Pencarian

Misteri Putri Peneluh 1

Misteri Putri Peneluh Karya Abdullah Harahap Bagian 1


Abdullah Harahap Misteri Putri Peneluh Download Ebook Jar Lainnya Di
http://mobiku.tk http://inzomnia.wapka.mobi
SATU PEMUDA itu merapatkan tubuh ke dinding pondok. Hujan badai telah berhenti. Tetapi ia masih diliputi ketakutan yang belum pernah ia alami sebelum ini. Liar matanya menatap ke luar pintu pondok, mengawasi kegelapan malam yang seolah mengurung dan menjebak pemuda itu agar tidak sempat meloloskan diri dari perangkap dosa-dosa yang bertaburan di sekelilingnya. Kabut tipis datang bergulung gulung dari segala arah. Bentuk dan datangnya merupakan suatu fantasi yang mengerikan, berdesah-desah, terkadang mengaum penuh misteri.
Di dalam pondok kering. Tetapi kabut membuat sekujur tubuh dan sekitar balai balai bambu tem patnya meringkuk, lembab basah. Dingin terus-
menerjang dari luar, disertai kehampaan malam yang semakin pekat. Sekelompok domba bergerak gelisah di dalam pondok sempit itu. Berdiri dempet satu sama lain untuk saling menghangatkan. Sekelompok kecil lainnya, terikat di luar pondok, mulai mengembik liar. Satu dua ekor malah menendang-nendangkan kaki ke dinding pondok, menimbulkan bunyi asing di tengah desau angin malam. Pemuda itu menggigil.
Gigi bergemeletukan, biar ia telah semakin rapat di pojok balai-balai dan berusaha menjepit tubuh seekor domba gemuk dengan ke dua pahanya yang terjuntai ke tanah. Tiap sebentar ia mendongak lewat dinding pondok yang rendah. Meninjau ke bawah tebing di mana pondok itu terletak. Jalan lintas perkebunan di bawah pondok, hampir tidak terlihat oleh mata telanjang. Kabut seakan telah mengambil jalan itu dan membuangnya jauh-jauh, sehingga si pemuda semakin tersudut.
" ... mana kendaraan itu "", ia bersungut sendirian.
Gumam yang keluar dari mulut, menumbuhkan semangatnya. Tidak banyak, namun cukup untuk mengatasi rasa sepi. Takut-takut, ia keraskan suara. Berkata pada diri sendiri : " Mereka cuma terhalang badai. Percayalah. Mereka akan datang sebentar lagi !"
Ya. Pemuda itu berusaha meyakinkan diri sendiri, bahwa teman-temannya bukan melarikan diri. Mereka cuma terhalang di perjalanan. Mungkin karena jembatan rusak. Atau mobil mogok karena mesinnya dimasuki air. Tetapi semuanya akan beres. Tak lama lagi mereka akan datang, ia dan semua domba yang ada di dalam maupun di luar pondok, akan diangkut segera. Dijauhkan dari perangkap kabut yang menakutkan itu, lalu kemudian kembali berkumpul dengan keluarga, api tungku yang hangat, kopi kental yang nikmat, dan mungkin saja juga si Painah yang manis mau menemuinya, begitu mendengar kabar dia sudah punya uang.
Empat ekor domba tercecer di tengah jalan ketika hujan badai mulai turun. Pemuda itu bersama salah seorang teman yang menggiringnya dari sebuah desa, tak punya waktu untuk mencari Mereka berdua menggiring domba lain menjauhi desa selekas mungkin karena hujan badai telah membangunkan seorang dua penduduk. Masih ada dua belas, paling tidak sepuluh ekor domba yang berhasil mereka giring. Kemudian temannya pergi, karena setiba di pondok yang sudah ditentukan, kendaraan yang akan mengangkut mereka ternyata belum muncul.
"Akan kususul", kata temannya.
Dan, temannya pun tidak muncul muncul, selama hujan badai yang menakutkan itu, dan selama malam semakin merangkak dan kini udara dinihari yang berbau kabut itu semakin menebal.
"Apakah ia tersesat "", pemuda itu bergumam lagi.
Domba mengembik liar di sekitar pondok, begitu tiba-tiba sehingga pemuda itu terlonjak kaget. Apakah binatang-binatang itu mendengar bunyi mesin kendaraan " Atau ada penduduk salah satu desa mengendap endap di luar pondok untuk menyergapnya "
"Tak mungkin !", pemuda itu menjawab sendiri. "Tak ada yang memergoki kami ! Tak ada yang tahu !", dan memang itulah yang sebenarnya. Temannya punya ilmu sirep. Butir-butir pasir ditaburkan ke atap rumah penduduk yang kandang dombanya akan mereka satroni. Kemudian binatang-binatang itu juga mereka sirep. Diberi rumput segar bercampur irisan bawang merah yang dicelupkan ke minyak kesturi. Tak seekor pun domba-domba itu membuat ulah bahkan mengembik waktu mereka keluarkan dari kandang masing-masing.
Lalu hujan badai it u turun. Pengaruh sirep tertawar sedikit, dan binatang-binatang itu mulai ribut. Empat hilang lenyap ka-
renanya. Berarti empat puluh ribu rupiah tidak akan dibayarkan tukang tadah di kota. Apa boleh buat. Masih tersisa, tarohlah sepuluh ekor, jadi seratus ribu rupiah masih mereka peroleh untuk dibagi-bagikan.
Dia akan memperoleh bagian sekitar tiga puluh ribu, mungkin kurang sedikit. Dari jumlah itu, ia masih harus membayar utang di warung bi Minah sebesar lima ribu. Jadi, Painah masih akan mendapat sekitar dua puluh ribu, paling sedikit. Janda itu akan tertawa riang, membuatkan dia kopi kental, mengajaknya tidur dan minggu berikutnya akan resmi jadi isterinya. Keluarganya mungkin akan marah besar. Tetapi tak seorang pun berhak melarang dia. ia sudah membuntingi Painah, dan ia mencintai janda itu setengah mati. Terbayang mata Painah yang redup mengundang, tawanya yang sendu merayu, dan gerak pahanya yang menantang gairah.
Pemuda itu tersenyum. Sebentar cuma. Kemudian senyumnya hilang, waktu samar-samar ia dengar suara bergemuruh. Bunyi mesin kendaraankah " Atau sungai yang airnya tengah meluap. Ah, sungai jauh di sebelah utara. Sedang kendaraan bunyinya tidak bergemuruh seperti itu. Domba-domba yang berkelompok di luar apalagi di dalam pondok, bergerak liar dan
mengembik riuh rendah. Aji sirep itu telah semakin tawar, dan kini domba-domba itu rupanya telah sadar kalau mereka tidak sedang ada di kandang yang semestinya.
Si pemuda menyingkirkan domba yang menghalangi jalannya, lalu melangkah ke luar pondok. Jalan di bawah masih gelap, berselimut kabut. Tetapi kabut itu kian menipis jua, dan satu dua sinar bintang di langit biru mulai menerawang dari celah-celah pucuk pepohonan yang menjulang. Diam sebentar mendengarkan, barulah pemuda itu mengetahui mengapa domba pada ribut dan apa kiranya yang tadi menimbulkan suara bergemuruh.
Tanah di bawah kakinya, bergerak !
Dinding pondok bergoyang perlahan. Atapnya kemudian rubuh tiba-tiba, diterjang angin keras yang meluncur dari atas bukit. Bersama kelompok domba itu, si pemuda lari menghindar. Serabutan. Sambil menghindar masih sempat ia raih salah satu ujung tali induk dan menyeret sekitar empat atau lima domba bersamanya. Namun sebatang pohon besar yang ia manfaatkan sebagai perlindungan, mulai pula bergerak.
Pemuda itu panik. Tanah basah bercampur pasir menerjang mukanya, ia mengelak, dan jatuh terguling ke bawah. Sebuah batu besar menahan tubuhnya jatuh lebih
jauh, namun toh punggungnya terasa berderak. Mungkin ada tulangnya yang patah. Matanya sampai berair, menahan perih yang alang kepalang. Dan ketika matanya ia buka, toh ia masih bersyukur.
Pondok tempatnya berlindung, hilang lenyap sudah.
Tanah datar tempat pondok itu terletak, sudah longsor seluruhnya, jatuh ke jalan di bawah tebing. Begitu pula pohon-pohon di sekitarnya, rubuh bertumbangan tak tentu arah. Suara hiruk pikuk yang
beberapa saat sebelumnya melemahkan jantung, perlahan-lahan lenyap. Nyalinya yang ciut, mekar sedikit demi sedikit.
"Cilaka !", ia kemudian memaki, lesu, manakala ia sadari kelompok domba itu sudah tak kelihatan lagi. Mungkin terseret lalu tertimbun tanah longsor, mungkin pula ada yang melarikan diri. ia tidak berniat mengejarnya lagi. ia lebih mengutamakan keselamatan diri sendiri. Painah akan marah karena ia tak membawa uang, tetapi Painah pasti mengerti apabila mengetahui ada tulang puntungnya yang patah.
ia mencoba duduk. Sakit bukan main. Matanya berkunang kunang. Menunggu sebentar, mengatur nafas, lalu bangkit berdiri. Tubuhnya sempoyongan. Punggung perih
,dan toh ia kembali harus bersyukur, ia mampu berjalan, meski lambat dan tertatih-tatih, serta siksaan di punggungnya kian reda. Jadi, tak ada tulang yang patah !
Seekor domba mengembik lemah.
Binatang itu sedang sekarat, tertimpa batang pohon. Ususnya terburai. Gemetar dan pucat, pemuda itu menyingkir jauh-jauh. ia merangkak sepanjang tebing, mencari jalan turun ke bawah. Tak jauh dari bekas pondok itu sebelumnya berdiri, ia mendadak tertegun.
Tanah longsor itu meninggalkan suatu bidang lebar yang terbuka di bawah langit kelam. Di antar
a rubuhan pohon, batu-batuan dan rumput ilalang yang hampir tenggelam ditelan gundukan tanah yang berserakan, tampak benda-benda putih yang samar. Rembulan mulai muncul, dan kabut kemudian terbang menjauh. Si pemuda mendekat, ragu-ragu. Membungkuk sedikit, memperhatikan. Lantas, berteriak kaget dan mundur beberapa tindak dengan wajah semakin pucat pasi.
Apa yang ia saksikan dengan mata kepalanya, adalah beberapa potong tulang belulang manusia yang bersembulan dari dalam tanah. Sebuah tengkorak kepala terhantar di dekat sebatang pohon besar, dengan liang-liang mata menatap kosong ke arah si pemuda. Yang lebih mengerikan ialah.
tulang-belulang itu bergerak-gerak !
Terangkat dari tanah, seakan melayang sebentar kemudian bergerak mengambang ke tempat datar terbuka di depannya. Waktu ia simak dengan sepasang mata melotot lebar, barulah ia ketahui apa sebabnya tulang belulang itu bergerak begitu aneh. Beberapa ekor tikus beramai-ramai menggigit tulang lalu menggotongnya. Tikus-tikus berwarna co-klat, hitam, dan besarnya luar biasa. Kucing yang paling galak pun akan berlari menghindar bila bertemu. Tikus-tikus itu besarnya melebihi kucing biasa, tetapi tak lebih besar dari anak domba yang baru lahir.
Makhluk-makhluk pengerat itu bekerja teratur, acuh tak acuh.
Si pemuda yang terkesima, hanya tegak mematung. Menatap ta'jub campur ngeri. Kengerian itu kian menjadi-jadi, tatkala ia lihat lebih banyak ti kus yang muncul, besar kecil, semua menggotong tulang-tulang, besar kecil pula, dan paling akhir menyeret tengkorak dekat batang pohon ymy tumbang tadi.
Hanya dalam beberapa kejap mata, makhluk-makhluk itu telah menyelesaikan tugasnya. Kerangka manusia itu telah lengkap, dan tersusun menurut aturan yang semestinya. Tulang belulang besar, tulang belulang kecil, dan tengkorak. Kerangka itu
seperti rebah dengan damai bersiram cahaya rembulan. Namun letak tengkorak kepalanya, dibuat sedemikian rupa - atau memang harus begitu ! -, sehingga menatap lurus ke mata si pemuda.
Ingin rasanya ia menyebut nama Tuhan.
Malang, yang ke luar dari mulut si pemuda, hanyalah seruan seram : "Ya, ampun - Apa ... apa yang..."
Kerangka itu berbaring diam.
Tengkorak itu, menatap diam.
Ternyata, pekerjaan belum rampung seluruhnya. Hal itu baru diketahui si pemuda, ketika dengan ketakutan yang amat sangat ia bergerak mundur dengan niat lari terbirit-birit, menjauhkan diri. Niat, hanya niat belaka. Karena, ia tidak dapat lari sekarang.
Baru saja ia memutar tubuh, desis dan suara mencicit yang bergaung seram telah memenuhi udara di sekitarnya. Bau busuk tercium sangit, dan makhluk-makhluk coklat dan hitam telah mengerubung dirinya. Belasan, puluhan, mungkin ratusan. Dan ratusan pasang mata kecil berwarna kemerah-merahan, berkilat tajam menatapnya. Ratusan taring-taring runcing, mengancam di antara misai-mi-sai yang bergoyang.
"Hei. Mau apa - kalian "", pemuda itu bersungut.
Kerubungan makhluk-makhluk itu bukannya kabur, malah semakin merapat setengah lingkaran, memaksa si pemuda bergerak mundur ... langsung ke arah kerangka itu terletak.
Dia mulai berteriak, takut : "Pergi ! Pergi ! Entah kalian ! Enyah - aku bukan - aku - !"
Kakinya menendang, ia jatuh. Tangannya mencakar, memukul, meninju.
Beberapa ekor maklhuk itu terhenyak, mati. etapi lebih banyak yang datang mengurung, mengerat, menggerogoti, mencakar dengan kuku-kuku yang tajam dan berbau busuk. Darah merah mem-bercik kian kemari. Kemudian sesuatu terasa menusuk ke dalam dada, ke dalam lambung, ke dalam lambung, ke dalam rongga matanya.
Pemuda itu memekik. Angin malam berdesah, garang.
Kecuali bunyi angin, segala sesuatunya menyepi. Diam. Bahkan makhluk-makhluk berwujut tikus-tikus besar kecil itu, pada termangu, begitu kelejot-an dan peki si pemuda kian lemah lalu hilang, yang sudah menjadi mayat.
Mata tengkorak, menatap. Lalu tiupan angin menggerakkannya sedikit. Gerakan yang mirip anggukan menyetujui, atau memberi tanda. Lalu makhluk-makhluk itu bergerak pula, serempak. Mereka tinggalkan mayat si pemuda yang sudah tercabik-cabik, lantas bergerak mendekati kerangka, mengitarinya sejenak dengan mata me
merah saga dan kuku serta taring memerah darah. Tikus yang terbesar kemudian merangkaki kerangka itu, menjatuhkan serpihan-serpihan jantung, paru-paru, ginjal dan darah yang menetes-netes di lambung serta dada kerangka. Gerakan ini diikuti puluhan ekor tikus lainnya. Tampaknya mereka akan menggerogoti kerangka diikuti puluhan ekor tikus lainnya. Tampaknya mereka akan menggerogoti kerangka di sana-sini, nyatanya tidak. Mkhluk-makhluk itu justru mengolesi setiap potong tulang kerangka dengan darah segar yang terus menetes melalui moncong, taring dan misai mereka
Suatu saat, ketika rembulan semakin bersinar, dan ketika bintang gumintang pada berloncatan di langit biru kelam, makhluk-makhluk itu menjauhi kerangka, berbaring diam. Menunggu. Angin dingin bertiup perlahan, berdesah bersama suara-suara roh dari alam gaib.
Perlahan tetapi pasti, wujut kerangka itu mengalami proses perubahan. Dari tulang belulang dan tengkorak yang terlantar, berubah jadi sesosok tubuh manusia. Betisnya ramping, pahanya bulat mulus, pinggang meliuk indah, dada membukit dengan putik-putik merah segar, leher jenjang, wajah cantik dengan rambut tebal hitam berkilauan.
Sisa-sisa kabut kemudian menari di sekitar tubuhnya, membentuk suatu wujut seperti gaun putih indah.
Lalu payudara bulat merangsang itu, bergerak naik turun.
Kelopak mata, mengerjap. Terbuka. Menatap kehidupan, yang suatu saat berakhir dan suatu saat bangkit.
Hidup dan kehidupan, yang sampai kapan pun akan tetap merupakan misteri alam yang sukar diungkapkan.
DUA JALAN itu lengang. Bulan yang redup di langit seakan enggan meneranginya, sehingga Margono dan teman-temannya, sesekali terpaksa menyalakan lampu senter untuk tidak sampai menginjak kubangan yang penuh lumpur bekas-bekas roda pedati yang lewat di jalan itu sepanjang hari. Sesekali butir-butir air jatuh dari atas. Margono tengadah. Hanya tampak dedaunan yang rimbun. Hitam dan gelap. Entah mengapa, ia menggigil. "Dingin !", sungut Margono. "He-eh !", sambut seorang temannya. Yang lain cuma diam. Lalu sepi lagi. Bunyi cengkerik yang tadi bersahut-sahutan, perlahan-lahan berhenti ke mudian senyap sama sekali, ketika mereka sampai di dekat kali.
" ... banjir lagi", seseorang menggerutu. Yang lain mendehem. Dan serentak, seperti dikomando menoleh ke samping. Lewat batang dan rimbunan bambu, tampak aliran air sungai yang samar-samar. Deras sekali. Dan sedikit menderu.
"Tak ada yang hanyut hari ini "", sungut Margono.
"Kambing Uwa Enoh. Tiga ekor sekaligus", sahut teman di sebelahnya.
"Kalau begitu kambingnya tinggal dua", sungut Margono lagi.
"Satu", ralat temannya pula. Dan yang lain menambahkan : "Kan dua hari yang lalu kambing Wa Enoh yang terbesar dicuri orang".
"Hem", yang jalan paling belakang mendehem. "Lihay pencuri itu. Sudah beberapa kali ia beroperasi tanpa pernah kita pergoki. Rasanya aku sudah bosan begini. Meronda sampai subuh. Kehujanan. Kedinginan. Belum lagi perut keroncongan karena belum sempat makan ketika meninggalkan rumah."
"Kita ke Posko saja", kata yang terdepan." Di sana kita masak kopi. Pak Haji tadi mengirimkan sebaskom ubi rebus !".
Langkah-langkah mereka kian bergegas. Dan : "Aku mau ke kali dulu !", kata Margono.
"Ngapain "", yang terdepan bertanya tanpa me noleh.
"Ngosongin perut dulu, agar ada persediaan untuk ubi rebus", ia ingat betul, tempat paling dekat di mana ia akan buang hajat biasanya dipakai perempuan-perempuan kampung mereka untuk mandi dan mencuci.
Lalu ia melangkah tepi air yang menjilati tebing, melompati sebuah batu besar dan siap untuk ber-jongkok di atasnya. Pada saat itulah ia menangkap sebuah bayangan tak jauh di depan. Bayangan itu agak sedikit di tepi kali, dan ketika Margono melihatnya bayang-bayang berwarna putih itu menghilang di balik sebuah pohon besar.
Jantung Margono berhenti berdenyut. "Pencuri-kah "", bisiknya dengan hati menggeletar, ia kan-cingkan kembali celananya. Dengan satu loncatan panjang, ia telah berada di atas tebing kali. ia tegak aebentar. Memperlihatkan. Tetapi bayangan itu tak muncul lagi. Debur jantung Margono perlahan mereda. Tetapi ia belum yakin. Siapa t
ahu bayangan itu masih bersembunyi di balik pohon. Itu bukan ilusi, ia tahu betul. Begitu jelas tadi ia melihat bayangan putih itu meloncat lalu menghilang di balik pohon kira-kira tiga meter di depannya. "Siapa di situ "", Margono memberanikan diri.
Tak ada sahutan. Margono melangkah. Satu. Dua. Tiga. Perasaannya mulai waswas. Entah mengapa.
Karena itu ia membuka mulut lagi : "Siapa di situ "".
Tetap tak ada sahutan. "Keluarlah cepat ! Biar aku tahu !", kata Margono penuh ketakutan.
Margono mencoba mengancam . "Kalau tak menjawab, aku akan berteriak. Biar teman-teman yang lain datang".
Perlahan-lahan terdengar suara : " ... aku".
Denyut jantung Margono mengencang lagi. Begitu halus suara itu. Mirip-mirip bisikan. "Aku siapa "".
"Aku ! ". "Keluarlah ! Biarlah aku tahu !".
"Kang Gono dong yang ke sini !"
Suara perempuan ! Margono menjilat bibirnya yang terasa kering. Siapa perempuan itu " Dan ngapain dia malam-malam begini ada di pinggir kali " Rumah yang terdekat letaknya lebih dari seratus meter dari tempat itu. Tadi ia tidak melihat obor. Atau melihat orang menuju tepi kali. Tak mungkin si perempuan jalan sendirian dalam gelap. Apalagi berada di dekat kali yang airnya tengah meluap.
"Apa kerjamu di sini "", Margono belum yakin. Takut dijebak.
"Mau buang air". "Hem, lalu ""
"Akang datang. Aku malu, lalu sembunyi".
"Sekarang keluarlah. Tak perlu lagi malu. Kelu arlah, biar kutemani kau. Kau Marniah, bukan "".
Angin dingin berhembus menyapu wajah Margono ketika bayangan putih itu muncul perlahan-lahan dari balik pohon. Begitu perlahan, sehingga gerakannya seperti asap. Denyut jantung .Margono benar-benar sudah tidak teratur, ketika di hadapannya berdiri seorang gadis bertubuh semampai, berpakaian putih polos yang menutupi seluruh tubuh dari batas leher sampai ... ah, sampai ke tanah.
Margono heran. Baju perempuan itu tidak kotor walau menyapu tanah berlumpur. Dan lebih heran lagi, setelah melihat wajah yang putih kemilau dan tampak jelas di udara subuh yang remang remang itu. Perempuan itu bukan Marniah, anak pak Haji. Tetapi seorang perempuan yang tampak asing, na-mun seolah-olah ia kenal :
"Akang lupa padaku "", tanya si perempuan se-raya mendekati.
Hampir kaku seluruh tubuh Margono. Kaku kedinginan.
"Eh ... eh, yyyaaa...", jawabnya gagap.
"Ah, masa !", Perempuan itu tersenyum. Manis
sekali. Bibirnya tampak merah merekah. Lembu mempesona.
"Sss ... sung ... ggguh !".
"Ingat-ingat dong, kang Gono !".
"Sssiii ... ssiaappa "". "Aku Teratai. Teratai Pu tih !".
Dalam kekalutan pikiran dan keheranannya Margono mencoba mengingat-ingat. Memang ia pernah mendengar nama itu. Seolah dekat sekali dengan dirinya. Dekat sekali dengan hatinya. Bagai kan nama itu pernah menjadi kekasihnya. Ataukah gadis idamannya "
Sementara itu, si gadis sudah berada hanya di depan tubuhnya. Uap nafas gadis itu terasa hangat Wajah Margono kembali bersemu merah, dialir darah. Dijelalatinya wajah gadis itu sepuasnya Matanya bersih dan besar. Bersinar tajam, tetapi tampak menggairahkan. Jantung Margono sudah tak bisa ia kendalikan lagi. Lebih-lebih ketika tangan si perempuan terangkat, perlahan-lahan mem belai pipi Margono.
"Kau tampan sekali, kang Gono", bisik si perem puan.
"Ah hanya itu yang terucap di mulut Margono.
"Yah. Kau tampan. Gadis-gadis seluruh kam
pung ini pun mengatakan bahwa kau jantan".
"Ah lagi Margono mendesah.
"Tetapi kau jahat, kang !".
Sepasang mata Margono menyipit. Apa maksud si perempuan " Ditelitinya wajah gadis itu. Tidak ada gambaran apa-apa untuk menguatkan kata-kata yang terucap dari bibirnya yang merah merekah. Malah wajah itu demikian lembut, hangat dan mempesona. Sehingga kejantanan Margono seperti diumbang-ambingkan, digoda dan dipanas-panasi.
"Apa maksudmu T', keberaniannya muncul kembali.
"Kau jahat. Karena itu aku datang menemuimu malam ini".
"Mau apa kau T', suara Margono melemah. Betapa tidak. Jari jemari gadis itu telah melepas kancing-kancing kemejanya. Dan perlahan lahan menggelitik dada Margono yang berbulu. Margono jadi gemas. Si gadis memekik halus, kemudian meronta-ronta.
"Kang, jangan !"
Tetapi suara membanta h itu bertolak belakang dengan tatap mata dan senyum di bibir. Margono semakin menjadi nekad. Si perempuan menggeliat, dan perlahan-lahan membaringkan tubuhnya di atas rerumputan. Margono memandang dari atas,
dengan mata nyalang dan lutut menggeletar.
"Kang Gono ... ", si perempuan memelas. Margono tidak perduli lagi. Tak perduli siapa perempuan itu, mengapa ia berada di tempat itu, mengapa begitu mudah jatuh dalam pelukannya meski memang selama ini di kampung mereka Margono dikenal sebagai seorang petualang perempuan, ia tidak perduli mengapa baju si perempuan yang putih bersih tetap tidak kotor setelah berbaring di atas tanah berlumpur. Yang diperdulikan Margono cuma dorongan dalam dirinya saja.
ORANG-ORANG yang tengah menyantap kopi panas dan ubi rebus di Posko HANSIP, tersentak ketika mendengar suara jerit yang menyayat di kejauhan. Laki-laki yang bertubuh paling besar dan selalu berada di depan sepanjang malam itu, serentak berdiri.
"Kalian dengar itu "", bisiknya. Yang lain tak menjawab. Diam mendengarkan.
Lalu jeritan itu menggema lagi. Mirip raungan. Raungan yang tengah menghadapi kematian. Lalu seorang di antara yang duduk melemparkan ubi rebus di tangannya, berdiri dan berlari keluar.
"Itu suara si Gono ! ", serunya.
"Margono !", gerutu si lelaki bertubuh tinggi kekar yang pertama-tama berdiri. "Celaka. Boleh jadi pencuri itu ia pergoki dan
Mereka semua membayangkan kemungkinan itu. Selagi mereka berlari dahulu mendahului ke arah sungai di mana Margono tadi mereka tinggalkan, benak mereka seolah-olah memadu dalam suatu bayangan. Margono memergoki si pencuri yang sering mengganggu keamanan kampung mereka belakangan ini, Margono tidak bersenjata. Dan si pencuri mungkin punya golok. Atau pisau. Atau bambu runcing. Atau apa saja. Yang bisa meng-
hantam margono. "Cepat !", yang paling depan berseru. "Cepat ! Cepat !", yang lainnya dikomando, Ajaib, mereka mengucapkan kata-kata yang sama, dan mereka terus berlari dan berlari. Mereka sudah kecapaian, tetapi tempat yang mereka tuju tak juga sampai-sampai. Mereka sadar mereka terus berlari, tetapi betapa lamanya. Dan betapa jauhnya terasa. Tempat yang tadi mereka tinggalkan jarak nya cuma sepuluh menit jalan kaki dari arah Posko, Tetapi dengan berlari, justru semakin lambat dan jauh. Sementara itu jerit dan raung itu menggema dan menggema terus. Jerit kesakitan, raung kema tian.
"Celaka V', sungut orang yang bertubuh tinggi besar ketika raungan menggema di kesenyapan su buh itu perlahan-lahan mereda kemudian lenyap sama sekali. "Pencuri itu telah membunuhnya" !
Lalu dengan tiba-tiba, kekuatan mereka kembali pulih. Begitu jerit itu lenyap, begitu mereka mera sakan langkah-langkah kaki mereka kian cepat dan hanya dalam beberapa detik mereka telah sampai di tempat di mana tadi Margono mereka tinggal kan.
"Gono ! Margono !", mereka ganti berganti me manggil. Tidak ada sahutan. Yang ada hanyalal deru dedaunan bambu gemersik ditiup angin, lalu
deru air yang mengalir ke hilir. Sorot lampu senter melonjak-lonjak ke sana kemari. Dari balik dedaunan bambu, ke batang-batang bambu. Dari tebing, kepermukaan air. Dari batu-batu di tengah kali, sampai tanah berlumpur di pinggiran. Dan seseorang tiba-tiba berteriak : "Itu dia !".
Yang lain menoleh. Dan sorot lampu senter seperti dikomando, bersatu padu ke arah sesosok tubuh yang menggeletak di bawah sebuah pohon bakau, di antara akar-akar raksasa yang bergantungan, menjuntai di atas tanah dan di permukaan air.
Nafas-nafas mereka mendadak berhenti ketika mereka kenali tubuh itu.
"Margono !", seseorang berbisik. Sendu, dan mengerikan.
TUBUH itu polos. Pakaiannya bertaburan di sana sini. Ketika sorot-sorot lampu senter disertai pe-kik-pekik tertahan memenuhi tempat itu, sesuatu berwarna putih tiba-tiba meloncat dari arah pangkal paha Margono yang sudah diam tak berkutik. Tiba di tanah berlumpur, bayangan putih itu berhenti sejenak, ia menantang sorot lampu senter yang diarahkan padanya dengan mulut menyeringai. Tampak noda-noda darah di antara misai-misainya yang halus.
"Tikus putih" !", seru orang yang menyenter benda itu. Dan sebelum ia
serta kawan-kawannya ingat untuk berbuat sesuatu, tikus putih sebesar betis itu telah meluncur masuk dalam gelap, menghilang di antara akar-akar bakau seraya mencicit-cicit nyaring. Bergidik bulu roma peronda-peronda malam yang hadir di situ..
"Lihat !" petugas ronda yang bertubuh kekar menyorotkan lampu senternya ke arah dari mana tadi tikus putih itu bersembunyi sebelum loncat untuk menghilang. Semua mata tertuju ke arah paha Margono. Pekik-pekik tertahan sahut bersahut lagi. Hampir semua memejamkan mata sejenak, untuk dengan enggan membukakannya lagi dan melihat bahwa apa yang berada di depan biji mata mereka bukanlah impian buruk. Hampir se-
luruh bagian alat vital Margono sebagai seorang lelaki, hancur.
Keempat orang peronda malam itu berjongkok serentak. Denyut nadi di tangan Margono diperiksa. Juga jantung Margono itu'ah, ia tiba-tiba mencium bau anyir. Matanya terbeliak waktu ia sadari bahwa mulutnya mencercah pada darah yang mele-lehi dada Margono. Darah itu berasal dari lehernya. Waktu orang itu menyorotkan lampu senter di tangan, ia merasakan seluruh tubuhnya dingin dan kaku. Tenggorokan Margono terbelah dengan kasar bagaikan dicabik-cabik oleh gigi-gigi yang runcing dan tajam-tajam.
Beberapa detik berlalu dengan kebisuan yang mencengkam dan mendirikan bulu kuduk. Hanya deru aliran sungai saja yang terdengar, diselingi oleh semilirnya angin yang menggeseki batang-batang dan dedaunan bambu sehingga menimbulkan bunyi yang tidak mengenakkan hati maupun telinga.
"Mari kita angkut ia ke rumahnya", perlahan-lahan peronda yang paling besar tubuhnya membuka suara. Getaran suaranya terdengar jelas. Juga ketika yang lain menggumam, tanda setuju. Gu-maman-gumaman itu menggletar, seakan-akan tertahan di kerongkongan. Lutut dan tangan-ta-
ngan mereka pun terasa goyah waktu mereka sama-sama berjongkok kemudian ramai-ramai mengangkat tubuh Margono yang telah menjadi mayat. Da lam samar-samar cahaya subuh, hati mereka agak menciut melihat sepasang mata Margono yang terpentang lebar, seakan-akan melihat dan merasakan sesuatu yang mengerikan serta membuatnya amat menderita.
Mereka berjalan dengan suara membisu menuju rumah keluarga Margono. Meskipun begitu, semakin dekat ke rumah korban, semakin banyak juga orang yang mengiringi rombongan. Rupanya jerit dan raung Margono telah membangunkan beberapa penduduk yang memberanikan diri keluar untuk mengetahui apa yang terjadi. Ada belasan orang yang mengiringi mayat itu sampai dibaringkan di ruangan tengah rumah keluarganya.
"Panggilkan pak Lurah !" seseorang berseru.
Bersamaan dengan terdengarnya kokok ayam yang kian ramai bersahut-sahutan, maka di dalam rumah keluarga Margono pun sahut bersahut pulalah suara jerit dan tangis yang pilu menyayat hati. Seluruh kampung gempar dengan tiba-tiba. Semua pintu dan jendela terbuka. Jalan-jalan desa menjadi ramai. Orang-orang berhamburan dan mengerumuni rumah dan halaman di mana jerit dan tangis
kematian itu menggema berkepanjangan. Dan ketika pagi tiba, kerumunan itu mulai menipis dan tinggallah keluarga Margono serta anak-anaknya yang ada, termasuk keempat petugas ronda malam itu dan Pak Lurah yang khusus dipanggil untuk nenyelidiki sebab-sebab kematian Margono yang demikian menyeramkan.
Setelah memeriksa luka-luka di bagian kelelakian serta tenggorokan Margono yang sama-sama han-cur, orang tua yang jenggotan dan ubanan itu me-ngeluh;
"ia bukan dibunuh orang !" Tertegak leher empat petugas ronda didekatnya. "Bukan dibunuh "". "Memang dibunuh. Tetapi bukan oleh manusia biasa !".
Wajah-wajah yang ada di sekitar orang tua itu yang tadinya telah pucat, semakin pucat dan lesu. Satu dua orang menggelengkan kepala, mencoba menghilangkan bayangan buruk yang munghuntui kepala mereka. Sementara itu sedu sedan "nak dan isteri Margono semakin berderai mendengar kete-rangan si orang tua. Berapa menit pula lewat dalam ketegangan yang mencekik, sampai peronda bertubuh kekar itu membuka mulutnya lagi.
"Pak Mirta bisa cari makhluk apa yang kira-kira membunuhnya ""
" ... sebentar", sungut lurah yang dipanggil Pak Mirta itu.
ia sesaat taffakur, kumat kamit m
embaca se suatu lalu membelalakkan mata. Sorot matanya yang tajam ditujukan pada telapak tangan kanan Margono yang sejak dibawa ke rumah ini tetap mengepal dan tak bisa dibuka. Tubuh Pak Mirta bergidik sejenak, kemudian matanya terpejam lagi. Beberapa helaan nafas setelah itu ia menjadi biasa lagi. Sambil tersenyum penuh kemenangan, ia me-raba pergelangan tangan kanan Margono. Dengari mengangkatnya sedikit, kepalan tangan kanan Margono telah berada di depan mulutnya.
"Cuih !", ia meludah.
Semburan ludah itu membasahi jari jemari Mar gono yang telah memutih kebiruan. Kemudian te lapak tangan Pak Mirta yang satunya lagi diangkat melebar dan diputar-putarkan di atas kepalan ta ngan Margono. Lalu, perlahan-lahan ia membuka satu per satu jari jemari yang mengatup keras itu hanya dalam waktu yang singkat dan sangat mudah kelihatannya, dibuka oleh Pak Mirta. ia membuka jari jemari Margono seperti mengupas kulit pisang
Begitu telapak tangan Margono mengembang terbuka, semua mata yang hadir terbelalak Tangani yang tadinya diduga berisi sesuatu yang berhasil di-
enggut oleh Margono dari pembunuhnya sebelum ia menghembuskan nafas, ternyata memang berisi sesuatu. Bukan baju atau sesuatu yang menunjuk-
an benda itu sebagai milik pembunuh Margono yang diduga oleh peronda-peronda sebagai pencuri yang akhir-akhir ini mengganas di kampung mereka; melainkan sebuah benda yang tidak mereka du-
ga sama sekali. "... kuntum bunga !", sungut laki-laki bertubuh
kekar, yang mencondongkan wajahnya ke depan
begitu tangan Margono mengembang terbuka. "Teratai putih", sahut Pak Mirta menambahkan . Dan masih segar dan baru. Margono tidak merenggutkan ini dari pembunuhnya. Tetapi ia menerimanya secara baik-baik, lalu ia genggam ku-at-kuat seakan tak mau melepaskannya lagi orang tua itu terdiam sejenak. Berpikir. Seperti ti-dak percaya pada diri sendiri kemudian ia melan-jutkan : "Yah ... seseorang memberi kuntum teratai putih ini pada Margono, sebelum ia melaksanakan niat jahatnya".
"Seseorang ! Pencuri itukah "".
Pak Mirta geleng-geleng kepala. "Luka luka di tubuh Margono adalah bekas-bekas gigitan. Dan gigi-gigi manusia tak mungkin membentuk cabikan-cabikan yang sedemikian rupa. Mestinya ini gigitan
seekor binatang "Binatang !", sungut peronda bertubuh kekar. " Tetapi Pak Mirta bilang Gono dibunuh oleh seseorang
"Seseorang yang kemudian berubah jadi binatang", sungut Pak Mirta." Tetapi aku belum yakin benar. Ini cuma dugaanku saja".
Terdengar seruan-seruan tertahan. Keluarga-keluarga almarhum yang tadinya bertangis-tangisan telah hilang sedu sedannya. Rupanya mereka pun mendengarkan pembicaraan itu, dan menjadi asyik karenanya. Lupa bahwa salah seorang anggota keluarga baru saja meninggalkan mereka, dalam keadaan yang sangat mengerikan dan memilukan. Berpasang-pasang mata yang terbuka lebar seperti mulut-mulut mereka yang melongo pertanda ta'jub dan ketidakpercayaan yang saling bercampur, tertuju ke arah Pak Mirta yang memandangi para peronda didekatnya satu per satu. Yang dipandang menjadi gugup. Namun sinar mata pak Mirta tidak menuduh. Melainkan memancarkan pertanyaan, yang kemudian dikuatkan oleh kata-kata yang keluar dari mulutnya yang keriput: " ... kalian tak melihat binatang apa yang ada di tempat kalian menemukan tubuh Margono "".
Sepi sejenak. Lalu : "Tikus !", keluar suara
serempak. "Tikus putih !", kata orang yang pertama-tama melihat makhluk yang meloncat dari arah paha Margono ketika mereka temukan mayatnya. Dan dengan bernafsu ia meneruskan : "Tikus itu sempat menyeringai. Misai, tepi bibir dan gigi-giginya yang runcing, bergelimang warna merah. Warna darah".
"Darah Margono !", sungut pak Mirta. Mendengar itu, meledak pulalah tangis isteri, kemudian anak dan ditambah lagi oleh tangis perempuan-perempuan lain yang hadir di ruangan itu. Semakin lama semakin tinggi lengking dan tangis itu, sehingga pak Mirta dan para laki-laki lain cuma diam menunduk dengan wajah-wajah tubuh besar berbisik agak keras di dekat telinga pak Mirta:
"Apakah tikus itu yang membunuh Margono ""
Pak Mirta mengangguk. "Tetapi ... bagaimana mungkin " Mestinya Margono
melawan. Dan ... mengapa ia bertelanjang bulat " Hanya si pencuri yang mungkin dapat melakukan hal serupa itu
Orang tua itu memandangi peronda itu, juga yang lain-lainnya. Setelah menarik nafas panjang ia bergumam. Lesu : "Pembunuh itu bukan pencuri. Karena yang membunuh Margono adalah seorang yang gemar pada bunga..."
"Perempuan "", mata si peronda menyipit. "Coba lihat keadaan Margono ketika kalian temukan. Keadaan bajunya yang bertaburan dan tubuh Margono yang kalian katakan basah oleh butir-butir keringat di antara darah-darahnya
"Maksud bapak ... Margono meniduri perempuan itu, lantas
"Lantas selagi korbannya terlena, perempuan itu merubah wujudnya jadi tikus kemudian ... ah, sudahlah. Mengapa tidak kita cari saja sarang tikus itu sebelum ia menjatuhkan korban lebih banyak""
TETAPI yang tinggal di pinggir kali tempat mayat Margono diketemukan, hanya sobekan-sobekan pakaian Margono. Darah-darah yang berasal dari lu ka-luka gigitan di tenggorokan dan kelelakian cepat meski matahari baru saja muncul di ufuk timur. Yang anehnya, gumpalan darah yang telah membeku itu, warnanya hitam kebiruan.
" ... warna berlumur dosa !", berbisik pak Mirta.
Empat orang laki-laki peronda tadi malam yang ikut bersamanya, saling berpandangan.
"Tetapi sudahlah !", lanjut pak Mirta.
"Toh Gono sudah mati !".
Sementara laki laki yang lain mencari kalau ada jejak-jejak manusia atau pertanda-pertanda lain yang mencurigakan dan merupakan petunjuk apa atau siapa membunuh Margono, maka laki-
laki tua bertubuh kurus ceking dengan jenggotnya yang melambai-lambai ditiup angin, memperhatikan sebuah lubang kecil di bawah sebuah akar bakau.
"Ada yang bawa parang "", tanyanya. Hampir berupa bisikan. Karena yang lain-lain berpencar dan tekun dengan usaha masing-masing, pertanyaan itu tidak terjawab. Pak Mirta mengulangi lagi, lebih keras :
"Parang ! Ada yang bawa parang ! "".
Barulah orang-orang yang berada di situ mem-perhatikan. Seseorang maju, menyerahkan sebuah golok panjang. Tetapi ditolak oleh Pak Mirta. Sam-bil tak melepaskan pandangannya dari bawah akari bakau, ia menggerutu :
"Potong akar itu !".
Orang yang memegang parang, dengan heran menurutkan arah jari telunjuk pak Mirta. Di depan lubang menganga yang ia temui, sesaat ia coba meneliti ke dalam. Ularkah di dalam " Atau kedua-duanya ""
"Potong !", teriak pak Mirta.
"Bret !", sekali tebas, akar bakau yang menjuntai itu jatuh menggelinding di tanah. Terdengar suara berisik, lalu lubang yang menganga itu membentuk warna yang lebih hitam. Sebelum si pemegang parang sadar apa yang ia lihat, pak Mirta berseru lagi :
"Menghindar !" Tetapi terlambat. Dari lubang yang menganga semakin lebar setelah akar bakau yang menutupinya jatuh, meloncat keluar beberapa benda hitami sebesar paha manusia. Orang yang memegang parang itu menjerit kaget dan ketakutan. Parang di, tangan bukannya ia pergunakan, melainkan ia lem-barkan. Kedua lengan ia pergunakan menutup
mukanya yang dihinggapi oleh benda-benda hitam yang tak lain dari tikus besar dan mengerikan. Orang itu melolong dan meraung, ditolak oleh Pak Mirta. Tetapi tikus-tikus itu semakin gencar menyerang tidak saja muka, tetapi tangan, bahu, dada dan lehernya. Teman-temannya segera datang memban tu. Tetapi mereka justru jadi sasaran serangan tikus-tikus yang luar biasa besar dengan gigi-gigi yang tajam serta runcing bagaikan gergaji pemotong kayu. Jerit dan lolong kesakitan segera menggema di sepanjang tepi sungai pagi hari itu ..."
TIGA PAK MIRTA cepat-cepat bersimpuh sementara keempat laki-laki lainnya panik dan kelabakan menghadapi serangan tikus-tikus besar yang seolah-olah semakin banyak keluar dari lubang. Sementara jerit dan lolong kesakitan serta raung amarah orang-orang itu memecah kesepian di pinggir sungai, pak Mirta malah kumat kamit sambil sebentar-sebentar meludah ke kiri dan ke kanan, ia meludah terus dan terus, sampai kerongkongannya seperti sudah kering kerontang dan tenaga tuanya semakin menciut. Keringat membanjir di tiap pori-pori tubuhnya.
Lalu tiba-tiba, ya, tiba-tiba sekali : "Musnah !", ia berteriak melengking.
Suara mencicit yang riuh rendah dari tikus tikus itu, mendadak lenyap dan berganti dengan keheningan yang mencekam.
Angin pagi silir semilir dengan suara tenang. Gesekan bambu-bambu yang tertiup menimbulkan bunyi lembut. Deru air mengalir menggema perlahan. Lalu dedaunan yang entah dari mana munculnya yang bertebaran di sekitar keempat laki-laki yang kepayahan itu, satu per satu melayang dan jatuh ke bumi. Darah-darah berceceran di sana sini.
" ... bukalah mata kalian !", suara pak Mirta lembut.
Keempat lelaki yang semenjak mendapat serangan itu menutup mata takut digigit, perlahan-lahan membuka mata masing-masing. Samar-samar mereka melihat bayangan dedaunan bakau yang besar-besar jatuh bergelimpangan di tanah. Banyak di antaranya yang terpotong-potong dan tersobek-so-bek.
... ke mana tikus-tikus keparat itu "", peronda yang terbesar tubuhnya bersungut-sungut sambil memegangi lengannya yang luka berdarah. Seluruh bajunya sobek dan hancur. Dari dadanya mengucur darah. Tampak luka-luka memanjang di sekitar dada yang bidang berbulu itu.
"Tikus "", pak Mirta tersenyum halus. "Tidak ada seekor tikus pun !"
Peronda-peronda itu saling berpandangan lagi. Benar-benar tidak percaya pada apa yang mereka dengar. Sampai seorang di antaranya berteriak marah : "Lalu luka-luka di tubuh kami ini T', sambil menampar pipi yang menunjukkan tanda-tanda yang ia katakan.
"Kalian mencakar diri kalian sendiri !"
"Mustahil !". "Perhatikanlah kuku jari-jari tangan kalian".
Sesaat keempat lelaki yang berpakaian compang camping karena robek-robek itu tertegun. Berpanjangan lagi, kemudian saling mengembangkan tangan memperhatikan kuku masing-masing. Mereka terpekik serempak.
"Lalu ... tikus-tikus itu ... aku ingat aku ada menghancurkan beberapa ekor di antaranya bersungut-sungut laki-laki peronda yang bertubuh kekar itu.
"Kalian cuma menghancurkan dedaunan", kata pak Mirta seraya menunjuk pada daun-daun bakau yang bertumpuk-tumpuk bergelimpangan di sekitar mereka. "Dedaunan yang. dibayang-bayangi oleh kekuatan sihir. Aku yakin kini. Semua ini pekerjaan seorang tukang teluh !".
ia kemudian berdiri. Mengambil parang yang tergeletak di tanah dan dengan langkah yang tegap
ia berjalan ke dekat lubang. Di sana ia meludah lagi. Ke kiri sekali, ke kanan sekali, dan ke dalam lubang dua kali.
"Kalian galilah lubang ini dulu", perintahnya.
Orang-orang yang mengerubunginya mundur setapak.
"Jangan takut", senyum pak Mirta. "Tak akan ada tikus-tikus. Tadi sebelum akar itu terpotong, aku melihat bayangan putih. Kukira tikus yang kalian lihat subuh-tadi. Tetapi ternyata tidak. Galilah".
Lubang itu ternyata tidak dalam. Tidak pula memanjang. Tiada ular. Ataupun tikus. Lubang itu tampaknya dibuat oleh manusia. Dan ketika tanah di sekitarnya telah terbongkar dengan mudah yang tampak hanyalah beberapa kuntum bunga teratai yang masih segar segar dan baru dipetik.
"Seseorang meletakkannya di situ. Orang itulah yang membunuh Margono" berbisik pak Mirta.
Keempat laki laki lainnya memandang orang tua itu dengan penuh perhatian. Tak seorang pun yang berani membuka mulut Mereka sadar kini, bahwa mereka berada di tengah-tengah alam nyata dan alam gaib. Mereka merasa sekujur tubuh mereka kesakitan. Rasa takut dan ngeri perlahan sudah hi-lang, namun belum semuanya. Karena itu mereka
cuma diam dan pasrah kepada pak Mirta, yang bersikap tenang dan hati-hati dalam melakukan segala tindakan.
"Teratai putih", kembali suara pak Mirta terde
gar halus sekali, ia berpikir-pikir. Matanya terpejam lama. Menggelengkan kepala berulang-ulang. Meludah sekali. Lalu membuka matanya. Bertanya:
Ingatkah kalian "".
"Ap-paaa ", empat mulut lain serempak membu-ka.
"Si Teratai Putih !".
Mereka menggelengkan kepala.
"Ah, orang-orang muda sekarang memang lekas pelupa. Tetapi yah ... seingatku, memang tidak seorang pun di antara kalian yang ikut terlibat dalam pembunuhan terhadap keluarga Teratai Putih." Pak Mirta sesaat menghela napas. "Tetapi Margono ikut. Dan kini ia mati di tangan Teratai Putih, apakah si gadis cucu peneluh itu, mulai membalaskan dendam keluarganya ""
Semua yang ada di situ tahu peneluh mana yang dimaksud p
ak Mirta. Semua yang mendengar pada bergidik. Pucat. Hal itu tampak pula di wajah sang lurah, namun ia dapat menyembunyikan perasaan dengan tidak berkeluh kesah Jauh di sanubari, ebenarnya ia merasa kuatir. "Aku pun terlibat" ia merintih.
Tak lama. Wajahnya berubah cerah lagi, ketika ia teringat sesuatu. "Masih ada harapan", pikirnya. "Aku harus menemui dia sekarang juga !'


Misteri Putri Peneluh Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lantas setelah mereka pulang ke rumah masing-masing dengan janji ia akan mengobati luka-luka mereka, ia berlalu.
Dengan kepala menekur. Dalam. SEBENARNYA Mayangsari baru menginjak usia 36 tahun, seminggu sebelum mayat Margono ditemukan. Tetapi tekanan bathin dan hati yang sudah lama terluka, menyebabkan perempuan itu tampak lebih tua sepuluh tahun. Tubuhnya kurus, dan gurat-gurat di beberapa sudut wajahnya menggaris semakin nyata dari tahun ke tahun. Namun begitu, di wajah dan potongan tubuhnya masih tertinggal sisa-sisa kecantikan yang pernah ia banggakan karena sempat membuat beberapa orang lelaki tergila-gila, ada yang sampai cerai dengan isterinya dan ada pula yang bersumpah untuk tidak menikah seumur hidup - kecuali perempuan yang ia tikahi, Mayangsari.
Laki-laki itulah yang siang hari ini mengetuk pintu rumah Mayangsari di ujung desa. Suatu kehormatan dikunjungi orang paling mulia di desa mereka, namun toh Mayangsari menyambut pak Mirta dengan sikap biasa, malah setengah tak acuh. Sebagai warga yang baik, ia mempersilahkan tamu nya masuk dan kemudian pergi ke dapur untuk membuatkan teh.
" ... kau baik-baik saja, Mayang "", bertanya lurah desa, setelah mereka kemudian duduk berhadap-hadapan.
"Biasa saja, pak".
"Kudengar kau sakit ".
"Dari dulu juga aku sudah sakit-sakitan, pak Mirta", perempuan itu mencoba tersenyum. Hanya keinginan untuk tidak mati sia-sia membuat ia tetap bertahan hidup, demikian yang tersirat di balik sinar mata Mayangsari.
Pak Mirta menghela nafas panjang. Berkata, lirih : "Kau menyiksa diri sendiri, Mayang. Dari tahun ke tahun, kau tak pernah berubah. Selalu melamunkan orang-orang yang sudah meninggal, padahal kau masih tinggal bersama mereka yang masih tetap hidup ..."
"Apa bedanya " Mereka yang masih hidup, toh tidak pernah memandang sebelah mata pun padaku. Dibiarkan sendirian, aku sudah berterima kasih. Ini ... kau tahu sendiri bukan, pak Mirta ""
Yang ditanya, mau tak mau terdiam.
Ke mana pun perempuan ini pergi, orang tetap berbisik-bisik : "Itu dia si Mayang, anak tukang teluh !". Lebih menyakitkan lagi : "Tahu tidak. Anaknya, si Teratai Putih, hilang rahib ! Tentu saja : anak itu lahir dari kekuatan sihir !"
Hanya berkat pengaruh pak Mirta sebagai lurah di desa itu, Mayangsari tidak diusir. Sebagai kepala desa, dia pulalah yang paling gigih menolak keinginan penduduk untuk membakar saja si Mayang
Terkutuk, agar pengaruh sihir tak bersisa lagi di daerah mereka. "Dia sudah ditinggal mati suami, anak dan ayahnya. Kalian tahu sendiri, dia tidak pernah pula ikut ikutan ayahnya bertapa di gunung, ia bersih, aku jamin kalian semua. Jadi biarkan dia. Jangan sudah jatuh, kalian timpa pula dengan tangga". Dan kalau masih ada penduduk yang bersikeras, pak Mirta dengan halus mengancam : "Kalian berani " Silahkan. Akibatnya, tanggung sendiri. Jangan lupa, ayah Mayang seorang tukang sihir. Jadi siapa tahu, dia punya ilmu juga".
Lalu semua penduduk mengucilkan Mayangsari. Setiap orang membencinya, tetapi sekaligus takut kepadanya. Kecuali pedagang-pedagang dari kota. Tengkulak-tengkulak itu dengan rajin mendatangi rumah Mayangsari, membuka kolam-kolam ikan milik perempuan itu dan memboyong isinya ke kota. Kebetulan pula kolam-kolam ikan milik Mayangsari termasuk subur, ikan-ikannya gemuk dan cepat besar, ia rajin mengurusnya, itu sebabnya. Tetapi penduduk bilang, kolam ikan itu berisi makhluk jadi-jadian. Paling kurang, diberi makanan oleh roh-roh jahat. Para tengkulak tak perduli. Mereka cuma bilang : "Ikan ya ikan. Makin baik, makin laku dijual".
" ... terkadang", suara Mayangsari mengejutkan
pak Mirta. "Terkadang, ingin aku menyingkir. Ke mana saja. Pokoknya, ke tempat di mana aku tidak dikenal orang, dan diperlakukan sebagaiman
a me-reka memperlakukan warga desa yang lain. Tetapi aku lahir di sini, besar dan ingin mati di sini. Aku tidak ingin berpisah dengan ayahku, suamiku, anakku".
"Mereka sudah lama mati, Mayang".
"Jasad mereka, ya. Rohnya, tidak".
"Uh. Apa pula itu " Jangan membuatku percaya apa yang digunjingkan orang selama ini tentang dirimu, Mayang."
Si perempuan diam saja. Wajahnya tidak menggambarkan kecewa, marah, sakit hati. Apalagi kegembiraan. Agak lama, baru ia membuka mulut kembali : " ... kau tahu apa yang kumaksud, pak Mirta".
Ya. Pak Mirta tahu : Mayang tidak mau jauh dari kuburan suami dan ayah kandungnya. Dan seperti apa yang juga berulang kali diucapkan Mayangsari, perempuan itu masih tetap penasaran. Ingin tahu di mana anaknya terkubur, ia yakin anaknya sudah meninggal, tetapi ia baru puas kalau sudah melihat sendiri kuburan Teratai Putih, dan bahwa Teratai Putih dimakamkan secara wajar.
Pak Mirta seketika teringat akan tujuannya berkunjung.
" ... salah seorang warga kita, telah meninggal", katanya, berusaha mencari kalimat yang paling halus diungkapkan. "Namanya Margono. ia
"Sudah kudengar", ujar Mayangsari, dingin.
"Oh ya "" "Ada beberapa orang lewat di depan rumahku, tadi. Mereka menuding-nuding. Bahkan ada yang berteriak ...".
"Berteriak ""
"Ya" "Apa yang mereka teriakkan ""
"Bahwa aku seorang pembunuh !", wajah Mayangsari muram. Terluka. "Aku dituduh membu-nuh si Margono
"Jadah ! Tuduhan itu tidak benar !", pak Mirta blingsatan sendiri.
"Memang tidak. Sepanjang malam aku tidak ke-luar dari rumahku. Setelah pedagang-pedagang itu pergi, satu minggu ini aku sibuk mengurusi kolam-kolam di belakang rumah. Aku letih, tertidur dan .. Ah, ah. Mengapa pula harus kuceritakan padamu, pak Mirta " Toh tidak ada yang tahu, tidak ada yang melihat bahwa aku sungguh-sungguh tak ke
"Aku percaya padamu, Mayang", bisik lurah desa, renyuh. "Aku percaya. Dan entah bagaimana caranya, akan kupertahankan kepercayaanku ini bila ada warga yang mendesak".
"Jangan melibatkan diri, pak".
"Mengapa tidak " Aku seorang lurah. Sudah tanggung jawabku untuk membela setiap warga yang tidak bersalah
"Dari mana kau tahu aku tidak bersalah, pak Mirta ""
"Naluriku yang mengatakan
Mayangsari diam. Matanya menatap lurus ke mata pak Mirta. Yang dipandang tidak mengelak, ia balas menatap. Lembut, berperasaan. Cuping telinganya mesti merah padam, apabila ia masih berusia remaja. Di usianya yang sekarang, cuping telinganya cuma bergeming sedikit. Semuanya wajar, semuanya tampak biasa saja.
ia melanjutkan lagi : "Kau tahu, Mayang " Setelah mayat Margono ditemukan dan aku memeriksa segala sesuatunya, naluriku mengatakan pula. Teratai Putih sudah kembali !"
Beberapa saat lamanya, Mayangsari menegang, kaku.
Kemudian ia tertawa. Parau. Katanya : " ... mustahil !"
Pak Mirta angkat bahu. Mengeluh : "Kau tak pernah ikut-ikutan dengan ayahmu, Mayang. Tetapi si Teratai, tak pernah lekang dari dia. Mereka berdua saling sayang menyayangi, saling pengaruh mempengaruhi. Aku tahu benar, apa yang ada dalam pikiran almarhum ayahmu. Kau tidak mewarisi darahnya. Darah keturunan, ya. Tetapi darah pembawa bakat ilmu yang dimiliki ayahmu, tidak. Si Teratai memilikinya -".
"Maksudmu Mayangsari menggigil. Dingin sekujur tubuhnya. "Anakku telah kembali - dalam wujut yang lain ""
Pak Mirta membasahi bibirnya yang kering. La- -lu, menjawab segan : "Benar".
"Wujut bagaimana ""
"ia telah kembali. Hanya itu yang dapat kukatakan padamu. Selebihnya, kau percayakan saja pa daku, Mayang. Dan jangan mendesak aku, karena aku tidak ingin menambah luka di hatimu ... ".
"Punya rencana, pak Mirta ""
Yang ditanya, diam sesaat. Kemudian : "Tidak". Itu jelas bukan jawaban yang jujur. Tetapi bagaimana ia mungkin menjelaskannya " Mempersatukan darahnya dengan darah Mayangsari, untuk melawan kekuatan darah Teratai Putih. Melawan kekuatan anak kandung perempuan itu sendiri, ia
tahu, Mayangsari seorang perempuan baik-baik. Namun sebaliknya, dia juga tahu, diam-diam Mayangsari menyimpan kepenasaran : ingin tahu siapa pembunuh ayahnya dan puterinya. Ingin melihat pembunuh-pembunuh itu mati tersiksa.
Menarik naf as panjang sebentar, pak Mirta berkata lagi : "Maksudku, untuk sementara ini aku belum punya rencana apa-apa. Entah lain kali.." ia kemudian bangkit. Berjalan ke pintu. Di situ, ia membalik dan menatap Mayangsari yang masih terhenyak di kursinya. Bimbang, dia bertanya : "Kapan kau berhenti melamunkan orang yang sudah meninggal, Mayang ""
Mayangsari diam saja. Pak Mirta tidak putus asa. ia tersenyum manis, berkata lebih manis lagi : "Aku masih tetap dengan tekadku, Mayang. Kapan kau mulai berpikir mengenai mereka yang masih hidup, kuharap akulah orangnya yang pertama-tama kau beritahu".
Mayangsari tetap saja diam.
ia menunggu sampai lurah desa itu lenyap dari pandangan matanya. Kemudian berjalan ke jendela. Menatap salah satu kolam di luar. Kolam yang tak pernah ditaburi benih ikan. Kolam itu tempat mandi si Teratai. Kolam kesayangan puterinya, yang dengan tekun dan asyik merawat bunga-bunga
teratai yang tumbuh di tengah kolam. Ada suatu kebiasaan anaknya yang membuat Mayangsari merasa heran. Anaknya akan menyingkirkan bunga atau bibit teratai yang berwarna merah, biru, ku ning malah Jingga yang begitu indah. Sebaliknya, anaknya tetap membiarkan teratai putih tumbuh subur dengan memberi alasan, putih teratai, adalah putih hatinya.
Dan, dia telah kembali - kata pak Mirta.
Mustahil untuk dipercaya. Namun, jauh di sanubarinya Mayangsari meragukan kepercayaan-nya sendiri. Si Teratai datang menemuinya tadi ma lam. Gadis itu mengenakan gaun putih yang aneh dan belum pernah dilihat Mayangsari. Gaun yang seolah terbuat dari asap - ataukah kabut " Gaun yang menambah kecantikan wajah dan keindahan tubuh anaknya, membuat si Teratai tampak lebih mekar, lebih dewasa.
"Boleh kupetik bunga-bungaku, mak "", bertanya gadis itu, tersenyum penuh harap.
"Ambillah. Itu punyamu, nak", jawab Mayangsari. Lalu anaknya menghilang, lenyap seperti asap, seperti kabut. Mayangsari terbangun dari tidur, me-rasa ia telah bermimpi. Tadi pagi ia membuka jen-dela dan melihat ke kolam bekas anaknya sering bermain. ia tercengang menyaksikan apa yang ter-
jadi. Sekarang, tidak lagi. Sekarang, ia dengan pasti berdiri di belakang jendela. Menatap ke tengah kolam.
Di sana, tumbuh berkelompok-kelompok bunga teratai putih.
Itu tidak aneh, Yang aneh, bunga-bunga warna merah, kuning, biru dan Jingga yang ia biarkan tumbuh subur semenjak anaknya menghilang sekian tahun, tidak tampak lagi menghiasi permukaan air kolam yang bening jernih. Daun, batang, akar dan bunga-bunga teratai warna warni itu tampak berhamburan di pinggir kolam, seolah dising-kirkan dengan perasaan jijik.
Yang tinggal hanya kelompok teratai putih.
Dan beberapa kuntum di antaranya, telah hilang dipetik.
EPISODE 2 EMPAT SUASANA di pekuburan desa hening di saat jenasah Margono diturunkan ke liang lahat. Seseorang kemudian bangkit untuk membacakan do'a, dan tiga laki-laki bertubuh kekar hitam terbakar matahari bersama-sama menimbunkan tanah ke dalam liang. Seorang anggota keluarga ikut membantu, sementara dua orang gadis mendekat dengan baskom yang penuh berisi air serta bunga rampai warna warni.
" ... itulah semuanya", pak Mirta mendesah, lirih.
Dudung yang berdiri di dekatnya, sengaja men jauh dari kelompok pengiring jenasah di sekitar liang kubur, tampak sedikit pucat, ia menjilati bibirnya yang semakin kering selama mendengar-
kan penjelasan lurah desa mereka, yang juga adalah uwanya itu. Hampir tak kentara tampak tubuh Dudung gemetar. Peluh dingin membuat ketiaknya terasa lembab. "Kalau bukan Uwa sendiri yang mengatakan, aku akan tertawa", ia berkata pelan. "Si Teratai bangkit dari kubur. Ya Tuhan !"
"Sayang", tembal Uwanya, suram." Kita pernah melupakan Tuhan".
Dudung kembali membasahi bibir yang semakin kering.
Pak Mirta benar. Mereka pernah melupakan Tuhan. Emosi dan nafsu menguasai diri, kehormatan dan nama baik tanpa sadar diinjak-injak. Semua itu gara-gara ia mencintai Teratai Putih yang tumbuh pesat dalam usianya yang baru menginjak 12 tahun. Umur 7 tahun, dada Teratai Putih telah mengambang subur dan pada umur 12, betapa gatal tangan yang melihat untuk menjamah, gemas pingin meremas.
Ay ahnya yang waktu itu menjabat kepala desa, sempat dibuat bingung oleh polah Dudung yang uring-uringan. Tidak mau melanjutkan sekolah. Enggan pula bekerja di sawah. Kerjanya berkelahi. Siapa saja yang mendekati bahkan melirikkan mata ke arah Teratai, Dudung langsung naik pitam, ia seorang pesilat yang tangguh. Kalaupun lawannya
tidak jatuh oleh sepak terjangnya, maka kedudukan ayahnya sebagai kepala desa merupakan jurus terakhir tetapi sangat ampuh.
"Ingat, nak. Teratai masih bocah ingusan", per nah ayahnya memperingatkan. "Lagipula, kita semua tahu kakeknya itu seorang bekas pertapa. Memang banyak orang sakit atau terlantar yang telah ia tolong. Tetapi ada pula kita dengar, kakek Teratai dengan mudah akan menciderai seseorang atas permintaan dengan bayaran tinggi. Si Teratai pun konon sudah menerima ilmu yang sama dari kakeknya. Dia bukan gadis yang sepadan untukmu, nak. Masih banyak yang lain. Anak keluarga baik-baik. Si Saerah, anak Haji Suleh. Si Ningrum, anak bekas Camat. Kalau kau masih kurang puas, aku dekat dengan Bupati. Puteri bungsu Bupati sedang meningkat dewasa, dan kalau dikait-kaitkan kita masih ada pertalian keluarga dari nenek sepupumu, ia juga tak kalah cantik dengan cucu pertapa itu..."
Dudung tidak tertarik. ia makin liar, makin tidak dapat dikendalikan. Sebelum keluarga dibuat malu, mau tidak mau ayahnya yang kepala desa terpaksa menemui keluarga Teratai Putih. Ayahnya disertai pula oleh uwa-nya, pak Mirta dan beberapa orang sanak fami-
li yang pintar ngomong. Siapa nyana, salah seorang! pengiring ayah Dudung kehadirannya membuat rusak suasana.
"Dia itu", kakek Teratai menuding orang dimaksud. " ... dulu paling bersikeras mengatakan me nantuku mati karena kujadikan tumbal. Dia berko-ar kian kemari mengatakan aku menempuh jalan sesat - memuja setan, menyembah roh jahat penghuni lereng gunung tempatku sering bersema-dhi mensucikan diri."
Pengiring keluarga itu bermerah muka karena malu.
Ayah Dudung menyesal membawanya, tetapi salah seorang pengiring lain dengan cepat mengete-ngahi. Katanya : "ia dipengaruhi orang. Terlalu cepat menangkap kabar burung. Padahal kita se mua tahu, menantu bapak memang meninggal, karena dipatuk ular. Suatu musibah yang setiap orang pun dapat saja terkena, bukankah begitu"", si pembicara menatap orang-orang yang datang bersamanya. Semua mengangguk menyetujui.
Kemarahan kakek Teratai Putih mencair, apalagi setelah pengiring keluarga yang ulahnya pernah membuat malu itu, dengan tulus ikhlas memohon maaf dan lain kali akan menjaga telinga, mata dan mulutnya. Namun itu belum berarti niat mereka
tercapai. " ... cucu kami masih terlalu muda untuk kawin", kakek Teratai Putih tetap menolak lamaran yang diajukan. "Coba. ia masih 12 tahun. Member-sihkan ingus pun masih perlu dibantu. Apalagi mengurus suami, wah ...!"
"ia dapat belajar", si pembicara keluarga Dudung belum menyerah. "Lagi pula, bukankah banyak gadis-gadis lain seumur Teratai yang telah berumah tangga ""
"Memang benar. Tetapi banyak di antara mereka ang kemudian hidup menjanda, ya tidak ""
"Kita tidak mengharap, pak. Dan kalaupun pada akhirnya itu terjadi, nyatanya janda-janda yang kita kenal cepat dapat jodoh kembali", pembicara keluarga Dudung kemudian mencoba berseloroh : Mereka laku keras, ketimbang yang masih perawan ..."
Seorang dua tersenyum, tetapi tidak kakek Te-atai Putih.
"Cucuku boleh saja menikah. Tetapi kami tidak ngin suatu ketika ia menjanda seumur hidup seperti ibunya ..."
"Itu karena ibu Teratai terlalu mencintai almar-hum suaminya", pak Mirta ikut buka suara, sekali-gus melirik ke balik pintu ruang tengah, dari ma-
na sesekali ia lihat bayangan tubuh Mayangsari yang diam-diam menguping pembicaraan. Dalam hati, entah apa yang tersirat. Dudung tahu benar kalau Uwanya menaruh hati pada ibu Teratai Pu-tih, tetapi kalah cepat dengan almarhum suami Mayangsari.
Celaka dua belas. Ucapan pak Mirta yang tidak dipikir panjang lebar itu, segera ditanggapi kakek Teratai Putih. Dingin dan tajam menyengat, orangtua itu bergumam : " Apakah maksud kalian Teratai Putih kawin dengan Dudung, tanpa Teratai harus mencintai s
uaminya "" Pak Mirta terdiam. Ayah Dudung, apalagi. Para pengiring sudah mandi keringat, toh tidak ada hasil apa-apa yang dicapai, kecuali salah seorang dari me reka diterima permohonan maafnya. Betapa me malukan. Sudah harus meminta maaf, lamaran pun masih ditolak. Padahal itu lamaran seorang kepala desa yang punya pengaruh sampai ke kantor Bu pati. Suatu kehormatan buat penduduk yang ber untung memperolehnya.
Rombongan pelamar itu akhirnya mengundur kan diri dengan perasaan malu. Lama kelamaan semua penduduk desa mengetahuinya. Aib semakin tercoreng di muka. Hubungan antara keluarga Du
dung dengan keluarga Teratai Putih dengan sendirinya semakin retak. Dari mulai tidak saling kunjung mengunjungi, sampai akhirnya tidak saling menyapa Bertemu di jalan pun dielakkan. Bila kepergok, memalingkan muka. Soal-soal kecil meledakkan perang mulut, merembet pada perkelahian pisik dengan menjadikan soal batas tanah dan pengairan di sawah sebagai biang keladi.
Semua keluarga telah ikut campur, karena Du-dung bertambah kurus dan suka ngomong sendirian setelah tahu lamarannya ditolak. Entah siapa yang memulai, kabar burung mulai tersiar. Dudung yang makin kurus dan suka berceloteh sendiri, dikatakan kena teluh. Siapa lagi peneluhnya, kalau bukan ka-kek Teratai.
Semua keluarga kemudian berembuk.
Hasilnya sudah dapat dibayangkan; sebagaimana biasa, seorang tukang teluh harus dibunuh. Bebera-
pa orang telah ditunjuk untuk melaksanakan tugas yang dianggap terhormat itu. Akan tetapi ayah Dudung bukan orang sembarangan ketika dipilih jadi kepala desa. ia mencegah niat keluarga Itu.
berkata bahwa Dudung begitu hanya karena patah hati. Mungkin saja kakek Teratai tukang teluh, tetapi ia tidak boleh dihukum untuk suatu perbuat-annya yang belum terbukti nyata.
"Jangan kita sampai malu dua kali", katanya, memutuskan.
Rencana batal dengan sendirinya. Tetapi ber kembang kembali, tatkala suatu ketika timbul ben-jolan-benjolan merah yang tidak saja gatal tetapi juga menyakitkan di sekujur tubuh ayah Dudung. Segala macam obat telah diusahakan, tetapi benjol- an itu makin banyak, makin menyiksa. Suatu malam, ayah Dudung berkelejotan di tempat tidur, menjerit-jerit penuh sengsara, ia kemudian menghembuskan nafas dengan mata terbelalak dan mulut menyeringai menahan sakit yang tiada terperi.
Menteri kesehatan yang memeriksa mayatnya, mengatakan ayah Dudung meninggal karena serangan tumor. Sebagian kecil keluarga, percaya. Te-tapi lebih banyak yang tidak. Kelompok yang menolak kematian ayah Dudung diakibatkan tumor, lantas saja menuduh kepala desa itu mati kena teluh.
Keluarga kembali berkumpul untuk rembukan.
Hasilnya sama seperti dulu : peneluh itu harus dibunuh, sebelum jatuh korban yang lain. Hanya bedanya, kali ini tidak ada yang mau ditunjuk mengemban tugas yang jelas tidak gampang itu. Setelah melihat cara kematian ayah Dudung, hati mereka menjadi ciut. Apalagi ada yang menga-
takan, seorang tukang sihir yang dibunuh, hanya jasadnya saja yang mati. Rohnya tetap hidup untuk mengejar dan melakukan pembalasan kejam terhadap orang-orang yang mencelakakannya. Dudung kecewa.
ia hampir gila karena pikiran ayahnya diteluh, cintanya ditolak dan semua keluarga bernyali kecil. Dudung lantas membujuk orang lain untuk melaksanakan sakit hatinya. Hanya dua orang yang bersedia. Margono, kepala keamanan desa yang diam-diam juga ada hati sama Teratai Putih tetapi pernah mukanya diludahi si gadis waktu dadanya dijamah Margono. Lalu Ajat, tukang pukul yang senantiasa lengket bagaikan lintah ke mana saja Dudung pergi; karena butuh uang dan pengaruh, selain itu dia pulalah guru silat Dudung.
Berbagai rencana mereka susun bertiga.
Semuanya terbentur pada satu hal : kakek Teratai harus dilumpuhkan sebelum sempat mempe-cundangi mereka. Untuk itu, kelemahan-kelemahan orang tua itu harus diketahui lebih dulu. Baik Dudung, Margono maupun Ajat, tidak tahu apa kelemahan tukang teluh itu.
Yang tahu, hanya pak Mirta.
" ... aku tak melihat Ajat !"
Dudung terbangun dari lamunannya. Kerumunan orang di sekitar pekuburan menggaungkan suara "amin", mengikuti do'a yang dibacakan salah s
eorang pembicara. Sebagai kepala desa, Uwanya akan tampil sebagai pembicara terakhir. Pak Mirta masih berdiri di dekatnya, dan mengulangi ucapannya tadi : " Aku tak melihat Ajat".
Dudung menarik nafas. " ia ke kota", katanya.
"Kapan ia pulang ""
"Katanya, sore ini juga. Mungkin terhalang di jalan, atau urusannya di kota belum rampung. Mengapa rupanya, uwa ""
"Kita harus memberitahukan hal ini kepadanya. Supaya ia juga berjaga-jaga".
"Bagaimana ""
"Nantilah aku ke rumahmu. Tetapi dengar nasihatku, nak. Mulai malam ini, jangan keluar rumah sampai matahari terbit. Beritahu juga anak isteri-mu. Kunci pintu dan jendela rapat-rapat."
"Tetapi, uwa. Roh jahat tidak akan terhalang pintu yang terkunci."
"Itulah. Nanti aku ke rumahmu untuk mempersiapkan segala sesuatunya. Kalau kau bertemu Ajat, beritahu pula ia supaya datang. Jadi aku tidak perlu bersusah-susah untuk mencarinya ..."
Pembicara tadi selesai membacakan pidato dan do'a.
Kepala desa, giliran berikutnya. Pak Mirta maju ke depan. Dudung tak beranjak. Pikirannya menerawang, jauh. Jauh ke berapa tahun berselang ketika ia dan dua temannya mendapat persetujuan dari pak Mirta supaya bersedia membantu. Setelah Mayangsari kematian suami, boleh dikata tidak ada halangan apa-apa bagi pak Mirta melamar Mayangsari. Kecuali bekas gurunya, ayah Mayangsari yang jelas akan menolak bermenantukan pak Mirta. Dia pernah jadi murid kakek Teratai Putih tetapi kemudian mereka berpisah setelah ketahuan pak Mirta memperdalam ilmu yang tidak disukai gurunya.
"Aku akan membantumu", kata pak Mirta kepada ponakannya. "Tetapi kuminta kau dan teman-temanmu berjanji agar menjaga rahasia. Tidak seorang pun boleh tahu bahwa kitalah yang membunuh kakek Teratai. Lebih-lebih, Mayangsari".
Dengan janji itu, mereka kemudian berangkat.
Kakek tua itu sedang mencangkul di sawah ditemani oleh cucu gadisnya, Teratai Putih yang meskipun baru berusia 12 tahun, sudah tampak kejelitaan wajah dan kemontokan tubuhnya. Sesaat, mereka tertegun memandangi gadis cilik yang tengah menyiapkan makan siang kakeknya di dalam dangau. Dudung menggerutu tidak menentu. Margono tersenyum kecut, sementara pak Mirta buru-buru menarik tangan kedua laki-laki muda itu untuk segera menuju ke tengah sawah di mana si kakek membersihkan tubuh untuk segera naik ke dangau. Ajat tetapi tinggal di dangau, menjaga Teratai Putih.
Matahari tepat di atas kepala ketika kakek tua yang bertubuh kekar dan sehat itu samar-samar melihat tiga orang lelaki berdiri di tegalan. Ketiganya berkacak pinggang. Ketiganya dengan mata terpentang. Mengenali siapa orang-orang yang ada di hadapannya, si kakek mencoba tersenyum.
"Tumben. Perlu apakah kiranya saudara-saudaraku kemari "", sapanya dengan ramah.
"Cuih !", Dudung meludah.
Si Kakek terdiam sesaat. Kemudian mendekat. Agak tergetar Dudung dan Margono. Lain dengan pak Mirta. ia kumat kamit membaca mantera, kemudian meludah ke kiri dan ke kanan. Menyadari
gerakan orang yang pernah jadi muridnya itu, si kakek menjadi hati-hati.
"Apakah kalian bersedia makan siang bersamaku T', ia berusaha menahan diri.
"Cuih, Kami tak mau makan racun !, sungut Dudung. Lalu, dengan satu teriakan ia mencabut golok dari pinggang, meloncat ke depan disertai pekikan :
"Ini untuk ayahku !".
Bacokan itu mengenai pundak si kakek. Pundak kakek itu menganga lebar. Sekalipun terluka, si kakek tidak jatuh, ia mencoba tersenyum. Dudung menyerang lagi. Dibantu oleh Margono dengan jurus-jurus silat yang ia miliki. Kakek Teratai Putih terumbang ambing ke sana ke mari, sementara bekas muridnya, terus menerus membaca mantera sambil tak henti-hentinya meludah, ia baru berhenti meludah ketika kakek Sumirta terkapar dan terbenam dalam lumpur. Pak Mirta tertegun sejenak. Berbisik pada dirinya sendiri,
"Orang itu tak melawan, ia tak mengeluarkan ajian-nya".
Kemudian ia berdiri. Lesu. Meninggalkan tempat itu. ia tertatih-tatih menuju desa, sementara kedua anak muda yang sedang kalap itu berjalan menuju dangau. Jerit dan tangis gadis kecil menggema dari
dalam dangau, di bawah terik mentari yangkian panas memanggang bumi.
LIMA AJAT memacu sepeda motornya
pulang ke desa. Urusannya di kota rampung sekitar pukul dua siang. Tetapi saking gembira ia memperoleh surat pengangkatan resmi sebagai guru olahraga di SMA kota itu Ajat mengajak beberapa teman dekat makan minum di sebuah restoran. Kemudian mengunjungi seorang keluarga untuk memberitahu kabar gembira itu. Karena sudah maghrib, ia mengambil jalan pintas lewat perkebunan. Memang jalannya jelek tetapi bisa menghemat waktu hampir satu jam.
Toh ia terhambat juga. Di tengah jalan perkebunan itu beberapa orang kuli tengah sibuk membersihkan bongkahan batu.
tanah bercampur lumpur yang longsor dari tebing di atas. Salah seorang kuli itu mengenali Ajat, dan menanyakan apakah ia punya rokok.
Sambil merokok, Ajat dan kuli-kuli itu ngobrol.
" ... belum pernah separah ini", kata yang satu.
"Ada mayat lagi", tambah yang lain.
"Mayat "", Ajat lantas tertarik.
"Ya. Wajah dan tubuhnya sedemikian rusak, sehingga sukar dikenali. Tampaknya ia itu maling domba yang sudah sering membongkar kandang ternak beberapa desa di sekitar perkebunan ini. Binatang binatang itu kami temukan berceceran di beberapa tempat. Sebagian sudah jadi bangkai. Yang aneh, kami juga menemukan sejumlah bangkai tikus..."
Ajat tidak tertarik pada bangkai tikus, ia lebih tertarik pada penemuan mayat itu, siapa tahu salah seorang penduduk desanya. Sayang, kata kuli-kuli tadi mayat maling domba itu sudah dibawa ke kota siang tadi, setelah polisi dilapori. Tak ada kartu pengenal di pakaian mayat itu, kecuali beberapa lembar uang dan sepucuk surat yang belum selesai ditulis dan ditujukan kepada seorang perempuan bernama Painah Siapapun orang itu, polisi menduga bukan mati tertimpa atau terseret longsor.
"Kuat dugaan, ia dibunuh", kata kuli yang ke-
nalan Ajat. "Wah. Siapa pula pembunuhnya ""
"Mengapa harus diributkan siapa " Pokoknya, ia dibunuh. Maling semacam dia itu sudah sepantas nya menerima hukuman demikian. Kalau cuma di tangkap lalu diserahkan ke polisi, masuk bui satu dua bulan. Taruhlah setahun, lalu kemudian bebas. Mencuri lagi. Makin pintar pula, berkat didikan orang-orang hukuman yang berpengalaman, selama di bui. Memang ada juga yang ..."
"Aku tetap dengan pendapatku", menukas salah seorang kuli." Orang itu dibunuh bukan oleh manusia. Melainkan oleh tikus-tikus itu".
"Tikus lagi", Ajat nyeletuk, bosan.
"He-eh. Tikus-tikus, yang bukan main besarnya. Melihat keadaan di sekitar tempat mayatnya ditemukan, besar kemungkinan orang itu telah berju ang mati-matian untuk melawan serbuan gerombolan tikus yang mengeroyoknya".
Ajat tertawa. Katanya : "Kau sepertinya mau mengatakan, tempat ini dikuasai kerajaan tikus".
"Mengapa tidak " Menejer perkebunan sudah kewalahan menghadapi tebing tebing di sini. Apa saja yang ditanam, tak pernah jadi. Pernah kuli-kuli dikerahkan untuk pembantaian besar-besaran terhadap tikus-tikus. Toh tiap tahun, makhluk-makh-
luk menjijikkan itu muncul semakin banyak. Tidak sedikit lubang-lubang gelap atau rongga-rongga gu ha tempat mereka dapat berkembang biak dengan subur. Satu dua dapat ditutup. Diratakan. Lainnya tetap dibiarkan penuh misteri. Jangankan masuk, Dekat pun, orang tidak berani. Konon dihuni nyak binatang berbisa. Malah belakangan ada desas desus mengatakan lubang atau guha di sini, dihuni pula oleh roh gentayangan yang suka mengganggu orang-orang yang lewat malam hari..."
Mayat. Lubang-lubang gelap. Tikus-tikus.
Meneruskan perjalanan pulang ke desa, terus pu-ia pikiran Ajat menerawang. Mayat, lubang-lubang gelap, tikus-tikus, ia tidak berani bertanya, apakah
mereka temukan juga tulang-belulang manusia, tulang belulang yang sudah lama terpendam. Per-tanyaan itu akan membuat mereka curiga. Dan, Banyak lubang. Banyak rongga guha. Ajat sendiri lupa-lupa ingat, yang mana tempat gadis itu dulu terperosok jatuh.
Terbayang di mata Ajat peristiwa hari itu.
ia menunggu di luar dangau di tengah sawah yang sunyi sepi, sementara Margono dan Dudung sibuk di dalam, ia mendengar jerit tangis Teratai putih yang memilukan, ia juga mendengar suara tertawa, ucapan-ucapan kotor dan dengus-dengus nafas kuda dari mulut kedua temannya. Sesekali ia mengi
ntip ke dalam dangau. Melihat Margono dan Dudung bergantian menggagahi gadis itu. ia lihat paha yang putih mulus, ia lihat putik susu yang
merah segar. Mau tak mau, dari ingin melerai, ma-lah terbit nafsu birahinya.
Ajat tertawa senang ketika akhirnya Margono dan Dudung selesai, dan mereka pulang ke desa dengan perasaan puas. Dudung berkata padanya :
bereskan anak itu, Jat. Terserah, mau kau apakan.
Pendeknya ia tidak boleh buka mulut !"
Ajat sengaja menunggu gadis itu benar-benar sa dar dari shock-nya. Membiarkan dengan sengaja gadis itu lari ke luar pondok. Setelah agak jauh barulah Ajat mengejar. Sedapat mungkin ia ber usaha menyudutkan Teratai Putih supaya lari ke arah yang diharapkan Ajat. Menjauhi desa, menjauhi tempat-tempat di mana mereka mungkin keper gok penduduk. Tiap kali ia pergoki, tiap kali ia bu at Teratai Putih terkejut dan semakin takut. Sede mikian rupa sehingga gadis itu putus asa. Ke mana pun Teratai Putih lari, ke sana Ajat mengejar. Ke mana Teratai Putih bersembunyi, ke sana Ajat me nyelinap. Memegang kaki gadis itu diam-diam sampai Teratai Putih terpekik. Melepaskan kaki itu sehingga mampu lagi berlari. Di lain tempat, mem bentak dari balik pohon.
Semakin takut Teratai Putih, semakin terbang kit nafsu bejat Ajat. Tetapi belum juga gadis itu ti ba pada saat-saat yang ia harapkan. Ajat memba yangkan pesta pora sex sepihak, ia gagahi gadis itu dalam pingsannya. Dan Teratai Putih tetap bangkit tetap saja berlari. Sampai mereka tiba di perkebun an. Teratai Putih tersandung batu yang menyembul di bawah semak belukar. Gadis itu terguling jatuh Kemudian berhenti tidak bergerak-gerak. Ajat me
nyangka Teratai Putih sudah pingsan.
Dengan gembira ia mendekat. Seraya melepaskan kancing baju, menarik ke luar tali pinggang itu. Namun mendadak Teratai Putih bangkit, ia meng-gengam batu besar dengan kedua tangannya. "Babi. Kau babi busuk !", jerit si gadis, lantas melemparkan batu itu ke arah Ajat. Sebagai pesilat, mudah saja buat Ajat berkelit. Batu itu melayang lewat sisi kepalanya. Namun toh ia sempat terjatuh, dan kesempatan itu dipergunakan Teratai Putih untuk kabur kembali.
"Jadah !", Ajat memaki. "Anak haram jadah. Tahu rasa kau nanti !", ia berteriak-teriak sambil bangkit mengejar si gadis. "Akan kubiarkan kau tetap sadar. Akan kubiarkan matamu melotot keluar, sementara kau kukerjai !'
Niat Ajat tidak tercapai.
Teratai Putih lari ke pinggir tebing, berharap ada orang lewat di jalan sepi di bawah, ia tegak di sebuah batu besar, melonjak-lonjak liar ketika mengetahui tak ada orang lain di sekitar tempat itu, dan mengetahui selain tali pinggang, Ajat kini mengacung-acungkan sebilah golok di tangannya. Gerakan gadis itu membuat batu yang letaknya memang sudah kritis, terangkat dari dalam tanah, bergeser lalu jatuh ke bawah membawa serta tubuh si
gadis. Ajat lekas memburu. Percuma. Tubuh Teratai Putih lenyap di tengah rimbunan semak liar. Ketika Ajat turun memeriksa, ternyata ada lubang besar di bawah rimbunan semak liar itu. Ke dalam lubang itulah tubuh Teratai Putih jatuh bersama batu tempatnya berpijak. Dari atas tebing, semakin banyak batu dan tanah yang ikut jatuh sampai akhirnya menutupi setengah isi lubang dan tubuh si gadis lenyap tak berbekas.
Dengan bersenjata golok dan batu serta potongan kayu, Ajat kemudian meruntuhkan bagian tebing-tebing yang kritis di beberapa tempat, sehingga tampak seperti longsor. Semakin banyak batu dan tanah ia timbunkan ke lubang tempat gadis itu menghilang. Beberapa hari kemudian ia sengaja lewat di jalan pintas itu. Dan melihat kuli-kuli perkebunan telah meratakan bekas longsoran tebing. Tak lama setelannya, ada orang yang baik hati membangun sebuah pondok tempat berteduh orang lewat.
Ajat tiba di desa. Keadaannya sunyi sepi. Padahal malam belum begitu larut. Bunyi mesin sepeda motornya membuat seorang dua tetangga melongok lalu hilang lagi.
" ... kata mereka pondok itu rubuh", gumam Ajat sendirian, membelokkan sepeda motor memasuki halaman rumah. "Rasa-rasanya, bekas lubang tu ada di sekitar pondok. Tetapi mengapa tulang belulangnya tidak ditemukan "". ia mematikan mesin
sepeda motor. Berpikir lagi, lebih lega: Barangkali lubang lain. Atau kalaupun lubang yang sama, longsornya tidak dalam. Sudahlah. Mengapa harus diributkan " Telah lama berlalu. Sekarang, masuk. Temui Ida, beri dia surprise !"
Seekor tikus lari terbirit birit ketika Ajat membuka pagar. Gerakan tikus itu tertangkap lampu depan sepeda motor. Seekor yang lain menyelinap depan teras rumah, bersembunyi di antara rimbunan bambu. Tikus yang ini tertangkap cahaya lampu minyak dekat pintu depan.
"Tikus lagi. Tikus lagi !"., Ajat memberengut. "Memang salahku. Sudah lama membiarkan pekarangan terlantar. Dan Ida pemalas pula. Mana suka bergunjing di rumah tetangga. Hem !". Ya, hem. Untungnya, Ida punya selera yang sama dengan Ajat. Ajat suka menyakiti, Ida suka disakiti. Sekali dua mereka buat variasi, saling menakut-nakuti sebelum naik ranjang.
Pembunuh Dari Jepang 3 Wiro Sableng 175 Sepasang Arwah Bisu Iblis Dari Neraka 1
^