Pencarian

Pelangi Hitam Putih 2

Pelangi Hitam Putih Karya Cherry Ashlan Bagian 2


kalinya aku benar-benar merasa gugup. Dan ini sungguh menggelikan, mengingat aku tidak pernah merasakan semua rasa ini sebelumnya.
Oh, ujarnya datar. Asal kau tau, aku ingin agar kau segera sembuh. Karena aku juga masih banyak pekerjaan selain merawatmu di sini! aku harus mengajar
ke panti, menyelesaikan kuliahku. Dan banyak hal lain yang lebih penting yang harus ku lakukan dari pada hanya sekedar merawatmu! tuturnya geram.
Kalau begitu berhenti merawatku!
Oh, tentu. Dengan senang hati. Lagi pula sepertinya kau lebih nyaman dirawat oleh perawat biasa! bentak gadis itu sambil meletakan bungkusan obat yang
tengah di bukanya. Kemdian meraih tas tangannya yang tergeletak di atas lemari es. Aku terbelalak tidak percaya ketika gadis itu benar-benar membuka pintu
dan berlalu pergi. Ya Tuhan!!! Lagi-lagi aku menyesali perkataanku beberapa saat yang lalu. Tapi, jika dia memang tidak pernah ingin benar-benar merawatku, untuk apa ia mencegahku pergi
beberapa hari yang lalu"!
Aku mengacak rambutku dengan frustasi ketika otakku tidak bisa menemukan titik temu tentang gadis itu.
Nasi sudah menjadi bubur, kau tidak perlu menyesalinya, karena tidak ada yang bisa kau lakukan untuk mengubahnya lagi menjadi nasi. Aku menoleh kearah
pintu, kakek berdiri di sana dengan senyuman tuanya yang menunjukan sosok sok tahunya. Kedua tangannya tersembunyi di balik saku celananya. Perut buncitnya
menyembul sedikit di balik jas hitam yang ia kenakan. Tadi kakek lihat Zahra di tempat parkir.
Jadi dia benar-benar pergi"! tanyaku frustasi. Kakek terkekeh dan mengangguk.
Gadis itu tidak pernah main-main dengan perkataannya. Ujar kakek sambil berjalan mengitari kamar rawat inapku. Ia berdiri sejenak di samping meja kecil
di depan sofa, sudah ada vas baru di sana dengan buket mawar merah yang sangat cantik. Ia benari mengambil keputusan, bahkan yang terekstrim sekalipun.
Tambahnya, dengan perlahan ia memetik daun yang mulai menguning pada salah satu tangkai mawar itu. Tapi di balik itu semua, ia juga seorang gadis biasa.
Yang begitu rapuh& dan butuh perlindungan. Ia hanya terlalu angkuh untuk sekedar menyadari kerapuhan dirinya sendiri.
Aku terdiam sejenak, mencoba meresapi seluruh kata-kata pria tua yang biasanya selalu menjadi sainganku dalam setiap hal itu. Hanya pria bermental baja
yang akan bisa bertahan dengannya. Ujar kakek dengan senyuman miringnya yang bijaksana. Kalau saja kakek tidak mencintai almarhumah nenekmu sedalam ini,
mungkin kakek sudah mendekatinya.
Aku terkekeh sarkastis. Jadi kakek merasa memiliki mental yang kuat" ejekku.
Wah, nenekmu tidak jauh berbeda dengannya. Dia juga seorang wanita yang sangat keras kepala. Tapi dia adalah wanita yang paling berharga. Mata tua kakek
menerawang jauh ke luar jendela. Senyuamannya mengembang dengan mimic yang begitu tenang, mimic yang selalu muncul ketika ia mengingat tentang nenekku
yang sudah berpuluh-puluh tahun yang lalu pergi dari muka bumi ini. Aku termenung sejenak, jika suatu saat nanti Tuhan mengambil gadis itu dari muka bumi
ini, bisakah aku tersenyum tenang seperti yang kakek lakukan saat ini" Bisakah aku merelakannya"
Pemikiran itu langsung mengubah suasana hatiku. Ketakutanku akan kehilangannya membuat seluruh tubuhku menggigil. Tidak, aku bukan kakek, aku tidak mungkin
bisa dengan tenang melewati kelamnya malam tanpa sosok gadis itu. Jadi mungkin aku memang bukan pria bermental kuat seperti yang dimaksudkan kakek.
Apa yang seharusnya ku lakukan" bisikku pada akhirnya, mulai menyerah pada egoku yang biasanya ku junjung tinggi. Namun ketakutanku akan kehilangannya
membuat jiwaku menciut ketakutan.
Sampai kapanpun aku tidak akan pernah bisa hidup tanpanya. Sedang dia adalah gadis yang sangat kuat, dan aku bersyukur karenanya. Karena jika pada akhirnya
waktuku habis, dia pasti akan tetap kuat menjalani hidupnya. Ya, dia harus kuat.
Perjuangkan cintamu. Ujar kakek dengan tatapan penuh semangat. Kau pasti bisa meluluhkan hatinya.
Bukankah kakek tau sendiri jika ia adalah gadis yang sangat keras. keluhku, kakek tertawa hambar sambil menggaruk kepalanya yang hampir botak dengan
perlahan. Kau benar juga& ujarnya miris.
Lalu bagaimana"! tanyaku frustasi.
Cari tau titik lemahnya, masuki zona nyamannya.
Kakek tau" tanyaku mulai menemukan secercah harapan. Namun ketika kakek menyeringai sambil mengangkat bahu, aku menyerah.
Aku berpikir sejenak sambil menatap buket mawar merah itu. Ah! Aku tau& ujarku berapi-api.
*** Aku menghela nafas panjang ketika melihat langit kembali terang setelah beberapa saat yang lalu mendung sempat menyelimuti langit pagi itu. Aku tidak pernah
menyukai hujan, tidak sama sekali. Hujan selalu meninggalkan jejak lumpur yang menjengkelkan. Namun aku menyukai pelangi, dan aku sadar pelangi itu tidak
akan pernah hadir tanpa hujan. Hujan dan pelangi, ah kata klise yang terdengar manis, hujan dengan kekelaman dan lukanya, pelangi dengan warna dan keceriannya.
Zahra!!! aku menutup telingaku ketika mendengar teriakan itu. Baru saja aku akan membaca kitab yang sedari tadi memang sudah terbuka lebar di hadapanku,
namun teman sepuluh ku, andhini dan Hanna, sudah merusak segalanya. Mereka berlari menerubus keramaian kelas kami, dan langsung menjatuhkan diri mereka
masing-masing di kursi kosong sekitar kursiku. Aku mengernyit sambil menatap mereka.
Apa" tudingku kesal. Hanna memegang dadanya yang tampak masih kesulitan bernafas setelah berlari dari lift sampai ke kelas. Andhini menyeringai lebar
sambil menatap wajahku lekat-lekat.
Mengapa kau tidak pernah mengatakan bahwa dia adalah pangeran kaya raya"!!! pekik Andhini sambil mengangkat majalah yang ia bawa. Aku mengerutkan keningku
tidak mengerti. Siapa yang sedang mereka maksudkan"
Astaga!! Dia benar-benar sempurna& tampan, dan kaya raya! Kau benar-benar beruntung. Hanna turut menimpali dengan mata berbinar.
Tunggu, siapa yang kalian maksud" tanyaku bingung. Seringaian Andhini mencibir kemudian menunjukan majalah yang di bawanya ke hadapanku.
Reynaldi dia pangeran yang selalu memaksamu untuk pulang bersamamu kan"! Andhini menunjuk-nunjuk sebuah foto besar di halaman muka majalah itu. Aku mengernyit
dan memalingkan wajahku, merasa jengah dengan apa yang ada di hadapanku. Kau sangat beruntung& desisnya tanpa sekalipun mengalihkan pandangannya dari
majalah itu. Aku tersenyum sarkastis. Yang beruntung itu adalah orang-orang yang bisa bersama dengan orang yang dicintainya. Gumamku pelan, mataku nanar menatap lapangan
parkir dari balik jendela kelasku di lantai lima. Andhini memalingkan wajahnya kemudian menarik kursi di sampingku tanpa berkata-kata lagi. Ia mendesah
lelah kemudian menyibukan diri dengan majalah yang di bawanya. Gadis yang begitu mudah terpengaruh keadaan.
Hanna meringis menatapku dan Andhini. Ia menarik sebuah kursi di dekatnya dan membalikannya hingga menghadap kami. Kalau begitu cobalah mencintainya Zahra!
Ia adalah pangeran modern, pria yang digila-gilai banyak wanita. Dan hebatnya dia malah MENCINTAIMU!! tutur Hanna dengan mata berbinar.
Dia tidak mencintaiku- Hanya orang bodoh yang tidak melihat cintanya kepadamu. Andhini menimpali dengan gemas. Aku mendengus tak percaya. Dan mungkin kau memang satu-satunya
orang bodoh di sini. Kau pikir untuk apa dia melakukan perjalanan sejauh itu untuk hanya menjemputmu selama ini"!
Oke. Oke! Mungkin aku memang bodoh. Mungkin kalian benar, dia mungkin memiliki rasa untukku. Tapi aku sama sekali tidak mencintainya!
Zahra, bisakah kau tidak menyia-nyiakan orang yang mencintaimu"! bentak Andhini, ia menutup majalahnya dengan keras. Kedua mata indahnya menatap tajam
mataku. Aku& Ini seperti kau harus memilih antara mencintai dan dicintai. Tutur Hanna lebih lembut. Ia menggenggam tanganku dengan perlahan. Kata-katanya membuatku
berpikir sejenak, dan anganku langsung menghampiri sosok yang paling ku cintai. Tapi akan lebih mudah jika kau hidup dengan orang yang mencintaimu, tambahnya.
Aku ingin hubungan yang saling mencintai, bukan dicintai atau mencintai secara sepihak. Bisikku perih.
Sakit bukan"! Tanya Andhini sinis. Aku menatap tidak mengerti kepadanya. Sakit bukan, ketika kau mencintai seseorang secara sepihak" ia tersenyum tipis,
nada ketus dan mencibir dari suaranya membuatku curiga. Kau sudah merasakannya bagaimana sakitnya, lalu mengapa sekarang kau malah membiarkan orang lain
merasakan sakit itu"!
Apa maksudmu"! Jangan berpura-pura Zahra. Kami semua tau apa yang terjadi padamu. Aku hanya tidak habis pikir bagaiamana mungkin kau bisa menutupi cintamu pada Reynaldi
selama itu" Aku tidak mencintainya! bentakku kesal. Lagi-lagi gadis itu memberikan senyuman sinis penuh cibiran.
Kalau begitu cobalah untuk mencintainya& ujar Hanna menenangkan.
Aku tidak bisa mencintainya! ujarku tegas.
Lalu mengapa kau menahannya pergi saat itu" tanya Andhini. Aku mengernyit ketika mendengar pertanyaannya. Dari mana ia mengetahui semua itu.
Aku tidak tau. Tapi yang ku tau, aku tidak akan pernah mencintainya.
Itu karena kau tidak pernah membuka hatimu! Kau selalu menutup seluruh indramu akan cintanya! Kau sengaja membutakan matamu sendiri dari kisah itu! tuding
Andhini. Wajah cantiknya memerah kesal. Nafasnya tersenggal-senggal karena teriakan itu, dan aku sendiri sudah tidak bisa membalasnya. Kemarahanku sendiri
sudah sampai ke puncak kepalaku dengan alasan yang sama sekali tidak ku mengerti.
Dengan cepat" aku memalingkan wajahku, meraup seluruh barangku yang tergeletak di atas meja, memasukannya dengan kasar ke dalam tas lalu berlalu pergi
dari hadapan mereka. Aku tidak peduli dengan tatapan heran dari orang-orang di dalam kelas itu, aku sudah tidak peduli pada teriakan Hanna yang terus memanggilku,
bahkan hingga akhirnya suaranya menghilang ketika pintu lift di hadapanku tertutup rapat.
Aku menghela nafas panjang ketika sampai di lantai dasar gedung fakultasku. Mulai merasa lelah pada diriku sendiri, kemudian tangis itu pun pecah untuk
kesekian kalinya. *** Jam tanganku baru menunjukan pukul satu siang ketika akhirnya aku sampai di gerbang panti. Aku berjalan lesu menuju gedung utama. Yang kini ada di pikiranku
adalah kamarku yang gelap, ranjangku yang nyaman, dimana aku bisa merebahkan tubuh lelahku, menumpahkan seluruh air mataku ke atas bantal hati yang selalu
menjadi sahabat tidurku. Aku mengernyit ketika mendengar suara tawa yang cukup ramai dari dalam kantor. Tasku jatuh begitu saja dari pundakku ketika aku sampai di ambang pintu.
Sosok-sosok di ruang tamu itu langsung menoleh dan tersenyum ramah, menyapaku. Aku ingin membalas sapaan ramah mereka, namun melihat sosok itu di tengah-tengah
mereka, hatiku mulai terasa kebas karena kelelahan yang teramat sangat.
Apa tidak bisa sejenak saja aku terbebas dari sosok itu"!
Untuk sementara Raihan akan tinggal di sini. Ujar ummi. Aku menatap sosok berjilbab coklat itu dengan tatapan tidak percaya.
Well, ini memang tempat penampungan, tentu saja setiap orang bisa tinggal di sini. Ujarku ketus. Ummi menegurku dengan tatapannya.
Aku hanya ingin mempermudahmu untuk merawatku. Ujar Raihan angkuh. Aku mencibir sarkastis.
Lakukan sesukamu tuan hebat! ujarku lelah kemudian melenggang masuk ke dalam kamarku. Aku bahkan tidak menyapa kakek Darmawan atau tante Luna yang duduk
di sana, bahkan Anna dan Raka pun hanya seperti angin lalu bagiku. Aku hanya benar-benar merasa lelah saat ini.
*** Wartawan mulai mengetahui keberadaannya, ujar Anna seakan menjelaskan kepadaku. Aku tidak menanggapinya, ingin menunjukan ketidak pedulianku terhadap
apapun yang terjadi pada sosok itu. Kakek pikir, mungkin di sini ia akan lebih tenang menjalani masa pemulihannya. Lagi pula sampai saat ini mereka masih
belum tau jika Raihan mengalami kelumpuhan.
Kelumpuhan, Ya kata itu entah bagaimana menohok dadaku sedemikian rupa, hingga untuk sesaat aku sempat lupa bagaimana caranya bernafas. Aku membalik lembaran buku
tentang pembudidayaan bunga mawar itu dengan perlahan. Tatapanku mulai tidak focus, pikirannku berkelana entah kemana.
Raihan bisa menggunakan kamar Raka. Tambah Anna lagi. Saat itu sudah menjelang magrib, dan hanya ada kami di perpustakaan kecil itu. Karena hampir seluruh
penghuni panti sudah berada di mushola Al Ikhlas untuk shalat magrib berjamaah. Aku mengedarkan pandanganku pada sekeliling perpustakaan itu. Hanya ada
tiga rak besar di dalam ruangan itu, semuanya menutupi dinding bercat biru muda di baliknya, menyimpan buku-buku yang sudah terlampau tua untuk menjadi
bahan bacaan bagi anak-anak. Dua buah meja besar terdapat di tengah-tengah ruangan, tidak ada kursi sama sekali di sana, hanya beralaskan sebuah karpet
biru muda yang kasar sebagai alas duduk. Sebuah loker kayu Sembilan pintu berada tepat di bawah jendela perpustakaan tempat kami menyimpan alat-alat tulis
dan kartu-kartu perpustakaan yang tidak pernah terpakai.
Aku tersenyum sarkastis pada diriku sendiri ketika menyadari sebuah kenyataan pahit, walau bagaimanapun mungkin hidupku sudah terikat kepadanya. Karena
entah bagaimana aku merasa sedikit bertanggung jawab atas apa yang terjadi pada kedua kakinya. Konyol memang, tapi itulah yang kurasakan saat ini. Sebesar
apapun keinginanku untuk menghindarinya, aku tidak akan pernah bisa.
Zahra& aku tersentak kaget ketika Anna menyentuh pundakku. Sudah magrib, tidak baik kau melamun sendiri di sini, ujarnya lembut. Aku mengangguk pelan
dan beranjak untuk mengembalikan buku di pangkuanku ke rak buku-buku umum. Kemudian melangkah keluar perpus mengikutinya.
Kau akan menginap" Anna menghentikan langkahnya dan menoleh kepadaku, Tidak, seusai Raka dan Aisah shalat kami akan segera pulang. Ujarnya masih dengan suara lembut yang
begitu menenangkan. Aku terpaku menatap wajah cantik di hadapanku. Beberapa hari yang lalu mata indahnya masih meneteskan air mata yang sama denganku,
air mata ketakutan. Dan kini, mata indah itu sudah kembali berbinar. Anna begitu cantik, dan ssangat mudah dicintai. Meski aku pun menyayanginya, namun
sisi lain dalam diriku jelas merasa iri dengan apa yang ia miliki dan aku tidak. Ia terlalu sempurna untuk menjadi nyata.
Zahra& lagi-lagi Anna memanggilku dengan suara lembutnya, segores guratan cemas menghiasi kedua matanya. Aku tersenyum simpul dan mengangkat bahuku tak
acuh. Hati-hati kalau begitu, ujarku sebelum berlalu meninggalkannya di koridor gedung panti yang sunyi.
*** " Aku tersenyum puas pada bayangan di cermin itu. Ia memiliki struktur wajah yang begitu kokoh, yang selalu mendapat julukan tampan dari orang-orang yang
melihatnya. Matanya berwarna coklat cemerlang, terbingkai indah dengan sepasang alis yang tebal, namun yang membuat kedua mata itu menarik bukanlah hal
itu. Cahaya kehidupan yang kini terpancar dari balik iris coklatnya lah yang membuat semua tampak begitu mempesona. Binar indah yang sudah lama menghilang,
binar indah yang ia dapatkan setiap kali tatapannya menangkap sosok cantik itu.
Berhasil, ya aku berhasil memasuki gerbang pertahanannya yang pertama. Dan selama ini aku memang tidak pernah gagal, seakan kegagalan tidak pernah termasuk
dalam kamus kehidupanku. Aku adalah seorang pejuang. Sosok yang tidak akan pernah menyerah ketika menginginkan sesuatu. Terlebih gadis itu.
Ide tinggal di panti ini adalah ide yang paling cemerlang yang pernah ku dapatkan. Di tambah lagi dengan kelakuan-kelakuan bodoh wartawan itu, semuanya
seakan menyatu bagai pelengkap kamuflaseku untuk mendekatinya. Aku tau Zahra akan sangat marah, namun ia tidak akan mengusirku. Ia tidak akan pernah membiarkanku
terpuruk dalam kelumpuhan ini sendirian.
Lumpuh. Wajah di cermin itu menarik sebelah bibirnya hingga membentuk sebuah senyuman sarkastis. Kedua tanganku terulur untuk menyentuh lututku di balik selimut
tebal berwarna coklat. Aku benar-benar bangga kepada diriku sendiri yang ternyata bisa bertahan sedemikian rupa. Saat itu, aku memang sengaja memisahkan
diri dari kelompokku ketika kami sudah menemukan Raka. Sedikit na?"f memang, tapi aku bersyukur ia baik-baik saja, dan saat itulah aku memutuskan untuk
memberikan apa yang gadis itu inginkan. Kematianku. Untuk kali pertamanya aku merasa begitu terguncang atas penolakan sosok indah itu. kata-katanya tersengar
seperti sebuah tantangan dalam benakku, memintaku menjemput kematianku sendiri. Dan aku melakukannya.
Meski pada akhirnya Tuhan berkata lain.
Malam itu, ketika pertama kalinya aku menemukan sosok lain dari gadis itu, aku tau aku sudah melukainya. Aku hampir saja menyerah, karena aku tau segala
sesuatu tentang diriku hanya akan membuatnya terluka, hingga aku memutuskan untuk pergi. Ketika ia menahanku, aku tau jika aku masih memiliki sebuah kesempatan.
Zahra memang gadis yang keras kepala, ia adalah gadis terangkuh yang pernah ku temui, namun di balik semua itu ia adalah gadis biasa yang begitu rapuh.
Seperti yang kakek tua itu katakan. Aku hanya perlu sedikit bersabar, dan tetap berada di sampingnya. Aku akan meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia memang
mencintaiku. Ketukan dipintu kamarku sontak membuyarkan sleuruh lamunanku. Aku berbalik dan mendorong kursi rodaku menuju pintu. Anna tersenyum manis ketika melihatku,
aku tau ia sudah berusaha keras menyembunyikan tatapan iba yang paling ku benci, namun aku tetap bisa melihat goresan perih di mataku setiap kali ia memandangku.
Seakan-akan ia merasa bersalah atas apa yang terjadi pada diriku saat ini.
?"Aku dan Raka akan pulang dulu, kami masih harus membereskan kepindahan kami,?" ujarnya, suaranya terlalu lembut hingga membuatku merasa muak.
?"Ibu akan membantumu.?" Ujar ibu yang entah sejak kapan berdiri di belakang Anna.
?"Tidak ibu. Aku dan Raka bisa menyelesaikan semuanya, ibu tinggalah di sini bersama Raihan.?" Ujarnya. Aku mendengus kesal, apa aku tampak selemah itu"
mengapa semuanya tampak begitu memuakan dengan tatapan iba mereka. Seakan aku adalah seorang pria yang tak berguna, yang tidak bisa melakukan apapun.
?"Kalian berdua tenanglah. Aku tidak selemah itu. Aku akan baik-baik saja dengan atau tanpa kalian.?" Tuturku kesal. Anna tersenyum tipis, namun ibu masih
menatapku dengan tatapan khawatirnya.
?"Dia akan baik-baik saja,?" ujar Kakek tiba-tiba. Wajah tuanya tersenyum penuh arti kepadaku, mau tidak mau itu membuatku tersenyum geli.
?"Kami akan menemani paman Raihan di sini?"?" tiba-tiba segerombolan bocah kecil menghampiriku. Ya Tuhan! Bahkan kini anak-anak kecil itu pun turut menganggap
remeh diriku. ?"Paman Raihan tidak akan kesepian.?" Ujar gadis kecil berjilbab kuning yang ku kenal sebagai sahabat dekat Aisah.
Aisah yang berdiri di tengah-tengah rombongan cilik itu tersenyum ramah padaku. Ia menyentuh pergelangan tanganku dengan lembut. ?"Aisah sudah menitipkan
paman Raihan pada teman-teman Aisah di sini, mereka akan menemani paman selama Aisah tidak ada. Sekarang Aisah harus pulang dulu untuk membereskan kamar
Aisah. Besok Aisah pasti kemari lagi.?" Ujarnya dengan senyuman manisnya, wajah lugunya membuat kemarahanku terkubur begitu saja. Semenyebalkan apapun kata-kata
gadis kecil itu, aku tidak akan pernah bisa marah kepadanya. Pada akhirnya aku malah mengangguk pelan dan membelai kepalanya.
?"Cepat kembali lagi,?" aku tidak pernah berniat merajuk kepada siapapun. Tidak pernah!! Tapi entah mengapa nada suaraku malah terdengar begitu lemah. Dan
itu membuatku muak pada diriku sendiri. Namun lagi-lagi senyuman tulus dan anggukan penuh semangat gadis itu mampu mengusir rasa muakku. Ia mengulurkan
tangan kecilnya dan memelukku, kemudian berbalik kepada rombongan kecil sahabatnya.
?"Aku titip paman Raihan yah teman-teman.?" Ujarnya sungguh-sungguh. Dan sontak saja itu membuatku tersenyum geli.
Anna berlutut di samping putrinya, dan tersenyum. ?"Sekarang sebaiknya kita segera pulang, ayah sudah menunggu di mobil.?" Ujarnya lembut.
?"Ya!?" pekik Aisah penuh semangat. ?"Eyang, Nenek?" Aisah pulang dulu, nanti kalau rumah baru Aisah sudah rapih, eyang dan nenek harus main dan menginap di
rumah Aisah.?" Kakek menggendong sosok kecil itu penuh sayang dan mengecup pipi kirinya.
?"Tentu sayang.?" Ujarnya penuh semangat. Aisah terkikik pelan ketika akhirnya kakek menurunkannya, ia mencium punggung tanganku, ibu dan kakek, melambai
pada sahabat-sahabat kecilnya yang kini berdiri berbaris di belakang kursi rodaku. Ya Tuhan?"
?"Astaga Aisah lupa!!?" pekik gadis kecil itu. kami langsung menatap waspada kepadanya. ?"Aisah belum menitipkan paman Raihan pada kak Zahra.?" Ujarnya dengan
mimic serius. Mau tidak mau itu membuatku dan semua yang berada di sana terkikik geli, namun tidak dengan gerombolan kecil sahabatnya tentu saja. Wajah
mereka sama seriusnya dengan wajah lugu Aisah. Membuatku tidak bisa menahan tawaku.
?"Aisah, tenang saja, walaupun kau tidak menitipkan paman pada kak Zahra secara langsung, ia pasti akan menjaga kakak dengan dangat baik.?" Bisikku menenangkannya.
?"Kau pasti bercanda.?" Dengus seseorang di ambang pintu. Kami semua menoleh dan mendapati sosok cantik bungaku bersidekap di sana, ia menatapku dengan pandangan
kesal yang aneh. ?"Lihat kan, dia sudah berada di sini.?" Bisikku lagi pada Aisah. Gadis kecil itu terkikik pelan.
?"Dengar! Aku di sini untuk menyuruh anak-anak pergi tidur, sudah jam 8, dan mereka harus beristirahat.?" Tutur gadis itu, wajah cantiknya sedikit memerah
karena kesal. Begitu lucu dan menggemaskan.
?"Tapi kak?"?" protes gerombolan kecil di belakangku.
Aku tersnyum tipis dan menatapnya, ?"Ah, alibi.?" Desisku santai. ?"Bilang saja kau ingin mengusir sahabat-sahabat kecilku agar kau bisa berduaan denganku,
bukan"?" tudingku. Mata Zahra langsung membulat, ia mendengus tidak percaya, kemudian rahangnya mengeras, bahkan rasanya aku bisa mendengar suara gemeretuk
giginya yang menyatu dalam kemarahannya.
?"Kalian punya waktu hingga pukul 9!?" ujar gadis itu pada gerombolan kecil di belakangku sebelum berlalu pergi begitu saja. Kakek terkekeh-kekeh pelan,
dan aku tersenyum puas. Ibu menyentuh pundakku, memberikanku pandangan menegur. ?"Kau tidak seharusnya berbuat seperti itu!?" ujarnya memarahiku. Namun aku sama sekali tidak peduli.
Aku mencintai gadis itu, dan aku akan selalu mencintainya.
*** Keesokan paginya aku bangun dengan perasaan tenang yang luar biasa. Aku sendiri sempat merasa aneh dengan apa yang ku rasakan saat ini. Kamar ini bukanlah
kamar mewah yang biasanya ku tempati dimanapun aku berada, kamar ini bahkan tidak pernah masuk ke dalam kategori kamar yang akan ku tempati. Hanya terdapat
sebuah tempat tidur single, sebuah lemari kayu yang cukup besar, dan meja kayu jati lengkap dengan tumpukan buku-bukunya. Ada sebuah jendela kecil di bagian
depan kamar itu, yang menghadap langsung ke halaman panti. Dari sana aku bisa melihat seluruh keramaian yang berada di halaman panti.
Ramai" Aku mengernyit dan melirik jam tanganku. Pukul berapa sekarang" Mengapa anak-anak itu sudah melakukan kegiatan ini itu"
Jam tanganku masih menunjukan pukul 6 pagi. Bahkan mentaripun masih bersinar malu-malu di balik kabut fajar, tapi anak-anak panti itu sudah siap dengan
pakaian olah raga mereka. Beberapa anak tampak tengah melakukan pemanasan, berlari-lari kecil di tempat, seorang anak berumur 14 tahun tampak asik menirukan
gerakan taekwondo, menendang ke sembarang arah dengan penuh semangat. Aku tersenyum tipis, merasa gemas untuk mengajarinya gerakan yang benar.
Gadis-gadis yang lebih dewasa tampak lebih asyik berbincang-bincang sambil membentuk lingkaran di atas rumput hijau yang sedikit berembun. Sebuah tepukan
tangan membuatku terkesiap dari lamunanku. Sosok cantik Zahra sudah siap dengan seragam training berwarna birunya, tampak begitu sesuai dengan kulitnya
yang putih halus. ?"Ayo semuanya berkumpul, kita akan bersiap-siap untuk melakukan lari pagi hari ini.?" Ujarnya penuh semangat. Mataku membulat, dan langsung mendorong kursi
rodaku keluar?" kamarku, melewati ruang tamu panti yang sepi hingga sampai di pintu kaca ganda itu. terkunci" Aku melirik ke kanan dan kiri untuk mencari
sebuah kunci yang mungkin tergantung entah dimana, namun aku tidak menemukan apapun. Dengan panic aku menggetuk-ngetuk pintu kaca itu ketika rombongan
anak-anak panti mulai bergerak ke luar gebrang. Kemudian ummi menoleh, dan mengernyit ketika melihatku di balik pintu.
?"Zahra, mengapa kau mengunci pintunya"?" tegur ummi. Gadis jangkung itu berbalik dan menatapku, sebelah alisnya naik, membentuk wajah kejam yang begitu
cantik. ?"Aku pikir kita akan meninggalkannya, jadi lebih aman jika ia tetap terkunci dari luar, tidak akan ada yang bisa melukainya.?" Ujar gadis itu sinis. Aku
mendengus kesal. ummi meraih kuci dari tangan gadis itu sambil menggeleng-geleng, kemudian membukakan pintu untukku.
?"Tapi kau tidak sepatutnya menguncinya seperti ini.?" Tegur ummi.
?"Aku hanya ingin melindunginya.?" Ujar gadis itu tak acuh.
?"Terima kasih atas perhatianmu.?" Sindirku dengan senyuman sarkastis. Ia mengangkat bahunya.
?"Anytime.?" Ujarnya sebelum kembali berlari menuju rombongan yang menunggunya di balik gerbang panti.
?"Maaf, terkadang Zahra memang sedikit keterlaluan.?" Ujar ummi dengan nada suara yang sangat keibuan. Aku tersenyum mengerti.
?"Bukankah itu berarti ia memikirkanku?"?" gumamku dengan sebuah senyuman manis penuh arti. Ya, aku memang selalu berada dalam benaknya, ia hanya tidak menyadari
hal itu, namun aku akan membuatnya menyadari semua itu, secepatnya?"
Zahra ada apa" Tanya bibi ketika melihatku berjalan mengitari ruang tamu untuk yang kesekian kalinya. Aku memutar-mutar ponsel di tanganku dengan perasaan
tidak sabar. Kemudian setelah lelah berseteru dengan perasaan bingung itu, aku duduk di samping bibi. Bibi menatapku dengan kening berkerut, menungguku
berbicara. Pak Surya tidak bisa datang hari ini. Padahal beliau sudah menjanjikan tanaman baru pada anak-anak. Keluhku. Bibi termenung sejenak, mencoba memikirkan
solusi untuk keluhanku. Aku sudah kehabisan ide tentang apa yang akan kami lakukan hari ini bi&
Bagaimana kalau kau memutarkan film documenter itu lagi"
Kami sudah menontonnya minggu kemarin,
Membuat kerajinan dari flannel"
Anak putra selalu mengeluh, ini pekerjaan putri, dan mereka enggan melakukannya.
Bibi kembali terdiam sejenak. Bagaimana kalau kau menyuruh anak putra untuk membuat kerajian dari bubur kertas. Kita memiliki banyak Koran tidak terpakai.
Usul bibi. Aku mengerutkan keningku, bingung. Biasanya kerajian tangan adalah keahlian Amy, dan kini gadis itu belum juga kembali. Hm& aku mulai merindukan
keberadaannya. Sepertinya Amy menyimpan buku tentang pembuatan bubur kertas di kamarnya. Ujar bibi. akhirnya aku mengangguk setuju kemudian beranjak
ke kamar gadis itu. Sebelum memasuki kamar Amy, aku sempat melihat sosok Raihan yang tengah memandangku dengan kening yang berkerut. Aku memalingkan wajahku,
tidak memperdulikannya. Pagi itu, setelah sarapan aku mengumpulkan seluruh penghuni panti, dan membicarakan rencana kami di hari libur kali ini. Tapi pak Surya bilang kita akan
menanam tumbuhan baru hari ini& protes Angga, bocah kritis yang duduk di kelas 6 ketika aku mengatakan pada mereka bahwa kami akan membuat kerajian tangan
hari ini. Aku tersenyum kikuk dan melirik bibi, memohon bantuan.
Assalamualaikum! salam lantang Aisah sontak mengalihkan focus anak-anak itu untuk sesaat, dan aku benar-benar merasa bersyukur karenanya.
Walaikum salam Aisah, balasku sambil tersenyum tulus. Gadis kecil itu mencium punggung tanganku kemudian berjalan memasuki ruang kelas yang sudah beberapa
bulan terakhir kami alih fungsikan menjadi ruang pertemuan. Ruangan itu kosong, dengan hanya sebuah papan tulis yang tertempel di belakangku. Seluruh penghuni
panti duduk bersila di atas lantai, bahkan ummi pun ada di sana. Raihan duduk tidak jauh dari pintu masuk. Ia tersenyum lebar ketika Aisah menghampirinya
dengan sekantung apel. Ini untuk paman, ujarnya riang.
Terima kasih, balas Raihan.
Tak lama kemudian Raka menyusul masuk dengan membawa sepeti apel dan meletakannya di bagian depan kelas. Aku melongo menatapnya, samar-samar aku bisa mendengar


Pelangi Hitam Putih Karya Cherry Ashlan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

decakan tidak percaya dari sosok-sosok kecil di hadapanku.
Assalamualaikum semuanya, ini kakak bawakan apel untuk kalian semua. Ujar Raka. Ruangan itu langsung di penuhi sorak sorai. Aku merasa hatiku mulai meleleh
ketika melihat sosok tampan Raka yang tengah tersenyum pada sosok-sosok riang di hadapan kami. Pandangannya yang menyejukan mampu kembali membuaiku untuk
berlama-lama berada di dalam bayang-bayang pandangannya.
Dengan santai Raka membagi-bagikan buah apel itu ke semua orang di bantu oleh Aisah dan Anisa. Aku tidak bisa menggambarkannya dengan kata-kata, namun
pemandangan itu benar-benar membuat tubuhku membeku, terpesona dalam keindahan ciptaan Tuhan. Dengan perlahan aku mengulurkan tanganku, ingin menyentuh
sosok tampannya. Menyentuh wajah kokohnya. Merasakan kehangatan dan kebaikannya.
kak Zahra& panggilan itu mengejutkanku, menarikku kembali ke dunia nyata yang sejenak ingin ku hindari. Aku mengerjap beberapa kali untuk mengembalikan
fokusku. Sosok mungil Aisah sudah berdiri di hadapanku. Tangan mungilnya membawa sebuah apel berwarna merah sempurna. Wajahnya sedikit berkerut keheranan.
Ah iya, jawabku seraya tersenyum manis kepadanya.
Ini apel untuk kak Zahra, aku pilihkan yang paling merah. Ujarnya riang. Hilang sudah wajah cemasnya. Aku tersenyum tipis dan meraih apel pemberiannya,
diam-diam aku melirik sosok Raka dari balik pundak gadis itu, kemudian tersenyum mengejek pada diriku sendiri ketika lagi-lagi aku merasakan perih saat
melihat tawanya yang tergores indah bukan karena diriku.
Terima kasih sayang, kakak harus pergi dulu. Ujarku seraya beranjak dan berlalu begitu saja dari ruangan itu tanpa memperdulikan tatapan heran dari beberapa
pasang mata. Konyol memang, tapi entah mengapa aku masih belum bisa menahan gemuruh hatiku.
STOP IT ZAHRA! Hentikan semua kegilaan ini! Dia tidak mencintaimu! Kalau dia mencintaimu dia pasti tidak pernah meninggalkanmu. Teriak sebuah suara dari
dalam benakku. Tapi aku yang memintanya pergi.
Tapi jika dia benar-benar mencintaimu, dia tidak akan melakukannya! Tidakkah kau mengerti itu"!! Dia mencintai wanita lain, dan mereka sudah menikah. Mereka
sudah bahagia. Tidak bisakah kau menyadari itu"! tidak bisakah kau berhenti mencintai pria yang tidak mencintaimu"!!!
Tiba-tiba aku menutup telingaku dengan kedua tanganku, merasa muak dengan seluruh pemikiran yang memenuhi benakku kala itu.
Kata-kata Andhini dan Hana mulai kembali terngiang-ngiang di telingaku. Ketika mereka membicarakan perih. Ketika mereka memintaku memilih untuk dicintai
dan mencintai, ketika aku sadar itu bukanlah sebuah pilihan, ketika pada akhirnya aku menyerah pada luka itu.
*** Setelah tiga puluh menit menenangkan diri, aku mulai kembali berjalan menuju aula. Aku sudah mempersiapkan sebuah senyuman normal sebelumnya, berdiri dua
puluh di depan cermin di kamarku. Lima belas menit menangis sambil memaki diriku sendiri, lima menit kemudian ku gunakan untuk membuat wajahku senormal
mungkin. Menarik ujung-ujung bibirku untuk membentuk sebuah lengkungan yang mereka sebut dengan senyuman.
Mataku terbelalak kaget ketika tanpa sengaja beradu pandang dengan kedua mata elang Raihan yang tengah duduk dikelilingi oleh bocah yang tengah memakan
apel." Kejadian itu begitu cepat, hingga aku tidak sempat membaca sorot matanya. Hanya saja, aku sempat melihat kekesalan di balik tatapannya. Seakan ia
tengah marah pada seseorang, tapi pada siapa" Dan mengapa"
Koko menarik tubuhku mendekat, dan memintaku duduk di sampingnya, tepat di sebelah pintu masuk. Ia memberikanku sebuah apel. Aku mengerutkan keningku ketika
menyadari kejadian aneh yang tengah berlangsung di aula. Semua orang tampak sibuk mengunyah apel mereka, menggigit-gigitnya dengan penuh semangat. Aku
mulai berpikir apakah sedang diadakan kontes memakan apel tercepat di sini"
Nah kalau sudah, bijinya letakan di sini. Ujar Raihan sambil menunjuk pelastik putih di hadapannya. Anak-anak itu menurut, kemudian meletakan biji apel
yang mereka makan ke dalam plastik. Pastikan bijinya benar-benar bersih, paman tidak mau kalau biji ini harus di cuci lagi. Karena kelembapannya akan
bertambah parah. Tuturnya. Anak-anak itu menyimak dan mengangguk. Setelah mendapat cukup banyak, dan tampaknya semua orang mulai kewalahan menggigit apel-apel
itu, Raihan meminta seorang anak untuk menjemurnya di luar. Kita akan menjemurnya di terik matahari selama tiga hari. Setelah itu kita akan memasukannya
ke dalam lemari pendingin selama seminggu.
Selama itu" keluh Tia, remaja yang duduk di kelas 1 SMP. Raihan mengangguk mantap.
Ya, setelah itu kita baru bisa memindahkan bibitnya ke lahan tanah yang sudah di beri pupuk. Tutur Raihan.
Lalu kita akan mempunyai kebun apel! Bukan hanya kebuh cabai milik ibu Diah. Sorak Koko riang, seraya melirik takut pada ibu Diah, sosok paruh baya yang
selama ini membantu bibi mengurus panti dan urusan dapur. Sontak seloroh bocah kecil itu membangkitkan tawa orang-orang di sekelilingnya. Aku tersenyum
tipis menanggapi tawa mereka. Setelah keadaan mulai tenang barulah aku sadar bahwa sosok Raka dan Anna sudah tidak ada lagi di tempat itu.
Kemana ayah dan bunda" tanyaku pada Aisah yang tengah asyik berbincang dengan sahabat karibnya. Bahkan bibi pun menghilang.
Ayah, bunda dan Ummi sedang pergi. Tadi ayah bilang, ayah mendapat telepon mendadak. Tapi sebentar lagi bunda akan kembali lagi. Ujar Aisah, wajahnya
begitu polos dan lugu. Sama sekali tanpa emosi, namun entah mengapa aku merasa sedikit cemas, kalau-kalau terjadi sesuatu pada Raka.
Raihan memalingkan wajahnya ketika aku melirik kearahnya, memergokinya tengah memandangku. Baiklah, sekarang kalian bisa menanyakan apapun pada paman.
Ujar Raihan tiba-tiba. Anak-anak yang rata-rata berusia lima sampai dua belas tahun itu langsung bersorak riang. Aku memutar bola mataku pada tuan sok
pintar itu dengan kesal. Mengenai apapun" Tanya Mimi, gadis manis bergamis kuning dengan mata berbinar. Raihan mengangguk mantap.
Tapi kakak sarankan, kalian menanyakan hal yang tidak biasa. Sepertinya paman Raihan ini sangat ahli dalam segala hal. Sindirku sinis. Raihan terkekeh
pelan dan mengangguk. Kita lihat saja. Ujarnya santai.
Mm& paman, apa guna dari bulu hidung kita" Tanya koko sambil memasukan salah satu jari telunjuknya ke dalam hidung. Sontak beberapa anak langsung tertawa
mengejek. Aku tersenyum tipis dan menggeleng-geleng, betapa menakjubkannya anak-anak ini. Betapa mudahnya cara pikir mereka. Mereka mengutarakan apa yang
ada di benak mereka. Itulah yang aku sukai dari anak-anak, tidak ada kemunafikan.
Bulu hidung itu sebagai penyaring. Jawab Raihan setelah tawa yang membuat wajah Koko sedikit memerah itu berhenti. Bulu-bulu halus di dalam hidung itu
berfungsi untuk menyaring debu dan kotoran yang masuk ke dalam hidung ketika kita bernafas. Raihan menarik nafas panjang sebagai contoh.
Bagaimana jika kita bernafas menggunakan mulut" kini Anisa yang bertanya.
Aku tersentak ketika melihat sosok itu tersenyum begitu ramah pada Anisa. Itu tidak baik. Ujarnya lembut. Itu akan membuat debu dan kotoran dengan mudahnya
memasuki rongga paru-paru kita, lalu semuanya akan menumpuk dan menyebabkan penyakit sesak atau batuk. Tanpa sadar senyumku sedikit terukir ketika mendengar
penjelasannya. Bukan, bukan karena apa yang ia jelaskan. Namun caranya menyampaikan semua itu kepada anak-anak di hadapannya memperlihatkan sisi lain dalam
dirinya. Sisi yang selama ini selalu tersembunyi di balik sosok angkuhnya.
Bagaimana kalau yang sedang ingusan paman"! Tanya seorang bocah lain, ia duduk di barisan yang paling belakang, hingga ketika bertanya ia harus menegakan
tubuhnya agar bisa terlihat oleh Raihan dari atas kursi rodanya. Bocah itu mengangkat jari telunjuknya yang basah oleh ingus. Mendadak suasana ruangan
itu langsung dipenuhi oleh desisan jijik. Dan aku tidak bisa menahan kegelianku atas kepolosannya.
Raihan meraih sebuah kertas kosong di sampingnya, dan mengeluarkan sebuah pulpen dari dalam sakunya. Ia menggambar sesuatu, seperti jalanan menurun, dengan
sebuah rongga lain di dalamnya. Aku meringis geli ketika menyadari bahwa gambar jelek yang dibuatnya adalah bentuk hidung dalam versinya.
Itu apa" Tanya Melani. Bocah 7 tahun yang duduk di barisan terdepan. Raihan mengerutkan keningnya dan menatap gambarnya sekali lagi.
Ini hidung. Jawabnya. Tapi tidak seperti hidung. Tutur bocah yang lainnya.
Aku terkikik geli. Lihatkan, betapa mudahnya anak-anak itu mengutarakan apa yang ada dipikiran mereka. Ah& aku mulai merindukan masa kecilku&
Raihan menggeram pelan, kemudian dengan huruf capital ia menulis kata hidung di bagian atas kertasnya. Intinya ini hidung. Ujar Raihan bersikeras.
Untung hidungku tidak sejelek itu, bisik Aisah seraya meraba hidungnya.
Aku tersenyum geli. Untung punyaku juga tidak. Bisikku di telinganya. Dan gadis itu tertawa pelan. Raihan melirik sinis kearah kami, kemudian dengan
angkuh ia kembali mengangkat kertasnya, tampak sudah tidak peduli dengan cemoohan kami akan gambarnya.
Ini adalah rongga hidung. Di dalam hidung kita itu dilapisi oleh selaput lendir, yang akan di basahi oleh air dalam hidung ketika kita pilek. Itu adalah
cara tubuh untuk menyembuhkan jaringan-jaringannya. Tutur Raihan.
Tapi di hidungku ingusnya berwarna gelap. Seloroh seorang bocah 11 tahun berkepala botak sambil menyeringai dan menunjukan telunjuknya yang di penuhi
oleh kotoran hidungnya. Aisah meringis jijik, Itu namanya upil, Dion! ujarnya risih.
Dan aku tertawa. *** Hari itu berlalu dengan keceriaan aneh yang belum pernah ku temui sebelumnya. Setelah diselang shalat zuhur, anak-anak itu kembali mengitari Raihan dan
menyerbunya dengan berbagai pertanyaan aneh yang benar-benar membuatku geli. Kebanyakan yang mereka tanyakan seputar tubuh mereka, atau hal-hal yang tanpa
sengaja mereka lihat di hadapan mereka. Salah satu hal yang membuatku tersenyum geli penuh rasa kagum adalah ketika Raihan menanyakan pada mereka apa fungsi
tanah, seorang bocah di antara mereka menjawab. Untuk kuburan, jawabnya. Lalu semua orang menertawakannya. Tapi aku tidak bisa.
Jawabannya memang tidak biasa, tapi bukan berarti itu salah. Padahal semua orang juga tau bahwa yang ia katakan itu benar. Tanah juga memang di pakai untuk
pemakaman. Tapi mengapa jawabannya mengundang tawa. Apa melakukan sesuatu yang tidak biasa itu selalu di masukan dalam kategori salah, dan di permasalahkan,
lalu di tertawakan" Apa yang sedang kau pikirkan" hampir saja aku meloncat dari kursiku karena terkejut. Rileks Zahra& ujarnya. Aku mendengus dan berusaha untuk kembali
tenang. Kau benar-benar tampak sibuk kalau sedang melamun. Ujarnya dengan senyuman miringnya. Aku memalingkan wajahku, merasa kesal karena kalah pada
segores pesona yang terpancar dari wajahnya.
Pesona"! Astaga apa-apaan aku ini. Pria ini tidak lebih dari sekedar pria sombong yang luar biasa menyebalkan. Makiku dalam hati.
Melamun lagi. Gumam Raihan.
Apa pedulimu. Ujarku ketus. Kemudian sosok itu kembali tersenyum, sebuah senyuman miring yang menyebalkan, merendahkan namun tampak menawan.
Bagaimana aku tidak peduli jika yang menjadi bahan lamunanmu adalah diriku. Ujarnya santai. Aku membulatkan mataku tidak percaya. Pria ini benar-benar
membuat kekesalanku memuncak. Hingga rasanya saat ini aku benar-benar ingin mencincang-cincang tubuhnya.
Kau terlalu besar kepala tuan! desisku sinis.
Kalau aku salah, mengapa sampai sekarang kau terus menggenggam gambarku" tanyanya seraya melirik kertas yang berada di atas pangkuanku. Aku mengikuti
arah pandangannya dan memekik kesal dalam hati. Memaki kebodohanku. Aku yakin wajahku sudah memerah tomat terlalu masak saat ini.
Well& ujarku tenang. Aku hanya bertanya-tanya sebenarnya kau ini seorang dokter atau guru biologi" tanyaku seraya menilai gambarnya dengan mimik mencibir.
Ia tertawa pelan. Tawa sombong yang super menyebalkan.
Kenapa" Kau pasti terpesona melihat aksiku hari ini. Ada banyak hal yang belum kau ketahui tentangku nona manis& tuturnya santai. Aku mendesis geram,
tingkat kesombongan pria itu sudah benar-benar melambung tinggi rupanya.
Lagi-lagi kau terlalu besar kepala. Aku hanya tidak habis pikir bagaimana kau bisa bersikap sepercaya diri itu, padahal menggambar hidung pun kau tidak
bisa. Tuturku seraya meletakan gambarnya di atas meja. Raihan terdiam, dan aku bersumpah, aku sempat melihat kibekuan di matanya. Aku yakin ia tidak pernah
menyangka aku akan mengatakan hal ini. Ia sudah terlalu besar kepala. Dan aku membencinya! Apa lagi yang ia harap untuk ku katakan"
Karena aku mampu. Ujarnya setelah kembali bisa memasang topeng wajah sempurna nya. Aku mendengus dan tersenyum sarkastis padanya. Kau hanya belum mengenalku&
bisiknya. Aku yakin, ketika kau akhirnya mengenalku lebih jauh lagi, kau pasti akan jatuh cinta kepadaku.
Ah! Lagi-lagi kau bermimpi. Ini masih terlalu sore untuk sekedar memejamkan matamu dan mengucapkan selamat malam kepada langit. Ujarku sinis seraya beranjak
dari kursiku, meraih ponselku di atas meja, dan berlalu pergi.
*** Well, aku pada dasarnya sangat mempercayai adanya sebuah karma kehidupan. Sewaktu kecil ibu selalu memperingatiku untuk menjaga bicaraku agar kelak tidak
terjatuh karena kata-kataku sendiri. Ah tapi, aku toh memang tidak pernah terjatuh pada kata-kataku. Aku tetap bisa berdiri tegar memegang perkataanku.
Buktinya sampai saat ini aku masih bisa kuat melihat kebersamaan keluarga kecil Raka yang manis itu.
Hari-hari selanjutnya benar-benar terasa berbeda. Tapi aku yakin itu karena keberadaan Anna dipanti. Bahkan tak jarang tante Luna juga datang untuk mengunjungi
kami, mengunjungi putranya. Meski pada saat itu Raihan akan menekuk wajahnya sedemikian rupa, bagai seorang bocah yang tengah menginjak masa-masa remajanya,
merasa malu ketika ibunya datang. Konyol memang namun itu adalah bagian favoritku. Raihan akan menjadi lebih pendiam, hanya berbicara jika ditanya, benar-benar
saat-saat yang paling menggelikan. Aku sampai tidak percaya jika ia merasa malu karena mendapat kunjungan dari ibunya sendiri.
Sesekali kakek Darmawan datang menemani tante Luna, namun ia tidak pernah tinggal terlalu lama. Setelah melakukan perbincangan serius mengenai pohon tomat
barunya bersama Aisah dan Anisa, ia pasti akan segera berangkat kembali. Dan aku merasa semangat Raihan akan bertambah besar setiap kali ia bertemu dengan
kakek Darmawan. Seakan kakeknya sengaja membawakan bulir-bulir pil penyemangat di dalam saku jasnya, yang bisa ia berikan pada cucunya sewaktu-waktu. Tapi
aku menyukai sikap Raihan setelah itu, ia seakan memancarkan aura positif yang entah bagaimana mampu menghibur orang-orang di sekelilingnya.
Di pagi hari, Raihan akan menceritakan sebuah kisah konyol tentang pelaut, atau pilot, atau apapun itu. kisah yang benar-benar membuatku tidak habis pikir
bagaimana bisa ia mengarang semua itu. kisah-kisah itu terlalu klise untuk menjadi nyata, meski ummi selalu mendukungnya bercerita karena kandungan moral
di setiap ceritanya. Oke. Jadi setelah menjadi pembicara biologi, ia merambah juga menjadi pendongeng, dan sialnya tidak sampai di situ. Kemampuan ia bermain
music benar-benar membuat bocah-bocah itu kian lengket dengannya. Raihan hampir bisa memainkan seluruh alat music.
Pada minggu pertama di bulan Desember, aku, Raihan dan beberapa anak panti pergi ke toko music untuk membeli beberapa alat music lain, yang bahkan pada
awalnya aku sama sekali tidak tau bagaimana cara memainkannya. Raihan meminta setiap anak untuk memilih alat music apa yang ingin mereka pelajari, lalu
dengan sabar ia akan mengajari satu-persatu dari mereka. Aku benar-benar menyukai sosoknya ketika berada di tengah-tengah anak-anak itu. wajahnya yang
angkuh akan mencair, melembut dengan sorotan mata sejuk, tawanya yang renyah kerap terdengar di antara tawa bocah-bocah itu, dan suara merdunya selalu
terdengar mengalun indah ketika menyanyi untuk anak-anak itu di sore hari.
Bibit apel yang ia dan anak-anak simpan pun mulai menunjukan kecambah kecilnya, dengan bantuan kakek dan pasukan kecilnya, ia menanam biji-biji itu pada
sepetak tanah yang subur. Menyiraminya setiap hari, mengukur panjang kecambahnya setiap enam jam sekali. Well, aku menyebut hal ini sebagai sebuah kebodohan
mutlak! Walau bagaimanapun kecambah itu baru tumbuh setelah 24 jam, dan ia memeriksanya setiap 6 jam, entah pil semangat apa yang ia telan di setiap harinya.
Tapi semangatnya yang menggebu-gebu selalu menjadi pemandangan yang indah. Senyuman penuh kebahagiaannya, tawa renyahnya, bahkan tatapan jenakanya?"
Kecuali untukku, tentu saja!
Aku masih membencinya. Aku tidak akan pernah memikirkan hal-hal tentangnya. Aku selalu memilih jalan lain ketika tidak sengaja berpapasan dengannya, aku
akan menghindarinya, atau berpura-pura tidak memperdulikannya. Aku tidak akan menoleh ketika ia memanggil, aku akan menjauh ketika ia mendekat. Dia masih
menjadi sosok yang angkuh dan super menyebalkan untukku. Sosok yang selalu ingin aku hindari. Aku sendiri masih tidak mengerti bagaimana mungkin ummi dan
yang lainnya bisa dengan mudah menerimanya. Bahkan ibu Diah pun tampak mencintainya!
Mereka, bocah-bocah itu, membicarakannya siang dan malam, mengikutinya kemana pun ia pergi. Memintanya menyanyi, mendongeng, dan melakukan hal lain yang
hanya akan membuat kepalanya terangkat semakin tinggi! Dan itu membuatku muak setengah mati. Ia menjadi sosok yang super sibuk saat ini, mengajari anak-anak
ini dan itu, bernyanyi bersama mereka, pergi dengan mereka, bahkan kini berkebun dengan mereka!
Aku benar-benar membencinya!
?"Hey,?" aku tersentak kaget ketika mendengar panggilan di sampingku. ?"Aku pikir kau patung. Kau benar-benar asyik dalam lamunanmu. Apa yang kau lamunkan"?"
Tanya sosok cantik Risa seraya duduk di sampingku. ?"Ingat ini kantin, kalau kau sampai kerasukan di sini, aku yakin kau akan menjadi trending topic yang
menghebohkan.?" Bisiknya di telingaku. Aku meringis kikuk, dan ia tertawa geli. ?"Menunggu telepon seseorang"?" tanyanya seraya melirik ponsel yang berada
di genggamanku. Aku menggeleng dengan kikuk, dan untuk sesaat aku merasakan wajahku memerah. Tepat pada saat itu Andhini dan Hana menghampiri kami. Andhini
membawa segelas lemon kesukaannya, dan Hanna membawa sebuah nampan berisikan semangkuk mie rebus, dua potong donat coklat, dan air mineral. Aku meringis
menatap porsi makan kedua sahabatku yang benar-benar diluar ambang batas.
?"Ada apa dengan wajahmu"?" Tanya Hanna setelah berhasil meletakan semua bawaannya di atas meja dengan selamat. Ia meneliti wajahku dengan seksama. ?"Apa
kau jatuh cinta"?" tanyanya lugu. Aku menepis tangannya dengan risih.
?"Aku" Jatuh cinta"! Kau pasti bercanda!?" ujarku seraya menyeruput jus alpukat kesukaanku. Kemudian ketika ponselku berdering, sontak aku langsung tersenyum
lebar, kemudian berlalu pergi begitu saja, meninggalkan ketiga sahabatku dengan pandangan aneh mereka.
*** ?"Halo.?" Jawabku pada deringan ke dua.
?"Wow?"?" suara di sebrang sana terdengar sedikit terkejut, membuat sebelah alisku terangkat heran. ?"Sepertinya kau membawa ponselmu kemanapun,?" ujarnya.
?"Atau kau memang sedang menunggu teleponku.?"
Astaga?" desisku pelan. ?"Dengar, aku memang sedang bermain game ketika kau menelepon, jadi aku langsung mengangkatnya, agar aku bisa segera menutupnya lagi.
Kau menggangguku. Kau tau itu"!?" tudingku dengan wajah memerah.
Sosok di sebrang sana terkekeh pelan, ?"Kau benar-benar tidak berpengalaman dalam berbohong nona cantik.?" Ujarnya santai, wajahku terasa bertambah panas.
?"Sejak kapan kau suka bermain game. Lagi pula, tidak ada satupun game di ponselmu.?" Ujarnya, nada suaranya yang begitu santai membuat tubuhku membeku.
Aku mendengus kesal, mencoba menyembunyikan rona wajahku.
?"Apa pedulimu!?" elakku ketus, dan ia kembali tertawa.
?"Apa yang sedang kau lakukan"?" tanyanya lebih serius. Aku mengerucutkan bibirku, mataku nanar menatap lapangan parkir di depanku.
?"Aku di kampus, tentu saja aku sedang belajar!?"
?"Berbohong lagi?"?" gumamnya, aku bisa mendengar senyuman geli dari suaranya. Dan itu membuatku mulai lemas karena merasa kalah. ?"Kau pasti sedang memikirkanku.?"
?"Kau pasti gila!?"
?"Aku tau.?" Jawabnya pelan. ?"Karena aku juga tidak bisa berhenti memikirkanmu.?" Tubuhku membeku mendengar kata-katanya lagi, lututku mulai terasa tidak
bertenaga. ?"Baiklah, aku tidak ingin mengganggumu lagi. Sampai bertemu dipanti,?"
?"Eh, tunggu.?" Panggilku. Ia berdeham pelan. ?"Apa kau tidak akan meneleponku lagi nanti malam"?" tanyaku ragu. Dan tawa di sebrang sana semakin menggema.
?"Tentu jika kau menginginkannya tuan putri. Aku akan melakukan apapun untukmu. Selalu ingat hal itu.?" Ujarnya tegas, aku yakin ia mengatakan itu sambil
tersenyum, karena entah bagaimana kelembutan senyumannya bisa menenangkan gemuruh jantungku yang tidak menentu. Kemudian ia mengucapkan salam perpisahan
lalu menutup teleponnya. Aku masih mematung dengan ponsel di telingaku meski sudah lima menit sosok di sebrang sana mematikan teleponnya. Namun aku masih ingin mengenang suaranya,
mengenang kata-katanya lebih lama lagi.
Astaga! Apa yang terjadi padaku"! Apa yang baru saja aku katakan"! Mengapa aku masih berdiri di sini seperti idiot"! Aku pasti sudah gila.
Kumasukan ponsel itu ke dalam saku rokku, kemudian berjalan tergesa menuju lift dengan kekesalan yang tidak menentu.
Tidak aku tidak mungkin memiliki perasaan apapun pada sosok menyebalkan itu! dia itu sosok yang paling mampu membuatku jengkel setengah mati. Ia sangat
sombong dan tidak berperasaan. Ia pasti type playboy yang akan dengan mudah menyakiti setiap gadis. Ia adalah pria jahat, aku tau itu!!!
But You?"re so hypnotizing
You?"ve got me laughing while I sing
You?"ve got me smiling in my sleep
And I can see this unraveling
Your love is where I?"m falling
But please don?"t catch me
(Demi Lovato- catch me) But if this love, please don?"t break me, I?"m giving up so just catch me?"
*** Aku tersenyum geli ketika akhirnya sambungan telepon itu terputus. Entah mengapa aku merasakan sebuah ketenangan aneh di dalam hatiku, sebuah rasa yang
sebelumnya tidak pernah hadir. Aku masih tidak bisa berhenti tersenyum, seluruh kata-kata gadis cantik yang angkuh itu masih terus terngiang-ngiang di
telingaku, suaranya yang merdu, tawanya yang riang, kata-kata ketusnya yang begitu terasa menggelikan namun jelas mampu membuatku merasa begitu bahagia.
Gadis itu, gadis cantik yang tidak pernah bisa membuatku bosan itu tampaknya sudah merebut hampir seluruh asalan hidupku.
Aku adalah pria yang paling bahagia di muka bumi ini karena memiliki gadis itu, dan aku bersumpah untuk terus menjaganya seumur hidupku. Akan ku lakukan
apapun untuk menjaganya tetap berada di sampingku.
Sudah dua puluh menit berlalu, namun aku masih tidak bisa berhenti tersenyum. Gadis itu benar-benar membuatku dimabuk kepayang. Aku sangat merindukannya.
Aku merindukan tatapan sinisnya, kata-kata ketusnya yang dingin, bahkan senyuman sarkastinya. Tapi dia mencintaiku, aku tau, aku bisa merasakannya dari
pandangan menusuknya. Oke. Ini memang terdengar sedikit konyol. Tapi di balik semua sikap dinginnya, ia pasti memperhatikanku. Walau dia selalu mencibir setiap kali aku berbicara,
tapi aku yakin ia melakukannya dengan penuh cinta. Well, itu memang sedikit tidak masuk akal.
Aku menghela nafas panjang, tepat ketika David masuk ke dalam kamarku.
?"Tuan Reynaldi, sudah waktunya.?" Aku mengangguk, dan kembali tersenyum kepada sosok tampan di balik cermin itu.
Gadis itu harus mendapatkan pelajaran. Desisnya dingin, dan aku mengangguk setuju, memberikan sebuah senyuman sinis yang penuh janji.
Gadis itu berhak mendapatkan yang terbaik dalam hidupnya, dan itu akan selalu menjadi aku yang terbaik. Akan ku buktikan. Tambahku, sosok dalam cermin
itu sedikit tidak setuju, namun ia tidak bisa menyembunyikan senyuman bahagianya.
*** Kau pasti bercanda! pekikku keras ketika mendengar penuturan salah satu sahabat baikku pada jum at siang itu. Andhini tertunduk malu-malu, kemudian dengan
perlahan menyentuh tanganku.
Aku benar-benar minta maaf, aku tidak bisa menunggumu. Kau dan Reynaldi benar-benar lambat. Kalau saja kau lebih cepat menyadari rasa cintamu padanya,
mungkin aku tidak harus melakukan ini, aku tidak harus menikah mendahuluimu&
Ergh& aku tidak mencintai dia! elakku geram. Namun sosok cantik di hadapanku tampak tidak peduli dengan bantahanku. Ia mengangkat bahunya tak acuh, kemudian
berpaling memandang Hanna yang duduk di sampingku.
Sebenarnya aku ingin memberitahukan ini pada kalian sejak awal, tapi aku khawatir kau akan melarangku untuk menikah! ujarnya seraya melirikku. Mataku
terbelalak menatapnya. Apa kau gila"! Aku tidak akan marah. Ini adalah masa-masa bahagiamu, dan tentu saja aku juga akan ikut bahagia karenanya. Kau adalah sahabatku& tuturku
lebih lembut. Risa turut tersenyum di sampingku.
Kau benar-benar tidak marah" Tanya Hanna dengan mata membulat.
Apa-apaan kalian, memangnya aku siapa yang bisa melarang sahabatku sendiri untuk menikah dengan orang yang dicintainya. Aku akan sangat bahagia jika melihat
kalian bahagia. Ujarku bijaksana. Dalam hati aku terkikik geli mendengar kata-kataku sendiri, merasa kata-kata itu terlalu tua untuk kepribadianku.
Jadi kau juga tidak akan marah padaku karena pertunanganku kan" Tanya Hanna tiba-tiba. Keningku mengernyit, dan menatapnya penuh rasa ingin tau. Tubuh
besar Hanna beranjak dari ruang tamu rumah sewaan kami, memasuki kamarnya, dan ketika keluar ia membawa sebuah kotak kecil berwarna hitam. Maaf aku sudah
menyembunyikannya pada kalian. Ujarnya seraya membuka kotak kecil itu, membuatku dan kedua sahabatku yang lain terperangah menatap cincin cantik bertahtakan
mutiara berbentuk air mata itu.
HANA!!!!!! teriak kami bersamaan, sebelum melemparinya dengan bantal sofa.
*** Aku tidak bisa berhenti tersenyum ketika mengingat kejadian beberapa jam yang lalu, ketika kami semua berkumpul di ruang tamu rumah sewaan kami yang sempit,
dan pada akhirnya mereka mengakui hal-hal itu. Sebagian dari diriku merasa sangat tersanjung atas sikap mereka yang benar-benar ingin menjaga perasaanku.
Pada awal perkuliahan kami memang berjanji untuk menikah bersama, well, janji yang konyol memang, tapi kami tetap mengingat janji itu hingga hari ini.
Tapi sebagian lain dari diriku juga sedikit sedih karena setelah beberapa bulan ini aku akan menjadi satu-satunya orang yang tidak akan bisa mengikuti
arah perbincangan mereka jika sudah menyangkut topic pernikahan. Namun aku tetap bahagia atas kebahagiaan mereka. Ya, aku bahagia. :)
Ternyata Hana sudah menyembunyikan pertunangannya dengan sosok pengusaha asal Palembang itu sejak tiga bulan yang lalu. Jadi, tidak ada yang bisa menyalahkan
kami jika marah pada gadis berbadan besar itu. Berkali kali aku menggenggam tangannya dan tersenyum bahagia padanya, membayangkan kebahagian yang dialaminya
ketika akhirnya kekasih hatinya melamar untuk menikahnya. Kini ia tidak perlu lagi menyembunyikan cincin cantiknya, dan bahkan rona wajahnya pun tampak
lebih indah dari biasanya. Ah& bagaimana mungkin kami bisa tidak menyadari perubahannya selama ini"!
Sentuhan Risa di pundakku membangunkanku dari lamunan sesaat tentang kedua sahabatku. Ia tersenyum padaku, kemudian berbalik menatap pantulan sosok cantik
di cermin besar di hadapan kami. Aku tersenyum tipis ketika mengikuti arah pandangannya. Aku, Risa dan Hanna berdiri bersampingan di depan cermin, mengenakan
kebaya berwarna coklat keemasan yang begitu anggun, sedangkan sosok cantik Andhini mengenakan kebaya putih yang luar biasa cantik.
Aku sangat bahagia kalian mau menjadi pendampingku di hari pernikahanku nanti, bisik Andhini penuh haru.
Kami merasa sangat terhormat atas permintaanmu ini sayang& ujar Risa lembut. Aku dan Hana mengangguk setuju.
Ah! Kalian benar-benar cantik, bisakah kalian berpose sebentar, aku ingin mengabadikan momen ini. Kalian benar-benar indah& pekik Jean, pemilik butik
yang kami datangi siang itu. ia menyeka air matanya dengan perlahan, aku sampai melongo menatapnya, tidak percaya jika ia sampai menangis. Cepat& cepat
bergeserlah ke sini, di depan rak-rak gaun ini, tersenyumlah terus seperti ini, kalian tampak sangat bahagia, kalian membuatku terharu. Kalian sangat cantik&
aku tidak bisa mempercayai ini&
Jean& kau sangat manis& bisik Andhini tulus.
Kami mengikuti apa yang Jean katakan, dan ia mengambil beberapa gambar kami. Aku tersenyum manis ketika melihat foto itu, aku bahkan hampir tidak mengenali
sosok-sosok dalam foto itu, rona bahagia mereka seakan membuat foto itu bercahaya indah. Membuatku terus ingin memandangnya.
Sekali lagi jiwaku tersenyum ketika memikirkan kata itu& pernikahan dan cinta&


Pelangi Hitam Putih Karya Cherry Ashlan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

*** Aku tidak yakin dengan apa yang sedang terjadi pada diriku, namun entah mengapa aku benar-benar ingin segera pulang ke panti. Perjalanan pulang yang hanya
memakan waktu tiga jam itu terasa seperti tiga tahun lamanya. Aku hampir saja menangis kesal ketika akhirnya terjebak macet di tengah-tengah perjalanan,
aku bahkan tidak bisa duduk dengan tenang sama sekali, berkali-kali aku mengubah posisi dudukku, namun aku tetap tidak bisa merasa nyaman. Aku sudah mencoba
untuk tidur, berharap ketika terbangun aku sudah berada dipanti, dan bertemu dengannya.
Astaga, apa yang sebenarnya aku pikirkan. Aku pasti sudah gila. Berhenti memikirkan hal-hal aneh! Bentak otakku kesal. Aku mengerutkan bibirku, kesal pada
diriku sendiri. Aku berlari-lari kecil ketika akhirnya sampai ke gerbang panti. Aku sudah berusaha sekeras mungkin untuk menyembunyikan senyuman itu, tapi aku tidak bisa.
Seakan wajahku sudah di bentuk dengan bentuk bibir yang terus tersenyum lebar seperti orang idiot.
Assalamualaikum& ! salamku riang ketika membuka pintu. Namun tidak ada siapapun di sana. Aku mengernyit dan memandang kesekeliling, benar-benar sepi.
Akhirnya aku memutuskan untuk pergi ke kamar, mengganti pakaian, baru setelahnya mencari semua orang.
Kerutan di keningku semakin terukir dalam ketika menemukan selembar kertas terlipat di atas mejaku, dengan ragu aku membuka kertas itu. Entah mengapa aku
mulai merasakan gugup ketika menyadari pemilik tulisan tangan itu.
Zahra, Aku harus pergi, tapi aku akan segera kembali. Bisakah kau menyimpan rindumu untuk beberapa saat" Aku tau itu akan sangat sulit, tapi untuk kali ini kau
harus menahannya. Untuk sementara waktu aku tidak akan bisa menghubungimu, aku memiliki urusan serius yang tidak bisa ku tinggalkan, ku harap kau mengerti.
Tenang saja sayang, aku akan baik-baik saja, kau tidak perlu mengkhawatirkanku. Percayalah padaku.
Aku mencibir sinis sambil melempar kertas itu ke atas meja. Rindu katanya"! Khawatir padanya"! Apa dia gila"!! Dia pikir siapa dia" Untuk apa aku merindukannya"!
Untuk apa aku mengkhawatirkannya!! Aku bahkan tidak peduli dengan apa yang ia lakukan. Aku tidak peduli!!
Aku merebahkan tubuhku ke atas kasur, merasa kesal pada emosi aneh yang memenuhi relung hatiku. Wajahku mulai terasa memanas, dan aku sangat membenci hal
itu! lihat kan, semua kisah itu tidak akan pernah terjalin indah!
Pergi jauh jauh dan jangan pernah kembali!!! Teriakku sebelum menangis dan tertidur karena kelelahan."
Aku tidak yakin sudah berapa lama aku tertidur, namun ketika terbangun aku merasa tubuhku keram dan kaku. Wajahku kuyu dengan mata yang sembab. Dengan
segera aku beranjak ke kamar mandi kemudian menunaikan shalat ashar. Ya Allah, aku bahkan lupa menemui bibi. Apa yang sebenarnya terjadi pada diriku"!!
Tiba-tiba ponselku bergetar. Aku mengulurkan tanganku ke atas meja, meraihnya. Telepon dari nomor baru. Setelah berdeham dua kali, dan memastikan bahwa
tenggorokanku tak lagi serak, barulah aku menekan tombol yes.
Zahra& suara di sebrang sana begitu pelan, namun bisa membekukanku dalam sekejap. Detik itu juga aku merasa wajahku kembali memanas, pandanganku mulai
kabur karena tertutup air mata.
Aku pikir kau tidak akan menghubungiku. Ujarku ketus.
Sosok di sebrang sana mendesah pelan. Aku merindukanmu, bisiknya tulus, suaranya yang sangat pelan membuat hatiku bertambah perih. Aku benar-benar ingin
bertemu denganmu, tapi aku tidak bisa kembali sekarang. Tambahnya. Ku genggam erat-erat ponsel di telingaku, berusaha menahan gemuruh hati yang kian tidak
menentu. Sebenarnya apa yang sedang kau lakukan" tanyaku, berusaha sekuat mungkin memunculkan nada suara dingin.
Ada beberapa pekerjaan yang harus ku tangani, kau tau& terkadang kita tidak bisa mempercayakan segala hal pada orang lain. Ujarnya lelah. Maafkan aku.
Untuk apa" tanyaku seraya mengusap air mata yang tiba-tiba mengalir.
Karena telah membuatmu menangis, karena telah membuatmu merindukanku. aku ternganga mendengar perkataannya, saat itu juga hilang sudah rasa perihku.
Aku menaikan wajahku, menatap pantulan wajahku di cermin dengan angkuh.
Kau pasti sudah gila! desisku sinis. Aku sama sekali tidak merindukanmu! Dan aku tidak juga menangis karena mu! Kau pergilah jauh-jauh. Jangan pernah
menghubungiku lagi! Aku tidak peduli dengan apapun yang kau lakukan pria sombong! tuturku kejam.
Raihan terkekeh pelan, dan entah bagaimana suara tawanya yang merdu mampu menggetarkan hatiku. Tentu nona angkuh, aku juga mencintaimu!
Kau Aku akan menghubungimu lagi nanti, sampai jumpa. Ujarnya sesaat sebelum terdengar suara klik, dan sambungan telepon itu terputus. Aku masih membeku untuk
beberapa detik setelahnya, kemudian tersenyum dan menangis secara bersamaan. Dengan perlahan aku bisa melihat kemilau indah warna pelangi yang dibiaskan
air mataku sendiri, lalu turut menari dengan sekumpulan kupu-kupu cantik di dalam perutku.
*** Aku yakin kau akan kerasukan jin jika terus melamun seperti ini. Aku tersentak kaget dari lamunanku, wajahku memerah karena tegurannya. Raka duduk di
sebelahku dan tersenyum sambil terus memandang anak-anak panti yang tengah bermain bola di lapangan tidak jauh dari panti.
Aku mengerjapkan mataku beberapa kali, mencoba mencerna kejadian ini, meyakinkan diriku sendiri bahwa ini bukanlah mimpi. Kami, aku dan Raka, duduk berdua
di bawah pohon yang rindang, menikmati hari, menikmati angin, menikmati kasih. Wajah tampannya tampak begitu tenang, tidak ada kerutan sama sekali di antara
kedua matanya, seakan sepoi angin itu mengusir semua asa dalam pikirannya. Tenang dan nyaman. Aku tersenyum tipis dan mengikuti arah pandangannya, menangkap
bayang-bayang anak-anak panti yang tengah berlari mengejar bola dengan tawa riang mereka. Semilir angin sore itu menerbangkan ujung-ujung jilbabku, dan
aku mulai merasakan ketenangan yang luar biasa. Merasakan damai yang indah.
Aku pernah mencintai sosok itu, bahkan mungkin masih sangat mencintainya. Tapi kini aku mengerti, ia memang bukan untukku. Well, aku sadar, hal tersulit
dalam hidup ini adalah ketika kau harus meyakinkan dirimu sendiri bahwa kau sudah merelakan orang yang kau sayangi bersama dengan kekasih pilihan hatinya,
dan bukan dirimu. Aku sudah melewati fase itu, melewatinya dengan berbagai luka dan air mata. Terkadang aku masih tidak bisa menerima keadaan, aku masih
tidak rela melihat Raka menggenggam jemari Anna, bukan jemariku. Lalu aku akan merasakan sakit yang luar biasa, terlebih ketika aku sadar, sebesar apapun
cintaku padanya, hal itu tidak akan pernah mengubah keadaan ini. Akan selalu menjadi aku yang terluka dan tak tersentuh cinta. Lalu aku menyerah.
Lelah akan kekalahan, dan mulai berhenti bermimpi. Aku hanya berpikiran, jika jatuh cinta hanya menyisakan luka seperih ini, maka aku tidak akan pernah
lagi jatuh cinta. Aku akan berdiri sendiri menghadapi hidup, dan akan membuat diriku sendiri bahagia sepenuhnya. Meski pada akhirnya aku tau, itu salah.
Kak Zahra, kak Raka! panggil koko, baik aku maupun Raka langsung menoleh kearahnya. Kak Amy sudah pulang! teriaknya lagi. Aku tersentak tidak percaya,
begitu banyak kata yang ingin ku rangkai dan ku ucapkan kepadanya, begitu banyak bulir-bulir rindu yang ingin ku berikan kepadanya. Dengan cepat aku bangun,
kemudian berlari menuju panti, menyambut sahabatku dan undangan pernikahannya. Lupa sudah akan semua rasa yang tertinggal di bawah pohon rindang itu.
*** ?"lalu ia menghela nafas panjang.
Aku akan segera kembali. Ujarnya, dan setelah mengucapkan salam aku menutup ponselku, meletakannya di pangkuanku, lalu kembali meneliti rembulan. Kau
lihat& dia akan kembali, dia akan kembali menemuiku& karena dia mencintaiku& karena dia benar-benar mencintaiku&
*** Ku pandang rembulan itu tanpa berkedip, mencoba mencari titik pusat pada keindahan itu. Berharap aku bisa meraihnya dan memberikannya pada sosok indah
yang tidak pernah bisa hilang dari benakku walau sekejap. Aku menoleh pada David yang sedari tadi berdiri di belakang kursi rodaku. Wajahnya yang datar
begitu pandai menyembunyikan kerutan cemas di antara kedua matanya. Namun aku sudah terlalu lama bekerja bersamanya, hingga aku bisa merasakan kecemasan
itu, bukan melihatnya. Aku menoleh pada sosok lain berkaca mata yang berumur dua kali lipat dari umurku. Ia membetulkan letak kaca matanya dengan gelisah.
Menggenggam erat tablet pc di dekapannya.
Bagaimana mungkin saham kita bisa jatuh separah ini" tanyaku datar. Pria tua yang dipanggil Beni itu kembali membetulkan posisi kaca matanya, yang bahkan
tidak bergerak satu senti pun dari pangkal hidungnya, seakan memang sudah ditempel di sana, sesuai dengan wajahnya yang selalu terlihat cemas.
Mr.Chad menarik investasinya, dan menggagalkan tender kita. Ujar Beni gugup. Aku mulai merasa marah ketika mendengar nama itu. Dia sepertinya tau tentang
proyek pembangunan hotel di Paris itu, dan memutuskan untuk ikut terjun dalam pihak oposisi.
Aku melirik Lucky yang berdiri dengan kedua tangan di dalam saku jeansnya, matanya menatap langit malam yang kelam, menatap rembulan, menatap kesunyian.
Wajahnya yang kaku tak berekspresi terus tengadah meneliti gelapnya langit malam itu. membuatku enggan berbicara banyak.
Kau tau apa yang dia inginkan. Ujar Lucky tiba-tiba. Aku menggeram kesal. ia menoleh kepadaku, wajahnya tetap datar, namun aku bisa melihat kilatan amarah
di matanya. Kau tau. Bisiknya dingin. Dia tidak akan melepaskanmu.
Aku tidak bisa melakukannya.
Jangan membahayakan dirimu sendiri! bentak Lucky keras. Aku bisa melihat Beni tua yang malang tersentak kaget mendengar teriakannya. Dia tidak pernah
main-main. Tapi aku tetap tidak bisa melakukannya.
Seharusnya kau memikirkan hal itu sebelum memutuskan untuk berhubungan dengan mafia bejat itu! ujar Lucky geram kemudian berlalu pergi dari ruanganku
dengan langkah kasar. Haruskah kita menghubungi tuan Darmawan" Tanya David. Aku ingin mencibir pada kata-katanya, namun pada akhirnya aku hanya menggeleng tanpa memandang
wajahnya. Tuan& telepon dari Mr. Chad. David mengulurkan ponselnya kepadaku. Aku menyipitkan mataku, sekeras mungkin mencoba menahan emosiku, kemudian
meraih ponselnya. Christopher Reynaldi& ah& betapa sulitnya menghubungimu.
Apa yang kau inginkan"!
Kau tau apa yang ku inginkan& sesuai perjanjian awal kita.
Aku sudah membatalkan perjanjian itu. dan aku sudah membayar seluruhnya.
Kau membatalkan secara sepihak, aku bahkan belum melihat surat-surat itu. Dan kau tau, aku tidak membutuhkan uangmu. Aku menggeram ketika mendengar suara
angkuh itu. Berikan apa yang menjadi bagianku, dan aku akan membiarkanmu hidup.
Jangan pernah bermimpi! SStt& anak muda& sudah habis rasanya waktumu untuk bermain-main. Kalau kau tidak memberikannya, maka aku yang akan mengambilnya dengan caraku. Ujarnya
santai, namun aku bisa merasakan berjuta ancaman di balik semua kata-katanya. Dan satu lagi, kau harus ingat bahwa aku bisa dengan mudah menghancurkanmu
anak muda, bahkan menghancurkan orang-orang di sekelilingmu, menghancurkan hatimu yang kini tengah berbunga-bunga karena gadis itu& ujarnya sarkastis.
Mataku terbelalak lebar, jantungku mulai berdetak melebihi batas normal. Ah& masa muda, gumamnya. Aku juga pernah melaluinya. Untuk orang sepertimu,
mungkin kau membutuhkan waktu lima bulan untuk kembali pulih setelah melihat kekasihmu di tembak mati tepat di depan matamu.
Brengsek! Tapi aku akan membuatnya lebih menyakitkan& itu keahlianku& bisiknya penuh ancaman sebelum mematikan sambungan teleponnya. Aku merasakan tubuhku bergetar
karena amarah yang memuncak, rahangku mengeras, mengeluarkan suara geraman yang tidak lagi bisa ku tahan, mataku nanar menatap guratan-guratan halus meja
di hadapanku. Hubungi kakek! teriakku kalut.
*** Hujan hari itu masih begitu besar, membuatku enggan bergerak dari tempat dudukku. Aku meremas bahan di atas pangkuanku dengan erat, berusaha menahan gejolak
amarah. Wanita paruh baya yang tampak tetap cantik di usianya yang tak lagi muda itu berdeham pelan. Mungkin umurnya tidak jauh berbeda dengan tante Luna,
tapi jelas ia memiliki selera fashion yang lebih tinggi. Ia mengenakan longdress berwarna hitam yang begitu cantik, berhiaskan selendang berwarna emas,
sesuai dengan bunga di kerudungnya. Kuku-kukunya terpotong rapih, kulitnya halus tak bercelah, wajahnya begitu cantik, begitu familiar dengan mataku.
Aku harap kau mengerti dengan maksudku. Ujarnya tenang. Namun bukan padaku, melainkan pada sosok lain di sampingku, sosok yang kini menunduk dalam, seakan-akan
akan segela menciut di balik sepatunya dan menghilang. Aku melirik Amy dengan pandangan perih. Aku tidak bisa membiarkan kalian, Arya adalah putra satu-satunya
di keluarga kami. Kalau sampai dia tidak bisa mendapatkan keturunan, maka silsilah keluarga kami akan berhenti di sini.
Aku merasa tubuhku hampir saja pingsan karena amarah itu.
Aku tidak menyalahkanmu atas masa lalumu. Kau tau, setiap orang memiliki kesalahan. Tapi aku tidak ingin putraku terjebak dengan wanita yang bahkan tidak
memiliki rahim. Terjebak" desisku tidak percaya pada apa yang ku dengar. Mereka saling mencintai. Bentakku keras.
Mungkin jika kau berhubungan dengan pria lain, kau bisa saja menjadi istri kedua atau ketiganya. Namun tidak dengan putraku, dengan keluargaku. Mempersunting
wanita lain ketika sudah menikah adalah sebuah aib yang besar. Aku tidak bisa membiarkan kalian menikah.
Saya mengerti. Jawab Amy. Aku menggeleng keras kepadanya. Apa-apaan wanita itu"!!
Tolong jangan terima Arya kembali, dia baru akan pulang dari makkah besok, dan aku ingin kau tidak menemuinya lagi. Mungkin kau bisa berpura-pura pergi,
atau kau bisa memalsukan kematianmu.
Anda!! geramku marah. Baru saja aku akan beranjak untuk menampar wanita itu, namun cengkraman Amy di tanganku menahanku sedemikian rupa. Membuatku menyerah
pada kepedihan dan amarah itu.
Saya mengerti, maaf telah membuat anda repot-repot datang dari Aceh ke tempat ini. Bisiknya santun, dan itu membuatku muak padanya. Muak pada sikapnya
yang terlalu baik! Baiklah, ku pikir cukup sampai di sini, assalamualaikum& salamnya kemudian pergi begitu saja. Seorang lelaki berjas hitam langsung menghampirinya, memayunginya
bagai ratu, membuatku semakin muak padanya. Namun isakan Amy di sampingku mengalihkan kebencianku. Tubuhku ambruk di bawah kakinya, menangis di pangkuannya,
meneriakan kata tidak adil, entak kepada siapa.
Aku baik-baik saja, ini bukan kali pertamanya aku di campakan oleh cinta. Bisik Amy pelan, mencoba tegar, meski aku bisa merasakan tubuhnya bergetar
hebat. Aku tidak bisa menanggapi kata-katanya. Aku terlalu lelah untuk menjadi tegar. Aku terlalu lelah untuk bersikap sabar dan menerima apa yang takdir
gariskan. Aku muak! Zahra& berjanjilah, kau tidak akan pernah menceritakan kedatangan ibunda Arya hari ini kepada siapapun. Pintanya perih. Aku mengepalkan tanganku dengan
begitu erat, hingga telapak tanganku terasa sakit karena terus tertekan oleh kuku-ku. Lalu aku menangis keras.
*** BRAK! Aku tersentak kaget ketika melihat Arya meninju pintu kamar Amy hari itu. Anna merangkul tubuhku yang bergetar keras, memberikan ketenangan yang menghilang
dari kamus kehidupanku. Raka tidak menghentikan apa yang sahabatnya lakukan, ia hanya duduk dengan mata sendu, menatap lurus pada meja ruang tamu yang
mulai usang. Aku tidak bisa membiarkan ini! teriak Arya. Amy, ku mohon& buka pintunya, izinkan aku menemuimu. Maafkan aku. Aku tidak peduli kalau kau tidak bisa
memberikan keturunan, aku tidak peduli. Aku tetap mencintaimu! Ku mohon& tangisnya di depan pintu kamar sahabatku. Aku menggeleng tidak kuasa menahan
pemandangan perih itu. Amy kita bisa melewatinya bersama. Tubuh jangkung Arya tiba-tiba saja ambruk ke lantai, terduduk bersandar dengan kedua tangan
menutupi matanya. Raka mendesah dan menghampirinya, membimbingnya untuk duduk di sofa.
Pikirkanlah dengan kepala dingin. Pasti ada jalan keluarnya. Tutur Raka. Anna mengangguk di sampingku.
Kalau saja& kalau saja aku yang lebih dulu bertemu dengan Amy dibandingkan pria brengsek itu. Kalau saja, aku bisa melindungi Amy sejak awal!!! geram
Arya marah. Tangannya terkepal keras, rahangnya mengeras, pandangannya menyiratkan kebencian yang teramat sangat. Aku akan membalas siapapun yang sudah
menyakiti gadis yang paling ku cintai, aku akan mengejarnya sampai ke neraka. Akan ku balaskan seluruh luka yang sudah diberikannya kepada Amy. Akan ku
balaskan& Arya istigfar& bisik Anna seraya mengulurkan tangannya untuk menyentuh kepalan tangan pria berdarah Aceh itu.
Amy tidak pantas mengalami luka ini. Aku akan membalaskannya!
Arya& Kau tidak perlu menyalahkan siapa-siapa. Seluruh ruangan mendadak hening ketika mendengar suara lembut Amy dari belakang punggung Arya. Wajah cantiknya
terliat begitu lemah, penuh oleh air mata dan luka. Kalaupun ada yang harus di salahkan, berarti itu adalah aku. Aku tidak ingin meneruskan rencana pernikahan
ini. Bukan karena apapun, tapi pada akhirnya aku sadar, aku tidak bisa berhenti mencintainya. Aku tidak bisa mencintaimu Arya, seperti aku tidak bisa melupakan
ia dari kehidupanku. Ia adalah cinta pertamaku, sosok yang untuk pertama kalinya membuatku merasa aman menjadi diriku sendiri, sosok yang rela mati untuk
melindungiku, sosok yang paling ku cintai seumur hidupku&
Aku tercekat menatapnya, Anna baru saja akan meraih tubuhnya, menawarkan pelukan lain, namun Amy bergerak mundur. Dengan perlahan ia meletakan selembar
foto ke hadapan Arya yang masih tertunduk memandang meja. Aku tidak pernah bisa berhenti mencintai Christopher Reynaldi&
Dan aku merasakan jantungku berhenti berdetak."
*** PRANG Mataku menyipit waspada ketika mendengar suara barang pecah itu. Dengan cepat aku menoleh kearah asal suara itu, dan mendapati ibuku berdiri di depan rak
hitam yang memajang berbagai foto keluarga kami. Sebuah bingkai berwarna hitam jatuh berantakan di depan kakinya. Matanya nanar menatap foto itu, tubuhnya
bergetar entah mengapa. Aku meraih foto itu dan membersihkannya dari pecahan kaca.
Ibu& panggilku pelan. Ibu menoleh dengan mata berkaca-kaca, membuatku kembali diliputi rasa bingung. Ibu aku akan baik-baik saja, ujarku menenangkan.
Ibu merengkuh wajahku dengan kedua tangannya yang hangat, menatap kedua mataku dengan pandangannya yang menyejukan, namun jelas penuh kecemasan. Berjanjilah
kau akan baik-baik saja.. berjanjilah Raihan. Kau putra ibu satu-satunya, harta terbesar ibu& berjanjilah.
Ibu& bisikku sedikit risih. Aku akan baik-baik saja. Jangan khawatirkan aku. Aku hanya ingin ibu menjaga diri ibu sendiri. Aku ingin ibu dan kakek lebih
berhati-hati. Aku akan baik-baik saja. Aku bisa melindungi diriku sendiri, dan aku juga akan melindungi Zahra bagaimanapun caranya.
Ibu mengangguk membuat air matanya kembali menetes. Ibu percaya padamu. Ujarnya penuh keyakinan, dan aku merasa sudah cukup mendapatkan amunisi untuk
diriku sendiri. Ibu maafkan aku& Kau tidak pernah melakukan kesalahan sayang. Pergilah, jemput Zahra, lindungi ia. Kau tidak perlu mencemaskan ibu dan kakek. Ibu memelukku erat, membuat
bulir-bulir semangatku kembali terisi penuh. Membuatku kembali yakin pada apa yang ku lakukan. "Sekali lagi aku membalas pelukan ibu dengan sangat erat,
kemudian mengangguk santun pada sosok kakek yang berdiri di ambang pintu dengan David. Kakek menepuk pundakku perlahan, dan tersenyum ramah.
Semuanya akan baik-baik saja kek. Bisikku.
Kakek tau, sampaikan salam kakek pada Zahra dan yang lainnya. Kakek akan segera menyusul. Aku mengangguk dan berjalan melewati kakek menuju mobilku.
*** Sudah tujuh toko bunga yang kudatangi, namun aku masih belum bisa menemukan bunga tulip yang diinginkan Zahra. Aku tidak ingin menyerah, namun aku benar-benar
merindukan gadis itu. Ah, dia pasti mengerti jika aku tidak membawa bunga yang diinginkannya. toh yang terpenting sekarang adalah keselamatannya. Aku mengangguk
setuju ketika pelayan di toko bunga terakhir yang ku datangi menunjukan bunga lily, Zahra pasti menyukainya.
Senyumanku akan kembali terukir jelas setiap kali aku memikirkan gadis itu, memikirkan tingkah lakunya yang keras kepala namun terasa begitu manis, begitu
mempesona. Gadisku, belahan jiwaku, satu-satunya sosok yang membuatku tak berkutik.
Saya senang melihat tuan muda yang seperti ini& ujar David tiba-tiba. Aku mengernyit, menatap matanya dari kaca spion. Rasanya seperti kembali ke beberapa
tahun yang lalu, ketika nona Christine masih bersama kita. Tambahnya. Tubuhku menegang ketika mendengar nama itu. Tapi kali ini cahaya yang terpancar
lebih indah. Aku menatap lily-lily itu dengan pandangan nanar. Itu adalah bunga kesukaan Christine, satu-satunya bunga yang ku anggap indah. Seindah sosok lemah lembut
itu. Kurasa kita harus membeli bunga lain. Ujarku" pelan. Namun David tidak membawaku ke toko bunga yang lain. Dan aku sama sekali tidak mengatakan apapun
lagi, hanya terdiam sambil terus memandang kelopak putih sang lily.
*** Aku menghentikan langkahku ketika sampai di pintu gerbang panti. Hatiku mulai merasakan kelegaan yang luar biasa, aku bahkan hampir sesak kehabisan nafas
karena merasa terlalu bahagia. Ku genggam erat-erat buket lily di tangan kiriku, senyuman itu kini benar-benar terukir dengan alasan yang pasti. Sosok
itu, sosok cantik yang tengah berdiri di ambang pintu itu adalah satu-satunya alasanku untuk tetap bertahan. Aku tersenyum sambil terus memandangnya, kemudian
dengan perlahan bangun dari kursi rodaku. Berdiri diatas kedua kakiku.
Mata indahnya melebar ketika aku melangkah tertatih kearahnya, ia menutup mulutnya dengan kedua tangannya. Menangis terharu menatapku. Andai saja aku lebih
kuat, mungkin kini aku sudah bisa berlari dan memeluknya, namun aku baru melakukan terapi beberapa kali, hingga otot-ototku masih terlalu keras jika harus
dibawa berlari. Tubuhku mendadak kaku ketika menangkap pandangan Zahra kearah buket lily yang ku bawa. Pada awalnya ia terlihat sedikit terkejut, kemudian tampak terguncang,
lalu tertunduk sedih. Aku mulai merasa kesal kepada diriku sendiri yang tidak terus berusaha mencari bunga yang ia inginkan. Kemudian sosok cantik itu
berbalik, masuk ke gedung panti tanpa berkata apapun. Aku berjalan tertatih mengikutinya memasuki ruang tamu. Zahra menghentikan langkahnya ketika aku
sampai di ambang pintu, kemudian menoleh. Aku tersentak kaget ketika melihat luka di kedua matanya, tangis itu bukan lagi sebuah tangis haru, tapi tangis
itu tampak lebih menyakitkan dari pada tangis yang ku lihat beberapa tahun lalu. Tangis yang mampu meluluhkan seluruh jiwaku.
Aku mengulurkan tanganku untuk meraihnya, menanyakan ada apa, dan memeluknya. Namun Zahra tidak bergerak mendekat atau menjauh. Ia tetap berdiri diam di
tempatnya, memandang perih kepadaku, menyatakan kata menyerah yang tak terdengar. Aku mengernyit tidak mengerti.
Aldi"" panggilan itu begitu lembut. Hingga sejenak ku pikir itu hanya laga hembusan angin yang mempermainkanku. Tapi air mata gadis itu membuatku takut.
Aku tidak ingin melepaskan pandanganku darinya, aku bahkan tidak ingin berkedip, khawatir ketika aku membuka mata nanti sosok cantiknya akan menghilang.
Aldi& kau kah itu""
Zahra memalingkan wajahnya, tersenyum sarkastis kepada dirinya sendiri. Aldi& panggilan itu kembali menggelitikku. Dengan perlahan aku menolehkan kepalaku
ke asal suara itu, dan terpaku di sana. Tersentak oleh detak jantungku yang sejenak berhenti. Aku mulai merasa kehabisan udara, otakku pening, tubuhku
lemas. Namun aku tidak bisa berhenti berpikir. Dengan cepat sel-sel otakku mulai mencerna apa yang di pandang oleh kedua mataku. Menyatukan gambar-gambar
masa lalu, membuka berkas-berkas kenangan yang sudah lama ku buang dalam-dalam, mengorek luka yang baru saja mengering.
Christine& Amanda Christine"" bisikku tidak percaya, sebagian diriku mulai menertawakan kewarasanku yang masih belum bisa melupakan gadis itu, namun
sebagian yang lain mulai merasakan perih yang entah dari mana datangnya.
Aku masih sangat mengingatnya, sosok lemah lembut yang menjadi satu-satunya gadis yang mampu membuatku dimabuk karena cinta. Gadis yang mampu mengubah
duniaku, membuatku begitu kuat dan rapuh pada waktu yang bersamaan, gadis yang membuat diriku seperti saat ini. Namun sosok cantik itu sedikit berbeda
dengan sosok Amanda Christine yang ku kenal, sosok lugu yang lemah lembut. Ia masih tampak sangat cantik, dengan tatapan lembut yang menyejukan, yang membuat
siapapun luluh di hadapannya.
Gadis cantik berkerudung abu-abu itu berjalan mendekat. Ia melirik buket lily di tanganku sekilas, kemudian tersenyum tipis. Wajah cantiknya tampak begitu
lelah menghadapi hidup. Ia mengulurkan tangannya untuk menyentuh wajahku. Tubuhku menegang kaku ketika merasakan sentuhan tangannya yang dingin. Ini seperti
mimpi. Melihat mata indahnya kembali terbuka, berbinar penuh air mata, wajah cantiknya yang lembut, senyumannya yang menawan. Ini adalah mimpiku, tapi
mimpi beberapa tahun yang lalu& mimpi yang kerap ku harapkan menjadi nyata sebelum hari ini.
Kau masih hidup& tanyanya tidak percaya. Aku tidak mampu menjawab. Tubuhku sudah terlalu lelah untuk sekedar mengangguk. Terlebih jantungku kini sudah
jatuh begitu saja, tepat ketika sosok cantik di sebrang ruang tamu itu berpaling dan berlari pergi.
*** DIPOSTING OLEH CHERRY ASHLYN ::
4 KOMENTAR LABEL: PELANGI HITAM PUTIH Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda Langganan: Postingan (Atom) ENTRI POPULER list of 10 items 01/i-found-you-in-london-10
I Found You In London -10-
"Kian... Kian... Kian bangun. Kian, kamu kenapa"" Keysha mengguncang bahuku keras. Jam masih menunjukkan pukul 2 pagi ...
02/adinda ADINDA Matahari pagi menyinari wajahku, membawa ke hangatan yang merasuk ke dalam jiwaku. Pagi ini ku lewati seperti biasa. Berangkat ke kamp...
09/mr-right-04 MR. RIGHT -04- PROFESOR PEDOFILIA- Aku masih sesekali terkikik ketika mengingat kata-kata Vian dan ekspresi kedua sahabatku ketika mendengarnya...
01/cahaya-cinta-08 CAHAYA CINTA -08- Anna!! Anna bangun!! teriak Raihan pani k di tengah kelamnya malam. Ia mengguncang-guncang tubuh Anna yang masih berteriak-teriak d...
07/pelangi-hitam-putih-25
PELANGI HITAM PUTIH -25-

Pelangi Hitam Putih Karya Cherry Ashlan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ZAHRA Bibi tidak akan mengizinkanmu pergi jika itu karena masalah Raihan. Aku menghentikan gerakan memasukan barang ke dalam tasku...
*** Aku membanting pintu di belakangku dengan kasar, namun tidak cukup keras untuk menarik perhatian siapapun. Lagi pula semua perhatian saat ini tengah berpusat
pada mereka, bukan aku. Atau mungkin kini orang-orang tengah mencoba untuk menghindari kenyataan yang tengah hadir di hadapan mereka" Menghindariku"
Aku tidak ingin berburuk sangka pada siapapun, pada apapun. Tapi yang kini hadir dalam benakku adalah pernyataan-pernyataan buruk yang akhirnya membuatku
enggan kembali berdiri. Aku lelah ya Allah& aku lelah&
*** Pelangi itu& pelangi terindah yang pernah ku lihat. Muncul tiba-tiba setelah berhentinya tetesan hujan terakhir.
Pelangi itu& pelangi teristimewa yang pernah muncul, melengkung sempurna, membuat bentuk setengah lingkaran yang menawan, menemani dinginnya senja, menceriakan
hari setelah hujan kemarin&
Tapi pelangi itu bukan milikku, bukan untuk ku sentuh, hanya ku kagumi dalam diam, duduk menanti di balik temaram cahaya petang, duduk menanti& lalu mati.
""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""" Zahra
*** Aku baik-baik saja& ujarku ketika Anna membuka pintu kamarku yang tak terkunci. Ia berdiri beberapa saat di sana, menggenggam pegangan pintu dengan cukup
erat. Kemudian menundukkan wajahnya. Aku mendesah sarkastis ketika mendengar isakan pelan dari belakangku. Ku genggam erat-erat pulpen di tanganku, mencoba
meredam kemarahan pada diriku sendiri. Pergi Ann& aku baik-baik saja. Pergilah. Pintaku lirih. Namun Anna sama sekali tidak bergerak.
Aku menggebrak mejaku dengan keras, kemudian berjalan mendekati Anna, menariknya masuk ke dalam kamarku, dan menutup pintu di belakangnya. Aku membimbingnya
untuk duduk di tepi ranjangku dengan kasar, membiarkannya menangis seperti itu untuk sesaat. Hentikan tangisanmu sekarang. Aku tidak ingin Amy sampai
melihat air matamu. bentakku dingin.
Zahra& maafkan aku..
Maaf""! tanyaku tidak percaya. Maaf untuk apa"! teriakku. Maaf untuk apa Anna""!! Kau tidak melakukan satu kesalahan pun kepadaku, tidak pernah. Tidak
ada yang salah, kecuali diriku sendiri yang dengan bodohnya bersedia kembali diperdaya oleh cinta.
Zahra& Cukup Ann& jika kau terus meminta maaf, itu malah akan menyakitiku. Tidak bisakah kau cukup bersikap tidak peduli" Bersikap seolah-olah kau tidak tau
bagaimana perihnya hatiku" Bersikap seolah-olah tidak pernah ada masalah ini" aku jatuh terduduk di hadapannya, menggenggam erat tangannya yang gemetar.
Ini memang sakit Ann, tapi aku sudah biasa. Aku bahkan hampir tidak merasakan perih itu, semuanya terasa kebas. Dan aku akan baik-baik saja. Bukankah
itu yang akan terjadi setiap kali ada pertemuan" Sebuah perpisahan&
Aku pernah merasakan luka yang paling menyakitkan. Ketika Ayah dan bundaku pergi hari itu. ketika aku harus memastikan bahwa kedua jasad kaku yang hangus
itu adalah kedua orang tuaku. Kau tau betapa sakitnya hatiku saat itu" pada detik pertama, seluruh tubuhku langsung menyangkal, aku menutup mataku pada
kenyataan itu, berharap jika itu memang bukan mereka. Tapi setengah detik kemudian, hatiku menyerah. Mataku terus menangisi kedua jasad itu, membuatku
muak pada diriku sendiri yang merasa kalah dibodohi oleh ilusi dan polisi itu. mereka bukan ayah bundaku& bukan&
Itu masa lalu& dan sejujurnya seluruh kejadian yang telah ku lewati sudah membuat hatiku hancur sedemikian rupa. Kebas, tak lagi memiliki rasa. Jadi kau
tenang saja, kisah ini& Raihan& dan Amy, mereka tidak akan mampu melukaiku& Raihan tidak akan bisa melukai hatiku yang sudah hancur.
Aku- Berhentilah mengasihaniku, aku akan baik-baik saja. Ujarku dengan sebuah senyuman yang tidak menyentuh mataku. Anna meraih tubuhku, memelukku dengan
sangat erat, membuatku sejenak terbuai, dan mulai merasakan perih itu. namun getaran ponsel di saku gamisku membuyarkan semua rasa yang hadir. Aku melepaskan
pelukan Anna dan meraih ponselku.
Telepon dari tante Luna. Anna mengangguk ketika aku menoleh kepadanya, meminta persetujuannya. Assalamualaikum& salamku setenang mungkin.
Walaikum salam Sayang& bagaimana keadaanmu" Kau baik-baik saja nak" Tante sedang dalam perjalanan ke panti. Kau tenanglah di sana. Tante akan segera sampai.
Aku tertunduk dalam ketika merasakan sebuah jarum kecil menusuk jantungku. Perih itu begitu samar, namun tetap tidak bisa diabaikan. Aku tidak tau apa
yang harus ku katakan, aku tidak baik-baik saja, namun aku mencoba untuk baik-baik saja, atau mungkin berpura-pura" Aku tidak ingin membohongi diriku sendiri,
tapi aku tidak bisa menerima kenyataan bahwa aku memang terluka. Zahra bicaralah& baru saja Raihan menelepon, dia bilang ada masalah yang sangat gawat.
Aku tersenyum sarkastis, jadi sekarang masalah Amy adalah masalah yang sangat gawat""
Ada apa sebenarnya sayang" Tanya tante Luna cemas. Aku menguatkan hatiku, menarik nafas dalam-dalam, menyiapkan sebuah antisipasi akan masalah yang mungkin
sebentar lagi ditimbulkan oleh kata-kataku.
Tidak ada masalah yang terlalu serius tante& hanya kedatangan kembali Amy, Amanda Sarah& maksudku Amanda Christine& ralatku ketika mengingat bagaimana
Raihan memanggil Amy di ruang tamu. Untuk sepersekian detik aku tidak mendengar apapun dari sebrang sana, bahkan rasanya aku tidak bisa mendengar hembusan
nafas tante Luna, dan itu membuatku khawatir apakah ia baik-baik saja atau tidak.
Bagaimana bisa ia kembali menemukannya" tanya tante Luna, aku mengernyit, tidak memiliki jawaban. Tapi pada akhirnya aku tau pertanyaan itu bukan di
tujukan padaku, melainkan pada dirinya sendiri.
Tante mengenalnya" tanyaku lagi. Kemudian tante Luna terdiam lama. Sebuah fakta kontra dari pernyataan tidaknya beberapa detik kemudian. Tante& aku
lelah menjadi satu-satunya orang yang tidak memiliki bayangan apapun dalam masalah ini.
Tidak Zahra, kau tenanglah, itu bukanlah masalah besar. Kau akan tetap baik-baik saja, tante akan terus mendukungmu.
Tante, aku sedang tidak mencari pendukung. Aku hanya ingin tau apa yang tengah terjadi, itu saja& bisikku lirih. Anna merangkul pundakku ketika tetesan
air mata itu menghampiri kelopak mataku.
Christine adalah mantan kekasih Raihan.
Aku tau itu& Mereka bertemu ketika sama-sama kuliah di Belanda beberapa tahun yang lalu. Raihan sangat tergila-gila padanya. Ia bahkan sampai dua kali membawa Christine
pulang bersamanya, menemui kakek, tante dan Alan. Kami semua menyukainya, ia adalah gadis yang sangat mudah dicintai&
Kisah Si Rase Terbang 3 Pendekar Rajawali Sakti 115 Pusaka Pantai Selatan Kesatria Baju Putih 18
^