Pencarian

Pelangi Hitam Putih 3

Pelangi Hitam Putih Karya Cherry Ashlan Bagian 3


Aku juga tau hal itu&
Tapi ketika mengetahui bahwa ia beragama kristiani kakek menentangnya dengan sangat keras. Tante sendiri tidak memiliki pilihan lain. Raihan adalah putra
kandung tante satu-satunya. Saat itu tante sangat takut, tante takut akan siksa neraka jika tante membiarkan putra tante mengingkari agamanya. Tante takut&
dan mulai melarang mereka bertemu. Tante mengancam Raihan untuk menghentikan seluruh dana perkuliahannya jika ia tetap bersama dengan Christine. Namun
kau tau anak itu, dia sama sekali tidak bergeming, malah semakin keras pada keputusannya. Entah bagaimana ia bisa mendapatkan pekerjaan dengan mudah di
Belanda, kemudian meneruskan hubungannya dengan gadis itu.
Tante meminta Alan untuk mengawasinya. Tapi pada akhirnya tante tetap terkalahkan oleh kisah mereka. Pada minggu terakhir di bulan desember, Raihan kembali
pulang setelah satu tahun lamanya, dan mengatakan bahwa ia akan menikahi Christine yang saat itu tengah hamil putranya. Hati tante benar-benar sakit, hancur
berkeping, ia sudah berzina, ia sudah mengecewakan tante, melukai tante dengan seperih-perihnya. Tapi sebagai seorang ibu, lagi-lagi tante tidak bisa melakukan
apa-apa, karena baru kali itu tante melihat binar bahagia yang teramat indah di kedua matanya.
Aku tau& Kakek marah besar, terlebih ketika mendengar bahwa Raihan akan meninggalkan Islam, ia bahkan mengganti namanya menjadi Christopher Reynaldi. Saat itu,
Alan menyarankan agar kami berbicara pada keluarga besar Christine untuk meminta putri mereka masuk ke agama Islam. Tapi kau tau, tentu saja itu adalah
hal yang mustahil. Setelah perseteruan yang begitu panjang dan alot, akhirnya kami memutuskan untuk memisahkan mereka. Merencanakan pemalsuan kematian
mereka masing-masing&
Astagfirullah& aku menutup mulutku yang ternganga dengan kedua tanganku. Mencoba menahan isakan itu agar tidak terdengar, meski air mataku sudah sedari
tadi menetes. Tante tau hal itu teramat buruk, namun tante sudah kehabisan akal untuk memisahkan mereka. Meski pada akhirnya, hasilnya tidak sesuai dengan yang kami
harapkan. Sampai dia bertemu denganmu, ia banyak berubah karenamu Zahra. Kau membuat Raihan kembali menemukan jalannya, kau membuatnya tersadar. Kau mengembalikan
putra tante. Tante bahkan tidak tau harus bagaimana mengucapkan terima kasih kepadamu. Kepada cintamu&
Aku meringis perih ketika mendengar perkataan terakhirnya.
Setelah kejadian itu apakah tante tau apa yang terjadi pada gadis bernama Christine itu"
Tante Luna terdiam sejenak. Tidak, katanya pelan. Tante tidak tau apapun, tapi yang tante tau keluarga besarnya sama sekali tidak keberatan dengan kehamilan
putri mereka, asakan ia tidak sampai berpindah agama. Selebihnya tante tidak tau&
Aku tau& potongku cepat, dan sebelum tante Luna kembali berbicara aku sudah kembali membuka mulutku. Gadis bernama Christine itu hampir gila karena
frustasi dan terluka. Ia menggugurkan kandungannya dengan cara yang tragis, hingga membuat dokter harus mengangkat rahimnya, menghilangkan kesempatan untuknya
memiliki seorang bayi selama-lamanya. mematahkan sayap harapannya untuk menjadi seorang wanita seutuhnya. Dan sekarang, setelah berlalunya tahun-tahun
yang memilukan itu, ketika akhirnya ia kembali jatuh cinta pada seorang pria, ia terpaksa kembali berhenti di sana. Menyerah pada adat dan peraturan yang
tertera pada keluarga pria itu lagi&
Keluarga pria itu tidak menerimanya karena tau ia tidak sempurna, mencibir masa lalunya yang kelam, yang mengakibatkan keadaannya saat ini, menghinanya
bagai sampah. Ia kembali terluka, bahkan semakin dalam. Bahkan mungkin ia pernah berharap bahwa ia benar-benar mati agar bisa meninggalkan semua luka itu
di belakangnya. Tapi ia tidak memiliki kekuatan untuk mencabut nyawanya sendiri. Seperih apapun lukanya, ia tetap harus berdiri di sana, bersikap seolah-olah
ia bisa mengatasinya, setegar itu.
Dan lagi-lagi ia harus menyerah pada cintanya. Mengatakan tidak pada sosok yang paling dicintainya&
Zahra& Tante& aku hanya ingin bertanya satu hal& ketika pada akhirnya gadis itu kembali menemukan cinta masa lalu yang menerimanya dengan tulus dan apa adanya,
tepat ketika ia tengah terpuruk seperih itu, pantaskah aku menghancurkan harapnya"" Pantaskah gadis sepertiku yang dalam satu sisi lebih beruntung karena
masih memiliki rahim itu menyakitinya""
Zahra& tante minta maaf&
Bukan& bukan kepadaku permintaan maaf itu harus diajukan, tapi kepadanya. Kepada gadis yang beberapa tahun yang lalu tante palsukan kematiannya di hadapan
putra tante. sendiri, Kepada Christine. Aku terdiam sejenak, merasa sesak oleh isak tangis yang entah bagaimana tidak bisa tertahan lagi itu. Restuilah
mereka tante, ku mohon& bisikku lirih.
Tapi dia& Dia sudah melakukan seperti yang tante inginkan. Gadis itu sudah memeluk agama Islam, dan tersingkirkan sepenuhnya dari keluarga besarnya. Dia sendirian
dan terluka& Jadi ku mohon tante& untuk kali ini restuilah mereka berdua& biarkan Amy kembali memperoleh pelangi kebahagiaannya& ku mohon tante& . Ku mohon&
Kemudian tanpa mengucapkan salam, aku menutup sambungan teleponku dengan tante Luna. Tubuhku lemas karena isakan tangis yang tiba-tiba menerobos keluar
dari mulutku. Anna memerluk erat tubuhku yang bergetar, berusaha menenangkanku. Namun kali itu, meski aku pun ingin kembali segera tenang, tapi aku tidak
bisa. Untuk pertama kalinya aku terisak sedemikian kerasnya, air mataku menetes sedimikian derasnya, bahkan hatiku terpilin sedemikian sedihnya. Aku tidak
mengerti ada apa dengan diriku. Mungkin aku hanya sedikit lelah, lelah pada kenyataan hidup yang pada akhirnya tidak pernah berpihak kepadaku.
Ambilah Tuhan! Ambilah orang-orang yang ku sayangi jika itu membuatmu puas menyakitiku& . ambillah, Tuhan!
*** RAIHAN Sejak kecil aku selalu beranggapan bahwa tangis dan air mata itu hanya diperuntukan bagi orang-orang yang lemah. Sesakit apapun aku, separah apapun luka
yang ku dapatkan dari bocah-bocah brandalan itu, aku akan selalu menyembunyikan tangisku. Aku ingat, ketika berumur 8 tahun, aku pernah terluka. Aku bersepeda
seperti bocah gila siang itu, berteriak kencang sambil mengayuh sepedaku kencang-kencang. Ketika melewati jalan turunan, aku akan membentangkan kedua tangan
dan kakiku, bagai layang-layang yang siap terbang. Turun, dan kembali naik. Terus begitu, hingga paru-paruku kehabisan cadangan oksigen. Namun aku masih
tidak ingin berhenti. setelah menuruni jalanan yang sama dengan gaya yang sama juga sebanyak 7 kali, aku kembali mengayuh sepedaku, menanjaki jalanan itu,
bersiap melakukan turunan terakhir dengan gaya yang sedikit berbeda.
Wuss& . Kali ini hembusan angin di sekelilingku semakin kencang, aku tidak membentangkan kedua tangan dan kakiku, aku justru memfokuskan mataku, mempercepat kayuhan
sepeda ku, hingga rasanya aku bisa melihat angin itu terbelah. Tepat seperti yang terdapat pada film-film kartun yang ku tonton di minggu pagi bersama
kak Alan. Woooo!!!! teriakku kesetanan. Lalu terus dan terus melaju semakin kencang, bahkan terlalu kencang. Hingga ketika kucing kecil itu berlari, aku sama sekali
tidak bisa melakukan apa yang seharusnya ku lakukan. Aku menurunkan kedua kakiku, bukan meraih dan menekan rem yang berada di genggamanku. Aku memejamkan
mataku, bukan membelokan sepedaku kearah lain. Aku melindasnya hingga mati, bukan menghindarinya. Dan semuanya itu berlalu begitu saja.
Kakiku terluka karena tergesek aspal, berdarah di bagian-bagian sisinya. Namun hari itu aku sama sekali tidak ingin menangis, seperti hari-hari sebelumnya
ketika aku pernah juga merasakan luka. Saat itu, bahkan aku merasa sudah biasa menghadapi sebuah kematian. Lagi pula bukankah itu hanya seekor kucing kecil
tak berguna"! Tapi saat itu, ketika aku mendengar kematiannya. Hidupku hancur. Aku sangat mencintai gadis lemah lembut itu. Aku mencintai keluguannya, aku mencintai
senyum malu-malunya, aku mencintai tatapan indahnya, aku mencintai setiap detail dari dirinya. Ia adalah satu-satunya gadis yang tidak suka minuman beralkohol
di antara sahabat-sahabat wanitanya. Ia memang seksi, namun jelas tampak risih dengan keseksiannya sendiri. Dan sejujurnya itu yang membuatku tertarik
kepadanya. Terlebih cinta tulusnya yang begitu indah& entah bagaimana sosoknya yang lemah lembut itu mampu menciptakan cinta yang sedemikian mempesonanya.
Aku mencintainya, dan aku rela melakukan apapun untuknya, bahkan meski aku harus mati demi dirinya. Cinta itu membutakanku. Membuatku dimabuk kepayang.
Terlebih ketika aku mendengar ia hamil putraku!
Aku, seorang Reynaldi, tidak pernah menyukai anak kecil, terlepas dari masa kecilku yang selalu diolok-olok karena tidak memiliki ayah, dan sederet peristiwa
menjijikan lainnya, aku memang tidak pernah menyukai anak-anak. Tapi ketika mendengar gadis itu mengandung putraku, semuanya berubah. Ada bulir-bulir kebahagiaan
yang aneh dalam hatiku. Yang membuatku tidak bisa berhenti berteriak kegirangan. Bersorak penuh suka cita!
Berita kematian. Ya, aku, seorang calon ayah, seorang calon mempelai pria, mendapat berita kematian calon istri dan calon putranya, tepat sebulan sebelum hari sacral itu
berlangsung. Berkali-kali aku mencoba membunuh diriku sendiri, merasa tidak sanggup melanjutkan hidupku tanpa kedua sosok yang paling ku cintai.
Tapi Tuhan tidak membiarkanku mati!!!!
Aku sangat membencinya karena itu, hingga akhirnya aku menyerah. Kemudian mulai menyusun rencana lain untuk menyakiti Tuhan. Aku bahkan bersekutu dengan
mafia sadis yang tega membunuh putra dan menantunya sendiri, untuk menghancurkan kakekku, menghancurkan ibuku, menghancurkan yayasan islam yang mereka
miliki. Persetan dengan mereka semua!
Namun aku mencintai Alan. Meski terkadang aku selalu merasa iri kepadanya yang mendapatkan seluruh perhatian kakek dan ibu. Tapi aku mencintainya. Meski
kini aku tau ia bukan kakak kandungku. Tapi aku tetap mencintainya, karena dia juga mencintai Christine.
Dimana" tanyaku pelan. Gadis di sampingku menoleh. Putra kita"
Aku menggugurkannya. Maafkan aku& saat itu aku benar-benar frustasi. Aku tidak tau apa yang harus ku lakukan& ujarnya sambil terisak. Aku membelai lembut
kepalanya, namun tidak sekalipun aku menatap matanya. Andai saja aku mengetahui hal ini lebih awal, andai saja aku menyadarinya ketika kami bertemu di
bandara beberapa tahun yang lalu& andai saja begitu& mungkin aku tidak perlu menyakiti hati lain.
Bukankah sebelumnya ia tidak mencintaiku" Aku yang memaksanya mencintaiku, dan kini ia akan hancur karena diriku.
Aku memandang ibu dan kakek dengan pandangan kosong. Lelah pada kenyataan pahit yang terus tersembunyi di balik tatapan mereka. Rasanya sudah lima ratus
kali aku mendengar ibu memohon maaf pada Christine, dan itu mulai membuatku bertanya-tanya, sebenarnya apa yang sudah mereka lakukan hingga rasanya permintaan
maaf itu tidak pernah cukup terucap. Tapi aku tidak memiliki kesempatan untuk berbicara. Otakku terlalu letih untuk berpikir, hingga rasanya ia tidak akan
mampu menyiapkan kata-kata jika aku ingin berbicara. Jadi aku hanya terus membelai kepala Christine, merangkul pundaknya, menguatkannya, ketika aku merasa
benar-benar rapuh. Aku bukan lagi Amanda Christine, sejak masuk islam, ummi mengganti namaku menjadi Amanda Sarah& tuturnya ketika sudah mulai tenang. Aku mencoba mengukir
namanya di dalam benakku. Sarah& sarah& sarah& tapi yang terucap oleh hatiku hanya satu nama. Satu nama yang takkan pernah bisa ku hapus begitu saja. Zahra&
*** Kita bisa berbicara dipanti. Ujarku, memecah keheningan diantara derasnya suara hujan. Namun gadis di hadapanku sama sekali tidak bergeming. Ia terus
menatap keluar jendela, menatap hujan, menatap kelabu. Pagi-pagi sekali Zahra meneleponku, memintaku untuk menemuinya di kafe yang terletak 1 kilo dari
panti pukul sepuluh pagi. Aku tidak mengerti, namun aku tidak memiliki kesempatan untuk bertanya. Dan semenjak kedatangan Christine tiga hari yang lalu,
aku memang tidak pernah bisa berbicara dengan Zahra, ia selalu menghindariku, atau berpura-pura tidak melihatku.
Kafe pagi itu cukup sepi, hanya ada dua meja lain yang terisi selain meja kami. Seorang pelayan tampak tengah asyik berbincang dengan penjaga kasir, membicarakan
acara tv semalam. Seorang bapak tua duduk sendiri di meja paling depan, ditemani dengan secangkir kopi hitam yang masih mengepul, serta Koran yang terbentang
lebar di depan wajah tuanya. Sama sekali tidak terganggu oleh tawa cekikikan sang pramusaji dan penjaga kasir.
Aku berdeham pelan, kemudian mengikuti arah pandangan gadis berkerudung hitam di hadapanku. Menatap hujan. Semuanya seakan menjadi kabur di mataku, tertutup
kabut, tertutup percikan hujan. Begitu derasnya, hingga aku khawatir rumah-rumah itu akan hancur jika terus diserbu hujan yang sedemikian lebatnya.
Kami masih terdiam hingga sepuluh menit kemudian. Hanya menatap hujan, berharap serbuannya akan segera berhenti, hingga aku bisa melihat matahari. Melihat
pelangi. Terima kasih sudah datang. Karena terlalu focus dengan suara hujan itu, ketika akhirnya mendengar suaranya jantungku terasa sedikit tersentak. Aku langsung
terfokus kepadanya, namun ia tampak masih terlalu asik memandang hujan. Wajah cantiknya tampak angkuh, tampak tenang, dan normal.
Gadis itu tetap cantik seperti biasa, begitu anggun dengan segala keangkuhannya. Ia memang terlihat sedikit pucat dan lebih kurus, namun ia terlihat baik-baik
saja. Dan itu membuatku merasa sedikit tenang. Aku tau ia akan baik-baik saja, ia pasti bisa bertahan sejenak hingga aku menyelesaikan seluruh permasalahan
ini, hingga aku bisa kembali meraih jemarinya, mengukir pelangi indah dimatanya.
Kita bisa berbicara dipanti, ujarku mengulangi pernyataan awalku. Namun lagi-lagi ia tidak menggubris kata-kataku.
Aku tidak ingin ada yang melihat, dan menimbulkan sebuah gossip, terlebih fitnah. Ujarnya seraya berbalik menatapku sekilas, lalu meraih cangkir teh
di hadapannya. Zahra"" aku mengernyit tidak mengerti.
Sudahlah, aku tidak ingin berlama-lama di sini. Aku harus segera pergi ke kampus. Dengar, aku hanya ingin mengucapkan selamat atas kau dan Amy. Ujarnya
dingin. Zahra, aku mencintaimu! ujarku tegas. Gadis itu mendengus, tersenyum mencibir kepada cangkirnya. Lagi pula Christine, maksudku Amy& dia mencintai Arya.
Anna sudah menceritakan semuanya kepadaku.
Tapi kau harus bertanggung jawab. Kau yang sudah membuatnya terluka seperti ini. Merusaknya. Untuk kali pertamanya di pagi itu ia menatap mataku. Mata
itu terasa begitu dingin, tatapannya yang tajam seakan mampu membekukan ku, mengunciku sedemikian rupa. Seharusnya kau tau& seorang wanita sangat rentan
pecah. Wanita bukanlah genangan air yang bisa kau temui di dalam bejana, wanita tidak bisa kembali seperti semula ketika kau sudah menyentuhnya. Tidak
seperti genangan air yang akan kembali tenang. Wanita itu seperti cermin, sekali kau memecahkannya, maka kau tidak akan pernah bisa membuatnya kembali
seperti semula, meski kau sudah merekatkannya dengan benar. Retakan itu tidak akan pernah hilang.
Gadis itu kembali menunjukan sebuah senyuman sinis yang cantik namun menyakitkan. Kau sudah menghancurkan kehormatannya. Bisiknya dengan pandangan terluka.
Dan kata-kata itu membuat tubuhku sendiri hancur. Kemarahan perlahan mulai memenuhiku.
Aku juga memebenci diriku! Aku muak pada diriku sendiri!
Dan lagi pula, kau harus tau. Sejak awal aku tidak pernah mencintaimu. Sama sekali tidak. Aku melakukannya karena aku merasa bersalah, karena aku merasa
iba kepadamu. Kau tau, sejak kecelakaan itu, kau benar-benar terlihat kacau. Jadi rasanya wajar bagiku untuk merasa kasihan kepadamu. Dan bahkan semua
orang pun merasa iba kepadamu. Melihat keangkuhanmu yang perlahan hancur. Itulah mengapa aku tidak bisa membiarkanmu pergi saat itu.
Aku ternganga mendengar perkataannya, kepalaku terasa pening karena amarah yang semakin menggunung di kepalaku. Lagi-lagi ia tersenyum sinis. Aku harap
kau tidak salah mengartikan sikap ibaku selama ini kepadamu. Tambahnya sambil menyesap tehnya. Dan saat ini, ketika melihatmu sudah bisa kembali berjalan.
Aku ucapkan selamat. Ternyata Tuhan masih berbaik hati kepadamu, tapi aku sudah selesai. Kau sudah tidak perlu dikasihani lagi. Dan lagi pula aku juga
sudah muak berpura-pura baik kepadamu. Ia meletakan cangkirnya dengan perlahan. Kau bisa pergi dengan Amy. Aku tidak peduli.
Tapi kau menyukaiku. Ah& ternyata aktingku memang bagus. Bahkan kau tidak bisa membedakan antara sikap kasihan dan suka. Maafkan aku, tapi aku sama sekali tidak bisa menyukai
pria sepertimu. Bahkan aku masih berharap, kau bisa membawa kematian itu bersamamu. Bisiknya. Tapi tidak sekejam itu kali ini. Aku lelah terjebak dalam
rasa bersalah karena sebuah doa, meski aku sangat menikmati kekalahanmu.
Aku tidak pernah ingin menangis, tidak sama sekali.
Pergilah, aku sudah selesai bicara. Temuilah Amy, perbaiki kehormatannya yang sudah kau injak-injak. Ia menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi, lalu
kembali menoleh kepada hujan.
Aku berdiri secepat yang ku bisa, mencoba menjaga sisa-sisa kehormatan yang kumiliki di hadapannya. Kemudian dengan cepat aku melangkah pergi dari kafe
itu, menerobos serbuan hujan yang semakin bertambah deras. Menyembunyikan air mataku diantara tetesan-tetsan hujan yang membisu itu."
*** Kau tidak perlu menjelaskan.
Kita semua tau apa yang terjadi di sini, kita semua tau.
Hanya saja, ku harap kau tidak lagi melaukan hal itu,
Cukup aku yang tersakiti, cukup aku&
" " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " *sepenggal surat kecil untuk takdir*
*** Brak. Tubuhku ambruk begitu saja ketika pintu kafe itu tertutup di belakang punggungnya. Hilang sudah seluruh kekuatanku, hilang sudah& Air mataku perlahan menetes,
membanjiri setiap relung hatiku yang terasa begitu pedih. Aku menangis sesenggukan di kursiku, entah menangisi apa, namun jelas semuanya terasa begitu
menyakitkan. Zahra& sst& tenanglah& bisik Risa di sampingku. Ia meraih pundakku, menahanku agar tetap tegar. Hanna menggenggam jemariku, sedang Andhini membelai bahuku.
Aku tau mereka semua berada di balik konter kasir sejak tadi, aku yang meminta mereka untuk datang. Dan itu membuatku sedikit merasa tenang.
Aku melakukan hal yang benar, bukan" tanyaku perih ditengah isakanku. Risa mempererat rangkulannya, mengucapkan beberapa kata yang menenangkan. Namun
suara hujan itu terlalu deras, membuatku tidak bisa mendengar apapun kecuali kesunyian dan rasa perih itu.
Zahra& bisik Hanna, air matanya perlahan menetes.
Ya Allah& bunuh saja aku, bunuh aku& !!
Zahra istigfar, kau tidak boleh berkata demikian&
Mungkin aku memang tidak boleh berkata demikian, tapi aku tidak memiliki doa lain yang ingin ku katakan, tidak ada satu permintaanpun yang ingin ku utarakan,
kecuali kematian itu. Maafkan aku, maafkan aku karena berkata demikian. Kau tidak tau bagaimana perihnya itu. kau tidak pernah tau. Kau benar, aku mencintaimu, kau adalah pria
teristimewa, yang dengan mudahnya memutar balikan hidupku. Membuat semuanya kembali berwarna. Kau adalah pria itu.
Aku mencintaimu, bahkan meski kau melarangku, aku tidak bisa berhenti mencintaimu. Setiap hal dari dirimu membuatku bertekuk lutut pada rasa yang selalu
ku hindari. Semuanya, tanpa terkecuali.
Melihatmu terluka, menangis seperti itu, adalah hal yang tidak pernah terlintas dalam benakku. Kau tidak pernah tau bagaimana kata-kata itu juga menyakiti
hatiku. Membunuh jiwaku. Maafkan aku, tapi hanya dengan ini aku bisa membuatmu berhenti di sini. Aku tau kau mencintaiku, aku tau. Dan aku berterima kasih
atas hal itu. Tapi kisah kita hanya sampai di sini. Maafkan aku.
*** Kau bisa ikut denganku. Ujar Andhini ketika hari menjelang sore. Setelah puas menangis lima jam tanpa henti, akhirnya kini aku bisa lebih tenang. Kami
masih duduk di kursi yang sama. Masih dengan cangkir yang sama sejak beberapa jam yang lalu, masih dengan luka yang sama.
Aku menggeleng dan tersenyum tipis kepadanya. Kau sedang dipingit bodoh, aku baik-baik saja. Justru hari ini aku merasa benar-benar tidak enak kepadamu
karena membuatmu merusak acara pingitan itu.
Jangan bodoh! Ketika kau seperti ini, meski itu adalah hari pernikahanku, aku pasti akan menemanimu.
Terima kasih, bisikku tulus. Tapi aku akan baik-baik saja. Lagi pula aku sudah puas menangis. Aku hanya membutuhkan sedikit waktu saja, lalu aku akan
baik-baik saja seperti sedia kala. Kalian tau siapa aku, kan" Aku bukan gadis selemah itu. tapi terima kasih banyak atas hari ini, kalian benar-benar membuatku
merasa lebih baik. Kau bisa ikut denganku, ujar Hanna lembut.
Hai girls& aku menghargai seluruh niat baik kalian. Tapi aku akan baik-baik saja, ku mohon tenanglah. Aku menghela nafas panjang, kemudian menatap langit
yang sudah lama menghentikan hujannya. Aku harus segera pergi. Aku harus menemui orang-orang yang sangat penting dalam hidupku. Bukan berarti kalian tidak
penting. Kalian adalah bintang-bintang penerang kelamnya hatiku. Terima kasih. Tapi sekarang aku harus pergi, setelah selesai aku pasti akan langsung kembali
ke Jakarta. Aku bisa menemanimu. Ujar Risa sebelum aku beranjak dari kursiku. Aku menggeleng dan tersenyum kepada mereka semua.
Mungkin nanti, saat ini& aku harus menemuinya sendiri. Assalamualaikum&
*** """"""""""" Hembusan angin petang itu begitu lembut, sejenak membuai jiwaku dalam angan. Aku memejamkan mataku, mencoba menyesapi keheningan lebih dalam
lagi, meraih ketenangan yang terasa begitu langka. Kemudian aku kembali membuka mataku dihelaan nafas ketujuh, menatap pusaran itu dengan penuh kasih.
Assalamualaikum ayah& bunda& salamku, dan seketika itu juga air mataku menetes. Kerinduan akan dekapan mereka berdua yang telah pergi terasa begitu menyakitkan.
Menekan dadaku hingga membuatku sulit bernafas. Aku membelai batu nisan yang bertulisan nama Ayah dan ibu dengan penuh kasih. Apa kabar kalian" tanyaku
dengan suara bergetar. Ya allah aku merindukan mereka& aku merindukan kedua orang tuaku&
Bukankah mereka bilang kau tidak akan memberikan cobaan diluar ambang batas mahlukmu" Tapi mengapa kau melakukan ini kepadaku" Apa menurutmu aku sekuat
itu" apa menurutmu aku bisa melaluinya"""
Ayah& bunda& aku sendirian. Mengapa kalian tega meninggalkanku seperti ini& aku sendirian di sini, terluka sedalam-dalamnya. Aku ingin kalian kembali.
Aku takut& aku kesepian. Aku rindu dekapan ayah, aku rindu kata-kata menenangkan bunda& aku merindukan kalian.
Hidup itu begitu kejam ayah. Membuatku lelah. Ia mempermainkanku, menyanjungku dengan keindahan cinta, menerbangkan mimpiku hingga jauh mencapai bintang-bintang.
Tapi pada akhirnya ia juga lah yang menjatuhkanku, menghancurkan harapku dalam sekali gerakan. Aku terluka sedemikian dalamnya, hingga aku tidak bisa bergerak
lagi. Aku ingin menyerah ayah& aku lelah& maafkan aku. Aku tau ayah akan membenciku karena menyerah. Tapi apa lagi yang bisa ku lakukan, aku sendirian,
aku bahkan tidak memiliki tempat untuk kembali.
Bunda& apa hidupku akan selalu begini" Mereka bilang untuk bertahan. Tapi takdir seakan begitu senang melihatku kembali terjatuh.
Aku rindu bunda& aku rindu&
Bunda& dekap aku, biarkan aku kembali merasakan ketenangan itu, bantu aku untuk terus berdiri. Bantu aku&
Kenapa kalian pergi begitu cepat" Apa aku seburuk itu hingga kalian akhirnya meninggalkanku" Atau apa aku sama sekali tidak penting bagi kalian, hingga
kini aku sendiri menghadapi hidup"""
Ah& tapi kalian tenang saja. Hatiku sudah habis tergerogoti oleh luka. Kalian tenang saja, aku sudah kebas, mati rasa. Tidak ada lagi yang bisa melukai
hati putri kalian. Aku baik-baik saja. Selalu begitu pada akhirnya.
Mungkin aku akan bertahan sebentar lagi, belum puas menghitung hujan. Nanti& ketika aku benar-benar lelah, ku harap kalian menyiapkan tempat untukku kembali.
Assalamualaikum ayah bunda&
Zahra& panggilan itu menghentakku, namun aku tidak ingin menoleh. Lelah melihat tatapan iba dari mereka semua. Risa meneleponku, mereka semua mengkhawatirkanmu.
Dan memintaku mencarimu& tuturnya.
Lalu bagaimana bisa kau tau bahwa aku di sini&
Aku& Tidak. Tidak perlu dijawab! Aku tau apa yang akan kau katakan. Karena kau tau bahwa aku tidak memiliki tempat lain untuk didatangi bukan" Aku bahkan tidak
memiliki rumah untuk kembali. Aku sendirian. Ujarku sambil terus mengusap nisan kedua orang tuaku.
Kau tidak sendirian. Kau pasti melihatnya. Potongku. Kau pasti melihat bagaimana putus asanya aku hingga akhirnya menangis seperti ini di depan nisan-nisan yang terus membisu
ini. Kau masih memilikki kami, kau masih memiliki bibi, aku, anna, sahabat-sahabatmu, bahkan anak-anak panti yang mencintaimu.
Berhenti mengatakan cinta. Aku mulai lelah, pada akhirnya cinta hanya akan menuai luka. Lalu apakah aku harus menunggu kalian melukaiku satu persatu"
Atau aku sendiri yang membuat urutanya agar kalian bisa dengan lebih teratur menyakitiku" Well, mungkin itu juga akan memberikanku sedikit waktu untuk
bernafas menghadapi semua siksaan memilukan itu. tuturku dengan wajah polos. Raka mengulurkan tangannya untuk meraihku, namun aku menggeleng dan mundur.
Aku masih belum membuat urutannya. Kau tidak bisa dengan semudah itu melukaiku. Bisikku dengan suara bergetar.
Hentikan perkataanmu. Sekarang hampir magrib, lebih baik kita pulang.
Seakan aku punya rumah saja. Dengusku sarkastis.
Kita masih memiliki panti. ujar Raka mulai kesal.
Ah iya, tempat penampungan itu, kau betul juga. ujarku seraya berjalan melewati Raka yang kini justru terpaku berdiri di tempatnya. Ayo cepat, kalau
sampai rumah penampungan itu tidak lagi menerimaku, aku harus kemana lagi mencari tempat menampungan orang-orang sepertiku" tanyaku lugu.
Raka tidak berkata-kata lagi, ia menarik pergelangan tanganku, membuatku sejenak merasakan luka lain terbuka. Tapi aku sudah biasa. Luka seperti ini bukan
hal besar untuk gadis sepertiku.
Mungkin dikehidupan yang lalu aku melakukan terlalu banyak dosa, hingga kini, yang Tuhan persiapkan untukku hanya sekantung penuh air mata.
*** """"""""""" BUG!!
Mataku terbelalak lebar ketika melihat pemandangan mengerikan itu di hadapanku. Baru saja Raka akan bergerak maju, namun aku menahan tangannya. Menggeleng
dengan perlahan ketika melihat Amy berlari tertatih menghampiri Arya dan Raihan yang tengah berkelahi di ruang tamu panti.
Cukup!!! Hentikan Arya!! bentak Amy keras seraya berdiri di depan tubuh Raihan yang babak belur. Arya menatap wanita itu dengan pandangan tidak percaya,
tangannya terkepal keras diantara kedua sisi tubuhnya.
Kau meninggalkanku hanya karena pria ini" tanya Arya perih.
Bukan sekedar hanya tapi memang untuk pria ini. Ujarnya sungguh-sungguh.
Aku akan menikahinya, secepat mungkin. melanjutkan pernikahan kami yang sempat tertunda, melanjutkan mimpi indah kami yang sempat gagal beberapa tahun
yang lalu. Jadi mulai sekarang, berhenti menyakiti dirimu sendiri dengan mencintainya. Kau tau, aku tidak akan pernah melepaskannya lagi. Ujar Raihan
lantang. Aku merasakan jantungku mulai kehilangan fungsinya, kepalaku pening, namun yang ingin ku lakukan saat itu adalah berlari. Ya, aku ingin berlari dari kenyataan


Pelangi Hitam Putih Karya Cherry Ashlan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ini! Aku muak! Aku muak pada diriku yang masih terus meneteskan air mata ketika melihat kisah cinta mereka!
Aku muak!!!!!! " " " " "Aku lelah ya Allah& . Hambamu lelah& bisakah aku meminta malaikat pencabut nyawa datang lebih cepat"
*** RAIHAN s320/RAIHAN Tubuhku bergetar hebat ketika akhirnya aku bisa kembali menemukan udara itu. Namun kini, rasanya bahkan bernafas-pun membuat jiwa ragaku begitu perih.
Aku tidak yakin dengan alasan kemarahan Arya malam itu. Mungkin karena Christine, atau karena cinta, atau karena merasa terkalahkan. Aku tidak yakin. Bahkan
perih yang ditimbulkan oleh pukulannya pun tak lagi terasa. Kepalaku sudah terlalu pening ketika sampai dipanti, kemudian melihatnya di sana, berdiri dengan
kemarahan, aku malah merasa senang, merasa lebih baik setelah ia memukulku habis-habisan.
Sejak awal aku memang tidak ingin membalas, aku tidak memiliki alasan untuk membalasnya, lagi pula, sudah ku katakan bukan, bahwa aku sama sekali tidak
bisa merasakan sakit atas pukulannya. Karena hatiku kini terasa lebih sakit.
Satu-satunya yang menarik perhatianku saat itu adalah kedatangan gadis cantik itu. aku sangat meirndukannya. Begitu banyak hal yang ingin ku sampaikan
kepadanya. Aku sudah lupa dengan kisah memilukan di kafe pagi itu. yang kurasakan saat ini adalah rasa rindu yang tak bisa ku bendung. Aku ingin memeluknya,
merengkuh kerapuhannya. Mengatakan bahwa kita bisa memulainya dari awal lagi. Kita bisa meninggalkan ini semua, kita bisa lari bersama. Melupakan mereka
semua, kemudian hidup bahagia berdua ?" selamanya.
Namun melihat mata indahnya yang rapuh, melihat wajahnya yang pucat, membuatku membeku. Aku tidak bisa menyakitinya. Ia berhak bahagia. Ia berhak hidup
lebih lama, dan meraih pelangi indahnya.
Ia tidak berhak mati karena kesalahanku. Ia harus pergi dari kehidupanku demi kebaikannya sendiri.
?"Aku akan menikahinya, secepat mungkin. melanjutkan pernikahan kami yang sempat tertunda, melanjutkan mimpi indah kami yang sempat gagal beberapa tahun
yang lalu. Jadi mulai sekarang, berhenti menyakiti dirimu sendiri dengan mencintainya. Kau tau, aku tidak akan pernah melepaskannya lagi.?" Ujarku lantang
ketika menyadari keberadaan Christine di hadapanku. Aku bahkan tidak sadar kapan dia datang dan mencoba menjadi tameng untuk diriku. Aku akan menikahinya?"
kata-kata itu terus terngiang-ngiang di telingaku. Membuatku hampir gila.
Kemarahan dan perih itu kembali menghujam dadaku ketika melihat tubuhnya tersentak mendengar perkataanku. Bukan, bukan hanya ia yang merasa perih, tapi
aku pun merasakan hal yang sama. Semua ini hanya akan membunuh kami berdua. Aku tau itu, tapi aku tidak bisa membiarkan dirinya pergi lebih dahulu. Ia
sudah terlalu banyak melewati cobaan hidup, ia harus bahagia sebelum mati. Dan aku akan melakukan apapun agar ia memiliki kesempatan itu. Apapun?" meski
dengan begitu aku harus membunuh diriku sendiri.
?"Aldi?" kau baik-baik saja"?" tanya Christine sambil menyentuh pelipisku yang berdarah. Aku tidak merasakan sakit, namun melihat kecemasan di wajahnya, ku
pikir mungkin Arya mendapatkan nilai 9 di kelas takwondonya.
Aku melirik sekilas kearah pintu, sudah tidak ada siapa-siapa di sana. Dan itu lebih baik, karena rasanya aku sudah mulai lelah bersikap tegar dihadapannya.
Aku lelah menahan diriku yang terus ingin memeluknya, melindunginya dengan kedua tanganku sendiri.
?"Bagaimana keadaan ibu"?" tanya Christine ketika aku hanya diam. Aku menatapnya dengan pandanganan kosong. Ibu masuk rumah sakit, kecelakaan. Dan itu ulahnya,
aku tau. Dia sudah bergerak. Tapi aku kehilangan amunisi untuk sekedar bertahan.
?"Aku akan ke rumah sakit.?"
?"Aku ikut.?" ?"Tidak.?" ?"Aku juga mengkhawatirkan keadaannya, Aldi?"?" ujarnya lembut. Aku menghela nafas lelah. Mengapa gadis itu sangat baik. Bukankah lebih mudah jika ia bersikap
sebaliknya" ?"Tidakkah kau membenci ibuku"?" tanyaku sungguh-sungguh. Untuk sesaat wajah gadis itu tampak bingung, namun dengan cepat wajahnya kembali melembut. Ia tersenyum
tipis kepadaku, membuatku semakin terpuruk dalam rasa bersalah.
?"Atas dasar apa"?" tanyanya lembut. ?"Karena masa lalu" Aku sudah mengerti dan memaafkan semuanya. Hari-hari itu memang sangat memilukan, membuatku lebih
berharap mati. Tapi sekarang, aku mengerti. Aku mungkin akan melakukan hal yang sama dengan apa yang dilakukan ibumu. Aku tidak memiliki satu alasan pun
untuk membencinya?" sama sekali tidak?"?"
Aku menatap gadis itu dengan perasaan yang hancur lebur. Terbuat dari apa hatinya"! Aku bahkan tidak akan marah jika saat ini dia membunuhku, tapi mendengar
kata-katanya, itu malah semakin menyiksaku. Membuatku muak pada diriku sendiri yang tidak lagi bisa mencintai gadis itu seperti dulu, dan kini malah membahayakan
jiwanya, memaksanya menggantikan posisi yang harusnya ditempati oleh Zahra.
Christine terlalu baik, selalu begitu. Dan selalu aku yang menjadi pria brengseknya. Namun sialnya, mata gadis itu seakan selalu tertutup rapat. Hingga
tidak pernah bisa melihat keburukan yang menyelimuti diriku. Tuhan, mengapa kau menciptakan gadis sebaik ini" tidakkah kau merasa khawatir jika suatu saat
takdir akan melukainya"
?"Aku membenci ibuku.?" Bisikku lelah. ?"Andai ia tidak pernah melakukan hal itu, mempalsukan kematian kita, menghancurkan semuanya?"?"
?"Kalau kau ingin membuat perandaian, mengapa kau tidak membuatnya dari awal kisah kita" Andai saja kita tidak pernah bertemu?"?" ujar Christine perih. ?"Mungkin
tidak akan ada hati yang tersakiti?"?" tambahnya tanpa menatapku, ia berjalan melewatiku dengan perlahan. ?"Ayo pergi, luka mu juga harus segera diobati,?"
*** Bug! Sebuah pukulan tepat mengenai rahang sebelah kiriku. Rasa amis langsung menyebar keseluruh penjuru indra pengecapku. Di hadapanku Raka tampak begitu gusar.
Ia menggenggam erat gulungan kertas putih di tangan kirinya, sedang tangan kanannya sudah siap untuk meluncurkan pukulan yang lain.
?"Apa kau tau apa yang sudah kau perbuat"!?" teriaknya keras. Beberapa suster yang berada di lorong rumah sakit itu tampak sedikit terusik karena pertengkaran
kami. Aku mengangguk perlahan di hadapannya.
?"Itu salahku.?"
?"Tentu saja,?" desisnya geram, ?"Aku tidak akan membiarkan hal ini terjadi Raihan. Kau harus tau itu.?"
?"Aku juga tidak akan membiarkan ini semua terjadi.?" Balasku. ?"Aku akan mempertanggung jawabkannya. Aku tidak akan membiarkan mereka mengambil Aisyah dan
anak-anak yang lainnya, tidak akan pernah?"?" janjiku seraya menatap sosok Anna yang tengah menangis tersedu-sedu di samping Christine. Aku tidak pernah
mengerti tentang arti dari kasih sayang itu. Bagiku semuanya sama saja. Atau mungkin otakku terlalu dipenuhi oleh kedengkian, hingga rasanya aku tidak
bisa menyentuh memori indahku"
Tapi, ketika akhirnya melihat air mata Anna ketika merasa ketakutan kehilangan putrinya, aku mulai bisa kembali berpikir. Mengingat-ngingat berapa kali
aku pernah melihat ibuku menangis seperti itu untukku. Ia masih terbujur koma di dalam ruangan ICU, bertemankan alat-alat bisu yang berbunyi konstan. Mengingatkanku
akan keadaan kak Alan beberapa tahun yang lalu.
Akankah ibu berakhir sepertinya"
Meninggalkan kami dalam penantian"
?"Aku akan menemuinya.?" Ujarku setelah bisa kembali menguasai gemuruh emosi di dalam diriku.
?"Aku akan ikut bersamamu.?" Ujar Raka tegas. Aku menggeleng tanpa mengalihkan pandanganku dari sosok Anna dan Christine.
?"Kalau aku mati, kau harus berjanji untuk menjaga mereka semua.?" bisikku sebelum berlalu pergi.?" ?"
*** Bibi tidak akan mengizinkanmu pergi jika itu karena masalah Raihan. Aku menghentikan gerakan memasukan barang ke dalam tasku untuk sejenak. Mencoba berpikir
lebih matang sebelum akhirnya berbalik memandang bibi yang berdiri di ambang pintu kamarku.
Bagiku, Raihan bukanlah sebuah masalah bibi. Aku baik-baik saja. Aku hanya ingin sejenak memfokuskan diri untuk berkuliah. Sebentar lagi akan masuk ke
ujian akhir semester. Aku tidak ingin mengecewakan bibi atau ayah dan bunda. Aku sudah terlalu banyak melakukan kesalahan, jadi sekarang aku ingin melakukan
yang terbaik. Berubah menjadi pribadi yang pantas.
Kau sudah sangat baik Zahra& ujar bibi, terdengar tulus namun aku mengabaikannya dengan angkuh.
Bi, seseorang pernah berkata kepadaku. Tentang baik dan buruk prilakumu, kau hanya perlu mempertanyakannya pada dirimu sendiri. Mengalisanya dengan benar.
Dan saat ini, ketika aku mencoba bertanya pada diriku sendiri, hal yang justru ingin ku lakukan adalah terjun dari ketinggian. Menghempaskan jiwa ragaku
sedemikian rupa, hingga hilang dan tak kembali. Aku adalah gadis yang terlalu ahli dalam memutar balikkan fakta. Memperparah keadaan, dan menghancurkan
setiap harap. Bahkan harapanku sendiri&
Aku ingin berubah, sedikit demi sedikit. Menjadi gadis yang lebih baik, mungkin dengan begitu Tuhan akan berbaik hati kepadaku, dan membiarkanku memiliki
setitik cinta itu. Bibi memandangku dengan pandangan iba yang membuatku semakin muak pada diriku sendiri, Zahra& bibi memang bukan bibi kandungmu. Tapi bibi mencintaimu
seperti putri bibi sendiri!
Apakah bibi mengatakan hal yang sama seperti itu kepada seluruh anak panti" kepada semua yatim piatu sepertiku" Apakah bibi pada akhirnya juga akan menyakitiku"
bibi tersentak mendengar perkataanku, dan aku menyesal ketika meliat goresan luka di mata tuanya. Maafkan aku bi& aku hanya sedikit lelah dipermainkan
oleh takdir. Zahra, Kau harus bersabar&
Aku sudah sangat bersabar bi. Kulewati seluruh hari berhujan itu, ku lalui semuanya meski pahit dan perih. Namun ketika pelangi itu perlahan mulai muncul,
Tuhan menariknya kembali. Dan menghempaskanku dengan seluruh harap dan asaku ke dalam jurang tergelap. Aku lelah bi& aku hanya ingin pergi sejenak.
Tapi kau akan pergi kemana" tanya bibi cemas.
Bibi betul juga. Aku tidak memiliki siapapun lagi. Aku sebatang kara di sini. Kemana aku harus pergi" Mungkin pertama-tama aku akan mengunjungi ayah dan
bunda, menyapa mereka. Mengatakan pada mereka untuk bersiap menerimaku kembali.
Zahra& Tenang saja bi, sejauh apapun usahaku untuk membunuh diriku sendiri, Tuhan masih belum puas menyakitiku. Bibi tenang saja, ia tidak akan membiarkanku
mati semudah itu tanpa air mata. Kita lihat saja sejauh apa aku bisa bertahan di sini, hingga akhirnya ia menyerah dan mencabut nyawaku lebih dini dari
pada perjanjian kami yang semula.
Bibi terdiam mendengar kata-kataku, sesekali ia menyeka air matanya, kemudian setelah merasa lebih tenang, ia kembali menatapku, Apa kau akan kembali"
tanyanya pelan. Kepada sang khalik" ujarku balas bertanya. Secepat yang aku bisa bi& jawabku sebelum mengucapkan salam dan berlalu pergi meninggalkan bibi yang masih
mematung di sebelah pintu kamarku. Mata indahnya sedikit berair, namun ia tidak lagi menahanku, mungkin ia juga merasa lelah kepada diriku, tepat seperti
yang tengah ku rasakan saat ini.
Lagi-lagi aku melakukan kesalahan, aku menghancurkan seluruh cahaya yang ku miliki. Bahkan meski sebenarnya aku tau, mungkin itu adalah lentera terakhirku
untuk kembali. Aku tidak pernah ingin menyakiti siapapun, terlebih bibi. Ia sudah sangat banyak membantuku melewati seluruh lumpur yang tersisa dari hujan
kemarin. Membantuku berdiri sedemikian tegarnya. Namun yang kini ku lakukan malah menyakitinya, menusuk sisi perihnya denga kata-kataku yang tidak pantas.
Tapi aku tidak bisa kembali. Bukan tidak ingin. Luka itu sudah menutup semua jalan kembaliku pada sang lentera.
*** Aku menghela nafas panjang ketika akhirnya bisa membuka pintu rumah sewaanku dengan Hanna dan Andhini "di bilangan Ciputat-Tangerang. Pertengkaranku dengan
Hanna pagi itu kembali menggelitikku. Aku baru saja akan berangkat ke tempat mengajar ketika Hanna menanyakan sampai kapan aku akan berada di rumah ini.
Aku tidak memiliki jawaban yang pasti, atau memang aku sengaja menyembunyikan jawabannya. Sudah satu bulan aku tidak pernah kembali, menutup diri sedemikian
rupa dari seluruh masa laluku. Berniat untuk menjadi pribadi yang lain, tanpa masa lalu dan kenangan menyakitkan itu.
Bunyi gemerincing dari kunci ditanganku kembali menyadarkanku dari lamunan sesaatku. Aku menggeleng pada pemikiranku sendiri, kemudian berusaha mengabaikan
segalanya. Baru pukul lima sore, namun mendung diluar sana membuat semuanya tampak lebih gelap. Aku berjalan perlahan untuk menyalakan lampu ruang tamu
dan kamarku. Ketika melihat ruang gelap di dapur, aku beranjak kesana, menyalakan lampu dapur, kamar mandi, kamar Hanna dan Andhini, bahkan lampu depan.
Kini semua lampu di rumah itu sudah sepenuhnya menyala, namun aku masih merasakan kegelapan di mataku. Membuatku mulai frustasi ketika kehilangan akal
untuk menghilangkannya. Aku sendirian, Hanna dan Andhini sudah kembali pulang ke rumah mereka. Hal yang dulu tidak pernah ku lewatkan, pulang kembali kepanti. Pulang kembali&
Tapi aku tidak memiliki tempat tuk kembali, dan aku mulai lelah untuk mencari hal yang hanya menyisakan perih. Mungkin begini lebih baik. Lagi pula aku
adalah gadis yang kuat. Aku akan baik-baik saja. Sedikit rindu kepada mereka adalah hal yang wajar. Namun dengan segudang kesibukanku saat ini, aku pasti
bisa melewatinya. Aku pasti akan bahagia.
Kau akan mati membusuk kalau terus seperti ini. aku tersentak kaget ketika mendengar suara itu. Hanna berdiri di ambang pintu dengan kantung makanan
di tangannya. Aku pikir kau sudah pulang ke rumah.
Aku sudah pulang tadi pagi, dan sekarang aku kembali. Ujarnya seraya berjalan melewatiku menuju dapur. Ia meletakan kantung pelastik bawaannya diatas
konter dapur, mencari-cari piring kemudian mengeluarkan isi kantung itu. Ayam bakar madu, menu kesukaanku setiap kali kami berempat makan di rumah makan
tradisional di kawasan depok. Aku mampir sebentar untuk membeli ini, aku tidak tau kau sudah makan atau belum, atau apakah kau mau memakannya atau tidak.
Aku tidak peduli. Ujarnya sambil terus menyibukan diri dengan piring di hadapannya.
Aku belum makan apapun, bisikku, entah mengapa tiba-tiba saja aku merasakan sesak di dadaku.
Hanna mengangguk pelan, Aku tau. Ujarnya. Aku hanya tidak tau bagaimana kau bisa menahan rasa lapar itu. Aku sudah mencoba untuk menjadi sahabatmu,
mengerti keadaanmu. Namun aku masih belum mengerti. Hingga akhirnya aku memutuskan untuk mengikuti alur hidupmu. Kau sudah tidak makan sejak kemarin, aku
mengikutinya. Kau sudah satu bulan ini tidak pulang, akupun mencoba untuk mengikutinya. Tapi pada akhirnya yang ku rasakan hanya luka dan perih. Apa itu
juga yang kau rasakan selama ini" tanya gadis berbadan tambun itu dengan mata berkaca-kaca.
Aku memalingkan wajahku kearah lain, berusaha menghindari tatapan sendunya. Aku baik-baik saja& jawabku mencoba tenang. Ia menggeleng perlahan.
Aku juga mengikutimu dalam hal itu. Mengatakan pada diriku sendiri bahwa aku baik-baik saja. Bahwa aku bahagia. Tapi semakin sering aku mengatakannya,
maka jiwaku akan semakin terluka. Aku justru merasa kesepian ketika mengatakan aku bahagia. Aku justru merasa perih ketika mengatakan aku baik-baik saja&
air mata gadis itu mulai menetes, membuatku merasakan guncangan yang familiar dari dalam dadaku.
Aku sudah mati rasa Hanna, aku sudah tidak memiliki hati untuk merasakan perih. jawabku. Ia menunduk dalam, menyembunyikan tangisnya. Sudahlah, tidak
bisakah kita menghentikan perbincangan ini. Aku sudah benar-benar lapar& . Ujarku mencoba mengalihkan perhatiannya. Ia mengangkat wajahnya yang basah oleh
air mata, kemudian mengangguk perlahan. Membawa piring berisi ayam bakar itu ke ruang tamu. Untuk sejenak, aku hanya bisa berdiri terpaku di sana. Ketika
akhirnya aku merasakan sesak aneh itu lagi dari dalam dadaku. Namun aku mengabaikannya, seperti biasa.
*** Aku sedang duduk-duduk di koridor kampus yang sepi ketika hujan tiba-tiba turun siang itu. aku mengernyit dan memandang langit yang terang menderang, ada
apa ini" tidak biasanya langit memisahkan antara mendung dan hujannya.
Zahra! panggilan Risa langsung mengalihkan fokusku dari hujan dan mendung. Aku memandangnya dengan tatapan penuh tanya. Ada yang mencarimu, ujarnya,
dari nada suaranya aku bisa merasakan ia sedikit meragu dengan kata-katanya. "
Kau Zahra"! tanya seorang pria yang berada di sampingnya. Aku mengangguk pelan. Pria itu tampak begitu familiar di mataku, namun aku sama sekali tidak
bisa mengingat siapa dia. Dengan cepat ia berjalan kearahku, mencengkram pergelangan tanganku dengan sangat kuat. Risa yang sedari tadi hanya berdiri memandangku
langsung bergerak maju, mencoba melepaskan cengkramannya ketika aku mulai meringis kesakitan. Kau harus ikut denganku! ujarnya tegas, dan kurasa penuh
dengan amarah. Siapa anda" tanyaku bingung sambil berusaha terus melepaskan cengkramannya. Ikut kemana"" Ada apa sebenarnya"" aku mulai merasa kalut dan risih.
Dengar! Hari ini adalah hari pernikahan Aldi dan Christine&
Deg. Jantungku tersentak. Satu hentakan lalu berhenti sama sekali. Pandanganku kabur, dan seluruh isi kepalaku melayang jauh. Aku hampir saja ambruk, tapi aku
tidak pingsan, aku hanya kehilangan jiwaku.
Samar-samar aku mendengar Risa meneriaki namaku, dan pria itu masih terus melanjutkan kata-katanya. Mengatakan hal-hal yang tidak bisa ku tangkap sepernuhnya.
Tidak bisa ku mengerti. Hanya beberapa kata yang bisa ku raih, tentang pernikahan, Aldi, Christine, adik, kesalahan, tanggung jawab dan mati. Lalu semuanya
semakin gelap dan samar. Pandanganku semakin kabur tepat ketika aku mendengar Risa meneriaki nama Raka dengan ponsel di telinganya.
*** Apa yang sebenarnya terjadi" tanyaku ketika tiba-tiba saja mampu meraih kesadaranku. Aku tidak tau sudah berapa lama kami berkendara. Aku bahkan tidak
tau kemana ia akan membawaku pergi. Aku meliriknya dengan sedikit perasaan takut. Caranya memegang kemudi mengingatkanku pada sosok Raihan, caranya menatap
jalanan yang berdebu, caranya menahan amarah&
Namun sebisa mungkin aku menahan air mata itu, aku tidak boleh menunjukan tangisku. Aku sudah merelakan Raihan untuk Amy, aku pasti akan baik-baik saja.
Aldi dan Christine diculik&
Apa"! " pekikku tak percaya. Bagaimana mungkin"
Apa tadi kau tidak mendengarkanku bicara"! tanyanya kesal. Namun aku sama sekali tidak memiliki kekuatan untuk menjawabnya. Ketakutan mulai menyelimutiku.
Aldi melakukan sebuah perjanjian dengan kelompok mafia ketika ia masih tinggal di Belanda untuk menghancurkan kakeknya sendiri. Aldi berjanji untuk membantu
mereka melakukan kristenisasi di Indonesia, itulah mengapa ia mendirikan sekolah internasional.
Aku menggeleng tidak percaya, air mataku jatuh begitu saja, mengiringi rasa perih yang teramat dalam dari hatiku.
Ia sengaja mengadakan perlombaan-perlombaan untuk mencari bibit unggul, tapi ketika akhirnya waktu untuknya menyerahkan anak-anak terpilih itu datang&
ia menolak. Aisyah& bisikku perih. Ingatanku langsung meraih sosok gadis kecil itu, tawanya, candanya, keluguannya& bagaimana mungkin ia setega itu. Anna& Raka&
Aku tidak bisa melarangnya. Aku tidak ingin berbuat apapun, lebih tepatnya. Tapi saat ini, ketika mereka melibatkan adikku, aku tidak bisa berdiam diri
lagi. Terlebih ketika aku tau, kau lah yang seharusnya berada di tempatnya saat ini. Aldi tidak lagi mencintai Christine, tidak seperti dulu.
Tapi dia ingin menikahinya! Atau mungkin sudah& gumamku perih.
Apa kau bodoh"! Dia melakukannya hanya untuk melindungimu, dan menjadikan adikku sebagai tumbal. Pria itu mendesis geram, kemudian tertawa sinis kepada
dirinya sendiri. Brengsek! teriaknya marah, ia meninju kemudinya dengan keras.
Aku tidak tau apa lagi yang harus ku pikirkan, semua kisah ini terlalu sulit untuk ku pahami. Terlalu banyak hal yang tidak bisa ku sentuh dengan jemariku.
Dan itu membuatku sangat lelah.
Pria itu, dia bahkan tega membunuh putra dan menantunya. Tentu membunuh orang lain bukanlah sebuah masalah besar untuknya, ujarnya lebih pelan, seakan
bergumam pada dirinya sendiri.
Aku mematung disampingnya, mencoba membuka seluruh memoar lama tentang orang-orang terkasihku, tentang Raihan, Amy, Aisyah, Bibi, Hanna, Risa, Andhini,
Anna, tante Luna, kakek Darmawan, Arya& bahkan Raka&
Mungkin hari ini aku akan mati, mungkin inilah waktunya. Jawaban Tuhan akan seluruh do aku. Tapi entah bagaimana, saat ini aku sangat merindukan mereka
semua, aku ingin bertemu mereka, untuk sekedar mengucapkan maaf dan mengatakan betapa aku sangat mencintai mereka semua, betapa berartinya mereka untukku.
*** RAIHAN s320/RAIHAN BRUK! Dia yang kau inginkan! teriakan itu menyadarkanku. Aku mengerjap beberapa kali untuk menjernihkan pandanganku, mencoba memandang sosok yang kini terbaring
lemah di lantai, tidak jauh dari tempatku terikat. Mataku terbelalak lebar ketika menyadari siapa gadis itu. Aku meronta-ronta dalam ikatan itu, mencoba
berteriak sekuat tenaga, meski pada akhirnya yang keluar dari mulutku yang disumpal hanya sebuah suara-suara samar.
Lucky melirik sinis kepadaku, kemudian berpaling kepada sosok lain di belakangku. Sosok yang kini terbujur lemah tak berdaya. Terikat sama sepertiku. Ia
menggeleng perlahan sambil terus menangis.
Lepaskan adikku! Kau salah menangkap orang, bukan Christine yang dicintainya. Tapi gadis ini!
Tepat pada saat itu Zahra membuka matanya. Sejenak aku mendesah lega ketika menyadari bahwa gadis itu masih hidup. Ia mengerjapkan matanya beberapa kali,
kemudian mencengkram kepalanya, mungkin berusaha meraih kesadarannya. Aku sangat merindukan gadis itu. Gadis angkuh yang tidak pernah bisa membuatku berhenti
memikirkannya. Melihatnya di saat-saat terakhir sebelum aku mati adalah impianku yang muncul sejak beberapa saat yang lalu. Namun kini, ketika menyadari
betapa bahayanya keberadaannya di sini, aku mulai mengutuki do aku. Aku ingin memintanya untuk segera lari keluar dari gudang ini. Aku tidak ingin mereka
semua mengenalinya, kemudian mengincarnya.
Aku melirik gerombolan berkemeja hitam di sebelah kananku, mungkin mereka berjumlah belasan, aku tidak terlalu yakin. Mereka berdiri tepat di belakang
seorang pria yang lebih tua. Lima orang di antara mereka mengangkat senapannya tepat kepadaku, sedangkan yang lainnya membidik Lucky dan Zahra.
Aku berteriak kalut ketika melihat Zahra berdiri dengan susah payah. Penembak-penembak itu semakin memfokuskan sasaran bidikan mereka. Dan aku tau, satu
tembakan saja, maka aku akan mati. Bukan hanya dia, tapi aku. Bahkan mungkin sakit yang ku rasakan akan lebih perih jika di bandingkan dengan sakitnya.
Gadis itu menatapku dengan pandangan tidak percaya, kemudian air mata mulai mengalir dari kedua pelupuk matanya yang indah. Aku bisa merasakan kepedihan
dan ketakutan dari tatapannya, dan bahkan rasa rindu yang tersembunyi dengan rapat itu pun mulai terlihat. Aku menatap pasrah wajah cantiknya, mencoba
mengutarakan kata maaf atas apa yang kini terjadi kepadanya.
Aku membenci diriku. Ya, semua orang membenci diriku. Ibu dan kakek membenciku karena seluruh ketololan yang telah membuat ibu masih terbujur lemah di
rumah sakit; Anna dan Raka jelas membenciku karena sudah melibatkan putri mereka dan anak-anak berprestasi itu "menjadi bayaran untuk apa yang sudah ku
dapatkan dari kelompok itu, memanfaatkan mereka sebagai senjata untuk menghancurkan kakekku sendiri; Bahkan kini Lucky juga membenciku karena pada akhirnya
ia tau, aku tidak akan pernah bisa kembali mencintai adiknya seperti dulu, dan malah membahayakannya seperti ini.
Aku menggeleng keras ketika Zahra berjalan mendekatiku dan Christine. Tidak, dia tidak boleh terlibat. Ia harus tetap hidup!
Bidikan senapan itu tampak semakin nyata, tak terlihat namun jelas terasa. Mengunci seluruh udara hingga membuatku sesak karena takut. Aku tidak pernah
takut pada kematian, tapi melihat mereka semua membidik wanita yang paling ku cintai, membuat hatiku merasakan takut yang teramat sangat. Seakan mereka
sedang mencengkram jantungku, dan siap menariknya kapanpun bila aku bergerak sedikit saja.
Aku mulai berteriak-teriak" semakin gila, merasakan sebuah kekalahan yang sangat nyata. Aku sangat mencintainya, dan kini aku hanya membahayakannya, aku
bahkan tidak bisa menjaganya. Yang ku lakukan hanya menebar perih di kehidupannya. Maafkan aku&
Aku terus memintanya untuk lari, dan pergi. Namun gadis itu tidak bergeming, ia malah berjalan semakin mendekat, kemudian dengan perlahan menoleh pada
sosok tua yang kini tampak begitu pucat.
Kakek& bisiknya teramat pelan.
*** ZAHRA s320/306582_10151317194259744_751836540_n
Kakek& bisikku pelan. Terguncang oleh seluruh luka itu. Kakek& ulangku perih, kini aku tidak lagi bisa menyembunyikan apapun. Aku lelah, jiwa dan raga.
Aku memandang sosok tua itu tanpa berkedip, berusaha menjaga air mataku tetap diam tergenang di sana, tak menetes sedikitpun. Entah sudah berapa lama aku
tidak melihat sosoknya, mungkin seribu tahun lamanya. Karena saat ini, ketika akhirnya aku menatap wajah itu, aku merasakan rindu yang teramat sangat di
dalam dadaku. Aku merindukan kakek& sangat merindukan kakek& tambahku. Dan itu benar adanya. Rasa rindu itu sangat besar untuknya, membuatku hampir saja
mati karena perasaanku sendiri.
Aku merindukan seluruh kehangatannya, dekapan eratnya, belaian lembutnya, bahkan canda tuanya yang tak pernah bisa ku mengerti. Tapi ia sudah lama menghilang,
hingga serindu apapun ayah pada kakek, kami hanya bisa melihat rekaman candanya dari video-video milik ayah. Ayah selalu berkata bahwa ia sudah berubah,
tapi di mataku& ia tetap sama, tetap menjadi kakek yang paling ku sayangi& ku rindukan, sampai saat ini&
Tapi pria itu tidak bergeming. Ia hanya menatapku tanpa berkata-kata. Aku kehilangan semuanya kek. Ayah dan bunda sudah meninggalkanku. Aku sendirian.
Selama ini aku selalu berharap bahwa suatu saat nanti kakek akan mencariku, menjemputku, menawarkanku kehangatan yang lain. Bahkan sampai saat ini aku
masih menyimpan harap itu. Aku sebatang kara kek& isakku. Dan aku terluka&
Maafkan kakek, Zahra& bisiknya lembut.
Kakek mengenaliku& gumamku pelan, Aku sudah memaafkan kakek. Sudah sejak awal. Aku tau kakek menyayangiku, hanya saja kakek terlalu sibuk hingga tidak
bisa mencariku, tapi aku sudah memaafkan kakek untuk itu. Aku sendirian kek, bagaimana mungkin aku bisa membenci satu-satunya keluargaku. Sejak kecil,
aku tidak pernah berhenti mengagumi kakek. Aku mencintai kakek. Aku menyeka air mataku dengan punggung tanganku. Berharap bisa menghapus perih yang menghimpit
dadaku semudah itu. Aku bahkan tidak pernah membenci kakek karena telah membuat ayah dan bundaku pergi.
Kakek tampak tersentak mendengar perkataanku. Mata tuanya memandangku dengan tatapan perih, namun ia tidak mengelak. Aku tau apa yang terjadi. Tapi aku
tidak ingin mengungkitnya. Aku takut, jika kakek masuk penjara, maka aku akan benar-benar sendirian. Maka harapanku untuk merasakan kehangatan itu akan
menghilang, lenyap dibalik sirine mobil polisi. Aku tidak mau hal itu terjadi. Aku takut kehilangan kakek&
Tapi hari ini. semuanya berubah. Kakek& pria ini& aku mengulurkan tanganku yang gemetar untuk menunjuk Raihan, Pria ini, Pria yang akan mati kapan saja
kakek menganggukan kepala kakek, adalah pria yang paling ku cintai. Satu-satunya pria yang membuatku ingin terus bertahan untuk tetap hidup. Dia bukan
pria yang baik, memang bukan. Ia melakukan banyak kesalahan. Banyak sekali, hingga aku lelah menghitungnya, tapi dia mencintaiku apa adanya. Membuatku
merasa seperti seorang putri, merasa dicintai. Merasa kembali memiliki alasan untuk hidup.
Aku sudah mengalami berbagai kepahitan hidup kek. Berkali-kali tercampakan oleh cinta dan takdir, dipermainkan sedemikian kerasnya oleh hidup. Dan dia
satu-satunya yang bersedia merangkulku, menawarkanku cinta yang lain. Aku lelah jatuh cinta kek. Tapi ketika bersamanya, rasa itu muncul begitu saja. Begitu


Pelangi Hitam Putih Karya Cherry Ashlan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

manis& begitu mempesona&
Jika kakek ingin membunuhnya, maka perintahkan mereka juga untuk membunuhku&
Zahra! Kakek tega membunuh kedua orang tuaku, maka membunuhku tidak akan menjadi hal yang sulit, bukan" air mataku perlahan menetes, namun kini gemuruh hatiku
sudah mulai lebih tenang. Aku kesepian kek. Sebanyak apapun aku mengatakan bahwa aku baik-baik saja, tapi itu sama sekali tidak benar. Aku terluka luar
dan dalam. Aku tidak pernah tau apa itu arti kata bahagia. Selalu hujan dan hujan yang ku temui, dan ketika matahari kembali hadir untuk menciptakan pelangi,
Tuhan selalu menariknya kembali.
Bersama pria ini, aku banyak belajar tentang kehidupan, tentang kegigihan, tentang cinta, tentang rasa sakit, tentang kerinduan. Ia tidak seperti pria
lain yang menjanjikanku pelangi berwarna indah. Ia hanya sosok yang menawarkanku sebuah pelangi hitam putih yang penuh kesunyian. Tapi karena itulah aku
mencintainya, karena di balik pelangi hitam putih yang dibawanya aku bisa merasakan berjuta warna kemilau yang tidak akan bisa ku temukan dengan sosok
lain. Hidup dan matiku hanya sekedar wacana kek& cepat atau lambat& bisikku seraya terus maju mendekati Raihan yang tidak lagi meronta. Aku tersenyum tipis
ketika melihat tatapan matanya yang penuh cinta. Ah& pria angkuh ini memang tidak bisa diabaikan begitu saja.
Aku mencintainya ya Allah&
Zahra! berhenti di sana. Kau tidak boleh mendekat. Ada bom yang tertanam di sekeliling mereka! teriaknya. Aku menoleh pada kakekku dengan cepat, merasakan
perih yang teramat sangat. Namun aku tidak takut sama sekali. Disinilah tempatku, di samping pria yang ku cintai. Jika Tuhan harus mencabut nyawaku, maka
inilah tempat yang ku inginkan. Tepat berada bersamanya.
Aku menatap Raihan dengan pandangan yang menyiratkan seluruh kerinduanku. Aku mencintaimu. Bisikku pelan. Kemudian berpaling pada Christine, Maafkan
kami& bisikku tulus. Gadis itu mengangguk pelan, aku tidak bisa melihat jelas mimik wajahnya yang juga di sumpal kain hitam. Namun aku yakin kini ia tengah
tersenyum manis, menyerahkan diri pada seluruh takdir Allah.
Mungkin saat ini kami akan mati, mungkin semuanya akan selesai di sini, tapi aku tidak lagi menyesali semuanya, tidak ingin. Begitu banyak kesalahan yang
sudah ku perbuat, dan kini, di detik-detik kehidupanku, aku tidak ingin menambah kepingan dosaku.
Aku gadis yang keras kepala, aku tau, yang entah bagaimana selalu menutup diri dari kisah indah yang digoreskan Tuhan untukku. Aku sudah banyak menyakiti
berbagai hati, hingga meski aku mengabdikan diriku untuk mengucapkan beribu kata maaf sekalipun, kesalahanku tidak akan pernah terhapuskan. Aku mencintai
mereka semua, aku mencintai orang-orang yang selama ini berada di sekelilingku. Dan aku harap mereka tau itu. Bibi, ayah, bunda, Anna, Raka, Arya, Amy,
Andhini, Risa, Hanna, kakek Darmawan, tante Luna, Aisyah, Anisa, anak-anak panti itu& bahkan Raihan&
Aku harap mereka tau betapa aku sangat mencintai mereka.
Aku mencengkram pundak Raihan dengan sangat erat, kemudian memejamkan mataku sendiri. Tepat sebelum aku mendengar sebuah suara dentuman yang sangat besar.
Lalu semuanya hilang, penuh kabut dan asap.
Innalillahi wa inailaihi rajiun& hamba ikhlas ya Allah&
**** " Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kemudian hanyalah kepada kami kamu dikembalikan. (QS : al ankabut : 57)
PELANGI HITAM PUTIH EPILOG
Aku mengernyitkan hidungku ketika mencium aroma yang sangat tajam, seperti aroma cairan alkohol, namun dengan kadar yang sangat tinggi. Ketika sudah bisa
sedikit menyesuaikan diri, aku bisa mencium aroma lain, lebih manis dan lembut. Mungkin aroma bunga, tapi aku belum pernah mencium bunga ini sebelumnya.
Namun aroma yang kini menarik perhatianku adalah aroma tanah yang terguyur hujan. Begitu menenangkan, begitu kaya. Suara tetesan hujan yang mengenai berbagai
benda di bawahnya terasa seperti alunan music konstan yang membuatku merasa begitu nyaman, merasa aman dari ancaman kesepian.
Aku ingin tersenyum ketika mendengar suara tetesan hujan yang semakin deras, namun wajahku terasa sangat kaku. Aku mengernyit, mencoba meraih kontrol akan
diriku sendiri. Tapi semuanya di luar kendaliku. Selain suara-suara hujan yang ku dengar, dan aroma-aroma itu, aku tidak bisa meraskan hal lain. Aku bahkan
tidak bisa merasakan jemariku. Semuanya tampak hilang, tampak tak tersentuh.
Tiba-tiba hujan mendadak berhenti, aku ingin meneriakinya untuk terus menetes, namun suaraku pun menghilang. Tidak ada yang keluar dari kerongkonganku,
kecuali erangan-erangan aneh yang tidak bisa dimengerti.
Zahra& Zahra& bertahanlah!!! suara itu terdengar samar-samar di telingaku. Aku ingin menjawabnya, memintanya untuk berbicara pada hujan agar terus turun
menemaniku. Tapi aku tidak bisa melakukan apapun.
Kau harus kuat!!! kini suara seorang wanita.
Aku tidak ingin apapun! Aku hanya ingin hujan! Katakan pada langit untuk terus membiarkan hujan itu turun!!! Ku mohon&
Jiwaku meronta-ronta mengharapkan hujan, namun sedetik kemudian aku meraskaan sesuatu meraup seluruh kesadaranku. Tiba-tiba aku merasa sangat mengantuk,
merasa begitu lelah. Aku ingin terus terjaga, tapi kabut itu menyelimutiku sedemikian tebalnya, membuatku menyerah pada ketidak sadaran, tepat ketika aku
mendengar tetesan hujan itu kembali hadir.
*** Kau sudah koma selama satu minggu, ujar" gadis cantik berpakaian putih yang kini tengah sibuk membereskan barang-barang di meja kecil samping ranjangku.
Aku memandang langit yang sedikit mendung dari balik jendela kamar rawat inapku tanpa berkata apapun. Semua orang sangat mengkhawatirkanmu. Aku senang
kau akhirnya sadar& ia menoleh dan tersenyum ramah kepadaku. Yang lainnya sedang dalam perjalanan ke sini. Apa kau butuh sesuatu" tanyanya lembut.
Aku menatap wajahnya yang cantik dengan pandangan nanar. Aku masih harus menyesuaikan mataku dengan cahaya yang terasa sangat menyilaukan di sekelilingku.
Otakku masih terlalu lemah untuk sekedar memikirkan apa yang ku inginkan saat ini. Aku masih bingung dengan apa yang sebenarnya terjadi. Mengapa aku bisa
berada di tempat ini" dengan tangan yang dibalut perban, terpasang infus, bahkan elektrokardiograf. Aku ingin terus terjaga, namun aku merasakan lelah
itu kembali menghampiriku.
Zahra! panggilan itu sedikit mengejutkanku, dengan lemah aku menolehkan kepalaku keasal suara itu, kemudian tersenyum pada mereka yang berdiri di ambang
pintu, meski aku sama sekali tidak tau kepada siapa seharusnya senyuman itu ditujukan.
Alhamdulillah Zahra& Alhamdulillah& untuk apa& Batinku sebelum kembali tenggelam dalam kegelapan.
*** Dia akan baik-baik saja, dia sudah stabil. Aku mengernyit ketika mendengar penuturan suara asing itu.
Tapi mengapa dia berkali-kali pingsan seperti ini dok"
Ia kelelahan, jawab orang yang mungkin mereka panggil dokter.
Kelelahan"! Yang benar saja. Dia sudah hampir dua minggu tidak sadar, dan sekarang dia kelelahan"! omel suara yang cukup familiar ditelingaku. Suara
sahabatku, Andhini. Banyak yang harus ia sesuaikan setelah kejadian itu. Kita benar-benar harus bersyukur karena ledakan itu tidak sampai menyebabkan kerusakan fatal pada
organ-organ tubuhnya. Ledakan" Aku kembali mengernyit bingung, mulai merasa sesak karena rasa ingin tahuku. Tapi aku masih tidak ingin membuka mataku, aku masih ingin tertidur, seakan
yang dikatakan dokter itu memang benar adanya, bahwa aku memang lelah, sangat lelah.
Seseorang menyentuh ujung kaki kiriku, kemudian memijitnya dengan lembut. Ia memberikan sedikit waktu lebih pada polisi untuk menjinakan beberapa bomnya.
Tapi sayangnya, bom yang di kakinya terlalu sulit untuk diraih.
Bom"! Apa-apaan ini"" mengapa aku harus berhubungan dengan bom dan ledakan"!
Ya, itu menyebabkan sebuah kejutan untuk tendon-tendon kaki kanannya. Kami masih melakukan beberapa uji coba untuk melihat tingkat kerusakannya. Tapi
selama ia masih belum sadar, kita masih belum bisa menentukan dengan pasti.
Kakiku mati rasa& . Aku tidak bisa merasakannya. Aku tidak bisa merasakannya!!!
Tiba-tiba ketakutan menyelimuti jiwaku. Aku mulai kebingungan mencari kontrol atas kakiku, mencoba merasakannya. Namun nihil, aku sama sekali tidak bisa
merasakan kakiku. Ya Allah& .
Aku harap kalian bisa menyembunyikan prilah Raihan dulu darinya.
Deg. Ketakutanku akan kakiku mendadak sirna, tergantikan oleh seluruh kepingan memori tentang nama yang baru saja ku dengar entah dari mulut siapa. Raihan&
Raihan& Raihan& berkali-kali otakku mengulang-ngulang itu. Mencoba meraih seluruh lembaran kenangan tentang nama itu.
Raihan& . Jantungku tersentak ketika akhirnya menemukan buku besar dalam otaku yang berisi penuh dengan namanya. Raihan, dimana dia" Apa dia baik-baik saja"
Bagaimana keadaannya" Mengapa mereka ingin menyembunyikannya dariku"" Dimana dia""!! Dimana Raihanku"!!!
Tubuhku mengejang hebat begitu saja, membuat semua orang di ruangan itu mendadak panik. Aku mulai bisa mengenali seluruh suara penuh cemas mereka satu
persatu. Bibi, Raka, Anna, Arya, Amy, Andhini, Risa, kakek Darmawan, dan bahkan tante Luna. Tapi lagi-lagi kegelapan itu menarikku, menyeretku masuk ke
bagian yang lebih pekat dari pada sebelumnya. Kemudian mengunciku di sana selama beberapa saat. Memastikanku mati dengan sendirinya.
*** Dimana Raihan" tanyaku suatu hari. Namun tidak ada satupun dari mereka yang menjawab pertanyaanku. Belakangan aku mulai sadar, pertanyaan itu adalah
pertanyaan yang tidak akan pernah mendapatkan jawaban, sekeras apapun aku meneriakinya.
Aku menghela nafas panjang, mencoba mengusir rasa perih yang mendadak menyelimuti hatiku. Ada begitu banyak pertanyaan yang ingin ku utarakan pada mereka
semua yang hadir mengelilingiku, namun pada akhirnya aku hanya terdiam. Menjawab pertanyaan seperlunya dari dokter paruh baya itu. Mencoba menerka sejauh
mana Tuhan mengujiku. Sudah seminggu sejak kesadaran totalku, kini aku sudah bisa berbincang dengan lebih normal. Beberapa alat berat bahkan sudah dilepaskan. Namun dokter masih
belum mau membiarkanku pulang. Meskipun aku sudah benar-benar bosan berada di rumah sakit itu.
Kata dokter kalau hasil test nya sudah keluar sore ini kau bisa pulang. Ujar bibi dengan sangat lembut. Ia membelai kepalaku penuh kasih, membuatku merasa
sangat bersalah. Bibi& maafkan aku& bisikku tulus. Bibi merengkuh wajahku dengan kedua telapak tangannya, memberikan kehangatan yang begitu nyaman. Aku sudah melukai
perasaan bibi. Aku sudah berbuat jahat pada bibi&
Sstt& tidak, kau tidak boleh menangis. Tidak boleh lagi ada air mata. Kau harus tersenyum anakku." Kau harus tersenyum, bibi mengusap air mataku dengan
perlahan, Dengarkan bibi, sampai kapanpun bibi adalah keluargamu. Ingat itu! Bibi sangat menyayangimu Zahra& kau tidak pernah tau betapa takutnya bibi
kehilanganmu& Aku memeluk bibi dengan sangat erat, menangis tersedu di balik pundaknya, membiarkan air mataku membuat bulatan-bulatan kecil pada kerudung biru tuanya.
Ia membelai-belai lembut punggungku, menenangkanku.
Ya Allah& hamba benar-benar minta maaf& bagaimana mungkin hamba bisa menutup mata dari seluruh kasih sayang yang Kau tunjukan selama ini, melalui tangan-tangan
lembut mereka& melalui hati-hati tulus mereka&
Pintu kamarku perlahan terbuka. Anna, Aisyah dan Anisa langsung berjalan mendekati ranjangku, disusul oleh Raka tepat di belakang mereka. Anna menggenggam
tanganku dengan lembut, membuatku tak bisa menahan senyuman haru yang muncul tulus dari dalam dadaku. Raka menggendong Anisa dan Aisah hingga bisa duduk
di atas ranjang. Aku bahkan sangat merindukan celoteh kedua mahluk kecil yang teramat manis ini.
Ini untuk kak Zahra. kata Aisyah sambil menyerahkan setangkai bunga lavender. Aku mengernyit dan melirik vas Kristal di atas meja kecil di sampingku.
Bunga-bunga lavender di sana masih begitu segar, namun kini Aisyah membawakanku setangkai lagi.
Terima kasih& balasku dengan lembut.
Kak Zahra tau apa arti bunga lavender" tanya Anisa dengan wajah lugunya. Aku mengernyit dan menggeleng.
Bunga Lavender itu artinya penantian cinta. Kini Aisyah yang berkata. Aku tersenyum geli menatap mereka, kemudian melirik Anna yang juga menatap bingung
putrinya. Sejak kapan kalian mengenal masalah cinta" tanya Anna lembut. Kedua gadis itu saling berpandangan sambil tersenyum geli penuh rahasia. Raka terkekeh
dan menggeleng-geleng melihat tingkah putri-putri kecil itu.
Raka merangkul Anisa dan Aisyah secara bersamaan, Kalian memang harus mengenal masalah cinta itu. Tapi yang harus kalian ingat adalah, Cinta pertama kalian
harus-hanya-kepada Allah. Ujar Raka dengan penuh penekanan di setiap kata-katanya. Kedua gadis itu mengangguk penuh semangat.
Iya& yang pertama itu Allah& lalu bunda Anna, lalu ummi Aisyah, lalu kak Zahra, ayah Raka, Kak Amy, Kak Arya, Ayah Alan, eyang, nenek Luna dan kak Raihan!
ujar Aisyah seraya menghitung dengan jemari kecilnya. Ada sentakan aneh di dadaku ketika mendengar nama itu, namun sebisa mungkin aku menyembunyikannya,
mencoba tetap bersikap normal. Bibi membelai lembut buku-buku jemariku, dan tersenyum menenangkan.
Bibi akan menemui dokter dulu,
Biar aku temani ummi, ujar Anna. Namun bibi menggeleng, membuat Anna kembali duduk di kursinya, di sampingku.
Hanya berselang lima menit dari kepergian bibi, pintu kamarku kembali terbuka. Kakek Darmawan mendorong kursi roda tante Luna masuk, mereka tampak sehat,
dan aku bersyukur karenanya. Kakek Darmawan mencium puncak kepalaku dengan penuh kasih, sedangkan tante Luna mencium kedua pipiku. Mata indahnya tampak
sedikit berkaca-kaca ketika memandangku, dan entah bagaimana itu membuatku merasa begitu nyaman, begitu dicintai.
Aku mengernyit ketika tidak lama kemudian Arya dan Amy memasuki kamarku. Seorang pria seumuran kakek tampak berjalan mengikuti mereka. Aku tidak tau bagaimana
harus bersikap kepada Amy, ada banyak hal yang ingin ku jelaskan kepadanya, namun aku masih belum memiliki kesempatan untuk berbicara empat mata dengannya.
Bahkan kini rasanya kamarku mulai penuh sesak oleh orang-orang yang datang mengunjungiku.
Amy tersenyum tipis seraya menggenggam jemariku. Begitu banyak hal yang ingin ku katakan padanya, begitu banyak ungkapan maaf yang perlu ku sampaikan.
Maafkan aku& bisikku tulus. Gadis itu menggeleng perlahan.
Aku yang seharusnya mengatakan itu. Maafkan aku Zahra, aku tidak tau jika kau dan Raihan saling mencintai. Hampir saja aku menghancurkan cinta itu.
Kau tidak salah sama sekali& ujarku perih.
Amy menyeka air mataku dengan lembut, Tapi semuanya bukan masalah lagi sekarang, kau bisa tenang karena kami sudah menikah. bisik Amy ditelingaku. Mataku
langsung terbelalak lebar mendengarnya. Aku memang mencintai Raihan, tapi bukan ia pria yang ku yakini akan menjadi imam terbaikku. Pria inilah orangnya.
Amy tersenyum manis penuh kebahagiaan seraya melirik sosok Arya yang berdiri di sampingnya. Aku sama sekali tidak bisa menahan air mata haru yang perlahan
membanjiri pelupuk mataku.
Tapi bagaimana dengan masalah ibunya" tanyaku ngeri.
Masalah wanita itu, hanya sebuah kesalah pahaman. Ujar Arya menambahkan.
Wanita itu" tanyaku bingung. Arya mendesah lelah kemudian melirik bapak tua yang berdiri di sampingnya.
Hahahaha& maaf sudah membuat keributan sebelumnya. Ujar bapak itu, nada suaranya yang ramah benar-benar mengingatkanku pada sosok Arya. Aku ayah Arya.
Wanita yang datang menemuimu dan menantuku adalah istri ketigaku. Ujarnya tanpa malu-malu, membuatku spontan ternganga mendengarnya. Aku juga ingin meminta
maaf sekali lagi padamu, ia memandang Amy dengan penuh kasih. Ayah tidak tau kalau kau banyak terluka karena Keke,
Aku baik-baik saja ayah. Ah& kau begitu lembut& kau sangat mirip dengan almarhumah ibu Arya&
Ayah! Dia istriku, tegur Arya kesal. Bapak itu tertawa lebar sambil menggaruk bagian belakang kepalanya. Tapi aku masih tidak mengerti dengan apa yang
terjadi. Aku melirik Amy meminta penjelasan lebih. Dan bagaimana mungkin mereka bisa tega-teganya menikah tanpa menungguku"!
Beberapa hari kemudian saat aku akhirnya memiliki kesempatan berbincang berdua dengan Amy, barulah ia menjelaskan segalanya. Tentang almarhumah ibunda
Arya yang dikuburkan di Mekah, tentang ayahnya yang kesepian, tentang ibu mertuanya yang pencemburu, yang ternyata istri ketiga dari ayah mertuanya, tentang
kebenciannya akan poligami yang dilakukan suaminya sendiri hingga tega-teganya berkata demikian kepada Amy, menolaknya dengan menggunakan masa lalunya
sebagai senjata. Aku tidak pernah bermasalah dengan poligami. Tidak sama sekali, dan masalah anakmu. Kau tenang saja, aku bahkan tidak ingat menemukan Arya dimana& seloroh
bapak tua itu. spontan kami semua tertawa mendengarnya. Namun aku mengerti maksudnya, aku mengerti betapa ia berjiwa besar dan penyayang, sama seperti
putranya. Betapa ia mencintai istri pertamanya, bahkan meski kini ia sudah tidak ada. Bagaimana dengan keadaanmu, nak" tanya bapak itu seraya memandangku.
Aku tersenyum santun dan mengucapkan Alhamdulillah atas keadaanku saat ini. Ah& kau sangat cantik, sangat mirip dengan almarhumah ibunda Arya, mungkin
kau bisa& Ayah! potong Arya gemas. Aku terkekeh geli ketika menyadari maksud perkataan bapak yang begitu ramah itu.
Maaf pak, tapi gadis itu sudah memiliki kekasih.
Aku tersentak kaget ketika mendengar suara itu. Kami semua langsung menoleh ke arah asal suara itu. Jantungku terasa berhenti begitu saja ketika melihatnya
berdiri disana, begitu tampan dan mempesona. Sosok itu tersenyum angkuh seperti biasa, namun aku bisa merasakan tatapan penuh cintanya yang mampu membuatku
terbuai sedemikian rupa. Aku tidak tau sudah berapa lama aku tidak pernah melihatnya, namun rasanya rindu itu sudah menggunung di dadaku. Membuatku ingin menangis karena kebahagiaan
yang tiba-tiba muncul di hadapanku. Ia berjalan perlahan tanpa mengalihkan pandangannya dari mataku. Ditangannya sebuket bunga lavender tampak berseri
indah. Selamat pagi cantik, bisiknya di telingaku. Assalamualaikum& tambahnya. Dan aku benar-benar tidak bisa menyembunyikan tangis bahagiaku.
Kemana saja kau" tanyaku terbata-bata.
Mencari penghulu. Ujarnya dengan tatapan geli. Aku mengernyit bingung ketika ia berbalik, memanggil seorang pria berjas hitam.
Apa-apaan ini" tanyaku bingung. Bahkan tiba-tiba saja Hanna, Andhini, Risa berserta Damar sudah berada di kamarku. Ummi datang bersama dokter dan beberapa
suster, membuat kamar rawat inapku benar-benar penuh oleh semua orang. Raka menggendong Aisyah, sedang Arya menggendong Anisa dari ranjangku, memberikan
akses yang lebih luas pada Raihan dan orang yang ia sebut sebagai penghulu.
Kita akan menikah, ujar Raihan, kini suaranya terdengar sedikit gugup. Aku membulatkan mataku tidak percaya. Dengan kikuk aku menatap satu persatu wajah
di sekeliling kami. Semuanya, tanpa terkecuali, tampak memasang satu senyuman yang sama, satu jenis tatapan yang sama pula. Tatapan kebahagiaan.
Jadi ini adalah rencana kejutan mereka""" Rasanya aku ingin memeluk semua orang saat itu juga. Aku ingin mengucapkan seluruh kata terima kasih atas air
mata haru penuh keindahan itu.
Tiba-tiba mataku menyipit ketika melihat sosok di sampingku tersenyum lebar penuh kebanggaan. Tapi aku belum mengatakan iya kepadamu. tudingku kesal.
Raihan menyisir rambutnya dengan jemarinya, wajahnya tampak gemas pada sikapku.
Dengar nona Zahra, aku tidak pernah menanyakan apakah kau mau atau tidak menikah denganku, jadi aku tidak perlu menunggu jawabanmu. Ujarnya sombong.
Aku menatapnya tidak percaya. Apa-apaan dia"!!
Bagaimana kalau aku tidak mau menikah denganmu.
Aku tidak peduli. Ujarnya. Mau ataupun tidak, kau akan tetap menikah denganku! ujarnya tegas. Aku melirik Ummi meminta bantuan, namun tampaknya saat
ini semua orang lebih mendukung sosok angkuh di sampingku. Ayo pak, segera dimulai. Ujarnya tak sabar.
Tunggu. Potongku cepat. Raihan mendengus kesal kemudian menoleh kepadaku. Apa kau benar-benar ingin menikahi seorang wanita yang lumpuh sepertiku"
tanyaku pelan. Wajah angkuhnya perlahan mencair, melembut dan penuh kasih.
Kau akan sembuh. Bisiknya begitu lembut. Dan kalaupun kau kehilangan sebagian organ tubuhmu, kalaupun kau lumpuh selamanya, aku akan tetap mencintaimu.
Aku akan tetap menikahimu. Karena aku sadar, hanya denganmu lah aku bisa menemukan kebahagiaan itu. Kau yang sudah membawaku kembali untuk menemukan cahaya
kebenaran itu, kaulah wanita yang ku cari selama ini, jodoh yang dituliskan Tuhan untukku. Air mataku menetes perlahan ketika mendengar kata-kata indahnya.
Subhanallah, aku sangat mencintainya ya Allah& sangat mencintainya&
Ummi dan tante Luna menyeka air mata haru mereka secara bersamaan. Amy tersenyum lembut kepadaku, Anna bahkan menangis haru di pundak suaminya. Sedang
ketiga sahabatku tidak bisa lagi menyembunyikan rona kebahagiaan mereka.
Raihan, Raihan Reynaldi Al-Farizi& aku mencintaimu karena Allah. Karena agama yang ada pada dirimu. Jangan lepaskan lagi, jangan biarkan agama itu pergi.
Karena jika kau hilangkan agama itu dari dirimu, maka hilanglah cintaku padamu. Bisikku sungguh-sungguh. Raihan menatapku dengan sangat tulus. Kemudian
ia mengangguk. Insya Allah, untuk kali ini, aku akan menjaganya. Takkan ku biarkan lepas lagi. ujarnya seraya tersenyum lembut, kemudian ia berbalik, menjabat uluran
tangan penghulu dengan keyakinan sepenuhnya. Dan ketika ia mengucapkan kalimat dua syahadat itu, aku tau dia mencintaiku. Sangat mencintaiku&
Terima kasih ya Allah& terima kasih atas semua cinta yang telah Engkau berikan kepada kami& terima kasih banyak&
Ayah, bunda& akhirnya aku menemukan pelangi itu. Tidak berwarna memang, hanya hitam dan putih. Namun itu saja sudah cukup& aku merasa sangat bahagia karenanya.
Aku sangat mencintai pria ini. Ku mohon, restuilah kami&
*** 4 bulan kemudian Aku yakin ayah sangat bahagia bertemu dengan kakek, bisikku pelan. Raihan meremas jemariku dengan lembut, mengiyakan perkataanku tanpa mengalihkan pandangannya
dari tiga pusaran di hadapan kami.
Bagaimana pendapatmu tentang pinangan ayah Arya pada bibi" tanya Raihan. Aku mendesah dan memutar bola mataku.
Aku tidak yakin. Tapi mereka saling mencintai.
Tapi ayah Arya itu mata keranjang!
Tapi sekarang kelihatannya serius.
Sejak kapan kau jadi sok tau begitu"!
Aku memang selalu tau. Kau benar-benar besar kepala!
Ini kenyataan, kau tidak bisa memisahkan mereka.
Aku tidak sedang memisahkan siapapun. Aku hanya ragu!
Keraguanmu itu menyakiti mereka.
Kalau begitu biar saja mereka mengurus masalah mereka sendiri. Mereka sudah sama-sama dewasa, kita tidak perlu ikut campur!
Aku hanya sedang memikirkan.
Lalu tiba-tiba hujan turun begitu saja, mengguyur kami tanpa peringatan.
Ya Allah.. hujan, ayo cepat ke mobil, ujarnya seraya berbalik pergi.
Tunggu! Apa lagi" ayo cepat, atau kau akan basah kuyup.
Tapi aku tidak bisa berlari! teriakku ditengah-tengah guyuran hujan. Raihan memicingkan matanya sambil menatap kedua kakiku.
Jangan banyak alasan, kau sudah sembuh total sejak dua bulan yang lalu! ujarnya gemas.
Iya, tapi dokter bilang aku tidak boleh berlari!
Zahra" ia menghentikan langkahnya dan berbalik memandangku yang masih belum beranjak dari samping makam orang tua dan kakekku. Matanya menyiratkan sebuah
kecemasan yang entah bagaimana membuatku begitu bahagia.
Karena aku sedang hamil. Kataku tak acuh. Sedetik kemudian aku merasa tubuhku melayang, dan ketika tersadar aku sudah berada di dalam dekapan pria yang
paling ku cintai. Turunkan aku! pekikku ngeri.
Diam. Aku sedang menggendong istri dan calon jagoanku. Ujarnya angkuh. Aku terkikik geli di balik dadanya. Lagi pula siapa juga yang mau turun dari dekapannya"!
Aku membenamkan kepalaku di balik dadanya yang bidang, merasakan kehangatan yang terpancar dari dalam dirinya, mendengarkan detak jantungnya yang menenangkan.
Kini aku bebas menghirup dalam-dalam aroma maskulin priaku, dan aku tidak pernah menyia-nyiakannya.
"Aku sangat mencintainya, aku mencintai amarahnya, aku mencintai gumaman kesalnya, aku mencintai wajahnya ketika tengah terlelap, aku mencintai gurauannya
yang kadang tidak mengundang tawa, aku mencintai usaha gigihnya ketika belajar memasak, aku mencintainya yang tengah sibuk dengan pekerjaannya, aku mencintainya
mimik seriusnya ketika berhadapan dengan kertas dan laptopnya, aku mencintai suaranya ketika menjadi imam di setiap shalatku, aku mencintai dekapannya,
aku mencintai kejahilannya ketika menggangguku tidur, aku mencintai kecupan lembutnya di setiap pagi, aku mencintai senyuman miringnya yang sangat mempesona,
aku mencintai belaian menenangkannya ketika aku merasa lelah dan terluka, aku mencintainya yang mencintaiku apa adanya, aku mencintai ia yang telah membawa
pelangi hitam putih dengan berjuta kehangatan ke dalam duniaku. Begitu banyak yang ku cintai dari pria ini, hingga meski aku menghabiskan hidupku untuk
menuliskannya, itu takkan pernah selesai tertulis. Aku mencintainya yang mencintai Allah dengan sangat tulus.
Turunkan aku, ujarku ketika kami sudah sampai di parkiran pemakaman umum tempat ayah bunda dan kakekku dimakamkan.
Tidak. Bagaimana jika ada yang melihat.
Aku tidak peduli! ujarnya tak acuh, kemudian mempererat dekapannya, seakan aku tidak memiliki bobot sama sekali. Lagi pula kita sedang di pemakaman,
dan hujan sangat deras. Mana mungkin ada orang yang sengaja berolah raga di sini. Guraunya. Aku tidak ingin tersenyum mendengarnya, namun nyatanya pria
ini selalu bisa mengukir pelangi dihatiku. Bahkan meski hujan itu belum berhenti menetes, seperti hari ini.
Ada yang melihat kita! ujarku bersikukuh, sebisa mungkin menunjukan wajah kesalku.
Siapa"! tantang Raihan seraya mengedarkan pandangannya. Aku melirik kebalik lengan kekarnya.
Ayah, bunda dan kakek& bisikku penuh kasih. Raihan menghela nafas panjang, kemudian aku bisa melihat senyuman indahnya kembali terukir. Ya Allah, bagaimana
mungkin wajahnya bisa berubah semakin tampan setiap kali aku melihatnya.
Biar saja mereka melihat. Aku yakin mereka semua akan senang melihatku menggendong ratu dan calon jagoan kecilku. Ujarnya santai. Aku terkekeh pelan


Pelangi Hitam Putih Karya Cherry Ashlan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan kembali menyembunyikan wajahku di dadanya.
Tapi tunggu dulu, jagoan katanya"! Aku menginginkan seorang putri untuk anak pertama kami, seperti Anna yang memiliki Aisyah dan Amy yang memilik Anisa!
Dia perempuan. desisku dalam dekapannya.
Jangan bergurau, dia pasti jagoan kecilku! aku mendongkakkan kepalaku, berusaha menatap wajahnya, namun gagal.
Dia perempuan! Aku ibunya, aku bisa merasakannya!
Dia putraku. Tidak perlu diperdebatkan lagi.
Tapi dia perempuan, Dia seorang jagoan Zahra!
Pokoknya perempuan! Jangan pernah kau dandani jagoanku dengan pakaian perempuan!
Dia memang perempuan kok! ujarku tak mau kalah. Dan perdebatan kami tidak pernah berhenti di sana. Seperti yang ku katakan, hidup bersama Raihan tidak
pernah menjanjikan pelangi berwarna-warni pada umumnya. Hanya ada pelangi hitam putih, namun di balik itu semua, aku bisa merasakan berjuta warna yang
lebih indah, yang dengan sekuat tenaga ia coba hadirkan diantara kami.
Raihan tidak pernah mengalah padaku, namun aku tidak pernah bisa marah akan hal itu, karena pada akhirnya, aku akan kembali luluh ketika ia mencium keningku
dengan penuh kasih di tengah-tengah argumennya, menunjukan apapun yang kami perdebatkan tidak akan mengurangi sedikitpun rasa cintanya padaku. Tepat seperti
rasa cintaku kepadanya. Kepada pria pemilik pelangi terindah dalam hidupku itu.
Terima kasih ya Allah, Terima kasih atas semua senyuman ini, terima kasih banyak.
Dengar. ujarnya seraya mendudukanku di kursi penumpang, ia membungkuk sejenak di depan pintu mobilnya, menatap wajahku lekat-lekat. Apapun itu, entah
seorang putri atau jagoan kecil, asalkan itu lahir dari rahimmu, aku akan mencintainya. Ujarnya sungguh-sungguh, kemudian dengan cepat ia mengecup keningku,
membuatku melongo menatapnya. Aku memandang sosok yang tengah berjalan menuju kursi kemudi itu dengan senyuman mengembang. Lihatkan, betapa mudahnya ia
membuatku jatuh cinta kepadanya.
The End Tangerang. 12 July 2013 21:57 PM " Gajahmada 9 Autumn In Paris Karya Ilana Tan Duel Di Puncak Lawu 3
^