari aku. Aku adalah gurunya
dan aku lebih pantas menjadi ayahnya. Jika tidak ada
yang berkeberatan, aku usulkan agar ia dinikahkan dengan putraku, Abhimanyu."
Sementara semua orang sedang berpesta, datang utusan Duryodhana membawa pesan khusus untuk Yudhis-tira.
Setelah diperkenankan menghadap, utusan itu berkata, "Wahai Putra Dewi Kunti, Duryodhana sangat menyayangkan tindakan Dananjaya yang ceroboh. Dananjaya membiarkan dirinya dikenali orang sebelum tahun ketiga belas
habis. Engkau harus kembali ke hutan lagi. Sesuai sumpahmu, engkau harus mengembara dua belas tahun lagi di dalam hutan."
Dharmaputra tersenyum dan berkata, "Utusan yang terhormat, kembalilah segera kepada Duryodhana dan katakan kepadanya bahwa aku menyuruhnya bertanya kepada para tetua yang bijak dan cendekia tentang cara menghitung waktu. Kakek Bhisma yang kita muliakan dan para mahaguru lainnya pasti tahu peredaran bintang di langit. Mereka pasti akan menegaskan bahwa tiga belas tahun penuh telah kami lewatkan tepat sehari sebelum Kaurawa
mendengar desing Gandiwa dan deru Dewadatta milik
Dananjaya yang membuat kalian lari tunggang langgang."
*** 33. Pertemuan Para Penasihat Agung
Pandawa tidak lagi hidup dalam pengasingan dan persembunyian. Tiga belas tahun telah mereka lewatkan dengan penuh penderitaan. Tiga belas tahun yang memberi
mereka banyak pengalaman berharga. Mereka meninggalkan ibukota Negeri Matsya dan tinggal di suatu tempat bernama Upaplawya, yang terletak di wilayah Negeri Ma
tsya. Dari sana mereka mengirim utusan untuk menemui sanak dan kerabat mereka.
Dari Dwaraka datang Balarama, Krishna, Subhadra, istri Arjuna, dan Abhimanyu, putra mereka. Para bangsawan itu diiringkan para kesatria keturunan bangsa Yadawa. Mereka diterima oleh Raja Wirata dan Pandawa dengan
penuh kehormatan, lebih-lebih karena hadirnya Janardana
alias Krishna, sang penasihat Pandawa. Indrasena, yang
mengikuti Pandawa di tahun pertama pengasingan mereka, juga datang. Raja Kasi dan Raja Saibya datang diiringkan panglima masing-masing. Begitu pula Drupada, Raja Pan-chala, ayah Draupadi. Tak kalah menariknya adalah hadirnya tiga pasukan perang yang dipimpin Srikandi, anak-anak Draupadi, dan Dristadyumna. Banyak raja dan putra mahkota datang ke Upaplawya untuk menyatakan persahabatan dan simpati kepada Pandawa.
Dalam pertemuan mahabesar itu, perkawinan Abhima-nyu dengan Dewi Uttari dilangsungkan dengan khidmat dan meriah. Upacara perkawinan dilangsungkan di balairung istana Raja Wirata. Krishna duduk di samping
Yudhistira dan Wirata, sementara Balarama dan Satyaki duduk dekat Drupada. Di samping upacara perkawinan Dewi Uttari dengan Abhimanyu, pertemuan agung itu juga merupakan pertemuan para Penasihat Agung untuk merundingkan penyelesaian yang bisa mendamaikan Pandawa dan Kaurawa.
Setelah upacara perkawinan selesai, para Penasihat Agung bersidang di bawah pimpinan Krishna. Semua mata memandang dengan penuh khidmat ketika Krishna
bangkit berdiri untuk memberikan kata sambutan. "Saudara-saudara semua pasti tahu," kata Krishna dengan suara lantang dan berwibawa. "Yudhistira telah ditipu dalam permainan dadu. Yudhistira kalah dan kerajaannya dirampas. Dia, saudara-saudaranya, dan Draupadi harus menjalani pembuangan di hutan belantara. Selama tiga belas tahun putra-putra Pandu dengan sabar memikul segala penderitaan demi memenuhi sumpah mereka. Renungkanlah masalah ini dan berikanlah pertimbangan
sesuai dengan tugas kewajiban dharma, demi kejayaan dan
kesejahteraan Pandawa maupun Kaurawa. Dharmaputra tidak menginginkan sesuatu yang tidak patut dituntut. Ia tidak menginginkan apa pun, kecuali kebaikan dan kedamaian. Dia tidak mendendam meskipun putra-putra Drita-rastra telah menipunya dan membuatnya sengsara.
"Para Penasihat Agung yang terhormat, dalam memberi pertimbangan, jangan lupa mengingat penipuan yang dilakukan Kaurawa dan kehormatan serta keluhuran budi
Pandawa. Carilah penyelesaian yang adil dan terhormat.
Kita belum mengetahui apa keputusan Duryodhana. Menurutku, kita harus mengirimkan utusan yang tegas dan jujur serta mampu mendorong Duryodhana untuk ber-kemauan baik demi selesainya masalah ini secara damai. Kita berharap Duryodhana mengembalikan separo kerajaan kepada Yudhistira."
Setelah Krishna berbicara, Balarama tampil ke depan menyampaikan pendapatnya, "Saudara-saudara, baru saja kita dengar kata-kata Krishna. Penyelesaian yang ia kemukakan adil dan bijaksana. Aku setuju dengan pendapatnya, karena itu baik bagi kedua pihak, bagi Duryodhana maupun Dharmaputra. Jika putra-putra Kunti bisa memperoleh kembali kerajaan mereka secara damai, tak ada yang lebih baik bagi mereka dan bagi Kaurawa. Hanya dengan jalan demikian akan tercipta kebahagiaan dan perdamaian di muka bumi ini. Seseorang harus pergi ke Hastinapura untuk menyampaikan maksud Yudhistira dan membawa jawaban Duryodhana. Utusan itu harus berwibawa dan punya kesanggupan untuk mengusahakan perdamaian dan saling pengertian.
"Utusan itu harus bisa bekerja sama dengan Bhisma, Dritarastra, Drona, Widura, Kripa, dan Aswatthama. Jika mungkin, juga dengan Karna dan Sakuni. Ia harus mendapat dukungan dari putra-putra Kunti. Ia tidak boleh gampang marah.
"Dharmaputra, yang mengetahui risiko bertaruh dalam permainan dadu telah mempertaruhkan kerajaannya. Ia tidak mau menghiraukan nasihat teman-temannya. Meskipun tahu takkan mungkin mengalahkan Sakuni yang ahli bermain dadu, Yudhistira terus saja bermain. Karena itu, sekarang ia tidak boleh menuntut. Ia hanya boleh meminta kembali apa yang menjadi haknya. Utusan yang pantas hendaknya jangan orang yang haus perang. Ia ha
rus sanggup berdiri tegak, betapa pun sulitnya, untuk mencapai penyelesaian secara damai.
"Saudara-saudara, aku ingin kalian mengadakan pendekatan dan berdamai dengan Duryodhana. Dengan segenap kemampuan kita, kita hindari pertentangan dan adu senjata. Semua kita usahakan demi perdamaian yang sangat berharga. Peperangan hanya menghasilkan kesengsaraan dan penderitaan bagi rakyat."
Satyaki, kesatria Yadawa, tersinggung setelah mendengar pendapat Balarama. Ia tak dapat menahan diri. Dengan marah ia bangkit berdiri dan minta diberi kesempatan bicara. Katanya lantang, "Menurut pendapatku Bala-rama sama sekali tidak bicara sedikit pun tentang keadilan. Dengan kecerdikannya, seseorang bisa memenangkan suatu perkara. Tetapi kecerdikan tidak selalu bisa mengubah kejahatan menjadi kebajikan atau ketidakadilan menjadi keadilan. Aku menentang pendapat Balarama. Aku muak mendengar kata-katanya.
"Apakah kita tidak tahan melihat sebatang pohon yang sebagian dahan-dahannya sarat buah sementara dahandahan lainnya kering gersang tak berguna" Krishna bicara
dengan semangat melaksanakan dharma, tetapi Balarama menunjukkan sikap tak bernilai. Kalau aku diijinkan bicara, aku katakan dengan yakin bahwa Kaurawa memang telah menipu Yudhistira dalam pembagian wilayah kerajaan. Tetapi, mengapa kita biarkan ketidakadilan itu seperti kita biarkan perampok memiliki barang-barang rampokannya" Siapa pun yang mengatakan bahwa Dhar-maputra bersalah, pasti mengatakannya karena takut
kepada Duryodhana, bukan karena alasan lain!
"Saudara-saudara sekalian, maafkan kata-kataku yang
kasar dan tak enak didengar. Ketahuilah, aku hanya menegaskan bahwa Kaurawa memang sengaja berbuat demikian dan telah merencanakan semuanya. Mereka tahu, Dhar-maputra tidak ahli bermain dadu. Karena didesak-desak dan dibujuk-bujuk, akhirnya Dharmaputra tak bisa menolak untuk menghadapi Sakuni, si penjudi licik. Akibatnya, ia menyeret saudara-saudaranya ke dalam kehancuran. Kenapa sekarang ia harus menundukkan kepala dan meminta-minta di hadapan Duryodhana" Yudhistira bukan pengemis. Dia tidak perlu meminta-minta! Ia telah memenuhi janjinya. Dua belas tahun dalam pengasingan di hutan dan dua belas bulan dalam persembunyian. Tetapi, Duryodhana dan sekutunya tanpa malu dan dengan hina tidak mau menerima kenyataan bahwa Pandawa berhasil menjalankan sumpah mereka.
"Akan kutundukkan manusia-manusia angkuh itu
dalam pertempuran. Mereka harus memilih: minta maaf
kepada Yudhistira atau menemui kemusnahan. Jika tidak bisa dihindari, perang berdasarkan kebenaran tidaklah
salah, begitu pula membunuh musuh yang jahat. Meminta-minta kepada musuh berarti mempermalukan diri
sendiri. Jika Duryodhana menginginkan perang, ia akan
memperolehnya. Kita akan sungguh-sungguh mempersiapkan diri. Jangan kita menunda-nunda. Ayo, segera bersiap! Duryodhana tidak akan membiarkan pembagian wilayah tanpa peperangan. Bodoh kita kalau membuang-buang
waktu." Satyaki akhirnya berhenti bicara karena napasnya
tersengal-sengal akibat terlalu bersemangat.
Drupada senang mendengar kata-kata Satyaki yang tegas. Ia berdiri lalu berkata, "Satyaki benar! Aku mendukungnya! Kata-kata lembut tidak akan membuat Duryo-dhana menyerah pada penyelesaian yang wajar. Mari kita teruskan persiapan. Kita susun kekuatan untuk menghadapi perang. Jangan buang-buang waktu! Segera kita kumpulkan sahabat-sahabat kita. Kirimkan segera berita kepada Salya, Dristaketu, Jayatsena dan Kekaya.
"Kita juga harus mengirim utusan yang tepat dan cakap kepada Dritarastra. Kita utus Brahmana, pendita istana
Negeri Panchala yang tepercaya, pergi ke Hastinapura untuk menyampaikan maksud kita kepada Duryodhana. Dia juga harus menyampaikan pesan kita kepada Bhisma, Dri-tarastra, Kripa, dan Drona."
Setelah kesempatan untuk mengemukakan pendapat selesai, Krishna alias Wasudewa menyimpulkan, "Saudara-saudara, apa yang dikatakan Drupada sungguh tepat dan sesuai dengan aturan. Baladewa dan aku punya ikatan kasih, persahabatan, dan kekeluargaan yang sama terhadap Kaurawa maupun Pandawa.
"Kami datang untuk menghadiri perkawinan Dewi Uttari dan sidang agung ini. Seka
rang kami mohon diri untuk kembali ke negeri kami. Saudara-saudara adalah raja-raja besar dan terhormat. Dalam usia dan kebajikan kita sama. Dan memang patut jika kita saling memberi nasihat. Drita-rastra juga menghormati saudara-saudara sekalian, dengan sepantasnya dan sesuai tradisi. Drona dan Kripa adalah sahabat sepermainan Drupada di masa kanak-kanak.
Pantaslah kita mengutus Brahmana yang kita percaya untuk menjadi duta kita. Apabila duta kita gagal dalam usahanya meyakinkan Duryodhana, kita harus siap menghadapi perang yang tak dapat dihindari.
"Saudara-saudara yang tercinta, kirimkan berita kepada
kami. Dan... terima kasih!"
Sidang Agung itu ditutup. Krishna kembali ke Dwaraka
bersama para kerabat dan pengiringnya; begitu pula Baladewa alias Balarama atau Balabhadra, kakaknya.
Sepeninggal mereka, Pandawa sibuk mempersiapkan diri. Mereka mengirim utusan-utusan kepada sanak-sau-dara dan sahabat-sahabat mereka. Mereka juga mempersiapkan pasukan perang dengan sebaik-baiknya.
Di pihak Kaurawa, Duryodhana dan saudara-saudaranya juga sibuk mempersiapkan diri. Mereka tak tinggal diam. Mereka juga mengirim utusan kepada sahabat-sahabat dan sekutu-sekutu mereka.
Berita persiapan mereka segera tersebar ke seluruh negeri, bahkan ke seluruh dunia. Para utusan kedua belah pihak sibuk ke sana kemari. Bumi bergetar diinjak-injak ribuan pasukan Kaurawa dan Pandawa yang giat berlatih untuk menghadapi perang.
*** 34. Di Antara Dua Pilihan Raja Drupada memanggil pendita Negeri Pancala dan berkata kepadanya, "Engkau mengetahui jalan pikiran
Duryodhana dan sikap Pandawa. Pergilah, menghadap Duryodhana sebagai utusan Pandawa. Kaurawa telah menipu Pandawa dengan sepengetahuan ayah mereka,
Raja Dritarastra yang tidak mau mengindahkan nasihat Resi Widura. Tunjukkan kepada raja tua yang lemah itu,
bahwa ia telah diseret anak-anaknya ke jalan yang salah,
jalan yang menjauhi kebajikan dan dharma.
"Engkau bisa bekerja sama dengan Resi Widura. Mungkin dalam tugasmu engkau akan berbeda pandangan dengan para tetua di sana, yaitu Bhisma, Drona dan Kripa; begitu pula dengan para panglima perang mereka. Andaikata itu yang terjadi, maka dibutuhkan waktu lama untuk mempertemukan berbagai pendapat yang berbeda. Dengan demikian, Pandawa mendapat kesempatan baik untuk mempersiapkan diri.
"Sementara engkau berada di Hastinapura untuk merundingkan perdamaian, persiapan Kaurawa akan tertunda. Syukur, kalau Pendita bisa kembali dengan penyelesaian yang memuaskan kedua pihak. Itu penyelesaian
yang paling mulia! Tetapi, menurutku Duryodhana tidak dapat diharapkan akan mau menyetujui penyelesaian seperti itu. Namun demikian, mengirim utusan merupakan suatu keharusan yang menguntungkan dan mempertinggi martabat kita."
Sementara Drupada mengirim Pendita Negeri Pancala ke
Hastinapura, Pandawa mengirim utusan ke Dwaraka. Arjuna sendiri berangkat untuk menemui Krishna. Dari mata-matanya, Duryodhana tahu bahwa Arjuna hendak menemui Krishna. Karena itu ia tidak tinggal diam. Ia segera memutuskan untuk berangkat ke Dwaraka, dengan kereta kudanya yang paling cepat, untuk menemui Wasudewa. Kebetulan, Duryodhana dan Arjuna sampai di Dwaraka pada saat yang sama. Mereka langsung menemui Krishna.
Karena mereka adalah kerabat Krishna, tanpa kesulitan mereka segera dipersilakan masuk ke istana dan menunggu. Waktu itu Krishna sedang tidur. Dengan sabar mereka menunggu. Duryodhana yang masuk lebih dulu ke kamar tidur Krishna lalu duduk di kursi empuk dekat kepala tempat tidur. Arjuna, yang masuk kemudian, berdiri tegak dengan tangan memegangi kaki tempat tidur. Mereka diam, masing-masing tak berniat mendahului bicara. Setelah lama menunggu, akhirnya Krishna bangun. Begitu Madawa alias Krishna terjaga, matanya langsung melihat Arjuna, yang berdiri memberi hormat. Krishna membalasnya dengan memberi salam hangat dan mengucapkan selamat datang. Kemudian ia menoleh dan memberi salam selamat datang kepada Duryodhana.
Kemudian Krishna menanyakan maksud kedatangan mereka. Duryodhana yang pertama bicara, "Agaknya, perang akan pecah di antara kita. Kalau ini tidak bisa dihindari dan mema
ng harus terjadi, engkau harus membantu aku. Arjuna dan aku sama-sama kaukasihi. Kami berdua adalah keluarga dekatmu. Engkau tidak dapat mengatakan salah satu di antara kami lebih dekat denganmu. Tidak mungkin! Aku lebih dulu sampai di sini daripada Arjuna. Sesuai tradisi dan kesopanan, yang datang lebih dulu harus diberi pilihan pertama. Janardana, engkaulah yang termulia di antara orang-orang mulia. Menjadi tugasmulah untuk memberi contoh mulia bagi orang-orang lain. Bertindaklah tegas sesuai dengan kedudukanmu, tradisi, kesopanan, dan dharma! Akulah
yang lebih dulu masuk ke kamar ini."
Purushottama alias Krishna menjawab, "Wahai putra Dritarastra, boleh jadi engkau tiba lebih dulu, tetapi yang pertama kulihat ketika terjaga dari tidurku adalah putra Dewi Kunti. Memang engkau datang lebih dulu, tetapi Arjuna yang lebih dulu kulihat. Namun demikian, tuntutan kalian berdua adalah sama bagiku dan aku harus memberikan bantuan kepada kalian. Dalam menjatuhkan pilihan, menurut tradisi kesempatan sebaiknya diberikan kepada yang lebih muda. Karena itu, aku akan memberikan kesempatan pertama kepada Arjuna.
"Aku berasal dari bangsa Narayana yang tak mudah ditaklukkan. Menurut kami, dalam hal kekuatan ragawi, mereka semua dan seluruhnya sama dengan aku yang seorang diri. Karena itu, dalam membagi bantuan ini, mereka merupakan satu bagian dan aku merupakan bagian lain yang tersendiri. Dalam pertempuran nanti, aku tidak akan menggunakan senjata dan tidak akan ikut bertempur. Aku takkan melepaskan anak panahku atau menggunakan senjata apa pun."
Sesaat kemudian, sambil memandang Arjuna, ia berkata, "Wahai Partha, pikirkan masak-masak. Apakah engkau menghendaki aku yang sendirian tanpa senjata atau
seluruh balatentara Narayana yang gagah perkasa" Gunakan hak untuk lebih dulu memilih yang oleh tradisi diberikan kepadamu sebagai orang yang lebih muda."
Tanpa berpikir lama dan tanpa ragu, Arjuna menjawab, "Aku akan lega jika engkau ada di pihak kami, walaupun tanpa senjata."
Duryodhana tidak dapat menahan kegembiraannya. Dia menganggap pilihan Arjuna bodoh. Dengan senang hati ia memilih balatentara Wasudewa. Dengan kegembiraan yang meluap-luap ia pergi menemui Balarama, kakak Krishna. Kepada pangeran itu ia menceritakan apa yang telah diperolehnya dari Wasudewa dan mengatakan bahwa ia mengharapkan bantuan yang sama.
Balarama berkata kepada Duryodhana, "Wahai Duryodhana, mereka pasti sudah menyampaikan kepadamu apa yang kukatakan dalam perjamuan agung perkawinan putri Wirata dan dalam pertemuan para penasihat agung di
ibukota Negeri Matsya. Aku ungkapkan semua masalah ini
dan sedapatku aku membela kalian. Aku sering mengatakan pada Krishna bahwa kita punya hubungan sama dengan Kaurawa dan Pandawa. Tetapi kata-kataku tidak
berhasil meyakinkan dia. Aku tak berdaya. Tidak mungkin bagiku memihak seseorang atau sesuatu yang bertentangan dengan Krishna. Aku tidak akan membantu Partha dan tidak akan mendukungmu melawan Krishna.
"Duryodhana, engkau adalah keturunan dan ahli waris suatu bangsa kesatria yang perwira dan disegani semua orang di seluruh muka bumi. Seandainya perang harus terjadi, bertindaklah sesuai dengan watak seorang kesatria."


Mahabharata Karya Nyoman S. Pendit di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Setelah menerima doa restu dari Balarama, Duryodhana kembali ke Hastinapura dengan semangat tinggi. Ia berkata kepada dirinya sendiri, "Arjuna telah membodohi dirinya sendiri. Balatentara Dwaraka yang terkenal perkasa akan bertempur di pihakku. Balarama telah memberikan restunya kepadaku. Sementara Krishna telah berjanji takkan ikut berperang atau menggunakan senjata. Ah, rupa-rupanya Arjuna sudah gila."
Setelah Duryodhana pergi, Krishna bertanya kepada Arjuna, "Dhananjaya, kenapa engkau memilih aku yang sendirian tanpa senjata, tanpa pasukan, dan membiarkan balatentara Dwaraka bertempur di pihak Duryodhana""
Arjuna menjawab, "Keinginanku adalah mencapai kebesaran seperti keagunganmu. Engkau memiliki kekuatan dan kesaktian untuk menghadapi semua kesatria di bumi ini. Kelak, aku ingin agar aku juga bisa. Sebab itu, aku ingin memenangkan semua pertempuran dengan engkau sebagai sais keretaku yang tidak memegan
g senjata. Kesempatan seperti itu sudah kuimpi-impikan sejak dulu. Kini engkau memenuhi impianku dan berada di pihak kami. Alangkah bahagianya hatiku."
Sambil tersenyum Krishna berkata, "O, jadi engkau hendak bertempur dengan aku sebagai sais keretamu" Baiklah, semoga engkau berhasil. Terimalah restuku."
Berbeda dengan Krishna, Balarama yang termasyhur sebagai kesatria besar pergi mengunjungi Pandawa untuk menyatakan ketetapan hatinya mengenai perselisihan antara Kaurawa dan Pandawa. Ia mengenakan pakaian
kebesaran berwarna biru. Yudhistira, Krishna dan para
Pandawa menyambutnya dengan hangat. Balarama yang tampak perkasa dengan bahu lebar dan dada bidang itu memberi hormat kepada Drupada dan Wirata, kemudian duduk di samping Dharmaputra.
Setelah cukup berbasa-basi, Balarama menyatakan isi hatinya kepada Dharmaputra.
"Aku datang kemari", katanya memulai, "setelah mendengar bahwa keturunan bangsa Bharata telah membiarkan diri mereka diseret oleh rasa loba, angkara murka dan kebencian. Aku juga telah mendengar tentang gagalnya usaha merundingkan perdamaian. Aku mendengar bahwa akhirnya perang akan diumumkan."
Ia berhenti sesaat, sebab dadanya sesak oleh perasaan sedih dan kecewa terhadap keadaan yang membuat perang saudara tak terhindarkan. Kemudian ia meneruskan ucapannya, kali ini ditujukan kepada Yudhistira, "Dharma-putra, kemusnahan yang mengerikan akan terjadi. Tanah akan dibanjiri darah, mayat manusia akan bergelimpangan. Ini adalah perbuatan setan yang membuat para kesatria menjadi gila harta dan haus perang. Dengarlah, perang hanya akan membuahkan kehancuran.
"Sering kukatakan kepada Krishna bahwa Duryodhana dan Pandawa bagi kami adalah sama. Kami tidak boleh memihak salah satu dari mereka jika mereka bertikai. Tetapi Krishna tidak mau mendengarkan. Rasa sayangnya kepada Dhananjaya sangat besar dan itu membuatnya tak mampu bertindak adil. Dalam perang nanti, aku tahu Krishna telah memutuskan untuk berada di pihakmu. Bagaimana aku bisa berhadapan dengan Krishna, adikku
sendiri, di pihak yang berlawanan"
"Duryodhana dan Bhima pernah menjadi muridku. Aku
menyayangi dan menghormati mereka, tanpa membeda-bedakan atau berat sebelah. Bagaimana mungkin aku membantu yang satu dan melawan yang lain" Aku tidak ingin melihat salah satu dari kalian musnah dalam peperangan nanti. Karena itu, aku tidak akan turut campur dalam peperangan yang akan memusnahkan segalanya. Keputusan yang menyedihkan ini membuatku tak percaya lagi pada dunia ini. Aku akan pergi bertapa, mengasingkan
diri dan berziarah ke tempat-tempat suci."
Setelah berkata demikian, Balarama pergi. Ia sedih dan muak terhadap keburukan dan kejahatan di dunia. Ia bingung menghadapi kenyataan pahit itu.
Begitulah, di dunia ini sesungguhnya banyak orang baik dan jujur yang tidak mampu menentukan pilihan dalam keadaan seperti itu. Apa pun yang dipilih, serba salah dan terlalu berat untuk dihadapi. Sebagai pribadi, mereka merana, putus asa, dan terjerumus dalam dilema yang dapat mematikan semangat, cita-cita, dan gairah hidup.
*** 35. Duryodhana Menjebak Raja Salya
Salya, Raja Negeri Madradesa, adalah saudara Dewi Madri, ibu Nakula dan Sahadewa. Ia mendengar berita bahwa Pandawa berkemah di Upaplawya dan sedang sibuk
mempersiapkan diri menghadapi kemungkinan perang besar yang akan datang. Salya lalu mempersiapkan balatentaranya dalam jumlah amat besar dan mengirim mereka ke tempat berkumpulnya pasukan perang Pandawa. Konon, karena begitu banyaknya jumlah balatentara Salya, untuk beristirahat mereka membutuhkan areal yang
luasnya 20 kilometer persegi.
Berita keberangkatan Salya bersama balatentaranya sampai ke telinga Duryodhana. Ia memerintahkan sejumlah perwiranya untuk menyambut Salya dan membujuknya agar mau bergabung dengan pasukan Kaurawa. Ia memerintahkan pasukannya untuk membangun beratus-ratus balai peristirahatan di sepanjang jalan yang akan dilalui balatentara Salya. Balai peristirahatan itu dihias
serba indah. Waktu beristirahat, balatentara Salya akan
dijamu dengan aneka macam makanan dan minuman yang berlimpah dan dihibur dengan berbagai pertunjukan kesenian
yang memikat. Seluruh balatentara Salya senang dan puas menerima sambutan Duryodhana. Salya berkata kepada salah seorang perwira tinggi pasukan Duryodhana, "Aku ingin memberi hadiah kepadamu dan kepada mereka yang telah menyambut kami dengan ramah, terutama anak buahmu.
Sampaikan kepada Duryodhana bahwa aku sangat berterima kasih kepadanya."
Perwira itu lalu menyampaikan pesan Salya kepada Duryodhana. Mendengar itu, Duryodhana yang memang menunggu-nunggu saat paling baik untuk menemui Salya, segera berangkat menemui Raja Negeri Madradesa itu. Di hadapan Salya, ia menyatakan betapa besarnya kehormatan yang diperolehnya karena Raja Salya merasa senang oleh sambutan pasukan Duryodhana. Tutur kata Duryo-dhana yang ramah benar-benar menyenangkan hati Salya yang sama sekali tidak punya prasangka apa pun. Ia mengira semua itu merupakan ungkapan ketulusan pihak Kaurawa. "Alangkah hormat dan baik hatinya engkau kepada kami," kata Salya yang terbuai oleh sambutan luar biasa dan keramahan pasukan Duryodhana.
"Bagaimana aku bisa membalas budi baikmu""
Duryodhana menjawab, "Sebaiknya kau dan balatentaramu bertempur di pihak kami. Itulah yang kuharapkan sebagai balas budimu."
Salya sangat kaget mendengarnya. Ia terdiam, terpaku. Maka sadarlah ia dengan siapa sebenarnya ia berhadapan.
Duryodhana melanjutkan, "Engkau sama berartinya
bagi kami berdua. Bagimu, kami sama dengan Pandawa. Engkau harus penuhi permintaanku dan berikan bantuanmu kepadaku."
Karena telah menerima pelayanan yang sangat baik dari anak buah Duryodhana selama beristirahat di pesanggrahan, dengan singkat Salya menjawab, "Kalau memang
demikian keinginanmu, baiklah!"
Duryodhana yang belum merasa yakin akan jawaban itu, mendesak Salya sekali lagi sebelum raja itu pergi.
Salya memandang Duryodhana dengan tajam sambil berkata, "Duryodhana, percayalah kepadaku. Aku berikan kehormatan ucapanku kepadamu. Tetapi, aku harus menemui Yudhistira untuk menyampaikan keputusanku."
Akhirnya Duryodhana berkata, "Pergilah menemui Yudhistira, tetapi kembalilah segera. Jangan ingkari janjimu,"
kata Duryodhana seperti memerintah.
"Kembalilah ke istanamu dan peganglah kata-kataku.
Aku tidak akan mengkhianatimu," kata Salya. Setelah berkata demikian ia meneruskan perjalanannya menuju Upa-plawya, tempat perkemahan Pandawa.
Pandawa menyambut paman mereka, Raja Madradesa, dengan gembira. Nakula dan Sahadewa langsung menceritakan pengalaman pahit yang mereka alami selama hidup
di pengasingan. Tetapi, ketika mereka mengharapkan bantuan Salya dalam peperangan yang akan datang, Raja Ma-dradesa berkata bahwa ia telah menjanjikan dukungannya kepada Duryodhana.
Yudhistira sangat terkejut dan menyesali dirinya sendiri
karena sejak awal yakin bahwa Salya akan berpihak pada Pandawa. Ia mencoba menutupi kekecewaannya dengan berkata, "Pamanku yang perkasa, engkau mempunyai kewajiban untuk memenuhi janjimu kepada Duryodhana. Kedudukanmu akan sama dengan Krishna dalam pertempuran nanti. Karna pasti akan mengharapkan Paman untuk menjadi sais keretanya waktu ia berhadapan dengan Arjuna. Apakah Paman akan menyebabkan kematian Arjuna atau Paman akan menghindarkannya dari maut" Tentu saja aku tidak bisa memintamu untuk menjatuhkan pilihan. Aku hanya mengungkapkan isi hatiku dan keputusan terletak di tangan Paman."
Salya menjawab, "Anak-anakku, aku telah dijebak oleh Duryodhana. Aku telah berjanji akan membela dia. Ini berarti aku harus berhadapan dengan kalian. Tetapi, seandainya Karna memintaku menjadi sais keretanya dalam pertarungan melawan Arjuna, ia pasti gentar menghadapinya. Arjuna pasti menang. Segala penghinaan yang kalian terima dan diderita oleh Draupadi akan berubah menjadi kenangan indah bagi kalian. Kelak kalian akan hidup bahagia. Aku telah berbuat salah. Sepantasnyalah aku memikul akibatnya."
*** 36. Usaha Mencari Jalan Damai
Pada waktu Pendita Negeri Matsya berangkat ke Has-tinapura membawa pesan perdamaian, perkemahan Pandawa di Upaplawya didatangi raja-raja yang ingin bergabung dengan mereka. Para raja itu membawa balatentara masing-masing, lengkap dengan persenjataan mereka. Keseluruhan balat
entara Pandawa berjumlah tujuh divisi, sedangkan balatentara Kaurawa berjumlah sebelas divisi. Adapun kekuatan satu divisi pada jaman itu kira-kira terdiri dari 21.870 kereta, 21.870 gajah, 65.500 kuda dan 109.350 prajurit darat yang dilengkapi dengan
berbagai senjata perang. Pendita utusan Raja Drupada tiba di istana Dritarastra dan sesuai tradisi ia diterima dengan upacara kehormatan. Setelah memperkenalkan diri, Pendita Negeri Matsya berbicara atas nama Pandawa, "Hukum bersifat abadi dan
memiliki kewenangan tersendiri. Tuan-Tuan semua tahu akan hal ini. Karena itu, aku tidak perlu menjelaskan lagi.
"Dritarastra dan Pandu adalah putra Wicitrawirya. Menurut tradisi, keduanya berhak mewarisi harta peninggalan ayah mereka. Berlawanan dengan kelaziman ini, putra-putra Dritarastra menyatakan bahwa seluruh kerajaan Hastina adalah hak mereka. Putra-putra Pandu dinyatakan tidak memiliki warisan apa-apa. Menurut hukum dan undang-undang yang berlaku, hal ini tidak adil.
"Wahai keturunan bangsa Kuru yang saya muliakan, Pandawa menginginkan perdamaian. Mereka bersedia melupakan semua penderitaan yang mereka alami di pengasingan. Mereka tidak menghendaki peperangan, sebab mereka sadar peperangan tidak akan membawa kebaikan, hanya kemusnahan. Karena itu, berikanlah apa yang patut mereka miliki berdasarkan hukum dan undang-undang, sesuai dengan keadilan dan persetujuan yang telah disepakati. Hendaknya jangan Tuan-Tuan menundanya lagi."
Setelah utusan itu selesai bicara, Bhisma yang bijaksana bangkit berdiri dan berkata, "Atas karunia Dewata, Pandawa dalam keadaan baik dan sejahtera. Mereka memperoleh bantuan dari banyak raja, hingga pasukan mereka kuat dan cukup jumlahnya untuk bertempur. Tetapi, mereka tidak menghendaki perang terjadi. Mereka tetap berusaha untuk mencari jalan damai. Mengembalikan milik mereka yang menjadi hak mereka adalah satu-satunya jalan menuju kebenaran dan keadilan."
Meskipun Bhisma belum selesai bicara, Karna telah bangkit berdiri dan menyela. Dengan pedas ia berkata kepada utusan Pandawa, "Wahai Brahmana, apakah yang kaukatakan itu sesuatu yang baru" Tak ada gunanya mengulang cerita lama! Yudhistira tak berhak menuntut miliknya yang sudah dipertaruhkannya di meja judi, karena ia kalah. Kalau dia masih ingin memiliki bagian dari kerajaannya, dia harus datang memintanya sebagai pemberian. Tetapi nyatanya, dengan sombong ia menuntut sesuatu yang bukan haknya sebab dia merasa kuat berkat dukungan sekutu-sekutunya, terutama dari Matsya dan Pancala.
"Baiklah kujelaskan di sini bahwa tidak sesuatu pun akan diperoleh dari Duryodhana dengan jalan tipu muslihat dan ancaman. Seperti telah terbukti, dalam tahun ketiga belas seharusnya Pandawa bersembunyi sebaik-baiknya. Jangan sampai keberadaan mereka diketahui. Tetapi, nyatanya mereka ketahuan sebelum bulan kedua belas tahun ketiga belas berakhir. Menurut perjanjian, seharusnya mereka menjalani pengasingan lagi selama dua belas tahun."
Bhisma menyela, "Wahai Karna, jangan engkau berkata demikian. Kalau kita tidak mendengarkan pesan yang disampaikan utusan itu, perang akan pecah. Ketahuilah, kita pasti kalah dan musnah."
Sidang itu menjadi ramai dan kacau. Raja Dritarastra dituntun Sanjaya naik ke mimbar. Setelah menyuruh semua yang hadir diam, ia berkata kepada utusan itu, "Demi keselamatan dunia dan kesejahteraan Pandawa, aku putuskan untuk mengirim Sanjaya berunding dengan Pandawa. Pulanglah, hai sang duta. Sampaikan hal ini kepada Yudhistira."
Pedang Sinar Emas 2 Wiro Sableng 110 Rahasia Patung Menangis Istana Pulau Es 16
^