Misteri Putri Peneluh 2
Misteri Putri Peneluh Karya Abdullah Harahap Bagian 2
Malam ini pun Ida rupanya ingin melakukannya.
Terbukti ketika Ajat melangkah ke teras, pintu
yang tadinya tertutup mendadak terbuka. Tetapi entah bagaimana caranya, Ida tidak menampakkan diri. Lampu petromak ruang tamu tidak dinyalakan. Hanya ada cahaya temaram lampu dinding di ruang tengah.
Ajat menutup pintu. Menguncinya sekaligus, sementara matanya menatap seisi rumah. Mengapa sunyi benar " Ah-ah. Tidak sesunyi yang ia sangka. Ada suara bergemeretak di dapur. Lalu suara geresak-geresek di para-para. Pertunjukan apa pula yang dipersiapkan Ida untuk menakut-nakuti Ajat " Suara-suara aneh, lalu topeng mainan digambari tengkorak menempel di muka, sambil muncul tiba-tiba dari kegelapan " Sudah dua kali Ida melakukannya. Yang pertama, Ajat memang kaget setengah mati. Yang kedua, Ajat cuma tertawa.
Lantas, mengapa Ida mengulangnya kembali " Mestinya sesuatu yang lain. Pintu kamar dibuka Ajat, dan tahu-tahu menemukan tubuh Ida meng-ambang di permukaan lantai. Tergantung di langit-langit. Pura-pura bunuh diri, tentu. Atau supaya lebih sip, yang tergantung itu boneka buatan se-besar tubuh Ida, mengenakan pakaian tidur yang biasa dipakai Ida. Lalu sementara Ajat terpana, dari belakangnya Ida berteriak nyaring. Dan besok
pagi, tetangga sebelah akan menggerutu : "Permainan apa pula, tadi malam ""
Suara bergemeretak lagi. Keresak-keresek, kali ini tidak di para. Tetapi di laci-laci rak yang tertutup. Lampu dinding tergantung miring di tempatnya. Nyala apinya kecil. Rupanya sumbu sengaja diturunkan, atau memang minyaknya sudah hampir habis. Namun dalam jilatan lampu minyak yang bersinar suram itu, sempat juga ia lihat seekor tikus lagi ngacir ke arah dapur.
"Ini sudah keterlaluan !", Ajat bersungut-sungut.
ia bergegas membuka pintu kamar. Lampu di dalam juga tidak dinyalakan. Samar-samar ia lihat bayangan tubuh terbaring di ranjang, membelakangi pintu. Ajat menggeram, marah : "Apa-apaan kau, Ida " Sengaja memancing tikus-tikus untuk membuatku jijik dan marah " Mengapa tidak ular saja sekalian " Atau hantu gentayangan ""
Tubuh itu menggeliat sedikit. Namun tetap memunggungi.
Ajat mendekat. Lalu menepuk pundak perempuan di ranjang. Ah, dia sudah berhasil pula, pikir Ajat kesal. Jadi Ida ingin permainan yang melelahkan itu. Remas, cakar, jambak, tindih sekuat-kuatnya. "Baik", katanya. "Boleh saja. Aku kebetulan
sedang senang hati hari ini. Tak lama lagi aku akan terima rapel gaji, tahu engga ""
Lalu Ajat menanggalkan pakaian yang melekat di tubuhnya.
Sebelum naik ke tempat tidur, ia berseru : "Ye-aaaan !", lalu sebuah pukulan dengan sisi tangan mendarat di punggung perempuan itu. Tidak telak, namun pasti menyakitkan. Yeaaa ! pukulan kedua dengan kaki. Tetapi sebelum mengenai sasaran, perempuan itu menggeliat menghindar. Sambil lalui menangkap pergelangan kaki Ajat, membuatnya jatuh terhempas di lantai. Untung cuma lantai tanah, kalau tidak, wah. Namun begitu, toh kepala Ajat berdenging-denging dan matanya berkunang-kunang.
"Apa-apaan ini, Ida " Kau yang menyakiti aku. Bukan ""
"Ayolah, sayang. Naik sekarang", terdengar suara merdu, merangsang. "Tidak mau !"
"Tunggu apalagi Jat " Aku - sudah - tak tahan ..."
"Begitu cepat "", Ajat bangkit sempoyongan." Rupanya kau ingin dicambuki ya " Baik. Baik. Sebentar
kuambilkan dulu !" Ajat melangkah ke lemari. Lemari itu tegak
menghadap pintu. Jadi cahaya lampu minyak di ruang tengah, menyinarinya sedikit. Dengan kesal dan birahi yang memang sudah terbangkit, Ajat merenggut daun pintu lemari sekaligus. Tangannya siap menggapai ke dalam, untuk mengambilkan alat yang dimaksud. Tetapi tangan itu seketika terdiam kaku, berhenti setengah jalan.
Setelah terbiasa dengan gelap kamar, dibantu sinar redup lampu minyak dari ruang tengah, Ajat melihat sesosok tubuh perempuan berdiri tegak di sebelah dalam lemari. Sebuah metoda baru dari Ida sempat ia berpikir, sebentar cuma. Karena sosok tubuh di lemari itu, begitu rusak mengerikan. Tubuh hancur tercabik-cabik, gaun tidur penuh bersimbah darah dan sebagian isi perut terburai ke luar. Wajahnya tetap utuh, sehingga Ajat dapat mengenali wajah yang pucat membiru itu, mengenali mata yang melotot lebar dan mulut yang ternganga mengerikan di depan matanya.
"I - Ida !", bisik Ajat, kelu.
Lalu tubuh siapa yang tadi di tempat tidur. Yang mana boneka, yang mana Ida yang sebenarnya " Hanya ada satu Ida. Dan Ida yang sesungguhnya, memang yang tegak di sebelah dalam lemari, dan pelan-pelan mulai doyong ke depan lalu jatuh menerpa tubuh Ajat yang berteriak saking kaget dan
ngeri, ia dapat merasakan dengan tangannya da ging-daging mentah, usus yang basah, kulit yang hancur, dan mencium bau amisnya darah, sebenar-benarnya darah.
Terdengar tawa renyai dari tempat tidur.
"Hebat bukan, Jat ""
Ajat menggelupur, meronta-ronta dan menjauhkan diri dari cengkeraman mayat isterinya, berlari ke pintu dengan semua bulu di tubuh merinding! seram.
Suara itu bergema lagi, tajam menusuk : "Benar-benar hebat. Lebih hebat dari caramu menakut-nakuti aku di perkebunan itu."
Ajat mundur ke ruang tengah, dengan lutut bergemetaran.
Dan bayangan tubuh di ranjang, turun dengan santai dan mengikuti Ajat masuk ke ruang tengah, memperlihatkan tubuhnya yang bugil, bersih dan mulus. Ajat menjilati bibir sejenak, lantas berseru tertahan : "Teratai, kau ...!"
"Hem. Kau mengenaliku seketika, ya " Bagus. Tidak seperti si Gono yang keranjingan perempuan itu. Terlalu banyak yang sudah ia tiduri, sehingga ia lupa padaku. Aku senang mendengarnya, Jat. Jadi kupikir, tak perlu aku menyiksamu berlama-lama. Cukuplah terror yang kau alami setelah melihat
Ida-mu ke luar dari persembunyiannya di dalam lemari, ia mengira kau yang datang, ingin membuat kejutan - Tetapi - sedikit ekstra, tak apa bukan ""
Tikus. Tikus-tikus yang bukan main besar itu, tahu-tahu saja sudah bermunculan mengurung Ajat. Makhluk-makhluk mengerikan itu bergerombol-gerombol di ruang tengah, di kamar tidur, di dapur, di ruang tamu. Bermunculan dari dalam tanah, dari pintu dan jendela yang digerogoti.
Waktu para tetangga berdatangan dengan bersenjatakan apa saja di tangan, sebagian rumah Ajat sudah roboh. Karena amukannya sendiri, dan karena serbuan tikus-tikus itu. Bangkai binatang itu berhamburan di sana sini. Mereka yang berdatangan kemudian lari serabutan ketika gerombolan tikus yang luar biasa banyaknya itu berhamburan untuk meloloskan diri, sambil menggigit dan mencakar ke kiri kanan. Satu dua orang bertahan dengan senjata golok atau pentungan berupa kayu, tangkai sapu bahkan ada yang membawa linggis.
Seekor tikus putih menyelinap lewat pintu belakang.
Tak seorang pun yang melihatnya. Mereka terlalu kaget dan ngeri oleh binatang yang mereka hadapi, juga oleh suasana rumah dan pekarangan mi-
lik Ajat yang porak poranda. Di antara dinding yang rebah, pintu yang terhumbalang dan atap yang beruntuhan, terkapar mati puluhan ekor bangkai tikus. Mayat Ida ditemukan tergencet lemari pakaian yang tumbang. Di ruang depan rumah, hanya tinggal sedikit kulit dan daging yang masih tersisa di mayat yang mereka kenali sebagai Ajat, guru silat terkenal di desa itu.
Hari itu, semua penduduk desa boleh dikata berjuang keras untuk bangun dari mimpi paling buruk yang belum pernah mereka alami.
ENAM LUKA cakar di tubuh petugas-petugas ronda malam yang ketiban sial di tempat mayat Mar gono ditemukan, tidaklah seberapa berbahaya. Luka itu diakibatkan
polah mereka, mencakari tubuh sendiri dalam usaha melawan serbuan daun-daun yang mereka sangka serbuan tikus. Pak Mirta menyerahkan perawatan mereka sepenuhnya kepa da manteri kesehatan Puskesmas.
Beda halnya dengan lima orang laki-laki pemberani, warga desa yang bermaksud menolorg begitu terdengar huru-hara di rumah Ajat. Luka cakar maupun gigitan yang mereka derita, benar-benar akibat serbuan tikus. Kuku serta taring binatang binatang itu tidak saja mengandung racun. Tetapi juga mengandung pengaruh jahat roh yang mengua-
sai tikus tikus itu. Pak Mirta terpaksa menangani sendirian kelima orang korban yang malang itu. ia mengerahkan segenap kemampuannya mengobati mereka satu per satu. Tiap kali menyentuh luka yang seorang, sekujur tubuh pak Mirta panas berapi, seakan terbakar sampai ke ubun-ubun. Dari kepalanya sampai ke luar uap tebal yang membuat orang yang melihat, pada mundur dengan perasaan kuatir. Kemudian ia terkulai, letih sampai ke jiwa-jiwanya.
Kini ia terbaring sendirian di rumah. Sakit.
Nining, salah seorang ponakannya yang datang untuk mengantarkan makan siang yang dimasakkan isteri Dudung, baru saja ia paksa untuk pergi ke sekolah. Jangan ikut-ikutan bolos karena gempar yang melanda desa setelah mayat Ajat dan isterinya dikuburkan pagi hari itu juga. Dudung sempat pula menjaganya sebentar. Mereka berdua bicara panjang lebar. Kemudian Dudung ia suruh pulang, dengan dibekali sebilah golok milik uwa-nya untuk dipakai berjaga jaga apabila terjadi sesuatu.
Dari jendela, menerobos masuk cahaya matahari senja.
Malam tak lama lagi akan jatuh. Tetapi lurah desa itu tidak merasa cemas akan dirinya sendiri, ia sudah memagari sekitar rumahnya dengan ajian
yang ia percaya sangat ampuh melawan serbuan roh jahat, ia hanya mengkuatirkan Dudung dan anak isteri serta keponakannya Nining yang tinggal satu rumah dengan Dudung. Ajian yang sama telah ia taburkan pula di sekitar rumah ponakannya itu. Namun ia belum merasa puas. Diam-diam ia merasa, ada sesuatu yang kurang. Tetapi tidak tahu apa yang kurang itu.
Selagi ia berpikir, pintu diketuk orang dari luar.
Pak Mirta meluncur dari tempat tidur. Berjalan tersuruk-suruk ke ruang depan dan terkejut setelah a membuka pintu.
"Boleh masuk, pak Mirta ""
"Ah. Mayang. Mengapa tidak "", perasaan letih dan sakit di sekujur tubuh pak Mirta, mendadak sontak hilang begitu melihat kehadiran orang yang sudah lama ia impikan. "Tumben, berkunjung. Duduklah ya. Kubuatkan minuman sebentar ..."
"Tak usah repot-repot, pak".
Melihat wajah Mayangsari yang pucat dan sinar matanya yang getir, pak Mirta kemudian duduk dengan perasaan waswas di hadapan perempuan itu. Bertanya lembut : "Aku gembira kau muncul di rumahku. Tetapi biarlah, lupakan saja ke-aku- anku. Lebih baik kita bicara tentang kau, Mayang. Ada sesuatu yang kau takutkan. Benar ""
Mayangsari menatap lurus ke mata tuan rumah
"Kau pernah bilang", katanya, lirih. "Si Teratai sudah kembali".
Dingin sekujur tubuh pak Mirta. Terbayang d matanya kematian Margono. Ajat. Ida. Dan korbar lain yang terluka. Lama, baru ia menjawab : "Ya Kenapa rupanya, Mayang ""
"Katakanlah terus terang. Seperti apa wujut anakku, pak Mirta ""
"Mayang. Sudah kukatakan aku tidak ingin ..."
"Hatiku tidak saja terluka, pak Mirta. Tak usah mencemaskannya. Hatiku kukira malah sudah mu lai membusuk. Membusuk oleh hasrat menggebu karena ingin tahu siapa pembunuh ayah dan anak ku, dan di mana jasad anakku terkubur. Mungkin pula sudah bernanah, oleh keinginan untuk menyaksikan mereka itu mati. Biar bukan oleh ta nganku sendiri".
"Mayang !", jantung pak Mirta berdetak. Apa yang diucapkan perempuan itu, sudah lama ia duga akan terlontar juga. Namun ketika sekarang akhirnya ucapan itu terlontar, pak Mirta benar-benar terpukul. Sangat terpukul. Semakin sirna harapannya untuk dapat melamar Mayangsari jadi isteri-nya.
"Kau terkejut bukan, pak ""
"Aku ..." "Karena itu, lupakanlah perasaanku pula. Mari kita berbicara mengenai apa yang semestinya harus kita bicarakan Mayangsari menelan ludah, wa jahnya tampak keruh. "Tadi aku ke warung. Biasa, belanja kebutuhan dapur. Biasanya mereka m
emperlakukan aku dengan kasar. Mereka membenciku, tetapi mereka tidak mungkin membenci uangku. Dan tadi ... Mereka tidak lagi berlaku kasar. Mereka sangat ramah. Malah tampak ketakutan ..."
"Mengapa ""
"Mana aku tahu. Aku sendiri heran. Tidak tahu apa maksud permintaan mereka."
"Ha ! Apa pula yang mereka minta padamu, Mayang ""
"Supaya aku mau turun tangan".
"Terhadap "' "Roh jahat yang kata mereka bergentayangan di desa kita. Roh jahat yang kata mereka muncul berupa gerombolan tikus yang datang dari segala arah, menghancurkan, membunuh dengan keji, disertai kekuatan sihir !"
"Astaga !", pak Mirta terkejut. "Kurang ajar. Lancang benar mereka mengatakan !"
"Apa salahnya, pak " Aku telah lama jadi kambing hitam. Sekarang mungkin lebih hina lagi :
kambing congek. Dan kambing congek inilah yarg mereka harapkan dapat menolong mereka lepas da-ri kesulitan yang membuat mereka semua tidak dapat tidur Mayangsari terpejam, kecewa dan marah. Namun masih juga ia mampu tersenyum ke-tika ia melanjutkan : "Tahu, pak Mirta " Mereka bilang, aku telah mempergunakan kekuatan sihir untuk memaksa semua tikus keluar dari lubangnya, dan memaksa orang-orang yang malang mencakari diri sendiri..."
"Itu sudah keterlaluan !", pak Mirta terlonjak
dari kursinya. "Aku akan mendatangi mereka.
Memperingatkan supaya lain kali tidak berlaku
sembrono, apalagi tanpa seijin dan sepengetahuan-
ku. Aku ..." "Mereka menyebut-nyebut Teratai Putih, pak Mirta", potong Mayangsari, tenang. Lurah desa itu terengah.
Lantas kembali duduk. Terhenyak. Berkeringat.
Katanya : " ... aku hanya ingin menolongmu. Mayang. Meringankan beban penderitaanmu. Tak kubiarkan mereka mengganggumu, menolak uangmu apalagi menjamah keselamatan jiwamu. Kau tahu mengapa, bukan ""
"Aku tahu, pak Mirta", mata Mayangsari sesaat bersinar, lantas redup lagi dalam sekejap. "Karena
itu, mengapa tanggung-tanggung menolong " Kepalang basah !"
Pak Mirta bangkit, berjalan mundar-mandir. Semua yang terjadi hari-hari belakangan ini, bahkan di tahun-tahun yang telah lama silam, membuatnya resah gelisah. Kemudian ia memutuskan: Baiklah. Akan kuberitahu padamu. Kuharap kau tidak semakin terluka, setelah mengetahui bagaimana perwujudan anakmu ketika kembali setelah sekian tahun menghilang. Namun sebelumnya, bicaralah terus terang. Kau tentunya datang menemuiku, karena kau punya alasan yang kuat".
"Ya". "Apa itu ""
"Kolam tempat bermain anakku. Banyak teratai yang telah disingkirkan. Yang merah, yang biru, yang kuning, yang Jingga. Pokoknya yang berwarna apa saja, kecuali yang berwarna putih. Hanya anakku yang pernah melakukan hal serupa itu. Ke tika ia masih hidup. Dan - setelah ia datang dalam mimpiku".
"ia apa ""
"Datang dalam mimpiku". "Jadi, kau tentu sudah tahu perwujutannya". "Cuma mimpi. Tetapi Margono, Ajat dan Ida bukan mimpi belaka. Begitu pula teratai teratai
yang ditemukan tergenggam di tangan mereka masing-masing. Pemilik warung yang menceritakan Aneh, bukan " Ada yang memetik kuntum-kuntum teratai yang masih baru dari kolam bermain anakku. Lalu kuntum-kuntum teratai itu ditemukan sudah tergenggam di tangan orang lain. Tangan mayat-mayat itu".
"Mungkin mereka sendiri yang mencurinya"
"Tak usah mengelak lagi, pak Mirta", keluh Mayangsari, tak sabar. "Kau pun tahu sudah sekian tahun lamanya tidak seorang pun berani mendekati rumahku malam-malam. Kata mereka, takut terke na kutuk. Ya Tuhan, aku tidak menyalahkan ayahku pernah jadi pertapa sehingga kami tertimpa kutuk. Aku hanya menyalahkan diriku sendiri mengapa membiarkan ia menurunkan ilmunya ke pada anakku, sehingga kutuk itu terus berkepan jangan kelopak mata Mayangsari berlinang bu tir-butir air bening. Katanya, terdesu-sedan : "Kini dia ... kembali. Bangkit ... dari kuburnya. Kau sen diri yang pernah mengatakan. Jadi, ceritakanlah pak Mirta. Apakah anakku terdapat di antara salah seekor tikus-tikus itu ""
Terhenyak lagi lurah desa, hilang akal.
"Bodoh", makinya.
"Ya pak ""
"Bodoh. Aku bodoh, menceritakan itu padamu. Hanya karena ... karena aku ingin menolak bala ... ", ia kemudian mengangkat muka. Berkata tegar: "Ya. Anakmu terdapat di antar
a tikus-tikus itu. Namun aku belum pasti benar. Seperti apa rupanya. Seperti tikus, atau seperti apa ia dulu adanya. Ini baru dugaanku saja : anakmu tampil dalam wu-jut kedua-duanya ..."
Dari menangis, Mayangsari malah tersenyum. "Syukurlah. Jadi aku tidak lagi bertanya-tanya".
"Aneh. Kau kok tampak gembira", tanya pak Mirta, heran.
"Aku tidak gembira. Aku cuma pasrah".
"Dan membiarkan korban mungkin akan jatuh lebih banyak ""
"Apa maksud pak Mirta "", balas Mayangsari bertanya.
"Kau pula yang sekarang menghindar", keluh pak Mirta, kecewa, ia sapu wajah dengan telapak tangan, seolah ingin membuang jauh-jauh perasaan enggan untuk berterus terang. Lalu : "Aku sudah lima puluh tahun lebih sekarang ini. Mayang. Sedang kau masih muda. Hanya karena menyiksa diri, kau tampak lebih tua. Puluhan tahun aku membujang. Belasan tahun pula kau tetap hidup menjanda. Kukira - kau pun sudah lama tahu apa yang
tersimpan di sanubariku", lurah menatap tamunya, sungkan. Kemudian tersenyum. Lanjutnya : "Aku tak akan mengutarakan kalimat yang selalu diutara-kan orang-orang yang jauh lebih muda dari kita, Mayang. Aku hanya ingin memberitahumu menge-nai ini : kau dan aku hidup sendirian. Tak lama lagi kita pun akan menyusul orang-orang yang telah le-bih dahulu pergi dari kita. Nah ...", pak Mirta me-nelan ludah. Puas, telah mampu mengungkapkan apa yang selama ini tidak berani ia ungkapkan. Maka, ia melancarkan serangan terakhir: "Mengapa kita tidak menjalaninya bersama sama" Supaya kelak, bila salah seorang mendahului yang lain, ada yang mendampingi di saat-saat terakhir""
Wajah Mayangsari bersemu merah.
ia tersenyum. Tetapi mulutnya tetap bungkam.
"Kita sudah sama-sama lanjut usia, Mayang", kata pak Mirta, sabar. "Jadi bukan masanya lagi mengutarakan sesuatu dengan lambang. Ucapkan-lah, dengan kata-kata", dan dalam hati, andai ma-sih muda kalimat itu akan berbunyi : katakanlah, dengan bunga.
Bunga ! Dan bunga yang ada, ternyata begitu menakut-kan : teratai putih.
Pak Mirta tercenung lagi. Menanti, penuh harap. Sampai akhirnya Mayangsari membuka mulut : Bukannya tidak mau, pak Mirta. Tetapi ..."
"Jadi kau tidak mau !", tukas pak Mirta, menge luh. Meski sudah tua, toh hatinya hancur luluh. Pecah, berkeping-keping.
"Dengarkan dulu", Mayangsari membujuk. 'Aku pernah menyukaimu ... Hanya sayang, dulu kau terlambat melamarku".
Wajah pak Mirta berseri-seri kembali. Katanya, bernafsu : "Tidak ada istilah terlambat untuk melangsungkan niat terpuji, Mayang !"
"Justru itulah sebabnya", wajah Mayangsari kembali murung. "Sekali terlambat, tetap saja terlambat. Aku tahu, kau kemudian kecewa dan mulai bertingkah yang tidak disenangi keluargaku. Ayahku kemudian marah karena kau memperdalam ilmu sesat ... jangan tersinggung, pak Mirta. Memang itulah yang terjadi di masa lampau, bukan " Beberapa dari pasien ayahku, diam-diam kau temui. Diam-diam pula kau pergunakan pengaruhmu supaya mereka menyetujui cara pengobatan yang kau lakukan. Kau sengaja membangkit-bangkit siapa musuh-musuh mereka, lalu dengan bantuanmu, mereka mencelakakan musuh-musuh itu. Dan ayahku yang disalahkan".
"Kau pun masih tetap marah padaku", pak Mir ta merajuk.
"Tidak. Dari dulu aku tidak marah. Karena aku sadar, semua itu kau lakukan karena hati yang pa tah. Karena aku menerima lamaran suamiku, mes ki tahu diam-diam kau juga mencintaiku."
"Aku tak melihat perbedaannya, Mayang".
"Tidak " Lupakah kau ayahku sedemikian ma rah sehingga tidak mau lagi mengakuimu jadi mu ridnya " Dan kemudian bersumpah, keturunannya tidak ia relakan dipersuami atau diperisteri oleh keturunanmu. Maka, setelah suamiku meninggal pernah aku berpikir untuk menerima lamaranmu kapan saja kau datang menemuiku. Tahun demi tahun kulalui dengan menyakitkan, pak Mirta Kuingin kita bersatu, sebaliknya kubenci diriku sendiri dan terpaksa berjanji untuk tetap mengabdi pada ayahku. Kau lihat sekarang perbedaannya! bukan ""
Lurah gemetar. Menggigil hebat. Kursi yang ia duduki sampai terguncang. Lalu, getaran tubuhnya perlahan mere da. Wajahnya yang pucat pasi, kembali memerah Tegar, ia mengeluh, pasrah : "Sudah kubilang. Aku ini
bodoh !" "Boleh aku pergi sekarang "", suara Mayangsari
terdengar enggan. Jarang ia bercakap-cakap dengan orang lain selama ini, dan lebih-lebih lagi dengan orang yang pernah sangat ia sukai, meski tidak sangat ia cintai.
Pak Mirta terkejut. "Tunggu", cegahnya.
Mayangsari duduk diam. Menunggu.
"Baiklah. Aku tidak ingin kau melanggar sumpah ayahmu. Sebaliknya, aku sekarang mendesakmu, bukan semata-mata karena hasrat bathin dan jasmani sebagai laki-laki ..."
"Tak usah ragu. Katakanlah".
"Telah banyak korban yang jatuh. Mungkin akan jatuh lagi yang lain. Karena itu, mengapa kau tidak mau berkorban barang sedikit " Marilah kita berharap, roh ayahmu bersedia menarik sumpahnya, karena tahu kau ingin melakukan sesuatu yang terpuji".
"Aku mengerti", desah Mayangsari, getir. "Kita tetap menikah. Karena itulah salah satu saratnya. Aku tidak mewarisi ilmu yang dimiliki ayahku. Namun aku mewarisi darahnya. Darah turunannya. Yang kalau disatukan dengan darah orang yang juga punya ilmu, apalagi ilmu yang pernah diajarkan ayahku, maka akan tercipta kekuatan dahsyat untuk menggempur kedurjaan roh roh jahat..."
"Syukur, kau memahami", pak Mirta terse-
nyum. Mayangsari tidak tersenyum. Hambar, ia berkata : "Sayangnya, kau lupa orang yang akan digempur itu, anakku sendiri !"
Senyum pak Mirta, sirna seketika.
"Aku bukan manusia yang sempurna, pak Mirta. Betapa sukar untuk hidup sebagai perempuan suci. Apalagi di tengah lingkungan masyarakat yang mengucilkannya, memperhinakannya Mayangsari bergidik. " Jadi, sebagai manusia yang tidak sempurna, akupun tidak pernah lepas dari keinginan terkutuk itu, pak Mirta. Keinginan untuk mengetahui siapa-siapa pembunuh anak dan ayahku. Keinginan untuk menyaksikan dengan mata kepala sendiri, bagaimana mereka kemudian mati tersiksa, untuk menebus dosa-dosanya". Seketika, meluaplah kemarahan tuan rumah.
"Kau tega ! Membiarkan mayat-mayat terus bergelimpangan !"
"Tebusan dosa", sahut Mayangsari, angkat pun-dak lalu bangkit dari tempat duduknya. Berjalan ke pintu. "Sekarang aku tahu, si Margono dan si Ajat terlibat. Siapa, berikutnya, aku sudah tak sabar menanti".
Mayangsari kemudian pergi.
Tanpa pamit. Meninggalkan pak Mirta tegak termangu mangu, gundah. Gelisah. Berpikir ketakutan : "Tahukah dia " Tahukah dia ""
ia jatuh terduduk. Mengeluh : "Tidak. Tidak mungkin".
Mengapa tidak mungkin " Taruhlah tidak ada yang membuka mulut. Tetapi Mayangsari bagaimanapun keturunan seorang guru ilmu kebathinan. Dan sebagai perempuan yang lama hidup menyendiri dengan pikiran-pikiran serta lamunannya, Mayangsari punya naluri. Dan nalurinya itu telah lama membisikkan ke telinga Mayangsari, bahwa Mirta terlibat.
Ya. ia telah terlibat. Dalam, sangat dalam malah. Membantu anak-anak muda itu membunuh ayah Mayangsari, membiarkan mereka menggagahi pu-terinya yang mayatnya dibuang entah ke mana. Lebih dalam lagi ia terlibat. Membantu pasien-pasien ayah Mayangsari melampiaskan iri hati dengan mengirim ilmu hitam ke musuh-musuh mereka. Dia tidak pernah tahu, salah seorang musuh pasien itu justru adiknya sendiri, ayah si Dudung. ia baru tahu, setelah segala sesuatunya terlambat. Kalau ilmu hitam yang ia kirim ke tubuh adiknya ia tarik kembali, maka ilmu itu akan berubah jadi senjata makan tuan.
Mirta telah membunuh adik kandungnya sendiri.
ia telah membunuh ayah Mayangsari. Secara' tak langsung ia ikut pula membunuh orang lain nya : si Teratai. Margono. Ajat. Ida. Dan mungkin pula Dudung serta anak isterinya.
"Aku harus menemui si Dudung !", jeritnya dalam hati, ketakutan.
Tetapi baru saja ia mau bangkit, tubuhnya sudah limbung. Jatuh ke lantai. Semua siksaan yang terjadi ketika ia mengobati warga desanya akibat serbuan tikus-tikus berkekuatan gaib itu, kembali muncul. Semakin parah. Semakin menyakitkan. Karena kini ditambah pula oleh kenyataan: Ma-yangsari menolak lamarannya !
Sekujur tubuhnya panas lagi.
Membara seperti semula. Kulit bagai melepuh, tulang bagai merapuh. Dengan susah payah, ia kemudian merangkak ke kamarnya. Naik ke tem-pat tidur. Kemudian rebah dengan jasmani yang lu-luh lantak.
"Aku harus memusatkan pikiran", gumamn
ya. Lalu ia membuang segala sesuatu dari benaknya. Dari hatinya. Dari jiwanya. Benak, hati dan jiwa itu harus bening, jernih. Mungkin bercampur hitamnya jelaga, karena dosa-dosanya di masa lalu. Tetapi,
benak, hati dan jiwa itu harus kosong. Hampa. Supaya pengaruh jahat itu hilang.
Dengan begitu, kekuatannya akan pulih.
Dan ia kembali siap. EPISODE 3 TUJUH SUDAH lewat tengah malam, Dudung tak juga bisa tertidur, ia berbaring dengan gelisah. Meskipun udara malam itu dingin sekali, sekujur tubuhnya ia rasakan banjir peluh. Bebunyian ceng-kerik dan pungguk menyambut renyai-renyai hujan di luar, benar-benar mendatangkan perasaan tidak enak. Biarpun bebunyian itu sudah merupakan musik abadi di desa mereka malah seperti peninabobo yang mengasyikkan bila malam mulai turut menyapu bumi.
"Tak usah dipikirkan, Dung !", ia ingat pesan uwanya beberapa hari yang lalu. "Aku sudah me-manterai seluruh rumahmu. Yang pokok, jangan kau keluar sendirian dari rumah".
Dudung percaya pada ucapan uwanya bahwa ru-
mah mereka akan aman dari gangguan Teratai Putih. Tetapi mengapa ketika berkata-kata itu, sang uwa kelihatan pucat dan suaranya gemetar " Mata pak Mirta membayangkan rasa cemas. Seolah-olah bukan ditujukan pada Dudung seorang.
Diam-diam, Dudung merasa khawatir kalau uwanya itu juga dihinggapi perasaan waswas. Setidak-tidaknya karena ia turut campur dalam usaha pembunuhan kakek Teratai Putih, dan uwanya itulah yang paling getol menuduh kakek Teratai Putih sebagai tukang teluh.
"Krontang ... !!"
Dudung tercekat bangkit dari baringannya. Dengan wajah pucat ia diam mendengarkan. Tetapi suara berisik dari arah dapur itu tak terdengar lagi. ia menghela nafas. "Mengapa aku begitu takut "", tanyanya dalam hati. "Uwa telah memberikan mantera-mantera. Teratai Putih tak akan berani. Ya, hantu penasaran itu tidak akan berani menggangguku".
Selintas teringat olehnya cara kematian Ajat dan isterinya.
Lalu dengan takut takut ia coba berbaring kembali.
"Krrraaaak !" Terpentang lebar mata Dudung. Keringat mem-
basahi jidatnya. "Krrraaaak, ciuttt... byeaaarrrr... !"
Jendela ! Itu suara jendela dibukakan orang, su ngut Dudung dalam hati. Teratai Putihkah itu atau ... hai. Itu mungkin si pencuri yang beberapa bulan terakhir suka menggerayangi ternak dan rumah penduduk. Pasti ! Pasti ! Pencuri itu tengah mencongkel jendela !"
"Awas kau !", bisik Dudung dengan muka tegang. Kemudian ia meluncur turun dari ranjang. Diam-diam, tanpa menimbulkan suara. Sekilas ia menoleh pada Mira, isterinya. Perempuan itu lelap sekali tidurnya. Sepanjang hari tadi ia demikian capek mengatur pekerjaan dan makan penduduk yang membantu menanam bibit baru di sawah-sawah mereka. Ah, biarlah ia tak usah diganggu, pikir Dudung.
Lalu ia mengenakan piyama yang ia gantungkan pada paku di dinding kamar sebelum naik ke atas ranjang bersama Mira. Dari dekat gantungan pakai an itu ia sambar sebuah golok. Gagang golok itu terbuat dari akar rotan, berukir naga. Golok itu senjata keramat pemberian pak Mirta. Terngiang kata-kata uwanya itu beberapa hari yang lalu :
"Kalaupun misalnya Teratai berhasil menjebol rumahmu, tunjukkan parang ini ke mukanya.
Ingat, tikus paling takut pada ular !"
"Hem", sungut Dudung perlahan. "Tidak ke Teratai, apa salahnya kupergunakan golok ini menghadapi pencuri itu. Biar dia kapok !".
ia membuka pintu kamar dengan hati-hati. Ruangan tengah rumahnya gelap. Memang Nining sudah mematikan lampu sebelum naik tidur. Hanya ada sedikit cahaya lembut dari bawah pintu kamar anak-anak mereka. Dudung membiasakan matanya dalam gelap. Kemudian berjingkat ke pintu kamar anak-anak itu, karena jendela-jendela ruangan tengah tampaknya tidak diganggu. Dengan mendorongnya sedikit, pintu kamar terbuka. Dodo, anak mereka yang berumur tiga tahun tampak mering kuk memeluk bantal guling, sementara adiknya Lina yang setahun lebih muda, celentang dengan mulut terbuka. Dudung kurang tau siapa di antara dua anak itu yang sedang mendengkur dengari kerasnya.
"Mungkin Lina salah tidur", pikirnya seraya tersenyum dan menutupkan pintu kamar kembali Lalu ia berjingkat-jingkat ke kamar makan. Lam
pu teplok di sana masih menyala. Tetapi kelap kelip nya telah semakin kecil. Ah, ia lupa mengisikan minyak tanah tadi sore untuk lampu itu. Diintip nya lewat kain tirai.
Pintu kamar makan menuju dapur tertutup rapat. Juga jendela samping. Dengan hati-hati, ia melangkah mendekati jendela itu. Merabanya. Terkunci. Dari situ ia menuju pintu ke arah dapur. Mungkin pencuri itu masuk dari sana. Sebab tadi ada bunyi kerontang, entah tersepak kuali siorang sial itu.
Tanpa menimbulkan bunyi, ia buka pintu dapur. Gelap. Gelap sekali. Tetapi ia segera terbiasa dengan bayangan gelap itu. Golok di pinggang ia pegang gagangnya, ia elus-elus, kemudian dicengkam dengan kuat. Siap untuk sesewaktu ia layangkan, kalau si pencuri bermaksud menyerang. Tetapi tidak ada gerakan di dapur. Juga tidak ada bayangan yang mencurigakan. Tak ada suara-suara. Kecuali cengkerik dan pungguh di luar rumah yang tiba-tiba menghentikan nyanyian-nyanyian mereka. Diganti oleh desah nafasnya sendiri yang kencang.
"Bau apa itu "", ia berbisik. Dilebarkannya lubang hidung. "Bau wangi", bisiknya, ia berjingkat-jingkat ke tengah dapur. "Bukan. Bukan di sini. Tetapi di kamar mandi".
Dudung menjadi penasaran. Dengan sekali sentak, pintu kamar mandi terbuka. Bau wewangian itu menerobos keluar lebih semerbak. Lalu muncul bayangan putih. Mula-mula seperti asap. Datang-
nya dari arah lubang pembuangan air. Asap memutih itu kian banyak dan banyak, perlahan-lahan membentuk sebuah wujud sementara Dudung berdiri dengan tubuh kaku dan gemetar saking terke jut dan takut. Rasa terkejut dan takut itu tiba-tiba sekali menyerang dirinya sehingga ia tidak kuasa untuk bergerak, bahkan untuk mengatupkan mulutnya yang menganga ataupun matanya yang ter-pelotot memperhatikan keajaiban yang terjadi di dekatnya.
Hanya dalam sekejap, bayangan putih itu telah membentuk wujud seorang manusia berjenis perempuan. Wajahnya cantik dan menawan, rambut-nya panjang tergerai sampai di pinggul, dan pakaian tipisnya seperti terbuat dari sutera putih tanpa jahitan, yang menyelubungi seluruh tubuh sampai ke lantai, sehingga kakinya pun tidak tampak.
" ... heran, Dung "".
Suara itu seperti dari jauh. Sayup-sayup sampai.
"He, Dudung !", ulang suara itu lebih keras.
Napas Dudung terlempar keluar. Keringat dingin telah membanjiri tubuhnya. Tangannya yang memegang bendul pintu kakus, ingin ia lepaskan untuk bisa menyambar golok di pinggang. Tetapi aneh, seluruh tubuh dan persendiannya seperti lumpuh.
"Siapa ... kau "", bisiknya dengan gemetar. "Ah, masa lupa ... "" "Siapa ""
"Yang dulu. Yang di dalam dangau. Bukankah kau yang pertama-tama meniduri aku, sebelum temanmu Margono ""
Rasakan copot jantung Dudung.
"Tid ... daakkk!".
"Tidak apanya "".
"Kau bukan si ... si Teratai".
"Lalu siapa " Tidak ingatkah kau bahwa setelah kalian perkosa dan cekik leherku, jasadku kemudian menghilang " Sekarang, inilah aku.
Inilah aku. Tak usah kau tau, ini jasad atau rohku, bukan " Tetapi aku kini lebih cantik Dung. Lebih mempesona. Lebih menggairahkan. Maafkan, bukan aku memuji diri sendiri. Tetapi karena aku ingin kau rayu. Bertahun-tahun aku menginginkan agar kau kembali meniduriku. Terserah padamu. Secara kasar seperti dulu, ataukah dengan lembut seperti yang kau lakukan pada isterimu Ina itu Teratai Putih tersenyum.
Begitulah. Dengan tiba-tiba sekali, perasaan Dudung tergoncang. Rasa takut dan ta'jubnya lenyap dengan mendadak, ia tidak mengerti mengapa, tetapi kemudian ia malah tidak perduli. ia kini dapat
berdiri tenang, mencoba memperlihatkan kejantanannya sebagai laki-laki. Dan memang, kelelakian-nya telah tergoncang begitu melihat keseluruhan wujud dan tantangan yang mesra dari perempuan yang cantik jelita itu.
" ... bagaimana kau masuk ke sini "", tanyanya lebih berani.
"Ah, gampang". "Tetapi ... uwa telah meludahi seluruh penjuru rumah".
Teratai Putih tertawa, ia mengelus pipi Dudung, sehingga jantung lelaki itu berdegup tidak teratur. "Ah. Uwa-mu lupa meludahi lubang air ini".
Sesaat, Dudung teringat pada golok di pinggangnya.
"Jangan !", sungut si perempuan. "Jangan sentuh itu. Kau tak memerlukan golok itu untuk
bisa meniduriku, bukan ""
Dengan lemah, Dudung mengangguk. Tatapan mata perempuan itu benar-benar membuatnya tidak berdaya untuk membantah. Golok itu ia cabut, lalu ia lemparkan persis jatuh ke dekat mulut lubang air itu. Dudung tersenyum tipis. Katanya: "Kau tak akan bisa pergi lagi, Teratai Putih. Lubang tempatmu muncul telah tertutup".
Teratai Putih balas tersenyum." ... aku akan per-
gi dari mana dan kapan saja aku suka, Dung. Sekali wujudku telah berubah, maka tidak ada kekuatan apapun yang bisa melawanku. Juga tidak semburan ludah uwamu yang menjijikkan itu. Dari lubang itu aku masuk berbentuk tikus, dan di depanmu aku kini muncul sebagai manusia
Tercekat kerongkongan Dudung. "Tetapi ... tetapi ia berkata dengan gagap.
"Mengapa tak kau rayu aku, Dung " Mengapa"", si perempuan menyeringai.
Sekilas, Dudung menangkap bayangan gigi-gigi taring Teratai Putih. Panjang dan runcing-runcing. Semakin lebar Teratai Putih menyeringai, semakin panjang serta semakin runcing gigi taringnya.
"Mengapa, Dung " Atau ... kau mau memperko-saku "", sungut Teratai Putih, kemudian ia tertawa. Mengekeh. Mengekeh dan mengekeh, semakin lama semakin lebar sehingga tampaklah lidahnya yang merah bagaikan darah. Darah Dudung berhenti mengalir. Seluruh tubuhnya kembali kaku dan lumpuh. Hanya mulutnya yang bergerak-gerak mengeluarkan kata-kata menceracau ...
"Tidak ... ttitidak ... tidak !".
"Ayolah !", maki si perempuan. Kini wajahnya berubah ganas. Matanya bersinar-sinar. "Ayolah. Lakukan seperti apa yang kau lakukan dulu pada
diriku. Lakukan ! Lakukan ! Mana keberanian-mu ""
Lalu perempuan itu menjambak kerah baju Dudung. Laki-laki itu terkesiap. Tenaganya tiba-tiba muncul, ia mulai meronta. Tetapi dengan ganas, Teratai Putih menyobek-nyobek seluruh baju yang dipakai Dudung, mencabik-cabiknya dengan kuku dan gigi taring. Dudung mencoba berteriak meminta tolong, tetapi tenggorokannya bagaikan tersumbat. Licinnya lantai kamar mandi menyebabkan tubuhnya goyah. Tiba-tiba ia jatuh terjerembab, diikuti oleh si perempuan.
Bunyi tubuh Dudung bergedebuk keras, sementara tubuh si perempuan yang ikut jatuh tidak menimbulkan suara apa-apa. Dengan mata melotot ketakutan, Dudung memperhatikan Teratai Putih yang mendekatkan wajahnya ke wajah Dudung. Perempuan itu mulai mencium seluruh wajah Dudung, tetapi si lelaki sudah demikian ketakutan sehingga tidak terangsang sama sekali. Lebih-lebih ketika tenggorokannya mulai dijelajahi oleh lidah Teratai Putih, ia mencoba memekik, tetapi taring-taring yang runcing telah menghunjam dalam, dalam sekali.
"Aaaaaaaaghhhhhhkkkkkk !", barulah Dudung bisa menjerit. Kedua kakinya meronta-ronta, menendang-nendang ke sana ke mari menimbulkan
bunyi ribut-ribut karena menyambar daun pintu kamar mandi yang terbuat dari seng. Dengan mata terbeliak, Dudung melihat bagaimana wujud perempuan itu berubah jadi bulat memanjang menggembung di tengah dan ... tangannya yang tadi meraba lengan berselaput kain sutera, seakan-akan memegang kaki-kaki kurus yang berbulu ...
Dudung memekik lebih keras dengan sisa-sisa suaranya. Dan dari dalam rumah terdengar bunyi ribut, lalu pekikan perempuan memanggil-manggil nama Dudung, langkah-langkah berlari dan ketika tiba di ambang pintu kamar mandi, perempuan itu mengeluarkan jerit lengking mengerikan.
SUARA jeritan di belakangnya, membuat tikus putih besar yang sedang menggerogoti bagian tubuh Dudung yang paling vital itu, terdongak, ia kemudian meloncat. Demikian cepat dan tepat. Dalam satu loncatan saja, tikus putih yang besar mengerikan itu telah hinggap pada Mira. Satu cakaran telah cukup membuat Mira jatuh lunglai, pingsan karena kaget, sekalipun lukanya berupa goresan kecil saja.
Tikus putih itu meloncat dari Mira, menjauh dengan tenang, ia berdiri di atas kedua kaki belakangnya. Lehernya mengembung, kemudian cicitnya yang keras dan nyaring menggema di kamar mandi dan seluruh rumah. Dari loteng, dari lemari, dari dapur, dari tiap sudut bermunculan tikus-tikus biasa berwarna hitam legam. Mereka semua berkumpul di ambang pintu kamar mandi. Tikus-tikus itulah yang menimbulkan bunyi ribut di dapur ru
mah Dudung, dan tikus-tikus itulah yang kemudian dengan diam dan patuh mendengarkan cicit tikus putih yang besar di hadapan mereka.
Dudung yang masih berjuang untuk dapat tetap hidup, melihat dengan mata terbeliak bagaimana tikus-tikus itu kemudian beramai-ramai menuju lubang kakus. Tikus-tikus itu kemudian perlahan-lahan menggotong golok yang tadi terlempar.
Sedikit demi sedikit, golok itu ditarik ke luar, kemudian mereka seret beramai-ramai dan saling berebut, sehingga hanya tampak sekilas ujung golok yang berbuat dari besi campuran baja. Tikus-tikus itu menarik golok itu terus ke dapur, dan satu cicitan yang keras dan nyaring menimbulkan bunyi riuh lagi di dapur. Bunyi barang-barang bertubruk, bunyi cicit tikus saling bersahut-sahutan, dan kemudian tiada bunyi apa-apa lagi. Semua sepi, sepi dan sepi....
Tersentak jantung Dudung ketika sebuah benda hinggap di dadanya. Tak lain dari tikus putih itu. Dudung coba menggerakkan tangan untuk menghantam, tetapi sang tikus cuma menyeringai. Dudung benar-benar kehilangan tenaga, dan hanya bisa melihat bagaimana tikus itu berubah wujud perlahan-lahan menjadi Teratai Putih kembali. Teratai duduk bersimpuh di dekat kepala Dudung.
" ... aku tahu kau masih hidup", bisik Teratai Putih di telinga Dudung. "Tapi kau akan segera mati. Mati, setelah kau sampaikan pesanku pada uwa-mu. Si Mirta terkutuk itu !"
Dudung tak bisa berkata-kata.
"Bilang pada uwa mu, padanya supaya datang ke perkebunan. Ada longsor di sana dan ... Ah, sudah-
lah! kutunggu dia di malam bulan purnama. kalau
uwa-mu tak memenuhi permintaanku, itu tandanya ia pengecut. Dan aku akan mengerahkan seluruh tikus tikus yang ada di daerah ini untuk menyebar hama penyakit dan memusnahkan padi dan tanaman apa saja yang bisa dimakan penduduk !"
Sehabis berkata demikian. Teratai Putih tersenyum. Lembut dan manis sekali. Wujudnya yang menakutkan tidak terlihat sedikitpun. ia tampak demikian cantik; mempesona dan menyenangkan hati. Tangannya yang halus bergerak ke belakang kepalanya. Ketika turun kembali, telah menggenggam beberapa kuntum bunga teratai berwarna putih. Kuntum bunga itu ia genggamkan pada telapak tangan Dudung. Lalu, ia tersenyum kembali. Manis dan mempesona.
"Hanya inilah yang bisa kuberikan sebagai tanda dariku", bisiknya dengan lembut. Kemudian perlahan-lahan ia menghilang, meninggalkan asap-asap putih yang menggulung ke arah lubang pembuang an air.
Di saat berikutnya terdengar suara tikus menci-cit nyaring, lalu kecipak air di dalam lubang yang semakin lama semakin menjauh. Setelah itu sepi. Sepi sekali. Dan bunyi cengkerik dan pungguk di luar sana, perlahan-lahan kembali menggema me-musiki kesenyapan subuh. Makin lama makin ra-
mai. Kokok ayam pun ikut memeriahkan suasana, lalu matahari pagi yang kemudian muncul menyi nari bumi... .
Dudung merayap ke pintu. DELAPAN SEPANJANG malam Mayangsari tidak tidur, ia hanya duduk di sebuah kursi. Matanya tidak mau mengantuk. Tidak pula ada kemau-annya untuk berbaring, ia lebih suka berjaga, sambil menunggu. Siapa tahu Teratai Putih muncul lagi, dan bukan hanya sekedar dalam mimpi, ia ingin melihat anaknya. Memeluk dan menciuminya dengan penuh kasih sayang, apapun bentuk perwujudannya.
ia juga akan bertanya kepada anaknya : siapa korban berikut " Supaya aku ikut menyaksikan ! Setelah aku tahu, barulah aku puas. Lalu aku rela menyusulmu. Menyusul ayahmu. Menyusul kakekmu. Lalu kita akan berkumpul lagi seperti biasa. Akan kita cari suatu tempat, di mana lebih ba-
nyak teratai dan aku akan menyingkirkanan bunga-bunga yang warnanya tidak kau sukai.
Untuk itulah selama ini Mayangsari mampu ber tahan supaya tetap hidup, ia ingin melihat siapa siapa mereka itu. Ingin menyaksikan, mereka me nebus dosa. Tetapi malam ini, setelah ia berbincang-bincang panjang lebar dengan pak Mirta, timbul kebimbangan dalam hati Mayangsari. Benar, ia tidak mampu jadi perempuan suci. ia bukan seorang manusia yang sempurna, ia juga tak lepas dari dosa.
"Kau tega ! Membiarkan mayat-mayat terus bergelimpangan !"
Terngiang ucapan pak Mirta.
Misteri Putri Peneluh Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Itu juga adalah dosa. Membiarkan korban jatuh semakin banyak. T
erhadap pembunuh-pembunuh anaknya, ia tidak begitu acuh. Tetapi mereka yang lain, yang Mayangsari yakin tidak ikut terlibat toh akhirnya terpaksa jatuh jadi korban. Ida. Dan beberapa orang lain yang luka luka. Salah seorang ia dengan gagal diobati pak Mirta, dan mungkin malam ini sudah menghembuskan nafas. Padahal orang itu punya sembilan anak yang masih membutuhkan kasih sayang, tiga di antaranya masih terlalu kecil untuk dapat memahami apa itu dosa.
Tetapi menyatukan darah dan bathin dengan
pak Mirta, wahai. Ayah Mayangsari pasti menggeliat resah di kuburnya.
Terngiang lagi ucapan laki-laki itu : "Kita harap saja roh ayahmu bersedia menarik sumpahnya. Karena tahu kau ingin melakukan sesuatu perbuatan yang terpuji."
Menghentikan terror dan pembunuhan itu memang perbuatan terpuji. Tetapi itu berarti sekaligus ia mencegah anaknya melakukan pembalasan dendam. Pembalasan yang dilandasi nama baik keluar ga. Nama baik " Apa pula itu nama baik " Tak le bih dari selembar kertas basah. Satu sentuhan kecil saja, nama baik itu pun hancur.
Mayangsari terpejam. Bimbang lagi. Lalu mendadak, kelopak matanya terbuka lebar, ia telengkan kepala. Diam, mendengarkan. Bunyi apakah itu " Seperti suara sesuatu tercebur ke dalam air.
Mayangsari bangkit dari duduknya. Berjingkat-jingkat ke jendela ia buka hati-hati. Gelap di luar rumah. Hanya diterangi sinar rembulan yang terlindung oleh bayangan pepohonan. Bayangan itu jatuh memanjang ke arah kolam kecil, tempat anaknya semasa hidup senang bermain.
Permukaan kolam beriak. Mayangsari menajamkan pandangan matanya, lalu melihat benda-benda kehitam-hitaman berenang dari tengah kolam, menyeret setangkai besar rumpun teratai. Tiba di tepi, benda-benda itu naik. Barulah ia mengetahui, benda-benda itu berupa tikus tikus sebesar kucing, yang dengan taring-taringnya memetiki kuntum teratai putih yang masih baru.
Tercekat Mayangsari, karena perasaan bergalau. "Yang manakah anakku ""
Tanpa berpikir panjang lagi, ia membuka jendela lebar lebar dan berseru perlahan karena suaranya sedemikian gemetar : "Hei, nak ... !"
Beberapa ekor tikus yang tadi menggotong rumpun teratai, sama terkejut. Satu dua mendongak ke arah jendela. Yang lain menggigit tangkai kuntum teratai yang sudah dipetik lantas ngacir me-larikan diri, diikuti tikus tikus yang lainnya.
"Tunggu !", teriak Mayangsari, lalu ia berlari ke pintu, membukanya dan berlari lagi ke tepi kolam. Tak seekor pun tikus itu yang tampak sekarang. Tinggal rumpun teratai yang kuntumnya baru dipetik. Rumpun itu dibawa riak air, merayap kembali ke tengah kolam. Liar, mata Mayangsari mencari-cari. Namun tak seekor pun makhluk tadi
kelihatan. "Jangan pergi !", hampir menangis perempuan itu, saking kecewa. "Aku ingin melihatnya. Melihat anakku ..."
Lalu seperti orang linglung ia berkeliaran sekitar rumah, menyebut-nyebut nama anaknya, menyatakan keinginannya untuk bersua, menjeritkan rin dunya yang lama tersiksa. Dari rumahnya ia pergi ke jalan. Mencari-cari di sekitar rumah tetangga. Terus saja ia mencari, dari satu rumah ke lain rumah, melihat-lihat ke kolong, ke belakang kandang mengibas-ngibaskan rerumputan ilalang, berlari-larian dari satu pohon ke pohon lain. Mulutnya terus kumat-kamit menyebut-nyebut nama anaknya, dengan air mata yang mulai terurai.
Seluruh desa, hening. Lengang.
Kematian yang susul-menyusul membuat semua penduduk sejak sore hari sudah pada mengunci diri. Tak ada yang mau meronda. Bahkar, ternak-ternak ikut bersembunyi, enggan melihat wajah maut yang mengintai dari tengah kegelapan malam. Di beberapa rumah korban perbuatan Teratai, ia dengar isak tangis. Tetapi jendela dan pintu rumah-rumah itu juga tertutup rapat. Lampu-lampu minyak dengan susah payah berusaha melawan pengaruh kegelapan yang demikian dahsyat. Mayangsari
terus saja mencari. Mencari dan mencari.
"Teratai, anakku. Teratai, anakku. Di mana kau, nak ""
Teratai. Teratai. Sekuntum teratai putih telah pula dipetik. Mungkinkah itu berarti akan ada kor ban pula malam ini " Tetapi siapa " Ya Tuhan, coba andaikata Mayangsari tahu. ia menyesali pikiran pendeknya, buru-buru memanggil. Mesti
nya ia turun diam-diam dari rumah lalu mengikuti ke arah mana tikus-tikus itu pergi membawa kuntum teratai.
Sambil menyesali diri, otak Mayangsari terus berjalan.
Margono sudah jatuh jadi korban. Kemudian Ajat. Siapa yang berikutnya " Bukan. Bukan begitu bunyi pertanyaan yang harus dipikirkan. Coba ini: siapa orang yang kira-kira masih atau pernah satu komplotan dengan Margono dan Ajat "
Kakinya terus pula melangkah.
Dengan mata jelalatan. Akhirnya ia melihat sesosok bayangan menyeli-nap ke luar dan salah satu rumah. Mayangsari bergegas memburu. Bayangan tadi bergegas pula berlari ke rumah yang terdekat. Terdengar suara pintu digedor-gedor, lalu suara anak perempuan
yang berteriak-teriak histeris, "Tolonglah, Tolong
lah ! Tikus tikus itu menyerbu rumah kami. Ya Tuhan, tolonglah. Kang Dudung ..."
Tak ada yang berani membuka pintu.
Setiap orang di dalam rumah yang digedor itu masih ingat bagaimana keadaan mayat Margono, lalu Ida dan Ajat apalagi. Kemudian orang-orang lain yang bermaksud menolong. Mereka juga ingat kepada pak Mirta. Seorang kepala desa, seorang yang punya ilmu, tetapi toh kewalahan mengobati mereka. Bahkan ikut jatuh sakit.
Tidak. Tidak ada yang berani membuka pintu.
Penghuni rumah malah semakin rapat berpeluk an satu sama lain. Bayangan di luar rumah, seorang gadis tanggung, menangis terisak-isak dan dengan panik berlarian ke rumah yang lain untuk meminta tolong. Gadis tanggung itu bentrok dengan Mayangsari, yang berlari menyongsong.
"Ada apa, nak " Kau Nining, bukan ""
"Ya. Bu. Saya suara tangis Nining mendadak sontak hilang lenyap.
ia melihat ketakutan ke arah Mayangsari. Mundur dengan muka pucat dan mata ngeri. "Jangan ... Jangan sentuh aku. Kumohon, jangan ... !"
"Nak, aku justru mau membantu", entah mengapa Mayangsri dapat berkata demikian. Membantu mereka, mengusir roh jahat si Teratai, anak kan-
dung kesayangannya sendiri. "Mari kita pergi sama-sama ke rumahmu".
"Tidak. Kau tak boleh masuk !"
"Aduh, nak. Aku tidak sejahat yang kau pikirkan. Kau ingin menolong saudaramu, bukan " Ayolah lantas tanpa menunggu jawaban Mayangsari berlari-larian masuk ke rumah Dudung. Setelah ragu sebentar, Nining kemudian mengikut di belakangnya.
Dudung tergeletak di ruang tengah.
Wajah dan lehernya penuh luka-luka menganga. Darah membanjiri lantai. Seorang yang lain, Mira isteri Dudung tengah ditarik-tarik dua anak mereka yang masih kecil-kecil ke kamar tidur. Anak-anak itu terus menangis lalu lari serabutan menyembunyikan diri begitu melihat Mayangsari masuk. Baru setelah Nining ikut masuk, kedua orang bocah itu keluar dari persembunyiannya dan merangkul bibi mereka dengan wajah pucat ketakutan.
"Apa yang terjadi "", tanya Mayangsari sambil berjongkok untuk memperhatikan luka di leher Dudung, kemudian juga selangkangannya. Mayangsari terpejam ngeri memandangi leher yang tercabik-cabik dan kemaluan Dudung yang tinggal sepotong, ia hampir muntah. Mundur beberapa tindak." Tuhanku !", desahnya, lirih. Baru sekarang-
lah ia menyaksikan sendiri hasil perbuatan roh jahat yang mereka katakan perwujutan anaknya, si Teratai Putih. Selama ini ia cuma mendengar. Dan mendengar, tidak seberapa akibatnya dibandingkan dengan menyaksikan dengan mata kepala sendiri.
Pelan-pelan, Dudung membuka matanya.
Nining tak berani mendekat, ia bergerak ke pojok ruangan, berusaha supaya ponakan-ponakannya yang bocah itu tidak melihat ayah mereka bergerak sekarat. Takut-takut, Mayangsari mendekat.
"Mau mengatakan sesuatu, Dung ""
Pandangan Dudung kabur, ia tidak dapat mengenali perempuan itu. "Siapa kau ""
Mulanya Mayangsari mau memberitahu. Kemudian ia ingat ketakutan di wajah Nining waktu mereka kepergok di luar rumah, ia ingat pula kebencian yang selama ini ditujukan penduduk ke alamat dirinya. Dengan menahan hati, Mayangsari mencoba tersenyum. Katanya : "Berbaring sajalah. Akan kupanggilkan seseorang untuk mengobati luka-lukamu".
" ... pak Mir - taaa", ujar Dudung, terputus-putus.
"Ya. Ya. Memang dia yang mau kupanggil..." "Jangan !"
"Tetapi..." "Aku tak kuat lagi. Rasanya begitu panas. Aku yang berteriak-teriak histeris : "Tolonglah. Tolong-leh
erku sudah putus ""
Kalau putus, tentulah dia tak dapat bersuara.
Tetapi itu bukan jawaban yang pantas. Mayangsari mengatakan yang lebih pantas : "Hanya luka sedikit".
"Sedikit " Kok sakitnya ia menggeliat-geliat, berusaha mengangkat tangannya, tetapi tidak mampu. "Oh ... oh ... aku merasa lumpuh seluruh badan. Aku akan mati... matiDudung mulai menangis, tersedu-sedu. Nining cepat-cepat menarik kedua orang ponakannya, pergi menjauh ke dapur. Tetapi ia berusaha sedapat mungkin untuk dapat mengintai ke ruang tengah. Kalau-kalau perempuan sihir itu berbuat sesuatu terhadap saudaranya ... !
"Dengarkan !", Dudung menggapai tangan Mayangsari. "Temuilah pak Mirta. Katakan ... katakan ... si Teratai yang membunuhku. Dia ... dia ... Tikus busuk ! Tikus haram jadah itu juga melukai Mira. Mira ... mana Mira " Miraaaa".
Mayangsari melongok lewat pintu kamar.
Mira menggeliat, kemudian diam. Mudah-mudahan cuma pingsan, do'a Mayangsari dengan tulus.
Ya Tuhan, jangan ambil nyawa mereka yang tidak bersalah ! "Isterimu baik baik saja", katanya, ter bata-bata. "Kau tadi menyebut nama pak Mirta. Apakah dia ... "
"Dia, menunggunya !"
"Dia siapa " Menunggu siapa ""
"Si Teratai". "Di mana "", merinding bulu punduk Mayangsari, membayangkan ia akan bertemu dengan anaknya. "Katakanlah, di mana ""
"Setelah purnama ... ", Dudung semakin lemah suaranya. Terpaksa Mayangsari mendekatkan kuping ke mulut Dudung, dan mendengar apa yang dipesankan oleh Teratai Putih kepada pak Mirta. "Bunuh ... ", rungut Dudung, geram. "Bunuh gadis terkutuk itu untukku ... !"'. Lalu kepalanya terku lai.
Dudung telah menyusul Margono. Menyusul Ajat.
Mayangsari terdiam sejenak. Lalu bangkit terhuyung-huyung. Tubuh setengah telanjang yang mengerikan itu, terlalu seram untuk terus ia lihat. Mayangsari berpaling. Dan matanya bertemu dengan mata Nining. Anak tanggung itu mungkin sudah berusia lima belas. Lebih tua beberapa tahun dari Teratai Putih. Tetapi mata Nining, tak ubah-
nya mata Teratai Putih yang memandang ketakutan campur permohonan, bila si Teratai dihardik Mayangsari karena berbuat kekeliruan.
ia kemudian juga melihat mata Dodo dan Lina yang masih bocah. Mata bening, polos tak berdosa.
Mayangsari berpaling lagi.
Kali ini matanya beradu dengan tubuh Mira yang masih terkulai di lantai. Mayangsari melangkah masuk ke kamar tidur. Diam-diam Nining menyusul. Diam-diam pula Nining membantu Mayangsari mengangkat tubuh Mira ke tempat tidur. Membaringkannya, kemudian menyelimutinya baik-baik. Tubuh perempuan itu panas, tetapi luka di lehernya tampak cuma goresan kecil belaka. Mungkin ia akan tertolong, apabila secepatnya didatangkan bala bantuan.
"Kalian tunggu di sini", kata Mayangsari kepada Nining. Gadis tanggung itu menatapnya dengan mulut bungkam. "Akan kupanggil pak Mirta untuk mengobati Mira."
Mayangsari melangkah ke pintu depan.
Lalu berhenti, ketika mendengar suara Nining : "Bu Mayang".
"Ya, nak ""
"Bukan kau yang mengerahkan tikus-tikus mengerikan itu. Benarkah, bu Mayang ""
Mayangsari tersenyum ke arah Nining.
Gadis itu tidak tersenyum. Namun sinar matanya menunjukkan persahabatan. Mayangsari sampai terenyuh, dan menyeka matanya ketika meninggalkan rumah Dudung, memaki-maki marah tiap kali melewati tetangga yang terus ngumpet di dalam rumah masing-masing.
Kemudian, langkahnya ditujukan ke rumah kepala desa. Tangannya menggenggam golok yang tadi dipegang oleh Dudung selagi sekarat. Mayangsari tahu betul kalau golok itu milik pak Mirta. ia mengambilnya tadi dari tangan Dudung, tanpa sadar mengapa ia harus melakukannya.
Jadi, Mirta terlibat ! Mayangsari gemetar memikirkannya. Hatinya beku, dingin. Sebeku dan sedingin malam berbau kabut, berbau kematian. Mirta yang dulunya pemalu. Mirta yang jatuh cinta untuk pertama kali setelah ia berusia tiga puluh tahun, dan gadis yang dia cintai justru baru mencapai setengah usia Mirta sendiri. Mirta yang sadar, bahwa ia dan keluarganya cuma anak penggarap sawah dengan upah yang tak seberapa. Mirta yang terpaksa mundur teratur, setelah anak majikannya bergerak lebih cepat, melamar Mayangsari.
ia teringat ketika suatu hari berjumpa
di kali. Mayangsari baru habis mencuci, dan Mirta baru pulang dari sawah. Tubuh dan pakaiannya kotor, wajahnya tampak menyimpan malu.
"Baru pulang, pak "", tanya Mayangsari.
Itulah selalu yang membuat Mirta menyimpan isi hati. Karena Mayangsari selalu memanggilnya dengan sebutan "bapak". Mengapa tidak " Usia mereka berbeda jauh dan Mirta yang sudah terbiasa hidup sebagai buruh, penampilannya tampak lebih tua.
"Ya, Mayang". "Ayo. Sama-sama ".
Mirta pergi menjauh, bersembunyi di balik re rumputan untuk melepas pakaian kemudian terjun ke air. ia mandi tergesa-gesa. Naik lagi tergesa-gesa ke tepian, bersalin pakaian. Begitu ia selesai, Mayangsari sudah tak ada di tempat semula. Mayangsari sudah jauh di atas bukit, dan memandang padanya seraya tertawa-tawa.
Mirta memang orang yang sabaran, dulunya
Pernah ia memergoki Mayangsari dan kekasihnya sedang bercumbu di sebuah dangau. Mirta yang tak keburu mengelak, terpaksa menyapa : "Maaf. Aku kebetulan lewat".
Mayangsari tersipu malu. Kekasihnya, ayah si Teratai di kemudian hari, tertawa bergelak. "Mau ngintip, ya harus lewat di mana ada tempat ngintip", katanya. "Tetapi lain kali, bilang-bilang dong".
Mirta tidak bermaksud mengintip, Mayangsari tahu benar.
Tetapi ia tidak marah, ia tetap saja tersenyum manis, sopan. Balas pula ia menyindir : "Kalau begitu, Aden beritahu pulalah pada saya, kapan akan bercumbu !"
Mayangsari melempar laki-laki itu dengan sandal.
Tentu saja senda gurau belaka. Herannya. Mirta tidak mengelak, ia biarkan sandal itu melayang ke
wajahnya, dan ia malah tampak senang. Lain hari mereka bertemu lagi dan Mayangsari meminta maaf atas perbuatannya yang lancang.
"Aku tak sengaja", berkata Mayangsari.
"Biarlah. Disengaja atau tidak, aku tetap menerimanya dengan senang hati..."
"Nanti kulempar lagi !", Mayangsari mengancam.
"Boleh. Tetapi dengan hati".
Dan mereka tertawa. Tanpa Mayangsari tahu, Mirta berkata sungguh-sungguh dan tawanya begitu terdengar bahagia.
Suatu malam, Mayangsari terlambat pulang, ia rupanya habis kencan dengan calon ayah Teratai Putih dan karena si kekasih habis bertengkar dengan calon mertua, tidak berani mengantar Mayangsari sampai ke rumah. Kebetulan mereka bertemu Mirta yang sudah diangkat murid oleh ayah Mayangsari.
"Dari mana saja kalian "", sang ayah langsung menyenggak.
Sebelum Mayangsari sempat menjawab, Mirta sudah berkata : "Maafkan, pak. Saya membawa Mayang nonton reog di desa Banjarsari. Maksudnya mau pulang sore-sore. Eh, tahunya ketemu beberapa teman yang ingin jadi murid bapak. Lalu kami
ngobrol. Mereka banyak bertanya tentang perguruan kita. Terutama kepada Mayang. Habis ngobrol, eh, sudah gelap ..."
"Aku tak bermaksud cari murid tambahan. Dan aku tidak pernah membentuk perguruan. Ini bukan tempat bela diri. Tetapi tempat membersihkan jiwa yang kotor. Dan kau telah mengotori jiwamu, membawa anakku tanpa bilang-bilang. Untuk itu kau perlu dihukum".
Mirta benar-benar dihukum.
Berendam sepanjang malam sampai matahari terbit esok harinya, di tengah sungai tempat kerbau biasanya berkubang. Seminggu lamanya Mirta jatuh sakit karena demam dan penyakit gatal-gatal pada kulitnya. Mayangsari sering mengunjungi, merawat dan memberinya makan, sambil tak henti-hentinya menyesali diri, meminta maaf. Mirta hanya tertawa. "Anggap saja pengalaman", katanya. Dan setelah ia sembuh, ia mendatangi ayah Mayangsari. Berjanji, tidak akan membawa Mayangsari lain kali, tanpa seijin keluarga.
Dan itu benar. Mirta tak mungkin mengajak Mayangsari pergi ke tempat-tempat pertunjukan atau ke mana saja tanpa ditemani orang-orang ain. Karena Mayangsari sudah keburu dilamar orang, dan setahun kemudian lahirlah Teratai Pu-
tih. Mirta mulai menjauhkan diri.
Tak pernah bercampur gaul dengan gadis-gadis lain, atau janda-janda muda yang beberapa di antaranya menaruh hati juga pada laki-laki yang malang itu. Mirta tak menikah. Tetap membujang, sampai akhirnya Mayangsari tahu Mirta jadi bujang tua karena hanya pernah jatuh cinta pada satu perempuan saja, sebagaimana halnya Mayangsari hanya jatuh cinta pada satu laki-laki saja.
Saudara Mirta, ayah si Dudung kemudian
diangkat jadi kepala desa.
Mirta diberi kedudukan sebagai pengurus tanah carik desa. Punya rumah sendiri, punya penghasilan yang memadai. Namun tetap saja, ia membujang, sampai ayah Teratai Putih meninggal dan Mirta menunggu masa berkabung selesai. Baru berkata terus terang pada Mayangsari : "Kalau kau berhenti menangis, aku akan berhenti membujang".
Kesedihan ditinggal suami mulai hilang.
Mayangsari berhenti menangis. Dan bertanya kepada Mirta : "Katanya mau berhenti membujang".
"Kau mau menghentikan aku "", balas Mirta.
Mayangsari terkejut, karena nada suara Mirta yang sungguh-sungguh. Tanpa sadar, ia tertawa Lalu berkata : "Bapak ini berseloro. Lucu !"
Mirta ternyata bisa juga marah.
ia melarikan diri ke gunung, dan ketika kembali empat puluh hari berikutnya, ia mendatangi ayah Mayangsari dan berkata : "Pernah aku kau marahi padahal bukan karena kesalahanku !" Kasar suaranya, kasar sikapnya. Ayah Mayangsari terkejut alang kepalang.
"Ada apa dengan kau, Mirta ""
"Aku ingin membalas sakit hatiku".
"Membalas ""
"Ya. Dengan ini", lalu : cuih ! Mirta meludah. Kena tangan ayah Mayangsari tangan yang terkena ludah itu berubah merah, kemudian hitam, lalu melepuh. Ayah Mayangsari tak pernah mampu mengobati sendiri luka bakar di tangannya. Sampai ayah Mayangsari mati, luka itu tetap meninggalkan bekas hitam terbakar. Ayah Mayangsari mengeluarkan sumpahnya. Mayangsari yang mendengarnya kemudian, terkejut, ia lalu berterus terang mence-ritakan mengapa Mirta sakit hati pada ayahnya.
"Anak bodoh", bentak ayah Mayangsari. "Coba kau beritahu aku dari dulu-dulu. Sekarang terlambat sudah. Sumpah telah terucap !"
Dan Mirta telah dipecat sebagai murid.
Peristiwa-peristiwa memalukan pun datang susul menyusul. Ayah Mayangsari kambing hitamnya.
Seperti, tahun-tahun terakhir ini Mayangsari mendapatkan cap yang sama.
Sambil terus menuju ke rumah kepala desa itu, Mayangsari berusaha menahan kebencian yang tiba-tiba muncul. Kemudian ia sadari, ia turut berperan atas kelakuan Mirta. ia juga mempunyai dosa-dosa. Terbayang mata Nining. Mata bocah Dono dan Lina.
Mayangsari mengeluh. Dia juga harus menebus dosa, sebelum mata bocah-bocah tak bersalah itu semakin banyak ber-linangkan butir butir penderitaan. Dudung sudah mati. Tetapi bocah-bocah itu masih mempunyai ibu. Dan hanya Mirta yang dapat menolong.
Mayangsari tertegun. Tahu-tahu saja, Mirta telah tegak di depannya.
BEBERAPA saat lamanya, mereka berdua cuma saling menatap di bawah siraman rembulan. Kemudian pak Mirta melihat apa yang dipegang Mayang sari. Lurah itu terkejut. Pucat. Cepat pikirannya bekerja. "Apakah Dudung sudah
ia tidak berani melanjutkan kata-katanya.
Terlalu lemas memikirkan apa yang terbayang di kepalanya. Adiknya telah mati. Kini, keponakannya. Dan dia yang jadi gara-gara !
"Pak Mirta ..."
Lurah itu tersentak. Mulutnya terbuka mau mengutarakan sesuatu, tetapi tidak mampu. Hatinya hancur luluh. Hampir tidak ia dengar sama sekali ketika Mayangsari berkata : "Kau ingin aku melakukan perbuatan terpuji, bukan ""
Pak Mirta diam. Belum dapat menangkap makna kata-kata Mayangsari.
"Dudung berpesan ... ", Mayangsari kemudian meneruskan pesan yang dimaksud. "Isterinya masih terbaring di sana. Sakit. Dan anak-anaknya Mayangsari gemetar. "Anak-anak itu harus diselamatkan".
"Juga anak-anak lain", pak Mirta mulai mengerti.
"Ya. Juga anak-anak lain", Mayangsari menye-
tujui. "Dan kau mau. Padahal, kau sudah tahu betapa jahat dan bejatnya moralku ..."
Mayangsari mencoba tersenyum. Ujarnya : "Pertalian bathin dan darah, tidak selamanya melalui perkawinan, pak Mirta. Ada banyak cara yang bisa ditempuh. Yang paling tepat, ini !"
Gaung suara Mayangsari belum hilang, tetapi golok yang terpegang di tangannya sudah terhunjam sampai ke gagang, tenggelam ke dalam lambungnya yang perlahan-lahan mengucurkan darah.
Pak Mirta terkejut. ia melompat ke depan, memeluk Mayangsari dan berusaha menarik keluar golok itu dari lambung si perempuan. Tetapi Mayangsari mencegahnya. Dengan mata setengah terkatup menahan sengsara, Mayangsari berkata terputus-putus "Manterailah, pak Mirta. Manterailah darah yang menga
lir dari dari jantungku membasahi golokmu. Aku ... aku merindukan Teratai. Ingin bertemu ... dengannya. Tadinya ... kukira, kami akan .... Tetapi, dengan cara ini..."
Tubuh Mayangsari terkulai diam.
Betapa lamanya waktu berlalu. Betapa lamanya hasrat pak Mirta untuk memeluk Mayangsari, tetap terpendam sia-sia. Dan ketika kini keberuntungan
itu benar-benar ia peroleh, nyatanya ia hanya ber hak memeluk jasadnya saja.
Jasad yang sudah mati begitu tiba tiba.
Maut memang seringkali datang tanpa pemberitahuan lebih dulu.
PENUTUP BULAN purnama mengintip dari sela-sela dedaunan pohon-pohon karet, ketika bayangan memanjang itu tertatih-tatih mendekati sebuah makam besar di antara sejumlah makam-makam lainnya yang jauh lebih kecil. Remang-remang rembulan menimpa permukaan makam sehingga gundukan makam tampak semakin mengembung. Bayangan kurus memanjang itu terhenti sejenak di kepala makam. Lalu, tiba-tiba :
"Cuih ! Cuih !", ia meludah. Sekali ke kiri, sekali ke kanan. "Ini aku, Mirta, datang memenuhi panggilanmu". ia diam mendengarkan. Tidak ada sahutan. "Cuih ! Cuih !", meludah lagi pak Mirta. "Ataukah kau tidak mau menepati janjimu "". Tiba-tiba angin bersilir di sebelah kanan pak
Mirta. Seketika ia tertegun.
"Aku di sini, murid yang tak membalas budi !"
Pak Mirta menoleh. Seseorang gadis semampai yang cantik jelita, berdiri tak jauh di sebelah kanannya, ia memakai sutera putih yang menjuntai sampai di tanah, kontras sekali dengan kepekatan malam yang remang-remang dijilat rembulan.
" ... Teratai Putih !, membisik pak Mirta.
"Kau juga ingat padaku, pak Mirta".
"Karena kau yang mengundangku datang".
"Kau tidak takut "".
Pak Mirta sejenak terdiam. Mencoba tersenyum. Kemudian meludah. "Ah ... ah ... ".
Teratai Putih menjauh. "Bau ludahmu tidak enak".
"Kau yang kini takut ya "", sungut pak Mirta dengan suara keras.
Si gadis tersenyum. "Tidak" ! katanya. "Karena aku sudah diberitahu kakek tentang keampuhanmu itu sebelum beliau menghembuskan nafas terakhir. Ingatkah ketika jasadku tidak ditemukan orang di dalam dangau, lima tahun yang lampau ""
"Hem", pak Mirta bersungut-sungut.
"Kau memasuki tubuh kakekmu, begitukah yang mau kau katakan ""
Si gadis tertawa. " ... jasadku tetap di dalam dangau itu, pak Mirta. Tetapi tidak ada yang bisa melihatnya, Tidak, dengan mata biasa. Ternyata kau juga tidak, bukan " Karena kakekku lebih tahu bagaimana membutakan matamu dan mematikan keampuhan air liurmu, ia memanggilku ikut bersama-sama dengannya, sampai ke liang kubur, pak Mirta".
Laki-laki tua itu manggut-manggut. "Pantas", gumamnya.
"Pantas apanya ""
"Pantas waktu dimakamkan, kuburan kakekmu tidak bisa seukuran dengan makam biasa. Karena yang dimuatkan ke dalam makam, ternyata dua orang. Meski tak seorang pun melihat orang kedua itu ikut dimakamkan".
"Kau pintar, pak Mirta. Mengapa kepintaranmu itu tidak kau pergunakan untuk menjelaskan pada keluarga kepala desa, bahwa kakekku bukan seorang tukang teluh " Bahwa kakekku tidak tahu apa-apa tentang kematian kepala desa " Karena memang orang itu mati karena perbuatan ..."
"Diam !", Pak Mirta membentak. Tetarai Putih menyeringai. " ... tentu saja tidak. Karena kau mengharapkan kehormatan lebih besar dan penghasilan yang lebih banyak, dengan mengenyahkan satu-satunya sainganmu di desa dan sepuluh desa
sekitar. Celakanya, justru orang itu adalah kakekku. Orang yang pernah mengajarkan ilmu-ilmu karuhun padamu, untuk mengabdi pada orang-orang sakit yang membutuhkan pengobatan.
Laki-laki itu mengangkat wajah.
"Apa perdulimu "", katanya tersinggung.
"Ah, aku tak perduli apa-apa pada harta milik yang kau peroleh dengan rakus itu. Aku cuma mau menuntut, mengapa kau menuduh dan kemudian ikut terlibat dalam pembunuhan kakek".
"Aku tak ikut", pak Mirta membantah.
"Secara langsung memang tidak. Tetapi kau membacakan mantera-mantera".
"Kakekmu harusnya bisa membunuh mantera manteraku. Salahnya sendiri, mengapa ia tidak melawan".
Teratai Putih tersenyum. Perih. "Kakek tak mau membunuh muridnya sendiri, pak Mirta. Dan ia tidak mau menjatuhkan tangan kepada orang-orang yang tidak bersalah, tetapi tersesat karen
a bujuk-anmu itu. Dan ia merasa pernah berdoa padamu ..."
"Lalu mengapa kau membunuh begitu banyak orang ""
"Untuk kedurjanaan mereka terhadap diriku". Pak Mirta manggut-manggut. "Aku mengerti",
katanya. "Tetapi tentunya kau mengundangku kemari, tidak dengan maksud untuk mengatakan hal sepele itu saja, bukan ""
Si gadis tersenyum, ia mendekat beberapa langkah.
... aku terlanjur bersumpah pada kakekku, pak Mirta. Untuk membalas dendam pada orang-orang yang telah membunuh kakek dan memper-kosaku. Seperti kakek, akupun tidak bermaksud menciderai orang yang tidak bersalah. Tetapi bagiku, kau tetap bersalah. Kakek amat marah padamu, tetapi ia telah mati. ia tidak mungkin membalaskan dendamnya. Karena itu, selama lima tahun lebih aku - rohku dan roh kakekku saling menguji diri. Menguji keampuhan masing-masing. Dan ketika waktunya kami kira sudah tiba, atas kehendak alam kuburanku pun terbuka ..."
Kedua kaki pak Mirta menjejak kuat-kuat ke tanah, hingga tanah di bawahnya merekah. Lututnya gemetar, tetapi bukan pertanda takut Karena dari wajah dan matanya terpancar amarah yang luar biasa. "Kau menganggapku remeh, neng !", sungutnya. Lalu meludah ke kiri dan ke kanan terus ke muka dan ke belakang.
"Cobalah dekati diriku !"
Si gadis tersenyum. "Kau lupa aku jijik dengan
bau ludahmu. Tetapi mereka tidak, pak Mirta", teriak si gadis, ia bergerak ke makam besar itu, mencabut nisan di kepala makam dengan sigap. Dari bekas nisan itu terlihat sebuah lubang besar, semakin besar dan kemudian berpuluh-puluh malah mungkin beratus ratus ekor tikus berloncatan ke luar.
Pak Mirta terkejut. ia mengeluarkan goloknya. Tetapi tikus-tikus itu tidak menjadi takut karenanya, malah semakin mendekat juga kepadanya, ia meludah berulang-ulang. Tikus-tikus itu tetap menyerang.
"Itu semua tikus-tikus biasa, pak Mirta. Tak guna kau perlihatkan ajianmu. Itu bukan daun-daun yang pernah menyerang teman-temanmu di pinggir sungai beberapa hari yang lalu. Tikus biasa, pak Mirta. Tikus biasa. Lawanlah mereka".
Orang tua itu tidak sempat mendengarkan semua itu. Sementara si gadis tertawa nyaring dan lengking, tikus-tikus itu telah meloncati tubuh pak Mirta. Mereka mencakar dengan kuku dan menggigit dengan gigi di tempat-tempat tikus itu hinggap. Beberapa ekor di antaranya tertebas oleh golok pak Mirta, jatuh bergulingan di tanah dengan meninggalkan bunyi mencicit yang menyayat tulang. Te-
tapi tikus-tikus yang keluar dari lubang makam Itu semakin banyak juga.
Orang tua itu mulai kewalahan, dan keluar dari lingkungan di mana ia tadi meludah, ia sadar bahwa bila ia keluar dari lingkungan semburan ludah nya, kekuatannya akan punah, tetapi tikus-tikus itu semakin banyak sehingga ia tidak kuasa melawan dorongan mereka, ia mundur, terus mundur. Dan suatu saat ia mengangakan mulut, berteriak:
"Ular-ular itu ! Ular-ular itu !"
Dari balik pepohonan, tiba-tiba muncul banyak bayangan. Kemudian obor menerangi kompleks pemakaman yang remang-remang itu. Beberapa penduduk berkeluaran dari persembunyiannya, masing-masing berteriak mengucapkan kata-kata :
"Musnahkanlah, roh jahat ! Musnahlah roh jahat !"
Lau keranjang bambu di tangan beberapa orang di antara rombongan penduduk yang muncul bagai air bah itu, dilemparkan ke tanah. Tutupnya terbuka. Dari dalamnya keluar ular berbagai macam yang atas petunjuk pak Mirta telah ditangkapi penduduk sementara menunggu waktu pertemuannya dengan Teratai Putih. Mula-mula ular-ular itu diam tak bergerak. Mungkin karena kaku, terkejut. Kemudian perlahan-lahan mulai merayap. Merayap
berkeliling, meliuk-liuk seram. Penduduk menjauhi tempat itu, meski ular-ular tadi lebih tertarik pada bau tikus. Binatang melata itu terus saja merayap ke arah pak Mirta yang sedang berjuang membebaskan diri dari keroyokan tikus-tikus.
Tikus-tikus itu rupanya melihat gelagat tak baik. Suara mencicit riuh rendah memenuhi jalan lintas perkebunan yang sunyi sepi itu. Lari serabutan. Namun ular-ular yang telah mengerung di sekitar mendadak berubah ganas lalu meliuk semakin cepat memburu mangsa. Pak Mirta cepat-cepat menghindar, ia menggoyang-goyangkan kepala untuk menghi
ndari rasa sakit dan perih. Samar-samar ia lihat puluhan ekor ular memperoleh santapan ratusan ekor tikus-tikus besar dan gemuk-gemuk. Sebagian masih mampu melawan. Beberapa ular itu tercabik, mati. Namun naluri seekor tikus tetap saja naluri tikus. Meski lebih banyak dari penyerangnya, sebagian besar binatang-binatang pengerat itu telah lari menyelamatkan diri.
"Terkutuk. Akal bulus terkutuk !", terdengar suara mengumpat.
Pak Mirta menoleh. Tetapi ia tidak melihat Teratai Putih, ia hanya melihat bayangan putih samar-samar yang semula tinggi, kemudian merendah dan merendah hampir rata ke tanah.
"Tikus putih", bisik pak Mirta, terpana. Dan ketika ia lihat tikus putih itu lari menyelinap di antara semak belukar, pak Mirta berteriak : "Kepung. Ayo, kepung. Jangan biarkan makhluk terkutuk itu kembali ke desa untuk mengambil nyawa anak isteri kalian ... !"
Penduduk yang mendengar perintah itu, meski takut-takut toh berlari larian mematuhi perintah lurah mereka. Lagipula jumlah mereka sangat banyak, mengapa tidak berani " Musuh pun tampaknya sudah kalang kabut. Tinggal satu. Satu, tetapi yang paling berbahaya !
Sambil berpegangan tangan dan berdiri berkelompok-kelompok mereka mengurung arah hilang nya tikus putih itu. Bila terlihat bayangannya, mereka datang merapat dan memaksanya lari ke tempat terbuka. Makhluk itu melompat kian kemari sambil mengeluarkan suara merintih, menggeram, menjerit-jerit ribut. Bukan mencicit. Tetapi menjerit-jerit ribut sebagaimana anak perempuan yang terperangkap di sarang harimau yang kelaparan. Yang aneh, makhluk itu tidak berusaha menyerang para pengepungnya. ia baru menggeram-geram marah kalau melihat pak Mirta, berusaha melepaskan diri dari kepungan agar dapat mendekati lurah desa itu.
Sebaliknya, pak Mirta yang datang dengan dipapah beberapa orang priya bertubuh besar kuat, dengan caranya sendiri senantiasa berusaha agar terlindung di balik tubuh orang-orang yang memapahnya. Suatu perbuatan pengecut, tetapi ia selamat dan para penolongnya tidak menyadari kepenge-cutan lurah mereka.
Dengan jeritan putus asa, akhirnya tikus putih itu melakukan lompatan panjang melalui kepala orang-orang yang mengepungnya. Terus kabur menaiki tebing, menuju daerah bekas longsor di mana masih terdapat lubang-lubang dan rongga-rongga guha untuk bersembunyi.
"Golokku. Ke sinikan golokku pak Mirta berteriak.
ia menyapu wajahnya yang penuh cakaran berlumur darah, menerima golok yang diulurkan oleh seseorang. Lalu membathin : "Darahmu masih melekat di mata golokku, Mayang. Bantulah aku. Berikan aku kekuatan untuk menebus dosaku".
Lagi, suatu sikap pengecut.
Meminta bantuan Mayangsari untuk membunuh anak Mayangsari sendiri. Pak Mirta merasa malu. Tetapi kepalang basah, ia terus saja membaca mantera. Sekali sekali ia berseru memerintahkan orang yang memapahnya agar mengangkat ia ke sa-
na, ke sini, mengikuti getaran golok dan bayangan tikus putih hilang menyelinap.
Suatu ketika, ujung golok itu terpaku diam di mulut salah satu liang yang gelap. Pak Mirta merasakan telapak tangannya panas, terbakar. Matanya terpejam menahan azab, lalu bergumam : "Biarlah ibumu yang menjemputmu, Teratai Putih", lalu ia meludah sekitar mulut lubang dan sekaligus melemparkan goloknya jatuh melayang-layang dalam kegelapan lubang.
Sesaat sepi. Menyentak. Kemudian terdengar suara jerit lengking memilukan. Lolongan panjang yang mendirikan bulu roma.
semua yang ada di tempat itu, terpaku kaget dan ngeri.
Malah ada yang sampai terkencing di celana. "Di sini si cantik Teratai Putih mati dan bermukim keluh pak Mirta pelan, begitu suara lolongan itu tinggal gaung lemah nun jauh entah di mana. Orang tua itu menengadah, menatap warga desanya yang terheran-heran mendengar apa yang ia utarakan "Aku berdosa pada gadis kecil itu. Pada kakeknya. Dan ibunya. Masih banyak dosa-dosa besar yang kuperbuat! Terlalu besar untuk ditebus ..."
Tak ada seorang pun yang mengangkat suara.
Dan lebih banyak mereka yang tidak memahami apa yang dimaksud lurah mereka. Tetapi tak ada bedanya. Tak ada. Karena, serbuan tikus-tikus itu telah mencabik hampir sekujur tubuh pak Mi
rta. Racun dari kuku serta taring makhluk-makhluk itu telah menjalar di sekujur persendian, mengalir di semua pembuluh darah dan kemudian mende kam di jantungnya.
Ketika orang-orang yang memapah orang tua itu memperhatikan di bawah sinar obor, barulah me reka terkejut melihat kulit tubuh pak Mirta telah berubah hitam pekat kebiru-biruan. Orang tua itu telah meninggal dalam keadaan sama mengerikan dengan kematian Margono, Dudung maupun Ajat.
Salah satu obor yang menerangi wajah pak Mir ta, jatuh ke tanah.
Berkelip sebentar. Lalu padam. Pagi datang. Dan dari dalam lubang, mereka me ngeluarkan selain golok juga seonggok tulang be lulang.
"Teratai Putih", seseorang berbisik. Matahari tersentak di balik bukit.
TAMAT tamat Makam Tanpa Nisan 2 Pendekar Pulau Neraka 21 Cakar Harimau Jari Malaikat 1
Malam ini pun Ida rupanya ingin melakukannya.
Terbukti ketika Ajat melangkah ke teras, pintu
yang tadinya tertutup mendadak terbuka. Tetapi entah bagaimana caranya, Ida tidak menampakkan diri. Lampu petromak ruang tamu tidak dinyalakan. Hanya ada cahaya temaram lampu dinding di ruang tengah.
Ajat menutup pintu. Menguncinya sekaligus, sementara matanya menatap seisi rumah. Mengapa sunyi benar " Ah-ah. Tidak sesunyi yang ia sangka. Ada suara bergemeretak di dapur. Lalu suara geresak-geresek di para-para. Pertunjukan apa pula yang dipersiapkan Ida untuk menakut-nakuti Ajat " Suara-suara aneh, lalu topeng mainan digambari tengkorak menempel di muka, sambil muncul tiba-tiba dari kegelapan " Sudah dua kali Ida melakukannya. Yang pertama, Ajat memang kaget setengah mati. Yang kedua, Ajat cuma tertawa.
Lantas, mengapa Ida mengulangnya kembali " Mestinya sesuatu yang lain. Pintu kamar dibuka Ajat, dan tahu-tahu menemukan tubuh Ida meng-ambang di permukaan lantai. Tergantung di langit-langit. Pura-pura bunuh diri, tentu. Atau supaya lebih sip, yang tergantung itu boneka buatan se-besar tubuh Ida, mengenakan pakaian tidur yang biasa dipakai Ida. Lalu sementara Ajat terpana, dari belakangnya Ida berteriak nyaring. Dan besok
pagi, tetangga sebelah akan menggerutu : "Permainan apa pula, tadi malam ""
Suara bergemeretak lagi. Keresak-keresek, kali ini tidak di para. Tetapi di laci-laci rak yang tertutup. Lampu dinding tergantung miring di tempatnya. Nyala apinya kecil. Rupanya sumbu sengaja diturunkan, atau memang minyaknya sudah hampir habis. Namun dalam jilatan lampu minyak yang bersinar suram itu, sempat juga ia lihat seekor tikus lagi ngacir ke arah dapur.
"Ini sudah keterlaluan !", Ajat bersungut-sungut.
ia bergegas membuka pintu kamar. Lampu di dalam juga tidak dinyalakan. Samar-samar ia lihat bayangan tubuh terbaring di ranjang, membelakangi pintu. Ajat menggeram, marah : "Apa-apaan kau, Ida " Sengaja memancing tikus-tikus untuk membuatku jijik dan marah " Mengapa tidak ular saja sekalian " Atau hantu gentayangan ""
Tubuh itu menggeliat sedikit. Namun tetap memunggungi.
Ajat mendekat. Lalu menepuk pundak perempuan di ranjang. Ah, dia sudah berhasil pula, pikir Ajat kesal. Jadi Ida ingin permainan yang melelahkan itu. Remas, cakar, jambak, tindih sekuat-kuatnya. "Baik", katanya. "Boleh saja. Aku kebetulan
sedang senang hati hari ini. Tak lama lagi aku akan terima rapel gaji, tahu engga ""
Lalu Ajat menanggalkan pakaian yang melekat di tubuhnya.
Sebelum naik ke tempat tidur, ia berseru : "Ye-aaaan !", lalu sebuah pukulan dengan sisi tangan mendarat di punggung perempuan itu. Tidak telak, namun pasti menyakitkan. Yeaaa ! pukulan kedua dengan kaki. Tetapi sebelum mengenai sasaran, perempuan itu menggeliat menghindar. Sambil lalui menangkap pergelangan kaki Ajat, membuatnya jatuh terhempas di lantai. Untung cuma lantai tanah, kalau tidak, wah. Namun begitu, toh kepala Ajat berdenging-denging dan matanya berkunang-kunang.
"Apa-apaan ini, Ida " Kau yang menyakiti aku. Bukan ""
"Ayolah, sayang. Naik sekarang", terdengar suara merdu, merangsang. "Tidak mau !"
"Tunggu apalagi Jat " Aku - sudah - tak tahan ..."
"Begitu cepat "", Ajat bangkit sempoyongan." Rupanya kau ingin dicambuki ya " Baik. Baik. Sebentar
kuambilkan dulu !" Ajat melangkah ke lemari. Lemari itu tegak
menghadap pintu. Jadi cahaya lampu minyak di ruang tengah, menyinarinya sedikit. Dengan kesal dan birahi yang memang sudah terbangkit, Ajat merenggut daun pintu lemari sekaligus. Tangannya siap menggapai ke dalam, untuk mengambilkan alat yang dimaksud. Tetapi tangan itu seketika terdiam kaku, berhenti setengah jalan.
Setelah terbiasa dengan gelap kamar, dibantu sinar redup lampu minyak dari ruang tengah, Ajat melihat sesosok tubuh perempuan berdiri tegak di sebelah dalam lemari. Sebuah metoda baru dari Ida sempat ia berpikir, sebentar cuma. Karena sosok tubuh di lemari itu, begitu rusak mengerikan. Tubuh hancur tercabik-cabik, gaun tidur penuh bersimbah darah dan sebagian isi perut terburai ke luar. Wajahnya tetap utuh, sehingga Ajat dapat mengenali wajah yang pucat membiru itu, mengenali mata yang melotot lebar dan mulut yang ternganga mengerikan di depan matanya.
"I - Ida !", bisik Ajat, kelu.
Lalu tubuh siapa yang tadi di tempat tidur. Yang mana boneka, yang mana Ida yang sebenarnya " Hanya ada satu Ida. Dan Ida yang sesungguhnya, memang yang tegak di sebelah dalam lemari, dan pelan-pelan mulai doyong ke depan lalu jatuh menerpa tubuh Ajat yang berteriak saking kaget dan
ngeri, ia dapat merasakan dengan tangannya da ging-daging mentah, usus yang basah, kulit yang hancur, dan mencium bau amisnya darah, sebenar-benarnya darah.
Terdengar tawa renyai dari tempat tidur.
"Hebat bukan, Jat ""
Ajat menggelupur, meronta-ronta dan menjauhkan diri dari cengkeraman mayat isterinya, berlari ke pintu dengan semua bulu di tubuh merinding! seram.
Suara itu bergema lagi, tajam menusuk : "Benar-benar hebat. Lebih hebat dari caramu menakut-nakuti aku di perkebunan itu."
Ajat mundur ke ruang tengah, dengan lutut bergemetaran.
Dan bayangan tubuh di ranjang, turun dengan santai dan mengikuti Ajat masuk ke ruang tengah, memperlihatkan tubuhnya yang bugil, bersih dan mulus. Ajat menjilati bibir sejenak, lantas berseru tertahan : "Teratai, kau ...!"
"Hem. Kau mengenaliku seketika, ya " Bagus. Tidak seperti si Gono yang keranjingan perempuan itu. Terlalu banyak yang sudah ia tiduri, sehingga ia lupa padaku. Aku senang mendengarnya, Jat. Jadi kupikir, tak perlu aku menyiksamu berlama-lama. Cukuplah terror yang kau alami setelah melihat
Ida-mu ke luar dari persembunyiannya di dalam lemari, ia mengira kau yang datang, ingin membuat kejutan - Tetapi - sedikit ekstra, tak apa bukan ""
Tikus. Tikus-tikus yang bukan main besar itu, tahu-tahu saja sudah bermunculan mengurung Ajat. Makhluk-makhluk mengerikan itu bergerombol-gerombol di ruang tengah, di kamar tidur, di dapur, di ruang tamu. Bermunculan dari dalam tanah, dari pintu dan jendela yang digerogoti.
Waktu para tetangga berdatangan dengan bersenjatakan apa saja di tangan, sebagian rumah Ajat sudah roboh. Karena amukannya sendiri, dan karena serbuan tikus-tikus itu. Bangkai binatang itu berhamburan di sana sini. Mereka yang berdatangan kemudian lari serabutan ketika gerombolan tikus yang luar biasa banyaknya itu berhamburan untuk meloloskan diri, sambil menggigit dan mencakar ke kiri kanan. Satu dua orang bertahan dengan senjata golok atau pentungan berupa kayu, tangkai sapu bahkan ada yang membawa linggis.
Seekor tikus putih menyelinap lewat pintu belakang.
Tak seorang pun yang melihatnya. Mereka terlalu kaget dan ngeri oleh binatang yang mereka hadapi, juga oleh suasana rumah dan pekarangan mi-
lik Ajat yang porak poranda. Di antara dinding yang rebah, pintu yang terhumbalang dan atap yang beruntuhan, terkapar mati puluhan ekor bangkai tikus. Mayat Ida ditemukan tergencet lemari pakaian yang tumbang. Di ruang depan rumah, hanya tinggal sedikit kulit dan daging yang masih tersisa di mayat yang mereka kenali sebagai Ajat, guru silat terkenal di desa itu.
Hari itu, semua penduduk desa boleh dikata berjuang keras untuk bangun dari mimpi paling buruk yang belum pernah mereka alami.
ENAM LUKA cakar di tubuh petugas-petugas ronda malam yang ketiban sial di tempat mayat Mar gono ditemukan, tidaklah seberapa berbahaya. Luka itu diakibatkan
polah mereka, mencakari tubuh sendiri dalam usaha melawan serbuan daun-daun yang mereka sangka serbuan tikus. Pak Mirta menyerahkan perawatan mereka sepenuhnya kepa da manteri kesehatan Puskesmas.
Beda halnya dengan lima orang laki-laki pemberani, warga desa yang bermaksud menolorg begitu terdengar huru-hara di rumah Ajat. Luka cakar maupun gigitan yang mereka derita, benar-benar akibat serbuan tikus. Kuku serta taring binatang binatang itu tidak saja mengandung racun. Tetapi juga mengandung pengaruh jahat roh yang mengua-
sai tikus tikus itu. Pak Mirta terpaksa menangani sendirian kelima orang korban yang malang itu. ia mengerahkan segenap kemampuannya mengobati mereka satu per satu. Tiap kali menyentuh luka yang seorang, sekujur tubuh pak Mirta panas berapi, seakan terbakar sampai ke ubun-ubun. Dari kepalanya sampai ke luar uap tebal yang membuat orang yang melihat, pada mundur dengan perasaan kuatir. Kemudian ia terkulai, letih sampai ke jiwa-jiwanya.
Kini ia terbaring sendirian di rumah. Sakit.
Nining, salah seorang ponakannya yang datang untuk mengantarkan makan siang yang dimasakkan isteri Dudung, baru saja ia paksa untuk pergi ke sekolah. Jangan ikut-ikutan bolos karena gempar yang melanda desa setelah mayat Ajat dan isterinya dikuburkan pagi hari itu juga. Dudung sempat pula menjaganya sebentar. Mereka berdua bicara panjang lebar. Kemudian Dudung ia suruh pulang, dengan dibekali sebilah golok milik uwa-nya untuk dipakai berjaga jaga apabila terjadi sesuatu.
Dari jendela, menerobos masuk cahaya matahari senja.
Malam tak lama lagi akan jatuh. Tetapi lurah desa itu tidak merasa cemas akan dirinya sendiri, ia sudah memagari sekitar rumahnya dengan ajian
yang ia percaya sangat ampuh melawan serbuan roh jahat, ia hanya mengkuatirkan Dudung dan anak isteri serta keponakannya Nining yang tinggal satu rumah dengan Dudung. Ajian yang sama telah ia taburkan pula di sekitar rumah ponakannya itu. Namun ia belum merasa puas. Diam-diam ia merasa, ada sesuatu yang kurang. Tetapi tidak tahu apa yang kurang itu.
Selagi ia berpikir, pintu diketuk orang dari luar.
Pak Mirta meluncur dari tempat tidur. Berjalan tersuruk-suruk ke ruang depan dan terkejut setelah a membuka pintu.
"Boleh masuk, pak Mirta ""
"Ah. Mayang. Mengapa tidak "", perasaan letih dan sakit di sekujur tubuh pak Mirta, mendadak sontak hilang begitu melihat kehadiran orang yang sudah lama ia impikan. "Tumben, berkunjung. Duduklah ya. Kubuatkan minuman sebentar ..."
"Tak usah repot-repot, pak".
Melihat wajah Mayangsari yang pucat dan sinar matanya yang getir, pak Mirta kemudian duduk dengan perasaan waswas di hadapan perempuan itu. Bertanya lembut : "Aku gembira kau muncul di rumahku. Tetapi biarlah, lupakan saja ke-aku- anku. Lebih baik kita bicara tentang kau, Mayang. Ada sesuatu yang kau takutkan. Benar ""
Mayangsari menatap lurus ke mata tuan rumah
"Kau pernah bilang", katanya, lirih. "Si Teratai sudah kembali".
Dingin sekujur tubuh pak Mirta. Terbayang d matanya kematian Margono. Ajat. Ida. Dan korbar lain yang terluka. Lama, baru ia menjawab : "Ya Kenapa rupanya, Mayang ""
"Katakanlah terus terang. Seperti apa wujut anakku, pak Mirta ""
"Mayang. Sudah kukatakan aku tidak ingin ..."
"Hatiku tidak saja terluka, pak Mirta. Tak usah mencemaskannya. Hatiku kukira malah sudah mu lai membusuk. Membusuk oleh hasrat menggebu karena ingin tahu siapa pembunuh ayah dan anak ku, dan di mana jasad anakku terkubur. Mungkin pula sudah bernanah, oleh keinginan untuk menyaksikan mereka itu mati. Biar bukan oleh ta nganku sendiri".
"Mayang !", jantung pak Mirta berdetak. Apa yang diucapkan perempuan itu, sudah lama ia duga akan terlontar juga. Namun ketika sekarang akhirnya ucapan itu terlontar, pak Mirta benar-benar terpukul. Sangat terpukul. Semakin sirna harapannya untuk dapat melamar Mayangsari jadi isteri-nya.
"Kau terkejut bukan, pak ""
"Aku ..." "Karena itu, lupakanlah perasaanku pula. Mari kita berbicara mengenai apa yang semestinya harus kita bicarakan Mayangsari menelan ludah, wa jahnya tampak keruh. "Tadi aku ke warung. Biasa, belanja kebutuhan dapur. Biasanya mereka m
emperlakukan aku dengan kasar. Mereka membenciku, tetapi mereka tidak mungkin membenci uangku. Dan tadi ... Mereka tidak lagi berlaku kasar. Mereka sangat ramah. Malah tampak ketakutan ..."
"Mengapa ""
"Mana aku tahu. Aku sendiri heran. Tidak tahu apa maksud permintaan mereka."
"Ha ! Apa pula yang mereka minta padamu, Mayang ""
"Supaya aku mau turun tangan".
"Terhadap "' "Roh jahat yang kata mereka bergentayangan di desa kita. Roh jahat yang kata mereka muncul berupa gerombolan tikus yang datang dari segala arah, menghancurkan, membunuh dengan keji, disertai kekuatan sihir !"
"Astaga !", pak Mirta terkejut. "Kurang ajar. Lancang benar mereka mengatakan !"
"Apa salahnya, pak " Aku telah lama jadi kambing hitam. Sekarang mungkin lebih hina lagi :
kambing congek. Dan kambing congek inilah yarg mereka harapkan dapat menolong mereka lepas da-ri kesulitan yang membuat mereka semua tidak dapat tidur Mayangsari terpejam, kecewa dan marah. Namun masih juga ia mampu tersenyum ke-tika ia melanjutkan : "Tahu, pak Mirta " Mereka bilang, aku telah mempergunakan kekuatan sihir untuk memaksa semua tikus keluar dari lubangnya, dan memaksa orang-orang yang malang mencakari diri sendiri..."
"Itu sudah keterlaluan !", pak Mirta terlonjak
dari kursinya. "Aku akan mendatangi mereka.
Memperingatkan supaya lain kali tidak berlaku
sembrono, apalagi tanpa seijin dan sepengetahuan-
ku. Aku ..." "Mereka menyebut-nyebut Teratai Putih, pak Mirta", potong Mayangsari, tenang. Lurah desa itu terengah.
Lantas kembali duduk. Terhenyak. Berkeringat.
Katanya : " ... aku hanya ingin menolongmu. Mayang. Meringankan beban penderitaanmu. Tak kubiarkan mereka mengganggumu, menolak uangmu apalagi menjamah keselamatan jiwamu. Kau tahu mengapa, bukan ""
"Aku tahu, pak Mirta", mata Mayangsari sesaat bersinar, lantas redup lagi dalam sekejap. "Karena
itu, mengapa tanggung-tanggung menolong " Kepalang basah !"
Pak Mirta bangkit, berjalan mundar-mandir. Semua yang terjadi hari-hari belakangan ini, bahkan di tahun-tahun yang telah lama silam, membuatnya resah gelisah. Kemudian ia memutuskan: Baiklah. Akan kuberitahu padamu. Kuharap kau tidak semakin terluka, setelah mengetahui bagaimana perwujudan anakmu ketika kembali setelah sekian tahun menghilang. Namun sebelumnya, bicaralah terus terang. Kau tentunya datang menemuiku, karena kau punya alasan yang kuat".
"Ya". "Apa itu ""
"Kolam tempat bermain anakku. Banyak teratai yang telah disingkirkan. Yang merah, yang biru, yang kuning, yang Jingga. Pokoknya yang berwarna apa saja, kecuali yang berwarna putih. Hanya anakku yang pernah melakukan hal serupa itu. Ke tika ia masih hidup. Dan - setelah ia datang dalam mimpiku".
"ia apa ""
"Datang dalam mimpiku". "Jadi, kau tentu sudah tahu perwujutannya". "Cuma mimpi. Tetapi Margono, Ajat dan Ida bukan mimpi belaka. Begitu pula teratai teratai
yang ditemukan tergenggam di tangan mereka masing-masing. Pemilik warung yang menceritakan Aneh, bukan " Ada yang memetik kuntum-kuntum teratai yang masih baru dari kolam bermain anakku. Lalu kuntum-kuntum teratai itu ditemukan sudah tergenggam di tangan orang lain. Tangan mayat-mayat itu".
"Mungkin mereka sendiri yang mencurinya"
"Tak usah mengelak lagi, pak Mirta", keluh Mayangsari, tak sabar. "Kau pun tahu sudah sekian tahun lamanya tidak seorang pun berani mendekati rumahku malam-malam. Kata mereka, takut terke na kutuk. Ya Tuhan, aku tidak menyalahkan ayahku pernah jadi pertapa sehingga kami tertimpa kutuk. Aku hanya menyalahkan diriku sendiri mengapa membiarkan ia menurunkan ilmunya ke pada anakku, sehingga kutuk itu terus berkepan jangan kelopak mata Mayangsari berlinang bu tir-butir air bening. Katanya, terdesu-sedan : "Kini dia ... kembali. Bangkit ... dari kuburnya. Kau sen diri yang pernah mengatakan. Jadi, ceritakanlah pak Mirta. Apakah anakku terdapat di antara salah seekor tikus-tikus itu ""
Terhenyak lagi lurah desa, hilang akal.
"Bodoh", makinya.
"Ya pak ""
"Bodoh. Aku bodoh, menceritakan itu padamu. Hanya karena ... karena aku ingin menolak bala ... ", ia kemudian mengangkat muka. Berkata tegar: "Ya. Anakmu terdapat di antar
a tikus-tikus itu. Namun aku belum pasti benar. Seperti apa rupanya. Seperti tikus, atau seperti apa ia dulu adanya. Ini baru dugaanku saja : anakmu tampil dalam wu-jut kedua-duanya ..."
Dari menangis, Mayangsari malah tersenyum. "Syukurlah. Jadi aku tidak lagi bertanya-tanya".
"Aneh. Kau kok tampak gembira", tanya pak Mirta, heran.
"Aku tidak gembira. Aku cuma pasrah".
"Dan membiarkan korban mungkin akan jatuh lebih banyak ""
"Apa maksud pak Mirta "", balas Mayangsari bertanya.
"Kau pula yang sekarang menghindar", keluh pak Mirta, kecewa, ia sapu wajah dengan telapak tangan, seolah ingin membuang jauh-jauh perasaan enggan untuk berterus terang. Lalu : "Aku sudah lima puluh tahun lebih sekarang ini. Mayang. Sedang kau masih muda. Hanya karena menyiksa diri, kau tampak lebih tua. Puluhan tahun aku membujang. Belasan tahun pula kau tetap hidup menjanda. Kukira - kau pun sudah lama tahu apa yang
tersimpan di sanubariku", lurah menatap tamunya, sungkan. Kemudian tersenyum. Lanjutnya : "Aku tak akan mengutarakan kalimat yang selalu diutara-kan orang-orang yang jauh lebih muda dari kita, Mayang. Aku hanya ingin memberitahumu menge-nai ini : kau dan aku hidup sendirian. Tak lama lagi kita pun akan menyusul orang-orang yang telah le-bih dahulu pergi dari kita. Nah ...", pak Mirta me-nelan ludah. Puas, telah mampu mengungkapkan apa yang selama ini tidak berani ia ungkapkan. Maka, ia melancarkan serangan terakhir: "Mengapa kita tidak menjalaninya bersama sama" Supaya kelak, bila salah seorang mendahului yang lain, ada yang mendampingi di saat-saat terakhir""
Wajah Mayangsari bersemu merah.
ia tersenyum. Tetapi mulutnya tetap bungkam.
"Kita sudah sama-sama lanjut usia, Mayang", kata pak Mirta, sabar. "Jadi bukan masanya lagi mengutarakan sesuatu dengan lambang. Ucapkan-lah, dengan kata-kata", dan dalam hati, andai ma-sih muda kalimat itu akan berbunyi : katakanlah, dengan bunga.
Bunga ! Dan bunga yang ada, ternyata begitu menakut-kan : teratai putih.
Pak Mirta tercenung lagi. Menanti, penuh harap. Sampai akhirnya Mayangsari membuka mulut : Bukannya tidak mau, pak Mirta. Tetapi ..."
"Jadi kau tidak mau !", tukas pak Mirta, menge luh. Meski sudah tua, toh hatinya hancur luluh. Pecah, berkeping-keping.
"Dengarkan dulu", Mayangsari membujuk. 'Aku pernah menyukaimu ... Hanya sayang, dulu kau terlambat melamarku".
Wajah pak Mirta berseri-seri kembali. Katanya, bernafsu : "Tidak ada istilah terlambat untuk melangsungkan niat terpuji, Mayang !"
"Justru itulah sebabnya", wajah Mayangsari kembali murung. "Sekali terlambat, tetap saja terlambat. Aku tahu, kau kemudian kecewa dan mulai bertingkah yang tidak disenangi keluargaku. Ayahku kemudian marah karena kau memperdalam ilmu sesat ... jangan tersinggung, pak Mirta. Memang itulah yang terjadi di masa lampau, bukan " Beberapa dari pasien ayahku, diam-diam kau temui. Diam-diam pula kau pergunakan pengaruhmu supaya mereka menyetujui cara pengobatan yang kau lakukan. Kau sengaja membangkit-bangkit siapa musuh-musuh mereka, lalu dengan bantuanmu, mereka mencelakakan musuh-musuh itu. Dan ayahku yang disalahkan".
"Kau pun masih tetap marah padaku", pak Mir ta merajuk.
"Tidak. Dari dulu aku tidak marah. Karena aku sadar, semua itu kau lakukan karena hati yang pa tah. Karena aku menerima lamaran suamiku, mes ki tahu diam-diam kau juga mencintaiku."
"Aku tak melihat perbedaannya, Mayang".
"Tidak " Lupakah kau ayahku sedemikian ma rah sehingga tidak mau lagi mengakuimu jadi mu ridnya " Dan kemudian bersumpah, keturunannya tidak ia relakan dipersuami atau diperisteri oleh keturunanmu. Maka, setelah suamiku meninggal pernah aku berpikir untuk menerima lamaranmu kapan saja kau datang menemuiku. Tahun demi tahun kulalui dengan menyakitkan, pak Mirta Kuingin kita bersatu, sebaliknya kubenci diriku sendiri dan terpaksa berjanji untuk tetap mengabdi pada ayahku. Kau lihat sekarang perbedaannya! bukan ""
Lurah gemetar. Menggigil hebat. Kursi yang ia duduki sampai terguncang. Lalu, getaran tubuhnya perlahan mere da. Wajahnya yang pucat pasi, kembali memerah Tegar, ia mengeluh, pasrah : "Sudah kubilang. Aku ini
bodoh !" "Boleh aku pergi sekarang "", suara Mayangsari
terdengar enggan. Jarang ia bercakap-cakap dengan orang lain selama ini, dan lebih-lebih lagi dengan orang yang pernah sangat ia sukai, meski tidak sangat ia cintai.
Pak Mirta terkejut. "Tunggu", cegahnya.
Mayangsari duduk diam. Menunggu.
"Baiklah. Aku tidak ingin kau melanggar sumpah ayahmu. Sebaliknya, aku sekarang mendesakmu, bukan semata-mata karena hasrat bathin dan jasmani sebagai laki-laki ..."
"Tak usah ragu. Katakanlah".
"Telah banyak korban yang jatuh. Mungkin akan jatuh lagi yang lain. Karena itu, mengapa kau tidak mau berkorban barang sedikit " Marilah kita berharap, roh ayahmu bersedia menarik sumpahnya, karena tahu kau ingin melakukan sesuatu yang terpuji".
"Aku mengerti", desah Mayangsari, getir. "Kita tetap menikah. Karena itulah salah satu saratnya. Aku tidak mewarisi ilmu yang dimiliki ayahku. Namun aku mewarisi darahnya. Darah turunannya. Yang kalau disatukan dengan darah orang yang juga punya ilmu, apalagi ilmu yang pernah diajarkan ayahku, maka akan tercipta kekuatan dahsyat untuk menggempur kedurjaan roh roh jahat..."
"Syukur, kau memahami", pak Mirta terse-
nyum. Mayangsari tidak tersenyum. Hambar, ia berkata : "Sayangnya, kau lupa orang yang akan digempur itu, anakku sendiri !"
Senyum pak Mirta, sirna seketika.
"Aku bukan manusia yang sempurna, pak Mirta. Betapa sukar untuk hidup sebagai perempuan suci. Apalagi di tengah lingkungan masyarakat yang mengucilkannya, memperhinakannya Mayangsari bergidik. " Jadi, sebagai manusia yang tidak sempurna, akupun tidak pernah lepas dari keinginan terkutuk itu, pak Mirta. Keinginan untuk mengetahui siapa-siapa pembunuh anak dan ayahku. Keinginan untuk menyaksikan dengan mata kepala sendiri, bagaimana mereka kemudian mati tersiksa, untuk menebus dosa-dosanya". Seketika, meluaplah kemarahan tuan rumah.
"Kau tega ! Membiarkan mayat-mayat terus bergelimpangan !"
"Tebusan dosa", sahut Mayangsari, angkat pun-dak lalu bangkit dari tempat duduknya. Berjalan ke pintu. "Sekarang aku tahu, si Margono dan si Ajat terlibat. Siapa, berikutnya, aku sudah tak sabar menanti".
Mayangsari kemudian pergi.
Tanpa pamit. Meninggalkan pak Mirta tegak termangu mangu, gundah. Gelisah. Berpikir ketakutan : "Tahukah dia " Tahukah dia ""
ia jatuh terduduk. Mengeluh : "Tidak. Tidak mungkin".
Mengapa tidak mungkin " Taruhlah tidak ada yang membuka mulut. Tetapi Mayangsari bagaimanapun keturunan seorang guru ilmu kebathinan. Dan sebagai perempuan yang lama hidup menyendiri dengan pikiran-pikiran serta lamunannya, Mayangsari punya naluri. Dan nalurinya itu telah lama membisikkan ke telinga Mayangsari, bahwa Mirta terlibat.
Ya. ia telah terlibat. Dalam, sangat dalam malah. Membantu anak-anak muda itu membunuh ayah Mayangsari, membiarkan mereka menggagahi pu-terinya yang mayatnya dibuang entah ke mana. Lebih dalam lagi ia terlibat. Membantu pasien-pasien ayah Mayangsari melampiaskan iri hati dengan mengirim ilmu hitam ke musuh-musuh mereka. Dia tidak pernah tahu, salah seorang musuh pasien itu justru adiknya sendiri, ayah si Dudung. ia baru tahu, setelah segala sesuatunya terlambat. Kalau ilmu hitam yang ia kirim ke tubuh adiknya ia tarik kembali, maka ilmu itu akan berubah jadi senjata makan tuan.
Mirta telah membunuh adik kandungnya sendiri.
ia telah membunuh ayah Mayangsari. Secara' tak langsung ia ikut pula membunuh orang lain nya : si Teratai. Margono. Ajat. Ida. Dan mungkin pula Dudung serta anak isterinya.
"Aku harus menemui si Dudung !", jeritnya dalam hati, ketakutan.
Tetapi baru saja ia mau bangkit, tubuhnya sudah limbung. Jatuh ke lantai. Semua siksaan yang terjadi ketika ia mengobati warga desanya akibat serbuan tikus-tikus berkekuatan gaib itu, kembali muncul. Semakin parah. Semakin menyakitkan. Karena kini ditambah pula oleh kenyataan: Ma-yangsari menolak lamarannya !
Sekujur tubuhnya panas lagi.
Membara seperti semula. Kulit bagai melepuh, tulang bagai merapuh. Dengan susah payah, ia kemudian merangkak ke kamarnya. Naik ke tem-pat tidur. Kemudian rebah dengan jasmani yang lu-luh lantak.
"Aku harus memusatkan pikiran", gumamn
ya. Lalu ia membuang segala sesuatu dari benaknya. Dari hatinya. Dari jiwanya. Benak, hati dan jiwa itu harus bening, jernih. Mungkin bercampur hitamnya jelaga, karena dosa-dosanya di masa lalu. Tetapi,
benak, hati dan jiwa itu harus kosong. Hampa. Supaya pengaruh jahat itu hilang.
Dengan begitu, kekuatannya akan pulih.
Dan ia kembali siap. EPISODE 3 TUJUH SUDAH lewat tengah malam, Dudung tak juga bisa tertidur, ia berbaring dengan gelisah. Meskipun udara malam itu dingin sekali, sekujur tubuhnya ia rasakan banjir peluh. Bebunyian ceng-kerik dan pungguk menyambut renyai-renyai hujan di luar, benar-benar mendatangkan perasaan tidak enak. Biarpun bebunyian itu sudah merupakan musik abadi di desa mereka malah seperti peninabobo yang mengasyikkan bila malam mulai turut menyapu bumi.
"Tak usah dipikirkan, Dung !", ia ingat pesan uwanya beberapa hari yang lalu. "Aku sudah me-manterai seluruh rumahmu. Yang pokok, jangan kau keluar sendirian dari rumah".
Dudung percaya pada ucapan uwanya bahwa ru-
mah mereka akan aman dari gangguan Teratai Putih. Tetapi mengapa ketika berkata-kata itu, sang uwa kelihatan pucat dan suaranya gemetar " Mata pak Mirta membayangkan rasa cemas. Seolah-olah bukan ditujukan pada Dudung seorang.
Diam-diam, Dudung merasa khawatir kalau uwanya itu juga dihinggapi perasaan waswas. Setidak-tidaknya karena ia turut campur dalam usaha pembunuhan kakek Teratai Putih, dan uwanya itulah yang paling getol menuduh kakek Teratai Putih sebagai tukang teluh.
"Krontang ... !!"
Dudung tercekat bangkit dari baringannya. Dengan wajah pucat ia diam mendengarkan. Tetapi suara berisik dari arah dapur itu tak terdengar lagi. ia menghela nafas. "Mengapa aku begitu takut "", tanyanya dalam hati. "Uwa telah memberikan mantera-mantera. Teratai Putih tak akan berani. Ya, hantu penasaran itu tidak akan berani menggangguku".
Selintas teringat olehnya cara kematian Ajat dan isterinya.
Lalu dengan takut takut ia coba berbaring kembali.
"Krrraaaak !" Terpentang lebar mata Dudung. Keringat mem-
basahi jidatnya. "Krrraaaak, ciuttt... byeaaarrrr... !"
Jendela ! Itu suara jendela dibukakan orang, su ngut Dudung dalam hati. Teratai Putihkah itu atau ... hai. Itu mungkin si pencuri yang beberapa bulan terakhir suka menggerayangi ternak dan rumah penduduk. Pasti ! Pasti ! Pencuri itu tengah mencongkel jendela !"
"Awas kau !", bisik Dudung dengan muka tegang. Kemudian ia meluncur turun dari ranjang. Diam-diam, tanpa menimbulkan suara. Sekilas ia menoleh pada Mira, isterinya. Perempuan itu lelap sekali tidurnya. Sepanjang hari tadi ia demikian capek mengatur pekerjaan dan makan penduduk yang membantu menanam bibit baru di sawah-sawah mereka. Ah, biarlah ia tak usah diganggu, pikir Dudung.
Lalu ia mengenakan piyama yang ia gantungkan pada paku di dinding kamar sebelum naik ke atas ranjang bersama Mira. Dari dekat gantungan pakai an itu ia sambar sebuah golok. Gagang golok itu terbuat dari akar rotan, berukir naga. Golok itu senjata keramat pemberian pak Mirta. Terngiang kata-kata uwanya itu beberapa hari yang lalu :
"Kalaupun misalnya Teratai berhasil menjebol rumahmu, tunjukkan parang ini ke mukanya.
Ingat, tikus paling takut pada ular !"
"Hem", sungut Dudung perlahan. "Tidak ke Teratai, apa salahnya kupergunakan golok ini menghadapi pencuri itu. Biar dia kapok !".
ia membuka pintu kamar dengan hati-hati. Ruangan tengah rumahnya gelap. Memang Nining sudah mematikan lampu sebelum naik tidur. Hanya ada sedikit cahaya lembut dari bawah pintu kamar anak-anak mereka. Dudung membiasakan matanya dalam gelap. Kemudian berjingkat ke pintu kamar anak-anak itu, karena jendela-jendela ruangan tengah tampaknya tidak diganggu. Dengan mendorongnya sedikit, pintu kamar terbuka. Dodo, anak mereka yang berumur tiga tahun tampak mering kuk memeluk bantal guling, sementara adiknya Lina yang setahun lebih muda, celentang dengan mulut terbuka. Dudung kurang tau siapa di antara dua anak itu yang sedang mendengkur dengari kerasnya.
"Mungkin Lina salah tidur", pikirnya seraya tersenyum dan menutupkan pintu kamar kembali Lalu ia berjingkat-jingkat ke kamar makan. Lam
pu teplok di sana masih menyala. Tetapi kelap kelip nya telah semakin kecil. Ah, ia lupa mengisikan minyak tanah tadi sore untuk lampu itu. Diintip nya lewat kain tirai.
Pintu kamar makan menuju dapur tertutup rapat. Juga jendela samping. Dengan hati-hati, ia melangkah mendekati jendela itu. Merabanya. Terkunci. Dari situ ia menuju pintu ke arah dapur. Mungkin pencuri itu masuk dari sana. Sebab tadi ada bunyi kerontang, entah tersepak kuali siorang sial itu.
Tanpa menimbulkan bunyi, ia buka pintu dapur. Gelap. Gelap sekali. Tetapi ia segera terbiasa dengan bayangan gelap itu. Golok di pinggang ia pegang gagangnya, ia elus-elus, kemudian dicengkam dengan kuat. Siap untuk sesewaktu ia layangkan, kalau si pencuri bermaksud menyerang. Tetapi tidak ada gerakan di dapur. Juga tidak ada bayangan yang mencurigakan. Tak ada suara-suara. Kecuali cengkerik dan pungguh di luar rumah yang tiba-tiba menghentikan nyanyian-nyanyian mereka. Diganti oleh desah nafasnya sendiri yang kencang.
"Bau apa itu "", ia berbisik. Dilebarkannya lubang hidung. "Bau wangi", bisiknya, ia berjingkat-jingkat ke tengah dapur. "Bukan. Bukan di sini. Tetapi di kamar mandi".
Dudung menjadi penasaran. Dengan sekali sentak, pintu kamar mandi terbuka. Bau wewangian itu menerobos keluar lebih semerbak. Lalu muncul bayangan putih. Mula-mula seperti asap. Datang-
nya dari arah lubang pembuangan air. Asap memutih itu kian banyak dan banyak, perlahan-lahan membentuk sebuah wujud sementara Dudung berdiri dengan tubuh kaku dan gemetar saking terke jut dan takut. Rasa terkejut dan takut itu tiba-tiba sekali menyerang dirinya sehingga ia tidak kuasa untuk bergerak, bahkan untuk mengatupkan mulutnya yang menganga ataupun matanya yang ter-pelotot memperhatikan keajaiban yang terjadi di dekatnya.
Hanya dalam sekejap, bayangan putih itu telah membentuk wujud seorang manusia berjenis perempuan. Wajahnya cantik dan menawan, rambut-nya panjang tergerai sampai di pinggul, dan pakaian tipisnya seperti terbuat dari sutera putih tanpa jahitan, yang menyelubungi seluruh tubuh sampai ke lantai, sehingga kakinya pun tidak tampak.
" ... heran, Dung "".
Suara itu seperti dari jauh. Sayup-sayup sampai.
"He, Dudung !", ulang suara itu lebih keras.
Napas Dudung terlempar keluar. Keringat dingin telah membanjiri tubuhnya. Tangannya yang memegang bendul pintu kakus, ingin ia lepaskan untuk bisa menyambar golok di pinggang. Tetapi aneh, seluruh tubuh dan persendiannya seperti lumpuh.
"Siapa ... kau "", bisiknya dengan gemetar. "Ah, masa lupa ... "" "Siapa ""
"Yang dulu. Yang di dalam dangau. Bukankah kau yang pertama-tama meniduri aku, sebelum temanmu Margono ""
Rasakan copot jantung Dudung.
"Tid ... daakkk!".
"Tidak apanya "".
"Kau bukan si ... si Teratai".
"Lalu siapa " Tidak ingatkah kau bahwa setelah kalian perkosa dan cekik leherku, jasadku kemudian menghilang " Sekarang, inilah aku.
Inilah aku. Tak usah kau tau, ini jasad atau rohku, bukan " Tetapi aku kini lebih cantik Dung. Lebih mempesona. Lebih menggairahkan. Maafkan, bukan aku memuji diri sendiri. Tetapi karena aku ingin kau rayu. Bertahun-tahun aku menginginkan agar kau kembali meniduriku. Terserah padamu. Secara kasar seperti dulu, ataukah dengan lembut seperti yang kau lakukan pada isterimu Ina itu Teratai Putih tersenyum.
Begitulah. Dengan tiba-tiba sekali, perasaan Dudung tergoncang. Rasa takut dan ta'jubnya lenyap dengan mendadak, ia tidak mengerti mengapa, tetapi kemudian ia malah tidak perduli. ia kini dapat
berdiri tenang, mencoba memperlihatkan kejantanannya sebagai laki-laki. Dan memang, kelelakian-nya telah tergoncang begitu melihat keseluruhan wujud dan tantangan yang mesra dari perempuan yang cantik jelita itu.
" ... bagaimana kau masuk ke sini "", tanyanya lebih berani.
"Ah, gampang". "Tetapi ... uwa telah meludahi seluruh penjuru rumah".
Teratai Putih tertawa, ia mengelus pipi Dudung, sehingga jantung lelaki itu berdegup tidak teratur. "Ah. Uwa-mu lupa meludahi lubang air ini".
Sesaat, Dudung teringat pada golok di pinggangnya.
"Jangan !", sungut si perempuan. "Jangan sentuh itu. Kau tak memerlukan golok itu untuk
bisa meniduriku, bukan ""
Dengan lemah, Dudung mengangguk. Tatapan mata perempuan itu benar-benar membuatnya tidak berdaya untuk membantah. Golok itu ia cabut, lalu ia lemparkan persis jatuh ke dekat mulut lubang air itu. Dudung tersenyum tipis. Katanya: "Kau tak akan bisa pergi lagi, Teratai Putih. Lubang tempatmu muncul telah tertutup".
Teratai Putih balas tersenyum." ... aku akan per-
gi dari mana dan kapan saja aku suka, Dung. Sekali wujudku telah berubah, maka tidak ada kekuatan apapun yang bisa melawanku. Juga tidak semburan ludah uwamu yang menjijikkan itu. Dari lubang itu aku masuk berbentuk tikus, dan di depanmu aku kini muncul sebagai manusia
Tercekat kerongkongan Dudung. "Tetapi ... tetapi ia berkata dengan gagap.
"Mengapa tak kau rayu aku, Dung " Mengapa"", si perempuan menyeringai.
Sekilas, Dudung menangkap bayangan gigi-gigi taring Teratai Putih. Panjang dan runcing-runcing. Semakin lebar Teratai Putih menyeringai, semakin panjang serta semakin runcing gigi taringnya.
"Mengapa, Dung " Atau ... kau mau memperko-saku "", sungut Teratai Putih, kemudian ia tertawa. Mengekeh. Mengekeh dan mengekeh, semakin lama semakin lebar sehingga tampaklah lidahnya yang merah bagaikan darah. Darah Dudung berhenti mengalir. Seluruh tubuhnya kembali kaku dan lumpuh. Hanya mulutnya yang bergerak-gerak mengeluarkan kata-kata menceracau ...
"Tidak ... ttitidak ... tidak !".
"Ayolah !", maki si perempuan. Kini wajahnya berubah ganas. Matanya bersinar-sinar. "Ayolah. Lakukan seperti apa yang kau lakukan dulu pada
diriku. Lakukan ! Lakukan ! Mana keberanian-mu ""
Lalu perempuan itu menjambak kerah baju Dudung. Laki-laki itu terkesiap. Tenaganya tiba-tiba muncul, ia mulai meronta. Tetapi dengan ganas, Teratai Putih menyobek-nyobek seluruh baju yang dipakai Dudung, mencabik-cabiknya dengan kuku dan gigi taring. Dudung mencoba berteriak meminta tolong, tetapi tenggorokannya bagaikan tersumbat. Licinnya lantai kamar mandi menyebabkan tubuhnya goyah. Tiba-tiba ia jatuh terjerembab, diikuti oleh si perempuan.
Bunyi tubuh Dudung bergedebuk keras, sementara tubuh si perempuan yang ikut jatuh tidak menimbulkan suara apa-apa. Dengan mata melotot ketakutan, Dudung memperhatikan Teratai Putih yang mendekatkan wajahnya ke wajah Dudung. Perempuan itu mulai mencium seluruh wajah Dudung, tetapi si lelaki sudah demikian ketakutan sehingga tidak terangsang sama sekali. Lebih-lebih ketika tenggorokannya mulai dijelajahi oleh lidah Teratai Putih, ia mencoba memekik, tetapi taring-taring yang runcing telah menghunjam dalam, dalam sekali.
"Aaaaaaaaghhhhhhkkkkkk !", barulah Dudung bisa menjerit. Kedua kakinya meronta-ronta, menendang-nendang ke sana ke mari menimbulkan
bunyi ribut-ribut karena menyambar daun pintu kamar mandi yang terbuat dari seng. Dengan mata terbeliak, Dudung melihat bagaimana wujud perempuan itu berubah jadi bulat memanjang menggembung di tengah dan ... tangannya yang tadi meraba lengan berselaput kain sutera, seakan-akan memegang kaki-kaki kurus yang berbulu ...
Dudung memekik lebih keras dengan sisa-sisa suaranya. Dan dari dalam rumah terdengar bunyi ribut, lalu pekikan perempuan memanggil-manggil nama Dudung, langkah-langkah berlari dan ketika tiba di ambang pintu kamar mandi, perempuan itu mengeluarkan jerit lengking mengerikan.
SUARA jeritan di belakangnya, membuat tikus putih besar yang sedang menggerogoti bagian tubuh Dudung yang paling vital itu, terdongak, ia kemudian meloncat. Demikian cepat dan tepat. Dalam satu loncatan saja, tikus putih yang besar mengerikan itu telah hinggap pada Mira. Satu cakaran telah cukup membuat Mira jatuh lunglai, pingsan karena kaget, sekalipun lukanya berupa goresan kecil saja.
Tikus putih itu meloncat dari Mira, menjauh dengan tenang, ia berdiri di atas kedua kaki belakangnya. Lehernya mengembung, kemudian cicitnya yang keras dan nyaring menggema di kamar mandi dan seluruh rumah. Dari loteng, dari lemari, dari dapur, dari tiap sudut bermunculan tikus-tikus biasa berwarna hitam legam. Mereka semua berkumpul di ambang pintu kamar mandi. Tikus-tikus itulah yang menimbulkan bunyi ribut di dapur ru
mah Dudung, dan tikus-tikus itulah yang kemudian dengan diam dan patuh mendengarkan cicit tikus putih yang besar di hadapan mereka.
Dudung yang masih berjuang untuk dapat tetap hidup, melihat dengan mata terbeliak bagaimana tikus-tikus itu kemudian beramai-ramai menuju lubang kakus. Tikus-tikus itu kemudian perlahan-lahan menggotong golok yang tadi terlempar.
Sedikit demi sedikit, golok itu ditarik ke luar, kemudian mereka seret beramai-ramai dan saling berebut, sehingga hanya tampak sekilas ujung golok yang berbuat dari besi campuran baja. Tikus-tikus itu menarik golok itu terus ke dapur, dan satu cicitan yang keras dan nyaring menimbulkan bunyi riuh lagi di dapur. Bunyi barang-barang bertubruk, bunyi cicit tikus saling bersahut-sahutan, dan kemudian tiada bunyi apa-apa lagi. Semua sepi, sepi dan sepi....
Tersentak jantung Dudung ketika sebuah benda hinggap di dadanya. Tak lain dari tikus putih itu. Dudung coba menggerakkan tangan untuk menghantam, tetapi sang tikus cuma menyeringai. Dudung benar-benar kehilangan tenaga, dan hanya bisa melihat bagaimana tikus itu berubah wujud perlahan-lahan menjadi Teratai Putih kembali. Teratai duduk bersimpuh di dekat kepala Dudung.
" ... aku tahu kau masih hidup", bisik Teratai Putih di telinga Dudung. "Tapi kau akan segera mati. Mati, setelah kau sampaikan pesanku pada uwa-mu. Si Mirta terkutuk itu !"
Dudung tak bisa berkata-kata.
"Bilang pada uwa mu, padanya supaya datang ke perkebunan. Ada longsor di sana dan ... Ah, sudah-
lah! kutunggu dia di malam bulan purnama. kalau
uwa-mu tak memenuhi permintaanku, itu tandanya ia pengecut. Dan aku akan mengerahkan seluruh tikus tikus yang ada di daerah ini untuk menyebar hama penyakit dan memusnahkan padi dan tanaman apa saja yang bisa dimakan penduduk !"
Sehabis berkata demikian. Teratai Putih tersenyum. Lembut dan manis sekali. Wujudnya yang menakutkan tidak terlihat sedikitpun. ia tampak demikian cantik; mempesona dan menyenangkan hati. Tangannya yang halus bergerak ke belakang kepalanya. Ketika turun kembali, telah menggenggam beberapa kuntum bunga teratai berwarna putih. Kuntum bunga itu ia genggamkan pada telapak tangan Dudung. Lalu, ia tersenyum kembali. Manis dan mempesona.
"Hanya inilah yang bisa kuberikan sebagai tanda dariku", bisiknya dengan lembut. Kemudian perlahan-lahan ia menghilang, meninggalkan asap-asap putih yang menggulung ke arah lubang pembuang an air.
Di saat berikutnya terdengar suara tikus menci-cit nyaring, lalu kecipak air di dalam lubang yang semakin lama semakin menjauh. Setelah itu sepi. Sepi sekali. Dan bunyi cengkerik dan pungguk di luar sana, perlahan-lahan kembali menggema me-musiki kesenyapan subuh. Makin lama makin ra-
mai. Kokok ayam pun ikut memeriahkan suasana, lalu matahari pagi yang kemudian muncul menyi nari bumi... .
Dudung merayap ke pintu. DELAPAN SEPANJANG malam Mayangsari tidak tidur, ia hanya duduk di sebuah kursi. Matanya tidak mau mengantuk. Tidak pula ada kemau-annya untuk berbaring, ia lebih suka berjaga, sambil menunggu. Siapa tahu Teratai Putih muncul lagi, dan bukan hanya sekedar dalam mimpi, ia ingin melihat anaknya. Memeluk dan menciuminya dengan penuh kasih sayang, apapun bentuk perwujudannya.
ia juga akan bertanya kepada anaknya : siapa korban berikut " Supaya aku ikut menyaksikan ! Setelah aku tahu, barulah aku puas. Lalu aku rela menyusulmu. Menyusul ayahmu. Menyusul kakekmu. Lalu kita akan berkumpul lagi seperti biasa. Akan kita cari suatu tempat, di mana lebih ba-
nyak teratai dan aku akan menyingkirkanan bunga-bunga yang warnanya tidak kau sukai.
Untuk itulah selama ini Mayangsari mampu ber tahan supaya tetap hidup, ia ingin melihat siapa siapa mereka itu. Ingin menyaksikan, mereka me nebus dosa. Tetapi malam ini, setelah ia berbincang-bincang panjang lebar dengan pak Mirta, timbul kebimbangan dalam hati Mayangsari. Benar, ia tidak mampu jadi perempuan suci. ia bukan seorang manusia yang sempurna, ia juga tak lepas dari dosa.
"Kau tega ! Membiarkan mayat-mayat terus bergelimpangan !"
Terngiang ucapan pak Mirta.
Misteri Putri Peneluh Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Itu juga adalah dosa. Membiarkan korban jatuh semakin banyak. T
erhadap pembunuh-pembunuh anaknya, ia tidak begitu acuh. Tetapi mereka yang lain, yang Mayangsari yakin tidak ikut terlibat toh akhirnya terpaksa jatuh jadi korban. Ida. Dan beberapa orang lain yang luka luka. Salah seorang ia dengan gagal diobati pak Mirta, dan mungkin malam ini sudah menghembuskan nafas. Padahal orang itu punya sembilan anak yang masih membutuhkan kasih sayang, tiga di antaranya masih terlalu kecil untuk dapat memahami apa itu dosa.
Tetapi menyatukan darah dan bathin dengan
pak Mirta, wahai. Ayah Mayangsari pasti menggeliat resah di kuburnya.
Terngiang lagi ucapan laki-laki itu : "Kita harap saja roh ayahmu bersedia menarik sumpahnya. Karena tahu kau ingin melakukan sesuatu perbuatan yang terpuji."
Menghentikan terror dan pembunuhan itu memang perbuatan terpuji. Tetapi itu berarti sekaligus ia mencegah anaknya melakukan pembalasan dendam. Pembalasan yang dilandasi nama baik keluar ga. Nama baik " Apa pula itu nama baik " Tak le bih dari selembar kertas basah. Satu sentuhan kecil saja, nama baik itu pun hancur.
Mayangsari terpejam. Bimbang lagi. Lalu mendadak, kelopak matanya terbuka lebar, ia telengkan kepala. Diam, mendengarkan. Bunyi apakah itu " Seperti suara sesuatu tercebur ke dalam air.
Mayangsari bangkit dari duduknya. Berjingkat-jingkat ke jendela ia buka hati-hati. Gelap di luar rumah. Hanya diterangi sinar rembulan yang terlindung oleh bayangan pepohonan. Bayangan itu jatuh memanjang ke arah kolam kecil, tempat anaknya semasa hidup senang bermain.
Permukaan kolam beriak. Mayangsari menajamkan pandangan matanya, lalu melihat benda-benda kehitam-hitaman berenang dari tengah kolam, menyeret setangkai besar rumpun teratai. Tiba di tepi, benda-benda itu naik. Barulah ia mengetahui, benda-benda itu berupa tikus tikus sebesar kucing, yang dengan taring-taringnya memetiki kuntum teratai putih yang masih baru.
Tercekat Mayangsari, karena perasaan bergalau. "Yang manakah anakku ""
Tanpa berpikir panjang lagi, ia membuka jendela lebar lebar dan berseru perlahan karena suaranya sedemikian gemetar : "Hei, nak ... !"
Beberapa ekor tikus yang tadi menggotong rumpun teratai, sama terkejut. Satu dua mendongak ke arah jendela. Yang lain menggigit tangkai kuntum teratai yang sudah dipetik lantas ngacir me-larikan diri, diikuti tikus tikus yang lainnya.
"Tunggu !", teriak Mayangsari, lalu ia berlari ke pintu, membukanya dan berlari lagi ke tepi kolam. Tak seekor pun tikus itu yang tampak sekarang. Tinggal rumpun teratai yang kuntumnya baru dipetik. Rumpun itu dibawa riak air, merayap kembali ke tengah kolam. Liar, mata Mayangsari mencari-cari. Namun tak seekor pun makhluk tadi
kelihatan. "Jangan pergi !", hampir menangis perempuan itu, saking kecewa. "Aku ingin melihatnya. Melihat anakku ..."
Lalu seperti orang linglung ia berkeliaran sekitar rumah, menyebut-nyebut nama anaknya, menyatakan keinginannya untuk bersua, menjeritkan rin dunya yang lama tersiksa. Dari rumahnya ia pergi ke jalan. Mencari-cari di sekitar rumah tetangga. Terus saja ia mencari, dari satu rumah ke lain rumah, melihat-lihat ke kolong, ke belakang kandang mengibas-ngibaskan rerumputan ilalang, berlari-larian dari satu pohon ke pohon lain. Mulutnya terus kumat-kamit menyebut-nyebut nama anaknya, dengan air mata yang mulai terurai.
Seluruh desa, hening. Lengang.
Kematian yang susul-menyusul membuat semua penduduk sejak sore hari sudah pada mengunci diri. Tak ada yang mau meronda. Bahkar, ternak-ternak ikut bersembunyi, enggan melihat wajah maut yang mengintai dari tengah kegelapan malam. Di beberapa rumah korban perbuatan Teratai, ia dengar isak tangis. Tetapi jendela dan pintu rumah-rumah itu juga tertutup rapat. Lampu-lampu minyak dengan susah payah berusaha melawan pengaruh kegelapan yang demikian dahsyat. Mayangsari
terus saja mencari. Mencari dan mencari.
"Teratai, anakku. Teratai, anakku. Di mana kau, nak ""
Teratai. Teratai. Sekuntum teratai putih telah pula dipetik. Mungkinkah itu berarti akan ada kor ban pula malam ini " Tetapi siapa " Ya Tuhan, coba andaikata Mayangsari tahu. ia menyesali pikiran pendeknya, buru-buru memanggil. Mesti
nya ia turun diam-diam dari rumah lalu mengikuti ke arah mana tikus-tikus itu pergi membawa kuntum teratai.
Sambil menyesali diri, otak Mayangsari terus berjalan.
Margono sudah jatuh jadi korban. Kemudian Ajat. Siapa yang berikutnya " Bukan. Bukan begitu bunyi pertanyaan yang harus dipikirkan. Coba ini: siapa orang yang kira-kira masih atau pernah satu komplotan dengan Margono dan Ajat "
Kakinya terus pula melangkah.
Dengan mata jelalatan. Akhirnya ia melihat sesosok bayangan menyeli-nap ke luar dan salah satu rumah. Mayangsari bergegas memburu. Bayangan tadi bergegas pula berlari ke rumah yang terdekat. Terdengar suara pintu digedor-gedor, lalu suara anak perempuan
yang berteriak-teriak histeris, "Tolonglah, Tolong
lah ! Tikus tikus itu menyerbu rumah kami. Ya Tuhan, tolonglah. Kang Dudung ..."
Tak ada yang berani membuka pintu.
Setiap orang di dalam rumah yang digedor itu masih ingat bagaimana keadaan mayat Margono, lalu Ida dan Ajat apalagi. Kemudian orang-orang lain yang bermaksud menolong. Mereka juga ingat kepada pak Mirta. Seorang kepala desa, seorang yang punya ilmu, tetapi toh kewalahan mengobati mereka. Bahkan ikut jatuh sakit.
Tidak. Tidak ada yang berani membuka pintu.
Penghuni rumah malah semakin rapat berpeluk an satu sama lain. Bayangan di luar rumah, seorang gadis tanggung, menangis terisak-isak dan dengan panik berlarian ke rumah yang lain untuk meminta tolong. Gadis tanggung itu bentrok dengan Mayangsari, yang berlari menyongsong.
"Ada apa, nak " Kau Nining, bukan ""
"Ya. Bu. Saya suara tangis Nining mendadak sontak hilang lenyap.
ia melihat ketakutan ke arah Mayangsari. Mundur dengan muka pucat dan mata ngeri. "Jangan ... Jangan sentuh aku. Kumohon, jangan ... !"
"Nak, aku justru mau membantu", entah mengapa Mayangsri dapat berkata demikian. Membantu mereka, mengusir roh jahat si Teratai, anak kan-
dung kesayangannya sendiri. "Mari kita pergi sama-sama ke rumahmu".
"Tidak. Kau tak boleh masuk !"
"Aduh, nak. Aku tidak sejahat yang kau pikirkan. Kau ingin menolong saudaramu, bukan " Ayolah lantas tanpa menunggu jawaban Mayangsari berlari-larian masuk ke rumah Dudung. Setelah ragu sebentar, Nining kemudian mengikut di belakangnya.
Dudung tergeletak di ruang tengah.
Wajah dan lehernya penuh luka-luka menganga. Darah membanjiri lantai. Seorang yang lain, Mira isteri Dudung tengah ditarik-tarik dua anak mereka yang masih kecil-kecil ke kamar tidur. Anak-anak itu terus menangis lalu lari serabutan menyembunyikan diri begitu melihat Mayangsari masuk. Baru setelah Nining ikut masuk, kedua orang bocah itu keluar dari persembunyiannya dan merangkul bibi mereka dengan wajah pucat ketakutan.
"Apa yang terjadi "", tanya Mayangsari sambil berjongkok untuk memperhatikan luka di leher Dudung, kemudian juga selangkangannya. Mayangsari terpejam ngeri memandangi leher yang tercabik-cabik dan kemaluan Dudung yang tinggal sepotong, ia hampir muntah. Mundur beberapa tindak." Tuhanku !", desahnya, lirih. Baru sekarang-
lah ia menyaksikan sendiri hasil perbuatan roh jahat yang mereka katakan perwujutan anaknya, si Teratai Putih. Selama ini ia cuma mendengar. Dan mendengar, tidak seberapa akibatnya dibandingkan dengan menyaksikan dengan mata kepala sendiri.
Pelan-pelan, Dudung membuka matanya.
Nining tak berani mendekat, ia bergerak ke pojok ruangan, berusaha supaya ponakan-ponakannya yang bocah itu tidak melihat ayah mereka bergerak sekarat. Takut-takut, Mayangsari mendekat.
"Mau mengatakan sesuatu, Dung ""
Pandangan Dudung kabur, ia tidak dapat mengenali perempuan itu. "Siapa kau ""
Mulanya Mayangsari mau memberitahu. Kemudian ia ingat ketakutan di wajah Nining waktu mereka kepergok di luar rumah, ia ingat pula kebencian yang selama ini ditujukan penduduk ke alamat dirinya. Dengan menahan hati, Mayangsari mencoba tersenyum. Katanya : "Berbaring sajalah. Akan kupanggilkan seseorang untuk mengobati luka-lukamu".
" ... pak Mir - taaa", ujar Dudung, terputus-putus.
"Ya. Ya. Memang dia yang mau kupanggil..." "Jangan !"
"Tetapi..." "Aku tak kuat lagi. Rasanya begitu panas. Aku yang berteriak-teriak histeris : "Tolonglah. Tolong-leh
erku sudah putus ""
Kalau putus, tentulah dia tak dapat bersuara.
Tetapi itu bukan jawaban yang pantas. Mayangsari mengatakan yang lebih pantas : "Hanya luka sedikit".
"Sedikit " Kok sakitnya ia menggeliat-geliat, berusaha mengangkat tangannya, tetapi tidak mampu. "Oh ... oh ... aku merasa lumpuh seluruh badan. Aku akan mati... matiDudung mulai menangis, tersedu-sedu. Nining cepat-cepat menarik kedua orang ponakannya, pergi menjauh ke dapur. Tetapi ia berusaha sedapat mungkin untuk dapat mengintai ke ruang tengah. Kalau-kalau perempuan sihir itu berbuat sesuatu terhadap saudaranya ... !
"Dengarkan !", Dudung menggapai tangan Mayangsari. "Temuilah pak Mirta. Katakan ... katakan ... si Teratai yang membunuhku. Dia ... dia ... Tikus busuk ! Tikus haram jadah itu juga melukai Mira. Mira ... mana Mira " Miraaaa".
Mayangsari melongok lewat pintu kamar.
Mira menggeliat, kemudian diam. Mudah-mudahan cuma pingsan, do'a Mayangsari dengan tulus.
Ya Tuhan, jangan ambil nyawa mereka yang tidak bersalah ! "Isterimu baik baik saja", katanya, ter bata-bata. "Kau tadi menyebut nama pak Mirta. Apakah dia ... "
"Dia, menunggunya !"
"Dia siapa " Menunggu siapa ""
"Si Teratai". "Di mana "", merinding bulu punduk Mayangsari, membayangkan ia akan bertemu dengan anaknya. "Katakanlah, di mana ""
"Setelah purnama ... ", Dudung semakin lemah suaranya. Terpaksa Mayangsari mendekatkan kuping ke mulut Dudung, dan mendengar apa yang dipesankan oleh Teratai Putih kepada pak Mirta. "Bunuh ... ", rungut Dudung, geram. "Bunuh gadis terkutuk itu untukku ... !"'. Lalu kepalanya terku lai.
Dudung telah menyusul Margono. Menyusul Ajat.
Mayangsari terdiam sejenak. Lalu bangkit terhuyung-huyung. Tubuh setengah telanjang yang mengerikan itu, terlalu seram untuk terus ia lihat. Mayangsari berpaling. Dan matanya bertemu dengan mata Nining. Anak tanggung itu mungkin sudah berusia lima belas. Lebih tua beberapa tahun dari Teratai Putih. Tetapi mata Nining, tak ubah-
nya mata Teratai Putih yang memandang ketakutan campur permohonan, bila si Teratai dihardik Mayangsari karena berbuat kekeliruan.
ia kemudian juga melihat mata Dodo dan Lina yang masih bocah. Mata bening, polos tak berdosa.
Mayangsari berpaling lagi.
Kali ini matanya beradu dengan tubuh Mira yang masih terkulai di lantai. Mayangsari melangkah masuk ke kamar tidur. Diam-diam Nining menyusul. Diam-diam pula Nining membantu Mayangsari mengangkat tubuh Mira ke tempat tidur. Membaringkannya, kemudian menyelimutinya baik-baik. Tubuh perempuan itu panas, tetapi luka di lehernya tampak cuma goresan kecil belaka. Mungkin ia akan tertolong, apabila secepatnya didatangkan bala bantuan.
"Kalian tunggu di sini", kata Mayangsari kepada Nining. Gadis tanggung itu menatapnya dengan mulut bungkam. "Akan kupanggil pak Mirta untuk mengobati Mira."
Mayangsari melangkah ke pintu depan.
Lalu berhenti, ketika mendengar suara Nining : "Bu Mayang".
"Ya, nak ""
"Bukan kau yang mengerahkan tikus-tikus mengerikan itu. Benarkah, bu Mayang ""
Mayangsari tersenyum ke arah Nining.
Gadis itu tidak tersenyum. Namun sinar matanya menunjukkan persahabatan. Mayangsari sampai terenyuh, dan menyeka matanya ketika meninggalkan rumah Dudung, memaki-maki marah tiap kali melewati tetangga yang terus ngumpet di dalam rumah masing-masing.
Kemudian, langkahnya ditujukan ke rumah kepala desa. Tangannya menggenggam golok yang tadi dipegang oleh Dudung selagi sekarat. Mayangsari tahu betul kalau golok itu milik pak Mirta. ia mengambilnya tadi dari tangan Dudung, tanpa sadar mengapa ia harus melakukannya.
Jadi, Mirta terlibat ! Mayangsari gemetar memikirkannya. Hatinya beku, dingin. Sebeku dan sedingin malam berbau kabut, berbau kematian. Mirta yang dulunya pemalu. Mirta yang jatuh cinta untuk pertama kali setelah ia berusia tiga puluh tahun, dan gadis yang dia cintai justru baru mencapai setengah usia Mirta sendiri. Mirta yang sadar, bahwa ia dan keluarganya cuma anak penggarap sawah dengan upah yang tak seberapa. Mirta yang terpaksa mundur teratur, setelah anak majikannya bergerak lebih cepat, melamar Mayangsari.
ia teringat ketika suatu hari berjumpa
di kali. Mayangsari baru habis mencuci, dan Mirta baru pulang dari sawah. Tubuh dan pakaiannya kotor, wajahnya tampak menyimpan malu.
"Baru pulang, pak "", tanya Mayangsari.
Itulah selalu yang membuat Mirta menyimpan isi hati. Karena Mayangsari selalu memanggilnya dengan sebutan "bapak". Mengapa tidak " Usia mereka berbeda jauh dan Mirta yang sudah terbiasa hidup sebagai buruh, penampilannya tampak lebih tua.
"Ya, Mayang". "Ayo. Sama-sama ".
Mirta pergi menjauh, bersembunyi di balik re rumputan untuk melepas pakaian kemudian terjun ke air. ia mandi tergesa-gesa. Naik lagi tergesa-gesa ke tepian, bersalin pakaian. Begitu ia selesai, Mayangsari sudah tak ada di tempat semula. Mayangsari sudah jauh di atas bukit, dan memandang padanya seraya tertawa-tawa.
Mirta memang orang yang sabaran, dulunya
Pernah ia memergoki Mayangsari dan kekasihnya sedang bercumbu di sebuah dangau. Mirta yang tak keburu mengelak, terpaksa menyapa : "Maaf. Aku kebetulan lewat".
Mayangsari tersipu malu. Kekasihnya, ayah si Teratai di kemudian hari, tertawa bergelak. "Mau ngintip, ya harus lewat di mana ada tempat ngintip", katanya. "Tetapi lain kali, bilang-bilang dong".
Mirta tidak bermaksud mengintip, Mayangsari tahu benar.
Tetapi ia tidak marah, ia tetap saja tersenyum manis, sopan. Balas pula ia menyindir : "Kalau begitu, Aden beritahu pulalah pada saya, kapan akan bercumbu !"
Mayangsari melempar laki-laki itu dengan sandal.
Tentu saja senda gurau belaka. Herannya. Mirta tidak mengelak, ia biarkan sandal itu melayang ke
wajahnya, dan ia malah tampak senang. Lain hari mereka bertemu lagi dan Mayangsari meminta maaf atas perbuatannya yang lancang.
"Aku tak sengaja", berkata Mayangsari.
"Biarlah. Disengaja atau tidak, aku tetap menerimanya dengan senang hati..."
"Nanti kulempar lagi !", Mayangsari mengancam.
"Boleh. Tetapi dengan hati".
Dan mereka tertawa. Tanpa Mayangsari tahu, Mirta berkata sungguh-sungguh dan tawanya begitu terdengar bahagia.
Suatu malam, Mayangsari terlambat pulang, ia rupanya habis kencan dengan calon ayah Teratai Putih dan karena si kekasih habis bertengkar dengan calon mertua, tidak berani mengantar Mayangsari sampai ke rumah. Kebetulan mereka bertemu Mirta yang sudah diangkat murid oleh ayah Mayangsari.
"Dari mana saja kalian "", sang ayah langsung menyenggak.
Sebelum Mayangsari sempat menjawab, Mirta sudah berkata : "Maafkan, pak. Saya membawa Mayang nonton reog di desa Banjarsari. Maksudnya mau pulang sore-sore. Eh, tahunya ketemu beberapa teman yang ingin jadi murid bapak. Lalu kami
ngobrol. Mereka banyak bertanya tentang perguruan kita. Terutama kepada Mayang. Habis ngobrol, eh, sudah gelap ..."
"Aku tak bermaksud cari murid tambahan. Dan aku tidak pernah membentuk perguruan. Ini bukan tempat bela diri. Tetapi tempat membersihkan jiwa yang kotor. Dan kau telah mengotori jiwamu, membawa anakku tanpa bilang-bilang. Untuk itu kau perlu dihukum".
Mirta benar-benar dihukum.
Berendam sepanjang malam sampai matahari terbit esok harinya, di tengah sungai tempat kerbau biasanya berkubang. Seminggu lamanya Mirta jatuh sakit karena demam dan penyakit gatal-gatal pada kulitnya. Mayangsari sering mengunjungi, merawat dan memberinya makan, sambil tak henti-hentinya menyesali diri, meminta maaf. Mirta hanya tertawa. "Anggap saja pengalaman", katanya. Dan setelah ia sembuh, ia mendatangi ayah Mayangsari. Berjanji, tidak akan membawa Mayangsari lain kali, tanpa seijin keluarga.
Dan itu benar. Mirta tak mungkin mengajak Mayangsari pergi ke tempat-tempat pertunjukan atau ke mana saja tanpa ditemani orang-orang ain. Karena Mayangsari sudah keburu dilamar orang, dan setahun kemudian lahirlah Teratai Pu-
tih. Mirta mulai menjauhkan diri.
Tak pernah bercampur gaul dengan gadis-gadis lain, atau janda-janda muda yang beberapa di antaranya menaruh hati juga pada laki-laki yang malang itu. Mirta tak menikah. Tetap membujang, sampai akhirnya Mayangsari tahu Mirta jadi bujang tua karena hanya pernah jatuh cinta pada satu perempuan saja, sebagaimana halnya Mayangsari hanya jatuh cinta pada satu laki-laki saja.
Saudara Mirta, ayah si Dudung kemudian
diangkat jadi kepala desa.
Mirta diberi kedudukan sebagai pengurus tanah carik desa. Punya rumah sendiri, punya penghasilan yang memadai. Namun tetap saja, ia membujang, sampai ayah Teratai Putih meninggal dan Mirta menunggu masa berkabung selesai. Baru berkata terus terang pada Mayangsari : "Kalau kau berhenti menangis, aku akan berhenti membujang".
Kesedihan ditinggal suami mulai hilang.
Mayangsari berhenti menangis. Dan bertanya kepada Mirta : "Katanya mau berhenti membujang".
"Kau mau menghentikan aku "", balas Mirta.
Mayangsari terkejut, karena nada suara Mirta yang sungguh-sungguh. Tanpa sadar, ia tertawa Lalu berkata : "Bapak ini berseloro. Lucu !"
Mirta ternyata bisa juga marah.
ia melarikan diri ke gunung, dan ketika kembali empat puluh hari berikutnya, ia mendatangi ayah Mayangsari dan berkata : "Pernah aku kau marahi padahal bukan karena kesalahanku !" Kasar suaranya, kasar sikapnya. Ayah Mayangsari terkejut alang kepalang.
"Ada apa dengan kau, Mirta ""
"Aku ingin membalas sakit hatiku".
"Membalas ""
"Ya. Dengan ini", lalu : cuih ! Mirta meludah. Kena tangan ayah Mayangsari tangan yang terkena ludah itu berubah merah, kemudian hitam, lalu melepuh. Ayah Mayangsari tak pernah mampu mengobati sendiri luka bakar di tangannya. Sampai ayah Mayangsari mati, luka itu tetap meninggalkan bekas hitam terbakar. Ayah Mayangsari mengeluarkan sumpahnya. Mayangsari yang mendengarnya kemudian, terkejut, ia lalu berterus terang mence-ritakan mengapa Mirta sakit hati pada ayahnya.
"Anak bodoh", bentak ayah Mayangsari. "Coba kau beritahu aku dari dulu-dulu. Sekarang terlambat sudah. Sumpah telah terucap !"
Dan Mirta telah dipecat sebagai murid.
Peristiwa-peristiwa memalukan pun datang susul menyusul. Ayah Mayangsari kambing hitamnya.
Seperti, tahun-tahun terakhir ini Mayangsari mendapatkan cap yang sama.
Sambil terus menuju ke rumah kepala desa itu, Mayangsari berusaha menahan kebencian yang tiba-tiba muncul. Kemudian ia sadari, ia turut berperan atas kelakuan Mirta. ia juga mempunyai dosa-dosa. Terbayang mata Nining. Mata bocah Dono dan Lina.
Mayangsari mengeluh. Dia juga harus menebus dosa, sebelum mata bocah-bocah tak bersalah itu semakin banyak ber-linangkan butir butir penderitaan. Dudung sudah mati. Tetapi bocah-bocah itu masih mempunyai ibu. Dan hanya Mirta yang dapat menolong.
Mayangsari tertegun. Tahu-tahu saja, Mirta telah tegak di depannya.
BEBERAPA saat lamanya, mereka berdua cuma saling menatap di bawah siraman rembulan. Kemudian pak Mirta melihat apa yang dipegang Mayang sari. Lurah itu terkejut. Pucat. Cepat pikirannya bekerja. "Apakah Dudung sudah
ia tidak berani melanjutkan kata-katanya.
Terlalu lemas memikirkan apa yang terbayang di kepalanya. Adiknya telah mati. Kini, keponakannya. Dan dia yang jadi gara-gara !
"Pak Mirta ..."
Lurah itu tersentak. Mulutnya terbuka mau mengutarakan sesuatu, tetapi tidak mampu. Hatinya hancur luluh. Hampir tidak ia dengar sama sekali ketika Mayangsari berkata : "Kau ingin aku melakukan perbuatan terpuji, bukan ""
Pak Mirta diam. Belum dapat menangkap makna kata-kata Mayangsari.
"Dudung berpesan ... ", Mayangsari kemudian meneruskan pesan yang dimaksud. "Isterinya masih terbaring di sana. Sakit. Dan anak-anaknya Mayangsari gemetar. "Anak-anak itu harus diselamatkan".
"Juga anak-anak lain", pak Mirta mulai mengerti.
"Ya. Juga anak-anak lain", Mayangsari menye-
tujui. "Dan kau mau. Padahal, kau sudah tahu betapa jahat dan bejatnya moralku ..."
Mayangsari mencoba tersenyum. Ujarnya : "Pertalian bathin dan darah, tidak selamanya melalui perkawinan, pak Mirta. Ada banyak cara yang bisa ditempuh. Yang paling tepat, ini !"
Gaung suara Mayangsari belum hilang, tetapi golok yang terpegang di tangannya sudah terhunjam sampai ke gagang, tenggelam ke dalam lambungnya yang perlahan-lahan mengucurkan darah.
Pak Mirta terkejut. ia melompat ke depan, memeluk Mayangsari dan berusaha menarik keluar golok itu dari lambung si perempuan. Tetapi Mayangsari mencegahnya. Dengan mata setengah terkatup menahan sengsara, Mayangsari berkata terputus-putus "Manterailah, pak Mirta. Manterailah darah yang menga
lir dari dari jantungku membasahi golokmu. Aku ... aku merindukan Teratai. Ingin bertemu ... dengannya. Tadinya ... kukira, kami akan .... Tetapi, dengan cara ini..."
Tubuh Mayangsari terkulai diam.
Betapa lamanya waktu berlalu. Betapa lamanya hasrat pak Mirta untuk memeluk Mayangsari, tetap terpendam sia-sia. Dan ketika kini keberuntungan
itu benar-benar ia peroleh, nyatanya ia hanya ber hak memeluk jasadnya saja.
Jasad yang sudah mati begitu tiba tiba.
Maut memang seringkali datang tanpa pemberitahuan lebih dulu.
PENUTUP BULAN purnama mengintip dari sela-sela dedaunan pohon-pohon karet, ketika bayangan memanjang itu tertatih-tatih mendekati sebuah makam besar di antara sejumlah makam-makam lainnya yang jauh lebih kecil. Remang-remang rembulan menimpa permukaan makam sehingga gundukan makam tampak semakin mengembung. Bayangan kurus memanjang itu terhenti sejenak di kepala makam. Lalu, tiba-tiba :
"Cuih ! Cuih !", ia meludah. Sekali ke kiri, sekali ke kanan. "Ini aku, Mirta, datang memenuhi panggilanmu". ia diam mendengarkan. Tidak ada sahutan. "Cuih ! Cuih !", meludah lagi pak Mirta. "Ataukah kau tidak mau menepati janjimu "". Tiba-tiba angin bersilir di sebelah kanan pak
Mirta. Seketika ia tertegun.
"Aku di sini, murid yang tak membalas budi !"
Pak Mirta menoleh. Seseorang gadis semampai yang cantik jelita, berdiri tak jauh di sebelah kanannya, ia memakai sutera putih yang menjuntai sampai di tanah, kontras sekali dengan kepekatan malam yang remang-remang dijilat rembulan.
" ... Teratai Putih !, membisik pak Mirta.
"Kau juga ingat padaku, pak Mirta".
"Karena kau yang mengundangku datang".
"Kau tidak takut "".
Pak Mirta sejenak terdiam. Mencoba tersenyum. Kemudian meludah. "Ah ... ah ... ".
Teratai Putih menjauh. "Bau ludahmu tidak enak".
"Kau yang kini takut ya "", sungut pak Mirta dengan suara keras.
Si gadis tersenyum. "Tidak" ! katanya. "Karena aku sudah diberitahu kakek tentang keampuhanmu itu sebelum beliau menghembuskan nafas terakhir. Ingatkah ketika jasadku tidak ditemukan orang di dalam dangau, lima tahun yang lampau ""
"Hem", pak Mirta bersungut-sungut.
"Kau memasuki tubuh kakekmu, begitukah yang mau kau katakan ""
Si gadis tertawa. " ... jasadku tetap di dalam dangau itu, pak Mirta. Tetapi tidak ada yang bisa melihatnya, Tidak, dengan mata biasa. Ternyata kau juga tidak, bukan " Karena kakekku lebih tahu bagaimana membutakan matamu dan mematikan keampuhan air liurmu, ia memanggilku ikut bersama-sama dengannya, sampai ke liang kubur, pak Mirta".
Laki-laki tua itu manggut-manggut. "Pantas", gumamnya.
"Pantas apanya ""
"Pantas waktu dimakamkan, kuburan kakekmu tidak bisa seukuran dengan makam biasa. Karena yang dimuatkan ke dalam makam, ternyata dua orang. Meski tak seorang pun melihat orang kedua itu ikut dimakamkan".
"Kau pintar, pak Mirta. Mengapa kepintaranmu itu tidak kau pergunakan untuk menjelaskan pada keluarga kepala desa, bahwa kakekku bukan seorang tukang teluh " Bahwa kakekku tidak tahu apa-apa tentang kematian kepala desa " Karena memang orang itu mati karena perbuatan ..."
"Diam !", Pak Mirta membentak. Tetarai Putih menyeringai. " ... tentu saja tidak. Karena kau mengharapkan kehormatan lebih besar dan penghasilan yang lebih banyak, dengan mengenyahkan satu-satunya sainganmu di desa dan sepuluh desa
sekitar. Celakanya, justru orang itu adalah kakekku. Orang yang pernah mengajarkan ilmu-ilmu karuhun padamu, untuk mengabdi pada orang-orang sakit yang membutuhkan pengobatan.
Laki-laki itu mengangkat wajah.
"Apa perdulimu "", katanya tersinggung.
"Ah, aku tak perduli apa-apa pada harta milik yang kau peroleh dengan rakus itu. Aku cuma mau menuntut, mengapa kau menuduh dan kemudian ikut terlibat dalam pembunuhan kakek".
"Aku tak ikut", pak Mirta membantah.
"Secara langsung memang tidak. Tetapi kau membacakan mantera-mantera".
"Kakekmu harusnya bisa membunuh mantera manteraku. Salahnya sendiri, mengapa ia tidak melawan".
Teratai Putih tersenyum. Perih. "Kakek tak mau membunuh muridnya sendiri, pak Mirta. Dan ia tidak mau menjatuhkan tangan kepada orang-orang yang tidak bersalah, tetapi tersesat karen
a bujuk-anmu itu. Dan ia merasa pernah berdoa padamu ..."
"Lalu mengapa kau membunuh begitu banyak orang ""
"Untuk kedurjanaan mereka terhadap diriku". Pak Mirta manggut-manggut. "Aku mengerti",
katanya. "Tetapi tentunya kau mengundangku kemari, tidak dengan maksud untuk mengatakan hal sepele itu saja, bukan ""
Si gadis tersenyum, ia mendekat beberapa langkah.
... aku terlanjur bersumpah pada kakekku, pak Mirta. Untuk membalas dendam pada orang-orang yang telah membunuh kakek dan memper-kosaku. Seperti kakek, akupun tidak bermaksud menciderai orang yang tidak bersalah. Tetapi bagiku, kau tetap bersalah. Kakek amat marah padamu, tetapi ia telah mati. ia tidak mungkin membalaskan dendamnya. Karena itu, selama lima tahun lebih aku - rohku dan roh kakekku saling menguji diri. Menguji keampuhan masing-masing. Dan ketika waktunya kami kira sudah tiba, atas kehendak alam kuburanku pun terbuka ..."
Kedua kaki pak Mirta menjejak kuat-kuat ke tanah, hingga tanah di bawahnya merekah. Lututnya gemetar, tetapi bukan pertanda takut Karena dari wajah dan matanya terpancar amarah yang luar biasa. "Kau menganggapku remeh, neng !", sungutnya. Lalu meludah ke kiri dan ke kanan terus ke muka dan ke belakang.
"Cobalah dekati diriku !"
Si gadis tersenyum. "Kau lupa aku jijik dengan
bau ludahmu. Tetapi mereka tidak, pak Mirta", teriak si gadis, ia bergerak ke makam besar itu, mencabut nisan di kepala makam dengan sigap. Dari bekas nisan itu terlihat sebuah lubang besar, semakin besar dan kemudian berpuluh-puluh malah mungkin beratus ratus ekor tikus berloncatan ke luar.
Pak Mirta terkejut. ia mengeluarkan goloknya. Tetapi tikus-tikus itu tidak menjadi takut karenanya, malah semakin mendekat juga kepadanya, ia meludah berulang-ulang. Tikus-tikus itu tetap menyerang.
"Itu semua tikus-tikus biasa, pak Mirta. Tak guna kau perlihatkan ajianmu. Itu bukan daun-daun yang pernah menyerang teman-temanmu di pinggir sungai beberapa hari yang lalu. Tikus biasa, pak Mirta. Tikus biasa. Lawanlah mereka".
Orang tua itu tidak sempat mendengarkan semua itu. Sementara si gadis tertawa nyaring dan lengking, tikus-tikus itu telah meloncati tubuh pak Mirta. Mereka mencakar dengan kuku dan menggigit dengan gigi di tempat-tempat tikus itu hinggap. Beberapa ekor di antaranya tertebas oleh golok pak Mirta, jatuh bergulingan di tanah dengan meninggalkan bunyi mencicit yang menyayat tulang. Te-
tapi tikus-tikus yang keluar dari lubang makam Itu semakin banyak juga.
Orang tua itu mulai kewalahan, dan keluar dari lingkungan di mana ia tadi meludah, ia sadar bahwa bila ia keluar dari lingkungan semburan ludah nya, kekuatannya akan punah, tetapi tikus-tikus itu semakin banyak sehingga ia tidak kuasa melawan dorongan mereka, ia mundur, terus mundur. Dan suatu saat ia mengangakan mulut, berteriak:
"Ular-ular itu ! Ular-ular itu !"
Dari balik pepohonan, tiba-tiba muncul banyak bayangan. Kemudian obor menerangi kompleks pemakaman yang remang-remang itu. Beberapa penduduk berkeluaran dari persembunyiannya, masing-masing berteriak mengucapkan kata-kata :
"Musnahkanlah, roh jahat ! Musnahlah roh jahat !"
Lau keranjang bambu di tangan beberapa orang di antara rombongan penduduk yang muncul bagai air bah itu, dilemparkan ke tanah. Tutupnya terbuka. Dari dalamnya keluar ular berbagai macam yang atas petunjuk pak Mirta telah ditangkapi penduduk sementara menunggu waktu pertemuannya dengan Teratai Putih. Mula-mula ular-ular itu diam tak bergerak. Mungkin karena kaku, terkejut. Kemudian perlahan-lahan mulai merayap. Merayap
berkeliling, meliuk-liuk seram. Penduduk menjauhi tempat itu, meski ular-ular tadi lebih tertarik pada bau tikus. Binatang melata itu terus saja merayap ke arah pak Mirta yang sedang berjuang membebaskan diri dari keroyokan tikus-tikus.
Tikus-tikus itu rupanya melihat gelagat tak baik. Suara mencicit riuh rendah memenuhi jalan lintas perkebunan yang sunyi sepi itu. Lari serabutan. Namun ular-ular yang telah mengerung di sekitar mendadak berubah ganas lalu meliuk semakin cepat memburu mangsa. Pak Mirta cepat-cepat menghindar, ia menggoyang-goyangkan kepala untuk menghi
ndari rasa sakit dan perih. Samar-samar ia lihat puluhan ekor ular memperoleh santapan ratusan ekor tikus-tikus besar dan gemuk-gemuk. Sebagian masih mampu melawan. Beberapa ular itu tercabik, mati. Namun naluri seekor tikus tetap saja naluri tikus. Meski lebih banyak dari penyerangnya, sebagian besar binatang-binatang pengerat itu telah lari menyelamatkan diri.
"Terkutuk. Akal bulus terkutuk !", terdengar suara mengumpat.
Pak Mirta menoleh. Tetapi ia tidak melihat Teratai Putih, ia hanya melihat bayangan putih samar-samar yang semula tinggi, kemudian merendah dan merendah hampir rata ke tanah.
"Tikus putih", bisik pak Mirta, terpana. Dan ketika ia lihat tikus putih itu lari menyelinap di antara semak belukar, pak Mirta berteriak : "Kepung. Ayo, kepung. Jangan biarkan makhluk terkutuk itu kembali ke desa untuk mengambil nyawa anak isteri kalian ... !"
Penduduk yang mendengar perintah itu, meski takut-takut toh berlari larian mematuhi perintah lurah mereka. Lagipula jumlah mereka sangat banyak, mengapa tidak berani " Musuh pun tampaknya sudah kalang kabut. Tinggal satu. Satu, tetapi yang paling berbahaya !
Sambil berpegangan tangan dan berdiri berkelompok-kelompok mereka mengurung arah hilang nya tikus putih itu. Bila terlihat bayangannya, mereka datang merapat dan memaksanya lari ke tempat terbuka. Makhluk itu melompat kian kemari sambil mengeluarkan suara merintih, menggeram, menjerit-jerit ribut. Bukan mencicit. Tetapi menjerit-jerit ribut sebagaimana anak perempuan yang terperangkap di sarang harimau yang kelaparan. Yang aneh, makhluk itu tidak berusaha menyerang para pengepungnya. ia baru menggeram-geram marah kalau melihat pak Mirta, berusaha melepaskan diri dari kepungan agar dapat mendekati lurah desa itu.
Sebaliknya, pak Mirta yang datang dengan dipapah beberapa orang priya bertubuh besar kuat, dengan caranya sendiri senantiasa berusaha agar terlindung di balik tubuh orang-orang yang memapahnya. Suatu perbuatan pengecut, tetapi ia selamat dan para penolongnya tidak menyadari kepenge-cutan lurah mereka.
Dengan jeritan putus asa, akhirnya tikus putih itu melakukan lompatan panjang melalui kepala orang-orang yang mengepungnya. Terus kabur menaiki tebing, menuju daerah bekas longsor di mana masih terdapat lubang-lubang dan rongga-rongga guha untuk bersembunyi.
"Golokku. Ke sinikan golokku pak Mirta berteriak.
ia menyapu wajahnya yang penuh cakaran berlumur darah, menerima golok yang diulurkan oleh seseorang. Lalu membathin : "Darahmu masih melekat di mata golokku, Mayang. Bantulah aku. Berikan aku kekuatan untuk menebus dosaku".
Lagi, suatu sikap pengecut.
Meminta bantuan Mayangsari untuk membunuh anak Mayangsari sendiri. Pak Mirta merasa malu. Tetapi kepalang basah, ia terus saja membaca mantera. Sekali sekali ia berseru memerintahkan orang yang memapahnya agar mengangkat ia ke sa-
na, ke sini, mengikuti getaran golok dan bayangan tikus putih hilang menyelinap.
Suatu ketika, ujung golok itu terpaku diam di mulut salah satu liang yang gelap. Pak Mirta merasakan telapak tangannya panas, terbakar. Matanya terpejam menahan azab, lalu bergumam : "Biarlah ibumu yang menjemputmu, Teratai Putih", lalu ia meludah sekitar mulut lubang dan sekaligus melemparkan goloknya jatuh melayang-layang dalam kegelapan lubang.
Sesaat sepi. Menyentak. Kemudian terdengar suara jerit lengking memilukan. Lolongan panjang yang mendirikan bulu roma.
semua yang ada di tempat itu, terpaku kaget dan ngeri.
Malah ada yang sampai terkencing di celana. "Di sini si cantik Teratai Putih mati dan bermukim keluh pak Mirta pelan, begitu suara lolongan itu tinggal gaung lemah nun jauh entah di mana. Orang tua itu menengadah, menatap warga desanya yang terheran-heran mendengar apa yang ia utarakan "Aku berdosa pada gadis kecil itu. Pada kakeknya. Dan ibunya. Masih banyak dosa-dosa besar yang kuperbuat! Terlalu besar untuk ditebus ..."
Tak ada seorang pun yang mengangkat suara.
Dan lebih banyak mereka yang tidak memahami apa yang dimaksud lurah mereka. Tetapi tak ada bedanya. Tak ada. Karena, serbuan tikus-tikus itu telah mencabik hampir sekujur tubuh pak Mi
rta. Racun dari kuku serta taring makhluk-makhluk itu telah menjalar di sekujur persendian, mengalir di semua pembuluh darah dan kemudian mende kam di jantungnya.
Ketika orang-orang yang memapah orang tua itu memperhatikan di bawah sinar obor, barulah me reka terkejut melihat kulit tubuh pak Mirta telah berubah hitam pekat kebiru-biruan. Orang tua itu telah meninggal dalam keadaan sama mengerikan dengan kematian Margono, Dudung maupun Ajat.
Salah satu obor yang menerangi wajah pak Mir ta, jatuh ke tanah.
Berkelip sebentar. Lalu padam. Pagi datang. Dan dari dalam lubang, mereka me ngeluarkan selain golok juga seonggok tulang be lulang.
"Teratai Putih", seseorang berbisik. Matahari tersentak di balik bukit.
TAMAT tamat Makam Tanpa Nisan 2 Pendekar Pulau Neraka 21 Cakar Harimau Jari Malaikat 1