Pencarian

Sisi Merah Jambu 1

Sisi Merah Jambu Karya Mira W Bagian 1


SISI MERAH JAMBU Oleh Mira W. djvu: otoy Edit & Convert: inzomnia
http://inzomnia.wapka.mobi
GM 401 07.022 Desain sampul: Marcel A.W.
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama
Jl. Palmerah Barat 33-37, Jakarta 10270
Diterbitkan pertama kali oleh
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama,
anggota IKAPI, Jakarta, Juni 2007
208 hlm; 18 cm ISBN-10: 979 - 22 - 2952 - 3
ISBN-13: 978 - 979 - 22 - 2952 - 3
Ide cerita ini diambil dari novel Mira W-
Kidung Cinta buat Pak Guru
(Gramedia, Agustus 1985) Dicetak oleh Percetakan PT Gramedia, Jakarta
Isi di luar tanggung jawab percetakan
BAB I Wah, Ibu punya kacung baru!" cetus si bungsu Oki begitu melihat ibunya masuk diikuti oleh seorang anak yang bukan main kotornya.
"Duilah baunya!" Aris memijit hidungnya sambil mengipas-ngipaskan tangannya untuk mengusir bau yang menyengat. "Orang apa bangke sih""
"Gerobak sampah!" sambar Oki menahan tawa. "Udah dekil, bau, lagi!"
"Mobil tinja!" sambung Panji, kakaknya yang sulung. "Mandiin dong, Bu! Pake karbol biar nggak bawa penyakit!"
"Lihat dia mandi, yuk"" usul Oki bersemangat sekali. "Kali badannya ada belatungnya!"
"Jangan di kamar mandi, Bu.!" sambung Panji jijik. "Di kebon aja! Semprot pake slang!"
"Nggak usah ngajari Ibu!" gerutu Bu Nani, bising mendengar celoteh anak-anaknya. "Tuh, temui Ayah! Baru pulang dari pabrik!"
"Dari pabrik sih bawa apaan." dumal Panji. "Paling-paling bawa sampah kayak gini lagi!"
"Ayah punya pabrik beras apa gembel sih"" celetuk Oki. Senyumnya menyakitkan sekali.
"Padahal gembel kayak gini ngapain dibawa jauh-jauh dari pabrik"" gerutu Aris jijik. "Di pasar juga banyak!"
"Ngundang lalat tuh, Bu! Coba deh Ibu gantung di dapur! Sebentar juga diserbu lalat!"
Ketiga anak laki-laki itu tertawa terpingkal-pingkal. Membuat anak yang ditertawakan jadi melotot gusar. Kurang ajar! Masa dia mau digantung di dapur biar dikerubungi lalat" Memangnya ikan asin"
"Waduh, dia marah lho!" cetus Oki kaget ketika melihat mata anak itu membeliak gusar. Di mana ada kacung berani memelototi majikan" Kurang ajar, kan" Tapi... di mana ada anak yang belajar jadi kacung"
"Jangan kurang ajar lu!" bentak Aris, yang badannya paling besar dan lagaknya paling kasar. Dia sudah langsung mendorong dada anak itu.
Di luar dugaan, lawannya menangkap tangannya dengan gesit. Dan menariknya sekuat tenaga. Karena tidak menyangka, Aris terdorong ke depan. Sebaliknya anak itu juga terhuyung-huyung karena beratnya badan Aris.
Ketika dia sedang sempoyongan, Panji mengganjal kakinya. Tanpa ampun anak itu tersungkur. Tetapi begitu jatuh, tangannya meraih sapu yang tersandar di dinding di dekatnya. Sebelum Panji sempat mundur, gagang sapu itu sudah terayun kuat ke tulang keringnya.
"Auw!" Panji mengaduh kesakitan.
"Wah, keok!" sorak Oki separo mengejek. "Kecian deh!"
Melihat kakaknya jatuh terduduk sambil menyeringai memegangi tungkainya, Aris marah sekali. Dia menerjang ke depan. Siap menjotos anak yang sedang merangkak bangun itu. Tetapi Ibu keburu melerai.
"Apa-apaan sih kalian ini"" bentak Ibu sengit.
"Mana ada sih kacung gini kurang ajar, Bu"" geram Aris tidak kalah sengitnya.
"Brentiin aja kacung nggak tau diri gitu!" sambung Panji geram.
"Lea bukan kacung!" Ibu menelan kejengkelannya. "Dia anak angkat Ayah!"
Sebenarnya Bu Nani sendiri kesal. Selama ini suaminya belum pernah mengangkat anak. Punya pikiran ke sana saja tidak! Mereka sudah punya tiga orang anak. Panji yang sulung, lima belas tahun. Aris empat belas. Dan Oki, si bungsu yang bandel, delapan tahun.
Ketika membawa Arman, anak mandor mereka yang punya sebelas anak. suaminya tidak berniat mengadopsi! Nah, mengapa tiba-tiba yang ini berbeda"
Pantas saja kalau dia curiga, kan" Jangan-jangan ada apa-apa!
"Ini anak si Jabrik, Bu. Centeng kita yang tewas dibacok garong enam tahun yang lalu! Dia mengorbankan nyawanya untuk menyelamatkan gudang beras kita!"
"Tahu, Pak! Tahu! Tapi kan kita sudah beri santunan pada istrinya!"
"Justru itu masalahnya, Bu. Istri dan anak bungsu
si Jabrik baru-baru ini meninggal karena muntaber! Cuma ketinggalan si Lea ini, anak si Jabrik yang sulung!"
"Titipkan saja sama keluarganya, Pak. Kasih uang. Kan beres!" "Dia tidak punya siapa-siapa lagi, Bu."
"Tapi rumah kita bukan rumah yatim-piatu. Pak! Kalau anak setiap pegawai Bapak yang meninggal dibawa kemari, mau jadi apa rumah ini"
"Aku punya kewajiban moral untuk merawat dan menyekolahkan anak-anak bekas karyawanku yang setia!"
"Tapi tidak perlu sampai mengadopsi! Beri saja uang. Angkat jadi anak asuh kalau perlu! Buat apa memungut anak" Anak kita sendiri sudah banyak!"
"Rumah kita masih cukup besar untuk menampung seorang anak lagi. Lihat saja si Maman. Ibu nggak merasa rugi mengambil dia, kan" Dia bisa bantu-bantu Ibu sepulangnya sekolah. Bi Asih sudah tua. Pembantu yang muda tidak ada yang betah kerja di sini." Karena Ibu bawel. Nyinyir. Judes. Marah-marah melulu. Tapi tentu saja semua itu hanya tersimpan di perut Pak Tisna yang buncit.
"Tapi Bapak tidak mengadopsi si Maman!"
"Hitung-hitung membayar utangku pada si Jabrik," sahut Pak Tisna tanpa bisa dibantah lagi. "Lea akan menjadi anak kita. Aku sudah minta Endang mengurus surat-suratnya."
"Secepat itu"" belalak Bu Nani sengit. "Tanpa minta persetujuanku dulu""
"Maaf. Bu. Tapi aku wajib melakukannya." "Kenapa""
"Tadi kan aku sudah bilang. Melunasi utangku."
"Cuma itu" Tidak ada alasan lain""
"Alasan apa"" Pak Tisna mengangkat alisnya.
Bu Nani tidak menjawab. Tapi mereka sama-sama mengerti apa maksud pertanyaan Bu Nani.
Dan sejak hari itu, tak ada kedamaian lagi di rumah mereka. Bu Nani dan Pak Tisna jadi sering ribut. Dan anak-anak mereka tidak henti-hentinya berkelahi.
BAB II BUKAN hanya Pak Tisna yang tertegun. Istri dan anak-anaknya juga.
Sesudah mandi dan memakai pakaian bekas Aris yang sudah kekecilan. Lea tampak berbeda.
Rambutnya yang masih basah, rambut yang dipotong pendek model mangkuk terbalik, hitam mengilat. Tidak ada sarang kutu atau noda jamur yang bersarang di kepalanya. Bu Nani sudah memeriksanya pada kesempatan pertama. Dan dia boleh merasa agak lega. Tidak ada inyasi kuman ke rumahnya. Tidak ada urbanisasi Fungus Kampungitis.
Badannya juga bersih. Tentu saja setelah mandi. Setelah digosok sabun tiga kali. Setelah menghabiskan air setengah bak mandi.
Kulitnya memang cokelat kehitaman dibakar matahari. Tetapi tak ada panu atau kurap yang membuat Bu Nani ikut merasa gatal.
Ketika dia menyuruh Lea membuka bajunya sebelum mandi dan menjejalkan baju itu ke tempat sampah, Bu Nani baru terbelalak. Buah yang mulai ranum di dadanya terpampang polos menantang di depan mata Bu Nani. Membuat dia tiba-tiba saja sadar...
"Lea perempuan, Pak!" jeritnya ketika tergopoh-gopoh dia menemui suaminya.
"Memang," sahut suaminya santai. Terus saja membaca koran sore. "Ibu kira apa""
Celana panjang butut dan kemeja lusuh yang longgar menyembunyikan kegadisannya. Belum lagi sikapnya yang kelaki-lakian... dia malah hampir berkelahi dengan anak-anaknya! Tentu saja Bu Nani tidak menyangka anak itu perempuan! Berpikir ke sana saja tidak!
"Dia cowok apa cewek sih"" Oki-lah yang pertama kali bisa membuka mulutnya.
Sesudah mukanya bersih, tampang feminin Lea memang mulai terkuak. Tapi gaya dan cara berjalannya tetap maskulin! "Banci!" sahut Panji spontan.
"Tapi sama banci aja Bang Panji keok!" bisik Oki sambil menahan tawa.
"Siapa bilang"" sergah Panji panas. "Kalo nggak ada Ibu..."
"Ntar malem kalo Ibu udah tidur! Berani""
"Siapa takut""
"Makan telor dulu dua biji! Biar nggak ngus-ruk disodok sapu! Hihihi..."
Cuma Aris yang membisu. Diam-diam dia sedang mengawasi Lea. Tampangnya boleh juga. Kalau tidak mirip banci nyasar begitu, sebenarnya mukanya manis. Hidungnya tinggi. Bibirnya tipis. Dan dia merasa malu karena hampir saja berkelahi dengan anak perempuan!
"Besok belikan Lea rok," kata Pak Tisna pada istrinya. "Lusa kubawa dia ke SMP-nya Aris. Kata Endang, umurnya tiga belas. Dia sudah lulus SD. Siapa tahu bisa diterima di kelas satu."
"SD di kampung tidak sa
ma dengan di Jakarta, Pak," sahut istrinya datar. "Lihat saja si Maman. Sudah tiga kali tidak naik kelas! Umur empat belas masih kelas lima! Buang-buang duit saja bayar uang sekolah."
"Si Maman memang bodoh. Tapi Lea beda."
"Ah, Bapak tahu dari mana"" gerutu Bu Nani tanpa dapat mengusir nada curiga dalam suara nya.
"Si Endang yang bilang. Katanya Lea pintar." Lalu Pak Tisna menoleh ke arah anak angkatnya. "Kamu mau sekolah lagi kan. Lea" Memang sudah ketinggalan sebulan. Tapi kalau kamu pandai, pasti bisa mengejar ketinggalan pelajaranmu. Kalau ada yang tidak mengerti, tanya kakak-kakakmu. Panji dan Aris sudah kelas dua SMP."
"Bang Panji mana bisa ngajarin. Yah!" celetuk si bungsu Oki kurang ajar sekali. "Saban ditanya, dia bilang nggak tau.'" Makanya dia tidak naik kelas! Hihihi.... "Hus!" bentak Ibu tersinggung. Aris lain lagi. Dia memang pintar. Tapi belajar sendiri saja malas. Apalagi mengajari orang lain! Kerjanya cuma membentak-bentak kalau ditanya!
"Sekarang kamu ke dapur," perintah Bu Nani tegas. Tentu saja kepada Lea. "Bantu Bi Asih menyiapkan makan malam."
Itu pekerjaan anak perempuan, kan" Bantu-bantu di dapur! Jangan enak-enak saja ikut nonton TV!
Tanpa berkata apa-apa Lea bangkit dan melangkah ke dapur. Di belakangnya Oki menjulurkan lidahnya mengejek. Lalu dia menirukan cara jalan Lea yang seperti banci. Dan saudara-saudaranya tertawa gelak-gelak.
"Oki!" hardik Ayah marah. "Apa-apaan sih kamu""
Oki lari kembali ke kursinya sambil menahan tawa.
"Kalo jalannya masih begitu, sekolah bisa heboh, Yah! Kirain ada banci nyasar!"
"Awas kalau kamu berani ngomong begitu lagi, Oki! Mulai hari ini Lea kakakmu! Kamu tidak boleh kurang ajar!"
"Kenapa Ayah harus mungut anak"" protes Aris, yang paling berani dan paling berangasan pula. Dan kalau harus mungut, kenapa juga yang model begini" Dia tidak mengerti mengapa orang aneh ini mesti menjadi saudaranya. Bikin malu saja!
"Lea anak si Jabrik, centeng Ayah yang tewas dibacok garong enam tahun yang lalu. Ayah berutang padanya. Dia mengorbankan nyawanya untuk menyelamatkan gudang beras kita."
"Tapi nggak lucu kalo anaknya mesti dipungut segala!"
"Aris!" bentak Pak Tisna tegas. "Mulai hari ini, kamu harus belajar menghormati saudaramu! Ayah tidak mau mendengar lagi kalian berkelahi! Kalau kalian masih berkelahi juga dengan anak perempuan. Ayah suruh Ibu beli gaun untuk kalian bertiga!"
Dan kita punya perkumpulan banci, Oki me nyeringai mengejek, tapi seringainya memudar begitu melihat belalakan ayahnya.
"Dia nggak pantes jadi adik Panji, Yah," gerutu Panji ketus. "Malu-maluin aja."
"Oh, jadi kamu anggap kamu lebih hebat dari Lea" Sepeninggal ayahnya, dialah tulang punggung keluarganya. Dia sekolah sambil kerja. Mengurus ternak. Ke sawah. Tapi dia tidak pernah tidak naik kelas!"
"Jangan menyindir anak sendiri, Pak!" protes Bu Nani tersinggung.
"Bukan menyindir. Membuka mata mereka! Kalau mereka mengira mereka lebih hebat dari Lea, mereka salah besar! Liburan nanti akan kubawa anak-anak ke pabrik berasku. Sudah saatnya mereka tahu bagaimana sulitnya mencari uang."
Lho. itu sih tugas bokap! Tugas anak cuma menghabiskannya, kan"
*** Yang kaget bukan hanya majikannya, Bi Asih juga. Dia juga tidak menyangka, anak yang waktu datang bajunya lebih dekil dari kain pel dan baunya mirip tempat sampah itu ternyata perempuan!
"Kamu mau ngapain"" cetusnya judes begitu Lea masuk ke dapur.
"Katanya suruh bantuin," sahut Lea jemu. Serbasalah!
"Bantuin apa" Emangnya kamu bisa masak"" "Nggak."
Terus mau apa di dapur" Nangkap tikus" Itu sih kerjaan si Belang!
"Tuh bantuin si Maman aja ngepel!" perintah Bi Asih seperti mengusir kucing yang mengganggu pekerjaannya di dapur.
Jelas kan kenapa pembantu muda tidak ada yang betah" Sudah majikannya galak, rekan sekerjanya judes! Kapan bisa nonton sinetron" Kapan bisa ngobrol asyik sama kacung sebelah" Kiamat!
Terpaksa Lea keluar. Menghadap si Maman untuk minta dipekerjakan. Tahu bedanya dengan diperbantukan" Tunggu kalau sudah jadi pegawai negeri!
Tetapi sambutan Arman pun jauh dari ramah. Heran kena wabah apa orang-orang di rumah ini! Semuanya sakit! Galak. Judes. Tandus. Gersang. Kering. Kemarau.
"Nyapu dulu baru ngepel!" kata Arman yang tiba-tiba merasa mendapat asisten. Untung dia tidak suka menendang juniornya. "Yang bersih! Ibu galak!"
Arman melemparkan sapu yang sedang dipegangnya ke hadapan Lea.
Ketika Lea sedang menyapu, Arman datang lagi. Meletakkan ember di depannya.
"Udah disapu terus dipel. Jangan basah. Ntar Ibu ngomel!"
"Kerjain aja sendiri!" balas Lea judes. Enak saja. Dari tadi nyuruh melulu!
"Eh, disuruh malah mbantah"" geram Arman antara kaget dan kesal. "Awas ya! Gue bilangin Ibu lu!"
"Bilangin!" tantang Lea dengan mata beringas. Arman menghampiri Lea dengan gusar. Dia sudah mengangkat tangannya. Siap untuk menghajar anak kurang ajar ini. Tetapi Lea bukannya mundur. Bukannya kabur. Dia malah mengangkat sapunya. Siap membalas serangan Arman.
Melihat sikap Lea yang menantang, ingat bagaimana dia menghajar kaki Panji, nyali Arman jadi ciut. Tidak sadar dia langsung mundur. Dan kepala Bi Asih melongok dari dapur. Matanya langsung membulat begitu melihat mereka.
"Eh, mau berkelahi ya"" bentaknya sengit. "Bukannya bantuin Bibi malah mau berkelahi""
"Dia kurang ajar, Bi!" gerutu Arman uring-uringan. "Disuruh ngepel malah ngebantah!"
Lea tidak berkata apa-apa. Tidak berusaha membela diri. Hanya wajahnya yang berkerut masam.
"Jadi pembantu jangan bertingkah!" kata Bi Asih kasar. "Kalau nggak mau kerja, bilang! Biar dipulangin ke kampung!"
Aku juga tidak betah di sini, keluh Lea ketika malam itu dia berbaring di ranjangnya. Semua orang memusuhiku. Semua orang! Kecuali Pak Tisna! Cuma dia yang baik.
"Kamu bukan pembantu, Lea," katanya ketika dia menyuruh istrinya memberikan kamar di samping kamar anak-anaknya. Bukan di belakang bersama Bi Asih dan si Maman. "Kamu anak angkat Bapak. Mulai sekarang kamu panggil saya Ayah."
Bi Asih yang sedang disuruh Ibu membersihkan kamar tamu itu mendadak tertegun. Dia menoleh ke arah majikannya dengan terkejut. Anak angkat" Astaga! Bapak mabuk jengkol kali ya"
Tetapi melihat suramnya tampang Bu Nani, dia tidak jadi bertanya. Ibu juga pasti tidak setuju! Cuma dia tidak berani membantah!
Lea sendiri diam saja. Dia merasakan aura permusuhan yang menyerang dari segala arah. Mengepung dirinya. Mengucilkannya.
Ketika sedang berbaring di kamar yang sebesar pondoknya itu. Lea sudah merasa tidak betah. Ranjangnya memang besar. Kasurnya empuk. Seprainya bersih. Tapi dia terap tidak merasa nyaman.
Di kampung Lea tinggal di pondok kecil bersama ibu dan adiknya. Makanan mereka terbatas.
Hidup mereka sederhana. Tak pernah berlebihan.
Tapi kalau ada yang dapat disebut rumah, di sanalah rumah Lea. Meskipun harus bekerja keras menggantikan almarhum ayahnya sepulangnya sekolah. Lea tidak pernah mengeluh. Dia anak sulung. Dia yang harus memikul tanggung jawab melindungi keluarganya. Tidak heran kalau sikapnya jadi kelaki-lakian. Kasar. Dingin.
Ibu sering sakit-sakitan. Tubuhnya lemah. Adiknya masih kecil. Belum dapat membantu mencari nafkah.
Untung Pak Tisna sangat baik. Uang santunan Ayah selalu sampai setiap akhir bulan. Mang Endang tak pernah terlambat mengantarkannya. Dengan uang itu dan sedikit hasil dari sepetak sawah, mereka dapat menyambung hidup. Sampai suatu hari, maut merenggut milik Lea yang tersisa.
Ibu dan adiknya meninggal karena muntaber. Meninggalkan Lea seorang diri terbenam dalam kedukaan. Dan sekali lagi Pak Tisna muncul sebagai dewa penolong. Dia membawa Lea ke Jakarta. Ke rumahnya.
Tetapi tampaknya, tak ada yang sungguh-sungguh menerimanya di rumah ini. Tidak istrinya. Anak-anaknya. Bahkan pembantunya. Kacungnya. Mereka semua memusuhinya.
Hidup memang tak pernah ramah kepadanya. Sejak kecil Lea sudah harus berjuang. Ayahnya meninggalkannya ketika dia baru berumur tujuh tahun. Dan tampaknya perjuangannya belum selesai.
Jakarta bukan kota yang ramah. Dan rumah Bu Nani bukan nirwana.
Lebih celaka lagi, sekolah yang dipilih Pak Tisna juga bukan sekolah u
ntuknya. Sekolah favorit itu terlalu mahal untuk anak desa seperti dirinya. Apalagi anak yang punya kelainan penampilan seperti Lea.
BAB III "Pak DION ini wali kelasmu, Lea," kata Bu Kathi, kepala sekolahnya. Suaranya tidak terlalu ramah. Datar. Berwibawa. Maklum, kepala sekolah. Kalau terlalu baik, nanti anak-anak jadi kurang-ajar. Tuntutan profesi. "Beliau guru mate matika merangkap guru olahraga. Kalau ada kesulitan, kamu boleh minta nasihat beliau."
Lalu Bu Kathi menoleh kepada laki-laki yang baru masuk ke kantor kepala sekolah itu. Seorang pria muda bertubuh tinggi tegap dengan penampilan sangat menawan. Bukan melecehkan penampilan umum guru. Tapi yang model begini biasanya artis. Dia pasti salah masuk kandang.
"Pagi, Bu Kathi," sapanya ramah. Senyum tersungging di bibirnya. Dia menatap Lea sekilas. Tatapannya demikian bersahabat.
Lea sampai kaget melihat senyumnya. Senyum itu begitu hangat. Begitu lembut. Begitu menghibur. Sejuk seperti tetes hujan di musim kemarau.
"Pagi, Pak Dion. Ini murid baru kita. Lea Ku-suma adik angkat Panji dan Aris dari kelas IIA. Saya beri dia kesempatan tiga bulan masa percobaan di kelas satu. Ijazah SD-nya bagus. IQ-nya seratus empat puluh. Tapi saya tahu itu bukan jaminan dia bisa mengikuti pelajaran di sekolah kita dengan baik."
Ketika mengucapkan kata-kata yang terakhir, Bu Kathi tidak menyembunyikan nada bangga dalam suaranya. Sekolah unggulan! Nggak sombong nih yee!
Tapi sombong nggak selalu dosa, kan" Biasanya orang yang sombong itu rasa malunya besar. Dan di zaman defisit malu seperti sekarang, sombong malah perlu. Asal porsinya jangan terlalu banyak.
"Selamat datang, Lea," kata Pak Dion ramah. "Jangan khawatir. Bapak akan membantumu."
Senyum melebar di bibirnya. Dan entah ada apanya senyum itu. Lea sudah tertarik sejak pertama kali melihatnya.
Pak Dion sungguh berbeda dengan guru-guru yang selama ini dikenalnya. Sudah tampangnya enak dilihat, badannya bagus, sikapnya ramah lagi. Sama sekali tidak menampilkan kesan galak atau angker.
Barangkali dia satu dari sedikit guru yang berpendapat, berwibawa bukan berarti menakutkan. Buktinya hantu tidak berwibawa. Dan kuntilanak tidak pernah jadi kepala sekolah. Kalau jadi bintang film sering.
"Mari, Bapak perkenalkan kamu dengan teman-teman sekelasmu."
Tanpa membantah Lea mengikuti guru barunya. Ketika melewati deretan kelas-kelas di kiri-kanannya, Lea berdesah kagum dalam hati.
Alangkah jauh berbeda dengan sekolahnya di desa! Di depannya terpampang gedung bertingkat yang megah. Kelas-kelas yang nyaman. Halaman yang luas dengan fasilitas olahraga yang memadai.
Tidak ada bekas-bekas air hujan di tembok yang melukiskan peta pulau-pulau tak bernama. Tidak ada cat dinding yang terkelupas. Bangku reyot yang sudah hampir roboh. Dan pintu kelas yang menjerit setiap kali dibuka.
"Ini kelasmu, Lea," kata Pak Dion sambil menyilakan Lea masuk. "Kelas IA."
Kelas yang sedang hiruk-pikuk itu langsung sepi begitu Pak Dion masuk. Semua mata mengawasi paket yang dibawa Pak Dion dengan tatapan ingin tahu.
"Cowok apa cewek sih"" bisik Ita bingung.
"Bencong, kali!" Tya balas berbisik.
Dan mereka tertawa cekikikan. Untung masih pagi. Dan bioskop jauh. Di sana sekarang banyak setan, kan"
"Tampangnya oke," celetuk Guntur "Kebetulan nih, bangku sebelah gue kosong!"
"Selamat pagi," sapa Pak Dion yang segera dibalas dengung tawon sekelas. "Ini teman baru kalian. Namanya Lea Kusuma."
"Hah" Namanya Leak"" sambar Dino menahan tawa.
"Hus! Kayak nama lu kebagusan aja! Masih nebeng iklan lu! Bau sponsor!"
"Lho, bener, kan" Namanya Lea Kusuma" Disingkat Lea K. Dibaca... Leak!"
Dan teman-temannya tertawa riuh.
"Tenang sebentar," kata Pak Dion tegas. "Kalau kalian tidak bisa diam, ada bangku kosong di kantor kepala sekolah."
Tahu, Pak! Anak-anak menjulukinya bangku panas! Kursi listrik!
Wajah Lea memerah. Ternyata di sini pun dia tidak mendapat tempat! belum apa-apa teman-temannya sudah mengejeknya! menjungkirbalikkan namanya.
"ini kelas percobaan untuk Lea. kalau dalam t
iga bulan dia tidak dapat mengikuti pelajaran, dia harus mengulang tahun depan. jadi Bapak harap kalian mau membantu Lea."
"Jangan khawatir, Pak!" cetus Guntur bersemangat sekali. "Dia boleh nyontek PR saya. asal ada imbalannya!"
"Huuu, kecil-kecil udah mental amplop!" sela Tya mengejek.
"Dia pasti betah di kelas kita, Pak!" sambar Dino. "Kalau nggak, uang kembali!"
"Dasar cowok kaki lima!" tersenyum Ita.
"Sudah, jangan ribut." kata Pak Dion, tenang dan sabar seperti biasa. "Duduk di bangku kosong itu, Lea."
Tanpa membantah Lea melangkah ke bangku kosong di sebelah Guntur.
Anak laki-laki itu langsung berdiri dan bergaya menyilakan duduk sambil tersenyum. Lea tidak mengacuhkan kelakarnya. Dia malah merasa muak. Padahal badan Guntur bagus. Kekar seperti kerbau. Mukanya juga oke, Bersih. mirip kuda habis mandi.
"Buset, tampangnya asem banget!" gurau Guntur sambil berpaling pada Dino.
"Ngapain juga lu ngeledek dia" Kesan pertama tuh penting bo!"
"Ada PR"" tanya Pak Dion yang langsung di sambut desah putus asa seluruh kelas Seolah-olah mereka sudah siap bunuh diri massal.
"Banyak, Pak." sahut Vera dengan gayanya yang manja-manja menggemaskan. Maksudnya manja minta diremas. Bukan digerus.
Sudah lama dia naksir wali kelasnya yang gan-teng ini. Pak Dion memang masih muda. Baru dua lima. tubuhnya tinggi tegap seperti foto model. Wajahnya tampan mirip bintang iklan. Nah. guru langka macam ini mana boleh disia-siakan" Peluang harus ditangkap pada kesempatan pertama, kan" Itu kata para ahli menangkap tikus.
"Pak Dion mana pernah sih nggak ngasih PR"" sambung Nuniek tidak mau kalah, Seakan-akan takut tidak kebagian lirikan Pak Dion yang maut itu. Maksudnya lirikan yang mendebarkan jan-tung. bukan memhuat jantung berhenti.
"Yang nomor lima tuh, Pak!" sambar Vera beradu cepat. "Susah banget deh!"
"Nomor satu saja belum, kan"" sahut Pak Dion sabar tanpa meninggalkan senyumannya yang membuat Vera sulit tidur. Bukan karena banyak utang, Tapi karena senyum itu selalu menggebah kantuknya. "Coba kamu ke depan. Vera. Kerjakan yang nomor satu."
Vera merapikan roknya dulu sebelum maju ke depan. Ketika dia sedang melangkah seanggun-anggunnya ke depan. Guntur menimpuk pinggulnya dengan karet penghapus. Vera memekik seperti dipatuk ular. "Ada yang nimpuk, Pak!" geramnya gemas, separo untuk mengadu, separonya lagi untuk menarik perhatian.
"Siapa yang menimpuk Vera"" tanya Pak Dion sabar. Menyadari untuk mengajar di kelas yang terkenal paling nakal ini dibutuhkan dua jantung cadangan.
"Saya, Pak!" sahut Guntur menahan tawa. "Dia emang minta ditimpuk kok!"
"Jangan bercanda di kelas, Guntur," suara Pak Dion berubah tegas. Membuat seisi kelas mendadak diam seperti disihir jadi batu. "Siapa yang masih mau bergurau, silakan keluar. Bergurau saja dengan matahari." Wah, bisa hangus, Pak! Emangnya Icarus! Keheran-heranan Lea menyaksikan efek kata-kata itu. Pak Dion tidak marah-marah. Tidak membentak-bentak. Tetapi sekali dia memperingatkan dengan suaranya yang berwibawa, tidak ada seekor jangkrik pun yang berani berbunyi lagi.
Lea sedang kebingungan mencari mobil ayah angkatnya ketika Guntur lewat. Kata Pak Tisna tadi pagi, dia tidak boleh pulang sendiri. Harus pulang bersama Panji dan Aris. Dijemput Mang Dahim. Pakai mobil. Wah, sekarang dia jadi AKB jilid dua. Anak Kaya Baru. Bukan Anak Kotor Bau. Itu sih jilid satunya.
Tetapi sampai pegal mata Lea mencari, dia tidak menemukan juga mobil yang mengantarnya tadi pagi. Padahal kelas IIA sudah kosong melompong.
Ketika Lea sedang menoleh-noleh, teman-teman sekelasnya lewat.
"Halo," sapa Guntur dengan suara mirip wadam. Disekanya rambutnya ke belakang dengan gaya yang membuat semua temannya tertawa gelak-gelak. "Cari tumpangan, Mbak""
Tanpa mengacuhkan kelakar Guntur, Lea memutar tubuhnya. Karena berbalik terlalu cepat, dia hampir menabrak Dahlan.
"Minggir!" Sengaja Dino mendorong tubuh Dahlan ke arah Lea. "Koboi lewat!"
"Auw!" Dahlan pura-pura sempoyongan menabrak Lea.
Tetapi reaksi murid baru itu benar-benar di luar dugaan. Dia t
idak mengelak. Tidak menjauh. Dia malah menunggu sampai tubuh Dahlan cukup dekat. Lalu didorongnya sekuat tenaga. Karena tidak menyangka. Dahlan terhuyung-huyung hampir jatuh.
Yang terkejut bukan hanya Dahlan. Teman-temannya juga. "Waduh! Galak banget!"
"Makanya jangan main-main sama cewek gue lu!" Guntur memukul bahu Dahlan sekuat-kuatnya. Kali ini dia benar-benar mengaduh.
Tapi Guntur tidak mengacuhkannya lagi. Dia menghampiri Lea. Dan meraih bahunya. Tentu saja maksudnya cuma main-main.
Tetapi sambutan Lea luar biasa. Dia berkelit. Menangkap tangan Guntur. Dan memelintirnya. "Aduh!" teriak Guntur antara kaget dan sakit. Refleks dia menggunakan tangannya yang satu lagi untuk mendorong Lea. Karena kuatnya entakan itu, Lea terjajar ke belakang. Kakinya terantuk batu. Dan dia jatuh tunggang langgang. Roknya tersingkap. Cd-nya kelihatan. Teman-temannya tertawa gelak-gelak.
"Polkadot, Tur!" Dino terkekeh-kekeh. "Lu yang milih ya""
Tetapi Guntur tidak tertawa. Tampaknya dia menyesali perbuatannya. Belum pernah dia men-
dorong anak perempuan! Wah, bisa jatuh gengsinya!
"Sori!" cetusnya sambil mengulurkan tangannya untuk membantu Lea bangun.
Lea meraih tangan Guntur dengan kedua belah tangannya. Dan menariknya sekuat tenaga. Kini giliran Guntur yang jatuh tersungkur. Dia benar-benar tidak menyangka!
Teman-temannya bersorak-sorai mengejek.
"Plis deh, Tur! Bikin malu sekolah favorit! Sama cewek aja ngusruk!"
"Leak!" rutuk Guntur menahan marah. "Kalo kamu bukan cewek..."
Lea tidak memedulikannya lagi. Dia merangkak bangun. Dan Vera menyiram kepalanya dengan segelas sirop merah.
"Biar kepala lu adem!" sergahnya judes.
Dan Vera, seperti teman-temannya yang lain juga, tidak menyadari cepatnya reaksi Lea. Dia belum keburu mundur ketika Lea yang masih setengah berlutut di dekatnya, menarik sebelah tungkainya. Karena tidak menyangka. Vera kehilangan keseimbangan. Dia jatuh terduduk. Gelasnya terlontar. Dan jeritannya membahana sampai ke Kalimantan. Untung hewannya tidak pada lari ke Singapura seperti koruptor.
Melihat keadaan temannya, Ita, Nuniek, dan Tya langsung turun tangan. Mereka mengeroyok Lea. Dahlan dan teman-teman prianya bertepuk tangan sambil tertawa dan berteriak-teriak memberi semangat.
"Gue pegang si koboi!" Dino melemparkan sehelai ribuan.
Dahlan terpaksa bertaruh untuk Ita. Kalau masih mau jadi pacarnya.
"Yang banyak pasti yang menang!" katanya menghibur diri.
Tapi mengeroyok Lea memang tidak gampang. Rambutnya terlalu pendek untuk dijenggut. Padahal itu senjata paling ampuh kalau cewek berkelahi, kan"
Dan Lea bukan cewek biasa. Dia bisa berkelahi seperti cowok. Bukannya menarik rambut, dia malah menjotos muka. Menendang kaki. Menyikut dada. Akibatnya sekali gebrak saja, musuh-musuhnya langsung jatuh bergelimpangan.
Dahlan spontan maju membantu begitu melihat pacarnya terkapar di tanah sambil menjerit kesakitan. Tetapi Guntur langsung menarik tangannya.
"Lu mo berantem sama cewek, Lan"" bentaknya kasar. "Besok mendingan lu pake rok aja!"
Dahlan membatalkan niatnya untuk memukul Lea. Dia membantu Ita bangun. Tapi Ita malah
melabraknya habis-habisan seolah-olah gara-gara dia Ita tertelentang di tanah. Padahal itu kan salahnya sendiri! Siapa suruh mereka mengeroyok Lea" Dia bukan cewek kok! Gennya sudah bermutasi!
*** Bu Nani marah sekali ketika melihat Lea tidak pulang bersama anak-anaknya. Dan itu memang yang diharapkan Panji dan Aris. Makanya mereka meninggalkan Lea.
Dan kemarahan Ibu tambah memuncak ketika Lea datang dengan baju koyak berlumuran sirop.
"Berkelahi lagi"" bentak Ibu gusar. "Kamu ini lelaki atau perempuan sih" Baju baru sehari sudah robek! Kalau berkelahi lagi, tidak usah sekolah! Pulang saja ke kampung. Biar jadi jagoan di sana!"
Lea tidak menjawab. Parasnya datar saja. Tidak mencerminkan ketakutan. Apalagi penyesalan. Melihat sikapnya. Bu Nani tambah jengkel.
"Masuk ke kamar! Tidak usah makan! Pukuli saja tembok buat latihan!"
Tanpa membantah Tea mematuhi perintah ibu angkatnya. Ketika melewati meja makan, A
ris yang sedang makan bersama Panji menimpuknya dengan sepotong ikan asin. "Makan tuh! Biar jadi Cat Woman!" Lea membalas tatapan Aris dengan dingin. Dan melihat ratapan yang penuh tantangan itu, Aris jadi tambah tergugah ingin menaklukkannya.
Cewek yang satu ini emang beda, pikirnya gemas. Heran kenapa tiba-tiba Ayah mungut dia" Kayak yang kurang kerjaan aja! Anjing banyak, kucing nggak kurang, ngapain ngambil dia"
"Gue bingung ama Bokap," gerutunya kesal. "Ngapain nambah anak" Yang model begitu, lagi! Apa Bokap udah bosen nambah kacung dari pabrik""
"Kita kan nggak tau siapa dia," dumal Panji separo menghasut. "Siapa tau anak simpenannya Bokap di pabrik!"
"Emang Bokap nyimpen apa di pabrik"" sambar Oki sambil menyeringai. "Paling-paling tikus!"
"Diem lu, anak kecil! Nyamber aja kalo orang lagi ngomong!"
"Yeee, emangnya cuma Bang Panji yang punya mulut!"
Tidak seorang pun ingat pada Lea kecuali Oki. Cuma dia yang ingat, Lea belum makan.
Mereka baru saja makan malam bersama. Dan Ibu tampaknya pura-pura lupa dia masih punya seorang anak lagi, biarpun cuma anak angkat. Kebetulan Ayah tidak pulang. Jadi tidak ada yang peduli Lea kelaparan di kamarnya.


Sisi Merah Jambu Karya Mira W di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ketika Oki mengambil kotak bekas kue, Aris sudah curiga.
"Buat anak kampung itu ya"" tuduhnya bengis.
Oki hanya menyeringai. Dia mengumpulkan semua tulang ayam bekas makan malam mereka. Termasuk sisa sambalnya. Memasukkannya ke kotak itu. Dan menutupnya baik-baik.
"Tunggu!" Aris mengejarnya ketika Oki membawa kotak kue itu ke kamar Lea. "Gue juga mau nyumbang!"
Lea memang lapar. Haus pula. Sejak pagi perutnya belum diisi apa-apa. Ibu tidak memberinya uang jajan. Jadi yang mengisi perutnya hari ini hanya sepotong roti dan segelas susu waktu sarapan pagi. Padahal dia tidak doyan roti. Tidak doyan susu. Dua-duanya sudah langsung jadi inventaris WC.
Jelas dia lapar. Dan agak terperangah ketika Oki mengetuk jendela kamarnya. Menyodorkan sebuah kotak kue.
Tumben nih dia baik! "Lekasan makan." bisik Oki di luar jendela. "Mumpung Ibu masih di dapur!"
Lea mengambil kotak itu. Menutup jendela. Dan membawa kotak makanannya ke ranjang.
Memang Oki tidak membawakan sendok. Barangkali dia lupa. Tapi makan dengan tangan saja pun tidak apa. Lea sudah biasa. Jadi cepat-cepat saja dibukanya kotak itu. Perutnya sudah lapar sekali.
Dan seekor tikus melompat keluar. Lari ketakutan ke kolong tempat tidur.
Lea tidak berteriak. Tidak bergidik jijik. Tidak menyumpah-nyumpah. Dia hanya memandang dengan sedih tulang-tulang ayam yang berserakan di dalam kotak yang masih dipegangnya.
Di luar jendela, Oki bersama Aris sedang tet-tawa-tawa.
"Kok dia nggak jerit-jerit ya"" cetus Oki penasaran.
"Nggak sempat lagi, kali," Aris menyeringai lebar. "Keburu teler!"
Penasaran Oki perlahan-lahan membuka jendela. Dan melongok ke dalam. Mendadak hujan tulang menimpa kepalanya. Dan bukan cuma tulang. Sambalnya juga. Sialnya, sepercik sambal masuk ke matanya. Oki memekik kesakitan. Dia mengucek-ngucek matanya dengan panik.
"Kurang ajar!" Aris melompati jendela dengan marah. Hendak dihajarnya orang yang berani menyakiti adiknya.
Didorongnya Lea dengan kasar. Lea terjajar ke belakang. Menabrak meja sampai terbalik. Dan jatuh terkapar. Tetapi dia tidak mengaduh. Tidak menjerit.
Ibulah yang memekik ketika dia membuka pintu kamar dan seekor tikus melompat ke kakinya.
* * * Malam itu Lea mendapat hukuman tambahan. Walaupun sekali lihat saja, Ibu tahu, anak-anaknyalah yang salah. Mereka yang mulai duluan.
Tetapi Bu Nani tidak bisa menerima, mengapa anak angkat itu berani melawan. Seharusnya dia mengalah. Itu namanya tahu diri!
Oki tidak perlu dihukum. Dia sudah terhukum. Matanya perih kemasukan sambal.
Aris dihukum tidak boleh main play station. Itu hukuman yang menyakitkan untuknya. Soalnya dia suka sekali main PS.
Hukuman Lea yang paling berat. Dia harus membersihkan tulang ayam yang berserakan. Dan tidak mendapat jatah makan malam.
Ketika sedang memegangi perutnya yang pedih menahan lapar malam itu. Lea sudah bertekad unt
uk kabur sepulangnya sekolah besok. Apa yang dicarinya di tempat ini" Apa yang diharapkannya dari rumah yang selalu membuatnya sengsara"
Pak Tisna mungkin baik. Tapi dia jarang di rumah.
Bu Nani entah mengapa, tidak pernah ramah sejak pertama kali bertemu. Dia memang galak. Keras mendidik anak-anaknya. Tapi yang dilakukannya pada Lea bukan hanya pendidikan yang keras. Dia menyembunyikan kebencian di baliknya.
Jadi buat apa dia menghabiskan umurnya di sini" Lebih baik dia kabur. Pulang ke kampung. Di sana paling tidak dia masih bisa makan nasi tiga kali sehari!
Tetapi keesokan harinya, ada sesuatu yang menghalangi niat Lea.
BAB IV SAYA dengar kemarin Lea berkelahi." Tidak ada nada marah dalam suara Pak Dion. Suaranya sesabar tatapannya. Setenang air mukanya. "Kenapa" Coba ceritakan pada Bapak."
Lea diam saja. Dia hanya menunduk dalam-dalam.
Ya, apa yang harus diceritakannya" Mereka menjailinya" Karena dia anak baru" Kuno!
"Lea tidak mungkin berkelahi tanpa sebab." Suara Pak Dion demikian lunak. Sama sekali tidak mengandung kemarahan. Alangkah bedanya dengan Ibu! Bu Nani sudah memaki sebelum bertanya. "Teman-teman mengganggumu""
Lea hanya mengangguk. Tidak merasa perlu mengadukan penderitaannya. Buat apa" Sejak kecil, dia sudah ditempa untuk menanggulangi sendiri kesusahannya. Di dunia ini, dia tidak punya tempat untuk mengadu.
Adiknya masih kecil. Ibu terlalu sibuk meng-urus rumah dan sawah mereka yang cuma se-petak. Apalagi akhir-akhir ini Ibu sering sakit-sakitan. Ayah sudah meninggal ketika adiknya lahir.
Jadi buat apa mengadu" Biarpun kepada guru yang baik ini!
"Kamu memang harus membela diri kalau diganggu."
Sekarang Lea mengangkat mukanya. Ditatapnya gurunya dengan heran. Tidak salah dengarkah dia"
Di kampungnya dulu, Lea juga suka berkelahi. Untuk membela diri. Untuk mempertahankan haknya. Untuk melindungi miliknya. Tetapi tidak ada yang membelanya. Tidak ada yang memuji. Bahkan tidak ada yang peduli.
"Bapak bangga padamu. Kamu gadis yang berani. Bukan gadis cengeng yang dapat dipermainkan seenaknya. Jika ada yang mengganggu, kamu memang punya hak untuk membela diri." Bukan main! Lea mengawasi gurunya dengan bingung. Terbentur tiangkah kepalanya tadi pagi" Tetapi Pak Dion membalas tatapannya dengan tenang.
"Kelasmu memang terkenal sebagai kelas yang paling nakal. Hampir semua muridnya bandel. Tapi kamu tidak bisa melawan mereka semua seorang diri. Kamu tidak bisa berkelahi tiap hari, kan" Jadi mulai saat ini, kalau ada yang mengganggumu, laporkan pada Bapak ya" Biar Bapak yang menghukum mereka."
Pak Dion bukan hanya menasihatinya dengan sabar. Pak Dion juga menghadiahkan seuntai senyum yang sangat menawan. Senyum yang untuk pertama kalinya mampu menenteramkan hati Lea yang selalu resah. Dan mampu memadamkan niatnya untuk kabur.
Ketika Lea masuk ke kelas, semua mata memandangnya dengan penuh rasa ingin tahu. Dia baru saja dipanggil ke ruang guru. Pasti ditegur. Dimarahi! Sukur-sukur dia ketemu Bu Kathi. Tokoh paling ditakuti di seantero sekolah. Baginya, tidak ada hari tanpa murka.
Vera dan teman-temannya sudah mengadukan peristiwa kemarin siang. Mereka dipukul Lea.
Disikut. Ditendang. Sampai jatuh tunggang langgang.
Dahlan ikut mendaftarkan diri sebagai saksi. Biarpun dia malu mengaku didorong sampai hampir jatuh. Tapi mau apa lagi. Dia lebih baik kehilangan muka daripada kehilangan Ita.
Cuma Guntur yang tidak ikut mengadu. Padahal tangannya juga dipelintir. Malah dia yang pertama-tama menegur Lea ketika dia duduk di sampingnya. "Gimana" Masih sakit"" "Apanya"" sahut Lea datar. "Apanya"" Guntur menahan tawa. "Ya semuanya. Dada. Paha. Sayap. Tulang. Jeroan. Empedu. Hati. Kan kemarin kamu berantem sama separo kelas!"
"Nggak lucu!" rutuk Lea judes.
"Lho! Orang nanya baik-baik kok jawabannya judes banget sih!"
"Plis deh, Tur, ganti rayuan pulau kelapa lu!" sambar Dino sambil tertawa terbahak-bahak. "Rayuan lu udah kuno tuh! Udah nggak laku!" "Sok tau lu!"
"Lihat gue nih!" Dino menghampiri Lea. Hendak menyentuh lengannya. Tapi begit
u melihat pancaran berbahaya yang keluar dari mata Lea, buru-buru dia menarik tangannya. Khawatir di
gigit. "Ntar kita ke kantin yuk, Lea. Bakso uratnya enak. Tapi kamu yang bayar ya""
"Rayuan apaan ruh"" sela Rita mengejek. "Masa minta dicukongin cewek" Itu yang namanya rayuan model baru""
"Dia kan anak baru'. Mesti nraktir kita-kita yang senior, kan""
"Mau lu!" Guntur menggebuk bahu Dino.
Dino hendak balas memukul, tapi batal begitu melihat Pak Dion sudah muncul di ambang pintu.
"Selamat pagi," sapa Pak Dion ramah seperti biasa.
"Pagi, Paaakk..." paduan suara menggema dari seluruh kelas.
Pak Dion meletakkan buku-bukunya di atas meja. Gayanya memikat sekali. Beda. Rasanya debu di meja pun tidak mau pindah. Betah.
"PR, Pak!" cetus Guntur sambil menyeringai. "Banyaaakk..."
Pak Dion membalas kelakar muridnya dengan seuntai senyum sabar. Dia sadar, menghadapi kelas yang paling nakal ini memang butuh kesabaran ekstra. Kalau tidak, dia yang harus memesan jantung ekstra.
"Sebelum memeriksa PR, seperti biasa saya ha rus memeriksa laporan dulu," katanya sambil
mengeluarkan secarik kertas dari sakunya. "Laporan pertama dari Pak Anwar."
"Wah, Pak Anwar emang sentimen sama kelas kita, Pak!" sambar Dino secepat mungkin.
"Ulangan sejarah kemarin mendadak banget, Pak! Kita semua nggak belajar!" sambung Ita tidak mau kalah.
"Bukan kami yang nimpuk lampu sen motornya, Pak!" Hadi cepat-cepat menimpali. Soalnya dia yang kemarin ditemukan di TKP.
"Siapa yang meletakkan permen karet di kursi guru"" tanya Pak Dion tenang.
Terdengar bisik-bisik dan tawa kecil di sana-sini. Pak Dion menyapukan pandangannya ke seluruh kelas. Dan tatapannya berhenti di wajah Dino. "Kamu, Dino""
"Bukan, Pak! Waduh, mana saya berani sih, Pak" Pak Anwar tegangannya tinggi!" "Kamu, Guntur""
"Yeee, kok saya melulu yang dituding, Pak""
"Kamu residivis sih!" bisik Tya geli. Sudah sebulan ini dia naksir Guntur. Soalnya dibandingkan teman-teman prianya, dia yang punya tampang paling kinclong. Yang lain mah masih culun. Kelas percobaan.
"Kita tidak akan mulai pelajaran hari ini sebelum ada yang mengaku," kata Pak Dion tegas.
"IA memang kelas yang paling nakal. Tapi bukan kelas pengecut. Kalau kalian tidak berani mengakui perbuatan kalian, saya malu menjadi wali kelas ini."
"Ayo dong, ngaku!" desis Vera seperti orang kepedasan. Takut guru kesayangannya mengundurkan diri jadi wali kelas mereka. Wah, bisa bunuh diri dia. Terjun ke selokan di depan sekolah!
Ita melirik resah ke bangku pacarnya. Dan Dahlan membalas tatapannya dengan sama gelisahnya.
"Tidak ada yang berani mengaku"" tantang Pak Dion tawar. "Saya kecewa..."
"Saya yang melakukannya, Pak," Dahlan berdiri dengan kepala tertunduk.
Pak Dion menoleh ke arah murid itu. Wajahnya sudah tiga kali berganti warna seperti lampu lalu lintas. Dua bangku di sampingnya, Ita menatap pacarnya dengan cemas. Seolah-olah khawatir Dahlan langsung diusir keluar. Dikirim ke kursi panas. Jadi telur setengah matang di sana.
Tetapi Pak Dion tidak marah. Tidak membentak. Tidak mengusir. Tidak mengomeli Dahlan. Suaranya tetap tenang.
"Saya hargai keberaniamnu mengakui perbuatanmu, Dahlan. Sekarang kamu menghadap Pak Anwar di ruang guru. Minta maaf. terima hukumanmu. Dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatan seperti itu lagi."
"Baik. Pak." Dahlan mengembuskan napas yang menyesakkan paru-parunya. Dadanya terasa sedikit lapang. "Terima kasih. Pak."
"Sekarang pengaduan berikutnya," Pak Dion menghela napas panjang. "Dari Bu Las. Siapa yang mencuri amplop dari dompetnya""
"Bukan mencuri, Pak!" hampir separo kelas serempak berteriak. "Jatuh sendiri!" "Siapa yang menemukan"" "Kami semua, Pak! Jatuh di depan kelas!" "Mengapa tidak dikembalikan"" "Isinya cuma kupon, Pak!" Nuniek tertawa geli.
Teman-temannya serentak tertawa riuh. Bu Las memang guru yang populer di kelas mereka. Tetapi populer karena tidak disukai. Dia guru bahasa Indonesia. Sekaligus mengajar keseni-an. Tapi anak-anak menggelarinya Tukang Sirep. Soalnya kalau pelajaran Bu Las, hampir
seluruh kelas mengangguk-angguk diserang kantuk.
BI yang diajarkannya lebih banyak berputar-putar di kancah tata bahasa. Sementara keseniannya lebih banyak teori. Coba dia ngajar main drum. Pasti tidak ada yang ngantuk.
"Apa pun isinya, barang yang bukan milik kalian harus dikembalikan ke pemiliknya!"
"Sudah kami kirim, Pak!" sahut Vera lincah. Tak lupa mengumbar senyumnya yang paling paten.
"Dikirim ke mana"" Kali ini Pak Dion yang bingung.
Tetapi dasar ganteng. Memandang dengan bingung pun dia tetap terlihat keren di mata Vera!
Vera menyebutkan nama toko yang mengeluarkan kupon itu.
"Nanti diundi, Pak! Siapa tahu Bu Las dapat mobil!"
"Atau kaus bola, Pak!" sambung Guntur lantang. "Yang ada nomornya!"
Tawa meledak di seluruh kelas tanpa dapat ditahan-tahan lagi.
Pak Dion menggeleng-gelengkan kepalanya sambil menahan senyum.
Anak-anak ini memang benar-benar nakal. Hampir tiap hari dia dapat pengaduan. Ada-ada saja kenakalan mereka. Bukan hanya murid-murid yang dijaili. Kadang-kadang guru pun dikerjai. Tentu saja guru yang tidak mereka sukai.
"Kalau Bu Las datang nanti, kalian harus minta maaf. Bilang kalian sudah tolong mengirimkan kupon-kupon itu."
"Kalau Bu Las dapat mobil, kita diajak ke disko ya. Pak!" seru Dino gembira.
"Hus! Sudah! Sekarang masalah terakhir. Saya ingin dengar dari Lea. Mengapa kamu kemarin dikeroyok Ita. Nuniek. Tya. dan Vera."
Pak Dion menatap Lea. Tatapannya masih selembut tadi pagi. Masih sesabar biasa. Tetapi Lea tidak ingin mengadu. Itu bukan sifatnya. Jadi dia diam saja.
"Kalau kamu tidak mau mengatakan apa masalahnya. Bapak anggap kamu yang bersalah."
"Dia disiram sirop. Pak!" cetus Guntur spontan. Tidak tega melihat Lea dihukum hanya karena dia tidak mau memaparkan masalahnya. "Vera yang nyiram! Katanya supaya jadi merah jambu, Pak! Jangan abu-abu terus!" Vera membeliak marah ke arah Guntur. ""Sok tau lu!" bentaknya judes. "Nyari muka ya""
"Emang betul, kan" Ngaku dong! Ngaku enteng!"
"Jadi Vera menyiram Lea dengan sirop. Benar itu, Vera""
"Benar, Pak," sahut Vera terbata-bata. "Habis dia galak banget sih. Marah-marah melulu."
Tapi bukan marah sama Vera, Pak!" sela Guntur lantang. "Sama saya!" Teman-temannya tertawa mengejek. "Urusan intern, Pak!" cetus Dino menahan tawa. "Pacar berantem. Biasa!"
"Diam kamu! Saya ingin tahu mengapa Ita, Tya, dan Nuniek mengeroyok Lea."
"Vera didorong sampai nyungsep, Pak!" Ita dan Tya berebutan bicara.
"Kami cuma ingin membela teman. Pak!" sambung Nuniek gemas.
"Lalu kalian mengeroyok Lea," Pak Dion menggeleng-gelengkan kepalanya sambil menghela napas panjang. "Karena dia anak baru. Belum punya teman."
"Saya temannya, Pak!" tukas Guntur spontan. Dia melirik Lea. Menyeringai nakal dan berbisik, "Jadi cowoknya juga mau!"
"Tangan Guntur juga dipelintir. Pak!" sambar Dino yang disambut tawa mengejek teman-teman sekelasnya. "Lea didorong Guntur sampai jatuh duduk!"
Sekarang Pak Dion merasa kepalanya berdenyut. Kesabarannya habis.
"Dengar," katanya tegas. "Saya tidak mau ada perkelahian lagi di antara kalian. Kalian teman sekelas. Harus saling bela. Bukan saling pukul. Kalau saya dengar lagi ada yang menjaili Lea, akan saya hukum! Kalian harus menerima Lea. Membantunya. Bukan malah memusuhinya. Mengejek. Mengucilkan."
Seluruh kelas mendadak hening. tidak ada yang berani membantah walaupun dada Vera dan teman-temannya masih bergolak.
Kurang ajar anak baru itu! Baru datang saja dia sudah dapat simpati Pak Dion! Lihat saja bagaimana cara Pak Dion memandangnya! Rasanya Vera hampir mati dibakar cemburu!
Vera dan teman-temannya memang tidak berani Jagi mengganggu Lea. Tapi bukan berarti geng VENTI sudah menerimanya.
Semua anak perempuan di kelas mereka, bahkan di kelas sebelah, harus tunduk pada geng mereka. Tidak takluk berarti diteror terus.
Karena itu mereka masih tetap memusuhi Lea. Soalnya cuma dia cewek yang berani membangkang. Di mana pun dia berada, mereka terus-menerus mengejeknya. Menjadinya. Mencari-cari kesalahannya. Memojokkannya.
Sayang Lea tidak perna h ke kantin. Kalau tidak, Vera pasti sudah minta Bu Kantin menuangkan separo botol sambal ke mangkuknya! Biar meletus ususnya!
Kejengkelan Vera memang bukan hanya karena Lea anak baru. Tapi terutama karena tampaknya Pak Dion menaruh perhatian ekstra kepadanya.
Lebih-lebih dalam pelajaran olahraga. Karena berbeda dengan teman-teman putrinya yang malas berolahraga, Lea sangat menggemari mata pelajaran yang satu ini.
"Kamu tidak bisa ikut lagi, Ita"" tanya Pak Dion ketika Ita mengajukan permohonan untuk tidak ikut pelajaran bela diri.
"Iya, Pak," sahut Ita cepat. "Hari ini saya berhalangan..."
"Cuti haid, Pak!" sambar Guntur gesit.
"Kok haid lu sebulan dua kali, Ta"" sambar Dino menahan tawa.
"Lho, kok lu hafal sih, No"" Guntur tertawa terpingkal-pingkal. "Dahlan udah melotot tuh!"
Vera juga sebenarnya tidak suka pelajaran bela diri. Tapi dia tidak mau mencari alasan untuk tidak ikut. Selama Pak Dion masih menjadi guru olahraga, dia tidak peduli hujan geledek sekalipun, dia tetap ikut!
Berbeda dengan teman-teman putrinya. Lea mengikuti pelajaran judo yang diajarkan Pak Dion dengan penuh semangat. Sebentar saja dia sudah dapat menguasai jurus-jurus yang diajarkan gurunya dengan sangat memuaskan.
"Bagus, Lea," puji Pak Dion kagum. "Sebentar lagi saya tidak tahu siapa yang harus jadi lawan tanding kamu."
Pujian itu bukan pujian kosong semata-mata. Pak Dion benar-benar mengagumi muridnya yang satu ini. Dia bukan hanya sangar berbakat. Dia memang seperti dilahirkan untuk menjadi atlet.
Lea bukan hanya cemerlang dalam menirukan jurus-jurus yang diajarkan gurunya. Staminanya pun prima. Dan gerakannya sangat gesit. Seolah-olah dia sudah biasa melakukan aktivitas fisik yang berat.
"Saya akan memasukkan kamu dalam tim olah-raga sekolah kita." kata Pak Dion mantap. "Ka-mu sangat berbakat. Kalau kamu rajin berlatih, kamu merupakan aset yang sangat berharga untuk tim kita."
"Nggak heran," dumal Vera iri, "bukan cewek sih!"
"Jangan lupa dites dulu kromosomnya, Pak!" cetus Tya dengki. "Siapa tau kromosomnya XY!"
"XXY kali!" sambar Dahlan separo bergurau. "Lelaki bukan, perempuan bukan!"
Dan Dahlan terlambat menyadari betapa dekat nya tempat Lea berdiri. Sekali gebrak Lea telah mempraktekkan ilmu yang diajarkan gurunya. Dan Dahlan langsung terjungkal!
yang kaget bukan hanya teman-temannya, Pak Dion juga.
"Lea!" bentak Pak Dion marah. "Kemari kamu!
Belum pernah Lea melihat Pak Dion semarah itu. Biasanya dia selalu sabar, lembut. Ramah.
Sejak pertama kali bertemu, sikapnya selalu tenang bagai air telaga. Sejuk bagai embusan angin sepoi-sepoi basa.
Tetapi saat ini, dia tampak sangat marah. Matanya bersorot tajam. Kelembutan lenyap dari wajahnya.
Lea merasa sangat menyesal. Kalau ada orang yang sudah menarik perhatiannya sejak pertama kali bersua. Pak Dion-lah orangnya. Perhatian dan sikap guru yang satu ini sangat berbeda. Untuk pertama kalinya Lea mengalami perasaan yang belum pernah mampir di hatinya. Perasaan hangat. Dan dia semakin menyukai figur yang satu ini.
Tetapi sekarang tanpa sengaja dia telah membuat Pak Dion gusar, Lea takut sekali dia akan kehilangan perhatian dan kelembutan yang selama ini ditunjukkan gurunya.
"Maafkan saya, Pak." gumamnya sambil me nundukkan kepala. Tidak berani membalas tatap an Pak Dion. Padahal selama ini, apa yang ditakutinya"
"Ilmu bela diri yang saya ajarkan untuk melindungi dirimu. Lea. Bukan untuk menyerang temanmu!" Suara Pak Dion terdengar sangat tegas berwibawa.
Membuat Lea bertambah mengagumi sosok gurunya yang satu ini. Dia bisa bersikap sangat lembut. Tapi di saat yang berbeda, dia juga dapat tampil sangat tegas.
"Kamu harus bisa mengubah sikap permusuhanmu. Harus mampu beradaptasi dengan lingkunganmu yang baru. Kalau sikapmu masih begini terus, dalam sebulan saja kamu sudah berkelahi dengan seisi sekolah ini!"
"Sukur!" sorak Vera puas, tentu saja tidak berani keras-keras.
Pak Dion jarang marah. Tapi saat ini tampaknya dia betul-betul gusar.
"Rasain lu!" damprat Tya, setengah berbisik pula. "Sok jago sih!
" "Jangan berani-berani ngeledek dia lu!" Guntur menyeringai ke arah teman-teman putrinya. "Nggak nyadar lu, sekali tekuk aja si Dahlan nyungsep""
"Kamu harus mulai mengubah sikapmu, Lea," suara Pak Dion melunak. Membuat Vera dan teman-temannya mulai meradang lagi.
Kenapa Pak Dion perhatian banget sih sama dia" Emangnya cuma dia yang perlu perhatian"
"Kamu anak perempuan. Makhluk yang lembut. Halus..."
"Denger nggak tuh"" bisik Dino, menggoda Tya yang duduk di sampingnya. "Kamu makhluk halus! Kalo malem jadi kuntilanak... Hihihi...."
"Walaupun bukan makhluk yang lemah. Memang kamu harus berani membela diri kalau diganggu. Tapi jangan sampai meninggalkan sifat-sifat kewanitaanmu..."
Vera menirukan kata-kata Pak Dion tanpa bersuara. Hanya bibirnya yang berkomat-kamit mengejek. Biasanya dia amat menyukai Pak Dion. Tapi saat ini dia sakit hati sekali! Sakiiitt... dibakar cemburu!
"Teman-teman akan lebih menghargaimu kalau kamu meninggalkan sikapmu yang kasar. Mereka akan berhenti menggodamu kalau menyadari betapa menariknya gadis yang bernama Lea Kusuma..."
"Saya emang udah tertarik sedari pertama kali melihatnya. Pak!" cetus Guntur sambil tersenyum lebar. "Habis dia cakep sih! Beda, lagi! Separo jantan, separo betina!"
"Guntur!" tegur Pak Dion. "Jangan bergurau kalau saya sedang bicara."
"Iya, Pak." sahut Guntur kecut. Wah, tegangan Pak Dion lagi tinggi nih! Jangan-jangan bukan cuma dia yang kesetrum!
"Kamu janji tidak akan berkelahi lagi. Lea"" "Iya. PAk." sahut Lea datar. "Laporkan saja pada saya kalau ada yang mengganggumu lagi.
waduh, sekarang dia dapat perlindungan khusus FBI!
Vera hampir tersedak menelan kedongkolannya. Di sampingnya, Tya dan Nuniek juga merasa mual.
Dahlan memasang muka kecut. Lebih-lebih ketika Ita memelototinya. Matanya seolah-olah mendamprat, cowok apaan lu! Sekali banting keok! Mendingan gue tukar tambah!
Lea sudah berjanji pada dirinya sendiri, dia tidak akan berkelahi lagi. Dia tidak mau mengecewakan Pak Dion. Satu-satunya sosok yang dikaguminya.
Tetapi siang itu, ada masalah baru. Masalah yang tak dapat dielakkannya.
Dia sedang terburu-buru mengejar mobil jemputan yang sudah hampir berlalu. Aris seperti sengaja menyuruh Mang Dahim langsung tancap gas. Padahal Lea belum sempat naik.
"Ntar saya diomelin Ibu lagi!" protes Mang Dahim, separonya karena takut, separonya lagi karena kasihan melihat Lea. Dia sedang terbirit-birit mengejar mobil yang mulai merangkak.
"Jalan!" bentak Aris kasar. Saat itu Lea sudah berada di samping mobil. Mang Dahim menginjak rem. Memberikan kesempatan pada Lea untuk membuka pintu dan melompat ke dalam. Tetapi ternyata yang masuk bukan hanya Lea.
Dari sisi lain mobil, seorang anak laki-laki yang tubuhnya lebih besar dari Aris membuka pintu dengan kasar. Begitu membuka pintu, dia meraih leher kemeja Aris yang duduk di sisi itu. Dan menariknya keluar dari mobil.
"Mo kabur lu ya"" geramnya sambil mendorong tubuh Aris ke tanah.
Melihat Aris jatuh tunggang langgang di aspal. Mang Dahim terpaksa menghentikan mobil. "Aduh," keluhnya ketakutan. "Berantem lagi!" Belum selesai dia mengeluh, pintu depan kiri mobilnya dibuka dengan kasar dari luar. Oki yang duduk di depan, kebetulan dia ikut men-jemput kakaknya setelah membeli komik, tidak keburu mengunci pintu. Dia ikut disetel keluar. Dan didorong ke tengah lengah kerumunan anak laki laki yang entah dari mana ilalangnya. Lea yang separo badannya sudah berada dalam mobil melongo bingung. Apalagi melihat Panji yang duduk di tengah-tengah bangku belakang meringkuk ketakutan. "Cabut. Mang!" seru Panji panik. "Cabut ke mana"" bantah Mang Dahim bingung. "Itu Oki dikeroyok!"
Oki memang sedang dipukuli beramai-ramai oleh anak-anak SMP yang badannya jauh lebih besar. Aris tidak mampu menolong karena dia sendiri sedang berkelahi dengan anak yang tadi menariknya.
Jadi terpaksa Lea turun menolong Oki. Dan terlibat perkelahian yang dia sendiri tidak tahu apa masalahnya.
Melihat majikannya berkelahi, terpaksa Mang Dahim turun untuk melerai. Tapi bukannya dihiraukan m
alah dia ikut dipukul. Dan mobilnya digebuki ramai-ramai.
Kebetulan Guntur dan teman-temannya sedang melahap batagor di depan sekolah. Melihat Aris diserbu, dia langsung mengomando teman-temannya.
"Eh, lihat tuh! Aris digebukin anak SMP seberang! Kita bantuin yuk!"
Dan tanpa perlu dikomando lagi mereka semua meninggalkan si tukang batagor yang mengerut hampir menangis karena batagornya belum dibayar.
BAB V BU NANI sudah menunggu di teras rumah seperti harimau menunggu mangsa. Dia tahu sekali jam berapa anak-anaknya pulang sekolah. Dan sekarang mereka sudah terlambat tiga jam!
Begitu mobil memasuki halaman. Bu Nani sudah siap-siap memuntahkan kemarahannya. Dia hanya menunggu sampai anak anaknya turun dari mobil.
Lea-lah yang pertama-tama turun dari pintu belakang mobil. Bajunya kotor dan koyak koyak. Jalannya terpincang pincang. Ketika dia berada lebih dekat lagi. Bu Nani bisa melihat dagunya memar. Bibirnya berdarah, lututnya luka. Dan kemarahannya meledak tak tertahankan lagi.
"Ibu sudah bosan memarahimu!" geramnya sengit. "Sekarang benahi barang-barangmu! Keluar dari rumah ini! Pulang ke kampungmu! Biar jadi jagoan di sana!"
"Sabar. Bu." gumam Pak Tisna yang saat itu muncul di ambang pintu depan.
"Sabar sampai kapan lagi. Pak" Anak ini benar-benar tidak tahu diri! Saban hari berkelahi! Anak-anak kita sampai ikut telantar! Ikut dijemur tiga jam!
"Dia harus pulang ke mana, Bu"" "Masa bodoh amat! Bukan urusan kita!" "Kita sudah mengadopsi Lea, Bu. Masa dia nakal saja sudah diusir""
"Dia bukan cuma nakal, Pak! Dia sakit! Tiap hari berkelahi!"
"Saya yang berkelahi. Bu," cetus Aris yang sudah sampai di dekat ibunya. Tidak tahan melihat Lea terpincang-pincang berjalan ke kamarnya. Mungkin untuk membenahi barang-barangnya setelah diusir Ibu. "Lea cuma bantuin Oki. Kalau dia nggak ikut berantem, Oki udah kelenger."
Ibu berpaling dengan terkejut. Dia cemas melihat Aris babak belur. Tapi melihat keadaan Oki yang dipapah Mang Dahim, Ibu memekik panik.
Bu Nani bukan hanya panik. Dia kalap. Dia membawa Oki ke dokter. Pulangnya, dia mampir di sekolah. Untung Bu Kathi belum pulang. Karena malam itu ada rapat mendadak. Membahas tawuran antara dua SMP yang berseberangan jalan.
Bu Nani tidak bisa menerima pengeroyokan atas diri Oki. Kalau Aris berkelahi, itu sudah biasa. Kalau dia dan teman-temannya tawuran, itu bukan hal baru lagi. Tapi mengeroyok Oki" Benar-benar keterlaluan! Dia baru kelas dua SD! Umurnya baru delapan tahun! Dan dia tidak tahu apa-apa! Tidak terlibat masalah kakaknya!
"Persoalan ini sudah ditangani polsek setempat, Bu," jawab Bu Kathi murung. "Anak-anak yang menyerang Oki sudah ditahan. Ibu sabar saja."
"Sabar bagaimana, Bu" Oki sampai babak belur begini! Padahal dia salah apa""
"Akar permasalahannya adalah ketidakpuasan Taruna, siswa kelas tiga SMP seberang, karena Aris merebut teman gadisnya. Jadi persoalannya sebenarnya hanya itu. Bu. Sayangnya, Taruna mengajak teman temannya mengeroyok Aris. Dan Oki ikut kena getahnya karena mereka semobil."
"Bagaimana kondisi Aris, Bu"" sela Pak Dion khawatir. "Dan Lea" Saya lihat mereka, juga babak belur."
"Tidak separah Oki." sahut Bu Nani datar. Padahal dia tidak tahu. Dia tidak sempat memeriksa. Bukankah tadi dia terburu-buru membawa Oki ke dokter"
"Saya tidak puas kalau mereka tidak dihukum, Bu!" sambungnya sengit. "Saya menuntut keadil-an!"
"Percayalah, kasus ini akan diselesaikan dengan baik. Bu," sahut Bu Kathi sabar. "Tawuran antarsekolah kita memang sudah beberapa kali terjadi. Pak Dion sudah mengajukan beberapa usul yang positif untuk mencegah perkelahian massal ini. Mungkin ada baiknya siswa-siswa mengadakan penemuan secara berkala. Mengadakan aktivitas bersama. Atau melakukan pertandingan olahraga."
Persetan, umpat Bu Nani dalam hati. Rencana sih boleh saja muluk-muluk. Tapi aku tidak puas kalau anak-anak yang mengeroyok Oki belum dihukum!
Aris bukan tipe anak laki-laki yang perasa. Lembut. Emosional. Sebaliknya, dia tipe cowok yang kasar. Pemberang. Kadang-kadang malah tampak seperti
tidak punya perasaan. Tetapi ketika malam itu dia melihat Lea keluar dari kamarnya tanpa membawa apa-apa, tiba-tiba saja dia merasa iba.
Lea sudah mandi. Sudah membersihkan wajahnya. Lututnya yang luka pun sudah dibersihkan. Walaupun belum dibubuhi obat. Tetapi Axis tahu, dia belum makan. Dan dia juga tahu Lea sudah hendak meninggalkan rumah.
"Seragam sekolah saya udah dicuci, Bi," katanya kepada Bi Asih. "Masih dijemur. Kalo udah kering, tolong disetrika dan dijahit yang robek ya, Bi" Bilang sama Ibu, baju ini saya pinjem dulu. Nanti saya kembaliin kalo saya udah punya baju ganti. Soalnya baju saya yang lama udah dibuang sama Ibu."
Saya kan nggak bisa pergi nggak pakai baju" Nanti saya dibawa ke RSJ! Dikira gokil!
"Kamu mau ke mana malam-malam begini"" Bi Asih menghela napas berat. Dia sudah tahu mengapa Lea berkelahi lagi. "Kenapa nggak besok pagi saja""
"Nanti Ibu marah lagi kalau lihat saya masih di sini," sahut Lea tawar.
"Makan dulu!" Bi Asih merenggut lengan baju Lea dan menariknya ke dapur. "Perut kosong malam malam begini nanti kamu sakit!"
"Nggak usah, Bi." Lea melepaskan pegangan Bi Asih dan melangkah ke pintu belakang. "Ntar Bibi yang diomelin Ibu..."
Ketika Lea membuka pintu belakang, Aris muncul di ambang pintu dapur.
"Kamu nggak boleh pergi!" cetusnya kasar. Datar. Tanpa nada.
Bukan cuma Lea yang kaget. Bi Asih juga. Mereka sama-sama menoleh. Dan mata Lea bertemu dengan mata Aris. Sejenak mereka saling tatap.
Lea yang lebih dulu memalingkan tatapannya. Tanpa berkata apa-apa, dia melangkah ke luar.
"Lea!" seru Aris marah. "Awas kalo kamu berani ninggalin rumah!"
Lea berbalik dengan marah. Matanya yang menyimpan kepedihan menatap Aris dengan kesal.
"Kamu budek ya" Nggak denger saya udah diusir Ibu""
"Itu kan waktu Ibu belon tau kamu berantem ngebelain Oki!"
Tapi sesudah tahu pun Ibu tidak meralat kata-katanya! Tidak minta maaf. Tidak membatalkan pengusirannya.
Mereka terburu-buru pergi. Membawa Oki berobat. Tidak ada yang peduli pada Lea. Padahal Lea begitu mengharapkannya. Mengharapkan kata-kata manis Bu Nani. Sekali saja!
Terburu-buru Lea membalikkan tubuhnya. Me nyembunyikan kepedihan di matanya. Dia tidak mau seorang pun melihat kesedihannya. Tidak juga Aris. Dia tidak mau dikasihani. Karena sepeninggal Ibu, memang tidak ada lagi orang yang mengasihaninya!
"Gue bilang jangan pergi!" seru Aris sengit. "Bandel!"
Dia melompat mengejar Lea dan menarik bajunya. Tetapi Lea melawan. Dia bukan hanya melepaskan diri. Dia malah memukul Aris.
Aris menangkap tangannya dan memelintirnya. Lea menyeringai kesakitan. Tapi dia tidak mengaduh. Dia malah menendang kaki Aris.
Dan Bu Nani muncul di ambang pintu dapur.
"Berkelahi lagi"" bentaknya dengan mata terbeliak sengit. "Kapan sih kalian sadar, ini rumah, bukan sasana tinju""
Aris dan Lea berbareng saling melepaskan. Me reka sama-sama membisu. Tidak ada yang berusaha membela diri. Bi Asih lah yang menceritakan apa yang terjadi.
Api di mata Bu Nani meredup ketika mendengar cerita Bi Asih. tapi suaranya masih tetap seketus biasa. Tidak ada kelembutan sama sekali di wajah maupun suaranya.
Pak Tisna-lah yang mencegah Lea pergi. Bukan Bu Nani.
"Kami sudah tahu apa yang kamu lakukan untuk Oki. katanya lunak. "Kamu tidak usah pergi. Karena di sinilah rumahmu."
Tetapi bagaimanapun. Lea belum merasa ini rumahnya. Dia masih merasa terasing.
Lea sudah menunggu di samping mobil. Siap berangkat ke sekolah. Anak-anak Bu Nani belum ada yang muncul. Padahal sudah pukul tujuh kurang seperempat. Dan yang namanya jalanan di Jakarta tidak pernah tidak macet.
Mang Dahim masih berusaha membetulkan kaca spion mobilnya yang kemarin digebuk anak-anak yang tawuran. Untung badan mobilnya cuma penyok-penyok sedikit. Dan kacanya tidak ada yang pecah kena batu nyasar.
Tidak lama kemudian Aris keluar dari pintu depan diikuti Panji. Tetapi Oki tidak muncul. Sakitkah dia"
Ingin Lea bertanya. Tetapi karena Panji dan Aris tampaknya tidak ingin bicara. Lea juga enggan membuka mulut. Biarpun baru seminggu ken
al ibu angkatnya. Lea tahu sekali, buat Bu Nani tidak ada alasan untuk tidak masuk sekolah kecuali sakit. Kalau sudah tidak bisa bangun dari ranjang, baru boleh izin. Nah, kalau sekarang Oki tidak sekolah, dia pasti sakit! Mungkin gara-gara perkelahian kemarin.
Lea ingat bagaimana takutnya Oki saat itu. Dia bersembunyi di belakang Lea. Tapi Lea tidak cukup tangguh untuk melindunginya. Penyerang mereka terlalu banyak. Ketika dia dipukul roboh, dua orang anak menyeret Oki. Dia didorong ke sana kemari seperti bola.
Teriakan kesakitan Oki masih terngiang jelas di telinga Lea. Dan dia menjerit-jerit memanggil-manggil Lea. Seolah-olah minta tolong.
Lea jadi nekat. Dia menerjang mereka. Mencoba menolong Oki. Tetapi anak anak sebanyak itu bukan tandingannya. Untung Guntur dan teman-temannya keburu muncul.
Sekarang Oki tidak sekolah. Pasti karena sakit. Akibat dipukuli kemarin. Kasihan Oki. Dia masih kecil. Mengingatkan Lea pada adiknya yang sudah meninggal. Begini juga jerit tangis Awan kalau dia dipukuli anak yang lebih besar. Dan Lea harus turun tangan menolong adiknya.
Ingat Awan wajah Lea berubah sedih. Sering dia merindukan adiknya. Adik yang selalu dilindungi dan dikasihinya. Mengapa Awan begitu cepat pergi"


Sisi Merah Jambu Karya Mira W di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Panji mengantarkan surat dari ibunya untuk Pak Dion. Mungkin Ibu memberitahu Oki sakit. Diam-diam Lea membuntutinya dari jauh. Dia juga ingin menemui Pak Dion. Ingin minta maaf karena melanggar janjinya untuk tidak berkelahi lagi.
Tetapi hari ini Pak Dion tampak sangat sibuk. Karena dia yang ditugasi kepala sekolah untuk mengurus masalah tawuran kemarin. Lea yakin Pak Dion melihatnya di belakang Panji. Tapi Pak Dion tidak memanggilnya. Dia malah seperti tidak peduli.
Jadi dengan kecewa Lea melangkah ke kelasnya. Saat itu sudah pukul tujuh lewat. Tapi Bu Las belum muncul. Tidak heran kalau kelas IA gaduh seperti pasar bubar.
"Jagoan datang!" teriak Ita begitu Lea muncul. Tentu saja dia sudah mendengar peristiwa tawuran kemarin. "Beri hormat, anak-anak!"
Tya dan Nuniek langsung berdiri sambil me-nunggingkan pantat mereka. Dahlan tadinya tidak mau ikut campur lagi. Dia malu. Guntur selalu mengejeknya kalau dia memusuhi anak perempuan. Tapi melihat lirikan judes Ita, Dahlan terpaksa ikut memukul meja seperti gayanya kalau sedang menabuh drum.
Tanpa menghiraukan ulah teman-temannya. Lea berjalan ke bangkunya. Dan Tya buru-buru lari menghindar begitu Lea sudah dekat. Rupanya alarm tanda bahaya di kepalanya sudah berdering panjang. Gerakannya langsung diikuti Ita. Yang cuma berani menjulurkan lidahnya setelah berada kembali di sarangnya.
"Gimana, Lea"" tanya Guntur begitu Lea meletakkan tasnya. "Gimana apanya"" Lea balas bertanya tawar. Guntur tertawa geli. Pertanyaan yang sama. Jawaban yang sama pula! Cewek yang satu ini emang unik! Makanya dia menarik! "Masih pada sakit bekas berantem kemarin"" Lea hanya mendengus. Dia duduk di kursinya. Dan terlambat menyadari, kursinya sudah diganti kursi lapuk dari gudang. Begitu diduduki, kursi itu langsung ambruk. Dan Lea jatuh terduduk.
Teman-temannya tertawa riuh. Vera yang paling keras.
"Sukur lu!" cetusnya puas. "Sekali-sekali cium tuh ubin!"
"Rasain!" Tya menari-nari mengejek." tengil sih!"
"Sakit pantatnya. Sayang"" Ita mencibir penuh kebencian.
Guntur mengulurkan tangannya untuk membantu Lea bangun.
"Sori, gue nggak tau," katanya sambil menyeringai. "Gue baru dateng. Lea."
Tapi Lea menepiskan tangannya dengan kasar. Ketika dia sedang merayap bangun, Bu Las memasuki kelas. Dan matanya terbelalak marah melihat Lea.
"Sedang apa kamu di sana"" bentaknya sengit. "Tidak bisa duduk diam di bangku menunggu guru datang""
Tya dan Ita saling lirik sambi! menahan senyum. Wajah mereka mencerminkan kepuasan. Tidak percuma Ita memaksa Dahlan menggotong kursi bejat itu dari gudang pagi-pagi buta tadi. Sebelum ada seorang anak pun di kelas.
"Kamu termasuk anak yang ikut tawuran kemarin, kan"" sambung Bu Las judes. "Tidak tahu malu! Anak perempuan ikut berkelahi seperti anak laki-laki! Sekarang semua anak yang ikut tawuran ridak
usah ikut pelajaran saya. Kalian dipanggil ke ruang guru. Pak Dion sudah menunggu di sana."
"Asyik," bisik Guntur sambil menyimpan senyumnya.
Dia yang pertama-tama keluar dari bangkunya. Dia memang paling malas ikut pelajaran menga rang. Biasanya, kalau Bu Las menyuruh membuat cerita minimal lima halaman. Guntur cuma bisa menulis dua halaman. Itu pun kalimatnya diulang-ulang terus. Lalu Ibu pulang. Lalu Adik mencuri kue yang baru dibeli dari pasar. Lalu Ibu marah. Lalu.... Lalu... Lalu... Selebihnya dia tidak tahu lagi harus menulis apa. Jadi disuruh keluar kelas benar-benar kebetulan!
Ketika Lea hendak meninggalkan mejanya. Bu Las baru melihat kursinya yang berantakan. "Kenapa kursimu" Dipukuli juga"" Nuniek tidak keburu menutup mulutnya. ce kikikan terlepas dari celah-celah bibirnya. Dan Bu Las memelototinya. "Apa tertawa""
Nuniek menunduk ketakutan. Tidak berani membalas tatapan maut Bu Las. Bahkan tidak berani menarik napas.
"Bawa kursi rusak itu ke tempat sampah." perintah Bu Las tegas. Tentu saja kepada Lea. "Minta kursi baru. Kalau besok rusak lagi. duduk saja di lantai!"
Ketika Lea hendak memunguti bangkai kursinya, Bu Las membentak lagi. Per pita suaranyan barangkali sudah kendur.
"Punya mulut tidak" Tidak bisa menjawab perintah gurumu""
Sekali lagi Tya dan Ita bertukar pandang dengan gembira. Mudah-mudahan tekanan darah Bu Las naik terus. Biar Lea disemprot sampai kuyup. "Bisa, Bu." sahut Lea tertekan. "Cepat susul teman-temanmu. Hukumanmu sudah menunggu!" "Baik, Bu," sahut Lea patuh. Ketika sedang membawa reruntuk kursi itu keluar. Lea berpikir-pikir mengapa ada guru sejudes Bu Las" Di kampungnya memang tidak ada guru yang setampan Pak Dion. Selembut dia. Penuh perhatian. Tetapi paling tidak mereka tidak se-galak Bu Las dan Pak Anwar! Mereka sakit apa"
Karena membuang kursi dulu, Lea datang terlambat ke ruang guru. Teman-temannya yang ikut tawuran sudah berjajar rapi di depan regu tembak. Pak Dion. Pak Anwar. Dan Bu Kathi.
Begitu Lea masuk, bentakan Pak Anwar sudah langsung menggelegar merontokkan kotoran telinga.
Setan Harpa 6 Korban Balas Dendam Karya Sam Edy Yuswanto Bulan Biru Di Mataram 3
^