Sisi Merah Jambu 2
Sisi Merah Jambu Karya Mira W Bagian 2
"Ke kantin dulu" Atau memukuli kucing dulu melatih otot tanganmu""
"Buang kursi rusak dulu, Pak." sahut Lea pasrah. "Disuruh Bu Las."
"Kamu kan satu-satunya anak perempuan yang ikut tawuran kemarin""
"Lea anak baru, Pak," sela Bu Kathi datar. "Dia saudara angkat Aris."
"Saya tahu, Bu," sahut Pak Anwar sama datar nya. Tidak usah diberitahu lagi! "Sepak terjang anak perempuan yang satu ini sudah terdengar ke seluruh sekolah! Kita punya calon Charlie's Angels!"
Teman-temannya menutup mulut menahan tawa.
Lea tidak sakit hati disindir Pak Anwar. Bahkan dimarahi. Atau dibentak sekalipun. Yang membuat hatinya pedih hanyalah karena Pak Dion diam saja! Dia tidak membelanya seperti biasa!
Kecewa jugakah Pak Dion atas tindakannya kemarin" Karena ikut tawuran. Ikut berkelahi lagi! Tahukah Pak Dion mengapa dia melakukan nya"
Setelah pidato panjang-lebar Bu Kathi selaku kepala sekolah, Pak Anwar wali kelas IIA dan Pak Dion sebagai wali kelas 1A. mereka dihukum memberi hormat kepada Batara Surya. Diskors tiga hari. Dan diancam akan dikeluarkan kalau terlibat tawuran lagi.
Ketika melihat murid-muridnya yang sedang dijemur seperti ikan asin di halaman sekolah itu, Pak Dion menghela napas berat. Sebenarnya dia tidak setuju dengan hukuman yang dijatuhkan. Menurut Pak Dion, hukuman seperti itu tidak mendidik. Tetapi dia tidak dapat membantah keputusan kepala sekolah yang telah menyetujui hukuman yang diusulkan Pak Anwar.
Menurut Pak Dion lebih tepat mereka dinasihati dan dibina untuk menempuh persaingan yang positif Yang tidak destruktif. Misalnya dengan pertandingan olahraga.
"Saya akan mengusulkan agar kedua sekolah kita mengadakan aktivitas bersama secara ber-kala," usul Pak Dion tadi malam dalam rapat guru. "Setiap bulan kita pertemukan tim olahraga kita dalam pertandingan persahabatan yang sportif. Olahraga akan menyalurkan semangat dan energi mereka ke jalur yang positif. Lagi pula saya yakin kalau sudah saling mengenal, mereka tidak gampang-gampan
g lagi saling gebuk."
Tetapi usulnya memang masih usul mentah. Masih diperlukan banyak pertemuan untuk merealisasikannya. Sementara kasus tawuran kemarin masih menjadi urusan yang berwajib. Dan Pak Dion-lah yang ditugasi Bu Kathi untuk mengurusnya. Karena sibuk, dia melupakan Lea. Padahal Lea sangat mengharapkan perhariannya. Seperti kemarin-kemarin.
BAB VI LEA tidak punya uang. Bu Nani tidak pernah memberinya uang jajan. Tetapi dia ingin mem bawakan sesuatu untuk Oki. jadi sambil menung gu Aris yang masih diinterogasi Pak Anwar. Lea minta izin pada Bu Kantin untuk membantunya mencuci piring.
"Nggak usah dibayar, Bu. katanya lugu. Ka lau boleh, saya minta sebungkus siomai aja."
"Kamu lapar"" tanya Bu Kantin iba.
Tiap hari menghadapi anak-anak sekolah, Bu Kantin sudah hafal sekali sifat-sifat mereka. Tapi yang model begini rasanya baru kali ini ditemukan. Masa mau makan siomai saja mesti cuci piring dulu!
"Nggak dimakan di sini. Bu. Kalau boleh, saya minta izin dibawa pulang untuk adik saya.
Bukan main, pikir Bu Kantin terharu. Biarpun repot, rasanya dia tidak tega menyuruh anak ini mencuci piring dan menukar keringatnya dengan sebungkus siomai!
"Sana pulang saja. Ini Ibu bungkusin siomai untuk adikmu."
Terima kasih. Bu," sahut Lea sambil berpikir-pikir, rupanya masih ada orang baik di Jakarta selain Pak Dion dan Pak Tisna! Tapi saya betul-betul ingin bantuin Ibu. Saya belum bisa pulang. Masih nunggu kakak saya."
Akhirnya Bu Kantin memperbolehkan Lea mencuci piring dan mangkuk kotor yang bertumpuk di belakang kantinnya. Lea baru permisi dan tergopoh-gopoh berlari ke mobil ketika melihat Aris sudah melangkah ke sana. Dia takut ditinggal lagi. Tapi rupanya sekarang Aris pun sudah lain. Dia menunggu Lea.
Ketika dari kejauhan Bu Kantin melihat mobil Lea, dia merasa heran mengapa anak itu tidak punya uang untuk membeli sebungkus siomai!
Tumben lu jajan," komentar Aris agak heran ketika melihat bungkusan di tangan Lea.
"Paling dibeliin si Guntur," sela Panji sok tahu. Tu anak kan paling perhatian kalo ada murid
baru. Apalagi cewek!"
Lea tidak menjawab. Dia tidak merasa perlu memberitahu mereka buat siapa bungkusan itu. Tetapi lain soalnya kalau Ibu yang bertanya!
"Sudah mulai jajan"" tanya Bu Nani pedas. "Ada yang ngasih uang""
"Cowoknya, Bu!" sela Panji dengki. "Anak orka!"
"Dikasih sama Bu Kantin, Bu," sahut Lea kaku.
Mata Bu Nani melebar. Direnggutnya bungkus an di tangan Lea. lalu tanpa permisi langsung dibukanya.
"Kenapa Bu Kantin memberimu siomai" tanyanya tajam. "Kamu yang minta" Bilang perut mu lapar dan kamu tidak diberi uang jajan""
Lea menggeleng dengan perasaan serbasalah. Mengapa ibu angkatnya selalu punya pikiran jelek" Mengapa dugaannya tidak pernah bagus"
"Ini makan siomaimu!" Bu Nani menjejalkan bungkusan yang sudah dibuka itu ke tangan Lea. "Tidak usah makan yang lain! Makan siomai saja!"
Terburu-buru Lea menangkap bungkusan itu supaya siomainya tidak berceceran jatuh ke lan-tai.
Dan siang itu. dia tidak mendapat jatah makan.
"Bi," cetusnya ketika Bi Asih sedang mencuci piring bekas makan Panji dan Aris.
"Kenapa"" tanya Bi Asih tanpa menoleh. "Udah bosan masakan Bibi" Enakan jajan di kantin""
Wah, tandus juga! "Mau minta tolong, Bi," tukas Lea terpaksa. "Masih lapar" Mau nasi"" Suara Bi Asih masih tetap judes.
"Tolong Bibi anterin ini ke kamar Oki ya""
Bi Asih berhenti mencuci. Dia berpaling ke belakang. Dan melihat Lea menyodorkan sebuah bungkusan.
"Apa ini""
"Siomai." Bi Asih tertegun sesaat. "Oki udah mau makan""
"Sedikit," sahut Bi Asih dengan sepercik keharuan di sudut hatinya. "Katanya kepalanya masih sakit."
"Anterin ini ya, Bi. Tapi jangan ketahuan Ibu. Ntar saya diomelin lagi."
"Tunggu aja di sini," kata Bi Asih sambil meraih bungkusan di tangan Lea. "Bibi masih punya nasi dan ikan asin buat kamu."
Bergegas Bi Asih meluncur ke kamar Oki. ketika dia masuk, Oki masih berbaring di tempat tidur. Dahinya yang luka ketika didorong sampai tersungkur di aspal masih diplester.
"Lea ba wa siomai nih. Lekasan dimakan ya. Jangan ketahuan Ibu. Ntar Lea dimarahin lagi." "Emang Lea dimarahin Ibu lagi"" "Ya, gara-gara siomai ini. Dia sampe nggak dikasih makan tuh!"
Mungkin karena doyan sekali siomai Bu Kantin, mungkin juga karena kasihan pada Lea, Oki melahap siomai itu sampai habis hanya dalam hitungan menit.
Tergopoh-gopoh Bi Asih membawa bungkusannya keluar kamar, hanya empat detik sebelum Bu Nani masuk.
Melihat ibunya datang, buru-buru Oki menye lusupkan mulutnya yang masih penuh siomai ke bawah bantal.
"Masih pusing, Oki"" tanya Bu Nani cemas.
Oki cuma mengangguk. Karena dia memang tidak bisa menjawab dengan mulut penuh.
Dengan penuh kekhawatiran Bu Nani meme gang kepala anaknya. Membelai belainya dengan lembut.
"Sini lihat Ibu, Sayang, katanya sambil menyingkirkan bantal yang menutupi mulut Oki.
Lea sedang menyuapkan nasi ke mulutnya dengan tangan ketika Bu Nani muncul di dapur. Dan melihat ibu angkatnya, nafsu makan Lea langsung melorot. Padahal perutnya lapar sekali.
Hhh, kenapa Ibu selalu datang pada saat yang tidak tepat"
Bi Asih yang memberikan sepiring nasi dan sepotong ikan asin ikut meringkuk ketakutan. Rasanya sebentar lagi dia juga bakal dihukum cambuk. Lidah Bu Nani memang lebih pedas dari cemeti.
Lea membatalkan suapannya. Dan meletakkan piringnya di meja dapur. Sambil membungkuk-bungkuk seolah-olah ada sekrup yang kendur di pinggangnya, Bi Asih mengambil piring itu.
"Kenapa tidak dihabiskan"" tanya Bu Nani dingin. "Karena tidak usah beli beras jadi enak saja buang-buang nasi""
Bi Asih tidak jadi menuang sisa nasi itu ke piring si Belang. Dia menoleh ke arah majikannya dengan tatapan bingung bercampur kecut. Hukuman apa lagi yang belum diterima Lea"
Rasanya salah atau banar. dia tetap harus di-hukum!
"Habiskan nasimu, perinlah Bu Nani tegas. "Kalau sudah cuci piring, bikin PR mu. jangan malas! Kalau bodoh kayak si Maman. lebih baik tidak usah sekolah! Buang-buang uang saja."
Lea melongo sesaat. Tidak menyangka Ibu tidak mendampratnya. Si Maman yang sudah membuka pintu kamarnya cepat-cepat menyelinap masuk kembali. Takut ikut dapat jatah labrakan. Kalau soal labrak-melabrak, Ibu memang murah hati.
Melihat Lea menatap bengong, tegangan Bu Nani naik lagi.
"Apa"" bentak Ibu judes. "Tidak ada PR buat besok""
"Besok saya tidak boleh masuk sekolah. Bu." sahut Lea terbata-bata.
"Apa"" Biji mata Bu Nani hampir melompat keluar. Seolah-olah Lea baru saja mengatakan ada bom di sekolahnya.
"Saya diskors tiga hari."
"Tidak masuk akal!" Pagi-pagi sekali Bu Nani sudah menemui Bu Kathi. Dia sangat marah. "Kenapa jadi anak anak saya yang di hukum" Mereka korban! Bukan pelaku! Apa Ibu mau me-nyuruh Aris jangan melawan kalau dipukuli" Apa Ibu tahu Lea berkelahi untuk membela Oki""
"Kami harus menerapkan disiplin. Bu," sahut Bu Kathi datar. Tidak senang karena pagi-pagi orangtua murid yang galak ini sudah mencela kebijaksanaannya. Memangnya dia siapa" "Kalau mereka tidak dihukum, tawuran ini akan menjadi kebiasaan."
"Tapi Ibu menghukum anak yang tidak bersalah! Mereka yang diserang! Mereka yang dipukuli!"
Ini kebijaksanaan sekolah. Bu. Kalau Ibu tidak setuju, sebaiknya Ibu mencari sekolah lain." Nah, ini dia senjata pamungkas! "Kita cari sekolah lain saja. Pak," gerutu Bu Nani kepada suaminya malam itu, ketika mereka sedang makan malam. "Memangnya cuma mereka yang punya SMP favorit""
"Masa gara-gara anak diskors saja kita harus memindahkan sekolah anak-anak kita, Bu"" keluh Pak Tisna pusing.
Dia baru saja sampai di rumah. Mendengar ocehan istrinya, laparnya langsung hilang. Barang kali kalau semua orang punya istri seperti ini, Indonesia tidak perlu lagi impor beras. Taruh saja Bu Nani di kamar makan.
Dan yang protes bukan hanya Pak Tisna. Aris juga. Dia tidak mau pindah sekolah.
"Ntar dikirain Aris takut!" sergahnya dingin. Dan bukan itu saja. Dini masih menjadi murid SMP seberang.
"Tapi kamu tidak boleh berkelahi lagi!" akhirnya Bu Nani mengalah. "Ibu kan tau mereka yang mulai duluan!" "Katanya gara-gara kamu merebut pac
ar anak itu! Siapa namanya"" taruna. "Iya. Taruna."
"Aris nggak ngerebut kok! Mereka emang udah putus!"
"Pokoknya jauhi anak perempuan itu! Jangan bikin gara-gara! Murid-murid perempuan di sekolahmu juga banyak! Buat apa sampai cari-cari ke seberang" Lagi pula kata siapa anak seumurmu sudah boleh pacaran" Belajar! Buang ingus saja belum bisa sudah mau pacaran!"
Siapa bilang aku belum bisa buang ingus, geram Aris dalam hati. Dan siapa bilang anak seumurku belum boleh pacuan" Umurku sudah empat belas tahun! Dini lima belas. Apa mesti nunggu sampai dia umur lima puluh"
Seperti ayahnya, Aris juga langsung kehilangan nafsu makannya. Dia membawa piring kotornya ke dapur. Padahal nasinya masih setengah piring. Untung Ibu tidak lihat. Kalau lihat, pasti dia dapat bonus.
Lea mengikuti jejaknya. Tapi piringnya sudah bersih. Tidak ada sebutir nasi pun yang tertinggal. Ketinggalan sebutir nasi berarti sekali dampratan Ibu. Nah, kalau setengah piring, dia bisa disemprot habis seperti nyamuk DB!
Ketika Aris meletakkan piringnya di tempat cuci piring, Lea berdiri di belakangnya.
"Tadi Dini nitip surat," Lea mengeluarkan sebuah sampul surat yang harumnya hampir membuat Aris bersin. Lea menoleh-noleh dulu ke sana kemari. Ketika dirasanya aman, baru disodorkannya surat itu kepada Aris.
"Kok baru ngasih sekarang"" cetus Aris antara kaget dan kecewa. "Mau ketauan Ibu""
"Dia ketemu kamu"" tanya Aris heran. "Kapan""
"Barusan dia lewat waktu aku nyapu di depan."
"Wah! Kenapa nggak bilang" Kenapa nggak-panggil aku"" sesal Aris seperti kehilangan peluang dapat undian mobil.
"Dini nggak mau nunggu. Cuma ngasih surat."
Aris cepat-cepat merobek sampul surat itu dan menarik keluar selembar kertas yang dua kali lebih harum seolah-olah baru saja ketumpahan sebotol minyak wangi.
Lea mengawasi Aris yang sedang membaca surat itu cepat-cepat. Takut tiba-tiba Ibu muncul dan Aris digiring ke polsek untuk diinterogasi lagi.
Ketika Lea melihat Bu Nani sedang melangkah ke tempat mereka, lekas-lekas didorongnya tubuh Aris. Dan maksudnya disalahartikan Bu Nani.
"Lea!" bentaknya marah. "Iseng banget sih" Ngapain dorong-dorong Aris""
Aris buru-buru menyimpan suratnya. Dan berbalik menghadap ibunya.
"Lagi latihan bela diri, Bu," sahut Aris sambil balas mendorong Lea. "Ibu tahu nggak, Lea masuk tim bela diri sekolah kita!"
Ibu hanya mendengus. Meletakkan setumpuk piring kotor. Dan meninggalkan mereka.
"Latihan bela diri! Mendingan juga kamu ikut kelas senam!" Biar jadi perempuan tulen! Bukan kepalang tanggung begini. Salah cetak!
Kasihan, pikir Aris dengan perasaan empati yang tiba-tiba muncul. Kenapa sih Ibu galak banget"
Ketika Lea hendak berbalik ke kamar makan, Aris memanggilnya.
"Ngapain"" "Mo ke mana" "Bantuin Bi Asih beresin meja. Ntar dia nya-nyi lagi. "Mo gue ajarin PS""
Lea bengong sejenak Tumben dia baik! Balas jasa Atau ada maunya"
Tapi Lea memang tertarik dengan permainan itu. Sudah sering dia melihat Aris main. Tapi tidak pernah diajak. Sekarang ada kesempatan. Mengapa harus ditolak"
"Apa balasannya"" tanya Lea curiga. "Nungguin surat Dini lagi besok."
"Nggak usah. Dia udah kasih nomor baru HP-nya. Nggak perlu surat-suratan lagi. Kuno!"
"Bisa nulis surat pake telepon""
"Namanya SMS! Norak lu ah! Sini gue ajarin Biar nggak malu-maluin!"
"Nggak usah! Emang mau nulis sama siapa" Bi Asih""
"Sama si Guntur kek! Dia naksir lu tuh!" "Ngaco!" berungut Lea jengkel. "Eh, nggak percaya! Besok gue kasih nomor HP gue ke dia. Biar dia SMS elu! "Nggak usah!
"Kenapa sih lu nggak mau pacaran""
Pacaran" Aduh, amit-amit! Muka Lea langsung memerah. tawa Aris meledak tak tertahankan lagi.
"Lu emang norak!"
"Biarin!" sahut Lea ketus. Kapan mainnya"" "Main apa""
Tadi katanya mau ngajarin PS!" "Ke kamar gue ntar ya! tapi awas, jangan ketahuan Ibu! PR gue masih numpuk tuh!" "Jam sepuluh aja ya"" "Kok lama banget" Bab dulu"" "Bukan! Bba, Bantuin Bi Asih!" Aris tertawa geli. Kalau lagi lucu, dia memang menggemaskan!
"Suruh si Maman aja!" "Huu, dia bisa ikut nyanyi!" "Bi
ar gue yang nyuruh!" "Jangan! Bi Asih nggak suka kalo Maman yang beresin meja. Nggak bersih."
"Namanya juga si Maman! Mandi aja nggak bersih! turunan Tarzan, kali!"
Lea masuk ke kamar makan. Menolong Bi Asih membereskan meja makan. Membersihkan sisa-sisa makan malam mereka. Dan membawa sisa piring kolor ke belakang.
Ketika dia melewati tempat Panji. anak itu me nimpuknya dengan sepotong tempe. Lea menoleh dan membeliak gusar.
"Ngapain melotot"" bentak Panji galak. "Iseng banget sih"" geram Lea jengkel. Kok jadi galakan yang nimpuk"
"Lea!" tegur Bu Nani yang baru masuk ke kamar makan. "Kasar amat sih" Nggak bisa sopan sedikit" Ini rumah, bukan hutan!"
"Panji yang nimpuk Lea duluan. Bu!" bela Aris tegas. "Aris liat kok!"
"Apaan lu"" Panji memelototi adiknya. "Emang lu yang mulai duluan. kan"" balas Aris sama garangnya.
"Sudah! Sudah!" bentak Ibu sengit. "Kenapa sih kalian jadi berantem melulu sejak ada Lea""
"Nggak ada dia juga udah berantem!" dumal Aris gemas. "Kenapa sih Ibu selalu nyalahin Lea""
"Aris!" bentak Ibu gusar. "Jaga mulutmu!" "Ibu nggak adil!" "Jangan ngajari ibumu!"
"Apa lagi sih"" keluh Pak Tisna yang baru masuk ke kamar makan. "Kenapa sih rumah ini nggak pernah tenang" Di pabrik saja masih lebih tenteram!"
"jadi Bapak lebih suka di pabrik" Kegusaran Bu Nani memuncak. "Karena di rumah selalu ribut" Bapak tahu sebabnya" tuh, anak angkat Bapak gara-garanya!"
"Lea nggak salah apa-apa!" sela Aris berani. "Panji yang nimpuk dia pake tempe!"
"Betul, Panji"" Pak Tisna menatap anak sulung nya dengan tajam.
Panji menunduk kecut. Mukanya merah padam. Matanya menyimpan ketakutan bercampur kejengkelan.
"Sini, lihat Ayah!"
Terpaksa Panji mengangkat wajahnya. Dan membalas tatapan ayahnya dengan ketakutan.
"Kenapa jadi Panji yang dimarahi"" protes Bu Nani kesal. Kenapa bukan anak angkat yang tidak tahu diri itu" Masa sama anak kandungku dia berani melawan"
Diam!" bentak Pak Tisna tegas. "Ibu yang membentuk Panji jadi begini! Beraninya cuma di rumah!"
Lho, Bapak ini bagaimana sih"" dumal Ibu penasaran. "Bapak mau Panji jadi jagoan" Ikut tawuran" Berantem terus seperti Aris dan Lea""
"Bukan jadi jagoan! tapi jangan jadi pengecut! Adiknya dipukuli dia malah ngumpet di mobil! Ibu mau punya anak Seperti itu""
Bu Nani tidak bisa menjawab. Oki memang sudah menceritakan apa yang terjadi hari itu. Ke tika dia diseret dari mobil dan dikeroyok. cuma Lea dan Mang Dahim yang menolongnya. Panji bersembunyi di dalam mobil.
"Kamu melawan anak yang mukuli adikmu tidak berani," damprat Pak Tisna pada Panji. "Di rumah malah iseng nimpuk Lea! Tidak berani ngaku, lagi! Mau jadi apa kamu" Sekarang pergi minta maaf pada Lea!" "Bapak!" protes Bu Nani tersinggung. "Apa lagi" Aku tidak boleh mengajar anakku sendiri" Supaya dia jangan jadi pengecut" Aku lebih bangga anakku babak belur karena berkelahi daripada ngumpet kayak tikus!" Jadi Ayah lebih bangga padaku, Aris menyeringai senang.
Ketika Panji masih tertegun di depannya, Pak Tisna menghardiknya lagi, "Sana cari Lea! Minta maaf! Awas kalau kamu berani menjaili dia lagi!"
Terpaksa Panji tertatih-tatih melangkah ke belakang mencari Lea. Ketika melewati tempat Oki, adiknya menjulurkan lidah mengejek. Panji sudah mengangkat tangannya untuk menjitak kepala adiknya. Tetapi bentakan ayahnya membatalkan niatnya.
Lea sedang membantu Bi Asih mencuci piring ketika Panji datang. Dia menoleh. Dan melihat muka Panji merah padam. Matanya menatap beringas.
"Udah, nggak perlu minta maaf," katanya dingin.
Tapi Aris yang membuntuti di belakangnya langsung membentak, "Gue bilangin Bokap kalo lu nggak bilang sori!"
"ngapain sih lu yang jadi penasaran gitu"" Panji berbalik gusar. "Lu naksir dia ya""
"Naksir" Gokil lu! Lea adik kita! Gue bilangin Bokap, ditabok lu!"
"Bukan," geram Panji dingin. "Sampe kapan juga dia bukan adik gue! Nggak level!"
Lea diam saja. Tapi mendengar kata-kata Panji yang terakhir itu diam-diam dia merasa sedih.
BAB VII MEMANG anak-anak Bu Nani sudah tidak memusuhinya lagi. Oki malah
menjadi lebih lengket dengannya.
Aris juga sudah menjadi teman baiknya. Dia yang mengajari Lea bermacam-macam hal baru yang belum diketahuinya. Main play station. Mengirim SMS. Bahkan berselancar di dunia maya seperti internet. Melalui Aris, Lea berkenalan dengan teknologi komunikasi mutakhir yang dalam mimpi pun belum pernah dibayangkannya.
Dan sesudah Lea menguasai kursus kilatnya, Aris justru lebih suka mengajak Lea daripada saudara-saudaranya yang lain. Panji bukan saja tidak sepandai Lea. Dia lebih suka mengurung diri di kamar dengan kesibukannya sendiri. Sementara Oki masih terlalu kecil. Masih dianggap anak bawang.
"Nggak level," kata Aris kalau Oki minta diajak ikut main. "Masih nyusu. Mendingan lu mainin dot aja sana!"
Memang Lea menyadari, di antara ketiga anak Bu Nani, Aris-lah yang punya sifat paling mirip dengannya. Tidak heran kalau Lea merasa paling cocok dengan Aris.
Dengan Panji, Lea memang tidak pernah bisa dekat. Dia bukan hanya yang paling penakut. Dia juga yang paling sulit didekati.
Sifatnya paling aneh. Bukan hanya Lea yang tidak dapat memahami dirinya. Adik-adiknya juga.
Dia serba tertutup. Senang menyendiri. Hampir tidak punya teman. Semua orang dimusuhi. Lebih-lebih orang baru seperti Lea.
"Asosial," kata Oki sok tahu. Entah dari mana dia mendengar istilah itu.
Oki memang lucu. Kalau sedang tidak nakal, dia sebenarnya anak yang menyenangkan, Lea selalu ingat adiknya kalau berada di dekat Oki.
Sebaliknya Oki tidak punya kakak perempuan. Dan Lea lumayan baik kalau sedang tidak dirasuki setan berkelahi. Paling tidak, dia mau mengajari Oki. Tidak seperti kakak-kakaknya yang lain.
Tidak heran kalau mereka jadi cepat akrab. Dan melihat bagaimana uletnya Lea mengajari Oki yang bebal, lambat laun niat Bu Nani untuk menyingkirkan Lea semakin memudar. Apalagi Lea cukup rajin. Dan dia lebih cekatan dari Arman. Dia bisa membantu Bi Asih dengan lebih efisien.
Tidak heran kalau Bi Asih juga lebih suka menyuruh Lea daripada Arman. Karena menyuruh si Maman tidak cukup tiga kali.
Di sekolah juga Lea sudah merasa lebih betah. Dia dapat mengikuti pelajaran dengan baik. Ketika tiga bulan telah lewat, dia lulus eyaluasi. Dan diperbolehkan terus mengikuti pelajaran di kelas satu SMP.
Di antara semua pelajarannya, Lea paling menyukai pelajaran olahraga. Bukan saja karena dia sangat gemar main basket dan judo. Tapi terutama karena gurunya Pak Dion.
Makin hari Pak Dion makin menarik. Dan Lea merasa rindu kalau sehari saja tidak melihat senyumnya. Mendengar suaranya. Membalas tatapan matanya.
"Selamat pagi," suara Pak Dion selalu hadir dalam mimpinya. "Ada PR""
Vera dan gengnya memang masih memusuhinya. Tetapi mereka tidak berani lagi menjaili dengan terang-terangan. Karena kini mereka sadar, betapa berbahayanya anak perempuan yang satu ini. Dan dia dapat perlindungan khusus dari Pak Dion. Wali kelas dan guru favorit mereka.
Sebaliknya sikap Pak Dion kepada Lea juga sudah kembali hangat. Penuh perhatian seperti dulu. Setelah masalah tawuran selesai dan setelah Pak Dion tahu mengapa Lea menyalahi janjinya untuk tidak berkelahi lagi, hubungan mereka malah kelihatan bertambah dekat.
Vera semakin cemburu melihatnya. Lebih-lebih ketika suatu hati Pak Dion membawa kejutan baru.
"Untuk pentas seni bulan depan, kelas kita akan menyuguhkan operet."
"Si kancil mencuri ketimun ya. Pak"" sambar Dino sebelum teman-temannya sempat membuka mulut. "Guntur jadi kancilnya!"
"Dia pantasnya jadi gorila, Pak!" sela Dahlan. "Soalnya badannya besar. Berbulu, lagi!"
"Atau kancil bengkak!" sambung Hadi sambil terkekeh-kekeh, "bengep digebukin karena nyolong siomai di kantin!"
"Wah, kancil nyolong siomai sih adanya di opera Beijing!"
"Bapak mau bikin operet apa sih. Pak""
"Cinderella." sahut Pak Dion sabar.
"Cinderella"" separo kelas menjerit.
Tentu saja bukan seluruh cerita. Waktunya hanya setengah jam. Kita hanya mengambil beberapa cuplikan. Cinderella bersama ibu dan saudara-saudara tirinya di rumah. Peri yang menolongnya. Tikus-tikus yang membantu membuat gaun
nya. Cinderella berdansa dengan Pangeran. Cinderella kabur dengan kereta kencana ketib jam berdentang dua belas kali. Lalu adegan terakhir, ketika Pangeran Tampan mencari gadis yang punya kaki yang pas dengan sebelah sepatu yang disimpannya."
"Dahlan yang main, Pak!" cetus Guntur sambil menyeringai. "Dia cocok jadi tikus! Tampang udah ada. Tinggal dipoles dikit lagi pasti diuber-uber kucing sekampung!"
"Masa tikus gede gitu"" sambar Tya. "Tikus bengkak, kali! Kecemplung di got!"
"Siapa yang jadi Cinderella, Pak"" sela Vera tanpa mengacuhkan kelakar teman-temannya.
Jantungnya memukul tidak beraturan. Dak. Dik. Duk... Dak Dak... Duk. Dik. Duk. Duk. Dak. Duk.... Bleduk.
Yang terakhir itu bunyi sikunya jatuh menimpa meja karena terlalu tegang menunggu. Bukan jan tungnya jatuh ke perut.
Vera memang pantas berharap. Ditinjau dari segi mana pun, rasanya dia yang paling pas. Sudah bodinya paling kinclong, tampangnya juga paling gres. Tentu saja itu pendapat Vera sendiri.
"Sudah lama Bapak pikirkan," sahut Pak Dion sabar. Senyum tak pernah lekang dari bibirnya.
Membuat perut Vera semakin mules. Padahal sudah dua hari dia tidak makan sambal. Dan tagihan bulanannya masih seminggu lagi. Itu pun jarang sakit. Kecuali kalau dia malas olahraga karena Pak Dion digantikan Pak Bemo.
Pak Bemo adalah guru olahraga kelas tiga. Kalau Pak Dion berhalangan, biasanya dialah yang menggantikan. Namanya yang sebenarnya Bimo. Tapi anak-anak menjulukinya Bemo, karena profil mukanya mengawetkan kendaraan bersejarah yang sudah hampir punah itu.
Untuk memerankan Cinderella, Bapak memilih... Vera.
Vera hampir melonjak dari bangkunya. Untung dia cepat sadar, yang barusan bicara bukan Pak Dion. Cuma halusinasi.
"Untuk memerankan Cinderella, Bapak memilih... Lea."
Pati aku salah dengar, dengus Vera dalam hati. Pasti aku sudah gila! Atau... Pak Dion yang gila!
Lihat bagaimana terkejutnya teman-temannya. Seluruh kelas jadi gempar. Tawa geli dan ejekan meletus di mana-mana.
Lea jadi bulan-bulanan teman-temannya. Mukanya sudah merah seperti udang rebus. "Nggak salah pilih. Pak"" desis Tya kesal. Kalau bukan dia yang terpilih, oke! Dia sadar, matanya kebesaran. Mulutnya kelebaran. Kakinya kependekan. Tapi masa tidak ada teman putrinya yang lebih pantas jadi Cinderella sampai kodok pun dipilih"
"Kok Cinderella-nya bencong. Pak"" cetus Vera, tidak tahan lagi mengekang sakit hatinya. "Apa udah nggak ada lagi cewek tulen di kelas kita""
"Dia sih Cat Woman, Pak!" Dino tertawa geli. "Bukan Cinderella! Nanti pangerannya ditendang nyungsep, Pak!"
"Pak! Pak!" Dahlan sampai berdiri saking bersemangatnya. Lupa dia bukan sedang berdemo memprotes korupsi yang tidak ada habis-habisnya di negeri ini. "Bapak bercanda ya""
"Mengapa kamu pikir Bapak bercanda"" Pak Dion balas bertanya dengan tenang.
"Nah, si Leak kan bukan cewek orisinil, Pak!" "Lho, kok lu tau sih, Lan"" sambar Dino menahan tawa. "Emang udah pernah nyobain""
"Dino!" sergah Guntur pura-pura kaget. "Belon pernah dicubit Mbak Ita ya""
"Diam, anak-anak," pinta Pak Dion tegas. "Bapak ingin tanya pendapat kalian. Tapi jangan bergurau. Siapa yang protes tunjuk jari. Sebutkan alasan kalian memprotes pilihan saya."
Mana berani, Pak, gerutu Nuniek sengit. Anak emas Bapak!
Dan memang. Tidak ada seorang pun yang berani mengangkat jarinya. Semua diam. Semua mengawasi Pak Dion dengan tegang. Sebagian dengan dongkol. Sebagian lagi hampir mati penasaran.
"Kalau tidak ada yang protes, saya anggap kita semua sudah setuju dengan pilihan saya. Lea akan memerankan Cinderella."
"Saya Pangeran Tampannya ya. Pak!" cetus Guntur gembira. Tentu saja hanya bercanda.
"Dia sih pangeran kodok. Pak!" sela Hadi geli. "Suaranya emang kayak kodok bangkong!"
"Bukan, Pak!" sambar Dino. "Guntur sih pangeran kencet! Kakinya panjang sebelah. Harus didongkrak dulu!"
"Jangan Guntur, Pak." Dahlan tidak mau kalah. "Tampangnya rusak berat! Baru nongol aja penonton udah pada kabur! Kirain piaraan bon-biu lepas!"
"Tapi suaranya heboh. Pak! Nggak usah pake mik udah kedeng
eran sampe Cirebon!"
"Emang biasa teriak-teriak di terminal!"
"Saya memang memilih Guntur untuk memerankan Pangeran Tampan." Pak Dion tersenyum sabar. "Kamu sanggup. Tur""
Untuk pertama kalinya wajah Guntur berubah pucat. Perutnya kram.
"Aduh, Pak! Suruh saya jadi kuda aja, Pak! Narik kereta kencana'" Guntur berdiri di samping kursinya. Meringkik dan melonjak-lonjak. "Mirip kan, Pak""
Pak Dion tidak menanggapi protes Guntur.
"Kamu terap jadi Pangeran. Vera jadi ibu titi Cinderella..."
Lho, emangnya aku udah kelihatan tua banget" Vera merasa harinya tambah sakit. Jahat banget Pak Dion! Udah nggak kepilih jadi Cinderella, disuruh jadi nenek-nenek, lagi!
Memang usia Vera dua tahun lebih tua dari teman-temannya. Itu karena dia dua kali tidak naik kelas. Tapi bukan berarti dia sudah pantas jadi ibu-ibu... Waduh! Rasanya mulai besok dia sudah harus mulai minum obat pengawet... eh, jamu awet muda. Bukan formalin. Itu sih jatah mayat.
"Nuniek dan Tya jadi saudara tiri Cinderella..."
Sialan! Sekalinya kepilih jadi setan! Disumpahin penonton sejagat!
Gue gebukin lu sampe teler! Nuniek melirik gemas ke arah Tya. Seolah-olah mengikrarkan janji pembalasan dendam.
"Dino jadi jam gedang. Berdentang tiap jam dua belas."
"Saban jam dua belas malem dia emang mukul kentongan, Pak!"
"Ngeronda nyari pocong! Hihihi...."
"Mukanya emang bulet kayak jam. Pak! Cocok kalo ditulisin angka!"
"Rita jadi peri...."
"Dia sih lebih cocok jadi kuntilanak. Pak!" serobot Hadi geli.
"Sialan lu!" Rita menggebuk bahu teman se-bangkunya dengan gemas.
"Dahlan dan Ita jadi tikus."
"Waduh, di kelas kita nanti pasti banyak nying-nying. Pak!" Tawa Guntur meledak tak tertahankan lagi.
*** Pulang sekolah, Lea langsung menemui Pak Dion. Wajahnya kusut. Langkahnya lunglai. "Ada apa, Lea"" tanya Pak Dion lunak.
"Pak, saya mau tanya." "Soal Cinderella""
"Bapak sengaja mau bikin malu saya"" "Mengapa kamu punya pikiran begitu"" "Ada lima belas anak perempuan di kelas IA Pak. Kenapa justru saya"" "Karena saya punya rencana." "Bikin saya jadi badut ya. Pak"" "Citra itu justru yang ingin saya ubah. Kamu gadis yang cantik. Asal mau bersikap dan bergaya seperti wanita. Dan saya yakin, saya dapat mengubah penampilanmu. Menarik keluar sisi merah jambu dalam dirimu."
Lea mengawasi gurunya dengan bingung. Memang ada berapa sisi dalam dirinya" Kalau yang ngumpet sisi merah jambu, yang nongol warna apa" Hitam" Abu-abu" Ungu" Aduh, kenapa Pak Dion jadi aneh begini"
Tetapi Pak Dion membalas tatapan muridnya dengan tenang.
"Kamu tidak percaya"" Percaya, Pak! Cuma nggak yakin! "Saya tidak bisa nyanyi, Pak," keluh Lea lesu. "Dan sifat Cinderella bukan sifat saya. Tidak mungkin saya bisa menjiwai peran gadis yang begitu lemah. Menyerah saja pada nasib. Menangis tiap hari didera kekejaman ibu dan saudara-sauda ra tirinya... itu bukan saya, Pak!"
"Itu seni peran, Lea. Artis dituntut untuk dapat menjiwai peran apa pun yang diberikan ke padanya."
Tapi saya bukan artis! Dan tidak mau jadi artis! Mimpi saja tidak pernah! Lebih baik saya jadi atlet!
"Saya akan membimbingmu. Kamu akan menjadi Cinderella yang sempurna."
Tentu saja. Kalau bukan Pak Dion, siapa lagi yang punya ide yang begitu gila"
Sisi Merah Jambu Karya Mira W di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kalau bukan Pak Dion, mana mau Lea ikut main operet" Apalagi jadi Cinderella. Gadis bodoh yang tiap hari mau saja diomeli" Biarpun di rumah Bu Nani, nasibnya hampir tidak ada bedanya!
Karena Pak Dion yang minta. Lea rela dihina. Diejek. Diberi malu. Untuk Pak Dion, dia rela melakukan apa saja.
Teman-temannya juga tidak ada yang memprotes. Biarpun Guntur harus jatuh-bangun menghafal nyanyian. Harus mengubah Citranya yang bengal jadi pangeran alim. Harus mengejar-ngejar sepatu sebelah biarpun bapaknya punya toko sepatu.
Walaupun jengkel. Vera juga menurut saja pantatnya disumpal bantal biar pinggulnya makin mekar. rambutnya dicat putih supaya beruban.
Padahal siapa sih yang mau jadi tua" Di mana-mana juga perempuan rela membayar jutaan rupiah asal bisa muda kembali! Dan karena dia marah-marah terus, akt
ingnya berantakan. Tya dan Nuniek juga idem dito. Mereka dongkol disuruh jadi gadis-gadis judes yang bodoh, malas kerja, dan hobinya cuma dandan. Padahal di kehidupan nyata, mereka memang seperti itu kok Jadi sebenarnya ini peran yang mudah buat mereka. Kalau saja mereka tidak iri pada Lea. Dan karena iri, permainan mereka jadi hambar.
Ita dan Dahlan juga tidak memprotes dijadikan tikus. Padahal sejak jadi tikus, Ita jadi nggak doyan ikan. Takut diuber-ubet kucing.
"Mendingan nggak ikut main daripada jadi tikus!" gerutu Ita kalau Pak Dion sedang sibuk di tempat lain. Dan tumpahan muntahnya tentu saja Dahlan. Siapa lagi. Jadi pacar Ita memang berani harus selalu siap jadi tempolongnya.
Sementara itu, Pak Dion tidak peduli pada bisik-bisik protes dan kekecewaan yang diarahkan pada pilihannya. Dia tetap semantap biasa. Dia yakin sekali, operetnya akan berhasil. Dan dia dapat mengubah penampilan Lea. Sekaligus membuat hubungan Lea dan teman-temannya menjadi akrab.
Kalau setiap hari mereka bertemu dan berlatih pasti perlahan-lahan mereka akan melupakan permusuhan mereka.
Tetapi memang tidak mudah merealisasikan mimpinya.
Dalam latihan pertama saja, Lea sudah menjadi bahan olok-olok. Penampilannya selalu mengundang ejekan. Bahan tertawaan.
Nah, bayangkan saja kalau Cinderella lagaknya seperti pemain ketoprak pria yang menyamar sebagai wanita! Heboh, kan"
Lea sendiri sudah putus asa. Kalau bukan Lea, barangkali dia sudah nangis Bombai. Menggerung-gerung digerus frustrasi.
Bu Las, guru kesenian yang menjadi pengarah acara, juga sudah kewalahan. Setelah dua kali latihan, dia angkat tangan. Dan mengancam angkat kaki. Untung dia tidak mengangkat yang lain. Panggung bisa tambah heboh.
"Kalau Lea tidak diganti, saya yang mundur, Pak!" protesnya uring-uringan seperti ABG yang tidak boleh pacaran karena belum tujuh belas tahun.
"Beri dia kesempatan beberapa liari lagi. Bu," pinta Pak Dion. "Saya akan membimbingnya lebih keras. Saya yakin, dia akan berhasil."
"Cuma Pak Dion yang yakin," sahut Bu Las ketus. "Saya tahu maksud Pak Dion. Bapak ingin mengubah penampilan Lea. Ingin mengubah ka-rakternya supaya jadi wanita sejati. tapi jangan dengan mengorbankan acara ini. Mengorbankan anak-anak yang lain."
"Dan mengorbankan reputasi Bu Las sebagai pengarah acara"" Pak Dion tersenyum sabar. "Kalau boleh, saya ingin mengambil alih acara ini, Bu. Biar saya yang mencoba. Kalaupun gagal, saya bukan siapa-siapa. Dan anak-anak ini hanya murid SMP. Bukan artis. Penonton pasti memaafkan mereka."
"Begitu ngototnya Pak Dion membela Lea sampai tega mengorbankan teman-temannya"" geram Bu Las gemas.
"Rasanya tidak ada yang merasa dikorbankan, Bu. Kalau ada yang mau mengundurkan diri, saya tidak pernah melarang. Dengan acara ini, saya mencoba menyatukan mereka. Bukan memecah belah."
"Kita harus membela Pak Dion!" usul Guntur yang tiba-tiba terbangun semangatnya ketika men-dengar pertikaian wali kelasnya dengan Bu Las. "Awas kalo ada yang berani mundur!"
Biar nanti sore dia minum sebotol cuka cam-pur asem jawa supaya suaranya jadi melengking merdu. Kalau perlu dia akan mengasah pita suaranya supaya suaranya yang mulai pecah tidak me-mecahkan gendang telinga penonton.
"kalo Cinderella-nya nggak diganti, gue men dingan bunuh diri. Tur!" gerutu Tya sengit. "Mau digebuk dia malah melotot! Diomelin malah nan-tang! Cinderella apaan tuh""
"Kalo dia belon bisa jalan kayak cewek, mendingan si Dino aja yang kita dandanin jadi Cinderella!" sambung Dahlan kesal.
Mendingan gue dansa sama lutung daripada sama si Dino!" protes Guntur keras.
"Siapa juga yang mo dansa ama elu"" dumal Dino tersinggung. "Biar masih jomblo, gue kan bukan hombre!"
"Kalo sama Ita gimana. Tur"" usul Dahlan penuh harap. "Tukar aja. Si leak yang jadi tikus! Banci juga kucing nggak tau!"
"Kata Pak Dion, dia punya kejutan besok! Gue rasa dia mo bikin si Leak jadi putri beneran!"
"Gimana bisa jadi putri beneran kalo kromosomnya lebih satu" gerutu Dahlan muak.
"Mana bisa leak jadi putri"" tukas Tya gemas. "Paling-paling jadi g
enderuwo!" "Kita liat aja besok! Gue yakin Pak Dion nggak bohong! Dia pasti udah punya rencana!"
BAB VIII SORE itu, Pak Dion yang mengantarkan Lea pulang ke rumah. Dan dia minta izin menemui Bu Nani.
Tentu saja Bu Nani kaget. Tegangannya langsung naik dua ribu volt. Dikiranya anak angkatnya berkelahi lagi. Anak atau monster yang dibawa suaminya ini"
Untung Pak Dion seperti memahami dugaannya.
"Tidak ada apa-apa, Bu," katanya tenang. "Lea baik-baik saja. Nilai-nilainya di kelas cemerlang. Dan dia tidak nakal."
Dengan sopan Pak Dion memaparkan kegiatan di sekolah mereka dalam rangka menyambut pentas seni bulan depan.
"Kelas IA akan menyajikan operet Cinderella. Dan saya telah memilih Lea untuk memerankan Cinderella."
Bu Nani tertegun heran. Sudah gilakah guru ini" Apa tidak ada murid perempuan lain di kelasnya sampai dia memilih Lea"
Tentu saja Pak Dion mengerti apa yang dipikirkan Bu Nani. Sambil tersenyum tipis, dia melanjutkan kata-katanya.
"Untuk itu saya minta izin Ibu untuk mengubah penampilan Lea." "Mengubah bagaimana. Pak"" "Kalau boleh, besok siang saya akan merapikan rambutnya. Menghias wajahnya. Memilihkan gaun yang tepat. Dan meminta teman saya untuk melatih cara berjalannya. lentil saja hanya untuk acara ini. Dan saya berjanji, saya yang akan bertanggung jawab, Bu."
"Boleh saja. Pak," Bu Nani masih setengah bengong. Rasanya Bapak harus menyihirnya supaya jadi perempuan tulen! Kalau tidak, operet ciptaan bapak bisa berubah jadi dagelan!
Seumur hidup. Lea belum pernah membonceng motor. Dia tidak takut. Cuma agak rikuh.
Ketika Pak Dion memintanya duduk di boncengan motornya, Lea langsung naik seperti menunggang kuda. Pak Dion segera mencegahnya dengan lembut.
"Duduklah seperti wanita dewasa. Lea," pintanya sambil tersenyum sabar. Tidak ada nada menggurui atau mengejek dalam suaranya. "Duduk menyamping dengan kedua kaki dirapatkan."
Lea memang tidak tersinggung meski agak tersipu. Pak Dion memang memperlakukannya seperti seorang wanita dewasa. Dan Lea harus berusaha keras menyesuaikan dirinya walaupun masih agak rikuh. Misalnya saja ketika turun dari motor. Dia ingin melompat ketika tiba-tiba dibatalkannya kembali.
Lea sadar, dia harus turun perlahan-lahan. Bukan melompat. Padahal kalau dibandingkan dengan punggung kerbau, apa artinya boncengan motor setinggi ini"
Pak Dion membawanya ke sebuah salon kecantikan. Dan wanita yang menyambut mereka di balik meja di depan pintu itu bukan main kerennya.
"Gunting dan blow, Pak"" tanyanya sambil melemparkan seuntai senyum manis. "Sekalian cream bath"
"Bukan saya," sahut Pak Dion tenang. "Murid saya."
Sekarang wanita itu menoleh ke arah Lea. Tatapannya demikian menilai sampai Lea jadi agak gelagapan. Memangnya dia sapi ditatap seperti ini"
"Model apa"" tanyanya sambil menyebutkan nama-nama yang di telinga Lea mirip nama planet.
Lea menggeleng bingung. Dan perempuan itu menunjukkan setumpuk majalah yang isinya berbagai model rambut.
"Pilih saja mau yang seperti apa. Tidak usah buru-buru."
Tapi sampai besok pagi pun Lea yakin, dia belum bisa memilih. Jadi dia bengong saja. Pak Dion-lah yang membantunya.
"Tolong pilihkan saja model yang tepat untuknya."
"Oke," perempuan itu tersenyum penuh arti. "Cuci dulu ya."
Senyumnya begitu menarik sampai Lea yakin dia pasti punya banyak langganan sekalipun cu-kurannya tidak begitu bagus. tapi kalau Lea mengira perempuan itulah tukang cukurnya, dia keliru.
Setelah rambutnya dicuci, dia disuruh duduk didepan cermin lebar. Dan seorang laki-laki... ah, benarkah dia laki-laki"
"Halo!" sapanya genit. Gayanya mirip perempuan setengah matang. Maksudnya perempuan setengah lelaki. "Mau gunting model apa, Sayang""
Sayang dengkulmu! Lea hampir muntah. Untung Pak Dion tidak pernah jauh. Jadi ada yang mengambil tempolong kalau dia muntah.
"Tolong yang pantas untuknya, Mas. Model apa saja. Asal tambah cantik."
Perempuan eh, lelaki setengah matang itu melirik Pak Dion dan senyumnya bertambah genit. Suaranya juga. Lembut mendayu-dayu.
"Pacarnya""
"Murid saya." "Murid"" Mata makhluk ajaib itu berkedip Jenaka.
"Bulan depan dia akan memerankan Cinderella dalam operet yang kami adakan di sekolah. Cinderella tidak dapat memikat pangeran dalam penampilan seperti ini, kan""
"Serahkan pada saya!" cetusnya bersemangat. "Saya akan membuat semua laki-laki di sekolahnya ingin jadi pangeran!"
"Jangan semua," Pak Dion tersenyum separo bergurau. "Guru-gurunya banyak yang sudah ber-istri!
Lea sampai kaget ketika penata rambutnya yang aneh itu memukul bahu Pak Dion sambil tertawa genit.
Setelah rambutnya digunting dan di-blow, Lea masih harus merelakan wajahnya didandani. Dan ahli riasnya kali ini seorang wanita yang wajahnya berwarna-warni seperti pelangi. Tapi tangannya sangat mahir memoles paras Lea.
Pak Dion harus menunggu dua jam lebih sebelum Lea selesai disulap menjadi gadis yang sangat cantik sampai dia hampir lupa menutup mulutnya.
Ternyata dugaannya tidak meleset! Kalau tahu bagaimana caranya, kecantikan tersembunyi anak ini dapat ditampilkan dengan sempurna!
"Bukan main!" Pak Dion sampai lupa menyembunyikan kekagumannya. I upa yang tegak di depannya muridnya. Bukan istrinya. "Kamu cantik sekali, Lea!"
Melihat cara Pak Dion menatapnya. Lea merasa sekujur parasnya panas membara. Belum pernah dia merasa tersanjung seperti ini. Tetapi yang dirasakannya memang bukan hanya rasa ter-sanjung. Lebih dari itu.
Ada secercah perasaan aneh yang lahir di sudut hatinya. Perasaan yang selama ini belum pernah menyentuhnya. Perasaan yang dia sendiri tidak tahu apa namanya.
Dan melihat reaksi Lea. Pak Dion baru sadar, dia tidak boleh bersikap seperti itu di depan muridnya. Nanti Lea salah sangka.
"Mari ke satu tempat lagi. Teman saya akan memilihkan gaun yang cocok untukmu. Dan melatihmu berjalan. Mengajarimu cara melangkah yang benar."
Cara melangkah yang benar" Memang selama ini aku melompat-lompat seperti kodok"
Tapi kalau Pak Dion yang bilang, Lea percaya saja. Kalau berlatih jalan katanya, Lea akan patuh sekalipun dia disuruh berjalan dengan tangan!
*** Hari itu mereka memang sangat sibuk. Tapi hasilnya tidak mengecewakan. Meskipun Lea sudah empat kali hampir terjerembap. Dua kali karena gaun panjangnya. Dua kali lagi karena sepatu tingginya. Cinderella tidak bisa memakai sepatu kets, kan"
"Saya butuh dua minggu," kata Mbak Murni kepada Pak Dion. "Dua jam setiap hari."
"Bagaimana kalau satu minggu, Mbak" Kami harus menampilkan operet itu tanggal lima belas bulan depan. Artinya tinggal sebulan lagi."
Dan operetnya nyaris berantakan. Pemain-pemainnya tidak ada yang bisa berakting dengan bagus. Dari Cinderella sampai tikus, semuanya amburadul.
Pak Dion juga bukan guru kesenian. Pengetahuan musiknya nol. Dia hanya nekat mengambil alih acara itu karena Bu Las keberatan memakai Lea. Padahal dia belum pernah jadi pengarah acara. Tidak heran kalau arahannya juga sering meleset.
Jadi dia perlu memoles Lea secepat-cepatnya. Karena Pak Dion yakin, kalau Cinderella-nya oke, yang lain pasti terbawa. Tentu saja cuma dia yang yakin. Karena murid-muridnya yang lain kecuali Guntur dan Dino, masih tetap memusuhi Lea. Dan mereka ingin menyabotnya kapan saja ada kesempatan.
"Empat jam sehari," sahut Mbak Mutni tegas. "Tidak bisa ditawar lagi. Yang Mas bawa ini bukan gadis biasa. Lebih mudah menjadikannya Electra daripada Cinderella!"
Pak Dion tertawa menyambut kelakar Mbak Murni. Tapi tawanya tidak menyinggung perasaan Lea. Entah mengapa, kalau Pak Dion yang tertawa. Lea selalu menyukainya, apa pun yang ditertawakannya.
"Kalau boleh usul. lebih baik dia pakai wig," sambung Mbak Murni sambil mengawasi Lea seperti menilai sebuah mobil balap. "Cinderella harus berambut panjang, kan""
Tanpa menunggu jawaban Pak Dion, dia meraih tangan Lea dan membawanya ke kamar. Ketika mereka keluar dari kamar setengah jam kemudian, sekali lagi Pak Dion tertegun.
Dengan rambut panjang tergerai, Lea menjadi dua kali lebih menawan! Lebih-lebih kalau dia sedang memandang dengan tersipu-sipu sambil mengulum senyumnya...
"Ternyata saya masih
harus belajar banyak sama Mbak Mumi!" cetus Pak Dion tanpa menyembunyikan rasa kagumnya. "Mbak betul-betul luar biasa!"
"Yang luar biasa saya atau muridmu ini"" sindir Mbak Murni sambil tersenyum tipis. "Dia boleh pinjam wig ini sampai pementasan bulan depan."
"Terima kasih, Mbak!" cetus Pak Dion gembira. "Kalau Mbak ada waktu, datang saja..."
"Masa remaja saya sudah lewat," potong Mbak Murni pahit.
Sekejap Lea menatap wanita berusia separo baya itu. Wajahnya masih menampilkan sisa-sisa
kecantikan masa mudanya. Tubuhnya juga masih seramping Dayang Sumbi. Tapi kenapa wanita seanggun Dewi Sri ini seperti memendam kepahitan"
"Pacarnya meninggal dalam kecelakaan lalu lintas," kata Pak Dion ketika Lea bertanya di atas motornya. "Sejak itu Mbak Murni seperti menenggelamkan diri dalam kariernya. Dia memilih hidup lajang sampai sekarang."
Kasihan, pikir Lea iba. Ternyata masih banyak orang yang menderita di dunia ini. Bukan cuma aku!
* * * Malam itu Pak Dion mengajak Lea makan dulu sebelum pulang ke rumah.
"Pasti kamu lapar," katanya sambil tersenyum. "Digojlok habis setengah harian."
Lea diam saja. Di samping Pak Dion, lapar pun tidak terasa.
"Kamu mau makan apa""
"Apa aja. Terserah Bapak."
"Doyan pizza""
"Doyan." Padahal Lea belum pernah makan pizza. Kenapa sekarang berbohong rasanya gampang"
"Oke. Kita makan pizza."
Mereka berhenti di sebuah mal. Dan Pak Dion membawa Lea ke sebuah kedai pizza. Ketika sedang melangkah di samping Pak Dion, tiba-tiba saja Lea sudah merasa dirinya menjelma menjadi Cinderella. Ah, seandainya Pak Dion-lah yang menjadi Pangeran Tampan!
"Jalanmu sudah mendingan," gurau Pak Dion tanpa bermaksud menghina. "Rasanya seminggu terlalu lama. Mbak Murni pasti kaget kalau tiga hari lagi dia melihat caramu melangkah!"
Gurauan itu malah terdengar seperti pujian di telinga Lea. Dan dia berjanji dalam hati, mulai nanti malam, dia akan berlatih sendiri di kamar! Kalau perlu, tidak tidur!
Untuk Pak Dion, apa yang tidak bisa dilakukannya" Jangankan jalan, terbang juga dia sanggup!
Pak Dion memang sangat mengagumkan. Apa pun yang dilakukannya, dia sangat memikat. Lihat saja cara makannya. Kelihatan santai tapi menarik.
"Nggak ada yang nunggu Pak Dion makan di rumah"" Sesudah mengucapkan pertanyaan itu, Lea jadi kaget sendiri. Lho, kok dia berani nanya begitu"
Tapi Pak Dion tidak marah. Tidak kesal. Dia malah tersenyum.
"Bapak tinggal di tempat kos. Orangtua tinggal di Pekanbaru."
"Nggak ada teman"" Lho, kok nanya gitu" Lebih gila lagi! "Di sana banyak mahasiswa mondok." "Enak tinggal di sana, Pak"" Lho! "Tidak seenak tinggal di rumah. Seperti Lea." "Saya tidak punya rumah." "Jangan bilang begitu. Kamu punya orangtua angkat, kan" Mereka sayang padamu."
Lea tidak menjawab. Dia hanya menunduk. Memainkan potongan pizza dengan garpunya. Mukanya berubah suram.
"Ibumu masih sering marah"" tanya Pak Dion lembut. Penuh pengertian.
Bu Nani memang tidak seperti dulu. Sudah jarang marah. Tapi mengapa tidak ada kehangatan seorang ibu seperti yang dirindukannya"
"Sabarlah, Lea. Kalian masih perlu waktu untuk saling mengenal. Menyesuaikan diri. Tapi saya percaya, suatu hari, kamu akan memiliki orangtua yang kamu idam-idamkan. Memiliki tempat yang disebut rumah."
Orangtuakah namanya kalau tidak pernah mengungkapkan kasih sayang" Rumahkah namanya kalau tak ada kehangatan di dalamnya"
Malam itu Pak Dion mengantarkan Lea pulang ke rumah. Dia turun dari motornya. Mengulurkan tangannya untuk membantu Lea turun. Dan membimbingnya ke teras.
Di bawah cahaya lampu teras yang tidak terlalu terang, Lea melihat Pak Dion menatapnya dengan hangat.
"Kamu cantik. Lea," bisiknya sambil tersenyum lembut. "Bapak bangga padamu."
Lea merasa dadanya berdebar aneh. Malu. Bangga. Terharu. Dan dia hampir tidak keburu melepaskan tangannya dari genggaman Pak Dion. Ibu sudah membuka pintu dan tegak di depan mereka.
"Malam, Bu," sapa Pak Dion tanpa kehilangan kontrol dirinya. Sikapnya sangat tenang dan percaya diri. "Maaf kemalaman. Saya ajak Lea makan dulu
." Tapi Bu Nani seperti tidak mendengar kata-kata Pak Dion. Matanya setengah terbelalak mengawasi Lea. Di depannya kini tegak seorang gadis remaja yang sangat cantik. Anggun. Bersih. Wangi. Bukan lagi anak tomboi tukang berkelahi yang dekil dan bau!
Dan Bu Nani belum sempat membuka mulutnya. Pak Tisna sudah muncul di belakangnya.
"Lea!" sergahnya heran. Kagum. Tidak percaya. "Aduh! Ayah sampai pangling!"
"Selamat malam, Pak," sapa Pak Dion sambil tersenyum ramah. "Maaf kemalaman mengantar Lea pulang."
"Tidak apa, Pak," sahut Pak Tisna gembira. "Mari silakan masuk! Kita ngobrol di dalam!"
"Terima kasih, Pak. Tapi rasanya lebih baik saya pulang dulu. Sudah malam. Dan Lea sudah capek. Setengah harian harus dipoles dan dilatih jalan."
"Saya yang harus berterima kasih. Pak! Bapak benar-benar sudah berhasil mengubah Lea!"
"Lea masih harus membuktikannya dalam operet Cinderella bulan depan, Pak. Kamu sanggup, Lea""
Lea hanya mengangguk ragu. "Bapak percaya kamu sanggup. Besok sore kita latihan lagi ya"" Lalu kepada Bu Nani, Pak Dion bertanya sopan, "Boleh minta izin untuk besok, Bu" Pulang sekolah Lea harus latihan untuk pentas seni. Lalu sorenya harus latihan jalan."
"Jangan pulang terlalu malam. Pak," pinta Bu Nani setelah mulutnya dapat dibuka kembali. "Malam Lea harus belajar." Dan membantu Oki bikin PR. Bantu Bi Asih di dapur.
"Tentu. Bu. Saya permisi dulu, Bu, Pak, Lea." Setelah mengangguk sopan. Pak Dion membalikkan tubuhnya dan melangkah ke halaman.
Ketika melihat motornya meninggalkan halaman rumah. Lea merasa ada yang hilang dari hati-nya. Dan entah mengapa, dia merasa tidak enak Tapi Lea tidak sempat mengkaji lebih lama perasaan tidak enak yang menyelusup ke hatinya. Si bandel Oki keburu muncul. Dan dia berteriak seperti ada setan.
Karena mendengar teriakannya. Panji dan Aris berbareng muncul. Dan mereka sama-sama ter-tegun melihat Lea.
"Kamu pacaran sama Pak Dion ya"" cetus Oki jail ketika Lea sedang memeriksa PR-nya.
Sebenarnya Lea sudah lelah. Sudah mengantuk. Tetapi Bu Nani menyuruhnya memeriksa PR Oki. Tidak ada pilihan lain. Patuh. Atau dimarahi.
"Sembarangan ngomong!" balas Lea kesal. Tapi mukanya langsung memerah. Dan Oki tertawa geli ketika melihatnya.
"Tapi Pak Dion kan udah punya pacar!" Bles! Ada belati menikam dadanya Lea merasa sakit. Nyeri.
"Katanya pacarnya cakep!" "Bodo amat."
"Bohong kalo kamu cuek aja! Kamu pasti pengin tau, kan"" "Nggak." "Bohong."
"Cewek Pak Dion guru TK. Namanya Bu Neni."
Dia pasti cakep, pikir Lea pedih. Dewasa. Feminin. Tipe yang disukai Pak Dion!
Ketika Lea sedang melangkah keluar dari kamar Oki, Aris menyuitinya. Lea menoleh. "Mo main"" bisik Aris. Lea menggeleng. "Capek."
Malam ini dia memang tidak ingin main. Bukan karena lelah. Tapi karena bayangan Pak Dion tidak mau hilang dari benaknya.
"Mo belajar dandan ya"" ejek Aris. Kurang senang karena Lea menolak menemaninya main PS. "Biar tambah cakep. Biar Pak Dion tambah naksir..."
"Ngaco!" bentak Lea antara kaget dan malu. "Kamu pacaran sama Pak Dion"" sergah Panji yang tahu-tahu sudah berada di belakangnya. "Bilangin Ibu ya!"
"Bilangin apa"" sambar Oki yang ikut-ikutan melongokkan kepala di pintu kamar.
"Kepala lu benjol!" jawab Aris sambil menjitak kepala adiknya. "Masuk lu! Anak kecil mau tau aja!"
Pak Dion kaget sendiri ketika melihat layar pon-selnya. Neni! Dan dia baru ingat. Malam ini mereka janji makan malam bersama!
"Sori, Nen," katanya begitu mendengar suara pacarnya. "Hari ini aku sibuk sekali."
"Sama anak itu lagi, kan"" Neni tidak menyembunyikan nada sinis dalam suaranya. Dia ingat kata-kata Bu Las kemarin.
"Awas lho, Nen! Pak Dion naksir muridnya tuh!"
Memang nadanya seperti bergurau. Tetapi Neni tahu sekali, Bu Las tak pernah bergurau. Kalau dia bergurau, mungkin turun hujan batu. Dan mobil pada penyok.
"Ya," sahut Pak Dion terus terang. Dia tidak merasa perlu berbohong. "Aku harus memoles Lea. Melatihnya supaya dia cocok memerankan Cinderella."
"Aku hanya ingin menasihatimu," suara Neni terdengar dingin. "Jang
an terlalu memberikan perhatian istimewa kepadanya."
Pak Dion tertegun sesaat sebelum tawanya meledak.
"Kamu cemburu" Sama ABG tiga belas tahun""
"Barangkali kamu tidak merasa. Tapi orang-orang sudah mulai membicarakan kalian."
"Orang-orang siapa""
"Teman-temanmu. Guru anak itu."
"Ah, mereka cuma bercanda. Jangan dengarkan mereka."
"Tapi aku bukan cuma mendengar. Aku melihat!"
"Melihat apa""
"Dampak hubungan kalian. Kamu sampai lupa pada janji kita."
"Cuma kali ini. Aku janji. Hari ini aku memang sibuk sekali."
Bukan hanya sibuk. Aku memang lupa!
"Hati-hati dengan hubungan kalian. Dia muridmu.
"Lalu"" "Dia masih anak-anak."
"Lalu"" "Kamu pasti mengerti. Dia memang belum dewasa. tapi juga bukan Anak-anak lagi."
"Lho! Baru saja kamu bilang dia masih anak-anak!"
Tapi sudah cukup besar untuk digosipkan dengan seorang laki-laki. Dan laki-laki itu gurunya sendiri!"
"Aku hanya ingin memberinya perhatian yang selama ini tidak pernah diperolehnya. Aku juga ingin mengubah penampilannya. Ingin mengubah citranya di depan teman-temannya. Ingin membuat dia diterima lingkungannya. Salahkah aku"" Salah karena dia muridmu! Bukan putrimu!" Tapi aku gurunya! Tidak bolehkah seorang guru menjadi pengganti orangtuanya"
Tidak boleh kalau terlalu berlebihan! Karena akan menjadi bahan gosip! Jauhi dia sebelum anak itu sendiri salah sangka pada sikapmu!"
Malam itu mereka bertengkar hebat. Padahal selama dua tahun pacaran, mereka jarang bertengkar. Apalagi sampai sehebat ini.
Pak Dion memang merasa bersalah karena lupa pada janjinya. Tapi dia tidak merasa bersalah karena memerhatikan Lea Karena menaruh perhatian lebih kepadanya.
Lea memang berbeda dengan teman-temannya. Dia butuh perhatian dan sentuhan yang ber-beda!
saya akan menarik keluar sisi merah jambu dari dalam dirimu.
Itu janjinya pada Lea. Dan dia bertekad akan memenuhi janji itu.
BAB IX SEKARANG Lea merasa perlu memiliki sebuah cermin. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya dia ingin terlihat cantik. Padahal sebelumnya, dia tidak peduli cantik seperti dewi atau jelek seperti gergasi.
Dan ketika melihat wajahnya dalam cermin, Lea merasa bangga. Ternyata dia memang manis. Apalagi kalau rambutnya selalu rapi. Mukanya putih dibedaki. Bibirnya merah bergincu.... Hah, sayang sekali, ke sekolah tidak boleh pakai lipstik!
Pak Dion pasti menyukainya. lebih-leebih kalau jalannya lemah gemulai seperti penari... Hm.
Tidak apalah kecepatannya berkurang separo. Toh di sini dia tidak perlu mengejar kambing!
Untuk suatu alasan yang Lea sendiri tidak tahu, dia selalu ingin terlihat cantik di depan Pak Dion. Tidak heran kalau sekarang dia yang paling belakang tiba di mobil yang akan mengantarkan mereka ke sekolah.
"Lea...!!!" teriak Ibu tidak sabar. "Mau sekolah atau pesta" Lama sekali dandannya! Tuh, yang lain sudah di mobil!"
"Biar saja dia dandan, Bu," sela Pak Tisna sabar. "Anak perempuan kan beda dengan anak laki-laki. Dulu dia jorok Ibu kesal. Sekarang dia rapi, kesal juga."
"Ini kan sudah siang! Itu anak-anak sudah menunggu di mobil! Nunggu Tuan Putri selesai dandan!"
"Biar saja mereka nunggu. Mereka harus belajar menghormati saudaranya. Kalau mereka terlambat, Lea juga menunggu mereka."
"Ah, Bapak! Selalu saja membela dia! Memang anak Bapak cuma dia""
"Anak perempuan kita memang cuma dia," sa-hut Pak Tisna sambil tersenyum bangga.
"Pak! Bu! Saya pergi dulu!" Dan sebuah pesawat jet melesat di samping mereka. Terbang ke mobil tanpa menoleh lagi.
Begitu Lea masuk ke kelas, suasana langsung hening. Seolah-olah ada pocong lewat. Anak-anak tertegun mengawasinya. "Ada anak baru!" cetus Dino kagum. "Cakep banget kamu, Lea!" sorak Guntur tanpa dapat membendung rasa terkejutnya. "Kenapa nggak dulu-dulu kamu pake muka yang kayak gini""
"Bukan mukanya aja yang baru, Tur! Jalannya juga beda!"
"Ke mana tuh bencong kelas kita"" cetus Dahlan secepat kilat, ketika tatapan kesal Ita beradu dengan matanya yang sedang mengawasi Lea dengan terpesona.
"Norak ah!" sergah Tya setelah rasa k
agetnya hilang. Berganti rasa iri. Ingin rasanya dia mengambil silet. "Gitu aja heboh!"
Nuniek lain lagi. Dia sampai tidak mampu berbunyi saking dengkinya. Rasanya kedua pita suaranya sudah lengket jadi satu.
Lea melangkah ke bangkunya tanpa mengacuhkan kelakar, pujian, dan cercaan yang bertaburan
di sekitarnya. Kalau bukan Pak Dion yang memuji, apa gunanya" Pujian itu seperti sayur tanpa garam!
"Belon jadi Cinderella aja aku udah tergila-gila, Lea! Mana sepatumu""
"Lu emang gila, Tur! Si Tya sama simpanan lu yang di bonbin tuh mo dikemanain" Guntur! Guntur! Dua udah cukup, men!"
"Siapa bilang" Bu Ning bilang, empat sehat lima sempurna, kan""
"Huu, lagak lu aja mo koleksi cewek!" gerutu Vera, orang yang paling gerah melihat perubahan penampilan Lea. "Utang aja berceceran ke mana-mana!"
Penampilan Lea hari ini benar-benar membuat Vera shock. Membuat Tya grogi. Membuat Ita dan Nuniek down. Dia tampil begitu sempurna! Cantik. Menarik. Feminin. Sekarang tidak ada lagi yang meragukan dia cewek atau cowok! Kecuali orang buta!
Mata Pak Dion sungguh tajam. Dia bisa menemukan mutiara dalam lumpur. Dan setelah ditemukan, dia bisa menggosoknya sampai berkilauan.
"Selamat pagi," sapa Pak Dion seperti biasa. Dan seperti biasa pula, dia menebarkan senyum patennya. Tetapi di mata Vera. kali ini se nyum itu tampaknya hanya untuk Lea. Sialan!
Vera melirik dengki. Dan hampir mati dicengkeram kebencian ketika melihat senyum malu-malu merekah di bibir Lea. Dia menundukkan wajahnya yang kemerah-merahan. Dan sialan! Dalam penampilan seperti itu, dia malah tampak lebih menggemaskan lagi! Cewek banget!
"Ada PR"" "Banyaaakkk, Pak!"
"Hari ini tidak ada pengaduan. Saya heran sekaligus bangga. Mungkin karena kalian sibuk latihan operet ya."
"Nanti siang latihan lagi, Pak"" tanya Guntur bersemangat.
"Tumben lu semangat empat lima gitu!" ejek Dino.
"Siapa dulu dong..." Guntur melirik Lea sambil mengulum senyum. Tapi Lea sedang memerhatikan Pak Dion. Tidak ada perhatian tersisa untuk Guntur.
Dengan heran Guntur melihat cara Lea menatap gurunya. Tak ada lagi tatapan dingin yang biasa bersorot di sana Matanya kini bersorot hangat dan lembut.
Buset, pikir Guntur kaget. Apa dia naksir Pak Dion"
Dan yang resah bukan hanya Guntur. Vera dan teman-temannya juga.
"Gue yakin dia naksir Pak Dion!" Vera mulai menyebarkan racun biarpun dia tidak punya sengat.
"Ngaco lu," bantah Guntur pura-pura cuek. "Lu cuma cemburu. Makanya curigaan terus."
"Si Leak cuma respek sama Pak Dion," sambung Dino tegas. "Kalian para cewek emang paranoid. Bentar lagi gila."
"Mata gue masih normal nih! Gue bisa bedain naksir sama respek!" "Lu sendiri juga naksir Pak Dion!" "Cewek mana juga yang nggak naksir guru model Pak Dion"" keluh Rita.
"Kita mesti laporin ke Bu Kathi!" Tya mulai menghasut.
"Laporin apaan"" Guntur pura-pura tertawa mengejek. "Pak Dion lebih perhatiin Lea makanya kalian ngiri""
"Mendingan kita bilangin Bu Las! Biar dia yang ngadu ke Bu Kathi!" usul Ita licik.
"jangan!" cegah Guntur separo mengancam. "Kalian mau operet kita berantakan""
"Ah, sebodo amat!" sahut Vera ketus. "Operet itu emang udah berantakan! Emang gue pikirin"" "Lu mo kecewain Pak Dion""
Peduli apa" Pak Dion juga sudah mengecewakan aku!
Lea sudah berusaha bermain dengan sebaik-baik-nya. Sesuai dengan yang diajarkan Pak Dion. Guntur juga sudah berusaha keras mengimbanginya. Tapi akting mereka tetap masih belum memuaskan.
Vera dan teman-temannya juga tidak mengikuti pergelaran itu dengan bersemangat. Mereka malah seperti mencari-cari kesalahan Lea. Ketika ditegur Pak Dion, Vera malah menangis. Panggung jadi kacau.
"Semua gara-gara lu!" Tya mendorong Lea dengan jengkel. "Lu yang salah, Vera yang di-omelin!"
"Gue salah apa"" Lea balas mendorong dengan beringas. "Vera yang salah menghafal dialog!"
Ketika Tya langsung terjengkang, Nuniek mendorong Lea dari belakang. Lea yang mengenakan sepatu tinggi dan gaun panjang tersungkur tak ampun lagi.
"Nuniek!" bentak Pak Dion antara marah dan putus asa. "Apa ka
lian mau kita ganri saja acara kita dengan gulat wanita""
Guntur dan Dino saling pandang sambil me nahan tawa.
"Itu baru seru!" bisik Dino geli. Tidak berani keras-keras karena takut kedengaran Pak Dion. "Gue mau jadi wasit deh!"
Sisi Merah Jambu Karya Mira W di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pak Dion membantu Lea bangun. Padahal yang jatuh bukan hanya dia. Dan dari balik air matanya, Vera menatap dengan sakit hati.
Pak Dion benar-benar jahat! Gue benci dia! Benci!
"Jangan putus asa, Lea," hibur Pak Dion malam itu ketika latihan mereka berakhir. "Aktingmu sudah lebih bagus. Penampilanmu sudah lumayan. Jangan khawatir. Kita akan berhasil." "Saya takut, Pak," desah Lea lirih. "Ah, pake takut segala!" cibir Vera yang mengintip mereka dari balik pintu kamar ganti pakaian. "Kolokan!"
"Bapak akan membantumu," Pak Dion memegang tangan Lea. Sampai hampir melejit keluar mata Vera. Untung tidak sampai melejit. Kalau tidak, dia pasti jadi mas koki. "Kamu harus percaya diri. Kamu bisa."
"Saya takut mengecewakan Bapak."
Memang cuma itu yang ditakuti Lea. Dia tidak takut apa pun.
Pak Dion tersenyum sambil mengguncang tangan Lea.
"Kamu akan berhasil. Bapak yakin."
Vera memonyongkan mulutnya mengejek. Ka lau dia mau main sendirian, boleh saja! Tapi tidak ada yang mendukungnya! Vera dan teman-teman lain akan menyabot acara itu. Supaya acara mereka jadi yang paling jelek dalam pentas seni bulan depan! Hah!
Dan matanya melihat bayangan Bu Las. Cuma Vera yang tahu mengapa Bu Las masih ada di sini. Padahal acara yang diasuhnya sudah selesai latihan.
Buru-buru Vera menyelinap pergi. Membiarkan Lea berdua saja dengan Pak Dion. Adegan mereka berdua pasti sudah terekam di benak Bu Las! Lihat saja bagaimana judesnya sorot matanya! Hiii....
"Ngapain lu kabur kayak tikus"" tanya Tya di pintu depan. "Lihat hantu"" "Besok pasti rame," cetus Vera puas. "Apaan yang rame"" desak Nuniek penasaran. "Lu lihat aja besok! Tunggu tanggal mainnya!" "Main apa""
"Main jidat lu! Nanya melulu! Dasar telmi!"
Dan besok acara yang dinanti-nantikan Vera me mang langsung ditayangkan. Rating-nya. langsung melesat ke nomor satu.
Hari itu juga. Bu Kathi menggelar sidang pleno.
"Bukan hanya saya yang melihat Pak Dion memegang tangan Lea," lapor Bu Las ketika diberi kesempatan angkat bicara. Rapat guru ini memang digelar untuk mendengar pengaduannya. "Di ruang ganti. Ketika hanya mereka berdua yang ada di sana. Dan ini saya anggap sangat memalukan. Merusak wibawa guru sekolah favorit kira. Menjatuhkan martabat guru di depan anak didik...." Dan bla, bla, bla. Masih sejuta satu sebab-akibat lagi.
"Saya tidak percaya Pak Dion seperti itu," komentar Pak Tomo setelah Bu Las selesai memuntahkan pengaduan, fitnah, kutukan, ceraian, dan sebagainya, dan sebagainya. "Pak Dion hanya ingin mengubah citra Lea. Supaya tidak ada yang meragukan lagi, dia perempuan."
"Tapi demi anak itu, dia mengorbankan anak-anak yang lain! Dia tidak peduli acara kelasnya sukses atau tidak. yang penting hanya Lea!"
"Lea memang perlu perhatian yang paling besar," sambung Bu Sumiati. "tapi bukan berarti
Pak Dion boleh menelantarkan murid-murid yang lain."
"Dan tidak boleh memberi kesan Pak Dion pacaran dengan Lea!" sela Pak Anwar dingin. "Di mana harus kita letakkan wibawa sekolah favorit kita kalau ada guru pacaran dengan murid""
"Lea hanya menganggap saya sebagai ayahnya, Bu Kathi," sanggah Pak Dion dalam kesempatan berdialog berdua saja dengan kepala sekolah. Dia kan guru. Bukan murid yang bisa dipanggil ke rapat guru lalu diadili beramai-ramai. "Figur yang didambakannya. Yang telah lenyap bersama masa kanak-kanaknya. Jangan menghukum dia sekejam ini."
"Kami justru ingin melindunginya dari gosip, Pak Dion. Gosip yang akan membuatnya tambah menderita."
"Kalau pendekatan saya disalahartikan, saya yang salah, Bu. Bukan Lea. Dia masih polos seperti bayi. Putih seperti salju. Jangan biarkan guru-gurunya menyiksanya dengan perasaan bersalah."
"Saya mengerti, Pak Dion," sahut Bu Kathi sabar. "Saya tidak akan memanggil Lea. Saya akan minta kepada guru-guru yang lain untuk tidak menegurnya pula. S
aya percaya kepada Pak Dion. Saya harap Bapak tidak menyia-nyiakan kepercayaan saya. Demi nama baik sekolah kita."
*** Vera kesal sekali. Hasil yang ditunggu-tunggunya belum muncul juga. Tidak ada hukuman untuk Lea. Dia tidak ditegur. Tidak dimarahi kepala sekolah. Bahkan dipanggil menghadap pun tidak!
Rupanya pengaduan Bu Las sia-sia saja. Dianggap angin! Buktinya yang bersalah tidak dihukum! Tidak adil!
Seharian itu Vera marah-marah terus. Tidak heran latihannya kacau-balau. Beberapa kali dia dimarahi Pak Dion.
"Kita tidak akan berhasil kalau kamu tidak konsentrasi, Vera," keluh Pak Dion kesal. "Ada apa" Kenapa kamu seperti tidak berada di sini""
"Ganti aja deh. Pak," sambar Guntur, ikut jengkel melihat ulah Vera. Sudah capek-capek tarik suara, si Vera malah kacau-belau!
"Diam kamu, Guntur!" sergah Pak Dion tegas. "Tidak ada pemain yang diganti! Kita harus menuntaskan acara ini. Demi kelas IA, kalian harus rela berjuang mati-matian! Bukan supaya kita dapat piala pementasan terbaik. Tapi supaya kelas IA bisa menonjolkan sesuatu yang lain kecuali gelar kelas yang paling bandel!"
"Rasain lu," Dino menyeringai mengejek ke arah Vera. "Lu cembokur rerus sih sama si Leak! Makanya aksi lu jadi amburadul!"
"Kalo lu nggak serius juga, awas ya!" ancam Gunrur. Tentu saja sambil berbisik. "Udah serak nih gue!"
"Emang acaranya aja yang berantakan!" Tya coba membela Vera. Ah, sebenarnya bukan membela Vera. Dia sebal karena Guntur di pihak Lea. "Mau diapain juga tetep aja jelek!"
Seperti tidak sengaja dia menyodorkan kakinya terlalu jauh ke depan. Lea yang pas lewat langsung tersandung dan jatuh tersungkur.
Pak Dion berbalik dengan marah. Tetapi Tya buru-buru memuntahkan nyanyian yang sudah dihafalnya. Seolah-olah dia sedang mendera Cinderella Sesuai skenario.
Melihat ulah Tya, sambil menyimpan senyumnya, Nuniek ikut menimpali. Dan penggalan adegan itu menjadi tampilan yang sangat berhasil.
"Bagus!" puji Pak Dion gembira. "Kalau kalian bisa menghayati peran seperti ini, kita akan berhasil!"
Tambah aja adegan penyiksaannya, Pak, desis Tya dalam hati. Kita pasti bakal tambah berhasil!
"Jahat lu!" dengus Guntur jengkel. Tentu saja di belakang Pak Dion. "Lu sengaja, kan"" "Tuntutan peran!" sahut Tya cuek. Tentu saja Lea tahu, Tya sengaja. Tetapi dia diam saja. Tidak melawan. Semata-mata untuk kesuksesan acara mereka. Untuk membuat Pak Dion senang.
Tetapi ketika sedang istirahat Tya mendorongnya dengan kasar, Lea melawan. Dan mereka berkelahi tanpa dapat dicegah lagi.
Melihat Tya bakal kalah, Vera, Ita, dan Nuniek langsung turun tangan membantu.
Dan perkelahian empat lawan satu berlangsung seru.
"Gile! Mereka berantem beneran!" cetus Dino sambil bersorak-sorak gembira.
Guntur tidak melerai. Tidak membantu. Dia hanya mengawasi Dahlan yang sedang menonton dengan salah tingkah. Ketika Ita kena tendang, dia sudah maju hendak menolong. Guntur baru turun tangan. Menjambak lengan bajunya.
"Awas kalo lu berani ikutan!" ancamnya galak.
"Masa kita diemin aja mereka berantem. Tur"" protes Dahlan serbasalah.
"Biarin aja. Di pentas. Lea nggak bisa bales mereka. Di luar bisa."
Dan Guntur yakin. Lea tidak bakal kalah. Empat anak perempuan bukan lawan berat baginya. Tanpa gaun panjang dan sepatu hak tinggi yang merepotkan, dia lincah bak kijang. Licin seperti ular. Apalagi ilmu bela dirinya sudah maju pesat. Staminanya juga oke. Vera dan teman-temannya bukan lawan yang seimbang.
Dalam waktu singkat, dia sudah berhasil membuat lawan-lawannya jatuh tunggang langgang sambil menjerit.
Ketika Dahlan terbirit-birit berjongkok untuk menolong Ita, pipinya kena hajar.
"Lho! Kok aku yang ditampar, Ta"" protesnya penasaran. Diusap-usapnya pipinya yang lumayan sakit.
"Kamu nonton doang kayak banci!" geram Ita gemas. "Bukannya bantuin..."
Dan dia memekik kesakitan ketika badan Vera yang besar jatuh menimpanya setelah ditendang Lea.
Guntur tertawa gelak-gelak sampai hampir keluar air matanya.
"Mendingan juga kita bikin acara gulat wanita ya, Din," komentarnya geli. "Pasti su
kses!" "Gue bilang apa!" Dino bertepuk tangan riuh.
"Daripada susah-susah kita latihan nyanyi sampe urat leher gue pada nekuk!"
Saat itu tinggal Tya yang masih bertahan. Lea juga seperti sengaja tidak melepaskannya. Dia mencengkeram rambut Tya yang panjang. Dan menariknya sekuat-kuatnya sampai Tya berteriak-teriak kesakitan.
Midnight Sun 3 Giring Giring Perak Karya Makmur Hendrik Si Bayangan Iblis 3
"Ke kantin dulu" Atau memukuli kucing dulu melatih otot tanganmu""
"Buang kursi rusak dulu, Pak." sahut Lea pasrah. "Disuruh Bu Las."
"Kamu kan satu-satunya anak perempuan yang ikut tawuran kemarin""
"Lea anak baru, Pak," sela Bu Kathi datar. "Dia saudara angkat Aris."
"Saya tahu, Bu," sahut Pak Anwar sama datar nya. Tidak usah diberitahu lagi! "Sepak terjang anak perempuan yang satu ini sudah terdengar ke seluruh sekolah! Kita punya calon Charlie's Angels!"
Teman-temannya menutup mulut menahan tawa.
Lea tidak sakit hati disindir Pak Anwar. Bahkan dimarahi. Atau dibentak sekalipun. Yang membuat hatinya pedih hanyalah karena Pak Dion diam saja! Dia tidak membelanya seperti biasa!
Kecewa jugakah Pak Dion atas tindakannya kemarin" Karena ikut tawuran. Ikut berkelahi lagi! Tahukah Pak Dion mengapa dia melakukan nya"
Setelah pidato panjang-lebar Bu Kathi selaku kepala sekolah, Pak Anwar wali kelas IIA dan Pak Dion sebagai wali kelas 1A. mereka dihukum memberi hormat kepada Batara Surya. Diskors tiga hari. Dan diancam akan dikeluarkan kalau terlibat tawuran lagi.
Ketika melihat murid-muridnya yang sedang dijemur seperti ikan asin di halaman sekolah itu, Pak Dion menghela napas berat. Sebenarnya dia tidak setuju dengan hukuman yang dijatuhkan. Menurut Pak Dion, hukuman seperti itu tidak mendidik. Tetapi dia tidak dapat membantah keputusan kepala sekolah yang telah menyetujui hukuman yang diusulkan Pak Anwar.
Menurut Pak Dion lebih tepat mereka dinasihati dan dibina untuk menempuh persaingan yang positif Yang tidak destruktif. Misalnya dengan pertandingan olahraga.
"Saya akan mengusulkan agar kedua sekolah kita mengadakan aktivitas bersama secara ber-kala," usul Pak Dion tadi malam dalam rapat guru. "Setiap bulan kita pertemukan tim olahraga kita dalam pertandingan persahabatan yang sportif. Olahraga akan menyalurkan semangat dan energi mereka ke jalur yang positif. Lagi pula saya yakin kalau sudah saling mengenal, mereka tidak gampang-gampan
g lagi saling gebuk."
Tetapi usulnya memang masih usul mentah. Masih diperlukan banyak pertemuan untuk merealisasikannya. Sementara kasus tawuran kemarin masih menjadi urusan yang berwajib. Dan Pak Dion-lah yang ditugasi Bu Kathi untuk mengurusnya. Karena sibuk, dia melupakan Lea. Padahal Lea sangat mengharapkan perhariannya. Seperti kemarin-kemarin.
BAB VI LEA tidak punya uang. Bu Nani tidak pernah memberinya uang jajan. Tetapi dia ingin mem bawakan sesuatu untuk Oki. jadi sambil menung gu Aris yang masih diinterogasi Pak Anwar. Lea minta izin pada Bu Kantin untuk membantunya mencuci piring.
"Nggak usah dibayar, Bu. katanya lugu. Ka lau boleh, saya minta sebungkus siomai aja."
"Kamu lapar"" tanya Bu Kantin iba.
Tiap hari menghadapi anak-anak sekolah, Bu Kantin sudah hafal sekali sifat-sifat mereka. Tapi yang model begini rasanya baru kali ini ditemukan. Masa mau makan siomai saja mesti cuci piring dulu!
"Nggak dimakan di sini. Bu. Kalau boleh, saya minta izin dibawa pulang untuk adik saya.
Bukan main, pikir Bu Kantin terharu. Biarpun repot, rasanya dia tidak tega menyuruh anak ini mencuci piring dan menukar keringatnya dengan sebungkus siomai!
"Sana pulang saja. Ini Ibu bungkusin siomai untuk adikmu."
Terima kasih. Bu," sahut Lea sambil berpikir-pikir, rupanya masih ada orang baik di Jakarta selain Pak Dion dan Pak Tisna! Tapi saya betul-betul ingin bantuin Ibu. Saya belum bisa pulang. Masih nunggu kakak saya."
Akhirnya Bu Kantin memperbolehkan Lea mencuci piring dan mangkuk kotor yang bertumpuk di belakang kantinnya. Lea baru permisi dan tergopoh-gopoh berlari ke mobil ketika melihat Aris sudah melangkah ke sana. Dia takut ditinggal lagi. Tapi rupanya sekarang Aris pun sudah lain. Dia menunggu Lea.
Ketika dari kejauhan Bu Kantin melihat mobil Lea, dia merasa heran mengapa anak itu tidak punya uang untuk membeli sebungkus siomai!
Tumben lu jajan," komentar Aris agak heran ketika melihat bungkusan di tangan Lea.
"Paling dibeliin si Guntur," sela Panji sok tahu. Tu anak kan paling perhatian kalo ada murid
baru. Apalagi cewek!"
Lea tidak menjawab. Dia tidak merasa perlu memberitahu mereka buat siapa bungkusan itu. Tetapi lain soalnya kalau Ibu yang bertanya!
"Sudah mulai jajan"" tanya Bu Nani pedas. "Ada yang ngasih uang""
"Cowoknya, Bu!" sela Panji dengki. "Anak orka!"
"Dikasih sama Bu Kantin, Bu," sahut Lea kaku.
Mata Bu Nani melebar. Direnggutnya bungkus an di tangan Lea. lalu tanpa permisi langsung dibukanya.
"Kenapa Bu Kantin memberimu siomai" tanyanya tajam. "Kamu yang minta" Bilang perut mu lapar dan kamu tidak diberi uang jajan""
Lea menggeleng dengan perasaan serbasalah. Mengapa ibu angkatnya selalu punya pikiran jelek" Mengapa dugaannya tidak pernah bagus"
"Ini makan siomaimu!" Bu Nani menjejalkan bungkusan yang sudah dibuka itu ke tangan Lea. "Tidak usah makan yang lain! Makan siomai saja!"
Terburu-buru Lea menangkap bungkusan itu supaya siomainya tidak berceceran jatuh ke lan-tai.
Dan siang itu. dia tidak mendapat jatah makan.
"Bi," cetusnya ketika Bi Asih sedang mencuci piring bekas makan Panji dan Aris.
"Kenapa"" tanya Bi Asih tanpa menoleh. "Udah bosan masakan Bibi" Enakan jajan di kantin""
Wah, tandus juga! "Mau minta tolong, Bi," tukas Lea terpaksa. "Masih lapar" Mau nasi"" Suara Bi Asih masih tetap judes.
"Tolong Bibi anterin ini ke kamar Oki ya""
Bi Asih berhenti mencuci. Dia berpaling ke belakang. Dan melihat Lea menyodorkan sebuah bungkusan.
"Apa ini""
"Siomai." Bi Asih tertegun sesaat. "Oki udah mau makan""
"Sedikit," sahut Bi Asih dengan sepercik keharuan di sudut hatinya. "Katanya kepalanya masih sakit."
"Anterin ini ya, Bi. Tapi jangan ketahuan Ibu. Ntar saya diomelin lagi."
"Tunggu aja di sini," kata Bi Asih sambil meraih bungkusan di tangan Lea. "Bibi masih punya nasi dan ikan asin buat kamu."
Bergegas Bi Asih meluncur ke kamar Oki. ketika dia masuk, Oki masih berbaring di tempat tidur. Dahinya yang luka ketika didorong sampai tersungkur di aspal masih diplester.
"Lea ba wa siomai nih. Lekasan dimakan ya. Jangan ketahuan Ibu. Ntar Lea dimarahin lagi." "Emang Lea dimarahin Ibu lagi"" "Ya, gara-gara siomai ini. Dia sampe nggak dikasih makan tuh!"
Mungkin karena doyan sekali siomai Bu Kantin, mungkin juga karena kasihan pada Lea, Oki melahap siomai itu sampai habis hanya dalam hitungan menit.
Tergopoh-gopoh Bi Asih membawa bungkusannya keluar kamar, hanya empat detik sebelum Bu Nani masuk.
Melihat ibunya datang, buru-buru Oki menye lusupkan mulutnya yang masih penuh siomai ke bawah bantal.
"Masih pusing, Oki"" tanya Bu Nani cemas.
Oki cuma mengangguk. Karena dia memang tidak bisa menjawab dengan mulut penuh.
Dengan penuh kekhawatiran Bu Nani meme gang kepala anaknya. Membelai belainya dengan lembut.
"Sini lihat Ibu, Sayang, katanya sambil menyingkirkan bantal yang menutupi mulut Oki.
Lea sedang menyuapkan nasi ke mulutnya dengan tangan ketika Bu Nani muncul di dapur. Dan melihat ibu angkatnya, nafsu makan Lea langsung melorot. Padahal perutnya lapar sekali.
Hhh, kenapa Ibu selalu datang pada saat yang tidak tepat"
Bi Asih yang memberikan sepiring nasi dan sepotong ikan asin ikut meringkuk ketakutan. Rasanya sebentar lagi dia juga bakal dihukum cambuk. Lidah Bu Nani memang lebih pedas dari cemeti.
Lea membatalkan suapannya. Dan meletakkan piringnya di meja dapur. Sambil membungkuk-bungkuk seolah-olah ada sekrup yang kendur di pinggangnya, Bi Asih mengambil piring itu.
"Kenapa tidak dihabiskan"" tanya Bu Nani dingin. "Karena tidak usah beli beras jadi enak saja buang-buang nasi""
Bi Asih tidak jadi menuang sisa nasi itu ke piring si Belang. Dia menoleh ke arah majikannya dengan tatapan bingung bercampur kecut. Hukuman apa lagi yang belum diterima Lea"
Rasanya salah atau banar. dia tetap harus di-hukum!
"Habiskan nasimu, perinlah Bu Nani tegas. "Kalau sudah cuci piring, bikin PR mu. jangan malas! Kalau bodoh kayak si Maman. lebih baik tidak usah sekolah! Buang-buang uang saja."
Lea melongo sesaat. Tidak menyangka Ibu tidak mendampratnya. Si Maman yang sudah membuka pintu kamarnya cepat-cepat menyelinap masuk kembali. Takut ikut dapat jatah labrakan. Kalau soal labrak-melabrak, Ibu memang murah hati.
Melihat Lea menatap bengong, tegangan Bu Nani naik lagi.
"Apa"" bentak Ibu judes. "Tidak ada PR buat besok""
"Besok saya tidak boleh masuk sekolah. Bu." sahut Lea terbata-bata.
"Apa"" Biji mata Bu Nani hampir melompat keluar. Seolah-olah Lea baru saja mengatakan ada bom di sekolahnya.
"Saya diskors tiga hari."
"Tidak masuk akal!" Pagi-pagi sekali Bu Nani sudah menemui Bu Kathi. Dia sangat marah. "Kenapa jadi anak anak saya yang di hukum" Mereka korban! Bukan pelaku! Apa Ibu mau me-nyuruh Aris jangan melawan kalau dipukuli" Apa Ibu tahu Lea berkelahi untuk membela Oki""
"Kami harus menerapkan disiplin. Bu," sahut Bu Kathi datar. Tidak senang karena pagi-pagi orangtua murid yang galak ini sudah mencela kebijaksanaannya. Memangnya dia siapa" "Kalau mereka tidak dihukum, tawuran ini akan menjadi kebiasaan."
"Tapi Ibu menghukum anak yang tidak bersalah! Mereka yang diserang! Mereka yang dipukuli!"
Ini kebijaksanaan sekolah. Bu. Kalau Ibu tidak setuju, sebaiknya Ibu mencari sekolah lain." Nah, ini dia senjata pamungkas! "Kita cari sekolah lain saja. Pak," gerutu Bu Nani kepada suaminya malam itu, ketika mereka sedang makan malam. "Memangnya cuma mereka yang punya SMP favorit""
"Masa gara-gara anak diskors saja kita harus memindahkan sekolah anak-anak kita, Bu"" keluh Pak Tisna pusing.
Dia baru saja sampai di rumah. Mendengar ocehan istrinya, laparnya langsung hilang. Barang kali kalau semua orang punya istri seperti ini, Indonesia tidak perlu lagi impor beras. Taruh saja Bu Nani di kamar makan.
Dan yang protes bukan hanya Pak Tisna. Aris juga. Dia tidak mau pindah sekolah.
"Ntar dikirain Aris takut!" sergahnya dingin. Dan bukan itu saja. Dini masih menjadi murid SMP seberang.
"Tapi kamu tidak boleh berkelahi lagi!" akhirnya Bu Nani mengalah. "Ibu kan tau mereka yang mulai duluan!" "Katanya gara-gara kamu merebut pac
ar anak itu! Siapa namanya"" taruna. "Iya. Taruna."
"Aris nggak ngerebut kok! Mereka emang udah putus!"
"Pokoknya jauhi anak perempuan itu! Jangan bikin gara-gara! Murid-murid perempuan di sekolahmu juga banyak! Buat apa sampai cari-cari ke seberang" Lagi pula kata siapa anak seumurmu sudah boleh pacaran" Belajar! Buang ingus saja belum bisa sudah mau pacaran!"
Siapa bilang aku belum bisa buang ingus, geram Aris dalam hati. Dan siapa bilang anak seumurku belum boleh pacuan" Umurku sudah empat belas tahun! Dini lima belas. Apa mesti nunggu sampai dia umur lima puluh"
Seperti ayahnya, Aris juga langsung kehilangan nafsu makannya. Dia membawa piring kotornya ke dapur. Padahal nasinya masih setengah piring. Untung Ibu tidak lihat. Kalau lihat, pasti dia dapat bonus.
Lea mengikuti jejaknya. Tapi piringnya sudah bersih. Tidak ada sebutir nasi pun yang tertinggal. Ketinggalan sebutir nasi berarti sekali dampratan Ibu. Nah, kalau setengah piring, dia bisa disemprot habis seperti nyamuk DB!
Ketika Aris meletakkan piringnya di tempat cuci piring, Lea berdiri di belakangnya.
"Tadi Dini nitip surat," Lea mengeluarkan sebuah sampul surat yang harumnya hampir membuat Aris bersin. Lea menoleh-noleh dulu ke sana kemari. Ketika dirasanya aman, baru disodorkannya surat itu kepada Aris.
"Kok baru ngasih sekarang"" cetus Aris antara kaget dan kecewa. "Mau ketauan Ibu""
"Dia ketemu kamu"" tanya Aris heran. "Kapan""
"Barusan dia lewat waktu aku nyapu di depan."
"Wah! Kenapa nggak bilang" Kenapa nggak-panggil aku"" sesal Aris seperti kehilangan peluang dapat undian mobil.
"Dini nggak mau nunggu. Cuma ngasih surat."
Aris cepat-cepat merobek sampul surat itu dan menarik keluar selembar kertas yang dua kali lebih harum seolah-olah baru saja ketumpahan sebotol minyak wangi.
Lea mengawasi Aris yang sedang membaca surat itu cepat-cepat. Takut tiba-tiba Ibu muncul dan Aris digiring ke polsek untuk diinterogasi lagi.
Ketika Lea melihat Bu Nani sedang melangkah ke tempat mereka, lekas-lekas didorongnya tubuh Aris. Dan maksudnya disalahartikan Bu Nani.
"Lea!" bentaknya marah. "Iseng banget sih" Ngapain dorong-dorong Aris""
Aris buru-buru menyimpan suratnya. Dan berbalik menghadap ibunya.
"Lagi latihan bela diri, Bu," sahut Aris sambil balas mendorong Lea. "Ibu tahu nggak, Lea masuk tim bela diri sekolah kita!"
Ibu hanya mendengus. Meletakkan setumpuk piring kotor. Dan meninggalkan mereka.
"Latihan bela diri! Mendingan juga kamu ikut kelas senam!" Biar jadi perempuan tulen! Bukan kepalang tanggung begini. Salah cetak!
Kasihan, pikir Aris dengan perasaan empati yang tiba-tiba muncul. Kenapa sih Ibu galak banget"
Ketika Lea hendak berbalik ke kamar makan, Aris memanggilnya.
"Ngapain"" "Mo ke mana" "Bantuin Bi Asih beresin meja. Ntar dia nya-nyi lagi. "Mo gue ajarin PS""
Lea bengong sejenak Tumben dia baik! Balas jasa Atau ada maunya"
Tapi Lea memang tertarik dengan permainan itu. Sudah sering dia melihat Aris main. Tapi tidak pernah diajak. Sekarang ada kesempatan. Mengapa harus ditolak"
"Apa balasannya"" tanya Lea curiga. "Nungguin surat Dini lagi besok."
"Nggak usah. Dia udah kasih nomor baru HP-nya. Nggak perlu surat-suratan lagi. Kuno!"
"Bisa nulis surat pake telepon""
"Namanya SMS! Norak lu ah! Sini gue ajarin Biar nggak malu-maluin!"
"Nggak usah! Emang mau nulis sama siapa" Bi Asih""
"Sama si Guntur kek! Dia naksir lu tuh!" "Ngaco!" berungut Lea jengkel. "Eh, nggak percaya! Besok gue kasih nomor HP gue ke dia. Biar dia SMS elu! "Nggak usah!
"Kenapa sih lu nggak mau pacaran""
Pacaran" Aduh, amit-amit! Muka Lea langsung memerah. tawa Aris meledak tak tertahankan lagi.
"Lu emang norak!"
"Biarin!" sahut Lea ketus. Kapan mainnya"" "Main apa""
Tadi katanya mau ngajarin PS!" "Ke kamar gue ntar ya! tapi awas, jangan ketahuan Ibu! PR gue masih numpuk tuh!" "Jam sepuluh aja ya"" "Kok lama banget" Bab dulu"" "Bukan! Bba, Bantuin Bi Asih!" Aris tertawa geli. Kalau lagi lucu, dia memang menggemaskan!
"Suruh si Maman aja!" "Huu, dia bisa ikut nyanyi!" "Bi
ar gue yang nyuruh!" "Jangan! Bi Asih nggak suka kalo Maman yang beresin meja. Nggak bersih."
"Namanya juga si Maman! Mandi aja nggak bersih! turunan Tarzan, kali!"
Lea masuk ke kamar makan. Menolong Bi Asih membereskan meja makan. Membersihkan sisa-sisa makan malam mereka. Dan membawa sisa piring kolor ke belakang.
Ketika dia melewati tempat Panji. anak itu me nimpuknya dengan sepotong tempe. Lea menoleh dan membeliak gusar.
"Ngapain melotot"" bentak Panji galak. "Iseng banget sih"" geram Lea jengkel. Kok jadi galakan yang nimpuk"
"Lea!" tegur Bu Nani yang baru masuk ke kamar makan. "Kasar amat sih" Nggak bisa sopan sedikit" Ini rumah, bukan hutan!"
"Panji yang nimpuk Lea duluan. Bu!" bela Aris tegas. "Aris liat kok!"
"Apaan lu"" Panji memelototi adiknya. "Emang lu yang mulai duluan. kan"" balas Aris sama garangnya.
"Sudah! Sudah!" bentak Ibu sengit. "Kenapa sih kalian jadi berantem melulu sejak ada Lea""
"Nggak ada dia juga udah berantem!" dumal Aris gemas. "Kenapa sih Ibu selalu nyalahin Lea""
"Aris!" bentak Ibu gusar. "Jaga mulutmu!" "Ibu nggak adil!" "Jangan ngajari ibumu!"
"Apa lagi sih"" keluh Pak Tisna yang baru masuk ke kamar makan. "Kenapa sih rumah ini nggak pernah tenang" Di pabrik saja masih lebih tenteram!"
"jadi Bapak lebih suka di pabrik" Kegusaran Bu Nani memuncak. "Karena di rumah selalu ribut" Bapak tahu sebabnya" tuh, anak angkat Bapak gara-garanya!"
"Lea nggak salah apa-apa!" sela Aris berani. "Panji yang nimpuk dia pake tempe!"
"Betul, Panji"" Pak Tisna menatap anak sulung nya dengan tajam.
Panji menunduk kecut. Mukanya merah padam. Matanya menyimpan ketakutan bercampur kejengkelan.
"Sini, lihat Ayah!"
Terpaksa Panji mengangkat wajahnya. Dan membalas tatapan ayahnya dengan ketakutan.
"Kenapa jadi Panji yang dimarahi"" protes Bu Nani kesal. Kenapa bukan anak angkat yang tidak tahu diri itu" Masa sama anak kandungku dia berani melawan"
Diam!" bentak Pak Tisna tegas. "Ibu yang membentuk Panji jadi begini! Beraninya cuma di rumah!"
Lho, Bapak ini bagaimana sih"" dumal Ibu penasaran. "Bapak mau Panji jadi jagoan" Ikut tawuran" Berantem terus seperti Aris dan Lea""
"Bukan jadi jagoan! tapi jangan jadi pengecut! Adiknya dipukuli dia malah ngumpet di mobil! Ibu mau punya anak Seperti itu""
Bu Nani tidak bisa menjawab. Oki memang sudah menceritakan apa yang terjadi hari itu. Ke tika dia diseret dari mobil dan dikeroyok. cuma Lea dan Mang Dahim yang menolongnya. Panji bersembunyi di dalam mobil.
"Kamu melawan anak yang mukuli adikmu tidak berani," damprat Pak Tisna pada Panji. "Di rumah malah iseng nimpuk Lea! Tidak berani ngaku, lagi! Mau jadi apa kamu" Sekarang pergi minta maaf pada Lea!" "Bapak!" protes Bu Nani tersinggung. "Apa lagi" Aku tidak boleh mengajar anakku sendiri" Supaya dia jangan jadi pengecut" Aku lebih bangga anakku babak belur karena berkelahi daripada ngumpet kayak tikus!" Jadi Ayah lebih bangga padaku, Aris menyeringai senang.
Ketika Panji masih tertegun di depannya, Pak Tisna menghardiknya lagi, "Sana cari Lea! Minta maaf! Awas kalau kamu berani menjaili dia lagi!"
Terpaksa Panji tertatih-tatih melangkah ke belakang mencari Lea. Ketika melewati tempat Oki, adiknya menjulurkan lidah mengejek. Panji sudah mengangkat tangannya untuk menjitak kepala adiknya. Tetapi bentakan ayahnya membatalkan niatnya.
Lea sedang membantu Bi Asih mencuci piring ketika Panji datang. Dia menoleh. Dan melihat muka Panji merah padam. Matanya menatap beringas.
"Udah, nggak perlu minta maaf," katanya dingin.
Tapi Aris yang membuntuti di belakangnya langsung membentak, "Gue bilangin Bokap kalo lu nggak bilang sori!"
"ngapain sih lu yang jadi penasaran gitu"" Panji berbalik gusar. "Lu naksir dia ya""
"Naksir" Gokil lu! Lea adik kita! Gue bilangin Bokap, ditabok lu!"
"Bukan," geram Panji dingin. "Sampe kapan juga dia bukan adik gue! Nggak level!"
Lea diam saja. Tapi mendengar kata-kata Panji yang terakhir itu diam-diam dia merasa sedih.
BAB VII MEMANG anak-anak Bu Nani sudah tidak memusuhinya lagi. Oki malah
menjadi lebih lengket dengannya.
Aris juga sudah menjadi teman baiknya. Dia yang mengajari Lea bermacam-macam hal baru yang belum diketahuinya. Main play station. Mengirim SMS. Bahkan berselancar di dunia maya seperti internet. Melalui Aris, Lea berkenalan dengan teknologi komunikasi mutakhir yang dalam mimpi pun belum pernah dibayangkannya.
Dan sesudah Lea menguasai kursus kilatnya, Aris justru lebih suka mengajak Lea daripada saudara-saudaranya yang lain. Panji bukan saja tidak sepandai Lea. Dia lebih suka mengurung diri di kamar dengan kesibukannya sendiri. Sementara Oki masih terlalu kecil. Masih dianggap anak bawang.
"Nggak level," kata Aris kalau Oki minta diajak ikut main. "Masih nyusu. Mendingan lu mainin dot aja sana!"
Memang Lea menyadari, di antara ketiga anak Bu Nani, Aris-lah yang punya sifat paling mirip dengannya. Tidak heran kalau Lea merasa paling cocok dengan Aris.
Dengan Panji, Lea memang tidak pernah bisa dekat. Dia bukan hanya yang paling penakut. Dia juga yang paling sulit didekati.
Sifatnya paling aneh. Bukan hanya Lea yang tidak dapat memahami dirinya. Adik-adiknya juga.
Dia serba tertutup. Senang menyendiri. Hampir tidak punya teman. Semua orang dimusuhi. Lebih-lebih orang baru seperti Lea.
"Asosial," kata Oki sok tahu. Entah dari mana dia mendengar istilah itu.
Oki memang lucu. Kalau sedang tidak nakal, dia sebenarnya anak yang menyenangkan, Lea selalu ingat adiknya kalau berada di dekat Oki.
Sebaliknya Oki tidak punya kakak perempuan. Dan Lea lumayan baik kalau sedang tidak dirasuki setan berkelahi. Paling tidak, dia mau mengajari Oki. Tidak seperti kakak-kakaknya yang lain.
Tidak heran kalau mereka jadi cepat akrab. Dan melihat bagaimana uletnya Lea mengajari Oki yang bebal, lambat laun niat Bu Nani untuk menyingkirkan Lea semakin memudar. Apalagi Lea cukup rajin. Dan dia lebih cekatan dari Arman. Dia bisa membantu Bi Asih dengan lebih efisien.
Tidak heran kalau Bi Asih juga lebih suka menyuruh Lea daripada Arman. Karena menyuruh si Maman tidak cukup tiga kali.
Di sekolah juga Lea sudah merasa lebih betah. Dia dapat mengikuti pelajaran dengan baik. Ketika tiga bulan telah lewat, dia lulus eyaluasi. Dan diperbolehkan terus mengikuti pelajaran di kelas satu SMP.
Di antara semua pelajarannya, Lea paling menyukai pelajaran olahraga. Bukan saja karena dia sangat gemar main basket dan judo. Tapi terutama karena gurunya Pak Dion.
Makin hari Pak Dion makin menarik. Dan Lea merasa rindu kalau sehari saja tidak melihat senyumnya. Mendengar suaranya. Membalas tatapan matanya.
"Selamat pagi," suara Pak Dion selalu hadir dalam mimpinya. "Ada PR""
Vera dan gengnya memang masih memusuhinya. Tetapi mereka tidak berani lagi menjaili dengan terang-terangan. Karena kini mereka sadar, betapa berbahayanya anak perempuan yang satu ini. Dan dia dapat perlindungan khusus dari Pak Dion. Wali kelas dan guru favorit mereka.
Sebaliknya sikap Pak Dion kepada Lea juga sudah kembali hangat. Penuh perhatian seperti dulu. Setelah masalah tawuran selesai dan setelah Pak Dion tahu mengapa Lea menyalahi janjinya untuk tidak berkelahi lagi, hubungan mereka malah kelihatan bertambah dekat.
Vera semakin cemburu melihatnya. Lebih-lebih ketika suatu hati Pak Dion membawa kejutan baru.
"Untuk pentas seni bulan depan, kelas kita akan menyuguhkan operet."
"Si kancil mencuri ketimun ya. Pak"" sambar Dino sebelum teman-temannya sempat membuka mulut. "Guntur jadi kancilnya!"
"Dia pantasnya jadi gorila, Pak!" sela Dahlan. "Soalnya badannya besar. Berbulu, lagi!"
"Atau kancil bengkak!" sambung Hadi sambil terkekeh-kekeh, "bengep digebukin karena nyolong siomai di kantin!"
"Wah, kancil nyolong siomai sih adanya di opera Beijing!"
"Bapak mau bikin operet apa sih. Pak""
"Cinderella." sahut Pak Dion sabar.
"Cinderella"" separo kelas menjerit.
Tentu saja bukan seluruh cerita. Waktunya hanya setengah jam. Kita hanya mengambil beberapa cuplikan. Cinderella bersama ibu dan saudara-saudara tirinya di rumah. Peri yang menolongnya. Tikus-tikus yang membantu membuat gaun
nya. Cinderella berdansa dengan Pangeran. Cinderella kabur dengan kereta kencana ketib jam berdentang dua belas kali. Lalu adegan terakhir, ketika Pangeran Tampan mencari gadis yang punya kaki yang pas dengan sebelah sepatu yang disimpannya."
"Dahlan yang main, Pak!" cetus Guntur sambil menyeringai. "Dia cocok jadi tikus! Tampang udah ada. Tinggal dipoles dikit lagi pasti diuber-uber kucing sekampung!"
"Masa tikus gede gitu"" sambar Tya. "Tikus bengkak, kali! Kecemplung di got!"
"Siapa yang jadi Cinderella, Pak"" sela Vera tanpa mengacuhkan kelakar teman-temannya.
Jantungnya memukul tidak beraturan. Dak. Dik. Duk... Dak Dak... Duk. Dik. Duk. Duk. Dak. Duk.... Bleduk.
Yang terakhir itu bunyi sikunya jatuh menimpa meja karena terlalu tegang menunggu. Bukan jan tungnya jatuh ke perut.
Vera memang pantas berharap. Ditinjau dari segi mana pun, rasanya dia yang paling pas. Sudah bodinya paling kinclong, tampangnya juga paling gres. Tentu saja itu pendapat Vera sendiri.
"Sudah lama Bapak pikirkan," sahut Pak Dion sabar. Senyum tak pernah lekang dari bibirnya.
Membuat perut Vera semakin mules. Padahal sudah dua hari dia tidak makan sambal. Dan tagihan bulanannya masih seminggu lagi. Itu pun jarang sakit. Kecuali kalau dia malas olahraga karena Pak Dion digantikan Pak Bemo.
Pak Bemo adalah guru olahraga kelas tiga. Kalau Pak Dion berhalangan, biasanya dialah yang menggantikan. Namanya yang sebenarnya Bimo. Tapi anak-anak menjulukinya Bemo, karena profil mukanya mengawetkan kendaraan bersejarah yang sudah hampir punah itu.
Untuk memerankan Cinderella, Bapak memilih... Vera.
Vera hampir melonjak dari bangkunya. Untung dia cepat sadar, yang barusan bicara bukan Pak Dion. Cuma halusinasi.
"Untuk memerankan Cinderella, Bapak memilih... Lea."
Pati aku salah dengar, dengus Vera dalam hati. Pasti aku sudah gila! Atau... Pak Dion yang gila!
Lihat bagaimana terkejutnya teman-temannya. Seluruh kelas jadi gempar. Tawa geli dan ejekan meletus di mana-mana.
Lea jadi bulan-bulanan teman-temannya. Mukanya sudah merah seperti udang rebus. "Nggak salah pilih. Pak"" desis Tya kesal. Kalau bukan dia yang terpilih, oke! Dia sadar, matanya kebesaran. Mulutnya kelebaran. Kakinya kependekan. Tapi masa tidak ada teman putrinya yang lebih pantas jadi Cinderella sampai kodok pun dipilih"
"Kok Cinderella-nya bencong. Pak"" cetus Vera, tidak tahan lagi mengekang sakit hatinya. "Apa udah nggak ada lagi cewek tulen di kelas kita""
"Dia sih Cat Woman, Pak!" Dino tertawa geli. "Bukan Cinderella! Nanti pangerannya ditendang nyungsep, Pak!"
"Pak! Pak!" Dahlan sampai berdiri saking bersemangatnya. Lupa dia bukan sedang berdemo memprotes korupsi yang tidak ada habis-habisnya di negeri ini. "Bapak bercanda ya""
"Mengapa kamu pikir Bapak bercanda"" Pak Dion balas bertanya dengan tenang.
"Nah, si Leak kan bukan cewek orisinil, Pak!" "Lho, kok lu tau sih, Lan"" sambar Dino menahan tawa. "Emang udah pernah nyobain""
"Dino!" sergah Guntur pura-pura kaget. "Belon pernah dicubit Mbak Ita ya""
"Diam, anak-anak," pinta Pak Dion tegas. "Bapak ingin tanya pendapat kalian. Tapi jangan bergurau. Siapa yang protes tunjuk jari. Sebutkan alasan kalian memprotes pilihan saya."
Mana berani, Pak, gerutu Nuniek sengit. Anak emas Bapak!
Dan memang. Tidak ada seorang pun yang berani mengangkat jarinya. Semua diam. Semua mengawasi Pak Dion dengan tegang. Sebagian dengan dongkol. Sebagian lagi hampir mati penasaran.
"Kalau tidak ada yang protes, saya anggap kita semua sudah setuju dengan pilihan saya. Lea akan memerankan Cinderella."
"Saya Pangeran Tampannya ya. Pak!" cetus Guntur gembira. Tentu saja hanya bercanda.
"Dia sih pangeran kodok. Pak!" sela Hadi geli. "Suaranya emang kayak kodok bangkong!"
"Bukan, Pak!" sambar Dino. "Guntur sih pangeran kencet! Kakinya panjang sebelah. Harus didongkrak dulu!"
"Jangan Guntur, Pak." Dahlan tidak mau kalah. "Tampangnya rusak berat! Baru nongol aja penonton udah pada kabur! Kirain piaraan bon-biu lepas!"
"Tapi suaranya heboh. Pak! Nggak usah pake mik udah kedeng
eran sampe Cirebon!"
"Emang biasa teriak-teriak di terminal!"
"Saya memang memilih Guntur untuk memerankan Pangeran Tampan." Pak Dion tersenyum sabar. "Kamu sanggup. Tur""
Untuk pertama kalinya wajah Guntur berubah pucat. Perutnya kram.
"Aduh, Pak! Suruh saya jadi kuda aja, Pak! Narik kereta kencana'" Guntur berdiri di samping kursinya. Meringkik dan melonjak-lonjak. "Mirip kan, Pak""
Pak Dion tidak menanggapi protes Guntur.
"Kamu terap jadi Pangeran. Vera jadi ibu titi Cinderella..."
Lho, emangnya aku udah kelihatan tua banget" Vera merasa harinya tambah sakit. Jahat banget Pak Dion! Udah nggak kepilih jadi Cinderella, disuruh jadi nenek-nenek, lagi!
Memang usia Vera dua tahun lebih tua dari teman-temannya. Itu karena dia dua kali tidak naik kelas. Tapi bukan berarti dia sudah pantas jadi ibu-ibu... Waduh! Rasanya mulai besok dia sudah harus mulai minum obat pengawet... eh, jamu awet muda. Bukan formalin. Itu sih jatah mayat.
"Nuniek dan Tya jadi saudara tiri Cinderella..."
Sialan! Sekalinya kepilih jadi setan! Disumpahin penonton sejagat!
Gue gebukin lu sampe teler! Nuniek melirik gemas ke arah Tya. Seolah-olah mengikrarkan janji pembalasan dendam.
"Dino jadi jam gedang. Berdentang tiap jam dua belas."
"Saban jam dua belas malem dia emang mukul kentongan, Pak!"
"Ngeronda nyari pocong! Hihihi...."
"Mukanya emang bulet kayak jam. Pak! Cocok kalo ditulisin angka!"
"Rita jadi peri...."
"Dia sih lebih cocok jadi kuntilanak. Pak!" serobot Hadi geli.
"Sialan lu!" Rita menggebuk bahu teman se-bangkunya dengan gemas.
"Dahlan dan Ita jadi tikus."
"Waduh, di kelas kita nanti pasti banyak nying-nying. Pak!" Tawa Guntur meledak tak tertahankan lagi.
*** Pulang sekolah, Lea langsung menemui Pak Dion. Wajahnya kusut. Langkahnya lunglai. "Ada apa, Lea"" tanya Pak Dion lunak.
"Pak, saya mau tanya." "Soal Cinderella""
"Bapak sengaja mau bikin malu saya"" "Mengapa kamu punya pikiran begitu"" "Ada lima belas anak perempuan di kelas IA Pak. Kenapa justru saya"" "Karena saya punya rencana." "Bikin saya jadi badut ya. Pak"" "Citra itu justru yang ingin saya ubah. Kamu gadis yang cantik. Asal mau bersikap dan bergaya seperti wanita. Dan saya yakin, saya dapat mengubah penampilanmu. Menarik keluar sisi merah jambu dalam dirimu."
Lea mengawasi gurunya dengan bingung. Memang ada berapa sisi dalam dirinya" Kalau yang ngumpet sisi merah jambu, yang nongol warna apa" Hitam" Abu-abu" Ungu" Aduh, kenapa Pak Dion jadi aneh begini"
Tetapi Pak Dion membalas tatapan muridnya dengan tenang.
"Kamu tidak percaya"" Percaya, Pak! Cuma nggak yakin! "Saya tidak bisa nyanyi, Pak," keluh Lea lesu. "Dan sifat Cinderella bukan sifat saya. Tidak mungkin saya bisa menjiwai peran gadis yang begitu lemah. Menyerah saja pada nasib. Menangis tiap hari didera kekejaman ibu dan saudara-sauda ra tirinya... itu bukan saya, Pak!"
"Itu seni peran, Lea. Artis dituntut untuk dapat menjiwai peran apa pun yang diberikan ke padanya."
Tapi saya bukan artis! Dan tidak mau jadi artis! Mimpi saja tidak pernah! Lebih baik saya jadi atlet!
"Saya akan membimbingmu. Kamu akan menjadi Cinderella yang sempurna."
Tentu saja. Kalau bukan Pak Dion, siapa lagi yang punya ide yang begitu gila"
Sisi Merah Jambu Karya Mira W di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kalau bukan Pak Dion, mana mau Lea ikut main operet" Apalagi jadi Cinderella. Gadis bodoh yang tiap hari mau saja diomeli" Biarpun di rumah Bu Nani, nasibnya hampir tidak ada bedanya!
Karena Pak Dion yang minta. Lea rela dihina. Diejek. Diberi malu. Untuk Pak Dion, dia rela melakukan apa saja.
Teman-temannya juga tidak ada yang memprotes. Biarpun Guntur harus jatuh-bangun menghafal nyanyian. Harus mengubah Citranya yang bengal jadi pangeran alim. Harus mengejar-ngejar sepatu sebelah biarpun bapaknya punya toko sepatu.
Walaupun jengkel. Vera juga menurut saja pantatnya disumpal bantal biar pinggulnya makin mekar. rambutnya dicat putih supaya beruban.
Padahal siapa sih yang mau jadi tua" Di mana-mana juga perempuan rela membayar jutaan rupiah asal bisa muda kembali! Dan karena dia marah-marah terus, akt
ingnya berantakan. Tya dan Nuniek juga idem dito. Mereka dongkol disuruh jadi gadis-gadis judes yang bodoh, malas kerja, dan hobinya cuma dandan. Padahal di kehidupan nyata, mereka memang seperti itu kok Jadi sebenarnya ini peran yang mudah buat mereka. Kalau saja mereka tidak iri pada Lea. Dan karena iri, permainan mereka jadi hambar.
Ita dan Dahlan juga tidak memprotes dijadikan tikus. Padahal sejak jadi tikus, Ita jadi nggak doyan ikan. Takut diuber-ubet kucing.
"Mendingan nggak ikut main daripada jadi tikus!" gerutu Ita kalau Pak Dion sedang sibuk di tempat lain. Dan tumpahan muntahnya tentu saja Dahlan. Siapa lagi. Jadi pacar Ita memang berani harus selalu siap jadi tempolongnya.
Sementara itu, Pak Dion tidak peduli pada bisik-bisik protes dan kekecewaan yang diarahkan pada pilihannya. Dia tetap semantap biasa. Dia yakin sekali, operetnya akan berhasil. Dan dia dapat mengubah penampilan Lea. Sekaligus membuat hubungan Lea dan teman-temannya menjadi akrab.
Kalau setiap hari mereka bertemu dan berlatih pasti perlahan-lahan mereka akan melupakan permusuhan mereka.
Tetapi memang tidak mudah merealisasikan mimpinya.
Dalam latihan pertama saja, Lea sudah menjadi bahan olok-olok. Penampilannya selalu mengundang ejekan. Bahan tertawaan.
Nah, bayangkan saja kalau Cinderella lagaknya seperti pemain ketoprak pria yang menyamar sebagai wanita! Heboh, kan"
Lea sendiri sudah putus asa. Kalau bukan Lea, barangkali dia sudah nangis Bombai. Menggerung-gerung digerus frustrasi.
Bu Las, guru kesenian yang menjadi pengarah acara, juga sudah kewalahan. Setelah dua kali latihan, dia angkat tangan. Dan mengancam angkat kaki. Untung dia tidak mengangkat yang lain. Panggung bisa tambah heboh.
"Kalau Lea tidak diganti, saya yang mundur, Pak!" protesnya uring-uringan seperti ABG yang tidak boleh pacaran karena belum tujuh belas tahun.
"Beri dia kesempatan beberapa liari lagi. Bu," pinta Pak Dion. "Saya akan membimbingnya lebih keras. Saya yakin, dia akan berhasil."
"Cuma Pak Dion yang yakin," sahut Bu Las ketus. "Saya tahu maksud Pak Dion. Bapak ingin mengubah penampilan Lea. Ingin mengubah ka-rakternya supaya jadi wanita sejati. tapi jangan dengan mengorbankan acara ini. Mengorbankan anak-anak yang lain."
"Dan mengorbankan reputasi Bu Las sebagai pengarah acara"" Pak Dion tersenyum sabar. "Kalau boleh, saya ingin mengambil alih acara ini, Bu. Biar saya yang mencoba. Kalaupun gagal, saya bukan siapa-siapa. Dan anak-anak ini hanya murid SMP. Bukan artis. Penonton pasti memaafkan mereka."
"Begitu ngototnya Pak Dion membela Lea sampai tega mengorbankan teman-temannya"" geram Bu Las gemas.
"Rasanya tidak ada yang merasa dikorbankan, Bu. Kalau ada yang mau mengundurkan diri, saya tidak pernah melarang. Dengan acara ini, saya mencoba menyatukan mereka. Bukan memecah belah."
"Kita harus membela Pak Dion!" usul Guntur yang tiba-tiba terbangun semangatnya ketika men-dengar pertikaian wali kelasnya dengan Bu Las. "Awas kalo ada yang berani mundur!"
Biar nanti sore dia minum sebotol cuka cam-pur asem jawa supaya suaranya jadi melengking merdu. Kalau perlu dia akan mengasah pita suaranya supaya suaranya yang mulai pecah tidak me-mecahkan gendang telinga penonton.
"kalo Cinderella-nya nggak diganti, gue men dingan bunuh diri. Tur!" gerutu Tya sengit. "Mau digebuk dia malah melotot! Diomelin malah nan-tang! Cinderella apaan tuh""
"Kalo dia belon bisa jalan kayak cewek, mendingan si Dino aja yang kita dandanin jadi Cinderella!" sambung Dahlan kesal.
Mendingan gue dansa sama lutung daripada sama si Dino!" protes Guntur keras.
"Siapa juga yang mo dansa ama elu"" dumal Dino tersinggung. "Biar masih jomblo, gue kan bukan hombre!"
"Kalo sama Ita gimana. Tur"" usul Dahlan penuh harap. "Tukar aja. Si leak yang jadi tikus! Banci juga kucing nggak tau!"
"Kata Pak Dion, dia punya kejutan besok! Gue rasa dia mo bikin si Leak jadi putri beneran!"
"Gimana bisa jadi putri beneran kalo kromosomnya lebih satu" gerutu Dahlan muak.
"Mana bisa leak jadi putri"" tukas Tya gemas. "Paling-paling jadi g
enderuwo!" "Kita liat aja besok! Gue yakin Pak Dion nggak bohong! Dia pasti udah punya rencana!"
BAB VIII SORE itu, Pak Dion yang mengantarkan Lea pulang ke rumah. Dan dia minta izin menemui Bu Nani.
Tentu saja Bu Nani kaget. Tegangannya langsung naik dua ribu volt. Dikiranya anak angkatnya berkelahi lagi. Anak atau monster yang dibawa suaminya ini"
Untung Pak Dion seperti memahami dugaannya.
"Tidak ada apa-apa, Bu," katanya tenang. "Lea baik-baik saja. Nilai-nilainya di kelas cemerlang. Dan dia tidak nakal."
Dengan sopan Pak Dion memaparkan kegiatan di sekolah mereka dalam rangka menyambut pentas seni bulan depan.
"Kelas IA akan menyajikan operet Cinderella. Dan saya telah memilih Lea untuk memerankan Cinderella."
Bu Nani tertegun heran. Sudah gilakah guru ini" Apa tidak ada murid perempuan lain di kelasnya sampai dia memilih Lea"
Tentu saja Pak Dion mengerti apa yang dipikirkan Bu Nani. Sambil tersenyum tipis, dia melanjutkan kata-katanya.
"Untuk itu saya minta izin Ibu untuk mengubah penampilan Lea." "Mengubah bagaimana. Pak"" "Kalau boleh, besok siang saya akan merapikan rambutnya. Menghias wajahnya. Memilihkan gaun yang tepat. Dan meminta teman saya untuk melatih cara berjalannya. lentil saja hanya untuk acara ini. Dan saya berjanji, saya yang akan bertanggung jawab, Bu."
"Boleh saja. Pak," Bu Nani masih setengah bengong. Rasanya Bapak harus menyihirnya supaya jadi perempuan tulen! Kalau tidak, operet ciptaan bapak bisa berubah jadi dagelan!
Seumur hidup. Lea belum pernah membonceng motor. Dia tidak takut. Cuma agak rikuh.
Ketika Pak Dion memintanya duduk di boncengan motornya, Lea langsung naik seperti menunggang kuda. Pak Dion segera mencegahnya dengan lembut.
"Duduklah seperti wanita dewasa. Lea," pintanya sambil tersenyum sabar. Tidak ada nada menggurui atau mengejek dalam suaranya. "Duduk menyamping dengan kedua kaki dirapatkan."
Lea memang tidak tersinggung meski agak tersipu. Pak Dion memang memperlakukannya seperti seorang wanita dewasa. Dan Lea harus berusaha keras menyesuaikan dirinya walaupun masih agak rikuh. Misalnya saja ketika turun dari motor. Dia ingin melompat ketika tiba-tiba dibatalkannya kembali.
Lea sadar, dia harus turun perlahan-lahan. Bukan melompat. Padahal kalau dibandingkan dengan punggung kerbau, apa artinya boncengan motor setinggi ini"
Pak Dion membawanya ke sebuah salon kecantikan. Dan wanita yang menyambut mereka di balik meja di depan pintu itu bukan main kerennya.
"Gunting dan blow, Pak"" tanyanya sambil melemparkan seuntai senyum manis. "Sekalian cream bath"
"Bukan saya," sahut Pak Dion tenang. "Murid saya."
Sekarang wanita itu menoleh ke arah Lea. Tatapannya demikian menilai sampai Lea jadi agak gelagapan. Memangnya dia sapi ditatap seperti ini"
"Model apa"" tanyanya sambil menyebutkan nama-nama yang di telinga Lea mirip nama planet.
Lea menggeleng bingung. Dan perempuan itu menunjukkan setumpuk majalah yang isinya berbagai model rambut.
"Pilih saja mau yang seperti apa. Tidak usah buru-buru."
Tapi sampai besok pagi pun Lea yakin, dia belum bisa memilih. Jadi dia bengong saja. Pak Dion-lah yang membantunya.
"Tolong pilihkan saja model yang tepat untuknya."
"Oke," perempuan itu tersenyum penuh arti. "Cuci dulu ya."
Senyumnya begitu menarik sampai Lea yakin dia pasti punya banyak langganan sekalipun cu-kurannya tidak begitu bagus. tapi kalau Lea mengira perempuan itulah tukang cukurnya, dia keliru.
Setelah rambutnya dicuci, dia disuruh duduk didepan cermin lebar. Dan seorang laki-laki... ah, benarkah dia laki-laki"
"Halo!" sapanya genit. Gayanya mirip perempuan setengah matang. Maksudnya perempuan setengah lelaki. "Mau gunting model apa, Sayang""
Sayang dengkulmu! Lea hampir muntah. Untung Pak Dion tidak pernah jauh. Jadi ada yang mengambil tempolong kalau dia muntah.
"Tolong yang pantas untuknya, Mas. Model apa saja. Asal tambah cantik."
Perempuan eh, lelaki setengah matang itu melirik Pak Dion dan senyumnya bertambah genit. Suaranya juga. Lembut mendayu-dayu.
"Pacarnya""
"Murid saya." "Murid"" Mata makhluk ajaib itu berkedip Jenaka.
"Bulan depan dia akan memerankan Cinderella dalam operet yang kami adakan di sekolah. Cinderella tidak dapat memikat pangeran dalam penampilan seperti ini, kan""
"Serahkan pada saya!" cetusnya bersemangat. "Saya akan membuat semua laki-laki di sekolahnya ingin jadi pangeran!"
"Jangan semua," Pak Dion tersenyum separo bergurau. "Guru-gurunya banyak yang sudah ber-istri!
Lea sampai kaget ketika penata rambutnya yang aneh itu memukul bahu Pak Dion sambil tertawa genit.
Setelah rambutnya digunting dan di-blow, Lea masih harus merelakan wajahnya didandani. Dan ahli riasnya kali ini seorang wanita yang wajahnya berwarna-warni seperti pelangi. Tapi tangannya sangat mahir memoles paras Lea.
Pak Dion harus menunggu dua jam lebih sebelum Lea selesai disulap menjadi gadis yang sangat cantik sampai dia hampir lupa menutup mulutnya.
Ternyata dugaannya tidak meleset! Kalau tahu bagaimana caranya, kecantikan tersembunyi anak ini dapat ditampilkan dengan sempurna!
"Bukan main!" Pak Dion sampai lupa menyembunyikan kekagumannya. I upa yang tegak di depannya muridnya. Bukan istrinya. "Kamu cantik sekali, Lea!"
Melihat cara Pak Dion menatapnya. Lea merasa sekujur parasnya panas membara. Belum pernah dia merasa tersanjung seperti ini. Tetapi yang dirasakannya memang bukan hanya rasa ter-sanjung. Lebih dari itu.
Ada secercah perasaan aneh yang lahir di sudut hatinya. Perasaan yang selama ini belum pernah menyentuhnya. Perasaan yang dia sendiri tidak tahu apa namanya.
Dan melihat reaksi Lea. Pak Dion baru sadar, dia tidak boleh bersikap seperti itu di depan muridnya. Nanti Lea salah sangka.
"Mari ke satu tempat lagi. Teman saya akan memilihkan gaun yang cocok untukmu. Dan melatihmu berjalan. Mengajarimu cara melangkah yang benar."
Cara melangkah yang benar" Memang selama ini aku melompat-lompat seperti kodok"
Tapi kalau Pak Dion yang bilang, Lea percaya saja. Kalau berlatih jalan katanya, Lea akan patuh sekalipun dia disuruh berjalan dengan tangan!
*** Hari itu mereka memang sangat sibuk. Tapi hasilnya tidak mengecewakan. Meskipun Lea sudah empat kali hampir terjerembap. Dua kali karena gaun panjangnya. Dua kali lagi karena sepatu tingginya. Cinderella tidak bisa memakai sepatu kets, kan"
"Saya butuh dua minggu," kata Mbak Murni kepada Pak Dion. "Dua jam setiap hari."
"Bagaimana kalau satu minggu, Mbak" Kami harus menampilkan operet itu tanggal lima belas bulan depan. Artinya tinggal sebulan lagi."
Dan operetnya nyaris berantakan. Pemain-pemainnya tidak ada yang bisa berakting dengan bagus. Dari Cinderella sampai tikus, semuanya amburadul.
Pak Dion juga bukan guru kesenian. Pengetahuan musiknya nol. Dia hanya nekat mengambil alih acara itu karena Bu Las keberatan memakai Lea. Padahal dia belum pernah jadi pengarah acara. Tidak heran kalau arahannya juga sering meleset.
Jadi dia perlu memoles Lea secepat-cepatnya. Karena Pak Dion yakin, kalau Cinderella-nya oke, yang lain pasti terbawa. Tentu saja cuma dia yang yakin. Karena murid-muridnya yang lain kecuali Guntur dan Dino, masih tetap memusuhi Lea. Dan mereka ingin menyabotnya kapan saja ada kesempatan.
"Empat jam sehari," sahut Mbak Mutni tegas. "Tidak bisa ditawar lagi. Yang Mas bawa ini bukan gadis biasa. Lebih mudah menjadikannya Electra daripada Cinderella!"
Pak Dion tertawa menyambut kelakar Mbak Murni. Tapi tawanya tidak menyinggung perasaan Lea. Entah mengapa, kalau Pak Dion yang tertawa. Lea selalu menyukainya, apa pun yang ditertawakannya.
"Kalau boleh usul. lebih baik dia pakai wig," sambung Mbak Murni sambil mengawasi Lea seperti menilai sebuah mobil balap. "Cinderella harus berambut panjang, kan""
Tanpa menunggu jawaban Pak Dion, dia meraih tangan Lea dan membawanya ke kamar. Ketika mereka keluar dari kamar setengah jam kemudian, sekali lagi Pak Dion tertegun.
Dengan rambut panjang tergerai, Lea menjadi dua kali lebih menawan! Lebih-lebih kalau dia sedang memandang dengan tersipu-sipu sambil mengulum senyumnya...
"Ternyata saya masih
harus belajar banyak sama Mbak Mumi!" cetus Pak Dion tanpa menyembunyikan rasa kagumnya. "Mbak betul-betul luar biasa!"
"Yang luar biasa saya atau muridmu ini"" sindir Mbak Murni sambil tersenyum tipis. "Dia boleh pinjam wig ini sampai pementasan bulan depan."
"Terima kasih, Mbak!" cetus Pak Dion gembira. "Kalau Mbak ada waktu, datang saja..."
"Masa remaja saya sudah lewat," potong Mbak Murni pahit.
Sekejap Lea menatap wanita berusia separo baya itu. Wajahnya masih menampilkan sisa-sisa
kecantikan masa mudanya. Tubuhnya juga masih seramping Dayang Sumbi. Tapi kenapa wanita seanggun Dewi Sri ini seperti memendam kepahitan"
"Pacarnya meninggal dalam kecelakaan lalu lintas," kata Pak Dion ketika Lea bertanya di atas motornya. "Sejak itu Mbak Murni seperti menenggelamkan diri dalam kariernya. Dia memilih hidup lajang sampai sekarang."
Kasihan, pikir Lea iba. Ternyata masih banyak orang yang menderita di dunia ini. Bukan cuma aku!
* * * Malam itu Pak Dion mengajak Lea makan dulu sebelum pulang ke rumah.
"Pasti kamu lapar," katanya sambil tersenyum. "Digojlok habis setengah harian."
Lea diam saja. Di samping Pak Dion, lapar pun tidak terasa.
"Kamu mau makan apa""
"Apa aja. Terserah Bapak."
"Doyan pizza""
"Doyan." Padahal Lea belum pernah makan pizza. Kenapa sekarang berbohong rasanya gampang"
"Oke. Kita makan pizza."
Mereka berhenti di sebuah mal. Dan Pak Dion membawa Lea ke sebuah kedai pizza. Ketika sedang melangkah di samping Pak Dion, tiba-tiba saja Lea sudah merasa dirinya menjelma menjadi Cinderella. Ah, seandainya Pak Dion-lah yang menjadi Pangeran Tampan!
"Jalanmu sudah mendingan," gurau Pak Dion tanpa bermaksud menghina. "Rasanya seminggu terlalu lama. Mbak Murni pasti kaget kalau tiga hari lagi dia melihat caramu melangkah!"
Gurauan itu malah terdengar seperti pujian di telinga Lea. Dan dia berjanji dalam hati, mulai nanti malam, dia akan berlatih sendiri di kamar! Kalau perlu, tidak tidur!
Untuk Pak Dion, apa yang tidak bisa dilakukannya" Jangankan jalan, terbang juga dia sanggup!
Pak Dion memang sangat mengagumkan. Apa pun yang dilakukannya, dia sangat memikat. Lihat saja cara makannya. Kelihatan santai tapi menarik.
"Nggak ada yang nunggu Pak Dion makan di rumah"" Sesudah mengucapkan pertanyaan itu, Lea jadi kaget sendiri. Lho, kok dia berani nanya begitu"
Tapi Pak Dion tidak marah. Tidak kesal. Dia malah tersenyum.
"Bapak tinggal di tempat kos. Orangtua tinggal di Pekanbaru."
"Nggak ada teman"" Lho, kok nanya gitu" Lebih gila lagi! "Di sana banyak mahasiswa mondok." "Enak tinggal di sana, Pak"" Lho! "Tidak seenak tinggal di rumah. Seperti Lea." "Saya tidak punya rumah." "Jangan bilang begitu. Kamu punya orangtua angkat, kan" Mereka sayang padamu."
Lea tidak menjawab. Dia hanya menunduk. Memainkan potongan pizza dengan garpunya. Mukanya berubah suram.
"Ibumu masih sering marah"" tanya Pak Dion lembut. Penuh pengertian.
Bu Nani memang tidak seperti dulu. Sudah jarang marah. Tapi mengapa tidak ada kehangatan seorang ibu seperti yang dirindukannya"
"Sabarlah, Lea. Kalian masih perlu waktu untuk saling mengenal. Menyesuaikan diri. Tapi saya percaya, suatu hari, kamu akan memiliki orangtua yang kamu idam-idamkan. Memiliki tempat yang disebut rumah."
Orangtuakah namanya kalau tidak pernah mengungkapkan kasih sayang" Rumahkah namanya kalau tak ada kehangatan di dalamnya"
Malam itu Pak Dion mengantarkan Lea pulang ke rumah. Dia turun dari motornya. Mengulurkan tangannya untuk membantu Lea turun. Dan membimbingnya ke teras.
Di bawah cahaya lampu teras yang tidak terlalu terang, Lea melihat Pak Dion menatapnya dengan hangat.
"Kamu cantik. Lea," bisiknya sambil tersenyum lembut. "Bapak bangga padamu."
Lea merasa dadanya berdebar aneh. Malu. Bangga. Terharu. Dan dia hampir tidak keburu melepaskan tangannya dari genggaman Pak Dion. Ibu sudah membuka pintu dan tegak di depan mereka.
"Malam, Bu," sapa Pak Dion tanpa kehilangan kontrol dirinya. Sikapnya sangat tenang dan percaya diri. "Maaf kemalaman. Saya ajak Lea makan dulu
." Tapi Bu Nani seperti tidak mendengar kata-kata Pak Dion. Matanya setengah terbelalak mengawasi Lea. Di depannya kini tegak seorang gadis remaja yang sangat cantik. Anggun. Bersih. Wangi. Bukan lagi anak tomboi tukang berkelahi yang dekil dan bau!
Dan Bu Nani belum sempat membuka mulutnya. Pak Tisna sudah muncul di belakangnya.
"Lea!" sergahnya heran. Kagum. Tidak percaya. "Aduh! Ayah sampai pangling!"
"Selamat malam, Pak," sapa Pak Dion sambil tersenyum ramah. "Maaf kemalaman mengantar Lea pulang."
"Tidak apa, Pak," sahut Pak Tisna gembira. "Mari silakan masuk! Kita ngobrol di dalam!"
"Terima kasih, Pak. Tapi rasanya lebih baik saya pulang dulu. Sudah malam. Dan Lea sudah capek. Setengah harian harus dipoles dan dilatih jalan."
"Saya yang harus berterima kasih. Pak! Bapak benar-benar sudah berhasil mengubah Lea!"
"Lea masih harus membuktikannya dalam operet Cinderella bulan depan, Pak. Kamu sanggup, Lea""
Lea hanya mengangguk ragu. "Bapak percaya kamu sanggup. Besok sore kita latihan lagi ya"" Lalu kepada Bu Nani, Pak Dion bertanya sopan, "Boleh minta izin untuk besok, Bu" Pulang sekolah Lea harus latihan untuk pentas seni. Lalu sorenya harus latihan jalan."
"Jangan pulang terlalu malam. Pak," pinta Bu Nani setelah mulutnya dapat dibuka kembali. "Malam Lea harus belajar." Dan membantu Oki bikin PR. Bantu Bi Asih di dapur.
"Tentu. Bu. Saya permisi dulu, Bu, Pak, Lea." Setelah mengangguk sopan. Pak Dion membalikkan tubuhnya dan melangkah ke halaman.
Ketika melihat motornya meninggalkan halaman rumah. Lea merasa ada yang hilang dari hati-nya. Dan entah mengapa, dia merasa tidak enak Tapi Lea tidak sempat mengkaji lebih lama perasaan tidak enak yang menyelusup ke hatinya. Si bandel Oki keburu muncul. Dan dia berteriak seperti ada setan.
Karena mendengar teriakannya. Panji dan Aris berbareng muncul. Dan mereka sama-sama ter-tegun melihat Lea.
"Kamu pacaran sama Pak Dion ya"" cetus Oki jail ketika Lea sedang memeriksa PR-nya.
Sebenarnya Lea sudah lelah. Sudah mengantuk. Tetapi Bu Nani menyuruhnya memeriksa PR Oki. Tidak ada pilihan lain. Patuh. Atau dimarahi.
"Sembarangan ngomong!" balas Lea kesal. Tapi mukanya langsung memerah. Dan Oki tertawa geli ketika melihatnya.
"Tapi Pak Dion kan udah punya pacar!" Bles! Ada belati menikam dadanya Lea merasa sakit. Nyeri.
"Katanya pacarnya cakep!" "Bodo amat."
"Bohong kalo kamu cuek aja! Kamu pasti pengin tau, kan"" "Nggak." "Bohong."
"Cewek Pak Dion guru TK. Namanya Bu Neni."
Dia pasti cakep, pikir Lea pedih. Dewasa. Feminin. Tipe yang disukai Pak Dion!
Ketika Lea sedang melangkah keluar dari kamar Oki, Aris menyuitinya. Lea menoleh. "Mo main"" bisik Aris. Lea menggeleng. "Capek."
Malam ini dia memang tidak ingin main. Bukan karena lelah. Tapi karena bayangan Pak Dion tidak mau hilang dari benaknya.
"Mo belajar dandan ya"" ejek Aris. Kurang senang karena Lea menolak menemaninya main PS. "Biar tambah cakep. Biar Pak Dion tambah naksir..."
"Ngaco!" bentak Lea antara kaget dan malu. "Kamu pacaran sama Pak Dion"" sergah Panji yang tahu-tahu sudah berada di belakangnya. "Bilangin Ibu ya!"
"Bilangin apa"" sambar Oki yang ikut-ikutan melongokkan kepala di pintu kamar.
"Kepala lu benjol!" jawab Aris sambil menjitak kepala adiknya. "Masuk lu! Anak kecil mau tau aja!"
Pak Dion kaget sendiri ketika melihat layar pon-selnya. Neni! Dan dia baru ingat. Malam ini mereka janji makan malam bersama!
"Sori, Nen," katanya begitu mendengar suara pacarnya. "Hari ini aku sibuk sekali."
"Sama anak itu lagi, kan"" Neni tidak menyembunyikan nada sinis dalam suaranya. Dia ingat kata-kata Bu Las kemarin.
"Awas lho, Nen! Pak Dion naksir muridnya tuh!"
Memang nadanya seperti bergurau. Tetapi Neni tahu sekali, Bu Las tak pernah bergurau. Kalau dia bergurau, mungkin turun hujan batu. Dan mobil pada penyok.
"Ya," sahut Pak Dion terus terang. Dia tidak merasa perlu berbohong. "Aku harus memoles Lea. Melatihnya supaya dia cocok memerankan Cinderella."
"Aku hanya ingin menasihatimu," suara Neni terdengar dingin. "Jang
an terlalu memberikan perhatian istimewa kepadanya."
Pak Dion tertegun sesaat sebelum tawanya meledak.
"Kamu cemburu" Sama ABG tiga belas tahun""
"Barangkali kamu tidak merasa. Tapi orang-orang sudah mulai membicarakan kalian."
"Orang-orang siapa""
"Teman-temanmu. Guru anak itu."
"Ah, mereka cuma bercanda. Jangan dengarkan mereka."
"Tapi aku bukan cuma mendengar. Aku melihat!"
"Melihat apa""
"Dampak hubungan kalian. Kamu sampai lupa pada janji kita."
"Cuma kali ini. Aku janji. Hari ini aku memang sibuk sekali."
Bukan hanya sibuk. Aku memang lupa!
"Hati-hati dengan hubungan kalian. Dia muridmu.
"Lalu"" "Dia masih anak-anak."
"Lalu"" "Kamu pasti mengerti. Dia memang belum dewasa. tapi juga bukan Anak-anak lagi."
"Lho! Baru saja kamu bilang dia masih anak-anak!"
Tapi sudah cukup besar untuk digosipkan dengan seorang laki-laki. Dan laki-laki itu gurunya sendiri!"
"Aku hanya ingin memberinya perhatian yang selama ini tidak pernah diperolehnya. Aku juga ingin mengubah penampilannya. Ingin mengubah citranya di depan teman-temannya. Ingin membuat dia diterima lingkungannya. Salahkah aku"" Salah karena dia muridmu! Bukan putrimu!" Tapi aku gurunya! Tidak bolehkah seorang guru menjadi pengganti orangtuanya"
Tidak boleh kalau terlalu berlebihan! Karena akan menjadi bahan gosip! Jauhi dia sebelum anak itu sendiri salah sangka pada sikapmu!"
Malam itu mereka bertengkar hebat. Padahal selama dua tahun pacaran, mereka jarang bertengkar. Apalagi sampai sehebat ini.
Pak Dion memang merasa bersalah karena lupa pada janjinya. Tapi dia tidak merasa bersalah karena memerhatikan Lea Karena menaruh perhatian lebih kepadanya.
Lea memang berbeda dengan teman-temannya. Dia butuh perhatian dan sentuhan yang ber-beda!
saya akan menarik keluar sisi merah jambu dari dalam dirimu.
Itu janjinya pada Lea. Dan dia bertekad akan memenuhi janji itu.
BAB IX SEKARANG Lea merasa perlu memiliki sebuah cermin. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya dia ingin terlihat cantik. Padahal sebelumnya, dia tidak peduli cantik seperti dewi atau jelek seperti gergasi.
Dan ketika melihat wajahnya dalam cermin, Lea merasa bangga. Ternyata dia memang manis. Apalagi kalau rambutnya selalu rapi. Mukanya putih dibedaki. Bibirnya merah bergincu.... Hah, sayang sekali, ke sekolah tidak boleh pakai lipstik!
Pak Dion pasti menyukainya. lebih-leebih kalau jalannya lemah gemulai seperti penari... Hm.
Tidak apalah kecepatannya berkurang separo. Toh di sini dia tidak perlu mengejar kambing!
Untuk suatu alasan yang Lea sendiri tidak tahu, dia selalu ingin terlihat cantik di depan Pak Dion. Tidak heran kalau sekarang dia yang paling belakang tiba di mobil yang akan mengantarkan mereka ke sekolah.
"Lea...!!!" teriak Ibu tidak sabar. "Mau sekolah atau pesta" Lama sekali dandannya! Tuh, yang lain sudah di mobil!"
"Biar saja dia dandan, Bu," sela Pak Tisna sabar. "Anak perempuan kan beda dengan anak laki-laki. Dulu dia jorok Ibu kesal. Sekarang dia rapi, kesal juga."
"Ini kan sudah siang! Itu anak-anak sudah menunggu di mobil! Nunggu Tuan Putri selesai dandan!"
"Biar saja mereka nunggu. Mereka harus belajar menghormati saudaranya. Kalau mereka terlambat, Lea juga menunggu mereka."
"Ah, Bapak! Selalu saja membela dia! Memang anak Bapak cuma dia""
"Anak perempuan kita memang cuma dia," sa-hut Pak Tisna sambil tersenyum bangga.
"Pak! Bu! Saya pergi dulu!" Dan sebuah pesawat jet melesat di samping mereka. Terbang ke mobil tanpa menoleh lagi.
Begitu Lea masuk ke kelas, suasana langsung hening. Seolah-olah ada pocong lewat. Anak-anak tertegun mengawasinya. "Ada anak baru!" cetus Dino kagum. "Cakep banget kamu, Lea!" sorak Guntur tanpa dapat membendung rasa terkejutnya. "Kenapa nggak dulu-dulu kamu pake muka yang kayak gini""
"Bukan mukanya aja yang baru, Tur! Jalannya juga beda!"
"Ke mana tuh bencong kelas kita"" cetus Dahlan secepat kilat, ketika tatapan kesal Ita beradu dengan matanya yang sedang mengawasi Lea dengan terpesona.
"Norak ah!" sergah Tya setelah rasa k
agetnya hilang. Berganti rasa iri. Ingin rasanya dia mengambil silet. "Gitu aja heboh!"
Nuniek lain lagi. Dia sampai tidak mampu berbunyi saking dengkinya. Rasanya kedua pita suaranya sudah lengket jadi satu.
Lea melangkah ke bangkunya tanpa mengacuhkan kelakar, pujian, dan cercaan yang bertaburan
di sekitarnya. Kalau bukan Pak Dion yang memuji, apa gunanya" Pujian itu seperti sayur tanpa garam!
"Belon jadi Cinderella aja aku udah tergila-gila, Lea! Mana sepatumu""
"Lu emang gila, Tur! Si Tya sama simpanan lu yang di bonbin tuh mo dikemanain" Guntur! Guntur! Dua udah cukup, men!"
"Siapa bilang" Bu Ning bilang, empat sehat lima sempurna, kan""
"Huu, lagak lu aja mo koleksi cewek!" gerutu Vera, orang yang paling gerah melihat perubahan penampilan Lea. "Utang aja berceceran ke mana-mana!"
Penampilan Lea hari ini benar-benar membuat Vera shock. Membuat Tya grogi. Membuat Ita dan Nuniek down. Dia tampil begitu sempurna! Cantik. Menarik. Feminin. Sekarang tidak ada lagi yang meragukan dia cewek atau cowok! Kecuali orang buta!
Mata Pak Dion sungguh tajam. Dia bisa menemukan mutiara dalam lumpur. Dan setelah ditemukan, dia bisa menggosoknya sampai berkilauan.
"Selamat pagi," sapa Pak Dion seperti biasa. Dan seperti biasa pula, dia menebarkan senyum patennya. Tetapi di mata Vera. kali ini se nyum itu tampaknya hanya untuk Lea. Sialan!
Vera melirik dengki. Dan hampir mati dicengkeram kebencian ketika melihat senyum malu-malu merekah di bibir Lea. Dia menundukkan wajahnya yang kemerah-merahan. Dan sialan! Dalam penampilan seperti itu, dia malah tampak lebih menggemaskan lagi! Cewek banget!
"Ada PR"" "Banyaaakkk, Pak!"
"Hari ini tidak ada pengaduan. Saya heran sekaligus bangga. Mungkin karena kalian sibuk latihan operet ya."
"Nanti siang latihan lagi, Pak"" tanya Guntur bersemangat.
"Tumben lu semangat empat lima gitu!" ejek Dino.
"Siapa dulu dong..." Guntur melirik Lea sambil mengulum senyum. Tapi Lea sedang memerhatikan Pak Dion. Tidak ada perhatian tersisa untuk Guntur.
Dengan heran Guntur melihat cara Lea menatap gurunya. Tak ada lagi tatapan dingin yang biasa bersorot di sana Matanya kini bersorot hangat dan lembut.
Buset, pikir Guntur kaget. Apa dia naksir Pak Dion"
Dan yang resah bukan hanya Guntur. Vera dan teman-temannya juga.
"Gue yakin dia naksir Pak Dion!" Vera mulai menyebarkan racun biarpun dia tidak punya sengat.
"Ngaco lu," bantah Guntur pura-pura cuek. "Lu cuma cemburu. Makanya curigaan terus."
"Si Leak cuma respek sama Pak Dion," sambung Dino tegas. "Kalian para cewek emang paranoid. Bentar lagi gila."
"Mata gue masih normal nih! Gue bisa bedain naksir sama respek!" "Lu sendiri juga naksir Pak Dion!" "Cewek mana juga yang nggak naksir guru model Pak Dion"" keluh Rita.
"Kita mesti laporin ke Bu Kathi!" Tya mulai menghasut.
"Laporin apaan"" Guntur pura-pura tertawa mengejek. "Pak Dion lebih perhatiin Lea makanya kalian ngiri""
"Mendingan kita bilangin Bu Las! Biar dia yang ngadu ke Bu Kathi!" usul Ita licik.
"jangan!" cegah Guntur separo mengancam. "Kalian mau operet kita berantakan""
"Ah, sebodo amat!" sahut Vera ketus. "Operet itu emang udah berantakan! Emang gue pikirin"" "Lu mo kecewain Pak Dion""
Peduli apa" Pak Dion juga sudah mengecewakan aku!
Lea sudah berusaha bermain dengan sebaik-baik-nya. Sesuai dengan yang diajarkan Pak Dion. Guntur juga sudah berusaha keras mengimbanginya. Tapi akting mereka tetap masih belum memuaskan.
Vera dan teman-temannya juga tidak mengikuti pergelaran itu dengan bersemangat. Mereka malah seperti mencari-cari kesalahan Lea. Ketika ditegur Pak Dion, Vera malah menangis. Panggung jadi kacau.
"Semua gara-gara lu!" Tya mendorong Lea dengan jengkel. "Lu yang salah, Vera yang di-omelin!"
"Gue salah apa"" Lea balas mendorong dengan beringas. "Vera yang salah menghafal dialog!"
Ketika Tya langsung terjengkang, Nuniek mendorong Lea dari belakang. Lea yang mengenakan sepatu tinggi dan gaun panjang tersungkur tak ampun lagi.
"Nuniek!" bentak Pak Dion antara marah dan putus asa. "Apa ka
lian mau kita ganri saja acara kita dengan gulat wanita""
Guntur dan Dino saling pandang sambil me nahan tawa.
"Itu baru seru!" bisik Dino geli. Tidak berani keras-keras karena takut kedengaran Pak Dion. "Gue mau jadi wasit deh!"
Sisi Merah Jambu Karya Mira W di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pak Dion membantu Lea bangun. Padahal yang jatuh bukan hanya dia. Dan dari balik air matanya, Vera menatap dengan sakit hati.
Pak Dion benar-benar jahat! Gue benci dia! Benci!
"Jangan putus asa, Lea," hibur Pak Dion malam itu ketika latihan mereka berakhir. "Aktingmu sudah lebih bagus. Penampilanmu sudah lumayan. Jangan khawatir. Kita akan berhasil." "Saya takut, Pak," desah Lea lirih. "Ah, pake takut segala!" cibir Vera yang mengintip mereka dari balik pintu kamar ganti pakaian. "Kolokan!"
"Bapak akan membantumu," Pak Dion memegang tangan Lea. Sampai hampir melejit keluar mata Vera. Untung tidak sampai melejit. Kalau tidak, dia pasti jadi mas koki. "Kamu harus percaya diri. Kamu bisa."
"Saya takut mengecewakan Bapak."
Memang cuma itu yang ditakuti Lea. Dia tidak takut apa pun.
Pak Dion tersenyum sambil mengguncang tangan Lea.
"Kamu akan berhasil. Bapak yakin."
Vera memonyongkan mulutnya mengejek. Ka lau dia mau main sendirian, boleh saja! Tapi tidak ada yang mendukungnya! Vera dan teman-teman lain akan menyabot acara itu. Supaya acara mereka jadi yang paling jelek dalam pentas seni bulan depan! Hah!
Dan matanya melihat bayangan Bu Las. Cuma Vera yang tahu mengapa Bu Las masih ada di sini. Padahal acara yang diasuhnya sudah selesai latihan.
Buru-buru Vera menyelinap pergi. Membiarkan Lea berdua saja dengan Pak Dion. Adegan mereka berdua pasti sudah terekam di benak Bu Las! Lihat saja bagaimana judesnya sorot matanya! Hiii....
"Ngapain lu kabur kayak tikus"" tanya Tya di pintu depan. "Lihat hantu"" "Besok pasti rame," cetus Vera puas. "Apaan yang rame"" desak Nuniek penasaran. "Lu lihat aja besok! Tunggu tanggal mainnya!" "Main apa""
"Main jidat lu! Nanya melulu! Dasar telmi!"
Dan besok acara yang dinanti-nantikan Vera me mang langsung ditayangkan. Rating-nya. langsung melesat ke nomor satu.
Hari itu juga. Bu Kathi menggelar sidang pleno.
"Bukan hanya saya yang melihat Pak Dion memegang tangan Lea," lapor Bu Las ketika diberi kesempatan angkat bicara. Rapat guru ini memang digelar untuk mendengar pengaduannya. "Di ruang ganti. Ketika hanya mereka berdua yang ada di sana. Dan ini saya anggap sangat memalukan. Merusak wibawa guru sekolah favorit kira. Menjatuhkan martabat guru di depan anak didik...." Dan bla, bla, bla. Masih sejuta satu sebab-akibat lagi.
"Saya tidak percaya Pak Dion seperti itu," komentar Pak Tomo setelah Bu Las selesai memuntahkan pengaduan, fitnah, kutukan, ceraian, dan sebagainya, dan sebagainya. "Pak Dion hanya ingin mengubah citra Lea. Supaya tidak ada yang meragukan lagi, dia perempuan."
"Tapi demi anak itu, dia mengorbankan anak-anak yang lain! Dia tidak peduli acara kelasnya sukses atau tidak. yang penting hanya Lea!"
"Lea memang perlu perhatian yang paling besar," sambung Bu Sumiati. "tapi bukan berarti
Pak Dion boleh menelantarkan murid-murid yang lain."
"Dan tidak boleh memberi kesan Pak Dion pacaran dengan Lea!" sela Pak Anwar dingin. "Di mana harus kita letakkan wibawa sekolah favorit kita kalau ada guru pacaran dengan murid""
"Lea hanya menganggap saya sebagai ayahnya, Bu Kathi," sanggah Pak Dion dalam kesempatan berdialog berdua saja dengan kepala sekolah. Dia kan guru. Bukan murid yang bisa dipanggil ke rapat guru lalu diadili beramai-ramai. "Figur yang didambakannya. Yang telah lenyap bersama masa kanak-kanaknya. Jangan menghukum dia sekejam ini."
"Kami justru ingin melindunginya dari gosip, Pak Dion. Gosip yang akan membuatnya tambah menderita."
"Kalau pendekatan saya disalahartikan, saya yang salah, Bu. Bukan Lea. Dia masih polos seperti bayi. Putih seperti salju. Jangan biarkan guru-gurunya menyiksanya dengan perasaan bersalah."
"Saya mengerti, Pak Dion," sahut Bu Kathi sabar. "Saya tidak akan memanggil Lea. Saya akan minta kepada guru-guru yang lain untuk tidak menegurnya pula. S
aya percaya kepada Pak Dion. Saya harap Bapak tidak menyia-nyiakan kepercayaan saya. Demi nama baik sekolah kita."
*** Vera kesal sekali. Hasil yang ditunggu-tunggunya belum muncul juga. Tidak ada hukuman untuk Lea. Dia tidak ditegur. Tidak dimarahi kepala sekolah. Bahkan dipanggil menghadap pun tidak!
Rupanya pengaduan Bu Las sia-sia saja. Dianggap angin! Buktinya yang bersalah tidak dihukum! Tidak adil!
Seharian itu Vera marah-marah terus. Tidak heran latihannya kacau-balau. Beberapa kali dia dimarahi Pak Dion.
"Kita tidak akan berhasil kalau kamu tidak konsentrasi, Vera," keluh Pak Dion kesal. "Ada apa" Kenapa kamu seperti tidak berada di sini""
"Ganti aja deh. Pak," sambar Guntur, ikut jengkel melihat ulah Vera. Sudah capek-capek tarik suara, si Vera malah kacau-belau!
"Diam kamu, Guntur!" sergah Pak Dion tegas. "Tidak ada pemain yang diganti! Kita harus menuntaskan acara ini. Demi kelas IA, kalian harus rela berjuang mati-matian! Bukan supaya kita dapat piala pementasan terbaik. Tapi supaya kelas IA bisa menonjolkan sesuatu yang lain kecuali gelar kelas yang paling bandel!"
"Rasain lu," Dino menyeringai mengejek ke arah Vera. "Lu cembokur rerus sih sama si Leak! Makanya aksi lu jadi amburadul!"
"Kalo lu nggak serius juga, awas ya!" ancam Gunrur. Tentu saja sambil berbisik. "Udah serak nih gue!"
"Emang acaranya aja yang berantakan!" Tya coba membela Vera. Ah, sebenarnya bukan membela Vera. Dia sebal karena Guntur di pihak Lea. "Mau diapain juga tetep aja jelek!"
Seperti tidak sengaja dia menyodorkan kakinya terlalu jauh ke depan. Lea yang pas lewat langsung tersandung dan jatuh tersungkur.
Pak Dion berbalik dengan marah. Tetapi Tya buru-buru memuntahkan nyanyian yang sudah dihafalnya. Seolah-olah dia sedang mendera Cinderella Sesuai skenario.
Melihat ulah Tya, sambil menyimpan senyumnya, Nuniek ikut menimpali. Dan penggalan adegan itu menjadi tampilan yang sangat berhasil.
"Bagus!" puji Pak Dion gembira. "Kalau kalian bisa menghayati peran seperti ini, kita akan berhasil!"
Tambah aja adegan penyiksaannya, Pak, desis Tya dalam hati. Kita pasti bakal tambah berhasil!
"Jahat lu!" dengus Guntur jengkel. Tentu saja di belakang Pak Dion. "Lu sengaja, kan"" "Tuntutan peran!" sahut Tya cuek. Tentu saja Lea tahu, Tya sengaja. Tetapi dia diam saja. Tidak melawan. Semata-mata untuk kesuksesan acara mereka. Untuk membuat Pak Dion senang.
Tetapi ketika sedang istirahat Tya mendorongnya dengan kasar, Lea melawan. Dan mereka berkelahi tanpa dapat dicegah lagi.
Melihat Tya bakal kalah, Vera, Ita, dan Nuniek langsung turun tangan membantu.
Dan perkelahian empat lawan satu berlangsung seru.
"Gile! Mereka berantem beneran!" cetus Dino sambil bersorak-sorak gembira.
Guntur tidak melerai. Tidak membantu. Dia hanya mengawasi Dahlan yang sedang menonton dengan salah tingkah. Ketika Ita kena tendang, dia sudah maju hendak menolong. Guntur baru turun tangan. Menjambak lengan bajunya.
"Awas kalo lu berani ikutan!" ancamnya galak.
"Masa kita diemin aja mereka berantem. Tur"" protes Dahlan serbasalah.
"Biarin aja. Di pentas. Lea nggak bisa bales mereka. Di luar bisa."
Dan Guntur yakin. Lea tidak bakal kalah. Empat anak perempuan bukan lawan berat baginya. Tanpa gaun panjang dan sepatu hak tinggi yang merepotkan, dia lincah bak kijang. Licin seperti ular. Apalagi ilmu bela dirinya sudah maju pesat. Staminanya juga oke. Vera dan teman-temannya bukan lawan yang seimbang.
Dalam waktu singkat, dia sudah berhasil membuat lawan-lawannya jatuh tunggang langgang sambil menjerit.
Ketika Dahlan terbirit-birit berjongkok untuk menolong Ita, pipinya kena hajar.
"Lho! Kok aku yang ditampar, Ta"" protesnya penasaran. Diusap-usapnya pipinya yang lumayan sakit.
"Kamu nonton doang kayak banci!" geram Ita gemas. "Bukannya bantuin..."
Dan dia memekik kesakitan ketika badan Vera yang besar jatuh menimpanya setelah ditendang Lea.
Guntur tertawa gelak-gelak sampai hampir keluar air matanya.
"Mendingan juga kita bikin acara gulat wanita ya, Din," komentarnya geli. "Pasti su
kses!" "Gue bilang apa!" Dino bertepuk tangan riuh.
"Daripada susah-susah kita latihan nyanyi sampe urat leher gue pada nekuk!"
Saat itu tinggal Tya yang masih bertahan. Lea juga seperti sengaja tidak melepaskannya. Dia mencengkeram rambut Tya yang panjang. Dan menariknya sekuat-kuatnya sampai Tya berteriak-teriak kesakitan.
Midnight Sun 3 Giring Giring Perak Karya Makmur Hendrik Si Bayangan Iblis 3