Tesa 3
Tesa Karya Marga T Bagian 3
"Oh, tentu saja boleh, Pik! Silakan! Kebetulan kita sedang kekurangan orang untuk nanti men-cuci piring!" seru nya, bersyukur dalam had sudah berhasil menjawab dengan cepat, sehingga suasana tidak menjadi kikuk. Anak-anak lain pun segera bersorak menyetujui usul Tesa.
"Buset! Kalau begitu aku ke sini cari peng-gebuk, ya!" Suasana pun menjadi makin meriah. Bahkan Pasha jadi asyik ngobrol dengan Michael. Keduanya memang sudah saling kenal di kuliah.
Demikianlah hubungan Tesa dan Pasha sema-kin erat serta mesra. "Setelah pelajaranmu sele-sai nanti, sebaiknya kau jangan. langsung pulang," usul Pasha pada suatu kali. "Teruskan saja mengambil kursus komputer sambil mene-mani aku kuliah. Nanti kita pulang sama-sama."
Tesa sih setuju saja. Cuma persoalannya, dia tak punya biaya lagi.
"Kasihan kan morot terus dari Mami," dalih-nya. "Kalau aku pulang, bisa langsung cari duit buat bantu Mami."
"Soal biaya, kau tak usah pusing, Tes. Kalau kita sudah resmi, pasti orangtuaku takkan kebe-ratan membiayai kau juga!"
"Nanti deh kita bicarakan lagi kalau sudah
tiba waktunya," sahut Tesa mengelak. Bukan
pertama kali itu Pasha mengiming-iming bahwa dia ingin mereka secepatnya menikah. Tak usah tunggu sampai pulang dulu ke rumah. Dan Tesa belum berani mengabari ibunya mengenai pacar barunya ini. Ibu pasti enggak setuju kalau dia mau terburu-buru. Perkawinan adalah ikat-an seumur hidup, pasti begitu nasihat ibunya, jadi harus dipikirkan matang-matang.
Tapi di kemudian hari, Tesa tidak begitu ya-kin lagi akan kemantapan nasihat itu. Dia ter-kadang melamun, ah, seandainya saja dia tidak terlalu lama membuang waktu untuk berpikir sampai matang! Ah! Dan saat itu dia cuma bisa mengeluh penuh sesal.
Hari itu mereka berdua sudah berjanji akan pergi ke kebun binatang. Seperti anak kecil, sejak kemarinnya Tesa sudah kegirangan sampai susah tidur. Pagi itu tingkahnya seperti cacing dimandiin abu. Sebentar-sebentar dia berden-dang atau mondar-mandir dari kamar ke dapur tanpa tujuan tertentu.
"Waduh! Kelihatannya senang betul! Lagak-mu seperti orang kena lotre saja, nih, Tes!" kata Sabita, kepingin ikut kebagian.
"Ada yang ditunggu" Kok belum muncul, ya," sindir Atina.
Nopi sok tahu. "Bukan nunggu, kok!" bantah
"Kau mau bikin janji denganku, tapi malu banyak orang! Iya, kan"! Ini sih, cecurut-cecurut enggak mau pada nyingkir!"
"Siapa yang kausebut begitu"" seru Atina penasaran. Tampangmu sendiri enggak lebih mending dari nyingnying."
"Eh, kalau memang yakin kau bukannya cecu rut, kenapa mesti nasping"" Nopi ketawa terbahak.
"Sudah, ah. Kok jadinya berantem pagi-pagi begini"" Tesa mencoba mendamaikan, tapi Atina malah mendelik pada Nopi sambil melirik ke cangkimya seakan kepingin membubuhi racun. Tesa berniat mengalihkan pembicaraan, ketika Nurul dan Ria tahu-tahu mendobrak pintu dapur seakan terjadi kebakaran, lalu menatap mereka dengan napas tersengal-sengal.
Nopi segera memanfaatkan kesempatan bagus itu untuk meluaskan pandangan. Kedua gadis itu mengenakan jeans dan T-shirt ketat, sehingga pemandangan alam bukan main me-mukaunya. Ria segera menyadari dan menyem-protnya, "Hei, mata keranjang! Jangan pandangi aku seperti itu! Kualat nanti, ujianmu jeblok!"
"Eh, aku kan sedang menghitung gerak na-pasmu, kok malah disumpahi"! Kalau kau napas terlalu cepat, kan bisa bahaya, tuh!" sergah Nopi padahal dia memang sedang cuci mata.
anak tikus Habis kapan lagi bisa melihat bukit-bukit naik-turun begitu indah, pikirnya. Sangat bagus buat
kesehatan mata! Daripada mesti pakai boorwaterl
Nurul tidak ikut-ikutan nimbrung, sebab tak tahan lagi mau menyampaikan kabar yang me-ngejutkan. "Pada belum tahu, kan" Pika di rumah sakit!"
"Haaa"!" semua tercengang. - "Kenapa dia"" tanya Sabita yang paling erat dengan Pika, temannya sejak di SMA.
Ria menarik kursi, lalu duduk. Dengan begitu dadanya jadi tertutup meja dan Nopi tidak bisa leluasa lagi menatapnya. Napasnya pun sudah lebih tenang. Nurul segera mengerti dan meng-ikuti contohnya.
"Pika kecelakaan bersama Michael!" kata Ria memulai.
"Oh!" "Mereka baru pulang libur tiga hari ke rumah orangtua Michael. Kabarnya, Pika luka parah. Sekarang ini kami mau menengok. Ada yang mau ikut"" Semuanya menyatakan mau.
"Aku beritahu Pasha dulu," kata Tesa tergesa-gesa menuju telepon. Tapi sampai lama dibiar-kannya pesawat itu berdering, namun sia-sia. Tak ada yang mengangkat.
"Barangkali dia sudah di jalan mau kemari," kata Tesa ketika kembali ke dapur dengan lesu. Tapi aku ikut kalian saja. Biar aku tinggalkan pesan baginya, supaya segera menyusul ke ru- i mah sakit" Namun betapa terkejutnya Tesa ketika mereka melangkah ke dalam lorong, lalu mengintai
dari jendela kaca. Ternyata Pasha sudah berada di dalam kamar gawat darurat, tengah sibuk membincangkan beberapa buah gambar ront-gen! Pasti dia bukannya sedang dinas jaga, pikir Tesa. Sebab hari ini kan mereka sudah punya rencana mau ke kebun binatang! "Sayang kita enggak boleh masuk!" tukas Sabita dengan kesal. "Aku ingin melihat dari dekat bagaimana keadaannya!"
"Itu memang sudah peraturan," kata Nopi yang selalu menerima keadaan apa adanya.
"Mungkin takut kita nanti menularkan kuman"
"Kan bisa pakai baju steril seperti Pasha itu!" . cetus Atina yang juga mengkal.
"Tunggu saja apa kata Pasha kalau dia nanti keluar!" kata Nopi seakan mau menyabarkan.
Tapi yang ditunggu justru tidak keluar-keluar. Pasha memang tidak tahu bahwa teman-temannya sedang menantinya. Seorang perawat yang muncul dari dalam kamar segera disan-dera oleh Nopi dengan senyumnya yang cukup menawan para makhluk halus yang kesepian.
"Suster, kenapa kami tidak boleh masuk" Giliran satu-satu kan bisa""
"Tidak bisa!" sahut perawat dengan bengis "Tuan Solem pun sebenarnya tidak boleh masuk. Tapi sang pasien terus-menerus meracau
memanggilnya, jadi terpaksa diizinkan!"
Ketika Pasha muncul di luar kamar, yang pertama-tama dilihatnya adalah wajah Tesa yang pucat. Dia segera menghampiri dan me-meluknya, lalu mengajaknya duduk. Yang lain mengikuti seperti anak ayam takut kehilangan induk.
"Sorry, Tes, rencana kita ke kebun binatang batal!"
Tesa menggeleng. "Bagaimana keadaannya"" bisiknya
dengan bibir gemetar. Pasha juga menggeleng sambil menarik napas. "Cukup parah." Lalu dia bungkam.
"Parah bagaimana"" Sabita menegaskan dengan rasa tidak puas.
Pasha kembali cuma menggeleng. Air muka-nya keruh sekali. Tesa menatapnya dan tiba-tiba dilihatnya setetes air bening bergayut di sudut matanya. Pasha menangis! Oh, kalau begitu pasti keadaan Pika sangat gawat!
"Apakah dia akan..."" Sabita tak mampu meneruskan.
Pasha lagi-lagi menggeleng. "Tak tahulah aku," keluhnya penuh kepedihan.
Kecelakaan itu ternyata amat hebat dan ber-buntut panjang. Michael pincang kakinya dan narus memakai penyangga, entah untuk berapa
lama. Pika memang akhirnya bisa selamat dari maut, namun pukulan yang fatal dialami oleh Tesa!
Pasha sengaja mengajaknya ke tempatnya agar mereka bisa bicara tanpa gangguan teman-teman. Tesa dibuatkannya kue dadar kesukaan-nya. Tapi gadis itu cuma berhasil menelan se-potong. Mungkin hatinya terlalu risau. Mungkin juga hati Pasha yang risau, sehingga adonannya kurang gurih.
Dengan telaten dilayaninya kekasihnya makan-minum seakan itu .perjamuan mereka yang penghabisan. Pasha bolak-balik ke dapur belasan kali seolah mau memperpanjang saat di mana dia harus membuka kartu, menuang ke-benaran. Tesa bangkit membawa gelas. "Kau mau apa"" "Mau mengambil air lagi." "Biar aku yang ambilkan!" Dengan sigap di-rebutnya gelas itu sampai Tesa keheranan. "Enggak sari-sarinya kau seperti orang edan kerepotan begitu!" Tapi Pasha tidak menanggapi seakan tidak mendengar. Ketika gelas diserahkan, Tesa me* numpahkannya sedikit ke atas pakaiannya.
"Wah, aku kelupaan bawa saputangan!" ke-luhnya. "Di mana tisumu"" "Aku ambilkan!" Dan Pasha pun kembali ke belakang setengah berlari. Tesa mengerutkan kening sambil menggeleng. Rupanya dia mau
menebus rasa kangennya sejak sebulan merawat Pika, pikirnya tersenyum. Setelah akhirnya tak ada lagi yang bisa dikerjakan, dengan ngeri Pasha terpaksa menjatuhkan diri di samping Tesa. Sofa panjang itu ter-kadang digunakan sebagai tempat tidur kalau ada temannya menginap. Biasanya mereka du-duk berimpitan, namun kini Pasha agak menjauh beberapa be las senti.
Setelah menahan napas dan mengeluh panjang-pendek dalam hati, akhirnya saat itu pun tiba.
Tesa termangu mendengarkannya seakan kurang percaya atau bahkan tidak mengerti. Pasha mengulangi seolah mau meyakinkan dirinya bahwa dia tidak salah bicara.
"Pika sekarang lumpuh, Tes. Dia perlu pera-watan jangka panjang. Dan...
dia memohon agar aku sudi kembali padanya. Dia ingin dirawat olehku!"
Seakan tersadar dari mimpi, Tesa menatap Pasha dengan mata berapi. "Tapi
dia sendiri tak pernah mau merawatmu waktu kau membutuhkannya!"
"Aku tahu," sahut Pasha dengan nada sabar. "Tapi aku enggak tega untuk menolaknya."
Bukankah dia sudah mencampakkan eng-kau"l"
"Aku tahu." "Ke mana Michael""
Dia sendiri Juga butuh pertolongan, jadi
na mungkin merawat Pika. Saat ini dia sedang beristirahat di rumah orangtuanya, aku dengar."
"Apa... apakah mereka sudah putus""
"Aku rasa, ya." Pasha menghela napas. Ah, susahnya membuat Tesa mongerti.
"Karena itu dia minta kau kembali padanya!" "Aku rasa... begitu."
Mereka diam. Setelah lewat lima menit, akhirnya Pasha tak sanggup lagi disiksa seperti itu. Dia tidak bisa menyaksikan Tesa diam bengong seperti orang hampir tersambar petir. Lebih ce-pat dia berlalu, lebih baik bagi mereka, pikirnya. Kalau memang sudah kemauan Tuhan, tak bisa dielakkan.
Disentuhnya lengan Tesa. "Tes, sudilah me-ngerti. Aku kasihan padanya. Kalau kau melihat dia, pasti kau pun akan jatuh kasihan juga."
Tesa menoleh serta menatapnya. "Apa kau masih mencintainya""
Pasha menggeleng. "Aku tak mau menyakiti hatimu dengan jawaban apa pun. Kalau aku bilang ya, kau pasti cemburu dan kesal. Kalau aku bilang tidak, kau juga akan marah serta penasaran. Kedua keadaan itu akan membuat kau tidak bahagia. Bila kau tahu aku tidak mencintainya lagi, mungkin kau akan menunggu aku terus, menunggu sesuatu yang takkan pernah bisa terjadi lagi. Kau akan menghancurkan masa depanmu. Tidak, Tes! Itu tak boleh kaulakukan!"
Tesa menggertakkan geraham. Sungguh dia
enyesal suda h melibatkan diri dengan pemuda itu. Kenapa dia pacaran lagi"! Bukankah sudah diketahuihya bahwa hal itu selalu meruwet-kan hidupnya"! Siapa pun "di atas sana" rupanya tidak suka melihatnya bahagia.
Ditatapnya Pasha dengan menantang. "Lantas, apa yang boleh kulakukan""
"Bereskanlah sekolahmu secepatnya. Kalau tidak salah ingat, tinggal empat bulan lagi, bukan" Setelah itu, pulanglah ke Jakarta! Lupakan-lah aku!" Pasha mengepalkan tinjunya erat-erat seakan kesal sekali menghadapi keadaan dirinya yang tak berdaya.
Lebih gampang disebut daripada dilakukan, pikir Tesa sinis. Pasha seolah tercabik hatinya melihat gadis itu termangu seakan hilang akal. Seandainya dia mau meraung atau ngamuk, ah, itu lebih baik, pikirnya. Tapi Tesa cuma diam saja menatap karpet. Matanya kering. Bibirnya terkunci rapat.
Pasha tidak tahan melihat keadaannya seperti itu. Diraihnya gadis itu ke dalam pelukannya. Dan Tesa tidak melawan maupun menyambut. Dia sungguh seperti orang hilang pikiran!
"Tes, janganlah putus harapan, Sayang. Memang beginilah dunia. Hidup ini cuma pang-gung sandiwara. Dan lakonnya kebanyakan tra-gis. Manusia yang
kurang beruntung seperti kita berdua, lebih banyak jumlahnya daripada mereka yang bahagia. Tapi percayalah, Tuh
itu maha pengasih. Kesengsaraan kita takkan kekal... "
"Ya, betul!" Tiba-tiba terdengar suara Tesa dalam pelukannya. "Ambil saja pisau...!"
"Tesa!" Pasha terpana mendengar pikiran gadis itu. Apa yang ditakutkannya rupanya memang benar. Tesa berdiam diri saja dan itu lebih berbahaya daripada bila dia ngamuk serta marah. Orang yang tidak bisa melampiaskan kekesalan hatinya biasanya makan di dalam. Itu tak boleh terjadi pada gadis yang dicintainya.
"Sekali pikiran itu tak boleh kaubiarkan mera-suki kepalamu! Aku melarangnya!"
"Apa kau masih punya hak untuk melarang aku"" tanya Tesa mencibir, lalu tiba-tiba dia melepaskan diri dan menyingkir ke pojok sofa.
"Tes, percayalah pada suatu hari kau pasti akan bahagia. Sekarang kau memang marah, penasaran, dan patah hati. Tapi kelak bila kau telah menemukan tambatan hati yang baru, pasti kau akan bersyukur, kita tidak jadi melang-sungkan hubungan ini. Kau akan tahu, aku memang tidak pantas bagimu. Aku sama sekali tidak pantas menerima cintamu yang tulus. Lupakanlah aku.... "
Tesa menatapnya dengan tajam. Pelan-pelan. matanya berlinang. Bibirnya menggeletar. "Ha-ruskah... haruskah... kau kembali padanya"" bisiknya hampir tak terdengar.
Pasha menguatkan hati dan mengangguk. "Ya. Aku tak bisa menelantarkan orang yang
sudah mempercayakan hidupnya di tanganku.
Ingatlah, Tes, aku ini calon dokter. Masa depan-ku sedang mengalami ujian yang berat saat ini. Kalau aku gagal, berarti aku takkan dapat menjadi dokter yang baik bagi mereka yang butuh pertolongan. Dokter harus berani berkorban paling banyak. Cobalah mengerti, Tes."
"Kenapa harus aku sendiri yang mengerti" Kenapa dia tidak"! Kenapa cuma kau dan aku yang mesti berkorban"! Tidak adil! Sungguh tidak adil! Seharusnya dia tidak meminta itu dari J engkau! Kan bisa saja dia mencari perawat seperti yang dilakukannya dulu bagimu"! Dia tidak punya perasaan! Dia sungguh tidak berpe-rasaan!" Lalu tiba-tiba Tesa terguguk menangis. Ditutupinya wajahnya dengan tangan dan dari sela-sela jarinya air mata turun tak henti-henti. Napasnya tersendat-sendat.
Pelan dan lembut Pasha mengurai kedua ta-ngannya, lalu disusutnya mata serta kedua pip! dengan saputangannya. Dipeluknya kembali gadis itu sampai tangisnya reda.
"Nah," katanya akhirnya sambil menatap Tesa dari jarak selengan. "Sekarang perasaanmu sudah sedikit lega, bukan" Marilah aku antarkan pulang."
"Tak usah! Aku bisa pulang sendiri!" Tesa mengibaskan tangannya dan berdiri. Tanpa membuang waktu lagi disambarnya tasnya dari meja, lalu berlari ke pintu, membukanya, dan menghilang.
menutup pintu, bersandar di belakang-
Bab 12 "Aku sekarang berada di airport! Apa kau betul-betul tak mau mengubah kembali pendirian-mu""
"Kenapa membuang waktu, Far" Lebih baik kau lekas pergi ke ruang tunggu, nanti keting-galan -planel"
"Jadi, kau... betul-betul keras kepala"!" Suara di seberang sana
bukan main kesal kedengaran-nya.
"Selamat jalan, Goffar!" Lalu Tesa meletakkan kembali pesawat telepon. Ketika diangkatnya mukanya, tahu-tahu didapatinya Bos sedang membungkuk di depannya. Kedua tangannya bertumpu di atas meja, sementara dasinya terjuntai di hadapannya bergoyang-goyang. Lirik-annya menyengat sekali ketika dia bertanya, 'SiaPa sih Pak Goffar itu""
Seorang pembohong!" cetus Tesa tanpa di-Pikir lagi.
Rupanya kau sudah dibohongi oleh-tukas Bos dengan senyum penuh arti.
"Kau tampak kesal sekali. Bagaimana kalau nanti malam kita makan bersama""
"Terima kasih. Tapi sebaiknya Bapak makan bersama istri saja di rumah!" "Lho! Aku belum punya istri!" bantah Bos setengah membelalak. "Apakah Bapak juga mau disebut pembo-hong""
"Lho! Lho! Lho! Nanti aku mintakan surat keterangan masih bujangan dari lurahku kalau kau tidak percaya!"
"Tak usahlah, Pak. Saya percaya sekarang." "Makan malam itu jadi, ya""
"Jangan sekarang, Pak. Kepala saya pusing, pikiran masih kalut."
"Baiklah. Tapi lain kali tak boleh ada alasan lagi!" kata Bos seraya memutar badan kembali ke dalam ruangannya.
Tesa menarik napas lega. "Huh! Susah kalau dapat majikan yang masih bujangan seperti itu, pikirnya. Hampir setiap minggu ada saja tawar-an yang enggak-enggak. Makan malamlah, non-ton bioskoplah, mancing ke Pulau Bidadari-lah, atau m enema ni dinas ke luar kota! Bah kan ke luar negeri juga! Untung sejauh itu dia masih bisa mengelak.
"Pak, saya tidak bisa ke luar kota, Ibu sedang sakit!"
"Pak, saya tidak sabaran mancing-mancing, lebih baik beli saja di Pasar I kan! Langsung dipanggang atau digoreng!"
Pak, saya lebih suka melihat video saja di rumah daripada mesti dandan untuk ke bios* kop! Belum lagi bau rokoknya! Dan minta ampun WC-nya!"
Bagi Tesa itu cuma sekadar alasan. Tapi aki-bataya, Bos hampir saja membeli pesawat TV dan video untuk dinikmati sehabis jam kantor! Untung Pak Tambua yang ditugaskan mencari info soal tipe, keburu memberi bisikan pada Tesa. Gadis itu kemudian mencari kesempatan untuk menyindir Bos, jangan sampai hilang wi-bawa atau disebut sinting!
"Saya sih segan dimanja oleh Bos seperti se-orang kawan saya. Lebih baik minta berhenti saja!" tukasnya ketika mereka sedang makan siang berdua di kantin.
"Lho, dimanja kok enggak mau"! Kamu in! spesies dari bulan, apa"!"
"Habis! Pikir saja oleh Bapak. Pegawai yang dimanja oleh atasan itu pasti akan dijauhi dan disindir-sindir sama rekan-rekan lain. Mana enak kerja dalam suasana begitu""
Rupanya Bos termakan juga oleh "perumpa-maan" yang mirip ancaman itu. Video tidak jadi dibeli. Dia juga tidak begitu gencar lagi melan-carkan manuver-lewat-jam-kantor-nya.
Tesa tersenyum scndirian. Sudah hampir tiga tahun dia betah jadi sekretaris presdir. Dan sudah setahun dia axnan dari manuver. Rupanya mendengar suaranya yang tegas di telepon ba-rusan, Bos kembali angot sintingnya. Biarlah.
Toh dia tahu, Bos takkan memaksa. Dia pasti khawatir nanti karyawati kesavungannya itu akan kabur. Bos pernah bilang, dia bersedia menunggu sampai kapan saja atau... sampai Tesa disambar orang lain") Hiii! Takkan pernah, pikirnya togas.
Sejak dia kembali dari Perth tiga tahun yang lalu, dia sudah bertekad tak mau lagi terlibat cinta. Cuma bikin ruwet pikiran. Ujung-ujung-nya toh sama saja: putus! Mungkin sudah nasib-nya mesti membujang seumur hidup. Dan untuk seorang wanita zaman kini, itu sama sekali tidak tragis. Malah lebih enak, hidup jadi tak banyak cincong.
Beragam alasannya kenapa dia menolak Goffar yang merengek minta visa masuk lagi ke hatinya. Salah satunya adalah itu: dia tak mau lagi terlibat cinta!
Ketika dia baru saja kembali dari Australia, ibunya sudah memperingatkan, "Awas dengan Goffar. Begitu tahu kau sudah balik, dia pasti akan terus mengganggumu! Selama ini barang-kali sudah sepuluh kali dia minta-minta alamat-mu di Perth. Katanya mau ketemu. Tapi tidak Ma mi berikan."
Betul saja dugaan ibunya. Telepon mulai sering berdering. Goffar rupanya tidak takut membayar rekening. Terkadang sehari sampai lima kali. Walaupun dibilang baru saja masuk ke kamar mandi dia ngotot mau menunggu.
Katanya, khawa tir nanti ditinggat pergi oleh Tesa kalau pesawat dimattkan.
Tesa terpaksa melayani bicara. Tapi sejak se-mula dia sudah menyatakan dengan togas bahwa jembatan mereka sudah musnah tcrbakar. Sampai kiamat pun dia takkan mau kembali atau menginginkan Goffar balik padanya.
"Kewajibanmu sekarang adalah Shakira!"
"Aku harus menemui engkau," tuntut Goffar berkeras. "Kalau kita sudah ketemu, pendirian-mu pasti akan berubah!"
Tesa minta ampun dalam hati. Betapa tak tahu ma I u nya pria ini, pikirnya. Seberapa ganteng pun dia dulu misalnya, kini bagi nya masih lebih menarik penghuni Ragunan di Pasar Minggu!
ii Mula-mula Tesa tak mau ketemu. Tapi Goffar terus menteror dengan telepon. Seisi rumah jadi kebisingan. Ayahnya mengomel terus setiap kali pesawat berdering walaupun belum tahu itu dari siapa. Ibunya malah sampai melonjak kaget sambil mengawasi pesawat tanpa berkutik. Tesa sadar, mereka semua sudah kena perang saraf.
Demi ketenteraman rumah, dan sckalian mc-nyadarkan Goffar bahwa masa lalu itu tak pernah kembali, maka dia setuju untuk bertcmu. Goffar berusaha meyakinkan gadis itu, betapa kelirunya dia mengawini Shakira, betapa masih dicintainya Tesa, betapa rindunya dia ingin me-nyambung kembali tali yang sudah putus, betapa... masih puluhan "betapa" lagi.
Namun dengan tenang Tesa mengabaikan semua itu. "Masa lalu kita sudah terkubur, Far!"
Pengaruh Goffar padanya sudah tak bersisa. Laki-laki itu memukul-mukul dada, menangis, menjerit, memaksa, mengancam, namun Tesa tetap tak bergeming. "Apa yang sudah dikubur, takkan pernah bisa kembali! Walaupun kau me-neteskan air mata darah!"
Ketika dia pulang sendirian dengan mobilnya yang second-hand, perasaan Tesa campur aduk. Senang sekaligus sedih. Hatinya senang, sebab ternyata dia sudah bisa melepaskan diri dari Goffar. Hatinya yang dulu patah, kini sudah terpaut lagi. Namun dia sedih juga bila teringat kemungkinan manis yang dulu pernah diharap-kan. Ah, seandainya tak ada halangan, entah seperti apa hidup mereka berdua kini!
Setelah pertemuan itu tak membawa hasil, Goffar mulai memaksa lewat jalan lain. Karena Tesa sudah bilang, dia tak mau lagi menerima telepon, maka laki-laki itu mulai mengirimkan surat kilat khusus. Lagaknya melebihi anak puber yang dilanda cinta monyet.
"Kalau kau tak mau kembali padaku, aku akan bunuh diri!" tulisnya suatu
kali. Tesa mengembalikan surat itu tanpa komen-tar. Dia masih ingat untuk mengirimkannya ke alamat kantor, agar rumah tangga Goffar jangan kalut Entah bagaimana reaksi Shakira seandainya dia sampai tahu!
"Kalau kau tak mau kembali padaku, akan
kubunuh istri dan anak-anakku!"
Surat itu juga diriturnya. Tapi susulannya datang makin gencar. Akhirnya Tesa tak mau lagi payah-payah mengembalikan. Robek saja, ma-sukkan tong sampah! Beres. Buat apa buang uang untuk melayani orang gila, pikirnya.
Semua ancaman itu ternyata memang cuma gertak belaka. Tak pernah dilaksanakan. Hanya yang terakhir ini rupanya dijalankan juga. Goffar mengancam akan pergi meninggalkan keluarganya. Katanya, dia mau ke Amerika dan takkan pulang kembali. Katanya, pada istri dan orangtua dia bilang mau sekolah lagi. Tapi Tesa menduga, dia cuma ingin menghambur-hambur-kan uang istri di luar negeri. Kalau sudah bang-krut, dia pasti akan kembali sendiri mengemis lagi pada Shakira.
Ternyata sangkaannya itu betul. Lima bulan setelah kepergian Goffar, istrinya menelepon Tesa nangis-nangis minta dia datang ke rumah-nya. Semula Tesa tidak mau. Sejak pulang dari Perth, dia belum pernah ketemu Shakira. Rasa-nya segan. Apalagi disuruh main ke tempatnya. Tapi Shakira mendesak. Katanya dia butuh sekali pertolongan untuk membawa anaknya ke rumah sakit.
Mendefigar itu, hati Tesa tergerak. Rasanya tidak tega membiarkan teman dalam kesusahan.
"Baiklah nanti sore aku datang," janjinya.
"Sekarang!" Shakira seakan menuntut."Mana bisa, Shak. Sekarang kan jam kantor. Sabarlah, tak lama lagi juga sore. Aku akan segera berangkat jam setengah lima nanti."
Shakira memang menelepon ke kantor. Se-mula dia mengebel ke rumah. Oleh ibu Tesa dia diberitahu bahwa Tesa ada di kantor. Shakira mendesak minta
nomor telepon kantor dengan alasan ada urusan yang mahapenting. Sebenar-nya ibu Tesa segan memberikan, tapi Shakira pandai membujuk. Selain itu, Tesa memang tak pernah memesan agar nomor telepon kantornya dirahasiakan.
"Anakku sudah payah, Tes. Sudah tiga hari berak-berak. Rasanya kolera," kata Shakira di antara sedu sedan. "Kalau ditunggu sampai sore, pasti terlambat. Kalau dia sampai huk... huk... huk... mati, gimana" Apa kau mau me-nanggung dosanya"!"
Tesa berkeringat dingin. Digigitnya bibirnya. Temannya itu memang pintar bicara. Siapa sih yang mau menanggung dosa seperti itu"! Tapi kenapa Shakira tak bisa membawanya sendiri ke rumah sakit"! "Kenapa tidak kaubawa sendiri, Shak"" "Anakku yang besar sedang sakit, Tes. Eng-gak bisa ditinggal. Aku enggak punya pemban-tu. Juga enggak... punya... uang..."
Aduh. Sungguh tidak sampai hati Tesa men-dengar kesulitan Shakira yang bertubi-tubi. Dia jadi serba salah. Meninggalkan kantor berarti
226 kurang disiplin. Tapi membiarkan Shakira tanpa pertolongan rasanya keterlaluan.
"Baiklah, Shak," katanya akhirnya setelah ber-perang batin beberapa saat. "Aku akan meno-longmu. Barangkali abang atau adikku ada di rumah dan bisa aku mintai bantuan. Kalau enggak, terpaksa aku sendiri nanti yang datang. Tenanglah, ya." "Oh, terima kasih, Tes. Kau sungguh baik...." Tesa menutup telepon pelan-pelan, segan mendengarkan ucapan terima kasih dari orang yang pernah menghancurkan hatinya. Kemudian diteleponnya rumahnya. "Mam, apa Markus ada di rumah"" "Abangmu kan tugas di puskesmas hari ini, Tes. Ada apa"" "Kalau Daniel""
"Barusan pergi dijemput teman-temannya. Katanya mau berenang. Ada apa sih tumben-tumbenan mencari mereka saat begini"!"
"Enggak ada apa-apa. Cuma ini, Shakira perlu bantuan.... "
"0, ya, tadi memang dia menelepon kemari." "Saya tahu. Sudah ya, Mam. Saya lagi sibuk, nih."
Tesa terpaksa minta izin dari Bos untuk ke-luar sebentar. Mobilnya dikebut agar lekas sampai. Menilik suara Shakira di telepon, pastilah anak itu sudah hampir sekarat. Dan dugaannya ternyata benar.
Anak itu kurus, pucat, dan setengah tidak
sadar. Dia terbaring di ranjang di antara kain-
kain lapuk yang rupanya sudah lama tak pernah dicuci. Baunya bukan main. Shakira sendiri
tidak lebih mending keadaannya. Tesa sampai keheranan dan hampir-hampir tak bisa menge-nali lagi temannya dulu itu. Begitu cepatnya kecantikan
seseorang pudar direnggut derita, pi-kirnya penuh kasihan. Badan Shakira sudah ku-rus, tak terawat Rambutnya kusam terburai-burai belum disisir, mukanya penuh lemak be-lum dicuci. Dia pasti belum mandi, pikirnya. Kemudian dia tahu sebabnya.
"Umur berapa anak ini, Shak""
"Setahun lebih."
Tesa lupa menegaskan lebihnya berapa, tidak tahu bahwa di rumah sakit mereka akan melit sekali mau tahu lebih berapa bulan
"Kalau betul kolera, mestinya kakaknya ja-ngan dibaringkan di ranjang yang sama," kata Tesa menunjuk anak laki-laki yang tengah mengawasi begitu apatis dari sudut ranjang, de-ngan matanya yang cekung.
Kalau dihitung-hitung, mestinya anak itu sudah hampir tujuh tahun atau bahkan lebih. Ke-tika dia berangkat ke Perth, Shakira sudah ha-mil. Dia memang sudah mengandung sebelum pernikahan. Tapi anak suluhgnya kelihatan se-perti balita. Gizinya buruk sekali. Kenapa begitu" pikir Tesa heran. Bukankah Shakira itu anak orang kaya"! Bukankah karena itu maka Goffar jadi kepincuk padanya"! Tesa yang miskin mana ada harapan untuk bersaing! Kan begitu sindir Shakira dulu pada seorang teman mereka yang menyampaikannya lagi padanya.
"Ranjang anak-anak sudah aku jual. Terpaksa kami tidur bertiga di ranjangku ini."
"Tapi dia bisa ketularan."
"Dia sudah ketularan," sahut Shakira pasrah. "Cuma enggak segawat adiknya."
Tesa tidak suka mendengar nada suara Shakira yang begitu memelas. Dia ingin cepat-cepat berlalu dari situ.
"Sebaiknya anak ini diseka dulu dengan lap hangat sebelum aku bawa," kata Tesa yang se-benarnya merasa jijik melihat kotornya anak itu serta mencium baunya yang amis. Sejak tadi dia memaksakan diri jangan sampai muntah.
"Aku tak punya uang untuk beli air, Tes," keluh Shakira. "Masih ada sisa sepan
ci, cuma untuk minum.... "
"Kau tak punya pompa""
"Pompa listrik sudah lama rusak. Goffar enggak mau membetulkan. Oh! Dia tak mau meng-urus apa pun. Yang diingatnya cuma..." Shakira menghentikan bicaranya seakan takut telanjur. Tapi tangannya yang terkepal dan matanya yang mendelik ketika menatap Tesa membuat gadis itu paham apa kelanjutan kata-katanya.
"Kalau aku tak salah lihat tadi, di halaman depan ada pompa tangan, bukan" Apa itu juga sudah macet""
"Aku tak kuat memompanya, Tes," keluh Shakira menunduk.
Oooh! Dasar anak orang kaya, pikir Tesa. geregetan. Memompa air pun tak mau! Padahal keadaan sudah gawat. Tapi ketika diperhatikan-nya Shakira sekali lagi diam-diam, Tesa meng-hela napas. Barangkali dia tidak berdusta. 6a-dannya yang kurang makan itu pasti sudah tak punya tenaga untuk kerja seberat itu.
Dia menyesal tadi begitu terburu-buru se-hingga kelupaan membeli makan an. Tapi dia sungguh tidak menyangka bahwa keadaan Shakira sudah begini fatal.
Anak yang sakit berat itu jelas mesti dibawa ke rumah sakit dengan segera. Tapi anehnya, Shakira tidak kelihatan terburu-buru.
"Baiklah kalau tak ada air, cukup diganti saja pakaiannya. Aku rasa yang ini sudah penuh kotoran. Aku tunggu di luar, ya."
Tesa melangkah ke ruang depan tanpa menunggu reaksi Shakira sebab dia sudah tak tahan dengan bau kamar tidur itu. Setiba di depan, barulah dia berani menarik napas dalam-dalam, lalu menjatuhkan diri ke atas kursi yang, kelihatan sudah tak terawat, walaupun benda itu dulu pasti termasuk mahal.
Ketika dia menoleh mendengar langkah, be-tapa terkejutnya dia melihat Shakira di bela-kangnya. Ternyata perempuan itu telah meng-ikutinya keluar dan kini berdiri di depannya. Sebelum dia mengerti apa yang terjadi, tiba-tiba
Shakira sudah menudingnya dan suaranya penuh dendam.
"Ini semua gara-garamu! Coba kau mau me-nerima kehendak Goffar, dia pasti takkan pergi ke luar negeri! Aku rela dimadu atau diceraikan asal dia tetap di sini. Dalam keadaan begini, aku pasti masih bisa minta bantuannya! Tapi gara-gara kau sok jual mahal dia sekarang pergi!!! Kau kini yang harus menanggung semua biaya perawatan anakku! Hu... huk... huk... kalau dia sampai mati, aku bunuh kau!" Shakira menangis tersedu-sedu.
Tesa tercengang mendengar tuduhan itu, sehingga dia tidak sanggup menanggapi. Dia duduk terpaku, diam membisu seperti boneka batu. Suara tangis Shakira makin rawan me-nusuk telinga. Ketika perempuan itu tiba-tiba jatuh mendeprok di lantai, barulah Tesa seakan terjaga dari mimpi yang kelewat buruk. Dia tidak tahu apakah Shakira hampir pingsan atau-kah sengaja menjatuhkan diri. Dalam kagetnya dia tergesa-gesa bangkit dari kursi, lalu meng-hampiri. Palutan baju lusuh yang apak baunya itu dipeluknya sambil bibirnya mengucapkan kata-kata hiburan tanpa disadarinya.
"Sudahlah, Shak. Kuatkan hatimu. Tenanglah. Pikirkan anak-anakmu yang sedang sakit. Aku pasti akan membantumu sekuat tenagaku. Lu-pakan dulu hal-hal lain."
"Oh, Tes, maafkan aku. Maafkan kata-kataku barusan." Tesa mengangguk.
"Kau mau memaafkan, bukan" Kau tela me-maafkan aku, bukan" Aku benar-benar enggak sengaja menyakiti hatimu. Itu cuma luapan perasaan_" Shakira menatapnya dari balik air mata.
Tesa mengangguk. "Aku tahu," katanya pelan. "Oh, Tes, seandainya saja kau sudi menerima Goffar kembali..."
"Itu tidak mungkin, Shak. Lebih baik seka-rang secepatnya aku bawa anakmu...," kata Tesa mengalihkan percakapan. Dia sebenarnya sangat khawatir akan keadaan anak yang sudah pucat kebiruan itu. Tapi ibunya seakan tidak mendengar.
"Kenapa, Tes" Karena kau tak mau menyakiti hatiku" Itukah alasanmu" Tidak mengertikah engkau, dengan penolakanmu itu kau telah lebih menyakiti aku dan anak-anakku" Akibat buruknya akulah yang mesti menanggung! Kau sih enak saja, bebas, gembira!"
"Shakira, kalau kau mau terus mengungkit-ungkit peristiwa itu, sebaiknya aku pergi saja sekarang!" ancam Tesa yang akhirnya menjadi kesal dan hilang sabar.
"Jangan, Tes! Kau rela menjadi pembunuh anakku"" Shakira menatapnya dengan mata membara, dan Tesa melengos, tak mau mela-deni.
"Aku cuma kesal, Tes. Aku tahu kau menolak G
offar hanya lantaran kau sombong! Ya, kau
mau menunjukkan, kau tak perlu cintanya lagi! Kau bisa hidup tanpa dia! Maaf, Tes, aku terpaksa meluapkan semua ini supaya hatiku le-
"Shak, di mana ibumu"" tanya Tesa dengan sisa kesabaran yang tipis dan tekad untuk mengalihkan pembicaraan.
Tiba-tiba meledak lagi tangis Shakira. Lebih merawankan dari tadi. Dadanya turun-naik, na-pasnya tertahan-tahan.
"Dia... dia... sudah lama meninggal! lima ta-hun yang lalu!"
"Oh! Dan ayahmu""
"Dia sudah kawin lagit Oh, Tes, kalau ibuku masih ada, pasti aku takkan sengsara kayak
beginil" keluhnya sambil menyusut mata. "Kenapa kau tidak minta bantuan pada ayahmu""
Tapi Shakira kembali tersedu sedan lebih he-bat lagi, sehingga Tesa khawatir takkan berhenti sebelum kiamat.
"Man pindah ke kursi," katanya sambil meng-angkat Shakira setengah dipaksa dan membim-bingnya ke kursi.
Tangisnya kini agak mereda. Diangkatnya se-dikit ujung roknya, lalu dibersitnya ingusnya. Tesa menunduk sebab tidak tahan melihat pe-mandangan itu. Rasanya daging rendang yang tadi siang dimakannya sudah bersiap di ulu hati mau melejit keluar.
Shakira menghentikan tangisnya, lalu memandang Tesa. Matanya yang merah dan sembap tidak membuat wajahnya yang kumuh sedikit lebih menarik. Kebalikannya malah.
"Tes, maukah kau mendengar kisah riwayat hidupku""
"Lain kali, Shak. Sekarang yang penting, anakmu dulu!"
"Tidak!" Shakira menggeleng. "Sebaiknya sekarang saja. Aku harus menceritakannya pada-mu! Kalau kau sudah mendengar betapa besar kesengsaraanku, barangkali kau akan rela meng-ampuni semua dosaku padamu!"
"Sudah kuampuni, Shak. Biarlah kubawa anakmu sekarang juga!"
Tesa sibuk setengah mati ingin segera berlalu. Tentu saja dia tak mau menanggung dosanya seandainya kelak terjadi apa-apa dengan si sakit
Tapi Shakira tak bisa dibantah. Sejak dulu dia memang selalu mesti dituruti kemauannya. Maklum anak tunggal dari orangtua kaya! Ka-rena tak ada jalan
lain, terpaksa Tesa duduk siap mendengarkan. Pikirnya, makin cepat di-mulai makin baik, agar tidak terlalu banyak waktu terbuang percuma. "Tes, ayahku sejak semula memang tidak me-nyetujui perkawinanku. Katanya Goffar itu pemalas dan kawin cuma karena harta ayahku. Sayang aku tidak mau percaya dan baru me-nyadari sekarang setelah terlambat. Waktu ibu-ku masih ada, keadaan kami lumayan, sebab
ibuku diam-diam selalu memberi sumbangan. Kami tidak sampai kekurangan. Tapi setelah Ibu meninggal dan ayahku kawin lagi, sokongan pun berhenti. Setiap kali aku minta bantuan, ayahku malah mengejek. Ibu tiriku juga ikut-ikutan mencemooh. Akhirnya aku tak pernah datang lagi. Habis percuma. Uang tak dapat, tapi aku malah dihina oleh mereka. Kerja Goffar memang tak tentu. Dia keluar-masuk kantor te-rus. Sebentar-sebentar berhenti, lalu pindah lagi. Alasannya selalu sama, gaji kurang. Habis, dia tak punya kepandaian khusus, masa mau meng-harapkan gaji besar" Dia marah kalau aku kritik begitu. Dan sejak tahu, kekayaan ayahku takkan jatuh ke tanganku, dia mulai kasar padaku sejta anak-anak juga. Intan berlian peninggalan ibuku satu per satu dijualnya. Uangnya cuma sebagian saja diserahkannya padaku, sebagian besar dipergunakannya sendiri untuk foya-foya. Dia malah pernah punya pacar. Perempuan itu begitu kurang ajarnya sampai berani datang ke sini, mencarinya!
"Setelah perhiasan tak bersisa lagi, deposito ibuku mulai digerogoti. Terakhir, dikurasnya semua untuk dibawa ke luar negeri! Sekarang aku tak punya duit sepeser pun! Hadiah-hadiah kawin satu per satu aku tawarkan ke tetangga. Cangkir-cangkir, piring-piring mahal... paling laku tiga ribu, lima ribu, padahal harga sebenar-nya tiga-empat kali lipat. Mereka tahu aku bu-tuh, mereka sengaja menekanku. Mereka ber-
agak tak memerlukan barang-barang itu, pada-hal aku lihat mata mereka hijau kesenangan! Yah! Sekadar untuk menangsel perut. Kalau
hadiah-hadiah itu pun sudah habis, en tan gi-mana lagi nasib kami nanti!" Shakira mengeluh panjang seperti lokomotif kereta api dalam per-jalanannya yang terakhir.
Tesa melongo mendengar kisah itu, sampai dia terlupa bahwa dia tak boleh lama-lama di situ.
"Kau mau aku carikan kerjaan"" tanyanya se-saat kemudian ketika semangatnya sudah ter-kumpul lagi.
"Aku tak bisa meninggalkan anak-anak!" ke-luh Shakira dengan suara fatal.
"Kalau ada pembantu, tentu kau bisa meninggalkan mereka. Mau aku carikan pembantu""
"Tapi aku bisa kerja apa, Tes" Ijazahku cuma SMA doang. Belajar ngetik, aku malas. Tata bu-ku dan akuntansi memang kelemahanku sejak dulu. Aku pernah duduk di bangku sastra Ing-gris setahun, tapi aku enggak sanggup menerus-kan. Terlalu banyak kata-kata asing yang sukar aku hafalkan!" Shakira menunduk memperhati-kan jari-jari tangannya yang kurus dan keriput.
Tesa diam-diam mengeluh sendiri. Susah juga kalau terlahir sebagai anak orang kaya, namun bernasib paria!
"Kalau begitu sebaiknya kau mencari pekerja-an yang bisa kauselesaikan di rumah!"
"Ah, kerja apa"" keluhnya tanpa minat.
"Hm. Apa, ya"" Tesa berpikir sejenak, lalu ia menepuk dahinya. "Aku tahu! Konveksi! Kau pasti bisa menjahit, bukan" Tetangga bibiku membuka..."
"Tapi aku tak bisa menjahit!" potong Shakira memutuskan harapan Tesa untuk menolongnya. "Aku tak pernah menginjak mesin jahit seumur hidupku! Semua bajuku biasa dibawa ke tukang jahit. Kalau yang robek-robek atau lepas kan-cingnya, itu urusan ibuku. Yah! Memang aku sedikit menyesal kenapa dulu tak mau belajar! Tapi sekarang sudah terlambat!"
"Kenapa terlambat" Kau kan bisa belajar""
"Aku tak punya mesin! Mesin ibuku sudah diambil oleh ibu tiriku!"
Huh! Tesa mengerti tak ada gunanya mem-perpanjang masalah itu. Shakira memang sudah tak mau bekerja. Dasar biasa dimanja, keluhnya dalam hati. Tapi, lantas dari mana mau diper-olehnya uang untuk makanan anak-anaknya"!
"Lalu, rumah ini kausewa""
"Oh, ini diwariskan Ibu padaku. Dulu kan orangtuaku tinggal di sini. Waktu ayahku ka-win lagi, dia pindah ke rumah baru. Rumah ini memang atas nama ibuku. Kami berdua lantas pindah dari rumah kontrak ke sini setelah ibuku tiada."
Masih untung, pikir Tesa. Jadi dia takkan sampai diusir orang ke jalanan. Tega betul ayah-nya menyepak Shakira seperti itu! Walaupun mula-mula perkawinannya tidak disetujui, tapi
setelah ada dua orang cucu, sepantasnya kan
mereka diampuni" pikir Tesa tak mengerti.
"Sebenarnya kenapa sih ayahmu begitu and pada suamimu"" Dia sengaja menggunakan panggilan itu, sebab rasanya tidak sreg untuk menyebut nama.
Shakira menghela napas. Matanya berkilat ta-jam. "Salah Goffar juga, sih!" serunya keki. Ru-panya dia sudah tak mau lagi membela suami.
"Sekali dia memalsukan tanda tangan ayahku di atas cek seharga dua juta! Sudah diampuni. Eh, dilakukannya lagi kedua kali. Lima belas juta! Naik pitamlah ayahku. Dia tidak diakui menantu lagi. Ayahku mengirim surat pada mertuaku, menyatakan putus hubungan. Dan aku disuruh memilih: ayahku atau Goffar. Sial-nya, kenapa aku sampai memilih dia! Jadilah aku pun ikut tidak diakui lagi sebagai anak!"
Tesa terdiam dengan hati kecut. Kiranya begitu sebabnya! Tidak dinyana tidak disangka begitu rendahnya Goffar! Dan dia masih berani-berani merayu serta memaksanya untuk kembali"! Apakah laki-laki itu betul-betul tak punya malu"!
Tesa Karya Marga T di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Yah! Aku perlu biaya banyak, Tes. Untuk membayar utang ke sana-sini. Aku sudah me-nunggak rekening listrik enam bulan! Rumah ini pun rasanya harus aku jual, Tes! Begitu ada yang cocok harganya, pasti aku lepas." "Sudah ada yang menawar"" "Belum. Habis tak ada lagi teman atau kenalan yang datang kemari."
"Kenapa enggak pasang iklan"" "Aku tak punya uang." "Mau aku tolong pasangkan""
Seketika itu Tesa melihat Shakira mau mengangguk. Namun entah kenapa, tahu-tahu dia menggeleng.
"Tanpa iklan, takkan ada orang yang tahu. Sampai kapan rumah ini akan terjual""
"Ah, aku tak mau menyusahkan engkau!"
"Enggak, kok. Aku tinggal minta tolong orang kantor yang biasa mengurus pemasangan iklan-iklan perusahaan kami."
"Ah, nanti aku jadi berutang budi padamu! Belum lagi soal pengobatan anakku nanti.... "
Tesa mengeluh dalam hati. Dalam keadaan kepepet begini masih mau bersombong-sombong!
"Itu gampang diatur, Shak. Nanti kalau rumah ini sudah terjual, kau bisa membayar kembali ongkos pemasangan iklan itu. Bagaimana""
T esa tidak tahu, justru itu yang ditakutkan oleh Shakira! Lama dia terdiam. Tesa menegas-kan dua-tiga kali, tapi dia tetap tidak menyahut. Setelah disepak berulang-ulang, barulah dia ber-sedia buka mulut.
"Berapa... yang akan kauminta nanti""
Tesa tercengang tak mengerti. Jadi dia tak bisa menyahut selain, "Apa maksudmu""
"Kau tahu, dalam jual-beli rumah, perantara selalu mendapat dua persen dari penjual dan
dua persen dari pembeli, tapiii... aku rasanya tak sanggup memberimu lebih dari... ehm... setengah persen!"
"Oh, Shakira!" seru Tesa antara sebal dan ka-sihan. "Aku mau memasangkan iklan itu se-mata-mata untuk menolongmu! Aku tidak ingin menjadi perantara dan kau tak perlu memberi aku sesen pun!"
Barulah sekarang Shakira kelihatan lega dan mau dipasangkan iklan. Tesa bangkit lalu me-ngeluarkan dompet dari tas gantungnya.
"Aku rasa sudah saatnya anakmu kubawa. Kau tentunya perlu uang juga untuk nanti me-nengoknya. Ini lima ribu." Tesa menyodorkan selembar lima ribuan, tapi Shakira menolak.
"Ah, tak usah. Jangan. Aku takkan mene-ngoknya, kok. Aku rasa tidak perlu. Di sana dia akan dirawat dengan cukup baik, bukan" Dan kau nanti mau membawanya pulang kembali, kan""
"Kalau aku sempat, boleh saja. Tapi kau sendiri pasti perlu uang juga untuk sehari-hari. Anakmu yang sulung itu perlu banyak buah-buahan dan obat Ayo, ambillah. Jangan sung-kan."
Tesa menjejalkan uang itu ke telapak tangan Shakira.
"Karena kau begitu memaksa, baiklah!" katanya menghela napas seakan terpaksa. "Tapiii...
kalau begitu, gimana kalau aku sekalian saja minta pinjam... dua puluh ribu""
Bagian gawat darurat pada jam begini biasa-nya sepi. Tapi siang itu kebetulan ada tabrakan
berantai. Tiga mobil sekaligus saling cium. Yang jadi korban lima orang, dua di antaranya parah sekali.
Di tengah keributan begitu muncul Tesa dengan kostumnya yang apik dan sepatunya yang canggih, menggendong seorang balita yang de-kil banget.
"Mungut di mana, Bu"" tanya seseorang kehe-ranan.
"Huss!" sergah temannya mungkin. "Jangan-jangan itu anaknya sendiri! Dibilang mungut!" "Habis! Seperti gembel dari emperan warung,
sih!" "Ketabrak apa, Bu"" tanya seorang suster yang tengah sibuk pegang gunting dan perban. Dia cuma menoleh sekilas.
"Muntaber," sahut Tesa dan beberapa orang yang sudah berkerumun, mendadak jadi ming-gir, rupanya takut ketularan. Sebagian malah sudah menutupi hidung dengan tangan.
"Taruh saja di situ," perintah suster itu sambil menunjuk dipan kosong dengan dagunya. Tesa cepat-cepat menurut. Dia khawatir anak itu
nanti mencret lagi dan kena pakaiannya. Dia kan masih harus kembali ke kantor....
Seorang perawat senior muncul dari ruang sebelah dalam. Matanya yang em pat segera tahu bahwa Tesa tadi belum menjelma di situ. "Kenapa"" tanyanya mendongakkan muka. "Muntaber, Suster. Tolong cepat di..." bisik Tesa yang sudah makin khawatir melihat anak itu diam saja. Sejak di mobil tadi, dia tidak bergerak seinci pun dari tempatnya di bangku belakang. Dia sungguh khawatir jangan-jangan pertolongan sudah terlambat.
Perawat gemuk setengah umur itu melirik sekilas lalu dengan tenang menyalahkan. "Kenapa baru dibawa sekarang, Bu" Anaknya sudah soporokomateusr
Tesa makin ketakutan. Dia tak usah mengerti istilah yang dikatakan tadi, sebab wajah suster itu sudah menjelaskannya. Dia kini mengambil sehelai kartu merah, lalu duduk di belakang meja tanpa menyilakan Tesa ikut duduk. Di situ memang tak ada kursi lain. Kursi kedua telah diisi oleh perawat yang tengah sibuk main gun-ting dan perban merawat seorang pemuda yang rupanya salah satu korban tabrakan berantai tadi.
Terpaksa Tesa berdiri di depan meja.
"Nama orangtua"" tanya perawat, siap dengan bolpen.
"Goffar!" sahutnya tak bisa berpikir lama-lama. Suster itu kelihatannya sibuk banget.
Tubuhnya bergoyang-goyang, seakan setiap saat
mau bang kit terus dari kursi. "Nama pasien""
Mati, nih! Aku lupa menanyakan siapa nama-nya! Shakira juga tidak memberitahu. Gimana ini" Suster menatap dari balik belingnya dengan
sedikit he ran. Tentu saja aneh kalau dia tak tahu siapa nama anak yang dibawanya. Salah-salah dia bisa dituduh men
culik.... Dalam keadaan bingung, cuma satu nama yang muncul dalam benaknya. Itu pun karena nama itu memang tak pernah absen dari pikir-annya, walau dalam tidur sekalipun.
"Pasha!" "Umur"" "Setahun lebih." "Berapa bulan""
Ini sih mirip Cerdas-Cermat, pikirnya. Dia tidak diberi kesempatan lama untuk berpikir. Karena anak itu kelihatan kecil dan kurus, maka sekenanya saja dia menebak.
"Empat bulan." "Setahun empat bulan," gumam suster sambil menulis. Lalu menyusul ditanyakan a la mat, dan pekerjaan orangtua. Setelah itu riwayat penya-kit. Di sini Tesa terpaksa mengarang bohong saja, habis daripada gelagapan terus seperti orang bego.
Setelah suster merasa puas dengan wawan cara itu, barulah dihamplrinya sang pasien.
"Anak ini mesti diopname, Bu."
Itu sudah diduganya. Tapi berapa lama"! Soalnya, dia yang harus menanggung, jadi mesti disiapkannya biaya yang cukup. "Berapa lama, Suster""
"Oooh, sudah gawat begini, paling sedikit sepuluh hari! Itu, kalau dia enggak jalan ma lam mi juga!"
Tesa merinding mendengar nya. Dalam hati dia berdoa semoga Tuhan berbelas kasihan pada anak yang malang itu.
"Tolong Suster, dirawat sekarang juga."
"Ya, sana, pergi ke kasir dulu, bayar uang jaminan!" Lalu suster berjalan pergi meninggal-kannya tanpa kesempatan membantah atau ber-tanya.
Terpaksa Tesa berlalu, setelah tanya sana-sini di mana letak kasir. Dia tidak membawa uang banyak. Dua puluh ribu sudah diberikannya pada Shakira. Yang tersisa mungkin cuma tiga puluhan. Mudah-mudahan boleh sebagai uang muka. Sisanya akan disetorkannya besok. Un-tung hari ini dia membawa uang begitu banyak. Biasanya tak pernah lebih dari dua puluhan, sebab tak ada keperluan. Paling-paling untuk uang bensin atau jaga-jaga siapa tahu mobilnya mogok di tengah jalan lalu perlu bantuan dido-rong. Selain itu, tak ada keperluan apa-apa. Se-pulang kantor, dia hampir selalu langsung ke rumah. Pada jam istirahat siang, rekan-rekannya senang berkeliaran di bawah, di pusat pertoko-an. Kantor mereka terletak di tingkat kedua
puluh enam. Terkadang dia ikut juga, tapi cuma
sekadar melemaskan otot-otot kaki
Sebenarnya kasir menuntut paling, sedikit separo dari perkiraan ongkos perawatan. Tesa memohon pertimbangan. "Ini peraturan, Bu. Uangnya bukan untuk saya!" sahutnya ketus.
"Saya tahu," ujar Tesa sesabar mungkin. "Tapi saya telanjur cuma membawa uang segini. Besok pagi akan saya serahkan sisanya."
Kasir yang kurus dan nyureng itu menatap Tesa dari balik kacamata yang melorot turun. Ditaksirnya baju Tesa yang rapi serta dandanan-nya yang anggun. Bukan orang miskin, pikir-nya. Tapi, siapa tahu"! Kaya, miskin, kalau ada kesempatan lari tanpa bayar, semua mau! pikir-nya.
"Ada KTP""
Tesa mengangguk, mengeluarkan benda ituI dan menyerahkannya. Kasir mencatat KTP itu dengan teliti. Keningnya berkerut beberapa kali dan Tesa ketawa dalam hati: rasain! sebab angka-angka dari komputer itu banyak yang tak terbaca, buram cetakannya.
"Tapi besok pagi sisanya mesti betul-betul di-serahkan, ya"!" ancam kasir sambil mengembali-kanKTP.
Tesa mengangguk setengah mau bersumpah. Setelah selesai membayar, dia balik bergegas ke ruang gawat darurat. Dilihataya di kaki "Pasha"
sudah terpasang infus, sehingga dia merasa lega sedikit.
Perawat senior itu muncul kembali dari dalam. Tesa memperlihatkan tanda bayar. Perawat membelah dua kertas itu pada bagian yang di-tandai, lalu menahan sebelah. Belahan yang lain dikembalikannya.
"Bolehkah saya pulang sekarang"" tanya Tesa. I "Tidak man ditunggui""
"Saya harus ke kantor."
"Baiklah kalau begitu. Alamat dan nomor telepon sudah Ibu berikan tadi, bukan""
Tesa mengangguk, lalu berbalik dan melang-kah pergi. Baru kira-kira beberapa meter, dia merasa seakan namanya dipanggil. Tapi karena di situ penuh orang, dan dia yakin tak ada yang mengenalnya, maka disangkanya orang Iain yang dipanggil. Mungkin nama orang itu bunyinya kebetulan mirip dengan "Tesa", pikir-nya.
Namun sebenarnya dia agak keliru. Memang namanya yang dipanggil. Dan orang yang me-manggilnya jadi termangu ketika gadis itu tidak menoleh. Orang itu kebetulan keluar dari ruang dalam ketika Tesa pas
membalikkan badan. Sesaat dia tertegun seakan kurang yakin akan penglihatannya. Tapi kemudian dia berseru tertahan, "Tesa!"
Ketika gadis itu terus saja melangkah, dia menarik napas seakan mengeluh. Perawat yang
sejak tadi memperhatikan di sebelahnya, kini. menyodorkan kartu merah ke depan wajahnya.
"Dokter Solem, itu pasiennya."
Yang dipanggil menoleh, lalu berdehem untuk menghilangkan salah tingkahnya barusan.
"Muntaber" Setahun empat bulan"" Tiba-tiba dia berhenti membaca. Bibirnya setengah ter-buka, matanya nyalang menatap tulisan suster. Goffar! Pasha! Jadi, tidak salah! Barusan dia bukan bermimpi!
Ah! Dia kembali pada Goffar!
"Ada apa, Dok""
"Oh, eh, anu, Suster Rani, coba bawa kemari tensimeter!"
alat pengukur tekanan darah
Bab 13 Karena repot sekali, Tesa tidak bisa keluar kantor. Markus dan Daniel juga sibuk dengan urus-an mereka sendiri. Terpaksa dia minta tolong kurir di kantor untuk menyetorkan uang ke rumah sakit.
Siangnya dalam rapat, Bos menugaskan Tesa pergi ke Bandung bersama kepala pemasaran untuk mengecek problem-problem yang ber-sangkutan dengan pembentukan kantor cabang.
Ketika Tesa kelihatan mengerutkan kening, Bos yang sangat sayang padanya mengira bah-, wa gadis itu enggan berpisah darinya. Dia se-gera ketawa lebar. "Paling lama cuma tiga hari, Tesa," katanya menenteramkan, padahal Tesa tengah memikirkan bahwa dia takkan bisa menje-nguk "Pasha" kalau begitu.
Sorenya dia ngebel Shakira memberitahukan hal itu.
"Aku pergi kira-kira tiga hari, Shak. Uang jaminan sudah aku setorkan. Kau masih punya uang untuk menengok anakmu""
Shakira menggumamkan sesuatu yang tidak
jelas. Tesa beranggapan bahwa dia masih punya
uang. "Kalau ada kebutuhan mendesak selama aku pergi, kau minta tolong abangku,saja. Nanti aku kasih tahu dia."
Urusan di Bandung ternyata bertele-tele. Tesa dan kepala pemasaran baru bisa pulang setelah* hari kelima. Sementara itu perawat dan dokter sama-sama menunggu kedatangan ibu si "Pasha", walaupun masing-masing dengan alas-an yang berbeda.
"Belum ditengok juga, Sus"" tanya Dokter Solem pada suatu pagi.
"Belum nih, Dok. Tahu tuh, ke mana ya ibu-nya" Apa anak ini mau ditinggal di sini" Ibunya sih kelihatan kayak orang berduit, tapi mana tahu ya, Dok, kalau misalnya enggak halal...."
"Husss!" protes sang dokter.
"Eh, benaran deh, Dok. Tuh, di bagian ber-salin, ada pasien yahud, deh. Penampilannya meyakinkan, alamatnya juga di daerah bebas banjir. Pokoknya, orang kaya, deh. Eh, tahunya dia kabur, bayinya ditinggal. Waktu disamperin, ternyata sudah pindah. Lalu tanya sana-sini, baru ketahuan, rupanya hasil hubungan tidak sah! Sekarang bayi itu diambil sama Dokter Bujang. Nah, siapa tahu yang ini..."!" Suster Rani meng-angkat bahu ketika mendapati dokternya tidak meladeni, asyik membaca status.
Sebenarnya dia tengah menghafalkan nomor telepon. Sejak hari pertama Dokter Solem sudah
lor lah kepingin menghubungi ibu si "Pasha". Tapi selalu saja banyak paramedis di dekatnya, sehing-ga dia tidak berani mengangkat telepon. Juga memang tak ada alasan baginya untuk ngebel. Tapi sekarang, dirasanya alasan itu sudah ada
dan cukup mendesak! Anak itu sudah bisa di-pulangkan! Kenapa Ibu tidak juga datang mene-ngok"!
Tapi dia tetap tidak berani menelepon dide-ngarkan oleh perawat. Kalau yang disiarkan itu apa adanya, masih mending. Tapi kalau yang tertangkap kuping itu cuma sepotong-sepotong
seperti teka-teki, lalu yang kosong mau diisi dengan karangan sendiri oleh Suster Rani, wah, ampun!
Sorenya, ketika Suster Rani sudah pulang dan penggantinya yang lugu dan kupluk sedang sibuk membaca laporan di kamarnya, Dokter Solem pun nekat. Setelah yakin takkan ada pasien baru yang akan mengetuk pintu, dan rekan-rekan semua sudah sirna dibawa lari mo-bil masing-masing, maka dijatuhkannya tubuh-nya ke atas kursi. Setelah mengucap wan-tu-tri (kebiasaan ngebrek di rumah!), diangkatnya telepon lalu diputarnya nomor yang sudah diha-falkannya seratus kali.
Agak lama berdering tanpa ada yang mengangkat. Jangan-jangan dia tidak di rumah, pikir-nya mulai berkeringat dingin. Tapi kan pasti ada orang lain! Misalnya pembantu
! Ya, pasti ada pembantu. Mungkin sedang sibuk atau
tanggung menyetrika. Oh, tidak, sedang me-masak air, tak boleh ditinggal. Sebentar lagi dia pasti datang terbirit-birit mengangkat telepon
ini. Namun detik demi detik berlalu. Harapannya sia-sia. Di rumah itu memang tak ada orang
rupanya. Dilihatnya arloji. Pasti dia masih di kantor! Baru jam tiga lewat. Tapiii, masa sih rumahnya kosong sama sekali"! Tak masuk akal Goffar akan membiarkan istrinya bekerja di kantor tanpa pembantu di rumah!
Ketika dia sudah hampir menyerah, tanpa harapan, mendadak pesawat diangkat, lalu ter-dengar suara setengah membentak, "Ya, halo!"
"Selamat sore... " Brengsek, aku mau bilang apa, nih! Hm. "Pak Goffar ada""
Suara di seberang sana mendadak jadi jelaS sekali membentak. Aduh, judesnya! Inikah Tesa sekarang"!
"Tidak ada! Ini dari mana""
"Dari rumah sakit! Saya Dokter Solem."
"Oh." Apakah dia mendengar nada khawatir sedikit"
"Saya istrinya. Ada apa, Dokter""
Sungguh. Suaranya melunak sedikit. Sedi-kiiit... tapi masih lebih kasar dari
yang diingat-nya dulu. Atau barangkali dia sendiri yang sudah pikun"
Mungkinkah mengingat suara orang setelah lewat sekian tahun" "Anu, Bu. Anak Ibu sudah bisa diambil kembali... " Niatnya untuk menegur kenapa tak pernah ditengok, batal. Dia tidak
punya keberanian untuk mengatakannya. "Kapan, Dokter""
Tidak kedengaran dia bergembira" Enggak halal"! Ah, si Rani itu memang
paling bisa nge-cor gosip! Lidahnya kelewat panjang!
"Kapan saja. Sore ini. Atau besok. Ya, lebih balk besok saja. Temui saya dulu. Ya, saya masih perlu memberikan resep. Ya, besok. Jangan lupa, temui saya dulu!"
-Ketika pesawat sudah diletakkan kembali, barulah disadarinya bahwa tubuhnya mandi keri-ngat Astaga! Apa-apaan ini"! pikirnya jengkel namun geli. Maju ujian pun tak pernah begini senewen! Apa lagi besok"!
Apakah Tesa masih mengenalinya" Bagai-mana kalau dia menyangkal kenal"! Aduh, be-tapa malunya dia kalau Tesa merasa keheranan, mengaku tak pernah ketemu. Terlebih kalau dia datang dengan suami, dan Goffar melecehinya! Bagaimana mau dipertahankannya gengsinya kalau itu terjadi"!
Tiba-tiba dia berharap matahari takkan ter-benam sore ini, sehingga hari berikutnya bisa ditunda....
Sementara itu Shakira tidak meletakkan telepon, melainkan cuma menekan tombol, lalu langsung memutar nomor kantor Tesa.
"Halo, boleh bicara dengan Nona Tesa"Oh, dia masih belum pulang dari Bandung, Bu. Ini dari mana" Mau titip pesan""
Dengan kesal Shakira membanting telepon tanpa meladeni.
Esoknya, dia spesial mengambil waktu dua jam untuk bersolek dengan rapi. Anak sulung-nya sudah sembuh dari demam dan mencret, tapi masih lemah. Dititipnya anak itu pada te-tangga sebelah kiri yang lebih sederhana dan tidak keberatan menolong. Tetangga sebelah kanan tak pernah dikenalnya. Rumahnya yang mewah bertingkat tiga itu selalu kelihatan sepi seakan memang tak pernah ada penghuninya. Rumah di sebelah kiri biasa-biasa saja, lebih kecil dari rumahnya sendiri dan agak usang. Di halaman, mereka membuka warung kecil tem-pat Shakira sering ngebon beras dan minyak.
Setelah menitip anaknya, Shakira pergi me-ngenakan pakaiannya yang terbaik, yaitu sepan hitam terbuat dari sutera dengan blus putih berenda terbuat dari polyester.
Kira-kira sejam kemudian telepon di kantor Tesa herdering. Kebetulan dia sendiri yang mengangkat, sebab operator sedang ke WC.
Setelah mendengar bahwa itu. Tesa sendiri, langsung saja Shakira marah-marah. "Gimana sih kau ini, kenapa enggak ngasih tahu berapa biaya anakku" Sekarang aku tak punya duit!" ,
"Apa dia sudah boleh pulang"" tanya Tesa keheranan sambil menghitung-hitung. Eh, belum sepuluh hari.
"tya. Memangnya mau berapa lama, sih" Aku kan enggak sanggup kalau terlalu lama! Sekarang gimana, nih! Anakku enggak bisa dibawa pulang kalau biayanya belum dilunasi! Kenapa kau enggak mau ngasih tahu biar aku siap-siap!"
"Oh, aku baru semalam pulang dari Bandung, Shak. Jam sepuluh tadi malam. Keretanya terlambat. Tapi, aku kira anakmu takkan pulang secepat itu... hm, gimana, ya. Sekarang kau di mana""
"Di rumah sakit"
"Hm. Gimana, ya. Gini saja, deh. Bisa
enggak kau ke kantorku" Aku enggak bisa keluar. Soal-nya kerjaan menumpuk. Nanti aku berikan uangnya. Berapa sih kurangnya" Aku sudah ba-yarkan seratus ribu."
"Semuanya seratus sembilan puluh delapan ribu empat ratus rupiah! Kan kelas kambing! Maklumlah, anak orang enggak punya!" Suara Shakira kedengaran sinis, sehingga Tesa merasa tidak enak hati. Waktu itu memang dia tidak menegaskan minta kelas satu dan ru pa nya oleh perawat otomatis dimasukkan ke kelas tiga.
"Rupanya waktu itu aku amat terburu-buru, Shak, sampai kelupaan tanya kelasnya. Tapi kan masih cukup bersih, bukan"" , "O ya, anakku juga harus tahu diri, dong.
Masih untung ada orang yang mau membawanya ke rumah sakit!"
Shakira ini mau apa sih, pikir Tesa agak kesal. Sedang angot sintingnya, kali"! Kok nyindir-nyindir terus"!
"Jadi kurangnya sembilan puluh delapan ribu empat ratus ya, Shak." Tesa cepat mengalihkan perhatian Shakira yang lagi angot itu.
"Iya, betul! Eh, Tes, aku enggak mau dikasih, lho!" seru Shakira.
"Habis"" Aneh orang ini. Kalau begitu, buat apa nele-pon sambil marah-marah"! "Aku pinjam saja!"
Aduh, gagah suaranya, pikir Tesa geli. Se-ihgataya, dulu pun di SMA, Shakira itu senang minjam padahal bapaknya kaya. Dia sering ke-kurangan uang, dan dengan nyaman selalu me-lupakan utang-utangnya!
"Baiklah," sahutaya biar jangan bertele-tele. "Aku tunggu, deh."
Karena dia tidak membawa uang sebanyak yang diperlukan, Tesa terpaksa ngebon di kantor. Begitu diberi uang, Shakira cepateepat ber-lalu seakan sudah tidak sabar mau menjemput anaknya. Padahal selama itu tidak sekali pun ditengoknya!
Sebenarnya dia sudah tak tahan ingin ketemu dokter yang suaranya begitu lembut di telepon. Ketika melihat cermin tadi pagi, dia tahu hidup-nya masih penuh harapan. Tesa sendiri agak
pangling melihatnya, namun tidak dikatakannya. Shakira berdandan ekstra perlente, malah wajahnya agak medok menurut selera Tesa. Bi-birnya terlalu merah menantang, rouge di pipi seperti sepuhan merah yang pernah dilihatnya di atas kue bakpau sementara pensil alisnya benar-benar mirip goresan arang pada vandalis-me tembok. Yang paling gawat lagi, rupanya foundation bedaknya tidak diencerkannya, tapi langsung dioleskan ke pipi. Akibatnya di sana-sini ada yang tebal, yaitu tempat-tempat per-tama kali krem itu dipoleskan. Sekarang ber-campur sedikit dengan keringat, make-up-nya mulai luntur. Mungkin mereknya tidak bona-fide.
"Ayo ah, Tes! Aku- perlu buru-buru, nih! Daaag!" serunya dengan ketawa meriah. Tesa menggeleng-geleng melihat sikap temannya yang tidak sabaran seakan perlu mengejar kereta penghabisan!
Dokter Solem juga sama-sama tidak sabar. Sejak pagi sudah dipesannya Suster Rani, "Ka: lau ibunya si Pasha datang, beritahu saya! Jangan biarkan dia membawa anak itu pulang sebelum ketemu dengan saya! Ingat! Jangan lupa! Saya harus ketemu dulu dengannya!"
Mendapat pesan yang begitu dto, tentu saja Suster Rani bersiaga penuh. Maka begitu ada
orang muncul dan menyatakan diri sebagai ibu dari pasien di kamar tiga, perawat itu terbirit-
birit mencari atasannya. Setelah jogging di lorong hampir sepuluh me-nit, barulah yang dicari ketemu. Sementara itu
napasnya sudah hampir putus, maklum tak sempat berolahraga, tubuhnya tidak terlatih. "Dokter... Solem...," serunya terengah-engah,
"yang mau ketemu sudah datang!" "Ibunya Pasha"!"
"Dia sih menyebut nama lain, tahu apa deh, saya tidak menangkap. Tapi dia bilang kamar tiga, jadi enggak salah, deh! Kan kamar itu saat ini cuma dihuni pasien muntaber satu itu!"
Maka dokter pun cepat-cepat mengikuti pera-watnya. Hatinya yang sejak tadi pagi sudah kempas-kempis, kini betul-betul dag-dag-dug-dug macam palu tukang besi. Namun harapan-nya yang sempat mekar menjadi kuncup kembali ketika dia melihat perempuan yang ber-solek macam pemain panggung itu tengah duduk di depan mejanya.
"Nyonya Goffar"" tanyanya dengan perasaan campur aduk. Di satu pihak dia khawatir salah. Sebab Nyonya Goffar kan Tesa, bukan"! Dan dia tahu perempuan yang dandanannya seperti pemain Kabuki itu bukan Tesa. Di lain pihak, dia berharap wanita itu betul istrinya. Berarti, Tesa tidak ke
mbali pada yang lama. Tapi kalau begitu, lantas kenapa Tesa membawa anak itu kemari"! -
"He... eh...," sahut Shakira dengan kenes sambil melirik manja.
"Oh!" Dokter Solem mendadak jadi gugup sampai terbatuk-batuk. Tapi dia tak dapat me-riyembunyikan kelegaannya.
"Ah, Dokter kelihatan begitu lega, kenapa, sih"" tanya Shakira dengan berani.
"Oh, ah... anu... saya sangka semula Ibu Goffar adalah seseorang yang saya pernah ke-nal," sahutnya lalu cepat-cepat mengambil kartu status dan mulai mernbolak-baliknya untuk me-nutupi gugupnya. Agresif betul perempuan ini, pikirnya resah. Lebih cepat kuusir pulang, lebih aman!
"Oh, begitu! Jadi Dokter ini kenal sama... "
Wah, suaranya makin intim! Apa-apaan, nih"! pikir Dokter Solem.
"Anu, siapa- yang membawa anak ini kemari"" tanyanya memotong kalimat yang berbahaya itu.
Shakira ketawa genit dan meriah. Tangannya diletakkannya di atas meja, makin lama makin ke dalam, mendekati tangan dokter.
"Teman saya, Dokter. Waktu itu saya di luar kota," jawabnya sambil meremas-remas saputa-ngan di atas meja.
"Siapa namanya"" tanya Dokter Solem sambil berlagak mau menulis seakan itu pertanyaan yang rutin saja.
"Lantaran itu saya juga enggak pernah be-zoek," Shakira melanjutkan tanpa mendengar apa
yang ditanyakan. Kepalanya bergoyang-goyang, sebab dia tahu dari cermin bahwa sikap begitu baginya kena betul. Hiasan rambutnya akan terombang-ambing seperti jentera kapal.
"Ini juga baru kemarin pulang. Saya bertugas mewakili Ayah untuk meresmikan kantor ca-bang salah satu perusahaan kami. Ayah sendiri sedang sibuk di New York membicarakan pin-jaman modal. Dokter lulusan mana""
"Australia," sahutnya singkat sambil meman-dang Nyonya Goffar sekilas. Hm. Kalau dilihat-lihat, beruk ini memang boleh juga.
Sementara itu Shakira sudah berpikir: Australia"!
"Di kota apa, Dokter""
"Perth. Begini, Bu, saya akan menulis...."
Hm. Perth"! Hm. Pasti kenal! Mungkin juga lebih dari sekadar kenal! "Ayah juga punya real estate di Australia. Kalau lulusan luar negeri seperti
Dokter ini, mestinya cari istri yang sama-sama hebat dong, Dok. Maksud saya,
yang pintar, yang terkemuka, yang mapan, yang orangtuanya kaya..." "Ehem!" Dokter Solem berdehem sambil ter-senyum kecil. Pandai betul
nyonya muda ini bersilat lidah! Entah ke mana jatuhnya nasihat itu.
"Yah! Tapi manusia tak bisa mendapat semua yang dikehendakinya, bukan,
Dok"! Contohnya ayah saya. Sedikit banyak. Ayah termasuk salah satu jutawan
yang ngetop di republik ini. Pergaulannya dengan orang-orang atasan melulu. Bulan kemarin Ayah
mendapat piala bergilir kejUaraan golf di antara para menteri serta usa-hawan
kelas kakap. Bulan sebelumnya, dia juara
jogging dalam perlombaan antar-presdir-presdir bank nasional dan asing se-
Jakarta. Karena itu dia selalu sibuk dan saya yang harus mewakili dalam
urusan-urusan penting. Tapi meskipun ayah saya begitu kaya, satu impiannya
enggak bisa terkabul. Dia ingin punya menantu dokter! Dan saya ini anak
tunggalnya... " Bukan main perempuan ini! pikir Dokter Solem, geli bercampur kesal. Waktunya yang berharga seenaknya dibuang-buangnya!
"Bu Goffar, anak Ibu akan kami pulangkan hari ini, tapi sebenarnya dia masih harus dirawat lebih lanjut. Tubuhnya kekurangan gizi yang sudah kronis."
"Mana mungkin!" prates Nyonya Goffar dengan keras. "Anak saya tak mungkin kekurangan gizi! Kami kan orang kaya! Kakeknya..."
"Tapi Ibu kan selalu sibuk, jadi anak itu rupa-nya cuma diserahkan ke tangan pembantu! Betul, kan" Tentu saja pembantu tidak betul-betul melek-gizi seperti... Ibu, misalnya," Dokter Solem menjelaskan sambil menatap tamunya. Dan tiba-tiba dilihatnya betapa kurusnya perempuan itu. Kulimya kusam dan wajahnya sudah disinggahi keriput, padahal usianya kelihatan masih muda. Apakah dia sendiri juga buta-gizi"! Dokter itu menggeleng dalam hati.
"Yah! Mungkin pembantu saya sembarangan
saja memberi makan anak-anak!"
"Seharusnya memang anak ini masih dirawat
di sini, tapi kami kekurangan tempat tidur untuk pasien-pasien yang betul-betul membutuh-kan. Selain itu, perawatan di rumah pun saya rasa cukup memadai, sebab ada ibu dan ayahnya.... "
" Oh, kami sudah mau cerai kok, Dokter!" po-tong Shakira dengan lirikan maut.
Samar-samar sang dokter mulai mencium bau yang tidak enak. Barangkali perempuan ini masih penasaran kenapa ayahnya yang begitu kaa-yaa kok tidak bisa punya menantu dokter!
Tapi dia berlagak tidak mendengar. Tidak bisa dong meladeni masalah pribadi orang yang tak ada sangkut pautnya dengan dinasnya!
"Suster akan memberikan pedoman gizi untuk memperbaiki pertumbuhan dan perkem-bangan anak itu. Dan saya akan menuliskan resep yang harus Ibu beli di luar. Siapa nama anak itu""
"Rino." Em. Jadi "Pasha" itu cuma ciptaan Tesa be-laka! Kenapa justru nama itu yang disebutkan-nya" Apa dia tidak tahu nama anak tersebut" Mungkin. Seingatnya, Goffar itu dirampas oleh temannya sendiri. Jadi rasanya tak mungkin dia akan bersahabat terus dengan perempuan ini! Tapi kenapa dia sudi mengantarkan anak mereka ke sini"!
Diraihnya Wok resep dari pinggir meja. Dia
ingin sekali mendapat alamat Tesa. Ditatapnya sekilas tamunya. Kalau dia sendiri sudah mulai naksir sang dokter, mustahil dia akan rela mem-berikan alamat perempuan lain yang dulu pernah menjadi saingannya. Yah, apa boleh buat, terpaksa dibohonginya perempuan ini.
Kertas resep tidak jadi ditulisi. Diambilnya kartu merah, lalu dipelajarinya. "Hm," katanya seakan merenung, lalu mengangkat muka dan menatap Shakira. "Man ini belum lengkap. Co-ba Ibu sebutkan nama dan alamat orang yang mengantarkan sang pasien tempo hari!" Perintah itu dibebaninya dengan wajah serius dan mata yang menatap tanpa kedip.
Shakira menggoyang kepalanya beberapa kali. Menurut dia, pasti dokter itu akan lumer sema-ngatnya. Ketika ternyata tidak, dia mengeluh manja, "Ah, perlukah""
"Ya!" ' Melihat takkan ada kompromi, dengan tam-pang amat terpaksa perempuan itu menyebut-kan nama dan alamat Tesa, yang dicatat oleh dokter di atas kertas kin.
"Nomor telepon"" Perintah itu demikian te-gas, sehingga Shakira tidak sempat berpikir untuk menanyakan apa gunanya. Tergesa-gesa di-keluarkannya buku catatan telepon dari tasnya.
Setelah puas mendapatkan semua yang diper-lukannya, Dokter Pasha Solem pun menuliskan resep. Lalu diberikannya pada Nyonya Goffar.
Lalu dia berdiri dan siap meninggalkan tamunya.
"Terima kasih, Dokter," ucap Shakira terse-nyum mencoba rayuan terakhir, lalu menam-bahkan dengan suara memelas. "Kalau saya perlu apa-apa, masih boleh menemui Dokter lagi,
bukan"" "Tentu saja!" sahut Dokter Solem, tiba-tiba mengedip sambil ketawa lebar, sehingga jan-tung Shakira nyaris putus. Dia tidak tahu bahwa kegembiraan itu bukan disebabkan olehnya, melainkan oleh catatan tertentu pada kertas yang tadi cepat-cepat diamankannya dalam sa-ku!!
Bab 14 "Halo, selamat sore. Boleh saya bicara dengan Nona Tesa""
"Ini dari siapa, ya"" tanya Nyonya Rodan, ibu Tesa. "Dari Solem, Bu."
"Begini Pak Solem, anak saya kebetulan sedang di kamar mandi. Berikan saja nomor Ba-pak, nanti dia akan call balik."
Karena Pasha Solem punya rencana proyek jangka panjang, tentu saja dia tidak berani ber-buat salah walau sekecil kutu apa pun misalnya dengan berlaku tidak sopan mengatakan, "Tak usah, saya akan bel kembali!"
Maka seperti remaja lugu disebutkannya no-momya satu per satu dengan jelas dan Nyonya Rodan mengulangi, juga satu per satu sambil menuliskannya ke atas notes.
Sampai malam Pasha melek menunggu pang-gilan, tapi telepon tidak juga berdering. Esoknya pagi-pagi dicobanya sekali lagi. Tak mungkin Tesa sudah berangkat, pikirnya. Tapi kenyataan-nya memang demikian.
"Tesa sudah ke kantor setengah jam yang lalu. Katanya khawatir macet kalau kesiangan.
Ini dari mana""
"Solem yang kemarin, Bu."
"O ya, Pak Solem, sudah Ibu beritahukan
nomor telepon Bapak padanya. Heran, kenapa Tesa sampai lupa menelepon balik" Sebenarnya ada urusan apa, ya"" "Ah, cuma urusan bisnis sedikit, Bu."
"Baiklah kalau begitu. Nanti sore akan Ibu katakan padanya." Malamnya di meja makan, Nyonya Rodan teringat janjinya tadi pagi pada Pak Solem.
"Tes, tadi pagi ada telepon." "Dari siapa, Mam""
"Itu, Pak Solem yang kemarin sore itu!" Aneh. Wajah Tesa langsung mendung, tapi untung cuma dilihat oleh
ibunya, sebab yang lain sedang asyik makan semangka. Hm, pikir Tesa. Untung dia cukup tahu diri, tidak mau pakai titel di luar jam dinas! Soalnya, ibunya agak gandrung terhadap jenis titel yang satu itu. Lihat saja, setelah Markus, pasti Daniel juga akan dituntunnya masuk FK!
"Mam, kalau orang itu telepon lagi, tolong katakan selalu, saya enggak di rumah! Saya ogah deh berurusan dengan segala macam sales-manl Baru datang ke kantor sekali, sudah mau maksa jual barangnya!" "jualan apa, sih"" tanya Markus. "Itu, lho! Panci ajaib! Sudah aku bilang, aku
belum kawin, enggak perlu panel!" kata Tesa dengan serius, sehingga kesebalannya terlihat sungguhan.
"Terus dia bilang, kawin saja dengan nya, nanti dikasih panci!" sambung Markus terkekeh, membuat adiknya mendelik keki.
"Tapi orangnya kedengaran sopan, Tes. kata ibunya lagi.
"Ah, Mami! Di mana sih ada orang jualan yang enggak sopan, enggak manis, enggak pin- '
tar merayu" Pendeknya, supaya barangnya laku, apa juga akan
dilakukannya! Kalau sudah dibeli, nah, lain lagi sikapnya! Coba, misalnya kita mau tukar, pasti dia akan
Tesa Karya Marga T di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
judes sekali!" "Tapi katanya, urusan bisnis!" ibunya ngotot. "Penting!" Ini tambahan ibunya sendiri. Perempuan itu sudah begitu khawatir melihat putri-nya tidak juga mendapat jodoh, sehingga setiap pria yang mendekat, rasanya mau diundangnya ikut makan!
"Nah, kalau benar-benar bisnis, suruh saja dia menghubungi saya di kantor, Mam. Bilang enggak usah datang, pakai telepon saja. Kalau dia belum tahu nomornya, berikan saja, Mam."
"Apa dia bukannya calon arjunamu yang mu-takhir"" nimbrung Daniel sambil menggigit se-mangka.
"Ala, kau! Sama saja dengan Mami! Pola sen tralmu cuma jodoh melulu!"
"Laa, habis apa, dong"" sambut ayahnya "Kau kan sudah cukup umur."
"Lewat malah!" cetus Daniel nyengir.
"Jangan kurang ajar!" tegur Ibu.
"Jangan kurang ajar!" membeo si Aster kecil
yang baru sembilan tahun.
"Ala, soal itu mah gampang, Pap!" tukas Tesa dengan anteng "Kalau sudah waktunya pasti akan datang sendiri, enggak ke mana-mana!"
Pasha tidak mau menyerah. Dia menelepon
lagi. "Pak Solem, anak saya berpesan, dia belum mau membeli panci ajaib Anda," kata Nyonya Rodan yang tidak tahu urusan, membuat yang mendengar jadi tersenyum sumir, meringis tak tentu ulah. Lelucon apa yang sedang dimainkan oleh Tesa ini"! pikirnya.
"Tapi kalau Bapak memang sangat ingin bicara dengannya, katanya disilakan menghubungi dia di kantor saja. Ini nomornya, harap dicatat baik-baik."
"Anu, Bu, boleh saya tahu juga nama dan alamat kantornya""
"Oh, boleh. Boleh," sahut Nyonya Rodan lalu menyebutkan yang diminta. "Terima kasih, Bu. Selamat pagi." "Kembali... eh, eh..." Nyonya Rodan mendadak tercekat seakan disengat lebah. "... eh, katanya pernah jualan ke kantor! Kok sekarang na-nya di mana kantornya"!"
Tapi telepon sudah lama diletakkan oleh Pak Solem.
Telepon berdering di meja sekretaris. Tesa mengangkatnya lalu menyebutkan nama kantor: nya.
"Selamat siang!" seru suara di seberang sana dengan nada riang yang rasa-rasanya dikenal-nya. "Boleh saya bicara dengan Tesa""
"Tesa yang mana"" tanyanya mempermain-kan. "Di sini ada dua Tesa." "Tesa Rodan."
"Oh, Ibu Tesa sedang keluar, Pak. Mau titip pesan""
"Tak usahlah. Ehem, kapan dia akan kembali""
"Wah, kurang tahu ya, Pak. Mungkin jam tigaan, gitu."
"Baiklah. Terima kasih. Nanti saya akan bel lagi."
Ketika jam setengah empat telepon berbunyi lagi, Tesa minta tolong rekannya untuk men-jawab. "Ssst, Kleopat, tanyakan siapa. Kalau namanya Solem, bilang Ibu Tesa belum balik. Enggak tahu kembali jam berapa. Enggak tahu ke mana. Suruh bel lagi besok!"
"Ini dari siapa"" tanya Kleopatra. "Oh, Pak Solem"" Dia melirik Tesa sambil tersenyum. "Ibu Tesa belum balik, Pak. Tahu ya, jam berapa. Mau titip peSan" Enggak usah" Baiklah.
Telepon saja lagi besok. Oh, ini sekretarisnya.
Ya, ya. Kembali." Mereka cekikikan berdua. "Kenapa enggak diladenin saja, Tes" Kede-ngarannya seperti mau nangis, tuh!" kata Kleopatra geli.
"Huss! Sinting kau, Kleo! Orang sudah punya istri, kok!"
Esoknya, telepon kembali mengganggu. Kleopatra yang mengangkat. "Oh, Pak Solem" Selamat pagi
. Oh, Ibu Tesa" Wah, kebetulan Ibu sedang
rapat dengan Bos. Wah, enggak tahu deh berapa jam lagi. Coba saja nanti
istirahat siang. Ya, kembali."
Kleo mengerling Tesa sambil menggeleng. "Ngotot betul, sih, Tes. Sambut
saja, kenapa, sih""
"Antepin saja. Nanti juga bosan sendiri!" sahut Tesa.
"Atau oper deh padaku!" seru Tiara yang barusan muncul. "Iiih, orang sudah punya istri, kok!"
"Siapa yang sudah punya istri"" tanya Bos yang tahu-tahu ada di situ. "Ini jam pelajaran mendongeng atau jam kerja"!"
"Habis itu lho, Pak," kata Kleo. "Ada orang namanya Pak Solem. Dia mengganggu Tesa terus, deh. Hampir tiap hari dia menelepon!"
"Nagih janji, kali!" cetus Tiara. Bos menatap Tesa. "Kau janji apa sama orang itu, Tes""
"Iiih, enggak pernah janji apa-apa, Pak! Kenal pun tidak!"
"Hm." Bos meletakkan dikte yang mesti di-ketik, lalu berjalan balik menuju kamarnya. Di dekat pintu dia berhenti, lalu menoleh pada Tesa. "Eh, kalau tidak kenal, miasa sih dia begitu ngotot" Dari mana dia tahu nomormu ""
Tesa cuma mengangkat bahu sambil meringis dengan rupa higu. Bos merasa tidak pantas me-ngompesnya saat itu, sebab banyak orang. Tapi nanti...!
"Ah, biar saja, Pak. Nanti juga dia pasti bo-san!" kata Tesa untuk menghilangkan kecuriga-an Bos.
Dugaan Tesa keliru. Pasha tidak kenal bosan. Dia malah nekat mendatangi gedung kantor. Tapi di tingkat kedua puluh enam itu satpam-nya tidak kenal kompromi. Di lantai dua belas mereka pernah kebobolan. Ada bahan peledak di bak tanaman, untung ketahuan sebelum me-ledak. Sekarang semua satpam di setiap tingkat menjadi lebih siaga.
Pasha tidak diizinkan masuk.
"Mau ketemu siapa, Pak" Sebut saja namanya, nanti kami panggilkan." Sayang, satpam kembali dengan berita jelek. "Yang dicari enggak masuk hari ini, Pak."
Pasha tidak percaya. Dia sangat tergoda untuk mengecek ke rumahnya, tapi dia teringat larangan menelepon ke Sana. Dia tidak mau bikin dosa terhadap... calon mertua!
Akhirnya tak ada jalan lain. Dia terpaksa me-nunggu di depan kantor sampai bubar.
Esoknya, dari rumah sakit dia tidak pulang ke rumah, tapi langsung piket. Karena dilarang parkir di pinggir jalan, terpaksa dia masuk ke garasi bawah tanah, lalu menunggu dalam mobil. Tentu saja ongkosnya lumayan mahal, sebab dihitung jam-jaman. Selain itu, tempat yang strategis sudah tak ada. Dia cuma kebagian po-jok gelap yang susah dipakai sebagai pos peng-amatan. Masih ada lagi kesulitan: dia tidak tahu pasti apakah Tesa naik kendaraan pribadi atau umum.
Yah, jalan satu-satunya: dia mesti keluar begitu selesai jam kantor. Maka tepat jam setengah lima, Pasha meninggalkan mobil lalu berjalan keluar, menunggu dekat pagar seperti pengangguran. Matanya disiapkan untuk memperhatikan setiap sosok manusia dan mobil.
Tapi kantor di gedung itu ada beberapa buah dan karyawannya sudah tentu buanyaaak sekali. Selain itu hampir tiap mobil kacanya gelap. Jadi, sulit sekali menemukan apa yang mau dicari.
Pasha mengeluh ketika menyadari kekeliruannya. Bagaimana dia akan melihat Tesa"! Manu-sia begitu berjibun seperti laron keluar dari sa-rang setelah hujan!
Makin banyak orang yang pulang, makin ciut semangatnya. Selain itu ha tiny a mulai ragu. Be-tulkah dia belum mirip orang gila"! Sudah berapa kali dia menelepon ke kantor, selalu orang menyebut "Ibu Tesa". Apa artinya itu"! Bukankah dia masih terlalu muda untuk dipanggil begitu"! Kecuali... kalau dia sudah...! Apakah dia mengejar-ngejar bird orang"!
Matanya sudah pedih sebab sejak tadi tidak mengedip mengawasi orang serta barisan mobil yang antre mau keluar dari halaman gedung. Dia khawatir, kebetulan mengedip nanti Tesa lewat dan tak terlihat!
Jalur mobil di mulut garasi cuma dua, tapi di halaman jadi bertambah dua lagi, sebab halaman itu luas dan setiap pengemudi ingin lekas-lekas pulang.
Karena harus memperhatikan pejalan kaki dan pengemudi sekaligus, lama-lama Pasha jadi kewalahan. Kepalanya sampai terpaksa ber-gerak-gerak terus,
nengok kiri nengok kanan. Tapi sampai mendekati setengah enam, belum ada orang yang mirip Tesa.
Dia mulai putus asa. Dilihatnya arloji. Sudah hampir waktunya untuk pulang, mandi lalu pra
ktek. Dari arloji cepat-cepat matanya diang-kat kembali. Mobil masih antre panjang. Sekarang mulai serabutan, sebab halaman mahaluas, tapi pintu gerbangnya biasa saja. Mendadak matanya hampir terloncat keluar.
Di seberang sana, dalam jalur keempat, dilihatnya seorang gadis di belakang setir. Jendela mobil kebetulan terbuka, jadi pandangannya tidak terhalang. Walaupun jarak mereka ada sepuluh meter, dia yakin itu siapa.
Cepat-cepat dia mencoba menyeberang. Tapi ternyata tidak gampang. Mobil-mobil itu tak punya belas kasihan untuk orang yang cuma punya dua kaki, mau mengemis jalan. Tak ada yang mau mengalah memberinya kesempatan menyelip sana-sini. Bisa meloncat sekali ke tengah jalan, lalu mesti menunggu lama sampai ada lagi pengemudi lain yang baik hati dan kebetulan sedang penuh humor, tidak me-nyumpah-nyumpah diselak orang lewat.
Dia berdiri di tengah jalan, terpaku seperti patung menunggu kesempatan. Akhirnya ada mobil yang masih dua meter dari dia.
Pasha meloncat kembali. "Mampus kau!" maki sopir yang diselip.
Sekarang Pasha sudah makin ke tengah dan lebih mendekati jalur keempat. Tapi mobil makin semrawut. Pelan dikit saja yang di depan, sebelah belakangnya sudah ribut dengan klak-son.
Pasha berdiri di antara seliweran mobil-mobil, siap sedia meloncat begitu ada kesempatan. Sementara itu matanya memperhatikan jalur yang
dituju. Sejenak dia panik. Honda Civic abu-abu tadi sudah tidak kelihatan! Matanya nyalang ke sana kemari. Kemudian dia bernapas lagi. Ah, itu dia. Sudah lebih ke depan, mendekati pintu gerbang.
Hm. Menilik mobilnya, pasti kedudukan Tesa amat bagus. Penghasilannya besar.
Tiba-tiba, tanpa diharapkan, ada mobil yang berhenti, lalu menyilakannya menyeberang. Pasha mengangkat tangan sambil mengangguk.
Sayang! Begitu dia tiba di seberang sana, mobil abu-abu itu pas meluncur ke jalan, lalu se-gera tancap gas. Pasha mengeluh kesal. Sampai lima menit diawasinya mobil itu, hingga lenyap di kejauhan. Lalu dengan kepala tunduk dia berdiri lagi di pinggir, siap untuk menyeberang ke tempat asal, kemudian dari sana turun kem-baM ke garasi mengambil mobil.
Entah bagaimana, pada suatu hari operator teledor. Ada telepon nyasar ke kamar Bos. Tapi sebenarnya diam-diam Bos sudah memberi memo pada operator: "Kalau ada Pak Solem menelepon, sambungkan langsung pada saya!" Tentu saja Bos tidak menyebut-nyebut soal gangguan terhadap Tesa.
"Halo, selamat pagi. Boleh saya bicara dengan Tesa""
"Dari Solem! Pasha Solem!" "Hm. Begini, Pak Solem, saya tidak mau tahu apa masalahnya, tapi saya minta agar Saudara jangan sekali-kali menelepon lagi ke sini! Saudara mengganggu, tahu"!"
"Lho! Saya bicara dengan siapa ini"" "Dengan Presdir sendiri! Dan Nona Tesa sudah ada yang punya!"
"Oh, bukan dia yang saya tuju. Tapi satunya lagi, Ibu Tesa!"
"Ibu Tesa" Memangnya di sini ada berapa Tesa"" tanya Bos dengan geram.
"Ya, Ibu Tesa itu! Tesa Rodan! Bukannya Nona Tesa yang sudah anu... ada anu... "
"Pak Solem!" potong Bos dengan murka. "Di sini cuma ada satu Tesa! Nona Tesa Rodan. Dia sekretaris saya dan juga calon istri!!!"
Brukkk! Sampai sakit telinga Pasha ketika telepon dibanting. Sekarang dia tak tahu akal lagi. Tempo hari dia pernah bicara dengan orang yang mengaku sekretaris. Tidak jelas sekretaris siapa. Dalam kantor besar, masing-masing kepala bagian mempunyai sekretaris pribadi memang. Entah ada berapa di kantor Tesa. Yang pasti, suaranya tidak mirip dengan suara Tesa. Tapi, setelah hampir empat tahun, apakah dia masih bisa ingat betul suaranya"!
Dan sekarang, bosnya sendiri yang bilang bahwa dia calon ratunya! Berarti dia tak usah . mimpi macam-macam lagi. Tapi apakah itu bisa dipercaya"! Di manakah Tesa waktu bosnya
marah-marah di telepon".1 Apakah dia tengah duduk di sampingnya, mendengarkan sambil bermain-main dengan dasinya"!
Pasha menarik napas kesal. Ah, rasanya sebelum mendengar sendiri dari mulut Tesa, dia belum mau percaya! Dia tidak rela menyerah begitu saja.
Kepusingannya bertambah karena ulah Shakira. Nyonya Goffar ini jadi mendadak po-puler di klinik setelah teleponnya yang ketiga atau keempat Baik re kan mau pun param
edis, sama-sama menggoda Pasha. Kalau dia muncul pagi hari, terkadang Suster Rani, sudah siap menunggu.
"Dok, tadi Ibu Goffar menelepon. Katanya penting. Dokter dimintanya supaya menghu-bungi kembali!" Tentu saja tak pernah diladeninya. "Gimana tadi urusannya, Pas"" tanya rekan-nya kalau ketemu. "Aku dengar nonimu tidak sabar lagi mencari-carimu! Katanya, kau suuu-dah lamaaa minggat, sampai dia kangen!"
"Apa dia mengaku masih noni" Buset! Anak-nya sudah dua!" pekik Pasha tersenyum pasrah seperti napi yang tak punya jalan kabur.
Soal Shakira, walaupun cukup membuatnya tobat, namun tidak diacuhkannya. Diinstruksi-kannya pada semua perawat yang kebetulan menerima telepon, agar mengatakan bahwa dia tidak di tempat.
"Oh, dia tidak percaya, Dok!" seru Suster
Rani. "Katanya, 'Selalu tidak di tempat! Saya
enggak percaya!"1 "Biar deh tidak percaya! Toh saya bukan suaminya! Kenapa mesti dipercaya" Buat apa main-main dengan istri orang" Saya masih ingin hidup lama kok, Sus!"
"Aduh, kurus banget kau sekarang!" tukas
seorang rekan yang lain. "Aku dengar kau ada affair sama... ssst... janda kaya, nih"! Sudah pu-tus, ya" Bosan" Aku dengar, dia nguber-nguber terus, ya" Kau takut tertangkap basah" Apa karena itu kau jadi lidi begini" Eh, kenapa enggak kaucekoki saja koktil acetylcholine dicam-pur... anu..." "Aku belum ingin, ah, jadi agen perjalanan ke neraka!" Tapi kurusnya itu memang karena keruwetan pikiran. Cuma bukan Nyonya Goffar penyebabnya.
Setelah dipikir-pikir sampai bertambah uban, dia yakin tinggal satu jalan keluar. Mendatangi rumahnya! Walaupun kedengarannya mengeri-kan, tapi seperti orang yang punya utang kele-wat banyak, dia tahu tak ada jalan lain. Harus nekat! Itu atau... !
Walaupun minta bantuan komputer sekalipun, dia percaya cuma satu itu penyelesaian kesulitannya. Namun, jalan keluar ini pun me-nimbulkan kesulitan baru.
Dia tahu, Tesa tak mau menemuinya, entah kenapa. Nah, bagaimana sikapnya nanti seandainya gadis itu mengusirnya mentah-mentah"! apa yang akan terjadi sekiranya Tesa menyatakan tak pernah mengenalnya, di depan sekalian anggota keluarga, pembantu, dan anjing-kucingnya. Bisakah dia hidup terus setelah mendapat malu sebesar itu"! Apakah tidak lebih baik mempercayai omongan presdir itu saja, dan membiarkan masa lalu tetap berlalu"!
Bab 15 Minggu berganti minggu. Gangguan telepon sudah berhenti. Tesa merasa lega walaupun dia tidak tahu bahwa dia sebenarnya mesti berterima kasih pada Bos.
Hidup berlangsung biasa lagi. Iklan penjualan rumah Shakira sudah dimuat. Peminatnya banyak. Tapi yang berhasil membelinya adalah ayah Shakira sendiri.
Pada suatu hari Shakira menelepon Tesa di rumahnya, lalu bercerita panjang-lebar. Tesa, ayahku sudah membaca iklan yang kaupasang itu. Setelah dia tahu Goffar sudah minggat ru-panya dia jadi kasihan pada nasib anak-anakku. Katanya dia bersedia membeli rumah itu dan kami kemudian diperbolehkan tetap tinggal di sini tanpa harus membayar kontrak, tapi ada syaratnya. Aku harus bercerai dengan Goffar!"
Tesa menahan napas. Celaka. Bisa rumit, nih.. Goffar beristri saja sudah sulit dihalaunya, apa-lagi Goffar tanpa istri! Tentu pikirnya tak ada halangan lagi bagiku untuk kembali... !
"Lantas, kau mau"" tanya Tesa dengan was-wns.
"Tentu saja! Dia sudah kabur meninggalkan diriku, buat apa aku pertahankan" Memang nya dia apa, sih" Laki-laki kan masih banyak di dunia ini, Tes! Hilang satu, ganti sepuluh! Apa-lagi dia kan enggak bertitel! Yang bertitel pun banyak yang naksir aku, kok. Misalnya, Dokter... Solem!"
Tidak salahkah pendengaranku" pikir Tesa kaget Tapi dia tidak sempat melamun lama-lama, sebab Shakira sudah bicara terus.
"Kau tahu sebabnya, Tes" Lantaran setiap orang kepingin punya mertua kaya! Ha, ha! Enggak terkecuali dokter!"
Shakira sudah tidak beres! pikirnya. Ketawa-nya yang begitu nyaring tidak enak didengar.
"Shak, barangkali kau belum tahu, nih"! Dokter Solem itu sudah punya istri, Iho! Dokter Pika namanya!"
Di luar dugaannya, Shakira ternyata tidak menjadi risau.
"Ah, pasti sudah cerai! Kalaupun belum, sekarang dia pasti sudah mau cerai! Setelah dia mendengar si
apa ayahku, mana bisa dia tidur nyenyak lagi sebelum jadi menantunya" Ya, aku rasa, ah, pasti deh, mereka sudah cerai! Mau taruhan, enggak" Sebab kalau belum, pasti dia enggak begitu agresif, dong!"
Tesa makin tercengang mendengar ini. Pasha sekarang jadi agresif pada Shakira"! Yang benar!
Dia memang tahu betapa agresifnya laki-laki itu, tapi masa sih sama perempuan yang sudah berbuntut dua"! Seperti sudah tak ada perawan
lain di muka bumi! Eh, tapi kalau dikaji lebih lanjut, mungkin Shakira tidak terlalu salah, pikirnya dengan ke-cut. Bukankah beberapa waktu yang lalu Pasha gencar betul meneleponnya"! Kalau masih ada Pika, mana dia berani! Lalu, mungkin karena dia tidak meladeni, dia jadi beralih pada Shakira"! Dasar orang ini nasibnya selalu baik, keluhnya penasaran.
Shakira sebenarhya tidak jujur seratus persen. Ketika dia mengatakan Dokter Solem agresif, maksudnya caranya memaksa untuk mendapat info mengenai Tesa tempo hari. Tapi Tesa tentu saja mana tahu. Terlebih ketika mendengar Shakira bla-bla-bla terus mengenai hubungan-nya dengan dokter ganteng itu yang tampaknya sudah cukup erat juga, hatinya. rasa teriris sesayat-sesayat.
Tangannya terasa lemas sekali ketika dia me-letakkan kembali pesawat. Aneh, dia tidak sampai pingsan, pikirnya sinis.
Shakira begitu asyik ngoceh sampai rupanya tak teringat sedikit pun olehnya untuk meng-ucap terima kasih apalagi mengembalikan ong-kos pasang iklan serta biaya anaknya masuk rumah sakit! Tesa sebenarnya ingin menagih, taP1' gimana ya, lidahnya sudah keburu kelu mendengar serentetan petualangan Pasha yang
terbaru. Kok harus dengan Shakira, keluhnya kesal. Apakah Pasha sudah lupa bahwa Goffar dulu- juga direbut oleh perempuan binal itu"! Dalam sengitnya, dia telah menamakan teman-nya itu binal!
Ah, kalau memang cuma sebegitu moral dan karakter Pasha, dia juga tak usah merasa pena-saran mendengar segala sepak terjangnya. Dia tak perlu menyesal tidak berhasil menjadi pa-sangan abadinya. Buat apa laki-laki seperti itu dirindukan! Bah!
Tapi, uang yang dipinjamkannya pada Shakira kan bukan didapatnya dari lotre. Itu kan hasil keringatnya sendiri! Sudah sepantas-nya kalau ditagihnya. Tapi bagaimana ya, cara-nya"!
Jangan-jangan dikira Shakira, semua itu ter-masuk kewajibannya! Sebab dia telah membuat Goffar lari ke luar negeri! Mungkin karena berpikir demikian
Shakira sama sekali tidak me-nyinggung masalah utangnya. Celaka dua belas kalau begitu!
Uhtunglah sebelum dia mengambil tindakan apa-apa, pada suatu hari datang orang suruhan ayah Shakira mengantarkan amplop berisi uang pengganti biaya iklan serta ongkos rumah sakit. Ayahnya rupanya tahu bahwa anaknya sama sekali tak punya uang lagi, jadi ditanyakannya dari mana semua biaya itu.
Tesa pun kembali tenggelam dalam dunia ke-seharian yang tak punya ragam. Semua serba rutin, Kadang dia merasa jenuh, tapi tak tahu mesti lari ke mana.
Shakira tidak lagi menelepon. Rupanya sedang asyik dengan pacar baru, pikir Tesa sinis.
Supaya ibunya tidak banyak bertanya ini-itu, Tesa sengaja menyibukkan diri dengan tugas kantor. Beberapa kali seminggu dia pulang agak malam. Alasannya, lembur. Sebenarnya itu bukan paksaan. Bos kebetulan menawarkan agar dia mau lebih lama mengetik surat-surat dengan mesin prosesor. Tidak terduga-duga Tesa langsung bersedia! Maka Bos pun jadi ikut keripuh-an mencari-cari alasan agar bisa tinggal lamaan di kantor, sebab kesempatan berduaan begini tentunya langka sekali.
Sekarang sudah mulai musim hujan. Hampir tiap sore langit membuka diri membasahi bumi. Ketika Tesa mulai pilek-pilek, ibunya mencoba melarangnya lembur.
"Ah, saya cuma pilek sedikit, biasa kan, Mam. Nanti juga baik," kilah yang dilarang.
Sebenarnya Tesa resah kalau pulang terlalu sore, di rumah tak tentu apa yang akan dikerja-kannya. Dulu dia masih senang membaca novel, tapi sejak Shakira "menjambret" Dokter Solem, hobi itu mendadak jadi tidak menggairahkannya lagi.
Pada suatu kali, ketika hujan amat lebat, mobil Tesa mogok. Untung masih dalam garasi,
sehingga dia tidak sampai kebasahan. Terpaksa
dibiarkannya Bos mengantarnya pulang. Dan se-isi rumah yan
g sudah menunggu nya sejak tadi di teras depan, kini bangun semua dari kursi mengawasi laki-laki yang begitu sopan mengangguk pada mereka.
"Pacarmu, Kak Tesa"" tanya Aster lugu ketika 60s sudah pergi.
"Huss! Anak kecil!" sergah Ibu, namun Tesa melihat perempuan itu berbinar matanya dila-mun harapan. Ketika dirasanya tak ada yang mendengar, dia berbisik, "Siapa tadi, Tes""
"Bos saya, Mam. Ganteng, ya"" tukas Tesa dengan ketawa penuh arti membuat hati ibunya mencak-mencak kegirangan.
Dan perasaan itu makin membubung ketika hujan masih sering datang. Tesa beberapa kali lagi terpaksa diantar pulang oleh Bos. Pada kali yang terakhir, ibu Tesa memberanikan diri dan menahan jejaka itu untuk makan malam bersama.
"Ini sebagai tanda terima kasih kami atas per-hatian Anda pada Tesa. Coba kalau tidak diantar, mana hujan begini deras!" kilah ibunya, tapi Tesa lebih
arif. Dia tahu jebakan apa yang sedang dipasang oleh ibunya, namun dia berlagak bodoh. Cuma dalam hati dia meringis, ngeri bercampur lucu.
Sejak makan malam itu, "resmi'Tah Bos ditah-biskan sebagai pacar Tesa oleh saudara-saudara-nya. Yang bersangkutan merasa geli, tapi tidak
membantah. Pikirnya, biarlah kalau itu bisa me
nyenangkan Mami. Saat itu di kantor sudah banyak karyawan yang kena flu. Rupanya udara AC tidak membuat tubuh lebih kuat menahan invasi virus. Dan Tesa yang memang sudah pilek. pun ikut roboh. Dua hari dia masih bertahan masuk kantor walaupun dengan mantel dan syal. Tapi pada hari ketiga dia tidak sanggup bangkit dari tempat tidur. Kepalanya pusing, tubuhnya de-mam, dan tenggorokannya seperti terbakar, pe-dihnya bukan main.
Sorenya ada yang menjenguk. Siapa lagi, ten-tunya Bos! Dari jauh Aster sudah mengenali mobil merahnya, lalu berlari ke kamar kakak-nya.
"Kak Tesa, pacarmu datang! Ayo, berlagak tidur, dong, nanti dikira Kakak bukan sakit be-tulan!" katanya sok mengajari.
Tak usah disebut lagi betapa senang dan ber-syukurnya hati sang ibu. Namun Tesa kelihatan tidak gembira. Bagaimana dia mau senang, ba-dannya terasa sakit dan ngilu semua. Obat flu yang ditelannya ternyata cuma membuat jan-tungnya berdebar dan ngantuk. Tapi demam dan pusingnya tidak hilang. Esoknya malah ditambah dengan batuk kering yang membuat dadanya terasa sakit. Bunyinya kong-kong seperti kodok bangkong. Esok sorenya Bos kembali datang. Dengan
rasa khawatir dia menyarankan agar dipanggil-kan dokter.
"Oh, tak usah!" bantah Tesa terkejut.
Kalau anak-anak lain takut setan, maka sejak ketil cuma dua hal yang ditakutinya. Pergi ke 'dokter umum dan dokter gigi! Dia takut sekali disuntik.
"Dua hari lagi juga baik! Pusingku sudah hi-lang, kokf sambimgnya berdusta. "Tapi demammu masih tiga puluh delapan
lebih!" tukas ibunya menimbrung. Sebenarnya sejak kemarin-kemarin dia sudah mau diajak ke dokter, namun tak mau. Katanya, biar tunggu Markus pulang saja. Abangnya saat itu kebetulan sedang ke Jawa Tengah meninjau beberapa puskesmas.
Mendapat bantuan tenaga dari ibu Tesa, Bos jadi makin berani.
"Pokoknya kau harus ke dokter, Tesa. Kalau besok aku datang kau belum juga ke dokter, nanti aku yang akan membawamu ke sana!" ancamnya dan Tesa tahu, ancaman itu tak bisa diremehkan.
Esok paginya ketika ibunya kembali menim-bulkan soal "pergi ke dokter", Tesa berdalih dia takkan kuat berdiri dan berjalan ke luar rumah.
"Kalau begitu, nanti sore panggilkan saja Dokter Yusuf kata ayahnya.
Dokter Yusuf adalah tetangga mereka. Rumahnya nomor lima belas, sedangkan rumah mereka nomor dua puluh enam.
Karena sakitnya tidak juga mendingan, Tesa tidak lagi membantah ketika sorenya ibunya
mau menelepon ke seberang. Sudah tiga kali dia berganti obat, tapi tidak juga sembuh. Sedangkan Markus belum juga balik.
"Dokter Yusuf sedang cuti, Senin baru prak-tek lagi," kata ibunya sehabis menelepon. "Tapi ada asistennya. Dia akan datang |ebentar lagi. Kata susternya, sekarang masih terlalu banyak pasien."
"Kenapa enggak tunggu dia saja, Mam" Nanti asistennya enggak betus,
lagi.... " "Sekarang baru Jumat, Tes. Besok tak ada dokter yang buka. Apa kau sanggup menunggu sampai Senin""
Tesa terpaksa mengakui dalam hati kebena
r-an pendapat ibunya. Dia merasa tidak sanggup lagi menunggu satu jam pun. Tapi sang asisten ternyata baru datang setelah hari gelap. Sambil tersipu-sipu dia minta maaf pada orangtua Tesa, menyalahkan pasien yang berjubel dan tak bisa ditinggalkan semenit pun. Kalau dia boleh terus terang, sebenarnya sang dokter mau bilang bahwa sejak sore tadi dia sudah kepingin ke kamar kecil, namun ditahan-tahannya.
"Dok, enggak bisa ke seberang sekarang, Dok," kata suster tadi. "Pasien masih terlalu banyak. Semua maunya masuk cepat-cepaf, tapi kalau sudah di dalam tidak mau keluar-keluar, maunya sih membeber riwayat hidup sama dokter! Iya kan, Dok" Kalau nunggu kelamaan
dikit saja sudah menggerutu. Apalagi kalau kter tinggal ke seberang, wah, bisa-bisa mere-mengadu ke LBH! Pasien-pasien zaman sekarang, waduh, galaknya!"
Sang dokter cuma ketawa kecil mendengar kebijakan perawatnya. Kini, setibanya di rumah seberang, dia baru teringat bahwa kebutuhan-nya ke kamar kecil belum terpenuhi. Kira-kira sopan enggak ya, kalau permisi sekarang"!
"Syukurlah akhirnya Dokter bisa datang juga," sambut ibu Tesa dengan manis, lalu meng-ajaknya ke kamar putrinya. Sang dokter pun terpaksa menangguhkan niatnya.
"Tesa!" serunya dari luar kamar. "Ini dokter-nya sudah datang."
Pintu dibuka. Ibunya masuk diikuti... Tesa terpana bagaikan melihat ular kobra me-luncur masuk. Seketika itu dia langsung ingin menyuruh dokter itu keluar lagi, tapi suaranya tidak berbunyi. Cuma bibirnya saja yang ter-buka seperti orang kaget.
Sementara itu ibunya telah menutup pintu, lalu berdiri di kaki ranjang. Sedangkan sang asisten sudah meletakkan tasnya di atas meja kecil dan mulai sibuk mengeluarkan perkakas-nya.
Entah kelupaan atau sengaja, sang dokter tidak menyebutkan namanya ketika bersalaman tadi. Demi kesopanan, Tuan dan Nyonya Rodan pun segan menanyakan. Namun Tesa yakin matanya belum rabun. Laki-laki yang tengah
menarik keluar stetoskop dari tas hitam itu ada-lah Dokter Solem! Pasha Solem. Dan mau apa
dia di sini"! Kini dia sudah menghampiri ranjang, lalu duduk di pinggiran tanpa permisi. Dengan terpaksa Tesa menggeser ke dalam sedikit. Geraham-nya dikatupkannya erat-erat saking jengkel. Huh! Kalau saja ada caranya bagaimana dia bisa meletupkan perasaannya saat ini! Tapi tak ada! Dia bahkan harus berlaku sopan dan menuruti setiap perintah dokter...! Huh! Dokter apa!
Kunyuk hidung belang begini, apa betul mahir mengobati"! Bikin hancur, itu dia mahir! Huh! Berani-beranian datang ke sini!
Tanpa menunjukkan bahwa dia mengenali pasiennya, dimintanya Tesa membuka baju.
Ini sudah betul-betul keterlaluan! Rasanya dia ingin berteriak atau menangis! Tapi ibunya mengulangi perintah itu dengan otoritas penuh.
Sambil mengatupkan kembali bibirnya dan menggertakkan gigi, Tesa terpaksa menurut, sebab ibunya ada di situ mengawasi. Dia tidak mau menimbulkan kecurigaan tentu saja.
Nah! Puaskanlah mata keranjangmu! kutuk-nya dalam hati tanpa sudi memandang ke arah sang dokter.
Selama terbaring di ranjang, tentu saja Tesa tidak mengenakan penutup dada di balik baju tidurnya. Setelah kancingnya dibuka, dia tak punya pertahanan apa-apa lagi. Dia merasa begitu tidak berdaya, sampai rasanya betul-betul
ingin menangis. Dasar nasibnya selalu jelek. Dalam keadaan sengsara begini pun, dia masih kena hinaan juga! Musuhnya yang menolong! Atau, kalaupun bukan musuh sungguhan, paling tidak, laki-laki ini sudah kelewat sering melukai hatinya.
Dia tahu, dia tak pernah dianggap sebagai sesama manusia oleh Pasha. Ketika Pika memer-lukannya, dengan mudah saja dia telah dicam-pakkannya, seolah dia sama sekali tak bisa pa-tah hati. O ya, Tesa mana punya perasaan! Dia kan cuma boneka dungu belaka! Manis untuk dipandang, sedap untuk diajak main.
Nah, kalau dulu saja tidak dianggap, apalagi sekarang. Dia tidak lebih dari seorang pasien! Tak perlu disapa! Apalagi diakui sebagai kenal-an lama! Terlebih jangan mimpi, dia akan ber-teriak kegirangan, "Ai, Tes, kita ketemu lagi!" Huh! Padahal rasanya baru kemarin dia bilang cinta! Huh! Omong kosong! Cinta mo-nyet barangkali, itu mungkin benar! Heran, kenapa dia b
isa kebetulan sedang menggantikan Dokter Yusuf, sih"! Ah, dasar nasibku jelek terus!
Dengan lagak seorang dokter yang serius sekali, laki-laki itu menguak gaun tidur yang sudah terlepas kancingnya, lalu seperti seorang ahli jantung jempolan diletakkannya stetoskop pada beberapa tempat tertentu di dada.
Tesa yakin jantungnya sehat dan penyakitnya sekarang ini sama sekali tidak menyerang ke
sana, namun entah kenapa, Dokter Solem men-dengarkan denyutaya begitu laaama! Matanya yang menunduk tak bisa dilihatnya, sehingga
dia tidak bisa menerka apa yang tengah diper-hatikan atau dipikirkan olehnya. Untuk menga-jukan protes, dia segan. Nanti dianggap sok
tahu. Selain itu, ibunya kan masih berdiri di ujung ranjang, jadi tak ada alasan baginya untuk menuduh dokter itu kurang ajar atau yang bukan-bukan lainnya.
Dengan terpaksa ditahannya siksaan itu. Lama-lama dia menjadi keki. Pandanglah se-puasmu, pekiknya dalam hati. Sebab semua itu takkan pernah
menjadi milikmu! Nanti bisa kaubandingkan dengan Pika! Atau, kini sudah dengan Shakira"!
Emosi seperti itu tentu saja membuat denyut jantungnya bertambah. Dokter Solem mengerut-kan kening.
"Debar jantungmu kencang sekali," cetusnya tidak pada siapa-siapa, lalu tiba-tiba menoleh pada si sakit. Dirabanya sejenak dahinya.
"Hm. Tidak terlalu demam!"
Karena Tesa memang tengah melotot meng-awasinya, dia tidak sempat lagi membuang muka. Sesaat mereka bertatapan. Tapi Dokter Solem cepat mengalihkan matanya seakan tak ada apa-apa.
"Anak Ibu memang cukup serius sakitnya!" katanya, kali ini menoleh ke kaki ranjang. "Kenapa baru panggil dokter sekarang""
Nyonya Rodan jadi gemetar ketakutan. Ucap-an seperti itu biasanya berarti burtik. Dengan gagap dia menyahut, "Anaknya... ban... del, Dokter. Eng... gak... mau... te... rus... dia... jak... bero... batT
"Hm. Kenapa" Takut dijeksi"!" Dokter menatap sekilas pasiennya. Tentu saja Tesa mana sudi meladeni, apalagi menyahuti. Kaukira lu-cu" pikirnya. Huh! Tak usah, ya!
"Betul, Dokter. Anak saya ini sejak kecil paling takut sama jarum suntik!" kata Nyonya Rodan mengiakan.
"Hm. Coba tarik napas panjang, keluarkan. Sekali lagi. Terus. Sekali lagi. Sekali lagi. Tarik, keluarkan. Tarik, keluarkan. Tarik, keluarkan. Taaarik.-" Tapi lalu sang dokter lupa memberi perintah keluarkan.
Tesa terus menarik napas sepanjang mungkin sampai rasanya tak tertahan lagi. Namun aba-aba keluarkan tidak juga terdengar. Dadanya sudah serasa mau meledak. Dia malah jadi se-sak napas, akhirnya terbatuk-batuk.
Dokter Solem menatapnya, lalu. dengan te-nang berkata, "Dikeluarkan, dong, napasnya, jangan ditahan begitu!"
Brengsek! kutuk Tesa dalam hati. Kenapa enggak mau bilang dari tadi"!
Rupanya stetoskop masih belum memberi Info yang cukup, sehingga Dokter Solem merasa perlu menggunakan jari-jarinya untuk ketuk-ketuk sana-sini. Aduh, merinding bulu badan
Tesa bersentuhan seperti itu. Dia langsung ter-ingat keindahan musim panas di bulan Desem-ber serta ketenteraman musim dingin, berduaan
duduk di depan jendela....
"Tesa!" Tiba-tiba dia kaget mendengar panggilan ibunya. Oh! Rupanya dokter mau memeriksa teng-goroknya dan sejak tadi menunggunya buka mulut. Spatelnya siap di ujung bibir.
Tesa menganga selebar-lebarnya, berharap akan bisa batuk keras-keras agar bisa menyem-prot Pak Dokter. Tapi Dokter Solem rupanya sudah bisa menduga adanya iktikad jail, atau mungkin juga dia sudah kelewat berpengalam-an, tak mungkin bisa dipermainkan.
Begitu Tesa menggerakkan lidah mau batuk, spatel sudah ditarik ka luar dan dokternya berdiri. Setelah membuang spatel kayu itu ke tong sampah dekat meja, dia kembali ke ranjang. Lalu dengan tenang, seakan itu termasuk tugas-
nya, dikancingkannya kembali gaun tidur pasiennya satu per satu. Mula-mula Tesa ingin menolak, tapi entah kenapa akhirnya dibiarkan-nya.
"Nah, pemeriksaan sudah selesai! Sekarang saya mau menulis resep," katanya tidak pada siapa-siapa.
Seakan itu kata sandi untuk menyuruhnya keluar, ibu Tesa langsung berlalu. Pintu kamar dibiarkannya terbuka. Begitu ibunya lenyap dari lapangan pandang, medan pun segera berubah
suasana. Ketika Dokter S olem meraih pergelang-annya untuk menghitung denyut nadi, dengan berang dikibaskannya tangannya. Wajahnya yang sejak tadi tidak mencerminkan emosi apa pun, kini menatap dengan garang.
"Nah, setelah puas menghinaku, pulanglah le-kas pada istrimu! Pika pasti sudah tidak sabar menunggumu.
Dokter Solem malah ketawa menghadapi pe-nolakan tadL Dengan tegas ditangkapnya kembali lengan Tesa, lalu digenggamnya dan dihi-tung denyutnya. Setelah selesai, dia memandang Tesa seraya tersenyum.
Tidakkah kau mau berterima kasih padaku, sebab tidak menyuntikmu""
"Huh! Tunggu kiamat dulu!" dengus Tesa dengan sebal.
"Tahukah kau" Wajahmu tambah memikat kalau marah!"
Lalu wajahnya menunduk lebih dekat, sehingga Tesa terpaksa melihat betapa bagus mata hitam Pasha. O, Tuhan, keluhnya. Laki-laki ini bisa tersenyum dengan matanya! Wajahnya yang putih dan tampan begitu terbuka. Ditam-bah dengan sepasang bola mata yang penuh binar, ah! Aku tak tahan ditatap seperti itu. Aku tak bisa memakinya walaupun dalam hati ingin banget!
"Sudahlah, Pas. Jangan bersandiwara lagi! Aku tak tahu kenapa kau bisa datang kemari
sore ini! Kok tumben menggantikan dokter te-tanggaku""
Pasha seakan ingin ketawa geli, namun melihat wajah Tesa belum menawarkan perdamai-an, dia tidak jadi.
"Ini namanya keberuntungan, Tes. Biasanya Dokter Harun yang menggantikan Yusuf. Tapi mendadak dia kena apepe... anu, usus buntunya harus dipotong. Dokter Yusuf mesti cuti mene-ngok ibunya di Jawa, kabarnya sedang sakit, sudah tua. Nah, aku tahu kau tinggal di jalan ini. Aku pikir, kalau aku praktek selama dua minggu, barangkali saja aku bisa melihatmu wa-lau cuma sekali. Dari jauh! Hari ini sebenarnya dinasku berakhir. Sabtu kan tutup, dan Senin Dokter Yusuf sudah akan praktek lagi. Tapi dasar jodoh, eh, ibumu menelepon.... "
Cis! Jodoh dari mana, pikir Tesa sengit. Dasar laki-laki! Di rumah sudah beristri, di luaran mengaku masih cari-cari jodoh!
"Sudahlah, Pas. Cepat tuliskan aku resep. Setelah itu kau boleh pulang."
"Aku diusir, nih"" tanyanya dengan mata masih penuh senyum.
"Aku menghargai kau!" katanya pelan setengah mengeluh. "Janganlah menjadi laki-laki yang tidak setia!"
"Kalau kau cuma menghargai aku, aku malah mencintaimu! Janganlah menuduh sembarang! Pika sudah baikan lumpuhnya. Dia kini bisa menggunakan kursi roda dan... "
"Syukurlah," potong Tesa tak sabar. "Tapi maaf, aku tidak berminat untuk mendengar ten-tang istrimu!"
"Kau harus mendengarnya! Tesa, dia sudah lama menikah dengan Michael dan menetap di Perth!"
"Oh"""!" Tesa nyaris melongo saking heran.
"Begitu Michael sudah sembuh dan bisa me-nolongnya, aku disepaknya! Rupanya aku ini tak pernah dibutuhkan olehnya!" "Kasihan!" ejek Tesa mencibir.
Pasha lebih mendekatkan wajahnya. "Jadi siapa yang mau kau tuduh enggak setia" Coba ulang sekali lagi! Jangan sok mengejek, ya!"
Dengan sikap mengancam diterkamnya kedua pergelangan tangan Tesa, lalu digenggam dan diacung-acungkannya. Tanpa setahu mereka, Aster sudah menyelinap masuk. Melihat kakak-nya terdiam saja sementara Dokter Solem kelihatan begitu mengancam, anak itu berlari kembali mendapatkan ibunya seraya berseru, "Mami! Mami! Kak Tesa bergulat sama Dokter!"
"Kalau dengan Shakira bagaimana"" tanya Tesa setengah berbisik.
Kedua orang itu tidak mendengar kepanikan Aster, sehingga mereka tidak menyadari bahwa di ambang pintu sudah berdiri dua orang pe-nonton.
"Shakira yang mana, sih"!" tanya Pasha sambil meraih kertas resep dan mencari bolpen. Dipukul-pukulnya setiap saku. "Astaga! Rupanya bolpenku masih ketinggalan di kamar Dokter Yusuf! Pinjami aku, Tes."
Ibu Tesa mengerutkan kening mendengar nama anaknya. Kayaknya kok seakan dokter ini
sudah biasa betul memanggil nama itu"!
Tesa menunjuk ke atas meja di samping ranjang tanpa bergerak untuk mengambilkan. Sikap ini juga membuat penonton di ambang pintu kembali mengerutkan kening.
Di atas tumpukan buku dan majalah terdapat bolpen, pensil, serta karet penghapus.
"Suka mengisi teka-teki silang, nih"" tanya Pasha sambil menarik bolpen.
Tesa tidak menanggapi. Ibunya makin ber-kerut keningnya.
Apa-apaan anak ini"! Enggak biasa-
Tesa Karya Marga T di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
biasanya enggak sopan begitu!
Sebaliknya dari menjawab, didengarnya Tesa bertanya makanan apa yang harus dipantang-nya. Dokter menyebutkan beberapa macam yang terlarang. Aneh. Tesa kedengaran geli ber-campur jengkel.
"Itu semua kan kesukaanku, Pas! Tega kau!"
Aduh, nadanya! pikir ibu Tesa. Dia baru tahu, anaknya punya bakat manja!
"Dan aku kok masih ingat ya apa yang kau-sukai!" Mata yang hitam itu kini menatap dengan tajam. Senyum di sana sudah lenyap walaupun kehangatannya masih terasa.
"Kalau kue dadar bagaimana"" tanya Tesa, tahu-tahu jadi ingin manja sungguhan.
Sudah sintingkah anak ini, pikir ibunya. Sejak kapan dia suka kue dadar"! Bukankah di rumah tak pernah dibuat kue itu"! "Bikin boleh, makan jangan!"
Nah, nah! Sekarang dokternya pun ikut-ikut-an sin ting!
"Ooi! Kau sentimen!" seru Tesa sambil memu-kul Pasha, membuat ibunya menahan napas sa-king heran. Apa-apaan ini"! Kok pasien dan dokter bercanda seperti teman sekolah"! Namun matanya langsung ierbuka begitu dia mendengar ocehan Pasha selanjutnya.
"Dua belas kali aku menelepon, selalu ditolak! Eh, enggak tahunya malah bisa langsung masuk ke tempat peraduan tuan putri. Apa itu namanya bukan bintang terang"" tukas Pasha dengan suara girang.
Tahulah dia sekarang siapa dokter ini. Dia langsung menggenggam lengan si bungsu dan menyeretnya pergi. "Yuk, mari, Aster. Jangan kita ganggu mereka. Kakakmu tidak apa-apa. Dia sedang diobati." Dan pintu dirapatkannya.
"Jangan senang-senang dulu!" ancam Tesa.
"Hm. Kenapa" Tak mungkin kau akan bisa menolak diriku lagi. Apa alasanmu" Aku kan masih bujangan"! Dan belum pernah enggak setia!"
"Kalau dengan Shakira, gimana"" "Shakira lagi! Shakira lagi! Siapa sih monyet itu""
"Itu, lho! Istrinya Goffar!"
"Oh, yang anaknya tempo hari kaubawa untuk opname" Yah! Kalau dia, gimana, ya"! Katanya dia sudah disuruh bercerai oleh ayahnya. Sang ayah ini katanya rindu sekali ingin punya menantu dokter. Terakhir, dia menawari aku kursi DPR. Ah, buat apa aku main-main di DPR" Kalau dia bisa menawarkan kursi direktur rumah sakit, nah, itu baru akan kupertimbang-kan dengan serius! Aku belum menolaknya, kok!"
"Memangnya peduli apa aku, kau menolaknya atau tidak!"
"Tentu saja kau tidak diharuskan peduli!" sa-hut Pasha kalem dengan alis terangkat tinggi, namun matanya masih tetap tersenyum. "Perempuan itu memang hebat sekali. Sendirian ke mana-mana mewakili ayahnya yang rupanya kebanyakan cuma sibuk main golf dengan penggede."
"Eh"!" "Waktu anaknya sakit tempo hari, untung sekali kebetulan ada kau! Dia sendiri katanya sedang di luar kota meresmikan kantor cabang, sedangkan ayahnya masih di New York untuk urusan bisnis juga. Dinamis sekali Shakira itu! Gesit! Sebat!"
"Oh"!" Tesa begitu tercengang mendengar cerita Pasha sampai untuk beberapa saat dia tak mampu berkata-kata. Sungguh hebat sekali lidah Shakira memutarbalikkan fakta sampai-sampai Pasha pun memuji dirinya! Gesit"! Hm
Kerja kantor tak mau, kerja di rumah pun ogah!
Mewakili ayah"! Hm. Hm. Siapa yang sudah-tidak diakui anak dulu itu"!
Ketika akhirnya dia bisa bersuara, Tesa me-mutuskan untuk tidak mengatakan perihal keadaan Shakira yang sebenarnya.
"Jadi itu yang dikatakannya padamu" Dia enggak bilang kenapa aku sampai membawa anaknya ke rumah sakit"!"
"Ya, aku juga memang sudah lama ingin tahu sebabnya! Apa kau kebetulan sedang bertamu pada Goffar mumpung tahu istrinya di luar kota"!"
Tesa meringis mendengar tuduhan yang mirip fitnah itu. "Nanti deh, aku ceritakan semua-nya! Sekarang aku lagi enggak ingin. Aku eng: gak bergairah
menjelek-jelekkan sesama perempuan! Salah-salah disangka orang, aku cemburu! Atau mau membuat engkau putus dengannya!"
"Astaga! Tesa, dungu betul kau ini! Kaukira aku belum menyadari siapa Shakira itu"! Perempuan itu mungkin agak sinting. Yang jelas, dia rupanya tergila-gila padaku! Hampir setiap pagi dia menelepon ke klinik, sampai-sampai aku jadi bulan-bulanan rekan-rekan dan perawat! 'Pas, apa kabar nonimu" Tadi pagi kata Suster Rani dia sudah hampir mewek di telepon men-cari-cari kau! Sudah lama minggat, ya! Pulang dong, kan kasihan anak orang!' Uh! Macam-ma
cam deh olok-olok mereka. Aku disangka ada main dengan janda kaya! Padahal sebenarnya aku tak pernah meladeninya. Sekali pun belum pernah aku sambuti teleponnya! "
"Apa iya"" tanya Tesa mencibir. "Menurut dia sih, kau ini sudah naksir dia benaran, deh. Katanya, kau kepincuk oleh kekayaan ayahnya! Padahal seingatku, ayahnya sih kaya biasa-biasa saja. Artinya, enggak ada hubungan dengan DPR segala macam! Eh, kok aku jadi banyak mulut"! Salah-salah nanti dikira mau menjelek-kan orang lain!"
Pasha ketawa. "Rupanya memang, ya!"
"Eh" Mau fitnah""
"Habis! Menurut pengakuannya sendiri, ayahnya itu teman main menteri-menteri, bankir-bankir, dan orang-orang gedean lainnya. Ayahnya punya usaha juga di luar negeri. Pendek-nya, menurut dia, sang ayah itu salah satu juta-wan paling top di republik kita ini! Ha, ha, ha! Makanya dengan gampang dia tawarkan kursi DPR! Berapa saja mau, pasti dapat! Dan kau bilang... ha, ha, ha! Dia biasa-biasa saja"!"
Tesa ikut ketawa setelah mengerti maksud Pasha. "Sudah, ah! Jangan mempercakapkan orang lain! Enggak baik. Aku sudah senang bahwa semua itu rupanya cuma khayalan Shakira belaka. Tadinya aku sangka, kau sudah... " Suara Tesa mengandung kelegaan. "Sudah apa"" sambung Pasha menuntut. Tesa cuma menggeleng. Pasha tidak memaksa.
"Nah, jadi persoalan Shakira sudah terang. Urusan kita pun beres, bukan"" "Enggak segampang itu!" sahut Tesa pelan.
"Eh, kenapa lagi" Apa alasanmu masih mau menolak aku sekarang" Aku kan masih bujang-an"r
"Itu salahmu sendiri! Jangan salahkan aku! Nah, memang kenapa sih kau belum kawin""
"Aku menunggumu. Sekarang setelah kita ketemu lagi, tentunya kita akan rujuk, bukan" Kau juga menungguku, kan""
"Ti... dak!" bantah Tesa gugup mendadak.
"Jangan bohong! Lalu kenapa kau belum juga menikah""
Tesa mengelakkan tatapan yang menyelidik itu. Bibirnya tiba-tiba menggeletar seperti ngeri.
"Entahlah. Rasanya... aku... tak... berani... pa-caran lagi! Selalu jadi malapetaka. Aku rasa, aku tak sanggup pacaran denganmu lagi!"
"Tesa!" seru Pasha dengan tegas, lalu meme-gang dagunya untuk memaksa gadis itu menatapnya kembali. "Kita tidak akan pacaran!"
"Oh"!" "Kita akan segera meni... "
"Kak Tesa," tiba-tiba terdengar suara Aster dari luar kamar, "pacarmu datang!"
Bersamaan dengan itu, daun pintu terkuak dan... Tesa serta Pasha sama-sama menoleh. Gadis itu melongo melihat Bos menyeruduk masuk dengan sebuah buket mawar merah dalam tangannya. Wajahnya seketika menjadi pucat.
Dia tambah gelisah mendapati Pasha melirik Bos dan dirinya bergantian dengan tajam.
Hm. Jadi inikah gajah dungkul yang tempo hari memaki-maki aku di telepon"! pikir Pasha sambil mengukur orang itu dari atas sampai ke sepatu Bally di lantai. Hm. Dasinya sih memang ' bagus, sayang tubuhnya kegendutan, jadi ke-banting dipakai olehnya. Rambutaya yang dibe-lah di tengah masih kelihatan rapi walaupun hari sudah malam, berkat Tancho atau pomade merek lain. Sayang kumisnya terlalu jarang seperti tanaman yang tidak terawat, masih lebih bagus kumis kucing!
"Halo, Tesa, sayangku! Bagaimana keadaan-mu hari ini" Aku lihat wajahmu cerah sekali! Ini mawar merah untukmu, tanda... eh, masih ada dokter!" Bos berseru heran seakan baru saja melihat ada orang lain di situ. Diletakkannya buketnya di atas meja, lalu dipandangnya Dokter Solem.
"Bagaimana keadaan tun... eh, keadaannya, Dokter... ehem""
Pasha tidak mau menyebutkan namanya. Dia langsung saja mengatakan sepintas lalu mengenai penyakit pasiennya, seakan itu rahasia jabat-an yang tak berhak diketahui orang yang tidak jelas kepentingannya.
"Syukurlah. Jadi tidak berbahaya, kan"" kata Bos yang tidak menyadari bahwa orang kurang senang padanya. "Soalnya, Dok, Tesa..
Lalu seakan sudah kebiasaan, dia mau duduk di pinggir ranjang, tapi dengan sigap namun tak kentara. Pasha sudah mendahului. Dia pura-pura mengambil kembali kertas resep yang ter-letak di samping Tesa. Di belakangnya. Bos menunggu dokter itu bangun untuk menulis resep di tempat lain. Namun dokter itu pun ngotot tak mau berlalu.
Ketika Bos masih juga berdiri mematung di situ, Dokter Solem akhirnya menoleh dan ber-kata dengan
sopan namun tegas, "Silakan Anda menunggu di ruang tamu saja, Pak. Saya belum selesai memeriksa... ehem... calon... istri Anda!"
"O ya, ya, baik, baik!" Dengan patuh ayam jago itu menyingkir. Mana dia mimpi, bahwa untuk selamanya dia takkan punya izin lagi untuk masuk kembali ke situ"!
Begitu pintu sudah tertutup, Pasha mendesis garang dengan mata bersinar tajam. "Aku tidak mau tahu bagaimana caranya! Tapi kau harus bisa melepaskan diri dari jago yang satu itu. Kalau perlu, Tes, sore ini juga kau berhenti kerja!"
Dan komando yang begitu eksplisit mana mungkin bisa dibantah"!
Sekian tamat Nyi Wungkuk Bendo Growong 1 Wiro Sableng 108 Hantu Muka Dua Ax Membalas Dendam 3
"Oh, tentu saja boleh, Pik! Silakan! Kebetulan kita sedang kekurangan orang untuk nanti men-cuci piring!" seru nya, bersyukur dalam had sudah berhasil menjawab dengan cepat, sehingga suasana tidak menjadi kikuk. Anak-anak lain pun segera bersorak menyetujui usul Tesa.
"Buset! Kalau begitu aku ke sini cari peng-gebuk, ya!" Suasana pun menjadi makin meriah. Bahkan Pasha jadi asyik ngobrol dengan Michael. Keduanya memang sudah saling kenal di kuliah.
Demikianlah hubungan Tesa dan Pasha sema-kin erat serta mesra. "Setelah pelajaranmu sele-sai nanti, sebaiknya kau jangan. langsung pulang," usul Pasha pada suatu kali. "Teruskan saja mengambil kursus komputer sambil mene-mani aku kuliah. Nanti kita pulang sama-sama."
Tesa sih setuju saja. Cuma persoalannya, dia tak punya biaya lagi.
"Kasihan kan morot terus dari Mami," dalih-nya. "Kalau aku pulang, bisa langsung cari duit buat bantu Mami."
"Soal biaya, kau tak usah pusing, Tes. Kalau kita sudah resmi, pasti orangtuaku takkan kebe-ratan membiayai kau juga!"
"Nanti deh kita bicarakan lagi kalau sudah
tiba waktunya," sahut Tesa mengelak. Bukan
pertama kali itu Pasha mengiming-iming bahwa dia ingin mereka secepatnya menikah. Tak usah tunggu sampai pulang dulu ke rumah. Dan Tesa belum berani mengabari ibunya mengenai pacar barunya ini. Ibu pasti enggak setuju kalau dia mau terburu-buru. Perkawinan adalah ikat-an seumur hidup, pasti begitu nasihat ibunya, jadi harus dipikirkan matang-matang.
Tapi di kemudian hari, Tesa tidak begitu ya-kin lagi akan kemantapan nasihat itu. Dia ter-kadang melamun, ah, seandainya saja dia tidak terlalu lama membuang waktu untuk berpikir sampai matang! Ah! Dan saat itu dia cuma bisa mengeluh penuh sesal.
Hari itu mereka berdua sudah berjanji akan pergi ke kebun binatang. Seperti anak kecil, sejak kemarinnya Tesa sudah kegirangan sampai susah tidur. Pagi itu tingkahnya seperti cacing dimandiin abu. Sebentar-sebentar dia berden-dang atau mondar-mandir dari kamar ke dapur tanpa tujuan tertentu.
"Waduh! Kelihatannya senang betul! Lagak-mu seperti orang kena lotre saja, nih, Tes!" kata Sabita, kepingin ikut kebagian.
"Ada yang ditunggu" Kok belum muncul, ya," sindir Atina.
Nopi sok tahu. "Bukan nunggu, kok!" bantah
"Kau mau bikin janji denganku, tapi malu banyak orang! Iya, kan"! Ini sih, cecurut-cecurut enggak mau pada nyingkir!"
"Siapa yang kausebut begitu"" seru Atina penasaran. Tampangmu sendiri enggak lebih mending dari nyingnying."
"Eh, kalau memang yakin kau bukannya cecu rut, kenapa mesti nasping"" Nopi ketawa terbahak.
"Sudah, ah. Kok jadinya berantem pagi-pagi begini"" Tesa mencoba mendamaikan, tapi Atina malah mendelik pada Nopi sambil melirik ke cangkimya seakan kepingin membubuhi racun. Tesa berniat mengalihkan pembicaraan, ketika Nurul dan Ria tahu-tahu mendobrak pintu dapur seakan terjadi kebakaran, lalu menatap mereka dengan napas tersengal-sengal.
Nopi segera memanfaatkan kesempatan bagus itu untuk meluaskan pandangan. Kedua gadis itu mengenakan jeans dan T-shirt ketat, sehingga pemandangan alam bukan main me-mukaunya. Ria segera menyadari dan menyem-protnya, "Hei, mata keranjang! Jangan pandangi aku seperti itu! Kualat nanti, ujianmu jeblok!"
"Eh, aku kan sedang menghitung gerak na-pasmu, kok malah disumpahi"! Kalau kau napas terlalu cepat, kan bisa bahaya, tuh!" sergah Nopi padahal dia memang sedang cuci mata.
anak tikus Habis kapan lagi bisa melihat bukit-bukit naik-turun begitu indah, pikirnya. Sangat bagus buat
kesehatan mata! Daripada mesti pakai boorwaterl
Nurul tidak ikut-ikutan nimbrung, sebab tak tahan lagi mau menyampaikan kabar yang me-ngejutkan. "Pada belum tahu, kan" Pika di rumah sakit!"
"Haaa"!" semua tercengang. - "Kenapa dia"" tanya Sabita yang paling erat dengan Pika, temannya sejak di SMA.
Ria menarik kursi, lalu duduk. Dengan begitu dadanya jadi tertutup meja dan Nopi tidak bisa leluasa lagi menatapnya. Napasnya pun sudah lebih tenang. Nurul segera mengerti dan meng-ikuti contohnya.
"Pika kecelakaan bersama Michael!" kata Ria memulai.
"Oh!" "Mereka baru pulang libur tiga hari ke rumah orangtua Michael. Kabarnya, Pika luka parah. Sekarang ini kami mau menengok. Ada yang mau ikut"" Semuanya menyatakan mau.
"Aku beritahu Pasha dulu," kata Tesa tergesa-gesa menuju telepon. Tapi sampai lama dibiar-kannya pesawat itu berdering, namun sia-sia. Tak ada yang mengangkat.
"Barangkali dia sudah di jalan mau kemari," kata Tesa ketika kembali ke dapur dengan lesu. Tapi aku ikut kalian saja. Biar aku tinggalkan pesan baginya, supaya segera menyusul ke ru- i mah sakit" Namun betapa terkejutnya Tesa ketika mereka melangkah ke dalam lorong, lalu mengintai
dari jendela kaca. Ternyata Pasha sudah berada di dalam kamar gawat darurat, tengah sibuk membincangkan beberapa buah gambar ront-gen! Pasti dia bukannya sedang dinas jaga, pikir Tesa. Sebab hari ini kan mereka sudah punya rencana mau ke kebun binatang! "Sayang kita enggak boleh masuk!" tukas Sabita dengan kesal. "Aku ingin melihat dari dekat bagaimana keadaannya!"
"Itu memang sudah peraturan," kata Nopi yang selalu menerima keadaan apa adanya.
"Mungkin takut kita nanti menularkan kuman"
"Kan bisa pakai baju steril seperti Pasha itu!" . cetus Atina yang juga mengkal.
"Tunggu saja apa kata Pasha kalau dia nanti keluar!" kata Nopi seakan mau menyabarkan.
Tapi yang ditunggu justru tidak keluar-keluar. Pasha memang tidak tahu bahwa teman-temannya sedang menantinya. Seorang perawat yang muncul dari dalam kamar segera disan-dera oleh Nopi dengan senyumnya yang cukup menawan para makhluk halus yang kesepian.
"Suster, kenapa kami tidak boleh masuk" Giliran satu-satu kan bisa""
"Tidak bisa!" sahut perawat dengan bengis "Tuan Solem pun sebenarnya tidak boleh masuk. Tapi sang pasien terus-menerus meracau
memanggilnya, jadi terpaksa diizinkan!"
Ketika Pasha muncul di luar kamar, yang pertama-tama dilihatnya adalah wajah Tesa yang pucat. Dia segera menghampiri dan me-meluknya, lalu mengajaknya duduk. Yang lain mengikuti seperti anak ayam takut kehilangan induk.
"Sorry, Tes, rencana kita ke kebun binatang batal!"
Tesa menggeleng. "Bagaimana keadaannya"" bisiknya
dengan bibir gemetar. Pasha juga menggeleng sambil menarik napas. "Cukup parah." Lalu dia bungkam.
"Parah bagaimana"" Sabita menegaskan dengan rasa tidak puas.
Pasha kembali cuma menggeleng. Air muka-nya keruh sekali. Tesa menatapnya dan tiba-tiba dilihatnya setetes air bening bergayut di sudut matanya. Pasha menangis! Oh, kalau begitu pasti keadaan Pika sangat gawat!
"Apakah dia akan..."" Sabita tak mampu meneruskan.
Pasha lagi-lagi menggeleng. "Tak tahulah aku," keluhnya penuh kepedihan.
Kecelakaan itu ternyata amat hebat dan ber-buntut panjang. Michael pincang kakinya dan narus memakai penyangga, entah untuk berapa
lama. Pika memang akhirnya bisa selamat dari maut, namun pukulan yang fatal dialami oleh Tesa!
Pasha sengaja mengajaknya ke tempatnya agar mereka bisa bicara tanpa gangguan teman-teman. Tesa dibuatkannya kue dadar kesukaan-nya. Tapi gadis itu cuma berhasil menelan se-potong. Mungkin hatinya terlalu risau. Mungkin juga hati Pasha yang risau, sehingga adonannya kurang gurih.
Dengan telaten dilayaninya kekasihnya makan-minum seakan itu .perjamuan mereka yang penghabisan. Pasha bolak-balik ke dapur belasan kali seolah mau memperpanjang saat di mana dia harus membuka kartu, menuang ke-benaran. Tesa bangkit membawa gelas. "Kau mau apa"" "Mau mengambil air lagi." "Biar aku yang ambilkan!" Dengan sigap di-rebutnya gelas itu sampai Tesa keheranan. "Enggak sari-sarinya kau seperti orang edan kerepotan begitu!" Tapi Pasha tidak menanggapi seakan tidak mendengar. Ketika gelas diserahkan, Tesa me* numpahkannya sedikit ke atas pakaiannya.
"Wah, aku kelupaan bawa saputangan!" ke-luhnya. "Di mana tisumu"" "Aku ambilkan!" Dan Pasha pun kembali ke belakang setengah berlari. Tesa mengerutkan kening sambil menggeleng. Rupanya dia mau
menebus rasa kangennya sejak sebulan merawat Pika, pikirnya tersenyum. Setelah akhirnya tak ada lagi yang bisa dikerjakan, dengan ngeri Pasha terpaksa menjatuhkan diri di samping Tesa. Sofa panjang itu ter-kadang digunakan sebagai tempat tidur kalau ada temannya menginap. Biasanya mereka du-duk berimpitan, namun kini Pasha agak menjauh beberapa be las senti.
Setelah menahan napas dan mengeluh panjang-pendek dalam hati, akhirnya saat itu pun tiba.
Tesa termangu mendengarkannya seakan kurang percaya atau bahkan tidak mengerti. Pasha mengulangi seolah mau meyakinkan dirinya bahwa dia tidak salah bicara.
"Pika sekarang lumpuh, Tes. Dia perlu pera-watan jangka panjang. Dan...
dia memohon agar aku sudi kembali padanya. Dia ingin dirawat olehku!"
Seakan tersadar dari mimpi, Tesa menatap Pasha dengan mata berapi. "Tapi
dia sendiri tak pernah mau merawatmu waktu kau membutuhkannya!"
"Aku tahu," sahut Pasha dengan nada sabar. "Tapi aku enggak tega untuk menolaknya."
Bukankah dia sudah mencampakkan eng-kau"l"
"Aku tahu." "Ke mana Michael""
Dia sendiri Juga butuh pertolongan, jadi
na mungkin merawat Pika. Saat ini dia sedang beristirahat di rumah orangtuanya, aku dengar."
"Apa... apakah mereka sudah putus""
"Aku rasa, ya." Pasha menghela napas. Ah, susahnya membuat Tesa mongerti.
"Karena itu dia minta kau kembali padanya!" "Aku rasa... begitu."
Mereka diam. Setelah lewat lima menit, akhirnya Pasha tak sanggup lagi disiksa seperti itu. Dia tidak bisa menyaksikan Tesa diam bengong seperti orang hampir tersambar petir. Lebih ce-pat dia berlalu, lebih baik bagi mereka, pikirnya. Kalau memang sudah kemauan Tuhan, tak bisa dielakkan.
Disentuhnya lengan Tesa. "Tes, sudilah me-ngerti. Aku kasihan padanya. Kalau kau melihat dia, pasti kau pun akan jatuh kasihan juga."
Tesa menoleh serta menatapnya. "Apa kau masih mencintainya""
Pasha menggeleng. "Aku tak mau menyakiti hatimu dengan jawaban apa pun. Kalau aku bilang ya, kau pasti cemburu dan kesal. Kalau aku bilang tidak, kau juga akan marah serta penasaran. Kedua keadaan itu akan membuat kau tidak bahagia. Bila kau tahu aku tidak mencintainya lagi, mungkin kau akan menunggu aku terus, menunggu sesuatu yang takkan pernah bisa terjadi lagi. Kau akan menghancurkan masa depanmu. Tidak, Tes! Itu tak boleh kaulakukan!"
Tesa menggertakkan geraham. Sungguh dia
enyesal suda h melibatkan diri dengan pemuda itu. Kenapa dia pacaran lagi"! Bukankah sudah diketahuihya bahwa hal itu selalu meruwet-kan hidupnya"! Siapa pun "di atas sana" rupanya tidak suka melihatnya bahagia.
Ditatapnya Pasha dengan menantang. "Lantas, apa yang boleh kulakukan""
"Bereskanlah sekolahmu secepatnya. Kalau tidak salah ingat, tinggal empat bulan lagi, bukan" Setelah itu, pulanglah ke Jakarta! Lupakan-lah aku!" Pasha mengepalkan tinjunya erat-erat seakan kesal sekali menghadapi keadaan dirinya yang tak berdaya.
Lebih gampang disebut daripada dilakukan, pikir Tesa sinis. Pasha seolah tercabik hatinya melihat gadis itu termangu seakan hilang akal. Seandainya dia mau meraung atau ngamuk, ah, itu lebih baik, pikirnya. Tapi Tesa cuma diam saja menatap karpet. Matanya kering. Bibirnya terkunci rapat.
Pasha tidak tahan melihat keadaannya seperti itu. Diraihnya gadis itu ke dalam pelukannya. Dan Tesa tidak melawan maupun menyambut. Dia sungguh seperti orang hilang pikiran!
"Tes, janganlah putus harapan, Sayang. Memang beginilah dunia. Hidup ini cuma pang-gung sandiwara. Dan lakonnya kebanyakan tra-gis. Manusia yang
kurang beruntung seperti kita berdua, lebih banyak jumlahnya daripada mereka yang bahagia. Tapi percayalah, Tuh
itu maha pengasih. Kesengsaraan kita takkan kekal... "
"Ya, betul!" Tiba-tiba terdengar suara Tesa dalam pelukannya. "Ambil saja pisau...!"
"Tesa!" Pasha terpana mendengar pikiran gadis itu. Apa yang ditakutkannya rupanya memang benar. Tesa berdiam diri saja dan itu lebih berbahaya daripada bila dia ngamuk serta marah. Orang yang tidak bisa melampiaskan kekesalan hatinya biasanya makan di dalam. Itu tak boleh terjadi pada gadis yang dicintainya.
"Sekali pikiran itu tak boleh kaubiarkan mera-suki kepalamu! Aku melarangnya!"
"Apa kau masih punya hak untuk melarang aku"" tanya Tesa mencibir, lalu tiba-tiba dia melepaskan diri dan menyingkir ke pojok sofa.
"Tes, percayalah pada suatu hari kau pasti akan bahagia. Sekarang kau memang marah, penasaran, dan patah hati. Tapi kelak bila kau telah menemukan tambatan hati yang baru, pasti kau akan bersyukur, kita tidak jadi melang-sungkan hubungan ini. Kau akan tahu, aku memang tidak pantas bagimu. Aku sama sekali tidak pantas menerima cintamu yang tulus. Lupakanlah aku.... "
Tesa menatapnya dengan tajam. Pelan-pelan. matanya berlinang. Bibirnya menggeletar. "Ha-ruskah... haruskah... kau kembali padanya"" bisiknya hampir tak terdengar.
Pasha menguatkan hati dan mengangguk. "Ya. Aku tak bisa menelantarkan orang yang
sudah mempercayakan hidupnya di tanganku.
Ingatlah, Tes, aku ini calon dokter. Masa depan-ku sedang mengalami ujian yang berat saat ini. Kalau aku gagal, berarti aku takkan dapat menjadi dokter yang baik bagi mereka yang butuh pertolongan. Dokter harus berani berkorban paling banyak. Cobalah mengerti, Tes."
"Kenapa harus aku sendiri yang mengerti" Kenapa dia tidak"! Kenapa cuma kau dan aku yang mesti berkorban"! Tidak adil! Sungguh tidak adil! Seharusnya dia tidak meminta itu dari J engkau! Kan bisa saja dia mencari perawat seperti yang dilakukannya dulu bagimu"! Dia tidak punya perasaan! Dia sungguh tidak berpe-rasaan!" Lalu tiba-tiba Tesa terguguk menangis. Ditutupinya wajahnya dengan tangan dan dari sela-sela jarinya air mata turun tak henti-henti. Napasnya tersendat-sendat.
Pelan dan lembut Pasha mengurai kedua ta-ngannya, lalu disusutnya mata serta kedua pip! dengan saputangannya. Dipeluknya kembali gadis itu sampai tangisnya reda.
"Nah," katanya akhirnya sambil menatap Tesa dari jarak selengan. "Sekarang perasaanmu sudah sedikit lega, bukan" Marilah aku antarkan pulang."
"Tak usah! Aku bisa pulang sendiri!" Tesa mengibaskan tangannya dan berdiri. Tanpa membuang waktu lagi disambarnya tasnya dari meja, lalu berlari ke pintu, membukanya, dan menghilang.
menutup pintu, bersandar di belakang-
Bab 12 "Aku sekarang berada di airport! Apa kau betul-betul tak mau mengubah kembali pendirian-mu""
"Kenapa membuang waktu, Far" Lebih baik kau lekas pergi ke ruang tunggu, nanti keting-galan -planel"
"Jadi, kau... betul-betul keras kepala"!" Suara di seberang sana
bukan main kesal kedengaran-nya.
"Selamat jalan, Goffar!" Lalu Tesa meletakkan kembali pesawat telepon. Ketika diangkatnya mukanya, tahu-tahu didapatinya Bos sedang membungkuk di depannya. Kedua tangannya bertumpu di atas meja, sementara dasinya terjuntai di hadapannya bergoyang-goyang. Lirik-annya menyengat sekali ketika dia bertanya, 'SiaPa sih Pak Goffar itu""
Seorang pembohong!" cetus Tesa tanpa di-Pikir lagi.
Rupanya kau sudah dibohongi oleh-tukas Bos dengan senyum penuh arti.
"Kau tampak kesal sekali. Bagaimana kalau nanti malam kita makan bersama""
"Terima kasih. Tapi sebaiknya Bapak makan bersama istri saja di rumah!" "Lho! Aku belum punya istri!" bantah Bos setengah membelalak. "Apakah Bapak juga mau disebut pembo-hong""
"Lho! Lho! Lho! Nanti aku mintakan surat keterangan masih bujangan dari lurahku kalau kau tidak percaya!"
"Tak usahlah, Pak. Saya percaya sekarang." "Makan malam itu jadi, ya""
"Jangan sekarang, Pak. Kepala saya pusing, pikiran masih kalut."
"Baiklah. Tapi lain kali tak boleh ada alasan lagi!" kata Bos seraya memutar badan kembali ke dalam ruangannya.
Tesa menarik napas lega. "Huh! Susah kalau dapat majikan yang masih bujangan seperti itu, pikirnya. Hampir setiap minggu ada saja tawar-an yang enggak-enggak. Makan malamlah, non-ton bioskoplah, mancing ke Pulau Bidadari-lah, atau m enema ni dinas ke luar kota! Bah kan ke luar negeri juga! Untung sejauh itu dia masih bisa mengelak.
"Pak, saya tidak bisa ke luar kota, Ibu sedang sakit!"
"Pak, saya tidak sabaran mancing-mancing, lebih baik beli saja di Pasar I kan! Langsung dipanggang atau digoreng!"
Pak, saya lebih suka melihat video saja di rumah daripada mesti dandan untuk ke bios* kop! Belum lagi bau rokoknya! Dan minta ampun WC-nya!"
Bagi Tesa itu cuma sekadar alasan. Tapi aki-bataya, Bos hampir saja membeli pesawat TV dan video untuk dinikmati sehabis jam kantor! Untung Pak Tambua yang ditugaskan mencari info soal tipe, keburu memberi bisikan pada Tesa. Gadis itu kemudian mencari kesempatan untuk menyindir Bos, jangan sampai hilang wi-bawa atau disebut sinting!
"Saya sih segan dimanja oleh Bos seperti se-orang kawan saya. Lebih baik minta berhenti saja!" tukasnya ketika mereka sedang makan siang berdua di kantin.
"Lho, dimanja kok enggak mau"! Kamu in! spesies dari bulan, apa"!"
"Habis! Pikir saja oleh Bapak. Pegawai yang dimanja oleh atasan itu pasti akan dijauhi dan disindir-sindir sama rekan-rekan lain. Mana enak kerja dalam suasana begitu""
Rupanya Bos termakan juga oleh "perumpa-maan" yang mirip ancaman itu. Video tidak jadi dibeli. Dia juga tidak begitu gencar lagi melan-carkan manuver-lewat-jam-kantor-nya.
Tesa tersenyum scndirian. Sudah hampir tiga tahun dia betah jadi sekretaris presdir. Dan sudah setahun dia axnan dari manuver. Rupanya mendengar suaranya yang tegas di telepon ba-rusan, Bos kembali angot sintingnya. Biarlah.
Toh dia tahu, Bos takkan memaksa. Dia pasti khawatir nanti karyawati kesavungannya itu akan kabur. Bos pernah bilang, dia bersedia menunggu sampai kapan saja atau... sampai Tesa disambar orang lain") Hiii! Takkan pernah, pikirnya togas.
Sejak dia kembali dari Perth tiga tahun yang lalu, dia sudah bertekad tak mau lagi terlibat cinta. Cuma bikin ruwet pikiran. Ujung-ujung-nya toh sama saja: putus! Mungkin sudah nasib-nya mesti membujang seumur hidup. Dan untuk seorang wanita zaman kini, itu sama sekali tidak tragis. Malah lebih enak, hidup jadi tak banyak cincong.
Beragam alasannya kenapa dia menolak Goffar yang merengek minta visa masuk lagi ke hatinya. Salah satunya adalah itu: dia tak mau lagi terlibat cinta!
Ketika dia baru saja kembali dari Australia, ibunya sudah memperingatkan, "Awas dengan Goffar. Begitu tahu kau sudah balik, dia pasti akan terus mengganggumu! Selama ini barang-kali sudah sepuluh kali dia minta-minta alamat-mu di Perth. Katanya mau ketemu. Tapi tidak Ma mi berikan."
Betul saja dugaan ibunya. Telepon mulai sering berdering. Goffar rupanya tidak takut membayar rekening. Terkadang sehari sampai lima kali. Walaupun dibilang baru saja masuk ke kamar mandi dia ngotot mau menunggu.
Katanya, khawa tir nanti ditinggat pergi oleh Tesa kalau pesawat dimattkan.
Tesa terpaksa melayani bicara. Tapi sejak se-mula dia sudah menyatakan dengan togas bahwa jembatan mereka sudah musnah tcrbakar. Sampai kiamat pun dia takkan mau kembali atau menginginkan Goffar balik padanya.
"Kewajibanmu sekarang adalah Shakira!"
"Aku harus menemui engkau," tuntut Goffar berkeras. "Kalau kita sudah ketemu, pendirian-mu pasti akan berubah!"
Tesa minta ampun dalam hati. Betapa tak tahu ma I u nya pria ini, pikirnya. Seberapa ganteng pun dia dulu misalnya, kini bagi nya masih lebih menarik penghuni Ragunan di Pasar Minggu!
ii Mula-mula Tesa tak mau ketemu. Tapi Goffar terus menteror dengan telepon. Seisi rumah jadi kebisingan. Ayahnya mengomel terus setiap kali pesawat berdering walaupun belum tahu itu dari siapa. Ibunya malah sampai melonjak kaget sambil mengawasi pesawat tanpa berkutik. Tesa sadar, mereka semua sudah kena perang saraf.
Demi ketenteraman rumah, dan sckalian mc-nyadarkan Goffar bahwa masa lalu itu tak pernah kembali, maka dia setuju untuk bertcmu. Goffar berusaha meyakinkan gadis itu, betapa kelirunya dia mengawini Shakira, betapa masih dicintainya Tesa, betapa rindunya dia ingin me-nyambung kembali tali yang sudah putus, betapa... masih puluhan "betapa" lagi.
Namun dengan tenang Tesa mengabaikan semua itu. "Masa lalu kita sudah terkubur, Far!"
Pengaruh Goffar padanya sudah tak bersisa. Laki-laki itu memukul-mukul dada, menangis, menjerit, memaksa, mengancam, namun Tesa tetap tak bergeming. "Apa yang sudah dikubur, takkan pernah bisa kembali! Walaupun kau me-neteskan air mata darah!"
Ketika dia pulang sendirian dengan mobilnya yang second-hand, perasaan Tesa campur aduk. Senang sekaligus sedih. Hatinya senang, sebab ternyata dia sudah bisa melepaskan diri dari Goffar. Hatinya yang dulu patah, kini sudah terpaut lagi. Namun dia sedih juga bila teringat kemungkinan manis yang dulu pernah diharap-kan. Ah, seandainya tak ada halangan, entah seperti apa hidup mereka berdua kini!
Setelah pertemuan itu tak membawa hasil, Goffar mulai memaksa lewat jalan lain. Karena Tesa sudah bilang, dia tak mau lagi menerima telepon, maka laki-laki itu mulai mengirimkan surat kilat khusus. Lagaknya melebihi anak puber yang dilanda cinta monyet.
"Kalau kau tak mau kembali padaku, aku akan bunuh diri!" tulisnya suatu
kali. Tesa mengembalikan surat itu tanpa komen-tar. Dia masih ingat untuk mengirimkannya ke alamat kantor, agar rumah tangga Goffar jangan kalut Entah bagaimana reaksi Shakira seandainya dia sampai tahu!
"Kalau kau tak mau kembali padaku, akan
kubunuh istri dan anak-anakku!"
Surat itu juga diriturnya. Tapi susulannya datang makin gencar. Akhirnya Tesa tak mau lagi payah-payah mengembalikan. Robek saja, ma-sukkan tong sampah! Beres. Buat apa buang uang untuk melayani orang gila, pikirnya.
Semua ancaman itu ternyata memang cuma gertak belaka. Tak pernah dilaksanakan. Hanya yang terakhir ini rupanya dijalankan juga. Goffar mengancam akan pergi meninggalkan keluarganya. Katanya, dia mau ke Amerika dan takkan pulang kembali. Katanya, pada istri dan orangtua dia bilang mau sekolah lagi. Tapi Tesa menduga, dia cuma ingin menghambur-hambur-kan uang istri di luar negeri. Kalau sudah bang-krut, dia pasti akan kembali sendiri mengemis lagi pada Shakira.
Ternyata sangkaannya itu betul. Lima bulan setelah kepergian Goffar, istrinya menelepon Tesa nangis-nangis minta dia datang ke rumah-nya. Semula Tesa tidak mau. Sejak pulang dari Perth, dia belum pernah ketemu Shakira. Rasa-nya segan. Apalagi disuruh main ke tempatnya. Tapi Shakira mendesak. Katanya dia butuh sekali pertolongan untuk membawa anaknya ke rumah sakit.
Mendefigar itu, hati Tesa tergerak. Rasanya tidak tega membiarkan teman dalam kesusahan.
"Baiklah nanti sore aku datang," janjinya.
"Sekarang!" Shakira seakan menuntut."Mana bisa, Shak. Sekarang kan jam kantor. Sabarlah, tak lama lagi juga sore. Aku akan segera berangkat jam setengah lima nanti."
Shakira memang menelepon ke kantor. Se-mula dia mengebel ke rumah. Oleh ibu Tesa dia diberitahu bahwa Tesa ada di kantor. Shakira mendesak minta
nomor telepon kantor dengan alasan ada urusan yang mahapenting. Sebenar-nya ibu Tesa segan memberikan, tapi Shakira pandai membujuk. Selain itu, Tesa memang tak pernah memesan agar nomor telepon kantornya dirahasiakan.
"Anakku sudah payah, Tes. Sudah tiga hari berak-berak. Rasanya kolera," kata Shakira di antara sedu sedan. "Kalau ditunggu sampai sore, pasti terlambat. Kalau dia sampai huk... huk... huk... mati, gimana" Apa kau mau me-nanggung dosanya"!"
Tesa berkeringat dingin. Digigitnya bibirnya. Temannya itu memang pintar bicara. Siapa sih yang mau menanggung dosa seperti itu"! Tapi kenapa Shakira tak bisa membawanya sendiri ke rumah sakit"! "Kenapa tidak kaubawa sendiri, Shak"" "Anakku yang besar sedang sakit, Tes. Eng-gak bisa ditinggal. Aku enggak punya pemban-tu. Juga enggak... punya... uang..."
Aduh. Sungguh tidak sampai hati Tesa men-dengar kesulitan Shakira yang bertubi-tubi. Dia jadi serba salah. Meninggalkan kantor berarti
226 kurang disiplin. Tapi membiarkan Shakira tanpa pertolongan rasanya keterlaluan.
"Baiklah, Shak," katanya akhirnya setelah ber-perang batin beberapa saat. "Aku akan meno-longmu. Barangkali abang atau adikku ada di rumah dan bisa aku mintai bantuan. Kalau enggak, terpaksa aku sendiri nanti yang datang. Tenanglah, ya." "Oh, terima kasih, Tes. Kau sungguh baik...." Tesa menutup telepon pelan-pelan, segan mendengarkan ucapan terima kasih dari orang yang pernah menghancurkan hatinya. Kemudian diteleponnya rumahnya. "Mam, apa Markus ada di rumah"" "Abangmu kan tugas di puskesmas hari ini, Tes. Ada apa"" "Kalau Daniel""
"Barusan pergi dijemput teman-temannya. Katanya mau berenang. Ada apa sih tumben-tumbenan mencari mereka saat begini"!"
"Enggak ada apa-apa. Cuma ini, Shakira perlu bantuan.... "
"0, ya, tadi memang dia menelepon kemari." "Saya tahu. Sudah ya, Mam. Saya lagi sibuk, nih."
Tesa terpaksa minta izin dari Bos untuk ke-luar sebentar. Mobilnya dikebut agar lekas sampai. Menilik suara Shakira di telepon, pastilah anak itu sudah hampir sekarat. Dan dugaannya ternyata benar.
Anak itu kurus, pucat, dan setengah tidak
sadar. Dia terbaring di ranjang di antara kain-
kain lapuk yang rupanya sudah lama tak pernah dicuci. Baunya bukan main. Shakira sendiri
tidak lebih mending keadaannya. Tesa sampai keheranan dan hampir-hampir tak bisa menge-nali lagi temannya dulu itu. Begitu cepatnya kecantikan
seseorang pudar direnggut derita, pi-kirnya penuh kasihan. Badan Shakira sudah ku-rus, tak terawat Rambutnya kusam terburai-burai belum disisir, mukanya penuh lemak be-lum dicuci. Dia pasti belum mandi, pikirnya. Kemudian dia tahu sebabnya.
"Umur berapa anak ini, Shak""
"Setahun lebih."
Tesa lupa menegaskan lebihnya berapa, tidak tahu bahwa di rumah sakit mereka akan melit sekali mau tahu lebih berapa bulan
"Kalau betul kolera, mestinya kakaknya ja-ngan dibaringkan di ranjang yang sama," kata Tesa menunjuk anak laki-laki yang tengah mengawasi begitu apatis dari sudut ranjang, de-ngan matanya yang cekung.
Kalau dihitung-hitung, mestinya anak itu sudah hampir tujuh tahun atau bahkan lebih. Ke-tika dia berangkat ke Perth, Shakira sudah ha-mil. Dia memang sudah mengandung sebelum pernikahan. Tapi anak suluhgnya kelihatan se-perti balita. Gizinya buruk sekali. Kenapa begitu" pikir Tesa heran. Bukankah Shakira itu anak orang kaya"! Bukankah karena itu maka Goffar jadi kepincuk padanya"! Tesa yang miskin mana ada harapan untuk bersaing! Kan begitu sindir Shakira dulu pada seorang teman mereka yang menyampaikannya lagi padanya.
"Ranjang anak-anak sudah aku jual. Terpaksa kami tidur bertiga di ranjangku ini."
"Tapi dia bisa ketularan."
"Dia sudah ketularan," sahut Shakira pasrah. "Cuma enggak segawat adiknya."
Tesa tidak suka mendengar nada suara Shakira yang begitu memelas. Dia ingin cepat-cepat berlalu dari situ.
"Sebaiknya anak ini diseka dulu dengan lap hangat sebelum aku bawa," kata Tesa yang se-benarnya merasa jijik melihat kotornya anak itu serta mencium baunya yang amis. Sejak tadi dia memaksakan diri jangan sampai muntah.
"Aku tak punya uang untuk beli air, Tes," keluh Shakira. "Masih ada sisa sepan
ci, cuma untuk minum.... "
"Kau tak punya pompa""
"Pompa listrik sudah lama rusak. Goffar enggak mau membetulkan. Oh! Dia tak mau meng-urus apa pun. Yang diingatnya cuma..." Shakira menghentikan bicaranya seakan takut telanjur. Tapi tangannya yang terkepal dan matanya yang mendelik ketika menatap Tesa membuat gadis itu paham apa kelanjutan kata-katanya.
"Kalau aku tak salah lihat tadi, di halaman depan ada pompa tangan, bukan" Apa itu juga sudah macet""
"Aku tak kuat memompanya, Tes," keluh Shakira menunduk.
Oooh! Dasar anak orang kaya, pikir Tesa. geregetan. Memompa air pun tak mau! Padahal keadaan sudah gawat. Tapi ketika diperhatikan-nya Shakira sekali lagi diam-diam, Tesa meng-hela napas. Barangkali dia tidak berdusta. 6a-dannya yang kurang makan itu pasti sudah tak punya tenaga untuk kerja seberat itu.
Dia menyesal tadi begitu terburu-buru se-hingga kelupaan membeli makan an. Tapi dia sungguh tidak menyangka bahwa keadaan Shakira sudah begini fatal.
Anak yang sakit berat itu jelas mesti dibawa ke rumah sakit dengan segera. Tapi anehnya, Shakira tidak kelihatan terburu-buru.
"Baiklah kalau tak ada air, cukup diganti saja pakaiannya. Aku rasa yang ini sudah penuh kotoran. Aku tunggu di luar, ya."
Tesa melangkah ke ruang depan tanpa menunggu reaksi Shakira sebab dia sudah tak tahan dengan bau kamar tidur itu. Setiba di depan, barulah dia berani menarik napas dalam-dalam, lalu menjatuhkan diri ke atas kursi yang, kelihatan sudah tak terawat, walaupun benda itu dulu pasti termasuk mahal.
Ketika dia menoleh mendengar langkah, be-tapa terkejutnya dia melihat Shakira di bela-kangnya. Ternyata perempuan itu telah meng-ikutinya keluar dan kini berdiri di depannya. Sebelum dia mengerti apa yang terjadi, tiba-tiba
Shakira sudah menudingnya dan suaranya penuh dendam.
"Ini semua gara-garamu! Coba kau mau me-nerima kehendak Goffar, dia pasti takkan pergi ke luar negeri! Aku rela dimadu atau diceraikan asal dia tetap di sini. Dalam keadaan begini, aku pasti masih bisa minta bantuannya! Tapi gara-gara kau sok jual mahal dia sekarang pergi!!! Kau kini yang harus menanggung semua biaya perawatan anakku! Hu... huk... huk... kalau dia sampai mati, aku bunuh kau!" Shakira menangis tersedu-sedu.
Tesa tercengang mendengar tuduhan itu, sehingga dia tidak sanggup menanggapi. Dia duduk terpaku, diam membisu seperti boneka batu. Suara tangis Shakira makin rawan me-nusuk telinga. Ketika perempuan itu tiba-tiba jatuh mendeprok di lantai, barulah Tesa seakan terjaga dari mimpi yang kelewat buruk. Dia tidak tahu apakah Shakira hampir pingsan atau-kah sengaja menjatuhkan diri. Dalam kagetnya dia tergesa-gesa bangkit dari kursi, lalu meng-hampiri. Palutan baju lusuh yang apak baunya itu dipeluknya sambil bibirnya mengucapkan kata-kata hiburan tanpa disadarinya.
"Sudahlah, Shak. Kuatkan hatimu. Tenanglah. Pikirkan anak-anakmu yang sedang sakit. Aku pasti akan membantumu sekuat tenagaku. Lu-pakan dulu hal-hal lain."
"Oh, Tes, maafkan aku. Maafkan kata-kataku barusan." Tesa mengangguk.
"Kau mau memaafkan, bukan" Kau tela me-maafkan aku, bukan" Aku benar-benar enggak sengaja menyakiti hatimu. Itu cuma luapan perasaan_" Shakira menatapnya dari balik air mata.
Tesa mengangguk. "Aku tahu," katanya pelan. "Oh, Tes, seandainya saja kau sudi menerima Goffar kembali..."
"Itu tidak mungkin, Shak. Lebih baik seka-rang secepatnya aku bawa anakmu...," kata Tesa mengalihkan percakapan. Dia sebenarnya sangat khawatir akan keadaan anak yang sudah pucat kebiruan itu. Tapi ibunya seakan tidak mendengar.
"Kenapa, Tes" Karena kau tak mau menyakiti hatiku" Itukah alasanmu" Tidak mengertikah engkau, dengan penolakanmu itu kau telah lebih menyakiti aku dan anak-anakku" Akibat buruknya akulah yang mesti menanggung! Kau sih enak saja, bebas, gembira!"
"Shakira, kalau kau mau terus mengungkit-ungkit peristiwa itu, sebaiknya aku pergi saja sekarang!" ancam Tesa yang akhirnya menjadi kesal dan hilang sabar.
"Jangan, Tes! Kau rela menjadi pembunuh anakku"" Shakira menatapnya dengan mata membara, dan Tesa melengos, tak mau mela-deni.
"Aku cuma kesal, Tes. Aku tahu kau menolak G
offar hanya lantaran kau sombong! Ya, kau
mau menunjukkan, kau tak perlu cintanya lagi! Kau bisa hidup tanpa dia! Maaf, Tes, aku terpaksa meluapkan semua ini supaya hatiku le-
"Shak, di mana ibumu"" tanya Tesa dengan sisa kesabaran yang tipis dan tekad untuk mengalihkan pembicaraan.
Tiba-tiba meledak lagi tangis Shakira. Lebih merawankan dari tadi. Dadanya turun-naik, na-pasnya tertahan-tahan.
"Dia... dia... sudah lama meninggal! lima ta-hun yang lalu!"
"Oh! Dan ayahmu""
"Dia sudah kawin lagit Oh, Tes, kalau ibuku masih ada, pasti aku takkan sengsara kayak
beginil" keluhnya sambil menyusut mata. "Kenapa kau tidak minta bantuan pada ayahmu""
Tapi Shakira kembali tersedu sedan lebih he-bat lagi, sehingga Tesa khawatir takkan berhenti sebelum kiamat.
"Man pindah ke kursi," katanya sambil meng-angkat Shakira setengah dipaksa dan membim-bingnya ke kursi.
Tangisnya kini agak mereda. Diangkatnya se-dikit ujung roknya, lalu dibersitnya ingusnya. Tesa menunduk sebab tidak tahan melihat pe-mandangan itu. Rasanya daging rendang yang tadi siang dimakannya sudah bersiap di ulu hati mau melejit keluar.
Shakira menghentikan tangisnya, lalu memandang Tesa. Matanya yang merah dan sembap tidak membuat wajahnya yang kumuh sedikit lebih menarik. Kebalikannya malah.
"Tes, maukah kau mendengar kisah riwayat hidupku""
"Lain kali, Shak. Sekarang yang penting, anakmu dulu!"
"Tidak!" Shakira menggeleng. "Sebaiknya sekarang saja. Aku harus menceritakannya pada-mu! Kalau kau sudah mendengar betapa besar kesengsaraanku, barangkali kau akan rela meng-ampuni semua dosaku padamu!"
"Sudah kuampuni, Shak. Biarlah kubawa anakmu sekarang juga!"
Tesa sibuk setengah mati ingin segera berlalu. Tentu saja dia tak mau menanggung dosanya seandainya kelak terjadi apa-apa dengan si sakit
Tapi Shakira tak bisa dibantah. Sejak dulu dia memang selalu mesti dituruti kemauannya. Maklum anak tunggal dari orangtua kaya! Ka-rena tak ada jalan
lain, terpaksa Tesa duduk siap mendengarkan. Pikirnya, makin cepat di-mulai makin baik, agar tidak terlalu banyak waktu terbuang percuma. "Tes, ayahku sejak semula memang tidak me-nyetujui perkawinanku. Katanya Goffar itu pemalas dan kawin cuma karena harta ayahku. Sayang aku tidak mau percaya dan baru me-nyadari sekarang setelah terlambat. Waktu ibu-ku masih ada, keadaan kami lumayan, sebab
ibuku diam-diam selalu memberi sumbangan. Kami tidak sampai kekurangan. Tapi setelah Ibu meninggal dan ayahku kawin lagi, sokongan pun berhenti. Setiap kali aku minta bantuan, ayahku malah mengejek. Ibu tiriku juga ikut-ikutan mencemooh. Akhirnya aku tak pernah datang lagi. Habis percuma. Uang tak dapat, tapi aku malah dihina oleh mereka. Kerja Goffar memang tak tentu. Dia keluar-masuk kantor te-rus. Sebentar-sebentar berhenti, lalu pindah lagi. Alasannya selalu sama, gaji kurang. Habis, dia tak punya kepandaian khusus, masa mau meng-harapkan gaji besar" Dia marah kalau aku kritik begitu. Dan sejak tahu, kekayaan ayahku takkan jatuh ke tanganku, dia mulai kasar padaku sejta anak-anak juga. Intan berlian peninggalan ibuku satu per satu dijualnya. Uangnya cuma sebagian saja diserahkannya padaku, sebagian besar dipergunakannya sendiri untuk foya-foya. Dia malah pernah punya pacar. Perempuan itu begitu kurang ajarnya sampai berani datang ke sini, mencarinya!
"Setelah perhiasan tak bersisa lagi, deposito ibuku mulai digerogoti. Terakhir, dikurasnya semua untuk dibawa ke luar negeri! Sekarang aku tak punya duit sepeser pun! Hadiah-hadiah kawin satu per satu aku tawarkan ke tetangga. Cangkir-cangkir, piring-piring mahal... paling laku tiga ribu, lima ribu, padahal harga sebenar-nya tiga-empat kali lipat. Mereka tahu aku bu-tuh, mereka sengaja menekanku. Mereka ber-
agak tak memerlukan barang-barang itu, pada-hal aku lihat mata mereka hijau kesenangan! Yah! Sekadar untuk menangsel perut. Kalau
hadiah-hadiah itu pun sudah habis, en tan gi-mana lagi nasib kami nanti!" Shakira mengeluh panjang seperti lokomotif kereta api dalam per-jalanannya yang terakhir.
Tesa melongo mendengar kisah itu, sampai dia terlupa bahwa dia tak boleh lama-lama di situ.
"Kau mau aku carikan kerjaan"" tanyanya se-saat kemudian ketika semangatnya sudah ter-kumpul lagi.
"Aku tak bisa meninggalkan anak-anak!" ke-luh Shakira dengan suara fatal.
"Kalau ada pembantu, tentu kau bisa meninggalkan mereka. Mau aku carikan pembantu""
"Tapi aku bisa kerja apa, Tes" Ijazahku cuma SMA doang. Belajar ngetik, aku malas. Tata bu-ku dan akuntansi memang kelemahanku sejak dulu. Aku pernah duduk di bangku sastra Ing-gris setahun, tapi aku enggak sanggup menerus-kan. Terlalu banyak kata-kata asing yang sukar aku hafalkan!" Shakira menunduk memperhati-kan jari-jari tangannya yang kurus dan keriput.
Tesa diam-diam mengeluh sendiri. Susah juga kalau terlahir sebagai anak orang kaya, namun bernasib paria!
"Kalau begitu sebaiknya kau mencari pekerja-an yang bisa kauselesaikan di rumah!"
"Ah, kerja apa"" keluhnya tanpa minat.
"Hm. Apa, ya"" Tesa berpikir sejenak, lalu ia menepuk dahinya. "Aku tahu! Konveksi! Kau pasti bisa menjahit, bukan" Tetangga bibiku membuka..."
"Tapi aku tak bisa menjahit!" potong Shakira memutuskan harapan Tesa untuk menolongnya. "Aku tak pernah menginjak mesin jahit seumur hidupku! Semua bajuku biasa dibawa ke tukang jahit. Kalau yang robek-robek atau lepas kan-cingnya, itu urusan ibuku. Yah! Memang aku sedikit menyesal kenapa dulu tak mau belajar! Tapi sekarang sudah terlambat!"
"Kenapa terlambat" Kau kan bisa belajar""
"Aku tak punya mesin! Mesin ibuku sudah diambil oleh ibu tiriku!"
Huh! Tesa mengerti tak ada gunanya mem-perpanjang masalah itu. Shakira memang sudah tak mau bekerja. Dasar biasa dimanja, keluhnya dalam hati. Tapi, lantas dari mana mau diper-olehnya uang untuk makanan anak-anaknya"!
"Lalu, rumah ini kausewa""
"Oh, ini diwariskan Ibu padaku. Dulu kan orangtuaku tinggal di sini. Waktu ayahku ka-win lagi, dia pindah ke rumah baru. Rumah ini memang atas nama ibuku. Kami berdua lantas pindah dari rumah kontrak ke sini setelah ibuku tiada."
Masih untung, pikir Tesa. Jadi dia takkan sampai diusir orang ke jalanan. Tega betul ayah-nya menyepak Shakira seperti itu! Walaupun mula-mula perkawinannya tidak disetujui, tapi
setelah ada dua orang cucu, sepantasnya kan
mereka diampuni" pikir Tesa tak mengerti.
"Sebenarnya kenapa sih ayahmu begitu and pada suamimu"" Dia sengaja menggunakan panggilan itu, sebab rasanya tidak sreg untuk menyebut nama.
Shakira menghela napas. Matanya berkilat ta-jam. "Salah Goffar juga, sih!" serunya keki. Ru-panya dia sudah tak mau lagi membela suami.
"Sekali dia memalsukan tanda tangan ayahku di atas cek seharga dua juta! Sudah diampuni. Eh, dilakukannya lagi kedua kali. Lima belas juta! Naik pitamlah ayahku. Dia tidak diakui menantu lagi. Ayahku mengirim surat pada mertuaku, menyatakan putus hubungan. Dan aku disuruh memilih: ayahku atau Goffar. Sial-nya, kenapa aku sampai memilih dia! Jadilah aku pun ikut tidak diakui lagi sebagai anak!"
Tesa terdiam dengan hati kecut. Kiranya begitu sebabnya! Tidak dinyana tidak disangka begitu rendahnya Goffar! Dan dia masih berani-berani merayu serta memaksanya untuk kembali"! Apakah laki-laki itu betul-betul tak punya malu"!
Tesa Karya Marga T di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Yah! Aku perlu biaya banyak, Tes. Untuk membayar utang ke sana-sini. Aku sudah me-nunggak rekening listrik enam bulan! Rumah ini pun rasanya harus aku jual, Tes! Begitu ada yang cocok harganya, pasti aku lepas." "Sudah ada yang menawar"" "Belum. Habis tak ada lagi teman atau kenalan yang datang kemari."
"Kenapa enggak pasang iklan"" "Aku tak punya uang." "Mau aku tolong pasangkan""
Seketika itu Tesa melihat Shakira mau mengangguk. Namun entah kenapa, tahu-tahu dia menggeleng.
"Tanpa iklan, takkan ada orang yang tahu. Sampai kapan rumah ini akan terjual""
"Ah, aku tak mau menyusahkan engkau!"
"Enggak, kok. Aku tinggal minta tolong orang kantor yang biasa mengurus pemasangan iklan-iklan perusahaan kami."
"Ah, nanti aku jadi berutang budi padamu! Belum lagi soal pengobatan anakku nanti.... "
Tesa mengeluh dalam hati. Dalam keadaan kepepet begini masih mau bersombong-sombong!
"Itu gampang diatur, Shak. Nanti kalau rumah ini sudah terjual, kau bisa membayar kembali ongkos pemasangan iklan itu. Bagaimana""
T esa tidak tahu, justru itu yang ditakutkan oleh Shakira! Lama dia terdiam. Tesa menegas-kan dua-tiga kali, tapi dia tetap tidak menyahut. Setelah disepak berulang-ulang, barulah dia ber-sedia buka mulut.
"Berapa... yang akan kauminta nanti""
Tesa tercengang tak mengerti. Jadi dia tak bisa menyahut selain, "Apa maksudmu""
"Kau tahu, dalam jual-beli rumah, perantara selalu mendapat dua persen dari penjual dan
dua persen dari pembeli, tapiii... aku rasanya tak sanggup memberimu lebih dari... ehm... setengah persen!"
"Oh, Shakira!" seru Tesa antara sebal dan ka-sihan. "Aku mau memasangkan iklan itu se-mata-mata untuk menolongmu! Aku tidak ingin menjadi perantara dan kau tak perlu memberi aku sesen pun!"
Barulah sekarang Shakira kelihatan lega dan mau dipasangkan iklan. Tesa bangkit lalu me-ngeluarkan dompet dari tas gantungnya.
"Aku rasa sudah saatnya anakmu kubawa. Kau tentunya perlu uang juga untuk nanti me-nengoknya. Ini lima ribu." Tesa menyodorkan selembar lima ribuan, tapi Shakira menolak.
"Ah, tak usah. Jangan. Aku takkan mene-ngoknya, kok. Aku rasa tidak perlu. Di sana dia akan dirawat dengan cukup baik, bukan" Dan kau nanti mau membawanya pulang kembali, kan""
"Kalau aku sempat, boleh saja. Tapi kau sendiri pasti perlu uang juga untuk sehari-hari. Anakmu yang sulung itu perlu banyak buah-buahan dan obat Ayo, ambillah. Jangan sung-kan."
Tesa menjejalkan uang itu ke telapak tangan Shakira.
"Karena kau begitu memaksa, baiklah!" katanya menghela napas seakan terpaksa. "Tapiii...
kalau begitu, gimana kalau aku sekalian saja minta pinjam... dua puluh ribu""
Bagian gawat darurat pada jam begini biasa-nya sepi. Tapi siang itu kebetulan ada tabrakan
berantai. Tiga mobil sekaligus saling cium. Yang jadi korban lima orang, dua di antaranya parah sekali.
Di tengah keributan begitu muncul Tesa dengan kostumnya yang apik dan sepatunya yang canggih, menggendong seorang balita yang de-kil banget.
"Mungut di mana, Bu"" tanya seseorang kehe-ranan.
"Huss!" sergah temannya mungkin. "Jangan-jangan itu anaknya sendiri! Dibilang mungut!" "Habis! Seperti gembel dari emperan warung,
sih!" "Ketabrak apa, Bu"" tanya seorang suster yang tengah sibuk pegang gunting dan perban. Dia cuma menoleh sekilas.
"Muntaber," sahut Tesa dan beberapa orang yang sudah berkerumun, mendadak jadi ming-gir, rupanya takut ketularan. Sebagian malah sudah menutupi hidung dengan tangan.
"Taruh saja di situ," perintah suster itu sambil menunjuk dipan kosong dengan dagunya. Tesa cepat-cepat menurut. Dia khawatir anak itu
nanti mencret lagi dan kena pakaiannya. Dia kan masih harus kembali ke kantor....
Seorang perawat senior muncul dari ruang sebelah dalam. Matanya yang em pat segera tahu bahwa Tesa tadi belum menjelma di situ. "Kenapa"" tanyanya mendongakkan muka. "Muntaber, Suster. Tolong cepat di..." bisik Tesa yang sudah makin khawatir melihat anak itu diam saja. Sejak di mobil tadi, dia tidak bergerak seinci pun dari tempatnya di bangku belakang. Dia sungguh khawatir jangan-jangan pertolongan sudah terlambat.
Perawat gemuk setengah umur itu melirik sekilas lalu dengan tenang menyalahkan. "Kenapa baru dibawa sekarang, Bu" Anaknya sudah soporokomateusr
Tesa makin ketakutan. Dia tak usah mengerti istilah yang dikatakan tadi, sebab wajah suster itu sudah menjelaskannya. Dia kini mengambil sehelai kartu merah, lalu duduk di belakang meja tanpa menyilakan Tesa ikut duduk. Di situ memang tak ada kursi lain. Kursi kedua telah diisi oleh perawat yang tengah sibuk main gun-ting dan perban merawat seorang pemuda yang rupanya salah satu korban tabrakan berantai tadi.
Terpaksa Tesa berdiri di depan meja.
"Nama orangtua"" tanya perawat, siap dengan bolpen.
"Goffar!" sahutnya tak bisa berpikir lama-lama. Suster itu kelihatannya sibuk banget.
Tubuhnya bergoyang-goyang, seakan setiap saat
mau bang kit terus dari kursi. "Nama pasien""
Mati, nih! Aku lupa menanyakan siapa nama-nya! Shakira juga tidak memberitahu. Gimana ini" Suster menatap dari balik belingnya dengan
sedikit he ran. Tentu saja aneh kalau dia tak tahu siapa nama anak yang dibawanya. Salah-salah dia bisa dituduh men
culik.... Dalam keadaan bingung, cuma satu nama yang muncul dalam benaknya. Itu pun karena nama itu memang tak pernah absen dari pikir-annya, walau dalam tidur sekalipun.
"Pasha!" "Umur"" "Setahun lebih." "Berapa bulan""
Ini sih mirip Cerdas-Cermat, pikirnya. Dia tidak diberi kesempatan lama untuk berpikir. Karena anak itu kelihatan kecil dan kurus, maka sekenanya saja dia menebak.
"Empat bulan." "Setahun empat bulan," gumam suster sambil menulis. Lalu menyusul ditanyakan a la mat, dan pekerjaan orangtua. Setelah itu riwayat penya-kit. Di sini Tesa terpaksa mengarang bohong saja, habis daripada gelagapan terus seperti orang bego.
Setelah suster merasa puas dengan wawan cara itu, barulah dihamplrinya sang pasien.
"Anak ini mesti diopname, Bu."
Itu sudah diduganya. Tapi berapa lama"! Soalnya, dia yang harus menanggung, jadi mesti disiapkannya biaya yang cukup. "Berapa lama, Suster""
"Oooh, sudah gawat begini, paling sedikit sepuluh hari! Itu, kalau dia enggak jalan ma lam mi juga!"
Tesa merinding mendengar nya. Dalam hati dia berdoa semoga Tuhan berbelas kasihan pada anak yang malang itu.
"Tolong Suster, dirawat sekarang juga."
"Ya, sana, pergi ke kasir dulu, bayar uang jaminan!" Lalu suster berjalan pergi meninggal-kannya tanpa kesempatan membantah atau ber-tanya.
Terpaksa Tesa berlalu, setelah tanya sana-sini di mana letak kasir. Dia tidak membawa uang banyak. Dua puluh ribu sudah diberikannya pada Shakira. Yang tersisa mungkin cuma tiga puluhan. Mudah-mudahan boleh sebagai uang muka. Sisanya akan disetorkannya besok. Un-tung hari ini dia membawa uang begitu banyak. Biasanya tak pernah lebih dari dua puluhan, sebab tak ada keperluan. Paling-paling untuk uang bensin atau jaga-jaga siapa tahu mobilnya mogok di tengah jalan lalu perlu bantuan dido-rong. Selain itu, tak ada keperluan apa-apa. Se-pulang kantor, dia hampir selalu langsung ke rumah. Pada jam istirahat siang, rekan-rekannya senang berkeliaran di bawah, di pusat pertoko-an. Kantor mereka terletak di tingkat kedua
puluh enam. Terkadang dia ikut juga, tapi cuma
sekadar melemaskan otot-otot kaki
Sebenarnya kasir menuntut paling, sedikit separo dari perkiraan ongkos perawatan. Tesa memohon pertimbangan. "Ini peraturan, Bu. Uangnya bukan untuk saya!" sahutnya ketus.
"Saya tahu," ujar Tesa sesabar mungkin. "Tapi saya telanjur cuma membawa uang segini. Besok pagi akan saya serahkan sisanya."
Kasir yang kurus dan nyureng itu menatap Tesa dari balik kacamata yang melorot turun. Ditaksirnya baju Tesa yang rapi serta dandanan-nya yang anggun. Bukan orang miskin, pikir-nya. Tapi, siapa tahu"! Kaya, miskin, kalau ada kesempatan lari tanpa bayar, semua mau! pikir-nya.
"Ada KTP""
Tesa mengangguk, mengeluarkan benda ituI dan menyerahkannya. Kasir mencatat KTP itu dengan teliti. Keningnya berkerut beberapa kali dan Tesa ketawa dalam hati: rasain! sebab angka-angka dari komputer itu banyak yang tak terbaca, buram cetakannya.
"Tapi besok pagi sisanya mesti betul-betul di-serahkan, ya"!" ancam kasir sambil mengembali-kanKTP.
Tesa mengangguk setengah mau bersumpah. Setelah selesai membayar, dia balik bergegas ke ruang gawat darurat. Dilihataya di kaki "Pasha"
sudah terpasang infus, sehingga dia merasa lega sedikit.
Perawat senior itu muncul kembali dari dalam. Tesa memperlihatkan tanda bayar. Perawat membelah dua kertas itu pada bagian yang di-tandai, lalu menahan sebelah. Belahan yang lain dikembalikannya.
"Bolehkah saya pulang sekarang"" tanya Tesa. I "Tidak man ditunggui""
"Saya harus ke kantor."
"Baiklah kalau begitu. Alamat dan nomor telepon sudah Ibu berikan tadi, bukan""
Tesa mengangguk, lalu berbalik dan melang-kah pergi. Baru kira-kira beberapa meter, dia merasa seakan namanya dipanggil. Tapi karena di situ penuh orang, dan dia yakin tak ada yang mengenalnya, maka disangkanya orang Iain yang dipanggil. Mungkin nama orang itu bunyinya kebetulan mirip dengan "Tesa", pikir-nya.
Namun sebenarnya dia agak keliru. Memang namanya yang dipanggil. Dan orang yang me-manggilnya jadi termangu ketika gadis itu tidak menoleh. Orang itu kebetulan keluar dari ruang dalam ketika Tesa pas
membalikkan badan. Sesaat dia tertegun seakan kurang yakin akan penglihatannya. Tapi kemudian dia berseru tertahan, "Tesa!"
Ketika gadis itu terus saja melangkah, dia menarik napas seakan mengeluh. Perawat yang
sejak tadi memperhatikan di sebelahnya, kini. menyodorkan kartu merah ke depan wajahnya.
"Dokter Solem, itu pasiennya."
Yang dipanggil menoleh, lalu berdehem untuk menghilangkan salah tingkahnya barusan.
"Muntaber" Setahun empat bulan"" Tiba-tiba dia berhenti membaca. Bibirnya setengah ter-buka, matanya nyalang menatap tulisan suster. Goffar! Pasha! Jadi, tidak salah! Barusan dia bukan bermimpi!
Ah! Dia kembali pada Goffar!
"Ada apa, Dok""
"Oh, eh, anu, Suster Rani, coba bawa kemari tensimeter!"
alat pengukur tekanan darah
Bab 13 Karena repot sekali, Tesa tidak bisa keluar kantor. Markus dan Daniel juga sibuk dengan urus-an mereka sendiri. Terpaksa dia minta tolong kurir di kantor untuk menyetorkan uang ke rumah sakit.
Siangnya dalam rapat, Bos menugaskan Tesa pergi ke Bandung bersama kepala pemasaran untuk mengecek problem-problem yang ber-sangkutan dengan pembentukan kantor cabang.
Ketika Tesa kelihatan mengerutkan kening, Bos yang sangat sayang padanya mengira bah-, wa gadis itu enggan berpisah darinya. Dia se-gera ketawa lebar. "Paling lama cuma tiga hari, Tesa," katanya menenteramkan, padahal Tesa tengah memikirkan bahwa dia takkan bisa menje-nguk "Pasha" kalau begitu.
Sorenya dia ngebel Shakira memberitahukan hal itu.
"Aku pergi kira-kira tiga hari, Shak. Uang jaminan sudah aku setorkan. Kau masih punya uang untuk menengok anakmu""
Shakira menggumamkan sesuatu yang tidak
jelas. Tesa beranggapan bahwa dia masih punya
uang. "Kalau ada kebutuhan mendesak selama aku pergi, kau minta tolong abangku,saja. Nanti aku kasih tahu dia."
Urusan di Bandung ternyata bertele-tele. Tesa dan kepala pemasaran baru bisa pulang setelah* hari kelima. Sementara itu perawat dan dokter sama-sama menunggu kedatangan ibu si "Pasha", walaupun masing-masing dengan alas-an yang berbeda.
"Belum ditengok juga, Sus"" tanya Dokter Solem pada suatu pagi.
"Belum nih, Dok. Tahu tuh, ke mana ya ibu-nya" Apa anak ini mau ditinggal di sini" Ibunya sih kelihatan kayak orang berduit, tapi mana tahu ya, Dok, kalau misalnya enggak halal...."
"Husss!" protes sang dokter.
"Eh, benaran deh, Dok. Tuh, di bagian ber-salin, ada pasien yahud, deh. Penampilannya meyakinkan, alamatnya juga di daerah bebas banjir. Pokoknya, orang kaya, deh. Eh, tahunya dia kabur, bayinya ditinggal. Waktu disamperin, ternyata sudah pindah. Lalu tanya sana-sini, baru ketahuan, rupanya hasil hubungan tidak sah! Sekarang bayi itu diambil sama Dokter Bujang. Nah, siapa tahu yang ini..."!" Suster Rani meng-angkat bahu ketika mendapati dokternya tidak meladeni, asyik membaca status.
Sebenarnya dia tengah menghafalkan nomor telepon. Sejak hari pertama Dokter Solem sudah
lor lah kepingin menghubungi ibu si "Pasha". Tapi selalu saja banyak paramedis di dekatnya, sehing-ga dia tidak berani mengangkat telepon. Juga memang tak ada alasan baginya untuk ngebel. Tapi sekarang, dirasanya alasan itu sudah ada
dan cukup mendesak! Anak itu sudah bisa di-pulangkan! Kenapa Ibu tidak juga datang mene-ngok"!
Tapi dia tetap tidak berani menelepon dide-ngarkan oleh perawat. Kalau yang disiarkan itu apa adanya, masih mending. Tapi kalau yang tertangkap kuping itu cuma sepotong-sepotong
seperti teka-teki, lalu yang kosong mau diisi dengan karangan sendiri oleh Suster Rani, wah, ampun!
Sorenya, ketika Suster Rani sudah pulang dan penggantinya yang lugu dan kupluk sedang sibuk membaca laporan di kamarnya, Dokter Solem pun nekat. Setelah yakin takkan ada pasien baru yang akan mengetuk pintu, dan rekan-rekan semua sudah sirna dibawa lari mo-bil masing-masing, maka dijatuhkannya tubuh-nya ke atas kursi. Setelah mengucap wan-tu-tri (kebiasaan ngebrek di rumah!), diangkatnya telepon lalu diputarnya nomor yang sudah diha-falkannya seratus kali.
Agak lama berdering tanpa ada yang mengangkat. Jangan-jangan dia tidak di rumah, pikir-nya mulai berkeringat dingin. Tapi kan pasti ada orang lain! Misalnya pembantu
! Ya, pasti ada pembantu. Mungkin sedang sibuk atau
tanggung menyetrika. Oh, tidak, sedang me-masak air, tak boleh ditinggal. Sebentar lagi dia pasti datang terbirit-birit mengangkat telepon
ini. Namun detik demi detik berlalu. Harapannya sia-sia. Di rumah itu memang tak ada orang
rupanya. Dilihatnya arloji. Pasti dia masih di kantor! Baru jam tiga lewat. Tapiii, masa sih rumahnya kosong sama sekali"! Tak masuk akal Goffar akan membiarkan istrinya bekerja di kantor tanpa pembantu di rumah!
Ketika dia sudah hampir menyerah, tanpa harapan, mendadak pesawat diangkat, lalu ter-dengar suara setengah membentak, "Ya, halo!"
"Selamat sore... " Brengsek, aku mau bilang apa, nih! Hm. "Pak Goffar ada""
Suara di seberang sana mendadak jadi jelaS sekali membentak. Aduh, judesnya! Inikah Tesa sekarang"!
"Tidak ada! Ini dari mana""
"Dari rumah sakit! Saya Dokter Solem."
"Oh." Apakah dia mendengar nada khawatir sedikit"
"Saya istrinya. Ada apa, Dokter""
Sungguh. Suaranya melunak sedikit. Sedi-kiiit... tapi masih lebih kasar dari
yang diingat-nya dulu. Atau barangkali dia sendiri yang sudah pikun"
Mungkinkah mengingat suara orang setelah lewat sekian tahun" "Anu, Bu. Anak Ibu sudah bisa diambil kembali... " Niatnya untuk menegur kenapa tak pernah ditengok, batal. Dia tidak
punya keberanian untuk mengatakannya. "Kapan, Dokter""
Tidak kedengaran dia bergembira" Enggak halal"! Ah, si Rani itu memang
paling bisa nge-cor gosip! Lidahnya kelewat panjang!
"Kapan saja. Sore ini. Atau besok. Ya, lebih balk besok saja. Temui saya dulu. Ya, saya masih perlu memberikan resep. Ya, besok. Jangan lupa, temui saya dulu!"
-Ketika pesawat sudah diletakkan kembali, barulah disadarinya bahwa tubuhnya mandi keri-ngat Astaga! Apa-apaan ini"! pikirnya jengkel namun geli. Maju ujian pun tak pernah begini senewen! Apa lagi besok"!
Apakah Tesa masih mengenalinya" Bagai-mana kalau dia menyangkal kenal"! Aduh, be-tapa malunya dia kalau Tesa merasa keheranan, mengaku tak pernah ketemu. Terlebih kalau dia datang dengan suami, dan Goffar melecehinya! Bagaimana mau dipertahankannya gengsinya kalau itu terjadi"!
Tiba-tiba dia berharap matahari takkan ter-benam sore ini, sehingga hari berikutnya bisa ditunda....
Sementara itu Shakira tidak meletakkan telepon, melainkan cuma menekan tombol, lalu langsung memutar nomor kantor Tesa.
"Halo, boleh bicara dengan Nona Tesa"Oh, dia masih belum pulang dari Bandung, Bu. Ini dari mana" Mau titip pesan""
Dengan kesal Shakira membanting telepon tanpa meladeni.
Esoknya, dia spesial mengambil waktu dua jam untuk bersolek dengan rapi. Anak sulung-nya sudah sembuh dari demam dan mencret, tapi masih lemah. Dititipnya anak itu pada te-tangga sebelah kiri yang lebih sederhana dan tidak keberatan menolong. Tetangga sebelah kanan tak pernah dikenalnya. Rumahnya yang mewah bertingkat tiga itu selalu kelihatan sepi seakan memang tak pernah ada penghuninya. Rumah di sebelah kiri biasa-biasa saja, lebih kecil dari rumahnya sendiri dan agak usang. Di halaman, mereka membuka warung kecil tem-pat Shakira sering ngebon beras dan minyak.
Setelah menitip anaknya, Shakira pergi me-ngenakan pakaiannya yang terbaik, yaitu sepan hitam terbuat dari sutera dengan blus putih berenda terbuat dari polyester.
Kira-kira sejam kemudian telepon di kantor Tesa herdering. Kebetulan dia sendiri yang mengangkat, sebab operator sedang ke WC.
Setelah mendengar bahwa itu. Tesa sendiri, langsung saja Shakira marah-marah. "Gimana sih kau ini, kenapa enggak ngasih tahu berapa biaya anakku" Sekarang aku tak punya duit!" ,
"Apa dia sudah boleh pulang"" tanya Tesa keheranan sambil menghitung-hitung. Eh, belum sepuluh hari.
"tya. Memangnya mau berapa lama, sih" Aku kan enggak sanggup kalau terlalu lama! Sekarang gimana, nih! Anakku enggak bisa dibawa pulang kalau biayanya belum dilunasi! Kenapa kau enggak mau ngasih tahu biar aku siap-siap!"
"Oh, aku baru semalam pulang dari Bandung, Shak. Jam sepuluh tadi malam. Keretanya terlambat. Tapi, aku kira anakmu takkan pulang secepat itu... hm, gimana, ya. Sekarang kau di mana""
"Di rumah sakit"
"Hm. Gimana, ya. Gini saja, deh. Bisa
enggak kau ke kantorku" Aku enggak bisa keluar. Soal-nya kerjaan menumpuk. Nanti aku berikan uangnya. Berapa sih kurangnya" Aku sudah ba-yarkan seratus ribu."
"Semuanya seratus sembilan puluh delapan ribu empat ratus rupiah! Kan kelas kambing! Maklumlah, anak orang enggak punya!" Suara Shakira kedengaran sinis, sehingga Tesa merasa tidak enak hati. Waktu itu memang dia tidak menegaskan minta kelas satu dan ru pa nya oleh perawat otomatis dimasukkan ke kelas tiga.
"Rupanya waktu itu aku amat terburu-buru, Shak, sampai kelupaan tanya kelasnya. Tapi kan masih cukup bersih, bukan"" , "O ya, anakku juga harus tahu diri, dong.
Masih untung ada orang yang mau membawanya ke rumah sakit!"
Shakira ini mau apa sih, pikir Tesa agak kesal. Sedang angot sintingnya, kali"! Kok nyindir-nyindir terus"!
"Jadi kurangnya sembilan puluh delapan ribu empat ratus ya, Shak." Tesa cepat mengalihkan perhatian Shakira yang lagi angot itu.
"Iya, betul! Eh, Tes, aku enggak mau dikasih, lho!" seru Shakira.
"Habis"" Aneh orang ini. Kalau begitu, buat apa nele-pon sambil marah-marah"! "Aku pinjam saja!"
Aduh, gagah suaranya, pikir Tesa geli. Se-ihgataya, dulu pun di SMA, Shakira itu senang minjam padahal bapaknya kaya. Dia sering ke-kurangan uang, dan dengan nyaman selalu me-lupakan utang-utangnya!
"Baiklah," sahutaya biar jangan bertele-tele. "Aku tunggu, deh."
Karena dia tidak membawa uang sebanyak yang diperlukan, Tesa terpaksa ngebon di kantor. Begitu diberi uang, Shakira cepateepat ber-lalu seakan sudah tidak sabar mau menjemput anaknya. Padahal selama itu tidak sekali pun ditengoknya!
Sebenarnya dia sudah tak tahan ingin ketemu dokter yang suaranya begitu lembut di telepon. Ketika melihat cermin tadi pagi, dia tahu hidup-nya masih penuh harapan. Tesa sendiri agak
pangling melihatnya, namun tidak dikatakannya. Shakira berdandan ekstra perlente, malah wajahnya agak medok menurut selera Tesa. Bi-birnya terlalu merah menantang, rouge di pipi seperti sepuhan merah yang pernah dilihatnya di atas kue bakpau sementara pensil alisnya benar-benar mirip goresan arang pada vandalis-me tembok. Yang paling gawat lagi, rupanya foundation bedaknya tidak diencerkannya, tapi langsung dioleskan ke pipi. Akibatnya di sana-sini ada yang tebal, yaitu tempat-tempat per-tama kali krem itu dipoleskan. Sekarang ber-campur sedikit dengan keringat, make-up-nya mulai luntur. Mungkin mereknya tidak bona-fide.
"Ayo ah, Tes! Aku- perlu buru-buru, nih! Daaag!" serunya dengan ketawa meriah. Tesa menggeleng-geleng melihat sikap temannya yang tidak sabaran seakan perlu mengejar kereta penghabisan!
Dokter Solem juga sama-sama tidak sabar. Sejak pagi sudah dipesannya Suster Rani, "Ka: lau ibunya si Pasha datang, beritahu saya! Jangan biarkan dia membawa anak itu pulang sebelum ketemu dengan saya! Ingat! Jangan lupa! Saya harus ketemu dulu dengannya!"
Mendapat pesan yang begitu dto, tentu saja Suster Rani bersiaga penuh. Maka begitu ada
orang muncul dan menyatakan diri sebagai ibu dari pasien di kamar tiga, perawat itu terbirit-
birit mencari atasannya. Setelah jogging di lorong hampir sepuluh me-nit, barulah yang dicari ketemu. Sementara itu
napasnya sudah hampir putus, maklum tak sempat berolahraga, tubuhnya tidak terlatih. "Dokter... Solem...," serunya terengah-engah,
"yang mau ketemu sudah datang!" "Ibunya Pasha"!"
"Dia sih menyebut nama lain, tahu apa deh, saya tidak menangkap. Tapi dia bilang kamar tiga, jadi enggak salah, deh! Kan kamar itu saat ini cuma dihuni pasien muntaber satu itu!"
Maka dokter pun cepat-cepat mengikuti pera-watnya. Hatinya yang sejak tadi pagi sudah kempas-kempis, kini betul-betul dag-dag-dug-dug macam palu tukang besi. Namun harapan-nya yang sempat mekar menjadi kuncup kembali ketika dia melihat perempuan yang ber-solek macam pemain panggung itu tengah duduk di depan mejanya.
"Nyonya Goffar"" tanyanya dengan perasaan campur aduk. Di satu pihak dia khawatir salah. Sebab Nyonya Goffar kan Tesa, bukan"! Dan dia tahu perempuan yang dandanannya seperti pemain Kabuki itu bukan Tesa. Di lain pihak, dia berharap wanita itu betul istrinya. Berarti, Tesa tidak ke
mbali pada yang lama. Tapi kalau begitu, lantas kenapa Tesa membawa anak itu kemari"! -
"He... eh...," sahut Shakira dengan kenes sambil melirik manja.
"Oh!" Dokter Solem mendadak jadi gugup sampai terbatuk-batuk. Tapi dia tak dapat me-riyembunyikan kelegaannya.
"Ah, Dokter kelihatan begitu lega, kenapa, sih"" tanya Shakira dengan berani.
"Oh, ah... anu... saya sangka semula Ibu Goffar adalah seseorang yang saya pernah ke-nal," sahutnya lalu cepat-cepat mengambil kartu status dan mulai mernbolak-baliknya untuk me-nutupi gugupnya. Agresif betul perempuan ini, pikirnya resah. Lebih cepat kuusir pulang, lebih aman!
"Oh, begitu! Jadi Dokter ini kenal sama... "
Wah, suaranya makin intim! Apa-apaan, nih"! pikir Dokter Solem.
"Anu, siapa- yang membawa anak ini kemari"" tanyanya memotong kalimat yang berbahaya itu.
Shakira ketawa genit dan meriah. Tangannya diletakkannya di atas meja, makin lama makin ke dalam, mendekati tangan dokter.
"Teman saya, Dokter. Waktu itu saya di luar kota," jawabnya sambil meremas-remas saputa-ngan di atas meja.
"Siapa namanya"" tanya Dokter Solem sambil berlagak mau menulis seakan itu pertanyaan yang rutin saja.
"Lantaran itu saya juga enggak pernah be-zoek," Shakira melanjutkan tanpa mendengar apa
yang ditanyakan. Kepalanya bergoyang-goyang, sebab dia tahu dari cermin bahwa sikap begitu baginya kena betul. Hiasan rambutnya akan terombang-ambing seperti jentera kapal.
"Ini juga baru kemarin pulang. Saya bertugas mewakili Ayah untuk meresmikan kantor ca-bang salah satu perusahaan kami. Ayah sendiri sedang sibuk di New York membicarakan pin-jaman modal. Dokter lulusan mana""
"Australia," sahutnya singkat sambil meman-dang Nyonya Goffar sekilas. Hm. Kalau dilihat-lihat, beruk ini memang boleh juga.
Sementara itu Shakira sudah berpikir: Australia"!
"Di kota apa, Dokter""
"Perth. Begini, Bu, saya akan menulis...."
Hm. Perth"! Hm. Pasti kenal! Mungkin juga lebih dari sekadar kenal! "Ayah juga punya real estate di Australia. Kalau lulusan luar negeri seperti
Dokter ini, mestinya cari istri yang sama-sama hebat dong, Dok. Maksud saya,
yang pintar, yang terkemuka, yang mapan, yang orangtuanya kaya..." "Ehem!" Dokter Solem berdehem sambil ter-senyum kecil. Pandai betul
nyonya muda ini bersilat lidah! Entah ke mana jatuhnya nasihat itu.
"Yah! Tapi manusia tak bisa mendapat semua yang dikehendakinya, bukan,
Dok"! Contohnya ayah saya. Sedikit banyak. Ayah termasuk salah satu jutawan
yang ngetop di republik ini. Pergaulannya dengan orang-orang atasan melulu. Bulan kemarin Ayah
mendapat piala bergilir kejUaraan golf di antara para menteri serta usa-hawan
kelas kakap. Bulan sebelumnya, dia juara
jogging dalam perlombaan antar-presdir-presdir bank nasional dan asing se-
Jakarta. Karena itu dia selalu sibuk dan saya yang harus mewakili dalam
urusan-urusan penting. Tapi meskipun ayah saya begitu kaya, satu impiannya
enggak bisa terkabul. Dia ingin punya menantu dokter! Dan saya ini anak
tunggalnya... " Bukan main perempuan ini! pikir Dokter Solem, geli bercampur kesal. Waktunya yang berharga seenaknya dibuang-buangnya!
"Bu Goffar, anak Ibu akan kami pulangkan hari ini, tapi sebenarnya dia masih harus dirawat lebih lanjut. Tubuhnya kekurangan gizi yang sudah kronis."
"Mana mungkin!" prates Nyonya Goffar dengan keras. "Anak saya tak mungkin kekurangan gizi! Kami kan orang kaya! Kakeknya..."
"Tapi Ibu kan selalu sibuk, jadi anak itu rupa-nya cuma diserahkan ke tangan pembantu! Betul, kan" Tentu saja pembantu tidak betul-betul melek-gizi seperti... Ibu, misalnya," Dokter Solem menjelaskan sambil menatap tamunya. Dan tiba-tiba dilihatnya betapa kurusnya perempuan itu. Kulimya kusam dan wajahnya sudah disinggahi keriput, padahal usianya kelihatan masih muda. Apakah dia sendiri juga buta-gizi"! Dokter itu menggeleng dalam hati.
"Yah! Mungkin pembantu saya sembarangan
saja memberi makan anak-anak!"
"Seharusnya memang anak ini masih dirawat
di sini, tapi kami kekurangan tempat tidur untuk pasien-pasien yang betul-betul membutuh-kan. Selain itu, perawatan di rumah pun saya rasa cukup memadai, sebab ada ibu dan ayahnya.... "
" Oh, kami sudah mau cerai kok, Dokter!" po-tong Shakira dengan lirikan maut.
Samar-samar sang dokter mulai mencium bau yang tidak enak. Barangkali perempuan ini masih penasaran kenapa ayahnya yang begitu kaa-yaa kok tidak bisa punya menantu dokter!
Tapi dia berlagak tidak mendengar. Tidak bisa dong meladeni masalah pribadi orang yang tak ada sangkut pautnya dengan dinasnya!
"Suster akan memberikan pedoman gizi untuk memperbaiki pertumbuhan dan perkem-bangan anak itu. Dan saya akan menuliskan resep yang harus Ibu beli di luar. Siapa nama anak itu""
"Rino." Em. Jadi "Pasha" itu cuma ciptaan Tesa be-laka! Kenapa justru nama itu yang disebutkan-nya" Apa dia tidak tahu nama anak tersebut" Mungkin. Seingatnya, Goffar itu dirampas oleh temannya sendiri. Jadi rasanya tak mungkin dia akan bersahabat terus dengan perempuan ini! Tapi kenapa dia sudi mengantarkan anak mereka ke sini"!
Diraihnya Wok resep dari pinggir meja. Dia
ingin sekali mendapat alamat Tesa. Ditatapnya sekilas tamunya. Kalau dia sendiri sudah mulai naksir sang dokter, mustahil dia akan rela mem-berikan alamat perempuan lain yang dulu pernah menjadi saingannya. Yah, apa boleh buat, terpaksa dibohonginya perempuan ini.
Kertas resep tidak jadi ditulisi. Diambilnya kartu merah, lalu dipelajarinya. "Hm," katanya seakan merenung, lalu mengangkat muka dan menatap Shakira. "Man ini belum lengkap. Co-ba Ibu sebutkan nama dan alamat orang yang mengantarkan sang pasien tempo hari!" Perintah itu dibebaninya dengan wajah serius dan mata yang menatap tanpa kedip.
Shakira menggoyang kepalanya beberapa kali. Menurut dia, pasti dokter itu akan lumer sema-ngatnya. Ketika ternyata tidak, dia mengeluh manja, "Ah, perlukah""
"Ya!" ' Melihat takkan ada kompromi, dengan tam-pang amat terpaksa perempuan itu menyebut-kan nama dan alamat Tesa, yang dicatat oleh dokter di atas kertas kin.
"Nomor telepon"" Perintah itu demikian te-gas, sehingga Shakira tidak sempat berpikir untuk menanyakan apa gunanya. Tergesa-gesa di-keluarkannya buku catatan telepon dari tasnya.
Setelah puas mendapatkan semua yang diper-lukannya, Dokter Pasha Solem pun menuliskan resep. Lalu diberikannya pada Nyonya Goffar.
Lalu dia berdiri dan siap meninggalkan tamunya.
"Terima kasih, Dokter," ucap Shakira terse-nyum mencoba rayuan terakhir, lalu menam-bahkan dengan suara memelas. "Kalau saya perlu apa-apa, masih boleh menemui Dokter lagi,
bukan"" "Tentu saja!" sahut Dokter Solem, tiba-tiba mengedip sambil ketawa lebar, sehingga jan-tung Shakira nyaris putus. Dia tidak tahu bahwa kegembiraan itu bukan disebabkan olehnya, melainkan oleh catatan tertentu pada kertas yang tadi cepat-cepat diamankannya dalam sa-ku!!
Bab 14 "Halo, selamat sore. Boleh saya bicara dengan Nona Tesa""
"Ini dari siapa, ya"" tanya Nyonya Rodan, ibu Tesa. "Dari Solem, Bu."
"Begini Pak Solem, anak saya kebetulan sedang di kamar mandi. Berikan saja nomor Ba-pak, nanti dia akan call balik."
Karena Pasha Solem punya rencana proyek jangka panjang, tentu saja dia tidak berani ber-buat salah walau sekecil kutu apa pun misalnya dengan berlaku tidak sopan mengatakan, "Tak usah, saya akan bel kembali!"
Maka seperti remaja lugu disebutkannya no-momya satu per satu dengan jelas dan Nyonya Rodan mengulangi, juga satu per satu sambil menuliskannya ke atas notes.
Sampai malam Pasha melek menunggu pang-gilan, tapi telepon tidak juga berdering. Esoknya pagi-pagi dicobanya sekali lagi. Tak mungkin Tesa sudah berangkat, pikirnya. Tapi kenyataan-nya memang demikian.
"Tesa sudah ke kantor setengah jam yang lalu. Katanya khawatir macet kalau kesiangan.
Ini dari mana""
"Solem yang kemarin, Bu."
"O ya, Pak Solem, sudah Ibu beritahukan
nomor telepon Bapak padanya. Heran, kenapa Tesa sampai lupa menelepon balik" Sebenarnya ada urusan apa, ya"" "Ah, cuma urusan bisnis sedikit, Bu."
"Baiklah kalau begitu. Nanti sore akan Ibu katakan padanya." Malamnya di meja makan, Nyonya Rodan teringat janjinya tadi pagi pada Pak Solem.
"Tes, tadi pagi ada telepon." "Dari siapa, Mam""
"Itu, Pak Solem yang kemarin sore itu!" Aneh. Wajah Tesa langsung mendung, tapi untung cuma dilihat oleh
ibunya, sebab yang lain sedang asyik makan semangka. Hm, pikir Tesa. Untung dia cukup tahu diri, tidak mau pakai titel di luar jam dinas! Soalnya, ibunya agak gandrung terhadap jenis titel yang satu itu. Lihat saja, setelah Markus, pasti Daniel juga akan dituntunnya masuk FK!
"Mam, kalau orang itu telepon lagi, tolong katakan selalu, saya enggak di rumah! Saya ogah deh berurusan dengan segala macam sales-manl Baru datang ke kantor sekali, sudah mau maksa jual barangnya!" "jualan apa, sih"" tanya Markus. "Itu, lho! Panci ajaib! Sudah aku bilang, aku
belum kawin, enggak perlu panel!" kata Tesa dengan serius, sehingga kesebalannya terlihat sungguhan.
"Terus dia bilang, kawin saja dengan nya, nanti dikasih panci!" sambung Markus terkekeh, membuat adiknya mendelik keki.
"Tapi orangnya kedengaran sopan, Tes. kata ibunya lagi.
"Ah, Mami! Di mana sih ada orang jualan yang enggak sopan, enggak manis, enggak pin- '
tar merayu" Pendeknya, supaya barangnya laku, apa juga akan
dilakukannya! Kalau sudah dibeli, nah, lain lagi sikapnya! Coba, misalnya kita mau tukar, pasti dia akan
Tesa Karya Marga T di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
judes sekali!" "Tapi katanya, urusan bisnis!" ibunya ngotot. "Penting!" Ini tambahan ibunya sendiri. Perempuan itu sudah begitu khawatir melihat putri-nya tidak juga mendapat jodoh, sehingga setiap pria yang mendekat, rasanya mau diundangnya ikut makan!
"Nah, kalau benar-benar bisnis, suruh saja dia menghubungi saya di kantor, Mam. Bilang enggak usah datang, pakai telepon saja. Kalau dia belum tahu nomornya, berikan saja, Mam."
"Apa dia bukannya calon arjunamu yang mu-takhir"" nimbrung Daniel sambil menggigit se-mangka.
"Ala, kau! Sama saja dengan Mami! Pola sen tralmu cuma jodoh melulu!"
"Laa, habis apa, dong"" sambut ayahnya "Kau kan sudah cukup umur."
"Lewat malah!" cetus Daniel nyengir.
"Jangan kurang ajar!" tegur Ibu.
"Jangan kurang ajar!" membeo si Aster kecil
yang baru sembilan tahun.
"Ala, soal itu mah gampang, Pap!" tukas Tesa dengan anteng "Kalau sudah waktunya pasti akan datang sendiri, enggak ke mana-mana!"
Pasha tidak mau menyerah. Dia menelepon
lagi. "Pak Solem, anak saya berpesan, dia belum mau membeli panci ajaib Anda," kata Nyonya Rodan yang tidak tahu urusan, membuat yang mendengar jadi tersenyum sumir, meringis tak tentu ulah. Lelucon apa yang sedang dimainkan oleh Tesa ini"! pikirnya.
"Tapi kalau Bapak memang sangat ingin bicara dengannya, katanya disilakan menghubungi dia di kantor saja. Ini nomornya, harap dicatat baik-baik."
"Anu, Bu, boleh saya tahu juga nama dan alamat kantornya""
"Oh, boleh. Boleh," sahut Nyonya Rodan lalu menyebutkan yang diminta. "Terima kasih, Bu. Selamat pagi." "Kembali... eh, eh..." Nyonya Rodan mendadak tercekat seakan disengat lebah. "... eh, katanya pernah jualan ke kantor! Kok sekarang na-nya di mana kantornya"!"
Tapi telepon sudah lama diletakkan oleh Pak Solem.
Telepon berdering di meja sekretaris. Tesa mengangkatnya lalu menyebutkan nama kantor: nya.
"Selamat siang!" seru suara di seberang sana dengan nada riang yang rasa-rasanya dikenal-nya. "Boleh saya bicara dengan Tesa""
"Tesa yang mana"" tanyanya mempermain-kan. "Di sini ada dua Tesa." "Tesa Rodan."
"Oh, Ibu Tesa sedang keluar, Pak. Mau titip pesan""
"Tak usahlah. Ehem, kapan dia akan kembali""
"Wah, kurang tahu ya, Pak. Mungkin jam tigaan, gitu."
"Baiklah. Terima kasih. Nanti saya akan bel lagi."
Ketika jam setengah empat telepon berbunyi lagi, Tesa minta tolong rekannya untuk men-jawab. "Ssst, Kleopat, tanyakan siapa. Kalau namanya Solem, bilang Ibu Tesa belum balik. Enggak tahu kembali jam berapa. Enggak tahu ke mana. Suruh bel lagi besok!"
"Ini dari siapa"" tanya Kleopatra. "Oh, Pak Solem"" Dia melirik Tesa sambil tersenyum. "Ibu Tesa belum balik, Pak. Tahu ya, jam berapa. Mau titip peSan" Enggak usah" Baiklah.
Telepon saja lagi besok. Oh, ini sekretarisnya.
Ya, ya. Kembali." Mereka cekikikan berdua. "Kenapa enggak diladenin saja, Tes" Kede-ngarannya seperti mau nangis, tuh!" kata Kleopatra geli.
"Huss! Sinting kau, Kleo! Orang sudah punya istri, kok!"
Esoknya, telepon kembali mengganggu. Kleopatra yang mengangkat. "Oh, Pak Solem" Selamat pagi
. Oh, Ibu Tesa" Wah, kebetulan Ibu sedang
rapat dengan Bos. Wah, enggak tahu deh berapa jam lagi. Coba saja nanti
istirahat siang. Ya, kembali."
Kleo mengerling Tesa sambil menggeleng. "Ngotot betul, sih, Tes. Sambut
saja, kenapa, sih""
"Antepin saja. Nanti juga bosan sendiri!" sahut Tesa.
"Atau oper deh padaku!" seru Tiara yang barusan muncul. "Iiih, orang sudah punya istri, kok!"
"Siapa yang sudah punya istri"" tanya Bos yang tahu-tahu ada di situ. "Ini jam pelajaran mendongeng atau jam kerja"!"
"Habis itu lho, Pak," kata Kleo. "Ada orang namanya Pak Solem. Dia mengganggu Tesa terus, deh. Hampir tiap hari dia menelepon!"
"Nagih janji, kali!" cetus Tiara. Bos menatap Tesa. "Kau janji apa sama orang itu, Tes""
"Iiih, enggak pernah janji apa-apa, Pak! Kenal pun tidak!"
"Hm." Bos meletakkan dikte yang mesti di-ketik, lalu berjalan balik menuju kamarnya. Di dekat pintu dia berhenti, lalu menoleh pada Tesa. "Eh, kalau tidak kenal, miasa sih dia begitu ngotot" Dari mana dia tahu nomormu ""
Tesa cuma mengangkat bahu sambil meringis dengan rupa higu. Bos merasa tidak pantas me-ngompesnya saat itu, sebab banyak orang. Tapi nanti...!
"Ah, biar saja, Pak. Nanti juga dia pasti bo-san!" kata Tesa untuk menghilangkan kecuriga-an Bos.
Dugaan Tesa keliru. Pasha tidak kenal bosan. Dia malah nekat mendatangi gedung kantor. Tapi di tingkat kedua puluh enam itu satpam-nya tidak kenal kompromi. Di lantai dua belas mereka pernah kebobolan. Ada bahan peledak di bak tanaman, untung ketahuan sebelum me-ledak. Sekarang semua satpam di setiap tingkat menjadi lebih siaga.
Pasha tidak diizinkan masuk.
"Mau ketemu siapa, Pak" Sebut saja namanya, nanti kami panggilkan." Sayang, satpam kembali dengan berita jelek. "Yang dicari enggak masuk hari ini, Pak."
Pasha tidak percaya. Dia sangat tergoda untuk mengecek ke rumahnya, tapi dia teringat larangan menelepon ke Sana. Dia tidak mau bikin dosa terhadap... calon mertua!
Akhirnya tak ada jalan lain. Dia terpaksa me-nunggu di depan kantor sampai bubar.
Esoknya, dari rumah sakit dia tidak pulang ke rumah, tapi langsung piket. Karena dilarang parkir di pinggir jalan, terpaksa dia masuk ke garasi bawah tanah, lalu menunggu dalam mobil. Tentu saja ongkosnya lumayan mahal, sebab dihitung jam-jaman. Selain itu, tempat yang strategis sudah tak ada. Dia cuma kebagian po-jok gelap yang susah dipakai sebagai pos peng-amatan. Masih ada lagi kesulitan: dia tidak tahu pasti apakah Tesa naik kendaraan pribadi atau umum.
Yah, jalan satu-satunya: dia mesti keluar begitu selesai jam kantor. Maka tepat jam setengah lima, Pasha meninggalkan mobil lalu berjalan keluar, menunggu dekat pagar seperti pengangguran. Matanya disiapkan untuk memperhatikan setiap sosok manusia dan mobil.
Tapi kantor di gedung itu ada beberapa buah dan karyawannya sudah tentu buanyaaak sekali. Selain itu hampir tiap mobil kacanya gelap. Jadi, sulit sekali menemukan apa yang mau dicari.
Pasha mengeluh ketika menyadari kekeliruannya. Bagaimana dia akan melihat Tesa"! Manu-sia begitu berjibun seperti laron keluar dari sa-rang setelah hujan!
Makin banyak orang yang pulang, makin ciut semangatnya. Selain itu ha tiny a mulai ragu. Be-tulkah dia belum mirip orang gila"! Sudah berapa kali dia menelepon ke kantor, selalu orang menyebut "Ibu Tesa". Apa artinya itu"! Bukankah dia masih terlalu muda untuk dipanggil begitu"! Kecuali... kalau dia sudah...! Apakah dia mengejar-ngejar bird orang"!
Matanya sudah pedih sebab sejak tadi tidak mengedip mengawasi orang serta barisan mobil yang antre mau keluar dari halaman gedung. Dia khawatir, kebetulan mengedip nanti Tesa lewat dan tak terlihat!
Jalur mobil di mulut garasi cuma dua, tapi di halaman jadi bertambah dua lagi, sebab halaman itu luas dan setiap pengemudi ingin lekas-lekas pulang.
Karena harus memperhatikan pejalan kaki dan pengemudi sekaligus, lama-lama Pasha jadi kewalahan. Kepalanya sampai terpaksa ber-gerak-gerak terus,
nengok kiri nengok kanan. Tapi sampai mendekati setengah enam, belum ada orang yang mirip Tesa.
Dia mulai putus asa. Dilihatnya arloji. Sudah hampir waktunya untuk pulang, mandi lalu pra
ktek. Dari arloji cepat-cepat matanya diang-kat kembali. Mobil masih antre panjang. Sekarang mulai serabutan, sebab halaman mahaluas, tapi pintu gerbangnya biasa saja. Mendadak matanya hampir terloncat keluar.
Di seberang sana, dalam jalur keempat, dilihatnya seorang gadis di belakang setir. Jendela mobil kebetulan terbuka, jadi pandangannya tidak terhalang. Walaupun jarak mereka ada sepuluh meter, dia yakin itu siapa.
Cepat-cepat dia mencoba menyeberang. Tapi ternyata tidak gampang. Mobil-mobil itu tak punya belas kasihan untuk orang yang cuma punya dua kaki, mau mengemis jalan. Tak ada yang mau mengalah memberinya kesempatan menyelip sana-sini. Bisa meloncat sekali ke tengah jalan, lalu mesti menunggu lama sampai ada lagi pengemudi lain yang baik hati dan kebetulan sedang penuh humor, tidak me-nyumpah-nyumpah diselak orang lewat.
Dia berdiri di tengah jalan, terpaku seperti patung menunggu kesempatan. Akhirnya ada mobil yang masih dua meter dari dia.
Pasha meloncat kembali. "Mampus kau!" maki sopir yang diselip.
Sekarang Pasha sudah makin ke tengah dan lebih mendekati jalur keempat. Tapi mobil makin semrawut. Pelan dikit saja yang di depan, sebelah belakangnya sudah ribut dengan klak-son.
Pasha berdiri di antara seliweran mobil-mobil, siap sedia meloncat begitu ada kesempatan. Sementara itu matanya memperhatikan jalur yang
dituju. Sejenak dia panik. Honda Civic abu-abu tadi sudah tidak kelihatan! Matanya nyalang ke sana kemari. Kemudian dia bernapas lagi. Ah, itu dia. Sudah lebih ke depan, mendekati pintu gerbang.
Hm. Menilik mobilnya, pasti kedudukan Tesa amat bagus. Penghasilannya besar.
Tiba-tiba, tanpa diharapkan, ada mobil yang berhenti, lalu menyilakannya menyeberang. Pasha mengangkat tangan sambil mengangguk.
Sayang! Begitu dia tiba di seberang sana, mobil abu-abu itu pas meluncur ke jalan, lalu se-gera tancap gas. Pasha mengeluh kesal. Sampai lima menit diawasinya mobil itu, hingga lenyap di kejauhan. Lalu dengan kepala tunduk dia berdiri lagi di pinggir, siap untuk menyeberang ke tempat asal, kemudian dari sana turun kem-baM ke garasi mengambil mobil.
Entah bagaimana, pada suatu hari operator teledor. Ada telepon nyasar ke kamar Bos. Tapi sebenarnya diam-diam Bos sudah memberi memo pada operator: "Kalau ada Pak Solem menelepon, sambungkan langsung pada saya!" Tentu saja Bos tidak menyebut-nyebut soal gangguan terhadap Tesa.
"Halo, selamat pagi. Boleh saya bicara dengan Tesa""
"Dari Solem! Pasha Solem!" "Hm. Begini, Pak Solem, saya tidak mau tahu apa masalahnya, tapi saya minta agar Saudara jangan sekali-kali menelepon lagi ke sini! Saudara mengganggu, tahu"!"
"Lho! Saya bicara dengan siapa ini"" "Dengan Presdir sendiri! Dan Nona Tesa sudah ada yang punya!"
"Oh, bukan dia yang saya tuju. Tapi satunya lagi, Ibu Tesa!"
"Ibu Tesa" Memangnya di sini ada berapa Tesa"" tanya Bos dengan geram.
"Ya, Ibu Tesa itu! Tesa Rodan! Bukannya Nona Tesa yang sudah anu... ada anu... "
"Pak Solem!" potong Bos dengan murka. "Di sini cuma ada satu Tesa! Nona Tesa Rodan. Dia sekretaris saya dan juga calon istri!!!"
Brukkk! Sampai sakit telinga Pasha ketika telepon dibanting. Sekarang dia tak tahu akal lagi. Tempo hari dia pernah bicara dengan orang yang mengaku sekretaris. Tidak jelas sekretaris siapa. Dalam kantor besar, masing-masing kepala bagian mempunyai sekretaris pribadi memang. Entah ada berapa di kantor Tesa. Yang pasti, suaranya tidak mirip dengan suara Tesa. Tapi, setelah hampir empat tahun, apakah dia masih bisa ingat betul suaranya"!
Dan sekarang, bosnya sendiri yang bilang bahwa dia calon ratunya! Berarti dia tak usah . mimpi macam-macam lagi. Tapi apakah itu bisa dipercaya"! Di manakah Tesa waktu bosnya
marah-marah di telepon".1 Apakah dia tengah duduk di sampingnya, mendengarkan sambil bermain-main dengan dasinya"!
Pasha menarik napas kesal. Ah, rasanya sebelum mendengar sendiri dari mulut Tesa, dia belum mau percaya! Dia tidak rela menyerah begitu saja.
Kepusingannya bertambah karena ulah Shakira. Nyonya Goffar ini jadi mendadak po-puler di klinik setelah teleponnya yang ketiga atau keempat Baik re kan mau pun param
edis, sama-sama menggoda Pasha. Kalau dia muncul pagi hari, terkadang Suster Rani, sudah siap menunggu.
"Dok, tadi Ibu Goffar menelepon. Katanya penting. Dokter dimintanya supaya menghu-bungi kembali!" Tentu saja tak pernah diladeninya. "Gimana tadi urusannya, Pas"" tanya rekan-nya kalau ketemu. "Aku dengar nonimu tidak sabar lagi mencari-carimu! Katanya, kau suuu-dah lamaaa minggat, sampai dia kangen!"
"Apa dia mengaku masih noni" Buset! Anak-nya sudah dua!" pekik Pasha tersenyum pasrah seperti napi yang tak punya jalan kabur.
Soal Shakira, walaupun cukup membuatnya tobat, namun tidak diacuhkannya. Diinstruksi-kannya pada semua perawat yang kebetulan menerima telepon, agar mengatakan bahwa dia tidak di tempat.
"Oh, dia tidak percaya, Dok!" seru Suster
Rani. "Katanya, 'Selalu tidak di tempat! Saya
enggak percaya!"1 "Biar deh tidak percaya! Toh saya bukan suaminya! Kenapa mesti dipercaya" Buat apa main-main dengan istri orang" Saya masih ingin hidup lama kok, Sus!"
"Aduh, kurus banget kau sekarang!" tukas
seorang rekan yang lain. "Aku dengar kau ada affair sama... ssst... janda kaya, nih"! Sudah pu-tus, ya" Bosan" Aku dengar, dia nguber-nguber terus, ya" Kau takut tertangkap basah" Apa karena itu kau jadi lidi begini" Eh, kenapa enggak kaucekoki saja koktil acetylcholine dicam-pur... anu..." "Aku belum ingin, ah, jadi agen perjalanan ke neraka!" Tapi kurusnya itu memang karena keruwetan pikiran. Cuma bukan Nyonya Goffar penyebabnya.
Setelah dipikir-pikir sampai bertambah uban, dia yakin tinggal satu jalan keluar. Mendatangi rumahnya! Walaupun kedengarannya mengeri-kan, tapi seperti orang yang punya utang kele-wat banyak, dia tahu tak ada jalan lain. Harus nekat! Itu atau... !
Walaupun minta bantuan komputer sekalipun, dia percaya cuma satu itu penyelesaian kesulitannya. Namun, jalan keluar ini pun me-nimbulkan kesulitan baru.
Dia tahu, Tesa tak mau menemuinya, entah kenapa. Nah, bagaimana sikapnya nanti seandainya gadis itu mengusirnya mentah-mentah"! apa yang akan terjadi sekiranya Tesa menyatakan tak pernah mengenalnya, di depan sekalian anggota keluarga, pembantu, dan anjing-kucingnya. Bisakah dia hidup terus setelah mendapat malu sebesar itu"! Apakah tidak lebih baik mempercayai omongan presdir itu saja, dan membiarkan masa lalu tetap berlalu"!
Bab 15 Minggu berganti minggu. Gangguan telepon sudah berhenti. Tesa merasa lega walaupun dia tidak tahu bahwa dia sebenarnya mesti berterima kasih pada Bos.
Hidup berlangsung biasa lagi. Iklan penjualan rumah Shakira sudah dimuat. Peminatnya banyak. Tapi yang berhasil membelinya adalah ayah Shakira sendiri.
Pada suatu hari Shakira menelepon Tesa di rumahnya, lalu bercerita panjang-lebar. Tesa, ayahku sudah membaca iklan yang kaupasang itu. Setelah dia tahu Goffar sudah minggat ru-panya dia jadi kasihan pada nasib anak-anakku. Katanya dia bersedia membeli rumah itu dan kami kemudian diperbolehkan tetap tinggal di sini tanpa harus membayar kontrak, tapi ada syaratnya. Aku harus bercerai dengan Goffar!"
Tesa menahan napas. Celaka. Bisa rumit, nih.. Goffar beristri saja sudah sulit dihalaunya, apa-lagi Goffar tanpa istri! Tentu pikirnya tak ada halangan lagi bagiku untuk kembali... !
"Lantas, kau mau"" tanya Tesa dengan was-wns.
"Tentu saja! Dia sudah kabur meninggalkan diriku, buat apa aku pertahankan" Memang nya dia apa, sih" Laki-laki kan masih banyak di dunia ini, Tes! Hilang satu, ganti sepuluh! Apa-lagi dia kan enggak bertitel! Yang bertitel pun banyak yang naksir aku, kok. Misalnya, Dokter... Solem!"
Tidak salahkah pendengaranku" pikir Tesa kaget Tapi dia tidak sempat melamun lama-lama, sebab Shakira sudah bicara terus.
"Kau tahu sebabnya, Tes" Lantaran setiap orang kepingin punya mertua kaya! Ha, ha! Enggak terkecuali dokter!"
Shakira sudah tidak beres! pikirnya. Ketawa-nya yang begitu nyaring tidak enak didengar.
"Shak, barangkali kau belum tahu, nih"! Dokter Solem itu sudah punya istri, Iho! Dokter Pika namanya!"
Di luar dugaannya, Shakira ternyata tidak menjadi risau.
"Ah, pasti sudah cerai! Kalaupun belum, sekarang dia pasti sudah mau cerai! Setelah dia mendengar si
apa ayahku, mana bisa dia tidur nyenyak lagi sebelum jadi menantunya" Ya, aku rasa, ah, pasti deh, mereka sudah cerai! Mau taruhan, enggak" Sebab kalau belum, pasti dia enggak begitu agresif, dong!"
Tesa makin tercengang mendengar ini. Pasha sekarang jadi agresif pada Shakira"! Yang benar!
Dia memang tahu betapa agresifnya laki-laki itu, tapi masa sih sama perempuan yang sudah berbuntut dua"! Seperti sudah tak ada perawan
lain di muka bumi! Eh, tapi kalau dikaji lebih lanjut, mungkin Shakira tidak terlalu salah, pikirnya dengan ke-cut. Bukankah beberapa waktu yang lalu Pasha gencar betul meneleponnya"! Kalau masih ada Pika, mana dia berani! Lalu, mungkin karena dia tidak meladeni, dia jadi beralih pada Shakira"! Dasar orang ini nasibnya selalu baik, keluhnya penasaran.
Shakira sebenarhya tidak jujur seratus persen. Ketika dia mengatakan Dokter Solem agresif, maksudnya caranya memaksa untuk mendapat info mengenai Tesa tempo hari. Tapi Tesa tentu saja mana tahu. Terlebih ketika mendengar Shakira bla-bla-bla terus mengenai hubungan-nya dengan dokter ganteng itu yang tampaknya sudah cukup erat juga, hatinya. rasa teriris sesayat-sesayat.
Tangannya terasa lemas sekali ketika dia me-letakkan kembali pesawat. Aneh, dia tidak sampai pingsan, pikirnya sinis.
Shakira begitu asyik ngoceh sampai rupanya tak teringat sedikit pun olehnya untuk meng-ucap terima kasih apalagi mengembalikan ong-kos pasang iklan serta biaya anaknya masuk rumah sakit! Tesa sebenarnya ingin menagih, taP1' gimana ya, lidahnya sudah keburu kelu mendengar serentetan petualangan Pasha yang
terbaru. Kok harus dengan Shakira, keluhnya kesal. Apakah Pasha sudah lupa bahwa Goffar dulu- juga direbut oleh perempuan binal itu"! Dalam sengitnya, dia telah menamakan teman-nya itu binal!
Ah, kalau memang cuma sebegitu moral dan karakter Pasha, dia juga tak usah merasa pena-saran mendengar segala sepak terjangnya. Dia tak perlu menyesal tidak berhasil menjadi pa-sangan abadinya. Buat apa laki-laki seperti itu dirindukan! Bah!
Tapi, uang yang dipinjamkannya pada Shakira kan bukan didapatnya dari lotre. Itu kan hasil keringatnya sendiri! Sudah sepantas-nya kalau ditagihnya. Tapi bagaimana ya, cara-nya"!
Jangan-jangan dikira Shakira, semua itu ter-masuk kewajibannya! Sebab dia telah membuat Goffar lari ke luar negeri! Mungkin karena berpikir demikian
Shakira sama sekali tidak me-nyinggung masalah utangnya. Celaka dua belas kalau begitu!
Uhtunglah sebelum dia mengambil tindakan apa-apa, pada suatu hari datang orang suruhan ayah Shakira mengantarkan amplop berisi uang pengganti biaya iklan serta ongkos rumah sakit. Ayahnya rupanya tahu bahwa anaknya sama sekali tak punya uang lagi, jadi ditanyakannya dari mana semua biaya itu.
Tesa pun kembali tenggelam dalam dunia ke-seharian yang tak punya ragam. Semua serba rutin, Kadang dia merasa jenuh, tapi tak tahu mesti lari ke mana.
Shakira tidak lagi menelepon. Rupanya sedang asyik dengan pacar baru, pikir Tesa sinis.
Supaya ibunya tidak banyak bertanya ini-itu, Tesa sengaja menyibukkan diri dengan tugas kantor. Beberapa kali seminggu dia pulang agak malam. Alasannya, lembur. Sebenarnya itu bukan paksaan. Bos kebetulan menawarkan agar dia mau lebih lama mengetik surat-surat dengan mesin prosesor. Tidak terduga-duga Tesa langsung bersedia! Maka Bos pun jadi ikut keripuh-an mencari-cari alasan agar bisa tinggal lamaan di kantor, sebab kesempatan berduaan begini tentunya langka sekali.
Sekarang sudah mulai musim hujan. Hampir tiap sore langit membuka diri membasahi bumi. Ketika Tesa mulai pilek-pilek, ibunya mencoba melarangnya lembur.
"Ah, saya cuma pilek sedikit, biasa kan, Mam. Nanti juga baik," kilah yang dilarang.
Sebenarnya Tesa resah kalau pulang terlalu sore, di rumah tak tentu apa yang akan dikerja-kannya. Dulu dia masih senang membaca novel, tapi sejak Shakira "menjambret" Dokter Solem, hobi itu mendadak jadi tidak menggairahkannya lagi.
Pada suatu kali, ketika hujan amat lebat, mobil Tesa mogok. Untung masih dalam garasi,
sehingga dia tidak sampai kebasahan. Terpaksa
dibiarkannya Bos mengantarnya pulang. Dan se-isi rumah yan
g sudah menunggu nya sejak tadi di teras depan, kini bangun semua dari kursi mengawasi laki-laki yang begitu sopan mengangguk pada mereka.
"Pacarmu, Kak Tesa"" tanya Aster lugu ketika 60s sudah pergi.
"Huss! Anak kecil!" sergah Ibu, namun Tesa melihat perempuan itu berbinar matanya dila-mun harapan. Ketika dirasanya tak ada yang mendengar, dia berbisik, "Siapa tadi, Tes""
"Bos saya, Mam. Ganteng, ya"" tukas Tesa dengan ketawa penuh arti membuat hati ibunya mencak-mencak kegirangan.
Dan perasaan itu makin membubung ketika hujan masih sering datang. Tesa beberapa kali lagi terpaksa diantar pulang oleh Bos. Pada kali yang terakhir, ibu Tesa memberanikan diri dan menahan jejaka itu untuk makan malam bersama.
"Ini sebagai tanda terima kasih kami atas per-hatian Anda pada Tesa. Coba kalau tidak diantar, mana hujan begini deras!" kilah ibunya, tapi Tesa lebih
arif. Dia tahu jebakan apa yang sedang dipasang oleh ibunya, namun dia berlagak bodoh. Cuma dalam hati dia meringis, ngeri bercampur lucu.
Sejak makan malam itu, "resmi'Tah Bos ditah-biskan sebagai pacar Tesa oleh saudara-saudara-nya. Yang bersangkutan merasa geli, tapi tidak
membantah. Pikirnya, biarlah kalau itu bisa me
nyenangkan Mami. Saat itu di kantor sudah banyak karyawan yang kena flu. Rupanya udara AC tidak membuat tubuh lebih kuat menahan invasi virus. Dan Tesa yang memang sudah pilek. pun ikut roboh. Dua hari dia masih bertahan masuk kantor walaupun dengan mantel dan syal. Tapi pada hari ketiga dia tidak sanggup bangkit dari tempat tidur. Kepalanya pusing, tubuhnya de-mam, dan tenggorokannya seperti terbakar, pe-dihnya bukan main.
Sorenya ada yang menjenguk. Siapa lagi, ten-tunya Bos! Dari jauh Aster sudah mengenali mobil merahnya, lalu berlari ke kamar kakak-nya.
"Kak Tesa, pacarmu datang! Ayo, berlagak tidur, dong, nanti dikira Kakak bukan sakit be-tulan!" katanya sok mengajari.
Tak usah disebut lagi betapa senang dan ber-syukurnya hati sang ibu. Namun Tesa kelihatan tidak gembira. Bagaimana dia mau senang, ba-dannya terasa sakit dan ngilu semua. Obat flu yang ditelannya ternyata cuma membuat jan-tungnya berdebar dan ngantuk. Tapi demam dan pusingnya tidak hilang. Esoknya malah ditambah dengan batuk kering yang membuat dadanya terasa sakit. Bunyinya kong-kong seperti kodok bangkong. Esok sorenya Bos kembali datang. Dengan
rasa khawatir dia menyarankan agar dipanggil-kan dokter.
"Oh, tak usah!" bantah Tesa terkejut.
Kalau anak-anak lain takut setan, maka sejak ketil cuma dua hal yang ditakutinya. Pergi ke 'dokter umum dan dokter gigi! Dia takut sekali disuntik.
"Dua hari lagi juga baik! Pusingku sudah hi-lang, kokf sambimgnya berdusta. "Tapi demammu masih tiga puluh delapan
lebih!" tukas ibunya menimbrung. Sebenarnya sejak kemarin-kemarin dia sudah mau diajak ke dokter, namun tak mau. Katanya, biar tunggu Markus pulang saja. Abangnya saat itu kebetulan sedang ke Jawa Tengah meninjau beberapa puskesmas.
Mendapat bantuan tenaga dari ibu Tesa, Bos jadi makin berani.
"Pokoknya kau harus ke dokter, Tesa. Kalau besok aku datang kau belum juga ke dokter, nanti aku yang akan membawamu ke sana!" ancamnya dan Tesa tahu, ancaman itu tak bisa diremehkan.
Esok paginya ketika ibunya kembali menim-bulkan soal "pergi ke dokter", Tesa berdalih dia takkan kuat berdiri dan berjalan ke luar rumah.
"Kalau begitu, nanti sore panggilkan saja Dokter Yusuf kata ayahnya.
Dokter Yusuf adalah tetangga mereka. Rumahnya nomor lima belas, sedangkan rumah mereka nomor dua puluh enam.
Karena sakitnya tidak juga mendingan, Tesa tidak lagi membantah ketika sorenya ibunya
mau menelepon ke seberang. Sudah tiga kali dia berganti obat, tapi tidak juga sembuh. Sedangkan Markus belum juga balik.
"Dokter Yusuf sedang cuti, Senin baru prak-tek lagi," kata ibunya sehabis menelepon. "Tapi ada asistennya. Dia akan datang |ebentar lagi. Kata susternya, sekarang masih terlalu banyak pasien."
"Kenapa enggak tunggu dia saja, Mam" Nanti asistennya enggak betus,
lagi.... " "Sekarang baru Jumat, Tes. Besok tak ada dokter yang buka. Apa kau sanggup menunggu sampai Senin""
Tesa terpaksa mengakui dalam hati kebena
r-an pendapat ibunya. Dia merasa tidak sanggup lagi menunggu satu jam pun. Tapi sang asisten ternyata baru datang setelah hari gelap. Sambil tersipu-sipu dia minta maaf pada orangtua Tesa, menyalahkan pasien yang berjubel dan tak bisa ditinggalkan semenit pun. Kalau dia boleh terus terang, sebenarnya sang dokter mau bilang bahwa sejak sore tadi dia sudah kepingin ke kamar kecil, namun ditahan-tahannya.
"Dok, enggak bisa ke seberang sekarang, Dok," kata suster tadi. "Pasien masih terlalu banyak. Semua maunya masuk cepat-cepaf, tapi kalau sudah di dalam tidak mau keluar-keluar, maunya sih membeber riwayat hidup sama dokter! Iya kan, Dok" Kalau nunggu kelamaan
dikit saja sudah menggerutu. Apalagi kalau kter tinggal ke seberang, wah, bisa-bisa mere-mengadu ke LBH! Pasien-pasien zaman sekarang, waduh, galaknya!"
Sang dokter cuma ketawa kecil mendengar kebijakan perawatnya. Kini, setibanya di rumah seberang, dia baru teringat bahwa kebutuhan-nya ke kamar kecil belum terpenuhi. Kira-kira sopan enggak ya, kalau permisi sekarang"!
"Syukurlah akhirnya Dokter bisa datang juga," sambut ibu Tesa dengan manis, lalu meng-ajaknya ke kamar putrinya. Sang dokter pun terpaksa menangguhkan niatnya.
"Tesa!" serunya dari luar kamar. "Ini dokter-nya sudah datang."
Pintu dibuka. Ibunya masuk diikuti... Tesa terpana bagaikan melihat ular kobra me-luncur masuk. Seketika itu dia langsung ingin menyuruh dokter itu keluar lagi, tapi suaranya tidak berbunyi. Cuma bibirnya saja yang ter-buka seperti orang kaget.
Sementara itu ibunya telah menutup pintu, lalu berdiri di kaki ranjang. Sedangkan sang asisten sudah meletakkan tasnya di atas meja kecil dan mulai sibuk mengeluarkan perkakas-nya.
Entah kelupaan atau sengaja, sang dokter tidak menyebutkan namanya ketika bersalaman tadi. Demi kesopanan, Tuan dan Nyonya Rodan pun segan menanyakan. Namun Tesa yakin matanya belum rabun. Laki-laki yang tengah
menarik keluar stetoskop dari tas hitam itu ada-lah Dokter Solem! Pasha Solem. Dan mau apa
dia di sini"! Kini dia sudah menghampiri ranjang, lalu duduk di pinggiran tanpa permisi. Dengan terpaksa Tesa menggeser ke dalam sedikit. Geraham-nya dikatupkannya erat-erat saking jengkel. Huh! Kalau saja ada caranya bagaimana dia bisa meletupkan perasaannya saat ini! Tapi tak ada! Dia bahkan harus berlaku sopan dan menuruti setiap perintah dokter...! Huh! Dokter apa!
Kunyuk hidung belang begini, apa betul mahir mengobati"! Bikin hancur, itu dia mahir! Huh! Berani-beranian datang ke sini!
Tanpa menunjukkan bahwa dia mengenali pasiennya, dimintanya Tesa membuka baju.
Ini sudah betul-betul keterlaluan! Rasanya dia ingin berteriak atau menangis! Tapi ibunya mengulangi perintah itu dengan otoritas penuh.
Sambil mengatupkan kembali bibirnya dan menggertakkan gigi, Tesa terpaksa menurut, sebab ibunya ada di situ mengawasi. Dia tidak mau menimbulkan kecurigaan tentu saja.
Nah! Puaskanlah mata keranjangmu! kutuk-nya dalam hati tanpa sudi memandang ke arah sang dokter.
Selama terbaring di ranjang, tentu saja Tesa tidak mengenakan penutup dada di balik baju tidurnya. Setelah kancingnya dibuka, dia tak punya pertahanan apa-apa lagi. Dia merasa begitu tidak berdaya, sampai rasanya betul-betul
ingin menangis. Dasar nasibnya selalu jelek. Dalam keadaan sengsara begini pun, dia masih kena hinaan juga! Musuhnya yang menolong! Atau, kalaupun bukan musuh sungguhan, paling tidak, laki-laki ini sudah kelewat sering melukai hatinya.
Dia tahu, dia tak pernah dianggap sebagai sesama manusia oleh Pasha. Ketika Pika memer-lukannya, dengan mudah saja dia telah dicam-pakkannya, seolah dia sama sekali tak bisa pa-tah hati. O ya, Tesa mana punya perasaan! Dia kan cuma boneka dungu belaka! Manis untuk dipandang, sedap untuk diajak main.
Nah, kalau dulu saja tidak dianggap, apalagi sekarang. Dia tidak lebih dari seorang pasien! Tak perlu disapa! Apalagi diakui sebagai kenal-an lama! Terlebih jangan mimpi, dia akan ber-teriak kegirangan, "Ai, Tes, kita ketemu lagi!" Huh! Padahal rasanya baru kemarin dia bilang cinta! Huh! Omong kosong! Cinta mo-nyet barangkali, itu mungkin benar! Heran, kenapa dia b
isa kebetulan sedang menggantikan Dokter Yusuf, sih"! Ah, dasar nasibku jelek terus!
Dengan lagak seorang dokter yang serius sekali, laki-laki itu menguak gaun tidur yang sudah terlepas kancingnya, lalu seperti seorang ahli jantung jempolan diletakkannya stetoskop pada beberapa tempat tertentu di dada.
Tesa yakin jantungnya sehat dan penyakitnya sekarang ini sama sekali tidak menyerang ke
sana, namun entah kenapa, Dokter Solem men-dengarkan denyutaya begitu laaama! Matanya yang menunduk tak bisa dilihatnya, sehingga
dia tidak bisa menerka apa yang tengah diper-hatikan atau dipikirkan olehnya. Untuk menga-jukan protes, dia segan. Nanti dianggap sok
tahu. Selain itu, ibunya kan masih berdiri di ujung ranjang, jadi tak ada alasan baginya untuk menuduh dokter itu kurang ajar atau yang bukan-bukan lainnya.
Dengan terpaksa ditahannya siksaan itu. Lama-lama dia menjadi keki. Pandanglah se-puasmu, pekiknya dalam hati. Sebab semua itu takkan pernah
menjadi milikmu! Nanti bisa kaubandingkan dengan Pika! Atau, kini sudah dengan Shakira"!
Emosi seperti itu tentu saja membuat denyut jantungnya bertambah. Dokter Solem mengerut-kan kening.
"Debar jantungmu kencang sekali," cetusnya tidak pada siapa-siapa, lalu tiba-tiba menoleh pada si sakit. Dirabanya sejenak dahinya.
"Hm. Tidak terlalu demam!"
Karena Tesa memang tengah melotot meng-awasinya, dia tidak sempat lagi membuang muka. Sesaat mereka bertatapan. Tapi Dokter Solem cepat mengalihkan matanya seakan tak ada apa-apa.
"Anak Ibu memang cukup serius sakitnya!" katanya, kali ini menoleh ke kaki ranjang. "Kenapa baru panggil dokter sekarang""
Nyonya Rodan jadi gemetar ketakutan. Ucap-an seperti itu biasanya berarti burtik. Dengan gagap dia menyahut, "Anaknya... ban... del, Dokter. Eng... gak... mau... te... rus... dia... jak... bero... batT
"Hm. Kenapa" Takut dijeksi"!" Dokter menatap sekilas pasiennya. Tentu saja Tesa mana sudi meladeni, apalagi menyahuti. Kaukira lu-cu" pikirnya. Huh! Tak usah, ya!
"Betul, Dokter. Anak saya ini sejak kecil paling takut sama jarum suntik!" kata Nyonya Rodan mengiakan.
"Hm. Coba tarik napas panjang, keluarkan. Sekali lagi. Terus. Sekali lagi. Sekali lagi. Tarik, keluarkan. Tarik, keluarkan. Tarik, keluarkan. Taaarik.-" Tapi lalu sang dokter lupa memberi perintah keluarkan.
Tesa terus menarik napas sepanjang mungkin sampai rasanya tak tertahan lagi. Namun aba-aba keluarkan tidak juga terdengar. Dadanya sudah serasa mau meledak. Dia malah jadi se-sak napas, akhirnya terbatuk-batuk.
Dokter Solem menatapnya, lalu. dengan te-nang berkata, "Dikeluarkan, dong, napasnya, jangan ditahan begitu!"
Brengsek! kutuk Tesa dalam hati. Kenapa enggak mau bilang dari tadi"!
Rupanya stetoskop masih belum memberi Info yang cukup, sehingga Dokter Solem merasa perlu menggunakan jari-jarinya untuk ketuk-ketuk sana-sini. Aduh, merinding bulu badan
Tesa bersentuhan seperti itu. Dia langsung ter-ingat keindahan musim panas di bulan Desem-ber serta ketenteraman musim dingin, berduaan
duduk di depan jendela....
"Tesa!" Tiba-tiba dia kaget mendengar panggilan ibunya. Oh! Rupanya dokter mau memeriksa teng-goroknya dan sejak tadi menunggunya buka mulut. Spatelnya siap di ujung bibir.
Tesa menganga selebar-lebarnya, berharap akan bisa batuk keras-keras agar bisa menyem-prot Pak Dokter. Tapi Dokter Solem rupanya sudah bisa menduga adanya iktikad jail, atau mungkin juga dia sudah kelewat berpengalam-an, tak mungkin bisa dipermainkan.
Begitu Tesa menggerakkan lidah mau batuk, spatel sudah ditarik ka luar dan dokternya berdiri. Setelah membuang spatel kayu itu ke tong sampah dekat meja, dia kembali ke ranjang. Lalu dengan tenang, seakan itu termasuk tugas-
nya, dikancingkannya kembali gaun tidur pasiennya satu per satu. Mula-mula Tesa ingin menolak, tapi entah kenapa akhirnya dibiarkan-nya.
"Nah, pemeriksaan sudah selesai! Sekarang saya mau menulis resep," katanya tidak pada siapa-siapa.
Seakan itu kata sandi untuk menyuruhnya keluar, ibu Tesa langsung berlalu. Pintu kamar dibiarkannya terbuka. Begitu ibunya lenyap dari lapangan pandang, medan pun segera berubah
suasana. Ketika Dokter S olem meraih pergelang-annya untuk menghitung denyut nadi, dengan berang dikibaskannya tangannya. Wajahnya yang sejak tadi tidak mencerminkan emosi apa pun, kini menatap dengan garang.
"Nah, setelah puas menghinaku, pulanglah le-kas pada istrimu! Pika pasti sudah tidak sabar menunggumu.
Dokter Solem malah ketawa menghadapi pe-nolakan tadL Dengan tegas ditangkapnya kembali lengan Tesa, lalu digenggamnya dan dihi-tung denyutnya. Setelah selesai, dia memandang Tesa seraya tersenyum.
Tidakkah kau mau berterima kasih padaku, sebab tidak menyuntikmu""
"Huh! Tunggu kiamat dulu!" dengus Tesa dengan sebal.
"Tahukah kau" Wajahmu tambah memikat kalau marah!"
Lalu wajahnya menunduk lebih dekat, sehingga Tesa terpaksa melihat betapa bagus mata hitam Pasha. O, Tuhan, keluhnya. Laki-laki ini bisa tersenyum dengan matanya! Wajahnya yang putih dan tampan begitu terbuka. Ditam-bah dengan sepasang bola mata yang penuh binar, ah! Aku tak tahan ditatap seperti itu. Aku tak bisa memakinya walaupun dalam hati ingin banget!
"Sudahlah, Pas. Jangan bersandiwara lagi! Aku tak tahu kenapa kau bisa datang kemari
sore ini! Kok tumben menggantikan dokter te-tanggaku""
Pasha seakan ingin ketawa geli, namun melihat wajah Tesa belum menawarkan perdamai-an, dia tidak jadi.
"Ini namanya keberuntungan, Tes. Biasanya Dokter Harun yang menggantikan Yusuf. Tapi mendadak dia kena apepe... anu, usus buntunya harus dipotong. Dokter Yusuf mesti cuti mene-ngok ibunya di Jawa, kabarnya sedang sakit, sudah tua. Nah, aku tahu kau tinggal di jalan ini. Aku pikir, kalau aku praktek selama dua minggu, barangkali saja aku bisa melihatmu wa-lau cuma sekali. Dari jauh! Hari ini sebenarnya dinasku berakhir. Sabtu kan tutup, dan Senin Dokter Yusuf sudah akan praktek lagi. Tapi dasar jodoh, eh, ibumu menelepon.... "
Cis! Jodoh dari mana, pikir Tesa sengit. Dasar laki-laki! Di rumah sudah beristri, di luaran mengaku masih cari-cari jodoh!
"Sudahlah, Pas. Cepat tuliskan aku resep. Setelah itu kau boleh pulang."
"Aku diusir, nih"" tanyanya dengan mata masih penuh senyum.
"Aku menghargai kau!" katanya pelan setengah mengeluh. "Janganlah menjadi laki-laki yang tidak setia!"
"Kalau kau cuma menghargai aku, aku malah mencintaimu! Janganlah menuduh sembarang! Pika sudah baikan lumpuhnya. Dia kini bisa menggunakan kursi roda dan... "
"Syukurlah," potong Tesa tak sabar. "Tapi maaf, aku tidak berminat untuk mendengar ten-tang istrimu!"
"Kau harus mendengarnya! Tesa, dia sudah lama menikah dengan Michael dan menetap di Perth!"
"Oh"""!" Tesa nyaris melongo saking heran.
"Begitu Michael sudah sembuh dan bisa me-nolongnya, aku disepaknya! Rupanya aku ini tak pernah dibutuhkan olehnya!" "Kasihan!" ejek Tesa mencibir.
Pasha lebih mendekatkan wajahnya. "Jadi siapa yang mau kau tuduh enggak setia" Coba ulang sekali lagi! Jangan sok mengejek, ya!"
Dengan sikap mengancam diterkamnya kedua pergelangan tangan Tesa, lalu digenggam dan diacung-acungkannya. Tanpa setahu mereka, Aster sudah menyelinap masuk. Melihat kakak-nya terdiam saja sementara Dokter Solem kelihatan begitu mengancam, anak itu berlari kembali mendapatkan ibunya seraya berseru, "Mami! Mami! Kak Tesa bergulat sama Dokter!"
"Kalau dengan Shakira bagaimana"" tanya Tesa setengah berbisik.
Kedua orang itu tidak mendengar kepanikan Aster, sehingga mereka tidak menyadari bahwa di ambang pintu sudah berdiri dua orang pe-nonton.
"Shakira yang mana, sih"!" tanya Pasha sambil meraih kertas resep dan mencari bolpen. Dipukul-pukulnya setiap saku. "Astaga! Rupanya bolpenku masih ketinggalan di kamar Dokter Yusuf! Pinjami aku, Tes."
Ibu Tesa mengerutkan kening mendengar nama anaknya. Kayaknya kok seakan dokter ini
sudah biasa betul memanggil nama itu"!
Tesa menunjuk ke atas meja di samping ranjang tanpa bergerak untuk mengambilkan. Sikap ini juga membuat penonton di ambang pintu kembali mengerutkan kening.
Di atas tumpukan buku dan majalah terdapat bolpen, pensil, serta karet penghapus.
"Suka mengisi teka-teki silang, nih"" tanya Pasha sambil menarik bolpen.
Tesa tidak menanggapi. Ibunya makin ber-kerut keningnya.
Apa-apaan anak ini"! Enggak biasa-
Tesa Karya Marga T di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
biasanya enggak sopan begitu!
Sebaliknya dari menjawab, didengarnya Tesa bertanya makanan apa yang harus dipantang-nya. Dokter menyebutkan beberapa macam yang terlarang. Aneh. Tesa kedengaran geli ber-campur jengkel.
"Itu semua kan kesukaanku, Pas! Tega kau!"
Aduh, nadanya! pikir ibu Tesa. Dia baru tahu, anaknya punya bakat manja!
"Dan aku kok masih ingat ya apa yang kau-sukai!" Mata yang hitam itu kini menatap dengan tajam. Senyum di sana sudah lenyap walaupun kehangatannya masih terasa.
"Kalau kue dadar bagaimana"" tanya Tesa, tahu-tahu jadi ingin manja sungguhan.
Sudah sintingkah anak ini, pikir ibunya. Sejak kapan dia suka kue dadar"! Bukankah di rumah tak pernah dibuat kue itu"! "Bikin boleh, makan jangan!"
Nah, nah! Sekarang dokternya pun ikut-ikut-an sin ting!
"Ooi! Kau sentimen!" seru Tesa sambil memu-kul Pasha, membuat ibunya menahan napas sa-king heran. Apa-apaan ini"! Kok pasien dan dokter bercanda seperti teman sekolah"! Namun matanya langsung ierbuka begitu dia mendengar ocehan Pasha selanjutnya.
"Dua belas kali aku menelepon, selalu ditolak! Eh, enggak tahunya malah bisa langsung masuk ke tempat peraduan tuan putri. Apa itu namanya bukan bintang terang"" tukas Pasha dengan suara girang.
Tahulah dia sekarang siapa dokter ini. Dia langsung menggenggam lengan si bungsu dan menyeretnya pergi. "Yuk, mari, Aster. Jangan kita ganggu mereka. Kakakmu tidak apa-apa. Dia sedang diobati." Dan pintu dirapatkannya.
"Jangan senang-senang dulu!" ancam Tesa.
"Hm. Kenapa" Tak mungkin kau akan bisa menolak diriku lagi. Apa alasanmu" Aku kan masih bujangan"! Dan belum pernah enggak setia!"
"Kalau dengan Shakira, gimana"" "Shakira lagi! Shakira lagi! Siapa sih monyet itu""
"Itu, lho! Istrinya Goffar!"
"Oh, yang anaknya tempo hari kaubawa untuk opname" Yah! Kalau dia, gimana, ya"! Katanya dia sudah disuruh bercerai oleh ayahnya. Sang ayah ini katanya rindu sekali ingin punya menantu dokter. Terakhir, dia menawari aku kursi DPR. Ah, buat apa aku main-main di DPR" Kalau dia bisa menawarkan kursi direktur rumah sakit, nah, itu baru akan kupertimbang-kan dengan serius! Aku belum menolaknya, kok!"
"Memangnya peduli apa aku, kau menolaknya atau tidak!"
"Tentu saja kau tidak diharuskan peduli!" sa-hut Pasha kalem dengan alis terangkat tinggi, namun matanya masih tetap tersenyum. "Perempuan itu memang hebat sekali. Sendirian ke mana-mana mewakili ayahnya yang rupanya kebanyakan cuma sibuk main golf dengan penggede."
"Eh"!" "Waktu anaknya sakit tempo hari, untung sekali kebetulan ada kau! Dia sendiri katanya sedang di luar kota meresmikan kantor cabang, sedangkan ayahnya masih di New York untuk urusan bisnis juga. Dinamis sekali Shakira itu! Gesit! Sebat!"
"Oh"!" Tesa begitu tercengang mendengar cerita Pasha sampai untuk beberapa saat dia tak mampu berkata-kata. Sungguh hebat sekali lidah Shakira memutarbalikkan fakta sampai-sampai Pasha pun memuji dirinya! Gesit"! Hm
Kerja kantor tak mau, kerja di rumah pun ogah!
Mewakili ayah"! Hm. Hm. Siapa yang sudah-tidak diakui anak dulu itu"!
Ketika akhirnya dia bisa bersuara, Tesa me-mutuskan untuk tidak mengatakan perihal keadaan Shakira yang sebenarnya.
"Jadi itu yang dikatakannya padamu" Dia enggak bilang kenapa aku sampai membawa anaknya ke rumah sakit"!"
"Ya, aku juga memang sudah lama ingin tahu sebabnya! Apa kau kebetulan sedang bertamu pada Goffar mumpung tahu istrinya di luar kota"!"
Tesa meringis mendengar tuduhan yang mirip fitnah itu. "Nanti deh, aku ceritakan semua-nya! Sekarang aku lagi enggak ingin. Aku eng: gak bergairah
menjelek-jelekkan sesama perempuan! Salah-salah disangka orang, aku cemburu! Atau mau membuat engkau putus dengannya!"
"Astaga! Tesa, dungu betul kau ini! Kaukira aku belum menyadari siapa Shakira itu"! Perempuan itu mungkin agak sinting. Yang jelas, dia rupanya tergila-gila padaku! Hampir setiap pagi dia menelepon ke klinik, sampai-sampai aku jadi bulan-bulanan rekan-rekan dan perawat! 'Pas, apa kabar nonimu" Tadi pagi kata Suster Rani dia sudah hampir mewek di telepon men-cari-cari kau! Sudah lama minggat, ya! Pulang dong, kan kasihan anak orang!' Uh! Macam-ma
cam deh olok-olok mereka. Aku disangka ada main dengan janda kaya! Padahal sebenarnya aku tak pernah meladeninya. Sekali pun belum pernah aku sambuti teleponnya! "
"Apa iya"" tanya Tesa mencibir. "Menurut dia sih, kau ini sudah naksir dia benaran, deh. Katanya, kau kepincuk oleh kekayaan ayahnya! Padahal seingatku, ayahnya sih kaya biasa-biasa saja. Artinya, enggak ada hubungan dengan DPR segala macam! Eh, kok aku jadi banyak mulut"! Salah-salah nanti dikira mau menjelek-kan orang lain!"
Pasha ketawa. "Rupanya memang, ya!"
"Eh" Mau fitnah""
"Habis! Menurut pengakuannya sendiri, ayahnya itu teman main menteri-menteri, bankir-bankir, dan orang-orang gedean lainnya. Ayahnya punya usaha juga di luar negeri. Pendek-nya, menurut dia, sang ayah itu salah satu juta-wan paling top di republik kita ini! Ha, ha, ha! Makanya dengan gampang dia tawarkan kursi DPR! Berapa saja mau, pasti dapat! Dan kau bilang... ha, ha, ha! Dia biasa-biasa saja"!"
Tesa ikut ketawa setelah mengerti maksud Pasha. "Sudah, ah! Jangan mempercakapkan orang lain! Enggak baik. Aku sudah senang bahwa semua itu rupanya cuma khayalan Shakira belaka. Tadinya aku sangka, kau sudah... " Suara Tesa mengandung kelegaan. "Sudah apa"" sambung Pasha menuntut. Tesa cuma menggeleng. Pasha tidak memaksa.
"Nah, jadi persoalan Shakira sudah terang. Urusan kita pun beres, bukan"" "Enggak segampang itu!" sahut Tesa pelan.
"Eh, kenapa lagi" Apa alasanmu masih mau menolak aku sekarang" Aku kan masih bujang-an"r
"Itu salahmu sendiri! Jangan salahkan aku! Nah, memang kenapa sih kau belum kawin""
"Aku menunggumu. Sekarang setelah kita ketemu lagi, tentunya kita akan rujuk, bukan" Kau juga menungguku, kan""
"Ti... dak!" bantah Tesa gugup mendadak.
"Jangan bohong! Lalu kenapa kau belum juga menikah""
Tesa mengelakkan tatapan yang menyelidik itu. Bibirnya tiba-tiba menggeletar seperti ngeri.
"Entahlah. Rasanya... aku... tak... berani... pa-caran lagi! Selalu jadi malapetaka. Aku rasa, aku tak sanggup pacaran denganmu lagi!"
"Tesa!" seru Pasha dengan tegas, lalu meme-gang dagunya untuk memaksa gadis itu menatapnya kembali. "Kita tidak akan pacaran!"
"Oh"!" "Kita akan segera meni... "
"Kak Tesa," tiba-tiba terdengar suara Aster dari luar kamar, "pacarmu datang!"
Bersamaan dengan itu, daun pintu terkuak dan... Tesa serta Pasha sama-sama menoleh. Gadis itu melongo melihat Bos menyeruduk masuk dengan sebuah buket mawar merah dalam tangannya. Wajahnya seketika menjadi pucat.
Dia tambah gelisah mendapati Pasha melirik Bos dan dirinya bergantian dengan tajam.
Hm. Jadi inikah gajah dungkul yang tempo hari memaki-maki aku di telepon"! pikir Pasha sambil mengukur orang itu dari atas sampai ke sepatu Bally di lantai. Hm. Dasinya sih memang ' bagus, sayang tubuhnya kegendutan, jadi ke-banting dipakai olehnya. Rambutaya yang dibe-lah di tengah masih kelihatan rapi walaupun hari sudah malam, berkat Tancho atau pomade merek lain. Sayang kumisnya terlalu jarang seperti tanaman yang tidak terawat, masih lebih bagus kumis kucing!
"Halo, Tesa, sayangku! Bagaimana keadaan-mu hari ini" Aku lihat wajahmu cerah sekali! Ini mawar merah untukmu, tanda... eh, masih ada dokter!" Bos berseru heran seakan baru saja melihat ada orang lain di situ. Diletakkannya buketnya di atas meja, lalu dipandangnya Dokter Solem.
"Bagaimana keadaan tun... eh, keadaannya, Dokter... ehem""
Pasha tidak mau menyebutkan namanya. Dia langsung saja mengatakan sepintas lalu mengenai penyakit pasiennya, seakan itu rahasia jabat-an yang tak berhak diketahui orang yang tidak jelas kepentingannya.
"Syukurlah. Jadi tidak berbahaya, kan"" kata Bos yang tidak menyadari bahwa orang kurang senang padanya. "Soalnya, Dok, Tesa..
Lalu seakan sudah kebiasaan, dia mau duduk di pinggir ranjang, tapi dengan sigap namun tak kentara. Pasha sudah mendahului. Dia pura-pura mengambil kembali kertas resep yang ter-letak di samping Tesa. Di belakangnya. Bos menunggu dokter itu bangun untuk menulis resep di tempat lain. Namun dokter itu pun ngotot tak mau berlalu.
Ketika Bos masih juga berdiri mematung di situ, Dokter Solem akhirnya menoleh dan ber-kata dengan
sopan namun tegas, "Silakan Anda menunggu di ruang tamu saja, Pak. Saya belum selesai memeriksa... ehem... calon... istri Anda!"
"O ya, ya, baik, baik!" Dengan patuh ayam jago itu menyingkir. Mana dia mimpi, bahwa untuk selamanya dia takkan punya izin lagi untuk masuk kembali ke situ"!
Begitu pintu sudah tertutup, Pasha mendesis garang dengan mata bersinar tajam. "Aku tidak mau tahu bagaimana caranya! Tapi kau harus bisa melepaskan diri dari jago yang satu itu. Kalau perlu, Tes, sore ini juga kau berhenti kerja!"
Dan komando yang begitu eksplisit mana mungkin bisa dibantah"!
Sekian tamat Nyi Wungkuk Bendo Growong 1 Wiro Sableng 108 Hantu Muka Dua Ax Membalas Dendam 3