Pencarian

Pulung Mencari Nansy 3

Pulung Mencari Nansy Karya Bung Smas Bagian 3


"Kau terlalu banyak nonton tivi," kata Oom Wi. "Khayalanmu tinggi. Yah, anak sekarang suka berkhayal. Beda dengan jaman Oom Wi anak-anak dulu."
Pulung duduk di kursi empuk punya Oom Wi itu dengan gelisah dan mendongkol. Tante Rus menyediakan teh manis yang dingin. Oom
Wi menyilangkan kaki kanannya hingga bertumpu di atas lutut kiri. Digoyang-goyangkannya kaki itu. Gayanya membuat Pulung makin kesal saja.
"Wak tu aku kecil dulu, tidak ada tivi. Anak-anak desa bermain dengan bebas di alam terbuka. Itu lebih sehat. Tidak membuat anak doyan berkhayal yang bukan-bukan. Main di kali, kuburan, lapangan, dan di alam terbuka lainnya, lebih bermanfaat. Di tengah alam, anak-anak terlatih untuk melakukan perbuatan nyata. Tidak melamun yang bukan-bukan."
"Minumnya dulu, Lung," menyelip suara Tante Rus. "Ibu baik-baik saja, ya""
Pulung diam. Minuman memang direguk. Tapi keramahan Tante Rus tidak dibalasnya. Biar saja. Tante Rus itu kan isterinya Oom Wi. Sekarang Oom Wi brengsek. Tidak percaya laporan Pulung, apa tidak brengsek" Padahal itu hasil penyelidikan yang lengkap dan bermutu.
"Oom!" Polan ikut mendesak, biar jangan jadi kambing dungu saja seperti biasanya. "Kalau aku jadi Oom Wi, aku akan menyelidiki perkara ini! Biar naik pangkat!"
Tante Rus tertawa mendahului suaminya. Dicubitnya pipi Polan.
"Kau lucu, Lan!" serunya.
"Pol, Tante!" "Kau lucu, Pol! Senang kalau Oom Wi naik pangkat, ya""
"Senang, dong!"
"Habis kopral satu lalu apa, Pol""
Polan melirik Pulung. Matanya mengerjap.
"Sersan dua," bisik Pulung. "Sersan dua, Tante! Jadi manggilnya nanti Pak Sersan Dua, ya"" "Pak Sersan saja!"
Pulung menoleh ke kiri, ke arah Tante Rus yang duduk dekat pintu ruang dalam.
"Aku juga senang Oom Wi jadi Pak Sersan!" seru Pulung. "Biar seperti itu, orang gila yang suka baris di tengah jalan!"
"Apa kau"" Oom Wi melotot. "Sama Oomnya ngomong sembarangan! Orang kampung tidak tahu aturan!"
"Marah nih, Oom""
"Belum pernah makan sepatu"" "Makan tanah pernah!"
Oom Wi tertawa gelak-gelak. Ingat kenangan tiga tahun yang lalu di suatu malam Minggu. Ia mengajak Pulung memancing semalaman di sungai. Pulung mengantuk. Disuruhnya makan kue apem biar jangan mengantuk saja. Karena sambil memejamkan mata, Pulung salah ambil. Yang dipungut dan dikunyahnya segumpal tanah liat untuk menyimpan cacing!
"Ih! Jorok!" Tante Rus yang pernah mendengar cerita itu dari Oom Wi berseru. Lalu dia bergidik seperti jijik. "Hauk!" dia malah hampir muntah.
Pulung bangkit. Berusaha tidak memperlihatkan kesalnya pada Oom Wi, agar Tante Rus jangan tidak enak hati. Tapi nada suaranya masih penuh kekesalan, "Sayang aku anak kecil dari kampung! Kalau aku orang kota dan sudah dewasa, pasti omonganku dipercaya
orang!" "Kalau omonganmu masuk akal, orang juga mau percaya!" sambut Oom Wi.
"Kalau aku jadi Oom Wi, aku akan pergi ke rumah sakit!"
"He, pikirmu aku sakit, apa""
"Aku akan tanya pada kepala rumah sakit. Apa benar tiga tahun yang lalu ada gadis cilik yang bernama Nansy Evangeline berobat karena penyakit buta warna! Di kota ini tidak banyak orang sakit begitu. Pasti mudah cari arsipnya!"
"Kau mengajari Oom kamu, ya""
"Kubilang kalau aku jadi Oom Wi. Sayang aku cuma Pulung, anak kampung yang suka
berkhayal. Pol! Pulang, Pol!"
Pulung berjalan ke luar tanpa pamitan. Tante Rus mengejarnya.
"Apa-apaan baru datang terus pulang""
Pulung melenggang saja. Lalu menuntun sepedanya lewat pagar yang terkuak. Polan bingung. Ia berdiri di pintu.
"Terpaksa ikut pulang deh, Tante!"
"Kamu di sini saja!"
"Bisa marah dong komandan itu!"
Oom Wi bangkit dari kursinya.
"Kayak anak perempuan saja si Pulung itu! Suka ngambekl"
Polan kesal juga pada Oom Wi. Jangankan Pulung, dia sendiri sebenarnya mau ngambek juga. Hanya tidak sampai hati pada Tante Rus. Kalau dua-duanya ngambek, besok pasti Tante Rus datang ke rumah. Ia akan ribut tanya itu-ini pada Ibu.
Memang, siapa mau percaya pada khayalan
Pulung itu" Siapa mau percaya" Padahal tidak mustahil apa yang dikhayalkannya bisa benar-benar terjadi. Bukti-bukti telah lengkap. Kalau Oom Wi mau berpikir sedikit saja, pasti dia akan segera menghubungi rumah sakit untuk memeriksa arsip. Seperti yang dikatakan Pulung tadi. Pulung bisa mengatakannya, karena dia juga suka nonton film detektif di teve umum di depan balai desa. Pada teksnya sering terbaca usaha pemeriksaan arsip rumah sakit. Ya, film teve! sedikit banyak memang karena pengaruh film teve itu maka Pulung berlagak seperti detektif saja. Juga karena rasa kagumnya pada Oom Wi, pemuda desa pemancing ikan yang k
ini bisa jadi polisi. Di desa itu, hanya Oom Wi seorang yang jadi polisi. Pangkatnya pun cukup tinggi, kopral satu! Bagaimana tidak tinggi" Di bawah kopral satu masih ada lima tingkat kepangkatan lagi! Kalau dibanding dengan jendral, memang masih jauh. Jauh sekali, seperti Medan!
Kalau Medan tak jauh, Pulung sudah melompat ke sana. Akan dilihatnya apa yang terjadi pada diri Nansy sebenarnya. Nansy yang pirangnya lembut, yang matanya bersemu biru dan tidak penggugup! Nansy! Alangkah malang nasibmu. Di mana kau kini berada, aku tak tahu. Semalam kulihat wajahmu di bulan sepotong. Kulihat kau dalam mimpiku!
"Mas! Kok sepedanya dituntun saja""
Pulung terperanjat dari lamunannya. Ia menaiki sepeda itu.
Kalau saja dia bukan hanya anak kecil...
"kkk PECI HITAM melekat di kepalanya. Letaknya agak miring. Rambutnya yang kaku seperti mengusir peci itu dari kepala. Bila melangkah, kepala bergoyang-goyang. Dengan sendirinya peci itu ikut bergoyang. Kadang dia ketinggalan. Kepala sudah ke bawah, peci terlambat turunnya. Rambut kaku mendesaknya. Peci itu pun miring tak menentu. Makin jauh Pulung melangkah, pecinya makin miring saja. Dulu pernah dia heran mengapa pecinya sering terjatuh kalau dibawa berjalan. Pernah takut juga. Kata teman-teman mengaji, kalau peci jatuh dengan sendirinya, pasti disenggol oleh tangan jin.
Karena rasa heran itu, Pulung mengadakan penyelidikan selama berbulan-bulan mengapa pecinya selalu terjatuh kalau dia berjalan satu kilometer. Rupanya karena terdesak rambutnya yang kaku. Dia tertawa setelah mengetahui hasil penyelidikannya. Sekarang bila pecinya sudah mulai miring, ia akan membetulkannya biar jangan terjatuh. Tetapi pada saat pikirannya kusut, peci itu mau miring mau tegak, tidak dihiraukannya lagi.
Kusut! Tak ada orang yang percaya akan penyelidikannya terhadap Nansy. Sampai Oom Wi pun menertawakannya. Padahal dia itu polisi sungguhan. Harus bagaimana sekarang" Membiarkan saja hal itu" Pulung menatap bulan sepotong. Ada lagi gurat-gurat hitam di bentuk setengah lingkaran yang keperakan itu. Berlama-lama dia menatap. Nansy! Ada
wajahmu di bulan sepotong!
Pulung menunduk sedih. Tak tega menatap Nansy. Adiknya, sahabatnya, teman baiknya, berwajah sedih di bulan sana.
"Mas!" Pulung berhenti melangkah di jalan berdebu yang penuh batu berserak. Polan berlari menjemputnya. Kelihatannya sejak tadi Polan menunggunya.
"Tadi Oom Yan ke sini!"
"Kapan"" "Waktu Mas Pulung masih di langgar!"
"Apa katanya""
"Dia ngobrol sama Bapak dan Ibu."
"Ngobrol saja"" "Cari Mas Pulung!" "Apa kata Bapak""
"Tidak apa-apa. Tapi Oom Yan pesan supaya Mas Pulung ke sana sekarang."
Pulung memikirkannya. Ke rumah Oma Angklik sekarang" Pasti Oom Yan akan mengatakan sesuatu. Mengatakan saja atau... ah! Siapa tahu Oom Yan ikut dalam komplotan bandit" Tapi mana mungkin itu"
"Kita ke sana, yuk!"
"Tunggu, Pol. Apa kaupikir Oom Yan tidak akan memusuhi kita"" "Masa dia musuh""
"Atau... atau dia mau menyuap kita! Biar kita menghentikan penyelidikan itu! Siapa tahu,
Pol"" "Menyuap" Pakai duit, ya""
"Memang sampah!"
"Banyak, ya"" "Mana aku tahu""
"Terima saja! Duitnya kita pakai buat beli sepeda! He, tahun depan kau harus bersekolah di kota. Enakkan, naik sepeda baru" Sepatumu juga tidak jelek lagi. Itu, sepatu karetmu itu dikasihkan Gogor saja! Dia kan lagi bingung sepatunya sudah jebol!"
Polan heran melihat Pulung menatapnya tajam-tajam. Mulutnya terkatup. Marah dia. Pasti sedang marah dia.
"Eh... kok diam" Kenapa, sih"" Polan
gugup. "Kalau kau ngomong sekali lagi, kutampar mulutmu!"
"Heh! Ngomong apa""
"Kau mau terima uang suap. Lalu kita biarkan Nansy dalam bahaya""
"Eh, ya tidak."
"Pergi ke rumah Oom Yan sendiri! Minta duitnya. Beli sepeda baru, sepatu baru, mulut baru... "
"Kok mulut baru""
"Mulutmu bisa rusak kalau kupukul, tahu"
Mau coba"" Pulung pura-pura mengepalkan tinjunya. Polan mundur dua langkah. Bodoh Polan. Mana pernah Pulung memukul dengan tinju mengepal" Memukul dengan tinju begitu tidak menguntungkan. Yang dipukul tidak begitu sakit, yang memukul bisa terkilir jarinya. Seminggu jari terkilir masih sakit. Dua hari kepala benjol
kena pukul sudah sembuh! Itu rugi. Memukul ada tekniknya. Hanya jagoan sejati yang tahu teknik memukul itu. Teknik yang berbahaya bagi lawan. Jangan
sembarangan dipakai. Menyakiti dan mencelakai sesama kita, itu dosa besar. Pulung tak pernah sembarangan ringan tangan. Berbeda dengan Tugi. Jagoan dalam khayalannya sendiri. Nyatanya, dia bisa jungkir-balik di tanah lapangan. Tugi bilang pada Polan, dia kalah karena berkelahi di kegelapan malam. Polan percaya saja. Kalau Tugi bilang pada Pulung, akan dibantahnya ucapan itu. Berkelahi di kolong meja sekalipun, seorang jagoan tetap bisa menang. Maka tak mudah jadi jagoan. Sok jago, itu yang mudah. Polan pun bisa. Seperti ketika dia memukul Gono yang lemah.
"Kau... kau suka galak padaku, Mas...," suara Polan memelas.
Pulung merasa iba pada adiknya. Polan ini apa bedanya dengan Gogor dan Gono" Lemah tak berdaya. Harus selalu dilindungi. Pulung sedih memikirkannya. Kelak bila Polan dewasa, apa harus selalu dilindungi" Tidak bisa berdiri sendiri"
"Bapak itu orang miskin, Pol," kata Pulung tiba-tiba.
Adiknya tidak tahu ke mana arah pembicaraan itu.
"Tapi Bapak orang jujur. Bapak tidak mau curang dan menggelapkan uang yang bukan miliknya. Ingat kata Ibu, kan" Ibu selalu menceritakan kejujuran Bapak. Maksud Ibu pasti agar kita juga baik dan jujur seperti
Bapak." "Bapak galak seperti kau!" Polan mencetus, belum paham benar apa maksud kakaknya.
"Biar galak Bapak tidak jahat. Bapak tidak sembarangan menghukum kita. Aku lebih sering dihukum daripada kau. Aku memang sering membuat Bapak marah. Kalau Bapak jahat, hukumannya tidak hanya mengikat di pohon pisang atau menyekap di kamar."
"Itu siksaan!" "Di batang pohon pisang itu aku tidak menderita. Wak Solikun sering menyuruhku berdiri dengan dua tangan, sedang kaki diikat di pohon."
"Itu juga jahat!"
"Sebenarnya itu juga latihan. Kau tahu" Dalam perkelahian orang tidak selamanya bisa berdiri dengan kaki. Kadang terpaksa harus berdiri dengan tangan. Kadang juga terpaksa harus menggunakan kaki untuk bergantung. Lihat saja film kung fu itu."
"Hukuman Bapak apa sama dengan hukuman gurumu""
"Hukuman Bapak lebih ringan. Tapi maksudnya sama. Kalau aku disekap di kamar dan tidak diberi makan, itu sebenarnya latihan menderita. Kita berpuasa dengan niat dan makan sahur. Tapi hukuman itu tidak. Pernah dengar cerita ketika desa kita dilanda kelaparan, Pol" Banyak orang mati kelaparan. Tapi keluarga Bapak dan Kakek tidak menderita apa pun. Mereka terbiasa hidup kurang makan."
Polan diam. Mulai memahami ucapan kakaknya.
"Bapak kita orang jujur, Pol," Pulung melangkah memasuki halaman rumahnya. Polan mengikutinya.
"Biar miskin dia tetap jujur. Masa kita tidak bisa jujur seperti Bapak""
"Aku jujur! Tidak suka bohong! Kalau... kalau tidak terpaksa!"
"Menerima uang suap dari Oom Yan, itu
jujur juga"" "Tadi kan Mas Pulung yang menyuruh!" "Ya! Pergi sana! Jangan lupa beli mulut
baru!" Polan berhenti melangkah. Pulung menghilang di balik pintu. Dia langsung masuk kamar dan berkemas. Dilipatnya pakaian seragam sekolah. Dimasukkannya ke dalam tas plastik bersama sepatu dan buku yang dibungkus kertas koran bekas. Sesudah itu, ia mendekati Bapak yang duduk merokok di ruang depan.
"Pak... aku...," mulutnya agak kelu.
"Minta apa" Bapak belum gajian!"
Belum gajian. Bapak memang tidak pernah gajian. Tapi bukan soal gajian atau belum, Pulung menghadap Bapak.
"Kata Wak Solikun, aku harus tinggal di langgar untuk... untuk... "
"Untuk apa""
"Latihan, Pak."
"Kok harus tinggal di langgar" Kau biasa pulang malam, kan" Selesai latihan pulang
saja!" Pulung gelisah. Asap rokok gulungan tembakau dengan daun kawung mengepul dari mulut Bapak. Menyesakkan nafas.
"Soalnya... kata Wak Solikun... aku harus rajin mengaji. Biar cepat katam."
"Pamit ibumu!" Pulung bangkit dari kursi di depan Bapak dengan lega sekali. Pamit Ibu mudah saja. Memperoleh ijin Bapak itu yang sulit. Bapak tidak pernah bilang ya. Tadi pun tidak. Hanya menyuruh pamit Ibu. Tandanya Bapak mengijinkan.
"Mau ke rumah Nansy, ya"" tanya Ibu ketika Pulung menghampirinya.
"Aku harus tinggal di langgar, Bu. Tapi... "
Pu lung melirik Bapak. Syukur, Bapak tidak menoleh ke arahnya. Pulung berbisik ke dekat Ibu, "Kalau Oom Yan tanya, jangan kasih tahu aku di sana, ya Bu!"
"Kenapa" Dia mencarimu!"
"Jangan! Aku tidak mau ketemu Oom Yan!"
"Kau nakal pada Nansy, yaa""
"Tidak. Tidak. Soalnya... begini, Bu. Wak Solikun marah kalau ada yang mencariku selagi aku latihan."
"Kau pintar bohong, ya""
"E, Ibu tidak percaya! Tanya saja sana ke
Wak Solikun!" Ibu tersenyum. Entah dia tahu dibohongi Pulung entah tidak. Pokoknya asal Ibu tersenyum, segera saja pergi! Jangan lama-lama, nanti senyum Ibu berhenti. Ganti bertanya itu dan ini. Sulit lagi.
Pulung-pun buru-buru pergi menjinjing tas plastik. Peci hitamnya jatuh di depan Bapak. Aduh, bisa salah paham Bapak. Disangka kurang hormat nanti. Untung Bapak diam saja. Pulung bergegas ke luar sambil menekan pecinya. Kain sarungnya-pun dililitkan saja di
pinggang. Sandal jepitnya berbunyi cekit-cekit pada setiap langkahnya.
"Mas!" Polan mencegat langkah Pulung.
"Aku mau mengungsi. Jangan beri tahu siapa-pun aku di langgar Wak Solikun! Ngerti""
"Kenapa di sana""
"Kau bukan anggotaku lagi. Kau berkhianat!"
"Lho! Berkhianat bagaimana""
"Kau mau menerima uang suap!"
"Tidak! Demi Allah tidak!"
Pulung ingin tertawa melihat wajah adiknya tegang. Tapi ia berlagak galak lagi. "Kalau tidak, teruskan penyelidikanmu!"
"Bagaimana, dong""
"Pikirkan apa saja yang bisa kaulakukan. Ngerti" Kalau Oom Yan ke sini, bilang kau tidak tahu aku di mana."
"Ya." Pulung melangkah. Bulan sepotong masih di langit, biru. Nansy masih juga di sana. Masihkah dia di Medan"
"Tuhan, lindungi sahabatku," bisik hati Pulung.
Dia menunduk. Sedih hatinya. Malam ini dia terpaksa mebohongi Bapak, Ibu, dan Polan. Dia, mengungsi ke langgar Wak Solikun sebenarnya karena Oom Yan mencarinya.
Bohong! Dia telah melakukan kebohongan. Padahal kebohongan itu lawan kata dari kejujuran. Ah, dia juga tidak jujur. Tidak seperti Bapak.
7 KOMANDAN BERKHIANAT BULAN itu ada lagi di langit. Pukul sepuluh malam. Pulung tergolek di lantai langgar yang dingin. Dia sedih. Sejak semalam dia dikucilkan di langgar itu. Teman-teman mengajinya seperti menjauhi dia.
Bahkan sikap Wak Solikun tidak seperti biasanya. Tak acuh saja. Pulang sekolah tadi, Pulung langsung ke langgar. Wak Solikun biasanya akan mengajaknya makan siang. Tetapi tadi tidak. Selesai sholat dhuhur, Wak Solikun makan sendiri saja. Kalau Dukri anak Wak Solikun itu tidak mengantarkan sepiring nasi ke langgar, Pulung bisa kelaparan. Dukri datang lagi.
"Lung! Sini!" serunya seraya melambaikan tangan Pulung mendekati Dukri yang berdiri di depan pintu langgar. Dukri lebih tua dari Pulung. Kalau sekolahnya tidak macet, Dukri sudah kelas dua SMP. Sayang dia tidak naik kelas dan berhenti sekolah karena malu.
"Bapak memanggilmu," bisik Dukri.
Anak itu menunjuk ke halaman langgar yang merupakan sebuah tanah lapang agak luas. Berbatasan dengan dinding rumah Wak Solikun. Di halaman langgar itu berdiri dua kursi kayu. Pada salah satu kursi itu Wak Solikun duduk. Pulung menghampirinya.
"Duduk!" perintah Wak Solikun. Nadanya
dihentakkan, benar-benar merupakan perintah, bukan keramahan belaka. Pulung duduk di sebelah kiri Wak Solikun di atas kursi kayu itu. Dukri segera menghilang ke dalam rumahnya. Angin bertiup. Daun-daun pohon pisang berkeresakan. Di antara daun pohon pisang, bulan sepotong menyelip. Tak ada wajah Nansy lagi. Karena Pulung tidak sedang mengkhayalkan wajah Nansy di sana. Khayalan tentang Nansy buyar bila di dekatnya ada Wak Solikun dengan wajah angker begitu.
"Malam ini tidak ada latihan," kata Wak Solikun.
Suaranya serak dan berat. "Anak-anak sudah kusuruh pulang. Tahu sebabnya""
"Tidak, Wak." Wak Solikun memandang jauh ke depan. Ke kebun rambutan yang belum berbuah di belakang rumahnya, ke arah samping kanan dari langgarnya, "Aku ingin bertanya padamu."
"Ya, Wak." "Ilmu silat itu untuk apa""
Pulung melirik ke wajah Wak Solikun. Tak jelas orang itu sedang marah atau tidak. Mendengar nada suaranya, kelihatannya dia sedang marah. Lebih-lebih kalau diingat sejak semalam sikapnya tak acuh saja pada Pulung. Kal
au Wak Solikun tak acuh, anak-anak muridnya ikut-ikutan.
"Jawab!" "Untuk... untuk... bela diri, Wak!"
"Bela diri. Kalau diserang, membela diri, begitu, kan" Membela diri, artinya menjaga diri dari bahaya. Kalau bahaya datang, kita
mengelak dan sekaligus memusnahkan bahaya itu. Kita dipukul, kita harus mengelak. Tidak usah membalas memukul. Kecuali kalau terpaksa harus membekuk lawan. Membekuk tidak harus menyakiti, kan" Kita hanya boleh mengunci gerakan lawan agar dia tidak berdaya untuk menyerang lagi. Kalau terpaksa tidak bisa membekuk, kita baru boleh memukul. Itu pun dilarang menyakiti sampai lawan cedera.
Mengerti"" "Ya, Wak."
"Pendekar sejati bukan orang yang selalu bisa berkelahi. Melainkan orang yang bisa menghindarkan diri dari perkelahian! Manusia dikaruniai akal oleh Tuhan. Gunakan akal dulu. Dengan mulutmu, coba kau berbicara untuk menghindarkan diri dari perkelahian untuk mencari perdamaian. Kalau tidak bisa, baru gunakan otot dan jurusmu."
"Ya, Wak." "Kalau ada orang yang mengumpulkan orang lain untuk diadu seperti cengkerik, apa namanya, Lung""
Jantung Pulung berdetak kencang sekali. Peristiwa di lapangan sepak bola itu, siapa yang melaporkannya pada Wak Solikun" Di antara anak-anak yang ikut ke sana tak ada murid mengaji Wak Solikun. Tapi mereka pasti berceloteh ramai. Menceritakan dengan gembira kekalahan Tugi melawan Gruno. Menceritakan betapa Tugi yang sok jago itu lari pontang-panting begitu ditinggal seorang diri di tengah lapangan. Itu cerita lucu. Juga cerita yang menyenangkan. Sebab sejak saat itu Tugi tidak
lagi berlagak sok jago. Cerita bersambungan dari mulut ke telinga. Dari mulut lainnya ke telinga lainnya. Sampai ke telinga murid Wak Solikun. Sampai juga pada akhirnya ke telinga Wak Solikun. Jadi jelaslah kini, mengapa sejak semalam Wak Solikun tak acuh padanya. Padahal biasanya, Wak Solikun paling akrab dengannya. Bila kulah langgar kurang air, Wak Solikun tak akan menyuruh Dukri atau muridnya yang lain untuk mengisinya. Wak Solikun hanya mau menyuruh Pulung. Bila dia perlu membersihkan kebun rambutannya, dia akan mengajak Pulung. Murid yang lainnya akan merasa malu dan dengan sendirinya mereka ikut.
Bahkan juga Mak Solikun, emak si Dukri itu, akan memanggil Pulung kalau dia repot mencuci piring dan mengisi gentong air di dapurnya. Bukan memanggil anaknya sendiri.
Alangkah senang diperlakukan istimewa oleh guru dan keluarga guru itu. Tetapi sejak semalam Pulung datang membawa tas plastik berisi baju, buku, dan sepatunya, Wak Solikun tidak mengacuhkannya. Alangkah sedihnya!
"Kau anak Pak Bayan," suara Wak Solikun terdengar lagi. "Kalau kau sudah dewasa nanti, seharusnya kau bisa berkedudukan lebih tinggi dari bapakmu. Dulu bapakmu itu Lung, sejak kecilnya telah memperlihatkan bakatnya sebagai pemimpin. Kami sama-sama mengaji di langgar ini, langgar mendiang ayahku. Umurku jauh lebih tua dari umur ayahmu. Tapi aku sering menuruti perintahnya. Di langgar ini dulu, dia adalah pemimpin para santri. Ketika
desa kita diganggu gerombolan, ayahmu sudah remaja. Dia memimpin para santri untuk bersiaga menjaga desa dari gangguan gerombolan. Dengan bantuan tentara, gerombolan bisa ditumpas. Tetapi tanpa bantuan pemuda desa dan kelompok para santri pimpinan ayahmu, tentara tidak bisa berbuat banyak. Gerombolan bisa menghilang dengan cepat begitu mereka selesai merampok penduduk. Pernah dengar cerita itu, Lung""
"Tidak, Wak... Bapak tidak pernah menceritakan-nya."
"Yah, itu sifat bapakmu. Tak pernah menceritakan kehebatan diri sendiri. Kalau dia berpendidikan tinggi, dia tidak hanya jadi kebayan desa. Mungkin dia bisa jadi camat atau bupati. Dia berbakat sebagai pemimpin. Kenapa kau tidak seperti dia, Lung" Kenapa kerjamu hanya memimpin teman-temanmu untuk
berkelahi"" "Saya... saya ingin memberi pelajaran pada Tugi agar dia tidak sok jago lagi, Wak."
"Memberi pelajaran" Orang yang bisa memberi pelajaran adalah orang yang sudah mampu memberi contoh perbuatan yang baik. Apa kau sudah lebih hebat dari Tugi" Apa kau juga tidak sok jago seperti dia" Kau tidak pernah menyakiti orang yang lebih lemah dari dirimu
sendiri" Tidak pernah menggertak dengan jurusmu" Sedang adikmu saja sering kautakut-takuti dengan pukulanmu. Belum lagi anak lain. Itu bukan sok jago namanya, Lung""
Pulung tak menjawab. Kepalanya tertunduk.
Gelisah dia duduk di kursi kayu yang keras. Dari kayu jati, tapi sudah reyot sekali.
"Mestinya kau bisa menuruni sifat kepemimpinan bapakmu. Langgar tua itu dulu menjadikan bapakmu seorang pemimpin, walaupun hanya pemimpin kecil saja. Tetapi dia bukan pemimpin anak nakal yang mau diadu seperti ayam atau cengkerik. Lung, kaupikir mengadu sesama makhluk itu bukan dosa" Apalagi mengadu sesama manusia. Kau jahat sekali, Lung. Tak guna kau mengaji sampai sepuluh kali katam Al-Quran sekalipun, kalau hatimu masih biadab hingga kau tega mengadu sesamamu."
Pulung bangkit. Ia hendak mencium tangan Wak Solikun untuk menyatakan maafnya. Tapi Wak Solikun juga bangkit dari kursinya. Tangannya menguraikan kain sarung dan mengambil peci. Diletakkannya peci dan kain sarung itu di kursi yang tadi didudukinya. Lalu dia berdiri saja.
"Kau belum apa-apa, Lung," katanya. "Kau lihat sumur langgar itu" Sejak bapakmu masih kecil, sumur itu telah ditimba airnya oleh beribu-ribu orang. Pernah kaulihat sumur itu kering""
"Tidak, Wak." "Seperti sumur itulah ilmu yang bisa kautimba!"
Wak Solikun berjalan ke tengah halaman. Pulung mengikutinya.
"Semakin banyak kauambil airnya, akan semakin banyak pula sumber mengalirkan air itu ke dasar sumur. Air tak akan pernah habis.
Sejak bertahun lalu. Begitulah ilmu yang harus ditimba. Tak akan ada habisnya. Jangan bangga kau bisa memenuhi kulah itu. Memenuhi kulah belum berarti kau bisa menimba habis semua air di sumur. Paham" Ilmu yang kau miliki sekarang, hanyalah seperti kulah itu. Tetapi sumber ilmu yang harus kau timba lagi, masih belum habis. Jangan cepat puas dan merasa jago. Padahal kau belum apa-apa. Akan kubuktikan bahwa kau benar-benar belum apa-apa..."
Tiba-tiba, sangat tiba-tiba, kaki kanan Wak Solikun berkelebat kencang sekali ke arah kanannya. Menghantam deras kepala Pulung sebelah kanan. Bila sisi kanan telapak kaki Wak Solikun itu menghantam kepala Pulung, bisa langsung pingsan anak itu. Masih untung
kalau dia tidak menderita gegar otak berat.
Pulung tidak bersiaga. Dia tak sempat mengelak dengan menarik kepalanya ke belakang atau merunduk. Dia menahan serangan itu dengan tangan, ditekuk untuk melindungi kepalanya. Akibatnya luar biasa. Tangan kanannya terasa dihantam batu sebesar kepala. Memar sekali. Bahkan tenaga hantaman kaki itu demikian kuatnya, sampai tubuh Pulung terguling-guling tanpa ampun.
Kopiahnya entah di mana. Sandalnya entah di mana. Sedang kain sarungnya koyak. Tubuh dan bajunya kotor penuh tanah kering. Dia serentak bangun dan bersiaga. Ia pasang kuda-kuda. Siap menerima serangan berikutnya. Tetapi Wak Solikun, tidak menyerang.
"Itu baru seperempat tenaga yang kugunakan," kata Wak Solikun. "Bisa kau bayangkan kalau kupakai setengah tenagaku""
Pulung mendekat ke tengah halaman. Ia pasang kuda-kuda lagi. Siap menerima tendangan. Tapi Wak Solikun tidak menyepak. Ia menjulurkan tangannya ke wajah Pulung. Pulung menangkis dan menarik kepalanya ke belakang. Tetapi itu belum berarti dia selamat. Kaki kanan Wak Solikun bergerak cepat ke arah kiri tubuh pendekar tua itu. Menghajar telak pinggul kiri Pulung. Kembali anak itu terguling. Dia tidak bisa bangkit karena kaki kirinya terasa lumpuh.
"Kau bisa mati kalau yang kuserang dadamu," kata Wak Solikun tenang. "Bangun!"
"Aduh... tidak bisa, Wak!"
"Bangun! Atau kuhajar lagi!"
Wak Solikun benar-benar mengangkat kaki kanannya. Pulung berguling di tanah. Sambaran kaki Wak Solikun lewat di atas kepalanya. Bunyinya seram sekali. Wuuuut! Seperti ada badai lewat di atas kepala saja. Bila kepala itu tidak cepat menunduk, apa jadinya"
Tetapi Pulung tidak bisa lega begitu saja karena telah lolos dari serangan. Sebab kaki kanan Wak Solikun yang menyambar itu kini bertumpu di tanah sebelah kanan Pulung agak ke depan. Tubuh pendekar tua itu membalik dan menunduk. Kaki kirinya menyambar deras ke kepala Pulung!
Pulung tak bisa mengelak lagi. Ia pa
srah saja. Mati pun jadi. Dipejamkanhya matanya. Siap menanti kematian. Dan kaki Wak Solikun kini telah sampai di pelipis kiri Pulung! Sampai dan berhenti di sana. Tidak menghajar lagi. Kaki itu diam. Yang tidak diam mulut Wak Solikun. Dengan masih menempelkan kaki di pelipis Pulung dan tubuh masih merunduk ke depan, dia berkata, "Kau hanya punya satu kepala, Lung. Yang satu itu bisa terbang kalau tidak kuhentikan seranganku. Percaya""
"Ya, Wak...," Pulung meringis. Pinggulnya luar biasa sakit. Juga tangannya.
"Bangun!" "Aduh, Wak... tidak bisa bangun."
"Cengeng! Pendekar sejati tidak cengeng! Kau bisa bangun kalau kau mau! Ayo bangun! Bangun!"
"Kakinya, Wak... "
"Bangun!" kaki Wak Solikun bergoyang hingga kepala Pulung pun bergoyang.
Pulung ingat bagaimana cara mengatasi kesakitan di pinggul begitu. Ia memijit urat dekat pangkal pahanya. Lalu merayap bangun. Meski sakit kaki tidak lumpuh lagi. Tapi kaki kiri Wak Solikun itu, menekan lagi pelipis Pulung. Kembali dia terguling ke kanan.
"Percaya, kau belum apa-apa" Kau hanya kulah kecil yang juga belum penuh!"
"Ya, Wak... " Wak Solikun masih berdiri. Sekarang dia mundur dua langkah. Pulung bangkit dan menepuk-nepuk tubuhnya. Debu beterbangan di keremangan sinar bulan sepotong.
"Meskipun misalnya kau telah berhasil menimba semua isi sumur, jangan merasa telah tamat mempelajari semua ilmu. Di alam luas yang diciptakan Tuhan ini, ilmu tak pernah habis dipelajari. Sampai pun kau tua dan akan mati, belajar terus sampai nyawamu putus.
Mengerti"" "Ya, Wak... "
Wak Solikun berjalan ke kursinya. Ia mengambil kain sarung dan pecinya. Sambil mengenakan peci, dia berkata lagi, "Hidup di dunia tidak hanya memerlukan kekuatan otot dan kemampuan jurus. Tuhan memberimu otak. Pakai otak itu untuk hidupmu. Isi dia dengan ilmu. Bisa berkelahi saja, belum berarti kau bisa hidup sebagai manusia seutuhnya. Ingat bapakmu itu. Seorang jago seperti dia hanya bisa jadi kebayan desa karena pendidikannya rendah. Jangan sampai kau putus seperti dia. Anak kebayan desa bisa jadi camat, bupati, menteri atau presiden! Bisa juga
jadi polisi seperti pamanmu, tentara, dokter, insinyur, kiyai dan apa saja. Asal jangan jadi pencuri, penjahat, koruptor, penipu... "
Pulung bisa berdiri di kakinya yang sakit. Ia melangkah untuk memungut pecinya di dekat kursi Wak Solikun. Kini Wak Solikun berjalan ke tengah halaman. Tiba-tiba saja, dia membalik dan menyerang dengan kekuatan penuh! Bila dengan seperempat kekuatan saja Pulung sudah jungkir-balik begitu, apa pula jadinya dengan kekuatan empat kali dari yang menghajar pinggulnya"
Dia tidak bisa mengelak. Yang dekat dengannya adalah kursi itu. Ia, meraih kursi secepatnya dan dipakainya untuk menahan serangan Wak Solikun. Jika Wak Solikun mau, dia bisa menghentikan serangannya hingga kakinya tidak menghantam kursi itu. Seperti dia menghentikan serangan ketika kakinya akan menghajar pelipis kiri Pulung. Tapi Wak Solikun tidak menahan serangan kakinya. Tak ayal lagi kaki itu menghantam kursi.
Pulung menjerit! Sandaran kursi itu pecah berkeping!
Sebelum Pulung bisa menguasai perasaan terkejut Wak Solikun sudah berjalan meninggalkannya.
"Besok dandani kursi itu!" perintahnya sambil berlalu membawa kain sarung dan menekan peci hitam di kepalanya.
Pulung termangu. Kursi kayu jati itu berkeping sandarannya dipentur kaki tua Wak Solikun! Di bawah kursi itu Pulung berlutut. Ia meletakkan kepalanya dudukan kursi.
Terdengar isak tangisnya yang lirih. Menangis anak itu, di bawah bulan sepotong yang tidak ada lagi bayangan wajah Nansy-nya.
Bukan sakit yang membuatnya menangis. Tapi perasaan sedih karena dia telah menjadi murid yang mengecewakan gurunya. Dia telah mengadu sesamanya seperti mengadu ayam! Dia telah menghasut anak lain untuk berkelahi, padahal mengadu cengkerik pun belum pernah dilakukannya!
Saat itu Pulung menyadari, ilmunya belum seberapa. Hanya sekulah kecil yang juga belum penuh. Di sumur itu masih ada sejumlah ilmu yang tidak akan kering ditimba seribu manusia. Jurus yang diperlihatkan Wak Solikun untuk menyerangnya bukankah jurus maut yang seumur hidupnya sekali
itu dilihatnya" Jurus yang bisa membunuh manusia. Tetapi Wak Solikun bukan pembunuh. Dia bahkan tak pernah menyakiti sesamanya, kecuali dalam latihan-latihan keras bagi murid-murid pilihan.
Ingat Pulung akan nasihat Wak Solikun pada awalnya dia datang sebagai murid mengaji. Dia akan diajari ilmu silat untuk yang pertama kalinya. Ketika itu Wak Solikun mengatakan, "Ilmu silat ini ibarat pisau yang tajam. Pemilik pisau bisa menusuk orang untuk membunuh. Tapi orang cerdik tidak akan menggunakan pisau untuk menyakiti sesamanya, apalagi menghilangkan nyawa sesama makhluk Tuhan. Orang cerdik dan beradab menggunakan pisau untuk keperluan yang bermanfaat. Kalian semua tahu apa kegunaan pisau selain untuk menusuk orang.
Nah, dengan ilmu silat ini, aku ingin kalian menjadi orang cerdik yang beradab!"
Ketika itu Pulung belum memahami apa arti ucapan Wak Solikun. Tetapi kini dia mengerti. Dia telah menyalahgunakan ilmunya untuk sok jago dan mengadu orang lain seperti mengadu jago!
Isaknya makin menyendat-nyendat. Disaksikan bulan sepotong. Pulung menangisi penyesalannya.
UDANG KALI digoreng dengan tepung beras, alangkah enaknya, pagi tadi Mak Solikun menyuruh Pulung mencari udang di kali dengan jaring kecil yang bernama sener. Lepas sembahyang subuh, Pulung ke kali sana dan mendapatkan banyak sekali udang kecil. Dukri bertugas menumbuk beras sampai menjadi tepung halus.
Itu makanan lezat untuk siang ini! Perut pun lapar sekali. Pulung bergegas di jalan penuh pohon turi. Ia memasuki jalan di sisi kebun setelah menyeberangi jalan penuh pohon turi. Lewat jalan kecil di sisi kebun itu ia akan sampai ke rumah Wak Solikun. Tapi di kebun dekat rumah itu, berdiri Oom Yan!
"Selamat siang," sapa Oom Yan.
"Oh... siang, Oom..." Pulung gugup sesaat. Ditatapnya sejenak wajah Oom Yan. Seperti menyimpan perasaan sedih sekali
"Oom ingin bicara sebentar, Lung."
"Tapi... tapi... perutku lapar... "
"Makan siang di rumah Oma, yuk!"
"Ah, tidak. Kalau aku tidak langsung pulang, Mak Solikun mencariku."
"Rumahmu bukan di dekat langgar sana. Kau sengaja menghindar dari Oom Yan!"
"Tapi... " "Ayo ke rumah!"
Dukri sedang menunggu Pulung. Dengan gerak tangan Pulung memberi tahu Dukri bahwa terpaksa ikut Oom Yan. Dukri mengangguk kecewa.


Pulung Mencari Nansy Karya Bung Smas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Oom mau bicara apa"" tanya Pulung seraya melangkah. Tetapi tidak ke arah rumah Oma. Ia menuju ke jalan kecil arah sungai tempat mengajak Nansy berenang dulu. Tempat dia mencari udang pada lepas subuh.
"Kok ke sini, Lung""
"Kita bicara di dekat kali saja, Oom."
"Tidak ke rumah""
"Di sana, saja."
"Kenapa" Kau aneh sekali."
"Oom sekarang juga aneh. Nansy aneh! Semua aneh, Oom."
Oom Yan menarik nafas panjang. Sambil mengayunkan kakinya dalam langkah-langkah panjang, dia menyalakan rokoknya. Asap mengepul bau wangi. Dibawa angin lewat ke timur, ke arah kali itu.
Pulung mendekati sebongkah batu di tebing kali. Ia duduk di sana. Membiarkan Oom Yan berdiri saja. Karena tubuhnya jangkung, dilihat dari tempat Pulung duduk kelihatan semakin tinggi. Seperti pohon cemara kurus di tebing
kali. "Bilang, Oom. Tadi Oom bilang mau bicara."
Oom Yan mengisap rokoknya yang berbau wangi. Ia menarik natas panjang sekali. Matanya menatap air kali. Berkecipak dan berkilat-kilat memantulkan sinar matahari terik. Udara panas, angin pun kering. Di tepi kali, kesejukan menguar dari hamparan air yang mengalir ke utara.
"Kau cerdik sekali."
"Cerdik" Hanya mau bilang begitu dari kemarin Oom mencari-cariku" Siapa yang bilang aku di langgar itu, Oom""
"Tidak ada." "Kalau tidak ada, Oom tidak tahu aku di sana."
"Nansy sering bilang kau suka di langgar
itu." "Kapan Nansy bilang, Oom""
"Dulu." "Tiga tahun yang lalu, Oom""
"Ya." "Sekarang pasti tidak. Nancy yang ada di rumah Oma itu bukan Nansy yang dulu."
"Lung! Kau begitu yakin dia bukan Nansy sahabatmu""
"Aku berani bersumpah, Oom. Dia pasti bukan Nansy putri Oom dulu. Kenapa bisa begitu, Oom" Kenapa Oom bohong pada Oma" Kenapa Oom bohong padaku" Oma bisa Oom tipu. Tapi Pulung yang ini tidak."
"Kau memang cerdik"
"Tidak. Aku mengenal Nansy sejak kami kecil dulu... Tak ada yang tidak kutahu tentang Nansy. Itu seb
abnya aku tahu yang di rumah
Oma bukan Nansy sahabat Pulung dulu. Oom, katakan saja mengapa, bisa begitu. Kalau
tidak... " "Apa, Lung""
"Aku bisa bikin Oom celaka!"
"Ha!" Oom Yan terkejut. Ia menatap Pulung dengan matanya yang tidak seindah mata Nansy dulu. Heran dia, Pulung berani mengancamnya dengan begitu enaknya. Mengucapkan ancaman dengan begitu ringannya. Ah, Pulung! Oom Yan ingat kata isterinya di Medan ketika dia akan berangkat menjenguk Oma. Menghadapi Pulung harus hati-hati kata isterinya itu. Inilah buktinya. Pulung yang di matanya hanya anak kampung teman Nansy, ternyata bukan anak sembarangan. Tiga tahun yang lalu Pulung tidak seperti saat ini. Anak berkulit coklat yang duduk memangku tas sekolahnya di atas batu itu seperti bukan Pulung saja. Seperti anak lain yang bukan teman Nansy tiga tahun lalu.
"Aku tidak main-main, Oom."
"Kau... apa yang bisa kaulakukan""
"Macam-macam" "Macam-macam""
"Lapor ke polisi."
"Ah!" "Akan kukatakan pada polisi, Oom Yan berkomplot dengan bandit untuk memalsukan Nansy. Oom Yan dan komplotan bandit akan memeras Oma. Macam-macam, Oom."
"Kau ngawur, Lung. Masa polisi percaya Oom akan melakukan kejahatan terhadap ibu sendiri""
"Penjahat itu tidak pandang bulu, Oom."
"Kau terlalu banyak membaca buku detektif. Kau berkhayal menjadi detektif."
"Baik. Oom tidak takut pada polisi, ya" Tapi aku bisa bilang pada Oma. Pasti Oma percaya kalau kubilang Nansy yang di rumah itu bukan cucunya. Kubilang saja Nansy yang asli disandera bandit!"
"Pulung!" Oom Yan menjerit. Rokoknya jatuh ke tanah berumput. "Kau gila!"
Pulung tersenyum. Gayanya meniru Simon Templar dalam film seri The Saint di teve yang diputar pada malam Rabu. Jagoan yang ganteng itu selalu tersenyum kalau dia berhasil menggertak musuhnya. Begitulah. Dengan gaya jagoan The Saint, Pulung tersenyum di atas batu.
"Oma sudah tua," Pulung bergumam. Sengaja dikeraskan suaranya, agar musuh The Saint itu mendengar. "Jantungnya bisa berhenti kalau Oma tahu Nansy disandera bandit!"
"Lung!" The Saint tersenyum lagi. Hebat The Saint, ya! Musuhnya tinggi jangkung. Tapi dia kalem saja. Musuhnya gelisah dan ketakutan digertak begitu.
"Kalau Oom tidak menceritakan yang sebenarnya, saya bisa benar-benar bilang pada
Oma." "Baiklah," musuh The Saint itu mengalah. Dia merokok lagi dengan gelisah.
"Oom sebenarnya ingin minta tolong padamu. ltulah sebabnya mengapa Oom cari-cari kau sejak kemarin."
"Menangkap bandit itu, Oom"" Pulung menyahut sambil menegakkan kepalanya. Gentar hatinya. Kalau benar-benar disuruh menangkap bandit, mana bisa" Dia bukan The Saint sungguhan. Dia hanya berkhayal menjadi The Saint ketika dia tersenyum setelah mengancam tadi.
"Tidak. Tidak ada bandit. Jangan berkhayal lagi. Nansy tidak apa-apa. Nansy di rumah."
"Nansy yang mana""
"Nansy yang asli."
"Jadi yang itu palsu, kan""
"Ya... " "Rambutnya juga tidak pirang! Itu disemir! Matanya tidak biru. Dia tidak pakai kalung salib, karena di bukan Nansy yang beragama
Kristen! Betul, kan""
"Ya... ya... tapi jangan bilang Oma. Dalam usia tuanya, biarkan dia bahagia bersama Nansy... "
"Bersama Nansy palsu!"
"Ya... " "Sekarang Nansy asli di mana" Oom harus menceritakannya."
"Di rumah," "Sehat""
"Dia... ah, dia sakit. Tidak, hanya flu saja. Tidak sakit parah."
"Kok tidak diajak ke sini" Flu saja kan sakit enteng"
"Sekolahnya tidak libur."
"Nansy palsu juga tidak libur."
"Sakitnya... maksud Oom, sakitnya parah kalau dia diajak ke sini."
Pulung bangkit dari batu. Ia melangkah. Oom Ya mengikutinya.
"Kau tidak akan bilang Oma, kan"" Pulung berhenti.
"Kalau Oom kasih uang, saya mau diam."
"Uang" Ha" Uang"" Oom Yan kaget.
"Seratus ribu saja, Oom."
"Oh Tuhan... seratus ribu, Lung" Seratus
ribu"" "Oom Yan kaya. Apa artinya uang seratus
ribu"" "Ya ampun! Kau telah jadi bandit, Lung! Kau memeras Oom kamu!"
Pulung melangkah meninggalkan Oom Yan. "Kalau Oom keberatan, aku bisa bilang
Oma." Oom Yan termangu. Benar-benar tidak disangkanya Pulung telah jadi bandit sekarang! Bandit! Anak kecil memeras seratus ribu rupiah, kalau bukan bandit apa namanya"
"Lung... Oom tidak percaya kalau kau benar-benar jah
at begitu. Kau dulu baik sekali, Lung. Tidak, anak yang nakal pun tidak mungkin bisa memeras seperti itu. Kau tidak hanya nakal. Kau rusak. Kau jadi bandit!"
"Terserah apa kata Oom. Terserah juga Oom mau memberi uang atau tidak. Asal Oom ingat, aku bisa bilang pada Oma... "
Oom Yan menjejeri langkah Pulung.
"Uang itu untuk apa, Lung""
"Ongkos pesawat terbang ke Medan."
"Kau... kau akan ke Medan""
"Menjenguk Nansy, Oom. Aku juga kangen
Tante." "Tapi... jangan... jangan ke sana... "
"Oom pernah mengajakku ke sana di depan
Oma." "Tapi... "
"Dulu ke mana saja Nansy pergi, aku selalu menyertainya. Oom dan Tante yang menyuruhku mengawal Nansy. Kalau dulu Nansy pergi ke Amerika, aku pasti ikut juga ke sana. Oom tidak pernah keberatan mengeluarkan uang untukku. Kenapa hanya ke Medan Oom keberatan""
"Soalnya... ah, percayalah Nansy tak apaapa."
"Karena tak apa-apa, aku mau ke sana. Kangen, Oom. Nansy pasti juga senang bertemu dengan sahabatnya... "
"Ah... kau belum mengerti juga... "
"Aku mengerti. Oom yang tidak mengerti. Keselamatan Oma terancam kalau aku bilang rahasia itu, Oom."
"Baik, baik. Tapi... kau berani ke Medan sendirian""
"Kalau Oom beri tahu bagaimana cara naik pesawat terbang, aku berani."
"Kalau... ah, Oom tidak tega kau ke sana sendirian."
"Sama Oom""
"Ya... ya..." "Sekolahku tidak libur, Oom." "Nanti kalau kau libur."
"Oom janji"" "Janji."
"Kalau ingkar, aku bisa bilang pada Oma." "Jangan kausebut itu lagi!"
"Selamat siang, Oom."
Pulung bergegas. Perut terasa memilin. Ia melangkah di jalan kecil di sisi kebun ke arah rumah Wak Solikun. Dukri menepuk perutnya yang melembung di samping emaknya yang mencuci piring.
"Sedap, Lung!" serunya.
Pulung melangkah di samping Mak Solikun ke arah dapur.
"The Saint mau makan, Mak!" serunya.
"Apa"" Mak Solikun bertanya heran. "Kau ngomong apa itu""
Dukri tertawa. "Kalau dia lapar, mulutnya suka ngaco, Mak!" katanya.
Udang kali digoreng dengan tepung beras,
aha! Pulung membuka lemari makan. Tapi Wak Solikun di dekat sana berdiri dengan mata melotot!
"Sholat dulu'" hardiknya.
Pulung menutup kembali lemari itu. Bau udang goreng menusuk makin memilin isi perutnya. Kepala pun pening sekali. Dia memang harus sholat dulu. Meski perut perih sekali.
"Rasain!" Dukri mengejek sambil menepuk perutnya yang melembung. Dengan langkah gontai Pulung berjalan ke langgar.
MATANYA masih suka mengerjap-ngerjap. Sekarang di mata itu ada kesan kecewa. Polan mendengar semua rencana Pulung. Itu yang
membuatnya kecewa. "Kau melarangku menerima uang suap," katanya lirih. Mereka berbicara dengan berbisik di kamar.
"Tapi kau sendiri tidak hanya menerima suap. Kau malah memerasnya! Apa bukan kau yang jadi pengkhianat sekarang" Komandan
berkhianat! Bah!" "Kau tidak mengerti rencanaku!" "Kau sudah menceritakannya!" "Tapi kau tidak memahami maksudku" "Aku sudah paham!" "Apa" Coba apa yang kaupahami itu"" "Kau minta duit dari musuh kita!" "Aku tidak menerima uangnya!" "Kau memeras biar kau bisa ke Medan!" "Aku harus ke Medan! Biar aku tahu apa sebenarnya yang terjadi pada diri Nansy!" "Kau ingin piknik!" "Aku ingin menyelamatkan Nansy!"
"Taik!" Pulung terkejut. Kotor sekali mulut adiknya.
"Kau lebih buruk dari Tugi sekarang. Lebih buruk dari Mak Mansyur! Mereka sudah tidak bermulut kotor lagi. Kau yang dulu tidak suka mulut kotor, sekarang malah busuk! Mulutmu busuk!"
"Mendingan aku! Daripada kau! Kau munafik!"
"Apa kaubilang"" Pulung menghardik marah.
"Kaularang aku menerima suap! Kau sendiri memeras! Apa bukan munafik
namanya" Biar aku belum pinter ngaji, aku tahu apa itu munafik! Aku tahu orang munafik itu seperti kau!"
Plak! Tak sadar Pulung menampar pipi adiknya.
Polan menjerit. Tamparan itu tidak sakit. Tapi dia kaget. Kali ini dia ditampar kakaknya! Biasanya di dilindungi. Selalu dilindungi. Sekarang ditampar!
"Kau jahat!" Polan bangkit dari tempat tidur dan melompat turun. Memandang marah ke arah kakaknya. "Mentang-mentang jagoan, kau seenaknya nampar orang!"
Pulung melompat dan berdiri di lantai tanah menghadapi adiknya.
"Kau kurang ajar! Kalau mulutmu tidak busuk, aku tidak akan menamparmu!"
"Kau yang busuk! Orang munafik busuk! Tidak ada yang lebih busuk dari munafik!"
Polan menjerit-jerit. Pulung melompat hendak menerkam adiknya. Akan ditutupnya mulut adik brengsek itu. Tapi Polan melompat dan menghindar! Heran, Polan bisa menghindar sergapan Pulung! Sejenak Pulung termangu. Tak disangkanya adiknya bisa mengelak dari serangannya. Pada saat dia termangu, Pol memukul wajahnya!
"Oh...," Pulung terkejut lagi. Pukulan tidak bermutu itu tidak menyakitkannya. Tapi menerima pukulan Polan, sungguh mengejutkan. Sejak kapan anak itu berani memukulnya"
"Kau rusak sekarang, ya!" geram Pulung. "Berani memukul kakakmu!"
"Kaupikir hanya kau yang berani" Sama-sama anak Bapak! Aku juga berani! Ayo sini maju! Sini, biar kugilas kamu!"
Polan kesetanan. Dia mengamuk. Diraihnya bantal. Dilemparkannya ke arah Pulung. Diraihnya guling. Dilemparkannya juga. Pulung menangkap benda-benda yang dilemparkan adiknya itu. Tapi dia tidak menyangka, ternyata Polan juga melemparkan sepatu! Benda itu menghantam kepala Pulung dengan telak!
Brak! Pintu terbuka. Bapak berdiri di ambangnya.
"Pulung!" Pulung mundur. Ia berdiri menghadapi Bapak.
"Ya, Pak... " "Begitu kelakuan jagoan, ya" Begitu" Kusuruh kau mengaji di langgar Wak Solikun bukan untuk jadi jagoan! Kusuruh kau jadi anak pinter mengaji! Anak pinter sembahyang! Bukan pinter berkelahi denan saudara sendiri! Ayo kalau kau memang jago, lawan Bapak! Ayo lawan!"
"Pak... " Tangan Bapak menjambak rambut Pulung. Diseretnya anak itu keluar rumah. Pulung menyerah saja. Melawan Bapak bisa kuwalat. Main-main dengan Kakek Sakeh saja dia pernah kuwalat. Bapak membawa Pulung ke halaman. Didorongnya kepala anak itu.
"Ayo lawan! Lawan" tantang Bapak.
Pulung membungkuk hendak memeluk kaki Bapak. Tapi kaki Bapak melayang menyepaknya. Pulung melompat menghindar. Sekali itu dia menghindar dari sepakan kaki Bapak. Biasanya tidak. Kalau Bapak menyepak, akan diterimanya sepakan itu. Dia rela menderita sakit sebagai hukuman dari Bapak. Tapi sekarang tidak. Bapak tidak adil. Kalau mau menghukum, kenapa Polan tidak ikut dihukum" Mereka berkelahi. Harus dua-duanya dihukum!
"He, berani lawan, kau"" seru Bapak karena serangan kakinya menyepak angin. Bapak menyepak-nyepak lagi. Pulung meloncat-loncat menghindar. Tak satu kali pun sepakan Bapak mengenai sasaran. Bapak hanya menyepak. Kalau dia mau, sebenarnya dia bisa memukul dengan tangannya. Tapi Bapak tidak
memukul. Hanya menyepak-nyepakkan kaki saja. Sepakan itu tidak sembarangan. Dilakukan dengan jurus-jurus tertentu. Sepakan kaki jagoan sejati.
Karena kehabisan nafas meloncat-Ioncat, akhirnya Pulung mundur sejauh-jauhnya. Bapak berdiri kukuh dan menatapnya.
"Pergi, kau! Jangan pulang sebelum kusuruh pulang!" hardiknya dengan suara mengguntur.
"Pak... aku... aku harus ke mana, Pak... "
"Terserah mau ke manal"
"Aduh, Pak... aku... aku..."
"Bapak tidak senang punya anak brengsek kayak kau! Kau brengsek sekali! Ayo pergi! Kau sudah merasa hebat! Buktikan sekarang, kalau kau bisa hidup dengan kehebatanmu! Ayo pergi! Awas, jangan kau pergi ke rumah pamanmu! Pergi ke mana saja! Jangan pulang lagi!"
Di pintu rumah Ibu menyeka pipinya. Polan berdiri di sisi Ibu. Menyesal dia, mengapa jadi begini nasib kakaknya.
"Masuk!" Bapak menghardik Polan.
Polan lari ke dalam kamar. Ibu masih menyeka pipinya. Menatap Pulung di halaman bermandikan sinar bulan.
"Bisa sekejam itu kau, Pak... "
"Anakmu hebat, Bu. Hebat sekali," kata Bapak.
"Apanya yang hebat, Pak" Kau terlalu! Mengajar anak tidak pakai aturan begitu! Kau menyakitinya... "
"Kaulihat sendiri. Tak satu pun tendanganku masuk!"
"Tapi... aku tidak suka caramu mengajar
anak." "Biar. Anak laki-laki harus berani." "Dia tidak boleh pulang, Pak" Lalu dia tinggal di mana""
"Dia bisa tinggal di mana-mana."
"Makannya bagaimana""
"Dia bisa makan di mana-mana."
"Kau tega, Pak."
"Karena aku tahu kekuatannya, aku tega melepaskannya. Sudah. Masuk. Biar dia pergi."
Ibu menutup pintu dengan air mata semakin keras. Iba hatinya melihat Pulung berdiri di tengah halaman. Bulan kini hampir bundar penuh. Langit pun hampir biru penuh. Banyak bintang berker
lip. Pulung melangkah pergi. Dia diusir dari rumah oleh Bapak. Karena pertengkarannya dengan Polan. Ah, Nansy! Tahukah kau, betapa sulitnya mengetahui kabarmu yang sebenarnya"
Pulung terus melangkah. Meskipun tidak di rumah, dia bisa tinggal di mana-mana. Siapa pun di desa itu mau menerimanya. Tak terkecuali Mak Mansyur. Tetapi Pulung lewat saja di depan rumah Mak Mansyur. Dia terus ke selatan. Gedong lawang satus, itulah pilihannya. Oma akan senang ditemani. Dia tak akan kesepian setelah Nansy pergi.
Oma, omaku! Terimalah aku di sisimu. Akan kudorong kursi rodamu ke mana saja kau suka. Kuambilkan minumanmu kalau Oma haus. Kuceritakan kisah yang lucu bila Oma rindu Nansy...
Omaku! 8 JEMPUT AKU DI POLONIA RODA-RODA kursi itu berputar di pinggiran kolam renang. Oma terkekeh tak putus-putusnya ketika Pulung mengisahkan cerita lucu tentang kenakalan Nansy dulu.
"Ke mana lagi, Oma"" tanya Pulung seraya melangkah pelan mendorong kursi roda itu.
"Ayo, satu putaran lagi. Sudah capek""
"Seratus putaran lagi belum capek, asal dikasih sirop!"
Oma terkekeh. "Kau kan sudah bisa membuatnya sendiri."
"Ya, Oma. Awas! Pegangan yang kuat. Kalau Oma jatuh, Oma tidak bisa berenang!"
Roda-roda kursi itu menaiki pinggiran kolam yang agak tinggi. Air berkerlip memantulkan sinar matahari sore. Bunga-bunga bagaikan tersenyum. Manis sekali. Senyum Oma pun manis. Terasa sampai ke hati.
"Heran ya, kenapa sudah dua minggu kau tinggal di sini, bapakmu belum kemari juga"" "Bapak senang aku tinggal di sini."
"Ibumu"" "Kalau Ibu tidak senang aku tinggal di sini, dia akan mengantarkan pakaian dan buku-bukuku. Oma sendiri yang ngobrol sama Ibu. Apa kata Ibu, aku bahkan tidak tahu."
"Kau ingin dengar""
"Dari mula aku ingin mendengarnya. Tapi Oma tidak pernah mengatakannya."
"Oma menceritakan rencana Oma pada ibumu."
"Rencana apa, Oma""
"Rencana bagus untuk mengusir kesepian
Oma." "Oma masih kesepian juga" Selama aku tinggal di sini Oma masih kesepian""
"Oma ingin rumah ini ramai sekali. Tidak hanya ada kau. Ada anak-anak desa lainnya."
"Siapa saja, Oma""
"Semua anak desa ini di bawah umur tujuh tahun."
"Aku tidak tahu apa maksud Oma."
"Desa kita tidak punya sekolah taman kanak-kanak... "
"Oma! Jadi rumah ini akan dipakai untuk sekolah taman kanak-kanak""
"Ya." "Oma!" "Ayahmu kan kebayan desa. Dia bisa merundingkan rencana itu dengan Pak Lurah. Itu makanya Oma bilang sama ibumu."
Pulung berhenti mendorong kursi roda itu. Ternyata masih banyak hal yang tidak diketahuinya. Rencana Oma itu, kenapa dia tidak tahu" Padahal dia selalu bersama Oma. Bahkan tidur pun di kamar Oma. Ada dua tempat tidur di kamar yang luas itu. Oma melarang Pulung tidur di kamar lain yang banyak jumlahnya di sana. Oma akan selalu terbangun bila subuh tiba. Lalu membunyikan bel seperti klenengan penjual es lilin untuk
membangunkan Pulung bila anak itu terlambat bangun. Oma menunggui Pulung bersholat subuh di kamar dekat kolam renang. Seperti Pulung yang selalu menunggui Oma bila wanita tua itu khusyuk di bawah salib besar dalam kamarnya. Setelah sholat subuh, Pulung akan mendorong roda itu di taman samping rumah Oma. Berjalan-jalan mengitari taman menghirup udara pagi.
"Oma... " "Ya..." "Aku ingin ke Medan, Oma." "Pergilah ke sana kalau liburan tiba. Bagaimana suratmu untuk Nansy" Sudah
dibalas"" "Dua suratku belum dibalas, Tante yang menyurati aku. Tante bercerita tentang kelucuan Nansy. Kata Tante, Nansy juga kangen pada Oma. Padaku... "
"Kalau kau ke sana, bawa surat Oma, ya" Tentu saja kau yang menulis, Oma yang mendiktekannya. Oma ingin Tante dan Oom hadir dalam peresmian sekolah nanti."
"Oom tidak mengirimkan uang untuk tiket pesawat. Oom lupa pada janjinya. Tante... ah, kelihatannya Tante juga tidak senang aku ke sana."
"Oma yang kasih uangnya, Lung! Nanti Oma kasih tahu bagaimana kau bisa sampai ke sana. Tahu alamat Oom Yan, kan""
"Belum tahu. Tapi sudah hafal."
"Di sini panas, Lung."
"Ya, Oma." Kursi roda bergerak pelan meninggalkan
tepi kolam. TAS kecil itu punya Oma. Bagus sekali. Dari kulit sapi berwarna hitam mengkilap. Isinya baju-baju setengah kumal punya Pulung. Tapi b
aju, celana dan sepatu yang dipakainya adalah pakaian yang paling baik. Hadiah dari Oma. Diantar Bu Renti, pembantu pribadi Oma yang bertugas mengurus keuangan, Pulung membelinya di kota. Ah! Inilah Pulung cucu Oma Angklik! Lihat! Betapa gagahnya dia! Sepatunya berhak tinggi. Warnanya hitam legam dan licin. Kaos kakinya coklat tua. Ada garis-garis dan kubus putih di mata kaki kaos nilon itu. Bajunya, apa warnanya itu"
Seperti coklat muda, tapi kelihatan kekuning-kuningan. Celananya tidak pendek lagi. Celana panjang seperti punya Oom Yan! Warnanya coklat tua. Licin sekali. Bahannya ringan pula. Kalau dipakai, seperti tidak mengenakan celana saja. Sentuhan kainnya di kulit kaki terasa dingin. Kalau tidak ada rasa dingin itu, Pulung menyangka dia tidak pakai celana.
Kaku juga dia berjalan. Celana panjang saja sudah mengganggu. Apalagi sepatu hak tinggi. Ah, begini gaya anak orang kaya!
"Coba ulangi lagi apa yang harus kau lakukan, Pulung!" suara Oma terdengar di serambi.
Pulung menghampiri Oma seraya menjinjing tasnya.
"Aku harus naik delman, ke stanplat kota."
"Itu yang pertama. Yang kedua""
"Menghubungi petugas stanplat untuk minta tolong dibelikan karcis bis yang terbaik. Minta tempat di bagian tengah bis yang paling aman. Tidak boleh mempercayai sembarangan orang kecuali petugas berseragam. Tidak boleh bercerita macam-macam pada teman seperjalanan. Harus bersikap seperti sudah biasa bepergian seorang diri. Berlagak jadi anak pemberani dan tidak kampungan... "
"Yang ketiga""
"Kalau bis berhenti di Sukamandi, turun makan dan ke belakang dengan membawa tas. Tidak boleh meninggalkan tas dalam bis."
"Keempat""
"Sampai di terminal Pulogadung, menjumpai polisi yang bertugas dan minta tolong dipanggilkan taksi ke rumah Oom Daan kemenakan Oma yang tinggal di Utan Kayu. Tidak lupa mencatat nomor taksi untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan."
"Kelima"" "Menyerahkan surat Oma pada Oom Daan. Harus bersikap sopan selama menginap di rumah Oom Daan. Harus ramah dengan putra-putri Oom Daan. Lalu... lalu... "
"Minta tolong Oom Daan untuk beli tiket pesawat dan menginterlokal Oom Yan untuk minta dijemput d Polonia," Oma menyambung. "Apalagi" Masih nomor lima."
"Kalau Oom Daan tidak sempat mengantar ke Kemayoran, harus berani pergi sendiri."
"Nomor enam""
"Kalau Oom Daan tidak sempat mengantar ke pelabuhan udara Kemayoran, aku harus datang minta petunjuk petugas pelabuhan udara paling lambat setengah jam sebelum keberangkatan pesawat pada jam dua belas siang. Kalau Oom sempat mengantar, tidak ada persoalan. Tinggal menurut saja seperti anak kerbau... "
"Hus! Yang ketujuh""
"Membaca doa sebelum pesawat tinggal landas"


Pulung Mencari Nansy Karya Bung Smas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bagus! Jangan meleset dari rencana terperinci itu, ya" Berangkatlah. Mohon restu pada ibu bapakmu. Selamat jalan, Nak..."
Pulung menyalami tangan Oma dengan membungkuk dalam-dalam. Lalu melangkah menuruni trap semen di serambi. Tegap dan gegap, meskipun tinggi sepatunya terasa sulit buat melangkah.
Sulit sekali. Apalagi dia harus lewat kebun untuk memotong jalan agar dia tidak kelihatan Ibu! Ya, terpaksa dia tidak pamit pada ibu dan ayahnya. Agar dia bisa ke Medan. Bila Ibu dan Bapak tahu, Medan tak akan pernah dijenguknya.
Angin pagi bertiup sejuk. Pulung berbisik lirih. Menyampaikan pernyataan maaf bagi ibu dan ayahnya. Terpaksa tidak pamit. Tapi dia mohon restu mereka. Lewat angin pagi.
MIMPI! Hanya mimpikah semua ini" Medan sangatlah jauh. Sedang Jakarta pun sangat
jauh, hampir sehari perjalanan dari desa Pulung. Medan, di mana kau" Tak kelihatan dari udara. Hanya warna hijau, biru, coklat, hitam, jauh di bawah sana. Daratan sangat jauh. Mimpi! Bagaimana bukan mimpi" Pesawat mengudara ke langit, Pulung berada di perut pesawat GA 186 meninggalkan daratan dan makin jauh bagaikan amblas ke bawah!
Tapi ini sungguh bukan mimpi. Ini nyata. Naik pesawat terbang ke Medan! Indahnya peristiwa besar ini. Lebih indah lagi karena di Polonia Nansy pasti telah menunggu. Nansy yang asli. Yang dua kali tidak membalas surat Pulung. Pagi tadi ketika Oom Daan menelepon Tante Yan, Pulung ikut berbicara. Suara Tante Yan lembut sekali.
Masih sangat dikenalnya, meskipun terdengar aneh lewat pesawat telepon.
Kata Tante Yan, Nansy menunggunya di Polonia, sejak pukul enam belas waktu Indonesia bagian barat!
Tuhanku, telah Kau berikan kebahagiaan bagi anak desa yang pernah diejek Oom Kopral! Inilah saatnya! Akan dibuktikannya pada Oom Kopral, bahwa anak desa itu lebih hebat dari si Man. Bukankah si Man belum pernah naik pesawat terbang sendirian ke Medan" Biar si Man sekarang sudah jadi polisi, Medan hanya dilihatnya di layar televisi!
Medan! Sekarang dia nampak, Medan itu. Medan sungguhan! Badan pun terasa masih melayang ketika pelabuhan. Udara Polonia dijejakinya. Nansy, ingatkah kau pada isi suratku" Jemput aku di Polonia Nansy, di mana
kau menantiku" Ah, Nansy! Kolam renangmu tak pernah lagi berkecipak airnya yang kebiru-biruan. Tak pernah lagi kuselami dasarnya. Di kolam itu tak ada seuntai kalung salib yang kaulemparkan dan harus kuambil dalam waktu semenit. Tak ada lagi. Aku pun tak pernah menyentuh airnya lagi. Nanti bila kau pulang, pasti kau akan kaget melihatku bisa berenang gaya dada sepertimu dulu. Pasti bisa kuambil bila kaulemparkan sepuluh untai kalung salib ke dasar kolam renangmu... Nansy! Di mana kau"
Seorang wanita muda bertubuh ramping menyembul-nyembulkan kepalanya di antara penjemput penumpang. Selembar bando ungu menutupi sebagian rambutnya yang sepundak. Berkaca mata muda. Celana panjangnya biru tua. Blusnya panjang berlengan sampai siku. Pulung melihatnya.
"Tanteeeeee!" Wanita itu menyongsongnya. Memeluk Pulung dan mengelus-elusnya. Pulung mendekap pinggang wanita itu. Kepalanya di pundak Tante Yan. Lalu dia menyentak. Dia melepaskan pelukan. Rasa malu
mengganggunya. Belum pernah dia memeluk wanita selain ibunya. Ah, tanteku yang manis! Karena bagiku kau bukan orang lain, maka aku memelukmu!
Tapi tanteku! Mengapa matamu basah" Mengapa pipimu bersimbah air mata" Kaca mata itu kau lepaskan dan kau masukkan ke tas kulit di pundakmu. Tanteku! Kenapa kau sambut aku dengan tangismu"
"Nansy mana, Tante""
Tante mendesah. Sibuk dia menyeka air matanya dengan sapu tangan merah jambu. Suara bising bergalau di sekitar mereka. Penuh celoteh ribut. Dengan bahasa bermacam-macam. Indonesia logat Medan, Tapanuli, Jawa totok, Mandarin, Inggris, dan entah bahasa apa itu yang penuh bunyi sengau. Pranciskah"
Prancis! Apa peduli Pulung" Sedang dia bingung tak ada Nansy di sisi Tante Yan. Nansy berambut coklat atau yang pirang indah. Nansy mata hitam atau yang kebiru-biruan. Nansy palsu atau Nansy-ku dulu. Tak ada. Begitu banyak gadis cilik yang manis. Yang pirang rambutnya. Tapi mereka bukan Nansy.
"Mana Nansy, Tante""
"Nansy... Nansy..."
Tante kelihatan sedih sekali. Ia bergegas berjalan ke mobil Toyota Hardtop yang menunggunya dengan seorang sopir lelaki setengah baya. Pulung pontang-panting mengikutinya dengan tas kecil yang berat di tangannya. Ah, Nansy pasti akan bikin kejutan. Dia bersembunyi di mobil itu. Pulung lari sekencangnya, meski tas itu terasa makin berat.
Dia membuka pintu mobil. Susah sekali, karena belum bisa. Sopir menolongnya. Bahkan mengambil tas itu. Pulung menjenguk ke dalam mobil.
"Nansy!" jeritnya.
Tapi tak ada. Nansy yang selalu muncul di bulan sepotong tak ada di mobil itu.
"Mana, Tante"" Tante diam. Hanya mengisak lirih.
"Mana Nansy, Pak Sopir"" Pak Sopir gugup. Dia menunduk dan menengadah. Lalu menunduk lagi, menengadah lagi. Mencari Nansy di bulankah" Malam nanti bulan sepotong baru muncul. Bulan di Polonia, adakah Nansy di sana"
"Lung... naiklah. Kita pulang... "
"Ya, Tante." Pulung naik di depan. Tante Yan juga di depan. Di tak mau duduk di tengah. Pulung saja. Ah, Tante! Dia tidak tahu, Pulung sudah besar sekarang. Tiga tahun yang lalu, boleh Tante dudukkan Pulung di tengah. Sekarang tidak lagi. Tapi Tante hanya mau di pinggir. Padahal bila Pulung duduk di pinggir situ, alangkah senang dia bisa melihat pemandangan sepanjang jalan di luar kota Medan.
Jauh sekali. Ke arah mana, entah Pulung tak tahu. Bingung dia di mana utara, di mana pula barat, Matahari yang rendah aneh sekali bila kelihatan berada di selatan. Ke arah m
atahari itu mobil melaju. Tapi tidak. Mobil itu membelok ke kiri. Lalu ke kanan. Ke kiri lagi. Ke kanan lagi. Ke mana, Tante"
"Kami sudah pindah dari rumah yang dulu," Tante lirih. "Sekarang lebih dekat. Oom Yan pindah tugas ke Kabupaten Deli Serdang. Ah, Pulung! Kata Oom Yan, kau makin cerdik, ya" Tapi nakal!"
Tante Yan berusaha kelihatan gembira. Bahkan mencoba tertawa. Pulung meliriknya. Tahu dia, dalam tertawa Tante Yan sebenarnya menangis. Ujung hidungnya pun merah. Ujung yang meruncing dan tinggi sekali di tengah
kedua pipinya. Pulung melihat lubang-lubangnya. Bundar lonjong telur bebek, karena hidung itu mancung sekali.
"Dari tadi Tante tidak bercerita tentang Nansy," kata Pulung. Tante Yan tak bisa lagi berpura-pura gembira. "Kata Oom dia hanya flu saja. Sekarang pasti sudah sembuh, ya Tante""
"Dia... ya, ya... sudah sembuh..."
"Tante! Berhenti dulu! Mau buang air!"
Bukan Tante yang pegang kemudi. Tapi permintaan itu membuat sopir mau mengerem kendaraannya. Mobil merayap di tepi jalan berliku. Di kanan-kirinya gundukan-gundukan tanah memerah dan menghijau. Pohon-pohon tegak. Daun-daunnya bergetar. Angin Medan menerpa sejuk. Padahal matahari masih di langit selatan. Matahari, kenapa kau di selatan sana"
Tapi Pulung tidak buang air. Dia naik ke atas gundukan tanah. Berdiri di sana tanpa tas hitam itu.
"Pulung!" "Tante!"
"Kenapa naik ke situ""
"Katakan Tante! Nansy di mana""
"Oh, Tuhan...," Tante Yan menunduk dan bergumam, "Anak itu... tidak bisa diakali... "
"Tante! Aku akan tetap di sini kalau Tante tidak mau bilang Nansy di mana!" Pulung berteriak dari gundukan tanah.
"Jangan! Nanti... di situ... di situ.. , ada harimau, Lung! Turunlah! Nanti kau diterkam... "
"Aku tidak takut!"
"Turunlah, Pulung... "
"Biar ada seribu harimau aku tidak mau turun!"
Tante Yan kebingungan. "Biar saya naik, Nyonya," sopir menawarkan jasa.
"Tidak! Jangan! Dia tidak selemah yang kau sangka. Dia berbahaya!"
"Saya kuat. Saya bisa meringkus Tuan Muda."
Tuan Muda! Kalau tidak sedang memeras Tante untuk menanyakan Nansy, Pulung marah dipanggil Tuan Muda.
"Biar. Biar dia turun sendiri. Aku khawatir
dia loncat dari sana..."
Mobil-mobil lewat di jalan itu. Bila penumpangnya melihat Pulung di atas gundukan tanah, mereka melongok. Tapi tak acuh lagi. Mobil ke kanan dan ke kiri. Banyak sekali. Tante Yan menangis lagi. Pulung iba sekali. Tapi dia tak mau turun juga. Meski takut bila benar harimau ada di sana, tak mau dia berhenti memeras jawaban Tante Yan.
"Baiklah... baiklah... tapi turun dulu... nanti kau jatuh."
"Tidak!" "Pulung... kasihani tantemu..."
"Tante tidak kasihan padaku!"
"Ah... jangan bilang begitu. Tante kasihan padamu. Tante sayang padamu. Oom juga sayang seperti Oma...Turunlah, Nak... "
"Bilang dulu Nansy di mana!"
"Tapi... jangan berdiri. Duduklah. Duduk kalau kau tidak mau turun. Jangan berdiri. Nanti kau jatuh kalau kau mendengar apa yang sebenarnya terjadi... "
"Apa, Tante"" Pulung terkejut. Ia duduk. Jatuh terduduk! Apa yang sebenarnya terjadi, kata Tante" "Apa yang sebenarnya telah
terjadi"" "Dulu Tante tak sanggup ikut ke Jawa karena Tante takut kau tahu sandiwara itu... "
"Sandiwara, Tante" Aku tahu, yang ke kampung bukan Nansy!"
"Ya... kau, tahu... Tante pun tahu kau pasti tahu dia bukan Nansy... Itu sebabnya Tante tidak berani ikut ke sana... "
"Nansy hanya flu kata Oom Yan. Tapi aku
tidak percaya." "Nansy... Nansy... kau tahu dia sering berjalan-jalan dalam tidurnya... "
"Lalu bagaimana, Tante""
"Di belakang rumah kami dulu ada jurang yang dalam. Dia... dia ke sana ketika dia berjalan-jalan dalam tidurnya... "
"Oh Tuhan!" Pulung menjerit
Tubuhnya goyah. Dia mendekap dadanya ketika jantungnya terasa berdenyut keras sekali. Tubuh yang goyang itu menggelundung deras ke bawah gundukan tanah. Tante Yan menjerit.
"Tuan Muda!" sopir berteriak seraya melompat. Sopir setengah baya memang kuat. Dia menangkap tubuh menggelundung di lereng gundukan tanah. Pulung menggeliat di tangan sopir setengah baya.
"Tuan Muda...Tuan Muda... Tuan tidak apa-apa"" sopir gugup.
Pulung duduk di lereng gundukan tanah. Tak peduli pakaian bagus dan ce
lana panjangnya kotor. Tak peduli sepatu hitamnya lecet oleh pinggiran sebongkah batu yang tajam di lereng gundukan tanah. Dia menangis. Dadanya berguncang-guncang. Untuk Nansy. Tangis untuk sahabat terbaik yang hilang! Hanya wajahnya di bulan sepotong. Nansy yang pernah muncul dalam mimpi Pulung itu telah tiada. Tewas dalam kecelakaan di malam buta. Dia terlelap dalam tidurnya meskipun kakinya berjalan. Terlelap, tak pernah bangun lagi setelah tubuhnya tergolek di dasar jurang yang dalam.
Tante Yan sedih. Oom Yan sedih. Siapa pun sedih. Oom Yan minta pindah dinas. Agar dia dan Tante bisa melupakan peristiwa itu. Tapi siapa yang mampu, melupakan Nansy tersayang" Sedang mereka dulu hanya punya Nansy. Hanya ada Nansy. Tak akan ada lagi yang lain. Nansy berambut semiran yang matanya hitam itu pun tidak mampu berpura-pura menjadi Nansy di depan Pulung. Tak mampu. Padahal dia pemain drama berbakat. Dia aktris cilik terbaik dalam festival teater anak-anak. Tante mengenalnya, karena dia anak kenalan Oom Yan. Rambutnya hitam. Dan dia tak mau pakai kalung salib. Ah, Nansy-ku! Kau telah menjadi bunga putih di sorga. Malaikat, temanmu. Nansy-ku! Seperti apa Oma bila tahu Nansy direnggut jurang menganga" Oma pasti tak akan kuat. Maka Tante dan Oom sepakat untuk menipu Oma. Agar Oma tak sedih pada saat-saat terakhir hidupnya. Oom Yan, duh Oom Yan! Kalau aku tahu, tak akan aku menyiksa perasaanmu. Tak akan aku tega memerasmu!
"Tante...," lirih ucapan Pulung, setelah dia ingat ajaran Wak Solikun. Tak baik menangisi yang telah tiada. Bahkan Tuhan melarangnya. Harus rela. Semua akan pergi ke sana, ke tempat asal kita datang. Menangisinya, adalah sia-sia. Juga bodoh, seperti tak mau menerima takdir Yang Mahakuasa. Padahal Dia berwenang segalanya. Dia bisa melahirkan manusia. Bisa meniadakannya. Hanya Dia. Kehendak-Nya harus kita terima. Sedih dan tidak, kehendak-Nya tak bisa dicegah manusia.
Terjadilah apa yang dijadikan-Nya.
"Nak... " Pulung menuruni lereng gundukan tanah. Tak malu dia memeluk Tante Yan. Tak malu dia dielus rambutnya lagi. Bahkan dicium ubun-ubunnya. Dicium rambutnya yang lurus kaku seperti rambut boneka di etalase toko dulu. Tak malu. Sebab duka Tante dan duka Pulung sama saja. Kehilangan Nansy, bagi mereka sama saja. Sangat memilukan, tapi harus rela. Sebab mereka sama-sama orang beragama. Sama-sama tahu, kehendak Tuhan pasti yang paling baik bagi ummat-Nya.
"Tante... ajak aku ke makam Nansy..."
"Ya... besok kita ke sana sama Oom... "
"Aku ingin sekarang, Tante."
"Sudah sore, Nak."
"Kalau Tante tak mau, aku akan ke sana sendiri. Di mana, Tante""
"Oh kau... Kau selalu memeras Tante... "
"Kalau sejak dulu aku tahu nasib Nansy, aku tidak akan menyusahkan Tante dan Oom. Kusesalkan kenapa Oom tidak berterus terang
saja." "Oom khawatir kau akan bicara dengan Oma. Kau akrab sekali dengan Oma, kan""
"Kalau Oom berpesan aku harus diam, aku diam, Tante."
"Kalau ibumu tanya, kau pasti tidak bisa diam."
Pulung melepaskan pelukan Tante Yan. Benar, Ibu bertanya tentang Nansy, pasti Pulung tidak diam. Ia akan menceritakan apa yang diketahuinya tentang Nansy. Mungkin
Polan akan mendengar. Polan sering menjengkelkan. Belum tahu harus disimpan dan apa yang boleh diucapkan mungkin akan bercerita pada Gogor atau Tumbing. Lalu cerita itu akan menyebar ke mana-mana. Oma bisa mendengarnya. Di desa kecil, cerita kecil pun bisa merata ke seluruh penjuru mata angin.
Makam Nansy dekat saja. Tak sejauh Medan dari kampung Pulung. Senja tiba. Matahari sangat rendahnya. Bau kamboja menebar. Kicau burung riuh di dahan kemuning. Salib putih itu besar sekali. Terbuat dari batu marmar mengkilap. Bertatahkan ukiran nama Nansy Evangeline. Yang pergi dalam kasih Tuhan.
"Nansy...," Pulung berbisik. "Aku akan selalu berdoa untukmu. Tenanglah tidurmu di sisi Tuhan. Kita selalu bersahabat. Bagiku kau tidak mati. Kau masih akan kulihat di wajah bulan. Kau akan datang dalam mimpiku. Dalam khayalanku kalau aku berada di tepi kolam renangmu... "
Pulung tak berkata-kata lagi. Ingat ajaran Wak Solikun. Berbicara dengan nisan dilarang agamanya. Nisan adalah benda mat
i. Kuburan hanya tempat raga dibaringkan. Tak boleh diagungkan. Tak boleh diajak bicara. Nansy tidak di sana. Ia telah berada di dunianya yang jauh. Sangat jauh. Tidak bisa dijamah. Nanti kita akan sampai ke sana. Bila saatnya tiba. Siapa pun tak akan mampu mengelak. Tidak juga Tante Yan. Tidak juga Pulung.
Senja makin turun. Sedih pun makin terasa mengganjal hati. Namun telah lega
Pulung melihat nisan Nansy. Agar dia tak mengharap lagi bertemu dengan sahabatnya.
Senja makin turun lagi. Mulai gelap alam Deli Serdang ketika Pulung melangkah di halaman penuh bunga. Itu rumah Oom Yan. Berdiri megah mirip gedong lawang satus. Bila Nansy masih ada, dia akan duduk di teras menanti sahabatnya.
"Pulung!" Yang diteras itu Oom Yan. Dia berlari menyongsong Pulung dan memeluk leher anak itu. Baru sekali ini Pulung merasakan pelukan Oom Yan. Hangat sekali. Ketat sekali. Dadanya berdetak kuat sekali. Oom Yan-ku!
"Maafkan Pulung, Oom Yan... "
"Ya... ya... sudah. Sudah, tidak usah sedih. Semuanya sudah lewat. Mari. Mari, Nak. Kita lupakan yang serba pahit. Pulung... masuklah. Jangan sedih lagi. Biar sahabatmu tenang di dunianya... "
"Ya, Oom...," Pulung menelan ludah yang terasa pahit.
"Aku ikhlas melepaskannya. Kalau aku tahu sejak dulu, sudah lama aku merelakannya... "
Oom Yan menarik nafas panjang sekali. Dia berusaha gembira menerima kunjungan Pulung. Tante juga. Dia terus tersenyum. Sibuk menata pakaian Pulung di lemari kecil milik Nansy. Ditunjukkannya kamar untuk Pulung, tempat untuk sholat dan mengambil air wudhunya, dan Tante bertanya apa Pulung lupa membawa peci hitam. Pulung tak pernah lupa. Ke mana pun dia pergi peci itu dibawanya.
Gembira! Hanya senyuman dan gurauan yang ada. Tapi sebenarnya, masing-masing menangis dalam hati. Bila Nansy di tengah mereka, seperti apa kegembiraan itu"
Malam di luar kota Medan tiba sudah. Makan bersama di meja bundar telur dengan sop ayam alangkah lahapnya. Tante tak putus-putusnya bertanya tentang Oma, Ibu, Bapak, dan desa itu. Tentang si Man. Tante tertawa ketika Pulung menceritakan bagaimana ia kesal pada si Man yang tidak menanggapi laporannya. Si Man menyepelekan Pulung. Padahal Tante dan Oom Yan tidak pernah meremehkannya. Tante dan Oom Yan cukup memperhitungkan kecerdikan Pulung. Meskipun mereka tak menduga Pulung akan secerdik itu. Seteliti itu. Polisi ulung, dia bukan polisi bloon seperti kata Tugi. Bapak pun pasti akan marah jika Tugi mengganti nama Pulung menjadi Polon.
Di teras rumah bulan sepotong nampak rendah sekali. Pulung enggan duduk di sana. Tapi Oom dan Tante mengajaknya di teras. Di atas kursi rotan putih bersandaran tinggi. Minum kopi susu. Tak ada sirop mocca di rumah Tante Yan. Hanya sirop markisa yang belum akrab dengan lidah Pulung.
"Kami merasa kesepian di sini Lung," suara Tante memecah sepi. Mengalahkan desau angin yang lewat di rumpun bunga. "Kalau kau mau tinggal bersama kami... "
"Kenapa aku harus di sini, Tante" Kenapa tidak Tante saja yang tinggal di kampung" Rumah Oma akan lebih indah kalau bungabunganya terawat seperti ini. Di sini pun Tante tinggal di kampung."
"Ah... di sana... tanpa Nansy Tante akan lebih kesepian lagi. Oma pun akan tahu apa sebenarnya yang terjadi... "
"Di sana Tante tidak akan kesepian. Oma akan membuka taman kanak-kanak di rumah"
"Tante sudah membaca suratnya. Oma juga ingin Oom Yan mengurus ladang tembakaunya saja. Tapi Oom Yan masih harus berdinas di sini."
"Daripada ngurus perkebunan orang, enakan ngurus kebun sendiri, Tante."
"Kau ini, Lung. Seperti tahu semua soal
saja." Pulung malu. Tante Yan tersenyum. Kelihatannya itu sepele. Cuma omongan seorang anak kecil saja. Tetapi Tante sangat memikirkannya. Juga Oom Yan. Pulang kampung mengurus ladang tembakau milik sendiri, ah! Dan di rumah besar itu mereka tak akan kesepian. Ada sekolah taman kanak-kanak yang ramai. Rindu pada Nansy pun bisa pupus oleh riuhnya suara anak-anak desa.
Sedang di Medan ini, apa yang dicari" Uang mereka tak perlu lagi. Hidup pun sangat sepi setelah Nansy pergi.
TAMASYA di sekitar Medan, senangkah dia" Tante mengajaknya ke Danau Toba. Ke Prapat. Tapi Toba da
n Prapat tak menarik minat, bila dia ingin lekas pulang. Ibu pasti
mencari ke mana-mana. Ibu pasti bingung setelah tak diketahuinya Pulung pergi ke mana.
Gadis cilik rambut hitam dengan mata hitam itu menemaninya di teras rumah. Dia muncul dan tersenyum.
"Senang awak jumpai kau di sini!" serunya riang seraya menjabat tangan Pulung.
Tapi Pulung dingin-dingin saja. Alangkah senang punya teman di Medan. Tapi sayang, teman itu pernah mengaku bernama Nansy. Wajah dan suaranya memang mirip sekali. Lincahnya pun mirip sekali. Tapi mata hitam, pastilah bukan mata Nansy. Rambut hitam bisa disemir. Tapi pirang Nansy tak seburuk rambut coklat semiran. Deliana namanya. Aktris terbaik dalam festival teatar anak-anak. Tapi dia tak mampu bergaya bagai Nansy di depan Pulung.
"Eh, kau diam saja!" seru Deliana kecewa melihat Pulung bersikap dingin.
"Aku masih benci pada kau!" ucap Pulung, tak sengaja ikut berlogat seperti Deliana.
"Ha... ha... kaubenci, ya" Aku juga benci
kau!" "Terserah!" "Eh, tak kautanya kenapa aku benci kau"" "Aku tahu! Penyamaranmu gagal, maka kau benci aku."
"Bukan!" "Bukan juga tidak apa-apa" "Kausuruh aku bikin minuman kau, itu yang aku, benci!"
"Syukur!" "He! Orang Jawa tidak ramah!" "Orang Medan suka nipu!"
"Tapi aku kan tolong Tante dan Oom!"
"Orang menolong tidak usah menipu!"
"Ah! Kau tidak tahu diri benar! Kalau tak kutipu mana bisa sampai ke sini kau!"
Pulung mendengus. Masih kesal ditipu Deliana. Padahal Deliana itu ramah sekali. Tidak penggugup lagi. Dia tidak perlu berakting. Dia muncul sebagaimana aslinya.
Tapi Pulung tetap tidak bisa menyukainya. Dia hanya ingin pulang saja. Meninggalkan Ibu begini jauhnya, rasanya begitu kangen. Pada Polan juga, yang sekarang punya penyakit mengerjap-ngerjapkan mata. Tak soal apa Polan masih membenci komandan yang berkhianat. Rindunya Pulung, adalah rindu seorang kakak bagi adik tersayangnya. Tersayang, karena Pulung hanya punya dia. Lebih lagi setelah Nansy tiada.
9 BU GURU CANTIK SEKALI TELAH datang anak yang hilang! Menjinjing tas kulit hitam dan sekeranjang oleh-oleh di tangannya!
Pulung berdiri menunggu delman. Lima botol sirop markisa akan diberikannya pada Kakek Sakeh, Wak Solikun, dan Mak Mansyur. Tentu saja, yang dua botol itu untuk Ibu. Gagah dia. Mengenakan celana dan baju setelan safari pemberian Tante Yan. Mengenakan kaca mata coklat, ah! Itu kaca mata perempuan. Sebab dulu milik Nansy. Bentuknya persegi lebar. Tak soal. Kata Tante, Pulung cocok sekali pakai kaca mata itu. Masa Tante tega menipunya" Jika Pulung ditertawakan orang, pasti Tante tak suka juga. Ketika memilih bahan untuk setelan safari, Tante juga memilih warna abu-abu. Kata Tante, Pulung cocok sekali warna itu. Seperti Pak Lurah saja. Setelan Safari abu-abu! Aha! Padahal Pulung ingin yang merah menyala. Bisa dibayangkannya kini, bila dan celananya merah seperti maunya. Tentu lucu. Ah, Tante Yan baik sekali. Hanya yang terbaik diberikannya untuk Pulung. Kata Tante, kini Pulung tak lagi dianggapnya orang lain. Pulung pengganti Nansy baginya, meskipun Pulung bukan gadis yang manis berambut pirang. Sedang Pulung tak bisa diminta untuk Tante. Sebab orang tuanya tak mungkin melepaskannya
"Pulung! Pulung! Ya Allah, Pulung!"
teriakan itu riuh sekali.
Pulung melihat seorang lelaki sebaya ayahnya duduk di tempat kusir dalam delman. Lelaki itu memang kusir delman. Namanya entah siapa. Orang memanggil dia Pak Tugi. Lazim sekali di desa itu orang memanggil nama anak sulung bagi ayahnya. Dan anak Pak Kusir adalah Tugi.
Pulung menyeberang jalan dengan payah karena beban di kedua tangannya. Pak Tugi membantunya.
"Masya Allah, Lung! Semua orang jadi sibuk karena kau!"
"Sibuk" Kenapa sibuk, Wak""
"Kau minggat!" "Ah, tidak. Aku tidak minggat!"
"Pergi tidak pamitan sama ibumu, apa tidak minggat namanya""
Pulung kangen Ibu. Mendengar ucapan Pak Tugi, kangen itu makin menggebu.
"Ibumu nangis saja setelah dikasih tahu Oma Angklik kau pergi naik motor mabur!"
Pulung tak bisa tertawa. Rasa bersalah memenuhi dadanya.
"Bukan main, kau! He! Lagakmu itu, lho! Pakek kaca mata segala! Ha! Bapakmu saja tidak punya kaca m
ata begitu, Lung! Seperti Pak Camat kau ini! Ayo naik! Naik! Lekas pulang! Biar semua orang girang!"
Pulung naik lewat pintu belakang delman. Kuda rneringkik. Melompat ke depan dan berlari kencang.
"Tidak cari penumpang dulu, Pak""
"Tidak! Kebut saja, biar cepat sampai. Uh, minta ampun! Bikin repot semua orang kau ini! Wak Solikun setiap malam memimpin pembacaan doa di langgar! Bapakmu setiap hari baca koran, dengar berita radio dan televisi!"
"Kok begitu, Pak""
"Pikirmu apa" Motor mabur itu bisa jatuh dan kamu jadi abu!"
Aduh! Begitu hebatnya akibat kepergiannya ke Medan. Semua orang dibuatnya sibuk. Ibu menangis, kata Pak Tugi. Bapak baca koran, dengar berita radio dan televisi. Wak Solikun dan para santrinya memanjatkan doa setiap malam. Wah! Wah! Seperti orang penting saja Pulung ini. Semua dibuat tegang kalau-kalau ada berita kecelakaan pesawat!
Ngebut! Delman itu seperti sabut kelapa dipermainkan ombak. Terguncang-guncang dan perut pun mual sekali. Tapi memang lekas sampai. Pak Tugi menolak uang pembayaran jasanya.
"Lekas temui ibumu!" dia malah menghardik dan mengusir Pulung sambil mengibaskan tangannya. "Cepat! Kerjamu bikin orang tua repot saja! Huh! Anak apa begitu""
Pulung berlari. Sore cerah. Wajah Ibu pun cerah. Dia berlari juga menjemput anaknya. Memeluk anaknya. Mendekap kepala anaknya yang rambutnya sekaku ijuk. Yang daun telinganya lebar. Yang mata kirinya sipit karena bekas luka disayat ranting turi. Anak yang telah mampu menghindarkan diri dari serangan beruntun ayahnya!
"Anakku...," tersendat suara Ibu. "Kalau
kau tidak pulang hari ini, Ibu akan menyusulmu ke sana."
"Ibu!" Pulung mengetatkan pelukannya di pinggang Ibu. Dibenamkannya wajahnya di dada Ibu. Air matanya deras mengalir.
"Ampuni dosa Pulung, Bu... Ampuni kenakalan Pulung... "
Pak Tugi menjalankan delmannya pelan-pelan. Dia iri pada Pak Bayan. Tak banyak anak seperti Pulung di desa itu. Bahkan di mana-mana. Sedang anak Pak Tugi pun tak sebaik Pulung. Dia nakal. Tapi dia tidak jahat. Dia juga cerdik. Berbakat jadi pemimpin. Ah, bila Pak Tugi punya anak seperti itu...
"Hurrr! Hurrr! Cek, cek, cek!" mulut Pak Tugi mendecap-decap dengan hentakan kendali di punggung kudanya. Letih kuda itu. Dibawa ngebut kencang sekali di jalan berbatu.
"Bapak!" Pulung memeluk Bapak yang muncul dari dalam rumah. Pinggang Bapak keras sekali. Pinggang pendekar sejati. Pendekar yang tidak suka berkelahi, tapi pandai menghindarkan diri dari perkelahian. Cinta damai dan lembut hati. Sayang pada sesamanya. Jujur tanpa noda. Bila dia menghukum keras anaknya, itu dilakukan karena kasihnya. Bukan karena dia biadab seperti kata Kakek Sakeh ketika dia kalap.
Polan mengerjapkan matanya di belakang Bapak. Wajahnya tidak ramah. Masih benci dia pada komandan yang berkhianat. Lihat matanya yang mengerjap! Tak mau dia menyalami tangan kakaknya.
"Buka bajumu!" kata Bapak. Safari abu-abu
itu dibuka. Bahkan juga celana panjangnya. Sepatu bertumit tingginya. Hanya bertelanjang dada dengan celana pendek bertali karet di pinggangnya. Celana kolor hitam.
Bapak mengambil tali rafia. Pulung melangkah rela ke dekat sumur. Dipeluknya pohon pisang batu itu. Lalu Bapak mengikat pergelangan tangan Pulung. Kencang sekali. Sampai sakit terasa menggigit tangannya.
Tapi dia rela. Anak nakal yang lari ke Medan tanpa pamitan, pantas dihukum begitu. Haus sekali. Boleh saja Ibu mengguyurkan seember air dari sumur. Ibu, ibuku! Dia meneteskan air mata diam-diam. Tidak mengisak. Hanya air mata yang titik berderai.
Polan senang. Dia tertawa-tawa gembira. Matanya, makin sering mengerjap. Tapi rasakan kau hei, Polan! Dengar Bapak membentakmu, "Pergi cari anak-anak!"
Dulu Polan pergi. Tapi tak mau dia mencari anak-anak. Namun untuk mengejek komandan yang berkhianat, tanpa disuruh pun dia mau. Pertama kali ke rumah Tugi. Lalu mencari Tumbing dan Gono. Juga yang lain. Semua saja. Kawan mengaji Pulung pun diundangnya. Untuk menonton pengkhianat dihukum. Anak nakal yang terbang ke langit tanpa restu orang tuanya!
Berita bagus. Orang penting datang dari Medan cukup menarik perhatian. Begitu dengar pejabat berkaca
mata coklat dengan setelan safari abu-abu tiba, rakyat segera berkumpul. Pemimpin rakyat yang senang itu Tugi. Wakilnya Tumbing. Se-esnya Gono. Dan yang
lain-lain lagi. Bahkan juga Dukri yang tangannya bau amis. Dia baru saja mencari udang kali. Tak pandai dia memainkan jala kecil. Tak banyak ikan didapatnya bakal makan malam.
Mereka mengerumuni terhukum yang memeluk batang pisang. Di balik pagar pekarangan sana Kakek Sakeh berdiri melihat. Di sisinya ada Gogor, bekas si Cemeng yang tidak cengeng lagi. Kakek Sakeh tidak kalap lagi seperti dulu. Tertawa dia. Terkekeh sampai terbatuk-batuk tak menentu. Bertepuk tangan dia. Anak-anak pun ikut bertepuk. Menyoraki
jagoan yang kalah lawan Pak Bayan. Riuh seperti lndian menang perang.
"Hei, rakyat! Perhatian! Perhatian!" seru Polan sambil mengacungkan kedua tangannya tinggi-tinggi. Matanya masih mengerjap-ngerjap. Diam-diam Tumbing menyesal. Gaya Polan sekarang seperti dia. Mengangkat tangan dan minta perhatian rakyat. Wah. Harusnya Tumbing yang begitu.
Rakyat yang bersorak diam.
"Oke!" si Pol meletuskan okenya lagi. "Mari kita menyanyi bersama-sama!"
"Ayoooo!" "Nyanyiiiii!" "Lagunya apa""
Rakyat riuh lagi menyambut ajakan si Pol, patih tukang membantah yang pernah jadi anak buah The Saint.
"Si Pulung anak nakal! Ayo ambil suara. Si
Pul... " Rakyat berseru, "Si Pul... "
Tidak bersamaan. Hingga bunyinya lucu,
"Si Pul. Pul-si-pul Pul-si-pul... "
Meski masih menyeka air mata, Ibu tersenyum juga. Sekarang dia tega melihat The Saint dipermainkam anak-anak se-esnya. Ibu melihat saja. Duduk di bibir Sumur. Sedang Bapak pergi entah ke mana. Dia yang tidak tega sebenarnya. Kalau Bapak jumpa Wak Solikun, akan dikatakannya bahwa Pulung bisa hebat digembleng guru mengaji itu. Pulung kelak bisa jadi kebayan desa. Bisa jadi camat, bupati, presiden, polisi, dokter, tentara, pendekar sejati, petani, pemimpin... Apa saja bisa, bila Pulung
terus menimba air sumur yang tak pernah habis.
Nyanyian rakyat bergema. "Si Pulung anak nakal. Suka mencuri jambu. Ayo teman dihajar. Jangan diberi ampun...,"
"Horeeee!" "Hidup Polan!"
"Hidup polisi jempolan!"
"Haya!" Polan melonjak sambil mengacungkan kedua tinjunya. "Betul itu! Aku Polan! Polisi jempolan! Ha... ha.. ha.. "
"Hei, polisi jempolan! Apa yang sudah kamu tangkap""
"Nyamuk!" "Hidup nyamuk!"
"Hei, polisi jempolan! Siapa pencuri telur
bebek"" "Komandan!" "Hidup komandan!"
"Jangan! Jangan dihidup-hidupkan! Nanti kesenangan dia!"
"Ha... ha... ha... "
Dari batang pisang terdengar nyanyian bergema. Disuarakan oleh The Saint yang baru pulang dari Medan, "Si Polan anak kampung. Tak pernah lihat Medan. Kerjanya suka ngintip. Matanya sering ngedip."
Rakyat bersorak riuh. Ha... ha... ha... hidup! Hidup!
Kakek Sakeh melonjak-lonjak dan berseru gembira, "Hidup Pulung! Hidup cucu Kakek!"
Rakyat berteriak gembira. Hidup! Hidup!
Hidup! Ibu meninggalkan bibir sumur. Hidup! Hidup! Hidup!
KENTONGAN bertalu dari selatan, begitu gencarnya! Bapak melompat dan keluar kamar dengan sigap. Ia menyambar baju dan mengenakannya sambil berlari. Pulung terbangun. Diguncangnya bahu adiknya.
"Pol! Pol! Dengar kentongan titir itu!" Polan mengucak matanya. Kentongan titir, bunyi kentongan yang bertalu-talu sebagai tanda bahaya.
Kalau bukan kebakaran, pasti karena ada pencuri atau perampok. Sudah lama desa tidak pernah diganggu penjahat. Kentongan titir itu untuk apa"
"Apa itu""
"Titir dari arah selatan! Seperti di rumah
Tugi!" "Kita ke sana, yuk! Jam berapa sekarang""
Ibu membuka pintu. "Jangan keluar!" bisiknya. "Tidur saja!"
Pulung berpandangan dengan adiknya. Mata adiknya mengerjap. Disengaja kelihatannya. Memberi isyarat agar Pulung pergi saja.
"Tidak ada teriakan kebakaran," bisik Polan. "Siapa tahu Tugi atau Mak Mansyur... "
"Pulung," suara Ibu lirih. "Kapan kau akan menurut Ibu, Nak""
Pulung mendesah. Ia bersandar di dinding. Adiknya mengikuti gerakannya. Ibu membalik dan kembali ke kamarnya.
"Aku tidak sampai hati mengesalkan Ibu"
"Nanti kalau Ibu sudah tidur lagi, kau ke sana, Mas!"
Pulung menggeleng. Lama menunggu. Gelisah ingin tahu. Terdengar suara-suara orang lari berg
egas. Suara-suara berbisik. Suara batuk Kakek Sakeh. Menjauh ke selatan. Lama sekali. Lalu tiba-tiba Bapak kembali. Ia berdiri di pintu kamar anaknya.
Pulung melompat bangun. Merasa seperti ada sesuatu mengapa Bapak pulang dan berdiri di kamar.
"Sini, Lung... "
Polan iri. Dia tidak dipanggil Bapak. Suara Bapak lembut sekali. Ibu pun heran melihat Bapak selembut itu. Bahkan Bapak merangkul pundak Pulung. Mereka berjalan bersisian.
"Ada apa, Pak"" tanya Ibu.
Bapak mendesah. Diajaknya Pulung ke halaman. Bulan tinggal sepotong di langit barat. Sepotong kecil, seperti sabut kelapa. Pada purnama penuh yang lalu, Pulung menginap di rumah Oma bersama teman-teman. Bahkan Gruno yang tengah main ke rumah Mak Mansyur ikut tidur di sana. Mereka menyanyi senang dan gembira. Oma terkekeh dan bertepuk tangan di atas kursi rodanya. Purnama penuh itu sudah lewat dua belas hari yang lalu.
"Lung...," suara Bapak lirih sekali. Tangannya masih merangkul pundak anaknya. "Hidup manusia telah ditentukan oleh Yang Mahapunya... "
Jantung Pulung berdetak kuat sekali. Ia
mendekap dadanya. Ia tahu apa maksud Bapak.


Pulung Mencari Nansy Karya Bung Smas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Omaaaaa...," jerit Pulung seraya berlari meninggalkan Bapak. Ibu menyusul dan berdiri di sisi Bapak.
"Kita ke rumah Oma sekarang, Bu. Ajak juga Polan," bisik Bapak.
Ibu menunduk dan mendesah.
Pulung telah jauh. Melewati orang-orang yang bergegas ke selatan. Kentongan itu memang dipukul di rumah Tugi. Kentongan bambu yang berbunyi nyaring sekali. Pak Tugi yang memukulnya. Orang berkumpul di sana. Pak Tugi berseru menunjuk ke rumah Oma. Makin lama orang makin banyak. Pulung ada di antara orang banyak itu. Ia menyelinap di serambi. Orang-orang menyisih memberinya jalan. Tugi di sana. Tumbing mondar-mandir tak menentu.
Di ranjang dari kuningan penuh bentuk ukiran itu Oma terbujur. Kakinya lurus saja. Tubuhnya lurus saja. Dingin sekali. Pulung memeluknya. Mendekapnya dan menangis.
"Omaaaaaaaa... "
Ada tangan yang menjamah pundak Pulung. Bahkan mencengkeram kuat sekali. Lalu menyentakkan Pulung dari tubuh Oma. Pulung serentak berdiri dan hampir terjengkang. Hanya ada seorang saja yang bisa menyentakkannya begitu mudah. Seorang saja. Yang seorang itu berdiri di sisi ranjang Oma dengan mata menatap Pulung tajam-tajam. Pulung menyeka air matanya. Dadanya tersendat-sendat.
"Kenapa menangis begitu"" sentak orang itu. Kalau bukan Wak Solikun, tak bisa dia dengan mudah menyentakkan Pulung dari pelukannya di tubuh Oma.
"Aku... hu... hu... aku sedih, Wak..."
"Semua orang sedih. Tapi tidak semuanya menangis berteriak-teriak seperti kau!"
"Hu... hu... hu...I'
"Diam! Tidak boleh menangisi orang meninggal sampai begitu! Dengan tangis dan teriakan-teriakanmu itu, apa Oma bisa hidup
lagi"" Pulung mengerti. Kalau dia meneteskan air mata saja karena sedihnya, pasti Wak Solikun tak melarangnya. Tapi dia telah memeluki Oma. Menciumi Oma. Dan air matanya membasahi wajah Oma.
Ada tangan wanita yang membimbingnya. Wanita itu juga mengisak. Tanpa menoleh ke atas, Pulung tahu, wanita itu pasti Bu Renti, sekretaris Oma.
"Aku menyesal, Lung. Semalam Oma ingin kau ke sini... "
"Kenapa aku tidak dipanggil" Kenapa... "
"Kukira dia hanya kangen saja. Aku tak menyangka... "
Pulung berjalan lunglai ke serambi. Ada seperangkat kursi kayu di sana. Ia duduk di salah satunya. Orang masih sibuk ke sana kemari. Semakin banyak. Pak Lurah memimpin orang-orang itu. Pak Carik membantu Pak Tugi merakit kuda di delmannya. Pak Lurah menghampiri Pak Carik.
"Buat apa itu"" tanyanya.
"Mengabari Dik Yan."
"Pakai sepeda motorku saja. Interlokal, Pak Carik. Biar cepat"
"Ya, Pak." Pak Tugi melepas kembali kuda di delmannya.
Suara sepeda motor meraung-raung. Pak Carik akan ke kantor telepon di kota. Menginterlokal Oom Yan di sana. Masih dini hari. Mungkin sore hari nanti Oom Yan bisa tiba.
Di serambi. Pulung menyusut air matanya. Seseorang mendekatinya. Berkain sarung tanpa peci hitam. Dia mengeluarkan tangan. Mengajak bersalaman.
Pulung mengangkat wajahnya. Lampu petromak yang telah dinyalakan entah oleh siapa, menerangi wajah orang itu.
"Pak Damsik... selamat pagi, Pak..."
"Bapak turut berduka
cita, Lung...," Pak Damsik membisik sambil menjabat tangan Pulung.
Pulung gugup. Dia berdiri dari kursinya.
"Terima kasih... terima kasih... "
Orang-orang menjabat pula tangan Pulung. Mengucapkan bela sungkawa mereka. Pulung kikuk sekali! Belum pernah ia menerima ucapan resmi seperti itu! Sedang ketika neneknya meninggal pun tak ada yang menjabat tangannya. Ketika itu dia masih kecil. Kini ucapan bela sungkawa resmi diberikan untuknya. Seolah dia keluarga Oma. Seolah dia memang cucu Oma dan di rumah itu hanya ada dia keluarga almarhum. Bahkan Bapak menyalami tangan Pulung pula.
"Kau harus tabah!" kata Bapak. "Oma seperti orang tidur nyenyak saja. Kaulihat bibirnya tersenyum, kan" Dia ikhlas meninggalkan kita semua... "
"Ya, Pak... " Ibu tak hanya menjabat tangan Pulung. Ia bahkan mencium kedua pipi anak sulungnya. Tak berkata apa-apa. Dalam perasaan terharu dan duka yang dalam, Ibu sering tak bisa berbicara. Dan Polan memeluk kakaknya. Polan
menangis. Nyata pundak Pulung basah oleh air mata adiknya.
"Sudah, Pol. Sudah," Pulung menepuk-nepuk punggung adiknya. "Kita relakan saja. Dia pergi jauh sekali. Dia tak akan pulang
lagi... " Desa dalam duka. Seluruhnya. Tak terkecuali Wak Solikun yang sering mendengar kebaikan Oma lewat cerita Pulung. Tak terkecuali Gruno yang datang untuk menantang main sepak bola di lapangan. Dia kembali lagi. Anggota klub sepak bolanya beramai-ramai tiba. Mengucapkan bela sungkawa buat Oom dan Tante Yan yang datang di sore hari. Mereka belum kenal Oom dan Tante Yan. Tapi karena Pulung berdiri di antara keduanya, mereka tak ragu mengucapkan bela sungkawa meniru orang-orang dewasa yang melakukan itu. Dari mana-mana orang berkumpul. Kerabat, famili, dan kenalan Oma, datang membawa bunga.
Dia telah tiada. Esoknya iring-iringan mobil jenazahnya panjang sekali. Ketika mobil jenazah sampai di pemakaman dekat batas kota, orang belum habis berbaris di rumah Oma.
Selamat jalan, Omaku sayang...
DUKA masih suka singgah bila ingat yang telah tiada. Tapi itu bisa pupus bila diingat Oma tak sedih meninggalkan semua miliknya. Bibirnya tersenyum dalam lelapnya. Pulung masih bisa mengenangkan-nya sampai kini. Padahal peristiwa itu sudah enam bulan
berlalu. Banyak perubahan terjadi. Seperti dirinya, kini pun bukan lagi murid Pak Damsik. Dia bersekolah di SMP kota. Bersama Gogor dan Gono yang mengayuh sepeda bergantian. Bersama Tugi yang akan memberi semangat ayahnya untuk memacu delman setiap kali melewati rombongan pelajar bersepeda dari desanya.
Semuanya berubah. Ke arah yang lebih maju lagi. Dan Nansy Evangeline masih dikenang oleh siapa pun. Sebab di dekat gerbang halaman gedung lawang satus tertulis namanya, 'TK Nansy Evangeline'. Banyak muridnya. Lebih dari lima puluh orang anak. Tak hanya dari desa itu. Bahkan juga dari desa Gruno dan sekitarnya. Terpaksa dibagi menjadi dua kelas. Kelas pagi yang belajar dari pukul setengah delapan sampai setengah sepuluh, dan kelas siang yang masuk pukul sepuluh sampai pukul dua belas. Tante Yan di sana. Tidak lagi kesepian dia di tengah riuhnya suara anak-anak. Bila tak ke ladang tembakau, Oom Yan sering ikut mengawal barisan anak-anak berjalan-jalan mengelilingi desa. Pada acara peresmiannya, Pak Lurah mengajak semua warganya untuk ikut membina taman kanak-kanak satu-satunya yang ada di sana. Masih diperlukan tenaga guru. Siapa pun dipersilakan maju bila ingin membantu Tante Yan yang terlalu sibuk dengan jumlah murid yang banyak sekali.
Tapi siang itu Pulung harus kecewa lagi. Hari Sabtu ada rapat guru. Dia pulang lebih awal. Lumayan, karena pagi tadi tak sempat sarapan. Polan masih suka brengsek. Dia
senang kalau Pulung kesiangan karena ketiduran setelah sholat subuh. Dia pergi saja. Dan dia pasti akan tertawa melihat betapa Pulung gugup sekali menyadari matahari telah
tinggi. Untung bisa pulang lebih awal. Semalam Pulung berpesan supaya Ibu memasak sayur tumis kangkung dan tempe bacem. Di lemari bilah bambu itu pasti telah tersedia. Tapi Ibu ke mana" Dan tempe bacem, tak ada dia di lemari bilah bambu. Tumis kangkung, tak ada dia di sana!
Dari balik pagar pekarangan ter
dengar suara Kakek Sakeh terkekeh. Pulung ke belakang. Gogor asyik makan dengan lauk ulam daun singkong.
"He... heh... heh... kelaparan lagi, kan"" Kakek Sakeh mengejek. "Tidak. Tidak boleh minta makan. Nasi sudah habis. Kalau Kakek tidak duluan, Polan bisa menyerobotnya. Heh...
heh... heh... " "Ada yang nuduh aku mencuri jambu lagi,
Kek"" "Ada... heh... heh... "
"Ha" Ada" Siapa""
"Tantemu... heh... heh... heh... "
Pulung membalik segera. Dia lari ke selatan. Masih kuat berlari dengan ujung kaki bersepatu karet seperti dulu. Sepatu tumit tinggi dan kaca mata Nansy disimpannya sangat rapi. Hanya pada acara pembukaan TK Nansy Evangeline dia mengenakan sepatu, kaca mata, dan setelan safari itu. Dia menjadi panitia. Kerjanya menghitung tamu yang hadir dan
mengomando petugas pembuat minuman.
"Di sini senang. Di sana senang. Di mana-mana kita pun senang...," suara nyanyian anak-anak terdengar riuh. Mulut-mulut cadel menyanyi lucu di halaman gedong lawang satus yang luas penuh bunga. Di serambinya kini bertutup dinding papan. Di serambi yang telah menjadi ruangan kelas itu duduk Tante Yan, sedang membereskan alat peraga. Dan Bu Guru berkebaya yang memimpin anak-anak menyanyi di halaman, siapa itu"
Ah, mimpi pun tak pernah, melihat Ibu menjadi guru! Aneh kelihatannya. Lucu dan hampir tak bisa dipercaya. Bu Guru Bayan, aha, aha! Kebayanya hijau muda. Kain batiknya hijau gadung. Kondenya lebar. Gelung rambutnya bundar dan rapi. Aha! Aha! Bu Guru cantik sekali. Sayang tangannya belang putih. Tangan Bu Guru Bayan melambai-lambai memimpin nyanyian murid-muridnya.
Pulung tak sadar ikut menyanyi, "Di sini senang. Di sana senang. Di mana-mana kita pun senang... "
"Horeee...!" anak-anak bersorak. Mereka belum berseragam. Rok dan baju mereka lucu. Ada yang pakai kaos kedodoran. Ada juga yang pinjam rok kakaknya. Seperti rok Putri Cinderella, rok itu panjang sampai menyapu tanah.
"Horeee!" Pulung berseru menirukan anak-anak.
"Hidup Bu Guru Bayan!"
Tapi Bu Guru Bayan mengangkat wajahnya dan menatap Pulung dengan marah!
"Jangan mengganggu!" bentaknya dari tengah kerumunan anak-anak muridnya.
Pulung terkejut. Bu Guru Bayan membentaknya. Bu Bayan, Ibu, membentaknya! Ah, baru tahu dia, Ibu ternyata bisa membentak juga. Seperti hobinya Bapak. Nah, Ibu pasti telah belajar ilmu membentak dari Bapak juga. Wah, brengsek ya, Ibu"
"Sori!" Pulung melambaikan tangan. "Kalau, Bu Guru sudah di rumah, awas, ya!"
Tante Yan, Bu Guru Yan, bangkit dari kursinya dan melongok lewat pintu kelas. Roknya panjang sampai ke bawah lutut.
"Apa-apaan itu, mengancam Bu Guru"" serunya. "Mengganggu sekolah, bisa saya laporkan Pak Lurah!"
Pulung tertawa. Ia berjalan ke halaman samping istana penuh kepingan kaca itu. Sampai di pintu belakang samping ke arah kolam renang. Berpapasan dengan Bu Renti di sana.
"He, Bu! kasih makan, dong!" Bu Renti menggeleng.
"Itu bukan urusanku!" katanya. "Kalau kau minta duit buat ongkos ke Medan, baru kau berurusan denganku!"
"Wah! Sombong sekali!"
"Iya! Bu Renti kan sekretaris!"
Sombong dia. Tapi tidak sungguhan. Sebab dia tertawa-tawa dan membalik ke arah dia datang. Dia berbisik pada pelayan. Orang yang dulu-dulu juga. Tak seorang pun pembantu Oma yang pergi setelah Oma tiada. Sampai tukang kebun dan penjaga malam, itu pun
orang-orang yang dulu juga.
Pulung menjenguk kamar Oma. Kursi roda itu di sana, di bawah salib besar. Pulung menariknya ke luar, lalu mendorongnya ke kolam. Pelan dia melangkah. Mengenang masa-masa manis bersama Oma. Nostalgia, kata anak sekarang. Nostalgia itu apa, Pulung baru tahu setelah dia duduk di SMP.
Tante Rus pun mengejeknya ketika Pulung bilang 'nostalgia' waktu mengajak si Man memancing di kali.
"Oma...," Pulung membisik sambil mendorong kursi roda di tepi kolam. Dalam khayalannya Oma duduk di kursi itu.
"Nansy tidak pernah mati, Oma. Lihat! Namanya abadi di sana."
Tak ada jawaban. Air kolam pun diam saja. Tak ada angin yang meniupnya hingga dia beriak-riak kecil. Kursi roda bergeser pelan.
"Hari ini aku merasa aneh melihat Ibu bisa jadi Bu Guru," Pulung berkata lagi sambil mendorong kursi roda. "Aku anak Pak
Bayan, sekarang juga anak Bu Guru! Aha! Lucu ya,
Oma"" Oma tak menjawab. Karena Oma memang tak ada di kursi roda.
"Di rumah tak ada makanan. Pasti nanti Polan pun akan cari makan kemari. Oma, tolong kasih tahu Ibu, sebelum mengajar dia harus memasak dulu. Dia belum terbiasa mengajar, Oma. Dia lupa, Bu Guru juga harus memasak untuk Bapak dan anak-anaknya... "
"Makanan sudah siap!" seru Bu Renti dari pintu ruang makan di sisi kolam. "Makan
sendiri, yaaaa... " Pulung membungkuk dan berbisik ke kursi roda, "Oma, mari kita makan siang."
Roda-roda kursi berputar pelan.
TAMAT Edit & Convert: inzomnia
http://inzomnia.wapka.mobi
tamat Geger Pedang Inti Es 2 Pendekar Slebor 58 Rahasia Di Balik Abu Lolipop Love Lies Promise 2
^