Pencarian

Korban Balas Dendam 1

Korban Balas Dendam Karya Sam Edy Yuswanto Bagian 1


Korban Balas Dendam Sam Edy Yuswanto Mungkin tak ada orang yang tahu, kalau namaku masuk daftar salah satu korban anak hilang yang diberitakan televisi dan berbagai media cetak akhir-akhir ini. Malah, tadi pagi, sambil sarapan pagi, perempuan berwajah manis berambut hitam lurus, penyiar berita pagi itu mengabarkan bahwa aku bukan hanya korban hilang, tapi juga termasuk salah satu dari 27 korban yang tewas mengenaskan setelah sebelumnya dibunuh, disodomi, dimutilasi, lalu serpihan-serpihan tubuhnya dikubur di belakang rumah lelaki renta keparat yang beberapa minggu terakhir ini wajahnya selalu menghiasai layar kaca.
Huek! Suapan makanan yang belum sepenuhnya masuk perut itu mendadak buncah dari mulutku saat kulihat lelaki yang ternyata bernama Wagino itu tersenyum malu-malu saat disuruh mempraktekkan cara dia beraksi menggagahi bocah-bocah ingusan itu di layar televisi. Mendadak kenangan-kenangan yang berawal manis dan berakhir teramat getir itu kembali terlintas dan mengantri tak sabar di batok kepalaku yang licin, imbas dari lemak yang bersarang di tubuhku. Bayangan-bayangan masa silamku kembali hadir seperti sebuah rol film yang kembali diputar ulang. Masih jelas di memori ingatanku, saat itu, sewaktu ibuku membawaku serta berbelanja ke salah satu supermarket di kotaku. Sepulang belanja, saat nunggu angkot pulang, aku merengek-rengek minta dibelikan es krim sama ibuku.
"Kamu tunggu sini sebentar ya, ibu akan belikan kamu es krim, jangan pergi kemana-mana," pesan ibu sebelum dengan tergesa berbalik ke supermarket itu lagi untuk membelikanku es krim.
Tak berselang lama setelah ibuku masuk gerbang supermarket megah itu, seorang lelaki paruh baya menyentuh pundakku sambil menyodorkan es krim warna pink yang langsung membuat air liurku berebut menetes dari bibirku.
"Buat kamu, anak manis," kata lelaki itu tersenyum ramah. Aku bergeming, seraya memandangi wajah lelaki itu dengan ragu. Walau hatiku terus memaksa tangan kananku untuk meraih es krim yang membuat rasa hausku mencapai puncak dahaga yang tak terwakilkan kata-kata.
"Ayo, anak manis, es krim ini bapak belikan khusus buat kamu," katanya lagi. Entahlah, rasanya tanganku tak punya alasan lagi untuk tak meraih es krim yang disodorkan lelaki baik hati itu.
"Enak"" tanyanya begitu melihatku tanpa berucap basmalah langsung menjilati es krim yang hingga saat ini aku masih ingat bagaimana rasanya. Aku mengangguk tanpa sempat mengucapkan kata terima kasih.
"Ikut bapak mau" Bapak masih punya banyak es krim buat kamu bawa pulang, ayo...," lelaki paruh baya yang tak kukenal itu mengulurkan tangannya, kedua sorot matanya mengharap aku untuk meraihnya, lalu mengikuti langkahnya pergi.
"Jangan khawatir anak manis, nanti aku antar ke sini lagi," lanjutnya saat melihat keraguan di wajahku. Entah, sepertinya aku telah dihipnotis lelaki itu. Atau tersebab es krim yang jarang sekali tersentuh oleh tenggorokanku"
Belum tentu ibuku bisa membelikanku es krim setiap hari seperti ini, batinku, saat tangan kananku sukses digandengnya menuju sebuah tempat. Rumah kosong. Ya, aku dibawa lelaki paruh baya itu masuk ke rumah kosong sederhana yang terlihat kumuh dan kotor. Lalu, dia menyuruhku duduk di bangku kayu panjang di ruang tamunya yang remang dan pengap. Sementara dia masuk ke sebuah kamar yang hanya tertutup tirai kusam yang sudah tak jelas lagi
warnanya. Rumah tak berjendela itu membuatku sedikit merinding. Hanya berselang detik lelaki itu pun keluar.
"Ini es krimnya," lelaki itu mengangsurkan es krim warna pink seperti yang diberikan tadi sewaktu di sebelah pintu gerbang supermarket. Kali ini, tanpa ragu dan malu-malu lagi aku langsung menyambar dan menjilati es krim itu.
Dalam sepersekian detik, es krim itu telah kandas di perutku, hanya tinggal bersisa bungkusnya. Kulihat lelaki itu menatapi lekat diriku sembari mengulaskan senyumnya.Tapi, kali ini senyumnya terasa begitu mengerikan dan tiba-tiba saja aku merasa merinding dibuatnya. Mendadak kepalaku terasa pening, wajah lelaki itu semakin samar oleh penglihatanku hingga akhirnya mengabur sama sekali dan berganti pekat. Setelah itu ak
u tak ingat apa-apa lagi. Berat kubuka kedua kelopak mataku. Berada di mana aku sekarang" Tiba-tiba kurasakan nyeri di sekujur tubuhku, terlebih rasa nyeri yang teramat sangat itu berasal dari lobang duburku. Perlahan aku bangkit. Dalam keremangan kulihat lelaki itu tertidur pulas sembari mengeluarkan bunyi dengkuran yang tak begitu keras di sebelahku.
Aduuh! duburku rasanya perih sekali. Dan betapa terkejutnya saat kulihat ke bawah, resleting celanaku terbuka dan terlihat percikan cairan kental di sana. Apakah aku barusan pipis saat tertidur tadi" Ah! Tidak mungkin. Aku tak punya daftar riwayat hidup suka ngompol saat tidur dikeloni ibuku. Lagian, baunya tidak pesing, aku belum pernah mencium bau khas menyengat seperti itu sebelumnya.
Setelah nyawaku mengutuh sempurna, aku langsung teringat ibuku yang pasti saat ini kelimpungan dengan keberadaanku. Dan aku kembali mengingat-ingat kenapa aku bisa berada di rumah itu bersama lelaki paruh baya yang tengah terlelap. Ya, aku ingat sekarang. Setelah lelaki itu memberiku es krim dan aku
menghabiskannya, aku langsung ketiduran. Dengan hati-hati, takut lelaki itu terbangun, aku pun berjingkat melangkah pelan menuju pintu rumah yang tertutup dan terkunci. Saat kuputar kunci yang separuhnya telah berkarat, tiba-tiba ada yang menghantam kepalaku dari belakang. Spontan kumenjerit. Tubuhku ambruk, kepalaku nyeri sekali. Kurasakan ada air yang mengalir melewati hidung dan pipiku. Betapa kagetnya saat kuraba hidung dan pipiku, ternyata air yang mengalir itu berwarna merah dan bau amis.
Buk! Buk! Buk! Pukulan itu bertubi-tubi mendarat di bagian punggung dan kepalaku. Aku meringis dan meraung kesakitan, kedua mataku berkunang-kunang, dan... semua terasa gelap.
Kurasakan sekujur tubuhku remuk, sakit semua. Termasuk kepala, pun dengan lobang duburku yang nyeri luar biasa. Saat kubuka kedua mataku, aku terperangah menyadari tubuhku terbaring di sebuah ranjang berbalut kain putih bersih. Kuraba kepalaku yang terbalut perban. Rasa nyeri kian menusuk-nusuk kepalaku.. Sesosok perempuan menatapku lembut sambil tersenyum, kedua matanya nampak berkilat dan berkaca.
"Akhirnya kamu sadar juga, Nak," ucapnya pelan. "I..ibu si..siapa, di di mana sa...saya," tanyaku sembari menahan nyeri. "Tenang, Nak, kamu aman di sini. Tadi suami ibu menemukanmu tersangkut kayu di pinggir sungai," terang ibu yang masih terlihat muda itu.
Apa" Aku berada di sungai" Apa sebenarnya yang tengah menimpaku" Aku pun kembali mengaduk-aduk ingatanku. Dan..., ah! Apa mungkin lelaki paruh baya itu yang telah tega membuangku di sungai. Lalu, untuk apa dia berlaku jahat terhadapku, padahal saat baru bertemu dengannya di depan supermarket, dia terlihat ramah dan baik, rasanya es krim pink itu rasa manisnya masih tersangkut di tenggorokan.
Ya, singkat cerita, aku akhirnya tinggal bersama ibu dan suaminya yang ternyata adalah salah seorang aparat penegak hukum. Mereka telah berjasa besar merawatku dan memperlakukanku dengan sangat baik, hingga sekarang aku beranjak remaja. Aku diadopsi jadi anak angkat oleh mereka yang telah lama belum dikaruniai buah hati di usia pernikahannya yang telah sepuluh tahun lebih. Sebenarnya waktu itu aku kepingin sekali pulang, bertemu ibu, bapak dan kakakku, pasti mereka sangat mengkhawatirkan keberadaanku. Tapi, waktu itu dengan usia yang baru enam tahun, aku benar-benar tak tahu di mana alamat rumahku.
Dan belum lama ini, aku baru tahu apa sebenarnya yang telah dilakukan dengan keji oleh lelaki paruh baya tak bermoral itu. Syukurlah, Tuhan masih berkenan melindungi nyawaku saat lelaki bejat itu hendak menghabisi nyawaku dengan cara menghanyutkanku ke sungai.
Kucoba pindah channel ke stasiun televisi lain. Tapi, sama saja; sedang meliput lelaki renta yang dulu pernah menggagahiku, mengancurkan masa depanku. Kupencet lagi remote hitam di tanganku. Sial! Televisi lain pun tak beda, malah sedang mewawancarai lelaki keji itu di penjara. Saking kesalnya, kupencet kasar tombol off, lalu kulempar remote itu ke sofa di sampingku. Aku sungguh-sungguh dendam sekaligus muak dengan lelaki keparat yang telah gagal
membunuh dan memisahkanku dari kedua orangtuaku dan saudaraku itu.
Ah! Kenapa di saat-saat aku nyaris melupakan kejadian kelam itu, tiba-tiba dia muncul" Membuat bara amarah sekaligus dendamku yang nyaris padam kembali meletup-letup. Seandainya aku berada di dekatnya, pasti sudah kubunuh lelaki biadab itu. Membunuhnya" Tiba-tiba terbersit ide itu. Lalu, seperti ada yang sedang mendorong-dorongku untuk membalaskan dendam yang telah lama beku.
Pandanganku menerawang jauh ke depan, dan kedua mataku terhenti pada sebuah almari berkayu jati yang ada di pojok rumah lumayan mewah ini. Aku pernah melihat, bapak angkatku yang menjadi anggota aparat itu menyimpan pistol di sana. Seperti ada yang merasuki dan menguasai jiwaku, setengah berlari kuhampiri almari yang terkunci itu. Gusar kucari kunci itu ke sana kemari. Di bawah tumpukan koran, majalah, di atas almari, kolong almari, bawah sofa dan pot bunga. Namun kunci itu tetap tak kutemukan. Pasti bapak angkatku benar-benar menyimpannya di tempat yang hanya beliau saja yang tahu.
Gegas kuberlari ke garasi mobil, aku ingat di sana ada linggis. Sejurus kemudian aku sukses mencongkel pintu almari itu. Dan senjata berapi itu kini telah kucekik kuat-kuat oleh kedua tanganku yang tak kuasa menahan getar.
"Nyari siapa, Dik"" Tanya petugas kepolisian yang berjaga di pos sebelah pintu gerbang kantor kepolisian itu.
"Mau membezuk Gino, eh, maksud saya Pak Wagino, dia ditahan di sini kan, Pak" Saya keponakannya," tanyaku sekaligus berbohong. Pria berbadan tegap berseragam polisi itu manggut-manggut kecil, dan selanjutnya...
"Mari, ikut bapak," katanya. Aku pun mengekor langkahnya cepat. Sementara dadaku mulai bergemuruh.
Lelaki bernama Wagino yang kondang dengan panggilan Gino itu lekat menatapku. Dahinya berkerut-kerut, tatapan matanya tajam, penuh selidik. "Kamu siapa," tanyanya, sepertinya ia sudah tak mengenaliku lagi.
Ya, aku sangat memakluminya, delapan tahun lebih semenjak kejadian tak bermoral itu membuatnya lupa pada sosok bocah di depannya yang kini telah tumbuh menjadi lelaki bertubuh bongsor dan lumayan tampan.
"Lelaki bejat seperti anda memang tak pernah ingat dengan dosa yang telah terbiasa dilakukannya," ucapku lirih namun penuh amarah.
Lelaki itu langsung menatapku tak suka, kulihat air mukanya berjuang mati-matian mengingat-ingat lelaki muda di hadapannya. Aku menyeringai.
"Anda pasti telah lupa sama saya, karena dulu saya bocah yang masih lugu yang bisa anda bohongi dengan berpura-pura menawarkan es krim," nadaku meninggi. Lelaki renta itu membelalakkan kedua matanya. Kaget. Itu yang terpancar dari wajah kuning langsatnya yang keriput.
"Anda telah menghancurkan masa depan saya, untung Tuhan masih menyelamatkan nyawa saya saat anda membuang tubuh saya yang tak berdaya di sungai belakang rumah anda!" suaraku bergetar. Kedua mata lelaki itu seperti hendak terloncat keluar.
"Tidak mungkin, ini tidak mungkin..," katanya menggerak-gerakkan kepalanya tak percaya. Aku semakin menyeringai, amarahku buncah. Pelan kutarik benda yang kusembunyikan di perutku. Dan... Dor! Dor! Dor! Dor! Dor! Dor! Enam tembakan itu bertubi-tubi menyasar di perut, dada dan kepala lelaki itu. Lelaki itu menjerit-jerit histeris menahan sakit, lalu rubuh. Tubuhnya mengejang-ngejang lalu tak berkutik sama sekali. Kulemparkan pistol itu ke tubuhnya. Senyum kepuasan terkembang di kedua sudut bibirku. Empat orang anggota polisi tergopoh datang dan menyeretku kasar, tapi aku tak peduli dan terus menyeringai penuh kemenangan. Dalam hatiku aku cuma berharap, mudah-mudahan bapak dan ibu angkatku tak terkejut dan bisa memaklumi tindakanku ini sepulang dari luar kota nanti malam.
SWEET RAMADAN Arie Yuni K Catatan itu ditulis dengan huruf besar. Tebal dengan tinta warna merah. Diletakkan di halaman depan agar ketika si empunya membuka buku harian, bisa membangkitkan kembali kenangannya di bulan Ramadan tahun lalu.
Fajar menanti esok. Kumandang suara adzan saling bersahutan dari satu surau ke surau yang lain. Merdunya menggetarkan nurani setiap insan yang meninggalkan kenikmatan kantuk untuk bersama berkumpul di masj
id demi menghadap Allah SWT.
"Ah, berisik sekali mereka", Fita menggeliat malas mendengar gema adzan dari masjid di dekat rumah kosnya. Kemudian ia kembali terlelap.
Baru dua minggu Fita merasakan duduk di bangku kuliah. Mayoritas mahasiswa di kampusnya adalah muslim. Banyak mahasiswi yang mengenakan jilbab dan pakaian tertutup. Namun, Fita menganggap jilbab yang mereka gunakan hanya sekadar tren.
"Mereka pasti cuma ikut-ikutan. Lagian apa sih enaknya pakai jilbab " Panas, gerah", ucap Fita lirih tiap kali berpapasan dengan mahasiswi berjilbab.
"Alhamdulillah, satu pekan lagi kita akan memasuki bulan Ramadan. Diharapkan ketika bulan Ramadan datang, bisa menjadi momentum bagi kita untuk saling berlomba memperoleh pahala. Untuk itu selama dua pekan pertama di bulan Ramadan, adik-adik akan mengikuti pesantren kilat di kampus. Kegiatan ini wajib diikuti adik-adik mahasiswa baru", begitu kata Kak Nisa, ketua Rohis putri di kampus Fita.
Aduh, kenapa harus ada pesantren kilat" Malas rasanya, pikir Fita. Ia membayangkan begitu banyak kegiatan yang membosankan baginya.
Hari pertama pesantren kilat tiba. Mahasiswa baru berbondong-bondong ke masjid tempat pesantren kilat diadakan. Termasuk Fita. Langkah kakinya lambat dan berat. Suasana hatinya tidak nyaman.
Fita menghela nafas panjang. Dipandangi semua temannya yang tampak bersemangat mengikuti kegiatan ini. Tiba-tiba matanya terpaku pada satu sudut di teras masjid. Ia mengamati sosok yang duduk sendiri di sana. Sosok itu jelas tampan, dengan wajah teduh dan terlihat ramah.
"Wah, siapa itu" Ganteng.... Apa dia juga mahasiswa baru ataukah dia kakak kelasku, ya"", ucap Fita yang merasa tertarik kepada lelaki itu.
Dua hari yang sama berlalu. Selama dua hari itu, Fita berusaha mencari keterangan tentang lelaki yang ia lihat di teras masjid. Namanya Kak Nafis, ketua Rohis putra.
Semakin hari, Fita semakin berusaha menarik perhatian Kak Nafis. Sampai suatu hari ia memutuskan untuk mengenakan jilbab demi merebut perhatian Kak Nafis.
"Wah, sekarang dik Fita pakai jilbab ya"", tanya Kak Nisa suatu hari.
"Ya begitulah, kak. Tapi jangan bilang siapa-siapa ya. Aku pakai jilbab supaya Kak Nafis tertarik padaku. Hihi.", Fita terkikik geli.
"Astaghfirullah. Jadi tujuan utama kamu pakai jilbab hanya untuk menarik perhatian lelaki" Luruskan niatmu, dik.".
"Ah, Kakak ini. Sudahlah Kak jangan campuri urusanku", bantah Fita sambil berlalu. Kak Nisa hanya bisa menggeleng melihat kelakuan Fita.
Hari ini hari yang cerah. Matahari bersinar sangat terik. Fita tergoda dengan minuman dingin yang dipajang dalam kulkas sebuah toko. Jilbab yang dipakai pun membuatnya merasa semakin gerah.
Fita kemudian mengendap-endap ke toko yang dimaksud. Dilepasnya jilbab sambil melihat kanan kiri. Lantas dibelinya satu botol air dingin untuk melepas dahaganya. Puasanya batal.
"Lho, dik Fita" Nggak puasa, ya" Kok dik Fita nggak pakai jilbab""
Deg. Suara Kak Nafis mengagetkan Fita. Aduh, bagaimana ini" Fita tidak menjawab. Ia diam dan bergeming. Kak Nafis pun tidak terlalu mempermasalahkan jawaban Fita. Ia langsung pergi begitu selesai membeli keperluannya.
Fita salah tingkah. Pupus harapannya untuk mendekati Kak Nafis.
Hari berikutnya, Fita berangkat ke masjid tanpa mengenakan jilbab. Banyak yang terkejut melihat Fita, terutama Kak Nisa.
Ketika pesantren kilat dimulai, Kak Nisa yang mengisi materi tentang berbagai kewajiban bagi seorang muslimah.
"Allah berfirman dalam Al-Qur'an surat Annur ayat 31, "Dan katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman: 'Hendaklah mereka menahan pandangannya dan
memelihara kemaluannya dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang biasa nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan khumurnya ke dadanya...' Jadi adik-adik, menutup aurat adalah kewajiban, selain itu dengan menutup aurat hati bisa menjadi lebih tenteram dan damai", begitu Kak Nisa menjelaskan.
Fita merasa tersindir. Semenjak itu, perasaannya jadi tak karuan. Memang tak dipungkiri Fita, ketika dulu mengenakan jilbab, hatinya merasa lebih tenteram. Berkali-kali Fita mematut diri di depan cermin sambil mengenakan j
ilbab. "Hm, benar kata Kak Nisa. Aku jadi lebih cantik memakai jilbab. Hati pun rasanya jadi lebih tenang. Memang sekarang sudah saatnya aku berbenah diri".
Fita kemudian berwudhu dan salat malam.
"Ya Allah, berikanlah aku petunjukMu. Aku ingin melaksanakan perintahMu untuk menutup auratku. Bukan karena Kak Nafis atau siapapun. Tapi karena hatiku berkata demikian. Ya Allah, aku ingin berubah. Aku ingin Ramadan kali ini menjadi saat yang tepat bagiku untuk melakukan perubahan yang baik", ucap Fita dalam doanya.
Sejak malam itu, hati Fita mantap. Ia kembali mengenakan jilbab. Belum sempurna memang, tetapi proses akan membawanya menuju kesempurnaan. Kak Nisa merasa takjub dengan perubahan Fita. Pakaian tertutup, tingkah dan tuturnya halus.
"Dik Fita, jilbab ini dipakai untuk selamanya kan"", tanya Kak Nisa.
"Iya. Untuk selamanya. Insya Allah. Tolong bantu aku ya, Kak".
Keduanya tersenyum kemudian melangkah masuk menuju masjid. .
Catatan itu ditulis dengan huruf besar. Tebal dengan tinta warna merah. Diletakkan di halaman depan agar ketika si empunya membuka buku harian,
bisa membangkitkan kembali kenangannya di bulan Ramadan. Ya, Ramadan yang manis.
"SWEET RAMADAN. MENGAJARKAN AKU TENTANG KEBERANIAN UNTUK BERUBAH. TENTANG KEPUTUSAN. TENTANG PILIHAN. JILBAB PERTAMAKU, MEMBUAT AKU MENEMUKAN KEINDAHAN MENJADI SEORANG MUSLIMAH.
ALHAMDULILLAH. " Note : Cerpen ini menjadi juara I dalam Lomba Cerpen Islami yang diadakan Familia Biologi Unnes
SENANDUNG HUJAN UNTUK DIK BIYAN
Arie Yuni K Aku adalah pagi buta Di mana embun menjadi teman bagiku jelang mentari
Aku adalah tetesan hujan Di mana tanah membawaku hanyut merembes di sela pekatnya Aku adalah pelangi
Di mana ujung menjadi hal yang menakutkan bagi tiap jatuh warnaku Aku adalah sunyi, kini dan nanti
Fajar menjemput pagi. Fita turun dari tempat tidurnya. Saat ini waktu sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Masih remang-remang cahaya di dalam kamar Fita. Ia membuka jendela, berharap menemukan terang di luar sana. Udara dingin berhembus masuk ke dalam kamar, melewati tubuh Fita yang masih terbalut piama tipis. Fita bergidik. Ditutupnya kembali jendela kamarnya. Fita merangkak naik ke atas tempat tidur, menarik selimut dan bersiap-siap tidur kembali.
"Non, bangun.Ayah dan Ibu mau pulang hari ini. Non Fita harus bersiap-siap menyambut beliau berdua. Ayo Non Fita, bangun.", Mbok Sum masuk ke kamar Fita dan berusaha membangunkan gadis yang terbilang manja tersebut.
Fita memang anak tunggal, segala kebutuhannya tercukupi dan semua keperluannya dibantu oleh Mbok Sum. Fita menjadi gadis yang egois dan pemalas.
Mendengar apa yang dikatakan Mbok Sum, tanpa pikir panjang Fita langsung bangkit dan berlari menuju kamar mandi. Mbok Sum hanya bisa menggeleng dan merapikan tempat tidur Fita.
Fita bergegas turun ke teras menunggu kedatangan Ayah dan Ibunya. Orang tua Fita sudah tiga hari pergi ke Kudus untuk melayat ke rumah sahabat mereka yang meninggal karena kecelakaan lalu lintas.
Yang ditunggu datang juga. Ayah dan Ibu Fita keluar dari mobil.
"Ayah, Ibu, Fita kangen.", Fita berlari dan memeluk mereka berdua.
"Iya, Sayang. Ayah juga kangen sama kamu. Coba lihat siapa yang Ayah bawa kemari", ujar Ayah Fita sambil menoleh ke arah mobil.
Kemudian mata Fita menangkap sepasang kaki kecil yang turun perlahan dari mobil. Kaki-kaki itu melangkah ringan ke arah mereka. Fita mengamati ujung kaki hingga kepala sosok kecil yang tengah berdiri di depannya.
"Siapa dia, Bu"", Fita ganti mengalihkan pandangan pada Ibu yang tersenyum manis melihat lelaki kecil itu.
"Perkenalkan, Fit. Ini Biyan, anak dari Om Farhan dan Tante Raras. Mulai sekarang, dia akan jadi adik kamu."
Fita terpaku. Biyan berlari kecil mendekati Fita.
"Kenalin, Kak. Namaku Biyan. Umurku lima tahun. Aku senang punya kakak baru kayak Kak Fita", Biyan menyodorkan satu tangannya dan tersenyum malu-malu layaknya anak kecil seumurannya.
Fita menampik tangan mungil Biyan.
"Ibu, Ayah! Kenapa tidak bilang dulu sama Fita. Kenapa tidak minta persetujuan Fita" Fita nggak mau punya adik!"
"Fita! Jangan membentak Biyan! Biyan masih kecil. Dia sudah diting
galkan oleh kedua orang tuanya. Apa salahnya kalau Ayah dan Ibu mau mengurus dia. Lagipula Om Farhan dan Tante Raras itu sahabat kami. Tidak bisakah kamu menerima hal itu"" Ayah Fita berusaha menahan emosinya terhadap Fita.
"Fita tetap nggak mau! Ayah dan Ibu jahat! Tidak adil!"
Fita berlari masuk ke dalam rumah, melewati Mbok Sum yang kebingungan, langsung masuk ke kamar dan mengunci pintunya.
"Om, Tante, Biyan salah ya" Kok Kak Fita marah sama Biyan"", Tanya Biyan dengan mata berkaca-kaca.
"Tidak, Sayang. Kak Fita cuma kecapekan. Nanti juga dia akan baik sama kamu. Tenang saja, Sayang. Oh, ya. Sekarang Biyan panggil Tante dan Om dengan sebutan Ayah dan Bunda, ya"" Ibu Fita tidak tega melihat Biyan.
"Iya. Ayah dan Bunda", Biyan tersenyum polos sambil mengusap air matanya. Ayah dan Ibu Fita saling berpandangan. Mereka berdua lalu membimbing Biyan masuk ke dalam rumah.
Di dalam kamar, Fita menangis dan marah-marah sendiri. Selimut dan kasur yang sudah dirapikan Mbok Sum ditarik-tarik dan dibuang ke lantai. Fita menyesali keputusan Ayah dan Ibunya. Mengapa mereka tidak mau meminta pendapat Fita. Fita hanya tidak ingin kasih sayang Ayah dan Ibunya terbagi setelah kehadiran Biyan. Fita tidak ingin menjadi nomor dua di hati Ayah dan Ibu. Apa itu salah"
"Ah, aku pergi ke rumah Ica saja. Dia pasti punya penyelesaian untukku."
Bergegas Fita menghapus air matanya, berganti baju dan mengambil kunci motor di meja belajarnya.
"Ayah, Ibu, Fita pergi ke rumah Ica dulu", Fita menuju ruang tengah dan mencium kedua tangan Ayah dan Ibunya.
"Fit, masalah Biyan."
"Sudahlah, Ayah. Fita belum ingin membicarakan hal itu lagi. Fita pergi dulu, ya", Fita berpamitan dan langsung pergi tanpa menoleh ke arah Biyan yang duduk di samping Ibu.
Di luar langit masih mendung. Fita memanaskan motor sambil memeriksa jas hujannya. Kemudian Fita melaju pergi ke arah rumah Ica, sahabat dekatnya.
Angin bertiup. Semula pelan, tetapi lama kelamaan semakin kencang. Hawa dingin pun mulai menusuk. Bukan hanya menusuk kulit Fita, tetapi juga menusuk hatinya.
* * * "Sudahlah, Fit. Terima saja dia sebagai adikmu. Toh kamu juga nggak akan rugi, kan" Menurutku ayah dan ibu kamu sudah benar. Tinggal kamu yang harus menerima hal itu dan menyesuaikan diri dengan adik barumu", Ica berkata pelan dan berusaha memberi saran kepada sahabatnya itu. Ica tahu hal ini akan terasa sulit.
"Hallo, Ica" Siapa yang anak kandung Ayah dan Ibu" Kenapa aku yang harus menyesuaikan diri dengan dia" Aku yakin, Ayah dan Ibu pasti akan lebih memperhatikan dia daripada aku."
"Fita, dia kan lebih kecil. Tentunya kamu yang harus menyesuaikan diri dengannya. Dia belum tahu apa-apa", Ica mulai kesal pada Fita.
"Ah, sudahlah. Ternyata kamu juga sama seperti Ayah dan Ibuku. Aku pulang saja", Fita cepat mengambil kunci motornya dan pergi. Ica cuma bisa menggeleng melihat kelakuan Fita.
Kini senja sudah turun. Tampak langit mulai cerah, tetapi awan hitam masih menggantung di sana-sini. Fita kelaparan. Dia mengarahkan sepeda motornya menuju warung bakso di pinggir jalan. Fita memarkir kendaraannya dan masuk ke dalam warung. Tukang bakso yang sudah tahu kebiasaan makan Fita dengan sigap langsung membuatkan semangkuk bakso tanpa sayur.
Sekeliling warung tampak sepi. Di jalan hanya beberapa kendaraan saja yang melintas. Begitupun di dalam warung. Biasanya sore begini banyak pekerja pabrik yang mampir sepulang dari bekerja. Tetapi ini hari Minggu. Kebanyakan pabrik tutup.
Mata Fita terus menyapu tiap sudut di sekeliling warung. Tiba-tiba ia mendengar suara tangisan. Tampak seorang ibu tengah memarahi anak lelaki yang usianya lebih tua dibanding anak perempuan yang ada di sebelahnya.
"Pasti ibu itu lebih sayang dengan si adik. Hah, itulah yang akan terjadi padaku", ia menghela nafas panjang. Fita makan tanpa selera.
* * * "Mbok Sum!!!" Fita berteriak kencang. Mbok Sum yang kebingungan segera berlari menuju kamar Fita.
"Mbok, siapa yang taruh tempat tidur ini di kamar Fita" Untuk apa ditaruh di sini, Fita kan punya kasur sendiri!"
"Maaf, Non. Ayah yang memindahkan tempat tidur ini di kamar Non Fita. Ini untuk D
en Biyan. Kata Ayah, sementara Den Biyan tidur di sini sampai kamar tidur baru selesai dibuat. Begitu, Non", Mbok Sum menjawab sambil ketakutan.
Fita marah-marah. Ia menyuruh Mbok Sum keluar. Semuanya semakin membuat Fita bertambah kesal.
Malam semakin larut. Sepanjang sore ini Fita lebih terlihat diam di hadapan Ayah dan Ibu sebagai bentuk protesnya. Kini Fita memilih tidur cepat agar tidak melihat Biyan masuk ke dalam kamarnya.
Tengah malam Fita terjaga. Ia mendengar suara di dekat jendela kamarnya. Dibuka matanya dengan perlahan.
Biyan. Ia berdiri di samping jendela yang terbuka. Biyan melihat Fita terbangun.
"Malam, Kak Fita. Maaf Biyan berisik, ya" Biyan cuma ingin melihat ke luar, Kak. Kata Ayah dan Bunda, Mama dan Papa Biyan ada di surga. Dan kata mereka surga itu di atas sana", Biyan menunjuk ke langit.
"Biyan kangen sama Mama dan Papa. Biyan ingin ikut. Apa surga itu jauh, Kak""
"Ah, kamu berisik sekali. Iya, surga itu jauh. Surga itu untuk orang-orang yang baik. Anak nakal kayak kamu mana bisa masuk surga. Sudah, cepat tidur sana. Jangan ganggu aku lagi!" Fita pun kembali terlelap.
Sementara Biyan masih memandang ke luar. Ke atas langit yang penuh taburan bintang. Bintang yang paling terang, pasti itulah surga. Biyan masih bergeming. Ia mencerna kata-kata Fita tadi. Pasti aku anak yang nakal sehingga Mama dan Papa tidak mengajakku ke surga, pikir Biyan. Ia semakin larut dalam kerinduannya akan kehangatan pelukan Mama dan Papanya.
Satu bintang jatuh. Seiring dengan itu, tiba-tiba awan mendung mulai berbaris satu persatu menutupi bintang. Hujan pun datang. Basah. Seperti basah di pelupuk mata Biyan. Tapi hujan mampu melunturkan kesedihan Biyan.
Biyan suka hujan. * * * Hujan itu indah, sejuk dan teduh
Hujan begitu sempurna dan luar biasa dengan segala keunikan dan keruwetan siklusnya
Hujan datang dan pergi Tetapi akan tinggal di hati setiap manusia yang tulus dan mau mencintai
Pagi tidak ceria seperti biasanya. Fita terlihat murung. Rupanya dia masih kesal dengan keputusan Ayah untuk membiarkan Biyan tidur di kamarnya. Fita merasa tidak punya ruang pribadi lagi.
"Bunda, terima kasih ya jam tangannya. Bagus banget, Biyan suka sekali", ujar Biyan ketika menerima pemberian Ibu Fita berupa jam tangan.
Fita memandang sekilas jam itu. Hati Fita memanas. Sudah lama Fita meminta jam tangan tersebut, tetapi tidak dipenuhi oleh ibunya. Sekarang dengan mudahnya Biyan bisa mendapatkan jam itu. Ini tidak adil untuk Fita. Kemarahannya memuncak.
"Ibu, ini nggak adil! Sudah lama Fita ingin jam itu, tapi Ibu melarang. Sekarang, anak kecil ini, tanpa meminta pun ibu langsung membelikannya. Ibu nggak adil!" Fita menangis dan langsung berlari keluar secepat kilat. Dikendarainya motor menuju sekolah dengan berlinangan air mata.
Semua mulai terbukti, pikir Fita. Ayah dan Ibunya sudah membuat Biyan menjadi seorang juara dia hati mereka. Fita kalah. Fita tersingkir. Fita merasa hari-harinya sudah tidak istimewa lagi.
Sepulang sekolah Fita langsung menuju kamar. Di jalan Fita kehujanan. Ia lupa membawa jas hujan. Fita mengeringkan diri dan berganti baju. Lantas menuju teras di samping rumah. Rupanya ada Biyan.
"Siang, Kak Fita. Ayah dan Bunda belum pulang ya""
Yang ditanya diam saja. "Maafin Biyan kalau Biyan punya salah, Kak".
Fita tetap acuh. "Liat, Kak. Hujannya cantik. Dulu Biyan sering main hujan. Sampai-sampai dimarahi Mama dan Papa. Biyan suka hujan Kak. Buat Biyan hujan itu indah. Hujan itu bikin Biyan nggak sedih lagi. Kak Fita suka hujan juga nggak"" Biyan masih saja berceloteh.
Fita semakin sebal. Cerewet, pikir Fita.
"Oh, iya. Nanti sore ke taman bermain yuk Kak. Biyan pengen banget ke sana ditemani Kakak. Biar nanti Biyan yang boncengin deh. Sekarang kan Biyan udah punya sepeda, Kak. Dibeliin Ayah. Bagus Kak, mau lihat"", tanya Biyan dengan kepolosan dan keluguannya itu.
Apa" Fita mulai marah. Tadi jam tangan, sekarang sepeda baru. Ini sudah kelewatan. Benar-benar keterlaluan. Biyan membuat Fita merasa tidak berharga lagi di rumah ini.
"Dengar ya anak kecil! Aku nggak mau main sama kamu, bahkan aku nggak mau jadi kakak kamu.
Jadi, berhenti panggil aku Kak Fita! Jangan sekali-kali kamu anggap aku sebagai kakak. Aku benci sama kamu!" Fita membentak Biyan. Fita berlari ke dalam kamar, meninggalkan Biyan yang kini mulai menangis.
Waktu berjalan lambat. Suara teriakan Mbok Sum membangunkan Fita.
"Den, Den Biyan! Den Biyan di mana "" Mbok Sum berteriak.
"Ih, apaan sih Mbok" Biyan bikin ulah lagi"".
"Den Biyan nggak ada Non. Padahal Ayah dan Ibu belum pulang, jadi tidak mungkin Den Biyan bersama mereka berdua", Mbok Sum panik.
"Ah, sudahlah Mbok. Biyan pasti lagi main sama temennya. Di kompleks sini kan banyak anak kecil. Nanti juga pulang sendiri", Fita kembali ke kamar.
Biyan tidak ada. Biyan menghilang. Kata-kata itu terdengar indah di telinga Fita. Ini kabar bagus untuk Fita. Kalau Biyan hilang, maka tidak ada lagi yang menjadi saingan Fita. Tidak terbersit sekalipun rasa kasihan di benak Fita. Fita terlanjur membenci anak itu.
Di luar hujan. Biyan sendiri. "Fita! Apa yang kamu lakukan terhadap Biyan" Kamu usir dia ya"" Ayah membentak Fita. Fita kesal.
"Iya! Fita usir dia Ayah, Fita benci dia. Dia sudah rebut posisi Fita di mata Ayah dan Ibu!" Fita terisak.
"Keterlaluan kamu! Tega kamu mengusir anak sekecil itu. Di luar hujan, bagaimana kalau dia kehujanan! Ayah akan cari dia", Ayah pergi berlalu.
Fita terduduk di sofa. Ibu yang mulai menangis kini mendekati dan memeluk Fita.
"Fita, dengar Sayang. Biyan tidak pernah merebut hati kami. Kamu tetap anak kesayangan kami. Sekarang coba bayangkan Fita kalau kamu ada di posisi Biyan. Dia sudah ditinggalkan orang tuanya. Anak sekecil itu yang bahkan membaca pun belum bisa. Dan Ibu hanya berusaha menghibur dia. Dia jarang mendapat perhatian dari orang tuanya. Biyan itu butuh teman Fita, dan dia sangat menyayangi kamu. Kamu sudah dewasa, Fit. Seharusnya kamu tahu bagaimana caranya bersikap", Ibu Fita melepaskan pelukannya, "dan sekarang Ibu akan ikut Ayah mencari Biyan".
Fita terpaku. Kata-kata Ibu terdengar seperti petir yang menyambar hati Fita. Fita tidak pernah berpikir sejauh itu. Fita hanya memikirkan dirinya sendiri, tidak pernah
memikirkan orang lain. Semuanya serba Fita. Rumah Fita, kamar Fita. Ini punya Fita, itu punya Fita. Semua untuk Fita. Tidak pernah ia mencoba berbagi dengan orang lain.
Fita memandang jendela rumahnya. Setetes air jatuh dari atap, mengalir mengikuti alur kaca jendelanya. Biyan masih sangat kecil. Fita teringat waktu dirinya berumur lima tahun. Ia masih suka berlarian, ia suka bermain boneka, ia masih belajar membaca. Bahkan ia tidak pernah mengenal kesedihan di usia amat belia itu.
Biyan berbeda. Biyan sudah merasakan penderitaan luar biasa. Dan sekarang ketika Biyan hampir mendapatkan kebahagiaan lagi, Fita merampasnya. Fita merasa jahat.
Sekarang Biyan di mana ya" Fita ingin ikut mencari. Dia merasa bersalah.
Fita memandang taman di samping rumahnya. Ayunan yang karatan sedikit bergoyang terkena siraman air hujan. Biyan sering bermain sendiri di sana. Diam-diam Fita suka memperhatikan anak itu. Diam-diam Fita mulai menyukai kepolosan dan kelucuan Biyan.
Tunggu sebentar. Ayunan. Fita teringat sesuatu. Jangan-jangan Biyan pergi ke taman bermain. Bukankah tadi Biyan mengajak Fita pergi ke taman bermain. Fita harus ke sana.
Hujan masih saja turun. Fita menerobos hujan dengan membawa payung di tangan kanan. Ia berjalan sangat cepat menuju taman bermain yang ada di kompleks perumahannya.
Fita menemukan Biyan sedang duduk sendiri di ayunan. Basah seluruh tubuhnya. Segera dihampirinya Biyan.
"Biyan, ayo pulang. Ayah dan Ibu khawatir karena Biyan tidak ada di rumah. Kak Fita juga. Ayo pulang, Biyan", Fita membujuk.
Biyan menoleh. Fita terperangah. Biyan sudah menggigil. Bibirnya biru membeku. Wajahnya kuyu dan seluruh badannya basah kuyup.
"Kak Fita, maafin Biyan. Biyan janji nggak akan ngrepotin Kak Fita. Biyan sayang sama Kakak", bibir Biyan semakin bergetar. Ia seperti menangis.
Fita memeluk Biyan. Dingin dan menggigil.
"Sudahlah, Biyan. Kakak yang harusnya minta maaf sama Biyan. Kakak sudah jahat sama kamu. Maafin Kakak, ya" Kakak juga sayang sama kamu", Fita menangis. Ia sa
ngat sedih. Ternyata Biyan benar-benar menyayangi dirinya.
"Kak, Biyan ingin jadi adik kak Fita. Boleh kan, Kak""
"Tentu boleh Biyan. Kakak akan panggil kamu Dik Biyan. Kamu akan jadi adik kesayangan Kakak. Selamanya."
Keduanya tersenyum. Keduanya berpelukan.
Langit semakin deras menangis. Alam ikut merasakan keharuan yang tercipta dari cinta kasih kakak dan adik ini.
Fita membimbing Biyan menuju rumah. Langkah mereka semakin lambat dan badan Biyan semakin berat. Biyan terjatuh lemas. Pingsan.
Di rumah sakit, semuanya berkumpul. Fita, Ayah Fita, Ibu Fita, mbok Sum dan Ica. Biyan berada di ruang UGD. Ternyata Biyan menderita lemah jantung. Terlalu lama Biyan kehujanan di luar rumah. Dia sangat kedinginan. Nafasnya lambat dan tersendat. Badannya panas luar biasa. Biyan terus memanggil Mama dan Papanya. Biyan juga memanggil Fita.
Mereka semua masuk ke UGD. Tampak Biyan tergeletak polos di atas ranjang. Begitu lemah dan rapuh. Fita merasa sangat bersalah.
"Biyan, Biyan harus kuat ya. Kalau Biyan sembuh nanti Kak Fita pasti main sama Biyan. Nanti kita lihat hujan lagi. Biyan harus sembuh", Fita kembali menangis.
Suasana ruangan semakin haru. Ibu berdiri di dekapan Ayah, menangis lirih. Mbok Sum dan Ica tak henti-hentinya mengucap doa demi kesembuhan Biyan. Sementara Fita terus memegang erat jemari Biyan.
"Kak, Biyan ngantuk. Nyanyikan lagu untuk Biyan ya Kak. Lagu hujan, kesukaan Biyan", Biyan memohon sambil terus menggigil. Badannya semakin panas.
"Iya, Biyan. Biyan tidur, ya. Kak Fita sayang sama Biyan", Fita mengusap rambut Biyan.
"Tik...tik...tik...bunyi hujan di atas genting...airnya turun tidak terkira...", Fita tidak sanggup meneruskan lagu itu. Dengan suara semakin bergetar Fita kembali bernyanyi, "cobalah tengok dahan dan ranting.pohon dan kebun basah semua.".
Di langit petir menyambar. Hujan makin deras tercurah. Tampak seekor lebah berdengung di luar, mengetuk kaca jendela. Basah kuyup dan kehujanan. Seperti Biyan.
* * * Twinkle-twinkle little star How I wonder what you are High above the sky so high
Like a diamond in the sky
Lagu "Twinkle-twinkle Little Star" terbayang di pikiran Fita. Lagu jenaka yang berkisah tentang bintang.
Bintang. Kini Biyan ada di sana. Bintang paling terang, itulah surga.
"Kini kau sudah tahu di mana surga itu Biyan", gumam Fita. "Dan kini kau pasti bahagia karena sudah berkumpul dengan Mama dan Papamu. Kakak bohong Biyan, kamu itu anak yang baik. Kamu pantas tinggal di surga."
Fita tersenyum. Biyan telah mengajarkan banyak hal untuk Fita. Tentang kehidupan, tentang kasih sayang tulus, tentang indahnya berbagi dan tentang betapa menyenangkannya merasa dicintai dan dihargai.
Tar! Tiba-tiba petir menyambar. Satu persatu butir air hujan jatuh dari langit. Tetesannya makin deras dan membentuk kubangan kecil di atas tanah, membuat katak berlompatan riang. Daun-daun kering berguguran, ikut hanyut bersama aliran hujan menuju lubang-lubang siput di halaman rumah Fita.
Fita merasa bahagia. Ia tak pernah merasa kehilangan Biyan, karena Biyan selalu ada dalam hatinya. Dihirupnya bau basah tanah lembab. Tercium aroma khas bau hujan. Hujan memang indah, seindah senyum Biyan.
Fita mulai bersenandung pelan. Mengiramakan lagu kesukaan Biyan.
"Tik.tik.tik.bunyi hujan."
Aku adalah larva Di mana metamorfosa mengubahku menjadi sempurna Aku adalah kayu lapuk
Dimana seratku mulai mengabu dimakan usia
Aku adalah hujan Di mana senandung butir airku mengalir mengiringi hati tiap manusia yang murni dan saling mengasihi.
Kudus, 18 Agustus 2010 Oleh Arie Yuni K tamat Menjenguk Cakrawala 7 Satria Gendeng 12 Pewaris Keris Kiai Kuning Thrill Of Chase 1
^