Misteri Kehadiran Arwah 3
Misteri Kehadiran Arwah Karya Bois Bagian 3
"Yes yes yes... Kakek is baru jalan-jalan and looking-looking," jawab sang Kakek yang lagi-lagi sok berbicara dengan bahasa Inggris.
"Ah kakek bercanda saja," ucap Yuli dengan wajah cemberut.
"Aduh, Cu. Kau jangan ngambek seperti itu dong, nanti kau bisa cepat keriput kayak nenekmu. Masa masih mudah sudah keriput, nanti tidak ada yang mau loh."
"Habis... Kakek kalau ditanya serius selalu menjawab asal. Bagaimana Yuli tidak kesal."
"Iya, Iya... sekarang akan kakek jawab dengan serius. Begini, Cu... sebenarnya kakek baru pulang dari pasar. Tadinya sih kakek mau beli burung, tapi karena harganya terlalu mahal, kakek tidak jadi membelinya. Karenanyalah Kakek terpaksa pulang dengan tangan hampa," jawab sang Kakek polos.
"Memangnya Kakek ingin memelihara burung, ya"" tanya Yuli.
"Tidak, kakek cuma mau memelihara monyet."
"Tuh kan, mulai lagi deh," keluh Yuli.
"Iya, anak Manis... tentu saja kakekmu ini mau memelihara burung. Kan sebelumnya Kakek sudah bilang mau beli burung, bukannya mau beli monyet. Sebenarnya sih sudah lama Kakek ingin memelihara burung. Tapi karena nenekmu pelit, terpaksa kakek harus mencari uang sendiri untuk membelinya."
"Jadi, uang yang diberikan oleh ayah selama ini, nenek yang pegang""
Sang Kakek mengangguk, "Benar, Cu. Kata nenekmu, uang itu cuma untuk keperluan sehari-hari. Tapi Kakek tahu, bukan hal itu yang membuat nenekmu jadi pelit, namun karena beliau tidak mau aku memelihara burung. Kakek menduga, beliau takut kalau Kakek akan kembali lagi dengan perbuatan Kakek yang sudah lampau,"
"Memangnya perbuatan apa itu, Kek"' tanya Yuli penasaran.
"Begini, Cu... pada masa muda dulu, kakekmu ini adalah seorang yang gemar mencari ilmu kebatinan. Sampai pada suatu ketika, Kakek mendapat wangsit yang mengharuskan memelihara burung tertentu. Menurut wangsit, Kakek harus memelihara burung itu hingga bersuara merdu, dan setelah burung itu bersuara merdu, Kakek diharuskan menelan hatinya mentah-mentah. Dengan demikian, Kakek akan mempunyai suara yang merdu, semerdu suara burung itu. Bukan cuma itu saja, Cu. Kakek pun akan mempunyai lidah yang setajam pedang, maksudnya setiap yang berbicara dengan Kakek akan menjadi luluh hatinya."
"Terus... apa yang terjadi kemudian" Kenapa Nenek sampai tidak menyukainya""
"Itulah, Cu. Karena ilmu tersebut, kakekmu ini banyak yang menyukai. Terutama gadis-gadis cantik, dan hal itu membuat nenekmu cemburu buta-beliau mengancam akan meninggalkan Kakek, seandainya Kakek masih memiliki ilmu tersebut. Karena Kakek sangat mencintai nenekmu, makanya Kakek lebih mengutamakan beliau dari pada ilmu terseb
ut, dan akhirnya Kakek mencari orang pintar yang mampu menghilangkan ilmu itu sampai tidak tersisa lagi."
"Kakek sih, bukannya mempelajari ilmu yang bermanfaat untuk kepentingan orang banyak, tapi justru memperlajari ilmu yang seperti itu."
"Iya, Cu. Kakek memang telah menyesali perbuatan itu, dan setelah mendapat bimbingan dari orang pintar yang menolong Kakek itu, akhirnya Kakek sadar, dan mulai sejak itu Kakek cuma mencari ilmu yang berguna untuk kepentingan orang banyak. Sekarang Kakek mau memelihara burung cuma untuk mengisi waktu luang, sebagai hobi saja, Cu."
"Hmm... kalau begitu sih tidak apa-apa, Kek. O ya, bagaimana kalau sekarang kita ke pasar untuk membeli burung yang kakek inginkan itu!" Ajak Yuli berniat membelikan burung yang diinginkan kakeknya.
"Terima kasih, Cu! Saat ini Kakek sudah terlalu lelah, sekarang Kakek mau bersantai di rumah," jawab sang Kakek menolak.
"Baiklah, Kek!" ucap Yuli seraya mengeluarkan beberapa lembar uang ratusan ribu dari dalam dompetnya, kemudian uang itu segera diletakkan di genggaman kakeknya. "Ini buat Kakek, dengan uang ini Kakek bisa membeli burung yang Kakek inginkan itu, dan Kakek bisa membelinya kapan saja Kakek mau," jelasnya kemudian.
"Aduuuh, Cu. Ini kan banyak sekali," ucap sang Kakek enggan.
"Terima saja, Kek! Terus terang, Yuli ingin sekali Kakek memiliki burung itu, dan Yuli akan merasa senang kalau Kakek bisa mewujudkan keinginan itu," desak Yuli.
"Baiklah, Kakek akan menerimanya. Terus terang, Kakek sangat bahagia dan sangat berterima kasih karena kau sudah begitu peduli dengan kakekmu ini," kata sang Kakek merasa haru akan perhatian yang telah diberikan oleh cucunya.
Pada saat itu, Yuli tampak tersenyum puas. Dia benar-benar senang karena bisa membahagiakan kakeknya yang sudah begitu banyak berjasa. Sejenak Yuli memperhatikan kakeknya dengan penuh cinta, kemudian di benaknya terbayang akan masa lalu yang begitu penuh dengan asam garam kehidupan. Masa itu adalah masa-masa kedua orang tua Yuli sedang mengalami kesulitan, masa-masa dimana mereka masih hidup miskin dan serba kekurangan. Pada saat itu, kedua orang tua Yuli masih menumpang di rumah orang tua mereka, yaitu kakek dan neneknya Yuli. Waktu itu, usia Yuli masih lima tahun jalan.
Pada masa susah itu, sang Ayah berusaha keras dengan berjualan hasil kebun di pasar tradisional, namun hasil yang didapatnya sama sekali tidak mencukupi. Hingga pada suatu ketika, disaat Yuli berusia 8 tahun. Sang Ayah memberanikan diri untuk mengadu nasib ke Ibu Kota Jakarta, sedangkan sang Ibu menggantikan pekerjaan suaminya sebagai penjual hasil kebun di pasar tradisional. Selama sang Ibu pergi ke pasar, Yuli terpaksa ditinggal di rumah bersama kakek dan neneknya. Selama ditinggal, kakek dan neneknya-lah yang selalu mengasuh dan merawat Yuli dengan penuh kasih sayang. Sang Kakek sering sekali mengajaknya pergi berburu ke hutan maupun menjala ikan di sungai.
Kini semua itu telah menjadi kenangan Yuli yang tak mungkin dilupakan, dan karena kenangan itu pula Yuli menjadi lebih peduli kepada orang-orang yang hidup serba kekurangan dan membuatnya ingin selalu menolong mereka. Sebab, sekarang ini Yuli hidup di lingkungan keluarga yang serba berkecukupan. Ayahnya adalah seorang pengusaha yang membuka bisnis besar-besaran di luar negeri, sedangkan ibunya mempunyai sebuah perusahaan kue dengan omset yang cukup besar. Selama ini mereka berdua memang sangat tekun dalam menjalankan usahanya masing-masing, dan karena ketekunan yang luar biasa itu, mereka berhasil mencapai taraf kehidupan yang bisa dibilang sangat mapan-pengusaha sukses yang kaya raya. Mereka dapat menyekolahkan Yuli dan memenuhi segala kebutuhannya dengan berlebihan. Selama ini mereka selalu memanjakan Yuli dengan materi yang Yuli sendiri kurang suka, sebab Yuli harus menukarnya dengan tidak mendapat perhatian dan kasih sayang yang cukup dari kedua orang tuanya.
Tiba-tiba Yuli tersadar, kemudian dia segera memeluk kakeknya yang sangat disayangi. "Kek, kita ngobrol-ngobrol di luar yuk!" ajaknya kemudian.
"Iya, Cu. Tapi... Kakek mau menyimpan uang ini dulu."
"Iy a, Kek. Kalau begitu Yuli tunggu di teras ya," kata Yuli seraya melangkah ke luar, sedangkan sang Kakek terlihat melangkah ke kamarnya.
Di teras, Yuli terlihat duduk sendirian. Suasana saat itu terasa sepi sekali. Kini Yuli beranjak dari duduknya, kemudian melangkah ke pekarangan untuk melihat-lihat bunga-bunga yang tumbuh di tempat itu. Tak lama kemudian Sang kakek sudah keluar, dia tampak berdiri di teras sambil memperhatikan cucunya.
"Cu! Kau sedang apa di situ" Ayo lekas kemari!" serunya kemudian.
"Iya, Kek," sahut Yuli seraya menghampiri sang Kakek.
Kini Yuli dan kakeknya sudah duduk di kursi teras, kemudian keduanya tampak berbincang-bincang dengan akrabnya. Tak lama kemudian, sang Nenek datang dan menghampiri mereka. "Kek, Cu! Masakannya sudah siap. Ayo kita makan sama-sama!" ajaknya kemudian.
Yuli dan kakeknya segera beranjak bangun dan melangkah bersama ke meja makan. Setelah makan, Yuli dan neneknya terlihat sibuk berbenah. Setelah semuanya beres, Yuli segera menemui kakeknya yang sedang asyik bersantai di ruang tamu.
"Kek, Yuli mau menanyakan sesuatu sama Kakek," kata Yuli seraya duduk di samping kakeknya.
"Apa itu, Cu"" tanya sang Kakek penasaran.
"Begini, Kek. Waktu itu, Yuli menemukan uang logam emas."
"Uang logam emas"" sang Kakek tampak mengerutkan keningnya.
"Ini, Kek. Uangnya," kata Yuli seraya menyerahkan uang itu kepada kakeknya.
"Di mana kau menemukannya"" tanya sang Kakek seraya mulai mengamati uang itu.
"Di pelataran parkir, Kek," jawab Yuli.
Sang kakek masih mengamati uang logam itu dengan seksama, kemudian membaca tulisan kuno yang tertera di atasnya dengan begitu serius, "Lho ini kan uang peninggalan zaman Kerajaan Majapahit," jelas kakeknya.
Tiba-tiba sang kakek merasakan getaran aneh dari koin tersebut, dia merasakan energi yang begitu besar mengalir melalui telapak tangannya.
"Kenapa, Kek"" tanya Yuli heran melihat kakeknya tiba-tiba terlihat begitu tegang.
"Tidak, Cu. Tidak apa-apa," jawab sang Kakek tidak berterus terang.
"Tapi, kenapa tadi Kakek begitu tegang"" tanya Yuli lagi.
"Sudahlah...! Sebaiknya uang logam ini kausimpan baik-baik, bawalah ke mana saja kaupergi!" pesan sang Kakek seraya menyerahkan koin itu kepada Yuli.
Yuli menuruti pesan kakeknya, dia segera menyimpan koin itu baik-baik. Setelah itu dia tampak bertanya-tanya dalam hati, "Hmm... apa ya keistimewaan lain koin emas itu" Menurutku keistimewaannya cuma pada kemilau dan bentuknya saja. Selebihnya, tidak ada lagi yang istimewa. Tapi... kenapa beliau berpesan demikian" Sepertinya koin itu memang benar-benar istimewa. Tadi beliau tampak begitu tegang ketika memegangnya, sepertinya memang ada sesuatu yang beliau rasakan, namun sayangnya beliau tidak mau mengatakan hal itu."
"Ehem...!" Tiba-tiba sang Kakek membuyarkan lamunannya. "O ya, Cu. Sekarang Kakek mau istirahat. Kalau kau mau istirahat, kau bisa tidur di kamar sebelah. Nenekmu pasti sudah menyiapkannya."
"Iya, Kek. Selamat beristirahat!" ucap Yuli seraya tersenyum
Sang Kakek pun tersenyum, kemudian dia mulai melangkah menuju ke kamarnya. Sementara itu, Yuli masih duduk di ruangan itu, dia masih saja memikirkan perihal uang logam emas yang diduganya mempunyai keistimewaan lebih. Ketika sedang serius memikirkan uang itu, tiba-tiba nada HP yang menandakan telepon dari Jodi berbunyi.
"Hallo, Jo!" sapa Yuli.
"Hallo, Yul! Apa kabar"" tanya Jodi. "Aku baik-baik saja, Jo" jawab Yuli. "Kau lagi di mana"" tanyanya kemudian.
"Aku lagi di kantor ayahku," jawab Jodi. "Nanti malam kau ke rumahku ya!" lanjutnya kemudian.
"Memangnya ada apa, Jo"" tanya Yuli.
"Pokoknya ada deh." jawab Jodi merahasiakan.
"Aduh, Jo... maaf ya! Sepertinya aku tidak bisa."
"Memangnya kau sudah tidak peduli dengan aku lagi ya""
"Bukan begitu, Jo! Malam ini aku mau menginap di rumah kakek dan nenekku."
"Iya iya... kakekmu memang lebih penting. Baiklah... kalau kau memang tidak bisa datang, aku pun tidak akan memaksa," ucap Jodi dengan nada kecewa.
"Jo.. kau marah ya""
"Tidak, aku bisa mengerti kok."
"Baiklah, Jo. Nanti malam aku akan ke rumahmu," janji Yuli.
"Sungguh! K alau begitu, aku tunggu ya. Sampai jumpa nanti malam, bye." ucap Jodi dengan nada yang terdengar begitu gembira.
"Bye..." balas Yuli seraya memutuskan sambungan dan menyimpan HP-nya kembali. Kini dia sudah melangkah ke kamar yang memang sudah dipersiapkan untuknya, kemudian dia segera beristirahat di tempat itu
Sore harinya Yuli sudah terbangun. Setelah mencuci muka, dia langsung menemui kakeknya yang sedang asyik bersantai di ruang tamu. Kini dia sudah duduk di sebelah kakeknya dan langsung mengajak beliau berbincang-bincang. Tak lama kemudian, neneknya datang dengan membawa makanan kecil untuk mereka.
Kini ketiganya tampak asyik bersenda-gurau sambil menikmati makanan kecil yang telah dibawa oleh sang Nenek. Mereka terus bersenda-gurau hingga akhirnya Yuli berpamitan untuk pulang ke Jakarta.
"Kok tidak menginap saja, Cu"" tanya neneknya.
"Sebenarnya aku ingin menginap, Nek. Tapi karena ada keperluan mendadak, aku harus segera pulang," jelas Yuli menyesal.
"Ya sudah. hati-hati di jalan ya, Cu!" pesan kakeknya.
"Iya, Cu. jangan ngebut!" timpal neneknya.
Dengan perasaan berat, akhirnya Yuli berangkat meninggalkan keduanya. Dia tampak mengemudikan mobilnya keluar dari pekarangan dengan sangat perlahan. Sejenak dia melirik ke kaca spion untuk melihat kakek dan neneknya yang masih saja melambaikan tangan. Tak lama kemudian, dia sudah berada di tengah jalan dan langsung memacu mobilnya menuju ke Jakarta. Sementara itu di tempat lain, seorang kakek terlihat sedang memanjatkan doa di depan sebuah makam, di sisinya tampak sebuah botol mawar yang sudah kosong.
Dialah sang Kakek yang waktu itu berpapasan dengan Branden dan Rani ketika sedang berziarah ke makam Yana. Kini kakek itu tampak menadahkan tangannya untuk berdoa. Dia tampak berdoa dengan begitu khusuk, kedua matanya tampak berkaca-kaca.
Selesai sang Kakek berdoa, tiba-tiba angin sepoi-sepoi tampak bertiup di tempat itu. Pada saat yang sama, sebuah bunga kamboja bermahkota lima tiba-tiba jatuh dihadapannya. Sang kakek segera memungut bunga itu dan menciumnya dengan penuh perasaan, kemudian segera menyimpannya di saku baju.
Kini sang Kakek tampak melangkah menuju ke makam orang tua Yana yang letaknya tidak begitu jauh. Di tempat itu sang Kakek juga berdoa, dia mendoakan kedua orang tua Yana agar senantiasa diberikan kelapangan kubur. Selama ini dia memang sering berdoa untuk mereka. Sebab semasa hidup, Yana selalu berbuat baik kepada kakek itu, bahkan dia sudah menganggapnya seperti orang tuanya sendiri. Setiap kali berkunjung ke makam orang tuanya, Yana selalu melihat makam itu dalam keadaan bersih dan rapi. Itu semua karena sang Kakek yang selalu merawat makam orang tua Yana dengan baik. Karenanyalah, setiap hendak pulang Yana selalu memberikan uang sekedarnya kepada kakek itu sebagai ungkapan rasa terima kasihnya, dan hal itu terus berlanjut, sampai akhirnya mereka akrab seperti anak dan ayah.
Malam harinya, seorang pria tampak sibuk mempersiapkan sebuah pesta kecil di rumahnya. Dialah Jodi yang akan memberikan pesta kejutan buat Yuli, sebuah pesta kecil untuk merayakan keberhasilan Yuli yang telah terpilih sebagai pemain piano terbaik tingkat Nasional. Jodi berniat merayakannya semata-mata hanya untuk menarik simpati Yuli. Selama ini Jodi memang menyukai Yuli, dan Yuli sendiri diam-diam sudah mencintai pemuda itu. Perhatian Jodi selama ini telah membuatnya begitu tersanjung, bahkan dia merasa Jodilah orang yang pantas menjadi kekasihnya.
Jodi tampak masih mengatur persiapan pesta, kini dia sedang memberikan sentuhan terakhirnya. Serangkai mawar yang begitu manis tampak diletakkannya di atas meja, kemudian disusul dengan sebotol sampanye yang juga diletakkan di atas meja. Bersamaan dengan itu, tiba-tiba istri Jodi yang bernama Maemi datang ke rumah itu. Dia sengaja datang untuk mengabarkan sebuah kabar gembira kepada suaminya, sekaligus ingin menghadiri resepsi pernikahan temannya yang ada di Jakarta.
"Wah! Mau ada pesta rupanya," kata Maemi kepada suaminya yang saat itu tidak menyadari kedatangannya.
"Eh... kau, Sayang... Kok tidak bilang-bilang kalau m
au datang"" tanya Jodi yang sedikit terkejut akan kehadiran istrinya yang begitu tiba-tiba.
"Aku mau memberi kejutan untukmu, Sayang..." jawab Maemi.
"Kejutan... apa itu"" tanya Jodi penasaran.
"Ini." kata Maemi seraya menyodorkan selembar surat.
Jodi segera mengambil surat itu dan mulai membacanya, "Apa! Kau hamil." katanya terkejut.
"Benar, Sayang... Kau senang kan mendengar kabar ini"" tanya Maemi sambil tersenyum dan memegang tangan suaminya dengan lembut.
"Tidak!!! Aku belum siap untuk menjadi seorang ayah. Kenapa kau tidak memberitahuku kalau ingin mempunyai bayi" Pantas akhir-akhir ini kau sering pergi ke dokter, rupanya ini... Huh! Menyebalkan," kata Jodi dengan nada marah.
"Maaf, Sayang...! Selama ini aku memang sudah mendambakan seorang bayi. Begitu ada dokter yang sanggup menyuburkan kandunganku, aku pun tidak mau menyia-nyikannya. Semula kupikir kau pun akan senang, tapi ternyata aku keliru. Kenapa kau tidak mau mengerti perasaanku, Jo... " Kenapa"" tanya Maemi dengan nada memelas.
"Pokoknya aku tidak mau punya bayi, titik... dan kau harus menggugurkan kandunganmu itu secepatnya!"
"Tidak, Jo! Aku tetap akan memelihara bayi di kandunganku ini," kata Maemi seraya menitikkan air matanya.
"Maemi, Dengar!! Kalau kau tetap mau menjadi istriku, kau harus mau menggugurkan kandunganmu itu!"
"Kenapa kau berkata semudah itu, Jo. Kenapa""" tanya Maemi dengan nada yang meninggi. "Apakah kau memang sudah mempunyai yang lain"" tanyanya lagi.
"Apa maksudmu"" tanya Jodi.
"Kau mempunyai wanita simpanan kan" Lihat ini!" kata Maemi seraya menunjukkan rangkaian buka mawar dan mengambilnya. "Kenapa kau membuat ruangan ini begitu romantis" Kau hendak mengundang seorang wanita kan"" kata Maemi lagi seraya mencampakkan rangkaian mawar yang ada di genggamannya, kemudian melangkah meninggalkan ruangan itu.
"Maemi tungguuu." Jodi berusaha mencegah, namun Maemi tidak peduli, dia terus melangkah menjauhi suaminya.
Jodi yang tidak bisa mencegah kepergian istrinya hanya bisa mematung sambil menatap kepergiannya, kemudian dia terduduk di sofa dengan segala kegundahan di hatinya. Sementara itu, Maemi yang baru saja keluar dari pintu depan tiba-tiba menghentikan langkahnya, sedangkan kedua matanya tampak memperhatikan Yuli yang sedang melangkah ke arahnya. "Hmm ini rupanya wanita itu." duga Maemi dalam hati.
"Selamat malam," sapa Yuli kepada Maemi.
"Malam," balas Maemi ketus. "Heh, dengar ya wanita jalang! Kau tidak akan bisa hidup bahagia bersama Jodi, suatu saat kau pun akan bernasib sama seperti aku-dicampakkannya seperti sampah. Kalau kau mau tahu, aku ini istrinya Jodi yang sengaja datang dari Tokyo untuk memberitahukan tentang bayi di kandunganku ini. Dan demi kau dia malah menyuruhku untuk menggugurkannya."
"Maaf! Sebenarnya apa maksud semua perkataanmu itu"" tanya Yuli bingung.
"Heh! Kau masih juga belum mengerti. Bukankah kau wanita simpanan Jodi" Sudahlah... kau tidak perlu mungkir! Kau memang lebih cantik dari aku, pantas kalau dia lebih menginginkanmu ketimbang aku," jelas Maemi seraya berpaling dari pandangan Yuli dan bergegas pergi.
"Hai... tunggu! Aku benar-benar tidak mengerti, kenapa kau menuduhku sebagai wanita simpanan"" tanya Yuli agak kesal.
Maemi tidak mempedulikannya, dia terus saja melangkah pergi. Sementara itu, Yuli cuma terpaku menatap kepergiannya, kemudian dia melangkah menuju ke pintu depan. Jodi yang mengetahui kedatangannya segera keluar dan mempersilakannya masuk. Kini keduanya sudah melangkah menuju ke ruang tengah.
"Jo, siapa wanita tadi"" tanya Yuli tiba-tiba.
"O... dia itu rekan bisnisku," jawab Jodi berbohong.
"Benarkah"" tanya Yuli ragu.
"Benar, Yul. Sebenarnya tadi dia sengaja datang untuk mengajakku makan, dan ketika aku menolak karena sudah ada janji denganmu, mendadak raut wajahnya berubah. Aku pun tidak mengerti kenapa tiba-tiba dia menjadi seperti itu, sepertinya dia tidak senang dengan keputusanku."
"Apakah kau ada hubungan khusus dengannya"" tanya Yuli menyelidik.
"Maksudmu""
"Apakah kau dan dia menjalin hubungan selain urusan bisnis."
"Tidak, selama ini aku dan dia
murni hanya sebagai rekan bisnis saja."
"Mungkinkah dia mencintaimu""
"Entahlah... aku juga tidak tahu. Kalau memang benar begitu, aku bisa mengerti jika dia tiba-tiba menjadi seperti itu. Sudahlah Yul, kita lupakan saja perihal dia! Nanti aku akan bicara padanya dan menjernihkan semuanya."
Tak lama kemudian, keduanya sudah tiba di ruang tengah. "Silakan duduk Yul!" pinta Jodi ramah.
"Ngomong-ngomong, sebenarnya ada apa sih"" tanya Yuli semakin penasaran begitu melihat ruangan itu tampak begitu romantis.
"Selamat ya, atas keberhasilanmu sebagai pemain piano terbaik tingkat Nasional," ucap Jodi seraya mencium pipi kiri dan kanan Yuli.
Setelah itu, Yuli tampak menatap Jodi dengan mata yang berkaca-kaca. "Terima kasih, Jo... kau sungguh perhatian dan begitu baik padaku. Orang tuaku saja tidak peduli dengan semua itu," ucapnya haru.
"Sudahlah... ! Bukankah kau sahabatku," kata Jodi seraya membuka sebotol sampanye dan menuangkannya pada dua buah gelas yang sudah dipersiapkan, kemudian mereka bersulang merayakan kesuksesan itu. Raut wajah Yuli tampak begitu ceria, dan dia sangat bersyukur karena mempunyai sahabat sebaik Jodi.
"Tunggu ya, Yul! Aku mau ke kamar sebentar," pamit Jodi tiba-tiba.
Yuli mengangguk, sejenak dia memperhatikan kepergian Jodi yang sudah melangkah ke kamarnya. Sambil menunggu, Yuli tampak merenungi kejadian ketika bersama Maemi tadi. Dia benar-benar masih saja bingung dengan perihal itu, "Hmm... sebenarnya siapa wanita tadi, kenapa dia mengaku sebagai istri Jodi dan menuduhku sebagai wanita simpanan" Mungkinkah dia memang mencintai Jodi" Dan dia berkata demikian lantaran cemburu karena Jodi lebih mementingkan kehadiranku. Jika memang demikian, aku bisa memakluminya. Tapi kalau Jodi berbohong, berarti wanita itu memang benar-benar istrinya" Ah, sudahlah... aku percaya kalau Jodi telah berkata jujur, selama ini kan dia telah begitu baik padaku."
Kini Yuli tampak mengeluarkan koin emas yang selama ini masih menjadi misteri, kemudian mengamatinya dengan begitu seksama. Saat itu dia masih belum mengerti kenapa kakeknya berpesan untuk menjaga koin emas itu, "Sebenarnya... apa keistimewaan koin ini ya"" tanya Yuli membatin.
Sementara itu di dalam kamar, Jodi tampak sedang membuka laci lemari. Rupanya dia sedang mengambil hadiah yang akan diberikan kepada Yuli. Tiba-tiba dari sudut ruangan terdengar suara wanita memanggil, "Jo... Jodiii...!" panggil wanita itu dengan suara yang terdengar parau.
"Siapa kau"" tanya Jodi seraya celingukan mencari asal suara itu, "Di-di mana kau"" tanyanya lagi.
"Aku di sini, Jo," jawab orang yang memanggil.
Jodi segera memalingkan wajahnya ke arah asal suara itu, dan betapa terkejutnya dia ketika melihat sosok Yana sedang berdiri di sudut ruangan sambil tersenyum dingin.
"Ka-kau! Kenapa kau ma-ma-masih menggangguku"" tanya Jodi ketakutan.
"Maafkan aku, Jo! Aku terpaksa datang menemuimu lagi. Sebenarnya kedatanganku hanya untuk menyampaikan sebuah permintaan, dan kau tidak perlu takut karenanya," ucap sosok wanita itu.
"Pe-pe-permintaan..." Permintaan apa itu"" tanya Jodi masih saja ketakutan.
Kemudian sosok wanita itu segera mengatakan permintaannya, dia menghendaki agar Jodi mau menjelaskan perihal jati dirinya kepada Rani, yaitu bahwa dia telah mempunyai istri dan selama ini cuma mempermainkan Rani saja.
"Ti-ti-tidak! Itu tidak mungkin," tolak Jodi.
"Kenapa, Jo"""" tanya sosok wanita itu dengan kening berkerut.
"Pokoknya a-a-aku tidak mau. Aku tidak mungkin mengatakan hal itu."
"Kurang ajar!!! Dasar banci...!!!" teriak sosok wanita itu seraya melayangkan sebuah vas keramik dan menjatuhkannya tepat di depan kaki Jodi.
Sementara itu, Yuli yang sedang mengamati koin emasnya seketika terkejut-dia benar-benar sangat kaget mendengar suara pecahan itu. Kemudian sambil tetap memegang koinnya, Yuli segera naik ke lantai atas untuk memeriksa, dan tak lama kemudian dia sudah berada di kamar Jodi. "Ada apa, Jo"" tanya Yuli seraya melihat pecahan vas yang berserakan.
Jodi tidak bicara, dia masih terus menatap sosok Yana dengan penuh ketakutan. Melihat Jodi seperti itu
, Yuli tampak semakin heran, kemudian dia segera memandang ke arah pemuda itu melihat. Betapa terkejutnya Yuli ketika melihat sosok Yana sedang menyeringai di sudut ruangan. Tak ayal, Yuli langsung tergeletak pingsan. Bersamaan dengan itu, koin emas yang ada di genggamannya tampak menggelinding ke arah sosok Yana dan berhenti persis di bawah kakinya.
Bersamaan dengan itu, tiba-tiba sosok Yana berteriak histeris, terkena sinar keemasan yang tiba-tiba saja terpancar mengenai tubuhnya. Karena merasakan hawa panas yang seakan membakar tubuh, akhirnya sosok Yana segera menjauhi koin tersebut. Mengetahui itu, Jodi segera memungut koin emas itu dan langsung mengarahkannya ke hadapan sosok Yana. Tak ayal, sosok Yana kembali berteriak histeris, tak kuasa menahan hawa panas yang semakin membakar tubuhnya. "Aaah. panaaasss.!" teriak sosok wanita itu seraya menghilang dari pandangan.
Melihat itu, Jodi tampak senang sekali, kemudian dia tertawa terbahak-bahak. "Ha ha ha! Dengan koin ini aku akan aman dari arwah sialan itu, dan dia tidak mungkin berani mendekatiku lagi. Ha ha ha...!" ucap Jodi sambil tertawa terbahak-bahak.
Setelah puas tertawa, Jodi segera membopong Yuli dan merebahkannya di atas tempat tidur, kemudian memandangnya dengan penuh gairah. "Tidak, ini bukan saat yang tepat. Aku tidak mungkin melakukannya di saat seperti ini," katanya dalam hati, kemudian pandangannya segera beralih ke koin yang berada di genggamannya.
Jodi masih terus mengamati koin yang membuatnya begitu takjub. Pada saat itu, tiba-tiba Yuli tersadar dari pingsannya. Dia tampak duduk di atas tempat tidur sambil mengamati sekelilingnya, "Di-di-di mana arwah tadi"" tanyanya dengan raut wajah yang masih tampak ketakutan.
"Tenang Yul, arwah itu sudah pergi-dia tak kuasa menghadapi koin ini," jelas Jodi seraya menyerahkan koin itu kepadanya.
"Koin ini bisa mengusirnya"" tanya Yuli seakan tidak percaya, kemudian dia mengamati koin yang kini berada di telapak tangannya.
"Benar, Yul. Sepertinya arwah itu merasa kepanasan bila berdekatan dengan koin itu."
"Ngomong-ngomong... kenapa arwah itu mendatangimu, Jo""
"Entahlah... aku juga tidak tahu, kenapa arwah itu selalu mendatangiku. Padahal, aku tidak pernah berbuat macam-macam," kata Jodi merahasiakan kejadian sesungguhnya.
"Kalau begitu, sebaiknya koin ini kau pegang saja! Dengan demikian arwah itu tidak akan mengganggumu lagi," kata Yuli sungguh-sungguh.
Sosok Yana yang mendengarkan percakapan mereka dari kejauhan tampak begitu geram-dia kesal sekali melihat Jodi yang sengaja membodohi Yuli agar bisa memiliki koin tersebut.
Sembilan Esok siangnya cuaca tampak cerah. Di sebuah jalan yang macet, kendaraan tampak merayap dengan perlahan. Suaranya yang bising menambah kejengkelan Rani yang saat itu baru saja pulang sekolah. Di tambah lagi dengan asap hitam yang tampak mengepul dari knalpot sebuah bis kota tua yang tak terawat.
Kini Rani sedang duduk di sebuah halte yang cukup ramai, menunggu bis kota yang akan mengantarnya pulang. Sejenak dia memperhatikan orang-orang di sekitarnya, dilihatnya beberapa orang penumpang tampak naik-turun bis, tak ketinggalan para pedagang asongan dan pengamen yang mencoba mencari peruntungan.
"Blok-M Blok-M. Ayo, kosong... kosong...!" terdengar suara kondekturnya yang berteriak keras.
Rani tertawa mendengar ucapan kondektur itu, walaupun dia sudah sering mendengarnya. Namun kalau dipikir-pikir, lucu juga kalau bis yang sudah penuh masih juga dibilang kosong.
Rani masih duduk menunggu, dalam hati dia mulai merasa resah. "Aduh, kok lama sekali sih," keluhnya seraya bangkit berdiri, kemudian matanya kembali memperhatikan setiap bis yang mendekat.
Setelah lama menunggu, akhirnya bis yang dinantikannya tiba. Melihat itu, Rani segera beranjak bangun dan bergegas naik. Pada saat yang sama, si Kondektur terlihat membantunya untuk menaiki bis yang terlihat sudah penuh sesak. "Lumayan bisa pegang-pegang cewek cantik," kata si Kondektur dalam hati.
Bis kota kembali melaju, bersamaan dengan si Kondektur yang mulai menagih ongkos penumpang. "Cring... cring... cring..." te
rdengar bunyi uang recehan si kondektur yang memberi tanda kepada para penumpang yang belum membayar. Rani segera mengeluarkan uang pas dan memberikannya kepada kondektur itu. Pada saat yang sama, seorang pemuda tampak beranjak dari duduknya dan mempersilakan Rani duduk.
"Terima kasih! Saya bisa berdiri kok!" tolak Rani kepada pemuda itu.
"Duduk saja, Dik! Sebentar lagi saya akan turun," jelas pemuda itu.
"Terima kasih ya!" ucap Rani seraya duduk di samping seorang ibu yang sedang menggendong bayinya.
Rani tampak memperhatikan bayi itu, dilihatnya bayi itu sedang tertidur pulas, wajahnya yang lucu tampak begitu polos. Bayi yang belum mempunyai dosa itu terjaga sesaat, kemudian matanya yang jernih tampak menatap Rani dengan penuh tanda tanya. Tak lama kemudian, Bayi itu kembali terlelap.
Rani terus memperhatikan bayi itu, sementara itu ibu si Bayi tampak memandang Rani sambil tersenyum. "Pulang sekolah, Nak"" tanyanya membuka pembicaraan.
"Iya, Bu," jawab Rani sambil tersenyum. "Berapa usianya, Bu"" tanyanya kemudian.
"Empat bulan," jawab si Ibu ramah.
Rani tampak memperhatikan bayi itu lagi, "Namanya siapa, Bu," tanya Rani seraya mengusap-usap kepala bayi itu dengan penuh kasih sayang.
"Rina Dewina," jawab si Ibu.
"Benarkah!" ucap Rani seakan tidak percaya. "Namanya mirip sekali denganku, Bu. Cuma beda sedikit saja" jelas Rani kemudian.
"Memangnya namamu siapa, Nak"" tanya si Ibu.
"Namaku Rani Dewina, Bu."
"Benarkah! Kalau begitu, namamu memang mirip sekali dengan nama putriku," kata si Ibu seraya tersenyum.
Rani segera membalas senyuman itu dengan rona merah di wajahnya. Dan tak lama kemudian, keduanya sudah kembali berbincang-bincang.
Mereka terus berbincang-bincang selama perjalanan, hingga akhirnya bis itu tiba di tempat tujuan. Mengetahui itu, Rani segera pamit kepada si Ibu yang ternyata sangat baik kepadanya.
Setelah turun dari bis, Rani langsung membeli nasi bungkus di tempat biasa, kemudian pulang ke rumah dengan menumpang angkot. Beberapa menit kemudian, gadis itu sudah tiba di rumahnya. Seperti biasa, suasana di rumah itu terasa begitu sepi. Maklumlah, sang Ayah memang biasa pulang kantor setelah sore hari, dan Rani selalu merasa kesepian karenanya.
Setelah bersih-bersih, Rani segera menyantap nasi bungkus yang baru dibelinya. Setelah itu dia bergegas untuk mengganti pakaian, kemudian bergegas ke kamar ayahnya untuk merapikan tempat itu. Betapa terkejutnya Rani ketika melihat kamar itu lagi-lagi sudah ada yang merapikan.
"Ini benar-benar aneh," katanya dalam hati. "Hmm... sebenarnya apa yang telah terjadi" Semenjak kematian ibu, selalu saja ada kejadian aneh yang aku alami. Hmm... apakah Ayah sudah kembali lagi dengan kesesatannya, kembali bersekutu dengan setan" Kalau memang demikian, aku takut sekali jika harus tinggal di rumah ini. Nanti kalau ayah pulang, akan kudesak beliau untuk mengatakan hal yang sebenarnya. Kalau beliau tidak mau mengatakannya, maka dengan berat hati aku akan meninggalkan rumah ini." Setelah bertekad begitu, Rani segera beranjak ke ruang tamu dan membaca majalah di tempat itu.
Hari telah menjelang petang. Pada saat itu Rani tampak sudah terlelap di atas sofa. Sementara itu di area pemakaman, seorang pemuda tampak sedang berdiri di hadapan nisan Yana. Kini pemuda itu sedang meletakkan koin emas di atas pusara makam. Pada saat yang sama, tiba-tiba saja dari dalam makam terdengar jerit rintih kesakitan. Sementara itu, pemuda yang bernama Jodi tampak tersenyum sinis mendengar rintihan yang begitu memilukan. Rupanya pemuda itu beniat membinasakan sosok Yana yang selama ini sudah mengganggunya.
"Hai!!! Apa yang sedang kaulakukan"""" Teriak seseorang menegurnya.
Seketika Jodi terkejut seraya menoleh ke asal suara, saat itu dia melihat seorang kakek yang tampak tergesa-gesa menghampirinya. Mengetahui itu, Jodi segera mengambil koinnya dan berlari tunggang-langgang.
Sang Kakek yang ternyata juru kunci di pemakaman itu tak kuasa untuk mengejar, dia cuma terpaku sambil memperhatikan kepergian pemuda itu dengan seribu tanda tanya. Kini Kakek itu sudah berjongkok di sisi ma
kam Yana seraya membuka penutup botol air mawar yang dibawanya. Setelah melakukan itu, sang kakek tampak berdoa dengan khusuknya.
Sementara itu di tempat lain, Branden terlihat baru saja pulang dari kantor. Kini dia sedang berada di teras depan dan mulai memasuki rumahnya. Ketika baru saja melewati ambang pintu, dilihatnya Rani sedang tertidur pulas di atas sofa. Branden cuma geleng-geleng kepala melihat putrinya tertidur di tempat itu, lalu dia segera duduk di sisinya.
Kini Branden sedang memandangi wajah putrinya yang tampak begitu damai, kemudian membelai kepalanya dengan penuh kasih sayang. Mendadak Rani terjaga, "Ayah..." ucapnya seraya menatap ayahnya yang tampak tersenyum tipis, kemudian dia segera duduk di sisi beliau.
"Rani, apakah kau masih mengantuk, Sayang..."" tanya Branden. "Kalau kau masih mengantuk, sebaiknya pindah saja ke tempat tidur!" sambungnya kemudian.
"Tidak, Ayah. Rani sudah tidak mengantuk," jawab Rani seraya merenggangkan persendiannya.
"Ya sudah. kalau begitu sekarang kau mandi! Ayah mau beristirahat di sini. O ya, tolong ambilkan Ayah minum, Sayang.!" pinta Branden kepada putrinya.
Rani segera menurut. Setelah memberikan segelas air bening kepada ayahnya, Rani langsung bergegas mandi. Sementara itu, Branden tampak duduk bersantai untuk melepaskan lelahnya. Saat itu hembusan angin sepoi-sepoi masuk melalui jendela yang terbuka.
Beberapa menit kemudian, Rani yang sudah selesai mandi tampak duduk di sisi Ayahnya, kemudian mulai membuka pembicaraan. "Yah, Rani mau meminta penjelasan Ayah!" pintanya dengan wajah yang serius.
"Penjelasan apa, Sayang..."" tanya ayahnya.
"Penjelasan tentang perihal keanehan yang selama ini terjadi di rumah kita. Rani merasa, selama ini Ayah selalu menutup-nutupinya. Sekarang Rani ingin mendengarkan penjelasan dari Ayah, apa yang sebenarnya telah terjadi di rumah ini""
"Aduh, Rani... sebaiknya kau lupakan saja semua itu! Mulai saat ini sebaiknya kau memikirkan masalah sekolahmu saja, biarlah semua keanehan yang kaubilang itu Ayah sendiri yang menyelesaikan!"
"Baiklah, Ayah. Rani tidak akan bertanya lagi soal itu, sekarang Rani mau belajar dulu. Bukankah tadi Ayah bilang, Rani harus memikirkan tentang urusan sekolah."
"Nah... itu baru anak Ayah. Ayah senang sekali jika kau mau menuruti apa yang Ayah katakan."
"Sudah ya, Ayah! Sekarang Rani mau belajar dulu," ucap Rani seraya melangkah pergi.
Malam harinya, di sebuah rumah yang tampak megah, sesosok tubuh bergaun putih tampak melayang mendekati jendela kamar yang tertutup. Itulah jendela kamar Yuli yang terletak di lantai atas. Pada saat itu, Yuli terlihat sedang asyik bersandar di atas tempat tidurnya. Membaca majalah sambil mendengarkan tembang manis yang mengalun merdu.
Ketika sedang asyik-asyiknya membaca, tiba-tiba dia dikejutkan oleh suara ketukan di jendela kamar. Seketika Yuli menatap ke arah jendela, kemudian segera beranjak untuk memeriksanya. Gadis itu tampak membuka kaca jendela dan memperhatikan sekitarnya dengan penuh seksama. Bersamaan dengan itu, hembusan angin dingin terasa menerpa wajahnya. Yuli menggigil, merasakan hawa dingin yang begitu menusuk kulit.
Yuli terus memperhatikan keadaan di sekitarnya. Sementara itu di benaknya timbul segala pertanyaan yang membuatnya sedikit bingung, "Apa benar yang kudengar tadi" Masa iya ada orang usil yang mau mengetuk jendela kamarku. Kamar ini kan terletak di lantai atas. Tapi, sepertinya tadi aku memang benar-benar mendengar suara ketukan. Jangan-jangan..."
Seketika itu juga Yuli merinding, lalu dengan segera menutup jendela kamarnya rapat-rapat. Kini gadis itu sudah kembali bersandar di tempat tidur sambil membuka majalahnya kembali. Baru saja dia membaca sebentar, tiba-tiba suara ketukan kembali terdengar. Kali ini suara itu berasal dari balik pintu kamarnya. Yuli segera memusatkan pendengarannya ke arah pintu. Tiba-tiba suara itu kembali terdengar, tapi kali ini terdengar agak pelan dari yang tadi. Karena pendengarannya terganggu, Yuli segera mematikan stereo set-nya dan kembali memusatkan pendengaran, namun suara itu tak terdengar lagi. Kar
ena penasaran, akhirnya Yuli beranjak ke pintu dan membukanya dengan perlahan, kemudian mengintip ke luar dengan hati-hati sekali. "Aneh... tidak ada siapa-siapa," katanya dalam hati.
Akhirnya Yuli tidak mempedulikannya. Dia kembali menutup pintu dan melangkah ke tempat tidur, kemudian menyalakan stereo set-nya lagi. Kini suara musik kembali mengalun merdu. Bersamaan dengan itu, Yuli tampak bersiap-siap untuk bersandar kembali di tempat tidurnya. Namun belum sempat dia bersandar, tiba-tiba suara ketukan kembali terdengar.
"Siapa sih!" serunya seraya menatap ke arah pintu dengan wajah yang begitu kesal.
Tok Tok Tok! suara itu kembali terdengar.
"Maaang! Kau ya" Sudah deh jangan suka usil! Nanti kalau aku sudah marah betulan, kau akan tahu akibatnya!" teriak Yuli kepada orang yang dikira pembantunya.
Selama ini Yuli memang sudah cukup bersabar menghadapi pembantunya yang selama ini memang suka diberi hati, tapi selalu minta kepala itu. Selama ini dia memang sering dibuat kesal dengan segala tingkah-lakunya yang kadang-kadang menjengkelkan. Tapi karena pembantunya itu baik dan jujur, Yuli tetap mempertahankannya.
Tiba-tiba suara ketukan kembali terdengar. Kali ini Yuli sudah benar-benar marah, lantas dengan segera dia beranjak bangun dan membuka pintu kamar dengan tiba-tiba.
"A-apa!" seru Yuli terkejut ketika mengetahui di depan pintu tidak ada siapa-siapa. "Aneh... tidak mungkin Mang Udin bisa lari secepat itu. Dia kan bukan orang sakti. Lalu, siapa ya"" tanya Yuli keheranan.
Lantas dengan diselimuti perasaan takut, Yuli terus memperhatikan ke sekelilingnya. Kedua matanya tampak waspada memandang ke setiap sudut ruangan, melirik kesana-kemari-mencari orang yang telah mengetuk pintu kamarnya. Keheningan malam membuat Yuli semakin takut, namun keingintahuannya yang besar memaksa dia untuk memberanikan diri. Sambil terus waspada dia mulai melangkah, kemudian menuruni anak tangga dengan hati-hati sekali. Setibanya di lantai bawah, Yuli langsung melangkah ke dapur dengan perlahan. Dia menduga orang tadi pasti bersembunyi di tempat itu.
Yuli terus melangkah. Tiba-tiba dia mendengar ada langkah kaki yang membuntutinya, lalu dengan segera dia menoleh ke belakang. Ternyata di belakangnya tidak ada siapa-siapa. Mengetahui itu, seketika Yuli bergidik seraya mempercepat langkah kakinya.
Kini gadis itu sudah berada di ruangan dapur dan langsung mengamati ruangan itu dengan penuh seksama. Bersamaan dengan itu, di belakangnya melintas sesosok tubuh dengan gaun putih yang berkibar-kibar. Namun Yuli tidak mengetahui hal itu, dia terus memeriksa ruang dapur dengan penuh rasa was-was. Setelah dirasa cukup, Yuli berniat untuk memeriksa ruang tamu. Namun belum sempat dia melangkah, tiba-tiba sesosok tubuh putih meluncur turun dari atas lemari dan berdiri tepat di hadapannya.
Seketika Yuli terkejut, jantungnya pun langsung berdebar kencang. "Aduh Kitty, kau mengagetkanku saja. Sini pus...!" Panggil Yuli kepada sosok putih yang ternyata kucing kesayangannya.
Yuli segera menggendong kucing itu dan membawanya ke ruang tamu. Kini dia sudah berada di ruangan itu dan sedang menatap ke arah jam dinding yang dilihatnya sudah menunjukkan pukul 24.00. Pada saat yang sama, tiba-tiba kucing yang ada di gendongannya tampak menggeram, rupanya dia mengetahui kehadiran sosok Yana yang kini berada di ruangan itu.
Yuli yang mengetahui kucingnya menggeram seperti itu menjadi sangat heran, "Ada apa pus"" tanyanya seraya membelai kepala kucing itu dengan lembut. Betapa terkejutnya Yuli ketika kucing itu tiba-tiba meronta dan akhirnya melarikan diri ke arah dapur.
Kini Yuli tampak mengawasi sekelilingnya dengan penuh rasa was-was, kedua bola matanya terus bergerak memperhatikan keadaan ruangan yang tampak begitu hening. Tiba-tiba bulu kuduk Yuli berdiri, dia teringat cerita temannya yang mengatakan kalau hewan sangat sensitif dengan yang namanya makhluk halus, apalagi pada malam Jumat seperti sekarang-dimana menurut kepercayaan sebagian orang, kalau malam Jumat adalah saatnya makhluk-makhluk itu bergentayangan.
Lantas dengan perasaan takut yang sema
kin berkembang, akhirnya Yuli berlari ke kamar dan mengunci pintunya rapat-rapat. Ketika dia akan merebahkan diri di tempat tidur, tiba-tiba dia melihat sepucuk surat tampak tergeletak di atas seperainya yang berwarna biru. "Hmm... siapa yang meletakkan surat ini"" tanya Yuli seraya mulai membacanya.
Betapa terkejutnya Yuli ketika mengetahui isi surat itu, seketika bulu kuduknya langsung merinding. Di dalam surat itu, sosok Yana menjelaskan semua jati dirinya, dia juga menjelaskan mengenai jati diri Jodi dan mengungkapkan semua kebusukan pemuda itu. Selain itu, dia juga meminta kepada Yuli agar bersedia mengungkapkan jati diri Jodi kepada Rani.
"Ra-Rani. ja-jadi yang mengetuk-ngetuk pintu tadi arwah ibunya Rani." Yuli kembali bergidik. "Hmm... jadi selama ini Jodi telah membohongiku. Ternyata Rani itu bukan sepupunya, tapi kekasihnya. Tapi... kenapa aku yang diminta oleh ibunya untuk mengungkapkan jati diri Jodi"" tanya Yuli seraya berpikir keras. "Hmm... apakah Jodi memang sebusuk itu" Aku benar-benar tidak menyangka kalau dia sudah mempunyai istri di Tokyo. Tapi... apakah semua yang dikatakan arwah Yana dalam surat itu benar adanya" Mungkinkah Arwah itu mencoba memperalatku dengan cerita bohong yang membuatku terpaksa mengambil koin emas itu""
Tiba-tiba Yuli teringat dengan peristiwa di depan rumah Jodi, kemudian dia segera menghubungkan peristiwa itu dengan perkataan sosok Yana di suratnya. "Ya. rasanya memang Jodi telah membohongiku, aku rasa wanita itu memang istrinya," kata Yuli menyimpulkan. "Kalau begitu, besok aku akan meminta kembali koin milikku itu. Terus terang, aku tidak rela jika koin itu digunakan untuk melindungi pria busuk seperti dia."
Ketika Yuli hendak merebahkan diri, tiba-tiba dia melihat sebuah bayangan putih yang sekejap melintas di balik jendela. Saat itu Yuli benar-benar terkejut ketika melihatnya, namun begitu dia mencoba memberanikan diri dengan tetap menatap ke luar jendela. Lama juga dia menatap, namun hal aneh yang diperkirakannya akan muncul sama sekali tidak terjadi.
Kini Yuli sudah merebahkan diri. Sejenak matanya melirik ke arah pintu, dan sesekali menatap ke arah jendela. Karena khawatir sosok Yana melintas lagi, akhirnya dia segera menutup gorden jendelanya rapat-rapat. Setelah itu dia kembali merebahkan diri seraya bersembunyi di balik selimutnya.
Yuli mencoba untuk tidur, namun dia tidak bisa tertidur sama sekali. Pikirannya terus menerawang entah ke mana. Sampai akhirnya dia bisa tertidur ketika hari sudah menjelang Subuh. Pada saat itu dia sudah benar-benar mengantuk, dan ketika mendengar suara orang mengaji di kejauhan dia pun langsung terlelap. Yuli tertidur dengan selimut tetap menutupi sekujur tubuhnya.
Sepuluh Ketika matahari mulai bersinar, Branden dikejutkan oleh sepucuk surat yang dia temukan di atas meja kecil di samping tempat tidurnya. Isi surat itu memberitahukan kalau Rani telah pergi meninggal rumah. Mengetahui itu, Branden segera memeriksa kamar Rani. Setelah mengetahui Rani tidak berada ditempat tidurnya, yakinlah Branden kalau Rani memang telah minggat.
Hari ini Branden terpaksa tidak masuk kantor, dia pergi ke sana-kemari untuk mencari putri tunggalnya itu. Namun sangat disayangkan, hingga tengah hari Rani belum juga ditemukan. Sementara itu di tempat lain, Yuli terlihat sedang berada di pelataran parkir. Setelah memarkir mobilnya dia tidak lekas keluar, tapi dia berbicara dulu dengan seseorang lewat HP-nya. "Jo, nanti malam kau jangan kemana-mana ya! Aku ada perlu denganmu," katanya kepada pemuda yang ada di seberang sana.
"Apa itu, Yul"" tanya Jodi penasaran.
"Nanti malam saja, Jo. Soalnya sekarang aku tidak bisa lama-lama."
"Baiklah... nanti malam aku akan menunggumu."
"Sudah ya, Bye..." ucap Yuli mengakhiri pembicaraan seraya menyimpan HP-nya.
Setelah itu dia bergegas ke luar dan langsung menuju ke Salon Kecantikan. Kebetulan hari ini dia memang mau creambath rutin di tempat itu. Sementara itu di dalam Salon suasana tampak sedikit ramai, beberapa orang tampak sedang duduk menunggu giliran. Di salah satu kursi hias tampak seorang wanita as
ing yang sedang ditata rambutnya. Wanita itu adalah Maemi, dia sedang berhias karena akan pulang ke Tokyo. Usai berhias, wanita itu duduk di kursi tunggu sambil mengeluarkan kartu kredit. Pada saat yang sama, Yuli tiba di tempat itu, dia duduk di sebelah Maemi seraya membuka majalah yang dibawanya.
Betapa terkejutnya Maemi ketika mengetahui siapa yang duduk di sebelahnya, "Heh, bukankah kau wanita simpanan Jodi"" tegurnya dengan kening yang berkerut.
Yuli terkejut mendengar teguran itu, kemudian dia menoleh ke arah Maemi dengan alis yang sedikit merapat. "O... kau rupanya, Eh! Dengar ya! Aku ini bukan wanita simpanan Jodi. Aku sendiri baru mengetahui kebusukannya, dia itu memang lelaki yang perlu diberi pelajaran," jelas Yuli kepada Maemi seraya meletakkan majalah yang sedang dipegangnya.
"O. rupanya kau juga baru dicampakkan olehnya," kata Maemi lagi.
"Tidak, bukan demikian. Aku adalah teman sekelas Jodi ketika di SMU dulu, kebetulan selama ini kami memang berteman baik. Terus terang, semula aku memang tidak tahu kalau dia sudah mempunyai istri. Yang aku tahu, dia masih sendiri dan belum mempunyai pacar. Tapi, sekarang aku sudah tahu siapa dia sebenarnya-dia pria beristri yang juga mempunyai pacar bernama Rani Dewina. Aku pun baru mengetahui semua itu dari surat yang diberikan oleh ibunya Rani. Rupanya selama ini dia telah membohongiku dengan mengatakan bahwa Rani itu sepupunya. Walaupun selama ini dia begitu baik dan perhatian padaku. Namun bila dia sebusuk itu, aku tidak sudi berteman dengannya," jelas Yuli panjang lebar.
"O. benarkah"" kata Maemi seakan tidak percaya. Lantas dengan wajah yang tampak menyesal wanita itu kembali berkata, "Kalau begitu... maafkan aku ya! Terus terang, aku merasa bersalah karena telah menuduhmu yang tidak-tidak."
"Sudahlah! Aku bisa memakluminya kok-aku mengerti akan perasaanmu yang diperlakukan oleh Jodi secara tidak layak."
"Terima kasih atas pengertianmu. O ya, kenalkan... namaku Maemi."
"Emm... namaku Yuli, senang berkenalan denganmu."
"Aku juga, Yul. O ya, ngomong-ngomong... siapa tadi yang kau bilang sebagai pacar Jodi"" "Rani maksudmu""
"Ya, dia. Kasihan gadis itu, dia pasti tidak menyadari kalau dirinya sedang dipermainkan oleh suamiku."
"Kau benar Maemi, dan karenanyalah ibunya memintaku untuk mengungkapkan jati diri Jodi yang sebenarnya. Terus terang, saat ini aku sedang bingung-aku sama sekali tidak tahu bagaimana caranya meyakinkan Rani."
"Loh, ibunya kan tahu kalau Jodi memang sebusuk itu. Lalu, kenapa tidak dia sendiri yang menceritakannya"" tanya Maemi bingung.
"Ibunya sudah meninggal, kira-kira sebulan yang lalu," jawab Yuli polos.
"A-apa""" Ja-jadi."
"Ya. Arwah ibunya yang memberikan surat itu," potong Yuli.
Maemi bergidik seketika, kemudian dia segera mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. "Kalau begitu, berikan saja ini," kata Maemi seraya memberikan selembar foto kepada Yuli.
Yuli tampak mengamati foto itu sejenak, dilihatnya sepasang pengantin tampak sedang bergandengan mesra di depan pelaminan. Mereka adalah Maemi dan Jodi yang sedang berbahagia di sebuah pesta perkawinan. Setelah menyimpan foto itu di dalam tasnya, Yuli kembali berbincang-bincang dengan Maemi.
Kini keduanya tampak sudah semakin akrab, mereka terus berbincang-bincang hingga pada akhirnya, "O ya, Yul. Sekarang aku mesti pergi, lain kali kita bisa berbincang-bincang lagi," pamit Maemi seraya sun pipi kiri-kanan. "Sampai jumpa lagi ya, Yul!" ucapnya kemudian.
Yuli memandangi kepergian Maemi, dia merasa kasihan melihat wanita yang sedang hamil muda itu. Baginya Jodi itu benar-benar biadab, teganya dia menyuruh istrinya untuk menggugurkan anak kandungnya sendiri. Namun ketika Maemi mengatakan akan bercerai dengan suaminya, dia tampak merasa lega. Sebagai seorang wanita, dia pun akan melakukan hal serupa jika mempunyai suami seperti Jodi. Tak lama kemudian, tibalah giliran Yuli untuk menikmati jasa pelayan Salon.
Misteri Kehadiran Arwah Karya Bois di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Malam harinya, hujan turun rintik-rintik, hembusan angin dingin terasa begitu menusuk kulit. Pada saat yang sama, sebuah sedan mewah tampak berhenti di depan gerbang sebuah
rumah megah. Kini sedan itu mulai melaju melewati gerbang yang pintunya telah terbuka secara otomatis. Bersamaan dengan itu, seorang satpam tampak berlari mengikutinya. Dia terus berlari sambil menggenggam payung di tangannya. Kini satpam itu sedang berdiri di samping mobil sambil menunggu seseorang yang akan dipinjamkannya payung. Selang beberapa saat, seorang gadis tampak keluar dari mobil dan langsung mengambil alih payung yang sedang dipegang oleh Pak Satpam tadi. Gadis itu ternyata Yuli, kini dia sedang melangkah ke pintu utama yang terletak agak jauh dari tempatnya memarkir mobil.
Kini Yuli sudah berada di ruang tengah dan sedang berbincang-bincang dengan Jodi. Setelah berbasa-basi sebentar, akhirnya Yuli mulai mengatakan maksud kedatangannya. "Jo, boleh aku meminta kembali koinku!" pintanya berharap.
"Kenapa" Bukankah aku memerlukannya untuk melindungi diri dari arwah sialan itu," tanya Jodi tidak senang.
"Sebenarnya aku memerlukannya koin itu, Jo. Kakekku berpesan agar aku selalu membawanya ke mana pun aku pergi," kata Yuli memberikan alasan.
"Tidak!!! Pokoknya koin ini harus tetap di tanganku, titik."
Mendengar itu, Yuli langsung mengerutkan keningnya, lalu keduanya matanya tampak menatap Jodi dengan tajam. "Huh! Sekarang aku baru merasakan sendiri kebusukanmu. Sekarang aku benar-benar yakin siapa kau sesungguhnya, kau memang bukan manusia, kau hanyalah seekor binatang yang tak bermoral. Rupanya waktu itu kau telah membohongiku agar aku bersimpati dan mau menyerahkan koin emas itu padamu."
"Ha ha ha...! Kau memang wanita bodoh, Yul. Selama ini kau mengira aku ini pria baik-baik, kan" Sebenarnya perhatianku selama ini hanya untuk membuatmu simpati, dan aku melakukan semua itu semata-mata ingin mendapatkan dirimu. Selama ini aku memang sangat menyukaimu, dan aku ingin sekali menikmati tubuh indahmu itu," kata Jodi sambil tersenyum dengan mata penuh birahi.
"Kurang ajar kau, Jo!!! Beraninya kau berkata begitu," ujar Yuli seraya berdiri dari duduknya, kedua matanya tampak melotot tajam.
"Tenang Manis. jangan galak begitu dong!" pinta Jodi seraya ikut berdiri. "Ayolah... bukankah lebih baik kita nikmati malam ini bersama-sama!" ajaknya kemudian seraya menarik lengan Yuli dan mendekapnya erat, kemudian dia berusaha untuk menciumnya.
Mendapat perlakuan itu, Yuli segera meronta dan menampar pipi pemuda itu dengan begitu keras, kemudian berdiri menjauh dan menatapnya dengan sangat marah. Sementara itu Jodi tampak mengusap-usap pipinya yang terasa panas, sedangkan kedua matanya tampak membalas tatapan Yuli dengan mata yang berapi-api.
"Dasar perempuan sialan!" maki Jodi seraya menghampiri gadis itu dan menamparnya dengan keras sekali. Tak ayal, Yuli langsung terpelanting dan jatuh di lantai, dari celah bibirnya tampak mengalir darah segar yang membasahi sebelah pipinya.
Yuli tampak meringis kesakitan, tubuhnya terasa begitu lemas dan tak berdaya. Melihat itu, Jodi segera membopongnya ke kamar atas dan langsung menjatuhkannya di atas tempat tidur. Kini pemuda itu sedang berdiri sambil menatap tubuh Yuli dengan begitu bernafsu. Tak lama kemudian dia sudah berlutut di atas tubuh sintal itu, kedua tangannya tampak memegang kedua tangan Yuli dengan begitu erat.
Menyadari apa yang akan dilakukan Jodi, Yuli segera meronta sekuat tenaga, namun perbuatannya itu sia-sia belaka-baginya pegangan Jodi terasa begitu kuat. Sebagai wanita yang lemah, hal itu justru akan menghabiskan energinya saja. Akhirnya Yuli menyadari itu, kini dia sudah tidak meronta lagi, dia menunggu kesempatan untuk menggunakan sisa tenaganya. Sementara itu Jodi mulai menciumi leher Yuli, dan Yuli cuma bisa pasrah menerima perlakuan itu, namun dalam hati dia terus mengumpat atas kebiadaban pemuda itu.
Karena Yuli sudah tak meronta lagi, akhirnya Jodi melepaskan pegangan tangannya, namun kakinya masih tetap mengapit tubuh Yuli dengan erat. Kini dia tampak mengeluarkan koin emas milik Yuli dari dalam dompetnya. "Sayang... Bukankah kau begitu menginginkan koin ini," katanya seraya menunjukkan koin itu kepada Yuli. "Aku janji. setelah kita menikmati
sorga dunia ini, dan setelah aku melenyapkan arwah keparat itu, aku pasti akan mengembalikan koin ini padamu."
"Tidak!!! Aku tidak akan rela menyerahkan kegadisanku padamu," teriak Yuli seraya meludahi wajah pemuda itu.
Mendapat perlakuan itu, Jodi langsung menamparnya dengan keras sekali, kemudian menjambak rambutnya yang panjang sebahu. "Jangan sekali-kali lagi kau meludahiku Yul! Terus terang aku bisa membunuhmu karenanya," ucap Jodi seraya memandangnya dengan begitu murka.
Saat itu Yuli cuma bisa merintih kesakitan, isak tangisnya pun terdengar cukup memilukan. Yuli cuma bisa menangis dan menangis, sungguh dia tidak bisa berbuat apa-apa ketika Jodi mulai membuka kancing bajunya satu per satu.
Jodi terus membuka kancing baju Yuli dengan tangan kirinya, sedangkan tangan kanannya tampak memainkan koin emas di seputar wajah Yuli. Ketika Jodi hendak melepas kancing baju Yuli yang terakhir, tiba-tiba sebuah vas bunga melayang dan menghantam kepala Jodi dengan kerasnya. Tak ayal, tubuh Jodi langsung tersungkur di sisi Yuli.
Bersamaan dengan itu, koin emas yang ada di genggamannya terlepas seketika.
Menyadari kesempatan itu, Yuli segera bangun dan mengambil koin emas miliknya, kemudian segera berlari meninggalkan tempat tersebut. Sementara itu, Jodi yang baru saja bangkit langsung mengejarnya, dia melihat gadis itu sedang berlari ke arah tangga yang menuju ke lantai bawah.
Sungguh sangat disayangkan, Yuli yang masih dalam keadaan lemah tiba-tiba saja terjatuh. Ketika dia baru saja berdiri, tiba-tiba Jodi sudah memegang tangannya. "Kau mau ke mana, Sayang..." Bukankah urusan kita belum selesai," kata pemuda itu seraya berusaha keras mengambil koin emas dari tangan Yuli. Saat itu Yuli tampak mempertahankannya dengan sekuat tenaga, dia tampak menyembunyikannya di balik punggung.
Jodi yang sudah kian gelap mata segera mencekik leher Yuli dengan sekuat tenaga, sepertinya dia sudah tidak ragu-ragu lagi untuk membunuhnya. Yuli yang dicekik begitu rupa merasakan nafasnya kian bertambah sesak, darahnya pun seakan mulai berhenti mengalir. Dalam keadaan kritis itu, tiba-tiba sebuah guci melayang dan langsung menghantam tubuh Jodi dengan kerasnya. Tak ayal, tubuh pemuda itu langsung tersungkur bersamaan dengan suara pecahan guci yang hancur berkeping-keping. Pada saat yang sama, Yuli tampak terbatuk-batuk, kemudian dengan segera dia berlari meninggalkan pemuda itu.
Yuli masih terus berlari-dia berlari seraya menuruni anak tangga dengan tergesa-gesa. Pada saat yang sama Jodi sudah berdiri kembali, wajahnya yang tampan tampak masih meringis kesakitan. Namun ketika dia hendak mengejar buruannya, tiba-tiba saja sosok Yana muncul di hadapannya. "Jodiii...!!!" serunya dengan suara yang begitu parau.
Saat itu Jodi sangat ketakutan melihat wajah Yana tampak begitu mengerikan. Wajah yang berlumuran darah itu tampak begitu pucat, kedua bola matanya tampak mencuat ke luar, sementara itu giginya yang runcing tampak menyeringai buas.
Jodi yang masih tampak ketakutan segera mundur menjauh. Bersamaan dengan itu, tiba-tiba saja benda-benda keramik yang ada di ruangan itu tampak melayang-layang, kemudian jatuh di sekitar pemuda itu dengan suara pecahan yang terdengar hingga ke luar rumah.
Jodi yang mengalami peristiwa itu tampak gemetar hebat, wajahnya yang tampan tampak begitu pucat. "Tolong jangan kauganggu aku, Yana...! Ma-ma-maafkanlah aku...!" mohon pemuda itu dengan terbata-bata, sedangkan kakinya terus melangkah mundur ke langkan.
Yana yang sudah begitu murka tidak mempedulikan kata-katanya, dia terus mendekati pemuda itu hingga akhirnya tertahan di tepi langkan. Sementara itu di luar rumah, Yuli tampak sedang mengendarai mobilnya melewati pintu gerbang. Wajahnya yang cantik tampak masih terlihat tegang, namun dalam hati dia bersyukur karena berhasil melarikan diri dari kebiadaban pemuda yang mau memperkosanya.
Yuli terus melaju-memacu mobilnya menjauhi rumah Jodi. Pada saat yang sama, satpam yang bertugas di rumah itu tampak berlari memasuki rumah, dia berniat memeriksa suara pecahan yang didengarnya ketika sedang membukakan
pintu untuk Yuli. Setibanya di ruang tengah, satpam itu tampak terkejut. Dilihatnya sang Majikan sedang terjatuh dari lantai atas. Tubuhnya meluncur cepat dan jatuh menimpa meja kaca di bawahnya. saat itu Jodi tewas seketika dengan tubuh yang sangat mengenaskan. Kepalanya pecah dengan kedua mata yang tampak melotot, sedangkan wajahnya yang terkena serpihan kaca tampak hancur mengerikan. Dari mulut, hidung, dan telinganya tampak keluar darah yang terus mengalir.
Sementara itu di tempat lain, Branden tampak sedang duduk termenung di ruang tamu, dia tampak begitu sedih karena putri tunggalnya belum juga ditemukan. "Rani, Ayah benar-benar menyesal karena tidak mau berterus terang kepadamu. Andai saja waktu itu Ayah mau berterus terang, mungkin saat ini kau masih bersama Ayah, Nak." Branden membatin. Kemudian dengan perasaan yang teramat bersalah Branden tampak menjambak rambutnya sendiri.
Tok! Tok! Tok! Tiba-tiba Branden mendengar suara ketukan pintu, kemudian disusul dengan suara orang yang memberi salam. Mendengar itu, Branden segera membukakan pintu. Betapa terkejutnya dia ketika melihat siapa yang datang, ternyata yang datang itu Rani beserta seorang ibu yang sedang menggendong bayi.
Pada saat itu Branden langsung memeluk putrinya dengan penuh rasa haru, "Kau ke mana saja, Nak" Ayah sudah sangat mengkhawatirkanmu, Sayang..." tanya Branden sambil terus memeluk putrinya. Sementara itu Rani cuma terdiam, dia tidak merespon pelukan ayahnya sebagaimanamestinya.
"Kau kenapa, Sayang... " tanya Branden seraya melepaskan pelukannya, kemudian dia menatap wajah putrinya yang tampak begitu dingin.
Rani tidak menjawab, dia masih diam membisu. Melihat itu, Branden kembali bicara, "O... sekarang Ayah mengerti. Kau pasti sudah salah paham tentang Ayah, dan semua itu karena Ayah tidak mau berterus terang padamu," kata Branden seraya membelai rambut putrinya. "Rani... maafkan Ayah, Nak! Ayah memang sudah bersalah karena tidak mau berterus terang, dan Ayah berjanji akan menjelaskan semuanya itu kepadamu," lanjutnya kemudian.
Mendengar itu, Rani merasa sedikit tenang, namun raut wajahnya masih tetap terlihat begitu dingin. Branden menyadari kalau putrinya masih belum bisa mempercayainya, kemudian dia berusaha untuk meyakinkannya sekali lagi. Karena Branden berkata dengan penuh kesungguhan, akhirnya Rani mau mempercayainya. Mengetahui hal itu, Branden terlihat senang, kemudian dia segera mengajak keduanya untuk masuk, dan tak lama kemudian mereka sudah duduk di ruang tamu.
Kini Branden tampak sedang berbincang-bincang dengan si Ibu yang sudah membawa putrinya pulang.
Sementara itu, Rani terlihat sedang membuatkan minum. Setelah menyuguhkan minuman yang dibuatnya, Rani tampak melangkah ke teras depan dan duduk termenung di tempat itu. Kini dia sedang memikirkan perihal ayahnya yang sudah berjanji akan menceritakan kejadian yang sebenarnya. Pada saat yang sama, Branden masih berbincang-bincang dengan si Ibu yang ternyata seorang penjual sayur, "O... jadi begitu, Bu," kata Branden ketika mengetahui kalau si Ibu mengenal putrinya ketika di bis kota, dan beliau menemukan Rani sekitar pukul empat pagi.
"Benar, Pak. Waktu itu kebetulan saya hendak berangkat untuk belanja sayuran di pasar, dan betapa terkejutnya saya ketika melihat seorang gadis sedang menangis di pinggir jalan. Pada mulanya saya tidak mengenali dia, tapi ketika saya perhatikan dengan seksama akhirnya saya mengenalinya. Waktu itu wajahnya tampak begitu murung. Saat itu saya bisa merasakan beban berat yang sedang dihadapinya. Karena saya sudah mengenal siapa Rani, saya pun segera mengajaknya pulang ke rumah. Dan sesampainya di rumah, saya meminta Rani untuk menceritakan kesusahannya. Setelah Rani bercerita, akhirnya saya bisa mengetahui duduk perkaranya. Karenanyalah saya merasa berkewajiban untuk membantunya. Namun ketika saya mengajaknya pulang ke rumah Bapak, Rani menolak, dan setelah saya bujuk, akhirnya Rani mau pulang, namun dengan syarat saya mau berbicara dengan Bapak agar mau menceritakan perihal semua kejadian aneh yang telah Rani ceritakan itu. Karena tadi s
aya dengar Bapak sudah mau menceritakannya, saya rasa sudah tidak perlu lagi untuk memintanya. O ya, Pak. Sekarang sebaik saya pamit pulang! Saya tidak bisa lama-lama karena suami saya pasti sedang menunggu. Lagi pula, Bukankah Bapak harus segera menceritakan hal yang sebenarnya kepada Rani."
"Baiklah, Bu. Sekali lagi saya ucapkan banyak terima kasih."
"Sama-sama, Pak. Permisi!" ucap si Ibu seraya beranjak dari duduknya, kemudian melangkah menghampiri Rani yang saat itu masih duduk di teras depan. "Rani, kau jangan lari lagi ya, Nak! Kasihan ayahmu, dari tadi pagi beliau sudah mencarimu sampai ke mana-mana, dan beliau sangat mengkhawatirkanmu."
Rani tampak mengangguk, kemudian memeluk si ibu seraya mengucapkan banyak terima kasih. Beberapa saat kemudian, si Ibu tampak sudah meninggalkan tempat itu. Pada saat yang sama, Rani dan ayahnya tampak duduk berdua di teras depan. Sesuai dengan janjinya, Branden segera menceritakan peristiwa yang selama ini dipendamnya. "Rani..." ucapnya dengan lembut. Belum sempat Branden melanjutkan kata-katanya, tiba-tiba terdengar suara burung di samping rumahnya.
Branden dan putrinya langsung memusatkan pendengaran ke asal suara itu. Pada saat itu Rani tampak terpaku mendengarnya, sedangkan Branden tampak beranjak bangun untuk memeriksa. Kini lelaki itu sedang melangkah menuju ke samping rumah yang tampak begitu gelap. Betapa terkejutnya dia ketika melihat sosok istrinya tampak sedang berdiri di tempat itu.
"Yana...!" seru Branden menyapa mendiang istrinya.
Mendengar ayahnya menyebut nama sang Ibu, Rani sektika terkejut, kemudian dengan segera dia berlari menghampiri Branden dan melihat apa yang dilihat ayahnya. Saat itu sosok Yana sudah tak terlihat lagi. Saat itu Rani tampak heran sambil mengamati ke sekelilingnya. "Ada apa, Ayah" Kenapa barusan Ayah menyebut nama Ibu"" tanya Rani bingung.
Branden memandang Rani dengan sorot mata yang penuh kebimbangan. Namun karena dia sudah berjanji untuk tidak menutup-nutupinya, maka dia pun segera berterus-terang, "Nak... Tadi Ayah sedang menyapa ibumu," jawabnya pelan.
Rani tampak terkejut, dia sama sekali tidak menyangka akan hal itu. Kini dia menatap mata ayahnya dengan dahi agak berkerut, "Ja-jadi Ibu..."
"Iya, Nak. Ibumulah yang telah membuat kejanggalan-kejanggalan selama ini. Dia memang sering datang untuk menjenguk kita," jelas Branden memotong perkataan putrinya.
Saat itu Rani bukannya senang akan kejujuran Branden, tapi justru membuatnya begitu kecewa. "Tidak mungkin, Ayah. Tidak mungkin!!!" ucap Rani seraya memandang ayahnya dengan sorot mata yang begitu tajam. "Dengar Ayah...! Ibu telah pergi meninggalkan kita, dan beliau sudah tenang di alam sana. Beliau tidak mungkin bangkit dari kuburnya dan menjadi hantu gentayangan. Kenapa Ayah memfitnah Ibu demi untuk menutup-nutupi perbuatan Ayah"" lanjutnya tidak mau mempercayai kenyataan itu.
Branden kebingungan, dia tidak tahu bagaimana cara membuktikan hal itu dan membuat putrinya percaya. Kini dia melangkah dan mendekap tubuh Rani dengan penuh kasih sayang. "Ayah mengerti kata-katamu, Nak. Tapi percayalah... selama ini arwah ibumu memang selalu datang ke rumah kita," jelas Branden seraya membelai-belai rambut putrinya.
Tiba-tiba Rani melepaskan diri dari dekapan sang Ayah dan langsung mundur selangkah, "Ayah bohong! Ayah tidak mengatakan hal yang sebenarnya," ucap Rani lirih.
"Percayalah, Sayang...! Karenanyalah selama ini Ayah selalu menutup-nutupinya. Dari semula Ayah sudah bisa menduga kalau kau tidak akan bisa mempercayainya. Terbukti saat ini kau tidak mau menerima kenyataan yang sebenarnya, dan semua itu karena Ayah tidak mempunyai bukti yang bisa membuatmu yakin."
"Apa benar semua yang Ayah ucapkan itu"" tanya Rani ragu.
Branden mengangguk, kemudian melangkah menghampiri putrinya, "Rani... surat yang kau tanyakan tempo hari adalah surat dari ibumu," ucapnya kemudian.
"Ja-jadi. surat itu dari Ibu"" tanya Rani seakan tidak percaya.
"Iya, Sayang... " jawab Branden singkat.
"Tapi... kenapa Ibu melakukan semua itu"" tanya Rani masih belum mengerti.
"Kalau begitu, mari kita du
duk kembali! Ayah akan menjelaskan semuanya padamu," pinta Branden lembut.
Akhirnya mereka kembali duduk di kursi teras. Tak lama kemudian, Branden mulai menceritakan perihal kehadiran sosok Yana selama ini. Baru saja dia selesai bercerita, tiba-tiba angin kencang datang menderu-deru. Bersamaan dengan itu, sesosok tubuh dengan gaun putih yang berkibar-kibar tampak melayang turun di muka rumah. Kini sosok itu tampak tersenyum kepada mereka berdua. Melihat itu, Rani segera bangkit dan menatapnya dengan mata tak berkedip.
"I-Ibu...!" Seru gadis itu tiba-tiba.
"Anakku..." sapa Yana seraya menatap wajah putrinya dengan lembut.
"Ibu... Rani sayang sama Ibu," ucap Rani seraya menitikkan air matanya.
"Ibu juga, Nak... Ibu sangat menyayangimu, dan Ibu berharap kau juga selalu menyayangi ayahmu,"
kata sosok ibunya lembut, kemudian dengan serta-merta dia melayang naik dan hilang seketika.
"Ibuuu....!!!" panggil Rani lirih, kemudian dia menangis tersedu-sedu.
Rani masih saja menangis, saat itu dia tampak berlari kesana-kemari mencari soosk ibunya itu- matanya yang basah terus memandang ke segala arah, sedangkan mulutnya tak berhenti memanggil. Selama ini Rani sudah sangat merindukan ibunya, dan dia merasa begitu kehilangan ketika sosok ibunya pergi dengan begitu tiba-tiba.
Branden yang melihat putrinya seperti itu berusaha untuk menenangkannya, kemudian memeluknya dengan segenap perasaan sayang. Rani segera membalas pelukan ayahnya dengan sangat erat-dia berusaha keras untuk melepaskan semua kesedihannya.
Rani terus menangis di pelukan ayahnya, air matanya tak henti-hentinya mengalir membasahi kedua pipinya, "Maafkan Rani, Ayah! Rani sudah tidak percaya sama Ayah," ucapnya lirih.
"Sudahlah Sayang.! Kau tidak perlu meminta maaf. Ayah maklum kalau kau memang cuma salah paham," kata Branden seraya membelai rambut putrinya dengan penuh kasih sayang,
"Terima kasih, Ayah...!" ucap Rani seraya melepaskan pelukan dan memandang ayahnya dengan mata yang berbinar-binar.
Branden membalasnya dengan sebuah senyum yang membuat Rani merasa begitu damai. Tiba-tiba saja, di wajah Rani tersungging senyum keceriaan.
"Terima kasih, Yana. kau telah mengembalikan Keceriaan putri kita," ucap Branden dalam hati, kemudian dia segera mengajak putrinya untuk masuk ke rumah.
Kini mereka sudah berada di kamar masing-masing. Saat itu Branden tampak sudah terlelap di tempat tidurnya, sedangkan Rani baru saja akan merebahkan diri. Tak lama kemudian, dia pun terlelap bersama mimpi-mimpinya.
Esok paginya cuaca tampak cerah, burung-burung terdengar berkicau dengan merdunya. Yuli yang baru saja bangun tidur tampak sedang merenggangkan persendiannya, kemudian beranjak bangun dan membuka jendela. Pada saat yang sama, cahaya matahari yang hangat menebus masuk menyinari sebagian ruang kamar. "Oh, segarnya udara pagi ini," ucap Yuli seraya menghirup udara pagi dalam-dalam.
Tidak biasanya Yuli bangun sepagi ini, biasanya dia baru bangun sekitar pukul 9.00 WIB. Kini gadis itu sudah siap untuk pergi mandi, namun ketika sedang melangkah ke kamar mandi, dia berpapasan dengan pembantunya yang tampak memperhatikannya dengan sedikit heran.
"Tumben, Non. Pagi-pagi sudah bangun," komentarnya sambil garuk-garuk kepala.
Mendengar itu, Yuli langsung angkat bicara, "Sudah deh, Mang. Jangan banyak komentar, lebih baik sekarang kaupersiapkan sarapan untukku!" pintanya dengan nada kesal.
"Ba-baik, Non," ucap pembantunya agak terbata.
Yuli melanjutkan langkahnya. Setibanya di kamar mandi, matanya langsung tertuju ke arah tulisan di cermin-tulisan tangan yang ditulis pada cermin yang berembun. "Yuli, maafkan kalau malam itu aku telah membuatmu takut! Aku harap kau tidak lupa untuk pergi menemui Rani!" Begitulah bunyi tulisan itu.
Yuli merinding seketika, dia sadar kalau Yana telah mengingatkannya untuk segera menemui Rani. Lantas dengan perasaan yang masih merinding, Yuli bergegas mandi. Sesekali matanya tampak was-was mengawasi sekitarnya, khawatir kalau-kalau sosok Yana masih berada di tempat itu.
Selesai mandi, Yuli langsung berpakaian dan bergegas menuju ke meja
makan. Pada saat yang sama, pembantunya datang dengan membawakan sarapan pagi. Kini si pembantu tampak berdiri si samping Yuli dengan wajah penuh keingintahuan. "Memangnya, mau ke mana, Non"" tanyanya sambil cengengesan.
"Kau ini mau tahu saja," kata Yuli tidak mau memberitahu.
"Bukan apa-apa, Non! Kalau tuan dan nyonya bertanya, saya harus jawab apa"" jelas pembantunya.
"Baiklah... bila mereka tanya, bilang saja aku sedang pergi ke rumah teman!"
"Kalau begitu, baik Non."
Kemudian si pembantu tidak berkata-kata lagi, dia langsung pergi untuk mengerjakan pekerjaan yang lain. Pada saat yang sama, Yuli mulai menikmati sarapan paginya-sepotong roti bakar dan segelas susu. Sementara itu di tempat lain, Rani dan Branden juga sedang sarapan. Mereka sedang menikmati singkong rebus yang pagi-pagi sekali sudah di cabut oleh Branden dari kebun belakang.
Selesai sarapan, keduanya tampak bersantai di teras depan, kemudian mereka mulai berbincang-bincang. "Yah, sekarang kan hari libur. Bagaimana kalau kita pergi ke makam ibu"" tanya Rani tiba-tiba.
"Hmm... kau merindukannya"" Branden balik bertanya.
"Betul, Ayah. Entah kenapa tiba-tiba Rani ingin mengunjungi Ibu""
"Kalau begitu, Ayah sih setuju saja. Nah, bagaimana kalau sekarang kau memetik bunga untuk keperluan nyekar!" Saran Branden seraya mengambil surat kabar pagi dan mulai membacanya.
Sementara itu, Rani tampak bergegas mengambil keranjang kecil dan langsung melangkah ke pekarangan samping untuk memetik bunga-bungaan yang biasa digunakan untuk pergi berziarah. Beberapa menit kemudian, keduanya tampak sudah berangkat menuju ke makam Yana.
Setibanya di makam, mereka melihat sang Kakek juru kunci sedang berada di makam tersebut. "Sedang apa beliau"" tanya Branden kepada putrinya.
"Mungkin beliau habis membersihkan makam Ibu,
Yah." "Kalau begitu, lekas kita ke sana!" ajak Branden seraya mempercepat langkah kakinya.
Tak lama kemudian, keduanya sudah berdiri di belakang sang Kakek. "Selamat pagi, Kek!" ucap Rani kepada sang Kakek yang masih saja sibuk membersihkan makam.
Sang kakek terkejut, kemudian lekas-lekas menoleh. "Oh kalian," ucapnya seraya tersenyum.
Kemudian beliau memperkenalkan diri dan bercerita sedikit tentang jati dirinya. Branden dan Rani tampak senang mendengarkan penuturan sang Kakek. Tak lama kemudian, mereka sudah terlihat akrab. Kini mereka sedang menaburkan bunga di atas makam dan berdoa bersama-sama. Setelah itu, mereka segera menuju ke makam orang tua Yana dan berdoa di tempat itu.
Selesai berdoa, mereka tampak melangkah menuju ke pohon kamboja yang cukup rindang. Di bawah keteduhan pohon itulah, sang Kakek segera menceritakan perihal sosok Yana kepada keduanya. Pada saat itu Branden dan Rani tampak mendengarkan penuturan sang Kakek dengan begitu antusias.
Dalam ceritanya, sang Kakek menjelaskan kalau yang melakukan semua kejadian yang mereka alami, seperti angin besar dan lain-lain bukanlah pekerjaan Yana. Semua itu adalah pekerjaan Qarin Yana, jin pendampingnya yang ingin menyesatkan Branden dan Rani, dia juga dibantu oleh jin fasik yang mempunyai kekuatan besar. Maklumlah, qarin orang beriman sangat lemah, karena ia jarang menyerap energi dari yang didampinginya. Berbeda dengan qarin orang yang sesat, mereka bisa sangat kuat lantaran sering menyerap energi dari orang yang didampinginya.
Biasanya qarin hanya diberi izin selama 40 hari untuk menuntaskan kehendaknya, sebab energi yang diperlukan untuk berinteraksi manusia sangatlah besar. Sebenarnya tujuan Jin fasik yang membantu Qarin Yana juga ingin menyesatkan manusia, agar manusia percaya dengan adanya arwah yang gentayangan, apa lagi jika manusia sampai menyediakannya kopi manis dan kopi pahit. Maka jin fasik akan semakin bertambah kuat. Begitulah lihainya mereka dalam usaha menyesatkan manusia agar bisa diserap energinya. Seolah mereka itu berbuat baik dan menolong, padahal pada hakekatnya justru menyesatkan.
Selama ini arwah Yana sudah berada di alam barzakh, menunggu hari kebangkitan. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada arwah yang gentayangan. Sebab, ketika seseorang di ku
bur dia akan diminta untuk menjawab pertanyaan malaikat. Setelah itu, bagi orang yang beriman akan mengalami tidur panjang, sedangkan mereka yang tidak beriman akan mengalami siksa kubur.
Bukhari Muslim 1667 Diriwayatkan daripada Anas bin Malik r.a katanya: Nabi s.a.w bersabda: Apabila seseorang hamba dikebumikan di dalam kuburnya kemudian ditinggalkan oleh kawan-kawannya nescaya dia akan mendengar bunyi hentakan tapak kasut mereka. Seterusnya dia akan didatangi oleh dua malaikat lalu mendudukkannya dan bertanya: Apa pendapatmu tentang lelaki ini iaitu Nabi Muhammad s.a.w". Baginda bersabda lagi: Sekiranya dia seorang mukmin, nescaya dia akan menjawab: Aku bersaksi bahawa dia hamba Allah dan pesuruhNya. Lalu diberitahu kepadanya: Lihatlah tempatmu di Neraka, sesungguhnya Allah telah menggantikannya dengan Syurga. Nabi s.a.w bersabda: Dia dapat melihat kedua-duanya iaitu Syurga dan Neraka
Bukhari Muslim 325 Diriwayatkan daripada Aisyah r.a katanya: Dua orang perempuan tua dari kaum Yahudi Madinah telah datang menemuiku. Kedua perempuan itu berkata: Sesungguhnya ahli kubur akan di azab dalam kubur mereka. Lalu Aisyah berkata: Kamu berdua ini penipu dan aku tidak mahu membenarkan kata-kata mereka itu, maka kedua-dua perempuan itu meninggalkan aku. Setelah itu Rasulullah s.a.w datang lalu aku berkata kepada baginda: Wahai Rasulullah! Sesungguhnya dua orang perempuan tua dari kaum Yahudi Madinah telah datang menemuiku dan mereka mengatakan bahawa ahli kubur akan di azab di dalam kubur mereka. Lalu Rasulullah bersabda: Memang benar kedua-dua orang perempuan Yahudi itu akan di azab, hanya binatang sahaja yang dapat mendengar azab itu. Aisyah berkata lagi: Aku selalu mendengar Rasulullah s.a.w memohon perlindungan dari azab kubur ketika baginda sembahyang,
Ketahuilah, bahwa orang yang sudah meninggal akan terputus amalnya, jadi tidak mungkin kembali untuk menolong. Jangankan arwah manusia, Jin fasik saja, pada hakekatnya tidak akan mampu menolong manusia, sebab mereka sangat lemah, tentunya jika tidak ada energi dari manusia yang berhasil diserapnya. Dan sistem penyerapan energi manusia ini sudah dirancang sedemikian rupa, yaitu jika ada manusia yang meminta tolong kepada mereka, maka manusia akan terserap energinya. Karena itulah tidak diperbolehkannya manusia meminta tolong kepada bangsa Jin, sekalipun Jin itu mengaku muslim. Sebab pada hakekatnya tidak ada Jin muslim yang akan bersedia membantu manusia, kecuali ia sudah menjadi fasik. Rasulullah pun pernah ditawarkan bantuan oleh Jin, namun beliau menolak lantaran sudah memahami hakikat sejatinya. Sebaik-baiknya Jin fasik, adalah sejahat-jahatnya manusia.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu menjelaskan: "Banyak di antara mereka yang bisa terbang di udara, dan setan telah membawanya (ke berbagai tempat, -pent.), terkadang ke Makkah dan selainnya. Padahal dia adalah seorang zindiq, menolak shalat dan menentang perkara-perkara lain yang telah diwajibkan Allah Subhanahu wa Ta'ala, serta menghalalkan segala yang telah diharamkan Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Rasul-Nya.
Begitulah lihainya setan dari bangsa Jin, yang bersedia membantu manusia karena kekafiran, kefasikan, dan maksiat yang dilakukannya. Kecuali bila dia beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Rasul-Nya, bertaubat dan konsisten dalam ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Rasul-Nya. (Jika dia demikian,) niscaya setan akan meninggalkannya dan segala 'pengaruh' pada dirinya akan hilang baik berupa penyampaian berita atau amalan-amalan lain.
Karena itu janganlah berbangga hati jika bisa melihat dan berkomunikasi dengan setan dari bangsa Jin, bahkan bisa mendapat kabar ini-itu, dan juga mempunyai kesaktian yang bisa ini-itu. Ketahuilah, sesungguhnya semua itu hanyalah tipu daya mereka guna menyesatkan manusia.
Al Jin 6. Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungann[523] kepada beberapa laki-laki di antara jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan.
[1523]. Ada di antara orang-orang Arab bila mereka melintasi tempat yang sunyi, maka mer
eka minta perlindungan kepada jin yang mereka anggap kuasa di tempat itu.
Al Jin 21. Katakanlah: "Sesungguhnya aku tidak kuasa mendatangkan sesuatu kemudharatanpun kepadamu dan tidak (pula) suatu kemanfaatan."
Surat Al Jin ayat 21 inilah yang seharusnya kita amalkan, sebab dengan mengamalkan ayat ini pada hakekatnya kita telah menutup pintu dimensi alam jin, yaitu dengan cara tidak sekali-kali berinteraksi dengan mereka. Sebab pada hakekatnya jin tidak kuasa mendatangkan sesuatu kemudharatanpun kepada manusia dan tidak (pula) suatu kemanfaatan. Begitupun manusia tidak kuasa mendatangkan sesuatu kemudharatanpun kepada jin dan tidak (pula) suatu kemanfaatan.
Karenanyalah, jin muslim yang sudah memahami ayat tersebut tentu tidak mungkin bisa menolong manusia dengan bentuk apapun, sebab mereka memang tidak mempunyai energi untuk itu. Dan mereka juga tidak mungkin bisa diperintah, apa lagi diperbudak oleh manusia.
Pengalaman Surat Al Jin ayat 21 inilah cara terbaik menghormati kehidupan mereka, yaitu tidak memberikan kesempatan kepada mereka untuk semakin menyesatkan manusia. Sudah cukup mereka merusak kehidupan dunia pada masa yang silam, dan sekarang adalah kesempatan manusia untuk menjadi khalifah dengan tanpa melibatkan mereka. Jika umat manusia sudah banyak yang mengamalkan surat ini, maka para jin fasik tidak akan mempunyai kekuatan apa-apa untuk mengganggu manusia. Maka dengan demikian, secara otomatis kehidupan manusia akan menjadi lebih baik.
Selain itu, untuk menjaga keharmonisan antara alam manusia dan alam jin (Dalam rangka mengamalkan Surat Al Jin ayat 21), manusia diwajibkan untuk senantisa berdoa dan memohon perlindungan hanya kepada Allah. Dengan memohon perlindungan kepada Allah, secara tidak langsung manusia telah membentengi diri untuk tidak berinteraksi dengan alam jin. Maklumlah, jika ada manusia yang melempar batu, membuang air panas, dan lain sebagainya ternyata bisa juga mengenai bangsa jin. Karenanyalah untuk membentengi manusia agar tidak lalai menggangu para jin, maka setiap melakukan berbagai tindakan yang bisa membahayakan bangsa jin, diharuskan mengucapkan bacaan basmalah lebih dulu, dengan maksud agar perbuatan manusia itu tidak mengenai bangsa jin.
Semua inilah sejatinya cara yang terbaik guna menghormati bangsa jin agar tidak merasa terganggu lantaran kecerobohan manusia yang tidak memahami keberadaan mereka. Bukannya dengan cara menyediakan ini-itu yang justru membuat mereka semakin kuat, dan ujung-ujungnya justru semakin mengganggu kehidupan manusia.
Karena itulah, sudah saatnya kita meninggalkan budaya yang bisa membuat jin fasik justru bertambah kuat, yaitu dengan cara mengamalkan kitab suci al-Quran dengan sebenar-benarnya, salah satunya adalah dengan mengamalkan Surat Al Jin ayat 21.
Setelah mendengarkan penjelasan itu, Rani dan Branden tampak lega. Segala pertanyaan yang membingungkan telah terjawab sudah. Setelah berbincang-bincang sejenak, akhirnya Ayah dan anak itu kembali pulang ke rumah.
Sepulang dari makam, Branden tampak sibuk mengurus kebunnya yang berada di belakang rumah, sedangkan Rani asyik melamun seorang diri di kamarnya, dia masih saja memikirkan Jodi yang diketahuinya sudah mempunyai istri. Sepertinya dia masih sulit untuk menerima kenyataan itu. Sementara itu di muka rumah, sebuah sedan tampak memasuki pekarangan. Tak lama kemudian, pengemudinya yang ternyata seorang wanita tampak keluar dan melangkah ke pintu depan. Kini dia sedang mengetuk pintu dan mengucapkan salam.
Mendengar itu, Rani segera keluar untuk menemuinya. Saat itu dia tampak terpaku memperhatikan wajah yang baru pertama kali dilihatnya. "Maaf! Anda siapa ya" Apa ada perlu dengan ayah saya"" tanyanya kepada wanita itu.
"Kau Rani kan" O ya, kenalkan... namaku Yuli. Maksud kedatanganku kemari sebenarnya ada perlu denganmu," jawab wanita itu.
"O... kalau begitu. Ayo... silakan masuk!" tawar Rani ramah.
Yuli segera masuk, tak lama kemudian mereka sudah berbincang-bincang mengenai Jodi.
"Benarkah apa yang kau katakan itu"" tanya Rani ragu. "Sebenarnya ayahku pun sudah menceritakannya, namun di
hatiku masih ada sedikit keraguan," sambungnya kemudian.
"Sekarang kau tidak perlu ragu lagi Rani, coba kaulihat foto ini," ucap Yuli seraya memberikan foto yang waktu itu diberikan oleh Maemi.
Kini Rani tampak memperhatikan foto itu, hatinya terasa hancur berkeping-keping. Di sisi lain, dia merasa yakin kalau Jodi memang pria busuk yang tidak pantas untuk dicintai. Setelah mereka berbincang-bincang sejenak, akhirnya Yuli berpamitan untuk pulang. Kini Rani tengah mengantarkannya hingga ke muka rumah. "Hati-hati di jalan ya!" ucap Rani seraya melambaikan tangan kepada Yuli.
Setelah sedan yang ditumpangi Yuli menjauh, Rani pun bergegas ke teras dan duduk di tempat itu. Tak lama kemudian Branden terlihat datang menghampirinya. "Rani, siang nanti Ayah akan pergi ke pasar untuk membeli beberapa keperluan. Kau mau menitip apa, Nak"" tanya Branden
"Tidak, Ayah. Rani tidak mau menitip apa-apa," jawab Rani terus terang.
"Ya sudah... kalau begitu ayo kita masuk," ajak Branden kepada putrinya.
"Tidak, Ayah. Rani masih mau di sini dulu."
"Baiklah... sekarang Ayah masuk dulu ya," pamit Branden seraya melangkah masuk.
Kini Rani tampak sedang melamun, rupanya dia sedang memikirkan pria yang waktu itu telah menggagalkan usaha bunuh dirinya. Siapa lagi kalau bukan Bobby, pria yang tiba-tiba saja hadir di dalam benaknya.
Siang harinya Branden berangkat ke pasar untuk membeli beberapa keperluan. Selang beberapa saat, sebuah sepeda motor terlihat memasuki pekarangan. Setelah memarkir motornya, pemuda itu langsung melangkah ke teras, kemudian mengetuk pintu dan mengucapkan salam.
Rani yang mengetahui ada tamu segera membukakan pintu. Betapa terkejutnya dia ketika mengetahui siapa yang datang, pemuda tampan yang kini menarik hatinya. Siapa lagi kalau bukan Bobby, pemuda tampan yang pernah menolongnya. Kini Yuli tampak terpaku melihat Bobby yang tersenyum kepadanya.
"Kak Bobby!" ucap Rani seakan tidak percaya. "Ayo Kak, silakan masuk!" ajaknya kemudian.
Setelah mempersilakan Bobby duduk, Rani pun berpamitan untuk membuatkan minum. Sementara itu Bobby tampak sedang melihat-lihat keadaan ruang tamu, dia melihat sebuah foto keluarga Branden.
"Hmm... keluarga yang berbahagia," duganya.
Tak lama kemudian Rani datang membawakan minum, dia tampak memperhatikan Bobby yang sedang melihat foto keluarganya. "Itu ayah dan ibuku," jelasnya tiba-tiba.
Bobby agak terkejut dan segera berpaling. "O. kau, Rani. Ngomong-ngomong, di mana mereka"" tanyanya kepada gadis itu.
"Ayahku sedang pergi ke pasar untuk membeli beberapa keperluan dan akan kembali menjelang malam nanti. Sedangkan ibu...." Rani tidak melanjutkan kata-katanya, dia tampak terpaku melihat sosok ibunya yang tiba-tiba saja sudah berdiri di belakang Bobby. Saat itu sosok ibunya tampak tersenyum, seolah-olah memberi isyarat bahwa Bobbylah orang yang pantas menjadi kekasihnya.
"Ibu.!" seru Rani menyapa sosok ibunya.
"Iya Rani. Ayolah katakan, di mana ibumu! " pinta Bobby yang merasa gadis itu terlalu lama menggantung kalimatnya.
Rani yang tersadar akan permintaan Bobby segera menjawab, "Oh ya... I-Ibu... sudah sebulan lebih meninggal dunia," jawabnya sedikit gugup.
"Oh... maafkan aku!" ucap Bobby menyesal.
Rani terdiam sesaat, dalam hati gadis itu terus bertanya-tanya mengenai arti senyuman sosok ibunya, sebab dia menyadari kalau yang barusan dilihatnya adalah Qarin Yana bukan arwah ibunya.
Sesungguhnya bisa saja apa yang diisyaratkannya itu adalah kebenaran, namun kebenaran itu akan ditambah dengan seratus kedustaan. Apalagi jika sampai meyakini kalau dia adalah arwah jelas akan semakin menyesatkan.
Kini mata gadis itu tampak menatap Bobby dengan hangat, kemudian mengajak pemuda itu untuk duduk kembali. Tak lama kemudian mereka, sudah berbincang-bincang dengan begitu akrab.
Setelah bosan ngobrol di ruang tamu, mereka segera pindah ke teras depan, kemudian kembali berbincang-bincang di tempat itu. Ketika sedang asyik-asyiknya ngobrol, mendadak HP Bobby berbunyi. Saat itu Bobby langsung menerimanya, "Hallo!" sapanya kepada orang di seberang sana.
"Bob, nanti malam jadi kan kita
jalan-jalan"" tanya gadis yang meneleponnya.
"Tentu saja, bukankah kita sudah sepakat," jawab Bobby.
"Kalau begitu, sampai nanti ya," ucap si Gadis seraya memberikan ciuman jauh.
"Yuli! Tunggu...!" tahan Bobby tiba-tiba. Tapi sayang... telepon sudah ditutup.
Rani tampak terpaku, keningnya pun tampak berkerut ketika mendengar nama gadis yang disebut tadi.
SELESAI Assalam.... Mohon maaf jika pada tulisan ini terdapat kesalahan di sana-sini, sebab saya hanyalah manusia yang tak luput dari salah dan dosa. Saya menyadari kalau segala kebenaran itu datangnya dari Allah SWT, dan segala kesalahan tentulah berasal dari saya. Karenanyalah, jika saya telah melakukan kekhilafan karena kurangnya ilmu, mohon kiranya teman-teman mau memberikan nasihat dan meluruskannya. Sebelum dan sesudahnya saya ucapkan terima kasih banyak.
Akhir kata, semoga cerita ini bisa bermanfaat buat saya sendiri dan juga buat para pembaca. Amin... Kritik dan saran bisa anda sampaikan melalui e-mail bangbois@yahoo.com
Wassalam... [ Cerita ini ditulis tahun 2005 ]
Memanah Burung Rajawali 11 Tusuk Kondai Pusaka Liong Hong Po Cha Yan Karya S D Liong Rahasia Si Badju Perak 8
"Yes yes yes... Kakek is baru jalan-jalan and looking-looking," jawab sang Kakek yang lagi-lagi sok berbicara dengan bahasa Inggris.
"Ah kakek bercanda saja," ucap Yuli dengan wajah cemberut.
"Aduh, Cu. Kau jangan ngambek seperti itu dong, nanti kau bisa cepat keriput kayak nenekmu. Masa masih mudah sudah keriput, nanti tidak ada yang mau loh."
"Habis... Kakek kalau ditanya serius selalu menjawab asal. Bagaimana Yuli tidak kesal."
"Iya, Iya... sekarang akan kakek jawab dengan serius. Begini, Cu... sebenarnya kakek baru pulang dari pasar. Tadinya sih kakek mau beli burung, tapi karena harganya terlalu mahal, kakek tidak jadi membelinya. Karenanyalah Kakek terpaksa pulang dengan tangan hampa," jawab sang Kakek polos.
"Memangnya Kakek ingin memelihara burung, ya"" tanya Yuli.
"Tidak, kakek cuma mau memelihara monyet."
"Tuh kan, mulai lagi deh," keluh Yuli.
"Iya, anak Manis... tentu saja kakekmu ini mau memelihara burung. Kan sebelumnya Kakek sudah bilang mau beli burung, bukannya mau beli monyet. Sebenarnya sih sudah lama Kakek ingin memelihara burung. Tapi karena nenekmu pelit, terpaksa kakek harus mencari uang sendiri untuk membelinya."
"Jadi, uang yang diberikan oleh ayah selama ini, nenek yang pegang""
Sang Kakek mengangguk, "Benar, Cu. Kata nenekmu, uang itu cuma untuk keperluan sehari-hari. Tapi Kakek tahu, bukan hal itu yang membuat nenekmu jadi pelit, namun karena beliau tidak mau aku memelihara burung. Kakek menduga, beliau takut kalau Kakek akan kembali lagi dengan perbuatan Kakek yang sudah lampau,"
"Memangnya perbuatan apa itu, Kek"' tanya Yuli penasaran.
"Begini, Cu... pada masa muda dulu, kakekmu ini adalah seorang yang gemar mencari ilmu kebatinan. Sampai pada suatu ketika, Kakek mendapat wangsit yang mengharuskan memelihara burung tertentu. Menurut wangsit, Kakek harus memelihara burung itu hingga bersuara merdu, dan setelah burung itu bersuara merdu, Kakek diharuskan menelan hatinya mentah-mentah. Dengan demikian, Kakek akan mempunyai suara yang merdu, semerdu suara burung itu. Bukan cuma itu saja, Cu. Kakek pun akan mempunyai lidah yang setajam pedang, maksudnya setiap yang berbicara dengan Kakek akan menjadi luluh hatinya."
"Terus... apa yang terjadi kemudian" Kenapa Nenek sampai tidak menyukainya""
"Itulah, Cu. Karena ilmu tersebut, kakekmu ini banyak yang menyukai. Terutama gadis-gadis cantik, dan hal itu membuat nenekmu cemburu buta-beliau mengancam akan meninggalkan Kakek, seandainya Kakek masih memiliki ilmu tersebut. Karena Kakek sangat mencintai nenekmu, makanya Kakek lebih mengutamakan beliau dari pada ilmu terseb
ut, dan akhirnya Kakek mencari orang pintar yang mampu menghilangkan ilmu itu sampai tidak tersisa lagi."
"Kakek sih, bukannya mempelajari ilmu yang bermanfaat untuk kepentingan orang banyak, tapi justru memperlajari ilmu yang seperti itu."
"Iya, Cu. Kakek memang telah menyesali perbuatan itu, dan setelah mendapat bimbingan dari orang pintar yang menolong Kakek itu, akhirnya Kakek sadar, dan mulai sejak itu Kakek cuma mencari ilmu yang berguna untuk kepentingan orang banyak. Sekarang Kakek mau memelihara burung cuma untuk mengisi waktu luang, sebagai hobi saja, Cu."
"Hmm... kalau begitu sih tidak apa-apa, Kek. O ya, bagaimana kalau sekarang kita ke pasar untuk membeli burung yang kakek inginkan itu!" Ajak Yuli berniat membelikan burung yang diinginkan kakeknya.
"Terima kasih, Cu! Saat ini Kakek sudah terlalu lelah, sekarang Kakek mau bersantai di rumah," jawab sang Kakek menolak.
"Baiklah, Kek!" ucap Yuli seraya mengeluarkan beberapa lembar uang ratusan ribu dari dalam dompetnya, kemudian uang itu segera diletakkan di genggaman kakeknya. "Ini buat Kakek, dengan uang ini Kakek bisa membeli burung yang Kakek inginkan itu, dan Kakek bisa membelinya kapan saja Kakek mau," jelasnya kemudian.
"Aduuuh, Cu. Ini kan banyak sekali," ucap sang Kakek enggan.
"Terima saja, Kek! Terus terang, Yuli ingin sekali Kakek memiliki burung itu, dan Yuli akan merasa senang kalau Kakek bisa mewujudkan keinginan itu," desak Yuli.
"Baiklah, Kakek akan menerimanya. Terus terang, Kakek sangat bahagia dan sangat berterima kasih karena kau sudah begitu peduli dengan kakekmu ini," kata sang Kakek merasa haru akan perhatian yang telah diberikan oleh cucunya.
Pada saat itu, Yuli tampak tersenyum puas. Dia benar-benar senang karena bisa membahagiakan kakeknya yang sudah begitu banyak berjasa. Sejenak Yuli memperhatikan kakeknya dengan penuh cinta, kemudian di benaknya terbayang akan masa lalu yang begitu penuh dengan asam garam kehidupan. Masa itu adalah masa-masa kedua orang tua Yuli sedang mengalami kesulitan, masa-masa dimana mereka masih hidup miskin dan serba kekurangan. Pada saat itu, kedua orang tua Yuli masih menumpang di rumah orang tua mereka, yaitu kakek dan neneknya Yuli. Waktu itu, usia Yuli masih lima tahun jalan.
Pada masa susah itu, sang Ayah berusaha keras dengan berjualan hasil kebun di pasar tradisional, namun hasil yang didapatnya sama sekali tidak mencukupi. Hingga pada suatu ketika, disaat Yuli berusia 8 tahun. Sang Ayah memberanikan diri untuk mengadu nasib ke Ibu Kota Jakarta, sedangkan sang Ibu menggantikan pekerjaan suaminya sebagai penjual hasil kebun di pasar tradisional. Selama sang Ibu pergi ke pasar, Yuli terpaksa ditinggal di rumah bersama kakek dan neneknya. Selama ditinggal, kakek dan neneknya-lah yang selalu mengasuh dan merawat Yuli dengan penuh kasih sayang. Sang Kakek sering sekali mengajaknya pergi berburu ke hutan maupun menjala ikan di sungai.
Kini semua itu telah menjadi kenangan Yuli yang tak mungkin dilupakan, dan karena kenangan itu pula Yuli menjadi lebih peduli kepada orang-orang yang hidup serba kekurangan dan membuatnya ingin selalu menolong mereka. Sebab, sekarang ini Yuli hidup di lingkungan keluarga yang serba berkecukupan. Ayahnya adalah seorang pengusaha yang membuka bisnis besar-besaran di luar negeri, sedangkan ibunya mempunyai sebuah perusahaan kue dengan omset yang cukup besar. Selama ini mereka berdua memang sangat tekun dalam menjalankan usahanya masing-masing, dan karena ketekunan yang luar biasa itu, mereka berhasil mencapai taraf kehidupan yang bisa dibilang sangat mapan-pengusaha sukses yang kaya raya. Mereka dapat menyekolahkan Yuli dan memenuhi segala kebutuhannya dengan berlebihan. Selama ini mereka selalu memanjakan Yuli dengan materi yang Yuli sendiri kurang suka, sebab Yuli harus menukarnya dengan tidak mendapat perhatian dan kasih sayang yang cukup dari kedua orang tuanya.
Tiba-tiba Yuli tersadar, kemudian dia segera memeluk kakeknya yang sangat disayangi. "Kek, kita ngobrol-ngobrol di luar yuk!" ajaknya kemudian.
"Iya, Cu. Tapi... Kakek mau menyimpan uang ini dulu."
"Iy a, Kek. Kalau begitu Yuli tunggu di teras ya," kata Yuli seraya melangkah ke luar, sedangkan sang Kakek terlihat melangkah ke kamarnya.
Di teras, Yuli terlihat duduk sendirian. Suasana saat itu terasa sepi sekali. Kini Yuli beranjak dari duduknya, kemudian melangkah ke pekarangan untuk melihat-lihat bunga-bunga yang tumbuh di tempat itu. Tak lama kemudian Sang kakek sudah keluar, dia tampak berdiri di teras sambil memperhatikan cucunya.
"Cu! Kau sedang apa di situ" Ayo lekas kemari!" serunya kemudian.
"Iya, Kek," sahut Yuli seraya menghampiri sang Kakek.
Kini Yuli dan kakeknya sudah duduk di kursi teras, kemudian keduanya tampak berbincang-bincang dengan akrabnya. Tak lama kemudian, sang Nenek datang dan menghampiri mereka. "Kek, Cu! Masakannya sudah siap. Ayo kita makan sama-sama!" ajaknya kemudian.
Yuli dan kakeknya segera beranjak bangun dan melangkah bersama ke meja makan. Setelah makan, Yuli dan neneknya terlihat sibuk berbenah. Setelah semuanya beres, Yuli segera menemui kakeknya yang sedang asyik bersantai di ruang tamu.
"Kek, Yuli mau menanyakan sesuatu sama Kakek," kata Yuli seraya duduk di samping kakeknya.
"Apa itu, Cu"" tanya sang Kakek penasaran.
"Begini, Kek. Waktu itu, Yuli menemukan uang logam emas."
"Uang logam emas"" sang Kakek tampak mengerutkan keningnya.
"Ini, Kek. Uangnya," kata Yuli seraya menyerahkan uang itu kepada kakeknya.
"Di mana kau menemukannya"" tanya sang Kakek seraya mulai mengamati uang itu.
"Di pelataran parkir, Kek," jawab Yuli.
Sang kakek masih mengamati uang logam itu dengan seksama, kemudian membaca tulisan kuno yang tertera di atasnya dengan begitu serius, "Lho ini kan uang peninggalan zaman Kerajaan Majapahit," jelas kakeknya.
Tiba-tiba sang kakek merasakan getaran aneh dari koin tersebut, dia merasakan energi yang begitu besar mengalir melalui telapak tangannya.
"Kenapa, Kek"" tanya Yuli heran melihat kakeknya tiba-tiba terlihat begitu tegang.
"Tidak, Cu. Tidak apa-apa," jawab sang Kakek tidak berterus terang.
"Tapi, kenapa tadi Kakek begitu tegang"" tanya Yuli lagi.
"Sudahlah...! Sebaiknya uang logam ini kausimpan baik-baik, bawalah ke mana saja kaupergi!" pesan sang Kakek seraya menyerahkan koin itu kepada Yuli.
Yuli menuruti pesan kakeknya, dia segera menyimpan koin itu baik-baik. Setelah itu dia tampak bertanya-tanya dalam hati, "Hmm... apa ya keistimewaan lain koin emas itu" Menurutku keistimewaannya cuma pada kemilau dan bentuknya saja. Selebihnya, tidak ada lagi yang istimewa. Tapi... kenapa beliau berpesan demikian" Sepertinya koin itu memang benar-benar istimewa. Tadi beliau tampak begitu tegang ketika memegangnya, sepertinya memang ada sesuatu yang beliau rasakan, namun sayangnya beliau tidak mau mengatakan hal itu."
"Ehem...!" Tiba-tiba sang Kakek membuyarkan lamunannya. "O ya, Cu. Sekarang Kakek mau istirahat. Kalau kau mau istirahat, kau bisa tidur di kamar sebelah. Nenekmu pasti sudah menyiapkannya."
"Iya, Kek. Selamat beristirahat!" ucap Yuli seraya tersenyum
Sang Kakek pun tersenyum, kemudian dia mulai melangkah menuju ke kamarnya. Sementara itu, Yuli masih duduk di ruangan itu, dia masih saja memikirkan perihal uang logam emas yang diduganya mempunyai keistimewaan lebih. Ketika sedang serius memikirkan uang itu, tiba-tiba nada HP yang menandakan telepon dari Jodi berbunyi.
"Hallo, Jo!" sapa Yuli.
"Hallo, Yul! Apa kabar"" tanya Jodi. "Aku baik-baik saja, Jo" jawab Yuli. "Kau lagi di mana"" tanyanya kemudian.
"Aku lagi di kantor ayahku," jawab Jodi. "Nanti malam kau ke rumahku ya!" lanjutnya kemudian.
"Memangnya ada apa, Jo"" tanya Yuli.
"Pokoknya ada deh." jawab Jodi merahasiakan.
"Aduh, Jo... maaf ya! Sepertinya aku tidak bisa."
"Memangnya kau sudah tidak peduli dengan aku lagi ya""
"Bukan begitu, Jo! Malam ini aku mau menginap di rumah kakek dan nenekku."
"Iya iya... kakekmu memang lebih penting. Baiklah... kalau kau memang tidak bisa datang, aku pun tidak akan memaksa," ucap Jodi dengan nada kecewa.
"Jo.. kau marah ya""
"Tidak, aku bisa mengerti kok."
"Baiklah, Jo. Nanti malam aku akan ke rumahmu," janji Yuli.
"Sungguh! K alau begitu, aku tunggu ya. Sampai jumpa nanti malam, bye." ucap Jodi dengan nada yang terdengar begitu gembira.
"Bye..." balas Yuli seraya memutuskan sambungan dan menyimpan HP-nya kembali. Kini dia sudah melangkah ke kamar yang memang sudah dipersiapkan untuknya, kemudian dia segera beristirahat di tempat itu
Sore harinya Yuli sudah terbangun. Setelah mencuci muka, dia langsung menemui kakeknya yang sedang asyik bersantai di ruang tamu. Kini dia sudah duduk di sebelah kakeknya dan langsung mengajak beliau berbincang-bincang. Tak lama kemudian, neneknya datang dengan membawa makanan kecil untuk mereka.
Kini ketiganya tampak asyik bersenda-gurau sambil menikmati makanan kecil yang telah dibawa oleh sang Nenek. Mereka terus bersenda-gurau hingga akhirnya Yuli berpamitan untuk pulang ke Jakarta.
"Kok tidak menginap saja, Cu"" tanya neneknya.
"Sebenarnya aku ingin menginap, Nek. Tapi karena ada keperluan mendadak, aku harus segera pulang," jelas Yuli menyesal.
"Ya sudah. hati-hati di jalan ya, Cu!" pesan kakeknya.
"Iya, Cu. jangan ngebut!" timpal neneknya.
Dengan perasaan berat, akhirnya Yuli berangkat meninggalkan keduanya. Dia tampak mengemudikan mobilnya keluar dari pekarangan dengan sangat perlahan. Sejenak dia melirik ke kaca spion untuk melihat kakek dan neneknya yang masih saja melambaikan tangan. Tak lama kemudian, dia sudah berada di tengah jalan dan langsung memacu mobilnya menuju ke Jakarta. Sementara itu di tempat lain, seorang kakek terlihat sedang memanjatkan doa di depan sebuah makam, di sisinya tampak sebuah botol mawar yang sudah kosong.
Dialah sang Kakek yang waktu itu berpapasan dengan Branden dan Rani ketika sedang berziarah ke makam Yana. Kini kakek itu tampak menadahkan tangannya untuk berdoa. Dia tampak berdoa dengan begitu khusuk, kedua matanya tampak berkaca-kaca.
Selesai sang Kakek berdoa, tiba-tiba angin sepoi-sepoi tampak bertiup di tempat itu. Pada saat yang sama, sebuah bunga kamboja bermahkota lima tiba-tiba jatuh dihadapannya. Sang kakek segera memungut bunga itu dan menciumnya dengan penuh perasaan, kemudian segera menyimpannya di saku baju.
Kini sang Kakek tampak melangkah menuju ke makam orang tua Yana yang letaknya tidak begitu jauh. Di tempat itu sang Kakek juga berdoa, dia mendoakan kedua orang tua Yana agar senantiasa diberikan kelapangan kubur. Selama ini dia memang sering berdoa untuk mereka. Sebab semasa hidup, Yana selalu berbuat baik kepada kakek itu, bahkan dia sudah menganggapnya seperti orang tuanya sendiri. Setiap kali berkunjung ke makam orang tuanya, Yana selalu melihat makam itu dalam keadaan bersih dan rapi. Itu semua karena sang Kakek yang selalu merawat makam orang tua Yana dengan baik. Karenanyalah, setiap hendak pulang Yana selalu memberikan uang sekedarnya kepada kakek itu sebagai ungkapan rasa terima kasihnya, dan hal itu terus berlanjut, sampai akhirnya mereka akrab seperti anak dan ayah.
Malam harinya, seorang pria tampak sibuk mempersiapkan sebuah pesta kecil di rumahnya. Dialah Jodi yang akan memberikan pesta kejutan buat Yuli, sebuah pesta kecil untuk merayakan keberhasilan Yuli yang telah terpilih sebagai pemain piano terbaik tingkat Nasional. Jodi berniat merayakannya semata-mata hanya untuk menarik simpati Yuli. Selama ini Jodi memang menyukai Yuli, dan Yuli sendiri diam-diam sudah mencintai pemuda itu. Perhatian Jodi selama ini telah membuatnya begitu tersanjung, bahkan dia merasa Jodilah orang yang pantas menjadi kekasihnya.
Jodi tampak masih mengatur persiapan pesta, kini dia sedang memberikan sentuhan terakhirnya. Serangkai mawar yang begitu manis tampak diletakkannya di atas meja, kemudian disusul dengan sebotol sampanye yang juga diletakkan di atas meja. Bersamaan dengan itu, tiba-tiba istri Jodi yang bernama Maemi datang ke rumah itu. Dia sengaja datang untuk mengabarkan sebuah kabar gembira kepada suaminya, sekaligus ingin menghadiri resepsi pernikahan temannya yang ada di Jakarta.
"Wah! Mau ada pesta rupanya," kata Maemi kepada suaminya yang saat itu tidak menyadari kedatangannya.
"Eh... kau, Sayang... Kok tidak bilang-bilang kalau m
au datang"" tanya Jodi yang sedikit terkejut akan kehadiran istrinya yang begitu tiba-tiba.
"Aku mau memberi kejutan untukmu, Sayang..." jawab Maemi.
"Kejutan... apa itu"" tanya Jodi penasaran.
"Ini." kata Maemi seraya menyodorkan selembar surat.
Jodi segera mengambil surat itu dan mulai membacanya, "Apa! Kau hamil." katanya terkejut.
"Benar, Sayang... Kau senang kan mendengar kabar ini"" tanya Maemi sambil tersenyum dan memegang tangan suaminya dengan lembut.
"Tidak!!! Aku belum siap untuk menjadi seorang ayah. Kenapa kau tidak memberitahuku kalau ingin mempunyai bayi" Pantas akhir-akhir ini kau sering pergi ke dokter, rupanya ini... Huh! Menyebalkan," kata Jodi dengan nada marah.
"Maaf, Sayang...! Selama ini aku memang sudah mendambakan seorang bayi. Begitu ada dokter yang sanggup menyuburkan kandunganku, aku pun tidak mau menyia-nyikannya. Semula kupikir kau pun akan senang, tapi ternyata aku keliru. Kenapa kau tidak mau mengerti perasaanku, Jo... " Kenapa"" tanya Maemi dengan nada memelas.
"Pokoknya aku tidak mau punya bayi, titik... dan kau harus menggugurkan kandunganmu itu secepatnya!"
"Tidak, Jo! Aku tetap akan memelihara bayi di kandunganku ini," kata Maemi seraya menitikkan air matanya.
"Maemi, Dengar!! Kalau kau tetap mau menjadi istriku, kau harus mau menggugurkan kandunganmu itu!"
"Kenapa kau berkata semudah itu, Jo. Kenapa""" tanya Maemi dengan nada yang meninggi. "Apakah kau memang sudah mempunyai yang lain"" tanyanya lagi.
"Apa maksudmu"" tanya Jodi.
"Kau mempunyai wanita simpanan kan" Lihat ini!" kata Maemi seraya menunjukkan rangkaian buka mawar dan mengambilnya. "Kenapa kau membuat ruangan ini begitu romantis" Kau hendak mengundang seorang wanita kan"" kata Maemi lagi seraya mencampakkan rangkaian mawar yang ada di genggamannya, kemudian melangkah meninggalkan ruangan itu.
"Maemi tungguuu." Jodi berusaha mencegah, namun Maemi tidak peduli, dia terus melangkah menjauhi suaminya.
Jodi yang tidak bisa mencegah kepergian istrinya hanya bisa mematung sambil menatap kepergiannya, kemudian dia terduduk di sofa dengan segala kegundahan di hatinya. Sementara itu, Maemi yang baru saja keluar dari pintu depan tiba-tiba menghentikan langkahnya, sedangkan kedua matanya tampak memperhatikan Yuli yang sedang melangkah ke arahnya. "Hmm ini rupanya wanita itu." duga Maemi dalam hati.
"Selamat malam," sapa Yuli kepada Maemi.
"Malam," balas Maemi ketus. "Heh, dengar ya wanita jalang! Kau tidak akan bisa hidup bahagia bersama Jodi, suatu saat kau pun akan bernasib sama seperti aku-dicampakkannya seperti sampah. Kalau kau mau tahu, aku ini istrinya Jodi yang sengaja datang dari Tokyo untuk memberitahukan tentang bayi di kandunganku ini. Dan demi kau dia malah menyuruhku untuk menggugurkannya."
"Maaf! Sebenarnya apa maksud semua perkataanmu itu"" tanya Yuli bingung.
"Heh! Kau masih juga belum mengerti. Bukankah kau wanita simpanan Jodi" Sudahlah... kau tidak perlu mungkir! Kau memang lebih cantik dari aku, pantas kalau dia lebih menginginkanmu ketimbang aku," jelas Maemi seraya berpaling dari pandangan Yuli dan bergegas pergi.
"Hai... tunggu! Aku benar-benar tidak mengerti, kenapa kau menuduhku sebagai wanita simpanan"" tanya Yuli agak kesal.
Maemi tidak mempedulikannya, dia terus saja melangkah pergi. Sementara itu, Yuli cuma terpaku menatap kepergiannya, kemudian dia melangkah menuju ke pintu depan. Jodi yang mengetahui kedatangannya segera keluar dan mempersilakannya masuk. Kini keduanya sudah melangkah menuju ke ruang tengah.
"Jo, siapa wanita tadi"" tanya Yuli tiba-tiba.
"O... dia itu rekan bisnisku," jawab Jodi berbohong.
"Benarkah"" tanya Yuli ragu.
"Benar, Yul. Sebenarnya tadi dia sengaja datang untuk mengajakku makan, dan ketika aku menolak karena sudah ada janji denganmu, mendadak raut wajahnya berubah. Aku pun tidak mengerti kenapa tiba-tiba dia menjadi seperti itu, sepertinya dia tidak senang dengan keputusanku."
"Apakah kau ada hubungan khusus dengannya"" tanya Yuli menyelidik.
"Maksudmu""
"Apakah kau dan dia menjalin hubungan selain urusan bisnis."
"Tidak, selama ini aku dan dia
murni hanya sebagai rekan bisnis saja."
"Mungkinkah dia mencintaimu""
"Entahlah... aku juga tidak tahu. Kalau memang benar begitu, aku bisa mengerti jika dia tiba-tiba menjadi seperti itu. Sudahlah Yul, kita lupakan saja perihal dia! Nanti aku akan bicara padanya dan menjernihkan semuanya."
Tak lama kemudian, keduanya sudah tiba di ruang tengah. "Silakan duduk Yul!" pinta Jodi ramah.
"Ngomong-ngomong, sebenarnya ada apa sih"" tanya Yuli semakin penasaran begitu melihat ruangan itu tampak begitu romantis.
"Selamat ya, atas keberhasilanmu sebagai pemain piano terbaik tingkat Nasional," ucap Jodi seraya mencium pipi kiri dan kanan Yuli.
Setelah itu, Yuli tampak menatap Jodi dengan mata yang berkaca-kaca. "Terima kasih, Jo... kau sungguh perhatian dan begitu baik padaku. Orang tuaku saja tidak peduli dengan semua itu," ucapnya haru.
"Sudahlah... ! Bukankah kau sahabatku," kata Jodi seraya membuka sebotol sampanye dan menuangkannya pada dua buah gelas yang sudah dipersiapkan, kemudian mereka bersulang merayakan kesuksesan itu. Raut wajah Yuli tampak begitu ceria, dan dia sangat bersyukur karena mempunyai sahabat sebaik Jodi.
"Tunggu ya, Yul! Aku mau ke kamar sebentar," pamit Jodi tiba-tiba.
Yuli mengangguk, sejenak dia memperhatikan kepergian Jodi yang sudah melangkah ke kamarnya. Sambil menunggu, Yuli tampak merenungi kejadian ketika bersama Maemi tadi. Dia benar-benar masih saja bingung dengan perihal itu, "Hmm... sebenarnya siapa wanita tadi, kenapa dia mengaku sebagai istri Jodi dan menuduhku sebagai wanita simpanan" Mungkinkah dia memang mencintai Jodi" Dan dia berkata demikian lantaran cemburu karena Jodi lebih mementingkan kehadiranku. Jika memang demikian, aku bisa memakluminya. Tapi kalau Jodi berbohong, berarti wanita itu memang benar-benar istrinya" Ah, sudahlah... aku percaya kalau Jodi telah berkata jujur, selama ini kan dia telah begitu baik padaku."
Kini Yuli tampak mengeluarkan koin emas yang selama ini masih menjadi misteri, kemudian mengamatinya dengan begitu seksama. Saat itu dia masih belum mengerti kenapa kakeknya berpesan untuk menjaga koin emas itu, "Sebenarnya... apa keistimewaan koin ini ya"" tanya Yuli membatin.
Sementara itu di dalam kamar, Jodi tampak sedang membuka laci lemari. Rupanya dia sedang mengambil hadiah yang akan diberikan kepada Yuli. Tiba-tiba dari sudut ruangan terdengar suara wanita memanggil, "Jo... Jodiii...!" panggil wanita itu dengan suara yang terdengar parau.
"Siapa kau"" tanya Jodi seraya celingukan mencari asal suara itu, "Di-di mana kau"" tanyanya lagi.
"Aku di sini, Jo," jawab orang yang memanggil.
Jodi segera memalingkan wajahnya ke arah asal suara itu, dan betapa terkejutnya dia ketika melihat sosok Yana sedang berdiri di sudut ruangan sambil tersenyum dingin.
"Ka-kau! Kenapa kau ma-ma-masih menggangguku"" tanya Jodi ketakutan.
"Maafkan aku, Jo! Aku terpaksa datang menemuimu lagi. Sebenarnya kedatanganku hanya untuk menyampaikan sebuah permintaan, dan kau tidak perlu takut karenanya," ucap sosok wanita itu.
"Pe-pe-permintaan..." Permintaan apa itu"" tanya Jodi masih saja ketakutan.
Kemudian sosok wanita itu segera mengatakan permintaannya, dia menghendaki agar Jodi mau menjelaskan perihal jati dirinya kepada Rani, yaitu bahwa dia telah mempunyai istri dan selama ini cuma mempermainkan Rani saja.
"Ti-ti-tidak! Itu tidak mungkin," tolak Jodi.
"Kenapa, Jo"""" tanya sosok wanita itu dengan kening berkerut.
"Pokoknya a-a-aku tidak mau. Aku tidak mungkin mengatakan hal itu."
"Kurang ajar!!! Dasar banci...!!!" teriak sosok wanita itu seraya melayangkan sebuah vas keramik dan menjatuhkannya tepat di depan kaki Jodi.
Sementara itu, Yuli yang sedang mengamati koin emasnya seketika terkejut-dia benar-benar sangat kaget mendengar suara pecahan itu. Kemudian sambil tetap memegang koinnya, Yuli segera naik ke lantai atas untuk memeriksa, dan tak lama kemudian dia sudah berada di kamar Jodi. "Ada apa, Jo"" tanya Yuli seraya melihat pecahan vas yang berserakan.
Jodi tidak bicara, dia masih terus menatap sosok Yana dengan penuh ketakutan. Melihat Jodi seperti itu
, Yuli tampak semakin heran, kemudian dia segera memandang ke arah pemuda itu melihat. Betapa terkejutnya Yuli ketika melihat sosok Yana sedang menyeringai di sudut ruangan. Tak ayal, Yuli langsung tergeletak pingsan. Bersamaan dengan itu, koin emas yang ada di genggamannya tampak menggelinding ke arah sosok Yana dan berhenti persis di bawah kakinya.
Bersamaan dengan itu, tiba-tiba sosok Yana berteriak histeris, terkena sinar keemasan yang tiba-tiba saja terpancar mengenai tubuhnya. Karena merasakan hawa panas yang seakan membakar tubuh, akhirnya sosok Yana segera menjauhi koin tersebut. Mengetahui itu, Jodi segera memungut koin emas itu dan langsung mengarahkannya ke hadapan sosok Yana. Tak ayal, sosok Yana kembali berteriak histeris, tak kuasa menahan hawa panas yang semakin membakar tubuhnya. "Aaah. panaaasss.!" teriak sosok wanita itu seraya menghilang dari pandangan.
Melihat itu, Jodi tampak senang sekali, kemudian dia tertawa terbahak-bahak. "Ha ha ha! Dengan koin ini aku akan aman dari arwah sialan itu, dan dia tidak mungkin berani mendekatiku lagi. Ha ha ha...!" ucap Jodi sambil tertawa terbahak-bahak.
Setelah puas tertawa, Jodi segera membopong Yuli dan merebahkannya di atas tempat tidur, kemudian memandangnya dengan penuh gairah. "Tidak, ini bukan saat yang tepat. Aku tidak mungkin melakukannya di saat seperti ini," katanya dalam hati, kemudian pandangannya segera beralih ke koin yang berada di genggamannya.
Jodi masih terus mengamati koin yang membuatnya begitu takjub. Pada saat itu, tiba-tiba Yuli tersadar dari pingsannya. Dia tampak duduk di atas tempat tidur sambil mengamati sekelilingnya, "Di-di-di mana arwah tadi"" tanyanya dengan raut wajah yang masih tampak ketakutan.
"Tenang Yul, arwah itu sudah pergi-dia tak kuasa menghadapi koin ini," jelas Jodi seraya menyerahkan koin itu kepadanya.
"Koin ini bisa mengusirnya"" tanya Yuli seakan tidak percaya, kemudian dia mengamati koin yang kini berada di telapak tangannya.
"Benar, Yul. Sepertinya arwah itu merasa kepanasan bila berdekatan dengan koin itu."
"Ngomong-ngomong... kenapa arwah itu mendatangimu, Jo""
"Entahlah... aku juga tidak tahu, kenapa arwah itu selalu mendatangiku. Padahal, aku tidak pernah berbuat macam-macam," kata Jodi merahasiakan kejadian sesungguhnya.
"Kalau begitu, sebaiknya koin ini kau pegang saja! Dengan demikian arwah itu tidak akan mengganggumu lagi," kata Yuli sungguh-sungguh.
Sosok Yana yang mendengarkan percakapan mereka dari kejauhan tampak begitu geram-dia kesal sekali melihat Jodi yang sengaja membodohi Yuli agar bisa memiliki koin tersebut.
Sembilan Esok siangnya cuaca tampak cerah. Di sebuah jalan yang macet, kendaraan tampak merayap dengan perlahan. Suaranya yang bising menambah kejengkelan Rani yang saat itu baru saja pulang sekolah. Di tambah lagi dengan asap hitam yang tampak mengepul dari knalpot sebuah bis kota tua yang tak terawat.
Kini Rani sedang duduk di sebuah halte yang cukup ramai, menunggu bis kota yang akan mengantarnya pulang. Sejenak dia memperhatikan orang-orang di sekitarnya, dilihatnya beberapa orang penumpang tampak naik-turun bis, tak ketinggalan para pedagang asongan dan pengamen yang mencoba mencari peruntungan.
"Blok-M Blok-M. Ayo, kosong... kosong...!" terdengar suara kondekturnya yang berteriak keras.
Rani tertawa mendengar ucapan kondektur itu, walaupun dia sudah sering mendengarnya. Namun kalau dipikir-pikir, lucu juga kalau bis yang sudah penuh masih juga dibilang kosong.
Rani masih duduk menunggu, dalam hati dia mulai merasa resah. "Aduh, kok lama sekali sih," keluhnya seraya bangkit berdiri, kemudian matanya kembali memperhatikan setiap bis yang mendekat.
Setelah lama menunggu, akhirnya bis yang dinantikannya tiba. Melihat itu, Rani segera beranjak bangun dan bergegas naik. Pada saat yang sama, si Kondektur terlihat membantunya untuk menaiki bis yang terlihat sudah penuh sesak. "Lumayan bisa pegang-pegang cewek cantik," kata si Kondektur dalam hati.
Bis kota kembali melaju, bersamaan dengan si Kondektur yang mulai menagih ongkos penumpang. "Cring... cring... cring..." te
rdengar bunyi uang recehan si kondektur yang memberi tanda kepada para penumpang yang belum membayar. Rani segera mengeluarkan uang pas dan memberikannya kepada kondektur itu. Pada saat yang sama, seorang pemuda tampak beranjak dari duduknya dan mempersilakan Rani duduk.
"Terima kasih! Saya bisa berdiri kok!" tolak Rani kepada pemuda itu.
"Duduk saja, Dik! Sebentar lagi saya akan turun," jelas pemuda itu.
"Terima kasih ya!" ucap Rani seraya duduk di samping seorang ibu yang sedang menggendong bayinya.
Rani tampak memperhatikan bayi itu, dilihatnya bayi itu sedang tertidur pulas, wajahnya yang lucu tampak begitu polos. Bayi yang belum mempunyai dosa itu terjaga sesaat, kemudian matanya yang jernih tampak menatap Rani dengan penuh tanda tanya. Tak lama kemudian, Bayi itu kembali terlelap.
Rani terus memperhatikan bayi itu, sementara itu ibu si Bayi tampak memandang Rani sambil tersenyum. "Pulang sekolah, Nak"" tanyanya membuka pembicaraan.
"Iya, Bu," jawab Rani sambil tersenyum. "Berapa usianya, Bu"" tanyanya kemudian.
"Empat bulan," jawab si Ibu ramah.
Rani tampak memperhatikan bayi itu lagi, "Namanya siapa, Bu," tanya Rani seraya mengusap-usap kepala bayi itu dengan penuh kasih sayang.
"Rina Dewina," jawab si Ibu.
"Benarkah!" ucap Rani seakan tidak percaya. "Namanya mirip sekali denganku, Bu. Cuma beda sedikit saja" jelas Rani kemudian.
"Memangnya namamu siapa, Nak"" tanya si Ibu.
"Namaku Rani Dewina, Bu."
"Benarkah! Kalau begitu, namamu memang mirip sekali dengan nama putriku," kata si Ibu seraya tersenyum.
Rani segera membalas senyuman itu dengan rona merah di wajahnya. Dan tak lama kemudian, keduanya sudah kembali berbincang-bincang.
Mereka terus berbincang-bincang selama perjalanan, hingga akhirnya bis itu tiba di tempat tujuan. Mengetahui itu, Rani segera pamit kepada si Ibu yang ternyata sangat baik kepadanya.
Setelah turun dari bis, Rani langsung membeli nasi bungkus di tempat biasa, kemudian pulang ke rumah dengan menumpang angkot. Beberapa menit kemudian, gadis itu sudah tiba di rumahnya. Seperti biasa, suasana di rumah itu terasa begitu sepi. Maklumlah, sang Ayah memang biasa pulang kantor setelah sore hari, dan Rani selalu merasa kesepian karenanya.
Setelah bersih-bersih, Rani segera menyantap nasi bungkus yang baru dibelinya. Setelah itu dia bergegas untuk mengganti pakaian, kemudian bergegas ke kamar ayahnya untuk merapikan tempat itu. Betapa terkejutnya Rani ketika melihat kamar itu lagi-lagi sudah ada yang merapikan.
"Ini benar-benar aneh," katanya dalam hati. "Hmm... sebenarnya apa yang telah terjadi" Semenjak kematian ibu, selalu saja ada kejadian aneh yang aku alami. Hmm... apakah Ayah sudah kembali lagi dengan kesesatannya, kembali bersekutu dengan setan" Kalau memang demikian, aku takut sekali jika harus tinggal di rumah ini. Nanti kalau ayah pulang, akan kudesak beliau untuk mengatakan hal yang sebenarnya. Kalau beliau tidak mau mengatakannya, maka dengan berat hati aku akan meninggalkan rumah ini." Setelah bertekad begitu, Rani segera beranjak ke ruang tamu dan membaca majalah di tempat itu.
Hari telah menjelang petang. Pada saat itu Rani tampak sudah terlelap di atas sofa. Sementara itu di area pemakaman, seorang pemuda tampak sedang berdiri di hadapan nisan Yana. Kini pemuda itu sedang meletakkan koin emas di atas pusara makam. Pada saat yang sama, tiba-tiba saja dari dalam makam terdengar jerit rintih kesakitan. Sementara itu, pemuda yang bernama Jodi tampak tersenyum sinis mendengar rintihan yang begitu memilukan. Rupanya pemuda itu beniat membinasakan sosok Yana yang selama ini sudah mengganggunya.
"Hai!!! Apa yang sedang kaulakukan"""" Teriak seseorang menegurnya.
Seketika Jodi terkejut seraya menoleh ke asal suara, saat itu dia melihat seorang kakek yang tampak tergesa-gesa menghampirinya. Mengetahui itu, Jodi segera mengambil koinnya dan berlari tunggang-langgang.
Sang Kakek yang ternyata juru kunci di pemakaman itu tak kuasa untuk mengejar, dia cuma terpaku sambil memperhatikan kepergian pemuda itu dengan seribu tanda tanya. Kini Kakek itu sudah berjongkok di sisi ma
kam Yana seraya membuka penutup botol air mawar yang dibawanya. Setelah melakukan itu, sang kakek tampak berdoa dengan khusuknya.
Sementara itu di tempat lain, Branden terlihat baru saja pulang dari kantor. Kini dia sedang berada di teras depan dan mulai memasuki rumahnya. Ketika baru saja melewati ambang pintu, dilihatnya Rani sedang tertidur pulas di atas sofa. Branden cuma geleng-geleng kepala melihat putrinya tertidur di tempat itu, lalu dia segera duduk di sisinya.
Kini Branden sedang memandangi wajah putrinya yang tampak begitu damai, kemudian membelai kepalanya dengan penuh kasih sayang. Mendadak Rani terjaga, "Ayah..." ucapnya seraya menatap ayahnya yang tampak tersenyum tipis, kemudian dia segera duduk di sisi beliau.
"Rani, apakah kau masih mengantuk, Sayang..."" tanya Branden. "Kalau kau masih mengantuk, sebaiknya pindah saja ke tempat tidur!" sambungnya kemudian.
"Tidak, Ayah. Rani sudah tidak mengantuk," jawab Rani seraya merenggangkan persendiannya.
"Ya sudah. kalau begitu sekarang kau mandi! Ayah mau beristirahat di sini. O ya, tolong ambilkan Ayah minum, Sayang.!" pinta Branden kepada putrinya.
Rani segera menurut. Setelah memberikan segelas air bening kepada ayahnya, Rani langsung bergegas mandi. Sementara itu, Branden tampak duduk bersantai untuk melepaskan lelahnya. Saat itu hembusan angin sepoi-sepoi masuk melalui jendela yang terbuka.
Beberapa menit kemudian, Rani yang sudah selesai mandi tampak duduk di sisi Ayahnya, kemudian mulai membuka pembicaraan. "Yah, Rani mau meminta penjelasan Ayah!" pintanya dengan wajah yang serius.
"Penjelasan apa, Sayang..."" tanya ayahnya.
"Penjelasan tentang perihal keanehan yang selama ini terjadi di rumah kita. Rani merasa, selama ini Ayah selalu menutup-nutupinya. Sekarang Rani ingin mendengarkan penjelasan dari Ayah, apa yang sebenarnya telah terjadi di rumah ini""
"Aduh, Rani... sebaiknya kau lupakan saja semua itu! Mulai saat ini sebaiknya kau memikirkan masalah sekolahmu saja, biarlah semua keanehan yang kaubilang itu Ayah sendiri yang menyelesaikan!"
"Baiklah, Ayah. Rani tidak akan bertanya lagi soal itu, sekarang Rani mau belajar dulu. Bukankah tadi Ayah bilang, Rani harus memikirkan tentang urusan sekolah."
"Nah... itu baru anak Ayah. Ayah senang sekali jika kau mau menuruti apa yang Ayah katakan."
"Sudah ya, Ayah! Sekarang Rani mau belajar dulu," ucap Rani seraya melangkah pergi.
Malam harinya, di sebuah rumah yang tampak megah, sesosok tubuh bergaun putih tampak melayang mendekati jendela kamar yang tertutup. Itulah jendela kamar Yuli yang terletak di lantai atas. Pada saat itu, Yuli terlihat sedang asyik bersandar di atas tempat tidurnya. Membaca majalah sambil mendengarkan tembang manis yang mengalun merdu.
Ketika sedang asyik-asyiknya membaca, tiba-tiba dia dikejutkan oleh suara ketukan di jendela kamar. Seketika Yuli menatap ke arah jendela, kemudian segera beranjak untuk memeriksanya. Gadis itu tampak membuka kaca jendela dan memperhatikan sekitarnya dengan penuh seksama. Bersamaan dengan itu, hembusan angin dingin terasa menerpa wajahnya. Yuli menggigil, merasakan hawa dingin yang begitu menusuk kulit.
Yuli terus memperhatikan keadaan di sekitarnya. Sementara itu di benaknya timbul segala pertanyaan yang membuatnya sedikit bingung, "Apa benar yang kudengar tadi" Masa iya ada orang usil yang mau mengetuk jendela kamarku. Kamar ini kan terletak di lantai atas. Tapi, sepertinya tadi aku memang benar-benar mendengar suara ketukan. Jangan-jangan..."
Seketika itu juga Yuli merinding, lalu dengan segera menutup jendela kamarnya rapat-rapat. Kini gadis itu sudah kembali bersandar di tempat tidur sambil membuka majalahnya kembali. Baru saja dia membaca sebentar, tiba-tiba suara ketukan kembali terdengar. Kali ini suara itu berasal dari balik pintu kamarnya. Yuli segera memusatkan pendengarannya ke arah pintu. Tiba-tiba suara itu kembali terdengar, tapi kali ini terdengar agak pelan dari yang tadi. Karena pendengarannya terganggu, Yuli segera mematikan stereo set-nya dan kembali memusatkan pendengaran, namun suara itu tak terdengar lagi. Kar
ena penasaran, akhirnya Yuli beranjak ke pintu dan membukanya dengan perlahan, kemudian mengintip ke luar dengan hati-hati sekali. "Aneh... tidak ada siapa-siapa," katanya dalam hati.
Akhirnya Yuli tidak mempedulikannya. Dia kembali menutup pintu dan melangkah ke tempat tidur, kemudian menyalakan stereo set-nya lagi. Kini suara musik kembali mengalun merdu. Bersamaan dengan itu, Yuli tampak bersiap-siap untuk bersandar kembali di tempat tidurnya. Namun belum sempat dia bersandar, tiba-tiba suara ketukan kembali terdengar.
"Siapa sih!" serunya seraya menatap ke arah pintu dengan wajah yang begitu kesal.
Tok Tok Tok! suara itu kembali terdengar.
"Maaang! Kau ya" Sudah deh jangan suka usil! Nanti kalau aku sudah marah betulan, kau akan tahu akibatnya!" teriak Yuli kepada orang yang dikira pembantunya.
Selama ini Yuli memang sudah cukup bersabar menghadapi pembantunya yang selama ini memang suka diberi hati, tapi selalu minta kepala itu. Selama ini dia memang sering dibuat kesal dengan segala tingkah-lakunya yang kadang-kadang menjengkelkan. Tapi karena pembantunya itu baik dan jujur, Yuli tetap mempertahankannya.
Tiba-tiba suara ketukan kembali terdengar. Kali ini Yuli sudah benar-benar marah, lantas dengan segera dia beranjak bangun dan membuka pintu kamar dengan tiba-tiba.
"A-apa!" seru Yuli terkejut ketika mengetahui di depan pintu tidak ada siapa-siapa. "Aneh... tidak mungkin Mang Udin bisa lari secepat itu. Dia kan bukan orang sakti. Lalu, siapa ya"" tanya Yuli keheranan.
Lantas dengan diselimuti perasaan takut, Yuli terus memperhatikan ke sekelilingnya. Kedua matanya tampak waspada memandang ke setiap sudut ruangan, melirik kesana-kemari-mencari orang yang telah mengetuk pintu kamarnya. Keheningan malam membuat Yuli semakin takut, namun keingintahuannya yang besar memaksa dia untuk memberanikan diri. Sambil terus waspada dia mulai melangkah, kemudian menuruni anak tangga dengan hati-hati sekali. Setibanya di lantai bawah, Yuli langsung melangkah ke dapur dengan perlahan. Dia menduga orang tadi pasti bersembunyi di tempat itu.
Yuli terus melangkah. Tiba-tiba dia mendengar ada langkah kaki yang membuntutinya, lalu dengan segera dia menoleh ke belakang. Ternyata di belakangnya tidak ada siapa-siapa. Mengetahui itu, seketika Yuli bergidik seraya mempercepat langkah kakinya.
Kini gadis itu sudah berada di ruangan dapur dan langsung mengamati ruangan itu dengan penuh seksama. Bersamaan dengan itu, di belakangnya melintas sesosok tubuh dengan gaun putih yang berkibar-kibar. Namun Yuli tidak mengetahui hal itu, dia terus memeriksa ruang dapur dengan penuh rasa was-was. Setelah dirasa cukup, Yuli berniat untuk memeriksa ruang tamu. Namun belum sempat dia melangkah, tiba-tiba sesosok tubuh putih meluncur turun dari atas lemari dan berdiri tepat di hadapannya.
Seketika Yuli terkejut, jantungnya pun langsung berdebar kencang. "Aduh Kitty, kau mengagetkanku saja. Sini pus...!" Panggil Yuli kepada sosok putih yang ternyata kucing kesayangannya.
Yuli segera menggendong kucing itu dan membawanya ke ruang tamu. Kini dia sudah berada di ruangan itu dan sedang menatap ke arah jam dinding yang dilihatnya sudah menunjukkan pukul 24.00. Pada saat yang sama, tiba-tiba kucing yang ada di gendongannya tampak menggeram, rupanya dia mengetahui kehadiran sosok Yana yang kini berada di ruangan itu.
Yuli yang mengetahui kucingnya menggeram seperti itu menjadi sangat heran, "Ada apa pus"" tanyanya seraya membelai kepala kucing itu dengan lembut. Betapa terkejutnya Yuli ketika kucing itu tiba-tiba meronta dan akhirnya melarikan diri ke arah dapur.
Kini Yuli tampak mengawasi sekelilingnya dengan penuh rasa was-was, kedua bola matanya terus bergerak memperhatikan keadaan ruangan yang tampak begitu hening. Tiba-tiba bulu kuduk Yuli berdiri, dia teringat cerita temannya yang mengatakan kalau hewan sangat sensitif dengan yang namanya makhluk halus, apalagi pada malam Jumat seperti sekarang-dimana menurut kepercayaan sebagian orang, kalau malam Jumat adalah saatnya makhluk-makhluk itu bergentayangan.
Lantas dengan perasaan takut yang sema
kin berkembang, akhirnya Yuli berlari ke kamar dan mengunci pintunya rapat-rapat. Ketika dia akan merebahkan diri di tempat tidur, tiba-tiba dia melihat sepucuk surat tampak tergeletak di atas seperainya yang berwarna biru. "Hmm... siapa yang meletakkan surat ini"" tanya Yuli seraya mulai membacanya.
Betapa terkejutnya Yuli ketika mengetahui isi surat itu, seketika bulu kuduknya langsung merinding. Di dalam surat itu, sosok Yana menjelaskan semua jati dirinya, dia juga menjelaskan mengenai jati diri Jodi dan mengungkapkan semua kebusukan pemuda itu. Selain itu, dia juga meminta kepada Yuli agar bersedia mengungkapkan jati diri Jodi kepada Rani.
"Ra-Rani. ja-jadi yang mengetuk-ngetuk pintu tadi arwah ibunya Rani." Yuli kembali bergidik. "Hmm... jadi selama ini Jodi telah membohongiku. Ternyata Rani itu bukan sepupunya, tapi kekasihnya. Tapi... kenapa aku yang diminta oleh ibunya untuk mengungkapkan jati diri Jodi"" tanya Yuli seraya berpikir keras. "Hmm... apakah Jodi memang sebusuk itu" Aku benar-benar tidak menyangka kalau dia sudah mempunyai istri di Tokyo. Tapi... apakah semua yang dikatakan arwah Yana dalam surat itu benar adanya" Mungkinkah Arwah itu mencoba memperalatku dengan cerita bohong yang membuatku terpaksa mengambil koin emas itu""
Tiba-tiba Yuli teringat dengan peristiwa di depan rumah Jodi, kemudian dia segera menghubungkan peristiwa itu dengan perkataan sosok Yana di suratnya. "Ya. rasanya memang Jodi telah membohongiku, aku rasa wanita itu memang istrinya," kata Yuli menyimpulkan. "Kalau begitu, besok aku akan meminta kembali koin milikku itu. Terus terang, aku tidak rela jika koin itu digunakan untuk melindungi pria busuk seperti dia."
Ketika Yuli hendak merebahkan diri, tiba-tiba dia melihat sebuah bayangan putih yang sekejap melintas di balik jendela. Saat itu Yuli benar-benar terkejut ketika melihatnya, namun begitu dia mencoba memberanikan diri dengan tetap menatap ke luar jendela. Lama juga dia menatap, namun hal aneh yang diperkirakannya akan muncul sama sekali tidak terjadi.
Kini Yuli sudah merebahkan diri. Sejenak matanya melirik ke arah pintu, dan sesekali menatap ke arah jendela. Karena khawatir sosok Yana melintas lagi, akhirnya dia segera menutup gorden jendelanya rapat-rapat. Setelah itu dia kembali merebahkan diri seraya bersembunyi di balik selimutnya.
Yuli mencoba untuk tidur, namun dia tidak bisa tertidur sama sekali. Pikirannya terus menerawang entah ke mana. Sampai akhirnya dia bisa tertidur ketika hari sudah menjelang Subuh. Pada saat itu dia sudah benar-benar mengantuk, dan ketika mendengar suara orang mengaji di kejauhan dia pun langsung terlelap. Yuli tertidur dengan selimut tetap menutupi sekujur tubuhnya.
Sepuluh Ketika matahari mulai bersinar, Branden dikejutkan oleh sepucuk surat yang dia temukan di atas meja kecil di samping tempat tidurnya. Isi surat itu memberitahukan kalau Rani telah pergi meninggal rumah. Mengetahui itu, Branden segera memeriksa kamar Rani. Setelah mengetahui Rani tidak berada ditempat tidurnya, yakinlah Branden kalau Rani memang telah minggat.
Hari ini Branden terpaksa tidak masuk kantor, dia pergi ke sana-kemari untuk mencari putri tunggalnya itu. Namun sangat disayangkan, hingga tengah hari Rani belum juga ditemukan. Sementara itu di tempat lain, Yuli terlihat sedang berada di pelataran parkir. Setelah memarkir mobilnya dia tidak lekas keluar, tapi dia berbicara dulu dengan seseorang lewat HP-nya. "Jo, nanti malam kau jangan kemana-mana ya! Aku ada perlu denganmu," katanya kepada pemuda yang ada di seberang sana.
"Apa itu, Yul"" tanya Jodi penasaran.
"Nanti malam saja, Jo. Soalnya sekarang aku tidak bisa lama-lama."
"Baiklah... nanti malam aku akan menunggumu."
"Sudah ya, Bye..." ucap Yuli mengakhiri pembicaraan seraya menyimpan HP-nya.
Setelah itu dia bergegas ke luar dan langsung menuju ke Salon Kecantikan. Kebetulan hari ini dia memang mau creambath rutin di tempat itu. Sementara itu di dalam Salon suasana tampak sedikit ramai, beberapa orang tampak sedang duduk menunggu giliran. Di salah satu kursi hias tampak seorang wanita as
ing yang sedang ditata rambutnya. Wanita itu adalah Maemi, dia sedang berhias karena akan pulang ke Tokyo. Usai berhias, wanita itu duduk di kursi tunggu sambil mengeluarkan kartu kredit. Pada saat yang sama, Yuli tiba di tempat itu, dia duduk di sebelah Maemi seraya membuka majalah yang dibawanya.
Betapa terkejutnya Maemi ketika mengetahui siapa yang duduk di sebelahnya, "Heh, bukankah kau wanita simpanan Jodi"" tegurnya dengan kening yang berkerut.
Yuli terkejut mendengar teguran itu, kemudian dia menoleh ke arah Maemi dengan alis yang sedikit merapat. "O... kau rupanya, Eh! Dengar ya! Aku ini bukan wanita simpanan Jodi. Aku sendiri baru mengetahui kebusukannya, dia itu memang lelaki yang perlu diberi pelajaran," jelas Yuli kepada Maemi seraya meletakkan majalah yang sedang dipegangnya.
"O. rupanya kau juga baru dicampakkan olehnya," kata Maemi lagi.
"Tidak, bukan demikian. Aku adalah teman sekelas Jodi ketika di SMU dulu, kebetulan selama ini kami memang berteman baik. Terus terang, semula aku memang tidak tahu kalau dia sudah mempunyai istri. Yang aku tahu, dia masih sendiri dan belum mempunyai pacar. Tapi, sekarang aku sudah tahu siapa dia sebenarnya-dia pria beristri yang juga mempunyai pacar bernama Rani Dewina. Aku pun baru mengetahui semua itu dari surat yang diberikan oleh ibunya Rani. Rupanya selama ini dia telah membohongiku dengan mengatakan bahwa Rani itu sepupunya. Walaupun selama ini dia begitu baik dan perhatian padaku. Namun bila dia sebusuk itu, aku tidak sudi berteman dengannya," jelas Yuli panjang lebar.
"O. benarkah"" kata Maemi seakan tidak percaya. Lantas dengan wajah yang tampak menyesal wanita itu kembali berkata, "Kalau begitu... maafkan aku ya! Terus terang, aku merasa bersalah karena telah menuduhmu yang tidak-tidak."
"Sudahlah! Aku bisa memakluminya kok-aku mengerti akan perasaanmu yang diperlakukan oleh Jodi secara tidak layak."
"Terima kasih atas pengertianmu. O ya, kenalkan... namaku Maemi."
"Emm... namaku Yuli, senang berkenalan denganmu."
"Aku juga, Yul. O ya, ngomong-ngomong... siapa tadi yang kau bilang sebagai pacar Jodi"" "Rani maksudmu""
"Ya, dia. Kasihan gadis itu, dia pasti tidak menyadari kalau dirinya sedang dipermainkan oleh suamiku."
"Kau benar Maemi, dan karenanyalah ibunya memintaku untuk mengungkapkan jati diri Jodi yang sebenarnya. Terus terang, saat ini aku sedang bingung-aku sama sekali tidak tahu bagaimana caranya meyakinkan Rani."
"Loh, ibunya kan tahu kalau Jodi memang sebusuk itu. Lalu, kenapa tidak dia sendiri yang menceritakannya"" tanya Maemi bingung.
"Ibunya sudah meninggal, kira-kira sebulan yang lalu," jawab Yuli polos.
"A-apa""" Ja-jadi."
"Ya. Arwah ibunya yang memberikan surat itu," potong Yuli.
Maemi bergidik seketika, kemudian dia segera mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. "Kalau begitu, berikan saja ini," kata Maemi seraya memberikan selembar foto kepada Yuli.
Yuli tampak mengamati foto itu sejenak, dilihatnya sepasang pengantin tampak sedang bergandengan mesra di depan pelaminan. Mereka adalah Maemi dan Jodi yang sedang berbahagia di sebuah pesta perkawinan. Setelah menyimpan foto itu di dalam tasnya, Yuli kembali berbincang-bincang dengan Maemi.
Kini keduanya tampak sudah semakin akrab, mereka terus berbincang-bincang hingga pada akhirnya, "O ya, Yul. Sekarang aku mesti pergi, lain kali kita bisa berbincang-bincang lagi," pamit Maemi seraya sun pipi kiri-kanan. "Sampai jumpa lagi ya, Yul!" ucapnya kemudian.
Yuli memandangi kepergian Maemi, dia merasa kasihan melihat wanita yang sedang hamil muda itu. Baginya Jodi itu benar-benar biadab, teganya dia menyuruh istrinya untuk menggugurkan anak kandungnya sendiri. Namun ketika Maemi mengatakan akan bercerai dengan suaminya, dia tampak merasa lega. Sebagai seorang wanita, dia pun akan melakukan hal serupa jika mempunyai suami seperti Jodi. Tak lama kemudian, tibalah giliran Yuli untuk menikmati jasa pelayan Salon.
Misteri Kehadiran Arwah Karya Bois di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Malam harinya, hujan turun rintik-rintik, hembusan angin dingin terasa begitu menusuk kulit. Pada saat yang sama, sebuah sedan mewah tampak berhenti di depan gerbang sebuah
rumah megah. Kini sedan itu mulai melaju melewati gerbang yang pintunya telah terbuka secara otomatis. Bersamaan dengan itu, seorang satpam tampak berlari mengikutinya. Dia terus berlari sambil menggenggam payung di tangannya. Kini satpam itu sedang berdiri di samping mobil sambil menunggu seseorang yang akan dipinjamkannya payung. Selang beberapa saat, seorang gadis tampak keluar dari mobil dan langsung mengambil alih payung yang sedang dipegang oleh Pak Satpam tadi. Gadis itu ternyata Yuli, kini dia sedang melangkah ke pintu utama yang terletak agak jauh dari tempatnya memarkir mobil.
Kini Yuli sudah berada di ruang tengah dan sedang berbincang-bincang dengan Jodi. Setelah berbasa-basi sebentar, akhirnya Yuli mulai mengatakan maksud kedatangannya. "Jo, boleh aku meminta kembali koinku!" pintanya berharap.
"Kenapa" Bukankah aku memerlukannya untuk melindungi diri dari arwah sialan itu," tanya Jodi tidak senang.
"Sebenarnya aku memerlukannya koin itu, Jo. Kakekku berpesan agar aku selalu membawanya ke mana pun aku pergi," kata Yuli memberikan alasan.
"Tidak!!! Pokoknya koin ini harus tetap di tanganku, titik."
Mendengar itu, Yuli langsung mengerutkan keningnya, lalu keduanya matanya tampak menatap Jodi dengan tajam. "Huh! Sekarang aku baru merasakan sendiri kebusukanmu. Sekarang aku benar-benar yakin siapa kau sesungguhnya, kau memang bukan manusia, kau hanyalah seekor binatang yang tak bermoral. Rupanya waktu itu kau telah membohongiku agar aku bersimpati dan mau menyerahkan koin emas itu padamu."
"Ha ha ha...! Kau memang wanita bodoh, Yul. Selama ini kau mengira aku ini pria baik-baik, kan" Sebenarnya perhatianku selama ini hanya untuk membuatmu simpati, dan aku melakukan semua itu semata-mata ingin mendapatkan dirimu. Selama ini aku memang sangat menyukaimu, dan aku ingin sekali menikmati tubuh indahmu itu," kata Jodi sambil tersenyum dengan mata penuh birahi.
"Kurang ajar kau, Jo!!! Beraninya kau berkata begitu," ujar Yuli seraya berdiri dari duduknya, kedua matanya tampak melotot tajam.
"Tenang Manis. jangan galak begitu dong!" pinta Jodi seraya ikut berdiri. "Ayolah... bukankah lebih baik kita nikmati malam ini bersama-sama!" ajaknya kemudian seraya menarik lengan Yuli dan mendekapnya erat, kemudian dia berusaha untuk menciumnya.
Mendapat perlakuan itu, Yuli segera meronta dan menampar pipi pemuda itu dengan begitu keras, kemudian berdiri menjauh dan menatapnya dengan sangat marah. Sementara itu Jodi tampak mengusap-usap pipinya yang terasa panas, sedangkan kedua matanya tampak membalas tatapan Yuli dengan mata yang berapi-api.
"Dasar perempuan sialan!" maki Jodi seraya menghampiri gadis itu dan menamparnya dengan keras sekali. Tak ayal, Yuli langsung terpelanting dan jatuh di lantai, dari celah bibirnya tampak mengalir darah segar yang membasahi sebelah pipinya.
Yuli tampak meringis kesakitan, tubuhnya terasa begitu lemas dan tak berdaya. Melihat itu, Jodi segera membopongnya ke kamar atas dan langsung menjatuhkannya di atas tempat tidur. Kini pemuda itu sedang berdiri sambil menatap tubuh Yuli dengan begitu bernafsu. Tak lama kemudian dia sudah berlutut di atas tubuh sintal itu, kedua tangannya tampak memegang kedua tangan Yuli dengan begitu erat.
Menyadari apa yang akan dilakukan Jodi, Yuli segera meronta sekuat tenaga, namun perbuatannya itu sia-sia belaka-baginya pegangan Jodi terasa begitu kuat. Sebagai wanita yang lemah, hal itu justru akan menghabiskan energinya saja. Akhirnya Yuli menyadari itu, kini dia sudah tidak meronta lagi, dia menunggu kesempatan untuk menggunakan sisa tenaganya. Sementara itu Jodi mulai menciumi leher Yuli, dan Yuli cuma bisa pasrah menerima perlakuan itu, namun dalam hati dia terus mengumpat atas kebiadaban pemuda itu.
Karena Yuli sudah tak meronta lagi, akhirnya Jodi melepaskan pegangan tangannya, namun kakinya masih tetap mengapit tubuh Yuli dengan erat. Kini dia tampak mengeluarkan koin emas milik Yuli dari dalam dompetnya. "Sayang... Bukankah kau begitu menginginkan koin ini," katanya seraya menunjukkan koin itu kepada Yuli. "Aku janji. setelah kita menikmati
sorga dunia ini, dan setelah aku melenyapkan arwah keparat itu, aku pasti akan mengembalikan koin ini padamu."
"Tidak!!! Aku tidak akan rela menyerahkan kegadisanku padamu," teriak Yuli seraya meludahi wajah pemuda itu.
Mendapat perlakuan itu, Jodi langsung menamparnya dengan keras sekali, kemudian menjambak rambutnya yang panjang sebahu. "Jangan sekali-kali lagi kau meludahiku Yul! Terus terang aku bisa membunuhmu karenanya," ucap Jodi seraya memandangnya dengan begitu murka.
Saat itu Yuli cuma bisa merintih kesakitan, isak tangisnya pun terdengar cukup memilukan. Yuli cuma bisa menangis dan menangis, sungguh dia tidak bisa berbuat apa-apa ketika Jodi mulai membuka kancing bajunya satu per satu.
Jodi terus membuka kancing baju Yuli dengan tangan kirinya, sedangkan tangan kanannya tampak memainkan koin emas di seputar wajah Yuli. Ketika Jodi hendak melepas kancing baju Yuli yang terakhir, tiba-tiba sebuah vas bunga melayang dan menghantam kepala Jodi dengan kerasnya. Tak ayal, tubuh Jodi langsung tersungkur di sisi Yuli.
Bersamaan dengan itu, koin emas yang ada di genggamannya terlepas seketika.
Menyadari kesempatan itu, Yuli segera bangun dan mengambil koin emas miliknya, kemudian segera berlari meninggalkan tempat tersebut. Sementara itu, Jodi yang baru saja bangkit langsung mengejarnya, dia melihat gadis itu sedang berlari ke arah tangga yang menuju ke lantai bawah.
Sungguh sangat disayangkan, Yuli yang masih dalam keadaan lemah tiba-tiba saja terjatuh. Ketika dia baru saja berdiri, tiba-tiba Jodi sudah memegang tangannya. "Kau mau ke mana, Sayang..." Bukankah urusan kita belum selesai," kata pemuda itu seraya berusaha keras mengambil koin emas dari tangan Yuli. Saat itu Yuli tampak mempertahankannya dengan sekuat tenaga, dia tampak menyembunyikannya di balik punggung.
Jodi yang sudah kian gelap mata segera mencekik leher Yuli dengan sekuat tenaga, sepertinya dia sudah tidak ragu-ragu lagi untuk membunuhnya. Yuli yang dicekik begitu rupa merasakan nafasnya kian bertambah sesak, darahnya pun seakan mulai berhenti mengalir. Dalam keadaan kritis itu, tiba-tiba sebuah guci melayang dan langsung menghantam tubuh Jodi dengan kerasnya. Tak ayal, tubuh pemuda itu langsung tersungkur bersamaan dengan suara pecahan guci yang hancur berkeping-keping. Pada saat yang sama, Yuli tampak terbatuk-batuk, kemudian dengan segera dia berlari meninggalkan pemuda itu.
Yuli masih terus berlari-dia berlari seraya menuruni anak tangga dengan tergesa-gesa. Pada saat yang sama Jodi sudah berdiri kembali, wajahnya yang tampan tampak masih meringis kesakitan. Namun ketika dia hendak mengejar buruannya, tiba-tiba saja sosok Yana muncul di hadapannya. "Jodiii...!!!" serunya dengan suara yang begitu parau.
Saat itu Jodi sangat ketakutan melihat wajah Yana tampak begitu mengerikan. Wajah yang berlumuran darah itu tampak begitu pucat, kedua bola matanya tampak mencuat ke luar, sementara itu giginya yang runcing tampak menyeringai buas.
Jodi yang masih tampak ketakutan segera mundur menjauh. Bersamaan dengan itu, tiba-tiba saja benda-benda keramik yang ada di ruangan itu tampak melayang-layang, kemudian jatuh di sekitar pemuda itu dengan suara pecahan yang terdengar hingga ke luar rumah.
Jodi yang mengalami peristiwa itu tampak gemetar hebat, wajahnya yang tampan tampak begitu pucat. "Tolong jangan kauganggu aku, Yana...! Ma-ma-maafkanlah aku...!" mohon pemuda itu dengan terbata-bata, sedangkan kakinya terus melangkah mundur ke langkan.
Yana yang sudah begitu murka tidak mempedulikan kata-katanya, dia terus mendekati pemuda itu hingga akhirnya tertahan di tepi langkan. Sementara itu di luar rumah, Yuli tampak sedang mengendarai mobilnya melewati pintu gerbang. Wajahnya yang cantik tampak masih terlihat tegang, namun dalam hati dia bersyukur karena berhasil melarikan diri dari kebiadaban pemuda yang mau memperkosanya.
Yuli terus melaju-memacu mobilnya menjauhi rumah Jodi. Pada saat yang sama, satpam yang bertugas di rumah itu tampak berlari memasuki rumah, dia berniat memeriksa suara pecahan yang didengarnya ketika sedang membukakan
pintu untuk Yuli. Setibanya di ruang tengah, satpam itu tampak terkejut. Dilihatnya sang Majikan sedang terjatuh dari lantai atas. Tubuhnya meluncur cepat dan jatuh menimpa meja kaca di bawahnya. saat itu Jodi tewas seketika dengan tubuh yang sangat mengenaskan. Kepalanya pecah dengan kedua mata yang tampak melotot, sedangkan wajahnya yang terkena serpihan kaca tampak hancur mengerikan. Dari mulut, hidung, dan telinganya tampak keluar darah yang terus mengalir.
Sementara itu di tempat lain, Branden tampak sedang duduk termenung di ruang tamu, dia tampak begitu sedih karena putri tunggalnya belum juga ditemukan. "Rani, Ayah benar-benar menyesal karena tidak mau berterus terang kepadamu. Andai saja waktu itu Ayah mau berterus terang, mungkin saat ini kau masih bersama Ayah, Nak." Branden membatin. Kemudian dengan perasaan yang teramat bersalah Branden tampak menjambak rambutnya sendiri.
Tok! Tok! Tok! Tiba-tiba Branden mendengar suara ketukan pintu, kemudian disusul dengan suara orang yang memberi salam. Mendengar itu, Branden segera membukakan pintu. Betapa terkejutnya dia ketika melihat siapa yang datang, ternyata yang datang itu Rani beserta seorang ibu yang sedang menggendong bayi.
Pada saat itu Branden langsung memeluk putrinya dengan penuh rasa haru, "Kau ke mana saja, Nak" Ayah sudah sangat mengkhawatirkanmu, Sayang..." tanya Branden sambil terus memeluk putrinya. Sementara itu Rani cuma terdiam, dia tidak merespon pelukan ayahnya sebagaimanamestinya.
"Kau kenapa, Sayang... " tanya Branden seraya melepaskan pelukannya, kemudian dia menatap wajah putrinya yang tampak begitu dingin.
Rani tidak menjawab, dia masih diam membisu. Melihat itu, Branden kembali bicara, "O... sekarang Ayah mengerti. Kau pasti sudah salah paham tentang Ayah, dan semua itu karena Ayah tidak mau berterus terang padamu," kata Branden seraya membelai rambut putrinya. "Rani... maafkan Ayah, Nak! Ayah memang sudah bersalah karena tidak mau berterus terang, dan Ayah berjanji akan menjelaskan semuanya itu kepadamu," lanjutnya kemudian.
Mendengar itu, Rani merasa sedikit tenang, namun raut wajahnya masih tetap terlihat begitu dingin. Branden menyadari kalau putrinya masih belum bisa mempercayainya, kemudian dia berusaha untuk meyakinkannya sekali lagi. Karena Branden berkata dengan penuh kesungguhan, akhirnya Rani mau mempercayainya. Mengetahui hal itu, Branden terlihat senang, kemudian dia segera mengajak keduanya untuk masuk, dan tak lama kemudian mereka sudah duduk di ruang tamu.
Kini Branden tampak sedang berbincang-bincang dengan si Ibu yang sudah membawa putrinya pulang.
Sementara itu, Rani terlihat sedang membuatkan minum. Setelah menyuguhkan minuman yang dibuatnya, Rani tampak melangkah ke teras depan dan duduk termenung di tempat itu. Kini dia sedang memikirkan perihal ayahnya yang sudah berjanji akan menceritakan kejadian yang sebenarnya. Pada saat yang sama, Branden masih berbincang-bincang dengan si Ibu yang ternyata seorang penjual sayur, "O... jadi begitu, Bu," kata Branden ketika mengetahui kalau si Ibu mengenal putrinya ketika di bis kota, dan beliau menemukan Rani sekitar pukul empat pagi.
"Benar, Pak. Waktu itu kebetulan saya hendak berangkat untuk belanja sayuran di pasar, dan betapa terkejutnya saya ketika melihat seorang gadis sedang menangis di pinggir jalan. Pada mulanya saya tidak mengenali dia, tapi ketika saya perhatikan dengan seksama akhirnya saya mengenalinya. Waktu itu wajahnya tampak begitu murung. Saat itu saya bisa merasakan beban berat yang sedang dihadapinya. Karena saya sudah mengenal siapa Rani, saya pun segera mengajaknya pulang ke rumah. Dan sesampainya di rumah, saya meminta Rani untuk menceritakan kesusahannya. Setelah Rani bercerita, akhirnya saya bisa mengetahui duduk perkaranya. Karenanyalah saya merasa berkewajiban untuk membantunya. Namun ketika saya mengajaknya pulang ke rumah Bapak, Rani menolak, dan setelah saya bujuk, akhirnya Rani mau pulang, namun dengan syarat saya mau berbicara dengan Bapak agar mau menceritakan perihal semua kejadian aneh yang telah Rani ceritakan itu. Karena tadi s
aya dengar Bapak sudah mau menceritakannya, saya rasa sudah tidak perlu lagi untuk memintanya. O ya, Pak. Sekarang sebaik saya pamit pulang! Saya tidak bisa lama-lama karena suami saya pasti sedang menunggu. Lagi pula, Bukankah Bapak harus segera menceritakan hal yang sebenarnya kepada Rani."
"Baiklah, Bu. Sekali lagi saya ucapkan banyak terima kasih."
"Sama-sama, Pak. Permisi!" ucap si Ibu seraya beranjak dari duduknya, kemudian melangkah menghampiri Rani yang saat itu masih duduk di teras depan. "Rani, kau jangan lari lagi ya, Nak! Kasihan ayahmu, dari tadi pagi beliau sudah mencarimu sampai ke mana-mana, dan beliau sangat mengkhawatirkanmu."
Rani tampak mengangguk, kemudian memeluk si ibu seraya mengucapkan banyak terima kasih. Beberapa saat kemudian, si Ibu tampak sudah meninggalkan tempat itu. Pada saat yang sama, Rani dan ayahnya tampak duduk berdua di teras depan. Sesuai dengan janjinya, Branden segera menceritakan peristiwa yang selama ini dipendamnya. "Rani..." ucapnya dengan lembut. Belum sempat Branden melanjutkan kata-katanya, tiba-tiba terdengar suara burung di samping rumahnya.
Branden dan putrinya langsung memusatkan pendengaran ke asal suara itu. Pada saat itu Rani tampak terpaku mendengarnya, sedangkan Branden tampak beranjak bangun untuk memeriksa. Kini lelaki itu sedang melangkah menuju ke samping rumah yang tampak begitu gelap. Betapa terkejutnya dia ketika melihat sosok istrinya tampak sedang berdiri di tempat itu.
"Yana...!" seru Branden menyapa mendiang istrinya.
Mendengar ayahnya menyebut nama sang Ibu, Rani sektika terkejut, kemudian dengan segera dia berlari menghampiri Branden dan melihat apa yang dilihat ayahnya. Saat itu sosok Yana sudah tak terlihat lagi. Saat itu Rani tampak heran sambil mengamati ke sekelilingnya. "Ada apa, Ayah" Kenapa barusan Ayah menyebut nama Ibu"" tanya Rani bingung.
Branden memandang Rani dengan sorot mata yang penuh kebimbangan. Namun karena dia sudah berjanji untuk tidak menutup-nutupinya, maka dia pun segera berterus-terang, "Nak... Tadi Ayah sedang menyapa ibumu," jawabnya pelan.
Rani tampak terkejut, dia sama sekali tidak menyangka akan hal itu. Kini dia menatap mata ayahnya dengan dahi agak berkerut, "Ja-jadi Ibu..."
"Iya, Nak. Ibumulah yang telah membuat kejanggalan-kejanggalan selama ini. Dia memang sering datang untuk menjenguk kita," jelas Branden memotong perkataan putrinya.
Saat itu Rani bukannya senang akan kejujuran Branden, tapi justru membuatnya begitu kecewa. "Tidak mungkin, Ayah. Tidak mungkin!!!" ucap Rani seraya memandang ayahnya dengan sorot mata yang begitu tajam. "Dengar Ayah...! Ibu telah pergi meninggalkan kita, dan beliau sudah tenang di alam sana. Beliau tidak mungkin bangkit dari kuburnya dan menjadi hantu gentayangan. Kenapa Ayah memfitnah Ibu demi untuk menutup-nutupi perbuatan Ayah"" lanjutnya tidak mau mempercayai kenyataan itu.
Branden kebingungan, dia tidak tahu bagaimana cara membuktikan hal itu dan membuat putrinya percaya. Kini dia melangkah dan mendekap tubuh Rani dengan penuh kasih sayang. "Ayah mengerti kata-katamu, Nak. Tapi percayalah... selama ini arwah ibumu memang selalu datang ke rumah kita," jelas Branden seraya membelai-belai rambut putrinya.
Tiba-tiba Rani melepaskan diri dari dekapan sang Ayah dan langsung mundur selangkah, "Ayah bohong! Ayah tidak mengatakan hal yang sebenarnya," ucap Rani lirih.
"Percayalah, Sayang...! Karenanyalah selama ini Ayah selalu menutup-nutupinya. Dari semula Ayah sudah bisa menduga kalau kau tidak akan bisa mempercayainya. Terbukti saat ini kau tidak mau menerima kenyataan yang sebenarnya, dan semua itu karena Ayah tidak mempunyai bukti yang bisa membuatmu yakin."
"Apa benar semua yang Ayah ucapkan itu"" tanya Rani ragu.
Branden mengangguk, kemudian melangkah menghampiri putrinya, "Rani... surat yang kau tanyakan tempo hari adalah surat dari ibumu," ucapnya kemudian.
"Ja-jadi. surat itu dari Ibu"" tanya Rani seakan tidak percaya.
"Iya, Sayang... " jawab Branden singkat.
"Tapi... kenapa Ibu melakukan semua itu"" tanya Rani masih belum mengerti.
"Kalau begitu, mari kita du
duk kembali! Ayah akan menjelaskan semuanya padamu," pinta Branden lembut.
Akhirnya mereka kembali duduk di kursi teras. Tak lama kemudian, Branden mulai menceritakan perihal kehadiran sosok Yana selama ini. Baru saja dia selesai bercerita, tiba-tiba angin kencang datang menderu-deru. Bersamaan dengan itu, sesosok tubuh dengan gaun putih yang berkibar-kibar tampak melayang turun di muka rumah. Kini sosok itu tampak tersenyum kepada mereka berdua. Melihat itu, Rani segera bangkit dan menatapnya dengan mata tak berkedip.
"I-Ibu...!" Seru gadis itu tiba-tiba.
"Anakku..." sapa Yana seraya menatap wajah putrinya dengan lembut.
"Ibu... Rani sayang sama Ibu," ucap Rani seraya menitikkan air matanya.
"Ibu juga, Nak... Ibu sangat menyayangimu, dan Ibu berharap kau juga selalu menyayangi ayahmu,"
kata sosok ibunya lembut, kemudian dengan serta-merta dia melayang naik dan hilang seketika.
"Ibuuu....!!!" panggil Rani lirih, kemudian dia menangis tersedu-sedu.
Rani masih saja menangis, saat itu dia tampak berlari kesana-kemari mencari soosk ibunya itu- matanya yang basah terus memandang ke segala arah, sedangkan mulutnya tak berhenti memanggil. Selama ini Rani sudah sangat merindukan ibunya, dan dia merasa begitu kehilangan ketika sosok ibunya pergi dengan begitu tiba-tiba.
Branden yang melihat putrinya seperti itu berusaha untuk menenangkannya, kemudian memeluknya dengan segenap perasaan sayang. Rani segera membalas pelukan ayahnya dengan sangat erat-dia berusaha keras untuk melepaskan semua kesedihannya.
Rani terus menangis di pelukan ayahnya, air matanya tak henti-hentinya mengalir membasahi kedua pipinya, "Maafkan Rani, Ayah! Rani sudah tidak percaya sama Ayah," ucapnya lirih.
"Sudahlah Sayang.! Kau tidak perlu meminta maaf. Ayah maklum kalau kau memang cuma salah paham," kata Branden seraya membelai rambut putrinya dengan penuh kasih sayang,
"Terima kasih, Ayah...!" ucap Rani seraya melepaskan pelukan dan memandang ayahnya dengan mata yang berbinar-binar.
Branden membalasnya dengan sebuah senyum yang membuat Rani merasa begitu damai. Tiba-tiba saja, di wajah Rani tersungging senyum keceriaan.
"Terima kasih, Yana. kau telah mengembalikan Keceriaan putri kita," ucap Branden dalam hati, kemudian dia segera mengajak putrinya untuk masuk ke rumah.
Kini mereka sudah berada di kamar masing-masing. Saat itu Branden tampak sudah terlelap di tempat tidurnya, sedangkan Rani baru saja akan merebahkan diri. Tak lama kemudian, dia pun terlelap bersama mimpi-mimpinya.
Esok paginya cuaca tampak cerah, burung-burung terdengar berkicau dengan merdunya. Yuli yang baru saja bangun tidur tampak sedang merenggangkan persendiannya, kemudian beranjak bangun dan membuka jendela. Pada saat yang sama, cahaya matahari yang hangat menebus masuk menyinari sebagian ruang kamar. "Oh, segarnya udara pagi ini," ucap Yuli seraya menghirup udara pagi dalam-dalam.
Tidak biasanya Yuli bangun sepagi ini, biasanya dia baru bangun sekitar pukul 9.00 WIB. Kini gadis itu sudah siap untuk pergi mandi, namun ketika sedang melangkah ke kamar mandi, dia berpapasan dengan pembantunya yang tampak memperhatikannya dengan sedikit heran.
"Tumben, Non. Pagi-pagi sudah bangun," komentarnya sambil garuk-garuk kepala.
Mendengar itu, Yuli langsung angkat bicara, "Sudah deh, Mang. Jangan banyak komentar, lebih baik sekarang kaupersiapkan sarapan untukku!" pintanya dengan nada kesal.
"Ba-baik, Non," ucap pembantunya agak terbata.
Yuli melanjutkan langkahnya. Setibanya di kamar mandi, matanya langsung tertuju ke arah tulisan di cermin-tulisan tangan yang ditulis pada cermin yang berembun. "Yuli, maafkan kalau malam itu aku telah membuatmu takut! Aku harap kau tidak lupa untuk pergi menemui Rani!" Begitulah bunyi tulisan itu.
Yuli merinding seketika, dia sadar kalau Yana telah mengingatkannya untuk segera menemui Rani. Lantas dengan perasaan yang masih merinding, Yuli bergegas mandi. Sesekali matanya tampak was-was mengawasi sekitarnya, khawatir kalau-kalau sosok Yana masih berada di tempat itu.
Selesai mandi, Yuli langsung berpakaian dan bergegas menuju ke meja
makan. Pada saat yang sama, pembantunya datang dengan membawakan sarapan pagi. Kini si pembantu tampak berdiri si samping Yuli dengan wajah penuh keingintahuan. "Memangnya, mau ke mana, Non"" tanyanya sambil cengengesan.
"Kau ini mau tahu saja," kata Yuli tidak mau memberitahu.
"Bukan apa-apa, Non! Kalau tuan dan nyonya bertanya, saya harus jawab apa"" jelas pembantunya.
"Baiklah... bila mereka tanya, bilang saja aku sedang pergi ke rumah teman!"
"Kalau begitu, baik Non."
Kemudian si pembantu tidak berkata-kata lagi, dia langsung pergi untuk mengerjakan pekerjaan yang lain. Pada saat yang sama, Yuli mulai menikmati sarapan paginya-sepotong roti bakar dan segelas susu. Sementara itu di tempat lain, Rani dan Branden juga sedang sarapan. Mereka sedang menikmati singkong rebus yang pagi-pagi sekali sudah di cabut oleh Branden dari kebun belakang.
Selesai sarapan, keduanya tampak bersantai di teras depan, kemudian mereka mulai berbincang-bincang. "Yah, sekarang kan hari libur. Bagaimana kalau kita pergi ke makam ibu"" tanya Rani tiba-tiba.
"Hmm... kau merindukannya"" Branden balik bertanya.
"Betul, Ayah. Entah kenapa tiba-tiba Rani ingin mengunjungi Ibu""
"Kalau begitu, Ayah sih setuju saja. Nah, bagaimana kalau sekarang kau memetik bunga untuk keperluan nyekar!" Saran Branden seraya mengambil surat kabar pagi dan mulai membacanya.
Sementara itu, Rani tampak bergegas mengambil keranjang kecil dan langsung melangkah ke pekarangan samping untuk memetik bunga-bungaan yang biasa digunakan untuk pergi berziarah. Beberapa menit kemudian, keduanya tampak sudah berangkat menuju ke makam Yana.
Setibanya di makam, mereka melihat sang Kakek juru kunci sedang berada di makam tersebut. "Sedang apa beliau"" tanya Branden kepada putrinya.
"Mungkin beliau habis membersihkan makam Ibu,
Yah." "Kalau begitu, lekas kita ke sana!" ajak Branden seraya mempercepat langkah kakinya.
Tak lama kemudian, keduanya sudah berdiri di belakang sang Kakek. "Selamat pagi, Kek!" ucap Rani kepada sang Kakek yang masih saja sibuk membersihkan makam.
Sang kakek terkejut, kemudian lekas-lekas menoleh. "Oh kalian," ucapnya seraya tersenyum.
Kemudian beliau memperkenalkan diri dan bercerita sedikit tentang jati dirinya. Branden dan Rani tampak senang mendengarkan penuturan sang Kakek. Tak lama kemudian, mereka sudah terlihat akrab. Kini mereka sedang menaburkan bunga di atas makam dan berdoa bersama-sama. Setelah itu, mereka segera menuju ke makam orang tua Yana dan berdoa di tempat itu.
Selesai berdoa, mereka tampak melangkah menuju ke pohon kamboja yang cukup rindang. Di bawah keteduhan pohon itulah, sang Kakek segera menceritakan perihal sosok Yana kepada keduanya. Pada saat itu Branden dan Rani tampak mendengarkan penuturan sang Kakek dengan begitu antusias.
Dalam ceritanya, sang Kakek menjelaskan kalau yang melakukan semua kejadian yang mereka alami, seperti angin besar dan lain-lain bukanlah pekerjaan Yana. Semua itu adalah pekerjaan Qarin Yana, jin pendampingnya yang ingin menyesatkan Branden dan Rani, dia juga dibantu oleh jin fasik yang mempunyai kekuatan besar. Maklumlah, qarin orang beriman sangat lemah, karena ia jarang menyerap energi dari yang didampinginya. Berbeda dengan qarin orang yang sesat, mereka bisa sangat kuat lantaran sering menyerap energi dari orang yang didampinginya.
Biasanya qarin hanya diberi izin selama 40 hari untuk menuntaskan kehendaknya, sebab energi yang diperlukan untuk berinteraksi manusia sangatlah besar. Sebenarnya tujuan Jin fasik yang membantu Qarin Yana juga ingin menyesatkan manusia, agar manusia percaya dengan adanya arwah yang gentayangan, apa lagi jika manusia sampai menyediakannya kopi manis dan kopi pahit. Maka jin fasik akan semakin bertambah kuat. Begitulah lihainya mereka dalam usaha menyesatkan manusia agar bisa diserap energinya. Seolah mereka itu berbuat baik dan menolong, padahal pada hakekatnya justru menyesatkan.
Selama ini arwah Yana sudah berada di alam barzakh, menunggu hari kebangkitan. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada arwah yang gentayangan. Sebab, ketika seseorang di ku
bur dia akan diminta untuk menjawab pertanyaan malaikat. Setelah itu, bagi orang yang beriman akan mengalami tidur panjang, sedangkan mereka yang tidak beriman akan mengalami siksa kubur.
Bukhari Muslim 1667 Diriwayatkan daripada Anas bin Malik r.a katanya: Nabi s.a.w bersabda: Apabila seseorang hamba dikebumikan di dalam kuburnya kemudian ditinggalkan oleh kawan-kawannya nescaya dia akan mendengar bunyi hentakan tapak kasut mereka. Seterusnya dia akan didatangi oleh dua malaikat lalu mendudukkannya dan bertanya: Apa pendapatmu tentang lelaki ini iaitu Nabi Muhammad s.a.w". Baginda bersabda lagi: Sekiranya dia seorang mukmin, nescaya dia akan menjawab: Aku bersaksi bahawa dia hamba Allah dan pesuruhNya. Lalu diberitahu kepadanya: Lihatlah tempatmu di Neraka, sesungguhnya Allah telah menggantikannya dengan Syurga. Nabi s.a.w bersabda: Dia dapat melihat kedua-duanya iaitu Syurga dan Neraka
Bukhari Muslim 325 Diriwayatkan daripada Aisyah r.a katanya: Dua orang perempuan tua dari kaum Yahudi Madinah telah datang menemuiku. Kedua perempuan itu berkata: Sesungguhnya ahli kubur akan di azab dalam kubur mereka. Lalu Aisyah berkata: Kamu berdua ini penipu dan aku tidak mahu membenarkan kata-kata mereka itu, maka kedua-dua perempuan itu meninggalkan aku. Setelah itu Rasulullah s.a.w datang lalu aku berkata kepada baginda: Wahai Rasulullah! Sesungguhnya dua orang perempuan tua dari kaum Yahudi Madinah telah datang menemuiku dan mereka mengatakan bahawa ahli kubur akan di azab di dalam kubur mereka. Lalu Rasulullah bersabda: Memang benar kedua-dua orang perempuan Yahudi itu akan di azab, hanya binatang sahaja yang dapat mendengar azab itu. Aisyah berkata lagi: Aku selalu mendengar Rasulullah s.a.w memohon perlindungan dari azab kubur ketika baginda sembahyang,
Ketahuilah, bahwa orang yang sudah meninggal akan terputus amalnya, jadi tidak mungkin kembali untuk menolong. Jangankan arwah manusia, Jin fasik saja, pada hakekatnya tidak akan mampu menolong manusia, sebab mereka sangat lemah, tentunya jika tidak ada energi dari manusia yang berhasil diserapnya. Dan sistem penyerapan energi manusia ini sudah dirancang sedemikian rupa, yaitu jika ada manusia yang meminta tolong kepada mereka, maka manusia akan terserap energinya. Karena itulah tidak diperbolehkannya manusia meminta tolong kepada bangsa Jin, sekalipun Jin itu mengaku muslim. Sebab pada hakekatnya tidak ada Jin muslim yang akan bersedia membantu manusia, kecuali ia sudah menjadi fasik. Rasulullah pun pernah ditawarkan bantuan oleh Jin, namun beliau menolak lantaran sudah memahami hakikat sejatinya. Sebaik-baiknya Jin fasik, adalah sejahat-jahatnya manusia.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu menjelaskan: "Banyak di antara mereka yang bisa terbang di udara, dan setan telah membawanya (ke berbagai tempat, -pent.), terkadang ke Makkah dan selainnya. Padahal dia adalah seorang zindiq, menolak shalat dan menentang perkara-perkara lain yang telah diwajibkan Allah Subhanahu wa Ta'ala, serta menghalalkan segala yang telah diharamkan Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Rasul-Nya.
Begitulah lihainya setan dari bangsa Jin, yang bersedia membantu manusia karena kekafiran, kefasikan, dan maksiat yang dilakukannya. Kecuali bila dia beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Rasul-Nya, bertaubat dan konsisten dalam ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Rasul-Nya. (Jika dia demikian,) niscaya setan akan meninggalkannya dan segala 'pengaruh' pada dirinya akan hilang baik berupa penyampaian berita atau amalan-amalan lain.
Karena itu janganlah berbangga hati jika bisa melihat dan berkomunikasi dengan setan dari bangsa Jin, bahkan bisa mendapat kabar ini-itu, dan juga mempunyai kesaktian yang bisa ini-itu. Ketahuilah, sesungguhnya semua itu hanyalah tipu daya mereka guna menyesatkan manusia.
Al Jin 6. Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungann[523] kepada beberapa laki-laki di antara jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan.
[1523]. Ada di antara orang-orang Arab bila mereka melintasi tempat yang sunyi, maka mer
eka minta perlindungan kepada jin yang mereka anggap kuasa di tempat itu.
Al Jin 21. Katakanlah: "Sesungguhnya aku tidak kuasa mendatangkan sesuatu kemudharatanpun kepadamu dan tidak (pula) suatu kemanfaatan."
Surat Al Jin ayat 21 inilah yang seharusnya kita amalkan, sebab dengan mengamalkan ayat ini pada hakekatnya kita telah menutup pintu dimensi alam jin, yaitu dengan cara tidak sekali-kali berinteraksi dengan mereka. Sebab pada hakekatnya jin tidak kuasa mendatangkan sesuatu kemudharatanpun kepada manusia dan tidak (pula) suatu kemanfaatan. Begitupun manusia tidak kuasa mendatangkan sesuatu kemudharatanpun kepada jin dan tidak (pula) suatu kemanfaatan.
Karenanyalah, jin muslim yang sudah memahami ayat tersebut tentu tidak mungkin bisa menolong manusia dengan bentuk apapun, sebab mereka memang tidak mempunyai energi untuk itu. Dan mereka juga tidak mungkin bisa diperintah, apa lagi diperbudak oleh manusia.
Pengalaman Surat Al Jin ayat 21 inilah cara terbaik menghormati kehidupan mereka, yaitu tidak memberikan kesempatan kepada mereka untuk semakin menyesatkan manusia. Sudah cukup mereka merusak kehidupan dunia pada masa yang silam, dan sekarang adalah kesempatan manusia untuk menjadi khalifah dengan tanpa melibatkan mereka. Jika umat manusia sudah banyak yang mengamalkan surat ini, maka para jin fasik tidak akan mempunyai kekuatan apa-apa untuk mengganggu manusia. Maka dengan demikian, secara otomatis kehidupan manusia akan menjadi lebih baik.
Selain itu, untuk menjaga keharmonisan antara alam manusia dan alam jin (Dalam rangka mengamalkan Surat Al Jin ayat 21), manusia diwajibkan untuk senantisa berdoa dan memohon perlindungan hanya kepada Allah. Dengan memohon perlindungan kepada Allah, secara tidak langsung manusia telah membentengi diri untuk tidak berinteraksi dengan alam jin. Maklumlah, jika ada manusia yang melempar batu, membuang air panas, dan lain sebagainya ternyata bisa juga mengenai bangsa jin. Karenanyalah untuk membentengi manusia agar tidak lalai menggangu para jin, maka setiap melakukan berbagai tindakan yang bisa membahayakan bangsa jin, diharuskan mengucapkan bacaan basmalah lebih dulu, dengan maksud agar perbuatan manusia itu tidak mengenai bangsa jin.
Semua inilah sejatinya cara yang terbaik guna menghormati bangsa jin agar tidak merasa terganggu lantaran kecerobohan manusia yang tidak memahami keberadaan mereka. Bukannya dengan cara menyediakan ini-itu yang justru membuat mereka semakin kuat, dan ujung-ujungnya justru semakin mengganggu kehidupan manusia.
Karena itulah, sudah saatnya kita meninggalkan budaya yang bisa membuat jin fasik justru bertambah kuat, yaitu dengan cara mengamalkan kitab suci al-Quran dengan sebenar-benarnya, salah satunya adalah dengan mengamalkan Surat Al Jin ayat 21.
Setelah mendengarkan penjelasan itu, Rani dan Branden tampak lega. Segala pertanyaan yang membingungkan telah terjawab sudah. Setelah berbincang-bincang sejenak, akhirnya Ayah dan anak itu kembali pulang ke rumah.
Sepulang dari makam, Branden tampak sibuk mengurus kebunnya yang berada di belakang rumah, sedangkan Rani asyik melamun seorang diri di kamarnya, dia masih saja memikirkan Jodi yang diketahuinya sudah mempunyai istri. Sepertinya dia masih sulit untuk menerima kenyataan itu. Sementara itu di muka rumah, sebuah sedan tampak memasuki pekarangan. Tak lama kemudian, pengemudinya yang ternyata seorang wanita tampak keluar dan melangkah ke pintu depan. Kini dia sedang mengetuk pintu dan mengucapkan salam.
Mendengar itu, Rani segera keluar untuk menemuinya. Saat itu dia tampak terpaku memperhatikan wajah yang baru pertama kali dilihatnya. "Maaf! Anda siapa ya" Apa ada perlu dengan ayah saya"" tanyanya kepada wanita itu.
"Kau Rani kan" O ya, kenalkan... namaku Yuli. Maksud kedatanganku kemari sebenarnya ada perlu denganmu," jawab wanita itu.
"O... kalau begitu. Ayo... silakan masuk!" tawar Rani ramah.
Yuli segera masuk, tak lama kemudian mereka sudah berbincang-bincang mengenai Jodi.
"Benarkah apa yang kau katakan itu"" tanya Rani ragu. "Sebenarnya ayahku pun sudah menceritakannya, namun di
hatiku masih ada sedikit keraguan," sambungnya kemudian.
"Sekarang kau tidak perlu ragu lagi Rani, coba kaulihat foto ini," ucap Yuli seraya memberikan foto yang waktu itu diberikan oleh Maemi.
Kini Rani tampak memperhatikan foto itu, hatinya terasa hancur berkeping-keping. Di sisi lain, dia merasa yakin kalau Jodi memang pria busuk yang tidak pantas untuk dicintai. Setelah mereka berbincang-bincang sejenak, akhirnya Yuli berpamitan untuk pulang. Kini Rani tengah mengantarkannya hingga ke muka rumah. "Hati-hati di jalan ya!" ucap Rani seraya melambaikan tangan kepada Yuli.
Setelah sedan yang ditumpangi Yuli menjauh, Rani pun bergegas ke teras dan duduk di tempat itu. Tak lama kemudian Branden terlihat datang menghampirinya. "Rani, siang nanti Ayah akan pergi ke pasar untuk membeli beberapa keperluan. Kau mau menitip apa, Nak"" tanya Branden
"Tidak, Ayah. Rani tidak mau menitip apa-apa," jawab Rani terus terang.
"Ya sudah... kalau begitu ayo kita masuk," ajak Branden kepada putrinya.
"Tidak, Ayah. Rani masih mau di sini dulu."
"Baiklah... sekarang Ayah masuk dulu ya," pamit Branden seraya melangkah masuk.
Kini Rani tampak sedang melamun, rupanya dia sedang memikirkan pria yang waktu itu telah menggagalkan usaha bunuh dirinya. Siapa lagi kalau bukan Bobby, pria yang tiba-tiba saja hadir di dalam benaknya.
Siang harinya Branden berangkat ke pasar untuk membeli beberapa keperluan. Selang beberapa saat, sebuah sepeda motor terlihat memasuki pekarangan. Setelah memarkir motornya, pemuda itu langsung melangkah ke teras, kemudian mengetuk pintu dan mengucapkan salam.
Rani yang mengetahui ada tamu segera membukakan pintu. Betapa terkejutnya dia ketika mengetahui siapa yang datang, pemuda tampan yang kini menarik hatinya. Siapa lagi kalau bukan Bobby, pemuda tampan yang pernah menolongnya. Kini Yuli tampak terpaku melihat Bobby yang tersenyum kepadanya.
"Kak Bobby!" ucap Rani seakan tidak percaya. "Ayo Kak, silakan masuk!" ajaknya kemudian.
Setelah mempersilakan Bobby duduk, Rani pun berpamitan untuk membuatkan minum. Sementara itu Bobby tampak sedang melihat-lihat keadaan ruang tamu, dia melihat sebuah foto keluarga Branden.
"Hmm... keluarga yang berbahagia," duganya.
Tak lama kemudian Rani datang membawakan minum, dia tampak memperhatikan Bobby yang sedang melihat foto keluarganya. "Itu ayah dan ibuku," jelasnya tiba-tiba.
Bobby agak terkejut dan segera berpaling. "O. kau, Rani. Ngomong-ngomong, di mana mereka"" tanyanya kepada gadis itu.
"Ayahku sedang pergi ke pasar untuk membeli beberapa keperluan dan akan kembali menjelang malam nanti. Sedangkan ibu...." Rani tidak melanjutkan kata-katanya, dia tampak terpaku melihat sosok ibunya yang tiba-tiba saja sudah berdiri di belakang Bobby. Saat itu sosok ibunya tampak tersenyum, seolah-olah memberi isyarat bahwa Bobbylah orang yang pantas menjadi kekasihnya.
"Ibu.!" seru Rani menyapa sosok ibunya.
"Iya Rani. Ayolah katakan, di mana ibumu! " pinta Bobby yang merasa gadis itu terlalu lama menggantung kalimatnya.
Rani yang tersadar akan permintaan Bobby segera menjawab, "Oh ya... I-Ibu... sudah sebulan lebih meninggal dunia," jawabnya sedikit gugup.
"Oh... maafkan aku!" ucap Bobby menyesal.
Rani terdiam sesaat, dalam hati gadis itu terus bertanya-tanya mengenai arti senyuman sosok ibunya, sebab dia menyadari kalau yang barusan dilihatnya adalah Qarin Yana bukan arwah ibunya.
Sesungguhnya bisa saja apa yang diisyaratkannya itu adalah kebenaran, namun kebenaran itu akan ditambah dengan seratus kedustaan. Apalagi jika sampai meyakini kalau dia adalah arwah jelas akan semakin menyesatkan.
Kini mata gadis itu tampak menatap Bobby dengan hangat, kemudian mengajak pemuda itu untuk duduk kembali. Tak lama kemudian mereka, sudah berbincang-bincang dengan begitu akrab.
Setelah bosan ngobrol di ruang tamu, mereka segera pindah ke teras depan, kemudian kembali berbincang-bincang di tempat itu. Ketika sedang asyik-asyiknya ngobrol, mendadak HP Bobby berbunyi. Saat itu Bobby langsung menerimanya, "Hallo!" sapanya kepada orang di seberang sana.
"Bob, nanti malam jadi kan kita
jalan-jalan"" tanya gadis yang meneleponnya.
"Tentu saja, bukankah kita sudah sepakat," jawab Bobby.
"Kalau begitu, sampai nanti ya," ucap si Gadis seraya memberikan ciuman jauh.
"Yuli! Tunggu...!" tahan Bobby tiba-tiba. Tapi sayang... telepon sudah ditutup.
Rani tampak terpaku, keningnya pun tampak berkerut ketika mendengar nama gadis yang disebut tadi.
SELESAI Assalam.... Mohon maaf jika pada tulisan ini terdapat kesalahan di sana-sini, sebab saya hanyalah manusia yang tak luput dari salah dan dosa. Saya menyadari kalau segala kebenaran itu datangnya dari Allah SWT, dan segala kesalahan tentulah berasal dari saya. Karenanyalah, jika saya telah melakukan kekhilafan karena kurangnya ilmu, mohon kiranya teman-teman mau memberikan nasihat dan meluruskannya. Sebelum dan sesudahnya saya ucapkan terima kasih banyak.
Akhir kata, semoga cerita ini bisa bermanfaat buat saya sendiri dan juga buat para pembaca. Amin... Kritik dan saran bisa anda sampaikan melalui e-mail bangbois@yahoo.com
Wassalam... [ Cerita ini ditulis tahun 2005 ]
Memanah Burung Rajawali 11 Tusuk Kondai Pusaka Liong Hong Po Cha Yan Karya S D Liong Rahasia Si Badju Perak 8