Pencarian

Cintaku Di Kampus Biru 2

Cintaku Di Kampus Biru Karya Ashadi Siregar Bagian 2


" "Ika butuh teman ngobrol."
" "Toh kau bisa menelepon Handoko atau Retno, biar mereka datang."
" "Mereka tak bisa bicara soal novel-novel Pasternak, Solvenitzyn, Thomas Mann, atau Sartre. Mereka cuma membaca majalah-majalah hiburan ringan saja. Ika senang mendiskusikan nilai-nilai yang terdapat dalam novel-novel yang pernah Ika baca. Atau soal musik. Dengan dia, Ika bisa bicara soal Simfoni Kesembilan Beethoven, dan riwayat lahirnya karya-karya agungnya. Bisa bicara tentang terciptanya simfoni-simfoni Mozart. Kesemuanya membuat perasaan Ika lebih dekat pada karya- karya klasik itu. Dan, teman-teman yang Mama bilang itu" Ika memang senang bergaul dengan mereka, tetapi mereka cuma bisa bicara soal Titiek Sandhora atau Emilia Contessa. 'Kan Mama tahu, Ika tak suka lagu-lagu kosong Pop Indonesia. Toh Mama sendiri yang memberi Ika plat-plat lagu klasik. Selama ini Ika cuma mendengarkan. Tapi, dia lebih dari mendengar. Selama ada dia, Ika lebih bisa meresapi musik klasik itu." Erika menatap ibunya.
" "Ya, Mama mengerti," kata perempuan tua itu sambil masih tetap merangkul anak gadisnya.
" "Cuma persahabatan," kata Erika.
" "Tapi, itu berbahaya. Sebenarnya, kau bukan membutuhkan itu. Kau sebenarnya membutuhkan pengusir kesepian. Ya, kau kesepian, Ikaku Sayang.
" "Ah, tak tahulah, Ma," kata Erika. Dia merapatkan wajahnya ke leher ibunya.
" Perempuan tua itu mencium pipi anaknya.
" "Toh kau tidak akan mengkhianati Usman, bu kan""bisiknya.
" Tubuh Erika mengejang sesaat. Dia mengangkat kepalanya dan menatap ibunya. Kemudian perlahan dia berkata, "Tentu saja tidak."
" "Ya, terima kasih, Anakku Sayang. Pukulan terberat bagi Mama adalah jika kau membelot dari Usman. Dia kelewat baik. Semua orang menganggap begitu. Pastilah orang-orang akan menyalahkan Mama. Mereka akan menuduh Mama tak mampu mendidikmu kalau kau mengkhianati Usman.
" "Ya, Mama," kata Erika. Tetapi, hatinya dingin. Sebeku badan yang terendam dalam kolam sepanjang subuh.
" Hati Erika tawar dan rusuh lantaran tak ada kehangatan untuk membayangkan Usman. Atau membayangkan sebutan untuk sebagai Nyonya Erika Usman. Tawar, setawar kening Usman jika sedang merenungi buku-buku tekniknya.
" "Dan, kau sependapat dengan Mama bahwa hubungan kau dengan pemuda gondrong itu lebih banyak bahayanya ketimbang kebaikannya, bukan""
" "Ya, Mama." Tak bersemangat Erika menjawab.
" "Dan, sepantasnya diputuskan. " Erika membisu.
" "Sebelum berkembang lebih lanjut," tambah perempuan tua itu.
" Erika tetap membeku. Dia membenamkan wajahnya ke bahu ibunya.
" "Sebelum dia merasa kau memberinya hati. Sebelum kau lebih telanjur membutuhkan dia," kata ibunya lagi.
" Bukan soal 'telanjur', bukan soal 'sebelum', melainkan Ika memang membutuhkan lelaki itu. Tetapi, Erika tak berucap apa pun.
" "Bagaimana, Sayang" Kau akan menurut apa yang Mama bilang"" Erika merasakan tepukan-tepukan pelahan di punggungnya. Dia ingin menangis. Dia ingat masa kecilnya, masa ditepuk dan didendangkan. Tiba-tiba saja dia ingat kesendiriannya setelah dewasa. Sendiri di tengah keluarga yang cuma ada Papa yang kelewat sibuk dengan bisnisnya, dan Mama. Saudara tak punya. Saudara satu-satunya, kakaknya, lenyap di hutan Irian Barat. Kakak yang gagah, yang suka membentak, tetapi suka membujuk pula manakala Erika cemberut.
" Ibunya pun bisa merasakan kesendirian Erika meski dalam dekapannya. Perempuan tua ini hanya memikirkan kebahagiaan anak semata wayangnya. Dia berharap Erika mendapat jodoh lelaki yang baik. Tentang ukuran baik ini, dia menggunakan ukuran-ukurannya sendiri dalam menilai. Baginya, lelaki yang baik adalah yang memenuhi persyaratan seperti ini: ulet, rajin, betah di rumah, dan yang terutama sopan, serta mengabdi kepada orang tua
. " "Cobalah, Ika, lupakan seluruh kesan pada pemuda itu. Jangan biarkan hatimu menyediakan simpati pada lelaki mana pun. Peliharalah cintamu kepada Usman sampai nanti dia datang. Tak lama lagi, Sayang."
" Cinta" Apakah aku mencintai Usman" Ah! Erika mengeluh tanpa suara. Aku memang tak pernah membencinya. Tetapi, aku juga tak punya alasan untuk tidak menyenanginya. Dan, apakah cinta sesederhana itu"
" Erika mencoba membayangkan kembali pesta pertunangan mereka waktu itu. Tangan Usman memasangkan cincin di jari Erika. Apakah artinya itu" Suatu ikatan. Itulah saja" Ya, lain tidak. Selebihnya hambar. Tak ada kesan apa-apa.
" Lalu Erika membongkar dirinya, apa yang menyebabkan dia mengiyakan permintaan ibunya waktu itu. Apa sebenarnya yang menyebabkan dia tidak menolak pertunangan itu" Dia tidak mencintai Usman. Tetapi, dia juga tidak sedang mencintai lelaki mana pun. Cinta belum singgah di hati remajanya. Lalu, ketika orang tua Usman datang melamar dan orang tuanya menerima lamaran itu, Erika tak punya bayangan lain kecuali menerima. Dia tidak bisa mengucapkan kala 'tidak' yang tentunya akan menyakiti hati Usman. Usman kelewat baik untuk disakiti. Cuma, seorang yang baik toh tidak berarti bisa mendatangkan cinta.
" Begitulah pertunangan Erika dengan Insinyur Usman dilangsungkan dengan tergesa untuk mengejar keberangkatan Usman ke Jerman.
" Lima tahun Usman mondok di rumah orang tua Erika. Selama itu, tak sekalipun Usman membuat marah si empunya rumah. Tiga tahun di Jerman, Usman selalu mengirim surat walau cuma menampung kabar selintas. Usman hanya menceritakan kesibukan-kesibukannya. Atau tentang Muenchen, tempatnya tinggal. Itu pun dengan gaya cerita yang hambar. Lebih hangat tertangkap dari gambaran di novel-novel.
" Lain dengan pemuda gondrong itu. Seminggu Anton menyerbu membuat Erika tertawa ceria. Mereka juga terlibat perdebatan seru. Mereka sama-sama menertawakan dunia. Erika cemberut karena pendapatnya dibantah, tetapi cepat-cepat Anton membujuk. Jika Anton mendongkol sebab kekeraskepalaan Erika, cepat-cepat Erika menetralisasi. Gadis ini khawatir jika Anton pulang dengan membawa kedongkolan.
" Seminggu yang aneh. Meraka berdua berbicara dari bab obat-obatan sampai pada penyakit rakyat Afrika. Mulai dari puisi sampai pada polusi. Mulai dari Titus-Titus agama sampai pada kapitalisme. Mulai dari hadiah nobel sampai pada silat Cina. Mulai dari nilai manusiawi sampai pada kamp di Siberia. Segala macam hal mereka bicarakan pada senja-senja yang terasa singkat.
" Dan, itu semua harus dianggap embun. Segera lenyap setelah matahari terbit. Tetapi, mungkinkah"
" Mungkinkah" Harus! Harus! Demi nama baik keluarga yang harus dipelihara!
" *** " Riset rombongan mahasiswa di Dataran Tinggi Dieng masih berlanjut seminggu lagi. Mereka telah melakukan serangkaian wawancara dengan masyarakat setempat. Seharian mereka berjalan dari desa yang satu ke desa yang lain untuk mengumpulkan data. Desa-desa itu bertebaran di pelosok gunung.
" Anton mengiringkan langkah Bu Yusnita berjalan di bawah matahari. Panas matahari yang bersinar penuh itu tak terasa oleh mereka sebab dinginnya hawa di daerah itu. Tetapi, kulit Bu Yusnita telah berwarna kemerahan. Wajahnya sumringah, rambutnya melambai-lambai diterpa angin. Kulitnya seperti tomat segar: merah dan licin.
" Mereka berjalan tanpa suara. Anton tahu bahwa Bu Yusnita pastilah sudah letih. Jika di-reken- reken, mereka berjalan hampir dua puluh kilometer. Di jalan yang berbatu dan menanjak-turun pula.
" "Siapa yang memimpin kelompok riset ke desa sana"" Tiba-tiba Bu Yusnita menunjuk kumpulan rumah di seberang lembah, di kejauhan.
" "Pak Murtejo," kala Anton. "Kelihatannya jalan ke sana sukar."
" "Ya, cuma jalan setapak. Untung musim kering. Kalau hujan, jalan itu gawat."
" "Siapa yang ikut kelompok itu ""
" "Kusno, Zulkifli, Herman, Fauzi, Marini... ."
" "Marini"" tanya Bu Yusnita seraya melirik.
" Anton tak menjawab. Dia menahan napas.
" "Kenapa dia diikutkan kelompok itu, padahal tahu daerah itu sulit dic
apai." Ada nada tidak senang dalam suara Bu Yusnita.
" "Sejak semula dia memang anggota kelompok itu. Kebetulan saja kelompok itu kebagian daerah yang sulit. Bukan disengaja," kata Anton cepat-cepat.
" "Seharusnya yang ke desa itu lelaki saja."
" "Tapi, dia bersemangat pergi."
" "Ya, tapi kalau dia sakit akan merepotkan rombongan.
" Anton diam. Langkah mereka terseret-seret di antara bongkah batu dan tanah liat kering.
" "Besok hari istirahat kita," kata Anton. "Ibu mau melihat tempat-tempat indah di daerah ini""
" "Saya ingin betul-betul istirahat. Tak mau ke mana-mana.
" "Sayang kalau kesempatan ini dilewatkan. Di daerah ini banyak telaga indah. Telaga Warna misalnya. Airnya kelihatan berwarna-warni. Atau Telaga Pengilon. Permukaannya jernih sekali sampai kita bisa becermin. Dan, masih banyak lagi telaga lain bertebaran di daerah ini. Coba Ibu bayangkan. Tak jarang di pinggir telaga itu bermain burung belibis. Seperti dalam dongeng saja. Pokoknya, pemandangan di sini hanya bisa ditandingi oleh mimpi."
" "Ah, kau memang pintar ngomong!"
" "Tidak. Bukan cuma omong. Waktu survey pendahuluan dulu, saya sudah mengunjungi tempat-tempat indah itu. Saya juga melihat kawah-kawah yang masih bekerja. Ditambah lagi dengan benda-benda purbakala. Candi-candi yang tegak di padang rumput sungguh membuat daerah ini layak ditempati dewa-dewi. Saking terpesonanya, saya ingin tinggal di sini. Saya ingin bertapa. Di sini ada gua yang biasa dikunjungi orang-orang yang mencari ketenangan batin."
" "Ngecap-mu lumayan juga. Tapi, sayang badanku kelewat letih. Malah agak meriang rasanya. Kayak mau demam," kata Bu Yusnita.
" "Kalau begitu, Ibu harus berobat nanti. Ibu lebih suka obat modern atau tradisionil" Nanti di penginapan akan saya usahakan."
" Mereka tiba di penginapan. Bu Yusnita terduduk lemas. Dia mengusap peluh di dahinya. Sepatunya terlepas dan menggeletak di lantai.
" "Bu Nita mau dipijit" Akan saya panggil tukang pijit. Di desa ini ada perempuan tua yang pintar memijit." Anton bersemangat.
" "Baik juga," kala Bu Yusnita lemah.
" Sebentar kemudian Anton menghilang. Baik juga hati anak muda ini, pikir Bu Yusnita. Telaten dan penuh perhatian. Bu Yusnita masih ingat bagaimana Anton penuh perhatian dalam mengatur keperluan-keperluannya. Selama bergaul di daerah pegunungan itu, kekakuan Bu Yusnita sekelumit demi sekelumit mulai pudar.
" Anton muncul diiringkan seorang perempuan tua. "Dia biasa memijit Bapak dan Ibu Lurah desa ini," kata Anton memperkenalkan.
" "Apa yang kaubawa itu"" tanya Bu Yusnita. "Akar-akaran. Nanti di-godog, dan air godogannya setelah suam-suam kuku buat merendam kaki Bu Nita sebelum tidur. Besok pagi, saya jamin Bu Nita sesegar bayi yang sehat."
" Bu Yusnita tersenyum. kemudian dia masuk ke kamar diiringi perempuan yang akan memijitnya. Di pintu, dia menoleh dan tersenyum lagi.
" Senyum yang kesembilan, pikir Anton. Bukan main! Senyumnya bukan main bagusnya. Kenapa tidak sejak dulu dia memperlihatkan senyum itu" Alangkah sayangnya, senyuman semanis itu tersembunyi sekian lama.
" Berkali-kali Anton menarik napas panjang ketika meninggalkan tempat itu. Setelah berbaring di kamarnya, baru dia merasakan betapa lunglai badannya. Sendi-sendi serasa mau copot. Tetapi, dalam keletihan itu, dia tetap tersenyum. Jalan kian terbuka, pikirnya. Sejak belakangan ini, Bu Yusnita tidak lagi menyebutnya dengan panggilan formal. Bukan dengan 'Saudara', melainkan dengan 'kau'. Ini kemajuan yang patut dipandang sebagai rahmat dewa-dewa di candi-candi Dieng itu. .
" *** " Matahari yang muncul dari balik gunung mulai membuyarkan embun yang menyaputi Dataran Tinggi Dieng. Di tanah terlihat kristal-kristal embun yang membeku selama dinginnya malam. Beberapa orang mahasiswa telah keluar dari kamarnya. Tetapi, dinginnya udara membuat mereka tetap berkerudung sarung, meniru penduduk setempat yang suka berjongkok di tanah sembari menyedot rokok lintingan. Suasana gunung itu membuat penduduk biasa bermalas-malasan di waktu pagi hari.
" Anton tela h kembali dari pancuran tempat mandi. Dia mengintai kamar Kusno lewat jendela. Kusno masih bergelung dalam selimut. Lewat Maghrib rombongan Kusno baru menyelesaikan tugas di desa yang jauh itu. Rupa-rupanya dia masih kecapekan.
" Bu Yusnita telah berjemur di bawah matahari yang cerah. Wajahnya berseri.
" "Betul-betul manjur obatmu itu," katanya ketika Anton mendekatinya. "Selera makanku bertambah. Aku khawatir berat badanku pun bertambah kalau kit a terlalu lama berada di gunung ini."
" "Saya jamin tidak," kata Anton. "Tanpa diit, gadis-gadis gunung bagaimanapun banyak makan, mereka selalu berbadan singset. Hawa yang segar dan mendaki bukit merupakan obat kecantikan yang manjur. Tambah lama di sini, kecantikan Bu Nita akan tambah terpelihara."
" Bu Yusnita tak menjawab, tetapi pipinya merona merah.
" "Jadi kita ke telaga"" tanyanya kemudian tanpa menatap Anton.
" "Kalau. Bu Nita mau," jawab Anton.
" "Ayolah." " Berdua saja"" " Mana yang lain" " "Saya panggil""
" Bu Yusnita menoleh sekejap. Kemudian menatap pucuk-pucuk pinus di kejauhan.
" "Tak usah." Dia melangkah. Anton menjejeri langkah yang berayun di sampingnya.
" Bu Yusnita mengenakanpullover warna biru dan bercelana panjang wama kuning. Angkasa adalah langit biru dan awan mengapas putih. Kejauhan adalah padang rumput, bunga-bunga liar berwarna putih, kuning, dan merah.
" Sesekali Anton menatap yang indah di sampingnya, juga yang indah di tempat jauh. Bu Yusnita berjalan menunduk dengan kedua tangan di punggung.
" "Agak jauh kita nanti berjalan," kata Anton.
" "Tak jadi soal." Suara Bu Yusnita lunak.
" Anton mengomentari tempat-tempat yang mereka lalui. Dan, Bu Yusnita menjadi pendengar yang baik. Cerita Anton mengasyikkannya. Cerita tentang penduduk setempat yang menyangkut peninggalan-peninggalan alam.
" Tak terasa mereka tiba di tujuan. Bintik-bintik keringat muncul di ujung hidung Bu Yusnita. Andainya pacarku, pikir Anton, alangkah senangnya mengusap hidung yang bangir ini. Hidung yang berada di atas bibir mungil, basah, dan merah tanpa lipstik.
" Bu Yusnita duduk di rumput. Di depan mereka terhampar telaga yang permukaannya berwarna-warni. Pengaruh vulkanis, mungkin, makanya telaga itu merefleksikan aneka warna.
" "Nah, betul yang saya bilang," kata Anton hampir berbisik, sembari menunjuk.
" Sekelompok belibis putih mulus bermain-main di pinggir telaga. Bu Yusnita bernapas hati-hati sebab khawatir mengejutkan burung-burung itu. Matanya nanap memperhatikan panorama di depannya.
" "Bukan main," desahnya.
" Anton tersenyum-senyum. Serombongan belibis lain hinggap di seberang telaga. Bunga-bunga liar bergoyang terkena sambaran sayap burung-burung itu. Seekor burung minum di pinggir telaga.
" "Bu Nita haus""
" "Wah, kita lupa bawa minuman," kata Bu Yusnita.
" "Saya bawa ini," kata Anton seraya mengeluarkan beberapa buah jeruk manis dari kantong jaketnya.
" "Lumayan." Lekuk bibir Bu Yusnita berseri.
" Untuk beberapa saat mereka menikmati jeruk itu. Lalau Anton berkata, "Di daerah ini banyak tempat-tempat keramat. Masyarakat percaya bahwa Kerajaan Amarta yang disebut-sebut dalam Mahabarata itu berada di sekitar daerah ini. Ada kawah namanya Candradimuka. Orang-orang percaya bahwa di situlah Gatotkaca direndam sampai jadi sakti."
" "Memang tempat ini agak meyakinkan kalau disangkut-pautkan dengan legenda-legenda."
" "Sampai sekarang banyak orang bertapa di sini." ,
" "Biar sakti""
" "Memperluhur batin."
" "Kau percaya soal-soal begitu""
" "Percaya sih tidak. Tapi, untuk tidak percaya, juga tidak ada gunanya. Itu soal keyakinan sih. Sulit memperdebatkannya."
" "Tapi, apakah keyakinan itu realistis""
" "Banyak hal yang tidak realistis tetapi dipercaya orang. Soal ramalan misalnya. Sulit menilainya dari ukuran-ukuran realita, tapi banyak yang percaya.
" Kau juga"" " "Ya, tapi tidak setiap ramalan. Saya tidak percaya pada ramalan-ramalan buntut. Kalau astrologi, bolehlah. Apa bintang Bu Nita""
" "Ah, itunonsense !"
kata Bu Yusnita. " "Sering juga tepat. Atau ramalan lewat rajah tangan. Saya pernah belajar membaca rajah tangan."
" "Iya"" " "Coba, mari tangan Bu Nita. Biar saya lihat." Bu Yusnita masih ogah-ogahan, tetapi Anton menarik tangannya dan menelentangkan telapak tangan perempuan itu. Pelan-pelan Anton mengikuti garis telapak tangan perempuan itu. Keningnya berkerut, dan kening Bu Yusnita pun ikut berkerut. Sebentar mata Bu Yusnita hinggap di telapak tangannya, sebentar beralih ke wajah Anton. Anton serius memperhatikan gurat-gurat telapak tangan yang dipegangnya. Cuma, pikirannya bukan pada gurat-gurat itu, melainkan pada: alangkah halusnya tangan ini. Andainya dicium, aduhai! Andainya dicium, aduhai!
" "Bagaimana"" tanya Bu Yusnita.
" "Ah, ya! Begini. Garis ini menunjukkan bahwa umur Bu Nita panjang. Artinya, Bu Nita akan berkeluarga besar dan suami Bu Nita akan meninggal lebih dulu pada usia tua."
" "Ah, gila kau!"
" "Lho, kok gila" Ini lagi. Keturunan Bu Nita akan ban yak yang jadi orang besar."
" "Ah, kau mengada-ada. Brengsek!" Bu Yusnita menarik tangannya, tetapi Anton menahan. Bu Yusnita menggeliat untuk melepaskan tangannya, tetapi cekalan Anton terlalu kuat. Dan, memang rontaan itu tidak terlalu kuat.
" "Lalu, semua itu akan Bu Nita dapatkan setelah melalui saat yang meminta pengorbanan."
" " Ah, bohong!" " "Betul ini. Saya lihat dari garis ini. Nah, ini garis yang memotong dari mars dengan venus. Saya teruskan ""
" "Sudahlah. Tambah banyak nanti among kosongmu."
" "Alaaa, lantaran Bu Nita takut kalau saya tambah melihat rahasia-rahasia Bu Nita."
" "Uh!" Mulut Bu Yusnita cemberut. Tetapi, itulah permulaan senyum.
" Dia tidak menarik tangannya, dan Anton tak melepaskannya. Mereka duduk berhadapan. Angin sepoi menerpa rambut Bu Yusnita sehingga bagian depannya menutup kening. Angin yang sama menguakkan gondrong Anton pada bagian muka. Anton merapikan rambut yang menutup kening Bu Yusnita. Bu Yusnita terpana sesaat. Kemudian tangannya terulur untuk merapikan rambut Anton yang terberai ke muka.
"

Cintaku Di Kampus Biru Karya Ashadi Siregar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mereka bertatapan. Pipi Bu Yusnita kian merona merah. Dia menggigit bibir dan menunduk. Tangan Anton yang tadi menggenggam pergelangan, kini pindah ke jari. Anton meremas jari-jari yang digenggamnya membuat Bu Yusnita mengangkat kepala. Mereka kembali bertatapan.
" Berdebur-debur jantung Bu Yusnita menahan genggaman tangan hangat di tengah keheningan alam itu. Di tengah alam yang berbisik-bisik dibelai angin gunung itu, dia bukanlah seorang dosen. Dia adalah seorang gadis yang sedang merasakan debaran dadanya. Maka dia menunduk, dia menatap rumput-rumput hijau.
" Dan, jantungnya menyentakkan darah panas ketika terasa ada sentuhan di pipinya. Dia melirik tangan yang memegang wajahnya, lalu ke pemilik tangan. Tatapan Anton membuatnya gemetar. Bibirnya yang basah-merah juga bergetar.
" Suasana semacam itu tak pernah ditemukannya dalam buku. Suasana yang menimbulkan jalaran-jalaran halus dan hangat di seantero telapak kakinya, dan mengalir di sepanjang urat-urat darahnya. Usapan tangan pemuda itu cuma dibalasnya dengan pejaman mata. Begitu pula ketika lelaki itu menciumnya. Dia menggigil. Sekejap terpana. Lalu, pelan-pelan tangannya belajar membalas pelukan lelaki itu.
Rumput dan daun perdu gemersik diterpa angin.
" *** " Mereka memakan coklat bawaan Anton. Matahari beringsut melangkahi puncak-puncak pinus. Sesekali pandang mata mereka bentrok. Dan, senyum Bu Yusnita mengembang.
" "Kalau saya tahu sejak dulu Bu Nita sebaik ini," kata Anton diiringi tawa renyah.
" "Dan kalau aku pun tahu kau tidak sebrengsek yang kuduga." Bu Yusnita menimpali dengan cubitan.
" "Dan, sekarang"" Anton memijit jari Bu Yusnita. Bu Yusnita balas memijit. Lalu mereka saling meremas. "Kenapa dulu Bu Nita menganggap saya brengsek"" tanya Anton.
" "Ya karena kau brengsek."
" "Apa salah saya""
" "Kesalahanmu segerobak."
" "Kapan saya membuat kesalahan itu""
" "Mula-mula sedikit. Tapi, karena berbunga maka bertambah banyak."
" "Apa sih sa lah saya"" " "Betul-betul kau tak tahu""
" "Sungguh mati! Sampai hari ini saya tidak tahu apa kesalahan saya pada Bu Nita. Seingat saya, tak pernah saya menyakiti hati Bu Nita."
" "Betul"" " "Berani sumpah!"
" "Tak usah sumpah," cepat-cepat Bu Yusnita memutus.
" "Iya, bilanglah."
" "Hmmm, kau bajingan!"
" "Ah!" " Bu Yusnita tertawa mengikik.
" Anton meremas jari perempuan itu kuat-kuat. "Aduh, kasarnya tanganmu."
" "Habis, kalau tak mau bilang saya... ."
" Kauapakan &.." " Ciu &.. " "Hus!" Bu Yusnita merentakkan tangannya dari genggaman tangan Anton. "Mulai kurang ajar kau!"
" "Bilanglah apa salah saya."
" "Kau ingat waktu kuliahku yang pertama""
" "Ya" Waktu Bu Nita pakai rok warna merah tua dan blus kuning""
" "Ha" Itu yang kauingat""
" "Dan, betis Bu Nita yang bagus."
" "Bah, bajingan! Dengar dulu. Kau ingat, hari itu apa pertanyaanmu""
" " Apa saya bertanya waktu itu""
" "Iya, waktu kutanya siapa yang mau bertanya', kau terus mengangkat tangan. lalu kau menanyakan teori Freud."
" "Lantas"" " "Itulah salahmu."
" "Lho, kok salah""
" "Sebab, kau menanyakan itu."
" Anton terlongong-longong. Bu Yusnita menonjok hidung Anton pelahan.
" "Teori Freud, faktor seks menentukan tindak-tanduk seseorang."
" Wajah Anton tetap terheran-heran.
" "Karena kau menanyakan itu, bukankah sengaja mengejekku""
" "Kok mengejek""
" "Karena kau ganteng, kau diperhatikan gadis-gadis, kau playboy. Siapa yang tak tahu itu""
" Jadi" " "Padahal kau tahu aku masih single. Hidupku sepi. Faktor seks sama sekali jauh dari kehidupanku. Duniaku hambar ."
" "Tapi, Pak Gunawan mencintai Bu Nita."
" "Ah, siapa bilang"" sahut Bu Yusnita cepat.
" "Saya tahu." " "Ah, kau mengada-ada. Dia orang yang paling sombong yang pernah kukenal."
" Tapi, dia sering membicarakan Bu Nita."
" "Masak iya""
" "Sungguh!" " "Tentunya dia mengejek-ejekku," ujar Bu Yusnita.
" "Sama sekali tidak. Malahan dia sering menyesali dirinya karena merasa dirinya terlalu serius dalam kuliah dulu. Dan, dia sadar bahwa banyak tindakannya yang sebenarnya cuma untuk memuaskan gengsinya saja, sedang akibatnya ditanggungkannya selama bertahun-tahun ini."
" "Dia bilang begitu ""
" Anton cuma mengangguk. Dia tak berani mengulang dusta itu.
" Bu Yusnita merenungi rumput hijau. Anton membiarkannya di sungkup senyap yang diciptakannya. Lama mereka diam.
" Sampai akhirnya Bu Yusnita mengulurkan tangan dan berkata, "Ayo, kita pulang."
" Anton menyambut tangan itu dan menariknya bangkit. Bu Yusnita meloncat berdiri.
" Ketika mereka berhadapan, Bu Yusnita mencium pipi Anton cepat dan selintasan.
" "Hidup ini sebenarnya indah ya, Anton"" katanya.
" Anton cuma mengangguk. " Asal kita pandai menikmatinya. 'Kan begitu"" lanjut Bu Yusnita.
" Anton cuma mengangguk lagi.
" Bu Yusnita menggandeng tangan Anton dan menariknya berlalu meninggalkan telaga itu. Dia merangkul tangan Anton dan langkahnya ringan merambahi belukar. Dia menggumamkan nyanyian. Dia cuma setinggi bahu Anton. Maka kepalanya tersandar di dada lelaki muda itu.
" *** " Bu Yusnita tak lagi sekaku dulu. Rombongan mahasiswa itu merasakan perubahan itu. Dia bukan lagi Tuan Putri yang mengasingkan diri.
" Hari itu, bu Yusnita kepingin mandi di pancuran. Anton mengantarkannya. Sementara Bu Yusnita Mandi, Anton menjauhi pancuran itu. Dia mendaki bukit, melewati belukar-belukar. Ketika melewati gerumbul semak,.langkahnya terhenti. Darahnya terhenti mengalir. Tubuhnya gemetar. Tetapi, langkah yang terhenti mendadak itu tak sengaja menendang kerikil. Kerikil bergulir ke bawah dan menimbulkan suara 'kresek' di semak-semak. Pelukan merenggang. Marini me- lepaskan diri dari pelukan Kusno. Keduanya terpana menatap Anton yang tertegak kaku di atas bukit. Berganti pias dan merah wajah Marini. Kusno canggung. Sesekali dia memandang Anton, tetapi lebih sering menghunjamkan pandangan ke tanah.
" Sehelaan demi sehelaan napas berlalu
. Lalu, Anton berbalik meninggalkan puncuk bukit itu. Kembali dia ke pancuran.
" Bu Yusnita telah mengemasi pakaiannya. Dia memperhatikan wajah Anton yang beku.
" "Kenapa mukamu masam"" tanyanya.
" "Ah, tidak," jawab Anton. Dia membantu membawakan tempat sabun Bu Yusnita.
" "Jangan cepat-cepat, Anton!" seru Bu Yusnita.
" Anton memperlambat langkahnya.
" "Ada apa sih" Kok langkahmu kayak dikejar setan ""
" Anton tetap membisu. " "He, bilanglah, ada apa""
" "Tidak. Tak apa-apa."
" "Tak apa-apa, tapi datang-datang wajahmu kecut, langkahmu kayak berlari."
" Anton diam. Bu Yusnita mencubit lengan Anton. Anton menoleh. Rambut Bu Yusnita tersanggul belum rapi. Tetapi, senyumnya rapi mengelopak mawar. Anton pun menyeringai.
" "Nah, apa yang terjadi, Anton""
" Anton berpikir sesaat. Lalu katanya, "Dari atas bukit itu, tak sengaja saya jadi Jaka Tarub, melihat bidadari mandi, Bu Nita mandi."
" "Ow, kurang aj...." Bu Yusnita mencubit lebih keras.
" Anton tertawa-tawa menjauhkan diri.
" "Tubuh Bu Nita bagus!" kata Anton.
" "T ambah kurang ajar lagi" Ke sini kau!"
" Anton tambah jauh berlari. Bu Yusnita mengejar. Beberapa mahasiswa tercengang-cengang memandangi mereka. Anton meletakkan tempat sabun milik Bu Yusnita di rumah penginapan.
" "Brengsek kau!" kata Bu Yusnita kepada Anton yang telah menjauh. Mulutnya cemberut, tetapi matanya tersenyum.
" *** " Anton berbaring di kamarnya. Menatap genteng yang hitam dan berdebu, sambil memikirkan Marini. T erkutuk! Penghinaan! Berani berciuman dengan lelaki lain. Terkutuk! Tapi, tunggu dulu. Kenapa aku marah" Berapa kali aku meninggalkan pacarku, meninggalkan begitu saja" Lalu, kalau sekarang Marini dicium lelaki lain, apa soalnya" Lantaran dia belum aku lepaskan secara de jure. Ya, itulah soalnya. Hanya diriku sebagai lelaki yang belum pernah dipatahkan, telah dihinanya.
" Suara langkah seseorang mendekat. Dan, Anton merasa seseorang berbaring di sampingnya. Dia tahu siapa orang itu. Maka dia diam saja. Dia terus membuat bulatan-bulatan asap rokoknya.
" "Sorry, Anton," kata Kusno pelahan.
" Anton tak acuh. Kusno pun menyalakan rokoknya.
" "Tak bisa kuhindarkan," kata Kusno. "Kau menyuruhku mengawal Marini. Tapi, aku tidak bisa menetralkan perasaanku. Aku ingin tak ada perasaan istimewa, tetapi ternyata suasana alam gunung ini menyebabkan aku tak mampu membunuh perasaanku. Selama menjalankan tugas bersama-sama, simpatiku tumbuh. Kami seperti bukan lagi orang yang mengawal dang dikawal. Lebih dari itu, aku mencintainya." Kusno berusaha melirik reaksi Anton. Tetap dingin.
" "Dan, dia"" ujar Anton.
" "Kalau dia berani meninggalkan kau, tentu dia punya kepastian untuk yang dipilihnya."
" Anton menghembuskan asap rokoknya.
" "Dia bilang begitu ""
" "Ah, tidak. Aku tak tahu," kata Kusno gugup.
" "Apakah bukan kesepian dan keheningan daerah ini yang menyebabkan"" kata Anton.
" Kusno tak terjawab. " "Betul, kau mencintainya""
" "Ya." " "Betul dia mencintai kau""
" Kusno diam. Di luar, seorang mahasiswi memetik gitar dan menyanyi pelahan. Denting-denting senar gitar merayap-rayap masuk lewat jendela.
" "Marilah kita bicara secara jantan, Kusno," kata Anton dingin.
" "Maksudmu""
" "Apakah kau merasa kau telah merampas Marini dari tanganku""
" Kusno gelagapan. Dia duduk dan membuang pandang ke dinding.
" "Kalau kau merasa begitu," kata Anton, "aku layak tersinggung. Dan, sebagai lelaki yang tersinggung, aku harus menunjukkan perlawanan yang sesuai dengan kejantanan seorang lelaki!"
" Kusno melirik sekilas. Lalu, cepat-cepat mengalihkan lirikannya sebelum bertemu dengan sorot mata Anton. Sebenarnya, andainya dia lebih memperhatikan, dia akan melihat tawa samar di sudut bibir Anton.
" "Bagaimana" Apakah kau merasa merampas dia ""
" "Tidak." " Jadi" " "Ya, aku mencintainya," kata Kusno terbata-bata. "Begitu saja. Selama proses ini, aku sama sekali tak teringat kau. Barangkali di sinilah kesalahanku. Aku bahkan lupa bahwa d
ia pacarmu. Aku hanya melihat dia sebagai pribadi yang utuh. Seorang gadis yang berjalan menempuh bukit-bukit berbatu, di bawah matahari yang menyengat. Tangannya kupegang, betisnya kuurut jika dia keletihan di ceruk-ceruk tanah gersang. Terus terang, kami menjadi rapat dalam kesukaran-kesukaran selama riset ini. Aku tak membayangkan merampas dia dari kau. Aku hanya merasa mencintai seseorang yang sangat dekat dengan diriku."
" "Good! Kalau begitu, selesailah persoalannya." Anton duduk.
" Mereka duduk berhadapan di alas tikar di tengah kamar penginapan itu. Anton mengisap rokoknya. Kusno melirik tangan yang terangkat itu: tangan yang kukuh dan kapalan karena latihan karate.
" "Jadi, tak ada yang terampas dan dirampas dalam soal ini." kata Anton. "Tak ada yang kalah dan menang. 'Kan begitu""
" "Iya. Yang ada cuma soal cinta," kata Kusno pelahan.
"

Cintaku Di Kampus Biru Karya Ashadi Siregar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bagus. Teruskanlah." Kusno terpana. Tetapi, dia merasakan tangan Anton yang menepuk-nepuk bahunya. Karena bertatapan, Kusno pun menyentuh bahu Anton.
" Dan, suara di pintu, "Anton!"
" Keduanya menoleh. Marini tegak di mulut pintu, menatap mereka berganti-ganti. Gadis itu canggung.
" "Dipanggil Bu Yusnita," kata Marini, lalu dia meninggalkan ambang pintu.
" Seperti ikan meletik, Anton bangkit dan mengejar Marini.
" "Soal apa""
" Marini tak menjawab. Rambutnya melambai-lambai sementara dia melangkah lebar dengan kepala tertunduk.
" "'Kok jadi pendiam kau, Upik"" kata Anton.
" Mata Marini tetap menghunjam ke tanah.
" "Aku mau bicara nanti," katanya hampir tak terdengar .
" "Tadi kaubilang aku dipanggil Bu Yusnita""
" "Iya. Nanti selesai urusan dengan dia, kutunggu kau di dekat candi."
" "Ah, tak usahlah lagi. Aku tahu apa yang mau kaubicarakan.
" Langkah Marini terhenti. Dia menatap Anton.
" "Ini serius, Anton."
" "Ya, aku tahu, Adikku Sayang." Anton tersenyum. Senyum lunak itu membuat Marini menggigil.
" "Ah, kau tak pernah mau serius," keluh Marini.
" "Kau mau membicarakan saat kau dicium Kusno""
" Darah menyerbu ke wajah Marini. Wajah gadis itu merah.
" "Baru saja aku dengan Kusno membicarakan itu," lanjut Anton.
" "Jangan salahkan dia. Aku yang salah," kala Marini gemetar.
" "Iya, kau yang salah," kata Anton.
" Marini menunduk. Bibirnya gemetar. Maka bakat kurang ajar Anton kambuh lagi.
" "Kesalahanmu selangit," kata Anton. "Kusno bilang, kau kaku sekali berciuman."
" Napas Marini sesak. " "Lalu kubilang, 'Tak mungkin! Marini sangat pandai kissing. Apalagi kalau menggigit-gigit bibir pasangannya, wah, bukan main! &.
" "Anton!" Suara Marini terengah.
" Tawa Anton mengakak. Maka Marini berani memandangnya. Dan, dia menemukan mata yang ramah. Namun begitu, gemetar di badannya belum juga hilang.
" Bu Yusnita bersama-sama beberapa mahasiswi ketika Anton menghadap.
" "Kok Marini yang Bu Nita suruh memanggil saya"" tanya Anton.
" "Apa salahnya""
" "Dia menteror saya. Dia bilang, Bu Nita sedang marah sekali."
" "Lho, kapan aku bilang begitu"" Marini terbata-bata.
" "Ya, aku memang ingin marah. Aku kepingin melihat apa yang mau kauperbuat. Tahu kenapa Marini yang kusuruh memanggilmu"" kata Bu Yusnita.
" "Tidak. Kenapa""
" "Karena yang lain ogah."
" "Semua membenci saya""
" "Ya." " "Uf!" " "Kecuali Marini tentunya," kata Bu Yusnita.
" " Ah, masak" " "Alaaa, pura-pura lagi. Kaukira aku tidak tahu"" Bu Yusnita tertawa. Matanya menyelidik-nyelidik. Mahasiswi-mahasiswi di tempat itu tersenyum-senyum takut. Marini menunduk. Bu Yusnita memperkeras tawanya. lalu katanya, "duduklah, Anton."
" Anton melepaskan napas yang tertahan sejak tadi. Dia mengangkat bahu, lalu duduk.
" "Aku baru saja menerima surat dari Dekan," kata Bu Yusnita sembari membuka tasnya. Sebuah amplop bermerk fakultas mereka, dia keluarkan. "Tentang corat-coret dan plakat-plakat di fakultas tempo hari, pemasangnya sudah diketahui."
" Mahasiswi-mahasiswi menatap Anton dan Bu Yusnita berganti-ganti. Bu Yusnita memandang Anton dengan
pandangan lunak. " "Bukan Anton. Aku minta maaf karena menuduhnya dulu," kata Bu Yusnita.
" Dan, mahasiswi-mahasiswi itu menarik napas dalam-dalam. Hebat! Hebat! Killer minta maaf. Bukan main! Untuk pertama kalinya dalam sejarah, dosen yang tak pernah salah itu meminta maaf kepada mahasiswanya. Ah, Anton cassanova kami!
" "Siapa yang memasang plakat itu"" tanya Anton.
" "Beberapa mahasiswa yang terkena peraturan penertiban fakultas. Mereka yang berturut-turut tiga tahun tak naik dalam satu tingkat. Handoko yang mengusut persoalan ini."
" Lalu Anton membaca surat dari Dekan itu. Lalu, surat itu beredar dari tangan ke tangan. Senyum Bu Yusnita jarang hilang dari bibirnya. Matanya kian cemerlang hari-hari belakangan ini.
" *** " Berada kembali di Yogya yang gersang. Hawa musim kemarau panjang mencekik badan. Tetapi, sore itu bagi Anton tidak gersang. Dua kali dia menekan bel tamu dirumah Erika, lalu menunggu sesaat, pintu terbuka. Ibu Erika menghadang di ambang pintu. Matanya dingin menaksir-naksir. Dia tak menjawab 'selamat sore' dari Anton. Dia cuma bilang, "Erika tak ada:"
" Anton tertegak canggung. " "Silakan duduk," kata ibu Erika sembari mendahului duduk di kursi teras. "Kebetulan ada yang mau saya bicarakan."
" Pelahan Anton meletakkan pantatnya di kursi. Matanya tak lepas mengawasi ibu Erika. Dan, perempuan itu juga melakukan hal yang sama.
" "Begini," kata perempuan tua itu. "Kalau tak salah, Anak sudah beberapa kali datang ke sini." Ibu Erika menunggu reaksi.
" Anton mengangguk. " Ibu Erika meneruskan, "Sebagai orang tua, tentulah saya mengikuti perkembangan anak saya. Saya percaya bahwa Anak adalah pemuda baik-baik sebab Erika pun kelihatan senang bergaul dengan anak. Tetapi, bagi saya pergaulan itu tidaklah sesederhana yang kalian pikirkan, sesaat Bu Erika diam.
" Anton mematung di depannya.
" Tapi, sebelum saya teruskan, saya ingin tahu, apakah Anak punya saudara perempuan"
" Anton mengangguk. " Mbakyu atau adik" " Adik-adik. " Ooo, beberapa orang. Bagus! Lalu ibu Erika menikamkan tatapan sembilu, membuat Anton kian resah. Bagaimana seandainya diantara adik-adikmu itu telah bertunangan, dan kemudian ada lelaki lain yang datang mengganggunya"
" Anton merasa dadanya sesak.
" Saya kira orang tuamu akan resah kalau putrinya memutuskan pertunangan cuma karena terpikat pada rayuan lelaki lain. Sekeluarga akan menerima umpatan dari sekelilingnya.
" Anton tetap membisu. " Paham maksud saya" " Anton tetap tak menjawab. Keresahan menggelegar di dadanya.
" Erika telah bertunangan. Tunangannya sekarang di Jerman. Dia Insinyur. Dalam tempo dekat dia akan membawa pulang titel doktor dalam bidang teknik. Apa katanya kalau setiba dia Erika bukan lagi tunangannya" Apa kata orang tuanya pada saya" Apa kata orang-orang yang hadir dalam pesta peresmian pertunangan mereka" Sernuanya akan mengutuk Erika. Lebih-lebih mengutuk saya. Sebab, orang akan memaklumi usia Erika yang masih muda. Dia bertunangan waktu masih SMA. Orang akan maklum bahwa tiga tahun bagi orang seusia itu merupakan beban berat. Karena itu orang akan menimpakan kesalahan pada saya. Sebagai orang tua, saya dianggap tak bisa mengajarkan kesetiaan pada anaknya." Ibu Erika berhenti berucap untuk melihat akibatnya.
" Anton tetap beku. " "Cobalah pikirkan," lanjut ibu Erika. "Kalau kejadian semacam ini menimpa keluargamu. Setiap orang akan menertawakan keluargamu. Satu orang yang berbuat, satu keluarga mendapat cap tak bisa memegang kesetiaan'."
" Begitu, pikir Anton. Soal kesetiaankah yang dibicarakan ini" Tetapi, mulut Anton tetap terkunci.
" "Saya hanya memikirkan kebahagiaan Erika. Sekarang dan masa datang. Saya percaya bahwa calon suaminya itu akan membahagiakan dia. Jika dia pulang nanti, dia akan memperoleh kedudukan yang baik. Bayangkanlah jika ini terjadi pada adikmu sendiri. Jika dia bertunangan dengan lelaki yang akan menjamin kebahagiaannya, tapi lantaran emosi maka dia memilih lelaki lain yang belum begitu dikenalnya."
" Y a, di situlah soalnya, pikir Anton. Jangan bicarakan soal kesetiaan segala macam. Karena aku cuma mahasiswa melarat, karena masa depanku suram sekabur kehidupan yang absurd ini, karena aku tidak bisa memperlihatkan jaminan-jaminan kebahagiaan dalam ukuran masyarakat sekarang: materi, itulah soalnya! Aku cuma mahasiswa dengan kemiskinan masa sekarang, dan perjudian nasib di masa depan!
" Anton menarik napas pelahan dan dalam-dalam.
" "Bantulah saya," kata ibu Erika. "Bantulah agar Erika tidak kehilangan masa depannya yang telah begitu terjamin."
" Anton merasa gelombang panas berputaran di dadanya, menerjang-nerjang sehingga uapnya membuat mata perih. Dia mengerjap-ngerjap untuk melunakkan uap itu. Dia manatap bunga-bunga di halaman.
" "Erika masih terlalu muda untuk membayangkan masa datang. Dunianya cuma masa sekarang. Sedangkan saya, dengan pengalaman masa lampau saya, saya bisa melihat jauh ke depan. Karena itu, saya lebih rasional dalam menilai setiap persoalan. Saya ingin, andainya saya telah tiada, anak saya yang satu-satunya itu berada di samping suami yang bertanggung jawab dan dapat membahagiakannya. Mengerti maksud saya""
" Sekejab Anton merasakan himpitan nyeri menusuk. T etapi, dia cuma mengangguk. Andainya aku punya sejuta dollar dan dideposito di Bank Amerika, pikirnya, itukah hari depan yang diharapkan untuk keluarga" Andainya aku pandai menjilat dan berhasil masuk ke jenjang pemerintahan sampai punya kedudukan tinggi, itukah jaminan yang dibutuhkan untuk kebahagiaan suami-istri"
" Anton menatap bunga.bunga yang mulai samar dalam senja. Yang merah semakin tua, yang hijau semakin biru ditimpa lembayung senja. Langit jingga nampak kelabu di mata Anton.
" Erika, Erika, rumahmu indah. Karena itu, kalau kelak kau pindah ke rumah suamimu, haruslah kau merasa masuk ke sebuah istana. Hidupmu sepanjang hari berkecukupan. Karena itu, kalau kau jadi istri kelak, haruslah suamimu punya brankas di rumah.
" Anton berjalan dengan tangan di dalam saku. Ketika dulu pertama kali mendatangi rumah Erika, lonceng gereja mengantar kepulangannya, Kini pun dentang-dentang bergaung dari gereja. Senja yang temaram berangsur kelam.
" Tak seorang pun tahu kemurungan yang melilit-lilit Anton. Sebab, Anton sengaja menyembunyikannya lewat kegiatan kampus. Dia mempersiapkan karnaval yang akan bergerak dari kampus berkeliling Kota Yogya, dalam rangka hari proklamasi.
" Anton berjalan di Malioboro, di sela-sela orang-orang yang menunggu lewatnya karnaval. Pusat kota itu penuh sesak. Inilah hiburan yang paling disenangi masyarakat Yogya: menonton karnaval atau sejenisnya, yang beramai-ramai di sepanjang jalan utama kota itu.
" Di Malioboro itu orang terpaksa beradu bahu saking sesaknya. Dan, dari pinggir terdengar suara memanggil, Hai, Mas Anton!
" Erika dan teman-temannya. Ada Handoko, Lusi, dan entah siapa lagi.
" Sombong ya sekarang" Tak mau datang lagi ke rumah, kata Erika lagi.
" Anton berusaha mencari makna ucapan itu, tetapi tak menemukannya.
" Handoko meneliti wajah Anton. Dia heran melihat kebekuan wajah itu. Matanya dingin. Tak seperti biasanya kalau berdekatan dengan gadis-gadis.
" Kenapa sih" lanjut Erika.
" Tetapi, suara manja itu malah lebih menikam dada Anton.
" Sehabis karnaval, kita nonton yuk" kata Erika.
" Handoko mengerling Anton. Anton sedang memperhatikan kerumunan orang di depan mereka.
" Lho, kok nggak ada respons" kata Erika.
" Anton melihat salah seorang temannya melintas.
" Maaf, aku pergi dulu, katanya. Tanpa menunggu jawaban, dia mengejar temannya.
" Handoko melengak. " Kok begitu dia sekarang" Terbata-bata Erika berucap.
" Handoko bertukar pandang dengan Lusi. Erika menatap punggung Anton di celah-celah kerumunan orang di depannya. Dan, Handoko mengangkat bahu.
" Wajah Erika menjadi suram.
" *** " Anton cuma mengiyakan setiap ucapan temannya. Pikirannya masih pada Erika. Ah, gadis Jawa, pikimya. Ramah, sopan, dan bertatakrama. Tapi, siapa yang tahu apa yang ada dalam hatinya! Sombong ya
sekarang" Tak mau lagi datang ke rumah. Kenapa sih" Ah, kepura-puraan yang sempurna. Gadis yang ramah, gadis yang suka mengatakan, "Kenapa buru-buru pulang sih"" Padahal di dalam hatinya menggerutu, "Alangkah membosankan orang ini!" Gadis yang diajar oleh ibunya untuk mengatakan kepada setiap tamu, "Sering-sering datang ya"" Padahal harus diterjemahkan, "Kedatanganmu mengganggu kami!" Kesopansantunan yang lebih menggigit.
" Anton melangkah dengan hati terbagi. Separo untuk teman berjalannya, separo lagi untuk Erika.
" "Dia meminta aku datang. Apakah cuma untuk menerima hinaan dari ibunya"" sungut Anton tanpa suara. "Cuma untuk mendengar cerita betapa bagus kedudukan tunangannya"" Anton membanting puntung rokok ke trotoar.
" *** " Erika tak punya semangat lagi menyaksikan karnaval. Hatinya hambar. Khususnya, dia tersinggung. Dia telah ramah, tetapi mendapat reaksi yang begitu dingin. Erika tentunya tidak tahu bahwa keramahannya itu justru lebih memukul batin Anton. Soalnya, Erika sungguh-sungguh tak tahu bahwa Anton telah datang ke rumahnya dan bertemu ibunya. Dia tak tahu. Dan, Anton pun tak tahu bahwa Erika belum mengetahui kedatangannya. Dia mengira bahwa keramahan Erika hanyalah pelamis di depan teman-temannya. Ah, komunikasi, alangkah pahitnya kalau salah interpretasi!
" *** " Kampus selama ini adalah tempat yang menyenangkan. Di sini, kegelisahan-kegelisahan bisa teredakan. Di sini, frustrasi-frustrasi diendapkan. Tetepi, keteduhan di bawah pohon-pohon cemara kini tak mampu menampung keresahan-keresahan yang timbul. Tak mampu meredakan kemurungan Anton. Anton merasa semakin tersingkir, kian merasakan kesendiriannya.
" Cuma Bu Yusnita yang layak diingat sekarang. Dan, sore itu mereka hanya berdua di rumah Bu Yusnita. Mereka menyusun hasil-hasil angket mahasiswa dalam sistematika metode riset.
" "Bu Nita," kata Anton.
" "Hmmm." Bu Yusnita tetap asyik membuat tabulasi.
" "Bu Nita mengira Marini pacar saya""
" "Sajak lama saya tahu."
" "Dia bukan pacar saya. Sungguh!"
" Bu Yusnita mengangkat kepalanya dari kertas-kertas yang sedang ditekuninya.
" "Kenapa sih kalau pacarmu"" katanya.
" "Kalau bukan, kenapa saya harus mengakuinya""
" "Setiap kau ganti pacar, aku selalu tahu."
" "Bagaimana Bu Nita bisa tahu""
" " Aku selalu memperhatikan kau."
" "Ha"" " Bu Yusnita sadar telah kelepasan bicara. Pipinya memerah. Dia kembali meneliti kertas-kertas di hadapannya.
" "Kok Bu Nita selalu memperhatikan saya""


Cintaku Di Kampus Biru Karya Ashadi Siregar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

" "Karena kau bajingan," kata Bu Yusnita.
" Anton berdecak. " "Kalau begitu, kenapa sekarang Bu Nita tak tahu Marini bukan lagi pacar saya""
" "Putus lagi""
" "Bukan putus. Memang di antara kami tak ada apa-apa."
" "Ah, kau memang playboy."
" "Dia akan kawin. Dengan Kusno." Bu Yusnita melirik.
" "Kau patah hati""
" "Ah, tak tahulah."
" Ruangan itu sepi kembali. Anton membuat klasifikasi data riset. Tetapi, pikirannya tak bulat ke pekerjaannya. Wajah Bu Yusnita sesebentar menarik matanya. Maka akhirnya Anton menghenti- kan penyusunan data itu.
" "Jadi," katanya, "selama ini Bu Nita memperhatikan saya"" Bu Yusnita menatapnya.
" "Karena aku membencimu!" katanya sembari memukul penggaris plastik.
" Anton menangkap penggaris itu. Bu Yusnita menariknya. Dengan tangan yang satu lagi, Anton menangkap tangan perempuan itu.
" "Ah, lepaskan!"
" "Saya malah mencintai Bu Nita."
" "Ah, gila kau!"
" "Iya, tergila-gila."
" Cekalan Anton bertambah kuat. "Lepaskan, Anton!"
" Anton malah menariknya lebih kuat sehingga Bu Yusnita terangkat dan jatuh di dada Anton.
" "Jangan, Anton. Ah, lepaskan!"
" "Ini sungguh-sungguh! Saya mencintai Bu Nita." Ciuman Anton singgah di pipi Bu Yusnita. Perempuan itu meronta.
" "Jangan ngomong soal cinta," kata Bu Yusnita terengah.
" "Kenapa jangan" Ini. kenyataan. Bu Nita mau mengingkari ini""
" Bu Yusnita tetap memberontak dan ingin lepas dari pelukan Anton.
" "Sudahlah, Anton. Lepaskan tanganmu ini. Kerja kita tak selesai nanti."
" "Biar! Peduli setan dengan kerja!" Rambut Bu Yusnita bergesekan dengan wajah Anton. Anton membenamkan wajahnya ke dalam rambut yang legam itu.
" "Ah!" keluh perempuan itu.
" "Saya mencintai Bu Nita. Kenapa kita harus mengingkari ini"" gumam Anton.
" Bu Yusnita tak meronta lagi. Dia mengusap kepala Anton.
" "Kau odipus kompleks," katanya.
" Anton mengangkat kepala cepat-cepat. "Kenapa odipus" Saya mencintai Bu Nita, apa salahnya""
" "Karena itulah. Kau mencintai perempuan yang jauh lebih tua darimu.
" "Siapa bilang Bu Nita tua""
" Bu Yusnita mendorong kepala Anton, dan pelan-pelan berkata, "Kelihatannya aku tak berbeda dengan teman-teman mahasiswimu. Tapi, kau tahu berapa usiaku""
" Anton diam. " "Dan kau, berapa usiamu, Anton"" Anton tak menjawab.
" Bu Yusnita memegang mukanya dan bertanya lagi, "Berapa, Anton""
" "Dua lima," kata Anton kemudian.
" "Nah, aku sudah tiga dua."
" "Kenapa harus dipersoalkan itu" Ketika Elizabeth Taylor kawin dengan Eddie Fisher &.. "
" "Kita bukan bintang film, Anton." Bu Yusnita memutus.
" "Tapi kalau saling mencinta""
" "Kau sudah belajar psikologi. Seharusnya kau tahu bahwa cinta di antara orang-orang yang usianya jauh berbeda, merupakan kelainan jiwa."
" Anton terdiam. Tetapi, tetap dirasakannya tangan Bu Yusnita mengelus-elus rambutnya.
" "Mungkin aku memang mencintai kau, Anton," kata Bu Yusnita pelahan. "Bagiku, kau seperti orang yang muncul dari masa lalu yang tak sempat kukecap. Tapi, aku tak mungkin mengembangkan perasaan ini. Sekalipun aku tetap akan berterima kasih padamu sebab kau telah menghidupkan gairah-gairah untuk hidup. Kau telah mencairkan kebekuan yang membalutku selama ini." Bu Yusnita mendekatkan muka Anton sehingga pipi mereka bersentuhan. "Baiklah, kuberi tahu kenapa diam-diam aku selalu memperhatikanmu. Kau kulihat sebagai mahasiswa ideal yang kuimpikan sejak aku kuliah. Kau brilian dalam studi, tapi tetap hangat sebagai lelaki. Kau tidak dingin karena buku-buku di perpustakaan. Aku membenci keliaranmu bercinta, tetapi dalam hati aku mengagumimu. Kehidupanmu hangat dan otakmu cemerlang. Itulah nilai lelaki yang kurindukan untuk datang dalam hi dupku. Tetapi, aku ternyata tak memperolehnya. Buku, cinta, dan pesta adalah kehangatan masa muda di kampus yang kuimpikan. Dan, aku tak bisa menemukan ketiganya dalam diri lelaki yang kukenal di masa mudaku. Ada yang memeluk bukunya, tetapi lupa pada dua lainnya. Ada yang rajin bercinta, tetapi berotak keledai. Ada yang suka pesta, tetapi mengantuk pada waktu kuliah."
" Anton merasakan debur-debur jantung Bu Yusnita yang rapat ke dadanya.
" "Kutemukan kau setelah masa laluku berlalu. Aku mencintaimu, tetapi dalam bentuk cinta yang platonis. Cinta yang muluk yang tak mungkin dicapai dalam kenyataan. Sebab, untuk mencintaimu, aku harus memindahkan diriku ke masa lalu. Padahal itu tak mungkin bertahan." Bu Yusnita merenungi mata Anton.
" Lama mereka cuma bertatapan. Lalu, "Ciumlah aku, Anton," desah perempuan itu.
" Anton merangkulnya. " "Ciumlah untuk masa lalu," kata Bu Yusnita. Matanya mengaca. "Dan, kita hidup di masa sekarang. 'Kan begitu, Anton"" Suaranya lunak.
" Tanpa sadar Anton mengangguk.
" "Aku menyesal karena telah menghambat studimu. Kau mau memaafkan aku, Anton""
" Jawaban Anton adalah ciuman.
" "Sudahlah, Anton, kau sudah tahu seluruhnya. Kau sudah tahu aku mencintaimu, tapi tak mungkin kuteruskan. Kita harus berhenti, dan aku harus mulai berpikir: dunia hari ini adalah hari ini."
" "Bagaimanapun saya mencintai Bu Nita. Bu Nita tidak serupa dengan gadis-gadis yang pernah saya kenal. Saya takut padamu, tetapi ingin mencumbumu. Saya takut pada kemarahanmu, tetapi saya ingin membujukmu kalau merajuk. Saya merasa tak berharga kalau berhadapan denganmu, tetapi saya merasa sanggup menaklukkanmu. Sebab, ada cinta.
" "Janganlah, Anton. Jangan."
" *** " Di perpustakaan Anton asyik membaca. Dan, dia tersentak ketika kursi di depannya berderit. Seseorang duduk. Anton tetap membaca.
" "Ma s Anton," Erika duduk di depan Anton. Matanya yang seperti bintang menghunjam ke mata Anton, Ah, mata yang galak, mata yang cemerlang,
" Anton meletakkan bukunya. "Saya sudah mengerti kenapa Mas Anton waktu ketemu di Malioboro tempo hari begitu dingin. Mama sudah cerita bahwa Mas Anton datang ke rumah waktu saya sedang tak ada,"
" Anton masih menunggu suara yang akan keluar dari bibir mungil itu, tetapi Erika terdiam.
" "Ya, aku datang waktu kau tidak ada di rumah,"
" Apa cerita Mama" " "Tak apa-apa," " "Mesti ada," " Anton diam. " "Tentunya ada ucapan Mama yang menyinggung perasaan Mas Anton,"
" "Ah, tidak," " Erika termangu. Dia tahu bahwa perasaan pemuda gondrong ini tidaklah sekasar tingkahnya yang liar. Hatinya kelewat peka. Pemuda ini matanya mengaca ketika menceritakan orang-orang yang digiring ke Siberia. Pemuda ini dapat menangkap kecamuk perasaan Dr. Zhivago-nya Pasternak di tengah-tengah kegalauan lingkungannya.
" "Bilanglah kalau ada ucapan Mama yang menyinggung perasaanmu.
" "Tidak. Sungguh!"
" "Lalu, kenapa Mas Anton berubah""
" "Aku berubah" Bagaimana aku yang dulu""
" "Dulu Mas Anton mau ngomong-ngomong."
" "Sekarang pikiranku sarat dengan rencana riset untuk skripsiku."
" "Masa sampai menyita seluruh waktu"" Anton diam.
" "Saya kepingin ngomong-ngomong kayak dulu. Tentang buku-buku. Oh, ya, saya baru saja baca iklan Gramedia di KOMPAS. Ada novel-novel baru. Mungkin sudah dijual di Gunung Agung. Mas Anton sudah lihat""
" Anton menggeleng. " "Saya punya plat baru. Rekaman Orkestra Wira."
" Anton mengeluh dalam hati. Alangkah kekanak-kanakan gadis ini. Semurni bunga lily yang baru mekar.
" "Betul-betul tidak karena tersinggung makanya Mas Anton tak mau ngomong-ngomong" Betul-betul cuma karena sibuk"" Bola mala Erika yang hitam jernih menatap tajam.
" Anton mengangguk. " Erika menarik napas dalam-dalam.
" "Kalau Mas Anton tak mau ke rumah, kita toh bisa bertemu di sini."
" Anton tak menjawab. " "Ayolah kita jalan-jalan," kala gadis itu.
" "Ke mana""
" "Ke Malioboro kek. Atau di bawah pohon-pohon cemara itu" Kita ngomong-ngomong saja."
" Mereka keluar dari perpustakaan. Mereka menyusuri jalan-jalan yang dijajari pohon cemara.
" "Lama ya kita tak ngobrol" Lamaaa sekali," kata Erika.
" "Sekarang ngobrol lah."
" "Ah! Erika merentakkan tangan Anton.
" Anton melepaskan pegangannya, tetapi tangan Erika kembali mencekalnya. Anton tersenyum, dan Erika tersenyum.
" Alangkah anehnya, pikir gadis itu. Baru seminggu dia kukenal, tetapi rasanya dia dekat sekali dalam hidupku.
" "Saya sudah pernah menceritakan tentang kakak saya"" tanya gadis itu.
" "Belum." " "Tiba-tiba saja, belakangan ini saya rindu padanya."
" "Kakak yang di Jerman""
" "Ah!" Erika berhenti melangkah. Anton tetap menunduk sambil melangkah. Erika mengejarnya.
" "Kakak saya satu-satunya. Dia hilang di Irian Barat."
" "Kayak suami Megawati."
" "Ya." " "Wah, dia pahlawan."
" "Saya tak butuh pahlawan. Saya cuma butuh kakak saya." Erika menekuri aspal yang akan dipijaknya. "Selisih umur kami lima tahun," katanya lagi."Waktu saya kecil, dia mau menemani saya main boneka-bonekaan. Padahal dia sendiri senang main layang-layang. Dia betah mendengarkan omongan saya tentang boneka, tentang pengalaman saya main jual-jualan dengan anak tetangga, tentang bunga. Tapi, dia juga tak segan me-nyelentik kuping saya kalau saya bermain-main di tanah becek. Waktu saya masuk SMA, dia sudah di AKABRI." Mata Erika merenung ke kejauhan. "Dia baik sekali."
" "Setiap kakak baik kepada adiknya."
" "Tapi, dia lebih lagi. Dia gagah, tapi lembut. Dia pemarah tapi juga pembujuk. Andainya dia bukan kakak saya, pasti jadi pacar saya."
" "Bagaimana dengan yang di Jerman""
" Erika mengerling, tetapi wajah Anton tetap setawar semula. Erika merasa cincin yang kini dipasang di jarinya demi memenuhi perintah ibunya terasa lebih sempit dari biasanya.
" "Kok tahu""
" "Semua orang tahu."
" Soal dia,no comment . . " Mereka terus melangkah pelahan. Akhirnya mereka sampai di bundaran yang menjadi gerbang Kampus Gadjah Mada.
" "Masih mau dengar tentang kakak saya""
" "Ya." " "Waktu di AKABRI, sekali seminggu datang. Tapi, dia tak punya tempo lagi untuk saya. Dia asyik pacaran. Diam-diam saya membenci pacarnya itu.
" "Sekarang pun masih benci""
" "Terang tidak dong. Setelah saya lebih dewasa, saya menyukai gadis itu. Saya kagum akan pilihan kakak saya. Gadis itu sangat baik. Dan, cantik. Sampai sekarang dia belum kawin." Erika menghentikan langkahnya. "Mau mengenalnya"" tanyanya.
" "Tidak." " "Dia cantik." " Anton cuma tertawa. " "Seperti kau"" katanya.
" "Lebih. Pokoknya kalau sudah lihat, pasti tertarik.
" "Ah, kau kayak detailman obat."
" "Ini sungguh-sungguh."
"

Cintaku Di Kampus Biru Karya Ashadi Siregar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Anton tak menjawab. " "Kalau mau, sore ini juga kita ke rumahnya. Oke""
" "Tidak." " "Rumahnya dekat dari sini," desak Erika.
" "Tidak." " "Kenapa"" " Aku sibuk. " "Alaaa, sombongnya. Kalau sudah mengenalnya, saya jamin Mas Anton akan sering ke rumahnya.
" "Kenapa sih kau begitu getol mempromosikannya""
" "Sebab, dia cantik dan baik sekali."
" "Kalau dia cantik dan baik sekali, pasti banyak lelaki yang menginginkannya."
" "Tapi, belum tentu dia mau."
" "Lalu, kaukira, andainya aku yang datang apakah dia akan mau""
" "Saya yakin dia mau."
" "Sebab"" " "Sebab... sebab... sebab kau seperti kakak saya."
" " Ah, omong kosong!" kata Anton.
" "Saya senang kalau Mas Anton sama dia." Erika tak peduli.
" Anton tersenyum. " "Sebentar lagi kita lewati."
" Di depan sebuah rumah, Erika memperlambat langkah.
" "Nah, itu dia," katanya.
" Seorang gadis sedang menyiram bunga di halaman.
" "Mbak!" seru Erika.
" Gadis itu meletakkan cerek penyiram tanaman, dan menoleh.
" "Eh, Ika!" Gadis itu menghambur ke pintu pagar.
" Erika berbisik ke telinga Anton, "Kan betul kataku ""
" Anton terpana menatap gadis itu. Bukan main, bukan main. Dia adalah anggrek hutan yang belum terjamah. Halus dan suci. Bibirnya yang mengulum senyum itu, diimbangi oleh matanya yang seperti mata kelinci.
" "Ayo, Ika, masuk." Gadis itu mengangguk kepada Anton.
" Erika menoleh kepada. Anton. Anton menggeleng.
" "Kami cuma kebetulan lewat. Dari kampus," kata Erika.
" "Ayo to, mampir dulu," rengek gadis itu.
" "Hampir Maghrib, " ujar Anton.
" "Kami terus saja," kata Erika.
" "Lain kali kalau tak mau mampir, kujewer kau, Ika," kata gadis itu.
" Erika tertawa cekikikan. Mereka kembali melangkah.
" "Cantik, 'kan"" kata Erika.
" "Excellent." " "Kenapa tak menanyakan namanya""
" "Aku curiga. Promosimu berlebihan."
" "Alaaa, kura-kura dalam perahu. Pura-pura tidak mau. Padahal nanti diam-diam datang bertamu.
" *** " Sebagaimana biasanya, Anton separo berlari menaiki tangga menuju fakultasnya. Tangga yang berbelok melengkung itu telah dikenalinya seperti telapak tangannya sendiri. Maka setelah undakan yang kesekian, dia tahu sudah sampaikah dia.
" Baru sebagian undakan yang diinjaknya, Marini menghadang.
" "Hello." " Marini membalas dengan senyum.
" "Tambah cantik saja kau," kata Anton. Wajah Marini berseri.
" "Lamo indak basuo, piye kabare, Upik"" lanjut Anton.
" "Seperti yang kaulihat," jawab Marini.
" "Seperti yang kulihat, kecuali cantik" tak ada yang berubah." Anton tak jadi naik. Dia mengiringkan langkah Marini begitu gadis itu menarik tangannya.
" "Aku barusan dapat surat dari Padang," kata Marini.
" "Bagaimana kata orang tuamu""
" "Semua lancar."
" "Good." " "Terima kasih untuk surat yang kaukirirn pada abangku di Bandung," kata Marini.
" "Ah, tak ada yang patut diterimakasihkan. Kebetulan aku mengenalnya. Itu saja."
" "Berkat bantuanmu maka orang tuaku menyetujui perkawinan ini."
" "Lho, apa masih ada adat macam Siti Nurbaya di sana""
" "Maklumlah, Kusno tak mereka kenal. Lagi pula, Kusno orang sini. Jadi, patu
t rnereka ragu-ragu. Tapi, karena kau menulis yang baik-baik tentang Kusno pada abangku di Bandung, dia jadi pendukung perkawinan kami."
" Hmmm, lumayan juga. " "Kusno sangat berterima kasih. Sayang dia belum ketemu kau. Dia sedang pulang ke rumah orang tuanya.
" "Kapan dilangsungkan"" tanya Anton..
" "Selekasnya. Menunggu orang tuaku. Kau harus datang, Anton. Harus!"
" "Datang sih gampang. Tapi, ada syaratnya."
" "Apa"" " "Kalau anakmu lahir, dia harus menyebutku 'Mamak'."
" Marini mengikik. " "Bagaimana bayi bisa ngomong"" katanya.
" "Kalau sudah gede tentunya. Dia harus menyebutku: Mamak Anton Rorimpandey. Hmmm, lumayan."
" Beres. " "Eh, begitu yakinnya" Apa sudah dititipi Kusno""
" "Bajingan!" Marini memukul punggung Anton. Tetapi, sebelum terkena pukulan, Anton sudah mengelak dan berlari. Dia cuma meninggalkan tawanya yang keras.
" Marini menghela napas sebelum kemudian tersenyum. Anton masuk ke ruang kerja Bu Yusnita. Dosen itu masih menyelesaikan hasil-hasil riset yang mereka laksanakan tempo hari.
" "Lama tak nongol. Ke mana saja kau"" sambut Bu Yusnita.
" "Baru empat hari bolos, sudah dibilang lama."
" "Iya, tapi kerja bertumpuk ini."
" Anton membuka map-map dan mulai bekerja. Bu Yusnita mengangkat berkas-berkas kertasnya dan pindah duduk di samping Anton.
" "Anton," katanya berbisik, "aku sudah memutuskan," lanjutnya.
" Anton menoleh cepat. Bu Yusnita memainkan fulpennya yang tertutup di pipi Anton. Menggores-gores.
" "Aku akan menikah dengan Pak Gunawan," kata Bu Yusnita.
" Anton termangu. Bu Yusnita melihat kekosong an di mata pemuda itu.
" "Bagaimana pendapatmu""
" "Pendapat saya"" kata Anton terpatah-patah. "Apa yang saya bilang""
" "Kau banyak membaca buku-buku. Pengetahuanmu luas, otakmu cerdas. Sekarang, bagaimana pendapatmu untuk keputusanku ini""
" Anton terdiam. Lama. Cuma suara helaan napas mereka yang terdengar di ruangan itu. Bu Yusnita memperhatikan mata pemuda itu. Mata yang termangu. Hidungnya, dagunya, bibirnya menunjukkan kekukuhan. Maka Bu Yusnita menarik napas.
" Pelan-pelan Anton mengalihkan ketermanguannya, dan memandang lurus ke mata Bu Yusnita.
" "Saya kira memang keputusan yang tepat buat Bu Nita. Walaupun mungkin tidak tepat untuk saya. Tetapi, soalnya yang memilih Bu Nita, bukan saya."
" Bu Yusnita merekam suara yang murung itu diam-diam.
" "Ya, lebih baik keluar dari mimpi untuk hidup dalam relita. Seindah-indahnya mimpi, akan lebih baik realita bagaimanapun buruknya."
" "Ya," desah Bu Yusnita.
" "Dan, realita yang Bu Nita pilih bukanlah buruk. Itu juga bisa indah nantinya. Tergantung bagaimana Bu Nita menikmatinya."
" "Ya." Berdesah lagi bibir perempuan itu.
" "Apa yang kurang pada Pak Gunawan" Tak ada. Kecuali masa lalunya yang tak berkenan dihati Bu Nita. Padahal pernikahan toh untuk sekarang dan kelak, bukan untuk masa lalu."
" Bu Yusnita tak bersuara. Cuma matanya lekat ke bibir yang telah dikenalnya itu. Bibir yang berani menyeruak menerkam bibirnya.
" "Tapi," pelan sekali suara Bu Yusnita, "apakan kami tidak terlalu tua ""
" "Ah, Bu Nita! Untuk memulai, 'kan tak ada perkataan terlalu tua""
" Kerut-merut di kening Bu Yusnita semakin samar. Kemudian wajahnya kembali cerah.
" "Terima kasih, Anton. Terima kasih." Tangannya menekap tangan Anton.
untuk beberapa saat mereka diam. Kemudian Bu Yusnita memecah kebisuan dengan tawa halus.
" "Lucu sekali. Aku cuma berani mencari kepastian dari kau, Anton. Cuma kau. Aku tak punya tempat bertukar pikiran. Seluruh persoalanku selama ini kupikirkan dan kupecahkan sendiri. Tapi, untuk soal ini aku memang sungguh-sungguh merasakan arti pentingmu."
" "Kapan pun saya selalu siap membantu Bu Nita
" *** " Anton merenungi rerumputan yang dilaluinya. Di sekelilingnya berseliweran mahasiswi. Bau parfum mereka terhambur dibawa angin. Tetapi, Anton tak memperhatikan. Dia berjalan tanpa tujuan di lingkungan kampus itu.
" Hatinya kosong. Apakah yang tersisa dari kegembiraan
masa lalu" Kecuali kenangan, tak ada lainnya. Satu per satu perempuan yang digaulinya menemukan kebahagiaan. Berarti, kebahagiaan bersamanya waktu itu tak ada artinya lagi. Cuma pengisi kekosongan. Sebab, gadis-gadis itu toh mencari dan menemukan kebahagiaan dengan lelaki yang menjadi suami mereka. Berarti, Anton hanyalah gelembung sabun yang melintas. Berarti, Anton akan lenyap dalam lintasan waktu. Sebab, setiap gadis menemukan telaganya, dan melabuhkan dirinya di situ.
" Tanpa sadar, Anton menjejerkan gadis-gadis yang pernah digaulinya. Paula, menikah dengan dokter: mewah! Dewi, bersama manajer bank asing: luks! Una, di samping pegawai tinggi Pertamina: senang! Wredaningsih, dengan suami yang bisa menghadiahi Toyota Corolla. Susan, mengikuti suami di Amerika Serikat. Dan, siapa lagi, dan siapa lagi"
" Ah, apakah arti Anton Rorimpandey, mahasiswa yang kabur masa depannya" Cumbuan-cumbuan di kampus ini hanya merupakan selingan dalam hidup yang ceria, tetapi tidak abadi. Sebab, di kampus hanya mungkin pacaran, bercumbu, ajuk-mengajuk: jangan melihat realita. Sekali menatap realita, Anton pun tak ada lagi artinya. Dia menjadi pemuda yang tak tahu ke mana harus pergi, dan apa yang harus diberikannya untuk menghidupi istri.
" Kampus adalah dunia mimpi. Semua orang menatap dengan mata terpejam. Begitu terbangun dari mimpi, akan mendapatkan dirinya terdampar pada realita kepahitan demi kepahitan. Segala teori yang indah, sejuta filsafat hidup yang bagus, tak akan bisa bertarung dengan koneksiisme, sogok, suap, korupsi, dan sejenisnya.
" Maka gadis-gadis yang pernah dicumbu Anton di kampus ini harus mencari lelaki yang siap menerima mereka di dalam realita. Menunggu Anton sama halnya menunggu kereta yang tak tahu berangkat jam berapa. Bahkan tak tahu berangkat atau tidak. Bercinta dengan Anton sama halnya membeli perkutut dalam sarang terbungkus. Geleparnya memang membuktikan gairah dan semangatnya, tetapi akan manggung dengan baikkah nanti"
" Maka benarlah perasaan ibu Erika. Sejatilah keibuan perempuan itu. Dia tidak suka memperjudikan nasib anaknya sementara kemungkinan baik teiah dipunyainya selama ini.
" Jadi, apakah arti cinta yang sebenarnya" Hanya sebagai kekuatan dalam novel-novel dan cerita pengarang-pengarang pemimpikah"
" Cintakah namanya tali yang menghubungkan Anton tatkala pacaran dengan Marini" Tak tahu. Toh cinta di situ cuma kekuatan yang mendorong ke arah perkawinan.
" Lalu Bu Yusnita! Ah, perempuan itu menempati ruang tersendiri dalam hati Anton.
" Dan, Erika! Ah, gadis itu tak tahu akan dikategorikan ke mana. Dia tak bisa dijejerkan dengan gadis-gadis yang pernah dikenal Anton. Gadis-gadis itu bercinta dengan Anton sebelum Anton takut memperlama hubungan. Begitu saja. Wajar. Tetapi, dengan Erika, hubungan tak sempat berkembang sebab telah dirontokkan oleh kesadaran terhadap realita. Realita bahwa nilai yang ada pada diri Anton sama sekali tak ada artinya, bahwa nilai yang diperlukan adalah jaminan kesejahteraan keluarga, bahwa nilai yang ada dalam diri manusia tak lagi diperlukan sebab yang dibutuhkan adalah nilai yang terlihat dan terasakan dalam kehidupan rill ekonomis. Ah, Erika yang begitu lembut, gadis yang bergairah membaca novel-novel kesusasteraan besar, gadis yang hidup di tengah keluarga yang tidak mempedulikan nuansa-nuansa manusiawi! Ah!
" Gadis itu mendatangi Anton dari depan.. Tatkala matanya menangkap sosok Anton, dia mempercepat langkahnya. Wajahnya yang biasa berseri itu kini kusut.
" "Mas Anton!" Erika berdiri dua langkah di hadapan Anton. Sepatu gadis itu menggurat-gurat tanah, mulutnya terkunci.
" "Ada apa"" Suara Anton datar.
" "Saya tadi mencari Mas Anton di fakultas." Erika terbata-bata. "Ketemu Handoko, dan dia bilang Mas Anton sering kemari. ltulah kenapa saya ke sini."
" "Oh, ya"" Anton menaksir-naksir.
" Erika menggigit-gigit bibirnya. Banyak yang ingin diucapkannya, tetapi terbentur pada dinginnya tatapan mata Anton.
" "Mas Anton," kata gadis itu setelah memenuhi dadanya dengan udara, "kapan ke rumah lagi""
" An ton mengernyitkan kening. Erika tak tahan di bawah tatap mata yang dingin menyelidik itu. Lalu dia berbalik dan pergi.
" "Apa sih maunya"" kata hati Anton. "Dia menyuruhku datang, padahal ibunya begitu memandang rendah diriku. Andaikan dia mengajak jalan-jalan, masih bisa dipertimbangkan. Cuma, untuk datang ke rumahnya" Wow!"
" Anton menendang pucuk gerumbul bunga. Daun dan bunga-bunga bertebaran. Dengan sisi tangannya, dia memarang gerumbul semak itu. Daun dan bunga beserpihan. Lalu dia mengayun langkah. Ke selatan. Melewati Fakultas Sastra. Ah, kenapa tidak singgah dulu ke sini" Fakultas ini banyak menyimpan gadis cantik. Pura-pura ngobrol soal kesusasteraan bisa menikmati wajah-wajah cantik.
" Lalu, dia masuk ke fakultas itu. Nah, itu Mochtar Pabottinggi, Peter Hagul, Anhar Gonggong. Tetapi, sayang di antara ketiga orang ini tak ada yang agak liar. Sulit diajak kongko soal cewek.
"

Cintaku Di Kampus Biru Karya Ashadi Siregar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ah, kenapa aku harus memusingkan ketiga mahasiswa kutu buku itu! Anton melihat gadis yang punya senyum selembut bayi. Bekas pacar kakak Erika. Hmmm, Mochtar tentunya punya informasi tentang gadis ini.
" Namanya Widyasari. Mahasiswi fakultas ini, tetapi beberapa lama ini tak aktif. Konon lantaran tunangannya gugur dalam menjalankan tugas negara. Hampir dua tahun dia meninggalkan kuliahnya. Baru sekarang back to campus.
" "Kau ada niat"" tanya Mochtar.
" "Hmmm." Mata Anton masih menerawang ke gadis itu.
" "Kalau ada niat, kau harus segigih anak-anak Mapala-UI," kata Peter.
" "Kenapa"" " "Dia sedingin es di Puncak Cartenz. Untuk menaklukkannya memerlukan ketangguhan seorang pendaki gunung kaliber Mount Everest."
" "Tapi, dia seindah Gunung Fujiyama," kata Anton.
" "Yang penting, ada paduan Venus dan Dewi Sri di matanya," kata Anton.
" Dan, dia mendekati gadis yang telah keluar dari halaman fakultas itu. Sebelum tiba di aspal, Anton telah menjejeri gadis itu.
" "Hello," katanya.
" Widyasari menatapnya. Mata yang terpentang itu, aduhai indah. Kayak terlihat getaran bulu-bulu matanya. Gadis itu berpikir sejenak.
" "Selamat kembali ke kampus," kata Anton.
" "Oh." " "Maaf, barangkali lupa padaku" Aku pernah lewat dengan Erika, waktu Anda merawat bunga-bunga di halaman."
" "Ooo." Gadis itu tersenyum.
" "Musim kemarau panjang begini, bagaimana bunga-bunganya""
" "Wah, repot," kata gadis itu. "Banyak yang layu.
" "Tapi, ada pohon pelindung."
" Ya. " Lalu mereka bicara soal bunga. Anton bersyukur sebab selama ini dia sering membaca tulisan- tulisan Slametsuseno di Intisari, soal mengurus tanaman dan semacamnya.
" Mereka berjalan terus hingga sepanjang jalan berhamburan nama bunga dan teknik persilangan untuk memperoleh jenis dan warna bunga yang cantik.
" Gadis itu merasa jarak perjalanan ke rumahnya lebih pendek. Senyumnya kian mengorak, seperti senyum untuk orang yang sudah lama dikenalnya, ketika Anton berkata, "Ada temanku yang punya jenis anggrek hasil persilangan. Kalau suka anggrek, akan aku bawakan."
" Mata gadis itu tambah cemerlang.
" Itulah permulaannya. " Ketika kembali berjalan di bawah teriknya matahari, tanpa sadar Anton bersiul We Shall Over Come. Tetapi, baru dua kali siulan, Anton menghentikan langkah. Dia menatap berkeliling. Takut kalau ada intel di dekatnya. Kokamtib tidak suka mendengar lagu itu didendangkan. Padahal sesungguhnya Anton menujukan lagu itu untuk Widyasari yang sedang menggelinding-gelinding dalam hatinya.
" *** " Hari demi hari Anton sibuk menggarap penyusunan skripsinya. Kadang-kadang mendatangi rumah Widyasari. Maka dia pun bisa melupakan kemurungan-kemurungannya. Teori-teori yang memusingkan kepala bertarung dengan wajah cantik yang bersenyum bukan main. Sintesanya adalah kesegaran dalam hari-hari yang indah!
" Dan, pagi itu Anton terbenam di kamarnya yang jendelanya dinaungi pohon sawo. Dia mendengar suara mobil memasuki halaman rumah pondokannya. Tak lama kemudian, pintu kamarnya diketuk dan pemilik rumah memanggilnya, "Nak Anton, ada tamu."
" Anton keluar, ke ruang tamu. Jantun
gnya menyentak. Apa-apaan ini" Ibu Erika, sendirian, di ruangan itu.
" "Nak Anton, maaf saya mengganggu. Alamatmu Ibu dapatkan dari Handoko."
" "Oh, ya"" " Sesaat perempuan tua itu diam. Anton menatap keluar. Bingung.
" "Saya menyesal telah menyinggung perasaan Nak Anton sewaktu datang tempo hari. Saya tidak bermaksud menyakiti hati Nak Anton. Sungguh. Sebagai orang tua, saya hanya memikirkan kebahagiaan Erika. Dan, saya tak terlepas dari kesalahan-kesalahan. Saya sadar bahwa tidak setiap pendapat dan keputusan saya benar."
" Anton mengaruk-garuk kepalanya.
" "Jadi, saya berharap Nak Anton mau melupakan ucapan saya tempo hari."
" "O, saya sudah lama melupakan itu," kata Anton hambar.
" "Terima kasih, Nak Anton. Datanglah ke rumah."
" "Ya, kalau sempat."
" "Erika menunggu."
" Kening Anton berkerut tujuh.
" "Teleponlah ke rumah. Tahu nomor telepon di rumah ""
" Anton diam. Perempuan tua itu membuka tasnya.
" "Ini kartu nama papa Erika. Teleponlah, Erika di rumah."
" Anton masih dicekam kebingungan ketika mengan tar perempuan itu ke mobilnya. Dan, tetap mematung saat sapir mobil Mercedez 350 itu menekan gas dan mobil menjauhi rumah. Anton menatap kartu nama di tangannya berkali-kali. Dia membaca angka-angka di kartu itu.
" Dia tak tahan dicekam kebingungan. Hampir berlari dia ke rumah tetangga meminjam pesawat telepon. Dia menghubungi Handoko.
" "Ceritakan kenapa ibu Erika datang ke rumahku!" katanya.
" "Mereka terpikat sama kau." Suara Handoko renyah.
" "Jangan ketawa! Apa maksudnya sebenarnya!""
" "Ingin memungut kau jadi menantu."
" "Bajingan! Jangan main-main kau. kuremukkan nanti rusak kau!"
" Handoko menerima kemarahan lewat kabel itu. "Tenanglah, Anton. Sedang ada perubahan angin.
" "Ini membikin kepalaku hampir pecah. Aku betul-betul tak mengerti. Dia sudah menghinaku dengan membangga-banggakan calon menantunya yang kandidat doktor itu. Sekarang dia menyuruhku datang. Apa-apaan itu""
" "Nah, itulah soalnya. Kandidat Doktor itu tak bisa diharapkan lagi. Memang bajingan anak pamanku itu. Diam-diam makan tahi. Baru beberapa hari yang lalu kami tahu bahwa dia kawin dengan gadis Jerman."
" "Bah!" Anton melepaskan napas berat.
" "Dia anak pamanku, tetapi sungguh membuatku membencinya."
" Seketika keduanya diam. " "Hello, kau masih di situ, Anton""
" "Ya." " "Hatimu lega sekarang" Jalan sudah terbuka lapang."
" "Terbuka" Fui! Terkutuklah kalian semua!"
" "Eh, lho, kenapa""
" "Setelah lelaki itu tak bisa diharap, baru aku ada harga di mata mereka" Aku cuma calak-calak ganti asah!"
" "Tapi, Erika mencintai kau."
" "Taik cinta! Aku cuma ban serep yang harganya lebih murah dari ban Mercedeznya."
" Krak! " Anton. meletakkan gagang pesawat. Dia kembali ke rumahnya. Hatinya sakit. Perih. Mual. Dan, semacamnya. Belum lama Anton duduk, Handoko memasuki halaman rumahnya. Dan, Handoko masuk ke dalam.
" "Kenapa sih marah"" tanyanya. Anton membeku.
" "Dulu kau mengejar-ngejar gadis itu."
" "Dulu!" kata Anton tawar.
" "Lalu, sekarang""
" "Ketika dulu ibunya menghinaku dangan memuji-muji calon doktor teknologi itu, aku bisa memakluminya. Karena aku sadar, aku cuma mahasiswa. Tapi, sekarang setelah calon doktor itu membatalkan pertunangannya, kebaikan ibu itu bukan lagi kebaikan. Itu tikaman yang sangat nyeri ke hatiku. Apakah dia mengira lantaran aku miskin lantas bisa dibelinya" Apakah dengan menunjukkan Mercedez 350-nya dia mengira aku akan merangkak ke rumahnya" Terkutuklah kekayaan mereka!"
" "Kalau kau mencintai. Erika""
" "Mungkin aku mencintai gadis itu. Tapi, kalau aku diperlakukan sebagai barang yang bisa dibeli, persetanlah cinta! Setelah dia mengecewakan anak gadisnya karena mempertunangkan dengan lelaki yang tak setia, dia seenaknya ingin mengganti dengan lelaki lain. Kalau perlu membeli lelaki itu. Lebih baik dia membeli lelaki lain. Bukan aku!"
" "Kukira bukan begitu maksud ibu itu," kata Handoko pelan.
" "Cinta bisa dibeli di zaman ini. Maka
nya mereka mengira bisa membeli diriku. Coba, lihat ini!" Anton melemparkan kartu nama yang ditinggalkan ibu Erika.
" Handoko kaget. " "Kenapa dia memberikan kartu nama itu" Pasti karena beberapa PT raksasa yang di Jakarta yang tertulis di situ. Pasti dia mengira nama papa Erika yang tercantum di situ sebagai presiden direktur dapat membuat mataku jadi hijau dan aku akan merangkak ke rumahnya agar diangkat jadi menantu. Bah! Alangkah menghinanya!"
" Handoko membisu. Mata Anton panas. Bibirnya gemetar lantaran menahan ledakan-ledakan di dadanya.
" "Orang tuaku memang tidak kaya di Manado sana," katanya. "Tapi, minimal kami sekeluarga diajarkan untuk punya harga diri."
" Untuk beberapa saat mereka terdiam. Handoko menimang-nimang kartu nama yang di tangannya.
" "Apa dia bilang, waktu memberikan kartu ini"" ujarnya.
" "Ya" Katanya agar aku menelepon anaknya pada nomor yang ada di kartu itu."
" "Mungkin dia jujur ."
" "Ah, itu cuma alasan. Dia cuma mau menunjukkan betapa besar PT milik mereka. Kalau nomor telepon, dia bisa saja memberi tahu langsung. Tak perlu kartu segala macam. Dan, dia tak perlu datang dengan Mercedez 350-nya itu."
" "Soalnya, beberapa hari ini Erika berkurung terus di rumahnya. Terakhir keluar waktu mencari kau di fakultas. Cuma, ketika itu aku belum tahu kabar dari Jerman. Mungkin dia ingin menyampaikannya pada kau. Ada ketemu kalian""
" Anton tak menjawab. " "Dia mencintaimu, Anton.
" "Sudahlah, Koko. Jangan lagi bicarakan itu. Itu cuma mengingatkanku pada keluarganya. Lama-lama aku bisa jadi marxis, karena aku membenci orang-orang kaya.
" "Dia gadis yang lembut. Dia perasa."
" "Ah!" Anton menggaruk dagunya kuat-kuat.
" "Kenapa kau datang ke rumahnya hingga dia kenai kau" Kenapa kau mengikatnya, dengan pembicaraan-pembicaraanmu" Kenapa kau membawanya menonton. Kenapa kau &.."
" "Itu dulu!" Anton memutus.
" "Tapi, bersisa dalam hatinya."
" "Persetan!" " "Kalau kau tak muncul dalam hidupnya, biarpun putus dengan Usman, dia tak akan apa-apa. Hubungan mereka memang hambar. Dia bisa memulai lagi dari awal dengan lelaki lain. Memulai dengan hati yang siap diisi. Tapi, lantaran ada kau, dan kau menyepelekannya, dia mengalami pukulan beruntun dua kali. "
" "Kubilang, tak usah membicarakan dia!"
" "Kenapa tidak" Waktu mau datang ke rumahnya, kau menanyakannya padaku."
" "Tapi, ketika itu kau berlepas tangan."
" "Sekarang aku tak bisa berlepas tangan. Dia kuanggap sebagai adiku. " "Lantas, mau kau""
" "Kau harus ke rumahnya!"
" Anton tertawa pahit. " "Seberapakah kekuasaanmu, Koko, sampai bisa memaksaku" Kokamtib pun memerintahku, tidak akan kuturuti." Dan, di kepala Anton berkelebat bayangan Widyasari. Juga kehalusan wajah gadis itu ketika mereka berdua berdiri rapat memperhatikan anggrek-anggrek yang bergantungan di belakang rumahnya.
" "Bagaimanapun kau harus ke rumahnya. Atau kau harus musnah dari kenangannya""
" "Eh, gila! Soal kenangan itu urusan dia sendiri. Dia boleh menghapuskannya dengan atau tanpa izinku."
" "Kau akan berhadapan denganku kalau sampai terjadi apa-apa atas dirinya."
" "Bah! Apa yang bisa kaulakukan padaku" Duel" Ah, kita sama-sama latihan karate, Koko. Aku sudah Dan satu, dan kau baru ban coklat."
" Handoko berdiri. " "Kita tidak akan berkelahi, Anton. Kau hanya akan berkelahi dengan hatimu sendiri. Sebab, hatimu tahu bahwa di sana ada gadis yang kaubuat mencintai kau, tapi kemudian kausia-siakan. Gadis yang belum pernah mengenal kepahitan dunia." Handoko keluar.
" Anton menyandarkan punggungnya ke kursi, dan bergumam, "Soalnya bukan cinta atau hati, tapi soal orang tuanya telah mengira bisa membeli diriku untuk pengganti calon doktor yang tidak setia. Itulah lebih baik mencari gadis-gadis dan memulainya dari awal!"
" Dan, Anton ingat bahwa nanti sore dia akan menemui Widyasari. Mereka akan mengunjungi pameran merangkai bunga yang diselenggarakan oleh Klub Mayasari, di Gedung Senisono.
" *** " Erika termangu di teras rumahnya. Dia malas ku
liah. Retno berkali-kali datang membujuknya agar kuliah, atau jalan-jalan ke Malioboro, atau ke bioskop, atau ke mana saja, tetapi Erika 1ebih suka di rumah. Ah, ah, ah, sibiran tulang semata wayang itu merusuhkan hati ibunya. Sementara itu, ayahnya tetap asyik bekerja di Jakarta.
" Nyeri dada ibu Erika menerima tatap mata anaknya ini setiap kali mereka bertemu pandang. Mata yang menuduh. Mata yang menyalahkan. Mata yang tak mau tersenyum.
" "Andainya Mama tidak mendesak aku bertunangan dengan Usman. Andainya Mama tidak merusuhi hubunganku dengan Anton. Andainya Mama tidak terlalau mencampuri urusan-urusan pribadiku. Andainya Mama membiarkan aku memilih mana yang kuanggap baik... ." Seribu 'andainya' akan berputaran kalau hati sedang dilanda sesal. Andainya adalah kemungkinan-kemungkinan baik yang akan jadi bumerang setelah dia tak muncul. Andainya adalah harapan-harapan yang akan me- nikam setelah dia tak terujud. Andainya adalah sesuatu yang hampa tetapi mengikat orang untuk percaya bahwa dia ada. Andainya adalah nomor buntut yang tidak kena.
" Di sini Erika sediam robot. Di sana, Anton berkali-kali menatap langit yang berangsur digelapi awan. Widyasari mengipas-ngipaskan katalogus pameran merangkai bunga itu. Udara menyungkup pengap dalam mendung yang mengintai.
" Mereka berdua baru keluar dari Gedung Senisono. Kini mereka menyusuri jalan di depan Gedung Agung. Lampu-lampu kristal di gedung itu menyemarakkan tempat itu. Rumputan hijau membentang di seluruh halaman.
" Anton masih melihat-lihat ke langit.
" "Akan hujan"" kata Widyasari.
" "Iya," kata Anton. Dan, titik pertama terasa di kepalanya. "Kita nonton saja ya"" lanjutnya.
" Widyasari berpikir, tetapi langkahnya lebih tergesa. Mereka tiba di depan Bioskop Indra. Titik- titik hujan kian terasa.
" "Kita nonton untuk merayakan hujan pertama setelah kemarau panjang," kata Anton.
Widyasari memperhatikan poster film yang akan diputar. Mereka pun menonton. Bagi Anton, es Puncuk Cartenz itu kian terpanjat. Dua jam dalam gelap, duduk berdampingan, merupakan per mulaan yang mencairkan kebekuan gadis itu.
" Tangan Anton menindih tangan gadis itu. Widyasari tidak menolak, tetapi tidak pula bereaksi. Cuma, memang harus pelan-pelan. Jangan sampai menggebu-gebu. Jangan sampai membuat shock macam apa pun, pikir Anton. Tak perlu main blitzkrieg. Terhadap gadis ini, bolehlah digunakan teknik Yogya: alon-alon waton kelakon.
"

Cintaku Di Kampus Biru Karya Ashadi Siregar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Di becak pun, dalam rintik-rintik hujan yang mendinginkan itu, Anton tetap sesopan mungkin. Dia hanya merangkul gadis itu dan menjaga agar tetesan hujan tidak menimpa gadis itu.
" *** " Beberapa kali berkunjung, beberapa kali berjalan bersama, sesungguhya keinginan Anton untuk mengulum bibir gadis itu sudah mengejek-ejek. Sebab, selamanya, ke sanalah arah setiap berpacaran. Sebelum sampai pada tonggak itu, belum lagi bisa dikatakan berpacaran. Itu baru proses.
" Maka sore itu, ketika di rumah Widyasari sepi, Anton sudah mengerling-ngerling segenap penjuru. rumah yang komfortabel untuk tempat penyerangan itu. Pilihannya jatuh pada halaman belakang. Tempat yang dilindungi penyekat-penyekat dan tumbuhan jalar. Lebih-lebih di sana-sini bergantungan anggrek.
" Nah, ketika Widyasari mulai menurunkan onggokan anggrek, Anton sedang memikirkan momen yang paling tepat. Tetapi, gadis itu selamanya sesopan guru Taman Kanak-kanak.
" Lalu Anton berkata, "Seminggu lagi anggrek itu mekar." Widyasari mengangguk tanpa mengalihkan matanya dari daun-daun anggrek.
" "Kalau aku punya modal, aku ingin bikin film. Film tentang kau," kata Anton.
" "Ah, apa yang mau difilmkan""
" "Ya, apa saja. Pokoknya bagaimana bisa membuat opname di tempat ini. Kau berdiri di sela-sela bunga-bunga yang mekar ini. Bukan main! Kau seperti bagian yang tak terpisahkan dari bunga-bunga ini.
" Widyasari tersenyum. Maka matanya yang membintang itu redup-redup memanggil.
" "Kalau ada yang minta, kau mau jadi bintang film ""
" Gadis itu menggeleng. " "Kau sudah punya modal. Secantik Liz Taylor di waktu muda. Namamu
pun sudah cocok untuk main film. Widyasari. Mirip Widyawati. Kalau kau mau main film, pasti kau bisa menyamainya."
" "Aku tak pernah tertarik main film. Nonton memang aku senang."
" "Aku pikir, enak jadi bintang film. Uang banyak, dan bergaul pengan orang-orang ternama."
" "Aku lebih suka punya perkebunan bunga."
" Iya, perkebunan bunga, tapi juga main film di kebun bunga. 'Kan hebat""
" Widyasari tertawa. " "Andainya main film, kau mau melakukan adegan cium"" tanya Anton.
" "Ih!" " "Hanya andainya."
" "Tak tahu." " "Adegan cium, misalnya harus dilakukan berdasarkan cerita. Bagaimana""
" "Aku tak mau main film."
" "lya. Ini andainya."
" "Ah, tidak." " "Misalnya perkenalan kita di filmkan. Lalu ada adegan ciumnya. Bagaimana""
" "Ah, tidak." " "Kalau bukan dalam film""
" "Maksudmu""
" "Ya dalam realita. Andainya kau kucium""
" "Ah, brengsek!" Widyasari tertawa. Dan, dia menggantungkan kembali anggreknya. Anton membantunya. Setelah anggrek itu tergantung, Anton telah memegang tangan gadis itu.
" Tangan gadis itu gemetar. Dia menariknya, tetapi Anton malah lebih mempererat pegangannya. Dia malah menarik rapat tubuh gadis itu.
" "Ah, jangan, Anton!"
" Tubuh Widyasari telah terhimpit dalam rangkulan Anton. Dia mengelak sehingga bibir lelaki itu cuma mendarat di pipinya. Tetapi, Anton menyusurkan bibirnya menjalari wajah gadis itu. Lalu ber- hasil menyentuh bibir gadis itu.
" Widyasari mengelak, tetapi pelukan lelaki itu tambah menghimpit, membuat napas gadis itu sesak. Dia berhenti meronta untuk mengambil napas. Himpitan itu mengendor. Lalu gadis itu sadar bahwa semakin berontak akan semakin terhimpit. Maka dia pun diam.
" Bibir Anton menjalar lagi meyusuri pipi Widyasari. Ketika bibir itu menyentuh bibirnya, Widyasari tak mengelak lagi. Matanya malu-malu menatap muka yang rapat pada mukanya. Sebab, dia pun mulai mengulum bibir yang ada dalam bibirnya.
" Jurai-jurai anggrek yang bergantungan melambai-lambai. Kesenyapan tempat itu menampung aroma bunga yang.bermekaran. Tetapi, segalanya terputus ketika suara langkah seseorang menyeruak ke balik bunga-bunga itu.
" "Mbak, Mbak Widy & & "
" Widyasari melepaskan pelukan. Anton juga melepaskan. Keduanya saling menatap sejenak. Lalu, mereka memandang ke arah pintu.
" Erika! Gadis itu mematung, kemudian terbata- bata berkata, "Aaa... aku... tak... tahu " Lalu dia berbalik dan berlari.
" "Ika!" " Tetapi, gadis itu masuk kembali ke pintu. Widyasari mengejar dan memegang lengan gadis itu.
" "Kenapa kau" Kenapa kau terus pergi""
" "Aku tidak tahu. Pintu depan tidak dikunci."
" Masih terbata-bata Erika berkata. "Aku tidak tahu Mbak Widy &. Nuwun sewu, Mbak, nuwun sewu &..
" Widyasari heran melihat gadis itu gemetaran.
" "Kenapa kau, Ika" Kenapa""
" Erika menggeleng. " "Aku pulang saja, Mbak."
" "Ah, jangan!" " "Aku pulang saja," kata Erika makin gemetar ketika Anton mendekatinya.
" Dan, Anton terpana menatap Erika. Inikah Erika, gadis yang bermata galak dulu" Ah, ah, ah! Betapa murung mata itu. Betapa kuyu. Telah hilang keceriaan yang pernah dimilikinya. Bibirnya yang mungil begitu pias.
" Erika melepaskan diri dari pegangan Widyasari, dan melangkah cepat.
" "Ika! Kenapa""
" Erika tak menjawab. langkahnya bergegas.
" Mereka bertiga melintasi ruang tengah. Langkah mereka terbenam dalam permadani yang menghampar di lantai. Widyasari masih berusaha menahan Erika, tetapi gadis itu seperti robot melangkah. Terus keluar.
" Anton terbengong-bengong mengikuti langkah gadis itu dari belakang. Dia menatap berganti-ganti kedua tubuh gadis di depannya. Sesekali ke arah gadis yang berkali-kali berkata, "Kenapa"" Lalu berpindah ke arah gadis yang melangkah tergesa tanpa suara. Rambut gadis itu terayun-ayun. Lehernya yang kecil sesekali nampak jika rambut tersibak. Leher yang kuning, tetapi lebih kurus dari beberapa waktu yang lalu. Erika masuk ke mobil yang menunggunya. Tak menjawab sepatah kata pun pertanyaan dari Widyasari. H
anya dua patah kata kepada Pak Sopir, "Ayo, Pak. "
" Derum mesin dibawa mobil yang berlari. Widyasari terpana. Kemudian bahunya terkulai. Pelan-pelan dia melangkah ke teras. Anton termangu di depan teras itu. Matanya masih terpaku menatap ke jalan. Dia tetap mematung sementara Widyasari berkali-kali bergumam,. "Kenapa anak itu" Kenapa anak itu ""
" Kemudian keduanya membisu.
" Kemudian Anton duduk. Suara keriut kursi membuat Widyasari menatapnya.
" "Dia kurus sekarang," kata gadis itu. "Sejak tunangannya di Jerman kawin."
" "Ya," gumam Anton, sedang matanya masih menerawang ke udara. Udara kosong yang baru saja terbelah mobil.
" "Dia sakit," 'kata Widyasari.
" "Sakit"" " "Entahlah. Pernah aku datang ke rumahnya, dan mamanya cerita, katanya Erika tak mau lagi kuliah, tak mau jalan-jalan. Cuma di rumah saja."
" Anton membisu. " "Anak itu terlalu dimanjakan. Akibatnya, ada persoalan sedikit saja merusuhkan hatinya," lanjut Widyasari.
" Di halaman, bunga-bunga bergoyangan. Perasaan Anton pun bergoyangan tak keruan. Sisa-sisa tatapan mata Erika yang kuyu melecut-lecut dadanya. Dilecut-lecut bibir Erika yang pias. Dilecut-lecut suaranya yang terbata-bata mengatakan, "Aku tak tahu, aku tak tahu, nuwun sewu, Mbak, nuwun sewu."
" Dan, Anton mengingat-ingat lagi kata-kata Erika, "Betul Mas Anton tidak tersinggung makanya tak mau datang" Betul cuma karena sibuk""
" Anton menarik napas. "Saya baru saja baca iklan Gramedia di KOMPAS. Ada novel-novel baru. Mas Anton sudah punya"" Suara Erika lagi. Anton merasa jarinya kejang. Dia menghapal, "Kenapa sih tak mau datang" Kenapa sih ""
" Anton merasa putaran di dadanya makin melilit.
" "Lama ya kita tak ngobrol. Lamaaa sekali."
" Bibir mungil gadis itu akan mengecap-ngecap kala berbicara. Bibir yang indah dan cocok untuk omong Prancis. Tetapi, tadi begitu pias, dan letih. Ah!
" Widyasari terkejut. " Anton tersandar bahwa dia baru saja memukul tangan kursi kuat-kuat.
" "Ada apa"" tanya gadis itu.
" "Ah, tidak." " "Aku tak habis pikir, kenapa anak itu begitu. Dia datang, tapi terus pergi seperti panik."
" "Mungkin... mungkin... lantaran ada aku," kata Anton terputus-putus.
" "Ada kau""
" Anton tertunduk menerima tikaman mata gadis itu.
" Keduanya diam. " "Kau mencintainya"" tanya gadis itu tiba-tiba. Anton merasa napasnya terperangah. "Jawablah!"
" Anton tak bersuara. " "Sesungguhnya kau cuma mencari hiburan datang padaku!" kala gadis itu.
" Anton meliriknya. " Gadis itu tetap menikamkan pandangan sembilu hingga Anton seperti murid Taman Kanak- kanak yang dimarahi gurunya.
" "Cuma selingan. Dan, aku pun tak mencintaimu," kata Widyasari pula.
" Anton membisu. " "He., kau belum menjawab. Kau mencintainya"
" Anton menekuri lantai. " "Kalau kau mencintainya, kenapa kau tak datang padanya""
" "Mamanya, mamanya sudah menghinaku."
" "Hmmm picik! Dia, Erika, pernah menghinamu ""
" Anton tergugu. " "Siapakah yang kaucintai" Mamanya, atau dia""
" Aku &.. " "Kalau kau merasa pernah terhina, kau bisa membuktikan bahwa apa yang mereka duga adalah tidak benar," kata gadis itu.
" "Kenapa"" kejar gadis itu.
" "Ah, tak tahulah. Aku pun bingung."
" "Selamanya dia sangat manja padaku," kata Widyasari. "Baginya, aku adalah mbakyu-nya. Tapi, kelakuannya tadi sungguh-sungguh membingungkan aku."
" "Ya," desah Anton.
" Widyasari mulai memperhatikan kemurungan di wajah lelaki itu. Dia makin menangkap kekosongan dalam mata termangu lelaki itu. Mata yang masih lekat di pintu pagar.
" Bagaimana sesungguhnya hubungan kalian "" kata Widyasari.
" Anton tergagap. Tak bisa mengucap.
" "Kalian pernah berteman akrab""
" "Aku... aku &.. " Anton tak mampu meneruskan.
" Widyasari pelan-pelan mengangguk. Lalu katanya, "Ah, sekarang mengertilah aku. Rupanya kaulah orang yang dimaksud mama Erika." Mata gadis itu tajam menikam.
" Anton tertunduk. "Ya, akulah orangnya.
" Anton tertekuk bagai kehilangan kekuatan.
" "Ma ma Erika ada menceritakan tentang kau, tapi sayang dia tak menyebutkan namamu. Jadi, aku tak tahu selama ini kaulah orang yang dimaksud.
" Apa dia bilang" tanya Anton lesu.
" Dia menyesal. " Anton masih termangu. " Pergilah! keras suara Widyasari.
" Anton menatapnya. " Lupakan saja ke-don-juan-anmu. Dan kau bisa menciumku, itu betul-betul bukan main, dan kurang ajar. Tapi, kuharap kau mulai menghentikan keliaranmu itu. Kau sudah memerlukan tempat singgah yang paling damai. Erika menunggumu!
" *** " Anton berjalan di bawah pohon mahoni. Dentang-dentang lonceng gereja semayup. Kemudian gaungnya kian keras. Dan, rumah yang berpagar warna hijau itu terpacak dalam senja. Warna merah masih tersisa di langit barat.
" Lelaki itu memperlambat langkahnya. Matanya waswas menatap rumah berpagar hijau itu. Di teras itu, Erika, Erika, Erika!
" Anton berdiri di pintu pagar yang terbuka, dan menyebut nama gadis itu.
Erika mengangkat kepala. Sesaat dia terpana.
" "Mas Anton," desisnya. Dia bangkit. Dia menuju pintu pagar.
"

Cintaku Di Kampus Biru Karya Ashadi Siregar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dia semakin dekat. Dan, dalam cahaya langit, Anton melihat wajahnya yang cekung. Ah!
" "Kau sakit, Ika"" '
" Erika menggeleng. " "Tapi, tanganmu dingin."
" "Nanti juga panas asal tetap Mas Anton pegang," kata Erika.
" Dia kelihatan lebih kecil dari biasanya. Anton ingin mendekapnya. Alangkah anehnya. Di depan Widyasari, Anton merasa dirinya murid TK, sedang di depan gadis ini dia merasa layak menjadi kakak yang akan selamanya melindungi.
" "Kenapa lama tak datang, Mas Anton"" desah gadis itu.
" "Sekarang aku datang."
" Mereka masih tegak di pintu pagar. Erika memegang tangan lelaki itu.
" "Ayo, kita jalan-jalan," kata Anton.
" "Sekarang""
" "Ya, sekarang."
" "Begini saja"" Erika melirik sandal jepit di kakinya.
" "Ya, begini saja."
" Erika merangkul tangan Anton yang kukuh. Dan, mereka berjalan di bawah pohon-pohon mahoni yang tak henti-hentinya meluruhkan daun.
" TAMAT [1]Primates - bangsa kera
[2]Anthropomorphae - kera bentuk manusia
[3]Cercopithecidae - kera bentuk anjing
[4]Carnivora - bangsa binatang buas
[5]Macacus irus monyet Dapatkan koleksi ebook lain di:
http://jowo.jw.lt Pusaka Negeri Tayli 14 Joko Sableng 20 Geger Topeng Sang Pendekar Kamp Horor 2
^