Pacarku Juniorku 2
Pacarku Juniorku Karya Valleria Verawati Bagian 2
ujian akhir nanti plus berbagai macam wejangan, aturan, dan ocehan sebagai
pelengkapnya. Ana k-anak kelas tiga dibuat nggak punya waktu untuk memikirkan
masalah lain selain belajar.
Bia yang udah nggak sibuk lagi di OSIS karena udah menyerahkan jabatannya
pada adik kelas mulai berkonsentrasi pada ujian dan persiapannya memasuki masa
kuliah. Bia juga kini lebih tenang. Egi nggak pernah mengganggunya lagi. Memang,
pernah beberapa kali cowok itu berpapasan dengannya. Egi paling hanya
tersenyum, tapi Bia tak pernah membalasnya. Bia juga kadang-kadang merasa Egi
memerhatikannya dari jauh, itu pun tetap tak dipedulikan oleh Bia.
Siang itu, Bia, Yuki, dan Cha-Cha duduk-duduk di pinggir lapangan sambil
menikmati segelas es cendol. Mereka membutuhkan sesuatu yang dapat
mendinginkan otak mereka yang udah panas gara-gara disuruh mikir terus selama
seminggu ini. Gimana ujian Inggris tadi" tanya Yuki mengawali percakapan. Pada bisa
nggak" Please deh, Yu, sahut Cha-Cha. Gue baru aja mau mendinginkan otak gue.
Jadi jangan sebut-sebut kata ujian" lagi di depan gue. Kepala gue udah mau
meledak! Yuki tersenyum dan kembali menikmati es cendolnya.
Eh iya, Tammy mana" tanya Bia.
Udah pulang duluan, jawab Cha-Cha. Dia bilang sih mau nganter
nyokapnya ke salon. Tuh anak kayaknya udah nggak pernah lagi ya, ngumpul bareng kita, ujar
Bia. Sepertinya Tammy agak sibuk akhir-akhir ini, sambung Yuki.
Tapi kok gue malah merasa dia lagi menghindar dari kita, Bia sok
menganalisis. Feeling gue mengatakan dia sedang menyembunyikan sesuatu dari
kita. Ah, itu pasti cuma perasaan lo doang, celetuk Yuki. Tammy nggak mungkin
menghindari kita. Kita kan sahabatnya.
Kan gue cuma feeling, Bia membela diri.
Nanti malam gue coba telepon dia deh, kata Yuki. Siapa tau dia lagi ada
masalah. Bia dan Cha-Cha mengangguk bersamaan.
Hei, biar otak kita jadi fresh lagi, gimana kalo habis ini kita ke MTA" usul
Yuki. Bia dan Cha-Cha tidak langsung menjawab. Mereka mengira-ngira, berapa sisa
uang di dompet mereka. Gue yang bayarin! cetus Yuki.
Setuju banget! teriak Yuki dan Bia berbarengan. Kalau ditraktir, mereka tak
perlu berpikir dua kali. @(^-^)@ Siang itu Mal Taman Anggrek nggak terlalu ramai. Bia, Cha-Cha, dan Yuki menaiki
eskalator menuju bioskop yang ada di lantai atas. Setelah berunding, Bia dan Cha-Cha dengan mantap memutuskan minta ditraktir nonton aja. Yuki yang terpaksa
mengambil uang di ATM dulu cuma bisa mengangguk pasrah.
Mau nonton apa nih" tanya Yuki sesampainya mereka di bioskop.
Sky High aja deh. Gue belum nonton tuh, usul Cha-Cha.
Nggak ah! Bia nggak setuju. Skeleton Key aja. Kayaknya lebih tegang.
Sky High aja. Bukannya ngilangin stres, Skeleton Key malah bikin gue tambah
stres nanti, Cha-Cha bersikeras.
Skeleton Key aja. Semakin tegang semakin bagus. Biar otak gue yang kusut gara-gara ujian bisa fresh lagi!
Stop! Yuki menghentikan perdebatan Bia dan Cha-Cha. Biar gue yang
nentuin mau nonton apa. Bia dan Cha-Cha diam dan manyun.
Kita nonton Dealova aja, putus Yuki.
HAH"! seru Bia dan Cha-Cha bersamaan.
Iya... berhubung gue lagi kasmaran, gue mau nonton yang cinta-cintaan aja.
Bukan Sky High, bukan Skeleton Key.
Hah" Lo lagi kasmaran, Yu" Jadi, lo udah nerima Maxi nih" goda Cha-Cha.
Yuki cuma senyam-senyum. Demi temen yang lagi kasmaran, gue ngalah deh, ujar Cha-Cha.
Tapi, Yu, lo tau kan, gue nggak suka cerita-cerita roman kayak gitu, tambah
Bia. Biarin. Kan gue yang traktir, jadi gue yang nentuin mau nonton apa, kata
Yuki, lalu berjalan dengan cueknya menuju loket untuk membeli tiket.
Yah... alamat tidur di bioskop deh gue, dumel Bia.
Cha-Cha cuma nyengir mendengar ucapan sobatnya itu.
Cha, gue keluar dulu ya sebentar. Yuki masih lama ini beli tiketnya, ujar Bia.
Cha-Cha yang sedang melihat-lihat poster film yang akan ditayangkan bertanya
tanpa menoleh, Ngapain"
Mau beli crepes dulu. Lo mau"
Nggak deh! Ya udah. Bia keluar dari bioskop menuju counter crepes yang ada di depan
bioskop. Bia memesan satu hot crepes untuk dirinya sen
diri. Sambil menunggu pesanannya dibuat, ia mengedarkan pandang ke sekelilingnya. Tiba-tiba tatapannya
terhenti pada sepasang pria dan wanita yang duduk di restoran yang nggak jauh
dari tempatnya berdiri. Bia merasa sosok perempuan setengah baya yang tengah
dilihatnya itu mirip sekali dengan Mama. Bia berusaha menegaskan pandangannya.
Perlahan dia berjalan mendekati restoran itu. Sosok perempuan itu semakin jelas,
dan sekarang dia mengenali perempuan itu. Ya, itu memang Mama!
Mama sedang duduk bersama seorang pria yang sama sekali nggak Bia kenal.
Mama tampak begitu ceria. Beberapa kali dia tertawa sambil menatap pria yang
duduk di hadapannya. Sudah lama Bia nggak pernah melihat wajah Mama seceria
itu. Wajah Mama saat ini mirip dengan wajah Yuki setiap kali berbicara dengan
Maxi. Bia nggak berani memercayai apa yang dia lihat. Tangan laki-laki itu
menggenggam tangan Mama, sedangkan Mama hanya diam, tersenyum, dan
menatap laki-laki itu dengan lembut. Mama benar-benar seperti anak ABG yang
sedang dilanda asmara. Bia yakin, Mama pasti punya hubungan khusus dengan
laki-laki itu. Atau jangan-jangan... itu laki-laki yang sama dengan laki-laki yang
sering mengantar Mama pulang ke rumah.
Bia benar-benar nggak tahan melihatnya. Dia nggak suka melihat Mama
bertingkah seperti itu. Dia nggak akan rela mamanya disakiti lagi seperti ketika
Papa Ivan menyakiti Mama.
Bia berjalan cepat memasuki restoran itu.
Mama! tegur Bia keras. Mama Bia terlonjak kaget, Bia...
Siapa laki-laki ini, Ma" Punya hubungan apa dia sama Mama sampai Mama
membiarkan dia megang-megang tangan Mama" cecar Bia.
Seluruh mata yang ada di restoran itu memandang mereka. Tapi Bia nggak
peduli. Tenang dulu, Bi... Biar Mama jelasin ke kamu. Mama bangkit berdiri dan
berusaha menenangkan Bia. Ia menarik tangan Bia untuk duduk di sebelahnya.
Namun dengan kasar Bia menepisnya.
Bia... kamu jangan salah paham, kata Mama.
Salah paham" Aku salah paham" Ma, tingkah laku Mama sama laki-laki ini
udah aku lihat jelas, dan Mama masih bilang aku salah paham"
Bukan begitu, Bi... Bia menepis tangan Mama yang berusaha memegang bahunya, lalu ia
mendekati laki-laki itu. Gue kasih tau ya, jangan coba-coba deketin nyokap gue,
atau lo akan menyesal! Bia! hardik Mama. Jangan bicara nggak sopan sama orang tua!
Orang tua" tanya Bia sambil tertawa. Dia akan Bia anggap sebagai orang tua
kalau tingkah lakunya benar-benar mencerminkan orang tua. Bukan seperti playboy
yang lagi cari mangsa! PLAK! Tangan Mama melayang ke pipi Bia sambil berkata tajam, Jangan bicara
sekasar itu pada papamu! Bia terperangah. Dia nggak percaya pada apa yang didengarnya.
Ap-apa maksud Mama" Wajah Mama berubah pucat. Air mata menggenang di pelupuk matanya.
Bi, kita bicara pelan-pelan. Ada banyak hal yang harus Mama jelaskan ke
kamu. Apa maksud Mama" Bia nggak memedulikan kata-kata Mama. Siapa yang
Mama sebut papaku" Bia... kamu duduk dulu, Sayang, pinta Mama penuh permohonan. Sementara
laki-laki yang bersama Mama tampak kikuk. Dia mau bicara, tapi tak jadi.
Bia menggeleng. Dia nggak perlu penjelasan Mama. Kata-kata singkat Mama
tadi udah menjelaskan status laki-laki yang sekarang berdiri di sebelah Mama. Laki-laki bertubuh tegap dan berjambang tipis itu adalah laki-laki yang sudah
meninggalkan dirinya dan Mama. Laki-laki itulah yang telah membuat mereka
menderita selama ini. Laki-laki itulah yang telah membuat Bia terlahir di dunia ini
tanpa mengenal kasih sayang seorang ayah.
Bia berbalik dan keluar dari restoran tanpa memedulikan teriakan Mama. Dia
berlari cepat menuruni eskalator. Dia nggak peduli dengan crepes pesanannya, Yuki,
serta Cha-Cha yang tengah menunggunya di bioskop. Bia terus berlari dan berlari.
@(^-^)@ Bagi Bia ini seperti mimpi buruk. Bahkan langit yang sedang mendung seakan turut
memahami sakit hatinya ini. Bia meny
usuri trotoar dan berjalan tanpa tujuan. Dia
nggak mau pulang ke rumah karena dia sama sekali nggak mau ketemu Mama.
Hatinya sakit dan marah. Bia belum siap menghadapi semua kejadian ini.
Bia nggak percaya, laki-laki yang udah meninggalkannya selama 17 tahun tiba-tiba muncul di hadapannya dan duduk mesra bersama mamanya. Bia nggak tahu
harus gimana. Dia marah, sedih, kecewa, bahkan benci dengan semua yang harus
dia hadapi ini. Dia nggak mau mendengar penjelasan apa pun, dia nggak mau
mendengar permohonan maaf dari mulut laki-laki itu apalagi menerimanya sebagai
papanya. Bia benci mamanya, juga laki-laki brengsek itu. Bia ingin semua yang ada
di dunia ini menghilang. Bia nggak mau lagi menghadapi masalah-masalah yang
menyesakkan dadanya ini. Bia lelah... sangat lelah.
Bia! Bia mendengar seseorang memanggil namanya. Ia menoleh sejenak. Ada dua
cowok berjaket hitam yang berboncengan di sepeda motor. Bia menghentikan
langkah. Sepeda motor itu berhenti. Cowok yang duduk di boncengan turun lalu
melepaskan helm yang dipakainya.
Cowok itu... Egi! Halo, Bi! sapa Egi sambil menenteng helm di tangan kanannya. Kita jodoh
banget ya, di jalanan segede ini aja kita masih bisa ketemu.
Bia nggak membalas sapaan Egi. Dia malah membuang muka lalu meneruskan
langkahnya. Tapi Egi buru-buru menahannya.
Eits, jangan pergi dulu. Lo mau ke mana, Bi" Sendirian ya" Gue temenin ya"
Please, Gi. Jangan halangi jalan gue, kata Bia, tapi kali ini sama sekali nggak
ada nada kasar seperti biasanya.
Egi mengernyitkan kening. Dia merasa ada yang aneh pada gadis yang sedang
berdiri di hadapannya ini. Tapi dia memilih diam dan menyingkir dari hadapan Bia.
Bia kembali berjalan tanpa menoleh lagi ke belakang. Egi menatap Bia dan
semakin yakin pasti Bia sedang ada masalah.
Ted, lo baik aja duluan, kata Egi pada Teddy yang masih duduk di atas motor.
Teddy membuka helmnya. Lo mau ke mana sih" Mau ngejar tuh cewek"
Itu urusan gue, jawab Egi singkat sambil menyerahkan helmnya pada Teddy
dan langsung berlari mengejar Bia.
Dasar bego. Cewek kayak gitu kok dikejar, rutuk Teddy pelan. Dia memang
nggak benar-benar setuju dengan pilihan hati Egi, tapi sebagai teman, Teddy tahu
Egi benar-benar udah jatuh cinta pada cewek galak itu.
Egi berlari mengejar Bia yang tengah menaiki jembatan penyeberangan. Jaket
hitam melindungi tubuhnya dari udara yang mulai dingin karena akan turun hujan.
Langit mulai menghitam dan sesekali terdengar suara guntur bergemuruh.
Bia berjalan tanpa peduli pada orang-orang di sekelilingnya yang mulai berlari-lari takut kehujanan. Mendekati ujung jembatan, Bia memperlambat langkahnya
dan mendekati pagar jembatan. Kepalanya ditengadahkan menatap langit. Sesaat
kemudian ia kembali menatap jalan raya yang terhampar di bawah jembatan.
Egi yang sudah sampai di atas jembatan berusaha mencari sosok Bia.
Pandangannya sampai pada seorang cewek yan gsedang berdiri memegangi pagar
jembatan sambil menatap ke bawah. Jantungnya berdetak kencang. Apa Bia mau
bunuh diri" Bia...! panggil Egi sambil berlari menghampiri Bia lalu menarik tangannya
menjauhi sisi jembatan. Apa-apaan si lo" Seberat apa pun masalah yang lo hadapi,
lo nggak boleh berpikiran sempit apalagi kalau sampai bunuh diri. Itu dosa, Bi!
hardik Egi. Bia menatap Egi yang menggenggam pergelangan tangannya kuat-kuat. Lalu ia
tertawa. Lo pikir gue cewek bego" Siapa yang mau bunuh diri" Gue masih sangat
menghargai hidup gue. Egi terpana. Ternyata dugaannya salah. Dilepasnya tangan Bia dengan perasaan
lega. Bia masih tertawa lalu kembali berjalan mendekati sisi jembatan. Egi
mengikutinya dan berusaha menjajari langkah Bia.
Lo nggak mau pulang, Bi" tanya Egi. Udah mau hujan lho.
Jangan peduliin gue deh. Gue nggak butuh perhatian lo, jawab Bia ketus.
Egi diam. Tapi dia sama sekali nggak beranjak dari tempatnya. Gemuruh guntur
terdengar semakin kencang.
Gi, apa sih yang elo suka dari gue" ta
nya Bia tiba-tiba. Mau nggak mau Egi kaget juga mendengar pertanyaan itu. Kemudian ia
menjawab, Awalnya ya karena wajah lo yang imut itu. Bisa dibilang, gue jatuh
cinta pada pandangan pertama. Tapi lama-kelamaan, gue jatuh cinta sama seluruh
diri lo. Hening sejenak di antara mereka. Hingga akhirnya Bia bertanya, Sampai kapan
lo akan menyukai gue"
Gue nggak tau sampai kapan, jawab Egi. Karena kalau gue bilang sampai
selamanya, jelas banget itu gombal.
Bia diam. Egi menatap cewek yang berdiri di sampingnya dengan sejuta tanya.
Dia tahu Bia tengah dilanda masalah.
Bi, kalau elo lagi punya masalah, cerita aja ke gue. Mungkin gue nggak bisa
bantu, tapi paling nggak dengan menceritakannya pada orang lain, bisa
meringankan beban yang mengimpit dada lo, kata Egi pelan.
Bia tetap diam. Matanya menerawang jauh ke depan. Tapi sesaat kemudian, ia
berkata lirih, Gue marah sama nyokap gue. Gue benar-benar marah sama dia...
Egi menarik napas panjang lalu mengembuskannya perlahan. Mmm... boleh
gue tau alasannya" Lagi-lagi Bia diam. Namun kemudian ia kembali menjawab, Gue merasa ditipu
nyokap gue, Gi. Egi diam. Dia sama sekali nggak menanggapi kata-kata Bia.
Bia menarik napas, lalu kembali melanjutkan ceritanya, Gue lahir tanpa pernah
tau siapa ayah kandung gue. Nyokap gue nggak pernah mau menceritakan asal-usul
gue sebenarnya. Gue besar tanpa pernah tau siapa ayah kandung gue. Yang gue tau,
gue cuma anak haram. Anak di luar nikah. Saat nyokap gue menikah lagi dengan
Papa Ivan, gue pikir gue akan memiliki seorang ayah yang bisa gue banggakan, tapi
ternyata Papa Ivan juga meninggalkan nyokap gue dan selingkuh dengan wanita
lain. Gue kembali kehilangan seorang ayah. Gue emang nggak pernah layak punya
ayah... Bia menghentikan ceritanya.
Sori, Bi. Kalau tentang masa lalu lo itu, gue udah tau, kata Egi pelan.
Wajar kalau lo tau karena ini bukan cerita baru. Semua orang juga tau kalau
gue cuma anak haram. Jadi cuma itu masalahnya" Egi bertanya kembali.
Bia menggeleng. Masalahnya, laki-laki itu sekarang muncul.
Laki-laki itu" Ya, laki-laki yang udah ninggalin gue dan nyokap gue begitu aja. Laki-laki
yang udah membuat gue disebut anak haram.
Maksud lo, bokap kandung lo"
Dia bukan bokap gue! bentak Bia. Gue nggak akan pernah mengakui dia
sebagai bokap gue. Gue nggak akan membiarkan dia kembali ke nyokap gue setelah
tujuh bleas tahun dia meninggalkan gue dan nyokap gue tanpa kabar berita. Gue
nggak akan pernah memaafkan dia! Laki-laki itu nggak layak gue panggil Papa.
Dari dulu gue nggak punya bokap dan sampai kapan pun gue nggak akan punya
bokap! Egi terpana. Dia nggak menyangka Bia akan seemosional ini.
Bi, lo tau nggak... Sebenarnya... lo tuh beruntung banget.
BERUNTUNG"!
Pacarku Juniorku Karya Valleria Verawati di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Iya, beruntung, jawab Egi, karena lo masih dikasih kesempatan sama Tuhan
untuk bertemu bokap lo dan mempersatukan lagi keluarga lo.
Kali ini Bia terdiam. Apa lo pernah berpikir, Bi, betapa beruntungnya hidup lo" Meskipun elo
nggak tau siapa bokap kandung lo, lo selalu dihujani kasih sayang berlimpah dari
nyokap lo. Nggak seperti gue, yang dari lahir nggak pernah sekali pun mengenal
orangtua gue sebenarnya. Bia terkejut. Dia menoleh dan menatap Egi yang tersenyum di sebelahnya.
Orangtua gue yang sekarang ini sebenarnya bukan orangtua kandung gue.
Mereka mengadopsi gue dari panti asuhan waktu gue masih bayi. Pertama kali gue
mengetahui kenyataan itu, gue hampir gila. Gue marah sama semua orang, gue
marah sama Tuhan, gue juga marah sama diri gue sendiri. Gue bertanya-tanya
untuk apa orangtua kandung gue melahirkan gue kalau akhirnya mereka
membuang gue ke panti asuhan.
Egi menghentikan ceritanya sesaat dan menarik napas dalam-dalam.
Tapi akta-kata nyokap angkat gue membuat gue sadar akan arti kehidupan.
Waktu itu, sambil nangis nyokap gue bilang, dia berterima kasih karena orangtua
kandung gue telah melahirkan gue ke dunia ini dan menitipkan g
ue ke panti asuhan. Kalau itu nggak terjadi, nyokap gue nggak akan pernah bertemu dan
mengadopsi gue sebagai anaknya. Maka nyokap gue nggak pernah memiliki
seorang anak laki-laki yang begitu dia sayangi seperti dia menyayangi gue. Kata-kata itu yang akhirnya menyadarkan gue untuk menerima semua kenyataan ini
sebagai bagian dari kehidupan gue. Gue mulai belajar bahwa semua yang terjadi
adalah bagian dari rencana Tuhan yang pastinya indah buat gue pada waktunya,
lanjut Egi. Gi, apa lo bisa memaafkan orangtua yang udah membuang elo itu" tanya Bia
lirih. Gue nggak tau. Tapi kalau suatu hari nanti Tuhan ngizinin gue untuk bertemu
dengan mereka, gue akan mengucapkan terima kasih pada mereka, jawab Egi.
Terima kasih" Iya, terima kasih karena mereka tetap membiarkan gue lahir ke dunia ini,
terima kasih karena gue dititipkan ke panti asuhan dan bukan dibuang ke jalanan,
terima kasih karena mereka telah membuat gue bertemu dengan orangtua angkat
yang luar biasa baiknya, terima kasih karena mereka membuat gue memiliki
kehidupan yang layak, dan terima kasih karena mereka memberi gue kesempatan
untuk menghirup udara hari ini.
Bia terpana. Setiap kata yang keluar dari mulut Egi seakan menusuk hatinya.
Direnunginya setiap kata itu satu demi satu.
Apa menurut lo perginya bokap kandung gue dan perceraian nyokap gue
dengan Papa Ivan juga merupakan bagian dari rencana Tuhan"
Ya, jawab Egi mantap. Kenapa" tanya Bia lagi.
Karena menurut gue, tanpa semua itu nggak aka nada Bia dengan sifatnya
yang keras tapi tegar, nggak aka nada Bia yang jagoan tapi berhati lembut, nggak
aka nada Bia yang berdiri di samping jembatan bersama gue hari ini, dan nggak aka
nada Bia yang membuat gue jatuh cinta dan tergila-gila...
Bia terdiam. Tanpa ia sadari, pipinya memerah dan jatunya mendadak berdebar
keras. Ada rasa hangat yang tiba-tiba mengalir di dalam dirinya.
Titik-titik air turun dari langit. Udara dingin terasa semakin menusuk. Tapi Bia
tetap berdiri di tempatnya sambil memandang lurus ke depan. Air hujan turun
semakin deras. Tapi Bia bergeming. Egi pun tetap berdiri di sebelah Bia tanpa suara.
Dilepasnya jaket yang melekat di tubuhnya dan disampirkannya di pundak Bia
untuk melindungi gadis itu dari hujan yang turun dengan derasnya serta angin
yang bertiup kencang. Bia melirik Egi yang masih berdiri di sebelahnya dengan kedua tangan terlipat
di depan dada melawan rasa dingin yang kian menusuk. Bia tersenyum lalu
menegadahkan kepalanya, menantang langit dengan kedua mata terpejam.
Dibiarkannya air hujan membasahi wajah dan membersihkan air mata yang tanpa ia
sadari mengalir dari sudut matanya.
@(^-^)@ Bia turun dari taksi tepat di depan rumahnya. Rambut dan sebagian bajunya yang
nggak tertutup jaket basah kuyup karena hujan. Egi-lah yang mengantarnya naik
taksi, dan Egi juga yang membayar taksinya.
Sebelum turun, tak lupa Bia mengucapkan terima kasih pada Egi, yang dibalas
dengan senyum manis cowok itu.
Hujan udah reda. Bia membuka pagar dan masuk ke rumah tanpa suara.
Bia! pekik Cha-Cha begitu dilihatnya Bia masuk dalam keadaan basah.
Mama dan Yuki yang juga berada di ruang tamu bersama Cha-Cha tampak
sama terkejutnya dengan Cha-Cha.
Bia! seru Mama yang langsung berlari menghampiri Bia dengan mata berkaca-kaca. Yuki dan Cha-Cha mengikuti di belakang mama Bia dengan wajah cemas.
Mama langsung memeluk Bia dengan erat dan menangis kencang. Bia terpana.
Dia nggak mengira semua akan menunggunya seperti ini. Dia juga sama sekali
nggak mengira Mama akan mengkhawatirkannya seperti ini.
Kamu ke mana, Bi" tanya Mama di sela isak tangisnya. Kamu benar-benar
udah bikin Mama khawatir. Jangan hokum Mama dengan cara seperti ini, Bi. Mama
nggak bisa kehilangan kamu. Cuma kamu yang Mama miliki.
Bia hanya diam dan menunggu sampai tangis Mama mereda. Lalu perlahan
dilepasnya pelukan Mama . Boleh aku mandi sekarang" tanya Bia tanpa ekspresi. Entah kenapa, walaupun
emosinya telah mereda, masih ada yang mengganjal dalam hatinya. Saat ini Bia
masih ingin menyendiri dulu.
Mata Mama yang merah menatap Bia. Dari mata itu terpancar kepedihan. Bia
nggak berani memandang Mama. Dia mengalihkan pandangannya ke arah Yuki dan
Cha-Cha. Yu, Cha, sori udah bikin kalian cemas. Makasih banyak, tapi gue rasa sekarang
lebih baik kalian pulang karena gue mau sendiri dulu, kata Bia.
Yuki dan Cha-Cha nggak menjawab, tapi mereka mengerti permintaan Bia.
Ya udah. Yang penting kami tau elo baik-baik aja. Sampai ketemu di sekolah,
Bi, pamit Yuki. Kami permisi dulu, Tante.
Mama menganggukkan kepala dan mengucapkan terima kasih berulang-ulang
kepada Yuki dan Cha-Cha. Sepeninggal mereka, Bia bergegas mengambil handuk
dan masuk ke kamar mandi.
Bia menatap wajahnya di depan cermin yang terpasang di balik pintu kamar
mandi. Dia baru menyadari bahwa di badannya masih menempel jaket Egi. Bia
melepas jaket itu dan menggenggamnya erat. Di hatinya menjalar perasaan hangat.
Kalau saja tadi Egi nggak ada, Bia yakin dia nggak akan tahu bagaimana caranya
menghadapi kejadian ini. @(^-^)@ Bia berbaring di tempat tidurnya. Dia masih belum bicara dengan Mama. Tadi
sehabis mandi dia langsung masuk kamar dan mengunci diri. Dan yang membuat
Bia heran, sampai sekarang Mama belum berusaha memanggilnya dan bicara
dengannya. Sebenarnya Bia nggak mau seperti ini, tapi gengsinya membuat dia
bertahan untuk nggak bicara duluan sama Mama.
Tiba-tiba terdengar ketukan halus di pintu kamarnya. Bi, boleh mama bicara
sama kamu" Sebentar, jawab Bia, lalu bangkit dari tempat tidur dan berjalan menuju pintu
kamar. Wajah Mama muncul dari balik pintu. Bia membiarkan Mama masuk ke kamar.
Bia duduk di atas tempat tidur dan menarik guling ke dalam pelukannya,
sedangkan Mama duduk di sebelahnya.
Bi, apa kamu masih marah sama Mama" tanya Mama pelan, mengawali
pembicaraan. Bia diam saja. Mama minta maaf, Bi, kata Mama. Mama nggak bermaksud menampar
kamu. Kamu tau Mama sayang sama kamu.
Bia tetap bungkam. Mama menghela napas panjang lalu berkata, Kalau kamu nggak mau Mama
berhubungan dengan Oom Frans, ayah kandungmu, Mama janji nggak akan
menemuinya lagi. Kali ini Bia menatap mamanya.
Jadi namanya Frans" tanya Bia.
Mama mengangguk. Apa dia laki-laki yang sering mengantar Mama pulang kerja"
Sekali lagi Mama mengangguk.
Sejak kapan dia kembali" Untuk apa dia datang lagi setelah sekian lama dia
ninggalin kita" Mama bertemu dia lagi tiga bulan yang lalu. Dia menghubungi Mama dan
memohon untuk bertemu dengan Mama. Awalnya Mama menolak, tapi dia terus
memaksa. Akhirnya Mama setuju. Dari pertemuan itulah Mama tau alasan dia
meninggalkan Mama waktu itu.
Jadi apa alasannya" Apa alasan yang udah membuat dia meninggalkan kita
selama tujuh belas tahun"
Bi, sebenarnya... bukan dia yang meninggalkan Mama, tapi Mama yang
meninggalkan dia. Maksud Mama" Mama masih seumuran kamu sewaktu Mama mengandung kamu. Tapi saat itu
Mama sudah lulus SMA dan bekerja membantu kakekmu menjaga warung. Waktu
Mama mengatakan pada papamu bahwa Mama hamil, dia diam. Dia tidak
merespons kata-kata Mama. Mama marah. Tapi dia tetap diam, seakan tidak peduli
pada apa yang Mama katakan. Saat itu Mama berpikir dia tidak mau bertanggung
jawab. Kemudian selama hampir satu bulan lebih dia menghilang.
Nenek dan kakekmu yang akhirnya mengetahui kehamilan Mama membawa
Mama meninggalkan rumah dan pindah ke Magelang agar orang-orang tidak
mengetahui kehamilan Mama. Mama menetap di sana sampai Mama melahirkan
kamu. Mama membenci papamu dan tidak mau mendengar kabar apa pun tentang
dia. Mama bahkan tidak pernah menganggap dia sebagai papamu... Mama
berhenti bicara. Tapi ternyata selama ini Mama salah, lanjut Mama. Papamu tak pernah
bermaksud meninggalkan Mama. Dia diam k
arena saat itu dia kaget dan tidak tahu
harus berbuat apa. Dia menghilang selama sebulan karena dia kembali ke
Pekanbaru menemui orangtuanya dan bersiap-siap ke Jakarta untuk melamar
Mama. Tapi saat kembali ke Jakarta, dia tidak menemukan Mama karena Mama
telah pindah ke Magelang tanpa memberitahu siapa pun. Dia berusaha mencari
Mama tapi tidak berhasil. Sampai akhirnya tiga bulan yang lalu dia tahu dari teman
sekolah Mama di mana tempat Mama bekerja.
Bia mengernyitkan kening. Mama lagi ngarang cerita apa sih" Rasanya yang
Mama ceritakan ini kayak sinetron aja.
Ini bukan karangan, Bi. Ini kenyataan! bentak Mama.
Bia diam tanpa tahu harus menjawab apa.
Selama ini mama tidak mau bercerita tentang ayah kandungmu karena Mama
marah dan membencinya. Mama mengira dia meninggalkan Mama dan tidak mau
bertanggung jawab. Mama mengikuti perintah Kakek dan Nenek untuk pindah ke
Magelang karena Mama ingin melupakan dia dan melahirkan kamu dengan tenang.
Mama sama sekali tidak tau bahwa ternyata pikiran Mama salah. Mama tidak tau
bahwa ternyata selama ini dia terus mencari Mama, mencari kita berdua.
Dia... apa dia belum menikah sampai sekarang" tanya Bia ragu.
Sudah. Bia terkejut. Tapi katanya dia terus mencari Mama. Kalau dia menikah, itu
berarti dia nggak mengharapkan kita lagi.
Dia terpaksa menikahi gadis itu karena orangtuanya memaksa. Laki-laki
seusianya jelas harus menikah, apalagi dia telah memiliki karier yang jelas. Kita
tidak bisa menyalahkannya, bela Mama. Tapi sayangnya, istri dan anaknya telah
meninggal dua tahun yang lalu.
Meninggal" Ya, meninggal dalam kecelakaan lalu lintas. Anaknya sempat koma selama dua
minggu sebelum akhirnya meninggal.
Bia memeluk guling erat-erat.
Bi, papamu ingin... bertemu denganmu. Dia selalu meminta Mama untuk
mempertemukan dia dengan kamu, tapi Mama menolaknya karena Mama tau kamu
tidak akan bisa menerimanya begitu saja. Mama tau kamu sangat membenci dia.
Tapi bisakah kamu memberinya satu kali kesempatan untuk menjelaskan semuanya
padamu" kata Mama lembut.
Aku nggak tau, Ma. Aku nggak tau apa aku bisa bicara baik-baik dengannya
meskipun semua ini bukan murni kesalahannya. Dia udah ninggalin aku selama
tujuh belas tahun. Aku nggak tau apa aku bisa memaafkan dia.
Kalau begitu apa kamu mau memaafkan Mama" Keegoisan Mama yang
membuat kamu tidak pernah mengenal ayah kandungmu. Kalau waktu itu Mama
percaya pada ayahmu dan sabar menunggunya kembali, kamu tidak akan pernah
disebut anak haram, kata Mama pelan. Air mata mengalir di pipinya.
Bia melepas guling di tangannya dan memeluk Mama dengan erat. Mama
nggak salah. Nggak ada yang harus aku maafin dari Mama. Mama sama sekali
nggak salah. Mama menangis dan membalas pelukan Bia dengan hangat.
BAB TUJUH BIA terjaga dari tidurnya sejak subuh. Sekarang matanya terbuka lebar dan enggan
menutup kembali. Sambil berbaring, ditatapnya langit-langit kamar. Kepalanya
terasa penuh dan berat. Masalah kemarin seperti baru saja terjadi. Tidur pun nggak
mampu menghapus beban di hatinya. Bia nggak tahu harus berbuat apa. Nggak
mudah baginya untuk menerima kembali seorang ayah yang sudah
meninggalkannya, apalagi untuk memaafkannya. Tujuh belas tahun bukan waktu
yang singkat. Lampu di luar kamar menyala. Sepertinya Mama juga sudah terbangun. Bia
menendang selimutnya dan bangkit dari tempat tidur. Ia berjalan keluar dari kamar
tidur menuju arah cahaya. Ternyata lampu dapur yang menyala. Bia mengintip
Mama dari balik dinding. Dilihatnya Mama duduk di meja makan sambil
memegang gelas berisi air. Mata Mama menerawang. Kerut-kerut pertanda usia
yang terus bertambah mulai tampak di wajah Mama. Tampak lingkaran hitam di
bagian bawah mata Mama. Sepertinya Mama nggak tidur semalaman.
Bia bersandar di dinding sambil terus menatap Mama. Tujuh bleas tahun, pasti
waktu yang sangat berat bagi Mama, pikir Bia. Mama
berjuang seorang diri membesarkan aku. Mama berusaha tegar menghadapi gunjingan para tetangga.
Mama menekan rasas akit dan kecewa karena pengkhianatan Papa Ivan. Dan Mama
terus berusaha menjadi ibu yang baik buat aku. Penderitaan Mama jauh lebih berat
dibandingkan apa yang aku rasakan.
Bia menghela napas. Apa yang harus aku lakukan" batinnya. Apa aku harus
memaafkan laki-laki itu dan menerimanya kembali" Apa aku bisa melakukan itu"
Memanggil laki-laki yang telah meninggalkan aku selama ini sebagai Papa, apa aku
bisa" Tapi kalau aku nggak bisa, aku akan terus membuat Mama mengalami
kepedihan ini. Kalau di rumah ini ada seorang kepala rumah tangga, mungkin
Mama nggak perlu bekerja lagi.
Kata-kata Egi kemarin terngiang kembali di telinga Bia, Bia, lo tau... sebenarnya
lo itu sangat beruntung karena masih dikasih kesempatan sama Tuhan untuk bertemu bokap
lo dan mempersatukan lagi keluarga lo...
Bia menatap wajah Mama. Ia bertekad akan membuat Mama bahagia. Mungkin
Egi benar, aku beruntung masih diberi kesempatan untuk mempersatukan lagi
keluargaku. Aku hanya perlu belajar untuk menerima laki-laki itu sebagai ayahku
dan memberinya kesempatan untuk membayar utangnya selama ini kepada kami,
utang berbentuk kewajiban dan tanggung jawab mengurus anak istri.
Bia menarik napas dalam-dalam lalu mengembuskannya perlahan. Dia
memejamkan mata, lalu menghitung satu sampai sepuluh. Ditariknya napas dalam-dalam sekali lagi. Ia membuka mata dan tersenyum. Ajaib, beban yang memadati
pikirannya seakan lenyap begitu saja. Bia merasa lebih ringan. Dia tahu apa yang
harus dilakukannya sekarang.
Lalu dia berjalan mendekati Mama yang masih duduk termangu di meja makan.
Ma..., panggil Bia pelan.
Mama terkejut. Kamu sudah bangun, Bi" Ini kan masih subuh" Bukannya hari
ini hari Minggu" Biasanya kalau hari Minggu kamu selalu bangun siang.
Mama sendiri juga sudah bangun, sahut Bia.
Ng... ini, Mama cuma mau ambil air minum.
Bia menarik kursi dan duduk di depan Mama. Tidur Mama nyenyak"
Iya. Kamu sendiri gimana"
Nggak begitu nyenyak. Tapi paling nggak lingkaran hitam di mataku nggak
sehitam di mata Mama. Ah, masa" Tapi Mama tidur nyenyak kok. Mama meraba bagian bawah
matanya sambil tersenyum.
Bia membalas senyuman itu tapi dia tahu mama berbohong.
Ma, aku mau ketemu sama laki-laki itu, kata Bia pelan. Ajak dia makan
malam di sini. Aku mau mendengar penjelasan langsung dari mulutnya. Setelah itu
Pacarku Juniorku Karya Valleria Verawati di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
baru aku akan mencoba memikirkan apakah aku akan memaafkannya atau nggak.
Mama terpana. Sungguh, Bi" Kamu mau bertemu dengan papamu"
Aku belum mengakuinya sebagai papaku, tapi aku akan memberinya
kesempatan bicara. Mama mengangguk. Iya, Mama tau. Mama mengerti, Bi.
Ya udah, aku mau tidur lagi, kata Bia, lalu meninggalkan Mama yang masih
tersenyum lega. Bia kembali ke kamarnya dan bersandar di balik pintu sambil berharap semoga
keputusannya ini benar-benar tepat.
@(^-^)@ Sore harinya, Bia gelisah. Ia mondar-mandir di kamarnya kayak setrikaan. Jarum
jam sudah menunjuk angka 6. Mama sudah menyuruh Oom Frans datang untuk
makan malam. Kalau begitu, sebentar lagi laki-laki itu tiba.
Bia benar-benar cemas. Dia nggak tahu bagaimana caranya menenangkan diri.
Mama sudah memasak makanan istimewa untuk malam ini. Sedangkan Bia sejak
pagi sampai sekarang masih mengurung diri di kamar.
Telapak tangan Bia mulai basah karena keringat. Baru kali ini ia merasa secemas
ini. Waktu pertama kali berkenalan dengan Papa Ivan dulu, Bia santai saja. Kali ini
entah kenapa Bia merasa kesulitan mengontrol debar jantung, keringat, dan rasa
takut yang menyesakkan dadanya. Gila, ada apa pada diriku" rutuk Bia. Aku mau
ketemu sama papaku sendiri, buat apa aku takut begini" Bia mengacak-acak
rambutnya kesal. Dia semakin frustrasi.
Terdengar suara deru mobil di depan rumah. Bia menajamkan pendengarannya.
Lalu ada suara pintu yang dibuka. Laki-laki itu pasti sudah datang.
Bia bangki t lalu berjalan menuju pintu kamarnya. Tapi sesaat kemudian dia
berhenti. Nggak, aku nggak boleh keluar duluan, kata Bia pada dirinya sendiri. Aku
nggak boleh menunjukkan bahwa aku menunggu kedatangannya. Aku harus
menunggu Mama memanggilku keluar.
Ketukan halus terdengar dari luar. Bi, Oom Frans sudah datang.
Aku tau, jawab Bia. Sebentar lagi aku keluar.
Mama tunggu ya, Bi, sahut Mama lembut.
Bia nggak menjawab lagi. Jantungnya berdegup semakin kencang dan liar.
Ditatapnya jaket hitam milik Egi yan gsudah terlipat rapi di meja belajarnya. Bia
berjalan mendekati jaket itu dan mengambilnya.
Gue lakukan ini semua gara-gara elo, Gi, kata Bia sambil menatap jaket itu
lekat-lekat. Kalau sampai hasilnya malah buruk, elo orang pertama yang bakal gue
damprat. Bia meletakkan kembali jaket itu ke meja belajarnya dan berjalan keluar dari
kamar. @(^-^)@ Oom Frans sudah duduk bersama Mama di meja makan. Meja makan yang selama
ini hanya terdiri atas dua kursi, hari ini sudah ditambahkan Mama dengan kursi
plastik yang diambil dari gudang. Bia ingat, kursi itu sebenarnya kursi yang dipakai
Papa Ivan sewaktu Papa Ivan masih menikah dengan Mama.
Bia duduk di tempatnya yang biasa. Suasana terasa berbeda. Atmosfer tegang
memenuhi ruangan. Bia menatap laki-laki yang duduk di hadapannya. Waktu di
restoran kemarin Bia nggak sempat memerhatikan wajahnya dengan mendetail
karena keburu terbakar emosi.
Oom Frans bertubuh tegap. Lebih tinggi sedikit daripada Mama, mungkin
sekitar 165 cm. Alisnya tebal. Rambutnya masih banyak yang hitam. Penampilannya
rapi dan bersih. Hidungnya nggak mancung tapi juga nggak terlalu pesek. Ada
kumis tipis di atas bibirnya. Wajahnya kelihatan ramah dan lembut. Nggak kayak
bapaknya Cha-Cha yang tampangnya rada sangar.
Bia, ini Papa... eh, Oom Frans, Mama mengawali pembicaraan dengan
memperkenalkan laki-laki yang ada di hadapan Bia.
Aku udah tau namanya kok, Ma, jawab Bia ketus.
Apa kabar, Bia" tanya laki-laki itu. Kelihatan banget dia berusaha ramah pada
Bia. Kabarku" Bia malah balik bertanya. Kabarku waktu umur berapa yang mau
Oom tanyakan" Waktu aku masih bayi, waktu aku pertama kali masuk SD, atau
kabarku waktu aku masuk rumah sakit gara-gara usus buntu"
Bia! tegur Mama. Jaga ucapanmu!
Oom Frans tersenyum. Nggak apa-apa, biarkan dia mengeluarkan semua
kemarahannya padaku. Bagaimanapun aku memang sudah bersalah padanya.
Bukan hanya padaku, tapi juga pada Mama! bentak Bia. Oom ke mana aja
waktu Mama melahirkanku, waktu aku pertama kali belajar berjalan, waktu aku
menangis karena jatuh dari sepeda, waktu Mama jatuh sakit karena terlalu lelah
bekerja"! Bia meluapkan emosinya. Apa Oom tau betapa sakitnya diejek sebagai anak
haram, apa Oom tau betapa sedihnya melihat Mama menanggung semua beban
rumah tangga, apa Oom tau betapa merananya tidak memiliki ayah"
Oom Frans terdiam. Senyum di bibirnya lenyap. Mama menundukkan kepala,
dan Bia tahu Mama sedang menangis.
Maaf, Bia, kata Oom Frans lirih.
Maaf" tanya Bia. Apa kata maaf bisa menghilangan semua penderitaan yang
aku dan Mama alami selama ini" Apa satu kata maaf bisa membuat masa kecilku
yang menyedihkan menjadi lebih baik"
Oom Frans nggak menjawab.
Sejak kecil aku harus menahan rasa sedih dan marah setiap kali mendengar
orang-orang menghinaku. Aku harus menahan diri saat aku mendengar mereka
menggunjingkan Mama. Aku hanya bisa menangis, tapi nggak bisa melakukan apa
pun. Seitap kali orang menanyakan di mana papaku, aku cuma bisa diam. Kalau
teman-temanku dengan bangganya menceritakan pekerjaan papanya, aku cuma bisa
menghindar supaya mereka nggak menanyakannya padaku. Dan sekarang Oom
hanya bisa mengatakan maaf"
Lalu apa yang harus Oom lakukan untuk menebus semua kesalahan Oom"
tanya Oom Frans pelan. Bia diam. Matanya menatap laki-laki di depannya itu.
Jelaskan padaku alasan Oom meninggalkan kami.
Oom nggak pernah berniat meninggalkan kalian. Oom mencintai mamamu
dengan tulus. Sewaktu Oom mengetahui kehamilan mamamu, jujur saja, Oom
sempat merasa ragu. Oom takut keluarga Oom tidak bisa menerima semua ini. Kami
masih terlalu muda. Oom belum punya pekerjaan yang jelas. Oom bingung dengan
apa akan menghidupi kalian kelak. Tapi akhirnya Oom memutuskan untuk kembali
ke Pekanbaru dan bicara dengan orangtua Oom, tanpa pamit pada mamamu.
Mungkin itu yang membuat mamamu salah paham dan mengira Oom tidak mau
bertanggung jawab, jawab Oom Frans.
Saat Oom kembali ke Jakarta, mamamu sudah pergi. Oom sudah berusaha
mencari, tapi tidak dapat menemukan kalian, lanjut Oom Frans.
Dan setelah itu Oom menyerah dan berhenti mencari" tanya Bia ketus.
Tidak. Oom terus mencari kalian sampai akhirnya Oom mendapat kabar
tentang pabrik tempat mamamu bekerja.
Lalu kenapa Oom menikah dengan orang lain"
Oom terpaksa. Oom tidak mungkin terus sendirian karena orangtua Oom
sangat menginginkan seorang cucu.
Aku kan cucu mereka...! Bi, waktu itu Oom sama sekali tidak mengetahui keberadaan kalian dan Oom
terpaksa menuruti keinginan mereka.
Dan kalian hidup bahagia sementara aku dan Mama berjuang menahan
derita. Melihat Bia semakin emosi dan Oom Frans semakin terdesak, mama Bia
menyela, Bia, jangan terus menyudutkan Oom Frans. Dia telah kehilangan anak
dan istrinya, dia juga telah menyesali semua kesalahannya. Apa kamu tidak bisa
memaafkannya" Biar saja, Ma. Anggap saja itu ganjaran dari Tuhan.
Bia..., Mama berkata memelas.
Sudah, Maya, biarkan Bia menumpahkan kemarahannya. Aku terima, ujar
Oom Frans pada mama Bia. Bia terdiam sejenak. Tapi tak lama kemudian, ia melontarkan pertanyaan lagi
pada Oom Frans, Terus, dengan apa Oom akan membayar semua penderitaan aku
dan Mama selama ini"
Oom akan membayar dengan seluruh sisa hidup Oom, jawab Oom Frans
dengan tegas dan tanpa ragu.
Bia terdiam lagi. Kebimbangan menyelimuti dirinya. Ditatapnya laki-laki di
depannya. Pantaskah laki-laki ini menerima maaf darinya" Tapi kalau dia nggak
memaafkannya, bagaimana perasaan Mama" Bia jelas tahu, Mama telah memaafkan
Oom Frans dan mau menerimanya kembali. Apa Bia juga harus seperti Mama"
Makanannya udah dingin, kata Bia akhirnya. Lebih baik kita makan karena
aku udah lapar. Dan sebaiknya Oom jangan terlalu lama di rumah ini. Aku nggak
mau tetangga menyebarkan gosip nggak enak tentang Mama. Kalau memang Oom
mau tinggal di rumah ini, nikahi Mama dulu secara resmi.
Oom Frans nggak menjawab. Ia berusaha mencerna kata-kata yang keluar dari
mulut Bia. Sesaat kemudian dia pun mengerti. Bia memang belum benar-benar
memaafkannya, tapi Bia bersedia memberinya kesempatan untuk memperbaiki
semua kesalahan yang telah dia lakukan.
Oom Frans hanya diam dan memandang Bia sambil menyunggingkan senyum
kelegaan. Mama juga tersenyum. Air mata haru mengalir dari sudut matanya.
Meskipun Bia belum bersedia mengakui Oom Frans sebagai ayahnya, tapi paling
nggak, Bia mau menerima Oom Frans sebagai bagian dari keluarga mereka. Bagi
mama Bia, itu sudah merupakan hal yang sangat membahagiakannya. Itu sudah
lebih dari cukup. @(^-^)@ Esok harinya, Cha-Cha dan Yuki menunggu Bia di depan kelas. Mereka udah
pengin banget mendengarkan cerita Bia tentang kejadian Sabtu kemarin.
Begitu Bia muncul dari ujung koridor, Yuki dan Cha-Cha langsung berlari ke
arahnya. Bia, ayo buruan jalannya! seru Cha-Cha langsung menarik tangan Bia menuju
kelas. Apaan sih" tanya Bia heran. Tapi dia menurut juga. Dipercepatnya langkah
kakinya mengikuti Cha-Cha. Yuki berjalan di sebelahnya dengan tersenyum.
Sesampainya di kelas, Cha-Cha membantu Bia melepas tasnya lalu menekan
pundak Bia agar segera duduk. Asli, Bia heran banget melihat tingkah dua sobatnya.
Ada apa sih" tanya Bia.
Mestinya kami yang nanya... ada apa sih kemarin" tanya Cha-Cha.
Mendengar pertanyaan Cha-Cha,
Bia mulai mengerti kenapa sobat-sobatnya ini
menunggunya di depan koridor.
Kemarin... ng... oh ya, soal kemarin, gue mau bilang sori nih. Gue udah
nyusahin kalian berdua, kata Bia. Tapi sekarang masalah gue udah selesai kok.
Nah itu yang mau kami tanyain. Masalah apa sih" tanya Yuki. Cerita dong,
Bi! Mmm... kemarin gue ngeliat nyokap gue makan berdua sama laki-laki yang
nggak gue kenal. So what" tanya Cha-Cha heran.
Yuki langsung memelototi Cha-Cha dan menyuruhnya diam.
Laki-laki itu ternyata... bokap kandung gue.
HAH"! seru Cha-Cha kaget tanpa bisa menahan diri.
Yuki kembali memelototi Cha-Cha. Cha-Cha membekap mulutnya dengan
kedua telapak tangn. Nyokap gue udah cukup lama berhubungan lagi dengan dia, dan selama ini
nyokap gue menutupiya dari gue. Nyokap takut gue nggak mau menerima
kehadiran laki-laki itu. Jadi kemarin itu lo ribut sama nyokap lo" tanya Yuki pelan.
Bia mengangguk. Jadi... karena itu juga lo ninggalin kami beruda di mal"
Bia kembali mengangguk sambil menjawab, Gue benar-benar marah dan kaget.
Laki-laki itu, namanya Oom Frans, setelah tujuh belas tahun ninggalin gue dan
Nyokap, tiba-tiba muncul di depan gue dan bermesraan dengan nyokap gue. Gue
benar-benar marah dan nggak tau harus bagaimana. Saat itu gue cuma pengin
sendiri dulu sehingga gue ninggalin kalian begitu aja. Maaf ya.
Trus sekarang gimana" tanya Yuki lagi.
Gue tau nyokap gue udah memaafkan dan bersedia menerima Oom Frans
kembali. Dan gue juga udah bicara dengan laki-laki itu. Dia minta maaf sama gue
meskipun nggak semudah itu bagi gue untuk bisa memaafkannya. Dia cerita,
sebenarnya dia nggak bermaksud ninggalin gue dan nyokap gue. Tapi
kesalahpahaman yang terjadi antara dia dan nyokap gue membuat semuanya jadi
begini. Jadi... elo nggak mau menerima dia" tanya Yuki.
Jujur aja, gue belum bisa memaafkan dia, jawab Bia. Tapi gue tau, laki-laki
itu mungkin bisa membahagiakan nyokap gue. Kalau mereka bersatu lagi, nyokap
gue nggak perlu bekerja keras untuk membiayai hidup gue. Dia bisa istirahat dan
menikmati hidup. Gue pengin ngeliat nyokap gue bahagia.
Elo melakukan semua ini untuk nyokap lo, Bi" tanya Cha-Cha.
Bia mengangguk. Ada yang bilang ke gue bahwa gue tuh sebenarnya
beruntung karena dikasih kesempatan untuk mempersatukan keluarga gue kembali.
Gue cuma nggak mau menyia-nyiakan keberuntungan gue itu. Gue rasa ini semua
bagian dari rencana Tuhan. Dia membuat gue nggak punya ayah dari kecil agar gue
tumbuh jadi perempuan yang tegar dan kuat. Dan sekarang, saat gue dirasaNya
udah cukup kuat dan tegar, Dia mengembalikan sosok ayah itu lagi ke gue. Dan Dia
pasti punya rencana tersendiri di balik semua kejadian ini. Mungkin aja Dia pengin
gue belajar memaafkan, dan nanti seiring berjalannya waktu, gue bisa memaafkan
Oom Frans dan menerimanya dengan tulus. Who knows.
Yuki dan Cha-Cha menatap Bia heran.
Lo makan apa semalem, Bi" tanya Cha-Cha.
Makan apa" Bia malah balik bertanya dengan heran. Gue nggak makan apa-apa. Memangnya kenapa"
Kata-kata lo tadi itu loh! Ajaib, dan bikin elo nggak seperti Bia yang biasanya,
jawab Cha-Cha. Kata-kata gue yang mana"
Kata-kata lo tentang rencana Tuhan, jawab Yuki. Selama ini yang kami tau,
elo bukan orang yang bijak menilai cinta dan kehidupan, Bi. Prinsip hidup lo tuh lo
nggak tubuh orang lain". Lo pantang bergantung pada orang lain apalagi pada
makhluk adam. Loe merasa yakin elo pasti bisa membahagiakan nyokap lo tanpa
bantuan dan kehadiran orang lain. Dan gue tau, elo sangat membenci bokap
kandung lo. Tapi sekarang, elo malah menerima kehadirannya dan berkata seakan
lo mau belajar untuk memaafkannya. Ini benar-benar ajaib. Apa yang bisa bikin elo
berubah seperti ini dalam semalam"
Wajah Bia bersemu merah. Dia menundukkan kepalanya. Sesaat bayangan Egi
melintas di matanya. Jantungnya berdebar cepat. Lalu ia berkata lirih, Mungkin...
memang nggak semua l aki-laki sejahat yang gue kira.
@(^-^)@ Bia melangkahkan kakinya menyusuri koridor sekolah menuju area kelas satu.
Tujuannya udah jelas, mau mencari Egi. Dia pengin ngucapin terima kasih sekaligus
mengembalikan jaket Egi. Setelah berhasil mencari-cari alasan untuk pisah dari Yuki dan Cha-Cha, Bia
bergegas menuju kelas 1 D.
Sesampainya di depan pintu kelas Egi, Bia celingak-celinguk mencari sosok Egi.
Nihil. Nggak ada Egi di ruang kelas itu. Bia kembali mengedarkan pandangannya
ke sekitar koridor kelas satu, siapa tahu Egi lagi ngobrol sama teman-temannya di
luar kelas. Tapi lagi-lagi hasilnya nihil. Atau jangan-jangan Egi lagi ke kantin"
Mmm... atau di lapangan" Atau di WC, ya"
Bia melihat ke sekelilingnya. Mau nanya tapi nggak enak. Sekarang aja udah
banyak yang merhatiin dia, apalagi kalau dia menanyakan Egi. Anak-anak kan udah
tahu bahwa Egi ngejar-ngejar Bia. Kalau ketahuan Bia yang nyari Egi, bisa-bisa
muncul gosip baru. Bia jadi bingung sendiri. Mana sebentar lagi bel masuk berbunyi.
Cari Egi, ya" tanya seorang cowok tiba-tiba, membuat Bia terlonjak kaget.
Eh, iya. Lo tau di mana dia"
Dia nggak masuk hari ini, jawab cowok itu ketus. Sakit.
Sakit" tanya Bia lagi. Sakit apa"
Mana gue tau. Siapa sih lo" tanya Bia keki. Lagian nih cowok sok galak gitu, bikin kesal aja.
Gue Teddy... temen dekatnya Egi, lagi-lagi Teddy menjawabnya dengan
ketus. Jelas Bia kesal diketusin Teddy. Lo ada masalah apa sih sama gue, sampai nada
suara lo jutek begitu"
Nggak ada. Gue cuma kasian sama Egi. Jatuh cinta kok sama cewek kayak
elo... Heh, apa maksud lo"! Bia mulai emosi.
Pacarku Juniorku Karya Valleria Verawati di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Egi itu bego. Banyak cewek yang suka sama dia, tapi dia tolak. Eh, dia malah
ngejar-ngejar cewek kayak elo.
Cewek kayak gue... apa maksud lo"
Yah... cewek yang kasar dan sok jual mahal.
Brengsek! Lo pikir lo siapa bisa ngatain gue kayak gitu! maki Bia.
Teddy malah menanggapi Bia dengan tawa.
Ngapain lo ketawa" Gue pantang ribut sama cewek.
Heh, denger ya... Dering bel menahan gerakan Bia yang udah siap-siap
melayangkan tinjunya ke muka Teddy.
Sana balik ke kelas lo, kakak kelasku yang manis, ejek Teddy lalu berjalan
masuk ke kelasnya. Bia udah pengin menjambak rambut cowok itu, tapi nggak jadi begitu dilihatnya
Pak Handi, guru kimia kelas satu, sedang berjalan ke arahnya. Bia hanya bisa
menggeram marah lalu berjalan kembali menuju kelasnya sendiri.
@(^-^)@ Hari ini Egi nggak masuk lagi. Bia nggak sengaja mendengar hal itu dari cewek-cewek kelas satu yang lagi pada ngerumpi di WC. Ada perasaan nggak enak dalam
dirinya. Apa iya Egi sakit" Jangan-jangan Egi sakit karena kehujanan sewaktu
menemaninya di jembatan hari itu. Udara dingin dan air hujan pasti membuatnya
demam dan masuk angin. Perasaan Bia makin nggak enak.
Akhirnya dia putuskan untuk menahan gengsinya, menurunkan emosinya, dan
menemui Teddy untuk menanyakan alamat rumah Egi. Bagaimanapun Teddy kan
teman dekat Egi, jadi dia pasti tahu di mana rumah Egi.
Bia berjalan menuju kelas Teddy.
Bia! panggil seseorang dari arah belakangnya. Bia membalikkan badannya.
Eh, elo, Cha. Ada apa"
Lo mau ke mana" tanya Cha-Cha.
Mmm... itu... mau ke WC, Bia berbohong. Dia nggak mau Cha-Cha atau siapa
pun juga tahu bahwa ia ingin mencari alamat rumah Egi.
Kok ke arah sini" tanya Cha-Cha heran. WC kan di ujung sana.
WC di sana penuh. Gue udah kebelet banget, jadi gue mau ke WC anak kelas
satu aja. Siapa tau sepi.
Gue temenin, ya" tawar Cha-Cha.
Nggak... nggak usah! Bia buru-buru menjawab. Gue pengin buang air besar,
Cha. Kan nggak enak kalau ditungguin.
Cha-Cha tersenyum geli. Ooo... ya udah. Eh, tapi pulang sekolah lo bisa
nemenin gue nggak, Bi"
Ke mana" Ke toko buku sebentar. Gue mau cari buku Da Vinci Code.
Mmm... kayaknya kalau hari ini gue juga nggak bisa. Gue ada urusan penting,
kata Bia. Lo coba ajak Yuki aja.
Yuki nggak bisa, dia ada janji sama Maxi.
Tammy" Tammy juga nggak bisa. Katanya dia mau jenguk tanten
ya yang sakit. Tapi, Cha, sori banget. Hari ini gue benar-benar nggak bisa.
Yah... ya udahlah. Nggak apa-apa kok, kata Cha-Cha, walaupun sedikit
kecewa. Sana cepat ke WC. Bentar lagi udah bel. Gue ke kelas duluan ya.
Bia mengangguk lalu kembali berjalan menuju kelas Teddy. Dari jauh Bia
meliaht cowok itu berdiri di depan ruang kelasnya. Bia mempercepat langkahnya
mendekati Teddy. Ted, gue mau minta tolong sama elo, ujar Bia to the point.
Teddy menoleh ke arah Bia. Mau apa lagi lo"
Gue mau minta tolong, Bia mengulangi kata-katanya.
Minta tolong" Sama gue"
Iya... gue mau minta alamat rumah Egi.
Buat apa" Itu urusan gue. Gue cuma minta tolong lo catatin alamat rumah Egi buat gue.
Itu aja. Lo pikir gue bakal mau ngasih tau"
Nggak ada untungnya lo ngerahasiain alamat Egi dari gue.
Nggak ada untungnya juga gue ngasih tau alamat Egi ke elo.
Bia terdiam. Nih cowok asli keras kepala banget. Bia benar-benar heran kenapa
Egi mau berteman sama orang model gini.
Ted, gue nggak peduli sama penilaian lo tentang gue. Tapi kali ini aja gue
mohon, tolong kasih tau alamat rumah Egi, pinta Bia. Untuk sekali ini aja.
Teddy menatap Bia sejenak lalu tertawa terbahak-bahak. Bia sampai kesal
melihatnya. Pengin banget rasanya dia melayangkan bogem mentah ke muka
Teddy. Jago juga si Egi. Akhirnya dia berhasil nundukin hati cewek jutek ini, ujar
Teddy di sela tawanya. Bia dongkol banget mendengarnya, tapi dia berusaha menahan diri. Terserah
lo mau ngomong apa. Lo bisa kasih tau alamat Egi sekarang"
Taman Asri Indah Blok HA nomor 28, jawab Teddy akhirnya, lalu kembali
tertawa. Bia mencatat alamat itu baik-baik di otaknya, lalu tanpa mengucapkan terima
kasih Bia berlalu dari hadapan Teddy. Dia benar-benar berharap mulut Teddy robek
gara-gara kebanyakan ketawa. Dasar cowok brengsek!
@(^-^)@ Taksi berhenti tepat di depan sebuah rumah yang lumayan besar. Bia mengeluarkan
uang dan memberikannya pada si sopir taksi.
Mau ditungguin nggak, Non" tanya sopir taksi ramah.
Bia berpikir sejenak. Boleh juga tuh. Dia kan belum tahu daerah sini, takutnya
nanti malah susah dapat kendaraan buat pulang. Lagi pula dia nggak berniat
berlama-lama di rumah Egi.
Boleh deh, Bang. Oke deh, Non. Saya tunggu di warung situ ya, kata si sopir taksi senang,
sambil menunjuk warung yang berada nggak jauh dari rumah Egi.
Bia mengangguk lalu turun dari taksi. Kini ia berdiri di depan pagar tinggi yang
membentengi rumah bergaya Mediterania itu. Rumah Egi ini didominasi warna
cokelat bata yang memberi kesan natural, klasik, tapi simpel.
Dua kali Bia menekan bel yang ada di sisi kiri pagar, sampai akhirnya seorang
perempuan keluar dari dalam rumah dan mendekatinya.
Cari siapa ya, Mbak" sapa perempuan itu.
Apa benar ini rumah Egi" tanya Bia sopan.
Ooh... cari Den Egi. Ada kok. Den Egi-nya lagi di kamar, masih nggak enak
badan, jawab perempuan itu sopan. Dia langsung buru-buru membukakan pintu
dan mempersilakan Bia masuk.
Bia masuk melewati pagar sambil bertanya, Kalau boleh tau, Mbak siapa"
Oh... saya mah cuma pembantu di sini. Nama saya Surti.
Eh, saya Bia. Teman sekolah Egi, ujar Bia sok ramah sambil mengulurkan
tangan. Surti tersenyum senang menyambut uluran tangan Bia.
Bia mengikuti langkah Surti masuk ke rumah yang bagian dalamnya tampak
jauh lebih megah. Egi sakit apa sih, Mbak" tanya Bia.
Demam, jawab Surti. Udah dua hari. Waktu itu Den Egi pulang malam-malam dalam keadaan basah kuyup. Tuan sama Nyonya sampai marah-marah. Tapi
Den Egi diam aja, nggak mau jawab. Eh tau-tau besoknya badan Den Egi panas
gitu. Jadi benar dugaan Bia. Egi sakit gara-gara menemaninya hujan-hujanan. Bia jadi
merasa bersalah. Sekarang keadaannya gimana"
Udah lebih baik sih. Panasnya udah turun, tapi sama Nyonya belum boleh
sekolah dulu. Syukurlah, Bia mendesah lega.
Siapa yang datang, Sur" seseorang bertanya dari arah belakang Bia.
Bia dan Surti sama-sama membalikkan badan. Sesosok perempuan se
tengah baya berjalan menuruni anak tangga. Rambut panjangnya yang ikal dan cokelat
dibiarkan tergerai. Kulitnya yang agak gelap tapi bersih dan mulus dibalut blazer
hitam. Nyonya..., ujar Surti, ini temannya Den Egi.
Bia menoleh ke arah Surti. Nyonya" Berarti itu mamanya Egi!
Siang, Tante, Bia mengucapkan salam dengan sopan.
Oh, temannya Egi ya" tanya mama Egi sambil menuruni sisa anak tangga dan
berjalan mendekati Bia. Iya, Tante, nama saya Bia.
Oh... Bia mau jenguk Egi ya" Eginya masih nggak enak badan, makanya Tante
belum mengizinkannya masuk sekolah, kata mama Egi ramah.
Bia hanya tersenyum. Diam-diam ia mengamati wajah perempuan setengah
baya yang berdiri di hadapannya itu. Wajahnya sama sekali nggak mirip sama
wajah Egi yang lebih berkesan oriental. Kulit Egi putih dan matanya agak sipit, beda
banget sama mamanya. Mugkin memang benar bahwa Egi anak angkat.
Kalau begitu kamu langsung ke taman belakang aja. Kebetulan di sana juga
lagi ada temannya Egi. Mungkin kamu kenal.
Temannya" Jangan-jangan Teddy lagi! Yieks! Mampus gue kalau sampai ketemu
Teddy di sini. Kalau dia sampai macam-macam lagi, bisa benar-benar ribut gue
sama dia, Bia ngedumel dalam hati.
Nah, Tante pergi dulu ya. Silakan aja langsung ke belakang...
Iya, Tante. Saya permisi dulu ya, pamit Bia sebelum berjalan menuju arah
yang ditunjukkan mama Egi.
Bia mengangguk lalu buru-buru berjalan menuju taman belakang. Setelah
melewati ruang makan, Bia membuka pintu kaca yang mengarah ke taman. Saat
itulah Bia berhenti. Pemandangan yang dilihatnya membuat darahnya bergolak
hebat. Di taman itu, di dekat kolam ikan... ada Tammy yang duduk di samping Egi,
sambil menyuapi makanan ke mulut cowok itu. Mereka berdua tertawa renyah.
Siapa pun yang melihat mereka saat ini pasti merasa mereka adalah sepasang
kekasih. Egi yang memakai sweter abu-abu bahkan sesekali mengambil sendok dari
tangan Tammy dan berpura-pura hendak menyuapi Tammy yang buru-buru
menghindar sambil tertawa. Jantung Bia berdetak kencang. otaknya terasa terbakar.
Bia nggak bisa menahan diri lebih lama lagi.
Jadi ini ceritanya" tanya Bia ketus. Darahnya mendidih dan emosinya meluap.
Bia..., Egi dan Tammy terkejut. Mereka baru menyadari kehadiran Bia di
taman itu. Jadi ini yang selama ini lo sembunyiin dari gue, Tam" Jadi ini yang bikin elo
nggak punya waktu lagi buat ngumpul sama teman-teman lo sendiri" Sejak kapan
Egi jadi tante lo yang perlu lo jenguk hari ini karena sakit" Sejak kapan lo jadi
pembohong" cecar Bia.
Tammy bangkit dari duduknya dan buru-buru mendekati Bia. Sori, Bi. Gue
sama sekali nggak bermaksud...
Nggak bermaksud bohongin gue" Begitu" bentak Bia. Gue benar-benar
nggak nyangka lo bisa sejahat ini, Tam. Selama ini gue percaya sama alasan-alasan
yang lo ucapkan. Tapi setelah melihat ini semua, gue nggak akan pernah percaya
sama elo lagi! Nggak akan pernah!
Bi, jangan emosi dulu... Biar gue jelasin. Egi yang berusaha berdiri
menenangkan Bia. Bibirnya yang kering dan wajahnya yang pucat terlihat jelas. Tapi
sayang, saat ini Bia benar-benar kecewa, marah, dan sakit hati, sehingga dia nggak
peduli kalau lawan bicaranya itu masih sakit.
Lo sama brengseknya, Gi! Kata-kata lo di jembatan itu semuanya cuma omong
kosong! Lo sama aja kayak laki-laki brengsek lainnya! Lo benar-benar busuk! Gue
benci sama elo! maki Bia kesal.
Bia... ini nggak seperti yang elo sangka. Gue sama Tammy nggak ada
hubungan apa-apa..., Egi berusaha membela diri.
Lo pikir gue percaya" Lo benar-benar brengsek, Gi! Lo berdua pembohong...
penipu! Lo kenapa sih, Bi" Apa salah gue" Apa urusan lo sama hubungan gue dan Egi"
Bukannya lo sendiri pernah bilang kalo lo nggak suka sama Egi" Jadi kalaupun gue
mau pedekate sama Egi, ini hak gue dan lo nggak berhak marah-marah atau
ngelarang gue dong! Tammy balik membentak Bia.
Lo bohong dan lo masih nanya apa kesalahan lo"
Gue memang selalu ngarang alasan bohong sama kalian, dan gue punya alasan
untuk itu. Lagian, apa peduli kalian! Kalian cuma ngurusin masalah dan perasaan
kalian. Apa kalian ada yang peduli sama gue" Belakangan ini, setiap kalian ngobrol,
yang diomongin cuma tentang Bia dan Egi. Bia dan Egi. Kalian nggak pernah sekali
pun nanyain tentang gue, gimana keadaan di rumah gue, gimana perasaan gue.
Kalian nggak pernah peduli sama gue lagi. Kalau sekarang gue dekat sama Egi, apa
gue salah" Apa mentang-mentang Egi suka sama elo jadi gue nggak berhak dekat
sama Egi"! seru Tammy.
Kalo lo nggak cerita, mana ada yang bisa ngerti perasaan lo! balas Bia.
Lo memang egois, Bi! Lo selalu mau menang sendiri! Lo pikir semua orang bisa
nerima sifat lo itu. Lo salah! Semua orang cuma kasihan sama masa lalu lo! Bagi
mereka, lo tuh cuma cewek penakut yang sok jago!
Cukup! bentak Egi tiba-tiba.
Tammy terdiam. Bia tak bicara.
Tam, sekali lagi lo bicara macam-macam tentang Bia, gue nggak akan maafin
eo, ancam Egi. Tammy terpana. Dia sama sekali nggak nyangka Egi bakal bersikap seketus itu
padanya. Jadi itu pandangan lo tentang gue selama ini, Tam" Bia berkata pelan. Oke!
Semua cukup sampai di sini. Mulai hari ini anggap aja kita nggak pernah saling
mengenal atau bersahabat.
Bia lalu berbalik dan berlari meninggalkan taman itu. Egi berusaha mengejar,
tapi baru setengah jalan, mendadak penglihatannya berkunang-kunang. Egi
berpegangan erat pada pintu kaca yang ada di sampingnya untuk menahan
tubuhnya. Tammy yang melihatnya buru-buru menangkap tubuh Egi dan
membantunya berjalan menuju kursi. Dia nggak bisa menyembunyikan rasa cemas
di wajahnya. Tammy menatap wajah Egi yang pucat, dan tanpa dia sadari tangannya
bergerak membelai rambut Egi dengan penuh kasih sayang.
BAB DELAPAN DUA minggu telah berlalu. Sampai hari ini Bia selalu menghindar dari Tammy dan
Egi. Yuki dan Cha-Cha yang nggak mengerti apa yang telah terjadi hanya berusaha
menempatkan diri sebagai sahabat yang baik buat Bia maupun Tammy yang enggan
bertegur sapa. Bi, besok mau ikut belajar bersama di rumah gue nggak" tanya Cha-Cha.
Bia, Yuki, dan Cha-Cha duduk di kelas, menghabiskan sisa jam istirahat mereka.
Tammy ikut" tanya Bia to the point.
Mmm... dia sih udah bilang oke, jawab Cha-Cha jujur. Cha-Cha nggak mau
bohong lagi sama Bia. Waktu itu dia dan Yuki udah pernah bohong dan berusaha
mempertemukan Bia dengan Tammy. Mereka berharap dengan begitu masalah di
antara Bia dan Tammy bisa selesai, tapi nyatanya keduanya malah marah besar dan
pergi begitu aja tanpa bicara.
Kalau ada Tammy, gue nggak ikutan, kata Bia. Gue udah bilang sama kalian,
gue nggak mau bicara lagi sama dia.
Bi, lo kenapa sih" tanya Yuki kesal. Kalian berdua kayak anak kecil, tau!
Kalau memang ada masalah, ya dibicarain dong, jangan bersikap seperti ini!
Gue nggak ada masalah, tapi dia yang bermasalah, jawab Bia.
Iya, tapi apa masalahnya" tanya Yuki lagi. Kita udah temenan selama tiga
tahun. Sebentar lagi kita bakal lulus SMA dan pisah. Apa lo mau kita terus-terusan
seperti ini" Apa persahabatan kita berempat sama sekali nggak ada artinya buat
elo" Lo jangan bicara seperti ini ke gue, tapi ke Tammy, sahut Bia. Lo tanyain ke
dia apa selama tiga tahun ini dia berteman dengan gue karena kasihan dengan masa
lalu gue. Siapa yang bilang gitu" tanya Cha-Cha. Lo pasti salah dengar. Ini pasti cuma
salah paham. Bia tertawa. Kalian juga nggak percaya, kan"
Bi, apa masalah lo dengan Tammy ada hubungannya dengan Egi" tanya Yuki.
Jangan sebut-sebut nama bajingan itu di depan gue! bentak Bia.
Yuki dan Cha-Cha terdiam.
Sori, Yu. Gue nggak bermaksud ngebentak elo, kata Bia, nyesel karena nggak
bisa menahan emosinya. Gue ke WC dulu ya.
Bia bangkit dari duduknya dan keluar kelas menyusuri koridor menuju WC.
Saat Bia berjalan sendirian, ada yang memanggilnya dari arah belakang.
Bia! Bia menoleh, tapi begitu melihat sosok orang yang memanggilnya, dia langsung
Pacarku Juniorku Karya Valleria Verawati di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
buang muka dan kembali berjalan.
Bia, tunggu! Egi menahan tangan Bia.
Lepasin, brengsek! seru Bia. Gue nggak kenal sama lo, jadi jangan panggil-panggil nama gue seenak jidat lo!
Bi, kasih gue kesempatan untuk ngejelasin semuanya, mohon Egi. Gue sama
Tammy nggak ada hubungan apa-apa. Dia memang baik sama gue. Belakangan ini
dia sering ke rumah gue, nelepon gue, ngobrol sama gue, nanyain tentang masa
kecil gue, tapi cuma sebatas itu, nggak pernah lebih. Gue nggak punya perasaan
khusus sama dia. Lo pikir gue percaya sama elo" tanya Bia ketus. Gue lihat dengan mata
kepala gue sendiri, gimana mesranya elo sama dia, dan lo bilang elo nggak ada
hubungan apa-apa sama dia" Lo pikir gue percaya sama kata-kata lo itu"
Bia membalikkan badannya dan berjalan meninggalkan Egi.
Bia! panggil Egi. Lo cemburu, ya"
Bia berhenti dan membalikkan badannya, menatap Egi yang tersenyum di
hadapannya. Dasar cowok nggak punya malu. Cemburu gara-gara elo cuma
buang-buang tenaga. Pikir pakai otak, apa kelebihan lo yang bisa bikin gue cemburu
gara-gara elo" Jangan menipu diri sendiri, Bi, kata Egi sambil tetap tersenyum. Akui aja
kalau elo memang udah jatuh cinta sama gue dan elo cemburu karena gue dekat
sama Tammy. Iya, kan"
Bia tertawa mengejek. Lebih baik gue jatuh cinta sama monyet daripada sama
elo! Bia membalikkan badannya dan berjalan cepat tanpa memedulikan Egi yang
memanggil namanya berulang kali.
@(^-^)@ Satu hari lagi telah berlalu.
Bia melempar selimut yang menutup tubuhnya. Disambarnya handuk yang
tergantung di belakang pintu kamar, lalu bergegas menuju kamar mandi buat siap-siap ke sekolah.
Selesai mandi, Bia membawa rasnelnya menuju ruang makan. Mama sudah
menunggu dengan segelas kopi panas.
Pagi, Ma, sapa Bia. Pagi, Sayang, sahut Mama. Gimana tidur kamu semalam"
Mimpi buruk, jawab Bia. Aku mimpi ketemu monster serem. Dia ngejar-ngejar aku sambil bawa bunga. Aku kabur sampai-sampai aku kecebur got, tapi
makhluk itu sama sekali nggak mau berhenti ngejar aku.
Mama tertawa. Untung monsternya bawa bunga, itu tandanya monsternya
baik hati. Ih, Mama... Mau bawa bunga kek, mau bawa cokelat kek, yang namanya
mosnter ya tetap aja nakutin.
Monsternya cowok atau cewek"
Mana aku tau..., jawab Bia. Memangnya aku sempat wawancara sama tu
monster" Mama nih ada-ada aja.
Mama kembali tertawa. Bia mengambil setangkup roti tawar yang sudah diolesi
selai kacagn oleh Mama dan melahapnya.
Bi, nanti malam papamu mau makan malam bersama di sini. Boleh, kan"
tanya Mama. Terserah. Kok terserah sih, Bi" tanya Mama. Papamu udah kangen sama kamu. Sejak
makan malam waktu itu, kamu nggak pernah bicara lagi sama dia. Setiap dia
datang, kamu ngumpet di dalam kamar. Kasihan kan dia.
Aku tuh lagi banyak tugas dan ujian, Ma. Dua bulan lagi kan aku udah mau
ujian akhir. Mama ngerti. Tapi paling tidak, kamu kan bisa menyempatkan diri untuk
sekadar menyapa papamu sebentar.
Ma, jujur sama aku, kata Bia menghentikan kegiatan makannya, apa Mama
nggak takut kalau ternyata dia nggak sebaik yang Mama kira" Apa Mama nggak
takut kalau suatu hari nanti dia ninggalin kita lagi" Apa Mama nggak takut kalau
nanti dia selingkuh kayak Oom Ivan"
Mama diam. Sesaat kemudian ia menarik napas dan mengembuskannya
perlahan. Ia berkata, Kadang-kadang rasa takut itu muncul, Bi. Mama tidak ingin
kecewa dan sakit hati lagi. Tapi Mama belajar percaya dan pasrah. Kegagalan bukan
berarti kita berhenti untuk berusaha, kan"
Kenapa Mama mau memaafkan dia"
Entahlah, Mama juga tidak tau. Mungkin karena dia ayah kandungmu.
Lalu kapan Mama mau menikah dengannya"
Mama tertawa. Sudahlah, jangan bicarakan itu lagi. Habiskan sarapanmu, lalu
cepat berangkat sekolah. Bia menurut. Dia menghabiskan rotinya lalu meneguk susu cokelat di
hadapannya tanpa sisa. Ya udah. Aku berangkat dulu ya, Ma, pamit Bia sambil menyamba
r tas ransel di sebelahnya lalu bangkit dan bergegas keluar.
Mama ikut berdiri dan mengantar putri semata wayangnya itu ke depan.
Jangan pulang terlalu sore, ya! pesan Mama sambil membukakan pintu buat
Bia. Iya, aku tau, jawab Bia lalu segera keluar dari rumah. Namun sesaat
kemudian langkahnya terhenti. Pemandangan di depannya membuat mulutnya
terbuka lebar karena terkejut.
Mama Bia yang heran melihat tingkah putrinya segera mendekati Bia sambil
bertanya, Ada apa sih, Bi"
Tapi pertanyaan mama nggak perlu Bia jawab. Pemandangan yang terhampar di
hadapannya merupakan jawaban yang membuat Mama terpesona.
Di depan pagar rumah mereka, terpajang buket bunga berukuran besar, berisi
beraneka mawar, dan spanduk bertulisan: BIA, I"M SORRY!
Siapa yang melakukan ini semua" tanya Mama heran sekaligus takjub. Ini
benar-benar luar biasa. Bia nggak menjawab. Matanya menatap spanduk yang terikat di pagar
rumahnya. Kata-kata di spanduk itu membuat dia tahu siapa pelakunya. Tapi Bia
memilih bungkam. Dia berjalan ke arah pagar dan berhenti tepat di depan spanduk.
Dalam sekali tarikan, keras, Bia mencopot spanduk yang ternyata nggak terikat kuat
di pagar. Lalu Bia menggulung dan menjejalkannya ke dalam tas ranselnya.
Ma, tolong buang bunga-bunga ini ke tong sampah, pinta Bia. Kalau perlu
dibakar aja. Aku nggak mau saat aku pulang nanti bunga-bunga ini masih ada di
halaman. Tapi, Bi... Tolong, Ma, mohon Bia. Mama akhirnya mengangguk pasrah. Iya, nanti Mama rapikan sebelum
berangkat kerja. Makasih, Ma. Aku berangkat dulu ya, pamit Bia.
Bia membuka pintu pagar dan bergegas ke sekolah. Ada seseorang yang harus
dia temui sekarang juga. @(^-^)@ Bia melangkah dengan cepat menyusuri koridor sekolah menuju kelas Egi.
Ranselnya masih nangkring dengan manis di punggungnya, tapi gulungan spanduk
udah pindah ke dalam genggaman tangannya.
Mata bia mencari sosok Egi di dalam kelas yang udah lumayan ramai pagi itu.
Begitu matanya menemukan Egi yang lagi duduk di meja bersama beberapa
temannya, Bia langsung memanggilnya.
Egi! Cowok itu terkejut mendengar teriakan itu. Dia menoleh ke asal suara dan
mendapati Bia sedang berdiri di depan pintu kelasnya. Egi tersenyum lalu berdiri
dan berjalan mendekati Bia.
Ada apa, Bi, pagi-pagi udah cari gue" tanya Egi manis.
Nggak usah sok innocent deh! bentak Bia tanpa memedulikan tatapan anak-anak kelas satu yang mengarah padanya. Apa maksud lo dengan semua ini" Bia
menunjukkan gulungan spanduk di tangannya, tepat di depan hidung Egi.
Ini..., Egi mengambil gulungan spanduk dari tangan Bia sambil tersenyum,
adalah wujud permintaan maaf gue ke elo.
Lo pikir gue cewek gampangan yang langsung klepek-klepek kalau dikasih
bunga" Bia, kenapa sih elo selalu menganggap negatif semua hal yang gue lakukan
buat elo" tanya Egi pelan. Gue melakukan semua itu dengan tulus, sama sekali
nggak ada maksud apa-apa. Gue cuma mau minta maaf sama elo.
Trus, lo pikir dengan begitu gue bakal maafin elo"
Paling nggak, gue udah usaha, kan"
Lo salah! bentak Bia. Gue bukan cewek gampangan yang seneng dirayu
sama bunga. Lo mau kasih gue seratus mawar kek, gue nggak akan peduli. Asal lo
tau, Gi, gue paling benci cowok gombal kayak elo!
Bia membalikkan badannya dan segera berlalu dari kelas Egi.
Tunggu, Bi! tahan Egi. Gue cuma mau minta maaf sama elo, dan bukan
membuat elo semakin membenci gue.
Bia menatap kedua bola mata Egi dengan tajam dan tanpa suara. Sorot matanya
seakan ingin menusuk lawan bicaranya. Egi perlahan melepaskan tangannya dari
lengan Bia. Bi, please, maafin gue, Egi memohon dengan wajah memelas. Jujur, dia benar-benar tertekan menghadapi gadis keras kepala ini. Dia nggak tahu bagaimana lagi
caranya meluluhkan hati Bia. Dia tersiksa menghadapi sikap ketus Bia. Dia nggak
mau gadis ini sampai benar-benar membencinya. Dia takut kehilangan Bia.
Tapi Bia tetap cuek. Dia nggak peduli dengan usaha-usaha
Egi untuk meluluhkan hatinya. Dia nggak peduli dengan permohonan maaf Egi. Dia juga
nggak peduli dengan wajah memelas di depannya itu. Bia telanjur sakit hati, dan dia
nggak mau itu terulang untuk kedua kailnya. Baginya, membuka hatinya untuk Egi
adalah sebuah kesalahan. @(^-^)@ Malam itu Bia duduk di ruang tamu sambil membaca catatan matematika buat
ulangan besok. Mama sedang sibuk di dapur membersihkan piring-piring bekas
makan malam. Sebenarnya Bia mau ikut bantuin sih, tapi batal gara-gara Oom Frans
udah duluan turun tangan membantu Mama membereskan meja makan. Bia malas
kalau harus nimbrung di tengah-tengah mereka. Meskipun Oom Frans ayah
kandungnya, Bia tetap belum bisa menerima kehadiran laki-laki itu. Bia masih
merasa asing dan belum sepenuhnya memaafkan dia.
Bia pengin segera masuk kamar setelah makan malam tadi dan menghindar dari
laki-laki itu. Tapi Bia ingat percakapannya tadi pagi dengan Mama: Bia nggak mau
mengecewakan Mama. Jadi dia terpaksa duduk manis di ruang tamu, meskipun
nggak ngobrol dengan Oom Frans seperti permintaan Mama. Paling tidak, dia
nggak mengunci diri di kamarnya.
Bia membalik halaman buku catatannya dan mulai mempelajari materi buat
ulangan besok. Mulutnya komat kamit menghafalkan rumus dan bola matanya
berputar-putar. Dia nggak sadar Oom Frans sudah berdiri di dekatnya.
Besok ada ulangan ya, Bi" suara Oom Frans mengagetkan Bia.
Iya, jawab Bia sekadarnya.
Oom Frans duduk di dekat Bia sambil tersenyum. Bia menatap laki-laki itu
kesal. Pede banget dia, duduk dekat-dekat tanpa permisi dulu, rutuk Bia dalam hati.
Katanya tadi pagi ada kiriman bunga ya di halaman" tanya Oom Frans.
Itu bukan urusan Oom, jawab Bia keki. Sejak kapan laki-laki ini mulai berani
ikut campur dalam masalahnya"
Pasti cowok yang mengirim mawar itu sangat menyukai kamu... Oom Frans
seakan nggak peduli dengan kekesalan yang tersirat di wajah Bia.
Udah aku bilang, ini bukan urusan Oom!
Kamu memang cantik seperti mamamu, wajar saja kalau banyak cowok yang
jatuh hati padamu. Laki-laki semua sama aja, sindir Bia. Cuma manis di mulut, tapi hatinya
lebih busuk daripada sampah.
Tidak semua laki-laki seburuk yang kamu pikirkan, Bi.
Tapi semua laki-laki yang hadir dalam hidupku malah membuat dugaanku
semakin tepat. Oom Frans menghela napas, lalu berkata lebmut, Apa yang Oom lakukan dulu
memang tidak layak untuk mendapatkan maaf. Oom telah membuat hidupmu
menderita, dan Oom pula yang telah membuatmu selalu berpikir negatif tentang
laki-laki. Bia cuma diam. Kali ini dia nggak bereaksi dengan ucapan Oom Frans.
Kalau dulu Oom berpamitan dengan mamamu sebelum berangkat ke
Pekanbaru dan mengatakan kesediaan Oom untuk bertanggung jawab, mungkin
semua ini tidak akan terjadi. Kita pasti akan menjadi keluarga yang harmonis dan
bahagia. Dan mungkin kamu tidak akan bersikap dingin pada laki-laki, lanjut Oom
Frans. Tapi apalah guna sebuah penyesalan. Yang sudah terjadi tak mungkin dapat
diulang kembali. Saat ini Oom hanya berusaha memperbaiki semua kesalahan Oom
dulu dan memperjuangkan kebahagiaan yang sangat Oom inginkan saat ini, yaitu
membahagiakan kamu dan mamamu.
Membahagiakan aku dan Mama"
Benar, itulah tujuan hidup Oom saat ini, jawab Oom Frans. Bia, saat kamu
mencintai seseorang dengan tulus, maka bagimu yang terpenting adalah melihat
orang yang kamu cintai itu bahagia. Dan itulah yang Oom rasakan saat ini.
Bia menatap laki-laki yang duduk di sebelahnya. Laki-laki yang sejak dulu
begitu dibencinya. Entah kenapa untaian kata yang keluar dari mulut lelaki itu
mengusik hatinya. Bia berusaha mencari kejujuran dan ketulusan di wajah Oom
Frans. Apa kata-kata yang keluar dari mulutnya berasal dari hati" Dan Bia
menemukan jawabannya. Oom Frans nggak akan menipu. Tatapannya yang lembut
dan penuh kasih membuat hati Bia terasa hangat dan nyaman.
Boleh aku bertanya satu hal" tanya Bia pelan.
Oo m Frans mengangguk sambil tersenyum.
Jika seseorang yang Oom percaya dan cintai mengkhianati Oom, apa yang
akan Oom lakukan" Tentu saja Oom akan marah, jawab Oom Frans. Tapi dalam cinta selalu ada
maaf yang tiada batasnya. Dan itu pula yang akan Oom lakukan.
Seperti Mama memaafkan Oom"
Mungkin seperti itu. Bia teringat percakapannya dengan Mama tadi pagi tentang alasan Mama
memaafkan Oom Frans. Sekarang bia baru mengerti alasan itu. Alasan yang
sederhana tapi memiliki kekuatan yang begitu dahsyat sehingga Mama dengan
mudah melupakan sakit hatinya dan menerima laki-laki ini kembali. Alasan itu
adalah cinta. Bia bangkit dari duduknya dan berjalan meninggalkan Oom Frans tanpa
sepatah kata pun. Oom Frans hanya diam. Dia menatap punggung Bia sambil
tersenyum. Dia sadar, kesalahannya terlalu besar dan nggak mudah untuk membuat
Bia mau memaafkannya. Dia telah menelantarkan anaknya selama bertahun-tahun.
Terlalu muluk rasanya jika dia mengharapkan Bia dengan tersenyum lebar langsung
menerimanya kembali. Meskipun sesungguhnya hatinya nggak dapat menahan rasa
rindu untuk dapat memeluk anak yang terus dicarinya selama ini.
Tiba-tiba Bia menghentikan langkahnya dan berbalik menatap Oom Frans.
Matanya beradu dengan tatapan hangat lelaki itu.
Lalu Bia berkata, Jangan pulang malam-malam. Bahaya, Oom...
Suara Bia yang lembut membuat Oom Frans terbelalak kaget. Dia mengangguk
pelan sebagai jawaban. Bia masih berdiri di tempatnya sambil menatap Oom Frans, lalu kembali
berkata, Aku mau tidur dulu karena besok harus sekolah...
Lagi-lagi Oom Frans hanya mengangguk.
Bia membalikkan badannya dan kembali berjalan. Tapi baru beberapa langkah,
dia kembali berhenti dan berbalik menatap ayahnya lagi.
Aku memang sangat membenci Oom, katanya pelan. Lalu dia menarik napas
dalam-dalam dan melanjutkan, Tapi aku juga sangat merindukan Papa...
Oom Frans terdiam. Jantungnya berdetak kencang dan darahnya seakan
bergolak. Perasaan bahagia perlahan meluap dalam dirinya. Senyum tersungging di
bibirnya dan air mata menggenangi pelupuk matanya. Lelaki itu tak bisa menahan
haru yang membungkus hatinya. Lidahnya terasa kelu dan tubuhnya terasa kaku.
Saat ini ia terlalu bahagia.
Sama seperti Bia. Rasa lega memasuki kalbunya. Kehangatan dan kebahagiaan
menyelimuti dirinya. Dia sama sekali nggak menyangka, lidahnya mampu
memanggil laki-laki itu Papa . Dan panggilan itu telah menyembuhkan begitu
banyak koreng yang membuat cacat hatinya. Bia nggak bisa memungkiri, jauh di
lubuk hatinya dia merindukan laki-laki itu. Laki-laki yang mulai detik ini dan
selamanya akan dipanggilnya Papa.
@(^-^)@ Bia... Suara Mama terdengar dari balik pintu kamar Bia. Kamu sudah tidur,
Sayang" Bia menutup catatan matematikanya dan berjalan membukakan pintu.
Ada apa, Ma" tanyanya begitu pintu kamarnya terbuka. Aku masih belajar
buat ulangan besok. Mama tersenyum. Papamu sudah pulang.
Aku tau, sahut Bia. Aku dengar suara mobilnya.
Papamu nggak mau mengganggu kamu, kata Mama. Dia takut kamu sudah
Pacarku Juniorku Karya Valleria Verawati di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tidur. Bia menganggukan kepala. Mama diam. Bia juga diam.
Bi... Mama buka suara. Makasih, ya.
Makasih buat apa, Ma"
Makasih karena kamu sudah memaafkan papamu.
Bia diam. Dia menyandarkan tubuhnya di pintu kamar.
Ma, apa sekarang Mama bahagia" tanya Bia kemudian.
Mama bahagia, jawab Mama mantap. Mama bahagia karena Mama memiliki
putri seperti kamu. Aku juga bahagia, Ma, sahut Bia. Mama nggak perlu bilang makasih sama
aku karena memang sudah wajib hukumnya seorang anak mengakui ayahnya.
Mama tersenyum lalu merengkuh tubuh Bia ke dalam pelukannya. Mama
sayang kamu, Bi, dan Mama bangga padamu.
Bia membalas pelukan Mama. Ma, di pesta pernikahan Mama dan Papa nanti,
aku jadi pengiring pengantin wanitanya, ya"
Mama tertawa. Iya, Sayang.
Bia ikut tertawa. Rasanya belum pernah ia merasa begitu bahagia seperti hari
ini. Begitu hebatkah kekuatan cinta dan maaf"
Dering telepon membuat p elukan ibu dan anak itu terlepas.
Mama angkat telepon dulu, ya.
Bia mengangguk lalu menutup pintu kamarnya begitu Mama pergi. Ia menghela
napas panjang lalu merebahkan tubuhnya di tempat tidur. Matanya menatap langit-langit kamar. Rasanya nggak percaya, dia dan Mama bisa tertawa seperti tadi.
Hatinya kini terasa seringan kapas.
Bia! suara Mama memanggil Bia.
Bia terlonjak kaget dan langsung bangkit dari tidurnya.
Telepon, Bi! Dari Yuki! ujar Mama. Katanya penting!
Iya, Ma! sahut Bia lalu bergegas keluar dari kamar.
Mama menyerahkan gagang telepon kepada Bia lalu menghilang ke kamarnya.
Halo, sapa Bia. Sori, Bi, gue ganggu malam-malam gini.
Nggak apa-apa, Yu, kata Bia. Gue juga belum tidur kok.
Gue cuma mau menyampaikan kabar buruk.
Kabar buruk" tanya Bia heran. Kabar buruk apa"
Bokapnya Tammy meninggal.
MENINGGAL"! pekik Bia.
Iya, baru aja. Kenapa" Gue juga nggak tau, jawab Yuki. Terakhir kali gue jenguk bokapnya di
rumah sakit, bokapnya masih bisa ngomong. Mungkin memang penyakitnya udah
benar-benar parah. Bokapnya Tammy masuk rumah sakit, kok lo nggak kasih tau gue"
Bukannya lo lagi musuhan sama Tammy" Yuki malah balik bertanya dengan
nada sinis. Bukannya lo nggak mau denger gue dan Cha-Cha nyebut nama
Tammy" Bia terdiam. Yuki benar. Selama ini dia yang melarang Yuki dan Cha-Cha
membicarakan Tammy. Dia yang marah-marah waktu Yuki dan Cha-Cha
mempertemukannya dengan Tammy. Dia yang menutup telinganya rapat-rapat
setiap kali Yuki dan Cha-Cha menyebut nama Tammy. Jadi wajar saja kalau kedua
temannya ini tidak memberitahunya kabar tentang papanya Tammy.
Yu, boleh gue tau bokapnya Tammy disemayamkan di mana"
Sekarang masih di rumah sakit, jawab Yuki. Besok baru dipindah ke rumah
duka. Gue belum tau bakal dimakamkan di mana.
Penyesalan masih merasuki hati Bia. Dia nggak tahu harus berkata apa. Sampai
telepon ditutup, Bia nggak banyak bicara. Perasaannya saat ini benar-benar kacau.
Bia berjalan gontai menuju kamar Mama, lalu mengetuk pintunya pelan.
Pintu terbuka dan wajah Mama muncul dari baliknya.
Ada apa, Bi" tya Mama.
Aku boleh ke rumah sakit, Ma" Sekarang.
Ke rumah sakit" Mama bertanya heran. Ada apa"
Papanya Tammy meninggal. Meninggal" Bia mengangguk. Boleh ya, Ma"
Apa nggak bisa ditunda besok saja, Bi. Ini sudah malam.
Nggak bisa, Ma. Perasaanku nggak tenang.
Mama menatap Bia dalam-dalam. Ia ragu memberikan izin untuk Bia. Ini sudah
malam, berbahaya bagi anak perempuan pergi sendirian
Please, Ma, mohon Bia. Aku nggak akan lama. Aku cuma mau ketemu dan
bicara sama Tammy sebentar saja.
Mama menghela napas. Baiklah, tapi biar papamu yang mengantar kamu.
Jangan, Ma, tolak Bia segera. Kasihan Papa. Dia baru aja pulang, masa harus
balik lagi ke sini dan mengantar aku ke rumah sakit. Papa pasti capek.
Papamu pasti bersedia, tegas Mama, karena ini untuk putrinya.
Bia nggak membantah lagi. Mama langsung berjalan menuju meja telepon dan
menghubungi nomor handphone Papa.
BAB SEMBILAN BIA dan papanya tiba di rumah sakit untuk menemui Tammy. Dari jauh Bia melihat
Tammy bersandar sendirian di dinding rumah sakit tepat di sebelah pintu kamar
yang terbuka lebar. Isak tangis terdengar dari dalam kamar itu.
Bia dan papanya berjalan mendekat. Jantung Bia berdegup kencang.
Tammy..., panggil Bia pelan.
Tammy mendongakkan kepalanya dan terkejut menatap Bia. Matanya merah
dan bengkak. Ujung hidungnya juga merha. Bahkan pipinya masih basah oleh air
mata. Tam, gue turut berdukacita, kata Bia pelan.
Tammy mengangguk pelan tanpa suara.
Tam, maafin gue ya..., mohon Bia. Lo benar, gue egois dan selalu mau
menang sendiri. Gue nggak pernah ada buat lo, bahkan di saat elo benar-benar
membutuhkan kehadiran gue. Gue nggak pernah menjadi sahabat yang baik buat
elo. Maafin gue, Tam. Tammy menatap Bia, lalu memeluk Bia dan menumpahkan kesedihannya.
Maafin gue juga, Bi, kata Tammy lirih di sela derai air mata. Gue nggak jujur
sama lo, gue marah-marah sama elo seenaknya aja, dan gue udah berkata kasar
sama elo. Nggak, Tam, gue yang salah. Bokap lo sakit aja gue nggak tau. Sahabat macam
apa gue ini" Air mata Bia ikut menetes. Hatinya terasa perih. Dia menyesal karena nggak
pernah ada untuk Tammy di saat sahabatnya itu butuh seorang sahabat.
Bia melepaskan pelukannya begitu teringat papanya masih berdiri di dekatnya.
Tam, ini bokap gue... Bokap lo" Tammy nggak bisa menutupi rasa kagetnya.
Bia mengangguk. Nanti gue ceritain....
Tammy mengalihkan pandangannya ke arah papa Bia, lalu mengulurkan
tangan. Oom turut berdukacita, kata papa Bia. Kamu yang tabah, ya.
Tammy mengangguk, Makasih, Oom.
Oh ya, di mana keluarga kamu yang lain" tanya papa Bia.
Mama masih di dalam, jawab Tammy.
Bia dan ayahnya mengikuti Tammy menemui mama Tammy. Setelah
mengucapkan turut berdukacita, Bia diajak Tammy keluar dari kamar.
@(^-^)@ Bi, itu bokap lo" tanya Tammy mengawali pembicaraan. Saat itu mereka duduk di
bangku semen di koridor rumah sakit.
Bia tersenyum dan menganggukkan kepala. Iya, dia bokap kandung gue. Dua
hari sebelum kita berantem di rumah Egi, gue baru tau dia bokap gue. Bia
menceritakan kronologi cerita pertemuan dia dengan ayah kandungnya.
Dan elo udah maafin dia" tanya Tammy heran. Bukannya elo benci sama
dia" Gue emang benci sama dia, tapi gue udah belajar memaafkannya.
Tammy menghela napas. Ternyata ada banyak cerita yang udah gue
lewatkan. Tam, sejak kapan bokap lo sakit"
Udah sekitar tiga bulanan ini bokap gue keluar-masuk rumah sakit.
Kok elo nggak pernah cerita"
Karena gue pikir penyakit bokap gue nggak parah. Waktu bokap gue udah
mulai dirawat di rumah sakit, gue mau cerita sama kalian. Tapi nggak bisa, nggak
ada kesempatan, karena tiap kali kita ngumpul, yang dibicarain cuma tentang elo.
Lama-lama gue jadi eksal dan males cerita sama kalian. Yuki dan Cha-Cha juga baru
gue kasih tau seminggu yang lalu.
Maafin, gue, Tam, semua memang gara-gara gue.
Nggak, Bi, ini juga salah gue, kata Tammy. Kata-kata lo waktu itu benar. Gue
seharusnya bicara. Kalau nggak gitu, siapa yang bisa mengerti gue"
Suasana mendadak hening. Bia dan Tammy sama-sama terdiam.
Bi, tentang Egi, suara Tammy memecah keheningan.
Mendengar Tammy menyebut nama Egi, jantung Bia berdegup kencang. Di saat
seperti ini, Bia benar-benar nggak ngerti harus bagaimana. Bohong banget kalau dia
bilang dia membenci Egi. Dia memang marah dan kecewa, tapi nggak sedetik pun
dia mampu mengusir Egi dari dalam benaknya. Egi memang telah berhasil
membuatnya jatuh cinta, tapi Egi juga yang udah membuatnya patah hati dan
kecewa. Jika sekarang Tammy mengakui bahwa dia menyukai Egi dan meminta Bia
untuk mundur, Bia nggak tahu harus bagaimana. Dia nggak mau kehilangan Egi.
Tapi di lain pihak, dia juga nggak mau kehilangan sahabat. Keegoisannya ingin
mengikat Egi untuk terus mengejar dirinya. Bia nggak rela Egi dekat dengan cewek
lain. Bi, elo suka sama Egi" pertanyaan Tammy menambah dilema dalam diri Bia.
Kenapa tiba-tiba lo nanya gitu"
Cuma pengin tau. Elo sendiri" Bia balik bertanya. Apa lo suka sama Egi"
Iya, jawab Tammy langsung.
Jawaban Tammy membuat jantung Bia seakan ingin melompat keluar.
Gue suka Egi, dan sayang banget sama dia, lanjut Tammy. Gue suka melihat
tawanya, senang mendengar lelucon jayusnya, dan itu membuat gue jadi tambah
sayang sama dia. Hati Bia terasa perih mendengar pengakuan Tammy. Dadanya mendadak terasa
sakit. Sejenak ia merasa akan kehilangan Egi. Dan rasa itu semakin membuatnya
takut. Tapi persahabatannya dengan Tammy jauh lebih berharga. Bukankah kata
orang pacar bisa dicari lagi tapi kalau sahabat susah untuk ditemukan"
Kalau elo emang suka sama Egi, gue dukung sepenuh hati agar lo jadian sama
dia, ujar Bia. Dia paksakan dirinya untuk tersenyum.
Tammy menoleh dan menatap Bia. Sesaat kemudian tiba-tiba Tammy tertawa,
Lo gila apa! Mana mungkin gue jadian sama
Egi"! Bia mengernyitkan keningnya. Kenapa nggak mungkin"
Janji ya, Bi, lo jaga rahasia ini.
Bia tambah heran, tapi dianggukkan juga kepalanya.
Egi tuh adik gue... Bia melongo. Lo pasti nggak percaya, kan" kata Tammy lagi.
Jelas gue nggak percaya, sahut Bia. Soalnya gue tau pasti, lo tuh anak
tunggal. Mana mungkin tiba-tiba Egi jadi adik lo"
Tammy tersenyum lalu menghela napas panjang. Gue juga tau hal ini belum
lama. Semua berawal waktu gue tanpa sengaja menemukan surat di ruang kerja
bokap gue. Surat itu dari seorang wanita yang ternyata selingkuhan bokap gue.
Selingkuhan"! Jangan potong cerita gue, Bi, biar gue cerita sampai selesai dulu.
Bia menutup mulutnya. Dari surat itu gue tau bokap gue pernah selingkuh waktu gue masih berumur
satu tahun. Dan dari surat itu juga gue tau bahwa bokap gue punya anak laki-laki
dari perempuan itu. Anak yang sama sekali nggak pernah mau diakui bokap gue
dan kemudian ditinggalkan oleh perempuan itu di panti asuhan, cerita Tammy.
Gue kaget dan shock berat waktu pertama kali tau hal itu. Tapi gue pura-pura
nggak tau. Gue ngerti kenapa bokap gue nggak mau mengakui anak itu, bahkan
sampai akhir usianya. Bokap gue pasti nggak mau nyokap gue ngamuk kalau tau
bokap gue pernah selingkuh, bahkan sampai punya anak dari perempuan lain.
Perempuan mana sih yang mau dimadu" Tapi ada rasa penasaran yang bikin gue
pengin mengetahui gimana keadaan anak itu sekarang. Dan itu yang membuat gue
pada akhirnya tau bahwa Egi adik tiri gue.
Maksud lo" tanya Bia nggak percaya dengan cerita yang didengarnya. Egi
anak bokap lo dan selingkuhannya"
Tammy mengangguk. Lo pasti tau kan, Egi tuh anak angkat"
Bia mengangguk. Tapi... Gue diam-diam mencari panti asuhan yang ditulis perempuan itu dalam
suratnya. Gue berusaha mencari tau dari pengurus panti asuhan itu tentang anak
yang 16 tahun lalu pernah ditinggalkan di depan panti asuhan itu. Awalnya mereka
nggak mau kasih gue informasi apa pun. Tapi setelah gue setengah memaksa dan
memberikan sedikit sumbangan ke panti asuhan itu, mereka mau membuka file
mereka dan memberi gue informasi tentang anak itu, jelas Tammy.
Tammy menarik napas dan kembali melanjutkan ceritanya. Tuhan ternyata
mempermudah langkah gue dalam menemukan adik tiri gue itu. File yang mereka
punya menyatakan bahwa enam belas tahun lalu cuma ada satu anak laki-laki dan
delapan anak perempuan yang ditinggalkan di depan pintu panti asuhan itu. Berarti
jelas anak laki-laki itulah adik tiri gue karena di suratnya perempuan itu
mengatakan bahwa anaknya laki-laki. Nama anak itu Juventus Egi.
Nggak mungkin. Bia nggak bisa menahan rasa kagetnya.
Gue juga kaget waktu mendengar nama itu. Gue pikir mungkin itu cuma
kebetulan. Gue mananyakan alamat keluarga yang mengadopsi anak itu dengan
perjanjian gue hanya melihat dan nggak akan mengusik keluarga mereka. Dan
ternyata alamat itu mengantarkan gue sampai ke rumah Juventus Egi, adik kelas
kita... Bia menatap ekspresi wajah Tammy. Dia masih ragu apakah Tammy sedang
mengarang cerita atau ini memang kenyataan. Tapi kelihatannya Tammy serius.
Egi tau tentang hal ini" tanya Bia pelan.
Tammy menggeleng. Sesuai perjanjian, gue nggak boleh mengusik keluarga
mereka. Lagi pula buat apa gue menceritakan semua ini ke Egi" Ini malah akan
membuatnya menderita. Apalagi kalau dia tau bokap gue nggak pernah mau
mengakui dia. Bia membenarkan ucapan Tammy. Lalu dia bertanya, Jadi karena itu lo
mendadak dekat sama Egi"
Tammy tersenyum dan mengangguk. Gue pengin mengenal dia lebih dekat.
Gue juga pengin tau apakah sekarang dia bahagia. Anggap saja gue menggantikan
tugas bokap gue untuk memerhatikan dia.
Bia terdiam. Kalau diingat lagi, pantas waja waktu pertama kali melihat Egi, dia
merasa wajah Egi mirip seseorang.
Sori ya, Bi, waktu di rumah Egi dulu gue marah-marah sama lo. Gue juga udah
bikin elo cemburu, kata-kata Tammy bikin Bia kembali ke alam sadar.
Cemburu" Bia mengelak, tapi dia nggak bisa menahan rona merah yang
muncul di pipinya. Siapa juga yang cemburu"
Nggak usah pura-pura deh, Bi, ujar Tammy. Gue tau kok elo sebenarnya
suka sama Egi. Waktu itu lo marah-marah sama dia karena ngeliat kami berduaan,
dan itu membuat lo merasa selama ini Egi cuma mempermainkan elo, kan" Jujur aja
deh! Bia nggak menjawab. Wajahnya semakin memerah.
Tammy berusaha menahan tawa melihat wajah Bia yang merah. Hebat juga ya
si Egi. Bisa meruntuhkan karang di hati seorang Bia...
Tammy...! rajuk Bia. Tammy malah tertawa. Akhirnya lo bisa jadi cewek juga, Bi.
Rese lo! Ssstt... Tammy mendadak diam lalu menyenggok pundak Bia sambil
memandang ke arah kanan koridor.
Bia mengikuti arah mata Tammy dan menemukan sosok Egi sedang berjalan
mendekati mereka. Tammy berdiri dan berjalan mendekati Egi. Bia tetap duduk diam di tempatnya.
Gue turut berdukacita ya, Tam, ucap Egi tulus. Dia mengulurkan tangannya
yang segera disambut oleh Tammy.
Makasih, Gi, balas Tammy. Makasih juga karena lo udah mau datang
malam-malam gini. Tapi masih ada orang yang datang lebih cepat daripada gue, jawab Egi sambil
Pacarku Juniorku Karya Valleria Verawati di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
melirik ke arah Bia. Bia yang melihat Egi melirik ke arahnya langsung buang muka.
Lo udah ketemu keluarga gue" tanya Tammy.
Egi mengangguk. Matanya sesekali melirik ke arah Bia.
Gue lega melihat elo masih tersenyum, kata Egi pada Tammy. Gue tadi udah
takut banget kalau harus ngelihat elo nangis-nangis. Jujur aja, gue paling nggak bisa
menghibur orang yang lagi sedih.
Bohong! celetuk Bia. Waktu di jembatan dulu elo kan yang... Bia berhenti
bicara. Dia baru sadar udah kelepasan. Bia buru-buru buang muka biar Egi dan
Tammy nggak bisa melihat wajahnya yang lagi-lagi berubah jadi merah.
Egi dan Tammy menatap Bia sambil tersenyum geli.
Gue memang nggak bisa menghibur orang lain, kata Egi. Gue cuma bisa
menghibur orang yang gue cintai.
Bia melotot mendengar kata-kata Egi, tapi dia juga nggak bisa menahan debaran
jantungnya yang seolah berteriak histeris.
Meski begitu, cuma satu kata yang kemudian keluar dari mulut Bia:
GOMBAL! , dan Bia pun berlari meninggalkan Tammy dan Egi begitu aja.
Ternyata Bia ya tetap Bia. Gengsinya masih setinggi langit.
@(^-^)@ Dua minggu telah berlalu sejak papa Tammy dimakamkan. Hubungan Bia dan
Tammy sudah kembali normal. Mereka sudah dekat lagi seperti dulu. Sekarang Bia,
Tammy, Cha-Cha, dan Yuki sedang menikmati indahnya persahabatan sebelum
akhirnya nanti harus berpisah kalau sudah lulus dari sekolah ini.
Ujian akhir yang tinggal sebulan lagi sama sekali nggak mereka pedulikan.
Belajar sih belajar, tapi ngumpul-ngumpul melepas ketegangan tetap jadi prioritas
utama. Seperti sore ini, mereka berempat ngumpul di halaman belakang rumah
Tammy cuma buat sekadar bersantai ria plus ngerujak.
Sambil mendesah-desah kepedesan, mereka seru mengobrol.
Ngomong-ngomong nih, Yu, gimana kabar hubungan lo sama Maxi" tanya
Tammy. Udah sampai tahap mana nih kemajuannya"
Hubungan gue sama dia baik-baik aja. Yuki tersenyum kecil, wajahnya
merona. Kami lagi mesra-mesranya nih...
Duile...! ledek ketiga temannya.
Kalo elo, Bi" Tammy langsung beralih ke Bia.
Lho, kok gue juga kena tanya" Bia nggak terima.
Udah... jawab aja, sahut Tammy.
Gue nggak pernah ada hubungan apa pun sama dia, jadi nggak ada yang perlu
gue jawab, kan" Bi, gue dengar, udah dua hari lho, Egi nggak masuk sekolah, kata Yuki
dengan perasaan lega karena teman-temannya udah berhenti ngegodain dia. Lho
nggak khawatir, Bi" Buat apa gue mengkhawatirkan dia" Bia malah balik tanya. Dia bukan siapa-siapa gue.
Kenapa sih elo jutek banget sama Egi" serang Cha-Cha. Seakan-akan Egi tuh
udah melakukan kesalahan besar sama elo.
Nggak usah sebut-sebut lagi nama dia deh. Kita
ngumpul di sini bukan buat
ngomongin dia, kan" Bia kayaknya udah mulai kesal. Yuki, Cha-Cha, dan Tammy memilih tutup
mulut. Mereka mencomot irisan mangga di piring dan memasukkannya ke mulut
sambil bertatapan. @(^-^)@ Sorenya, di rumah, Bia tergopoh-gopoh menuju meja telepon untuk mengangkat
telepon yang berdering. Tangannya membawa sepiring mi goreng instan.
Halo, sapanya. Halo, Bia, balas Tammy dari seberang.
Napa, Tam" tanya Bia to the point. Gue lagi mau makan nih.
Makannya nanti aja, Bi. Lo harus ke rumah sakit sekarang juga.
Rumah sakit" tanya Bia heran. Siapa lagi yang sakit"
Egi. Hah"! jantung Bia berdegup kencang. Kenapa Egi"
Makanya lo ke rumah sakit deh sekarang juga. Kondisinya nggak begitu baik.
Lo tau dari mana kalau dia masuk rumah sakit" Memangnya dia sakit apa"
Gue kakaknya, Bi, jelas gue tau lah. Kata dokter dia kemungkinan kena flu
burung..., jawab Tammy. Flu burung"! hampir aja piring di tangan Bia terlepas.
Iya, itu baru dugaan sementara, jawab Tammy. Darahnya masih diperiksa
dan masih menunggu hasil laboratorium.
Sekarang Egi di rumah sakit mana"
Rumah sakit tempat bokap gue dirawat.
Bia diam. Dia tampak berpikir keras. Entah kenapa dia merasa ada sesuatu yang
ganjil. Lo mikir apa lagi sih, Bi" tanya Tammy. Anak-anak udah pada jalan buat
jenguk dia. Gue juga lagi on the way ke rumah lo buat ngejemput lo. Sepuluh menit
lagi gue sampai. Jadi lo siap-siap ya. Kita berangkat ke sana sama-sama.
Tapi... gue mau mak..., sahut Bia.
Lima menit buat lo makan dan lima menit buat lo siap-siap. Oke! Tammy
langsung menutup telepon tanpa menunggu jawaban Bia.
Bia meletakkan gagang telepon kembali ke tempatnya. Matanya menatap mi
goreng instan yang ada di tangannya. Nggak tahu kenapa rasa laparnya lenyap
begitu aja. Bia berjalan menuju ruang makan dan meletakkan mi goreng itu di bawah
tudung saji. Lalu dia menuju kamar untuk mengganti kaus rumahnya dengan kaus
untuk bepergian. Rasa cemas melingkupi dirinya. Bia nggak mau hal buruk terjadi
pada Egi. Dia takut kehilangan Egi. Takut banget.
BAB SEPULUH TAMMY menjemput Bia tepat waktu. Satu jam kemudian mereka tiba di rumah
sakit. Tammy memarkir mobilnya dan bergegas menarik tangan Bia menuju kamar
tempat Egi dirawat. Pelan-pelan dong, Tam, protes Bia.
Tammy nggak peduli. Sebelah tangannya malah sibuk menekan-nekan tombol
handphone-nya. Lo di mana" tanya Tammy lewat HP. Gue sama Bia udah sampai. Tammy
mematikan handphone-nya dan memasukkannya ke saku celananya.
Siapa" tanya Bia. Cha-Cha, jawab Tammy singkat lalu menggiring Bia masuk ke lift.
Keluar dari lift mereka menyusuri koridor menuju kamar tempat Egi dirawat.
Koridor itu agak ramai. Sepertinya sedang jam besuk. Tammy berhenti di depan
kamar yang berada di ujung koridor.
Ini kamarnya, Tammy memberitahu Bia.
Bia cuma mengangguk. Tammy mengetuk pintu kamar itu dua kali, lalu membuka pintu dan masuk. Bia
mengekor di belakang. Di kamar itu cuma ada satu tempat tidur pasien. Perabotannya lengkap: ada TV,
lemari pakaian, kulkas mini, dan sofa yang dijamin pasti empuk.
Egi berbaring di tempat tidur pasien dengan alat bangu pernapasan menutupi
hidungnya dan slang infus yang terpasang di tangannya. Matanya tertutup rapat.
Bia mengedarkan pandangan. Selain dia, di kamar ini ada Tammy, Cha-Cha,
Yuki, dan Teddy yang berdiri berjajar di samping tempat tidur.
Tammy bergabung dengan teman-temannya dan berdiri di sisi tempat tidur. Bia
berjalan mendekati Egi yang tampaknya tertidur lelap.
Cha, bener nggak sih, Egi sakit flu burung" tanya Bia.
Betul, Bi, jawab Cha-Cha cepat. Tapi masih belum positif sih.
Lalu orangtuanya mana" tanya Bia lagi.
Mmm... tadi sih udah ke sini, tapi sekarang lagi pulang buat istirahat, kali ini
Teddy yang menjawab. Bi..., lo nggak kasihan sama Egi" tanya Yuki pelan. Dia udah dirawat sejak
dua hari yang lalu. Bia nggak menjawab. Dia cuma menatap
wajah Egi. Bi, gimana kalau Egi nggak bisa diselamatkan" ujar Cha-Cha. Apa elo nggak
sedih kehilangan dia"
Bia tetap bungkam. Egi benar-benar suka sama elo, kata Teddy. Kalau memang dia nggak bisa
diselamatkan, paling nggak, lo balas cintanya di sisa umurnya.
Bia mengunci bibirnya rapat-rapat.
Bi, kok elo diam aja sih" protes Tammy.
Bia mendongakkan kepalanya. Dia memandang teman-teman yang berdiri di
hadapannya dengan diam. Gue nggak peduli, akhirnya Bia buka suara. Gue nggak peduli dia sakit atau
sekarat. Puas" Mata Tammy, Yuki, Cha-Cha, dan Teddy melotot. Mereka kaget mendengar
ucapan Bia. Lo kejam, Bi! kata Cha-Cha.
Egi sayang banget sama elo, tapi elo malah jahat sama dia, sambung Yuki. Lo
keterlaluan. Gi, dengar kata-kata gue dengan baik! Bia nggak memedulikan ucapan teman-temannya, dia malah bicara dengan Egi yang terbaring di tempat tidur. Gue nggak
suka cowok lemah! Setelah itu Bia beranjak meninggalkan tempatnya.
Tunggu, Bi! suara seseorang menahan Bia.
Bia membalikkan badan. Dilihatnya Egi duduk tegak dan melepas alat bantu
pernapasan yang menutup hidungnya. Lalu dia mencabut jarum infus yang ternyata
hanya menempel di tangannya.
Bia... gue bukan cowok lemah! ujarnya, lalu berdiri dan berjalan mendekati
Bia. Syukur deh, kata Bia, lalu berbalik lagi untuk meninggalkan kamar itu.
Baru saja Egi hendak menahan Bia, pintu kamar terbuka sehingga Bia berhenti
melangkah. Seorang laki-laki setengah baya berpakaian dokter muncul dari balik pintu
dengan senyum ramah sambil bertanya, Bagaimana latihan syutingnya"
Bia merasa pernah melihat laki-laki itu. Ah, dia ingat. Laki-laki itu paman
Tammy yang waktu itu pernah mengobrol dengan papanya waktu papa Tammy
meninggal. Latihannya baik, Oom, jawab Bia.
Egi, Tammy, Yuki, Cha-Cha, dan Teddy terpana mendengar jawaban Bia.
Bagus kalau begitu, sahut paman Tammy. Tapi jangan lama-lama ya,
takutnya nanti ada pasien yang mau masuk.
Baik, Oom, Bia kembali menjawab. Lagi pula latihannya udah selesai kok.
Oh, begitu ya. Paman Tammy tersenyum. Kalau begitu, nanti kalian lapor
pada suster jaga agar kamar ini bisa segera dirapikan.
Baik, Oom. Paman Tammy keluar dari kamar sambil tetap tersenyum.
Jadi, lo udah tau kalau semua ini cuma pura-pura, Bi" tanya Tammy beigtu
pintu kamar tertutup kembali.
Memangnya kalian pikir gue bego" Bia balik bertanya.
Lo jangan marah, Bi, kata Egi. Mereka cuma bermaksud menolong gue agar
bisa baikan sama elo. Mereka nggak salah.
Gue nggak bilang mereka salah..., sahut Bia.
Maaf, Bi, ini semua ide gue, aku Yuki.
Dan gue yang jadi sutradaranya, ujar Tammy. Dokter tadi oom gue. Dia
punya kedudukan yang cukup tinggi di rumah sakit ini dan dia yang meminjamkan
kamar ini dengan alasan gue mau latihan syuting buat pertunjukan saat kelulusan
nanti, sambung Tammy. Cha-Cha nggak mau ketinggalan. Dia ikut buka suara, Gue penulis
skenarionya, Bi. Bia diam saja. Ekspresinya datar.
Bi, kami tuh cuma mau ngebantuin Egi buat baikan sama elo, kata Yuki. Dia
tulus sayang sama elo. Siapa yang punya ide tentang penyakit flu burung" tanya Bia tanpa
merespons kata-kata Yuki.
Cha-Cha mengangkat tangan kanannya. Gue.
Sebenarnya, idenya maksa sih..., celetuk Teddy.
Tiba-tiba Bia tertawa. Kalian tuh tolol banget sih! Cari penyakit kok yang aneh
gitu. Mana mungkin gue percaya.
Jadi lo curiga" tanya Tammy.
Jelaslah! jawab Bia. Flu burung kan bukan penyakit sembarangan. Orang
yang diduga terjangkit virus flu burung bakal diisolasi. Jadi mana mungkin kalian
diizinin ngumpul di sini bareng Egi yang katanya kena flu burung. Udah gitu, masa
anak sakit parah orangtuanya nggak nemenin. Satu lagi yang perlu kalian tau,
biasanya pasien yang dicurigai kena flu burung itu bakal dirujuk ke RSPI Sulianti
Saroso. Masa kalian nggak pernah dengar sih"
Tuh kan, gue bilang juga apa! ujar Tammy. Jangan bilang kena flu bu
rung. Demam berdarah aja. Lebih masuk akal.
Tapi kan flu burung lagi ngetren, Tam, Cha-Cha ngotot.
Tapi buktinya, rencana kita gagal gara-gara ide lo itu, balas Tammy.
Cha-Cha cuma manyun. Apa kalian pikir semua yang udah kalian rancang ini bisa membuat gue baikan
sama Egi" tanya Bia.
Itu harapan kami, Bi, jawab Yuki. Paling nggak, kami udah usaha.
Suasana mendadak jadi hening. Mata Bia beradu pandang dengan Egi yang
berdiri di hadapannya. Lalu Bia berkata pelan, Apa buktinya kalau elo sayang sama gue dan nggak
akan pernah membuat gue kecewa"
Gue nggak bisa menunjukkan buktinya ke elo, karena bukti itu ada di dalam
hati gue dan hanya bisa gue perlihatkan seiring berjalannya waktu..., jawab Egi
sungguh-sungguh. Berarti, gue harus percaya sama ucapan elo begitu aja"
Egi mengangguk. Bola matanya menatap Bia dengan lembut, membuat jantung
Bia berdebar nggak keruan. Bia menunduk agar Egi nggak bisa melihat wajahnya
yang mulai terasa memerah dan panas.
Kalau ternyata elo ngecewain gue" tanya Bia dengan kepala masih tertunduk,
gue jamin lo nggak bakal bisa tersenyum lagi.
Egi terkesima mendengar kata-kata Bia. Begitu pula Yuki, Tammy, Cha-Cha,
dan Teddy yang menonton dari belakang.
Apa ini berarti lo nerima cinta gue, Bi" Egi mencoba menerka.
Wajah Bia makin memerah. Dia menyahut sambil pura-pura membuang muka,
Nggak tau ah! Senyum Egi merekah. Dia melompat dan berteriak kencang, YES!
Bia nggak tahu harus bersikap bagaimana. Dia jadi salah tingkah. Apalagi ketika
Egi tiba-tiba menarik tubuhnya dan memeluknya erat.
Gila, apa-apaan sih lo! protes Bia sambil meronta.
Tapi Egi nggak mau melepasnya. Makasih, Bi. Sekarang lo resmi jadi pacar
gue... Heh, siapa yang bilang gue mau pacaran sama lo" Bia berusaha melepaskan
diri dari pelukan Egi. Kali ini lo nggak akan gue lepasin, bisik Egi lembut di dekat telinga Bia.
Kata-kata lo tadi udah gue terjemahkan sebagai pernyataan bahwa elo bersedia jadi
pacar gue. Dan elo nggak bisa menariknya lagi.
Bia berhenti meronta. Tubuhnya terasa lemas saat merasakan desah napas Egi di
telinganya. Bia menyerah. Dia nggak lagi melawan. Dia membiarkan cinta merasuki
dirinya. Gue sayang elo, Bi..., bisik Egi lagi.
Bia nggak menjawab, tapi tangannya perlahan bergerak dan membalas pelukan
Egi dengan sepenuh hati. Direbahkannya kepalanya di pundak Egi, dibiarkannya
sensasi yang belum pernah dia rasakan menjalar lembut ke seluruh pembuluh
darahnya. Gue juga sayang elo, Gi, kata Bia tanpa suara. Senyumnya merekah dalam
pelukan hangat Egi. tamat Dendam Sejagad 16 Pendekar Rajawali Sakti 55 Siluman Ular Merah Ladang Pembantaian 2
ujian akhir nanti plus berbagai macam wejangan, aturan, dan ocehan sebagai
pelengkapnya. Ana k-anak kelas tiga dibuat nggak punya waktu untuk memikirkan
masalah lain selain belajar.
Bia yang udah nggak sibuk lagi di OSIS karena udah menyerahkan jabatannya
pada adik kelas mulai berkonsentrasi pada ujian dan persiapannya memasuki masa
kuliah. Bia juga kini lebih tenang. Egi nggak pernah mengganggunya lagi. Memang,
pernah beberapa kali cowok itu berpapasan dengannya. Egi paling hanya
tersenyum, tapi Bia tak pernah membalasnya. Bia juga kadang-kadang merasa Egi
memerhatikannya dari jauh, itu pun tetap tak dipedulikan oleh Bia.
Siang itu, Bia, Yuki, dan Cha-Cha duduk-duduk di pinggir lapangan sambil
menikmati segelas es cendol. Mereka membutuhkan sesuatu yang dapat
mendinginkan otak mereka yang udah panas gara-gara disuruh mikir terus selama
seminggu ini. Gimana ujian Inggris tadi" tanya Yuki mengawali percakapan. Pada bisa
nggak" Please deh, Yu, sahut Cha-Cha. Gue baru aja mau mendinginkan otak gue.
Jadi jangan sebut-sebut kata ujian" lagi di depan gue. Kepala gue udah mau
meledak! Yuki tersenyum dan kembali menikmati es cendolnya.
Eh iya, Tammy mana" tanya Bia.
Udah pulang duluan, jawab Cha-Cha. Dia bilang sih mau nganter
nyokapnya ke salon. Tuh anak kayaknya udah nggak pernah lagi ya, ngumpul bareng kita, ujar
Bia. Sepertinya Tammy agak sibuk akhir-akhir ini, sambung Yuki.
Tapi kok gue malah merasa dia lagi menghindar dari kita, Bia sok
menganalisis. Feeling gue mengatakan dia sedang menyembunyikan sesuatu dari
kita. Ah, itu pasti cuma perasaan lo doang, celetuk Yuki. Tammy nggak mungkin
menghindari kita. Kita kan sahabatnya.
Kan gue cuma feeling, Bia membela diri.
Nanti malam gue coba telepon dia deh, kata Yuki. Siapa tau dia lagi ada
masalah. Bia dan Cha-Cha mengangguk bersamaan.
Hei, biar otak kita jadi fresh lagi, gimana kalo habis ini kita ke MTA" usul
Yuki. Bia dan Cha-Cha tidak langsung menjawab. Mereka mengira-ngira, berapa sisa
uang di dompet mereka. Gue yang bayarin! cetus Yuki.
Setuju banget! teriak Yuki dan Bia berbarengan. Kalau ditraktir, mereka tak
perlu berpikir dua kali. @(^-^)@ Siang itu Mal Taman Anggrek nggak terlalu ramai. Bia, Cha-Cha, dan Yuki menaiki
eskalator menuju bioskop yang ada di lantai atas. Setelah berunding, Bia dan Cha-Cha dengan mantap memutuskan minta ditraktir nonton aja. Yuki yang terpaksa
mengambil uang di ATM dulu cuma bisa mengangguk pasrah.
Mau nonton apa nih" tanya Yuki sesampainya mereka di bioskop.
Sky High aja deh. Gue belum nonton tuh, usul Cha-Cha.
Nggak ah! Bia nggak setuju. Skeleton Key aja. Kayaknya lebih tegang.
Sky High aja. Bukannya ngilangin stres, Skeleton Key malah bikin gue tambah
stres nanti, Cha-Cha bersikeras.
Skeleton Key aja. Semakin tegang semakin bagus. Biar otak gue yang kusut gara-gara ujian bisa fresh lagi!
Stop! Yuki menghentikan perdebatan Bia dan Cha-Cha. Biar gue yang
nentuin mau nonton apa. Bia dan Cha-Cha diam dan manyun.
Kita nonton Dealova aja, putus Yuki.
HAH"! seru Bia dan Cha-Cha bersamaan.
Iya... berhubung gue lagi kasmaran, gue mau nonton yang cinta-cintaan aja.
Bukan Sky High, bukan Skeleton Key.
Hah" Lo lagi kasmaran, Yu" Jadi, lo udah nerima Maxi nih" goda Cha-Cha.
Yuki cuma senyam-senyum. Demi temen yang lagi kasmaran, gue ngalah deh, ujar Cha-Cha.
Tapi, Yu, lo tau kan, gue nggak suka cerita-cerita roman kayak gitu, tambah
Bia. Biarin. Kan gue yang traktir, jadi gue yang nentuin mau nonton apa, kata
Yuki, lalu berjalan dengan cueknya menuju loket untuk membeli tiket.
Yah... alamat tidur di bioskop deh gue, dumel Bia.
Cha-Cha cuma nyengir mendengar ucapan sobatnya itu.
Cha, gue keluar dulu ya sebentar. Yuki masih lama ini beli tiketnya, ujar Bia.
Cha-Cha yang sedang melihat-lihat poster film yang akan ditayangkan bertanya
tanpa menoleh, Ngapain"
Mau beli crepes dulu. Lo mau"
Nggak deh! Ya udah. Bia keluar dari bioskop menuju counter crepes yang ada di depan
bioskop. Bia memesan satu hot crepes untuk dirinya sen
diri. Sambil menunggu pesanannya dibuat, ia mengedarkan pandang ke sekelilingnya. Tiba-tiba tatapannya
terhenti pada sepasang pria dan wanita yang duduk di restoran yang nggak jauh
dari tempatnya berdiri. Bia merasa sosok perempuan setengah baya yang tengah
dilihatnya itu mirip sekali dengan Mama. Bia berusaha menegaskan pandangannya.
Perlahan dia berjalan mendekati restoran itu. Sosok perempuan itu semakin jelas,
dan sekarang dia mengenali perempuan itu. Ya, itu memang Mama!
Mama sedang duduk bersama seorang pria yang sama sekali nggak Bia kenal.
Mama tampak begitu ceria. Beberapa kali dia tertawa sambil menatap pria yang
duduk di hadapannya. Sudah lama Bia nggak pernah melihat wajah Mama seceria
itu. Wajah Mama saat ini mirip dengan wajah Yuki setiap kali berbicara dengan
Maxi. Bia nggak berani memercayai apa yang dia lihat. Tangan laki-laki itu
menggenggam tangan Mama, sedangkan Mama hanya diam, tersenyum, dan
menatap laki-laki itu dengan lembut. Mama benar-benar seperti anak ABG yang
sedang dilanda asmara. Bia yakin, Mama pasti punya hubungan khusus dengan
laki-laki itu. Atau jangan-jangan... itu laki-laki yang sama dengan laki-laki yang
sering mengantar Mama pulang ke rumah.
Bia benar-benar nggak tahan melihatnya. Dia nggak suka melihat Mama
bertingkah seperti itu. Dia nggak akan rela mamanya disakiti lagi seperti ketika
Papa Ivan menyakiti Mama.
Bia berjalan cepat memasuki restoran itu.
Mama! tegur Bia keras. Mama Bia terlonjak kaget, Bia...
Siapa laki-laki ini, Ma" Punya hubungan apa dia sama Mama sampai Mama
membiarkan dia megang-megang tangan Mama" cecar Bia.
Seluruh mata yang ada di restoran itu memandang mereka. Tapi Bia nggak
peduli. Tenang dulu, Bi... Biar Mama jelasin ke kamu. Mama bangkit berdiri dan
berusaha menenangkan Bia. Ia menarik tangan Bia untuk duduk di sebelahnya.
Namun dengan kasar Bia menepisnya.
Bia... kamu jangan salah paham, kata Mama.
Salah paham" Aku salah paham" Ma, tingkah laku Mama sama laki-laki ini
udah aku lihat jelas, dan Mama masih bilang aku salah paham"
Bukan begitu, Bi... Bia menepis tangan Mama yang berusaha memegang bahunya, lalu ia
mendekati laki-laki itu. Gue kasih tau ya, jangan coba-coba deketin nyokap gue,
atau lo akan menyesal! Bia! hardik Mama. Jangan bicara nggak sopan sama orang tua!
Orang tua" tanya Bia sambil tertawa. Dia akan Bia anggap sebagai orang tua
kalau tingkah lakunya benar-benar mencerminkan orang tua. Bukan seperti playboy
yang lagi cari mangsa! PLAK! Tangan Mama melayang ke pipi Bia sambil berkata tajam, Jangan bicara
sekasar itu pada papamu! Bia terperangah. Dia nggak percaya pada apa yang didengarnya.
Ap-apa maksud Mama" Wajah Mama berubah pucat. Air mata menggenang di pelupuk matanya.
Bi, kita bicara pelan-pelan. Ada banyak hal yang harus Mama jelaskan ke
kamu. Apa maksud Mama" Bia nggak memedulikan kata-kata Mama. Siapa yang
Mama sebut papaku" Bia... kamu duduk dulu, Sayang, pinta Mama penuh permohonan. Sementara
laki-laki yang bersama Mama tampak kikuk. Dia mau bicara, tapi tak jadi.
Bia menggeleng. Dia nggak perlu penjelasan Mama. Kata-kata singkat Mama
tadi udah menjelaskan status laki-laki yang sekarang berdiri di sebelah Mama. Laki-laki bertubuh tegap dan berjambang tipis itu adalah laki-laki yang sudah
meninggalkan dirinya dan Mama. Laki-laki itulah yang telah membuat mereka
menderita selama ini. Laki-laki itulah yang telah membuat Bia terlahir di dunia ini
tanpa mengenal kasih sayang seorang ayah.
Bia berbalik dan keluar dari restoran tanpa memedulikan teriakan Mama. Dia
berlari cepat menuruni eskalator. Dia nggak peduli dengan crepes pesanannya, Yuki,
serta Cha-Cha yang tengah menunggunya di bioskop. Bia terus berlari dan berlari.
@(^-^)@ Bagi Bia ini seperti mimpi buruk. Bahkan langit yang sedang mendung seakan turut
memahami sakit hatinya ini. Bia meny
usuri trotoar dan berjalan tanpa tujuan. Dia
nggak mau pulang ke rumah karena dia sama sekali nggak mau ketemu Mama.
Hatinya sakit dan marah. Bia belum siap menghadapi semua kejadian ini.
Bia nggak percaya, laki-laki yang udah meninggalkannya selama 17 tahun tiba-tiba muncul di hadapannya dan duduk mesra bersama mamanya. Bia nggak tahu
harus gimana. Dia marah, sedih, kecewa, bahkan benci dengan semua yang harus
dia hadapi ini. Dia nggak mau mendengar penjelasan apa pun, dia nggak mau
mendengar permohonan maaf dari mulut laki-laki itu apalagi menerimanya sebagai
papanya. Bia benci mamanya, juga laki-laki brengsek itu. Bia ingin semua yang ada
di dunia ini menghilang. Bia nggak mau lagi menghadapi masalah-masalah yang
menyesakkan dadanya ini. Bia lelah... sangat lelah.
Bia! Bia mendengar seseorang memanggil namanya. Ia menoleh sejenak. Ada dua
cowok berjaket hitam yang berboncengan di sepeda motor. Bia menghentikan
langkah. Sepeda motor itu berhenti. Cowok yang duduk di boncengan turun lalu
melepaskan helm yang dipakainya.
Cowok itu... Egi! Halo, Bi! sapa Egi sambil menenteng helm di tangan kanannya. Kita jodoh
banget ya, di jalanan segede ini aja kita masih bisa ketemu.
Bia nggak membalas sapaan Egi. Dia malah membuang muka lalu meneruskan
langkahnya. Tapi Egi buru-buru menahannya.
Eits, jangan pergi dulu. Lo mau ke mana, Bi" Sendirian ya" Gue temenin ya"
Please, Gi. Jangan halangi jalan gue, kata Bia, tapi kali ini sama sekali nggak
ada nada kasar seperti biasanya.
Egi mengernyitkan kening. Dia merasa ada yang aneh pada gadis yang sedang
berdiri di hadapannya ini. Tapi dia memilih diam dan menyingkir dari hadapan Bia.
Bia kembali berjalan tanpa menoleh lagi ke belakang. Egi menatap Bia dan
semakin yakin pasti Bia sedang ada masalah.
Ted, lo baik aja duluan, kata Egi pada Teddy yang masih duduk di atas motor.
Teddy membuka helmnya. Lo mau ke mana sih" Mau ngejar tuh cewek"
Itu urusan gue, jawab Egi singkat sambil menyerahkan helmnya pada Teddy
dan langsung berlari mengejar Bia.
Dasar bego. Cewek kayak gitu kok dikejar, rutuk Teddy pelan. Dia memang
nggak benar-benar setuju dengan pilihan hati Egi, tapi sebagai teman, Teddy tahu
Egi benar-benar udah jatuh cinta pada cewek galak itu.
Egi berlari mengejar Bia yang tengah menaiki jembatan penyeberangan. Jaket
hitam melindungi tubuhnya dari udara yang mulai dingin karena akan turun hujan.
Langit mulai menghitam dan sesekali terdengar suara guntur bergemuruh.
Bia berjalan tanpa peduli pada orang-orang di sekelilingnya yang mulai berlari-lari takut kehujanan. Mendekati ujung jembatan, Bia memperlambat langkahnya
dan mendekati pagar jembatan. Kepalanya ditengadahkan menatap langit. Sesaat
kemudian ia kembali menatap jalan raya yang terhampar di bawah jembatan.
Egi yang sudah sampai di atas jembatan berusaha mencari sosok Bia.
Pandangannya sampai pada seorang cewek yan gsedang berdiri memegangi pagar
jembatan sambil menatap ke bawah. Jantungnya berdetak kencang. Apa Bia mau
bunuh diri" Bia...! panggil Egi sambil berlari menghampiri Bia lalu menarik tangannya
menjauhi sisi jembatan. Apa-apaan si lo" Seberat apa pun masalah yang lo hadapi,
lo nggak boleh berpikiran sempit apalagi kalau sampai bunuh diri. Itu dosa, Bi!
hardik Egi. Bia menatap Egi yang menggenggam pergelangan tangannya kuat-kuat. Lalu ia
tertawa. Lo pikir gue cewek bego" Siapa yang mau bunuh diri" Gue masih sangat
menghargai hidup gue. Egi terpana. Ternyata dugaannya salah. Dilepasnya tangan Bia dengan perasaan
lega. Bia masih tertawa lalu kembali berjalan mendekati sisi jembatan. Egi
mengikutinya dan berusaha menjajari langkah Bia.
Lo nggak mau pulang, Bi" tanya Egi. Udah mau hujan lho.
Jangan peduliin gue deh. Gue nggak butuh perhatian lo, jawab Bia ketus.
Egi diam. Tapi dia sama sekali nggak beranjak dari tempatnya. Gemuruh guntur
terdengar semakin kencang.
Gi, apa sih yang elo suka dari gue" ta
nya Bia tiba-tiba. Mau nggak mau Egi kaget juga mendengar pertanyaan itu. Kemudian ia
menjawab, Awalnya ya karena wajah lo yang imut itu. Bisa dibilang, gue jatuh
cinta pada pandangan pertama. Tapi lama-kelamaan, gue jatuh cinta sama seluruh
diri lo. Hening sejenak di antara mereka. Hingga akhirnya Bia bertanya, Sampai kapan
lo akan menyukai gue"
Gue nggak tau sampai kapan, jawab Egi. Karena kalau gue bilang sampai
selamanya, jelas banget itu gombal.
Bia diam. Egi menatap cewek yang berdiri di sampingnya dengan sejuta tanya.
Dia tahu Bia tengah dilanda masalah.
Bi, kalau elo lagi punya masalah, cerita aja ke gue. Mungkin gue nggak bisa
bantu, tapi paling nggak dengan menceritakannya pada orang lain, bisa
meringankan beban yang mengimpit dada lo, kata Egi pelan.
Bia tetap diam. Matanya menerawang jauh ke depan. Tapi sesaat kemudian, ia
berkata lirih, Gue marah sama nyokap gue. Gue benar-benar marah sama dia...
Egi menarik napas panjang lalu mengembuskannya perlahan. Mmm... boleh
gue tau alasannya" Lagi-lagi Bia diam. Namun kemudian ia kembali menjawab, Gue merasa ditipu
nyokap gue, Gi. Egi diam. Dia sama sekali nggak menanggapi kata-kata Bia.
Bia menarik napas, lalu kembali melanjutkan ceritanya, Gue lahir tanpa pernah
tau siapa ayah kandung gue. Nyokap gue nggak pernah mau menceritakan asal-usul
gue sebenarnya. Gue besar tanpa pernah tau siapa ayah kandung gue. Yang gue tau,
gue cuma anak haram. Anak di luar nikah. Saat nyokap gue menikah lagi dengan
Papa Ivan, gue pikir gue akan memiliki seorang ayah yang bisa gue banggakan, tapi
ternyata Papa Ivan juga meninggalkan nyokap gue dan selingkuh dengan wanita
lain. Gue kembali kehilangan seorang ayah. Gue emang nggak pernah layak punya
ayah... Bia menghentikan ceritanya.
Sori, Bi. Kalau tentang masa lalu lo itu, gue udah tau, kata Egi pelan.
Wajar kalau lo tau karena ini bukan cerita baru. Semua orang juga tau kalau
gue cuma anak haram. Jadi cuma itu masalahnya" Egi bertanya kembali.
Bia menggeleng. Masalahnya, laki-laki itu sekarang muncul.
Laki-laki itu" Ya, laki-laki yang udah ninggalin gue dan nyokap gue begitu aja. Laki-laki
yang udah membuat gue disebut anak haram.
Maksud lo, bokap kandung lo"
Dia bukan bokap gue! bentak Bia. Gue nggak akan pernah mengakui dia
sebagai bokap gue. Gue nggak akan membiarkan dia kembali ke nyokap gue setelah
tujuh bleas tahun dia meninggalkan gue dan nyokap gue tanpa kabar berita. Gue
nggak akan pernah memaafkan dia! Laki-laki itu nggak layak gue panggil Papa.
Dari dulu gue nggak punya bokap dan sampai kapan pun gue nggak akan punya
bokap! Egi terpana. Dia nggak menyangka Bia akan seemosional ini.
Bi, lo tau nggak... Sebenarnya... lo tuh beruntung banget.
BERUNTUNG"!
Pacarku Juniorku Karya Valleria Verawati di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Iya, beruntung, jawab Egi, karena lo masih dikasih kesempatan sama Tuhan
untuk bertemu bokap lo dan mempersatukan lagi keluarga lo.
Kali ini Bia terdiam. Apa lo pernah berpikir, Bi, betapa beruntungnya hidup lo" Meskipun elo
nggak tau siapa bokap kandung lo, lo selalu dihujani kasih sayang berlimpah dari
nyokap lo. Nggak seperti gue, yang dari lahir nggak pernah sekali pun mengenal
orangtua gue sebenarnya. Bia terkejut. Dia menoleh dan menatap Egi yang tersenyum di sebelahnya.
Orangtua gue yang sekarang ini sebenarnya bukan orangtua kandung gue.
Mereka mengadopsi gue dari panti asuhan waktu gue masih bayi. Pertama kali gue
mengetahui kenyataan itu, gue hampir gila. Gue marah sama semua orang, gue
marah sama Tuhan, gue juga marah sama diri gue sendiri. Gue bertanya-tanya
untuk apa orangtua kandung gue melahirkan gue kalau akhirnya mereka
membuang gue ke panti asuhan.
Egi menghentikan ceritanya sesaat dan menarik napas dalam-dalam.
Tapi akta-kata nyokap angkat gue membuat gue sadar akan arti kehidupan.
Waktu itu, sambil nangis nyokap gue bilang, dia berterima kasih karena orangtua
kandung gue telah melahirkan gue ke dunia ini dan menitipkan g
ue ke panti asuhan. Kalau itu nggak terjadi, nyokap gue nggak akan pernah bertemu dan
mengadopsi gue sebagai anaknya. Maka nyokap gue nggak pernah memiliki
seorang anak laki-laki yang begitu dia sayangi seperti dia menyayangi gue. Kata-kata itu yang akhirnya menyadarkan gue untuk menerima semua kenyataan ini
sebagai bagian dari kehidupan gue. Gue mulai belajar bahwa semua yang terjadi
adalah bagian dari rencana Tuhan yang pastinya indah buat gue pada waktunya,
lanjut Egi. Gi, apa lo bisa memaafkan orangtua yang udah membuang elo itu" tanya Bia
lirih. Gue nggak tau. Tapi kalau suatu hari nanti Tuhan ngizinin gue untuk bertemu
dengan mereka, gue akan mengucapkan terima kasih pada mereka, jawab Egi.
Terima kasih" Iya, terima kasih karena mereka tetap membiarkan gue lahir ke dunia ini,
terima kasih karena gue dititipkan ke panti asuhan dan bukan dibuang ke jalanan,
terima kasih karena mereka telah membuat gue bertemu dengan orangtua angkat
yang luar biasa baiknya, terima kasih karena mereka membuat gue memiliki
kehidupan yang layak, dan terima kasih karena mereka memberi gue kesempatan
untuk menghirup udara hari ini.
Bia terpana. Setiap kata yang keluar dari mulut Egi seakan menusuk hatinya.
Direnunginya setiap kata itu satu demi satu.
Apa menurut lo perginya bokap kandung gue dan perceraian nyokap gue
dengan Papa Ivan juga merupakan bagian dari rencana Tuhan"
Ya, jawab Egi mantap. Kenapa" tanya Bia lagi.
Karena menurut gue, tanpa semua itu nggak aka nada Bia dengan sifatnya
yang keras tapi tegar, nggak aka nada Bia yang jagoan tapi berhati lembut, nggak
aka nada Bia yang berdiri di samping jembatan bersama gue hari ini, dan nggak aka
nada Bia yang membuat gue jatuh cinta dan tergila-gila...
Bia terdiam. Tanpa ia sadari, pipinya memerah dan jatunya mendadak berdebar
keras. Ada rasa hangat yang tiba-tiba mengalir di dalam dirinya.
Titik-titik air turun dari langit. Udara dingin terasa semakin menusuk. Tapi Bia
tetap berdiri di tempatnya sambil memandang lurus ke depan. Air hujan turun
semakin deras. Tapi Bia bergeming. Egi pun tetap berdiri di sebelah Bia tanpa suara.
Dilepasnya jaket yang melekat di tubuhnya dan disampirkannya di pundak Bia
untuk melindungi gadis itu dari hujan yang turun dengan derasnya serta angin
yang bertiup kencang. Bia melirik Egi yang masih berdiri di sebelahnya dengan kedua tangan terlipat
di depan dada melawan rasa dingin yang kian menusuk. Bia tersenyum lalu
menegadahkan kepalanya, menantang langit dengan kedua mata terpejam.
Dibiarkannya air hujan membasahi wajah dan membersihkan air mata yang tanpa ia
sadari mengalir dari sudut matanya.
@(^-^)@ Bia turun dari taksi tepat di depan rumahnya. Rambut dan sebagian bajunya yang
nggak tertutup jaket basah kuyup karena hujan. Egi-lah yang mengantarnya naik
taksi, dan Egi juga yang membayar taksinya.
Sebelum turun, tak lupa Bia mengucapkan terima kasih pada Egi, yang dibalas
dengan senyum manis cowok itu.
Hujan udah reda. Bia membuka pagar dan masuk ke rumah tanpa suara.
Bia! pekik Cha-Cha begitu dilihatnya Bia masuk dalam keadaan basah.
Mama dan Yuki yang juga berada di ruang tamu bersama Cha-Cha tampak
sama terkejutnya dengan Cha-Cha.
Bia! seru Mama yang langsung berlari menghampiri Bia dengan mata berkaca-kaca. Yuki dan Cha-Cha mengikuti di belakang mama Bia dengan wajah cemas.
Mama langsung memeluk Bia dengan erat dan menangis kencang. Bia terpana.
Dia nggak mengira semua akan menunggunya seperti ini. Dia juga sama sekali
nggak mengira Mama akan mengkhawatirkannya seperti ini.
Kamu ke mana, Bi" tanya Mama di sela isak tangisnya. Kamu benar-benar
udah bikin Mama khawatir. Jangan hokum Mama dengan cara seperti ini, Bi. Mama
nggak bisa kehilangan kamu. Cuma kamu yang Mama miliki.
Bia hanya diam dan menunggu sampai tangis Mama mereda. Lalu perlahan
dilepasnya pelukan Mama . Boleh aku mandi sekarang" tanya Bia tanpa ekspresi. Entah kenapa, walaupun
emosinya telah mereda, masih ada yang mengganjal dalam hatinya. Saat ini Bia
masih ingin menyendiri dulu.
Mata Mama yang merah menatap Bia. Dari mata itu terpancar kepedihan. Bia
nggak berani memandang Mama. Dia mengalihkan pandangannya ke arah Yuki dan
Cha-Cha. Yu, Cha, sori udah bikin kalian cemas. Makasih banyak, tapi gue rasa sekarang
lebih baik kalian pulang karena gue mau sendiri dulu, kata Bia.
Yuki dan Cha-Cha nggak menjawab, tapi mereka mengerti permintaan Bia.
Ya udah. Yang penting kami tau elo baik-baik aja. Sampai ketemu di sekolah,
Bi, pamit Yuki. Kami permisi dulu, Tante.
Mama menganggukkan kepala dan mengucapkan terima kasih berulang-ulang
kepada Yuki dan Cha-Cha. Sepeninggal mereka, Bia bergegas mengambil handuk
dan masuk ke kamar mandi.
Bia menatap wajahnya di depan cermin yang terpasang di balik pintu kamar
mandi. Dia baru menyadari bahwa di badannya masih menempel jaket Egi. Bia
melepas jaket itu dan menggenggamnya erat. Di hatinya menjalar perasaan hangat.
Kalau saja tadi Egi nggak ada, Bia yakin dia nggak akan tahu bagaimana caranya
menghadapi kejadian ini. @(^-^)@ Bia berbaring di tempat tidurnya. Dia masih belum bicara dengan Mama. Tadi
sehabis mandi dia langsung masuk kamar dan mengunci diri. Dan yang membuat
Bia heran, sampai sekarang Mama belum berusaha memanggilnya dan bicara
dengannya. Sebenarnya Bia nggak mau seperti ini, tapi gengsinya membuat dia
bertahan untuk nggak bicara duluan sama Mama.
Tiba-tiba terdengar ketukan halus di pintu kamarnya. Bi, boleh mama bicara
sama kamu" Sebentar, jawab Bia, lalu bangkit dari tempat tidur dan berjalan menuju pintu
kamar. Wajah Mama muncul dari balik pintu. Bia membiarkan Mama masuk ke kamar.
Bia duduk di atas tempat tidur dan menarik guling ke dalam pelukannya,
sedangkan Mama duduk di sebelahnya.
Bi, apa kamu masih marah sama Mama" tanya Mama pelan, mengawali
pembicaraan. Bia diam saja. Mama minta maaf, Bi, kata Mama. Mama nggak bermaksud menampar
kamu. Kamu tau Mama sayang sama kamu.
Bia tetap bungkam. Mama menghela napas panjang lalu berkata, Kalau kamu nggak mau Mama
berhubungan dengan Oom Frans, ayah kandungmu, Mama janji nggak akan
menemuinya lagi. Kali ini Bia menatap mamanya.
Jadi namanya Frans" tanya Bia.
Mama mengangguk. Apa dia laki-laki yang sering mengantar Mama pulang kerja"
Sekali lagi Mama mengangguk.
Sejak kapan dia kembali" Untuk apa dia datang lagi setelah sekian lama dia
ninggalin kita" Mama bertemu dia lagi tiga bulan yang lalu. Dia menghubungi Mama dan
memohon untuk bertemu dengan Mama. Awalnya Mama menolak, tapi dia terus
memaksa. Akhirnya Mama setuju. Dari pertemuan itulah Mama tau alasan dia
meninggalkan Mama waktu itu.
Jadi apa alasannya" Apa alasan yang udah membuat dia meninggalkan kita
selama tujuh belas tahun"
Bi, sebenarnya... bukan dia yang meninggalkan Mama, tapi Mama yang
meninggalkan dia. Maksud Mama" Mama masih seumuran kamu sewaktu Mama mengandung kamu. Tapi saat itu
Mama sudah lulus SMA dan bekerja membantu kakekmu menjaga warung. Waktu
Mama mengatakan pada papamu bahwa Mama hamil, dia diam. Dia tidak
merespons kata-kata Mama. Mama marah. Tapi dia tetap diam, seakan tidak peduli
pada apa yang Mama katakan. Saat itu Mama berpikir dia tidak mau bertanggung
jawab. Kemudian selama hampir satu bulan lebih dia menghilang.
Nenek dan kakekmu yang akhirnya mengetahui kehamilan Mama membawa
Mama meninggalkan rumah dan pindah ke Magelang agar orang-orang tidak
mengetahui kehamilan Mama. Mama menetap di sana sampai Mama melahirkan
kamu. Mama membenci papamu dan tidak mau mendengar kabar apa pun tentang
dia. Mama bahkan tidak pernah menganggap dia sebagai papamu... Mama
berhenti bicara. Tapi ternyata selama ini Mama salah, lanjut Mama. Papamu tak pernah
bermaksud meninggalkan Mama. Dia diam k
arena saat itu dia kaget dan tidak tahu
harus berbuat apa. Dia menghilang selama sebulan karena dia kembali ke
Pekanbaru menemui orangtuanya dan bersiap-siap ke Jakarta untuk melamar
Mama. Tapi saat kembali ke Jakarta, dia tidak menemukan Mama karena Mama
telah pindah ke Magelang tanpa memberitahu siapa pun. Dia berusaha mencari
Mama tapi tidak berhasil. Sampai akhirnya tiga bulan yang lalu dia tahu dari teman
sekolah Mama di mana tempat Mama bekerja.
Bia mengernyitkan kening. Mama lagi ngarang cerita apa sih" Rasanya yang
Mama ceritakan ini kayak sinetron aja.
Ini bukan karangan, Bi. Ini kenyataan! bentak Mama.
Bia diam tanpa tahu harus menjawab apa.
Selama ini mama tidak mau bercerita tentang ayah kandungmu karena Mama
marah dan membencinya. Mama mengira dia meninggalkan Mama dan tidak mau
bertanggung jawab. Mama mengikuti perintah Kakek dan Nenek untuk pindah ke
Magelang karena Mama ingin melupakan dia dan melahirkan kamu dengan tenang.
Mama sama sekali tidak tau bahwa ternyata pikiran Mama salah. Mama tidak tau
bahwa ternyata selama ini dia terus mencari Mama, mencari kita berdua.
Dia... apa dia belum menikah sampai sekarang" tanya Bia ragu.
Sudah. Bia terkejut. Tapi katanya dia terus mencari Mama. Kalau dia menikah, itu
berarti dia nggak mengharapkan kita lagi.
Dia terpaksa menikahi gadis itu karena orangtuanya memaksa. Laki-laki
seusianya jelas harus menikah, apalagi dia telah memiliki karier yang jelas. Kita
tidak bisa menyalahkannya, bela Mama. Tapi sayangnya, istri dan anaknya telah
meninggal dua tahun yang lalu.
Meninggal" Ya, meninggal dalam kecelakaan lalu lintas. Anaknya sempat koma selama dua
minggu sebelum akhirnya meninggal.
Bia memeluk guling erat-erat.
Bi, papamu ingin... bertemu denganmu. Dia selalu meminta Mama untuk
mempertemukan dia dengan kamu, tapi Mama menolaknya karena Mama tau kamu
tidak akan bisa menerimanya begitu saja. Mama tau kamu sangat membenci dia.
Tapi bisakah kamu memberinya satu kali kesempatan untuk menjelaskan semuanya
padamu" kata Mama lembut.
Aku nggak tau, Ma. Aku nggak tau apa aku bisa bicara baik-baik dengannya
meskipun semua ini bukan murni kesalahannya. Dia udah ninggalin aku selama
tujuh belas tahun. Aku nggak tau apa aku bisa memaafkan dia.
Kalau begitu apa kamu mau memaafkan Mama" Keegoisan Mama yang
membuat kamu tidak pernah mengenal ayah kandungmu. Kalau waktu itu Mama
percaya pada ayahmu dan sabar menunggunya kembali, kamu tidak akan pernah
disebut anak haram, kata Mama pelan. Air mata mengalir di pipinya.
Bia melepas guling di tangannya dan memeluk Mama dengan erat. Mama
nggak salah. Nggak ada yang harus aku maafin dari Mama. Mama sama sekali
nggak salah. Mama menangis dan membalas pelukan Bia dengan hangat.
BAB TUJUH BIA terjaga dari tidurnya sejak subuh. Sekarang matanya terbuka lebar dan enggan
menutup kembali. Sambil berbaring, ditatapnya langit-langit kamar. Kepalanya
terasa penuh dan berat. Masalah kemarin seperti baru saja terjadi. Tidur pun nggak
mampu menghapus beban di hatinya. Bia nggak tahu harus berbuat apa. Nggak
mudah baginya untuk menerima kembali seorang ayah yang sudah
meninggalkannya, apalagi untuk memaafkannya. Tujuh belas tahun bukan waktu
yang singkat. Lampu di luar kamar menyala. Sepertinya Mama juga sudah terbangun. Bia
menendang selimutnya dan bangkit dari tempat tidur. Ia berjalan keluar dari kamar
tidur menuju arah cahaya. Ternyata lampu dapur yang menyala. Bia mengintip
Mama dari balik dinding. Dilihatnya Mama duduk di meja makan sambil
memegang gelas berisi air. Mata Mama menerawang. Kerut-kerut pertanda usia
yang terus bertambah mulai tampak di wajah Mama. Tampak lingkaran hitam di
bagian bawah mata Mama. Sepertinya Mama nggak tidur semalaman.
Bia bersandar di dinding sambil terus menatap Mama. Tujuh bleas tahun, pasti
waktu yang sangat berat bagi Mama, pikir Bia. Mama
berjuang seorang diri membesarkan aku. Mama berusaha tegar menghadapi gunjingan para tetangga.
Mama menekan rasas akit dan kecewa karena pengkhianatan Papa Ivan. Dan Mama
terus berusaha menjadi ibu yang baik buat aku. Penderitaan Mama jauh lebih berat
dibandingkan apa yang aku rasakan.
Bia menghela napas. Apa yang harus aku lakukan" batinnya. Apa aku harus
memaafkan laki-laki itu dan menerimanya kembali" Apa aku bisa melakukan itu"
Memanggil laki-laki yang telah meninggalkan aku selama ini sebagai Papa, apa aku
bisa" Tapi kalau aku nggak bisa, aku akan terus membuat Mama mengalami
kepedihan ini. Kalau di rumah ini ada seorang kepala rumah tangga, mungkin
Mama nggak perlu bekerja lagi.
Kata-kata Egi kemarin terngiang kembali di telinga Bia, Bia, lo tau... sebenarnya
lo itu sangat beruntung karena masih dikasih kesempatan sama Tuhan untuk bertemu bokap
lo dan mempersatukan lagi keluarga lo...
Bia menatap wajah Mama. Ia bertekad akan membuat Mama bahagia. Mungkin
Egi benar, aku beruntung masih diberi kesempatan untuk mempersatukan lagi
keluargaku. Aku hanya perlu belajar untuk menerima laki-laki itu sebagai ayahku
dan memberinya kesempatan untuk membayar utangnya selama ini kepada kami,
utang berbentuk kewajiban dan tanggung jawab mengurus anak istri.
Bia menarik napas dalam-dalam lalu mengembuskannya perlahan. Dia
memejamkan mata, lalu menghitung satu sampai sepuluh. Ditariknya napas dalam-dalam sekali lagi. Ia membuka mata dan tersenyum. Ajaib, beban yang memadati
pikirannya seakan lenyap begitu saja. Bia merasa lebih ringan. Dia tahu apa yang
harus dilakukannya sekarang.
Lalu dia berjalan mendekati Mama yang masih duduk termangu di meja makan.
Ma..., panggil Bia pelan.
Mama terkejut. Kamu sudah bangun, Bi" Ini kan masih subuh" Bukannya hari
ini hari Minggu" Biasanya kalau hari Minggu kamu selalu bangun siang.
Mama sendiri juga sudah bangun, sahut Bia.
Ng... ini, Mama cuma mau ambil air minum.
Bia menarik kursi dan duduk di depan Mama. Tidur Mama nyenyak"
Iya. Kamu sendiri gimana"
Nggak begitu nyenyak. Tapi paling nggak lingkaran hitam di mataku nggak
sehitam di mata Mama. Ah, masa" Tapi Mama tidur nyenyak kok. Mama meraba bagian bawah
matanya sambil tersenyum.
Bia membalas senyuman itu tapi dia tahu mama berbohong.
Ma, aku mau ketemu sama laki-laki itu, kata Bia pelan. Ajak dia makan
malam di sini. Aku mau mendengar penjelasan langsung dari mulutnya. Setelah itu
Pacarku Juniorku Karya Valleria Verawati di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
baru aku akan mencoba memikirkan apakah aku akan memaafkannya atau nggak.
Mama terpana. Sungguh, Bi" Kamu mau bertemu dengan papamu"
Aku belum mengakuinya sebagai papaku, tapi aku akan memberinya
kesempatan bicara. Mama mengangguk. Iya, Mama tau. Mama mengerti, Bi.
Ya udah, aku mau tidur lagi, kata Bia, lalu meninggalkan Mama yang masih
tersenyum lega. Bia kembali ke kamarnya dan bersandar di balik pintu sambil berharap semoga
keputusannya ini benar-benar tepat.
@(^-^)@ Sore harinya, Bia gelisah. Ia mondar-mandir di kamarnya kayak setrikaan. Jarum
jam sudah menunjuk angka 6. Mama sudah menyuruh Oom Frans datang untuk
makan malam. Kalau begitu, sebentar lagi laki-laki itu tiba.
Bia benar-benar cemas. Dia nggak tahu bagaimana caranya menenangkan diri.
Mama sudah memasak makanan istimewa untuk malam ini. Sedangkan Bia sejak
pagi sampai sekarang masih mengurung diri di kamar.
Telapak tangan Bia mulai basah karena keringat. Baru kali ini ia merasa secemas
ini. Waktu pertama kali berkenalan dengan Papa Ivan dulu, Bia santai saja. Kali ini
entah kenapa Bia merasa kesulitan mengontrol debar jantung, keringat, dan rasa
takut yang menyesakkan dadanya. Gila, ada apa pada diriku" rutuk Bia. Aku mau
ketemu sama papaku sendiri, buat apa aku takut begini" Bia mengacak-acak
rambutnya kesal. Dia semakin frustrasi.
Terdengar suara deru mobil di depan rumah. Bia menajamkan pendengarannya.
Lalu ada suara pintu yang dibuka. Laki-laki itu pasti sudah datang.
Bia bangki t lalu berjalan menuju pintu kamarnya. Tapi sesaat kemudian dia
berhenti. Nggak, aku nggak boleh keluar duluan, kata Bia pada dirinya sendiri. Aku
nggak boleh menunjukkan bahwa aku menunggu kedatangannya. Aku harus
menunggu Mama memanggilku keluar.
Ketukan halus terdengar dari luar. Bi, Oom Frans sudah datang.
Aku tau, jawab Bia. Sebentar lagi aku keluar.
Mama tunggu ya, Bi, sahut Mama lembut.
Bia nggak menjawab lagi. Jantungnya berdegup semakin kencang dan liar.
Ditatapnya jaket hitam milik Egi yan gsudah terlipat rapi di meja belajarnya. Bia
berjalan mendekati jaket itu dan mengambilnya.
Gue lakukan ini semua gara-gara elo, Gi, kata Bia sambil menatap jaket itu
lekat-lekat. Kalau sampai hasilnya malah buruk, elo orang pertama yang bakal gue
damprat. Bia meletakkan kembali jaket itu ke meja belajarnya dan berjalan keluar dari
kamar. @(^-^)@ Oom Frans sudah duduk bersama Mama di meja makan. Meja makan yang selama
ini hanya terdiri atas dua kursi, hari ini sudah ditambahkan Mama dengan kursi
plastik yang diambil dari gudang. Bia ingat, kursi itu sebenarnya kursi yang dipakai
Papa Ivan sewaktu Papa Ivan masih menikah dengan Mama.
Bia duduk di tempatnya yang biasa. Suasana terasa berbeda. Atmosfer tegang
memenuhi ruangan. Bia menatap laki-laki yang duduk di hadapannya. Waktu di
restoran kemarin Bia nggak sempat memerhatikan wajahnya dengan mendetail
karena keburu terbakar emosi.
Oom Frans bertubuh tegap. Lebih tinggi sedikit daripada Mama, mungkin
sekitar 165 cm. Alisnya tebal. Rambutnya masih banyak yang hitam. Penampilannya
rapi dan bersih. Hidungnya nggak mancung tapi juga nggak terlalu pesek. Ada
kumis tipis di atas bibirnya. Wajahnya kelihatan ramah dan lembut. Nggak kayak
bapaknya Cha-Cha yang tampangnya rada sangar.
Bia, ini Papa... eh, Oom Frans, Mama mengawali pembicaraan dengan
memperkenalkan laki-laki yang ada di hadapan Bia.
Aku udah tau namanya kok, Ma, jawab Bia ketus.
Apa kabar, Bia" tanya laki-laki itu. Kelihatan banget dia berusaha ramah pada
Bia. Kabarku" Bia malah balik bertanya. Kabarku waktu umur berapa yang mau
Oom tanyakan" Waktu aku masih bayi, waktu aku pertama kali masuk SD, atau
kabarku waktu aku masuk rumah sakit gara-gara usus buntu"
Bia! tegur Mama. Jaga ucapanmu!
Oom Frans tersenyum. Nggak apa-apa, biarkan dia mengeluarkan semua
kemarahannya padaku. Bagaimanapun aku memang sudah bersalah padanya.
Bukan hanya padaku, tapi juga pada Mama! bentak Bia. Oom ke mana aja
waktu Mama melahirkanku, waktu aku pertama kali belajar berjalan, waktu aku
menangis karena jatuh dari sepeda, waktu Mama jatuh sakit karena terlalu lelah
bekerja"! Bia meluapkan emosinya. Apa Oom tau betapa sakitnya diejek sebagai anak
haram, apa Oom tau betapa sedihnya melihat Mama menanggung semua beban
rumah tangga, apa Oom tau betapa merananya tidak memiliki ayah"
Oom Frans terdiam. Senyum di bibirnya lenyap. Mama menundukkan kepala,
dan Bia tahu Mama sedang menangis.
Maaf, Bia, kata Oom Frans lirih.
Maaf" tanya Bia. Apa kata maaf bisa menghilangan semua penderitaan yang
aku dan Mama alami selama ini" Apa satu kata maaf bisa membuat masa kecilku
yang menyedihkan menjadi lebih baik"
Oom Frans nggak menjawab.
Sejak kecil aku harus menahan rasa sedih dan marah setiap kali mendengar
orang-orang menghinaku. Aku harus menahan diri saat aku mendengar mereka
menggunjingkan Mama. Aku hanya bisa menangis, tapi nggak bisa melakukan apa
pun. Seitap kali orang menanyakan di mana papaku, aku cuma bisa diam. Kalau
teman-temanku dengan bangganya menceritakan pekerjaan papanya, aku cuma bisa
menghindar supaya mereka nggak menanyakannya padaku. Dan sekarang Oom
hanya bisa mengatakan maaf"
Lalu apa yang harus Oom lakukan untuk menebus semua kesalahan Oom"
tanya Oom Frans pelan. Bia diam. Matanya menatap laki-laki di depannya itu.
Jelaskan padaku alasan Oom meninggalkan kami.
Oom nggak pernah berniat meninggalkan kalian. Oom mencintai mamamu
dengan tulus. Sewaktu Oom mengetahui kehamilan mamamu, jujur saja, Oom
sempat merasa ragu. Oom takut keluarga Oom tidak bisa menerima semua ini. Kami
masih terlalu muda. Oom belum punya pekerjaan yang jelas. Oom bingung dengan
apa akan menghidupi kalian kelak. Tapi akhirnya Oom memutuskan untuk kembali
ke Pekanbaru dan bicara dengan orangtua Oom, tanpa pamit pada mamamu.
Mungkin itu yang membuat mamamu salah paham dan mengira Oom tidak mau
bertanggung jawab, jawab Oom Frans.
Saat Oom kembali ke Jakarta, mamamu sudah pergi. Oom sudah berusaha
mencari, tapi tidak dapat menemukan kalian, lanjut Oom Frans.
Dan setelah itu Oom menyerah dan berhenti mencari" tanya Bia ketus.
Tidak. Oom terus mencari kalian sampai akhirnya Oom mendapat kabar
tentang pabrik tempat mamamu bekerja.
Lalu kenapa Oom menikah dengan orang lain"
Oom terpaksa. Oom tidak mungkin terus sendirian karena orangtua Oom
sangat menginginkan seorang cucu.
Aku kan cucu mereka...! Bi, waktu itu Oom sama sekali tidak mengetahui keberadaan kalian dan Oom
terpaksa menuruti keinginan mereka.
Dan kalian hidup bahagia sementara aku dan Mama berjuang menahan
derita. Melihat Bia semakin emosi dan Oom Frans semakin terdesak, mama Bia
menyela, Bia, jangan terus menyudutkan Oom Frans. Dia telah kehilangan anak
dan istrinya, dia juga telah menyesali semua kesalahannya. Apa kamu tidak bisa
memaafkannya" Biar saja, Ma. Anggap saja itu ganjaran dari Tuhan.
Bia..., Mama berkata memelas.
Sudah, Maya, biarkan Bia menumpahkan kemarahannya. Aku terima, ujar
Oom Frans pada mama Bia. Bia terdiam sejenak. Tapi tak lama kemudian, ia melontarkan pertanyaan lagi
pada Oom Frans, Terus, dengan apa Oom akan membayar semua penderitaan aku
dan Mama selama ini"
Oom akan membayar dengan seluruh sisa hidup Oom, jawab Oom Frans
dengan tegas dan tanpa ragu.
Bia terdiam lagi. Kebimbangan menyelimuti dirinya. Ditatapnya laki-laki di
depannya. Pantaskah laki-laki ini menerima maaf darinya" Tapi kalau dia nggak
memaafkannya, bagaimana perasaan Mama" Bia jelas tahu, Mama telah memaafkan
Oom Frans dan mau menerimanya kembali. Apa Bia juga harus seperti Mama"
Makanannya udah dingin, kata Bia akhirnya. Lebih baik kita makan karena
aku udah lapar. Dan sebaiknya Oom jangan terlalu lama di rumah ini. Aku nggak
mau tetangga menyebarkan gosip nggak enak tentang Mama. Kalau memang Oom
mau tinggal di rumah ini, nikahi Mama dulu secara resmi.
Oom Frans nggak menjawab. Ia berusaha mencerna kata-kata yang keluar dari
mulut Bia. Sesaat kemudian dia pun mengerti. Bia memang belum benar-benar
memaafkannya, tapi Bia bersedia memberinya kesempatan untuk memperbaiki
semua kesalahan yang telah dia lakukan.
Oom Frans hanya diam dan memandang Bia sambil menyunggingkan senyum
kelegaan. Mama juga tersenyum. Air mata haru mengalir dari sudut matanya.
Meskipun Bia belum bersedia mengakui Oom Frans sebagai ayahnya, tapi paling
nggak, Bia mau menerima Oom Frans sebagai bagian dari keluarga mereka. Bagi
mama Bia, itu sudah merupakan hal yang sangat membahagiakannya. Itu sudah
lebih dari cukup. @(^-^)@ Esok harinya, Cha-Cha dan Yuki menunggu Bia di depan kelas. Mereka udah
pengin banget mendengarkan cerita Bia tentang kejadian Sabtu kemarin.
Begitu Bia muncul dari ujung koridor, Yuki dan Cha-Cha langsung berlari ke
arahnya. Bia, ayo buruan jalannya! seru Cha-Cha langsung menarik tangan Bia menuju
kelas. Apaan sih" tanya Bia heran. Tapi dia menurut juga. Dipercepatnya langkah
kakinya mengikuti Cha-Cha. Yuki berjalan di sebelahnya dengan tersenyum.
Sesampainya di kelas, Cha-Cha membantu Bia melepas tasnya lalu menekan
pundak Bia agar segera duduk. Asli, Bia heran banget melihat tingkah dua sobatnya.
Ada apa sih" tanya Bia.
Mestinya kami yang nanya... ada apa sih kemarin" tanya Cha-Cha.
Mendengar pertanyaan Cha-Cha,
Bia mulai mengerti kenapa sobat-sobatnya ini
menunggunya di depan koridor.
Kemarin... ng... oh ya, soal kemarin, gue mau bilang sori nih. Gue udah
nyusahin kalian berdua, kata Bia. Tapi sekarang masalah gue udah selesai kok.
Nah itu yang mau kami tanyain. Masalah apa sih" tanya Yuki. Cerita dong,
Bi! Mmm... kemarin gue ngeliat nyokap gue makan berdua sama laki-laki yang
nggak gue kenal. So what" tanya Cha-Cha heran.
Yuki langsung memelototi Cha-Cha dan menyuruhnya diam.
Laki-laki itu ternyata... bokap kandung gue.
HAH"! seru Cha-Cha kaget tanpa bisa menahan diri.
Yuki kembali memelototi Cha-Cha. Cha-Cha membekap mulutnya dengan
kedua telapak tangn. Nyokap gue udah cukup lama berhubungan lagi dengan dia, dan selama ini
nyokap gue menutupiya dari gue. Nyokap takut gue nggak mau menerima
kehadiran laki-laki itu. Jadi kemarin itu lo ribut sama nyokap lo" tanya Yuki pelan.
Bia mengangguk. Jadi... karena itu juga lo ninggalin kami beruda di mal"
Bia kembali mengangguk sambil menjawab, Gue benar-benar marah dan kaget.
Laki-laki itu, namanya Oom Frans, setelah tujuh belas tahun ninggalin gue dan
Nyokap, tiba-tiba muncul di depan gue dan bermesraan dengan nyokap gue. Gue
benar-benar marah dan nggak tau harus bagaimana. Saat itu gue cuma pengin
sendiri dulu sehingga gue ninggalin kalian begitu aja. Maaf ya.
Trus sekarang gimana" tanya Yuki lagi.
Gue tau nyokap gue udah memaafkan dan bersedia menerima Oom Frans
kembali. Dan gue juga udah bicara dengan laki-laki itu. Dia minta maaf sama gue
meskipun nggak semudah itu bagi gue untuk bisa memaafkannya. Dia cerita,
sebenarnya dia nggak bermaksud ninggalin gue dan nyokap gue. Tapi
kesalahpahaman yang terjadi antara dia dan nyokap gue membuat semuanya jadi
begini. Jadi... elo nggak mau menerima dia" tanya Yuki.
Jujur aja, gue belum bisa memaafkan dia, jawab Bia. Tapi gue tau, laki-laki
itu mungkin bisa membahagiakan nyokap gue. Kalau mereka bersatu lagi, nyokap
gue nggak perlu bekerja keras untuk membiayai hidup gue. Dia bisa istirahat dan
menikmati hidup. Gue pengin ngeliat nyokap gue bahagia.
Elo melakukan semua ini untuk nyokap lo, Bi" tanya Cha-Cha.
Bia mengangguk. Ada yang bilang ke gue bahwa gue tuh sebenarnya
beruntung karena dikasih kesempatan untuk mempersatukan keluarga gue kembali.
Gue cuma nggak mau menyia-nyiakan keberuntungan gue itu. Gue rasa ini semua
bagian dari rencana Tuhan. Dia membuat gue nggak punya ayah dari kecil agar gue
tumbuh jadi perempuan yang tegar dan kuat. Dan sekarang, saat gue dirasaNya
udah cukup kuat dan tegar, Dia mengembalikan sosok ayah itu lagi ke gue. Dan Dia
pasti punya rencana tersendiri di balik semua kejadian ini. Mungkin aja Dia pengin
gue belajar memaafkan, dan nanti seiring berjalannya waktu, gue bisa memaafkan
Oom Frans dan menerimanya dengan tulus. Who knows.
Yuki dan Cha-Cha menatap Bia heran.
Lo makan apa semalem, Bi" tanya Cha-Cha.
Makan apa" Bia malah balik bertanya dengan heran. Gue nggak makan apa-apa. Memangnya kenapa"
Kata-kata lo tadi itu loh! Ajaib, dan bikin elo nggak seperti Bia yang biasanya,
jawab Cha-Cha. Kata-kata gue yang mana"
Kata-kata lo tentang rencana Tuhan, jawab Yuki. Selama ini yang kami tau,
elo bukan orang yang bijak menilai cinta dan kehidupan, Bi. Prinsip hidup lo tuh lo
nggak tubuh orang lain". Lo pantang bergantung pada orang lain apalagi pada
makhluk adam. Loe merasa yakin elo pasti bisa membahagiakan nyokap lo tanpa
bantuan dan kehadiran orang lain. Dan gue tau, elo sangat membenci bokap
kandung lo. Tapi sekarang, elo malah menerima kehadirannya dan berkata seakan
lo mau belajar untuk memaafkannya. Ini benar-benar ajaib. Apa yang bisa bikin elo
berubah seperti ini dalam semalam"
Wajah Bia bersemu merah. Dia menundukkan kepalanya. Sesaat bayangan Egi
melintas di matanya. Jantungnya berdebar cepat. Lalu ia berkata lirih, Mungkin...
memang nggak semua l aki-laki sejahat yang gue kira.
@(^-^)@ Bia melangkahkan kakinya menyusuri koridor sekolah menuju area kelas satu.
Tujuannya udah jelas, mau mencari Egi. Dia pengin ngucapin terima kasih sekaligus
mengembalikan jaket Egi. Setelah berhasil mencari-cari alasan untuk pisah dari Yuki dan Cha-Cha, Bia
bergegas menuju kelas 1 D.
Sesampainya di depan pintu kelas Egi, Bia celingak-celinguk mencari sosok Egi.
Nihil. Nggak ada Egi di ruang kelas itu. Bia kembali mengedarkan pandangannya
ke sekitar koridor kelas satu, siapa tahu Egi lagi ngobrol sama teman-temannya di
luar kelas. Tapi lagi-lagi hasilnya nihil. Atau jangan-jangan Egi lagi ke kantin"
Mmm... atau di lapangan" Atau di WC, ya"
Bia melihat ke sekelilingnya. Mau nanya tapi nggak enak. Sekarang aja udah
banyak yang merhatiin dia, apalagi kalau dia menanyakan Egi. Anak-anak kan udah
tahu bahwa Egi ngejar-ngejar Bia. Kalau ketahuan Bia yang nyari Egi, bisa-bisa
muncul gosip baru. Bia jadi bingung sendiri. Mana sebentar lagi bel masuk berbunyi.
Cari Egi, ya" tanya seorang cowok tiba-tiba, membuat Bia terlonjak kaget.
Eh, iya. Lo tau di mana dia"
Dia nggak masuk hari ini, jawab cowok itu ketus. Sakit.
Sakit" tanya Bia lagi. Sakit apa"
Mana gue tau. Siapa sih lo" tanya Bia keki. Lagian nih cowok sok galak gitu, bikin kesal aja.
Gue Teddy... temen dekatnya Egi, lagi-lagi Teddy menjawabnya dengan
ketus. Jelas Bia kesal diketusin Teddy. Lo ada masalah apa sih sama gue, sampai nada
suara lo jutek begitu"
Nggak ada. Gue cuma kasian sama Egi. Jatuh cinta kok sama cewek kayak
elo... Heh, apa maksud lo"! Bia mulai emosi.
Pacarku Juniorku Karya Valleria Verawati di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Egi itu bego. Banyak cewek yang suka sama dia, tapi dia tolak. Eh, dia malah
ngejar-ngejar cewek kayak elo.
Cewek kayak gue... apa maksud lo"
Yah... cewek yang kasar dan sok jual mahal.
Brengsek! Lo pikir lo siapa bisa ngatain gue kayak gitu! maki Bia.
Teddy malah menanggapi Bia dengan tawa.
Ngapain lo ketawa" Gue pantang ribut sama cewek.
Heh, denger ya... Dering bel menahan gerakan Bia yang udah siap-siap
melayangkan tinjunya ke muka Teddy.
Sana balik ke kelas lo, kakak kelasku yang manis, ejek Teddy lalu berjalan
masuk ke kelasnya. Bia udah pengin menjambak rambut cowok itu, tapi nggak jadi begitu dilihatnya
Pak Handi, guru kimia kelas satu, sedang berjalan ke arahnya. Bia hanya bisa
menggeram marah lalu berjalan kembali menuju kelasnya sendiri.
@(^-^)@ Hari ini Egi nggak masuk lagi. Bia nggak sengaja mendengar hal itu dari cewek-cewek kelas satu yang lagi pada ngerumpi di WC. Ada perasaan nggak enak dalam
dirinya. Apa iya Egi sakit" Jangan-jangan Egi sakit karena kehujanan sewaktu
menemaninya di jembatan hari itu. Udara dingin dan air hujan pasti membuatnya
demam dan masuk angin. Perasaan Bia makin nggak enak.
Akhirnya dia putuskan untuk menahan gengsinya, menurunkan emosinya, dan
menemui Teddy untuk menanyakan alamat rumah Egi. Bagaimanapun Teddy kan
teman dekat Egi, jadi dia pasti tahu di mana rumah Egi.
Bia berjalan menuju kelas Teddy.
Bia! panggil seseorang dari arah belakangnya. Bia membalikkan badannya.
Eh, elo, Cha. Ada apa"
Lo mau ke mana" tanya Cha-Cha.
Mmm... itu... mau ke WC, Bia berbohong. Dia nggak mau Cha-Cha atau siapa
pun juga tahu bahwa ia ingin mencari alamat rumah Egi.
Kok ke arah sini" tanya Cha-Cha heran. WC kan di ujung sana.
WC di sana penuh. Gue udah kebelet banget, jadi gue mau ke WC anak kelas
satu aja. Siapa tau sepi.
Gue temenin, ya" tawar Cha-Cha.
Nggak... nggak usah! Bia buru-buru menjawab. Gue pengin buang air besar,
Cha. Kan nggak enak kalau ditungguin.
Cha-Cha tersenyum geli. Ooo... ya udah. Eh, tapi pulang sekolah lo bisa
nemenin gue nggak, Bi"
Ke mana" Ke toko buku sebentar. Gue mau cari buku Da Vinci Code.
Mmm... kayaknya kalau hari ini gue juga nggak bisa. Gue ada urusan penting,
kata Bia. Lo coba ajak Yuki aja.
Yuki nggak bisa, dia ada janji sama Maxi.
Tammy" Tammy juga nggak bisa. Katanya dia mau jenguk tanten
ya yang sakit. Tapi, Cha, sori banget. Hari ini gue benar-benar nggak bisa.
Yah... ya udahlah. Nggak apa-apa kok, kata Cha-Cha, walaupun sedikit
kecewa. Sana cepat ke WC. Bentar lagi udah bel. Gue ke kelas duluan ya.
Bia mengangguk lalu kembali berjalan menuju kelas Teddy. Dari jauh Bia
meliaht cowok itu berdiri di depan ruang kelasnya. Bia mempercepat langkahnya
mendekati Teddy. Ted, gue mau minta tolong sama elo, ujar Bia to the point.
Teddy menoleh ke arah Bia. Mau apa lagi lo"
Gue mau minta tolong, Bia mengulangi kata-katanya.
Minta tolong" Sama gue"
Iya... gue mau minta alamat rumah Egi.
Buat apa" Itu urusan gue. Gue cuma minta tolong lo catatin alamat rumah Egi buat gue.
Itu aja. Lo pikir gue bakal mau ngasih tau"
Nggak ada untungnya lo ngerahasiain alamat Egi dari gue.
Nggak ada untungnya juga gue ngasih tau alamat Egi ke elo.
Bia terdiam. Nih cowok asli keras kepala banget. Bia benar-benar heran kenapa
Egi mau berteman sama orang model gini.
Ted, gue nggak peduli sama penilaian lo tentang gue. Tapi kali ini aja gue
mohon, tolong kasih tau alamat rumah Egi, pinta Bia. Untuk sekali ini aja.
Teddy menatap Bia sejenak lalu tertawa terbahak-bahak. Bia sampai kesal
melihatnya. Pengin banget rasanya dia melayangkan bogem mentah ke muka
Teddy. Jago juga si Egi. Akhirnya dia berhasil nundukin hati cewek jutek ini, ujar
Teddy di sela tawanya. Bia dongkol banget mendengarnya, tapi dia berusaha menahan diri. Terserah
lo mau ngomong apa. Lo bisa kasih tau alamat Egi sekarang"
Taman Asri Indah Blok HA nomor 28, jawab Teddy akhirnya, lalu kembali
tertawa. Bia mencatat alamat itu baik-baik di otaknya, lalu tanpa mengucapkan terima
kasih Bia berlalu dari hadapan Teddy. Dia benar-benar berharap mulut Teddy robek
gara-gara kebanyakan ketawa. Dasar cowok brengsek!
@(^-^)@ Taksi berhenti tepat di depan sebuah rumah yang lumayan besar. Bia mengeluarkan
uang dan memberikannya pada si sopir taksi.
Mau ditungguin nggak, Non" tanya sopir taksi ramah.
Bia berpikir sejenak. Boleh juga tuh. Dia kan belum tahu daerah sini, takutnya
nanti malah susah dapat kendaraan buat pulang. Lagi pula dia nggak berniat
berlama-lama di rumah Egi.
Boleh deh, Bang. Oke deh, Non. Saya tunggu di warung situ ya, kata si sopir taksi senang,
sambil menunjuk warung yang berada nggak jauh dari rumah Egi.
Bia mengangguk lalu turun dari taksi. Kini ia berdiri di depan pagar tinggi yang
membentengi rumah bergaya Mediterania itu. Rumah Egi ini didominasi warna
cokelat bata yang memberi kesan natural, klasik, tapi simpel.
Dua kali Bia menekan bel yang ada di sisi kiri pagar, sampai akhirnya seorang
perempuan keluar dari dalam rumah dan mendekatinya.
Cari siapa ya, Mbak" sapa perempuan itu.
Apa benar ini rumah Egi" tanya Bia sopan.
Ooh... cari Den Egi. Ada kok. Den Egi-nya lagi di kamar, masih nggak enak
badan, jawab perempuan itu sopan. Dia langsung buru-buru membukakan pintu
dan mempersilakan Bia masuk.
Bia masuk melewati pagar sambil bertanya, Kalau boleh tau, Mbak siapa"
Oh... saya mah cuma pembantu di sini. Nama saya Surti.
Eh, saya Bia. Teman sekolah Egi, ujar Bia sok ramah sambil mengulurkan
tangan. Surti tersenyum senang menyambut uluran tangan Bia.
Bia mengikuti langkah Surti masuk ke rumah yang bagian dalamnya tampak
jauh lebih megah. Egi sakit apa sih, Mbak" tanya Bia.
Demam, jawab Surti. Udah dua hari. Waktu itu Den Egi pulang malam-malam dalam keadaan basah kuyup. Tuan sama Nyonya sampai marah-marah. Tapi
Den Egi diam aja, nggak mau jawab. Eh tau-tau besoknya badan Den Egi panas
gitu. Jadi benar dugaan Bia. Egi sakit gara-gara menemaninya hujan-hujanan. Bia jadi
merasa bersalah. Sekarang keadaannya gimana"
Udah lebih baik sih. Panasnya udah turun, tapi sama Nyonya belum boleh
sekolah dulu. Syukurlah, Bia mendesah lega.
Siapa yang datang, Sur" seseorang bertanya dari arah belakang Bia.
Bia dan Surti sama-sama membalikkan badan. Sesosok perempuan se
tengah baya berjalan menuruni anak tangga. Rambut panjangnya yang ikal dan cokelat
dibiarkan tergerai. Kulitnya yang agak gelap tapi bersih dan mulus dibalut blazer
hitam. Nyonya..., ujar Surti, ini temannya Den Egi.
Bia menoleh ke arah Surti. Nyonya" Berarti itu mamanya Egi!
Siang, Tante, Bia mengucapkan salam dengan sopan.
Oh, temannya Egi ya" tanya mama Egi sambil menuruni sisa anak tangga dan
berjalan mendekati Bia. Iya, Tante, nama saya Bia.
Oh... Bia mau jenguk Egi ya" Eginya masih nggak enak badan, makanya Tante
belum mengizinkannya masuk sekolah, kata mama Egi ramah.
Bia hanya tersenyum. Diam-diam ia mengamati wajah perempuan setengah
baya yang berdiri di hadapannya itu. Wajahnya sama sekali nggak mirip sama
wajah Egi yang lebih berkesan oriental. Kulit Egi putih dan matanya agak sipit, beda
banget sama mamanya. Mugkin memang benar bahwa Egi anak angkat.
Kalau begitu kamu langsung ke taman belakang aja. Kebetulan di sana juga
lagi ada temannya Egi. Mungkin kamu kenal.
Temannya" Jangan-jangan Teddy lagi! Yieks! Mampus gue kalau sampai ketemu
Teddy di sini. Kalau dia sampai macam-macam lagi, bisa benar-benar ribut gue
sama dia, Bia ngedumel dalam hati.
Nah, Tante pergi dulu ya. Silakan aja langsung ke belakang...
Iya, Tante. Saya permisi dulu ya, pamit Bia sebelum berjalan menuju arah
yang ditunjukkan mama Egi.
Bia mengangguk lalu buru-buru berjalan menuju taman belakang. Setelah
melewati ruang makan, Bia membuka pintu kaca yang mengarah ke taman. Saat
itulah Bia berhenti. Pemandangan yang dilihatnya membuat darahnya bergolak
hebat. Di taman itu, di dekat kolam ikan... ada Tammy yang duduk di samping Egi,
sambil menyuapi makanan ke mulut cowok itu. Mereka berdua tertawa renyah.
Siapa pun yang melihat mereka saat ini pasti merasa mereka adalah sepasang
kekasih. Egi yang memakai sweter abu-abu bahkan sesekali mengambil sendok dari
tangan Tammy dan berpura-pura hendak menyuapi Tammy yang buru-buru
menghindar sambil tertawa. Jantung Bia berdetak kencang. otaknya terasa terbakar.
Bia nggak bisa menahan diri lebih lama lagi.
Jadi ini ceritanya" tanya Bia ketus. Darahnya mendidih dan emosinya meluap.
Bia..., Egi dan Tammy terkejut. Mereka baru menyadari kehadiran Bia di
taman itu. Jadi ini yang selama ini lo sembunyiin dari gue, Tam" Jadi ini yang bikin elo
nggak punya waktu lagi buat ngumpul sama teman-teman lo sendiri" Sejak kapan
Egi jadi tante lo yang perlu lo jenguk hari ini karena sakit" Sejak kapan lo jadi
pembohong" cecar Bia.
Tammy bangkit dari duduknya dan buru-buru mendekati Bia. Sori, Bi. Gue
sama sekali nggak bermaksud...
Nggak bermaksud bohongin gue" Begitu" bentak Bia. Gue benar-benar
nggak nyangka lo bisa sejahat ini, Tam. Selama ini gue percaya sama alasan-alasan
yang lo ucapkan. Tapi setelah melihat ini semua, gue nggak akan pernah percaya
sama elo lagi! Nggak akan pernah!
Bi, jangan emosi dulu... Biar gue jelasin. Egi yang berusaha berdiri
menenangkan Bia. Bibirnya yang kering dan wajahnya yang pucat terlihat jelas. Tapi
sayang, saat ini Bia benar-benar kecewa, marah, dan sakit hati, sehingga dia nggak
peduli kalau lawan bicaranya itu masih sakit.
Lo sama brengseknya, Gi! Kata-kata lo di jembatan itu semuanya cuma omong
kosong! Lo sama aja kayak laki-laki brengsek lainnya! Lo benar-benar busuk! Gue
benci sama elo! maki Bia kesal.
Bia... ini nggak seperti yang elo sangka. Gue sama Tammy nggak ada
hubungan apa-apa..., Egi berusaha membela diri.
Lo pikir gue percaya" Lo benar-benar brengsek, Gi! Lo berdua pembohong...
penipu! Lo kenapa sih, Bi" Apa salah gue" Apa urusan lo sama hubungan gue dan Egi"
Bukannya lo sendiri pernah bilang kalo lo nggak suka sama Egi" Jadi kalaupun gue
mau pedekate sama Egi, ini hak gue dan lo nggak berhak marah-marah atau
ngelarang gue dong! Tammy balik membentak Bia.
Lo bohong dan lo masih nanya apa kesalahan lo"
Gue memang selalu ngarang alasan bohong sama kalian, dan gue punya alasan
untuk itu. Lagian, apa peduli kalian! Kalian cuma ngurusin masalah dan perasaan
kalian. Apa kalian ada yang peduli sama gue" Belakangan ini, setiap kalian ngobrol,
yang diomongin cuma tentang Bia dan Egi. Bia dan Egi. Kalian nggak pernah sekali
pun nanyain tentang gue, gimana keadaan di rumah gue, gimana perasaan gue.
Kalian nggak pernah peduli sama gue lagi. Kalau sekarang gue dekat sama Egi, apa
gue salah" Apa mentang-mentang Egi suka sama elo jadi gue nggak berhak dekat
sama Egi"! seru Tammy.
Kalo lo nggak cerita, mana ada yang bisa ngerti perasaan lo! balas Bia.
Lo memang egois, Bi! Lo selalu mau menang sendiri! Lo pikir semua orang bisa
nerima sifat lo itu. Lo salah! Semua orang cuma kasihan sama masa lalu lo! Bagi
mereka, lo tuh cuma cewek penakut yang sok jago!
Cukup! bentak Egi tiba-tiba.
Tammy terdiam. Bia tak bicara.
Tam, sekali lagi lo bicara macam-macam tentang Bia, gue nggak akan maafin
eo, ancam Egi. Tammy terpana. Dia sama sekali nggak nyangka Egi bakal bersikap seketus itu
padanya. Jadi itu pandangan lo tentang gue selama ini, Tam" Bia berkata pelan. Oke!
Semua cukup sampai di sini. Mulai hari ini anggap aja kita nggak pernah saling
mengenal atau bersahabat.
Bia lalu berbalik dan berlari meninggalkan taman itu. Egi berusaha mengejar,
tapi baru setengah jalan, mendadak penglihatannya berkunang-kunang. Egi
berpegangan erat pada pintu kaca yang ada di sampingnya untuk menahan
tubuhnya. Tammy yang melihatnya buru-buru menangkap tubuh Egi dan
membantunya berjalan menuju kursi. Dia nggak bisa menyembunyikan rasa cemas
di wajahnya. Tammy menatap wajah Egi yang pucat, dan tanpa dia sadari tangannya
bergerak membelai rambut Egi dengan penuh kasih sayang.
BAB DELAPAN DUA minggu telah berlalu. Sampai hari ini Bia selalu menghindar dari Tammy dan
Egi. Yuki dan Cha-Cha yang nggak mengerti apa yang telah terjadi hanya berusaha
menempatkan diri sebagai sahabat yang baik buat Bia maupun Tammy yang enggan
bertegur sapa. Bi, besok mau ikut belajar bersama di rumah gue nggak" tanya Cha-Cha.
Bia, Yuki, dan Cha-Cha duduk di kelas, menghabiskan sisa jam istirahat mereka.
Tammy ikut" tanya Bia to the point.
Mmm... dia sih udah bilang oke, jawab Cha-Cha jujur. Cha-Cha nggak mau
bohong lagi sama Bia. Waktu itu dia dan Yuki udah pernah bohong dan berusaha
mempertemukan Bia dengan Tammy. Mereka berharap dengan begitu masalah di
antara Bia dan Tammy bisa selesai, tapi nyatanya keduanya malah marah besar dan
pergi begitu aja tanpa bicara.
Kalau ada Tammy, gue nggak ikutan, kata Bia. Gue udah bilang sama kalian,
gue nggak mau bicara lagi sama dia.
Bi, lo kenapa sih" tanya Yuki kesal. Kalian berdua kayak anak kecil, tau!
Kalau memang ada masalah, ya dibicarain dong, jangan bersikap seperti ini!
Gue nggak ada masalah, tapi dia yang bermasalah, jawab Bia.
Iya, tapi apa masalahnya" tanya Yuki lagi. Kita udah temenan selama tiga
tahun. Sebentar lagi kita bakal lulus SMA dan pisah. Apa lo mau kita terus-terusan
seperti ini" Apa persahabatan kita berempat sama sekali nggak ada artinya buat
elo" Lo jangan bicara seperti ini ke gue, tapi ke Tammy, sahut Bia. Lo tanyain ke
dia apa selama tiga tahun ini dia berteman dengan gue karena kasihan dengan masa
lalu gue. Siapa yang bilang gitu" tanya Cha-Cha. Lo pasti salah dengar. Ini pasti cuma
salah paham. Bia tertawa. Kalian juga nggak percaya, kan"
Bi, apa masalah lo dengan Tammy ada hubungannya dengan Egi" tanya Yuki.
Jangan sebut-sebut nama bajingan itu di depan gue! bentak Bia.
Yuki dan Cha-Cha terdiam.
Sori, Yu. Gue nggak bermaksud ngebentak elo, kata Bia, nyesel karena nggak
bisa menahan emosinya. Gue ke WC dulu ya.
Bia bangkit dari duduknya dan keluar kelas menyusuri koridor menuju WC.
Saat Bia berjalan sendirian, ada yang memanggilnya dari arah belakang.
Bia! Bia menoleh, tapi begitu melihat sosok orang yang memanggilnya, dia langsung
Pacarku Juniorku Karya Valleria Verawati di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
buang muka dan kembali berjalan.
Bia, tunggu! Egi menahan tangan Bia.
Lepasin, brengsek! seru Bia. Gue nggak kenal sama lo, jadi jangan panggil-panggil nama gue seenak jidat lo!
Bi, kasih gue kesempatan untuk ngejelasin semuanya, mohon Egi. Gue sama
Tammy nggak ada hubungan apa-apa. Dia memang baik sama gue. Belakangan ini
dia sering ke rumah gue, nelepon gue, ngobrol sama gue, nanyain tentang masa
kecil gue, tapi cuma sebatas itu, nggak pernah lebih. Gue nggak punya perasaan
khusus sama dia. Lo pikir gue percaya sama elo" tanya Bia ketus. Gue lihat dengan mata
kepala gue sendiri, gimana mesranya elo sama dia, dan lo bilang elo nggak ada
hubungan apa-apa sama dia" Lo pikir gue percaya sama kata-kata lo itu"
Bia membalikkan badannya dan berjalan meninggalkan Egi.
Bia! panggil Egi. Lo cemburu, ya"
Bia berhenti dan membalikkan badannya, menatap Egi yang tersenyum di
hadapannya. Dasar cowok nggak punya malu. Cemburu gara-gara elo cuma
buang-buang tenaga. Pikir pakai otak, apa kelebihan lo yang bisa bikin gue cemburu
gara-gara elo" Jangan menipu diri sendiri, Bi, kata Egi sambil tetap tersenyum. Akui aja
kalau elo memang udah jatuh cinta sama gue dan elo cemburu karena gue dekat
sama Tammy. Iya, kan"
Bia tertawa mengejek. Lebih baik gue jatuh cinta sama monyet daripada sama
elo! Bia membalikkan badannya dan berjalan cepat tanpa memedulikan Egi yang
memanggil namanya berulang kali.
@(^-^)@ Satu hari lagi telah berlalu.
Bia melempar selimut yang menutup tubuhnya. Disambarnya handuk yang
tergantung di belakang pintu kamar, lalu bergegas menuju kamar mandi buat siap-siap ke sekolah.
Selesai mandi, Bia membawa rasnelnya menuju ruang makan. Mama sudah
menunggu dengan segelas kopi panas.
Pagi, Ma, sapa Bia. Pagi, Sayang, sahut Mama. Gimana tidur kamu semalam"
Mimpi buruk, jawab Bia. Aku mimpi ketemu monster serem. Dia ngejar-ngejar aku sambil bawa bunga. Aku kabur sampai-sampai aku kecebur got, tapi
makhluk itu sama sekali nggak mau berhenti ngejar aku.
Mama tertawa. Untung monsternya bawa bunga, itu tandanya monsternya
baik hati. Ih, Mama... Mau bawa bunga kek, mau bawa cokelat kek, yang namanya
mosnter ya tetap aja nakutin.
Monsternya cowok atau cewek"
Mana aku tau..., jawab Bia. Memangnya aku sempat wawancara sama tu
monster" Mama nih ada-ada aja.
Mama kembali tertawa. Bia mengambil setangkup roti tawar yang sudah diolesi
selai kacagn oleh Mama dan melahapnya.
Bi, nanti malam papamu mau makan malam bersama di sini. Boleh, kan"
tanya Mama. Terserah. Kok terserah sih, Bi" tanya Mama. Papamu udah kangen sama kamu. Sejak
makan malam waktu itu, kamu nggak pernah bicara lagi sama dia. Setiap dia
datang, kamu ngumpet di dalam kamar. Kasihan kan dia.
Aku tuh lagi banyak tugas dan ujian, Ma. Dua bulan lagi kan aku udah mau
ujian akhir. Mama ngerti. Tapi paling tidak, kamu kan bisa menyempatkan diri untuk
sekadar menyapa papamu sebentar.
Ma, jujur sama aku, kata Bia menghentikan kegiatan makannya, apa Mama
nggak takut kalau ternyata dia nggak sebaik yang Mama kira" Apa Mama nggak
takut kalau suatu hari nanti dia ninggalin kita lagi" Apa Mama nggak takut kalau
nanti dia selingkuh kayak Oom Ivan"
Mama diam. Sesaat kemudian ia menarik napas dan mengembuskannya
perlahan. Ia berkata, Kadang-kadang rasa takut itu muncul, Bi. Mama tidak ingin
kecewa dan sakit hati lagi. Tapi Mama belajar percaya dan pasrah. Kegagalan bukan
berarti kita berhenti untuk berusaha, kan"
Kenapa Mama mau memaafkan dia"
Entahlah, Mama juga tidak tau. Mungkin karena dia ayah kandungmu.
Lalu kapan Mama mau menikah dengannya"
Mama tertawa. Sudahlah, jangan bicarakan itu lagi. Habiskan sarapanmu, lalu
cepat berangkat sekolah. Bia menurut. Dia menghabiskan rotinya lalu meneguk susu cokelat di
hadapannya tanpa sisa. Ya udah. Aku berangkat dulu ya, Ma, pamit Bia sambil menyamba
r tas ransel di sebelahnya lalu bangkit dan bergegas keluar.
Mama ikut berdiri dan mengantar putri semata wayangnya itu ke depan.
Jangan pulang terlalu sore, ya! pesan Mama sambil membukakan pintu buat
Bia. Iya, aku tau, jawab Bia lalu segera keluar dari rumah. Namun sesaat
kemudian langkahnya terhenti. Pemandangan di depannya membuat mulutnya
terbuka lebar karena terkejut.
Mama Bia yang heran melihat tingkah putrinya segera mendekati Bia sambil
bertanya, Ada apa sih, Bi"
Tapi pertanyaan mama nggak perlu Bia jawab. Pemandangan yang terhampar di
hadapannya merupakan jawaban yang membuat Mama terpesona.
Di depan pagar rumah mereka, terpajang buket bunga berukuran besar, berisi
beraneka mawar, dan spanduk bertulisan: BIA, I"M SORRY!
Siapa yang melakukan ini semua" tanya Mama heran sekaligus takjub. Ini
benar-benar luar biasa. Bia nggak menjawab. Matanya menatap spanduk yang terikat di pagar
rumahnya. Kata-kata di spanduk itu membuat dia tahu siapa pelakunya. Tapi Bia
memilih bungkam. Dia berjalan ke arah pagar dan berhenti tepat di depan spanduk.
Dalam sekali tarikan, keras, Bia mencopot spanduk yang ternyata nggak terikat kuat
di pagar. Lalu Bia menggulung dan menjejalkannya ke dalam tas ranselnya.
Ma, tolong buang bunga-bunga ini ke tong sampah, pinta Bia. Kalau perlu
dibakar aja. Aku nggak mau saat aku pulang nanti bunga-bunga ini masih ada di
halaman. Tapi, Bi... Tolong, Ma, mohon Bia. Mama akhirnya mengangguk pasrah. Iya, nanti Mama rapikan sebelum
berangkat kerja. Makasih, Ma. Aku berangkat dulu ya, pamit Bia.
Bia membuka pintu pagar dan bergegas ke sekolah. Ada seseorang yang harus
dia temui sekarang juga. @(^-^)@ Bia melangkah dengan cepat menyusuri koridor sekolah menuju kelas Egi.
Ranselnya masih nangkring dengan manis di punggungnya, tapi gulungan spanduk
udah pindah ke dalam genggaman tangannya.
Mata bia mencari sosok Egi di dalam kelas yang udah lumayan ramai pagi itu.
Begitu matanya menemukan Egi yang lagi duduk di meja bersama beberapa
temannya, Bia langsung memanggilnya.
Egi! Cowok itu terkejut mendengar teriakan itu. Dia menoleh ke asal suara dan
mendapati Bia sedang berdiri di depan pintu kelasnya. Egi tersenyum lalu berdiri
dan berjalan mendekati Bia.
Ada apa, Bi, pagi-pagi udah cari gue" tanya Egi manis.
Nggak usah sok innocent deh! bentak Bia tanpa memedulikan tatapan anak-anak kelas satu yang mengarah padanya. Apa maksud lo dengan semua ini" Bia
menunjukkan gulungan spanduk di tangannya, tepat di depan hidung Egi.
Ini..., Egi mengambil gulungan spanduk dari tangan Bia sambil tersenyum,
adalah wujud permintaan maaf gue ke elo.
Lo pikir gue cewek gampangan yang langsung klepek-klepek kalau dikasih
bunga" Bia, kenapa sih elo selalu menganggap negatif semua hal yang gue lakukan
buat elo" tanya Egi pelan. Gue melakukan semua itu dengan tulus, sama sekali
nggak ada maksud apa-apa. Gue cuma mau minta maaf sama elo.
Trus, lo pikir dengan begitu gue bakal maafin elo"
Paling nggak, gue udah usaha, kan"
Lo salah! bentak Bia. Gue bukan cewek gampangan yang seneng dirayu
sama bunga. Lo mau kasih gue seratus mawar kek, gue nggak akan peduli. Asal lo
tau, Gi, gue paling benci cowok gombal kayak elo!
Bia membalikkan badannya dan segera berlalu dari kelas Egi.
Tunggu, Bi! tahan Egi. Gue cuma mau minta maaf sama elo, dan bukan
membuat elo semakin membenci gue.
Bia menatap kedua bola mata Egi dengan tajam dan tanpa suara. Sorot matanya
seakan ingin menusuk lawan bicaranya. Egi perlahan melepaskan tangannya dari
lengan Bia. Bi, please, maafin gue, Egi memohon dengan wajah memelas. Jujur, dia benar-benar tertekan menghadapi gadis keras kepala ini. Dia nggak tahu bagaimana lagi
caranya meluluhkan hati Bia. Dia tersiksa menghadapi sikap ketus Bia. Dia nggak
mau gadis ini sampai benar-benar membencinya. Dia takut kehilangan Bia.
Tapi Bia tetap cuek. Dia nggak peduli dengan usaha-usaha
Egi untuk meluluhkan hatinya. Dia nggak peduli dengan permohonan maaf Egi. Dia juga
nggak peduli dengan wajah memelas di depannya itu. Bia telanjur sakit hati, dan dia
nggak mau itu terulang untuk kedua kailnya. Baginya, membuka hatinya untuk Egi
adalah sebuah kesalahan. @(^-^)@ Malam itu Bia duduk di ruang tamu sambil membaca catatan matematika buat
ulangan besok. Mama sedang sibuk di dapur membersihkan piring-piring bekas
makan malam. Sebenarnya Bia mau ikut bantuin sih, tapi batal gara-gara Oom Frans
udah duluan turun tangan membantu Mama membereskan meja makan. Bia malas
kalau harus nimbrung di tengah-tengah mereka. Meskipun Oom Frans ayah
kandungnya, Bia tetap belum bisa menerima kehadiran laki-laki itu. Bia masih
merasa asing dan belum sepenuhnya memaafkan dia.
Bia pengin segera masuk kamar setelah makan malam tadi dan menghindar dari
laki-laki itu. Tapi Bia ingat percakapannya tadi pagi dengan Mama: Bia nggak mau
mengecewakan Mama. Jadi dia terpaksa duduk manis di ruang tamu, meskipun
nggak ngobrol dengan Oom Frans seperti permintaan Mama. Paling tidak, dia
nggak mengunci diri di kamarnya.
Bia membalik halaman buku catatannya dan mulai mempelajari materi buat
ulangan besok. Mulutnya komat kamit menghafalkan rumus dan bola matanya
berputar-putar. Dia nggak sadar Oom Frans sudah berdiri di dekatnya.
Besok ada ulangan ya, Bi" suara Oom Frans mengagetkan Bia.
Iya, jawab Bia sekadarnya.
Oom Frans duduk di dekat Bia sambil tersenyum. Bia menatap laki-laki itu
kesal. Pede banget dia, duduk dekat-dekat tanpa permisi dulu, rutuk Bia dalam hati.
Katanya tadi pagi ada kiriman bunga ya di halaman" tanya Oom Frans.
Itu bukan urusan Oom, jawab Bia keki. Sejak kapan laki-laki ini mulai berani
ikut campur dalam masalahnya"
Pasti cowok yang mengirim mawar itu sangat menyukai kamu... Oom Frans
seakan nggak peduli dengan kekesalan yang tersirat di wajah Bia.
Udah aku bilang, ini bukan urusan Oom!
Kamu memang cantik seperti mamamu, wajar saja kalau banyak cowok yang
jatuh hati padamu. Laki-laki semua sama aja, sindir Bia. Cuma manis di mulut, tapi hatinya
lebih busuk daripada sampah.
Tidak semua laki-laki seburuk yang kamu pikirkan, Bi.
Tapi semua laki-laki yang hadir dalam hidupku malah membuat dugaanku
semakin tepat. Oom Frans menghela napas, lalu berkata lebmut, Apa yang Oom lakukan dulu
memang tidak layak untuk mendapatkan maaf. Oom telah membuat hidupmu
menderita, dan Oom pula yang telah membuatmu selalu berpikir negatif tentang
laki-laki. Bia cuma diam. Kali ini dia nggak bereaksi dengan ucapan Oom Frans.
Kalau dulu Oom berpamitan dengan mamamu sebelum berangkat ke
Pekanbaru dan mengatakan kesediaan Oom untuk bertanggung jawab, mungkin
semua ini tidak akan terjadi. Kita pasti akan menjadi keluarga yang harmonis dan
bahagia. Dan mungkin kamu tidak akan bersikap dingin pada laki-laki, lanjut Oom
Frans. Tapi apalah guna sebuah penyesalan. Yang sudah terjadi tak mungkin dapat
diulang kembali. Saat ini Oom hanya berusaha memperbaiki semua kesalahan Oom
dulu dan memperjuangkan kebahagiaan yang sangat Oom inginkan saat ini, yaitu
membahagiakan kamu dan mamamu.
Membahagiakan aku dan Mama"
Benar, itulah tujuan hidup Oom saat ini, jawab Oom Frans. Bia, saat kamu
mencintai seseorang dengan tulus, maka bagimu yang terpenting adalah melihat
orang yang kamu cintai itu bahagia. Dan itulah yang Oom rasakan saat ini.
Bia menatap laki-laki yang duduk di sebelahnya. Laki-laki yang sejak dulu
begitu dibencinya. Entah kenapa untaian kata yang keluar dari mulut lelaki itu
mengusik hatinya. Bia berusaha mencari kejujuran dan ketulusan di wajah Oom
Frans. Apa kata-kata yang keluar dari mulutnya berasal dari hati" Dan Bia
menemukan jawabannya. Oom Frans nggak akan menipu. Tatapannya yang lembut
dan penuh kasih membuat hati Bia terasa hangat dan nyaman.
Boleh aku bertanya satu hal" tanya Bia pelan.
Oo m Frans mengangguk sambil tersenyum.
Jika seseorang yang Oom percaya dan cintai mengkhianati Oom, apa yang
akan Oom lakukan" Tentu saja Oom akan marah, jawab Oom Frans. Tapi dalam cinta selalu ada
maaf yang tiada batasnya. Dan itu pula yang akan Oom lakukan.
Seperti Mama memaafkan Oom"
Mungkin seperti itu. Bia teringat percakapannya dengan Mama tadi pagi tentang alasan Mama
memaafkan Oom Frans. Sekarang bia baru mengerti alasan itu. Alasan yang
sederhana tapi memiliki kekuatan yang begitu dahsyat sehingga Mama dengan
mudah melupakan sakit hatinya dan menerima laki-laki ini kembali. Alasan itu
adalah cinta. Bia bangkit dari duduknya dan berjalan meninggalkan Oom Frans tanpa
sepatah kata pun. Oom Frans hanya diam. Dia menatap punggung Bia sambil
tersenyum. Dia sadar, kesalahannya terlalu besar dan nggak mudah untuk membuat
Bia mau memaafkannya. Dia telah menelantarkan anaknya selama bertahun-tahun.
Terlalu muluk rasanya jika dia mengharapkan Bia dengan tersenyum lebar langsung
menerimanya kembali. Meskipun sesungguhnya hatinya nggak dapat menahan rasa
rindu untuk dapat memeluk anak yang terus dicarinya selama ini.
Tiba-tiba Bia menghentikan langkahnya dan berbalik menatap Oom Frans.
Matanya beradu dengan tatapan hangat lelaki itu.
Lalu Bia berkata, Jangan pulang malam-malam. Bahaya, Oom...
Suara Bia yang lembut membuat Oom Frans terbelalak kaget. Dia mengangguk
pelan sebagai jawaban. Bia masih berdiri di tempatnya sambil menatap Oom Frans, lalu kembali
berkata, Aku mau tidur dulu karena besok harus sekolah...
Lagi-lagi Oom Frans hanya mengangguk.
Bia membalikkan badannya dan kembali berjalan. Tapi baru beberapa langkah,
dia kembali berhenti dan berbalik menatap ayahnya lagi.
Aku memang sangat membenci Oom, katanya pelan. Lalu dia menarik napas
dalam-dalam dan melanjutkan, Tapi aku juga sangat merindukan Papa...
Oom Frans terdiam. Jantungnya berdetak kencang dan darahnya seakan
bergolak. Perasaan bahagia perlahan meluap dalam dirinya. Senyum tersungging di
bibirnya dan air mata menggenangi pelupuk matanya. Lelaki itu tak bisa menahan
haru yang membungkus hatinya. Lidahnya terasa kelu dan tubuhnya terasa kaku.
Saat ini ia terlalu bahagia.
Sama seperti Bia. Rasa lega memasuki kalbunya. Kehangatan dan kebahagiaan
menyelimuti dirinya. Dia sama sekali nggak menyangka, lidahnya mampu
memanggil laki-laki itu Papa . Dan panggilan itu telah menyembuhkan begitu
banyak koreng yang membuat cacat hatinya. Bia nggak bisa memungkiri, jauh di
lubuk hatinya dia merindukan laki-laki itu. Laki-laki yang mulai detik ini dan
selamanya akan dipanggilnya Papa.
@(^-^)@ Bia... Suara Mama terdengar dari balik pintu kamar Bia. Kamu sudah tidur,
Sayang" Bia menutup catatan matematikanya dan berjalan membukakan pintu.
Ada apa, Ma" tanyanya begitu pintu kamarnya terbuka. Aku masih belajar
buat ulangan besok. Mama tersenyum. Papamu sudah pulang.
Aku tau, sahut Bia. Aku dengar suara mobilnya.
Papamu nggak mau mengganggu kamu, kata Mama. Dia takut kamu sudah
Pacarku Juniorku Karya Valleria Verawati di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tidur. Bia menganggukan kepala. Mama diam. Bia juga diam.
Bi... Mama buka suara. Makasih, ya.
Makasih buat apa, Ma"
Makasih karena kamu sudah memaafkan papamu.
Bia diam. Dia menyandarkan tubuhnya di pintu kamar.
Ma, apa sekarang Mama bahagia" tanya Bia kemudian.
Mama bahagia, jawab Mama mantap. Mama bahagia karena Mama memiliki
putri seperti kamu. Aku juga bahagia, Ma, sahut Bia. Mama nggak perlu bilang makasih sama
aku karena memang sudah wajib hukumnya seorang anak mengakui ayahnya.
Mama tersenyum lalu merengkuh tubuh Bia ke dalam pelukannya. Mama
sayang kamu, Bi, dan Mama bangga padamu.
Bia membalas pelukan Mama. Ma, di pesta pernikahan Mama dan Papa nanti,
aku jadi pengiring pengantin wanitanya, ya"
Mama tertawa. Iya, Sayang.
Bia ikut tertawa. Rasanya belum pernah ia merasa begitu bahagia seperti hari
ini. Begitu hebatkah kekuatan cinta dan maaf"
Dering telepon membuat p elukan ibu dan anak itu terlepas.
Mama angkat telepon dulu, ya.
Bia mengangguk lalu menutup pintu kamarnya begitu Mama pergi. Ia menghela
napas panjang lalu merebahkan tubuhnya di tempat tidur. Matanya menatap langit-langit kamar. Rasanya nggak percaya, dia dan Mama bisa tertawa seperti tadi.
Hatinya kini terasa seringan kapas.
Bia! suara Mama memanggil Bia.
Bia terlonjak kaget dan langsung bangkit dari tidurnya.
Telepon, Bi! Dari Yuki! ujar Mama. Katanya penting!
Iya, Ma! sahut Bia lalu bergegas keluar dari kamar.
Mama menyerahkan gagang telepon kepada Bia lalu menghilang ke kamarnya.
Halo, sapa Bia. Sori, Bi, gue ganggu malam-malam gini.
Nggak apa-apa, Yu, kata Bia. Gue juga belum tidur kok.
Gue cuma mau menyampaikan kabar buruk.
Kabar buruk" tanya Bia heran. Kabar buruk apa"
Bokapnya Tammy meninggal.
MENINGGAL"! pekik Bia.
Iya, baru aja. Kenapa" Gue juga nggak tau, jawab Yuki. Terakhir kali gue jenguk bokapnya di
rumah sakit, bokapnya masih bisa ngomong. Mungkin memang penyakitnya udah
benar-benar parah. Bokapnya Tammy masuk rumah sakit, kok lo nggak kasih tau gue"
Bukannya lo lagi musuhan sama Tammy" Yuki malah balik bertanya dengan
nada sinis. Bukannya lo nggak mau denger gue dan Cha-Cha nyebut nama
Tammy" Bia terdiam. Yuki benar. Selama ini dia yang melarang Yuki dan Cha-Cha
membicarakan Tammy. Dia yang marah-marah waktu Yuki dan Cha-Cha
mempertemukannya dengan Tammy. Dia yang menutup telinganya rapat-rapat
setiap kali Yuki dan Cha-Cha menyebut nama Tammy. Jadi wajar saja kalau kedua
temannya ini tidak memberitahunya kabar tentang papanya Tammy.
Yu, boleh gue tau bokapnya Tammy disemayamkan di mana"
Sekarang masih di rumah sakit, jawab Yuki. Besok baru dipindah ke rumah
duka. Gue belum tau bakal dimakamkan di mana.
Penyesalan masih merasuki hati Bia. Dia nggak tahu harus berkata apa. Sampai
telepon ditutup, Bia nggak banyak bicara. Perasaannya saat ini benar-benar kacau.
Bia berjalan gontai menuju kamar Mama, lalu mengetuk pintunya pelan.
Pintu terbuka dan wajah Mama muncul dari baliknya.
Ada apa, Bi" tya Mama.
Aku boleh ke rumah sakit, Ma" Sekarang.
Ke rumah sakit" Mama bertanya heran. Ada apa"
Papanya Tammy meninggal. Meninggal" Bia mengangguk. Boleh ya, Ma"
Apa nggak bisa ditunda besok saja, Bi. Ini sudah malam.
Nggak bisa, Ma. Perasaanku nggak tenang.
Mama menatap Bia dalam-dalam. Ia ragu memberikan izin untuk Bia. Ini sudah
malam, berbahaya bagi anak perempuan pergi sendirian
Please, Ma, mohon Bia. Aku nggak akan lama. Aku cuma mau ketemu dan
bicara sama Tammy sebentar saja.
Mama menghela napas. Baiklah, tapi biar papamu yang mengantar kamu.
Jangan, Ma, tolak Bia segera. Kasihan Papa. Dia baru aja pulang, masa harus
balik lagi ke sini dan mengantar aku ke rumah sakit. Papa pasti capek.
Papamu pasti bersedia, tegas Mama, karena ini untuk putrinya.
Bia nggak membantah lagi. Mama langsung berjalan menuju meja telepon dan
menghubungi nomor handphone Papa.
BAB SEMBILAN BIA dan papanya tiba di rumah sakit untuk menemui Tammy. Dari jauh Bia melihat
Tammy bersandar sendirian di dinding rumah sakit tepat di sebelah pintu kamar
yang terbuka lebar. Isak tangis terdengar dari dalam kamar itu.
Bia dan papanya berjalan mendekat. Jantung Bia berdegup kencang.
Tammy..., panggil Bia pelan.
Tammy mendongakkan kepalanya dan terkejut menatap Bia. Matanya merah
dan bengkak. Ujung hidungnya juga merha. Bahkan pipinya masih basah oleh air
mata. Tam, gue turut berdukacita, kata Bia pelan.
Tammy mengangguk pelan tanpa suara.
Tam, maafin gue ya..., mohon Bia. Lo benar, gue egois dan selalu mau
menang sendiri. Gue nggak pernah ada buat lo, bahkan di saat elo benar-benar
membutuhkan kehadiran gue. Gue nggak pernah menjadi sahabat yang baik buat
elo. Maafin gue, Tam. Tammy menatap Bia, lalu memeluk Bia dan menumpahkan kesedihannya.
Maafin gue juga, Bi, kata Tammy lirih di sela derai air mata. Gue nggak jujur
sama lo, gue marah-marah sama elo seenaknya aja, dan gue udah berkata kasar
sama elo. Nggak, Tam, gue yang salah. Bokap lo sakit aja gue nggak tau. Sahabat macam
apa gue ini" Air mata Bia ikut menetes. Hatinya terasa perih. Dia menyesal karena nggak
pernah ada untuk Tammy di saat sahabatnya itu butuh seorang sahabat.
Bia melepaskan pelukannya begitu teringat papanya masih berdiri di dekatnya.
Tam, ini bokap gue... Bokap lo" Tammy nggak bisa menutupi rasa kagetnya.
Bia mengangguk. Nanti gue ceritain....
Tammy mengalihkan pandangannya ke arah papa Bia, lalu mengulurkan
tangan. Oom turut berdukacita, kata papa Bia. Kamu yang tabah, ya.
Tammy mengangguk, Makasih, Oom.
Oh ya, di mana keluarga kamu yang lain" tanya papa Bia.
Mama masih di dalam, jawab Tammy.
Bia dan ayahnya mengikuti Tammy menemui mama Tammy. Setelah
mengucapkan turut berdukacita, Bia diajak Tammy keluar dari kamar.
@(^-^)@ Bi, itu bokap lo" tanya Tammy mengawali pembicaraan. Saat itu mereka duduk di
bangku semen di koridor rumah sakit.
Bia tersenyum dan menganggukkan kepala. Iya, dia bokap kandung gue. Dua
hari sebelum kita berantem di rumah Egi, gue baru tau dia bokap gue. Bia
menceritakan kronologi cerita pertemuan dia dengan ayah kandungnya.
Dan elo udah maafin dia" tanya Tammy heran. Bukannya elo benci sama
dia" Gue emang benci sama dia, tapi gue udah belajar memaafkannya.
Tammy menghela napas. Ternyata ada banyak cerita yang udah gue
lewatkan. Tam, sejak kapan bokap lo sakit"
Udah sekitar tiga bulanan ini bokap gue keluar-masuk rumah sakit.
Kok elo nggak pernah cerita"
Karena gue pikir penyakit bokap gue nggak parah. Waktu bokap gue udah
mulai dirawat di rumah sakit, gue mau cerita sama kalian. Tapi nggak bisa, nggak
ada kesempatan, karena tiap kali kita ngumpul, yang dibicarain cuma tentang elo.
Lama-lama gue jadi eksal dan males cerita sama kalian. Yuki dan Cha-Cha juga baru
gue kasih tau seminggu yang lalu.
Maafin, gue, Tam, semua memang gara-gara gue.
Nggak, Bi, ini juga salah gue, kata Tammy. Kata-kata lo waktu itu benar. Gue
seharusnya bicara. Kalau nggak gitu, siapa yang bisa mengerti gue"
Suasana mendadak hening. Bia dan Tammy sama-sama terdiam.
Bi, tentang Egi, suara Tammy memecah keheningan.
Mendengar Tammy menyebut nama Egi, jantung Bia berdegup kencang. Di saat
seperti ini, Bia benar-benar nggak ngerti harus bagaimana. Bohong banget kalau dia
bilang dia membenci Egi. Dia memang marah dan kecewa, tapi nggak sedetik pun
dia mampu mengusir Egi dari dalam benaknya. Egi memang telah berhasil
membuatnya jatuh cinta, tapi Egi juga yang udah membuatnya patah hati dan
kecewa. Jika sekarang Tammy mengakui bahwa dia menyukai Egi dan meminta Bia
untuk mundur, Bia nggak tahu harus bagaimana. Dia nggak mau kehilangan Egi.
Tapi di lain pihak, dia juga nggak mau kehilangan sahabat. Keegoisannya ingin
mengikat Egi untuk terus mengejar dirinya. Bia nggak rela Egi dekat dengan cewek
lain. Bi, elo suka sama Egi" pertanyaan Tammy menambah dilema dalam diri Bia.
Kenapa tiba-tiba lo nanya gitu"
Cuma pengin tau. Elo sendiri" Bia balik bertanya. Apa lo suka sama Egi"
Iya, jawab Tammy langsung.
Jawaban Tammy membuat jantung Bia seakan ingin melompat keluar.
Gue suka Egi, dan sayang banget sama dia, lanjut Tammy. Gue suka melihat
tawanya, senang mendengar lelucon jayusnya, dan itu membuat gue jadi tambah
sayang sama dia. Hati Bia terasa perih mendengar pengakuan Tammy. Dadanya mendadak terasa
sakit. Sejenak ia merasa akan kehilangan Egi. Dan rasa itu semakin membuatnya
takut. Tapi persahabatannya dengan Tammy jauh lebih berharga. Bukankah kata
orang pacar bisa dicari lagi tapi kalau sahabat susah untuk ditemukan"
Kalau elo emang suka sama Egi, gue dukung sepenuh hati agar lo jadian sama
dia, ujar Bia. Dia paksakan dirinya untuk tersenyum.
Tammy menoleh dan menatap Bia. Sesaat kemudian tiba-tiba Tammy tertawa,
Lo gila apa! Mana mungkin gue jadian sama
Egi"! Bia mengernyitkan keningnya. Kenapa nggak mungkin"
Janji ya, Bi, lo jaga rahasia ini.
Bia tambah heran, tapi dianggukkan juga kepalanya.
Egi tuh adik gue... Bia melongo. Lo pasti nggak percaya, kan" kata Tammy lagi.
Jelas gue nggak percaya, sahut Bia. Soalnya gue tau pasti, lo tuh anak
tunggal. Mana mungkin tiba-tiba Egi jadi adik lo"
Tammy tersenyum lalu menghela napas panjang. Gue juga tau hal ini belum
lama. Semua berawal waktu gue tanpa sengaja menemukan surat di ruang kerja
bokap gue. Surat itu dari seorang wanita yang ternyata selingkuhan bokap gue.
Selingkuhan"! Jangan potong cerita gue, Bi, biar gue cerita sampai selesai dulu.
Bia menutup mulutnya. Dari surat itu gue tau bokap gue pernah selingkuh waktu gue masih berumur
satu tahun. Dan dari surat itu juga gue tau bahwa bokap gue punya anak laki-laki
dari perempuan itu. Anak yang sama sekali nggak pernah mau diakui bokap gue
dan kemudian ditinggalkan oleh perempuan itu di panti asuhan, cerita Tammy.
Gue kaget dan shock berat waktu pertama kali tau hal itu. Tapi gue pura-pura
nggak tau. Gue ngerti kenapa bokap gue nggak mau mengakui anak itu, bahkan
sampai akhir usianya. Bokap gue pasti nggak mau nyokap gue ngamuk kalau tau
bokap gue pernah selingkuh, bahkan sampai punya anak dari perempuan lain.
Perempuan mana sih yang mau dimadu" Tapi ada rasa penasaran yang bikin gue
pengin mengetahui gimana keadaan anak itu sekarang. Dan itu yang membuat gue
pada akhirnya tau bahwa Egi adik tiri gue.
Maksud lo" tanya Bia nggak percaya dengan cerita yang didengarnya. Egi
anak bokap lo dan selingkuhannya"
Tammy mengangguk. Lo pasti tau kan, Egi tuh anak angkat"
Bia mengangguk. Tapi... Gue diam-diam mencari panti asuhan yang ditulis perempuan itu dalam
suratnya. Gue berusaha mencari tau dari pengurus panti asuhan itu tentang anak
yang 16 tahun lalu pernah ditinggalkan di depan panti asuhan itu. Awalnya mereka
nggak mau kasih gue informasi apa pun. Tapi setelah gue setengah memaksa dan
memberikan sedikit sumbangan ke panti asuhan itu, mereka mau membuka file
mereka dan memberi gue informasi tentang anak itu, jelas Tammy.
Tammy menarik napas dan kembali melanjutkan ceritanya. Tuhan ternyata
mempermudah langkah gue dalam menemukan adik tiri gue itu. File yang mereka
punya menyatakan bahwa enam belas tahun lalu cuma ada satu anak laki-laki dan
delapan anak perempuan yang ditinggalkan di depan pintu panti asuhan itu. Berarti
jelas anak laki-laki itulah adik tiri gue karena di suratnya perempuan itu
mengatakan bahwa anaknya laki-laki. Nama anak itu Juventus Egi.
Nggak mungkin. Bia nggak bisa menahan rasa kagetnya.
Gue juga kaget waktu mendengar nama itu. Gue pikir mungkin itu cuma
kebetulan. Gue mananyakan alamat keluarga yang mengadopsi anak itu dengan
perjanjian gue hanya melihat dan nggak akan mengusik keluarga mereka. Dan
ternyata alamat itu mengantarkan gue sampai ke rumah Juventus Egi, adik kelas
kita... Bia menatap ekspresi wajah Tammy. Dia masih ragu apakah Tammy sedang
mengarang cerita atau ini memang kenyataan. Tapi kelihatannya Tammy serius.
Egi tau tentang hal ini" tanya Bia pelan.
Tammy menggeleng. Sesuai perjanjian, gue nggak boleh mengusik keluarga
mereka. Lagi pula buat apa gue menceritakan semua ini ke Egi" Ini malah akan
membuatnya menderita. Apalagi kalau dia tau bokap gue nggak pernah mau
mengakui dia. Bia membenarkan ucapan Tammy. Lalu dia bertanya, Jadi karena itu lo
mendadak dekat sama Egi"
Tammy tersenyum dan mengangguk. Gue pengin mengenal dia lebih dekat.
Gue juga pengin tau apakah sekarang dia bahagia. Anggap saja gue menggantikan
tugas bokap gue untuk memerhatikan dia.
Bia terdiam. Kalau diingat lagi, pantas waja waktu pertama kali melihat Egi, dia
merasa wajah Egi mirip seseorang.
Sori ya, Bi, waktu di rumah Egi dulu gue marah-marah sama lo. Gue juga udah
bikin elo cemburu, kata-kata Tammy bikin Bia kembali ke alam sadar.
Cemburu" Bia mengelak, tapi dia nggak bisa menahan rona merah yang
muncul di pipinya. Siapa juga yang cemburu"
Nggak usah pura-pura deh, Bi, ujar Tammy. Gue tau kok elo sebenarnya
suka sama Egi. Waktu itu lo marah-marah sama dia karena ngeliat kami berduaan,
dan itu membuat lo merasa selama ini Egi cuma mempermainkan elo, kan" Jujur aja
deh! Bia nggak menjawab. Wajahnya semakin memerah.
Tammy berusaha menahan tawa melihat wajah Bia yang merah. Hebat juga ya
si Egi. Bisa meruntuhkan karang di hati seorang Bia...
Tammy...! rajuk Bia. Tammy malah tertawa. Akhirnya lo bisa jadi cewek juga, Bi.
Rese lo! Ssstt... Tammy mendadak diam lalu menyenggok pundak Bia sambil
memandang ke arah kanan koridor.
Bia mengikuti arah mata Tammy dan menemukan sosok Egi sedang berjalan
mendekati mereka. Tammy berdiri dan berjalan mendekati Egi. Bia tetap duduk diam di tempatnya.
Gue turut berdukacita ya, Tam, ucap Egi tulus. Dia mengulurkan tangannya
yang segera disambut oleh Tammy.
Makasih, Gi, balas Tammy. Makasih juga karena lo udah mau datang
malam-malam gini. Tapi masih ada orang yang datang lebih cepat daripada gue, jawab Egi sambil
Pacarku Juniorku Karya Valleria Verawati di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
melirik ke arah Bia. Bia yang melihat Egi melirik ke arahnya langsung buang muka.
Lo udah ketemu keluarga gue" tanya Tammy.
Egi mengangguk. Matanya sesekali melirik ke arah Bia.
Gue lega melihat elo masih tersenyum, kata Egi pada Tammy. Gue tadi udah
takut banget kalau harus ngelihat elo nangis-nangis. Jujur aja, gue paling nggak bisa
menghibur orang yang lagi sedih.
Bohong! celetuk Bia. Waktu di jembatan dulu elo kan yang... Bia berhenti
bicara. Dia baru sadar udah kelepasan. Bia buru-buru buang muka biar Egi dan
Tammy nggak bisa melihat wajahnya yang lagi-lagi berubah jadi merah.
Egi dan Tammy menatap Bia sambil tersenyum geli.
Gue memang nggak bisa menghibur orang lain, kata Egi. Gue cuma bisa
menghibur orang yang gue cintai.
Bia melotot mendengar kata-kata Egi, tapi dia juga nggak bisa menahan debaran
jantungnya yang seolah berteriak histeris.
Meski begitu, cuma satu kata yang kemudian keluar dari mulut Bia:
GOMBAL! , dan Bia pun berlari meninggalkan Tammy dan Egi begitu aja.
Ternyata Bia ya tetap Bia. Gengsinya masih setinggi langit.
@(^-^)@ Dua minggu telah berlalu sejak papa Tammy dimakamkan. Hubungan Bia dan
Tammy sudah kembali normal. Mereka sudah dekat lagi seperti dulu. Sekarang Bia,
Tammy, Cha-Cha, dan Yuki sedang menikmati indahnya persahabatan sebelum
akhirnya nanti harus berpisah kalau sudah lulus dari sekolah ini.
Ujian akhir yang tinggal sebulan lagi sama sekali nggak mereka pedulikan.
Belajar sih belajar, tapi ngumpul-ngumpul melepas ketegangan tetap jadi prioritas
utama. Seperti sore ini, mereka berempat ngumpul di halaman belakang rumah
Tammy cuma buat sekadar bersantai ria plus ngerujak.
Sambil mendesah-desah kepedesan, mereka seru mengobrol.
Ngomong-ngomong nih, Yu, gimana kabar hubungan lo sama Maxi" tanya
Tammy. Udah sampai tahap mana nih kemajuannya"
Hubungan gue sama dia baik-baik aja. Yuki tersenyum kecil, wajahnya
merona. Kami lagi mesra-mesranya nih...
Duile...! ledek ketiga temannya.
Kalo elo, Bi" Tammy langsung beralih ke Bia.
Lho, kok gue juga kena tanya" Bia nggak terima.
Udah... jawab aja, sahut Tammy.
Gue nggak pernah ada hubungan apa pun sama dia, jadi nggak ada yang perlu
gue jawab, kan" Bi, gue dengar, udah dua hari lho, Egi nggak masuk sekolah, kata Yuki
dengan perasaan lega karena teman-temannya udah berhenti ngegodain dia. Lho
nggak khawatir, Bi" Buat apa gue mengkhawatirkan dia" Bia malah balik tanya. Dia bukan siapa-siapa gue.
Kenapa sih elo jutek banget sama Egi" serang Cha-Cha. Seakan-akan Egi tuh
udah melakukan kesalahan besar sama elo.
Nggak usah sebut-sebut lagi nama dia deh. Kita
ngumpul di sini bukan buat
ngomongin dia, kan" Bia kayaknya udah mulai kesal. Yuki, Cha-Cha, dan Tammy memilih tutup
mulut. Mereka mencomot irisan mangga di piring dan memasukkannya ke mulut
sambil bertatapan. @(^-^)@ Sorenya, di rumah, Bia tergopoh-gopoh menuju meja telepon untuk mengangkat
telepon yang berdering. Tangannya membawa sepiring mi goreng instan.
Halo, sapanya. Halo, Bia, balas Tammy dari seberang.
Napa, Tam" tanya Bia to the point. Gue lagi mau makan nih.
Makannya nanti aja, Bi. Lo harus ke rumah sakit sekarang juga.
Rumah sakit" tanya Bia heran. Siapa lagi yang sakit"
Egi. Hah"! jantung Bia berdegup kencang. Kenapa Egi"
Makanya lo ke rumah sakit deh sekarang juga. Kondisinya nggak begitu baik.
Lo tau dari mana kalau dia masuk rumah sakit" Memangnya dia sakit apa"
Gue kakaknya, Bi, jelas gue tau lah. Kata dokter dia kemungkinan kena flu
burung..., jawab Tammy. Flu burung"! hampir aja piring di tangan Bia terlepas.
Iya, itu baru dugaan sementara, jawab Tammy. Darahnya masih diperiksa
dan masih menunggu hasil laboratorium.
Sekarang Egi di rumah sakit mana"
Rumah sakit tempat bokap gue dirawat.
Bia diam. Dia tampak berpikir keras. Entah kenapa dia merasa ada sesuatu yang
ganjil. Lo mikir apa lagi sih, Bi" tanya Tammy. Anak-anak udah pada jalan buat
jenguk dia. Gue juga lagi on the way ke rumah lo buat ngejemput lo. Sepuluh menit
lagi gue sampai. Jadi lo siap-siap ya. Kita berangkat ke sana sama-sama.
Tapi... gue mau mak..., sahut Bia.
Lima menit buat lo makan dan lima menit buat lo siap-siap. Oke! Tammy
langsung menutup telepon tanpa menunggu jawaban Bia.
Bia meletakkan gagang telepon kembali ke tempatnya. Matanya menatap mi
goreng instan yang ada di tangannya. Nggak tahu kenapa rasa laparnya lenyap
begitu aja. Bia berjalan menuju ruang makan dan meletakkan mi goreng itu di bawah
tudung saji. Lalu dia menuju kamar untuk mengganti kaus rumahnya dengan kaus
untuk bepergian. Rasa cemas melingkupi dirinya. Bia nggak mau hal buruk terjadi
pada Egi. Dia takut kehilangan Egi. Takut banget.
BAB SEPULUH TAMMY menjemput Bia tepat waktu. Satu jam kemudian mereka tiba di rumah
sakit. Tammy memarkir mobilnya dan bergegas menarik tangan Bia menuju kamar
tempat Egi dirawat. Pelan-pelan dong, Tam, protes Bia.
Tammy nggak peduli. Sebelah tangannya malah sibuk menekan-nekan tombol
handphone-nya. Lo di mana" tanya Tammy lewat HP. Gue sama Bia udah sampai. Tammy
mematikan handphone-nya dan memasukkannya ke saku celananya.
Siapa" tanya Bia. Cha-Cha, jawab Tammy singkat lalu menggiring Bia masuk ke lift.
Keluar dari lift mereka menyusuri koridor menuju kamar tempat Egi dirawat.
Koridor itu agak ramai. Sepertinya sedang jam besuk. Tammy berhenti di depan
kamar yang berada di ujung koridor.
Ini kamarnya, Tammy memberitahu Bia.
Bia cuma mengangguk. Tammy mengetuk pintu kamar itu dua kali, lalu membuka pintu dan masuk. Bia
mengekor di belakang. Di kamar itu cuma ada satu tempat tidur pasien. Perabotannya lengkap: ada TV,
lemari pakaian, kulkas mini, dan sofa yang dijamin pasti empuk.
Egi berbaring di tempat tidur pasien dengan alat bangu pernapasan menutupi
hidungnya dan slang infus yang terpasang di tangannya. Matanya tertutup rapat.
Bia mengedarkan pandangan. Selain dia, di kamar ini ada Tammy, Cha-Cha,
Yuki, dan Teddy yang berdiri berjajar di samping tempat tidur.
Tammy bergabung dengan teman-temannya dan berdiri di sisi tempat tidur. Bia
berjalan mendekati Egi yang tampaknya tertidur lelap.
Cha, bener nggak sih, Egi sakit flu burung" tanya Bia.
Betul, Bi, jawab Cha-Cha cepat. Tapi masih belum positif sih.
Lalu orangtuanya mana" tanya Bia lagi.
Mmm... tadi sih udah ke sini, tapi sekarang lagi pulang buat istirahat, kali ini
Teddy yang menjawab. Bi..., lo nggak kasihan sama Egi" tanya Yuki pelan. Dia udah dirawat sejak
dua hari yang lalu. Bia nggak menjawab. Dia cuma menatap
wajah Egi. Bi, gimana kalau Egi nggak bisa diselamatkan" ujar Cha-Cha. Apa elo nggak
sedih kehilangan dia"
Bia tetap bungkam. Egi benar-benar suka sama elo, kata Teddy. Kalau memang dia nggak bisa
diselamatkan, paling nggak, lo balas cintanya di sisa umurnya.
Bia mengunci bibirnya rapat-rapat.
Bi, kok elo diam aja sih" protes Tammy.
Bia mendongakkan kepalanya. Dia memandang teman-teman yang berdiri di
hadapannya dengan diam. Gue nggak peduli, akhirnya Bia buka suara. Gue nggak peduli dia sakit atau
sekarat. Puas" Mata Tammy, Yuki, Cha-Cha, dan Teddy melotot. Mereka kaget mendengar
ucapan Bia. Lo kejam, Bi! kata Cha-Cha.
Egi sayang banget sama elo, tapi elo malah jahat sama dia, sambung Yuki. Lo
keterlaluan. Gi, dengar kata-kata gue dengan baik! Bia nggak memedulikan ucapan teman-temannya, dia malah bicara dengan Egi yang terbaring di tempat tidur. Gue nggak
suka cowok lemah! Setelah itu Bia beranjak meninggalkan tempatnya.
Tunggu, Bi! suara seseorang menahan Bia.
Bia membalikkan badan. Dilihatnya Egi duduk tegak dan melepas alat bantu
pernapasan yang menutup hidungnya. Lalu dia mencabut jarum infus yang ternyata
hanya menempel di tangannya.
Bia... gue bukan cowok lemah! ujarnya, lalu berdiri dan berjalan mendekati
Bia. Syukur deh, kata Bia, lalu berbalik lagi untuk meninggalkan kamar itu.
Baru saja Egi hendak menahan Bia, pintu kamar terbuka sehingga Bia berhenti
melangkah. Seorang laki-laki setengah baya berpakaian dokter muncul dari balik pintu
dengan senyum ramah sambil bertanya, Bagaimana latihan syutingnya"
Bia merasa pernah melihat laki-laki itu. Ah, dia ingat. Laki-laki itu paman
Tammy yang waktu itu pernah mengobrol dengan papanya waktu papa Tammy
meninggal. Latihannya baik, Oom, jawab Bia.
Egi, Tammy, Yuki, Cha-Cha, dan Teddy terpana mendengar jawaban Bia.
Bagus kalau begitu, sahut paman Tammy. Tapi jangan lama-lama ya,
takutnya nanti ada pasien yang mau masuk.
Baik, Oom, Bia kembali menjawab. Lagi pula latihannya udah selesai kok.
Oh, begitu ya. Paman Tammy tersenyum. Kalau begitu, nanti kalian lapor
pada suster jaga agar kamar ini bisa segera dirapikan.
Baik, Oom. Paman Tammy keluar dari kamar sambil tetap tersenyum.
Jadi, lo udah tau kalau semua ini cuma pura-pura, Bi" tanya Tammy beigtu
pintu kamar tertutup kembali.
Memangnya kalian pikir gue bego" Bia balik bertanya.
Lo jangan marah, Bi, kata Egi. Mereka cuma bermaksud menolong gue agar
bisa baikan sama elo. Mereka nggak salah.
Gue nggak bilang mereka salah..., sahut Bia.
Maaf, Bi, ini semua ide gue, aku Yuki.
Dan gue yang jadi sutradaranya, ujar Tammy. Dokter tadi oom gue. Dia
punya kedudukan yang cukup tinggi di rumah sakit ini dan dia yang meminjamkan
kamar ini dengan alasan gue mau latihan syuting buat pertunjukan saat kelulusan
nanti, sambung Tammy. Cha-Cha nggak mau ketinggalan. Dia ikut buka suara, Gue penulis
skenarionya, Bi. Bia diam saja. Ekspresinya datar.
Bi, kami tuh cuma mau ngebantuin Egi buat baikan sama elo, kata Yuki. Dia
tulus sayang sama elo. Siapa yang punya ide tentang penyakit flu burung" tanya Bia tanpa
merespons kata-kata Yuki.
Cha-Cha mengangkat tangan kanannya. Gue.
Sebenarnya, idenya maksa sih..., celetuk Teddy.
Tiba-tiba Bia tertawa. Kalian tuh tolol banget sih! Cari penyakit kok yang aneh
gitu. Mana mungkin gue percaya.
Jadi lo curiga" tanya Tammy.
Jelaslah! jawab Bia. Flu burung kan bukan penyakit sembarangan. Orang
yang diduga terjangkit virus flu burung bakal diisolasi. Jadi mana mungkin kalian
diizinin ngumpul di sini bareng Egi yang katanya kena flu burung. Udah gitu, masa
anak sakit parah orangtuanya nggak nemenin. Satu lagi yang perlu kalian tau,
biasanya pasien yang dicurigai kena flu burung itu bakal dirujuk ke RSPI Sulianti
Saroso. Masa kalian nggak pernah dengar sih"
Tuh kan, gue bilang juga apa! ujar Tammy. Jangan bilang kena flu bu
rung. Demam berdarah aja. Lebih masuk akal.
Tapi kan flu burung lagi ngetren, Tam, Cha-Cha ngotot.
Tapi buktinya, rencana kita gagal gara-gara ide lo itu, balas Tammy.
Cha-Cha cuma manyun. Apa kalian pikir semua yang udah kalian rancang ini bisa membuat gue baikan
sama Egi" tanya Bia.
Itu harapan kami, Bi, jawab Yuki. Paling nggak, kami udah usaha.
Suasana mendadak jadi hening. Mata Bia beradu pandang dengan Egi yang
berdiri di hadapannya. Lalu Bia berkata pelan, Apa buktinya kalau elo sayang sama gue dan nggak
akan pernah membuat gue kecewa"
Gue nggak bisa menunjukkan buktinya ke elo, karena bukti itu ada di dalam
hati gue dan hanya bisa gue perlihatkan seiring berjalannya waktu..., jawab Egi
sungguh-sungguh. Berarti, gue harus percaya sama ucapan elo begitu aja"
Egi mengangguk. Bola matanya menatap Bia dengan lembut, membuat jantung
Bia berdebar nggak keruan. Bia menunduk agar Egi nggak bisa melihat wajahnya
yang mulai terasa memerah dan panas.
Kalau ternyata elo ngecewain gue" tanya Bia dengan kepala masih tertunduk,
gue jamin lo nggak bakal bisa tersenyum lagi.
Egi terkesima mendengar kata-kata Bia. Begitu pula Yuki, Tammy, Cha-Cha,
dan Teddy yang menonton dari belakang.
Apa ini berarti lo nerima cinta gue, Bi" Egi mencoba menerka.
Wajah Bia makin memerah. Dia menyahut sambil pura-pura membuang muka,
Nggak tau ah! Senyum Egi merekah. Dia melompat dan berteriak kencang, YES!
Bia nggak tahu harus bersikap bagaimana. Dia jadi salah tingkah. Apalagi ketika
Egi tiba-tiba menarik tubuhnya dan memeluknya erat.
Gila, apa-apaan sih lo! protes Bia sambil meronta.
Tapi Egi nggak mau melepasnya. Makasih, Bi. Sekarang lo resmi jadi pacar
gue... Heh, siapa yang bilang gue mau pacaran sama lo" Bia berusaha melepaskan
diri dari pelukan Egi. Kali ini lo nggak akan gue lepasin, bisik Egi lembut di dekat telinga Bia.
Kata-kata lo tadi udah gue terjemahkan sebagai pernyataan bahwa elo bersedia jadi
pacar gue. Dan elo nggak bisa menariknya lagi.
Bia berhenti meronta. Tubuhnya terasa lemas saat merasakan desah napas Egi di
telinganya. Bia menyerah. Dia nggak lagi melawan. Dia membiarkan cinta merasuki
dirinya. Gue sayang elo, Bi..., bisik Egi lagi.
Bia nggak menjawab, tapi tangannya perlahan bergerak dan membalas pelukan
Egi dengan sepenuh hati. Direbahkannya kepalanya di pundak Egi, dibiarkannya
sensasi yang belum pernah dia rasakan menjalar lembut ke seluruh pembuluh
darahnya. Gue juga sayang elo, Gi, kata Bia tanpa suara. Senyumnya merekah dalam
pelukan hangat Egi. tamat Dendam Sejagad 16 Pendekar Rajawali Sakti 55 Siluman Ular Merah Ladang Pembantaian 2