Pencarian

Perempuan Paris 2

Perempuan Paris Karya Motinggo Busye Bagian 2


"Kau ingat kampung halaman"", tanya Loraine, membangunkan aku dari lamunan. Ka-rena aku malu kedapatan oleh Loraine sedang melamun, lalu kulepaskan senyum bekuku men-jadi senyum yang cair.
"Kau tidak mengantuk, Loraine"" tanya-ku.
"Aku sedang membaca sebuah scenario", kata Loraine.
"Hei, kau kepingin menjadi bintang film", kataku.
"Siapa tahu nasib baik aku bisa bermain film kelak. Tetapi setidak-tidaknya harus di-mulai dari pentas teater", kata Loraine.
"Seharusnya begitu", kataku.
"Kau suka dengan drama karangan August Strindberg"", tanyanya. "Sedikit", kataku sekedarnya.
"Henrik Ibsen""
"Juga sedikit", kataku. "Jean Anouilh""
"Juga sedikit", kataku, "Tetapi aku lebih suka kepada puisi Perancis. Mungkin selera seniku buruk sekali". Sebenarnya aku kepingin tidur. Aku takut diusik lagi oleh Loraine tentang tanah air, tentang kerinduanku kepada kampung halaman. Karena jika dia mulai bertanya be-gitu, aku lalu memikul suatu beban di kedua bahuku. Belakangan ini soalnya bukan lagi beban ketakutan untuk memikul soal-soal dapur dan beras dan sayur-mayur lagi, melainkan beban moril yang kutinggalkan di tanah air. Se-lama empat tahun, tanggung jawab moril inilah yang mengejar-ngejarku, seolah-olah aku ini manusia yang tak bertanggung jawab. Tetapi setiap beban moril itu mendatangiku, aku ke-pingin lari dari bayangan gelap itu, lari seperti seorang pengecut, rendah diri, atau seorang yang melakukan desersi kepada musuh, begitu-lah aku selalu merasa
ngeri. Aku berangkat ke Nederland atas pertolongan komandanku dalam pertempuran dulu, seorang letnan yang melihat bakatku sebagai bawahannya yang bisa dikem-bangkan bakatku ini di bidang grafika. Dan aku merasa senang dengan tawaran itu, sebab se-bagai pegawai kantor demobilisan aku merasa gaji tak cukup sedangkan ongkos-ongkos hidup dan beaya ke dokter yang selalu naik, membikin aku menerima tawaran ke Negeri Belanda itu laksana mendapat lotre. Aku tak pandai berbahasa Belanda, sekalipun bahasa Inggerisku amat baik. Komandan pasukanku melihat dari segi yang lain. Katanya masa depan grafika Indo-nesia amat penting, dan aku dipaksanya mau menerima tawaran itu, katanya ia bisa menolong dengan seorang pejabat. Tetapi setelah dua ta-hun kuliah di Akademi Grafika di Nederland, surat-surat kabar luar negeri yang kubaca di sana itu mengerikanku bila mereka menyeret keadaan ekonomi negeriku. Aku merasa ngeri untuk pu-lang. Percuma sertifikat Akademi Grafika yang kupunyai bilapun aku pulang. Sebab dalam ke-adaan ekonomi pahit itu, penjual soto yang buta huruf akan lebih baik keadaan hidupnya dari-pada seorang yang cuma memegang sertifikat tamatan akademi grafika. Henri yang sama ku-liah denganku, menolong keadaanku waktu itu yang putus asa. Sahabatku yang lincah ini membuka jalan kepadaku untuk ke Paris!
Episode 22 Apakah perlu jalan hidup yang pedih ini kuceritakan kepada orang lain, sekalipun Lo-raine" Kukira tidak perlu. Empat tahun di tanah asing buatku cukup memberi pelajaran berma-syarakat, bahwa pada akhirnya nasib seseorang berada dalam tangan orang itu sendiri. Jangan-kan di tanah asing ini, bahkan sewaktu masih di Jakarta saja aku sudah merasa hidup seperti pepatah Jakarta, "siapa lu siapa gua", dan pernah di Jakarta aku melihat orang ditubruk trem ada yang berteriak latah, "Rasa in mampus lu!". Tetapi ini suatu kenyataan dari kehidupan modern. Hidup modern menyuruh setiap indi-vidu haruslah menjadi subyek dari segala macam situasi. Mereka yang menjadi obyek dari situasi yang bagaimanapun akan bernasib malang, ber-kali-kali, mulai dari zaman penjajahan sampai kepada zaman merdeka dan pemilihan umum yang sudah lalu dan kemudian dicairkan lagi.
Waktu aku menoleh, kulihat Loraine sudah tidur dengan telentang, tanpa bantal, diatas permadani, dengan sebuah buku scenario menutupi mukanya.
Kulihat sendiri betapa enaknya tidurnya. Akupun duduk dengan menyandarkan ke-pala pada lengan kursi tua, kursi model abad kerajaan negeri ini ! Dan yang tidur itu, gadis modern dari negeri ini juga, gadis kota Paris yang haus akan segala-galanya, haus teman, haus ilmu, haus juga kepada kemasyhuran ka-rena dia kepingin menaiki tangga menuju bin-tang-bintang film!
Aku mengambil mantelku. Kukira udara se-juk yang berhembus melalui lubang-lubang angin akan membikin Loraine kedinginan dan dapat pilek nantinya. Lalu mantelku kuselimuti pada kaki Loraine.
Sungguh nyenyak sekali tidurnya! Dia tak merasa sekalipun mantel itu kulemparkan be-gitu saja, yang menghentak, yang seharusnya membikinnya terbangun Tapi tidak. Loraine tidur nyenyak.
Kini kucoba menyadari diriku. Haruskah aku selalu begini, bercermin pada diri sendiri, ibarat bunga narsiscus" Dan terpaksa aku tak ambil pusing. Kutemukan kelemahanku. Aku tak bisa menyegarkan angan-angan gadis ini yang kepingin termasyhur. Kukira aku belum perlu merasa cukup tua pada umur 33 tahun begini. Bahkan Sophia Loren, bintang Italia itu lebih suka kepada situa Carlo Ponti dari-pada bintang-bintang Italia dan Hollywood yang muda dan ganteng! Perasaan demikian ini, mem-bikin aku melupakan pertimbangan apapun. Dari Paris aku sengaja membawa Loraine untuk sesuatu yang romantis. Aku lelaki. Dia gadis. Aku dan Loraine ada dalam rumah kecil ter-pencil berdua saja, tanpa mau saling mengisi waktu dengan ngobrol, dan betapa salahnya aku aku biarkan Loraine jatuh tertidur dari tadi hanya karena membaca skenario.
Musik klasik dalam piringan hitam itu lama sudah berhenti. Musik hatiku mendenyutkan yang lain. Kulihat dia tidur demikian nyenyak. Aku merangkak mendekatinya. Dan buku yang menutupi wajahnya kuambil. Lora
ine diam saja, hanya menarik nafas. Tidur. Tapi terus juga dia kupandangi. Sejuknya wajah yang tertidur itu. Dia tak tahu aku memandanginya. Kepalaku tunduk. Wajahku bagai menutupi wajahnya. Pelan-pelan kuhirup bau keringatnya pada tepi lehernya. Dia tak bergerak. Aku bagai meng-hirup patung hidup. Loraine! betapa nyenyak tidurmu! Darahku berdebar, dan nafasku men-desak dan kuciumi telinganya, keningnya, dan sewaktu bibirnya kukecup perlahan aku merasa punggungku bagai dirangkul.
Pada pagi harinya, aku dan Loraine seperti kanak-kanak berkejar-kejaran di rumputan di -belakang rumah. Terkadang aku dapat meme-gang lengan Loraine dan dia terpekik sambil ketawa. Kemudian aku menggendongnya.
"Hayooo, kuceburkan kau kedalam sungai Seine!" aku berseru.
"Hai-hai-hai", Loraine ketawa.
Kulemparkan tubuh Loraine kedalam su-ngai, dan dia terpekik sambil ketawa. Aku me-lompat mencebur, dan mengejar Loraine yang berlagak hanyut dibawa arus sungai. Aku me-ngejarnya terus, menggelepak-lepakkan tapak tanganku sambil berenang itu. Loraine menakut--nakuti seakan-akan dia tenggelam. "Tolong, tolong", teriaknya dengan kepala timbul dan tenggelam di permukaan arus sungai. Dan bila kemudian aku menangkap lehernya, kupagut Loraine dalam air, dan kubiarkan seakan kami berdua hanyut oleh arus, dan Loraine ketawa--tawa dalam pelukanku yang mengikuti arus Seine. Kemudian baru Lonaine kuseret ke tepi,
kuseret dengan kaki menggelepar-gelepar dalam air dan lengan mengepit pinggangnya.
Di tepi sungai kami sama membantingkan tubuh kami masing-masing di atas rumput hijau. Kemudian kami bergelut bergumul-gumulan sampai nafas kami sesak oleh ketawa karena saling mencari tempat yang menggelikan kalau kena gelitik. Dan akhirnya kami lelah sendiri karena sesak nafas. Aku menelungkup. Loraine mencelentang di sebelahku, memandangi langit musim semi yang mulai cerah untuk menyong-song matahari musim panas yang tak lama lagi akan tiba. Nafas Loraine masih sesak. Tentu saja. Setelah bergelut mengikuti arus sungai, di rumputan ini pun masih gumul bergelut-gelut jua. Aku bertopang dagu sambil menelungkup itu. Mataku melirik. Dengan iseng jari-jariku mengambil helai demi helai tangkai rumputan yang menyela-nyela mengotori rambut Loraine. Loraine melirik dalam lirikan matanya yang biru sewaktu kucabuti rumputan di kepalanya.
"Mengapa kita sebentar tadi"" tanyanya tiba-tiba.
"Iseng mengisi sepi", jawabku.
"Kenapa hanya iseng" Apakah kita tak be-rani hidup ini ditempuh dengan serious"" tanya-nya.
"Karena masing-masing kita takut, bahwa hidup serious justru menghalangi kita berpura--pura. Lebih baik berpura begini", kataku.
"Juga ketawa, berhanyut-hanyutan, ber-gumul, bercumbu pura-pura, seperti tadi dan tadi malam"" tanya Loraine.
"Karena bila ada ikatan, ikatan tentu selalu mengikat".
"Memang benar", katanya mengeluh, "Ikatan selalu membuat kita terikat satu sama lain. Tapi, apakah engkau telah punya tunangan atau isteri"", tanya Loraine kemudian.
Kusentak telapak tangannya. Kucium pung-gung telapak tangannya.
"Kau selalu bertanya tentang hal itu. Se-dangkan kau dan aku belum ada ikatan, belum ada cinta, bukan""
"Kalau begitu ma'afkan aku yang selalu menanyakan yang itu-itu juga. Apakah aku ini gadis yang membosankan"", tanyanya.
"Tidak", kataku.
Episode 23 "Kekasihku Ron Saragat berkata, bahwa aku gadis yang membosankan", kata Loraine.
Dan Loraine pun akhirnya mulai lagi ber-kisah tentang lelaki yang dikasihinya itu. Tiap dia bercerita tentang Ron Saragat, matanya kulihat bersinar-sinar. Dan pada saat-saat mata-nya bersinar dengan terkatup dan terbuka, aku sudah bisa membayangkan lelaki macam bagai-mana yang pernah menghinggapi hidup gadis
berambut pirang ini. Dan pada saat itu, aku jijik mendengarnya. Dan timbul rendah diriku, bah-wa aku pemuda asing yang belum mengerti feno-menon bangsa Perancis.
Begitupun pada malam harinya. Loraine masih Cerita tentang Ron Saragat, penyair yang dikaguminya itu.
Aku mencari akal supaya gadis ini memu-tuskan hubungan dengan kenangannya yang menjijikkanku bila dia bercerita. Dan aku ber-teriak: "Mari kita hidup dengan culture abad k
esembilan belas! Hopla !"
Kuambil piringan hitam musik klasik.
Sengaja kupilih nada waltz.
Loraine ketawa. Lalu dia masuk ke kamar-nya. Kuketuk pintu kamarnya. Tetapi pintu itu terkunci.
Lama aku menunggu di depan pintu kamar-nya. Dan aku pun menjadi bosan. Lalu berke-liling pada setiap gang sempit rumah kecil ini dan memeriksa lukisan-lukisan, foto-foto. Seko-nyong aku tertegun dengan sebuah marmer yang dipahat: aku membaca tulisan itu, huruf--huruf awal abad kedua puluh ini dimana huruf U dibikin artistik menjadi huruf V, dan pada marmer itu tertera tulisan yang menyatakan bah-wa rumah ini dibangun oleh Monsieur Rohland Debussy, yang diwariskannya kepada Myriam, puterinya paling bungsu yang dicintai, beserta 50 acre tanah dan kebun perladangan dan sebuah fabrik tenun.
"Hopla!" terdengar seruan dari dalam ka-mar, dan pintu terbuka, Loraine keluar ber-pakaian Perancis kuno berjumbai-jumbai menyapu lantai, sambil berkata dalam gaya sandi-wara:
"Ratu Loraine Debussy, machkota pange-ran Vemon yang hilang akan memasuki ruang-an dansa!"
Aku merasa tolol jika ditinggalkan oleh lelucon ini Aku mencabut sebuah topi gaya John Bull, mengambil sebuah tongkat, dan membungkuk bergaya sandiwara, dan berkata:
"Yang Mulia Ratu Vemon, bolehkah saya menuntun anda mengikuti musik bersama anda""
Dan malam itu pun kami berdua menari--nari dalam dansa waltz, dengan sama bersandi-wara bergaya pangeran dan ratu di sebuah ruang-an dalam istana Versailles layaknya.
Dan ini membikin tidur menjadi nyenyak karena keletihan pinggang dan dengkul dan telapak kaki dalam menari begitu. Dan besok pagi-nya kami bergelut-gelut lagi, dalam air dan di -atas rumputan, tertawa dan sesak nafas. Dan begitupun pada malam harinya! Kami lagi-lagi berdansa waltz dengan asyik, tetapi kemudian kuganggu Loraine dengan menukarnya dengan dansa Rock'n Roll, membuat Loraine kebi-ngungan dengan gaun yang sampai menyapu lantai itu, tetapi Loraine tidak kehilangan akal, diangkatnya gaun itu tinggi-tinggi dan kami pun menari-nari dalam gaya yang cukup gila, mele-tihkan, dan kemudian mengantuk.
Tetapi nyatanya kami tidak tertidur. Kami hanya celentang berdampingan diatas perma-dani, melihat loteng, dengan keringat, mengalir.
"Apa yang sedang kau fikirkan"" tanyaku kemudian.
Mendengar pertanyaanku itu, Loraine yang membantali telapak tangannya, menoleh kepa-daku. Sejenak saja. Kemudian kembali menatapi loteng.
"Loraine, apakah yang sedang kaufikir-kan"", tanyaku lagi.
"Kau", sahutnya pelahan.
'Ya. Engkau", katanya pelahan.
"Buat apa"" tanyaku.
"Buatku", sahutnya.
Kubalikkan badan dan kugusai-gusai ram-butnya.
"Kau sudah gila"", tanyaku sambil me-nyapu keringat di keningnya.
"Ya. Aku sudah gila", sahutnya.
Aku menelungkup menciumi bantal kursi.
"Aku juga sedang gila", kataku.
"Kita sebenarnya sedang sama-sama dalam perjalanan bunuh diri". "Apa"", tanyaku.
"Kau dan aku, dengan gila-gilaan begini, sedang bunuh diri", kata Loraine.
"Dalam abad keduapuluh ini, setelah dua kali perang dunia, semua individu, kalau tidak memuja diri tentu menyiksa diri, kalau tidak menipu diri tentu merampoki diri sendiri, kalau tidak memaki diri tentu memperkosa diri sendirii, kalau tidak membebani diri tentu bunuh diri Benar katamu! Kita bunuh diri tapi masihhidup Abad ini abad kesunyian! Picasso, pencipta seni modern yang unggul, sedang bunuh diri dengan ciptaan-ciptaannya, begitupun penyanyi pop Elvis Presley, sedang membunuh dirinya sendiri dengan rock'n rollnya. Juga seorang pe-niup suling di Madras India yang kelaparan, sedang bunuh diri deng"n sulingnya. Dan pener-bang jet, parasutist perang, sedang bunuh diri dengan penlengkapan dan senjatanya. Pada abad keduapuluh ini, siapakah yang. tak bunuh diri" Bahkan Reich Kanselier, diktator, presiden dan raja-raja, professor, penemu kimia dan bom nuklir!"
Episode 24 Luapan perasaanku mengalir bagai arus Seine yang kudengar pada malam itu menyanyi sepi sendiri, tak jauh dan tempatku berbicara berdua.
Sekonyong Loraine memagutku. Didekap-nya aku kuat-kuat. Wajahnya mengerikanku:
"Sahabatku orang asing! Aku takut! Aku ngeri dilahirkan pada abad yang mena
kutkan ini! Aku kesepian semenjak dilahirkan! Tahukah kau, tak Iama lagi menara Eiffel itu roboh, su-ngai Seine luber berpecah-pecah, dan orang tak sempat menulis dan membaca puisi lagi" Aku ngeri, karena kehidupan modern lama-lama menjadi hidup rutine. Kita makin jadi manusia--manusia sadar, bahwa kita hanya mengunyah kembali sejarah masa silam dan bukan membi-kin sesuatu yang baru. Makin hari kita semakin sadar, Ating. Dan makin tahu kita pada masa depan kita, makin mengerikan. Sebaiknya tak tahu. Adakah bahagia lagi, jika apa yang terjadi di hari esok sudah kita ketahui detik ini" Apakah arti surprise yang selalu membahagiakan" Bu-kankah penyair Guillame ngeri jika ia sudah tahu hari-hari nasibnya" Kau telah tahu hatiku. Aku telah tahu hatimu. Otak kita sudah seperti mesin hitung yang mengerikan! Dan itulah yang dikatakan oleh Nina Papandreou pada malam sebelum dia mati! O, Ating, peluklah aku!"
Pada saat itu, aku tahu benar, bahwa kami berdua bukan berpura-pura lagi. Aku sudah merasakannya semenjak masih di tanah air, dan perasaan ngeri seperti diucapkan oleh Loraine pun semakin tajam kurasakan selama di negeri asing ini! Ya, aku faham dan aku melihat dan mengalami, bahwa makin lama manusia makin kehilangan romantik kehidupan. Kota-kota be-sar makin lama makin ramai, tetapi dalam ke-ramaian jejalan manusia itu, tiap individu me-rasa sepi sendiri! Ada waktunya nanti seorang penemu peralatan modern dimasa depan me-larikan diri dari laboratorium untuk pergi ke -tengah-tengah kehidupan primitif, menonton manusia kerdil di tengah benua Afrika memukul gendang, dan disitu sarjana itu menangis, bah: Ia sadar ikut menghilangkan salah satu dari nada gendang primitif itu. Ada waktunya kelak, kaum imigrant bukan datang dari kampung ke suatu negara besar dan ke kota mencari pekerjaan, melainkan orang-orang dari New York tak be-rani naik pesawat supersonic tetapi naik perahu layar mengharungi lautan untuk kemudian men-damparkan diri ke salah satu tempat terpencil di kaki pegunungan Himalaya!
"Kenapa kau Loraine" Kau bermimpi"" tanyaku untuk menghilangkan ketakutanku sendiri sewaktu melihat wajah Loraine yang benar-benar dibayangi kengerian.
"Di laboratonium fakultasku", kata Lo-raine dengan nafas yang sesak, "Pernah se-orang professeur bertanya: mana yang lebih pintar dukun Afrika mengobati kanker daripada kita yang berada di laboratonium kedokteran ini" Oh, temanku, betapa mengerikan pertanya-an professeur kami itu, sewaktu beliau men-ceritakan kegagalannya membedah satu tumor kanker dalam kandungan seorang ibu, dan akar kanker itu sudah menjalar ke otak pasien itu, dan semua dokter menangis melihat perempuan itu melotot seakan-akan mengutuki semua dok-ter di ruang bedah itu yang belum sanggup me-naklukkan kanker. Oh, temanku, ngerinya!"
"Mungkin kita terlalu banyak berfikir, Lo-raine", kataku membujuk.
"Tidak. Kau tentu cemas jika kita nantinya gila. Tetapi semua pemikiran baru selalu di-anggap gila. Newton pernah dianggap gila. Julles Verne pun pernah dianggap gila semasa hidupnya. Tapi nyatanya" Semua berbukti. Karya George OweIl juga berbukti dalam tata kehidupan masyarakat berotak mesin hitung !"
"Ciumlah bibirku Ating supaya aku kembali merasa berada di bumi dengan kenyataan marilah kita lupakan tanggung jawab terhadap siapapun dan masa
depan, karena kita pun telah tahu, bahwa ketika timbul perang dunia ketiga nanti kita toch telah mati, seperti Nina Papan-dreou menyatakan kepada pengarang nouvelle yang menghadiahkan mobil balap kepadanya sebeIum mati", mendesah bisik nafas Loraine meremangkan bulu tengkukku. "He, marilah kita sama menjadi anarchist yang tidak meng-hancurkan orang lain, .tetapi marilah jadi anar-chist yang menghancurkan diri kita sendiri. Se-karang juga, Ating, malam ini juga ! Viens pres de mois, rechauffemoi ! Rapproche-toi. J'ai froid ! Rapproche-toi, toute ta personne.
Gemetar aku mendengarnya, karena dia meminta aku memeluknya, memeluknya lebih dekat dan lebih ketat karena dia merasa dingin dan meminta dipanasi olehku, dipanasi oleh se-Iuruh tubuhku! Mata Loraine membikin aku ngeri memandangnya. Mata i
tu bukan menim-bulkan birahi, tetapi bagai setan yang histeris, o, bukan, bukan, mata itu benar-benar mata kesepian!
Lidahku kelu untuk mencegah pelukannya yang makin ketat, rontaan nafasnya yang men-dengus, dan seluruh yang ada pada dirinya ke-tika itu adalah tanpa peradaban sama sekali, bagai sosok primitif dan nafsu seseorang yang mengucapkan anarchisme yang mau menghan-curkan diri sendiri, muak kepada sikap pura--pura abad sekarang, dan dihelanya diriku hingga terbanting, dan, Loraine mengamuk menerkam-ku, dan, aku pun kemudian menamparnya agar dia sadarkan diri.
Loraine menangis tersedu-sedu dengan rambut bermandi peluh.
"Sadarlah kau, bahwa seorang gadis pera-wan. Sadarlah kau, bahwa kesunyian itu pun terbatas, dan kegilaan pun ada batasnya. Jika aku tunduk dengan seleraku saja, tahukah kau bahwa nantinya engkau bisa hamil, sedangkan aku makin tahu bahwa aku tidak mencintaimu dan kau pun tidak mencintaiku. Nantinya lahir seorang bayi haram yang diperbuat tanpa cinta. Tidak, Loraine, aku bukan moralis. Hati nu-raniku mencegahku sekalipun sesungguhnya aku bisa memberikan personneku bulat-bulat kepadamu! Jangan sangka aku ini lelaki tanpa nafsu! Tidak, perawan manis. Aku selama ini melihatmu bagai melihat kentang sewaktu lapar. Tetapi aku lawan semuanya itu. Juga dengan Nina aku berhasil melawannya! Empat tahun aku melawan kedirianku sendiri, dan, sebentar ini kulawan lagi, maukah kau mengerti""
"Ya", serunya dengan suara teramat per-lahan.
"Aku sendiri sudah lama butuh perem-puan", kataku mengeluh. Gemetar tubuhku, seperti tak punya daya apa-apa lagi. Bukan ke-takutan yang membuat telapak tanganku ber-sitelekan sebab gemetar begini melainkan karena aku sehabis melawan sesuatu yang juga menga-muk dalam jiwaku mendengar rintihan perempuan ini di rumah kecil ini justru karena hanya aku dan dia berdua saja di rumah sunyi ini.
"Kenapa kutegur pula engkau, orang asing, di avenue de l'Opera beberapa waktu yang lalu itu"", tanyanya seperti bertanya pada dirinya sendiri.
Episode 25 "Pertemuan tak bisa dielakkan", sahutku.
"Mengapa pertemuan itu harus ada"" tanyanya mengisak-isak.
"Karena kita makhluk-makhluk yang ter-lempar ke dunia ini".
"Dan mengapa kita harus ada di dunia ini, sedangkan dunia ini mungkin telah bosan me-nontoni perangai manusia, kepalsuan yang di-buat-buat, peraturan-peraturan tiada akhir-nya", kataku. "Sesuatu yang terlalu telanjang, pada akhirnya memuakkan. Orang perlu me-nyembunyikanl sesuatu. Dan sesuatu itu sudut hatinya yang paling halus. Dan kukira itulah culture, jiwa manusia sepanjang zaman", kata-ku.
"Dan penari streep-tease"" tanyanya.
"Itu bukan culture. Itu pekerjaan untuk mencari sesuap nasi. Jangan samakan pelacur dengan wanita serong; jangan samakan pula golongan les nudes dengan penari streep atau kanak-kanak telanjang; dan bila kita tanyai se-mua yang hampir sama itu masih tetap ada bedanya. Bedanya terletak dari sudut hati yang berbuat. Beda itu culture", kataku.
Lelah rasanya aku mencari perkataan lain agar Loraine tak merasa malu dan terlanjur ka-rena telah meminta sesuatu yang tiada kuberikan untuknya. Semua itu tiada kuberikan bukan de-ngan pretensi moral atau kaidah apapun, me-lainkan kesadaran perseorangan. Heran aku, makin berkata terus-terang begitu, makin ber-simpati aku kepada Loraine dan sedikitpun aku tak menganggapnya gadis murahan yang gampang meminta sesuatu kepada lelaki. Tidak, Loraine tetap luhur dalam pandangan jernih-ku! Berlain sewaktu kuhadapi Nina Papandreou almarhum. Bukan saja aku punya firasat bahwa dia ini perempuan lacur yang akan menjebak-ku untuk mengawininya tetapi, ketika itu aku masih berfikir untung rugi untuk memenuhi dambanya, menggeletakkan tubuh dengan sikap menerbitkan selera untukku, - o, menjijikkan kulihat Nina Papandreou berpose pada sofa, lebih suka aku melihat sapi betina di tepi sungai Gangga! Tetapi terutama perasaan untung rugi, karena ada ruginya ketika, .itu sewaktu aku de-ngan angkuh mendengarkan Nina anak haram. Dan akupun mengangkuhkan diri bukan karena pemikiran seorang manusia modern, melainkan tradisi yang kuterima dari atas, dan a
tas, dan atas. Memang tradisi terkadang kejam. Aku ingat seorang anak lelaki berambut pirang di sebuah kota, yang dimusuhi oleh orang-orang karena dia anak haram tentara Nica yang meni-duri perempuan di kota itu. Alangkah kejamnya masyarakat kota itu yang memusuhi anak haram mirip Indo itu, yang dia sendiri tidak meminta untuk dilahirkan! Herannya, tradisi itupun hinggap di hatiku setelah mendengar kejujuran Nina Papandreou yang merasa anak haram ten-tara Nazi!
Kepada Loraine tidak. Aku masih sempat menyusun rambutnya yang bergerai menutupi mukanya, aku masih sempat hiba mendengar dia menahan dan mencoba menghabisi isak sesal tangisnya. Memang sungguh tidak adillah aku yang memperbedakan Loraine dengan Nina!
"Lebih baik kau tidur", kataku.
"Aku tak bisa tidur. Aku malu! Aku malu kepadamu! ", katanya. "Jangan malu kepadaku. Aku bukan se-orang penghukum", kataku. "Tapi aku telah menghukum diriku, lan-cang meminta kepadamu!"
"Kau merasa terhukum oleh dirimu sendirii" Bukankah semua itu telah kau persiapkan de-ngan sadar, bahwa kau tadi mau jadi anarchist yang mau menghancurkan diri sendiri" Kenapa tak naik saja ke menara Eiffel, loncat ke bawah, lalu mati, atau, kendarai mobil cepat-cepat Se-perti Nina Papandreou, dan mati secara absurd saja"", tanyaku sengaja mendesaknya supaya dia sadar.
Rupanya dia sadar. Loraine tidur nyenyak dalam pangkuanku. Aku sendiri memaksa diri supaya jangan tidur, karena aku khawatir nanti dia memikirkan hal-hal yang sesat. Sebab aku percaya, bunuh diri bukan karena manusia bo-doh, bahkan di kota besarpun manusia bunuh diri, sekalipun di kampungku ada orang bunuh diri karena tidak sudi dikawinkan dengan lelaki beristeri tiga, misalnya.
Paginya Loraine kelihatan lesu. Sewaktu dia mandi dengan air panas di pagi itu, aku men-dengar suara derum mobil di depan rumah. Aku keluar. Aku melihat sebuah Mercedes-Benz hati -ayam seperti pernah kulihat. Aku melihat se-orang perempuan turun bersama seorang lelaki tua. Aku keluar menyambut mereka. Yang pe-rempuan matanya exotic sekali, dan lembut se-kali memperkenalkan namanya: Myriam Debus-sy.
Sewaktu perempuan itu menyebutkan na-manya, matanya menatapku dengan pandangan seorang Roin, seorang ratu aristokrat. Dan le-bih daripada itu, pandangannya penuh curiga kepadaku.
Kuperkenalkan juga namaku, dan kusebut-kan asalku dari Indonesia.
"Oh", katanya, "Jadi monsieur adalah seseorang yang mendatangi saya didaerah su-bur sewaktu saya mandi beberapa hari yang lalu" O, sayang saya tak bisa menjumpai saudara karena sedang mandi dan kata kemanakanku Loraine pun saudara menunggu di mobil".
"Madame benar sekali", kataku.
"Dan ini', katanya menunjuk lelaki tua di sebelahnya, "ini adalah seorang penyair besar di abad ini. Anda mungkin telah pernah mem-baca puisinya. Tentu pernah bukan"", tanya Madame Myriam Debussy.
"Justru saya ingin mendengar nama mon-sieur ini dari Madame", kataku mengaristokrat-kan diri pula dan mengulurkan tangan kepada lelaki tua itu.
"Beliau adalah penyair Ron Saragat", kata Madam Myriam Debussy.
Episode 26 "Oh", kataku terkejut, dan tiada lebih dari sebuah kata "Oh" yang bisa kuucapkan.
"Mana Loraine"" tanya perempuan itu yang menurut perkiraanku tak beda usianya dengan usiaku.
"Loraine sedang mandi", kataku.
"Suatu cuti bolos yang menyenangkannya, barangkali""
"Memang kami merasa senang selama be-berapa hari di kota Vemon ini. Kota ini pernah saya baca semasa masih muda dulu di waktu sekolah, dan saya membacanya melalui pujang-ga negeri nyonya yang termasyhur, Emile Zola itu".
Dengan sebuah payung sutera merangkap tongkat, Madame ini menunjuk sebuah rumah dekat bukit, katanya: "Itulah kira-kira rumah model Emile Zola sewaktu menulis roman The-rese Raquin."
"Oh", kataku mencoba membesarkan hati, "Mulanya kukira rumah madame ini yang jadi rumah dalam roman itu".
"O, tidak. ini rumah baru, didirikan tahun 1907, jadi belum pernah almarhum Zola melihat rumah ini. Kalau ia masih hidup, tentu rumah inipun menjadi model ceritanya. Marilah kita masuk ke dalam. Angin terlalu kencang berhem-bus dari sungai", kata Madame Myriam De-bussy kemudian.
"Aku ber harap Loraine segera keluar. Te-tapi aku berharap penyair Ron Saragat agar lebih ramah lagi, lebih banyak berkata lagi.
"Monsieur Ating..........", kata perem-puan itu kemudian, "Nama anda sering disebut
oleh kemanakanku. Aku datang kesini ingin memarahi Loraine. Aku menjaga tradisi baik negeri ini!"
Yang kuharapkan, agar Loraine segera muncul pun, terkabul.
Loraine berdiri dengan wajah kaget. Se-perti tak percaya bahwa dia kini dikunjungi. Senyumnya melena sejenak pada bibirnya yang lembut merah jambu itu, dan kemudian dia me-mekik, mendekap penyair tua itu:
"O. Ron, Ronku sayang! Aku hampir mati tanpa kau!"
"Dan aku datang ingin memarahimu", kata Madame Myriam Debussy.
Loraine kelihatannya tak perduli dengan larangan bergaya aristokrat bibinya ini, bahkan kulihat Loraine mencium dan memeluk dan me-magut dan menciumi lagi penyair tua itu dengan amat dahsyatnya, yang menyebabkan aku mene-kan nafas beberapa kali dan merasa jijik melihat Loraine tersedu-sedu, "O, kekasih,kukira engkau berkata sungguh-sungguh bahwa cinta-mu telah tak bersisa lagi untukku. Kini nyata-nya aku menjadi hangat dua kali lipat".
Aku meminta maaf kepada Madame My-riam Debussy untuk pergi ke kamarku mengam-bil rokok. Tetapi Madame Debussy berkata:
"Tak usah monsieur melelahkan diri ke dalam. ini rokok BenSon untuk mengisi pagi yang dingin ini".
Kuambil rokok Ben-Son sebatang. Mataku kepingin melihat apa selanjutnya yang terjadi antara Loraine dan penyairnya yang pulang kembali itu, tetapi telingaku mendengar suara Loraine kemudian:
"O, Ron, putera aktor Saragat yang mem-buatku cemburu, kenapa kau membikin lelucon asmara sejelek itu""
"Mari kita bicarakan di kebun", kudengar suara penyair itu. Dan kemudian, yang kude-ngar, telapak sepatu Loraine dan sepatu penyair itu saja, yang makin menjauh dan menjauh.
Aku memikir sedetik saja apa yang harus kuperbuat. Dan aku robah watakku menjadi watak manusia penggembira! Aku berkata de-ngan suara orang Spanyol berbahasa Perancis kepada perempuan yang sedang terpesona me-mandangi kepergian kemanakannya dengan Ron Saragat itu, kataku:
"Aku tak menduga bahwa Madame sebe-gini muda dan jelita!"
"Keterlaluan pujian anda itu, Monsieur Aton -", katanya menahan senyum.
"Sebuah lukisan reproduksi pelukis Corot dari negeri nyonya, yang menggambarkan pe-rempuan duduk sehabis membaca, mirip sekali wajah itu dengan wajah anda, Madame Myriam! ", kataku menggembirakan diri.
"Anda menyukai lukisan-lukisan"" tanya perempuan itu, merobah sikap anistokratnya yang tadi menahan diri menjadi spontan.
"Saya menghafal nama-nama pelukis Pe-rancis seperti anak sekolah normales, hah, sung-guh menggembirakan hati mengagumi seniman besar seperti Delacroix, Corot, Degas Re-noir, dan Pissaro", kataku.
"Tuan orang Asia yang mencintai seni Pe-rancis!", serunya senang.
Aku terbahak. Tetapi sebenarnya aku me-nangis dalam hati. Aku bicara di beranda rumah ini, di Vemon, dengan madame yang cantik ini, tetapi fikiranku melayang ke kebun, memba-yangkan Loraine dan penyair Ron Saragat yang tua itu berpeluk mesra, Belum pernah dadaku merasa seperti terbakar macam sekarang ini! Bahkan sewaktu isteriku sendiri, Sutijah, di ta-nah airku dulu berbicara mesra dengan seorang pengusaha sabun aku tidak merasa dadaku ter-bakar seperti saat ini. Kenapa tadi malam aku tak memberikan diriku sepenuhnya kepada Lo-raine sewaktu Loraine berkata Rapprochet Oi! Toute ta personne!
Aku terbahak lagi untuk menutupi pedih hatiku kepada Loraine, agar Madame Myriam tiada mengetahui luluhnya perasaanku waktu itu!
Madame Myriam tinggal di daerah su-burbaine. Orang-orang Paris menye-butnya "couronne suburbaine" Vau-cresson, terpencil dan meneduhkan hati. Menurut perempuan ini, suburbaine itu hanya berpen-duduk kurang dari sepuluh ribu manusia. Aku mengunjungi tempat ini bersama Loraine se-belum kami ke Vemon. Segera saja teringat olehku perumahan-perumahan suburbaine ini mirip sekali seperti Cipayung di tanah air. Ba-nyak sekali flat-flat bertingkat empat. Tetapi Madame Myriam tidak hidup bersama commune flat-flat yang bertingkat itu, karena dia suka menyendiri. Katanya, disitu
hanya dia sendiri yang mempunyai bungalow tunggal.
"Alangkah senangnya", kataku.
Episode 27 "Memang senang sekali", kata perempuan ini.
Kupandangi dia lama-lama untuk meneliti dirinya. Tetapi ini membikin Madame Myriam menjadi gugup, dan kegugupan itu membuat dia memperbaiki rambutnya yang berwarna coklat-jingga, dan sekali-sekali seakan-akan mencari sesuatu di dalam tasnya. Kemudian di-berikannya sebuah benda kepadaku. Benda itu empat segi sepersegi rokok Newport, logam tipis berukir. Pada permukaan logam tipis itu tertulis nama Madame Myriam Debussy dengan huruf berukir serta alamatnya di suburbaine dan Vemon ini.
"Kartu nama yang bagus sekali", kataku seraya menimang-nimang logam itu, dan kemu-dian kucari dompet pasporku dan kumasukkan benda itu. Dalam diriku timbul keyakinan bah-wa Madame Myriam Debussy memang salah seorang dari sisa kaum bangsawan Perancis. Dan syarat-syarat itu cukup ada padanya rasa hormat diri, sikap hati-hati dan gerak-gerik yang dibuat-buat yang di tanah airku kami namakan sifat ayu-kemayu.
Dulu seringkali kemanakanku Loraine datang ke suburbaine. Tapi hari-hari belakangan ini dia jarang berkunjung, mungkin karena sedang menyingkirkan perasaan sepinya kepada anda. Apakah anda senang bergaul dengan Lo-raine"" tanya Madame Myriam kemudian.
"Senang sekali. Salah-salah bisa jatuh hati kepadanya", kataku ketawa. Dan Madame juga ketawa tertahan-tahan, katanya "Memang anda tak salah. Sikap-sikapnya bisa membuat orang lelaki jatuh hati kepadanya. Mahasiswa-mahasiswa fakultas kedokteran Universite de Paris banyak yang kecele dan jatuh cinta pada kemenakanku Loraine".
"Saya kagum kepada kecerdasan otaknya", kataku.
"Dan anda pun lelaki yang menyenangkan tampaknya pada kesanku yang pertama. Pantaslah apabila Loraine betah dengan anda. Anda punya sikap kebapakan, - apakah sering Lo-raine menyebutkan panggilan mon pere pada anda, karena sikap anda yang kebapak-.bapakan itu"", tanyanya.
"Sering sekali", sahutku ketawa, "Ke-napa""
"Tetapi lelaki yang seperti monsieur Ron Saragatlah yang disukai oleh Loraine. Sesung-guhnya anda masih muda, monsieur Ating. Jika anda tidak keberatan, monsieur Ating, ingin saya menanyakan umur anda, dan sudah berapa lamakah anda di Paris. Tak keberatan""
Sebenarnya aku muak dengan percakapan yang dihejan-hejan%%% ini, karena aku lebih suka kepada sifat seseorang yang spontan untuk ber-kata-kata. Namun kulayani dengan baik, dan kukatakan umurku sudah 33 tahun dan aku telah dua tahun tinggal di Paris.
"Anda seorang professeur"" tanyanya.
"Bukan", sahutku.
"Apa pekerjaan anda" Apakah gaji anda di Paris ini memuaskan""
"Apakah perlu saya terangkan pekerjaan dan gaji saya"", tanyaku ketawa sekalipun hati-ku mendongkol karena sudah tiga kali kutemui di kota ini orang-orang keturunan feodal ber-tanya begitu.
"Keberatan"" tanyanya.
"Tentu keberatan sekali, madame. Dan tak ada perlunya madame ketahui".
"Nomor tilpon anda" Apakah anda tinggal di sebuah rumah sendiri, hotel, lodgement atau rumah sewaan"" tanyanya.
Kuberikan kartu namaku kepadanya, se-buah kartu nama terbuat dari kertas karton berl-apis kain batik dengan huruf cetak tinta-emas.
"Anda tentu seorang seniman", kata Madame Myriam sambil meneliti kartu namaku, dan "Kalau anda bukan seorang seniman atau gentleman, tentu persahabatan kalian tak ber-langsung lama. Anda tahu, bahwa Loraine cepat bosan kepada seorang teman lelaki, tetapi dia betah kepada monsieur Ron Saragat" Aku men-coba ingin tahu rahasia daya pikat Ron Saragat yang memukau kemanakanku. Akhirnya ku-temui fenomenon gadis-gadis Eropah yang ber-faham absurd, bahwa mereka suka kepada lelaki tua, pemuda Afrika atau Negrito, atau orang seperti tuan sendiri, orang Indonesia, negeri yang kami kenal di belahan garis equator".
"Anda juga seorang ahli ilmu bumi, ma-dame", kataku memujinya, karena aku menge-tahui benar wanita feodal umumnya suka dipuji.
Mendengar ini, Madame memang senang, katanya: "O, tentu saja. Tentu saja. Percuma menjadi seorang Parisienne. Paris! Paris, capi-tale intellectuelle et artistique, membikin aku betah pada kota ini, terlebih setelah aku me-nam
matkan pelajaran di Sorbonne, sering aku mengisi pengetahuanku dengan lectures. Pernah di kota Paris ada pameran lukisan Indonesia. Aku senang dengan Bali! Bukan sebagai seorang yang berfikir turis, tetapi sebagai intellectuelle yang mencintai kehidupan Bali Lakmesia yang artistique! O, ingin aku hidup bersama mereka. -Lima tahun yang lalu aku berdiam di Kongge selama dua bulan, di Zulu tiga bulan. Kehidupan masyarakat di underdeveloped country memang memikat hati. Disitu ada kejujuran. Apakah negeri anda termasuk masyarakat underdeveloped juga""
"Setelah kemerdekaan, ekonomi kami me-ngalami collapse', kataku.
"Loraine banyak bercerita tentang anda, monsieur Ating. Saya tertarik kepada negeri anda itu. Oya, apakah anda telah punya isteri Indonesia"" tanyanya kemudian.
"Saya sudah punya isteri", kataku tanpa pasang dusta lagi. "Punya anak"" tanyanya.
"Tiga orang anak", kataku tanpa pasang dusta juga, sekalipun dalam nafas yang berat.
Memang kali ini aku berjujur kepada pe-rempuan ini, kejujuran yang selama ini kumus-nahkan bahkan kumusnahkan juga untuk ber-jujur hati kepada diri sendiri.
Episode 28 "Anda seorang manusia yang berbahagia, monsieur Ating", berkata Madame Myriam De-bussy kemudian.
Aku berfikir kemudian, bahwa, sekiranya aku perturutkan perempuan ini mengobrol terus denganku, dia akan betah ngobrol hingga larut malam karena aku mengetahui benar watak perempuan feodal Eropah yang menyukai obrol-an kosong dan lebih-lebih lagi pergunjingan ter-hadap seseorang yang buruk atau sanjungan berkelebihan" terhadap seseorang yang baik me-nurut pandangan subyektifnya. Maka kemu-dian aku berkata:
"Ada baiknya saya keluar sebentar mencari Loraine. Hanya sekedar memberi tahukan bah-wa saya harus segera ke Paris saat ini juga", kataku.
"Sebaiknya anda disini saja, monsieur Ating. Mereka sedang membangun menara cin-ta, la tour d'amour, yang selama ini diselubungi kabut. Mengusik orang-orang mabuk asmara sama mengerikan seperti mengusik singa betina di rimba Afrika", kata Madame Myriam, yang membuat wajahku merah padam karenanya.
"Mungkin anda ingin mengopi", kata Ma-dame Myriam kemudian.
Dia tak menunggu jawabanku, lalu pergi ke mobil Mercedes-Benz dan membawa sebuah thermos. Lalu pergi ke dapur rumah kecil ini dan membawa sebuah tatakan yang berisi lengkap.
Kami minum kopi pada siang mendung begitu.
"Apakah anda suka kepada pertunjukan opera "" tanya perempuan ini.
"Suka. Sekalipun jarang menonton", aku menyahut.
"Kehidupan yang menjemukan ini perlu dapat hiburan", katanya.
"Dan setelah hiburan berlalu, kehidupan kembali jemu", kataku.
"Benar. Seperti di musim panas berdiri di -atas pasir di pinggir laut dengan bertelanjang kaki. Sekali air laut membasahi kaki, kemudian ombak pun surut, kaki kita kering, tetapi ke-mudian basah lagi", tambahnya.
"Apakah sewaktu madame tinggal di Konggo dan Zulu pernah merasa jemu"", tanyaku memancingnya.
"Hampir tak pernah. Dunia begitu sangat baru buatku. Kejujuran dalam manifestasi ke-hidupan adalah sangat baru bagi aku yang se-lamanya merasa beku di kota", katanya, "Maka-nya aku sering kembali ke Vemon ini untuk menghilangkan beku
itu". "Apakah suami anda juga suka kepada hiburan"" tanyaku.
'Suamiku"" lonjaknya dengan spontan, "Oh, Gabriel tak pernah memikirkan kejemuan. Ia seorang lelaki dinamis. Ia seperti mesin yang berputar. Jarak dunia
telah menjadi dekat bagi-nya. Perjalanannya jika dijumlahkan meliputi jarak antara planet Bumi sampai ke Bulan. Apa-kah anda mengira aku berdusta""
"Oh, bukan", kataku mencoba ketawa, "Madame tentu lebih tahu tentang perjalanan suami anda. Saya menduga suami anda saat ini tidak berada dikota Paris!"
"Betul", kata Madame Myriam dengan se-nang, "Gabriel saat ini ada di Hollywood. Mungkin musim winter nanti dia kembali lagi ke Paris".
Suaminya sedang di Hollywood, fikirku, dan sewaktu berkata demikian aku melihat mata Madame Myriam kosong dan dingin.
"Gabriel punya cukup uang untuk berbuat segalanya", kata Madame Myriam lagi, "Apa-kah yang lebih daripada itu dalam kehidupan duniawi abad sekarang. Abad ini abad les trans-ports, manusia gelisah di tempatnya
sendiri, ingin perjalanan jauh. Hidup menetap di suatu tempat adalah konservatif, bukan""
'Saya hampir menyetujuinya, Madame", kataku.
"Tentu anda harus menyetujuinya. Kege-lisahan hanya bisa lenyap dalam perjalanan dalam membeli souvenier buat teman, bergaul dengan orang-orang termashur, bintang-bintang film, menonton aduan sapi dan melihat foto--foto sensasi terhadap kematian-kematian me-ngerikan, dan, tentu saja juga menonton tarian telanjang di Cairo atau Hong Kong dan Tokyo barangkali"", Madame Myriam tersenyum sinis kemudian, menatap kepadaku dengan tatapan mata yang sunyi.
"Apa anda gelisah saat ini"" tanyaku.
"Dan anda sendiri, monsieur Ating" Anda juga gelisah saat ini"", tanyanya kepadaku.
"Akupun sedang melarikan diri dan kege-lisahan", kataku jujur. 'Mengapa"" tanya Madame Myriam De-bussy. "Takut pada masa depan", sahutku cepat.
"Mengapa anda takut" Anda punya isteri dan tiga anak, bukankah itu pelabuhan yang teduh bagi manusia"".
"Karena aku punya isteri dan tiga anak yang kutinggalkan di tanah air makanya aku ge-lisah. Jika aku masih bujangan, mungkin aku tak gelisah sekarang. Aku jemu memikul tang-gung jawab. Tanggung iawab terhadap seseorang lain yang aku bebani beberapa tahun yang lalu merupakan neraka. Dan aku terdampar ke ne-geri kalian ini, menghindar dari neraka itu, menghindar dari tanggung jawab", kataku jujur.
"Omega", kata Madame Myriam Debussy dengan keluh panjang. "Apa yang anda maksudkan dengan perka-taan Omega"", tanyaku.
Episode 29 "Omega adalah huruf terakhir daripada alphabet Junani, monsieur. Lihatlah trademark pada arloji anda, monsieur. Itu huruf Junani yang terakhir. Dan lelaki-lelaki yang takut me-mikul beban aku sebut sebagai keluhan Omega. Buatku Omega adalah suatu puncak, top, tanpa memikirkan apakah itu puncak kehancuran, ke-takutan, kematian, kebahagian ketololan. Se-mua kusebut Omega! Kenapa anda tersenyum mengejek"" dia kemudianl bertanya.
"Anda menyenangkan hatiku, Madame Myriam", kataku.
"Kenapa"" dia kemudian heran.
Anda mengembalikanku kepada pribadi yang sejati. Aku seakan selama ini berputar pada suatu spiral hidup, dan siang ini aku kembali pada suatu orbit, bahwa manusia tidak bisa lari dari orbitnya, kemana pun, dimanapun, bi-lamanapun!"
"Maukah kau menerima undanganku, monsieur Ating"" tanya Madame Myriam De-bussy kemudian.
"Undangan bagaimana"" tanyaku.
"Datanglah pada suatu saat dimana engkau merasa jemu, telpon aku ke rumahku di subur-baine Vaucress On. Percayalah monsieur, bahwa tuan takkan mendapatkan apa-apa pada pribadi kemanakanku Loraine".
Pada akhirnya, aku menemukan diriku kembali di kota Vemon ini! Pendapat Madame Myriam tentang pribadi Loraine kemudian me-mang berbukti. Lima jam lebih gadis itu ber-sama-sama penyair tua entah kemana, kemudian dia pulang kembali dengan wajah yang begitu segar. Pipinya yang selama ini memucat, kulihat merah jambu.
Udara lembab mulai terasa pada waktu akan memasuki malam di kota kecil sepi sungai Seine ini. Aku melepaskan diri dari mereka, ber-jalan sendirian keluar masuk toko-toko sambil merencanakan apakah aku perlu pulang kembali ke Paris pada malam ini juga! Tetapi kutimbang--timbang, bila aku menyatakan diri kepada Lo-raine ataupun Madame Myriam ataupun penyair tua Ron Saragat, tentulah ini sebagai pengakuan bahwa aku pulang sebagai seorang yang ngam-bek. Betapa buruknya perempuan menilai lelaki pengambek sudah kuketahui. Tetapi kufikir pula, buat apa aku lagi-lagi menutupi segala se-suatu dalam hidup ini dengan sifat-sifat dusta, hanya kepingin disangka kuat oleh lain orang" Buat apa penipuan ini semua" Aku harus ber-kata terus terang. Dan akupun melangkah! Me-langkah kembali menuju rumah yang dikelilingi taman ditepi tebing sungai Seine itu.
"Mana Loraine"" tanyaku kepada Madame Myriam Debussy yang barusan membuka bung-kusan coklat.
Dia menawarkan sepotong coklat kepada-ku, dan aku menerimanya.
"Kau tau sendiri. Mereka sedang bercum-bu", katanya.
"Oh", aku menyahut.
"Mau kemana kau seperti tergesa-gesa""
"Paris", aku menyahut. "Tetapi aku perlu berjumpa sebentar saja dengan Loraine. Apakah jika kuganggu sekarang in
i keadaannya masih seperti singa betina Afrika yang terganggu, Ma-dame Myriam"" tanyaku.
"Aku akan menolongmu", kata Madame Myriam. Dia berjalan ke depan pintu sebuah kamar.
Kemudian Madame Myriam mendatangiku lagi, dan berbisik: "Monsieur Ating! Jangan anda kecewa. Penyair Ron Saragat sedang mem-bacakan sebuah sajak untuk Loraine".
"Lama lagi sajak itu akan selesai dibaca-kan"" tanyaku.
"Mungkin hanya lima menit saja lagi. Aku tahu, puisi karya Ron Saragat dicintai gadis-gadis remaja di paris. Puisi itu merupakan se-perti ballada. Kukira lima menit saja lagi. Aku tadi mendengarkan ballada itu dua baris, mon-sieur Ating. Tetapi mengapa anda begitu ter-gesa. Dirumahku ini ada empat kamar tidur. Masing-masing kita dapat menempati satu kamar seorang. Dan aku masih kepingin ngobrol lagi dengan anda malam ini jika anda tak kebe-ratan, monsieur Ating!", kata Madame Myriam.
"Aku berpendapat bahwa aku harus kembali ke Paris", kataku. Aku duduk pada sebuah kursi kuno. Karena sewaktu kulemparkan diri-ku tak kutahu lebih dahulu bahwa kursi ini kursi putar, begitu aku terduduk aku diputar pada sumbunya sehingga kepalaku pening.
"Sebaiknya anda disini saja malam ini, monsieur. Terlalu banyak kabut agaknya dalam "perjalanan", kata perempuan itu lagi. Kupan-dangi wajah Madame Myriam sejenak. Kuang-gap saja wajah itu mengkhawatirkan keberang-katanku dengan kekhawatiran palsu.
"Aku punya usul lain", kata Madame Myriam, "Andaikata Ron Saragat selesai membaca-kan puisi bagi kemanakanku Loraine, ada baik-nya kita lebih dahulu bersama-sama melakukan dinner, dan Ron Saragat karena mereka tak lama lagi akan melakukan pertunangan mereka di Paris''.
"Saya menyetujui", kataku. Kutawarkan rokok Newport kepadanya, tetapi dia menun-jukkan sebatang rokok Ben-son yang masih menjepit di jarinya, "Merci, monsieur".
Aku mengisap Newport sambil sekali-sekali melirik kepada Madame Myriam Debussy. Terkadang lirikan kami bertemu dalam pertemuan kesunyian yang sama. Dan pada saaat itu pula imanku guncang sejenak. Tapi kutemukan diri-ku kembali, lelaki Omega, punya isteri dan tiga orang anak yang ditinggalkan di tanah air, seba-gai manusia yang seharusnya berbahagia. Andai-kata aku bermalam di rumah ini, dan aku punya kamar sendiri yang tentu bersebelahan dengan kamarnya, aku bisa saja mengetuk pintu yang berhubungan dengan kamar Madame ini untuk mengobrol lagi, atau melepaskan sepi masing--masing. ini pernah kulakukan sewaktu aku indekost di rumah seorang janda di Nederland. Tetapi apakah ini menyelesaikan kesepian itu, seperti halnya mereka yang mencari kesibukan bertaruh balapan motor, atau tertawa-tawa palsu di villa pegunungan; Dan sekiranya tadi malam kuberikan seluruh tubuhku kepada Loraine, atau dulu kepada Nina Papandreoti, apa-kah itu berarti aku dapat menghapus rasa jemu dan sepi dan berkata bahagia kepada duniaku" Kukira tak mungkin.
Sehabis dinner aku merasa memang aku terlalu banyak minum. Kepalaku agak pusing. Te-tapi aku masih merasa kuat menguasai diri. Aku mendekati Loraine yang sedang asyik berbicara dengan Ron Saragat. Kataku:
"Malam ini juga aku menuju Paris. Terimakasih atas semuanya", dan kucium pipinya ke-duanya. Kepada Ron Saragat aku mengangguk. Dan dia berkata kepadaku bahwa sekali waktu dia akan ke Indonesia apabila dia dan Loraine telah kawin kelak. Aku tersenyum hambar. Tak kuperlukan lagi tertawa palsu mendengarkan rencananya. Dan kusalami Madame Myriam dan kucium dua belah pipinya, dan berkata:
"Selamat istirahat, Madame. Selamat tinggal", dan aku melangkah menuju mobil Simca-ku.
"Nanti dulu", Madame itu kemudian ber-kata menyebabkan aku kembali berbalik kepa-danya yang berdiri di pintu. Kupandangi dia ter-senyum dan berkata dengan suara bisik yang agak kuat: "Kaufikir aku tidak makin sunyi me-lihat sepasang manusia yang rujuk kembali da-lam cinta""
Aku masih heran seketika itu juga, tetapi dia meneruskan: "Maukah kau menolongku membawakan sebuah koffer dan sebuah ther-mos""
"Apa maksud Madame""
"Karena aku benci pada kesunyian. Tolong-lah koffer dan thermosku tuan bawakan ke mo-bilku", katanya bergegas masuk dan kemudian membaw
a sebuah koffer dan sebuah thermos yang kusambut dan kuangkat ke mobil Mercedes Benznya. Kudengar kemudian suara musik jazz dari rumah kecil itu ketika kulihat Loraine me-lambaikan tangannya di pintu. Mobil Madame Myriam Debussy berjalan lebih dahulu. Aku menyusul dalam kecepatan 40 km dengan Simca-ku dibelakang. Dan lampu-Iampu semua me-nyala samar di tepi-tepi jalan. Selamat tinggal, Vemon, selamat tinggal.
Dikota kecil Porcheville kami berhenti. Aku berkata kepada Madame Myriam bahwa aku tidak jadi meneruskan per-jalanan ke Paris, melainkan akan belok ke kiri ke kota kecil Champagnesur Oise. Dia kaget se-kali mendengarnya.
"Kenapa kau merobah haluan" Enam puluh mil lagi ke Paris, kau mau membiarkan saya sendirian dengan Mercedes-Benz ini"", tanya-nya geram.
"Kukira tak ada suatu halangan di jalan, Madame. Nyonya sudah biasa bersendiri, bu-kan""
Mendengar ucapanku itu, Madame Myriam Debussy putus asa sekali. Perempuan itu kelihatan seperti akan menangis. Kepalanya tun-duk. Sekali melihat ke mobilku, sekali lagi me-lihat ke mobilnya, lalu kedua biji matanya yang biru dalam malam berkabut itu menatap mata-ku.
Dan kemudian dia tunduk lagi, berbisik "Untuk apa kau pergi berseorang diri ke Chain-pagnesur-Oise itu" Sendiri""
"Temanku Henri ada disana dalam tiga hari ini. Ada urusan yang bersifat business", kataku.
"Aku jadinya mengganggu kesenangan-mu", katanya.
Episode 30

Perempuan Paris Karya Motinggo Busye di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mendengar suaranya yang luruh, aku bimbang sesaat. Bagaimanapun juga aku mengeras-kan hati, aku percaya bahwa yang membimbang-kan hatiku bukanlah godaan terhadap iman melainkan kehibaan biasa.
Ketika mataku melihat dia melangkah sam-bil menunduk dengan langkahnya yang tertegun--tegun itu, aku menghampirinya. Dan kuperbaiki kelepak mantelnya. Diapun memperbaiki sarung tangannya ketika itu dengan kepala tetap ter-tunduk. Dia akan membuka pintu, dan aku ber-kata:
"Madame", dan kutolong dia membuka-kan pintu, "Saya akan mengiringi madame dari belakang sampai ke Paris".
Dia mengangguk kecil, sekilas kudengar isak tangisnya yang ditahannya. Ketika dia telah duduk di depan stir, kutolong menutup pintu, dan berkata lagi: "Memang anda tak boleh sen-dirian, madame Debussy".
Mercedes-Benz berjalan tenang di depanku. Melalui kaca mobil aku melihat perempuan di -depanku itu sekali-sekali menghapus mukanya Dan sekali-sekali pula kelihatan olehku dalam sorot lampu Simca yang kusetir ini wajah Ma-dame Myriam Debussy menoleh ke belakang, mungkin masih khawatir kalau-kalau aku me-nyimpang.
Memang pada saat itu aku menyangka bah-wa Madame Myriam Debussy hanya pura-pura takut sendirian saja ke Paris. Tetapi beberapa hari setelah itu, dia menelponku dan menyata-kan terimakasihnya kepadaku.
"Bukan kesunyian yang kutakutkan, mon-sieur Ating", katanya dalam suara telpon, "Te-tapi aku khawatir pada maut. Siapa tahu dalam perjalanan itu aku mengantuk dan kecebur ke sungai Seine tanpa seorangpun yang tahu. Coba kau fikir, betapa sedih mati seorang diri".
"Tetapi lebih sedih lagi hidup seorang diri", tambahku dalam telpon. "Tetapi setiap kita memenangkan kesedihan, kita tambah kuat rasa-nya", sahut Madame Myriam.
Aku kehabisan bahan untuk menyahuti suaranya itu, karena kufikir dia tanpa sengaja telah mengisi lagi sesuatu dalam diriku ini.
"Sudah baca surat kabar pagi ini"" tanya-ku.
"Bagaimana"" tanyanya, "Ada berita apa lagi""
"Berita bunuh diri ", kataku.
"Berita yang memuakkan sekali", katanya, "Tapi saya ada membacanya. Kenapa anda tertarik dengan berita itu"".
"Karena aku pernah bikin rencana untuk berbuat nekad demikian, pada waktu hati nu-raniku sendiri tiada menyahuti setiap soal yang kutanyakan selalu kepada hati. Itu setahun yang silam, madame. Aku sedang dicengkam takut meneruskan hidup, karena kuanggap hidup ini bagai mendaki menara Eiffel untuk kemudian jatuh lagi di tengah jalanan kota Paris, tapi tak mati, lalu naik lagi ke menara, jatuh lagi, naik lagi, jatuh lagi. Aku lantas merasa kebal ter-hadap penderitaan bathin. Dan aku pun terka-dang kebal pula atas kebahagiaan. Perasaan ke-bal ini sama dengan immunitet suatu penyakit. Hidup jadi tak berarti kecuali mengulang
i lagi penderitaan dan kebahagiaan yang sama, hanya mengulang-ngulang belaka. Pada saat itulah aku hampir saja nekad", kuakhiri kisahku ditelpon, kisah yang tak dibumbui dengan dusta agar si pendengarnya kagum.
Sewaktu pada suatu hari kupenuhi undang-annya, Madame Myriam menceritakan kepada-ku pengalamannya pula. Malam itu malam mu-sim panas. Kami duduk-duduk diluar. Kami menunggu datangnya bulan sabit, bulan yang selama ini menghilang dimusim semi.
Madame Myriam memegang sebuah kipas di tangannya. Angin berhembus sejuk, terka-dang keras dan biasa, membuat rambut coklat jingga perempuan ini bergerai-gerai dan terka-dang menerpa-nerpa telingaku. Aku menjulur-kan kaki pada terali terrace.
"Tahukah apa yang ditakuti Andre Gide"", tanya Madame Myriam.
"Pengarang roman itu pernah takut meli-hat matahari terbenam. Aku pernah membaca-nya dalam sebuah romannya", kataku.
"Benar. Dan aku pernah menitikkan air-mata selama sebulan, pada musim panas tahun lalu, jika melihat matahari terbenam, seakan--akan menimpa kota kecil nenek moyangku. Uang berlimpah, kekayaan cukup, hari depan eko-nomiku.baik sekali. Kenapa aku harus menangis. Tiap orang bisa menemukan kesenangan dengan uang dan kekayaan. Kenapa aku harus menangis dalam bungkus kesenangan materi'" Ternyata bukan itu yang paling menyedihkan. Diriku ini merasa seperti sebuah pelabuhan. Aku me-nunggu suara sirene sebuah kapal. Dan bila ka-pal itu singgah, singgahnya hanya sehari saja. Lalu kapal itu pergi lagi. Dan tahukah kau iba-rat yang kumaksud dengan kapal itu"" tanya-nya.
"Suamimu"" tanyaku.
"Benar. Gabriel. Aku tak lebih dari harga seorang gundik. Dan pada saat ini, mungkin Gabriel sedang dinner dengan seorang bintang film".
"Dan kau cemburu"", tanyaku.
"Cemburu hanya punya gadis remaja. Buatku lebih dari cemburu. Karena kuanggap dia telah memberi racun kesenangan tak berarti, membunuh diam-diam. Ini pernah membuatku histeris", katanya dengan nafas sesak dan memandangku dengan mata tak berisi, bersenyum:
"Tahukah kau bahwa pernah dulu aku kepingin membunuh suamiku sendiri""
Perempuan itu senyum sejenak padaku Se-telah berkata begitu, tetapi rupanya dia melihat-ku tak mempercayainya, lalu berkata: "Tidak-kah kau yakin bahwa aku pernah kepingin mem-bunuh Gabriel suamiku sendiri. Itulah puncak jemu. Dan
karena menggagalkan niat itu, aku sendiri hampir menghabisi hidupku dengan ra-cun".
"Tolol sekali bila itu kau lakukan, Ma-dame", kataku.
"Memang tolol sekali. Tolol karena gagal untuk suatu keberanian membunuh Gabriel. Tolol juga karena gagal untuk suatu keberanian minum pil tidur. Tetapi lebih tolol lagi mem-biarkan kejemuan ini semakin merasuk", dia mulai mengeluh.
Episode 31 Kucoba membayangkan siapa Gabriel, suaminya yang membikinnya sampai di puncak jemu. Kalau kuingat Loraine, dan, kulihat Ma-dame Myriam ini tiada keberatan Loraine mau punya teman hidup seorang penyair tua, dan juga kuperbandingkan dengan prosentasi gadis--gadis di tahun ini yang lebih suka kawin dengan orang-orang tua, maka kukira suami Madame yang masih muda ini pun tentunya seorang lelaki tua, lesu dan tak bisa membikin gembira wanita ini! Apalagi jika diingat suaminya seorang pe-dagang, tak mungkin ada pedagang muda di suatu negeri Barat, karena untuk menjadi millio-naire dalam sekejap waktu tak mungkin terjadi di sini, kecuali para millionaire di tanah airku yang justru mendapat julukan usahawan seperti seorang menang lotre, dan julukan milyardir amat gampang sekali didapatkan bila seseorang bisa menyunglap dan menjilat. Tetapi suami Madame Myriam Debussy tak mungkin orang muda! Pada waktu seseorang menjadi kaya di waktu tua, orang akan segera memungut keba-hagiaan yang tak pernah dikecapnya semasa se-mua muda dahulu. Dan kuduga, dinner dengan bintang film Hollywood ini pun termasuk dalam dugaanku tadi.
"Apakah kau bersedia bermalam disini"" tanyanya kemudian.
"Sekiranya anda tak keberatan", sahutku.
"Itu jujur. Aku benci kepada lelaki yang berpura-pura atau merasa rendah diri, atau ang-kuh". katanya.
Ditatapnya mataku tajam-tajam. Kalau tadi yang kulihat seluruh biji mata biru itu kosong, kini kul
ihat biji mata itu berbinar-binar. Wajah-nya seketika pucat seketika cerah lagi bila me-mandangku. Dan kemudian dia membuang muka cepat-cepat, katanya "Aku takut me-lihat matamu!"
"Ha"" "Matamu juga memancarkan kejemuan. Melihat matamu seakan aku melihat mataku sendiri!", dan kedua tangannya ditekannya pada pagar terrace, tak mau dia memandang kearahku lagi.
"Marilah berterus terang", katanya, "Apa-kah kau telah benar-benar punya isteri dan tiga anak""
"Aku tak berdusta", sahutku pelahan.
"Kenapa kau menetap disini, meninggalkan isteri dan anakmu, sedangkan kau bukan se-orang mahasiswa atau pegawai kedutaan, -diplomat. Dari Loraine aku
mendengar, kau akan menetap dikota ini sampai tua. Apa itu betul"". Aku tak menjawab. Aku membungkam mulut saja. Sukar buatku untuk menjawabnya.
"Dengan demikian engkau juga menyiksa dirimu sendiri!" serunya kemudian.
Untuk kesekian kalinya, dari perempuan ini aku mendapatkan sesuatu yang pasti tentang diriku! Benar! Memang benar aku telah menyik-sa diriku sendiri selama empat tahun ini. Tetapi aku sampai saat ini tidak akan takluk kepada penderitaan. Biarpun hati ini telah mutung Se-menjak berangkat dari tanah air, kubiarkan ke-bekuan itu berlarut-larut seperti seorang mempermainkan tali layang-layang.
Hatiku tiba-tiba meronta. Aku tak mau mengulur waktu lagi. Aku segera menghela le-ngan Madame Myriam sehingga dia terkejut.
"Kenapa kau""
"Jangan tanya", bisikku.
Kubenamkan kepala perempuan ini keda-lam dadaku. Kuciumi rambutnya yang coklat-jingga itu.
"Ating, Ating", rintihnya.
Dia menggelepar dalam pelukanku. Pela-han nafasku menjalari leher dari sebalik bela-kang kupingnya. Dia menggelinjang, bibirnya terbuka. Entah apa suara yang menggeletar dari bibirnya itu. Kukunci suara bibirnya seketika itu juga, sehingga dia meronta-ronta, mengamuk bagaikan kuda liar dan menyeretku ke dalam.
Aku pun mengejarnya, menangkapnya pada pintu kamar, dan kusandarkan bahunya pada pintu, pintu terhempas seketika, sedangkan nafas perempuan ini menggebu-gebu bagai om-bak terhempas. Rambutku kusut direnggutnya dengan kedua belah telapak tangannya. Ram-butku diremas-remasnya, dan matanya berbinar bergerak-gerak liar.
Aku tendang pintu kamar itu hingga ter-buka. Dan kemudian dia juga menendang pintu itu kembali hingga tertutup kemudian mengun-cinya dengan begitu tergesa. Diraihnya leherku, dilemparkannya bantal ke bawah tempat tidur. Aku terseret.
"Viens pres de mois ! Mendekatlah", kata-nya sambil merenggutku.
"Myriam !" seruku ngeri.
"Jangan berdiri begitu, menyiksaku me-nunggu beberapa detik lagi!" "Myriam!" suaraku makin perlahan. Dielusnya dadaku. "Myriam", bisikku.
"Ating, cher seigneur ! J'ai soif, cher ami! i'ai soif", bisiknya dengan menangis, dan ke-mudian suaranya lebih pelahan lagi: "Cher ami, deshabille-toi! J'aie la chaleur de ton corps, Ating!"
Dinding-dinding bergoyangan dalam pan-danganku. Dia habis-habisan melepas haus bagai kerongkong kering sedikit mau basah. Nafas-nya mendera telingaku, batas lengkingan ter-akhir bagaikan ikan terlempar ke pasir pantai menggelepar.
Ketakutan kepada sesuatu menyebabkan aku berfikir sambil mengeringkan keringatku dengan bedak, bahwa aku harus kembali lagi ke Paris sebelum terjadi sesuatu yang membahaya-kan diriku.
Episode 32 "Janganlah kau pulang, cher ami, Ating, Ating. Sebentar lagi matahari akan ter-bit", katanya.
Disisirnya rambutku dan dipujinya rambut-ku yang tebal yang melengket di kepalaku ini. Tetapi kepalaku penuh ketakutan.
Dan kemudian ketakutan itu pada hari dan malam, hari dan malam, hari dan malam-malam selanjutnya berangsur sirna! ini suatu kenyata-an! Dan aku berani menghadapi kenyataan.
Empat tahun lamanya aku menderita, melawan kenyataan dan berpura-pura dalam segala hal. Empat tahun lamanya aku menindas nafsu. Dan aku memenangkannye selalu. Dan bila hari-hari terakhir menjelang musim panas ini aku telah menyerah, seolah semua tiada kuhiraukan. Bah-kan aku lebih bertanggungjawab lagi.
"Aku akan mengawinimu", kataku kepada Myriam.
Myriam rupanya kaget mendengar tantang-anku.
"Aku seperti bermimpi mendengarnya!" seru Myriam.
"Aku orang timu r. Aku tak. perduli kau menganggap ajakan itu sebagai sikap seekor ba-dak primitif. Aku mencintaimu, tetapi juga men-cintai tradisi timurku. Bahwa percintaan akhir-nya memerlukan ikatan perkawinan", kataku.
"Tetapi Gabriel belum lagi kembali", kata Myriam.
"Kau harus jujur mulai sekarang. Kau tulis surat kepadanya. Kalau tak tahu di mana alamat-nya yang terakhir, kau cari di kantornya. Aku teringat kepada peringatanmu bahwa kita tak boleh mengejami diri kita sendiri, kita tak boleh menyiksa diri kita sendiri, kita tak boleh me-nyiksa diri kita sendiri. Dengan begini terus itu berarti kita membiarkan diri kita diburu oleh bayangan".
'Bayangan Gabriel"" potong Myriam.
"Ya, bayangan Gabriel. Yang menghantui kita sehabis mereguk anggur kemesraan", kata-ku.
Keringatku menetes dan berjatuhan pada bahu perempuan itu.
"Jangan tunggu lebih lama. Nanti keadaan terlambat, Gabriel adalah manusia yang sama seperti kita. Biarpun kepalanya tetap membatu tetapi hatinya akan pecah
bila mendapatkan aku hadir dalam dirimu, hadir di tempat ini dalam keadaan melebihi batas".
"Cher siegneur! mon Ating! Buatku Gabriel lama sudah mati", desahnya, mengemasi ram-butnya yang kusut. Jendela yang kubiarkan ter-buka semenjak aku datang kesekian kalinya in menyebabkan angin bukit berhembus, dan keringatku kering sendiri.
"Bagiku Gabriel sudah lama kukuburkan, Ating! ", katanya.
"Jangan lagi kita bertolak dari mimpi. Kita kini dalam fenomena hidup yang sebenarnya. Kita telah menemukan kenyataan. Kita hadir kembali ke kehidupan yang nyata, maka ku-minta supaya kau buang mimpi-mimpi masa lampau. Dan kita kawin! Tulis surat itu seka-rang juga, besok aku poskan".
Myriam diam lama, kemudian memakai baju, berhias kembali di depan kaca.
"Kau terikat pada perasaan berdosa"", tanya Myriam memandangku lewat bayangan-ku dikaca.
"Ya", kataku, "Dosa pun telah jadi tradisi hidup. Maka berdosa menjadi jaminan buatku untuk menebusnya sekarang juga, memikul ke-nyataan ini secara bertanggungjawab, lahir dan bathin. Tahu kau perkataan lahir dan bathin itu, kekasih" Tahu kau, bahwa kehidupan ini bukan lahir belaka, dan juga bukan bathin be-laka" Dua-dua harus isi-mengisi. Apakah kau takut kukawini, karena aku ini lelaki dari tanah asing"", tanyaku mendesak.
Lama Myriam terdiam. Aku menduga dia sangsi terhadap kata-kataku yang mengalir de-ngan bersungguh-sungguh. Melihat Myriam membisu, aku tak bisa menahan perasaan lagi, sehingga aku marah dan berteriak:
"Myriam ! Kau hanya membutuhkan aku sebagai jasad lahir sajakah atau bagaimana ""
Suara bergema dalam kamarnya itu.
Dia melompati tubuhku dari tempat tidur, memeluk seluruh diriku seerat-eratnya, dan menangis terisak-isak.
"Ating, kekasih! Aku mencintaimu, aku mencintaimu, pcrcayalah. Aku tak bisa hidup layak tanpa adanya engkau bersamaku!"
Kugoncang bahunya kuat-kuat sehingga rambutnya bergerai-gerai.
"Jangan ngimpi lagi, Myriam! Cinta saja tidak cukup. Kita harus mengisinya, lahir dan bathin, dengan perkawinan! Kita bukan anjing--anjing yang haus di tengah gurun Aljazair, My-riamku", dan kupeluk dia dan aku menangis sepenuh hati hiba.
Kemudian kami sama terdiam, dan sama terduduk di tepi ranjang.
Dia menoleh kepadaku. Matanya yang dulu sunyi pada saat itu tampak sunyi kembali.
"Bagaimana isterimu"" tanya Myriam
"Aku tak pernah mencintainya. Aku kawin dengan dia dulu hanya karena kebutuhan lahir saja. Diapun demikian. Dan aku berusaha akan melupakannya", kataku.
"Tetapi kau tak bisa melupakan anak--anakmu sekalipun engkau bisa melupakan isteri-mu Sutijah. Lebih baik kita terima kehidupan begini terus-terusan, sekalipun kita menyiksa diri sendiri, sekalipun bayang-bayang-hitam mengejar kita dari belakang. Aku tambah me-yakini, bahwa dunia ini sebenarnya neraka. Pertemuan manusia adalah neraka. Manusia akan saling bertemu lagi dan mengikat cinta yang kekal bila pintu sorga telah terbuka, bila kita semua sudah mati, bila dunia ini sudah bosan menontoni kelakuan manusia pada saat du-nia hancur oleh peperangan manusia dengan manusia, peperangan bathin antara manusia se-samanya, peperangan bathin dalam diri kita sen-diri seper
ti kita sekarang", Myriam mengeluh panjang. Diraihnya diriku, bisiknya:
"Dengar, kekasihku. Lama-kelamaan ke-mesraan begini nantinya juga menjemukanmu. Pada saat itu kita sama maklumi, bahwa apa yang hari ini kita kira cinta, nyatanya hanya pertemuan biasa, seperti pertemuan kau dan aku pertama kali di desa Vemon, seperti pertemuan dua manusia di bioskop, di restaurant, di depan kantor catatan perkawinan dan gereja, dan juga mungkin sama buruknya sama seperti pertemuan pelacur dengan lelaki di sayangnya. Akhirnya, jika kita muak dan jemu, kita akan mentertawa-kan diri kita sendiri!"
Episode 33 "Kau jangan rendahkan keagungan kenya-taaan ini! Buatku kau bukan gundik, kau bukan lacur, melainkan seorang manusia yang mengisi kehidupanku yang penuh ilusi selama empat tahun menjadi kehidupan nyata, penuh dan sejati. Aku takkan malu-malu mengakui dosa-ku kepada siapa saja pada saat ini. Aku rela dihukum oleh siapapun juga karena kenyataan ini
"Tetapi tahu kau, kekasih sayang, bahwa kita saat ini telah terhukum, dan saat ini kita sedang menjalani hukuman itu"", tanya My-riam.
Berhari-hari lamanya aku memikirkan ucapan Myriam. Biarpun Henri masih sering datang ke hotelku, namun tidak sedikitpun aku meminta bantuan moril daripadanya. Karena aku sadar, bahwa pada akhirnya manusia itu berdialog dengan dirinya sendiri. Pada akhirnya setiap ke-putusan cenderung subyektif. Aku tidak mau di-perbudak oleh kenyataan hidup ini sebagai ma-nusia balon. Aku semakin percaya, bahwa ma-nusia harus menjadi subyek atas dirinya sendiri dan mempunyai mahkota atas setiap keputusan yang akan diambilnya. Namun demikian, dalam telingaku ini masih terngiang-ngiang ucapan Myriam yang makin hari makin kukasihi, makin mengisi kekosongan hidup jemu dan gelisah ini. Sewaktu aku berkata itu, kami telah terhukum dan sedang menjalani hukuman itu. Dan bila aku membenarkan ucapan Myriam, aku dan dia sendiri pulalah yang telah membuat penjara dalam hati kami masing-masing, penjara tanpa belenggu dan kunci gembok tetapi penjara paling mengikat dari segala undang-undang diluar diri kami berdua.
Sadar akan dosa adalah lebih baik daripada tidak menyadarinya sama sekali atau lebih buruk lagi apabila membuat ilusi untuk mengatakan dosa itu tidak ada sama sekali. Dosa selalu ada pada diri manusia, dan pada hakekatnya dosa itu adalah
tanggung jawab paling jujur dari seorang manusia terhadap dirinya sendiri. Kutilpon My-riam.
"Bagaimana" Sudah kau pertimbangkan untuk membuat keputusan agar kita terjuni hidup ini tanpa dikejar bayangan lagi""tanya-ku.
"Kau lupa, sayangku, bahwa kau pagi ini akan menjemputku untuk berbelanja awal mu-sim panas di centre commercial ""
Baru aku ingat akan janji itu, bahwa pada hari ini kami tidak lagi akan membicarakan sesuatu dirumahnya, melainkan kami akan menghirup matahari baru musim panas ber-keliling kota Paris. Kujemput Myriam. Alang-kah cantiknya dia pada pagi ceria itu ! Mulanya aku menawarkan kepadanya agar aku membawa Mercedes-Benz. Tetapi dia berkata "Lebih baik Simca, lebih mesra, kecil dan sempit". Dan dia kemudian menerangkan bahwa mobil-nya dipinjam oleh kemenakannya Loraine yang akan menghirup seluruh musim panas dipantai Sables d'Ologne, kepingin bermesra dibawah tiupan angin Lautan Atlantik. "Kita juga nanti akan berlibur kesana", kata Myriam menye-nangkan hatiku.
Mulanya mobil kubawa perlahan sepanjang Champs-Elisees. Ditepi kami sungai Seine pada jam lima pagi yang terang itu bagai bangun dari tidurnya. Matahari terbitnya cepat sekali. Jalan raya musim panas penuh oleh manusia yang ingin mandi matahari. Mobilku terus meluncur membelakangi matahari ke tenggara, melalui St. Germain-l'Auxerrois, lalu berbelok ke kanan menyeberangi sungai memasuki daerah St. Ger-main des Pres. St. Thomas d'Aquin, dan My-riam berteriak-teriak kena mandi sinar mata-hari yang menyilaukan di atas kompleks sekolah militer l'Ecole-Mitrtaire di sebelah kanan kami untuk kemudian terdampar di sebelah barat kota international ini setelah puas berke-liling berbelanja. Hari mulai dekat jam tiga, matahari sedang garang-garangnya menyoroti kami yang berbari
ng di atas rumput di sebuah taman di St. Ambroise. Tetapi kemudian kami berkeliling lagi dan berbelanja lagi di rue de Ia Paix. Myriam membelikan beberapa potong ke-meja musim panas, setengah losin di antara-nya kemeja bolong-bolong berbunga-bunga. Dia juga membelikan untukku beberapa buah celana pendek, dan dia tetap memaksaku untuk menerimanya sekalipun kukatakan aku malu bercelana pendek karena bulu kakiku terlalu tebal semacam gorilla.
"Kutraktir kau, kekasih, direstoran ter-masyhur", katanya kemudian.
'Dimana"" tanyaku.
"Di restoran Tour d'Argent", katanya.
"Aku belum pernah ke sana", kataku.
"Denganku kau akan kesana, sayangku", kata Myriam.
Restoran ini sungguh sebuah restoran ter-mahal di seluruh kota Paris! Restoran menara ini membikin aku lebih dahulu bersalin pakaian di kamar salin untuk naik ke puncak restoran ini. Ketika kami memasuki ruangan tertinggi ini, beberapa orang telah duduk. Kami memilih dekat jendela.
Dari sini kelihatanlah sungai Seine mem-bentang dibawah. Mataku memandang kota lama, tie de la Cite. Di jauhan bermandi mata-hari Cathedral Notre-Dame.
"Tahu kau bila katedral itu dibangun, ke-kasih"" tanya Myriam. "Engkau guru sejarahku sekarang", kata-ku.
"Gereja tua itu dibangun di abad kedua -belas, tahun 1163", katanya.
Kucoba merenungi kota ini dalam sekilas pandangan. Kota ini masih akan dibangun lagi. Daerah Montparnasse akan dibangun lebih mo-dern lagi. Bukan percuma Jenderal De Gaulle memilih seorang menteri kebudayaan seorang seniman tulen seperti Andre Malraux itu, fikir-ku ! Begitu luas mata memandangi kota yang bermandi sinar matahari, namun hatiku masih bersisa kabut musim semi, jejak kehidupan nya-ta pada hari-hari lalu yang kini diterangi oleh cahaya.
"Musim bertukar, tetapi kita masih meng-ulang-ulang waktu", kataku.
"Bila kuterima lamaranmu, seorang pe-rempuan di tanah airmu memasuki gerbang ne-raka bathin lagi", katanya.
"Tak ada yang saling membikin sorga. Membuat neraka, membuat kehancuran ber-sama-sama pula. Tetapi begini terus-terusan sama membiarkan diri hanyut seperti kita laku-lkan sekarang, lebih berbahaya", kataku.
"Tadi malam telah kutulis surat kepada Gabriel. Aku minta ia menceraikanku. Tetapi pagi tadi kurobek lagi seperti kemarinnya juga".
"Kau tentu masih mencintai Gabriel", ka-taku.
Episode 34 "Kurobek surat itu karena terbayang oleh-ku seoraug perempuan dan anak tiga", kata-nya. Dibelainya bahuku mesra dan dia berbisik padaku bahwa aku telah membahagiakannya sejuta kali lebih hangat daripada limpahan uang dari Gabriel. Dibisikinya pula bahwa dia kepingin anak. Gabriel lelaki impotent. Namun aku heran mengapa Gabriel sampai bisa meng-gandeng bintang film. Kukira mungkin itu di-buatnya sekedar untuk show kepada umum. Kupandangi lagi perempuan ini. Jari-jari kami saling bercumbu, duapuluh jari bercumbu diatas meja restoran mahal ini! Tapi ini pula yang menyebabkan kami kepingin lekas pulang ke rumah
Betapa terkejutnya aku! Sewaktu mobil memasuki pekarangan rumah Myriam, aku me-lihat seorang lelaki berdiri memegang sebuah tongkat emas pada permulaan kegelapan malam. Myriam yang tidur dan meletakkan kepala di bahuku, kucubit agar bangun.
"Sudah sampai"" tanya Myriam masih separuh tidur.
"Lihat. Siapa itu. Apakah itu Gabriel!" bisikku.
Myriam terkejut sekali. Aku juga sangat terkejut sekali.
"Kita celaka, kekasihku", ranyuk Myriam padaku. Diremasnya tanganku. Mesin Simca belum lagi kumatikan sekalipun mobil telah berhenti di depan garage. Mobil tak bisa dima-sukkan ke garage karena ada Matra Sports da-lam garage.
Mataku tenang menatap Gabriel. Dia me-mutar-mutar tongkat emasnya sambil berdiri di depan mobil Matra Sportsnya itu, bercelana pendek merah, tanpa melihat pada kami sedikit-pun.
Ternyata Gabriel bukan seorang tua se-perti yang kuperkirakan. Gabriel masih sangat muda bila kubanding dengan umurku. Kukira pemuda itu berusia sekitar duapuluh enam ta-hun.
"Kita celaka, kekasih", bisik Myriam lagi.
Namun aku tenang. Keadaan yang begini sudah kuduga sejak mula. Kubuka pintu, lalu aku keluar. Aku mengangguk kepadanya, se-kalipun Ia tak acuh sehingga aku melewati-nya
dan membuka pintu bagi Myriam. Myriam mulai menangis. Myriam belum lagi dapat keluar dari tempat duduk. Dia sangat bimbang sekali. Tangisnya semakin kuat. Lalu kuulurkan te-lapak tanganku. Kubantu Myriam keluar. My-riam menggigil lututnya untuk berdiri.
"Gabriel", suara Myriam luluh-lantak.
Lelaki muda itu menoleh kepadaku, baru kemudian kepada Myriam. Ia masih memutar--mutar tongkat emasnya sewaktu melangkah ke arah Myriam. Sudah kuduga apa yang akan terjadi, setidak-tidaknya tongkat itu akan men-darat ke kepala Myriam. Ketika tongkat itu di-ayunkannya, segera aku melompat melindungi Myriam, dan punggungku serasa jadi bengkak oleh pukulan tongkat emas itu.
Sunyi mengosongi kami bertiga seketika. Tongkat itu tidak lagi disabetkannya, se-kalipun yang pertama dan terakhir tadi kini mulai menjadikan punggungku begini pedih. Dan aku membalikkan tubuhku.
Kuberanikan seluruh kekuatan dalam diri-ku untuk menatap wajah Gabriel. Gabriel berdiri dengan mata menatap tajam kepadaku. Aku tidak sudi menunggu ia yang akan berbicara duluan makanya aku mendahului. Kataku ter-amat tenang:
"Saya dan Myriam segera akan kawin". Gabriel terdiam. Sempat aku membanding-kan wajahnya yang mirip wajah bintang film Paul Belmondo. Dan kutemui dalam wajah yang angkuh itu satu kekosongan ketika itu; setelah ia mendengarkan suaraku tadi. Dari pada keko-songan pandangan matanya itu, aku seakan--akan melihat diriku pernah sedemikian itu, se-waktu aku di rumah menunggu Tomo anakku yang masih bayi di dalam box, isteriku Sutijah pulang dengan seorang yang tidak kukenal sama sekali! Mata Gabriel kehilangan harga, mataku pun sedemikian pula enam tahun yang lalu, yakni dua tahun sebelum aku ke Nederland dulu ! O, sungguh! kulihat diriku berdiri disitu, berdiri dalam diri pemuda Gabriel!
Dalam sekejap mata saja seakan hadir di depanku keadaan diriku sendiri, seorang suami yang mengurusi anak sehabis pulang dari kantor demobilisan, kudengar kembali teriakan-teriak-an Sutijah menghalangiku untuk mengambil pistol di lemari yang kuterjang untuk membunuh lelaki itu, bukan karena cemburu, tetapi karena harga diriku serasa tiada lagi.
"Gajimu tidak cukup buat setengah bulan! Aku berhenti dari fakultas kedokteran gigi gara-gara kau meminta kawin cepat-cepat! Kau selalu melagakkan masa lampau sebagai pe-juang, tetapi hari ini yang diperlukan bukan pejuang melainkan
pejuang uang!" - O, kata--kata itu bergema sekejap mata sewaktu aku menghadapi Gabriel. Dan kata-kata Sutijah masih juga bergema lagi dan bergema lagi dan bergema lagi:
"Kau melagak bahwa kau ganteng. Sekali-pun aku tidak cantik, tapi jika aku kau ceraikan aku masih sanggup untuk meneruskan kuliah, setidak-tidaknya menamatkan dan mendapatkan titel, dan setidak-tidaknya aku ini masih laku untuk mendapatkan suami dokter, bukan se-perti kau, membawa kertas-kertas stensil untuk dilowakkan, kertas curian dari kantor yang jika dijadikan duit cuma habis dalam dua hari saja!", O, o, bergema memekakkan telinga kata--kata itu, berobah seratus delapan puluh derajat dan kesediaannya dulu sewaktu kami masih berpacaran, bahwa Sutijah mau sehidup semati semelarat-sekelaparan bila telah kuperisteri. "Kau hanya bisa membikin anak, memberinya makan tidak bisa", kata Sutijah lagi. Dua tahun lamanya aku tidak punya daya untuk membela diri karena akupun tidak bisa membuat tahun--tahun surut kembali, karena percuma aku men-dendam terhadap peperangan yang telah mem-bikin syarafku lemah menghadapi pelajaran setelah selesai perang akibat ledakan mesiu, darah dan mayat yang kulangkahi, teman-teman yang gugur, ayah dan ibu dan kakak perempuan yang mati ditembak dan adik yang hilang, - semua ini percuma kulontarkan kembali pada isteriku Sutijah, karena baginya di masa damai adalah pejuang uang yang lebih dihargai ! Dua tahun lamanya aku membiarkan keringatku mengalir dingin mendengarkan suara isteriku, karena aku tiada berhak bersuara apa-apa lagi, sebab dia benar, seluruhnya dia benar karena kenyataannya aku memang punya gaji cukup untuk setengah bulan saja sedangkan mencuri kertas terkadang merasa malu kepada teman sekantor. Dua tahun
itu bagai berputar cepat dan bergema kembali dalam otakku saat aku memandangi Gabriel, suami Myriam yang tidak memegang pistol melainkan tongkat emas, yang itupun, tidak diayunkannya lagi untuk dipukul-kannya ke kepalaku. Gabriel kehilangan harga seperti aku pernah merasa kehilangan harga.
"Kuharap tuan tidak akan terlalu fantastis melihat kenyataan ini monsieur Gabriel", kata-ku lunak. Kudorong Myriam agar dia kuat me-langkah menuju rumahnya sendiri.
Episode 35 "Marilah kita sama-sama masuk", kata Gabriel biasa, ucapan sederhana yang mengejut-kanku, yang bagiku lebih kuat dari pukulan, sewaktu ia mempersilahkanku masuk. Myriam menoleh. Matanya memberi isyarat agar aku tidak ikut masuk. Mata Myriam kedua kalinya memperingatkan agar aku berhenti melangkah dan menolak tawaran Gabriel. Dalam mata yang berkata-kata dan mencegah dengan isyarat tanpa gerak itu, namun kakiku melangkah jua, melangkah lebih dulu, melangkah di belakang Myriam yang melihatku lagi penuh kecemasan akan apa yang bakal terjadi bila aku masuk.
Namun aku masuk juga. Tidak seperti yang aku duga, dan mungkin juga tidak seperti yang tak diduga Myriam, akhirnya kami bertiga bisa duduk bersama-sama di ruang tamu. Gabriel bahkan membuka jen-dela, semua jendela, sambil berkata:
"Hawa permulaan musim panas yang harus kita terima malam ini. Anda tidak keberatan angin masuk di ruang tamu ini", tanyanya kemudian yang ditujukan kepadaku.
"Tidak keberatan", sahutku gugup dan ganjil.
"Myriam", seru Gabriel kepada Myriam, "Aku menduga kalian berdua telah makan ma-lam. Tetapi minuman perlu".
Myriam gugup sejenak. Pandangannya me-ngilas kepadaku tapi pandangannya masih se-perti tadi: - Ating, pergilah kau cepat-cepat sebelum sesuatu terjadi.
Ketika Myriam pergi mengambil minuman itu, Gabriel mulai memandang kepadaku dengan pandangan serious. Katanya:
'Tuan berkata bahwa tuan akan kawin dengan Myriam, tadi"" "Rencana yang bagus", katanya.
"Tapi yang terpenting aku telah menyata-kannya dengan jujur pada tuan, monsieur Ga-briel. Ada baiknya saya minta ma'af atas sifat terus terang ucapanku tadi", kataku.
"Itu lebih baik", kata Gabriel pelahan. Tetapi kemudian Gabriel berteriak sambil men-cungukkan kepala kearah ruang minuman
"He, Myriam! berapa tahun kau dan saya ka-win""
Terdengar sahutan perlahan dari ruang minuman, dimana Myriam rupanya belum be-rani keluar jua. Sahut Myriam antara jelas dan tiada:
"Enam tahun". Kemudian Gabriel berteriak lagi bertanya:
"Apakah selama enam tahun itu engkau ba-hagia denganku, Myriam""
Myriam tak menjawab. Kali ini kudengar langkah-langkah kaki Myriam menuju beranda membawa tatingan minuman. Sebelum kaleng--kaleng minuman itu ditaruhnya di meja, selirik kilas pandangan tertuju kepadaku, tapi pan-dangan Myriam teramat pasti, kemudian My-riam menoleh pada Gabriel setelah meletakkan kaleng-kaleng, tiga gelas dan sebuah thermos.
"Aku tak bahagia", berkata Myriam.
"Une ambition demesuree!", kata Gabriel sambil tertawa keras-keras menyatakan pepatah yang kuartikan: kegairahan tanpa batas.
Mendengar ucapan sambil mengakak itu, Myriam tidak sedikitpun mengerdipkan mata-nya, malahan duduk dengan perasaan yang di-perkuatnya, mengatur nafasnya, dan kemudian menuangkan potongan-potongan es. Kutolong Myriam membuka kaleng minuman. Jus de tomate cairan tomat merah kutuang bagi gelas Gabriel, gelas Myriam dan gelasku. Bahkan Myriam lebih dahulu mengangkat gelasnya. Kedua telapak tangannya memegang gelas itu.
Gelas itu seakan-akan diremas-remas oleh telapak Myriam.
Jus de tomate berwarna darah itu, dengan potongan es itu, belum juga diminumnya. Ke-mudian mata Myriam menatap mataku. Kemu-dian dengan pasti pula Myriam menatap mata Gabriel. Katanya perlahan, sepatah kata demi sepatah kata "Malam ini aku meninggalkan-mu, Gabriel. Enam tahun kita berperang, selan-jutnya antara kita kuharap tercipta une paix durable, sebuah perdamaian yang lama, karena aku menerima lamaran monsieur Ating, lelaki ini. Kenyataan telah terjadi. Tak seorang pun manusia bisa luput dari peristiwa hidup".
Hanya itu yang diucapkan oleh Myriam.
Sesudah itu hening membungkam seisi ber
anda. Aku bungkam. Gabriel lebih bungkam lagi.
Dan Myriam tetap membisu.
Kebisuan itu malahan berbicara dalam hatiku. Mata Gabriel kulihat tidak tenang dalam kebisuannya itu. Aku menduga ada sesuatu yang sedang direncanakannya. Sekali-sekali matanya mencuri ke arah pojok beranda ini. Dan yang di-tujukannya hanya ke pojok itu, ke buffet ber-ukir itu, buffet yang berhiaskan patung perung-gu menara Eiffel setinggi sedepa.
Tanpa kuduga, Gabriel berkata dengan sua-ra sember: "Aku barusan saja kembali dari Hollywood. Sungguh aneh film-film sekarang. Aku melihat bagaimana mereka membuat film. Suatu pembunuhan berdarah dingin. Kepala bandit duduk di sebuah ruangan yang berisi pe-rempuan telanjang. Bagai suatu kerajaan di masa raja Philip Agustinus kejadian di ruangan itu. Bell kematian ditekan oleh kepala bandit itu, dan kita melihat beberapa pembunuh sewaan di setiap pojok kota dengan senapan-senapan, bahkan pula orang memegang pedang di zaman modern ini. Dan pembunuh sewaan ini semua gagal mencari mangsanya. Kukira itu sebuah film buruk. Kaalu aku seorang producer, akan kumasukkan adegan sebuah mobil Mercedes-Benz bercorong asap model kuno yang mena-brak sasaran para pembunuh".
Episode 36 Aku ingin menyambut ceritanya itu, tetapi Gabriel dengan lincah berdiri dan berjalan cepat menuju buffet yang sejak dari tadi jadi inceran matanya. Myriam cepat-cepat menyentak kaki-ku dengan kakinya. Kudengar Gabriel membuka laci buffet dengan kasar. Lalu ia ketawa terbahak sebentar, dan menarok sebuah peti yang diambilnya. Itu adalah sebuah peti radio-pickup. Peti itu dibukanya. Lalu dibolak-baliknya Se-buah piringan hitam, dan kemudian, kemudian sekali, piringan hitam itu memancarkan sebuah lagu klassik symphoni, ciptaan Wagner. Tetapi kemudian irama-irama kasar ciptaan Wagner itu agaknya tak disukai Gabriel. Gabriel mencari piringan hitam lainnya, dan kemudian berseru:
"Ini dia! Film kejam itu bila aku yang mempro-duksinya akan kuiringi dengan musik irama waltz ini".
Myriam menoleh kepadaku kemudian me-nundukkan kepala.
Myriam kemudian mengangkat kepalanya lagi, menoleh kepadaku. Lalu dia berdiri, dan berkata kepadaku: "Aku akan menyiapkan ke-berangkatan. Tolonglah aku sebentar, Ating".
"He Myriam!" seru Gabriel meninggalkan radio pickup yang masih mengiramakan lagu waltz, "Aku berhak juga menolongmu untuk yang penghabisan kali. Biarlah monsieur itu menunggu diluar".
"Tidak", sentak Myriam menolak pegang-an Gabriel.
"Kenapa kau" Berapa dalamnya hatimu kulukai maka kau membenci""
"Aku kenal watakmu! Kau berkata akan menolongku memasukkan pakaian di kamar, tetapi aku tahu benar bahwa di kamar nanti kau akan mencekikku!"
Myriam belum puas: "Kau akan membu-nuhku! Kau takkan puas enam tahun menyiksa diriku. Puncak kepuasanmu adalah membunuh-ku! Membunuhku ! Ingatkah kau waktu kita di Zulu kau mau mencekikku, mau membunuh-." Aku terkejut. Aku tersiksa oleh pertengkar-an yang kusaksikan. Namun aku lebih terkejut lagi melihat Gabriel berlutut di depan Myriam dan tersedu pelan-pelan.
Ada waktunya manusia harus menelan
Setiap manusia akan mengalaminya, kelihatan atau tidak, tertutup atau terbuka. Bahkan mereka yang hidup senang yang tertawa meriah mungkin memalsukan kepahitan itu dengan sorak-sorai ketawanya. Tetapi aku hanya diam berdiri sebagai saksi atas tangisan pahit Gabriel: Sedikitpun aku tiada berprasang-ka kepada pemuda gagah ini, yang menangis akan ditinggalkan isterinya, karena hati nurani-ku yang selalu kupercaya meyakinkan jiwaku untuk menerima isak-tangis Gabriel sebagai ke-sedihan paling jujur.
Angin yang meniup lewat jendela terbuka itu bagai membikin hatiku akan bimbang atas kesaksian ini. Tetapi seseorang harus lebih keras dari kerasnya kenyataan itu sendiri. Kutumbangkan kebimbangan dan segala sentimen yang menyerang diriku dibawa angin ke jendela ini sentimen yang harus tak kupunyai lagi dalam usia begini! Kutumbangkan perasaan hiba melihat Gabriel menangis. Aku telah siap menerima tanggung jawab atas penderitaan Gabriel dan dalam kesanggupan menerima tanggung jawab itu aku pun tak ingin mencari segala sebab semua sebab makany
a ini terjadi. Aku berpendapat, semua sebab adalah soal-soal masa lalu, yang bukan dasarnya per-hitungan masa sekarang. Bila aku mencari-cari sebab lagi pada saat kini, aku pasti akan men-cuci-tangan atas semua tanggung jawab, aku pasti akan membohongi diriku lagi bahwa bukan akulah yang berdosa. Dan dalam membohongi diri bahwa aku ini bebas dari dosa dari sebab segala peristiwa ini; aku pun mencari dosa ke-pada dunia di sekitarku. Aku akan menunjuk seorang dua orang lainnya sebagai biang keladi-nya, aku akan menunjuk masyarakatku yang bersalah, aku akan menunjuk berbagai kejadian lainnya yang menyebabkan ini jadi terjadi se-karang, dan makin kucari segala biang keladi kejadian ini makin banyaklah yang akan kutu-ding sebagai manusia dari peristiwa yang menyebabkan kejadian yang berakibat begini. Lalu aku merasa jadi orang yang paling bersih dan suci. Padahal aku telah membohongi diriku sendiri. Karena itu, kubuang segala analisa tentang
sebab semua ini karena semua sebab ada-lah soal-soal masa lalu. Dan yang kini kuhadapi adalah tanggung jawab yang harus kupikul. Sanggupkah aku memikulnya. Dalam kesediaan untuk sanggup memikul tanggung jawab atas akibat dari segala yang terjadi ini aku harus menekan dan menindas perasaanku seakan--akan diriku ini tidak ada. Pada saat itulah aku berkata: "Gabriel, kami segera akan berang-kat."
Kubawa Myriam ke hotelku, sekalipun Myriam mendesak agar aku membawanya ke Vemon malam itu juga.
"Segalanya sudah selesai. Apa Iagi yang kau cemaskan"", tanyaku. "Aku takut bila masih berada di Paris", kata Myriam. "Takut kepada Gabriel"" tanyaku.
"Bukan kepada Gabriel. Aku takut ber-keinginan besok pagi membeli surat kabar dan membaca berita bahwa Gabriel telah bunuh diri. Gabriel punya bakat untuk bunuh diri. Dalam laci buffet tadi itu sebenarnya ada sebuah pistol: Tapi rupanya ia ragu, radio pick up yang di-ambilnya. Engkau harus kenal siapa Gabriel. Gabriel adalah anak angkat seorang tentara Nazi yang disembunyikan ibunya di Paris ini. Kabarnya tentara Nazi itu masih hidup dan me-nyamar dan orang itulah yang memberikan modal kepada Gabriel untuk menjadi kaya se-perti sekarang. Tahukah kau, bahwa Gabriel menceritakan hal ini kepadaku sendiri, bagai-mana ia begitu kaya. Setiap kota di Eropa dan lain-lain kota lainnya, ayah angkatnya mena-namkan modal di bank".
"Baiklah", kataku mengalah, "Kita ke Vemon malam ini juga. Tapi sesampainya di Vemon apakah kau menjamin bisa lupa kepada Gabriel, manusia yang enam tahun pernah sing-gah dalam hatimu, sekalipun kesinggahannya itu menimbulkan benci" Tahu kau, benci dan cinta sama-sama indahnya. Dan setiap yang indah sukar untuk dilupakan begitu saja. Te-tapi kau bisa melupakannya Myriam, berangsur--angsur. Aku tak memaksamu agar kau melupa-kan Gabriel pada malam ini juga
Episode 37 "Tapi hendaklah kau ingatkan agar aku tidak membaca surat kabar dalam seminggu ini", kata Myriam.
Untuk kepentingan Myriam semenjak pagi besoknya aku membeli semua suratkabar yang terbit di Paris untuk mengetahui apakah Gabriel bunuh diri. Tetapi kemudian dalam kolom berita ekonomi aku membaca disuatu pagi sebuah berita bahwa Gabriel membuka cabang di Israel. Sungguh ironi rasanya berita itu, karena ayah angkat Gabriel justru seorang tentara Nazi yang akan patuh kepada Hitler untuk memburu-buru setiap orang yang berdarah Israel. Berita suratkabar itu sengaja kutunjukkan pada Myriam. Myriam hampir tiada percaya dengan berita itu. "Puas"" tanyaku, dan Myriam mengangguk.
"Sekarang aku baru merasa dunia ini sudah menerima kehadiranku untuk melepaskan semua ilusi yang bukan-bukan. Selanjutnya aku dan juga kau akan berpijak pada bumi kenyataan", kata Myriam dengan suara yang getir.
"Sekarang", kata Myriam lagi kebanjiran emosi, "Seluruh harta warisan, seluruh apa saja yang kupunyai, seluruh diriku dan hidupku, kupasrahkan padamu, kekasih! Biarpun aku perempuan Paris dan engkau lelaki dari Asia, bukanlah cinta manusia adalah universil""
"Tentu", kataku.
"Dan segala yang akan membikin engkau menderita, berterus-teranglah selalu kepadaku, sayang. Bagaimanapun engkau katakan kau jatuh cin
ta kepada Paris, tetapi kau tak bisa mengingkari bahwa kau punya tanah air. Kuminta kau setiap detik merasa kurang betah, kau bilang dengan terus-terang, agar segala apa yang kurang, bisa kita tutupi bersama. Soal materi jangan kau fikirkan lagi. Dan engkaupun tak boleh menganggapku sebagai perempuan bangsawan lagi. Aku kini telah jadi isterimu. Kita jauhi sifat pura-pura dan palsu sejauh-jauhnya!"
Dan memang, kami berdua telah kawin. Kawin dalam arti bukan semacam mengadu untung melenyapkan perasaan sepi. Tetapi kawin dengan penuh kesadaran bahwa perkawinan begini telah dilampaui dengan susah payah. Apa yang sudah dicapai dengan susah payah biasanya tidak gampang dilepaskan lagi. Hari esoknya aku mengajak Myriam ke Paris untuk memperkenalkannya kepada teman-teman dekat di kedutaan besar Indonesia di Rue Cortambert 49. Memang ada yang kaget menatap aku pada akhirnya bisa kecantol disini, sesuatu yang mengejutkan mereka.
Kami membeli sebuah rumah dibilangan La Muette.
Rumah itu terletak di tepi sungai Seine. Istimewanya, jendela kamarnya akan menjorok seperti dek sebuah kapal. Bila jendela dibuka, tampak sungai Seine seakan-akan menghanyutkan rumah kami, tampaklah matahari terbit. Rumah ini tentunya dibuat oleh arsitek modern yang mengerti letak sebuah rumah, sesuai untuk segala musim.
Pagi itu kubuka pintu beranda. Masih jam empat pagi, tetapi cahaya matahari yang jingga menyala di timur sana. Kembali aku ke kamar, dan kucium tengkuk isteriku Myriam dengan sebuah ciuman.
Myriam membukakan mata. Dua bola matanya gemerlap, dia menggeleongkan tubuh dan berkata: "Aku letih sekali".
"Mau kau kugendong untuk kumandikan dengan sinar matahari"", tanyaku. Diusapnya janggutku yang tumbuh tak teratur. Memang perempuan Paris suka lelaki yang berjanggut liar sepertiku, berbeda dengan wanita Jepang lebih suka lelaki licin dan rapih.
Kugendong Myriam ke beranda. Dia melonjak-lonjak manja. Ketika kugendong itu dicubitnya ketiakku, dan aku berlagak akan melemparkannya ke sungai Seine dibawah kami.
"Adduh mati aku!"
"Mau kuceburkan lagi""
"Ceburkanlah aku ke Seine kalau kau benci padaku", katanya ketawa.
"Yah aku benci kepadamu!" kataku melawak memelototkan mataku seperti pelawak-pelawak teater komedi.
"Kuda jantanku!" serunya.
'Singa betinaku", teriakku geli.
"Engkau membikin aku letih semalam", katanya.
"Engkau membikin aku menggelepar', kataku.
"Uou!", cubitnya.
"Kau.......", katanya lagi mencubitku,
"triompher d'un adversaire".
"Kenapa kau gelarkan aku ini penakluk unggul"", tanyaku. "Kau badak Afrika", katanya.
"Tapi kau", kataku ketawa, "kau..........remporler une victoire decisive".
"Memang kekasihku! Aku mendapat kemenangan yang menentukan, - remporter une victoire decisive", kata Myriam menciumi leherku dan kemudian menggigit bahuku.
Memang tiada pengantin baru yang tak saling menyenangkan satu sama lainnya. Dan hari-hari bulan madu pada musim panas memang hari-hari pengantin yang sangat membahagiakan. Sebagai orang Indonesia, buatku matahari cerah di musim panas begini sudah biasa, tetapi bagi Myriam musim panas tak boleh dilewatkan satu haripun.
Aku dan Myriam terbang ke Elba, pulau di mana Napoleon Bonaparte mengakhiri hukuman dari rakyat Perancis. Kami berdua berjemur di panas matahari. Aku mengkhawatirkan kulitku akan semakin hitam tetapi Myriam berkata "Makin berkilat seperti perunggu, makin gairah aku padamu. Kau lelaki tulen kelihatannya !" Kami mandi dalam kecibak-kecebur ombak Laut Tengah. Kami berlayar menuju Marseille. Kami berkereta api lagi ke Paris karena rindu meninggalkan rumah limabelas ban%%%. Tapi dua hari saja kami menginap di rumah kami di La Muette. Pada malamnya Myriam berbisik kepadaku: "Sayangku! Bukankah kita pernah berniat untuk libur musim panas ke pantai barat Sables d'Olonne""
Episode 38 "Oya", kataku, "Loraine dan penyair Ron Saragat menghabiskan musim panas yang mesra disana, bukan""
"Mari kita ganggu mereka, supaya mereka juga mengganggu kita", kata Myriam menampar bahuku sambil ketawa. Tetapi, bangun pagi yang sudah direncanakan, ternyata, kami sama bangun kesiangan. Kukira semua pengantin bar
u akan bangun kesiangan, sama lupa waktu seperti kami juga. Tetapi rencana ke pantai Atlantik
untuk bermandi matahari di Sables d'Olonne tidak kami batalkan. "Lebih baik kita menyewa taksi. Potensi pisikmu harus dijaga, Ating. Kau tak boleh menyetir. Kita berpelukan sampai ke pantai laut itu".
Sables d'Olonne ! Memang pantai yang indah sekali! Aku pernah berdua dengan Henri kesini membawa sepasang gadis pada permulaan aku memasuki kehidupan Perancis. Bila kuingat dua tahun yang lalu aku jijik dengan kemesraan gadis pasanganku, aku menjadi ketawa sendiri, karena yang dikecup itu bukan bibirku. Gadis itu sungguh-sungguh menjijikkan seleraku, menyesal aku pernah mengecup bibirnya pada hari-hari sebelumnya. Kukira gadis ini telah dirusak oleh film blues yang sangat kotor yang pada tahun-tahun itu membabi-buta memasuki kota-kota, Eropah, membikin gadis-gadis yang baik jadi rusak karena kemesraan paduan anatomi yang terbalik yang diminta gadis itu dalam bercumbu. Aku tak kepingin rusak oleh permintaan gadis itu. Dan betapa aku jadi bahagia mempunyai Myriam yang tidak pernah kutemukan bercumbu dalam paduan anatomi terbalik itu.
Sables d'Olonne terletak antara sungai Loire dan sungai Gironde di tepi Atlantik. Begitu banyak manusia-manusia di pantai. Bukan saja pasangan lelaki dan wanita beraneka warna pakaian cerah dan celana mandi, tetapi juga keluarga-keluarga yang sudah menabung untuk menghirup matahari berpuas diri di pantai, mandi dan tidur-tiduran sepanjang hari dan terkadang kufikir-fikir mereka seperti orang gila semuanya karena di tanah airku matahari bersinar sepanjang hari! Tetapi selama seminggu di sana kami tak bertemu dengan Loraine maupun Ron Saragat. Myriam yang paling sibuk meneliti setiap orang yang kami jumpai di pantai. Dia terlalu yakin akan segala hal. Dia memastikan akan kepastian bertemu Loraine dan Saragat. Biarpun kami hanya menjumpai Ron Saragat saja sendirian disebuah villa yang disewanya, Myriam dan aku puas juga.
"Kemana Loraine"" tanya Myriam pada penyair tua yang murung itu.
"Dia akan menjadi bintang", kata Ron Saragat.
"Bintang"" tanyaku kaget, teringat apa yang diimpikan Loraine dulu.
"Ya. Bintang film. Itu akan membikin Loraine kehilangan masa depan. Jika dia jadi bintang, tentu Loraine akan lupa kepada puisi. Sedangkan seni yang paling agung adalah puisi. Tapi aku terpaksa melepaskan gadis yang ambisius ini. Biarlah dia temukan dunianya sendiri. Myriam. Seorang talenscout yang rada gila, namanya Henri dan mengaku sahabat monsieur ini dulu, telah menemukan Loraine untuk main film".
Bila aku kembali ke Paris, aku menilpon Henri untuk mendengar kebenaran itu. Tetapi Henri tidak ada di Paris. Dalam suratnya yang kuterima dua hari kemudian, aku kaget sekali bahwa Henri dan juga Loraine sedang membuat film amatir bersama seorang sutradara muda di Aljazair.
Alangkah cepat waktu berlalu, alangkah cepat segalanya berobah! Gadis yang dulunya tidak punya arti kecuali bermandi angan-angan itu, dalam musim gugur menjadi pembicaraan di seluruh Paris. Kami berdua Myriam mendengar sendiri seniman-seniman muda yang banyak ngomong di buncu Les Deux Magots dan juga seniman-seniman avantgarde di buncu Flore yang tak jauh dari cafe Magots, yang dulu menganggap Loraine bukan apa-apa kini seperti menghafal nama seorang yang menggurat sejarah. Surat-surat kabar dan majalah-majalah, mulai Le Figaro, Le Monde, Le Dauphine Libere, L'Aurora, France-Soir sampai Paris Match, memuat
nama Loraine dan foto gadis itu, memuji sutradara muda berusia dua puluh tahun bernama Jacques Ouest punya masa cemerlang sebagai sutradara amatir untuk festival Cannes di masa ini. Hanya Henri sendiri saja yang mengeluh kepadaku dengan kepala tunduk "Aku tetap saja begini, temanku. Aku jadi perantara yang sibuk dengan komisi 10% tanpa bikin nama di permukaan langit itu". Tetapi aku percaya itu bukanlah kemurungan Henri yang sebenarnya, karena ia akan tetap gembira sebagai manusia-sepuluh procent, seperti selama ini dibanggakannya.
Musim gugur berlalu. Musim dingin di ambang pintu. Salju-salju hingga di mana-mana. Dan aku makin memeluk Myriam le
bih ketat bila malam, dalam guha selimut yang tebal. Tetapi dalam musim salju sedemikian itu dengan hanya diisi pelukan dalam selimut saja kukhawatirkan akan memuakkan. Aku kepingin hidup ini tiada menjemukan sekalipun peluk dan kecup membuat hidup lebih segar daripada ngelamun melajang diri seperti semasa belum kawin dahulu.
"Kita ke Savoy", usulku.
"Kenapa" Mau apa"" tanya Myriam.
"Rendesvouz lagi main ski, mendaki gunung. Bukankah itu menggembirakan " Dan kau akan lebih sehat", kataku.
"Aku lelah sekali, sayangku", katanya. "Lebih baik kita di Paris sini saja".
Kegembiraan jadi berkurang karena usulku yang selama ini biasanya diterimanya kini ditolaknya. Aku menyibukkan diri untuk melupakan kemurungan itu dengan menhlpon Henri agar ia menyiapkan bahan-bahan untuk membuat keramik dari motif batik. Hidup dibeayai isteri memang tak enak. Aku memerlukan uang yang kucari dengan jerih payah sendiri! Aku gagal untuk mengisi waktu main ski dan mendaki gunung yang menjadi kesenanganku tiap tahun di Savoy, - dan - untuk itu aku harus isi dengan kesibukan lain agar Myriam isteriku tidak menduga aku ini lelaki pengambek. Tetapi pada akhirnya Myriam mengetahui juga gelombang surut dalam hatiku ini! Diciuinnya bibirku lumat-lumat pada suatu malam, dan dibisikkannya kepadaku. "Kita berangkat besok ke Savoy, manisku!"
Tetapi justru ini membuat malapetaka bagi kehidupan kami! Hari itu hari Sabtu siang, ketika itu tak bisa kubayangkan Myriam bisa menjerit mengejutkanku dan orang-orang yang meluncur main ski, riang tertawa. Myriam meluncur dari puncak salju-salju seperti manusia terbang, menggelincir ke atas sebuah restaurant lalu terbanting jatuh ke bawah. Isteriku! Isteriku! Aku berteriak di tengah-tengah orang ramai itu tanpa menghiraukan lagi siapapun dan menubruk-nubruk siapapun, merengkuh isteriku yang kukira tiada harapan untuk hidup. Pada ujung kesedihan paling pahit, aku masih berkata menghibur diri bahwa aku masih bersyukur Myriam tidak tewas.
Episode 39 "Bayiku", bisiknya menangis memelukku di hospital, "Padahal ingin sekali aku menggendong bayi kepunyaanku sendiri".
"Semoga tahun depan aku bisa memberikan bayi lagi bagimu, Myriam. Yang penting kau sehat dan sembuh kembali", hiburku.


Perempuan Paris Karya Motinggo Busye di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tetapi menghibur seseorang, menghibur diri, dengan dusta yang harus kutahan sehari demi sehari selama bulan-bulan musim salju dan musim semi kembali, tidak bisa lari lagi dari sesuatu yang jauh lebih menyedihkan daripada hanya Myriam keguguran itu saja. Seorang dokter telah berterus-terang kepadaku tentang penyakit yang diderita oleh Myriam yang lebih berat dari hanya keguguran bayi saja. Dokter itu menyarankan agar aku pergi ke Amerika untuk menyelamatkan isteriku.
"Kanker "" tanyaku cemas.
"Semacam itu. Kanker kandungan. Namanya mola. Mt yang kami keluarkan dari kandungan isteri anda, monsieur Ating. Jadi bukan bayi", katanya.
Memang aku ada melihat benda bundar sebesar buah appel yang dimasukkan oleh dokter ke dalam gelas tertutup. Aku melihat sendiri waktu itu bahwa benda itu pasti benda yang penting, karena tertulis pada secarik kertas huruf-huruf penting untuk diselidiki institute kanker PBB di WHO.
"Apakah isteriku bisa disembuhkan"" tanyaku.
"Kami tak berani berterus-terang. Tetapi sebagai sobat anda, aku harus menyatakan bahwa anda bisa menyimpan rahasia ini Cuma anda harus tenang mendengarnya. Menurut hematku, mola semacam kanker yang sukar untuk sembuh. Dia berakar. Dia bisa dikeluarkan lagi, kambuh lagi tetapi berbahaya bila akar itu menjalar ke mata dan otak", katanya kemudian.
Semalam suntuk aku pergi ke perpustakaan untuk mencari keterangan mengenai penyakit itu. Sebuah buku tebal membuatku barusan tidur pada dinihari. Dan bila aku tenjaga, aku sudah bisa membayangkan, bahwa akar-akar mola itu akan menjalar pada suatu ketika ke otak dan mata isteriku. Myriam akan jadi buta. Hanya beberapa jam saja setelah dia buta nanti dia akan terkejut oleh satu sentakan. Dan sentakan itulah yang bernama maut. O, mengapa aku harus membaca ini. Ini membikin aku tahu bahwa isteriku Myriam pada suatu hari akan mati. Dan menurut perhitungan ilmiah,
itu akan datang dua tahun lagi. Ya, dua tahun lagi. Dua tahun lagi Myriam akan mati. Aku telah tahu hari itu akan datang di musim salju dua tahun mendatang, - hari kematian Myriam. Tetapi setiap Myriam kudekati, aku selalu membohonginya. Membohonginya bahwa dia akan sehat. Begitupun setelah dia keluar hospital aku selalu membohonginya. Dia tak boleh tahu apa yang akan terjadi atas dirinya dua tahun mendatang ini, aku harus menjaga kepalsuan-kepalsuan ucapanku yang berbohong agar dia tak mengetahuinya. Karena sangat sedih bila aku terlanjur bilang bahwa dia akan tewas dua tahun di depan ini. Itu terlalu kejam bila kukatakan. Terlalu pedih buat seseorang bila orang itu tahu saat-saat matinya diambang mata. Biarpun dengan menahan begini masih harus kulalui dengan penderitaan berat selama dua tahun lagi, namun aku harus melakukannya. Kematian akan diterimanya sebagai surprise, ya, memang harus demikian seharusnya.
Tetapi betapa tololnya aku. Aku tak bisa menahan penderitaan ini. Aku terlalu lemah selama satu tahun menekan rahasia ini. Dan aku minum-minum terlalu banyak. Aku membuat pesta gembira yang berlebih-lebihan, sehingga aku mabuk. Dan dalam mabukku aku tak mengetahui apa yang selama setahun aku masukkan di bawah alam fikiranku, kemudian keluar meluncur dalam mabuk-mabuk itu.
Ketika .aku sadarkan diri, aku segera memeluk isteriku, Aku gugup. Aku bertanya kepadanya "Apa yang kuucapkan sewaktu mabuk itu""
"Sesuatu yang indah. Sesuatu yang telah kuketahui", katanya.
"Apa"" tanyaku.
"Hari kematianku", kata Myriam.
Myriam menghela nafas dalam-dalam. Dipandanginya bunga-bunga yang memutik pada musim semi itu. Di bawah, sungai Seine mengaum, menerjang tebing. Aku membisu dalam takutku.
"Aku tak takut lagi, sayangku. Aku telah berhari-hari membaca sebuah buku di penpustakaan. Dalam daftar pembaca buku itu tertera namamu. Rupanya setahun yang lalu kau telah mengetahui penyakitku. Aku berbahagia karena selama satu tahun kau telah merahasiakan apa yang kau ketahui dari buku itu. Aku bahagia ada seseorang yang berdusta. Kali ini dustamu menjadi ukuran bahwa kau benar-benar mencintaiku. Dan biarpun aku tahu bahwa tahun depan aku pasti meninggalkan kau untuk selama lamanya, aku tiada akan sulit lagi menjemput maut itu. Karena apa yang kusangsikan selama hidupku telah kuyakini kini. Yaitu aku dicintai sepenuhnya, dicintai sepenuhnya, oleh seseorang. Yaitu kau. Karena itu percayalah, aku ikhlas akan hal itu. Aku ikhlas bila maut itu datang menjemput jasad dan jiwaku".
Mulanya aku mengira, apa yang disebut ikhlas oleh Myriam pun hanya sekedar menghiburku. Tetapi sehari demi sehari aku melihat dia malahan berusaha untuk menyenangkan hatiku, karena dia pun tahu bahwa aku telah mengetahui hari kematiannya tinggal setahun lagi. Dia berkata: "Jangan kau susah. Biarpun aku akan pergi menjemput maut dengan susah nanti, tetapi lebih susah lagi aku jika kau murung apabila aku pergi. Percayalah. Kalau dulu aku menolak orang yang berkata tidak indah bila mengetahui hari mati kita sendiri, nyatanya ketika itu kualami sekarang, tidaklah seberapa sulit. Tahu itu indah. Tahu itu hidup. Tahu itu kehidupan yang sempurna. Apa yang akan dirisaukan lagi selain kesempurnaan menyeluruh begini, hidup yang perfect begini""
Aku tetap beranggapan bahwa Myriam menipu dirinya sendiri.
Tetapi dengan sangat teliti aku melihat dia begitu wajar sehari demi sehari menjemput banban yang akan datang itu. Sehari demi sehari malahan dia kulihat semakin bertambah biasa. O, perempuan ini. Dulu kukira hanya sosok daging yang cuma membutuhkan kehidupan ini begitu dangkal untuk dihisap. Nyatanya dia jauh lebih agung daripada anggapanku. Memang manusia sulit untuk dinilai. Ada yang tersembunyi yang paling rahasia yang disimpan seseonang, yang takkan diketahui oleh orang lain.
Episode 40 Setiap kubuka jendela dan pintu setiap pagi, aku tahu hari kematian Myriam makin dekat jua. Musim semi yang penuh kabut sehari demi sehari mengusir kabut-kabut itu menjadi musim panas. Dan pada hari lainnya lagi bila kubuka pintu dan jendela aku melihat daun-daun gugur, pertanda musim gugur t
elah datang dan hari kematian Myriam makin dekat lagi. Aku tak bisa membohongi Myriam dan tak bisa punya fantasi seperti pengarang O'Henry yang membuat lukisan daun di luar jendela. Cerita pendek O'Henry itu sudah lama kubaca, semasa masih sekolah menengah dulu. Seorang gadis mencemaskan kematiannya. Setiap daun gugur di luar jendela itu jatuh, gadis itu semakin cemas akan kematiannya. Dan ada sebuah daun terakhir yang dicemaskan gadis itu. Nama gadis itu Sue. Sue melihat daun terakhir itu adalah lambang kematiannya.
Kini akupun demikian berdiri di jendela, memandangi daun-daun gugur tanda kematian isteriku semakin dekat, sekalipun begitu banyak daun-daun yang gugur. Tiba-tiba Myriam memelukku dari belakang hingga aku terkejut.
"Aku tahu apa yang kau ingat sewaktu daun-daun gugur itu, kekasihku! Kau teringat pada cerita pendek O'Henri. Seorang pelukis Behrman dalam kisah itu ingin menyelamatkan Sue dengan melukiskan daun itu di dinding hospital agar Sue takkan melihat daun terakhir itu gugur. Tapi kau tak usah mengkhayalkan itu. Aku bukanlah Sue. Aku tidak cemas daun-daun itu gugur, pertanda musim gugur akan dilalui dan musim saljupun akan datang pertanda hari kematianku semakin dekat. Percayalah, aku tidak setakut Sue. Aku cukup ikhlas dan kuat, sayangku".
Pada hari-hari yang lain di bulan lain, kubuka jendela seperti biasa. Angin berhembus kencang dan dingin, membawa cairan-cairan bergumpal seperti kapas-kapas randu.
Musim salju telah datang! Hari kematian Myriam semakin mendekati gerbang. Aku menunggu dengan cemas. Tetapi sehari demi sehari ketika salju-salju makin membeku dan bergantungan pada pohon-pohonan sekitar rumah kami, bila kutatap mata Myriam, dia hanya tersenyum. Dia senyum bila mata kami beradu pandang. Dia selalu bertanya mengapa aku cemas. Dia berkata, sedangkan dia yang akan melewati gerbang maut yang makin mendekat, tidak mencemaskan kematian itu. Dan dia berkata selalu kepadaku agar aku tak mencemaskan kematiannya itu, karena kematian pasti akan mendatangi setiap manusia. Kupandangi sungai Seine mengalir di bawah itu, membelah dua jantung kota ini.
TAMAT Edit & Convert: inzomnia
http://inzomnia.wapka.mobi
tamat Tujuh Satria Perkasa 1 Pendekar Pulau Neraka 06 Pendekar Kembar Golok Sakti 2
^