Pencarian

Sepasang Pedang Iblis 1

Pendekar Naga Putih 59 Sepasang Pedang Iblis Bagian 1


SEPASANG PEDANG IBLIS Oleh T. Hidayat
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: Tuti S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
T. Hidayat Serial Pendekar Naga Putih
dalam episode: Sepasang Pedang Iblis
128 hal. ; 12 x 18 cm
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
1 Pagi baru saja datang menggantikan sang malam.
Hembusan angin masih terasa sejuk membelai tubuh.
Dan, matahari belum menampakkan kegarangannya.
Sinarnya yang redup menyapa bumi serta dedaunan.
Suara jangkrik pun sesekali masih terdengar.
Di sebuah bangunan perguruan yang dikelilingi pa-
gar terbuat dari kayu bulat terlihat kesibukan. Beberapa murid perguruan tengah
berlatih dengan bertelanjang dada. Butir-butir keringat mengalir turun membasahi
tubuh mereka. "Sarpala, kau sudah menyelesaikan pekerjaan-
mu...?" tegur seorang lelaki bertubuh gagah pada seorang pemuda berusia sekitar
dua puluh sembilan ta-
hun, yang memegang sapu pada tangan kanannya.
Pemuda itu tengah berdiri menyaksikan murid-murid
yang sedang berlatih. Sehingga tidak menyadari ada orang yang menghampirinya.
"Guru...," ucap pemuda itu segera membungkukkan
tubuh dengan sikap hormat.
"Hm.." Apa yang kau pikirkan, Sarpala" Hingga aku
harus menegur mu berkali-kali. Apa kau tidak men-
dengar pertanyaanku?" tanya lelaki bertubuh gagah
seraya menatap wajah Sarpala dengan penuh selidik.
"Ampun, Guru. Aku..., aku...," Sarpala mendadak
gugup ketika menyadari kesalahannya. Apalagi, nada teguran itu jelas menyiratkan
ketidaksenangan. Tentu saja Sarpala makin merasa bersalah.
"Sudahlah! Lanjutkan pekerjaanmu!" lelaki bertu-
buh gagah menyela tak sabar.
"Baik..., baik, Guru...," sahut Sarpala kemudian
meninggalkan tempat itu untuk menyelesaikan peker-
jaannya. "Hhh...," lelaki gagah itu menghela napas panjang
sambil menggeleng-geleng kepala. Setelah bayangan
Sarpala lenyap, perhatiannya kembali tertuju ke arah murid-murid yang tengah
berlatih. Ki Baginta, lelaki bertubuh gagah itu bukanlah to-
koh rendahan dalam Perguruan Harimau Sakti. Ia me-
rupakan orang ketiga setelah guru dan kakak seperguruannya. Tapi, semua murid
Perguruan Harimau Sakti memanggil tokoh-tokoh perguruannya dengan panggi-lan
guru. Kecuali, ketua perguruan yang dipanggil
guru besar. Sementara itu, Sarpala yang bertugas menjaga ke-
bersihan bagian dalam perguruan telah melanjutkan
tugasnya kembali. Pemuda bertubuh tegap itu tidak
lagi mempedulikan keadaan sekelilingnya. Teguran Ki Baginta membuat pemuda itu
semakin tekun menja-lankan tugasnya. Sehingga, tanpa sadar Sarpala me-
masuki ruangan perpustakaan. Seolah-olah tidak me-
nyadari kesalahannya karena, ruangan itu tidak boleh dimasuki murid-murid
perguruan termasuk dirinya,
Sarpala terus membersihkan ruangan itu.
"Sarpala...!" tiba-tiba terdengar bentakan keras yang membuat Sarpala hampir
jatuh terduduk. Wajah pemuda itu berubah pucat ketika melihat seraut wajah di
belakangnya. "Ada apa, Ki...?" tanya pemuda itu seperti orang bodoh, membuat wajah lelaki tua
yang berdiri di ambang pintu makin bertambah gelap.
"Hm.... Kau sengaja berpura-pura bodoh atau me-
mang ingin mempermainkan aku, Sarpala...?" geram
lelaki tua itu seraya melangkah maju mendekati Sarpala. Jelas, terlihat
kemarahan tersirat pada sepasang matanya.
Sarpala tidak menjawab. Matanya menatap wajah
orang tua itu dengan pandangan tak mengerti. Ru-
panya, pemuda itu belum menyadari kesalahannya.
"Hm...," Ki Kumbaranta, penjaga ruang perpusta-
kaan Perguruan Harimau Sakti menggeram jengkel,
"Sudah berapa lama kau bekerja di tempat ini?" tanya lelaki tua itu membuat
Sarpala merasa heran. Itu terlihat dari pancaran matanya.
"Setengah tahun, Ki...," jawab Sarpala tidak mengetahui ke mana arah pertanyaan
Ki Kumbaranta. "Sudah cukup lama untuk mengetahui semua pera-
turan di perguruan ini, bukan?" desak Ki Kumbaranta.
"I..., ya, Ki...."
"Kau tahu tempat apa yang kau masuki ini...?"
tanya Ki Kumbaranta dengan pandangan yang sema-
kin tajam, membuat dada Sarpala bergetar dan pemu-
da itu menatap berkeliling.
"Ahhh..."!" Sarpala berseru dengan wajah pucat
Rupanya, pemuda itu baru menyadari kesalahan yang
telah diperbuatnya. Tanpa banyak bicara lagi, pemuda itu langsung menjatuhkan
tubuhnya berlutut di depan Ki Kumbaranta.
"Ampun, Ki. Aku sungguh tidak sengaja...," ucap
Sarpala setengah merintih.
"Hm.... Kau tahu hukuman apa yang akan dijatuh-
kan guru besar kita bila mengetahui perbuatanmu
ini...?" ujar Ki Kumbaranta membuat tubuh Sarpala
semakin menggigil ketakutan, "Guru besar kita melarang keras setiap murid-murid
dan penghuni pergu-
ruan masuk ke dalam ruangan perpustakaan, kecuali
aku yang diberi wewenang untuk menjaganya. "
"Ampun, Ki. Aku mengaku bersalah. Tapi..., aku
benar-benar tidak sengaja melakukannya...," rintih Sarpala dengan suara gemetar
ketakutan. Sebab, Ki
Sawung yang menjadi Ketua Perguruan Harimau Sakti, akan menjatuhi hukuman bagi
siapa saja yang me-langgar peraturan itu. Itu sebabnya, Sarpala ketakutan
setengah mati. Ki Kumbaranta terdiam beberapa saat seraya mem-
perhatikan tubuh menggigil di dekat kakinya. Ru-
panya, hati orang tua berusia sekitar enam puluh lima tahun itu tergerak melihat
wajah Sarpala yang pucat bagai mayat Setelah menghela napas panjang, terdengar
Ki Kumbaranta berkata perlahan.
"Kali ini kuampuni perbuatanmu, dan tidak akan
melaporkannya pada guru besar. Tapi ingat! Sekali lagi kau memasuki ruangan ini,
kau akan digantung di ha-laman depan, mengerti...," ujar Ki Kumbaranta.
"Terima kasih, Ki. aku bersumpah tidak akan men-
gulangi lagi...," sahut Sarpala cepat. Hatinya merasa lega bukan main ketika
mendengar ucapan Ki Kumbaranta. Berkali-kali pemuda itu membenturkan keningnya
ke lantai sebagai ungkapan kelegaan hatinya.
"Pergilah, selesaikan tugasmu di tempat lain...," ujar Ki Kumbaranta melambaikan
tangan pada pemuda itu
yang kemudian setengah berlari meninggalkan ruan-
gan perpustakaan.
Ki Kumbaranta hanya menggeleng-geleng menatap
kepergian Sarpala. Kemudian, memeriksa seluruh ki-
tab-kitab yang berjajar rapi di ruangan itu. Setelah memastikan kitab-kitab itu
masih utuh tanpa ada yang lenyap atau berpindah tempat, Ki Kumbaranta menutup
pintu ruang perpustakaan dan beranjak pergi.
*** Malam sudah lama jatuh. Kegelapan yang menyeli-
muti permukaan bumi, terkuak oleh bias sinar rembu-
lan yang malam itu muncul penuh. Suara binatang-
binatang malam terdengar bersahutan menyemarak-
kan suasana malam.
Dalam keremangan cahaya rembulan tampak seso-
sok bayangan hitam berkelebat cepat mendekati ban-
gunan Perguruan Harimau Sakti. Melihat caranya berlari dapat dipastikan ilmu
lari cepat sosok itu cukup tinggi.
Dengan melalui bagian samping bangunan, sosok
berpakaian hitam melejit ke atas. Bagai seekor burung besar, tubuhnya melayang
dan lenyap di sebatang pohon yang tumbuh dekat pagar. Kemudian, meluncur
turun setelah memastikan keadaan di sekitar tempat itu aman.
"Hup!"
Begitu kedua kakinya menginjak tanah, sosok ber-
pakaian hitam itu berjumpalitan beberapa kali, dan menyelinap di balik tembok
bagian dalam bangunan
induk. Sepasang matanya bergerak liar menembus ke-
gelapan. Sesaat kemudian, sosok itu kembali bergerak menuju sebuah bangunan yang
lebih kecil dari bangunan induk.
Seperti sudah hafal akan letak tempat yang ditu-
junya, sosok berpakaian hitam langsung mendekati
sebuah pintu yang di atasnya bertuliskan 'Ruang Perpustakaan'. Dengan sekali
menekankan telapak tan-
gannya pada daun pintu, terdengar suara derit perlahan. Dari sini kembali
terlihat kekuatan yang tersembunyi di dalam tubuh sosok terbalut pakaian serba
hitam itu. Sebab, pintu ruang perpustakaan dapat dibu-kanya dengan mudah.
Padahal, sebelumnya pintu itu
terkunci rapat!
Setelah menyelinap masuk dan menutup pintu, so-
sok berpakaian hitam itu menggeledah setiap sudut
ruangan. Telapak tangannya bergerak menekan dind-
ing batu tanpa mengganggu rak-rak buku yang berja-
jar rapi. "Hm...," sosok bayangan hitam bergumam perlahan.
Kemudian, mengalihkan perhatiannya ke rak-rak buku di sekeliling ruangan,
Kelihatannya ia tidak menemukan apa yang dicarinya pada setiap sisi dinding batu
ruangan itu. "Setan! Di mana manusia keparat itu menyembu-
nyikannya" Padahal, menurut guruku benda pusaka
itu berada di dalam ruangan ini," gumam sosok berpakaian hitam itu seraya
menyapu seluruh ruangan dengan pandang matanya yang tajam.
Cukup lama sosok bayangan hitam berdiri mema-
tung di tengah ruangan. Kemudian melangkah menuju
sebuah rak buku yang berada di samping kanan. Dan
dengan mengerahkan tenaga dalam, ditekannya bagian tepi rak. Maka....
Grrrg...! "Nah"!"
Sosok bayangan hitam tersenyum tipis dengan mata
berbinar. Rak buku yang ditekannya bergerak perlahan seolah-olah masuk ke dalam
dinding. Sedangkan
bagian tepi lainnya bergerak keluar. Menunjukkan di belakang rak terdapat sebuah
ruang kosong yang tersembunyi.
"Heh heh heh.... Rupanya usahaku tidak sia-sia...,"
desis sosok berpakaian serba hitam, melihat di depannya menganga sebuah ruangan
gelap. Tapi, baru saja kaki kanannya melewati ambang pintu ruangan rahasia itu,
tiba-tiba.... Wuuut! Wuuut! "Haiiit..!"
Terkejut bukan main hati sosok berpakaian hitam.
Untunglah ia telah waspada sejak memasuki tempat
itu. Sehingga, ketika telinganya menangkap suara berdesing tajam, tubuhnya
langsung melenting ke udara.
Akibatnya.... Cappp! Cappp! "Hhh...," terdengar helaan napas lega sosok itu. Dua batang anak panah yang
mengancam tubuhnya meluncur lewat, dan tertancap pada tiang di belakangnya.
"Hm.... Anak panah itu pasti telah dilumuri racun
yang mematikan. Untung aku selalu waspada. Kalau
tidak, mungkin aku telah tewas...," desisnya kembali melangkah masuk.
Sosok berpakaian hitam kelihatan sangat tegang
saat memasuki ruang rahasia. Nampaknya ia telah
siap menghadapi semua kemungkinan yang akan ter-
jadi. Urat-urat tubuhnya mulai mengendur ketika tiba di tengah ruangan ternyata
bahaya tidak muncul lagi.
"Aaah..."!"
Tiba-tiba sosok itu berseru perlahan. Di depannya
tampak sebuah benda bersinar menyilaukan mata.
"Pedang Iblis..."!" desisnya bergetar. Agaknya, sosok berpakaian hitam itu
tengah dilanda kegembiraan yang sangat. Terlihat langkahnya bergegas mendekati
sebilah pedang sepanjang lengan yang tertancap di sebuah batu besar.
Tanpa mempedulikan keadaan sekelilingnya, sosok
itu mengulurkan tangannya mencabut pedang bersinar menyilaukan itu. Wajah dan
tubuhnya tampak bergetar saat pedang diacungkan di dekat wajahnya. Seolah-olah
ada suatu kekuatan aneh merasuk ke dalam tu-
buhnya melalui pedang di tangannya. Dan, sosok berpakaian hitam menyadari apa
yang terjadi pada di-
rinya. Setelah puas menatap Pedang Iblis di tangannya,
sosok itu pun mengalihkan perhatiannya. Dan, sepa-
sang matanya kembali bercahaya ketika menemukan
warangka pedang tergeletak di bawah batu. Cepat Pedang Iblis dimasukkan ke dalam
warangkanya. "Hm.... Menurut guru, Pedang Iblis ada sepasang"
Tapi, aku tidak melihatnya di ruangan ini. Ki Sawung hanya memiliki sebuah"
Kalau begitu, ke mana yang
satunya lagi...?" gumam sosok berpakaian hitam yang rupanya cukup mengetahui
sejarah Pedang Iblis. Tapi, karena di dalam ruangan ia tidak menemukan pedang
yang satunya lagi, sosok berpakaian hitam yang bertubuh tegap itu pun bermaksud
meninggalkan ruangan.
Baru saja ia menggeser rak yang merupakan pintu
kamar rahasia, terdengar suara orang dari luar ruangan perpustakaan. Cepat ia
menyelinap di balik rak itu. Krettt..!
"Hei, mengapa pintu ruangan ini tidak terkunci"
Apakah Ki Kumbaranta lupa menguncinya?" terdengar
suara agak berat bernada terkejut. Agaknya itu suara peronda yang tengah
berkeliling. "Tidak mungkin Ki Kumbaranta lupa menguncinya.
Sebab, ruangan ini merupakan tempat terlarang. Aku rasa ada yang tidak beres di
dalam...," timpal suara kedua dengan agak berbisik.
"Maksudmu..., pencuri...?" ujar suara pertama tak
percaya, "Hm.... Hanya pencuri gila yang berani memasuki kandang macan...."
"Tidak perlu berdebat. Sebaiknya kita periksa ruangan perpustakaan ini untuk
memastikannya...," kata suara ketiga menengahi ucapan kedua orang kawannya yang
kelihatannya tidak akan selesai bila tidak di-lerai.
"Hm.... Bukankah ruangan ini terlarang bagi kita"
Bagaimana jika guru besar tahu" Bisa-bisa kita yang jadi tertuduh. Dan...,
hukuman gantung menanti ki-ta...," bantah orang pertama. Agaknya, lelaki itu


Pendekar Naga Putih 59 Sepasang Pedang Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

merasa takut akan ancaman hukuman bagi orang yang be-
rani memasuki ruangan perpustakaan.
"Jangan lupa. Kita bertiga pun akan mendapat hu-
kuman serupa bila ada pencuri yang benar-benar da-
tang dan sekarang tengah menggeledah seisi ruan-
gan...," desak orang ketiga dengan nada agak tinggi.
"Hm.... Benar juga. Sebaiknya memang kita periksa
saja ruangan ini. Kemudian segera melaporkannya pa-da Ki Kumbaranta...," ujar
suara pertama mengambil keputusan. Setelah menemukan kata sepakat tangannya
terulur mendorong daun pintu.
Tapi, ketika pintu sudah terkuak seluruhnya, men-
dadak sosok bayangan hitam meluncur ke arah mere-
ka dengan pedang bersinar di tangannya!
Bwettt...! "Aaah..."!"
Ketiga peronda itu terpekik kaget. Mereka seperti
tersihir oleh pancaran sinar yang keluar dari pedang lawan. Akibatnya....
Brettt! Brettt!
"Aaa...!"
Terdengar jerit kematian susul-menyusul ketika Pe-
dang Iblis di tangan sosok berpakaian serba hitam
menghirup darah korbannya yang pertama.
"Ha ha ha...! Benar-benar sebuah pedang yang san-
gat luar biasa! Sekali keluar dari warangkanya, tiga nyawa langsung melayang ke
akhirat..!"
Sosok berpakaian hitam sepertinya lupa di mana
saat itu ia berada. Sehingga, tawanya tanpa sadar berkumandang mengiringi jerit
kematian ketiga peronda.
Akibatnya, tentu dapat ditebak. Sebentar saja, terden-
gar suara langkah-langkah orang mendatangi tempat
itu. "Ada pembunuh...!"
Seorang murid perguruan yang melihat tiga sosok
tubuh bersimbah darah, tergeletak di dekat kaki orang berpakaian serba hitam
langsung berteriak. Kemudian, bersama belasan orang kawannya segera mengepung
sosok terbalut pakaian serba hitam, yang berdiri tegak dengan sinar mata
mencorong penuh kebuasan.
"Aaah..."!"
Belasan murid Perguruan Harimau Sakti yang men-
gepung sosok berpakaian serba hitam langsung bergerak mundur dengan wajah
tegang. Rupanya, mereka
merasa gentar ketika sepasang mata yang mencorong
buas itu merayapi wajah-wajah mereka. Bahkan, beberapa orang di antaranya
mengusap leher bagian belakang. Karena bulu kuduk mereka mendadak berdiri
ketika bentrok dengan sinar mata yang mengerikan
itu. "Pembunuh laknat! Apa yang kau cari di tempat ini"
Mengapa kau bunuh ketiga kawan kami...?" salah seorang murid yang berusaha
menekan rasa takutnya
mencoba menegur. Meski demikian, ucapannya tetap
menyiratkan kegentaran hatinya.
"Hm.... Kalian ingin menyusul mereka rupanya...?"
desis sosok berpakaian serba hitam sambil mengeluarkan pedang di pinggangnya.
Kembali terdengar se-
ruan-seruan kaget saat Pedang Iblis keluar dari sarungnya. Karena, sinar yang
memancar dari badan pedang mengandung kekuatan aneh yang membuat la-
wan seperti terkena sihir.
"Kau..., siapa..." Apa..., apa yang kau cari di tempat ini..?" meskipun dengan
suara gemetar, murid pembe-rani bertubuh sedang yang tadi menegur kembali men-
gajukan pertanyaan. Tangannya yang juga gemetar
meraba gagang pedang di pinggangnya.
"Hm.... Panggil aku sebagai si Pedang Iblis yang
akan mengirim kalian ke neraka...," desis sosok berpakaian serba hitam datar dan
dingin. "Keparat!" terdengar makian salah seorang murid
Perguruan Harimau Sakti yang mengepung sosok ber-
pakaian serba hitam, "Ayo, tangkap dan bunuh manu-
sia jahat itu...! Heaaat..!"
Tanpa menunggu kawan-kawannya yang lain, orang
itu pun langsung melompat disertai kelebatan pedangnya yang menimbulkan suara
berdesing! "Yeaaah...!"
Sosok berpakaian serba hitam yang mengaku si Pe-
dang Iblis membentak keras. Pedang bersinar menggetarkan di tangannya segera
berkelebat membelah ke-pekatan malam. Dan....
Brettt! "Akh...!"
Sekali bergerak saja, tubuh murid Perguruan Hari-
mau Sakti itu terpental balik. Darah segar menyembur dari luka menganga di
tenggorokannya.
Kejadian yang hanya sekejap mata itu, membuat
murid-murid lainnya terkejut setengah mati. Rasa gentar semakin kuat membelenggu
hati mereka. Sehingga, tak satu pun yang berani bergerak. Mereka seperti patung-
patung bisu. "Haaat..!"
Si Pedang Iblis rupanya sudah tidak sabar untuk
menambah jumlah korbannya. Saat itu juga tubuhnya
bergerak diiringi kelebatan sinar pedangnya yang mengandung hawa maut!
Kembali terdengar jerit kematian susul-menyusul.
Empat orang murid menggelepar bagai ayam disembe-
lih. Darah segar menyembur keluar dari luka di tubuh mereka. Pedang Iblis benar-
benar haus darah!
"Haaat..!"
Saat Pedang Iblis kembali datang untuk mengambil
korban berikutnya, tiba-tiba terdengar teriakan melengking nyaring, kemudian
disusul berkelebatnya sesosok bayangan yang langsung memapaki serangan
Pedang Iblis! Plakkk! Benturan telapak tangan yang mengandung tenaga
dalam kuat itu, sempat menyelewengkan arah samba-
ran Pedang Iblis. Sehingga, sembilan murid Perguruan Harimau Sakti lolos dari
kematian. "Hmh..."!"
Si Pedang Iblis mendengus tak senang. Sepasang
matanya menyorot tajam, menatap wajah lelaki tua
bertubuh gagah yang tadi menggagalkan serangannya.
Sosok orang tua gagah yang ternyata Ki Kumbaran-
ta itu kelihatan terkejut ketika merasakan kekuatan tenaga dalam sosok
berpakaian serba hitam. Terlebih lagi ketika melihat dan mengenali pedang
berhawa maut di tangan lawan.
"Kau..., mencuri Pedang Iblis..."!" desis Ki Kumbaranta sambil bergerak mundur
setelah mengetahui
senjata yang tergenggam di tangan sosok berpakaian serba hitam. Jelas, terlihat
sinar kegentaran membayang di mata Ki Kumbaranta. Kelihatannya, orang
tua itu telah mengetahui kedahsyatan Pedang Iblis.
"Heh heh heh...! Kau rupanya mengenali senjata
maut ini, Orang Tua. Kalau begitu, kau pun pasti tahu di mana pedang yang
satunya lagi. Ayo, tunjukkan padaku...!" ujar sosok berpakaian serba hitam
terkekeh parau. Sikapnya berubah liar dan penuh nafsu membunuh.
"Pencuri laknat...!" geram Ki Kumbaranta melupa-
kan kegentaran hatinya. Sebab, Pedang Iblis yang dicuri sosok berpakaian serba
hitam itu adalah tanggung jawabnya. Jika gagal merebut benda keramat itu, sudah
pasti Ki Sawung akan menjatuhkan hukuman ma-
ti padanya. Untuk itu, Ki Kumbaranta harus bisa merebut Pedang Iblis dengan
taruhan nyawanya!
*** 2 "Haaat...!"
Tanpa banyak cakap lagi, Ki Kumbaranta segera
menerjang dengan sambaran pedangnya. Dalam ge-
brakan pertama lelaki tua itu langsung menggunakan jurus pedang andalan
perguruannya, yang bernama
ilmu 'Pedang Harimau Mabuk'.
Ilmu pedang yang diciptakan pendiri Perguruan Ha-
rimau Sakti ternyata tidak bisa dianggap enteng. Selain gerakannya sukar
ditebak, benteng pertahanan
ilmu pedang itu pun sangat kokoh dan sukar ditembus serangan lawan. Tentu saja
itu tidak aneh. Sebab, Perguruan Harimau Sakti memang terkenal dengan kehe-
batan ilmu pedang dan ilmu tangan kosongnya. Sejak pendiri pertama perguruan
itu, yang merupakan kakek buyut dari Ki Sawung sampai turun-temurun hingga
kini. Dan, pencuri yang kini memakai julukan Pedang Iblis itu agaknya
mengetahui. Bwettt..! Pedang Iblis menarik mundur tubuhnya. Sambaran
mata pedang Ki Kumbaranta yang dilakukan bersilan-
gan, sangat sukar untuk ditangkis. Sehingga, ia me-
mutuskan untuk menghindar sambil mempersiapkan
jurus-jurus baru menghadapi ilmu 'Pedang Harimau
Mabuk' yang sudah sangat terkenal ketangguhannya.
Wettt...! Wettt...!
Pedang Iblis berputaran mengaung tajam, ketika
majikan barunya menggerakkan pedang pusaka itu
untuk membentengi dirinya dari incaran mata pedang lawan. Kemudian, balas
menusuk dengan kecepatan
kilat. Sebenarnya tusukan pedang itu tidak terlalu berba-
haya, dan akan dapat ditanggulangi dengan mudah
oleh Ki Kumbaranta. Tapi, karena senjata yang digunakan lawan bukan pusaka
sembarangan, maka se-
rangan sederhana itu berubah menjadi hebat dan
membahayakan nyawa lawan. Terutama pancaran si-
nar Pedang Iblis yang mengandung hawa mukjizat, dan sanggup melumpuhkan semangat
lawan tidak memiliki
tenaga dalam kuat!
Wuttt...! "Aiiih..."!"
Ki Kumbaranta terpekik kaget ketika mendadak
ujung pedang berhawa maut itu tiba di dekat ulu hatinya. Untunglah pada saat-
saat terakhir, Ki Kumbaranta tersadar dari pesona mukjizat yang memancar
dari badan Pedang Iblis. Secepat kilat lelaki tua bertubuh tegap itu melempar
tubuhnya ke belakang. Dan
terus berputaran menjauhi lawan.
"Haiiit..!"
Pedang Iblis yang gagal menyerang ke tubuh Ki
Kumbaranta memekik nyaring. Tubuhnya berputaran
bagai sebuah baling-baling, dan terus menyabetkan
pedangnya ke arah murid-murid Perguruan Harimau
Sakti yang hendak mengeroyoknya.
Terdengar jerit kematian susul-menyusul ketika Pe-
dang Iblis kembali meminta korban. Darah segar me-
mercik membasahi permukaan tanah, diiringi roboh-
nya lima murid Perguruan Harimau Sakti dengan leher hampir putus!
"Biadab...!" Ki Kumbaranta menggeram gusar ketika
menyaksikan kejadian itu.
Rasa bersalah di hatinya semakin membesar. Kare-
na pedang yang telah puluhan tahun dijaganya, kini berada dalam genggaman orang
yang tak bertanggung
jawab dan berhati kejam. Sifat si pemegang dan pe-
dang pusaka itu seperti telah menyatu. Sudah pasti ini akan mendatangkan
malapetaka bagi orang banyak.
Bila pencuri itu berhasil lolos dari tangannya. Sebab itu Ki Kumbaranta harus
bisa merebutnya.
Sebelum Ki Kumbaranta menerjang Pedang Iblis,
mendadak melayang sesosok bayangan yang langsung
menjejakkan kakinya di samping lelaki tua itu.
"Kakang Kumbaranta, apa yang terjadi...?" belum
lagi sosok itu mendarat dengan sempurna terdengar
tegurannya. Ki Kumbaranta kelihatan menarik napas
lega ketika mengetahui siapa orang yang baru datang.
Lelaki tua itu telah mengenal dengan baik suara itu.
"Adi Baginta! Syukur kau datang tepat pada wak-
tunya! Orang berpakaian serba hitam itu telah mencuri senjata dari kamar
rahasia. Kita harus menangkapnya untuk merebut kembali Pedang Iblis dari
tangannya. Kalau tidak, celakalah kita semua...," sahut Ki Kumbaranta cepat.
Lelaki tua itu merasa gembira karena yang datang
Ki Baginta, yang merupakan salah seorang tokoh pun-cak Perguruan Harimau Sakti.
Malah dalam hal ke-
pandaian, Ki Kumbaranta masih berada setingkat di
bawah kepandaian Ki Baginta. Maka bantuan Ki Ba-
ginta sangat diharapkan untuk merebut kembali senja-
ta keramat berhawa jahat itu.
"Celaka! Kalau begitu, kita harus berusaha untuk
mendapatkannya kembali, Kakang..," sergah Ki Bagin-ta yang tampak sangat
terkejut mendengar pusaka keramat perguruan mereka dicuri orang. Maka, tanpa
banyak cakap lagi, lelaki bertubuh gagah itu langsung melayang ke arah Pedang
Iblis yang tengah menyebar maut dengan membantai murid-muridnya.
"Aaat..!"
Ki Baginta yang telah mengetahui keampuhan Pe-
dang Iblis, tidak mau bertele-tele. Begitu menyerang, lelaki gagah itu langsung
menggunakan senjatanya.
Sebab, Pedang Iblis bukan pusaka sembarangan dan
tidak mungkin sanggup dilawannya dengan jurus-
jurus tangan kosong. Itu sebabnya begitu menerjang, Ki Baginta langsung
menggunakan senjata dan mengeluarkan jurus-jurus pedang andalan perguruannya.
"Hmh...!"
Pedang Iblis hanya mendengus melihat serangan Ki
Baginta. Seperti telah mendapatkan kekuatan baru, lelaki berpakaian serba hitam
langsung .bergerak maju memapaki serangan lawan. Pedang di tangannya berkelebat
cepat disertai hawa maut yang mendirikan bu-lu roma!
Trang! Trang! "Aiiih..."!"
Ki Baginta terpekik kaget ketika Pedang Iblis dengan sengaja membenturkan
pedangnya, membuat tubuh Ki
Baginta terhuyung mundur beberapa langkah. Bah-
kan, pedang di tangan tokoh ketiga Perguruan Hari-
mau Sakti itu terpapas buntung! Senjata itu tak ubahnya benda lunak ketika
berbenturan dengan Pedang
Iblis. Pusaka keramat berhawa jahat itu mulai menunjukkan keampuhannya.
"Aaa...!"
Lelaki berpakaian serba hitam agaknya mulai me-
nyadari kelebihan yang didapatnya setelah memegang pusaka keramat itu. Tambahan
tenaga yang diperoleh-nya dari Pedang Iblis, membuat sosok itu semakin yakin dan
tidak ragu-ragu lagi menghadapi Ki Baginta serta Ki Kumbaranta. Tampaknya,
pedang keramat berhawa jahat itu telah menyatu dengan majikan barunya setelah menghirup darah
korbannya. Kenyataan itu semakin membuatnya beringas, dan penuh nafsu
membunuh! "Celaka! Tampaknya Pedang Iblis mulai menunjuk-
kan kehebatannya. Bukan mustahil kekuatan jahat
yang tersembunyi di dalamnya telah menular ke dalam tubuh pencuri laknat itu!"


Pendekar Naga Putih 59 Sepasang Pedang Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

desis Ki Kumbaranta yang rupanya mengetahui banyak riwayat Pedang Iblis. Wajah
tuanya tampak dibayangi kecemasan yang tidak
bisa disembunyikan. Bahkan, ada gambaran duka
membayang pada sepasang matanya. Sepertinya ia
merasa ikut menanggung dosa setiap Pedang Iblis meminta korban.
"Hmh...!"
Kesadaran bahwa semua itu merupakan tanggung
jawabnya, membuat Ki Kumbaranta berlaku nekat!
Dengan sebuah gerengan keras lelaki tua itu melesat ke depan disertai putaran
pedangnya. "Kakang! Tahan! Jangan berlaku bodoh...!"
Ki Baginta terkejut ketika melihat perbuatan Ki
Kumbaranta. Melihat orang tua itu berlaku nekat, Ki Baginta segera menyusuli
untuk melindungi orang tua itu dari kematian.
"Yeaaah...!"
Pedang Iblis tampak semakin bertambah buas. Rasa
haus akan darah segar yang membuat keampuhannya
terpendam kini mulai bangkit Sehingga, baik pancaran cahaya mautnya maupun
kekuatan jahat yang tersembunyi di dalamnya hidup kembali.
Bahkan menguasai majikan barunya.
Maka, ketika tubuh Ki Kumbaranta melayang ke
arahnya, Pedang Iblis langsung bergerak menyambut
tanpa mengenal rasa takut sedikit pun! Padahal, serangan yang dilancarkan Ki
Kumbaranta bukan seran-
gan biasa. Maka....
Brettt! Brettt!
"Aaa...!"
Ki Kumbaranta meraung setinggi langit ketika mata
pedang lawan merobek tubuhnya dua kali. Darah se-
gar menyembur keluar dari luka menganga di perut-
nya! Bahkan, lelaki tua itu tidak mengetahui bagaimana cara pedang keramat itu
melukai dirinya.
"Kakang...!" Ki Baginta berteriak kaget! la terlambat mencegah malapetaka itu.
Tubuh Ki Kumbaranta telah roboh bermandikan darah dengan napas putus!
"Ha ha ha...! Sebentar lagi dunia persilatan akan
kubuat gempar! Pedang Iblis akan menguasai seluruh negeri ini...!" lelaki
berpakaian serba hitam terbahak-bahak berkepanjangan. Tawanya demikian menyeram-
kan, membuat Ki Baginta bergidik pucat Sepertinya, suara itu bukan datang dari
kerongkongan manusia.
Melainkan iblis jahat yang kini bersemayam di dalam tubuh majikan baru Pedang
Iblis. Ki Baginta tidak bisa berbuat apa-apa ketika sosok berpakaian serba hitam
melesat meninggalkan Perguruan Harimau Sakti. Wajah pencuri pedang keramat
itu terlihat demikian menyeramkan, menyiratkan per-bawa yang sangat kuat
Sehingga, orang-orang di sekitar termasuk Ki Baginta tersihir, hingga tidak bisa
berbuat apa-apa untuk mencegah kepergiannya.
"Hhh...."
Ki Baginta menyapu wajahnya dengan kedua tela-
pak tangan, seperti orang yang baru tersadar dari
mimpi. Kesadarannya baru kembali setelah sosok berpakaian hitam lenyap bersama
gema suara tawanya.
Majikan baru Pedang Iblis itu rupanya telah benar-
benar berusaha menjadi iblis jahat yang akan menyebar malapetaka bagi orang
banyak! "Aku harus segera melaporkan kejadian ini pada
guru besar," desis Ki Baginta seraya bergerak bangkit dan meninggalkan tempat
itu, setelah memerintahkan sisa-sisa murid perguruan untuk membereskan tempat
itu dan mengurus mayat kawan mereka.
*** Brakkk! Meja kayu bulat yang tebal dan sangat kuat itu
hancur berkeping-keping, terkena hantaman telapak
tangan seorang lelaki kurus berusia sekitar enam puluh tahun. Wajah lelaki itu
tampak merah seperti ter-bakar. Jelas, ia tengah dilanda kemarahan yang hebat!
"Bagaimana hal ini bisa terjadi, Baginta" Dari mana pencuri laknat itu tahu kita
menyembunyikan sebuah pedang keramat dalam ruang perpustakaan" Sadarkah
kau bahwa dengan tercurinya senjata yang memiliki
pengaruh jahat itu, orang banyak akan terancam ba-
haya besar! Dan, kita harus bertanggung jawab atas semua dosa yang dilakukan
pencuri kurang ajar itu!"
bentak lelaki kurus dengan suara bergetar menahan
marah yang meledak-ledak di dalam dadanya.
"Ampun, Guru. Aku memang bodoh dan tidak
mempunyai kemampuan untuk mencegah kejadian itu.
Bahkan, Ki Kumbaranta telah mengorbankan nya-
wanya untuk merebut pedang itu. Kami telah lalai,
Guru, dan siap menerima hukuman...," ujar Ki Baginta pasrah kalau memang ia akan
dihukum karena kebo-dohannya itu. Lelaki gagah itu tertunduk tidak berani
memandang wajah guru besarnya.
"Hmh...!" Ki Sawung, Guru Besar Perguruan Hari-
mau Sakti menggeram kesal. Jari-jari tangannya mengepal memperdengarkan suara
berderak, membuat ha-
ti Ki Baginta semakin ciut.
Tapi, lelaki kurus itu tidak bisa menyalahkan mu-
ridnya. Karena ia sendiri sadar akan keampuhan Pe-
dang Iblis. Apalagi, setelah senjata pusaka itu meminum darah korbannya.
Kekuatan dan pengaruh jahat-
nya akan bangkit dan sukar untuk dilawan. Jangan-
kan Ki Baginta atau Ki Kumbaranta. Biarpun dirinya yang maju, belum tentu
sanggup menghadapi keampuhan Pedang Iblis. Kesadaran itu membuat Ki Sa-
wung terdiam dengan wajah berduka.
"Guru...," tiba-tiba lelaki yang berada di sebelah Ki Baginta membuka suara.
Semenjak tadi lelaki itu
hanya terdiam tidak berani mengemukakan perasaan
hatinya. Baru ketika Ki Sawung cukup lama membisu
ia menggunakan kesempatan itu.
"Hm.... Apa yang ingin kau katakan, Kandala...?"
ujar Ki Sawung mengalihkan pandangannya ke arah
lelaki kekar bernama Kandala. Meskipun wajahnya
masih terlihat gelap, namun sinar matanya sudah tidak segarang tadi. Rupanya, Ki
Sawung sudah bisa
menekan kemarahan yang dianggapnya tidak banyak
membantu untuk memecahkan persoalan besar itu.
Kandala bertubuh kekar dan berusia sekitar tiga
puluh tahun. Meskipun usianya lebih muda dari Ki
Baginta, namun pemuda berwajah simpatik itu meru-
pakan murid utama Ki Sawung. Dan, kepandaiannya
tidak berselisih jauh dengan Ketua Perguruan Harimau Sakti. Karena hampir semua
ilmu yang dimiliki Ki Sawung telah diturunkannya.
Pemuda berwajah keras itu terdiam beberapa saat
seolah ingin merangkai kata-kata yang akan disampaikannya. Melihat sikapnya,
jelas Kandala merupakan
seorang pemuda yang selalu berhati-hati dalam bersikap maupun berbicara. Kandala
memang seorang pe-
muda pendiam dan jarang berbicara jika tidak merasa perlu sekali.
"Guru, meskipun Pedang Iblis merupakan pusaka
perguruan kita secara turun-temurun, mengapa tidak dimusnahkan saja mengingat
pedang itu memiliki kekuatan jahat yang dapat merubah sifat pemegangnya.
Sebenarnya hal ini sudah lama ingin kusampaikan.
Tapi, aku takut kalau Guru akan marah. Dan dengan
terjadinya peristiwa ini, membuat aku memberanikan diri untuk mengatakannya...,"
Kandala kembali menundukkan wajah setelah mengemukakan pendapat-
nya. Dirinya memang belum pernah melihat bentuk
Pedang Iblis, dan hanya mendengar dari cerita gu-
runya. "Kandala..., pikiran semacam itu sudah ada dalam
benakku jauh sebelum aku menjabat sebagai Ketua
Perguruan Harimau Sakti, untuk menggantikan ayah-
ku yang telah wafat Berbagai usaha telah kulakukan, seperti juga yang dilakukan
ayahku. Tapi, baik kakek guru kalian maupun aku sendiri, tak sanggup untuk
menghancurkan senjata keramat itu. Entah terbuat
dari bahan apa Pedang Iblis itu, sehingga tidak dapat dilebur dengan api sepanas
apa pun. Bahkan, pedang itu tidak dapat dipatahkan kecuali mungkin oleh orang
yang memiliki tenaga sakti luar biasa. Dan kekuatan seperti itu hanya ada dalam
dongeng," jelas Ki Sawung
yang rupanya juga memiliki pikiran sama dengan Kandala. Malah jauh sebelum
pemuda itu menjadi murid-
nya. "Guru, selama ini kami hanya mendengar keheba-
tan Pedang Iblis tanpa tahu riwayat selengkapnya. Dapatkan guru menceritakan
pada kami bagaimana asal
mula senjata itu tercipta. Dan, siapa pembuat pedang keramat itu?" merasa
mendapat angin, Kandala terus mengungkapkan segala perasaan yang ada di dalam
hatinya. Ki Baginta pun mengangguk-anggukkan kepala. Se-
bab, selama ini Ki Sawung memang belum mencerita-
kan riwayat Pedang Iblis. Lelaki tua itu hanya menceritakan tentang kekuatan
jahat yang ada dalam senjata keramat itu, yang akan semakin kuat bila telah
meminum darah manusia.
Ki Sawung tidak segera menjawab pertanyaan mu-
rid utamanya. Lelaki tua itu menghela napas panjang, dan bangkit dari kursinya.
Kemudian melangkah perlahan sambil menggendong kedua tangannya di bela-
kang. Ki Baginta dan Kandala tahu guru besar mereka
tengah berusaha mengingat sejarah Pedang Iblis. Ma-ka, mereka menunggu dengan
sabar untuk mengeta-
hui secara jelas riwayat pedang keramat itu.
"Sebenarnya aku ingin mengubur sejarah Pedang
Iblis itu. Tapi, dengan adanya malapetaka semalam, membuat aku berpikir lain.
Mungkin ada baiknya kalian mengetahui riwayat Sepasang Pedang Iblis itu...,"
ujar Ki Sawung setelah terdiam beberapa saat
"Jadi, senjata keramat itu ada sepasang...?" Ki Baginta dan Kandala berseru
tertahan hampir berbarengan. Jelas, mereka tidak mengetahui bahwa Pedang Iblis
ada sepasang. Sebab, kecuali Ki Sawung dan Ki
Kumbaranta memang tidak ada lagi yang mengetahui
hal itu. "Benar. Pedang Iblis berjumlah dua bilah, Pedang
Iblis Jantan dan Pedang Iblis Betina," jelas Ki Sawung lagi membuat Ki Baginta
dan Kandala kembali terpe-ranjat
"Ahhh..."!"
"Pedang yang kusimpan di dalam ruangan perpus-
takaan adalah Jantan," Ki Sawung melanjutkan ceri-
tanya tanpa peduli akan rasa terkejut kedua muridnya,
"Sedang Pedang Iblis Betina telah lenyap sejak ayahku atau kakek guru kalian
menjabat sebagai Ketua Perguruan Harimau Sakti. Tidak seorang pun yang tahu
kapan Pedang Iblis Betina lenyap, dan siapa yang mencurinya. Sebab, sampai
ayahku wafat kabar tentang Pedang Iblis Betina tidak pernah terdengar di
kalangan persilatan. Untung senjata keramat itu tidak dapat berbuat banyak tanpa
Pedang Iblis Jantan. Tapi, tidak demikian dengan Pedang Iblis Jantan. Senjata
keramat itu akan mencari mangsanya bila telah keluar dari
tempatnya berada selama puluhan tahun. Itu sebab-
nya, mengapa ketika Pedang Iblis Betina lenyap tidak pernah terdengar kabarnya.
Rupanya pencuri itu tahu pedang curiannya tidak akan berguna banyak tanpa
Pedang Iblis Jantan. Sedangkan jalan satu-satunya untuk melenyapkan Pedang Iblis
adalah dengan men-jauhkannya dari darah manusia. Bila sampai seratus tahun
pedang itu tidak mendapatkan korban, maka
kekuatan jahat yang ada dalam tubuhnya akan lenyap secara perlahan-lahan. Baru
setelah itu Sepasang Pedang Iblis dapat dilebur. Cara itu kudapatkan setelah
bersemadi selama satu tahun di sebuah ruangan gelap. Itu sebabnya, mengapa aku
menyembunyikan Pe-
dang Iblis Jantan demikian rapi. Hanya aku dan Ki
Kumbaranta yang mengetahui tempat penyimpanan
pedang keramat itu. Siapa sangka ada orang luar yang tahu tempat penyimpanan
Pedang Iblis Jantan, dan
berhasil mencurinya...," Ki Sawung mengakhiri ceritanya dengan desahan napas
panjang. Ketika teringat pedang keramat itu telah lenyap, bias kedukaan kembali
membayang di wajah lelaki tua bertubuh kurus itu. Ki Baginta dan Kandala diam
terpaku mendengar penjelasan gurunya tentang riwayat Pedang Iblis yang ternyata
ada sepasang. Keduanya terdengar menghela napas setelah cukup lama terdiam bagai
terkena sihir. "Lalu, siapa yang menciptakan Sepasang Pedang Ib-
lis, Guru" Bukankah pusaka itu merupakan warisan
turun-temurun perguruan kita?" Kandala masih pena-
saran karena Ki Sawung belum menyinggung pembuat
Sepasang Pedang Iblis dalam ceritanya tadi. Sehingga, Kandala yang menyimak
cerita gurunya dengan baik segera menanyakan.
"Pembuat Sepasang Pedang Iblis adalah kakek dari
kakek buyut ku. Beliau pun tidak tahu logam bercahaya yang ditemukannya di
sebuah sungai ternyata
memiliki kekuatan yang demikian ampuh. Kendati
membuatnya tidak mudah dan harus menjalani tapa
hampir setahun lebih, akhirnya beliau berhasil membuat sepasang pedang dari
logam bercahaya itu.
Sayang sebelum sepasang pedang itu sempurna pem-
buatannya, sepasang tokoh sesat telah mencuri senja-ta itu, setelah melalui
pertempuran yang lama dan
sengit. Itu sebabnya, badan Sepasang Pedang Iblis masih sangat kasar karena
belum sempat diperhalus. Ta-pi, kakek dari kakek buyut ku berusaha menyembuh-
kan lukanya dan memperdalam ilmu. Setelah merasa
cukup, beliau mengembara untuk mendapatkan Sepa-
sang Pedang Iblis. Usaha beliau memang tidak sia-sia, dan berhasil merebut
kembali pedang itu. Tapi beliau terkejut bukan main ketika mengetahui ada hawa
jahat yang bersemayam di dalam badan pedang. Maka,
beliau berusaha untuk meleburnya kembali. Sayang,
pedang yang telah banyak menghirup darah itu tidak bisa dilebur lagi. Sehingga,
terpaksa disembunyikan di sebuah tempat yang sekarang menjadi bangunan Perguruan
Harimau Sakti. Dan jika sekarang Pedang Iblis Jantan lenyap, besar kemungkinan
pencurinya merupakan murid atau keturunan suami istri sesat yang telah merebut
Sepasang Pedang Iblis dari kakek buyut ku," jelas Ki Sawung yang tampak demikian
bangga saat menceritakan kakek dari kakek buyutnya. Karena cerita itu kembali
mengingatkan bahwa dirinya keturunan orang-orang hebat yang berbudi luhur, dan
tidak pernah mengenal takut. Ingatan itu membuat se-
mangatnya bangkit untuk mencari Pedang Iblis Jantan yang lenyap tercuri semalam.
Kandala dan Ki Baginta mengangguk-angguk puas
setelah mendengar riwayat Sepasang Pedang Iblis. Mereka pun tampak merasa bangga
setelah mengetahui
mereka murid dari keturunan tokoh-tokoh hebat pada masa lampau. Cerita itu tanpa
sadar semakin mena-namkan jiwa kependekaran dalam diri Ki Baginta dan Kandala.
"Sekarang pedang keramat itu lenyap kembali kare-
na kelalaianku. Untuk itu, aku harus mempertang-
gungjawabkannya. Kau jaga dan pimpin saudara-
saudaramu sebaik-baiknya, Baginta. Aku dan Kandala akan meninggalkan perguruan
untuk mencari Pedang
Iblis Jantan. Dan, jika mungkin mencari Pedang Iblis Betina. Karena bila Pedang
Iblis Jantan telah keluar dan meminum darah, ia akan mencari pedang yang
menjadi pasangannya itu," ujar Ki Sawung mengutarakan maksudnya pada Ki Baginta.
"Baik, Guru. Aku akan berusaha melaksanakan
amanat Guru dengan sebaik-baiknya...," ujar Ki Baginta lantang. Hingga, Ki
Sawung tersenyum puas.


Pendekar Naga Putih 59 Sepasang Pedang Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

*** 3 Sosok berjubah putih dengan perawakan tubuh se-
dang melangkah perlahan memasuki mulut Desa Ka-
rapan. Wajahnya tampak cerah dengan senyum yang
ramah dan sabar. Sepasang matanya bening dan ta-
jam. Membuat orang enggan menentang pandang ma-
tanya. Seorang pemuda yang tampan, menarik dan
menimbulkan rasa hormat bagi orang yang meman-
dangnya. Di sebelah kanan pemuda tampan berjubah putih
tampak seorang dara berpakaian serba hijau. Tubuh-
nya ramping padat membentuk lekuk-lekuk tubuh
yang memikat Ditambah lagi raut wajahnya cantik jelita laksana bidadari dari
kayangan. Benar-benar seorang dara yang sangat menarik, membuat mata lelaki tak
melewatkan untuk memandangnya meski hanya
sekilas. Pasangan muda yang menarik dan menimbulkan
rasa kagum serta iri bagi orang yang memandangnya
itu, terus mengayun langkah melewati mulut desa. dan terus menyusuri jalan utama
Desa Karapan dengan sikap tenang.
"Aaa...!"
Tiba-tiba terdengar suara jeritan kesakitan, disertai
terlemparnya sesosok tubuh dari dalam kedai. Sosok tubuh itu menggelepar bagai
ayam disembelih. Sebentar kemudian, diam tak bergerak. Karena nyawanya telah
meninggalkan badan.
Kejadian yang cukup mengejutkan itu, membuat
langkah pemuda berjubah putih dan dara jelita berpakaian serba hijau terhenti.
Keduanya berbalik dengan sikap siaga. Melihat cara mereka membalikkan tubuh,
dapat ditebak bahwa pasangan muda itu bukan orang
sembarangan. Memang, mereka tidak lain adalah Pen-
dekar Naga Putih dan kekasihnya, Kenanga.
Agar tidak menarik perhatian orang, Panji dan Ke-
nanga melangkah cepat mendekati sosok tubuh yang
telah tewas dengan leher hampir putus.
"Hm.... Kejam sekali orang yang melakukan pembu-
nuhan itu. Entah kesalahan apa yang telah diperbuatnya, hingga harus tewas dalam
keadaan mengeri-
kan...," desis Kenanga tak senang. Memang, keadaan orang yang meninggal itu
sangat mengerikan.
"Tampaknya korban lain akan segera menyusul...,"
gumam Panji seraya menoleh ke dalam kedai, dan me-
nyaksikan pertempuran berlangsung di dalamnya.
Dugaan Panji tidak meleset. Baru saja ucapannya
selesai, kembali terdengar teriakan kematian yang disusul terlemparnya dua sosok
tubuh dari dalam kedai.
Kedua orang yang malang itu tewas dalam keadaan
sama dengan orang pertama.
"Kita harus mencegahnya, Kakang. Kalau tidak kor-
ban pasti akan bertambah banyak," ujar Kenanga tak sabar melihat dua korban lagi
datang menyusul. Tapi sebelum mereka bergerak, muncul seorang lelaki gagah
diiringi dua belas orang berseragam hitam. Rombongan itu langsung bergerak
mendekati kedai. Sehingga, baik Panji dan Kenanga terpaksa menahan langkahnya
un- tuk melihat kelanjutan peristiwa itu.
"Hei, pengacau yang berada di dalam kedai, ke-
luar...!" lelaki gagah berusia sekitar lima puluh tahun itu membentak dengan
mengerahkan tenaga sebelumnya. Hingga, suara itu terdengar keras menimbulkan
gema yang kuat "Ha ha ha...!"
Terdengar suara tawa berkakakan menyambut ben-
takan lelaki tua yang tampak berwibawa itu. Tak berapa lama kemudian, sesosok
bayangan hitam meluncur
keluar dari dalam kedai, dengan mendobrak pintu depan yang langsung hancur
berkeping-keping!
Lelaki tua bertubuh gagah melangkah mundur
menjaga jarak, agar tidak terlalu dekat dengan sosok berpakaian serba hitam.
Sepasang matanya menatap
penuh selidik sosok di depannya yang telah menya-
rungkan pedang di punggung.
"Aku Ki Gulawa, Kepala Desa Karapan. Siapakah
Kisanak" Mengapa demikian kejam membunuh orang
tanpa kesalahan yang jelas?" tegur lelaki tua bertubuh gagah yang rupanya Kepala
Desa Karapan. Pantas saja sikapnya terlihat berwibawa dan tenang.
"Hm.... Siapa bilang aku membunuh orang tanpa
kesalahan yang jelas" Dengan berbisik-bisik selagi aku menyantap hidangan, itu
sudah merupakan penghi-naan bagi Pedang Iblis! Untuk itu mereka harus mati.
Aku keberatan, Kisanak...?" sahut lelaki berpakaian serba hitam yang
memperkenalkan nama julukannya
dengan sikap jumawa. Itu menandakan ia benar-benar yakin akan dapat mengatasi Ki
Gulawa dan para pengawalnya.
"Jadi, hanya karena rasa curiga kau membunuh
mereka" Sungguh kejam sekali. Sudah pasti aku me-
rasa keberatan dengan perbuatanmu. Dan, aku harus
mempertanggungjawabkannya," ujar Ki Gulawa den-
gan nada sedikit tinggi. Rupanya, lelaki tua sesepuh Desa Karapan itu mulai
jengkel melihat keangkuhan
tokoh yang mengaku berjuluk Pedang Iblis.
"Bagaimana cara aku harus mempertanggungja-
wabkannya, Kisanak" Tunjukkan agar aku menger-
ti...," ucap Pedang Iblis tanpa memandang sebelah ma-ta pada orang yang paling
dihormati di Desa Karapan.
Bahkan Pedang Iblis terkesan memandang remeh la-
wannya. "Tangkap dia..!" Ki Gulawa segera memerintahkan
kedua belas pengawalnya untuk menangkap Pedang
Iblis. Orang tua itu sendiri bergerak mundur untuk memberi tempat bagi para
pengawalnya. "Hm.... Aneh. Mengapa kau malah ingin menambah
jumlah korban pedangku, Bapak Kepala Desa...," ujar Pedang Iblis kembali
memperdengarkan tawanya dengan sikap sombong. Tampak ia tidak merasa gentar
menghadapi kepungan para pengawal Kepala Desa Ka-
rapan. Panji yang menyaksikan peristiwa itu mengerutkan
kening dalam-dalam. Apalagi, ketika mendengar dis-
ebutkannya julukan Pedang Iblis. Sepanjang ingatannya, Eyang Tirta Yasa pernah
bercerita tentang tokoh bersenjatakan sepasang pedang. Tokoh itu sepasang
suami istri yang amat jahat. Tapi, cerita itu terjadi pa-da puluhan tahun silam.
"Hm.... Mungkin orang berseragam hitam itu mem-
punyai hubungan dengan sepasang suami istri yang
berjuluk Sepasang Pedang Iblis" Atau hanya julukannya saja yang sama. Melihat
pedang yang tergantung di punggungnya cuma satu, kemungkinan besar orang
ini hanya meniru-niru julukan sepasang suami istri yang konon sangat jahat dan
hebat itu...," gumam Pan-
ji dalam hati. Sehingga, Kenanga tidak tahu apa yang dipikirkan Panji.
Kenanga sendiri sempat tertegun ketika mendengar
julukan yang masih sangat asing di telinganya. Meskipun seluruh ingatannya telah
dikuras, tetap saja dara cantik itu tidak menemukan julukan Pedang Iblis dalam
kepalanya. Kenanga menduga Pedang Iblis adalah tokoh baru yang belum begitu
dikenal dalam kalangan rimba persilatan. Meskipun demikian, dari gerak-gerik
tokoh itu, gadis itu dapat menduga tingkat kepandaian Pedang Iblis patut
diperhitungkan. Menurutnya, kalau tidak dihentikan, Pedang Iblis kelak akan
cepat dikenal dalam rimba persilatan.
"Kau pernah mendengar julukan itu, Kakang...?"
tanya Kenanga. Sebab, gadis itu sadar pengetahuan
kekasihnya tentang tokoh-tokoh persilatan jauh lebih luas dibanding dirinya.
"Aku memang pernah mendengarnya dari guruku.
Tapi, Pedang Iblis yang satu ini rasanya hanya meniru-niru saja, meskipun
kepandaiannya memang tidak bi-
sa dipandang remeh. Itu dapat ku nilai dari gerak-geriknya yang sigap...," sahut
Panji membuat Kenanga menganggukkan kepala beberapa kali. Kelihatannya
dara jelita itu cukup puas dengan jawaban kekasihnya.
Sementara itu, tokoh yang berjuluk Pedang Iblis
masih tetap berdiri tegak. Sedangkan para pengawal kepala desa sudah menghunus
senjata. Kedua belas
orang itu berputar mengelilingi Pedang Iblis.
*** "Haiiit..!"
Dengan sebuah teriakan nyaring, dua orang penge-
pung yang berada di belakang menyerang dengan dis-
ertai putaran pedang. Satu membabat leher, sedang
satunya lagi menusuk lurus ke punggung lawan tepat ke arah jantung.
Wuttt! Syuttt! Kedua bilah pedang itu meluncur dengan kecepatan
yang cukup mengagumkan. Serangan itu jelas bukan
merupakan gerak tipu. Sebab, tenaga yang dikerahkan terlihat demikian kuat
Pedang Iblis tetap tegak tanpa menggeser kedudu-
kannya. Seolah-olah ia hendak menyambut datangnya
serangan dengan tubuhnya. Tapi, pada saat kedua ma-ta pedang tinggal kira-kira
satu jengkal dari sasaran, mendadak tubuh tokoh misterius itu berbalik. Gerakan
tangannya demikian cepat mencabut pedang yang ter-sampir di punggung. Dan....
"Aaa...!"
Terdengar jerit kematian susul-menyusul, ketika
kedua tubuh pengawal Kepala Desa Karapan roboh
bermandikan darah dengan tenggorokan hampir pu-
tus. Sedangkan Pedang Iblis sudah mengembalikan
senjata ke punggungnya dengan kecepatan yang sukar diikuti mata. Sehingga, bagi
orang-orang yang tidak memiliki kepandaian tinggi, tidak akan tahu bagaimana
caranya lelaki berpakaian serba hitam itu merobohkan kedua penyerangnya.
Demikian pula dengan Panji dan Kenanga. Mereka
sangat terkejut melihat kecepatan gerak tokoh yang berjuluk Pedang Iblis.
Bahkan, dada Panji sempat bergetar ketika menangkap kilatan sinar yang keluar
dari badan pedang tokoh misterius itu.
"Gerakan orang itu benar-benar hebat sekali, Ka-
kang! Rasanya ia memang patut memakai julukan Pe-
dang Iblis. Sambaran pedangnya nyaris tidak tertang-
kap mataku. Kepandaian tokoh itu tinggi dan sangat berbahaya jika tidak segera
ditaklukkan...," gumam Kenanga diam-diam mengakui kecepatan gerak Pedang
Iblis. Meskipun dirinya bisa melakukan hal serupa, ta-pi Kenanga tetap merasa
kagum dengan kehebatan to-
koh itu. "Sayang, belum waktunya kita turun-tangan..," sa-
hut Panji membuat Kenanga menolehkan kepala dan
menatap wajah kekasihnya. Kelihatan sekali dara jelita itu merasa heran dengan
jawaban Panji. "Mengapa, Kakang" Apa kau hendak menunggu
sampai sepuluh orang lainnya habis dibantai Pedang Iblis?" desak Kenanga
penasaran.. "Bukan itu maksudku. Kalau kita terjun ke arena
sekarang, mungkin Kepala Desa Karapan yang berna-
ma Ki Gulawa akan tersinggung dengan perbuatan ki-
ta. Itu sudah pasti akan menimbulkan ketidaksenan-
gan dalam hatinya. Karena kita telah mencampuri
urusannya. Bisa-bisa kita dituduh bersekongkol dengan Pedang Iblis, dengan
berusaha mengacaukan ren-
cana agar tokoh kejam itu bisa lolos...," Panji mengajukan alasannya agar
Kenanga tidak merasa penasa-
ran atas jawabannya tadi.
Setelah mendengar penjelasan Panji, Kenanga pun
maklum. Sebab, hal seperti itu bisa saja terjadi. Jika sudah demikian, akan
sulit bagi mereka untuk tidak bentrok dengan Ki Gulawa. Apalagi, mereka adalah
orang asing di Desa Karapan seperti halnya Pedang Iblis. "Lalu...," Kenanga
masih menduga kelanjutan ucapan Panji yang sebenarnya sudah selesai.
"Ya, kita tunggu sampai Ki Gulawa turun-tangan.
Pada saat lelaki tua itu terancam, baru kita terjun ke arena. Dengan demikian,
tidak akan terjadi perselisi-
han antara kita dengan Kepala Desa Karapan ini," jelas Panji terpaksa mencari
jawaban atas desakan kekasihnya. Sehingga, Kenanga merasa puas.
Sementara itu, Pedang Iblis memperdengarkan tawa
yang panjang dan mendirikan bulu roma. Kemudian
berhenti tiba-tiba. Sepasang matanya mencorong ta-
jam, membuat sisa pengepungnya bergerak mundur.
Wajah Pedang Iblis tampak demikian menyeramkan,
tak ubahnya wajah setan penghuni neraka!
Perubahan itu membuat Ki Gulawa merasa khawa-
tir akan keselamatan para pengawalnya. Maka, dengan menekan rasa takut yang
menguasai hatinya, lelaki gagah itu melangkah maju dengan pedang di tangan.
Kepalanya digerakkan sebagai isyarat agar para pengawalnya mundur dan
menyerahkan persoalan itu ke-
padanya. "Hati-hati, Ki. Tampaknya orang itu sudah kerasu-
kan setan. Siapa saja yang mendekat pasti akan dibu-nuhnya...," bisik salah
seorang pengawal yang kelihatan sangat mengkhawatirkan keselamatan ke pala de-
sanya. Ki Gulawa hanya menggumam perlahan Lelaki ga-
gah itu terus bergerak maju dengan pedang diputar
sedemikian rupa, hingga menimbulkan suara men-
gaung bagai ratusan lebah marah. Agaknya, orang tua itu menyadari lawannya bukan
orang sembarangan.
Terbukti ia langsung mengempos semangatnya, me-
mancing keluar seluruh tenaga dalam yang dimili-
kinya. Ki Gulawa telah siap untuk mempertaruhkan
nyawa demi warga Desa Karapan.
Pedang Iblis kembali memperdengarkan tawa yang
parau dan menyakitkan telinga. Tubuhnya tetap tegak, meski Ki Gulawa telah
menyiapkan jurus serangannya.
Benar-benar sombong sekali tokoh misterius itu. Pa-
dahal, kepandaian Ki Gulawa tidak bisa dipandang
ringan. Kalau tidak, mana mungkin orang tua itu dapat menjadi Kepala Desa
Karapan. "Hmh...."
Ki Gulawa yang merasa diremehkan menggereng
marah. Dibarengi dengan bentakan nyaring, lelaki tua itu melesat ke depan
disertai kelebatan pedangnya
yang mendesing tajam.
Bwettt... Serangan yang hebat dan sangat mematikan itu,
hanya dihindari lawan dengan menarik mundur tu-
buhnya. Kemudian, langsung membalas dengan se-
buah tendangan lurus mengancam ulu hati Ki Gulawa.
"Yeaaah...!"
Kepala Desa Karapan tidak berusaha menghindar.
Pedangnya diputar menyilang menyambut datangnya
tendangan lawan. Rupanya, Ki Gulawa hendak mem-
babat putus kaki lawan dengan tebasan pedangnya.
Tapi, pada saat pedang Ki Gulawa hampir memba-
bat kaki lawan sebatas lutut, mendadak Pedang Iblis menarik tendangannya dengan
kecepatan yang mengagumkan. Kemudian, kembali menyentak ke depan
dengan telapak kaki miring ketika tebasan Ki Gulawa luput!
Plakkk!

Pendekar Naga Putih 59 Sepasang Pedang Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ki Gulawa terpaksa menarik mundur kaki depan-
nya, kemudian mengangkat tangannya melindungi pe-
lipis dari ancaman telapak kaki lawan. Akibatnya, tubuh lelaki tua itu terjajar
mundur hampir terpelanting jatuh! Kenyataan itu membuatnya terkejut bukan ke-
palang! "Gila! Tenaga manusia jahat itu! Sungguh hebat se-
kali...!" desis Ki Gulawa merasa tangannya lumpuh untuk beberapa saat. Jelas,
dalam hal tenaga dalam ia
masih kalah jauh oleh lawan. Kenyataan itu membuatnya semakin berhati-hati.
"Haiiit..!"
Pedang Iblis tidak menyia-nyiakan kesempatan baik
itu. Tubuhnya meluncur ke depan disertai sambaran
pedang yang entah kapan dicabut dari sarungnya.
"Yeaaah...!"
Sadar untuk menghindar jelas tidak mungkin, Ki
Gulawa terpaksa menyilangkan senjata menyambut se-
rangan lawan. Dan....
Trang! "Aaah..."!"
Bukan main kagetnya hati Ki Gulawa ketika melihat
senjatanya putus terpapas senjata lawan. Untung saja ia masih sempat melempar
tubuhnya ke belakang. Kalau tidak, ujung pedang lawan mungkin telah merobek
tenggorokannya.
Tapi, Ki Gulawa tidak bisa merasa lega dulu. Sebab, Pedang Iblis terus menyusuli
serangannya. Pedang
yang mengeluarkan hawa mengerikan itu meluncur
menuju tenggorokannya. Kali ini Ki Gulawa tidak
mungkin dapat menyelamatkan tenggorokannya dari
incaran pedang lawan!
"Haiiit...!"
Pada saat yang berbahaya itu, Panji yang memang
sudah siap untuk menyelamatkan Ki Gulawa, segera
melesat dengan tamparan yang menebarkan hawa din-
gin menusuk tulang. Rupanya, Panji langsung meng-
gunakan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' untuk menye-
lamatkan Ki Gulawa. Itu merupakan bukti Pendekar
Naga Putih tidak memandang ringan lawan.
Plakkk! Usaha Panji untuk menyelamatkan nyawa Ki Gula-
wa berhasil dengan baik. Pedang yang memancarkan
hawa aneh menggetarkan jantung dan melenyapkan
keberanian, menyeleweng dari sasaran. Tapi, tubuh
Panji sempat terjajar mundur tiga langkah. Sedangkan tubuh Pedang Iblis melintir
bagai gasing. Kenyataan itu membuktikan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' sulit
dicari bandingnya!
"Hmrrr...!"
Terdengar suara gerengan yang menggetarkan jan-
tung. Panji yang saat itu tengah membawa Ki Gulawa ke tepi arena, menolehkan
kepala ketika mendengar suara desingan yang bagai hendak merontokkan jantung!
Wuttt..! Panji menggeser tubuhnya dua langkah ke samping,
seraya mendorong tubuh Ki Gulawa yang langsung di-
tangkap Kenanga. Cahaya menggetarkan itu terus berkelebatan mencecar Panji.
Sehingga, pemuda tampan
itu terpaksa harus menggunakan kelincahannya untuk menyelamatkan diri. Sebab,
Pedang Iblis benar-benar tidak memberi peluang untuk membalas!
"Yeaaah...!"
Sing...!" Untuk kesekian kalinya, Pedang Iblis kembali me-
luncur mengancam tenggorokan Pendekar Naga Putih.
Pemuda itu terkejut menyaksikan kecepatan gerak lawan kali ini jauh lebih hebat
dibanding sewaktu menghadapi Ki Galuwa. Sehingga, Panji harus mengguna-
kan kelincahannya untuk menghindari tusukan pe-
dang lawan. "Heaaah...!"
Suatu saat, ketika pedang lawan kembali mengan-
cam tenggorokannya, Panji memiringkan tubuhnya se-
dikit sambil menepis pergelangan tangan lawan dengan pengerahan tenaga dalam.
Plarrr...! Tubuh Pedang Iblis terhuyung mundur sejauh satu
tombak. Sebab, Panji mengerahkan hampir sepertiga
tenaga dalamnya untuk menepis senjata lawan. Se-
dangkan tubuh Panji terjajar mundur empat langkah.
Tentu saja Panji terkejut bukan main merasakan he-
batnya tenaga dalam Pedang Iblis.
"Gila...! Tokoh ini sungguh hebat sekali! Mungkinkah ia keturunan Pedang Iblis
terdahulu yang pernah diceritakan eyang...?" gumam Panji mereka-reka. Sepasang
matanya menatap tajam sosok lawan yang ten-
gah menyiapkan serangan selanjutnya.
Tapi, Pedang Iblis terkejut ketika merasakan kehebatan lawannya kali ini.
Terbukti, ia belum juga memulai serangan dan hanya menatap tajam sosok pe-
muda tampan berjubah putih. Mungkin ia tengah me-
nilai kehebatan pemuda itu, yang sanggup membuat-
nya terjajar mundur dengan lengan kesemutan.
"Hm.... Siapa kau" Sebutkan namamu...!" geram
Pedang Iblis sambil melangkah menghampiri Panji
tanpa melepaskan pandang matanya dari wajah pen-
dekar muda itu.
"Seharusnya aku yang bertanya padamu. Apa hu-
bunganmu dengan Sepasang Pedang Iblis yang hidup
pada puluhan tahun silam?" tanya Panji balas mena-
tap dengan tidak kalah tajamnya. Tapi, pemuda itu
sempat tergetar mundur ketika Pedang Iblis menyi-
langkan senjatanya di depan dada. Pancaran cahaya
pedang membuat dada pendekar muda itu bergetar.
Panji tahu ada suatu kekuatan tersembunyi yang sangat kuat dalam tubuh pedang di
tangan lelaki berpakaian serba hitam.
"Dugaanmu memang tidak meleset. Aku adalah pe-
nerus Sepasang Pedang Iblis yang akan melanjutkan
cita-citanya untuk menguasai dunia persilatan!" sahut lelaki berpakaian serba
hitam dengan suara datar
menggetarkan jantung.
Panji tidak begitu memperhatikan jawaban lawan-
nya. Pemuda itu lebih tertarik dengan pedang di tangannya. Itu terbukti dari
pertanyaan yang dikelua-
rkannya. "Senjatamu itu, benarkah yang bernama Pedang Ib-
lis...?" tanya Panji tanpa mengalihkan pandangannya dari pedang di tangan lawan,
yang makin lama dipandang semakin mengguncangkan perasaan.
"Hm.... Senjata ini memang Pedang Iblis. Dan, aku
akan mencari pasangannya. Setelah itu, kau tahu sendiri kelanjutannya,
bukan...?" sahut Pedang Iblis dengan nada tetap datar dan dingin.
Panji termenung ketika mendengar senjata di tan-
gan lawan bernama Pedang Iblis. Bahkan, tokoh itu
mengatakan akan mencari pasangannya. Yang mem-
buat Panji masih belum percaya, kabarnya Sepasang
Pedang Iblis sudah lama hilang bersama sepasang tokoh sesat yang memilikinya.
Semua itu ia ketahui dari cerita gurunya. Tapi, melihat kekuatan aneh yang
muncul dari badan pedang, Panji bisa menilai senjata itu merupakan pusaka yang
ampuh dan berbahaya.
Semua ingatan itu membuat Panji terdiam untuk beberapa saat lamanya.
*** 4 Selagi pemuda tampan berjubah putih itu terme-
nung, Pedang Iblis sudah melesat ke depan dengan serangan mautnya. Tanpa
peringan lebih dulu. Jelas, betapa liciknya tokoh yang berjuluk Pedang Iblis
itu. Sebagai seorang pendekar yang telah mendapat
gemblengan dan pengalaman cukup, Panji dapat me-
nangkap suara desingan yang bagai ratusan lebah marah itu. Meski tanpa
peringatan lebih dulu Panji segera mengetahuinya. Maka, begitu telinganya
menangkap desingan tajam, pemuda itu cepat mengangkat kepa-
lanya. Tapi, betapa terkejutnya hati Pendekar Naga Putih
ketika merasakan tubuhnya sukar digerakkan. Bah-
kan, ia tidak bisa melihat sosok lawan kecuali kilauan yang semakin dekat menuju
ke arahnya. "Gila! Sinar yang keluar dari badan pedang itu jelas mengandung kekuatan sihir
yang hebat..!" desis Panji segera menghimpun semangatnya. Dan mengerahkan
seluruh tenaga dalamnya untuk membebaskan diri da-
ri pengaruh kekuatan jahat itu.
"Heaaah...!"
Panji meraung keras membuat orang-orang yang
berada di sekelilingnya terpental jatuh. Seiring dengan teriakan itu, muncul
lapisan kabut putih bersinar keperakan yang menyelimuti sekujur tubuh Pendekar
Naga Putih. Kekuatan yang muncul penuh itu segera
mengusir kekuatan jahat yang menguasainya. Sehing-
ga, sewaktu pedang lawan tiba, Panji melompat ke
samping dan terus melambung berputaran beberapa
kali di udara. Jleggg! Begitu kedua kakinya menjejak tanah, Panji lang-
sung membentuk kuda-kuda 'Naga Sakti Mencengke-
ram Bumi', yang merupakan bagian dari rangkaian il-mu 'Silat Naga Sakti' warisan
Malaikat Petir.
"Hm...."
Dengan kedua tangan terkembang dan jari-jari
membentuk cakar, Panji siap menghadapi lawan yang
sudah meluncur datang dengan serangan susulan.
"Haiiit...!"
Pada saat serangan lawan tiba, Panji langsung me-
nyelinap di antara kelebatan sinar pedang lawan. Kemudian, berusaha melancarkan
serangan balasan
dengan jurus-jurus naga saktinya.
Tapi, bukan main terkejutnya hati Pendekar Naga
Putih ketika merasakan ada hawa aneh yang meng-
ganggu jalan pikirannya. Kekuatan jahat yang menyebar dari badan pedang lawan
ternyata mampu mem-
buat jurus-jurusnya jadi kacau. Sehingga, dalam dua puluh jurus kemudian Panji
dapat didesak. Sedangkan ia hanya bisa menggunakan kelincahannya untuk
menyelamatkan diri.
"Yeaaah...!"
Rasa penasaran membuat Panji mengerahkan selu-
ruh kekuatan tenaga dalamnya, dan langsung
mendorongkan telapak tangannya ke depan me-
nyambut serangan lawan. Akibatnya....
Breshhh...! Hebat sekali apa yang terjadi kemudian. Benturan
yang laksana menggetarkan jagat bergema dahsyat!
Tubuh Panji terdorong mundur sejauh satu tombak.
Sedangkan lawannya terlempar ke belakang dan mem-
bentur sebatang pohon besar.
Kraaakh...! Terdengar suara hiruk-pikuk ketika pohon yang ter-
langgar tubuh Pedang Iblis tumbang. Sedang tokoh
misterius itu terus meluncur sejauh satu tombak lagi.
Kenyataan itu membuktikan betapa hebatnya kekua-
tan tokoh yang berjuluk Pedang Iblis ini.
Panji menghirup udara sebanyak mungkin kemu-
dian menghembuskannya perlahan-lahan. Benturan
tadi telah membuat dadanya terasa sesak. Setelah
keadaannya pulih, pemuda itu melesat untuk melihat keadaan lawan.
Kenanga, Ki Gulawa dan sepuluh orang pengawal
kepala desa bergerak mengikuti Panji. Demikian pula belasan penduduk desa yang
menyaksikan pertarungan itu. Sedang penduduk yang masih terpengaruh teriakan
Panji tadi masih bergeletakan pingsan di atas tanah berumput
Kenanga yang tiba lebih dulu tampak mengerutkan
kening ketika melihat kekasihnya berdiri mematung.
Bergegas dara jelita itu menghampirinya.
"Bagaimana, Kakang" Apakah Pedang Iblis sudah
tewas...?" tanya Kenanga ragu ketika tidak menemu-
kan sosok lelaki berpakaian hitam yang berkepandaian hebat
"Hm.... Mungkin ia sudah meninggalkan tempat ini.
Sebab, seperti yang kau lihat sendiri tidak ada sesosok manusia pun berada di
sini. Pedang Iblis telah melarikan diri. Kemungkinan besar ia akan muncul
setelah menemukan Pedang Iblis yang satunya lagi. Hhh....
Sungguh berbahaya sekali...," desah Panji cemas mengingat betapa berbahayanya
tokoh misterius itu bagi keselamatan orang banyak.
Panji merasa berkewajiban untuk melumpuhkan
tokoh berjuluk Pedang Iblis. Hanya dirinya sedikit ragu akan dapat menundukkan
tokoh itu bila telah memiliki Pedang Iblis yang satunya lagi. Sebab, Panji sudah
me- rasakan betapa hebatnya tokoh itu meski hanya den-
gan sebilah pedang. Entah bagaimana kehebatan yang dimilikinya bila Sepasang
Pedang Iblis telah jatuh ke tangannya.
"Pendekar Naga Putih...!" tiba-tiba terdengar seruan yang membuat pasangan
pendekar muda menoleh.
Mereka melihat Ki Gulawa tengah bergerak mengham-
piri. Panji agak heran ketika mendengar Kepala Desa Karapan dapat menebak siapa
dirinya. "Pendekar Naga Putih. Aku sungguh merasa berun-
tung sekali yang menyelamatkan nyawaku dan pendu-
duk Desa Karapan adalah pendekar yang selama ini
kukagumi. Benar-benar merupakan suatu anugerah
yang tak ternilai dapat bertemu muka denganmu. Aku mengenalimu setelah melihat
ciri-ciri yang selama ini menjadi tanda pengenalmu. Bukankah yang kau gunakan
tadi 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'" Sungguh
luar biasa. Memang, tepat jika kekuatan itu disebut orang sebagai mukjizat dari
sang Pencipta..," ujar Ki Gulawa yang karena gembiranya langsung berbicara
tiada henti bagai anak bebek kehilangan induk. Se-
hingga, baik Panji maupun Kenanga hanya bisa tersenyum. Karena mereka tidak
diberi kesempatan untuk
menanggapi ucapan Ki Gulawa.
"Ahhh, Ki Gulawa sungguh pandai membuat kepa-
laku jadi besar. Sudahlah, Ki. Semua itu sudah menjadi kewajiban kita untuk
saling tolong-menolong," ujar Panji setelah Ki Gulawa menghentikan kata-katanya.
"Hm.... Kau benar-benar patut dikagumi dan disan-
jung, Pendekar Naga Putih. Meskipun nama besarmu
sudah menjulang mengalahkan tingginya gunung, tapi sikapmu tetap ramah dan
rendah hati. Sungguh seorang pendekar besar yang patut dijadikan contoh,"
kembali Ki Gulawa mengeluarkan kata-kata pujiannya.
Meskipun pujian itu tulus tanpa maksud tersembunyi, tapi Panji tetap merasa
risih. "Sekali lagi terima kasih atas pujianmu, Ki. Dan,
karena tokoh berjuluk Pedang Iblis masih akan terus menyebar bencana. Maka, aku
harus mengejarnya untuk mencegah kekejamannya," ujar Panji sekaligus
berpamitan untuk meninggalkan Desa Karapan.
Ki Gulawa kelihatan sangat kecewa mendengar
ucapan Pendekar Naga Putih. Tapi, alasan yang diberikan pemuda itu memang tidak


Pendekar Naga Putih 59 Sepasang Pedang Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bisa dipungkiri Meski-
pun sebenarnya Ki Gulawa ingin Pendekar Naga Putih singgah di rumahnya, semua
itu ditekannya termasuk kekecewaan yang tampak membias di wajah tua itu.
"Maaf, jika aku telah mengecewakan hati Ki Gulawa.
Lain kali aku akan singgah ke desa ini dan menemui Aki," Panji tahu apa yang
dipikirkan Ki Gulawa sehingga pemuda itu menghibur dengan janjinya. Membuat
wajah orang tua itu berubah cerah.
"Ah, terima kasih, Pendekar Naga Putih. Aku akan
menunggu kedatanganmu," sergah Ki Gulawa tanpa
berusaha menyembunyikan kegembiraan hatinya.
"Bagaimana denganku, Ki" Apa aku tidak boleh ikut
singgah nanti?" goda Kenanga, membuat Ki Gulawa
tersipu. "Tentu saja, aku pun mengharapkan kedatangan
Nisanak beserta Pendekar Naga Putih...," sahut Ki Gulawa cepat Sehingga, Panji
dan Kenanga tersenyum
melihat orang tua itu salah tingkah karena ulah Kenanga.
"Kalau begitu, kami pergi dulu, Ki...," pamit Panji segera mengajak kekasihnya
meninggalkan Desa Karapan dengan diiringi pandang mata Ki Gulawa dan para
pengawalnya. *** "Heya... heyaaa...!"
Suara teriakan-teriakan nyaring berkumandang
memecah keheningan pagi yang bening. Ditingkahi suara lecutan cambuk dan derap
kaki kuda yang menim-
bulkan kepulan debu membubung ke angkasa.
Penunggang kuda terdepan yang bertindak sebagai
pimpinan rombongan, adalah seorang gadis cantik berusia sekitar dua puluh lima
tahun. Tubuhnya ramp-
ing padat dengan lekuk sempurna terbungkus sutera
merah darah. Rambut bagian atasnya diikat dengan
sehelai kain yang juga terbuat dari sutera merah. Sehingga, gadis itu tampak
sangat menarik bagi siapa sa-ja yang memandangnya. Hanya sayang, sinar matanya
terlihat demikian liar. Seolah membayangkan sifat
yang kejam dan genit
Di belakang dara cantik itu terlihat delapan orang penunggang kuda yang semuanya
berpakaian serba hitam. Wajah mereka kelihatan garang pertanda mereka bukan
orang baik-baik.
Setelah melintasi jalan setapak yang terdapat di sebuah hutan kecil, rombongan
itu tiba pada sebuah da-taran berbatu yang cukup luas. Sebuah bangunan
yang dikelilingi pagar kayu bulat setinggi dua tombak terlihat dari kejauhan.
Gadis cantik berpakaian serba hitam yang menjadi
pimpinan rombongan semakin mempercepat lari ku-
danya. Sepasang matanya tampak berkilat penuh naf-
su ingin segera tiba di bangunan terkurung pagar kayu bulat itu.
Melihat sang Pemimpin membedal kudanya, anggo-
ta rombongan pun bergegas menyusul. Sehingga, me-
reka tetap berada setengah tombak di belakang dara cantik berpakaian serba merah
itu. "Haiiit..!"
Begitu tiba di depan gerbang yang bertuliskan 'Perguruan Harimau Sakti', dara
cantik itu langsung melesat dari atas punggung kudanya. Tubuh ramping itu
berputar dua kali sebelum mendaratkan kakinya di
depan pintu gerbang.
Anggota rombongan yang berjumlah delapan orang
segera berlompatan turun dan menghunus senjata.
Perbuatan mereka jelas menunjukkan kedatangannya
tidak bermaksud baik.
"Hm...."
Dara cantik itu bergumam perlahan sambil menyi-
langkan sepasang tangannya di depan dada. Kedua
lengan berkulit halus itu tampak bergerak karena tengah dialiri tenaga dalam
kuat "Hei, apa yang hendak kau lakukan..."!" teriak sa-
lah seorang dari dua penjaga yang berada di atas pintu gerbang. Sayang, teguran
itu terlambat Sebab, saat itu terdengar bentakan nyaring melengking.
"Hiaaah...!"
Rupanya, dara cantik berpakaian serba merah men-
geluarkan bentakan sambil mendorongkan telapak
tangannya ke arah pintu gerbang. Dan....
Brakkk...! Pintu gerbang yang terbuat dari kayu tebal lang-
sung hancur berantakan dengan suara keras! Tanpa
menunggu kepingan kayu jatuh ke tanah, dara cantik itu menerobos masuk. Demikian
pula kedelapan orang pengikutnya.
"Berhenti...!"
Tiba-tiba terdengar bentakan keras, membuat gadis
cantik beserta rombongannya menghentikan langkah
dan menoleh ke arah sosok lelaki gagah berusia empat puluh lima tahun. Lelaki
yang tidak lain Ki Baginta berdiri tegak menyambut kedatangan para pengacau
dengan pedang di tangan. Di belakangnya berkumpul
murid-murid perguruan yang berjumlah empat puluh
orang lebih. Melihat pedang telanjang di tangan para murid Perguruan Harimau
Sakti, jelas mereka telah
siap menghadap pertempuran.
"Hm.... Panggil Ki Sawung! Aku mempunyai keper-
luan penting dengan tua bangka itu...!" bentak dara cantik berpakaian merah
dengan sikap yang sangat
sombong. Ucapan lancang itu tentu saja membuat mu-
rid-murid perguruan menjadi marah.
Ki Baginta merentangkan lengannya mencegah mu-
rid-muridnya yang sudah tidak sabar untuk menghajar wanita cantik itu. Sehingga,
mereka terpaksa hanya bisa menatap dengan sinar mata penuh kebencian.
"Nisanak, seharusnya aku sebagai tuan rumah yang
bertanya lebih dulu padamu. Kau siapa, dan ada ke-
perluan apa dengan guru besar kami" Kalau hanya
persoalan sepele, katakan saja padaku. Nanti aku yang akan menyampaikannya...,"
ujar Ki Baginta tenang.
Sebagai seorang yang ditugaskan untuk menjaga per-
guruan selagi Ki Sawung pergi, Ki Baginta tidak mau bertindak ceroboh. Ia
kelihatan lebih berhati-hati dalam menentukan sikap. Semua itu karena tanggung
jawab yang harus dipikulnya.
"Hm.... Aku tidak mau tahu dengan segala peratu-
ran yang berlaku di sini! Panggil Ki Sawung keluar atau kalian terpaksa harus
merasakan tajamnya pedangku...!" ujar gadis cantik berpakaian serba merah berbau
ancaman. Ki Baginta tidak menimpali ucapan dara cantik itu.
Dengan sikap yang tetap tenang, lelaki gagah itu melangkah beberapa tindak.
Ditatapnya wajah gadis itu dari atas ke bawah seperti tengah menilai seekor ayam
aduan. Kemudian, beralih ke arah delapan orang pen-
gikut gadis itu yang rata-rata bertampang kasar dan tidak sedap dipandang.
Gadis cantik berpakaian serba merah kelihatan ti-
dak sabar melihat sikap Ki Baginta. Kepalanya bergerak mengangguk sebagai
isyarat bagi pengikutnya untuk bergerak.
"Yeaaat..!"
Tanpa diperintah dua kali, dua orang yang tepat berada di belakang gadis
berpakaian serba merah segera menerjang Ki Baginta dengan pedang di tangan.
Bettt! Wuttt! Ki Baginta menggeser mundur langkahnya dengan
tubuh miring. Sambaran yang mengancam perut dan
lehernya luput menebas angin kosong. Begitu serangan lawan lolos, Ki Baginta
kembali menggeser kaki kanannya ke depan. Sepasang tangannya bergerak mela-
kukan tamparan dan pukulan ke arah dua orang la-
wannya. Bettt! Bettt! Terkejut juga hati lelaki gagah itu ketika melihat ke-gesitan lawan-lawannya.
Kedua lelaki kasar itu ternyata mampu menghindari serangan balasannya. Bahkan,
masih sempat membalas serangan Ki Baginta dengan
tidak kalah berbahayanya.
"Haiiit..!"
Sadar kedua orang itu cukup tangguh dan tidak bi-
sa dirobohkan dalam waktu singkat, Ki Baginta mem-
bentak sambil menggenjot tubuhnya yang langsung
membubung ke udara dan berputaran beberapa kali,
sebelum mendarat di depan murid-muridnya.
"Hmh...!"
Begitu kedua kakinya menjejak tanah, Ki Baginta
segera mengisyaratkan murid-muridnya untuk mulai
menyerang. "Heaaa...!"
"Yeaaa...!"
Murid-murid Perguruan Harimau Sakti yang semen-
jak tadi sudah merasa tidak sabar, langsung meluruk ke arah sembilan orang
pengacau. Mereka tampak demikian bersemangat untuk mengusir tamu-tamu tak
diundang itu. Melihat murid-murid Perguruan Harimau Sakti da-
tang menyerang, dara cantik itu tersenyum sinis. Kemudian, memerintahkan para
pengikutnya untuk me-
nyambut kedatangan lawan. Sedangkan ia sendiri bergerak menyingkir dari arena
pertempuran kecil-kecilan yang sudah berkobar.
Demikian pula Ki Baginta. Lelaki gagah itu bergerak menjauhi arena pertempuran.
Jelas, Ki Baginta hendak menghadang pimpinan pengacau itu.
"Kau benar-benar keras kepala, Orang Gagah.
Rupanya, kau lebih suka mati daripada harus me-
manggil guru besarmu itu...," dengus dara cantik berpakaian serba merah yang
sudah berhadapan dengan
Ki Baginta dalam jarak satu tombak. Kali ini sepasang matanya mengerjap nakal,
seolah hendak meruntuh-kan kekerasan hati Ki Baginta dengan kecantikan dan
kerling matanya.
Ki Baginta bukan tidak tahu maksud kerjapan mata
gadis cantik itu. Namun, mengingat tanggung jawab
yang telah diberikan Ki Sawung kepadanya, sikap genit gadis itu tidak
diladeninya, "Tidak perlu banyak cakap lagi, Nisanak. Kau hanya bisa menemui Guru Besar kami
bila telah melangkahi mayatku...," geram Ki Baginta menggertakkan giginya kuat-
kuat "Hm.... Apa susahnya melakukan hal itu...," sahut
gadis cantik itu tersenyum sinis, membuat darah Ki
Baginta menggelegak karena merasa diremehkan.
"Mengapa tidak segera kau lakukan...?" balas Ki
Baginta segera menyiapkan jurusnya.
"Kalau kau belum mati, bagaimana mungkin aku
bisa melangkahi mayatmu" Sebaiknya gorok batang
lehermu, baru aku bisa melaksanakan permintaanmu
itu...?" ejek gadis berpakaian serba merah berpura-pura bodoh.
Ki Baginta tentu saja mengerti lawannya berpura-
pura bodoh. Ia menduga gadis cantik itu hendak mem-permainkannya. Sayang, kali
ini gadis itu bertemu dengan Ki Baginta yang tidak mudah dipermainkan
orang dengan kata-kata maupun ejekan.
"Hm.... Tentu saja sangat mudah bagiku untuk me-
lakukannya sendiri. Tapi..., aku ragu kau mampu melakukannya untukku...," sambut
Ki Baginta seraya
memperlihatkan senyum. Ucapan itu sekaligus meru-
pakan ungkapan bahwa Ki Baginta meragukan gadis
berpakaian serba merah akan sanggup melawannya.
"Iblis...!" desis gadis berbaju merah, jengkel. Rupanya, gadis itu tahu bahwa
dalam hal bersilat lidah, dirinya tidak akan menang menghadapi Ki Baginta
yang tampaknya pintar membalikkan kata-kata.
Senyum di bibir Ki Baginta semakin melebar ketika
melihat gadis cantik itu menyiapkan jurus untuk menyerangnya. Tapi, lelaki itu
tetap tenang dan menggeser langkahnya ke kanan, membentuk kuda-kuda se-
rong yang kokoh dan indah. Sebagai murid Perguruan Harimau Sakti yang berintikan
silat harimau, tentu sa-ja kuda-kuda yang diajarkan mengikuti gerak-gerik
harimau. Dan, semua itu telah dipelajari Ki Baginta dengan sempurna. Jadi, tidak
aneh jika kuda-kuda yang diperlihatkannya terlihat kokoh dan mencerminkan ke-
jantanan. "Hm...," dara cantik berpakaian serba merah men-
Memburu Iblis 18 Pendekar Bayangan Sukma 2 Dendam Orang Orang Gagah Sumpah Palapa 17
^