Pencarian

Setannya Kok Beneran 2

Setannya Kok Beneran Karya Dyah Ratna Bagian 2


Pak Chandra mengerutkan keningnya.
"Halah..., dukun kemaren itu saja sudah
keok! Apalagi, mereka-mereka: ini yang dukun
palsu!" Pak RT menjadi gelisah. Perasaannya sama
sekali tidak enak pada tamu-tamunya. Apalagi,
mereka bukan tamu sembarangan. Mereka ini,
kan, ahli pengusir hantu yang diakui secara na
sional. Namanya saja Sang Penakluk.
Pak Chandra.... Pak Chandra menepis. "Lihat saja nanti! Kalau terjadi apa-apa...
saya nggak mau tanggung jawab!"
Setelah berkata seperti itu, Pak Chandra
pun pergi dengan wajah sebal.
Doni, yang menyaksikan situasi tak menge
nakkan itu, segera maju menghampiri Pak RT.
Dia ingin acara dipercepat saja daripada me
nimbulkan keributan yang tidak diinginkan.
Dan, semakin cepat acara selesai, semakin cepat
juga mereka akan mendapatkan uangnya.
"Bapak RT, nanti acara kita di mana" Di
gedung balai desa atau di lapangan depan itu
kah"" Pak RT yang ditanya berpikir sejenak.
"Acara"" jawabnya seolah balik bertanya.
Dia termangu-mangu sebelum menjawab de
ngan mantap. "Oooh... ya, di rumah kontrakan
Bu Chandra, Pak.... "
Doni menatap Pak RT dengan wajah bi
ngung., "Di rumah"" Lalu, ia melihat ke arah war
ga yang berkerumun. "Ododo'e
... mana cukup" Sekarang aja, warga yang berkumpul sudah
sagini banyak tho.... "
Pak RT mengangguk-angguk sambil terse
nyum. "Oooh... iya, betul. Tapi, kami di luar saja,
kok, Pak. Biar Ki Ferdi dan teman-temannya
saja yang masuk ke dalam rumah. Kami semua
sudah pemah lihat, kok...."
Yatno langsung menukas, "Lihat apa, Pak""
"Ya ... pocong.... "
Seketika, hilanglah senyuman di wajah
ketiga anggota Sang Penakluk. Wajah mereka
menjadi kaku. Semua menatap Pak RT tajam.
"Karena itulah kami meminta pertolongan
Ki Ferdi... kami sudah nggak tahu lagi bagaima
na caranya mengusir pocong di rumah itu...."
"Se'... se'... opo tadi Pak RT. ocong.
"Iya, Ki Yatno. Setan pocong...." Pak RT
menunduk sedih. "Po... pocong... beneran"" Yatno masih
berharap Pak RT tidak serius.
Pak RT mengangguk pasti. "Iya,Ki. Pocong beneran. Setan beneran.
Masa bohongan""
Ketiga pemuda berpakaian hitam itu secara
bersamaan langsung menoleh ke arah Doni.
Pandangan mereka seolah ingin melumat
habis rekannya itu. Doni mencoba mengalih
kan pandangan ke arah lain dengan gayanya
yang sombong. "Lu gila, ya, Don! Lu kan tahu selama ini
kita cuma akting aja jadi dukun! Nah, sekarang
kita disuruh ngusir maki Doni habis-habisan. Mereka berempat ditempatkan di rumah
Pak RT sebelum "beraksi". Sebelumnya, mere
ka telah menutup jendela dan pintu rapat-rapat
karena tak ingin diskusi mi terdengar oleh
warga. "Guoblok! Maen terimo ae...," kata Yatno
sambil memukul kepala Doni.
Doni pun merapikan rambutnya. Ia sen
diri tak menyangka Pak RT mengundang Sang
Penakluk untuk beraksi menghadapi setan
beneran. Mungkin tadi pagi, ia terlalu berse
mangat ingin mendapat uang hingga tak men
dengarkan dengan saksama permintaan Pak
RT di telepon. "Eh, mana torang tahu bakal ada setan be
neran. Ferdi menghela napas panjang.
"Ngeliat setan beneran aja belum pemah.
Gimana kita mau ngadepinnya""
"Terus kumaha A' Ferdi" Kita kabur""
Ferdi mengelus dagunya sambi! berpikir
keras. "Kalau kita kabur, ya, kebongkar rahasia
kita nggak bisa ngusir setan... kita bukan du
kun!" Yatno memandang rekannya dengan wa
jah memelas. Wajahnya mengisyaratkan an
tara takut akan menghadapi setan dan takut ra
hasianya terbongkar di hadapan warga di luar
yang jumlahnya lebih banyak dari mereka.
"Oalaah... terus, piye tho Mas" Opo kita
ngadepin aja setan beneran, Mas...."
Suasana hening. Semua berpikir keras.
"Bisa!" Ferdi bangkit dari kursinya, "Percu
ma, dong, gue jadi salesman MLM kalau nggak
bisa meyakinkan orang. Mana duitnya!"
Semua mengeluarkan uang yang sudah
dibagi-bagi tadi dari dalam kantong masing
masing. Ferdi pun keluar diikuti dengan yang
lain, siap menghadapi warga desa di luar.
KABUR! Kini, Ferdi dan teman-teman telah berada di
hadapan warga desa. Warga tengah menanti
apa yang akan dikatakan oleh mereka. Ferdi
berdehem sebentar, sebelum berkata dengan
suara yang penuh keyakinan.
"Bapak-bapak, ibu-ibu, dan adik-adik se
muanya... sebelumnya kami minta maaf. Kami
tidak siap mengusir setan yang ada di desa
ini." Terdengar suara desah kecewa dari warga.
"Karena pengusiran setan itu bukan hal
yang mudah. Butuh prosesi dulu, Pak. Mohon
maaf sekali lagi, kami juga ada jadwal shooting
yang mendesak. Dan... soal uang itu...." Ferdi
berhenti sejenak, lalu melanjutkan dengan sua
ra pelan. "Kami kembalikan saja."
Dengan berat hati, ia menyerahkan amplop
berisi uang ke tangan Pak RT. Semua warga
yang ada di sana membisu.
"Tolonglah, Ki... sekali ini saja," kata Bu
Chandra memohon. Suaranya terdengar dari
kerumunan warga. Ferdi mengangguk khidmat.
"Maaf, Bu," ujamya tegas.
Tiba-tiba, terdengar suara Pak Chandra
dari tengah kerumunan. "Tuh, kan, palsu! Haaahhh... basii.... !"
Setelah berbicara keras, Pak Chandra me
langkah meninggalkan kerumunan warga. Fer
di menarik napas panjang. Tak sengaja, Ferdi
melihat Doni masuk mobil dan mengemudi
kan mobil mereka, pergi melarikan diri. Dia
ingin mengejar rekannya itu, tetapi Ferdi juga
harus menghadapi warga yang
Sang Penakluk tetap beraksi untuk mereka.
"Mungkin lain waktu, ya, Bu Andi
mencoba meyakinkan seorang ibu.
"Kalau nggak sama Ki Ferdi, kita nggak
tahu lagi setan itu bisa diusir oleh siapa...,"
kata seorang warga yang nyaris menangis.
"Apa jadwal shooting nggak bisa menung
gu, Ki Ferdi"" Ferdi menggeleng. Kedua belah tangan
nya menangkup di dada memohon maaf dan
dengan wajah serius ia berkata khidmat.
Maaf, Pak.... Mereka bertiga berjalan menjauhi keru
munan dengan langkah gontai dan wajah yang
sedih. Warga menatap hingga ketiganya meng
hilang di ujung jalan yang menikung.
Andi tak sabar mendekatkan bibimya ke
telinga Ferdi. "A' Ferdi... tahu jalan keluamya, kan""
Malam itu, jalan desa gelap gulita. Suara
binatang malam terdengar riuh rendah di ke
jauhan. Suara-suara yang hanya dapat dide
ngar di pedesaan itu yang membuat suasana
menjadi mencekam. Di tengah jalan, Ferdi, yang berada di de
pan, berjalan tergesa-gesa dengan membawa
segala perlengkapan mereka. Di belakangnya,
menyusul Yatno dan Andi yang memegangi
baju rekannya di depan. Andi selalu memerha
tikan sekeliling dengan wajah cemas.
"Gue sumpahin, tuh, si Doni... mana jauh
lagi dari jalan gede! Nggak ada ojek lagi!" Ferdi
menggerutu. Tiba-tiba, terdengar suara bergemerisik
dari arah kebun singkong di tepi jalan yang
gelap. Andi langsung menarik baju Yatno hing
ga rekannya terhenti seketika.
"Tah! Eta suara naon, Yat""
Mereka berdua berhenti dan mendengar
kan dengan saksama. Wajah Andi dan Yatno
sama-sama diliputi kecemasan.
"Ora weruh... opo, Ndi""
Ferdi yang berada di depan mereka jadi
ikut berhenti dan menoleh ke belakang.
"Suara apa, sih""
Suara binatang malam kembali terdengar
di kejauhan. Andi menatap dengan saksama ke
arah kebun singkong. Dia mencoba menang
kap setiap gerakan meski dalam keremangan
nyaris semua daun seolah bergerak halus.
Yatno menyipitkan mata memandang ke
ujung jalan. Dia menghela napas panjang.
"Perasaan dari tadi jalannya gelap terus.
Mana ujungnya, ya""
Andi merapatkan diri pada Yatno. Mereka
bertiga kini berhenti dan berdiri berdekatan.
"Yat, katanya ... katanya... rumah yang ada
pocongnya teh ada di ujung jalan... kira-kira ...
kira-kira ... ujung jalan ini laen, ya, Yat""
Yatno menoleh. Ia juga teringat kembali
akan masalah pocong di desa tadi.
"Jangkrik! Sampeyan kalau takut, ojo ngelu
arke suara...! Meneng ae...!"
Ketiganya memandang sekeliling dengan
wajah takut. Tiba-tiba, di tengah keheningan malam
itu terdengar suara tertawa perempuan yang
terkikik melengking panjang. Yatno dan Andi
terlompat kaget. Sementara, Ferdi malah ter
tawa. Ia mengeluarkan ponselnya.
"Mbok, ya, diganti nada deringnya, Mas ...
jangan yang bikin jantungan begitu...."
Ferdi menekan tombol menerima telepon.
"Wah, panjang umur loe, Rin... dari tadi
gue teleponin nggak bisa-bisa. Sekarang, elo
lagi ada di mana" Jemput gue, dong...."
Yatno dan Andi berpandangan. Detik beri
kutnya, mereka melompat kegirangan. Seka
' rang, tak ada lagi pocong-pocongan! Ririn akan
menjemput mereka. Hore....
"Lho" Bukannya elo sama Doni" Gitu, ya,
dapet joh nggak bagi-bagi...."
Ferdi mendengus. "Job apaan"! Doni brengsek itu ninggalin
kita di ujung dunia begini.... Kita nggak tahu
jalan keluamya, nih."
, Terdengar suara Ririn khawatir.
"Ninggalin di mana""
"Itu anak udah nipu kita! Sekarang, gue
nggak tahu posisi ini di mana. Elo bisa jemput
kita, kan, Rin" Please...."
"Gue harus gimana, dong, jemputnya"
Kan, gue juga nggak tahu...."
Ferdi berpikir sejenak sebelum melanjut
kan. "Elo cari Doni, deh. Dia tadi pulang bawa
mobil kantor. Pasti dibalikin juga ke kantor."
"Oke. Oke. Gue cari Doni dulu, deh. Nan
ti, gue kabarin, ya."
"Makasih, ya, Rin."
Klik. Andi dan Yatno tersenyum.
"Akhimya, ada yang jemput kita...."
Ferdi melangkah maju. "Kita nunggu di depan aja, agak terangan.


Setannya Kok Beneran Karya Dyah Ratna di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Di sini serem...." Mereka bertiga pun berjalan bersisian.
Namun, di tengah perjalanan, tiba-tiba, Ferdi
menghentikan langkahnya. Ia menyadari po
sisinya yang berada di tengah, kemudian ia
pindah ke sisi kanan hingga kini, Yatno-lah
yang berada di tengah. Yatno memandang Ferdi bingung.
"Ono opo, Mas""
"Kata nenek gue, kalau berjalan bertiga,
yang di tengah suka diambil setan...."
Uooh.... Mereka berjalan kembali. Perlahan, Yatno
bergeser ke sisi sebelah kir
i hingga Andi berada di tengah. Andi yang tersadar berada di tengah
segera menggeser ke sebelah kanan. Mereka
sibuk menggeser posisi hingga lupa akan keta-
kutan semula. HAJI SENEN Pak Chandra yang meninggalkan kerumun
an warga masuk ke dalam rumah dengan bersu
ngut-sungut. Wajahnya keruh bercampur ke
sal. "Sudah jelas tampangnya kayak salesman
begitu, masih ada aja yang percaya mereka itu
dukun sakti! Edan!" makinya.
Dihempaskannya tubuhnya di sofa ruang
tengah. Ia mencoba memikirkan sesuatu. Tiba
tiba, seakan teringat akan seseorang, ia men
jentikkan ibu jarinya. "Astaga! Kenapa nggak minta tolong sama
Pak Haji Senen, ya" Bego!" ujamya sambil me
nepuk dahinya berulang-ulang.
Pak Chandra menyambar ponsel di atas
meja. Mencari nomer telepon Pak Haji Senen,
dan menekan tombol 'Call' di ponselnya..
"Halo" Assalamualaikum Pak Haji... Chan
dra, nih, Pak Haji...."
Dari seberang sana, terdengar suara dalam
dan menyejukkan. "Wa'alaikumsalaam... apa kabar, nih, Pak
Chandra"" "Alhamdulillah baik, Pak Haji.... Saya mau
minta tolong, nih, Pak Haji. Bisa ke sini malam
ini, Pak" Ada setan pocong yang menghantui
warga di sini...." "Setan pocong" Masya Allah... tapi, Pak
Chandra, sebenamya nggak perlu saya, kok.
Pak Chandra sendiri bisa,kok, asal Pak Chan
dra kuat imannya. Insya Allah beres...."
Pak Chandra mengusap peluh di dahinya.
"Waduh, Pak. Nggak mungkin, Pak. Saya
minta tolong banget, nih, Pak. Malam ini, Pak
Haji datang ke desa ini."
Sunyi di ujung sana. "Baik. Baik, Pak Chandra. Saya akan da
tang malam ini." "Bener, Pak Haji" Bener, ya" Terima ka
sih, Pak Haji. Klik. Pak Chandra menutup ponselnya.
KEMBALI "Tadi, teh waktu kita ke sini, lewat ku
buran, kan, ya""
Andi semakin kencang memegangi baju
Yatno yang berada di sisinya. Ia sekarang
berada di tehgah di antara Yatno dan Ferdi.
Terpaksa, karena kedua rekannya memega
ngi tubuhnya yang kurus dan kecil agar tidak
bergeser lagi. Suara binatang malam dan anjing yang
melolong di kejauhan membuat bulu roma
mereka berdiri. "Iyaa..." Yatno juga baru tersadar dan ingat
kejadian sore tadi sewaktu mereka datang de
ngan mobil dan melewati kompleks pemaka
man desa yang menyeramkan.
Andi menunjuk dengan dagunya ke arah
depan. 'I... Itu... bukan"" bisiknya pelan.
Sekitar berjarak seratus meter di depan
mereka, terlihat siluet batu-batu nisan yang
mencuat dari dalam tanah. Di atasnya, ka
but tebal menggantung menebarkan hawa di
ngin menusuk tulang. Pohon-pohon kamboja
yang daunnya rontok memberikan bayangan
mengerikan di atas tanah pemakaman itu.
Sreeek... sreeek.... Tiba-tiba, terdengar suara langkah kaki
yang diseret di atas kerikil. Langkahnya
mendekati mereka bertiga dari arah pemakam
an. Yatno memandang Andi dengan raut
wajah takut. Pikirannya dipenuhi bayangan
macam-macam. "Kalau sampeyan tanya lagi itu suara opo,
aku nggak ngerti... sumpah!"
Saat mereka menduga-duga suara pakah
itu, di tengah keheningan terdengar sebuah su
ara nenek-nenek yang memanggil lirih.
"Jaaang.... " Ketiganya terlonjak kaget. Mereka terpaku
di tempatnya berdiri sambil memasang telinga.
Bunyi jantung ketiganya bertalu-talu mengisi
kesunyian malam. Dan... BRAKK...!! Suara tumpukan kayu
yang dihempaskan ke tanah membuat keti
ganya tidak lagi berpikir dua kali. Ferdi me
mimpin teman-temannya berlari menuju kam-
pung. Meninggalkan seorang nenek tua yang
mengusap keringatnya dan duduk bersimpuh
di atas setumpuk kayu bakar.
"Waah... dimintai tolong, kok, malah ka
bur...," sungut si nenek kesal.
Di depan rumah Pak RT, masih tersisa be
berapa warga saja yang setia menunggu. Pak
RT dan Bu C lesu. Bagaimana tidak, satu-satunya harapan
telah hilang musnah. Sang Penakluk sudah
pergi meninggalkan desa. Artinya, mungkin
pocong Sari selamanya akan tinggal di rumah
kontrakan itu. Tiba-tiba Novi bangkit dari duduk. Ia
menyipitkan mata, memandang ke ujung ja
Ian yang gelap dan berkabut. Di sana, berjalan
dengan gagahnya tiga sosok berpakaian hitam
menuju rumah Pak RT, membawa perlengkap
an di tangan masing-masing. Di belakangnya,
tampak sinar yang menerangi siluet ketiga-
nya. Novi tersenyum. "Ma.... Lihat!" katanya sam
bi! menunjuk ke arah Ferdi. Bu Chandra menoleh ke arah yang ditun
juk putrinya. Ia bangkit dan menatap ketiganya
dengan takjub. Sinar dan asap yang menerangi
siluet mereka seakan membuat mereka benar
benar pahlawan yang diharapkan.
"Mereka kembali! Sang Penakluk kemba
li!" Tiba-tiba, dari arah belakang sebuah motor
menyalib ketiganya. Dan, mendadak hilanglah
sinar dan asap yang melatarbelakangi bayang
an Sang Penakluk. Yatno yang melihat rumah Pak RT kem
bali, menarik tangan Ferdi tak percaya.
"Kok, kita balik ke sini lagi, sih, Mas""
Ferdi berbisik. "Ya, mau ke mana lagi" Mau ke kuburan
angker itu" Gue, sih, ogah... lagian di sini, kan,
kita bisa cari cara untuk balik, sambil nunggu Ri
nn. Kembali ke tengah warga, Ferdi, Yatno,
dan Andi terpaksa mengumbar senyumnya.
Meski dalam hati, ada ketakutan luar biasa
yang harus mereka hadapi bertiga.
Bu Chandra menyambut dengan senyum
an hangat. "Ki Ferdi mau mengusir setan pocong itu,
kan,ya"" "Kami...." Ferdi tak sanggup melanjutkan
kalimatnya. ia menatap Novi yang melempar
kan sen Warga kembali bersorak. "Akhimya. ..!" Pak RT sibuk menyalami
Sang Penakluk yang akan membantu warga
di desanya. Warga yang lain berebutan ikut
mengulurkan tangan memberi salam. Ferdi dan
kedua temannya hanya bisa tersenyum pasrah,
menanti nasib yang akan menimpa mereka di
desa antah berantah itu. BAGIAN EMPAT Sang Penakluk Beraksi di Rumah Sari
Ferdi berjalan bersisian dengan Pak RT me
nuju rumah kontrakan Sari yang mengheboh
kan itu. Di belakangnya, menyusul Yatno dan
Andi diikuti oleh sejumlah warga yang ingin
menyaksikan sendiri pahlawannya beraksi.
"Ki Ferdi, kami berharap setan pocong
ini berhasil diusir. Tolong kembalikan lagi ke
alamnya, supaya masyarakat di sini bisa hidup
tenang kembali...." kata Pak RT berharap de
ngan sungguh-sungguh. Dari nada suaranya,
Ferdi mengerti, beban yang dirasakan Pak RT
selaku pemimpin di desa itu amatlah berat.
Kepercayaan warga kepadanya akan hilang
seiring dengan perasaan takut dan mencekam
yang menghantui warga desa itu.
Ferdi mengangguk-angguk meskipun ia
sendiri tak tahu apa yang harus dilakukannya.
"Kami akan coba, Pak.... Doakan kami, ya,
Pak." Di halaman rumah Sari, Pak RT dan warga
berhenti mengantarkan Sang Penakluk. Ketiga
pahlawan maju selangkah memasuki halaman.
Ferdi menatap rumah kontrakan di depannya.
Ia menelan ludah. Ferdi berbalik menatap kedua rekannya.
Keduanya menatapnya penuh tanya.
"Yakin, A' kita masuk ke dalam sekarang""
suara Andi berbisik dengan gemetar.
Ferdi menjawab tanpa emosi.
"Lihat aja nanti gimana.... Mana keris
gue"" Tangan Ferdi yang gemetar menerima
keris yang disodorkan Yatno padanya.
"Kok, sampeyan gemetar, Mas""
Ferdi melotot. "Ya, iyalah... emangnya elo nggak gemetar
mau hadapi setan beneran""
Yatno tertegun. ia baru menyadari sesaat
lagi mereka akan menghadapi setan pocong
sungguhan yang diributkan warga desa. Se
langkah lagi.... "Terus, Mas... rencana Mas Fer opo"" bisik-
nya. "Ya'elaa... ya, kita beraksi kayak lagi shoo
ting aja!" Andi pun menyahut riang. "Wah... asyik atuh ari kitu mah... paling
setengah jam juga selesai, kan, A'" Nyaa... nteu
nanaon...." "Makanya, serius dikit biar keliatan oke...
kalau bisa, sih, ngalahin aktingnya dukun be
neran." Mereka bertiga pun maju mendekati ru
mah. Angin bertiup menerbangkan dedaunan,
yang jatuh menerpa kaki Ferdi dan kedua te
mannya. Mereka berdiri di teras rumah, mena
tap kegelapan di beberapa sisi rumah. Lampu
samping tampak remang-remang.
Yatno memegangi tempat kemenyan yang
sudah dinyalakan, dia berkomat-kamit mem
baca mantra-mantra. "Hiyaaaaaaaaaaahh...." Ferdi berseru hing
ga mengagetkan kedua temannya. Nyaris saja
tempat kemenyan terlepas dari genggaman
Yatno. Namun, keduanya langsung menyambut
teriakan pembukaan yang dilakukan Ferdi
dengan lincahnya. "Hiyaaaah...!" Mereka bertiga mengeluarkan jurus-jurus
pembukaan setiap adegan shooting di televisi.
Kata Bos production house, adegan pembukaan
merupakan adegan yang paling penting untuk
menarik penonton mengikuti acara sampai se


Setannya Kok Beneran Karya Dyah Ratna di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lesai. Jadi, mereka rela berpeluh-peluh untuk
mempelajari jurus-jurus silat yan
g mereka gu nakan untuk pembukaan ini.
Selanjutnya, mereka duduk mengelilingi
kendi dan tempat kemenyan. Ferdi mengang
kat kerisnya tinggi-tinggi. Dan, dengan khid
mat, ia mengasapi kerisnya dengan asap keme
nyan. "A' nanti kalau kita udah bilang setannya
masuk kendi... terusnya gimanah"" bisik Andi
pada Ferdi yang pura-pura memusatkan kon
sentrasinya. "Kita bilang aja rumah ini baru bisa dibuka
tiga tahun lagi. Oke"" bisik Ferdi tanpa meng
gerakkan kepalanya. Andi dan Yatno mengangguk bersamaan.
"Siiip, deh.... "
Mereka bangkit melompat dalam waktu
bersamaan. "Yah, begini kalau jadi dukun top.... nggak
akan lagi, deh, jadi dukun kalau menghadapi
setan begini...," keluh Ferdi pura-pura.
"Ki Ferdi pasti bisa!" seru Bu Chandra dari
kerumunan warga. Ferdi tersenyum melihat Bu Chandra.
"Mama!" Novi di sebelah mamanya me
nyenggol mengingatkan mamanya.
Sejurus kemudian, Ferdi dan kedua rekan
nya melakukan gerakan-gerakan silat yang
biasa mereka lakukan di kala shooting. Mere
ka mengumpulkan energi di tengah bersama
sama, tetapi kali ini, mereka tak berhasil me
nahan energi yang demikian besamya. Dan...
mereka terpental dan jatuh berguling-guling.
Warga pun mendesah prihatin.
Sang Penakluk memulai lagi dari jurus
semula. Gagal lagi. Kali ini, Andi terdorong
hingga agak jauh ke belakang.
"Yaah... kok gagal, sih"" Seorang warga
mengeluh kecewa. Ferdi mengelap peluhnya. "Ayo, sekali lagi...! Jangan gentar!" Mere
ka sengaja melakukan kegagalan-kegagalan itu
untuk memperlihatkan pada penonton tele-
visi bahwa hantunya bukan sembarang hantu.
Agar penonton membayangkan kekuatan setan
yang dihadapi demikian besamya hingga Sang
Penakluk membutuhkan usaha yang berkali
kali hingga berhasil. Ferdi melompat lincah ke depan. Ia merun
duk, menggulung kekuatan gaib di bawah
lengannya. Andi yang sudah hapal kodenya,
melompat menaruh kendi di tengah. Lalu,
mereka bertiga bersama-sama menekan kekuat
an gaib ke dalam kendi. Andi berteriak keras
dan menutup kendinya. Warga yang menyaksikan atraksi itu ter
perangah dan terdiam. Sua sana hening. "Hiyaaaaaaaaaaaaaaaahhh!" Andi menu
tup atraksi dengan jurus terakhir.
Ferdi dan kedua rekannya tersenyum
menatap warga. Mereka mencoba mengatur
napas mereka yang habis-habisan.
Tiba-tiba... BLAAKK! Pintu rumah Sari
terbuka sendiri. Sang Penakluk terlonjak kaget, tetapi mere
ka segera bergaya dalam jurus-jurus silat un
tuk mengatasi rasa kagetnya. Tak menyangka
pintu akan terbuka sendiri, membuat jantung
Ferdi dan teman-temannya bertalu-talu.
Warga bertepuk tangan menyaksikan hal
itu. "Nah, pintunya terbuka, kan" Apa saya bi
lang, Ki Ferdi memang paling top...." Pak RT
bertepuk tangan paling keras.
Sementara itu, bau menyengat keluar dari
pintu yang terbuka mendadak itu. Beberapa
warga menutupi hidungnya. Entah dari mana
bau itu berasal. "Hek, siah.... Mati kita, A' . ... Kumaha ayeu
na"" bisik Andi.
Ferdi tampak panik. Keringat bergulir di
pelipisnya. Di belakang mereka, warga riuh rendah
menyemangati. Termasuk Novi yang berte
riak pada Ferdi. "Ki Ferdi, ayo! Pasti bisa...!"
"Masuukk,..! Sikat aja pocongnya, Ki . ...!"
"Iya... habisin!"
Ferdi berbisik ragu. "Kayaknya, kita masuk aja, deh...."
Andi menjawab den gan suaranya yang le
mah. "Eta mah nyari paeh, A'... Ya sudah, A' Fer
di sajah yang masup. Saya, mah, jaga kendi sajah
di sini.... "Gimana, sih, kalian. Ayo masuk bareng
bareng " Yatno memegang lengan Ferdi.
"Tapi... di dalem, kan, ono poconge, Mas""
Ferdi melotot. "Emangnya, elo nggak lihat di belakang
orang-orang pada nunggu kita masuk" Dan,
gue nggak mau masuk sendirian!"
Andi menatap Ferdi. Kemudian, dia meng
kat kendi di celananya. "Ai paeh mah, ulah ngajak-ngajak atuh A'..."
bisiknya kesal. Ferdi membalikkan badan dan melambai
kan tangannya pada warga desa. 'Mereka lalu
berjalan mantap masuk ke dalam rumah.
Di dalam rumah, suasana remang-remang.
Cahaya datang dari lampu di teras dan di sam
ping rumah yang nyala, kemudian mati, terus
nyala lagi berganti-ganti. Hawa dingin menyer
bu begitu Sang Penakluk masuk ke dalam ru
mah. Andi yang berjalan di belakang sesaat lupa
bahwa mereka sedang mengh
adapi setan be neran. ia berpikir mereka sedang melakukan
pengambilan gambar untuk televisi dalam aca
ra khusus Sang Penakluk. ia pun tanpa sadar
menutup pintu depan. BLAARR...!
Yatno segera menoleh. "Kok, ditutup""
"Yaaah... lupa euy...," jawab Andi meme
las. Ferdi menyalakan lampu tengah untuk
membantu menerangi ruangan.
Mereka bertiga menatap ke dalam ruangan
yang tidak terawat. Napas mereka terdengar
berat karena ketegangan dan ketakutan yang
semakin memuncak. Dan ... Blup! Lampu tengah ruangan tiba
tiba mati. Suasana menjadi remang-remang
kembali karena cahaya lampu hanya dari luar.
Andi langsung memeluk Ferdi kuat-kuat,
sementara Yatno menyembunyikan wajahnya
di punggung Ferdi. "A' Fer... jangan kabur, yah.. aseli, saya,
leh, takut pisan...."
"Kayaknya... kita bakal mati sama-sama,
ya, malam ini," suara Yatno seperti mau
menangis," ... ya ampun Gustiiii ... kok, bisa ja
di gini, ya"" Ferdi menatap ke seluruh ruangan. De
ngan merendahkan punggungnya, ia mencoba
melintas ke sisi yang agak terang di ruang te
ngah. "Amit-amit... numpang, ya..., kami nggak
ada maksud apa-apa, kok kami, kan, cuma
akting aja," kata Ferdi sambil menelan ludah
nya,"... amit-amit... numpang masuk, yaa...."
Mendekati jendela, mereka bertiga melihat
keluar, ke arah warga yang masih berkumpul.
"Kita di sini aja dulu. Nanti, kita keluar,
kita bilang aja pocongnya udah dimasukin ke
dalam kendi. Gitu, ya""
Andi dan Yatno mengangguk. Mereka
duduk saling merapatkan diri, saling pandang,
lalu mengedarkan pandangan ke seluruh sisi
ruangan. Tiba-tiba, terdengar suara....
KRIIEEETTT... dari dalam rumah.
Andi dan Yatno makin mengkerut.
Suara lagi. KRIEEEETT....
Ferdi bangkit dari duduknya. Ia jadi ingin
mengetahui asal suara itu. Ia melangkah perla
han menuju kamar Sari. "Yeeeee... A', rek kamana, sih" Enggeus di
dieu wae aman....(7)"
Yatno ikut bangkit mengikuti Ferdi. Andi
yang ditinggal sendirian tak mau kalah. Ia
segera bangkit dan mengikuti mereka berdua.
Di depan kamar Sari, Ferdi mendorong
Yatno ke arah pintu. "Coba elu liatin ada apa di dalam...."
Yatno memandang Ferdi dengan tatapan
bertanya,"Kok, aku, sih, Mas""
"Yaaa..., elu kan mantan satpam."
Yatno melongok ke dalam kamar. Namun,
dia melongok dengan mata tertutup.
Ia menggeleng. "Ora ono opo-opo, Mas...."
"Yakin, lu"" tanya Ferdi.
7. Yeeee... Mas, mau ke mana sih" Udah, di sini aja lebih
aman.... "Ya, lihat aja sendiri, Mas."
Ferdi menggerakkan dagunya menyuruh
Andi masuk. Andi menggeleng.
"Yaaah..., saya, mah, percaya aja sama
Kang Yatno...." Ferdi mendelik. "Oke, oke, A'.... " Andi melongok ke dalam
dengan mata tertutup juga.
"Nggak ada apa-apa... euweuh nanaon, A' di
dieu(8)...." Ferdi yang tidak percaya langsung me
nerobos masuk. Benar saja, di atas tempat ti
dur terbujur kaku jenazah berkafan yang sering
dikatakan pocong itu. Astaga! Sialan lu berdua....
Ferdi mencengkeram kedua rekannya dan
menariknya ke dekat tempat tidur.
"Lu bilang nggak ada pocong. Noh...! Lihat
sendiri!" Kaget mendengar kata pocong, Andi dan
Yatno membuka matanya. Dan, mereka pun
terlonjak melihat apa yang ada di hadapan
mereka. "Hiiiiiiiiiiiii...!" Mereka menjerit bersa
maan. Bersamaan dengan itu pula, sosok pocong
itu pun bangkit dan duduk membuat mereka
bertiga mundur selangkah.
8.Nggak ada apa-apa Mas di sini....
"Paeh uraaang(9)...!"
"Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaauuuuu...!"
Ketiganya berlomba-lomba mencapai pin
tu depan untuk keluar ke halaman. Sampai
di luar, semua warga terhentak kaget meli
hat pahlawannya terbirit-birit meninggalkan
rumah. Menyadari warga terheran-heran melihat
tingkahnya, Ferdi pun langsung memainkan
perannya. Ia mengambil jurus silat, melompat
ke tengah halaman diikuti oleh kedua rekan-
nya dengan napas satu-satu.
"Hiyaaaaaaaaaaaah...! Hiyaaaaaaaaaaah...!"
Terakhir, ketiganya menutup dengan per
napasan. Warga bertepuk tangan dan bersorak sorai
riuh rendah. Ferdi berdehem sejenak, lalu berkata penuh
wibawa, "Kami sudah menangkap roh pocong itu
dan ada di dalam kendi ini....
Andi maju ke depan mengangkat kendinya
tinggi-tinggi. Warga bersorak lagi. Kali ini, di
iringi dengan tepuk tangan.
" ... dan sekarang Ki Yatno akan mengunci
kekuatan luar supaya tidak masuk dan meng
ganggu rumah ini lagi...."
9.Mampus gue Yatno yang semula mengira akting mere
ka sudah selesai, menatap Ferdi dengan kesal.
Bisa-bisanya rekannya yang satu ini....


Setannya Kok Beneran Karya Dyah Ratna di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Udah, deh, Iu lakuin aja, buruan, deh...
biar cepet pulang, nih." Ferdi berbisik di teli
nganya. Yatna pun terpaksa melakukan apa yang
diperintahkan. Ia membawa sehelai kain pu-
tih yang sudah dimantrai aleh Ki Ferdi dengan
perasaan mangkel dan kesal. Dengan menahan
rasa takutnya, Yatno berjalan mendekati pintu
depan dan menutupnya kembali. Sekenanya,
ia berusaha mengikatkan kain itu di gagang
pintu. Setelah usai, sambil bemapas lega, ia
pun membalikkan badan. "Hidup Ki Ferdi! Hidup Sang Penakluk!"
Di tengah riuh rendah warga, menyeruak
lah Pak Chandra menuju halaman rumah Sari.
"Kalian sudah ditipu mentah-mentah!
Kendi itu nggak ada isinya, tau" Coba berikan
kendinya!" Pak Chandra berusaha membuktikan de
ngan merebut kendi di tangan Andi. Andi ber
juang keras mempertahankan kendinya itu.
Sesaat, terjadi tarik menarik antara Pak Chan
dra dan Andi. Akhimya, kendi pun terlepas
dari tangan Andi dan... Pyaarrr...!!! Kendi pun
pecah berkeping-keping. Semua terpana. Suasana hening mencekam.
Tiba-tiba, terdengar suara berisik dari ga
gang pintu depan yang seolah berusaha dibuka
dari dalam rumah. Lampu mendadak berkedip
kedip liar tak terkendali. Ikatan yang dibuat
Yatno terlepas akibat gerakan-gerakan gagang
pintu. Semua melangkah menjauhi rumah
yang seolah marah. Dari kerumunan warga, mendadak Novi
terjatuh ke atas tanah. Matanya mendelik ber-
putar-putar. Ia mengejang. Suaranya parau
bagai binatang buas. "Aaarggghh.... "
Ferdi menangkap tubuh Novi.
"Apa salahku" Kalian sudah buat aku men
deritaaa... tunggu saja pembalasanku... aku
akan bongkar rahasia kalian...," racau Novi tak
keruan. Yatno langsung memukul wajah Novi
keras-keras sehingga gadis itu tak sadarkan
diri. Ferdi yang memangkunya hanya dapat
terperangah melihat reaksi Yatno barusan.
"Nah, gitu, Ki. Oke banget, tuh, hajar saja
setannya!" Udin Budek bertepuk tangan di
kerumunan warga. Yatno tersenyum bangga disoraki warga.
Tetapi . .. BUK! Detik berikutnya, giliran Yatno
terjengkang. Pak Chandra mertiukulnya balik.
Lebih keras dari pukulan Yatno ke Novi.
"Berani-beraninya mukul anak saya...!"
Ferdi menggotong Novi yang pingsan.
Bu Chandra memimpin di depan, menuju
rumahnya untuk membawa Novi ke sana.
Warga pun meninggalkan rumah Sari. Cukup
sudah penampilan malam itu. Semoga saja be
sok tak ada lagi pocong di desa. Siapa tahu"
"Lihat, Ma! Ini gara-gara Mama... anak
kita jadi korban dukun palsu itu!"
Novi yang terbujur di tempat tidur masih
tetap belum sadar. Mamanya memijat kepa
lanya dengan minyak kayu putih.
"Udah, Pa... jangan cuma marah-marah
melulu. Pokoknya, harus ada yang mengu
sir pocong itu dari rumah sewaan kita. Kalau
nggak, kita rugi, Paa...."
Bu Chandra menoleh ketika Ferdi masuk
ke dalam ruangan. "Ki Ferdi, saya minta tolong "
Ferdi menunduk serba salah.
"Eee... kami... kami akan lakukan sebisa
kami, Bu.... Ferdi pun melangkah keluar rumah. Di
sana, ada Pak RT, Yatno yang meringis me
megangi wajahnya yang lebam, dan Andi yang
terlihat bingung. "Apa rencana selanjutnya, Ki"" Pak RT
langsung memberondongnya dengan perta
nyaan teknis. Ferdi yang tak siap dengan jawaban berde
hem sebentar. "Ehm... kami... eh, saya kira pocongnya
bisa diangkat besok pagi untuk dimakamkan.
Malam ini, kami akan kendalikan situasi
jarak jauh saja. Mobil jemputan juga sebentar
lagi datang...." Pak RT pun memandang dengan wajah
memelas. "Aduuh, Ki... jangan, Ki... Saya takut ka
lau Ki Ferdi pergi, pocong itu ngamuk lagi....
Tunggu sampai dimakamin lagi gimana, Ki""
"Kami...." Ferdi ragu-ragu menjawab.
"Tolonglah Ki... demi warga di sini...."
"Kami... kami butuh ruangan untuk me
dilasi, Pak RT," sa hut Ferdi menatap kedua
rekannya putus asa. ia menggaruk kepalanya
yang tidak gatal. Apalagi, melihat kedua rekan
nya langsung lunglai mendengar jawaban Fer
di. "Kalau begitu, di rumah saya saja nggak
apa-apa...." Mereka pun pergi bersama -sama ke rumah pak RT. POCONG BERAKSI KEMBALI Di area pemakaman yang sepi, gelap dan ber
kabut, tampak dua sosok lelaki berjalan meng
endap-endap di tengah-tengahnya. Di tangan
mereka, ada cangkul yang dibawa ke sana ke
man. "Bener, nih, Mas, pasti berhasil"" yang
satu berbisik kepada temannya yang lebih tua.
Temannya menghentikan langkahnya.
Dengan kesal, ia menoleh ke belakang.
"Bisaaa... lihat aja tokonya si Anwar,
tuh!" Tanda tanya memenuhi isi kepala bapak
yang lebih muda. "Memangnya, kenapa toko si Anwar""
Bapak yang lebih tua tersenyum.
"Laku banget, kan, tokonya" Ini gara-gara
pakai jimat tanah kuburan itu...."
"O00... begitu...."
"Makanya, buruan. Sebelum orang lain
yang ngambil." Mereka berjalan masuk ke tanah pemakam
an. Sibuk menggali sebuah makam. Di akhir
penggalian, bapak yang lebih tua menyuruh
rekannya masuk ke dalam liang lahat.
"Ambil sana!" Rekannya menatapnya tak percaya.
"Harus saya, Mas""
"Ya, harus kamu!"
Si bapak yang lebih muda perlahan turun
ke dalam lubang dengan perasaan takut.
"Nggak bisa tanah yang di atas saja,
Mas"" "Harus yang bekas ganjal mayatnya itu!
Kenapa takut, nanti juga kita dikubur...."
Tanpa disadari keduanya, sesosok bayang
an putih mengintai dari balik pohon. Salah
satu dari mereka merasakan hawa yang tidak
nyaman di belakang lehemya. Rasa dingin mu
lai meiayapi. "Ya, bantuin dong, Mas, biar cepet...."
Bapak yang di luar lubang mencoba meng
hilangkan ketakutannya dengan bersiul-siul
dan melihat ke sekeliling. Tatapannya tertum
buk pada'sesosok berkain putih beberapa meter
di depannya. ia mundur beberapa langkah.
BUKK...! ia pun jatuh ke dalam lubang me
nimpa temannya. "Aduuuh...." Temannya meringis kesakit
an tertimpa tubuh besar dari atas lubang.
"Po... pocong...." kata si Bapak yang lebih
tua sambil menunjuk ke atas lubang.
Temannya membelalakkan mata.
"Hah" Pocong""
Bergegas mereka berusaha keluar dari lu
bang yang sempit dan licin itu. Di atas, mereka
berhadapan langsung dengan wajah Sari yang
pucat pasi. "Huaaaaaaaaaaaaaaaa... !"
Mereka pun berlari pontang panting me
nyelamatkan diri. "Hiii..." Ririn memandang keluar mobil,
"Don ..." Doni menatap ke arah lain.
"Torang su tahu... kuburan tho" Torang ng
gak mau lihat lagi... terus saja ngana jalan...
Rin" Mobil yang dikendarai Ririn sampai di ja
Ian depan pemakaman desa. ia melihat Doni
sambil berkata tajam, "Kalau sampai Ferdi sama yang lain ke
napa-napa, lu gue gantung ... temen apaan, sih,
bisa tinggalin begitu aja" Nggak tanggung ja
wab!" Ririn menekan pedal gas kuat-kuat.
Di satu sisi jalan, Doni melihat bayangan
putih mengikuti mereka. "Torang nyanda mau mati, Mama...."
Ririn menoleh, melihat Doni meringis
ketakutan. "Eh" Elo kenapa""
"Ododo'e... ngana jangan banyak tanya...
udah buruanlah jalan...."
Ririn bersungut-sungut. "Dari tadi juga udah jalan...."
Doni beringsut mendekati Ririn.
"Heh, sanaan kenapa, sih" Mau ngapaln,
sih, elu"" Ririn me1otot.
"Torang nggak ada maksud. . . torang baru
san liat pocong, Rin... . Torang takuut...."
Ririn tertegun. Ia melihat sekeliling kaca
mobil. Tak ada apa-apa. "Alasan aja! Udah, geser ke sana!"
Mobil pun terus meiaju membelah jalan de
sa yang sunyi dan gelap. Melalui kebun sing
kong, Doni melihat lagi sosok putih di antara
pohon singkong di tepi jalan.
Refleks Doni memegang tangan Ririn. Ri
rin segera menepis kuat-kuat.
"Heh! Jangan macem-macem, ya, Don!
Kan, gue udah bilang...."
Torang takut, Rin .... Doni menggeser duduknya kian merapat.
Ia betul-betul merasa takut kali ini. Ririn yang
jengkel menghentikan mobilnya mendadak,
membuat Doni nyaris terjungkal.
"Asli... elo bikin gue kesel... sekarang, elo
turun di sini aja, deh... tunjukin aja arahnya
biar gue sendiri yang ke desa!"
Doni mengeluarkan wajah memelasnya.
"Ya, ampun, Rin... torang takut... torang
nggak maulah...." "Takut apa, sih" Pocong lagi" Mana" Ma
na"" Doni menoleh ke jok belakang. Dan...,
plup! Bayangan putih itu ada di jok belakang.
"I... i... ini... Rin... ada di belakang
toraaaaang...!" Ririn menoleh kaget dan seketika itu juga
ia melompat keluar mobil, berlari menjauh.
Doni bergegas menyusulnya dar
i belakang. "Riiiiiiiiiin...! Tungguuuuuuuuuuuuuu...!"
"Kalau kita nggak ngomong sejujumya,
selamanya kita akan di sini A' Fer... kita ngaku
ajalah bahwa kita nggak bisa usir setan Pan
beres. Gampang!" Andi berujar.
Ferdi menggeleng. "Kalau kita ngaku, kita ini dukun palsu...
mereka ngerasa dibohongin... terus mereka
marah, terus... gue nggak tahu lagi apakah
mereka akan bunuh kita atau kita malah diba
kar kayak dukun santet "
"Ah, ulah nakutin A'... coba kalau kita nggak
serakah, kita cuma jadi dukun di TV ... nggak
di sini "Ssstt... alon-alon... pelan dikit ngomong
nya...." Yatno mengingatkan.
Mereka kini sedang berada di dalam rumah
Pak RT. Di luar, ada Pak RT,Jaja, Fikri, Rudi
dan Jimmy, pemuda-pemuda desa yang sengaja


Setannya Kok Beneran Karya Dyah Ratna di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berkumpul menemani Pak RT.
"Bukannya serakah, Ndi... tapi Sang Pe
nakluk sudah mau diputus sama stasiun TV.
Gue pikir, kita temu fans di sini, kan, ada du
itnya... lumayan. Lagian, kan, kalian juga yang
semangat tadi pagi""
"Denger dari mana Mas Fer"" Yatno ber
tanya. "Bos kemaren.... "
Andi dan Yatno menunduk lesu. Ferdi me
lanjutkan, "Elu, sih, bakalan balik lagi jadi tukang
parkir sama satpam. Nah, gue" Gue terlanjur
dikenal sebagai dukun, mau main sinetron di
mana lagi" Pasti ditolak mentah-mentah... jadi
gue pikir, ini salah satu cara kita menghibur
orang, bukan mengusir setan beneran....
Yatno menerawang jauh. Suaranya datar
menyahut, "Yah..., ini yang namanya apes tho, Mas
Fer.... Acara kita bohongan. Kita ini jagoannya,
tapi tipu-tipuan. Kalo di TV, setannya juga
cuma fi.guran. Lah, kalau sekarang ini, setan
nya beneran, jangan-jangan YANG DI ATAS
marah, ya sama kita""
Ferdi pun menimpali. "Dulu kita bukan siapa-siapa... kalau seka
rang kita ngaku bukan dukun top yang disang
ka orang selama ini, orang selamanya akan
tahu kita tukang tipu...."
Yatno memandang Ferdi penuh tanda ta
nya. "Maksud Mas Fer""
"Nggak ada salahnya kita coba selesaikan
masalah ini... dengan cara apa pun, nggak ada
ruginya buat kita." Andi yang sedari tadi hanya mendengar
kan saja mengangguk-angguk.
"Lu setuju, kan, kalau kita selesein masalah
ini sama-sama""
Andi menatap Yatno. Keduanya mengang
guk. Di luar rumah Pak RT, beberapa orang
berkumpul bersama. Jaja, salah satu di antara
mereka, bangkit dari duduknya dan berjalan
menuju ke dalam rumah. "Ja... jangan gangguin Ki Ferdi! Nanti,
makin lama meditasinya..." Pak RT melarang
Jaja masuk ke dalam rumahnya.
"Siapa yang mau gangguin" Gue mau ke
belakang " Jaja pun berbelok ke arah rumahnya sendiri.
Pak RT berseru kembali, "Ngapain balik
ke rumah.. , kencing aja di pohon sana... udah
malem ini nggak ada orang yang lihat."
Sambil menggerutu, Jaja menuju pepo
honan di pinggir jalan. Ia sekilas melihat ke
ujung jalan yang gelap nun jauh di sana. Me
lihat bayangan yang samar, Jaja memicingkan
matanya supaya tampak apa yang bergerak
di kejauhan itu. Dan, tiba-tiba ia menangkap
bayangan putih yang melompat-lompat di ke
gelapan malam. Jaja pun berlari kencang menjauhi jalan
an, melewati kelompok Pak RT yang sedang
duduk bermain kartu. "Kenapa lagi, sih, tuh anak"" Pak RT me
noleh ke arah datangnyaJaja.
Melihat apa yang telah dilihatJaja tadi, Pak
RT pun bangkit dan mengambil langkah seribu
mengikuti Jaja. Warga yang lainnya berteriak
membuang kartu mereka hingga berserakan di
tanah. Mereka ikut melompat lari
Sementara itu, di halaman kantor kelurah
an, Pak Darmun dan kedua hansip bawahan-
nya sedang melakukan apel khusus. Pak Dar
mun membelakangi jalan, sedangkan Hansip
Udin Budek dan Ahmad Juling menghadap ke
jalan. "Sebagaimana diketahui." Pak Darmun
berdehem," bahwasanya tim daripada Sang
Penakluk sudah didatangkan Pak RT.... Na
mun, kita harus siap membantu .... Tangkap
pocong itu, ya!" Dua bawahannya mengangkat hormat
sambil menjejakkan kaki di tanah.
"Siap, Komandan!" seru mereka bersa
maan. Tiba-tiba, terdengar suara orang berlarian
mendekat dari ujung jalan. Udin dan Ahmad
menoleh ke asal suara dan melihat Pak RT ber
lari melintas di jalan. "Pocoooong...!" serunya sambil menunjuk
ke belakang. Ahmad dan Udin saling berpandangan.
Sedetik kemudian, mereka pun meninggalka
n Pak Darmun yang membelakangi jalan seorang
diri. Mereka berdua lari tunggang langgang!
"He!! Ke mana kalian"!"
Pak Darmun membalikkan badan. Dan, ...
Plup! Pocong Sari berdiri di depannya, menata
pnya tak berkedip. Pak Darmun mendengus. Dengan gerakan
mendadak, ia pun mengambil langkah seribu.
PENAKLUK BERAKSI KEMBALI Dari dalam ruangan, Andi melongok ke jen
dela. Ia mulai bosan terkurung di dalam rumah
Pak RT tanpa bisa berbuat apa-apa. Di luar,
ia tak melihat kerumunan yang semula ada di
sana bermain kartu. "Kamana, oi, orang-orang, teh""
Kedua temannya langsung ikut melihat
keluar jendela. "Wah... iya, ke mana, ya, mereka" Kita ka
bur aja, yuk, mumpung nggak ada orang."
Tergesa-gesa mereka pun beranjak keluar
rumah Pak RT. Mereka berjalan berjingkat
jingkat agak cepat, ingin segera meninggalkan
tempat itu. Tetapi, tiba-tiba dari balik rimbun
nya tanaman di pinggir jalan bermunculanlah
warga desa yang tadi ada di luar rumah Pak
RT, termasuk Pak RT. "Ngapain, Pak, di situ"" tanya Ferdi sam
bil mengerutkan keningnya.
"Tadi... tadi... ada pocong, Ki...," jawab
Pak RT dengan suara terengah-engah keha
bisan napas. "Iya... pocongnya ada di kantor kelurahan,
Ki... cepat, Ki ditangkap di sana...."
Ferdi termangu-mangu. "Nggak bisa main asal tangkap, Pak. Bu-
tuh waktu untuk meditasi dulu....
Pak Darmun yang baru datang dengan
napas yang tersengal-sengal ikut menimpali,
"Meditasinya bisa di sana saja, Ki... sudah ba
haya, nih.... Tanpa dapat menolak lagi, ketiga anggota
Sang Penakluk digiring warga ke arah kantor
kelurahan. Dalam hati, Ferdi mengutuki diri
nya sendiri. Sang Penakluk berjalan di depan hingga
rombongan itu sampai di halaman kantor ke
lurahan. Dan, tiba-tiba saja semua warga yang
mengikuti dari belakang berhenti mendadak.
"Kami menunggu di sini saja, Ki.... Ki
bertiga saja yang masuk... Silakan...." Pak RT
memberi jalan pada mereka bertiga.
Dengan tersenyum kecut, Ferdi memberi
tanda pada kedua rekannya untuk maju bersa
ma-sama ke dalam kantor kelurahan.
Di depan pintu, Andi yang gelisah berbisik
pada Ferdi. "A' Fer pangsaktina... jadi sok wae asup du
luan(10)".... "
Ferdi yang di depan mundur selangkah.
"Jangan ngenyek(11)"... mendingan suit aja,
deh, siapa yang kalah masuk duluan...."
Andi baru saja mengangkat tangannya
untuk suit, Ferdi sudah mendorong tubuhnya
yang kurus dan kecil ke dalam kantor kelurah
an. 10.A' Fer yang paling sakti, jadi silakan masuk duluan ..."
11.menghina "Bleguk siaaahh...." Andi yang ada di dalam
melompat-lompat ketakutan. Ferdi dan Yatno
menyusul di belakang. Cepat-cepat, mereka
melihat ke sekeliling ruangan, memeriksa ala
kadamya, lalu buru-buru keluar lagi.
"Nggak ada, kan" Aman, kan"" Yatno me
nepuk-nepuk kedua belah tangannya.
"Amaaan .... Berarti pocongnya udah hi
lang.... Kita cabut. Masalah udah beres, kita
bisa pulang!" Mereka bertiga pun berebutan keluar dari
dalam kantor kelurahan. "Bagaimana, Ki.... " Pak RT menyambut
Ferdi dengan tatapan penuh tanya . .
"Beress... pocongnya sudah pergi, kok...."
Ferdi menjawab dengan gayanya yang ber
wibawa. Pak Chandra menekan tombol di ponsel
nya. Suara operator telepon terdengar lagi.
Telepon yang Anda tuju tidah dapat dihu
hungi. Pak Chandra memandang sekeliling ru
angan di rumahnya. Sepi. Tadi, istrinya meng
omel meminta pertanggungjawabannya atas
pengusiran pocong Sari di rumah kontrakan
itu. Maklumlah, rumah itu memang sengaja
disewakan untuk menambah uang belanja
istrinya. Jadi, kalau tidak ada lagi yang me
nyewa, sudah pasti uang belanja istrinya akan
berkurang. "Ke mana, ya, Pak Haji Senen" Jadi ke sini
apa enggak, ya" Kok, belum sampai juga""
Pak Chandra bangkit menuju jendela. Uda
ra dingin baru saja menerpa lehemya. Ia akan
memeriksa apakah jendela sudah ditutup. Pak
Chandra menutup tirai jendela yang terbuka.
Tiba-tiba, salah satu foto berbingkai di
dinding bergerak-gerak sendiri. Pak Chandra
menoleh cepat. Tetapi, bingkai itu pun berhen
ti seketika. Kembali pak Chandra menutup ti
rai jendela, dan bingkai-bingkai yang lain pun
bergerak-gerak sendiri. Hingga... Pyarl Bingkai
terjatuh dan pecah berkeping-keping.
Pak Chandra menghentikan gerakannya
menutup tirai jendela. la mengedarkan pan
dangan ke sekeliling ruangan. Tak memperoleh
apa-apa, ia kembali menjulurkan tangannya
ke belakang, hendak menarik tirai yang akan
menutupi jendela. Dirasakannya keanehan di
ujung tangannya. Pak Chandra menoleh ke jendela.
Seketika lidahnya kelu. Tangannya yang
terjulur tadi temyata menyentuh badan po
cong! Wajah Pak Chandra menegang. Dengan
sisa tenaga terakhir, ia menarik tangannya dan
menjerit sekeras-kerasnya.
"Huaaaaaaaaaaa... l"
Pak Chandra melompat ke balik sofa.
Merunduk dan bersembunyi di sana. Lutut
nya gemetar dan napasnya terengah-engah. Ta
ngannya yang menyentuh badan pocong tadi
diendusnya sekilas. Dia mencium bau yang
membuatnya ingin muntah. Tiba-tiba, sepasang tangan muncul me
nyentuh kaki Pak Chandra. Ia berbalik dan
menjerit kembali. "Huaaaaaaaa...!"
Jeritan Pak Chandra terdengar hingga di
halaman kantor kelurahan. Semua yang ada di
sana saling berpandangan.
"Itu, kan, suara Pak Chandra...," ujar Pak
RT, "pasti di sana ada...."
"Pocong"" Fikri menebak.
Andi memutar bola matanya.
"Amit-amit...." ujamya pasrah.
Semuanya kini bersama-sama berjalan
menuju rumah Pak Chandra. Sang Penakluk
tak lagi berjalan gagah di muka.
"Kenapa, sih, Pa" Ngapain di sini""
Temyata, sepasang tangan yang menyen
tuh kakinya adalah tangan Bu Chandra.
Pak Chandra meringkuk gemetar di balik
kursi. "Pocong, Maaa Istrinya terlonjak kaget. Ia merapatkan tu


Setannya Kok Beneran Karya Dyah Ratna di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

buhnya ke suaminya. "Mana...""
Tiba-tiba, pintu terbuka dengan sendiri
nya... BLARRR! Sosok yang ditakutkan itu muncul di te
ngah pintu. Bagian atas tubuhnya bergoyang
goyang ke depan ke belakang, menyebabkan
lampu ruang tengah terpengaruh kekuatan
magis yang ditimbulkan. Lampu pun pecah
berkeping-keping. Ruangan menjadi remang
remang. Pak Chandra memeluk istrinya yang
menangis ketakutan. Mereka perlahan merang
kak menuju kamar Novi. Di pintu kamar, Bu
Chandra menoleh ke belakang. Sosok putih itu
melompat ke arahnya! Dengan sekuat tenaga, ditariknya Pak
Chandra untuk segera masuk ke dalam ruan
gan kamar Novi. Novi yang baru saja siuman
dari pingsannya terduduk di atas tempat tidur
dengan wajah bertanya-tanya.
UWAK ANDI Sang Penakluk sedang duduk berjongkok
sambi! berunding di depan rumah Pak Chan
dra. Sementara itu, Pak RT dan rombongan
nya memerhatikan dari kejauhan.
"Dasar orang pinter. .. apa-apa mesti dip
ikir dulu sebelum bertindak.... Hebat! Top
lah!" ujar Pak RT sambi! mengacungkan jem
polnya. Seandainya ia tahu apa yang didiskusikan
di tengah anggota Sang Penakluk itu, pasti ia
akan menarik kembali komentamya itu. Mere
ka bertiga sedang mendiskusikan bagaima
na mereka akan masuk ke dalam rumah Pak
Chandra. "Tinggal suit aja... pokoknya saya, mah,
nggak mau jadi tumbal lagi... kalau saya be
neran jadi dukun kayak uwak saya, nggak usah
suit juga saya pasti masup duluanIah...." Andi
menggerutu. Ferdi langsung menoleh ke arahnya.
"Apa lu bilang""
"Saya pasti masup duluan...."
"Bukan... bukan itu! Uwak lu dukun""
Andi mengangguk. "Iya! Kenapa sih, A'""
Ferdi menepuk keningnya sendiri.
"Bego... Dodol... kenapa nggak bilang dari
tadi...." "Iyaa... goblok banget, sih, Ndi...." Yatno
menimpali. Andi melotot, tak senang dibilang bego.
"Maneh teh berdua nu bodo, enteu nanya-na
nya... emangnya saya bisa baca pikiran""
Ferdi menepis.dengan tangannya.
"Udah... udah! Sekarang telepon uwak lu
biar bisa ke sini. Entar kita bagi empat duit
nya." Andi mengambil ponsel di sakunya dan
mulai mencari nomer uwaknya, Haji Jejen. ia
membayangkan uwaknya yang moderen. Gaya
berpakaiannya saja rapi dan klimis, mirip
tokoh Permadi. Wama busananya selalu hitam
hitam dengan kalung emas' berbandul batu
giok yang sengaja dikalungkan di luar baju dan
beberapa cincin di jemarinya.
"Uwak"" "Halo"" "Uwak, ini teh, Andi...." Andi berbisik,
khawatir rombongan Pak RT bisa mendengar
nya dari jauh,"lya.. anaknya Supandi. Kumaha
habama" Damang, Uwak""
Hening sejenak. "Uwak keur sibuk, ya""
Suara uwaknya di ujung sana agak berge
tar. "Aya naon, Jang" "
"Aya pocong ngamuk, Wak...."
Terdengar tarikan napas. Uwaknya kaget.
"Sing bener""
D i seberang sana, di tempat praktik Uwak
Andi, dua pasien perempuan memandang
kaget ke arah Uwak. Yang dipandang langsung
bersikap menjaga wibawa. "Eta mah gampiiiillll(12)...."
Andi terlonjak senang. "Serius, Wak""
Uwak Andi tersenyum ke arah pasien-pa
siennya. "Ini ponakan saya.... Neng berdua konsen
trasi aja lagi, ya. Punten, sebentar...."
Kedua gadis itu kembali memejamkan
matanya. Sang uwak memerhatikan sambil
menggeleng-gelengkan kepalanya. Oalam hati,
ia memuji keindahan tubuh kedua pasiennya
itu. "Halo... Wak""
"Iya ... iya... kalau lawan pocong, sih, Uwak
nggak masalah... , tapi Uwak lagi ada tamu..."
Andi mengerutkan keningnya.
"Aduh, Wak... tolong banget .... Saya, teh,
bisa mati di sini, Wak...."
"Mantep pisann...." Uwak memerhatikan
pasiennya. "Mantep, Wak""
12.Itu sih, gampaaaang....
"Anu.., mantepnya kalau Uwak ada di
sana. Tapi, gini aja, Uwak bantu dari jauh aja,
ya. "Kumaha carana(13), Wak""
"Kamu, teh, mandi asap kemenyan heula...
terus kamu ambil air sebotol, kamu sembur eta
pocong...." "Oke, Wak. Ngerti. Udah gitu kalau
ketemu sama pocong kumaha, Wak""
Uwak kembali memerhatikan dada pasien
nya. Pikirannya melayang ke mana-mana.
"Yah... kamu tubruk saja... langsung kamu
sembur... jangan lupa disedot..:."
Andi melihat ke ponselnya bingung.
"Sedot" Sedot apanya, Wak""
Uwak di seberang sana juga ikut bingung.
ia mencari-cari alasan. "Ya, itu... abis kamu sembur sama air tadi,
nanti keluar asap tipis dari mulut pocong... itu
yang kamu sedot!" "Asepnya, Wak" Terus"" Andi mengi
ngat-ingat urutan-urutannya dalam hati.
"Kamu lakukan aja apa yang Uwak bilang
tadi... Pasti berhasil!"
Andi agak ragu menyahut," Gitu aja bisa,
ya, Wak"" 13.Gimana caranya, Wak"
"Iya.... Udah, Uwak masih ada tamu,
nih.... " "Nuhun, Wak, nuhun...." Andi mengang
guk-angguk sendiri. Di ruang praktik Uwak Andi, kedua pasien
menatap sang uwak dengan penuh rasa ingin
tahu. "Ada apa, sih, Pak Jejen" Kok, kayaknya
serius banget, kayak mau ngusir setan aja""
Uwak Andi itu tertawa terkekeh-kekeh.
"Bukan... bukan... saya, mah, bukan dukun
pengusir setan. Saya, kan, spesialisasinya du
kun kecantikan," katanya sambil tersenyum
genit. "Ayo, sekarang kita konsentrasi lagi...."
Semuanya kembali berkonsentrasi meme
jamkan matanya. Mereka memang sengaja da
tang ke tempat Haji Jejen untuk 'dipermak'.
Kata orang, Haji Jejen dapat mengubah wajah
seseorang menjadi lebih cantik. tanpa dioper
asi plastik. Kebanyakan artis yang datang ke
sana. Di plang depan ruang praktiknya tertulis,
DR Jejen Harja, MBA Membantu Anda untuk tampil lebih
cantik, spesialisasi memperbesar
payudara, pasang susuk, dll.
BAGIAN LIMA Pocong Memburu Sang Penakluk
Pak Chandra dan istrinya menahan pintu
agar pocong tidak masuk. Setelah dua kali
terasa dorongan dari luar, mendadak suasana
hening. Suami istri itu saling berpandangan.
Novi juga terlihat tegang dan cemas.
"Lihat, Pa. Masih ada, nggak"" suara Bu
Chandra lirih memaksa suaminya.
Pak Chandra menggeleng takut.
"Papa! Ayo, lihat sana, Pa...."
Pak Chandra mendongak ke arah ventilasi
kamar Novi. Ia mendapat akal supaya tidak
perlu melihat keluar. Ditariknya kursi rias dari
depan cermin dan sebuah cermin kecil. Ia naik
ke atas kursi dan menjulurkan tangan yang
menggenggam cermin keluar kamar melalui
ventilasi di atas pintu untuk melihat ada apa
di luar kamar. "Nggak ada lagi, Ma .... "
Mendadak, terasa ada yang menarik ta
ngannya di luar. Pak Chandra panik keta
kutan. "Aaaaaaaah!!!" jeritnya.
Buru-buru, Pak Chandra menarik tangan
nya kembali. Dengan saksama, ia memeriksa
keutuhan jemarinya. Aman.
"A-a-aada yang... yang narik tangan saya,
Ma.... " Tiba-tiba, pintu seperti dihantam oleh ke
kuatan dari luar. Pak Chandra dan istrinya
yang menangis ketakutan segera menahan
tekanan pintu dari arah luar. Novi yang pa
nik segera mengambil ponselnya dan menghu
bungi Pak RT di luar. Ferdi dan Yatno melihat ke kiri dan ke
kanan, sementara Andi dengan santainya
membuka baju dan hanya mengenakan celana
pendeknya saja. Yatno menaikkan alisnya tak
percaya. "Pake buka baju, tho""
Andi menatapnya kesal. "Mau selamat, kan" Manut(14) sajah
kata Uwak saya.... " Ferdi dan Yatno langsung membuka ba
junya. Mereka mandi asap kemenyan, meraup
asap dan menggosok-gosokkan ke sekujur tu
buhnya. Andi juga mengeluarkan botol air
mineral dan ikut mengasapinya dengan asap
kemenyan. Pak RT dan rombongan memerhatikan
ritual itu dengan saksama.
Tiba-tiba, ponse! Pak RT berdering keras.
Semua menoleh. "Halo"" Terdengar jeritan panik Novi di ujung
sana. "Pak RT.... Tolong, Pak! Pocongnya di si
ni.... Buruan, Pak! Dia mau masuk ke kamar...
kami terjebak di sini "Iya... iya.... " Dengan gugup, Pak RT
mematikan telepon. Ia maju mendekati Ki Ferdi
yang sudah siap bertempur.
"Ki ... pocongnya mau masuk ke kamar.... "
14.Ikuti Ferdi menarik napas panjang, menatap
Andi dan Yatno. Ketiganya tampak lebih yakin
kali ini. Dengan langkah mantap, Ferdi dan
kedua rekannya melangkah masuk ke rumah
Pak Chandra. Ferdi menendang pintu rumah Pak
Chandra. BLAARRR.. ! Ketiganya menatap ke dalam
rumah tanpa rasa takut. Mereka menatap seke
liling dengan tajam,.mencari sosok pocong.
Andi maju selangkah. "Mana pocongnya""serunya dengan
berani. "Wah, asli... sakti uwak sampeyan...."
Yatno memuji. Tangan Andi memegang botol air mineral
tadi. "Pak Chandra! Kami datang!" Ferdi me
neriakkan nama Pak Chandra.
Bu Chandra yang mendengar suara Ferdi
berujar senang,"Ssst... denger! Dengar itu! Itu
suara Ki Ferdi! Kita selamat, Pa...."
Novi langsung berteriak penuh semangat,
"Kami di sini, Ki Ferdi! Di dalam kamar!"


Setannya Kok Beneran Karya Dyah Ratna di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pak Chandra mencibir. "Selamat dari mana" Dukun palsu, kok, di
percaya" Taruhan hayo... begitu lihat pocong
paling mereka kabur lagi!"
Ketiga Ki yang ada di- luar kamar terse
nyum mendengar komentar Pak Chandra.
"Beeeehhh... belum tahu kalau sekarang
Sang Penakluk, teh, udah beda.... "
Tiba-tiba, Yatno merasakan kehadiran
sosok pocong di belakangnya. Ia mencolek Ferdi.
Ketiganya saling berpandangan. Lalu, dengan
yakinnya, mereka bersama-sama serentak
menerkam tubuh pocong sambil berseru.
"Hiyaaaaaaaaaaaaaaah.... "
Pocong diterkam. Didorong masuk ke
kamar Pak Chandra yang berada di seberang
kamar Novi. Mereka mendorong pocong yang
meronla-ronta itu ke alas kasur.
Yatno menyenggol Andi. "Udah, Ndi.... Buruan.... "
Dengan gagah berani, Andi membuka tu
tup botol itu dengan mulutnya, meludahkan
tutup botol itu, meminum air di dalamnya
dan.... Bhrrrffff.... Dia menyemburkan air ke muka
pocong yang pucat pasi. Pocong yang syok ter
diam sesaat. Dengan melawan rasa geli, Andi
mendekatkan wajahnya ke wajah pocong dan
menyedot udara yang diyakini sebagai roh
pocong sesuai petunjuk uwaknya.
Kemudian, ia memasukkan udara yang
diisapnya tadi ke dalam botol. Botol pun ditutup.
Mereka menarik napas lega. Apalagi, saat
mereka melihat pocong itu tak bergerak lagi.
Mareka saling menepukkan telapak tangan di
udara. "Oke... sekarang kita selamatkan Novi
sekeluarga," ujar Ferdi tegas.
Mereka berjalan ke kamar depan.
Ferdi mengetuk pintu kamar Novi.
"Pak... buka, Pak... Bu... buka... udah
aman... Bapak dan Ibu bisa keluar sekarang....
Bu Chandra membuka pintu dengan se-
nyum mengembang. Wajahnya berseri-seri
melihat Ferdi yang berdiri di depan pintu
dengan rasa bangga. "Aduhh... makasih, ya, Ki Ferdi... maka
sih..." Ferdi mengangguk khidmat.
"Sama-sama, . Bu... Ini sudah tugas kami..."
"Tuh. kan, Pa... beres...."
Pak Chandra ragu-ragu. Ia melongokkan
kepalanya keluar kamar. Memerhatikan sekeli
ling. Tiba-tiba, ia melihat ada pocong muncul
di belakang Ki Ferdi, tepat di dalam bmar pak
Chandra. Wajahnya menjadi geram bercampur
takut. Ditariknya kembali istri dan anaknya
kembali ke dalam kamar. Sementara itu, Ferdi
didorongnya keluar. BRAKKK..! Pintu pun tertutup lagi.
Di depan pintu, ketiga anggota sang Penak
luk menjadi bingung. "Kok, kita diusir, sih"" Ferdi bertanya pada
dirinya sendiri. "Pak... buka, Pak...."
"Biar mampus dimakan pocong! Dasar
tukang bohong .... !"
Ferdi saling pandang dengan kedua rekan
nya. Bingung. Mereka belum menyadari keha
diran pocong di belakang.
"Pocong" Pocongnya, kan, tadi kaku..""
Andi mulai ragu. Yatno yang merasakan keanehan langsung
menoleh ke belakang. Dia mendapati sosok
pocong berdiri di belakangnya, lantas dia pun
mencolek lengan teman-temannya. Ketiganya
serentak berbalik. Dan, mengulangi lagi gerak
an 'menerkam' yang diajarkan Uwak Andi.
Tiba-tiba, sebuah kekuatan angin mem-
buat ketiganya melayang terdorong dari dalam
kamar Pak Chandra dan menghantam dinding
dan pintu kamar Novi. "Addduuuuuuuuuuh...." Yatno mengurut
punggungnya. "Huaaahhhh...."
"Adduuuuh...."Ferdi terduduk lesu setelah
menghantam pintu kamar Novi. Terpaksa
ia mengetuk pintu kamar Novi. Tok... tok...
tok.... Pak Chandra dan istrinya mundur selang
kah dari pintu. Novi yang cemas memandang
papanya. "Pa... bukain Pa.... kasihan Ki Ferdi.... "
Pak Chandra mencibir. "Biarin. Biar tau rasa dia....Tukang tipu,
sih...." Suara Ferdi lirih terdengar.
"Tolooong.... "
Bu Chandra maju selangkah. Ia tidak tega
mendengar suara Ferdi. Dibukakannya
pintu. Mereka bertiga pun merangkak masuk ke
dalam kamar. Buru-buru Bu Chandra mengun
cmya. "Ki, kok, pocongnya bangun lagi""
Ferdi tak menyahut. Yatno memukul bahu Andi kesal.
"Uwak sampeyan itu dukun opo seh""
Andi melengak. "Tong sembarangan maneh(15).. .. Uwak saya
mah dukun paling terkenal! Doktor Jejen Harja! Artis saja pakai dia!"
"Dokter Jejen" Itu, mah, saya kenal.." Di
luar dugaan, Bu Chandra berseru.
15.Kamu jangan sembarangan
Novi terlihat bingung dan menoleh ke
mamanya. "Mama pemah ketemu""
"Bukan ketemu lagi.... Mama, kan,
memakai jasa beliau juga.... "
Bu Chandra membusungkan dadanya
bangga. Ferdi langsung menoleh ke arah Andi,
yang segera melindungi dirinya di belakang
Yatno. "Pantes aja kita apes! Uwak lu dukun poles
kecantikan!" Dan, tiba-tiba saja ... BLARR! Pintu kamar
terbuka. Sang pocong berdiri di sana, menatap
ke dalam kamar. Angin bertiup memenuhi ruangan.
"Huaaaaaaaaa...." Semua menjerit keta
kutan tanpa kecuali. Angin membuat lampu dan cermin di
dalam kamar pecah berantakan. Suasana men
jadi gelap. Kepanikan melanda semua yang ada
di situ. Lampu belajar Novi melayang, nyaris
mengenai kepala Ferdi. Pak Chandra mem
bantu istri dan anaknya keluar dari kamar. Me
nyusul Ferdi, Yatno, dan Andi dengan susah
payah. Di luar, Pak RT dan warga menatap rumah
Pak Chandra dengan cemas. Mereka mende
ngar keributan yang terjadi di sana, tetapi tak
kuasa untuk membantunya. Mereka hanya bisa
berdoa untuk keselamatan semua yang berada
di dalam sana. Sebuah tangan menyentuh pundak Pak
RT. Pak RT mengejang. ia tak mampu me
noleh, khawatir bukan manusia yang ada di
belakangnya. Tangan itu menyentuhnya sekali lagi.
"Assalamu'alaikum...." Suara Pak Haji
Senen membuat Pak RT menarik napas lega. ia
menoleh dan tersenyum malu.
"Wa'alaiknmsalam, Pak Haji...."
"Pada ngapain, sih"" Pak Haji mengerut
kan keningnya melihat kerumunan di depan
rumah Pak Chandra. "Anu ... Pak Haji... di dalam... ada pocong....
Pak Haji mengangguk dan melangkah
maju ke arah rumah Pak Chandra.
Pak Haji... jangan Pak....
Haji Senen tidak peduli dan terus saja ber
jalan. Pak Chandra mengintip ke arah ruangan
yang menghubungkan ke pintu belakang. Di
beiakangnya, mengekor Bu Chandra dan Yatno
"Aman, Ma...." Pak Chandra menginfor
masikan ke belakang. "Heh, lu di depan...,"
ujamya ke arah Yatno. Yatno menatapnya bingung.
"Kok, saya, sih, Pak""
"Lah... lu, kan, dukun."
Pak Chandra mendorong tubuh Yatno ke
depan hingga ia nyaris terjerembab. Yatno
terpaksa di depan, mereka beriringan menuju
pintu belakang. Menempel rapat di tembok.
Yatno tiba-tiba berhenti mendadak di de-
pan siku tembok. Pak Chandra mendorong bahu Yatno.
"Kenapa berhenti" Takut" Lu liatin sono!"
Yatno mengintip perlahan dengan geme
tar. ia memejamkan matanya. Tiba-tiba saja,
sosok pocong muncul di depannya. Pak Chan
dra dan istrinya terlonjak kaget dan langsung
berbalik arah mengambil langkah seribu, me
ninggalkan Yatno seorang diri.
Yatno perlahan membuka mata... detik
berikutnya ekspresinya sangat ketakutan...
melihat ke arah pocong. Bu Chandra dan suaminya berusaha mem
buka pintu dalam. Berhasil. Mereka mendapa
ti Novi dan Ferdi yang keluar dari tempat
persembunyiannya. "Mama...." Novi berseru dan merangkul
mamanya. Pak Chandra dan Bu Chandra berhent
i sesaat. Dari dalam, Andi muncul tertatih-tatih
dan terjatuh tak jauh dari Ferdi.
"Yatno mana"" tanya Ferdi.
Yatno pun muncul. Langkahnya perlahan
dan wajahnya pucat. "Po-po-pocooong...," desisnya lirih dan me
nunjuk-nunjuk ke belakangnya.
Pocong pun melompat masuk.
Plapl Yatno berusaha menerobos keluar, tetapi
sebuah kekuatan membuatnya terpelanting.
Ferdi memandangi rekannya yang jatuh, de
ngan sisa keyakinannya. "Bismillah...." Ferdi mencoba menerjang,
dan hasilnya... ia tersungkur di hadapan sang
pocong. Andi terdiam ketakutan. Bibimya berkom
at kamit membacakan doa. Tetapi, ia pun ter
hempas oleh kekuatan dari tubuh pocong di
dekatnya. Andi menabrak lemari dan tertimpa
hiasan milik Bu Chandra. Ferdi menunduk pasrah. "Udah waktunya kita mati, nih bisik
nya pelan. Tiba-tiba, ada cahaya menerpa tubuh
Ferdi. Ia merasakan suasana hening dan penuh
damai. Ada suara orang-orang bergumam seperti
tengah mengaji di kejauhan. Ferdi duduk dan
memejamkan matanya. "Ya Allah, tolonglah hamba-Mu ini... Ya
Allah...." Haji Senen melangkah mendekat. Sinar
dari lampu sentemya menerangi wajah Ferdi.
Ia beringsut menjauhi pocong, tetapi gagal. Ia
malah semakin terpojok. Sebuah tangan keluar
dari dalam kain kafan. Ferdi gemetar ketakut
an. Terdengar suara Haji Senen yang menye
jukkan hati, "Heh..Jangan takut. Tidak ada yang ber
kuasa di alam ini, kecuali Allah... serahkan diri
mu pada-Nya." "Ba... bagaimana... Pak"" Ferdi bertanya
terbata-bata. "Kamu harus yakin bahwa hanya DIA
yang bisa... serahkan semua pada-Nya! Berdoa,
minta ampun...." Sosok pocong di depannya makin men
dekat. Ferdi pun menuruti perintah Haji Se
nen. "Ya Allah Sang Pencipta, Zat Yang Maha
Segalanya, jika memang ini waktuku untuk


Setannya Kok Beneran Karya Dyah Ratna di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mati... aku ingin mati sesuai jalanMu...."
Haji Senen berujar lagi, "Jujurlah... akui
semua dosamu.... " Ferdi merasakan tangan pocong nyaris me
nyentuh lehemya. ia menangis ketakutan.
"Ya Allah... saya bertaubat. Ya Allah...
tolonglah hamba-Mu ini ya Allah.... lindungilah
aku dari godaan setan yang terkutuk...."
Pocong pun tiba-tiba tumbang di hadapan
nya.. Ferdi yang tak menyangka akan berakhir
seperti ini menoleh ke arah haji Senen. Detik
berikutnya, ia jatuh pingsan tak sadarkan diri.
Haji Senen maju ke arah pocong. Mengusap wajahnya sambil berdoa.
JANJI FERDI Semua warga berkumpul di halaman depan
kelurahan, melimpah ruah hingga ke jalanan.
Semuanya ingin menyaksikan pulangnya Sang
Penakluk dari desa mereka, meninggalkan ke
amanan di sana. Doni dan Ririn muncul dengan mobil mere
ka, menunggu di pinggir jalan. Andi yang me
lihatnya lantas mendekat dan memukul bahu
Doni keras. "Kuya siah... ninggalkeun urang(16).... "
Yatno menyalami Ririn. 16.Sialan lo.. . ninggalin gue....
"Kok, lama banget, sih, sampeyan sampe
sini, Mbak"" Ririn menoleh kesal pada Doni.
"Ini juga pakai begadang di pinggir jalan,
tauu.... Andi tersenyum. Ia menoleh ke arah Ferdi
yang masih berdiri agak jauh di belakang, ber
dampingan dengan Novi. "Ayo, A' Fer...."
Ferdi mengangguk. Ia menarik lengan
Novi agak menjauh. "Novi.. . boleh saya kapan-kapan main ke
sini lagi"" Novi mengangguk malu-malu.
"Boleh... tapi...."
"Tapi, apa""
"Novi mau. Asal besok ke sini jangan seba
gai dukun lagi...." Ferdi tersenyum senang. "Oke. Saya akan datang sebagai Ferdi yang
biasa " "Bener"" "lya.Janji." "Kalau Novi minta nggak jadi dukun selamanya""
Ferdi mengangguk mantap. "Baik. Saya nggak akan jadi dukun selamanya. Buat kamu."
Tiba-tiba, terdengar ponselnya berdering.
"Bentar ya, Nov.... " Ferdi mengedipkan
mata, "Halo" Eh, Bos... ada apa, nih""
Di seberang terdengar suara Bos PHnya.
Mantap dan berwibawa. "Susah banget hubungin lu.... Gue naikin,
deh, honor lu, soalnya kontrak kita diperpan
jang lagi...." Ferdi terlonjak. "Apa" Yang bener, Bos""
"Iya... diperpanjang sampai dua tahun lagi!"
Dengan wajah bingung, Ferdi menatap
Novi, Lalu, ganti menatap Yatno dan Andi di
dekat mobil. Mengapa jadi begini"
PENUTUP Perkenalkan sekali lagi: Sang Penakluk Ferdi duduk di samping Novi. Di hadapan
mereka, televisi menyala menyiarkan acara
lagu-lagu romantis seakan menyadari apa yang
tumbuh di hati mereka masing-masing.
Ferdi menggeser duduknya mendekati
Novi. Gadis itu menunduk malu-malu dan
salah tingkah. Amara takut ketauan papanya
dari dalam rumah dan senang berada di dekat
Ferdi. Tangan Ferdi pun menggenggam tangan-
nya. Novi balas menggenggam tangan lelaki
itu. Jantungnya pun berdebar tak keruan saat
Ferdi mencoba mendekatkan wajahnya. Mata
Novi terpejam. Lututnya gemetar.
Ferdi semakin dekat ketika tiba-tiba saja..
"Hiyaaaaaaaaaaaaaaaaaahh... !"
Teriakan dari arah televisi mengagetkan
mereka berdua. Ferdi dan Novi seketika me
mandang ke arah monitor televisi.
Di sana, tampak Ki Yatno dan Ki Andi
berdiri berdekatan dengan posisi gagah
menantang. Formasi iklan baru ini baru saja
selesai dibuat. Yatno berujar lantang, "Kami
datang lagi Dan, Andi...."Kami akan mengusir semua
setan yang mengganggu."
"Dan, kami kini bersama orang yang lebih
sakti.... " Yatno dan Andi bergeser. Tampak sesosok
lelaki berpakaian hitam membelakangi kamera.
Ia berbalik tiba-tiba dengan sebuah gerakan si
lat yang terlatih dan.. "Hiiyaaaaaaaaaah...!"
Ahmad Juling dengan busana dukun yang
biasa dikenakan Ferdi, memegang keris den
gan gagahnya. SELESAI TENTANG PENULIS DIYAH RATNA, lahir di Jakarta, kuliah di
Bandung, dan akhimya kembali menetap di
Jakarta coret (Tangerang).
Menulis adalah hobi satu-satunya selain
mengarang dan mengkhayal Sudah ada dua
buku yang ditulis sebelumnya, yaitu Serpihan
Hati, yang sama sekali jauh dari dunia
perhantuan, dan Hantu Ambulance, novel
adaptasi film horor juga.
Selain menulis, ada satu Lagi hobi yang
belum bisa dikendalikan diyah sampai saat
ini. Yaitu the art of doing nothing... alias nggak
berbuat apa-apa... alias bermalas-malasan.
Moga-moga setelah menulis satu Lagi novel
hantu, dan mendapatkan satu gelas cantik
karena udah tiga kali, kemalasan ini segera
menghilang. tamat Pembalasan Rikma Rembyak 1 Dewi Ular 68 Misteri Penculik Asmara Sepasang Alap Alap Bukit 3
^