Pencarian

Pertemuan Di Sebuah Motel 1

Pertemuan Di Sebuah Motel Karya V. Lestari Bagian 1


V. Lestari PERTEMUAN DI SEBUAH MOTEL
Download Ebook Jar Lainnya Di
http://mobiku.tk http://inzomnia.wapka.mobi
BAB 1 Di dalam kamarnya, Ratna mengamati kotak perhiasannya yang terbuka. Belum penuh, pikirnya kesal. Padahal dulu kotak itu sempat penuh Sesak, tapi kemudian ludes tak bersisa. Bukan karena dirampok atau dicuri, tapi karena dijual untuk biaya pengobatan almarhum suaminya yang lama sakit padahal tak ada asuransi. Setelah perhiasannya ludes, suaminya malah meninggal. Sepertinya sia-sia saja pengorbanannya itu. Baginya menjual perhiasan patut disebut sebagai pengorbanan. Semakin banyak yang dijual, semakin besar pengorbanan itu walaupun yang membelikan barang-barang itu adalah suaminya juga. Siapa pun yang membelikan atau memberikan, itu sudah jadi miliknya.
Setelah anak-anaknya punya penghasilan sendiri ia mewajibkan mereka untuk menghadiahinya perhiasan secara kontinu dari waktu ke waktu. Yang dianggap berpenghasilan besar wajib memberi lebih.
Tapi ia kecewa karena pertambahannya seret. Sedang mutu perhiasan pemberian anak-anaknya itu kebanyakan kurang bagus dan kurang mahal di matanya. Berliannya cuma sedikit. Padahal anaknya ada tujuh orang!
Mereka semua memang sudah berkeluarga hingga punya tanggungan. Tapi dia sebagai ibu punya posisi
berbeda. Mereka harus berbakti kepadanya. Kalau sudah jelas bahwa yang disenanginya adalah emas berlian, kenapa mereka tidak berupaya untuk menyenangkan hatinya dengan memberikan barang-barang itu" Apalagi umurnya sudah tujuh puluh tahun. Sudah tua sekali, keluhnya. Tidak lama lagi hidupnya akan berakhir. Perhiasan itu pasti tak bisa dibawanya ke liang kubur. Masa hal itu tak terpikir oleh mereka"
Kekecewaan yang terpendam dan terus menumpuk membuat lidahnya yang dulu sudah tajam menjadi semakin tajam. Sumpah serapahnya dengan gampang berhamburan bila ada yang tak berkenan di hatinya.
Yang paling dibencinya adalah putranya yang kedua, Agus, beserta seluruh keluarganya yaitu Delia istri Agus dan putra mereka satu-satunya bernama Adam. Ratna menganggap Agus anak paling pembangkang dan penentang. Sejak kecil Agus sudah begitu. Biarpun sering dipukul dan dicubiti, tetap saja begitu. Sedang Delia sebagai menantu dinilainya ikut memanas-manasi dan menghasut walaupun di depannya selalu bersikap hormat dan santun. Bila Delia mau membujuk Agus supaya patuh, mustahil lelaki itu terus saja membangkang dan menentang. Sementara Adam, cucunya, suka terang-terangan memperlihatkan rasa tidak sukanya. Sekali ia pernah melihat anak itu menjulurkan lidah kepadanya!
Di kota Bandung tempat mereka sama-sama bermukim, Agus punya toko pakaian yang cukup besar dan kelihatannya selalu ramai pembeli. Di mata Ratna, orang yang punya toko itu pastilah kaya. "Tapi Agus punya banyak alasan. Toko merugi. Banyak keperluan. Adam mau masuk perguruan tinggi jadi perlu biaya banyak. Dan entah apa lagi. Coba
10 saja lihat kotak perhiasan itu. Mana andil Agus di situ" Cuma seuntai kalung emas 22 karat dengan liontin sebesar jarum pentul. Padahal dalam suatu resepsi Ratna pernah melihat Delia mengenakan kalung yang indah berhiaskan berlian besar, juga anting, gelang, dan cincin berlian. Serbaberlian. Sungguh membuat iri dan panas hati.
Maka sumpah serapahnya ditujukan untuk Agus dan keluarganya.
"Kalian semua nggak bakal selamat! Kualat! Terkutuk! Biar pada mampus! Aku sudah tua tapi kalian bakal mati duluan!"
Yang mendengar sumpahnya itu tidak berani menyanggah atau menasihati agar ia tidak bicara sem-barangan. Tentu yang paling banyak mendengar umpatannya itu adalah putra sulungnya, Rama, dan Maya istri Rama, serta dua anak mereka, karena mereka tinggal bersamanya. Mereka tidak akan berani macam-macam karena rumah yang ditempati adalah rumahnya, satu-satunya peninggalan suaminya yang berharga. Jadi di rumah itu dia yang berkuasa sebagai pemilik sedang mereka cuma menumpang padanya.
Kemudian terjadi sesuatu yang menggegerkan. Adam meninggal karena kecelakaan lalu lintas. Tak lama sesudah itu menyusul Agus yang meninggal karena sakit. Bisa -diduga bahwa semua anak dan keluarga mereka menjadi heboh dan tentu saja
bersedih. Mereka menghubungkan tragedi itu dengan kutukan yang sering sekali dilontarkan Ratna. Menyadari hal itu, sengaja ia memperlihatkan sikap takabur dan berkata, "Nah, benar, kan" Lidahku bertuah, tahu" Ayo, siapa lagi yang berani melawanku""
Bahkan kepada Delia pun ia tega berkata, "Makanya
11 jangan melawan orangtua! Kalau sudah mati, nyesel pun percuma!"
Delia menatapnya dengan kemarahan di balik air mata. Tapi Ratna cuma menertawakan. Ia memang sengaja bersikap begitu untuk memberi pelajaran kepada anak-anaknya dan keluarga mereka. Hasilnya benar-benar ampuh. Bukan saja mereka jadi takut dan patuh kepadanya, kotak perhiasannya pun mulai terisi dengan lebih cepat!
Ah, senangnya. Cuma sayangnya, ia sudah tua. Sangat tua. Mainannya tidak banyak lagi. Kesempatan dan kemampuan sudah tak ada. Ia cuma bisa bermain dengan koleksi perhiasannya. Tak ada lagi kesenangan yang lain.
Setiap kali melihat cermin ia selalu ngeri melihat wajahnya sendiri. Ia tak berani becermin. Tak ingin melihat wajahnya yang keriput dan kedodoran. Padahal dulu ia cantik. Tapi sebagian usia mudanya habis di samping suami yang tak lagi bisa diajak "bermain". Satu-satunya yang bisa diberikan sang suami hanyalah perhiasan. Mungkin sebagai imbalan atau pelipur lara. Setelah sang suami akhirnya meninggal, koleksinya ludes dan ia mendapati dirinya sudah tua.
Pelan-pelan ia menutup kembali kotak kesayangannya. Percuma dipandangi karena takkan jadi penuh karenanya. Saat akan memasukkannya kembali ke dalam lemari, tiba-tiba ia merasa angin dingin berembus di belakangnya, meniup tengkuknya hingga ia jadi merinding. Segera ia menoleh ke pintu, mengira ada yang membukanya. Ternyata masih tertutup rapat.
Lalu ia mendengar suara lelaki yang berat dan besar. Memanggil namanya dengan irama naik-turun.
12 "Ratnaaa... Ratnaaa..."
Ia bergidik. Suara itu mengandung getaran yang membuat miris perasaannya. Harinya seperti disayat-sayat. Jantungnya ditusuk-tusuk. Ia menoleh berkeliling. Tapi di kamar ia tetap sendirian. Dari mana datangnya suara itu"
Setelah perasaannya lebih tenang, ia lari ke pintu lalu membukanya dengan menyentakkannya. Jangan-jangan itu si Boy, putra Rama, yang mau menjailinya. Tapi tidak ada siapa-siapa. Biarpun kedengaran suara-suara, jelas bukan dari jarak dekat. Ia melihat Ipah, pembantunya, muncul dari belakang. Ipah menatapnya heran, tapi tidak bertanya.
"Pah, tadi lihat ada orang di depan pintu ini nggak""
"Nggak, Bu. Memangnya ada siapa, Bu""
"Kalau aku tahu mah buat apa nanya, Pah"" bentaknya, lalu membuka pintu dan masuk kembali ke kamarnya.
Ia bersandar ke pintu, lalu memandang seputar kamarnya yang luas dan berisi perabot antik. Semua perabot yang bagus dimasukkannya ke kamarnya. Yang sudah kumuh dan butut ditaruh di luar atau diberikan pada Rama dan Maya. Semua itu akan sesuai dengan kondisi rumah yang memang sudah tua dan butut.
"Ratnaaa... Ratnaaa...."
Suara berat itu memanggil lagi, masih dengan irama yang sama. Biarpun mendengar untuk kedua kalinya, masih saja perasaaan Ratna miris karenanya. Ngilu sekali.
"Si...si...aaa...pa"" ia menggagap. Masih tak kelihatan siapa-siapa.
13 "Aku adalah aku. Kau boleh memanggilku "Tuan". Aku datang untuk menawarkan kerja sama."
"Ta...tapi si...siaaa...pa" Kok ngg...gaaak kelihatan""
"Ha-ha-haaa! Kalau bisa melihatku, kau akan pingsan. Nah, bagaimana" Mau""
"Mau apa, Tuan"" Ratna tak mengerti. Lebih tenang sekarang.
"Aku bisa memberikan apa yang kauinginkan hanya dengan satu syarat."
Ratna terperangah. "Se...semua yang... yang ku...kuinginkan"" ia menggagap lagi.
"Ya. Syaratnya gampang saja. Kau jadi hambaku. Aku tuanmu."
"Artinya""
"Kalau sudah mati, nyawamu untukku. Gampang, kan" Kau memang tak perlu nyawa lagi kalau sudah mati."
"Kalau aku nggak mau""
"Ya nggak apa-apa. Aku akan pergi dan tidak akan kembali lagi. Tapi hidupmu akan tak punya warna. Begini saja terus. Cuma bisa memandangi kotak perhiasan yang takkunjung penuh dan memaki-maki anak-anakmu yang makin hari makin membencimu. Padahal yang penting itu kan hidup. Kalau sudah mati, apa lagi yang kaunikmati""
Ratna termangu. Ia bingung t
ak bisa memutuskan. "Pikirkanlah dulu. Tapi ingat, kau tak punya terlalu banyak waktu untuk berpikir. Nanti aku kembali untuk meminta jawaban."
Lalu sepi. Ratna tahu, sang Tuan sudah pergi. Apa yang harus dikatakannya sebagai jawaban" Pikir. Pikir.
Sambil tetap bersandar ke pintu, tubuhnya pelan-
14 pelan merosot ke bawah sampai akhirnya ia terduduk di lantai. Perasaannya masih gamang. Ia tahu, ke-putusan harus diambilnya sendiri.
15 BAB 2 Delia mengemudikan mobilnya dengan perasaan waswas. Ia sudah berusaha keras untuk berkonsentrasi penuh ke jalan dan tak membiarkan pikirannya melayang ke mana-mana. Tapi kekhawatiran masih saja ada. Orang bilang, kalau nasib sedang sial, kesialan akan tetap datang biarpun sudah berupaya sebisanya.
Sejak memulai perjalanan dari Bandung menuju Jakarta, dua kali ia hampir celaka. Sekali ia dipepet truk besar sampai hampir menabrak pohon, kedua kalinya ia hampir bertabrakan secara frontal dengan kendaraan yang menyalip sembarangan. Ia sudah berhati-hati, tapi orang lain tidak.
Ia tidak mau mati di jalan atau mati karena kecelakaan seperti yang dialami Adam, putranya. Ia juga tak ingin mati karena penyakit seperti suaminya, Agus. Ia ingin mati dengan cara yang dipilihnya sendiri!
Pilihan itu bukan karena ia tak ingin mengikuti jejak kedua orang yang dicintainya itu atau ia ingin lain sendiri. Bahkan sebelumnya ia tak pernah berpikir tentang hal itu. Seperti banyak orang, ia menganggap kematian sebagai bentuk kewajaran yang harus diterima, apa pun bentuknya. Semua orang harus mengakhiri kehidupan tanpa bisa mengetahui kapan.
16 terjadi dan bagaimana caranya. Padahal bisa saja kematian itu mengerikan dan menyakitkan.
Apa yang didambakan Delia adalah kematian dengan persiapan! Dengan cara itu ia bisa memilih waktu yang dianggapnya tepat dan cara yang disukainya. Persiapannya terutama menyangkut materi. Bukankah orang mati tak bisa* membawa serta hartanya"
Sekarang ini ia membawa serta sisa hartanya yang terakhir, yaitu mobil sedan tua yang sedang dikendarainya dan uang ratusan juta rupiah yang disimpannya dengan rapi di bawah karpet mobilnya. Itu juga salah satu faktor penyebab kehati-hatiannya. Kalau ia celaka di jalan, uang itu bisa ditemukan dan dijarah orang lain. Padahal uang itu adalah uang halal, warisan dari Agus dan hasil jerih payahnya sendiri. Lalu gagal pula rencananya untuk mendermakan uang itu di Jakarta.
Uang itu adalah sisa penjualan toko dan rumahnya di Bandung. Sebagian sudah ia dermakan lebih dulu. Yang sebagian itu ia dermakan dengan cara mentransfer. Cara seperti itu lebih praktis dan tak ketahuan orang lain. Lain halnya kalau dengan cara memberikan langsung. Menjadi Sinterklas mendadak pastilah gampang membuat heboh. Apalagi di kota Bandung bermukim Ratna dan empat anaknya serta keluarga. Berita bisa sampai ke telinga Ratna. Padahal itu yang paling dihindari Delia. Ratna tidak boleh tahu.
Maka ia memilih Jakarta sebagai kota tempat ia akan menjadi Sinterklas, sekaligus tempat ia ingin mengakhiri hidupnya! Memang Jakarta tak terlalu jauh dari Bandung, tapi kota itu besar dengan penduduknya yang individualis. Ia bisa mati dengan tenang!
Kebenciannya kepada Ratna selalu terobati bila
17 membayangkan kekecewaan dan kemarahan nenek tua itu bila mengetahui ia mati tanpa meninggalkan harta sedikit pun. Ratna akan senang sekali bila Delia mati, tapi bukan mati dengan cara seperti itu. Delia mati miskin bukan karena membawa serta hartanya ke liang kubur, tapi karena memang sudah tak punya apa-apa!
* * * Sekitar tiga tahun yang lalu Adam mengalami kecelakaan lalu lintas karena motornya ditabrak mobil. Meskipun lukanya parah, pemuda itu masih dalam keadaan sadar dan bisa berbicara dengan kedua orangtuanya. Keanehan tampak pada Adam karena dia yang biasanya cuek mendadak bisa bicara dengan bijak. Dia yang sakit dan sekarat malah menghibur mereka yang bersedih.
"Tuhan memanggilku, Pa, Ma. Memang singkat banget hidupku. Habis mau apa" Kita kan nggak bisa menolak kalau dipanggil. Hidup cuma sekali. Mati juga begitu."
Justru ucapan bijak itu malah membuat Agus dan Delia menjadi lebih se
dih. Semakin tidak rela. Mana mungkin mereka bisa disuruh pasrah" Adam masih begitu muda, periang, dan penuh cita-cita.
Tapi waktu bisa menyembuhkan luka hati meskipun tidak sepenuhnya. Mereka mencari penghiburan dari masing-masing, menjadi lebih dekat, lebih mengerti, dan lebih menyadari betapa berartinya yang satu bagi yang lain. Hikmah dari kehilangan bisa mereka peroleh.
Sayangnya, waktu itu terlalu singkat bagi Delia. Hanya kurang-lebih setahun setelah kematian Adam,
18 ia kembali harus kehilangan. Agus terkena serangan jantung. Ia meninggal mendadak. Tak ada pesan atau kata-kata perpisahan seperti yang sempat disampaikan Adam. Untuk kedua kalinya kematian datang tanpa kompromi.
Delia merasa hancur luluh. Kali ini ia harus berjuang sendirian agar dapat bertahan. Kehidupan baginya menjadi tak sama lagi. Masa depan tampak begitu kelam. Tak ada lagi kecerahan.
Dulu, ketika ia dan Agus sama-sama saling memberi kekuatan atas kehilangan Adam, mereka suka membicarakan kata-kata bijak yang dilontarkan Adam di saat-saat akhir hidupnya.
"Bagaimana mungkin anak muda bisa bicara begitu ya, Pa""
"Dia ingin menghibur kita. Mungkin pada saat seperti itu orang bisa jadi bijak, tak peduli usianya. Dia tahu, setelah mati takkan ada rasa apa-apa lagi. Yang mengalami adalah mereka yang masih hidup."
"Apa dia kasihan pada kita karena kita masih hidup, Pa""
"Ah, masa iya, Ma""
"Kita kasihan padanya. Sebaliknya, dia juga kasihan pada kita."
"Dia kasihan pada kita karena kita bersedih akan kehilangan dia."
"Sementara dia sendiri tidak akan kehilangan kita." "Ah, mana kita tahu."
Perbincangan seperti itu terasa menyenangkan dan menghibur. Tapi sekarang Delia tidak bisa lagi melakukannya. Sekarang ia cuma bisa bicara sendiri. Pada diri sendiri dan dengan diri sendiri. Untung saja ia tidak sampai mengalami gangguan mental.
Ia menjalankan toko sendirian. Caranya otomatis
19 saja. Cuma meneruskan yang ada tanpa perubaha atau strategi baru. Untunglah para pembantunya bisa diandalkan.
Ia juga menjalani kehidupan seperti robot. Ia bernapas, makan, dan minum, juga merasakan kebutuhan lainnya karena memang harus begitu. Satu-satunya yang bisa melegakan kesesakannya adalah ia bisa menangis. Ia juga bisa bicara sendiri, mengungkap penasarannya karena tak punya sahabat atau saudara dekat.
Sebenarnya Agus punya banyak saudara. Ada enam orang. Yang empat, semuanya lelaki, tinggal sekota. Sedang yang dua, perempuan, tinggal di luar Jawa. Tapi hubungan Delia dan Agus dengan mereka kurang dekat meskipun ia menganggap mereka cukup baik. Lain lagi halnya dengan Ratna, ibu mertuanya.
Agus sering bercerita tentang perilaku ibunya dan mengungkapkan ketidaksukaannya. Dari kecil sampai berkeluarga, ia tak pernah bisa menyukai ibunya. Ia paling segan bila diajak berkunjung ke rumah ibunya. Tapi Delia membujuknya.
"Aku benci karena dia selalu menagih pajak, Ma."
"Pajak"" "Ya. Emas berlian. Jadi buat apa menjenguk kalau kita tidak membawa barang itu" Dia tidak akan senang hanya karena melihat tampang kita."
Lalu muncullah kutukan-kutukan itu. Delia merasa takut, tapi Agus menenangkan. "Jangan percaya," katanya.
Tapi kemudian terjadilah tragedi Adam. Tanpa empati sedikit pun Ratna malah mengatakan bahwa peristiwa itu adalah hukuman bagi mereka karena tidak berbakti kepadanya. Tentu saja Agus sangat marah. Tapi kemarahan Agus hanya melahirkan ku-
20 tukan berikutnya dari mulut Ratna. "Kualat kamu nanti! Lihat saja!"
Ternyata musibah benar-benar terjadi. Agus meninggal.
Belum lagi Agus dimakamkan, Ratna sudah memperlihatkan sikapnya yang tidak berperasaan.
"Seharusnya sebagai istri kau bisa membujuknya supaya tidak marah padaku! Kenapa tidak kaulakukan" Lihat akibatnya! Dulu sudah kejadian sama si Adam. Tapi kau nggak mau belajar! Jangan-jangan kau pula yang menyuruh dan menghasut Agus supaya marah padaku."
Delia tidak lagi melihat sosok manusia di depannya, melainkan monster! Mana ada manusia yang mensyukuri kematian anak dan cucu, apalagi menyatakan bahwa itu adalah akibat kutukannya" Itu berarti dengan segenap hati Ratna memang menginginkan kematian Adam dan Agus!
* * * Dibanding semua saudaranya, kehidupan Rama, putra tertua Ratna, tergolong paling sederhana. Ia mengusahakan sebuah bengkel motor di bagian depan rumah besar milik Ratna. Tampaknya ia bisa dibilang beruntung karena bisa menumpang tinggal dan tempat usaha di rumah ibunya. Tapi kalau boleh memilih, sebenarnya ia dan keluarganya lebih suka tinggal di gubuk daripada rumah besar tempat ia tak punya kemandirian. Belum lagi setiap hari mereka harus mendengar umpatan dan cercaan Ratna.
Rama terpaksa tinggal bersama Ratna karena bujukan saudara-saudaranya. Mereka semua, sebanyak enam orang, termasuk yang tinggal di luar Jawa,
21 akan menyetor kepadanya setiap bulan sebesar masing-masing lima ratus ribu rupiah untuk biaya hidup ibunya. Jumlahnya menjadi tiga juta rupiah. Sangat lumayan untuk membantu perekonomiannya. Tapi ia melarang saudara-saudaranya untuk membe-ritahu kesepakatan itu kepada Ratna. Ia khawatir sebagian uang itu nanti diambil Ratna karena dianggap sebagai haknya.
Sekitar tiga bulan setelah kematian Agus, Rama menelepon Delia.
"Maaf ya, Del. Aku cuma mau mengingatkan bahwa kau belum mentransfer uang bulanan itu. Biarpun Agus sudah tak ada, kau akan tetap melanjutkan, bukan""
Sebenarnya Delia ingin mengatakan bahwa ia keberatan. Ia bukanlah anak Ratna. Dan setelah Agus tak ada, ia merasa tak punya hubungan apa-apa lagi. Apalagi Ratna tega "membunuh" anak dan cucunya sendiri. Jadi kenapa ia harus diikutsertakan dalam urusan membiayai hidup Ratna" Bukankah anak-anaknya banyak"
Tapi ia mengatakan, "Baik. Nanti kutransfer untuk enam bulan. Bila aku lupa, ingatkan saja."
"Oh, terima kasih, Del. Bagaimana kondisi toko""
"Baik-baik saja"
"Syukurlah. Jaga dirimu ya, Del."
Suara Rama kedengaran ramah dan perhatian. Mungkin karena Delia tidak menolak permintaannya. Akankah seperti itu juga bila ia menolak"
* * * Di antara para keponakan Delia, ada satu orang yang cukup dekat dengannya. Dia adalah Donna,
22 putri Ramli adik Agus. Donna remaja belasan tahun, masih pelajar SMU. Kedekatan itu muncul setelah Adam meninggal. Dibanding yang lain, Donna-lah yang paling banyak dan hangat memberi simpati.
Hampir tiap hari usai pulang sekolah Donna datang ke toko garmen milik Delia untuk membantu. Meskipun tak banyak yang bisa dibantunya, pekerjaannya cukup rapi dan cekatan. Sebagai tanda terima kasih, sesekali Delia memberinya hadiah kaus atau celana jins.
Setelah Agus meninggal, Donna suka menginap di rumah Delia untuk menemaninya. Rumah Delia besar dan dilengkapi kolam renang. Delia sendiri tidak begitu suka berenang. Maka Donna-lah yang lebih sering memanfaatkan. Delia juga memiliki koleksi film dalam bentuk VCD dan DVD. Donna juga yang menikmati.
Kadang-kadang muncul juga pikiran negatif. Benarkah Donna menemaninya karena sayang padanya" Sebenarnya Delia tidak selalu suka ditemani. Kadang-kadang ia ingin sendirian lalu melakukan apa saja yang disukainya tanpa mengundang prasangka. Misalnya ia ingin melamun lalu bicara sendiri keras-keras. Kalau ia melakukannya di depan Donna, pastilah gadis itu akan mengira ia sudah hilang ingatan lalu menyebarkan kehebohan itu kepada seluruh anggota keluarga. Dan kalau Ratna mengetahuinya, perempuan itu pasti akan mensyukuri juga.
Kemudian ketenangannya terusik oleh pertanyaan Donna yang kedengaran polos, tapi baginya sangat mengejutkan.
"Tante Del, jangan marah ya. Aku disuruh Nenek menanyakan apakah Oom Agus ninggalin warisan buat dia."
23 "Warisan" Apa sih maksudnya"" tanya Delia dengan muka merah. Tekanan darahnya melonjak.
"Iya, Tan. Kelewatan, kan" Aku sebetulnya segan disuruh nanya begitu. Tapi Tante kan tau sendiri cerewetnya Nenek kayak apa. Jadi bilangnya apa, Tan" Aku disuruh bawa jawaban."
"Bilang aja nggak ada, Don. Oom nggak bikin surat wasiat. Dengan sendirinya miliknya jadi milikku. Memang hukumnya begitu kok."
"Iya. Papa dan Mama juga bilang begitu. Tapi maklumin aja, Tan. Nenek itu tua-tua matre. Buat apa sih harta untuk orang setua itu" Pakai baju bagus dan perhiasan numpuk juga nggak bakal bikin dia jadi cantik. Malah jadi kayak lenong nanti. Ya kan, Tan""
Delia merasa sedi h. Tapi juga gusar. Ratna belum mau melepaskannya.
Donna memeluk Delia. "Sudah, Tante. Jangan disedihin. Cuekin aja."
"Kayaknya Nenek akan mengutukku kalau ja-wabanku tidak menyenangkan, Don."
"Bener, Tante. Waktu dikasih tahu Papa, dia bilang, nanti juga Tante akan bernasib sama seperti Oom Agus. Nggak selamet. Kalo Tante nggak ada, pasti semua harta Tante akan jatuh ke tangannya karena dia ahli waris satu-satunya. Apa bener begitu, Tante""
Delia terkejut sampai jantungnya serasa berhenti berdenyut. Ratna bukan cuma monster, tapi juga nenek sihir!
Donna tak menyadari perasaan Delia. Ia terus bicara, "Nenek memang seperti nenek sihir. Sekarang semuanya jadi takut padanya. Mereka jadi rajin menjenguk. Tapi mereka sepakat untuk dateng barengan. Jadi kalau dia rewel dan mengomel, bisa
24 dibagi rata. Semakin banyak kuping yang dengar, rasanya jadi semakin ringan."
"Katakan, Don. Apa kalian semua percaya bahwa meninggalnya Adam dan Oom Agus karena kutukan Nenek""
Donna tampak kurang nyaman. "Percaya nggak percaya sih, Tante," sahutnya segan.
"Menurut aku, Don. Hidup kita itu di tangan Tuhan. Bukan kutukan manusia."
"Kalo yang namanya santet, guna-guna dan semacamnya, kan ada""
"Sudahlah. Jangan ngomongin soal itu lagi, Don."
Tapi Delia menyimpan kerisauan. Sampai kemudian Donna kembali dengan masalah yang sama.
"Nenek marah, Tan. Seperti biasalah. Mulutnya tajam."
"Mengutukku""
"Ya. Biasa. Oh ya, Tante. Kayaknya Tante harus hati-hati kalau ada cowok mendekat." "Kenapa"" Delia heran.
"Siapa tahu dia cuma menginginkan harta Tante. Bukankah nanti dia yang berhak atas harta Tante""
Delia tertegun. Sepertinya Donna terus memikirkan hal itu. Apakah itu pikirannya sendiri atau orang lain"
"Ah, soal itu sih gimana nanti aja, Don."
"Emangnya Tante mau sendirian terus""
"Bukan soal mau nggak mau, Don. Itu gimana nasib aja."
"Apa saat ini sudah ada cowok yang mendekati Tante""
"Lupa ya, Don. Aku ini sudah tua." "Tante masih cantik. Belum tua kok. Kaya, lagi." "Kaya" Ah, yang bener" Punya toko bukan berarti kaya."
25 "Tante mah merendah aja."
"Sekarang bisnis lagi sepi, Don. Saingan tambah banyak. Pembeli tambah sedikit."
"Tapi kayaknya ramai aja, Tante."
"Iya. Orang-orang cuma lihat-lihat dan pegang-pegang, tapi nggak beli."
Donna memandang ke seputar rumah. Delia memahami arti pandangnya. Rumah sebagus itu pastilah rumah orang kaya. Makna kaya itu relatif. Ia jadi diingatkan dan sedih karenanya. Buat apa rumah besar dan bagus bila cuma ditempati sendirian" Tak ada lagi cinta dan kehangatan di situ. Yang terasa adalah sepi, dingin, dan hampa.
"Seharusnya Tante membuat surat wasiat dari sekarang. Sebagai persiapan aja. Daripada nanti dicaplok Nenek."
Sebenarnya Delia merasa kesal. Donna bicara seakan kematiannya sudah di ambang pintu. Meskipun demikian, ia menganggap ucapan itu sebagai peringatan yang patut ia pikirkan. Yang pasti, ia takkan membiarkan apalagi merelakan hartanya jatuh ke tangan Ratna!
* * * Sekeluarnya dari tol Cikampek, Delia berbelok ke halaman parkir sebuah restoran. Ia merasa lapar. Bekal roti yang dibawanya dari Bandung sudah habis dimakan sedikit-sedikit di sepanjang jalan. Ia sudah bertekad tidak akan terlalu sering berhenti di jalan hanya untuk makan. Ia agak paranoid mengenai keselamatan uang yang dibawanya. Tapi sekarang ia tidak tahan lagi. Orang perlu makan supaya bisa menyelesaikan pekerjaan dengan baik, walaupun
26 sebentar lagi orang yang sama ingin mengakhiri hidupnya!
Ia memarkir mobilnya di depan jendela besar, lalu duduk di balik jendela itu supaya bisa melihat mobilnya. Keadaan sepi. Mungkin karena saat itu belum saatnya makan malam tapi sudah lewat makan siang.
Sambil menunggu pesanannya, ia mengambil koran dari atas meja yang terletak di sudut. Sebuah koran pagi Jakarta. Ternyata itu koran lama bertanggal dua minggu yang lalu. Sudah lusuh, tapi bisa digunakan sebagai bahan bacaan daripada merenung dan melamun. Atau berpikir tentang Ratna. Atau rencananya yang sudah matang. Terlalu banyak dipikirkan bisa membuatnya jadi mentah lagi. Padahal ia sudah setengah jalan. Tak mungkin mundur lagi.
Sebuah be rita menarik matanya. "Bunuh Diri di Sebuah Motel", demikian judul berita itu. Intinya, seorang wanita muda ditemukan petugas motel sudah menjadi mayat di kamarnya. Dari pemeriksaan diketahui bahwa wanita itu mengakhiri hidupnya dengan minum racun serangga. Sebenarnya berita semacam itu sudah tidak unik lagi. Sudah sering terjadi. Orang bisa bunuh diri di mana saja semaunya. Tapi tampaknya sering dilakukan di kamar penginapan, hotel atau motel dan sejenisnya. Mungkin karena situasinya lebih menjamin privasi dibanding tempat terbuka.
Tetapi bukan berita itu yang menarik bagi Delia, melainkan motelnya. Namanya Motel Marlin.
Ia mencatat nama motel dan lokasinya. Kepada pelayan yang mengantarkan makanannya ia bertanya perihal alamat tersebut kalau-kalau bisa diberikan petunjuk. Ternyata pelayan itu bisa memberi keterangan dengan lengkap.
Ia akan menuju Motel Marlin.
27 BAB 3 Yasmin duduk di depan meja riasnya dengan air mata berlinang. Sudah beberapa kali suaminya, Hendri, mengatarnya sebagai tua prematur. Sekarang ia mengamati wajahnya dengan cermat. Dengan perasaan pedih ia terpaksa mengakui kebenaran ucapan Hendri itu.
Usianya dua puluh delapan tahun, tapi kelihatan sepuluh tahun lebih tua. Dahinya berkerut. Sudut matanya sudah memperlihatkan kerut-kerut halus. Pipinya kendur, bahkan tampak menurun hingga tertarik ke bawah ujung bibirnya. Ia kelihatan murung dan tidak segar. Sepertinya ia baru sembuh dari sakit yang lama dan perlu rehabilitasi yang intens dan lama juga.
"Aku jelek... aku frigid...," keluhnya dengan perasaan tak berdaya.
Air matanya mengalir semakin deras. Dalam keadaannya yang seperti itu bisakah ia mengharapkan masa depan yang cerah" Apalagi bila ia menggantungkan masa depan itu bukan pada dirinya sendiri, melainkan pada Hendri. Sedang Hendri tampaknya sulit diharapkan bisa mengubah sikap. Dialah yang harus berubah. Tapi justru itu yang sulit.
Yasmin sesenggukan sekarang. Tapi tatapannya
28 tetap ke arah cermin, mengamati dirinya sendiri yang larut dalam keputusasaan.
Kemudian tiba-tiba ia tersentak kaget. Matanya melotot ke cermin. Mulutnya ternganga. Sebuah ekspresi horor. Perempuan muda atau nenek-nenekkah itu" Apakah itu gambaran dirinya yang sesungguhnya" Dia sudah berubah menjadi seorang nenek"
Tangisnya berhenti. Lihatlah pipi yang menggantung, mata sembap berkantong, mulut yang tertarik ke bawah, dan kulit yang kering berkeriput itu. Muka seperti itu bukanlah miliknya setahun yang lalu. Usia perkawinannya baru setahun! Bisa dibandingkan dengan potret perkawinannya yang tergantung di dinding. Bisakah orang menemukan persamaan di antara fotonya itu dan dirinya yang sekarang" Paling-paling orang akan mengatakan bahwa itu foto lama!
Mendadak ia disadarkan. Seperti pukulan keras ke kepalanya. Bukankah selalu ada sebab-akibat" Bahwa keadaan yang satu bisa menjadi sebab atau akibat dari keadaan yang lain" Penyebab keadaannya sekarang adalah air mata! Itulah yang membuatnya tua prematur. Tapi air mata juga ada penyebabnya. Tak ada air mata tanpa gejolak. Bagaimana mungkin mencegah keluarnya air mata" Bagaimana mungkin menghindari atau menyangkal adanya gejolak kalau itu memang nyata ada"
Sulitnya, ia tidak tahu penyebabnya apa atau harus menyalahkan siapa. Ia pun tidak bisa membawa masalahnya pada seseorang yang mungkin bisa memahami dan mencarikan jalan keluar. Ia malu! Ia takkan sanggup mengungkapkannya.
Pelan-pelan ia berdiri, tapi kemudian mengaduh dan meringis karena sakit dan nyeri yang amat sangat. Ia melangkah terseok-seok ke tempat tidur.
29 Setiap langkah terasa menyakitkan, membuat pedih dan perih.
Ia membaringkan diri dengan posisi yang diatur begitu rupa hingga sakitnya minim. Di pagi hari seperti itu, setelah Hendri berangkat ke kantor, ia " punya banyak waktu untuk dirinya sendiri. Tadi ia memaksa diri menemani dan melayani Hendri sarapan dan berusaha keras melupakan sakitnya. Berpura-pura tersenyum seakan tak ada masalah. Tapi ia tahu Hendri tak bisa dibohongi.
"Sakit lagi"" tanya Hendri.
Walaupun Hendri bertanya begitu, Yasmin merasa tak ada simpati atau empati pada sikap Hendri.
"Ah, n ggak," ia membantah.
"Kok jalanmu kayak orang baru melahirkan bayi gede," Hendri memperoloknya.
Yasmin menahan air matanya. Ucapan Hendri itu terasa seperti penghinaan.
"Syukurlah kalau memang nggak sakit. Jadi sudah bisa menikmati" Enak""
Ia tak bisa menjawab. "Kalau memang enak, nanti kita lakukan lagi, ya""
Ucapan itu kedengaran menggoda, tapi ia tak bisa menyembunyikan kaget dan ngerinya. Wajahnya memperlihatkan perasaannya. Dengan gampang Hendri bisa membacanya. Lelaki itu pun terbahak-bahak, seakan melihat sesuatu yang menggelikan. Yasmin hanya bisa menundukkan kepala. Baru setelah Hendri pergi, ia bisa menjadi dirinya sendiri, memperlihatkan apa yang dirasa dan dipikirkannya.
Sebenarnya ia tidak sendirian saat itu. Masih ada seorang pembantu bernama Inem, perempuan muda bertubuh sintal dengan pantat dan payudara besar.
30 Inem suka mengamatinya. Yasmin tidak suka tatapan Inem" Sepertinya ada cemooh di mata perempuan itu. Ia malu karena yakin Inem sudah tahu masalahnya. Padahal Inem tidak pernah bertanya kenapa jalannya suka tertatih-tatih dengan muka meringis.
Ia marah karena Hendri suka membandingkannya dengan Inem.
"Lihat si Inem itu. Dia begitu energik. Kuat dan gagah. Nggak seperti kamu yang loyo dan lesu," kata Hendri.
Sebenarnya dia ingin menyahut, "Sebelum kawin aku juga energik. Kau tahu sendiri, kan" Dulu aku jago basket dan voli!" Tapi ia tidak ingin membuat Hendri berang lalu balas menyahut, "Jadi kau menyalahkan aku"" Jadi sebaiknya ia diam saja. Sudah terbukti itu lebih aman.
Ia tidak berniat menyalahkan Hendri karena menganggap dirinyalah yang salah. Ada yang tidak beres dengan dirinya. Dulu ia mencari kebahagiaan lewat pernikahan. Apalagi ia menikah karena cinta. Tapi "apa yang ditemukannya jauh dari harapan. Bahkan horor yang didapatnya. Horor itu adalah seks!
Dulu ia suka membaca novel romantis yang menggambarkan seks demikian indahnya. Kata-kata dirangkai begitu rupa hingga menimbulkan sensasi yang amat menyenangkan. Luar biasa. Pasangan yang sedang bercinta digambarkan mengalami puncak kenikmatan tak terhingga. Sepertinya tak ada kenikmatan yang lebih daripada itu. Sekarang, setelah mengalami sendiri, ia menganggap cerita itu sebagai kebohongan besar dan rekayasa pengarang semata-mata agar karyanya bisa membuai pembaca.
Ia berpacaran dengan Hendri selama tiga tahun sebelum akhirnya mereka menikah. Selama masa
31 pacaran itu Hendri selalu berlaku romantis tapi tak pernah kelewat batas. Hendri selalu terkendali. Yasmin amat menghargainya atas sikap lelaki itu. Setahu dia, banyak pasangan sudah bertindak terlalu jauh termasuk teman-temannya. Bagi mereka seks bukan tabu lagi. Semua serba permisif. Katanya, hal itu disebabkan para lelaki kesulitan mengendalikan nafsu mereka. Orang berpacaran cenderung mencari dan mencuri kesempatan supaya bisa berduaan. Tapi sekalinya berduaan bisa lepas kontrol. Katanya lagi, bukan Cuma lelaki, perempuan pun bisa kesulitan mengendalikan nafsu. Jadi sama-sama.
Semua itu memang cuma "katanya". Ia mendengarnya dari cerita orang lain. Pengalamannya sendiri tidak ada. Hanya dari cerita itu ia menilai diri sendiri dan juga diri Hendri. Adakalanya mereka bisa mendapat kesempatan berduaan. Bahkan kalau mau diusahakan, kesempatan itu banyak sekali. Tapi apa yang mereka lakukan hanya sebatas berpelukan dan berciuman. Tak ada raba-rabaan atau buka-bukaan. Jadi ia menunggu malam pertama perkawinan dengan penuh ketegangan. Seperti apa rasanya"
Hendri memang mengawalinya dengan baik. Ia pintar merayu dan mengarahkan. Yasmin merasa terbuai dan siap mengalami sensasi yang menyenangkan. Tapi ketika penetrasi terjadi, ia merasakan kesakitan yang luar biasa. Ia sampai menjerit. Mulut Hendri membekapnya dengan ciuman yang lekat. Maka ia hanya bisa ah-ah uh-uh menahan sakit. Kedua tangannya mencengkeram punggung Hendri sampai kuku panjangnya menusuk-nusuk, tapi Hendri seperti tidak merasakan sakit. Lelaki itu terus saja mengguncang tubuh Yasmin untuk melampiaskan gejolaknya. Harus dituntaskan.
32 Ketika pinggul Hendri bergerak dari pelan menjadi cepat, Yasmin merasa seperti berada dalam
neraka, tempat ia tengah menjalani siksaan. Perut bagian bawah seperti dirobek-robek dan ditikam pisau panjang. Nyerinya tak kepalang. Ia menjerit, merintih, dan menangis, tapi Hendri seperti buta dan tuli. Dia asyik dengan dirinya sendiri. Ketika akhirnya proses itu selesai, Hendri menjatuhkan diri di samping Yasmin dengan kepuasan tak terhingga di wajahnya. Padahal Yasmin hampir pingsan. Baru ketika mendengar rintihan Yasmin, Hendri menoleh kepadanya dengan heran.
"Kenapa kau""
"Sakiiit...," keluh Yasmin.
Hendri mengamati istrinya. Ia melihat darah membasahi seprai di bawah Yasmin. Bukannya merasa prihatin, ia malah tersenyum dengan ekspresi puas tetap membayang di wajahnya. Yasmin terkejut. Baginya, itu senyum paling jahat dari orang yang dicintainya.
"Itu sih biasa, Yas. Sakit di malam pertama itu wajar saja. Tanda kamu masih perawan," katanya ringan.
"Tapi sakitnya kok gitu sih" Mau mati rasanya."
"Sudah. Jangan cengeng begitu. Pergi bersihkan badanmu. Ganti seprainya."
Dengan menahan sakit Yasmin melaksanakan perintah itu. Ia hampir tak bisa berjalan dan terpaksa beringsut-ingsut, tapi Hendri tak mau membantunya karena menganggapnya melebih-lebihkan. Manja dan cengeng.
Di kamar mandi Yasmin menangis. Waktu buang air kecil rasanya perih dan nyeri. Demikian pula bila terkena air. Ia memberitahu Hendri tentang hal itu.
33 "Sepertinya ada luka, Hen. Kok bisa ya""
Hendri tidak merasa perlu mencemaskan. "Itu wajar, Yas. Kau harus menerimanya. Nanti juga sakitnya hilang. Memangnya kau mau jadi perawan selamanya""
Dengan santai Hendri merebahkan diri di sofa sementara Yasmin mengganti seprai dengan susah payah. Yasmin merasa rasa sakit bukan hanya di tubuhnya, tapi juga di hatinya. Apakah selama ini dia salah menilai Hendri" Bukankah tiga tahun itu waktu yang cukup lama" Tapi selama tiga tahun itu ia tidak punya pengalaman seks bersama Hendri. Ia tidak tahu apa-apa tentang seks. Meskipun demikian, yang tetap membuatnya penasaran adalah sikap Hendri. Ke mana empatinya"
Bagi Yasmin, malam pertama adalah malam horor. Hendri membujuknya bahwa malam-malam berikutnya tidak akan seperti itu lagi. Tetapi kenyataannya tidak demikian. Setiap kali hubungan seks membuatnya kesakitan. Tak berbeda dan tak berkurang dari malam pertama. Celakanya, Hendri menginginkannya hampir tiap malam. Yasmin minta dijarangkan supaya bisa memberi kesempatan kepada rasa sakitnya agar berkurang atau hilang. Misalnya seminggu sekali.
Tapi Hendri menolak. "Masa aku disuruh puasa" Kita kan masih pengantin baru!" katanya sengit.
Yasmin merasa menghadapi dilema. Ia kesakitan. Ia tidak sanggup. Tubuhnya sudah terasa robek dan hancur. Tapi ia sering mendengar bahwa seks adalah bagian penting dari perkawinan. Mana mungkin suami disuruh puasa" Bukankah sudah kewajiban istri melayani suami"
Beberapa kali terpikir untuk berkonsultasi ke dokter,
34 tapi rasa malu menahannya. Sementara Hendri juga tidak menganjurkan, malah bersikap sinis.
"Pasti kau akan dianggap frigid," katanya tanpa perasaan.
"Frigid" Nggak normal, gitu""
"Iya. Apalagi kalau bukan""
"Mungkin kau terlalu kasar, Hen. Mestinya pelan-pelan," Yasmin mencoba berargumentasi.
Hendri melotot marah. "Apa" Kau nyalahin aku" Pelan-pelan gimana sih" Kalau sedang begitu mana bisa disuruh pelan-pelan" Gerakan itu kan terjadi secara spontan," katanya meremehkan.


Pertemuan Di Sebuah Motel Karya V. Lestari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mungkin... mungkin anumu terlalu besar," Yasmin memaksa diri mengatakannya meskipun merasa malu. Sejak awal ia ingin mengomentari hal itu. Tapi selalu tertahan karena berpikir, bagaimana mungkin ia bisa menilai seperti itu kalau ia belum pernah melihat kepunyaan orang-orang lain untuk dijadikan perbandingan"
Hendri tambah marah. "Dasar goblok! Mana ada istilah kebesaran atau kekecilan buat lelaki" Sok tahu. Perempuan kan dirancang untuk menerima ukuran berapa pun. Coba pikir, bagaimana perempuan bisa melahirkan""
Yasmin tak bisa menyahut.
"Lantas maumu apa"" tanya Hendri galak.
"Bagaimana kalau melakukannya jarang-jarang""
"Jarang bagaimana" Sebulan sekali" Setahun sekali" Dasar egois!"
"Sakit, Hen. Betul-betul sakit."
"Bagaimana nggak sakit kalau yang
kaubayangkan adalah sakit melulu dan bukan kenikmatannya" Jelas yang terasa adalah sakit beneran."
"Nikmatnya memang nggak ada."
35 "Nah itu. Kau memang frigid. Ah, aku sungguh kecewa. Terus terang saja. Kukira aku bisa menyenangkan kau dengan kejantananku. Kusimpan baik-baik sampai saatnya tiba. Karena itu aku bisa menahan diri dengan baik selama berpacaran denganmu. Tahu-tahu jadi begini. Kau malah nangis-nangis. Boro-boro memuji. Sebagai lelaki, aku jadi merasa nggak berharga. Padahal perempuan lain merem-melek kesenangan. Tapi kau""
Yasmin terkejut. "Apa maksudmu dengan perempuan lain""
Hendri merasa sudah kelepasan bicara. Tapi masa bodoh. "Sudahlah," katanya cuek. "Aku mau tahu," Yasmin berkeras. "Buat apa" Kau bisa apa""
Hendri pergi menghindar. Yasmin tak mau mengejar. Ia takut akan ada kejutan lain dari Hendri. Tapi ia merasa cemas, juga terhina. Harga dirinya terus-menerus direndahkan. Tapi ia mencintai Hendri. Kata orang, seks itu penting buat lelaki. Tidak sepenting seperti bagi perempuan. Kalau tidak dilayani, dengan gampang lelaki akan lari ke perempuan lain. Maka selanjutnya Yasmin berusaha keras tetap meladeni keinginan Hendri. Ia berusaha membayangkan kenikmatan seperti yang digambarkan novel-novel romantis, tapi tetap saja ia merasa kesakitan seperti dirobek dan dikoyak-koyak.
Dan Hendri tetap saja tidak berperasaan.
"Kayaknya aku tengah bercinta sama boneka saja. Mukamu juga mengerut sepertinya sedang disiksa," gerutunya.
Yasmin berusaha tidak mengeluh lagi. Tapi ekspresi kesakitan tidak bisa disembunyikannya.
36 Suatu ketika Yasmin menyadari frekuensi kegiatan seks yang diinginkan Hendri jadi berkurang. Lebih jarang daripada sebelumnya. Mestinya ia merasa lega karena sakitnya pun jadi berkurang dan ia punya waktu untuk memulihkan diri sebelum kegiatan berikutnya terjadi. Tapi ia malah cemas dan curiga. Orang dengan gairah seks seperti Hendri tak mungkin disuruh berpuasa seperti yang dikatakan Hendri sendiri. Tapi tentu saja Yasmin tidak bisa menanyakannya secara langsung.
Lalu ia memergoki kejailan Hendri kepada Inem. Tangan Hendri sering mampir ke bagian tubuh Inem, terutama ke pantat dan payudaranya. Sedangkan Inem tampak senang dan tertawa genit. Itu indikasi yang bagi Yasmin sudah cukup untuk menyimpulkan ke mana Hendri beralih selama ini. Tentu saja ia sakit hati. Tapi lagi-lagi ia tak bisa apa-apa. Ia cuma bisa berpura-pura tidak melihat dan sengaja tidak melihat supaya terhindar dari sakit hati. Sayangnya, kesimpulan sudah telanjur muncul dan menetap.
Ia heran, kenapa Inem tidak tampak kesakitan atau berjalan seperti dirinya bila diandaikan bahwa ia memang melakukan hubungan seks dengan Hendri" Apakah Inem bisa menikmati kegiatan itu" Kalau begitu, memang dirinyalah yang tidak beres. Dan benar juga ucapan Hendri, bahwa perempuan lain malah merem-melek saat melakukannya bersamanya.
Untuk mengetahui kebenarannya, Yasmin terpaksa pergi ke ahli kandungan, Dokter Minarti. Perginya diam-diam, tanpa memberitahu Hendri.
"Ibu baik-baik saja. Tak ada kelainan pada vagina
37 dan mulut rahim. Semua normal, Bu," Dokter Minarti memastikan seusai pemeriksaan.
"Tapi kenapa sakitnya bukan main, Dok""
"Apakah ukuran penis suami Ibu terbilang besar"" tanya Dokter Minarti seolah pertanyaan itu sangat biasa.
Bagi Yasmin itu tidak biasa. Mukanya memerah.
"Saya tidak tahu, Dok. Kan saya tidak pernah lihat punya orang lain."
Dokter Minarti tersenyum. "Oh ya, tentu saja. Tapi begini, bagaimana saat penetrasi, apakah itu saja sudah sakit""
"Kalau itu sakitnya cuma malam pertama saja, Dok."
"Sesudah itu tidak sakit""
"Tidak, Dok. Tapi kalau suami mulai bergerak, terasalah sakitnya. Makin lama makin sakit." "Apakah dia melakukannya dengan kasar"" "Ya, Dok."
"Apa Ibu tidak bilang padanya bahwa perlakuannya itu menyakitkan""
"Sudah, Dok. Tapi katanya saya cengeng dan frigid karena perempuan lain bisa menikmati."
Dokter Minarti tertegun. Tampak geram.
"Apakah orangnya memang kasar, suka ringan tangan misalnya""
"Sama sekali tidak, Dok. Cuma soal itu saja."
"Apa dia menunggu di depan, Bu" Bisa dipanggil ke sini""
"Saya datang sendiri, Dok. Dia tidak tahu saya ke sini."
"Ah, jadi Ibu ke sini bukan atas anjuran dia"" Yasmin menggeleng. Ia merasakan simpati dokter di depannya, tapi itu justru membuatnya semakin sedih.
38 "Bu, masalah ini tidak bisa diselesaikan sepihak karena kegiatan ini dilakukan dua orang. Obat penghilang rasa sakit tidak ada gunanya. Harus dicari upaya supaya dia tidak terus-terusan menyakiti Ibu. Bukankah Ibu hidup bersamanya bukan untuk sementara saja" Masih bisa dicari cara yang tetap bisa memuaskan tanpa menyakitkan."
Dokter Minarti membuka laci mejanya. Ia menyodorkan sehelai kartu nama kepada Yasmin.
"Ini nama psikiater yang spesialisasinya di bidang seks. Bujuklah suami Ibu agar mau diajak ke sana."
Tapi Yasmin menyimpan kartu itu.
* * * Sebulan berlalu tanpa sentuhan Hendri. Yasmin senang karena tidak disakiti, tapi sedih karena memastikan Hendri melakukannya dengan orang lain. Mungkin Inem"
Lalu Hendri mendekatinya. "Aku kangen padamu," katanya.
Belum apa-apa bulu roma Yasmin sudah berdiri. Hendri mencumbunya dengan berbagai cara, tapi gairahnya sama sekali tidak terbangkitkan. Sebaliknya, ia ketakutan dan berkeringat dingin.
Hendri menyadari hal itu dan menjadi gusar. "Hei, kau takut sama aku, ya" Memangnya aku monster"" hardiknya.
"Dengar dulu, Hen. Tempo hari aku ke dokter. Katanya aku baik-baik saja. Tak ada yang salah pada diriku."
"Lalu"" "Dia menganjurkan agar kita berdua konsultasi ke ahlinya."
39 "Ahli apa"" "Ahli seks."
Hendri tertawa mencemooh. "Bukankah yang bermasalah itu kau" Kenapa harus "berdua""
"Karena ini kegiatan berdua."
"Tidak bisa. Perempuan lain tak ada yang mengeluh. Cuma kau. Jadi pastilah kau yang salah."
Hendri meraih Yasmin. Tak lagi memberi kesempatan untuk berbicara. Ia melumat Yasmin habis-habisan.
Bagi Yasmin saat itu merupakan puncak rasa sakit yang pernah dialaminya. Ia merasa tercabik dan terbelah-belah. Isi perutnya seperti dikocok-kocok. Dan tampaknya tak kunjung berakhir. Ia merintih, menangis, dan menjerit, tapi Hendri tidak menghentikan kegiatan atau melambatkan gerakannya. Sepertinya ekspresi kesakitan Yasmin justru membuatnya semakin bergairah.
Setelah selesai, Yasmin terkulai setengah pingsan, tapi dengan tega Hendri mencubit pinggulnya.
"Hebat ya aku"" katanya sambil tertawa.
Yasmin merasa jadi orang paling menderita di dunia. Yang paling menyakitkan sebenarnya bukanlah sakit fisik seperti sekarang ini, tapi tak adanya perhatian dari Hendri. Dan tak ada empati barang sedikit pun.
Ia teringat ucapan Dokter Minarti, "Ibu jangan pasrah saja. Lakukan sesuatu. Lindungi diri Ibu."
Ia memang harus berbuat sesuatu. Tak mungkin begini terus. Dialah yang harus berinisiatif karena Hendri tak berniat mengubah keadaan. Tapi solusinya bukanlah bercerai.
Kemudian ia menemukan selembar kartu nama di dalam saku celana kotor Hendri. Warnanya biru
40 muda. Tertulis di situ dengan huruf indah berwarna biru tua, "Motel Marlin" lengkap dengan alamat dan nomor telepon serta faks-nya. Tidak sulit bagi Yasmin untuk menduga apa hubungan Hendri dengan Motel Marlin. Tempat itu biasanya dipilih orang bukan cuma untuk menginap, tapi juga untuk bercinta. Di samping itu masih ada lagi yang lain. Beberapa waktu yang lalu, entah berapa lama ia tak ingat lagi, ada peristiwa bunuh diri di situ. Ia membacanya di koran.
Pasti bukan karena kebetulan ia menemukan kartu nama itu.
41 BAB 4 Motel marlin terletak di dekat jalan layang dan jalan tol yang ramai. Dari jalan layang, papan nama Motel Marlin jelas terlihat oleh mereka yang berkendaraan. Papan nama itu sudah pudar catnya, tapi huruf-hurufnya masih jelas terbaca dari jarak jauh. Deretan kamar memanjang dan menyiku. Deretan itu terdiri atas barisan dua kamar yang saling membelakangi. Pintu-pintu menghadap ke halaman parkir. Jadi barisan kamar itu terletak di tengah halaman parkir. Jumlah kamar yang disewakan ada empat puluh.
Motel itu menempati areal tanah yang cukup luas. Ideal untuk sebuah motel yang menyediakan tempat parkir di depan setiap pintu kamar. Letaknya di pinggir jalan besar dengan akses yang mudah ke segala penjuru kota. Cukup strategis. Tap
i motel itu nyaris terkena penggusuran saat pembangunan jalan tol. Untung rencana jalan tidak melewati atau menembusnya.
Menilik kondisi bangunan yang tampak sederhana dan berbentuk kaku, bisa diperkirakan motel itu sudah berusia lanjut dan tak pernah mengalami renovasi, tapi kelihatannya cukup terpelihara karena tidak berkesan kumuh. Dindingnya bercat putih, pintu-pintu dan kusen jendela dipelitur cokelat tua.
42 Jendelanya sendiri berkaca nako dan berjeruji besi dengan tirai dua lapis. Satu vitrage dan satu lagi kain tebal berwarna cokelat dengan motif bunga timbul.
Tidak selalu tamu yang datang membawa mobil. Tapi biarpun tak ada mobil yang parkir di depan pintu, bisa diketahui apakah sebuah kamar terisi, yaitu dari tirai tebal yang menutup jendela rapat-rapat, demikian pula kaca nakonya sehingga dari luar tak bisa melihat ke dalam. Tentunya penghuni tak ingin kegiatannya di dalam kamar bisa terlihat orang di luar. Bila kamar kosong, maka selain tak ada mobil yang parkir di depan pintu, kaca nakonya terbuka dan tirai vitrage menutup jendela.
Halaman parkirnya kering dan gersang. Tidak ada pepohonan barang satu pun. Pemiliknya menganggap fungsi halaman itu memang untuk parkir dan bukan untuk taman. Tanpa pepohonan, halaman akan tampak selalu bersih karena tak ada daun-daun kering berserakan. Jadi tak perlu disapu sering-sering.
Pemiliknya adalah dua lelaki bersaudara. Kosmas dan Erwin. Mereka mewarisi motel itu dari ibu mereka yang ketika itu sudah menjanda. Sang ibulah yang membangunnya bersama ayah mereka. Masa kecil mereka berawal di situ. Saking akrabnya dengan tempat itu, tak pernah terpikir oleh mereka untuk ganti usaha apalagi pindah ke tempat lain. Padahal banyak pengusaha yang mengincarnya karena letaknya yang strategis. Ada yang ingin menjadikannya sebagai hotel berbintang, ada pula yang ingin membuat mal. Tawarannya cukup menggiurkan, tapi mereka tidak tertarik. Sesepi-sepinya bisnis mereka, mereka masih bisa melanjutkan kehidupan dengan pasang-surutnya sendiri. Memang tidak jadi kaya, tapi bisa hidup
43 dengan wajar. Jadi kaya bukanlah tujuan. Yang penting bisa menikmatinya.
Uniknya, kedua bersaudara itu hampir selalu seia sekata. Bukan berarti yang satu mengekor yang lain atau yang satu menguasai yang lain. Tapi mereka punya kesamaan dalam memandang kehidupan. Sama persis tentu tidak, karena kadang-kadang mereka baru menghasilkan kesepakatan setelah berdebat seru.
Ada beberapa hal yang membuat mereka rukun. Pertama, peran orangtua terutama ibu yang mendidik mereka. Kedua, mereka sama-sama belum beristri! Biasanya seorang istri mempunyai pendapat dan tuntutan sendiri yang bisa merenggangkan mereka.
Kosmas sudah berusia empat puluh tahun, sedang Erwin tiga puluh lima. Jadi bisa dibilang mereka adalah bujang lapuk atau hampir lapuk. Dibilang berat jodoh juga tidak. Mereka juga bukan tak ingin berkeluarga atau sengaja menghindari karena mementingkan kerukunan di antara mereka. Beberapa kali keduanya mendapat pacar, tapi sekian kali pula hubungan berakhir. Yang satu putus, yang lain pun putus. Ada saja penyebabnya. Yang sering adalah karena si pacar ingin mencampuri atau mengganggu hubungan mereka, menyangkut soal bisnis yang dijalani bersama-sama. Kebanyakan ingin si abang dan si adik menjalani bisnis terpisah. Bahkan ada yang terus terang menganjurkan supaya menjual saja motel itu lalu uangnya dibagi dua dan selanjutnya menggunakannya sebagai modal untuk berusaha sendiri-sendiri.
Meskipun bersaudara, keduanya tidak memiliki kemiripan fisik. Kosmas bertubuh tinggi besar, berkulit hitam, dan berwajah sangar. Sebaliknya Erwin bertubuh langsing tapi sama tinggi, berkulit kuning
44 langsat, dan berwajah tampan. Tapi tak sulit untuk menemukan penyebabnya. Kosmas mirip ayahnya sedang Erwin mirip ibunya.
Kosmas duduk di kantornya pada siang hari itu. Ia terkantuk-kantuk. Situasi sepi. Tamu yang datang sudah menyurut. Jam makan siang sudah lewat. Biasanya pada jam istirahat kantor itu, banyak pasangan yang datang untuk menyewa kamar jam-jaman. Minimal sejam yang biasanya diambil. Mereka bermaksud untuk "bobok siang".
Pada saat yang sama, biasanya cukup banyak pasangan yang datang. Tapi dua minggu terakhir ini tamu yang datang berkurang hampir separuhnya. Penyebabnya gampang ditebak. Sekitar dua minggu yang lalu ada orang bunuh diri di kamar nomor 14. Mungkin mereka takut ada hantunya atau tak ingin ikut-ikutan diperhatikan karena ingin merahasiakan kedatangan mereka ke situ. Dalam sejarah berdirinya Motel Marlin, sudah beberapa kali terjadi peristiwa seperti itu dengan akibat yang sama sesudahnya.
Perempuan itu datang naik taksi. Namanya Yuli, seperti yang tertera dalam KTP-nya. Ia masih muda dan cukup cantik. Tapi sendirian. Biasanya orang datang berpasangan. Barangkali pasangannya datang belakangan" Apalagi dari KTP-nya itu jelas dia warga Jakarta. Kenapa harus menginap di motel dan bukan di rumah sendiri" Mungkin sedang ribut dengan suami dan ingin menyendiri" Tentu saja bukan baru sekali ada perempuan yang datang sendirian untuk menginap di situ. Ada banyak sebab yang mendorong orang melakukan sesuatu. Tetapi pertanyaan-perta-
45 nyaan itu tak perlu dicari jawabannya apalagi ditanyakan kepada yang bersangkutan. Tamu datang dan pergi membawa urusan dan masalah masing-masing.
Yuli check in untuk semalam. Besok pagi ia akan keluar. Tapi dari sore sampai malam ia tidak pernah keluar untuk mencari makanan. Ada banyak warung makan dan restoran di sekitar tempat itu. Tapi tingkah Yuli tidak dianggap sebagai kejanggalan. Mungkin saja ia membawa makanan kering misalnya roti, dan malas keluar untuk mencari makanan. Kejanggalan baru terasa esoknya ketika ia seharusnya sudah keluar tapi belum juga keluar.
Berdasarkan pengalaman sebelumnya, Kosmas dan Erwin menghubungi polisi. Mereka menemukan Yuli sudah meninggal. Ada sisa racun serangga di dekatnya. Yang lebih mengejutkan adalah pengakuan yang ditulis Yuli dan ditemukan di atas meja. Ia menulis bahwa dirinya sedang hamil akibat hubungan dengan pacarnya yang kabur setelah diberitahu tentang kehamilannya. Padahal si pacar adalah orang yang tidak disukai orangtuanya. Karena itulah ia memutuskan untuk mengakhiri hidupnya.
Kosmas yang berwajah sangar itu menjadi sedih. Meskipun memiliki penampilan seperti preman, ia berhati lembut dan perasa. Ia merasa ikut bersalah karena kejadian itu terjadi di tempatnya sedang ia tidak melakukan apa-apa. Ia juga marah kepada Yuli karena membawa serta janinnya kepada kematian. Ia marah kepada orangtua Yuli karena yakin pastilah mereka orang-orang otoriter yang sulit memaafkan.
Tapi dia dan Erwin sepakat bahwa kejadian semacam itu sulit dicegah. Bagaimana memastikan orang yang datang sendirian itu bermaksud bunuh diri"
46 Mustahil ditanyai dulu saat mau check in. Atau memasang pengumuman "Dilarang bunuh diri!""
Kosmas tersentak dari kantuknya. Ke mana Erwin" Seharusnya adiknya itu menggantikannya berjaga di kantor.
Kebetulan Adi lewat. Adi salah seorang karyawan yang biasa diberi tugas jaga kantor. Mereka bergiliran sesuai waktu masing-masing. Kosmas memanggilnya. "Di, jaga sebentar ya! Aku mau cari Erwin dulu."
"Pak Erwin ada di kamar 14, Pak," Adi membe-ritahu.
"Ngapain dia di sana""
"Nggak tahu, Pak. Mungkin ngecek aja."
Kosmas bergegas menuju kamar 14. Kantornya sendiri terletak di bagian siku, diapit sebagian ke kiri dan sebagian lagi ke kanan. Sedang di bagian belakang terletak dapur dan ruang makan berikut beberapa kamar untuk karyawan di samping kamar-kamar yang disewakan.
Sejak kejadian tragis itu, kamar 14 dibiarkan kosong meskipun sudah dalam keadaan bersih dan siap dihuni. Selama masih ada kamar lain yang bisa diberikan kepada tamu yang membutuhkan, kamar itu tetap kosong.
Kamar 14 tertutup rapat. Kosmas membuka pintunya dan melongok ke dalam. Lalu tertegun keheranan.
Di tengah ruang, di lantai samping tempat tidur, Erwin sedang duduk bersila. Posisinya membelakangi pintu. Sepertinya ia tengah bermeditasi, tampak hening dan asyik. Kosmas tak berniat mengganggu. Ia
47 merapatkan pintu kembali, lalu balik ke kantor. Adi disuruhnya beristirahat. Ia akan menunggu kedatangan Erwin.
Lima menit kemudian Erwin muncul dengan ter-senyum-senyum.
"Telat sediki t nggak apa-apa kan, Bang""
"Nggak apa-apa sih. Tapi ngapain kau di sana tadi" Meditasi kok bukan di kamar sendiri."
"Aku lagi ngecek, Bang!"
"Ngecek apa""
"Aku mencoba melakukan komunikasi dengan roh halus kalau memang ada di situ. Jangan sebut hantu," sahut Erwin dengan tenang.
"Sejak kapan kau bisa berhubungan dengan roh""
"Aku kan nggak bilang bisa, tapi mencoba."
Erwin tersenyum misterius.
"Lantas" Apa berhasil"" tanya Kosmas.
"Kayaknya gitu."
"Gitu gimana""
"Kamar itu sudah bersih, Bang! Bisa diisi lagi," kata Erwin penuh keyakinan.
Kosmas geleng-geleng kepala. Dalam hati ia berpikir, "Sok tahu aja kau!" Tapi ia tak mau menyinggung Erwin.
"Sekarang kalau ada tamu datang, kasih aja kamar yang itu, Bang. Kecuali dia punya pilihan nomor yang lain," Erwin menyarankan.
"Ah, kenapa harus yang itu" Kan masih banyak yang lain. Nantilah kalau sudah tak ada lagi yang kosong. Aku kasihan sama si tamu kalau dapat yang itu."
"Kamar itu sudah benar-benar bersih, Bang! Tempat tidurnya, perabotnya, dan juga udaranya. Kalau dibiarkan kosong terus kan nggak baik juga, Bang."
48 "Nggak baik gimana"" "Nanti..."
Belum sempat Erwin menyelesaikan kalimatnya, mereka melihat sebuah mobil memasuki gerbang lalu melesat masuk dan berhenti di depan kantor.
"Ada tamu tuh," kata Kosmas, tapi ia tidak beranjak keluar. Ia duduk di sebelah dalam.
Seorang perempuan keluar dari mobil berpelat nomor D dengan tas tangan tersampir di bahu. Dari pintu mobil yang terbuka kelihatannya ia sendirian. Ia mengenakan celana jins dan blus putih yang pas di tubuhnya yang ramping. Ia kelihatan cantik meskipun tidak muda lagi. Langkahnya gesit ketika memasuki kantor.
Kosmas buru-buru berdiri untuk mendampingi Erwin. Ia ingin ikut menyaksikan dan juga ingin tahu.
Perempuan itu bernama Delia, warga Bandung, berusia 40 tahun. Di dalam ruang kantor yang terang wajahnya tampak lebih jelas. Kulitnya putih, matanya jernih dinaungi alis tebal dan hidung mancung. Pipinya tidak kencang lagi dan keriput sudah menggurat di bawah matanya, tapi ekspresinya menyenangkan. Senyumnya ramah.
Kosmas terpesona. "Ibu berkendaraan dari Bandung"" tanyanya.
"Ya." "Wah, capek tentunya."
Delia tersenyum. "Saya mau nginap tiga hari."
Erwin mencatat identitas Delia dalam buku tamu. Ketika Delia membubuhkan tanda tangannya, tampak jari-jarinya polos tanpa cincin. Kosmas menyimpulkan, kemungkinan Delia wanita lajang meskipun tidak selalu pasti. Perempuan bersuami bisa saja melepas cincinnya karena alergi atau sebab lain.
49 Delia menyelesaikan pembayaran. Lalu Erwin mengeluarkan kunci dari sakunya. Bernomor 14!
"Ini, Bu. Kamar nomor 14."
Kosmas melotot kepada Erwin, tapi Erwin pura-pura tidak melihat.
"Barangkali Ibu punya pilihan nomor lain"" tanya Kosmas sambil menunjuk nomor-nomor di dinding samping dengan kunci tergantung di bawahnya. Ia tentu tidak mungkin menjelaskan mengenai kamar nomor 14 itu. Si Erwin benar-benar kurang ajar, gerutunya dalam hati.
Delia menggeleng. "Empat belas juga boleh. Bahkan tiga belas juga nggak apa-apa."
Kosmas dan Erwin berpandangan. "Nomor tiga belas nggak ada, Bu," kata Erwin.
"Kalau begitu nomor tiga belas digabung dengan empat belas, bukan"" tanya Delia.
"Ibu ganti saja dengan nomor lain," Kosmas menganjurkan sambil berharap Delia setuju.
"Sudah saya bilang, sama aja. Ini juga boleh."
Dengan sikap cuek Delia keluar. Kosmas bergegas mengikuti.
"Mari saya tunjukkan kamarnya, Bu," ia menawarkan.
"Nggak usah, Pak. Terima kasih. Saya bisa cari sendiri. Nomornya gede-gede kok."
"Saya bisa bawakan tasnya."
"Terima kasih. Saya bisa bawa sendiri."
"Biar saya nyalakan AC-nya dulu, Bu."
Delia cepat-cepat masuk ke mobilnya. Kosmas mengambil kunci cadangan lalu bergegas menuju kamar 14. Ia membuka pintu dan membiarkannya terpentang. Setelah menyalakan AC, ia keluar dan menunggu sampai mobil Delia parkir di depan pintu.
50 Sebelum Delia turun dari mobilnya, Kosmas segera kembali ke kantor menemui Erwin.
"Win! Kamu kelewatan amat sih!" Kosmas mengomel.
"Sudahlah, Bang. Jangan marah dong. Dia kan nggak menolak. Dia baik-baik saja kok. Apalagi orangnya kelihatan pemberani. C
oba saja lihat. Dari Bandung dia bawa mobil sendirian. Dia bisa membantu kita dengan mengembalikan citra kamar itu."
"Aku kasihan sama dia, Win," suara Kosmas melunak.
"Dia kan nggak tahu, Bang." "Kalau ada yang kasih tahu, gimana"" "Ah, masa sih""
Kosmas termenung. Ia menopang dagunya dengan tangan di atas meja. Erwin mengamatinya dengan prihatin.
"Sori, Bang," katanya dengan sesal. "Aku nggak nyangka kau sangat memerhatikan dia. Begini saja. Sekarang juga aku akan ke kamarnya lalu memintanya pindah kamar karena kamar itu belum dibersihkan. Gimana""
"Sudahlah. Soal itu tak ada gunanya lagi. Bukan itu yang kupikirkan."
"Bukan itu" Lantas apa"" Erwin heran.
"Hei, apa tak terpikir olehmu bahwa dia perempuan dan sendirian" Firasatku nggak enak."
Erwin terperangah. "Maksudmu, ada kemungkinan dia mau bunuh diri""
"Entahlah. Kenapa dia sendirian" Datang jauh-jauh sendirian."
"Tapi coba bandingkan dengan Yuli, Bang. Yuli tinggal di kota ini. Dia datang naik taksi. Nginapnya
51 cuma semalam. Tapi ibu tadi datang dari Bandung. Jauh, kan" Kalau mau bunuh diri kenapa jauh-jauh amat" Memangnya di Bandung nggak ada hotel atau motel" Nanti mobilnya gimana" Kenapa pula nginap tiga hari, bayar di muka" Nginap saja semalam."
Alasan itu masuk akal juga bagi Kosmas. Tapi ia toh masih risau.
"Mungkin aku masih trauma, Win. Belum lama kejadian."
"Ya. Mungkin. Sudahlah, Bang. Nggak usah dipi-kirin. Aku rasa perempuan itu pengusaha. Lihat saja gayanya. Mandiri dan pede. Banyak senyum, lagi. Orang seperti itu mana mungkin bunuh diri, Bang. Jadi tenanglah."
"Apa kau yakin kamar itu sudah bersih, Win" Kasihan kalau dia terganggu. Siapa tahu dia mimpi buruk atau gimana."
"Aku yakin, Bang. Tadi suasananya beda sekali dengan hari-hari awal sesudah kejadian itu."
"Beda gimana, Win" Eh, ngomongnya yang jelas dong."
"Beberapa hari setelah kejadian aku merasakan kekacauan di situ. Ribut sekali. Ada ratapan, tangisan, keluhan, dan suara-suara yang tak bisa kugambarkan. Aku sangat takut. Tak bisa lama-lama. Tapi tadi sebaliknya. Hening dan damai. Aku pun merasa damai. Betah berlama-lama. Itu yang membuat aku yakin."
"Kau nggak pernah ngomong soal seperti itu sebelumnya."
"Aku tak mau membuatmu cemas."
"Apa kau punya bakat paranormal, Win""
"Kukira nggak, Bang. Itu bukan sesuatu yang luar biasa. Kalau kita konsentrasi pada sesuatu, lalu
52 mengerahkan dan memusatkan pikiran, kita bisa seperti itu."
"Mungkin halusinasi""
"Bukan. Aku yakin bukan."
"Ya sudahlah. Mikirin soal itu otakku jadi kusut. Mau makan" Aku beliin di depan ya" Kita makan sama-sama di sini. Kau mau makan apa""
Erwin tersenyum. Kosmas tak pernah marah kepadanya. Kalaupun marah cepat baik lagi.
Sebelum pergi Kosmas menghubungi kamar 14 dengan interkom. "Maaf mengganggu, Bu. Kalau Ibu perlu sesuatu, hubungi kantor dengan interkom. Misalnya mau makanan bisa suruh karyawan."
Ia sengaja menyusuri lorong depan deretan kamar lebih dulu. Setelah melewati kamar 14 baru ia turun ke halaman. Ia melirik jendelanya yang tertutup rapat. Tampak lampunya menyala. Ia berharap Delia bisa tidur nyenyak malam itu.
Sambil berjalan tatapannya tertuju ke perutnya yang membuncit. Seharusnya ia tidak membiarkan perutnya melar. Seharusnya ia mengikuti jejak Erwin yang suka berolahraga, lari pagi atau malam, tergantung waktu luangnya. Gemuk itu sarang penyakit, kata Erwin. Jadi membiarkan tubuh semakin gemuk sama saja dengan bunuh diri!
53 BAB 5 Delia memasukkan uangnya yang ia simpan di bawah karpet mobil ke dalam tas. Saat melakukan hal itu, berkali-kali ia melongok ke luar jendela kalau-kalau ada orang yang memerhatikan. Setelah semuanya dimasukkan, ia membawanya ke kamar untuk dirapikan lagi. Semua tumpukan uang itu ia taruh di dasar tas, atasnya ditutup dengan plastik hitam, lalu ditindih, dengan pakaian hingga penuh. Sesudah itu baru ia masukkan ke dalam lemari.
Kemudian ia mengamati sekitarnya, termasuk kamar mandi. Cukup bersih dan rapi, pikirnya. Sebelumnya ia selalu menghubungkan motel dengan hal-hal negatif. Dulu kalau ia dan Agus bepergian, mereka selalu menginap di hotel berbintang, minimal bintang sat
u. Padahal kalau dipikir secara rasional, hal negatif itu bisa terjadi di mana saja.
Teringat kepada Agus, ia menjadi sedih lagi. Belum pernah ia menginap di luar sendirian. Apalagi memilih sebuah motel. Sebelum ia melihat nama Motel Marlin di koran, ia memang sudah berniat memilih motel karena faktor kerahasiaan dan privasinya.
Setelah mandi dan menjadi segar kembali, Delia mengambil tas yang lebih kecil yang semula ia letakkan di lantai samping tempat tidur. Dari dalamnya ia keluarkan sebotol Aqua, satu peles kue kering,
54 sekantong apel, dan satu peles penuh berisi pil yang semuanya ia jajarkan di atas meja.
Peles berisi pil itu ia raih lalu ia bawa ke tempat tidur. Ia merebahkan diri sambil memandanginya. Hebat sekali benda-benda kecil ini karena bisa membawa orang ke dunia lain, pikirnya. Tapi bukan hanya itu. Benda-benda itu pun bisa memberinya kebebasan!
* * * Ketika itu diam-diam Delia menjual rumahnya yang mewah dan berkolam renang. Ia merasa beruntung bisa menjual rumah dalam waktu yang cukup singkat. Mungkin karena harga yang dimintanya tidak tinggi atau lebih rendah dari pasaran. Biasanya orang perlu waktu lama supaya berhasil menjual rumah, apalagi rumah mewah. Uang hasil penjualan rumah ia depositokan.
Sebagai gantinya, ia mengontrak sebuah rumah kecil dengan dua kamar. Itu lebih cocok untuknya yang sendirian. Apalagi rumah lamanya itu memiliki banyak kenangan yang terkadang menyakitkan untuk diingat. Ia pun tidak memakai pembantu. Benar-benar sendirian. Ia bekerja di luar dan di dalam rumah. Karena kelelahan, ia bisa cepat tertidur tanpa sempat berpikir macam-macam. Bekerja adalah obat stres.
Donna terkejut ketika mengetahui hal itu.
"Aku terpaksa, Don. Uangnya untuk bayar utang bank," Delia berbohong. Ia tahu, nanti Donna akan menyampaikan berita itu kepada orangtuanya dan selanjutnya sampai juga kepada Ratna.
"Ah, sayang sekali," keluh Donna.
55 Sejak Delia tinggal di rumah kontrakan, Donna tak lagi datang berkunjung. Apalagi menginap. Delia menduga, mungkin Donna memang bukan bermaksud mengunjungi dirinya sebagai ekspresi sayang, melainkan menikmati rumahnya!
"Wah, Tante nggak punya rumah lagi dong!"
"Nggak apa-apa. Aku kan sendirian. Indekos juga bisa."
"Ah, kasihan sekali."
Delia tak ingin dikasihani oleh siapa pun. Tapi seperti yang sudah diduganya, Ratna bereaksi atas penjualan rumahnya.
"Nenek marah sekali, Tante," Donna melaporkan. "Katanya, Tante nggak becus menjaga barang milik Oom Agus."
"Ah, kenapa dia mesti marah" Ini kan bukan urusannya""
"Tante mesti hati-hati sama Nenek. Dia menyumpahi Tante. Waduh, mulutnya nyerocos kayak air bah."
Meskipun sudah bertekad untuk tidak peduli lagi pada Ratna, tak urung Delia kesal juga. Ternyata Ratna masih tidak mau melepasnya setelah Agus tiada.
Suatu hari Rama menelepon. Bicaranya ramah dan menanyakan kabarnya. Delia merasa tersentuh oleh perhatian yang diberikan. Ternyata masih ada yang ingat padanya. Tapi perasaan itu hilang setelah beberapa saat kemudian pintunya diketuk, lalu ia melihat Rama, istrinya Maya, dan Ratna berdiri di depannya!
Di dalam rumah, Ratna memandang berkeliling dengan tatap selidik. Tak cukup hanya di ruang tamu, ia masuk ke dalam diikuti oleh Maya. Jelas maksudnya adalah untuk memeriksa.
Rama hanya duduk dengan wajah lesu. Sikapnya canggung dan malu.
"Maaf ya, Del," katanya pelan.
Delia mengangguk saja. Ia tahu kesulitan Rama.
Ratna keluar diikuti Maya yang tampak serbasalah karena disuruh terus mengikuti.
"Jadi inilah rumah barumu. Kecil, tapi cukup nyaman untuk penghuni yang sendirian. Sayang aku belum sempat menginap di rumahmu yang dulu. Juga berendam di kolam renangmu. Aku pengen tuh. Tapi Agus nggak pernah mengundangku," komentar Ratna.
"Ini bukan milik saya, Ma. Saya ngontrak setahun," kata Delia datar. Pasti Donna tidak bercerita tentang hal itu. Mungkin-Donna tidak percaya atau tak ingin menambah amarah Ratna.
Wajah Ratna tambah mengerut karena mulai naik darah.
"Bohong ah! Memangnya kamu sudah bangkrut" Uang jual rumah mewah itu pasti banyak sekali. Masa beli rumah kayak gini aja nggak bisa"" semburnya.
"Saya pakai bua t bayar utang, Ma." "Utang apa""
"Utang bank." "Bohong ah! Nggak percaya!"
"Terserah Mama saja, mau percaya atau nggak. Suratnya ada, tapi saya nggak mau memperlihatkan karena itu bukan urusan Mama."
"Kurang ajar kau! Terkutuk! Kualat!"
"Ma, sabar..." Rama menepuk-nepuk lengan Ratna. "Sudahlah. Sekarang ini orang bisnis biasa berutang sama bank. Namanya kredit."
Ratna menepis tangan Rama. Wajahnya sudah merah seperti kepiting rebus.
57 56 "Kata Donna, tokonya ramai. Jualannya laris. Masa perlu berutang"" Ratna masih penasaran.
Delia tidak menyahut. Ia berpikir, biarlah anjing menggonggong, kafilah akan tetap berlalu. Sebentar lagi orang-orang ini pergi dan ia bisa melanjutkan hidupnya dengan tenang. Lalu tatapannya tertuju kepada Maya yang diam saja dari awal kedatangan. Maya menunduk dan kelihatan bingung. Delia merasa iba kepadanya. Tiba-tiba ia merasa lebih beruntung daripada Maya yang terpaksa harus hidup seatap dengan Ratna.
Ratna marah melihat ketenangan Delia. Ia meletup lagi, "Sebagai ibu kandung Agus, seharusnya aku berhak mendapat bagian dari warisan!"
Delia terkejut oleh keterusterangan itu. Sesaat muncul kemarahan, tapi ia bisa menjawab dengan tenang, "Jangan khawatir, Ma. Mama bisa mendapatkan semuanya kalau saya mati dan tidak kawin lagi!"
Ketenangan Delia membuat Ratna semakin marah. Ia tidak menyangka Delia bisa setenang itu. Sesungguhnya ia mendapat kesenangan tersendiri dari ketakutan anggota keluarganya kepadanya.
"Baik! Kalau gitu cepat mati aja kamu!" teriaknya, lalu bergegas keluar.


Pertemuan Di Sebuah Motel Karya V. Lestari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Maya terbirit-birit di belakang Ratna, bagai anjing yang patuh pada tuannya. Tapi Rama sempat menyalami Delia.
"Maafkan ya, Del. Tabahlah," katanya.
"Terima kasih," sahut Delia.
Delia merasa senang karena bisa melawan Ratna. Tapi adakalanya ia merasa bersalah. Uang yang ia depositokan itu toh tidak ia perlukan. Tak ada salahnya memberi sebagian kepada Ratna. Tapi ada
58 perasaan tidak rela. Apakah itu bisa menjamin ia akan lepas dari gangguan Ratna" Mungkin saja nanti muncul tuntutan lain.
Seminggu setelah kejadian itu, Donna menelepon.
"Maaf mengganggu, Tante."
"Nggak apa-apa, Don."
"Begini, Tante. Sebenarnya aku mau minta tolong, tapi..."
"Bilang aja. Ada apa""
"Malu bilangnya nih. Begini. Mama masuk rumah sakit. Perlu uang muka. Tapi kami lagi bokek." "Perlu berapa, Don""
Di sana diam sebentar. Mungkin Donna merasa surprise kenapa ia langsung bertanya begitu.
"Sepuluh juta, Tante. Tapi..."
"Baik. Tolong sebutkan nomor rekening papamu. Nanti aku transfer."
"Aduh, terima kasih, Tante!"
Suara Donna kedengaran tidak seperti biasanya, pikir Delia. Apakah itu karena terharu atau sebab lain" Tapi tadi Delia sengaja tidak mau bertanya mendetail, karena sesungguhnya ia takut dibohongi!
Firasat buruknya jadi kenyataan. Dua hari setelah itu ia mendapat kejutan. Ratna menelepon.
"Kamu bohong padaku, Del! Bilangnya nggak punya duit. Punya utang sampai jual rumah. Ternyata dengan gampang kau bisa ngasih duit sepuluh juta tanpa pikir panjang! Kalau betul nggak punya duit, mana bisa begitu""
"Mamanya Donna sakit..."
"Sakit kentutmu!"
Delia terkejut. Apakah Donna berbohong" Ia tidak mau menanyakan itu kepada Ratna. Ia juga tidak mau mendengarkan lagi ocehan Ratna. Dijauhkannya
59 gagang telepon dari telinganya hingga cuma mendengar dengungnya saja. Baru setelah mendengar suara tut-tut-tut, ia meletakkan gagang telepon kembali ke tempatnya.
Meskipun sudah berusaha tabah, hatinya terasa sakit sekali. Seharusnya Donna tidak ikut-ikutan membohonginya. Apalagi setelah ia menerima SMS dari nomor tidak dikenal, "Hati2 pd Donna. Dia antek. Pengen dpt warisan!"
Sakit di hati itu berlanjut menjadi sakit fisik. Ia merasakan nyeri di perut bagian bawah yang terkadang hilang kemudian datang lagi. Lalu ia mendapati adanya bercak-bercak di celana dalamnya. Ia sudah mendengar bahwa gejala seperti itu merupakan indikasi adanya gangguan di rahimnya. Untuk memastikan, ia memeriksakan diri ke dokter kandungan. Dari pemeriksaan pap smear ia didiagnosis menderita kanker rahim stadium dini!
Ia perlu berpikir lama sekali ketika dokter menganjurkan untuk diop
erasi. Ia tidak rela rahimnya diangkat. Akhirnya ia memilih pengobatan alternatif. Salah seorang karyawannya yang dinyatakan kena kanker berhasil sembuh dengan pengobatan itu. Dengan penuh kepercayaan dan ketekunan, Delia menjalani pengobatan. Semangat dan keinginan sembuhnya tinggi.
Lalu pada suatu malam telepon berbunyi. Ia kembali dikejutkan oleh suara Ratna.
"Semoga aja kau bisa sembuh ya, Del!" Sesudah berkata begitu, Ratna tertawa dan hubungan putus tanpa menanti jawaban.
Delia merasa shock. Terpukul sekali. Nada bicara Ratna jelas merupakan sindiran. Apalagi tawanya. Sesungguhnya yang diharapkannya adalah kebalikan-
60 nya. Dari mana Ratna mengetahui soal itu" Selama ini yang tahu cuma dokter dan penyembuh tradisional itu.
Ada perasaan tak berdaya yang membuat semangat Delia anjlok. Ia menjadi pesimis. Bahkan nyeri yang dirasanya tidak lagi di perut bagian bawah melainkan di mana-mana! Ia tidak lagi melanjutkan pengobatannya. Apa gunanya" Mungkin tidak lama lagi ia akan mati. Benar-benar sesuai dengan yang diinginkan Ratna.
Biarpun demikian, pesimisme itu tidak menghilangkan kebenciannya kepada Ratna. Malah semakin bertambah. Itulah yang menguatkan tekadnya untuk membalas dendam. Biarlah dirinya mati tapi Ratna tidak akan mendapatkan hartanya!
* * * Delia menjual tokonya dengan harga miring. Yang penting baginya adalah tunai dan segera seperti halnya penjualan rumahnya. Setelah urusan jual-beli selesai, barulah ia memberitahu para karyawannya sekalian mengenalkan pemilik baru kepada mereka. Seperti kesepakatan yang telah dicapai, para karyawan tetap bekerja di posisi masing-masing. Tidak ada yang diberhentikan.
Uang hasil penjualan tidak ia depositokan seperti sebelumnya, melainkan ia dermakan sampai habis! Ia membagikannya kepada berbagai panti asuhan, yayasan sosial yang membiayai pengobatan orang tak mampu, dan mentransfer ke koran-koran dan stasiun televisi yang membuka pundi amal! Ia bagaikan Sinterklas yang membagi-bagikan hadiah gratis. Dalam waktu tak sampai seminggu, uang miliaran ludes!
61 Sama sekali tak ada rasa sayangnya. Ia tidak perlu minta izin kepada siapa pun. Ia juga tidak perlu minta maaf kepada Agus karena sekarang Agus tidak punya urusan lagi dengan masalah keduniawian. Justru ia merasa lega karena Ratna tidak perlu lagi mengejar dan mengutuknya karena ia tak punya harta lagi.
Tapi masih ada uang hasil penjualan rumah. Itulah yang ia bawa ke Jakarta. Ia akan membagikannya kepada berbagai panti asuhan dan panti wreda. Untuk itu ia perlu membuat survei dulu, lalu ia akan membagikannya secara langsung. Karena itu ia membutuhkan waktu tiga hari. Dan tentu saja ia masih membutuhkan mobilnya, satu-satunya barang berharga yang masih dimilikinya.
Tanpa uang Sepeser pun ia memang tidak bisa makan. Tapi orang mati tidak butuh makan!
62 BAB 6 Donna memasuki toko garmen Busana Indah. Ia masih mengenakan seragam SMU-nya dan menyandang tas sekolahnya. Sudah cukup lama ia tak berkunjung ke situ sejak ia menelepon Delia untuk minta bantuan. Ia malu ketemu Delia karena sudah membohonginya dengan semena-mena. Padahal Delia begitu baik. Ia begitu tulus menolong tanpa bertanya macam-macam. Mila, ibu Donna, juga marah-marah karena dirinya dikatakan sakit sampai masuk rumah sakit segala. Alasan seperti itu biasanya pantang dikatakan orang karena takut nanti jadi benar-benar sakit. Tapi ia tak bisa menolak perintah Ratna. Semuanya tak berani menolak.
Akhirnya uang yang ditransfer Delia ke rekening ayah Donna itu diminta oleh Ratna. Ramli, ayah Donna, memberikan tanpa keberatan. Uang itu memang bukan haknya. Bisa juga dianggap sebagai uang haram, karena merupakan hasil penipuan.
Sekarang Donna ingin menemui Delia untuk minta maaf. Untuk itu ia perlu mengumpulkan keberaniannya lebih dulu.
Beberapa karyawan menyapanya. Mereka sudah mengenalnya. Tapi ia tidak bergabung dengan mereka. Ia langsung ke sudut belakang toko, tempat kasir. Biasanya Delia ada di situ. Langkahnya terhenti
63 ketika melihat seorang perempuan yang tidak dikenalnya berada di situ. Ia merasa heran, lalu buru-buru kembali ke depan.
"Mbak Erna, Tan te Del lagi keluar, ya""
Erna menatap heran hingga Donna jadi heran juga.
"Mbak Donna nggak tahu, ya"" Erna balas bertanya.
"Nggak. Tahu apa sih"" Donna menjadi cemas.
"Ibu Del sudah menjual toko ini. Itu pemilik baru," Erna menunjuk ke belakang.
"Hah"" Donna terkejut. "Ke mana Tante sekarang""
"Wah, Bu Del nggak bilang-bilang, ya""
"Ke mana dia""
"Cari aja di rumahnya, Mbak."
Donna segera berlari ke luar lalu melompat ke dalam angkot. Tanpa ketemu dengan Delia berarti ia tak punya uang untuk jajan padahal ia lapar sekali. Biasanya kalau datang ke toko ia dibelikan mi bakso. Sekarang uangnya terpakai untuk ongkos angkot. Memang ia bisa saja pulang dulu ke rumah untuk makan dulu, sesudah itu baru pergi ke rumah Delia, tapi kecemasannya terlalu besar. Siapa tahu Delia sakit, terkapar sendirian di rumahnya.
Penyesalan Donna bertubi-tubi. Pikirannya mencoba mencari hubungan antara penjualan toko dan kebohongan lewat telepon itu. Apakah memang ada" Kenapa pula toko yang jadi penunjang hidup itu dijual"
Akhirnya ia tiba di depan rumah Delia. Di halaman tak ada mobil milik Delia. Biasanya mobilnya diparkir di situ. Pintu pagar tidak digembok jadi ia terus saja masuk sampai pintu depan. Ia mengetuk pelan lalu
64 keras. Sesudah itu ia memanggil nama Delia, dari pelan sampai keras. Biarpun sudah yakin rumah itu tidak berpenghuni, Donna terus saja mengetuk dan memanggil. Ia sudah capek dan ingin menangis, tapi tak mau berhenti. Siapa tahu Delia ada di rumah dan sedang tidur. Jadi perlu waktu untuk membangunkan.
Hasil dari kegaduhan yang ditimbulkannya adalah kemunculan seorang perempuan dari rumah sebelah.
"Cari siapa, Dik"" tanya perempuan itu.
"Tante Delia, Bu. Saya keponakannya."
"Oh, Mbak Del nggak ada. Perginya tadi pagi."
"Ke mana dan sama siapa, Bu""
"Dia pergi sendirian pakai mobil. Tapi ke mana nggak bilang. Saya kan nggak mungkin nanya-nanya, Dik."
"Kapan kembalinya, Bu" Bilang nggak""
"Nggak sih. Tapi mungkin nggak cepat-cepat. Soalnya dia nitip kunci sama saya."
Wajah Donna yang semula lesu menjadi segar! "Apa saya bisa pinjam kuncinya, Bu" Buku saya ketinggalan di sini padahal mau ulangan."
"Tunggu sebentar ya."
Ibu itu pergi lalu kembali membawa kunci. "Nanti kembaliin ya, Dik, kalau bukunya udah ketemu." "Tentu aja, Bu."
Setelah masuk ke dalam rumah, Donna berlari ke dapur. Tujuannya adalah mencari makanan. Ia membuka tudung saji di atas meja makan. Hanya ada beberapa potong roti tawar di dalam kantong plastik, dan di sampingnya ada sebotol selai stroberi. Ia memperkirakan makanan itu sisa yang dimakan Delia tadi pagi. Tidak ada makanan lain. Lemari juga kosong. Karena rasa lapar sudah menggerogoti perut-
65 nya, ia menghabiskan makanan itu. Masih untung ada sisa, pikirnya. Sesudah itu ia mencari minum di kulkas yang sudah karatan di bagian bawahnya. Ternyata kulkas itu sudah diputuskan aliran listriknya. Tak ada apa-apa di dalamnya. Kosong melompong. Hanya ada sebotol air putih. Masih untung ada yang bisa diminum, pikirnya.
Setelah kenyang baru ia mengamati sekitarnya. Ia menyadari, bukan cuma kulkas, lemari, dan meja makan yang kosong, tapi juga ruangan sekitarnya. Tidak ada hiasan dinding dan gambar yang sebelumnya pernah ia lihat. Ia segera melompat dan memeriksa ruangan lain. Di setiap ruang kesannya sama. Hanya ada perabot besar. Di ruang tamu hanya ada sofa dan perangkat meja-kursi. Memang tidak kosong sama sekali. Tapi ia ingat cerita Delia bahwa rumah itu dikontraknya berikut perabotan, termasuk kulkas butut itu. Perabotan Delia yang ada di rumahnya yang dulu sudah dijual berikut rumahnya.
Ia menuju kamar tidur Delia. Tidak dikunci. Seperti sudah diduganya, kamar itu sama saja keadaannya seperti ruangan lain. Kasur di ranjang tidak berseprai, bantal-guling tidak bersarung, dinding kosong, dan di atas meja tidak ada apa-apanya. Lemari pakaian pun kosong. Demikian pula laci-lacinya.
Donna sadar, Delia tidak bermaksud pergi sebentar. Ke mana perginya" Kenapa tidak bilang-bilang" Begitu sakitkah hatinya hingga ia berbuat seperti ini" Penyesalan Donna kembali muncul. Pasti apa yang dilakukan Delia ini ada hubunga
nnya dengan apa yang telah ia lakukan. Delia sangat kecewa kepadanya. Bukankah selama ini Delia memperlakukannya dengan baik seperti anak sendiri"
66 Donna kembali ke rumah tetangga sebelah untuk mengembalikan kunci.
"Bu, apakah Tante Del pernah cerita tentang rencana pindah rumah"" ia bertanya.
"Pindah" Nggak tuh. Emangnya kenapa"" ibu tetangga balik bertanya.
"Ah, nggak. Nanya aja, Bu."
Donna tak mau menceritakan apa yang dilihatnya tadi di dalam rumah Delia. Nanti ketahuan bohongnya.
Ia harus cepat pulang untuk menceritakan apa yang telah terjadi.
* * * Sore itu juga Ramli, Mila, dan putri mereka Donna, berkunjung ke rumah Rama. Tujuannya untuk menyampaikan kepada Ratna mengenai menghilangnya Delia.
Sebenarnya Mila dan Donna tidak setuju akan niat itu, tapi Ramli mengatakan ia tidak bermaksud menyudutkan Delia tapi berkewajiban untuk memberitahu Rama apa yang telah terjadi sebagai akibat penipuan yang melibatkan dirinya itu.
"Apa kalian tidak takut akan akibatnya bila dia tahu bahwa kita tahu tapi diam-diam saja"" tanya Ramli kepada anak dan istrinya. "Dia pasti akan menyumpahi kita habis-habisan."
"Kasihan Delia," kata Mila.
"Kasihan memang. Tapi salah dia sendiri juga sih. Kenapa dia nggak mau merendah sedikit terhadap Mama" Sudah tahu orangnya kayak gitu. Nggak bisa dilawan atau ditentang. Kasihlah Mama uang sedikit. Kan nggak rugi buat dia. Benar juga kesim-
67 pulan Mama. Kalau benar Del bokek, masa bisa memberikan sepuluh juta begitu saja."
"Begitu saja katamu, Pa"" bantah Mila kesal. "Mungkin saja dia pun merasa berat, tapi karena ingin menolong dia berikan juga. Mestinya kita berterima kasih kepadanya. Coba kalau aku benar-benar sakit dan perlu bantuan."
"Aku berterima kasih kepadanya. Tapi aku takut sama Mama. Kita kan harus menentukan pilihan kepada siapa kita harus berpihak. Mama adalah ibuku sedang Delia orang lain."
"Tante Del orang yang baik, sedang Nenek..." Donna tidak meneruskan ucapannya karena dipelototi ayahnya.
"Hati-hati kalau bicara. Bukankah kamu juga ikut berkomplot""
"Tapi aku nyesel, Pa! Nyesel banget!"
"Sudahlah. Nyesel pun percuma," sahut Ramli.
"Kalau ketemu, aku mesti minta maaf. Apakah Papa nggak mau minta maaf juga kepadanya""
"Kalau kau banyak omong, lebih baik nggak usah ikut. Nanti di depan nenekmu kau ngomong semba-rangan. Aku nggak mau kau dikutuk."
Donna tak mau dilarang ikut. Ia ingin melihat bagaimana reaksi neneknya setelah mengetahui ke-pergian Delia yang diam-diam itu. Ia ingin tahu seperti apa rupa neneknya kalau sedang marah besar. Selama ini ia hanya mendengar cerita saja. Katanya rambut si nenek yang putih itu jadi setengah berdiri seperti habis diblow dan mukanya merah. Matanya juga merah. Hiii, seperti apakah itu"
Begitu bertemu Ratna, mereka bertiga terpesona. Ratna berpenampilan ceria dan berkilauan. Ia mengenakan daster baru berwarna merah. Wajahnya
68 yang sudah berkeriput itu berbedak hingga tampak semakin putih. Alisnya yang sudah gundul ditimpa pensil alis menjadi dua garis melengkung. Bibirnya pun disaput lipstik. Rambutnya masih putih dan pendek, tapi dikeriting! Tapi bukan itu yang membuat Ratna berkilau. Ia mengenakan semua perhiasannya! Hampir semua adalah pemberian anak-anaknya. Tapi ada satu yang tampak paling mencolok. Di lehernya menjuntai sebuah kalung emas bertabur berlian!
"Lihat ini!" katanya sambil meraba kalungnya. "Uang sepuluh juta itu kubelikan ini. Bagus nggak""
Donna merasa mual. "Bagus," kata Ramli.
"Bagus," Mila mengikuti.
"Nah, ada apa kalian ke sini" Pasti ada sesuatu. Bukan karena kangen padaku, kan"" Ratna tertawa. "Kulihat kalian nggak bawa oleh-oleh."
Mila tersipu. Donna memalingkan muka. Di matanya, neneknya ini benar-benar tak ubahnya nenek sihir. Menakutkan dan memuakkan, tapi juga menggelikan! Di mata Ramli, ibunya bukan cuma menakutkan tapi mengagumkan! Licik, tapi pintar. Sedang di mata Mila, ibu mertuanya itu seperti setan!
Sebagai orang tua berusia tujuh puluh tahun, Ratna sangat sehat. Biasanya orang seusianya bertubuh tambun, tapi ia tetap ramping meskipun perutnya sedikit buncit. Kecuali sel-sel tubuhnya yang memang sudah a
us, semua organ vitalnya masih berfungsi sempurna. Dokter yang pernah memeriksanya memujinya sebagai orang tua yang langka. Biasanya orang setua itu sudah didekati dan dihinggapi penyakit. Bahkan orang yang jauh lebih muda pun banyak yang tidak sesehat dirinya.
Gerak-geriknya pun gesit. "Tak tampak kesan lam-
69 ban atau loyo. Tulang-tulangnya kuat berkat rajin minum susu sejak muda. Kesempurnaan fisiknya memang bukan tanpa sebab. Makanannya selalu penuh gizi. Ia sangat memerhatikan soal itu untuk dirinya, tapi tak peduli pada apa yang dimakan keluarga anaknya. Biar saja mereka makan tahu dan tempe asal ia selalu makan daging, telur, dan susu!
Sayangnya, fisiknya yang sehat itu tidak dibarengi dengan jiwa dan mental yang sehat juga.
* * * Usai mendengar cerita Ramli bahwa Delia pergi tanpa jejak, bangkitlah amarah Ratna. Ekspresinya yang mengerikan diamati dengan terpesona oleh Donna. Tak mengherankan kalau ayahnya dan lain-lainnya begitu ketakutan. Ia jadi bertanya-tanya dalam hati, seperti apakah Ratna semasa mudanya. Untunglah ia tidak memiliki ibu seperti Ratna.
"Kalian harus mencarinya!" seru Ratna.
Rama dan Ramli berpandangan. Maunya membantah, tapi kenyataannya mereka mengangguk-angguk. "Ya, Ma. Nanti dicari."
"Dasar licik! Jual rumah! Jual toko! Sekarang kabur! Diapain uangnya"" teriak Ratna.
Sebenarnya semua orang di seputar Ratna sama-sama berkata dalam hati, "Itu adalah hak Delia sendiri!" Tapi tentu saja tak ada yang berani berkata begitu. Mereka cuma mengangguk-angguk dengan wajah lesu.
"Dia membawa lari harta anakku! Dia membawa lari bagian warisanku!"
Orang-orang tercenung dan bingung. Meskipun sudah diberitahu bahwa warisan suami jatuh pada
70 istri, apalagi Delia ikut berusaha bahu-membahu bersama Agus, tetap saja Ratna tidak mau mengerti. Ia kukuh pada pendiriannya. Tapi semua paham sesungguhnya Ratna bukan tak bisa mengerti. Ia kukuh karena keinginannya sendiri.
Tiba-tiba Donna nyeletuk, "Kan Nenek udah dapat ini!" katanya sambil menunjuk lehernya sendiri.
Ayah-ibunya terkejut. Benar saja, anak itu ngomong sembarangan. Sebenarnya itu bukan sembarangan, tapi bagi Ratna maknanya adalah kelancangan. Benar saja.
"Apa kau bilang" Anak kecil kamu!" bentak Ratna kepada Donna.
"Sudah, Ma. Sudah," bujuk Ramli. "Namanya juga anak kecil."
Tapi Donna tidak menyatakan penyesalan. "Biarpun anak kecil, aku kan udah bantuin Nenek."
"Hei, diam kamu!" bentak Ramli. Ia sangat takut kalau-kalau anaknya kena kutuk. Ia percaya benar mulut ibunya bertuah.
"Sudah, Don. Keluarlah," bujuk Mila.
Sambil memonyongkan mulutnya, Donna melangkah ke luar ruangan. Tapi ia tidak benar-benar pergi. Ia cuma bersandar di balik dinding dan memasang kupingnya.
"Si Del itu lagi sakit, tahu! Dia nggak bakal selamat! Hartanya yang mesti diselamatkan. Kalau dapat, kalian akan dapat bagian!" seru Ratna.
Donna tersentak kaget. Delia sakit" Bagaimana neneknya bisa tahu"
Dalam perjalanan pulang, Ramli bertanya, "Tante Del sakit apa, Don""
Donna tahu, ia harus berpura-pura. "Sakit" Kata siapa, Pa""
71 "Nenek bilang Del sakit. Sakit apa sih"" "Nggak tahu, Pa. Nenek tahu dari mana"" "Bukan dari kamu""
"Bukan. Aku kan udah lama nggak ketemu Tante Del. Malu. Tadi aku ke sana karena dorongan hati nurani. Pengen minta maaf."
"Habis, dia tahu dari mana""
"Nggak tahu. Mungkin ada informan lain, Pa."
"Jangan-jangan..." Ramli tak melanjutkan ucapannya karena merasa takut.
"Jangan-jangan apa"" desak Mila.
"Mungkin Mama mengutuk Del!"
72 BAB 7 Delia bangun keesokan paginya dengan perasaan segar. Sesaat ia perlu mengingat lagi keberadaannya dan apa yang mau dikerjakannya. Ada juga rasa heran bagaimana ia bisa tidur nyenyak dalam kondisi seperti itu. Apakah karena ia sudah pasrah dan merasa tak punya beban lagi" Padahal kemarin-kemarin, justru di rumah sendiri ia sering sulit tidur.
Usai mandi ia mengenakan celana panjang hitam dengan blus lengan pendek motif kembang-kembang warna biru muda yang cerah. Pakaian itu membuatnya kelihatan ramping dan wajahnya bersinar cerah, padahal ia tak mengenakan riasan. Ia sama sekali tak peduli apa ia kelihatan cantik atau tid
ak. Sekarang hal itu tak ada gunanya.
Ada kesan baru yang diperolehnya. Ternyata menjelang akhir hidup bukanlah akhir harapan. Sebaliknya, justru merupakan harapan. Betapa senangnya bisa mengucapkan selamat tinggal pada kehidupan dalam keadaan siap!
Pintunya diketuk. "Bu Delia, nasi gorengnya sudah siap!"
Ia membuka pintu. Lalu terheran-heran melihat Kosmas memegang baki berisi sepiring nasi goreng dengan sendok-garpu dibungkus tisu bersama segelas
73 teh panas. Bukankah Kosmas itu pemilik motel" Atau cuma karyawan"
"Kok Bapak yang bawain""
"Memangnya nggak boleh""
"Lagi kekurangan karyawan rupanya."
"Ah, nggak juga. Tapi kalau Ibu keberatan..."
Kosmas berlagak akan membawa pergi barang bawaannya.
"Tentu saja nggak keberatan, Pak. Terima kasih.".
Delia mengulurkan tangannya untuk menyambut baki di tangan Kosmas. Tapi Kosmas masuk lalu meletakkannya di atas meja. "Silakan, Bu. Selamat makan. Mudah-mudahan enak. Ini bikinan warung di depan."
"Kayaknya sih enak ya. Bapak udah makan"" "Saya sih gampang. Makan gantian dengan adik saya atau makan bareng kalau karyawan yang jaga." "Yang mana adik Bapak""
"Itu, yang kemarin sore nerima Ibu bareng saya." "Oh itu. Tapi kok..."
Delia tidak meneruskan ucapannya yang meluncur begitu saja. Apa urusannya"
Kosmas melanjutkan kalimat Delia, "Kok nggak sama, ya" Memang banyak yang bilang begitu. Tapi kami memang bersaudara kandung. Satu ayah, satu ibu."
"Ya. Itu memang bisa. Maaf ya, Pak. Saya mungkin usil."
"Ah nggak. Wah, saya kelamaan ngomong. Nanti nasinya menjadi dingin. Ayo silakan makan."
"Terima kasih, Pak... siapa ya""
Kosmas mengulurkan tangannya. Senang diberi kesempatan. "Saya Kosmas. Adik saya Erwin."
"Saya Delia," kata Delia bergurau. "Udah tahu. ya""
74 "Ya." Kosmas tersenyum. "Silakan, Bu. Kalau sudah selesai, Ibu bisa hubungi kami lewat interkom. Nanti karyawan yang ambil. Di situ ada bonnya. Ibu bisa titip uang padanya. Oh ya, apakah Ibu bisa tidur nyenyak semalam""
"Wah, nyenyak sekali. Bangun-bangun saya bingung ada di mana," sahut Delia dengan sebenarnya.
"Jadi nggak ada mimpi buruk atau gangguan apa-apa""
"Nggak." "Syukurlah. Mari, Bu..."
Ketika Delia menikmati nasi gorengnya, ia ter-senyum-senyum sendiri. Gila, pikirnya. Ternyata aku masih senang mendapat perhatian lelaki! Itu tidak fair. Tidak boleh terjadi. Apalagi lelaki itu jelek. Wajahnya seperti preman. Beda sekali bila dibandingkan dengan Agus. Ah, aku tidak boleh macam-macam!
Tapi ada sesuatu pada diri lelaki itu yang membuat Delia terkesan. Tampang sangar tapi perilaku santun dan perhatian. Mungkin pura-pura saja"
* * * Kosmas menemui Erwin dengan wajah gembira. "Aku sudah berkenalan dengan dia," ia melaporkan. "Dia siapa"" "Ibu Delia, kamar 14." "Wah. Gimana ceritanya""
Kosmas bercerita seadanya. "Ternyata dia bisa tidur nyenyak semalam. Justru aku yang jadi nggak bisa tidur mikirin dia."
Erwin tertawa. "Benar, kan" Aku sudah bilang kamar itu bersih. Tapi harus dibuktikan supaya orang percaya."
75 "Mestinya jangan diberikan kepadanya, tapi orang lain."
"Jangan-jangan kalau dia diberi kamar lain, kau malah nggak simpati kepadanya."
"Ah, masa karena soal kamar. Orangnya dong."
"Hati-hati, Bang. Jangan terburu-buru menyukainya. Kenal dulu."
"Tentu saja. Aku lagi mikirin caranya. Yang pasti dia orang baik-baik. Dan tidak bermaksud bunuh diri!"
"Ya. Itu melegakan."
"Win, tolong bantu cari ide bagaimana bisa mendekatinya. Eh, jangan kritis dulu. Aku memang harus mengenalnya dulu sebelum bersikap. Tapi kalau nggak mendekati, bagaimana bisa kenal""
"Oke. Nanti aku pikirin. Dia toh masih dua malam di sini."
Kosmas percaya akan kemampuan Erwin. Adiknya itu punya perbendaharaan ide yang lebih banyak daripadanya.
Delia merapikan uangnya. Semua dibagi dalam amplop-amplop cokelat yang sudah disiapkan. Hari ini ia akan mencari informasi lebih dulu mengenai berbagai panti asuhan dan panti wreda yang ada di Jakarta. Lalu sambil jalan ia akan menyumbangkan uangnya kepada panti-panti terdekat yang dilaluinya.
Selanjutnya, sebagian besar amplop-amplop itu dimasukkannya ke dalam tas jinjing sedang sebagian kecil masuk ke dalam
tas tangan. Seperti sebelumnya, yang sebagian besar itu ditaruh di bagian dasar, lalu atasnya ditutupi pakaian. Tas itu akan dimasukkan ke
76 dalam mobil di tempat yang tidak mencolok. Ia tidak mau meninggalkannya di motel karena takut ada yang menggerayangi. Padahal ia juga ngeri membawanya ke mana-mana di dalam mobil. Tapi kalau dikir-pikir, mungkin itu lebih aman. Bukankah ia berhasil membawanya dengan selamat dari Bandung"
Ia memutuskan untuk mempercantik penampilannya. Ia berdandan dengan rapi. Sebagai seorang penyumbang yang tak dikenal, ia perlu kelihatan bonafide. Kalau penampilannya sembarangan, mungkin saja orang menyangka buruk perihal dirinya. Siapa tahu ada yang mencurigai bahwa ia akan menyebar uang palsu atau uang hasil kejahatan.
Sesudah itu ia tersenyum kepada cermin. Rasanya sudah lama benar ia tidak mengamati wajahnya atau berdandan dengan cermat. Ada perasaan tidak peduli. Tapi sekarang ia bisa bergaya. Ia merasa dirinya masih cukup cantik. Memang tak ada gunanya lagi semua itu kalau satu kakinya sudah berada di tepi liang kubur. Tapi ia membayangkan dirinya akan berpenampilan seperti itu bila nanti "ditemukan". Siapa yang "menemukan" dirinya nanti" Apakah karyawan motel, Kosmas, atau Erwin"
Tiba-tiba ia terkejut. Tubuhnya menegang. Ia memekik kaget. Di cermin ia tidak hanya melihat wajahnya sendiri, tapi wajah Ratna! Wajah berkeriput itu tersenyum sinis kepadanya dan sorot matanya terlihat kejam dan benci. Delia cepat-cepat menoleh ke belakang. Entah kenapa ia melakukannya karena ia tahu ia cuma sendirian. Memang benar. Tidak ada siapa pun di belakangnya. Ia kembali memandang cermin. Kali ini di cermin hanya ada wajahnya. Ditatapnya lama-lama, tapi penampakan wajah Ratna tak ada lagi.
77 Ia menenangkan diri. Pasti itu halusinasi belaka. Ia meyakinkan dirinya untuk tidak lagi merasa takut. Sekarang ini ia sudah siap untuk kehilangan segalanya. Termasuk nyawanya sendiri. Bukan karena ketakutan, tapi sebagai perlawanan. Apa lagi yang mau dilakukan Ratna kepadanya"
Ia menatap cermin. "Mama, jangan ganggu aku lagi! Aku tidak takut kepadamu!" serunya.
Tidak ada yang tampak di cermin.
Ketika ia sedang memasukkan tasnya ke dalam mobil, Kosmas mendekat. Entah dari mana munculnya. Tahu-tahu sudah ada.
"Mau pergi, Bu"" sapa Kosmas.
"Iya. Ada urusan."
"Oh ya, apa Ibu perlu peta Jakarta" Kalau Ibu kurang paham jalan-jalan di sini, tinggal cari saja."
Delia berpikir sejenak. "Boleh juga, Pak. Saya boleh pinjam""
"Tentu saja boleh. Sebentar ya. Saya ambil dulu."
Kosmas berlari ke kantor. Delia tersenyum melihatnya. Gaya larinya lucu, pikirnya.
Tak lama kemudian Kosmas muncul dengan buku peta di tangannya. Ia menyodorkannya kepada Delia.
"Terima kasih, Pak. Nanti saya kembalikan."
"Hati-hati di jalan, Bu."
Kosmas melambaikan tangan. Senang bisa berbuat sesuatu. Ia juga berterima kasih kepada Erwin. Yang tadi itu idenya.
"Berikan perhatian pada hal-hal kecil, maka dia akan terkesan!" begitu kata Erwin.
Delia melirik kaca spion. Ia melihat Kosmas masih saja berdiri memandangi kepergiannya. Baru ketika ia keluar dari pintu gerbang, lelaki itu berjalan
78 menuju kantor. Ternyata di hari-hari akhir hidupnya ia masih mendapatkan perhatian dari seseorang. Rasanya menyenangkan. Tapi kemudian ia terkejut sendiri. Tidak seharusnya ia memberi harapan kepada siapa pun karena ia tidak bisa memberi apa-apa. Bukan tidak mau, tapi memang tidak bisa!
Saat mengemudi, Delia teringat kembali kepada penglihatannya di cermin tadi. Ia meyakinkan diri bahwa itu cuma halusinasi, tapi masih saja ia merasa risau. Mungkin bukan takut, tapi khawatir rencananya tak bisa terwujud dengan mulus. Sepertinya apa yang tampak tadi, halusinasi atau bukan, bisa dianggap sebagai peringatan. Sekarang ini, boleh dikata ia seolah sedang berperang dengan Ratna. Ia berusaha supaya Ratna tidak berhasil memperoleh hartanya, bukan dengan mempertahankannya karena hidupnya mungkin saja lebih singkat daripada Ratna. Maka ia menghabiskannya hingga pada akhirnya nanti Ratna hanya mendapatkan tubuhnya yang sudah tak bernyawa! Bukankah Ratna sering mengutuknya supaya i
a cepat mati" Bila hal itu benar-benar terjadi, dan memang akan terjadi, ternyata dirinya sudah tidak berharta lagi. Oh, betapa marahnya Ratna! Membayangkan kemarahan Ratna membuat Delia senang.
"Bukankah lebih baik bila uang itu diberikan pada mereka yang menderita daripada dibelikan emas berlian, Ma"" katanya, bicara sendiri. "Mama nggak bisa membawanya ke liang kubur. Pergi ke akhirat tak perlu bekal. Bisa aja sih dibawa ke liang kubur, tapi buat apa" Yang pasti Mama nggak bisa menikmatinya."
Delia merasa, geli membayangkan sosok Ratna yang kaku dan kemudian membusuk itu dipenuhi perhiasan. Menilik tabiatnya, mungkin saja memang
79 itulah yang akan diperintahkannya kepada anak-anaknya. Relakah Ratna mewariskan hartanya pada mereka" Sedang mereka tentunya tidak rela juga bila harta itu ikut dikubur padahal bisa dimanfaatkan dalam kehidupan. Tapi beranikah mereka untuk tidak melaksanakan perintah Ratna, biarpun Ratna sudah tidak ada hingga tak bisa menyaksikan" Sayang Delia sendiri juga sudah tidak ada nanti supaya bisa memantau apa yang terjadi.
Orang sekuat Ratna kemungkinan berusia panjang. Masih hidupkah ia sepuluh, bahkan dua puluh tahun lagi" Bila hal itu terjadi, kasihan sekali anak-anak dan menantunya, terutama mereka yang hidup bersamanya.
80 BAB 8 Ratna duduk di kursi goyangnya sambil bergoyang pelan. Matanya terpejam. Kedua tangannya mencengkeram pinggiran kursi. Tubuhnya terlihat tegang. Benaknya yang sudah tua itu sedang berpikir keras. Ia juga sedang kesal. Konsentrasi pikirannya tertuju kepada Delia. Firasatnya mengatakan, menantunya itu sedang bermain kucing-kucingan dengannya. Mempermainkan dirinya. Tapi ia juga diliputi perasaan takjub mengenai dirinya sendiri. Belakangan ini ia merasa dirinya seperti mendapat tambahan kekuatan, baik fisik maupun pikiran. Tak pernah ada lagi kepikunan yang kadang-kadang dialaminya. Bersamaan dengan itu, berbagai keinginan pun melonjak-lonjak lebih besar daripada biasanya. Keinginan-keinginan yang tak mungkin terpenuhi.
Ia teringat kepada sang Tuan. Kenapa tak pernah muncul lagi" Bukankah ia belum memberikan jawaban terhadap permintaannya itu" Apakah sang Tuan tidak berminat lagi kepadanya" Ia merasa takut, tapi keinginan-keinginan itu terasa mendera. Padahal umurnya mungkin tak lama lagi. Sedang hidup cuma sekali.
Bila ia sedang duduk di kursi goyangnya ini, tak ada yang mau mendekatinya kecuali pembantunya yang bernama Ipah. Di depannya pesawat televisi
81 menyala. Cuma Ipah yang menonton. Ipah memang pembantu khusus Ratna. Pekerjaannya hanya melayani Ratna. Sementara keluarga Rama tidak memiliki pembantu. Maya, istri Rama, mengerjakan sendiri pekerjaan rumah tangganya. Terkadang Ipah membantunya di waktu luang, bila Ratna tidak memerlukannya. Maya tidak berani menggunakan tenaga Ipah terlalu sering biarpun Ipah menawarkan diri. Ia takut mertuanya tidak senang. Ratna sendiri tidak pernah menyuruh Ipah membantunya.
Ratna tahu betul perihal ketakutan menantunya itu. Ia tidak berusaha meredakan, tapi justru menikmati. Biar sajalah anak, menantu, dan cucunya menjulukinya sebagai nenek sihir. Ia menyukai julukan itu. Ketakutan mereka menjadi kekuatannya. Bila ia tidak punya kekuatan, padahal ia sudah tua, cepat atau lambat mereka akan melemparkannya ke panti jompo!
Pahlawan Harapan 5 Rahasia Iblis Cantik Jai Huan Ji Karya Gu Long Prahara Pulau Mayat 3
^