Pencarian

Cintaku Di Kampus Biru 1

Cintaku Di Kampus Biru Karya Ashadi Siregar Bagian 1


Cintaku Di Kampus Biru Ashadi Siregar jbookmaker by: http://jowo.jw.lt Novel Cintaku di Kampus Biru karya Ashadi Siregar ini merupakan kisah pembuka dari tri-logi Cintaku di Kampus Biru, Kugapai Cintamu dan Terminal Cinta Terakhir . Cintaku di Kampus Biru merupakan kisah kehidupan anak muda khas mahasiswa yang segar dan penuh warna. Setting tempat bergulirnya cerita ini adalah kampus Universitas Gajah Mada (UGM) Jogyakarta tahun 80-an. Semenjak terbitnya novel ini kampus UGM Bulaksumur kemudian memperoleh predikat Kampus Biru . UGM sendiri memang merupakanicon yang melekat pada kota pelajar Jogyakarta.
" Bagi pembaca yang sudah melewati usia 30 tahun kisah ini sungguh akan membangkitkan kembali kenangan masa muda, masa kuliah. Kisah ini memang mengekspose lika-liku kehidupan mahasiswa yang tak biasa, di masa"itu kehidupan mahasiswa identik dengan buku, pesta dan cinta . Namun Anton berbeda, tokoh dalam kisah ini adalah seorang aktivis yang cerdas, kritis dan"tampan.
" Dalam novel ini kita bisa melihat betapa cermatnya Ashadi Siregar memotret kehidupan mahasiswa. Mulai dari rumah pondokan, ruang kuliah hingga hati dosen yang kering mendambakan cinta. Maklum Ashadi Siregar adalah bagian dari lingkungan dimana kisah ini bermula. Dia adalah alumni Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UGM, kemudian bahkan dia menjadi salah seorang dosen disana.
" Selamat menikmati. http://groups.yahoo.com/group/id-ebook
" " Cintaku Di Kampus Biru " GERUMBULAN semak itu bergerak-gerak. Bunga-bunga putih dan merah di ujung ranting ikut bergoyang. Diterpa angin. Dua pasang kaki menjulur dari balik semak itu. Sepasang berbetis putih, jenjang, dan mungil. Sandalnya berwarna kuning. Sepasang yang lain dibalut celana jean biru. Bersandal jepit.
" Aroma segar dedaunan ditambah lagi harum bunga, menandakan betapa nyamannya tempat itu. Angin membuat pucuk-pucuk cemara meliuk pelahan. Pohon-pohon flamboyan berbunga. Gedung Induk Kampus Gadjah Mada tertegak sepi. Jalan menuju gedung bertingkat tiga itu dipanggang matahari. Tetapi, di pinggir jalan, sejuk. Matahari tak bisa menembus dedaunan yang melindungi tanah. Dari balik semak terdengar suara lelaki, "Aku mau pulang.
" Kaki lelaki itu ancang-ancang akan berdiri, tetapi kaki jenjang bersandal kuning menekan kaki lelaki itu.
" Nanti. " Lelaki itu berusaha melepaskan kakinya dari tindihan. Semak-semak bergoyang. Di balik semak itu terjadi pergumulan.
" "Bah, kau mau memperkosa aku!" kata lelaki itu.
" "Brengsek! Diamlah!" kala si perempuan. Lalu terdengar suara mulut yang terdekap, "Hmmm &.. " Tetapi, 'hmmm' itu terputus, diganti suara lelaki dalam napas tersengal, "Cukup. Aku malas. Awas kakimu. Aku mau pergi."
" "Ah, ssshhh... ."
" "Tidak mau. Jangan tindih aku. Ke sana kau!"
" "Bah!" " "Hari ini tiada cinta," kala lelaki itu.
" "Hmmm, gaya Motinggo, tapi kurang erotis!" Perempuan itu mengejek.
" Gerumbulan semak bergoyang lagi.
" "Ah, jangan! Aku mau pulang," kala lelaki itu.
" "Alaaa, sok kau."
" "Sudah kubilang, hari ini tiada cinta. Kepalaku pusing memikirkan ujian, uang kuliah yang belum dibayar, pemilihan Dewan Mahasiswa, resolusi untuk dosen brengsek &."
" "Kau yang brengsek! Sok jadi orang penting!"
" "Bah!" " "Bah!" ejek perempuan itu.
" "Pokoknya aku mau pulang. Membaca di dekatmu, hilang konsentrasiku."
" "Dasar!" " "Dasar apa""
" "Dasar lelaki! Dulu menguber-uber, sekarang berlagak!"
" "O, perempuan! Dulu jual mahal, sekarang menggerogoti waktuku yang berharga."
" "Dulu kenapa kau tidak merasa digerogoti" Malah membuang waktu berhari-hari untuk mengejar-ngejar!"
" "Lain Bengkulu lain Semarang. Sekarang, sudahlah. Pokoknya, aku cinta padamu. Tetapi, kita harus bercinta sedikit metodologis. Pakai logika. Jangan sentimentil."
" "Dasar lelaki!" kala perempuan itu.
" "Ya, dasar. Sudah" Nah, geser kakimu. Aku mau berdiri."
" "Kau datang tidak nanti malam"" Ada nada ancaman dalam suara perempuan itu.
" Bah, perkosaan. " "Bah, bah, bah! Mau datang at
au tidak" Kalau tidak, jangan lagi pijak rumahku."
" Aku tidak suka di-fait accomply. Cinta tak bolehher-fait accomply . Kayak kawin Hansip saja."
" "Mau datang atau tidak""
" Tak ada jawaban. Semak-semak tersibak. Anton keluar dari gerumbulan semak itu. Dia mengibaskan rumput di celananya. Lalu bersiul meninggalkan tempat itu.
" Semak tersibak lagi. Marini membersihkan rumput-rumput yang melekat di roknya yang mini. Dan, kemudian merapikan rambutnya.
" "Bajingan!" katanya ke arah punggung Anton yang kian menjauh.
" Anton tak bereaksi. Marini memungut batu kerikil, dan melemparkannya ke arah lelaki itu.
" "Bajingan!" serunya. Lemparannya tak mengenai sasaran. Anton cuma melengos sedikit, dan melangkah lebih bergegas.
" Gadis itu mengawasi punggung lelaki itu. Dia melangkah mengikutinya. Tetapi, tiba-tiba dia teringat sesuatu. Lalu dia kembali masuk ke gerumbul semak, mengambil buku-bukunya. Sembari berjalan, dia menggerundel berkepanjangan, "Dasar lelaki! Tak tahu diri! Dulu bukan main cumbuannya. Sekarang, berlagak alim. Dasar!"
" Marini melompati parit, dan keluar dari areal rerumputan. Kini dia berjalan di Bulaksumur Boulevard, jalan besar beraspal yang membelah kampus itu. Dia berjalan ke selatan, menjauhi Gedung Induk Universitas Gadjah Mada. Berpunggungan dengan Anton yang berjalan ke utara.
" "Itu cuma gejala." Suara tak terdengar berputaran di kepala Marini. "Pasti dia memang sedang mencari-cari alasan untuk memutuskan hubungan. Pasti dia sudah bosan. Bajingan itu, pasti sedang mengejar-ngejar gadis lain. Tapi, siapa sasaran barunya" Baik, akan kuselidiki. Jangan dia kira aku akan pasrah saja. Jangan dia kira dia bisa seenaknya merayu, lalu meninggalkan setelah bosan. Jangan dia kira wanita bisa diperlakukan sebiadab itu. Aku akan bertindak kalau betul dia mencintai gadis lain. Ah, siplayboy itu!"
" Di bawah matahari yang memijar merah, Marini mendekap buku-bukunya di dada, dia menekuri ujung sandalnya yang menendang-nendang kerikil. Sepuasnya matahari menciumi wajah gadis itu. Wajah yang lonjong, dengan mata yang redup, bulu mata yang lentik, hidung yang mungil tapi mancung, dan bibir yang mengulum lunak-basah.
" Marini mengalihkan tatapannya dari kaki pindah ke buku-bukunya. Lalu ke dadanya. Dia menghela napas panjang. Mengeluh tanpa bisa didengar. Dia menatap dadanya yang terlalu membusung.
" "Barangkali dia sekarang sedang mengejar- ngejar bom seks," katanya dalam hati. "Makanya mulai dingin. Kalau dia memang mencintaiku, tentunya dia akan senang bercumbu di semak-semak. Toh dia yang mengajak pertama kali ke semak itu. Dia yang menamakan tempat itu 'Semak Cinta'.Love grass . Semak Cinta. Hmmm, memang cintanya bersemak berangkali."
" Gadis itu melewati Rumah Sakit Panti Rapih. Orang-orang yang akan bezuk menunggu jam dibukanya pintu. Di dekat pagar, seorang lelaki muda mengawasi Marini. Marini mendongkol melihat mata lapar lelaki itu.
" "Bajingan!" kutuknya. "Pasti dia akan bezuk istrinya. Istrinya mungkin melahirkan. Tapi, masih sempat juga melotot melihat perempuan lain. Dasar lelaki!"
" Marini tak jadi menawar becak di tempat itu. Tatapan lelaki-lelaki di halaman rumah sakit itu membuatnya risi. Kakinya yang jenjang semakin telanjang rasanya. Marini melangkah terus menyelatani jalan. Tak mempedulikan dering-dering becak. Hatinya rusuh. Benci, gondok, mangkel, dan semua yang senada itu berbauran di dadanya.
" "Aku telah tahu gejalanya. Telah kelihatan gejalanya. Dia semakin tak acuh. Membuat gara-gara agar aku marah. Tapi, akan kulihat. Sampai berapa lama dia mati membuat intimidasi begitu. Aku akan bersabar. Pokoknya aku akan menjaga diriku sebagai perempuan setia, bukan yang gampang memutus cinta."
" Marini terkaget lantaran ada suara klakson motor di sampingnya. Dan, gadis itu menyumpahi Jepang yang telah memproduksi motor-motor yang merusuhi ketentraman itu.
" "Kalaupun putus, biarlah teman-teman tahu bahwa yang berkhianat dia, bukan aku. Aku akan menjaga nama baikku. Orang akan bersimpati pada nasibku. Korban kesekian playboy i
tu." " "Mariniii! Daaag!"
" Pembicaraan dengan dirinya terputus. Marini terpaksa membalas lambaian gadis yang dibonceng lelaki bermotor. Dia berusaha menimpali senyum, tetapi terasa sempil. Tapi, tak apalah. Teman tadi telah lewat.
" "Introspeksi. Ya, introspeksi. Aku telah mengintrospeksi diriku. Apa salahku" Aku berusaha menyenangkan hatinya. Dulu dia setengah mati berusaha menciumku. Sekarang, tak perlu setengah mati. Inisiatif datang dariku. Toh aku bukan pemalu lagi sekarang. Aku telah berinisiatif sebab wanita pun harus menunjukkan dirinya sejajar dengan lelaki. Apa salahnya aku agresif" Ya, aku harus agresif. Sebab, usiaku memaksa aku harus secepatnya mengikat dia. Enam bulan berhubungan, enam bulan pacaran. Aku harus berhasil mengikat dia. Dia tak boleh lepas. Tapi, Bajingan itu nampak-nampaknya berusaha melepaskan diri."
" Marini memanggil becak. " *** " Sementara itu, di aula perpustakaan universitas, Anton sedang menarik-narik rambutnya yang kusut. Rambut itu sebagian menutup jidatnya. Kuduknya yang telah tertutup rambut terasa panas. Gatal. Perlu shampoo. Tapi, baru kemarin dikeramas. Kalau begitu, gatal ini bukan gatal fisik. Ini gatal psikis. Boleh jadi psikosomatis. Gangguan-gangguan jiwa yang menggejala ke fisiko Kalau begitu perlu konsultasi pada psikiater. Ah, kenapa harus konsultasi segala" Kenapa tidak berusaha menyembuhkan diri sendiri"
" Anton termangu menatap buku yang terkembang di hadapannya. Ruangan perpustakaan itu hening. Mahasiswa-mahasiswa menekuni bacaan mereka. Dan, Anton kembali ke bukunya. Deretan huruf yang dilihatnya cuma sekejap punya makna baginya. Kemudian berganti garis hitam kabur.
" Kegelisahan sekarang ini, perlu ditanggulangi secepatnya. Gejalanya kian mengganggu. Sulit tidur, gelisah, keringatan tanpa adanya gerakan tubuh, dan banyak lagi tanda gangguan psikologis. Pacaran tak menolong lagi. Bahkan boleh jadi pacaran itu penyebabnya. Nah, kalau begitu, gugurlah satu teori. Selama ini ada teori di kalangan mahasiswa: kegelisahan, frustrasi, dan semacamnya akan hilang kalau diatasi dengan jalan pacaran. Tetapi, dengan pengalaman ini, Anton telah merasakan bahwa pacaran itulah yang merusuhi hati-nya. Perempuan memang sumber malapetaka.
" Catastrophe! " Sebelum dia didapat, dia harus dikejar. Berhari-hari, berminggu-minggu menguber hanya untuk bisa memeluknya, menciumnya, dan bilang, "Aku cinta padamu." Dan, setelah itu, dia berbalik mengejar. Membuat gugup lelaki. Pantang melihat mata melenceng. Kecemburuannya meluap-luap. Wah, wah, wah, itu baru pacaran. Bagaimana kalau sudah kawin" Barangkali dia akan merantai kaki suaminya. Membatasi gerak suaminya. Pasti lelaki akan kehilangan kebebasannya. Pasti si istri akan membuat dimensi ruang dan waktu suaminya dengan sangat ketatnya.
" Anton menghirup udara sepenuh dada. Dan, rambutnya yang gondrong terasa gatal lagi. Dia menggaruk. Panas. Ah, kulit kepalanya sampai perih. Dia menghentikan garukannya, tetapi titik kepuasan belum tercapai. Rasa gatal masih mengambang. Dia jengkel. Cuma, kepada siapa kejengkelan itu harus diarahkan"
" Dia menatap berkeliling. Gadis berbaju merah di sampingnya, rupa-rupanya sejak tadi mengawasinya. Gadis itu berbisik kepada temannya. Lalu kedua gadis itu mengikik.
" "Primates[1]," kata gadis berbaju merah.
" "Ya"" kata temannya. "Golongan apa"Anthropomorphae[2] atauCercopithecidae[3] ""
" Keduanya mengikik lagi. Wajah Anton merahpadam. Biarpun bukan bidangnya, tetapi dia tahu istilah-istilah itu. Namun, delikannya tak digubris kedua gadis itu.
" "Hiii, seram. Lihat matanya yang melotot, lebih mempercarnivora[4] ," kata gadis baju merah.
" "Bisik-bisik, cium-cium, raba-raba. Aih, dunia yang gawat, kenapa kau mentolerir lesbianisme di muka bumi ini" Bukankah ada aku, lelaki yang nganggur"" kata Anton seolah membaca dari bukunya.
" Cekikikan dan bisik-bisik terputus. Kepala kedua gadis itu merenggang. Mereka melotot ke arah Anton.
" Anton tak acuh. Dia membalik-balik halaman bukunya. Lalu pura-pura menemukan tulisan yang dicarinya. D
an, seperti membaca dia berkata, "Seorang wanita akan bertingkah kalau dia merasa dirinya cantik. Sebab, dia tahu dia menjadi pusat perhatian. Tapi, seorang wanita akan bertingkah juga walau dia tahu dirinya jelek kayak macacus irus[5]. Tentunya agar menarik perhatian orang banyak."
" Kedua gadis itu saling pandang. Lalu, "Cih!" kala gadis baju merah.
" "Cih!" kata temannya.
" Hmmm, gumam Anton. " Kedua gadis itu saling pandangan lagi. Lalu, seperti sudah bersepakat sebelumnya, keduanya berdiri dan mengemasi buku-bukunya.
" "Kita pindah saja," kata gadis baju merah. "Ya, dekat carnivora itu busuk baunya."
" "Hei, jangan menghina ya"" bentak Anton.
" "Menghina apa"" Gadis berbaju merah berkacak pinggang.
" "Uf, galaknya."
" Kedua gadis itu beranjak.
" "Ya Tuhan, terima kasih atas keadilan-Mu sebab gadis itu bukan pacarku," kata Anton.
" "Siapa yang sudi jadi pacarmu" Brengsek!" Gadis baju merah membalik dan membentak.
" Anton termangu. " "Telah terjadi perubahan radikal rupanya. Gadis-gadis tak lagi sepenakut dulu. Kemajuan atau kemunduran" Biasanya gadis-gadis Yogya terkenal pemalu. Tak suka berbantah. Tapi, yang kuhadapi ini, betul-betul radikal. Galak. Uf, uf, uf, perubahan kulturil. Barangkali ide-ide woman's lib sudah masuk ke Gadjah Mada ini. Berabe."
" Kedua gadis itu duduk di sudut ruangan.
" "Sampai mana tadi" Ah, apa pun belum ada yang kubaca. Sudah berapa jam aku memegang buku ini" Time is knowledge. Tapi, bagaimana kalau pikiran butek"" gerutu Anton. "Oh, ya, pakai metode Dale Carnegie. Barangkali kesulitan bisa diatasi."
" Lalu Anton mengeluarkan kertas, dan bolpoin. Dia menulis angka satu, tapi tak tertulis. Dia corat- coretkan bolpoin itu, tinta tetap tak keluar.
" "Sialan! langkah pertama saja sudah macet, bagaimana bisa mengkalkulasi seluruh kesulitan"" Anton memperhatikan sekeliling. Mahasiswa-mahasisiwa sedang asyik membuat catatan bagi buku yang mereka baca. Siapa yang sedang tidak menggunakan fulpen" Ah, semua sedang menulis. Oh, tidak. itu di sudut, mereka sedang membaca. Fulpennya pasti nganggur. Cuma, bagaimana mendekatinya" Tadi sudah konflik.
" Tapi, dicoba saja. Anton bangkit. Dia berjalan mendekati kedua gadis itu. Mereka mengetahui kedatangan lelaki ini. Sudah barang tentu mereka memperlihatkan sikap acuh.
" Deheman Anton sesungguhnya hampir membuat kedua gadis itu mengangkat kepala. Namun, mereka bertahan terus menekuni buku mereka.
" "Maaf, Dik," kata Anton akhirnya.
" Gadis baju merah mengangkat kepala, dan mengangkat alisnya. Seperti melihat makhluk aneh dari planet lain dia mengawasi Anton, dari kaki hingga ujung rambut. Berkali-kali.
" "Boleh pinjam fulpennya""
" Gadis baju merah menatap temannya.
" "Apa katanya""
" "Tauk. Bahasanya kurang komunikatif." Anton berdiri menahan kedongkolan yang merayap-rayap.
" "Kalau fulpennya tak dipakai, boleh saya pinjam"" katanya.
" Gadis baju merah melirik sekejap.
" "Hmmm," gumamnya.
" "Dia perlu fulpen"" kata temannya.
" "Bisa dipercaya nggak manusia ini"" kata gadis baju merah.
" "Coba kita pikir."
" "Boleh nggak"" kata Anton.
" "Eh, memaksa pula," ujar si Baju Merah.
" "Agak biadab ya"" Temannya menimpali.
" "Kok sombong banget""
" "Kasih enggak ya"" kata si Baju Merah.
" "Kasihlah, Ika," kala temannya.
" "Nih." " "Terima kasih lebih dulu."
" "Tak usah terima kasih. Asal cepat mengembalikannya saja."
" Anton berbalik kembali ke mejanya. Dia ingin menulis kesulitan-kesulitannya sekarang. Tetapi, aneh. Di situlah kesulitannya. Dia tidak bisa merumuskannya dalam kalimat yang ringkas dan jelas. Dia pandangi angka satu yang baru saja ditulisnya. Kenapa belum bisa dirumuskan kesulitan yang terasa belakangan ini" Aneh, malah pemilik fulpen ini yang membayang. Kesulitan baru.
" Fulpen berwama kuning emas itu berkilat. Dan, membayang wajah pemiliknya. Wajah kuning, bermata galak. Bibir yang seperti mengulum ejekan. Ha, pasti dia seorang yang senang bercanda. Matanya yang bersinar-sinar tak
henti-hentinya tertawa. Alisnya yang lebat menandakan bahwa dia bukan pesolek. Alisnya teratur tanpa bekas cukuran. Dan, hidungnya akan menimbulkan rasa iba kalau dia terserang pilek. Hidung yang indah. Ha, seperti hidung Gina Lollobrigida.
" Anton tercengang lantaran di kertasnya tergambar sketsa wajah gadis itu.
" "Edan!" rutuknya. Dan, dia berusaha lagi merenungkan kesulitannya. Memikirkan faktor-faktor yang menyebabkan kerusuhan hatinya belakangar. ini, dia menuliskan:
" " 1. Jangka waktu studi sudah mepet. Orang tua hanya mau membiayai selama enam bulan lagi.
2. Rongrongan Marini yang kebelet kawin, mengganggu konsentrasi.


Cintaku Di Kampus Biru Karya Ashadi Siregar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

3. Vak dati Bu Yusnita sudah enam kali ditempuh, belum lulus juga.
4. Urusan-urusan organisasi mahasiswa intra-universitas.
" Anton masih mencari kesulitan lainnya, tetapi cuma itu yang terumus. Cuma ini" Dia tak percaya. Kenapa begini sedikit" Padahal gangguan terhadap pikirannya hampir-hampir tak tertanggungkan. Kalau memang benar cuma ada empat persoalan, tentunya tidak terlalu sulit menanggulanginya. Soal biaya dari orang tua yang telah terbatas, nanti bisa dipikirkan. Jangan sekarang. Kalau orang tua betul- betul mau menghentikan setelah jangka waktu studi genap lima tahun, apa mau dikata" Dilihat saja nanti kelanjutannya. Siapa tahu masih bisa mulur sedikit lagi. Kalau tidak, ya bagaimana baiknyalah. Jadi, ultimatum dari kampung itu bolehlah dikesampingkan. Que sera sera, yang mau terjadi, terjadilah.
" Lalu, Marini. Apa yang harus dilakukannya" Kawin" Bah, terlalu buru-buru. Aku baru dua-lima. Lima atau enam tahun lagi baru bisa memikirkan itu. Marini sekarang dua puluh tiga tahun. Ya, ya, ya, dia layak memikirkan ini. Cuma, memikirkan dengan menyangkutkan diriku, betul-betul malapetaka. Bagaimana mengatasi ini" Apakah aku harus memutuskan hubungan" O, itu tak patut. Aku mencintainya. Ah, matanya yang sejuk, dan senyumnya yang melankolis. Dia sebenamya sempurna sekali untuk dicintai. Sayang dia terlalu mendesakku. Dia terlalu menggantungkan diri. Aku lebih menyukai gadis-gadis yang berani menantang hidup. Gadis-gadis yang berani mandiri. Gadis yang... ha, seperti si Baju Merah itulah! Galak, menantang, dan pastilah betul-betul menghayati emansipasi. Bukan seperti Marini yang sentimentil. Pemalu di depan orang, tetapi agresif di tempat tersembunyi.
" Lantas akan diapakan dia" Andainya dia percaya pada dirinya, tak perlu mendesakku terus-menerus. Toh aku mencintainya. Aku belum ada niat meninggalkannya. Rongrongannya betul-betul membuat aku takut menghadapinya. Apakah dia akan begitu setelah menjadi seorang istri" Mungkin malah lebih ekstrem. Ah, ah, ah, dia membuatku takut kawin. Jika kawin cuma membuat lelaki terkurung di rumah, nerakalah itu! Aku tak mau memikirkan itu. Tak mau, tak mau, tak mau!
" Lalu Bu Yusnita. Ah, dosen yang pemarah itu! Gadis yang sebenarnya cantik, tetapi statusnya membuatnya harus seangker mungkin. Bagaimana harus menghadapinya" Aku telah bosan ujian dari vak dia lagi. Literatur wajibnya sudah kulalap, tetapi kenapa tak juga lulus" Barangkali betul yang dibilang Pungky, Edu, Nasar, atau siapa lagi. Ini bukan lagi ujian intelejensia. Pasti ada dendam tak kenal ampun. Makanya dia tak mau meluluskan aku dari vaknya. Apa kesalahanku" Kapan aku menyinggung perasaannya! Ah, ah, ah, sulit menghadapi gadis usia tigapuluhan. Biar cantik, biar profilnya mirip Liz Taylor, kalau dadanya makin kerepes, ya tentulah ada gangguan jiwa juga. Dia tak bisa menyembuhkan dirinya sendiri. Ilmu psikologinya tak bisa dia gunakan.
" Akan kuhadapi dosen yang masih gadis itu. Akan kutanya bermuka-muka di mana kekuranganku. Kalau perlu, akan kutuntut agar aku ujian lisan di depan panitia yang sengaja dibentuk. Ya, kalau perlu kugerakkan Dewan Mahasiswa untuk membuat resolusi. Persetan! Aku tak bisa lagi bersabar. Gara-gara vaknya maka kenaikan tingkatku tertunda terus. Perlu dihadapi dengan tekat keras. Soalnya kesempatan ujian kali ini menentukan nasibku di hari mendatang.
" Tentang urusan organisasi mahasiswa intra" Tentulah belum bisa ditinggalk
an. Aku masih membutuhkan kursi di Dewan Mahasiswa. Aku memerlukan posisi yang kuat. Siapa tahu aku harus menghadapi kekuatan-kekuatan yang tidak menyukaiku. Seperti dosen-dosen yang mempersukar ujianku misalnya. Bukan hanya untuk kepentingan pribadiku saja. Teman-teman mahasiswa juga membutuhkan pahlawan yang akan memperjuangkan kepentingan mereka. Cukup banyak dosen otoriter di kampus ini.
" Jadi, begitulah persoalannya. Tak perlu lagi rusuh. 'Kan begitu, Anton" Kau harus menyayangi dirimu. Dirimu adalah orang yang harus paling kaucintai, melebihi cinta kepada siapa pun. Jangan rusuh. Jangan gelisah.
" Lalu Anton kembali menekuni bukunya. Kembali terbenam dalam keasyikan.
" *** " Di sudut ruangan, gadis berbaju merah itu telah memandang berkali-kali ke arah Anton. Dia gelisah. Matahari telah tergelincir ke barat. Di luar mulai kelam. Lampu-lampu di ruangan baca itu telah menyala sejak tadi.
" Gadis baju merah itu menunggu fulpennya kembali. Dia mau pulang, tetapi Anton belum mengembalikan fulpen itu. Terkutuk! Padahal dia tidak lagi menulis. Kenapa belum juga mengembalikan fulpen itu" Si Baju Merah menarik napas dalam-dalam, berusaha membenamkan dalam-dalam kejengkelannya yang merayap-rayap. Temannya telah memasukkan buku-bukunya ke dalam tas.
" "Bagaimana, Erika"" kata temannya.
" "Bajingan itu pula-pula tak tahu," kata Erika, si Baju merah.
" "Sambil keluar nanti kita minta."
" "Ih!" " "Jadi"" " "Kita tunggu." " "Aduh, aku lapar, Ika."
" "Aku juga." " "Kita bisa sakit maag nanti."
" "Alaaa, ini juga belum waktunya makan," kata Erika.
" "Tapi, kita perlu snack."
" "Ya, ya. Nanti aku traktir."
" "Ayolah." " "Kau nanti yang minta"" tanya Erika.
" "Lha, tapi fulpenmu. Kau yang beri tadi."
" " Ya, ya, ya. " "Kenapa dia masih menahan fulpenmu itu" Toh dia tidak menulis lagi."
" "Laki-laki memang banyak akal bulusnya."
" "Kita minta saja. Kita bentak dia untuk ke-ndableg-annya itu."
" "Kau berani"" Erika menatap temannya.
" "Ya" Eh, kau""
" "Entahlah. Aku takut."
" "Lucu ya" Tadi kita berani mengejek-ejeknya. Sekarang, kenapa kita takut" Aku juga takut mendekatinya."
" "Kalau dia serius, ngeri melihatnya. Tampangnya angker. Kalau sedang menggaruk-garuk seperti tadi, dia memang tak beda dengan anak-anak muda gondrong lainnya.
Tapi, dengan tampang berpikir kayak filosof itu, aku tak berani mendekatinya," ujar Erika.
" Kedua gadis itu saling pandang. Dan, kemudian mereka mengalihkan pandangan pada lelaki muda yang asyik membaca itu.
" "Baiknya bagaimana""
" "Coba, kau pergi minta, Retno. Aku tunggu di sini," kata Erika.
" "Kok aku" Kau yang beri tadi," kata Retno.
" "Ah!" " "Kenapa sih dia tak mengembalikan fulpenmu itu" Barangkali dia pura-pura lupa. Fulpenmu bagus, Ika. Mungkin dia sengaja diam-diam, berharap kau pun lupa."
" "Seburuk itu mentalnya, kaukira""
" "Siapa tahu" Apa merk fulpenmu itu" Parker, pilot, sheaffer""
" "Pergilah minta, Retno."
" "Aku takut. Sudah kubilang, dia mengerikan. Tadi saja dia memelototi kita. Coba, apa ada lelaki yang pemah melotot marah kepadamu, Ika" Coba, apakah kau pemah ketemu sama lelaki-lelaki yang mendeliki kau""
" Erika menarik napas dalam-dalam lagi. Berkali-kali dia melirik Anton. Yang dilirik tetap tidak menyadari. Dia terbenam dalam huruf-huruf yang dihadapinya.
" "Atau kita tinggal saja"" kata Erika kemudian.
" "Ha" Ditinggal" Fulpen samahal itu" Edan kau, Erika!"
" "Lantas, apa lagi""
" "Kok jadi aneh kita ini. Selama ini kita berusaha menjadi perempuan yang menempatkan diri sejajar dengan lelaki. Tapi sekarang, baru menghadapi lelaki begitu saja kita jadi canggung."
" "Kultur kebebasan itu ternyata belum benar-benar mengalir dalam seluruh kehidupan kita."
" "Baru soal fulpen dan menghadapi lelaki galak, kita sudah terbentur. Belum lagi menghadapi soal-soal yang lebih prinsipil," kala Retno.
" "Bukan soal fulpen, Retno. Aku malu pada diriku sendiri. Waktu kita mengejeknya dengan istilah Lati
n tadi, kukira dia cuma mahasiswa jurusan sosial. Ini kulihat dari buku yang sedang dibacanya. Tapi, rupanya dia mengerti istilah Latin itu. Aku malu. Sebagai wanita, begitu kasar jiwaku. Berlagak hanya karena pengetahuanku yang secuil."
" Retno mengawasi lelaki itu. Anton mengangkat kakinya ke kursi di depannya. Dan, dengan duduk berselonjor dia membaca.
" "Kau kenal dia, Retno ""
" "Tidak. Tapi, kalau Mapram dia sering kelihatan."
" " Fakultas &.""
" "Nggak tahu. Mungkin ekonomi, psikologi, atau filsafat. Pokoknya kuliahnya di Gedung Induk Bulaksumur."
" "Buku yang dibacanya tadi &. Ha, dia dari psikologi."
" "Kau sempat memperhatikannya""
" "Kulihat selintas."
" "Hmmm," gumam Retno. Dia melayangkan pandangannya lagi ke arah Anton.
" "Mukanya mirip Dustin Hoffman. Kau ingat film The Graduate dan John and Mary, Ika ""
" Erika mengangguk. Dia ikut memperhatikan lebih teliti wajah lelaki itu.
" "Ya, mirip," katanya.
" "Kau naksir""
" "Ai, aku bisa dikutuk dia yang sedang di Jerman," kata Erika diiringi tawa.
" "Oh, ya, fulpenmu itu 'kan Usman yang kasih" Kapan dia pulang""
" "Paling cepat tahun depan."
" Retno berdecak. " "Membutuhkan kesabaran yang bukan main," katanya. Erika mengangkat bahu.
" Beberapa orang mahasiswa menambah jumlah pembaca di perpustakaan itu.
" "Bagaimana" Kita pulang"" Retno mengayun-ayun tasnya.
" "Oke." " "Fulpen itu""
" "Kau yang minta."
" " Alaaa, kok aku... ."
" "Aku tak boleh dekat-dekat lelaki lain, Retno. Aku harus setia pada Usman."
" "Lho, apa minta fulpen itu terlarang" Apa itu penyelewengan ""
" "Lelaki itu berbahaya."
" "Jadi..." Bagiku tidak berbahaya""
" "Pacarmu ada di kota ini, Retno. Tak akan ada persoalan.
" "Kalau kau memang mencintai Usman, lelaki itu tentunya tak akan ada artinya buat kau."
" "Mestinya begitu. Cuma, untuk si Gondrong itu, aku tak mengerti. Aku takut dipelototinya. Kau tahu, aku menantangnya tadi karena aku berusaha mengalahkan ketajaman matanya. Betul-betul aku gugup. Terus terang, Retno, Usman sendiri tak bisa membuatku gugup. Tapi, pelototan lelaki itu membuat aku merasa bersalah."
" "Kok lucu" Aku cuma merasa takut. Tampangnya waktu marah mengerikan."
" "Lebih dari itu, Retno. Matanya yang beringas itu mengingatkanku pada kakakku yang. gugur di Irian Barat. Waktu aku kecil, kalau aku salah, kakakku memelototiku, membuat aku tertunduk. Aku takut, aku membencinya sebab menganggapnya kasar, kejam, dan jahat. Tetapi, setelah aku dewasa, aku merasa bahwa kemarahannya ketika itu sebenarnya untuk kepentinganku. Hal ini membuat aku berdisiplin.'"
" Erika menatap lampu-lampu yang bergantungan.
" "Wah, wah, wah, matamu jadi basah. Sudahlah, Ika, kita pulang saja. Biar aku yang meminta fulpen Usmanmu itu." Retno berdiri dan memasukkan kursinya rapat ke meja.
" Erika pun berdiri dan berbuat serupa dengan temannya. Lebih pelahan sehingga tak menimbulkan suara.
" Mereka beranjak ke pintu. Melewati meja Anton, mereka berhenti. Tanpa suara. Teguran Retno membuat Anton terkejut.
" "Fulpennya sudah selesai""
" Anton bangun dari posisi selonjornya dengan tergesa hingga menimbulkan suara kursi berisik.
" "Ya, ya, maaf." Anton berdiri.
" "Kami mau pulang." Retno menerima fulpen dari Anton. Lalu dia serahkan kepada Erika.
" "Terima kasih. Sangat terima kasih," kata Anton.
" "Kembali," kata Erika pelan.
" "Mau pulang" Kita sama-sama saja ya" Aku juga mau pulang," kata Anton.
" Kedua gadis itu tak menjawab. Anton meraup bukunya dan melangkah menjejeri gadis-gadis itu.
" "Kalian serumah"" tanya Anton.
" "Tidak. Bertetangga." Retno yang menjawab.
" "Di mana""
" "Di sini, dekat."
" " Aku tinggal di Bintaran."
" Kedua gadis itu seolah tak mendengar. Mereka tiba di jalan beraspal. Lampu-Iampu di jalan menerangi tempat-tempat yang tak terlindung kerimbunan pohon asam yang berjejer. Erika menatap gedung perpustakaan universitas itu. Gedung yang senyap. Dan, lampu-lampu tak mampu mengusir ke
san suram di dinding gedung yang kukuh itu. Dari luar, nampak patung dua orang pembaca terpacak diam di tengah aula itu. Sepanjang jalan mereka membisu.
" Erika melirik lelaki yang berjalan di sampingnya. Rambut lelaki itu melambai-lambai. Tubuhnya yang jangkung berjalan gontai. Seperti tak acuh.
" Jalan Jenderal Sudirman melintang di hadapan mereka.
" "Kami ke selatan," kata Retno.
" "Berani berdua"" Anton mencoba melihat wajah gadis berbaju merah. Tetapi, gadis itu sejak tadi menunduk.
" "Apa yang ditakutkan" Baru jam tujuh," kata Retno.
" "Soalnya, gelap dan terang lain akibatnya bagi gadis-gadis."
" "Begitu"" kata Retno.
" "Sudah pengalaman rupanya." Retno tersenyum.
" "Selamat malam," kata Erika. Tak ada senyum. Dan, mereka membelok ke selatan.
" Anton melangkah pelahan. Sesekali dia masih menoleh, melihat kedua gadis itu semakin renggang jaraknya, sampai kemudian kelamnya senja memisahkan mereka.
" "Mereka tinggal di Daerah Kotabaru itu," kata hati Anton.
" Erika menggenggam fulpennya erat-erat, berusaha merasakan kehangatan tangan Usman lewat fulpen itu. Tetapi, tak terasa hangat. Fulpen Lady Sheaffer itu tetap merupakan sebatang logam dingin. Kendati halus, tetapi mati.
" Erika menarik napas dalam-dalam, membayangkan tiga tahun yang sepi. Dan Usman" Apa yang dikerjakannya di sana" Apakah dia pacaran dengan gadis-gadis Jerman" Kabarnya gadis-gadis di sana senang pacaran dengan pria Asia. Di mana pernah membaca cerita itu" Di Intisari" Atau Majalah Stop" Selecta" Violeta" Varia" Flamboyan" Ah, entah di mana. Yang jelas bukan di Horison atau Budayajaya.
" Dan, Erika ingat malam itu dia tidak punya bacaan pengantar tidur. Apa yang akan dikerjakannya nanti" Tentu tidak akan membaca diktat atau leteratur lagi. Ah, andai Usman ada di sini, tentulah tak perlu memikirkan soal itu. Usman selamanya ada di rumah. Berbincang-bincang setelah membaca bahan kuliah, bukan main! Remasan- remasan tangan di pojok ruangan sembari menonton teve, bukan main! Tapi, apakah begitu!" Sebegitu hangatkah Usman" Mahasiswa kutu buku itu terlalu ambisius untuk menjadi scientist.
" "Singgah dulu"" Suara Retno mengejutkan. Erika tersentak dari lamunan tentang Usman-nya.
" "Ah, sudah malam. Aku terus saja."
" Retno tegak di mulut pagar rumahnya.
" "Sejak tadi kau diam saja. Mikirin apa"" tanyanya.


Cintaku Di Kampus Biru Karya Ashadi Siregar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

" Tak apa-apa." " "Tetapi kau melamun terus sejak keluar dari perpustakaaan tadi."
" "Kau juga diam."
" "Karena kulihat kau melamun. Aku tak mau mengganggu."
" "Aku juga. Karena kulihat kau diam, aku pun diam."
" "Ah, tak percaya."
" "Tak percaya ya sudah."
" "Kau mikirin si Gondrong itu pasti!" Tuduhan Hetno membuat Erika gelagapan.
" "Ah, kau mengada-ada," jawab Erika.
" Retno tertawa, dan melihat bayangan pohon di jalan. Bukan bayangan yang timbul dari lampu, melainkan dari bulan.
" Retno menatap angkasa. " "Terang bulan," katanya.
" "Ya, terang bulan. Apa kita di rumah saja malam ini"" kata Erika. Wajahnya ditimpa sinar bulan.
" "Iya, ya. Di Prambanan ada Ramayana." "Tapi tak mungkin ke sana."
" "Kenapa tidak" Kita ke sana ya""
" "Tidak, ah! Aku tak mau mengganggu acaramu.
" "Siapa yang terganggu" Kita ke Prambanan ya" Aku akan telepon Bondan. Bondan akan senang sekali. Sejak kerja di travel biro itu, beberapa kali dia mengajak aku ke Prambanan."
" "Aku mau di rumah saja. Pergilah kau. Besok ceritakan padaku."
" "Ah, itu tidak setia kawan namanya."
" "Lho, malah kalau aku ikut itu namanya tidak setia kawan. Melanggar etik pacaran."
" "Kami belum pacaran kok," ujar Retno. "Aku masih mengulur waktu. Belum kasih kepastian. Jadi, belum ada apa-apa."
" "Tapi ada etik, kalau dua pihak dalam proses, tidak boleh pihak ketiga mengganggu."
" "Sudah kubilang, aku tidak terganggu. Aku telepon dia ya" Ini malah kesempatan buat menguji dia. Apakah dia stand-by selamanya memenuhi permintaanku. Kalau dia sungguh-sungguh, tentu dia akan pontang-panting mengurus tiket dan kendaraan."
" "Ah, itu menyik sa namanya." " "Setiap ujian 'kan memang siksaan""
" "Aku tak suka begitu. Lebih baik wajar-wajar saja. Kalau kau mau nonton, beri dia kesempatan menyesuaikan waktunya. Siapa tahu dia punya kesibukan lain."
" "Kalau sudah begitu, bukan ujian namanya. Aku kepingin meiihat sampai dimana pengorbanannya.
" "Pengorbanan tidak bisa dilihat dari dadakan begitu. "
" "Kenapa tidak" Malah akan lebih spontan."
" "Wah, agak berbeda konsepsi kita," kata Erika diiringi tawa renyah. "Biasanya, kalau seorang lelaki merasa terlalu tersiksa untuk mendapatkan seorang gadis, setelah memperolehnya maka dia akan tak acuh."
" " Ah, teori dari mana itu ""
" "Iya, lelaki itu inginnya membalas siksaan yang dialaminya dulu.
" "Malah kupikir dia akan lebih mencintai gadisnya."
" Erika tak menanggapi. Dia memperhatikan awan yang bergerak.
" "Jadi, kau tak mau ke Prambanan"" tanya Retno.
" "Aku di rumah saja."
" "Kalau begitu, aku juga di rumah."
" " Jangan lantaran aku tak mau lantas kau membatalkan niatmu."
" "Kalau aku pergi pacaran, sedang aku tahu kau kesepian di rumahmu, itu 'kan biadab namanya." Retno menatap rambut Erika. Rambut yang tergerai sampai bahu itu, di bawah cahaya bulan nampak legam mengkilat. Besok kita kuliah ya" Aku mau ngeset-kan rambutmu ke salon. Kau ada kerja, besok" kata Retno.
" Tidak. Akan kutemani kau besok. Tunggu saja di sini. Aku datang besok.
" *** " Anton mengawasi perempuan yang duduk di depannya. tetapi, Bu Yusnita tetap tak acuh. Ruangan dosen itu sepi. Meja-meja besar mengkilat berwarna coklat. Siapa pun duduk di seberang meja itu akan kelihatan angker. Apalagi kalau yang duduk di situ dosen yang sedang menghadapi mahasiswa yang akan ujian. Jika dia dosen lelaki, dasi yang mencekik leher itu akan menambah perasaannya sebagai orang penting.
" Dosen wanita akan sering membuka-buka buku di depan mahasiswa. Tak tahu apa yang tertulis di buku itu, tapi aksi itu memang diperlukan untuk menjadikan dirinya semakin disegani.
" Hampir lima menit Anton dibiarkan di seberang meja itu. Bu Yusnita masih menulis. Ingin sekali Anton melirik apa yang ditulis dosen wanita itu. Tetapi, etika mahasiswa melarangnya usil mengetahui kerja dosennya. Lalu dia kembali meneliti ruangan itu. Di dinding tergantung potret-potret ukuran kabinet. Potret bekas dekan-dekan fakultas itu. Pada potret yang tergantung nomor tiga dari kiri, Anton lama memberhentikan tatapan matanya. Dia menatap penuh hormat karena ingat kebaikan-kebaikan dekan itu.
" Kembali dia menatap Bu Yusnita. Ah, gadis tua ini. Berlagak jadi orang penting. Apa sih yang sedang dikerjakannya" Anton mengusap-usap dagunya. Kenapa harus jengkel menghadapi lagak orang penting ini" Kenapa tak menikmati situasi ini" Kecantikan, di mana pun tempatnya, harus dinikmati.
" Dagu dosen wanita ini bagus juga. Runcing dan halus. Bagaimana seandainya dielus" Siapa lelaki yang pernah mengelusnya" Dan, bibirnya agak pucat. Ah, sayang. Kepucatan ini pasti lantaran tak ada yang mengulumnya. Padahal bentuk bibir itu cukup mengandung magnit. Lekukannya menunjukkan pasti pemiliknya manja kalau mengeluh dalam kecupan. Ah, ah, ah, lehernya yang jenjang. Leher perempuan kurus. Tetapi, pastilah dia menggial kalau leher itu dicium. Apalagi kalau digosok dengan dagu yang masih ada sisa jenggot dari cukuran. Ya, lehernya ini, bukan main! Dari bentuk leher ini bisa diketahui bahwa pemiliknya seorang melankolis. Introvert. Karena itu akan lunak sekali setelah terkena selahnya. Perempuan ini sekategori dengan Marini. Dingin sebelum dekat, tetapi menggebu-gebu kalau sudah kena. Coba, kalau perempuan ini dikucel-kucel, dia pasti cuma tergial- gial dan mengeluh, "Aduh, Anton &.. "
" "Well, apa keperluan Saudara"" Suara Bu Yusnita menyentak di tengah ruangan yang sepi itu, dan menyergah masuk ke dalam lamunan Anton.
" Tergagap Anton menarik tatapannya yang melekat pada wajah perempuan itu.
" "Ya"" " "Soal ujian Saudara""
" Anton cuma mengangguk. " Bu Yusnita meliriknya sekejap, lalu dia membuka mapny
a. " "Nomor ujian Saudara""
" Anton mengeja angka-angka.
" "Nilai Saudara tak mencapai angka minimal. Harus ujian lagi."
" "Semua vak saya sudah lulus. Tinggal vak Ibu."
" "Lalu"" Suara Bu Yusnita tambah dingin.
" "Dan saya sudah menempuh vak Ibu enam kali.
" "Ya"" " "Saya berharap Ibu punya kebijaksanaan dalam menilai."
" Mata Bu Yusnita mengkilat.
" "Maksud Saudara, saya harus meluluskan Saudara karena dosen-dosen lain sudah melulus kan""
" "Bukan begitu. Saya ingin tahu di mana kelemahan saya," kata Anton.
" "Banyak kelemahan Saudara. Karena tidak pernah menyadari kelemahan itulah Saudara tidak bisa lulus.
" "Saya sudah belajar. Saya berusaha menjawab semaksimal ujian Ibu. Dan, seingat saya, saya bisa mengerjakan semua soal."
" "Itu menurut pendapat Saudara. Tapi, siapa yang memberikan penilaian" Saya atau Saudara""
" Anton terdiam. Dia melihat kemarahan di mata perempuan itu, dan mendengar sinisme pada suaranya. Tetapi, Anton juga marah sebab diperlakukan sekasar itu oleh seorang perempuan.
" "Kalau begitu saya ingin diuji lisan."
" "Baik. Permintaan Saudara saya penuhi."
" "Dan dihadapkan saksi-saksi."
" Bu Yusnita mengatupkan bibir dan membanting buku.
" "Jadi, Saudara anggap penilaian saya selama ini tidak obyektif""
" Anton tak menjawab. Dia cuma berusaha menentang mata perempuan itu.
" "Saya tahu Saudara aktivis mahasiswa. Saya tahu banyak dosen segan kepada Saudara. Tapi, jangan kira saya pun akan takut. Akan saya buktikan bahwa obyektivitas ilmu bisa ditegakkan di fakultas ini!" ujar Bu Yusnita.
" Karena itu saya minta saksi-saksi untuk ujian lisan saya."
" "Saya punya otoritas penuh untuk menilai. Tak perlu saksi-saksi."
" "Saya tak percaya obyektivitas selama ini."
" "Saudara menghina otoritas saya ""
" "Jangankan seorang dosen, pemerintah pun akan saya gugat kalau tak berjalan pada keadilan dan kebenaran."
" Bu Yusnita menggigil. " "Keluar!" katanya keras.
" "Saya ingin kepastian. Kapan saya diuji, dan siapa saksi-saksinya."
" "Tidak akan ada pembicaraan tentang ujian Saudara! Selama saya memegang vak itu, hak untuk menguji ada pada saya. Dan, saya berhak menetapkan siapa yang akan saya uji dan siapa yang tidak!"
" "Saya peringatkan Bu Yusnita. Tindakan-tindakan otoritas di universitas ini bisa menghadapi kemarahan mahasiswa nanti."
" "Kerahkan mahasiswa-mahasiswa itu. Kerahkan! Jangan kira lantaran punya pengaruh di kalangan mahasiswa lantas Saudara menekan saya!" Wajah Bu Yunsnita merah. Kemarahan itu malah membangkitkan kecantikan yang selama ini tidur di balik kulit wajahnya. Tetapi, Anton tak menyadari itu. Dia pun dibakar kemarahan. Antara ketakutan pada masa depan dengan sikap kepala batu dosen itu membuatnya putus asa.
" "Bu Yusnita," katanya gemetar. "Soal ujian ini merupakan ketentuan nasib saya di hari depan. Karena itu saya mempertaruhkan segalanya untuk itu. Vak Ibu menjadi penghalang bagi cita-cita saya. Saya akan berbuat apa saja untuk menghancurkan penghalang itu!"
" "Saudara mengancam"" geram Bu Yusnita.
" "Bukan mengancam.. Tapi, mengingatkan bahwa akibat vak Ibu saya tak berhak menyusun skripsi saya. Karena satu vak saya tak pernah mencapai kesarjanaan saya."
" Bu Yusnita membuang pandang ke luar ruangan. Dia merapikan mapnya.
" "Silakan keluar," katanya tawar. "Saya harus mengurus persoalan lain. Untuk ujian Saudara, tunggu saja pengumuman dari tata usaha."
" Anton berdiri. Gerahamnya gemeretak saking marahnya. Dia merasakan darahnya membilas-bilas hingga napasnya sesak. Jika dosen itu lelaki, sudah pantas ditantang duel. Namun, Bu Yusnita tak acuh melihat tangan yang mengepal-ngepal di seberang mejanya.
" Bu Yusnita mengangkat kepalanya. Pandang mata mereka bentrok. Sesungguhnya dosen wanita ini bergidik melihat mata beringas di depannya, tetapi dia bisa mempertahankan diri agar tidak memperlihatkan ketakutannya.
" Akhirnya Antonlah yang berbalik dan meninggalkan tempat itu. Di dekat pintu, seorang pegawai tata usaha menat
ap mencuri-curi ke wajah Anton. Diam-diam pegawai tata usaha itu membenarkan julukan bagi dosen wanita itu: Killer! Bahkan tokoh mahasiswa pun dibantingnya. Bukan main!
" *** " Anton menuruni tangga dengan hanya mengandalkan perasaan pada pegangan di pinggir. Sepanjang tangga tiga tingkat itu, tak lagi menarik untuk memperhatikan wajah-wajah sumringah gadis-gadis yang berjalan berlawanan arah. Tak lagi menarik untuk mengawasi pinggul gadis yang bergoyang-goyang di depannya. Semuanya kelabu. Sebab, ludahnya terasa pahit.
" Matahari yang membakar Kampus Gadjah Mada terasa lebih panas dari hari-hari biasanya. Jauh lebih panas dibanding matahari ketika dia tak lulus ujian. Tak lulus ujian, walau badan terasa loyo, masih terhibur oleh optimisme. Persoalan sekarang ini, bertengkar dengan dosen, dengan penguasa ilmu, betul-betul membuat mata melihat uap di permu kaan aspal lebih kuning. Selera patah, seperti patahnya selera makan ketika menghadapi tahi kucing!
" Maka peyek dalam tofles kafetaria itu nampak seperti jerawat seorang banci yang bergenit-genit. Menjengkelkan! Dan, kicau gadis-gadis terdengar bising di telinga. Lebih-Iebih karena ada seorang gadis yang wajahnya mengkilat karena berlebihan ber-make-up. Semakin tebal make-up-nya, semakin bising suaranya.
Anton ingin membayangkan Bu Yusnita sebagai salah seorang gadis yang ber-make-up tebal di warung itu. Ya, agar dia bisa membencinya sepenuh hati. Tetapi, bagaimana bisa" Wajah Bu Yusnita hampir tak ber-make-up. Kulitnya yang kuning tak membutuhkan polesan bedak. Jadi, sulit memindahkan wajah itu ke wajah gadis cerewet itu.
" Anton menghembuskan napas panas. Andai wajah Bu Yusnita agak memper wajah gadis itu, tentu mengundang kesenangan untuk membentuknya. Ya, sekadar pelampiasan kedongkolan yang tersekap. Ah, proses apa pula ini! Identifikasi atau proyeksi" Freud menyelidiki soal ini. Pelampiasan hasrat-hasrat tersembunyi lewat sasaran-sasaran pengganti. Ah, barangkali Bu Yusnita motifnya juga seperti ini. Barangkali dia membenci seseorang yang mirip denganku. Barangkali aku jadi sasaran pengganti untuk melampiaskan kebencian itu. Ya, ya, ya, mungkin sekali. Barangkali dulu dia punya pacar yang mengecewakannya. Dan, pacar itulah yang membuatnya tak kawin-kawin sampai sekarang. Anton termangu-mangu.
Dari kafetaria itu, Anton melihat mahasiswa- mahasiswa bergerombolan turun dari lantai atas menuju penitipan sepeda. Sebentar lagi jalan yang membelah kampus itu akan dipenuhi sepeda-sepeda, juga motor, beriring-iring. Suara motor yang menderum-derum di tengah teriknya matahari itu mengingatkan semuanya pada polusi yang mungkin akan dialami kampus hijau ini. Jika motor terlampau banyak maka pohon-pohon flamboyan yang menaungi pinggir jalan tidak akan bisa bertahan dari kekotoran udara yang menyesakkan napas itu. Anton keluar dari kafetaria. Dia berjalan membelah halaman dalam Gedung Induk Universitas Gadjah Mada. Dia bersamplokan dengan dekan fakultasnya. Dekan itu memberi isyarat dengan jarinya.
" Anton mendekat. "Datang ke rumah nanti sore. Ada yang mau saya bicarakan," kata dekan itu sebelum masuk ke mobilnya.
" "Baik. Ke rumahnya nanti sore. Tapi, soal apa"" kata hati Anton.
" *** " "Anton." Terdengar suara di ujung tangga pintu menuju lantai alas bagian selatan. Marini. Ah, matanya seperti mata kucing sakit. Murung.
" Anton berhenti. Gadis itu menjejerinya. Marini lahap memandang muka Anton. Anton tak berani menimpalinya mengingat mata yang murung itu. Dia berpura-pura memperhatikan mahasiswa-mahasiswa yang sedang menuruni tangga.
" Kemudian gadis itu berkata, "Kau mau pulang, Anton""
" "Ya. " Lalu langkah mereka beranjak.
" "Kau sangat berubah sekarang," kata Marini hampir tak terdengar.
" Anton memang pura-pura tidak mendengar. Dia melambai ke arah rekan-rekannya.
" Anton. " Anton memalingkan wajahnya ke arah gadis itu.
" "Kita perlu bicara bermuka-muka." Suara gadis itu pelan.
" "Siang ini""
" "Ya, siang ini," kata Marini tegas.
" "Siang sepanas ini" Ah, lain kali saja, Rin. Ha
ri ini otakku judeg. Aku perlu istirahat. Nanti sore aku harus menghadap Dekan."
" "Kita ke Kaliurang. Udara sejuk di sana akan menyegarkan kau."
" "Sungguh mati, Rin, aku mau tidur siang ini. Kepalaku mumet. Betul-betul mumet."
" Kita harus membicarakan ini, Anton. Aku kira ini soal paling serius dalam hidupku."
" "Seharian ini aku memikirkan soal paling serius. Sore nanti pun aku kira begitu. Berilah aku waktu istirahat."
" Aspal yang ditimpa matahari menguapkan hawa panas. Dan, hawa panas yang sejak pagi berputaran di kepala Anton, kini menyengat-nyengat batok kepalanya. Kepala menjadi pening dan ludah terasa pahit. Mungkin, keadaan ini masih tertolong oleh rambutnya yang gondrong, yang tentunya menolong memelihara isi kepala dari adukan bakaran matahari serta hawa yang menyengat itu. Saat ini memang musim kemarau terkering menurut catatan Fakultas Geografi.
" Marini masih jua menjejeri langkah lelaki itu. Daun dan bunga flamboyan tak berarti banyak dalam menaungi mereka.
" "Berilah aku waktu istirahat, Rini," ulang Anton.
" "Di Kaliurang kau bisa istirahat. Aku ingin membicarakan soal ini. Serius. Janganlah menghindar terus- terusan."


Cintaku Di Kampus Biru Karya Ashadi Siregar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

" "Kapan aku menghindar dari kau""
" "Ayolah, kita bicarakan di sana."
" "Soal apa""
" "Soal kita," kata Marini sembari memperbaiki sangkutan tas di bahunya.
" "Aku kira di antara kita tak ada soal."
" "Tak bisa cuma dengan kira-kira saja. Pokoknya, realitanya di antara kita ada soal."
" "Ya, ya, ya, ada atau tidak ada soal, pokoknya jangan siang ini. Beri aku waktu untuk istirahat. Sore nanti aku harus menghadap Dekan."
" "Kalau kau tak mau ke Kaliurang, kita ke mana saja. Atau ke Gembiraloka" Ke mana saja aku bersedia..Yang penting kita bisa bicara dengan tenang.
" "Jangan mendesak begitu, Rin," kata Anton dalam napas yang. sesak.
" "Aku tidak mendesak. Cuma, aku ingin tahu apakah kau mau menempatkan soal kita di atas soal apa pun yang lain."
" "Ya, Tuhan," keluh hati Anton. "Bagaimana aku bisa menahan rongrongan semacam ini" Belum lagi kawin, dia sudah berusaha menguasai aku. Ya, Tuhan, bagaimana bisa perempuan yang dulu kelihatan lembut ini sekarang jadi begini" Kalau dia jadi istriku, dia akan tidak peduli pada kesulitan-kesulitan yang kuhadapi. Dia cuma peduli pada kesulitan-kesulitannya."
" Anton tak berani menatap gadis itu. Dia khawatir, jangan-jangan kepanikan yang mulai merayap-rayap di kepalanya membias lewat matanya. Dia cuma mengerutkan kening, menyipitkan mata, dan berpura-pura memperhatikan rerumputan yang kering. Dan, dia sangat menyesal lupa membawa kaca mata hitamnya.
" "Kita ke Gembiraloka" Kupanggil becak itu. Cak!"
" Tukang becak yang kebetulan melintas memingsirkan becaknya ke dekat mereka.
" "Tolonglah, Rin, aku betul-betul mau istirahat siang ini. Kepalaku pening."
" "Sejak tadi sudah kaubilang, tetapi aku berhak meragukannya. Kau memang biasa membuat-buat alasan.
" Sungguh mati, Rin. Sore nanti aku harus menghadap Dekan.
" "Sebelum jam empat kita pulang." Marini berpaling ke arah tukang becak. "Gembiraloka pinten , Pak""
" Anton menggigil dalam sungkupan udara panas itu.
" "Tidak! Dengar, Rin! Kita tidak ke Gembiraloka."
" "Jadi, ke mana""
" Ke mana pun tidak!" " Tukang becak menatap mereka berganti-ganti.
" "Pulang," kata Anton. "Cemorojajar, Pak," lanjutnya. Marini berumah di Jalan Cemorojajar. "Siang ini aku tak mau ke mana pun," ujar lelaki itu lagi.
" "Sekalipun untuk persoalan kita"" kata Marini merajuk.
" "Persoalan hantu belang pun aku tak peduli!" Jawab Anton sambil memijit-mijit kepalanya yang memang mulai berdenyutan.
" Marini mematung menatapnya.
" "Besok, besok, kalau aku tak sibuk, persoalan apa pun akan kita pecahkan bersama."
" Marini tetap membisu. Cuma, binar-binar matanya mulai tersaput mengacanya air.
" Denyutan di kepala Anton agak mengendur. Dia ingat, betapa perasanya gadis itu, gadis melankolis itu.
" "Pulanglah, Rini. Percayalah bahwa di antara kita tak ada soal. Aku tetap seper
ti dulu." " "Bukan sekadar percaya atau tidak, Anton." Suara Marini hampir dibalut isak. "Aku ingin pembicaraan yang pasti. Pembicaraan yang menentukan, yang akan membuang kesangsian."
" "Ya, ya, ya, aku mengerti. Tapi, jangan siang ini. Naiklah ke becak itu. Aku akan membelok ke kiri ini." Tanpa menunggu reaksi gadis itu, Anton membelok ke jalan berbatu, untuk memintas lewat gang-gang kecil di belakang Asrama Syantikara. Dia tak berani menatap gadis itu, tak berani melihat kemurungan gadis berwajah sayu itu. Dalam tersenyum pun mata yang beralis lentik itu akan terlihat sendu, apalagi dalam berkaca air mata!
" Maka lelaki itu tak melihat Marini merentak duduk di becak. Tukang becak menggenjot pedal, dan becak pun meluncur di aspal yang panas. Sesekali tukang becak menatap punggung lelaki yang berjalan di bawah terik matahari'itu. Sementara itu, Marini mengawasi punggung Anton dengan pandangan lekat, tetapi tetap berusaha menahan air mata yang akan merembes.
" *** " "Begini, Anton. Bu Yusnita tadi meminta dewan dosen bersidang untuk membicarakan soal kau. Katanya kau menghinanya. Aku ingin mendengar keteranganmu sendiri."
" Anton terperanjat di dalam kursi empuk yang didudukinya, dan matanya tak berkedip mengawasi dekan fakultasnya. Lelaki separo tua berkaca ma ta putih itu juga mengawasinya.
" "Ah, sampai begitu"" kata Anton terbata-bata.
" "Ya. Bu Yusnita ingin agar soal ini dimasukkan ke dalam agenda rapat bulanan dewan dosen. Nampak-nampaknya dia sangat tersinggung. Kalau aku tak salah tangkap, dia mengajukan alter natif: kau dikeluarkan, atau dia yang keluar ."
" "Ah, sampai bagitu"" ulang Anton.
" "Ya, begitu," kata dekan itu. "Dan, seperti kauketahui, dalam alternatif semacam itu, belum pernah ada kejadian dosen yang keluar. Kau mengerti maksudku""
" "Ya, Pak," desah Anton.
" "Sekarang, ceritakanlah seluruh persoalannya." Anton menggigit-gigit batang korek api yang baru dicetuskannya buat memasang rokoknya. "Aku sangat menyukaimu, Anton. Aku tak ingin kau mengalami kesulitan di fakultas kita."
" Anton masih termangu-mangu.
" "Ceritakanlah dari awal seluruh persoalan yang menyebabkan konflikmu dengan Bu Yusnita," kata dekan itu lunak.
" "Saya sendiri tak tahu apa yang menyebabkan ini. Saya tak pernah merasa menyinggung perasaan Bu Yusnita. Jadi, kalau faktor perasaan yang dijadikan pertimbangan, saya agak heran."
" Jadi, persoalannya" " "Gelap. Saya tak mengerti apa yang menyebabkan saya tak bisa lulus dari vaknya."
" "Kau sudah berusaha""
" "Saya kira ya."
" "Jangan kira-kira., Apakah kau merasa hasil- hasil ujianmu baik""
" "Saya tak berani memastikan. Tetapi, Bapak toh bisa membandingkan dengan vak-vak yang lain. Untuk vak yang Bapak asuh misalnya. Apakah saya tergolong mahasiswa yang bodoh""
" Dekan itu mengelus-elus dagunya.
" "Dan, dari vak dosen yang lain saya mendapat nilai yang memuaskan. Bahkan dari Pak Murtejo, Pak Gunawan, Pak Harmoko, saya mendapat nilai tinggi. Beberapa paper saya ada yang mendapat pujian, dan disingkat untuk dimuat dalam majalah ilmiah fakultas. Walau bukan untuk bersombong, apakah ini tak bisa dijadikan bukti kualitas saya""
" Dekan itu tambah kuat mengelus dagunya, merasakan jenggotnya yang kurang bersih
tercukur. " "Lantas, kenapa kau tak lulus dari vaknya"" ujarnya.
" "ltulah sebabnya saya minta saksi-saksi untuk ujian saya!"
" "Di situlah kesulitannya. Kalangan dosen biasanya saling tenggang rasa, tak mau menyinggung perasaan koleganya."
" "Kenapa harus mempersoalkan tenggang rasa kalau ukuran-ukuran penilaian adalah standard ilmu""
" "Ada banyak faktor lain yang harus diperhitungkan, Anton. Faktor psikologis, kulturil, dan sebagainya. Itu semua mempengaruhi tindakan seseorang.
" "Tapi kita berada di dunia ilmu."
" "Ilmu cuma alat, sedang pelaksananya adalah manusia. Manusia yang tak lepas dari segala macam faktor yang kubilang tadi."
" "Lalu, apakah Bapak membiarkan cara-cara yang non-ilmiah begitu di fakultas kita""
" "Tentu saja tidak. Tapi,
kau harus mengerti posisiku, Anton. Selama ini kau banyak membantu di fakultas kita. Sekarang pun kuharap begitu. Aku ingin kau tidak menambah keruwetan persoalan ini.
" "Maksud Bapak""
" "Jangan mendesak dosenmu. Sebab, bagaimanapun juga mereka punya rasa se-korps."
" "Apakah itu berarti saya harus menerima keadaan saya""
" "Tentu saja tidak. Kuharap kau menunggu redanya suasana. Nanti pelan-pelan dijernihkan persoalannya."
" "Saya sudah dua tahun terlambat di vak Bu Yusnita. Beberapa lama lagi saya harus bersabar""
" "Daripada sama sekali out""
" "Apakah Bapak mentolerir tindakan-tindakan semacam itu" Kalau begitu, apakah gunanya prinsip-prinsip kebenaran, prinsip-prinsip ilmiah yang kita agung-agungkan selama ini"" Anton terengah menahan perasaannya yang bergejolak. Putus asa mengharubiru.
" "Aku tidak mentolerir tindakan-tindakan yang melanggar prinsip-prinsip kebenaran ilmiah. Tapi, persoalannya tidak sesederhana menegakkan kebenaran itu. Kita menghadapi realita yang kompleks. Dan, yang terpenting, aku tidak menghendaki stabilitas di fakultas kita terganggu, selama aku menjadi dekan," kata dekan itu.
" Anton tertunduk. " "Walaupun untuk itu harus melanggar prinsip-prinsip kebenaran "" ujarnya pelan.
" "Ah, berpikirlah sedikit pragmatis, Anton. Jangan tuntut yang berlebihan pada masa sekarang. Dalam keadaan yang ada, kita cuma mengusahakan stabilitas agar tercipta iklim kerja yang baik. Itu saja."
" Tangan Anton menggigil ketika menyalakan rokoknya yang padam selama tadi.
" "Ya, harus pragmatis." Suaranya tersekap. Dekan itu melihat kepahitan yang menyaputi wajah lelaki muda di depannya.
" "Lalu, apa yang harus saya lakukan"" tanya Anton lesu.
" "Tidak ada." " Anton mengerutkan kening.
" "Maksudku, kau harus tidak melakukan apa-apa. Usahakan meng-clear-kan persoalanmu ini. Dan, aku akan mengusahakan agar persoalan ini tidak meluas ke rapat dewan dosen ," kata dekan itu.
" "Berapa lama saya harus menunggu""
" "Tergantung pendekatan psikologismu pada Bu Yusnita. Sampai dia menetralisir kemarahannya dan kau bisa ujian secara wajar."
" "Kalau dia tetap menjatuhkan saya""
" Usahakan terus. Usahakan terus."
" "Sampai kapan ""
" "Sampai dia meluluskan kau."
" "Ah." " "Kenapa 'ah'" Aku akan bantu melunakkan hatinya. Tapi, tentunya harus pelan-pelan. Maklumlah menghadapi perempuan."
" "Tapi, barangkali saya tidak bisa memperoleh kesempatan itu."
" "Tidak akan lama lagi, Anton. Perasaan perempuan sebegitu gampang dipengaruhi rasa marah, sebegitu gampang pula berubah. Kau harus sabar."
" "Bukan sekadar soal kesabaran, Pak. Ini persoalan waktu, Pak. Kita terikat pada ruang dan waktu yang terbatas. Dan, untuk jangka waktu studi saya, hanya terbatas pada enam bulan mendatang. Setelah itu, selesai atau tidak, saya harus mencari nafkah sendiri."
" Dekan itu terpaku. " "Kalau tak terhambat-hambat dari Bu Yusnita, setahun yang lalu saya sudah menyelesaikan skripsi saya," kata Anton.
" Dekan itu tak bersuara. Dia sedang mengenang masa kuliahnya dulu. Dia terkenang ancaman biaya studi yang terbatas dari orang tuanya. Orang tuanya, seorang asisten wedana di kota terpencil di Jawa Tengah, mengejar terus dengan pertanyaan, "Kapan, kapan selesai" Adik-adikmu juga ingin bersekolah. Biaya untuk meraka juga harus dipikirkan."
" Sekelebatan bayangan Bu Yusnita menyelip. Ketika Bu Yusnita kuliah, dekan itu sudah menjadi dosen di situ. Bu Yusnita adalah bunga yang dipuja oleh siapa saja. Tetapi, dia tak pernah peduli. Dia berjalan begaikan merak dalam pakaian indahnya. Kenapa dia harus memalingkan kepala ke arah mahasiswa-mahasiswa yang memujanya, sedangkan wajahnya yang cantik dan otaknya yang brilian tak memerlukan bantuan siapa pun. Ayahnya seorang dokter dan kiriman lewat bank setiap bulannya tentunya melebih gaji dosen. Dia punya buku-buku lengkap, dan dibacanya hanya untuk mencibir dalam menghadapi kebodohan rekan-rekannya.
" Dekan itu tetap merasa dadanya menyenak ketika Anton bersiap keluar dari ruangan it
u. Hati dekan itu rusuh melihat kepahitan pada lekukan bibir lelaki muda itu. Sebab, dia merasa bahwa dirinya ikut menghancurkan kepercayaan mahasiswa itu.
" Di pintu, dekan itu berkata, " Apa pun yang terjadi, Anton, percayalah bahwa bukan prinsip-prinsip kebenaran itu yang lenyap, melainkan keadaanlah yang memaksa kita harus bertindak lain."
" "Ya, Pak," kata Anton tanpa semangat.
" " Jangan sampai kehilangan kepercayaan pada prinsip-prinsip kebenaran."
" "Ya, saya akan tetap menghormati prinsip-prinsip kebenaran. Hanya saja, saya sadar bahwa tempatnya bukan di dunia ini sekarang. Dia hanya bisa berada di masa lalu dan masa datang."
" Kerongkongan dekan yang mengajarkan Filsafat Psikologi itu tersekat.
" "Saya akan berpikir sepraktis-praktisnya. Saya akan pragmatis dalam segala hal. Idealisme dalam soal apa pun cuma menyusahkan saja." Mata lelaki muda itu buram dalam keremangan senja.
" Dekan itu tercenung di mulut pintu. Dia bahkan tak bisa bersuara ketika Anton mengucap, "Terima kasih, Pak. Selamat sore Pak."
" Apakah yang diterimakasihkannya" Apakah yang telah kuberikan kepadanya" Apakah yang kuajarkan selama ini" Dusta, kebohongan, atau cuma mimpi-mimpi" Sementara itu, dalam realita, aku mengajarkan sesuatu yang samasekali mengentuti ajaran-ajaran di mimbar kuliah..
" Dekan itu mengerjap-ngerjapkan matanya, memaksakan diri agar bisa menatap kepergian lelaki muda itu. Tetapi, Anton kian lenyap ditelan kelamnya malam yang menggeser senja.
" Bibit yang bernas telah hilang, pikir dekan itu. Jika seorang muda telah kehilangan kepercayaan pada kebenaran, siapa lagi yang bisa di harapka memelihara prinsip-prinsip suci itu"
" Dan, dekan itu masih lama termangu menatap ke jalan raya yang melintang di depan rumahnya.
" *** " Ada perasaan takut dalam hati Anton manakala dia memikirkan Marini. Makanya dia berusaha untuk tidak bertemu dengan gadis itu. Mernbayangkan Marini, sama halnya membayangkan seorang istri yang berani menyuruh suaminya menceboki anaknya. Begitu selalu yang membayangi pikiran Anton. Boleh jadi ini berlebihan. Tetapi, sungguh-sungguh hal ini membuatnya takut pada gadis itu.
" Dia tak bisa menentukan kapan image Marini berubah seperti itu. Dulu, Marini baginya adalah gadis yang lembut, perasa, dan melankolis. Tetapi, sekarang dia telah menjadi perongrong. Kesetiaannya adalah bentuk kesetiaan primitif. Mengikat. Ulur-mengulur yang sangat indah dalam suatu percintaan bagai tak dimilikinya lagi. Nampak-nampaknya, cinta baginya hanya semacam sarana untuk rnencapai perkawinan. Perkawinan menjadi tujuan, dan cintailah sarana untuk mencapainya. Padahal bagi Anton justru cintalah yang menjadi tujuan, dan perkawinan hanya sebagai sarana.
" Serupakah pacaran dengan cinta" Dan, haruskah menuju perkawinan" Anton kian takut pada perkawinan. Apalagi perkawinan yang terlalu diagung-agungkan, yang menyebabkan manusia harus terikat pada lembaga yang bernama perkawinan itu. Tak peduli bagaimana kualitas perkawinan, tetapi kedua pihak dipaksa untuk memeliharanya. Sekalipun untuk itu harus mengorbankan nilai pribadi masing-masing. Lalu, biasanya, karena saling tak mau dirugikan nilai mereka, masing- masing berusaha menguasai lawan. Jika berhasil, salah satu pihak akan kehilangan nilainya dan jatuh dalam penguasaan pihak lain. Dalam bentuk penguasaan ini, perkawinan akan terjaga. Tetapi, tidak berarti ada cinta di dalamnya. Dalam hubungan yang bersifat penguasaan, cinta akan kehilangan hakikatnya. Cinta hanyalah pemulas.
" Cinta hanya ada pada dua kutub yang setaraf. Dua kutub yang sama-sama sadar akan nilai pihaknya dan nilai pihak pasangannya. Bukan dua kutub yang ingin saling memiliki. Sebab, pemilikan akan hakekat sama halnya penguasaan!
" Jadi, Anton tidak ingin memiliki Marini sebagaimana dia tidak ingin dimiliki gadis itu. Oleh karena itu, sebelum terbenam lebih dalam, Anton ingin keluar dari gambaran cinta primitif Marini. Dia ingin saling mengerti dengan Marini. Saling memahami nilai tiap-tiap individu. Oleh sebab menyadari bahwa setiap pihak memiliki n
ilai yang khas, maka pengabungan akan rnenyebabkan suatu kehidupan yang menyempurnakan keduanya.
" Boleh jadi nilai itu ada pada Marini. Ya, boleh jadi. Tetapi, melihat kenyataan yang ada, ternyata pribadi gadis itu sangat rapuh. Cuma, sering terjadi pribadi semacam itu berbalik dalam kompensasi ingin menguasai pasangannya. Sebenarnya, pilihan untuk Marini adalah lelaki yang mau menguasainya, atau bersedia dikuasai! Dan, Anton tak menyukai kedua macam keadaan itu.
" ltulah sebabnya maka dia menyalangkan mata memperhatikan gadis-gadis. Dia ingin melepaskan diri dari libatan Marini. Libatan penguasaan gadis itu membuat napasnya sesak. Dia ingin berpacaran dengan gadis sebanyak mungkin, dan bercinta sepuas mungkin.
" Lebih-Iebih selama menunggu ujian dari Bu Yusnita. Dia tidak ingin menyusahkan diri memikirkan itu lagi. Dia berusaha menjadi sepraktis-praktisnya. Oleh karena tak ada yang bisa dilakukannya, dia punya banyak waktu untuk memikirkan gadis-gadis. Kampus Gadjah Mada menyimpan ratusan gadis cantik. Bahkan ribuan. T etapi, Anton lebih teringat pada gadis berbaju merah yang pernah menantangnya di aula perpustakaan tempo hari. Matanya yang galak ternyata bisa juga malu-malu. Cukup menarik untuk dikenang. Di mana kuliahnya" Tentu lebih gampang kalau diintai dari perpustakaan. Tetapi, di sini ada bahayanya. Siapa tahu bertemu dengan Marini. Kalau tak salah, gadis itu tinggal di Kotabaru. Cuma, di bagian mana" Oh, ya. Anton teringat punya teman kuliah tinggal di Kotabaru. Bisa ditanyakan lewat temannya ini.
" "Ya" Bagaimana cirinya"" tanya Handoko.
" "Dagu kayak punya Liz Taylor waktu muda, mata kayak punya Gina Lollo."
" "Uf, sulit. Di sekitar sini banyak gadis secantik itu."
" Iya, tapi ini punya kelebihan."
" "Dadanya Iebih""
"

Cintaku Di Kampus Biru Karya Ashadi Siregar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dadanya biasa saja. Matanya. Siapa gadis di sini yang bermata galak""
" "Wah, gadis-gadis di sini sopan-sopan semua."
" "Ini serius, Koko."
" "Ya. Aku juga serius. Bagaimana aku bisa tahu gadis yang kaumaksud" Aku memang hampir jadi Ketua Rukun Kampung di sini. Jadi, kau datang ke alamat yang tepat. Semua penduduk aku kenal. Tapi, untuk mencari gadis yang kaumaksudkan itu, sorry saja. Lebih gampang mencari gadis sumbing daripada gadis cantik di kawasan ini."
" Anton terdiam. " "Marini bagaimana"" tanya Handoko kemudian.
" "Biasa. " "Tapi, aku agak curiga. Kenapa kau tanya- tanya gadis lain""
" "Apa salahnya"" Anton pura-pura memperha tikan daun pohon mahoni yang diterbangkan angin. Teras tempat meraka duduk dinaungi pohon mahoni dari pinggir jalan.
" "Betul-betul namanya sama sekali tak kauketahui"" Handoko mengusik.
" "Ada kudengar dibilang temannya, tapi waktu itu aku belum punya perhatian."
" "Lalu, kenapa sekarang beperhatian""
" "Aku pun tak tahu kenapa."
" "Andaikan kau tahu di mana kuliahnya."
" Ya, andainya," kata Anton.
" Beberapa saat teras itu sepi. Keduanya menatap beberapa gadis yang lewat di jalan.
" "Nah, itulah gadis-gadis kampung sini. Cantik-cantik, 'kan"" kata Handoko.
" Anton tak menjawab. Dia meneliti gadis-gadis itu satu persatu. Mereka melambai ke arah Handoko. Tak terdapat gadis yang dicari Anton.
" "Tapi, tunggu dulu!" kata Handoko. "Aku punya potret-potret mahasiswa yang tinggal di sekitar sini." Handoko masuk ke kamarnya. Tak lama kemudian keluar lagi dengan membawa album. "Kami pemah mengadakan pesta. Mungkin dia ada di antaranya," katanya.
" "Ada foto telanjang"" tanya Anton.
" "Itu album baik-baik."
" Anton membuka album lembar demi lembar, dan memperhatikan orang-orang dalam potret.
" "Nah, ini dia!" Hampir berteriak dia menunjuk. Handoko mendekatkan album itu ke matanya.
" "Wah, gawat," katanya.
" "Apanya yang gawat"""
" "Dia memang ratu di sini."
" "Nah, kalau begitu mataku masih cukup sehat. Siapa namanya""
" "Erika." " "Hmmm, nama yang bagus. Tanggal lahirnya""
" "Bagaimana aku tahu""
" "Apa tak pernah dia pesta ulang tahun""
" "Ya, pernah. Tapi, bagaimana aku ingat" Ulang tahun pacarku pun aku seri
ng lupa." " "Kita harus tahu tanggal lahirnya, biar tahu apa bintangnya."
" "Ah, astrologi among kosong!"
" "Bukan among kosong. Aku menggabungkan analisa psikologi dengan ramalan astrologi." Anton membuka terus halaman album itu untuk mencari potret-potret lain gadis itu. "Bukan main! Dia memang pandai berpose. Dia bisa menandingi Lenn y Marlina."
" Handoko cuma mengawasi. " Tanpa mengalihkan matanya dari album, Anton bertanya, "Sudah punya pacar""
" Bukan Cuma pacar. " "Ya"" " "Dia sudah bertunangan. Aku malah hadir waktu pesta peresmiannya," ujar Handoko.
" Anton menutup album itu. " "Mahasiswa mana tunangannya""
" "Dulu indekos di rumahnya. Lulus Fakultas Tehnik. Sekarang di Jerman." "Wah."
" "Memang 'wah'," kata Handoko sambil senyum.
" Anton pun tersenyum, tetapi sumbang. "Sudah berapa lama dia ditinggal""
" "Entah berapa lama. Pokoknya lamaaa sekali."
" "Siiip. Kalau begitu, dia sedang kesepian."
" Kau mau menerobos" " "Apa salahnya""
" "Tentu saja salah. Biadab namanya kalau kau sudah tahu dia punya tunangan, tapi masih kauganggu.
" "Kenapa biadab" Itu malah perlu sebagai penguji mental gadis itu. Apa betul dia mencintai tunangannya.
" "Kalau betul-betul cinta""
" "Tentu saja aku tersingkir. Logis toh""
" "Kalau kau diterima""
" Go ahead. " "Kau serius nih""
" Anton mengangguk. " "Kalau aku jadi kau," kata Handoko, "kenyataan bagaimanapun akan tidak menyenangkan bagiku. Kalau keras cintanya pada tunangannya, aku akan kecewa. Kalau dia menerima cintaku, aku pun kecewa sebab mendapat gadis yang sebenarnya berhati lemah."
" "Logikamu ngawur." Anton mengangkat bahu.
" Dia mengedikkan kepala untuk mengembalikan rambut ke belakang. "Sekarang, antar aku ke rumahnya," lanjutnya tak acuh.
" "Ya, ampun. Jangan aku."
" "Kenapa ""
" "Kalau pertunangan mereka putus karena kau, bagaimana pertanggungjawabanku kepada tunangannya, Usman" Sebelum berangkat dulu, dia titip pesan padaku agar aku melihat-lihat Erika."
" "Ha, kalau begitu, kau optimis aku akan mendapatkan gadis itu. Siapa nama tunangannya" Usman" Ha, Usman. Bagus. Tentunya temperamennya berbeda dengan aku. Apa bintangnya""
" "Entahlah," kala Handoko lesu.
" "Ayolah, sore ini juga kita harus mengunjunginya. Napoleon bilang, serangan yang cemerlang biasanya dilakukan dengan mendadak."
" "Sorry, Anton. Aku tak mau terlibat."
" "Alaaa, gampang. Nanti kukasih surat tidak terlibat peristiwa ini."
" "Betul-betul, Anton, aku dulu sempat berjanji pada tunangannya untuk melihat-lihat."
" "Melihat-lihat, apa pula beratnya" Nanti pun kau bisa melihat dia. Lihat bagaimana sikapnya di depanku. Bandingkan keadaannya dengan sewaktu di depan tunangannya dulu."
" "Aku merasa berdosa kalau membawa seseorang yang akan mengganggu pertunangan mereka.
" "Wah, sucinya kau. Setelah jadi Ketua Rukun Kampung, kau bisa jadi Santo."
" Handoko tak menjawab. "Betul-betul kau tak mau membantu""
" "Mintalah yang lain, Anton. Jangan soal yang menyangkut gadis itu. Ibu Erika tahu pesan Usman tempo hari. Apa dia bilang kalau melihat aku membawamu pula ke situ""
" "Toh bisa kau karang cerita. Aku teman kuliah anaknya. Datang untuk tentir kek, pinjam buku kek. Pokoknya banyak alasan. Toh kau sudah pengalaman mengakali ibu-ibu asrama selama ini."
" "Iya, tapi bagaimana kalau hubungannya dengan Usman sampai putus"" Anton bersiul.
" "Kalau begitu, kau sudah melihat rapuhnya hubungan mereka. Lalu, kenapa kau begitu takut kalau aku datang lantas hubungan mereka akan terganggu""
" "Siapa tahu, Anton. Siapa tahu" Minimalnya aku tak mau dianggap membantu kau. Soalnya, tunangannya itu baik sekali. Sopan sekali. Tak ada alasan untuk tidak menyenanginya. Ibu Erika sangat sa yang padanya. Usman sudah dianggap anaknya. Dan, Erika pun senang padanya. Mereka bertunangan. Semua orang mengharapkan kebahagiaan mereka."
" "Pokoknya dia anak yang baik," kata Anton. "Anak yang sayang ibu. Tapi, apakah kau mengira bahwa lelaki-lelaki
yang baik, kesayangan ibu, sopan, dan segala macam embel-embel yang bagus itu akan menjamin dia sebagai kekasih yang patut dicintai" Ada penyelidikan psikologis yang bilang: bahwa lelaki-lelaki yang asalnya dari anak-anak manis dan gampang menimbulkan simpati ibu-ibu, lebih banyak yang gagal sebagai kekasih atau suami."
" "Mungkin kau benar," kala Handoko.
" "Itu bukan pendapatku. Itu hasil penelitian. Kalau teruji secara universal, bisa jadi teori."
" "Ya, ya, ya, tapi untuk lelaki yang satu ini aku berharap janganlah kita berbuat dosa."
" "Dosa hanya kesalahan dalam hubungan kita dengan Tuhan."
" "Ya,.ya, ya. Apa pun katamu, Anton, aku tak berani mengantarmu."
" "Ah, itu tak punya solidaritas namanya."
" "Kalau kau kenal lelaki itu, Anton, kau akan mengerti sikapku ini. Dia teramat baik. Setahuku dia tak pernah menyakiti hati siapa pun. Bahkan hati kucing pun kukira tidak. Bayangkan, dia tidur sebelum jam sebelas, bangun setiap jam enam. Kalau tak kuliah, dia di rumah saja membaca buku-buku tekniknya. Malam Minggu dia hanya keluar kalau diajak Erika, dan mereka pulang sebelum jam sepuluh. Dia tak mengetahui dunia lain kecuali bidang studinya. Demonstrasi, resolusi, protes, atau semacamnya, tak pernah dikenalnya. Cobalah pikir, apakah dia tak patut mendapat kasih sayang dari seorang ibu atau kekasih""
" Anton berdecak dan menggeleng-geleng.
" "Bukan main, bukan main. Aku tak bisa membayangkan ada lelaki sedingin itu dunianya. Aku tak bisa membayangkan bagaimana seorang perempuan tahan berdampingan dengan robot seperti itu.
" "Robot atau apa pun namanya, sekarang kuharap kau bisa mengerti perasaanku. Dia tetanggaku. Sebagai tetangga yang baik, aku tidak akan menggunting dalam lipatan."
" "Baiklah," kata Anton dalam senyum yang samar. "Aku tidak akan memaksa. Aku hanya akan menanyakan beberapa hal. Sekadar informasi yang sifatnya umum, aku kira bukan suatu pengkhianatan. Oke""
" Handoko mengangguk. " "Di mana rumahnya""
" "Nomor tiga pada deretan jalan ini."
" "Astaga! Begitu dekat" Di mana kuliahnya" Tingkat berapa""
" "Farmasi, tingkat dua."
" "Apa hobinya""
" Tak tahu. Mungkin membaca. Dia sering membeli novel-novel."
" "Good. Aktivitas kesenian apa yang diikutinya""
" "Menari. Dia latihan balet dan tari Jawa."
" "Hebat. Musik macam apa yang disukainya""
" "Klasik. Plat lagu-lagu itu banyak di rumahnya."
" "Bintang film kesayangannya""
" "Itu aku tak tahu. Tapi, dia senang filmLord Jim danGuess Who's Coming to Dinner . Tak suka film-film Indonesia."
" "Dia suka mode""
" "Mode" Tunggu dulu," kata Handoko seraya memikirkan sesuatu.
" "Apa yang kaupikirkan ""
" "Pakaiannya, ya cukup up to date. Tapi, tak pernah terseret mode gila-gilaan."
" "Bukan main, bukan main! Dia sempurna sebagai perempuan!"
" "Puas"" kata Handoko.
" "Untuk sementara cukup."
" Lalu, apa rencanamu"
" "Ke rumahnya," kata Anton. "Sekarang.Now or never ." Masih senyum-senyum Anton berdiri.
" "Jangan bilang-bilang bahwa informasi tentang dia kau peroleh dari aku," kata Handoko.
" "Beres." " "Sebenarnya informasi yang kauperoleh itu bisa dijual untuk majalah."
" "Itulah yang kupikirkan sekarang."
" "Maksudmu"" Mata Handoko terketap-ketip menyelidik.
" "Tenang-tenang sajalah. Dalam tempo dekat ini, kau akan kukabari."
" *** " Anton meneliti rumah berpagar hijau. Bunga-bunga di depan rumah itu bermekaran dalam sungkupan udara cerah. Pintu pagar tak terkunci. Anton mendorongnya pelahan, tetapi kenyataannya menimbulkan bunyi keras. Mengejutkan ibu Erika yang duduk di teras. Perempuan tua itu mengangkat kepala dari bacaannya. Dia menatap kepala berambut gondrong, ke celana jean biru, kembali ke kepala, turun lagi ke kaki celana yang pudar warnanya. Dan, dia mengernyitkan alis, heran atas kemunculan tamu yang tak punya kehalusan yang selayaknya dimiliki seorang tamu.
" Anton mencoba tersenyum, tetapi ibu Erika tak sedikit pun mengendorkan urat-urat wajahnya. Senyum Anton sumbang jadinya. .
" "Selamat sore, Bu. Saya teman Erika."
" Sebagai perempuan Indonesia lazimnya, ibu Erika menyambut, "Ya, silakan. Duduk dulu, akan saya panggil."
" Anton mengedarkan pandangan. Di pilar teras menjalar rambatan anggur. Buahnya bergayutan. Pandangan dari teras adalah keteduhan jalan raya di bawah pohon mahoni. Bunga-bunga di halaman bergoyang-goyang dielus angin. Bunga matahari dengan kuningnya yang terang menunggui pojok halaman. Di dekat teras itu, bunga-bunga dahlia memekarkan kelopak-kelopak warna merah tua. Aroma harum mengambang. Harum bunga sedap malam mengatasi aroma segalanya.
"

Cintaku Di Kampus Biru Karya Ashadi Siregar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Di dalam, ibu Erika mendekati anaknya.
" "Ada temanmu datang."
" "Siapa, Ma""
" "Mama tak kenal."
" "Ah, siapa ya" Bukan teman kuliah Ika""
" "Belum pernah kemari."
" Erika masih merapikan buku di mejanya.
" "Bagaimana orangnya""
" "Gondrong." " "Ih! Ika tak punya teman gondrong."
" "Mama juga heran dia bilang teman Ika. Lagi, dia pakai kaos hitam."
" "Kayak geng, Ma""
" "Celananya kayak koboi."
" "Siapa ya"" kata Erika pada dirinya sendiri.
" "Pergilah lihat. Di teras."
" Erika menduga-duga sambil berjalan. Dan, 'selamat sore' Anton tak bisa dijawabnya. Sesaat dia memaksa ingatannya, siapa lelaki muda itu. Dan, setelah ingat, dia menjadi kikuk.
" "Sibuk"" tanya Anton.
" Erika memikir-mikir jawaban yang tepat. Namun, sebelum menemukannya, Anton melanjutkan, "Mungkin aku cuma mengganggu. Tapi, kalau menunda lebih lama, aku akan bersalah. Soalnya begini." Anton berhenti bicara dan mengawasi Erika. Bukan main, bukan main jernihnya mata gadis itu, pikirnya. "Tak mengganggu waktumu kalau kuteruskan"" kata Anton.
" "Tidak. Tidak mengganggu," kata Erika. Bukan main, bukan main lembutnya suara gadis ini, dan lekuk bibirnya alangkah indah, pikir Anton.
" "Begini. Ada temanku, dia wartawan majalah ibukota. Dia pernah melihat Erika. Tapi, tunggu dulu! Bagaimana aku harus menyebut namamu" Eri atau Ika""
" "Ika," kata Erika. Dia tetap berpikir-pikir, kenapa lelaki ini begitu berani.
" "Ya, dia pernah melihat Ika. Entah dalam perayaan apa, dia melihat Ika menari."
" "Eh, kapan ya""
" "Kapan" Tentu saja aku tak tahu. Tapi, begitulah. Dia ingin mewawancarai Ika."
" "Ah!" " "Kenapa 'ah'" Dia sungguh-sungguh. Majalah membutuhkan gadis-gadis semacam Ika. Prototipe gadis medern, tetapi tetap punya kepribadian."
" "Ah!" " "Kebanyakan gadis-gadis sekarang berlagak modern, tetapi apresiasinya tetap kampungan."
" "Itu berlebih-lebihan," kata Erika.
" "Begitulah kenyataannya. Lihat saja isi majalah-majalah dan surat-surat kabar. Melulu gambar gadis cantik, yang hanya ditonjolkan seksnya. Bodinya yang ukuran sekian-sekian. Pokoknya hanya fisiknya. Bagaimana dia sebagai pengemban kebudayaan umat manusia, sama sekali tak bisa ditonjolkan. Sebab, memang tak ada yang bisa diperlihatkan. Jadinya, peradaban kita sekarang ini hanya diisi oleh kebudayaan seks. Seluruh aktivitas manusia ditujukan untuk seks, yang titik utamanya pada fisik. Manusia tak pernah lagi memperhatikan nilai yang dipunyai menusia. Kalau bahasa filsafatnya, kita melalaikan substansi manusia. Kalau bahasa pewayangan, kita tercekam pada wadah, lupa pada isi. Akibatnya, kita cuma memperhatikan yang cantik, lupa pada yang indah."
" Erika termangu-mangu. Pikirnya, si Gondrong yang mirip anggota geng ini lumayan juga.
" "Lalu, apa hubungannya dengan saya"" tanyanya hati-hati.
" "Erat sekali hubungannya. Ika akan ditonjolkan sebagai gadis yang membersihkan image gadis-gadis sekarang. Sebelum masyarakat tercekam lebih dalam pada kebiasaan yang sekarang, kita orbitkan Ika untuk mengatakan kepada mereka, 'Ini Iho gadis yang sesungguhnya perempuan! ."
" "Ah, itu mengada-ada." Mata Erika berkedip-kedip.
" "Kita akan ekspose sesuatu yang ada pada diri lka. Bukan terbatas pada sesuatu yang sifatnya fisik, melainkan lebih tinggi dari itu. Walaupun kita tidak mengingkari bahwa lka cantik."
" "Ah!" " "Yang kita tonjolkan adalah keindahan," kata Anton.
" "S aya kira anda salah menilai."
" "Biasanya aku tepat dalam menilai."
" "Saya bukanlah seperti yang Anda kira."
" "Aku sudah lama memperhatikan Ika."
" "Ah!" " "Kok dari tadi ah-ah saja""
" "Habis, situ memuji terus sih."
" "Apakah aku memuji" Ah, kalau begitu aku telah melanggar petuah nenekku. Mau tahu apa dia bilang""
" Tawa Erika bukan sopan-santun lagi. Matanya tambah berseri.
" "Nenekku mengutip dari ajaran Konfusius: Janganlah memuji kecantikan seorang rupawan sebab itu tak akan abadi. Tapi, pujalah keindahan, kerena itu adalah pencerminan Illahi."
" "Ah, itu bukan ajaran konfusius."
" "Kenapa tidak""
" "Masak pakai Illahi" Mestinya 'kan Thian."
" "Iya, ya" Mungkin nenekku salah."
" Dan, senja yang merangkak kian terasa singkat. Sebab, percakapan kian mengalir. Di dalam rumah, ibu Erika terheran-heran sebab mendengar tawa ceria anaknya dari teras dibawa angin merayap ke seluruh penjuru rumah.
Sebuah moment telah ditembus Anton. Ketika Maghrib membayang, mereka berdiri di pintu pagar. Dari tatapan mata gadis itu terkesan bahwa gadis itu juga merasa waktu terlalu tergesa. Erika tak sadar ketika berkata, Jangan bosan datang."
" Anton mengangguk tegas-tegas, khawatir tak terlihat dalam keremangan Maghrib. Dan, senyum Erika menyelinap-nyelinap dalam pikiran Anton. Matanya yang hitam dan jernih, ah! Barangkali, mata semacam ini yang dimaksud lagu lama Hampir Malam di Jogya itu. Memang hampir malam, dan Anton berjalan pelan-pelan membelai kesepian jalanan di depan gereja besar. Lonceng gereja berdentang-dentang.
" *** " Kerumunan mahasiswa kian bertambah. Di rerumputan yang dinaungi tujuh pohon cemara, di Kampus Gadjah mada itu duduk para mahasiswa. Mereka membuat lingkaran besar. Ada acara Poetry Reading, pembacaan puisi-puisi.
" Anton melongok-longok di sela-sela mahasiswa, mencari tempat luang di depan. Dia lihat Penyair Umbu Landu Paranggi sudah siap dengan lembar-lembar puisinya. Anton mendesak ke depan. Dan, dia melihat Penyair Darmanto JT. Lumayan acara kali ini, pikir Anton. Tetapi, untuk bisa mencapai depan sana harus melewati beberapa lapis lagi. Padahal minat mahasiswa membuat jejalan itu makin sulit ditembus.
" Anton menatap berkeliling. Tak usah ke depan! Sebab, Erika berdiri di bawah pohon cemara, di pinggir. Pelan-pelan Anton mundur dan mengambil jalan memutar, mendekati Erika.
" "Hallo," katanya kepada Handoko yang berdiri di samping Erika. "Apa kabar, Ika"" lanjutnya menoleh kepada Erika.
" "Sudah kenal rupanya"" kata Handoko.
" "Terang dong. Kaukira cuma kau yang boleh mengenal gadis-gadis cantik""
" Erika cuma tersenyum. " Penyair-penyair itu mulai membacakan puisi- puisi mereka. Suasana menjadi sepi. Matahari sangat cerah di lengkungan langit biru. Tetapi, di bawah cemara yang berjejer tujuh batang itu, udara tetap sejuk. Apalagi angin bertiup sepoi dari arah selatan, dan sesekali meluruhkan daun-daun cemara kering.
" Erika memuntir-muntir daun cemara yang runcing melidi. Anton mengawasi tengah arena. Pembacaan puisi tetap berlanjut. Sekelebatan Anton mengedarkan pandang. Anton bersyukur tidak menemukan Marini. Gadis itu memang tak pernah tertarik pada kesenian. Baik puisi maupun drama. Kecillah kemungkinan bertemu dalam acara semacam ini.
" Anton mengalihkan tatapannya kepada Erika. Kebetulan gadis itu sedang menatapnya. Handoko sedang mengomentari pembacaan puisi, dan pacarnya mendengarkan komentar itu.
" "Ada film bagus," kata Anton.
" "Oh, ya"" Cuma itu jawab Erika. Anton tak bisa menangkap kesan dingin atau antusias.
" "Sidney Poitier yang main," kata Anton.
" Mata Erika bersinar. " "Biasanya film-filmnya bagus," lanjut Anton.
" "Ya," jawab Erika.
" "Kita nonton, nanti""
" "Koko, ada film Sidney Poitier," kata Erika. Handoko menghentikan pembicaraannya dengan Lusi.
" "Kalau begitu kita nonton," kala Lusi. Handoko melirik Anton.
" "Kita berempat," kata Anton.
" Handoko tak menjawab.Blitzkrieg , pikirnya. Serangan kilat. Belum tiga hari. Tapi, biarkan
saja. Pokoknya aku tak terlibat.
" Handoko melirik pacarnya. Lusi sedang mengawasi Erika. Gadis ini pun agaknya melihat kegembiraan di mata Erika. Dia tersenyum kepada Handoko.
" Anton tersenyum tak acuh. Erika kembali mengikuti puisi-puisi yang sedang dibacakan. Handoko mendekati Anton dan memberi isyarat agar Anton menjauhi tempat itu. Ketika Lusi melihat dengan pandang bertanya, Handoko berkata, "Kami beli rokok sebentar."
" Semakin jauh dari lingkaran manusia itu, suara puisi yang dibacakan melayang dibawa angin.
" "Kau sudah berhasil," kata Handoko.
" "Belum," jawab Anton.
" "Iya, tapi sudah nampak tanda-tanda. Tipu apa yang kaumainkan ""
" "Apa tampangku kayak penipu""
" "Alaaa, aku tahu isi perutmu. Otak di bawah rambutmu yang kusut itu banyak akalnya."
" "Aku tidak menipu. Cuma, ya sedikit aku berbohong. Aku bilang, aku disuruh wartawan yang menanyakan kesediaannya diwawancarai."
" "Begitu saja ""
" "Ya, tak lebih."
" Lalu" " "Dia tak mau diwawancarai. Aku bujuk-bujuk, tetapi dia tetap tak suka publikasi. Akhirnya aku bilang, sebenarnya aku bukan disuruh wartawan. Aku datang dengan inisiatif sendiri karena melihat pribadinya. Aku ingin mengeksposenya buat mengejek kecenderungan masyarakat sekarang. Aku bilang, masyarakat sekarang sedang sakit. Terlalu tercekam pada aktivitas komersil. Pemilihan ratu ini-itu semuanya dinilai dengan selera seks. Nah, apa pula yang kutipu""
" "Ya, baiklah," kata Handoko lunak.
" "Dan, kau. Kenapa sibuk mengurusnya""
" "Kalau kau pakai cara-cara yang tidak baik, itu aku tak bisa mentolerir!"
" "Ya, tapi kenapa" Kau mencintainya""
" "Uf, gila kau!" Handoko menatap kelompok Lusi.
" "Jadi, kenapa kau begitu memperhatikannya" Dia bukan adik kau."
" "Ya bukan adikku. Tapi, masih ada hubungan famili alakadarnya. Yang penting, dia sangat baik dan dimanjakan orang tuanya. Kasihan kalau terjadi sesuatu yang tak baik terhadapnya. Lalu, walau tak penting untuk disebut, Usman, tunangannya itu anak pamanku."
" Anton terlongong. Rokok yang terselip di bibirnya, yang hampir dinyalakannya, hampir jatuh. Akhirnya Handoko mengambil korek api dari tangan Anton dan menyalakan rokok mereka.
" "Jadi, kalian masih tali-bertali punya hubungan keluarga"" kata Anton. Dan, dia ingat wajah ibu Erika yang beku.
" Handoko cuma mangangkat bahu. Lalu katanya, "Sudahlah, tak usah kita persoalkan lagi."
" Anton melontarkan pandang ke tengah kelompok mahasiswa yang mengelilingi pembacaan puisi itu. Dan, ah, di tengah-tengah mahasiswi-mahasiswi yang cantik-cantik itu, Erika tetap menampilkan pesonanya.
" *** " Pemilik rumah tempat mondok Anton me-ngerek perkututnya ke puncak tiang. Belasan tiang bambu menjulang menyangga sangkar berisi perkutut yang berbunyi sahut-sahutan. Dari jendela, Anton memperhatikan pak tua yang asyik bersiul-siul menggoda perkutut-perkututnya. Anton pun ikut bersiul.
" Rumah yang dikitari tembok tinggi itu selamanya teduh. Pohon-pohon sawo merimbuni halaman. Manggung perkutut tak henti-hentinya terdengar. Tetapi, pagi itu diganggu oleh derum motor yang memasuki pekarangan.
" Anton bangkit. Kusno tergesa men-standard motornya.
" "Gawat, gawat, gawat," katanya.
" "Cintamu ditolak lagi""
" "Bajingan! Soal fakultas kita. Berapa hari kau tak ke sekolah ""
" "Ya, berapa hari" Mungkin lima hari atau seminggu."
" "Nah, itulah soalnya."
" "Fakultas kita bubar lantaran aku tak datang"" kata Anton disertai tawa mengakak.
" "Ini serius! Di fakultas ada corat-coret clan plakat-plakat."
" "Good. Soal apa""
" "Nah, di sini gawatnya. Mungkin kau akan disidangkan."
" "Eh, apa-apaan ini"" Senyum Anton menghilang.
" "Aku dapat keterangan dari boss-ku," kata Kusno.
" Anton ingat Pak Gunawan. Kusno asistennya.
" "Kau dituduh jadi dalang aksi carat-caret itu," lanjut Kusno.
" "Gila! Siapa bilang""
" "Killer kita." " "Bu Yusnita" Apa pula soalnya""
" "Nah, itulah. Dengar dulu, baru kita pikirkan cara-cara mengatasinya. Pak Gunawan menyuru
h aku menemui kau." " "Lalu, Dekan ""
" "Aku belum ketemu dia. Tapi, seperti biasa, tentunya dia ingin cuci tangan. Cari jalan yang paling damai."
" Anton menggigit-gigit bibirnya. Memang dulu dia biasa menjadi penggerak aksi mahasiswa. Tetapi, masa sekarang ini tak ada alasan untuk bergerak.
"

Cintaku Di Kampus Biru Karya Ashadi Siregar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apa isi corat-coret itu"" ujarnya.
" "Menuntut agar dosen killer dipecat."
" "Uf, gila!" " "Lebih gila lagi, plakat itu sangat tidak sopan. Ada yang bertuliskan: Carikan Suami untuk Perawan Kita! Perawanku Sayang, Perawanku Terbuang. Dan, macam-macam lagi."
" "Ah, itu keterlaluan."
" "Ya. Makanya Pak Gunawan tak percaya kau dalangnya," kata Kusno.
" "Lalu, bagaimana keadaan fakultas""
" "Bu Yusnita mendesak agar dewan dosen berapat. Dia menuntut agar kau dipecat. Dan, mahasiswa banyak yang mau memanfaatkan situasi ini. Yang membenci Bu Yusnita mulai membuat move menentangnya.
" "Ah gawat! Bagaimana sikap dosen-dosen""
" "Yang jelas kuketahui cuma Pak Gunawan. Yang lain tak tahulah. Tapi, situasi fakultas panas sekarang.
" Anton terdiam. Untuk beberapa saat dia berpikir-pikir. "Repotnya, biaya untuk riset fakultas kita baru saja datang kemarin. Seharusnya kita segera berangkat," kata Kusno. "Dan sekarang, aku tak tahu apakah kau masih bisa jadi ketua pelaksana teknis seperti yang direncanakan."
" Anton tetap termangu-mangu.
" "Pendapatmu bagaimana"" katanya kemudian. Kusno mengangkat bahu.
" "Barangkali mahasiswa akan berdemonstrasi. Banyak yang mau ambil kesempatan melawan Bu Yusnita yang sejak lama mereka benci itu."
" "Andainya kita bisa menemukan siapa pemasang plakat itu," kata Anton. Mungkin persoalannya akan lebih jelas."
" "Tapi, sementara kita mengusutnya, kalau Bu Yusnita berhasil membawa soal ini ke dalam rapat fakultas, kau tak bisa ditolong."
" "Seharusnya rapat itu diusahakan agak lambat, sampai kita bisa menemukan pemasang plakat itu."
" "Ya, dengan adanya proyek riset ini aku kira kita bisa mengulur waktu."
" "Asal mereka masih mengizinkan aku menjadi ketua pelaksana teknis."
" "Itu wewenang dekan."
" "Kalau begitu, mari kita ke fakultas. Akan aku hadapi secara jentelmen apa pun yang terjadi," kata Anton.
" Mereka keluar rumah. Kusno men-start motornya.
" Sementara memperbaiki letak duduknya di boncengan, Anton berkata, "Gila! Aku sedang asyik pacaran selama beberapa hari ini, kok dituduh kerja yang bukan-bukan."
" "Aku pernah ketemu Marini. Mukanya murung nampaknya," kata Kusno sembari menekan kopling dan memasukkan gigi dua.
" Anton tak menanggapi. " Di tengah deruman motor yang meninggi itu, Kusno melanjutkan, "Kaubilang, kau asyik pacaran" Masakan dia kelihatan murung." Mereka melaju di Jalan Mataram yang telah diperlebar, membelah Kota Yogyakarta, menuju utara.
" "Kasihan Marini. Dia gadis baik. Kenapa kautinggalkan dia""
" "Siapa bilang kutinggalkan" Aku cuma cari variasi," kata Anton.
" "Kau memang bajingan!"
" "Kau mau sama dia""
" "Ah, gila kau!" teriak Kusno melawan angin yang menerpa.
" Anton tersenyum. Dia mengenangkan Marini. Gadis yang lembut, patut dicintai. Dia tak perlu dilepaskan sebab siapa tahu tunangan Erika datang. Dan, Anton tak mau menjadi Lebai Malang. Yang di tangan telanjur lepas, yang dikejar milik orang.
" Corat-coret dan plakat-plakat di dinding fakultas telah dibersihkan. Pak Gunawan memberi isyarat agar Anton mengikutinya. Dia menunjukkan plakat-plakat yang telah dilepas dari dinding.
" "Kau kenal tulisan ini"" tanya Pak Gunawan. Anton menggeleng. Dia meneliti plakat-plakat yang telah dilepas dari dinding itu.
" "Mana Bu Yusnita"" tanyanya.
" "Sudah pergi." " "Saya mau ketemu Dekan."
" "Baik. Di kamar kerjanya," kata Pak Gunawan.
" Dekan itu mengeluh halus ketika Anton muncul di depannya.
" "Apakah Bapak percaya tuduhan-tuduhan itu"" Anton menerima tatapan lekat dari dekan itu. Lalu lelaki separo baya itu menggeleng.
" "Apakah ini akan mempengaruhi rencana riset kita, Pak""
" "Aku sudah bicara dengan Drs
. Gunawan. Riset tetap berjalan sebagai direncanakan. Tanpa perubahan apa pun. Soal-soal intern fakultas kita tunda sampai riset ini selesai."
" Tak berkedip mata Anton menatap dekan itu. Samar-samar matanya terasa hangat. Matanya mulai mengaca. Dia melihat kebijaksanaan di wajah dekan itu sebagai kebijaksanaan filosof tua dari Yunani Lama.
" "Terima kasih, Pak. Teman-teman saya akan mengusut plakat-plakat itu. Saya percaya mereka akan berhasil. Saya berharap, sepulang dari riset soal ini akan jelas."
" "Ya, kuharap juga begitu. Tapi, selama riset, aku ingatkan agar kau jangan menyinggung perasaan Bu Yusnita. Adanya dia dalam rombongan itu sama halnya gunung berapi yang menahan lava. Dendamnya padamu tinggal menunggu saat meledak saja."
" *** " Bus yang akan membawa rombongan fakultas itu telah siap. Anton telah mengatur tempat duduk bagi pengikut riset. Marini ikut dalam rombongan itu. Wajahnya cerah. Bu Yusnita, seperti biasa, berwajah angker. Matanya tak acuh mengawasi kesibukan orang-orang di sekelilingnya. Dia tak mau selintas pun menyinggahkan pandang matanya ke tubuh Anton. Dia tak bersuara ketika Anton mempersilakannya duduk di bus.
" Rombongan fakultas itu akan mengadakan riset ke Dataran Tinggi Dieng. Mereka akan meneliti akibat-akibat industri yang didirikan di daerah itu terhadap pola berpikir masyarakat setempat.
" Bus telah bergerak meninggalkan Yogya. Anton duduk berdampingan dengan Kusno di deretan kursi bus paling belakang.
" "Tolong urus Marini selama riset ini," kata Anton.
" "Apa kau terlalu sibuk sampai tak sempat mengurusnya"" ujar Kusno.
" "Bukan begitu. Kau toh tahu kebiasaan mahasiswa.kalau riset. Yang pacaran semakin asyik. Aku khawatir kalau dia bermanja-manja padaku di depan Bu Yusnita. Bisa berabe aku. Kau mengerti""
" Kusno mengangguk paham. " "Ceritakanlah kepada Marini seluruh kesulitanku. Bilang sama dia, selama ada Bu Yusnita, jangan menampakkan tanda-tanda bercintaan."
" "SebenarnyaKiller itu menarik. Waktu dekat dia tadi, parfumnya bukan main harumnya. Mungkin lima atau sepuluh ribu harga sebotolnya," kata Kusno.
" "Tapi sayang, tak ada yang menciumnya. Padahal, lihatlah. Dari belakang pun dia kelihatan cantik. Lehernya yang kuning, wah! Halus. Mukanya pun halus. Cuma, di pinggir matanya kelihatan kerutan sedikit."
" BusMercedez itu menderum membelah pagi, mengarah ke Magelang. Nanti, setelah dari Magelang, bus akan melaju ke Wonosobo, dan akhirnya mendaki Dataran Tinggi Dieng.
" Anton terguncang-guncang. Kusno terkantuk- kantuk. Beberapa mahasiswa menyanyi.
" "Kus!" Anton menggoyang tubuh Kusno.
" Kusno membuka matanya. " "Killermenyanyi," bisik Anton.
" Kusno menegakkan kepalanya.
" "Bagus juga suaranya," balasnya berbisik.
" Suara Bu Yusnita tersaring di antara suara para mahasiswa yang menyanyi itu.
" "Suaranya bagus, wajahnya cantik. Apa yang kurang lagi"" kata Anton.
" "Sebenarnya bukan kurang. Malahan lebih."
" "Lebih"" " Umurnya. " "Itu sekarang. Dulu, waktu dia mahasiswa" Kenapa tak pacaran ya""
" "Pak Gunawan pernah cerita. Mereka satu angkatan. Waktu Bu Yusnita kuliah dulu, teman-temannya takut padanya. Sudah cantik, otaknya brilian lagi. Dia tak segan-segan mendonder teman- temannya dalam diskusi, 'Goblok, otakmu di mana sih" Ilmu kau cuma di buku ya" Makanya otakmu kosong!'. Kalau ada yang berani pacaran sama dia, bukan mustahil, ini Pak Gunawan yang cerita, bisa jadi impoten. Terus-menerus digoblok-goblokkan, siapa yang tahan ""
" "Repot juga punya wajah cantik dan otak yang terang. Mending mahasiswi bodoh tapi cantik. Berebut mahasiswa membantunya. Akibatnya, laris jadi pacar," kata Anton.
" "Ada untungnya, ada juga ruginya," kata Kusno. "Coba kalau dia agak lunak sedikit saja, aku kira dia akan mendapat pasangan yang setimpal. Lelaki tampan, pinter, dan berkedudukan baik."
" "Tak ada yang mencoba""
" "Di sinilah anehnya. Dia tak suka lelaki pinter ."
" "Lho"" " "Iya. Dia tak mau bergaul dengan temannya yang pinter. Pak Gunawan kabarny
a waktu kuliah dulu termasuk mahasiswa brilian. Tak bisa akur dengan Bu Yusnita. Bu Yusnita tak pernah mau kalah. Padahal dalam ilmu tak seorang pun yang bisa benar mutlak. Dia lebih suka menerima pendapat yang salah agar dia mendapat kesempatan untuk menunjukkan kepintarannya. Pak Gunawan kadang-kadang lebih dulu membaca buku-buku baru, jadi bisa lebih dulu mengemukakan teori-teori baru. Bu Yusnita sangat marah kalau keduluan orang lain. Akibatnya, mereka jor-joran membaca buku. Akibatnya yang lebih parah lagi, mereka kelewat pinter, dan kelewat jauh dari dunia teman- temannya yang lain."
" "Romantis juga riwayat Pak Gunawan kita," kata Anton.
" "Apanya yang romantis" Hidup cuma untuk buku, dari kamar ke perpustakaan, bahkan ke WC. Betul-betul kutu buku."
" "Tapi, Pak Gunawan tetap simpatik. Biar masih membujang sampai sekarang, tak tampak gejala kelainan jiwa seperti yang biasa dialami bujang tua. Lain dengan Killer."
" "Sejak semuIa, Killer itu memang punya kelainan. Lucunya, dia sendiri tidak bisa menyembuhkan dirinya padahal ilmunya segunung."
" "Soalnya, dia sendiri tak kenal dirinya," kata Anton.
" "Makanya Socrates bilang, 'KenaIiIah dirimu'. Ya"
" "Kaukira apa yang menyebabkan dia begitu""
" "Bagaimana aku tahu" Aku tak pernah akrab dengannya.
" "Sekadar analisa psikologis 'kan bisa kaulakukan""
" "Wah, ilmuku mati," kata Kusno.
" "Dugaan saja." " Keduanya mengawasi Bu Yusnita di de pan sana. Para mahasiswa sudah berhenti menyanyi. Mungkin sudah haus. Atau mungkin mereka mulai mengantuk. Bu Yusnita juga mulai mengantuk. Kepalanya yang semula tergoyang-goyang kini mulai terkantuk-kantuk.
" "Menurut kau"" Kusno menggamit Anton.
" "Menurut dugaanku, dia itu anak yang sangat dimanjakan. Mungkin orang tuanya kaya dan selalu memuji-muji dia. Dia tak pernah kekurangan moril maupun materiil. Dia merasa dirinya putri kahyangan. Maka dia merasa lelaki yang dapat menjadi pasangannya haruslah bagaikan pangeran- pangeran sakti, yang punya keampuhan-keampuhan teruji dalam menyelamatkan sang putri. Di dunia mahasiswanya, dia menunggu lelaki yang bisa melebihi dia. Semacam superman, begitulah."
" "Wah, wah, wah, harus lebih pintar dari dia" Tapi Pak Gunawan cukup pintar. Lulus dari tingkat ke tingkat dengancum-laude ."
" "Tapi, dia membutuhkan satu hal lagi:gallantry . Keluwesan seorang jentelmen. Mungkin bisa mengalahkannya dalam saat-saat tertentu dalam soal ilmu. Tetapi, kalau tak kenal selahnya, permusuhan malah tambah parah. Dia harus didekati seperti sebagaimana seorang putri didekati seorang pangeran dalam dongeng-dongeng. Jangan sampai sang putri kehilangan harga dengan membuka pintu menaranya!
" "Jadi, kaukira Pak Gunawan mencintai Bu Yusnita""
" "Ah, dalam laut dapat diduga, sedang dalam hati, lebih-lebih hati seorang dosen psikologi, siapa yang tahu""
" Untuk beberapa saat mereka diam. Bus menderum mengeluarkan asap yang memusingkan kepala. Untunglah pemandangan di luar menolong menyegarkan orang-orang dalam bus. Kebun-kebun sayur kubis berhamparan luas. Sesekali nampak sawah menguning. Sesekali pula diselingi kehijauan perdu teh. Lagi pula, angin menerobos lewat jendela. Di jalan yang berliku, di punggung daerah pegunungan itu, sopir melarikan busnya dalam kecepatan yang dapat mengkesiurkan angin.
"Lalu, persoalan kau dengan Bu Yusnita, bagaimana analisa psikologismu""
tanya Kusno. " "Itulah yang tak bisa kupecahkan. Betul-betul aku tak tahu apa yang menyebabkan dia membenciku," kata Anton lemah.
" "Mungkin lantaran kau pintar""
" "Aku tak pernah mendebat-debat dia.. Kalaupun aku tak puas pada kuliahnya, selamanya kucari kelengkapan dari literatur. Pokoknya selama kuliahnya, aku selalu ingat nasihat Pak Gunawan. Tidak pernah aku membuatnya tersinggung."
" "Atau soal pribadimu""
" "Soal apa ""
" "Ke-playboy-anmu""
" "Ah, masak itu diketahuinya! Dia selamanya tak acuh pada aktivitas mahasiswa."
" "Yah, memang rumit. Mudah-mudahan Handoko dan teman-teman kita bisa
mengusut plakat- plakat gelap di fakulta
s itu, biar urusanmu bisa diselesaikan."
" Kota Wonosobo telah mereka lalui. Kini jalan lebih menanjak dan sempit-berliku. Bus meraung- raung mendaki lereng pegunungan. Di samping kanan, jurang menganga. Pemandangan di kejauhan adalah hutan pinus menyelimuti punggung bukit dan bekas-bekas kawah yang memutih. Pemandangan ini yang membuat penumpang bus lupa pada goncangan yang tak henti-hentinya pada setiap kelokan jalan. Sesekali tampak atap rumah yang berderet. Penumpang bus melekatkan pandangan ke rumah-rumah itu dan menaksir-naksir berapa saat lagi akan mereka lalui. Anak-anak kecil telanjang berdiri di pinggir jalan, melambai-lambaikan tangan.
" Kusno membalas lambaian tangan anak-anak kecil itu.
" "Puluhan tahun lagi, siapa tahu ada di antara anak-anak itu yang jadi menteri," katanya.
" "Atau Rektor Gadjah Mada," balas Anton disertai tawa. Dia terus melambai-lambai sampai kerumunan anak kecil itu lenyap di balik tikungan jalan.
" Hawa semakin dingin. " Mereka tiba di tujuan. Di kejauhan terlihat candi-candi dan pohon-pohon pinus. Masyarakat setempat menonton rombongan mahasiswa yang turun dari bus. Sangat kontras antara pakaian yang menonton dengan yang ditonton. Orang-orang desa itu berpakaian kumal, dan anak-anak kecil berkerobong sarung. Mereka memperhatikan cut-bray, slack, yang aneka warna.
" Marini menjinjing tasnya. Wajahnya letih. Tetapi, matanya bersinar gembira. Kusno membantu membawakan kopornya. Rambut Bu Yusnita kusut. Dia menyusut rambut itu dengan jarinya. Tetapi, angin masih memberaikannya. Dia sibuk sebab kedua tangannya harus memegang tas. Lalu tas-tas itu ditarik seseorang, dan terdengar suara, "Mari saya bawakan."
" Bu Yusnita menoleh. Anton berdiri di sampingnya. Bu Yusnita tak menjawab. Sebuah tas besar dibiarkan pindah ke tangan Anton. Sempat pula mereka bersenggolan tangan. Ah, halusnya, pikir Anton.
" Mereka berjalan menuju penginapan, di rumah beberapa pengetua desa.
" Batu-batu kerikil berserakan di jalan. Bekas pengaspalan. Bu Yusnita agak kikuk melangkah dengan sepatu yang bertumit hampir empat jari tingginya.
" "Pusing, Bu"" tanya Anton dengan suara takut- takut.
" "Hmmm." Sepi sesaat. Mungkin Bu Yusnita merasa kelakuannya kurang pantas. Maka kemudian dia ber kata, "Ya, agak pening."
" 'Sebentar, kalau minum kopi akan hilang pusingnya. Ibu biasa minum kopi""
" "Tidak," kata Bu Yusnita.
" "Kalau begitu, teh saja. Teh di daerah ini sangat sedap. Saya baru tahu waktu, survey pendahuluan kemarin tempo hari. Aroma teh di sini sangat segar, dan betul-betul bisa menyegarkan. Orang bilang, sekali minum teh daerah ini, seumur hidup tak akan bisa lupa."
" Bu Yusnita membisu. Di depan mereka, berjarak kira-kira dua puluh meter, Kusno memanggul tas-tas besar. T entunya dia sudah menyampaikan pesan-pesan Anton kepada Marini. Sebab, ketika menengok ke belakang, Marini tersenyum tanpa isi khusus, tanpa nada cinta dan semacamnya. Senyum hormat untuk Bu Yusnita. Anton tak disinggahi pandangan matanya. Anton menarik napas dalam-dalam.
" *** " Erika diam. Ibunya menatap mata gadis ini. Wajah mereka rapat sehingga setiap kedipan, betapapun halusnya, akan tertangkap oleh penglihatan perempuan tua itu.
" "Bagaimana, Ika"" desak perempuan tua itu.
"

Cintaku Di Kampus Biru Karya Ashadi Siregar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Pokoknya Ika cuma menganggap persahabatan. Pun."
" "Ya kalau dia juga menganggap begitu, selesailah soalnya. Tetapi, kalau dia punya niat yang lebih dalam, dan Usman datang, apakah kau akan mengecewakannya""
" Erika membisu. Pelan-pelan dia mengalihkan pandangannya yang menerawang tak acuh lewat jendela ke wajah ibunya.
" "Cobalah pikir, Ika. Mama tak senang pada pemuda gondrong itu. Tapi, kalau dia mengira mendapat angin darimu, kemudian kecewa, Mama pun tak senang. Mama ingin kau jadi gadis yang baik. Bukan perempuan yang mempermainkan lelaki."
" "Kami tak pemah menyinggung-nyinggung soal cinta," kata Erika hampir tak terdengar.
" "Sepantaranmu, Ika, sulit orang membayangkan istilah persahabatan dalam arti yang netral, yang tak menyangkut cinta lelaki-perempuan."
" "Tapi, begitulah kenyataannya. Kami tak pernah menyinggung-nyinggung soal cinta."
" "Terus teranglah, Ika. Kalau cuma persahabatan, ini betul-betul mengherankan Mama. Beberapa sore kau menanti kedatanganriya. Dan, sejak dia tak datang, kau termenung-menung. Apakah begitu itu persahabatan""
Pendekar Laknat 3 Dewa Arak 38 Neraka Untuk Sang Pendekar Murka Sang Nyai 1
^