Pencarian

Mahabharata 6

Mahabharata Karya Nyoman S. Pendit Bagian 6


Dritarastra kemudian memberikan pesan-pesan kepada Sanjaya, "Pergilah menemui putra-putra Pandu. Sampaikan salam kasihku kepada mereka dan salam hormatku kepada Krishna, Satyaki dan Wirata. Pergilah atas namaku dan berundinglah dalam suasana kekeluargaan untuk menghindari peperangan."
Maka berangkatlah Sanjaya ke Upaplawya dengan membawa pesan perdamaian! Dalam pertemuan khusus yang diadakan untuk menyambut kedatangannya, Sanjaya berkata singkat, "Dharmaputra, merupakan kebahagiaan dan kehormatan bagiku mendapat kesempatan untuk bertemu dengan putra-putra Pandu. Engkau dikelilingi sanak-saudara dan sahabat-sahabatmu. Itu yang
membuatku merasa lega. Raja Dritarastra mengutusku untuk menyampaikan salam kasih dan doa restunya bagimu. Ia tidak menginginkan perang. Ia menginginkan persaudaraan, persahabatan dan perdamaian dengan Pandawa."
Mendengar kata-kata Sanjaya, dengan senang hati Yudhistira menyambut, "Kalau memang demikian, berarti putra-putra Dritarastra telah sadar. Kalau memang demikian, kita semua bisa tenang. Kalau kerajaan kami dikembalikan, kami bersedia melupakan segala perselisihan kita dan kepahitan yang kami alami di masa lalu."
Sanjaya melanjutkan, "Yudhistira, janganlah berharap bahwa putra-putra Dritarastra akan sadar. Mereka tidak seperti yang kaubayangkan. Mereka tetap menentang ayah
mereka dan menginginkan perang. Tetapi, kuharap engkau tidak kehilangan kesabaran.
"Yudhistira, engkau selalu bertindak adil dan jujur serta bersikap tegas menjunjung kebenaran. Mari kita hindari peperangan. Apakah kebahagiaan dapat dinikmati dari kekayaan hasil rampasan perang" Apa gunanya memiliki kerajaan dengan jalan membunuh sanak kerabat sendiri" Karena itu, janganlah engkau memulai permusuhan. Pandawa mungkin mampu menaklukkan dunia tanpa batas, tapi usia lanjut dan kematian tidak bisa dihindari. Duryo-dhana dan saudara-saudaranya memang jahat dan serakah, tetapi jangan sampai engkau terbawa nafsu, memunggungi kebenaran dan hilang kesabaran. Walaupun mereka
tidak mau mengembalikan kerajaanmu, janganlah engkau
tinggalkan jalan kemuliaan dharma."
Yudhistira menjawab, "Sanjaya, apa yang engkau katakan itu benar. Memegang kebenaran adalah harta terbaik. Tapi, bukankah kami tidak melakukan kejahatan" Krishna
tahu akan hakikat kebenaran dan dharma. Ia mengharapkan kita, kedua belah pihak, selamat dan sentosa. Aku akan minta pertimbangannya."
Krishna berkata, "Aku menginginkan kesejahteraan bagi Pandawa. Aku juga mengharapkan Dritarastra dan putra-putranya bahagia. Ini sulit. Aku pikir, mungkin aku bisa menyelesaikan masalah ini dengan pergi sendiri ke Hastinapura. Kalau kita bisa mencapai persetujuan yang tidak merugikan Pandawa, aku senang. Kalau aku berhasil berbuat demikian, berarti Kaurawa dapat diselamatkan dari kemusnahan. Sungguh sesuatu yang sangat berarti dalam sejarah. Kalau dengan jalan perdamaian Pandawa bisa memperoleh apa yang mereka kehendaki, mereka akan tetap menaruh hormat kepada Dritarastra. Tetapi kalau perang tak bisa dihindari, Pandawa siap menghadapinya. Apa boleh buat! Dari dua kemungkinan ini, silakan Dritarastra memilih. Perang atau damai. Damai atau perang."
Yudhistira berkata lagi, "Wahai Sanjaya, kembalilah ke
Hastinapura dan sampaikan pesanku ini kepada Paman
Dritarastra. "Bukankah berkat ketulusan hati Paman, kami memperoleh sebagian wilayah kerajaan sebagai warisan ketika kami masih muda" Paman pernah menjadikan aku sebagai
raja dan Paman seharusnya mengakui hak kami sebagai pewaris yang sah. Paman seharusnya tidak mengusir kami, hingga kami terpaksa hidup seperti pengemis yang menggantungkan nasib pada belas kasihan orang. Paman yang kami hormati, sesungguhnya kerajaan kita cukup luas untuk dibagi dua. Karena itu, mari hindari permusuhan di antara kita.
"Demikianlah hendaknya engkau sampaikan pesanku
kepada Raja Dritarastra. Sampaikan salam hormat dan
kasihku kepada Kakek Bhisma dan mohonkan restunya agar semua cucunya hidup bahagia dan bersatu, tanpa permusuhan. Salam juga untuk Widura. Ia adalah orang yang paling bisa melihat dengan lurus dan dapat memberi nasihat dengan adil. Tolong sampaikan pesanku ini kepada Duryodhana.
Saudaraku tercinta, engkau telah menyebabkan
kami, putra-putra pamanmu, hidup mengembara di hutan
dan mengenakan pakaian kulit kayu. Engkau telah menghina dan menyeret istri kami di depan orang banyak. Kami terima semua itu dengan sabar. Kini, kembalikan milik kami yang sah. Kami ini berlima, setidak-tidaknya kembalikan lima desa kepada kami. Dan marilah kita berdamai. Sambutlah uluran tangan kami dengan hati ikhlas dan
damai.' "Ya, Sanjaya, sampaikan ini kepada Duryodhana. Kami siap menempuh jalan damai, tapi ... jika Kaurawa menghendaki, kami pun siap menempuh jalan perang."
Sanjaya kemb ali ke Hastinapura dengan membawa pesan penting untuk Dritarastra dan dan Duryodhana.
*** 37. Krishna dalam Wujud Wiswarupa
Sejak Sanjaya berangkat menuju perkemahan Pandawa di Upaplawya, Dritarastra gelisah dan cemas menantikan berita yang akan dibawa kembali oleh utusannya. Siang tak enak makan, malam tak enak tidur. Ia memanggil Widura untuk menemaninya bercakap-cakap.
Widura berkata, "Yang terbaik dan paling aman adalah mengembalikan wilayah kerajaan Pandawa seperti semula.
Hanya itu yang akan membawa kebaikan dan keabadian
bagi kedua belah pihak. Perlakukan Pandawa dan putra-putramu dengan kasih sayang yang sama. Dalam hal ini,
cara yang benar adalah penyelesaian yang bijaksana."
Demikianlah Widura mencoba menghibur dan memberi jalan kepada Dritarastra yang buta agar raja itu dapat bertindak tepat terhadap anak-anaknya dan kemenakannya.
Esok harinya Sanjaya telah kembali ke Hastinapura. Ia memberikan laporan panjang lebar. Sebelum menutup laporannya, ia berkata, "Yang terpenting, Duryodhana
harus tahu apa yang dikatakan oleh Arjuna, yaitu:
"... Krishna dan aku akan hancurkan Duryodhana dan seluruh pengikutnya. Jangan kalian keliru tentang ini. Panah Gandiwaku sudah tidak sabar untuk dibawa bertempur. Busur panahku bergetar biarpun tidak kubidik-kan. Di dalam sarungnya, anak panahku bergemerincing beradu, minta segera dilepaskan dari tali busurnya untuk menembus dada Duryodhana yang serakah dan nekat
menantang aku dan Krishna. Ingat, dewa-dewa pun takkan bisa mengalahkan kami.'
"Demikianlah yang dikatakan Dhananjaya kepadaku."
Bhisma mencoba menasihati Dritarastra agar melarang putra-putranya mengadu kekuatan dengan Arjuna dan Krishna. Berkatalah Bhisma, "Karna yang membanggakan diri sanggup membunuh Pandawa kesaktiannya tidak sampai seperenambelas kesaktian Pandawa. Putra-putramu membiarkan diri mereka terseret ke lembah kehancuran karena mendengarkan kata-kata Karna.
"Ketika Arjuna membalas serangan putra-putramu terhadap Raja Wirata dan kemudian mengalahkan Duryodhana, apa yang dilakukan Karna" Ketika Chitrasena si
raja raksasa menaklukkan dan menawan Duryodhana, di manakah Karna" Bukankah Arjuna yang membebaskan Duryodhana dan mengusir Chitrasena"" Demikianlah Bhisma terpaksa menjelaskan tentang bagaimana sebenarnya sikap Karna selama ini.
"Apa yang engkau katakan, wahai Bhisma sang tetua keluarga, adalah satu-satunya jalan yang patut ditempuh,"
sahut Dritarastra. Lalu ia melanjutkan, "Setiap orang
bijaksana berkata demikian. Aku sendiri juga yakin, itulah
satu-satunya jalan untuk mencapai perdamaian. Tetapi
apa yang dapat kulakukan" Anak-anakku memang serakah dan buta hati. Mereka ingin menempuh jalan mereka
sendiri, tanpa meminta persetujuanku."
Duryodhana, yang mendengar pembicaraan ayahnya dengan Bhisma, menyela, "Ayahanda, jangan cemaskan
keselamatan kami. Jangan takut! Kami tahu kekuatan
kami. Kita pasti menang. Yudhistira juga tahu. Kulihat ia sudah putus asa dan akhirnya hanya minta lima desa. Apalagi yang kurang jelas" Ia sudah mulai ketakutan akan
menghadapi sebelas divisi balatentara kita. Apa yang dapat
dilakukan Pandawa untuk melawan balatentara kita" Kenapa Ayahanda meragukan keunggulan kami""
"Anakku sayang, sebaiknya kita hindari perang. Belum puaskah kamu memiliki separo dari kerajaan ini" Yang
menjadi hakmu itu sebenarnya lebih dari cukup apabila kita bina dengan sebaik-baiknya," kata Dritarastra.
Tetapi Duryodhana tidak mengindahkan nasihat ayahnya. Ia sudah muak mendengar berbagai nasihat. Kemudian ia berkata dengan keras, "Sejengkal tanah pun takkan kuberikan kepada Pandawa. Setapak pun aku tak sudi bergeser!" Setelah berkata demikian, ia meninggalkan ayahnya tanpa mohon diri.
Sementara itu, setelah Sanjaya meninggalkan Upapla-wya, Yudhistira berunding dengan Krishna. Katanya, "Wasudewa, Sanjaya adalah bayangan Dritarastra. Dari ucapannya, aku mencoba menangkap apa yang sebenarnya ada dalam pikiran Dritarastra. Ia mencoba mengajak kami berdamai, tanpa mengembalikan tanah kami. Sejengkal pun tidak. Mulanya aku senang mendengar ucapannya. Tapi, setelah menyimak dan merenungkan kata-katanya, ak
u sadar, kegembiraanku tidak beralasan. Kemudian ia menyatakan keinginan untuk berdamai, tetapi dengan syarat yang membuat posisi kami lemah karena mereka takkan mengembalikan hak kami.
"Dritarastra memang bersikap tidak adil kepada kami. Berarti saat-saat gawat semakin dekat. Tidak ada orang lain, kecuali engkau yang dapat menolong kami. Aku telah ajukan tuntutan sesedikit mungkin: hanya lima desa. Tetapi Kaurawa yang serakah pasti tetap menolak. Bagaimana kami bisa bertenggang rasa menghadapi sikap seperti itu" Hanya engkau yang dapat memberi nasihat kepada kami. Hanya engkau yang bisa menunjukkan apa tugas kami sekarang. Hanya engkau yang mampu memimpin kami dalam dharma."
Krishna menanggapi, "Demi kebaikan kalian, kedua
belah pihak-maksudku, sebaiknya aku pergi ke Hastinapura. Aku akan mencoba memintakan hak kalian tanpa peperangan. Kalau usahaku berhasil, itu berarti kebaikan bagi dunia dan umat manusia."
Kata Yudhistira, "Wahai Krishna, engkau tak perlu pergi ke Hastinapura. Apa gunanya engkau pergi ke tempat
musuh" Duryodhana sebenarnya penakut, membenci kebajikan, dan keras kepala. Aku tidak setuju engkau pergi menemuinya. Aku mengkhawatirkan keselamatanmu karena Kaurawa yang licik akan nekat dan bisa berbuat apa saja."
Krishna menjawab, "Dharmaputra, aku tahu Duryodha-na memang jahat, tetapi kita tetap harus berusaha mencapai penyelesaian secara damai agar rakyat tidak menuduh kita tidak berusaha untuk menghindari peperangan. Cara apa pun akan kita tempuh, demi perdamaian. Jangan khawatirkan keselamatanku. Jika Kaurawa berani mengancam atau melukai aku yang datang sebagai duta perdamaian, aku akan remukkan mereka hingga menjadi abu!"
Yudhistira berkata lagi, "Engkau tahu segala dan
semua. Engkau tahu hati kami dan hati mereka. Memang, engkaulah utusan yang paling baik dan paling tepat."
Krishna menanggapi, "Ya, aku mengenalmu dan mengenal Duryodhana dengan baik. Jiwamu selalu teguh memegang kebenaran. Jiwa mereka selalu diliputi kebencian, iri hati dan permusuhan. Aku akan berusaha sebaik mungkin agar apa yang kau cita-citakan tercapai, yaitu penyelesaian tanpa perang. Memang, kemungkinan itu sangat kecil dan
situasi sekarang ini membuahkan firasat buruk. Tetapi,
kewajiban kita untuk selalu mengusahakan perdamaian."
Demikianlah percakapan Yudhistira dengan Krishna sebelum Raja Dwaraka itu berangkat ke Hastinapura diiringkan Satyaki. Sebelum berangkat, sekali lagi Krishna mengajak Pandawa berunding dengan sungguh-sungguh.
Dalam perundingan itu, sungguh terasa bahwa setiap orang di pihak Pandawa menghendaki perdamaian. Bahkan Bhima, yang terkenal keras kepala, juga memilih perdamaian. Demikian kata Bhima, "Janganlah kita memusnahkan bangsa kita; juga keturunannya. Kalau bisa
diusahakan, aku lebih memilih perdamaian."
Tetapi Draupadi tidak bisa melupakan penghinaan yang pernah dialaminya. Sambil mengusap-usap rambutnya yang panjang, dengan suara tersendat-sendat ia berkata
kepada Krishna, "Madusudana, perhatikanlah rambutku ini, bekas penghinaan. Kehormatan apa yang harus dijunjung" Tidak ada perdamaian tanpa kehormatan! Kalaupun Bhima dan Arjuna tidak setuju jalan perang, ayahku- walaupun sudah tua-pasti akan pergi ke medan perang bersama anak-anakku. Mungkin ayahku tidak setuju, tetapi anak-anakku dan Abhimanyu, anak Subadra, akan memimpin pertempuran melawan Kaurawa. Demi pengabdianku kepada Dharmaputra, tiga belas tahun kulewatkan dengan memendam kebencianku pada Kaurawa. Tetapi kini, aku sudah tidak tahan lagi!"
Krishna menjawab, "Mungkin sekali anak-anak Drita-rastra tidak akan peduli akan usul perdamaian ini. Dalam perang, mereka akan berjatuhan dan musnah. Tak ada yang akan melakukan upcara persembahyangan untuk mereka. Mayat mereka akan jadi santapan serigala dan anjing hutan.
"Engkau akan menyaksikan kami pulang membawa kemenangan. Semua penghinaan yang pernah engkau terima, akan mereka bayar mahal. Sabarlah, saat itu akan
segera tiba." Setelah berkata demikian, berangkatlah Krishna alias Madhusudana ke Hastinapura.
Berita kedatangan Krishna telah sampai ke Hastinapura jauh sebelum dia dan pengiringnya me
lewati perbatasan. Dritarastra memerintahkan agar Hastinapura dihias dengan semarak dan upacara penyambutan dipersiapkan dengan sebaik-baiknya. Kediaman Duhsasana, yang paling indah dari semua kediaman Kaurawa, disiapkan untuk tempat beristirahat Krishna dan pengiringnya.
Dritarastra meminta nasihat kepada Widura, "Sebaiknya kita siapkan upacara pemberian gelar dan hadiah untuk Krishna. Kita hadiahkan kereta kencana, gajah, kuda, dan sejumlah hadiah lain."
Widura menjawab, "Krishna tak mungkin dibujuk dengan gelar dan hadiah. Berikan apa yang ia kehendaki. Bukankah ia datang untuk mengusahakan penyelesaian secara damai" Usahakan untuk memenuhinya. Krishna
takkan silau oleh hadiah dalam bentuk apa pun. Ia akan
puas jika kedatangannya membuahkan perdamaian."
Ketika Krishna dan para pengiringnya tiba di Hastina-pura, penduduk berdiri di pinggir jalan, mengelu-elukan kedatangannya. Saking padatnya jalanan, kereta mereka nyaris tak bisa bergerak. Pertama-tama Krishna pergi ke istana Dritarastra, kemudian ke kediaman Widura. Dewi Kunti menemuinya di kediaman Widura. Ibu para kesatria Pandawa itu menangis ketika bertemu dengan Krishna. Ia sedih karena ingat akan penderitaan putra-putranya selama tiga belas tahun. Krishna menghibur Dewi Kunti dengan mengabarkan bahwa saat itu Pandawa selamat dan sejahtera.
Dari kediaman Widura, Krishna pergi ke kediaman Duryodhana untuk menyampaikan maksud kedatangannya, yaitu mengharapkan penyelesaian yang wajar.
Duryodhana menyambut Krishna dan mengundangnya untuk makan-makan, tetapi dengan halus Krishna menolaknya. Katanya, "Terima kasih atas undanganmu. Saya terima undangan makan-makan itu. Tetapi, sebaiknya itu dilaksanakan setelah kita mencapai kesepakatan untuk memilih jalan damai."
Setelah menyampaikan pesannya kepada Duryodhana, Krishna minta diri untuk kembali ke kediaman Widura. Di sanalah ia tinggal selama ia menjalankan tugasnya di Hastinapura. Krishna dan Widura lalu mengadakan pembicaraan. Widura menjelaskan kepada Krishna bahwa keangkuhan Duryodhana disebabkan oleh keyakinannya akan kesaktiannya sendiri.
Kecuali itu, Bhisma dan Drona tetap berada di pihaknya. Widura memberi isyarat bahwa sebaiknya Krishna dan pengiringnya tidak masuk ke ruang perundingan yang akan diselenggarakan oleh Duryodhana. Ia yakin, Duryo-dhana dan saudara-saudaranya pasti telah merencanakan suatu perangkap untuk membunuh Krishna.
"Apa yang engkau katakan tentang Duryodhana itu benar. Aku datang kemari dengan harapan bisa merundingkan penyelesaian secara damai. Aku tidak ingin dikutuk oleh dunia. Jangan engkau khawatirkan keselama-tanku," kata Krishna.
Keesokan harinya Duryodhana dan Sakuni datang menemui Krishna, mengatakan bahwa Dritarastra telah menunggu kedatangannya. Krishna segera pergi ke tempat perundingan bersama Satyaki dan Widura. Pada waktu Krishna memasuki ruangan, semua yang hadir di situ serentak berdiri dan memberikan salam hormat dengan mengatupkan kedua telapak tangan. Kemudian Krishna dipersilakan duduk di kursi yang telah disediakan baginya. Setelah upacara penyambutan selesai, tibalah giliran Krishna untuk bicara.
Sambil memandang Dritarastra dengan penuh hormat, Krishna menjelaskan maksud kedatangannya kepada hadirin. Ia juga menjelaskan apa yang sebenarnya diinginkan pihak Pandawa. Akhirnya secara khusus Krishna berkata
kepada Dritarastra, "Paduka Raja, hendaknya Tuanku jangan membawa kehancuran bagi rakyat. Renungkan ini:
sesuatu dikatakan jelek apabila baik bagi dirimu sendiri dan sesuatu dikatakan baik apabila jelek bagi dirimu sendiri.
"Tugasmu adalah untuk menuntun putra-putramu. Pandawa siap bertempur, tetapi mereka memilih perdamaian. Mereka ingin hidup rukun dan bahagia di bawah pimpinanmu. Perlakukan mereka sebagaimana putra-putramu sendiri. Berusahalah untuk mencari penyelesaian yang damai dan terhormat. Pasti dunia akan menghormati engkau!" Demikianlah, Krishna berkata dengan sungguh-sungguh. Dritarastra yang buta berkata kepada para hadirin, "Saudara-saudara dan sahabat-sahabatku, dalam hal ini aku tidak bersalah. Aku juga mengharapkan perdamaian, sama seperti yang dikata
kan Krishna. Tetapi aku tidak berdaya. Putra-putraku tidak mau mendengarkan kata-kataku. Krishna, aku harap kau berhasil menasihati Duryodhana."
Krishna menoleh ke arah Duryodhana dan berkata,
"Engkau keturunan keluarga agung dan terhormat. Berjalanlah di jalan dharma. Buanglah iri, dengki dan dendam
di hatimu karena itu tidak sesuai dengan keagunganmu. Perasaan seperti itu hanya pantas bagi orang yang berasal dari keturunan berbudi rendah. Karena engkaulah, keturunan dan keluarga ini berada dalam bahaya kehancuran. Dengarkan dan pertimbangkan usul kami yang adil dan wajar ini.
"Pandawa menghendaki Dritarastra menjadi raja dan engkau menjadi ahli warisnya. Berdamailah dengan mereka dan serahkan separo kerajaan ini kepada mereka."
Bhisma dan Drona menasihati Duryodhana agar mau mendengarkan kata-kata Krishna. Tetapi hati Duryodhana sudah keras, tidak bisa dilembutkan.
"Aku kasihan melihat ayahmu, Dritarastra, dan ibumu,
Dewi Gandhari. Karena keserakahanmu, mereka menderita, putus asa dan kehilangan segalanya," kata Widura kepada Duryodhana.
Sekali lagi Dritarastra berkata kepada putranya, "Dur-yodhana! Kalau engkau tidak mau mendengarkan nasihat Krishna, bangsamu akan musnah."
Bhisma dan Drona tidak putus-putusnya menasihati Duryodhana agar tidak berjalan ke arah yang salah. Tetapi Duryodhana justru kehilangan kesabaran. Ia tidak dapat menahan kekesalannya lagi, lebih-lebih karena merasa dipojokkan untuk menyetujui penyelesaian secara damai. Kekesalan dan amarahnya meledak! Dia berdiri lalu berkata lantang, "Wahai, Krishna, engkau menyalahkan aku sebab engkau memihak Pandawa. Yang lain juga menyalahkan aku, tetapi aku yakin bukan aku yang harus dikutuk. Atas kehendak mereka sendiri Pandawa telah mempertaruhkan kerajaan mereka. Mana bisa aku yang harus bertanggung jawab atas urusan ini" Setelah kalah dalam permainan, sesuai permufakatan yang terhormat, mereka harus masuk hutan seperti kesepakatan kita semula.
"Sekarang, kesalahan apalagi yang mereka tuduhkan kepada kami" Mengapa kami dituduh haus perang dan
pembunuhan" Aku tidak gentar menghadapi ancaman apa
pun. Ketika aku masih bocah, orang-orang yang lebih tua selalu menyalahkan dan menyakiti hati kami dengan selalu membenarkan, membela, dan menyanjung Pandawa. Aku tidak tahu, mengapa mereka harus mendapat setengah dari kerajaan ini padahal sesungguhnya mereka sama sekali tidak berhak. Waktu itu, aku diam dan setuju saja. Tetapi, bukankah mereka telah mempertaruhkan kerajaannya dalam permainan dadu dan mereka kalah" Sejengkal pun takkan kuberikan wilayah kerajaanku kepada Pandawa!" kata Duryodhana tanpa rasa bersalah sama sekali.
Krishna tersenyum dan berkata, "Bukankah engkau telah mempersiapkan permainan itu dengan licik" Bersama dengan Sakuni, kau memperdayakan Pandawa. Permainan kauatur sedemikian hingga Pandawa tak mungkin menang. Dengan keji kauhina Draupadi di depan para raja dan tamu-tamu lainnya. Tanpa malu engkau tetap bersitegang bahwa engkau sama sekali tidak bersalah."
Duhsasana menanggapi pembicaraan tersebut dengan mengatakan bahwa Bhisma dan para tetua lainnya sudah termakan oleh kata-kata Krishna yang memojokkan Duryo-dhana. Tiba-tiba ia berdiri lalu berkata dengan lantang, "Saudaraku, rupa-rupanya orang-orang dalam perundingan ini telah menyiapkan rencana jahat terhadap dirimu.
Mereka hendak mengikat kaki dan tanganmu dengan tali
tipu muslihat dan menyerahkan dirimu pada Pandawa. Ayo, kita pergi dari sini."
Demikianlah, Duryodhana dan saudara-saudaranya segera meninggalkan perundingan.
Krishna meneruskan pembicaraan dengan hadirin yang masih ada. Ia berkata, "Tuan-Tuan yang mulia, bangsa Yadawa dan bangsa Wrisni kini hidup damai dan bahagia setelah Kamsa dan Sisupala mati. Demi menyelamatkan seluruh rakyat, mungkin kita perlu mengorbankan satudua orang.
"Bukankah ada kalanya sebuah desa harus dikosongkan atau dimusnahkan demi menyelamatkan seluruh
negeri dari petaka wabah penyakit" Aku khawatir, kita terpaksa mengorbankan Duryodhana bila Tuan-Tuan hendak menyelamatkan bangsa ini. Inilah satu-satunya jalan."
Dritarastra menyuruh Widura memanggil Dewi Ga
ndha-ri, permaisurinya dan ibu para Kaurawa. Ia berharap Duryodhana mau mendengarkan nasihat ibunya dan mengambil keputusan dengan akal sehat. Tetapi Duryo-dhana berkata dengan mata merah melotot, "Tidak, tidak, tidak!" lalu pergi tanpa memberi hormat kepada siapa pun.
Duryodhana menyusun rencana untuk menculik dan membunuh Krishna. Rencana itu segera sampai ke ruang perundingan. Krishna, yang sudah mengetahui rencana itu
sejak semula, tiba-tiba memperlihatkan keaslianNya. Selama beberapa saat Dritarastra yang buta dapat melihat Krishna dalam wujudNya yang suci dan agung, wujud
sebagai penjelmaan Hyang Widhi yang membawa perdamaian. Dritarastra lalu menyembah.
"Oh Hyang Widhi, setelah melihat Engkau dalam bentuk Wiswarupa, aku tidak ingin melihat apa-apa lagi. Biarlah
aku buta untuk selama-lamanya," katanya sambil memejamkan matanya lagi. Seketika itu ia kembali buta seperti sediakala.
Dritarastra meneruskan ucapannya, "Semua usaha kita gagal. Duryodhana memang kepala batu."
Setelah tidak ada lagi yang perlu dibicarakan, pertemuan diakhiri. Krishna segera meninggalkan ruangan didampingi Satyaki dan Widura. Ia langsung menemui Dewi Kunti dan mengabarkan bahwa usahanya gagal. Dewi Kunti meminta agar Krishna menyampaikan restunya kepada putra-putranya.
"Sekarang saatnya menunjukkan untuk apa sebenarnya seorang ibu membesarkan putra-putranya hingga menjadi kesatria, yaitu untuk dikorbankan di medan perang. Semoga engkau dapat menuntun mereka dalam pertempuran," kata Dewi Kunti kepada Krishna. Setelah bercakap-cakap sebentar, Krishna cepat-cepat naik ke keretanya lalu
melecut kudanya agar berlari kencang menuju Upaplawya.
Jalan damai sudah diusahakan, tapi peperangan tak
terhindarkan! *** 38. Yang Berpihak, Yang Bertentangan, dan Yang Berdamai
Sepeninggal Krishna, Dewi Kunti merasa sangat sedih memikirkan anak-anaknya. Ia ngeri membayangkan peperangan yang akan terjadi, yang tak mungkin dielakkan lagi. Hatinya bertanya-tanya, "Bagaimana mungkin aku
bisa menyatakan isi hatiku kepada anak-anakku" 'Pikullah segala penghinaan. Sebaiknya kita tidak usah meminta pembagian kerajaan dan hindari peperangan"'
"Bagaimana mungkin anak-anakku bisa menerima pikiranku yang bertentangan dengan tradisi kesatria" Tetapi sebaliknya, apa yang akan diperoleh dari saling membunuh dalam peperangan" Dan kebahagiaan seperti apa yang akan dicapai setelah musnahnya bangsa ini" Bagaimana aku harus menghadapi ini""
Berbagai pertanyaan timbul di hati Dewi Kunti, pertanyaan tentang peperangan, kemusnahan total dan kehormatan kesatria.
"Bagaimana anak-anakku bisa mengalahkan bersatunya tiga kekuatan kesatria Bhisma, Drona dan Karna" Mereka adalah senapati-senapati perang yang belum pernah terkalahkan.
"Bila kubayangkan semua ini, hatiku terasa pedih. Aku
tidak mengkhawatirkan kekuatan yang lain; hanya ketiga
kesatria itu yang sanggup membuat Kaurawa menang melawan Pandawa.
"Dari ketiga kesatria itu, mungkin Mahaguru Drona tidak akan membunuh anak-anakku, bekas murid-muridnya yang dikasihinya. Kakek Bhisma tentu tidak akan
sampai hati membunuh Pandawa. Tetapi, Karna adalah musuh bebuyutan Pandawa. Ia sangat ingin menyenangkan hati Duryodhana dengan membunuh anak-anakku.
"Karna sungguh tangkas berolah senjata perang, senjata apa pun. Bila kubayangkan Karna bertempur melawan anak-anakku, hatiku pedih sekali. Sepertinya sudah waktunya aku menemui Karna dan mengatakan kepadanya siapa sebenarnya dia. Kuharap, setelah tahu asal-usulnya ia mau meninggalkan Duryodhana."
Maka pergilah Dewi Kunti untuk menemui Karna. Ia pergi ke tepi Sungai Gangga, ke tempat Karna setiap hari melakukan pemujaan kepada dewata. Benarlah, Karna tampak sedang bersamadi menghadap ke timur, kedua tangannya tertangkup dalam sikap menyembah. Dengan sabar Dewi Kunti menunggu Karna selesai bersamadi. Sungguh khusyuk bersamadi, hingga Karna tak merasa bahwa sinar matahari telah naik sampai di atas punggungnya.
Setelah selesai bersembahyang, Karna berdiri. Barulah ia melihat Dewi Kunti menunggu di belakangnya, di bawah terik matahari. Segera ia melepas bajunya untuk melindungi kepala Dewi Kunti
dari panas matahari. Karna menduga permaisuri Pandu itu telah lama menunggunya. Ia agak bingung, menebak-nebak apa maksud kedatangan ibu Pandawa itu.
Kemudian ia berkata, "Anak Rada dan Adhirata, sais kereta, menyembah engkau. Wahai Ratu Kunti, apa yang
dapat kulakukan demi pengabdianku kepadamu""
"Ketahuilah, Karna, sesungguhnya engkau bukan anak Rada dan Adhirata bukan ayahmu," kata Dewi Kunti. "Janganlah berpikir bahwa dirimu berasal dari keturunan sais kereta. Sesungguhnya, engkau adalah putra Batara Surya, Dewa Matahari. Engkau lahir dari kandungan Pri-tha, putri bangsawan yang dikenal dengan nama Kunti. Semoga engkau diberkahi keselamatan dan kesejahteraan."
Saking kagetnya mendengar kata-kata Dewi Kunti,
Karna terdiam, terpana, tak sanggup berkata-kata.
Kemudian Dewi Kunti melanjutkan, "Engkau dilahirkan lengkap dengan senjata suci dan anting-anting emas. Karena engkau tidak tahu bahwa Pandawa adalah saudara-saudaramu seibu, engkau memihak Duryodhana dan membenci Pandawa. Hidup menggantungkan diri pada belas kasihan anak-anak Dritarastra tidaklah patut bagimu. Bergabunglah dengan Arjuna dan kau akan bisa memerintah sebuah kerajaan di dunia ini. Semoga engkau dan Arjuna bisa menghancurkan mereka yang jahat dan tidak adil. Seisi dunia pasti akan menghormati kalian berdua. Kalian akan disegani banyak orang, seperti Krishna dan Balarama. Dikelilingi kelima saudaramu, kemasy-huranmu akan seperti keagungan Brahma di antara para dewa. Dalam situasi kalut seperti sekarang, orang harus menurut nasihat orangtua yang mencintainya. Itulah kewajiban utama setiap anak, sesuai dharma dan ajaran kitab-kitab suci."
Ketika ibunya bercerita tentang asal usul kelahirannya,
Karna merasakan sesuatu dalam hatinya: Dewa Matahari
membenarkan kata-kata Dewi Kunti! Tetapi ia menahan diri dan menganggap kabar itu sebagai ujian dari Batara Surya terhadap kesetiaan dan keteguhan hatinya. Ia bertekad untuk tidak menunjukkan kelemahannya.
Dengan kemauan keras ia dapat mengatasi keinginan untuk mendahulukan kepentingannya sendiri, untuk membalas cinta ibunya, untuk bergabung dengan Pandawa. Maka, dengan hati sedih namun teguh ia berkata, "Ibu, apa yang engkau katakan itu berlawanan dengan dharma. Apabila sekarang aku menghindari kewajibanku, berarti aku akan menyakiti diriku lebih parah dari apa yang dapat dilakukan musuhku terhadap diriku. Ibu telah merenggut segala hak kelahiranku sebagai kesatria dengan melemparkan aku, bayi yang tidak berdaya, ke sungai. Mengapa sekarang engkau bicara tentang tugasku sebagai kesatria" Engkau tidak pernah mencintaiku dengan cinta ibu yang merupakan hak setiap anak yang terlahir di dunia. Induk
binatang saja tak pernah membuang anaknya; mengapa engkau membuangku"
"Sekarang, ketika engkau mencemaskan nasib anak-anakmu yang lain, kauceritakan semua ini kepadaku. Seandainya sekarang aku menggabungkan diri dengan Pandawa, bukankah dunia akan mengutuk aku sebagai pengecut"
"Selama ini aku dihidupi oleh anak-anak Dritarastra.
Aku dipercaya mereka sebagai sekutu yang setia. Aku berutang budi pada mereka. Semua harta dan kehormatan yang kumiliki kuperoleh dari mereka. Sekarang, ketika perang akan meletus dan aku harus membela Kaurawa, engkau menghendaki agar aku mengkhianati Kaurawa, menyeberang ke pihak Pandawa. Ibu, mengapa kau minta aku mengkhianati garam yang telah kumakan"
"Anak-anak Dritarastra memandang aku sebagai jaminan kemenangan mereka dalam peperangan yang akan datang. Aku tidak pernah mendorong mereka untuk berperang. Katakan, adakah yang lebih hina daripada mengkhianati orang yang telah menolong kita" Katakan, adakah yang lebih hina daripada orang yang tak tahu membalas budi" Ibuku tercinta, aku harus membayar hutangku, bila perlu dengan nyawaku. Kalau tidak, aku ini ibarat perampok yang hidup dari hasil curian dan rampasan selama bertahun-tahun. Tentu aku akan menggunakan segala kekuatanku untuk melawan anak-anakmu dalam perang nanti.
"Aku tidak akan mengkhianati siapa pun. Aku tidak
akan menipu engkau dan diriku sendiri. Ampunilah aku,"
kata Karna dengan lembut tetapi tegas. "Biarpun demikian, aku tida
k akan menyia-nyiakan permintaan ibuku. Soalnya adalah antara aku dan Arjuna. Dia atau aku yang harus mati dalam pertempuran nanti.
"Ibu, aku berjanji tidak akan membunuh anak-anakmu yang lain, apa pun yang mereka perbuat terhadap diriku. Wahai ibu para kesatria, anakmu takkan berkurang, tetap lima. Salah satu dari kami, aku atau Arjuna, akan tetap
hidup setelah perang usai."
Mendengar kata-katanya yang demikian tegas dan sesuai dengan norma-norma kesatria, hati Dewi Kunti semakin sedih dan pikirannya diliputi pergulatan yang
makin menajam. Ia tidak kuasa berkata-kata. Dipeluknya Karna dengan kasih ibu yang melimpah-limpah. Hatinya hancur membayangkan kedua anaknya akan bertanding,
bunuh-membunuh. Hatinya terharu melihat keteguhan Karna dalam menjalani takdir hidupnya. Akhirnya ia pergi
meninggalkan putra Batara Surya tanpa berkata-kata lagi.
"Siapakah yang dapat menentang suratan nasibnya" Semoga Hyang Widhi melindungimu," katanya dalam hati.
*** Raja Negeri Widharba mempunyai lima anak laki-laki dan
seorang anak perempuan bernama Rukmini yang terkenal cantik, menarik, dan berkemauan keras. Rukmini ingin sekali menjadi istri Krishna dan sudah mendapat restu seluruh keluarganya, kecuali dari Rukma, kakaknya yang tertua dan ahli waris ayahnya. Dengan segala cara Rukma menentang niat Rukmini untuk menikah dengan Krishna, raja Negeri Dwaraka, karena ia berniat mengawinkan adiknya itu dengan Sisupala, raja Negeri Cedi. Karena Bhismaka, raja Negeri Widharba, sudah tua, maka segala sesuatunya diputuskan oleh Rukma.
Mengetahui ayahnya tidak berdaya dan dirinya akan dipaksa menikah dengan orang yang tidak dicintainya, diam-diam Rukmini meminta bantuan seorang brahmana untuk menghubungi Krishna. Maka berangkatlah brahmana itu ke Dwaraka untuk menyampaikan surat Rukmini kepada Krishna dan mengabarkan rencana Rukma yang hendak mengawinkan adiknya dengan Sisupala. Beginilah bunyi surat Rukmini,
"Hatiku telah kuserahkan kepadamu dan aku bersedia
menjadi hambamu. Engkau adalah dewaku. Aku mengharapkan kedatanganmu segera, sebelum Sisupala mengambil aku dengan paksa. Jangan menunda-nunda. Balatentara Sisupala dan balatentara Jarasanda akan menggempur
engkau jika terlambat menjemputku. Kakakku telah memutuskan untuk mengawinkan aku dengan Sisupala. Pada hari perkawinanku, aku akan pergi ke pura bersama
dayang-dayangku untuk memuja Batari Laksmi. Saat
itulah yang terbaik bagimu untuk melarikan aku. Apabila engkau tidak datang, aku akan mengakhiri hidupku dengan harapan setidak-tidaknya aku bisa bertemu denganmu dalam inkarnasi yang akan datang. Semoga engkau berhasil."
Mendengar cerita brahmana itu dan membaca surat Rukmini, Krishna segera menyiapkan keretanya dan berangkat ke Kundinapura, ibukota Negeri Widharba. Sampai di sana dilihatnya Kundinapura telah dihias dengan indah dan meriah untuk menyambut upacara perkawinan Ruk-mini dengan Sisupala.
Keberangkatan Krishna yang diam-diam itu diketahui oleh saudaranya, Balarama. Ia memang tahu tentang hubungan antara Krishna dengan Rukmini. Ia juga tahu bahwa di Kundinapura sedang dipersiapkan upacara perkawinan Rukmini dengan Sisupala. Ia juga tahu bahwa Sisupala dan Jarasandha adalah musuh bebuyutan Krishna. Balarama mendapat firasat jelek. Karena itu, ia tidak
bisa membiarkan Krishna pergi sendirian tanpa pengawalan. Segera diperintahkannya para senapatinya mengumpulkan pasukan dalam jumlah besar. Diiringkan balatentara, Balarama menyusul adiknya ke Kundinapura.
Pada hari perkawinannya, Rukmini berangkat ke pura diiringkan dayang-dayangnya. Selesai bersembahyang, ia keluar dari pintu gerbang pura sambil melihat ke sekelilingnya dengan waspada. Tidak jauh dari pintu gerbang, ia melihat kereta Krishna. Segera saja Rukmini lari sekencang-kencangnya menuju kereta itu dan menaikinya dengan bantuan Krishna. Kereta langsung dipacu kencang. Para dayang dan pengawal istana sangat terkejut dan hanya bisa terpaku menyaksikan kejadian yang begitu
singkat. Rukma yang diberitahu tentang kejadian itu marah. Ia memerintahkan balatentaranya mengejar Krishna, "Aku bersumpah tak akan pulang sebelum berhasil
membunuh Krishna." Sementara itu, balatentara Balarama sudah sampai di pinggiran Kundinapura. Maka terjadilah pertempuran sengit. Balatentara Rukma dapat dimusnahkan. Kemudian Krishna dan Balarama kembali ke Dwaraka dengan membawa kemenangan. Lebih dari itu, Krishna berhasil melarikan Rukmini.
Karena amat malu, Rukma tidak kembali ke Kundina-pura melainkan tinggal di bekas medan pertempuran. Di sana ia membangun ibukota yang dinamakan Bojakota. Kelak di kemudian hari, ia mendengar tentang persiapan perang di Kurukshetra. Bersama seluruh balatentaranya,
ia pergi ke Upaplawya dengan maksud menawarkan bantuan kepada Pandawa. Kecuali itu, ia juga ingin menjalin persahabatan dengan iparnya, Krishna.
Sampai di sana ia menemui Arjuna. Dengan sombong ia berkata, "Wahai Pandawa, balatentara musuhmu sangat besar. Aku datang untuk membantumu. Beri aku perintah, aku akan hancurkan semua musuhmu. Aku sanggup menggempur Drona, Kripa, dan Bhisma. Aku akan memenangkan perang untukmu. Katakan saja apa maumu."
Arjuna sekilas memandang Krishna, lalu menjawab sambil tersenyum, "Tuanku Raja Bojakota, kami tidak gentar menghadapi kekuatan musuh. Kami tidak membutuhkan bantuanmu. Silakan engkau memilih, kembali ke negerimu atau tinggal di sini. Terserah engkau."
Mendengar jawaban Arjuna, Rukma tersinggung sekaligus merasa malu. Tanpa bicara apa-apa ia langsung pergi meninggalkan Upaplawya. Diiringkan balatentaranya, ia pergi ke pesanggrahan Duryodhana.
"Bukankah engkau kemari setelah ditolak oleh Pandawa" Apakah pantas aku menerima kesatria yang telah ditolak Pandawa" Tidak, aku tidak butuh engkau!" jawab
Duryodhana singkat dengan nada berang.
Rukma sangat malu ditolak oleh Pandawa dan Kaurawa. Akhirnya ia kembali ke Bojakota dan menghindarkan diri dari perang besar yang akan berlangsung. Seperti Bala-rama, ia memilih bersikap tidak memihak. Sikap tidak berpihak seperti itu sebenarnya bisa disebabkan oleh beberapa hal, misalnya karena terdorong oleh keinginan atau ambisi pribadi, karena tidak setuju adanya perang, karena
mementingkan panggilan suci dan dharma, atau karena
sebab yang lain. Dalam menentukan senapati yang memimpin pasukan perang, setiap orang diteliti dan dibicarakan kelemahan dan kekuatannya. Di pihak Kaurawa, pembicaraan sampai ke nama Karna. Selama ini, tak seorang pun berani menegur Karna yang membanggakan dirinya secara berlebihan. Semua enggan untuk berterus terang memperingatkannya, kecuali Bhisma.
"Karna telah menerima kasih sayangmu," kata Bhisma kepada Duryodhana.
"Tetapi aku tidak terlalu memikirkannya. Aku tidak suka kebenciannya yang begitu mendalam kepada Pandawa dan sikapnya yang sangat sombong dan selalu membanggakan kesaktiannya. Sudah sering Karna, karena sikapnya itu, membuat orang lain tersinggung dan terhina.
"Aku tidak setuju jika ia diangkat menjadi Senapati Agung balatentara Kaurawa. Lagi pula, senjata saktinya itu, satu-satunya miliknya, sudah dibawanya sejak kelahirannya. Senjata itu telah terkena kutuk-pastu dari Parasurama. Ia akan gagal menggunakan senjata dahsyatnya itu di saat kita membutuhkan dia. Ia pasti tidak akan mampu mengingat mantra yang harus diucapkannya. Pertempurannya melawan Arjuna akan menewaskannya. Karena itu, ia tidak akan banyak berguna bagiku," demikian kata Bhisma terus terang.
Duryodhana dan Karna menganggap kata-kata Bhisma terlalu tajam dan menyakitkan hati. Mereka semakin sakit hati karena pendapat Drona sama dengan pendapat Bhisma. Kata Drona, "Karna terlalu sombong. Itu bisa membuat dia lupa akan soal-soal kecil yang sangat penting dalam strategi kita. Karena kecongkakannya, ia bisa gegabah, kurang hati-hati, dan akhirnya mengalami kekalahan."
Karna sangat tersinggung mendengar kata-kata Bhisma dan Drona. Dengan wajah merah padam ia memandang Bhisma dan berkata dengan marah, "Dasar tua bangka! Selalu saja kau mencari kesempatan untuk menghina aku karena kau benci dan iri padaku. Kau selalu menggunakan kesempatan untuk mempermalukan aku di depan orang banyak. Selama ini aku selalu diam, tidak pernah menyangkal. Selama ini aku telan segala penghinaanmu, demi kesetiaanku kepad
a Duryodhana. Engkau katakan aku tidak akan banyak berguna dalam pertempuran yang akan datang.
"Baiklah kukatakan kepada kalian semua. Aku yakin,
Bhisma -bukan aku- yang akan menyebabkan Kaurawa
kalah! Kenapa engkau sembunyikan perasaanmu yang sesungguhnya" Kenyataan menunjukkan, engkau sama sekali tidak menyayangi Duryodhana meskipun ia tidak menyadarinya. Karena engkau membenci aku, engkau selalu berusaha memisahkan dan mempertentangkan aku dan Duryodhana. Kau selalu berusaha meracuni pikiran Duryodhana agar ia membenci aku. Demi pikiran busukmu, kau selalu mengecilkan kesaktianku dan menghinaku serendah-rendahnya.
"Engkau sendirilah yang bertingkah laku hina, sikap yang tak pantas untuk seorang kesatria. Umur bukan ukuran untuk menentukan kehormatan seseorang dalam lingkungan para kesatria, tetapi kesaktian dan keperwira-an. Hentikan usahamu untuk meracuni hubungan kami, hubunganku dengan Duryodhana!"
Sambil menoleh kepada Duryodhana, Karna terus menumpahkan isi hatinya, "Wahai kesatria perkasa, renungkan baik-baik! Demi kemuliaan dan keagunganmu sendiri, jangan terlalu percaya kepada kakek tua itu. Ia
mencoba menyebarkan benih perpecahan di antara kita. Penilaiannya terhadap diriku akan melukai perjalanan hidupmu selanjutnya. Dengan merendahkan aku, ia mencoba membunuh semangatku. Sesungguhnya, dialah yang sudah berkarat. Umurnya sudah banyak dan raganya sudah rapuh. Kecongkakannya membuat orang tidak menghormatinya lagi.
"Seperti diajarkan dalam kitab suci, ada masanya ketika
umur membuat pikiran jadi berkarat. Ibarat buah yang matang menjadi rapuh, jatuh dan membusuk. Bila engkau memilih Bhisma sebagai Senapati Agung Kaurawa, aku takkan sudi mengangkat senjata. Aku baru mau bertindak setelah ia tewas di medan perang!"
Sambil menahan amarah, Bhisma menjawab, "Wahai
Putra Batara Surya, kini kita berada dalam situasi pelik. Itu sebabnya engkau takkan mati sekarang. Sesungguhnya engkaulah biang keladi segala keonaran dalam lingkungan Kaurawa."
Duryodhana sangat kecewa menyaksikan pertikaian mulut itu, kemudian ia berkata kepada Bhisma, "Wahai
Putra Dewi Gangga, aku membutuhkan bantuanmu. Juga
kau, Karna. Kalian adalah kesatria hebat dan perkasa. Besok, pagi-pagi sekali sebelum matahari terbit, perang akan diumumkan. Jangan sampai ada perselisihan di antara kita, terlebih-lebih karena kita tahu, musuh kita sangat kuat."
Karna menolak untuk mengangkat senjata karena Bhis-ma yang diangkat sebagai Senapati Agung pasukan Kau-rawa. Duryodhana tidak bisa melunakkan hati Karna yang berkeras pada sumpahnya, yaitu selama Bhisma menjadi Senapati Agung, ia tidak akan ikut berperang melawan Pandawa.
Demikianlah watak Karna: sombong tapi tidak menyadari kesombongannya dan malah menuduh orang lain menyalahkan dirinya. Penilaiannya selalu diliputi oleh keangkuhan. Demikianlah orang yang angkuh dan congkak akan selalu merendahkan orang lain dan menyalahkan
siapa pun yang berani menunjukkan kelemahan-kelemahannya.
*** 39. Pelantikan Mahasenapati Sekembalinya Krishna alias Gowinda ke Upaplawya, ia segera menemui Pandawa dan menyampaikan laporan
kepada Yudhistira. Ia laporkan pertemuannya dengan tokoh-tokoh penting di Hastinapura dan pertemuannya
dengan Dewi Kunti, ibu Pandawa.
"Kini tidak ada lagi harapan untuk berdamai. Duryo-dhana bersikeras, tetap ingin berperang melawan kita. Sekarang kita harus bersiap-siap untuk menghadapi perang besar di padang Kurukshetra!" demikian Krishna mengakhiri laporannya.
Setelah mendengarkan laporan Krishna, Yudhistira
mengajak saudara-saudaranya berunding. Mereka membagi pasukan perang Pandawa menjadi tujuh kelompok, masing-masing dipimpin seorang senapati, yaitu Drupada,
Wirata, Dhristadyumna, Srikandi, Satyaki, Chekidana dan
Bhimasena. Setelah itu mereka merundingkan, siapa yang pantas dipilih menjadi Senapati Agung.
Yudhistira berkata, "Kita harus memilih dan melantik satu dari tujuh panglima ini menjadi Mahasenapati atau Senapati Agung yang mampu menghadapi Bhisma dan sanggup memusnahkan musuh kita. Ia juga harus pandai memimpin balatentara kita, setiap saat dan dalam segala keadaan. Menurut kalian
, siapakah yang paling pantas memikul tanggung jawab seberat itu"" kata Yudhistira sambil berpaling pada Sahadewa.
Sahadewa menanggapi, "Sebaiknya kita lantik Wirata
menjadi Senapati Agung kita. Dialah yang menolong kita selama kita hidup dalam penyamaran dan berkat bantuannya hati kita tergugah untuk merebut kembali kerajaan kita."
Pada jaman itu, sesuai tradisi, orang yang paling
mudalah yang lebih dulu dimintai pendapat; bukan yang
paling tua. Hal ini dimaksudkan untuk memberi semangat kepada anak-anak muda dan membangkitkan rasa percaya diri mereka. Seandainya yang lebih tua dimintai pendapat lebih dulu, maka berdasarkan tata susila yang lebih muda tidak akan berani mengungkapkan pendapatnya secara bebas. Kalaupun berani, ada kemungkinan akan ditanggapi secara salah karena perbedaan penafsiran. Yang jujur
bisa dicemooh, yang benar bisa dihina.
Kemudian Yudhistira bertanya kepada Nakula dan Nakula menjawab tanpa ragu, "Menurutku yang paling
tepat menjadi Senapati Agung adalah Drupada. Dilihat dari usia, kebijaksanaan, keberanian, kekuatan, dan garis keturunannya, dialah yang paling utama. Drupada telah belajar ilmu peperangan dari Bharadwaja. Ia sudah lama menunggu kesempatan untuk bertempur melawan Drona. Ia sangat dihormati dan disegani banyak raja. Ia telah membela kita seperti anak-anaknya sendiri. Dia pula yang memimpin pasukan perang kita melawan Bhisma dan Drona."
Dhananjaya kemudian dimintai pendapatnya. "Aku pikir, Dristadyumna yang harus memimpin kita di medan perang. Dia adalah kesatria yang mampu mengendalikan perasaan dan pikirannya dengan baik. Dan ia terlahir untuk menamatkan riwayat Drona. Hanya Dristadyumna yang mampu menghadapi segala bidikan panah Drona. Kecuali itu, ia ahli siasat perang dan tangkas menggunakan segala macam senjata dan terbukti berhasil mengalahkan Parasurama. Tak ada yang lebih pantas daripada dia," kata Arjuna.
Bhimasena berkata, "Wahai Dharmaputra, apa yang dikatakan Arjuna benar. Tetapi menurut para resi dan
para tetua, Srikandi yang ditakdirkan akan menamatkan riwayat Bhisma. Menurut pendapatku, Srikandi yang
harus memimpin balatentara kita!"
Yudhistira kemudian meminta pendapat Krishna. "Semua kesatria yang telah disebut tadi mempunyai kelebihan masing-masing dan semua memenuhi syarat


Mahabharata Karya Nyoman S. Pendit di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

untuk dipilih," kata Krishna. "Siapa pun yang akan dipilih,
dia pasti mampu membuat balatentara Kaurawa ketakutan. Tetapi, setelah memperhatikan setiap pendapat dan
mempertimbangkan segala sesuatunya, demi kemenangan
kita, aku mendukung pendapat Arjuna. Karena itu, nobat-kanlah Dristadyumna sebagai Senapati Agung balatentara
Pandawa." Akhirnya, dengan suara bulat mereka memutuskan memilih Dristadyumna sebagai Senapati Agung. Putra Dru-pada itulah yang dulu memimpin upacara sayembara untuk mencarikan suami bagi Draupadi, adiknya. Sayembara itu dimenangkan oleh Arjuna. Tiga belas tahun lamanya ia menahan diri untuk tidak membalas penghinaan Duryodhana terhadap Draupadi. Dristadyumna memang telah menunggu-nunggu saat yang tepat untuk membalaskan dendam adiknya.
Pelantikan Dristadyumna sebagai Senapati Agung balatentara Pandawa dilakukan dengan khidmat. Selama upacara berlangsung, suasana hening. Setelah upacara selesai, seluruh balatentara Pandawa bersorak sorai penuh semangat. Genderang ditabuh, gong dipukul, dan sangkakala ditiup menderu-deru. Suara riuh rendah itu membahana memenuhi angkasa! Panji-panji pasukan dikibarkan. Pasukan penunggang kuda dan gajah dibariskan berderet-deret, diikuti pasukan berkereta dan pasukan berjalan kaki. Semua berbaris, melangkah maju dengan mantap ke padang Kurukshetra. Derap langkah mereka menggetarkan bumi! Sorak sorai mereka seakan-akan hendak merobohkan langit!
*** Sementara Pandawa memilih Dristadyumna, Kaurawa memilih Bhisma sebagai Mahasenapati mereka. Sambil bersujud, Duryodhana memberi hormat kepada Bhisma dan
berkata, "Semoga engkau dapat memimpin kami dengan bijak dan kita memperoleh kemenangan dan kemasyhuran seperti Kartikeya memimpin para dewata di kahyangan. Kami akan mengikuti perintahmu, seperti sapi-sapi mengikuti gembalanya."
Bhisma mengangguk l alu berkata kepada Duryodhana, "Baiklah! Tetapi, engkau harus mengerti pendirianku. Aku tidak pernah ragu. Bagiku, putra-putra Pandu sama dengan kalian, putra-putra Dritarastra. Untuk memenuhi janjiku kepadamu, aku akan melaksanakan tugasku dengan sebaik-baiknya. Ratusan musuh akan tewas setiap
hari, karena anak panahku. Tetapi aku tak sanggup membunuh putra-putra Pandu, karena aku tidak menyetujui
peperangan ini. "Selain itu, satu hal harus engkau ingat. Karna, putra Batara Surya, yang sangat engkau kasihi itu, selalu menentang kepemimpinanku dan meremehkan segala penda-patku. Kalau kau tidak senang akan pendirianku, mintalah
dia memimpin balatentara Kaurawa. Lantiklah dia sebagai
Senapati Agung. Aku tidak keberatan."
Duryodhana menerima syarat-syarat yang diajukan Bhisma. Kesatria tua itu dinobatkan sebagai Senapati Agung balatentara Kaurawa. Dan, bagaikan banjir besar balatentara yang dipimpinnya mengalir ke padang Kuruk-shetra.
*** 40. Saat-Saat Sebelum Perang Hampir semua orang sudah siap berperang. Kedua belah pihak telah berkumpul di kubu masing-masing. Demi kehormatan dan kemuliaan perang kaum kesatria, mereka bertekad untuk memegang teguh aturan-aturan perang dalam melancarkan serangan dan gempuran terhadap lawan.
Perang di jaman itu dibatasi dengan aturan-aturan yang berbeda dengan aturan di jaman-jaman yang kemudian. Menjelang matahari terbenam, perang harus dihentikan dan masing-masing pihak kembali ke kubu pertahanan untuk beristirahat. Sering terjadi, pihak-pihak yang bermusuhan berkumpul dan bergaul bebas dalam suasana persaudaraan selama matahari berada dalam peraduannya. Mereka melupakan segala peristiwa yang terjadi siang harinya. Tidak seorang pun dibenarkan mengangkat senjata atau mengepalkan tinju di malam hari.
Pertarungan satu lawan satu hanya boleh dilakukan di antara dua pihak yang setara. Tidak seorang pun boleh berbuat sesuka hati di luar aturan-aturan dan normanorma yang telah ditetapkan dalam dharma. Yang mundur
atau yang terjatuh, apalagi yang menyerah, tidak boleh diserang atau dipukul lagi. Seorang prajurit berkuda hanya boleh diserang oleh seorang prajurit berkuda; demikian pula prajurit berkereta dan penunggang gajah. Prajurit yang berjalan kaki hanya boleh diserang oleh lawan yang seimbang.
Tidak seorang pun boleh membela kawan atau menyerang lawan yang sedang bertarung satu lawan satu. Orang
yang tak bersenjata tidak boleh diserang dengan senjata.
Jadi, orang-orang dari kelompok bukan prajurit, misalnya
pemukul genderang, peniup trompet dan barisan penolong korban perang, tidak boleh diserang. Mereka yang lari menyerah ke pihak lawan tidak boleh dianiaya atau dibunuh. Demikianlah beberapa aturan perang disepakati oleh Kaurawa dan Pandawa dan diumumkan sebelum perang di padang Kurukshetra dimulai.
Jauh di kemudian hari, tata krama perang tersebut dilanggar sendiri oleh manusia. Begitu pula pengertian tentang benar dan salah, tentang baik dan buruk, tentang kebajikan dan kebatilan, semua dilanggar sendiri oleh manusia si pencipta aturan. Masing-masing merasa pihaknya paling benar, paling kuat, dan paling berkuasa. Demikianlah, jauh di kemudian hari, orang tidak lagi berperang berhadap-hadapan dengan lawan, tetapi juga menyerang sasaran-sasaran lain. Rakyat biasa, laki-perempuan, tua-muda, tanpa pandang bulu, semua dihancurkan asalkan memang dapat dihancurkan. Ringkasnya, segala upaya dilakukan agar pihak musuh hancur!
Meskipun sudah ada aturan yang membatasi peperangan, penyimpangan dan pelanggaran akan terjadi jika manusia tidak dapat mengendalikan diri dan ingin saling membunuh. Tetapi, betapapun pelanggaran terjadi, budi pekerti luhur tetap mengatakan bahwa yang salah adalah salah, yang jahat adalah jahat, yang batil adalah batil, yang tercela harus dicela dan seterusnya.
"Wahai para kesatria! Sekarang inilah kesempatan gemilang bagimu. Di hadapananmu kini terbuka pintu gerbang surga selebar-lebarnya! Keabadian di hadapan Batara
Indra dan Batara Brahma menunggu dharma dan baktimu. Ikutilah jejak nenek moyangmu dan melangkahlah di jalan
dharma kesatria. Bertempurlah dengan gembira unt
uk mencapai kemuliaan dan kemasyhuran. Seorang kesatria pasti tidak ingin mati di ranjang karena sakit atau usia
tua. Ia lebih memilih gugur di medan perang!" Demikian
kata-kata singkat Bhisma dalam peresmian pasukan perang Kaurawa yang disambut dengan sorak sorai membahana.
Demikianlah persiapan-persiapan yang dilakukan kedua pihak. Di pihak Kaurawa tampak panji-panji megah berkibar-kibar di udara. Di kereta Bhisma, sang Senapati Agung, berkibar panji-panji berlambang pohon kelapa dan lima bintang emas. Di kereta Aswatthama tampak panji-panji berlambang singa mengaum garang. Di kereta Drona
terpancang panji-panji berlambang mangkuk pendita dan
busur-panah warna kuning keemasan. Di kereta Duryo-dhana berkibar panji-panji berlambang ular kobra. Duryo-dhana mengenakan jubah longgar bertudung kepala, yang hiasannya melambai-lambai ditiup angin ketika keretanya bergerak maju. Mahaguru Kripa membawa panji-panji berlambang banteng; sementara Jayadratha memilih lambang
babi hutan. Alangkah hebat dan megahnya panji-panji
pasukan Kaurawa yang berkibaran di udara. Hati siapa
yang tidak berdebar menyaksikan kehebatan pasukan
Kaurawa yang berderap menuju medan Kurukshetra"
Mengetahui bahwa balatentara Kaurawa jauh lebih besar jumlahnya, Yudisthira menyampaikan pesan kepada Arjuna agar menggunakan taktik-taktik pemusatan pasukan, bukan penyebaran, dan serangan-serangan berformasi jarum.
Tetapi, ketika Arjuna menyaksikan kedua pihak berhadapan di medan Kurukshetra, siap untuk saling menyerang, hatinya menjadi ragu dan sedih memikirkan akibat peperangan. Krishna tidak membiarkan Arjuna dirundung keraguan dan kesedihan. Ia segera memberikan petuah-petuah mulia untuk menguatkan tekad Arjuna dalam menghadapi Kaurawa, musuh sekaligus saudara-saudara
sepupunya. Sesaat sebelum pertempuran dimulai, ketika segala senjata siap digunakan untuk menyerang musuh, ketika ketegangan jiwa memuncak, tiba-tiba Yudhistira yang gagah
berani meletakkan senjatanya, menanggalkan tudung kebesaran dari kepalanya, lalu turun dari keretanya. Ia
melangkah mendekati Senapati Agung Kaurawa.
Semua orang yang melihat perbuatan Yudhistira tercengang, bingung, dan bertanya-tanya dalam hati, apa gerangan yang hendak dilakukan Yudhistira sekarang. Arjuna sangat terkejut dan segera turun dari keretanya lalu mengejar Yudhistira. Krishna dan saudara-saudara Arjuna yang lain mengikuti langkah Arjuna. Mereka cemas, kalau-kalau Yudhistira hendak menyerah tanpa perlawanan, demi tercapainya perdamaian.
Sambil mengejar dari belakang, dengan suara keras Arjuna berseru kepada Yudhistira, "Hai, Raja Yang Kami
Hormati, apa sebabnya engkau berbuat seaneh ini" Tanpa
memberitahu kami, kau pergi ke tempat musuh, tanpa senjata, tanpa pengawal dan dengan berjalan kaki. Katakan, apa maksudmu"!"
Tetapi Yudhistira tidak menjawab sepatah kata pun. Ia tenggelam dalam renungan jiwanya dan terus berjalan ke tempat musuh.
Setelah memandang wajah Yudhistira beberapa saat lamanya, Krishna yang mengetahui jiwa dan perasaan manusia, juga jiwa dan perasaan Dharmaputra saat itu, berkata kepada Pandawa lainnya dengan tenang, "Ya, aku tahu maksudnya. Ia hendak pergi menemui Bhisma, Mahaguru Drona dan para tetua lainnya untuk memohon restu sebelum peperangan dahsyat dimulai. Apa yang dilakukannya memang sesuai dengan sopan santun dan adat kesatria. Dengan restu para tetua, ia berharap kita akan dapat melakukan kewajiban kita di medan perang dengan sebaik-baiknya."
Pasukan Duryodhana, yang melihat Yudhistira datang tanpa senjata tanpa pengawal dan dengan kepala tunduk, mengira kesatria itu datang untuk mencari penyelesaian secara damai, karena gentar melihat kekuatan pasukan Kaurawa. Mereka saling berbisik, mengatakan Dharma-putra pengecut dan tindakannya membuat malu para
kesatria. Banyak yang mengutuknya. Kenapa orang seperti Dharmaputra terlahir di lingkungan kesatria" Tetapi, ada juga yang merasa lega karena mengira kemenangan akan diperoleh dengan mudah, tanpa harus melancarkan satu pukulan pun, karena Dharmaputra datang sendiri untuk menyerah.
Yudhistira terus berjalan, menembus barisan pasukan Kauraw
a yang berderet tegap dan rapi, lengkap dengan senjata perang mereka. Ia tenggelam dalam lautan pasukan perang yang dipimpin Bhisma. Sampai di hadapan senapati agung itu, Yudhistira sujud dan menyembah kaki Bhisma yang ia muliakan sambil berkata, "Kakek yang kumuliakan, ijinkan kami memulai peperangan ini. Kami memberanikan diri untuk melawan Kakek, kesatria yang tak tertandingi dan tak bisa ditaklukkan. Kami memohon restumu."
"Cucuku, engkau terlahir sebagai keturunan Bharata. Engkau bertindak mulia, sesuai tata krama para kesatria.
Hatiku sangat bahagia menyaksikan semua ini. Aku bukan prajurit yang bebas. Aku, karena terikat oleh kewajibanku terhadap Dritarastra, harus bertempur di pihak Kaurawa. Bertempurlah engkau. Kemenangan akan ada di pihakmu," kata Bhisma sambil memberikan restunya kepada Dhar-maputra.
Setelah memperoleh restu dari Kakek Bhisma, Yudhis-tira pergi menemui Mahaguru Drona. Sampai di hadapan mahaguru itu, sesuai adat para kesatria, ia sujud, menyembah dan memohon restunya.
Mahaguru Drona berkata, "Wahai Dharmaputra, aku tak mungkin mengingkari kewajibanku. Kepentingan pribadi telah memperbudak kita dan menjadi majikan kita. Aku terikat oleh kepentingan itu dan harus bertempur di pihak Kaurawa. Tapi, engkau pasti menang. Bertempurlah kalian dengan sepantasnya."
Setelah mohon pamit dari Mahaguru Drona, Yudhistira pergi menghadap Mahaguru Kripa dan Raja Salya, pamannya, untuk maksud yang sama. Setelah mendapat restu
dari kedua orang itu, ia kembali ke pasukan Pandawa.
Demikianlah, perang besar Bharatayudha dimulai. Terjadi pertarungan satu lawan satu di antara para
kesatria perkasa dari kedua belah pihak: Bhisma lawan
Partha, Brihatbala lawan Abhimanyu, Kritawarma lawan
Satyaki, Salya lawan Yudhistira, Duryodhana lawan Bhima
dan Drona lawan Dristadyumna. Pasukan berkuda berhadapan dengan pasukan berkuda, pasukan gajah menghadapi pasukan gajah, semuanya berlangsung sesuai undang-undang dan aturan perang di masa itu.
Di samping pertempuran-pertempuran yang sesuai dengan aturan-aturan perang di masa itu, perang bebas juga terjadi, yaitu antara pasukan berjalan kaki dari kedua
belah pihak. Pertempuran bebas seperti itu disebut sanku-la yuddha.
Demikianlah padang Kurukshetra telah menyaksikan
sankula yuddha yang tidak ada batasnya, lebih-lebih
setelah peperangan berlangsung beberapa hari dan orang-orang yang berperang sudah tak dapat mengendalikan diri
lagi. Mereka saling membunuh dengan garang, benarbenar haus darah, tidak peduli apa pun asal dapat memancung leher lawan. Gemuruh kereta-kereta perang yang
dipacu, lengkingan gajah, bunyi tombak dan pedang beradu, desing ribuan anak panah yang melesat ke arah
lawan... semua itu menjadi pemandangan sehari-hari selama berhari-hari di padang Kurukshetra yang amat luas!
*** 41. Perang di Hari Pertama Genderang ditabuh bertalu-talu, trompet tanduk dan kerang ditiup menderu-deru, suaranya memenuhi angkasa. Gajah-gajah melengking dan kuda-kuda meringkik. Para prajurit bersorak-sorai, suara mereka gemuruh memenuhi angkasa. Perang sudah dimulai!
Di hari pertama, di pihak Kaurawa, Duhsasana mendapat kehormatan untuk memimpin penyerbuan, sementara di pihak Pandawa kehormatan itu diberikan kepada Bhi-masena. Gemuruh pertempuran hari itu bagaikan petir menyambar-nyambar. Dari kedua pihak, ratusan anak panah dilepaskan dari busurnya, melesat ke angkasa bagai bintang berekor. Para prajurit darat saling berhadapan: panah-memanah, lempar-melempar, pancung-memancung, saling menebas dengan pedang atau menusuk dengan tombak. Korban berjatuhan di mana-mana.
Kereta Bhisma tampak maju sendirian. Dari busur kesatria tua itu anak-anak panah berlesatan bagai semburan api, menyambar dan menewaskan banyak prajurit Pandawa. Melihat itu, Abhimanyu tak bisa menahan diri lagi. Bagaikan angin dipacunya keretanya ke arah Bhisma. Di kereta Abhimanyu terpancang panji-panji berlambang
pohon karnikara warna kuning emas. Sambil membiarkan
keretanya melaju, Abhimanyu melepaskan panah-panah-nya, puluhan jumlahnya, susul-menyusul bagai rantai api, ke arah Bhisma. Kritawarma dan Salya mencoba menolon
g kesatria tua itu dengan menghadang kesatria muda Abhimanyu. Kritawarma tertusuk tombak Abhimanyu satu kali,
Salya lima kali, dan Bhisma sembilan kali. Leher Durmuka, sais kereta Bhisma, ditembus panah Abhimanyu yang setajam pedang. Akibatnya, kepalanya terpenggal dan jatuh terguling-guling di tanah. Satu bidikan Abhimanyu tepat mengenai busur Mahaguru Kripa. Busur itu patah jadi dua.
Gaya bertempur Abhimanyu yang elok dan gagah berani membuat para dewata di kahyangan senang melihatnya.
Udara cerah, hujan dewata atau hujan bunga menyiram
bumi, angin bertiup menebarkan keharuman yang mewangi. Pasukan Pandawa dan Kaurawa sama-sama mengagumi kemahiran kesatria muda ini dalam bertempur. Mereka berkata, "Dia memang pantas menjadi anak Dhananjaya. Dia pantas menerima puji-pujian!"
Tengah hari pertempuran makin memanas. Para kesatria Kaurawa menyerang Abhimanyu. Sedikit pun kesatria muda itu tidak gentar. Bhisma melemparkan semua tombaknya ke arah Abhimanyu yang dengan tangkas mengelak. Dengan tangkas pula ia membidik panji-panji Bhisma yang berlambang pohon kelapa dan lima bintang emas. Tiang panji-panji itu patah, tumbang ke tanah. Melihat itu, Bhimasena berteriak, "Hidup Abhimanyu!"
Mendengar suara Bhima, Krishna membalas dengan lantang. Suaranya membuat kemenakannya merasa diberi semangat.
Bhisma yang sangat mengagumi keberanian kesatria muda itu, hanya berperang dengan setengah hati. Tetapi, diperintahkannya beberapa prajuritnya mengepung Abhi-manyu. Demikianlah, kesatria muda itu dikepung musuh
dari berbagai penjuru. Melihat ini, Wirata, Uttara, Dristadyumna, dan Bhimasena segera datang membantunya, menggempur dan mengenyahkan musuh-musuhnya.
Uttara datang dengan menunggang gajah. Ia menyerang Salya habis-habisan, hingga kereta dan kuda Salya hancur berantakan. Tetapi, secepat kilat Salya melemparkan lembingnya ke arah Uttara. Lembing itu melesat cepat, tepat
menembus dada Uttara. Kesatria itu terlempar dari kudanya dan jatuh terguling-guling di tanah. Pedangnya jatuh
terpelanting dan ... Uttara tewas seketika. Gajah tunggangannya langsung mengamuk menyerang Salya. Cepatcepat Raja Salya naik ke kereta Kritawarma lalu memanah
gajah Uttara beberapa kali. Akhirnya, belalai gajah itu putus dan sang gajah rubuh... mati di medan perang bersama tuannya.
Sweta melihat bagaimana Salya membunuh Uttara, saudaranya yang lebih muda. Amarahnya langsung meledak.
Ia memacu keretanya sekencang angin, ke arah Salya.
Tujuh kesatria dengan kereta masing-masing menyatu menghadapi Sweta. Anak-anak panah menghujani Sweta, tetapi dapat dielakkan dengan tangkas. Dengan memutar-mutar lembingnya, Sweta menangkis serbuan anak panah.
Dalam keadaan seperti itu, Duryodhana mengirim pasukan dalam jumlah besar untuk membantu Salya. Tetapi, Sweta berhasil menembus lautan manusia musuhnya dan terus maju sampai akhirnya berhadapan dengan Bhisma. Panji-panji lambang Bhisma dipatahkan oleh Sweta. Bhis-ma berhasil membunuh kuda Sweta. Bhisma dan Sweta beradu tombak. Dengan sekuat tenaga, Sweta melemparkan tombaknya ke kereta Bhisma, tepat mengenai sasaran. Kereta Bhisma hancur berantakan. Tepat ketika tombak Sweta mengenai keretanya, Bhisma melompat turun dari keretanya hingga ia selamat. Begitu kakinya menjejak tanah, ia melepaskan anak panah ke arah Sweta. Anak panah itu melesat cepat dan menembus dada Sweta. Seketika itu juga Sweta menemui ajalnya. Duhsasana meniup trompet tanduknya dan menari-nari, merayakan
kemenangan Kaurawa! Bhisma memerintahkan agar disediakan kereta baru. Dengan itu, ia terus melancarkan serangan hebat terhadap pasukan Pandawa.
Di hari pertama, pasukan Pandawa mengalami kekalahan besar. Yudhistira mendapat firasat buruk yang membuatnya cemas. Sementara itu, di pihak lawan Duryodhana
bersorak-sorak dengan kegembiraan yang meluap-luap.
Menjelang terbenamnya matahari, Pandawa meminta nasihat Krishna. Maka berkatalah Krishna kepada Dharmaputra, "Wahai pemimpin bangsa Bharata, janganlah engkau cemas! Hyang Widhi menganugerahkan saudara-saudara yang perkasa kepadamu. Tak ada gunanya engkau ragu" Satyaki ada di sisi kita, demikian pula Wira
ta, Drupada, Dristadyumna dan aku sendiri. Lupakah engkau bahwa Srikandi telah menunggu saat untuk membalas
dendam pada Bhisma" Janganlah engkau merasa kecil hati. Ini baru hari pertama." Demikian Krishna menyemangati Dharmaputra dan saudara-saudaranya.
*** 42. Perang Hari Kedua Duryodhana sangat senang karena di hari pertama Kaurawa berhasil memetik kemenangan. Ia berkata lantang di depan seluruh balatentara Kaurawa, seakan kemenangan akhir sudah di tangan.
Sebaliknya, pihak Pandawa menderita kekalahan besar. Mahasenapati Dristadyumna menyusun siasat baru agar tak banyak korban berjatuhan di pihak Pandawa.
Arjuna berkata kepada Krishna, sais keretanya, kalau
pertempuran seperti kemarin terjadi lagi, maka balatentara Pandawa pasti hancur musnah dalam waktu singkat. Ia berpendapat, yang pertama-tama harus disingkirkan adalah Bhisma.
"Kalau memang demikian pendapatmu, bersiaplah! Kita hancurkan kereta Bhisma!" jawab Krishna sambil melecut
kudanya menuju kereta Bhisma.
Dari jauh Bhisma melihat kereta Arjuna datang mendekat. Cepat-cepat ia lemparkan berpuluh-puluh tombak
ke arah Arjuna, susul-menyusul. Melihat Bhisma diserang, Duryodhana memerintahkan anak buahnya untuk melindungi Bhisma dari serangan musuh, terutama serangan Arjuna. Semua tahu, tidak ada yang bisa menandingi Arjuna, kecuali Bhisma, Drona dan Karna. Tetapi, kali ini dengan dahsyat Arjuna menyerang Bhisma. Dari atas keretanya yang berlari kencang bagai petir menyambar-nyambar, Arjuna bahkan mampu menghancurleburkan bala bantuan yang dikirim Duryodhana. Demikianlah,
setiap penghalang disapu bersih bagai alang-alang kering dijilat api di musim panas.
Pertempuran di hari kedua membuat hati Duryodhana
berdebar-debar. Kepercayaannya kepada Bhisma mulai mengendur. Dengan marah ia berkata kepada kesatria tua itu bahwa selama Bhisma dan Drona masih hidup, serangan Arjuna dengan kereta yang disaisi Krishna pasti akan menghancurkan seluruh balatentara Kaurawa. Duryodha-na bahkan menuduh, orang tua itulah yang menyebabkan pengabdian dan kesetiaan Karna diabaikan. Ia merasa tertipu oleh mereka, karena mereka tidak mau menghancurkan Arjuna. Mendengar tuduhan ini, Bhisma hanya bungkam seribu bahasa dan tetap meneruskan perlawanannya terhadap Arjuna.
Pertempuran antara dua kesatria besar itu sungguh menakjubkan. Keduanya adalah kesatria paling sakti di jaman itu. Tak terhitung banyaknya anak panah dan tombak yang dilepaskan dari kedua pihak. Beberapa anak panah Bhisma menancap di tubuh Arjuna dan Krishna. Sebaliknya, beberapa kali busur Bhisma patah kena panah Arjuna. Kini kereta kedua kesatria itu berada sangat dekat satu sama lain. Para dewata di kahyangan menyaksikan pertempuran mereka dengan penuh haru.
Sementara itu, Drona sedang berhadap-hadapan dengan Dristadyumna. Dengan pengalaman dan kesaktiannya, Drona membuat mahasenapati Pandawa itu luka parah. Tetapi, Dristadyumna bukan prajurit muda yang tak paham soal pertempuran. Meski luka-lukanya parah, dia bangkit berdiri lalu dengan perkasa membalas serangan Drona. Panah dan tombak mereka melayang di udara. Beberapa anak panah Drona tepat mengenai sais kereta Dristadyumna, hingga sais yang setia itu tewas seketika. Kereta Dristadyumna hancur. Segera Arjuna, melompat ke luar sambil melemparkan beberapa tombak kepada Drona, yang menangkisnya dengan lincah. Dristadyumna menghunus pedangnya dan dengan cepat menyerbu Drona. Tetapi, serangan itu berhasil dielakkan Drona. Bahkan
pedang itu berhasil dipatahkannya. Tepat pada saat yang kritis itu, Bhima melepaskan anak panah ke arah Drona. Kereta Drona hancur diterjang anak panah Bhima dan
membuat Mahaguru itu terpelanting. Secepat kilat Bhima
melompat dan menyambar Dristadyumna lalu melarikannya ke tempat yang aman.
Kemudian Bhima berhadapan dengan pasukan Kalinga. Bhima mengamuk bagaikan banteng terluka, membunuh ratusan prajurit Kalinga. Melihat itu, Bhisma segera mengerahkan sepasukan prajurit untuk membantu pasukan Kalinga. Bhima dibantu Satyaki dan Abhimanyu. Sebuah tombak berat Satyaki tepat mengenai sais kereta Bhisma dan menewaskannya. Kereta Bhisma tidak dapat dikuasi
lagi, kudanya berlari liar meninggalkan medan pertempuran.
Kesempatan ini dipergunakan sebaik-baiknya oleh pasukan Pandawa. Arjuna menyerang dan menerjang bagai topan. Pasukan Kaurawa kocar-kacir. Tidak terhitung banyaknya yang tewas. Mayat bergelimpangan, berserakan bagaikan daun kering di musim gugur. Begitu banyaknya kawan mereka yang tewas hingga balatentara Kaurawa merasa gentar.
Ketika senja tiba, lewat Drona, Bhisma memerintahkan agar pertempuran hari itu dihentikan. Semua pasukan harus kembali ke kubu masing-masing. Semangat para perwira Kaurawa mulai layu. Sebaliknya, Pandawa memperoleh kemenangan besar karena semangat mereka tinggi.
*** 43. Perang Hari Ketiga Ketika fajar hari ketiga perang Bharatayudha menyingsing, Duryodhana tidak bisa lagi menahan kekesalannya pada Bhisma, terutama karena kekalahan Kaurawa sehari sebelumnya. Ia naik pitam dan amarahnya ditum-pahkannya kepada kesatria tua itu. Katanya, ia tahu Bhisma sengaja membiarkan balatentara Kaurawa kalah dan dipermalukan karena mundur dan lari tunggang langgang meninggalkan medan perang. Ia juga menuduh Bhisma sengaja bertindak demi keuntungan Pandawa. Katanya, "Kenapa engkau tidak berterus terang bahwa engkau lebih mencintai Pandawa" Bukankah Satyaki dan Dristadyumna adalah teman-teman karibmu" Jika kau memang mau, kau pasti bisa menaklukkan mereka dengan mudah. Seharusnya kau berterus terang, hingga kekalahan kemarin tidak terjadi."
Bhisma sudah bosan mendengar keluh kesah dan omelan Duryodhana. Dengan tenang ia menjawab bahwa sejak semula ia tidak setuju mereka berperang. Katanya
kepada Duryodhana, "Engkaulah yang menolak nasihatku. Engkau juga yang menginginkan perang. Aku sudah berusaha menghindarkan peperangan ini. Tetapi aku gagal. Sekarang, aku laksanakan kewajibanku dengan sekuat tenaga. Bagiku, ini tugas mulia dan kulakukan ini dengan seluruh jiwaku meskipun aku sudah tua."
Setelah berkata demikian, Bhisma mengatur balatentaranya dalam formasi burung garuda. Ia sendiri berdiri
paling depan, di ujung paruh garuda. Duryodhana berada di belakang, sebagai kekuatan pada ekor garuda. Segala sesuatu diatur rapi agar kekalahan besar yang terjadi pada hari kedua tidak terulang.
Pandawa tidak ketinggalan. Dengan cermat mereka memperhitungkan kemenangan di hari kedua agar pada hari ketiga bisa menang lagi. Dristadyumna dan Dhanan-jaya mengatur pasukan mereka dalam formasi bulan sabit untuk menghadapi formasi burung garuda yang digelar pasukan Kaurawa. Di ujung kanan formasi bulan sabit berdiri Bhima, di ujung kiri berdiri Arjuna. Masing-masing memimpin sepasukan balatentara yang tangguh.
Pertempuran hari ketiga berlangsung sengit. Kedua pihak sama-sama kuat. Anak panah berlesatan di udara bagaikan hujan di siang yang cerah. Pasukan berkuda dan penunggang gajah saling menerjang dengan dahsyat.
Hentakan kaki-kaki binatang itu membuat debu beterbangan membubung ke angkasa.
Mula-mula ujung kiri bulan sabit maju dipimpin Arjuna. Mereka melancarkan gempuran-gempuran hebat. Arjuna
maju di bawah hujan anak panah dan tombak. Tetapi,
semua bisa ditangkisnya dengan busurnya yang termasyhur kesaktiannya.
Pasukan Kaurawa yang dipimpin Sakuni berhadapan dengan pasukan Pandawa yang dipimpin Satyaki dan Abhi-manyu. Sakuni berhasil menghancurkan kereta Satyaki. Kesatria itu terpaksa melompat ke kereta Abhimanyu dan bersama-sama mereka membalas menyerang pasukan Sakuni. Hanya dalam waktu singkat, kedua kesatria itu berhasil memporakporandakan seluruh pasukan Sakuni.
Drona dan Bhisma bersama-sama menyerang Dharmaputra yang dibantu Nakula dan Sahadewa. Di ujung kanan bulan sabit, Bhima dan anaknya, Gatotkaca, bersamasama menggempur Duryodhana. Dalam pertempuran itu Gatotkaca tampak lebih unggul dibandingkan ayahnya. Ketika pertarungan antara Gatotkaca dan Duryodhana sedang berlangsung seru, Bhima menghunjamkan tombaknya yang berat ke punggung Duryodhana. Putra Drita-rastra itu langsung terkapar tak sadarkan diri di keretanya. Secepat kilat saisnya melarikan Duryodhana mundur
ke perkemahan Kaurawa, meninggalkan medan pertempuran, untuk diselamatkan.
Melihat pimpinannya te rluka, balatentara Kaurawa
langsung lari kocar-kacir ketakutan! Dengan sigap Bhima menggunakan kesempatan itu sebaik-baiknya. Ia meraung
bagai singa kelaparan, lalu menerjang apa saja yang ada di depannya. Prajurit Kaurawa yang tak sempat lari menjauh, tewas bertumbangan diamuk Bhima. Semakin ketakutanlah sisa-sisa pasukan yang masih hidup.
Dengan susah payah Drona dan Bhisma berusaha mengembalikan semangat tempur pasukan Kaurawa. Lewat
tengah hari barulah Bhisma berhasil memusatkan kekuatan balatentaranya dan memimpinnya sendiri. Segera tampak, di bawah pimpinannya balatentara Kaurawa kembali bersemangat. Lagi pula, seakan-akan ada seribu Bhisma tersebar di seluruh medan Kurukshetra, semua menggempur Pandawa yang mulai tampak kewalahan. Seperti Bhima, kesatria tua itu menerjang dan memusnahkan apa saja yang ada di depannya. Kini ganti balatentara Pandawa
yang lari kocar-kacir. Yang tak sempat lari, mati digilas
kereta Bhisma bagai cacing-cacing yang hancur terinjak-injak.
Dengan sekuat tenaga Arjuna, Krishna dan Srikandi mencoba menahan amukan Bhisma.
Krishna berkata kepada Arjuna, "Ini saat yang paling menentukan. Yakinkan dirimu bahwa kau harus melawan
dan menghentikan Bhisma. Jangan cemas atau ragu. Bhisma dan Drona memang kerabatmu yang lebih tua, tapi engkau telah bersumpah untuk bertempur. Laksanakan sumpahmu! Serang Bhisma! Kalau kesatria tua itu tidak
kauhentikan, pasukan Pandawa pasti kalah!"
"Baiklah! Paculah keretaku sekencang-kencangnya ke
arah Kakek Bhisma!" jawab Arjuna.
Demikianlah, Krishna memacu kereta Arjuna ke arah
Bhisma. Kesatria tua itu menyambut kereta Arjuna dengan melepaskan ratusan anak panah, berturut-turut bagai semburan api dewata. Laksana lidah api yang dikendalikan, anak panah-anak panah itu meluncur di angkasa lalu menukik ke kereta Arjuna. Bagai menapis ikan dalam kolam, Arjuna menangkis serbuan anak panah Bhisma dengan busurnya.
Sesungguhnya, di dalam hati Bhisma sangat bangga melihat Arjuna dengan tangkas mengalahkan setiap lawannya. Ia yakin, betapapun hebatnya serangannya, Arjuna pasti bisa mengelakkannya. Di lain pihak, Arjuna tidak membalas serangan Bhisma karena ia sangat menghormati dan menyayangi kesatria tua itu. Yang dilakukannya hanya mengelak dan menangkis. Sekali pun tak pernah membalas.
Melihat itu, Krishna tidak puas. Kalau Arjuna terus bersikap demikian, pasukan Pandawa akan kehilangan semangat dan mereka akan terpaksa menerima kekalahan. Krishna berusaha mengendalikan kereta Arjuna dengan sebaik-baiknya, tetapi karena serangan Bhisma sangat gencar, kereta itu oleng dan beberapa kali nyaris roboh terkena lemparan tombak Bhisma. Akhirnya, Krishna tak sabar lagi dan berkata lantang, "Arjuna, kalau engkau terus mengelak dan menangkis tanpa pernah membalas,
aku sendiri yang akan membunuh Bhisma." Sambil berkata demikian, Krishna melepas tali kekang kuda lalu melompat turun dan mengambil ancang-ancang untuk melepaskan senjata cakranya yang amat sakti ke arah Bhisma.
"Dengan membunuhku, berarti kau membebaskan aku dari cengkeraman kehidupan di dunia dan menolongku
untuk kembali bersatu dengan Hyang Widhi!"
Arjuna yang semula terpana melihat Krishna melompat turun, menjadi sadar mendengar kata-kata Bhisma. Ia tidak bisa menerima hal itu. Segera disambarnya Krishna dan dipaksanya naik kembali ke keretanya. Ia tidak ingin Krishna bertindak nekat karena kurang sabar! Karena itu,
kepada Krishna ia berjanji akan melakukan tugasnya dengan baik.
Setelah berkata demikian, dengan tangkas dan cepat Arjuna menyerang dan menerjang pasukan Kaurawa. Dalam waktu singkat ia menewaskan beratus-ratus orang. Sekali lagi, balatentara Kaurawa menderita kekalahan besar.
*** 44. Pahlawan-Pahlawan Muda Berguguran
Pada hari keempat, pagi-pagi benar Bhisma, Drona dan Duryodhana telah mengumpulkan balatentara Kau-rawa. Siapakah yang tidak takjub melihat keperkasaan
pasukan Kaurawa" Hari itu Bhisma menyiagakan pasukan-pasukan yang mengusung persenjataan berat, pasukan berkuda dan penunggang gajah. Kesatria tua itu tampak perkasa, berdiri tegap di kereta perangnya bagaikan Batara Indra yang sedang mempers
iapkan pertempuran di angkasa.
Arjuna melihat Bhisma memerintahkan pasukan-pasukan Kaurawa untuk maju. Ia sendiri sudah siap di keretanya.
Begitu matahari terbit, sangkakala ditiup, tanda peperangan dimulai. Pagi-pagi benar Abhimanyu telah dikepung oleh Aswatthama, Bhurisrawa, Citrasena, Salya dan Cala, putra Salya. Putra Arjuna yang masih muda itu bertarung dengan sengit, bagaikan seekor singa menghadapi lima ekor gajah. Belum lama berperang, dia sudah berhasil
membunuh Cala. Melihat putranya tewas mengenaskan,
Salya sangat marah dan menantang Dristadyumna. Tetapi sebelum Dristadyumna sempat membalas tantangannya,
Abhimanyu sudah menyerang Salya. Raja itu pasti kalah
kalau tidak segera dibantu oleh Duryodhana dan saudara-saudaranya.
Melihat Abhimanyu dikeroyok, Bhima cepat-cepat memberikan bantuan. Saudara-saudara Duryodhana ngeri melihat Bhima mendekat sambil mengacung-acungkan gada besi yang luar biasa besarnya dan menggeram-geram seperti singa. Mereka gemetar ketakutan. Duryodhana marah melihat saudara-saudaranya ketakutan. Ia mengerahkan ratusan gajah untuk menerjang Bhima. Melihat ratusan gajah berlari ke arahnya, Bhima meloncat dari keretanya siap menghadang mereka dengan gada terayun-ayun. Dihadang seperti itu, gajah-gajah itu lari tunggang-langgang ketakutan. Banyak yang mati terkena hantaman gada Bhima atau terinjak-injak gajah lain. Bangkai binatang raksasa itu bergelimpangan dan tak sedikit prajurit Kau-rawa yang mati terlindas gajah yang lari tunggang-langgang karena panik.
Duryodhana menjadi mata gelap. Ratusan anak panah dilesatkannya ke arah Bhima. Beberapa tepat mengenai Bhima yang lalu bergegas naik kembali ke keretanya. Kepada sais keretanya ia memerintahkan agar kereta dipacu ke kubu Kaurawa, "Ayo Wisoka, ini hari yang gemilang.
Aku melihat anak-anak Dritarastra siap kuremukkan, mudah sekali. Semudah menggoyang dahan jambu agar buahnya rontok berserakan di tanah. Rupanya Kaurawa sudah tak sabar ingin segera dikirim ke neraka!"
Delapan saudara Duryodhana mati remuk terkena amukan gada Bhima. Akhirnya Duryodhana maju dan menantang Bhima dengan garang. Busur Bhima terpelanting kena panah Duryodhana. Dengan cekatan Bhima mengambil busur baru dan membalas serangan Duryodhana dengan anak panah bermata pedang yang tepat mengenai
busur Duryodhana hingga patah jadi dua. Tak kalah tangkasnya, Duryodhana mengambil busur baru untuk membidik Bhima. Kesatria Pandawa itu terkena dadanya, tubuhnya tersentak lalu jatuh terduduk. Tanpa membuang waktu, Duryodhana menggunakan kesempatan itu untuk meluncurkan beratus-ratus anak panah ke arah Bhima.
Gatotkaca, yang melihat ayahnya terduduk setengah tak
sadarkan diri, segera maju menyerang pasukan Kaurawa. Sadar akan keadaan pasukan Kaurawa yang sudah
sangat payah dan hari memang sudah sore, Bhisma memerintahkan Drona untuk mengundurkan pasukan mereka ke perkemahan. Bhisma tahu, Gatotkaca, putra Bhima dari istrinya yang raksasa, akan bertambah kuat dan sakti jika hari mulai gelap. Bertambah malam kesaktiannya semakin
bertambah. Itu adalah ciri khas anak raksasa.
"Esok saja kita hadapi Gatotkaca," kata Bhisma.
Sampai di perkemahan, Duryodhana duduk termangu-mangu. Air matanya menetes, hatinya sedih mengenang kekalahan tadi siang. Peperangan baru berlangsung empat hari, tetapi sudah delapan saudaranya yang tewas dan tak terhitung banyaknya prajurit Kaurawa yang kehilangan nyawanya atau menjadi cacat. Kekalahan itu semakin terasa berat karena banyak kereta perang yang hancur dan gajah serta kuda yang mati.
Setiap hari Raja Dritarastra mendapat laporan tentang jalannya pertempuran dari Sanjaya, orang kepercayaan dan penasihatnya. Mendengar laporan tentang jalannya pertempuran pada hari keempat, ia menjadi marah. Katanya dengan nada keras, "Sanjaya, setiap hari engkau
selalu menyampaikan kabar buruk. Laporanmu hanya
berisi kesedihan, kekalahan dan kematian mereka yang
kucintai. Aku tidak tahan mendengar semua ini."
"Tuanku Raja, bukankah ini semua adalah akibat dari kesalahan Tuanku sendiri" Aku hanya melaporkan apa yang kulihat, sama sekali tidak mengada-ada. Memang menyedihkan
. Tapi, bagaimana aku bisa mengabarkan berita baik, jika kenyataannya tidak demikian" Tuanku Raja harus menerima kenyataan ini dengan sabar," jawab Sanjaya.
*** Pada hari kelima pertempuran dimulai pagi-pagi sekali.
Bhisma mengatur pasukan Kaurawa dalam formasi yang
kokoh. Sebaliknya, Pandawa mengatur pasukan mereka dengan cara lain. Bhima dan pasukannya ditugaskan
untuk siaga di ujung depan formasi mereka, disusul berturut-turut pasukan Srikandi, Satyaki, dan Dristadyumna yang dipilih menduduki pusat formasi atau pusat kekuatan. Ujung belakang formasi dijaga oleh Dharmaputra dan saudara kembarnya, Nakula dan Sahadewa.
Hari belum lagi terang ketika Bhisma mengerahkan pasukan Kaurawa dalam jumlah sangat besar untuk menggempur pasukan Pandawa yang belum siap benar. Tak bisa dihindarkan, prajurit yang dipimpin Bhima banyak yang tewas. Pandawa menderita kekalahan. Dhananjaya segera membantu Bhima. Musuh dapat dipukul mundur dan Bhisma dibuat kewalahan.
Duryodhana kecewa dan mengeluh kepada Drona, "Engkau tidak bertindak dengan sepenuh hatimu. Apa artinya
semua ini" Katakan terus terang!"
Dengan pedas Drona menjawab, "Putra Mahkota yang berhati keras, engkau berbicara tanpa menunjukkan pengertianmu. Selama ini kau meremehkan kekuatan Pandawa. Kami telah melaksanakan kewajiban kami dengan sebaik-baiknya."
Menjelang tengah hari, Drona berhadapan dengan Sat-yaki. Drona melancarkan serangan bertubi-tubi terhadap
Satyaki, tetapi kesatria itu belum terkalahkan juga. Justru
Drona yang membutuhkan bantuan. Maka datanglah Salya dan Bhisma untuk membantunya.
Pertempuran dan pertarungan kesatria-kesatria perkasa itu berlangsung sangat dahsyat! Dari pihak Pandawa tampil Srikandi, seorang laki-laki yang terlahir dengan raga
perempuan. Melihat Srikandi mendekatinya, Bhisma menghindar. Pantang baginya untuk bertarung melawan perempuan karena begitulah dulu ia bersumpah. Drona menggantikan Bhisma dan langsung menghadapi Srikandi. Serangan Drona yang bertubi-tubi membuat Srikandi kewalahan.
Demikianlah, pertempuran di hari kelima itu berlangsung tanpa mengindahkan aturan perang. Pembunuhan kejam terjadi di seluruh medan perang. Menjelang sore
Duryodhana mengirimkan pasukan besar untuk melawan Satyaki. Tetapi, dengan mudah Satyaki menghancurkan mereka semua. Berikutnya Bhurisrawa maju menghadapi
Satyaki dan menyerangnya dengan membabi buta. Putraputra Satyaki yang berjumlah sepuluh orang tidak membiarkan ayah mereka dikeroyok. Serentak mereka maju dan melancarkan serangan balasan. Serangan putra-putra Satyaki itu dihadapi Bhurisrawa dengan garang. Dengan seluruh kekuatannya ia meremukkan sepuluh kesatria itu hingga tewas semuanya.
Satyaki sangat sedih dan marah melihat putra-putranya gugur. Dengan nekat ia menumbukkan keretanya ke kereta Bhurisrawa hingga kedua kereta itu hancur. Kemudian, sambil berdiri dengan gagah ia menghunus pedang
dan bertarung satu lawan satu dengan Bhurisrawa. Melihat itu, Bhima memacu keretanya mendekat. Begitu sampai ke dekat kedua orang itu, ia mengayunkan gadanya, memukul bahu Bhurisrawa. Lalu, dengan tangkas ia menyambar Satyaki, menaikkannya ke kereta dan membawanya menjauh. Bhima tahu, Bhurisrawa sangat tangkas berolah pedang. Kepandaiannya itu tak tertandingi. Ia tidak rela Satyaki tewas karena kalah adu ketangkasan memainkan pedang.
Sementara itu, Arjuna telah membabat habis ratusan prajurit Kaurawa, seperti peladang yang dengan kesal menerabas semak belukar. Setiap bala bantuan yang dikirim Duryodhana langsung dihabisi Arjuna.
Hari sudah sore. Sebentar lagi gelap turun. Bhisma
memerintahkan agar pertempuran dihentikan. Kedua belah pihak kembali ke perkemahan masing-masing untuk beristirahat dan memulihkan kekuatan untuk menghadapi perang esok hari.
Di perkemahan Pandawa, Arjuna yang telah menewaskan ratusan musuh disambut dengan sorak sorai yang meriah.
*** Sementara itu, suasana di perkemahan Kaurawa tampak muram. Hari itu mereka menderita kekalahan luar biasa, kekalahan yang jauh lebih berat dan memalukan daripada yang pernah mereka alami.
Duryodhana termenung-menung. Hatinya gundah memikirkan kekalahannya.
Hatinya mulai bimbang. Keyakinannya mulai goyah. Apakah Kaurawa bisa menang jika pertempuran terus berlanjut"
Akhirnya dia menghadap Bhisma dan berkata, "Kakek yang kuhormati, di mata dunia engkau adalah kesatria agung yang tidak mengenal takut. Demikian pula Drona, Kripa, Kritawarma, Aswatthama, Sudakshin, Bhurisrawa,
Wikarna dan Bhagadatta. Bagi para kesatria agung itu,
kematian bukan apa-apa. Keberanian dan kebesaranmu,
seperti mereka, juga tidak mengenal batas. Tak ada yang
mampu mengalahkan engkau, biarpun kelima Pandawa maju serentak melawanmu. Tetapi, aku merasa ada sesuatu yang aneh. Setiap hari anak-anak Kunti selalu berhasil mengalahkan pasukan kita. Apakah rahasia mereka"" Menilik kata-katanya, jelas Duryodhana mencurigai Bhisma.
"Putra Mahkota, dengar kata-kataku. Dalam setiap kesempatan, aku selalu menasihatimu demi kebaikanmu sendiri. Tetapi, engkau selalu menolak pertimbangan kami yang lebih tua. Berulang-ulang kukatakan kepadamu, jalan yang terbaik adalah berdamai dengan putra-putra Pandu. Kalian berasal dari satu keturunan bangsawan agung. Demi kebaikanmu dan kebaikan jagat ini, perdamaian adalah satu-satunya jalan. Apalagi kerajaan yang amat luas ini akan tetap menjadi milik kalian. Kunasi-hatkan hal ini berulang-ulang, tetapi engkau tetap menyalahkan Pandawa.
"Ingat, Pandawa dilindungi Krishna. Adakah yang bisa mengalahkan Krishna" Apa pun yang telah terjadi, sekarang masih ada waktu untuk berdamai. Percayalah, jalan damai adalah jalan yang paling terhormat. Jadikan sepupu kalian itu teman baik, bukan musuh. Kalian akan hancur musnah kalau terus menghina Dhananjaya dan Narayana(Dhananjaya = nama lain Arjuna; Narayana = nama lain Krishna)," jawab Bhisma.
Duryodhana tidak menyahut dan tidak marah-marah
lagi. Ia segera kembali ke kemahnya lalu merebahkan diri
untuk beristirahat. Tetapi, sepanjang malam ia tidak bisa tidur. Hatinya kesal dan tidak bisa menerima nasihat Bhisma. Dasar keras kepala!
*** Di istana Hastinapura, dengan setia Sanjaya melaporkan
jalannya pertempuran. Semua diceritakannya dengan terperinci karena ia dikaruniai kesaktian untuk melihat
sesuatu yang jauh. Dan ... setiap kali mendengar laporannya, Raja Dritarastra selalu mengeluh berkepanjangan, "Aku ini seperti
pelaut yang terkatung-katung di samudera luas setelah kapalnya tenggelam. Aku pasti tenggelam dalam lautan kedukaan ini. Bhima pasti bisa membunuh semua anakku. Aku tidak tahu, adakah kesatria mahasakti yang sanggup melindungi anak-anakku dari kemusnahan" Apakah Bhisma, Kripa, Drona dan Aswatthama hanya berpangku tangan melihat kehancuran yang dialami anak-anakku" Apa sebenarnya rencana mereka" Bagaimana dan kapan mereka mau membantu Duryodhana dengan sungguh-sungguh"" Dritarastra menangis, dari matanya yang buta mengalir air mata kesedihan.
Sanjaya mencoba menyabarkan raja yang sudah tua itu,


Mahabharata Karya Nyoman S. Pendit di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bersabarlah Tuanku Raja. Ingatlah! Pandawa melandaskan kekuatan mereka pada kebenaran dan keadilan. Itu sebabnya mereka menang. Putra-putramu memang pemberani, tetapi mereka berhati busuk dan tak segan berbuat curang. Keberuntungan takkan memihak putra-putramu. Mereka telah menghina Pandawa dan memperdaya mereka. Kini putra-putramu memetik buah perbuatan mereka. "Pandawa menang bukan karena memiliki ilmu gaib.
Mereka menang karena menjalankan dharma sebagai kesatria. Mereka menempuh jalan benar dan karena itu mereka dikaruniai kekuatan.
"Sahabat-sahabat Tuanku, yaitu Widura, Drona, Bhis-ma dan aku telah berulang kali memberi saran, tetapi Tuanku selalu menuruti keinginan putra-putra Tuanku. Ibarat orang yang sakit keras, Tuanku telah menolak obat pahit yang harus Tuanku minum agar bisa sembuh."
Di kemahnya, Duryodhana juga mengeluhkan hal itu.
Bhisma menasihatinya, "Yang dapat kukatakan kepadamu sekarang adalah: berdamailah dengan Pandawa."
*** 45. Kedua Pihak Berusaha Keras untuk Menang
Pada hari keenam, sesuai perintah Yudhistira, Dristadyumna menyusun balatentara Pandawa dalam formasi makara, yaitu sejenis udang besar yang kepalanya bertanduk. Sementara itu, pasukan Kaurawa diatur dalam formasi krauncha, yaitu sejenis burung bangau
raksasa. Pertempuran hari ke enam ditandai dengan tewasnya
lebih banyak prajurit di kedua belah pihak. Hari masih
pagi ketika Pandawa membunuh sais kereta Drona. Karena itu, Drona sendiri yang mengemudikan keretanya, sambil terus bertempur dengan garang.
Pagi itu Bhima mengamuk, memporak-porandakan formasi musuh. Untuk kesekian kalinya ia berhadapan
dengan Duryodhana. Semula pihak Kaurawa menugaskan Duryodhana untuk menangkap dan membunuh Bhima. Tetapi akhirnya tugas itu diserahkan kepada saudara-saudaranya yang kemudian dengan licik mengeroyok Bhi-masena. Mereka yang menggantikan Duryodhana adalah
Duhsasana, Durwishada, Durmata, Jaya, Jayatsena, Wikarna, Chitrasena, Sudarsena, Charuchitra, Suwarma,
Dushkarna dan beberapa lagi. Tetapi Bhima tidak takut dan tidak peduli berapa jumlah mereka. Ia terus menerjang ke depan, menggempur siapa pun yang menghalanginya. Seperti biasa, jika sedang marah Bhima sering kehilangan kendali. Dikeroyok begitu, hilanglah kesabarannya. Tiba-tiba ia meloncat turun dari keretanya lalu mengayun-ayunkan gadanya yang terkenal sakti sambil berlari ke
arah anak-anak Dritarastra.
Ketika Dristadyumna tidak melihat kereta Bhimasena di tengah kerumunan pasukan musuh, ia merasa cemas. Segera ia memacu keretanya ke kerumunan musuh yang mengepung Bhimasena. Dengan nekat dia menerjang pasukan Kaurawa. Sampai di tengah pasukan musuh, ia tidak melihat Bhima tetapi hanya Wisoka, sais kereta Bhima. Wisoka melaporkan bahwa dengan bersenjata gada Bhima bertempur melawan putra-putra Dritarastra dan ia diperintahkan menunggu di kereta.
Mendengar itu, Dristadyumna pun mengarahkan
keretanya lebih jauh ke tengah pasukan musuh. Laju keretanya terhalang oleh mayat manusia dan bangkai gajah serta kuda yang bergelimpangan, tapi dengan penuh tekat Dristadyumna terus maju. Akhirnya dia melihat Bhima-sena sedang bertarung seru dengan putra-putra Dritaras-tra. Tubuh kesatria Pandawa itu berlumuran darah, belasan anak panah menancap di sana-sini. Dengan tangkas Dristadyumna mengarahkan keretanya mendekat dan secepat kilat menyambar Bhimasena serta menaikkannya ke dalam keretanya. Dipeluknya kesatria perkasa itu dengan penuh kasih. Darah Bhima pun membasahinya. Segera dia memutar kereta dan melarikan Bhima keluar dari arena pertempuran.
Duryodhana yang mengira Bhimasena dan Dristadyum-na sudah tak berdaya lagi segera memerintahkan anak buahnya untuk menyerang mereka. Ratusan pasukan Kau-rawa menghadang laju kereta Dristadyumna. Kesatria itu lalu mengeluarkan senjata gaib yang diperolehnya dari Mahaguru Drona ketika ia berguru kepadanya. Dengan senjata itu ia menghancurkan musuhnya. Tak terbilang jumlah prajurit Kaurawa yang tewas, berguguran bagai daun-daun di musim rontok. Melihat itu, Duryodhana segera masuk ke kancah pertempuran dan berusaha melawan senjata gaib itu. Dikeroyok seperti itu, Bhimasena dan Dristadyumna hanya bisa mempertahankan diri.
Dharmaputra yang melihat keadaan itu dari kejauhan
segera mengirimkan bantuan sebanyak dua belas pasukan
bersenjata lengkap yang dipimpin Abhimanyu. Mendapat
bantuan itu, Bhimasena merasa lega.
Belum sempat Pandawa menekan musuhnya, Drona datang dan menggempur pasukan Pandawa dengan hebat. Sais kereta Dristadyumna tewas seketika terkena panah Drona. Dristadyumna terpaksa melompat ke kereta Abhimanyu dan Bhimasena melompat ke kereta Kekaya.
Dalam pertempuran di hari keenam Bhimasena langsung berhadapan dengan Duryodhana. Kedua orang yang bermusuhan itu saling mencaci dan memaki, sambil berperang menggunakan senjata andalan masing-masing.
Malang bagi Duryodhana, dalam pertarungan sengit itu ia terkena hantaman gada Bhimasena dan seketika itu jatuh pingsan. Secepat kilat Kripa menyambar Putra Mahkota Kaurawa untuk dilarikan ke tempat aman dan diselamatkan. Kemudian Bhisma datang dan menggempur pasukan Pandawa hingga berantakan.
Demikianlah, pertempuran tetap berlangsung sengit
meskipun matahari sudah terbenam. Tak terhitung banyaknya korban yang berjatuhan di kedua pihak. Kira-kira dua jam setelah matahari terbenam barulah pertempuran itu berhenti. Pandawa lega melihat Bhima dan Dri
sta-dyumna kembali ke perkemahan mereka dengan selamat, walaupun sekujur tubuh Bhima penuh luka.
*** Setelah siuman, dengan luka di sekujur badannya, Duryo-dhana pergi ke kemah Bhisma. Lalu, seperti biasanya ia marah-marah. Katanya, "Perang ini makin hari makin memburuk. Pihak kita selalu kalah. Tak terhitung prajurit
kita yang tewas. Rupanya engkau hanya menonton, tanpa
berbuat apa-apa." Dengan sabar Bhisma membesarkan hati Duryodhana. Katanya, "Wahai Putra Mahkota, jangan biarkan hatimu risau begitu. Kami semua, Drona, Kritawarma, Salya,
Wikarna, Aswatthama, Bhagadatta, Sakuni, dua bersaudara dari Negeri Awanti, Raja Trigarta, Maharaja Magada dan Mahaguru Kripa... semua berpihak padamu. Semua
kesatria besar itu rela mengorbankan jiwa mereka demi kemenangan Kaurawa. Jangan berkecil hati. Hilangkan pikiran yang melemahkan jiwamu.
"Lihatlah! Beribu-ribu kereta, pasukan berkuda, pasukan gajah dan pasukan berjalan kaki datang dari berbagai negeri dan kerajaan, siap bertempur di pihakmu. Dengan balatentara luar biasa besar itu, engkau pasti bisa menaklukkan musuh-musuhmu, bahkan dewa-dewa di kahyangan sekalipun! Jangan gentar! Maju terus!" demikianlah
nasihat Bhisma kepada Duryodhana yang sedang putus
asa. *** Di hari ketujuh, pasukan Kaurawa diatur dalam formasi lingkaran-lingkaran. Masing-masing lingkaran dilengkapi dengan pasukan gajah dan tujuh kereta. Setiap kereta dinaiki seorang perwira yang memimpin sepuluh prajurit
pemanah; setiap prajurit pemanah dikawal oleh sepuluh
prajurit penangkis panah. Semua prajurit membawa senjata lengkap. Di tengah-tengah formasi lingkaran-lingkaran itu, Duryodhana berdiri gagah, bagaikan Batara
Indra dari kahyangan. Ia mengenakan pakaian kebesaran,
lengkap dengan atribut dan senjata-senjata saktinya.
Di pihak Pandawa, Yudhistira mengatur pasukan Pandawa dalam formasi wajrawyuha atau formasi halilintar.
Pertempuran di hari ketujuh berlangsung sangat sengit. Matahari belum sepenggalah tingginya ketika terjadi pertarungan satu lawan satu di seluruh padang Kurukshetra:
Bhisma berhadapan dengan Arjuna, Drona dengan Wirata, Aswatthama dengan Srikandi, Duryodhana dengan Drista-dyumna, Salya dengan Nakula dan Sahadewa, Raja Awanti bersaudara, Winda dan Anuwinda dengan Yudhamanyu,
Kritawarma - Citrasena - Wikarna - Durmarsa dengan
Bhimasena. Terlihat pula pertarungan sengit antara Bhagadatta
dengan Ghatotkaca, Alambasa dengan Satyaki, Bhurisrawa
dengan Dristaketu, Kripa dengan Chekitana, dan Srutayu
dengan Yudhistira. Kedua pihak bertarung dengan lawan yang seimbang. Tetapi, tentu saja ada yang akhirnya kalah atau menang. Wirata dikalahkan oleh Drona. Keretanya dihancurkan dan saisnya dibunuh, sehingga ia terpaksa melompat ke kereta Sanga, anaknya. Sanga bertempur dengan gagah berani, tetapi akhirnya tewas, menyusul saudara-saudaranya,
Uttara dan Sweta, yang gugur di hari pertama.
Di hari ketujuh itu, Srikandi mengalami nasib buruk. Keretanya dihancurkan Aswatthama, hingga ia terpaksa melompat turun. Dengan pedang dan tameng ia terus menyerang Aswatthama. Kesatria itu melemparkan tombaknya, tepat mengenai pedang Srikandi dan membuatnya patah menjadi dua. Srikandi tidak gentar dan terus menyerang. Dengan sekuat tenaga ia mengayunkan pedangnya yang puntung ke arah Aswatthama, tetapi putra Drona itu sempat mengelak. Sebagai balasan, Aswat-thama melesatkan panah berantai, membuat Srikandi lari
menghindar dan melompat ke kereta Satyaki. Pada saat itu
Satyaki sedang bertarung dengan Alambasa. Tetapi, kemudian Alambasa mundur, melarikan diri, karena tak sanggup menghadapi gempuran lawannya.
Dalam pertempuran antara Duryodhana dan Drista-dyumna, kereta Duryodhana dapat dihancurkan. Putra Mahkota Kaurawa itu terpaksa melompat turun dari kereta lalu bertarung di tanah dengan pedang dan tameng. Belum lama bertempur demikian, Sakuni datang menolongnya. Ia menyambar Duryodhana, menaikkan ke keretanya, lalu membawanya lari untuk diselamatkan. Di bagian lain, Kritawarma menggempur Bhima dengan garang tetapi akhirnya dapat dikalahkan dengan mudah. Keretanya hancur dan ia terpaksa melompat ke kereta Sakuni dengan
tubuh penuh panah tertancap. Dari jauh ia tampak seperti seekor
landak yang lari terbirit-birit.
Raja Awanti bersaudara, Winda dan Anuwinda, dapat ditaklukkan Yudhamanyu. Pasukan Kerajaan Awanti hancur lebur. Sementara itu, Bhagadatta menyerang Gatot-kaca dengan hebat, hingga putra Bhimasena itu terpaksa mundur dan meninggalkan arena pertempuran. Pasukan Kaurawa bersorak-sorak senang karena kemenangan mereka.
Hari sudah menjelang senja, tetapi Yudhistira masih
terus bertempur dengan garang, berbeda dengan hari-hari sebelumnya. Kali ini ia terluka terkena anak panah Sru-tayu yang dengan tepat dapat menghancurkan senjata Dharmaputra yang dilemparkan ke arahnya. Yudhistira menjadi marah dan membalas dengan melepaskan anak panah mahasakti yang membuat kuda dan sais kereta Srutayu hancur. Satu anak panah tepat mengenai dada Srutayu dan membuatnya terpelanting ke tanah. Dengan tenaga yang tersisa, ia mencoba lari meninggalkan arena pertempuran.
Di saat itu juga, Salya sedang berhadapan dengan kedua kemenakannya. Kereta Nakula dapat dihancurkan oleh Salya, sehingga Nakula terpaksa melompat ke kereta Sahadewa. Kemudian mereka bersama-sama menggempur Salya. Beberapa anak panah Sahadewa tepat mengenai Salya, membuat raja itu terluka. Sais keretanya yang setia cepat-cepat menyelamatkannya keluar dari arena pertempuran. Kekalahan itu membuat semangat balatentara Dur-yodhana merosot.
Dalam pertempuran Kripa melawan Chekitana, mahaguru itu menghancurkan kereta dan membunuh sais kereta Chekitana. Tetapi, Chekitana terus melakukan perlawanan sengit. Bola besi yang dilontarkannya ke arah kereta Kripa menghancurkan kereta itu dan membuat guru tua itu terpaksa melompat turun. Kemudian mereka berhadapan dan bertarung di tanah dengan pedang terhunus. Alangkah sengitnya pertarungan kedua kesatria itu. Mereka saling menusuk dan melukai. Keadaan seimbang dan
Pendekar Pedang Sakti 4 Satu Cinta Seluas Angkasa Karya Petrus Hepi Witono Kisah Para Pendekar Pulau Es 18
^