Pencarian

Perempuan Kedua 1

Perempuan Kedua Karya Mira W Bagian 1


Undang-undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 I Tentang Hak Cipta
Lingkup Hak Cipta Pasal 2:
I. Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pcncipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperba-nyak ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa rnengurangi pembatasan menurut peraturan perundangan-undangan yang berlaku.
Ketentuan Pidana: Pasal 72
Barangsiapa dengan sengaja melanggar dan tanpa hak; melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 49 Ayat (1) dan Ayat (2) dipidana; dengan pidana penjara masing-masing paling singkat I (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun. dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mehgedarkan. atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta atau hak terkait sebagai dimaksud pada Ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Mira W. PEREMPUAN KEDUA GM Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama Jakarta, 2006
PEREMPIAN KEDUA Oleh Mira W. GM 401 98.163 C Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama Jl. Palmerah Barat 33-37, Jakarta 10270 Diterbitkan pertama kali oleh Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, anggota IKAPI, Jakarta, Oktober 1988
Cetakan kedua Februari 2000 Cetakan kctiga Maret 2003 Cetakan keempat: Agustus 2006
Perpustakaan Nasional Katalog Dal am Terbitan (KDT)
Mira W. Perempuan Kedua Mira W.Jakarta Gramedia Pustaka Utama, 1998 272 him; 18 cm
ISBN 979 - 655; 163-2 i. Judul Terima kasih kepada PT Perkebunan Mangkurajo-Has/arm Jl. Cipaku 1/13 Jakarta 12170 untuk foto ilustrasi cover
Dicetak oleh Percetakan PT Gramedia, Jakarta
isi di luar tanggung jawab percetakan
BAB I Novianti menurunkan surat kabar pagi yang sedang dibacanya. Dokter Y.P.Sepotong nama yang singkat.Identitas yang masih separo dirahasiakan.Tapi berapa sukarnya menerka"
Hanya beberapa dokter yang memiliki inisial nama seperti itu bertugas di rumah sakit yang disebutkan.Kebetulan Novi juga pemah berobat disana.Belum terlalu lama.
Dia masih dapat mengingat dengan jelas tampang Dokter Y.P.Benar-benar tidak ada tampang kriminal.Mulus.Bersih.Dengan air muka kebocahan yang polos.Suhgguh tak dapat dipercaya!
Novi mengalihkan kembali tatapannya ke arah koran itu.
"REMAJA HAMIL TEWAS DI TANGAN DOKTERNYA."
Tertulis dengan huruf-huruf besar yang cukup mencolok di halaman depan.Memang judul yang segera menarik minat pembaca,Memancing perhatian.Dan mendesak orang untuk merogoh kocek. Membeli koran itu.
Apalagi masih ditambah dengan sebaris subjudjul vane tidak kalah merangsang keingin tahuan.
"MALPRAKTEK" ATAU KESENGAJAAN""
Novi menghela napas panjang.Biasanya dia paling malas membaca surat kabar yang satu ini. Koran gosip.Dengan judul-judul bombastis dan rambu bumbu penyedap yang memancing selera rendah.
Tetapi hari ini dia terpaksa membacanya. Pemimpin redaksinya sendiri yang menginstruksikannya untuk mengejar berita itu.Tentu saja dari sudut pandang yang berbeda.
Novi bekerja pada sebuah majalah wanita. Dengan sebagian besar pembacanya wanita dari kalangan menengah ke atas.Mereka tentu menginginkan cerita semacam itu dalam bentuk yang dalam.Dan itulah tugas Novi.Sekali lagi dibacanya berita hari ini jenazah gadis remaja 15 tahun terpaksa digali kembalikarena kedua orangtua korban men curigai kematian putrinya tidak wajar. N.S. yang meninggal di ruang praktek dr Y.P. semula dikabarkan meninggal akibat penyakit kanker,sesuai dengan visum yang ditandatangani oleh Dr. Y.P.
tetapi dari hasil otopsi ditemukan bahwa nsmeninggal akibat pengguguran kanduga yang melukai dinding rahimnya.dalam pemeriksaan dr YP menyangkal telah melakukan tindakan aborsi terhadap pasienya.tetapi kalu benar demikian,mengapa merahasiakan kehamilan NS" dari kalangan yang dekat dengan Dr YP. di
peroleh keterangan bahwa rumah tangga dokter yang tampan itu memang sedang dilanda krisis
perceraian akibat munculnya wanita kedu
a. Novi tidak melanjutkan membaca. Naluri kewartawanannya benar-benar terusik. Sungguh tidak adil menurunkan pemberitaan dengan nada dan
cara seperti itu. Tertuduh sudah disudutkan oleh opini umum yang pasti telah terbentuk dengan adanya pemberitaan semacam itu.Padahal Dr.Y.P.belum tentu bersalah!
Novi jadi tergugah untuk menelusuri kasus itu dari arah sebaliknya. Tanpa prasangka apa pun sebelumnya. Tetapi...dari mana dia harus mulai"
BAB II Yanuar meletakkan majalah itu di atas meja tulis.
"DUA DARI TIGA PRIA DI DKI MENYE-LEWENG"
Fantastis! Apakah itu berarti dua di antara tiga pria yang telah menikah di Jakarta pernah terlibat kencan dengan wanita yang bukan istrinya"Bukan main!
Wah. pantas saja rekan-rekannya sudah ribut sejak tadi.Masing-masing menceritakan pengalaman mereka.Affair mereka.Dengan bangga, tentu saja.
Prestasi yang mengagumkankan"Betapa tidak. Rata-rata usia mereka sudah mendekati empat puluh. Pak Ahmad malah sudah hampir enam puluh. Tetapi masih ada wanita yang mau main-main dengan mereka! Padahal wanita itu tahu mereka sudah beristri.
Nah, apa tidak hebat"Masih mempunyai daya tarik seksual terhadap wanita lain padahal mereka sudah punya istri,punya anak,malah ada yang sudah punya coco!
Kalau sudah bicara soal wanita, laki-laki memang tidak ada bedanya.Ardi yang dokter, Hendra yang
pegawai tata usaha, atau Pak Ahmad yang kepala
bagian administrasi.sama saja.
Semua berlomba-lomba menceritakan pengalaman mereka yang hebat-hebat.Mengemukakan nama wanita-wanita yang cantik dan seksi.Dan tinggallah Yanuar sendiri.Tersudut dengan senyum kecutnya.
Cuma dia yang belum punya pengalaman seperti itu.Padahal umurnya sudah hampir empat puluh. Sudah dua belas tahun lebih menikah. Sudah punya anak dua.Tetapi belum pernah dia mencicipi pengalaman yang demikian menggetarkan! Sungguh.Belum pernah!
Dan dengan enggan dia terpaksa menerima nasibnya.Masuk kategori satu dari tiga orang laki-laki yang belum pernah menyeleweng.Setia" Atau..bodoh"Tidak laku"
Wanita mungkin merasa bangga kalau dinyatakan "bersih".Tapi laki-laki"Aneh memang. Namun nyata.Yanuar malah merasa tersisih.Di Jakarta saja cuma sepertiga yang seperti dia! Cuma sepertiga....
Bahkan Pak Ahmad! Ah,Yanuar melirik laki-laki tua itu sekali lagi.Benar-benar mengagumkan! Tidak pernah diduganya laki-laki tua itu punya pengalaman yang demikian banyak.Segudang pengalaman dengan wanita-wanita yang jauh lebih muda!Hhh. Padahal apa sih yang dicari wanita-wanita itu dalam dirinya"
Wajahnya sudah keriput.Rambut dan kumisnya telah memutih.Tubuhnya walaupun cukup tinggi sudah mulai membungkuk. Mungkin akibat keberatan
memikul perut yang mulai menggelembung penuh lemak.
Jabatannya"Cuma kepala bagian administrasi rumah sakit!Tetapi dia punya dua istri sah,dua istri tidak sah, dan entah berapa orang lagi wanita simpanan!
Nan,predikat apa lagi yang lebih cocok buat laki-laki tua semacam dia kecuali hebat" Tentu saja kalau semua yang diceritakannya itu benar!
Dan Suster Mimin itu!Aduh,benar-benar Yanuar tidak pernah menduganya.Tampaknya dia begitu alim.Begitu lugu.Begitu tidak berdosa. Siapa sangka diam-diam dia pacaran dengan Dokter Salim!
Padahal Salim telah dua puluh tahun menikah. Dan selama ini mereka tidak pernah menampakkan betapa intimnya hubungan mereka.Baru tadi Salim memaparkan pengalamannya dengan Mimin. Terpaksa.Soalnya semua teman mereka buka kartu. Masa dia tidak"Malu dong!Kebetulan hari itu di ruang administrasi tidak ada keturunan Hawa.Bu Sumi sedang sakit.Kursinya kosong.
"Bagaimana kau, Yan""tiba-tiba saja Ardi melihat Yanuar.Dan menyadari,cuma dia yang belum membuka mulut."Kok-diam-diam saja" Ayolah!" Ardi menepuk bahu Yanuar dengan gaya seorang guru yang membujuk anak didiknya untuk mengaku,ayahnyalah yang membuatkan PR-nya tadi malam."Jangan malu-malu!Jangan ada yang disembunyikan!Ceritakan dong pengalamanmu! Anggap saja urun rembuk pengalaman! Siapa tahu nanti ada yang berminat bikin seminar!"
"Iya,Yan!"Salim menimpali dengan bersemangat.seolah-olah tiba-tiba saja pria yang pernah menyeleweng itu menjadi pahlawan sehari."Tidak ada rahasia-rahasiaan lagi k
an di antara kita" Kita sama-sama lelaki.Soal-soal begini biasa, kan" Perempuan tidak usah tahu! Percaya deh,Yan,tidak ada yang menyampaikan pada istrimu!"
"Aku benar-benar tidak punya pengalaman,"sahut Yanuar separo terpaksa.Mukanya memerah menahan malu.Seakan-akan ketahuan menjiplak makalah sejawatnya dan mempresentasikannya dalam sebuah simposium.
Apalagi ketika tawa teman-temannya meledak. Begitu melecehkan.Bahkan Pak Ahmad tersenyum tipis.Senyum yang menyakitkan!
Ah,tiba-tiba saja Yanuar merasa tersisih dari pergaulan.Dia merasa lain dari yang lain.Lain dari teman-temannya.Bukan laki-laki.... Seandainya saja dia punya pengalaman....Sekali saja....
Astaga!Tiba-tiba Yanuar terkejut sendiri.Meng-apa dia mempunyai pikiran sejelek itu"
Melakukan penyelewengan tetap disebut menyeleweng biarpun cuma sekali!Dan Yanuar tidak sampai hati mengkhianati istrinya.Anaknya. Keluarganya.
"Sudah mengisi formulirnya,Dok""tegur Pak Ahmad heran.
"Saya keluar sebentar,"cetus Yanuar murung. "Pengap dalam ruangan terus.Sebentar saya kembali lagi."
"Aku ikut!"Ardi menyusul Yanuar yang telah bergerak ke pintu."Kita minum kopi di kantin.
ya" Kamu kelihatannya seperti orang kurang tidur, Yan!"
"Ah,aku malah kebanyakan tidur kok.Jadi lesu terus"
"Kenapa"Ada persoalan di rumah"Istrimu hamil
"Kan bicara seolah-olah aku sudah punya anak dua belas!"
Ardi tertawa renyah.Tampangmu memang begitu! Sekali lihat,kamu malah tampak lebih tua dibandingkan dengan Pak Ahmad!"
Mendadak Yanuar berhenti melangkah. Ditatapnya sahabatnya dengan tatapan yang membaur antara kaget dan tak percaya.Tidak sengaja dia menoleh lagi ke ruang administrasi yang baru saja mereka tinggalkan.Seolah-olah dia ingin melihat Pak Ahmad sekali lagi.Untuk membandingkan muka mereka.
"Betul katamu,Di"Kau serius" Aku kelihatan lebih tua daripada Pak Ahmad""
"Salahmu sendiri!"Ardi menyeringai geli."Hidupmu rutin.Membosankan!Tidak ada selingan-selingan yang menyegarkan.Itu yang membuatmu cepat tua
Yanuar menghela napas panjang. Diteruskannya langkahnya sambil menunduk.
"Kausuruh aku menyeleweng"
"Bukan menyeleweng! Duduk-duduk minum di nite club kan bukan menyeleweng" Tetapi kamu selalu menolak kalau kuajak!"
"Istriku tahu sekali jam berapa aku pulang."
"Berapa sih umurmu,Yan"Anakku yang bam berumur 15 tahun saja tahu sekali bagaimana cara membohongi ibunya jam berapa dia pulang sekolah!"
"Aku tidak bisa!"
"Belum pernah coba sih!"Aku takut istriku marah."
"Rani""Ardi tersenyum mengejek."Aku malah heran kalau dia marah!Dia begitu percaya suaminya tidak bisa menyeleweng,sampai kalau ada yang menyampaikannya pun dia tidak percaya! Suaminya laki-laki yang paling alim di Jakarta! Karena itu tidak perlu dicurigai! Padahal kamu tahu bagaimana rasanya dicemburui istri, Yan""
Yanuar menggeleng seperti orang dungu. Yah,dia memang belum tahu.Belum pernah merasakan bagaimana rasanya dicemburui istri. Dicemburui orang yang dicintainya.
Sejak masih menjadi kekasihnya sampai menjadi istrinya,Rani tidak pernah cemburu.Dia percaya sekali pada suaminya. Dia tahu Yanuar tidak pernah berkhianat.Malah sebaliknya. Biasanya Yanuar-lah yang cemburu.Soalnya Rani cantik.Dan masih tetap menarik biarpun umurnya sudah tiga puluh tujuh dan tubuhnya mulai mekar.
Bagaimana rasanya dicemburui" Pertanyaan yang bagus!Sampai sekarang dia belum dapat menjawabnya.Soalnya,Rani memang tidak pernah cemburu!
BAB III Yanuar memasukkan minibusnya ke halaman rumahnya.Rumah kredit yang cicilannya belum lunas itu memang tidak punya garasi. Tetapi tidak apa Mobilnya pun masih kredit.Sama saja.Belum lunas juga.Jadi ditaruh di dalam garasi atau cuma di dalam pekarangan rumah saja pun rasanya tidak bedanya.
Sama saja tidak ada bedanya dengan kerutinan hidupnya tiap hari.Pagi tugas di rumah sakit. Mai am buka praktek pribadi.Pulang ke rumah pukul sembilan malam.Menemukan istrinya sedang mengajari putra bungsu mereka matematik. PMP.IPA. Dan entah apa lagi.Padahal dia baru kelas 2 SD.
Seingat Yanuar,waktu dia seumur Yanto, dia tidak pernah serepot itu belajar. Apalagi sampai merepotkan ibunya, yang mesti ikut-ikutan belajar ipaya dapat mengaj
ari anaknya. Hhh. Dunia periikanan benar-benar telah berubah! "Sudah makan""tanya Rani dengan suara yang Yanuar langsung hilang.
Tiap malam Rani mengajukan pertanyaan yang
sama. Barangkali dia tidak bermaksud demikian. Barangkali hanya perasaan Yanuar saja. Tetapi setiap kali Rani mengajukan pertanyaan itu, setiap kali itu pula Yanuar merasa Rani mengharapkan
suaminya mengangguk. Tetapi karena suaminya menggeleng, Rani terpaksa menoleh ke arah Bi Umi,yang sedang masuk mengikuti majikannya sambil menjinjing tas Yanuar.
"Panaskan makanannya,Bi,"katanya tanpa ber-gerak dari kursinya.Lalu dia tenggelam lagi dalam kesibukannya mengajari dan memarahi anaknya.
Tanpa perasaan apa-apa,Yanuar melangkah kekamarnya untuk menukar baju.Dia tidak merasa tersinggung.Tidak merasa sedih.Tidak merasa terlupakan meskipun tak ada lagi suasana penyambutan di rumahnya.
Perkawinan di ambang tahun ketiga belas memang biasanya sudah dihinggapi penyakit rutinitas. Tak ada lagi romantisme.Kehangatan. Apalagi kejutan.Semuanya serba membosankan.
Rani tidak menyambut kedatangannya seperti dulu waktu mereka baru menikah.Dulu, baru mendengar suara motor di depan rumah saja,dia sudah menghambur ke pintu.Mengambil tas suaminya. Mencium pipinya dengan hangat.Dan menanti suaminya selesai mandi dengan seperangkat makanan hangat di atas meja makan.
Tidak pernah disuruhnya pembantu melayani suaminya makan.Semua makanan diolahnya dengan tangannya sendiri Dihidangkannya sendiri.Bahkan
pada hari-hari pertama,dia malah tak segan-segan menyuapi suaminya dengan sendok yang sama dengan sendoknya sendiri.
Ketika anak-anak mulai hadir dalam kehidupan mereka,kebahagiaan mereka pun bertambah sempurna.Yanuar selalu ingin buru-buru pulang untuk menemui anak-istrinya.Rindu rasanya ingin menggendong dan bermain dengan anak-anaknya.
Ketika berumur empat tahun,Yanti malah selalu menyongsong kedatangan ayahnya dengan secangkir teh panas.Lalu dengan gaya-nya yang masih lucu itu,dia bergegas mengambilkan sandal untuk ayahnya
Sekarang"Ketika umurnya sudah hampir dua belas tahun, dia malah lebih asyik mendengarkan penyiar kesayangannya mengoceh di radio daripada menyambut kedatangan ayahnya.
Dia memang menoleh.Menyapa ayahnya.Tapi cuma sekilas.Basa-basi.
"Sudah pulang,Pa"" tanyanya sambil lalu.
Lalu perhatiannya beralih lagi ke radio. Dan lengket terus di sana.
Tetapi Yanuar tidak mengeluh.Tidak menegur. Dia tidak merasa aneh.Tidak merasa tersisih.Semuanya sudah biasa kok.
Seperti biasa juga.dia langsung ke kamar mandi. Membasuh tubuhnya.Menukar bajunya dengan piama bersih. Membaca koran.Dan menuju ke meja makan.
Rani sudah menunggunya di meja makan. Tetapi dia tidak ikut makan.Dia memang tidak pernah
makan malam lagi setahun terakhir ini. Takut gemuk,katanya. Tubuhnya memang sudah memperlihatkan tandatanda kesuburan.Lemak sudah mulai menyembul di sana-sini.Kalau dia tidak menjaga dietnya,tidak mustahil kalau dua tahun lagi,tubuhnya akan membengkak seperti tong air di belakang rumah mereka.
"Masa sih Yanto nggak bisa matematika," gerutu Rani sebagai pembuka santapan,sebelum Yanuar mulai makan."Mencongaknya dapat dua puluh terus! Hhh,sampai bosan aku mengajari dia perkalian! Tetap saja lupa terus.Entah apa saja sih yang melekat di kepalanya!"
Ketika dilihatnya suaminya diam saja, malah menyendok nasi, Rani langsung menambahkan,tentu saja dengan jengkel.
"Mulai besok kamu saja yang mengajari dia, ah! Aku sudah capek!Bosan! Tiap malam marah-marah terus!"
"Lho, kok jadi aku""
"Memangnya kenapa" Kamu kan ayahnya!Apa salahnya kalau kamu juga ikut mengajari anakmu""
"Ah, panggil saja guru! Beri dia les."
"Enak saja.Memangnya les tidak mahal""
"Aku tidak sanggup mengajari Yanto matematik."
"Ah, kamu selalu begitu!Semua urusan anak pasti bagianku! Mentang-mentang aku tidak ada pekerjaan. Cuma ibu rumah tangga!"
"Mengapa tidak kamu suruh Yanti mengajari adiknya" Daripada dia mendengarkan radio terus!"
"Dia sendiri perlu les!"
Tapi bukan pelajaran kelas 2,kan"" "Pokoknya dia tidak mau!Banyak saja alasanriya!"
"Kamu tidak makan""potong Yanuar jemu. Mencoba mengalihkan pembicaraan.Sungguh tidak
enak makan seperti ini.Sudah hidangannya tidak terlalu sedap,bumbunya kurang serasi. masih ditambahi gerutuan-gerutuan lagi! Hhh.
"Ah, sudah gemuk begini.Nanti kalau aku gembrot,kamu punya alasan untuk mencari istri baru!"
Yanuar tersenyum.Sambil mengunyah,diam-diam Yanuar memperhatikan istrinya. Entah sudah berapa lama dia tidak menatap Rani dengan cara sepert"ini.Ya,setiap hari dia memang melihat istrinya Tetapi cuma melihat.
Apa yang dilihatnya tidak melekat di otaknya. Baru sekarang dia menyadari, istrinya memang banyak berubah.
Dalam usia tiga puluh tujuh tahun,dia memang masih tetap cantik.Tetapi sudah tidak semenarik dulu lagi. Pipinya yang mulai menggelembung mulai ditumbuhi bintik-bintik hitam.Barangkali akibat pemakaian pil KB yang terus-menerus selama beberapa tahun ini
Rani memang tidak mau hamil lagi.Dua sudah cukup, katanya menirukan semboyan yang sering didengarnya di televisi.Atau dibacanya di poster-poster KB yang melekat di dinding kamar praktek suaminya,
Kerut-merut di sudut matanya mulai tampak,
terutama pada saat-saat seperti ini, kalau dia tidak
sedang menutupinya dengan make up.
Garis-garis ketuaan di dahinya juga mulai menebal,akibat terlalu banyak dikerutkan bila dia sedang jengkel.Rambutnya yang telah panjang membuat mukanya tampak lebih kusut masai,lebih-lebih jika dia habis marah-marah, seperti sekarang. Padahal dulu, Rani tidak pernah menelantarkan rambutnya.tak pernah dibiarkannya ujung rambutnya menyentuh bahunya.
Rambutnya selalu rapi.Enak dilihat. Tidak seperti sekarang.Entah berapa menit sekali dia harus menyeka rambutnya ke belakang agar ujung poninya tidak menusuk matanya.
Pegal Yanuar melihatnya.Lama-lama dia jadi segan melihat.Dialihkannya tatapannya kembali ke piring.Tempe goreng Bi Umi masih setia menantinya di sana. Dia tahu itu tempe Bi Umi. Soalnya pinggirnya hangus semua.Ciri khas.
"Rambutmu sudah panjang,"katanya sambil meng-ambil tempe goreng itu."Sudah berapa lama kamu tidak ke salon""
"Hhh, ke salon!"gerutu Rani kesal, seakan-akan suaminya menyuruhnya pergi ke bengkel mobil. "Mana sempat"Sejak Yanto sekolah sore, waktuku habis untuk antar-jemput anak sekolah! Yanti kan sekolah pagi! Nah, hanguslah kulitku tiap hari mem-boncengi anak-anak ke sekolah dengan motor butut!"
"Sudah berapa kali kubilang,Yanti sudah cukup besar.Biarkan dia ikut mobil antar-jemput!"
"Belum ada yang kemari.Katanya mungkin bu
lan depan.Kamu sih memilih rumah di daerah yang sulit kendaraan begini!"
"Ah,kamu selalu menyababkan aku!Padahal waktu memilih rumah ini dulu,aku kan sudah tanya kamu juga!"
"Habis tak ada pilihan lain!Uang kita kan cuma sekian!"
Tapi kamu tidak menyesal,kan""potong Yanuar sambil meletakkan sendoknya."Katamu dulu. lebih baik mempunyai rumah sendiri,biarpun kecil dan jauh. daripada kontrak rumah terus!"
Tentu saja aku tidak menyesal." sahut Rani sambil bangkit meninggalkan meja makan."Aku tidak pernah menyesali semua keputusanku.""Termasuk keputusanmu dulu untuk mcnerima lamaranku""goda Yanuar sambil mengikuti Rani ke kamar
"Ah,jangan ngelantur!"Rani mengambil baju tidumya. Dan menukamya dengan cepat di depan Yanuar yang mengawasinya dari pintu kamar.
"Aku serius,Ran.Aku ingin tahu.apakah kamu pernah sekali saja menyesal menjadi istriku""
"Jangan suka aneh-aneh ah.Yan!"sahut Rani sambil berbaring di atas tempat tidurnya."Pertanyaan apa sih itu
"Aku punya pertanyaan yang lebih aneh lagi, Ran."Yanuar menyusul berbaring di samping istrinya."Kamu marah nggak sih kalau aku ke nite club
Tak tahan lagi Yanuar mengekang lidahrrya.Memendam rasa ingin tahu yang menggelisahkan
hatinya sejak Ardi mengajaknya tadi pagi.Dia ingin mengajuk hati Rani.Dan penasaran sekali ingin melihat bagaimana reaksi istrinya.
"Kenapa aku harus marah""Rani balas bertanya sambil menguap."Kamu tidak marah"" Yanuar mengulangi pertanyaannya dengan heran.
"Memangnya ada siapa di sana""tanya Rani dengan suara mengantuk.Ditatapnya suaminya dengan mata yang tinggal lima watt."Mengapa harus ke sana""
"Ardi mengajakku minum di sana." "Mengapa tidak minum di rumah saja""Rani menguap lagi.Kali ini lebih lebar. Dengan mata
terpejam. "Kata Ardi di sana suasananya lain.Aku bisa
awet muda." "Ah. buktinya dia sendiri cepat tua kok! Terakhir kali aku melihatnya, ubannya sudah banyak."
"Boleh, Ran""tanya Yanuar dengan dada berdebar-debar.
"Boleh saja. Kalau cuma minum,apa salahnya""
Entah mengapa.Yanuar merasa kekecewaan menggigit hatinya.Aneh.Padahal seharusnya dia gembira.Bersyukur mempunyai istri yang demikian penuh pengertian.Demikian mcmpercayainya.Perempuan lain biasanya malah sudah cemburu padahal suaminya belum melakukan upa-apa yang salah.
"Kamu tidak takut aku menyeleweng.Ran"" Yanuar merasa gemas,padahal dia tidak tahu apa sebabnya.Yah,mengapa dia harus kesal" Harus
gemas"Karena Rani tidak cemburu"Lho,kok aneh!
"Dengan siapa" gumam Rani tanpa merasa perlu membuka matanya."Dengan hostess di sana" Ah,
jangan menakut-nakuti aku,Yan!Aku tahu kok seleramu!Dan kamu paling takut kena penyakit!"
"Penyakit apa""dengus Yanuar jengkel.
"Kamu kan dokter.Kamu pasti lebih tahu!"
"Dan dari mana aku dapat penyakit itu""
"Dari mana katamu tadi"Dengan siapa kamu hendak menyeleweng""
"Siapa bilang aku hendak menyeleweng"" gerutu Yanuar tersinggung.
"Siapa yang bertanya tadi""
"Aku hanya ingin pergi minum...."
"Di nite club Apa yang kamu cari di sana"Kalau cuma sekadar refreshing dengan temanmu yang katanya awet muda itu.aku tak pernah melarang, kan""
"Aku benar-benar tidak dapat memahami dirimu, Ran."Yanuar menghela napas panjang sambil menggeleng-gelengkan kepalanya."Kamu benar-benar tidak pernah mencemburuiku!"
"Haruskah aku cemburu"'Rani menatap suaminya sambil tersenyum letih."Aku percaya padamu.Seratus persen.Kamu suami yang setia.Ayah yang baik.Nah.puas,Tuan""Rani memejamkan matanyj kembali dengan tenang."Tolong jangan ganggu aku lagi dengan pertanyaan-pertanyaan anehmu.Aku sudah sangat lelah dan mengantuk!" Game.Yanuar benar-benar kehabisan akal. Tidak
tahu lagi bagaimana harus mengajuk hati istrinya. Bagaimana harus memancing kecemburuannya.
Rani benar-benar wanita yang istimewa. Wanita langka,yang sulit dicari bandingannya. Dan untuk suatu alasan yang Yanuar sendiri tidak dapat memahaminya,dia jadi tergugah ingin mencoba.Cuma main-main.Sekadar ingin menggoda Rani. Menyegarkan perkawinan mereka.
Suatu selingan di tengah rutinitas. Sekalian mengembalikan kepercayaan kepada dirinya sendiri. Dia masih cukup menarik,kan" Dan kesempatan itu ditemukannya secara kebetulan pada suatu hari.
BAB IV "Selamat malam.Dok "
"Malam."Lekas-lekas Yanuar berpaling pada pe-rawat yang menyapanya.Mengosongkan tatapannya. Dan memaksakan sepotong senyum di bibirnya.
"Tugas. DokTER Yanuar mengangguk sambil melebarkan senyumannya Ya,apa lagi yang harus dijawabnya" Perawat itu juga sudah tahu apa jawaban pertanyaannya. Sebuah pertanyaan yang tidak bertanya. Sekadar basa-basi.Untung dia masih muda. Man is lagi. Enak dilihat.Tidak rugi membagi senyum padanya.
"Gawat Darurak, Dokk"
Yanuar mengangguk. "Sama.Dok.Saya juga mau ke sana.Ambil pasien."
Siapa yang tanya, gumam Yanuar dalam hati. Tetapi bibirnya masih tetap tersenyum. Dan senyumnya baru memudar ketika seorang laki-laki yang masih menggendong anaknya bergegas mendahului masuk ke Ruang Gawat Darurat.Di belakangnya,
ia tergopoh-gopoh mengikuti dengan pakaian lusuh dan rambut kusut masai.Begitu tergesa-gesanya mereka sampai tidak sengaja menyenggol bahu Yanuar.
"Maaf,Dokter,"desahnya begitu melihat baju Yanuar."Anak saya kejang!"
Melihat bayi yang matanya sedang membeliak keatas itu,Yanuar cepat-cepat menepi. Perawat yang datang bersamanya itu malah membantu membukakan pintu.
"Malam,Dok,"sapa perawat gemuk di balik meja."Wah, aris prakteknya, Dok! Baru datang pasiennya sudah banyak!"
Yanuar cuma menyeringai pahit.Dan heran, Ardi yang di antikannya,langsung muncul di hadapannya, seolah-olah dia sudah mengenali bau teman sejawatnya.
"Kebetulan kamu nongol."Ardi menghela napas lega seperti membaca pengumuman lulus ujian. "Kakiku sudah pegal.Nonstop dari jam empat."
"Jangan pulang dulu! Masa pasien begini banyak kamu mau langsung pulang"Sadis! Mau masuk koran""
"Biar! Sekaii-sekali masuk koran,tidak apa-apa. Kalau aku kerja
keras dari pagi sampai malam malah tidak pernah masuk koran!"
Yanuar tersenyum menyambut kelakar rekannya. Dia menyambar stetoskopnya dan menghampiri bayi yang masih kejang-kejang itu. Diistruksikannya seorang perawat untuk memasukkari obat ke dalam dubur bayi itu.Ketika kejangnya mulai mereda,
Yanuar mengajukan beberapa pertanyaan kepada orangtua anak itu.
Saat itulah pintu diterjang dari luar. Beberapa orang laki-laki menerobos masuk sambil menggotong tubuh seorang wanita.
"Kecelakaan,Sus,"lapor salah seorang dari mereka."Ditubruk motor!Pingsan!"
"Dia yang menubruk motor saya,"protes yang Iain.
"Jangan lari dari tanggung jawab!" ancam yang pertama."Bagaimanapun kamu yang harus bertanggung jawab!"
"Siapa bilang saya lari dari tanggung jawab" Kalau lari,buat apa saya ikut kemari""
"Sudah! Sudah! Jangan ribut di sini!" Si perawat gemuk buru-buru melerai pertikaian mereka."Lekas taruh pasiennya di sana.Biar ditolong dokter."
Tinggal deh, Yan."Ardi mengambil kartu status dari tangan Yanuar."Biar yang ini bagianku. Kamu urus yang kecelakaan dulu tuh.Aku malas bikin visum."
"Tumben kamu berperikemanusiaan,Di," goda Yanuar sambil menyeringai masam."Takut juga kamu masuk koran rupanya."
"Ah, siapa bilang"Aku malah ingin masuk koran kok.Jangan bintang film saja dong yang dapat tempat."
"Tapi kalau dokter masuk koran,biasanya kan cuma ditonjolkan segi negatifnya saja."
"Itu tandanya masyarakat masih menganggap dokter sebagai dewa.Tidak boleh berbuat salah!"
Yanuar tersenyum pahit.Sambil menjinjing stetoskopnya dia melangkah mendekati pembaringan yang paling ujung.Di sana mereka meletakkan pasien yang tertubruk motor itu.
"Saudara-saudara tunggu di luar saja" kata perawat gemuk itu begitu melihat Yanuar datang. "Biar pasiennya diperiksa dokter dulu."
Seperti kerumunan burung-burung yang langsung terbang menyibak begitu dilempari batu. mereka langsung menyingkir begitu Yanuar muncul.
"Bagaimana pasiennya. Sus"" tanya Yanuar sambil menghampiri pembaringan."Masih pingsan""
"Sudah sadar,Dok."
"Ada muntah tadi""
"Katanya ada, Dok.Itu bajunya juga kotor kena muntahan."
Yanuar menatap gadis remaja yang berbaring pucat di atas dipan periksa itu.Masih muda sekali. Sekitar lima belas-enam belas tahun. Kecil mungil. Manis. Bibirnya tipis. Rambutnya pendek.
"Siapa namamu, Dik""tanya Yanuar ramah.
Sekarang gadis itu mengawasi Yanuar. Matanya yang redup masih berair mata.
"Masih ingat namanu, kan""Yanuar memamer-kan sepotong senyum yang menyejukkan di bibirnya."Cuma ditubruk motor kok! Bukan bus."
Bibir yang pucat itu bergerak-gerak. Tetapi tidak ada suara yang keluar.
"Siapa""Yanuar mendekatkan telinganya. "Coba lebih keras."
"Lia...." "Lia" Yanuar melebarkan senyumnya."Nah, Ida,ada yang terasa sakit""
Lia memegang belakang kepalanya.
"Coba saya lihat,"Yanuar meraba belakang kepala gadis itu ketika Lia memiringkan kepalanya ke samping."Ah,ada yang benjol di sini. Tapi tidak ada luka terbuka.Barangkali terbentur sesua-tu.Lia ingat terbentur apa tadi""
Lia menggeleng lemah. "Lia bisa cerita bagaimana mulanya sampai Lia ditubruk motor""
Sekali lagi Lia menggeleng.Kali ini dua tetes air mata mengalir ke pipinya membentuk dua anak sungai kecil.
"Jadi Lia tidak ingat apa-apa"Baiklah. Tidak apa Besok Lia akan ingat semuanya. Sekarang diperiksa dulu,ya""
Yanuar melakukan pemeriksaan dengan teliti. Dari tekanan darati,nadi.sampai refleks-refleks yang dianggapnya penting.
Tidak ada refleks patologis" kata Yanuar kepada perawat yang mendampinginya. "Tetapi sebaiknya dirawat sampai besok. Observasi Comcer. Minta foto tengkorak, Sus.Cito."
Comcer adalah singkatan.yang biasa dipakai mereka untuk Comrftotio Cerebri,gegar otak.Sedang cito merupakan istilah untuk menyatakan permintaan yang segera.
"Coba hubungi keluarganya.O ya, pengendara motor yang menubruknya itu juga harus dipanggil ke.sini untuk diberi penjelasan."
"Baik,Dok." Meskipun gemuk,Suster Romlah amat cekatan. Memberi instruksi kepadanya tidak perlu dua kali. Dia dapat mengerjakan semua instruksi dokter sama cepatnya seperti menghabiskan empat potong kue tar.
"Beres,Yan""tegur Ardi yang sedang
mengisi status di meja tulis perawat.
"Apanya yang beres"Tugas di Gawat Darurat
memang mesti punya generator cadangan!"


Perempuan Kedua Karya Mira W di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dan kaki ekstra!"sambung Ardi sambil menyeringai."Tinggal dulu,ya""
"Ke mana",nite club
"Malam ini tidak,"Ardi menyeringai makin lebar sampai ompongnya kelihatan."Ada pasien di rumah!" "Pacarmu"" "Bekas." "Yang mana""
"Yang sekarang sudah menjadi istriku!"
Yanuar tersenyum. Ardi memang kocak. Pantas saja dia disukai wanita.Tidak heran dia menjadi seorang dokter favorit di rumah sakit ini. Istrinya mesti hati-hati sekali menjaganya.
Yah,Ardi memang lain dengan aku, pikir Yanuar sambil tersenyum pahit.Pantas saja Rani tak pernah cemburu.Suaminya memang tidak potensial....
"Dok,pasien Lia menolak dirawat,"lapor Suster Romlah dengan dahi berkerut.
Yanuar menghela napas panjang.Pasien remaja memang sulit ditangani.Perlu pendekatan. Kadang-kadang ancaman.
29 "Orangtuanya sudah dihubungi""
"Dia menolak memberitahukan alamatnya, Dok."
"Wah.betul-betul sulit.Apa sih maunya""
"Orang-orang bilang dia memang sengaja ingin bunuh diri, Dok!Para saksi mata melaporkan, dialah yang sengaja menubrukkan diri pada motor itu!"
"Mengapa tidak pada bus saja sekalian"" gerutu Yanuar sambil mendahului menuju ranjang gadis itu."Kepalang tanggung!"
* * * Lia sedang duduk di tepi pembaringannya sambil memegangi kepalanya ketika Yanuar menyibak tirai yang membatasi ranjangnya dengan ranjang pasien lain.
"Kepalamu sakit,Lia""sapa Yanuar seramah mungkin."Sekarang kamu tahu mengapa kamu harus dirawat di sini malam ini"Karena kamu harus berbaring terus untuk melenyapkan pusingmu!"
"Saya mau pulang!"
Taruhan,Lia,kamu tidak akan sampai ke rumah! Baru sampai di depan sana,kamu sudah jatuh lagi." "Biar."
"Jika kebetulan ada yang melihatmu jatuh, kamu akan dibawa ke sini juga." "Biar."
"Tetapi kalau tidak ada yang melihat, kamu tahu apa yang akan terjadi""
"Saya tidak peduli!" "Mungkin ada mobil yang lewat pada saat kamu
jatuh...." "Biar saya mati!"cetus Lia menahan tangis. "Mengapa kamu begitu merindukan kematian"" Tak ada jawaban.Lia hanya menggigit-gigit
ujung saputangannya sambil menangis.
"Sekarang begini saja,Lia.Saya anjurkan kamu tinggal di sini malam ini.Tetapi kalau kamu mau pulang juga terserah kamu.Tapi tandatangani dulu formulir pulang paksa yang disodorkan perawat. Supaya kalau ada apa-apa dengan dirimu nanti, kami tidak disalahkan."
"Orangtua saya jangan diberitahu,"kata Lia ragu-ragu.
"Itu hakmu.Kecuali kalau mereka yang datang
mencari." "Mereka tidak peduli,"Lia mendengus sambil membuang muka.
"Kalau begitu beristirahatlah di sini. Jangan pikirkan apa-apa lagi. Biaya perawatanmu malam ini ditanggung oleh pengemudi motor yang menabrakmu... eh,"Yanuar mengulum senyum,"yang kamu tubruk.Jadi kamu dapat menginap gratis di sini."
"Saya tidak mau diperiksa!" "Mengapa""
Lia tidak menjawab.Dia cuma menunduk sam' menggigit bibir. "Dengar,Lia,"kata Yanuar sabar."Saya ti
ingin melihatmu kembali"ke sini. Ditubruk motor. Atau bus.Kalau kamu punya problem, datanglah pada saya.Saya berjanji akan menolongmu. Oke""
Yanuar memberi seuntai senyum persahabatan pada gadis yang sedang menatapnya dengan pandangan kosong itu.Hanya Yanuar yang dapat tersenyum dengan sepolos itu.Lia begitu terkesan melihamya.
Tidak semua orang memusuhimu,Lia," sambung Yanuar ketika ditemukannya setitik perhatian di mata Lia."Banyak yang ingin menolongmu. Ingin menjadi temanmu.Asal kamu mau membuka isi hatimu pada seseorang,orang itu mungkin dapat membantumu.Tak ada persoalan yang dapat kamu pecahkan seorang diri.Dan ingat, bunuh diri bukan jalan keluar. Selalu ada saja kemungkinan kamu selamat tapi... cacat!Nan,pikirkan saja sendiri risikonya Kamu tidak mati,malah cacat! Saat itu menyesal pun tak ada gunanya lagi.Jadi mengapa tidak mencari jalan lain"Jalan yang mungkin tidak kamu lihat tapi dapat dilihat orang lain""
* * * Yanuar tidak merasa heran ketika dua hari kemudian,Natalia muncul di tempat prakteknya.Hanya sesaat sebelum Suster Hayati menutup pintu.
"Masih ada satu pasien,Dok," kata perawat itu sambil menyilakan masuk seorang gadis yang berdiri
dengan bimban g di ambang pintu. Ragu-ragu hendak
masuk atau tidak. Yanuar menoleh.Dan tatapannya beradu dengan
tatapan yang cemas itu. "Mari masuk,Lia,"katanya ramah."Kebetulan kamu pasien terakhir.Kita punya banyak waktu
untuk ngobrol." Lia masuk dengan ragu-ragu.Duduk dengan hati-hati di depan meja tulis Yanuar.Dan tatapannya
yang gelisah berkeliaran ke seluruh ruangan seakan-akan hendak memastikan tak ada orang lain di sana.
"Tunggu di luar saja,Suster,"pinta Yanuar bijak-sana."Kami cuma mengobrol kok."
Dengan patuh Suster Hayati melangkah keluar. Dan menutup pintu.
"Nah,kita aman sekarang."Yanuar tersenyum separo bergurau."Duduklah yang santai, Lia.Mau minum""
Lia menggeleng. "Kebetulan.Di sini memang tidak ada minuman." Yanuar tertawa kecil."Cuma ada obat suntik!"
Untuk pertama kalinya Lia tersenyum sedikit. Dan Yanuar sudah merasa,dia akan berhasil.
"Oke, apa yang ingin kamu tanyakan""
"Dokter berjanji tidak akan menceritakan pertemuan ini pada orangtua saya""
"Haruskah saya cerita""
"Dokter tidak akan menceritakan apa yang akan saya katakan""
"Dengar, Lia."Yanuar menatap gadis itu dengan sabar. Dia bersandar dengan santai. ke kursinya.
"Di sini kamu pasien saya. Dan setiap pasien punya hak untuk merahasiakan penyakitnya. Dokter tidak boleh menceritakannya tanpa seizin pasiennya. Supaya dokter tidak dituduh melanggar kode etik. Jelasr
Sejenak Lia memandang Yanuar dengan cermat. Seolah-olah dia sedang menimbang-nimbang, layak dipercayakah dokter ini"
"Jika kamu tidak percaya pada saya, itu hakrou. Tidak seorang pun berhak memaksamu jika kamu hendak merahasiakannya."
Sekarang Yanuar melihat tatapan gadis itu ber-ubah. Seakan-akan dia hendak berkata, baru kamu yang bicara soal hak! Orangtua dan guru-guru saya selalu bicara tentang kewajiban!
"Dokter," tanyanya dengan suara perlahan, hampir berbisik. "Benarkah seorang gadis yang sudah tidak suci lagi dapat terlihat dari caranya berjalan""
Sekarang Yanuar-lah yang melongo. Untuk se-saat, dia tertegun seperti mendengar berita Cosmos 1000 akan jatuh di Jakarta.
Jadi itulah persoalannya! Itulah sebabnya gadis ini mencoba membunuh diri!
Hampir saja lidahnya tergerak untuk bertanya, siapa yang melakukannya, Lia" Tetapi sesaat se-belum mengucapkannya, dia masih sempat menahan rasa ingin tahunya. Kalau dia ingin mengetahui semuanya, dia harus pandai menahan diri. Jangan terjebak untuk buru-buru bertanya.
"Siapa yang mengatakannya, LiaT' tanyanya santai seperti semula. "Alangkah pintarnya dia! Dokter
pun tidak dapat menyatakan seseorang masih gadis atau tidak tanpa melakukan pemeriksaan selaput dara! Coba kamu berikan alamatnya pada saya! Saya ingin berguru lagi padanya! Supaya saya tidak usah susah-susah memeriksa pasien saya! Cukup menyuruhnya mondar-mandir di depan saya!"
Yanuar tertawa cerah. Dan bertambah lebar tawa-nya melihat gadis itu ikut tersenyum.
"Jadi benar orang-orang tidak tahu, Dok" Suami saya juga tidak tahu""
"Suamimu"" Yanuar menyeringai geli. " "Kamu sudah punya suami""
"Maksud saya, calon suami saya nanti," gumam Lia kemalu-maluan.
Dala keadaan seperti itu, separo tertunduk dengan pipi merah, Yanuar terpaksa mengakui, Lia manis. Ibarat bunga, dia laksana kuntum yang telah separo merekah. Segar. Menarik.
"Dari cara jalannya tentu saja tidak. Kecuali jika dia punya ilmu barangkali."
"Dari cara lain"" Kecemasan kembali mem-bayang di wajah Lia. "Dia bisa tahu""
Yanuar menghela napas panjang.
"Lia pernah dengar apa yang disebut selaput dara""
Lia mengangguk. "Seorang yang sudah tidak gadis lagi, biasanya selaput daranya sudah tidak utuh lagi."
"Dokter bisa memperbaikinya""
"Tentu saja bisa. Melalui operasi selaput dara. Tetapi operasi ini tidak selalu berhasil, Lia. Kadangkadang karena peredaran darah pada selaput itu buruk, operasi gagal."
"Mahalkah biayanya. Dokter" Di mana saya dapat memperoleh keterangan tentang operasi itu" Dokter Yanuar dapat melakukannya""
"Lia, dengarkanlah nasihat saya ini," kata Yanuar sabar. "Jika kamu masih suci, pertahankanlah ke-sucianmu itu sampai kamu menikah nanti. Per-sembahkanlah kehormatanmu pada laki-laki yang berhak atas dirimu. Tetapi
jika kamu sudah ke-hilangan kehormatanmu sebelum menikah, jangan putus asa. Tidak semua laki-laki punya pikiran se-picik itu. Langsung menceraikan istrinya setelah tahu istrinya sudah tidak suci lagi. Banyak yang masih tetap mencintai istrinya dan bersedia rae-nerima wanita yang dikasihinya itu seperti "apa adanya. Sekarang, jawablah pertanyaan yang lebih penting ini, Lia. Apakah kamu hamil""
Seperti tanggul yang bobol, pertahanan Lia langsung ambruk begitu mendengar pertanyaan Yanuar. Air mata langsung mengalir deras membasahi pipi-nya yang putih bersih. Yanuar harus menunggu sejenak sampai Lia dapat menguasai dirinya. Tetapi sesudah isak tangisnya mereda, dia masih belum mampu membuka mulutnya. Digigit-gigitnya ujung saputangannya sambil sebentar-sebentar mengha-pus air matanya.
"Saya yakin orangtuamu belum tahu," desah Yanuar seraya menghela napas. "Teman sekolahmu""
Lia mengangguk sedikit. Matanya yang merah berair menatap Yanuar dengan ketakutan.
"Berapa bulan"" Lia menggeleng ketakutan. "Itu sebabnya kamu selalu menolak kalau diperiksa."
"Saya takut...."
"Ya, itu wajar." Yanuar menghela napas lagi. Lebih panjang. Lebih berat. "Orang yang bersalah
memang selalu ketakutan. Sekarang begini saja. Saya periksa dulu jasmanimu. Bam setelah itu kita lakukan pemeriksaan air seni di laboratorium. Kamu
ingin didampingi perawat selama pemeriksaan""
Lia menggeleng resah. "Oke. Itu hakmu. Naiklah ke atas tempat tidur. Lepaskan pakaianmu. Tidak usah semua. Yang bagi-an bawah saja. Nah, omong-omong, kapan haidmu yang terakhir" Kamu ingat""
Lia memandang Yanuar dengan gugup.
"Empat belas Juni," desahnya gelisah.
"Itu berarti baru bulan ini kamu tidak mendapat haid. kan" Nah. tenang-tenang saja. Naiklah ke atas tempat tidur. Saya periksa."
Baru setelah berkali-kali gagal mencoba meme-riksa Lia, Yanuar menyesal, mengapa tidak memang-gil Suster Hayati saja. Kalau ada dia, barangkali lebih mudah memeriksa gadis ini! Dan ternyata kesulitan yang ditimbulkan gadis itu tidak berakhir sampai di sana. Setelah terbukti hamil, dia tidak henti-hentinya mengejar Yanuar dengan permohonan-nya.
"Tolonglah saya, Dokter!" "Bagaimana""
"Beritahu apa yang harus saya lakukan!" "Ajak temanmu itu menghadap orang tua kalian. Berterusteranglah." "Dia tidak mau!"
"Dia harus mau. Dia harus mempertanggung-jawabkan perbuatannya."
"Dia bilang tidak mungkin saya hamil...." "Mengapa dia begitu yakin"" "Katanya... katanya..." Wajah Lia memerah. Dia menunduk dengan kemalu-maluan. "Kami tidak melepaskan pakaian..."
"Tapi melepaskan celana"" Yanuar tersenyum bijak. "Lebih baik kamu bicara dengan orangtuamu. Biar orangtuamu menyelesaikannya." "Ayah bisa membunuh saya!" "Mengapa takut" Bukankah kamu ingin mati"" "Saya tidak berani...." Lia mulai menangis lagi. "Ayah galak sekali...."
"Kalau begitu cobalah bicara dengan ibumu. Atau dengan gurumu." Lia menggelengkan kepalanya dengan sedih. .j "Saya tidak mau ada yang tahu saya hamil...." "Jadi bagaimana" Kamu ingin menggugurkan kandunganmu""
"Tolonglah saya, Dokter!" Kali ini Lia sudah benar-benar meratap.
"Menggugurkan kandunganmu" Saya tidak sang-gup melakukannya."
"Dokter pasti tahu ke mana saya harus pergi mencari pertolongan.... Dokter dapat membuatkan
"Untuk menggugurkan kandunganmu"" Yanuar
menggelengkan kepalanya dengan murung. "Abortus hanya diperbolehkan bila kehamilan dianggap
membahayakn jiwa ibu....* "Apakah kehamilan ini tidak membahayakan jiwa
saya, Dokter"" "Bukan seperti itu, Lia. Bunuh diri tidak termasuk
indikasi." "Bukankah lebih baik saya pergi ke seorang dokter daripada melakukannya di tempat-tempat sembarangan yang dapat membahayakan jiwa saya,
Dokter"" "Tentu saja. Tetapi tidak ada dokter yang mau
melakukannya. Kalaupun ada, saya tidak bersedia menunjukkan tempatnya padamu. Tidak sesuai dengan had nurani saya."
Sepanjang perjalanan pulang, Yanuar mengkaji kembali semua pembicaraannya dengan Lia. Benar-kah tindakannya terhadap gadis yang sudah putus asa itu"
Dia sudah pernah mencoba membunuh diri. Tidak mungkinkah dia mencoba lagi" Jika kali ini dia berhasil, bukankah janin di dalam kandungannya pun
ikut meninggal" Apa bedanya dia digugurkan oleh kematian ibunya atau oleh tangan seorang dokter" Tetapi... berhakkah dia menghilangkan nyawa seorang manusia" Meskipun dengan tindakan itu dia menyelamatkan nyawa manusia yang lain"
Alangkah sulitnya jadi dokter, keluh Yanuar re-sah. Kadang-kadang aku tidak tahu apa yang harus kulakukan!
Dan Yanuar merasa menyesal telah meminta Lia datang ke tempat prakteknya. Mula-mula dia memang hanya ingin menolong. Sekarang dia merasa terlibat.
Tiap hari Lia datang ke tempat prakteknya. Me-nunggu sampai pasien terakhir pulang. Dan mengiba-iba di depan Yanuar untuk meminta tolong.
Suster Hayati yang setiap kali gadis itu datang langsung disuruh keluar, mulai menaruh curiga. Mengapa gadis ini datang tiap malam" Sakit apa dia" Mengapa tiap kali datang gadis itu menangis" Mengapa begitu lama dia di dalam" Apa yang mereka bicarakan" Pasienkah gadis itu" Atau...
Tentu saja Yanuar tahu kecurigaan perawatnya. Yang membuatnya heran justru sikap istrinya. Rani tidak curiga. Biarpun beberapa kali Lia me-ngunjungi rumahnya ketika Yanuar tidak praktek karena berdinas malam di rumah sakit. Atau sedang rati
"Pasienmu tadi malam datang kemari," kata Rani dengan suara seolah-olah dia sedang menyiarkan warta berita. Tidak ada emosi. Tanpa nada. Biasa saja.
'Tasien yang mana"" Yanuar terpaksa bertanya meskipun tanpa mengajukan pertanyaan itu pun dia sudah tahu jawabannya.
"Yang mana lagi""
"Lia"" "Memangnya ada berapa banyak pasienmu yang seperti dia""
"Seperti apa"" Tiba-tiba saja Yanuar tergelitik untuk mencobai hati istrinya.
an "Ya, seperti dia. Berani datang ke rumah dokter. Ngobrol seperti kenalan lama." "Apa salahnya."
"Tidak ada salahnya. Aku kan tidak melarang."
"Dia punya masalah."
"Ah, gadis remaja seumur dia, apa lagi sdti
masalahnya kalau bukan hamil""
Sekarang yang terkejut justru Yanuar.
"Dari mana kamu tahu""
"Aku juga kan pernah muda," sahut Rani acuh tak acuh. "Jika seorang gadis dengan penampilan seperti itu mengejar-ngejar dokternya, ngobrol dengan suara perlahan supaya tidak terdengar orang lain, ada urusan apa lagi kalau bukan urusan kandungannya""
"Bagaimana penampilannya menurut pendapat-mu""
"Tidak jelek." "Tidak jelek"" Yanuar tersentak heran. "Astaga! Menurutku dia cantik!"
Rani hanya mendengus sambil tersenyum masam. Sedikit pun dia tidak menghentikan kerjanya. Tangannya dengan lincah merangkai bunga dalam jambangan.
"Kamu tidak cemburu, Ran"" Yanuar tidak dapat menahan lidahnya lagi. Dia benar-benar penasaran. "Ada gadis cantik dan semuda itu mengejar-ngejar suamimu, kamu tidak curiga""
"Apa yang harus dicurigai"" Rani tidak meng-alihkan tatapannya dari bunga-bunga di hadapannya.
Air mukanya tetap jemih. Tidak berubah sedikit pun. "Dia bukan seleramu."
"Bagaimana kamu bisa begitu yakin" Selera kan bisa berubah!"
"Buat apa aku mencurigai seseorang yang bukan sainganku" Buang-buang energi saja!"
"Kamu menganggap gadis remaja secantik itu bukan sainganmu" Astaga, Ran! Rasa percaya diri-mu benar-benar hebat!"
"Aku kenal kamu," sahut Rani mantap. "Karena itu aku tidak kuatir!"
Tak tahan lagi Yanuar mengekang perasannya. Dipeluknya istrinya dari belakang. Rani sampai memekik tertahan karena kagetnya.
"Adah!" tangkai-tangkai bunga yang sedang di-pegangnya terlepas. Jatuh ke lantai. "Apa-apaan sih kamu"!"
"Kamu benar-benar istri yang mengagumkan, Ran!" Yanuar mengecup leher istrinya dengan me-sra. "Tidak rugi memilihmu dulu!"
"Karena aku tidak cemburu meskipun suamiku dikejar-kejar pasiennya yang muda dan cantik"" sergah Rani dengan susah payah di sela-sela kecupan-kecupan suaminya.
"Karena kamu begitu mempercayai suamimu!"
"Suamiku termasuk makhluk langka." Rani tersenyum sambil menggeliat geli, menghindari kecupan-kecupan Yanuar yang makin ganas. "Karena itu dulu aku memilihmu! Biarpun kamu tidak punya apa-apa kecuali motor butut!"
"Karena yakin kamu tidak bakal punya saingan""
Yanuar mengangkat tubuh istrinya dan mendukungnya ke kamar tanpa mengindahkan Bi Umi yang dengan salah tingkah buru-buru berbalik kembali ke dapur ketika kebetulan berpapasan dengan mereka. "Meskipun dengan
pilihanmu itu kamu tidak dapat bersaing dengan ibu-ibu dokter yang lain""
"Kalau persaingan mereka cuma berkisar soal rumah, mobil, dan kalung berlian, apa perlu aku
ikut bersaing""
"Kamu tidak merasa tersisih dalam pergaulan kalau tak ada yang dapat kamu tonjolkan"" tanya Yanuar sambil membaringkan tubuh istrinya di tempat tidur.
"Haruskah aku menjual kejujuran suamiku hanya supaya ada yang dapat kutonjolkan""
"Sebenarnya aku tidak harus menjual kejujuranku untuk mendapatkan hasil yang lebih banyak."
"Dengan apa misalnya" Menandatangani kontrak dengan perusahaan obat untuk memakai produk mereka selama setahun" Memberi MR terapi pada pasien remaja yang terlambat haid padahal kamu tahu dia hamil" Atau memberi kombinasi diuretika, pencahar, dan obat penekan nafsu makan kepada pasien obesitas supaya badannya turun sepuluh kilo dalam seminggu""
"Rani." Yanuar membelai pipi istrinya dengan lembut. Ditatapnya mata Rani dengan penuh kasih sayang. "Kamu tahu mengapa aku tertarik padamu""
"Tentu saja karena aku cantik." Rani tersenyum manis. "Masih ada yang lain yang belum kuke-tahui""
'Ingin tahu yang lebih menarik daripada itu"" "Bagaimana caranya supaya kamu beritahu"" "Gum aku."
"Cuma itu"" Rani mengulum senyumnya. "Si Meong juga bisa." "Siapa bilang""
"Mengapa tidak kamu buktikan""
Dengan gemas Rani memagut bibir suaminya sambil memijat hidungnya keras-keras sampai Yanuar " memekik kesakitan. Tentu saja hanya pura-pura.
"Mengapa kamu pijat hidungku""
"Supaya beda dengan ciuman si Meong!" Rani tertawa geli. "Dia tidak dapat memijat hidungmu, kan""
Sekarang giliran Yanuar yang tertawa geli. Ide itu muncul begitu saja di kepalanya. Tepat sesudah Ardi menyampaikan gosip itu padanya.
"Mereka bilang-kamu ada main dengan pasiemu! Natalia Sanjaya, yang tempo hari mau bunuh diri, kan""
"Kau dengar dari mana""
"Wah, semua kutu di setiap sudut rumah sakit kita juga sudah tahu! Maklum, yang nyeleweng dokter yang paling alim!" Ardi mendekatkan mulut-nya ke telinga Yanuar. 'Tidak mau kalah, ya" Tidak mau jadi yang sepertiga""
"Cuma ingin tahu bagaimana rasanya dicemburui istri," sahut Yanuar tenang. "Seperti yang kaubilang
dulu." "Hah"" Ardi membeliak kaget. Ditatapnya Yanuar dengan tatapan tidak percaya. "Betul. Yan"
Jadi berita itu benar" Kamu...""
"Tentu saja tidak." sahut Yanuar santai. "Aku kan
masih waras." "Tapi..."
"Aku cuma ingin menggoda Rani."
"Dengan pura-pura menyeleweng" Sakit kamu,
Yan!" "Dia tak pernah cemburu. Sekali-sekali aku ingin mempermai nkannya."
Sekarang Ardi ikut tertawa.
"Hati-hati kamu, Yan! Bermain api hangus lho!"
"Aku tidak bermain apa-apa kok!" .
"Aku kuatir main-main jadi sungguhan! Kalau kamu betul-betul jatuh hati pada gadis itu...."
"Gadis remaja seperti dia" Yang benar, Di. Aku tidak suka mangga muda kok!"
"Bagaimanapun aku kuatir, Yan. Kamu tidak berpengalaman. Jangan-jangan mau cari pengalaman malah celaka!"
"Mau menolongku"
"Mempermainkan Rani""
"Tolong tulis surat ke rumahku. Katakan, aku ada main dengan pasienku. Aku ingin melihat reaksi Rani."
"Tidak mau ah! Rani kan kenal aku!" "Tentu saja kau pura-pura jadi orang lain!"
45 "Sural kaleng maksudmu"" "Kau punya ide lain""
Ardi menggeleng-gelengkan kepalanya dengan heran.
"Aneh," gerutunya, "Suami-suami lain susah payah mnyembunyikan penyelewengannya. Kamu" Kamu malah ingin istrimu tahu!"
* * * Dengan gelisah Yanuar menunggu-nunggu datang-nya sural kaleng itu. Setiap pulang ke rumah pasti dia melongok dulu ke-tempat surat.
Mengapa tidak ada juga, pikirnya setelah tujuh hari lewat.iupakah Ardi"
"Sudah kukirimr berkeras Ardi ketika Yanuar menanyakannya. "Kilat!"
Mengapa Rani diam saja" Tidak sampai kah surat itu" Akhimya Yanuar tidak tahan lagi.
"Tidak ada surat untukku"" tanyanya ketika sedang makan malam. "Sudah lama tukang pos tidak mampir, ya""
"Mampir," sahut Rani santai. "Cuma tidak ada surat untukmu."
"Kalau tidak ada surat untukku, untuk apa dia mampir ke rumah kita" Kamu dan anak-anak kan tidak pernah menerima surat!"
"Ada surat untukku, tapi tidak ada nama Han alamat pengirimnya." an
Yanuar meletakkan sendoknya. Pura-pura ter-peranjat.
"Sur at kaleng"" Rani mengangguk. Tetap setenang tadi. Sama sekali tidak ada perubahan pada air mukanya.
"Apa isinya""
"Menceritakan. penyelewenganmu."
"Penyelewenganku"" Sesudah melompat dari kursinya, baru Yanuar menyesal. Barangkali dia terlalu berlebihan. Nanti Rani tahu. Dia terlalu cerdik. Dia tahu kalau Yanuar berpura-pura. Naluri-nya tajam sekali.
"Katanya kamu ada main dengan pasienmu." Sikap dan suara Rani tetap seperti tadi. Tanpa emosi. Datar. Santai. Yanuar jadi heran sekali. Sampai lupa dia pada sandiwaranya sendiri.
"Kamu tidak marah"" Perlahan-lahan Yanuar duduk kembali di kursinya. Dia benar-benar. bingung.
"Mengapa aku harus marah""
"Kamu tidak marah aku menyeleweng dengan pasienku""
"Tentu saja aku marah kalau kamu benar menyeleweng! Istri mana sih yang tidak marah"!"
"Tapi kamu tidak kelihatan marah!"
"Mengapa aku harus memarahi suamiku karena selembar surat kaleng""
"Jadi"" Yanuar ternganga keheranan. "Kamu... tidak percaya""
"Tentu saja tidak! Aku kenal sekali suamiku. Aku bisa merasakannya kalau dia nyeleweng!"
Game. Yanuar benar-benar kursinya. Tidak tahu lagi bagaimana caran membuat Rani cemburu! ya "nt^
Ardi tertawa geli ketika Yanuar mence hal itu keesokan hari nya. nta*ai]
"Seorang istri punya naluri yang sangat " Yan," katanya sambil tersenyum, tidak jelas ^ hibur atau mengejek. "Dia merasa kok kalau s ^ nya menyeleweng! Jadi jangan coba-coba lag! nipu istrimu. Bisa frustasi kamu!" mt~
suami. BAB V Yanuar meletakkan kotak kecil pemberian
detailman pabrik obat itu di atas meja tulisnya. Tidak ingin dia melihat isinya. Apa lagi. Paling-paling sebungkus kertas tisu.
Ya, sejak pemberian contoh obat dilarang, memang ada-ada saja buah tangan pabrik obat dan perusahaan farmasi untuk para dokter. Tisu. Ka-pas. Pldster. Sebatang jarum suntik. Kadang-kadang malah yang tidak ada hubungannya dengan profesi medis.
Biskuit, bubuk minuman, sendok-garpu, bahkan body lotion, sampo, sabun... dan entah apa lagi. Kadang-kadang Yanuar geli melihatnya. Kadang-kadang malah gemas.
Tapi itulah. Untuk dokter-dokter yang kurang laku prakteknya seperti Yanuar, memang itulah jatahnya yang tersedia. Untuk dokter-dokter laris macam Dokter Singgih yang prakteknya sedang^ digantikannya malam itu, tentu saja lain.
Jangan-jangan tiket pesawat terbangnya menghadiri seminar di luar negeri sekarang i
atas sponsor mereka. Ah, memang praduga yang buruk. Tidak ada bukti.
Tetapi gara-gara ulah seperti inilah. katanya, harga obat jadi naik. Dan dokter yang pasiennya masih dapat dihitung dengan jari tangan seperti Yanuar. tidak kebagian sampel obat lagi. Padahal kadang-kadang sampel obat itu berguna. Untuk pasien. Maupun untuk dokternya sendiri. Dokter juga bisa sakit, kan'
"Masih ada pasien, SusT tanya Yanuar letih. Padahal dia cuma letih menunggu.
Ruang tunggu praktek Dokter Singgih yang biasa-nya penuh sesak ita hari ini nyaris kosong me-lompong. Beberapa orang pasien yang sudah te-lanjur datang bergegas pulang kembali begitu tahu yang praktek cuma wakil. Bukan Dokter Singgih.
Lama-lama Yanuar jadi kesal juga. Tahukah mereka yang disebut wakil itu dokter juga seperti Dokter Singgih!"
Tetapi pasien memang tidak dapat dipaksa. Mereka berhak memilih dokter yang dibayarnya. Bukan seperti di Puskesmas. Pak Mantri pun kadang-kadang jadi dokter. Dan pasien tidak dapat memilih.
"Saya sudah cocok dengan Dokter Singgih sih, Sus," kata seorang pasien yang masih sempat ine-ngemukakan alasan kepulangannya kepada Suster Diah. "Rasanya baru melihat mukanya saja, penyakit saya sudah hilang separo! Minum obat sekali saja langsung sembuh. Biarlah saya tunggu Dokter Singgih saja." Oke, gerutu Yanuar dalam hati. Suruhlah pe
nyakitmu menunggu! Mana ada sih penyakit yang baru melihat tampang dokternya saja sudah lenyap"
Penyakit apa itu" Memangnya Dokter Singgih itu hantu" Melihat mukanya saja kuman-kuman sudah


Perempuan Kedua Karya Mira W di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kabur semua" "Sudah habis. Dok," sahut Suster Diah pura-pura
murung. Padahal dalam hatinya, dia merasa lega bisa pulang lebih cepat. Toh gajinya sama. "Tutup
saja, ya"" "Sebentar lagi, Sus. Belum pukul sembilan."
Ketika Suster Diah sudah keluar ruangan
Yanuar menghitung beberapa lembar uang lima ribuan ku-mal yang mengisi laci meja tulisnya. Lumayan buat beli bensin minibusnya yang mulai boros. Tentu saja sesudah dipotong bagian untuk Dokter Singgih.
Sudah seminggu Yanuar menggantikan praktek Dokter Singgih. Setelah selesai praktek di tempat-nya- sendiri, dia harus cepat-cepat kemari utnuk melayani pasien-pasien sejawatnya ini. Celakanya, banyak di antara mereka yang malah lebih senang menyuruh penyakitnya menunggu Dokter Singgih.
Yanuar sudah memberesi buku-bukunya ketika tiba-tiba pintu terbuka, dan Suster Diah melongok-kan kepalanya ke dalam.
"Pasien, Dok," katanya tegang. seperti mengabar-kan ada petugas pajak hendak memeriksa buku.
"Ketika pasien itu melangkah masuk, Yanuar baru dapat mengerti mengapa Suster Diah setegang itu. Pasien yang baru itu, wanita tentu saja, sulil. dibedakan bintung film atau istri pejabat. Soaln; dia memiliki kedua ciri itu sekaligus.
Cantik, anggun. dan berwibawa. Penampilannya
menimbulkan rasa nikmat bagi yang melihatnya. Sekaligus rasa segan. Usianya memang tidak muda lagi. Sekitar tiga lima. Tetapi justru itu yang membuat dia tampil demikian matang dan mengagumkan.
Langkah-langkah gemulai tapi man tap. Sungguh kombinasi yang sulit. Dan memerlukan latihan yang cukup lama Kecantikannya membuat laki-laki, mungkin juga wanita, enggan berkedip.
Pakaiannya kalau bukan dari Lafayette pasti keluaran Via Veneto. Penampilannya tambah me-yakinkan dengan tambahan aksesoris yang ge-merlapan di telinga, leher, dan jari-jemarinya.
Astaga, pilar Suster Diah dengan kecemburuan seorang wanita Perempuan ini mau ke dokter atau ke pesta"
"Selamat malam, Dok." sapanya tanpa meng-acuhkan sikap Doktef Yanuar dan perawatnya.
Barangkali dia sudah biasa menyaksikan orang-orang yang terpesona melihat penampilannya. Bukankah itu memang yang diharapkannya" Kalau tidak, buat apa dia berdandan seperti ini" Untuk memancing kekaguman, kan"
"Malam," sahut Yanuar tersendat. Hampir tidak mengenali suaranya sendiri. Dengan ekor matanya dia melirik Suster Diah. Dan melihat wajah perawat itu, tiba-tiba saja Yanuar mendapatkan kembali semangatnya. Dia tidak boleh kehilangan ke-wibawaannya. Dia yang dokter, bukan" Nah, dia yang harus menguasai medan! "Sakit apa""
"Kepala, Dok." Cocok, pikir Yanuar sambil mencoret-coret kartu
status di hadapannya. Stres. Perempuan seperti
kamu pasti tidak putus dirundung stres.
"Ada panas"" "Tidak ada, Dok."
Tepat, pikir Yanuar lagi seperti seorang pemain bola sedang menggiring si kulit bundar ke jaring.
"Ada keluhan lain" Batuk, pilek, atau mual barangkali""
"Tidak ada, Dok."
"Buang air besar baik" Teratur""
"Ya, Dok." 'Tidak ada keluhan waktu buang air kecil"" 'Tidak. Dok." "Tidak ada kelainan haid"" Perempuan itu menggeleng tanpa melepaskan tatapannya. "Jadi cuma sakit kepala"" "Ya, Dok."
"Sudah berapa lama""
"Satu bulan terakhir ini, pusingnya datang hampir tiap hari, Dok." "Pakai kaca mata"" "Hanya kalau membaca, Dok." "Umur berapa"" "Tiga empat, Dok."
"Coba naik ke tempat tidur. Saya periksa sebentar. Suster..." Yanuar berpaling kepada Suster Diah yang. masih tegak mematung di dekat pintu. "Tolo tensinya."
Dengan cekatan seperti kijang yang tanduknya baru lepas dari impitan ranting semak-semak, Suster Diah mendahului meluncur ke balik tirai pemisah. Sementara wanita itu. tanpa kelihatan tergesa-gesa bangkit dari kursinya. Dan melangkah ke sebelah, sama anggunnya, sama tenangnya seperti tadi.
Nyata benar bedanya, pikir Yanuar sambil ber-usaha menggebah kesan itu dari matanya. Seperti merak dengan ayam kampung....
"130/80. Dok," terdengar suara Suster Diah dari balik tirai.
Yanuar mencatat tekanan darah pasiennya di kartu status. Lalu dia mengambil stetoskopnya. Dan melangkah ke balik tirai.
Pasien itu terbaring tenang di atas tempat tiduf \ periksa Blusnya yang telah dibuka, diselubungkan-nya ke atas dada. Suster Diah tegak di sampingnya. Seperti dayang di sisi pembaringan sri ratu.
Mula-mula Yanuar menyorotkan senter ke mata pasiennya Mata yang cokelat itu bulat dan bening seperti kelereng. Begitu jernihnya sampai Yanuar heran mengapa
dia tidak dapat memandang ke dalam lubuk di balik mata yang sebening itu" Ra-hasia apa yang tersembunyi di balik mata yang seindah ini"
"Lihat ke atas," pinta Yanuar ketika dirasanya mata itu kini menatap langsung ke arahnya. Dia kuatir, perasaannya sendirilah yang justru dapat terbaca melalui sorot matanya! Matanya tidak dapat berdusta. Dan wanita sematang dia pasti telah dapat membaca sinar kekaguman yang bersorot di sana.
_ 1A "Lihat ke bawah," pinta Yanuar pula sambil me-narik kelopak mata wanita itu ke atas. Bola matanya demikian putih seperti kain putih yang baru dikelantang.
"Buka mulut," perintah Yanuar lagi sambil n"" nyorotkan senternya ke dalam rongga mulut. "Julurkan lidah."
Bahkan bibir dan lidahnya demikian menantang, pikir Yanuar gundah. Gigi-geliginya masih lengkap. Putih dan rata. Bau mulutnya demikian harum....
"Tidak ada gigi yang sakit"" tanya Yanuar asal saja, begitu disadarinya tatapan wanita itu sedang menghunjam langsung ke matanya. Dia tidak mau dinilai. Dia yang dokter, kan" Nah, dialah yang harus menilai!
"Tidak, Dok," sahut wanita itu mantap. Sama sekali tidak tampak gugup. "Tidak pernah sakit. Saya jarang ke dokter gigi."
Jawaban yang tidak perlu. Untuk pertanyaan yang tidak perlu juga. Gigi begini bagus. Begini terawat. Pasti bukan langganan dokter gigi. Ah, kasihan dokter-dokter gigi kalau semua orang punya gigi sebagus ini!
"Siapa bilang cuma gigi yang sakit saja yang harus diperiksa dokter gigi""
Tiba-tiba saja Yanuar ingat Rani, istrinya yang begitu lulus langsung dipersuntingnya sampai tidak sempat lagi membuka praktek sebagai dokter gigi. Soalnya dia keburu hamil sebelum izin prakteknya keluar. Dan Yanuar tidak mau istrinya keguguran waktu mencabut gigi pasien.
Ingat Rani, tiba-tiba saja segurat perasaan ber-salah menoreh hati kecil Yanuar. Tidak seharusnya dia memperhatikan pasiennya seperti ini. Tetapi... dia manusia biasa, bukan" Yang terdiri atas darah dan daging. Tidak bolehkah dia mengagumi seorang perempuan cantik, biarpun perempuan itu pasiennya"
Perempuan ini benar-benar cantik. Dari raut wajahnya, Jengkung lehernya, tonjolan buah dada-nya, sampai kedua belah tungkainya benar-benar sempurna.
Angka sepuluh pertama yang dapat diberikannya kepada seorang wanita. Sungguh Nurma yang ratu kampus ho. yang pemah dikaguminya setengah mati belasan tahun yang lalu pun rasanya tidak ada artinya lagi dibandingkan dengan perempuan ini. Dia ibarat seorang anak perempuan yang baru mulai belajar berdandan jika dimintai berdiri di samping pasiennya ini. Sungguh.
Ketika Yanuar melekatkan stetoskopnya ke te-linga, tanpa diminta perempuan itu menarik blusnya ke bawah. Dan Yanuar hampir tidak dapat mem-bedakan denyut jantung perempuan itu atau denyut jantungnya sendiri yang didengarnya melalui stetoskopnya.
Dan sialnya. selama pemeriksaan yang mendebar-kan itu, pasien istimewanya ini terus-menerus me-natapnya dengan tatapan yang itu-itu juga. Tatapan i yang membuat Yanuar makin salah tingkah karena merasa dinilai.
Yanuar tidak berani lama-lama memeriksa jantung dan paru-paru perempuan itu. Soalnya susah
sekali menggebah matanya agar tidak memandang dengan penuh kekaguman ke lekuk buah dada yang menggiurkan itu. O, seandainya dia seorang pemahat, akan dimintanya perempuan itu berpose sebagai model! Dan dia pasti dapat menciptakan sebuah masterpiece]
Kamu pasti salah satu hasil karya Tuhan yang terindah, pikir Yanuar ketika dia sedang melekatkan stetoskopnya di perut yang mulus dan rata itu. Alangkah menariknya kamu kalau mengenakan bikini.... Gila! Yanuar tersentak kaget. Apa-apaan kamu ini" Mengapa punya pikiran seperti itu.... Astaga...!
"Saya akan menekan beberapa bagian dari perut Anda," kata Yanuar setelah kesadaran melecut otaknya kembali. "Katakan kalau sakit."
Sesaat Yanuar lupa pada kebiasaannya untuk melakukan palpasi lebih dulu sebelum perkusi dan auskultasi. Dia malah lupa di mana letak hati pasiennya.
"Bagaimana, Dok"" tanya wanita itu tak sahar begitu Yanuar selesai memeriksa.
"Tidak ada apa-apa," sahut Yanuar sambil me-nyeka peluhnya walaupun ruangan itu sejuk ber-AC. "Semuanya baik.
Sekarang saya akan melihat melalui mata Anda dengan sebuah alat. Untuk mencari kelainan yang terletak jauh di belakang bola mata Anda. Nan, rileks saja."
Yang tidak rileks malah aku sendiri, keluh Yan sambil mengamati opthalmoskop-nya. .
"Lihat ke telinga saya," pinta Yanuar sambil meletakkan alat itu tepat di depan mata pasiennya, "Saya akan mengintai ke dalam."
Sambil menahan napas, Yanuar mendekatkan wajahnya ke wajah wanita itu. Dan mengintai me-lalui opthalmoskop-nya.
"Semua baik," katanya sambil mengembuskan napas yang tertahan tadi. Dia merasa agak sesak, seolah-olah baru saja menyelam ke dasar samudra.
"Dokter tidak menemukan kelainan apa-apa"" desak perempuan itu kecewa.
Tidak ada yang perlu dikuatirkan." Tanpa me-mandang pasiennya lagi, Yanuar kembali ke meja tulisnya. "Anda tidak sakit apa-apa. Mungkin hanya stres."
"Sues"" "Barangkali Anda punya problem"" "Adakah manusia yang tidak punya problem, Dokr
Sial, mengapa aku yang ditanya" gerutu Yanuar dalam hati. Untung saja pasien ini cantik. Kalau tidak...
"Problem yang tidak dapat dipecahkan barang-kali" Yang sangat mengganggu pikiran Anda""
Sesaat perempuan yang telah sampai di dekat meja tulisnya itu menatapnya. Dan Yanuar harus rnenurunkan pelupuk matanya, pura-pura menulis i sesuatu di kartu statusnya, jika tidak mau bet- j keringat lagi. Tatapan itu... ya, Tuhan! Mengapa demikian memikat"
"Jadi cuma problem yang tidak dapat dipecahkan
itu yang membuat saya tiap hari menderita sakit
kepala, Dok"" "Penyakit psikomatis" sahut Yanuar sambil menulis beberapa macam nama obat di atas kartu re-sep. "Pikiran yang menyebabkan penyakit badani."
"Cuma itu""
"Untuk sementara, minumlah dulu obat-obat ini. Jika sakit kepalanya belum berkurang sampai ming-gu depan, Anda saya minta kembali. Kita akan melakukan beberapa pemeriksaan tambahan."
"Tidak ada pantangan apa-apa, Dokter""
"Tidak ada. Hanya berusahalah untuk menenang-kan pikiran. Siapa nama Anda""
"Nyonya Patricia Mills... Primodarso."
Nama yang terakhir itu diucapkannya lebih per-lahan setelah bimbang sejenak.
Pantas kulitmu begitu putih dan matamu begitu cokelat, pikir Yanuar sambil menulis nama itu di atas kertas resep. Kamu Indo, ya"
Sampai pasien itu meninggalkan kamar prakteknya, Yanuar masih tak dapat mengusir pesona yang di-tinggalkannya. Parfumnya yang keras masih mem-bersitkan aroma harum semerbak di seluruh ruangan. Setiap Yanuar menarik napas. aroma itu tercium kembali. Dan tubuh yang memesona itu terpampang lagi di depan matanya. Tatapannya yang tajam me-nilai. Lekuk bibirnya yang menanlang. Tubuhnya yang menggiurkan. Tungkainya yang indah....
"Tutup, Dok"" tegur Suster Diah penuh pengerti-an melihat dokternya masih terlongong-longong menatap buku resep kosong di hadapannya.
"Ya" sahut Yanuar setelah dia yakin pasien istimewanya tidak akan kembali malam ini. Suster Diah sudah meninggalkan kamar praktek untuk menutup pintu pagar ketika tiba-tiba dia kembali lagi.
Tasien, Dok. Perempuan... tapi bukan yang tadi," Suster Diah cepat-cepat menyambung kata-katanya sebelum napas Yanuar sempat tertahan. Dia tahu sekali wajah pasien yang mana*yang masih melekat di benak dokternya. Dan suara batuk berkepanjangan sudah terdengar sebelum orangnya sendiri tampak. "Malam, Dokter,"
"Malam." Yanuar menoleh ke pintu. Dan melihat seorang wanita setengah baya melangkah masuk. "Batuk, Bur "Sama pilek, Dokter." "Begadang kali ya, Bu""
"Ah, enggak, Dok." Wajah yang suram dibalut j Penyakit itu berseri sedikit meskipun dia tidak memakai bedak
-X""teS"f"^*ya... pasien isd-la8i di depan rnaia!" ,yangan Patricia melintas ^^k^"Wh-tebih ketika Yanuar, Me^riksa pasien in"^ ^-benar berbeda! ^ ^-apa. Satnat""""*J2ft tak ada pertl ^meriksa puluhan
u.an ratUsan pasien wanita lain yang pernah di-^riSnya. Kadang-kadang dia malah lupa mereka
perempuan! BAB VI Ram raelayani suaminya di tempat tidur dengan secercah perasaan heran raenyelinap ke dalam sanu-barinya. Sudah lama Yanuar tidak segairah ini. Apa yang membuatnya demikian bersemangat" Dan mengapa dia lalu terkapar murung seperti orang bersalah setelah permainan mereka selesai" Padahal
permainan itu begitu sempuma.
Belum pemah senikmat itu sejak beberapa tahun terakhir ini. Mereka seperti sudah sama-sama jemu. Tapi malam ini Yanuar sungguh luar biasa. Dan naluri seorang istri membisikkan kecurigaan di be-nak Rani.
Ada apa" Adakah bayangan perempuan lain di kepaia Yanuar ketika dia sedang meniduri istrinya j tadi"
Tetapi Rani tidak bertanya apa-apa. Karena dia tidak tahu dari mana dia harus mulai bertanya. Apalagi Yanuar sudah buru-buru memejamkan J matanya. Dan dia tampak letih. Rani tidak sampai hati mengganggunya dengan pertanyaan tak masuk akal itu.
Selama ini Rani memang tidak pernah mencurigai suaminya. Dia tahu, Yanuar laki-laki yang baik. Suami yang setia. Yang tidak mungkin ber-buat yang bukan-bukan. Kalau semua lelaki di Jakarta ini sudah menyeleweng, barangkali Yanuar-lah orang terakhir yang melakukannya.
Tetapi... heran. Mengapa malam ini Rani merasa ada yang aneh" Dia kenal sekali suaminya. Biasa-nya, Yanuar lebih bergairah kalau sebelum melakukannya mereka memutar film biru.
Akhir-akhir ini menonton dulu sebelum bermain memang sudah menjadi kebiasaan mereka. Mungkin untuk mengusir kebosanan yang mulai menyelinap setelah belasan tahun melakukan hal yang sama.
Tetapi malam ini, Yanuar tidak memerlukan pe-rangsang lagi. Dia malah tidak sempat menyalakan video. Apalagi mencari film yang biasanya disem-bunyikan Rani dari jangkauan anak-anaknya itu. Dia langsung terjun. Dan langsung mendidih tanpa melalui fase pemanasan lagi.
Semuanya berjalan begitu cepat. Begitu ganas. Begitu cepat Yanuar menyelesaikannya. Begitu cepat pula dia terkapar, bukan dengan wajah puas melainkan dengan paras murung seperti menyimpan perasaan berdosa.
Mau tak mau, untuk pertama kalinya Rani mulai . merasa curiga. Mungkinkah... seseorang di nite club, kalau benar dia jadi ke sana" Soalnya. kalau bukan dengan pramuria, dengan siapa pula suaminya " menyeleweng"
Dalam kamar prakteknya selalu ada perawat.Dan Rani kenal betul pada Suster Hayati.Dia juga yang mencarikan suster itu dulu.
Perempuan separo baya yang mempunyai suami dan lima orang anak.Tidak cantik.Tidak genit. Tidak berbahaya. Luar-dalam.Bersih.Bersih pikir-an.Bersih lingkungan.Aman.
Seminggu ini memang Yanuar praktek juga di tempat Dokter Singgih. Tapi Suster Diah pun sudah pernah dilihat oleh Rani. Ketika dulu dia ikut Yanuar ke tempat praktek Dokter Singgih.
Memang lebih muda daripada Suster Hayati. Lebih manis.Lebih potensial.Tapi dia juga sudah bersuami.Sudah punya anak satu.Tak mungkin Yanuar segila itu.Berani menyeleweng dengan istri orang kalau daya tariknya cuma sekian.
Pasiennya" Mungkinkah... seperti yang dicerita-kan surat kaleng itu" Tetapi... ah,Rani tidak per-caya Yanuar menyeleweng dengan gadis remaja seumur Lia! Benar-benar tak masuk akal! Pasti itu hanya fitnah.Fitnah orang yang tidak menyukai suaminya.
Jadi... siapa yang patut dicemburui" Bayang-bayang" Tetapi... mengapa sejak malam itu Rani selalu merasa bayang-bayang itu benar-benar ada dan berdaging"
* * * Yanuar merasa resah.Belum pemah dia merasa gelisah seperti ini. Beberapa kertas resep yang
telah ditulisinya diremasnya kembali.Dan dilemparkannya ke tempat sampah.
Ditulisinya sekali lagi kertas resep kosong di hadapannya.Tiba-tiba dia tersgntak.Anak kecil di hadapannya batuk-batuk panjang.Dan dia baru ingat,pasiennya masih anak-anak!Baru berumur dua tahun.Astaga.Masa akan diberinya Pulvus Doveri 100 mg!Terlalu banyak.
Aduh,bisa celaka kalau kerja seperti ini.Dibaca-nya sekali lagi resep obat yang telah ditulisinya. Digiringnya pikirannya supaya terkonsentrasi pada resep itu. Dicoretnya dosis obat yang terlalu tinggi. Dibacanya sekali lagi....
Ah,resep penuh coretan. Nanti apotek bingung. Atau salah baca. Terjadi salah pemberian obat. Dan...membawa korban.
Hhh,lebih baik diulanginya sekali lagi.Perlahan-lahan. Dengan tulisan yang lebih bagus.Lebih rapi.Lebih bersih. Dibacanya sekali lagi. Sekali lagi.Dan sekali lagi....
Ibu di depannya mulai ikut gelisah.Menghela napas. Menggeser duduknya. Dan menghela napas lagi.Barangkali dia mulai tidak sabar.Mengapa lama sekali"Sampai kapan dokter i
ni baru selesai menulis resep"
Anak yang digendongnya mulai menangis.Dan batuk lagi.Tetapi dokter belum selesai juga menulis.Aduh,dia menulis resep atau puisi"
Sambil menghela napas panjang, akhirnya Yanuar menyodorkan resep itu.Dan si ibu langsung me-nangkapnya seperti ikan menangkap umpan.Ber65gegas dia keluar setelah membayar dan mengucapkan terima kasih.
"Tutup saja,Sus,"kata Yanuar kepada Suster Hayati."Saya kurang enak badan."
"Masih siang,Dok,"protes Suster Hayati heran. Diaraat-amatinya wajah dokternya dengan cermat. Sejak tadi dia memang terlihat kurang sehat. Gelisah terus.Dan tidak banyak bicara. "Biar saja,Sus.Saya mau pulang." Aku perlu menenangkan diri, pikir Yanuar muram.Tidak baik praktek dengan pikiran kalut beginL Salah-salah dia bisa mencelakakan pasien. Bukan menyembuhkan.
Yanuar segera meninggalkan tempat prakteknya. Mengendarai mobilnya perlahan-lahan di tengah-tengah lain lintas yang sibuk.
Terbayang kembali adegan di tempat tidurnya tadi malam.Sebenarnya Rani sudah tetih.Sudah mengantuk.Sudah ingin tidur.Tetapi dia menyadari kewajibannya sebagai seorang istri.Dia tidak me-nolak ketika Yanuar memintanya.
Dan di luar kesadaran Yanuar,Patricia tiba-tiba saja sudah berada di dalam kamarnya...di atas tempat tidurnya...di dalam pelukannya....
Dia baru tersentak ketika semuanya sudah selesai.Dan dia merasa sangat berdosa.
Apa yang telah dilakukannya pada Rani" Sampai hati dia mengkhianatinya begitu rupa!Meniduri istrinya dengan bayangan perempuan lain di kepala-nya!Ah.
Tahukah Rani dia telah dikhianati"Ditipu" Tu
66 buhnya telah diperalat suaminya untuk memuaskan nafsunya terhadap perempuan lain! O,sungguh menjijikkan.Dan itu dilakukan Yanuar terhadap
pasiennya. Yanuar sungguh merasa berdosa.Dia merasa bersalah.Merasa jijik terhadap dirinya sendiri.
Hampir tiga belas tahun dia telah menikah dengan Rani.Belum pernah dia menyeleweng.Me-ngagumi perempuan lain memang pernah.Dia laki-laki normal,kan"Tetapi belum pernah seperti ini. Sungguh.Belum pernah.
Aneh memang.Aneh. Kadang-kadang Yanuar heran terhadap dirinya sendiri.Benar-benar tak dapat dimengerti.
Dulu, dia begitu ingin dituduh menyeleweng. Supaya dapat merasakan dicemburui oleh Rani. Susah payah dia berusaha. Sampai menyuruh Ardi menulis surat kaleng segala.Sekarang"Dia malah kebingungan.Takut Rani tahu dia membayangkan perempuan lain waktu menidurinya!Takut Rani tahu dia menyeleweng... ah,penyelewengankah namanya cuma membayangkan tubuh pasiennya"
Yanuar merasa resah.Dan dia merasa lebih ter-siksa lagi melihat sikap Rani.Dia sama sekali tidak menunjukkan kecurigaannya walaupun dia memang curiga.
Nah,bayangkan saja. Tiba-tiba suaminya pulang pukul eham sore! Siapa yang tidak bingung"
"Yan!" tegur Rani heran bercampur cemas."Kamu sakit""
"Ah,nggak,"sahut Yanuar cepat. Aduh,bagaimanadia sampai hati mengkhianati istri seperti ini"Istri yang begini mempercayainya seperti Rani""Aku tak apa-apa kok!''
"Lho,kok begini hari sudah pulang""
"Memangnya kenapa"Aku tidak boleh pulang sore-sore ke rumah""
Tapi biasanya...w "Hari ini aku ingin yang lain dan biasa.Aku ingin berada di rumah lebih lama.Di tengah-tengah istri dan anak-anakku. Tidak salah,kan""
Tentu saja tidak.Sama sekali tidak salah. Cuma mengherankan.Lebih-lebih ketika Yanuar terus menerus membuntuti Rani. Dari kamar tidur sampai ke kamar makan.Dari kamar mandi sampai ke dapur.Seolah-olah dia tidak mau ditinggaikan se-orang diri.
"Mengapa tidak kamu gunting rambutmu seperti dulu"" tanya Yanuar sambil membantu Rani meng-iris bawang.Sesuatu yang sudah lama sekali tak pemah dilakukannya lagi."Kalau rambutmu pen-dek,kamu tampak lebih rapi."
Hampir terlepas penggorengan.itu dari tangan Rani.Bukan karena kata-kata Yanuar.Tetapi karena cara mengucapkannya.Entah mengapa,hati Rani mendadak berdesir tak enak mendengarnya. Dia memutar tubuhnya.Dan menatap suaminya dengan tajam.
"Ada apa sebenarnya""
"Ada apa"" Yanuar membalas tatapan istrinya sekilas.Lalu dia bum-bum menunduk lagi mengiris
68 bawang."Aku cuma ingin melihat istriku rapi dan cantik.Seperti dulu.Masa tidak boleh""
Tentu saja boleh,pikir Rani resah
.Tetapi mengapa...ah...Dia sungguh bingung.Kalut.Dia tidak menemukan kesalahan Yanuar.Tetapi mengapa hatinya tidak enak terus" Mengapa seolah-olah
ada yang berubah dalam sikap suaminya"
Lalu tidak sengaja ingatannya kembali kepada kejadian tadi malam... gairah Yanuar demikian me-luap-luap... dia begitu bersemangat... kemudian dia terempas begitu saja dalam kemurungan.... Dan semua pekerjaan Rani menjadi berantakan.
"Hai! Dcanmu hangus!"seru Yanuar sambil men-coba meraih sendok penggorengan dari tangan Rani."Sini aku yang goreng! Aku tidak mau makan ikan hangus! Kamu buat saja sambal terasi! Yang pedaaasss sekali."
"Sudahlah!"Rani menyingkirkan tangan suaminya dengan gemas. "Kamu tunggu saja di ruang makan.Biar aku yang mengerjakan semuanya!"
"Kamu" Menggoreng ikan saja hangus!"
"Itu kan gara-gara kamu! Tumben-tumbenan sih kamu ke dapur!Jadi berantakan semua.Sana deh, masuk!"
Tapi Yanuar belum mau menyingkir juga.
"Nanti malam kita nonton ya. Ran""bujuknya sambil mengambil sebuah timun."Sudah lama kita tidak nonton."
"Lain kali saja ah,"sahut Rani malas."Besok Yanto ulangan matematika. Kalau malam ini aku tidak mengajarinya,tesnya pasti gagal lagi."'Tapi aku ingin nonton. Filmnya bagus.Jangan-jangan besok keburu habis"
"Nonton sajalah sendiri."
"Eh,kamu berani menyuruh suamimu nonton sendiri""
"Memangnya kenapa" Kamu tahu jalan pulang, kan""
Tidak takut suamimu diambil orang""
"Yah.kalau masih laku...."
Sambil tersenyum Yanuar meraih pinggang istri-nya dari belakang.Begitu tiba-tiba sampai Rani menggeliat antara terkejut dan geli.
"Aduh!" pekiknya tertahan."Apa-apaan sih kamu ini
Tetapi Yanuar tidak peduli.Dia harus mengusir wajah perempuan itu dari benaknya.Dia harus enyah dari sana.Harus! Patricia harus menyingkir dari tempat yang tidak diperuntukkan baginya. Yanuar hams mengisi tempat itu kembali dengan profil istrinya.Hanya istrinya!
Dipeluknya pinggang Rani erat-erat.Dikecupnya lehernya dengan ganas.
Temani aku nonton." bisiknya tegas."Jangan pernah membiarkan suamimu nonton sendiri.Nanti kamu menyesal!"
* * * Malam itu mereka tidak jadi nonton. Yanuar 70
begitu asyiknya mengajari Yanto matematika sampai lupa waktu.Padahal biasanya dia paling enggan
melakukan pekerjaan yang satu itu.
Dia tahu, Yanto sulit sekali diajari. Mungkin karena anaknya yang satu itu konsentrasinya pada pelajaran memang kurang. Mengapa tiba-tiba malam ini dia begitu bersemangat mengajari Yanto sampai lupa waktu"Sampai melupakan niatnya untuk nonton.
Jadi dia tidak bersungguh-sungguh dengan kata-katanya. Dia tidak benar-benar ingin nonton film yang satu itu! Dia hanya ingin mencari kesibukan. Seperti ingin melupakan sesuatu yang terus-menerus menghantui dirinya... apa"
Sudah gatal mulut Rani hendak bertanya. Tetapi ditahannya perasaan ingin tahu yang sudah meng-gantung di ujung lidahnya itu.
Apa salahnya pulang sore-sore"Apa salahnya mengajari Yanto" Apa salahnya mengajak istri nonton"Ya,apa yang salah" Apa yang mesti ditegur"
Gairahnya yang demikian meluap-luap tadi malam" Yang justru membangkitkan kecurigaan istrinya" Apa pula salahnya itu" Tetapi... ah, mengapa hati Rani tak pernah tenteram sejak peristiwa malam tadi"
Mereka telah hampir tiga betas tahun menikah. Sebelum itu pun,mereka telah dua tahun pacaran. Rani sudah kenal sifat suaminya. Tetapi hari ini, Yanuar bukan seperti laki-laki yang selama lima belas tahun dikenalnya luar-dalam. Dia seperti orang lain....
Juga ketika malam itu dia meminta sekali lagi.
71Sungguh di luar kebiasaannya.Tidak pernah lagi mereka melakukannya dua malam berturut-turut, Sejak Yanto lahir. Kadang-kadang dua minggu se kali.Kadang-kadang malah sebulan sekali. Karena anak-anak sedang sakit. Atau mereka sedang sama-sama letih.
Mengapa tiba-tiba sekarang Yanuar memintanya sekali lagi"Apa yang membuatnya demikian terangsang" Demikian bergairah"
Tentu saja Rani tidak tahu,Yanuar melakukannya sebagai penebus dosa. Malam ini dia ingin meni-duri istrinya dengan bayangan Rani dalam benak-nya Hanya Rani.Tak ada yang lain.
Tetapi pekerjaan yang satu ini memang bukan seperti membayar utang. Ada niat,ada uang, bayar. Ber
es. Walaupun niat menggebu-gebu, kalau gairah tak muncul, diundang berkali-kali pun dia tidak mau datang. Pennainan mereka menjadi hambar. Menjemukan.
Dari letih Yanuar jadi kesal. Dan yang kesal bukan cuma dia Rani lebih lagi.Kalau tidak ingin, " mengapa harus dipaksakan"
"Sudahlah," katanya jemu. "Kita tidur saja. Buat apa sih dipaksakan" Kamu kan bukan James Bond. Sudah hampir empat puluh. Mana bisa tiap malam""
Sekarang Yanuar bukan hanya jengkel. Dia ke- . cewa. Sekaligus sakit hati. Tersinggung. Apa lagi yang menyinggung. perasaan seorang laki-laki selain tak dapat membuktikan kejantanannya" Apa lagi yang paling menghancurleburkan harga dirinya selain dicela istrinya sendiri karena tidak mampu"
72 Benarkah karena dia sudah hampir empat puluh" Sudah tua" Sudah loyo" Atau cuma karena... dia memang sedang kalut" Dia ingin tapi tidak bergairah"
Karena itu dia memaksakan diri. Sekadar me-nebus dosa. Dan inilah akibatnya. Malah lebih menyakitkan dari pada tadi malam!
"Siapa sih, Yan"" geram Rani sengit. Direnggut-nya gaun tidur yang teronggok di kaki tempat tidur dengan kasar.
"Siapa apa"" tanya Yanuar kaget.
"Perempuan itu!"
"Perempuan mana""
"Yang membuat tingkahmu aneh dua hari ini!"
"Anehkah aku""
"Kamu tidak merasa aneh""
"Aneh bagaimana" Pulang ke rumah sore-sore, membantumu di dapur, menyuruhmu ke salon..."
"Bukan itu!" Rani menjatuhkan dirinya ke kasur dengan sengit.
"Habis yang mana" Menidurimu...."
"Sudah lama kita tidak melakukannya dua malam berturut-turut!"
"Apa salahnya kalau aku mau!"
"Salah karena kamu sudah tidak mampu! Buat apa dipaksakan""
"Jangan menyepelekan suamimu!" Yanuar mulai meradang.
"Aku curiga." "Biasanya kamu tidak pernah cemburu! Surat ka-leng pun tidak dapat menggoyahkan kepercayaanmu kepadaku."
73Tapi kali ini kamu lain!"
"Aku tidak menyeleweng dengan siapa pun!"
Badani memang tidak. Tapi rohani" Ah, Yanuar benar-benar raerasa serbasalah. Dan semuanya gara-gara pasien cantik itu. Pasien yang pada suatu malam seminggu -kemudian muncul lagi di kamar prakteknya. Sama cantiknya. Sama anggunnya. Sama memesonanya seperti minggu lalu. Tetapi dengan wajah yang lebih murung.
Tidak ada perbaikan, Dok!" lapomya sebelum ditanya "Saya tetap tidak bisa tidur. Sakit kepala-nya makin hebat. Cuma hilang sebentar kalau ha-bis minum obat."
Yanuar memberikan beberapa macam obat. Pe-nenang. Obat tidur. Obat antidepresi. Obat sakit kepala. Dan vitamin. Lalu dia memberikan pula beberapa surat untuk pemeriksaan tambahan.
'Tidak diperiksa lagi, Dok"" tanya Patricia begitu Yanuar menyodorkan resep dan beberapa helai surat permintaan pemeriksaan laboratorium dan foto.
'Tadi Suster Diah sudah memeriksa tekanan darah dan denyut nadi Anda, kan" Nah, semuanya stabil. Tidak ada perubahan."
"Yang lainnya tidak perlu diperiksa lagi""
"Tidak perlu. Anda tidak sakit apa-apa."
"Lalu apa gunanya surat-surat ini""
"Untuk pemeriksaan darah dan urine. Anda juga perlu melakukan pemeriksaan EEG dan Scanning."
"Buat apa" Bukankah kata Dokter saya tidak sakit""
Yanuar mengangkat mukanya. Dan untuk pertama kalinya hari ini matanya bertemu langsung dengan
mata yang tajam menilai itu.
Tiba-tiba saja Yanuar jadi gelagapan. Mata yang magis itu seperti pasir apung yang menyedotnya masuk ke dalam lubuk tak bertepi. 'Makin lama makin dalam....
Sejenak Yanuar terengah seperti orang terbenam kehabisan napas. Dan dia lupa apa yang hendak diucapkannya. Semua ilmu yang dipendamnya di bank memori di otaknya langsung raib entah ke mana. Atau mungkin bukan lenyap. Cuma hubung-an ke sana yang terputus. Karena tiba-tiba saja, begitu tiba-tiba, ada hubungan lain. Hubungan sing-kat yang terjadi seperti aliran listrik yang kortsluit-ing.
Hubungan itu bukan hanya menggetarkan hati Yanuar. Tetapi juga sekaligus menggetarkan hati pasiennya. Dan dua getaran yang terjadi hampir serempak itu membias ke mata... menyiratkan se-cercah perasaan tidak bernama yang membuat mereka sama-sama tersipu....
"Pemeriksaan fisik yang saya lakukan memang tidak menemukan sesuatu yang patologis," kata Yanuar tersendat. Peluh menitik di dahinya. Tangan-nya tidak. henti-hentin
ya mencorat-coret resep. "Tetapi sebelum saya memastikan penyebab sakit kepala Anda cuma stres, saya hams yakin bahwa semua organ tubuh Anda berada dalam keadaan sehat. Untuk itu, kita perlu melakukan beberapa pemeriksaan tambahan untuk menemukan kemung-.kinan adanya kelainan yang tidak dapat dideteksi dengan pemeriksaan flsik belaka." 'Terima kasih. Dokter."
Agak tergesa-gesa wanita itu meninggalkan meja Yanuar. Langkah-langkahnya masih seanggun tadi. Tetapi Yanuar tahu, ada yang berbeda dalam ayun-an langkah wanita itu. Dia juga sudah merasakan sesuatu. Pasti. Dia seorang wanita dewasa. Sudah matang dalam pengalaman. Dia pasti sudah me-rasakannya....
Tutup saja, Sus," kata Yanuar begitu dia mampu membuka mulutnya lagi. "Saya mau pulang."
Suster Diah mengerutkan dahinya. Ditatapnya Dokter Yanuar dengan cermat.
"Sato lagi. Dot"" Ada nada tidak percaya yang tak dapat disembunyikannya dj dalam suaranya.
"Oh, cuma kurang enak badan."
Apakah gara-gara pasien itu, pikir Suster Diah curiga. Tingkahnya aneh setiap kali perempuan itu muncul. Tentu saja Suster Diah tidak tahu, Yanuar sedang berperang dengan moralnya sendiri.
Dia laki-laki yang baik. Suami yang baik. Dokter yang baik. Tetapi dia tidak mampu menghindarkan < diri dari pesona yang begitu kuat mengikatnya... dan ikatan itulah.yang setiap hari dirasanya se-makin erat menjeratnya..,.
bab vn "Jaga lagi, Yan"" tegur Ardi heran. "Rasanya baru tiga hari yang lalu. Bosan di rumah ya" Bosan melihat istri""
Yanuar cuma tersenyum. Dia memang sedang "mencari kesibukan. Apalagi malam ini malam Selasa. Biasanya, Patricia datang ke tempat prakteknya malam ini.
Yanuar sengaja tidak ingin bertemu. Karena itu dia tukar tempat dengan sejawatnya. Biar Rasid kegirangan setengah mati malam ini.
Bayangkan. Yanuar minta tukar jaga. Dia rela jaga malam ini. Asal Rasid menggantikan prakteknya dan praktek Dokter Singgih! Amboi. Seperti menukarkan sepuluh rupiah dengan sepuluh dolar AS. Benar-benar perbuatan orang sakit!
"Ada pasien galak datang malam ini ya, Yan"" goda Rasid dengan kegembiraan yang meluap. "Atau ada yang kauduga AIDS""
"Pokoknya bukan seperti sangkaanmu." Yanuar tersenyum masam. "Lihat saja nanti. Taruhan, minggu depan, kamu pasti mengemis-ngemis padaku minta tukar lagi!"Tetapi esoknya, Rasid tidak memberi komentar apa-apa. Yanuar jadi benar-benar penasaran. Tidak datangkah pasien istimewanya"
"Bagaimana"" desak Yanuar tak sabar.
"Bagaimana apanya"" Rasid menggerutu dengan muka masam. "Semua pasienmu pulang begitu me-lihat bopengku! Barangkali dikiranya aku ini mon-ster!"
Mau tidak mau Yanuar tersenyum lebar. "Bagaimana dengan pasien-pasien Dokter Singgih""
"Cuma yang membutuhkan surat untuk masuk rumah sakit saja yang membutuhkan resepku!" Tidak ada yang istimewa"" "Tentu saja ada!" "Cantikr "Wan, luar biasaF! "Kamu pasti terpikat." "Sopirku saja tidak!" "Lho, mulus kan"" "Apanya""
Tentu saja tubuhnya! Apanya lagi""
"Cuma kepalanya saja yang mulus! Gundul!"


Perempuan Kedua Karya Mira W di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Lho"' "Kepalanya penuh folikulitisl Terpaksa .digunduli oleh ibunya." "Lho" Perempuan, kan"" "Memangnya kenapa kalau perempuan"" "Kok digunduli" Umur berapa"" "Empat tahun."
Tawa Yanuar meledak tak tertahankan lagi. Rasid J
terpaksa ikut tersenyum. Walaupun senyumnya
pahit seperti kopi tanpa gula.
"Mau tukar lagi minggu depan""
"Tidak usah ah. Lain kali saja. Takut si gundul datang lagi. Ibunya, minta ampun bawelnya!"
" # * Yanuar sendiri merasa heran. Lama-kelamaan dia semakin tidak dapat memahami dirinya sendiri. Dia tidak mau bertemu lagi dengan Patricia, bukan" Karena itu dia menghindar. Tidak mau praktek di tempat Dokter Singgih pada malam Selasa. Untuk itu dia tukar tempat dengan Rasid.
Tetapi... mengapa ketika dia terpaksa juga praktek malam ini setelah sia-sia membujuk Rasid untuk menggantikannya, dadanya malah berdebar-debar menunggu munculnya perempuan itu"
Apa sebenarnya yang dikehendakinya" Mengapa dia jadi ambivalen begini" Dia tidak mau menyeleweng. Tidak mau mengkhianati istrinya. Karena kuatir tergoda, dia coba menghindar.
Tetapi rupanya ada sisi lain dari dirinya yang tidak dikenalnya. Yang mendorong mata
nya untuk cepat-cepat melintas ke pintu setiap kali seorang pasien melangkah masuk....
"Nyonya Patricia sudah lama tidak muncul ya, Dok""
Kurang ajar. Seperti dapat menerka pikiran Yanuar,suster uian langsung menembak tepat ke sasaran. Membuat panas wajah Yanuar.
"Minggu lalu tidak datang"" tanya Yanuar pura-pura acuh tak acuh. Tidak berani mengangkat mukahya. membalas tatapan perawatnya.
Suster Diah menggeleng. "Barangkali sudah sembuh ya, Dok," katanya memancing perhatian Yanuar. "Sudah hampir pukul sepuluh. Boleh ditutup, Dok""
Sialan, maki Yanuar dalam hati. Dia tahu aku sedang menunggu siapa!
Tentu saja Suster Diah tahu. Tidak sulk menduga perasaan seseorang seperti Yanuar. Wajahnya yang polos kekanak-kanakan ibarat buku yang terbuka. Setiap orang dapat membaca isinya. Biasanya belum pukul sembilan saja dia sudah menyuruh Suster Diah menump prakteknya. Tetapi hari ini, sampai pukul sepuluh dia masih diam-diam saja. Padahal sudah hampir sejam tidak ada lagi pasien yang datang. Nah, tunggu apa lagi"
Tetapi Yanuar belum sempat menjawab. Ada suara mobil berhenti di halaman. Kemudian suara pintu mobil yang terbuka dan tertutup kembali. 4
"Coba lihat. Barangkali pasien," kata Yanuar dengan perasaan lega, bukan karena dia meng-harapkan kedatangan seorang pasien, tapi karena dapat lolos dari tekanan psikologis perawatnya. Matanya itu! Aduh! Terlalu cerdik. Bisa ketahuan kalau dibiarkan menatap lebih lama lagi....
Suster Diah tidak perlu menunggu lama. Dua detik setelah terdengar langkah-langkah sepatu yang
80 menginjak kerikil, seorang laki-laki muncul di ambang pintu.
"Dokter masih ada, Sus""
"Masuk saja," sela Yanuar sebelum Suster Diah sempat menjawab.
"Oh, maaf, Dok." Laki-laki itu memandang Yanuar dengan perasaan lega bercampur malu. "Saya kira sudah pulang."
"Ada apa""
"Mau minta tolong, Dokter."
Asal jangan minta sumbangan saja, gerutu Yanuar dalam hati. Yang model begini memang belum pernah muncul. Tetapi bukan berarti dia tidak termasuk segolongan penipu yang sering mengatasnamakan institusi tertentu guna mendapatkan uang, dan biasanya datang tanpa naik mobil. Tapi tadi jelas sekali Yanuar mendengar suara mesin mobil.
"Saya sopirnya Ibu Patricia Primodarso, Dokter."
Hampir berhenti detak jantung Yanuar. Susah payah dia menjaga agar matanya tidak melirik ke pintu. Untuk melihat reaksi Suster Diah.
"Ya, ada apa"" tanya Yanuar dengan nada seformal mungkin. Dikosongkannya tatapannya. Didatarkan-nya air mukanya.
"Ibu minta tolong agar Dokter mau datang ke rumah."
"Sekarang"" Yanuar mengerutkan dahinya. Dilirik-nya jam tangannya. Sungguh bukan waktu yang tepat....
"Barusan Ibu pingsan, Dokter."
Pingsan. Untuk kedua kalinya napas Yanuar tertahan sesaal Mengapa sampai pingsan" Gawatk keadaannya"
"Siapkan tas saya, Suster," perintah Yanuar tegas kepada perawatnya. Tidak sempat berpura-pura lagj
"Kita tengok Nyonya Primodarso."
* * * Rumah itu bukan main besarnya. Tegak kokoh bertingkat dua di tengah-tengah tanah seluas dua ribu meter. Di setiap sudutnya menyala terang se-buah lampu sorot.
Seorang satpam membuka pintu gerbang yang selalu tertutup. Pagar tembok putih setinggi dua meter memisahkan rumah itu dari rumah-rumah di sekitamya yang jaraknya cukup berjauhan.
Rumah itu memang terletak di sebuah kompleks perumahan yang masih sepi. Letaknya juga agak jauh di pinggiran kota. Sehingga kesan terasing, amat kuat menerpa perasaan Yanuar. Lebih-lebih melihat halaman yang sangat luas itu penuh ditum-buhi pohon-pohon dan tanaman yang amat rimbun.
Begitu mobil berhenti di depan pintu, seorang pembantu wanita serta-merta membuka pintu itu. Seolah-olah dia memang sudah lama menanti di sana.
"Tolong antarkan Dokter ke dalam, Sum," kata: sopir kepadanya setelah membukakan pintu untuk Yanuar.
Yanuar turun dari mobil diikuti oleh Suster
Diah yang menjinjing tas berisi instrumen medis. Sesaat Yanuar tegak di teras berlantai manner hijau muda itu sambil melayangkan tatapannya ke sekitamya. Di tengah-tengah halaman yang luas itu, air mancur memuntahkan airnya ke sebuah kolam yang mengelilinginya. Gemericik suara airnya membiaskan nuansa t
emaram di hati Yanuar. "Silakan, Pak Dokter." Si pembantu membungkuk-kan badannya sambil melebarkan pintu.
Yanuar mendahului melangkah masuk. Suster Diah mengikutinya dari belakang. Melangkah dengan sangat berhati-hati agar sepatunya yang licin dan bertumit itu tidak tergelincir menginjak lantai manner yang berkilauan di bawah kakinya.
"Ke sini, Pak Dokter." Setelah menutup pintu, pembantu itu bergegas melewati mereka dan melangkah cepat-cepat menunjukkan jalan.
Bukan main, desah Yanuar dalam hati. Kalau dia tidak menunjukkan jalan, tidak mungkin aku sampai ke kamar majikannya! Enfah berapa jumlah ruangan dalam rumah ini!
Hampir semua ruangan yang mereka lewati gelap dan sunyi. Hanya satu-dua lampu tembok menyala redup di sana-sini. Tetapi di bawah sinar yang temaram itu pun, Yanuar masih dapat menyaksikan kemewahan yang bertebaran di sekeliMngnya.
Mebel antik. Patung. Cermin yang besar-besar. Lampu kristal....
Wah, entah sekaya apa suaminya, pikir Yanuar dengan kecemburuan yang tiba-tiba menggigit. Rumahnya saja seperti istana! Entah dia membayarpajak atau tidak. Karena yang begini ini biasanya justru yang lolos...
Setelah mendaki tangga setengah melingkar ber-permadani merah tua, mereka tiba di ruang atas. Melewati sebuah ruangan yang mirip galeri kaca di Versailles, mereka berhenti di depan sebuah pintu berukir.
Perlahan seolah kuatir meledak, pembantu itu mengetuk pintu. Dan membukanya setelah menunggu sejenak.
Begitu kedua belah pintu itu membuka sekaligus, Yanuar mengedipkan "matanya karena silau. Sebuah lampu kristal besar yang tergantung di tengah ruangan yang luas itu menebarkan sinarnya dengan anggunnya
Dan di seberang sana, terbenam dalam sebuah sofa yang besar dan mewah... Patricia Mills Primo-darso... perempuan cantik yang mengacaubalaukan pikiran Yanuar,...
Wajahnya yang pucat dan lesu, kontras sekali dengan kemewahan yang cemerlang menantang mata di sekitamya. Begitu pintu terbuka, dia meng-angkat kepalanya. Dan tatapannya yang sayu ber-temu dengan tatapan Yanuar. Serentak Yanuar merasa aliran listrik itu menyengat lagi. Mengguncang jantungnya dengan sentakan yang mahakuat.
"Selamat malam, Dokter," suaranya demikian lemah. Tapi mengapa terdengar begitu merdu me-rayu di telinga Yanuar" "Terima kasih Dokter mau datang...."
"Ada apa"" Cuma kata-kata itu yang dapat diucapkan Yanuar. Karena cuma dua patah kata itu
yang masih ada di otaknya saat ini
"Tadi saya pingsan, Dokter...."
Yanuar ragu apakah benar dia mendengar ke-manjaan berlagu dalam suara wanita itu. Dia tidak sempat mengkajinya lebih lama lagi. Dia harus melangkah menghampiri. Dan sambil melangkah, Yanuar memandang ke sekelilingnya. Untuk me-mastikan tak ada orang lain dalam ruangan itu yang perlu disapanya.
"Ketika saya menuruni tangga tadi, kepala saya mendadak pusing sekali. Semuanya terasa berputar. Sesaat sebelum pingsan, saya tiba-tiba merasa sangat ketakutan. Saya berteriak minta dipanggilkan Dokter Yanuar...."
"Anda jatuh ke bawah tangga""
"Saya masih sempat berpegangan pada tangga. Mungkin saya jatuh terduduk. Saya tidak ingat lagi."
"Ada bagian badan Anda yang terasa sakit"" "Semuanya terasa sakit. Kepala. Tangan. Kaki.
Pinggul...." "Ada yang luka""
Patricia menggeleng. Ketika dia menggeleng, rambutnya yang indah terayun ke kanan dan ke kiri. Menebarkan keharuman yang samar-samar me-nyentuh ujung-ujung saraf penciuman di hidung Yanuar. Membuat dadanya kembali berdebar aneh. Ganjil. Tapi nikmat. Asing. Tapi hangat. Sungguh. Sudah lama dia tidak merasakan sensasi seperti ini lagi. Sejak Rani jadi istrinya...."Sering mendapat serangan seperti ini"" tanya Yanuar asal saja. Dia ingin terus bertanya. Ingin terus menyibukkan diri. Untuk menggebah pikiran-pikiran sesat dari kepalanya. Dan supaya dia tidak tampak bengong seperti orang hilang ingatan.
"Belum pernah...." Sekarang mata yang indah itu, mata yang bulat dan bening seperti dua butir kelereng berwarna cokelat muda, menatap Yanuar dengan sorot mata ketakutan. "Benarkah ada tumor di otak saya, Dokter""
"Tumor"'' - "Saya pemah baca..."
"Ah, jangan menakut-nakuti diri sendiri. Mana basil pemeri
ksaan yang saya minta dulu" Mengapa tidak pernah datang kontrol lagi"" . "Maaf, Dokter...." Untuk pertama kalinya Patricia menurunkan kelopak matanya. Kepalanya langsung tertunduk.
Dan entah mengapa, walaupun dia sedang ter-tunduk, walaupun Yanuar tak dapat melihat matanya yang tersembunyi di balik bulu matanya yang panjang dan lentik, dia sudah dapat merasakan jawaban dari pertanyaannya sendiri. Dia mengerti mengapa Patricia tidak mau datang lagi. Dia mengerti. Alasan yang sama dengan keengganannya menggantikan praktek Dokter Singgih minggu lalu....
Tetapi kalau dia tidak ingin mereka bertemu lagi, untuk apa memanggilm/a" Dia dapat menyuruh sopimya memanggil dokter lain.... Dan... mengapa sopimya" Di mana suaminya"
"Tensimeternya, Suster," kata Yanuar kepada
Suster Diah tanpa menoleh.
Suster Diah yang masih mematung di depan pintu, langsung bergerak seperti robot yang baru dihidupkan aliran listriknya. Bergegas dia meletak-kan tas hitam Dokter Yanuar di atas meja. Menge-luarkan tensimeter dan stetoskop. Lalu melangkah menghampiri Patricia.
"Ukur tekanan darahnya dulu, ya, Bu," katanya rutin seperti sebuah rekaman. "Lengan bajunya di-gulung sedikit, ya" Nah... begitu."
"Jadi Anda belum melakukan pemeriksaan-pemeriksaan yang saya minta itu," kata Yanuar sambil meneliti kartu status Nyonya Patricia. "Pada-hal sudah dua minggu berlalu."
"Maafkan saya, Dokter...."
"Selama ini apakah pusingnya berkurang""
"Cuma kalau minum obat, Dokter."
"Berarti tidak ada perbaikan. Berapa tensinya, Sus""
"160/80, Dok." "Berarti ada kenaikan dibandingkan pemeriksaan terakhir. Apakah Anda baru bertengkar dengan suami" Memarahi anak-anak barangkali""
Sekali lagi Patricia menurunkan kelopak matanya.
"Saya belum punya anak, Dokter," sahutnya lirih.
"Di mana suami Anda"" Yanuar melontarkan pertanyaan yang telah lama memberati lidahnya. "Saya tidak melihatnya sejak tadi."
"Sedang ke luar negeri, Dok.""Jadi Anda sendirian di rumah ini""
"Hanya bersama pembantu, Dokter."
Yanuar tertegun sejenak. Ketika dia menyadairia Patricia sedang mengawasinya, bum-bum dia meng. ubah sikapnya.
"Mungkin Anda selalu merasa ketakutan tingga] seorang diri di rumah se besar ini""
Patricia menggeleng. "Saya hanya merasa takut waktu mau pingsan tadi."
"Mengapa tidak ikut suami Anda ke luar negeri" Mungkin perubahan suasana dapat menyegarkan pikiran Anda."
"Dokter masih menganggap penyakit saya ini karena stres""
"Orang seperti Anda lebih punya kemungkinan mengidap stres."
"Karena saya tinggal seorang diri di rumah se-besar ini"" Mata Patricia menyala sekejap. "Atau karena saya belum punya anak""
"Kalau saya mengetahui semua problem Anda, barangkali saya dapat membimbing Anda ke arah peyembuhan yang lebih cepat. Tetapi sebelumnya, saya tetap menginginkan Anda menjalani peme-riksaan-pemeriksaan yang saya minta itu."
Patricia menatap Yanuar sekejap. Seolah-olah dia sedang menilai apakah dia dapat mempercayal dokter yang satu ini.
"Sekarang saya ingin memeriksa Anda," kata Yanuar sambil mengambil senter dan stetoskopnya, j "Di mana sebaiknya saya memeriksa Anda"" *
"Silakan ke kamar saya, Dok."
Patricia bergerak bangkit dari kursinya. Begitu cepatnya sampai Suster Diah yang masih tegak di dekatnya pun tidak keburu menangkap ketika tu-buhnya terhuyung jatuh kembali ke kursi.
Refleks Yanuar sudah mengulurkan tangannya. Tetapi segera ditariknya kembali. Dibiarkannya Suster Diah yang menolong Patricia bangkit dari kursinya.
Tetapi ketika Suster Diah yang kecil mungil itu tidak mampu menahan berat badan Patricia yang dua puluh sentimeter lebih tinggi, terpaksa Yanuar mengulurkan tangannya. Hanya supaya Patricia tidak jatuh ke kursi untuk kedua kalinya. Dan kali ini, bersama Suster Diah yang sudah limbung karena tidak mampu menyangga tubuh pasiennya, dia memapah Patricia yang sedang tertatih-tatih melangkah.
"Hati-hati," gumam Yanuar, sekadar menenteram-kan denyut jantungnya yang melompat-lompat tidak
keruan. Sebelah tangan perempuan itu berada dalam genggamannya. Dingin. Basah berpeluh. Sementara . tangan yang lain dibimbing oleh Suster Diah. Se-dingin ini pulakah tangan yang be
rada dalam genggaman perawat itu" "
Tangan Patricia begitu halus. Begitu lembut. Begitu pasrah dalam genggamannya. Tak sadar Yanuar menggenggam tangan itu lebih erat. Seakan-akan ingin menyalurkan kehangatan tubuhnya ke. tangan yang dingin itu. Ingin membagikan ketabah-annya ke hati wanita yang sedang terguncang itu,
Ingin menjaga dan melindungi wanita yang sedang
melangkah dengan limbung itu.... Yanuar serasa tidak ingin melepaskan tangan
dalam genggamannya itu ketika mereka telah tiba di kamar tidur Patricia. Dan heran, ketika meman-dang mata Patricia yang telah terbaring di atas tempat tidurnya itu, Yanuar merasa wanita itu juga mempunyai perasaan yang sama.
Dalam suasana kamar yang sepi dan sejuk, separo gelap karena lampu besar belum dinyalakan, tiba-tiba. saja mereka merasa dekat. Amat dekat. Belum pemah sedekat ini... Lebih-lebih ketika Suster Diah meninggalkan mereka sekejap untuk mengambil tas dokter yang tertinggal di ruang duduk.
Tak ada yang mereka ucapkan dalam saat yang. menegangkan itu. Yanuar seperti kehilangan semua, perbendaharaan kata-katanya. Patricia pun kehilangan gairahnya untuk berbicara. Bahkan pusingnya pun seolah-olah menyingkir sejenak.
Dia tidak tahu apa keistimewaan dokter yang satu ini. Tubuhnya memang lumayan tinggi. Wajah-nya pun tidak jelek. Tetapi kalau cuma itu modal-nya, tidak mungkin Patricia tertarik. Dia sudah memiliki seorang laki-laki yang terbaik. Yang tidak mungkin diungguli oleh seorang dokter macam Yanuar.
Jadi apa sebenarnya daya tarik laki-laki ini" Air mukanya yang polos kekanak-kanakan itu" Yang menyiratkan kejujuran yang tidak mungkin ditemui-nya dalam diri Mas Darso" Atau justru kesederhanaan penampilannya, sesuatu yang telah lama dilupakannya sejak dia bergaul dengan Mas Darso yang selalu menyiraminya dengan kemewahan"
Dia berpaling pada kesederhanaan setelah semua kemewahan ini justru mulai memuakkannya" Itukah yang membuat dia tertarik pada Dokter Yanuar" Atau... cuma profesinya yang dokter im yang membuat Patricia merassa tergantung dan terlindungi bila berada di sisinya"
Pada saat dia merasa begini tersiksa dirongrong oleh penyakit, pada saat dia merasa ketakutan karena tidak tahu sakit apa, di hadapannya berdiri seorang dokter yang kelihatannya demikian mem-perhatikan dirinya... justru pada saat dia sedang merasa hampa karena merasa ditinggalkan....
Yanuar masih tertegun di depan tempat tidur yang besar itu. Tempat tidur berseprai warna lembut yang mengundang....
Di atasnya, berbaring wanita itu. Wanita yang selalu dibayangkannya. Yang selalu serasa berada di dekatnya. Yang pernah ditidurinya walaupun cuma dalam angan-angan....
Kini wanita itu sedang menatapnya. Dengan tatapan yang tiba-tiba saja membuat Yanuar me-ngerti mengapa dia menyuruh sopirnya memanggil Yanuar, bukan dokter lain.... Tatapannya yang membuat hati Yanuar berdebar dalam kenikmatan se-kaligus dalam ketakutan....
"Tolong nyalakan lampunya,. Sus," pinta Yanuar kepada Suster Diah yang baru saja muncul di ambang pintu yang terbuka lebar.Patricia memejamkan matanya ketika lampu me. nyala terang. Bukan karena silau. Tetapi karena takut. Takut matanya mengkhianati dirinya.
Yanuar tegak begitu dekat Tidak dapatkah dia melihat ke dalam matanya dan membaca isi hati. nya"
Dokter ini sudah tidak muda lagi. Dia pasti sudah punya istri. Patricia tidak ingin merusak rumah tangga dokter yang baik ini. Bukan begitu caranya fflembalas kebaikan seseorang. Tetapi... bagaimana mengusir pesona yang semakin larnaj semakin mengusik ini"
Yanuar memeriksanya dengan sangat hati-hati, j Dan sangat sopan. Patricia malah merasa, Yanuar sesungguhnya tidak melihat apa yang dilihatnya. Dia sengaja membutakan matanya. Dia sengaja menyuruh perawatnya berdiri sedekat-dekatnya de- " ngan pasiennya
"Tidak apa-apa," kata Yanuar selesai memeriksa. Disekanya peluh yang membanjiri wajah dan leher-nya. "Saya akan meninggalkan dua macam obat untuk Anda, supaya Anda dapat tidur nyenyak malam ini. Esok Anda pasti akan merasa lebih segar. Dan kalau sudah merasa agak baik, jangan lupa melakukan pemeriksaan yang saya anjurkan I itu. Supaya say
a dapat memberi pengobatan yang lebih tepat."
Yanuar harus mengantarkan Suster Diah pulang dulu ke rumahnya. Dia tak sampai hati membiarkan perawat itu pulang seorang diri dengan kendaraan umum seperti biasanya. Akibatnya, hampir setengah satu malam Yanuar baru tiba di rumahnya sendiri.
Rani sudah tidur ketika Yanuar pulang. Bi Umi-lah yang membukakan pintu. Tetapi Yanuar tahu, Rani terjaga ketika dia masuk ke kamar. Atau... dia memang hanya pura-pura tidur" Sebenarnya dia juga merasa gelisah karena Yanuar pulang se-larut ini.... Dia juga menunggu Yanuar, tetapi tidak ingin memperlihatkannya.
Sampai keesokan paginya pun Rani tidak me-nanyakan mengapa Yanuar pulang terlambat. Sikap-nya malah membuat Yanuar semakin tersiksa.
Mengapa Rani tidak bertanya supaya dia dapat menjelaskan semuanya" Dia tidak melakukan se-suatu yang salah. Dia hanya menolong seorang pasien....
"Tadi malam ada pasien gawat..." Baru juga Yanuar membuka mulutnya, Rani telah memotong dengan dingin.
"Aku tahu," katanya sambil meletakkan cangkir kopinya dengan cukup keras di atas piling alasnya. "Kamu harus ke rumah sakit. Mengantarnya dan menungguinya sampai meninggal."
"Dia belum meninggal!" sergah Yanuar kesal. "Dan aku tidak mengantarkannya ke rumah sakit! Mengapa kamu begitu sok tahu""
"Dan mengapa begitu lama kamu memeriksa pasienmu kalau tidak harus ke rumah sakit""aku dipanggilke rumahnya." oh Rani tersenyum suns. Tidak enak Sekali memandang senyumnya. Menyesal Yanuar terlanju melihatnya. Sungguh menyakitkan. Jadi sekarang kamu terima panggilan juga rupanya. "Dia pasien lamaku. "Pasti seorang wanita."
"Apa bedanya kalau wanita"" geram Yanuar; mulai panas. "Pasti cantik."
"Apa bedanya" Aku tidak pernah membedakan pasien r
"Kalau begitu mengapa dia dibedakan""
"Dibedakan bagaimana""
"Mengapa yang lain bisa datang ke tempat prak-tekmu, dia tidak""
"Karena dia tidak sanggup! Dia pingsan!"
"Dan dia digotong ke tempat praktekmu" Mengapa bukan ke rumah sakit""
"Mengapa kamu menanyaiku seperti ini""
"Tak pantaskah aku bertanya seperti ini"" "
Tentn saja tidak! Kamu seperti sedang menuduh suamimu!"
"Kalau suamiku pulang setengah satu malam, tak pantaskah aku memiduhnyar
Tapi aku tidak berbuat apa-apa yang salah, Smiku Mmen0i""8 Pasien! Diah ada ber"Tidak! NahT ~moumr
mm mencurigakan!' "Kenapa sikapku"".
"pokoknya kamu tidak bisa membohongiku! Kamu Ddak bisa bersandiwara di depan istri yang telah lima belas tahun mengenalmu!"
Yanuar menatap Rani dengan tatapan tidak percaya.
"Kamu... menuduhku... menyeleweng""
"Pikir saja sendiri," sahut Rani dingin. "Kamu lean lebih tahu! Mengapa mesti tanya aku lagi""
Dengan sengit Rani bangkit meninggalkan meja makan. Meninggalkan suaminya terbenam dalam kejengkelan.
Akhirnya aku merasakan juga dicemburui istri, pikir Yanuar, tanpa perasaan senang secuil pun. Betapa tidak enaknya dicemburui! Betapa tidak
nyamannya di dalam sini!BAB VIII
Aku tidak pemah menyeleweng, pikir Yanuar ketika malam itu dia mengendarai mobilnya pulang. Aku memang merasa tertarik kepada wanita Iain yang bukan istriku. Tetapi menyeleweng" Tidak pemah! Aku laki-laki yang baik. Suami yang setia. Ayah yang bertanggung jawab. Aku termasuk satu dari sepertiga suami yang tak pernah menyeleweng! Mengapa Rani menuduhku seperti itu"
Sesudah malam Yanuar pulang teriambat i^l Yanuar selalu pulang pukul sembilan. Kadang-kadang belum pukul sembilan pun dia sudah sampai di rumah. Tetapi sikap Rani bukannya menghangat. Malah tambah dingin.
Jadi aku harus bagaimana" pikir Yanuar jengkel. Aku jadi serbasalah. Pulang teriambat dicemburui. Pulang tidak teriambat pun dicurigai.
Ah, Rani benar-benar keterlaluanf SekaJi-sekali Yanuar ingin juga memberi pelajaran kepadanya, Bagaimana kalau suaminya benar-benar menyeleweng" Bagaimana kalau dia minum-minum dulu di nite club seperti usul Ardi dulu" Belum pernah dicobanya! Mengapa tidak sekarang" Dia laki-laki, |
kan" Masa tidak ada perempuan di sana yang tertarik kepadanya"
Tidak sadar Yanuar telah membelokkan mobilnya ke pekarangan sebuah kelab malam. Baru saja mobilnya berhenti, seorang satpam membukakan pintu baginya.
" Selamat malam, Dokter!" sapa satpam itu dengan kegembiraan yang tidak dibuat-buat. "Mampir nih, Dok""
Yanuar tersentak seperti disengat lebah. Bagaimana satpam kelab malam ini dapat mengenali dia seorang dokter" Astaga, mengapa begini susah
untuk seorang dokter mencari. intermeso di Iuar" "Dokter Yanuar, kan""
Ketika satpam itu menyeringai memamerkan dua buah giginya yang ompong, Yanuar baru ingat di
mana pernah melihat orang ini. Tetapi sudah teriambat.
"Saya Hasyim, Dokter. Kalau siang saya tugas di rumah sakit...."
Dendam Empu Bharada 17 Pria Bersetelan Coklat The Man In The Brown Suit Karya Agatha Christie Tiga Iblis Pulau Berhala 1
^